Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
Penentuan Bilangan Bentuk Casuarina junghuhiana untuk Meningkatkan Keakuratan Pengukuran Volume Pohon
Edisi VII No.2 Desember 2014
| FOKUS | Bentuk Interaksi Kakatua Sumba di Habitatnya
EKSOTISME
HUTAN TARIMBANG DI SUMBA TIMUR Studi Kelas Keawetan Kayu Kabesak (Acacia leuchopea) REPORTASE :
REPORTASE :
RESENSI :
Gelar Teknologi Hasil Penelitian Budidaya Cendana, Gaharu dan Lebah Madu
Kelahiran Pertama Kura-kura Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994)
Tropical Forest Ecology : The Basis For Conservation and Management
Photo Latar Hutan Mangrove di Tarimbang by Dani P dan Kakatua Sumba by : Oki Hidayat
SEKAPUR SIRIH Salam Konservasi, Potensi keanekaragaman hayati di Indonesia begitu melimpah. Terlebih, potensi flora dan fauna pada kawasan semi arida di Nusa Tenggara Timur mulai teridentifikasi. Warta cendana edisi ini akan menampilkan serangkaian artikel yang mengupas potensi tersebut. Kayu kabesak (Acacia leucophloea (Roxb.)) merupakan jenis pohon yang mudah ditemui di Nusa Tenggara Timur. Masyarakat lokal menggunakannya sebagai bahan konstruksi. Studi Kelas Kuat Kayu Kabesak (Acacia Leucophloea (Roxb.)) willd akan menginformasikan potensi pohon ini sebagai kayu andalan lokal. Sementara itu, Nusa Tenggara Timur memiliki puluhan jenis avifauna dan salah satunya adalah Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata). Burung tersebut mempunyai karakter dan relasi yang unik di habitatnya. Selain itu, artikel berjudul Eksotisme Hutan Tarimbang mengupas potensi biodiversitas di Pulau Sumba. Kekhasan hutan Tarimbang yang terletak di Kecamatan Tabundung Kabupaten Sumba Timur adalah kombinasi tipe hutan pegunungan dan hutan mangrove yang masih terpelihara dengan baik. Pada kolom Ragam, kami menginformasikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang, seperti menetasnya telur kura-kura leher ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) untuk pertama kalinya di penangkaran Stasiun Penelitian Oilsonbai, Balai PenelitianKehutanan Kupang. Hal tersebut menumbuhkan optimisme untuk menyelamatkan species ini dari ambang kepunahan. Selain itu, pada bulan September 2014, Balai Penelitian Kehutanan Kupang menyelenggarakan Gelar Teknologi dengan tema “Budidaya Cendana, Gaharu dan Lebah Madu” di Ruteng Kabupaten Manggarai Timur. Kegiatan tersebut bertujuan menyebarluaskan hasil-hasil penelitian kepada para stakeholder. Kegiatan tersebut diisi pemaparan hasil penelitian dan praktek lapang. Semoga para pembaca akan mendapatkan pengetahuan dari sajian informasi tersebut. Kami turut mengundang para pembaca untuk berpartisipasi dengan cara mengirimkan artikel atau memberikan sarannya. Sehingga Warta Cendana semakin eksis di masa mendatang. Sekian
DAFTAR ISI | FOKUS |
Studi Kelas Keawetan Kayu Kabesak (Acacia leuchopea)
Eksotisme Hutan Tarimbang di Sumba Timur
oleh: Heny Rianawati
Oleh : Dani Pamungkas
h.1
h.11
Penentuan Bilangan Bentuk Casuarina junghuhiana untuk Meningkatkan Keakuratan Pengukuran Volume Pohon
Bentuk Interaksi Kakatua Sumba di Habitatnya
Oleh : Dhany Yuniarti dan Hary Kurniawan
| REPORTASE |
| RESENSI |
Gelar Teknologi "Budidaya Cendana, Gaharu dan Lebah Madu” di Manggarai Timur
Tropical Forest Ecology : The Basis for Conservation and Management
h.20 Kelahiran Pertama Kura-Kura Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) di Kupang
Oleh : Oki Hidayat
h.15
h.23 | GALERI | h.25 Cover Photo : Hutan Mangrove di Tarimbang by Dani P dan Kakatua Sumba by Oki Hidayat
h.22
h.6 REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Dewan Redaksi merupakan majalah ilmiah poluler Balai Peneleitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Imam Budiman, S.Hut, M.A . Hery Kurniawan, S.Hut, M.Sc. Eko Pujiono, S.Hut, M.Sc. Muhamad Hidayatullah, S.Hut, M.Si.
Redaksi Pelaksana Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian Anggota Merry Mars Dethan, S.P. Rattahpinusa H Handisa, S.Sos.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mngubah isi materi tulisan, Tulisan dapa dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
| FOKUS |
STUDI KELAS KUAT KAYU KABESAK
(Acacia leucophloea (Roxb.) Willd.) oleh: Henny Rianawati
PEMBAHASAN Kabesak (Acacia leucophloea (Roxb.) Willd.) adalah salah satu tumbuhan dari famili Fabaceae, sub famili Mimosoideae, yang merupakan tumbuhan asli Asia Selatan dan Asia Tenggara, dapat ditemui di India, Nepal, Pakistan, Srilangka, Myanmar, Thailand, Vietnam dan Indonesia (Jawa, P. Sumbawa dan P. Timor). Tumbuhan ini mudah ditemui di P.Timor (Nusa Tenggara Timur) karena kabesak dapat tumbuh pada daerah dengan curah hujan hanya 4001500 mm/tahun dengan bulan kering sekitar 9-10 bulan/semi arid (Orwa et.al, 2009). Tempat tumbuh yang optimal pada daerah dengan ketinggian kurang dari 800 m dpl. Pohon kabesak dapat mencapai tinggi 35 m dengan diameter dapat mencapai 60 cm (Heyne, 1987). Kayu kabesak merupakan salah satu jenis kayu potensial yang ada di NTT. Meskipun kabesak tumbuh liar, tetapi masyarakat NTT sudah memanfaatannya untuk berbagai keperluan seperti
kontruksi bangunan, atap dan dinding. Di pulau Jawa, kabesak dikenal dengan nama pilang. Seperti halnya kayu dari jenis legum lainnya, kayu kabesak mempunyai corak indah sehingga berpeluang besar untuk dikembangkan secara masal menjadi bahan baku industri kayu dan mebel. Sehingga dapat menjadi pilihan diantara jenis-jenis komersial seperti jati, mahoni dan meranti. Seperti kita ketahui bersama bahwa permintaaan akan kayu komersial tersebut terus meningkat, tetapi tidak diimbangi dengan ketersedian kayu dari HTI maupun hutan alam. Sehingga mengakibatkan harga kayu komersial semakin tinggi. Pengetahuan tentang sifat-sifat kayu kabesak perlu diketahui (terutama sifat fisik dan mekanik) untuk yang menentukan kekuatan kayu. Hal ini diperlukan guna mendukung kayu kabesak sebagai kayu andalan lokal. Dengan diketahuinya kelas kekuatan kayu kabesak, diharapkan dapat meningkatkan nilai komersilnya.
Edisi VII No.2 Desember 2014
1
PEMBAHASAN A. Metodologi Penelitian ini menggunakan bahan baku berupa kayu kabesak meliputi bagian pangkal, tengah dan ujung. Lokasi pengambilan kayu kabesak di desa Reknamo, Kec. Amabi Oefeto, Kab. Kupang, NTT. Pengujian sifat fisik mekanik dilakukan di laboratorium fisika mekanika kayu, Pusat Penelitian dan Pe n g e m b a n g a n Ke t e k n i k a n d a n pengelolaan Hasil Hutan, Bogor. Ukuran contoh uji dan pengujian sifat fisik dan mekanik kayu dilakukan sesuai dengan metode ASTM D 143-94 (ASTM, 2006). B. Hasil dan Pembahasan Kelas kuat kayu ditentukan oleh sifat fisik dan mekanik kayu. Hasil penelitian ini menunjukkan gambaran kelas kuat kayu kabesak. Berdasarkan klasifikasi kelas kuat kayu menurut Den Berger (1923), gambaran kelas kuat kayu diperoleh dari nilai rerata berat jenis (sifat fisik), rerata nilai batas patah pada lentur statis (MOR) dan rerata nilai keteguhan tekan sejajar serat (c//) (sifat mekanik). Kelas kuat kayu Indonesia dibedakan menjadi lima kelas. Kelima kelas kuat kayu Indonesia disajikan pada Tabel 1.
B.1 Sifat Fisik Berat jenis merupakan perbandingan berat dan volume kayu dalam keadaan kering udara. Berat jenis kayu merupakan suatu faktor penting dalam hubungannya dengan sifat-sifat mekanik. Berat jenis kayu berbanding lurus dengan kekuatan kayu, semakin tinggi berat jenis kayu semakin kuat kayu tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa nilai rerata berat jenis kayu kabesak adalah 0,73. Nilai rerata berat jenis ini sesuai dengan hasil pengujian yang telah dilakukan oleh Lemmens (1995), yang menyatakan bahwa berat jenis kayu kabesak berkisar antara 0,71-0,89. Berdasarkan klasifikasi kelas kuat kayu dari Den Berger (1923), jika hanya didasarkan atas rerata nilai berat jenisnya, kayu kabesak digolongkan ke dalam kelas kuat II (berat jenis 0,60-0,90). Rerata nilai berat jenis kayu kabesak lebih tinggi dibandingkan dengan rerata berat jenis kayu yang telah umum dipasarkan, seperti kayu jati yang mempunyai rerata nilai berat jenis 0,67, kayu mahoni dengan rerata berat jenis 0,61 (macrophylla); 0,64 (mahagoni) dan jenis-jenis kayu meranti yang mempunyai berat jenis antara 0,400,66 (Martawijaya, 1989).
Tabel 1. Kelas Kuat Kayu Kelas Kuat
Berat Jenis
Keteguhan Lentur 2 Statis/MOR(kg/cm )
Keteguhan Tekan Sejajar Serat/C// 2
(kg/cm )
2
I
lebih dari 0,90
lebih dari 1100
lebih dari 650
II
0,600,90
725-1100
425-650
III
0,400,60
500-725
300-425
IV
0,300,40
360-500
215-300
V
< 0,30
< 360
< 215
Edisi VII No.2 Desember 2014
B.2 Sifat Mekanik Sifat mekanik atau keteguhan kayu merupakan sifat yang penting, karena dapat digunakan untuk menduga kegunaan kayu. Dalam kaitannya dengan kekuatan kayu, sifat mekanik yang dibahas dalam tulisan ini adalah keteguhan pada batas patah (Modulus of Rapture/MOR) dan keteguhan tekan sejajar serat (c//). Pengujian sifat mekanik dilakukan pada keadaan kering udara.
TAXONOMY 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 1.8 1.9 2.0
Kingdom Sub Kingdom Superdivision Division Class Sub Class Order Family Genus Species
: : : : : : : : : :
Plantae Tracheobionta Spermatophyta Magnoliophyta Magnoliopsida Rosidae Fabales Fabaceae Acacia Acacia leucophloea
Sumber: http://www.altervista.org/biologia/floraaf/index.php?recn=355&scientific-name=acacia+leucophloea
Nilai MOR digunakan untuk menentukan ketahanan kayu terhadap gaya-gaya yang berusaha mematahkan kayu, yang dipikul oleh blandar dan pengerat. Atau dengan kata lain kekuatan lentur patah (MOR) merupakan sifat mekanik kayu yang berhubungan dengan kemampuan kayu untuk menahan beban atau gaya luar yang bekerja padanya dan cenderung merubah bentuk dan ukuran kayu tersebut. Hasil pengujian menunjukkan bahwa rerata nilai MOR kayu kabesak adalah 815,38 kg/cm2. Hasil pengujian rerata nilai MOR kayu kabesak sedikit dibawah kisaran nilai MOR kayu kabesak yang telah diteliti oleh Lemmens, yaitu berkisar antara 850-860 kg/cm2. Nilai MOR tersebut masih dalam klasifikasi kelas kuat II menurut Den Berger. Nilai keteguhan tekan sejajar serat adalah kekuatan kayu untuk menahan muatan jika kayu tersebut digunakan untuk tujuan tertentu. Rerata nilai keteguhan tekan sejajar serat kayu kabesak 368,75 kg/cm2. Dengan nilai c// tersebut, kayu kabesak diklasifikasikan dalam kelas kuat III. Sedangkan hasil pengujian nilai keteguhan tekan sejajar serat yang diperoleh Lemmens berkisar antara 515-535 kg/cm2 (kelas kuat II). Hasil pengujian sifat fisik mekanik kayu kabesak disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat Fisik Mekanik Kayu Kabesak Sumber data
Data primer Lemmens
Sifat fisik
Sifat mekanik 2 (kg/cm )
Berat jenis
MOR
c//
0,73
815,38
368,75
0.710.89
850860
515535
Kelas Kuat
II-III II
Sumber: data primer (2012) dan Lemmens (1995).
Perbedaan hasil pengujian sifat fisik dan mekanik kayu kabesak dipengaruhi oleh banyak faktor. Menurut Haygreen (1982), sifat fisik dan mekanik kayu dipengaruhi oleh jenis kayu, umur pohon, lokasi tempat tumbuh serta perlakuan silvikulturnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurwati (2007) terhadap sifat fisik dan mekanik kayu akasia mangium, memperkirakan bahwa kayu akasia mangium mempunyai karakteristik yang berbeda pada setiap daerah. Begitu juga menurut Wahyu (2008), mengemukakan bahwa sifat fisik dan mekanik kayu dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah jenis kayu, tempat tumbuh, umur, letak dalambatang dan diameter. Rerata nilai MOR dan rerata nilai c//
Edisi VII No.2 Desember 2014
3
kayu kabesak dibawah kayu jati (MOR jati=1.631 kg/cm2; c// jati=550 kg/cm2). Jika dibandingkan dengan kayu mahoni rerata nilai MOR kayu kabesak lebih tinggi (MOR mahoni=557-623 kg/cm2). Hasil pengujian rerata nilai keteguhan tekan sejajar serat kayu kabesak hampir
sama dengan rerata nilai c// kayu mahoni yaitu 360 kg/cm2. Nilai rerata MOR dan c// kayu kabesak juga tidak kalah dengan nilai MOR dan c// kayu meranti, untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3. Pada Tabel 3. terlihat bahwa berdasarkan sifat fisik dan mekanik yang
Tabel 3. Perbandingan Sifat Fisik Mekanik Kayu Kabesak Dengan Kayu Jati, Mahoni dan Jenis-Jenis Kayu Meranti Jenis Kayu
Kabesak
Family
Fabaceae
Sifat fisik
Sifat mekanik 2 (kg/cm )
Kelas kuat
Kegunaan
bahan bangunan (kontruksi berat maupun ringan), mebel, panel, daun meja, pelapis dinding,langit -langit, sambungan pasak, jeruji, dan sumber energi.
Berat jenis
MOR
c//
0,73
815,38
368,75
II-III
0,67
850-860
515-535
II
0,53-0,67
623
360
II-III
0,56-0,72
557
376
II-III
0,57
900
516
III-II
0,66
1037
502
II-III
0,52
357
236
III-IV
0,51
618
347
III-IV
0,63
587
323
II-III
0,76
856
454
II
Acacia leucophloea
Jati
Verbenaceae
Tectona grandis
Mahoni
(0.710.89)
Meliaceae
Swietenia macrophyla Swietenia mahagoni
Meranti Kuning
Dipterocarpaceae
Shorea faguetiana
kontruksi, tiang, balok, kosen pintu dan jendela, bantalan kereta api, jembatan, bendungan air tawar, lantai, kapal. venir dekoratif dan kayu lapis, mebel, perkapalan, barang kerajinan dan barang-barang bubutan
venir dan kayu lapis, lantai, mebel murah, panil dan bahan pembungkus.
Shorea multiflora
Meranti Merah Shorea leprosula Shorea ovalis Meranti Putih Shorea javanica Shorea retinodes
Sumber: data primer (2012), Atlas Kayu Indonesia Jilid I (1981)
4
Edisi VII No.2 Desember 2014
venir dan kayu lapis, mebel murah, rangka tanah, pintu, lantai, peti mati, peti pengepak, alat music (pipa organ)
venir dan kayu lapis, papan partikel, lantai, bangunan dan perkapalan.
dimiliki kayu kabesak, maka kayu kabesak dapat digunakan sebagai kayu kontruksi maupun dijadikan mebel. Hal ini sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI.03-3527-94) tentang persyaratan kayu untuk bahan bangunan struktural yaitu nilai keteguhan lentur =224,90 kg/cm2 dan nilai keteguhan tekan =218,15 kg/cm2. Sedangkan persyaratan kekuatan kayu untuk mebel (SNI.01-0608-89) adalah kelas kuat kayu tidak kurang dari kelas kuat III. Selain itu kayu kabesak dapat digunakan sebagai sumber energi, karena mempunyai kandungan kalor yang cukup tinggi yaitu 4.305 kal/g (Rianawati, 2012). PENUTUP Kayu kabesak mempunyai nilai rerata berat jenis 0,73; rerata nilai MOR 815,38 kg/cm2 dan rerata nilai C// 368,75 kg/cm2, kayu kabesak termasuk dalam kelas kuat II-III. Sehingga kayu kabesak c o c o k d i g u n a ka n s e b a g a i b a h a n bangunan (kontruksi berat maupun ringan), mebel, panel, daun meja, pelapis dinding,langit-langit, sambungan pasak, jeruji, dan juga dapat digunakan sebagai sumber energi. DAFTAR PUSTAKA ASTM. 2006. Annual of ASTM . American Society for Testing and Materials. Philadelphia. USA. Den Berger, L.G. 1923. De grondslagen voor de classificate van Ned. Indische Timmerhout soorten. Tectona vol.16. Haygreen, J.G. and J.L. Bowyer, 1982. Forest Product and Wood Science, An Introduction. Iowa State University Press, Ames, Iowa.
Heyne, K., 1987. Tunbuhan Berguna Indonesia jilid II. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Lemmens, R.H.M.J., I. Soerianegara and W.C.Wong. 1995. Plant Resources of South East Asia. Timber Trees: Minor Commercial Timbers. Procea. Bogor, Indonesia. Martawijaya, A. et.all. 1981. Atlas Kayu Indonesia Jilid). Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan Departemen Kehutanan. Bogor Indonesia. Nurwati, H. et.all. 2007. Sifat Fisik dan mekanik Sepuluh Provenans Kayu Mangium (Acacia Mangium Willd) dari Patung Panjang Jawa Barat. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kayu Tropis. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Vol. 5.(1):7-11. Orwa. Et.al. 2009. Acacia leucophloea. Website:http://www.worldagrofore stry.org. (4 April 2012). Rianawati, Heny. Siswadi dan Retno Setyowati. 2012. Laporan Hasil Penelitian Sifat Dasar dan Kegunaan Jenis Kayu Bali dan Nusa Tenggara (Jenis Potensial NTT). B a l a i Pe n e l i t i a n Ke h u t a n a n Kupang. Kupang, Nusa Tenggara Timur. (Tidak dipublikasikan). Wahyu, D dan Nugroho, M. 2008.Tinjauan Hasil-hasil Penelitian Faktor-faktor Alam yang Mempengaruhi Sifat Fisik dan Mekanik Kayu lndonesia. Jurnal llmu dan Teknologi Kayu Tropis. Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia. Vol.5(1): 85-100.
Edisi VII No.2 Desember 2014
5
| FOKUS |
PENENTUAN BILANGAN BENTUK Casuarina junghuhniana untuk Meningkatkan Keakuratan Pengukuran Volume Pohon Oleh : Dhany Yuniarti dan Hery Kurniawan PENDAHULUAN Selain diameter dan tinggi pohon, bentuk batang adalah salah satu komponen penentu volume pohon.Bentuk batang diantaranya dapat digambarkan oleh angka bentuk (form factor) dan taper. Perbandingan antara bentuk batang pohon dengan berbagai volume bentuk bangun solid (silinder,
6
Edisi VII No.2 Desember 2014
paraboloid, dsb) dapat dinyatakan dalam angka sebagai faktor bentuk (form factors). Angka Bentuk Batang (f) didefinisikan sebagai perbandingan atau rasio antara volume batang yang sebenarnya dengan volume silinder yang memiliki tinggi atau panjang sama. Berdasarkan diameter yang digunakan untuk menghitung
volume silindernya, angka bentuk dibedakan atas : (1) angka bentuk mutlak ; (2) angka bentuk buatan ; (3) angka bentuk normal.Angka bentuk mutlak (absolute form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter pada pangkal batang.Angka bentuk buatan (artificial form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan dbh.angka bentuk normal (true form factor/hohenadl form factor) adalah angka bentuk di mana volume silindernya menggunakan lbds berdasarkan diameter pada ketinggian 1/10 tinggi pohon.Oleh karena dbh biasa digunakan sebagai ciri diameter pohon, maka angka bentuk yang sering digunakan pun adalah angka bentuk buatan (Muhdin, 2003). Angka bentuk batang dalam penelitian ini memenuhi kategori atau definisi bilangan bentuk buatan, yakni bilangan bentuk yang menggunakan volume silinder pembanding berdasarkan diameter of breast height (dbh). Angka atau bilangan bentuk jenis ini lazim digunakan karena tingkat penggunaannya yang luas dan mudah dalam penerapannya, serta masih memenuhi kaidah ilmiah, dimana terdapat korelasi yang kuat antara tinggi pohon dengan dbh. PEMBAHASAN A. Metode Penelitian A.1 Lokasi Penelitian Pe n g a m b i l a n s a m p e l p e n e l i t i a n dilakukan di Desa Erbaun Kecamatan Amarasi Barat Kabupaten Kupang
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah pohon cemara gunung (C. junghuhniana) pada beberapa kelas diameter. Kelas diameter dikelompokkan dalam range 5-10 cm, >10-15 cm, >15-20 cm, >20-25 cm, >25-30 cm dan >30-35 cm. Masingmasing kelas diameter diambil 3 (tiga) pohon sebagai sampel. Sehingga jumlah sampel keseluruhan sebanyak 18 pohon. Peralatan yang digunakan dalam pengambilan data dan sampel pohon di lapangan diantaranya adalah GPS, Phiband atau pita diameter, Hagameter, Pita meter, Gergaji rantai (Chainsaw). A.3. Metode Pengumpulan Data Pohon sampel ditebang, kemudian dilakukan pembagian batang menjadi segmen-segmen sesuai dengan ukuran yang telah ditetapkan seperti yang terlihat pada Gambar 1. Gambar 1. Pembagian seksi batang dalam pengukuran bilangan bentuk
Pa d a s e t i a p s e g m e n d i l a k u k a n pengukuran diameter pangkal dan diameter ujung.
A.2 Bahan dan Alat
Edisi VII No.2 Desember 2014
7
A.4 Metode Analisis Data Volume tiap segmen dihitung dengan rumus Smallian sebagai berikut :
Volume tiap segmen dihitung dengan rumus Smallian sebagai berikut :
? Lbds ? ? ? Vs = lbds
p
+ Lbdsu lbds
p
2
u
L
? ? ? ? xl
Keterangan : Vs : Volume tiap segmen kayu Lbdsp : Luas bidang dasar pangkal segmen = ¼ ð 2 (diameter pangkal) Lbdsu : Luas bidang dasar ujung segmen = ¼ ð 2 (diameter ujung) L : Panjang segmen
Volume masing-masing segmen dari pangkal sampai ujung batang dijumlahkan untuk mengetahui volume kayu batang aktual total dari satu pohon. V aktual = V1 + V2 +.....+ Vn Bilangan bentuk ini dihitung dengan membandingkan antara volume kayu batang aktual dengan volume kayu silinder pada diameter batang setinggi dada (dbh). B. Hasil Berdasarkan hasil perhitungan, angka bilangan bentuk disajikan dalam tabel 1. Dari Tabel 1 terlihat bahwa bilangan bentuk pohon C. Junghuhniana sebesar 0,42. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh El-Juhany dan kawan-kawan (2002) di Riyadh, Arab Saudi, dengan jenis Casuarina cunninghamiana dari data tinggi tonggal, dbh dan volume aktual yang diperoleh dapat dihitung nilai bilangan bentuknya adalah 0,43. Nilai ini relatif dekat dengan nilai bilangan bentuk jenis C. junghuhniana hasil penelitian ini. Sedangkan dari hasil penelitian lainnya di savana Timor pada jenis Eucalyptus alba
8
Edisi VII No.2 Desember 2014
diperoleh bilangan bentuk sebesar 0,57 (Yuniati, et. al. 2011). Sehingga bilangan bentuk C. junghuhniana lebih kecil jika dibandingkan dengan bilangan bentuk E. alba yang sama-sama merupakan spesies penyusun savana di P. Timor. Bilangan bentuk ini setidaknya menunjukkan beberapa hal. Pertama, pohon C. Junghuhniana di Pulau Timor memiliki bentuk batang yang lebih mengerucut atau conoid dibandingkan E. Alba, dengan tingkat perubahan diameter yang drastis pada setiap ketinggian pohon atau panjang log. Kedua, kondisi tegakan yang masih rapat mengakibatkan kurang optimalnya pertumbuhan diameter pohon. Chapman dan Meyer (1949) menyatakan bahwa taper merupakan resultante dimensi pohon yang disebabkan oleh pengaruh pertumbuhan tinggi dan diameter pohon.Pertumbuhan tinggi pohon lebih dipengaruhi oleh kualitas tempat tumbuh, sedangkan diameter pohon lebih dipengaruhi oleh kerapatan pohon. Taper adalah suatu istilah yang menggambarkan bentuk batang yang meruncing.Dengan kata lain, taper menggambarkan pengurangan atau semakin mengecilnya diameter batang dari pangkal hingga ke ujung. Penjelasan di atas, setidaknya memenuhi asumsi yang mendasari berlakunya tabel volume lokal pada sebuah areal hutan (tegakan) adalah bahwa pohon-pohon yang memiliki ukuran diameter sama maka akan memiliki tinggi dan angka bentuk batang yang sama pula sehingga dengan demikian akan memiliki volume pohon yang sama pula.asumsi yang melandasi ber lakunya tabel volume baku adalah bahwa pohon-pohon yang memiliki dbh
dan tinggi pohon yang sama maka akan memiliki angka bentuk batang yang sama pula, sehingga akan memiliki volume pohon yang sama juga. Avery dan Burkhart (2002), juga menyatakan bahwa bilangan bentuk yang lebih tinggi mengindikasikan tingkat tapering batang yang lebih rendah dan volume pohon yang lebih besar. Pada
spesies tertentu, bilangan bentuk adalah terendah pada pohon yang tumbuh terbuka dengan tajuk yang luas, dan tertinggi adalah pada pohon yang tumbuh di dalam hutan dengan tajuk yang relatif kurang luas. Penebangan pohon sebagai sampel yang akan diukur, terkendala oleh adanya kepentingan lingkungan yang lebih
Tabel 1. Bilangan bentuk pohon Casuarina junghuhniana
Pohon Ke...
Diameter Dbh (cm)
Volume Dbh (cm3)
6,88
Volume Aktual (cm3) 18318,82
1
37889,43
0,483481
2
5,10
9708,42
16917,2
0,573879
3
7,32
23596,58
46329,62
0,509319
Rerata Kd 1 8 7 5
16 11 15
4 10 17
14 6 18
9 12 13
Bilangan Bentuk
0,522226
57724,51
121395,6
0,475507
73324,55
171560,1
0,427399
149029,1 14,96 Rerata Kd 2
325015,9
0,458529
138551,5
379746,3
0,364853
159025,3
411589,1
0,386369
256527,5 18,94 Rerata Kd 3
596018,5
0,430402
289199,6
736161,7
0,392848
324340,6
813879,6
0,398512
404950,1 23,50 Rerata Kd 4
1018763
0,397493
615957,4
1476287
0,417234
573358,4
1808363
0,317059
839155,3 29,49 Rerata Kd 5
1953333
0,429602
669298,1
2034212
0,329021
1088757
2582440
0,421600
820293,9
2219170
0,369640
10,51 12,70
16,65 17,26
21,60 22,38
26,40 28,02
30,98 33,69 31,70
0,453811
0,393875
0,396284
0,387965
0,373420
Rerata Kd 6 Rerata
0,421257
Sumber : Yuniati, et.al., 2013
Edisi VII No.2 Desember 2014
9
dominan di Pulau Timor. Sebagaimana umumnya kondisi lahan di daratan Pulau Timor, kondisinya sangat miskin akan hara dengan solum tanah tipis dan relatif terjadi pemadatan oleh adanya aktivitas penggembalaan. Semua memerlukan tindakan yang bijak dari setiap pihak yang terkait, baik pemerintah, swasta maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan alasan ini, maka pohon sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak mungkin diperoleh dalam jumlah besar. Oleh karena itu, pemilihan pohon yang akan dijadikan sampel sangat penting dalam kaitannya untuk mewakili kaidah keterwakilan dalam analisis. Minimnya jumlah sampel yang dapat diambil, berimplikasi pada metode pengambilan sampel. Untuk mengurangi bias yang terlalu besar, pengelompokan ke dalam kelas diameter menjadi langkah pertama agar sebaran diameter yang ada di lapangan dapat terwakili seluruhnya. Kisaran diameter yang dijumpai di lapangan adalah dari 0 – 35 centimetre. Pembagian diameter ke dalam 6 kelas diameter dilakukan untuk mengurangi bias dan memenuhi kaidah keterwakilan serta untuk menekan jumlah sampel yang diperlukan. Berdasarkan hasil perhitungan diketahui pula, bahwa pada kelas diameter yang lebih rendah secara umum memiliki nilai bilangan bentuk yang lebih besar dari nilai bilangan bentuk kelas diameter yang lebih besar. Hal ini sesuai dengan teori pertumbuhan, bahwa pada masa muda tanaman akan cenderung untuk melakukan pertumbuhan vertikal, hingga pada suatu saat faktor yang mendukung pertumbuhan sekunder muncul, kemudian tumbuhan akan melakukan pertumbuhan horisontal.
10
Edisi VII No.2 Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Avery, T.U. and Burkhart. 2002. Forest Measurements, Fifth Edition. Mc. Graw Hill Companies. El-Juhany, L.I., I.M. Aref, and A.O. El Wakeel. 2002. Evaluation of Above Ground Biomass and Stem Volume of Three Casuarina Species Grown in The Central Region of Saudi Arabia. Journal of Agriculture Science. King Saud University. Vol. 14 : 08 – 13. Muhdin. 2003. Dimensi Pohon dan Perkembangan Metode Pe n d u g a a n Vo l u m e Po h o n . P e n g a n t a r Fa l s a f a h S a i n s ( P P S 7 0 2 ) . P r o g r a m Pascasarjana/S3 IPB. Bogor. http://tumoutou.net/702_07134/ muhdin.htm Yuniati, D dan H. Kurniawan. 2011. Penyusunan Persamaan Allometrik Eucalyptus alba untuk Pendugaan Simpanan Karbon Hutan Savana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Tahunan 2011. Tidak dipublikasikan. Yuniati, D., H. Kurniawan dan F. Banani. 2013. Estimasi Simpanan Karbon Jenis Casuarina junghuhniana Hutan Savana di Pulau Timor Untuk Mendukung Upaya Mitigasi Perubahan Iklim Melalui M e ka n i s m e R E D D . L a p o r a n Ta h u n a n 2 0 1 3 . T i d a k dipublikasikan.
| FOKUS | foto : Dani Pamungkas
Eksotisme
Oleh : Dani Pamungkas
HUTAN TARIMBANG DI SUMBA TIMUR
PENDAHULUAN Keindahan alam Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak kalah jika dibandingkan dengan tempat lain yang lebih dulu terkenal. Terutama keindahan panorama hutan di Sumba Timur. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, hutan diartikan sebagai tanah yang luas yang ditumbuhi pohon-pohon dan biasanya tidak dipelihara orang. Sedangkan berdasar UU No. 41 tahun 1999, hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Dari pengertian diatas dapat diketahui bahwa hutan merupakan sumber keanekaragaman hayati yang umumnya berasal dari golongan flora. Tentu tidak asing lagi bagi kita ketika mendengar kata “hutan”. Sebagian orang mengartikan hutan sebagai tempat yang mengerikan bahkan berbahaya dan
Edisi VII No.2 Desember 2014
11
banyak mengandung unsur mistis. berdekatan dengan kawasan Taman Namun bagi sebagian orang, mereka Nasional Laiwangi Wanggameti, Seksi mengartikan hutan sebagai lokasi yang Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) penuh tantangan untuk berpetualang Wilayah I. dan menimba ilmu pengetahuan. Tarimbang, merupakan nama PEMBAHASAN sebuah desa yang berlokasi di Kecamatan A. Hutan Pegunungan Tabundung, Kabupaten Sumba Timur dan Komposisi jenis penyusun hutan perjalanan menuju lokasi tersebut pegunungan cukup beragam, mulai dari membutuhkan waktu 3.5 jam dari kota semai, pancang, tiang dan pohon. Pada Waingapu. Desa Tarimbang merupakan ketinggian ± 420 m diatas permukaan desa yang berdekatan dengan pantai laut, kita akan disuguhi sebuah selatan yang memiliki nama Pantai pemandangan laut yang indah dengan Tarimbang. Keistimewaan lokasi ini yaitu begitu rapatnya vegetasi hutan kondisi hutan yang ada di lokasi ini terdiri pegunungan Tarimbang (Gambar 1). dari beberapa tipe hutan, seperti hutan Keanekaragaman jenis flora yang pegunungan, hutan mangrove dan terdapat di hutan ini cukup melimpah, tumbuhan cemara yang tumbuh di pesisir begitu juga keanekaragaman fauna, pantai. Bila kita berada dilokasi tersebut, berdasarkan informasi dari masyarakat ketiga tipe hutan tersebut dapat kita sekitar bahwa dilokasi tersebut juga jelajahi secara langsung dengan jarak ditemui kera ekor panjang, selain itu ada yang tidak terlalu jauh. Tipe-tipe hutan juga fauna dari jenis aves atau burung, tersebut dapat kita kenali dari jenis salah satu jenisnyayaitu burung gosong vegetasi yang menyusun hutan. Selain itu kaki merah (Megapodius reinwartd) yang keindahan pantai yang berpadu dengan dapat dijumpai sarangnya di tanah, putihnya pasir pantai menambah tanah bersifat gembur dan banyak keistimewaan lokasi tersebut. Hal inilah didominasi oleh tumpukan seresah. yang membuat hutan Tarimbang memiliki Burung ini merupakan satu-satunya keeksotisan tersendiri. Patut disyukuri burung yang meletakkan telurnya bahwa kondisi pulau Sumba yang terkenal didalam tanah dan menggunakan panas dengan lokasi savannanya, masih dari lingkunganuntuk penetasan telurmemiliki hutan dengan beberapa tipe telurnya (Wiyanto, 2013). K e r a g a m a n yang berbeda. flora di hutan pegunungan Tarimbang S e c a r a diantaranya adalah Gambar 1. Kondisi hutan pegunungan di Tarimbang geografis, Hutan i n j u w a t u Tarimbang berada (Pleiogynium pada kawasan timoriense), hutan yang dikelola mangalir, kamala o l e h D i n a s jarik (Memecylon K e h u t a n a n edule Roxb), Kabupaten Sumba k a n i n g g u Timur, lokasi (Cinnamomum t e r s e b u t zeylanicum Garc.Ex
12
Edisi VII No.2 Desember 2014
Bl.), kahembi (Schleichera oleosa (Lour) di laut. Umumnya bakau mempunyai M e rr. ) , ka p a ku , ka m e t i , r i ’ i y a n g , sistem perakaran yang menonjol (akar manulang, katang (Planchonella nitida napas/pneumatofor), sebagai suatu cara Dub.) dan beberapa jenis lainnya. adaptasi terhadap keadaan tanah yang Beberapa jenis tersebut sebagian dapat miskin oksigen atau anaerob (Wetlands diketahui informasi nama ilmiahnya dari International, 2013). Wetlands Buku Informasi 2 Taman Nasional International menambahkan bahwa hutan Laiwangi Wanggameti 2010, namun mangrove juga memiliki peran yang tidak sebagian flora lainnya belum diketahui dapat diabaikan, yaitu diantaranya nama ilmiahnya. adalah melindungi pantai dari erosi dan Pohon-pohon besar yang ada abrasi pantai, melindungi pemukiman umumnya memiliki batang-batang yang penduduk dari terpaan badai dan angin lurus, besar dan tinggi, hal ini merupakan laut, mencegah intrusi air laut, tempat sebuah indikasi adanya kompetisi ruang hidup dan berkembang biak berbagai tumbuh keatas antara jenis yang satu satwa liar, menghasilkan bahan-bahan dengan yang lainnya terutama alami yang bernilai ekonomis, serta yang dalammemperoleh pencahayaan sinar terpenting adalah memiliki nilai edukasi matahari. Jenis yang dominan adalah yang berkaitan dengan ilmu hayati. injuwatu. Dari beberapa jenis yang Gambar 2. Kondisi hutan Mangrove di Tarimbang ada tersebut, injuwatu merupakan jenis yang saat ini banyak dibudidayakan oleh masyarakat karena memiliki potensi sebagai kayu kuat. Selain itu, berdasarkan i n f o rm a s i m a s y a r a ka t , j e n i s tersebut merupakan salah satu jenis yang digunakan dalam kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL). Lokasi pada gambar 1 berjarak sekitar 500-600 m dari bibir pantai, namun perjalanan menuju tempat tersebut memerlukan perjuangan Hutan mangrove merupakan salah karena akses jalan yang memiliki tingkat satu tipe hutan yang dapat dijumpai di kemiringan yang curam. Tarimbang (Gambar 2). Jenis tumbuhan didominasi oleh Rhizopora sp. dengan B. Hutan Mangrove ciri khas akar tunggang, selain itu Hutan bakau atau mangrove terdapat juga dari jenis Avicenia sp. merupakan hutan yang tumbuh di muara dengan ciri khas akar napas. Rhizopora sungai, pada daerah pasang surut sp memiliki morfologi perakaran maupun pesisir. Tumbuhan bakau bersifat tunggang/tunjang yang memiliki fungsi unik karena merupakan gabungan dari sebagai penunjang batang pokok. ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan
Edisi VII No.2 Desember 2014
13
Apabila diamati dengan seksama, banyak sekali anakan alam yang mampu hidup dan tumbuh di sekitar pohon induknya maupun agak jauh dari pohon induknya, hal ini menunjukkan terdapat keberhasilan regenerasi secara alami. Telah kita ketahui bersama bahwa jenis tanaman mangrove seperti Rhizopora sp., buahnya memiliki sifat vivipar, yaitu bahwa buah tersebut telah berkecambah saat masih berada diatas pohon, sehingga saat buah lepas dari pohon induknya langsung menancap di lumpur dan berkembang menjadi individu baru. Selain itu, adanya anakan alami yang berada jauh dari indukannya dapat diakibatkan karena terbawa arus pada saat lokasi mangrove dalam kondisi pasang. Pada pesisir pantai akan dijumpai sekumpulan pohon cemara laut (Casuarina equisetifolia) dengan persebaran yang tidak begitu luas. Hal ini seakan menambah lengkap eksotisme hutan Ta r i m b a n g . J e n i s - j e n i s d e n g a n karakteristik habitat yang berbeda dapat dijumpai pada satu lokasi dan tanpa perlu membutuhkan perjalanan yang jauh. Cemara merupakan tumbuhan dengan daun jarum layaknya pinus, namun berbeda dengan pinus yang berasal dari kelompok Gymnospermae dengan tipe buah terbuka, cemara berasal dari kelompok Angiospermae dengan tipe buah tertutup. PENUTUP H u t a n Ta r i m b a n g p e r l u mendapatkan perhatian karena lokasi tersebut memiliki nilai ekologis dan nilai wisata, kondisi hutan yang masih terjaga dan belum banyak pengunjung, selain itu lokasi ini berdekatan dengan pantai Tarimbang dan memiliki pemandangan
14
Edisi VII No.2 Desember 2014
yang indah. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengelolaan hutan Tarimbang dengan baik akan memberikan manfaat baik secara ekologis maupun ekonomis. Hutan merupakan sebuah lokasi yang perlu kita jaga keberadaannya, karena dampak dari adanya hutan tidak pernah merugikan manusia. Sebaliknya kita sebagai manusia semestinya bisa menyesuaikan dengan keberadaan hutan. Dibeberapa daerah saat ini banyak yang memiliki program rehabilitasi lahan yang dahulunya merupakan hutan, hal ini sebagai indikasi bahwa hutan memang sangat dibutuhkan keberadaannya. Tidak hanya sebagai penyedia O2 dan penyerap CO2, namun terdapat fungsi lain yang tidak kalah pentingnya dari hal tersebut. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2010. Buku Informasi 2. Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Kementerian Kehutanan. Wiyanto, T.2013. Melacak Pola Reproduksi Burung Gosong. Buletin Kakatua Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti, Sumba Timur Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Wetlands International Indonesia. Spesies Mangrove. http://www.indonesia. wetlands.org/Infolahanbasah/Spesie sMangrove/tabid/2835/language/idID/Default.aspx, diakses : 25 Juni 2013, 11:00 Wita.
(Cacatua sulphurea citrinocristata) di Habitatnya
PENDAHULUAN Setiap satwa liar tidak dapat lepas dari habitatnya. Keduanya berkaitan erat dan saling membutuhkan satu dengan yang lainnya. Secara garis besar komponen habitat terdiri atas komponen fisik dan biotik. Komponen tersebut membentuk suatu sistem yang dapat mengendalikan kehidupan satwa liar. Secara rinci komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, toporafi, tanah dan ruang. Komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra, 1990). Pengetahuan yang mendalam mengenai ekologi Kakatua Sumba sangatlah penting terutama secara khusus kepada stakeholder yang berkepentingan melestarikan burung terancam punah ini, agar langkahlangkah yang diambil dalam menentukan strategi konservasi sesuai dengan sifat ekologis dari jenis ini.
| FOKUS |
BENTUK INTERAKSI KAKATUA SUMBA Oleh : Oki Hidayat
Sebagai golongan burung paruh bengkok (parrot), Kakatua Sumba memiliki kekhasan dibandingkan dengan jenis paruh bengkok lainnya yaitu pada bagian struktur dan bentuk paruh. Kakatua memiliki struktur paruh yang kompak dan kuat dengan ujung yang tidak terlalu lancip. Hal tersebut memungkinkan Kakatua untuk melubangi batang pohon sehingga dapat ditempati sebagai lubang sarang. Selain itu, Kakatua mampu mematahkan rantingranting kecil maupun liana yang berada disekitar pohon sarang sebagai bentuk pertahanan ekologis untuk melindungi lubang sarang dari ancaman predator. Dalam kehidupannya Kakatua Sumba berhubungan dengan habitatnya baik dengan satwa liar maupun dengan tumbuhan, sehingga tercipta sebuah sistem ekologi. Hubungan antara individuindividu pada suatu jenis dikenal dengan
Edisi VII No.2 Desember 2014
15
istilah interaksi. Jika diartikan, interaksi adalah hubungan antara makhluk hidup yang satu dengan yang lainnya. Ada dua macam interaksi berdasarkan jenis organisme yaitu intraspesies dan interspesies. Interaksi intraspesies adalah hubungan antara organisme yang berasal dari satu spesies, sedangkan interaksi interspesies adalah hubungan yang terjadi antara organisme yang berasal dari spesies yang berbeda (Elfidasari, 2007). PEMBAHASAN A. Interaksi Intraspesies Bentuk interaksi antar individu Kakatua Sumba termasuk dalam interaksi intraspesies. Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) merupakan jenis burung yang hidup secara
ini pasangan-pasangan tersebut akan berkeliling mencari lubang pohon yang akan dijadikan lokasi bersarang. Dalam proses pencarian ini diselingi dengan aktifitas saling bercumbu hingga akhirnya terjadi kopulasi (pembuahan). Di dalam kelompok individuindividu Kakatua Sumba akan saling melindungi, contohnya ketika ada ancaman maka individu yang melihat pertama kali akan mengeluarkan suara teriakan dengan tempo cepat dan berulang untuk memberitahu anggota kelompoknya. Bahkan jika ancaman tersebut dianggap membahayakan individu tersebut akan terbang seketika sambil mengeluarkan flight call/suara panggilan ketika terbang “keak…keak…keak…keaak…” dengan interval sekitar 1,5 detik (Gambar 1).
Gambar 1. Sonogram flight call Kakatua Sumba (Sumber : Lambert, 2014)
berkelompok dengan jumlah kelompok yang tidak terlalu besar, di Taman Nasional Manupeu Tanadaru tercatat dalam satu kelompok terdiri dari 14 individu. Didalam aktifitasnya, dari satu kelompok tersebut akan terpecah menjadi beberapa kelompok, dengan jumlah kelompok yang baru sebanyak 2 hingga 4 ekor. Kondisi tersebut akan berubah saat memasuki fase reproduksi, dimana Kakatua Sumba akan berpasangan jantan dan betina. Pada fase
16
Edisi VII No.2 Desember 2014
Biasanya setelah mendengar flight call anggota kelompok lainnya akan ikut terbang mengikuti individu yang pertama. Fungsi flight call lainnya adalah untuk m e m b e r it a h u k a n dan menegaskan wilayah teritorinya. Suara flight call terkadang tidak dikeluarkan pada saat terbang, di Taman Nasional Manupeu Tanadaru pernah teramati Kakatua Sumba terbang tanpa mengeluarkan suara.
Tabel 1. Interaksi interspesies Kakatua Sumba B. Interaksi Interspesies Jenis Nama Latin Bentuk Interaksi Selain interaksi Nuri bayan Eclectus rotatus kompetitor lubang intraspesies diketahui Kakatua sarang Sumba juga memiliki interaksi Betet-kelapa Tanygnathus kompetitor lubang interspesies, yaitu antara paruh-besar megalorynchos sarang Perkici Trichoglossus capistratus kompetitor lubang Kakatua Sumba dengan jenis oranye sarang burung lainnya (Tabel 1). Nuri pipi - Geoffroyus geoffroyi kompetitor lubang Berdasarkan hasil pengamatan merah sarang terdapat sepuluh jenis burung Julang sumba Aceros everetti kompetitor lubang sarang yang memiliki hubungan Serak jawa Tyto alba kompetitor lubang dengan Kakatua Sumba. Empat sarang jenis diantaranya merupakan Tiong lampu - Eurystomus orientalis kompetitor lubang biasa sarang jenis paruh bengkok. Dari Perling kecil Aplonis minor kompetitor lubang ke s e p u l u h j e n i s t e r s e b u t sarang d e l a p a n j e n i s m e r u p a ka n Pergam hijau Ducula aeanea Aktifitas canopy foraging kompetitor Kakatua Sumba Punai sumba Treron teysmani Aktifitas canopy dalam menggunakan lubang foraging sarang. Te r b a t a s n y a j u m l a h menjadi pengganggu. Mereka berusaha pohon sarang menyebabkan mendapatkan lubang sarang yang telah tingkat kompetisi penggunaan pohon terisi jenis burung lain. Seperti yang sarang menjadi semakin tinggi. Di dalam penelitiannya Walker et al. (2005) menyatakan bahwa pada Gambar 2. Kompetitor lubang sarang Kakatua Sumba (1.Betet-kelapa paruh-besar; 2. Serak Jawa; 3. Julang Sumba; saat Kakatua Sumba menempati 4. Nuri pipi-merah; 5. Nuri bayan; 6. Perling kecil) lubang sarang, sebanyak 22 kali teramati Nuri Bayan mencoba merebut lubang sarang (mengganggu), selain itu teramati pula jenis lain yang juga menjadi pengganggu, yaitu B e t e t - ke l a p a p a r u h - b e s a r sebanyak 8 kali, Tiong-lampu biasa sebanyak 3 kali dan Perling kecil sebanyak 6 kali. Beberapa jenis yang yang m e n j a d i ko m p e t i t o r b a g i Kakatua Sumba dalam mendapatkan lubang sarang diilustrasikan pada Gambar 2. Selain menjadi jenis yang terganggu, pada saat yang lain Kakatua Sumba juga dapat
Edisi VII No.2 Desember 2014
17
terjadi di Taman Nasional Gambar 3. Kakatua Sumba mengintervensi pohon sarang Julang Sumba berjenis mara (Tetrameles nudiflora) Laiwangi Wanggameti, t e r a m a t i s e ke l o m p o k Kakatua Sumba yang mengintervensi lubang sarang Betet-kelapa paruh-besar di pohon mara (Oki Hidayat data tidak diterbitkan). Pada contoh kasus lain Kakatua juga pernah ter-amati mengintervensi sarang Julang Sumba Gambar 3). Walker et al (2005) di dalam penelitian nya juga menyatakan sebanyak 6 kali Kakatua Sumba mengganggu sarang Julang sumba. Bentuk hubungan interspesies lainnya yang tidak berhubungan dengan pohon sarang adalah aktivitas canopy foraging bersama. Canopy foraging merupakan aktifitas makan Kakatau Sumba khususnya dari famili Columbidae. Hal yang dilakukan diatas kanopi. Secara berbeda ditunjukkan ketika keseluruhan jenis Kakatua di Indonesia berdampingan dengan jenis burung tidak ada yang mencari makan di atas paruh bengkok lainnya. Kakatua Sumba permukaan tanah (ground foraging). Jenis cenderung menghindari jenis paruh ground foraging terdapat di Australia bengkok lainnya pada saat canopy seperti Red-tailed Cockatoo foraging. Saat aktivitas tersebut ( C a m e ro n , 2 0 0 7 ) . H i d a y a t ( 2 0 1 4 ) berlangsung tidak terlihat adanya menyebutkan di Blok Hutan Billa (Taman perilaku saling mengusik, mereka sibuk Nasional Laiwangi Wanggameti) teramati mencari makan (buah) di ranting yang Kakatua Sumba makan bersama jenis berbeda, bahkan saat keduanya berada burung lain dalam satu pohon yaitu pada jarak yang sangat dekat seperti Pergam hijau (Ducula aeanea) di Pohon terlihat pada Gambar 4. lamo dan Punai sumba (Treron teysmanni) di Pohon kananggar (Dillenea sp.). Prilaku tersebut menunjukkan kemampuan asosiasi dengan jenis burung lain
18
Edisi VII No.2 Desember 2014
Gambar 4. Aktivitas canopy foraging bersama (1.Kakatua Sumba dengan Pergam hijau; 2.Kakatua Sumba dengan Punai Sumba
DAFTAR PUSTAKA Alikodra, S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat, Institut Pertanian Bogor. Elfidasari, D. 2007. Jenis Interaksi Intraspesifik dan Interspesifik pada Tiga Jenis Kuntul saat Mencari Makan di Sekitar Cagar Alam Pulau Dua Serang, Propinsi Banten. Biodiversitas (8) Nomor 4, 266-269. Hidayat, O. 2014. Komposisi Jenis dan Pre f e re n s i Tu m b u h a n Pa ka n Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea citrinocristata) di Taman
Nasional Laiwangi Wanggameti. J u rn a l Pe n e l i t i a n Ke h u t a n a n Wallacea. (in press). Lambert, F. 2014. XC121719. www.xenocanto.org/121719. Diunduh tanggal 12 Februari 2014. Walker, J. S., Cahill, A. J. and Marsden, S. J. 2005. Factors influencing nest-site occupancy and low reproductive output in the Critically Endangered Yellow-crested Cockatoo Cacatua sulphurea on Sumba, Indonesia. Bird Conservation International (15), 347-359.
Edisi VII No.2 Desember 2014
19
| REPORTASE |
Gelar Teknologi "Budidaya Cendana, Gaharu dan Lebah Madu”di Manggarai Timur BPK Kupang (10/09/2014)– Penyelenggaraan Gelar Teknologi/Alih Teknologi Hasil Penelitian yang di Kabupaten Manggarai, merupakan agenda rutin Balai Penelitian Kehutanan Kupang dalam memasyarakatkan hasilhasil penelitian. Kegiatan yang diselenggarakan di Kecamatan Ranamese Kabupaten Manggarai Timur dibuka oleh Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Timur Bapak Yulianus Biman dan dihadiri oleh camat Ranamese, sejumlah Tokoh Masyarakat dan Tokoh Adat, Kepala Desa serta Masyarakat sekitar. Dalam sambutannya Kepala Dinas Manggarai Timur menyampaikan
20
Edisi VII No.2 Desember 2014
beberapa Hal yang berkaitan dengan pengelolaan hutan di Manggarai Raya, “di Manggarai Raya (Manggarai, Manggarai Timur dan Manggarai Barat - red) banyak sekali potensi kehutanan yang perlu digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi masyarakat, antara lain potensi Taman Wisata Alam danau Ranamese, Keragaman Flora dan Fauna seperti keragaman jenis burung, budidaya Lebah Madu, serta tanaman penghasil gaharu yang banyak tersebar di daratan Flores”, dalam kesempatan ini juga Kepala Dinas Manggarai Timur Mengucapkan banyak terima kasih kepada Kementerian Kehutanan Khususnya Balai Penelitian Kehutanan
Kupang yang telah mengadakan kegiatan Gelar Teknologi Hasil Penelitian di Manggarai. Pada kegiatan Gelar Teknologi ini mengambil Tema “ Budidaya Cendana, Gaharu dan Lebah Madu”, selaku moderator Bapak Ir. Edy Sutrisno, M.Sc Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Paparan pertama tentang Budidaya Cendana di sampaikan oleh Hery Kurniawan,S.Hut,M.Sc yang menekankan bagaimana teknik membuat persemaian dan mengelola persemaian Cendana sedemikian rupa untuk membuat Budidaya Cendana di lahan masyarakat dapat mewujudkan kembali kejayaan Cendana di bumi Flobamora (Flores, Sabu, Timor dan Alor - red). Dilatarbelakangi informasi di masyarakat, khususnya di Manggarai, tentang pohon penghasil gaharu yang tidak benar maka pada presentasi kedua disampaikan oleh Dani Pamungkas, S.Hut dengan tema “Tanaman Penghasil Gaharu dan Budidayanya”. Pada paparannya sdr Dani me-nyampaikan bahwa Gaharu adalah produk yang dihasilkan dari simbiosis antara pohon penghasil gaharu dengan jamur. Pohon penghasil Gaharu yang banyak dikenal di Indonesia adalah Aquilaria spp. dan Gyrinops spp, dari kedua pohon penghasil gaharu tersebut yang banyak tumbuh danberkembang di NTT khususnya Flores adalah Gyrinops versteegii. Paparan ketiga di sampaikan oleh Bapak M. Azis Rakhman, S.Hut yang mengambil tema tentang Budidaya Lebah Madu,
sebagian wilayah Flores khususnya Manggarai mempunyai banyak hutan yang ditumbuhi berbagai macam jenis tanaman membuat daerah ini kaya akan sumber pakan dari Lebah penghasil Madu, sehingga cocok untuk Budidaya Lebah Madu jenis Apis indica atau Apis cerana. Pada kesempatan ini juga dipraktekan bagaimana membudidayakan Lebah penghasil Madu (Apis Cerana) mulai dari bagaimana memancing koloni lebah madu dengan cara memasang glodok, memindahkan sarang lebah madu yang ada di glodok ke dalam stup dan cara pemanenan lebah Madu dengan menggunakan ekstraktor. Pada kegiatan ini juga hadir pembicara dari Burung Indonesia Bapak Hanom Bashari yang menyampaikan betapa banyak potensi Fauna Khususnya burung yang ada di daratan Flores dan khususnya di Manggarai Raya, dari banyaknya jenis burung yang ada di Manggarai Raya ada beberapa jenis yang endemik dari daratan Flores dan merupakan daya tarik bagi wisatawan asing yang datang jauh dari negaranya hanya untuk melihat satwa endemik tersebut yaitu burung hantu Flores. Pada kesempatan terakhir semua peserta diajak untuk menanam bibit tanaman gaharu dan cendana di sekitar lahan kantor Taman Wisata Alam Danau Ranamese yang disambut antusias oleh Kepala Dinas Kehutanan Manggarai Timur, Kepala Bidang Konservasi KSDA NTT Wilayah II Ruteng, Camat Ranamese serta seluruh peserta Gelar Teknologi Hasil Penelitian. Kegiatan ini ditutup oleh Bapak Ir. Yohanes Ora Kepala Bidang Konservasi KSDA NTT Wilayah II Ruteng. (fewie).
Edisi VII No.2 Desember 2014
21
Kelahiran Pertama Kura-Kura Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) di Kupang Foristkupang.org (28/10/2014) - Menetasnya Telur Kura-kura Leher Ular rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) begitu menggembirakan, sudah3 kali bertelur dan tidak bisa menetas, dengan usaha dan kerja keras akhirnya bisa berhasil menetaskan telurnya di penangkaran Stasiun Penelitian Oilsonbai, Balai Penelitian Kehutanan Kupang “Seperti Mimpi, seakan belum percaya kalau kura-kura ini bisa menetas juga” kata Kayat, S.Hut, M.Sc Peneliti Balai Penelitian Kehutanan Kupang. menetasnya telur kurakura leher ular ini di penangkaran diharapkan kedepan mampu di pelihara dan di kembangkan. “Penangkaran ini bertujuan untuk bisa menangkarka n kura-kura leher ular yang asli dari Nusa Tenggara Timur khususnya pulau Rote, agar masyarakat juga bisa memperoleh hasil ekonomi dari kura-kura ini”. Kata Kayat, S.Hut, M.Sc menjelaskan.Lebih lanjut beliau menjelaskan berbagai hambatan yang dihadapi dalam penangkaran kura-kura leher ular rote ini. Hambatan yang dihadapi dalam perkembangbiakan kura-kura leher ular ini adalah masalah reproduksi yang harus menunggu selama 6 tahun untuk bisa bertelur. Juga hambatan pakan yang sehat serta segar yang susah di dapatkan. Penelitian tentang Kura-kura Leher Ular rote ini diinisiasi dari Menteri Kehutanan, yang pada saat itu dijabat oleh, Bapak Dr. (HC)
22
Edisi VII No.2 Desember 2014
H.M.S Kaban yang turut prihatin karena sebagai satwa endemik dari Kabupaten Rote, Nusa Tenggara Timur, ternyata satwa ini sudah tidak bisa lagi ditemukan di alam. Indukan Kura-kura leher ular rote yang didapat dari PT Elnusa Bekasi melalui Balai Besar KSDA NTT berjumlah 4 ekor mampu dikembangbiakan di Balai Penelitian Kehutanan Kupang sejak tahun 2009. Menurunnya populasi suatu jenis fauna di alam lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam untuk kelangsungan hidupnya.P emanfaata n yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarika n kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis fauna tersebut seperti kura-kura leher ular Rote. Tujuan dari Penangkaran kura-kura leher ular Rote menyangkut aspek konservasi dan ekonomi, salah satu upaya konservasi kurakura leher ular Rote adalah setelah berhasil dipenangkaran selanjutnya dilakukan restocking ke habitat aslinya yang ada di pulau rote, karena kura-kura leher ular Rote ini sudah tidak ditemukan lagi habitatnya di alam - (feewie.)
| RESENSI |
Tropical Forest Ecology : The Basis for Conservation and Management Pengarang : Florencia Montagnini, Carl F. Jordan Penerbit : Springer, Heidenberg, 2005 Deskrispi fisik : xi, 281 p, indeks (Hard cover) ISBN : 3-540-23797-6 Resensor : Rattahpinnusa H Handisa, S.Sos Nomor Klasifikasi : 6852009/577.3 FLO T Subject : Ekologi
Pada tahun 1973, sekelompok ahli
Golley 1974). Judul tersebut sengaja
ekologi berkumpul di Turrialba, Cosa Rika.
dipilih oleh para ahli ekologi tersebut
foto : www.portalkbr.com Mereka melakukan
karena keberlangsungan ekosistem hutan
workshop guna saling
bertukar pikiran dalah hal ekologi hutan
tropis
tropis dan perkembangannya dimasa
penebangan dan perambahan hutan.
mendatang. Selanjutnya prosiding yang
Sementara upaya pemulihan ekosistem
berisi pemikiran tersebut dipublikasikan
yang rusak tidak sebanding dengan laju
dengan judul Ekosistem Yang Rapuh
kerusakannya.
(“Fragile Ecosystem”. Farnworth and
terancam
oleh
aktivitas
Kondisi tersebut melatarbelakangi
Edisi VII No.2 Desember 2014
23
| GALERI | penyusunan buku ini. Penulis buku ini, Dr.
Pengenalan terhadap klasifikasi hutan
Florencia Montagini merupakan Professor
tropis penting dalam hal menentukan
Ekologi Hutan Tropis dari Universitas Yale.
rencana pengelolaannya. Metode yang
Selanjutnya, Dr. Florensia dibantu oleh Dr.
digunakannya pun variatif. Namun pada
Carl F Jorda, seorang senior ekologis
umumnya, faktor klasifikasi hutan tropis
dalam penyusunan buku ini. Penulisnya
mengacu
menuturkan
dankeragaman floranya.
Ecosystem
bahwa
buku
menyajikan
Tropical
bukti-bukti
sosial
aspek dan
cuaca e ko n o m i
keunikan dari ekosistem hutan tropis
memegang peranan penting dalam, hal
dalam
pengambilan keputusan. Sekaligus, aspek
menunjang
ke s e i m b a n g a n
kehidupan di Alam semesta ini.
24
Aspek
pada
ini menjadi unsur penekan yang kuat bagi
Bab I mengulas tentang nilai hutan
aktivitas deforestasi. Pada bab IV, penulis
topis baik yang bersifat komersial
memaparkan hubungan interaksi antara
maupun non komersial. Kedua nilai
lingkungan dan populasi manusia dan
tersebut dapat lenyap apabila hutan
akibat yang ditimbulkan dari interaksi
tropis tidak terjaga keberadaannya.
tersebut. Sementara itu, kearifan lokal
Selain itu, Dr. Florence menyarankan
masyarakat
tentang
memahami
menjaga kebersinambungan ekosistem
karakteristik hutan tropis karena hal ini
hutan tropis. Ide ini menjadi ulasan
penting dalam menjaga sturktur dan
menarik di Bab V. Selanjutnya Bab VI
fungsinya. Sifat dan jenis karakter
sampai Bab VIII memberikan penekaran
tersebut
II.
terhadap alternatif pengelolaan hutan
Selanjutnya, Bab III menyajikan beberapa
topis dengan pelibatan masyarakat
bagan dan klasifikasi hutan tropis.
seperti sistem agroforestri.
perlunya
dijabarkan
Edisi VII No.2 Desember 2014
pada
bab
berpotensi
digunakan
| GALERI | Gambar 1. Pisah sambut Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang dari Ir. Misto, MP (pejabat lama) kepada Ir. Edy Sutrisno, M.Sc (pejabat baru) pada 3 Juli 2014.
Gambar 2. Penananam pohon pada peringatan Hari Menanaman Pohon Indonesia dan Bulan Menanam Nasional pada 28 November 2014 di Kabupaten Kupang.
Edisi VII No.2 Desember 2014
25
Gambar 3. Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian memberikan materi ekstraksi madu pada praktek lapangan Gelar Teknologi di Kabupaten Manggarai Timur Pada 10 September 2014
Gambar 4. Tukik Kura-kura Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) di Stasiun Penelitian Oelsonbai, Balai Penelitian Kehutanan Kupang
26
Edisi VII No.2 Desember 2014
RALAT No 1. 2 3. 4. 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Famili Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Pteridaceae Acanthaceae Acanthaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrtaceae Lythraceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Euphorbiaceae Plumbaginaceae Rubiaceae Avicenniaceae Avicenniaceae Avicenniaceae Sonneratiaceae Sonneratiaceae Arecaceae Sterculiaceae Combretaceae Combretaceae Malvaceae Malvaceae Molluginaceae Goodeniaceae Leguminosae Pandanaceae Apocynaceae
Sehubungan kesalahan cetak pada Warta Cendana Edisi VII Volume 1 November Tahun 2014 maka dengan ini kami sampaikan ralat sebagai berikut: Lampiran tabel 1 pada artikel berjudul Keragaman Jenis Mangrove di Nusa Tenggara Timur pada halaman 20 dan 21 seharusnya sebagaimana tersebut dibawah :
Jenis Ceriops tagal (Perr) Ceriops decandra (Griff.) DH Rhizophora apiculata (Bi) Rhizophora mucronata Lmk Rhizophora stylosa Griff. Rhizophora lamarckii Bruguiera parviflora Roxb Bruguiera cylindrica (L.) BI. Bruguiera gymnorrhiza (L) Lamk Bruguiera sexangula Lour Acrosthicum aureum Linn Acanthus ilicifolius L Acanthus ebracteatus Vahl Aegiceras floridum R. & S. Aegiceras coniculatum (L.) Blanco Osbornia octodonta F.v.M. Phempis acidula Xylocarpus granatum, Koen Xylocarpus moluccensis (Lamk) Xylocarpus rumphii (Kostel.) Mabb Excoecaria agallocha L Aegialitis annulata R. Br Scyphiphora hydrophyllacea Gaertn Avicennia alba Bl. Avicennia marina (Forsk.) Vierh. Avicennia officinalis L Sonneratia alba J.R Smith Sonneratia caseolaris (L) Engl. Nypa fruticans Wurmb. Heritiera littoralis Dryland, ex W.Ait Lumnitzera rasemosa Willd. var Terminalia catappa L Hibiscus tiliaceus L Thespesia populnea (L.) Soland Sesuvium postucalartum (L.) L. Scaevola taccada (Gaertn.) Roxb. Derris trifoliata Lour Pandanus odoratissima. Carbera manghas L
Sumber 1, 2 dan 5 1 dan 3 1, 2, 4 dan 5 1, 2, 3 dan 5 1 1 2 dan 5 1 dan 2 1, 2, 3 dan 5 5 5 2 dan 3 2 1dan 2 1, 2 dan 3 1 1, 2 dan 5 1, 2 dan 5 1 1 1, 2 dan 4 4 1 dan 2 2 dan 3 1, 3 dan 4 1 1, 2, 3 dan 4 3 3 1 1, 3 dan 4 2 1 dan 2 1 2 2 5 2 2
Edisi VII No.2 Desember 2014
27
Komoda Island source : id.wikipedia.org
Edisi VII No.2 Desember 2014
28
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466.