ISSN: 1979-2093
Menata Strategi Pengumpulan Angka Kredit Widyaiswara di Padang Perjuangan Tugas Mulia Potensi Keanekaragaman Flora di Arboretum TUNBANMAT Potensi Jamur Ganoderma spp sebagai Bahan Obat Herbal
BALAI DIKLATKEHUTANANKUPANG edisi 14/I/2013
DAFTAR ISI : Salam Rimbawan !!!! Puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berka dan karuniaNya, sehingga kami dapat menerbitkan edisi pertama Majalah Kabesak di awal tahun 2013 ini Semoga dengan tahun yang baru ini kembali diperbaharui semangat kita pula. Pada edisi pertama di tahun 2013 ini, Tim Redaksi mengucapkan Selamat Tahun Baru dan Selamat Paskah bagi yang merayakan. Tak lupa kami juga menyampaikan terimakasih bagi Tim Redaksi yang lama dan selamat untuk Tim Redaksi yang baru terbentuk. Dalam edisi ini, ragam tulisan dapat pembaca nikmati, mulai dari info diklat yang sudah dilaksanakan BDK Kupang di awal tahun 2013 ini sampai beragam tulisan yang tentunya akan semakin menambah pengetahuan kita. Semoga di waktu mendatang kami bisa memberikan informasi yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya selamat menikmati sajian kami pada edisi ini.
Tim Redaksi
1.
Info Diklat BDK Kupang Tahun 2013
5.
Catatan Pembinaan Wdyaiswara BDK Kupang 2013
9.
Menata Strategi Pengumpulan Angka Kredit Widyaiswara di Padang Perjuangan Tugas Mulia (Gunawan Nugrahanto)
13. Potensi Jamur Ganoderma spp sebagai Bahan Obat Herbal (Irfa’i) 17. Kondisi dan Populasi Banteng (Bos javanicus) di TN Ujung Kulon (Deddy Suhartrislakhadi) 22. Memodelkan Dampak Perubahan Tutupan Lahan Terhadap Keanekaragaman Hayati Menggunakan Globio3 (Abdul Malik) 27. Potensi Keanekaragaman Flora di Arboretum TUNBANMAT (Heru Budi Santoso) 34. Sumber Belajar dalam Mendukung Kegiatan Pembelajaran (Widowati) 37. Pengolahan Lahan Dengan Api (Loretha Sanda) 40. Etika Lingkungan dan Pendidikan Lingkungan (Agus Rudi Darmawan) 44. Penyusunan Perda Kab. TTS No.25 Tahun 2001 ttg Cendana (Fatmawati)
cover depan : kantor BDK Kupang cover belakang : Lontar yang Tersisa (foto oleh : Irfa’i)
49. Teori Penciptaan Pengetahuan dan Masa Depan Jabatan Fungsional Polhut (Budy Zet Mooy) 55. Berfikir Sesat (Jasimon Ginting)
DEWAN REDAKSI Pembina/Penanggung Jawab : Ka. Balai Diklat Kehutanan Kupang; Pengarah : KSBTU, KSPD, KSHD, Koordinator WI; Redaksi : Heru Budi Santosa, Abdul Malik Solahudin, Irfa’i, FX Desy Ari Sasongko ; Diterbitkan Oleh : Balai Diklat Kehutanan Kupang Alamat Redaksi: Balai Diklat Kehutanan Kupang Jl. Untung Surapati Kotak Pos 76 Kupang 85001 Telp. (0380) 833129 ; Fax : (0380) 829329 e-mail :
[email protected] CP. Redaksi : 082133151342
kabar beta Info Diklat BDK Kupang Tahun 2013 Rencana dan Jadwal Tentative Pelaksanaan Diklat Tahun 2013 di BDK Kupang NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
JUDUL DIKLAT Penulisan Karya Tulis Ilmiah Alih Tk Penyuluh Kht Terampil -Ahli Pembentukan PKSM Angkt. I Teknik Pembuatan Video Dok. & Animasi Pembentukan Penyuluh Khtn Ahli Pelaksana Pengukuran & Perpetaan Budidaya Cendana Penyusunan Rancg Keg RHL Alih Tingkat PEH Terampil ke Ahli Aplikasi GPS Bagi Polhut Penyegaran Penyuluh Khtanan SIG Bagi Analis Teknik Budidaya Cendana Bagi Masy Dasar2 KSDAH & Ekosistem Teknik Perencanaan & Invent Hutan Pembentukan PKSM Angkt. II Penjenjangan Penyuluh Kht TerampilPenyelia Penjenjangan PEHTerampil Pelaksana Lanjutan
1. Penulisan Karya Tulis Ilmiah Diklat Teknik penulisan karya ilmiah ini merupakan diklat yang diberikan bagi pejabat fungsional di lingkup Kementerian Kehutanan (PEH, penyuluh dll.) maupun dinas kehutanan dalam rangka meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan kegiatan pengembangan profesi. Dalam diklat ini diberikan mata diklat teori yang terdiri dari: penyusunan Karya Tulis Ilmiah, Bahasa Ilmiah, dan penulisan artikel ilmiah, penulisan makalah ilmiah. Dalam mata diklat praktek peserta akan melaksanakan kegiatan penulisan artikel ilmiah, penulisan makalah ilmiah, penulisan laporan penelitian, dan presentasi ilmiah. Diklat dilaksanakan selama 6 hari (setara dengan 50 Jpl), yang diikuti oleh 31 peserta dari wilayah pelayanan BDK Kupang. Kegiatan pembelajaran teori maupun praktek di laksanakan di kelas BDK Kupang. Praktek lapangan dilaksanakan di Stasiun Penelitian BPK Kupang di Oelsonbai, selanjutnya peserta
LAMA (HARI) 6 10 6 8 18 30 15 15 16 15 15 15 15 16 7 6
JML (ORG) 30 24 30 24 30 24 24 24 24 24 24 24 30 30 24 30
JADUAL PELAKSANAAN 18-23 Februari 2013 18-27 Februari 2013 21-26 Maret 2013 21-28 Maret 2013 09 -26 April 2013 09 April-8 Mei 2013 20 Mei-4 Juni 2013 20 Mei-4 Juni 2013 20 Mei-5 Juni 2013 11-25 Juni 2013 11-25 Juni 2013 3-17 Juli 2013 3-17 Juli 2013 3-18 Juli 2013 26 Agst - 1 Sept. 2013 26 - 31 Agustus 2013
10
24
18-27 Sept. 2013
10
24 468
18-27 Sept. 2013
membuat karya tulis terkait hasil kunjungan lapangan. Untuk mempertajam kemampuan peserta, setiap peserta diminta untuk membuat naskah ilmiah, baik berupa artikel maupun naskah ilmiah. Hasil tulisan selanjutnya dikritisi oleh fasilitator maupun peserta untuk peningkatan kualitas tulisan. 2. Alih Tingkat Penyuluh Kehutanan Tk Terampil ke Tk Ahli Diklat ini diberikan bagi Penyuluh Kehutanan Tingkat Terampil yang akan alih tingkat menjadi Penyuluh Kehutanan Tingkat Ahli agar dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik sebagai Penyuluh Kehutanan Pertama. Mata diklat teori yang diberikan adalah kebijakan penyuluhan kehutanan; perencanaan penyuluhan kehutanan; metode, materi dan alat bantu penyuluhan kehutanan; monitoring, evaluasi dan pelaporan penyuluhan kehutanan; pengembangan profesi; pengembangan penyuluhan kehutanan; serta penyusunan dan
edisi 14/I/2013
hal.1
kabar beta CATATANPEMBINAANWIDYAISWARABDK KUPANG2013 (MEN GGA LI MA KN A , MEMET IK MA N FA A T ) Mengawali Bulan April 2013, BDK Kupang kedatangan tamu dari Widyaiswara Pusat Diklat Kehutanan (Ir. Samsudi, M.Sc.) dan Balai Diklat Kehutanan Bogor (Ir.Tri Pangesti,M.Si.). Kunjungan ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, dimaksudkan untuk melakukan pembinaan widyaiswara (Wi) di BDK Kupang. Melalui pertemuan yang dilaksanakan di Ruang Rapat BDK Kupang, dibangun ruang komunikasi, diskusi dan tukar pengalaman antar sesama widyaiswara. Antara Wi Pusat dan daerah, antar Wi senior dan junior, antara Wi yang DUPAK-nya dinilai di Lembaga Adminitrasi Negara (LAN) dengan Wi yang masih dinilai di Pusdiklat. Pertemuan tersebut diikuti hampir semua widyaiswara BDK Kupang (11 orang), di buka oleh Kepala BDK Kupang dan dihadiri pula oleh Kepala Sub Bagian Tata Usaha. Topik yang dibahas pada kegiatan ini mencakup penyampaian informasi dari Pusdiklat khususnya terkait per-DUPAK-an, rencana kegiatan di Pusat Diklat, dan topik lain terkait permasalahan yang dihadapi widyaiswara. Di samping itu, secara khusus juga didiskusikan mengenai pemilihan metode pembelajaran untuk
kegiatan diklat yang difasilitasi oleh Ir. Samsudi, M.Sc. Proses pembinaan dilakukan secara interaktif dan dialogis dalam suasana hangat dan akrab. Tulisan ini mencoba menyajikan dan mengulas pembinaan yang telah berlangsung. Disajikan untuk menjadi informasi bagi berbagai pihak. Diulas untuk digali makna-makna dan manfaat dari berbagai sisi. Dan tentu saja dengan harapan untuk membawa perbaikan di waktu selanjutnya bagi semua pihak yang terlibat. Informasi, diskusi, perhatian, dan pencerahan. Substansi pertemuan disadari penulis tidak memungkinkan tertuang semua secara lengkap pada sajian ini. Sehingga untuk menyederhanakan tulisan ini, penulis menyajikannya dalam bentuk matrik terhadap poin-poin materi dari pertemuan. Selanjutnya pengelompokan dilakukan terhadap poin materi berdasar klasifikasi yang coba dibuat penulis yaitu poin bersifat informasi, diskusi, perhatian dan pencerahan. Pemaknaan juga ditambahkan sebagai upaya untuk mempertegas dan menguatkan poin yang diulas.
POIN CATATAN
PEMAKNAAN INFORMASI
DUPAK Wi BDK Kupang relatif tidak bermasalah. Penyusunan dinilai cukup bagus dan rapi.
Perlu dipertahankan, dan ditingkatkan ketepatan waktu kirim, serta poin yang didapat perlu ditingkatkan melalui pengembangan kegiatan dan kualitas DUPAK.
Pusdiklat sudah membuat dan mencetak beberapa modul maupun pedoman teknis diklat yang dapat digunakan sebagai acuan
Dijadikan acuan diklat dan didukung dengan panduan diklat yang berkualitas.
Pengembangan profesi selain lewat tulisan di majalah juga dapat melalui website pusdiklat /media online yaitu (
[email protected])
Tantangan bagi WI BDK Kupang untuk memperbanyak KTI dan menerbitkannya pada majalah dan media online.
edisi 14/I/2013
.
hal.5
opini beta Menata Strategi Pengumpulan Angka Kredit Widyaiswara Di Padang Perjuangan Tugas Mulia Gunawan Nugrahanto*)
Intisari : Widyaiswara menghadapi ancaman pembebasan sementara dan bahkan pemberhentian sebagai fungsional. Kegiatan diklat, sebagai sumber utama angka kredit, relatif terbatas jumlahnya. Tulisan ini berupaya mengetahui tingkat penyerapan angka kredit widyaiswara BDK Kupang. Data yang digunakan berdasar kegiatan diklat 2012 dan hasil penilaian DUPAK periode Juli 2012 dan januari 2013. Penghitungan angka kredit dibatasi pada pelaksanaan kegiatan tatap muka dan penyusunan bahan diklat. Tingkat penyerapan angka kredit widyaiswara BDK Kupang tahun 2012 sebesar 80,27%. Potensi angka kredit sebesar 198,60 dan total hasil penilaian 159,42. Belum maksimalnya penyerapan disebabkan terdapat beberapa kegiatan yang tidak diajukan dan ada item pengajuan DUPAK tidak dinilai. Untuk memenuhi jumlah minimal 30% dari unsur pengembangan dan pelaksanaan diklat, diprediksi dapat dipenuhi. Ketentuan instansi untuk menyediakan 500 JP/tahun bagi setiap widyaiswara, masih jauh dari realisasinya. Kata kunci: widyaiswara, angka kredit, tingkat penyerapan Pendahuluan Widyaiswara sering dipandang sebagai jabatan mulia. Tugas mendidik, mengajar dan/atau melatih Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada instansi pemerintah, membuat jabatan ini bernilai penting bagi pembangunan kualitas sumberdaya manusia aparatur. Dari sisi tugas dan tanggung jawabnya, nampaknya widyaiswara dapat dikatakan sangat berkerabat dekat dengan profesi guru dan dosen. Meski demikian ada hal spesifik yang membuat widyaiswara agak berbeda dengan dua profesi lainnya, yaitu dalam pemberhentian jabatan terkait pengumpulan Angka Kredit (AK). Bagi guru dan dosen, pengumpulan angka kredit dan kenaikan pangkat yang kurang lancar tidak serta merta berimbas pada pemberhentian dari jabatannya. Tidak demikian dengan widyaiswara, apabila dalam waktu 5 tahun sejak menduduki jabatan /pangkat terakhir dalam jabatan widyaiswaranya, tidak mampu mengumpulkan angka kredit yang ditentukan untuk kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, maka akan dibebaskan sementara dari jabatannya. Selanjutnya dalam jangka 1 tahun sejak dibebaskan sementara, tidak dapat mengumpulkan angka kredit yang disyaratkan, maka widyaiswara yang bersangkutan diberhentikan dari jabatannya (PERMENPAN No 14 tahun 2009). Ancaman pemberhentian dari jabatan tidak akan menjadi masalah besar, apabila widyaiswara mampu mengumpulkan angka kredit yang
dipersyaratkan. Kenyataannya tidak demikian. Di beberapa lembaga diklat termasuk kehutanan, sejumlah widyaiswara mengalami pembebasan sementara, bahkan beberapa sudah diberhentikan dari jabatan widyaiswara. Fenomena ini nampaknya terus mengancam sejalan dengan peningkatan karier (pangkat/jabatan) widyaiswara. Semakin tinggi pangkat/jabatannya, kebutuhan angka kreditnya makin tinggi, dan peluang diberhentikan sebagai fungsional semakin tinggi. Sumber utama angka kredit bagi widyaiswara adalah dari kegiatan pengembangan dan pelaksanaan diklat di instansinya. Jumlah diklat yang tersedia dan jumlah widyaiswara yang ada, dapat dikatakan belum seimbang. Beberapa perhitungan sederhana menunjukkan bahwa diklat yang tersedia di instansi (BDK) hanya mampu 'menghidupi' tidak lebih dari separuh widyaiswara yang ada. Padahal, ketentuan formasi pengangkatan setiap seorang widyaiswara adalah minimal tersedia 500 JP (PERMPENPAN 14 Tahun 2009). Nampaknya ketentuan tersebut tidak serius diikuti. Oleh karena itu, tuntutan yang dipandang logis dan relevan dalam masalah ini adalah lembaga diklat harus memperbanyak jumlah diklatnya. Uraian di atas menunjukkan bahwa ada persoalan serius menyangkut masa depan karier widyaiswara. Di saat yang sama, kondisi kemampuan lembaga diklat dalam menyelenggarakan kegiatan diklat, juga terbatas. Secara sederhana mungkin persoalan di atas mungkin akan teratasi dengan
*) Widyaiswara Madya Balai Diklat Kehutanan Kupang
edisi 14/I/2013
hal.9
opini beta Potensi Jamur Ganoderma spp. sebagai Bahan Obat Herbal Irfa'i *)
Intisari: Jamur Ganoderma pada umumnya dikenal sebagai penyebab penyakit busuk akar merah yang merugikan tanaman kehutanan dan perkebunan. Tanaman yang terserang jamur ini mengalami gangguan pertumbuhan diantaranya: terhambatnya pertumbuhan, menguning daun, matinya tajuk, akar/pangkal batang rusak, bahkan kematian pohon. Namun, dari aspek medis, jamur Ganoderma berpotensi sebagai bahan baku obat berbahan dasar alam (obat herbal). Penelitian menunjukkan bahwa jamur ini dapat menyembuhkan penyakit berbahaya, diantaranya: hipertensi, kolesterol tinggi, diabetes mellitus, anti virus, anti kanker dan HIV. Kata Kunci: Ganoderma, penyakit akir merah, potensi bahan baku obat berbahan dasar alam (herbal Pengantar
Sekilas Mengenal Jamur Ganoderma
Sebagian besar diantara kita mengenal jamur sebagai tumbuhan tingkat rendah yang berfungsi sebagai pengurai (dekomposer) sisa bahan organik mahluk hidup. Sebagian lain mengetahui jamur sebagai bahan makanan bagi manusia, misalnya: jamur tiram, jamur merang, jamur shittake, jamur maittake dan jamur kuping. Sedangkan potensi jamur sebagai bahan baku obat berbahan dasar alam (herbal) belum banyak dikenal oleh sebagian orang. Salah satu jenis jamur yang dibahas dalam tulisan ini adalah jamur Ganoderma spp -selanjutnya ditulis Ganoderma. Mengapa penulis tertarik untuk membahas jamur ini? Umumnya keberadaan jamur ini dianggap merugikan bagi tanaman berkayu, baik tanaman kehutanan maupun tanaman perkebunan. Jamur Ganoderma dikenal sebagai penyebab penyakit busuk akar merah (red root-rot) yang sangat merugikan bagi tanaman berkayu. Namun, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang farmasi dan kedokteran, ternyata jamur ini telah dipakai oleh manusia sebagai bahan baku untuk mengobati beberapa jenis penyakit berbahaya. Penelitian yang dilakukan di negara Amerika, Jepang, China, Jerman, Malaysia dan Indonesia, menunjukkan bahwa jamur Ganoderma memiliki kandungan lebih dari 200 elemen zat aktif yang bermanfaat untuk kesehatan. Sungguh suatu potensi yang luar biasa bagi keperluan dunia pengobatan, oleh karena itu penulis merasa informasi mengenai pemanfaatan jamur Ganoderma harus disebarluaskan kepada para pembaca. Tulisan ini menguraikan tentang jamur Ganoderma, mulai dari pengenalan “sosok”nya, bahayanya bagi tanaman kehutanan, sekaligus potensinya sebagai bahan baku pengobatan berbahan dasar alam (herbal) dan prospek budidayanya.
Jamur Ganoderma tergolong dalam kelas Famili Polyporaceae, Ordo Polyporales, Kelas Basidiomycetes dan Divisi Eucomycetes. Famili Polyporaceae umumnya memiliki karakteristik khusus, yaitu tubuh buah berupa kipas, kerak, papan atau payung. Tubuh jamur umumnya dapat bertahan sampai beberapa tahun. Sebagian dari famili ini hidup sebagai saprofit, sebagian yang lain mengganggu tanaman kehutanan, pohon pelindung maupun kayu bangunan.
Ganoderma sp yang dijumpai pada pangkal batang flamboyan (Delonix regia) Menurut Tjitrosoepomo (2005), di dunia ini ditemukan 200 spesies Ganoderma, 80 species diantaranya memiliki khasiat obat. Berdasar warnanya, Ganoderma dikelompokkan menjadi Ganoderma berwarna hitam, ungu, biru, putih, kuning dan merah. Beberapa jenis yang umum dijumpai antara lain Ganoderma luccidum, G. amboinense, G. Philippii, G. Amboinense, G. cochlear, G.
*) Widyaiswara Muda Balai Diklat Kehutanan Kupang
edisi 14/I/2013
hal.13
opini beta KONDISI DANPOPULASI BANTENG(Bos javanicus) DI TAMANNASIONALUJUNGKULON Deddy Suhartrislakhadi *)
INTISARI Dari sepuluh padang penggembalaan di Taman Nasional Ujung Kulon yang dilakukan kegiatan pendugaan populasi banteng, diketahui hanya empat padang penggembalaan yang masih aktif. Jumlah populasi dari 4 padang penggembalaan tersebut yaitu 27 ekor di Cidaon, 4 ekor di Cibunar, 10 ekor di Cigenter dan 17 ekor di Nyiur. Sementara itu, pendugaan populasi banteng di dalam hutan sangat sulit dilakukan karena sulitnya untuk menemukan banteng secara langsung dan membedakan individu yang sama yang telah diduga. Salah satu cara pendugaan jumlah individu banteng didekati berdasarkan penemuan jejak terpadat dengan menggunakan metode transek. Selama penelitian, ditemukan sebanyak dua areal yang teridentifikasi sebagai daerah konsentrasi banteng dalam hutan, yaitu Blok Cikuya dengan jarak sekitar 2,8 km dari padang gembala Cidaon arah barat laut dan jarak antar areal konsentrasi sekitar 500 meter. Berdasarkan hasil pengamatan selama penelitian pada daerah konsentrasi tersebut, dalam lima hari pengamatan ternyata tidak menemukan banteng secara langsung. Hal ini dimungkinkan adanya kehadiran manusia yang menyebabkan banteng menghindar dari areal tersebut atau mencari areal lain karena terganggu oleh kegiatan penelitian. Kata Kunci : Banteng (Bos javanicus), populasi, Ujung kulon I. PENDAHULUAN Kawasan Taman Nasional Ujung Kulon secara administratif terletak di Kecamatan Sumur dan Cimanggu, Kabupaten Pandeglang, Propinsi Banten, yang secara geografis terletak antara 102°02'32”105°37'37” BT dan 6°30'34”-6°52'17”LS. Kawasan seluas 120.551 ha (terdiri dari luas daratan 76.214 ha dan luas perairan 44.337 ha) ditetapkan oleh pemerintah sebagai Taman Nasional melalui SK. Menteri Kehutanan No. 284/Kpts-II/1992 pada tanggal 26 Februari 1992. Pada tahun yang sama Komisi Warisan Alam Dunia UNESCO menetapkan TN. Ujung Kulon sebagai “World Heritage Site” dengan Surat Keputusan No. SC/Eco/5867.2.409. Penunjukan Ujung Kulon sebagai kawasan pelestarian alam dan Warisan Alam Dunia tersebut dikarenakan TN. Ujung Kulon merupakan habitat terakhir Badak Jawa (Rhinoceros sondaicus Desmarest, 1822) yang merupakan jenis mamalia unik dan langka di dunia (flagship species) yang perlu dilestarikan. Sehingga pengelolaannya bersifat spesifik, yaitu segala sesuatu yang menyebabkan Badak Jawa terganggu dijadikan perhatian utama dengan tetap memperhatikan ekosistemnya secara keseluruhan. Disamping itu di TN. Ujung Kulon juga terdapat beberapa satwa lain yang dilindungi diantaranya Banteng (Bos javanicus d'Alton, 1832). Kawasan Ujung Kulon merupakan habitat yang cocok untuk
Banteng karena ketersediaan yang cukup akan kebutuhan spesies tersebut, seperti jenis pakan, tempat berlindung, air dan mineral maupun kebutuhan akan tempat berhubungan sosial. II. KONDISI DAN POPULASI BANTENG DI UJUNG KULON A. Banteng di Ujung Kulon 1. Morfologi Banteng Banteng (Bos javanicus) memiliki tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya.
Widyaiswara Utama-Pusat Diklat Kehutanan Bogor)* Email:
[email protected]
edisi 14/I/2013
hal.17
opini beta MEMODELKAN DAMPAK PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN TERHADAP KEANEKARAGAMAN HAYATI MENGGUNAKAN GLOBIO3 Abdul Malik Solahudin)* Abstarct Studying the impact of future land use change on biodiversity is important to project the risks of every chosen decision. By predicting the impact, options having big impact on the environment can be avoided. This research aims to study the impact of land use changes on biodiversity using GLOBIO3 modeling in Papua Province. To simulate future land use for different development scenarios, the Conversion of Land Use and its Effects at Small region extent (CLUE-S) modeling was used. To assess the impact of each scenario on biodiversity, GLOBIO3 modeling was applied. Four different scenarios representing different planning targets for land development in Papua province were developed and compared: (1) Business as usual, (2) Enhanced conservation, (3) Enhanced economic development, and (4) Green economic development. This research shows that each scenario produces a different future land use and related impact on biodiversity. Scenario 2 is the most suitable scenario to prevent biodiversity loss, while scenario 3 is the worst scenario. Scenario 4 is more sustainable than scenario 1 or 3 since it stimulates economic development on one hand and protects biodiversity on the other hand. Keyword: land use change, GLOBIO3
Pendahuluan Perubahan tutupan lahan merupakan salah satu faktor penyebab kerusakan lingkungan. Proses ini telah terjadi sejak dua abad lalu di mana perubahan lanskap mempengaruhi sistem bumi . mengidentifikasikan bahwa setelah tahun 1950 banyak lahan yang dikonversi menjadi lahan pertanian. Saat ini, areal untuk budidaya (pertanian, peternakan dan perikanan air tawar) menutupi seperempat permukaan bumi. Selanjutnya melaporkan bahwa selama kurun waktu 2000 sampai dengan 2010 sekitar 13 juta hektar areal berhutan diubah menjadi tata guna lainnya pada skala global. Pembangunan infrastruktur seperti jalan dan jaringan transportasi lainnya juga berpengaruh negatif terhadap lingkungan. menyatakan bahwa pembangunan infrastruktur dapat menyebabkan hilangnya habitat, polusi, menurunnya kemampuan tanah menyerap air, menciptakan fragmentasi habitat dan kematian fauna akibat tertabrak kendaraan bermotor. Fragmentasi yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur jalan juga mengisolasi fauna dan meningkatkan resiko inbreeding. Ringkasnya, perubahan lahan dan pembangunan infrastruktur mempunyai dampak tehadap ekosistem dan keanekaragaman hayatinya. Dengan demikian, penelitian tentang hal tersebut diperlukan untuk memberi gambaran bagaimana setiap keputusan mengenai pengelolaan lahan akan memiliki dampak terhadap lingkungan. *(Widyaiswara Muda Balai Diklat Kehutanan Kupang
hal.22
edisi 14/I/2013
Penelitian ini akan berfokus pada studi mengenai dampak perubahan lahan terhadap biodiversity menggunakan permodelan GLOBIO3. Metode Penelitian ini mengambil tempat di Provinsi Papua. Lokasi yang diambil hanya pulau utama saja (tidak termasuk pulau-pulau kecil di sekitarnya). Untuk mencapai tujuan penelitian, tiga aktifitas penelitian utama telah dilakukan. Pertama, analisis perubahan lahan tahun 2000 sampai dengan 2009. Langkah ini dilakukan dengan cara membandingkan luasan areal untuk tiap kelas tutupan lahan tahun 2000 dengan tahun 2009 menggunakan ArcGIS 10 dan Microsoft Excel 2007. Hasilnya digunakan sebagai acuan untuk membuat scenario dalam permodelan ini sekaligus sebagai acuan untuk memprediksi trend perubahan tutupan lahan untuk masa yang akan datang (tahun 2030). Ke-dua, memprediksi perubahan lahan di masa depan berdasarkan skenario pengalokasian lahan yang telah dibuat dengan menggunakan software CLUE-S. Langkah-langkah penyiapan data dan peta, pembuatan scenario hingga proses produksi peta simulasi untuk tiap-tiap scenario tahun 2030 mengikuti manual CLUE-S oleh Verburg (2010). Dalam penelitian ini, empat skenario yang digunakan sebagai input dari simulasi adalah sebagai berikut: 1. Skenario business as usual, di mana pola
opini beta POTENSI KEANEKARAGAMANFLORA DI ARBORETUM TUNBANMAT Heru Budi Santoso)* Intisari Arboretum Tun Ban Mat merupakan bagian dari KHDTK Pendidikan dan Pelatihan Sisimeni Sanam yang berfungsi sebagai “gudang” keanekaragaman hayati khususnya tumbuhan. Berdasarkan hasil diklat inventarisasi hutan tahun 2010, diketahui bahwa arboretum Tun Ban Mat memiliki potensi keanekaragaman flora (tumbuhan) yang cukup tinggi dan memiliki peran yang penting bagi masyarakat sekitar. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya beberapa jenis yang termasuk dalam kategori pohon yang dilindungi serta memiliki manfaat yang besar baik dari sisi lingkungan maupun sosial ekonomi. Beberapa jenis yang perlu mendapat perhatian khusus diantaranya Strychnos lucida, Tetrameles nudiflora, Ficus sp., Pinang, Palaquium spp., serta kemuning yang merupakan salah satu tumbuhan khas yang ada di pulau timor. Jenis-jenis tumbuhan lain yang merupakan tumbuhan khas dari wilayah pelayanan Provinsi Bali dan NTB juga perlu diperkaya. Harapannya Arboretum Tun Ban Mat dapat menjadi “gudang” keanekaragaman hayati di pulau Timor sehingga dapat membantu peserta dalam meningkatkan pemahaman terhadap materi yang diberikan, serta dapat digunakan sebagai contoh untuk diterapkan di lokasi asal peserta diklat. Kata Kunci : Arboretum Tun Ban Mat, Keanekaragaman flora. Pendahuluan Kawasan Hutan Sisimeni Sanam pada tahun 1982 pertama kali ditetapkan oleh menteri pertanian dengan fungsi sebagai hutan produksi terbatas. Berdasarkan Kepmenhut No.141/Menhut-III/2007, Kelompok Hutan Sisimeni Sanam seluas ± 1.914 ha ditunjuk sebagai kawasan hutan dengan tujuan khusus dengan peruntukan Hutan Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kupang. Hasil pemancangan batas dengan penambahan kawasan bagian utara dan selatan diperoleh areal seluas ± 2.937 ha (Anonim, 2007). Sejak SK penunjukkan tersebut sudah enam tahun usia Hutan Diklat Sisimeni Sanam dikelola Balai Diklat Kehutanan Kupang, akan tetapi selang waktu yang telah berjalan masih belum banyak potensi yang dapat dieksplor atau diketahui. Dalam pengelolaan hutan, informasi penyusun serta potensi hutan menjadi hal yang penting untuk diketahui. Bagaimana kita bisa mengelola hutan jika kita tidak tahu apa yang mau kita kelola, seperti halnya kita mau menata sebuah rumah tapi kita tidak tahu apa saja isi serta bagian-bagian yang ada di dalamnya. Tulisan ini harapannya dapat memberikan informasi terkait dengan potensi keanekaragaman flora yang ada di petak arboretum Tun Ban Mat serta jenis-jenis tumbuhan apa yang perlu mendapat perhatian khusus untuk pengelolaan kedepannya, sehingga dapat mendukung penyelenggaraan diklat. Bagi pengelola hutan diklat, data serta informasi ini
dapat digunakan sebagai dasar untuk menggali lebih dalam tentang potensi keanekaragaman hayati yang ada. Penulis yakin masih banyak hal yang belum diketahui serta dapat dipelajari dan dimanfaatkan dari potensi yang ada di Hutan Diklat Sisimeni Sanam. Petak Arboretum Tun Ban Mat Nama Arboretum Tun Ban Mat pertama kali diberikan pada tahun 2008. Tun Ban Mat merupakan singkatan dari nama lima farm (marga) yang ada di desa sekitar arboretum yaitu Tun Muni, Benu, Abanat, Neno, dan Mat Nai. Berdasarkan Desain Pengembangan Hutan Diklat Sisimeni Sanam Balai Diklat Kehutanan Kupang tahun 2007, petak arboretum berada pada zona konservasi tepatnya di blok pelestarian, dengan jenis tanah adalah mediteran. Tanah mediteran umumnya terbentuk dari bahan induk kapur dengan tekstur cenderung bersifat lempung (loam) sampai liat (clay). Arboretum Tun Ban Mat berada pada ketinggian 300-400 mdpl. Untuk dapat mencapai Arboretum Tun Ban Mat bisa dikatakan tidaklah mudah, aksesibilitas dari jalan utama menuju arboretum harus ditempuh ± 5 km dan melalui jalan makadam. Pada musim penghujan jalan penghubung ini sering putus dan tidak dapat dilalui dengan menggunakan mobil. Berdasarkan karakteristik vegetasi penyusun hutan dan kondisi alamnya, petak arboretum memiliki perbedaan yang mencolok jika dibandingkan dengan
*(Widyaiswara Pertama Balai Diklat Kehutanan Kupang
edisi 14/I/2013
hal.27
BERITA GAMBAR
bersih pantai dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
jalan sehat dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
lomba futsal dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
kunjungan praktek diklat kti ke stasiun penelitian bpk kupang
kunjungan praktek diklat pembentukan penyuluh kehutanan lomba futsal putri dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
peserta diklat pembentukan penyuluh kehutanan tahun 2013
lomba tarik tambang dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
peserta diklat pengukuran dan perpetaan tahun 2013
lomba bakiak dalam rangka hari bhakti rimbawan ke-30
opini beta SUMBERBELAJARDALAM MENDUKUNG KEGIATANPEMBELAJARAN WIDOWATTY HANDISOEPARJO *)
Abstract Understanding learning resources such as books or other printed materials that can be used as learning materials. The classification of the learning resource is a learning resource that is deliberately planned, prepared for specific learning objectives. Learning resources is a system, because it is a unity in which components and factors are related and affect each other. Selecting learning resources based on the general criteria and criteria based on the objectives to be achieved. utilize the learning resources that are used to learning in order to be adapted to the requirements Key words : Learning Resources, Classification of learning resources, components and factors of learning resources, select and utilize learning resources
A. Pengantar
B. Klasifikasi Sumber Belajar
Proses belajar-mengajar merupakan suatu sistem yang tidak terlepas dari unsur-unsur lain yang berinteraksi di dalamnya. Salah satu unsur dalam proses pembelajaran tersebut adalah sumber belajar. Sumber belajar dalam proses pembelajaran itu tidak lain adalah daya yang bisa dimanfaatkan guna kepentingan proses belajar-mengajar, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, sebagian atau secara keseluruhan. Sumber belajar dalam pengertian sempit diantaranya buku atau bahan cetakan lainnya yang dipakai sebagai bahan ajar. Dalam program pembelajaran yang biasa disusun oleh widyaiswara terdapat unsur sumber belajar, dan pada umumnya akan diisi dengan buku teks atau buku wajib yang dianjurkan yang biasanya disebut sebagai bahan ajar. Pengertian sumber belajar tersebut sama sempitnya bila diartikan sebagai semua sarana pembelajaran yang dapat menyajikan pesan secara auditif maupun visual, misalnya slide yang biasanya disebut sebagai bahan tayang. Pengertian yang lebih luas tentang sumber belajar yaitu pengalaman sebagai sumber belajar yang sangat nyata bagi peserta diklat. Pengalaman nyata yang pernah dialami oleh seseorang itu sangatlah berharga dan bermanfaat sebagai sumber belajar karena telah mengalaminya secara langsung. Sumber belajar dalam pengertian tersebut menjadi sangat luas maknanya, seluas hidup itu sendiri, karena segala sesuatu yang dialami dianggap sebagai sumber belajar sepanjang hal itu membawa pengalaman yang menyebabkan peserta diklat dapat belajar.
Dalam menyusun suatu klasifikasi sumber belajar tidaklah mudah. Hal ini disebabkan oleh sulitnya membuat batas yang tegas dan pasti tentang perbedaan atau ciri-ciri yang terdapat pada sumber belajar. Contohnya kegiatan diskusi dapat diklasifikasikan ke dalam sumber belajar yang dirancang, namun dapat juga dimasukkan ke dalam klasifikasi sumber belajar yang dimanfaatkan, sebab kegiatan diskusi yang spontan dalam kegiatan pembelajaran bisa terjadi tanpa direncanakan sebelumnya. Sumber belajar dapat diklasifikasikan kedalam 2 jenis yaitu sumber belajar yang dirancang dan sumber belajar yang dimanfaatkan. Sumber belajar yang dirancang adalah sumber belajar yang sengaja direncanakan, disiapkan untuk tujuan pembelajaran tertentu. Sedangkan sumber belajar yang dimanfaatkan adalah sumber belajar yang tidak direncanakan atau tanpa dipersiapkan terlebih dahulu, tetapi langsung dipakai guna kepentingan pembelajaran. Ada juga klasifikasi lain yang biasa dilakukan terhadap sumber belajar adalah sebagai berikut: 1. Sumber belajar yang tercetak seperti buku, brosur, poster, kamus, booklet, dan lain sebagainya. 2. Sumber belajar non cetak seperti film, slide, video, model dan lain sebagainya. 3. Sumber belajar yang berbentuk fasilitasi seperti perpustakaan, ruang belajar, studio dan lain sebagainya. 4. Sumber belajar berupa kegiatan seperti simulasi, observasi, wawancara dan kerja kelompok dan
*) Widyaiswara Utama Balai Diklat Kehutanan Bogor
hal.34
edisi 14/I/2013
opini beta PENGOLAHANLAHANDENGANAPI: KECILJADI KAWAN, BESARJADI LAWAN Loretha Sanda*)
Intisari Pengolahan lahan menggunakan api yang dikenal dengan istilah tebas bakar (Sako) merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat di daerah NTT. Bagi masyarakat NTT pemandangan berupa bekas kebakaran bukan sesuatu yang aneh sehingga seperti sesuatu yang membudaya. Namun, ternyata kebiasaan tersebut juga dilakukan oleh masyarakat lainnya di Indonesia. Tulisan ini membahas pengolahan lahan menggunakan api yang dilakukan oleh masyarakat di Indonesia, mengapa masyarakat tetap mempertahankan kebiasaan ini, dampak positif dan negatif kegiatan ini serta upaya mengurangi kebiasaan tersebut. Kata kunci : pengolahan lahan, pembakaran, unsur hara, dampak. I. PENDAHULUAN Mempunyai wilayah tugas yang sifatnya regional mempunyai keuntungan tersendiri. Salah satunya adalah kesempatan untuk bertugas ke wilayah tersebut.Seperti saat ini, penulis mendapat kesempatan mengelilingi pulau Flores bagian tengah. Dalam perjalanan dari kabupaten Ngada ke Kabupaten Nagakeo sebelum memasuki kota Mbay, terlihat pemandangan yang cukup memprihatinkan. Sepanjang perjalanan terlihat punggung bukit yang menghitam dan pepohonan yang hangus meranggas. Bahkan di beberapa titik masih terlihat kepulan asap dan kebakaran lahan. Keadaan ini diperparah dengan sinar matahari yang begitu menyengat. Hal ini penulis sampaikan ke pihak Dinas Kehutanan kabupaten Nagakeo. Penulis terkejut mendapat tanggapan bahwa hal ini terjadi hampir setiap tahun sepanjang musim kemarau. Bahkan dalam setahun bisa terjadi lebih dari sekali kebakaran. Masyarakat membakar lahan tersebut dengan sengaja agar rumput muda bisa tumbuh dengan cepat sehingga mereka tidak kekurangan pakan ternak. Kondisi yang sama terjadi hampir di seluruh kepulauan NTT, termasuk di Kota Kupang. Saat musim kemarau, rerumputan yang coklat karena mengering sering kali menjadi korban pembakaran secara sporadis oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Tidak jarang, tanaman penghijauan pun menjadi korban. Pertanyaan yang muncul di benak penulis, mengapa kebakaran lahan bisa terjadi bahkan berulang setiap tahun? Mengapa hal ini menjadi seperti budaya yang sulit hilang dari kebiasaan masyarakat terutama di NTT?. II. PRAKTEK PENGOLAHAN LAHAN DENGAN API DI INDONESIA Api, telah lama digunakan oleh masyarakat sebagai salah satu teknologi yang murah dan cepat
dalam pengolahan lahan. Merujuk pada Koentjaraningrat, Samsudi dkk (2002) menyatakan bahwa kegiatan bercocok tanam di Indonesia sebagian masyarakat masih melakukan usaha tani tradisional dengan cara-cara yang masih sangat sederhana, yang terpolakan dalam budaya yang dibentuk berdasarkan kepercayaan dan adat istiadat yang dianutnya atau dikenal dengan istilah perladangan. Teknik bercocok tanam seperti itu menyebabkan adanya istilah slash and burn agriculture atau bercocok tanam dengan menebas dan membakar. Sebutan lainnya adalah shifting cultivation atau pertanian berpindah-pindah, setelah dua atau tiga kali panen, akan mencari lahan baru. Pengolahan lahan dengan cara pembakaran (indigenous use of fire) bagi masyarakat adat merupakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang mereka miliki (HE. Benjamine, 2012). Musim kemarau, biasanya merupakan waktu untuk melakukan pembakaran serasah bagi para petani. Cara pembakaran ini sudah dilakukan secara turun-temurun, sejak beberapa generasi sebelumnya, yang merupakan bagian dari budaya mereka. Praktek perladangan yang dilakukan di berbagai tempat seperti Sumbawa (Goethais dalam Samsudi, 2002) dimulai dengan persiapan lahan yaitu menebang dan membersihkan calon ladang yang dipilih, pembakaran pohon dan semak yang telah ditebas, pemagaran lokasi, penanaman, kemudian pemamnenan. Hampir sama dengan kondisi tersebut masyarakat di Muara Wahau Kalimantan Timur memulai perladangan dengan kegiatan penebasan, penebangan dan pencincangan, pembakaran, penanaman, pemeliharaan dan pemanenen. Sedangkan bagi masyarakat suku Sakai di Propinsi Riau yang pola hidupnya adalah mengembara dan hidup dari meramu hasil hutan, berburu dan menangkap ikan; perladangan dilakukan setelah
*) Widyaiswara BDK Kupang
edisi 14/I/2013
hal.37
opini beta ETIKALINGKUNGANDANPENDIDIKANLINGKUNGAN Agus Rudi Darmawan*)
Intisari Masalah lingkungan seringkali terjadi akibat lemahnya kesadaran kita tentang betapa pentingnya lingkungan untuk keberlangsungan makhluk hidup baik di masa sekarang maupun di masa yang akan datang. Sebagian besar manusia memiliki cara pandang yang menempatkan bahwa manusia adalah pusat dari alam semesta, sementara alam seisinya hanyalah alat bagi pemuasan kepentingan mereka. Cara pandang tersebut menyebabkan kekeliruan manusia dalam menempatkan diri ketika berperilaku di dalam ekosistemnya. Kesalahan cara pandang yang demikian ternyata telah menyebabkan krisis lingkungan yang berkepanjangan, dan kita sadari sumbernya terletak pada kurangnya penanaman pondasi pendidikan lingkungan sejak dini yang menyebabkan masalah moral manusia untuk mematuhi etika lingkungan. Oleh karena itu penyelesaian terhadap masalah tersebut sebaiknya dilakukan dengan cara melakukan penanaman pondasi pendidikan lingkungan sejak dini agar generasi muda memiliki bekal pemahaman tentang lingkungan hidup yang kokoh. Dengan adanya pendidikan lingkungan sejak dini diharapkan dapat membangun moral yang baik sehingga menjadi modal utama bagi manusia untuk berperilaku sesuai etika dalam mengatur hubungan antara dirinya dengan lingkungan. Kata Kunci: etika lingkungan, pendidikan lingkungan Pengantar Pertanyaan “Seberapa besarkah kepedulian kita terhadap lingkungan?” adalah sebuah pertanyaan reflektif yang mengajak kita untuk sejenak merenungkan kehidupan di sekitar kita. Lingkungan hidup adalah “konteks” di mana kita hidup dan bertempat tinggal. Apabila lingkungan hidup tersebut terganggu dan mengalami kerusakan, maka kehidupan dan tempat tinggal kita pun akan terganggu juga. Dalam suatu lingkungan, semua komponen-komponen yang ada di dalamnya harus selalu dalam keadaan seimbang. Jika tidak, akan terjadi gangguan dan kerusakan lingkungan seperti banjir, erosi, longsor, dan abrasi. Tulisan di bawah ini disajikan untuk mengajak kita semua merenung dan merefleksikan sejenak keadaan lingkungan hidup sekitar kita dan dampak dari kegiatan manusia terhadap alam. Pentingnya Lingkungan Hidup Masalah kerusakan lingkungan hidup dan akibat-akibat yang ditimbulkan bukanlah suatu hal yang asing lagi di telinga kita. Dengan mudah kita dapat menunjuk dan mengetahui apa saja jenis kerusakan lingkungan hidup itu dan apa saja akibat yang ditimbulkanya. Misalnya; dengan cepat kita dapat mengerti bahwa eksploitasi alam dan penebangan hutan yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan bencana banjir, tanah longsor dan kelangkaan air bersih; membuang limbah industri ke sungai dapat menyebabkan kematian ikan dan merusak habitatnya; penggunaan dinamit untuk menangkap ikan dapat merusak terumbu karang dan biota laut; dan masih banyak lagi daftar sebab akibat
hal.40
edisi 14/I/2013
yang biasa terjadi dalam lingkungan hidup kita. Yang menjadi masalah adalah kita hanya sekedar mengetahui penyebab kerusakan lingkungan hidup tanpa tahu apa yang seharusnya dilakukan untuk mencegah atau menahan laju kerusakan tersebut. Lemahnya kesadaran kita terhadap lingkungan hidup juga terjadi karena adanya anggapan yang memandang bahwa pemanfaat alam bagi manusia itu adalah hal yang “wajar”. Menebang pohon guna kebutuhan manusia adalah hal yang sangat lumrah, Membuang sampah sembarangan di mana pun sepertinya adalah suatu hal yang juga wajar, belum ada aturan yang ketat untuk itu. Dengan kata lain, proses kerusakan lingkungan hidup dapat digambarkan seperti seorang pecandu rokok atau minuman keras. Dalam akal sehat, seorang pecandu pastilah tahu bahwa rokok atau minuman keras dapat merusak tubuh dan kesehatan mereka. Namun, mereka toh tetap menikmatinya. Mungkin, mereka baru benar-benar akan sadar terhadap dampak negatif rokok atau minuman keras ketika telah mengalami sakit keras. Proses yang sama kiranya juga terjadi atas sikap kita terhadap alam dan lingkungan hidup. Kita tahu bahwa menebang pohon seenaknya atau membuang sampah sembarangan adalah suatu hal yang jelas-jelas salah, tapi kita toh tetap melakukannya berulang-ulang, sebab kita diuntungkan, tidak menjadi repot dan itu adalah hal yang sudah biasa dan mungkin kita menikmatinya. Barangkali kita baru akan benar-benar tersadar ketika terjadi bencana besar menimpa hidup kita atau sesama kita. Jika saja memang terjadi bahwa ada banyak orang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang
opini beta Penyusunan Perda Kabupaten Timor Tengah Selatan No 25 Tahun 2001tentang Cendana : Sebuah Potret Awal Pengelolaan Cendana Era Otonomi Daerah Fatmawati *)
Intisari Pengelolaan cendana di Kabupaten Timur Tengah Selatan (TTS) dilakukan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) No. 25 Tahun 2001 tentang Cendana. Namun sampai dengan saat ini tujuan yang tertera dalam Perda tersebut belum memberikan dampak yang diharapkan. Tulisan ini bertujuan memberikan gambaran bagaimana proses penyusunan peraturan daerah yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dalam pengelolaan cendana dengan melihat peran para aktor yang terlibat dalam proses tersebut dan waktu yang diperlukan untuk penyusunan serta proses pembahasan Raperda. Mekanisme yang digunakan dalam proses penyusunan Perda Cendana merupakan prakarsa eksekutif atau pengajuan Ranperda yang berdasarkan inisiatif dari pemerintah daerah. Tahapan penyusunan dan pembahasan Ranperda Cendana lebih didominasi peran dari pihak pemerintah (eksekutif) dan anggota dewan (legislatif). Peranan pihak lain / stakeholders dan masyarakat dalam proses penyusunan Ranperda cendana dilakukan pada pembahasan di tingkat eksekutif namun tidak terbuka sedangkan pada tahap pembahasan dan penetapan Perda Cendana di tingkat legislaltif tidak melibatkan pihak lain/stakeholders dan masyarakat. Waktu yang digunakan untuk penyusunan Perda Cendana pada tahap perumusan sampai pada tahap pembahasan dan penetapan di tingkat legislatif (dewan) hanya membutuhkan waktu kurang dari setahun. Pendahuluan Penyusunan Perda Kabupaten TTS tentang cendana merupakan pengalaman pertama pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan daerah di bidang kehutanan pasca pelaksanaan otonomi daerah sesuai UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah yang pelaksanaannya mulai berlaku secara efektif sejak 1 Januari 2001. Pertimbangan yang dijadikan dasar yang tertuang dalam bagian menimbang Perda No. 25 Tahun 2001 tentang cendana yaitu: 1) Menghindari kepunahan cendana, perlu melibatkan peran serta dan memberikan kepercayaan pada masyarakat untuk bertanggungjawab atas kelangsungan dan kepemilikannya, tidak hanya menjadi monopoli pemerintah daerah dan Badan Usaha tertentu agar masyarakat dapat menikmati hasilnya demi kesejahteraan rakyat; 2) Berdasarkan Pasal 5 huruf g PP No. 6 Tahun 1998, maka pengelolaan hasil hutan non kayu (cendana) menjadi kewenangan daerah; 3) Cendana adalah jenis tumbuhan yang menghasilkan kayu beraroma khas dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi yang merupakan aset Kabupaten TTS, perlu dibudidayakan, dikembangkan, dan dilestarikan serta dimanfaatkan sehingga menjadi komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Besarnya sumbangan cendana terhadap PAD Provinsi NTT sebelumnya (22.61% dari PAD Propinsi NTT atau Rp. 4 M) dijadikan pendorong agar pengelolaan cendana kedepannya dapat *) Widyaiswara Muda Balai Diklat Kehutanan Kupang
hal.44
edisi 14/I/2013
meningkatkan PAD Kabupaten TTS. Ketika pengelolaan cendana diatur oleh pemerintah Provinsi NTT, Kabupaten TTS memberikan kontribusi produksi cendana terbesar setiap tahun yaitu 50% dari total produksi yang ditetapkan propinsi (BanoEt, 2000). Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka pemerintah daerah berusaha untuk menyelamatkan tanaman cendana dari kepunahan di alam dengan melibatkan peran serta masyarakat. Pelibatan peran masyarakat didasari dengan kegagalan kebijakan sebelumnya dan sikap apatis masyarakat terhadap cendana. Dengan demikian cendana diharapkan dapat menjadi asset Kabupaten TTS dan komoditi yang memiliki keunggulan komparatif. Tulisan ini merupakan bagian dari rangkaian kegiatan penelitian tentang Analisis Kebijakan Pengelolaan Cendana Di Kabupaten TTS pada Tahun 2010. Tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan gambaran bagaimana proses penyusunan peraturan daerah yang dilakukan Pemerintah Daerah Kabupaten TTS dalam pengelolaan cendana dengan melihat peran para aktor yang terlibat dalam proses tersebut dan sejauh mana peran mereka dalam menetapkan agenda kebijakan serta waktu yang diperlukan untuk penyusunan dan pembahasan Rancangan Kebijakan Cendana. Tahapan Penyusunan Perda Kabupaten TTS Secara umum ada dua mekanisme
opini beta TEORI PENCIPTAANPENGETAHUANDAN MASADEPANJABATANFUNGSIONALPOLHUT (Study Kasus “Penyempurnaan Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan”) Budy Zet Mooy *)
Intisari Hutan yang merupakan modal pembangunan nasional indonesia dan memiliki manfaat nyata bagi kehidupan (ekologi, sosekbud), dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi. Faktor utama penyebabnya adalah lemahnya sistem penjagaan, pengamanan hutan dan penegakan hukum oleh aparat pengamanan hutan. Untuk itu, perlu menciptakan pengetahuan bagi polhut melalui penyempurnaan jabatan fungsional polhut, sehingga mampu memberi jaminan bagi penyelenggaraan KSDAHE melalui pelaksanaan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan dan pengawasan peredaran hasil hutan. Kementerian Kehutanan menciptakan pengetahuan baru dalam bentuk regulasi bidang kehutanan, untuk itu diperlukan tenaga Polhut Ahli sebagai tenaga pengkaji dan perencana perlindungan pengamanan hutan dan pengawasan peredaran hasil hutan sehingga lebih berkemampuan dalam mewujudkan efektifitas pelaksanaan tugas pengaman hutan. Untuk itu perlu dilakukan revisi dan penyempurnaan jenjang pangkat dan jabatan Polhut menjadi ruang golongan IV/c dengan mengakomodir level pendidikan S1, S2 hingga S3 untuk tingkat Polhut Ahli. Kata kunci : Degradasi hutan, Jabatan Fungsional Polhut, penciptaan pengetahuan I. PENDAHULUAN Hutan merupakan modal pembangunan nasional memiliki manfaat yang nyata bagi kehidupan dan penghidupan bangsa Indonesia, baik manfaat ekologi, sosial budaya maupun ekonomi, secara seimbang dan dinamis. Untuk itu, hutan harus diurus dan dikelola, dilindungi dan dimanfaatkan secara berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia baik generasi sekarang maupun yang akan datang. Data BPS dan CIFOR 2005, menyatakan luas hutan tropis Indonesia sekitar 120,35 juta hektar (Ha) dan telah ditunjuk oleh Menteri Kehutanan sebagai hutan seluas 109,9 juta Ha. terdiri dari hutan lindung; hutan konservasi; hutan produksi tetap; dan hutan konversi. Kondisi hutan tropis Indonesia yang dikenal memiliki keanekaragaman hayati sangat tinggi dari tahun ke tahun terus mengalami degradasi. Semakin berkurangnya hutan tropis kita dapat menimbulkan ancaman terhadap punahnya beberapa spesies tertentu karena kehilangan habitatnya. Beberapa penyebab yang menimbulkan terjadinya degradasi hutan kita, antara lain illegal logging, penjarahan dan perambahan areal hutan, peredaran tumbuhan dan satwa liar secara illegal, penambangan tanpa ijin (penambangan emas, timah hitam, batubara dan sebagainya), kebakakaran hutan, pengrusakan terumbu karang dan gangguan keamanan hutan lainnya. Permasalahan tersebut perlu segera ditangani secara serius dan berkesinambungan, sehingga kelestarian hutan dan ekosistemnya tetap
terjaga dengan baik. Permasalahan-permasalahan di atas timbul disebabkan oleh beberapa faktor antara lain; pengangguran eks pekerja kayu setelah berkurangnya izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (HPH), tindakan anarkis pada era reformasi, kurang insentifnya pemangkuan hutan, adanya euphoria reformasi dalam era otonomi daerah, rendahnya kesadaran hukum masyarakat dan lemahnya penegakan hukum (law enforcemen) terhadap tindak pidana kehutanan. Dari keseluruhan faktor penyebab prioritas yang paling utama adalah lemahnya sistem penjagaan dan pengamanan hutan oleh aparat pengamanan hutan. Sesuai dengan UU Nomor 41 Tahun 1999 dan PP Nomor 38 Tahun 2010 serta dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.40/MenhutII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan, Kementerian Kehutanan sebagai organisasi/institusi Pemerintah salah satunya mengemban tugas dalam bidang perlindungan hutan yang didalamnya mengandung unsur tata kelola hutan, pemanfaatan dan pengawasan. Terkait dengan lemahnya penegakan hukum terhadap tindak pidana kehutanan dapat di lihat dari data-data yang ada, seperti kasus illegal logging di Papua (2005 – 2007), semua pelaku yang diduga terindikasi melakukan tindak kejahatan di bidang kehutanan divonis bebas oleh Pengadilan Negeri setempat. Tahun 2005 terdapat 943 kasus tindak pidana kehutanan, namun hanya dapat di proses
edisi 14/I/2013
hal.49
opini beta
BERFIKIRSESAT Ir. Jasimon Ginting *)
Ringkasan Semua mahluk yang ada dimuka bumi ini adalah merupakan ciptaan Tuhan. Dari semua mahluk yang diciptakan Tuhan, manusia merupakan ciptaanNya yang paling sempurna. Dikatakan paling sempurna karena hanya manusialah yang dapat berfikir. Berpikir adalah merupakan hasil eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai suatu tujuan. Berpikir sesat adalah pemikiran yang selalu bersifat negatif dimana argumentasi yang tidak logis, pemaksaan prinsip, salah arah dan selalu menyesatkan. A. Pendahuluan. Setiap saat manusia di alam jagat raya ini dalam hidupnya tidak pernah berhenti berpikir, kecuali kalau sudah wafat (almarhum). Hampir tidak ada masalah yang menyangkut kehidupan di dunia ini yang lepas dari jangkauan pikirnya, dari masalah sederhana/kecil sampai masalah yang sangat sulit/hakiki/besar, bahkan hingga persoalan surga dan neraka. Sehingga berpikir inilah yang mencirikan hakekat manusia, karena berpikir mereka menjadi manusia seutuhnya. Berpikir merupakan hasil eksplorasi pengalaman yang dilakukan secara sadar dalam mencapai satu tujuan. Dari tujuan ini membentuk pemahaman, mengambil keputusan, perencanaan pemecahan masalah, penilaian dan tindakan, yang akhirnya membentuk gerakan mengikuti jalan pemikiran tertentu, hingga akhirnya sampai pada sebuah kesimpulan berupa pengetahuan. Serangkaian pengetahuan yang dikembangkan saat ini disebabkan dua hal; (1). Karena kita memiliki bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dengan jalan berpikir yang melatarbelakangi informasi tersebut. (2). Karena mampu mengembangkan pengetahuan dengan begitu cepat dan mantap, karena kemampuannya berpikir tertentu. Sehingga manusia dianggap makhluk yang paling tinggi (derajatnya-red), karena memiliki rasional yang mampu berpikir secara sadar, membuat norma sosial, dan menyusun kebijakan-kebijakan moral! Proses berpikir di dalam diri manusia itu, dapat ditindaklanjuti dengan sesuatu kegiatan konkret, bukan hanya proses terjadinya di dalam organ otak sebagai pusat pengendali seluruh kegiatan, namun dimanifestasikan dalam kegiatan fisik. Kegiatan ini, berupa upaya untuk mencari tahu atau menemukan atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam diri untuk kebenaran atas dugaan-dugaan yang telah dipikirkan atau juga untuk mengumpulkan hal-hal yang dapat mendukung pemikiran tersebut. B. Pembahasan. Berpikir sesat adalah proses penalaran atau
argumentasi yang sebenarya tidak logis, pemaksaan prinsip, salah arah, dan menyesatkan. Suatu gejala berpikir yang salah yang disebabkan oleh prinsip logika tanpa memperhatikan relevansinya atau biasa disebut dengan fallacy. Ada dua pelaku fallacy, yaitu pelaku yang sengaja ber-fallacy (sofisme), dan pelaku yang tidak sadar berfallacy (paralogisme) . Umumnya yang sengaja ber-fallacy adalah orang menyimpan tendensi pribadi dan lainnya. Sedangkan yang berpikir ngawur tanpa menyadarinya adalah orang yang tidak menyadari kekurangan dirinya atau kurang bertanggungjawab terhadap setiap pendapat yang dikemukakannya. Begitu banyak manusia yang terjebak dalam lumpur fallacy, sehingga diperlukan sebuah aturan baku yang dapat memandunya agar tidak terperosok dalam sesat pikir yang berakibat buruk terhadap pandangan dunianya. Seseorang yang berpikir tapi tidak mengikuti aturannya, terlihat seperti berpikir benar dan bahkan bisa atau dapat mempengaruhi orang lain yang juga tidak mengikuti aturan berpikir yang benar. Terdapat 6 jenis berpikir sesat (kesalahan berpikir ), yaitu sebagi berikut : 1. Fallacy of Dramatical Instance Kesalahan berpikir ini berawal dari kecenderungan orang untuk melakukan overgeneralitation, yaitu penggunaan satu atau dua kasus untuk mendukung argumen yang bersifat general atau umum. Kerancuan semacam ini sangat banyak di temui di masyarakat, dan biasanya overgeneralized di ambil dari satu kasus atau dua kasus sebagai rujukan yang diambil dari pengalaman pribadi seseorang. 2. Fallacy of Retrospective Determinism Untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah sosial yang sekarang terjadi sebagai sesuatu yang historis memang selalu ada, tidak bisa dihindari, dan merupakan akibat dari sejarah yang cukup panjang. Istilah panjang ini sebenarnya untuk menjelaskan kebiasaan orang yang menganggap masalah yang ada sekarang terjadi sebagai sesuatu
*) Widyaiswara Muda pada Balai Diklat Kehutanan Kupang
edisi 14/I/2013
hal.55
Redaksi Majalah KaBeSAK Menerima Tulisan/Artikel dengan Ketentuan :
6
8
Times New Roman 12, Spasi 1,5.
melalui email :
[email protected] CP. Redaksi : 082133151342