1
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
ISBN
Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang Kupang, 13 Desember 2007
DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM 2009
Prosiding Kupang, 12 November 2007
|2
Tim Penyunting Koordinator
: Ir. Sulistyo A. Siran, M.Sc
Ketua
: Prof. Dr. Ir. Hendi Suhaendi, M.S
Anggota
: Dr. Pratiwi Dr. Murniati
Sekretariat
: Drs. Haryono Mardiah
3
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Kata Pengantar Ekspose ini diselenggarakan di tengah maraknya issue kerusakan lingkungan, illegal logging, dan perubahan iklim global. Kondisi tersebut merupakan peluang sekaligus tantangan untuk meningkatkan daya saing kiprah institusi di bidang IPTEK Kehutanan dalam pengelolaan hutan lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut maka BPK Kupang sebagai salah satu UPT Badan Litbang Kehutanan menyelenggarakan Ekspose HasilHasil Penelitian BPK Kupang pada tanggal 13 Desember 2007 di Kupang. Sejumlah makalah yang mempunyai relevansi telah dipaparkan dalam acara ini. Makalah tersebut merupakan hasil penelitian, kajian dan pemikiran dari peneliti BPK Kupang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT, BP DAS Benain-Noelmina, Forum DAS, dan Universitas Cendana. Buku prosiding yang disusun ini merangkum seluruh makalah dan hasil diskusi yang berkembang selama berlangsungnya ekspose. Dari hasil diskusi tersebut diharapkan informasi dan teknologi yang sudah dikembangkan dapat dimanfaatkan oleh jajaran kehutanan di daerah dan masyarakat sebagai salah satu upaya pelestarian sumberdaya hutan di Indonesia. Kepada Tim Penyunting, kami ucapkan terimakasih. Mudahmudahan prosiding ini bermanfaat.
Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
Prosiding Kupang, 12 November 2007
|4
LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK KUPANG Kupang, 13 Desember 2007
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Yang terhormat: Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Bapak Wakil Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Rektor Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kupang Bapak Kepala Bappeda Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala Bapedalda Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala Balitbangda Provinsi Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten se Nusa Tenggara Timur Bapak Kepala UPT Departemen Kehutanan di NTT Bapak-Ibu pimpinan instasi terkait Para teman-teman dari Widyaiswara, konsorsium dan LSM Bapak Ibu hadirin dan para undangan yang kami hormati. Puji syukur kepada Tuhan Maha Esa, karena hanya atas tuntunan-Nya lah kita berada dalam keadaan sehat wal' afiat dan dapat bersama-sama hadir di ruangan ini. Kami mengucapkan selamat datang pada Acara Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang Hadirin yang saya hormati, Kami atas nama Panitia Penyelenggara mengucapkan terima kasih kepada Bapak, Ibu dan hadirin sekalian yang telah berkenan meluangkan waktu untuk menghadiri acara pembukaan Ekspose Hasil-hasil penelitian ini dan selanjutnya mengikuti seluruh rangkaian acara ekspose ini. Perkenankanlah kami menyampaikan laporan singkat penyelenggaraan acara ekspose ini sebagai berikut : Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Penyelenggaraan Ekspose ini dilatarbelakangi oleh keinginan yang kuat dari segenap jajaran yang ada di Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk lebih meningkatkan peran-sertanya dalam pembangunan kehutanan di seluruh wilayah pelayanannya. 5
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Kita semua telah menyadari betapa parahnya kerusakan hutan pada saat ini, Informasi laju kerusakan hutan baik melalui media informasi elektronik, media cetak maupun. yang kita hadapi secara visual setiap saat. Illegal logging dan kebakaran hutan menjadi tudingan penyebab, Mengapa seakan-akan kita tidak memiliki teknik untuk membangun dan memelihara hutan dengan baik? Sebagai instansi Penelitian kami berpendapat bahwa bukanlah terletak pada teknologinya sendiri tetapi pada suasana lingkungan sosial ekonomi yang kurang kondusif terhadap pelaksanaan praktek teknologi yang benar. Teknologi itu bukannya tidak ada. Adalah suatu kenyataan bahwa pekerjaan menanam, pemeliharaan masih dianak-tirikan dan , ditempatkan pada posisi yang tidak dipentingkan dibandingkan dengan kegiatan penebangan/eksploitasi. Lebih mudah menebang daripada menanam, sikap ini bukanlah yang benar, karena untuk memperoleh hutan dengan produktivitas yang tinggi, teknik-teknik penanaman harus dijalankan dengan baik. Adapun dasar dari penyelenggaran ekspose ini adalah : SK Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang Nomor : SK. 1320/VIII/BPKK-2/2007 tanggal 19 November 2007 tentang panitia Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan Tahun 2007. Maksud dan Tujuan Ekspose hasil-hasil penelitian ini merupakan forum/media komunikasi antara para peneliti dengan pengambil kebijakan dan para praktisi, pelaksana, pelaku pembangunan hutan dan kehutanan. Adapun tujuan dari ekspose ini antara lain : 1. Menyebarluaskan dan menginformasikan temuan paket-paket teknologi dan kebijakan-kebijakan di bidang kehutanan dalam rangka mendukung jalannya pembangunan kehutanan di wilayah ini, 2. Memperoleh masukan-masukan dari instansi terkait yang dapat digunakan untuk peningkatan dan pemantapan program penelitian. 3. Mempererat komunikasi dan kerjasama penelitian diantara lembaga–lembaga yang bergerak dibidang riset dan pengembangan serta peran serta masyarakat di sekitar hutan. Waktu dan Tempat Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang dilaksanakan pada tanggal 13 Desember 2007, bertempat di Hotel Kristal Jln. Timor Raya No. 59. Pasir Panjang, Kupang - NTT. Prosiding Kupang, 12 November 2007
|6
Peserta Jumlah peserta yang direncanakan pada kegiatan ini yaitu 100 orang yang terdiri dari : 1. Para Eselon II dan III serta IV lingkup Dinas Kehutanan Provinsi, Kota dan Kabupaten di Daerah Nusa Tenggara Timur. 2. Jajaran Litbang Kehutanan, Para Kepala Balai dan Kepala Seksi Unit Pelaksana Teknis Provinsi NTT. 3. Para Eselon II dan III lingkup Pemda Provinsi Nusa Tenggara Timur. 4. Para Rektor dan Dekan lingkup perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Kupang. 5. Para Penyuluh, widyasuara, peneliti dan konsorsium, LSM, tokoh adat dan tokoh masyarakat di Kupang. Materi/Makalah yang Dipresentasikan Materi yang dipersentasikan terdiri dari hasil-hasil penelitian Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Lembaga Penelitian Universitas Nusa Cendana, Balai Besar KSDA NTT, Dinas Kehutanan Provinsi NTT, BP DAS Benain Noelmina dan Forum DAS NTT. Sumber Dana Sumber dana kegiatan ini adalah dari DIPA Balai Penelitian Kehutanan Kupang Tahun Anggaran 2007. Demikian Laporan kami, Selanjutnya kami mohon agar Bapak Gubernur NTT berkenan memberikan arahan serta membuka araca ini secara resmi.
Kupang, 13 Desember 2007 Ketua Panitia,
Ir. Tigor Butar Butar, M.Sc. NIP. 710006094
7
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
SAMBUTAN KEPALA BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat, Gubernur Provinsi Nusa Tenggara Timur Pimpinan DPRD Provinsi Nusa Teggara Timur Saudara Rektor Universitas Nusa Cendana Saudara Kepala Dinas Kehutanan Provinsi NTT Saudara Kepala Badan Litbang Daerah Provinsi NTT Saudara Ketua Bappeda Provinsi NTT Saudara Kepala Bapedalda Provinsi NTT Saudara-saudara Kepala Dinas Kehutanan Kota dan Kabupaten Provinsi NTT Saudara-saudara Kepala UPT Departemen Kehutanan lingkup Provinsi NTT Bapak/ibu peserta dan hadirin sekalian
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga memampukan kita sekalian untuk hadir di sini pada acara ekspose hasil-hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dalam keadaan sehat walafiat. Saya menyambut baik acara ekspose ini karena merupakan media komunikasi bagi para peneliti dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan ide-ide dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pelayanan terhadap negara dan masyarakat. Hadirin yang saya hormati, Harapan saya dari forum ini dapat tercipta suatu komunikasi, hubungan kerjasama yang harmonis sehingga terjalin hubungan yang erat antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur ini. Betapapun akuratnya hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti tidak akan bermakna bila tidak disosialisasikan kepada para pengguna. Menurut hemat saya, Prosiding Kupang, 12 November 2007
|8
hasil-hasil penelitian harus mampu mendukung setiap program pembangunan yang dilaksanakan termasuk memberikan terobosan alternatip dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan. Karena itu, penyelenggaraan ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan merupakan momentum strategis dan memiliki urgensi yang tinggi dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1. Masalah kerusakan hutan dan lahan di negara kita dewasa ini telah mencapai tingkatan yang sangat memprihatinkan, sehingga bangsa kita akan terus menghadapi masalah bencana alam banjir, tanah longsor, erosi tanah dan kekeringan yang menimbulkan dampak kerugian materi maupun non materi yang tidak ternilai bagi negara, pemerintah dan masyarakat. 2. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada kenyataannya tidaklah mungkin dilaksanakan dengan pendekatan sektoral oleh pemerintah, melainkan memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan segenap komponen bangsa termasuk lembaga yang bergerak di bidang riset dan pengembangan. 3. Bencana alam yang dirasakan oleh sebagian besar wilayah Indonesia merupakan cerminan perlunya revitalisasi konsep pembangunan yang berbasis pada azas konservasi dan kelestarian sumberdaya hutan dan lahan. Dalam hal ini lembaga riset memiliki peran strategis dalam mengawal, memandu dan mendorong proses pembangunan yang sedang berjalan. Saudara-saudara para hadirin yang berbahagia Masalah kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sesungguhnya telah berlangsung sejak lama yang ditunjukkan oleh makin besarnya angka laju kerusakan hutan yang saat ini telah mencapai 2,83 juta hektar/tahun di dalam kawasan hutan dan 0,68 juta hektar/tahun di luar kawasan hutan. Dampak krisis moneter dan ekonomi, euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap laju deforestasi di Indonesia. Saudara-saudara sekalian yang saya hormati Berbagai upaya pemerintah dalam mengendalikan lahan kritis dan kerusakan hutan telah dilaksanakan sejak lama di Indonesia, namun demikian tingkat keberhasilannya tidak pernah dapat mengimbangi laju kerusakan yang terjadi pada setiap periode waktu tertentu. Kenyataan ini lebih memprihatinkan lagi bila kecenderungan deviasi yang terjadi antara laju rehabilitasi dengan laju deforestasi yang makin lama makin membesar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa upaya terobosan yang serius untuk 9
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan di berbagai DAS kritis dan prioritas, maka masa depan hutan di Indonesia akan segera habis. Komitmen pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah untuk melaksanakan lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan di era rehabilitasi dan konservasi merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Lima kebijakan prioritas kehutanan meliputi : pemberantasan illegal logging, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan penguatan desentralisasi kehutanan. Tanpa keselarasan, sinkronisasi dan keharmonisan dalam implementasi kebijakan pada tataran operasional antara unit kerja di pusat dan daerah, tujuan kita untuk melestarikan hutan tidak akan tercapai. Hadirin yang saya hormati, Dalam dekade terakhir ini khususnya di NTT besarnya kerusakan hutan tidak diimbangi dengan besarnya laju penanaman. Karena itu, dukungan iptek dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan menjadi pilihan paling bijaksana untuk menghasilkan ramuan teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan karakteristik wilayah semi arid di NTT. Kita paham bahwa peran iptek memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan di segala bidang. Tidak dapat dipungkiri, banyak bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju dan kuat karena penguasaan terhadap iptek sekalipun sumberdaya alamnya sangat terbatas. Penguasaan iptek sangat bergantung pula pada ketajaman dan kemampuan lembaga riset melakukan analisis dan mengaitkan program penelitian yang berbasis pada kepentingan pengguna (user). Karena itu, dalam mendukung pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur, Badan Litbang Kehutanan memberikan perhatian yang cukup serius untuk meningkatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan teknologi rehabilitasi lahan, rekayasa sosial budaya dan kearifan lokal maupun teknologi hasil hutan non kayu. Guna mendukung hal tersebut, forum ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk saling membagi pengalaman dan melakukan sinkronisasi kegiatan, sehingga para peneliti dapat merumuskan program-program penelitian yang tepat sasaran, tepat guna dan mampu memberikan solusi yang efektif dan efisien terhadap berbagai persoalan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur. Hadirin sekalian, Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 10
Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar. Selanjutnya kami memohon agar Bapak Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur berkenan memberi arahan sekaligus membuka secara resmi acara Ekspose hasil-hasil Penelitian ini secara resmi. Semoga tuhan memberkati kita semua. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Kupang, 13 Desember 2007 Kepala Badan,
Ir. Wahjudi Wardojo, M. Sc
11
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
SAMBUTAN WAKIL GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua. Yang terhormat, Ketua DPRD Provinsi NTT Saudara Rektor Universitas Nusa Cendana Saudara Kepala Badan Litbang Kehutanan Bapak/ibu peserta dan hadirin sekalian
Pertama-tama marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan rahmat dan berkat-Nya kepada kita semua sehingga dapat hadir di sini pada acara ekspose hasil-hasil penelitian dan pengembangan kehutanan dalam keadaan sehat walafiat. Saya menyambut baik acara ekspose ini karena merupakan media komunikasi bagi para peneliti dan pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling mengkomunikasikan pikiran dan pengalaman dalam rangka meningkatkan kapasitas masing-masing dalam mendukung pelayanan terhadap masyarakat di Nusa Tenggara Timur. Hadirin yang saya hormati, Harapan saya dari forum ini diciptakan suatu komunikasi, hubungan kerjasama yang harmonis sehingga terjalin hubungan yang erat antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Betapapun akuratnya hasil-hasil penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti tidak akan bermakna bila tidak disosialisasikan kepada para pengguna. Hemat saya, hasil-hasil penelitian harus mampu mendukung setiap program pembangunan yang dilaksanakan termasuk memberikan terobosan alternatip dalam meningkatkan keberhasilan pembangunan, khususnya di sektor kehutanan. Karena itu, penyelenggaraan ekspose hasil-hasil penelitian kehutanan merupakan momentum strategis dan memiliki urgensi yang tinggi dengan beberapa pertimbangan : 4. Masalah degradasi hutan dan lahan di NTT telah mencapai tingkatan yang sangat memprihatinkan bahkan menuju proses Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 12
penggurunan (desertification). Hal ini menyebabkan terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir, tanah longsor, erosi tanah, kekeringan dan penyimpangan iklim yang menimbulkan kerugian materi maupun non materi yang tidak ternilai bagi pemerintah dan masyarakat. 5. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan pada kenyataannya tidaklah mungkin dilaksanakan dengan pendekatan sektoral oleh pemerintah, melainkan memerlukan dukungan peran serta masyarakat dan segenap komponen bangsa termasuk lembaga yang bergerak di bidang riset dan pengembangan. 6. Potensi sumberdaya hutan di Nusa Tenggara Timur sangat terbatas, sehingga memerlukan dukungan teknologi untuk mengembangkan potensi hasil hutan non kayu seperti madu, seedlak dan gaharu. 7. Bencana alam yang dirasakan oleh sebagian besar wilayah Indonesia merupakan cerminan perlunya revitalisasi konsep pembangunan yang berbasis pada azas kelestarian sumberdaya hutan dan lahan. Dalam hal ini lembaga riset memiliki peran strategis dalam mengawal, memandu dan mendorong proses pembangunan yang sedang berjalan di Nusa Tenggara Timur. Saudara-saudara para hadirin yang berbahagia Masalah kerusakan hutan dan lahan di Nusa Tenggara Timur sesungguhnya telah berlangsung sejak lama dengan indikasi makin besarnya angka laju kerusakan hutan. Dampak krisis moneter dan ekonomi, euforia reformasi dan tuntutan otonomi daerah telah memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap laju deforestasi. Menilik laju deforestasi tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan beberapa faktor pendorong degradasi hutan dan lahan yaitu : a. terjadinya illegal logging; b. perambahan hutan; c. perladangan berpindah (shifting cultivation); d. penebangan hutan yang tidak terkendali (over cutting); e. perumputan yang tidak terkendali (over grazing); f. pemanfaatan hutan yang berlebihan (penambangan, industri, pemukiman, pertanian, perkebunan, dll) dan g. Pemanfaatan lahan tanpa memperhatikan metode konservasi tanah dan air secara bijaksana.
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati Berbagai upaya pemerintah dalam mengendalikan lahan kritis dan kerusakan hutan telah dilaksanakan, tetapi di sadari tingkat keberhasilannya tidak pernah dapat mengimbangi laju kerusakan yang terjadi pada setiap periode waktu tertentu. Kenyataan ini sangat memprihatinkan bahkan kontraproduktif, terlebih jika 13
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
diamati kecenderungan deviasi yang terjadi antara laju rehabilitasi dengan laju deforestasi yang makin lama makin membesar. Hal ini mengindikasikan bahwa tanpa upaya terobosan yang serius untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan di berbagai DAS kritis dan prioritas, maka masa depan hutan di NTT akan segera habis. Komitmen pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah untuk melaksanakan lima kebijakan prioritas Departemen Kehutanan di era rehabilitasi dan konservasi merupakan salah satu indikator penentu keberhasilan pembangunan sektor kehutanan. Lima kebijakan prioritas kehutanan meliputi : pemberantasan illegal logging, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan dan penguatan desentralisasi kehutanan. Tanpa keselarasan, sinkronisasi dan keharmonisan dalam implementasi kebijakan pada tataran operasional antara unit kerja di pusat dan daerah, tujuan kita untuk melestarikan hutan tidak akan tercapai. Hadirin yang saya hormati, Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur yang sebagian besar wilayahnya beriklim kering (semi arid). Perkembangan degradasi lahan di Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu indikasi meningkatnya tekanan terhadap lahan. Luas wilayah NTT mencapai 4.735.000 ha dengan luas kawasan hutan sebesar 1.808.990 ha (38.21 % dari luas daratan). Sampai saat ini luas lahan kritis di NTT telah mencapai 2.109.496 ha (44.55 % dari luas daratan). Luas lahan kritis dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Laju lahan kritis selama 20 tahun terakhir seluas 15.163 ha per tahunnya, sedangkan luas tanaman RHL selama 20 tahun terakhir 3.615 ha, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman adalah 4 : 1. Karena itu, dukungan iptek dalam rangka meningkatkan keberhasilan rehabilitasi lahan menjadi pilihan paling bijaksana untuk menghasilkan ramuan teknologi yang lebih sesuai dengan kondisi biofisik dan karakteristik wilayah semi arid. Kita paham bahwa peran iptek memegang peranan penting dalam mendukung pembangunan di segala bidang. Tidak dapat dipungkiri, banyak bangsa-bangsa lain menjadi bangsa yang maju dan kuat karena penguasaan terhadap iptek sekalipun sumberdaya alamnya sangat terbatas. Penguasaan iptek sangat bergantung pula pada ketajaman dan kemampuan lembaga riset melakukan analisis dan mengaitkan program penelitian yang berbasis pada kepentingan pengguna (user). Karena itu, dalam Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 14
mendukung pembangunan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur, Badan Litbang Kehutanan memberikan perhatian yang cukup serius untuk meningkatkan kajian-kajian yang berkaitan dengan teknologi rehabilitasi lahan, rekayasa sosial budaya dan kearifan lokal maupun teknologi hasil hutan non kayu. Guna mendukung hal tersebut, forum ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk saling membagi pengalaman dan melakukan sinkronisasi kegiatan, sehingga para peneliti dapat merumuskan program-program penelitian yang tepat sasaran, tepat guna dan mampu memberikan solusi yang efektif dan efisien terhadap berbagai persoalan sektor kehutanan di Nusa Tenggara Timur. Hadirin sekalian, Pemerintah daerah menyadari bahwa pembangunan memerlukan dukungan riset dan pengembangan untuk merancang pendekatan pembangunan. Karena itu, pembagunan sektor kehutanan di NTT membutuhkan dukungan riset dan pengembangan yang mampu memberikan solusi terhadap seluruh aspek sosial budaya dan teknis yang berkaitan dengan sektor kehutanan. Di masa yang akan datang, Pemerintah Provinsi NTT akan mendukung kebijakan pembangunan yang berbasis pada hasil Penelitian dan Pengembangan. Untuk mendukung kebijakan tersebut, Lembaga riset harus pro aktif memberikan masukan terhadap berbagai kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan. Ekspose hasil-hasil Litbang Kehutanan seperti ini belum cukup untuk mendorong pembangunan di NTT tanpa adanya dukungan kebijakan dari pemerintah daerah untuk menerapkan hasil-hasil penelitian pada setiap pelaksanaan pembangunan pada instansi teknis terkait. Karena itu, Pemerinrah Daerah akan memperkuat Kehadiran Badan Litbang Daerah Provinsi di NTT untuk meningkatkan fungsi koordinasinya dengan lembaga-lembaga riset yang berada di bawah naungan Departemen/perguruan tinggi. Melalui Litbang Daerah diharapkan terjadi koordinasi, sinkronisasi dan penajaman program riset yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan di NTT. Hadirin yang saya hormati, Saya berharap diskusi ini mampu menghasilkan rumusan yang komprehensif dan integratif yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan masukan penyempurnaan kebijakan pembangunan sektor kehutanan khususnya di Nusa Tenggara Timur. Akhirnya saya mengucapkan selamat berdiskusi dan berkarya di forum ini.
15
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-Nya sehingga acara ini dapat berjalan dengan lancar. Dengan mengucapkan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa dan memohon tuntunan-Nya saya nyatakan “ Ekspose hasilhasil Penelitian Kehutanan” secara resmi dibuka. Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua.
Kupang, 13 Desember 2007 Wakil Gubernur NTT
Drs. Frans Lebu Raya
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 16
Rumusan Berdasarkan arahan dari Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan, arahan dari Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur, presentasi dari para pemakalah dan dari hasil diskusi Ekspose Hasil-hasil Penelitian Kehutanan maka untuk sementara dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki lahan kritis yang cukup luas dan setiap tahun terus bertambah. Hal ini antara lain disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi tanpa memperhatikan aspek konservasi, rendahnya keberhasilan program revegetasi dan kurangnya masukan teknologi tepat guna. Disamping itu kondisi biofisik lahan NTT yang didominasi oleh tanah marginal, bersolum tipis, tanah berbatu, iklim kering yang panjang, curah hujan rendah menyebabkan lahan rentan terhadap degradasi serta mempunyai daya pulih alami yang rendah. 2. Hampir 45% dari luas daratan NTT berupa lahan kritis. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan 661.680 ha dan di luar kawasan hutan 1.447.816 ha. Laju lahan kritis selama dua dekade terakhir mencapai 15.163 ha/tahun, sedangkan luas tanaman Rehabilitasi Hutan dan Lahan sangat rendah yaitu hanya mencapai sekitar 3.615 ha/tahun. Perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman dalam hal ini adalah sekitar 4 : 1. 3. Kunci keberhasilan pembangunan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) selain pada perencanaan yang akurat dan handal juga terletak pada pengendalian yang konsisten dan harus mengacu pada permasalahan di atas. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang RLKT maka partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, peran serta kelembagaan seperti koperasi dan LSM perlu ditingkatkan. Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dilaksanakan melalui pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang bersifat menyeluruh dan terpadu antara berbagai sektor pembangunan dan disiplin ilmu. Untuk itu, maka pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaannya. 4. Salah satu alternatif dalam mengendalikan peningkatan lahan kritis seperti studi kasus pada DAS Benain adalah upaya pengembangan pertanian lahan kering dengan pola campuran atau agroforestry. Peluang degradasi lahan akan meningkat apabila tidak tersedianya pola pemanfaatan sumberdaya 17
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
5.
6.
7.
8.
hutan, tanah dan air yang ramah lingkungan. Pola pengembangan agroforestry dapat memberikan manfaat secara seimbang antara aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan kondisi spesifik wilayah di NTT, ada dua pilar utama yang perlu dijadikan acuan dalam meningkatkan keberhasilan lahan kritis secara revegetasi, yakni aspek teknik dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Secara teknis melaui pemilihan dan pengelolaan jenis tanaman yang sesuai dengan tuntutan teknik silvikultur yang intensif melalui pemupukan, penggunaan mikoriza, bahan penyerap air dan pola tanam yang tepat. Secara sosial ekonomi perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipatif. Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan dapat dilakukan melalui pendekatan pola partisipatif masyarakat. Pola pendekatan partisipatif yang dipilih haruslah merupakan pola yang mempertimbangkan kepentingan multi pihak dengan tetap memperhitungkan keseimbangan diantara semua aspek dari fungsi, dan jasa lingkunan dari kawasan hutan. Pola terbaik adalah pola yang mampu memberdayakan masyarakat desa hutan sehingga dapat tumbuh mandiri dan berkeadilan dalam pengambilan keputusan dan melaksanakannya secara konsisten. Masyarakat lokal memiliki peran strategis dalam mendukung kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Inisiatif masyarakat lokal seperti konsep Lende Ura yang merupakan sebuah filosofi kehidupan masyarakat di Sumba Barat memandang hutan sebagai jembatan datangnya hujan yang mendorong masyarakat menghargai setiap komponen sumberdaya alam yang berpengaruh terhadap proses terjadinya hujan, sehingga masyarakat tidak melakukan penebangan liar, menghindari kebakaran hutan dan lahan, pemeliharaan daerah tangkapan air melalui budidaya pertanian lahan kering campuran serta pemanfaatan hasil hutan non kayu. Karena itu konsep semacam Lende Ura ini perlu ditularkan, dikembangkan dan disebarluaskan. Rehabilitasi lahan di NTT salah satunya dapat menggunakan jenis kayu putih dengan pengembangan sistem tumpangsari dengan tanaman pangan. Tanaman kayu putih dapat menghasilkan daun kayu putih yang bermanfaat sebagai bahan baku minyak kayu putih yang berpotensi menigkatakan kesejahteraan rakyat, yang pada gilirannya diharapkan dapat menciptakan dan menimbulkan kesadaran diri pada masyarakat untuk melakukan rehabilitasi. Sedangkan tanaman tumpang sarinya diharapkan dapat menjaga ketahanan pangan. Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 18
9. Cendana merupakan salah satu jenis potensial untuk rehabilitasi lahan. Upaya pengembangan cendana melalui kearifan masyarakat lokal di lahan masyarakat, Kabupaten Sumba Barat telah berhasil dengan baik. Beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pengembangan cendana adalah adnya kesadaran yang tinggi dari masyarakat secara swadaya dalam penanaman cendana. Penanaman cendana dilakukan melalui cabutan yang berasal dari biji yang tumbuh secara alami dengan pola tanam campuran di bawah kebun kelapa. 10. Dalam rangka kegiatan rehabilitasi lahan dengan revegetasi perlu dikembangkan jenis tanaman pakan burung paruh bengkok asli NTT yang keberadaannya telah terancam punah akibat adanya kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali. Tanaman pakan ini adalah untuk memenuhi jumlah konsumsi dan gizi pakan burung paruh bengkok untuk menunjang konservasi satwaliar di habitat aslinya 11. Pengembangan jenis tanaman pestisida nabati untuk rehabilitasi lahan perlu dilakukan. Walihu (Litsea cubeba PERS.) adalah jenis flora hutan yang potensial perlu dilakukan. Jenis ini memiliki kandungan senyawa kimia aktif yaitu Cubebene dan Caryophylene oxide. Walihu bersifat racun ditunjukkan dengan nilai LC50 sebesar 0,15 pada ekstrak Aseton dan 0,22 pada ekstrak n-Heksan sehingga bisa digunakan sebagai pestisida nabati. 12. Hutan rakyat mempunyai peranan penting dalam menjaga keberlangsungan daya dukung hutan dalam rehabilitasi lahan. Kondisi sosial-budaya dan kepemimpinan lokal mempunyai peranan kuat dalam pengembangan HR. Pengorganisasian pengelolaan HR tergolong masih rendah, walaupun permintaan masyarakat untuk mengembangkan HR cukup tinggi. Pengembangan HR dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan, perkebunan, pangan, dan peternakan nampaknya akan memberikan nilai lebih bagi perekonomian keluarga. 13. Permasalahan yang terkait dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (HKM) adalah: aspek teknis terkait dengan menentukan pola tanam yang produktif dan berkesinambungan; permasalahan aspek kelembagaan terkait dengan kurang aktifnya lembaga-lembaga pengelola HKm; permasalahan kebijakan terkait dengan sering berganti-ganti kebijakan, dan optimalisasi penerapan hukum adat dalam penyelesaian masalah HKm. Aspek teknis, kelembagaan dan kebijakan serta isu-isu yang berkembang terkait dengan pengelolaan HKm secara umum diharapkan akan mendapatkan sistem pengelolaan HKm yang mampu
19
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
mengakumulasikan kepentingan konservasi, produksi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. 14. Sementara itu pengelolaan kawasan konservasi saat ini menjadi sangat komplek walaupun regulasinya cukup lengkap, namun dalam pelaksanaan dihadapi berbagai kendala dan hambatan baik dari dalam maupun dari luar. Hambatan dari dalam antara lain adalah kuantitas dan kualitas SDM aparat yang bergerak dalam bidang organisasi yang mengelola kawasan konservasi, ditambah masalah minimnya sarana pengelolaan kawasan dan biaya operasional pengelolaan kawasan. Hambatan dari luar adalah kebijakan publik ditingkat lokal yang tidak mendukung di era otonomi telah menimbulkan banyak kerusakan kawasan konservasi. 15. Kawasan Mutis merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata. Namun demikian pemanfaatan kawasan ini sebagai lokasi ekowisata belum optimal karena arus kunjungan wisata ke kawasan tersebut masih rendah dan manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat sekitar masih rendah. Pengelolaaan ekowisata di kawasan tersebut belum dikelola secara profesional. Berbagai langkah diperlukan untuk mengembangkan ekowisata di kawasan tersebut. antara lain: penunjukan pengelola, penataan kawasan ekowisata, peningkatan promosi wisata .
Kupang, 13 Desember 2007
Tim Perumus, Ir. Sigit Baktya Prabawa, MSc. Ir. I Komang Surata
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 20
Daftar Isi Kata Pengantar ........................................................................... Daftar Isi ...................................................................................... Laporan Panitia Penyelenggara ............................................... Sambutan Kepala Badan Penelitian dan hutanan................................................................................... Sambutan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur .....................
Pengembang
Rumusan ..................................................................................... Bidang Konservasi dan Rehabilitasi 1. Lahan Kritis dan Solusi Penanganannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur I Komang Surata.................................................................. 2.
Rehabilitasi Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Nusa Tenggara Timur Luhut Sihombing….............................................................
3.
Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan DAS di Nusa Ten Timur Antonius Toding Patandianan..............................................
4.
Rehabilitasi dengan Jenis Tanaman yang Memiliki Keunggulan Komparatif di N Tenggara Timur Sumardi, Tigor Butar Butar, dan Bayu Adrian Victorino......
5.
Ragam Jenis Flora Beracun Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur Dani Sulistiyo Hadi .............................................................
6.
Kesesuaian Antara Kondisi Lahan dengan Jenis-jenis Pohon Hutan Yelin Adalina ......................................................................
7.
Variasi dan Palatabilitas Pakan pada burung Paruh Bengkok di Penangkaran O Kupang Kayat ...................................................................................
8.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berbasis Agroforestry pada Daerah Aliran Sunga Timor Gerson ND Njurumana ......................................................
9.
Jenis dan Sifat Tanah di Beberapa Tempat di Bali dan Nusa Tenggara M. Hidayatullah dan Mansyur………………………………..
Bidang Hasil Hutan Bukan Kayu 10.
Identifikasi dan Analisa Ekstrak Walihu (Litsea cubeba Pers.) sebagai Sumber 21
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Nabati di Nusa Tenggara Timur Dani Sulistiyo Hadi ............................................................. 11. 12.
Kajian Pengembangan Ekowisata di Mutis Rahman Kurniadi ................................................................ Pengendalian Parasit dan Predator Kutu Lak Sujarwo Sujatmoko…………………………..………………..
Bidang Silvikultur 13. Kontribusi Pemuliaan Pohon dalam Pembangunan Hutan Tanaman Acacia ma Aris Sudomo........................................................................
14. Kajian Intensifikasi Hutan Tanaman untuk Penghasil Biofuel sebagai Alternatif Energi Aris Sudomo dan Pipin Permadi .......………………………. 15. Kajian Sistem Silvikultur Hutan Rakyat Aris Sudomo …………………………………………..……… Bidang Sosial Ekonomi 16. Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok: Tinjauan Aspek Teknologi, Kelemba Kebijakan Eko Pujiono ........................................................................ 17. Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kegiatan Konservasi dan R Lahan Kritis L. Michael Riwu Kaho dan Bayu A. Victorino……………… 18. Kondisi Pengembangan Hutan Rakyat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Te Selatan Ida Rachmawati ………………………………………………. 19. Dinamika Peran Kepemimpinan Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Yam Maluku Tenggara Barat Budiyanto Dwi Prasetyo………………………………..…….. 25. Nilai Ekonomi Sumberdaya Air: Studi Kasus Desa Santong, Lombok Barat, Nu Barat Eko Pujiono ........................................................................ Lampiran Jadwal Acara Daftar Peserta
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 22
Bidang KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN
23
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
LAHAN KRITIS DAN SOLUSI PENANGANANNYA DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR1 Oleh : 2 I Komang Surata
ABSTRAK Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki lahan kritis yang cukup luas dan setiap tahun terus bertambah. Hal ini disebabkan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi tanpa memperhatikan aspek konservasi, rendahnya keberhasilan program revegetasi (reboisasi dan penghijauan), dan kurangnya masukan teknologi tepat guna. Disamping itu kondisi biofisik lahan yang didominasi oleh tanah marginal bersolum tipis, tanah berbatu, iklim kering yang panjang, curah hujan rendah menyebabkan lahan rentan terhadap degradasi dan mempunyai daya pulih alami rendah. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dilakukan rehabilitasi lahan kritis, salah satunya dengan cara revegetasi (penghijauan dan reboisasi). Berdasarkan kondisi spesifik wilayah di NTT ada dua pilar utama yang perlu dijadikan acuan dalam meningatkan keberhasilan lahan kritis secara revegetasi yaitu: aspek teknik peningkatan keberhasilan tanaman atau produktifitasnya dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Secara teknis keberhasilan tanaman dalam bentuk penghijauan atau reboisasi dapat ditingkatkan yaitu dengan pemilihan jenis dan pengelolaan jenis tanaman yang sesuai dengan daerah setempat. Penanaman dilakukan secara intensif melalui pemupukan, penggunaan mikoriza, bahan penyerap air dan pola tanam yang tepat. Kegiatan ini perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipatif. Kata kunci : Lahan kritis, revegetasi, teknologi tepat guna, produktivitas
I.
PENDAHULUAN
Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan wilayah kepulauan dengan jumlah pulau seluruhnya adalah 566 pulau. Dari jumlah tersebut hanya 42 pulau saja yang ditempati manusia, sedangkan sisanya sebanyak 524 pulau hanya merupakan tempat persinggahan para nelayan. Pulau Flores, Sumba, Timor , Alor, Pantar, Lomblen, Solor, Adonara, Rote dan Sabu adalah pulau-pulau utama, dimana sebagian besar
1 2
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 24
penduduknya bermukim (Balai Penelitian Kehutanan Kupang,1993). Wilayah NTT memiliki lahan kritis yang cukup luas dan dari tahun ke tahun terus bertambah. Hal ini karena karakteristik alami biofisik wilayahnya yang kurang menguntungkan dan tekanan penduduk terhadap lahan cukup tinggi. Wilayah ini secara periodik mengalami iklim kering, solum tanah tipis dan berbatu, curah hujan rendah dan topografinya sebagian besar curam sampai dengan sangat curam. Iklimnya dipengaruhi oleh iklim monsoon, sebagai akibat pemanasan di Asia dan Australia. Hutannya sendiri disebut dengan hutan monsoon (Monk et al., 1997). Dengan demikian wilayah ini sangat rentan terhadap kerusakan lingkungan dan mempunyai daya pulih yang rendah. Disamping itu dengan bertambahnya jumlah dan aktifitas penduduk terhadap lahan yang sebagian besar mempunyai mata pencaharian pokok beternak dengan pola penggembalaan liar dan bertani secara tradisional dengan pola perladangan berpindah dan sistim tebas bakar merupakan gangguan utama yang mempercepat penurunan produktivitas dan kualitas sumber daya lahan sehingga muncul lahan-lahan kritis. Disamping itu dengan semakin meningkatnya perambahan hutan untuk keperluan lahan pertanian, peternakan, pengambilan kayu pertukangan dan kayu bakar akan mempercepat degradasi hutan. Untuk mengatasi atau mengurangi kerusakan lahan, maka perlu dicari upaya perbaikan yaitu melalui kegiatan rehabilitasi lahan, salah satunya dengan revegetasi (penghijauan /reboisasi). Tujuannya tidak saja memperbaiki hutan-hutan yang rusak dan tidak produktif akan tetapi dapat mengurangi erosi permukaan dan mempertahankan kesuburan tanah. Dalam jangka panjang diharapkan dapat memperbaiki iklim mikro, memulihkan biodiversitas, dan meningkatkan kondisi lahan ke arah yang lebih produktif. Dalam kenyataannya untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dengan revegetasi di daerah semi arid menghadapi permasalahan terutama rendahnya tingkat keberhasilan tumbuh tanaman. Hal ini disebabkan oleh pemilihan dan pengelolaan jenis yang kurang sesuai dengan teknik silvikultur akibat kondisi biofisik lahan yang kurang menguntungkan. Oleh karena itu untuk merehabilitasi lahan kritis maka perlu melakukan penelitian uji jenis yaitu menentukan jenis pohon yang paling sesuai dan menguntungkan dengan teknik silvikultur jenis tersebut di lokasi penanaman. Mengkaji berbagai pengalaman kegiatan rehabilitasi lahan melalui penghijauan dan reboisasi, keberhasilan pelaksanaannya selain dipengaruhi aspek teknis juga dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat. Berbagai kegiatan menunjukkan hasil yang 25
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
kurang memuaskan karena minimnya upaya pemberdayaan masyarakat. Hal ini berakibat munculnya permasalahan sosial ekonomi yang dapat berakibat pada kegagalan pelaksanaan kegiatan reboisasi dan penghijauan . Oleh sebab itu dalam kegiatan ini perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipasi masyarakat. Dalam makalah ini diuraikan tentang lahan kritis di NTT, penyebab dan teknik penanganannya melalui kegiatan revegetasi/pembuatan hutan tanaman dengan pemilihan dan pengelolaan jenis yang sesuai serta kegiatannya melalui pendekatan sosial masyarakat.
II.
KONDISI BIOFISIK WILAYAH NTT
A.
Letak, Luas dan Topografi 0
0
0
Secara geografis NTT terletak di antara 8 - 12 LS dan 118 125 Bujur Timur. Luas daratan dan lautan masing-masing sekitar 2 2 47.349,9 Km dan 200.000 Km . Wilayah NTT memiliki topografi yang didominasi oleh kelas kelerengan datar sampai dengan curam (Tabel 1), dimana kelas kelerengan sangat curam seluas 1.409.765 (>40%) umumnya terdapat di pegunungan. 0
Tabel 1. Luas masing-masing kelerengan pada beberapa pulau besar di NTT Luas Setiap Kelerengan ( Ha)
No
1
2
3
4
Curam (2540%)
Sanga t curam (>40% )
Datar (0-8%)
Landai (8-15%)
Agak Curam (15-25%)
475.902
588.313
520.209
49.723
5.935
28.922
20.810
78.627
133.18 0
24.921
426.809
341.225
537.779
319.59 5
81.722
P. Sumba
324.563
223.988
273.150
Jumlah
1.256.1 97
1.174.3 36
1.409.765
Letak/ lahan P. Timor dan sekitarnya P. Alor dan Pantar P.Flores dan sekitarnya
263.70 0 766.19 8
19.899 132.47 7
Sumber : Dinas Kehutanan NTT (1987)
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 26
B.
Geologi dan Jenis Tanah
Secara geologis, pulau-pulau di NTT terbentuk secara vulkanis dengan tanah yang relatif subur (Pulau Komodo, Flores, Adonara, Solor, Lembata, Pantar dan Alor). Sedangkan yang lainnya terbentuk karena terangkatnya dasar laut dan tanahnya berbatu karang (Pulau Sumba, Sawu, Rote, Semau dan Timor) (Maryono, 1996). Berdasarkan klasifikasi tanah Pusat Penelitian Tanah (1989) jenis tanah di tiga pulau besar yang terdapat di NTT dapat dikemukakan sebagai berikut : 1. Pulau Sumba didominasi oleh Mediteran dengan bentuk wilayah merupakan pegunungan lipatan dan dataran serta volkan, menyebar di bagian tengah dan memanjang dari Barat sampai ke Timur; sebagian Litosol dengan bentuk wilayah dataran volkan, serta sebagian Grumusol dengan bentuk wilayah lembah. 2. Pulau Timor memiliki tanah kompleks dengan bentuk wilayah merupakan pegunungan lipatan serta sebagian kecil bentuk wilayah dataran volkan. 3. Pulau Flores, didominasi oleh Mediteran dengan bentuk wilayah merupakan dataran volkan, sebagian tanah kompleks dengan bentuk wilayah pegunungan serta sebagian kecil Latosol, Regosol, Andosol, dan Alluvial dengan bentuk wilayah berupa dataran. Secara keseluruhan luasan jenis tanah yang terdapat di daratan NTT (Dinas Kehutanan Propinsi NTT, 1992) sebagai berikut: 1. Aluvial terdapat di P. Timor dan Flores mencakup 2,5% daratan NTT 2. Regosol : Luas 2,38% daratan NTT terdapat di Flores 3. Grumusol : Luas 3,25% daratan NTT terdapat di P. Timor dan Sumba 4. Andosol: 0,66% dari luas daratan NTT terdapat di P. Flores 5. Latosol : 8,07 % dari luas daratan NTT terdapat di P. Rote, Timor, dan Flores 6. Tanah kompleks : 31,37% dari luas daratan NTT terdapat di P. Rote, Timor, Flores dan Komodo. 7. Mediteran : 52,23% dari daratan NTT terdapat hampir di seluruh pulau kecuali P. Rote dan Komodo.
27
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
C.
Iklim
Nusa Tenggara Timur memiliki tipe ikilm B-F menurut klasifikasi iklim Schmidt and Ferguson (1951), dimana lebih dari 90 % wilayahnya beriklim D-F. Curah hujan bekisar antara 5003000 mm/tahun dengan jumlah hari hujan 30-130 hari/tahun dan 0 suhu maksimum rata-rata tahunan 31,6 C dan suhu minimum 0 21,5 C. Kelembaban terendah terjadi pada musim Timur yaitu pada bulan Mei - Oktober dengan kecepatan angin rata-rata 30 km/jam. Sedangkan kelembaban maksimum terjadi pada musim Barat pada bulan November - Maret dengan kecepatan angin 11-19 km/jam (Dinas Kehutanan NTT, 1988). Bila mengacu kepada klasisifikasi iklim Thornwaite berdasarkan indikator vegetasi yang ada, tampaknya wilayah NTT ini termasuk tipe iklim sub humid (bukan semi arid) karena secara periodik mengalami iklim savana kering (mixed savana dan grassland) (Monk et al., 1997). D.
Kawasan Hutan
Berdasarkan Tata Guna Hutan Kesepakatan (Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 89/KPTS-II/83) luas kawasan hutan di Propinsi NTT adalah 1.667.962 Ha atau 35% dari luas daratan wilayah NTT. Dari luasan tersebut, 677.601 Ha diantaranya berfungsi sebagai Hutan Lindung, 116.511 Ha Hutan Suaka alam, 15.378 Ha Hutan Wisata dan 358.402 Ha Hutan Produksi (Dinas Kehutanan NTT, 1988). Jika dipresentasikan menurut kerapatan tegakan, maka dari luasan di atas + 14,65% berhutan lebat, + 66,46% merupakan hutan jarang/rawang dan selebihnya + 18,89% adalah lahan kritis. Tipe hutan di propinsi NTT umumnya merupakan hutan musim (monsoon forest) yaitu seluas 1.538.645 Ha ( 92%) dan hutan hujan tropika seluas 129.317 Ha (8%) (Balai Penelitian Kehutanan Kupang, 2000). Hutan hujan umumnya tersebar di Wanggameti (P. Sumba), Gunung Mutis dan Gunung Timor (P. Timor) dan Pegunungan Ranaka di Pulau Flores. Kawasan hutannya sebagian besar terdiri dari hutan savanna dengan vegetasi padang rumput dan secara sporadis di lembahlembah dan di pegunungan yang agak tinggi ditumbuhi vegetasi yang agak subur. Jenis flora setempat yang penting yang bernilai ekonomi tinggi seperti jenis cendana (Santalum album), kayu merah (Pterocarpus indicus), ampupu (Eucalyptus urophylla), kesambi (Schleicera oleosa), asam (Tamarindus indicus) serta Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 28
secara alami banyak ditumbuhi pohon savana seperti kasuarina (Casuarina junghunniana), dan hue (Eucalyptus alba).
III. LAHAN KRITIS DI NTT A.
Luas Lahan Kritis di NTT
Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan di Propinsi NTT pada tahun 1999 dan 2004 disajikan pada Tabel 2. Menurut Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina (2004) diketahui bahwa lahan kritis di NTT yang berada di dalam dan di luar kawasan hutan tahun 2004 cukup luas yaitu 2.864.653 ha (60,05 %) menyebar di 12 kabupaten. Apabila dibadingkan dengan data tahun 1999 maka luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan sebesar 1.424.399 ha (30,08 %) (Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Benain Noelmina,1999). Jadi selama lima tahun terakhir telah terjadi peningkatan lahan kritis yang cukup luas yaitu sebesar 1.440.254 ha (30,42 %) atau kecepatannya 6,08 % per tahun. Hal ini berarti telah terjadi degaradasi lahan yang cukup luas dan kegiatan reboisasi dan penghijauan belum mampu menurunkan jumlah lahan kritis di NTT. Tabel 2. Luas lahan kritis di dalam dan di luar kawasan hutan pada tahun 1999 dan 2004 di Provinsi NTT NO
Kabupaten
1 Kupang Timor Tengah 2 Selatan 3 Timor Tengah Utara
733.860
Luas lahan kritis 1999* (Ha) 191.243
Luas lahan kritis 2004** (Ha) 422.524
394.700
161.271
272.908
266.970
107.845
156.105
Luas wilayah (Ha)
4 Belu
244.560
32.275
206.706
5 Alor
286.470
106.912
128.850
6 Flores Timur
307.920
105.038
175.891
7 Sikka
173.190
115.742
141.671
8 Ende
204.660
60.775
120.115
9 Ngada
303.790
90.936
219.988
10 Manggarai
713.640
80.879
308.444
11 Sumba Barat
405.190
116.150
389.117
12 Sumba Timur Jumlah
700.050
255.342
322.333
4.735.000 1.424.399 2.864.653 Sumber : * Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tunas Benain Noelmina (1999) ** Balai Penelitian Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina (2004)
29
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Spesifikasi penilaian lahan kritis dapat dilihat dari penurunan/kerusakan fisik dan kimiawi suatu lahan. Pada dasarnya akan lebih cepat dan mudah dilakukan melalui pengamatan terhadap jenis dan pertumbuhan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Hasil dari kesuburan fisik dan kimia tanah menentukan jenis-jenis vegetasi yang tumbuh pada tanah bersangkutan. Sebagai gambaran, penyebaran vegetasi savana campuran dan padang rumput di NTT dapat dilihat pada Tabel 3. Spesifikasi kerusakan lahan yang terdegradasi dapat dinilai dari indikator vegetasinya yang berbentuk savana campuran dan padang rumput di atasnya. Bila ditelusuri lebih lanjut ternyata tanah tersebut memiliki solum tipis, berada di atas batuan padas dimana batuan ini seringkali muncul di permukaan tanah. Vegetasi yang mendominasi lahan-lahan yang terdegradasi di wilayah NTT menurut kriteria ini berjumlah 70,42 % yang terdiri dari savana campuran 29,04 % dan padang rumput 41,38 %. Tabel 3. Sebaran savana dan padang rumput di wilayah NTT Savana No
Komodo, Flores, dan Lomblen 2 Sumba Timor, Alor, Semau 3 dan Rote Jumlah Sumber : Monk et al.,1997 1
B.
Padang rumput
Luas (Km2)
% Terhadap luas daratan
Luas (Km2)
% Terhadap luas daratan
2.948
12,85
989
4,99
Daratan (Pulau)
521
4,81
2.466
22,77
1.786
11,38
2.140
13,63
5.255
29,04
5.595
41,38
Penyebab Perluasan Lahan Kritis
Lahan kritis adalah lahan yang telah mengalami kerusakan (degradasi) secara berulang sehingga kemampuannya menurun sampai tingkat marginal. Proses ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling mempengaruhi secara bersamaan. Faktor-faktor tersebut antara lain aktivitas manusia, biofisik wilayah (topografi, vegetasi, iklim, waktu, dan keadaan tanahnya sendiri). Aktifitas manusia yang terjadi seperti penggembalaan ternak secara berlebih mengakibatkan penurunan populasi vegetasi secara drastis. Ternak banyak memakan permudaan alam ataupun hutan tanaman sehingga merusak vegetasi. Di sisi lain injakan kaki Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 30
ternak menghasilkan ground pressure yang memadatkan tanah (soil compaction) yang menghambat pertumbuhan tanaman. Akibatnya lahan menjadi lebih terbuka dan proses pemiskinan hara berlangsung kemudian dipercepat oleh: erosi hujan maupun kikisan angin. Disamping itu kegiatan pembakaran padang rumput untuk mendapatkan rumput muda menurunkan kesuburan tanah dan menyebabkan kebakaran hutan. Kegiatan usaha tani tanpa mengindahkan faktor-faktor kelestarian lingkungan seperti pada tanah berbatu, lereng curam dan jenis tanah yang peka erosi dan longsor akan mempercepat terjadinya degradasi lahan. Sementara itu pada lahan-lahan yang kemiringannya tinggi (curam) penduduk bercocok tanam dengan cara membuka lahan secara tebas bakar tanpa melakukan upayaupaya untuk menghindari erosi. Tanpa disadari oleh penduduk, pola penggembalaan dan bertani seperti itu memiskinkan hara tanah sehingga produktivitas (hasil) terus berkurang. Akibat lanjut dari penurunan produktivitas lahan ini adalah pendapatan petani berkurang. Dampak akhirnya adalah input hara untuk menjaga kesuburan tanah sangat minimal. Usaha tani dengan sistim tebas bakar akan mempercepat degradasi lahan. Cara berladang ini banyak diterapkan petani tradisionil pada sistim Amarasi. Perladangan ini salah satu cara sederhana dan murah yang sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan sebahagian besar masyarakat petani di NTT. Iklim yang kering dan kondisi tanah marginal telah mengantarkan masyarakat pada suatu kondisi sistem bertani subsisten (usahausaha pertanian yang hasilnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan sendiri atau hanya untuk konsumsi keluarga seharihari). Penggunaan input teknologi tinggi yang dapat digunakan sebagai langkah peningkatan produtivitas lahan, sekaligus sebagai upaya mengurangi lahan kritis masih merupakan cara yang mahal untuk diterapkan oleh masyarakat, walaupun masyarakat umumnya maklum bahwa api dapat menjadi faktor malapetaka bagi lingkungan hidupnya. Perambahan hutan yang terjadi akibat illegal logging dan perluasan lahan untuk kegiatan perladangan mempercepat degradasi hutan. Seperti diketahui bahwa daerah kering savana mempunyai daya pulih yang rendah setelah mengalami gangguan dari konversi hutan. Hal ini disebabkan kondisi tanah yang kurang subur/tanah berbatu dan iklim kering, sehingga hutan akan membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang besar untuk pulih kembali.
31
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
C.
Kendala Penanggulangan Lahan Kritis
Rehabilitasi lahan kritis untuk perbaikan mutu lingkungan hidup dan produktivitas lahan merupakan kebutuhan dasar bagi wilayah NTT guna meningkatkan fungsi produksi dan fungsi konservasi tanah dan air pada sebahagian besar wilayahnya. Upaya-upaya yang dilakukan adalah revegetasi antara lain reboisasi dan penghijauan melalui program pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKM), hutan rakyat, dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Upaya–upaya ini belum memberikan hasil yang sesuai dengan harapan karena berbagai hambatan. Hambatan ini dapat bersifat alamiah maupun teknis yang dapat dikelompokkan dalam 3 kategori yaitu : kendala biofisik, kendala sosial budaya dan kendala teknis. 1. Kendala biofisik: a. Variasi, fluktuasi tipe iklim, hampir lebih dari 90 % bertipe iklim D-F b. Jenis tanah, tingkat kesuburan yang rendah yang bervariasi tiap daerah 2. Kendala sosial budaya: a. Usaha peternakan yang dilaksanakan masyarakat petani di pedesaan masih dilakukan secara tradisional dengan sistim pengembalaan lepas b. Teknik pengerjaan lahan pertanian oleh petani dengan pola tebas bakar seringkali menimbulkan kebakaran pada kawasan hutan yang telah direboisasi dan mempercepat penurunan kesuburan tanah c. Pola pertanian yang diterapkan oleh petani masih bersifat tradisional, yaitu dengan berladang berpindah sehingga seringkali mendesak petani untuk membuka lahan pertanian baru dalam kawasan hutan secara illegal d. Masih rendahnya tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan revegetasi dan kelestarian hutan 3. Kendala teknis: a. Perencanaan belum berdasarkan pada fakta dan data yang kongkrit mengenai situasi, kondisi, lapangan, disamping minimnya kualitas sumberdaya manusia perencana di tiap daerah TK II b. Prestasi kerja aparat Dinas Kehutanan maupun tenaga kerja harian di lapangan belum maksimal sehinggga output yang dihasilkan belum maksimal c. Teknik silvikultur yang diterapkan belum memadai, seperti mutu benih yang digunakan seringkali tidak memenuhi standar benih berkualitas. Kualitas/kuantitas semai dan tanaman yang dihasilkan sangat rendah sehingga Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 32
mempengaruhi tingkat keberhasilan tanaman di lapangan. Teknik penanaman tanaman yang sering digunakan di lapangan masih sangat sederhana sehingga tingkat keberhasilannya rendah d. Belum tersedianya pola rehabilitasi daerah kritis yang menyeluruh dan terpadu yang mencakup seluruh komponen ekosistem daerah aliran sungai e. Berbagai peraturan perundang-undangan yang ada belum ditindak lanjuti dengan instruksi-instruksi untuk merealisasikan berbagai petunjuk teknis yang diberikan.
IV. SOLUSI PENANGANAN LAHAN KRITIS Rehabilitasi lahan merupakan perbaikan mutu lingkungan hidup melalui revegetasi (penghijauan dan reboisasi) yang merupakan kebutuhan dasar bagi wilayah NTT untuk meningkatkan fungsi produksi dan fungsi konservasi tanah dan air pada sebagian besar wilayahnya. Berdasarkan kondisi spesifik wilayah kering di NTT, ada dua pilar utama yang dijadikan acuan penanganan lahan kritis yaitu aspek teknik peningkatan keberhasilan tanaman/produktifitas, dan aspek sosial ekonomi budaya masyarakat. Keberhasilan menemu-kenali kedua pilar utama ini akan merupakan langkah awal dalam penentuan strategi penanggulangan degradasi lahan sesuai dengan kondisi spesifik wilayah dan kemampuan masyarakat yang ada di dalamnya. A.
Aspek Teknis
Wilayah savana di NTT memiliki tingkat kesulitan tinggi dan memerlukan waktu yang lama untuk diupayakan menjadi wilayah produksi berbasis komoditi hasil hutan tanaman yang bernilai ekonomi tinggi. Hal ini disebabkan oleh akumulasi berbagai aspek antara lain, keragaman sistem lahan yang tinggi, iklim yang kering, dan tanah berbatu dan bersolum tipis. Hasil analisis aspek fisik wilayah NTT dan Maluku oleh Departemen Transmigrasi (1989) menemukan 145 sistem lahan yang memiliki luasan kecil dan bersifat lokal. Dari jumlah sistem lahan yang ada, 63 % dijumpai di wilayah Nusa Tenggara dan Maluku Tenggara, dan 68 % dari daratan NTT merupakan sistem lahan yang peka erosi. Pada kondisi sistem lahan yang kurang menguntungkan ini, hanya 31 % wilayah NTT yang layak menjadi lahan usaha pertanian (termasuk perkebunan). Oleh sebab itu, penentuan program rehabilitasi lahan di NTT bersifat lokal spesifik yang memerlukan penanganan khusus, waktu yang relatif panjang dan biaya yang besar. 33
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Peluang peningkatan keberhasilan rehabilitasi lahan dan peningkatan produktifitas lahan di wilayah NTT mungkin masih terbuka lebar, karena histori wilayah savana di NTT terbentuk dari akumulasi tingkat gangguan manusia dalam kurun waktu yang panjang akibat dari pertanian/perladangan tebas bakar dan penggembalaan liar. Monk et al.,1997 berpendapat bahwa tingkat kesulitan dalam mensiasati savana menjadi lahan yang berproduktifitas tinggi sangat tergantung pada sejarah terbentuknya savana. Kesulitan rehabilitasi akan sangat tinggi jika savana yang ada merupakan vegetasi klimaks awal dari suatu wilayah. Namun, harapan peningkatan produktifitas savana masih terbuka apabila savana tersebut terbentuk akibat aktifitas manusia, dan sepanjang tanah yang ada belum mengalami kerusakan yang parah. Berbagai hasil penelitian upaya peningkatan keberhasilan penanaman dan peningkatan produktifitas lahan dalam upaya rehabilitasi lahan yang telah dilakukan meliputi pemilihan jenis tanaman, pengelolaan jenis tanaman dan aspek sosial budaya. 1.
Pemilihan Jenis Tanaman
Serangkaian penelitian uji jenis telah dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Kupang untuk mendapatkan jenis-jenis tanaman yang sesuai untuk rehabilitasi lahan kritis/degradasi. Dengan berbagai keterbatasan yang ada, program penelitian hanya dilakukan di Pulau Timor dan Sumba. Hasil penelitian kesesuaian jenis pada berbagai kondisi tempat tumbuh di pulau Timor (Kabupaten Kupang) yaitu di daerah Sono (Grumusol), Nautaus (Mediteran), dan Tanini (Litosol) yang mempunyai bahan induk tanah kapur dan vulkan, curah hujan 1423 mm/th, mempunyai 4 bulan basah dan 8 bulan kering yang disajikan pada Tabel 4, dan di Kabupaten TTU dengan jenis tanah mediteran disajikan pada Tabel 5.
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 34
Tabel 4. Rata-rata tinggi, diameter dan persen tumbuh pohon pada uji jenis umur 1,5 tahun setelah tanam di Sono, Nautaus dan Tanini Kabupaten Kupang No A 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 B 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 C 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Jenis pohon (Jenis tanah) Sono (Grumusol) Eucalyptus urophylla Acacia mangium Acacia auriculiformis Tectona grandis Santalum album Sweitenia macrophylla Dalbergia latllifolia Gmelina arborea Enterolobium cyclocarpum Pericopsis moniana Cassia siamea Sterculia foetida Pterocarpus indicus Ochroma bicolor Acacia holocericia Nautaus (Mediteran) Eucalyptus urophylla Acacia mangium Acacia auriculiformis Tectona grandis Santalum album Sweitenia macrophylla Dalbergia latifolia Gmelina arborea Enterolobium cyclocarpum Pericopsis moniana Cassia siamea Sterculia foetida Pterocarpus indicus Ochroma bicolor Acacia holocericia Tanini (Litosol) Eucalyptus urophylla Acacia mangium Acacia auriculiformis Tectona grandis Santalum album Sweitenia macrophylla Dalbergia latifolia Gmelina arborea Enterolobium cyclocarpum
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Hidup (%)
Ranking
83,67 130,02 269,77 203,44 82,87
1,18 1,17 1,83 1,25 1,19
43,67 58,00 91,33 80,67 27,40
10 12 2 5 13
135,07
0,84
33,67
14
143,66 256,12
1,54 3,59
96,50 90,33
3 1
196,18
1,77
73,67
4
44,13 137,94 81,58 157,47 180,98 188,07
1,06 1,48 1,57 1,17 1,19 1,14
44,67 58,67 95,00 85,05 63,33 85,67
15 11 8 7 9 6
117,95 150,77 187,78 128,90 38,58
1,33 1,23 1,36 1,48 0,95
29,50 64,29 76,72 41,66 31,01
12 11 5 9 15
84,80
1,15
42,00
13
186,58 156,61
1,60 2,24
80,95 93,64
3 2
145,63
1,70
84,33
4
44,86 77,58 58,03 66,03 138,75 309,49
0,46 0,76 0,65 1,17 1,79 1,93
66,27 84,67 81,33 85,50 32,85 83,65
11 7 8 6 10 1
316,49 241,38 315,88 99,18 55,71
1,41 1,96 2,05 1,64 1,18
16,66 40,00 79,33 40,50 23,00
8 7 2 12 14
162,05
1,43
43,78
11
187,92 274,83
1,50 2,61
91,00 91,67
6 1
305,80
2,63
91,00
3
35
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
No
Jenis pohon (Jenis tanah)
10 Pericopsis moniana 11 Cassia siamea 12 Sterculia foetida 13 Pterocarpus indicus 14 Ochroma bicolor 15 Acacia holocericia Sumber : Surata (2006)
Tinggi (m)
Diameter (cm)
Hidup (%)
Ranking
56,71 45,77 34,34 81,49 153,39 315,68
0,67 2,57 2,34 1,04 1,23 1,76
32,87 39,67 95,00 76,66 73,67 66,00
15 10 13 5 9 4
Tabel 5. Rata-rata tinggi, diameter, persen hidup uji jenis pohon reboisasi umur 2,5 tahun di Banamblaat Kab. TTU No
Jenis tanaman
1 Santalum album 2 Sesbania grandiflora 3 Sterculia foetida 4 Pterocarpus indicus 5 Gliricidia maculate 6 Cassia siamea 7 Acacia oraria 8 Leucaena leucocephala 9 Tamarindus indica 10 Acacia auriculiformis 11 Anacardium occidentale 12 Eucalyptus urophylla Sumber : Surata (1998)
Tinggi (Cm)
Diameter (Cm)
Hidup (%)
Ranking
228,33 461,81 145,12 40,77 175,41 136.37 90,20 134,00 17,38 256,78 35,75 30,00
1,68 4,31 1,62 0,63 1.74 1.48 1,30 0,78 0,51 1,81 0,77 0,95
24 64 64 74 80 76 20 86 32 66 64 4
7 1 6 8 2 4 10 5 11 3 9 12
Jenis pohon yang mempunyai kesesuaian tumbuh baik pada tiga jenis tanah Grumusol, Mediteran, dan Litosol di pulau Timor adalah: gemelina (Gmelina arborea), Acacia auriculiformis, sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), Acacia holocericea, kayu merah (Pterocarpus indicus), nitas (Sterculia foetida), johar (Cassia siamea), turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia maculata), Lamtoro (Leucaena leucocephala) dan jambu mente (Anacardium ocidentale). Sedangkan jati (Tectona grandis) hanya dijumpai pada jenis tanah Grumusol. Berdasarkan penggolongan tingkat pertumbuhan tinggi dan diameter maka delapan jenis pohon tersebut di atas jenis yang cepat tumbuh yaitu : gemelina (Gmelina arborea), sengon buto (Enterolobium Prosiding Kupang, 12 November 2007 | 36
cyclocarpum), turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia maculata) dan lamtoro (Leucaena leucocephala), sedangkan jenis dengan tingkat pertumbuhan sedang antara lain jati (Tectona grandis), Acacia holocericea, Acacia auriculiformis, dan jambu mente (Anacardium ocidentale) dan jenis yang tingkat pertumbuhannya lambat (jenis lambat tumbuh) antara lain kayu merah (Pterorocarpus indicus), nitas (Sterculia foetida) dan sono keling (Dalbergia latifolia). Hasil penelitian uji jenis di lokasi Hambala di Kabupaten Sumba Timur, pulau Sumba yang mempunyai jenis tanah Litosol, bahan induk batu kapur, curah hujan 768 mm/th , yang mempunyai tiga bulan basah dan sembilan bulan kering disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata tinggi, diameter dan persen tumbuh pohon uji jenis pada umur 10 tahun No 1 2 3 4 5
Jenis pohon
Acacia oraria Sesbania grandiflora Cassuarina junghunniana Albizia procera Albizia lebbeck Enterolobium 6 cyclocarpum 7 Albizia falcataria 8 Melia azedarach 9 Caliandra calotyrsus 10 Albizia saponaria 11 Albizia sinensis 12 Albizia lebbekioides 13 Dalbergia latifolia 14 Gmelina arborea 15 Acacia auriculiformis 16 Adenantera paponia 17 Intsia bijuga 18 Cassia siamea Sumber : Surata (2002)
Tinggi (m) 3,410 4,392 8,717 1,727 2,911
Diameter (cm) 4,4 7,6 6,8 3,3 3,7
Hidup (%) 51,14 5,08 57,69 2,91 0,12
6,281
6,1
0,24
5
2,283 1,909 3,821 1,461 2,985 1,506 1,417 4,807 4,832 3,003 2,889 2,621
3,7 3,4 4,2 3,0 4,3 3,2 2,9 6,2 6,1 4,3 5,1 4,8
0,28 0,03 0,01 0,03 0,07 0,15 56,31 52,12 56,32 0,02 0,03 0,19
13 16 8 17 11 18 14 3 2 10 7 9
Ranking 6 4 1 15 12
37
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Jenis pohon yang mempunyai kesesuaian tumbuh baik pada tiga jenis tanah Litosol di Pulau Sumba adalah: gmelina (Gmelina arborea), Acacia auriculiformis, Acacia oraria, kasuarina (Cassuarina junghunniana), dan sonokeling (Dalbergia latifolia). Pengujian kesesuaian jenis tanaman eksotik di Pulau Sumba dan Timor untuk tujuan penghasil kayu bakar menunjukkan bahwa beberapa jenis eksotik asal Australia Utara yang memiliki kondisi iklim hampir sama dengan NTT yaitu Acacia ampliceps, Acacia trachycarpa, Acacia colei, Eucalyptus camaldulensis, Eucalyptus teriticornis, dan jenis lokal lamtoro (Leucaena leucocephala) tumbuh baik di Hambala Sumba Timur ( Harisetijono et al., 1998). Secara umum pengembangan jenis lokal lebih menguntungkan ditinjau dari aspek kesesuaian jenis, aspek ekologi, dan integritas pembinaan keragaman hayati, akan tetapi memiliki kendala masih sedikitnya informasi tentang perbenihan (asal-usul sumber benih, waktu pengambilan benih, dan mutu benih, dan belum adanya sumber benih di wilayah NTT, serta teknis silvikultur belum dikuasai). Di samping itu, beberapa jenis tanaman eksotik jaminan keamanan ekologisnya masih rendah, sehingga rentan terhadap serangan hama (terutama pada kondisi musim hujan dan pemeliharaan tanaman yang kurang memadai). Serangan hama semacam kumbang telah terjadi pada jenis-jenis Acacia holosericea dan Sesbania formosa (Harisetijono et al., 1998). Untuk itu, sesuai dengan fungsi dan tujuannya, pemilihan jenis merupakan aspek yang perlu dipertimbangkan dengan seksama dalam reboisasi. Pada tahap awal perlu diketahui jenis-jenis yang sesuai untuk rehabilitasi lahan kritis. Penanaman diarahkan pada penggunaan jenis lokal dan beberapa jenis eksotik dengan menggunakan jenis penambat nitrogen, jenis yang memiliki adaptabilitas tinggi terhadap iklim kering, gangguan kebakaran dan ternak. Pada tahap selanjutnya, diharapkan dapat digali teknik penanaman yang tepat. 2.
Pengelolaan Jenis Tanaman
Pengelolaan jenis tanaman yang perlu dilakukan meliputi: teknik persemaian, penanaman, pemeliharaan dan pola tanam yang merupakan masalah utama yang perlu diperhatikan dalam menunjang keberhasilan rehabilitasi lahan kritis di NTT. Upaya perbaikan mutu pembibitan dilakukan dengan cara menerapkan berbagai perlakuan pada bibit mulai menggunakan benih unggul, di persemaian menggunakan pupuk TSP dan kompos masing-masing dua gram/kantong dan 10 % volume per Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 38
kantong dan mikoriza (Harisetijono et al., 1998). Penggunaan teknik ini menghasilkan perbaikan dalam persen tumbuh bibit. Persen tumbuh bibit berkisar antara 94,44 - 97,66 % kecuali untuk jenis cendana yang sampai saat ini masih berkisar 60 % (Surata dan Idris , 2001). Hasil pengujian jenis pohon reboisasi dan penghijauan di Pulau Timor menunjukkan bahwa umur bibit di persemaian yang siap tanam berkisar antara 6-8 bulan. Upaya peningkatan pertumbuhan tanaman di dalam teknik penanaman adalah penciptaan pra-kondisi yang memadai untuk tanaman muda; keberhasilan pertumbuhan tanaman melalui penggunaan pupuk, bahan penyerap air, multimikroba dan sistem penanaman. Secara umum peningkatan keberhasilan tanaman di daerah semiarid masih merupakan kendala. Hal ini disebabkan oleh tanah marginal dan iklim kering yang masih banyak dijumpainya sehingga tanaman muda banyak mati dan tumbuhnya tidak normal. Ketahanan tanaman baru dengan lingkungan yang kritis dan tanaman pengganggu (gulma) akan mengurangi daya survival tanaman. Hasil penelitian pemupukan kompos dan ukuran lubang tanam mampu meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman jenis kayu merah dan johar pada solum tanah tipis dan berbatu. Ukuran lubang tanam yang baik pada kondisi lahan berbatu karang adalah 30x30x30 cm dengan volume pemberian top soil kompos 5:1 a (Surata, 2007 ). Dalam penelitian yang sama yang dilakukan di formasi tanah batu karang dengan curah hujan di bawah 750 mm/thn di Sumba Timur dengan pemberian pupuk NPK mampu meningkatkan keberhasilan tumbuh dan pertumbuhan tanaman. Kebutuhan pupuk NPK berbeda-beda untuk setiap jenis tanaman. Pemberian pupuk NPK terbaik untuk jenis Acacia oraria sebesar 120 gram/pohon, untuk jenis Sterculia foetida dan Pterocarpus indicus sebesar 90 gram/pohon, dan jenis Casuarina junghuhniana memerlukan dosis 60 gram/pohon (Harisetijono et al., 1998). Pada lokasi yang berbeda di formasi liat Bobonaro dengan curah hujan yang lebih besar (di atas 800 mm/thn) keberhasilan tumbuh dan pertumbuhan tanaman Pterocarpus indicus dan Swietenia macrophylla yang terbaik diperoleh dengan melakukan pemupukan NPK sebesar 60 gram/tanaman, atau penggunaan kompos sebesar 750 gram/tanaman pada jenis Pterocarpus indicus (Munda dan Tri Pamungkas, 2000). Multimikroba adalah pupuk hayati yang mengandung cendawan mikoriza arbuskular, bakteri pelarut pospat dan rhizobium penambat N yang diketahui berasosiasi dengan akar tanaman yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Perlakuan inokulasi multimikroba 4 tablet/pot sudah cukup baik b meningkatkan pertumbuhan bibit ampupu. (Surata, 2007 ). Pada tanaman cendana penggunaan mikoriza dari jenis Glomus sp. dan 39
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Azotobakter sp. meningkatkan pertumbuhan semai cendana dan menurunkan tingkat kematian bibit di lapangan (Kasim, 2004). Percobaan penggunaan bahan penyerap air terasorb dan alcosorb belum meningkatkan keberhasilan tumbuh tanaman di Sumba Timur. Rata-rata keberhasilan tumbuh tanaman masih di bawah 50%, walaupun penggunaan terasorb mampu meningkatkan pertumbuhan awal tanaman. Teknik penyiraman dalam bentuk irigasi tetes pada awal pertanaman di lapangan mampu meningkatkan pertumbuhan b cendana. Hasil penelitian Surata (2007 ) menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman cendana nyata lebih baik bilamana pada empat bulan pertama diairi. Pengairan meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup tanaman. Urutan rangking pertumbuhan dari yang terbaik sampai terendah berturut-turut pada perlakuan pengairan dengan menggunakan pot tanah, botol plastik, pot bambu, tanpa wadah dan terakhir kontrol (tanpa pengairan) dengan persen hidup tanaman masing-masing 89,4 %; 88,9 %; 73,9 %; 60,1 % dan 15,5 %. Upaya meningkatkan pertumbuhan tanaman dapat juga dilakukan pula dengan mengadakan perbaikan pola tanam dengan sistem penanaman tumpangsari. Pembuatan hutan tanaman cendana dengan sistem tumpang sari telah terbukti meningkatkan keberhasilan pertumbuhan tanaman pokok cendana. Menurut Surata et al.,1997 sistem tumpangsari cendana dengan campuran tanaman pangan kacang turis ,kacang tanah, dan kacang hijau pada umur satu tahun dapat meningkatkan persen hidup cendana masing masing: 69,33 %, 77,33 % dan 68,40 % dibandingkan dengan kontrol 23,00 %. Disamping itu juga sistem tumpang sari dapat mengakomodir kebutuhan sosial masyarakat terutama untuk kebutuhan pangan dalam bentuk memanfaatkan lahan dengan menanam tanaman pangan sebagai tanaman sela diantara baris tanaman pokok selama beberapa tahun. Keuntungannya dari tanaman tumpang sari ini adalah masyarakat ikut memelihara dan menjaga keamanan tanaman pokok sehingga pertumbuhannya akan lebih baik. Sistem tumpang sari ini hanya dapat dilaksanakan dalam luasan yang kecil dan sangat tergantung jumlah masyarakat yang terlibat. Berdasarkan pengamatan di lapangan kemampuan petani untuk mengelola tanaman tumpang sari 0,5 Ha/orang. Keberhasilan tanaman tumpang sari ini telah terbukti dengan baik dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman untuk pembuatan Hutan Tanaman Industri di Provinsi Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat dan Timor Timur (Perum Perhutani,1997). Secara umum terlihat bahwa perbaikan sistem penanaman dan pola Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 40
campuran dapat memberikan kontribusi yang positif terhadap peningkatan keberhasilan tumbuh dan pertumbuhan tanaman. Penggunaan jenis penambat nitrogen dalam tumpang sari mempunyai peran yang baik dalam menciptakan kondisi awal tanaman. Di samping itu, penggunaan tumpangsari memberikan berbagai keuntungan, antara lain tambahan pendapatan bagi masyarakat, intensifikasi pemeliharaan tanaman, dan perlindungan tanaman. Hasil penelitian juga memberikan indikasi adanya peluang diversifikasi tanaman dengan memanfaatkan jenis-jenis pohon serbaguna bernilai ekonomi tinggi pada wilayah tertentu (yang memiliki solum tanah lebih tebal dan curah hujan yang lebih baik, misalnya daratan Flores bagian Barat). Rehabilitasi lahan kritis dengan mengawali sistim (penanaman pemblukaran jenis pohon pionir cepat tumbuh) yaitu salah satu dengan jenis legum cepat tumbuh yang mampu memberikan prakondisi yang cukup baik dalam meningkatkan kesuburan tanah. Setelah tanaman pemblukaran berhasil dengan baik, selanjutnya ditanami dengan tanaman pokok jenis kayukayuan yang bernilai ekonomi tinggi. Teknik ini telah terbukti cukup baik dalam meningkatkan keberhasilan pembuatan kebun campuran pada sistem amarasi (Surata, 1993). 3.
Aspek Sosial Budaya
Kondisi sosial ekonomi dan budaya merupakan langkah penting dalam menentukan keberhasilan rehabilitasi lahan kritis. Mengkaji berbagai pengalaman pada kegiatan rehabilitasi lahan, penghijauan dan reboisasi sebelumnya maka keberhasilan kegiatan rehabilitasi lahan dipengaruhi oleh tingkat partisipasi aktif masyarakat. Berbagai kegiatan menunjukkan hasil yang kurang memuaskan karena minimnya upaya partisipasi masyarakat. Hal ini berakibat munculnya permasalahan sosial ekonomi yang dapat berakibat pada kegagalan pelaksanaan kegiatan reboisasi, penghijauan dan rehabilitasi lahan. Berkaitan dengan upaya pembuatan hutan tanaman dan rehabilitasi lahan Parera (1992) berpendapat bahwa penanganan kegiatan pembuatan hutan tanaman tidak harus dilakukan oleh perusahaan/pengusaha besar. Penggunaan petani dalam suatu kelompok usaha di bawah bimbingan instansi terkait akan lebih meningkatkan kepekaan terhadap hubungan antara masyarakat dan keseimbangan ekosistem. Dalam hal ini peningkatan produktifitas lahan dilakukan melalui pendekatan partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat mempunyai makna masyarakat selaku pihak yang memperoleh dampak positip dan atau negatif ikut mempengaruhi arah dalam pelaksanaan kegiatan dengan kata lain tidak hanya menerima hasilnya saja. Bentuk-bentuk partisipasi 41
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
masyarakat meliputi: (1) tahap pembuatan keputusan artinya sejak awal masyarakat sudah dilibatkan dalam proses perencanaan dan perancangan kegiatan serta pengambilan keputusan atas rencana yang akan dilaksanakan. (2) tahap implementasi, keterlibatan masyarakat diharapkan dapat mengontrol pelaksanaan kegiatan di lapangan. (3) tahap evaluasi/pemantauan dilakukan secara periodik sampai dengan akhir kegiatan. Disamping partisipasi masyarakat perlu memperhatian kondisi sosial mayarakat seperti tatanan adat yang sudah ada. Secara adat di NTT perlindungan sumber daya hutan (tanaman, tanah dan air) sudah banyak dikenal. Beberapa tatanan adat menunjukkan adanya interaksi yang positif terhadap upaya pelestarian hutan dan perlindungan tanah dan air, misalnya adanya sanksi adat terhadap penebang kayu liar, perlindungan adat pada mata air dan hutan, serta pencadangan areal untuk penggembalaan (Burke et al., 1995). Walaupun potensi aturan tradisional yang bernuansa konservasi dan bersifat lokal masih diakui keberadaannya oleh para tetua masyarakat, namun efektifitas dan ketaatan penggunaan tatanan adat sulit untuk dinilai karena di pihak lain telah terjadi perubahan pandangan yang besar terhadap tatanan adat oleh generasi muda. (Harisetijono dan Rachmawati, 2000). Oleh sebab itu, budaya bertani dengan sistem tebas bakar dan penggembalaan ternak terus berlangsung dengan segala akibat yang ditimbulkannya guna mempertahankan kehidupannya. Usaha tani sistem tebas bakar adalah merupakan salah satu cara yang sederhana, dan murah dan sesuai dengan tingkat pengetahuan dan kemampuan sebagian besar masyarakat petani di NTT. Iklim yang keras dan kondisi tanah marginal telah mengantarkan masyarakat pada suatu kondisi sistem bertani subsisten. Penggunaan input teknologi tinggi yang dapat digunakan sebagai langkah peningkatan produktifitas lahan, sekaligus sebagai upaya mengurangi tekanan lahan masih merupakan cara yang mahal untuk diterapkan oleh masyarakat, walaupun masyarakat umumnya maklum bahwa api dapat menjadi faktor malapetaka bagi lingkungan hidupnya.
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Rehabilitasi lahan kritis merupakan tumpuan harapan bagi pemulihan fungsi lahan dan hutan sehingga dapat menjadi lebih produktif. Kegiatan ini perlu ditingkatkan keberhasilannya secara terus-menerus agar jumlah luasan lahan kritis yang ada saat ini dapat terus diperkecil. Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 42
2. Dukungan teknologi adaptif dari hasil kegiatan litbang yang dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi biofisik, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat lokal serta asfek teknis perlu dilaksanakan untuk menangani lahan kritis. 3. Secara teknis revegetasi dalam bentuk penghijauan atau reboisasi (hutan kemasyarakatan dan hutan rakyat) perlu dilakukan pemilihan jenis dan pengelolaan tanaman yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh dan teknik silvikulturnya. 4. Jenis pohon yang mempunyai kesesuaian tumbuh yang baik pada tiga jenis tanah Grumusol, Mediteran, dan Litosol di pulau Timor adalah: gemelina (Gmelina arborea), Acacia ariculiformis, sengon buto (Enterolobium cyclocarpum), Acacia holocericea, kayu merah (Pterocarpus indicus), nitas (Sterculia foetida), johar (Cassia siamea), turi (Sesbania grandiflora), gamal (Gliricidia maculata), lamtoro (Leucaena leucocephala), jambu mente (Anacardium ocidentale) dan jati (Tectona grandis). 5. Jenis pohon yang mempunyai kesesuaian tumbuh baik pada jenis tanah Litosol di pulau Sumba adalah: kasuarina (Cassuarina junghunniana), gemelina (Gmelina arborea), Acacia ariculiformis, dan Acacia oraria, kasuarina (Cassuarina junghunniana), sonokeling (Dalbergia latifolia) . 6. Upaya peningkatan pertumbuhan tanaman perlu dilakukan yaitu dengan menciptaan pra-kondisi yang memadai untuk tanaman muda melalui penggunaan pemupukan, bahan penyerap air, multimikroba dan sistem penanaman. 7. Pelaksanaan kegiatan rehabilitasi perlu melibatkan masyarakat melalui pola partisipasi masyarakat. 8. Seyogyanya kegiatan rehabilitasi diupayakan lebih terprogram, terpadu dan komprehensif sehingga hasilnya lebih berdaya guna.
DAFTAR PUSTAKA Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Benain Noelmina. 1999. Statistik Sub Balai RLKT Benain Noelmina. 1999. BRLKT Benain Noelmina. Kupang. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina. 2004. Statistik Sub Balai RLKT Benain Noelmina. 2004. BPDAS Benain Noelmina. Kupang. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. 1993. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Di Nusa Tenggara Dan Maluku. 1994/1995-1998/1999. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. 2002. Peran Penelitian dalam Penanganan Degradasi Lahan di Nusa Tenggara Timur. Hasil 43
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
dan Usulan Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang. (Tidak diterbitkan). Departemen Transmigrasi. 1989. Regional Physical Planning Programme For Transmigration (Reppprot) For Maluku And Nusa Tenggara. Land Resource Dept. Odnri, Overseaes Development Administrastion And Directorate Bina ProgramDirjen Penyiapan Pemukiman. Departemen Transmigrasi. Jakarta. Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur. 1987. Rencana Umum Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur Pelita IV-VI. Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. _________________________________. 1988. Statistik Kehutanan Nusa Tenggara Timur. Dinas Kehutanan Nusa Tenggara Timur. Kupang. _________________________________. 1992. Statistik Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Kantor Wilayah Departemen Kehutanan Propnsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Harisetijono, M. Sinaga, dan D. Setijadi. 1998. Upaya Peningkatan Produktivitas Tanaman dalam Reboisasi Savana Sumba Timur. Prosiding Espose/Diskusi Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang 6 Oktober 1997. Harisetijono dan Rachmawati, I. 2000. Upaya Pengembangan Daerah Penyangga dalam Pelestarian Taman Nasional Kelimutu. Ekspose/Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan. Kupang 28 Maret 2000. Kasim, M. 2004. Respon cendana (Santalum album L.) dengan dan Tanpa Tanaman Inang Terhadap Inokulasi Mikoriza Vesikular Arbuskular dan Azotobacter. Proceeding Workshop Rivew Status IPTEK Kehutanan di Daerah Semi Arid. Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang, 22 Desember 2004. Maryono, T. W. 1996. Kebijaksanaan Pengelolaan Sumberdaya Hutan di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Prosiding/ Ekspose Hasil-Hasil Penelitian dalam Menunjang Pemanfaatan dan Pengelolaan Sumberdaya Hutan Di Nusa Tenggara Timur. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang 25-26 Maret 1996. Monk, K. A., Y. De Fretes, and G. R. Lilley. 1997. The Ecology of Indonesia Series Volume V : The Ecology of Nusa Tenggara. Periplus Editions (Hk) Ltd. Singapore. Munda, T. dan T. Pamungkas. 2000. Upaya Rehabilitasi Lahan Kritis Di Daerah Semi Arid Nusa Tenggara Timur. Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 44
Prosiding/Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang 26 Maret 2000. Parera, V. 1992. Solidaritas dan Sub Solidaritas dalam Pengelolaan Hutan. Savana No.7. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Perum Perhutani. 1997. Pedoman Pemeliharaan Penjarangan untuk Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Industri di NTB, NTT dan Timor Timur. Perum Perhutani. Jakarta. Pusat Penelitian Tanah. 1989. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Tanah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Schmidt, F. G.and J. H. A. Ferguson.1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta. Surata, I. K. 1993. Amarasi System: Model Agroforestry Lahan Savana Pulau Timor. Savana Vol 5 .No.5. Surata, I. K., Harisetijono, dan M. Sinaga. 1997. Pengaruh Penanaman Sistem Tumpangsari Terhadap Pertumbuhan Cendana (Santalum album L.). Santalum No.20:17-24. Surata, I. K. 1998. Pemilihan Jenis Pohon Reboisasi di Bukit Komoro. Prosiding Ekspose/Diskusi Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. Kupang 6 Oktober 1997. Surata, I.K. dan M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol. 5 .No. 5. Pusat Penelitian Biologi LIPI. Surata, I. K. 2002. Pengujian Pohon Reboisasi di Daerah Savana Sumba, Timur Nusa Tenggara Timur. Buletin Penelitian Kehutanan. Vol. 6 No 2: 1-10. Surata, I. K. 2006. Uji Jenis Pohon Reboisasi di pulau Timor. Prosiding Espose/Diskusi Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Denpasar 16 Desember 2006 a __________. 2007 . Pengaruh Ukuran Lubang Tanam Terhadap Pertumbuhan Eucalyptus Camaldulensis Dehnh Dan Kesambi (Schleichera Oleosa) di Lahan Savana, Kabupaten Sumba Timur, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Teknis Intern Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (Tidak Dipublikasikan). b __________. 2007 . Pemanfaatan Irigasi Tetes Untuk Penanaman Cendana (Santalum album L.) di Lahan Kritis Banamblaat Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penelitian Hutan Vol. IV, No. 2: 31-42. Surata, I. K. dan S. A. S. Rahardjo. 2007. Inokulasi Multimikroba Pada Bibit Ampupu (Eucalyptus Urophylla S.T. Blake ). Info Hutan Vol. IV No.2.
45
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
REHABILITASI HUTAN DAN KONSERVASI SUMBERDAYA 3 ALAM DI NUSA TENGGARATIMUR Oleh : 4 Luhut Sihombing
ABSTRAK Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati berupa tumbuhan, satwa liar dan tipe ekosistem yang sangat tinggi (“mega-diversity), dan sebagian diantaranya merupakan jenis dan tipe ekosistem yang bersifat endemik. Kekayaan tersebut saat ini sedang mengalami tekanan sebagai akibat dari berbagai kegiatan seperti perubahan kawasan hutan untuk non-kehutanan, penyelundupan satwa, pencurian plasma nutfah, perambahan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar, dan perdagangan tumbuhan maupun satwa yang dilindungi. Berbagai tekanan tersebut menyebabkan laju degradasi hutan cukup tinggi sedangkan usaha rehabilitasi hutan belum mampu mengimbangi tingkat kerusakan hutan akibat tingginya aktivitas “Illegal Logging” dan perambahan lahan kawasan hutan. Untuk mengatasinya, Departemen Kehutanan telah mengeluarkan kebijakan prioritas tetntang rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dengan tujuan untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan. Berbaga kebijakan yang berkaitan dengan peraturan dan perundangan yang berlaku juga telah diterapkan dalam implementasinya. Kata kunci : Rehabilitasi hutan, konservasi, peraturan dan perundangan.
I. PENDAHULUAN Akhir-akhir ini kondisi sumberdaya hutan di dalam kawasan maupun di luar kawasan hutan cenderung menurun, sehingga menimbulkan dampak negatif seperti banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Akibatnya perannya sebagai penyangga kehidupan menjadi menurun. Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman hayati berupa tumbuhan dan satwa liar dan tipe ekosistem yang sangat tinggi. Sebagian diantaranya merupakan jenis dan tipe ekosistem yang bersifat endemik, (BAPPENAS, 1993). World Conservation 3 4
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam NTT
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 46
Monitoring Committee, 1994 dalam BAPPENAS, 1993 mencatat bahwa kekayaan bumi Indonesia mencakup 27.500 spesies tumbuhan berbunga (10% dari seluruh spesies tumbuhan berbunga dunia), 1.539 spesies Reptilia dan Amphibi (16% dari seluruh spesies reptilia dunia), 12% Mamalia, 25% jenis ikan dunia dan 17% jenis burung dunia. Tingginya keanekaragaman hayati Indonesia dipengaruhi oleh faktor utama yaitu : (1) Indonesia adalah Negara terbesar keempat di dunia dengan luas keseluruhan 8 juta Km2, dan daratan seluas 1,9 juta Km persegi : (2) Indonesia terletak di dua wilayah biogeografi utama, yaitu Indo-Malaya di sebelah Barat dan Australia di sebelah Timur, sehingga susunan flora dan faunanya merupakan gabungan dari flora dan fauna dari kedua wilayah tersebut: (3) Indonesia adalah Negara kepulauan yang terpisah berjauhan sehingga mendorong terjadinya proses spesiasi (terbentuknya spesies baru); (4) Indonesia memiliki beragam tipe ekosistem dari pantai hingga pegunungan, yang menurut Bappenas 1993, diperkirakan jumlah tipe ekosistem di Indonesia sebanyak 90 tipe ekosistem. Namun kekayaan tersebut saat ini sedang mengalami tekanan keberadaannya sebagai akibat dari kegiatan-kegiatan antara lain : perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan, penyelundupan satwa, pencurian plasmanutfah, perambahan hutan, kebakaran hutan, perburuan liar, dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi. Laju degradasi hutan di Indonesia tercatat cukup tinggi sementara upaya rehabilitasi hutan yang dilakukan belum mampu mengimbangi tingkat kerusakan hutan tersebut akibat tingginya aktivitas illegal logging dan perambahan lahan kawasan hutan. Dalam rangka menangani permasalahan tersebut, Departemen Kehutanan telah menetapkan kebijakan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK. 456/Menhut-II/2004, tanggal 29 November 2004 tentang lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Tahun 2005-2009, dan salah satu kebijakan prioritas tersebut antara lain adalah Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan. Secara umum kegiatan Rehabilitasi hutan bertujuan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan, sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Luas Kawasan hutan Indonesia adalah 120,35 juta Ha atau sebesar 62,6% dari total luas daratan 192,16 juta Ha. Kawasan konservasi yang telah ditetapkan sampai saat ini sejumlah 535 unit dengan luas 28.260,150,54 ha terdiri dari kawasan konservasi daratan 496 unit dengan luas 22.703.151,14 ha, dan kawasan konservasi perairan sejumlah 39 unit dengan luas 5.556.999,40 ha. 47
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Kawasan hutan yang berada di Propinsi Nusa Tenggara Timur, berdasarkan surat keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 423/Kpts-II/1999 tanggal 15 Juni 1999 tentang Penunjukkan Kawasan Hutan di wilayah Provinsi Daerah Tingkat Nusa Tenggara Timur, adalah seluas 1.809.990 Ha dengan perincian sebagai berikut : • Cagar Alam 66.650 ha. • Suaka Margasatwa 18.920 ha. • Taman Wisata Alam 159.155 ha. • Taman Nasional 59.060 ha. • Taman Buru 5.850 ha. • Hutan Bakau 40.695 ha. • Hutan Lindung 731.220 ha. • Hutan Produksi tetap 197.250 ha. • Hutan Produksi yang dapat dikonversi 101.830 ha. II. PENGERTIAN 1. Hutan adalah kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. 2. Kawasan Hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 3. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah instrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. 4. Konservasi sumber daya alam hayati adalah pengelolaan sumber daya alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya. 5. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan. 6. Kawasan Pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 48
7.
8.
9.
10.
11. 12.
13.
14.
III.
pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Cagar Alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Suaka Margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan atau keunikan jenis satwa, yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Hutan Raya adalah kawasan pelestarian alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Wisata Alam adalah kawasan pelestarian yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Rehabilitasi Hutan adalah upaya untuk memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan fungsi hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Reboisasi adalah upaya pembuatan jenis pohon hutan pada kawasan hutan rusak yang berupa lahan kosong/terbuka, alang-alang, atau semak belukar dan hutan rawang untuk mengembalikan fungsi hutan. Penanaman Pengkayaan adalah kegiatan penambahan anakan pohon pada kawasan hutan rawang, yang memiliki tegakan berupa anakan, pancang, tiang dan pohon sejumlah 500-700 batang/Ha, dengan maksud untuk meningkatkan nilai tegakan hutan baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai fungsinya.
KEBIJAKAN
Rehabilitasi hutan dalam kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, hubungannya dapat kita tinjau dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku sebagai berikut :
49
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Undang-undang ini mengatur secara khusus tentang perlindungan sistem penyangga kehidupan (Bab II pasal 6 s/d 10), Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya (Bab III pasal 11 s/d 13), Kawasan Suaka Alam (Bab IV pasal 14 s/d 19), Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa (Bab V pasal 20 s/d 25), Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya (Bab VI pasal 26 s/d 28), Kawasan Pelestarian Alam (Bab VII pasal 29 s/d 35), Pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa (Bab VIII pasal 36) , dan pada Bab selanjutnya (Bab IX s/d XIV) mengatur tentang Peran serta masyarakat serta ketentuan penunjang dan sanksi. Secara filosofi kegiatan konservasi sumberdaya alam sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini adalah melindungi dan melestarikan apa yang telah ada (tumbuhan, satwa liar, dan ekosistem yang khas) baik sebagai sumber plasma nutfah maupun untuk melindungi proses ekologis sistem penyangga kehidupan, sehingga sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dapat dimanfaatkan secara lestari. Dengan demikian kegiatan rehabilitasi dalam kawasan konservasi, sifatnya sangat khusus dan terbatas, serta hanya merupakan kegiatan restorasi jenis baik tumbuhan dan satwa dalam bentuk kegiatan pembinaan habitat maupun pengkayaan jenis tumbuhan. 2. Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan Dalam Bagian Keempat, Undang-undang ini dijelaskan maksud kegiatan Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan pada Pasal 40 bahwa Rehabilitasi hutan dan lahan dimaksudkan untuk memulihkan, mempertahankan, dan meningkatkan fungsi hutan dan lahan sehingga daya dukung, produktivitas, dan peranannya dalam mendukung sistem penyangga kehidupan tetap terjaga. Rehabilitasi hutan dan lahan diselenggarakan melalui kegiatan Reboisasi, penghijauan, pemeliharaan, pengayaan tanaman, atau penerapan teknik konservasi tanah secara vegetatif dan sipil teknis, pada lahan kritis dan tidak produktif. Sedangkan dalam pasal 41 ayat 2 disebutkan bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dilakukan di semua hutan dan kawasan hutan kecuali Cagar Alam dan Zona Inti Taman Nasional. Rehabilitasi hutan dan lahan dilaksanakan berdasarkan kondisi spesifik biofisik, Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 50
dan penyelenggaraan rehabilitasi hutan diutamakan pelaksanaannya melalui pendekatan partisipatif dalam rangka mengembangkan potensi dan memberdayakan masyarakat. 3. Peraturan Pemerintah Nomor 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistemnya sehingga dapat lebih mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan. Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dilakukan sesuai dengan fungsi kawasan: (1) sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; (2) sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya; (3) Untuk pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Cagar Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: a. mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem; b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; e. mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau f. mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya; b. memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi; c. merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah; d. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; dan atau e. mempunyai luas yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan.
51
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Upaya pengawetan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan kawasan; (2) inventarisasi potensi kawasan; dan (3) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan. Selain itu pada Kawasan Suaka Margasatwa juga dilakukan kegiatan dalam rangka pembinaan habitat dan populasi satwa berupa : a. pembinaan padang rumput untuk makanan satwa; b. pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa; c. penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon sumber makanan satwa; d. penjarangan populasi satwa; e. penambahan tumbuhan atau satwa asli; dan atau f. pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu. Upaya pengawetan dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan Kawasan Cagar Alam dan Kawasan Suaka Margasatwa. Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan kawasan, adalah : a. melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan; b. memasukkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan; c. memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan; d. menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan; e. mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Suatu kawasan ditunjuk sebagai Kawasan Taman Nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. kawasan yang ditetapkan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelangsungan proses ekologis secara alami; b. memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; c. memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; d. memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; e. merupakan kawasan yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 52
mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Ditetapkan sebagai zona inti Taman Nasional, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; b. mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; c. mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; d. mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; e. mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; f. mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah. Ditetapkan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Ditetapkan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : a. kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; b. memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; c. merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Hutan Raya, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : a. merupakan kawasan dengan ciri khas baik asli maupun buatan, baik pada kawasan yang ekosistemnya sudah berubah; b. memiliki keindahan alam dan atau gejala alam; c. mempunyai luas wilayah yang memungkinkan untuk pembangunan koleksi tumbuhan dan atau satwa, baik jenis asli atau bukan asli. Suatu kawasan ditetapkan sebagai Kawasan Taman Wisata Alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut : 53
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
a. mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau ekosistem gejala alam serta formasi geologi yang menarik; b. mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; c. kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Upaya pengawetan pada zona inti dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan; (2) inventarisasi potensi kawasan; (3) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan. Upaya pengawetan pada zona pemanfaatan dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan; (2) inventarisasi potensi kawasan; (3) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pariwisata alam. Upaya pengawetan pada zona rimba dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan; (2) inventarisasi potensi kawasan; (3) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan; Upaya pengawetan Kawasan Taman Hutan Raya dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan; (2) inventarisasi potensi kawasan; (3) penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengelolaan; (4) pembinaan dan pengembangan tumbuhan dan atau satwa. Selain itu dalam Pasal 44 PP. No. 68 Tahun 1998 juga disebutkan bahwa upaya pengawetan Kawasan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam dilaksanakan dengan ketentuan dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan Taman Nasional atau Taman Hutan Raya, yaitu : a. merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya; b. merusak keindahan alam dan gejala alam; c. mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan; d. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. Upaya pengawetan Kawasan Taman Wisata Alam dilaksanakan dalam bentuk kegiatan : (1) perlindungan dan pengamanan; (2) inventarisasi potensi kawasan; (3) penelitian dan pengembangan yang menunjang pelestarian potensi; (4) pembinaan habitat dan populasi satwa. Termasuk dalam pengertian kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi Kawasan Taman Wisata Alam adalah : Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 54
a. berburu, menebang pohon, mengangkut kayu dan satwa atau bagian-bagiannya di dalam dan ke luar kawasan, serta memusnahkan sumber daya alam di dalam kawasan; b. melakukan kegiatan usaha yang menimbulkan pencemaran kawasan; c. melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. 4. Permenhut Nomor : P. 22/Menhut-II/2007 dan P. 23/MenhutII/2007 Kegiatan Rehabilitasi Hutan tersebut dilakukan melalui beberapa pola, seperti Reboisasi, Pengembangan Hutan Rakyat, Hutan Kota, Penghijauan Lingkungan, Turus Jalan, Pembuatan Tanaman Sabuk Hijau, Rehabilitasi Hutan Mangrove dan Hutan Pantai, dan Pengembangan Tanaman Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Dalam kawasan Konservasi kegiatan rehabilitasi sebagaimana diatur dalam Permenhut Nomor 22 dan 23 Tahun 2007, adalah bersifat pengkayaan genetik dengan jumlah bibit yang ditanam 400 anakan per Ha. Jenis tanaman terbagi dalam 2(dua) klasifikasi yaitu jenis tanaman hutan dan jenis tanaman MPTS dengan pembagian 80% untuk jenis anakan tanaman hutan dan untuk jenis tanaman MPTS 20%. 5. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P. 8205/Kpts-II/2002 tahun 2002 tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional Dalam peraturan ini diatur ketentuan-ketentuan kegiatan rehabilitasi dalam taman nasional tentang beberapa hal sebagai berikut : a. Maksud dan tujuan rehabilitasi dalam taman nasional adalah untuk memulihkan dan mempertahankan ekosistem yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai daya dukung, dan peranannya sebagai habitat suatu jenis tumbuhan/satwa dalam mendukung sistem penyangga kehidupan. b. Pendekatan rehabilitasi pada intinya adalah bersifat : (1) Penanaman/pengkayaan dengan jenis tumbuhan sesuai dengan aslinya; (2) Dilakukan secara alami dengan mengisolasi sebagian kawasan taman nasional yang rusak agar dapat pulih secara alami; (3) Rehabilitasi buatan dilakukan dengan cara reboisasi, pemeliharaan, dan pengkayaan jenis; c. Sasaran rehabilitasi, adalah wilayah zona rimba dan zona lainnya di luar zona inti taman nasional. 55
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
IV. PELAKSANAAN KEGIATAN REHABILITASI HUTAN DALAM KAWASAN KONSERVASI Kondisi 34 unit kawasan konservasi (TWA, CA, SM, Tahura, Taman Buru dan empat Taman Nasional) di Propvinsi Nusa Tenggara Timur, secara umum tidak terlepas dari berbagai jenis gangguan dan ancaman baik yang disebabkan oleh manusia maupun bencana alam dan telah mengakibatkan kerusakan dan terganggunya keseimbangan lingkungan dan fungsi ekosistem kawasan konservasi. Dari 29 unit kawasan konservasi yang ada di Provinsi Nusa Tenggara Timur yang tanggung jawab pengelolaannya oleh Balai Besar KSDA NTT terdiri dari Cagar Alam Darat tujuh Unit, Cagar Alam Laut satu Unit, Suaka Margasatwa lima Unit, Taman Wisata Alam darat 11 unit, Taman Wisata Laut tiga unit, dan Taman Buru dua Unit, dengan total luas kawasan 214.178,15 Ha. Kegiatan rehabilitasi kawasan konservasi yang telah dilakukan selama ini adalah melalui cara alami dimana dengan kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan konservasi dari aktivitas penebangan liar maupun perambahan lahan dalam kawasan hutan telah memberikan ruang atau kesempatan adanya pemulihan secara alami atau suksesi alami jenis tumbuhan yang ada dalam kawasan hutan. Sampai dengan akhir tahun 2007, belum pernah dilakukan kegiatan rehabilitasi kawasan konservasi dengan GN-RHL/Gerhan, meskipun dana untuk kegiatan tersebut telah tersedia dalam DIPA BA. 69. Kawasan prioritas untuk direhabilitasi pada tahun 2007 adalah SM. Kateri di Kabupaten Belu Pulau Timor, terkait dengan adanya kerusakan yang terjadi dalam kawasan tersebut oleh perambahan masyarakat ex. Pengungsi Timor Timur. Data sampai dengan tanggal 31 Oktober 2003 sesuai hasil pengukuran lapangan oleh Balai KSDA NTT I adalah sejumlah 1.147,84 Ha.
V. PERMASALAHAN DAN HAMBATAN Pengelolaan kawasan konservasi saat ini menjadi sangat kompleks walaupun regulasinya cukup lengkap, namun dalam pelaksanaan dihadapi berbagai kendala dan hambatan baik secara internal maupun eksternal. Hambatan yang bersifat internal yang utama adalah kuantitas dan kualitas SDM aparat yang bergerak dalam bidang organisasi yang mengelola kawasan konservasi, ditambah masalah minimnya sarana pengelolaan kawasan dan Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 56
biaya operasional pengelolaan kawasan. Hambatan yang bersifat eksternal adalah kebijakan publik ditingkat lokal yang tidak mendukung di era otonomi telah menimbulkan banyak kerusakan kawasan konservasi. VI. PENUTUP Rehabilitasi hutan dalam kaitannya dengan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, hubunganya dapat ditinjau dari peraturan perundangan (regulasi) yang berlaku, yaitu Undangundang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Undang-undang No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No. 68 tahun 1998 tentang kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Permenhut No. P.22/Menhut-II/2007 dan P.23/Menhut-II/2007, serta Permenhut No. P.8205/Kpts-II/2002 tahun 2002 tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional. Walaupun peraturan perundangannya cukup lengkap tapi dalam pelaksanaan pengelolaan kawasan konservasi masih dirasakan adanya berbagai kendala. Hambatan internal berupa kuantitas dan kualitas SDM, ditambah dengan minimnya sarana pengelolaan kawasan serta biaya operasional pengelolaan kawasan. Sedangkan hambatan internal berupa kebijakan public di tingkat lokal yang kurang mendukung sehingga menimbulkan banyak kerusakan kawasan konservasi. DAFTAR PUSTAKA BAPPENAS. 1993 Biodiversity. Action plan for Indonesia Jakarta Keputusan Menteri kehutanan No.456/Menhut-II/2004 tentang Lima Kebijakan Prioritas Bidang Kehutanan Tahun 20052009. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 423/KptsII/1999 tentang Tingkat Penunjukkan Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Peraturan Pemerintah No. 68 tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.22/Menhut-II/2007 tahun 2007. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.8205/Kpts-II/2002 tahun 2002 tentang Pedoman Rehabilitasi di Kawasan Taman Nasional.
UPAYA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN 5 DALAM PENGELOLAAN DAS DI NUSA TENGGARA TIMUR 5
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007
57
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Oleh : 6 Antonius Toding Patandianan ABSTRAK Untuk lebih meningkatkan daya dukung lingkungan hidup, upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis di Nusa Tenggara Timur (NTT) dilakukan melalui upaya rehabilitasi dan konservasi tanah serta pengembangan fungsi Daerah Aliran Sungai (DAS). Pengembangan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) yang merupakan bagian dari Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) akan semakin kompleks pada masa mendatang. Keberhasilan pelaksanaan RLKT diharapkan dapat menangkap isu lingkungan yang selama ini dirasakan sebagai tekanan bagi negara-negara tropis seperti Indonesia. Kunci keberhasilan RLKT terletak pada perencanaan yang akurat dan handal serta perlunya partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan serta peningkatan peran serta kelembagaan seperti koperasi dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Upaya RLKT dilaksanakan melalui pendekatan pengelolaan DAS yang bersifat menyeluruh dan terpadu antara berbagai sektor pembangunan dan disiplin ilmu. Kata Kunci : RLKT, RLPS, DAS, lingkungan, NTT
I. PENDAHULUAN Pembangunan Kehutanan bidang Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (RLKT) ditujukan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan dan mengutamakan pelestarian sumber daya alam dan fungsi lingkungan hidup, memelihara tata air serta untuk memberikan kesempatan berusaha dan lapangan kerja, meningkatkan sumber pendapatan negara dan devisa serta memacu pembangunan daerah. Di samping itu upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis, melalui upaya rehabilitasi dan konservasi tanah serta pengembangan fungsi Daerah Aliran Sungai ditingkatkan dan makin disempurnakan untuk lebih meningkatkan daya dukung lingkungan hidup. Pembangunan Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah pada masa mendatang yang merupakan bagian pembangunan Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) dihadapkan
6
Kepala Balai BP DAS Benain Noelmina
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 58
pada suasana arus globalisasi dan isu-isu lingkungan hidup yang semakin kompleks. Dengan demikian keberhasilan pelaksanaan RLKT tersebut diharapkan dapat menangkap isu lingkungan yang selama ini dirasakan sebagai tekanan bagi negara-negara di kawasan tropik khususnya di Indonesia. Kunci keberhasilan pembangunan RLKT selain pada perencanaan yang akurat dan handal juga terletak pada pengendalian yang konsisten dan harus mengacu pada permasalahan di atas. Untuk mendukung pelaksanaan pembangunan di bidang RLKT maka partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, peran serta kelembagaan seperti koperasi dan LSM perlu ditingkatkan. Upaya Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dilaksanakan melalui pendekatan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai yang bersifat menyeluruh dan terpadu antara berbagai sektor pembangunan dan disiplin ilmu. Untuk itu, maka pengelolaan dan pengembangannya diarahkan untuk mempertahankan keberadaan dan keseimbangan yang dinamis melalui berbagai usaha perlindungan, rehabilitasi dan pemeliharaannya. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam pemanfaatan sumber daya alam, utamanya hutan, tanah dan air tidak menimbulkan gangguan terhadap ekosistem antara lain terganggungnya tata air Daerah Aliran Sungai (DAS), yang akibatnya terjadi erosi, sedimen, banjir serta kekeringan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam artikel ini akan di bahas mengenai upaya rehabilitasi hutan dan lahan dalam pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur. Diharapkan hasil kajian ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukannya.
II. KEADAAN UMUM NUSA TENGGARA TIMUR A. Kondisi Biofisik 1. Letak dan Luas Secara administratif Balai Pengelolaan DAS Benain Noelmina berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur, dengan Satuan Wilayah Pengelolaan DAS-nya adalah SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru yang meliputi 15 Kabupaten dan 1 Wilayah Kota dan terbagi dalam tiga Sub SWP DAS yaitu Sub SWP DAS Timor Barat, Sub SWP DAS Flores dan Sub SWP DAS Sumba (BPDAS. BN, 2005). Luas keseluruhan SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru, berdasarkan definisi, adalah sama dengan wilayah daratan Propinsi NTT, yaitu 4.735.000 ha. Berdasarkan Laporan 59
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Penetapan Urutan Prioritas DAS PELITA VII Propinsi NTT, 47 % dari luas SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru atau seluas 2.112.933 ha termasuk ke dalam kategori DAS Prioritas. Luas masing-masing Sub SWP DAS dan luas masing-masing DAS secara perinci disampaikan pada Tabel 1 dan 2 (BPDAS. BN, 2006). Berdasarkan Tata Guna Hutan hasil Pemaduserasian TGHK dan RTRW, kawasan hutan di SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru adalah seluas 529.244 ha (25,05 %) yang terdiri dari hutan lindung seluas 217.588 ha, Cagar Alam 30.077 ha, Suaka Margasatwa 23.937 ha, Hutan Produksi Tetap 71.027 ha, Hutan Produksi Terbatas 101.178 ha, dan Hutan Konservasi 84.737 ha. Luas kawasan hutan menurut fungsinya di Sub SWP DAS disampaikan pada Tabel 3 (BPDAS. BN, 2007). 2. Keadaan Topografi Berdasarkan pengukuran pada Peta Topografi skala 1 : 100.000, DAS/Sub DAS Prioritas yang berada dalam SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru dapat dibedakan menjadi lima Kelas Kelerengan, yaitu Datar (0 – 8 %), Landai (8 – 15 %), Agak Curam (15 – 25 %), Curam (25 – 40 %) dan Curam Sekali (> 40 %). Keadaan kelas kelerengan setiap Sub SWP DAS disampaikan pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat kelas kelerengan Curam (25 – 40 %) merupakan kelerengan yang dominan dan terluas di SWP DAS Benain Aissesa Kambaneru yaitu seluas 816.328 ha (38,63 %), dan selanjutnya diikuti oleh kelas Datar (0-8 %) seluas 483.862 ha (22,90 %), Curam Sekali (> 40 %) seluas 359.640 ha (17,02 %), Agak Curam (15-25 %) seluas 279.727 ha (13,24 %), dan Landai (8-15 %) seluas 172.921 ha (8,18 %).
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 60
Tabel 1.Luas masing-masing Sub SWP DAS No
Sub SWP DAS
Luas (Ha) 1.126.213
Jumlah DAS 9
1
Sub SWP DAS Timor Barat
2
Sub SWP DAS Flores
547.559
9
3
Sub SWP DAS Sumba
439.161
9
Nama DAS Benain, Mina, Oesao, Rote, Sabu, Muke, Mena, Bukapiting dan Balanjir Aissesa, Lowo Rea, Kolang Kuning, Wae Reo, Nanga Nae, Dondo, Magepanda, Nangalima dan Wae Moke Polapare, Kandahang, Watumbekar, Kambaneru, Melolo, Kaliongga, Nggongi, Tidas dan Karendi.
Tabel 2. Luas masing-masing DAS prioritas No. 1.
Urutan Prioritas DAS Prioritas I
Jumlah DAS 37
Wilayah Kab./Kota - Kupang - TTS
Luas (Ha) 1.677.452 35,43
- TTU - Belu - Sikka - Ende - Ngada - Manggarai - Manggarai Barat - Sumba Timur 2.
Prioritas II
188
- Kota Kupang - Kupang
.932.536 61,93
- TTS - TTU - Belu - Rote Ndao - Alor - Lembata - Flores Timur - Sikka - Ende - Ngada - Manggarai - Manggarai Barat - Sumba Barat
61
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
No.
Urutan Prioritas DAS
Jumlah DAS
Wilayah Kab./Kota
Luas (Ha)
- Sumba Timur 3.
Prioritas III
82
- Kota Kupang
25.012
- Kupang
2,64
- Rote Ndao - Alor - Flores Timur - Sikka - Ende - Manggarai Barat - Sumba Timur Jumlah
307
4.735.000
Tabel 3. Luas Kawasan Hutan menurut fungsi di Sub SWP DAS No 1 2 3 4 5 6
Fungsi Hutan Lindung Cagar Alam Suaka Margasatwa Hutan Produksi Tetap Hutan Produksi Terbatas Hutan Konversi Jumlah
Sub SWP DAS Timor Barat Flores Sumba (Ha) (Ha) (Ha) 118.533 73.910 25.145 19.730 11.047 17.198 6.739 32.706 29.419 8.902 63.489 27.439 10.250 56.005 17.997 10.735 307.661 159.812 61.771
Jumlah (Ha) 217.588 30.077 23.937 71.027 101.178 84.737 529.244
Tabel 4. Keadaan Kelas Kelerengan pada setiap Sub SWP DAS No 1 2 3 4 5
Kelas Kelerengan Datar (0-8 %) Landai (8-15 %) Agak Curam (15-15 %) Curam (25-40 %) Sangat Curam (>40 %) Jumlah
Sub SWP DAS Timor Barat Flores (Ha) (Ha) 345.902 37.146 66.351 69.453 127.692 147.632 398.069 156.717 188.199 136.156 1.126.213 547.559
Sumba (Ha) 100.814 37.117 4.403 261.542 35.285 439.161
Jumlah (Ha) 483.862 172.921 279.727 816.328 359.640 2.112.478
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 62
3. Keadaan Penutupan Lahan Sebagian besar penutupan lahan SWP DAS Benain Aisessa Kambaneru berupa padang rumput, seluas 849.587 ha (40,21 %) dan selanjutnya berturut-turut semak belukar seluas 835.828 ha (39,56 %), Hutan Lebat 157.198 ha (7,44 %), Tegal 149.857 ha (7,09 %), Kebun Campuran 77.339 ha (3,66 %), Sawah 30.771 ha (1,46 %), dan Tanah Rusak/Tandus (tanpa vegetasi) seluas 12.353 ha (0,58 %). Keadaan penutupan lahan di setiap SWP DAS disampaikan pada Tabel 5. Tabel 5. Keadaan Penutupan Lahan pada setiap Sub SWP DAS No 1 2 3 4 5 6 7
4.
Jenis Penutupan Lahan Hutan lebat Semak belukar Padang rumput Tegal Kebun campuran Sawah Tanah rusak/tandus Jumlah
Sub SWP DAS Timor Barat Flores (Ha) (Ha) 85.423 10.949 551.904 253.286 323.523 204.904 96.202 42.342 50.378 22.431 13.937 13.647 4.846 1.126.213 547.559
Sumba (Ha) 60.826 30.638 321.160 11.313 4.530 3.187 7.507 439.161
Jumlah (Ha) 157.198 835.828 849.587 149.857 77.339 30.771 12.353 2.112.933
Keadaan Lahan Kritis
Luas dan sebaran lahan kritis di Propinsi NTT disajikan pada Lampiran 1.
5. Tingkat Bahaya Erosi Keadaan Tingkat Bahaya Erosi (TBE) untuk masing-masing Sub SWP DAS disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Tingkat Bahaya Erosi di SWP DAS Benain Aisesa Kamnaneru No 1. 2. 3. 4. 5.
TBE Sangat ringan Ringan Sedang Berat Sangat berat Jumlah
Timor Barat (ha) 458.136 668.077 1.126.213
Sub SWP DAS Flores (ha) 50.934 496.625 547.559
Sumba (ha) 195.939 243.222 439.161
63
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
6. Keadaan Hidrologi Tingkat sedimentasi rata-rata, Indeks Penggunaan Air (IPA) dan Coefficient Of Variation (CV) untuk setiap Sub SWP DAS disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. Tingkat sedimentasi rata-rata, Indeks Penggunaan Air (IPA) dan Coefficient Of Variation (CV) untuk setiap Sub SWP DAS Nilai Indeks Nilai Coefficient Penggunaan Air of Variation (IPA) (CV) 1 Timor Barat 1.806,74 0,0984 0,83 2 Flores 1.382,30 0,1077 0,73 Sumba 1.204,51 0,0670 0,71 Kualitas air untuk ketiga Sub SWP DAS termasuk dalam kategori C Sub SWP DAS
No
Sedimentasi (ton/ha/thn)
Kondisi sungai di Nusa Tenggara Timur umumnya berpola aliran Dendritik yang sebagian besar kering pada musim kemarau dan meluap pada musim penghujan, sedangkan sungai yang selalu tergenang hanya ada delapan sungai yaitu dua di pulau Timor yaitu Noelmina dan Benain, dua di Pulau Flores yaitu Aisesa dan Wai Reo dan empat sungai di Pulau Sumba yaitu Kambaneru, Kandahang, Kadumbul dan Kalada (BPDAS. BN, 2007).
7. Iklim Berdasarkan data curah hujan Nusa Tenggara Timur (Departemen Pekerjaan Umum tahun 1996 sampai dengan tahun 2003) menunjukkan bahwa curah hujan rata-rata di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), tertinggi terdapat di Kabupaten Manggarai Barat 2155 mm dengan hari hujan 115 hari dan nilai erosivitas hujan 207,94. Sedangkan curah hujan terendah terdapat di Kabupaten Lembata 906 mm dengan hari hujan 76 hari dan nilai erosivitas hujan sebesar 87,38.
5 12
4 12
3 12
2 12
1 12
0 12
9 11
N E
30
S
60 Km
U
A
L
T
LAT ON LI WO
F
L
SKALA 1 : 750.000
O
# KE C. TA NJ UNG B UNGA
S
E
R
LEW OBUNGA
Ë WA I BA O
ALI#L A
W ANGKUNG
LENCUR
#
SE RI NUHO
PO TA
BLE PA NA WA LEW OK LUO WA TOWA RA KE C. LA RA NTUKA LE RA B OL ENG
PE RMA AN NANGA B ARA S GOLO RENTUNG NANGA MB AL N I G GOL OL EMB UR
NANGA B AUR
GOL OMUNGA
LADUR
WA E RE NCA RI UNG LANGK AS
KE C. WULA NGGITA N
KE C. E LA R
TE NGK U L EDA COMP ANG NE CAK GORE NGME NI LADA MES E
Ë
GOLO L JI UN
Ë
RANA K ULA N
S AMB I NA SI
WA E K A LAMB U
PA CA R
TE NT ANG
#MB UIT
GOLO LA JA NG
GOLO KE TA K
POT A WA NGK A
P. K OMODO
Ë
WA NIN G
TA NJUNG B OL ENG
L AB UA N BA JO
#Ë
GOL OS E MBE A
L OHA
GOLO RIW U NDOS O
Ë
Ë
Ë
Y #
Ë
Ë
#
Ë
#
Ë
Ë
Ë
#
#
#
KOLA NA UTA RA
KE C. A L OR T IM UR
#
KE LA IS I B ARA T
PURN AMA
Ë
# #
#
KA LE LU
BE LOBA T ANG IL E K ERB AU
IL E BO LI DUAW UT UN AT AW A I PA S IR PUTI H
#
#
LE BA A TA
KE C. PA NT AR BA RAT
NUBA HA E RA KA
#
AT AK ERA #LE WORAJ A A TA KO RE BE LOB AO P ANT AI HA RA P A N L US I LA ME KO WAA PE
LEL AT A
BA LUK HERI NG
PUOR
I MULOLONG
L US ID UA WUT UN
LAMA LE RA B LA MAL ERA A
L EREK
ALA P AT ADEI
KE C. S OL OR B ARA T TA NAL EI N
LA MAOLE
SI NAR HA DI NG
Ë
Ë
| 64
E
Ë
S
#
#
#
SI LA WA N
Ë
U
S
T
B
NONA TB A TA N
MAUK AB AT AN
WE E P A NGA LI RA DA MAT A
KE C. LA RAT A MA
LET E K ONDA B ONDO B OGHI LA L OK O RY
WE NDE WA B A RA T
#
NA P U
KE C. KA TI KUTA NA
Ë
TOT OK
WE E TOB ULA
KORY
LOMB U
BUK NAE K A KE A
LE NA NG
MA ROK OTA
KE C. WE WE WA B ARA T
HOMBA K ARI PI T KA WA NG OHARI W AI HOLO HAM ONGGOL EL E HOMBA RANDE MAL I I HA KA P A KA MA DET A DI NJ O
WA I K ADA DA
WAI MA NGURA
T ANGGAB A
Ë
W EE RA ME K AL EMB U WEKRI AB A LI DA NA W AT U LA BA RA
W ERI L OL O T ENA T EK E BURU DEI LO
L ET E LOKO WA LL A NDI MU
DELO
MA REDA K A LA DA
WE E K AROU
K AHA LE
DE DE K ADU SODANA
#
KE C. LOL I BERA DOLU
MAK A TA K E RI
MB AT A PUHU
WEL UK WAI ME MANGS ORU
MA MODU PA TI A LA DET E K AB U K A RUDI # RAJ AK A
Ë
WAI HURA
Ë
PRAI KA ROK U JANGGA MB I LUR P ANGADU
K AMB AT A T ANA
WA NGA
Ë
MA UB OK UL
LAMB A NA PU
Ë#
BE NU
#
TUAS ENE
NONB AUN
NAP I
OFU
PUSU
BOTI
BA BUIN
T OI
S UNU
ANIN
FE NUN
NUNKURUS
#
OEB AK I
LAI NJA NJ I UIT IU HT UA N UI TI UH A NA
S
KUPAKANG LE B ARA T
HUILE LOT
PUKDA LE MUK E
OEMOL O
BOKI NG P UT UN
HOI NENO NUNK OLO
NUNLE U T ES I A YO FA NU BE LE FA TU ULA N
NENOA T S A# HA N
FA TUAT SE I
BA SMUTI
F AT UK A NUT K UA IR AN E KUA N HE UM
NOEMUK E
O
#
P ENE S E LA TA N KOL BONO
KUSI
NUNUS UNU
NOE SI U
M
#
POLL O
KUA LI N ONI
PA THA U OE BE LO
KOT OLI N NUNUNAMA T OET UK E
K AK A N
K UA NFA TU
KE LLE
KI UBA AT
Ë
KE C. AM ANUB AN S E LAT A N
FA TUT ET A
T UA TUK A
HAUNOBE NAK
L AS I OEP LI K I FA TUTNA NA
OEK AM
# OE MOFA
OE SA O
TUAP AK A S
T UA FA NU TOI NEK E K I UF AT U
KE C. A MA RAS I
Ë
OE SA P A
OEL NA SI
PO NA IN OE BUF U NONB ES I A IR MAT A OE NONI LI LI BA PE NFUI ALA K NA IM AT A BA UMA TA MA UL AF A KE C. KUP A NG T E NGA H MA NULA I I B I A TUP LA T BOK ONG S I KUMANA NIT NE O K UA K LA LO K OLHUA OEL TUA OE SE NA B EL LO BOL OK AP RE N MA NULA I I OE LE TS AL A FA TUK OA BI SMA RAK TE SB A TA N NEK ME SE KUANHEUN TUNF EU OE NES U TUN B AUN SOB A OBE N BURA E N NAI ONI OE MAT ANUNU OE MA S I TOONB AUN NI UK BA UN BONE T EUN B A UN USA P IS ONBA I SONRA EN SUMLI LI
#
BOK NUSA N
OE FA FI
Ë TAËRUSNOE LB AK I ËL AS I ANA
UI AS A OTA N UIT AO
#
NAI P
OENUNUTO NO
L IN A MNUTU
#
HA ENS I SI
HA DA K A MA LI
T EA S
SE K I
KE C. KUP ANG T IM UR NAUNU
RAK NA MO
Ë TUA PUK AN BA B A U ME RDE K A
Ë
TA NA MANA NG
K AL U I DA
#
P ANA
HA NE
KE C. A MA NUB AN BA RAT OEB OB O
CA MP LONG I SI LLU
NA IB ONAT
PA MB URU L AI PA NDA K P ARA NDA LA T ENA
KE C. PA HUNGA L ODU
NANO
OP B OENTUK A OE BO LA
CA MPL ONG I I
OE TE TA BI P OLO
PI TA I SULA MU
# KA B A RU
# MB URUK ULU
LAMB A KA RA HA RA Y
LUMB U MA NGGI T
Ë
KA KA HA
WOBRI AMA TA
MA NUF UI SA NTI AN
LANU SA B UN
KO KOI
OE NA I T AE BE S A OLA IS
B ENLUT U
Ë
NAK F UNU
NUL LE MNE LA LE TE
TUBUHUE
K OA
NOEL MIN A
NUNSA EN
PA RI TI HEI K AT AP U
TA MMA LULUNDIL U
KA BA NDA PRAI WI TU
#
NGGONGI
#
OEE KA M
LAK E T
KE C. AM ANUBA N B ARA T
E KA TE TA OEL BI T ENO
RIN DI TA MB URI
HANGGA RORU PRAI MB ANA
P AT AM AWA I KA NA NGGAR
JA NG GA M ANGU
#
WE OE
S KI NU
# KE C. A MA NA TUN SE LA TA N
NENOTE S
OEL EON FA LLA S
SUP UL
NUS A
K AY URI
UMAL UL U
PA B ERA MA NERA ME HA NGMA TA
#
K ARE RA JA NGGA
W ANGGA MET I
KE C. P A BE RIWA I
#
RAB AS A TOI ANA S
LI LO
A LK ANI
L UMB UKORE WA TU HA DANG
Ë PRA I B OK UL
KA TI K U WAI
P RA I MADI TA
NAI MA NA
Ë
MAK TI HA N L AS AE N BE S IK AM A UMA LA WA I N UMA LO R
LE UNK LOT
SA MB ET SONO
OEL EU
POL I
NOE B ANA
NIF ULE O
Ë#
NOB I NOB I
BA K I
SO' E LAI RURU
WA TU PUDA
KA MB AT A BUNDUNG K AT K I U TA NA
KAR IT A
LA I L UNGGI
Ë
FA TI LO PI S AN
MA UL EUM
P I LI
NOE B ES A
ËOINLA SI
B I LOTO
KA MANGGIH KA TI K U LUKU
Ë
WA HANG
Ë
WE DEROK S IK UN MO TA ULUN UMA T OOS
EKM ID A R #KE C. A MA NA W TUN UT A RA FA TUONI
SNOK NA SI
TE LUK
MNE LA A NE N OE LE T
NIK I NI K I
HA I TI MUK
B I UDUK F OHO
T UMU
Ë
SO PO
KA ENE NO
HOI
TE TA F
FA TUKOK O
KE C. MOLL O SE L AT AN
MAT AW AI AT U MUTUNGG EDIN G
#
ME ORUMB A MA HU B OKUL WAI K ANA BU
B LI LA
NAUK AE
OOF BI NAUS
# BE S A NA
PO TO
KE C. RINDI UMA LULU K AT AK A LAI MB ONGA RA MUK
TA RIMB A NG
Ë UMA K AT AHA N
Ë
LOTA S
NIF UK I U
FA TUK OP A
NIK I NI KI UN PE NE UTA RA
KE C. AM ANUBA N T ENGAH
KA TE RI
KA KA NIU K
A LA LA
M AL AKA B A RAT
A MA NUB AN T IM UR
NOE B A-UN
NEK E NOE NONI
K UA LE U
Ë OEL BUBUK
TA NI NI NUA TA US HUE KNUT U
T AW UI
K AM ANAS A
BA NI BA NI
KE C. M AL AKA T ENGAH MA URI S U
KE C. MI OMA FO T IM UR HAE K TO NIB A AF
NIF UBOK E KI UOL A
KONB AK I LAOB
#
OB ES I LE LOB AT AN
LAK E KUN
FA TUARUI N SUS UL AK U NA NS E A N
#
LOLI B I JEL I T OB U
S EB OT A JA OB A KI OE BE SA
Ë
NEF OK OKO
A LA S S EL AT AN LIT AM AL I
#
LET NEO
MA NI K IN NOEMUTI OE NAK BA NF ANU
F AT UNI S UA N
TUNE TUTE M TUNUA BI JA EP UNU
NET P ALA
KA UNI K I
KE REA NA
LOE RA M
AI NI UT
AT MEN
NAI OLA NI AN
HAUL ASTUA I BA TA N S UA NAE BONLE U FA TUMNA S I NUNB ENA
NOE B ES I
KE C. M OLLO UT ARA
FA TUME TA N
W
PA TA WA NG
BA BULU
WE ME DA
SA LLU
EB A N
NE NA S
Ë NEF ONEUT
LI LI ANABA TNE S
A
OE LNAI NE O
UMA MA NU
PRAI NGK ARE HA
L AP EON
BI JA EP A SU
NOET OKO
NOE P ES U FA TUNENO
B ONMUTI
BI NAF UN
FA TUMONA S LEL OGAMA OHA E M
OE LB ANU
L ET KOLE MA NUBE LON
F AT US UK I
S
KE C. FA TULE U
KOT AK KA WA U MA I DA NG
PRA I B A KUL
Ë
NUAP I N
BI TOB E
LE LOB OK O
ËSA NLE O
OE TULU #
SA E NA M BA KUI N
FA UM ES E
T
MA K A ME NGG T I
KE C. T AB UNDUNG
#
NUMP ONI MANULE A
OE LA MI
FA TUNA US
SA UK IB E
U
# PA LA KA HEMB I
MB A TA K AP I DU PULU P ANJANG KI RI T ANA
U
K AWA NGU
MAULI RU PRA I P AHA
KO MB A PA RI
KUSA
OE NBI T
FA TUMNUT U
#
HAMB A LA P RA I LI U PA MB OTA NJ ARA
KONDA MA RA
LE WA PA K U
TA NARARA
WA TUMB EL AR
ALA S
NUNMA FO
Ë
# MA UNA I N A TA PE NP A H
OE LNEK E
NI LULA T
K AMA LA PUT I KA MB ANI RU
T EM U
#
K AMB AT A WU NDUT KA NGELI
KE C. LE W A
RUA
KE C. A MF OANG S ELA T A N
A
TA NDULA JA NGGA
RAK A WAT U
Ë KONDA MA LOB A
BI OBA B A RUT AE N
Ë
RAMB A NGA RU
#
Ë
T I MA U HONUK
L
UMB U LA NGA NG
WAI KA NA B U
ËOE LFA TU
SO LIU HA MBA PRA N I G
KE C. PA NDAW AI
UMB U P AB A L
DAME K A
W AI MANU
BA LI LOK U
LAB OYA BA W A PA TI A LA B AW A
M ON D U
PRA I BA KUL
UMB U MA MI JUK WA R I A SA
#
WA I LA WA
Ë
MAL I NJ AK GA URA
MANDEU
TE UN
TE BA L ANAUS MA UNA I N B
LE TMA FO
Ë
A FOA NNA IK LI U
#
BULU BOK A T
KA B EL A WUNTU ANA JI AK A MA TA WOGA A NA K AL ANG DOK A K AK A
KE C. W AL AKA KA W EL BI O
#
#
#
FA FI NE SU A
BA NNA E
T UB UHUE
KO LA BE
SA MB ALI LOK U
MA RA DES A
Y #
DI KI RA WA I K ARARA
P ANE NGGO E DE
HENE S
NA I TI MU
BA K US TULA MA
KE C. M AL AKA T IMUR
OE KOP A
UP FA ON
Ë
HAUME NI A NA NIMA SI OE OL O
#
KE WA R MA K IR
LOOKE
KE C. T A SIF E TO B A RAT
Ë
HAUT EAS BA RONUB AE N TUA LE NE T AUTP A H
S UP UN
SUB UN
TA SI NI F U NAE KA KE B KI FU
PRAI MADE TA MA DE RI
Ë
TA NA RARA
Ë
WE EL M I BU MA TA PY AW U K AL EMB U T LI LU # KA LE MBU NDA RA MA NE OMBA RA NDE UBU P E DE SOB A WA WI
KE C. W EW EW A TIË MUR
BURU K A GHU
KE C. KODI DENDUKA W AI HA
NUNUA NA H
WU N G A P ONDOK
WE EP A BOB A MA LI M ADA
WEE KOMB AK A
#
I NB A TE NA IN A B AN
KE C. MI OMA FO B A RAT NET E MNA NU S EL AT AN
WE NDE WA S EL AT AN
WE E P A TOLA LN I GO LA NGO WE E LURI K ARE K A NDUK U WA NOKA Z A WE ENA MB A WEE PA TA NDO
TOK BE SI SA I NIU P
FA FI NE SU B
S AI NONI HA UME NI A MOL KE FA ME NANU OEL BONA K UT ARA T AE KA S OE NENU KE FA ME NA NU T ENGAH
NET EMNANU UT ARA
#
TA NA H NB ANA S WE NDE WA T M I UR
MA LA TA ZA LA K A DU
WEE RE NNA
WA TU K AWULA
LA MAK SE NUL U
DUSRAT O
L AK MA RA S LOONUNA
#
NA EK A SA
LOKOME A B I LOE
# TA UNB AE N
LUNI UP
T UM BA EN PA NT AE
JA K
R
# WE E LONDA
Ë
BUKA MB ERO MANGGA NI PI
EK I N
TA KI RI N
T UK UNE NO
NAKU
MA K UN KULUA N
MAT AB E SI
HUMUSU A
FA FI NE SU C BI TE F K A AE NBA UN
KE C. L A MA KME N NUAL AI N
MA NL ET EN
B I RUNAT UN
MA NUME AN NI FUTA S I
KE C. B IB OKI SE LAT A N T AI NSA LA
#
BA KI T OL AS
NAP A N
A MF OA NG UTA RA
L EOWA LU DIR UN
TOHE
F AT UK E TY
S IF ANI HA
PONU
KE C. B IB OKI UT A RA OEP UAH
HUMUSU B
KE C. I NSA NA
B ENUS
WENDE WA UTA RA
#
KA RUNI
F UL UR
MA UM UT IN AS UMA NU
KA B UNA BA UHO
Ë
Ë#
Ë
Ë HUMUS U C
MANA MAS
0 -1
Ë
S ARA BA U UMA K LA RAN
A
SUNS E A
#
A IT OUN
KE C. T A SIF E TO T IM UR
JE NI LU
M
BA NA IN
#
#
I
A
B
M
O
T
A
L
Ë
Ë
WOG OWE LA
A
#
LA NGK URU
PA DA NGA LA NG
#
MA TA RU S EL AT AN WA KA P SI R
Ë
Ë
Ë
Y #
L
Ë KOLA NA S EL AT AN
Ë
KE C. A LOR S ELA T A N KUNE MA N
TRI BUR
Prosiding Kupang, 12 November 2007
Ë
E
#
PI DO SI L AI PUI
SI DA BUI
PI NT UM AS
KE C. A LOR B ARA T DAY A DE SA B A RU
MAUT A L AMMA
Ë
Ë
-9
S
T ANGLA PUI
TA RAMA NA
KA MOT
#
KE LA I SI T I MUR
MORBA
MA TA RU UTA RA
#
MURIA B ANG KA LONDAMA B ARA T
Ë
Ë
Ë
LE MB UR TI MUR
KE C. AL OR BA RAT L AUT LEMB UR T ENGAH
#
Ë MORU
WOLW AL
#
NULE
# K AY A NG
ILE KI MOK
Ë
Ë
# WA IS I KA
LE MB UR BA RAT
WE LA I BA RAT WE LA I SE LA T AN
A MPE RA ALOR K E CIL
PURA
B ARA LE R
#
#
OT VA I
Ë
K AL AB AH I TI MUR K AL AB AHI TE NGA H K AL AB AHI KOTA WE LA I T IMUR K AL AB AHI BA RA T DES A B ARU
A I MOL I ALO R BE S A R
BA TU
K AL EB
# #
S ERA NGGORA NG
KE C. AT ADE I
T UB UK RAJ AN
L AB AL IMUT
RI T AE BA NG NA WOK OT E PA IN AP A NG
PA NDA I
KA BI R
Ë
WA LA NGSA WA H
BA OP A NA
L AMA TUK A
K AT AK E JA
LAMA NU NUSA DA NI S UL EW AS E NG
RAT U L ODONG
BA NTA LA
BA LA URI NG
KE C. OME SURI LEUB AT ANG # DI KE SA RE
NI LA NA P O LE WOE LE NG L EDOTODOKA WA
Ë HA DA K EW A
B AOL ANGU
Ë
Ë
PA S R I P ANJA NG
SI NA HADI GAL A
#
# JONTONA K OLONTOB O LA RA NWUNTUN WA TODIR I
LEW OLE BA
WAT OK OB U
Ë
BA HI NGA
Ë
Ë
A PE
WA IE NGA
Ë
PE TUNTA WA
KE Ë C. LA B AT UKAN
KE C. NA GAW UTUNG
WA TOB#UK U LOHA Y ONG LA BE LE N ONGA LE RENG KE C. S OLOR TMOTONWUTU IM UR N PA MA KA YO MENA NGA WA TOHARI BA LA WEL I NG I LEW OGRARA N L EB AO BA LA WEL I NG I KA LI K E W AT ANHURA
WA I LA MUNG PE MA NA
Ë
TUENG PA NGGA GOL OL EW E KOL ANG COMP ANG NANTA L
AULE SA AMA K AK A LAM AGUTE NAP A SA BOK KE C. I LE TA GAW IT I L AMA TOKA N WA OWA LA BUNGA MUDA
DULIT UKA N KOLI PA DA N
#
LAM IK A WA TOTI K A I LE
LE WOLA GA NANGA M ES E
KOJA DOI T ADHO BE NT ENGT E NGA H # NGOL ONI O KOTA B ARU DARA T GUNUNG NEB E GOL ONGA WA N LE NGK OS AMB I RI A BE NTE NG RAM PA S # RENGK AM # LI ANG BUA RA KA LEW UR BE RE NE NU MB AY I I W EL U KE C. MA GEKOB A/ MA UROLE K RI NGA OJA NG LE NGK O NA MUT GOLO MUNDE TE NGK U LE SE # P OCONG TI WU KONDO P ONGLE NGOR WUDI LOB ONI K I BE A W AE K POCOLI A WA E MULU # AE WORA RANGGI P OCO COA L RA NOK OLO MA US AMB I NDEH ES KE C. RUT ENG L ANAMA I MB AY I L EMP ANG PA JI RANA MES E TA LI BURA ME L E R KAK O R GOLO CADOR SA TA R NA WA NG TOU TOWA K SA TA R NGK E LI NG NGK O I NGDORA # GOLOB I LA S HI KONG # GOL OWOROK WA NGK A NI TA KL OA NG NGGAL AK LE LE NG NIO PA NDA # TI WU RIW UNG WA L I MAUROLE RANGGU GOL ONDOAL GISI NG SA NGA N K AL O KE C. RIUNG KE C. DET US OKO KE C. NI T TA WA E B EL ANG K A R OT # # MA NDO SA WU ULU W A E GOLOR UU WOLOMA RA NG SE MANG CUMB I PIT AK TE NO MES E KE C. A ES E SA WE RANG GEL ONG KE C. KOM ODO WOLOMEZ E P ONG MURUNG MUK US AK I MBA U MUK U LONGK O MAUT ENDA WAT UNGGE RE T URA LOA CUNCA W UL ANG WURI NG DANGA TA NA RA WA GOL ODUKA L B UL AN WAT U NGGEL EK TE NDA TOT O FA TA AT U HANGA LAN DE P AU T E ND A # MACA NG TA NGGAR T OT O MALA #GOL ODE SA T B ANGKA LE LA K # RII T DUNTA L ANGGA S A I DHAW E NGGE S A WA S O C A R E P LAP E OLA A I NA BE # K EMP O PONGL AO LAMB A K E TA NG GOLO ME NI GOLOR UT UK WA T U K OTA UNENG TE DA MUDE LI A NG NDA RA CUNCA L OLOS SI PI ORONGPO NG WE LA K WOL OMUKU KE C. TA LI BURA GOLO LA LONG KE C. NA NGA P A NDA WE LA MOS A K ANGANA RA NIR ANGK LI UNG GURUNG BE NT ENG TA WA AI B URA P AA N W ARU URA NG KE C. S A TA RME SE SA NO LOK OM B ENT ENGRI WU KA B OR BE RU NA TA RMAGE DET UKE LI WA TUMIL OK PRUDA SA NOL OKON MOKE L # GOLO RONGGOT A J ONG MOCOK DENA TA NA NI TA WA TULI WUNG RUNUT RONDO WOI NG L ANGE DHA W E EG ON # L ANGIR NAMP A R MA CI NG K OTI NGA GOL ONDARI NG PONGKOR PA RA B UBU NANGA M EJE WAE KA NTA WA E B A NGK A WA IB LE LE R K OKOWA HOR TA NAL I NAM PA R MA NCI NG TA NI WODA #NEL LE BA RAT BOA FE O WOLOGAI # CI RE NG RANA MB EL N I G SE USI NA POGON NUAO NE KE B R I A NGGA LUNGA R GOLO MEL ENG BE NTE NG RAJ A WARLOK A PONG MA JOK PA PA NG LAB OL EW A KE RI RE A LA I KUTU K OTI NGB WA TUGONG I AN TE NNA KE C. KEW AP ANTE GOLO MA NT N I G # LI NG TI LA NG BL ORO DAL ENG GE RA TE BU K K OLE KE C. NANGA RORO KA MUB HE KA # T EK AI K U KO PONGRUBI T P ONGGE OK GOLO NDERU NGIN AM ANU GURUNG LI WUT KE C. WOLO WA RU KOTI NGD MEK E N DET UNG WOLOM AP A KE C. B AJ AW A NI E GENA TE NGA TI B A P OPO ROA UTE TOTO RE NG GA RAS I KOTI NGC WA E WA K O PO NT OA RA WE WO GOL OROS KURU B LA TA TA TI N UMAUT A WOLOMOTONG HE PA NG NGA MPA NGM AS WAE PA NA KE C. B OLA ULUWA E DE TUS OKO BU UT ARA ILI GA I GUL UNG WAE SA NO SI TA MAS UMELI WOLO DHE SA K LOA NGP OPOT GOLO TOLA NG L EL A KO ROW UWU WA IH A WA NAT A KOL I HEB I NG PIG A DOB O IP IR LA LONG TA NGGE UA NDUARI A WOLOL EL E A KEC. PA GA BOLA RENDU B UT OBE K AK OR TODO W OL OFE O MUNT N I G I NE LI KA KE C. LE LA HOK OR # WOLOT OLO T ENDAREA LI SE LOW OB ORA WOLOK OL I RANA MAS A K KE C. B OAW AE TE NDA MB E P A MBOT UTE NDA MA SE BE WA SI K KA NI OWULA WOL ONWAL U NUA MURI MB E NGA N BHE RA S EL A LE JO TOMB E RA BU 1 MA TA W AE LA NG GO KOAK RUAN S AGA DE TUP ERA NA GE OGA GOLO MORI # KE C. A IME RE # BE A NGE NCUNGNA NG A LA BA NG GE RODHERE NDUNGGA# KO ANARA # # NA RU TA RA WAJA LS I EDE TU RENDA LEGU GUNUNGMUTE LOA P AGA S US U RUKU RA MBA KE C. NDONA NANGA LI LI SURUNUMB ENG RANA LOBA RA PO RE NDU TOMB ERAB U I KE C. LE M BOR TE RONG P AK A LEMB UR # ONDORE A WAW OW A E WOLOA RAMB ULI LOO LODA OLO RI ARA JA WOLO PO GO WOLOS AMB I B HE RA MARI KE C. ENDE NGGORE A FA OB AT A HIL H I I NTI R RANA K OLONG SOK ORI A MB ENGU KE LI GE JO SA NGADE TO WOLO EDE BU SE LA TA N RA TONGA MOGO R A J A NA NG AB ERE NDORURE A WOLO WI RO PUUT UGA ROGA # TE NDA CEK A LUJU # NGE DU KE LU NDET UNDORA I LOKOB OK O WONDA # ROWA NAGE O GA WOLOWE A JOPU RONGG A KOE SO BO WIW P I E MO B AJ AWA KI S ANAT A S AT AR LE NDA NDET UNDORA I I RE PI UBE DU LUMOLO # NAGE S E PA DHI REGA B OKA S AP E JA WA P OGO MA NGULE WA LI A BE KE # W OL OJIT A K OTA KE O DEMULA K A SA TA R RUWUK WOLOP OGO WE A A U NAONEL AK O B OROK A NDA ROWORE KE C. B ORONG MA UBA SA KOT A NDORA KE C. WOGOMA NG ULE WA MA TA LOKO SA RA S EDU S OLO RE WA RANGGA PORA # KURULIM BU T ANA RA TA SA WU GHEOGHOMA #AI ME RE T ODA B EL U LEG UDE RU MUL A K OLI NUA MULU MBULI WA RA LA U B OMA RI WOL OTOP O RA KA LA BA K OTA RA TU NGGE LA RAT OGE S A KE LE WA E ULULOGAWOE WOLO F OA WOL OTE LU MA UT AP A GA W AT U NGGENE T AK AT UNGA NGA LUP OLO TONG GO NGA LUROGA BE JA RAK A T EDA I I DADA WE A MB ONGAW ANI KE L I MA U KE LI RA DA B A TA LEW A NGERA WULI WA LO TE TA NDA RA SE BO WULI NI LA RAK A TE DA I S ADHA KUT OW JI I B ARA T LOK A LAB A RUKU NL M I A TI WORI WU KE C. M AUP ONGGO KO TA GA NA KOT OWUJI TI MUR WE RE I WOLOK S I A BE L A MB AE NUA MURI N I E RI E DA RI WA LI PA UP ANDA W ERE I I # NARU WOLO WI T U ROMBA UA WA RUP ELE I KE ZE WE A WA TUMA NU WARUP ELE 2 BOBA KE LI T EY NE NOW EA
YË # #
#
Ë
#
TUA KE PA LEW OI # NGU
LA MA TUTU
#
GOLO LE BO GOLO W ANGKUNG B UT I
Ë
#
BA LA WE LI NG
KE C. A DONA RA TIM UR
Ë
#
GOLO MA NGUNG
ËL AT UNG
BE A ME SE # WA E CODITI MBU KE NTOL PE RA K TE NGKULA WA R MA NONG COMPA NGCI B AL KEC. CI BA L LEONG A RUS LAW I B ANGKA AJ ANG BA RANG ME LO P AGA L GOLO BU AR
GOLO P OLEN G
WA E B UKA
ADA NG
Ë
SA GU
Ë NAMP AR TA BA NG
#
BA JA K L OCE S AM BI
WEW IT A DO NA RA ADOB ALA SA NDOS I # DUWA NUR K OLI LOLOK LE WOP UL O LEW OHA LA NUB AL EM A RI NGB E LE KOLI LA NA NG HIN GA LA MAB LA O BA YA WA RI ANGK AMI E HUTA N WA I WADA N KE NOT AN LA MAHODA LA MA BUNGA PUK ENTO BI WA NGI BA O PA JI NIA N W ERANGGE RE P LE DO NIS A KA RANG IL E PA DUNG # K OKOTO BO LI TE TI KA T UKA NG A MAGA RAP AT I SUK UT OKA N IL EP A TI BOL ENG WA IL OLONG LARA NT UK A EK A S AP TA # TUWAG OE TOB I T AP OB AL I HORI NA RA MOK ANT ARAK LEW OB E LE WAT OL OLONG WUREH BA LE LA HOROW URA KA RI NGLA MA LOUK LOK EA LEB A NUB A KE C. ADONARA B ARA KA WE T LA NARA SA OS IN A LAMA TE WE LU DUA B LOLO NG K LUKE NGNUK I NG KI WA NGONA B I LA L HE LA NL ANGOWUYO WAI LE B E NA YUB A YA DAW AT A A LO W OT ANULUMADO WA IB URA K TUAWO BUNGA LAW A N # RIA WA LE OYA NGBA RANG # B UNGA B A LI L AMA HA LA JA YA # BE DAL EWUN
#
SA TA R P UNDA
RE O
MA TA A R I RI US
WA E K A JONG
LA NT E
L EUWOHUNG BA RE NG MA MPI R KA LI KUR BURIW URUNG UMA LE U LEUDANUNG KA OHUA KE C. B UY A SA RI # KA LI K UR W L ROMA HOEL EA B#ENI HADIN G LEUW AY ANG A TULA LE NG LEUB URI DOL UL OLONG ROHO HIN GAL AM AME NGI PA NA MA ME LUWI TI NG ARAME NGI MA HA L
# WA TOTUTU
SA TA R P ADUT
KE C. LA M BA LE DA
#
BA RU
RURA
KE C. RE O
KE C. KUWUS
KA BOLA LAW A HI NG
SI NA MA LA KA
#
TI WA TOB I
#
Ë ROB E K TOE
# NGGILA T NGGAL AK BA RI MB A K UNG ROK AP RAB A REGO WONTONG K OMB O
NANG KA NTOR
GOLO S EP ANG
Ë
Ë
ENORAE N
Ë
I
#
OE BE S
Ë
PA KU B A UN
T
0 -1
0
-9
W
30
-8
-8
Gambar 1. Peta tipe iklim Provinsi Nusa Tenggara Timur
Tipe Iklim di NTT
12%
1% 4% 18% A (Sangat Basah) B (Basah) C (Agak Basah) D (Sedang) E (Agak Kering)
35%
F (Kering) 30%
Gambar 2. Persentase tipe iklim di Nusa Tenggara Timur
Peta tipe iklim di Nusa Tenggara Timur disajikan pada Gambar 1 dan Gambar 2. Data tersebut menunjukkan bahwa di wilayah NTT intensitas hujannya tinggi dalam waktu yang singkat dan tidak merata, sehingga menimbulkan kekuatan yang sangat besar untuk memecahkan gumpalan-gumpalan tanah. Kekuatan menghancurkan tanah dari curah hujan jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan mengangkut air aliran permukaan (BPDAS. BN, 2006).
B. Kondisi Sosial Ekonomi 65
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
1. Jumlah Penduduk Jumlah Penduduk pada SWP DAS Benain Aisessa Kambaneru menurut hasil sensus penduduk tahun 2000, terdapat sebanyak 3.929.029 jiwa terdiri dari laki-laki sebanyak 1.941.791 jiwa dan perempuan 1.987.248 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk periode 1999 – 2000 rata-rata sebesar 1,91 % per tahun. 2. Tekanan Penduduk Jumlah penduduk yang ada dalam SWP DAS Benain Aisessa Kambaneru sebagain besar bermatapencaharian sebagai petani yaitu sebanyak 89,85% dari jumlah penduduk. Luas lahan pertanian seluas 1.586.848 ha atau 75 % dari luas SWP DAS prioritas Benain Aisessa Kambaneru, dimana luas lahan untuk hidup layak adalah 0,75 ha. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan rumus Tekanan Penduduk dari Sayogyo, SWP Das Benain Aisessa Kambaneru mempunyai Tekanan Penduduk kurang sari satu (< 1), yang berarti luas lahan pertanian yang ada masih dapat mendukung kehidupan penduduk yang bermatapencaharian dalam bidang pertanian. 3. Indeks Kesadaran Masyarakat Indeks kesadaran masyarakat untuk ketiga Sub SWP DAS yang dihitung berdasarkan Ratio antara Jumlah KK Anggota Kelompok Tani DAS dengan jumlah KK Petani dalam DAS (x 100%) adalah sebagai berikut : a. Sub SWP DAS Timor Barat, sebesar 30 % b. Sub SWP DAS Flores, sebagian sebesar 28 % c. Sub SWP DAS Sumba, sebesar 12 % 4. Tingkat Kesejahteraan Penduduk dalam DAS Tingkat Kesejahteraan Penduduk dalam DAS untuk ketiga Sub SWP DAS yang dihitung berdasarkan Ratio antara jumlah KK Anggota Kelompok Tani DAS dengan Jumlah KK Petani dalam DAS (x 100 %) adalah sebagai berikut: a. Sub SWP DAS Timor Barat, sebesar 65,33 % b. Sub SWP DAS Flores, sebesar 66,34 % c. Sub SWP DAS Sumba, sebesar 79,22 %
III. PERMASALAHAN DAN UPAYA REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN DALAM PENGELOLAAN DAS Prosiding Kupang, 12 November 2007 | 66
A. Kondisi Saat Ini Permasalahan dalam pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Nusa Tenggara Timur didominasi oleh daerah semi ringkai, dengan musim hujan pendek dan musim kemarau yang panjang. 2. Terjadinya degradasi hutan dan lahan yang ditunjukkan dengan luasnya lahan kritis. 3. Terjadinya erosi dan sedimentasi yang tinggi, bencana banjir dan longsor. 4. Keterpaduan dan koordinasi antar sektor, antar instansi masih lemah. 5. Konflik antar kepentingan antara daerah hulu dan hilir. 6. Tingkat pendapatan dan partisipasi masyarakat masih rendah. 7. Terbatasnya dana pemerintah. B. Prakondisi Untuk menangani permasalahan perlu adanya prakondisi melalui beberapa upaya : 1. Penyusunan rencana secara terpadu dan menyeluruh. 2. Menerapkan perencanaan partisipatif dalam setiap kegiatan. 3. Meningkatkan kapasitas dan kapabilitas kelembagaan, baik kelembagaan pemerintah maupun masyarakat termasuk peningkatan kualitas sumberdaya manusianya. 4. Menciptakan peraturan perundangan dan pranata sosial yang berkeadilan sehingga mampu menciptakan insentif bagi masyarakat untuk terlibat dalam program-program Rehabilitasi Hutan dan Lahan. 5. Meningkatkan akses masyarakat terhadap teknologi, permodalan dan pasar berkaitan dengan Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam rangka meningkatkan keberdayaan masyarakat untuk berpartisipasi, melalui penyuluhan, pendampingan, perkreditan dan informasi pasar produk-produk berbasis hutan. 6. Membangun kerjasama (networking) dengan berbagai pihak yang berkepentingan, organisasi pemerintah maupun nonpemerintah (Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi, Lembaga Penelitian).
C. Pola Pelaksanaan Pola pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan yang ditempuh pemerintah saat ini melalui program Gerakan Nasional Rehabilitasi 67
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
Hutan dan Lahan (GERHAN) yang dilakukan sejak tahun 2004. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan adalah merupakan Gerakan Moral yang dilandasi oleh semangat nasional, bertujuan untuk mengembangkan budaya rehabilitasi hutan dan lahan di masyarakat. Dukungan pemerintah hendaknya hanya bersifat stimulan atau pemicu guna mengembangkan kemampuan partisipasi semua pihak yang pada akhirnya dapat menimbulkan inisiatif-inisiatif baru dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan di setiap daerah (Departemen Kehutanan, 2007).
D.
Pola Pendekatan
1. Pendekatan Ekosistem: Satu DAS-Satu Rencana-Satu Pengelolaan Terpadu 2. Asas : keterpaduan, kemanfaatan, kelestarian, keadilan 3. Penyelenggaran : koordinasi lintas sektor/daerah/disiplin ilmu, terpadu, menyeluruh, berwawasan lingkungan, , transparan, partisipatif dan akuntabel 4. Kontribusi pembiayaan untuk pengelolaan sumberdaya alam DAS: a. Prinsip Pemanfaat Membayar (beneficiaries pay principle) yaitu : • Pengguna Membayar (users pay principle); • Pembuat Polutan/Limbah Membayar (polluters pay principle); b. Prinsip Kewajiban Pemerintah (government obligation principle) 5. Keselarasan dengan rencana tata ruang wilayah (RTRWP/RTRWK) 6. Tidak melampaui daya dukung wilayah dan daya tampung lingkungan 7. Selaras dengan otonomi daerah, nilai budaya dan kearifan tradisional masyarakat setempat
Pendekatan Sistem yang Terencana 1. Analisis/Model hidrologi, erosi, banjir, sedimentasi 2. Pengelolaan tanah, air, vegetasi (hutan), konservasi tanah dan air. 3. Instrumen pengelolaan : regulasi, bimbingan teknis, litbang, diklatluh, sarana/prasarana, kredit/subsidi, insentif/disinsentif. Tahapan Proses Manajemen Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 68
1. 2. 3. 4.
Arahan kebijakan (peraturan per UU, prinsip, kebijakan dasar) Perencanaan (proses, hirarki, penyusunan rencana) Pengorganisasian (para pihak, bentuk lembaga, forum DAS) Pelaksanaan (manajemen hutan/tanah/air, sarpras, kelembagaan) 5. Monev (penggunaan lahan, tata air, sosial ekonomi, kelembagaan) Keterkaitan Aktivitas Lintas Instansi/Lembaga 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Instansi Pemerintah Pusat/Propinsi/Kab/Kota Legislatif Yudikatif Akademisi LSM BUMN/BUMS/BUMD Kelompok masyarakat Media masa
E. Kondisi Ideal yang Diharapkan 1. Terjadinya peningkatan pendapatan dan partisipasi masyarakat. 2. Pemulihan kondisi dan pemulihan keseimbangn lingkungan. 3. Peningkatan kapasitas kelembagaan masyarakat. 4. Peningkatan peran serta para pihak
IV. PENUTUP Pembangunan Kehutanan bidang RLKT ditujukan untuk memberikan manfaat sebesa-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan, mengutamakan pelestarian sumberdaya alam dan fungsi lingkungan, serta memberikan kesempatan berusaha dan lapangan kerja. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan kritis melalui RLKT serta pengembangan fungsi DAS yang ditinggalkan dapat lebih meningkatkan daya dukung lingkungan hidup. Kunci keberhasilan pembangunan RLKT adalah perencanaan yang akurat dan handal, pengendalian yang konsisten dan mengacu pada permasalahan yang akan dicari solusinya. Pelaksanaan pembangunan RLKT memerlukan dukungan partisipasi masyarakat di dalam dan disekitar hutan serta peningkatan peran serta kelembagaan seperti koperasi dan LSM. Upaya RLKT yang dilaksanakan melalui pendekatan DAS harus bersifat menyeluruh dan terpadu antar berbagai sektor pembangunan kehutanan dan disiplin ilmu. 69
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media 2011
DAFTAR PUSTAKA BPDAS.BN. 2005. Data Dasar Wilayah Kerja Balai Pengelolaan DAS Benain Noelmina Tahun 2005. BPDAS.BN. 2006. Penyusunan Peta Iklim Wilayah Kerja Balai Pengelolaan DAS Benain Noelmina Tahun 2006. BPDAS.BN. 2007. Penyusunan Spasial Lahan Kritis Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2007. Departemen Kehutanan. 2007. Petunjuk Pelaksanaan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2007.
Prosiding Kupang, 12 November 2007
| 70
Lampiran 1. Luas lahan kritis di Propinsi NTT Kriteria lahan kritis No
Kabupaten
Tidak kritis Ha 0,00
Potensial kritis
% 0,00
Ha 145,26
Agak kritis
% 0,91
Ha 4.165,67
Kritis
Sangat kritis
% 25,98
Ha 11.723,05
% 73,11
Ha 0,02
% 0,00
1
Kodya Kupang
2
Kupang
464,35
0,08
16.442,69
2,79
148.034,32
25,10
375.051,81
63,59
49.822,85
8,45
3
236,16
0,06
3.792,58
0,96
77.013,68
19,51
285.734,81
72,39
27.922,77
7,07
0,00
0,00
1.461,92
0,55
69.168,04
25,91
180.318,61
67,54
16.021,43
6,00
5
Timor Tengah Selatan Timor Tengah Utara Belu
3.123,43
1,28
3.231,09
1,32
60.760,72
24,84
160.534,16
65,64
16.910,60
6,91
6
Rote Ndao
59,20
0,05
8.069,66
6,30
61.793,06
48,27
51.787,07
40,46
6.301,01
4,92
7
Alor
0,00
0,00
3.248,33
1,13
77.306,38
26,99
125.310,57
43,74
80.604,72
28,14
8
Lembata
0,00
0,00
3.329,08
2,63
21.333,25
16,85
63.619,24
50,24
38.356,43
30,29
130,65
0,07
5.473,16
3,02
47.569,33
26,24
84.465,00
46,59
43.643,87
24,08
0,00
0,00
4.910,40
2,84
46.816,81
27,03
69.588,74
40,18
51.874,04
29,95 42,38
4
9
Flores Timur
10
Sikka
11
Ende
0,00
0,00
2.076,64
1,01
43.412,79
21,21
72.434,00
35,39
86.736,58
12
Ngada
692,65
0,23
21.074,43
6,94
56.249,52
18,52
154.395,66
50,82
71.377,75
23,50
13
Manggarai
953,06
0,23
68.000,60
16,23
52.576,75
12,55
142.977,69
34,13
154.381,90
36,85
14
Manggarai Barat
517,51
0,18
23.315,84
7,91
74.291,74
25,21
108.323,86
36,75
88.301,05
29,96
15
Sumba Barat
2.700,76
0,67
28.227,17
6,97
123.908,63
30,58
177.305,42
43,76
73.048,01
18,03
16
Sumba Timur
12.784,34
1,83
88.574,38
12,65
218.332,29
31,19
199.387,44
28,48
180.971,55
25,85
Jumlah NTT
21.662,10
0,46
281.373,24
5,94
1.182.732,96
24,98
2.262.957,12
47,79
986.274,58
20,83
47 49
REHABILITASI DENGAN JENIS TANAMAN YANG MEMILIKI 7 KEUNGGULAN KOMPARATIF DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : 8 9 10 Sumardi , Tigor Butar Butar dan Bayu Adrian Victorino
ABSTRAK Studi kesesuaian lahan untuk rehabilitasi hutan dan lahan di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan menggunakan jenis kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. Cajuputi) telah dilakukan. Pemilihan jenis tanaman kayu putih didasarkan pada kemampuan jenis ini disamping dapat digunakan sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku industri penyulingan minyak kayu putih. Hal tersebut diharapkan dapat menciptakan enbaling condition, sehingga akan menimbulkan kesadaran diri pada masyarakat untuk melakukan rehabilitasi, karena disamping kegiatan rehabilitasi masyarakat dapat mengambil keuntungan untuk meningkatkan pendapatan sebagai salah satu alternatif peningkatan kesejahteraan. Studi dilakukan dengan mengkompilasi data persyaratan tempat tumbuh kayu putih dengan kondisi alam yang ada di NTT. Kondisi alam yang dimaksud meliputi faktor curah hujan, suhu udara, jenis tanah dan kelerengan. Alternatif model rehabilitasi yang ditawarkan adalah rehabilitasi menggunakan kayu putih dengan tanaman campuran tumpangsari berupa tanaman pangan seperti jenis kacang-kacangan, jagung dan ketela pohon. Dengan model tersebut diharapkan masyarakat dapat mengambil keuntungan jangka pendek berupa tanaman pangan untuk menjaga ketahanan pangan, jangka menengah dan panjang berupa pemanfaatan daun kayu putih untuk industri penyulingan, dengan tidak mengabaikan fungsinya sebagai tanaman rehabilitasi. Kata kunci : Rehabilitasi, kayu putih, enbaling condition
I. PENDAHULUAN Rehabilitasi hutan dan lahan merupakan suatu keharusan untuk segera dilaksanakan. Hal ini karena adanya peningkatan kerusakan hutan akibat penebangan liar dan pengelolaan hutan yang kurang optimal, sehingga menyebabkan lahan kritis semakin luas. Disamping itu akibat penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksi menyebabkan tingkat kesuburan tanah semakin menurun sampai pada tingkat marginal. Kerusakan hutan dan lahan di Indonesia sudah mencapai kondisi kritis. Laju kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan telah mencapai angka 7
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang 9 Kepala BPK Kupang 10 Pengendali Ekosistem Hutan pada BPDAS Benain-Noelmina 8
50
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
2,8 juta hektar per tahun, bahkan angka laju kerusakan hutan tersebut jauh lebih besar seperti dilansir oleh Ornop, yaitu mencapai 3,8 juta hektar per tahun (Wibowo, 2006). Kondisi peningkatan kerusakan hutan dan lahan juga terjadi di wilayah NTT. Salah satu sebabnya adalah aktifitas di atas lahan pada skala besar maupun kecil. Aktifitas skala besar misalnya kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan atau pemerintah untuk tujuan kepentingan tertentu tanpa memperhitungkan aspek kelestarian, sementara dalam skala kecil misalnya aktifitas masyarakat di atas lahan. Aktifitas skala kecil jika dilakukan secara berulang-ulang tanpa memperhatikan aspek kelestarian akan berpengaruh besar dalam proses penurunan kualitas lahan. Kebiasaan aktifitas sebagian masyarakat NTT di dalam maupun di luar kawasan hutan seperti penebangan liar untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar, pembakaran lahan untuk penyiapan lahan garapan pertanian, penggembalaan liar dan pertanian berpindah merupakan aktifitas yang dapat mempercepat penurunan kualitas lahan. Penurunan kualitas lahan juga sangat dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk yang berkorelasi positif dengan kebutuhan lahan untuk kepentingan tersebut di atas. Hal ini juga merupakan salah satu penyebab peningkatan lahan kritis di NTT. Luas lahan kritis di NTT tahun 2004 adalah seluas 3.242.591 ha, yang terdiri atas 966.680 ha berada pada kawasan hutan lindung, 1.083.703 ha pada kawasan budidaya dan 1.192.208 ha pada kawasan lindung (Anonimous, 2005). Luasan dan sebaran wilayah lahan kritis pada kawasan hutan lindung, budidaya dan lindung pada masing-masing Kabupaten di NTT disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Lahan kritis (ha) masing-masing kabupaten di NTT Kabupaten Kawasan hutan lindung Kota Kupang 2.321 Kabupaten Kupang 173.030 Kabupaten TTS 72.034 Kabupaten TTU 99.493 Kabupaten Belu 47.180 Kabupaten Rote Ndao 23.675 Kabupaten Alor 48.922 Kabupaten Lembata 28.029 Kabupaten Flores Timur 25.915 Kabupaten Sikka 32.906 Kabupaten Ende 33.149 Kabupaten Ngada 71.790 Kabupaten Manggarai 50.047 Kab. Manggarai Barat 50.832 Kabupaten Sumba Barat 69.133 Kabupaten Sumba Timur 138.224 Jumlah 966.680 Total Sumber: Anonimous, 2005
Kawasan budidaya 4.951 212.468 211.950 82.846 119.510 32.826 34.367 22.745 36.173 12.951 8.379 59.376 64.590 31.451 106.060 43.060 1.083.703 3.242.591
Kawasan lindung 0 39.185 29.434 13.995 10.579 482 122.100 51.165 65.994 75.542 117.616 94.433 190.666 106.842 75.174 199.001 1.192.208
51
Total luas lahan kritis tersebut menunjukkan luasan yang relatif besar jika dibandingkan dengan total luas daratan NTT seluas 4.735.000 ha (Anonimous, 2005). Bencana banjir dan tanah longsor yang semakin sering terjadi di NTT akhir-akhir ini, merupakan salah satu indikasi peningkatan luas kawasan hutan yang rusak dan lahan kritis yang semakin meningkat. Upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang pernah dan sedang dilakukan di wilayah NTT belum banyak menunjukkan keberhasilan. Hal ini antara lain disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan, kondisi sosial budaya masyarakat dan minimnya daya dukung informasi dan teknologi rehabilitasi untuk mendukung keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka makalah ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mendukung keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan, permasalahan dan beberapa upaya rehabilitasi hutan dan lahan yang dapat dilakukan. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat terutama dalam upaya rehabilitasi lahan dengan menggunakan jenis-jenis tanaman yang memiliki keunggulan di Nusa Tenggara Timur. II. FAKTOR-FAKTOR YANG MENDUKUNG KEBERHASILAN REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN A. Faktor Lingkungan Faktor lingkungan pada suatu kawasan mempunyai peranan penting dalam menentukan keberhasilan rehabilitasi lahan. Faktor lingkungan tersebut antara lain iklim, batuan, jenis tanah dan topografi yang saling berhubungan untuk menciptakan lingkungan tertentu pada suatu wilayah. 1. Iklim Iklim merupakan bagian dari komponen penyusun suatu ekosistem yang bersifat dinamis dan merupakan sumberdaya penting bagi lingkungan kehidupan tanaman. Beberapa unsur utama iklim antara lain adalah air, curah hujan, sinar matahari dan udara. Wilayah NTT memiliki iklim semiarid, dengan curah hujan yang relatif rendah, dan tipe curah hujan bervariasi dari mulai B sampai F (Schmidt & Ferguson, 1951). Secara umum wilayah NTT 0 memiliki suhu maksimum rata-rata 31,6 C dan suhu minimum 0 21,5 C dengan intensitas curah hujan tinggi namun berlangsung dalam waktu singkat dan tidak merata. Rata-rata curah hujan dan hari hujan di wilayah NTT dari tahun 1994 sampai dengan 2003 untuk masing-masing kabupaten disajikan pada Tabel 2.
52
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Tabel 2. Rata-rata curah hujan dan hari hujan di NTT tahun 1994 2003 Kabupaten Kota Kupang Kabupaten Kupang Kabupaten TTS Kabupaten TTU Kabupaten Belu Kabupaten Rote Ndao Kabupaten Alor Kabupaten Lembata Kabupaten Flores Timur Kabupaten Sikka Kabupaten Ende Kabupaten Ngada Kabupaten Manggarai Kabupaten Manggarai Barat Kabupaten Sumba Barat Kabupaten Sumba Timur Jumlah Rata-rata
Rata-rata CH (mm) HH (mm) 1675,67 77,30 1600,07 71,53 1448,08 97,66 1486,75 79,80 1556,76 76,60 1410,26 72,50 1122,29 64,13 905,80 76,00 1510,81 86,13 1916,77 79,04 1729,84 96,25 1767,00 99,13 1982,40 107,24 2155,46 115,26 1806,90 85,00 1224,33 58,77 30999,19 1322,34 1937,45 82,65
Sumber : Diolah dari Anonimous, 2005
Berdasarkan Tabel 2, rata-rata curah hujan tertinggi antara tahun 1994 sampai dengan 2003 terdapat di Kabupaten Manggarai Barat sebesar 2155 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 115 hari per tahun. Sedangkan rata-rata curah hujan terendah terdapat di Kabupaten Lembata yaitu sebesar 906 mm per tahun dengan rata-rata hari hujan sebanyak 76 hari. Dari data tersebut, menunjukkan bahwa wilayah NTT memiliki intensitas hujan tinggi tetapi terjadi dalam waktu singkat dan tidak merata. 2. Batuan atau Geologi Jenis batuan atau geologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi karakteristik tanah. Berdasarkan peta geologi skala 1 : 250.000 tahun 1981, 1987, 1997 dan RePPProT tahun 1989 wilayah NTT memiliki beberapa jenis batuan (Anonimous, 2005). Beberapa jenis batuan tersebut antara lain adalah jenis batuan sedimen marine seluas 340.255 ha (7,19%), endapan bahanbahan kipas seluas 113.017 ha ( 2,39%), batu gamping dan batu pasir 1.356.694 ha (28,65%), basalt dan andesit 1.489.898 ha (30,81%), lempung 562.623 ha (11,88%), tefra 123.100 ha (2,60%), granit dan granodiorit 39.037 ha (0,82%), supertinit 10.447 ha (0,22%), riyolit 1.886 ha (0,70%), filit dan sekis 33.038 ha (0,70%). Berdasarkan data tersebut, jenis batuan yang dominan di wilayah NTT adalah Basalt dan Andesit. Basalt merupakan batuan 53
beku yang berasal dari lava gunung berapi, berwarna hitam dan mempunyai kandungan unsur besi dan magnesium yang tinggi. Sedangkan batuan Andesit merupakan batuan yang berasal dari lava gunung berapi dalam bentuk aliran, sil dan retas. Berdasarkan kandungannya batuan andesit dibedakan menjadi dua yaitu batuan Andesit Homblenda (mengandung homblenda) dan andesit piroksin (mengandung piroksin). Dominasi batuan berikutnya adalah batuan gamping, merupakan batuan hasil sedimentasi bahan kimia yang memiliki kandungan utama adalah senyawa karbonat yaitu CaCO3 atau (CaMg)CO3. Selain senyawa karbonat, di dalam batuan gamping juga terdapat bahan campuran lain yaitu bahan silikat (kuarsa, opal, dsb) dan mineral aluminosilikat yang berukuran liat. 3. Tanah Berdasarkan peta skala 1 : 1.000.000 tahun 1993 jenis tanah di wilayah NTT terdiri dari sembilan jenis tanah (Anonimous, 2005). Jenis tanah tersebut antara lain adalah Aluvial, Regosol, Renzina, Podsolik Kambisol, Andosol, Grumusol, Latosol dan Mediteran. Penyebaran luasan masing-masing jenis tanah yang menunjukkan luasan dan persentasenya di wilayah NTT disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Sebaran jenis tanah di NTT Jenis tanah Aluvial Regosol Renzina Podsolik Kambisol Andosol Grumusol Latosol Mediteran
Luas (ha) 295.867 55.943 1.007.306 400.456 2.547.648 215.437 53.717 52.822 105.804
Persentase (%) 6,25 1,18 21,27 8,46 53,8 4,55 1,13 1,12 2,23
Sumber : Diolah dari Anonimous, 2005 Berdasarkan Tabel 3, wilayah NTT didominasi oleh jenis tanah Kambisol dan Renzina. Kedua jenis tanah tersebut memiliki tekstur lempung liat berpasir, strukturnya gumpal, dengan daya infiltrasi agak besar sehingga air lebih mudah meresap ke dalam tanah. Jenis tanah Kambisol termasuk golongan tanah Inceptisols, merupakan tanah yang telah mengalami perkembangan seperti ditunjukkan oleh adanya horizonisasi namun tidak dijumpai horizon penumpukan partikel liat (Argilik). Tanah ini umumnya dijumpai di daerah yang bergelombang dan berombak. Oleh karena telah terjadi perkembangan tanah, maka terdapat ruang yang cukup 54
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
untuk pertumbuhan perakaran tumbuhan. Jenis tanah ini sering terdapat pada daerah beriklim panas dengan kejenuhan basa rendah. Jenis tanah Renzina mengandung kapur (CaCO3) dengan pH tanah berkisar antara 7,8 – 8,4 (basa/alkalis). Menurut Hardjowigeno (1993) jenis tanah tersebut mengandung bahan organik lebih dari 1 %, dengan Kejenuhan Basa lebih dari 50 % dan berwarna kelam seperti tanah dalam keadaan lembab. Jenis tanah Renzina termasuk golongan tanah Mollisols adalah tanah yang mempunyai horizon (epipedon) berwarna gelap, lunak, gembur, kaya bahan organik, phosfat dan kandungan basa-basa tinggi. Tanah ini terbentuk oleh karena iklim yang agak kering atau oleh karena pengaruh kuat dari bahan induk tanah yang relatif kaya unsur-unsur basa. Pada umumnya tanah ini kekurangan Kalium dan unsur hara tambahan. Selain jenis tanah yang mendominasi di wilayah NTT tersebut, antara lain jenis tanah Aluvial yang pada umumnya merupakan tanah yang subur. Regosol merupakan jenis tanah yang belum memiliki persediaan unsur hara yang masih sedikit namun dapat diperbaiki dengan pemupukan organik. Podsolik merupakan tanah yang miskin hara dengan bahan organik rendah dan bersifat asam karena pH yang rendah serta Kejenuhan Basa rendah. Andosol merupakan jenis tanah yang memiliki bahan organik tinggi dengan pH asam yaitu berkisar antara 4,5 – 6 dan Kejenuhan Basa rendah. Grumusol merupakan jenis tanah yang mengandung kapur atau gamping dengan pH tanah berkisar antara 6 – 8,2 dan memiliki kandungan bahan organik antara 1,5 – 4 %. Latosol merupakan jenis tanah yang miskin hara dan memiliki tekstur lempung – geluh. Mediteran merupakan jenis tanah yang bereaksi alkalis sehingga bersifat basa dengan kandungan bahan organik yang rendah. 4. Topografi Berdasarkan pengukuran peta topografi skala 1 : 100.000 wilayah NTT terdiri dari 7 kelas kelerengan, yaitu datar, sangat landai, landai, agak curam, curam, sangat curam dan sangat curam sekali (Anonimous, 2005). Sebaran luasan masing-masing kelerengan yang menunjukkan luasan dan persentasenya di wilayah NTT disajikan pada Tabel 4.
55
Tabel 4. Sebaran masing-masing kelerengan di wilayah NTT Kelas Kelerengan
Tingkat kelerengan (%) 0 s/d 2 3 s/d 8 9 s/d 15 16 s/d 25 26 s/d 40 41 s/d 60
Datar Sangat landai Landai Agak curam Curam Sangat curam Sangat curam sekali > 60 Sumber : Diolah dari Anonimous, 2005
Luas (ha) 371.130 320.715 325.822 490.673 1.127.965 1.909.449
Persentase (%) 7,84 6,77 6,88 10,36 23,82 40,32
189.246
4,00
Dari Tabel 4, menunjukkan bahwa wilayah NTT didominasi oleh lahan dengan kelas kelerengan yang sangat curam. Kondisi tersebut mengindikasikan perlunya prioritas upaya rehabilitasi untuk melindungi lahan dengan kelas kelerengan tinggi dari terjadinya erosi dan longsor. B. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat NTT Jumlah penduduk di NTT menurut statistik sosial dan kependudukan NTT sampai dengan tahun 2004 (Biro Pusat Statistik, 2005) adalah sebanyak 4.133.268 jiwa, dengan komposisi berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20.049.933 jiwa dan perempuan sebanyak 2.089.273 jiwa, sehingga kepadatan 2 penduduk di wilayah NTT adalah sebesar 87 jiwa per km . Kepadatan jumlah penduduk terbesar terjadi di Kota Kupang 2 dengan kepadatan jumlah penduduk sebesar 1.452 jiwa per km . Tingkat pendidikan penduduk di NTT menurut data Badan Pusat Statistik Propinsi NTT sampai dengan tahun 2004 (Biro Pusat Statistik, 2005) adalah tidak atau belum pernah sekolah sebanyak 350.479 jiwa, tidak atau belum tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 924.449 jiwa, tamat SD sebanyak 1.029.500 jiwa, tamat Sekolah Menengah Lanjutan Pertama (SLTP) sebanyak 361.043 jiwa, tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) sebanyak 350.588 jiwa dan tamat Perguruan Tinggi (PT) sebanyak 74.428 jiwa. Dalam kehidupan sehari-hari sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian sebagai petani. Untuk menjaga ketahanan pangan masyarakat mengenal sistem tumpangsari, yakni memanfaatkan lahan untuk menanam tanaman pangan bersama-sama dengan tanaman perkebunan dan atau tanaman keras lainnya. Dengan demikian, masyarakat mendapatkan hasil tanaman pangan sebagai hasil jangka pendek, sedangkan tanaman perkebunan dan atau tanaman keras lainnya sebagai hasil jangka menengah dan panjang. 56
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
III. PERMASALAHAN Wilayah NTT dikenal sebagai daerah semiarid tropik, yang disebabkan oleh angin musim basah dan kering yang menentukan permulaan dan waktu musim hujan pendek dan musim kemarau yang panjang. Ketebalan solum yang tipis, miskin hara dan tanah berbatu termasuk dalam karakteristik kondisi alam di NTT. Kondisi tersebut sebenarnya bukan merupakan satu-satunya faktor penghambat keberhasilan rehabilitasi yang telah dan sedang dilaksanakan. Aspek masyarakat sebagai aset penting sebagai penunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan belum dimanfaatkan secara optimal, disamping itu permasalahan teknis di lapangan seringkali masih terjadi dalam usaha rehabilitasi di NTT. Permasalahan teknis yang dimaksud, dibatasi pada pengertian kemampuan dan keahlian teknis rehabilitasi dan pemeliharaan tanaman rehabilitasi yang diusahakan. Masyarakat sebagai aset penting dalam menunjang keberhasilan rehabilitasi hutan dan lahan belum dilibatkan secara optimal. Hal ini terindikasi dengan belum optimalnya usaha menumbuhkan kesadaran untuk melakukan rehabilitasi. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan peranan masyarakat dalam rehabilitasi perlu diciptakan suatu kondisi yang saling menguntungkan antara pihak masyarakat dan pihak pengembang enbaling condition . Pihak pengembang dalam hal ini bisa saja dari pihak pemerintah, sehingga kemauan dan kesadaran akan tumbuh dengan sendirinya dari masyarakat. Usaha tersebut dilakukan karena rehabilitasi hutan dan lahan kritis tidak dapat dilakukan hanya mengandalkan dana anggaran pemerintah (baik pemerintah pusat maupun daerah). Untuk mendukung terciptanya enbaling condition bagi masyarakat harus disiapkan beberapa alternatif pengelolaan dan usaha rehabilitasi yang tepat pada daerah tertentu dengan mempertimbangkan kondisi alam masing-masing daerah. IV. BEBERAPA UPAYA REHAB HUTAN DAN LAHAN Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai jenis tanaman kehutanan yang memiliki kesesuaian tempat tumbuh dengan lokasi rehabilitasi. Pemilihan jenis tanaman yang tepat merupakan salah satu faktor keberhasilan dalam melaksanakan kegiatan rehabilitasi. Dengan pemilihan jenis yang sesuai dengan kondisi tempat tumbuh akan memberikan peluang keberhasilan lebih tinggi. Pemilihan jenis tanaman yang memiliki nilai positif bagi masyarakat terutama dalam hal peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu dipertimbangkan. Dengan memilih jenis tanaman yang dapat meningkatkan kesejahteraaan 57
masyarakat, akan mendorong kemauan masyarakat untuk melakukan rehabilitasi dengan harapan masyarakat akan memperoleh dampak positif dari kegiatan tersebut. A. Kayu Putih sebagai Alternatif Jenis Tanaman Rehabilitasi Upaya penanaman dan budidaya kayu putih ( Melaleuca cajuputi) merupakan salah satu alternatif untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi di NTT. Hal ini karena kayu putih selain dapat dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan untuk industri penyulingan minyak kayu putih. Tujuan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi dengan menggunakan jenis tertentu dapat tercapai, dan disisi lain masyarakat dapat memanfaatkan daunnya untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Pemilihan kayu putih sebagai salah satu alternatif jenis tanaman rehabilitasi di NTT, karena daerah NTT merupakan salah satu tempat tumbuh asli kayu putih. Ditinjau dari jenis tanah, iklim dan lingkungan lainnya tentunya jenis tanaman ini sesuai dikembangkan di NTT. Berdasarkan hasil studi telah dilaporkan o bahwa sebaran alami M. cajuputi subsp. cajuputi berkisar 12 o Lintang Utara sampai dengan 18 Lintang Selatan dengan sebaran alami di Kepulauan Maluku, Pulau Timor dan Australia bagian Utara dan Barat Daya (Doran et al., 1998). Jenis tersebut tumbuh pada ketinggian 5 – 400 m dari permukaan laut, tetapi berdasarkan hasil eksplorasi oleh Susanto et al. (1998) jenis tersebut juga tumbuh pada daerah-daerah pegunungan maupun dataran rendah yang berbatasan dengan pantai. Jenis ini tumbuh pada zona iklim yang panas dengan kelembaban tinggi hot humid, rata-rata suhu o maksimum pada bulan kering antara 30 -37 C dan rata-rata suhu o minimum pada bulan basah 25 – 28 C, rata-rata curah hujan setiap tahun antara 1300 – 3400 mm namun sebagian kecil tumbuh pada curah hujan setiap tahun antara 540 – 4000 mm (Doran et al., 1998). Tanaman kayu putih tidak memerlukan kondisi tanah yang khusus, jenis ini mampu tumbuh pada tanah liat, berpasir bahkan pada tanah berkapur. Pada tanah yang sering tergenang air jenis ini mampu bertahan hidup, namun demikian jenis ini tidak tahan terhadap tanah yang berkadar asam tinggi (Sunanto, 2003). Oleh karena itu untuk memberikan kondisi lingkungan tanah yang optimal untuk pertumbuhan M. cajuputi, dilakukan dengan pemilihan lokasi tanah dengan pH dengan kadar asam yang tidak tinggi. Namun demikian di Mekong Delta Vietnam, M. cajuputi mampu bertahan pada pH tanah dan air 2,5 – 4,5 selama bulan Mei sampai dengan Juli (Doran et al., 1998). Berdasarkan hasil penelitian di lokasi penelitian kayu putih di Kefamenanu persen hidup tanaman kayu putih sampai dengan 58
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
umur 1 tahun 11 bulan di lapangan sebesar 92,8 persen. Tanaman tersebut ditanam pada jenis tanah Renzina. Berdasarkan hasil analisa Laboratorium Tanah Universitas Nusa Cendana Tahun 2005, tenah tersebut memiliki pH tanah (H2O) 8,2 pada lapisan atas dan 7,1 pada lapisan bawah, sedangkan pH tanah (KCl) sebesar 8,0 pada lapisan atas dan 7,0 pada lapisan bawah (lapisan bawah diambil pada kedalaman 60 cm). B. Alternatif Model Rehabilitasi Dengan menciptakan enbaling condition bagi masyarakat untuk menunjang keberhasilan rehabilitasi, maka masyarakat dengan sendirinya akan berusaha untuk melakukan atau memelihara jenis tanaman rehabilitasi. Hal ini dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk tanggung jawab pentingnya program rehabilitasi oleh pemerintah, selain kepentingan masyarakat untuk mendapatkan tambahan penghasilan dari pemanfaatan jenis tanaman rehabilitasi. Untuk mempertahankan enbaling condition tersebut, selain jenis tanaman kayu putih pada lahan yang sama dilakukan penanaman jenis tanaman tumpangsari berupa tanaman pangan untuk menjaga ketahanan pangan bagi masyarakat. Model rehabilitasi yang ditawarkan disini adalah rehabilitasi lahan dengan menggunakan jenis tanaman kayu putih (M. cajuputi subsp. cajuputi) dengan menggunakan tanaman campuran tumpangsari berupa tanaman pangan. Tanaman pangan yang dapat ditumpangsarikan berupa tanaman kacang-kacangan, jagung dan ketela pohon. Penanaman jenis kayu putih dilakukan dengan jarak tanam 3 x 1 meter, hal ini dimaksudkan untuk memberikan ruang yang cukup bagi penanaman jenis tanaman tumpang sari seperti kacang tanah, jagung dan ketela pohon. Kayu putih sebagai tanaman utama untuk tujuan rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan oleh masyarakat untuk bahan baku industri penyulingan minyak kayu putih. Pemanenan daun kayu putih jadikan sebagai hasil jangka menengah dan jangka panjang. Pemanenan kacang tanah, jagung dan ketela pohon dimanfaatkan masyarakat sebagai hasil antara untuk memenuhi kebutuhan pangan masyarakat sebelum masyarakat dapat memanen daun kayu putih. Pemilihan jenis tanaman tumpangsari dengan kacangkacangan dan jagung dilakukan dengan pertimbangan, bahwa tanaman ketela pohon dan jagung yang ditanam berselang-seling dengan kacang-kacangan akan meningkat hasilnya, karena terjadinya peningkatan N tersedia di dalam tanah. Selain itu ditinjau dari persyaratan tempat tumbuh dari segi pH tanah, ketiga jenis tanaman pangan yang digunakan sebagai tanaman tumpangsari tersebut memiliki persyaratan tumbuh yang dapat digunakan sebagai lahan pengembangan dan penanaman kayu 59
putih. Jagung dan ketela pohon akan tumbuh optimal pada pH tanah 5,5 – 7,5 dan kacang tanah pada pH tanah 5,0 – 7,5. C. Lokasi Rehabilitasi Dengan Jenis Kayu Putih Pemilihan lokasi yang dijadikan sebagai site untuk penanaman jenis tertentu dari kegiatan rehabilitasi merupakan salah satu faktor penentu dalam menunjang keberhasilannya. Pemilihan lokasi rehabilitasi menggunakan jenis tanaman kayu putih dengan model campuran dengan tanaman tumpangsari jenis tanaman pangan disini, masih dibatasi pada faktor curah hujan, tanah dan kelerengan. Dengan mempertimbangkan persyaratan tumbuh jenis tanaman kayu putih (M. cajuputi subsp. cajuputi) meliputi faktor curah hujan, jenis tanah dan kelerengan seperti telah disampaikan sebelumnya maka untuk menentukan lokasi penanaman kayu putih untuk tujuan rehabilitasi tentunya data-data persyaratan tempat tumbuh kayu putih akan dikompilasi dengan kondisi alam yang ada di NTT. Kondisi alam NTT yang meliputi faktor iklim yang didasarkan pada curah hujan sepuluh tahun terakhir yaitu tahun 1994 sampai dengan 2003, tanah dan kelerengan (kelerengan yang digunakan adalah dibawah 40%) telah disampaikan pada bagian sebelumnya. Berdasarkan data persyaratan tempat tumbuh kayu putih dan kondisi alam NTT maka didapatkan beberapa lokasi yang optimal untuk penanaman kayu putih. Lokasi-lokasi tersebut disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan 5. Dari Lampiran tersebut terlihat bahwa hampir semua wilayah NTT dapat digunakan untuk penanaman jenis tanaman kayu putih, yang didasarkan dari faktor iklim yang meliputi data curah hujan, tanah dan kelerengannya. Hal tersebut sangat sesuai dengan kenyataan pada beberapa dekade terdahulu bahwa wilayah NTT merupakan salah satu tempat tumbuh alami M. cajuputi subsp. cajuputi. Namun demikian diantara semua wilayah NTT yang dapat digunakan untuk penanaman kayu putih ada beberapa lokasi yang optimal untuk lokasi penanaman. Lokasi yang optimal tersebut adalah seperti disajikan pada Lampiran 1 sampai dengan 6 pada peta yang ditandai dengan adanya warna hijau dengan batas luar garis berwarna biru. Lokasi tersebut meliputi sebagian dari sejumlah kabupaten yang ada di NTT, dengan persentase terbesar berturut-turut berada di wilayah Kabupaten Sumba Barat, Sumba Timur dan Daratan Timor. Sementara lokasi selain itu merupakan lokasi yang kurang optimal namun masih dapat digunakan sebagai site untuk penanaman kayu putih yang ditandai dengan warna kuning dengan batas luar garis berwarna biru, karena masih berada pada batas persyaratan tumbuh kayu putih. 60
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Berdasarkan data tersebut di atas maka jenis tanaman kayu putih disarankan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif jenis tanaman untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah NTT disamping untuk tujuan ekonomis. V. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan kondisi alam di NTT yang didasarkan dari faktor iklim yang meliputi data curah hujan sepuluh tahun terakhir yaitu antara tahun 1994 sampai dengan 2003, jenis tanah dan kelerengan, hampir seluruh wilayah di NTT sesuai untuk penanaman jenis tanaman kayu putih, dengan berbagai persyaratan tempat tumbuh jenis tanaman tersebut. Dengan demikian hendaknya jenis tanaman kayu putih dijadikan sebagai salah satu jenis tanaman untuk tujuan rehabilitasi hutan dan lahan kritis di wilayah NTT. Hal ini karena disamping fungsinya sebagai tanaman rehabilitasi, daunnya dapat dimanfaatkan masyarakat sebagai bahan baku penyulingan minyak kayu putih sebagai sumber tambahan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2005. Data Base dan Informasi DAS di Wilayah BPDAS Benain Noelmina Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. Kerjasama BPDAS Benain Noelmina dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Universitas Cendana. Kupang. Biro Pusat Statistik. 2005. Nusa Tenggara Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik. Kupang. Doran, J.C., A. Rimbawanto, B.V. Gunn and A. Nirsatmanto. 1998. Breeding Plan for Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi in Indonesia. CSIRO Forestry and Forest Products, Australian Tree Seed Centre and Forest Tree Improvement Research and Development Institute, Indonesia. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Schmidt, F.H. & J.H.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period ratios for Indonesia ith Western New Guinea. Verhand. No. 42. Kementrian Perhubungan, Djawatan Meteorologi dan Geofisika, Jakarta. Sunanto, H. 2003. Budidaya dan Penyulingan Kayu Putih. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Susanto M., P. Tambunan dan Mulyanto. 1998. Laporan Ekplorasi Benih Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi di Kepulauan 61
Maluku. Balai Litbang Pemuliaan Benih Tanaman Hutan Yogyakarta kerjasama dengan CSIRO Forestry and Forest Products. Wibowo, S. 2006. Rehabilitasi Lahan Pasca Operasi Illegal Logging. Wana Aksara. Banten.
62
Lampiran 1. Peta lokasi yang sesuai untuk penanaman kayu putih di Kabupaten Alor dan Lembata ' 0 0 5 ° 2 5 1 2 1
PETA KESESUAIAN TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) DI PULAU ALOR DAN LEMBATA
' 0 0 ° 8
' 0 3 ° 4 2 1
8 -
8 8 -
' 0 0 4 ° 4 2 2 1 1
' 0 3 ° 3 2 1
' 0 0 °
AL OR BARAT LAUT TEL UK MUTIARA AL OR T EN GAH UTAR A AL OR TIMU R L AU T
BU YASAR I AD ONARA TI MUR
Kab. Alor ILE APE
AL OR TIMU R
PAN TAR
OMESURI
AL OR SELATAN AL OR BARAT DAYA
LEBATUKAN
NUBATUKAN
Kab. Lembata ' 0 3 ° 8
ATADEI
PAN TAR BARAT
' 0 3 ° 8
NAGAW UTU NG
a
O
m
b
i
WUL ANDON I
a
t
e
l
S
N W
E S
10
0
10
20
30 Km
Skala 1 : 850.000 Keterangan :
9 -
Kelerengan Sesuai ( < 40 % )
Sumber : - Peta Sistem Lahan RePPPRoT Provinsi NTT Tahun 1989 Skala 1 : 2 50.000 - Peta Administrasi Nusa Tenggara Timur Tahun 1998, S kala 1 : 100.000 - Peta Rupa Bumi Indonesia tahun 1999, Skala 1 : 25.000 - Analisa Data tahun 2007
Kelerengan Kurang Sesuai ( > 40 % ) Jenis Tanah Optimal ( Alluvial, Grumosol, Latosol, Mediteran, Oxisol, Regosol, Renzina ) Jenis Tanah Kurang Optimal ( Andosol, Kambisol, Podsolik )
' 0 0 ° 9
' 0 9 0 ° 9
5 2 1
4 2 1
' 0 0 ° 5 2 1
' 0 3 ° 4 2 1
' 0 0 ° 4 2 1
' 0 3 ° 3 2 1
1
KESESUAIAN ANTARA KONDISI LAHAN DENGAN JENIS-JENIS POHON HUTAN11 Oleh : 12 Yelin Adalina
ABSTRAK Dalam upaya mencapai keberhasilan rehabilitasi lahan terdegradasi yang memiliki kondisi berbeda-beda, maka pengetahuan mengenai kesesuaian antara jenis pohon yang dipilih dengan tempat tumbuh dimana jenis-jenis tersebut hendak ditanam menjadi sangat penting. Terdapat dua kelompok jenis pohon yang harus diperhatikan yaitu formasi vegetasi jenis-jenis pohon klimatis dan formasi vegetasi jenis-jenis pohon edafis. Jenis pohon klimatis meliputi hampir semua jenis pohon yang secara alami tumbuh di lahan daratan dan jenis pohon edafis yaitu jenis yang jumlahnya relatif lebih sedikit, yang berasal secara alami dari kondisi alami tertentu yakni jenis vegetasi mangrove, pantai dan payau. Jenis pohon yang akan ditanam harus berdasarkan pada iklim yang sesuai, yang berkaitan dengan letak ketinggian tapak lahan untuk kelompok jenis pohon klimatis dan berdasarkan tipe tanahnya untuk kelompok jenis pohon edafis. Jenis pohon yang akan ditanam pada tapak lahan dapat juga disesuaikan dengan tujuan rehabilitasi. Kata kunci: Kesesuaian lahan, kondisi lahan, jenis pohon hutan
I.
PENDAHULUAN
Eksploitasi sumber daya hutan alam baik secara intensif maupun semi intensif pada masa lalu telah menyebabkan deforestasi areal lahan antara lain berupa lahan kosong, hutan belukar dan lahan alangalang sehingga memerlukan upaya rehabilitasi. Keberhasilan upaya rehabilitasi antara lain ditentukan oleh modal yang tersedia beserta perangkat-perangkat pendukungnya, kemauan pengelola pengambil kebijakan dan ketersediaan teknologi, terutama pengetahuan sifat-sifat jenis-jenis pohon hutan yang akan ditanam menurut tujuannya dan tingkat kesesuaian terhadap areal lahan yang akan direhabilitasi. Pengenalan akan jenis-jenis pohon hutan yang sesuai untuk suatu areal lahan tertentu dipandang sangat penting berkaitan dengan keanekaragaman yang cukup lebar antara kondisi lahan dari suatu wilayah ke wilayah lain di Indonesia. Pengetahuan tentang kesesuaian antara jenis-jenis pohon hutan yang akan ditanam terhadap tiap-tiap kondisi lahan yang beragam tersebut menjadi penting karena pohon harus dapat tumbuh dengan baik dan sesuai dengan kondisi lahannya (Evans, 1984). Sehubungan dengan hal tersebut di atas maka tulisan ini bertujuan untuk mengkaji kesesuaian jenis-jenis pohon terhadap kondisi fisik lahan guna menunjang keberhasilan usaha penghutanan kembali, maupun revegetasi areal terbuka untuk perbaikan kondisi lingkungan hidup. Diharapkan tulisan ini bermanfaat bagi penentu kebijakan dan para pemilik konsesi areal hutan tanaman agar keberhasilan rehabilitasi lahan terdegradasi dan usaha pembuatan hutan tanaman sesuai dengan yang diharapkan.
II.
ADAPTABILITAS (KESESUAIAN) POHON TERHADAP TEMPAT TUMBUH
A.
Kesesuaian Tempat Tumbuh
Pertumbuhan dan perkembangan suatu jenis vegetasi alami ditentukan oleh faktor tanah (edafik), iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), topografi, organisme dan aktivitas manusia. Dalam hal kegiatan manusia berupa eksploitasi areal hutan alam, yang difungsikan sebagai hutan produksi, pengaruh faktor manusia sangat dominan dan dapat merubah kualitas maupun kuantitas tegakan, komposisi tegakan atau bahkan dapat menyebabkan hilangnya beberapa spesies dan meninggalkan sisa lahan alang-alang. Keuntungan di wilayah tropika yaitu kondisi lahan dengan variasi cukup lebar, dan berbagai jenis formasi vegetasi secara alamiah tumbuh dalam keseimbangan pada berbagai tipe formasi vegetasi pohon, belukar dan vegetasi strata bawah. Untuk membuat suatu hutan buatan sesuai tujuan dapat dilakukan, dengan menanam kembali areal yang telah mengalami deforestasi. Keberhasilan upaya ini tergantung antara lain pada tingkat kemampuan adaptasi suatu jenis dan pemilihan spesies yang tepat untuk suatu tempat tumbuh. Suatu jenis pohon komersial kayu penting, misalnya jati bila diusahakan sesuai dengan kondisi alamnya dapat memberikan hasil produksi yang kontinyu dibandingkan dengan formasi tegakan alamnya. Untuk itu diperlukan campur tangan manusia berupa penerapan teknologi pengelolaan lahan dan tanaman hutan. Faktor tempat tumbuh yang tidak sama dengan habitat aslinya biasanya menghasilkan vigor pertumbuhan yang menyimpang, kualitasnya menurun atau bahkan jenis pohon hutan yang diusahakan tersebut tumbuh merana.
B.
Pemilihan Jenis Untuk Suatu Kondisi Lahan
Untuk menentukan suatu jenis pohon sesuai atau tidak bila ditanam pada suatu areal, maka beberapa hal yang perlu diperhatikan antar lain : iklim, kondisi air tanah, lokasi, tipe tanah dan elevasi dari wilayah areal dimana jenis pohon akan ditanam (Tabel 1). Informasi mengenai sifat pertumbuhan dan sebaran alami menjadi penting. Dalam hal ini tidak mungkin kita mengusahakan (menanam) jenis pohon kayu api-api (Avicenia sp.) yang merupakan spesies pohon air payau, ketapang 11 12
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Bogor.
2
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
(Terminalia catappa) yang merupakan spesies pohon pantai, dan ramin (Gonystylus bancanus) yang merupakan spesies pohon rawa, di lahan darat (lahan kering) walaupun sama-sama beriklim selalu lembab. Dengan demikian tipe formasi tegakan hutan seperti tertera dalam Tabel 1 perlu dipelajari darimana asal spesies pohon yang akan diusahakan, untuk ditanam di suatu areal tapak lahan (site). Untuk wilayah lahan daratan (inland) di tropika basah, keragaman sifat-sifat tempat tumbuh masih cukup lebar bergantung pada ketinggian tempat, kondisi inheren tipe-tipe tanah dan topografi, maka sejumlah besar dari kelompok famili Dipterocarpaceae (sekitar 450 spesies) memungkinkan untuk dipilih pada lahan daratan sampai ketinggian 0 - 300 meter di atas permukaan laut (dpl) dalam program rehabilitasi. Bila ketinggian tempat naik, misal antara 650-1200 m dpl dan lahan akan direhabilitasi maka Shorea platyclados, Shorea ciliata, Shorea ovata dan Shorea refuses lebih tepat untuk dipilih (Tabel 2). Untuk wilayah areal yang letaknya dari permukaan laut antara 1200 – 1500 m yang biasanya merupakan punggung kerucut daerah vulkanik, harus dipilih jenis-jenis pohon dari famili Fagaceae dan Lauraceae (Symington (1943) dalam Whitmore (1982). Meski demikian pengetahuan akan spesies-spesies pohon yang dapat beradaptasi cukup lebar untuk berbagai kondisi yang kebanyakan jenis pohon utama adalah pembatas, misalnya untuk lahan dataran dengan kesuburan tanah marginal (lahan kritis) maka jenis-jenis Pinus sp. seperti Pinus merkusii lebih adaptif (Lutz dan Chandler, 1951). Ternyata bahwa jenis ini memang tahan terhadap kondisi tanah dengan tingkat kesuburan rendah, sehingga bermanfaat untuk rehabilitasi lahan kritis. Keterangan tentang spesies dengan daya adaptabilitas yang luas masih sangat terbatas dan memerlukan kajian dan penelitian lebih lanjut. Tabel 1. Kelompok spesies pohon hutan yang sesuai berdasarkan tinggi tempat dan bentuk lahan (formasi klimatis) Ketinggian tempat (m dpl)
Bentuk lahan
Spesies pohon yang sesuai
0 - 300
Dataran rendah
Sejumlah besar anggaota tanaman Dipterocarpacae o Dipterocarpus sp. o Shorea sp. o Shorea aromatica
300 - 650
Dataran sedang perbukitan
Sejumlah besar anggaota tanaman Dipterocarpacae o Dipterocarpus sp. o Shorea sp. o Shorea aromatica o Shorea certisii
650 - 1200
Pegunungan bawah
o o o o
1200 - 1500
Pegunungan atas
o Famili Fagaceae o Famili Lauraceae
1500 - 2100
Pegunungan tertinggi
o Famili Coniferae o Famili Ericaceae o Famili myrtaceae
Shorea platyclados Shorea ciliata Shorea ovata Shorea refuses
Sumber : Symington (1943) dalam Whitmore (1982)
C.
Faktor Dominan yang Berpengaruh terhadap Pertumbuhan Pohon
Menurut Sudarnadi (1981), pohon hutan dari berbagai spesies cenderung untuk terus tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi lingkungan yang sesuai mencakup kondisi fisik, biotik dan persaingan diantara individu tegakan sendiri. Dalam hal menentukan jenis pohon yang tepat untuk diusahakan pada suatu tapak lahan spesifik, maka pengetahuan akan faktor-faktor lingkungan primer yang berpengaruh besar terhadap pertumbuhan pohon normal menjadi sangat penting. Faktor-faktor lingkungan primer tersebut adalah : iklim dan tanah, dimana tapak lahan (site) itu ditanami. Hubungan antara faktor iklim, tanah dan vegetasi (pohon-pohon hutan) diilustrasikan pada Gambar 1. Dari faktor-faktor primer yang berpengaruh nyata terhadap perkembangan dan pertumbuhan vegetasi tersebut di atas, maka dikenal dua formasi vegetasi utama yang harus disimak dalam menentukan pilihan spesies pohon yang tepat untuk suatu wilayah IKLIM
IKLIM MIKRO
TANAH
BAHAN INDUK TANAH
VEGETASI POHON
FLORA+FAUNA TANAH
Gambar 1. Skema hubungan pengaruh faktor-faktor lingkungan primer pada pertumbuhan pohon (Sudarnadi, 1981)
Prosiding Kupang 12 November 2007
3
areal lahan dalam upaya rehabilitasi dan penghutanan kembali maupun tujuan khusus lainnya seperti usaha hutan tanaman industri. Kedua formasi vegetasi utama tersebut adalah formasi edafis dan formasi klimatis (Sudarnadi, 1981). Keberhasilan penanaman hutan pada areal lahan sangat tergantung pada pemahaman ke dua tipe formasi vegetasi tersebut secara baik, yakni dalam hal menentukan pemilihan jenis pohon darimana asal formasi vegetasinya. D. Formasi Edafis Yang dimaksud formasi edafis adalah adalah kelompok tegakan atau vegetasi yang sebaran alaminya berdasarkan pada kondisi sifat-sifat tanah spesifik tertentu. Faktor-faktor lain tidak berpengaruh atau sangat kecil pengaruhnya terhadap sebaran pertumbuhan jenis-jenisnya. Formasi edafis meliputi vegetasi hutan rawa, hutan pantai dan hutan payau. Untuk mengembangkan jenis pohon yang akan diusahakan harus disesuaikan dengan kondisi tanah setempat: tanah rawa, tanah pantai atau tanah payau (Sudarnadi, 1981). Daftar spesies pohon untuk tiap tapak disajikan pada Tabel 2. Salah satu contoh untuk suatu wilayah yang kondisi fisik lahannya berawa dapat dikembangkan jenis kayu ramin (Gonystylus bancanus) untuk tujuan komersil hutan tanaman industri secara intensif. Sedangkan untuk areal lahan air payau dapat dipilih kayu api-api (Avicenia sp.) untuk diekstensifkan pengusahaannya, misalnya untuk tujuan kayu energi di wilayah yang bersangkutan.
Tabel 2. Jenis pohon yang sesuai di daerah rawa, payau dan pantai (formasi edafis) No
Wilayah
Spesies yang sesuai
1
Rawa
Palaquium leiocarpum, Shorea uliginose, Camnosperma macrophylla, Garcinia spp., Xylopia spp., Eugenia spp., Koompasia spp., Calophyllum spp., Gonystylus spp., Tetramerista glabra, Durio caricatus, Ctenolophon parrifolium, Dyera lowii, Platymezra sp., Dactylocladus stenostachys
2
Pantai
Barringtonia speciosa, Terminalia catappa, Calophyllum inophylum, Hibiscus tiliaceus, Thespesia papulaea, Casuarina equisetifolia, Pisonia grandis, Pandanus tectonius
3
Payau
Avicennia spp., Sonneratia spp., Rhizosphora spp., Bruguiera spp., Ceriop spp., Xylocarpus spp., Lumnitzera racemosa, Aerusticum aureum, Acanthus lecitolius Sumber : Sudarnadi, 1981
Suatu areal wilayah lahan disebut sebagai berkondisi fisik lahan payau adalah: areal wilayah berbatasan dengan pantai yang dipengaruhi pasang surutnya permukaan air laut. Biasanya terdiri dari tanah berpasir atau lumpur dan selalu dalam kondisi tergenang. Sedangkan areal lahan dengan kondisi fisik lahan rawa adalah areal kawasan di belakang payau diatas, biasanya berjenis tanah endapan (aluvium). Jadi areal tersebut lebih berada ke arah dalam daratan. Selanjutnya areal lahan sepanjang pantai yang tidak termasuk ke dalam kondisi fisik lahan payau dan rawa adalah pantai dengan ciri karakteristik lahan kering tepi pantai, tanahnya berbatu-batu dan atau berpasir di atas garis pantai tertinggi (tidak tergenang air asin). Formasi tegakan edafis pantai terdiri dari berbagai spesies pohon misalnya: Terminalia catappa (ketapang), Casuarina equisetifolia (cemara laut). Determinasi dari ketiga tipe subformasi edafis tersebut perlu dipahami secara tepat dalam pemilihan jenis pohon yang akan ditanam di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan pantai. E. Formasi Klimatis Formasi klimatis yakni kelompok vegetasi (tumbuhan) yang sebaran alamnya berdasarkan iklim wilayah dan sangat sedikit dipengaruhi oleh variasi faktor edafis (tanah). Areal yang akan direhabilitasi, dan untuk tujuan khusus, seperti hutan tanaman, umumnya adalah areal kawasan lahan kering tidak termasuk pada lahan kawasan payau, rawa dan pantai. Spesies-spesies pohon penting yang telah, sedang dan akan diekstensifkan pengusahaannya sebagai “Hutan buatan” misalnya Tectona grandis, Pinus merkusii, Altingia excelsa, Agathis lorantifolia, Eucalyptus deglupta, Dalbergia sisoo dan sebagainya, adalah anggota spesies-spesies pohon yang termasuk ke dalam formasi klimatis. Formasi vegetasi “klimatis” dikelompokkan ke dalam tiga bentuk yaitu: hutan hujan tropis, hutan musim dan hutan gambut. Dalam menentukan pilihan jenis-jenis pohon yang tepat untuk suatu lahan daratan, yang harus diperhatikan adalah faktor iklim setempat di wilayah areal yang akan diusahakan penanamannya. Untuk mendapatkan hasil pertumbuhan yang optimal, faktor tanah memerlukan perhatian, apabila diperlukan dapat dilakukan perbaikan baik dengan metode vegetatif maupun kimiawi. Terdapatnya suatu analogi iklim vertikal dan horizontal maka perhatian terhadap ketinggian tempat suatu tapak lahan diperlukan untuk menentukan spesies pohon yang sesuai. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 3 dan Tabel 4, yang menampilkan spesies-spesies pohon yang sesuai pada tiap-tiap perbedaan ketinggian. Seluruh anggota spesies pohon tersebut termasuk “formasi klimatis” dimana pertumbuhan normalnya dipengaruhi oleh iklim setempat (Sudarnadi, 1981). Tabel 3. Spesies-spesies pohon pada formasi klimatis hutan musim (hutan hujan tropis bermusim)
4
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
I
Ketinggian tempat m.dpl 1 - 1000
II
1000 - 4100
Zone
Spesies pohon Tectona sp., Acacia sp., Actinophora sp., Albizia sp., Azadirachta sp., Caesalpinia sp., Eucalyptus sp., Santalum sp., Melaleuca sp., Banksia sp., Carypha sp., Timonius sp. Casuarina sp., Eucalyptus sp., Pinus merkusii
Sumber : Sudarnadi, 1981
Tabel 3 adalah jenis-jenis spesies pohon yang dapat diusahakan dengan baik di beberapa tempat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara dan Papua. Hal ini karena di sebelah Timur jumlah rata-rata curah hujan tahunan lebih rendah daripada Indonesia bagian Barat seperti Sumatera, Jawa Barat, dan Kalimantan. Hal ini terjadi karena letak wilayah Timur Indonesia dipengaruhi oleh angin pasat Tenggara yang kelembaban (uap air) nya lebih rendah karena terlindung oleh Benua Australia. Spesies-spesies tegakan pada Tabel 4 adalah formasi klimatis hutan musim. Untuk wilayah di sebelah Barat dengan ratarata curah hujan lebih tinggi, pemilihan jenis pohon yang sesuai menurut letak ketinggiannya secara garis besar dapat menggunakan Tabel 4, dan Tabel 2 secara lebih detail. Sedangkan pada lahan gambut dapat diusahakan spesies pohon dari anggota Famili Orchidaceae. Tabel 4. Formasi klimatis hutan hujan tropika basah
I
Ketinggian tempat m. dpl 0 - 1000
II
1000 -3000
III
>3000
Zone
Jenis pohon yang sesuai o Dipterocarpaceae : Shorea sp., Dipterocarpus sp., Dryobalanops sp., Koompasia sp., Palaquium sp., Sindora sp., Hopea sp., Vatica sp., Cotylelobium sp., Upuna sp. o Myristicaceae o Lauraceae (Alseodaphne sp., Litsea sp., Cryptocarya sp. dan lain-lain) o Myrtaceae o Guttiferae o Coniferae (Pinus sp.), Agathis sp., Dipterocarpus sp. Quercus sp., Castanopsis sp., Notofagus sp., Ulmus sp., Ficus sp.,Cindrelatoona sp., Araucaria sp., Eugenia sp.,Podocarpus sp., Phylocladus sp., Pinus sp., Agathis sp., Duabanga sp. Podocarpus sp., Dacrydium sp., Labecredus sp., Eugenia sp. Famili Guttifereae
Sumber : Sudarnadi, 1981
Sebelum menanam suatu jenis pohon maka harus mengetahui terlebih dahulu apakah jenis tersebut merupakan anggota kelompok vegetasi dari formasi klimatis atau formasi edafis. Dalam formasi klimatis yang harus diperhatikan kesesuaiannya adalah faktor iklim, sedangkan dalam formasi edafis adalah tempat yang akan ditanami. Seperti kayu api-api (Avicennia spp.) yang akan diusahakan secara ekstensif untuk tujuan kayu energi, maka dapat menanam secara buatan di lahan payau dimana saja tanpa perlu memperhatikan iklim setempat. F. Faktor-faktor Spesifik Tempat Tumbuh 1. Kondisi Tanah Tergenang Periodik Bentuk morfologi wilayah yang tidak selalu homogen di seluruh daerah yang luas dapat memungkinkan terjadinya faktor-faktor spesifik yang sampai taraf tertentu mempengaruhi pertumbuhan optimum suatu spesies pohon yang hendak ditanam pada tapak (tempat tumbuh) di wilayah yang bersangkutan, misalnya geomorfologi yang memungkinkan terjadinya lembah, cekungan yang menyebabkan terjadinya genangan air periodik, sekalipun tempat tumbuh tersebut di wilayah pedalaman yakni bila sub soil bersifat impermeable atau kapasitas infiltrasi air tanahnya rendah (lambat). Spesies pohon anggota formasi klimatis ternyata mempunyai daya tahan yang berbeda terhadap kondisi genangan air periodik, bila mungkin terjadi pada suatu tapak lahan. Jenis-jenis pohon yang resisten terhadap kondisi lahan tergenang periodik antara lain : Albizia lebbeck, Albizia lebbecorides, Albizia procera, Pinus merkusii (Tabel 5), sedangkan Albizia montana tidak tahan (peka) terhadap kondisi lahan tergenang (Sudarnadi, 1981). Dengan demikian tingkat ketahanan jenis-jenis pohon hutan terhadap kondisi lahan yang mengalami genangan perlu diteliti lebih luas.
Prosiding Kupang 12 November 2007
5
Tabel 5. Ketahanan spesies pohon terhadap kondisi tergenang tanah No
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Tahan > 60 hari
Agak tahan s/d 40 hari
Albizia lebbeck (sengon) Albizia procera (sengon) Albizia lebbekoids (sengon) Sesbania sesban (turi) Anacardium ocidentale (jambu mete) Hevea brasiliensis (karet) Coffea robusta (kopi) Pinus merkusii (pinus) Canarium commune (kanari)
Albizia falcataria (sengon) Artocarpus integrafolia (nangka) Leucaena glauca (lamtoro) Aleurites moluccana (kemiri) Eugenia sp. (jambujambuan) Shorea laevis (bangkirai) * Cratoxylon arborescene (gerunggang)* Dipterocarpus spp. (keruing) *
Sensitif < 20 hari Albizia montana (sengon) Tectona grandis (jati) Agathis lorantifolia Lantana camara
Sumber : Martawijaya, et al. 1986 Keterangan : * Tidak menyebutkan lamanya kondisi lahan tergenang
2. Kondisi Air Tanah Tingkat kebutuhan air (dari dalam tanah) tampaknya juga dapat bervariasi lebar (luas) menurut spesies. Dalam hal kondisi air tanah sebagai pembatas pertumbuhan di suatu wilayah maka perlu dipilih jenis-jenis pohon yang tingkat kebutuhan airnya sedikit (Tabel 6), contoh Pinus merkusii, Camelia sinensis, Garcinia mangostana dan Havea brasiliensis (Sudarnadi, 1981). Kondisi ketersediaan air dalam tanah (kelembaban tanah) sepanjang tahun suatu tapak perlu diketahui terlebih dahulu sebelum menetapkan jenis-jenis pohon yang tepat sesuai dengan sifat-sifat ketahanannya terhadap faktor-faktor pembatas kebutuhan air tiap-tiap jenis pohon tersebut. Tabel 6. Tingkat kebutuhan air beberapa jenis pohon No 1
Tingkat kebutuhan air tanah Sedikit
2
Sedang
3
Tinggi
Spesies pohon Hevea brasiliensis (karet) Pinus merkusii (pinus) Cocos nucifera (kelapa) Camelia sinensis (teh) Garcinia mangostana (manggis) Artocarpus integra (nangka) Tectona grandis (jati Coffea robusta (kopi) Acacia decurens (akasia) Tephrosia candica Nephelium lapsicum (rambutan) Leucaena glauca (lamtoro) Albizzia spp. (sengon) Lantana camara (cemara gunung) Bamboo sp. (bamboo) Teprosia maxima
Sumber : Sudarnadi, 1981
3. Kondisi Tingkat Kemasaman Tanah Sifat asam-basa atau tinggi rendahnya pH tanah sampai tingkat tertentu dapat berpengaruh pada pertumbuhan normal pohon yang ditanam pada suatu areal lahan. Dalam hal kondisi pH tanah untuk berbagai jenis pohon komersial, nilai pH untuk pertumbuhan optimum dapat dilihat pada Tabel 7. Sedangkan untuk jenis-jenis pohon hutan, baru beberapa jenis saja yang telah dipelajari, kondisi pH untuk pertumbuhan normal. Namun pada lahan daratan biasanya jarang mengalami kondisi pH tanah sebagai pembatas pertumbuhan pohon, walaupun tidak tertutup kemungkinan suatu areal lahan yang akan ditanami pohon hutan, tanahnya bereaksi cukup masam. Kondisi demikian disebut kondisi suboptimal untuk pertumbuhan pohon (Hall, 1976).
Tabel 7. Syarat tumbuh pH optimal beberapa jenis pohon No Jenis pohon Alpukat (Persea spp.) 1 Duku (Daucus carota) 2 Karet (Hevea sp.) 3 Kopi (Coffea spp.) 4 Jeruk (Citrus spp.) 5 Theobroma cacao (coklat) 6 Elaeis guinensis (sawit) 7 Sumber : Sudarnadi, 1981
pH optimal tanah 5,5 – 6,5 5,5 – 7,0 5,0 – 6,5 5,5 – 7,5 5,5 – 6,0 5,5 – 7,5 5,5 – 7,0
6
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Tabel 8. Jenis-jenis pohon hutan yang ”adaptif ” pada kondisi tingkat kemasaman Tanah-tanah masam Tanah netral hingga alkalin (pH 4,5 – 5,5) (pH 6,0 – 7,5) o Gerunggang (Cratoxylon o Jati (Tectona grandis) arborescens) o Mahoni (Swietenia o Jelutung (Dyera costulata) macrophyla) o Keruing (Dipterocarpus spp.) o Matoa (Pometia pinnata) o Bintangur (Callophyllum o Bangkirai (Shorea laevis) inophyllum) o Prosopis juliflora o Balam (Shorea maxwelina) o Sonokeling (Dalbergia latifolia) o Tusam (Pinus merkusii) o Eboni (Diospyros celebica) o Durian (Durio zibethinus) Interpretasi dari data Martawijaya et al. (1989)
Jenis pohon hutan yang tahan terhadap pH tanah rendah (pH masam 5,2) disebut kelompok vegetasi yang bersifat acidiphilous. Berbagai spesies pohon yang dapat tumbuh dengan baik walaupun tanahnya bersifat masam diantaranya adalah Pinus ponderosa, Pinus jeffreyi, Oak dan beberapa Famili Ericaceae, Betula spp., Vaccinium macrocarpon dan Vaccinium spp. (Sudarnadi, 1981). Salah satu contoh jenis tanaman yang ditanam di Indonesia sampai pada pH rendah adalah Pinus merkusii.
III.
PEMILIHAN JENIS- JENIS POHON BERDASARKAN TUJUAN PENANAMAN
Setelah menentukan spesies pohon tertentu atau beberapa spesies dan memperhatikan tipe formasi (alami) spesies tersebut berasal, serta persyaratan karakteristik lahan yang diperlukan maka penanaman suatu jenis dapat juga dikaitkan dengan aspek tujuan penanaman. Berikut ini dikemukakan secara ringkas beberapa macam tujuan penanaman spesies-spesies pohon hutan yang biasa dilakukan untuk suatu kawasan, seperti untuk perbaikan kualitas lahan, Hutan Tanaman Industri dan penghasil kayu energi. Jika rehabilitasi bertujuan untuk perbaikan kualitas atau produktivitas lahan maka penentuan (pemilihan ) spesies pohon dilakukan sebagai berikut : 1. Memilih jenis-jenis yang benar-benar adaptif untuk kondisi fisik-kimia-biotik tapak lahan yang akan ditanami 2. Pengaturan jarak tanam disesuaikan dengan kondisi kesuburan tanah pada saat bibit ditanam 3. Menghindari keterbukaan lahan dalam jangka yang lama atau memperpendek periode lahan kosong 4. Melakukan proteksi terhadap kemungkinan bahaya api (kebakaran), overgrazzing, gangguan ternak dan lain-lain, pada areal kawasan yang telah ditanami 5. Mengutamakan sistem ”polikultur” yaitu pola tegakan campuran yang berpengaruh lebih baik terhadap perbaikan produktivitas lahan daripada pola tanam “monokultur” tegakan. Tegakan pencampur dapat dipilih jenis-jenis legum seperti : Acacia spp., Leucaena sp., Sesbania sesban dan lain-lain. Dalam hal tujuan penanaman seperti di atas maka perlu diperhatikan bahwa : 1. Spesies-spesies berakar dalam lebih baik daripada spesies-spesies pohon dengan sistem perakaran dangkal 2+ 2+ + 2. Spesies-spesies pohon yang mampu menyerap unsur hara mineral basa-basa (Ca , Mg , K ) secara lebih banyak lebih baik daripada jenis-jenis yang sedikit menyerap hara mineral tersebut dari tanah 3. Pada tanah yang kurang subur maka jarak tanam harus lebih dekat untuk menghindari penyulaman yang berarti menambah biaya penanaman (Lutz dan Chandler,1951). Untuk kegiatan rehabilitasi yang bertujuan menghasilkan kayu industri maka perlu diperhatikan hal-hal berikut : 1. Dipilih jenis-jenis pohon yang bersifat tumbuh cepat, riap besar sehingga cepat dapat dipanen misalnya Albizia falcataria, Eucalyptus deglupta, Pinus caribaea, Gmelina arborea (Phillippine Council of Agricultural Research, 1980) 2. Kesesuaian antara jenis yang dipilih terhadap tapak harus ditentukan untuk prediksi hasil akhir. Untuk menentukan spesies-spesies yang akan diusahakan pada suatu tapak dengan tujuan “kayu energi” maka jenis pohon yang dipilih sebaiknya : 1. Mudah ditanam dan mudah tumbuh pada tapak secara ekstensif dan biaya murah 2. Pertumbuhan diameter untuk mencapai ukuran besar tidak dipentingkan karena yang ingin dicapai adalah ukuran pancang 3. Mudah berkembang sendiri dan dapat ditrubus dan atau dipangkas untuk tumbuh kembali tanpa penanaman ulang 4. Bila dibakar tidak menimbulkan bunga api, misalnya Calliandra callothyrsus (kaliandra). Untuk mencapai hasil yang optimum dalam hal rehabilitasi lahan dan pengusahaan hutan tanaman, maka diperlukan pemahaman secara komprehensif tujuan penanaman dan pola pengelolaan tanaman hutan.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Dalam hal menentukan kesesuaian suatu jenis pohon terhadap tempat tumbuh (tapak) areal lahan yang akan ditanami, perlu diketahui apakah spesies tersebut termasuk anggota formasi klimatis atau formasi edafis. Prosiding Kupang 12 November 2007
7
2. Spesies daratan (lahan darat) adalah formasi klimatis, penanamannya di suatu tapak harus mengacu kepada ”faktor iklim”. 3. Untuk spesies pohon anggota ”formasi edafis”, penanamannya pada suatu tapak harus mengacu pada ”faktor tanah”. 4. Dalam hal kondisi sifat ekstrim kondisi tapak, misal tergenang periodik, kemasaman berlebih, pemilihan spesies pohon disesuaikan dengan karakteristik ketahanan pertumbuhan spesies terhadap kondisi ekstrim tersebut. 5. Jenis yang akan ditanam dalam rehabilitasi dapat juga disesuaikan menurut tujuan penanaman namun tetap memperhatikan faktor-faktor tersebut di atas. B. Saran 1. Dalam upaya rehabilitasi lahan dan pembuatan hutan tanaman, maka pemilihan jenis yang akan diusahakan sebaiknya memperhatikan aspek kesesuaian lahannya. 2. Diperlukan pemahaman sifat-sifat pertumbuhan pohon yang akan dipilih dan disesuaikan dengan tujuan penanaman serta pengelolaan tanaman yang diterapkan.
DAFTAR PUSTAKA Evans.J.1984. Plantation Forestry in The Tropics. Clarendon Press.Ltd. Hall, M.A.1976. Plant Structure, Function and Adaptation. Univ. Coll. of. Wales. Aberysthwyth ; The Macmilllan, Press, Ltd. Lutz. H.J. and R.F.Chandler 1951. Forest Soils. John Wiley and Sons, Inc. Martawijaya, A., Iding, K., Mandang, Soewanda A.P. dan Kosasih K.1989. Atlas Kayu Indonesia II. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Phillippine Council of Agricultural Research. 1980. The Fast Growing Trees Species. UPLB. Los Banos. The Phillippines. Sudarnadi, H.1981. Mengenal Vegetasi dan Lingkungannya. Dept. Botani IPB, Bogor. Whitmore, T.C.(1982) Tropical Rain forest of the Far East.Sec. Ed. Clarendron Press Ltd.
8
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
VARIASI DAN PALATABILITAS PAKAN PADA BURUNG PARUH BENGKOK DI PENANGKARAN OILSONBAI, KUPANG13 Oleh : 14 Kayat
ABSTRAK
Konservasi satwaliar dapat dilakukan di habitat aslinya (in-situ conservation) dan dapat pula di luar habitat aslinya (ex-situ conservation). Dalam rangka mengantisipasi kepunahan jenis burung paruh bengkok di NTT yang mempunyai potensi ekonomi cukup tinggi, dan yang keberadaannya telah terancam akibat adanya kerusakan habitat dan pemanfaatan yang tidak terkendali, serta sekaligus untuk merehabilitasi dan menyelamatkan, sangat perlu dilakukan penelitian khususnya yang berhubungan dengan konservasi biodiversitas fauna langka. Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi variasi pakan bergizi dan palatabilitas pakan pada burung paruh bengkok (bayan/Eclectus roratus; nuri raja kembang/Aprosmictus jonguillaceus; nuri tanimbar/Eos reticulata; dan perkici timor/Trichoglossus euteles) di penangkaran. Luaran yang diharapkan dari penelitian ini adalah data dan informasi tentang variasi pakan bergizi dan palatabilitas pakan pada burung paruh bengkok, serta pengaruhnya terhadap kenaikan berat badan burung tersebut. Hasil penelitian sebagai berikut : (1) Ratarata jumlah konsumsi pakan burung bayan di penangkaran sebanyak 317,2 gram/ekor/hari; (2) Pemberian pakan yang bernilai gizi tinggi dan teratur akan meningkatkan berat badan dan kesehatan burung; (3) Burung bayan dan nuri raja kembang menyukai jenis biji-bijian, buah-buahan dan sayuran. Sedangkan burung nuri tanimbar dan perkici timor menyukai buah-buahan dan biji-bijian muda. Kata kunci : Konservasi ex-situ, fauna (satwaliar), burung paruh bengkok, variasi pakan, palatabilitas I. PENDAHULUAN Konservasi satwaliar dapat dilakukan di habitat aslinya (in-situ conservation) dan dapat pula di luar habitat aslinya (ex-situ conservation). Dalam praktek pengelolaan, kegiatan konservasi in-situ dijabarkan menjadi pengelolaan populasi dan pengelolaan habitat (kawasan) termasuk daya dukung habitat. Karena satwaliar sifatnya bergerak (mobile), maka pengetahuan mengenai perilaku juga menjadi salah satu kunci dalam mendukung kedua jenis kegiatan tersebut. Resultante dari ketiga aspek yaitu habitat alam, populasi, dan perilaku satwaliar menjadi bahan untuk penyusunan teknik konservasi in-situ dari jenis satwaliar tersebut. Selain itu konservasi jenis di luar habitat aslinya juga perlu dilakukan dalam rangka rehabilitasi dan penyelamatan jenis serta perbanyakan untuk tujuan komersial. Konservasi ex-situ meliputi kegiatan captive breeding, pembesaran, penelusuran kesehatan satwa, rehabilitasi, dan budidaya untuk tujuan komersial. Konservasi jenis ex-situ yang telah dilakukan pada umumnya masih mengarah pada tujuan komersial dengan data ilmiah yang minim karena tidak didukung oleh kegiatan penelitian. Padahal tujuan dari konservasi ex-situ selain untuk tujuan komersial juga dalam rangka rehabilitasi melalui perbanyakan populasi hasil penangkaran dan penyelamatan jenis. Kegiatan konservasi khususnya yang dikelola swasta yang berupa kegiatan panangkaran hanya merupakan kamuflase untuk memudahkan dalam usaha ekspornya. Sehingga banyak kasus dari satwa yang tidak langka menjadi langka karena pengekspor menjual satwanya bukan dari hasil penangkaran tetapi mengambil dari alam. Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara telah melakukan upaya perkembangbiakan burung bayan sumba di dalam kandang penangkaran. Hal ini dilakukan untuk menjaga eksistensi burung bayan sumba. Sebagai suatu upaya konservasi ek-situ yang berpotensi untuk dikembangkan secara komersial, kegiatan penangkaran burung bayan sumba ini masih harus terus ditingkatkan keberhasilannya. Beberapa hal yang perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, yaitu jumlah dan variasi pakan yang optimal, jenis-jenis perawatan kesehatan yang diperlukan, serta pengamatan produktivitas dan perilaku reproduksi burung bayan sumba dan nuri. Burung bayan sumba tergolong salah satu dari jenis burung berparuh bengkok dengan paruh bagian bawah melengkung ke atas dan paruh bagian atas melengkung ke bawah. Ciri ini menandakan bahwa jenis burung bayan sumba termasuk pemakan segala jenis makanan (biji, buah, madu, bunga, dan pucuk tanaman) kecuali serangga (Soemadi dan Mutholib, 1994). Kegiatan ini bertujuan untuk menyediakan data dan informasi variasi pakan bergizi dan palatabilitas pakan pada burung paruh bengkok bayan/Eclectus roratus; nuri raja kembang/Aprosmictus jonguillaceus; nuri tanimbar/Eos reticulata; dan perkici timor/ Trichoglossus euteles) di penangkaran. Diharapkan upaya ini dapat meningkatkan keberhasilan penangkaran burung paruh bengkok.
II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu Kegiatan penelitian ini dilakukan di Stasiun Penangkaran Oilsonbai, Kodya Kupang, Nusa Tenggara Timur. Waktu penelitian adalah pada bulan Juni 2007. B. Perlakuan Kegiatan penelitian ini dilakukan dengan cara pengamatan langsung terhadap burung paruh bengkok bayan/E. roratus; nuri raja kembang/A. jonguillaceus; nuri tanimbar/E. reticulata; dan perkici timor/T. euteles.
13 14
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Prosiding Kupang 12 November 2007
9
Perlakuan yang diberikan adalah dengan pemberian pakan bergizi sesuai dengan kebutuhan. Prahara (1997) mengatakan, jumlah pakan yang dikonsumsi oleh burung pemakan biji seperti halnya burung paruh bengkok adalah sebanyak 10 % dari berat badan per hari. Pemberian pakan bergizi dilakukan pada semua jenis burung yang ada di penangkaran, yaitu burung bayan (1A 1 ekor; 2A 1 ekor; 3A 2 ekor); nuri raja kembang (2 ekor); nuri tanimbar (2 ekor); dan perkici timor (2 ekor) (Gambar 1). Pakan yang diberikan terdiri dari buah-buahan (pisang, pepaya dan tomat), biji-bijian (jagung muda, kacang tanah) dan sayuran (kangkung) (Gambar 2). Berat pemberian awal buah-buahan pisang dan pepaya masing-masing 100 gr dan tomat 50 gr. Biji-bijian jagung muda 100 gr dan kacang tanah 25 gr. Sedangkan sayuran kangkung 25 gr. Penentuan berat masing-masing berbeda-beda, hal ini dilakukan berdasarkan tingkat kesukaan burung terhadap setiap jenis pakan tersebut. Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari (pukul 6-7 dan siang hari (pukul 13-14). Untuk memperoleh berat pakan yang dikonsumsi maka berat awal dan berat akhir setiap jenis pakan ditimbang setiap hari (Gambar 3). Kemudian diamati pengaruh pemberian pakan terhadap kenaikan berat badan dan kesehatan burung bayan dan nuri. Parameter yang diukur adalah konsumsi pakan, jenis pakan yang disukai (palatabilitas) oleh setiap jenis burung paruh bengkok dan berat badan. Pengamatan dilakukan selama 1 bulan. Penimbangan berat badan burung bayan terlihat dalam Gambar 4, sedangkan pengukuran ukuran lingkar burung bayan tercantum dalam Gambar 5. Pengukuran konsumsi pakan dilakukan setiap hari pengamatan, dan pengukuran berat badan dilakukan pada awal dan akhir periode. Untuk mengetahui kandungan nutrisi pakan yang diberikan, maka jenis pakan yang digunakan dalam penelitian dianalisis proksimat di Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak ALMIRA Kupang.
Bayan (Eclectus roratus)
Nuri raja kembang (Aprosmictus jonguillaceus)
Nuri tanimbar (Eos reticulata)
Perkici timor (Trichoglossus euteles)
Gambar 1. Burung-burung yang diberi perlakuan pemberian pakan bergizi (gambar tidak proporsional)
Gambar 2. Pakan yang diberikan
Gambar 3. Penimbangan pakan
Gambar 4. Penimbangan berat badan burung bayan
Gambar 5. Pengukuran ukuran liniar tubuh burung bayan
10
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
C. Analisis Data Perbandingan setiap perlakuan dianalisis dengan mengguna-kan Uji Chi-Square dengan derajat bebas 1. Sedangkan berat badan dianalisis dengan menggunakan uji-t pada SPSS 12 (Pratisto, 2004). III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Rata-rata pakan yang dikonsumsi oleh burung paruh bengkok (bayan sumba, nuri raja kembang, nuri tanimbar, dan perkici timor) di Penangkaran Oilsonbai disajikan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Tabel 1 dan Tabel 2 menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi pakan pada burung bayan adalah 317,2 gram/ekor/hari, lebih tinggi dari konsumsi pakan oleh burung paruh bengkok lainnya seperti nuri raja kembang (253,0 gram/ekor/hari), nuri tanimbar (162,4 gram/ekor/hari) dan perkici timor (170,4 gram/ekor/hari). Hal ini dimungkinkan burung mengkonsumsi makanan sesuai dengan kebutuhan dan berat badan masing-masing jenis burung. Hal ini dapat dilihat juga pada Gambar 6 dimana ada perbedaan jumlah pakan yang dikonsumsi oleh masing-masing jenis burung. Burung bayan umumnya mengkonsumsi pakan lebih banyak, diikuti oleh jenis nuri raja kembang, perkici timor dan nuri tanimbar.
Tabel 1. Rata-rata konsumsi pakan burung paruh bengkok (bayan) di penangkaran Oilsonbai No 1 2 3 4 5 6
Jenis pakan
Pagi 37,3 41,9 25,0 57,7
Bayan 1A Siang 32,7 45,0 17,3 59,6
Rata-rata konsumsi pakan (Gram/hari/ekor) Bayan 2A ∑ Pagi Siang ∑ Pagi 70,0 42,3 36,5 78,8 23,7 86,9 35,4 41,5 76,9 22,1 42,3 36,2 41,5 77,7 20,4 117,3 59,6 49,2 108,8 41,4
Bayan 3A Siang 21,4 16,4 19,3 42,3
∑ 45,0 38,5 39,7 83,7
15,4
26,9
8,5
8,3
16,7
0,8 184,9
0,8 369,9
4,1 120,0
5,1 112,6
9,2 232,6
Pepaya Pisang Tomat Jagung muda Kacang 11,5 15,4 26,9 11,5 tanah Kangkung 2,3 3,5 5,8 0,0 Jumlah 175,7 173,5 349,2 185,0 Rata-rata konsumsi pakan: 317,2 (Gram/hari/ekor)
Tabel 2. Rata-rata konsumsi pakan burung paruh bengkok (nuri raja kembang, nuri tanimbar dan perkici timor) di penangkaran Oilsonbai No 1 2 3 4 5 6
Jenis pakan Pepaya Pisang Tomat Jagung muda Kacang tanah Kangkung Jumlah
Rata-rata konsumsi pakan (Gram/hari/ekor) Nuri raja kembang Nuri tanimbar Perkici timor Pagi Siang ∑ Pagi Siang ∑ Pagi Siang ∑ 20,2 26,9 47,1 31,9 37,5 69,4 23,3 29,1 52,3 33,3 27,5 60,8 43,1 42,8 85,9 34,3 35,6 69,9 20,4 15,2 35,6 1,9 1,0 2,9 1,9 1,0 2,9 34,3
39,3
73,5
0,2
4,1
4,3
16,9
28,5
45,4
10,2 7,1 125,4
11,3 7,5 127,6
21,5 14,6 253,0
0,0 0,0 77,1
0,0 0,0 85,3
0,0 0,0 162,4
0,0 0,0 76,3
0,0 0,0 94,1
0,0 0,0 170,4
Konsumsi Pakan (gram/ekor/hari)
Bayan 1A Bayan 2A
Pakan yang Dikonsumsi (gram)
400 300 200 100 0
Bayan 3A Nuri Raja Kembang
1 Jenis Burung
Nuri Tanimbar Perkici Timor
Gambar 6. Konsumsi pakan (gram/ekor/hari) oleh burung di penangkaran Oilsonbai
Prosiding Kupang 12 November 2007
11
Bayan Betina 1A
Kenaikan Berat Badan Burung di Penangkaran
Bayan Betina 2A Bayan Betina 3A
Berat Badan (Gram)
150
Jantan 3A
100
Nuri Raja Kembang 1
50
Nuri Raja Kembang 2 Nuri Tanimbar 1
0 1
Nuri Tanimbar 2
Jenis Burung
Perkici Timor 1 Perkici Timor 2
Gambar 7. Kenaikan berat badan burung di penangkaran (setelah perlakuan pemberian pakan)
Rata-rata berat badan dan ukuran linear tubuh burung paruh bengkok (bayan sumba, nuri raja kembang, nuri tanimbar, dan perkici timor) di penangkaran Oilsonbai disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3. Hasil pengukuran berat badan burung paruh bengkok di penangkaran Oilsonbai No
Jenis burung
1
Bayan (Eclectus roratus)
2
Nuri raja kembang (Aprosmictus jonguillaceus) Nuri tanimbar (Eos reticulata) Perkici timor (Trichoglossus euteles)
3 4
Nomor Betina 1 Betina 2 Betina 3 Jantan 1 2
Sebelum perlakuan 325 475 375 400 125 125
1 2 1 2
102 102 100 101
Berat badan (Gram) Sesudah Kenaikan/ perlakuan penurunan 350 25 500 25 500 125 400 0 125 0 125 0
125 125 100 100
23 23 0 -1
Tabel 4. Hasil pengukuran ukuran linier tubuh burung paruh bengkok di penangkaran Oilsonbai
No 1
2
3 4
Jenis burung Bayan (Eclectus roratus)
Nuri raja kembang (Aprosmic-tus jonguillace-us) Nuri tanimbar (Eos reticulata) Perkici timor (Tri-choglossus eute-les)
Panjan g Nomor sayap (Cm) Betina 1 34
Panjan g badan (Cm) 13
Panjan g ekor (Cm)
Panjang paruh (Cm)
14
Atas 3,5
Betina 2 Betina 3 Jantan 1 2
34 33,5 34 20 20
13 14 11 11 11,5
15 15 14,5 14 15
3,5 3 3,5 2 2
1 2 1
19 19 14
11 11 9
13 13 7,5
2 2 1,5
2
14
9
7
1,5
Keterangan
Bawah 2 Ukuran linier tubuh seperti: 2 panjang sa2 yap, 2 panjang 1,5 badan, pan1,5 jang ekor, dan panjang 1,5 paruh (atas 1,5 dan bawah) 1 tidak mengalami peru1 bahan
Tabel 3 dan Gambar 7 menunjukkan bahwa setelah perlakuan pemberian pakan, terdapat kenaikan berat badan rata-rata yang berbeda pada beberapa jenis burung paruh bengkok yang menjadi obyek penelitian. Kenaikan berat badan tertinggi terjadi pada burung bayan diikuti burung nuri raja kembang. Sedangkan pada nuri tanimbar dan perkici timor tidak menunjukkan terjadinya penambahan berat badan setelah perlakuan pemberian pakan, bahkan terjadi penurunan pada seekor burung perkici timor. Hal ini terjadi bisa karena burung yang bersangkutan mengalami stress atau bisa karena kesalahan pada waktu penimbangan berat badan. Tabel 4 menunjukkan bahwa setelah perlakuan pemberian pakan tidak terdapat peningkatan ukuran linear tubuh semua jenis burung paruh bengkok yang diteliti. Hal ini dikarenakan semua burung paruh bengkok baik burung bayan, nuri raja kembang, nuri tanimbar, maupun perkici timor sudah dewasa sehingga tidak mengalami pertumbuhan lagi. Pemberian pakan yang bernilai gizi tinggi dan teratur akan meningkatkan berat badan dan kesehatan burung. Pada Tabel 3 terlihat ada peningkatan berat badan setelah perlakuan pemberian pakan. Hal ini berbeda dengan hasil analisis Uji-T maupun Chi-Square seperti pada Lampiran 1. Pada Tabel Paired Samples Correlations terlihat korelasi (hubungan) antara berat badan burung sebelum dan sesudah perlakuan pemberian pakan adalah 0,980. Dengan melihat nilai probabilitas 0,000 (< 0,05), berarti korelasi antara berat badan burung sebelum dan sesudah perlakuan pemberian pakan adalah signifikan atau erat.
12
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Hasil analisis proksimat beberapa jenis pakan yang diberikan pada perlakuan pemberian pakan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil analisis kandungan gizi pakan yang diberikan pada bayan dan nuri
1
Pepaya
Jenis zat makanan (% Bahan kering) Bahan Serat kering Protein, Lemak, BETN, Abu, Ca, kasar, (%) % % % % % % 13.90 13.67 2.88 10.79 59.74 12.95 3.67
2
Pisang
37.20
2.08
0.51
4.74
28.07
1.80
0.26
0.48
1675
3
Tomat
8.60
1.53
0.61
1.08
3.96
1.42
0.07
0.27
445
4
Jagung muda
24.73
5.85
4.85
3.29
84.56
1.45
0.02
0.35
4675
5
Kacang tanah
82.37
33.72
42.15
1.91
15.90
6.32
0.11
0.44
6613
6
Kangkung
15.30
24.13
2.91
24.72
32.71
15.53
0.71
0.49
4036
No
Jenis pakan
Energi gross (KKal/Kg)
P, % 2.37
4107
Tabel 5 menunjukkan jenis pakan yang memiliki kandungan protein yang tinggi berturut-turut adalah kacang tanah 33,72%, kangkung 24,13% dan pepaya 13,67%. Sedangkan jagung muda, pisang dan tomat termasuk rendah kandungan proteinnya. Lemak yang tinggi terkandung pada kacang tanah 42,15%, sedangkan jenis pakan yang lainnya termasuk rendah yaitu berkisar antara 0,51% sampai dengan 4,85%. Kangkung lebih banyak mengan-dung serat kasar (24,72%) dibanding jenis pakan yang lain. Sedangkan pepaya kandungan kalsium dan phosphornya lebih tinggi dibanding jenis pakan lain, yaitu masing-masing 3,67% dan 2,37%. B. Pembahasan Rata-rata jumlah konsumsi pakan burung bayan di penangkaran Oilsonbai sebanyak 317,2 gram/ekor/hari, hal ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Takandjandji dkk. (2000) yang menyatakan bahwa burung bayan dewasa di penangkaran Oilsonbai, mengkonsumsi pakan sebesar 195 gram/ekor/hari dan hasil penelitian Takandjandji (2004) yang menyatakan bahwa burung bayan sumba di penangkaran Hambala mengkonsumsi pakan sebanyak 104,2 gram/ekor/hari dari total pemberian 400 gram/ekor/hari, dengan prosentase konsumsi yang dihasilkan sementara sebesar 26,1%. Perbedaan jumlah konsumsi pakan ini bisa disebabkan oleh perbedaan tempat, suhu, jenis pakan yang diberikan, jenis kelamin, berat badan, umur burung, dan waktu penelitian yang berbeda. Tingginya konsumsi pakan bisa juga disebabkan oleh palatabilitas (daya suka) burung terhadap suatu pakan, cuaca (semakin dingin, semakin tinggi konsumsi pakan), dan lingkungan (habitat) yang sesuai. Tabel 5 menunjukkan dari 6 jenis pakan yang diberikan ternyata yang paling disukai oleh burung bayan adalah jenis biji-bijian baik jagung muda maupun kacang tanah. Kemudian diikuti oleh jenis jenis buah-buahan (pisang, pepaya dan tomat) dan yang kurang disukai adalah sayur-sayuran yakni kangkung. Hal ini berbeda dengan hasil penelitian Takandjandji (2004) yang menyatakan bahwa burung bayan lebih menyukai berturut turut biji-bijian, sayuran dan buah-buahan. Tingkat konsumsi pakan ini sesuai dengan kebiasan makan dari jenis burung Bayan di alam dimana jenis ini tergolong sebagai burung paruh bengkok yang makanan utamanya biji-bijian. Soemadi dan Mutholib (1994) mengatakan, burung pemakan biji, mengkonsumsi biji-bijian sebanyak 10 % dari berat tubuhnya. Demikian pula hasil pengamatan terhadap 3 kelompok pakan (kelompok biji-bijian, sayur-sayuran dan buah-buahan) yang diberikan pada burung Bayan Sumba selama di penangkaran, ternyata kelompok biji-bijian lebih banyak dikonsumsi oleh burung bayan (Takandjandji dkk., 2001). Selanjutnya dikatakan dari 8 macam jenis bijibijian yang diberikan ternyata yang paling disukai adalah jagung muda, kacang tanah, dan jambu biji. Hal ini disebabkan jenis biji-bijian banyak mengandung lemak, protein, dan karbohidrat yang digunakan untuk pertumbuhan, produksi telur, dan sebagai sumber energi. Energi dibutuhkan untuk beraktivitas karena jenis burung ini termasuk sangat aktif terbang. Sedangkan tingkat palatabilitas pakan pada burung paruh bengkok lainnya adalah burung nuri raja kembang berturut-turut menyukai jagung muda, pisang, pepaya, tomat, kacang tanah, dan kangkung. Nuri tanimbar menyukai berturut-turut pisang, pepaya, jagung muda, dan tomat. Sedangkan pakan yang disukai perkici timor berturut-turut adalah pisang, pepaya, jagung muda, dan tomat. Burung nuri tanimbar dan perkici timor tidak menyukai kacang tanah dan kangkung. Agar fungsi tubuh burung berjalan normal, kuantitas dan kualitas pakan harus diperhatikan. Kualitas pakan dipengaruhi oleh nilai gizi yang terkandung dalam pakan dan secara umum harus mengandung protein, lemak, karbohidrat, vitamin, dan mineral. Oleh karena itu, pakan yang diberikan tidak hanya cukup secara kualitas, kuantitas, tetapi harus seimbang sehingga zat-zat makanan yang diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada tabel Paired Samples Statistics (Lampiran 1) terlihat bahwa rata-rata berat badan burung sebelum perlakuan pemberian pakan adalah 223 gram, sedangkan rata-rata berat badan burung sesudah perlakuan pemberian pakan adalah 245 gram. Sehingga terlihat adanya peningkatan berat badan. Hal ini dapat dilihat juga pada Gambar 7 di mana ada kenaikan berat badan pada burung setelah diberi perlakuan pemberian pakan bergizi. Yang paling banyak kenaikan berat badannya adalah pada Prosiding Kupang 12 November 2007
13
bayan betina 3A. Hal ini terjadi dimungkinkan tidak banyaknya aktivitas yang dilakukan oleh bayan betina 3A, karena selama pengamatan burung ini lebih banyak diam di dalam nestbox. Sedangkan bayan jantan 3A, nuri raja kembang dan perkici timor tidak mengalami kenaikan berat badan. Hal ini dimungkinkan karena banyaknya aktivitas bergerak yang memerlukan banyak energi yang dilakukan oleh burungburung tersebut, seperti terbang dan naik ram. Hasil analisis laboratorium menyatakan, jagung muda dan pepaya mengandung BETN yang lebih tinggi dibanding jenis pakan lainnya. Unsur ini berperan dalam tubuh burung sebagai sumber energi, membakar lemak, membantu memperkecil oksidasi protein menjadi energi, dan memelihara fungsi alat pencernaan makanan agar berjalan normal. Kacang tanah mengandung protein dan lemak yang tinggi, sedangkan kangkung mengandung serat kasar yang tinggi. Peranan protein dalam tubuh burung adalah sebagai bahan pembangun tubuh dan pengganti jaringan yang aus atau rusak; bahan baku pembentukan enzim, hormon, dan antibodi; mengatur peredaran cairan tubuh dan zat yang larut di dalamnya ke dalam dan ke luar sel; serta metabolisme energi. Sedangkan lemak berfungsi sebagai sumber energi, mengatur suhu tubuh, dan melindungi organ tubuh. Energi digunakan untuk melakukan gerak hidup, serta proses-proses produksi lainnya. Dalam melakukan kegiatan tersebut, bentuk energi diubah menjadi panas sehingga antara energi dan prosesproses kehidupan dalam tubuh, selalu dinyatakan dalam unit panas, yakni kalori. Sedangkan kilo kalori 0 adalah jumlah panas yang dibutuhkan untuk menaikkan suhu 1 C lebih tinggi terhadap 1 kg air. Dilakukan juga ujicoba pemberian pakan berupa tulang cumi-cumi. Tulang cumi yang diberikan terdiri dari 5 buah yang besar dan 4 buah yang kecil. Burung bayan yang berpasangan (jantan dan betina 3) menghabiskan 5 buah tulang cumi, sedangkan betina 1 dan 2 makan tetapi tidak habis (sisa 0,5 bagian). Tulang cumi diberikan karena banyak mengandung kalsium yang berguna untuk memperbaiki kondisi dan kualitas telur yang diproduksi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Rata-rata jumlah konsumsi pakan burung bayan di penangkaran sebanyak 317,2 gram/ekor/hari. 2. Pemberian pakan yang bernilai gizi tinggi dan teratur akan meningkatkan berat badan dan kesehatan burung. 3. Burung bayan dan nuri raja kembang menyukai jenis biji-bijian, buah-buahan dan sayuran. 4. Burung nuri tanimbar dan perkici timor menyukai buah-buahan dan biji-bijian muda. 5. Pemberian pakan yang bergizi terus dilakukan agar bisa meningkatkan produktivitas burung yang ada di penangkaran. DAFTAR PUSTAKA Prahara, W. 1997. Pemeliharaan, Penangkaran, dan Penjinakan Kakatua. Penebar Swadaya. Jakarta Pratisto, A. 2004. Cara Mudah Mengatasi Masalah Statistik dan Rancangan Percobaan dengan SPSS 12. Penerbit PT. Elex Media Komputindo – Kelompok Gramedia. Jakarta. Soemadi, W. dan A. Mutholib. 1994. Pakan Burung. Penebar Swadaya, Jakarta Takandjandji, M. 2004. Pengembangan Teknik Penangkaran Burung Paruh Bengkok (Burung Bayan Sumba). Laporan Hasil Penelitian, Kupang. Tidak dipublikasikan Takandjandji, M; E. Sutrisno; dan R. Garsetiasih. 2001. Petunjuk Teknis. Penangkaran Burung Bayan Sumba. Aisuli. Nomor 15. Balai Penelitian Kehutanan, Kupang Takandjandji, M; E. Sutrisno; dan R. Garsetiasih. 2000. Teknik Konservasi Penangkaran Burung Bayan Sumba. Buletin Kehutanan dan Perkebunan. Vol. I No. 2. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan, Bogor
14
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Lampiran 1. Hasil analisis T-Test Paired Samples Statistics
Pair 1
Mean 223,0000 245,0000
Sebelum Sesudah
N 10 10
Std. Error Mean 47,94024 54,23713
Std. Deviation 151,60035 171,51288
Paired Samples Correlations N Pair 1
Sebelum & Sesudah
Correlation ,980
10
Sig. ,000
Paired Samples Test Paired Differences 95% Confidence Interval of the Difference Std. Error Mean Std. Deviation Mean Lower Upper Pair 1 Sebelum - Sesudah -22,00000 38,14301 12,06188-49,28586 5,28586
t -1,824
df 9
Sig. (2-tailed) ,101
Crosstabs Case Processing Summary Cases Missing N Percent 0 ,0%
Valid N Pakan * BB
Percent 100,0%
10
Total N 10
Percent 100,0%
Pakan * BB Crosstabulation Count -1,00 Pakan
162,40 170,40 232,60 253,00 349,20 369,90
Total
BB 23,00
,00 0 1 0 0 0 0 1
0 1 1 2 0 0 4
25,00 2 0 0 0 0 0 2
125,00 0 0 0 0 1 1 2
Total 0 0 1 0 0 0 1
2 2 2 2 1 1 10
Chi-Square Tests
Pearson Chi-Square Likelihood Ratio Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
Value 27,500a 23,871 ,086
20 20
Asymp. Sig. (2-sided) ,122 ,248
1
,769
df
10
a. 30 cells (100,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,10.
Tabel Paired Samples Test Hipotesis : Ho = berat badan burung sebelum dan sesudah perlakuan pemberian pakan sama Ha = berat badan burung sebelum dan sesudah perlakuan pemberian pakan berbeda Dengan membandingkan thitung dengan ttabel : Jika -ttabel < thitung < ttabel maka Ho diterima Jika thitung < -ttabel atau thitung > ttabel maka Ho ditolak Atau dengan membandingkan nilai probabilitas dengan = 5% : Jika probabilitasnya > 0,05 maka Ho diterima Jika probabilitasnya < 0,05 maka Ho ditolak Pada Tabel Paired Samples Test, thitung = -1,824 dan ttabel (0,025;9)= 2,262. Oleh karena thitung > -ttabel atau dengan melihat probabilitas sebesar 0,101 (>0,05) maka Ho diterima, artinya berat badan burung tidak terbukti meningkat setelah diberi perlakuan pemberian pakan. Tabel Chi-Square Tests Hipotesis : Ho = Tidak ada hubungan antara konsumsi pakan dengan kenaikan berat badan Ha = Terdapat hubungan antara konsumsi pakan dengan kenaikan berat badan Dasar pengambilan keputusan : Berdasarkan Chi-square hitung Jika Chi-squarehitung < Chi-squaretabel maka Ho diterima Jika Chi-squarehitung > Chi-squaretabel maka Ho ditolak Chi-squarehitung = 27,500 Taraf kepercayaan 95% Prosiding Kupang 12 November 2007
15
Derajat bebas = (kategori konsumsi pakan-1) x (kategori kenaikan berat badan) = (6-1) x (5-1) = 20 Chi-squaretabel = (0,05;20) = 31,410 Karena Chi-squarehitung < Chi-squaretabel maka Ho diterima. Berdasarkan probabilitasnya : Jika probabilitas (Asymp Sig) > 0,05 maka Ho diterima Jika probabilitas (Asymp Sig) < 0,05 maka Ho ditolak Oleh karena probabilitas (Asymp Sig) 0,122 > 0,05, maka Ho diterima. Artinya tidak terdapat hubungan antara jumlah konsumsi pakan dengan kenaikan berat badan.
16
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
REHABILITASI HUTAN DAN LAHAN BERBASIS AGROFORESTRY PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI BENAIN DI TIMOR15 Oleh: 16 Gerson ND. Njurumana
ABSTRAK Daerah Aliran Sungai Benain merupakan salah satu sumberdaya pembangunan dengan keragaman potensi sumberdaya alam dan aktivitas pemanfaatan terhadap sumberdaya hutan, tanah dan air. Beranekaragamnya kepentingan mendorong terjadinya tekanan sumberdaya alam, terutama terhadap sumberdaya hutan, tanah dan air sehingga berdampak negatif terhadap daya dukung lahan produktivitas pertanian dan peternakan juga jasa lingkungan. Tekanan terhadap sumberdaya lahan tersebut sangat tinggi yang diindikasikan oleh laju peningkatan lahan kritis sebesar 11.635 ha/tahun dalam 22 tahun terakhir. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan analisis informasi upaya pengembangan pertanian campuran lahan kering atau agroforestry sebagai salah satu alternative dalam mengendalikan peningkatan lahan kritis pada DAS Benain. Metode yang digunakan adalah deskriptifkuantitatif dengan teknik observasi dan valuasi data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peluang degradasi lahan akan meningkat apabila tidak tersedianya pola pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air yang ramah lingkungan. Pengembangan pertanian campuran lahan kering merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan, karena pola tersebut memiliki nilai sustainabilitas yang cukup tinggi dan dijumpai pada wilayah DAS Benain. Pengembangan agroforestry dapat memberikan manfaat secara seimbang antara aspek ekonomi, aspek ekologi dan aspek social. Kata kunci : Lahan kritis, agroforestry, kearifan lokal, lahan kering, berkelanjutan
I. PENDAHULUAN Kerusakan ekosistem Daerah Aliran Sungai (DAS) di seluruh wilayah Indonesia makin meningkat yang ditandai dengan makin bertambahnya jumlah DAS kritis. Karena itu, pengelolaan ekosistem DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir sebagai dampak dari kejadian banjir, kekeringan dan krisis air bersih akibat perubahan tataguna lahan dan fungsi ekosistem DAS. Rehabilitasi DAS terutama pada wilayah semi arid seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) memiliki nilai strategis dan urgen untuk mendukung pemanfaatan jasa lingkungan, salah satunya komponen tata air. Salah satu strategi pengentasan kemiskinan dapat dilakukan dengan memperbesar manfaat jasa ekosistem DAS dalam mendukung irigasi pertanian. Sedikitnya 80% masyarakat NTT menggantungkan hidup pada sektor pertanian, sehingga kerusakan dan penurunan fungsi ekosistem DAS berpengaruh langsung terhadap produktivitas lahan dan pendapatan masyarakat. Salah satu persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan DAS Benain dari aspek sumberdaya lahan adalah tataguna lahan dan tata ruang yang tumpang tindih antar sektor dan wilayah administrasi termasuk wilayah adat. Konflik kepentingan dan sektoralisasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan masih tinggi, sehingga keterpaduan dalam upaya rehabilitasi hutan dan konservasi tanah dan air masih mengalami kendala. Beberapa kendala yang dihadapi antara lain, adanya perbedaan kriteria dan indikator pengelolaan setiap sektor, dan hal ini menimbulkan benturan kepentingan dan tidak efisien dalam pemanfaatan sumberdaya dan energi pembangunan. Tulisan ini mencoba memberikan gagasan alternatif pemanfaatan sumberdaya lahan berbasis agroforestry dengan pertimbangan bahwa pola tersebut mampu memberikan keseimbangan manfaat antara aspek eonomi, sosial dan ekologi.
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada wilayah DAS Benain meliputi Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Timor Tengah Utara (TTU) dan Belu pada bulan April sampai bulan Juli tahun 2006. DAS Benain merupakan salah satu DAS utama yang memiliki peran penting untuk mendukung perekonomian masyarakat di Timor. B. Bahan dan Alat Bahan dan peralatan yang digunakan adalah tally sheet, kamera, alat tulis menulis, perangkat komputer, peta administrasi, peta penutupan lahan, peta jenis tanah, peta kelas lereng, peta curah hujan, peta lahan kritis dan peta tingkat bahaya erosi pada DAS Benain. C. Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara deskriptif dengan teknik observasi, tabulasi dan evaluasi data. Kajian terhadap aspek sumberdaya lahan difokuskan pada konsistensi dan sinkronisasi tataguna lahan terhadap perubahan penutupan/pemanfaatan lahan dengan mengacu pada rencana tata ruang yang telah ada. Konsistensi dan sinkronisasi pemanfaatan sumberdaya lahan di DAS Benain diarahkan untuk mengetahui terjadinya perubahan tataguna lahan dan faktor-faktor penyebabnya. Data yang dikumpulkan terdiri dari data sekunder, meliputi data dan informasi tentang isu dan kerusakan lingkungan yang diperoleh melalui pengumpulan data citra satelit, observasi lapang, data statistik, hasilhasil penelitian terkait dengan erosi, sedimentasi, longsor dan lahan kritis. Data yang berkaitan dengan kondisi dan isu kerusakan sumberdaya lahan, pada DAS Benain meliputi aspek lahan kritis, pertanian, 15 16
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Prosiding Kupang 12 November 2007
17
perkebunan, peternakan, kehutanan dan sumberdaya air. Data-data tersebut diperoleh dari instansi terkait diantaranya adalah kehutanan, Dinas Pekerjaan Umum, Bappeda dan Bapedalda. Analisis data dilakukan dengan pendekatan analisis spasial (sistem informasi geografis - SIG), analisis citra satelit, analisis data kuantitatif (tabulasi silang) dan analisis data kualitatif (analisis deskriptif).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Biofisik DAS Benain Menurut Anonim (2005), formasi geologi wilayah DAS Benain sangat bervariasi dari jenis batuan dan tanah. Jenis batuan didominasi oleh batu gamping, batu pasir dan batu lumpur seluas 144.959 ha (37,72%); batu lempung seluas 131.716 ha (34,27%) dan alluvium sungai-sungai muda seluas 55.569 ha (14,46%), batuan koral seluas 38.569 ha (10,04%), batuan filit sekis seluas 11.265 ha (2,93%), endapan bahan-bahan kipas seluas 1.181 ha (0,31%) dan basalt andesit seluas 1.071 ha (0,28%). Penyebaran jenis batu gamping, batu pasir dan batu lumpur terluas terdapat di Kabupaten TTS seluas 60.205 ha selanjutnya di Kabupaten TTU dan Kabupaten Belu masing-masing 45.053 ha dan 39.701 ha. Penyebaran jenis batu lempung berturut-turut dari yang terluas terdapat di Kabupaten TTU, TTS dan Belu masing –masing seluas 74.577 ha; 35.269 ha; dan 21.870 ha, sedangkan jenis batuan lainnya menyebar dengan persentase yang kecil. Batu gamping merupakan batuan hasil proses sedimentasi bahan kimia yang mengandung senyawa utama berupa karbonat yaitu CaCO3 atau (CaMg)CO3, termasuk bahan silikat (kuarsa, opal, dsb.) dan mineral aluminosilikat yang berukuran liat. Sedangkan bahan alluvium adalah bahan hasil proses pengendapan partikel yang dibawa oleh air (alluvium) atau angin (loess) yang berupa bahan lepas dan belum terkonsolidasi, termasuk bahan yang pengendapannya terjadi oleh gaya gravitasi (Pratiwi, 2006). Demikian halnya dengan keragaman jenis tanah yang tinggi meliputi jenis Kambisol (61,30%), Renzina (13,57%), Alluvial (11,40%), Grumosol (8,05%), Mediteran (5,12%), Latosol (0,21%), Podzolik (0,19%) dan Regosol (0,15%) yang tersebar pada wilayah Kabupaten TTS, TTU dan Belu seperti yang disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Penyebaran jenis tanah pada DAS Benain No. 1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Tanah Regosol Podzolik Latosol Mediteran Grumosol Alluvial Renzina Kambisol Jumlah
Timor Tengah Selatan 0 0 802 1.423 0 1.846 27.700 94.365 126.136
Luas (ha) Timor Tengah Utara 0 740 0 8.655 28.120 6.538 16.198 89.829 150.080
Jumlah Belu 588 0 0 9.604 2.821 35.435 8.251 51.415 108.144
Ha
%
588 740 802 19.682 30.941 43.819 52.149 235.609 384.330
0.15 0.19 0.21 5.12 8.05 11.40 13.57 61.30 100.00
Sumber : Anonim, 2005
Menurut Anonim (2005), keragaman formasi jenis batuan dan tanah pada DAS Benain mengindikasikan keanekaragaman potensi dan tantangan terkait dengan pengelolaan sumberdaya hutan, tanah dan air. Demikian pula dengan dominasi penyebaran jenis tanah pada daerah yang dilalui DAS Benain cukup tinggi, sehingga memerlukan perhatian dalam pemanfaatan dengan memperhatikan karakteristik jenis tanah dan daya dukung serta kerentanan terhadap kegiatan pertanian lahan kering, penggembalaan maupun peruntukkan lain. Pemahaman secara spesifik terhadap tipologi jenis batuan diharapkan meningkatkan dukungan ilmiah dalam merancang model pendekatan pengelolaan, pemanfaatan dan pelestariannya. Kondisi kemiringan lahan pada DAS Benain didominasi kelas lereng yang termasuk kategori agak curam sampai curam (kemiringan 26-40%) dengan luas 211.082 ha (54,92%). Kondisi tersebut rawan terhadap erosi, khususnya bila intensitas curah hujan tinggi dan penutupan vegetasi rendah. Peluang meningkatnya erosi makin tinggi seiring dengan tekanan pemanfaatan lahan untuk kegiatan pertanian, kebun dan aktivitas penggembalaan. Selanjutnya Anonim (2005) menyebutkan bahwa bentuk lahan pada wilayah DAS Benain terdiri dari wilayah pegunungan seluas 109.864 ha (28,59%), perbukitan seluas 103.469 ha (26,92%), teras seluas 98.255 ha (25,57%), dataran alluvial seluas 29.761 ha (7,74%), dataran seluas 26.584 ha (6,92%), rawa seluas 6.208 ha (1,62%), jalur meander seluas 5.036 ha (1,31%), kipas dan lahar seluas 1.181 ha (0,31%) dan pantai seluas 588 ha (0,15%) yang menyebar pada wilayah Kabupaten TTS, TTU dan Belu. Dominasi bentuk lahan memiliki kaitan dengan peluang kejadian erosi, tataguna lahan dan kelayakan terhadap usaha pertanian, peternakan dan daya dukung terhadap tangkapan air. Perbandingan antara daerah pegunungan, bukit dan dataran yang relatif seimbang diharapkan dapat mengurangi tekanan terhadap lahan pada daerah dengan resiko kerusakan dan erosi yang tinggi. B. Tekanan Terhadap Lahan Penutupan lahan pada DAS Benain didominasi oleh semak/belukar seluas 233.434 ha (60,74%), pertanian campuran lahan kering seluas 73.914 ha (19,23%), hutan lahan kering sekunder seluas 41.520 ha (10,80%), savana seluas 25.224 ha (6,56%), hutan mangrove primer seluas 3.631 ha (0,94%), tubuh air seluas 2.588 ha (0,67%), hutan mangrove sekunder seluas 1.293 ha (0,34%), tanah terbuka seluas 1.240 ha (0,32%), belukar rawa seluas 628 ha (0,16%), pemukiman seluas 482 ha (0,13%) dan pertanian lahan kering seluas 261 ha (0,07%)(Anonim, 2005). Peluang terjadinya kebakaran lahan di DAS Benain sangat tinggi karena penutupan lahan didominasi oleh semak belukar dan savana. Kebakaran lahan disebabkan oleh aktivitas manusia dalam membersihkan dan mempersiapkan lahan pertanian. Studi
18
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
yang dilakukan Riwu Kaho (2005) pada daerah hulu DAS Benain melaporkan bahwa penyebab kebakaran lahan didominasi oleh faktor manusia dengan beragam alasan antara lain untuk memelihara daerah permukiman, membersihkan lingkungan, berburu, membuka lahan dan memelihara padang penggembalaan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa ditinjau dari aspek sosial ekonomi dan budaya, pembakaran dilakukan sebagai bentuk ekspresi sindrom kemiskinan dan enersia, yaitu substitusi tenaga kerja dan pupuk serta bagian dari perilaku budaya turun temurun. Perilaku membakar lahan berkorelasi dengan kehidupan masyarakat sebagai peternak baik ternak besar, sedang maupun kecil. Kegiatan pembakaran lahan untuk merangsang pertumbuhan rumput muda menjadi salah satu faktor pendorong meningkatnya kebakaran dalam beberapa tahun terakhir. Usaha pertanian lahan basah sangat sedikit dijumpai dan lebih banyak mengandalkan pertanian campuran lahan kering. Model pertanian campuran lahan kering campuran merupakan salah satu model pemanfaatan lahan yang ramah terhadap lingkungan seperti mamar, dan cukup banyak diterapkan oleh masyarakat serta memiliki nilai stabilitas dan keberlanjutan yang cukup tinggi (Njurumana, 2006). Karena itu, apresiasi dan pengembangan terhadap model-model pertanian ramah lingkungan yang diterapkan oleh masyarakat lokal seperti mamar merupakan salah satu peluang untuk meningkatkan rehabilitasi dan konservasi pada wilayah DAS Benain. Tekanan penduduk terhadap lahan yang dilalui DAS Benain akan meningkat yang dapat didekati dari kepadatan penduduk, sehingga dikuatirkan daya dukung lahan tidak akan mampu memenuhi kebutuhan manusia seperti disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jumlah Penduduk dan kepadatan geografis di kabupaten/kecamatan yang dilalui DAS Benain Tahun 2004.
No. 1
2
3
Kabupaten/Kecamatan
199.857
Jumlah Rumah Tangga (KK) 50.206
172.985
139.333
Jumlah Penduduk (Jiwa)
Timor Tengah Selatan (Amanatun Utara, Amanuban Barat, Amanuban Tengah, Amanuban Timur, Fatumnasi, Kie, Kota So'e, Mollo Selatan, Mollo Utara dan Polen) Timor Tengah Utara (Biboki Selatan, Biboki Utara, Insana, Insana Utara, Kota Kefa, Miomafo Barat, Miomafo Timur dan Noemuti) Belu (Kobalima, Malaka Barat, Malaka Tengah, Malaka Timur dan Tasifeto Barat)
Luas (ha)
Kepadatan 2 (jiwa/km )
222.090
90
46.627
246.330
70
36.829
130.046
107
Sumber : Prastowo, et al. 2006
Berdasarkan data pada Tabel 2 teridentifikasi bahwa kepadatan geografis tertinggi pada wilayah hulu berada di Kecamatan Kota Soe (Kabupaten TTS) yang diikuti oleh Kecamatan Kota Kefamenanu (Kabupaten TTU). Sedangkan untuk wilayah hilir kepadatan geografis tertinggi berada di Kecamatan Malaka Barat. Kepadatan penduduk tersebut akan menimbulkan tekanan terhadap sumberdaya lahan khususnya untuk kepentingan pertanian di wilayah hulu yang akan mengganggu fungsi dan keseimbangan ekosistem lingkungan di DAS Benain. Hal ini dapat didekati dari perbandingan kepadatan agraris untuk lahan sawah dan lahan kering pada wilayah DAS Benain seperti pada Tabel 3. Tekanan penduduk terhadap sumber-sumber agraria di DAS Benain sampai dengan tahun 2004 dapat pula ditelaah dari kepadatan agraris. Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat dipahami bahwa kepadatan agraris lahan basah/sawah di DAS Benain sebanyak 97.9 jiwa/Ha. Kepadatan agraris di wilayah hulu sebesar Tabel 3. Kepadatan agraris lahan sawah dan lahan kering di Kabupaten dan Kecamatan yang dilalui DAS Benain, 2004
No.
Kabupaten (Kecamatan)
1
Kabupaten Timor Tengah Selatan (Amanatun Utara, Amanuban Barat, Amanuban Tengah, Amanuban Timur, Fatumnasi, Kie, Kota So'e, Mollo Selatan, Mollo Utara dan Polen) Kabupaten Belu (Kobalima, Malaka Barat, Malaka Tengah, Malaka Timur, Pemb. Malaka Barat, Pemb. Malaka Tengah dan Tasifeto Barat)
2
Jumlah
Junlah penduduk (jiwa)
Lahan basah
Lahan kering
199.857
Luas (Ha) 2.495
Kepadatan (jiwa/Ha) 80
139.333
2.746*
51
339.190
5.231*
97,9*
42.625
Kepa-datan (jiwa/Ha) 4,6
31.237*
4,4*
Luas (Ha)
73.862*
6,9*
Keterangan : *) tidak termasuk data Kec. Pemb. Malaka Barat & Pemb. Malaka Tengah
80 jiwa/ha jauh lebih besar dibandingkan dengan kepadatan agraris pada wilayah hilir sebanyak 51 jiwa/Ha. Nilai tersebut menunjukkan bahwa tekanan penduduk terhadap sumber-sumber agraria Prosiding Kupang 12 November 2007
19
khususnya di sektor pertanian untuk persawahan cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa peluang untuk mengusahakan kegiatan di sektor pertanian lahan kering di DAS Benain lebih besar, mengingat alokasi lahan yang tersedia lebih besar dengan jumlah penduduk yang lebih kecil. Selain tekanan penduduk, tekanan terhadap lahan akibat penggembalaan ternak juga menjadi salah satu faktor pendorong degradasi lahan. Jenis ternak besar yang dominan di DAS Benain adalah sapi, sedangkan ternak kecil dan ternak unggas yang dominan adalah babi dan ayam kampung. Kepadatan ternak di DAS Benain sampai Tahun 2003 memperlihatkan bahwa untuk ternak besar adalah 0,31 ekor/ha; ternak kecil 0,46 ekor/ha dan unggas 1,82 ekor/ha. Bila dibandingkan dengan data potensi desa 1987/1988 dan Statistik Kabupaten 1985/1986 dengan data tahun 2003 terlihat kecenderungan perubahan populasi ternak selama 15 tahun terakhir yaitu untuk ternak besar seperti ternak sapi terjadi peningkatan populasi 9,21%, sedangkan ternak kerbau dan kuda terjadi penurunan populasi masing-masing 41,31% dan 65,04%. Demikian juga dengan ternak kecil seperti kambing terjadi penurunan populasi 24,61% dan sebaliknya untuk ternak babi mengalami peningkatan 26,46%, sedangkan ternak unggas yaitu ayam dan itik mengalami peningkatan populasi yang tinggi masingmasing mencapai 297,93% dan 194,43%. Penurunan populasi ternak besar diharapkan berdampak positif terhadap menurunnya tekanan terhadap lahan untuk penggembalaan, pemadatan dan erosi. Peningkatan populasi ternak unggas diharapkan tidak berdampak negatif karena penambahan populasi tidak berdampak langsung terhadap perubahan penutupan vegetasi dan tataguna lahan. Dugaan penurunan populasi ternak besar menunjukkan penurunan daya dukung lahan dan ketersediaan pakan, sedangkan peningkatan populasi ternak kecil dan unggas diduga berkaitan erat dengan alternatif usaha masyarakat untuk meningkatkan pendapatan dalam jangka pendek. Kecenderungan peningkatan usaha ternak kecil dan unggas dapat mengurangi tekanan terhadap lahan, mempercepat pendapatan masyarakat karena regenerasi dan pemeliharaan lebih mudah dilakukan dibandingkan ternak besar. C. Ancaman Degradasi Tekanan terhadap lahan pada wilayah DAS Benain mengalami peningkatan dalam beberapa tahun terakhir yang ditunjukkan oleh meningkatnya laju luas lahan kritis yang menyebar di Sub DAS Baen Tubino, Bikomi, Boen, Bunu, Fatu, Laku, dan Sub DAS Maubesi seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kondisi lahan kritis di DAS Benain DAS Benain %
Tidak Kritis 2.994 0,78
Potensial Kritis 2.912 0,76
Kondisi Lahan (Ha) Agak Kritis Kritis 91.780 275.138 23,88 71,59
Sangat Kritis 8.918 2,32
Tubuh Air 2.587 0,67
Jumlah 384.330 100
Sumber : Anonim, 2005
Berdasarkan data pada Tabel 5 dapat ditelaah bahwa jumlah lahan kritis di DAS Benain sudah sangat tinggi mencapai 71,59%. Kondisi ini akan berpengaruh langsung terhadap daya dukung kawasan dalam menyediakan berbagai manfaat sosial, ekonomi dan jasa lingkungan. Mengacu pada data hasil intrepretasi photo udara tahun 1981, luas lahan kritis mencapai 119.876 ha, sedangkan data terbaru hasil citra landsat tahun 2003 meningkat menjadi 375.836 ha. Terjadi peningkatan jumlah lahan kritis dalam jangka waktu 22 tahun di DAS Benain sebanyak 255.960 ha, dengan rata-rata peningkatan lahan kritis mencapai 11.635 ha/tahun. Bila kondisi tersebut berlangsung terus, maka penutupan lahan di DAS Benain sudah dalam keadaan kritis. Prediksi laju peningkatan luas lahan kritis di DAS Benain sejalan dengan informasi yang dilaporkan oleh Hutabarat (2006), bahwa rata-rata laju peningkatan lahan kritis di NTT selama 20 tahun terakhir mencapai 15.163,65 ha/tahun, sedangkan kemampuan rehabilitasi hanya mencapai 3.615 ha/tahun, sehingga perbandingan antara laju degradasi dengan upaya penanaman adalah 4 : 1. Informasi tersebut juga sejalan dengan data yang dilaporkan oleh Suriamihardja (1990) bahwa kegiatan pembakaran vegetasi padang rumput di NTT mencapai 1.000.000 ha/tahun dan hutan sekunder 100.000 ha/tahun. Peningkatan lahan kritis diduga berdampak langsung terhadap tingkat bahaya erosi. Berdasarkan intrepretasi data citra landsat tahun 2003, tingkat bahaya erosi (TBE) DAS Benain tergolong sangat berat (85,52%) yang tersebar di semua sub DAS. Hampir semua wilayah Sub DAS pada kondisi TBE sangat berat (> 65%) kecuali sub DAS Kutun (31,54%). Sub DAS Laku seluruh wilayahnya sudah dalam kondisi TBE sangat berat (100%). Dengan tingkat TBE dan luas lahan kritis yang tinggi maka di sub DAS Baen Tubino, Bikomi, Boen, Bunu, Fatu, Laku, dan Maubesi sangat diperlukan prioritas tataguna lahan untuk menekan laju erosi, sedimentasi dan pendangkalan sungai. Dalam rangka rehabilitasi lahan kritis, Idris (2001) menyarankan untuk melaksanakan rehabilitasi lahan dengan mempertimbangkan karakteristik biofisik wilayah dan mempertimbangkan tiga pilar sebagai acuan yaitu: a) pemahaman terhadap aspek sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dalam pemanfaatan dan rehabilitasi lahan, b) optimalisasi fungsi, nilai dan manfaat hutan dan lahan melalui perbaikan teknik penanaman dan konservasi tanah dan air, serta c) pemanfaatan teknologi untuk peningkatan keberhasilan rehabilitasi lahan kritis, produktivitas lahan dan pemasaran hasilnya. D. Peran Sosial Ekologi Agroforestry Pendekatan rehabilitasi lahan dan pemulihan mutu lingkungan hidup merupakan kebutuhan dasar untuk meningkatkan manfaat jasa lingkungan yang dapat mendukung manfaat sosial dan ekonomi dari sumberdaya lahan. Keterbatasan luas hutan yang berfungsi sebagai tata air menyebabkan terjadinya kekeringan, sehingga harapan masyarakat untuk meningkatkan produktivitas lahan tidak tercapai. Hal ini diindikasikan oleh laju degradasi lahan yang sangat cepat dalam kurun waktu 20 tahun terakhir. Pesatnya laju degradasi lahan merupakan akumulasi dari pertambahan penduduk yang mempunyai ketergantungan tinggi terhadap sumberdaya lahan, serta rendahnya keberhasilan reboisasi dan penghijauan termasuk rendahnya dukungan teknologi yang sesuai dengan karakteristik lokal.
20
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Pada pihak lain, pemanfaatan fungsi lahan dilakukan berlebihan dengan mengabaikan daya dukung dan regenerasi lahan secara alamiah. Selain faktor alam, faktor kemiskinan, aksesibilitas, kebijakan dan sosial budaya masyarakat merupakan aspek yang mempengaruhi terjadinya kerusakan lahan. Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat yang miskin akan cenderung memiskinkan lingkungannya, dan lingkungan yang dibuat dan menjadi miskin akan terus membiarkan manusia bergelut dengan kemiskinannya. Upaya rehabilitasi yang dilakukan secara besar-besaran tidak akan memberikan manfaat selama masyarakat masih terbelenggu dengan kemiskinan. Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Njurumana (2005) memperlihatkan bahwa secara umum masyarakat di Nusa Tenggara Timur memiliki bentuk-bentuk kearifan lokal dalam berinteraksi dengan hutan, tanah dan air. Persoalan yang dihadapi dalam pemanfaatan kearifan lokal adalah tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak budaya masyarakat dalam kaitannya dengan hak ulayat dan wilayah adat. Bentuk-bentuk pertanian campuran lahan kering seperti sistem kaliwu, sistem mamar, sistem ongen dan sistem amarasi tidak dapat berkembang karena minimnya pengetahuan masyarakat dalam hal budidaya serta lemahnya dukungan pemerintah. Pada sisi lain, alternatif pertanian lahan kering sangat tinggi, sehingga memerlukan masukan teknologi tepatguna untuk melakukan diversifikasi komoditas dengan memperhatikan pewilayahan komoditas, persaingan dan permintaan pasar. Pengembangan model agroforestry lokal sangat penting mengingat sebanyak 80% masyarakat di DAS Benain memiliki ketergantungan hidup pada model pertanian campuran lahan kering seluas 73.914 ha (19,23%). Untuk mendukung hal itu, perlu tersedianya program bimbingan bagi petani dalam melakukan diversifikasi komoditi untuk keamanan pangan dan pendapatan, termasuk antisipasi perubahan harga komoditi di pasaran, sehingga mengurangi tekanan terhadap sumberdaya lahan dan hutan akibat ketidakstabilan ekonomi. Pada umumnya, petani di Nusa Tenggara Timur mempraktekkan keanekaragaman model pemanfaatan lahan yang ramah dengan kondisi lingkungan setempat. Tidak mengherankan dalam komoditas pertanian lahan kering, banyak praktek pertanian campuran lahan kering campuran dengan memaduserasikan aneka ragam jenis tanaman semusim, tanaman tahunan serta kegiatan beternak. Secara tradisional, petani pedesaan di DAS Benain telah mempraktekkan strategi relung ekologi mikro, mereka melakukan upaya pemanfaatan lahan melalui perladangan pada lahan yang tidak terlalu luas dan terpencar, memelihara ternak, mengembangkan aneka ragam jenis tanaman umur pendek dan umur panjang, meramu dan berburu secara berkala, sehingga tanpa disadari mereka memposisikan diri sebagai petani polipalen atau petani serba tanggung yang berada pada beranekaragam profesi tersebut di atas. Peluang rehabilitasi hutan dan lahan berbasis agroforestry di DAS Benain sangat memungkinkan, mengingat sebagian besar masyarakat merupakan petani yang terbiasa dengan kegiatan tanammenanam. Inisiatif lokal masyarakat melalui agroforestry lokal yang berkelanjutan seperti sistem mamar dan berbagai corak dan model pertanian campuran lahan kering yang dikembangkan masyarakat merupakan salah satu potensi yang harus diberdayakan dalam mendukung rehabilitasi hutan dan lahan sekaligus pemberdayaan diversifikasi pendapatan masyarakat. Sustainabilitas dari agroforestry lokal yang dikembangkan mengindikasikan bahwa masyarakat petani pedesaan telah berinisiasi untuk memaduserasikan tradisi pengelolaan hutan dengan perkembangan pertanian. E. Agroforestry menuju Small-Scale Forest Inisiatif masyarakat lokal melalui pengembangan agroforestry seperti mamar sesungguhnya mengarah pada pembangunan ekosistem hutan dalam skala yang kecil. Pada model mamar yang sudah lama dikembangkan oleh masyarakat, tipologi vegetasi sangat menyerupai hutan alam karena merupakan komunitas tanaman yang kompleks yang didominasi oleh pepohonan dengan keterwakilan komponen hutan alam yang cukup memadai. Walaupun demikian, agroforestry lokal yang dijumpai sesungguhnya bukanlah produk alam melainkan merupakan hasil karya dan peradaban manusia yang diwariskan secara turun temurun dengan tujuan untuk meningkatkan diversifikasi usaha untuk mendukung ketahanan pangan dan pelestarian lingkungan. Agroforestry lokal berbasis mamar merupakan sebuah gagasan investasi masyarakat lokal dalam memanfaatkan ruang untuk mendekatkan dan menjembatani konsep pertanian dan kehutanan yang selama ini masing-masing berdiri sendiri. Keterpaduan aspek kehutanan, pertanian dan peternakan dalam kerangka sosial budaya masyarakat setempat merupakan indikasi kemajuan petani dalam mendukung investasi pembangunan secara terpadu dan tidak terjebak pada sektoralisasi seperti yang selama ini menjadi biang kegagalan pembangunan di Nusa Tenggara Timur. Kekuatan agroforestry masih terletak pada dukungan kelembagaa adat pada tingkat masyarakat dan dikendalikan oleh berbagai mekanisme dan sistem sosial yang mengatur hak dan kewajiban setiap individu dalam pengelolaan sumberdaya lahan. Perlu juga disadari bahwa cikal bakal dari model-model agroforestry lokal yang masih dijumpai saat ini adalah pola pertanian lahan kering, baik yang dilakukan secara menetap maupun berpindah-pindah. Dalam usaha pertanian jangka pendek, masyarakat mengembangkan berbagai jenis tanaman yang dapat bermanfaat baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah dan panjang. Tanaman tersebut akan berproses secara alam, sehingga pada akhirnya hanya tanaman yang dominan terutama untuk jenis tanaman keras yang bertahan. Dengan demikian, peladang berpindah pada komunitas semi arid merupakan pahlawan rehabilitasi, karena mereka berhasil membangun satuan-satuan lingkungan yang menyerupai hutan alam dalam skala kecil berdasarkan relung ekologi wilayah semi arid. Pada beberapa lokasi penerapan agroforestry lokal dijumpai bahwa model-model tersebut menciptakan struktur dan relung ekologi dimana species-species hutan baik binatang maupun tumbuhtumbuhan dapat berkembang biak. Sekalipun tingkat keanekaragaman hayatinya masih rendah dibandingkan dengan hutan alam, namun menjadi sesuatu yang memiliki nilai ekologi yang sangat tinggi sebagai bagian dari peradaban manusia yang hidup di pedesaan. Keunggulan utama dari agroforestry lokal adalah pemberdayaan ekonomi dan lingkungan yang dilakukan secara bersamaan. Produk agroforestry lokal lebih banyak merupakan hasil hutan non kayu seperti buah-buahan, madu, obat-obatan Prosiding Kupang 12 November 2007
21
dan jasa lingkungan, sedangkan produksi kayu sangat jarang dimanfaatkan bahkan dilindungi untuk kepentingan konservasi dan perlindungan daerah tangkapan air. Dari aspek ekonomi, pengembangan agroforestry lokal sangat penting bagi masyarakat, karena model tersebut memiliki kontribusi yang cukup signifikan dalam perekonomian masyarakat pedesaan. Produk-produk agroforestry pada sistem mamar dan kaliwu memainkan peran utama dalam mendukung perkembangan perekonomian daerah dengan memberikan kesempatan kepada industri dan pembeli melalui tersedianya mekanisme pasar yang dapat diakses oleh masyarakat. Produktivitas tanaman buahbuahan yang banyak dijumpai pada agroforestry lokal mampu mencukupi kebutuhan masyarakat petani, baik pangan maupun finansial. Agroforetsry lokal yang dijumpai merupakan salah satu bentuk strategi diversifikasi pemenuhan kebutuhan petani untuk melengkapi budidaya tanaman pangan di ladang ataupun budidaya ternak sebagai salah satu sumber penghasilan. Agroforestry merupakan sebuah pola pertanian berkelanjutan yang mendukung terbentuknya ekosistem hutan dalam skala kecil. Sekalipun demikian, pengakuan terhadap fungsi dan manfaat agroforestry sebagai salah satu alternatif strategi untuk membangun dan melindungi sumberdaya hutan masih belum memuaskan. Padahal dalam kenyataannya, masyarakat pedesaan telah mengembangkan inisiatif lokal yang memadukan keanekaragaman hayati, kehidupan ekonomi dan pelestarian sumberdaya hutan dan lingkungan sebagai satu kesatuan pengelolaan. F. Agroforestry dan Rehabilitasi Hutan, dan Lahan Agroforestry merupakan suatu sistem pengelolaan lahan yang memadukan berbagai jenis tanaman pada satuan lahan pertanian maupun pada suatu bentang alam (lansekap) dengan sasaran pada peningkatan produksi yang memberikan manfaat langsung maupun tidak langsung terhadap aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Peran agroforestry lokal dalam rehabilitasi lahan adalah dalam hubungannya dengan mempertahankan tingkat penutupan lahan untuk mendukung infiltrasi jumlah dan kualitas air agar tersedia sepanjang waktu. Keragaman bentuk penutupan lahan berupa hutan alami, permudaan alami, agroforestry, pertanian monokultur maupun semak belukar masing-masing memiliki tingkat kontribusi terhadap upaya pemulihan fungsi sosial, ekologi dan produksi lahan sebagai sumberdaya pembangunan. Peranan agroforestry mamar dalam mendukung rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air dapat dipahami dengan mempertimbangkan pengaruh tumbuhan terhadap perubahan pola aliran air hujan dan perbaikan sifat dan bahan organik tanah. Peran tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : 1. Zona di atas permukaan tanah. Zona ini terdiri dari dua bagian yaitu tutupan hijau dan tutupan coklat. Tutupan hijau merupakan fungsi dari tajuk vegetasi dan tumbuhan bawah dalam mengintersepsi (mengurangi) jumlah air hujan yang jatuh ke permukaan tanah. Intersepsi air hujan sangat penting dalam kaitannya dengan mengurangi daya pukul energi kinetik hujan dalam menghancurkan dan memecah permukaan tanah, menambah volume pasokan air hujan yang menyerap kedalam tanah secara teratur dan mempertahankan kestabilan iklim mikro dalam rangka menjaga kelembaban udara. Iklim mikro yang stabil akan mendukung fungsi ekologi dari makro fauna tanah terutama cacing dan perkembangan akar tanaman maupun regenerasi alami jenis tanaman yang ada didalamnya Sedangkan tutupan coklat merupakan fungsi dari lapisan serasah tanaman berupa daun, ranting, cabang, bunga dan buah yang gugur dan terletak diatas permukaan tanah. Serasah sangat penting dalam mempertahankan kegemburan tanah dan melindungi agregat tanah dari pukulan energi kinetik hujan, sehingga tanah tidak mengalami kerusakan dan pori makro yang berfungsi untuk infiltrasi dapat terjaga. Selain itu, serasah juga dapat berperan sebagai sumber makanan bagi organisme tanah terutama mikroorganisme penggali tanah seperti cacing tanah yang juga berfungsi memperbanyak tersedianya pori makro dalam tanah. Selain itu, serasah tanaman berfungsi juga sebagai filter terhadap partikel tanah yang terangkut oleh aliran permukaan sekaligus sebagai sarana untuk mengurangi penguapan air tanah pada musim kemarau. Serapan air oleh pohon dari dalam tanah sangat membantu meningkatkan jumlah ruang pori tanah yang memungkinkan air hujan untuk terserap dan masuk kedalam tanah. Dengan tersedianya pori tanah yang cukup banyak, maka penyerapan air hujan akan meningkat sehingga jumlah aliran permukaan akan menurun pada musim hujan. 2. Zona didalam tanah. Zona didalam tanah terdiri dari pori makro tanah dan kapasitas resapan air. Pori makro tanah sangat ditentukan oleh profil akar tanaman yang berkembang dalam profil tanah, terutama akar pohon yang mati dan telah mengalami pelapukan akan meninggalkan ruang pori yang cukup besar yang mendukung peningkatan kapasitas infiltrasi tanah dan proses pertukaran udara dalam tanah. Melalui pori makro tersebut, zat-zat gas beracun dalam tanah dengan mudah dapat diuapkan ke udara sehingga fungsi tanah dapat ditingkatkan untuk mendukung pertumbuhan tanaman. Ketika musim hujan tiba, ruang pori tersebut merupakan saluran infiltrasi yang sangat efektif dalam meningkatkan penyerapan air, sehingga dapat mengurangi aliran permukaan dan meningkatkan input pasokan air bawah tanah.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Pendekatan rehabilitasi hutan dan konservasi tanah dan air berbasis agroforestry merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam mendukung fungsi sosial ekologi DAS Benain di masa yang akan datang. Kesehatan ekosistem DAS Benain makin menurun akibat perubahan tataguna lahan yang cenderung meningkat sebagai dampak dari kebakaran, peternakan dan alih fungsi lahan, meningkatnya sedimentasi dan banjir, menurunnya kesuburan lahan terutama di daerah hulu dan tengah, memudarnya apresiasi terhadap kearifan lokal dalam pengelolaan hutan, tanah dan air.
22
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
B. Saran Guna memadukan pengelolaan ekosistem DAS Benain yang melintasi tiga kabupaten yaitu Kabupaten Timor Tengah Selatan, Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Belu, perlu dibangun hubungan, keterpaduan dan kesamaan persepsi melalui kolaborasi pengelolaan seluruh sektor yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan ekosistem DAS Benain. Pemerintah propinsi sebagai pihak yang bertanggungjawab dalam pengelolaan DAS lintas kabupaten harus mulai mendorong pemerintah kabupaten yang dilalui DAS Benain untuk memikirkan pola pendekatan pembangunan secara khusus terhadap masyarakat yang berada di Kecamatan Fatumnasi, Kabupaten Timor Tengah Selatan yang merupakan wilayah hulu. Perhatian khusus diarahkan pada penciptaan alternatif lapangan pekerjaan baru yang dapat mengurangi tekanan terhadap lahan, karena tekanan terhadap lahan pada wilayah hulu sudah sangat tinggi dan tidak mampu lagi mendukung perluasan usaha pertanian lahan kering maupun lahan basah. Pendekatan jasa lingkungan merupakan salah satu alternatif, dalam hal ini masing-masing kabupaten memberikan insentif maupun disinsentif yang dapat dikelola secara bersama untuk mendukung proses penyadaran dan pemberian alternatif usaha bagi masyarakat hulu.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2005. Laporan Penyusunan Data Base dan Informasi DAS di Wilayah BPDAS Benain Noelmina Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2005. Kerjasama Balai Pengelolaan DAS Benain Noelmina dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Universitas Nusa Cendana. Kupang. Prastowo, L.M. Riwu Kaho, G.ND. Njurumana, Bayu A.V., A. Nalle, A. Bria, Lenny M., J. F. Nomeni, P. C. Tengko, dan G. Enga. 2006. Laporan Penyusunan Konsep Terpadu Pengelolaan DAS Benain Noelmina. Forum Daerah Aliran Sungai Nusa Tenggara Timur. Kupang Hutabarat, S. 2006. Model Forest : Alternatif Pengelolaan Hutan di Nusa Tenggara Timur. Makalah Utama pada Kegiatan Sosialisasi Hasil Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Universitas Nusa Cendana. 14 Februari 2006. Kupang Idris, M.M. 2001. Gambaran degradasi lahan dan permasalahannya di Nusa Tenggara Timur. Prosiding Lokakarya Rancangan Kesepakatan Politik Nasional Bidang Kehutanan Regional Nusa Tenggara. Kupang 27-28 Nopember 2001; 81-92. Badan Planologi Kehutanan dan Dinas Kehutanan Propinsi Nusa Tenggara Timur. Jakarta. Njurumana, G. ND. 2005. Pengembangan Model-Model Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah dan Air dengan Pendekatan Kearifan Lokal. Laporan Penelitian. Tidak dipublikasikan. Njurumana, G. ND. 2006. Pendekatan Rehabilitasi Lahan Kritis Melalui Pengembangan Mamar (Studi Kasus Mamar di Kabupaten TTS). Makalah Utama pada Kegiatan Sosialisasi Hasil Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Universitas Nusa Cendana. 14 Februari 2006. Kupang Pratiwi. 2006. Rehabilitasi Lahan Kritis di Wilayah Nusa Tenggara Timur. Makalah Utama pada Kegiatan Sosialisasi Hasil Hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kerjasama antara Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Badan Litbang Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan Universitas Nusa Cendana. 14 Februari 2006. Kupang Riwu Kaho, L. M. 2005. Api Dalam Ekosistem Savana: Kemungkinan Pengelolaanya Melalui Pengaturan Waktu Membakar (Studi Pada Savana Eucalyptus Timor Barat). Disertasi pada PPS UGM, Bidang Ilmu Kehutanan, Jogjakarta. Suriamihardja, S. 1990. Nilai Penting Litbang Kehutanan Pada Zona Kepulauan Kering di Indonesia Bagian Timur. Savana No. 5 / 1990.
Prosiding Kupang 12 November 2007
23
JENIS DAN SIFAT TANAH DI BEBERAPA TEMPAT DI BALI DAN NUSA TENGGARA17 Oleh : 18 M. Hidayatullah dan Mansyur
ABSTRAK Letak dan posisi daerah berdasarkan garis lintang dan garis bujur yang berbeda menyebabkan jenis dan sifat tanahnya berbeda juga satu sama lain. Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi flora, fauna dan ekosistem yang beragam karena didukung oleh struktur dan jenis yang berbeda pula. Di daerah Bali dengan curah hujan tinggi menyebabkan daerah ini rawan terjadi erosi terutama pada daerah-daerah perbukitan. Jenis tanahnya sebagian besar Latosol coklat dan Litosol untuk Bali bagian Barat, sedangkan Bali bagian Tengah sebagian besar dari jenis Regosol. Di Propinsi Nusa Tenggara Barat ada beberapa jenis tanah yang mendominasi yaitu: Regosol, Grumosol, Mediteran, Alluvial dan Rensina. Sedangkan daerah Nusa Tenggara Timur sebagian besar dari jenis Mediteran dan jenis kompleks dengan kedudukan tanah dangkal. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang jenisjenis tanah yang terdapat di beberapa daerah di Bali dan Nusa Tenggara sehingga dapat dijadikan dasar dalam kegiatan pengelolaan dan pengembangan lahan. Kata kunci: Jenis tanah dan pola pengelolaan
I. PENDAHULUAN Wilayah Bali dan Nusa Tenggara memiliki potensi yang sangat besar berupa keragaman flora dan fauna endemik dan sejumlah formasi ekosistem. Dengan potensi yang terpencar di beberapa pulau tersebut memungkinkan tingkat kesuburan dan daya dukung wilayahnya berbeda antara satu dengan yang lain. Letak dan posisi suatu daerah juga berpengaruh pada jenis tanah dan iklim dari wilayah tertentu. Hal ini ditandai oleh keragaman jenis tanaman yang tumbuh dengan tingkat kesuburan yang berbeda. Pertumbuhan dan perkembangan suatu jenis tanaman, selain dipengaruhi oleh faktor tanaman itu sendiri juga faktor lingkungan tempat tumbuhnya serta interaksi antara kedua faktor tersebut. Faktor tanaman yang memegang peranan penting diantaranya adalah sifat genetis, sifat fisiologis dan umur. Sedangkan faktor lingkungan yang banyak berpengaruh adalah tanah dan iklim yang meliputi curah hujan, temperatur dan kelembaban. Dari beberapa penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang telah dilakukan, jenis tanah dan iklim masih kurang mendapat perhatian. Padahal kemungkinan lambannya pertumbuhan atau bahkan kegagalan dalam penanaman dipengaruhi oleh faktor ini. Tingkat kesuburan tanah sangat ditentukan oleh ketersediaan unsur-unsur hara yang terdapat pada areal tersebut. Semakin tinggi kandungan unsur-unsur yang dibutuhkan oleh tanaman pada suatu daerah, maka pertumbuhan dan perkembangan tanaman akan semakin baik. Beberapa hal yang sangat berpengaruh terhadap kesuburan tanah adalah ketebalan topsoil yang merupakan lapisan tanah bagian atas, tebalnya antara 15-30 cm atau lebih. Lapisan tanah ini merupakan bagian tanah yang penting karena pada lapisan ini hidup dan kehidupan manusia bertumpu. Sifat fisik tanah ditinjau dari pengolahan dan pengelolaannya meliputi warna dan tekstur. Sedangkan kelembaban tanah ditentukan oleh kandungan air dalam tanah yang tergantung pada tekstur dan struktur tanah, semakin halus liat tanah semakin besar air yang dapat diikat oleh tanah tersebut. Kedalaman tanah (solum) sangat penting untuk mengetahui ketebalan tanah terutama pada lahan-lahan yang memiliki kemiringan. Adapun tekstur tanah terdiri dari: bahan padat (fraksi batu, kerikil, pasir dan debu), bahan cair, bahan gas dan jasad hidup (Kartasapoetra et al., 2000). Nusa Tenggara Timur merupakan daerah dengan curah hujan yang relatif rendah atau musim kemarau yang lebih panjang. Sebagian besar lahan pada daerah ini merupakan lahan dengan kandungan hara rendah. Lahan dengan kandungan hara rendah seperti ini pada umumnya cocok untuk pengembangan cendana (Santalum album). Sedangkan untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara Barat keadaan tanahnya sangat beragam, penyebaran tipe tanahnya berasal dari bentukan bahan vulkanik muda dan endapan laut. Tujuan dari tulisan ini adalah memberikan informasi tentang sifat dan jenis tanah yang terdapat di beberapa tempat di Bali dan Nusa Tenggara. Diharapkan informasi ini dapat berguna dalam rangka pemanfaatan lahan-lahan yang ada terutama dalam peningkatan pendapatan petani.
II. JENIS-JENIS TANAH DI NUSA TENGGARA DAN BALI A. Jenis Tanah di Nusa Tenggara Timur Secara geografis NTT terletak pada 8° - 12° Lintang Selatan dan 118° - 125° Bujur Timur, dengan luas daratan 47.349,9 Km² dan luas lautan ± 200.000 Km². Iklim di provinsi ini dicirikan oleh musim penghujan yang relatif pendek (3-4 bulan dalam setahun), dengan rata-rata curah hujan berkisar antara 800 – 3000 mm per tahun serta jumlah hari hujan rata-rata 100 hari per tahun (Badan Pusat Statistik o o Provinsi NTT, 2000). Suhu minimum dan maksimum berkisar antara 23 – 34 C. Iklim semacam ini menyebabkan provinsi ini cenderung tergolong dalam iklim semi-arid (lahan kering). Jenis tanah di NTT sebagian besar Mediteran (52,23 %) dan jenis tanah kompleks (31,37 %) dengan kedudukan tanah yang dangkal. Sifat dan jenis tanah ini peka terhadap erosi (Susila dan Rahmat, 1996). Menurut Effendi (1998), keadaan tanah di NTT pada umumnya miskin hara dan sangat tipis di atas batuan terumbu karang yang 17 18
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
24
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
mengakibatkan wilayah ini mudah mengalami degradasi dan berdaya pulih rendah dengan kedalaman hanya berkisar 15-30 cm. Bahkan tanah di daerah ini sering disebut “batu bertanah” karena banyaknya batu yang terdapat pada tanah. Keadaan fisik geologi tanah di Nusa Tenggara dan Maluku Tenggara pada umumnya berkaitan erat dengan penyebaran tipe batuan. Bukit dan pegunungan pada pulau-pulau busur luar dibentuk pada batuan beku dan endapan yang memiliki lembah-lembah yang dalam sehingga menghasilkan sistemsistem punggung yang tajam. Batuan yang lunak akan melapuk dan menghasilkan lahan yang lunak sebagaimana terjadi di Timor dan Yamdena dan juga batu berkapur yang terindurasi lemah dengan bercampur batu-batu besar yang keras telah melapuk. Napal dan batuan-batuan lainnya di Kepulauan Aru telah terangkat ke permukaan laut sedikit tererosi dan membentuk dataran yang datar dan bergelombang serta mengandung batu kapur. Sedangkan pada pulau-pulau busur dalam memiliki bentuk lahan berupa bukit dan pegunungan. Vulkanik yang tua memiliki punggung yang tinggi dan curam. Lahan aluvial sangat banyak dengan luasan yang kecil-kecil. Dataran sungai dan kipas-kipas aluvial dan koluvial cukup banyak di sekitar pusat-pusat aluvial terutama di Lombok dan Sumbawa (Anonimous, 1993a; 1993b). Bahan induk tanah di P. Timor adalah Liat Bobonaro (Bobonaro Scaly Clay), yang mengandung banyak Montmorilonit dengan kisi-kisi liat yang didominasi oleh ion-ion Sodium. Pulau ini juga mengandung liat dan pecahan-pecahan landasan keras yang ditutupi formasi lain dalam laut (coral terraces) atau kondisi-kondisi Lacustrine di sekitar inti Bobonaro (Aldrick, 1985). Dengan demikian jenisjenis tanah ini sebagian besar rapuh, mudah tererosi, mudah longsor dan sering mengandung garam, Natrium dan bersifat alkali. Vertisol yang terbentuk di atas liat Bobonaro (30 % daratan Timor) sulit ditangani karena miskin hara, pH tanahnya 8-9 dan mudah longsor. Akibat dari tingginya kadar Montmorilonit maka tanah-tanah Bobonaro memiliki tingkat kontraksi yang tinggi ketika mengering dan tanah-tanah ini menjadi basah sekaligus pada garis-garis pecahan dan cenderung pecah di sepanjang garis tersebut selama musim hujan, terutama bila terjadi getaran. Tanah-tanah lempung merah Ultisol yang terbentuk pada pada formasi karang (Raised Coral Terraces, RCT) mempunyai struktur yang baik, pH hampir netral (7,5), dan agak lebih subur, umumnya sangat dangkal dan batuan kapurnya memiliki banyak lubang untuk berkembangnya akar. Kelompok tanah Entisol yang terbentuk di atas formasi Viqueque, umumnya dangkal (30-60 cm), berkapur dengan nilai pH 8-9. Formasi ini menutup liat yang bercampur kapur (marl), batu-batu liat abu-abu, dan batu kapur yang lunak. Umumnya tanah ini memiliki drainase dan kesuburan yang lebih baik. Formasi tanah di Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur secara garis besar dapat dibagi dalam tiga wilayah yaitu (1). wilayah Pulau Flores dan sekitarnya, pada umumnya berupa jenis tanah mediteran dengan bentuk wilayah Volkan, tanah Kompleks dengan bentuk wilayah pegunungan, kompleks Latosol dengan bentuk wilayah Volkan, Alluvial dengan bentuk wilayah dataran. Tanah-tanah Mediteran dengan bentuk wilayah Volkan mempunyai penyebaran yang paling luas. Pulau Lembata Adonara dan Solor mempunyai tanah jenis Mediteran dengan bentuk Volkan, (2). Wilayah pulau Sumba sebagian besar terdiri dari jenis mediteran dengan bentuk wilayah pengunungan lipatan dan datar serta bentuk wilayah volkan. Latosol dan Grumusol dengan bentuk wilayah pelembahan, Tanah Mediteran dengan bentuk wilayah pengunungan lipatan adalah merupakan jenis tanah yang paling luas penyebarannya, dan (3). Wilayah pulau Timor dan sekitarnya berupa Jenis tanah di Pulau Timor adalah tanah-tanah kompleks dengan bentuk wilayah pegunungan kompleks, mediteran dengan bentuk wilayah lipatan, Grumusol dengan bentuk wilayah dataran, Latosol dengan bentuk wilayah plato/Volkan. Tanah-tanah kompleks dengan bentuk wilayah pengunungan kompleks merupakan jenis tanah yang paling luas penyebarannya. Pulau Alor dan Pantar mempunyai jenis tanah Mediteran bentuk tanah Volkan. Berdasarkan penyebarannya, maka prosentasi jenis-jenis tanah di wilayah Nusa Tenggara Timur antara lain terdiri dari tanah Mediteran ±51%; tanah-tanah kompleks ±32,25%; Latosol ± 9,72%; Grumusol ± 3,25%; Andosol ± 1,93%; Regosol ± 0,19% dan jenis tanah Aluvial ± 1,66%. Di antara pulau-pulau besar di NTT secara geologis ada yang terbentuk secara vulkanis dengan kondisi tanah relatif subur (P. Komodo, Flores, Adonara, Solor, Lembata, Pantar, Alor) dan yang terbentuk dari terangkatnya dasar laut yang tanahnya berbatu kering. Seperti Kabupaten Alor sebagian besar tanahnya dari jenis mediteran dengan kondisi tanah miskin unsur hara dan pH tanah dari netral sampai basa (Surata, 1989). B. Jenis Tanah di Nusa Tenggara Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB), terdiri dari 2 pulau besar dan pulau-pulau kecil lainnya. Luas daratannya adalah 2.015.445 Ha terdiri dari 473.870 Ha di daratan pulau Lombok dan 1.541.575 di 0 daratan pulau Sumbawa. Sedangkan ditinjau dari aspek geografis wilayah NTB terletak pada 115,46 0 0 0 119,10 Bujur Timur dan 8,5 9,5 Lintang Selatan. Pola iklim di NTB sangat beragam, mulai dari iklim basah (curah hujan lebih dari 3500 mm/tahun) untuk daratan tinggi dan pegunungan, iklim sedang dan kering (curah hujan antara 2500 mm-1000 mm/tahun) untuk dataran rendah pantai Timur dan Tenggara. Terdapat tiga bentuk tanah yang umumnya berkaitan dengan lahan basah, kering dan gersang. Topografi berbukit dan bergunung-gunung dengan lereng curam atau sangat curam dan mudah tererosi. Tanahnya berupa tanah lempung dan liat yang mudah tercuci sehingga kesuburannya kurang. Menurut Anonimous (1993b), kondisi tanah di NTB mirip dengan tanah di NTT dengan bentukan dari bahan vulkanik muda dan endapan laut, komposisi batuan induk adalah Basalt dan Andesit gunung berapi. Pulau Lombok dan pulau Sumbawa terdiri dari batuan sediment yang merupakan Aluvial Undak dan terumbu Koral, Noegen, batuan Vulkanik Risent dan sedikit batuan Plutonik berasam Kersik. Sedangkan menurut Lembaga Penelitian Tanah (1986), jenis tanah di Lombok dan Sumbawa adalah Regosol, Grumosol, Aluvial dan Rendzina. Hasil penelitian Anonimous (2007) menunjukkan bahwa karakterisasi tanah di Pulau Lombok memilah tanah menjadi empat yaitu: (1). Aluvial dan Regosol (Entisols), (2). Grumusol (Vertisols), (3). Mediteran (Alfisols), dan (4). Kambisol (Inceptisols). Tanah-tanah yang menyebar di Lombok Barat umumnya terdiri dari Regosol Kelabu-Coklat (Typic Usthortents) mencakup daerah sekitar Gerung, Prosiding Kupang 12 November 2007
25
Mataram dan Bayan, dengan kandungan air tersedia berkisar antara 19,1 % (tinggi) sampai 22,4 % (sangat tinggi). Di Lombok Tengah, sekitar Penujak, Batujai dan Mujur, umumnya tanah berkembang dari endapan liat/batu kapur dan membentuk tanah grumusol (Udic Haplusterts), dengan pori penyimpan lengas/kandungan air tersedia tinggi (19,2%). Jenis tanah Mediteran dan Litosol ditemukan di sekitar Mangkung. Tanah di Lombok Timur didominasi Regosol Kelabu-Coklat dan Grumusol Kelabu.
C. Jenis Tanah di Bali 2
Propinsi Bali memiliki luas kawasan 5.632,86 km dengan daratan seluas 563.286 Ha terletak 0 0 0 0 pada 114 25’-115 42’ Bujur Timur dan 8 03’-8 0’ Lintang Selatan. Garis wallace yang melintas di sebelah Utara NTB, membagi propinsi NTB dengan Bali, menggambarkan bahwa semua bentuk sistem lahan yang ada di NTB termasuk dalam zona biogeografi Australian-Irian bagian Selatan. Sedangkan Bali mengikuti zona biogeografi Asia. Propinsi Bali memiliki ekosistem hutan hujan di bagian Timur dan Tengah, ekosistem hutan musim di bagian Utara sampai ke Barat, ekosistem savana di bagian Barat dan ekosistem payau di sepanjang pantai Selatan, Timur dan Barat. Komposisi flora dan faunanya mengikuti zona Asia antara lain: beringin (Ficus benyamina), puspa (Schima wallichii), pulai (Alstonia sp.), nyatoh (Palaquium sp.), suren (Toona sureni), walikukun (Swietenia ovata), lontar (Borassus flabelifer), bakau (Rhizophora, spp.), cempaka (Erithrina sp.), Avicennia alba, Eucalyptus alba dan Tectona grandis. Sedangkan jenis fauna utamanya adalah: babi hutan, banteng, Balbalus sp., Leucopshar rhoceldii, Felis sp., jalarang dan berbagai jenis burung. Dengan curah hujan yang cukup tinggi yaitu antara 2000-3000 mm/th, menyebabkan daerah ini terutama pada daerah-daerah perbukitan bahaya erosi dan tanah longsornya cukup tinggi. Hal ini disebabkan cara bertani yang kurang tepat, penebangan pohon secara liar, perubahan komoditi tanaman ekonomis menyebabkan kerusakan makin tinggi. Lahan kritis di pulau Bali tersebar hampir di seluruh pelosok (Anonimous, 1986). Jenis-jenis tanah di Propinsi Bali hampir sama dengan tanah di NTB yaitu berupa tanah lempung berliat yang mudah tercuci sehingga kurang tingkat kesuburannya tetapi pada tempat-tempat tertentu dapat terjadi sangat subur terutama pada daerah-daerah tangkapan (Anonimous, 1993b). Beberapa wilayah di Bali Barat formasi geologinya merupakan batuan gunung api Jembrana yang terdiri dari lava, breksi dan batuan yang tergabung. Sedangkan untuk jenis tanahnya sebagian besar adalah jenis Latosol Coklat dan Litosol bahan induk jenis tanah ini adalah Tufa Vulkan Intermedier. Seperti daerah Batur, Kubu dan Sebudi tanahnya dari jenis Gray Regosol dengan batuan dasar endapan lahar dari Gunung Agung kedalaman tanahnya rata-rata kurang dari 20 cm (Anonimous,1986). Sedangkan untuk Bali bagian Tengah seperti Kabupaten Bangli sebagian besar daerahnya merupakan dataran tinggi, hal ini berpengaruh terhadap keadaan iklim di wilayah ini. Keadaan iklim dan perputaran atau pertemuan arus udara yang disebabkan karena adanya pegunungan di daerah ini menyebabkan curah hujan di daerah ini pada tahun 1997 relatif tinggi. Hal ini terjadi pada bulan-bulan Januari, Pebruari, April, Oktober, Nopember, dan Desember. Jenis tanah di Bangli adalah tanah Regosol 0 dengan suhu rata-rata 20 C, sehingga tanaman apa saja bisa tumbuh di daerah ini.
III. PENUTUP Sifat dan jenis tanah yang terdapat di Bali dan Nusa Tenggara sangat beragam dengan berbagai tingkat kesuburan karena selain terdapat tanah yang sangat miskin sekali akan unsur hara juga di beberapa tempat ada lahan yang mempunyai tingkat kesuburan yang bagus. Untuk wilayah Nusa Tenggara Timur pada umumnya tipe tanah terbentuk dari formasi bahan induk kapur yang bercampur dengan batuan beku asam dan juga batuan beku asam. Pada Propinsi Nusa Tenggara Barat terdiri dari batuan sedimen yang merupakan Aluvial Undak dan terumbu Koral, Noegen, batuan Vulkanik Risent dan sedikit batuan Plutonik berasam Kersik. Sedangkan untuk wilayah Bali banyak terdapat berupa tanah lempung berliat yang mudah tercuci sehingga kurang tingkat kesuburannya tetapi pada tempat-tempat tertentu dapat terjadi sangat subur terutama pada daerah-daerah tangkapan. Jenis tanah yang dominan adalah jenis Latosol Coklat dan Litosol bahan induk jenis tanah ini adalah Tufa Vulkan Intermedier. Melihat keragaman jenis tanah yang tersebar di Propinsi Bali dan Nusa Tenggara ini, maka memungkinkan daerah tersebut dapat diusahakan beraneka ragam jenis tanaman pertanian dan kehutanan dalam rangka peningkatan pendapatan petani dan pelestarian sumberdaya alam dan ekosistemnya. Akan tetapi terdapat banyak sekali lahan atau kawasan yang mengalami penurunan tingkat kesuburan sebagai akibat dari penggunaan lahan yang tidak diimbangi dengan upaya pelestarian alam. Untuk mempertahankan ketersediaan unsur-unsur penyubur tanah tersebut maka perlu didukung oleh upaya peningkatan nilai lahan melalui kegiatan reboisasi dan rehabilitasi.
DAFTAR PUSTAKA Aldrick, J.M. 1985. Land Resources, Volume III. In NTT Livestock Development Project Feasibility and Disegn Study, ACIL Australia Ltd, Melbourne. Anonimous.1986. Kondisi Hidrologi Bali Barat Ditinjau dari Geomorfologi Wilayah. Badan Litbanghut. Bogor. _________. 1993a. Rencana Pembangunan Lima Tahun Keenam Litbang Kehutanan di Nusa Tenggara dan Maluku Tenggara 1994/1995-1998/1999. _________. 1993b. Laporan Survey Potensi Ekonomi Aren dan Kayu Kebun /Tanah Milik di Wilayah SPH Lombok Tengah I CDK Wilayah Lombok Tengah. _________. 2007. Efisiensi Sumberdaya Air untuk Pengembangan Tembakau di Nusa Tenggara Barat. Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi. (online)
26
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
(http://balitklimat.litbang.deptan.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=123) diakses tanggal 16 Juni 2009. Badan Pusat Statistik Provinsi Nusa Tenggara Timur 2000. Nusa Tengggara Timur Dalam Angka, 2000. Effendi, M.1998. Uji Coba Pemupukan NPK Pada Tanaman Ampupu (Eucalyptus urophylla) di Daerah Tropiks Semi Arid dan Jenis Tanah Grumosol. Buletin BPK Kupang Vol. 3 No. 2. Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra dan M.M. Sutejdo, 2000. Teknologi konservasi tanah dan air. Penerbit Rineke Cipta. Jakarta. Lembaga Penelitian Tanah. 1968. Peta Tanah Bagan Indonesia. Lembaga Penelitian Tanah, Bogor. Surata, I.K. 1989. Potensi Lahan Untuk Pengembangan Tanaman Jati (Tectona grandis) di Timor – NTT. Savana No. 4 Susila,I.W.W. dan U.F. Rahmat. 1996. Kebijakan Jenis Tanaman di Propinsi NTT. Aisuli Vol. 1 No. 4.
Prosiding Kupang 12 November 2007
27
Bidang
HASIL HUTAN BUKAN KAYU
28
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
IDENTIFIKASI DAN ANALISA EKSTRAK WALIHU (Litsea cubeba Pers.) SEBAGAI SUMBER PESTISIDA NABATI DI NUSA TENGGARA TIMUR19 Oleh : 20 Dani Sulistiyo Hadi
ABSTRAK Penelitian tentang identifikasi dan analisa senyawa kimia dalam ekstrak kulit batang Walihu (Litsea cubeba PERS.) sebagai flora hutan yang potensial digunakan sebagai pestisida nabati dilakukan dengan ekstraksi, analisa GC-MS dan penentuan nilai LC50 ekstrak fraksi Aseton maupun n-Heksan yang dilakukan melalui uji toksisitas. Sampel tumbuhan diambil dari daerah Sumba Timur, berupa bagian kulit batang dan daun. Perlakuan awal sampel berupa pencacahan, di kering anginkan kemudian diblender menjadi serbuk. Serbuk sampel kemudian dilakukan proses ekstraksi menggunakan dua tahap maserasi dengan jenis pelarut organik n-Heksan kemudian Aseton. Ekstrak kemudian di analisa menggunakan GC-MS untuk melihat kandungan kimia didalamnya. Uji toksisitas menggunakan organisme target larva Brine Shrimp dengan Rancangan Acak Lengkap, 5 seri konsentrasi sebagai perlakuan dan 18 ulangan, dan 24 jam waktu pengamatan. Untuk membandingkan antar rata-rata perlakuan digunakan One Way Anova dengan tingkat kepercayaan 5% dan untuk menentukan dosis efektif LC50 (Lethal Concentration 50%) digunakan Regresi Linear. Ekstrak kulit batang Walihu (Litsea cubeba PERS) memiliki kandungan senyawa kimia aktif yaitu Cubebene dan Caryophylene oxide. Walihu bersifat racun ditunjukkan dengan nilai LC50 sebesar 0,15 pada ekstrak Aseton dan 0,22 pada ekstrak n-Heksan sehingga bisa digunakan sebagai pestisida nabati. Kata kunci : Pestisida nabati , Litsea cubeba PERS., uji toksisitas, LC50.
I. PENDAHULUAN Pestisida nabati merupakan produk pestisida yang dihasilkan dari senyawa aktif bersifat racun yang di ekstrak dari tumbuhan. Penelitian tentang pemanfaatan tumbuhan sebagai sumber penghasil senyawa bermanfaat harus terus dilakukan oleh para peneliti, mengingat megadiversitas hutan yang kita miliki (Tjokronegoro, 1995). Salah satu jenis tumbuhan yang beracun adalah Mimba (Azadiractha indica) yang semula dikenal hanya sebagai salah satu jenis tumbuhan hutan sekarang merupakan salah satu sumber pestisida nabati yang memiliki nilai komersial di pasar internasional. Hal tersebut dikarenakan tumbuhan ini mengandung senyawa aktif Azadirachtin. Produk berupa pestisida, insektisida, pupuk, sabun, dan kosmetik bisa di buat dengan memanfaatkan jenis tumbuhan ini (Suharti et al., 1995). Usaha penggalian informasi tentang kandungan senyawa kimia dalam tumbuhan harus terus dilakukan. Kajian lebih jauh penelitian semacam ini adalah untuk menentukan seberapa bermanfaatnya kandungan kimia tumbuhan tertentu bisa digunakan sebagai aditif berbagai macam produk (Locke, 2005), yang pada akhirnya diharapkan akan memiliki nilai komersial dan bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Walihu (Litsea cubeba PERS.) merupakan salah satu jenis tumbuhan yang dimanfaatkan oleh masyarakat di NTT untuk membasmi serangga rumahan seperti lalat, nyamuk, dan kecoak. Tumbuhan ini dianggap memiliki kandungan beracun di dalam getahnya terutama di bagian kulit batang dan daunnya. Usaha budidaya tumbuhan hutan bermanfaat belum dilakukan oleh masyarakat, dengan pertimbangan tidak/belum memiliki nilai komersial. Sehingga mesyarakat hanya sesekali mengambil di hutan bila saat diperlukan saja (Kayat dkk., 2002). Fakta bahwa tumbuhan hutan beracun ada kandungan kimia tertentu didalamnya tidak bisa dipungkiri lagi karena selama ini nyata digunakan oleh masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam informasi mengenai Walihu dengan berusaha membuktikan kandungan racun dalam getah tumbuhan ini dengan identifikasi senyawa kimia dalam ekstraknya, juga mencari nilai toksisitas (nilai racun) ekstrak Walihu dengan perameter nilai LC50 (Lethal Concentration) 50% terhadap larva Kutu Air (Brine Shrimp /Arthemia Saline).
II. BAHAN DAN METODA A. Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini meliputi, sampel bagian Walihu yang digunakan oleh masyarakat di daerah Sumba Timur yaitu dapat berupa kulit batang dan daun (Gambar 1). Bahan kimia untuk proses ekstraksi yaitu pelarut organik nonpolar n-Heksan dan pelarut organik polar Aseton, bahan kimia untuk proses identifikasi berupa akuades, senyawa garam dan kombinasi pelarut, sedangkan organisme target untuk uji toksisitas digunakan larva Brine Shrimp.
19 20
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Prosiding Kupang 12 November 2007
29
Gambar 1. Kulit batang, daun dan buah Walihu (Litsea cubeba)
Alat yang dipakai untuk pengambilan sampel dan penanaman tumbuhan antara lain berupa, pisau, parang, cangkul, sedangkan untuk persiapan bahan ekstrak menggunakan, blender, klip bag, lemari pengering. Untuk proses ekstraksi menggunakan beakerglas, pengaduk, kolf untuk Rotary evaporator, botol sampel, oven, desikator. Alat identifikasi yang digunakan kromatografi gas dan massa. Uji toksisitas alat yang digunakan sprayer kecil, cawan petri, dan ticker counter. Kegiatan yang membutuhkan instrumen laboratorium berupa ekstraksi, identifikasi senyawa kimia, dan uji toksisitas dilaksanakan di Laboratorium Kimia Organik Fak. MIPA, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. B. Metode 1. Pengumpulan Contoh Tumbuhan. Contoh tumbuhan dikumpulkan secara acak ”purposif random sampling” di daerah asalnya yaitu di pulau Sumba. Serbuk kering akar, kulit batang, dan daun masing-masing sebanyak 100 gr dimaserasi menggunakan pelarut organik non polar yaitu Heksan kemudian dilanjutkan dengan pelarut organik semi-polar yaitu Aseton dengan perbandingan sample : pelarut, 1:10, selama 24 jam. Setelah 24 jam rendaman sampel dipanaskan pada suhu 30-40°C dengan penangas air (Water Bath) selama 1 jam kemudian diamkan pada suhu ruangan setelah dingin ekstrak disaring dan filtrat yang didapatkan diuapkan sampai pekat menggunakan Rotary Evaporator, selanjutnya ekstrak yang pekat tersebut dimasukan dalam botol sampel dan dioven pada suhu 40°C kurang lebih 30 menit hingga terbentuk re sidu padat lalu dinginkan dalam Desikator. Ekstrak di dalam botol sampel dikondisikan kedap udara (disemprot dengan gas N2) dan dibungkus dengan alumunium foil dan cling wrap selanjutnya disimpan dalam almari es. Proses ini diulang 2 kali, sehingga diperoleh ekstrak kasar fraksi Heksan untuk masing-masing sampel bagian tumbuhan. Selanjutnya, residu dimaserasi kembali menggunakan aseton dengan proses yang sama seperti pada maserasi heksan, sehingga diperoleh ekstrak kasar fraksi aseton untuk masing-masing sampel bagian tumbuhan. Ekstrak kasar yang diperoleh dari masing-masing contoh dari tiap-tiap fraksi dianggap sebagai ekstrak 100%. Lakukan penghitungan rendemen untuk masing-masing ekstrak berdasarkan % berat. 2. Proses Identifikasi Senyawa Aktif Toksik. Senyawa aktif toksik diidentifikasi melalui ekstraksi bagian tumbuhan dengan menggunakan metode GC-MS (Gas Cromathography and Mass Spectrum). Hasil identifikasi yang diperoleh kemudian dianalisa kandungan senyawa kimia didalamnya, dengan melihat golongan senyawa tersebut. 3. Persiapan Larva Brain Shrimp. Telur larva dientaskan dalam beakerglas yang berisi air laut dan dilengkapi dengan aerator, diamkan selama 24 jam maka telur larva akan menetas dengan sendirinya. Ekstrak bagian tumbuhan, baik fraksi heksan maupun fraksi aseton, dibuat seri konsentrasi 0, 1%, 2%, 4%, 8% (g/l) untuk dilakukan uji toksisitas terhadap larva Brain Shrimp. Untuk fraksi aseton ekstrak ditimbang dan dilarutkan dengan akuades, sedangkan untuk fraksi heksan ekstrak ditimbang dan dilarutkan dengan akuades dengan ditambah Gom arab sebagai pengemulsi dengan perbandingan berat 1:1 terhadap ekstrak. Sebagai kontrol digunakan perlakuan yang sama tetapi tanpa ekstrak. Sebanyak sepuluh ekor larva Brain Shrimp dimasukkan dalam cawan petri yang berisi kurang lebih 5 ml masing-masing seri konsentrasi larutan ekstrak kasar fraksi heksan dan aseton. Pengamatan terhadap mortalitas larva dilakukan selama 24 jam. (Kulsum dkk., 2003) 4. Analisa Data Rancangan uji toksisitas menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 18 kali ulangan dengan waktu pengamatan 24 jam. Sebagai perlakuan adalah konsentrasi ekstrak kasar kulit batang walihu. Untuk membandingkan antar purata perlakuan, digunakan One Way Anova dengan tingkat kebermaknaan 5% dan untuk menentukan dosis efektif LC50 (Lethal Concentration 50%) digunakan Regresi Linear (Goulden, 1970).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi kulit batang dan daun Walihu dengan menggunakan n-Heksan dan Aseton, serta analisa komponen kimia didalam ekstrak tersebut disajikan dalam Tabel 1. Ekstraksi 100 gram sampel kulit batang Walihu menghasilkan rendemen ekstrak sebanyak 3,68 gram fraksi Aseton, dan 0,82 gram fraksi n-Heksan. Rendemen ekstraksi dengan Aseton menghasilkan lebih banyak ekstrak dari pada ekstraksi dengan n-Heksan. Hal ini menunjukan bahwa komponen kimia yang terkandung dalam ekstrak sebagian besar adalah senyawa senyawa kimia yang larut dalam air (fraksi aseton) dari pada senyawa yang larut dalam minyak atau fraksi n-Heksan. Aseton mempunyai sifat sebagai pelarut polar sama seperti air dan
30
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
senyawa kimia akan larut pada pelarut yang memiliki kepolaran yang sama. Fakta diatas juga menjelaskan mengapa masyarakat menggunakan Walihu dengan cara merendam bagian tumbuhan ini dalam air. Secara tidak langsung masyarakat telah melakukan ekstraksi sederhana untuk memanfaatkan kandungan kimia dalam Walihu. Tabel 1. Hasil analisa dan identifikasi senyawa aktif kimia dalam Walihu dengan GC-MS Nama Tumbuhan (Daerah/Indonesia/Latin) Bagian Tumbuhan Rendemen (gr/100gr)
:
Walihu/Krangevan/Litsea cubeba PERS.
: : :
Kulit batang dan Daun F. Aseton: 3,68 F. Heksan: 0,82
Senyawa aktif
Sumber: Data Primer 2006
Analisa dengan GC-MS menunjukan kandungan senyawa kimia yang diduga memberikan sifat toksik adalah cubebene dan caryophylene oxide. Kedua senyawa tersebut merupakan golongan senyawa terpen. Cubebene merupakan senyawa monoterpene yang berantai C10-.noid, sedangkan caryophylene oxide termasuk dalam golongan sesquiterpen (C15-noid). Senyawa terpen sebagian besar memiliki sifat sebagai larvisida dan insektisida (Harborne and Baxter, 1993). Ekstrak Walihu potensial dimanfaatkan sebagai salah satu produk HHBK sama seperti halnya Mimba. Pengembangan produk dilihat dari senyawa aktif yang dimiliki ekstrak Walihu diatas, salah satunya adalah dapat berupa sabun, sampho, kosmetik, pestisida, insektisida, pupuk organik, dll. Untuk mengetahui sebarapa beracunya ekstrak Walihu , maka dilakukan uji toksisitas ekstrak menggunakan organisme target larva Brine Shrimp dengan waktu paparan 24 jam. Hasil pengamatan mortalitas larva disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2. Mortalitas larva Brine Shrimp (%±SE) terhadap berbagai konsentrasi ekstrak kasar Walihu selama 24 Jam waktu paparan Fraksi Ekstrak
Konsentrasi (% w/v) 0 0,1 0,2 0,4 0,8 0,00 ± 0,00 49,44 ± 1,27 79,67 ± 1,98 91,11 ± 1,79 97,22 ± 1,09 Aseton (a) (b) (c) (d) (e) 0,00 ± 0,00 12,22 ± 2,07 47,22 ± 2,66 68,89 ± 1,79 93,33 ± 1,80 n-Heksan (a) (b) (c) (d) (e) Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang tidak sama menunjukan antar konsentrasi berbeda secara bermakna.
Nilai LC50
Dilihat dari Tabel 2, mortalitas larva pada pengamatan 24 jam menunjukan adanya peningkatan yang signifikan sejalan dengan makin meningkatnya konsentrasi ekstrak yang diberikan. Tingkat persen mortalitas larva dengan konsentrasi ekstrak 0,8% ditunjukkan paling tinggi oleh fraksi aseton yaitu 97,22 % dan hanya sebesar 93,33% oleh fraksi n-Heksan. Tren mortalitas larva menunjukan bahwa ekstrak Walihu fraksi aseton lebih beracun terhadap larva Brine Shrimp di bandingkan dengan fraksi nHeksannya. Terlihat pada pemberian konsentrasi 0,1% dan 0,2% terdapat perbedaan mortalitas larva yang mencolok diantara keduan fraksi tersebut. 0,5 Nilai LC50 ekstrak kasar Walihu fraksi Aseton dan n-Heksan ditentukan berdasarkan 0,4 Fraksi Aseton data mortalitas larva, disajikan dalam bentuk Fraksi Heksan diagram batang (Gambar 2). 0,3 Nilai LC50 fraksi Aseton terlihat lebih kecil 0,22 dari pada fraksi nheksan, yaitu 0,15 0,2 0,15 dengan 0,22. Hal ini berarti ekstrak fraksi Aseton hanya membutuhkan sebanyak 0,1 0,15 gram ekstrak untuk membunuh 50% populasi larva dalam tiap liter air. Semakin 0 kecil nilai LC50 yang dimiliki suatu ekstrak Ekstrak Walihu maka semakin beracun ekstrak tersebut. Gambar 2. Nilai LC50 ekstrak kasar Walihu fraksi Aseton dan n-Heksan terhadap larva Brine Shrimp selama 24 jam waktu pengamatan.
IV. KESIMPULAN Ekstrak kulit batang Walihu (Litsea cubeba) memiliki kandungan senyawa bermanfaat yaitu cubebene dan caryophylene oxide yang bersifat racun ditunjukkan dengan nilai LC50 sebesar 0,15 pada Prosiding Kupang 12 November 2007
31
ekstrak Aseton dan 0,22 pada ekstrak n-Heksan. Dengan kandungan kimia beracun ini maka Walihu potensial untuk dimanfaatkan sebagai salah satu tumbuhan hutan sumber pestisida nabati dan diharapkan bisa menjadi salah satu produk HHBK yang mempunyai nilai komersial.
DAFTAR PUSTAKA Goulden, C. H. 1970. Methods of Statistical Analysis, Modern Asia Edition. New York, 467 p. Harborne J. B and H Baxter. 1993. Phytochemical Dictionary : A Handbook of Bioactive Compounds from Plants, Tylor & Francis Inc, London. Kayat, Edi Sutrisno dan A. Zaenal Abidin. 2002. Ragam Jenis dan Pemanfaatan Tradisional Tumbuhan Obat di Lombok Timur – Nusa Tenggara Barat. AISULI Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tanggara. Kupang. ISSN : 1410-1009 Kulsum, Umi., Erra Yusnita, dan Ahmad Junaedi. 2003. Prosedur Pengujian Toksisitas dan Fitokimia Tumbuhan Obat yang Berasal dari Hutan. Info Hasil Hutan. Pusat Litbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor Locke, James C. 2005. Identification and Development of Biological Agent and Natural Plant Products as Bio Pesticides. Floral Nursery Plants Reaserch Unit, US National Arboretum. Beltsville. http://www.usna.usda.gov/Research/LockeBotanicals.html Akses 28 Mei 2006 21:30 WITA Suharti M., Asmaliyah, dan W.P. Hawiati. 1995. Tanaman Mimba (Azadirachta indica) Sebagai Sumber Insektisida Nabati dalam Pengendalian Hama Tanaman Hutan. Bul. Pen. Hut. No. 589 : 1 – 26, 1995. Tjokronegoro Roekmiati K. 1995. Riset dan Prospek Pestisida Nabati di Indonesia. Jurusan Kimia – FMIPA. Universitas Padjadjaran. Bandung. Disampaikan dalam Prosiding. Perkembangan Mutakhir Pengkajian Metabolit Sekunder untuk Farmasi dan Pertanian. Direktorat Pengkajian Ilmu Kehidupan. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
32
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
KAJIAN PENGEMBANGAN EKOWISATA DI MUTIS21 Oleh : 22 Rahman Kurniadi
ABSTRAK Kawasan Mutis merupakan kawasan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata. Namun demikian pemanfaatan kawasan ini sebagai lokasi ekowisata belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari arus kunjungan wisata ke kawasan tersebut masih rendah. Manfaat ekonomi yang diterima oleh masyarakat sekitarpun masih rendah. Guna menghadapi permasalahan tersebut dilakukan penelitian yang bertujuan mengembangkan ekowisata di kawasan tersebut. Hasil penelitian menunjukan bahwa pengelolaaan ekowisata di kawasan tersebut belum dikelola secara profesional. Berbagai langkah diperlukan untuk mengembangkan ekowisata di kawasan tersebut, antara lain : penunjukan pengelola di kawasan Mutis, penataan kawasan ekowisata, peningkatan promosi wisata dan penyediaan paket-paket wisata baru. Kata Kunci : Ekowisata, potensi, kawasan Mutis
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sektor kehutanan merupakan salah satu sektor yang diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. Dari sektor kehutananan dapat diperoleh berbagai produksi seperti kayu, kesambi, madu, rotan dan berbagai hasil hutan bukan kayu lainnya. Makin banyak produk yang dihasilkan maka manfaat yang dirasakan oleh masyarakat sekitar makin tinggi. Pemanfaatan hutan sebagai penghasil kayu di Propinsi Nusa Tenggara Timur menghadapi kendala berupa tipe pedoklimat yang kering sehingga potensi hutan sebagai penghasil kayu sangat rendah. Walaupun luas kawasan hutan di propinsi ini mencapai 1.808.981,27 Ha (SK Gubernur NTT, 1996). Namun demikian produksi kayu yang dihasilkannya sangat rendah. Propinsi Nusa Tenggara Timur tercatat sebagai salah satu propinsi yang mendatangkan kayu dari daerah lain. Oleh karena itu diperlukan bentuk pemanfaatan lainnya untuk meningkatkan manfaat hutan bagi masyarakat. Salah satu bentuk pemanfaatan hutan yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat adalah pemanfaatan hutan untuk tujuan ekowisata. Dengan cara ini jasa hutan yang memiliki keindahan alam, keunikan flora dan fauna, serta tempat memperoleh suasana baru dapat dijadikan daya tarik bagi para wisatawan yang mengunjunginya. Makin banyak wisatawan yang mengunjungi kawasan hutan tersebut maka manfaat ekonomi yang diterima masyarakat makin besar. Pengembangan ekowisata juga memiliki dampak perekonomian yang sangat baik bagi kawasan tersebut. Menurut Linberg (1996) dalam Hendarto (2003) dampak ekowisata dapat digolongkan menjadi 3 kategori dampak langsung, dampak tidak langsung dan dampak lanjutan. Pengeluaran pengunjung untuk makan-minum di sebuah restoran adalah contoh dari dampak langsung pariwisata. Restoran ini dalam menyiapkan hidangan dan minuman yang akan disantap oleh pengunjung membeli bahan dan jasa (input) dari sektor- sektor usaha lain di sekitar restoran, ini merupakan dampak tidak langsung dari pariwisata. Sebagai karyawan yang bekerja sebagai juru masak di restoran, seseorang memperoleh upah. Sebagian dari upah tersebut dibelanjakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari (barang dan jasa) dari sekitar daerah tempat tinggalnya, ini yang disebut sebagai dampak lanjutan dari pariwisata. Jika restoran dan atau juru masak tadi selain membeli bahan dan jasa dari sekitar daerah tersebut juga membeli yang berasal dari luar daerah atau buatan luar negeri, maka terjadilah apa yang dinamakan kebocoran (leakege). Kawasan Mutis merupakan salah satu kawasan hutan yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai tempat ekowisata. Kawasan hutan tersebut berada di Gunung Mutis yang mempunyai ketinggian 2.427 m dari permukaan laut. Tempat ini merupakan salah satu dataran tertinggi di Pulau Timor. Saat ini berbagai kalangan menganggap penting kawasan Mutis dilihat dari segi lingkungan. Mallo dan Christianz Lenz (1998) memandang bahwa kawasan Mutis penting dari pandangan nasional, regional dan internatsional. Pada tingkat lokal kawasan Mutis digunakan oleh masyarakat sekitar untuk sumber makanan ternak, sumber mata air, sumber bahan bangunan, dan sumber kayu bakar. Kawasan Mutis juga merupakan sumber madu dan cendana yang merupakan sumber mata pencaharian penduduk. Pada tingkat regional, kawasan Mutis merupakan daerah tangkapan air yang sangat penting untuk Pulau timor. Dengan ketinggian tempat mencapai 2427 m dpl, kawasan Mutis merupakan sumber mata air bagi sungai utama di Pulau timor seperti sungai Benain dan Mina. Nilai hidrologi kawasan Mutis sangat penting karena memiliki curah hujan 2000-3000 mm per tahun. Dengan masa bulan kemarau 7 bulan. Kawasan ini relatif lebih basah dibandingkan daerah lainnya yang berada dipulau Timor yang hanya memiliki 800-1000mm curah hujan per tahun dengan jumlah hari hujan hanya 100-150 hari. Pada tingkat internasional ekologi kawasan Mutis sangat unik. Hutan musim berkombinasi dengan hutan homogen ampupu (Eucalyptus urophylla) membentuk komposisi yang tidak dijumpai di negara lain. Di samping itu kawasan ini berada di zona transisi Australia dan Asia. Saat ini permasalahan kehutanan semakin kompleks. kawasan Mutis tidak hanya dituntut untuk memberikan jasa lingkungan, akan tetapi diharapkan kawasan ini memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat. salah satu pemanfaatan yang potensial adalah dengan memanfaatkan kawasan Mutis sebagai ekowisata secara optimal. Kawasan ini memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata karena kawasan Mutis memiliki keunikan flora dan fauna. Disamping itu, 21
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
22
Prosiding Kupang 12 November 2007
33
kawasan ini mempunyai keindahan alam yang sangat potensial untuk wisata alam. Namun demikian, potensi yang besar tersebut belum menarik para wisatawan. Menurut Hendarto (2003), Propinsi Nusa Tenggara Timur tidak termasuk ke dalam 10 Propinsi tujuan wisata utama di Indonesia. Tujuan wisata utama Indonesia menurut Hendarto (2003) adalah Propinsi Sumatera Utara, Sumatera Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan. Diperlukan berbagai upaya untuk mengembangkan ekowisata di kawasan Mutis. B. Metode Penelitian Penelitian dilakukan mulai bulan April sampai dengan bulan Desember tahun 2006. Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara dengan pihak pihak terkait seperti pemandu wisata, Dinas Pariwisata Kab. TTS dan Dinas Kehutanan Kabupaten TTS. Disamping itu data dilengkapi dengan data sekunder yang berasal dari WWF, Dinas Pariwisata Kabupaten TTS dan Departemen Kehutanan. Data diolah dan dianalisis secara deskriptif. Analisis data dilakukan dengan melihat peluangpeluang yang ada untuk pengembangan ekowisata di kawasan Mutis.
II. LOKASI YANG DAPAT DIKEMBANGKAN SEBAGAI LOKASI EKOWISATA A. Lokasi Tracking/Hiking Mutis Timau Objek wisata ini sangat menarik bagi mereka yang menyukai kegiatan tracking/hyking dan lintas alam. Sepanjang jalur pendakian di kawasan Mutis menyediakan pemandangan yang indah dengan suhu udara yang relatif rendah. Sebagai titik awal pendakian terletak di desa Fatumnas dan berakhir di Puncak Gunung Mutis dengan waktu pendakian kurang lebih 6 jam. Lokasi wisata tracking /hyking Mutis Timau merupakan paket wisata utama di kawasan ini. Sepanjang jalur tracking dapat dijumpai keunikan flora dan fauna yang berada di kawasan tersebut. Kawasan Mutis dihiasi dengan tegakan ampupu yang sangat unik. Sepanjang jalur tracking dapat dijumpai hutan bonsai ampupu yang sangat menarik. Sementara itu WWF (2001) melaporkan adanya fauna endemik di kawasan tersebut yang berjumlah 23 spesies. Contoh burung endemik yang dapat ditemukan adalah black cuckoo-dove (Turacoena modesta), Wetar ground-dove (Gallicolumba hoedtii), Timor green-pigeon (Treron psittacea), Timor imperial-pigeon (Ducula cineracea), and iris lorikeet (Psitteuteles iris). B. Makam Raja Loth Oematan Makam raja Loth Oematan terletak di Desa Fatumnasi dan merupakan situs makam raja Mollo. Dengan gaya makam yang khas, merupakan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan. C. Desa Ajaobaki Di Desa Ajaobaki terdapat bekas kerajaan Mollo. Objek wisata yang menarik adalah bangunan bekas istana raja Mollo lengkap dengan pakaian kebesarannya. Objek wisata ini sangat menarik bagi mereka yang menyukai wisata sejarah dan budaya. Desa Ajaobaki merupakan salah satu Desa yang terletak di kawasan Mutis. D. Taman Bunga dan Buah Oelbubuk Taman bunga dan buah Oelbubuk merupakan tempat produksi buah- buahan khas daerah Timor. Lokasinya terletak di desa Ajaobaki yang merupakan salah satu Desa di kawasan Mutis. Lokasi-lokasi wisata di Oelbubuk masih perlu penataan karena tidak diperuntukan bagi kegiatan ekowisata. E. Hutan Bonsai Ekaliptus di Hutan Lindung Fatumnasi Hutan Bonsai Eucalyptus terletak di Cagar Alam Mutis. Daya tarik obyek wisata ini adalah adanya bonsai tanaman Eucalyptus yang berumur ratusan tahun. Pemandangan ini sangat khas karena tidak dijumpai di daerah lain.
F. Formasi Batu Fatumnasi Objek wisata ini berupa batu-batu yang menyerupai bentuk tertentu. Ada yang menyerupai 2 puteri sehingga masyarakat setempat menyebutnya benteng duaputeri. Disamping itu terdapat juga batu-batu dengan berbagai bentuk lainnya. G. Bola Palelo Bola Palelo merupakan panorama lembah di Desa Ajaobaki. Pemandangan lembah dapat dilihat dari Desa Ajaobaki. Keindahan ini dapat dinikmati apabila melakukan perjalanan menuju kawasan Mutis.
III. KOMPETITOR BAGI EKOWISATA DI MUTIS Berikut ini lokasi wisata lain yang terdapat di kab. TTS menurut Dinas Pariwisata Proponsi NTT (2006). Objek wisata tersebut merupakan kompetitor bagi objek wisata di kawasan Mutis, yaitu :
34
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
A.
Taman Rekreasi Buat
Taman rekreasi Buat merupakan kompetitor utama bagi ekowisata di kawasan Mutis. Taman rekreasi Buat berjarak + 5 Km dari Kota Soe atau sekitar 15 menit perjalanan darat dan terletak di pinggiran kota Soe. Jaraknya yang sangat dekat ke kota menjadikan objek wisata ini lebih banyak dikunjungi daripada kawasan Mutis. Taman ini ditumbuhi pohon rindang dan bunga yang menawan. Adapun kegiatan ekowisata yang dapat dialakukan adalah camping dan rekreasi keluarga. Kini taman rekreasi Buat akan dikembangkan sebagai bumi perkemahan dan kebun binatang. B.
Air terjun Oehala
Terletak + 15 Km dari kota Soe. Selain memiliki keindangan yang indah, air terjun Olhala menyimpan berbagai cerita rakyat . Air terjun Oehala dipercaya sebagai tempat perdamaian antara suku Mollo dan suku Amanuban setelah terjadinya perang saudara. Selain digunakan sebagai tempat rekreasi, dan tempat ini dimanfaatkan juga sebagai pembangkit tenaga listrik. C.
Perkampungan Tetaf/None:
Perkampungan Tetaf berjarak ± 30 Km dari kota Soe. Diperkampungan Tetaf dapat dijumpai keunikan berupa rumah adat orang Timor, tenun ikat, kerajinan tangan, tari-tarian, upacara adat. Perkampungan Tetaf sangat menarik bagi mereka yang menyukai wisata budaya. D.
Pusat kerajaan Amanuban Raja Nope di Niki- Niki
Merupakan situs peninggalan kerajaan Amanuban. Objek wisata yang menarik adalah istana raja Nope, Gua alam dan komplek pekuburan raja Nope. Raja Nope merupakan salah satu raja yang diangkat sebagai pahlawan oleh pemerintah Republik Indonesia karena kegigihannya melawan Belanda. E.
Pantai Nun Kolo
Di pantai Nun Kolo terdapat bekas pusat kerajaan Amanatun. Objek wisata yang menarik di daerah ini adalah pantainya yang indah. Selain itu daerah ini memiliki masyarakat dengan kebudayaan yang unik. Salah satu budaya daerah yang terkenal di daerah ini adalah upacara jawawut pada saat panen gandum. F.
Pantai Boking
Pantai Boking terletak di pantai selatan Kabupaten TTS. Pantai Boking merupakan bekas pusat perdagangan orang-orang Cina. Pusat perdagangan digunakan sejak abad ke 14. Objek wisata ini memiliki pantai yang indah dan terletak di Selatan Amanatun G.
Pantai Kolbano
Pantai Kolbano memilki hamparan pasir putih dan terkenal dengan kerikil beraneka warna. Kini kerikil tersebut diekspor ke Mancanegara. Selain itu keindahan alamnya bertambah dengan adanya batu karang dan pantai yang masih asli. Jaraknya sekitar 80 Km dengan jarak tempuh 2 jam dari Kota soe. Di pantai Kolbano juga terdapat monumen perang Dunia II H.
Pantai Oetune
Pantai Oetune memiliki hamparan pasir putih, hamparan padang rumput, pohon lontar, cocok untuk surfing dan Padang Golf, selain itu para wisatawandapat melihat gua jepang bekas perang dunia II. ada gua jepang. I.
Desa Adat Boti
Boti adalah salah satu desa di kecamatan Kie Kabupaten TTS. Di desa tersebut terdapat suku Boti yang mempertahankan ajaran nenek moyangnya dan tidak tersentuh budaya luar. Warga suku Boti menganut aliran kepercayaan asli yang sampai kini masih dipertahankan. Berbagai budaya suku Boti yang menarik adalah kerajinan kain tenun dan rumah adat.
IV. KEADAAAN EKOWISATA DI MUTIS A.
Tingkat Kunjungan Wisata ke Mutis
Meskipun kawasan Mutis memiliki potensi yang besar sebagai tujuan ekowisata, namun arus kunjungan wisata ke kawasan tersebut sangat rendah. Hasil wawancara dengan masyarakat pemandu wisata tahun 2006 menunjukan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Mutis hanya berjumlah 30-50 orang per tahun. Jumlah ini sangat kecil dan tidaksebanding dengan potensi yang ada. Untuk itu diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan arus kunjungan wisatawan ke Mutis. B.
Lembaga Pengelola Ekowisata
Kawasan Cagar Alam Mutis dikelola oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTT I. Tepat sebelah barat Cagar Alam Mutis terdapat Hutan Lindung Timau yang dikelola oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Kupang. Di samping itu terdapat Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten TTS yang juga berkepentingan terhadap masalah pariwisata di daerah tersebut. Meskipun banyak pihak terkait di kawasan ini, tidak ada lembaga instansi khusus yang menangani ekowisata di kawasan tersebut. Dinas Pariwisata misalnya, tidak menempatkan aparatnya di kawasan Prosiding Kupang 12 November 2007
35
tersebut. Sementara pihak Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTT tidak fokus pada masalah ekowisata. Pihak BKSDA NTT I lebih mengutamakan keamanan kawasan cagar Alam Mutis. Untuk meningkatkan manfaat dari sektor ekowisatadi Mutis diperlukan lembaga yang bertanggung jawab khusus mengenai pariwisata di kawasan tersebut dan lembaga tersebut diharapkan dapat memajukan arus kunjungan wisata ke daerah tersebut. Saat ini lembaga pengelola ekowisata di Mutis terbatas pada kelompok masyarakat pecinta alam. Kelompok tersebut menyediakan jasa guide bagi para wisatawan yang berkunjung ke kawasan tersebut. Kelompok ini berada dibawah pembinaaan Dinas Pariwisata Kabupaten TTS. Menurut peraturan perundangan yang ada, pihak pengelola ekowisata dapat berasal dari organisasi pemerintah,perusahaan swasta, maupun koperasi. Dari hasil wawancara tahun 2006, untuk sementara belum ada pihak swasta dan kooperasi yang tertarik untuk mengelola ekowisata di kawasan tersebut. Oleh karena itu, untuk saat ini ekowisata di kawasan tersebut sebaiknya dikelola oleh pihak Dinas Pariwisata atau Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTT I. C.
Lokasi Ekowisata
Kawasan Mutis memiliki banyak lokasi yang dapat dikembangkan sebagai lokasi objek wisata. Potensi –potensi tersebut belum ditata dengan baik sehingga walaupun potensinya besar tetapi arus kunjungan wisata ke daerah tersebut masih rendah. Lokasi-lokasi objek wisata di kawasan Mutis kurang dipromosikan sehingga sangat sedikit orang yang mengetahui keberadaanya. Disamping lokasi-lokasi yang telah ada, perlu juga dikembangkan lokasi-lokasi baru untuk meningkatkan arus kunjungan wisata ke daerah tersebut. Lokasi-lokasi tersebut dapat ditawarkan sebagai paket wisata. Berbagai investasi diperlukan untuk memelihara situs-situs yang telah ada. Hal ini diperlukan guna memelihara keberadaan situs-situs ekowisata di kawasan Mutis, terutama bangunan-bangunan tua yang merupakan daya tarik wisata. D.
Kawasan Terbuka
Kawasan Mutis merupakan daerah yang terbuka. Meskipun statusnya sebagai Cagar Alam, namun kawasan ini tidak memiliki pagar guna memantau orang yang memasuki wilayah tersebut. Oleh karena itu sangat sulit memberlakukan karcis masuk bagi orang yang memasuki kawasan Mutis. Kawasan Mutis yang terbuka merupakan masalah bagi pengelola kawasan tersebut. Dari segi lingkungan, kawasan ini menjadi sulit untuk dipantau, sehingga sulit untuk diamankan. Sementara dari segi ekowisata, kawasan ini sangat sulit ditata. Pengunjung yang datang sulit terpantau dan penataan lingkungan guna meningkatkan daya tarik wisata sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan upaya penataan agar kawasan ini mudah terpantau. Pembangunan sarana dan prasarana perlu dilakukan. Disamping itu kawasan ini perlu juga dilengkapi petugas yang setiap saat melayani para wisatawan.
V. PENGEMBANGAN EKOWISATA A.
Penataan Lokasi Ekowisata di Kawasan Mutis
Walaupun kawasan Mutis memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai lokasi ekowisata, namun sampai saat ini kunjungan wisatawan ke daerah tersebut masih terbatas. Menurut hasil wawancara dengan masyarakat pemandu wisata tahun 2006, wisatawan yang berkunjung ke Mutis hanya berjumlah 30 sampai 50 orang per tahun. Jumlah ini tidak sebanding dengan potensinya yang besar. Oleh karena itu diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan arus kunjungan wisata ke kawasan tersebut. Dengan arus kunjungan wisata yang tinggi maka manfaat ekonomi yang diterima masyarakatnya semakin besar. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan arus kunjungan wisata adalah dengan melakukan penataan terhadap lokasi-lokasi ekowisata yang berada di kawasan Mutis. Penataan dilakukan terhadap lokasi objek wisata yang berpotensi untuk berkembang. Penataan dilakukan untuk meningkatkan daya tarik wisata. Hampir semua objek wisata di kawasan Mutis memerlukan penataan. Adapun penataan yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1.
Lokasi Tracking/Hiking Mutis Timau
Objek wisata ini memerlukan penataan pintu masuk dan jalur tracking. Sampai saat ini pintu masuk ke kawasan Cagar Alam belum tertata dengan baik sehingga setiuap orang dengan mudah masuk ke Cagar Alam tersebut. Disamping itu, penataan perlu dilakukan untuk mempermudah penarikan karcis masuk dan pendataan terhadap pengunjung yang datang. 2.
Objek Wisata Sejarah
Beberapa objek wisata sejarah seperti situs kerajaan di Ajaobaki, makam raja Loth Oematan dan berbagai situs kerajaan lainnya menghadapi masalah kerusakan karena waktu. Oleh karena itu diperlukan langkah-langkah pemeliharaan guna mempertahankan objek-objek wisata tersebut. 3.
Objek Wisata Taman Rekreasi
Beberapa objek wisata seperti taman buah Oelbubuk hendaknya dipelihara dan dipertahankan serta ditujukan untuk kepentingan ekowisata. Penataan lokasi ekowisata hendaknya terfokus pada lokasilokasi tertentu saja mengingat pemeliharaannya memerlukan biaya yang cukup besar.
36
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
B.
Pengembangan Kegiatan Ekowisata
Paket-paket wisata merupakan daya tarik bagi para wisatawan. Ada kemungkinan paket-paket wisata yang berada di kawasan Mutis sekarang sudah tidak menarik lagi. Oleh karena itu diperlukan inovasi-inovasi guna menambah paket wisata yang ditawarkan. Saat ini kegiatan ekowisata di Mutis terbatas pada kegiatan tracking, wisata budaya dan wisata khusus. Tentu saja wisatawan yang tertarik pada kegiatan tersebut sangat terbatas. Diperlukan pengembangan kegiatan wisata lain yang lebih menarik bagi para wisatawan. Sebagai contoh, kawasan ini dapat dikembangkan untuk lomba olahraga dan lintas alam. C.
Penetapan Lembaga Pengelola Ekowisata
Kemajuan ekowisata di Mutis sangat tergantung kepada pengelola ekowisata di daerah tersebut. Harus ada lembaga yang bertanggung jawab khusus untuk menangani ekowisata di daerah tersebut. Saat ini di kawasan Mutis tidak ada petugas khusus yang mengembangkan ekowisata. Ekowisata masih dianggap sebagai sektor yang sulit berkembang sehingga perhatian masyarakat masih kurang. Kawasan Mutis sebagian besar digali untuk kegiatan ilmu pengetahuan dan konservasi sumberdaya alam. Sebagian besar lembaga-lembaga yang bekerja di kawasan Mutis bertujuan mempertahankan kelesatarian kawasan tersebut dan belum berpikir untuk memanfaatkan kawasan tersebut untuk tujuan ekowisata. Dari pemaparan di atas maka langkah yang harus dilakukan untuk memajukan ekowisata di kawasan tersebut adalah dengan menetapkan lembaga yang bertanggung jawab untuk mengembangkan ekowisata. Lembaga yang ditunjuk dapat berasal dari lembaga pemerintah ataupun lembaga swasta/ koperasi.
VI. PENUTUP Kawasan Mutis memiliki potensi yang besar, namun manfaat ekonomi yang diterima masyarakat masih rendah sehingga diperlukan berbagai upaya untuk meningkatkan arus kunjungan wisata ke daerah tersebut melalui : 1. Penunjukan lembaga yang bertanggung jawab pada masalah ekowisata di kawasan Mutis. 2. Penataan areal Mutis dan pemeliharaan lokasi-lokasi yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai ekowisata. 3. Peningkatan promosi wisata sehingga lokasi-lokasi tersebut diketahui berbagai pihak. 4. Penyediaan paket-paket wisata sehingga lebih menarik bagi wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA Dinas Pariwisata Propinsi NTT. 2006. Destinasi wisata unggulan. video-transkrip. Tidak diterbitkan. Hendarto, K.A. 2003. Ekowisata: sebuah diferensiasi produk pariwisata di Indonesia pasca tragedi Bali 12 Oktober 2002. Usahawan No. 01 th XXXII Januari 2003 Mallo,C and Chritian Lenz. 1998. Environmental Management in Gunung Mutis: A Case Study from Nusa Tenggara, Indonesia. Tidak diterbitkan. WWF. 2001. Timor and Wetar deciduous forests. www.worldwildlife.org
Prosiding Kupang 12 November 2007
37
PENGENDALIAN PARASIT DAN PREDATOR KUTU LAK23 Oleh : 24 Sujarwo Sujatmoko
ABSTRAK Menurunnya produksi lak di Sumba Timur sebagai penghasil lak terbesar di Nusa Tenggara Timur disebabkan oleh serangan parasit dan predator kutu lak. Terjadinya serangan parasit dan predator tersebut diakibatkan oleh kegiatan budidaya yang tidak intensif dan mengabaikan kegiatan pemeliharaan tularanserta kondisi tanaman inang yang terlalu lembab dan minim aliran udara. Pengendalian parasit dan predator kutu lak yang menyerang tularan masyarakat dapat dilakukan dengan pemangkasan inang terserang, melakukan penularan hanya pada daerah yang belum terkena serangan dengan teknik penularan, pemeliharaan dan pemanenan yang baik. Pemeliharaan tularan lak melalui pembersihan tumbuhan bawah, pengasapan, dan pemusnahan cabang-cabang tularan yang terserang merupakan alternatif yang disarankan untuk mencegah dan mengendalikan serangan parasit dan predator kutu lak. Pendampingan dan sosialisasi teknik budidaya kutu lak intensif serta bantuan sarana budidaya perlu dilakukan untuk merubah pola budidaya lak masyarakat menuju budidaya kutu lak yang intensif. Kata kunci : Parasit, predator, kutu lak, pengendalian
PENDAHULUAN
I.
Kegiatan budidaya kutu lak (Laccifer lacca) terdiri dari kegiatan seleksi bibit, penularan bibit, pemeliharaan tularan dan pemanenan. Untuk memperoleh produksi lak cabang yang optimal, semua tahapan kegiatan tersebut perlu dilakukan dalam kegiatan budidaya kutu lak. Masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) melakukan budidaya kutu lak secara tradisional dengan cara menularkan bibit lak pada pohon inang kemudian membiarkannya sampai tularan dapat dipanen. Berdasarkan penelitian Kurnaedi dan Widnyana (2003) budidaya lak oleh masyarakat Sumba Timur tidak mengikuti tahapan umum yang digunakan Perhutani maupun PT Kusambi Sarana Primadona, tetapi hanya dengan penularan yang pertama dan selanjutnya pemanenan dengan tidak atau sedikit sekali melakukan kegiatan pemeliharaan. Menurut Pakan dkk. (2003), pemeliharaan baru terbatas pada usaha pembersihan pohon inang dan pemangkasan ranting-ranting tua atau mati. Kegiatan pemeliharaan merupakan aspek penting dalam kegiatan budidaya kutu lak. Hal ini terutama berkaitan dengan banyaknya gangguan yang berpotensi menurunkan produksi lak cabang atau bahkan menimbulkan kegagalan tularan secara total. Pada tahun 2007, terjadi serangan parasit dan predator kutu lak yang sangat parah pada tularan lak masyarakat Sumba Timur yang mengakibatkan turunnya produksi lak hingga mencapai 70% dari produksi tahun 2006. Berkaitan dengan besarnya kontribusi lak pada pendapatan masyarakat, perlu dikaji berbagai upaya pencegahan serangan parasit dan predator kutu lak sehingga kesinambungan pengusahaan lak dapat terjaga.
II.
JENIS GANGGUAN PADA TULARAN KUTU LAK
A.
Parasit Parasit adalah sejenis insekta kecil yang meletakan telurnya di dalam lubang anus dari sel-sel kutu lak melalui tabung ovipositor yang berada di bagian belakang perutnya. Telur-telur tersebut kemudian menetas dan larva parasit kemudian hidup di dalam badan kutu lak dan memakannya (Setyodarmodjo,1983).
B.
Predator Predator adalah sejenis insekta yang meletakan telur-telurnya pada atau dekat bungkulan lak di cabang pohon inang. Setelah telur menetas, larva predator ini kemudian mencari makanan yang salah satu diantaranya adalah kutu lak (Setyodarmodjo,1983).
C.
Cendawan Cendawan mengakibatkan sekresi lak menjadi kotor dan berwarna kehitaman. Serangan cendawan selain menurunkan kualitas kebersihan lak juga dikhawatirkan menutupi rongga antar sel sehingga mengganggu kehidupan kutu lak dan menurunkan produksi lak cabang. Timbulnya cendawan terutama disebabkan oleh kondisi lingkungan sekitar tularan yang terlalu lembab. Kelembaban tinggi tersebut diakibatkan tanaman inang yang terlalu rimbun, tidak terkena sinar matahari dan tidak adanya aliran udara dalam pohon inang.
D.
23 24
Gangguan pada Tanaman Inang
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
38
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Gangguan pada tanaman inang meliputi serangan hama dan penyakit yang menyerang tanaman inang, gangguan ternak, liana atau benalu dan adaptasi iklim tanaman inang yang menggangu pertumbuhan seperti menggugurkan daun akibat kekeringan. Gangguan pada tanaman inang akan secara langsung mempengaruhi produksi lak cabang yang dihasilkan. Hal ini disebabkan tanaman inang berfungsi menyediakan makanan bagi pertumbuhan kutu lak. Terganggunya tanaman inang menyebabkan kurangnya makanan untuk kehidupan kutu lak.
E.
Kebakaran Gangguan lain yang mengancam tularan kutu lak adalah kebakaran. Kebakaran akan mematikan kutu lak, tanaman inang dan keberlanjutan usaha penularan kutu lak.
III. PENGENDALIAN PARASIT DAN PREDATOR KUTU LAK Serangan parasit dan predator biasanya menyebabkan tularan muda yang masih berupa benangbenang putih tiba-tiba menghitam dan rontok (Gambar 1) serta lak yang sudah mulai menguning lepas satu persatu karena tergerek oleh larva di dalamnya (Gambar 2).
Gambar 1. Cabang terserang parasit
Gambar 2. Larva predator
Beberapa jenis serangga yang telah diinformasikan sebagai parasit kutu lak adalah Erencritus dewitzi,. Tachardisephagus tachardiae dan T. Somervilli (Pakkan dkk, 2003). Diantara ketiga jenis parasit tersebut, Erencritus dewitzi merupakan parasit yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kegagalan tularan hingga mencapai 90%. T. tachardiae menyerang tularan kutu lak muda sampai umur 3 bulan dengan intensitas kerusakan dapat mencapai 60%. Sedangkan T. Somervilli menyerang tularan umur 4-5 bulan dengan intensitas kerusakan mencapai 20-30% (Sriwahyuni dalam Wiyono, 2002). Beberapa jenis serangga yang diinformasikan sebagai predator kutu lak adalah : Eubleme amabilis, Eublema rubra, Pyroderos falcatella, Holcocera pulverea (Wiyono, 2002) dan golongan semut yaitu semut gatal (Pleidologetes diwersus) dan semut kripik (Crematogaster dohri) (Setyodarmodjo,1983; Wiyono, 2002). Semut gatal menyebabkan kerusakan pada tularan muda dengan intensitas serangan mencapai 100% dan semut kripik menyerang pada berbagai umur tularan dengan intensitas kerusakan dapat mencapai 70% (Sriwahyuni dalam Wiyono, 2002). Larva Eubleme amabilis berwarna putih kekuningan dan kepompongnya berwarna coklat kuning tua, sedangkan larva Holcocera pulverea berwarna coklat kehitaman dan kepompongnya berwarna coklat tua (Setyodarmodjo, 1983). Beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab terjadinya serangan parasit dan predator kutu lak tersebut antara lain : 1. Kegiatan budidaya yang tidak dilakukan secara intensif. Penularan bibit tanpa dibungkus dengan kantong kain kasa menyebabkan penyebaran bibit parasit dan predator menyebar secara langsung pada saat penularan bibit kutu lak. Tidak dilakukannya pembersihan tumbuhan bawah dan pemangkasan menyebabkan lokasi tularan menjadi tempat bersarangnya parasit dan predator karena tidak adanya aliran udara yang cukup ke dalam lokasi tularan. Tidak dilakukannya pengusiran parasit dan predator melalui pengasapan yang teratur menyebabkan parasit dan predato yang terbang tinggal didalam tularan. Pemanenan secara bertahap dan tidak bersihmengakibatkan parasit dan predator tetap tinggal pada pohon inang pasca tularan, hal ini mengakibatkan pada siklus kedua penularan populasi parasit dan predator jadi berlipat ganda dan langsung menyerang kutu lak yang baru menempel. 2. Kondisi tanaman inang yang terlalu rimbun, menggerombol dan bersentuhan, dan tidak terkena sinar matahari secara cukup, menyebabkan tidak adanya aliran angin kedalam tularan serta menyebabkan kondisi tularan menjadi terlalu lembab. Kondisi yang lembab dan miskin aerasi ini sangat ideal untuk tinggal dan berkembangnya parasit-parasit dan predator kutu lak (Rochayah dkk., 2004). Berdasarkan hasil Studi banding di KPH Probolinggo, Perum Perhutai Unit II Jawa Timur, tindakan pengendalian serangan parasirt dan predator yang harus dilakukan adalah : 1. Pemangkasan cabang semua pohon inang yang pernah terkena serangan parasit dan predator kutu lak. 2. Penularan kutu lak sebaiknya hanya dilakukan pada daerah yang belum terkena serangan parasit dan predator dengan menerapkan teknik budidaya yang intensif. 3. Pada kegiatan penularan, bibit lak yang ditularkan harus sudah dibungkus dengan kain kasa untuk memcegah penyebarluasan parasit/ predator. 4. Kegiatan pemeliharaan untuk mengusir dan mengendalikan serangan parasit dan predator.
Prosiding Kupang 12 November 2007
39
IV. TEKNIK PEMELIHARAAN TULARAN Kegiatan pemeliharaan tularan kutu lak memiliki tujuan menjaga tularan lak sehingga mampu menghasilkan produksi lak cabang yang optimal dengan menjaga tanaman inang dan kondisi iklim mikro tetap optimal bagi pertumbuhan lak sehingga kutu lak dapat berproduksi dengan baik serta mengendalikan gangguan-gangguan yang menyerang tularan kutu lak baik berupa parasit, predator, cendawan, kebakaran, maupun gangguan pada tanaman inang sehingga produksi tularan lak tidak terganggu. Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam rangka pemeliharaan kutu lak meliputi (Perhutani, 2007) : 1. Pembersihan tumbuhan bawah disekitar tanaman inang kutu lak dengan tujuan: a. Membebaskan tanaman inang dari tanaman penggangg. b. Menjaga sirkulasi udara pada lokasi tularan sehingga suhu optimal bagi kehidupan lak (24-28 0C) bisa dipertahankan. c. Membasmi sarang parasit dan predator d. Mencegah terjadinya kebakaran e. Menyediakan bahan pengasapan dan pupuk bagi tanaman inang 2. Melakukan pengasapan pada lokasi tularan baik secara rutin untuk mengusir parasit atau predator yang menyerang tularan lak. Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melakukan pengasapan adalah : a. Memperhatikan arah angin, sehingga asap yang dihasilkan mengarah pada tularan lak. b. Pengasapan hendaknya dilakukan dengan menggunakan cabang/ daun yang masih basah sehingga menghasilkan asap yang cukup tetapi tidak menimbulkan bara api. c. Perlunya pembuatan ilaran api untuk mencegah kebakaran. 3. Memotong cabang tularan yang sudah terkena penyakit dan memusnahkannya. 4. Mengendalikan predator kutu lak dari jenis semut dengan menaburkan abu disekitar tularan. Pengasapan secara teratur juga akan membantu mengusir semut dari lokasi tularan. Intensitas kegiatan pemeliharaan akan sangat bergantung pada kondisi tempat penularan, musim dan umur tularan. Pada daerah yang lembab, musim hujan pembersihan tumbuhan bawah dan pengasapan hendaknya perlu lebih sering dilakukan. Pada tularan muda, pemeliharaan dan pengamatan adanya serangan hama memerlulan intensitas yang lebih besar.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan
Menurunnya produksi lak Sumba Timur disebabkan oleh serangan parasit dan predator kutu lak. Terjadinya serangan parasit dan predator tersebut diakibatkan oleh kegiatan budidaya yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah teknis dan mengabaikan kegiatan pemeliharaan tularan, serta kondisi lokasi dan pohon tularan yang terlalu lembab dan tanpa aliran angin yang cukup. Pengendalian parasit dan predator kutu lak yang menyerang tularan masyarakat Sumba Timur dapat dilakukan dengan pemangkasan, melakukan penularan hanya pada daerah yang belum terkena serangan dengan teknik budidaya yang intensif. Kegiatan pemeliharaan sebaiknya dilakukan secara rutin untuk menjaga kondisi lingkungan tetap optimal untuk kehidupan kutu lak serta mencegah terjadinya gangguan-gangguan yang mengancam tularan lak baik berupa parasit, predator, cendawan, gangguan terhadap pohon inang maupun kebakaran. B.
Saran
Dalam rangka pemeliharaaan tularan dan mengendalikan parasit dan predator yang menyerang tularan lak masyarakat di Sumba Timur perlu dilakukan upaya untuk merubah pola budidaya lak yang dilakukan masyarakat agar sesuai dengan teknik budidaya lak yang baik melalui pendampingan dan sosialisasi. Selain itu, mengingat keterbatasan kemampuan permodalan masyarakat pemerintah perlu melengkapi bantuan bibit lak kepada masyarakat dengan bantuan kain kassa.
DAFTAR PUSTAKA Kurnaedi, R. dan M. Widnyana, 2003. Pengusahaan Steacklac dan Budidaya Kutu Lak. Buletin Penelitian Kehutanan 643: 25-32. Pakan, S., L. Mukkun, H. Lalel, 2003. Kendala dan Prospek Pengusahaan Lak di Rote-Ndao. Makalah Temu Usaha Lak di Rote. Tidak dipublikasikan. Perhutani, 2007. Optimalisasi Produksi Lak Cabang. Perum Perhutani KPH Probolinggo, Jawa Timur. Rochayah, S, S. Darmawan, E.E. Koeslulat, I.M. Widnyane, 2004. Pengembangan komoditi lak untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. P3HKA. Bogor. Rochayah, S. 2004.Pengusahaan Lak di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian. Kupang. Tidak dipublikasikan. Setyodarmodjo, S. 1983. Perusahaan Lak dan Pengembangan-nya. Majalah Duta Rimba Wiyono, B. 2002. Pengusahaan Lak Cabang di Indonesia, Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol 3 No.1 Tahun 2002: 95-107
40
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Bidang
SILVIKULTUR
Prosiding Kupang 12 November 2007
41
KONTRIBUSI PEMULIAAN POHON DALAM PEMBANGUNAN HUTAN TANAMAN Acacia mangium Wild25 Oleh : 26 Aris Sudomo
ABSTRAK Pemuliaan pohon dalam pembangunan hutan tanaman Acacia mangium sebagai penyedia kayu untuk bahan baku industri pulp tentunya mempunyai peranan penting dalam usaha meningkatkan kuantitas dan kualitas produksi pulp dan kertas. Seiring kebijakan revitalisasi industri dengan kebutuhan bahan baku pulp yang terus meningkat maka upaya pembangunan hutan tanaman pulp menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan kehutanan. Teknik budidaya tanaman kehutanan yang diterapkan selama ini sebagian besar hanya berorientasi pada produktivitas/riap kayu tanpa memperhatikan kualitas serat seperti sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu teknik budidaya hutan tanaman yang dapat meningkatkan produktivitas dan menghasilkan kayu pulp berkualitas tinggi sangat penting dilakukan. Pemuliaan pohon dalam pembangunan hutan tanaman diharapkan dapat menghasilkan kayu dengan produktivitas tinggi dengan kualitas sesuai untuk bahan baku pulp dan berdampak positif terhadap lingkungan. Pengelolaan hutan tanaman lestari untuk menghasilkan bahan baku berupa kayu pulp berkualitas yang didukung IPTEK dalam proses pembuatan akan dihasilkan produksi pulp dan kertas yang mampu bersaing di pasaran dalam negeri maupun eksport pada era pasar bebas dan ekolabel. Potensi seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya berdasarkan tujuan yang diinginkan yaitu sebagai bahan baku pulp. Oleh karena itu progam pemuliaan pohon hendaknya tidak hanya memperhatikan parameter produktivitas tetapi dilengkapi dengan parameter kualitas yaitu sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp. Kata kunci : Acacia mangium, kualitas serat, hutan tanaman, pemuliaan pohon, pulp
I. PENDAHULUAN Hutan Tanaman Indonesia (HTI) terutama penghasil kayu pulp/ kayu serat merupakan prioritas pembangunan kehutanan saat ini seiring dengan kebijakan revitalisasi kehutanan dengan kebutuhan bahan baku pulp yang terus meningkat. Indonesia merupakan produsen pulp peringkat 9 dunia dengan 3 jumlah produksi 5,587 juta m yang merupakan 3,02 % dari total produksi dunia. Produksi ini 40,16% dieksport karena Indonesia merupakan eksportir pulp ranking 5 dunia (FAO, 2004 dalam Mindawati, 2007). Peningkatan produksi selama 22 tahun sebesar 2800 % (FAO, 2004 dalam Mindawati, 2007) dan dari tahun 80-an sampai tahun 2000 hampir 700 %, (CIFOR, 2002 dalam Mindawati, 2007). Kebutuhan pulp 50 kg perkapita/tahun dengan jumlah penduduk dunia 6 milliar maka kebutuhan pulp dunia sebesar 3 3 300 juta m /tahun dengan harga US $ 500/ m (Iskandar, 2006 dalam Mindawati, 2007). Dengan kapasitas terpasang 6,28 - 6,45 juta ton/tahun dan penggunaan 82% sehingga riil produksi 3 5,2 - 5,5 juta ton/tahun, diperlukan bahan baku sebesar 26 juta m /tahun sedangkan pasokan dari HTI 3 sekitar 7,7 juta m /tahun. Hal ini berarti ada ketimpangan supply dan demand atau kurang bahan baku 3 sebesar 18,3 juta m /tahun. Luasan ini dapat dipenuhi dengan pembangunan hutan tanaman kurang lebih seluas 1,2 juta ha (Pusinfo, 2005 dalam Mindawati, 2007). Laju kerusakan hutan di Indonesia yang mencapai 1,08 juta hektar per tahun menyebabkan luasan hutan yang telah rusak kurang lebih 60 juta 3 ha, sementara hutan tanaman setiap ha dapat memproduksi kurang lebih 100-150 m setara dengan 30 ton pulp. Dengan kondisi iklim yang kondusif untuk menanam pohon sehingga bahan baku dapat berkelanjutan maka pembangunan hutan tanaman mempunyai prospek yang bagus (Daveresan dalam Mindawati, 2007). Hutan tanaman Acacia mangium sekarang ini memainkan peran yang sangat penting di Indonesia dan negara-negara Asia Tenggara lainnya dalam menyediakan material kayu untuk industri pulp dan kertas (Arisman, 2002). Jenis Acacia mangium berdasarkan uji spesies mampu tumbuh dengan baik sehingga telah dikembangkan di beberapa Hutan Tanaman Industri (HTI) di Sumatra dan Kalimantan. Menurut Soeseno (2000), jenis-jenis kayu yang digunakan untuk bahan baku pulp dan kertas adalah Acacia mangium, Acacia auriculiformis, Acacia crassicarpa, Eucalyptus pellita, Eucalyptus deglupta, Gmelina arborea, Pinus merkusii dan Bastar. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) telah dirancang di luar Pulau Jawa sejak dekade 1980-an. Progam pembuatan hutan tanaman yang diperkenalkan oleh pemerintah ini, luasan totalnya akan mencapai 6,2 juta ha, menggunakan spesies cepat tumbuh salah satunya Acacia mangium dengan tujuan pokok sebagai penghasil kayu untuk bubur kertas. Apabila target 3 luasan ini dapat terpenuhi dengan perkiraan riap adalah 15 m /tahun, maka diharapkan tekanan terhadap hutan alam akan banyak berkurang (Soeseno, 2000; Na’iem, 2004). Hingga tahun 2000, hutan tanaman yang dibangun di luar Jawa khususnya Sumatera dan Kalimantan diperkirakan seluas 2,5 juta ha (Departemen Kehutanan, 2000). Beberapa permasalahan dalam pembangunan hutan tanaman saat ini antara lain rendahnya produktivitas biomassa, menurunnya produktivitas pada daur berikutnya, daur tanaman yang masih terlalu panjang, dan beralihnya fungsi peruntukan seperti Acacia mangium untuk komoditi pertukangan. Menurut Hardiyanto (2005), ketidaksesuaian antara jenis dengan tapak (site) dan terjadinya penurunan kesuburan tanah karena teknik budidaya yang rendah, merupakan faktor lain yang menyebabkan kurang optimalnya produktivitas hutan tanaman. Dalam era pasar bebas kedepan, kualitas produksi sangat penting untuk mampu bersaing dalam pasaran internasional. Selain itu prinsip ekolabel mempersyaratkan kelestarian sumber daya alam dalam pengelolaan hutan. Oleh karena itu peran pemuliaan pohon menjadi vital. Dengan pemuliaan pohon akan terjadi peningkatan produktivitas dan dihasilkan kayu yang berkualitas tinggi untuk bahan baku pulp dengan input biaya pemeliharaan seoptimal mungkin dan berdampak positif terhadap lingkungan. 25 26
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
42
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
II. KUALITAS KAYU Acacia mangium Wild Menurut Arifin et al. (2005), kayu dari fast growing spesies termasuk Acacia mangium sesuai untuk pembuatan pulp karena selalu mempunyai dinding sel yang tipis dan lebar lumen yang lebar. Pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), khususnya jenis Acacia mangium dengan benih hasil pemuliaan telah diterapkan di beberapa HTI di Indonesia. Meskipun demikian parameter-parameter kualitas kayu seperti sifat fisik dan kimia kayu belum banyak mendapat perhatian dalam progam pemuliaan. Variasi kualitas serat kayu dapat terjadi di dalam hutan alam, hutan tanaman dan diantara keduanya.Variasi kualitas serat dapat menjadi dasar dalam seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon. Perbandingan kualitas serat kayu Acacia mangium dari hutan alam dengan hutan tanaman dapat dilihat di Tabel 1. Tabel 1. Dimensi serat kayu mangium (Acacia mangium) dari hutan alam dan hutan tanaman Dimensi Serat Asal Kayu (micron) Alam Tanaman Panjang 950,00 934,10 Diameter 16,357 16,000 Tebal dinding 3,197 2,300 Lebar Lumen 9,923 11,412 Sumber : Pasaribu & Roliadi, 1990 dalam Malik et al., (2002)
Parameter kualitas diukur dalam hal kerapatan, keseragaman lingkaran tumbuh, persen kayu bebas mata kayu, selulosa, dan perbandingan antara serat dan pembuluh. Kandungan lignin diperlukan pada pulp untuk pembuatan kertas mekanik tetapi tidak diperlukan untuk pembuatan kertas kimia. Lignin dibutuhkan pada kayu dengan tujuan konstruksi karena dapat meningkatkan kekerasan/kekuatan kayu, tetapi tidak dibutuhkan di dalam industri kertas karena lignin sangat sulit dibuang dan produk kertas menjadi agak coklat karena sifat aslinya dan pengaruh oksidasi. Karena sulit dihilangkan, maka diperlukan zat pemutih/ penggelentang yang banyak dan tentu menambah biaya proses produksi. Mutu dan kualitas bahan baku pembuat kertas pada umumnya ditentukan berdasarkan lima macam indikator, yaitu bilangan runkel (runkel ratio), kekuatan lipat (felting power), bilangan elastisitas (flexibility ratio), koefisien ketegaran (coefficient of rigidity) dan bilangan Muhlsteph (Muhlsteph ratio). Atas dasar lima indikator tersebut ditambah dengan indikator panjang serat, maka suatu jenis kayu dapat ditentukan kelas kualitas seratnya. Sifat-sifat kayu yang baik untuk bahan baku pulp adalah serat yang lebih panjang dari pada rata-rata jenis, tebal dinding sel memenuhi 2 w/l < 1, berat jenis dasar lebih rendah dari pada rata-rata jenis, persentase serabut lebih besar dari pada pembuluh, jari-jari dan parenkhim, kadar ekstratif rendah, kadar selulosa tinggi dari pada rata-rata jenis dan kadar hemiselulosa cukup. Berat jenis kayu merupakan nilai perbandingan berat suatu kayu terhadap volume air yang sama dengan kayu tersebut, karena kayu mempunyai rongga-rongga maka berat jenisnya dapat dianalogikan dengan kerapatan kayu. Serat panjang menghasilkan kertas kuat dengan kekuatan sobek tinggi dan dalam batas yang lebih rendah memberikan kekuatan tarik, tembus dan lipat yang tinggi. Serat yang semakin rapat maka kandungan lignin dan selulosa tinggi. Selulosa merupakan zat penyusun serat yang dibutuhkan di dalam pembuatan pulp dan kertas, menentukan kekuatan ikatan kertas, sedangkan lignin merupakan zat yang keras, lengket, kaku dan mudah mengalami oksidasi (Haygreen dan Boyer, 1996; Haroen et al., 1997; Simon, 1988; Soenardi, 1974). Sifat kimia kayu seperti Acacia mangium mempuyai kandungan selulosa tinggi dan lignin yang rendah sehingga sesuai untuk bahan baku pulp seperti disajikan pada Tabel 2. Tindakan silvikultur memang bisa dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas kayu pulp tetapi kurang efektif bila dibandingkan dengan progam pemuliaan pohon. Hal ini dikarenakan banyak sifat fisik dan kimia kayu yang bersifat diwariskan daripada pengaruh lingkungan. Para ahli silvikultur mengubah kualitas kayu dengan beberapa perlakuan antara lain jarak tanam, rasio tajuk aktif dan kecepatan pertumbuhan, serta Tabel 2. Hasil analisis kimia kayu mangium (Acacia mangium) dari Sesayap, Kalimantan Komponen Kimia Kadar (%) Lignin 19,7% Holo-sellulosa 69,4% Alfa-sellulosa 44,0% Pentosan 16,0% Abu 0,68% Kelarutan o Alk Benzen 5,6% o Air Panas 9,8% o NaoH 1% 14,8% Sumber : The Persons, Whitemore Organization (1984) dalam Malik et al., (2002).
melalui pemuliaan pohon. Pengaruh kenaikan kecepatan pertumbuhan akibat seleksi, jarak tanam, pemupukan dan irigasi biasanya mengakibatkan pengurangan panjang trakeid, serat kayu, persentase selulosa, diduga persentase kayu akhir dan berat jenis tetapi kenaikan bisa terjadi dalam persentase lignin, lebar lingkaran tahun, volume dan persentase kayu awal. Oleh karena itu progam pemuliaan pohon menjadi sangat vital untuk menghasilkan kayu pulp berproduktivitas tinggi dan berkualitas dengan melakukan tahapan-tahapan dimulai dari seleksi pohon sehingga dihasilkan populasi produksi yang berkualitas dengan input biaya pemeliharaan relatif lebih rendah.
Prosiding Kupang 12 November 2007
43
III. KOMPONEN PEMELIHARAAN PADA HTI Acacia mangium Pada tegakan Acacia mangium digunakan jarak tanam 2 m x 3 m atau 2 m x 2 m di HTI wilayah Riau dengan daur 7 tahun. Menurut Lazuardi (2005), biaya dan teknis pembuatan jarak tanam 2,5 m x 2,5 m dan 3 m x 3 m merupakan jarak tanam paling optimum di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan untuk daur 6 tahun. Tajuk aktif–tinggi pohon yang tersisa pada tegakan Acacia mangium sebesar 60%. Pemangkasan cabang dilakukan sebelum tanaman berumur 6 bulan sehingga belum tinggi, sebab jika tanaman sudah tinggi kegiatan ini memerlukan biaya yang lebih besar. Jarak tanam yang rapat juga merupakan alternatif untuk meminimalkan percabangan. Jarak tanam rapat akan menyebabkan cabang-cabang bawah mati pada pohon intolerant dan memacu pertumbuhan meninggi karena persaingan perolehan cahaya yang ketat sehingga batang pohon berkompetisi mencapai posisi ketinggian dominan. Lignin biasanya terakumulasi pada titik-titik percabangan maka usaha mengurangi percabangan menjadi hal yang perlu dilakukan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas. Pertumbuhan awal yang cepat karena jarak tanam yang lebar menyebabkan penurunan panjang serat dan berat jenis kayu, menghasilkan mata kayu yang besar dan lebih merata. Berat jenis yang menurun karena pertumbuhan awal cepat disebabkan oleh meningkatnya porsi kayu awal. Tajuk hidup pohon merupakan posisi tempat auksin dan karbohidrat diproduksi, dan keberadaan serta kelimpahan materi ini berpengaruh kuat pada perluasan kayu muda dan proporsi kayu awal terhadap kayu akhir. Ukuran cabang mempunyai heritabilitas paling rendah yaitu 0,3 dan rasio tajuk aktif dapat dikontrol langsung oleh pangkasan cabang selain dengan jarak tanam rapat (Daniel et al., 1995). Pemangkasan cabang merupakan upaya untuk menghasilkan batang tanpa cacat mata kayu (knot), sehingga meningkatkan kualitas batang. Pemangkasan cabang-cabang yang merupakan tajuk aktif perlu dilakukan untuk mendorong pertumbuhan tinggi sehingga dihasilkan batang lurus. Pada kayu bengkok/condong atau banyak cabang besar, kandungan lignin dalam batang kayu umumnya meningkat hampir 5% (Kasmudjo, 1999). Pemangkasan cabang juga dilakukan agar tidak terjadi pertumbuhan menggarpu (forking). Penghilangan tajuk aktif mempengaruhi fotosintesa sehingga menghambat pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu diperlukan pengaturan tajuk aktif yang tersisa sehingga tercapai titik optimal antara kebutuhan fotosintesa dengan beban percabangan untuk pertumbuhan batang. Dengan pengaturan jarak tanam yang rapat akan terjadi pruning alami pada jenis intoleran tetapi jika rotasi tidak panjang, cabang-cabang mati bagian bawah biasanya tetap melekat pada pohon. Penunggalan batang yang tumbuh lebih dari satu (multistem) perlu dilakukan agar dihasilkan tegakan satu batang dengan pertumbuhan dan kualitas kayu lebih bagus. Pada Acacia mangium tindakan ini dilakukan sebelum tanaman berumur 3 bulan sehingga batang belum tumbuh besar dan kegiatan singling lebih mudah dilakukan. Pertumbuhan tanaman dengan batang lebih dari satu menyebabkan batang-batang tersebut rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Kualitas kayu batang tunggal juga relatif lebih baik karena seluruh energi tersalurkan pada batang tersebut sehingga pertumbuhannya optimal. Pertumbuhan batang lebih dari satu juga lebih banyak memerlukan waktu dalam kegiatan pemanenan sehingga menimbulkan biaya yang lebih besar. Tindakan singling perlu dilakukan sedini mungkin agar tidak terlambat menghasilkan batang tunggal berkualitas. Pada jenis Acacia mangium yang dikembangkan di HTI-pulp tidak terdapat kegiatan penjarangan, kecuali konversi fungsi menjadi kayu pertukangan. Pemupukan pada tegakan A.mangium dilakukan pada saat penanaman dan dilakukan lagi pada tanaman berumur 6 bulan. Pemupukan bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas. Kebanyakan sifat-sifat pohon dikendalikan oleh gen dan lingkungan. Pertumbuhan diameter sebenarnya lebih kuat dipengaruhi oleh faktor lingkungan daripada faktor genetik karena pertumbuhan diameter tanaman merupakan fungsi dari ruang tumbuh. Pertumbuhan tinggi tanaman sering dianggap sebagai fungsi kesuburan tanah. Meningkatnya kesuburan tanah akan mengakibatkan kandungan sellulosa meningkat, berkurangnya lignin dan berat jenis kayu. Kenaikan volume produksi akibat kecepatan pertumbuhan biasanya lebih besar daripada mengimbangi setiap kemungkinan perubahan yang tak diinginkan dalam karakteristik kualitas kayu yang diproduksi (Wright dalam Soeseno, 1985; Soerianegara, 1970; Daniel et al.,1995; Haroen et al., 1997) Menurut Haroen et al. (1997), semakin tua umur tanaman terlihat dari kecenderungan meningkatnya kadar α-sellulosa, kadar ekstraktif dan lignin. Pada jenis Acacia mangium, serat dengan bilangan runkel terbaik diperoleh dari tanaman berumur 5 dan 7 tahun. Menurut Muliah (1976), makin tua umur pohon menyebabkan berat jenis makin besar. Hal ini disebabkan makin tua umur kayu, susunan serat makin rapat. Siarudin (2005) menjelaskan bahwa pada kayu lunak berlingkaran jelas (distinct ring softwood) yang berumur sama namun tumbuh dengan kecepatan berbeda menunjukkan kerapatan yang relatif seragam. Sebaliknya pada diameter sama yang dihasilkan dari pohon dengan umur berbeda didapatkan kerapatan lebih rendah pada umur yang lebih muda sebagai akibat porsi juvenil tinggi. Hubungan berat jenis dan kadar air kayu menurut umur tanaman Acacia mangium disajikan dalam Tabel 3 sedangkan komposisi kimia kayunya disajikan dalam Tabel 4. Pengaruh umur pohon terhadap kualitas kayu menjadi dasar dalam penentuan daur optimal untuk menghasilkan bahan baku pulp berkualitas. Penentuan daur optimal di mana kualitas kayu yang dihasilkan sudah mencapai titik maksimal dan tidak mengalami Tabel 3. Berat jenis dan kadar air kayu mangium (Acacia mangium) menurut umur tanaman Umur BJ BJ kering BJ kering KA (%) (tahun) basah udara oven Basah Kering udara 10 0,95 0,52 0,42 125,4 18 9 0,90 0,51 0,42 112,9 16,4 7 0,84 0,50 0,41 98,6 18,0 5 0,86 0,49 0,41 111,1 17,6 4 0,79 0,47 0,38 99,9 18,8 Sumber : Ginoga, 1997 dalam Malik et al., 2002.
44
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Tabel 4 . Komposisi kimia kayu mangium (Acacia mangium) Komponen Kimia 1. Sellulosa 2. Lignin 3. Pentosan Alkohol benzena NaoH 1% Air dingin Air Panas 5. Abu 6. Silika
6
7
10
11
12
62)
63)
74)
52,12 29,81 16,69 6,77
50,69 29,67 17,08 6,25
50,58 29,22 17,14 4,81
50,53 29,22 17,14 4,38
50,82 28,51 17,84 4,90
53,07 29,50 16,45 3,7
57,55 32,12 16,92 5,53
63,02 26,72 14,88 3,98
16,48 3,44 4,74 0,49 0,14
16,25 4,85 5,50 0,83 0,46
17,19 4,58 5,28 0,56 0,12
18,94 4,5 5,43 0,31 0,06
16,30 3,87 4,81 0,46 0,16
14,04 2,53 4,51 1,28 0,73
12,40 2,70 3,30 0,73 0,24
10,52 4,36 6,00 0,87 0,38
Sumber : Siagian et al., 1999 dalam Malik et al., 2002
peningkatan lagi menjadi hal penting untuk penentuan daur ekonomis. Daur optimal di PT Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan untuk Acacia mangium sudah turun menjadi 6 tahun dengan menggunakan benih berkualitas hasil dari progam pemuliaan pohon.
IV. KONTRIBUSI PUMULIAAN POHON Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika silvikulturis dapat meningkatkan keseragaman dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu. Karakteristik kualitas kayu dan keseragaman lebih efektif diperoleh dengan progam pemuliaan pohon dengan cara menyeleksi sifat yang dapat diturunkan dengan baik, seperti berat jenis, panjang trakeida, sudut percabangan dan serat terpuntir serta pohon-pohon yang cepat tumbuh. Hasil dari pemuliaan pohon adalah benih berkualitas untuk pembangunan hutan tanaman yang mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu sebagai bahan baku pulp. Benih berkualitas unggul dapat dihasilkan dari kebun benih, untuk itu diperlukan langkah pemuliaan pohon untuk mendapatkannya. Pemuliaan atau seleksi genetik merupakan langkah yang efektif untuk mendapatkan kayu berkualitas. Hal ini didasarkan pada indikator kualitas kayu seperti berat jenis, sudut mikrofil, panjang serat dan lain sebagainya yang diyakini bersifat diwariskan (inherited) dengan tingkat sedang hingga kuat (Zobel dan Talbert, 1984). Potensi seleksi pohon dalam progam pemuliaan pohon untuk kerapatan kayu yang tinggi maupun rendah hendaknya berdasarkan tujuan yang diinginkan. Berat jenis merupakan satu di antara karakteristik kualitas kayu yang paling dapat diwariskan dengan kisaran heritabilitas luas antara 0,5 dan 0,8 tergantung pada jenisnya (Elliot, 1970 dalam Daniel et al., 1995). Selanjutnya Hardiyanto (2005) melaporkan bahwa heritabilitas individu pohon untuk berat jenis kayu sangat tinggi yaitu 0,81 sedangkan Fielding, 1967 dalam Daniel et al., 1995 melaporkan bahwa heritabilitas arti luas untuk panjang trakeid sekitar 0,7. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa progam pemuliaan pohon untuk memperoleh sifat yang diinginkan akan lebih akurat daripada usaha manipulasi lingkungan untuk menghasilkan kayu pulp berkualitas tinggi. A. Pengadaan Materi Dasar Genetik Progam pemuliaan pohon dimulai dengan eksplorasi dan pengadaan benih dari sebaran alaminya. Sebaran alami Acacia mangium adalah di Papua Nugini Oriomo, Queensland-Australia, Maluku dan Irian. Perolehan genetik akan di dapat lebih cepat, lebih murah dan lebih besar melalui penggunaan spesies yang tepat dan penggunaan provenan-provenan yang terbaik dalam spesies tersebut. Hal ini dikarenakan variabilitas sifat kayu dalam satu spesies dapat terjadi pada: (1) satu individu/pohon; (2) antar pohon; dan (3) antar populasi dari satu spesies yang tumbuh pada daerah yang berbeda (Zobel dan Talbert, 1984). Seleksi individu yang superior berdasarkan sifat-sifat sesuai tujuan peruntukannya merupakan langkah awal dalam pemuliaan pohon. Sifat-sifat yang dipilih disesuaikan dengan tujuan peruntukan pengembangan hutan tanaman penghasil bahan baku pulp berkualitas. Sifat-sifat yang lebih banyak dipengaruhi faktor genetik merupakan parameter yang lebih akurat. Pemilihan pohon berdasarkan indikator sifat fisik dan kimia mempunyai kelebihan karena pada dasarnya lebih banyak dipengaruhi oleh faktor genetik. Fenotipe yang diamati selain pertumbuhan pohon adalah sifat fisik dan kimia kayu dari setiap pohon plus sehingga diharapkan mempunyai keunggulan dari segi riap dan kualitas kayu. Sifatsifat tersebut di antaranya kelurusan batang, sifat fisik kayu (berat jenis, panjang serat) dan sifat kimia kayu (kandungan selulosa, lignin dan ekstraktif). Kelurusan batang dikendalikan lebih kuat oleh faktor genetik daripada sifat tinggi dan diameter. Sifat kelurusan batang pohon sangat diwariskan dan kayu berasal dari batang bengkok bernilai lebih rendah daripada kayu berbatang lurus (Smith dan Zobel dalam Soeseno, 1985; FAO dalam Soeseno, 1985). B. Pembangunan Hutan Tanaman Klon Pembangunan hutan tanaman yang berasal dari meteri klon telah terbukti menghasilkan materi yang relatife seragam pada tegakan Acacia mangium. Klon yang diambil biasanya berasal dari stek pucuk yang diambil dari pohon plus. Pengambilan materi dari pohon plus dengan cara vegetatif bertujuan untuk menghasilkan hasil perbanyakan yang sama sifatnya dengan induk. Kelemahan dari perhutanan klon adalah dengan keanekaragaman genetik yang rendah menyebabkan hutan tanaman rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Oleh karena itu parameter ketahanan terhadap hama dan penyakit perlu disertakan dalam progam seleksi pohon plus. Dan untuk menghasilkan kualitas kayu yang baik untuk bahan baku pulp hendaknya parameter sifat fisik dan kimia disertakan dalam seleksi pohon plus. Selain itu perhutanan klon diduga mempunyai efek pematangan (maturation) akibat penggunaan materi yang sudah tua secara terus menerus. Dalam pandangan industri, efisiensi dapat diperoleh jika para ahli silvikultur dapat meningkatkan keseragaman kayu dan mengurangi variasi yang biasanya terjadi dalam karakteristik kualitas kayu (Daniel et al., 1995). Produksi dari hutan tanaman yang seragam dengan sifat-sifat kayu sesuai dengan Prosiding Kupang 12 November 2007
45
peruntukannya dapat diperoleh dengan sistem pengembangan perhutanan klon. Materi vegetatif berupa klon dapat diambil dari pohon plus hasil seleksi yang ditanam dalam suatu kebun klon. Kebun klon atau bank klon adalah tempat menyimpan klon-klon hasil seleksi pohon plus tersebut. Untuk membuktikan apakah klon-klon yang dihasilkan mampu membentuk strukur tumbuh yang bagus dan kualitas kayu yang baik maka dilakukan Clonal Field Test (CFT). Hasil dari CFT ini dapat dijadikan dasar untuk pemilihan klon-klon yang akan dikembangkan dalam hutan tanaman. Untuk mengetahui apakah klon terseleksi dapat membentuk struktur tumbuh yang baik dan seragam, maka dilakukan penanaman klon terseleksi. Setiap klon ditempatkan dalam satu blok penanaman, sehingga akan tampak tingkat keseragaman pertumbuhan klon terseleksi tersebut. Pembangunan hutan tanaman klon di Riau diganti dengan benih, hal ini dikarenakan efek maturation yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman menurun pada daur berikutnya dan banyak percabangan. Hal ini menunjukkan bahwa perhutanan klon mempunyai efek negative dalam pertumbuhan dan banyaknya percabangan. Meskipun demikian metode perhutanan klon diterapkan dalam memecahkan masalah serangan hama dan penyakit yang sudah diatas ambang ekonomi. Perbanyakan dengan metode klon terhadap beberapa pohon plus yang resistant terhadap hama dan penyakit diterapkan untuk menghasilkan hutan tanaman yang resistant terhadap hama dan penyakit. Perbanyakan dengan klon dari pohon plus akan sesuai untuk penyerbukan terkendali dikarenakan lebih cepat berbunga dan dengan teknik cangkok didapatkan tanaman pendek sehingga lebih mudah dilakukan penyerbukan terkendali.
C. Pembangunan Progeny Test Kelebihan jenis Acacia mangium adalah telah terdapat banyak benih hasil pemuliaan pohon yaitu yang berasal dari kebun benih. Meskipun demikian parameter yang digunakan dalam seleksi pohon masih berkisar pada pertumbuhan, ketahanan hama penyakit dan kelurusan batang. Hal ini menunjukkan masih perlu ditingkatkannya progam pemuliaan pohon dengan pembangunan uji keturunan yang memperhatikan parameter kualitas kayu. Beberapa hutan tanaman sudah memulai dengan parameter basic density tetapi belum untuk parameter kualitas kayu yang lain. Progeny test atau uji keturunan merupakan cara untuk membuktikan bahwa pohon-pohon plus mempunyai sifat genetik unggul berdasarkan sifat-sifat keturunannya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menanam seedlot yang dihasilkan dari famili-famili hasil seleksi pohon plus dalam suatu rancangan uji keturunan. Hasil dari uji keturunan ini adalah dapat diketahuinya famili-famili yang mempunyai sifat unggul misal kualitas kayu baik dibanding famili lain berdasarkan keturunannya. Informasi keunggulan sifat suatu famili digunakan untuk melakukan penjarangan genetik/roguing pada areal kebun benih. Famili-famili yang menghasilkan keturunan relatif lebih jelek dijarangi sehingga menyisakan famili-famili yang mempunyai keunggulan secara genetik. Dari famili-famili yang mempunyai keunggulan genetik inilah akan dihasilkan benih berkualitas sesuai peruntukannya. Uji keturunan menjadi dasar dalam pembangunan kebun benih semai maupun kebun benih klon. Dari kedua kebun benih tersebut dapat dihasilkan benih berkualitas yang diharapkan dapat menghasilkan hutan tanaman dengan produktivitas dan kualitas yang baik sesuai dengan peruntukannya yaitu bahan baku pulp.
V. PENUTUP Industri pulp dan kertas mempunyai prospek kedepan dengan kebutuhan pasar dalam dan luar negeri yang terus meningkat. Hal ini perlu didukung dengan pembangunan hutan tanaman yang mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas kayu untuk bahan baku pulp. Hutan tanaman yang didukung hasil litbang pemuliaan pohon penghasil kayu pulp akan meningkatkan kualitas dan kuantitas kayu pulp tersebut dengan input pemeliharaan yang lebih rendah dan berdampak positif terhadap lingkungan. Hal ini dapat dilakukan dengan memperhatikan sifat fisik dan kimia kayu sebagai bahan baku pulp selain parameter bentuk batang, pertumbuhan dan kekebalan terhadap hama dan penyakit dalam progam pemuliaan pohon. Progam pemuliaan pohon merupakan langkah yang efektif untuk usaha peningkatan kualitas dan produktivitas kayu hutan tanaman khususnya pada jenis Acacia mangium.
DAFTAR PUSTAKA Arisman, H. 2002. Sustainable Acacia plantation : A Case of Short Rotation Plantation at PT. Musi Hutan Persada, South Sumatera, Indonesia. Proceding of The Acacia mangium International Conference on Advances in Genetic Improvement of Tropical Trees Species Centre of Forest Biotechnology and Tree Improvement-JICA. Yogyakarta Arifin, Z., Irawan W. Kusuma, Agus S. Budi, Sipon Muladi and Edi Sukaton. 2005. The Morphologies of Pulp Fiber from Four Hardwood Species in Realation to Paper Strength Tropical Wood Properties an Utilization. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Daniel, T.W., J.A. Helms dan F.S Baker. 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur . Terjemahan Joko Marsono. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Departemen Kehutanan. 2000. Statistik Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Tahun 1999/2000. Jakarta. Haygreen.J.G dan Jim L Boyer. 1996. Hasil Hutan Dan Ilmu Kayu. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Haroen,W.K., Uzair dan Nursyamsu Bahar. 1997. Kualitas Pulp Kertas Acacia mangium Berbagai Umur Tanaman. Berita Selulosa Vol XXXIII, No. 4. Bandung. Hardiyanto, E.B. 2005. Beberapa Isu Silvikultur Dalam Pengembangan Hutan Tanaman. Makalah Seminar Peningkatan Produktivitas Hutan. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Kasmudjo 1999. Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
46
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Lazuardi, D. 2005. Optimalisasi Hasil Melalui Pengaturan Jarak Tanam HTI Acacia mangium Untuk Produksi Kayu Pulp. Prosiding Seminar Hasil Penelitian Acacia mangium. Pusat Penelitian Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan, Bogor Malik, J., Adi Santoso dan Osly Rachman. 2002. Sari Hasil Penelitian Mangium (Acacia mangium Wild) http: mofrinet.cbn.net.id/Informasi/litbang/teliti/ mangium.htm. Mindawati, N. 2007. UKP Silvikultur Hutan Tanaman Kayu Pulp. Badan Litbang Kehutanan, Bogor. Muliah. 1976. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Berat Jenis Kayu. Berita Sellulosa, Vol XII No 1.Bandung. Na’iem, M, 2004. Pengembangan Spesies Non-Acacia mangium Untuk Hutan Tanaman Buku Pembangunan Hutan tanaman Acacia mangium. Editor Eko Bhakti Hardiyanto dan Hardjono Arisman. PT. Musi Hutan Persada.. Soeseno, O.H. 2000. Makalah Seminar Prospek dan Tantangan Pengembangan Agribisnis Pulp dan Kertas Pada Era Ekolabeling dan Otonomi Daerah. Pusat Studi Pembangunan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Soeseno, O.H. 1985. Diktat Pemuliaan Pohon Hutan. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Simon, H. 1988. Pengantar Ilmu Kehutanan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Siarudin, M. 2005. Praktek Silvikultur dan Pengaruhnya pada Kualitas Kayu. Prosiding Seminar Nasional Pengembangan Pengelolaan dan Pemanfaatan Hasil Hutan Tanaman di Indonesia. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Soenardi. 1974. Hubungan Antara Sifat-Sifat Kayu dan Kualitas Kertas. Berita Sellulosa Vol X, No. 3. Bandung Soerianegara, I. 1970 Pemuliaan Hutan. Laporan No 104, Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Zobel, B. and J. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. Wood and Tree Improvement. John Willey & Sons, New York. p. 376-413.
Prosiding Kupang 12 November 2007
47
KAJIAN INTENSIFIKASI HUTAN TANAMAN UNTUK PENGHASIL BIOFUEL SEBAGAI ALTERNATIF SOLUSI KRISIS ENERGI27 Oleh : 28 29 Aris Sudomo dan Pipin Permadi
ABSTRAK Pembangunan hutan tanaman diharapkan dapat berkontribusi dalam membantu mengatasi tiga masalah penting dunia yaitu krisis energi, krisis pangan dan pemanasan global (global warming). Hal ini dapat dilakukan dengan intensifikasi pembangunan hutan tanaman yang dapat memproduksi bahan bakar nabati, pangan serta berdampak positif terhadap lingkungan dengan kemampuan menyerap karbon sehingga mengurangi efek pemanasan global. Kelebihan bahan bakar nabati dari jenis tanaman kehutanan adalah bukan komoditi bahan pangan sehingga tidak menggangu pasokan pangan dunia, bahkan hutan tanaman dapat menghasilkan tambahan pangan apabila dikelola dengan sistem agroforestry. Terdapat banyak jenis tanaman kehutanan yang prospektif dapat menghasilkan bahan bakar nabati diantaranya adalah nyamplung (Calophyllum inophylum), kelapa (Cocos nucifera), kesambi (Sleichera triyuga), kelor (Moringa oleifera), kapok randu (Ceiba pentandra), randu alas (Bombax malabaricum), aren (Arenga pinnata) dan lain-lain. Indonesia dengan iklim tropis dan budaya agraris mempunyai sumber daya alam dan ketersediaan tenaga kerja untuk pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Hal ini tentunya memerlukan kajian sosial ekonomi dan dukungan IPTEK agar pelaksanaannya kedepan dapat menghasilkan hutan tanaman yang berproduktivitas dan berkualitas tinggi serta berpengaruh positif terhadap lingkungan sehingga dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penelitian teknik silvikultur yang perlu dilakukan khususnya untuk jenis nyamplung (Calophyllum inophylum) diantaranya adalah teknik perbenihan, teknik perbanyakan vegetatif untuk tidak menggangu pasokan biofuel, teknik penanaman dan teknik pemanenan buah. Kata kunci : Hutan tanaman, bahan bakar nabati, pangan, pemanasan global (global warming), teknik silvikultur
I.
PENDAHULUAN
Pengembangan hutan tanaman khususnya hutan rakyat tidak bisa dilepaskan dari usaha peningkatan kualitas kesejahteraan masyarakat. Hal ini penting dalam pengembangan hutan rakyat walaupun terdapat parameter lain seperti fungsi sosial dan peningkatan kualitas lingkungan. Salah satu masalah dalam pembangunan hutan rakyat adalah produktivitas yang masih rendah sehingga belum secara nyata mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Usaha untuk peningkatan produktivitas hutan rakyat salah satunya dapat dilakukan dengan penanaman jenis multiguna yaitu berupa kayu dan hasil hutan bukan kayu berupa biofuel. Pemanfaatan tanaman multiguna diharapkan dapat mewujudkan masyarakat yang mandiri secara ekonomi dan energi. Oleh karena itu dalam pengembangan hutan rakyat diperlukan dukungan pemerintah baik dari aspek pendanaan, teknologi, pengembangan SDM dan manajemen kelembagaan serta hasil riset mutahir yang sesuai dengan lokasi setempat (Natawijaya, 2008). Menurut Nugroho, (2008) manfaat sumber daya hutan rakyat selain memberikan nilai dari produk yang dapat dipanen dapat juga memberikan jasa lingkungan berupa aliran manfaat seperti air, perlindungan tanah, keindahan bentang alam, udara bersih, keanekaragaman hayati dan simpanan karbon. Oleh karena itu pengelolaan hutan tanaman khususnya hutan rakyat hendaknya tidak hanya memperhatikan aspek kayunya saja tetapi perlu diversifikasi produk diantaranya melalui pengembangan tanaman penghasil biofuel sehingga akan berdampak positif secara ekonomi dan ekologi/lingkungan, peningkatan produktivitas lahan kritis dan pantai serta mengurangi emisi karbón. Kebijakan Departemen Kehutanan untuk terus memacu pengembangan hutan rakyat cukup beralasan karena laju deforestasi masih tinggi. Hal ini dapat dilakukan dengan pembangunan hutan tanaman khususnya hutan rakyat dengan diversifikasi produk berupa hasil hutan bukan kayu seperti biofuel. Pengembangan energi alternatif dengan menggunakan sumber daya yang terbarukan (renewable resouces) sangat potensial dikembangkan di hutan rakyat. Hal ini didasarkan pada keanekargaman tanaman yang ditemukan pada lahan hutan rakyat berpotensi memiliki multi fungsi yang bernilai ekonomi seperti biofuel. Pada lahan hutan rakyat dapat dikembangkan jenis penghasil biofuel seperti nyamplung (Callophyllum inophylum L) serta biomas yang mengandung karbohidrat seperti singkong, molase, limbah kayu, atau biomas lainnya untuk pembuatan etanol, biodiesel dan bio-oil (Natawijaya, 2008). Dalam rangka mewujudkan hutan tanaman penghasil biofuel dengan produktivitas tinggi diperlukan dukungan IPTEK. Namun penelitian tentang tanaman kehutanan penghasil biofuel masih relatif rendah, oleh karena itu diperlukan analisis prospektif dan kebutuhan research untuk mendorong lajunya pembangunan hutan tanaman. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menganalisa prospektif dan status research yang diperlukan dalam pembangunan hutan tanaman penghasil biofuel. Dengan diketahuinya prospektif dan kebutuhan penelitian/research need diharapkan bisa menjadi dasar dalam memberikan alternatif kebijakan dan penelitian lebih lanjut tentang pembangunan hutan tanaman penghasil biofuel. Keterlibatan semua stakeholder yang bersinergi (pemerintah, swasta dan petani hutan rakyat) diharapkan akan memacu pengembangan hutan tanaman penghasil biofuel, khususnya hutan rakyat.
II.
KRISIS ENERGI DAN KEBIJAKAN ENERGI ALTERNATIF
Pada saat ini ada tiga isu penting yang sedang menyedot perhatian dunia yaitu krisis energi, krisis pangan dan pemanasan global (global warming). Menurut Chossudovsky professor ekonomi dari 27 28 29
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis Kepala Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
48
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Universitas of Ottawa Kanada (dalam Saragih, 2008) mengatakan ada 3 krisis global yaitu : pangan, air dan bahan bakar yang merupakan tiga kebutuhan fundamental dalam kehidupan sedang dalam kehancuran. Berbagai metode terus dicari sebagai usaha peningkatan pasokan energi dan pangan serta dapat mengurangi efek dari pemanasan global akibat laju suatu pembangunan industri. Salah satu cara adalah dengan pembangunan hutan tanaman yang dapat memberikan kontribusi bagi pemecahan ketiga masalah diatas yaitu penghasil bahan bakar nabati, pangan dan penyerap karbon. Hal ini dapat dilakukan dengan intensifikasi pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati/biofuel dan pangan dengan sistem agroforestry sehingga dapat mengurangi lahan terdegradasi serta menyerap karbon yang dapat berkontribusi bagi pengurangan efek pemanasan global. Salah satu sebab pendorong terjadinya krisis pangan adalah banyak beralih fungsinya komoditi pangan menjadi bahan bakar nabati seperti jagung, singkong, tebu dan lain-lain. Kelebihan bahan bakar nabati/biofuel dari jenis tanaman kehutanan adalah bukan komoditi bahan pangan sehingga tidak menggangu pasokan pangan dunia. Krisis energi terus mengancam dunia dengan kebutuhan yang semakin meningkat sementara disisi lain ketersediaan semakin berkurang sehingga harga BBM terus naik. Berdasarkan data reuters, US Energy Information Administration dalam Saragih (2008) produksi minyak dunia hanya 74,5 juta barrel per hari sedangkan konsumsi minyak dunia mencapai 85,4 juta barrel per hari sehingga harga minyak mentah dunia cukup tinggi yaitu mencapai 136,5 dollar AS pada 9 juni 2008. Hal ini juga sangat dirasakan dampaknya di Indonesia walaupun Indonesia merupakan negara penghasil BBM. Menurut Prihandana dan Handoko, 2008 kilang-kilang minyak di Indonesia pada tahun 2007 hanya mampu menghasilkan 700 barrel BBM per hari, sedangkan kebutuhan BBM berkisar 1,2 juta bph sehingga harus mengimpor sekitar 25-30% kebutuhan total BBM nasional per hari. Pada tahun 2008 Indonesia diprediksi harus mengimpor lebih dari 40% dari kebutuhan BBM nasional dan akan mencapai 60-70 % pada tahun 2010. Cadangan BBM fosil yang ada kini terbukti sudah tidak mampu memenuhi kebutuhan konsumsi yang terus meningkat dan cadangan minyak bumi dan batubara di Indonesia diperkirakan tidak akan berumur lebih dari 25 tahun (Tim Nasional Pengembangan BBN, 2007). Dengan harga bahan bakar minyak yang terus naik sehingga subsidi dari APBN yang diperlukan juga semakin besar (subsidi BBM tahun 2008 sebesar Rp 126 triliun) merupakan permasalahan yang dilematis bagi pemerintah (Kompas, 2008). Kebijakan pemerintah untuk mencabut subsidi BBM tanpa menaikkan harga terus diupayakan dengan mencari berbagai solusi tekno-sosio-ekonomi. Salah satu solusi adalah pengembangan energi alternatif sebagai pengganti bahan bakar minyak yaitu bahan bakar alternatif berbahan baku nabati atau bahan bakar nabati (biofuel). Pemerintah melalui Instruksi Presiden No. 1 tahun 2006 memerintahkan Departemen terkait termasuk Departemen Kehutanan untuk mencanangkan gerakan penyediaan dan pemanfaatan bahan bakar nabati. Pengembangan sumber energi terbarukan seperti minyak dari tumbuhan (phytofuel) merupakan salah satu alternatif mengeliminasi defisit energi. Menteri Kehutanan melalui Kepmen nomor SK 345/Menhut-II-2007 membentuk tim pengembangan biomasa dalam menunjang kebutuhan energi nasional. Tugas tim ini adalah (1) Optimalisasi dan sosialisasi pemanfaatan limbah yang dihasilkan dari kehutanan sebagai sumber energi terbarui. (2). Mengembangkan jenis pohon energi yang cepat tumbuh. (3). Membuat percontohan kebun energi yang cepat tumbuh termasuk pusat pelatihan arang terpadu (Uripno, 2007). Lisminto dalam Kompas 2008, target biopremium pada tahun 2007 sebesar 940.980 kiloliter hanya terealisasi 1000 kiloliter, biodiesel ditargetkan 1282.981 kiloliter terealisasi 16000 kiloliter dan minyak tanah nabati atau biokerosin sama sekali belum diproduksi. Data ini menunjukkan masih banyak dibutuhkan peningkatan produksi biofuel agar target nasional dapat terpenuhi. Pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati/ biofuel merupakan alternatif solusi yang dapat ditempuh untuk dapat mencapai target sehingga kemandirian energi nasional dapat terwujud. Permasalahannya adalah belum dikajinya potensi pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati dan belum diketahuinya permasalahan teknik silvikultur jenis-jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati, sehingga menjadi kendala dalam pengembangan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Makalah ini menjabarkan secara global potensi pembangunan hutan tanaman penghasil biofuel dan dampaknya terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat dan lingkungan serta gambaran permasalahan teknik silvikultur nyamplung.
III. POTENSI INDONESIA Kekayaan alam Indonesia sebagai megasenter keanekaragaman nabati terbesar kedua di dunia merupakan potensi yang sangat berarti. Terdapat lebih kurang 30.000 jenis tanaman berbunga yang tumbuh di hujan tropis Indonesia (Sukarno. 2002). Menurut Soerianegara dan Lemmens (1996) di Indonesia terdapat lebih dari 4000 jenis pohon yang sudah teridentifikasi dan lebih dari 250 jenis pohon dianggap telah memiliki nilai komersial atau mendatangkan manfaat ekonomis secara langsung. Indonesia dengan iklim tropis memungkinkan untuk pengembangan berbagai jenis tanaman yang dapat menghasilkan bahan baku penghasil energi yang terbarukan tersebut. Menurut Prihandana dan Handoko, 2008 di Indonesia ada 62 jenis tanaman bahan baku biofuel, salah satunya adalah tanaman kehutanan nyamplung (Calopyllum inophylum). Kelebihan pengembangan komoditas tanaman kehutanan (Calopyllum inophylum) adalah produk yang dihasilkan bukan merupakan komoditas pangan sehingga tidak mengganggu kestabilan harga pangan seperti jagung, singkong, tebu dan lain-lain. Penggunaan kelapa sawit sebagai biofuel juga menggangu pasokan bahan baku CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Pemanfaatan CPO untuk biodisel ini akan menyebabkan kerusakan hutan akibat konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit dari konversi tanaman hutan menjadi tanaman monokultur kelapa sawit akan berimplikasi pada degradasi lingkungan. Efek negatif terhadap lingkungan seperti pengurangan cadangan air dan berkurangnya flora dan fauna yang dapat tumbuh di sekitarnya dapat terjadi sebagai akibat dari konversi tersebut. Penyerapan karbonpun akan lebih rendah apabila dibandingkan dengan tanaman kehutanan, sehingga pembangunan perkebunan Prosiding Kupang 12 November 2007
49
kelapa sawit akan mengakibatkan semakin panasnya bumi. Hal ini dapat menjadi gambaran dampak negatif konversi hutan menjadi kebun kelapa sawit untuk bahan bakar nabati dan bahan bakar minyak goreng. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa konversi hutan tropis menjadi lahan perkebunan, industri kayu dan pembangunan infrastruktur menyumbang 10-30 persen dari emisi gas rumah kaca dunia dan konversi hutan menjadi perkebunan monokultur juga mengancam keanekaragaman hayati (Majalah Nature dalam Silaban, 2008). Peluang pembangunan hutan tanaman penghasil bahan baku energi ini tentunya diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan alternatif penyedia bahan baku energi. Oleh karena itu pembangunan hutan tanaman penghasil bahan baku energi ini perlu didukung IPTEK, khususnya silvikultur dan kesesuaian lahan setiap jenis tanaman sehingga dalam pelaksananaan kedepan selain berproduktivitas tinggi dan berkualitas baik diharapkan juga dapat menjaga kelestarian lingkungan. Pembangunan hutan Calophyllum inophylum penghasil bahan bakar nabati merupakan usaha yang sangat mendukung upaya pengelolaan hutan yang lestari karena sistem pemanenan jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati tidak bersifat merusak dan tidak akan habis selama kita mau membudidayakannya. Belum diketahuinya IPTEK terhadap jenis-jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati khususnya nyamplung tersebut merupakan salah satu kendala dalam pengembangannya.
IV. ASPEK LINGKUNGAN HUTAN TANAMAN PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI (BBN) Penggunaan BBM berbasis fosil (minyak bumi, batu bara dan gas alam) di seluruh dunia yang mecapai 88% dari total kebutuhan energi global saat ini telah menjadi penyebab utama perubahan iklim dunia. Hal ini disebabkan oleh dihasilkannya gas-gas CO2, CH4 dan N2O yang jumlahnya semakin lama semakin memenuhi kuota atmosfer dunia dan menimbulkan efek rumah kaca yang berujung pada perubahan iklim dan pemanasan global (global warming). BBM fosil, baik premium, solar, maupun minyak tanah merupakan bahan bakar yang bersifat tidak bisa diperbarui, bersifat mencemari lingkungan dengan efek rumah kacanya, kontunietas suplainya tidak terjamin dan bersifat tidak berkelanjutan (Murdiyarso, 2003). Pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati akan berkontribusi positif terhadap lingkungan baik udara, air dan tanah. Hal ini dikarenakan dengan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati dapat memberikan kontribusi bagi penyerapan karbon sebagai usaha pengurangan efek pemanasan global. Tanaman dapat menyerap CO2 dan mengeluarkan O2 yang berguna bagi usaha minimalisasi pencemaran lingkungan udara makro dan mikro. Pembangunan hutan tanaman sebagai bahan bakar nabati selain dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat juga dapat membantu usaha rehabilitasi lahan terdegradasi. Dengan banyaknya lahan terdegradasi di sepadan pantai sampai dataran tinggi di Indonesia memungkinkan semakin banyak peluang untuk merehabilitasinya dengan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Oleh karena itu perlu diketahui sejauh mana kemampuan beradaptasi setiap jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati terhadap berbagai kondisi tapak, khususnya lahan-lahan terdegradasi. Usaha konservasi tanah dan air dapat dilakukan dengan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati tersebut. Mitigasi bencana banjir dan kekeringan akibat banyaknya lahan terdegradasi dapat dilakukan dengan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Jadi mengenai efek terhadap lingkungan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati sangat positif sejauh itu dibangun dengan konsep dan landasan IPTEK yang menyeluruh dari berbagai disiplin ilmu. Beberapa tanaman penghasil bahan bakar nabati hidup di tepi pantai misalnya Calophyllum inophylum yang banyak tersebar cagar alam pantai Pangandaran. Hal ini memungkinkan untuk rehabilitasi lahan terdegradasi kawasan sepadan pantai sebagai upaya mitigasi bencana Tsunami. Prospek pembangunan jalur hijau dengan menggunakan jenis tanaman Calophyllum inophylum yang selain berfungsi untuk rehabilitasi lahan pantai juga dapat menghasilkan bahan bakar nabati merupakan usaha pembangunan hutan yang dapat melibatkan masyarakat sebagai subjek pengelola. Hal ini dikarenakan dengan adanya prospek ekonomi berupa bahan bakar nabati yang dapat dipanen tanpa merusak tegakannya dapat dijadikan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat. Perpaduan antara sektor konservasi dan sektor ekonomi merupakan hal yang penting dalam pembangunan kehutanan sebab tidak adanya salah satu faktor akan menyebabkan tidak terbangunnya hutan yang lestari.
V. ALTERNATIF PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT Usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat dapat dilakukan dengan sosialisasi tentang peluang pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Dengan kebutuhan energi yang terus meningkat sedangkan cadangan minyak fosil yang makin menipis menjadikan bahan bakar nabati menjadi alternatif yang tentunya akan bernilai ekonomis untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Menurut BPS 2002 dalam Natawijaya (2008) dari 38,4 juta orang miskin di Indonesia 65,4 % di antaranya berada di pedesaan dan 53,9% berprofesi sebagai petani. Jumlah penduduk yang tinggal di sekitar hutan ± 48,8 juta penduduk dan 10,2 juta penduduk termasuk masyarakat miskin. Hal ini menjadikan peluang untuk meningkatkan kesejahteraan petani hutan di pedesaan dengan pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Pembangunan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati dalam rangka pemenuhan energi dan peningkatan kesejahteraan petani hutan memungkinkan terwujudnya partisipasi aktif dari petani hutan dalam pengembangan energi di pedesaaan. Di hulu petani hutan rakyat dapat terlibat dalam kegiatan budidaya tanaman hutan bahan baku nabati sesuai dengan kesesuaian lahan masing-masing daerah terhadap jenis tanaman hutan tertentu. Diperlukan juga teknologi aplikasi yang dapat dilakukan oleh petani pedesaan untuk mengolah bahan baku nabati tersebut menjadi bahan
50
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
bakar. Disektor hilir dengan adanya industri pengolahan bahan bakar nabati maka tercipta lapangan kerja, memungkinkan masyarakat pedesaan dapat dilibatkan dalam industri tersebut. Dalam hal usaha agribisnis tanaman kehutanan penghasil bahan bakar nabati seberapa besar kontribusinya terhadap peningkatan pendapatan masyarakat masih diperlukan analisis ekonomi lebih lanjut. Hal ini disebabkan sampai saat ini belum terbangun hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati apalagi industri pengelolaannya. Oleh karena itu perlu keselarasan progam antara hulu dan hilir supaya dapat berkesinambungan dan tidak merugikan petani hutan rakyat di kemudian hari. Peluang pembangunan hutan tanaman nyamplung sebagai penghasil bahan baku energi ini tentunya diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan dengan alternatif penyedia bahan baku energi. Oleh karena itu pembangunan hutan tanaman penghasil bahan baku energi, khususnya nyamplung perlu didukung IPTEK silvikultur dan kesesuaian lahan sehingga dalam pelaksanaannya selain berproduktivitas tinggi dan berkualitas baik juga diharapkan dapat menjaga kelestarian lingkungan.
VI. BEBERAPA TANAMAN KEHUTANAN PENGHASIL BAHAN BAKAR NABATI Bahan baku penghasil energi bisa didapatkan dari tanaman-tanaman yang tersebar di bumi Nusantara. Selain jarak pagar (Jastropa corcas L), kelapa sawit, jagung, kacang tanah, tebu, singkong dan berbagai jenis tanaman kehutanan dapat berfungsi sebagai phytofuels. Terdapat sekitar 62 jenis bahan baku biofuel yang terus diteliti seperti disajikan pada Tabel 1 termasuk diantaranya adalah jenis tanaman kehutanan yaitu kelapa (Cocos nucifera), minyak kesambi (Sleichera triyuga), minyak nyamplung (Calophyllum inophylum), minyak kelor (Moringa oleifera), Minyak kapok randu (Ceiba pentandra) dan minyak randu alas (Bombax malabaricum) dan lain-lain. Indonesia mempunyai banyak sumber daya untuk bahan baku biodiesel sehinggga sangat potensial untuk pengembangan hutan tanaman penghasil bahan bakar nabati. Kelebihan pengembangan komoditas tanaman kehutanan adalah produk yang dihasilkan bukan merupakan komoditas pangan sehingga tidak mengganggu kestabilan harga pangan. Pengelolaan hutan penghasil bahan bakar nabati merupakan usaha yang sangat mendukung upaya pengelolaan hutan yang lestari karena sistem pemanenan jenis tanaman penghasil bahan bakar nabati tidak bersifat merusak. Tabel 1. Tumbuhan Indonesia penghasil minyak lemak Nama Jarak kaliki Jarak pagar Kacang suuk Kapok/randu* Karet Kecipir Kelapa Kelor* Kemiri* Kusambi* Nimba* Saga utan* Sawit Akar kepayang Alpukat* Cokelat Gatep pait Kepoh* Ketiau Malapari* Nyamplung* Randu alas/agung* Seminai Siur (-siur) Tengkawang tungkul* Tengk. Terindak* Wijen Bidaro Bintaro*
Nama Latin Ricinus communis Jatropha curcas Arachis hypogea Ceiba pentandra Hevea brasiliensis Psophocarpus tetrag. Cocos nucifera Moringa oleifera Aleurites moluccana Sleichera trijuga Azadirachta indica Adenanthera pavonina Elais guineensis Hodgsonia macrocarpa Persea gratissima Theobroma cacao Samadera indica Sterculia foetida Madhuca mottleyana Pongamia pinnata Calophyllum inophylum Bombax malabaricum Madhuca utilis Xanthophyllum lanceatum Shorea stenoptera Isoptera borneensis Sesamum orientale Ximenia americana Cerbera manghas/odollam
Sumber
Kadar, %-b kr
P / NP
Biji (seed)
45 – 50
NP
Inti biji Biji Biji Biji
40 – 60 35 – 55 24 – 40 40 – 50
NP P NP NP
Biji
15 – 20
P
Daging buah Biji Inti biji (kernel) Daging biji Daging biji
60 – 70 30 – 49 57 – 69
P P NP
55 – 70 40 – 50
NP NP
Inti biji
14 – 28
P
45-70 + 46-54
P
≈ 65
P
Daging buah
40 – 80
P
Biji
54 – 58
P
Biji Inti biji Inti biji
≈ 35 45 – 55 50 – 57
NP NP P
Biji
27 – 39
NP
Inti biji
40 – 73
NP
Biji
18 – 26
NP
Inti biji Biji
50 – 57 35 – 40
P P
Inti biji
45 – 70
P
Inti biji
45 – 70
P
Biji
45 – 55
P
Inti biji
49 – 61
NP
Biji
43 – 64
NP
Sabut + Dg buah Biji
Prosiding Kupang 12 November 2007
51
Nama
Nama Latin
Bulangan Cerakin/Kroton Kampis
Gmelina asiatica Croton tiglium Hernandia peltata Aleurites trisperma Cucurbita moschata Madhuca cuneata Mesua ferrea
Kemiri cina Labu merah Mayang batu Nagasari (gede) Pepaya Pulasan
Sumber
Kadar, %-b kr
P / NP
Biji Inti biji Biji
? 50 – 60 ?
NP NP NP
Inti biji
?
NP
Biji
35 – 38
P
Inti biji
45 – 55
P
Biji
35 – 50
NP
Carica papaya Biji 20 – 25 P Nephelium Inti biji 62 – 72 P mutabile Rambutan Nephelium Inti biji 37 – 43 P lappaceum Sirsak Annona muricata Inti biji 20 – 30 NP Srikaya Annona Biji 15 – 20 NP squamosa Kenaf Hibiscus Biji 18 – 20 NP cannabinus Kopi arab Hibiscus Biji 16 – 22 NP (Okra) esculentus Rosela Hibiscus Biji NP ≈ 17 sabdariffa Kayu manis* Cinnamomum Biji P ≈ 30 burmanni Padi Oryza sativa Dedak P ≈ 20 Jagung Zea Mays Germ P ≈ 33 Tangkalak* Litsea sebifera Biji P ≈ 35 ? Taractogenos Inti biji 48 – 55 NP kurzii Kursani Vernonia Biji NP ≈ 19 anthelmintica Sumber : Soerawidjaja, 2005 Keterangan : Kr = kering; P = minyak/lemak Pangan (edible fat/oil), NP = minyak/lemak Non-Pangan (nonedible fat/oil), * = Komoditi tanaman kehutanan
A.
Nyamplung (Calophyllum Inophylum )
1.
Sifat-sifat Botani
Jenis-jenis dari famili Guttiferae terdapat 3 yaitu Calophyllum inophylum Linn, C. pulcherrinum Wall, dan C. soulatri Burm.f. Jenis yang dapat menghasilkan bahan bakar nabati adalah C. inophylum Linn. Jenis-jenis C. inophylum Linn. merupakan tanaman kehutanan yang banyak tumbuh pada tanah berawa di dekat pantai sampai pada tanah kering di bukit-bukit sampai ketinggian 800 mdpl. Kadang-kadang tumbuh pada lokasi mangrove, biasanya pada habitat transisi. Tercatat di Sumatera dijumpai antara lain di sepanjang Danau Singkarak pada ketinggian 386 m (Heryati, 2007; Noor et al., 1999). Di sepanjang pantai dekat Cagar Alam Pangandaran nyamplung dapat tumbuh dengan baik walaupun dengan jarak yang relatif lebar dan setempat-setempat. Tanaman nyamplung tersebar hampir di seluruh Indonesia (Sumbar, Riau, Jambi, Sumatra Selatan, Lampung, Jawa, Kalbar, Kalteng, Sulawesi, Maluku, NTT dan Papua) dan dapat berbuah sepanjang tahun. Pohon nyamplung tumbuh di Asia Tenggara, India, Afrika, Australia utara, Quesland Utara dan tersebar dari Afrika timur hingga Polinesia dan dimasukkan ke pasifik (Martawijaya, 2005; Heryati, 2007; Noor et al., 1999). Tanaman nyamplung merupakan pohon dengan tinggi dapat mencapai 25 -35 meter dengan panjang bebas cabang sampai 21 m dan diameter batang dapat mencapai sekitar 15 cm, batang berdiri tegak dan berbentuk lurus dengan percabangan mendatar, tidak berbanir, kulit luar berwarna kelabu atau putih, beralur dangkal dan mengelupas besar-besar tipis, biasanya tumbuh agak bengkok, condong atau bahkan sejajar dengan tanah. Daun memiliki banyak urat dengan posisi lateral parallel dan halus, bagian atas daun berwarna hijau tua dan mengkilap, bagian bawah hijau agak kekuningan, berbentuk ellips hingga bulat memanjang (Heryati, 2007; Noor et al., 1999). Bunga biseksual, tandan bunga panjangnya hingga 15 cm serta memiliki 5 -15 bunga per tandan, letak di ketiak dengan formasi bergerombol, menggantung seperti payung, daun mahkota 4, putih dan kuning, harum, ukuran diameter 2-3 cm. Kelopak bunga 4, dua dari kelopak bunga berwarna putih (Noor et al., 1999). Buah berbentuk bulat seperti bola pingpong kecil, memiliki tempurung kuat dan di dalamnya terdapat 1 biji. Ukuran diameter buah 2,5-4 cm. Buah mudanya digarami untuk makanan. Dapat digunakan sebagai bahan pewarna, minyak , kayu dan obat-obatan (Noor et al., 1999). Soerwidjaja (2005) menyatakan bahwa biji nyamplung sangat potensial sebagai penghasil minyak lemak yang dapat digunakan sebagai minyak bakar. Malaysia berhasil mengembangkan Calanoida-A aktif sebagai anti virus HIV (in-vivo) yang diperoleh dari tanaman Callophylum inophylum/langinerum. Sementara Zuhud (1995) biji Callophyllum dapat berkhasiat sebagai obat kurap. Biji nyamplung mengandung 40-55% -b, sedang pada biji kering kandungan minyaknya 70-73%-b. Bahan aktif yang terkandung dalam biji adalah Inophyllum A-E, Calophylloide dan Asid calophynic. Kandungan lain dalam jumlah kecil antara lain 1,2,3,4,4a,7-beksahidro-1,6 dimetil-4 (1-metilletil) naftalin, cubebene, selinene, calerene, farnesene, scadinene, bourbonene, zingiberene, copaene,murelene, sesquiphellandrene, octadecanal, heksadecane, farmesol (Dahlan dan Gusmailina., 2006).
52
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Kayu nyamplung termasuk komersial yang dapat digunakan untuk perkapalan, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan kontruksi ringan (Heryati, 2007). nyamplung memliki getah lekat berwarna putih dan kuning, penyadapan getah Nyamplung dilakukan untuk mendapatkan minyak yang dikenal dengan nama minyak tamunu (Tahiti, 2006; Noor et al., 1999). Menurut Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral biji nyamplung selain memiliki kekentalan melebihi minyak tanah juga terdapat kandungan minyak yang mencapai sebesar 50-70 persen. Ketahanan pembakarannya dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah. Berdasar penelitian yang dilakukan untuk setiap 1 Kg biji nyamplung yang sudah tua bisa menghasilkan 0,5 liter minyak. 2.
Permasalahan Silvikultur Nyamplung
Pengembangan bahan bakar nabati terutama jenis nyamplung memerlukan dukungan IPTEK, khususnya silvikultur, oleh karena itu identifikasi permasalahan terhadap objek yang akan diteliti menjadi hal yang penting. Permasalahan-permasalahan dalam pengembangan jenis nyamplung adalah sebagai berikut (Leksono, 2008) : a.
Biji Untuk Bahan Baku Nabati
Masalah dalam memanfaatkan hasil dari biji nyamplung untuk menjadi bahan bakar nabati adalah mencari alat yang sesuai untuk mengupas biji buah, karena biji buah masih diselubungi daging buah dan batok/pericarp. Oleh karena itu dibutuhkan alat yang dapat digunakan mengupas buah dan batok/pericarp sehingga biji bersih dan dapat digunakan sebagai bahan baku nabati untuk skala besar. b.
Perbenihan Tanaman
Karena biji diselimuti daging buah maka diperlukan alat untuk ekstraksi buah dan untuk proses perkecambahan pericarp tidak perlu dikupas. Setelah dapat diekstraksi maka agar proses perkecambahan dapat berjalan lebih cepat dan prosentase berkecambah tinggi diperlukan metode penghilangan dormansi (skarifikasi) benih. Hal ini dikarenakan benih nyamplung terselubungi batok/pericarp yang cukup tebal dan keras karena biji nyamplung mirip dengan rotan, maka diduga bisa digunakan metode skarifikasi benih menggunakan metode yang diaplikasikan pada rotan. Metode tersebut adalah sebagai berikut : 1. Pemeraman benih nyamplung dalam kotak kayu dialasi karung goni, biji disusun, kemudian ditutup lagi dengan karung goni dan disiram tiap hari. 2. Bisa juga diberi sungkup, tetapi jangan terlalu lama karena dapat mengakibatkan etiolasi (warna daun pucat, dan tinggi). Lama sungkup tergantung jenisnya. 3. Bisa juga bawahnya diberi kolam air, kotak air/ tempat air supaya kelembaban terjaga, hemat air, air bisa dihemat dan dipakai ulang. c. Pembibitan Tanaman Berdasarkan pengamatan regenerasi alam nyamplung cukup bagus sehingga metode cabutan dapat diaplikasikan dalam produksi bibit. Namun demikian metode cabutan kemungkinan pertumbuhan kurang optimal karena bibit tertekan pada saat dicabut. Oleh karena itu diperlukan perlakuan pemotongan daun 1/2nya atau seluruhnya untuk mengurangi penguapan sehingga bisa mempercepat dan meningkatkan daya hidup dan pertumbuhan cabutan. Ada dua kepentingan dengan memakai bahan yang sama yaitu 1). Biji untuk produksi BBN dan 2). Biji untuk produksi bibit di persemaian. Oleh kerena itu agar kepentingan produksi bahan baku energi tidak terganggu diupayakan pembibitan menggunakan metode vegetatif. Bibit vegetatif tetap memiliki kualitas akar yang kuat sebagai usaha daya hidup meskipun akar tunjang tidak ada. Tiap jenis tanaman kehutanan memiliki teknik vegetatif yg berbeda-beda sesuai dengan jenisnya dan karakteristiknya. Tujuan perkembangbiakan vegetatif hanyalah untuk multifikasi bukan peningkatan produksi dan kualitas hasil, meskipun demikian dengan perkembangbiakan vegetatif dapat menghasilkan buah lebih cepat bila dibanding generatif. Jadi tujuan perkembangbiakan vegetatif adalah multiplikasi populasi bukan improve kualitas(tidak menghasilkan bibit unggul) dan mempercepat pertumbuhan yang diikuti percepatan produksi buah/biji. Perkembangbiakan vegetatif dapat dilakukan dengan stek pucuk, stek batang, cangkok, grafting, dan menempel. Pemilihan metode vegetative disesuaikan dengan identifikasi masalah dan kebutuhan pengguna. Jika pembangunan hutan rakyat maka pemilihan metode ini berdasarkan pertimbangan tingkat kemudahan, murah, aplikatif bagi user/petani hutan rakyat dan keberhasilan di lapangan. Diperlukan penelitian bagaimana metode membuat kebun pangkas konvensional untuk perbanyakan materi bibit, misalnya pada berbagai jenis tanaman dapat menggunakan metode 1). Pencarian pohon plus diikuti dengan pengeratan kulit pohon sehingga trubusan tumbuh untuk stek pucuk. 2). Metode cangkok seberapa efektif untuk diterapkan sehingga proses keberhasilan tinggi dan biaya yang ditimbulkan minimal 3). Kasus pada jenis pinus, kebun pangkas dapat dipangkas 3 tahun sekali dan hanya bisa dipangkas 3 kali, sedangkan nyamplung karena memiliki regenerasi tinggi kemungkinan kemampuan pangkas yang lebih tinggi dari pinus. Kebun pangkas dapat dibangun di polibag, rumah kaca atau lokasi lapangan. Kemungkinan kebun pangkas dengan tumbuhan pendek hanya bisa dipangkas tiga kali dalam setahun. Pemilihan materi yang diperbanyak berupa mata tunas atau kultur jaringan. Namun demikian pertimbangannya adalah kultur jaringan banyak mengalami kegagalan pada tahap aklimatisasi di lapangan. Kultur jaringan juga membutuhkan biaya mahal sehingga tidak aplikatif bagi petani kecuali penggunaannya adalah perusahaan dalam skala besar (HTI). Jadi kultur jaringan tidak selalu menjadi solusi yang tepat.
Prosiding Kupang 12 November 2007
53
d.
Budidaya/Penanaman
Permasalahan lebih difokuskan pada bidang silvikultur dulu, karena kalau dengan silvikultur masih dapat menghasilkan nyamplung dengan kualitas biji yang bagus, pertumbuhan lebih cepat, rendemen minyak lebih tinggi maka pemuliaan belum dibutuhkan. Apalagi petani hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan belum mau membeli benih hasil pemuliaan dengan harga mahal. Pemuliaan dipakai untuk perusahaan HTI, karena untuk produktifitas skala besar, kualitas, dan dengan tujuan komoditas tertentu. Kadar zat dalam minyak, kalau antar individu nyamplung ada penentu variasi kualitas rendemen minyak bisa dimuliakan. Misalnya kadar cineol pada minyak kayu putih dimuliakan sehingga kayu putih dimuliakan supaya memiliki kadar cineol yang tinggi. Penentu kualitas kadar minyak dalam nyamplung cukup banyak maka diperlukan grade/tingkatan dalam produksinya. Kelebihan pemuliaan pohon adalah dapat mendapatkan pohon yang produktivitas dan kualitas tinggi tanpa dipupuk. Namun demikian hal ini memerlukan biaya yang besar sehingga jika dihasilkan output hasil pemuliaan akan dijual dengan harga yang tinggi juga. Masalahnya apakah pengguna dalam hal ini petani hutan rakyat mampu membelinya. Hal ini akan sesuai untuk perusahaan besar/HTI sehingga akan dapat digunakan dan dibiayai secara berkesinambunagan. Masalah ketidakcocokan tempat tumbuh karena provenans tidak sesuai sehingga pertumbuhan kurang akibat adaptasi kurang bagus. Hal ini karena belum tentu provenans Ciamis mesti lebih baik dibanding dengan provenans lainnya bila ditanam di Ciamis. Tujuan provenans trial adalah mencari provenans yang paling sesuai untuk ditanam di tempat baru atau superial provenans. Nyamplung merupakan jenis eksotik sehingga kemampuan adaptasi perlu diteliti. Indikasi adaptasi yang tinggi dapat dilihat dari peta persebarannya, jika ada di berbagai ketinggian maka adaptasinya tinggi. Kasus penanaman nyamplung, keben dan cemara laut di areal pantai (coastal area) Pangandaran menunjukkan hasil yang berbeda. Menanam nyamplung pada coastal area diragukan ketahanannya karena apakah coastal area bisa menahan air. Jika itu merupakan habitatnya seharusnya bisa bertahan tetapi berdasarkan hasil pengamatan C.equisetifolia dan keben bisa tumbuh dengan baik, nyamplung yang ditanam di belakang cemara laut malah kering dan gersang. Hal ini diduga diperlukannya pemulsaan di tahun-tahun pertama sampai tumbuh akar-akar baru untuk mencari makanan sendiri, atau diberi aquasorb (seperti jeli untuk menahan air yang diaplikasikan di lapangan pada musim kemarau/ pada saat pohon berumur 6 bulan di lapangan). Dugaan sementara daun nyamplung kecoklatan karena kekurangan air. Tinggi bibit kehutanan pada saat ditanam di lapangan minimal 30 cm, ukuran polibag juga disesuaikan dengan panjang akar. Beberapa perlakuan seperti pemupukan NPK dengan tujuan N (pertumbuhan awal), P (Daun), dan penguatan batang dan K (Generatif), dan untuk percepatan pertumbuhan diameter batang umumnya dipakai SP36, karena SP36 tidak mengandung K. Tujuan penanaman nyamplung adalah produksi buah, sehingga dibutuhkan percepatan produksi biji/buah supaya buah lebih berlimpah dan mudah dalam pemanenannya. Pada tanaman buah diperlukan perlakuan untuk menghasilkan beberapa batang (multiple stump treatment) untuk menentukan tinggi pohon optimal dalam menghasilkan buah. Sedangkan nyamplung cenderung autotrop dan batang tunggal (single stump) oleh karena itu dibuat beberapa batang (multiple stump) dan dibuat pendekpendek saja dengan toping/pemangkasan pucuk. Hal ini dilakukan supaya mudah mengunduh untuk produksi buah. Kapan waktu yang tepat untuk memangkas perlu dijawab dengan penelitian sebab jika sudah terlalu tua (di atas 2 tahun) pohon akan terserang penyakit. Jadi perlu informasi mengenai ketinggian dan umur tertentu supaya pada saat dipangkas tidak menimbulkan penyakit. Pemangkasan batang di persemaian, bisa dilakukan apabila setelah ditanam di lapangan tidak terganggu. Yang penting tujuan akhirnya adalah perbanyakan buah/biji. Semakin banyak daun berpengaruh pada evapotranspirasi, daun dipotong di persemaian atau dipotong sesudah ditanam di lapangan hal ini diperlukan penelitian untuk menjawabnya. Perlakuan harus dilanjutkan mulai dari persemaian sampai di lapangan/di lokasi penanaman, karena belum tentu di persemaian bagus di lapangan juga bagus. Di Ciamis, karena pengguna hasil penelitian adalah petani maka dicari metode yang sederhana, murah, mudah, efisien dan ramah lingkungan. Kombinasi bahan-bahan yang ada di alam, pupuk kandang dan organik dapat dipakai dalam pengembangan tanaman ini. e.
Pemanenan buah
Teknik yang paling tepat pada saat pengunduhan, apa buah yang jatuh atau yang dipetik dari pohonnya berbeda kualitasnya. Pembungaan dan pembuahan diteliti untuk mengetahui lama waktu dari saat berbunga hingga siap panen. Produksi buah/bunga per pohon adakah rumus tertentu untuk menghitung produksi buah per pohon. Alat pemroses biji nyamplung dibantu oleh Deperindag. Dengan ½ liter minyak nyamplung dapat bertahan masak 3 jam, 2,5 biji nyamplung utk 1 liter minyak mentah, kalau diproses lagi rendemen semakin rendah. Sedangkan jarak pagar dibutuhkan 3,5 kg untuk menghasilkan 1 liter minyak mentah. 3.
Kelor (Moringa oleifera)
Pohon kecil, tumbuh cepat sampai ketinggian 8-12 m; berganti daun pada musim kemarau. Berdaun tidak lebat dan daunnya kecil. Tersebar di seluruh Indone-sia (ada banyak nama-nama daerah); di Jawa ditemukan sampai 300 m di atas permukaan laut. Tumbuh subur mulai dataran rendah hingga ketinggian 700 mdpl. Buahnya berbentuk polong berpenampang segitiga, panjang 30 - 50 cm, berisi ≈ 20 biji yang hitam, bersayap, dan berberat rata-rata 0,3 g. Biji terdiri atas 70 - 74 % inti dan 26 - 30 % kulit. Inti biji mengandung 35 - 40 % minyak. Kualitas minyak biji kelor menyerupai minyak zaitun pemanfaatananya sebagai minyak goreng (Prihandana dan Handoko, 2008). Penjernihan air dengan biji kelor (Moringa Oleifera) dapat dikatakan penjernihan air dengan bahan kimia, karena tumbukan halus biji kelor dapat menyebabkan terjadinya gumpalan (koagulan) pada kotoran yang terkandung dalam air (LIPI, 1991).
54
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Pada tahun pertama kelor sudah bisa menghasilkan biji. Dalam 1 polong bisa menghasilkan sekitar 20 biji. Produksi semakin banyak pada tahun kedua dan tahun-tahun berikutnya. Kelor bisa menghasilkan biji sepanjang tahun (Prihandana dan Handoko, 2008). Kelor bukan pohon pengikat nitrogen (dari udara), tetapi buah, bunga dan daunnya rata-rata mengandung 5-10 % protein dan merupakan pangan dan pakan yang baik. Polongnya bisa dikukus dan dimakan seperti kacang panjang.Tepung biji/bungkil kelor merupakan flokulan yang baik dalam penjernihan air. Kelor diyakini berasal dari India dan Arab, kemudian menyebar ke berbagai wilayah. Tanaman kelor dapat tumbuh dan berkembang di daerah subtropik dan tropik, di daerah kering dan basah, serta amat toleran pada curah hujan 0,5-4 m 3 per tahun. Karena tahan kering maka kelor menjadi bagian untuk progam pemulihan tanah kering dan gersang. Pohon kelor memiliki kemampuan menyerap air tanah walaupun dari kandungan yang sangat minim hingga tanah menjadi lembab dengan dampak tanaman lain akan ikut menjadi tumbuh subur. Pohon kelor dapat digunakan untuk penahan longsor, konservasi tanah dan terasering. Dengan demikian pada musim hujan walau dalam jumlah paling minimal, jatuhan air hujan akan dapat ditahan oleh sistem akar kelor, dan pada musim kemarau “tabungan” air sekitar akar kelor akan menjadi sumber air bagi tanaman lain. Juga karena sistem akar kelor cukup rapat bencana longsor jarang terjadi (Prihandana dan Handoko, 2008). Kemampuan hidup tanaman kelor pada lingkungan yang kering dan lahan kritis sangat potensial digunakan untuk rehabilitasi lahan terdegradasi. Oleh karena itu dalam rangka rehabilitasi lahan terdegradasi dan pembangunan hutan di sektor hulu DAS maka tanaman kelor dapat dikembangkan sebagai jenis alternatif. Pembangunan hutan tanaman khususnya hutan rakyat kelor akan memberikan fungsi ekonomi dan ekologi yang perlu disosialisakan terhadap masyarakat sekitar hutan. Hal ini tentunya memerlukan dukungan pemerintah dalam hal dukungan IPTEK dan kebijakan yang mengarah pada pembangunan industri biofuel untuk kepastian pemasaran hasil berupa biji kelor tersebut. 4.
Kapuk atau Randu (Ceiba pentandra)
Pada tahun 1930-an, Indonesia adalah pemasok terbesar kapok di dunia. Sekarang pun tumbuhan ini masih terdapat di mana-mana baik di pekarangan, jalan desa, maupun di hutan. Kandungan yang terdapat dalam biji kapuk dengan rendemen minyak 25 % dari berat biji atau 40 % dari berat daging buah + biji. Namun demikian minyaknya mengandung 10 % asam lemak siklopropenoid (bereaksi positif terhadap uji Halphen) yang mudah berpolimerisasi diduga bisa menyebabkan tersumbatnya injektor mesin diesel. Peningkatan nilai guna/ekonomi serat kapok akan sangat meningkatkan nilai tambah yang bisa di peroleh. Kandungan minyak randu kapuk tidak terlalu besar, hanya 18-25 % dari berat biji atau sekitar 40 % berat daging biji. Minyak tersebut memiliki kerapatan 0,917 kg per liter dengan bilangan iodine 88 dan bilangan fiksasi 181. Selain itu minyak kapuk mengandung asam lemak tak jenuh sekitar 71,95% lebih tinggi daripada minyak kelapa. Minyak kapuk diperoleh dengan memeras biji kapuk yang disebut klenteng. Setiap gelondong kapuk mengandung 26% klenteng atau 100 kg gelondong kapuk akan dihasilkan 26 kg klenteng. Minyak kapuk berpotensi untuk dijadikan subsitusi minyak solar (dibuat biodiesel). Randu bukan merupakan tanaman penghasil minyak yang bisa dimakan. Minyak kapuk mampu menjadi biodiesel bertitik tuang rendah. Bahan ini diminati di negara-negara yang memiliki musim dingin, artinya biodiesel kapuk berpotensi eksport. Saat ini harga biji kapuk dijual senilai Rp 500 per kg. Jika per hektar bisa dihasilkan 400 kg biji kapuk,diperoleh tambahan pendapatan bagi masyarakat sebesar Rp 200.000 (Prihandana dan Handoko, 2008). Pengembangan tanaman randu di hutan rakyat sangat memungkinkan karena jenis ini mudah tumbuh dan manfaatnya sudah banyak diketahui oleh masyarakat. Dukungan pemerintah sangat diperlukan agar jenis ini bisa berkembang di masyarakat dengan memberikan kepastian pemasaran terhadap biji dan kapas yang dihasilkan. Pemberian modal usaha dapat dilakukan minimal dengan ketersediaan bibit randu yang berkualitas sehingga mendorong masayarakat untuk menanamnya. Penelitian tentang teknik silvikultur dan persyaratan tumbuh randu perlu dilakukan untuk memberikan rekomendasi pada petani hutan rakyat agar penanaman dapat memberikan hasil yang optimal. 5.
Kemiri (Aleurites moluccana)
Kemiri yang masuk ke Indonesia berasal dari Malaysia, kemiri sendiri berasal dari kepulauan Pasifik dan Asia Tenggara. Tanaman ini begitu cepat menyebar ke daerah lain karena bisa tumbuh dengan baik dimana saja. Daerah penyebaran kemiri meliputi kepulauan Fiji dilautan pasifik sampai Afrika. Sebelumnya, banyak orang mengira bahwa kemiri hanya bisa tumbuh di daerah bercurah hujan tinggi. Padahal pohon ini bisa tumbuh di tanah berpasir atau tanah berkapur sekalipun (Prihandana dan Handoko, 2008). Kemiri ditanam dengan biji. Pohon kemiri tumbuh dengan cepat walaupun tak secepat pohon akasia dan lamtoro gung (Leucena leucocephala). Tajuk batangnya cukup rimbun, sehingga tanaman bisa mencapai ketinggian antara 20-40 meter ini baik untuk pelindung dan penjaga keawetan tanah. Untuk produksi komersial, kemiri biasanya ditanam dengan kepadatan 300 tanaman per hektar dan tiap tanaman bisa menghasilkan biji kemiri 35-45 kg per tahun per hektar. Dalam setahun,setiap hektar bisa dihasilkan 3000 kg minyak kemiri. Dengan kepadatan tanaman 175 tanaman per hektar,bisa dihasilkan minyak kemiri sebesar 1630-1840 kg per tahun. Untuk memetik buah kemiri tak perlu repot-repot memanjatnya. Buah-buah kemiri tua akan berjatuhan sendiri tinggal memungut di bawah pohon. Di Sopeng, kemiri terkonsentrasi di dataran tinggi dan sepanjang daerah aliran sungai. Dengan demikian selain bernilai komersial juga bernilai strategis bagi pembangunan dan kelestarian sumber daya alam terutama pengendalian erosi dan patroli debit air sungai untuk irigasi (Prihandana dan Handoko, 2008). Menurut Suharto (2003) kemiri merupakan salah satu spesies tanaman untuk merehabilitasi lahan kritis, hutan tanaman dan hutan rakyat. Oleh karena itu pembangunan hutan rakyat di hulu DAS dapat dilakukan dengan jenis kemiri agar memberi manfaat ekonomi dan lingkungan. Pembangunan hutan rakyat dengan mengarahkan pada tanaman multiguna seperti kemiri merupakan alternatif untuk peningkatan pendapatan masyarakat. Dengan kemampuan tumbuh cepat sehingga penutupan lahan Prosiding Kupang 12 November 2007
55
oleh tajuk berjalan cepat untuk menjaga kelestarian tanah dan air. Hulu DAS yang rata-rata di daerah dataran tinggi dengan kondisi lahan yang terdegradasi sangat potensial ditanami kemiri karena persyaratan tumbuh yang sesuai. Kemampuan tanaman kemiri tumbuh di tanah berpasir sehingga memungkinkan untuk rehabilitasi lahan tersebut. 6.
Kepik (Pongamia pinnata)
Pohon kepik tumbuh cepat, bisa mencapai ketinggian 8 m dalam 4-5 tahun. Keistimewaan tanaman ini adalah tahan air asin, bisa tumbuh berulang-ulang dari tunggul sisa penebangan dan sangat mampu memanfaatkan nitrogen udara. Tanaman ini terkenal sebagai sumber kayu bakar dan minyak lemak non pangan untuk bahan bakar lampu. Nilai kalor kayunya lumayan besar, yaitu 19,2 MJ/kg. Minyak kepik terdapat dalam biji dengan kandungan antara 27-39 %. Pada rotasi 5-7 tahun, perkebunan kepik tiap tahunnya bisa menghasilkan 5 ton per hektar kayu bakar ditambah 2 ton per hektar minyak lemak. Biji dan minyak kepik mentah mengandung asam amino kompleks, furanoflavon, pongapin, kanjon, pongalabron dan diketon. Senyawa ini dapat diambil dari biji maupun minyak lewat ekstraksi dengan alkohol dan berpotensi untuk dijadikan insektisida serta obat-obatan. Minyak kepik yang bebas dari senyawa-senyawa tersebut (angka iodium 75-96, angka penyabunan 177-193) merupakan bahan mentah yang baik untuk pembuatan biodiesel (Prihandana dan Handoko, 2008). Dengan ketersedaian lahan sepanjang pantai yang cukup luas memungkinkan untuk direhabilitasi dengan pemilihan jenis yang dapat tumbuh dengan baik pada habitat tersebut. Tanaman kepik tahan pada daerah yang mengandung air asin sehingga potensial untuk dikembangkan di daerah pantai. Dengan kemampuan trubusan maka dalam teknik permudaan dapat digunakan sistem silvikultur tebang habis permudaan trubusan sehingga tidak mengganggu penggunaan biji sebagai bahan baku biofuel. Pemangkasan terhadap trubusan yang ada juga dapat dilakukan agar dapat dihasilkan tanaman penghasil buah yang tidak terlalu tinggi. Kemampuan tumbuh dengan cepat sangat potensial sebagai jenis yang dikembangkan dalam hutan tanaman khususnya hutan rakyat. Hal ini dikarenakan jenis tanaman yang tumbuh cepat biasanya relatif lebih disukai oleh masyarakat petani hutan rakyat. 7.
Aren (Arenga pinnata) 0
0
Wilayah penyebaran aren terletak antara garis lintang 20 LU-11 LS, yaitu meliputi India, Srilanka, Bangladesh, Burma, Thailand, Laos, Malaysia, Indonesia, Vietnam, Hawai, Filipina, Guam dan berbagai pulau sekitar pasifik. Di Indonesia tanaman aren banyak terdapat dan tersebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, khususnya di daerah perbukitan, kawasan pegunungan dan lembah. Dari identifikasi yang telah dilakukan, setidaknya sentra pertanaman aren ditemukan di 14 provinsi dengan perkiraan total areal seluas 60.482 ha di NAD, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, dan Papua (Prihandana dan Handoko, 2008). Hampir semua bagian atau produk tanaman ini dapat dimanfaatkan dan memiliki nilai ekonomi. Bagian-bagian pohon aren yang dimanfaatkan, misalnya akar (untuk obat tradisonal), batang (untuk berbagai peralatan), ijuk untuk keperluan bangunan, daun (untuk pembungkus dan merokok). Demikian pula hasil produknya seperti buah dan nira dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan dan minuman. Bahkan, seiring naiknya harga BBM fosil, nira aren dilirik menjadi bahan potensial untuk memproduksi bioetanol (Prihandana dan Handoko, 2008). Saat ini telah tercatat empat jenis pohon yan termasuk kelompok aren, yaitu Arenga pinnata (Wurmb) Merr, Arenga undulatifolia Bree, Arenga westerhoutii Grift dan Arenga ambcang Becc. Tanaman aren tidak membutuhkan kondisi tanah yang khusus, sehingga dapat tumbuh pada tanah-tanah liat, berlumpur dan berpasir, tetapi aren tidak tahan pada tanah yang kadar asamnya tinggi (pH tanah terlalu asam). Aren dapat tumbuh pada ketinggian 9-2000 m dpl. Namun lahan yang paling baik untuk pertumbuhan pada ketinggian 500-800 m dpl dengan curah hujan lebih dari 1200 setahun atau pada iklim sedang dan basah. Menurut Schmidt dan Ferguson (1951) dalam Prihandana dan Handoko (2008) tanaman aren juga tidak memerlukan pemeliharaan intensif. Bahkan, sejauh ini belum ditemukan adanya hama dan penyakit yang berarti. Pohon aren dengan perakaran yang rapat, dalam dan melebar akan sangat bermanfaat untuk mencegah terjadinya erosi tanah. Demikian pula dengan daun yang yang cukup lebat dan batang yang tertutup dengan lapisan ijuk efektif menahan turunnya air hujan yang langsung ke permukaan tanah. Pohon aren dapat tumbuh pada tebing-tebing sehingga akan sangat baik sebagai pohon pencegah erosi dan longsor. Di Kalimantan Timur, aren bahkan berfungsi sebagai mintakat penyangga api untuk melokalisir dan mencegah kebakaran hutan. Sebenarnya Indonesia memiliki komoditas yang amat tinggi produktivitasnya sebagai bahan baku bioetanol, yakni nira dari pohon aren. Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi melaporkan, produktivitas bioetanol dari pohon aren dapat mencapai 40000 liter per hektar per tahun (Prihandana dan Handoko, 2008). Tanaman aren (Arenga pinnata (Wurmb.) Merr) sangat bermanfaat bagi kehidupan masyarakat pedesaan, karena hampir semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan. Hasil utama komoditi ini adalah nira,tepung dan ijuk. Sedangkan batang luar, lidi, endosperm dan akar adalah bagian yang mempunyai manfaat sampingan untuk mendukung kehidupan sehari-hari. Selain itu, secara ekologis tanaman aren dapat berfungsi sebagai pendukung habitat dari fauna tertentu dan dapat mendukung program pengawetan tanah dan air (Pratiwi dan Alrasjid, 1989). Tanaman aren sangat potensial dikembangkan di hutan rakyat dalam usaha peningkatan kesejahteraan petani dan kualitas lingkungan. Hutan rakyat memerlukan jenis tanaman yang dapat tumbuh pada lahan terdegradasi sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan tersebut. Oleh karena itu rehabilitasi lahan pada hutan rakyat di daerah-daerah kritis dengan kemiringan tinggi dapat dilakukan dengan penanaman jenis aren. Pembangunan hutan di daerah hulu DAS juga memungkinkan untuk menggunakan jenis tanaman aren karena kemampuan tumbuh pada lahan kritis dan berkontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar hutan. Teknik budidaya aren juga sudah banyak dikuasai dengan hasil penelitian yang telah dihasilkan sehingga tinggal mensosialisakan pada petani hutan rakyat.
56
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Dengan kebijakan pemerintah dan dukungan IPTEK yang ada sangat memungkinkan untuk mengimplementasikan pembangunan hutan rakyat dengan jenis aren.
VII. PENUTUP 1. Pengembangan energi alternatif ini hendaknya diprogam seoptimal mungkin dengan melakukan kerjasama antar lembaga baik pemerintah maupun swasta sehingga semua dapat memberi kontribusi sesuai dengan kapasitasnya. Antisipasi terhadap kerusakan hutan dan melimpahnya produksi sehingga harga murah yang dapat merugikan petani hutan dapat dilakukan dengan manajemen pengembangan BBN secara komprehensif. 2. Dukungan teknologi yang mudah, murah dan aplikatif sangat diperlukan untuk membantu petani hutan rakyat membangun hutan tanaman BBN dan membangun industri BBN skala pedesaan. 3. Masyarakat dapat berperan di sektor hulu maupun hilir sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya. 4. Terdapat banyak tanaman kehutanan yang dapat dijadikan BBN diantaranya adalah nyamplung, kemiri, kepik, kelor, aren, kelapa, apokat dan lain-lain 5. Permasalahan dalam pembangunan hutan tanaman nyamplung adalah belum dikuasainya teknik perbanyakan vegetatif dan generatif, teknik pemanenan, teknik penanaman di lapangan dan teknik pengupasan benih.
DAFTAR PUSTAKA Dahlan, E dan Gusmailina, 2006. Ranting Warta Hasil Hutan Vo.,1 No.1. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor Heryati, Y. 2007. Nyamplung (Calophyllum spp.). National Coordinators APFORGEN (Asia Pacipic Forest Genetic) Resources Programme. Leflet. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Tanaman. Kompas, 2008. BBN Tidak Digarap Serius. Harus Ada Insentif dan Subsidi Untuk BBN. Kompas 21 Mei 2008. Jakarta. Leksono, B. 2008. Diskusi Identifikasi Masalah Pengembangan Jenis Nyamplung di Pangandaran. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Ciamis. LIPI, 1991. Buku Panduan Air dan Sanitasi. Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI bekerjasama dengan Swiss Development Cooperation, Jakarta. Murdiyarso, D. 2005. CDM : Mekanisme Pembangunan Bersih. Buku Kompas. Jakarta Natawijaya, D. 2008. Peningkatan Produktivitas Lahan Hutan Rakyat Berbasis Tanaman Sumber Energi. Seminar : Pembangunan Hutan Rakyat Melalui Optimalisasi Hasil dan Diversifikasi Produk Tanaman Multiguna dalam Menunjang Kemandirian Energi dan Ekonomi. Ciamis, 11 Desember 2008. Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Noor R Y, M. Khazali, I.N.N. Suryadipura. 1999. Panduan Pengenalan Mangrove Di Indonesia. Wetland Internasional Indonesia Progam. Bogor. Nugroho, B. 2008. Jasa Lingkungan Sumber Daya Hutan : Harapan Manfaat Ekonomi dan Tantangan Kelembagaan. Makalah Disampaikan Dalam Sosialisasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan Sumberdaya Hutan Tingkat Jawa Barat. Subang, 11-12 Desember 2008. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Bandung. Pratiwi dan H. Alrasjid, 1989. Teknik Budidaya Aren. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan. Bogor. Prihandana. R dan R. Hendroko, 2008. Energi Hijau. Pilihan Bijak Menuju Negeri Mandiri Energi. Penebar Swadaya. Jakarta. Saragih, S. 2008. Krisis Tiga Dekade. Kacaunya Tatanan Ekonomi Dunia. Kompas 15 juni 2008. Jakarta. Silaban, T.A. 2008. Biofuel Di Indonesia Jalan Di Tempat. www.wordpress.com Tanggal akses 8 Juni 2008. Soerawidjaja, T.H. 2005. Potensi Sumber Daya Hayati Indonesia Dalam Menghasilkan Bahan Bakar Hayati BBM. Lokakarya : “Pengembangan dan Pemanfaatan Sumber Energi Alternatif Untuk Keberlanjutan Industri Perkebunan dan Kesejahteraan Masyarakat”. Hotel Horrison 28 November 2005. Pemerintah Daerah Propinsi Jawa Barat. Bandung. Soerianegara I and R.H.M.I. Lemmens (ed.). 1996. Timber trees : Major commercial timbers. PROSEABogor. Suharto. E. 2003. Struktur Biji, Sifat Fisik Biji dan Karakteristik Benih Kemiri (Aleuritas moluccana Willd). Jurnal Akta Agroasia. Vol 6. No 1 Hlm 23-29. Bengkulu. Sukarno. 2002. Meningkatkan Jamu dan Fitofarmako Menjadi Obat Pilihan. Prosiding Simposium Standardisasi Jamu dan Fitofarmaka. ITB Bandung. 26 September 2002. Bandung. Tim Nasional Pengembangan BBN. 2007. Bahan Bakar Nabati. Penebar Swadaya. Jakarta. Uripno, B. 2007. Mari Kita Dukung Pendayagunaan Sumber Energi Terbaru. Majalah Kehutanan Indonesia. Pusat Informasi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Prosiding Kupang 12 November 2007
57
KAJIAN SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAKYAT30 Oleh : 31 Aris Sudomo
ABSTRAK Kontribusi hutan rakyat dalam pembangunan kehutanan tidak bisa dikesampingkan terlepas dari permasalahan produktivitasnya yang masih rendah sehingga belum bisa secara signifikan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keterbatasan pengetahuan petani dalam sistem dan teknik silvikultur hutan rakyat menyebabkan pengelolaan hutan rakyat belum terencana dan dilaksanakan secara profesional. Sistem silvikultur hutan rakyat yang merupakan Standart Operational Procedure (SOP) dari awal penanaman sampai pemanenan diperlukan agar produktivitas hutan rakyat dapat optimal. Standart Opetional Procedure yang diberikan hendaknya murah dan mudah diaplikasikan oleh petani hutan rakyat tetapi tetap dapat meningkatkan produktifitas hutan rakyat secara signifikan. Sistem silvikultur Tebang Pilih Permudaan Campuran (TPPC) merupakan alternatif yang dapat diaplikasikan dalam kondisi hutan rakyat campuran yang spesifik pada setiap daerah. Penebangan hendaknya merupakan bagian dari sistem silvikultur yang memperhatikan aspek ekonomi, ekologi dan teknik permudaaan. Permudaan campuran merupakan metode memanfaatkan anakan alam dengan pendistribusian secara merata diperkaya dengan permudaan buatan dengan benih unggul yang diikuti dengan pemeliharaan terhadap permudaan alam dan buatan tersebut. Kata kunci : Hutan rakyat, sistem silvikultur, Tebang Pilih Permudaan Campuran.
I.
PENDAHULUAN
Pembangunan hutan rakyat dan rehabilitasi lahan terdegradasi mempunyai beberapa aspek tujuan yaitu aspek peningkatan ekonomi, ekologi dan sosial. Aspek ekonomi diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, sedangkan aspek ekologi diharapkan dengan establishnya hutan rakyat dapat meningkatkan kelestarian lingkungan. Ketertarikan masyarakat terhadap usaha hutan rakyat yang dapat memberi keuntungan ekonomi dan ekologi tersebut di harapkan dapat menimbulkan tindakan sosial untuk membangun hutan rakyat. Keberadaan hutan rakyat pada lahan terdegradasi selama ini kebanyakan dibiarkan saja tanpa pengelolaan intensif atau kaidah-kaidah silvikultur sehingga produktivitasnya masih rendah. Dengan tanpa penerapan kaidah-kaidah silvikultur mengakibatkan kualitas kayu yang dihasilkan lebih rendah bila dibandingkan kayu dari Perum Perhutani atau hutan tanaman Indonesia. Hal ini berujung pada nilai jual kayu lebih rendah dibandingkan kayu dari hutan tanaman perhutani. Kurangnya penguasaan teknologi oleh petani menjadikan salah satu sebab sistem pengelolaan hutan rakyat lestari dengan produk berkualitas belum berjalan dengan baik. Sistem dan teknik silvikultur yang mencakup cara-cara permudaan, pemeliharaan dan pemanenan sangat diperlukan untuk mewujudkan hutan rakyat lestari. Sistem silvikultur yang banyak diaplikasikan di hutan alam, perhutani dan HTI dapat diadopsi dengan melakukan beberapa modifikasi menyesuaikan dengan struktur dan komposisi hutan rakyat yang spesifik. Pola tanam hutan rakyat campuran hampir sama dengan hutan alam tetapi mempunyai beberapa perbedaan dalam hal kerapatan tegakan, jumlah anakan alamnya, luasan, struktur dan komposisi tegakan dan pola tanam tumpangsari. Begitu pula dengan pola tanam hutan rakyat murni mirip dengan HTI tetapi mempunyai perbedaan dalam hal pola tumpangsari dengan tanaman semusim dan kerapatan tegakan. Teknologi alternatif ini tentunya menyesuaikan dengan kondisi hutan rakyat dan kearifan lokal masing-masing daerah dan merupakan usaha perbaikan dari teknologi yang telah ada dengan cara mengkombinasikannya. Sistem silvikultur dirancang sejak awal pembangunan sampai pemanenan sehingga merupakan suatu standart operational procedure untuk mewujudkan produksi hutan rakyat yang berkelanjutan. Untuk menjamin kelestarian hutan, harus ditentukan system silvikultur yang mengatur cara menebang dan permudaan yang tepat untuk setiap areal berdasarkan pertimbangan ekonomis dan ekologis yang seimbang. Pemanenan hasil hutan rakyat berupa kayu selama ini dilakukan berdasarkan tebang butuh yang merupakan kegiatan berdasarkan kebutuhan ekonomi pada suatu waktu dan belum merupakan kegiatan atas pertimbangan keseluruhan system silvikultur hutan rakyat. Perencanaan serta pelaksanaan pemanenan kayu belum dipergunakan dengan baik dan benar mengakibatkan belum terintegasinya antara kegiatan pemanenan kayu dengan system silvikutur secara keseluruhan. Pengelolaan hutan rakyat belum dilakukan secara professional dengan belum diaplikasikannya kaidah-kaidah silvikultur secara baik dan benar sehingga system silvikultur pada hutan rakyat belum menghasilkan produktivitas yang optimal. Menurut Mindawati dkk. (2007), produktivitas hutan rakyat yang masih rendah atau belum optimal salah satunya disebabkan oleh keterbatasan masyarakat dalam pengetahuan teknik silvikultur seperti pemilihan jenis pohon, penggunaan bibit unggul, pengaturan jarak tanam dan pemeliharaan tanaman, sehingga pertumbuhan pohon dan mutu tegakan yang dihasilkan kurang baik serta luas pemilikan lahan yang relative sempit dan lokasi yang terpencar menyulitkan pengelolaan dalam satu kesatuan manajemen. Semakin marjinal suatu lahan maka semakin berpeluang dijadikan lokasi pengembangan hutan rakyat. Dengan lokasi lahan yang kebanyakan telah terdegradasi maka pada areal tersebut kurang terdapat permudaan oleh karena itu diperlukan tindakan silvikultur untuk rehabilitasi berupa penanaman pengkayaan (enrichment planting). Tujuan tanam pengkayaan hutan rakyat yang kebanyakan terdapat di lahan terdegradasi adalah untuk memperbaiki dan meningkatkan nilai produksi kayu komersial, produksi non kayu, fungsi hutan, kesuburan tanah dan lain-lain. Meskipun demikian tidak semua hutan rakyat tidak terdapat anakan alam berdasarkan pengamatan di Hutan rakyat Manonjaya Kabupaten Ciamis 30
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007
31
Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Ciamis
58
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
ditemukan sebaran anakan alam melimpah dengan distribusi tidak merata sehingga tidak semua areal tercover oleh tanaman. Pada hutan rakyat dengan keberadaan anakan alam melimpah tumbuh tersebar di bawah tegakan tentunya potensi bagi pembangunan hutan rakyat dengan teknik cabutan sebagai materi pengkayaan untuk mengoptimalkan penggunaan lahan yang masih kosong. Jika materi pengkayaan dari anakan alam kurang atau tidak ada maka dapat menggunakan permudaan buatan dengan mendatangkan benih unggul. Pengaturan anakan alam dan permudaan buatan tersebut dapat mengoptimalkan areal hutan rakyat yang rata-rata sempit yaitu kurang dari 1 ha sehingga dapat tercapai tegakan yang relatif teratur. Pemeliharaan terhadap permudaan alam tersebut dapat dilakukan petani agar anakan alam dapat tumbuh dengan baik. Sistem silvikultur hutan rakyat dengan memanfaatkan anakan alam yang telah tumbuh di sekitar lokasi pengembangan merupakan metode yang murah dan relatif mudah diaplikasikan oleh petani. Teknik cabutan untuk pengkayaan dan diikuti dengan pemeliharaan permudaan alam merupakan teknologi alternatif bagi pembangunan hutan rakyat, khususnya daerah yang penyebaran anakan alamnya melimpah. Kajian sistem silvikultur hutan rakyat campuran ini bertujuan untuk mendapatkan teknologi pengelolaan yang murah dan mudah menyesuaikan dengan setiap kondisi hutan rakyat, sehingga dapat meningkatkan produktivitas hutan rakyat
II.
DESKRIPSI HUTAN RAKYAT
Pola tanam hutan rakyat dapat digolongkan kedalam tiga bentuk yaitu : pola tanam hutan rakyat murni, pola tanam campuran dan pola tanam dengan sistem agroforestry. Pada pola tanam hutan rakyat murni, lahan hanya ditanami dengan satu jenis tanaman berkayu (monokultur). Pola tanam monokultur mempunyai keuntungan dalam hal pengelolaannya lebih mudah karena homogen dan setiap individu pohon perlakuannya relatif sama. Menurut Suryo (1999), keuntungan tegakan murni adalah bahwa keseluruhan kawasan hutan dapat diperuntukan bagi jenis yang paling bernilai sesuai dengan kondisi tempat tumbuh, pengelolaannya relatif sederhana dan murah, biaya pemanenan hasil dan pemasarannya juga lebih murah dan cara pemeliharaan juga lebih sederhana. Sedangkan kelemahannya antara lain adalah bahwa tegakan murni kurang fleksibel dalam memenuhi perubahan permintaan pasar, nilai estetis dan rekreasi umumnya kurang menarik, kurang mendukung kehidupan satwa liar yang beragam, dan peka terhadap berbagai jenis gangguan seperti hama dan penyakit. Pola tanam monokultur juga menyebabkan terjadinya degradasi status hara yang terlalu ekstrim akibat penggunaan salah satu unsur lebih tinggi oleh tanaman yang sejenis. Monokultur juga menghasilkan produk tunggal sehingga mengakibatkan tidak ada diversifikasi produk. Hal ini dapat diatasi dengan pemilihan satu komoditi yang bisa dimanfaatkan untuk berbagai produk akhir, misalnya pemilihan jenis dengan produk kayu yang dihasilkan bisa digunakan untuk kayu pertukangan dan kayu sebagai bahan baku pulp. Tegakan hutan rakyat ada yang seumur dan tidak seumur, keuntungan tegakan seumur adalah dalam pelaksanaan kegiatan penanaman, pemeliharaan dan pemungutan hasilnya yang sederhana, sehingga memungkinkan untuk penggunaan alat-alat besar dengan tingkat efisiensi yang lebih tinggi dan biaya yang lebih murah, pemendekan daur dengan melalui pemeliharaan yang intensif dan penggunaan jenis unggul, tingkat pertumbuhannya lebih seragam, dan tebang antara lebih mudah dilaksanakan. Beberapa kelemahan tegakan seumur antara lain adalah perlunya dilakukan tebangan antara/ penjarangan dan pemeliharaan yang terus menerus untuk mendapatkan tegakan ahkir yang baik, sehingga perlu ada pengeluaran dana yang kontinyu, serta nilai estetis dan rekreasi yang umumnya lebih rendah. Hutan tanaman campuran adalah suatu tegakan hutan tanaman dimana tanaman pokoknya terdiri dari dua atau lebih jenis pohon komersial baik berdaur sama maupun beda daur yang ditanam pada satu hamparan dengan luasan tertentu berfungsi sebagai hutan produksi (Kosasih dkk., 2007). Hutan campuran dengan keanekaragaman genetik yang lebih tinggi menyebabkan tanaman relatif lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit. Pertimbangan ekonomis hutan rakyat campuran mempunyai ketahanan dan kelenturan lebih tinggi terhadap pasar karena adanya diversifikasi komoditi dan hasil bertahap yang berkesinambungan (Mindawati dkk., 2007). Pola tanam hutan rakyat di kabupaten Ciamis kebanyakan campuran, hal ini tentunya memerlukan sistem silvikultur khusus agar dapat terjaga kelestariannya. Optimalisasi lahan untuk mendatangkan keuntungan secara ekologi dan ekonomi dapat dilakukan petani dengan pola tanam agroforestry. Pola tanam ini sangat cocok untuk wilayah-wilayah berpenduduk padat, baik ditinjau dari fungsi ekonomi (pendapatan masyarakat), fungsi sosial maupun fungsi lingkungan. Setiap pola tanam tentunya mempunyai sistem silvikultur yang berbeda, beberapa hasil penelitian(Widiarti, 2000; Prabowo, 2000; Attar 2000; Suryandari dkk., 2003 dalam Mindawati dkk., 2007) praktek praktek sistem silvikultur yang dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia dalam rangka pengelolaan hutan rakyat adalah : Sistem Tebang Habis Trubusan (THT), Sistem Tebang Habis Permudaan Buatan (THPB), sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Alam (TPPA) dan Sistem Tebang Pilih dengan Permudaan Buatan (TPPB). Penelitian Prabowo (2000) menunjukkan bahwa sistem silvikultur hutan rakyat di Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah dikategorikan ke dalam sistem Tebang Pilih Permudaan Alam (TPPA). Petani hutan rakyat hanya akan menebang tanaman di lahan hutannya bila tanaman benarbenar telah siap tebang dengan beberapa kriteria (tebang pilih) , antara lain adalah pohon yang akan ditebang batangnya diperkirakan diameternya sekitar 30 cm. Setelah penebangan petani hutan rakyat tidak melakukan penanaman dengan bibit buatan melainkan dengan permudaan alam yang jumlahnya cukup melimpah. Penelitian Waskito (2000) menyatakan bahwa sistem silvikultur hutan rakyat di Desa Gunungsari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah adalah Sistem Tebang Pilih Permudaan Alam (TPPA), sedangkan Mindawati dkk. (2007) menunjukkan bahwa masyarakat membiarkan areal bekas tebangan dengan harapan akan tumbuh anakan secara alami dan trubusan yang muncul dari tunggak bekas tebangan (Mindawati dkk., 2007).
Prosiding Kupang 12 November 2007
59
III. SISTEM SILVIKULTUR HUTAN RAKYAT LESTARI Permudaan merupakan suatu proses peremajaan kembali dari pohon-pohon penyusun tegakan yang telah mati secara alami atau dipanen oleh manusia. Ada dua jenis permudaan yaitu permudaan alam dan permudaan buatan. Jenis permudaan pada hutan rakyat campuran merupakan perpaduan dari permudaan alami dan buatan atau permudaan campuran. Permudaan alam adalah suatu proses peremajaan kembali dari suatu tegakan hutan yang terjadi secara alami. Sedangkan permudaan buatan adalah suatu proses peremajaan kembali dari suatu tegakan yang dilakukan oleh manusia. Keuntungan dari permudaan buatan adalah kemungkinan untuk mengatur kerapatan, jarak tanam komposisi jenis dan penggunaan bibit unggul secara lebih tepat dibandingkan dengan metode permudaan lain (Suryo, 1999). Daniel dkk. (1995) mengemukakan bahwa dalam setiap kasus maka strategi penghutanan kembali mencakup 4 unsur, yaitu : identifikasi tujuan pengelolaan, identifikasi kendala umum, analisis kondisi tegakan dan pengaturan perlakuan. Sistem silvikultur semestinya telah direncanakan sebelum pembangunan hutan rakyat terwujud sehingga merupakan rejim sejak penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Kenyataannya dengan kondisi hutan rakyat yang spesifik maka penentuan system silvikultur ditentukan pada saat hutan rakyat telah establish dan akan menyesuaikan dengan kondisi hutan rakyat di masing-masing daerah. Oleh karena itu diperlukan analisis komprehensif terhadap kondisi hutan rakyat yang ada sebelum keputusan system silvikultur ditentukan. Kesalahan dalam penentuan sistem silvikultur akan mengakibatkan kegagalan dalam pembangunan hutan rakyat lestari. Diperlukan beberapa pertimbangan yang dapat diambil untuk menentukan sistem silvikultur yang tepat pada setiap usaha pembangunan hutan rakyat sehingga produktivitas dapat berkelanjutan. Beberapa pertimbangan dalam penentuan sistem silvikultur dalam pembangunan hutan rakyat diantaranya adalah (a) pola tanam hutan rakyat, (b) jumlah sebaran anakan alam di bawah tegakan dan kemampuan membentuk trubusan, (c) struktur dan komposisi tegakan serta (d) kerapatan tegakan hutan rakyat. A.
Hutan Rakyat Monokultur
Pada hutan rakyat monokultur seumur dapat diaplikasikan sistem tebang habis permudaan buatan (THPB) dan bila anakan alam cukup melimpah dapat dimanfaatkan dengan teknik cabutan dan pemeliharaan permudaan alam. Anakan alam tidak semuanya dalam keadaan yang baik karena rusak pada saat penebangan induknya dan anakan alam kebanyakan mengumpul rapat dengan distribusi tidak merata, oleh karena itu cabutan terhadap anakan alam tersebut dilakukan sebelum penebangan agar dapat digunakan sebagai materi permudaan setelah penebangan. Pemeliharaan permudaan alam dilakukan agar pertumbuhan lebih cepat dan biaya yang dikeluarkan dari sistem permudaan ini lebih murah dan relative lebih aplikatif. Keberadaan anakan alam tergantung pada kerapatan tegakan dan jenis tanaman, bila kerapatan tegakan tidak memungkinkan masuknya cahaya ke lantai hutan maka kemungkinan tidak terdapat banyak anakan alam yang tumbuh kecuali beberapa jenis pohon yang tolerant dan semi tolerant sehingga dapat tumbuh dibawah tegakan. Oleh karena itu dalam pembangunan hutan rakyat semestinya sudah direncanakan sejak awal dalam pemilihan jenis, pengaturan jarak tanam/ kerapatan tegakan, pemeliharaan dan sistem silvikultur yang akan diaplikasikan. Sistem permudaan campuran yang merupakan perpaduaan permudaan alam dan permudaan buatan dapat dilakukan jika anakan alam yang ada tidak mencukupi sehingga diperlukan tanam pengkayaan dengan bibit unggul dari luar. Pada hutan rakyat monokultur yang tidak seumur dapat diaplikasikan tebang pilih dengan permudaan alam, buatan atau campuran menyesuaikan dengan jumlah anakan alam dan kerapatan tegakan. Penebangan dilakukan terhadap pohon berdiameter minimal 30 cm sehingga telah mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kerusakan terhadap pohon-pohon dan permukaan sekitarnya dapat dihindarkan, meskipun bila dilakukan dengan hati-hati dapat diperkecil. Permudaan campuran adalah memadukan permudaan alam dan pengkayaan areal kosong dengan materi permudaan buatan. Anakan alam yang melimpah dan tidak terdistribusi merata dapat diatur dengan teknik cabutan lalu di kembalikan keareal sebagai materi pengkayaan. Apabila jumlah anakan alam tidak cukup untuk materi permudaan dapat diperkaya dari permudaan buatan dengan mendatangkan bibit unggul dari luar. Kerapatan tegakan juga mempengaruhi untuk menentukan perlunya materi pengkayaan bibit dari luar, apabila tegakan sudah cukup rapat dengan jumlah anakan cukup banyak maka diperlukan penjarangan dan pengaturan ruang, sehingga memungkinkan untuk pertumbuhan anakan alam. Penjarangan diterapkan pada pohon yang telah bernilai ekonomi minimal kayu bakar atau pohon yang secara fisiologi tidak bisa tumbuh dengan baik kedepannya. B.
Hutan Rakyat Campuran
Pola tanam hutan rakyat campuran dengan beberapa kelas umur merupakan tipe yang paling sering ditemui, terutama di daerah Kab. Ciamis. Pertimbangan jumlah anakan dan kerapatan tegakan yang berbeda-beda menyebabkan system silvikultur juga berbeda. Sistem silvikultur tebang pilih dengan permudaan buatan, permudaan alam atau permudaan campuran merupakan alternatif yang sesuai untuk diterapkan. Permudaan buatan diaplikasikan apabila jumlah anakan alam terbatas sehingga diperlukan pembuatan bibit unggul dari luar. Penanaman dapat dilakukan pada spot-spot yang masih kosong dan memungkinkan bibit dapat tumbuh dengan baik. Pemeliharaan terhadap permudaan buatan ini diperlukan agar pertumbuhan tidak terhambat. Pembebasan cabang-cabang pohon disekitarnya yang menaungi dapat dilakukan dengan tanpa mengganggu pertumbuhan tegakan yang telah ada. Pertimbangan untuk menentukan sistem permudaan berdasarkan ketersediaan anakan alam dan kerapatan tegakan tinggal. Areal yang masih kosong dengan keterbatasan anakan alam maka perlu tanam pengkayaan dengan permudaan buatan. Jika terdapat anakan alam yang banyak maka dapat dilakukan pengaturan kerapatan anakan alam dengan teknik cabutan untuk tanam pengkayaan pada spot-spot yang masih kosong sehingga dapat mengoptimalkan lahan hutan rakyat. Permudaan campuran
60
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
merupakan perpaduan dari permudaan alam dan permudaan buatan sehingga terdapat tegakan yang dapat mengoptimalkan lahan hutan rakyat yang relatif sempit (kurang dari 1 Ha). Pada hutan alam bekas tebangan sistem silvikultur dilakukan dengan tanaman pengkayaan teknik tanam jalur dengan lebar 3 m dan jarak antar jalur 25 m (Setiadi, 2003). Hal ini tentunya tidak dapat sepenuhnya diterapkan pada hutan rakyat karena kerapatan dan luasan yang berbeda. Modifikasi terhadap teknik pengkayaan tanam jalur dapat dilakukan dengan menyesuaikan kondisi hutan rakyat campuran yang akan ditentukan system silvikulturnya. Pembuatan jalur menyesuiakan dengan kerapatan tegakan yang ada sehingga hanya pada areal-areal yang memang kerapatan rendah dapat dibuat jalur untuk tanam pengkayaan. Pembuatan jalur pada areal yang kerapatan tegakannnya tinggi akan merusak pohon-pohon yang telah survive sehingga banyak merugikan karena tegakan yang hilang. Pembuatan jalur untuk tanam pengkayaan juga tidak harus lurus tetapi bisa menyesuaikan dengan kerapatan tegakan tersebut. Pembuatan jalur berbelok tentunya lebih menyulitkan, oleh karena itu pembukaan lahan pada spot-spot yang kosong untuk tanam pengkayaan akan lebih efektif dan dapat dilakukan karena luasan hutan rakyat yang rata-rata kurang dari 1 ha. Pembukaan lahan secara melingkar pada spot-spot yang relatif terbuka dapat dilakukan untuk lokasi tanam pengkayaan. Lebar jalur untuk penanaman yang paling sesuai untuk hutan rakyat juga menyesuaikan dengan kerapatan tegakan hutan rakyat dan perlu dilakukan penelitian tentang lebar jalur optimal dalam pengkayaan teknik tanam jalur. Oleh karena itu diperlukan lebar jalur optimal bagi tanam pengkayaan sistem jalur. Pada hutan alam/hutan produksi terbatas menurut Mohtaruddin dkk (2001) menemukan bahwa tanaman Diterocarp yang ditanam pada jalur tanam selebar 3 m lebih baik dibandingkan dengan jalur tanam selebar 5 dan 10 m dan line planting respon tanamannya lebih baik dibandingkan dengan gap planting. Berdasarkan hasil pengukuran produktivitas dan tingkat survival tanaman sampai umur 1 tahun. Maswar dkk. (2001) menyimpulkan bahwa tanaman yang ditanam dengan teknik line planting memberikan respons lebih baik dibandingan dengan gap planting. Adjers dkk. dalam Onrizal (1995) menemukan respon tanaman terbaik pad lebar jalur tanam 2 m, dibandingkan dengan 0, 1 dan 3 m yang dilanjutkan dengan pemeliharaan horizontal dan mengabaikan pemeliharaan vertikal. Kondisi hutan rakyat yang spesifik memang mengakibatkan metodenya bersifat spesifik pula, tetapi paling tidak ada pendekatan terhadap suatu model hutan rakyat tertentu dengan pendekatan sistem silvikultur yang aplikatif, murah dan mudah dilakukan oleh masyarakat petani hutan rakyat. Beberapa jenis pohon seperti sengon, jati dan suren mempunyai kemampuan membentuk materi trubusan dari tunggul sisa tebangan, hal ini dapat dijadikan materi permudaan. Oleh karena itu pada jenis-jenis yang bisa menghasilkan trubusan tersebut system silvikultur tebang habis permudaan trubusan dapat diaplikasikan. Hasil penelitian di Desa Pabentengan Kec. Banteng Sulawesi Selatan , 3 tunggul tanaman jati cukup baik untuk menghasilkan trubusan sampai 2-4 kali dengan riap 168,53 m /ha. Sistem Silvikultur Tebang Habis Permudaan Trubusan di Desa Peloso, Kabupaten Klaten dan Desa Puncuk, Kabupaten Kediri menunjukkan bahwa tanaman sengon monokultur telah dikembangkan dengan pola kemitraan (Mindawati dkk., 2007). C.
Hutan Rakyat Agroforestry
Pola tanam agroforestry yang merupakan perpaduan penanaman pepohonan dan tanaman semusim mengakibatkan sistem silvikultur menyesuaikan dengan keberadaan tanaman semusim. Pada sistem agroforestry sebenarnya merupakan pola tanam yang lebih terencana, oleh karena itu sistem silvikulturnya dapat direncanakan sebelum pola tanam hutan rakyat agroforestry terbentuk. Pemanenan dan permudaan tanaman kayu dilakukan setelah pemanenan tanaman pertanian sehingga dapat dilakukan leluasa tanpa menimbulkan kerugian. Pada kasus agroforestry sengon dan nilam, tanaman pertanian/nilam hanya bisa ditanam sampai umur 2 tahun dikarenakan tajuk tanaman sengon telah rapat dengan jarak tanam 3 x 3 m (Sudomo dkk., 2007). Pengaturan jarak tanam yang lebih lebar diperlukan agar tanaman pertanian dapat ditanam sampai akhir daur pohon. Pemilihan jenis pohon yang bertajuk ramping juga diperlukan agar tetap memberikan ruang tumbuh bagi tanaman pertanian. Manglid dan kayu afrika dapat dijadikan alternatif komoditi agroforestry sebagai jenis pohon yang bertajuk ramping dan kayunya bernilai ekonomi tinggi.
IV. PARAMETER KEBERHASILAN SISTEM SILVIKULTUR Parameter tingkat keberhasilan suatu sistem pengelolaan hutan rakyat adalah dilihat dari tujuan yang ingin dicapai yaitu peningkatan nilai ekonomi, ekologis dan sosial budaya. Sesuai dengan strategi manajemen untuk hutan sekunder dan terdegradasi yakni harus mencakup aspek ekologi, aspek sosial budaya dan aspek ekonomi kelembagaan (ITTO, 2000). Menurut Muhdi (2005), tujuan dari system silvikultur adalah mengatur pemanfatan hutan serta meningkatkan nilai hutan baik kualitas maupun kuantitas untuk rotasi tebang berikutnya agar terbentuk tegakan hutan yang diharapkan dapat berfungsi sebagai penghasil kayu dan pemasok industri secara lestari. Untuk mencapai tujuan ini, maka tindakan silvikultur dalam hal permudaan hutannya diarahkan pada : 1. Pengaruh komposisi jenis pohon dalam hutan diharapkan dapat lebih menguntungkan ditinjau dari segi ekonomi dan ekologi 2. Pengaturan silvikultur atau kerapatan tegakan yang optimal diharapkan dapat memberikan peningkatan potensi produksi kayu bulat dari keadaan sebelumnya 3. Terjaminnya funsi hutan dalam pengawetan tanah dan air 4. Terjaminnya fungsi perlindungan hutan Sistem silvikultur hutan rakyat yang tepat adalah bagaimana meminimalkan biaya yang keluar dari kegiatan penanaman, pemeliharaan tetapi didapatkan produktivitas hasil yang maksimal tanpa mengurangi fungsi ekologis dari hutan tersebut. Aplikasi sistem silvikultur minimal dapat meningkatkan keuntungan ekonomi jika dibandingkan tidak dilakukan pengkayaan, dan terdapat batas minimal nilai Prosiding Kupang 12 November 2007
61
keuntungan ekonomi harus dicapai sebagai standart kelayakan usaha. Beberapa hasil dari kegiatan silvikultur dapat dilihat dari variable pertumbuhan riap (tinggi, diameter dan volume), ketahanan terhadap hama dan penyakit dan kualitas kayu yang dihasilkan. Tujuan kelestarian lingkungan/ekologi tercapai dapat dilihat dari perkembangan hutan tersebut mengarah pada kondisi yang lebih baik dibanding semula sehingga dapat berfungsi ekologis secara optimal. Parameter yang dapat diamati adalah kondisi tegakan, tanah, satwa, ikim mikro dan lain-lain sehingga perkembangannya bisa diketahui dan dinilai. Aspek sosial budaya dapat tercapai dilihat dari sejauh mana kontribusi kegiatan rehabilitasi terhadap kesejahteraan masyarakat lokal dan sejauh mana peningkatan akses mereka terhadap sumberdaya hutan (Onrizal, 2005).
V.
PENUTUP
Keberadaan hutan rakyat di setiap daerah mempunyai karakteristik yang spesifik, oleh karena itu sistem silvikultur yang diterapkan juga menyesuaikan karakteristik setiap hutan rakyat. Meskipun demikian dalam rangka mewujudkan hutan rakyat lestari diperlukan pendekatan sistem silvikultur yang murah dan mudah diaplikasikan petani dalam berbagai tipe hutan rakyat yang spesifik dengan pertimbangan ekonomis dan ekologis yang seimbang. Sistem silvikultur diharapkan dapat menjadi standart operational procedure (SOP) yang mudah dipahami bagi petani hutan rakyat sehingga dapat meningkatkan nilai hutan secara ekonomi, ekologi dan sosial. Penelitian lebih lanjut tentang system silvikultur yang sesuai pada berbagai tipe hutan rakyat diperlukan untuk dapat membentuk SOP yang lebih akurat. Beberapa system silvikultur pada HTI, Perhutani dan hutan alam dapat dimodifikasi menyesuaikan karakteristik hutan rakyat. Teknik dan sistem silvikultur baru semestinya tidak bertentangan dengan kearifan lokal di masing-masing daerah dan merupakan perpaduan yang sinergi yaitu saling melengkapi untuk mewujudkan hutan rakyat lestari. Usaha penyuluhan terhadap teknik dan sistem silvikultur baru hendaknya terus dilakukan sehingga masyarakat petani hutan rakyat mempunyai respons untuk mengaplikasikannya di lapangan.
DAFTAR PUSTAKA Daniel, T.W., J.A. Helms and F.S. Baker. 1995. Prinsip-Prinsip Silvikultur. Edisi Kedua. Edisi Bahasa Indonesia diterjemahkan oleh Djoko Marsono. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta ITTO. 2000. Management Strategis for Degraded and Secondary Forest. In : Guidelines for the Restoration Management and Rehabilitation of Degraded and SecondaryTropical Forest. Kosasih. Syaffari. A, B. Rina Bogidarmanti, Budi Rustaman 2007. Silvikultur Hutan Tanaman Campuran. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor Maswar, A.M., N.M. Mokhtaruddin, I.F. Majid, M.K. Yusoff Hanum, Azani A.M., dan S. Kobayashi. 2001. Evaluation on Methods For Rehabilitation Of Logged-Over Lowland Forest in Pasoh, Negeri Sembilan, Malaysia. Di Dalam: Onrizal, 2005. Tanam Pengkayaan Untuk Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan Dengan Teknik Tanam Jalur (Rehabilitation of Logged Over Forest by Enrichment Line Planting). Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara Mindawati, N. Asmanah Widiarti dan Budi Rustaman 2007. Review Hasil Penelitian Hutan Rakyat. Puslitbang Hutan Tanaman. Bogor Mokhtarudin, A.M., N.M Majid Maswar, M.K Yusoff, I.F.Hanum, A.M. Azani dan S.Kobayashi. 2001. Soil Factors Affecting Growth Of Seedling In Logged-Over Tropical Lowland Forest In Pasoh, Negeri Sembilan, Malaysia. Di Dalam : Onrizal, 2005. Tanam Pengkayaan Untuk Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan Dengan Teknik Tanam Jalur (Rehabilitation of Logged Over Forest by Enrichment Line Planting). Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara Muhdi, 2005. Pemanenan Kayu Dalam Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan Onrizal. 2005. Tanam Pengkayaan Untuk Rehabilitasi Hutan Bekas Tebangan Dengan Teknik Tanam Jalur (Rehabilitation of Logged Over Forest by Enrichment Line Planting). Fakultas Pertanian, Universitas Sumatra Utara Prabowo, S.A. 2000. Hutan Rakyat: Sistem Pengelolaan Dan Manfaat Ekonomi Kasus di Desa Sumberejo, Kabupaten Wonogiri, JawaTengah. Perannya Dalam Perekonomian Desa. P3KM. Hal 13-30. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor Setiadi, Y. 2003. Rehabilitation of Logged Over Natural Forest in Indonesia (Presentation Material). Institut Pertanian Bogor. Bogor Sudomo, A. Dan M. Y. Mile. 2007. Pengaruh Teknik Pemanenan Terhadap Pertumbuhan Dan Produktivitas Nilam Dalam Sistem Agroforestry Sengon + Nilam. Info Hutan. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hutan Tanaman. Bogor Suryo, H. 1999. Permudaan Hutan. Bahan Ajar Kuliah Silvikultur Hutan Tanaman. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Waskito, B. 2000. Studi Kemungkinan Pengembangan Kasus di Desa Gunungsari Kabupaten Boyolali Jawa Tengah. P3KM. Hal 67-83. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor
62
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Bidang
SOSIAL EKONOMI
Prosiding Kupang 12 November 2007
63
HUTAN KEMASYARAKATAN DI PULAU LOMBOK : TINJAUAN ASPEK TEKNOLOGI, KELEMBAGAAN DAN KEBIJAKAN32 Oleh : 33 Eko Pujiono
ABSTRAK Tujuan utama dari penelitian ini adalah mengidentifikasi permasalahan dan rekomendasi penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pengelolaan HKm. Identifikasi permasalahan dalam pengelolaan HKm dilakukan dengan mengkaji aspek teknologi, aspek kelembagaan dan aspek kebijakan serta mengakomodasi isu-isu strategis yang berkembang di masyarakat dalam rangka pengembangan pengelolaan HKm. Penentuan lokasi dan sampel penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi langsung dan studi pustaka. Alat analisis yang digunakan adalah statistik parametrik dan statistik deskriptif. Hasil kajian menunjukkan bahwa permasalalahan pada aspek teknis terkait dengan menentukan pola tanam yang produktif dan berkesinambungan; permasalahan aspek kelembagaan terkait dengan kurang aktifnya lembagalembaga pengelola HKm; dan permasalahan kebijakan terkait dengan sering berganti-gantinya kebijakan dan optimalisasi penerapan awig-awig dalam penyelesaian masalah HKm. Isu-isu strategis yang berkembang berhubungan dengan mekanisme pembagian hasil HKm dan tentang perijinan HKm. Adanya pengkajian yang mendalam terhadap aspek teknis, kelembagaan dan kebijakan serta isu-isu yang berkembang terkait dengan pengelolaan HKm secara umum diharapkan akan memberi masukan pada pembuat kebijakan untuk merancang sistem pengelolaan HKm yang mampu mengakumulasikan kepentingan konservasi, produksi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kata Kunci : Hutan kemasyarakatan, teknologi, kelembagaan, kebijakan
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Persoalan kehutanan di Nusa Tenggara Barat (NTB) setidaknya dapat dipotret dari keberadaan sumber daya air di Pulau Lombok. Berdasarkan data terdapat 12 mata air di dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami penurunan debit air sangat tajam, misalnya sumber/mata air di DAS Dodokan 2 (luas 2.027 km ) mengalami penurunan debit rata-rata mencapai 61,2%. Sementara DAS Menanga (luas 2 1.013 km ) mengalami penurunan debit air rata-rata 63,4%, hanya dalam kurun waktu tiga tahun (20002003). Kondisi ini kemudian diperkuat dengan lahirnya SK Gubernur NTB No. 122/2005 tentang status Daerah Aliran Sungai/ Sub Satuan Wilayah Sungai di Nusa Tenggara Barat yang menyatakan bahwa seluruh DAS di Pulau Lombok (DAS Menanga, Jelatang, Putik dan Dodokan) berstatus kritis, bahkan DAS Menanga dinyatakan berstatus sangat kritis (Humaidi, 2006). Data di atas menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi dan deforestasi yang cukup signifikan di wilayah hulu yaitu Gunung Rinjani (3726 mdpl) yang memiliki fungsi strategis sebagai penyangga kehidupan dan ekosistem di Pulau Lombok. Hutan di kawasan Rinjani merupakan hutan dengan fungsi yang sangat vital dalam mendukung kehidupan seluruh masyarakat di Pulau Lombok. Kawasan ini banyak memberikan manfaat baik manfaat ekonomi, ekologi, sosial dan manfaat lainnya. Salah satu manfaat utamanya adalah memberikan perlindungan daerah aliran dan pengaturan siklus air (hidrologi). Lebih dari 85 mata air berasal dari kawasan Gunung Rinjani yang tersebar di 10 DAS dan lima Sub DAS, yang dimanfaatkan untuk rumah tangga, pertanian dan industri (Markum dkk, 2004). Untuk tetap menjaga fungsi hutan di Kawasan Rinjani dan hutan-hutan lain di Pulau Lombok, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak untuk dapat mengatasi kerusakan hutan. Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah terkait dengan pembangunan kehutanan adalah perubahan paradigma pembangunan kehutanan dari Timber Based Forest Management menjadi Community Based Forest Management, yang ditandai dengan program Social Forestry (SF) atau Perhutanan Sosial. Secara prinsipil dapat dirumuskan bahwa SF di dalam bentuk kegiatannya memiliki dua komponen utama, yaitu : (1) Community Forestry (CF) dan (2) Farm Forestry (FF) (Awang, 2005). Foley dan Barnard (1984) dalam Awang (2005) menjelaskan bahwa, kegiatan CF didasarkan pada bentuk kegiatan kehutanan dimana tanah yang digunakan masyarakat desa untuk menanam tanaman kayu-kayuan merupakan public land (tanah negara) atau komunal. Sedangkan FF merupakan program yang tujuannya mendukung usaha tani kayu komersial secara individual petani di atas tanah milik mereka sendiri. Dalam perkembangan selanjutnya istilah yang lebih dikenal di Indonesia, CF adalah Hutan Kemasyarakatan (HKm) dan FF adalah Hutan Rakyat (HR). B.
Rumusan Masalah
Pembangunan HKm dimaksudkan sebagai upaya mengurangi degradasi hutan dan membangun hutan (hutan negara) dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utamanya dengan tujuan pemanfaatan lahan secara lestari sesuai dengan fungsi dan menitikberatkan kepada kesejahteraan masyarakat. Program HKm sampai saat ini hasilnya dirasakan belum optimal, terbukti masih terdapat banyak lahan kritis (di dalam kawasan) dan belum meningkatnya kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Beberapa faktor yang menjadi kendala pelaksanaan HKm ini diantaranya adalah aspek teknologi
32 33
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
64
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
dan aspek kelembagaan. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah; bagaimanakah teknologi dan kelembagaan HKm yang ideal sehingga mendapatkan manfaat yang optimal bagi semua pihak? C.
Maksud dan Tujuan
Maksud dan tujuan studi ini adalah melakukan kajian yang mendalam terhadap perkembangan kegiatan HKm di Pulau Lombok, terkait dengan aspek teknologi, kelembagaan, kebijakan dan isu-isu strategis yang berkembang sehingga permasalahan yang dihadapi dapat diidentifikasi dan rekomendasi penyelesaian masalah dapat dirumuskan.
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Kajian ini dilaksanakan di tiga lokasi HKm, yaitu : HKm Sugian, HKm Aik Berik dan HKm Lebah Sempaga. Penetapan ketiga lokasi tersebut karena beberapa pertimbangan, yaitu : 1) faktor kondisi tempat tumbuh, 2) faktor pembiayaan, 3) faktor daerah administrasi/ pemerintahan. Waktu pelaksanaan kegiatan penelitian dari bulan Juli sampai dengan bulan Desember 2006. B. Metodologi 1. Metode Penelitian Kajian ini menerapkan metode survei, yaitu penyelidikan yang diadakan untuk memperoleh faktafakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok atau daerah (Nazir, 2003). Metode pengambilan sampel untuk pemilihan lokasi HKm dan masyarakat di sekitar lokasi HKm dilakukan dengan metode purposive sampling. 2. Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan langsung dan berinteraksi dengan petani HKm melalui teknik wawancara dan Focus Group Discussion (FGD) serta menggunakan alat bantu kuisioner yang berisi pertanyaan tentang pengelolaan HKm. Pengumpulan data juga dilakukan dengan studi pustaka yang berasal dari buku atau literatur dan laporan-laporan dari instansi pemerintah atau non pemerintah yang terkait dengan pengelolaan HKm. 3. Analisis Data Analisis data dilakukan berdasarkan variabel studi dalam pengelolaan HKm yang terdiri dari beberapa aspek : a. Aspek Teknis Data yang dikumpulkan adalah data mengenai : keragaman tanaman, kepadatan dan jarak tanaman, sistem tanam, strata tanaman, pola tanam. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif. b. Aspek Kelembagaan dan Kebijakan Data yang dikumpulkan meliputi : kelembagaan, dan kebijakan atau aturan-aturan dan sanksi lokal yang berhubungan dengan pengelolaan HKm. Analisis data dilakukan dengan statistik deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perkembangan HKm di Pulau Lombok Secara garis besar perkembangan HKm di Pulau Lombok dimulai pada tahun 1991 di Desa Sesaot, Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Pembangunan dan Perkembangan HKm di Pulau Lombok selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Dari beberapa lokasi HKm pada tabel 1, dipilih 3 (tiga) lokasi untuk kegiatan penelitian, yaitu : HKm Sugian, HKm Aik Berik dan HKm Lebah Sempaga. Deskripsi singkat dari ketiga lokasi HKm tersebut adalah sebagai berikut : 1. HKm Sugian HKm Sugian merupakan salah satu wilayah dari HKm di Sam-belia (Tabel 1, nomor 4). Selain Desa Sugian, desa lain yang men-jadi wilayah dari HKm Sambelia adalah Desa Sambelia dan Desa Belanting. HKm Sugian ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Sambelia, Kabupaten Lombok Timur. Berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya, HKm Sugian merupakan salah satu contoh HKm yang berada di pesisir pantai atau termasuk dalam golongan hutan dataran rendah di mana ketinggiannya hanya Tabel 1. Perkembangan Hutan Kemasyarakatan (Hkm) di Pulau Lombok No
1
Tahun
19911999
Lokasi dan Luas Sesaot, Lombok Barat (211 ha) Meliputi desa : Sesaot, Sedau dan Lebah Sempaga (lokasi penelitian)
Inisiator
LP3ES Mataram & Ford Fondation
Prosiding Kupang 12 November 2007
Status Kawasan
HL
Kebijakan Hkm Inisiasi sejak 1991 belum ada kebijakan Ttg Hkm. 622/Kpts-II/1995. Kelembagaan: Kelompok Masyarakat Pelestari
65
No
2
3
4
Tahun
1998– 2001
1999
1999– 2001
Lokasi dan Luas Santong, Lombok Barat (221 ha) Rambitan Lombok Tengah (100 ha) Martapauq, Lombok Tengah(1.042 ha), Meliputi desa : Setilling, Lantan dan Aik Berik (lokasi penelitian) Jero Waru, Lombok Timur(250 ha) Kec. Sambelia , Lombok Timur(500 ha) Meliputi desa : Sambelia, Belanting, Sugian (lokasi penelitian) Sekotong, Lombok Barat(750 ha)
5
1999
Sapit, Lombok Timur(50 ha)
6
2000– 2002
Eks. Areal HPH Angka Wijaya Lombok Utara
Inisiator
LP3ES. Dishut Prop NTB & Ford Foundation
Status Kawasan
HP
Pondok Pesanteren Darus Shidiqqien
HP/ HL
OECF – BRLKT – LSM
HP
OECF – BRLKT – LSM
HP
OECF – BRLKT – LSM Dinas Kehutanan Prop NTB – YDPM Lotim
Konsepsi – AusAid. & YLKMP.
Kebijakan Hkm Hutan(KMPH) Sesaot 677/Kpts-II/1998 Kelembagaan: Koperasi Maju Bersama Santong dan Kelompok Tani Hutan (KTH) Banyu Urip Rambitan 677/Kpts-II/1998 Kelembagaan: Kopontren Ijin Sementara Hkm Kanwil Prop. NTB No. 06/Kpts/Kwl4/2000
865/Kpts-II/1999
HP
HP
Proyek Padat Karya Jalur Hijau
HP
HPH secara de facto sudah tidak ada. namun de jure masih ada
Sumber : Jabir dan Julmansyah, 2006 (diolah)
berkisar antara 10-159 meter dari permukaan laut (mdpl). Inisiasi dan sumber pembiayaan dari HKm Sugian ini berasal dari kerjasama antara Balai Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah (BRLKT) Wilayah Nusa Tenggara Barat yang sekarang dinamakan Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS) Dodokan Moyosari dan Overseas Economic Cooperation Fund (OECF) dari Jepang serta bantuan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal yang difungsikan untuk pendampingan terhadap masyarakat. Pengelolaan HKm Sugian diserahkan kepada BPDAS Dodokan Moyosari Mataram. 2. HKm Aik Berik HKm Aik Berik merupakan salah satu HKm di lokasi yang dikelola oleh Pondok Pesantren Darus Shidiqqien (Tabel 1, nomor 3). Selain Desa Aik Berik, desa lain yang menjadi wilayah pengelolaan Pondok Pesantren Darussidiqin adalah Desa Setilling dan Desa Lantan. HKm Aik Berik ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Batukliang Utara, Kabupaten Lombok Tengah. Berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya, HKm Sugian merupakan salah satu contoh HKm yang berada di perbukitan dengan ketinggiannya berkisar antara : 500-600 mdpl. Sumber pembiayaan pembangunan HKm Sugian ini berasal dari anggaran kegiatan Dinas Kehutanan Lombok Tengah dan pengelolaannya diserahkan ke Pondok Pesantren Darus Shidiqqien. 3. HKm Lebah Sempaga HKm Lebah Sempaga merupakan salah satu wilayah dari HKm di Sesaot (Tabel 1, nomor 1). Selain Desa Lebah Sempaga, desa lain yang menjadi wilayah dari HKm Sesaot adalah Desa Sedau dan Desa Sesaot. HKm Lebah Sempaga ini secara administratif berada di wilayah Kecamatan Narmada, Kabupaten Lombok Barat. Berdasarkan kondisi tempat tumbuhnya, HKm Lebah Sempaga merupakan salah satu contoh HKm yang berada di perbukitan/pegunungan denganketinggiannya berkisar antara : 500-600 mdpl. Pembentukan HKm Lebah Sempaga ini diinisiasi oleh LSM lokal dan pada awal pembangunan HKm dibantu pembiayaannya oleh Ford Foundation. Selanjutnya sumber pembiayaan HKm Lebah Sempaga ini sepenuhnya berasal dari swadaya masyarakat. Pengelola HKm Lebah Sempaga adalah Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan (KMPH) Sesaot. B.
Aspek Teknologi
Keragaman tanaman atau vegetasi yang ditanam di ketiga lokasi HKm dapat dilihat pada Tabel 2. Di beberapa lokasi HKm, terdapat ketidaksesuaian dalam hal komposisi tanaman yang ada sekarang dan komposisi tanaman yang disepakati dalam awal pembangunan HKm. Sebagai contoh di HKm Lebah Sempaga (Sesaot), kesepakatan awal yang diperoleh komposisi tanaman terdiri dari 60% tanaman MPTS (Multi Purpose Tree Species) dan 40% tanaman kehutanan.
66
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Tabel 2. Jenis Tanaman HKm di tiga lokasi penelitian No
Lokasi
1
HKm Sugian
2
HKm Aik berik
3
HKm Lebah Sempaga
Jenis Tanaman • Tanaman Hutan : sonokeling (Dalbergia latifolia), sengon (Albizzia falcataria Back.), mimba (Azadirachta indica Juss.) dan mahoni (Swietenia macrophylla King.) • MPTS : srikaya (Annona squamosa Linn.), jambu mete (Anacardium occidentale Linn.), nangka (Artocarpus integra Merr.) dan mangga (Mangifera indica Linn.) • Tanaman pangan : padi (Oryza sativa Linn.), jagung (Zea mays Linn.), sayuran • Tanaman Hutan : sengon, dadap (Erythrina lithosperma Miq.) dan mahoni • MPTS : coklat (Sterculia treubii Hocr.), jambu mete, durian (Durio oxleyanus Griff.), nangka dan mangga • Tanaman pangan : padi, jagung, sayuran, talas (Colocasia esculenta Schoot.) • Tanaman Hutan : sengon, dadap • MPTS : jambu mete, nangka, kemiri (Aleurites moluccana Willd.) dan mangga • Tanaman pangan : padi, jagung, sayuran, talas, vanili
Sumber : data primer
Kenyataannya sekarang komposisi tanaman mengalami perubahan 30% kayu-kayuan dan 70% MPTS (Anonim, 2004a). Kondisi di lapangan menunjukkan tanaman MPTS lebih banyak daripada tanaman kayu, hal ini disebabkan karena dalam jangka waktu pendek MPTS sudah menghasilkan. Dalam pengamatan di HKm Lebah Sempaga, beberapa petani yang tergabung dalam wadah kelompok tani, melakukan penanaman tanaman murbei untuk usaha persuteraan alam. Di HKm Aik berik, perbandingan antara tanaman kayu dan MPTS adalah 30 : 70. Pola tanam yang dikembangkan ternyata kurang beraturan tetapi jarak tanam antar tanaman tahunan tersebut adalah 5 x 5 meter atau 400 pohon per Ha. Ketentuan perbandingan tanaman kayu dan MPTS, pola tanam dan jarak tanam diatur pada Surat Ketua Koperasi Darus Shidiqqien No. 33/11-II/PPDS/NW/2000 (Anonim, 2002). C. Aspek Kelembagaan HKm Sugian (Sambelia), melakukan pengembangan kelembagaan melalui beberapa tahap, yaitu : 1) kegiatan sosialisasi; 2) kegiatan pendampingan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM); 3) kegiatan pelatihan program HKm; 4) kegiatan penyuluhan dan bimbingan teknis dan 5) kegiatan pembentukan forum komunikasi. Jumlah kelompok tani di HKm Sambelia, adalah 20, 18 diantaranya aktif melakukan kegiatan. Kelompok-kelompok tani ini kemudian membentuk ikatan yang lebih besar berupa Kelompok Usaha Bersama (KUB)/Koperasi. Di HKm Kecamatan Sambelia telah terbentuk Koperasi Tani HKm Wana Lestari. Jadi pengembangan kelembagaan di HKm Kecamatan Sambelia baru sampai pada tahap terbentuknya KUB/Koperasi, sedangkan memfungsikan koperasi, penyiapan kader lokal dan penyiapan Proposal untuk memperoleh ijin pemanfaatan HKm merupakan kegiatan lanjutan yang perlu dilaksanakan (Anonim, 2001). Lembaga yang terlibat secara langsung dalam kegiatan pengelolaan HKm di Desa Aik Berik adalah Koperasi Darus Shiddiqien, yang beranggotakan 2.527 orang yang dibagi menjadi empat kelompok besar/blok (Anonim, 2002). Dalam perkembangannya hingga saat ini ternyata pihak koperasi dinilai belum bisa menjalankan tugasnya dengan optimal. Salah satu hasil evaluasi menyebutkan bahwa, selama lima tahun pelaksanaan ijin HKm oleh Koperasi Pondok Pesantren Darus Shiddiqien (Anonim, 2005), ditemukan adanya kelemahan dalam aspek pengendalian/pengawasan baik oleh pemerintah, pemegang ijin, anggota, dan masyarakat luas. Hal ini menyebabkan belum tercapainya beberapa hal yang mendasar seperti : tata batas, pola penggunaan lahan yang disyaratkan dan penguatan kelembagaan pemegang ijin. Menindaklanjuti hal tersebut sebagai salah satu penyelesaiannya, pada bulan Juni 2005 dilakukan diskusi dengan tema ”Berunding Membangun Awal yang Baru” yang diikuti oleh para pemangku kepentingan (Dinas Kehutanan Propinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten, Pondok Pesantren Darus Shidiqqien, Taman Nasional Gunung Rinjani, Pemerintahan Desa dan Perwakilan dari Masyarakat). Hasil dari perundingan ini dituangkan dalam butir-butir kesepakatan yang isi utamanya adalah Penghentian Ijin Sementara Pemanfaatan Lahan oleh Pondok Pesantren Darus Shiddiqien (Bab 1) dan Penerbitan Perpanjangan Ijin baru (Bab 2). Untuk HKm Lebah Sempaga, lembaga yang menjadi penggagas sekaligus pengelola adalah Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan (KMPH) Mitra Sesaot. Secara umum, maksud dan tujuan dari KMPH Mitra Sesaot sebagaimana yang tercantum dalam AD/ART pasal 5 adalah, peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan sumber daya hutan secara lestari. Anggota KMPH berjumlah 100-an orang, sementara binaan KMPH berjumlah 1.224 orang. Anggota yang berjumlah 100an orang adalah anggota yang telah mempunyai simpanan di kelompok dan mempunyai kewajiban dan hak sesuai dengan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) perkumpulan KMPH (Anonim, 2004b). Dari jumlah anggota yang ada di KMPH, hampir semuanya didominasi oleh laki-laki sedangkan peranan perempuan belum nampak. Seperti halnya proyek-proyek kehutanan lainnya, partisipasi perempuan adalah sangat kurang. Hal ini tentunya sangat disayangkan, mengingat di Desa Lebah Sempaga, data tahun 2004 menunjukkan bahwa jumlah penduduk perempuan lebih banyak daripada penduduk laki laki (2472 perempuan dan 2355 laki-laki). Potensi penduduk perempuan apabila dioptimalkan akan membantu keberhasilan program HKm. Kasus dimana perempuan bisa dioptimalkan partisipasinya dalam kegiatan kehutanan dapat dijumpai di Kabupaten Gunung Kidul. Dalam rangka kelola kelembagaan dari 35 kelompok tani hutan, terdapat satu kelompok yang sudah menerapkan program jender. ”Sedyo Rukun” demikian nama kelompok tani tersebut, 75% pengurusnya adalah perempuan. Dalam prakteknya ternyata perempuan mampu melaksanakan kegiatan hutan kemasyarakatan di lapangan (Anonim, 2006). Praktek-praktek pemberdayaan perempuan dalam pembangunan kehutanan di Gunung Kidul dapat dijadikan salah satu pertimbangan atau sebagai contoh untuk pengembangan HKm di Pulau Lombok. Dari hasil wawancara dengan warga masyarakat, sebagian besar berpendapat bahwa lembaga yang ada tidak menjalankan fungsinya dengan baik, pembinaan dari pemerintah masih kurang, keterlibatan Prosiding Kupang 12 November 2007
67
pihak luar kurang dan belum adanya koordinasi yang baik dari pihak-pihak yang terkait dengan pengelolaan HKm. D. Aspek Kebijakan Sejak awal 1980-an sampai 1990-an Departemen Kehutanan telah menggulirkan kebijakan populis berkaitan dengan pelibatan masyarakat sekitar hutan melalui Bina Desa Hutan, Hkm (Hutan Kemasyarakatan) hingga Social Forestry. Sejak 1990 – 2001 kebijakan Hkm telah mengalami empat kali revisi, Kepmenhut tentang Hkm No. 622/Kpts-II/1995, 677/Kpts-II/1998. 865/Kpts-II/1999 dan terakhir 31/Kpts-II/2001. Proses transisi yang berlangsung selama satu dekade terakhir menunjukkan bahwa kebijakan kehutanan yang pro rakyat rentan terhadap labilitas akibat perubahan pucuk kepemimpinan nasional yang silih berganti/ketidakpastian (Jabir dan Julmansyah, 2006). Beberapa kekuatan dan kelemahan dari kebijakan yang terkait dengan program HKm dapat dilihat pada Tabel 3. Sesuai dengan SK Menhut No. 31/Kpts-II/2001 (Departemen Kehutanan, 2001), dalam rangka peningkatan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan HKm, maka kewenangan sepenuhnya diserahkan ke daerah (kabupaten/kota). Tindak lanjut dari hal ini adalah penyusunan peraturan daerah yang terkait dengan penyelenggaraan HKm. Kebijakan/peraturan daerah yang menyangkut HKm di Pulau Lombok, dapat dilihat dalam Tabel 4. Tabel 3. Essensi, Kekuatan dan Kelemahan Beberapa Kebijakan tentang HKm Kebijakan, Pejabat dan Masa berlaku SK Menhut No. 622/KptsII/1995 ttg Pedoman Hutan Kemasyarakatan Menteri : Jamaludin S (era : Suharto) Masa berlaku : 3 th
SK Menhutbun No. 677/Kpts-II/1998 ttg Ht Kemasyarakatan Menteri : Muslimin N (era : Habibie)
Essensi
Kekuatan
Kelemahan
Kegiatan rehabilitasi lahan/reboisasi lebih melibatkan masyarakat secara aktif sebagai peserta kegiatan dengan diberi hak pemanfatan atas hasil hutan bukan kayu yang ditetapkan dalam perjanjian dan berdasarkan ijin pemungutan dari instansi kehutanan yang berwenang
- Ada format perjanjian bagi hasil. - Masyarakat mendapat kepastian hak atas hasil hutan non kayu
- Masyarakat sebagai peserta kegiatan. - Masyarakat tidak terdorong untuk menanam dan memelihara jenis kayu. - Tergantung ada tidaknya kegiatan pemerintah/proyek
Pemberian peran yang lebih aktif kepada Masyarakat sebagai pelaku utama dan akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan diperluas.
- Adanya kepastian hak bagi masyarakat melalui Pemberian Ijin pemanfaatan HKm yang diberikan oleh Menhut kepada masyarakat setempat - Adanya prinsipprinsip yang konstruktif terhadap kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat - Akses yang lebih luas tidak terbatas hasil hutan non kayu tetapi seluruh sumberdaya hutan.
- Belum didukung perubahan mindset aparat pemerintah - Mekanisme pelayanannya belum ada.
Masa berlaku : 1 th
SK Menhut No. 865/KptsII/1999 Menteri : Nur Mahmudi Ismail (era : Abdurahman Wahid) Masa berlaku 2 h
Penyesuaian terhadap UU No. 41 tahun 1999 antara lain Pemberian Hak diganti menjadi Pemberian Ijin
- Penyesuan dengan istilah-istilah dalam Undang-undang 41 tahun 1999
- Tidak ada perubahan yang prinsip dari SK 677/KptsII/1998
SK Menhut No. 31/KptsII/2001
Mengganti SK Menhutbun 677/Kpts-II/1998: Pemberdayaan Masyarakat Lokal dengan pengendalian oleh pemerintah Penyesuaian dengan UU No. 22 tahun 2000: Penetapan wilayah HKM oleh Menteri, Pemberian ijin Hkm oleh Bupati
- Desentralisasi : Meningkatkan efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan hutan kemasyarakatan dengan melimpahkan kewenangan kepada Pemerintahan Kabupaten/Kota. - Kewajiban pemerintah memfasilitasi pemberdayaan masyarakat - Terbuka bagi pihak
- Belum cukup didukung perubahan mindset aparat kehutanan - Masih mengharuskan pengaturan lebih lanjut oleh Menhut, yaitu: (1) Tata cara penetapan Wilayah HKM terhambat (2) Tata cara pemberian ijin HKm - Ada yang menganggap tidak sesuai dengan PP 34 tahun 2002, sehingga terjadi multiinterpretasi yang menghambat implementasinya.
Menteri : M. Prakoso (era : Megawati) Masa berlaku : masih berlaku
68
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Kebijakan, Pejabat dan Masa berlaku
Essensi
Kekuatan
Kelemahan
lain memfasilitasi pemberdayaan masyarakat - Mekanisme operasional cukup jelas
Permenhut No. P.01/Menhut-II/2004 Mentri : M. Pakoso (era : Megawati)
Social Forestry sebagai salah satu bentuk upaya pemberdayaan masyarakat.
Masa berlaku : masih berlaku
- Social Forestry adalah sistem pengelolaan hutan yang memberi kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai pelaku dan atau mitra utama.
- Istilah social forestry tidak tersurat dalam UndangUndang No. 41 tahun 1999, sehingga dari sisi legalitas hukum kurang kuat untuk ditindaklanjuti.
Sumber : Jabir dan Julmansyah, 2006 (diolah)
Tabel 4. Kebijakan Daerah tentang HKm di Pulau Lombok No 1
2
Kebijakan Perda No. 10 tahun 2003 tentang Penyelenggaraan Hkm Kab. Lombok Barat
Perda No. 6 tahun 2004 tentang Pedoman Penyelenggaraan Hkm Pemerintah Provinsi NTB
Essensi Perda ini masih menjadi perdebatan di masyarakat terkait dengan proporsi tanaman Kayu dan MPTs yang harus ada di lahan (areal kelola) serta sistem bagi hasil. Pemerintah daerah telah memulai mengalokasikan kegiatan dalam mengimplementasi perda ini terutama di lokasi-lokasi yang telah lebih dulu ada sebelum perda muncul seperti Sesaot, kawasan eks. HPH Angkawijaya Monggal, Kekait, Sekotong, Santong dll. Perda ini mencoba mengangkat praktek-praktek yang sudah dilakukan, baik oleh dinas maupun masyarakat dengan tetap menyebutkan istilah Hutan Kemasyarakatan. Perda ini juga membawa pesan pentingnya jasa lingkungan sebagai bagian integral dari pengelolaan hutan.
Sumber : Jabir dan Julmansyah, 2006 (diolah)
Sampai saat ini, ijin sementara Hkm Lebah Sempaga yang telah berakhir 1999 tidak ada kelanjutan, begitu juga dengan ijin Hkm Aik Berik. Kehadiran masyarakat di areal kelola tersebut menjadi mengambang tanpa ada status dan kepastian. Perda No 10/2003 (Lombok Barat) sebenarnya bisa digunakan untuk memayungi penyelenggaraan HKm Lebah Sempaga, sedangkan HKm Aik Berik dapat menggunakan Perda 6/2004 sebagai acuannya, tetapi sampai saat ini belum juga diimplementasikan di lapangan. Hal yang paling ditunggu oleh pemda atau penyelenggara HKm di Pulau Lombok adalah kehadiran SK Penetapan Wilayah Hkm atau SK Pencadangan Wilayah Hkm dari pemerintah pusat (Departemen Kehutanan). Selain Perda, ada juga pengetahuan/aturan lokal dalam pengelolaan hutan dan sumber daya alam. Pengetahuan lokal tersebut dikenal dengan istilah awig-awig dan besiru. Awig-awig merupakan aturanaturan intern masyarakat yang disepakati bersama dalam pengelolaan sumber daya alam sedangkan besiru merupakan arisan kerja dalam mengelola lahan garapan yang pembentukannya didasarkan atas hamparan kesatuan lahan garapan. Awig-awig ini sering digunakan sebagai mekanisme penyelesaian sengketa apabila tidak ditemukan penyelesaian masalah dengan cara musyawarah atau rapat. E.
Isu-isu yang berkembang
Isu-isu yang berkembang terkait dengan pertanyaan masyarakat tentang mekanisme pembagian hasil dan kekhawatiran pemerintah tentang perijinan HKm yang memicu open acces terhadap hutan. Di pihak masyarakat, timbul pertanyaan tanaman/kayu yang telah ditanam di lahan Hkm aset siapa? Sehingga mekanisme bagi hasil hutan (kayu dan non kayu) layak untuk diperjelas sebagai bagian dari hak dan kewajiban masyarakat. Kasus yang terjadi di Lombok Barat adalah retribusi hasil hutan non kayu di pungut oleh pemerintah namun ijin Hkm tidak diproses. Dalam hal ini, penting dibangun skenario sistem bagi hasil hutan kayu yang adil. Pemerintah juga harus mulai memikirkan input (kontribusi) masyarakat sebagai investasi yang layak dihitung diakhir daur untuk penetapan proporsi bagi hasil (profit sharing) (Jabir dan Julmansyah, 2006). Di pihak pemerintah, ada ketakutan di berbagai kalangan bahwa ijin Hkm akan memicu eksploitasi hutan secara legal. Jika salah satu kelompok diberikan ijin maka masyarakat lain akan menuntut hal yang sama. Hal ini dapat diantisipasi dengan adanya penetapan kriteria dan indikator yang disepakati semua pihak secara partisipatif bagi pemegang ijin sementara atau calon pemegang ijin HKm. Mekanisme inilah yang akan menjadi penyaring atau alat uji bagi semua ketakutan-ketakutan tersebut diatas, sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Terkait dengan proses perijinan HKm, praktik-praktik social forestry dan HKm di Propinsi Lampung kiranya dapat dijadikan bahan pembelajaran dan pertimbangan dalam penerbitan perpanjangan ijin baru pengelolaan HKm di Pulau Lombok. Dinas Kehutanan Lampung Barat Prosiding Kupang 12 November 2007
69
dan para pihak telah berhasil mengembangkan ”Kriteria dan Indikator Monitoring dan Evaluasi HKm” di Lampung Barat yang selanjutnya dituangkan dalam SK Bupati atau Peraturan Daerah (Anonim, 2006).
IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian di lokasi penelitian, ada beberapa hal penting yang dapat dijadikan pelajaran (lesson learn). Pelajaran penting di lapangan merupakan dasar untuk merumuskan rekomendasi dalam pengelolaan HKm di masa yang akan datang. Beberapa rekomendasi tersebut, antara lain : A.
Aspek Teknis
Dari pengamatan di lapangan terdapat beberapa permasalahan yang terkait dengan aspek teknis, yaitu : pemilihan jenis tanaman yang tidak sesuai dengan keinginan masyarakat, pola tanam yang didominasi oleh MPTS dan ketidaksinambungan produksi. Rekomendasi yang diusulkan adalah optimalisasi pemanfaatan/pengelolaan lahan. Sistem strata tanaman merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengoptimalkan pengelolaan lahan. Gambaran strata tanaman di lokasi penelitian adalah, strata I : mahoni, sengon, dadap dan kemiri. Strata II : jenis tanaman buah-buahan seperti mangga, durian, jambu mente dan nangka dibawahnya strata III : pisang, coklat dan kopi, dan strata IV : tanaman musiman, sayuran dan umbi-umbian (talas). Dalam pemilihan jenis-jenis tanaman sebisa mungkin melibatkan masyarakat sehingga kepentingan mereka terakomodasi. Apabila pola tanam dengan sistem strata ini diimplementasikan secara baik di lapangan maka kesinambungan produksi HKm akan terjaga. B.
Aspek Kelembagaan
Permasalahan utama yang dihadapi dari aspek kelembagaan adalah masih rendahnya keterlibatan masyarakat, masih lemahnya kelembagaan masyarakat dan masih kurangnya koordinasi antar pihak yang terlibat dalam pengelolaan HKm. Rekomendasi yang diajukan adalah dengan meningkatkan keterlibatan masyarakat mulai dari perencanaan, implementasi di lapangan dan monitoring/evaluasi. Lahirnya lembaga-lembaga lokal (misalnya KMPH Sesaot) merupakan awal yang baik untuk meningkatkan partisipasi masayarakat dalam pengelolaan HKm. Sosialisasi oleh pemerintah dan pendampingan oleh LSM pada awal-awal terbentuknya lembaga lokal mutlak diperlukan untuk memperkuat kelembagaan di masyarakat. Koordinasi yang baik antar lembaga yang terkait akan dapat mendukung kegiatan teknis yang harus dijalankan di lapangan. C.
Aspek Kebijakan
Dalam aspek kebijakan, terutama yang terkait dengan perijinan HKm, hal yang paling ditunggu oleh pemda atau penyelenggara HKm di Pulau Lombok adalah kehadiran SK Penetapan Wilayah Hkm atau SK Pencadangan Wilayah Hkm dari pemerintah pusat (Departemen Kehutanan). Kebijakan dari pemerintah pusat ini harus segera dikeluarkan untuk dijadikan dasar/pedoman pelaksanaan HKm di masa yang akan datang. Rekomendasi yang diajukan sehubungan dengan perijinan HKm ini adalah menyiapkan dan melengkapi persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk keluarnya ijin HKm. Setelah persyaratan terpenuhi, perlu dilakukan pertemuan multipihak tentang HKm untuk lebih memantapkan kesiapan pemerintah daerah, masyarakat dan lembaga terkait lainnya dalam penyelenggaraan HKm di Pulau Lombok. Selain mengurus perijinan, pengenalan nilai-nilai lokal (misalnya : awig-awig) kepada pembuat kebijakan perlu dilakukan agar produk kebijakan yang dikeluarkan bisa mengakomodasi nilai-nilai lokal tersebut. Dengan terakomodasinya nilai-nilai lokal tersebut diharapkan kebijakan yang dikeluarkan bener-benar sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2001. Perkembangan Pelaksanaan Pembangunan Hutan Kemasyarakatan (SPL JBIC-22) Propinsi NTB (FINAL REPORT). MMC Kehutanan RCT Nusa Tenggara Barat. Mataram. Anonim. 2002. Laporan Evaluasi HKm di Kabupaten Lombok Barat dan Kabupaten Lombok Tengah. Dinas Kehutanan Propinsi NTB. Mataram Anonim. 2004a. Kumpulan Laporan Studi Lapangan Social Forestry. Departemen Kehutanan – The Ford Foundation. Jakarta. Anonim. 2004b. Profil Perkumpulan Kelompok Masyarakat Pelestari Hutan (KMPH) ”Mitra Sesaot”. Jurang Malang, Sesaot. Anonim. 2005.Nota Kesepakatan Penyelesaian Sengketa : pelaksanaan Ijin Pemanfaatan Lahan/ Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan atas Nama Koperasi Pondok Pesantren Darus Shidiqqien NW pada lokasi CDK Batu Kliang Kabupaten Lombok Tengah. Lampiran 9. Hasil Pesengketa Langsung, hasil rumusan dalam diskusi ”Berunding Membangun Awal yang Baru”.Mataram 16 Juni 2005. Anonim. 2006. Pengalaman HKm di NTB, Sulawesi Selatan, Lampung dan Gunung Kidul. Rekaman/Catatan Proses Diskusi Seminar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat. Yogyakarta. Awang, S. A.. 2005. Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Bigraf Publishing. Yogyakarta Departemen Kehutanan. 2001. Naskah Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 31 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
70
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Humaidi. 2006. Konstruksi Organisasi KMPH Sesaot dan Santong menuju Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Makalah dalam Seminar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat. Yogyakarta. Jabir, M. dan Julmansyah. 2006. Kehutanan Masyarakat di NTB: Ujian dan Perjalanan Panjang Inisiatif Para Pihak. Makalah dalam Seminar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat. Yogyakarta. Markum, E. B. Sutejo, M. R. Hakim. 2004. Dinamika Hubungan Kemiskinan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pulau Kecil (Kasus Pulau Lombok). WWF Indonesia Program Nusa Tenggara, Mataram. Nazir, M. 2003. Metode Penelitian. Ghalia Indah. Jakarta.
Prosiding Kupang 12 November 2007
71
POLA PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGEMBANGAN KEGIATAN KONSERVASI DAN REHABILITASI LAHAN KRITIS34 Oleh : 35 36 L. Michael Riwu Kaho dan Bayu A.Victorino
ABSTRAK Usaha tani tradicional yang bersifat ekstensif mungkin merupakan salah satu faktor utama kerusakan hutan pada lahan kritis dalam masyarakat marjinal secara ekonomi dan merupakan prototipe umum masyarakat desa hutan di NTT. Masyarakat desa hutan baru dianggap berdaya jika pada aras individu maupun sosial telah dianggap mampu mengambil keputusan secara benar dalam pengelolaan hutan, yang merupakan komponen penting dalam pembangunan kemandirian dan proses pemberdayaan. Didalam ekosistem kawasan hutan tertentu, hutan negara bisa terdapat dua domain yang sama-sama memiliki klaim yang kuat terhadap lahan, dan dalam keadaan demikian maka pendekatan yang di perlukan adalah partisipatif dalam pola-pola kolaboratif. Pola-pola pendekatan partisipasif yang dipilih haruslah merupakan pola yang mempertimbangkan kepentingan semua steakholder sambil tetap memperhitungkan keseimbangan diantara semua aspek fungsi dan jasa lingkungan dari kawasan hutan. Kata kunci: Pola partisipasi, pemberdayaan, pengelolaan hutan, lahan kritis
I. PENDAHULUAN Menurut Dewan Kehutanan Nasional (2009), laju kerusakan hutan di Indonesia menunjukkan angka yang tinggi yaitu 2,8 juta hektar per tahun dalam periode 1998 – 2003 dan kemudian turun menjadi 0,8 juta hektar per tahun dalam periode 2003 – 2007. Sementara itu, laju kerusakan hutan di Nusa Tenggara Timur diperkirakan berjalan melalui perbandingan berikut ini, yaitu bahwa dalam 20 tahun terakhir laju kerusakan hutan sebesar 15.000 ha/tahun sedangkan kemampuan untuk melakukan rehabilitasi sebesar 3000 ha/tahun. Meskipun masih memerlukan verifikasi lebih lanjut, akan tetapi hasil pemetaan citra Landsat tahun 2003 menunjukan bahwa luas lahan kritis di NTT mencapai sekitar 2.5 juta ha. Awang (2004) menduga bahwa paling kurang terdapat lima penyebab kerusakan hutan di Indonesia, yaitu: 1. Adanya peningkatan laju pertambahan penduduk di pedesaan. 2. Tingginya tingkat kemiskinan dan rendahnya peluang kerja. 3. Euforia demokrasi yang memperkenankan setiap orang merasa berhak mengakses hutan sebesarbesarnya bagi keuntungan pribadi. 4. Model hutan industri yang merupakan akar dari masalah illegal logging. 5. Munculnya konflik kawasan antara negara dan masayarakat. Khusus tentang NTT, Riwu Kaho (2006) berpendapat bahwa usaha tani tradisional yang bersifat ekstensif mungkin merupakan salah satu faktor penyebab utama kerusakan hutan dan lahan di NTT. Meskipun dugaan Awang (2004) dan Riwu Kaho (2006) mungkin tidak sepenuhnya benar namun demikian pendapat tersebut cukup memadai sebagai titik masuk diskusi tentang justifikasi kegiatan konservasi dan rehabilitasi lahan kritis terutama karena keduanya berbicara tentang keterlibatan masyarakat dalam persoalan kehutanan di Indonesia. Sudah barang tentu masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang marjinal karena alasan kemiskinan yang merupakan prototipe umum masyarakat desa hutan (Nugraha dan Murtidjo, 2004). Makalah ini mendiskusikan tentang alternatif polapola partisipasi masyarakat jika persoalan kehutanan ingin ditanggulangi secara bersama.
II. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KONTEKS PEMBERDAYAAN Konsep pemberdayaan (empowerment) mulai tampak pada tahun 1970-an dan terus berkembang hingga taun 1990-an. Schumacher (dalam Hikmat, 2006) menyatakan bahwa pemberdayaan harus dipahami dalam konteks varibel jumlah, yaitu kekuatan anggota masyarakat yang perlu diperbaiki stuktur sosialnya sedemikian rupa sehingga tidak berpengaruh negatif terhadap kekuasaan. Perbaikan struktur sosial dapat ditempuh melalui ilmu pengetahuan dan kemandirian. Selain itu, Hikmat (2006) menerangkan bahwa pemberdayaan dalam wacana pembangunan selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan di mana pemberdayaan diletakkan pada tingkat individu dan sosial. Secara sederhana disebutkan bahwa pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut. Jadi, dalam perspektif ini, masyarakat desa hutan baru dapat dianggap berdaya jika baik pada aras individu maupun aras sosial telah dianggap mampu mengambil keputusan secara benar dalam pengelolan kehutanan dan kemudian melaksanakannya secara konsisten. Partisipasi merupakan komponen penting dalam pembangunan kemandirian dan proses pemberdayaan. Oleh karena itu, dalam isu sentral tentang pembangunan saat ini, partisipasi masyarakat diletakkan sebagai fokus isu sentral sebagaimana yang dapat dilihat di dalam paradigma good governance, yaitu masyarakat dilihat sebagai salah satu domain dalam tata pemerintahan yang baik selain pemerintah dan swasta dimana di antara ketiganya harus melakukan peranannya secara sinergis. Persoalannya adalah model partisipasi seperti apa yang dapat diandalkan sebagai bagian dari pola pembangunan kehutanan yang baik. Mikkelsen (2003) mengemukakan paling kurang enam defenisi
34 35 36
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Forum DAS NTT, Dosen Undana, Kupang Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Benain Noelmina
72
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
tentang partisipasi dan dua di antaranya dipandang merupakan defenisi yang paling sesuai dengan paradigma pemberdayaan yang menekankan tentang upaya pembangunan harus berasal dari, oleh dan untuk masayarakat itu sendiri. Kedua definisi dimaksud adalah: 1. Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang ditentukannya sendiri. 2. Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan lingkungan mereka. Sementara itu, Kruks (1983, dalam Mikkelsen, 2003) menggunakan pengalamannya di Kenya, mengemukakan dua defenisi partisipasi, yaitu: a. Partisipasi instrumental, yaitu partisipasi dilihat sebagai cara untuk mencapai sasaran tertentu. Caracara ini terutama terjadi ketika ada proyek dari luar dan masyarakat dilibatkan dalam proyek. b. Partisipasi transformasinal, yaitu partisipasi yang terjadi ketika partisipasi itu pada dirinya sendiri dipandang sebagai tujuan dan sekaligus sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi lagi. Mula-mula berswadaya dan selanjutnya berkelanjutan. Dari defenisi-defenisi partisipasi di atas terlihat bahwa pengertian partisipasi tidak dapat bersifat tunggal. Dalam keadaan yang berubah diperlukan defenisi partisipasi yang berbeda.
III. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM KONTEKS PENGELOLAAN HUTAN Dalam kebanyakan kasus kerusakan hutan, masyarakat merupakan pihak yang paling rentan dituduh sebagai agen pembawa masalah. Penyebabnya adalah karena sebagian terbesar kawasan hutan negara terletak bertumpang tindah dengan ruang hidup masyarakat tradisional yang umumnya miskin yang karena kemiskinannya lalu akan melakukan tindakan negatif terhadap hutan yang berdampak pada kerusakan hutan (Awang, 2004). Jika hal ini benar maka profil konflik menjadi jelas, yaitu adanya perbedaan cara pandang antara negara dan masyarakat di dalam memadang sumberdaya hutan. Negara di satu pihak, diberikan hak konstitusi untuk menguasai kawasan hutan tertentu. Sementara itu, Nugraha dan Murtijo (2004) menguraikan bahwa sebagian terbesar masyarakat desa hutan adalah masyarakat yang memiliki kesatuan budaya dengan kawasan hutan yang ada tidak perduli kawasan hutan tersebut milik negara atau bukan. Riwu Kaho (2006) ketika melakukan penelitian di kawasan Hutan Cagar Alam Mutis mengemukakan fakta bahwa meskipun kawasan tersebut adalah hutan negara akan tetapi masyarakat di sekitarnya menganggap kawasan Mutis sebagai ruang terlarang (forbidden space) warisan tradisional mereka. Koentjaraningrat (1982, dalam Nugraha dan Murtijo, 2004) mengemukakan bahwa yang disebut masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi sesuai dengan sistem adat istiadat tertentu yang sifatnya berkesinmabungan dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Adat istiadat dan identitas bersama meliputi banyak hal termasuk lingkungan hidup mereka seperti hutan, tanah dan air. Hal inilah yang disebut oleh Nugraha dan Murtijo (2004) sebagai pertanda eksistensi masyarakat desa hutan. Kesimpulannya adalah di dalam ekosistem kawasan hutan tertentu, hutan negara, bisa terdapat dua domain yang sama-sama memiliki klaim yang kuat terhadap lahan. Dalam keadaan demikian maka pendekatan yang diperlukan adalah pendekatan partisipatif dalam pola-pola kolaboratif. Dengan demikian maka konsep partisipatif untuk pemberdayan menjadi relevan untuk diperbincangkan. Hal terpenting adalah siapa saja yang harus berpatisipasi dan model parisipasi seperti apa. Mikkelsen (2003) menerangkan bahwa parameter yang harus dipertimbangkan dalam menentukan pihak-pihak yang berpartisipasi adalah : 1. Negara versus negara pada aras perbenturan kepentingan di antara kepentingan lokal versus kepentingan nasional. 2. Negara versus masyarakat. 3. Masyarakat versus masyarakat, yaitu perbenturan kepentingan di antara kalangan atas dengan kalangan yang termarjinalkan. Kemudian, menurut Mikkelsen (2003), pendekatan partisipasi yang mungkin dapat dikembangkan adalah : 1. Partisipasi pasif, yaitu salah satu pihak dianggap sebagai yang paling mengetahui sementara itu pihak lainnya bersikap pasif dan hanya beraktifitas sebagai tenaga kerja. Pengalaman pengelolaan hutan dengan pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) yang dipakai oleh Perum Perhutani di antara tahun 1975 – 1982 menggunakan pola partisipasi seperti ini. Petani diberi kesempatan untuk mengakses lahan perusahaan untuk usaha pertanian dan peternakan dalam pola tumpang sari. Program ini kurang berhasil karena kelompok organisasi petani tetap lemah dan tidak mandiri, pemasaran lemah dan terlalu menekankan kegiatan fisik (Awang, 2004). 2. Partisipasi aktif, yaitu dua pihak berdialog dan berkomunikasi dua arah dan membiarkan proses saling berinteraksi dalam hampir semua kegiatan. Pola-pola PMDH, HPH Bina Desa, dan HKm mirip dengan gagasan partisipasi model ini. Masayarakat dan pemerintah berdialog dan membagi peran dimana masayarakat bertindak sebagai pelaku utama dan pemerintah selaku fasilitator, pembagian manajemen berkeadilan, ada proses pembelajaran bersama, pemerdayaan ekonomi rakyat, public accountability, pendekatan kelembagaan dan sistem yang fleksibel dan dinamis. Program ini sebernarnya baik akan tetapi ketika HKm dilaksanakan di lahan hutan alam yang masih utuh (SK Menteri No. 677/1998) menyebabkan terjadinya penebangan yang tidak terencana (Awang, 2004). Tampaknya pada kasus kolaborasi yang kurang terencana dapat menyebabkan kerusakan kawasan hutan. 3. Partisipasi dengan keterikatan, yaitu satu pihak dikontrak oleh pihak lain dan pihak yang dikontrak diberi tanggung jawab tertentu baik kepada masyarakat lain maupun kepada pengontrak. Pola pelaksanaan GERHAN merupakan contoh model ini. Partisipasi seperti ini kadang-kadang memberikan dampak kurang baik ketika perhatian masyarakat lebih ditujukan pada insentif yang disediakan. 4. Partisipasi atas permintan setempat. Kegiatan dilakukan atas dasar permintan masyarakat agar sesuai dengan kebutuhan ril mereka. Pola dengan menggunakan metode Participatoris Rural Appraisal (PRA) merupakan contoh dari implementasi partisipasi model ini. Riwu Kaho (2006) dalam Prosiding Kupang 12 November 2007
73
penelitian yang dilakukan di hutan Taman Nasional Manupeu Tanadaru melaporkan bahwa dengan menggunakan pola partisipasi seperti ini maka lahan-lahan masyarakat yang ikut dipetakan pada masa pengukuran kawasan pola TGHK tahun 1980-an dapat dikembalikan kepada masyarakat. Sebagai imbalannya masyarakat menerbitkan kesepakatan pengelolaan alam desa yang berisikan peraturan yang memberikan sanksi hukuman bagi perusak kawasan hutan. Akhirnya, Hikmat (2006) berpendapat bahwa bekerja dalam kerangka berpikir partisipatif berarti memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat untuk saling bahu membahu bersama seluruh stakeholder lain dalam dan mempunyai komitment moral dan sosial yang tinggi yang meliputi : a. Perumusan konsep b. Penyusuna model c. Proses perencanaan d. Pelaksanaan gerakan pemberdayaan e. Pemantauan dan penilaian hasil pelaksanaan f. Pengembangan dan pelestarian gerakan pemberdayaan
IV. PENUTUP Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan yang mengalami kerusakan dapat dilakukan melalui pendekatan partisipatif masyarakat. Pola-pola pendekatan partisipatif yang dipilih haruslah merupakan pola yang mempertimbangkan kepentingan semua stakeholder sambil tetap memperhitungkan keseimbangan diantara semua aspek fungsi dan jasa lingkunan dari kawasan hutan. Akan tetapi pola terbaik adalah pola yang mampu memberdayakan masyarakat desa hutan sehingga dapat tumbuh menjadi masyarakat hutan yang mandiri dan berkeadilan dalam pengambilan keputusan dan kemudian melaksanakannya secara konsisten.
DAFTAR PUSTAKA Awang, S. A. 2004. Dekonstruksi Sosial Forestri. Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Bigraf Publishing, Jogjakarta. Dewan Kehutanan Nasional. 2009. Prioritas Pembangunan Kehutanan : Menyelamatkan Kekayaan Multifungsi Hutan dan Mewujudkan Keadilan Alokasi Pemanfaatan Hutan, Gedung Manggala Wanabhakti, Jakarta. Hikmat, H. 2006. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press, Bandung. Mikkelsen, B. 2003. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya Pemberdayaan. Yayasan Obor Indoensia, Jakarta. Nugraha, A. dan Murtijo. 2004. Antropologi Kehutanan. Wana Aksara, Tangerang, Banten. Riwu Kaho, L.M. 2006. Analisis Dampak Program Kehutanan Multi Pihak di Region Nusa Tenggara. Departemen Kehutanan RI dan DFID-England, Jakarta-Indonesia.
74
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
KONDISI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT DI KECAMATAN KIE, KABUPATEN TIMOR TENGAH SELATAN37 Oleh: 38 Ida Rachmawati
ABSTRAK Hutan rakyat mempunyai peranan penting dalam menjaga keberlangsungan daya dukung hutan (sistem lahan, sistem hidrologi, dan sumber kayu). Pendekatan pengelolaan hutan dilakukan dengan mengakomodasi beberapa kepentingan seperti kaidah konservasi, penghasilan, dan kesejahteraan. Studi yang dilakukan di beberapa desa di Kecamatan Kie Kabupaten Timor Tengah Selatan melalui wawancara terstruktur dan diskusi kelompok terarah (FGD) dengan menggunakan pendekatan secara partisipatif (PRA) serta pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa daya dukung lahan di areal hutan rakyat tergolong margin dengan kondisi bentang lahan bergunung-gunung, kemiringan 15-25%. Kondisi ini merupakan variabel yang harus diperhatikan dalam mengembangkan tanaman kemiri, gmelina, mahoni, rumput raja, rumput gajah, dan tanaman pangan. Hasil analisis kondisi sosial-budaya menunjukkan bahwa pemerintah desa dan kepemimpinan lokal mempunyai peranan kuat dalam pengembangan hutan rakyat. Pengorganisasian pengelolaan hutan rakyat di desa penelitian masih tergolong rendah walaupun permintaan masyarakat untuk mengembangkan hutan rakyat cukup tinggi. Petani di desa penelitian masih menggantungkan hidupnya dari hasil tanaman pertanian (jagung, kacang tanah, dan ubikayu). Pengembangan hutan rakyat dengan mengkombinasikan tanaman kehutanan, perkebunan, pangan, dan peternakan nampaknya akan memberikan nilai lebih bagi perekonomian keluarga. Kata kunci : Hutan, pendekatan partisipatif (PRA), kombinasi tanaman, geofisik, sosial budaya.
I. PENDAHULUAN Kecamatan Kie merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan yang sebagian besar wilayahnya merupakan wilayah ekosistem hutan yang khas sebagai penghasil kayu bakar, hasil hutan kayu dan non-kayu bagi masyarakat disekitarnya. Hutan rakyat sebagai bagian ekosistem hutan di wilayah tersebut memberikan kontribusi pada upaya pelestarian hutan dalam pengendalian hidrologi dan lahan. Oleh sebab itu pembinaan dan pengelolaan hutan rakyat secara berkesinambungan dengan memperhatikan semua komponen lingkungan terkait merupakan kebutuhan yang penting dalam pembangunan hutan dan kehutanan khususnya di Kecamatan Kie, dan umumnya di Kabupaten Timor Tengah Selatan. Sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 41/Kpts-II/1997, pengertian hutan rakyat adalah hutan yang dimiliki oleh rakyat dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha dan penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan lebih besar dari 50 % dan atau jumlah tanaman pada tahun pertama sebanyak minimal 500 pohon/ha (Departemen Kehutanan, 1997). Mengacu pada keputusan tersebut, maka kebijakan pembangunan hutan rakyat perlu diarahkan untuk pemenuhan kebutuhan kayu lokal, hasil hutan bukan kayu, serta konservasi tanah dan air. Pola pendekatan pengelolaan lahan untuk pembangunan hutan rakyat hendaknya sesuai dengan karakteristik lingkungan setempat dengan memanfaatkan kombinasi berbagai jenis pohon yang secara langsung mampu mengakomodasikan kepentingan konservasi, produksi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Olehkarena itu pengembangan hutan rakyat secara konseptual dan praktikal harus sesuai dengan kondisi wilayah lingkungan setempat (geofisik, biologi, sosial ekonomi dan sosial budaya). Pada tatanan sosial-budaya, pembangunan hutan rakyat pada lahan milik akan menimbulkan permasalahan dalam alokasi penggunaan lahan. Secara tradisi lahan merupakan modal dasar masyarakat dalam mengembangkan usahataninya yang dapat menghasilkan nilai ekonomi dalam jangka pendek dan pemenuhan kebutuhan pangan keluarga secara langsung. Hal ini memberikan acuan bahwa penggunaan lahan secara serbaguna dengan menggunakan kombinasi berbagai jenis tanaman (pangan, perkebunan, dan kehutanan) merupakan kebutuhan dasar untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna lahan yang sekaligus meningkatkan pendapatan masyarakat. Untuk mendukung kegiatan tersebut, tehnik pengelolaan yang dipraktekan harus sesuai dengan karakterisitik masyarakat setempat terutama yang berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilan yang rendah. Transfer tehnologi pengelolaan yang tidak sesuai dengan karakteristik budaya setempat tidak akan mempunyai nilai yang berkesinambungan. Aspek teknologi yang penting untuk dikaji dalam upaya pengembangan hutan rakyat antara lain penentuan kombinasi jenis tanaman, penentuan pola penanaman dan pengelolaanya. Pemilihan kombinasi tanaman dalam pemanfaatan lahan, harus memperhatikan keseimbangan pemanfaatan cahaya, air, dan unsur hara (Corner, 1983 dan Soetedjo at al., 1999). Hal ini didasarkan oleh kebutuhan spesifik setiap jenis tanaman terhadap ketiga variabel lingkungan tersebut. Pemilihan kombinasi jenis tanaman yang kurang tepat akan berpengaruh pada produktivitas lahan dan tanaman. Beberapa kriteria penting yang diperlukan dalam pemilihan kombinasi jenis adalah jenis cepat tumbuh, sesuai dengan kondisi tapak pengembangannya, mempunyai nilai ekonomi tinggi, dan disenangi oleh masyarakat. Jenis-jenis cepat tumbuh perlu diprioritaskan untuk mendapatkan hasil panen dalam waktu yang relatif singkat sehingga jenis terpilih memiliki daya saing yang tinggi. Dari segi aspek sosial ekonomi, hutan rakyat yang dikembangkan hendaknya mampu memberikan nilai tambah bagi kebutuhan dasar keluarga baik secara langsung maupun tak langsung. Pengelolaan yang dilakukan tetap harus memperhatikan keseimbangan komponen lingkungan lainnnya sehingga keberadaan hutan rakyat tersebut dapat dipelihara secara lestari dan berkesinambungan. Mengacu pada bahasan tersebut diatas, maka makalah ini disusun untuk dapat memberikan informasi tentang keberadaan hutan rakyat yang telah dipraktekkan oleh masyarakat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan sebagai satu ekosistem hutan yang mampu menunjang 37 38
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Peneliti pada BPK Kupang
Prosiding Kupang 12 November 2007
75
keberlangsungan daya dukungnya sebagai penunjang kehidupan masyarakat baik secara ekonomi maupun sosial-budaya
II. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Kegiatan Kegiatan dilaksanakan di lahan hutan rakyat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) Propinsi Nusa Tenggara Timur meliputi tiga desa yaitu Desa Napi, Oenai dan Enonapi. Penelitian dilakukan pada tahun 2006. B. Prosedur Kegiatan 1. Pendekatan Produktivitas lahan dan tanaman serta konservasi tanah diduga dapat dicapai melalui pengaturan sistem penanaman dan penganeka ragaman jenis tanaman. Pada sistem penanaman dan kombinasi jenis tanaman tertentu akan didapatkan model hutan rakyat yang sesuai dengan kondisi wilayah dan mampu memberikan manfaat ganda, yaitu manfaat ekonomi dan pemeliharaan lingkungan. Dalam hal ini sistem penanaman yang dikembangkan didasarkan pada kondisi sosial budaya masyarakat. Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada keinginan masyarakat dengan mempertimbangkan aspek ekonomi kesesuaian lahan, kemudahan dalam pemasaran dan aspek konservasi. Pengaturan model dan pola pertanaman merupakan aspek penting dalam menentukan kombinasi jenis tanaman. Indikator konservasi tanah dianalisis dari perubahan sifat fisik dan kimia tanah. 2. Bahan dan Peralatan Bahan dan peralatan yang diperlukan dalam kegiatan ini antara lain : daftar pertanyaan, alat perekam, peralatan lapangan (altimeter, GPS), peralatan laboratorium untuk analisis sifat fisik dan kimia tanah. 3. Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dengan wawancara terstruktur dan pengamatan langsung di lapangan dengan menggunakan metode PRA (pendekatan partisipatif) dan FGD (diskusi kelompok terarah). Data primer kondisi lahan hutan rakyat dengan pengamatan langsung di lapang mengenai kondisi fisiografi lahan, bentang lahan, jenis tanah, ketinggian tempat, lintang, iklim dan sifat fisik tanah. Beberapa contoh tanah diambil dan analis dan analis di laboratorium untuk mengetahui sifat kimia. Sedangkan wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Wawancara tersebut dilakukan untuk mengumpulkan data tentang: a) latar belakang responden, b) jenis tanaman dan pola tanam yang di usahakan, c) peran responden dalam kelembagaan dan lainnya. Responden yang diwawancarai mewakili kelompok a) masyarakat pemilik lahan , b) tokoh masyarakat/adat, c) kelompok tani, serta d) aparat desa yang dianggap mengetahui dan memahami masalah pengembangan hutan rakyat. Sedangkan data sekunder diperoleh dari instansi-instansi yang terkait seperti desa, kecamatan, Dinas Kehutanan dan lembaga pemerintah lainnya. Data yang diperoleh di analisis secara deskriptif.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Daerah Penelitian 2
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) dengan luas wilayah sekitar 3.947 km memiliki 21 kecamatan, 203 desa dan 12 kelurahan. Kondisi geografis dengan topografi berbukit sampai bergunung, kemiringan tanah antara 5-40%, tesktur tanah bervariasi dari lempung berpasir sampai lempung liat berpasir, dan struktur tanah remah sampai pejal. Hujan turun selama 3-4 bulan dengan bulan kering sebanyak 6-7 bulan dengan distribusi yang tidak merata (Soetedjo, 2000). Luas kawasan hutan 163.229,97 Ha sedangkan luas lahan kritis di dalam kawasan hutan 13.537 Ha dan luas lahan kritis di luar kawasan hutan sekitar 137.592 Ha. Pada daerah-daerah inilah penduduk Kabupaten TTS yang berjumlah 402.174 jiwa dengan kepadatan rata-rata 5 jiwa dalam satu rumah tangga, melakukan usahatani perladangan (tanaman pangan, perkebunan, dan kehutanan), dan peternakan dengan praktek usahatani tradisional (Anonim, 2003). Mengacu pada kondisi tersebut maka Dinas Kemakmuran (pertanian,kehutanan dan peternakan) wilayah Kecamatan Kie, Kabupaten TTS yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Amanuban Timur merencanakan dan berusaha melakukan kegiatan untuk merehabilitasi lahan-lahan kritis yang ada dengan program-program pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan diantaranya dengan menanam tanaman kehutanan (penghijauan), pengembangan hijauan pakan ternak, pelestarian lingkungan alam, dan pengembangan hutan rakyat. Hasil analisis secara langsung di lapangan dan analisis data sekunder menunjukkan bahwa pengembangan hutan rakyat di Kabupaten TTS khususnya dan di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) umumnya, memiliki nilai strategis yang diharapkan mampu menunjang kebutuhan hasil hutan kayu dan bukan kayu untuk kepentingan masyarakat, terutama peningkatan pendapatan. Masih luasnya lahan kosong yang belum dimanfaatkan merupakan salah satu aset potensial yang dapat mendukung pembangunan hutan rakyat, walaupun dalam beberapa kasus masih dibatasi oleh kondisi alam dan iklim. Kondisi geobio-fisik wilayah Nusa Tenggara Timur, merupakan salah satu faktor pembatas dalam pengelolaan tanaman sehingga jenis tanaman yang mampu beradaptasi dengan baik pada kondisi lingkungan yang ada akan mampu tumbuh dan berkembang dengan baik pula.
76
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
B. Kondisi Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di desa Napi, Kecamatan Kie, Kabupaten TTS terletak pada posisi 09°51”09,1’ LS dan 124°32’27,2” BT pada ketinggian 780-800 m diatas permukaan laut (dpl). Hasil analisis di lokasi penelitian menunjukkan bahwa lahan mempunyai fisiografi bergunung dengan kemiringan antara 15-25%, ketinggian tempat berkisar antara 700-800 meter di atas permukaan laut. Bentang lahan didominasi lereng yang cukup terjal dengan bukit-bukit tumpul diatas liat bergamping pada daerah kering dan punggung gunung panjang dengan singkapan batu gamping. Jenis tanah bervariasi antara Alfisol dan Inceptisol. Tanah Alfisol dengan tipe tanah Haplustalfs yaitu tipe tanah berwarna coklat dengan tingkat pelapukan cukup baik, lapisan bawah tanah berstekstur halus sampai sedang, kejenuhan basa sedang sampai tinggi, liat tergolong monmorilonit. Hasil analisis kimia tanah (Tabel 1) menunjukkan bahwa kandungan hara N, P, dan K tergolong rendah sampai sangat rendah, kadar Ca dan Mg cukup tinggi, kejenuhan basa tinggi di dominasi oleh kalsium-fosfor, kapasitas tukar kation cukup tinggi, pH cenderung alkalis. Tanah Inceptisol dengan tipe tanah Eutropepts yang dicirikan warna tanah kecoklatan sampai merah, drainase cukup baik, struktur halus yang merupakan campuran lumpur/liat/pasir, tingkat kejenuhan basa sedang sampai tinggi. Hasil analisis kimia tanah menunjukkan bahwa jenis tanah ini mengandung Ca dan Mg cukup tinggi, tetapi kandungan hara N, P, dan K rendah sampai sangat rendah, pH tanah cenderung Alkalis (Soetedjo, 2000). Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa tingkat erosi sedang sampai berat dengan kecenderungan berat bila tidak dilakukan pengelolaan lahan dengan tepat. Tabel 1. Sifat fisik dan kimia contoh tanah pada lokasi penelitian di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan No. N total C Organik Contoh (%) (%) 1 0,18 0,55
P2O5 (ppm) 16,50
K (me/100gr) 0,45
pH
Tekstur
7,83
Lempung liat berpasir 2 0,14 0.80 24,70 0.68 7,85 Lempung liat berpasir 3 0,12 0,67 25,50 0,66 7,80 Lempung berpasir Sumber : Hasil analisis contoh tanah di Laboratorium Tanah dan Tanaman BPTP, Naibonat dan Faperta Undana (2006)
Vegetasi dominan adalah cemara (Casuarina junghuhniana), kemiri (Aleuritas moluccana), kesambi (Schleichera oleosa), mahoni (Swietenia mahagoni), asam (Tamarindus indica), turi (Sesbania grandiflora), jarak pagar (Jatropha curcas), kelapa ( Cocos nicifera), dan tanaman semusim seperti padi gogo (Oryza sativa), jagung (Zea mays), dan kacang-kacangan. Beberapa jenis pohon tersebut merupakan pohon serbaguna yang memiliki keunggulan komparatif dan bernilai ekonomi tinggi. Mengacu pada hasil analisis di lapangan dan laboratorium serta hubungannya dengan pengembangan hutan rakyat di NTT, maka permasalahan kondisi geobio-fisik yang dihadapi adalah bagaimana memperoleh suatu teknologi pemanfaatan dan pengelolaan kondisi alam secara efisien, sehingga mampu meningkatkan kemampuan ekologi lahan untuk memperoleh hasil yang optimal dan kestabilan daya dukung lahan. Menurut Soetedjo (2000) beberapa faktor utama yang perlu dipertimbangkan sebagai indikator kemampuan dan kesesuaian penggunaan lahan adalah : a). faktor kelerengan/kemiringan lahan sebagai indikator potensi penurunan kualitas lahan akibat erosi, b). keberadaan vegetasi sebagai indikator pola penggunaan lahan, berdasarkan kemampuan adaptasi biofisik dari suatu jenis tumbuhan dan kesesuaian jenis tertentu terhadap keberadaan tempat tumbuh, c). tingkat kesuburan tanah, termasuk didalamnya sifat-sifat fisik dan kimia tanah, merupakan indikator potensi/kemampuan produktivitas lahan dan indikator penentuan alternatif perlakuan konservasi yang diperlukan untuk kesinambungan produktivitas lahan. C. Peran Pemerintah Desa dalam Pengembangan Hutan Rakyat Secara umum pemerintahan desa di Kecamatan Kie yang merupakan pemekaran dari Kecamatan Amanuban Timur menerima dengan baik program pengembangan hutan rakyat. Sistem pranata sosial masyarakat pedesaan di sekitar hutan merupakan suatu bentuk kelembagaan tradisional yang didasari oleh kuatnya adat istiadat dan budaya masyarakat di tiga desa lokasi penelitian khususnya dan di Propinsi NTT umumnya. Sistem kelembagaan ini memiliki struktur yang langgeng, yang dilaksanakan secara turun temurun. Dalam sistem ini masyarakat mampu mengatasi segala dinamika permasalahan dalam lingkungan masyarakat. Dalam hal pembangunan hutan rakyat dan kehutanan, keberadaan sistem pranata sosial ini merupakan suatu aset yang potensial, yang mampu menentukan diterima atau tidaknya suatu program pembangunan. Organisasi pemerintah, khususnya di bidang kehutanan merupakan subsistem dalam pembangunan masyarakat pedesaan, yang berperan sebagai motivator, dinamisator dan stabilisator untuk dapat mengimplementasikan kebijakan dan peraturan bidang kehutanan, sehingga dapat mempengaruhi, mendorong, dan mengarahkan dinamika masyarakat untuk mendukung jalannya pembangunan. Pemerintahan desa di lokasi penelitian (Desa Napi, Oenai, dan Enonapi) sangat mendukung pengembangan hutan rakyat, dengan mendorong warganya untuk membangun hutan rakyat. Secara praktikal sebagai kaji tindak dalam mendukung pengembangan hutan rakyat adalah didirikannya kelompok tani di kecamatan tersebut yang dimulai dari kelompok tani Ora et labora, Sinar tani, Kole dan beberapa kelompok tani lainnya dan selanjutnya berkembang menjadi 41 kelompok tani. Umumnya kelompok tani yang berada di Kecamatan Kie berumur muda. Tampaknya pranata sosial yang kuat dalam lingkungan keluarga dan kesadaran yang tinggi tentang rendahnya daya dukung lahan seperti telah diuraikan pada bab sebelumnya, memacu masyarakat untuk berpartisipasi dalam mendukung pengembangan hutan rakyat. Diharapkan dengan pengembangan hutan rakyat ini, maka kondisi lingkungan biogeo-fisik dapat diperbaiki yang secara langsung dan tak langsung akan berpengaruh positif pada kondisi lingkungan sosial-ekonomi dan sosial budaya di desa tersebut. Prosiding Kupang 12 November 2007
77
D. Peran Kepemimpinan Lokal dalam Pengembangan Hutan Rakyat Hasil analisis di lapangan dan hasil wawancara terstruktur dipadukan dengan pengumpulan data sekunder menunjukkan bahwa pemimpin lokal seperti tetua adat dan tuan tanah mempunyai peran yang cukup penting dalam pengembangan hutan rakyat. Penggunaan lahan milik masyarakat umumnya didasari oleh faktor kemampuan tenaga kerja dan faktor kebutuhan dasar seperti kebutuhan akan bahan pangan dan papan dalam jangka pendek, sehingga masih banyak lahan-lahan yang kosong yang belum mampu dikelola. Disamping itu sistem pengelolaan lahan tradisional yang sederhana, cenderung kurang memperhatikan kesinambungan pengelolaan daya dukung lahan yang berakibat terhadap penurunan produktivitas lahan. Secara umum budaya masyarakat untuk menanam tanaman jenis kayu-kayuan masih sangat rendah. Hal ini disebabkan masih sangat kuatnya budaya pertanian yang pada umumnya hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan keluarga yang bersumber dari tanaman pangan seperti jagung, ubi-ubian, dan buahbuahan (alpukat, mangga) yang umumnya ditanam dengan pola tanam campuran. Peran pemimpin lokal sangat diperlukan baik sebagai motivator, organisator sekaligus pelaksana dalam pengembangan penanaman jenis kayu-kayuan sebagai bagian utama pengembangan hutan rakyat. Motivator hutan rakyat di Kecamatan Kie adalah tuan tanah dan tetua adat. Tetua adat mempunyai peranan sentral disamping tuan tanah dalam menentukan tingkat pengelolaan lahan. Hal ini tampak dari pemilihan jenis tanaman yang akan ditanam dengan pola tertentu selalu didiskusikan bersama dalam kelompok tani dimana tetua adat didampingi ketua kelompok tani mempunyai peran yang besar dalam pengambilan keputusan. Dalam prakteknya tampak bahwa tetua adat, tuan tanah, dan ketua kelompok tani dengan tingkat pengetahuan yang lebih baik cenderung mengakomodasi kepentingan kelompok dan kebersamaan dalam melakukan pengelolaan lahan secara berkelompok. Tampaknya pada kondisi tertentu dan pertimbangan tertentu tetua adat dan ketua kelompok tani mempunyai peran yang besar dalam menentukan keputusan seperti pemilihan jenis pohon dengan nilai ekonomi tinggi, pemilihan lokasi hutan rakyat, dan pemilihan jenis pohon serbaguna. Hal ini disebabkan masyarakat percaya bahwa ketua kelompok tani dan tetua adat mempunyai sumber informasi lebih dibandingkan petani anggota kelompok. E. Organisasi Pengelola Hutan Rakyat Hutan rakyat di desa contoh pada mulanya dibangun dengan sumber dana dari Dinas Kehutanan, Kabupaten TTS. Bentuk kelembagaan pengelolaan hutan rakyat adalah kelompok tani. Luas areal garapan dalam hutan rakyat beragam seperti pada tahap awal sebesar 25 hektar di desa Napi, Oenai, dan Enonapi. Luas areal garapan hutan rakyat ini akan meningkat tergantung pada tingkat keberhasilan dari pengelolaan yang dilakukan pada tahap awal. Pendanaan berikutnya pada kurun waktu tertentu diharapkan dapat dikelola sendiri oleh kelompok tani. Hasil analisis di lapangan dan analisis deskriptif hasil wawancara terstruktur yang dipadukan dengan diskusi kelompok terarah menunjukkan bahwa pengelolaan hutan rakyat dilakukan secara berkelompok sesuai dengan nama kelompoknya pada masing-masing desa dengan tujuan utama untuk memudahkan pengaturan pengelolaan dan pembinaannya. Aturan-aturan organisasi kelompok tani dibuat secara bersama. Sebagian besar pengelola hutan rakyat di Kecamatan Kie berijasah SD. Pengelolaan hutan rakyat dilakukan bersama-sama pada hari tertentu dengan mempraktekkan sistem denda bagi yang berhalangan hadir. Sebagai contoh sistem kerja pada areal hutan rakyat dengan kegiatan konservasi tanah dan pengembangan pakan ternak hanya dilakukan pada Hari Senin dan Kamis, apabila ada anggota kelompok yang absen maka akan didenda sebesar Rp 2500,- perhari. Uang yang terkumpul digunakan untuk membeli sirih pinang yang akan dibagikan kepada anggota kelompok yang sedang bekerja. Rata-rata satu kelompok tani pengelola hutan rakyat mempunyai anggota 20-40 orang petani. Mengacu pada keanggotaan ini, maka luas hutan rakyat yang dikelola akan bervariasi sesuai dengan jumlah anggota kelompok tersebut. Jika rata-rata anggota kelompok mempunyai lahan 0,25 ha, maka luas hutan rakyat akan bervariasi antara 5 ha-10 ha. Hal ini akan berpengaruh pula pada hasil yang diperoleh oleh masing-masing anggota kelompok. Kelompok tani dengan keanggotaan yang relatif sedikit akan menemui kesulitan dalam mengelola hutan rakyat pada satuan yang lebih luas. Untuk meminimumkan kendala ini, maka peran fasilitator baik dari pemerintah, pimpinan lokal/tetua adat, dan ketua kelompok tani sangat diperlukan untuk meningkatkan jumlah anggota kelompok. Tampaknya insentif tertentu perlu dipikirkan seperti pemberian bonus berupa bibit tanaman serbaguna dengan nilai ekonomi tinggi dan beradaptasi baik pada kondisi setempat. F. Minat Masyarakat Permasalahan sosial yang ada di NTT secara umum dalam pengembangan hutan rakyat adalah belum mantapnya tehnik dan pola pengelolaan hutan rakyat yang mampu mengakomodasikan berbagai kepentingan dan kebutuhan jangka pendek petani seperti (untuk kebutuhan pangan, pakan ternak, kayu bakar dll), dan pengelolaan jangka panjang berdasarkan atas kemampuan dan kondisi sosial ekonomi yang ada. Hal ini disebabkan karena masyarakat tidak bisa menunggu hasil hutan rakyat dalam jangka waktu lima tahun atau lebih (umur panen kayu) sementara kebutuhan pangan keluarga sehari hari belum terpenuhi. Oleh karena itu pengembangan hutan rakyat dengan mengkombinasikan jenis pohon dengan tanaman pangan dan perkebunan, atau pohon serbaguna menjadi sangat penting. Proporsi kombinasi jenis-jenis tanaman tersebut hendaknya mengakomodasi kepentingan masyarakat dalam jangka pendek dan jangka panjang serta secara teknis dapat dipraktekkan. Lembaga pemerintahan diharapkan mampu berperan sebagai pendorong dan sekaligus terlibat dalam pengembangan hutan rakyat. Peningkatan koordinasi dan kerjasama yang baik antara kelembagaan formal/pemerintah dengan kelembagaan tradisional perlu dilakukan berkesinambungan. Hasil wawancara di lapang menunjukkan bahwa minat masyarakat desa Napi, Oenai, Enonapi dalam pengembangan hutan rakyat sudah cukup tinggi seperti tersaji pada Tabel 2, 3, dan 4. Hal ini dibuktikan
78
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
dengan permintaan masyarakat yang tinggi terhadap bibit-bibit tanaman kehutanan untuk ditanam di areal kebun/ lahan mereka seperti bibit mahoni, kemiri, gemelina, cendana, jati dan jenis lainnya juga jenis buah-buahan seperti alpukat, mangga dan jeruk. Menindaklanjuti minat masyarakat tersebut maka Dinas kehutanan Kabupaten TTS menyediakan bibit tanaman kehutanan untuk memacu pengembangan hutan rakyat. Tabel 2. Karakteristik pengembangan Hutan Rakyat di Desa Napi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Variabel Sumber daya manusia Sumber dana awal Motivator lokal
Karakteristik Sebagian besar berpendidikan SD Dinas Kehutanan Kab. TTS Ketua kelompok tani, kepala desa, tetua adat, tuan tanah 30 orang per kelompok
Jumlah anggota kelompok Luas areal Pembagian hasil Hak waris Pembagian kerja Jenis tanaman Jarak tanam Waktu kerja
25 hektar Pada lahan masing masing Anak pemilik lahan Dilaksanakan secara gotong royong Kemiri, gemelina, sengon 5x5M Hari Senin, Kamis, dan hari lainnya di kebun masing-masing 12 Pola tanam Tumpangsari dengan jagung 13 Partisipasi masyarakat Tinggi, setiap tahun mengharapkan bantuan bibit tanaman hutan/pohon serbaguna. 14 Pengaturan biaya Biaya awal dari Dinas Kehutanan Kab. TTS, pengembangan selanjutnya dan pemeliharaan oleh masingmasing keluarga pemilik lahan Sumber : Hasil wawancara terstruktur (2006) Tabel 3. Karakteristik pengembangan Hutan Rakyat di Desa Oenai No 1 2
Variabel Sumber daya manusia Sumber dana awal
3 4 5 6 7 8
Motivator lokal Jumlah anggota Luas areal Pembagian hasil Hak waris Pembagian kerja
9
Jenis tanaman
10 11
Jarak tanam Waktu kerja
12
Pola tanam
13
Partisipasi masyarakat
14
Pengaturan biaya
Karakteristik Sebagian besar berpendidikan SD Dinas Kehutanan Kab. TTS (pengembangan HR dan HR pengkayaan) Ketua kelompok tani,tetua adat, tuan tanah 30 orang dan 12 orang dalam 1 kelompok 25 hektar, 5 hektar Pada lahan masing-masing Untuk anak pemilik lahan Masing-masing mengelola lahan secara gotong royong Mahoni, kemiri, pakan ternak (rumput raja, rumput gajah), turi. 5 x 5 M, Tiap Hari Kamis, hari lainnya di lahan/di kebun masing-masing. Pertemuan kelompok tani disesuaikan dengan kebutuhan. Tumpangsari dengan jagung dan kacangkacangan Tinggi, dan mengharapkan bantuan bibit tanaman hutan/pohon serbaguna setiap tahun Biaya awal dari Dinas Kehutanan Kab. TTS, pengembangan selanjutnya oleh masing-masing keluarga pemilik
Sumber : Hasil wawancara terstruktur (2006)
Tabel 4. Karakteristik pengembangan Hutan Rakyat di Desa Enonapi No 1 2
Variabel Sumber daya manusia Sumber dana awal
3
Motivator lokal
4 5 6
Jumlah anggota kelompok Luas areal Pembagian hasil
7 8
Hak waris Pembagian kerja
Karakteristik Sebagian besar berpendidikan SD dan SMP Dinas Kehutanan Kab. TTS (pengembangan HR) Kepala desa, ketua kelompok tani, tetua adat, 30 orang dalam 1 kelompok 25 hektar Masing-masing memperoleh dari lahannya Untuk anak pemilik lahan Masing-masing mengelola lahan secara gotong royong
Prosiding Kupang 12 November 2007
79
Tabel 4. lanjutan No 9
Variabel Jenis tanaman
10 11
Jarak tanam Waktu kerja
12
Pola tanam
13
Partisipasi masyarakat
14
Pengaturan biaya
Karakteristik Mahoni, kemiri, gemelina, sengon, jambu mete,rumput raja, 5 x 5 M, dibuat teras Tiap hari di lahannya. Sebulan sekali pertemuan kelompok tani Tumpangsari dengan jagung dan sebagian ubikayu Tinggi, dan mengharapkan bantuan bibit tanaman hutan/pohon serbaguna setiap tahun Biaya awal dari Dinas Kehutanan Kab. TTS, pengembangan selanjutnya dan pemeliharaan oleh masing-masing keluarga pemilik
Sumber :Hasil wawancara terstruktur (2006)
G. Kondisi Sosial-Ekonomi Petani di Lokasi Penelitian Hasil wawancara terstruktur dan pengamatan langsung di lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar petani di lokasi penelitian mempunyai mata pencaharian utama sebagai petani. Jenis tanaman pangan yang diusahakan adalah jagung, kacang tanah, kacang hijau, ubi-ubian dan rumput pakan ternak. Sebagian petani mempunyai ternak besar seperti sapi dan ternak kecil seperti babi, kambing dan ayam. Ternak-ternak ini dipelihara sebagai salah satu sumber pangan pada musim kemarau yaitu dijual dan ditukar dengan beras. Selain sebagai petani yang mengelola kebun sendiri, sebagian besar petani di lokasi penelitian juga bekerja sebagai buruh tani pada tuan tanah yang mempunyai lahan cukup luas. Pekerjaan ini umumnya dilakukan secara berkelompok dalam satu keluarga atau kelompok tani tertentu dengan tujuan utama memudahkan pelaksanaan pekerjaan. Upah hasil pekerjaan yang telah dilakukan diterima dalam bentuk uang tunai dan bagi hasil. Hasil wawancara menunjukkan bahwa sebagian besar buruh tani tersebut lebih senang menerima uang tunai daripada bagi hasil. Hal ini disebabkan uang tunai tersebut dapat langsung mereka belanjakan untuk pemenuhan kebutuhan pangan sebelum hasil kebun mereka panen. Rata-rata penghasilan buruh tani tersebut berkisar antara Rp 20.000,- - Rp 25.000,- per 2 100 m per hari kerja (pukul 9.00-12.00). Besar kecilnya pendapatan yang mereka terima tergantung pada luas lahan yang mampu mereka garap. Rata-rata penghasilan perbulan dengan luas garapan 1-2 ha adalah Rp 200.000,- – Rp 250.000,- Hasil tanaman pangan (jagung, kacang tanah, dan ubi kayu) sebagian besar untuk konsumsi keluarga sendiri dan sebagian disimpan sebagai bibit untuk musim tanam berikutnya. Sedangkan hasil rumput pakan ternak sebagian untuk pakan ternak milik sendiri dan sebagian dijual dengan harga Rp 2000,-/ikat kecil dan biasanya petani menjual dalam kumpulan (10 ikat kecil digabung menjadi satu ikat besar) dengan harga Rp 20.000,-. Hal yang menarik adalah seringkali petani menukar 10 blek biji jagung kering (1 blek kira-kira 6 kg) atau 50 pohon ubi kayu siap panen dengan satu anak babi yang berumur dua bulan. Anak babi ini dipelihara selama dua tahun dan kemudian dijual untuk kebutuhan keluarga seharga Rp 1.000.000- Rp 1.200.000,-. Rata-rata petani dapat menukar 2-3 ekor anak babi. Pertukaran ini tampaknya memberikan keuntungan, namun keterbatasan jumlah ternak babi yang dapat ditukar menjadi salah satu kunci permasalahan rendahnya pendapatan yang dapat diterima oleh petani. Kondisi ini menjadi lebih buruk karena produktivitas tanaman pangan pada areal kebun petani cenderung terus menurun yang teridentifikasi dari produksi rata-rata tanaman jagung pada tahun 2000 sebesar 1.2 ton/ha, pada tahun 2006 turun menjadi 600 kg/ha. Produksi kacang tanah sebesar 950 kg/ha tahun 2000, turun menjadi 725 kg/ha pada tahun 2006, rata-rata produksi ubikayu pada tahun 2000 sebesar 6,23 ton/ha, pada tahun 2006 rata rata menjadi 3,25 ton/ha (Badan Pusat Statistik, 2006). Hal ini terutama disebabkan daya dukung lahan pada lokasi penelitian cenderung terus menurun sebagai akibat rendahnya praktek konservasi yang dilakukan seperti pembangunan teras dengan arah yang kurang tepat, rendahnya pengembalian bagian tanaman sebagai sumber bahan organik, dan pengaturan model tanam tidak beraturan. Hasil hutan yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan petani dilokasi penelitian dapat dikatakan kecil sekali. Hasil hutan berupa kayu-kayuan sebagian besar digunakan sebagai sumber kayu bakar. Sejumlah petani di lokasi penelitian menjual biji kemiri dan asam dari kebun mereka terutama pada musim kemarau, namun hasilnya masih sangat rendah. Sehubungan dengan aspek sosial ekonomi ini, maka perbaikan dan pengembangan hutan rakyat tampaknya akan memberikan harapan cukup baik pada masa mendatang bila dipraktekkan dengan benar seperti pemilihan jenis tanaman hutan dengan nilai ekonomi tinggi dan mampu berfungsi sebagai tanaman konservasi tanah dan air dengan kemampuan adaptabilitas tinggi. Kombinasi tanaman kehutanan dengan tanaman serbaguna membantu memenuhi kebutuhan petani jangka menengah dan panjang serta kombinasi dengan tanaman pangan untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek. Perbaikan daya dukung lahan dan tanaman dapat dilakukan dengan pemilihan pola tanam yang tepat sesuai dengan kondisi geobio-fisik setempat dan sesuai dengan sosial budaya setempat.
IV. KESIMPULAN 1. Hasil analisis kondisi biofisik menunjukkan bahwa lahan di lokasi penelitian tergolong margin. Kondisi di wilayah penelitian mempunyai geografis (topografi, kemiringan, tekstur dan struktur tanah) yang relatif berat dan menantang untuk pengembangan hutan rakyat dengan jenis kemiri, gmelina, mahoni, rumput raja, rumput gajah dan tanaman pangan. 2. Pemerintahan desa dan kepemimpinan lokal mempunyai peranan yang cukup kuat dalam pengembangan hutan rakyat
80
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
3. Organisasi pengelolaan hutan rakyat di desa contoh masih sangat terbatas meskipun sudah ada beberapa desa yang memulai membentuk kelompok tani. 4. Minat masyarakat dalam menunjang pengembangan hutan rakyat dan hutan makanan ternak di desa contoh cukup tinggi 5. Sebagian besar petani masih mengandalkan hasil kebun tanaman pangan seperti jagung, kacang tanah, dan ubikayu untuk pemenuhan kebutuhan keluarga dan sumber pendapatan. Petani di lokasi kegiatan juga bekerja sebagai buruh tani untuk menambah pendapatan keluarga. Pengembangan hutan rakyat dengan kombinasi tanaman kehutanan, tanaman serbaguna/ perkebunan, dan tanaman pangan akan memberikan tambahan pendapatan dan perbaikan lingkungan bila dipraktekkan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2003. Data Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2003. Badan Pusat Statistik 2006. Kabupaten Timor Tengah Selatan Dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan. Corner, D.J. 1983. Plant Stress Factors and Their Influence on Productions of Agroforestry Plant Associations in Huxely, P.A (Editor) : Plant Research and Agroforestry. ICRAF. Kenya Departemen Kehutanan. 1997. Naskah Keputusan Menteri Kehutanan N0 41/Kpts-II/1997 tentang Penyelenggaraan Hutan Rakyat. Departemen Kehutanan. Jakarta Soetedjo, IN. P, L. D. Martin, and D. Tenant. 1999. Productivity and Water Use of Intercrops of Field th Pea and Canola in Proceeding of the 9 Australian Agronomy Conference, Wagga Wagga. Soetedjo, IN. P. 2000. Study of Land Degradation in East Nusa Tenggara. Semi Ringkai. 2 : 6-13.
Prosiding Kupang 12 November 2007
81
DINAMIKA PERAN KEPEMIMPINAN LOKAL DALAM PENGELOLAAN HUTAN DI PULAU YAMDENA, MALUKU TENGGARA BARAT39 Oleh: 40 Budiyanto Dwi Prasetyo
ABSTRAK Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat memerlukan pendekatan yang adaptif dan familiar oleh berbagai pihak guna mengadopsi berbagai kearifan lokal yang ada. Pemahaman karakteristik masyarakat desa di sekitar hutan sangat diperlukan agar berbagai program kehutanan dapat diterima masyarakat. Penelitian ini bertujuan mengetahui dinamika peran kepemimpinan lokal secara sosio-historis dalam pengelolaan hutan di P. Yamdena, Maluku Tenggara Barat. Penelitian menggunakan pendekatan deskriptif (descriptive research) dengan melakukan studi pustaka. Pengumpulan data melalui pendokumentasian berbagai literatur yang terkait dengan fokus penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif naratif. Masyarakat pada desa-desa di P. Yamdena memiliki keterikatan adat dan ketaatan kepada pemimpin adat yang kuat. Hal itu dicirikan masih berlakunya sasi dan menempatkan kepala adat di kepengurusan lembaga formal. Kata Kunci : Kepemimpinan lokal, pengelolaan hutan, Pulau Yamdena
I. PENDAHULUAN Pengelolaan hutan dengan melibatkan masyarakat memerlukan pendekatan yang adaptif dan familiar oleh berbagai pihak. Hal itu penting dilakukan dalam rangka mengadopsi berbagai kearifan lokal yang ada demi menjadikan hutan lestari dan menyejahterakan masyarakat di sekitar hutan. Upaya tersebut memerlukan pendalaman yang akurat dan menyeluruh mengenai jenis kearifan lokal yang ada dan dapat menunjang pembangunan dan pelestarian hutan. Pemahaman karakteristik masyarakat desa di sekitar hutan juga sangat diperlukan agar berbagai program yang dilakukan dapat diterima masyarakat dan berjalan lancar. Pada sebuah masyarakat umumnya memiliki sistem sosial yang di dalamnya terdapat kepemimpinan lokal (local leadership). Menurut Berger dan Luckmann, orang yang berada dalam lingkaran kalangan kepemimpinan lokal termasuk sebagai significant others, yaitu suatu kalangan yang terdiri atas orangorang dengan status sosial tinggi, mampu menjadi ikon di masyarakatnya, dan selalu menjadi panutan (Berger dan Luckman, 1991). Keberadaan kepemimpinan lokal menjadi penting diantaranya untuk melanggengkan berbagai program yang hendak dilakukan di masyarakat tersebut. Kepemimpinan lokal menjadi kunci bagi kesuksesan pelaksanaan berbagai aktifitas di masyarakat desa. Hutan di P.Yamdena merupakan kawasan yang dikelilingi masyarakat desa dengan ketaatan tinggi kepada pimpinan lokal. Dalam berbagai catatan, pengelolaan hutan di P.Yamdena memiliki sejarah yang sarat konflik. Hal itu dialami baik oleh pemerintah maupun pihak swasta yang berniat mengelola hutan. Munculnya konflik lebih sering mengarah kepada persoalan penerimaan masyarakat terhadap pihak luar yang ingin masuk ke P. Yamdena. Pengabaian terhadap eksistensi nilai-nilai dan norma adat setempat menjadi titik tolak terjadinya konflik. Struktur masyarakat dengan nuansa adat yang kental, ketaatan terhadap pemimpin adat, serta karakteristik masyarakat yang sulit menerima sesuatu yang baru merupakan serangkaian faktor pemicu atas penolakan-penolakan masyarakat terhadap pihak luar yang hendak mengelola hutan. Di sisi lain, perubahan sosial ekonomi yang terjadi di P. Yamdena pun telah terjadi. Bertambahnya tingkat pendidikan masyarakat, masuknya teknologi dan informasi, dan mobilitas sektor ekonomi dan perdagangan telah mampu membuat perubahan sosial itu terjadi. Pertanyaannya kemudian adalah, apakah peran kepemimpinan lokal dalam pengelolaan hutan di P.Yamdena masih berjalan secara signifikan, guna membangun hutan lestari dan masyarakat sejahtera? Tulisan ini akan mengkaji secara sosio-historis dinamika peran kepemimpinan lokal dalam pengelolaan hutan di P.Yamdena.
II. METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengetahui dinamika peran kepemimpinan lokal secara sosio-historis dalam pengelolaan hutan dengan fokus penelitian terdiri atas aspek-aspek sebagai berikut : (1) aspek sosial ekonomi, (2) aspek politik dan budaya, meliputi pola kepemimpinan, penyelesaian konflik lahan, pengelolaan sumberdaya alam dan hasil hutan, sistem kepercayaan meliputi ritual dan mitos tentang hutan, dan (3) aspek kelembagaan formal dan non-formal. Penelitian ini dilakukan terhadap fakta sosial secara sosio-historis di 3 (tiga) desa yaitu Olilit, Ilngei, dan Tumbur di Pulau Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Penelitian dilakukan menggunakan pendekatan deskriptif (descriptive research) dengan melakukan studi pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan pendokumentasian berbagai literatur yang terkait dengan fokus penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif naratif.
III. KONDISI UMUM HUTAN DI PULAU YAMDENA Provinsi Maluku merupakan daerah kepulauan dengan jumlah pulau yang diperkirakan sekitar 559 buah. Luas wilayah Provinsi Maluku adalah sekitar 581.376 km² terdiri dari luas lautan sekitar 527.191 km² dan luas daratan sekitar 54.185 km². Wilayah daratan dengan luas sekitar 54.185 km² tersebut terdiri 39 40
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
82
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
dari 4 Kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara Barat seluas 15.033 km², Maluku Tenggara seluas 9.934 km², Maluku Tengah seluas 19.594 km² dan P.Buru seluas 9.247 km², serta Kota Ambon seluas 377 km². Kabupaten Maluku Tenggara Barat terdiri dari 5 kecamatan dengan 188 desa/kelurahan. Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara Barat berkedudukan di kota Saumlaki setelah pemekaran pada tahun 1999 dan menjadi kabupaten yang terpisah dari Kabupaten Maluku Tenggara. BPKH IX Ambon (2005) mencatat bahwa Kabupaten Maluku Tenggara Barat memiliki luas kawasan hutan seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Luas kawasan hutan Kabupaten Maluku Tenggara Barat No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sumber:
Fungsi Hutan lindung Hutan produksi Hutan produksi yang dapat dikonversi Hutan produksi terbatas Hutan konservasi Areal perluasan lahan Jumlah
Luas (Ha) 46.663,94 197.079,32 409.701,90 89.970,67 124.634,88 51.877,37 919.937,08
Ket.
Data BPKH Ambon, Berdasarkan peta kawasan Hutan dan Perairan Provinsi Maluku, Lampiran SK Menhutbun No.415/Kpts-II/1999, Tanggal 15 Juni 1999.
Luasan hutan berdasarkan fungsi kawasan pada Tabel 1 tersebut berubah pada tahun 2004 seperti dicatat Kanwil Kehutanan Propinsi Maluku yaitu; luas wilayah daratan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat meliputi hutan lindung 23.835 ha, hutan konservasi 8.488 ha, hutan produksi terbatas 237.696 ha, hutan produksi tetap 387.379 ha, areal penggunaan lain 213.499 ha, dan hutan konversi 826.121 ha.
IV. SOSIAL EKONOMI Menurut BPS MTB (2006), secara administrasi P.Yamdena terbagi menjadi dua wilayah kecamatan, yakni Kecamatan Tanimbar Utara dan Kecamatan Tanimbar Selatan. Keduanya termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Maluku Tenggara Barat, Propinsi Maluku. Kecamatan Tanimbar Selatan dengan 2 ibukota Saumlaki mempunyai luas 12.951,6 km yang mencakup 8 desa induk, 2 anak desa, dan 1 2 kelurahan. Sedangkan Kecamatan Tanimbar Utara luasnya adalah 40.299,6 km dengan ibukota Larat, memiliki 8 desa induk. Secara umum, kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat kedua kecamatan itu tidak berbeda. Penduduk P.Yamdena pada umumnya bertani sebagai sumber mata pencaharian utama. Pada tahun 2005 lebih dari 73,41% tenaga kerja di Tanimbar Selatan terlibat dalam usaha pertanian, selanjutnya 25,16% di sektor industri, dan 1,40% pada sektor jasa perdagangan dan jasa-jasa masyarakat. Sisanya mengisi lapangan kerja lain. Mayoritas penduduk di Tanimbar Selatan (52%) pemeluk agama Protestan, 46,8% Katolik, dan sisanya (1,2%) Islam. Pemeluk Protestan dan Katolik menyebar merata di Tanimbar Selatan, sedangkan pemeluk Islam hanya ada di Saumlaki. Di Kecamatan Tanimbar Selatan terdapat 20 gereja Katolik, 21 Gereja Protestan, dan 1 Masjid.
V. POLA KEPEMIMPINAN LOKAL A. Cara Pandang Masyarakat terhadap Hutan Dalam memahami hubungan antara manusia dengan lingkungan alamnya dapat digunakan gagasan Julian Steward mengenai cultural ecology, atau konsep ekologi kultural. Menurut Steward (dalam Mansoben, 2003) ekologi kultural adalah interaksi antara teknologi dan pola-pola kultural masyarakat yang ditetapkan untuk mengeksploitasi lingkungannya. Interaksi tersebut bersifat proses kreatif, yang terutama berasal dari mahluk manusia terhadap lingkungannya atau ekosistemnya. Proses kreatif ini sangat penting karena merupakan faktor determinan penting bagi perubahan kebudayaan. Mengikuti kerangka Steward, berikut dijelaskan hubungan masyarakat P.Yamdena dengan alamnya. Masyarakat di P.Yamdena memiliki hubungan yang unik dengan hutan. Hubungan tersebut tidak hanya berorientasi ekonomi saja melainkan juga mengacu kepada kepercayaan terhadap sesuatu yang sakral. Hutan oleh masyarakat dianggap seperti leluhurnya. Dalam ICTI (1993) diketahui bahwa hubungan masyarakat P.Yamdena dengan leluhurnya, khususnya di Tanimbar, sebagai satu kesatuan yang utuh. Meski secara fisik, leluhurnya telah meninggal dunia namun masyarakat tetap percaya bahwa leluhurnya akan tetap hidup dan selalu terlibat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kematian bukanlah sesuatu yang membatasi hubungan keduanya. Kematian justru membuat hubungan tersebut menjadi kekal. Masyarakat menghargai leluhurnya dengan cara tidak boleh sedikitpun mencemari hubungan sakral tersebut. Bila ada yang mengingkari hubungan itu maka sanksinya adalah sakit atau mati. Cara pandang masyarakat terhadap keberadaan hutan disekitarnya adalah bahwa hutan dianggap tempat sakral karena dipandang sebagai tempat bersemayamnya para leluhur. Di dalam hutanlah orang Tanimbar berkomunikasi dengan para leluhurnya. Siapapun yang hendak masuk hutan harus ijin kepada pemilik hutan. Pemilik hutan adalah marga yang ditasbih hukum adat sehingga memiliki wewenang atas wilayah hutan itu. Leluhur orang Tanimbar dipandang sebagai jaminan kelangsungan hidup, demikian halnya hutan itu sendiri. Merusak hutan berarti sama saja dengan merusak hubungan dengan leluhur. Orang Tanimbar mempertaruhkan hidupnya di dalam hutan. Mereka menemukan bahan-bahan dasar kekuatan supranatural seperti pada akar-akaran, daun-daunan, kulit-kulitan yang dipercaya berkhasiat mengusir kekuatan ghaib dan menyembuhkan berbagai penyakit. Ramuan ini dipercaya pula bisa memulihkan hubungan yang buruk dengan leluhur. Merusak hutan berarti menghancurkan salah satu sumberkekuatan masyarakat Tanimbar, yaitu kekuatan supranatural yang dapat menyembuhkan berbagai Prosiding Kupang 12 November 2007
83
penyakit dan kelemahan. Hubungan sakral yang timbal balik balik itu yang bisa membuat hutan tetap lestari (ICTI, 1993). Cara pandang terhadap hutan tersebut memiliki kecocokan dengan kerangka cultural ecology menurut Steward. Melalui cara pandang seperti itu masyarakat kemudian terkondisikan menjaga dan melestarikan hutan. Perangkat aturan dan sanksi dibuat sebagai sistem kontrol sosial atas keberadaan hutan dan sumberdaya yang ada di dalamnya. Pada masyarakat P.Yamdena perangkat sistem kontrol sosial itu dikenal dengan istilah sasi. Sistem sasi dibuat melalui kesepakatan bersama antar sesama masyarakat untuk mengendalikan eksploitasi hutan secara berlebihan dan menjaga hubungan harmonis antara manusia dengan hutan yang dipandang sebagai simbolisasi keberadaan leluhur. B. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Penggunaan lahan di P.Yamdena terdiri atas lahan pertanian dan lahan hutan. Lahan pertanian terbagi menjadi perladangan dan kebun. Perladangan dilakukan dengan sistem tebas bakar yang diikuti dengan penanaman tanaman pangan, antara lain jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, dan padi. Setelah kesuburan tanah menurun (3 tahun) mereka pindah ke tempat lain dan membuat ladang baru. Pada lahan yang sama ditanam tanaman tahunan seperti kelapa, jambu mete, dan kemiri. Penggunaan lahan pertanian yang lainnya adalah kebun. Tipe penggunaan lahan ini merupakan sistem pertanian dengan tanaman tahunan yang dibudidayakan terus menerus. Jenis tanaman yang paling banyak dikembangkan adalah kelapa. Sedangkan untuk hutan, secara garis besar hutan P.Yamdena termasuk tipe hutan tropika dataran rendah dan tipe Mosoon dengan batas yang tidak jelas (Rumboko dkk.,1997). Sumber daya yang dihasilkan hutan di P.Yamdena antara lain tanaman kayu seperti torim (Manikara konosiensis), lenggua (Pterocarpus indicus), kayu besi (Intsia pelembanica), rimba campuran lainnya. Diolah menjadi ladang selama 3
Tebas bakar
LAHAN
Masa subur habis
Bero selama 10 tahun hingga jadi belukar tua
Masa bero digunakan petani untuk berpindah/mencari lahan baru untuk dikelola dengan sistem & pola pertanian yang sama
Gambar 1. Pola pertanian tradisional sistem tebas bakar masyarakat P. Yamdena
Perladangan berpindah dengan sistem tebas bakar yang masih tradisional dapat dijelaskan seperti pada Gambar 1. Petani mengolah lahan selama 3 (tiga) tahun lalu membiarkannya tidak ditanami (bero). Kemudian mencari lahan baru untuk ditanami sampai pada rentang waktu lebih dari 10 (sepuluh) tahun, mereka kembali ke ladang awal yang sudah berubah jadi belukar tua untuk dikelola menjadi ladang. Kegiatan perladangan berpindah sistem tebang bakar tersebut dilakukan secara siklial dan diwarisi secara turun-temurun. Aktivitas pertanian dengan perladangan berpindah itu dilakukan dengan memperhitungkan hukum adat yang mengatur tentang penggunaan lahan serta sistem sasi yang melarang penggarapan lahan di tempat-tempat tertentu. C. Kepemimpinan Tradisional Suatu masyarakat umumnya memiliki sistem sosial yang di dalamnya terdapat kepemimpinan lokal (local leadership). Menurut Berger dan Luckmann, orang yang berada dalam lingkaran kalangan kepemimpinan lokal disebut sebagai significant others, yaitu suatu kalangan yang terdiri atas orang-orang dengan status sosial tinggi, mampu menjadi ikon di masyarakatnya, dan selalu menjadi panutan (Berger dan Luckman, 1991). Dalam istilah antropolog Clifford Geertz (dalam Kleden, 2006) pemimpin diperlakukan sebagai suatu exemplary center yaitu suatu pusat yang penuh teladan. Menurut Kleden (2006) paham tentang pemimpin panutan berasal dari masa aristokrasi, ketika hubungan patron-klien merupakan pola utama yang mengatur hubungan sosial. Mereka yang dianggap pemimpin, juragan atau pembesar menjadi model bagi perilaku rakyat biasa, anak buah atau para bawahan. Ungkapan bahasa Prancis noblesse oblige merupakan peninggalan dari masa aristokrasi, yang mempercayai bahwa status sosial yang lebih tinggi membawa serta kewajiban yang lebih banyak, termasuk di dalamnya juga kewajiban dalam memberikan teladan hidup. Menurut Max Weber (dalam Kleden 2006), pemimpin juga dianggap sebagai orang yang mempunyai moral virtuosi, yaitu orang-orang yang dikarunia kemampuan moral yang lebih tinggi dari kemampuan moral rata-rata orang kebanyakan. Kepemimpinan lokal pada masyarakat tradisional tentu mengharuskan adanya unsur moral vituosi dan exemplary center tersebut. Kepemimpinan tradisional pada masyarakat P.Yamdena mempunyai karakteristik tersendiri. Drabbe (1940) menjabarkan sistem pemerintahan masyarakat Tanimbar di P. Yamdena sebagai berikut: Masyarakat Tanimbar di P.Yamdena memiliki sistem pemerintahan dengan struktur antara lain, Mell Mangatanu yang berkedudukan sebagai pemimpin rapat (bangsawan). Kedua, Mell Mangsombe berkedudukan sebagai pembawa doa, dan Mell Mangufuayak berkedudukan sebagai humas atau bagian penerangan. Kelas sosial seperti ini terdapat di masing-masing desa. Masyarakat
84
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
disimbolisasi dalam wujud kapal layar. Dimana layar merupakan lambang dari masyarakat, sedangkan patung yang ada di depan merupakan Mangsombe. Mangsombe biasa merangkap Mell mpapat (pemukul tambur) dan Mell wilin (penasehat). Perahu dinamakan lempit lakat. Sebagai ketuanya adalah Mell Mangatanu (Gambar 2).
Mell Mangatanu
Mell Mangsombe/ Mell Willin/ Mell Mpapat
Mell Mangufuayak Masyarakat
Gambar 2. Struktur pemerintahan adat masyarakat P. Yamdena
Mangatanu dalam perkembangannya banyak menduduki posisi-posisi penting dalam jabatanjabatan formal di pemerintahan seperti menjadi kepala desa. Dalam rangka menyatukan persepsi guna penyaluran aspirasi rakyat dipilihlah satu orang wakil yang mengemban fungsi layaknya dewan perwakilan rakyat, yang dikenal dengan Latupati. Sementara di bawah para kepala desa atau petuanan terdapat kepala Soa yang memimpin beberapa marga dalam desa di mana setiap marga ada sekitar 2030 orang (Rumboko dkk., 1997). Dalam kehidupan sehari-hari sering ditemui dualisme kepemimpinan di masyarakat. Status sosial kepala adat dan jabatan kepala desa biasanya dirangkap jabatan oleh satu orang. Pada pelaksanaannya jabatan kepala desa lebih utama dalam mengambil kebijakan-kebijakan penting berbagai persoalan di masyarakat. D. Sistem Sasi Menurut Rumboko dkk. (1997), penguasaan tanah pada masyarakat P.Yamdena dikenal dengan sistem petuanan. Dimana kekuasaan tertinggi ada di tangan para ketua adat. Orang tidak bisa sembarangan menggunakan tanah yang ada. Setiap orang yang ingin mengusahakan tanah harus ijin melalui petuanan. Tanah-tanah yang telah diijinkan digarap bisa diwariskan kepada keturunan dari keluarga penggarap. Masyarakat memberi tanda pada tanah miliknya berupa pohon mangga atau pohon kelapa. Sistem pengamanan hasil produksi tanaman dari pencurian diterapkan sasi. Pada awalnya sasi adalah suatu putusan dari masyarakat, dimana orang saling berjanji dalam rentang waktu tertentu untuk tidak memetik kelapa atau tidak memotong daun lontar untuk menenun. Tujuannya adalah untuk mencegah pencurian pada kelapa dan menjaga supaya pohon lontar bisa tumbuh sampai tua dan dapat diambil hasilnya secara maksimal. Sanksi terhadap sasi adalah pembayaran denda kepada masyarakat berupa babi atau gading (Drabbe,1940). Pada perkembangannya sasi menjadi tanda bagi kepemilikan tanah baik secara perorangan maupun secara adat. Tanda sasi adalah pucuk kelapa yang diikat gantung pada sebuah kayu. Sanksi dari sasi ini bisa berupa denda uang, babi, dan sopi. Sasi juga diterapkan pada tempat-tempat keramat dan sumber mata air yang ditandai oleh tulang-tulang (Rumboko dkk., 1997). Sasi merupakan suatu perangkat hukum tradisional masyarakat P.Yamdena yang berlaku secara turun temurun. Keberadaan sasi menjadi penting ketika dihubungkan dengan konteks pengelolaan hutan. Drabbe (1940) menyebutkan, istilah sasi berasal dari bahasa Maluku yang berarti menaruh larangan di atas tanah-tanah atau batu-batu karang sebagai pengganti wali. Sasi oleh orang Yamdena disebut wambe, atau dalam bahasa fordata disebut waba. Pelaksanaan sasi biasanya dilakukan melalui upacara adat yang di hadiri berbagai unsur masyarakat. Masyarakat P.Yamdena terikat sasi secara adat. Pada kehidupan sehari-hari sasi merupakan tanda kepemilikan masyarakat atas kebun. Adapula kewang atau pembantu kepala adat yang bertugas untuk menjaga sasi. Biasanya pada daerah-daerah dan tanaman yang dianggap perlu untuk diawasi dipasang sasi secara kasat mata, berupa tanda silang dan tulisan sasi pada pohon. Demi menghargai leluhur dan para roh halus yang menguasai daerah-daerah tertentu di wilayah desa, hukum adat menetapkan diadakannya sasi di daerah tertentu. Tidak ada tanda alam seperti pohon, sungai, hewan yang mereka muliakan atau dianggap suci oleh masyarakat kecuali yang disepakati melalui sasi. Selain sasi adapula upacara adat yang mampu melindungi keberadaan hutan dari gangguan pihakpihak luar yang hendak mengeksploitasi di P.Yamdena. Pelaksanaan upacara adat dilakukan ketika pendatang (orang luar) masuk ke P.Yamdena untuk melakukan suatu kegiatan. Dalam BPKH IX Ambon (2005) diketahui, upacara dilakukan dengan cara tua-tua adat dan para tamu berkumpul di rumah kepala desa atau salah satu rumah yang ditetapkan mengatur acara adat. Dalam acara tersebut disiapkan satu botol sopi yang diletakkan di atas meja serta diberi alas bagian bawah botol dengan selembar uang kertas. Setelah upacara adat ini dilakukan dengan pembacaan doa-doa oleh kepala adat dengan bahasa setempat barulah semua tokoh adat dan para tamu meminum sopi sampai habis secara bersama-sama. Seluruh rangkaian upacara adat tersebut sebelumnya sudah mendapat restu dari ketua adat setempat. Pelaksanaan upacara adat seperti itu dilakukan secara insidentil dan bukan acara tahunan. Upacara adat lainnya yang sering dilakukan adalah pelantikan kepala desa secara adat. Seperti halnya sasi, upacara adat berfungsi sebagai kontrol sosial oleh masyarakat terhadap kemungkinan gangguan hutan dari pihakpihak yang tidak bertanggungjawab. Pemanfaatan sumberdaya alam di P.Yamdena merupakan persoalan yang tidak diatur dalam hukum adat. Keberadaan hukum adat semakin lemah dengan masuknya hukum legal (formal) yang berasal dari pemerintah. Pada kondisi politik setempat dimana terdapat dualisme kepemimpinan, penyelasaian masalah biasanya akan diambil alih kepala adat jika kepala desa sudah tidak mampu mengatasinya. E. Pola Penyelesaian Konflik Prosiding Kupang 12 November 2007
85
Kepemimpinan lokal di P.Yamdena secara garis besar terbagi atas kepemimpinan formal (formal leadership) dan informal (informal leadership). Kepemimpinan formal merupakan struktur yang dibentuk pemerintah dalam rangka pembagian wialayah secara administratif menurut hukum formal ketatanegaraan Republik Indonesia. Sedangkan kepemimpinan informal sudah ada sejak masyarakat P.Yamdena mendiami tempat tinggal mereka secara turun-temurun. Kepemimpinan informal tak lain adalah kepemimpinan tradisional. Struktur pemerintahan kepemimpinan informal terbentuk secara alamiah melalui proses belajar dari masyarakat itu sendiri. Peran kepemimpinan lokal lebih kuat terinternalisasi di masyarakat daripada kepemimpinan formal. Hal itu ditemukan pada kasus rangkap jabatan oleh tokoh pemimpin informal terhadap jabatan formal, misalnya jabatan kepala desa dijabat oleh ketua adat atau Latupati (Rumboko dkk., 1997 dan BPKH IX Ambon, 2005). Dari fenomena ini diperoleh gambaran bahwa masyarakat lebih mempercayai pemimpin informal untuk memimpin mereka. Di sisi lain, sikap adaptif ditunjukan masyarakat P.Yamdena dengan tetap menerima adanya struktur pemerintahan modern yang dipimpin kepala desa dengan tetap menjadikan ketua adat sebagai pejabatnya. Konflik yang muncul antara PT. ANS (Alam Nusa Segar) selaku perusahaan pemegang HPH dengan masyarakat setempat pada dekade 1990-an silam merupakan wujud gagalnya pendekatan yang dilakukan terhadap masyarakat (Effendy dan Arif, 1998). Hal itu terjadi karena pendekatan yang dilakukan PT. ANS hanya terhadap pemimpin formal saja. Dimana simbol pemimpin diartikan hanya terdapat pada institusi formal kepala desa saja. Kondisi tersebut diperburuk dengan adanya campurtangan pihak-pihak mengatasnamakan masyarakat P.Yamdena yang menolak pengelolaan hutan oleh perusahaan HPH. Meski argumentasi mereka didukung hasil studi dan kajian tentang ekologi, sosial, dan ekonomi, akan tetapi hal itu tetap saja memunculkan vested interest yang menguntungkan pihak yang mengatasnamakan masyarakat tersebut. Penerimaan masyarakat di tingkat bawah diwujudkan dengan diadakannya upacara adat ketika pengoperasian kembali HPH pasca dicabutnya ijin PT ANS. Penerimaan itu dilakukan dengan sebelumnya dilakukan pendekatan secara adat terhadap pemimpin formal yang ada (Effendy dan Arif, 1998). Penerimaan disimbolisasi dengan dilakukannya upacara adat penyambutan tamu oleh masyarakat yang dipimpin tokoh dan tetua adat setempat. Hal ini menunjukkan bahwa secara adat dan normatif keberadaan perusahaan HPH diterima masyarakat. Sikap masyarakat yang lebih percaya dan patuh kepada kepemimpinan informal telah mampu mendamaikan suasana ketika ketua adat menghendaki adanya perdamaian di P.Yamdena, meski pada akhirnya kasus tersebut berujung pada dihentikannya seluruh kegiatan HPH di P. Yamdena.
VI. KELEMBAGAAN A. Informal Sebelum dibentuk desa sesuai UU No.5/1979 di P.Yamdena terdapat kekuasaan adat disebut nagari dipimpin Raja atau Latu atau Pati (Latupati). Aturan adat cukup khas, dijadikan landasan untuk menjalankan pemerintahan lokal. Konflik sosial diatasi oleh ketua adat dengan aturan setempat. Kepala adat dilengkapi dengan pembantu kepala adat (saniri atau kewang). Namun fungsi lembaga masyarakat adat mulai berkurang seiring adanya Lembaga Masyarakat Desa (Effendy dan Arif, 1998). Kedudukan ketua adat di masyarakat masih kuat. Sebagian besar masyarakat menginginkan jabatan formal dirangkap oleh ketua adat (Rumboko, Ahmad dan Harisetijono, 1997). Secara historis kehidupan masyarakat bersifat patrimonialistik dimana masyarakat sangat patuh dan setia terhadap ketua adat. Pada konsep kelembagaan adat dikenal adanya tanah petuanan atau tanah ulayat. Karena batas-batas tanah petuanan yang tidak jelas. Keberadaan tanah petuanan ini sering menjadi sumber perselisihan antar marga. Hal ini pula yang menjadi salah satu pemicu konflik antara warga dengan perusahaan pemegang HPH dekade 1990-an, yaitu terkait isu eksistensi hak tanah petuanan
B. Formal Upaya pemerintah dalam upaya memajukan kesejahteraan masyarakat serta mendukung demokrasi yang bersifat desentralisasi membuat perkembangan berarti di sektor kelembagaan formal. Selain struktur pemerintahan yang sudah terbentuk sesuai dengan UU No.22/2002 tentang otonomi daerah, terdapat pula lembaga-lembaga formal pendukung kinerja pemerintah dan pemberdayaan masyarakat. Di antaranya seperti LKMD, KUD, LMD, Karang Taruna, PKK, dan lembaga adat yang terdapat hampir di setiap desa (BPKH Ambon, 2005). Kelembagaan tersebut secara definitif memang sudah dibentuk, namun secara praktis banyak yang tidak aktif maupun vakum. Hal itu sesuai dengan situasi dan kondisi serta tingkat partisipasi masyarakat yang berbeda-beda di setiap desa.
VII. PENUTUP Hasil studi pendokumentasian berbagai literatur terkait kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya dalam konteks kehutanan secara umum di P.Yamdena dapat dijelaskan bahwa masyarakat P.Yamdena memiliki keterkaitan yang kuat terhadap adat istiadat. Hal itu dapat dilihat dari realitas yang menggambarkan hampir semua aktivitas masyarakat dalam pengelolaan hutan yang masih terikat adat. Keterikatan terhadap adat bisa dinilai sebagai sebuah kearifan lokal dalam konteks pengelolaan hutan. Cara pandang masyarakat yang menganggap hutan sebagai jelmaan leluhurnya, adanya dualisme kepemimpinan, ketaatan terhadap pemimpin adat yang bersifat patron-klien, adanya sistem sasi dan upacara penyambutan tamu, serta manajemen konflik secara tradisional membuktikan bahwa masyarakat P.Yamdena pada dasarnya mempunyai sistem sosial lengkap dengan pranata sosialnya yang dapat mendukung upaya pelestarian dan pengembangan hutan. Terdapatnya kelembagaan formal
86
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
dan informal menggambarkan bahwa masyarakat sebenarnya masih berada dalam proses transisi menerima sesuatu yang baru.
DAFTAR PUSTAKA Berger, P. L. dan T. Luckmann. 1991. Tafsir Sosial atas Kenyataan, Sebuah Risalah Sosiologi Pengetahuan. LP3ES. Jakarta. BPKH IX Ambon. 2005. Laporan Identifikasi Sosial Budaya Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. BPS MTB. 2006. Maluku Tenggara Barat dalam Angka 2005-2006. BPS Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Saumlaki dan Budaya Lokal dalam Pengelolaan Hutan di Pulau Yamdena. Prosiding Ekspose/Diskusi Hasil-hasil Penelitian. Balai Penellitian Kehutanan Kupang. Kupang. Drabbe, P. 1940. Etnografi Tanimbar. Leiden. Effendy, H. dan Arief. 1998. Mencermati Masalah HPH di P.Yamdena, Kasus Pengelolaan Ekosistem Pulau. Majalah Kehutanan Indonesia. Edisi 1: 11-17. Jakarta. ITCI. 1993. Potensi dan Peluang Pembangunan P. Yamdena, Kabupaten Maluku Tenggara, Propinsi Maluku, (investment scheme). Ikatan Cendekiawan Tanimbar Indonesia, Jakarta. Kleden, I.. 2006. Pemimpin Panutan atau Pemimpin Demokratis. Surat Kabar Harian Kompas. Edisi 6 Juni (hal. 7). Jakarta. Mansoben, J. R. 2003. Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau dari Aspek Budaya. Rumboko, W.L.. Ahmad, Choirul dan Harisetijono. 1997. Peran Kepemimpinan.
Prosiding Kupang 12 November 2007
87
NILAI EKONOMI SUMBERDAYA AIR : Studi Kasus Desa Santong, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat41 Oleh : 42 Eko Pujiono
ABSTRAK Kajian ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang konservasi sumberdaya air. Kajian ini difokuskan kepada pemberian informasi kepada masyarakat tentang potensi sumberdaya air, nilai ekonomi sumberdaya air dan beberapa aspek yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air. Metode yang digunakan dengan pendekatan kualitatif dengan cara observasi, survei, wawancara dan penyebaran kuisioner. Responden diambil secara purposif dari masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Kajian ini dilaksanakan di Desa Santong, Kecamatan Kahyangan, Kabupaten Lombok Barat yang terletak di kaki Gunung Rinjani. Hasil kajian ini 3 menunjukkan bahwa potensi sumberdaya air sebesar 67.108,61 m /tahun yang berasal dari satu sungai dan lima 3 mata air. Potensi sumberdaya air dari air hujan sebesar 17,6 juta m /tahun didasarkan pada luas wilayah Santong 880 ha dan curah hujan 2000mm/th. Masyarakat desa Santong memanfaatkan sumber daya air untuk keperluan rumah tangga, irigasi dan pembangkit tenaga listrik. Nilai ekonomi sumberdaya air sebesar Rp.5,048 Milyard /tahun. Nilai ini diestimasi dengan Teknik Berdasarkan Pasar. Kuantifikasi nilai sumberdaya air diharapkan menambah pengetahuan masyarakat tentang manfaat sumberdaya air dan pentingnya konservasi sumber daya air. Kata kunci : Pengelolaan, nilai ekonomi, sumberdaya air
I. PENDAHULUAN Persoalan kehutanan di Pulau Lombok setidaknya dapat dipotret dari kondisi sumberdaya airnya. Menurut Humaidi (2006) terdapat 12 mata air di dua Daerah Aliran Sungai (DAS) yang mengalami 2 penurunan debit air sangat tajam, yaitu sumber mata air di DAS Dodokan (luas 2.027 km ) mengalami 2 penurunan debit rata-rata mencapai 61,2%, DAS Menanga (luas 1.013 km ) mengalami penurunan debit air rata-rata 63,40%, hanya dalam kurun waktu tiga tahun (2000-2003). Data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Nusa Tenggara Barat (2005), menunjukkan bahwa tahun 1985 di seluruh wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) terdapat 702 titik mata air, dan pada tahun 2000 tersisa 262 titik mata air dimana 40 titik mata air diantaranya dalam keadaan mati. Dapat dibayangkan bahwa dalam jangka waktu 15 tahun, Propinsi NTB telah kehilangan 440 titik mata air (Markum, dkk, 2004). Lombok Barat merupakan salah satu kabupaten di NTB yang di beberapa wilayahnya terjadi penurunan debit air. Balai Hidrologi NTB (2003) dalam Markum, dkk, (2004) menyatakan bahwa akibat kerusakan hutan di Lombok Barat, telah terjadi penurunan debit air untuk setiap sumber mata air (sungai) sebanyak 2,5 liter/detik setiap tahun. Salah satu wilayah di Lombok Barat yang mengalami penurunan debit air ini adalah Desa Santong, yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan Resort Santong, Seksi Konservasi Wilayah I, Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR). Dalam kurun waktu tiga tahun (2003-2005), telah terjadi penurunan debit air di Sungai Sidutan (sungai utama yang mengalir di Desa Santong). Debit air di sungai Sidutan tahun 2003 adalah 2743 liter/detik, turun menjadi 1647 liter/detik pada tahun 2004 dan terjadi penurunan lagi di tahun 2005 menjadi 1168 liter/detik (Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Wilayah Pengamatan Kayangan, 2006).Penurunan debit ini salah satunya disebabkan oleh maraknya perambahan kawasan dan penebangan hutan di kawasan TNGR yang menjadi hulu dari Sungai Sidutan. Asdak (2004), menyatakan penebangan atau konversi hutan di daerah pegunungan ini akan dapat mengurangi atau menghilangkan kelembaban udara sehingga secara nyata dapat menurunkan curah hujan dan hasil air dari tempat tersebut. Apabila hal ini berlanjut terus dari tahun ke tahun, dikhawatirkan terjadi krisis sumberdaya air di wilayah Desa Santong dan sekitarnya. Kekhawatiran terhadap krisis sumberdaya air ini terutama berhubungan dengan terancamnya sistem produksi pada sektor pertanian, yang selama ini mengandalkan air yang berasal dari Kawasan Rinjani. Selain itu dengan semakin terbatasnya sumberdaya air, problem sosial berupa konflik dalam memperebutkan sumber air akan lebih sering terjadi, baik itu antar masyarakat, antara masyarakat dengan pengelola sumberdaya air atau antar pengelola sumberdaya air itu sendiri. Keterbatasan pengetahuan masyarakat tentang manfaat kawasan hutan dan sumber daya di dalamnya untuk jangka panjang menjadi salah satu penyebab rendahnya kesadaran masyarakat terhadap perlindungan kawasan hutan. Dalam rangka peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perlindungan kawasan, terutama yang berhubungan dengan kelestarian sumberdaya air di kawasan Rinjani, maka perlu dilakukan kajian tentang manfaat/nilai ekonomi sumberdaya air yang dalam hal ini mengambil contoh kasus pengelolaan sumberdaya air di Desa Santong. Makalah ini membahas mengenai nilai ekonomi sumberdaya air dengan menyajikan data dan informasi tentang potensi, pemanfaatan dan nilai ekonomis sumberdaya air di Desa Santong. Diharapkan informasi ini bermanfaat bagi pemerintah sebagai pengambil kebijakan dan masyarakat sebagai bahan penyadaran akan arti pentingnya sumberdaya air serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya air.
II. METODOLOGI
41 42
Makalah pada Ekspose Hasil-Hasil Penelitian BPK Kupang. Kupang, 13 Desember 2007 Calon Peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang
88
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
A. Tempat dan Waktu Penelitian Kegiatan ini dilakukan di Desa Santong, Kecamatan Kayangan, Kabupaten Lombok Barat yang berbatasan langsung dengan Kawasan Hutan Resort Santong, Seksi Konservasi Wilayah I Lombok Barat, TNGR. Waktu pelaksanaan kegiatan Januari–Februari 2006. B. Pendekatan Penelitian Kajian ini menerapkan metode survei, yaitu penelitian yang diadakan untuk memperoleh fakta-fakta dari gejala-gejala yang ada dan mencari keterangan-keterangan secara faktual, baik tentang institusi sosial, ekonomi, atau politik dari suatu kelompok atau daerah. C. Metode Pengambilan Contoh/Responden Pengambilan Responden dilakukan dengan metode : Purposive Sampling, dengan contoh masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan Resort Santong, Seksi Konservasi Wilayah I Lombok Barat, Taman Nasional Gunung Rinjani. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara, observasi dan survei lapangan, serta metode angket/questionnaire. E. Pengolahan dan Analisis Data Perhitungan nilai ekonomis air menggunakan Teknik Berdasarkan Pasar (Dixon dan Sherman, 1990 dalam Wiratno et al., 2004). Teknik ini menggunakan harga pasar aktual sebagai harga yang dianggap mendekati nilai sumber daya air. Jenis-jenis data yang telah diolah dalam bentuk tabel, selanjutnya dianalisis dan dicari hubungan antar data, diperbandingkan antara hasil yang diperoleh dengan hasil penelitian-penelitian terdahulu sehingga dapat diperoleh penjelasan terhadap hubungan-hubungan yang terjadi, baik dalam bentuk kausalitas (sebab akibat) atau relasi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Sumberdaya Air Sumber daya air di desa Santong berasal dari mata air dan Sungai Sidutan, yang merupakan sungai utama yang membelah Desa Santong. 1. Mata Air Di Desa Santong terdapat lima mata air dan masyarakat Desa Santong memanfaatkan air untuk keperluan air bersih dan irigasi pertanian (Tabel 1). Tabel 1. Inventarisasi mata air di Desa Santong tahun 2004 Debit aliran (liter/detik) Pemanfaatan max min Rerata Kaling Panas 70 30 50 Air bersih dan irigasi Tempos Moreng 200 80 100 Air bersih dan irigasi Subak Sepuluh 100 30 60 Air bersih dan irigasi Sumur Empat 200 80 120 Air bersih Batu Bara 250 100 150 Air bersih dan irigasi Jumlah 480 Sumber : Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Propinsi NTB, 2004 Nama mata air
Dari debit reratanya, kelima mata air tersebut menghasilkan air sebanyak 480 liter/detik atau 3 15.137,28 m /tahun. 2. Bendungan/Embung Di Desa Santong terdapat bendungan atau embung yang berasal dari Sungai Sidutan yang hulu sungainya berada di kawasan Gunung Rinjani. Data dari Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Wilayah Pengamatan Kayangan (2006) menunjukkan bendungan ini dibuat pada tahun 1953, dengan lebar bangunan 24 meter (berbentuk persegi). Bendungan ini memiliki luas irigasi 1471 ha, atau dapat diartikan kemampuan bendungan tersebut adalah dapat mengairi sawah seluas 1471 ha. Pengukuran debit terakhir oleh Dinas Pekerjaan Umum, Sub Dinas Pengairan Wilayah Pengamatan Kayangan tahun 2005 menghasilkan debit rerata 3 sebesar 1168 liter/detik atau sebesar 36.834,05 m /tahun. Dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa besarnya potensi/ketersediaan air di desa Santong 3 adalah 67.108,61 m /tahun (penjumlahan debit rerata lima mata air dan Sungai Sidutan). Ketersediaan air tersebut jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan potensi atau ketersediaan air yang dihitung berdasarkan tingkat curah hujan. Dengan curah hujan sebesar 2000 mm/th dengan luas wilayah sebesar 880 ha (Anonimous, 2005), maka ketersediaan air (dari curah hujan) di Desa 3 Santong adalah sebesar 17,6 juta m /tahun.
Prosiding Kupang 12 November 2007
89
B. Pemanfaatan dan Nilai Ekonomi Sumberdaya Air 1. Irigasi Sarana dan prasarana pendukung berupa bendungan dengan lebar 24 meter beserta dengan bangunan irigasi yang dilengkapi dengan saluran sepanjang 8,68 km yang terdiri dari 1,30 km saluran primer dan 7,38 km saluran sekunder. (Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Propinsi NTB, 2004).Luas daerah yang dapat dialiri adalah 1471 ha dengan wilayah cakupan meliputi empat desa yaitu : Gumantar, Sesait, Kayangan dan Santong. Untuk desa Santong luasan yang dialiri adalah 391 ha. Dengan adanya irigasi tersebut produktivitas per ha tanaman padi mencapai 4,5 ton/ha. Besarnya konsumsi air untuk keperluan irigasi di desa Santong diestimasi dari data kebutuhan air irigasi di Satuan Wilayah Sungai (SWS) Lombok (Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi NTB, 2005). Estimasi kebutuhan air irigasi yang menyebutkan bahwa, pada periode pertama (Oktober3 Januari) konsumsi air irigasi adalah 441,87 juta m /th, periode kedua (Februari-Mei) adalah 216,03 juta 3 m /th,sedang periode ketiga hampir tidak memerlukan pasokan air. Dari perhitungan konsumsi air irigasi 3 per bulan didapatkan hasil 2560 m /ha. Dengan jumlah bulan pengairan sebanyak delapan bulan dan 3 luas irigasi 391 ha, didapatkan konsumsi air irigasi desa Santong per tahun adalah 8,62 juta m . Pemanfaatan sumber daya air untuk kepentingan irigasi menghasilkan nilai ekonomis sebesar Rp. 3,519 Milyar, yang diestimasi dengan proses perhitungan: a. Frekuensi panen : 2 kali dalam setahun b. Harga Padi : Rp. 1000 /kg c. Produksi/ha : 4500 kg d. Luasan irigasi : 391 ha e. Perolehan total : Rp. 3,519 Milyar Apabila tidak ada air irigasi, masyarakat akan mengalami kerugian sebesar perolehan di atas. Pemanfaatan air untuk irigasi ini mengandung arti bahwa masyarakat atau petani disubsidi oleh sumber daya air. 1. Keperluan Rumah Tangga Di desa Santong sebanyak 1675 Kepala Keluarga (KK) yang memanfaatkan air sungai untuk keperluan rumah tangga, sedangkan 1500 KK lainnya menggunakan sarana perpipaan dengan sumber air dari mata air untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga. (Anonimous, 2005). Sarana dan prasarana pendukungnya adalah adanya saluran perpipaan sebanyak 226, bak umum 32 buah. (Anonimous, 2002). Mengingat sebagian warga masih menggunakan sungai untuk keperluan rumah tangga, maka penentuan konsumsi air untuk rumah tangga ini susah untuk dilakukan. Untuk mengetahui nilai yang mendekati, maka dilakukan estimasi dengan membandingkan konsumsi air dengan jumlah pelanggan di Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), yang dalam hal ini adalah PDAM Menang, selaku pengelola jasa air di Kabupaten Lombok Barat. Data yang diperoleh di PDAM Menang, pada Juni 2005, besarnya 3 konsumsi air adalah 8,51 juta m , sedangkan jumlah pelanggannya adalah 46.832 Satuan Rumah (SR) dimana 1 SR diasumsikan sebanyak enam orang. Dalam proses penghitungan ini, SR kemudian diasumsikan sama dengan Kepala keluarga (KK). Dengan jumlah KK sebanyak 1675, maka total 3 konsumsi untuk rumah tangga di desa Santong per tahun adalah 608.739,75 m . Nilai ekonomi sumberdaya air untuk pengelolaan jasa air minum ini, diestimasi dari konsumsi dan tarif yang berlaku di PDAM. Besarnya konsumsi dapat dilihat pada bagian sebelumnya. a. Jumlah konsumen : 1675 KK 3 b. Konsumsi per tahun : 363,43 m /KK 3 3 a. Tarip per m : Rp. 2500, untuk pemakaian >30 m /bl c. Perolehan : Rp. 1,52 Milyar/tahun 2. Pembangkit Listrik Salah satu penggunaan energi air adalah untuk membangkitkan tenaga listrik, seperti Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro adalah peralatan pembangkit listrik yang memanfaatkan energi air skala kecil dan adanya beda tinggi aliran air sehingga dapat menghasilkan tenaga listrik. Secara umum pembangunan PLTMH selalu menggunakan saluran irigasi tanpa mengurangi pemakaian air untuk pertanian. Sarana dan prasarana penunjang adalah Rumah Pembangkit (Power House) 1 unit beserta alat-alat pembangkitnya. Spesifikasi PLTMH Santong adalah sbb: a. Daya terpasang : 40 k Watt b. Jumlah Pelanggan : 100 KK (konsumen) c. Tahun dibangun : 2004 d. Desa/dusun : Dusun Sempakok, Desa Santong PLTMH di Santong hanya menggunakan tenaga air untuk menggerakkan turbin yang kemudian untuk membangkitkan tenaga generator yang ada di ruang induk, sehingga dalam hal ini tidak mengurangi pemakaian air untuk kegiatan pertanian. Dinas Pertambangan dan Energi Provinsi NTB, selaku pengelola mengenakan tarif pemakaian tenaga listrik rata-rata sebesar Rp. 7500 per bulan, untuk kegiatan operasional Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, namun dalam waktu dekat direncanakan untuk diadakan penyesuaian sehingga dari tarif tersebut diharapkan dapat disisipkan untuk pemeliharaan peralatan, investasi dan biaya perbaikan yang disebabkan ganggua alam (Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2006). Pemanfaatan sumber daya air untuk pembangkit tenaga listrik menghasilkan nilai ekonomis sebesar Rp. 9 Juta/ tahun, yang diestimasi dengan proses perhitungan sebagai berikut :
90
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
a. b. c. d.
Kapasitas terpasang : 40 kW Tarip / bulan : Rp. 7500/KK/bulan Konsumen : 100 KK Perolehan total : Rp. 9.000.000 / tahun Dari uraian di atas, jumlah total pemanfaatan sumber daya air, baik untuk irigasi pertanian dan 3 rumah tangga adalah sebesar 8.616.425,59 m /tahun. Jumlah total nilai ekonomi sumber daya air adalah :Rp.5,048 Milyar/tahun. Tabel 2. Nilai ekonomis sumberdaya air di Desa Santong No 1 2 3
Pemanfaatan 3 Jenis Jumlah (m /th) Irigasi 8.007.685,83 PLTMH Rumah tangga 608.739,75 Jumlah
Nilai ekonomis (Rp/th) 3.519.000.000,00 9.000.000,00 1.520.000.000,00 5.048.000.000,00
Untuk lingkup yang lebih luas, hasil studi World Wildlife Fund, (2002) tentang Penilaian Ekonomi Kawasan Sumberdaya Alam Kawasan Gunung Rinjani, menunjukkan bahwa sebagai penyuplai air sektor pertanian, kawasan ini bernilai sebesar 5,4 milyar/tahun. Sebenarnya masih banyak potensi-potensi lain yang bisa dikembangkan dari sumber daya air, misalnya untuk wisata air terjun, perikanan, olahraga air dan lain-lain. Hasil dari perhitungan tersebut merupakan keuntungan kotor (gross benefit) belum dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam mendapatkan sumber daya air. Penghitungan nilai total ekonomi air memerlukan dukungan yang menyangkut aspek manejemen sumberdaya air yang meliputi: aspek perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumberdaya air. Tanpa adanya kajian terhadap aspek-aspek tersebut maka pelaksanaan penghitungan nilai ekonomi air tidak akan memberi petunjuk seberapa besar sebenarnya total nilai ekonomi dari sumberdaya air.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 3
1. Potensi sumberdaya air di Desa Santong adalah sebesar 67.108,61 m /ha, yang berasal dari sungai Sidutan dan lima mata air di Santong. 2. Pemanfaatan sumberdaya air di Desa Santong adalah untuk irigasi pertanian, rumah tangga dan pembangkit tenaga listrik 3. Nilai ekonomi sumberdaya air di Desa Santong diestimasi mencapai Rp.5,048 milyar/tahun. B. Saran 1. Penetapan pelestarian sumberdaya air sebagai skala prioritas dalam penyusunan anggaran, serta pengalokasian anggaran yang memadai untuk kegiatan tersebut. 2. Keuntungan yang diperoleh dari pemanfaatan jasa air harus oleh pihak terkait, dan diimbangi dengan kontribusi ekonomi mereka terhadap usaha pelestarian sumberdaya air.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2002 Monografi Desa Santong 2002. Pemerintah Desa Santong. Kayangan-Lombok Barat (tidak dipublikasikan) Anonimous. 2005. Profil Desa Santong 2004. Pemerintah Desa Santong. Kayangan-Lombok Barat (tidak dipublikasikan) Asdak, C. 2004. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2005. Laporan Akhir : Draft Rencana Induk Pengelolaan Sumber Daya Air. Mataram (tidak dipublikasikan) Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Wilayah Pengamatan Kayangan, 2006. Data Debit Air Bulanan tahun 2003-2005. Data Pengukuran Debit Air Bulanan Sub Dinas Pengairan Wilayah Pengamatan Kayangan. Kayangan-Lombok Barat (tidak dipublikasikan) Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Propinsi NTB, 2004. Data Sumber/Mata Air dan Sarana Pengairan Propinsi NTB. Data Dinas Pekerjaan Umum Pemukiman dan Prasarana Wilayah Sub Dinas Pengairan Propinsi NTB. Mataram. Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi Nusa Tenggara Barat, 2006. Sekilas tentang Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro. Data Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi NTB. Mataram. (Tidak dipublikasikan) Humaidi, 2006. Konstruksi Organisasi KMPH Sesaot dan Santong menuju Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Sumber Daya Hutan. Makalah dalam Seminar Pekan Raya Hutan dan Masyarakat. Yogyakarta. Markum, E.B.S, M. Ridha H., 2004. Dinamika Hubungan kemiskinan dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Pulau Kecil (Kasus Pulau Lombok). WWF Indonesia Program Nusa Tenggara. Mataram Wiratno, I. D., A. Syarifudin dan A. Kartikasari. 2004. Berkaca di Cermin Retak (Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional). Gibbon Foundation Indonesia, PILI-NGO Movement. Jakarta. World Wildlife Fund. 2002. Karakteristik Sub Das Pohgading Sunggen dan Labuhan Lombok di Kabupaten Lombok Timur. Mataram. Prosiding Kupang 12 November 2007
91
Jadwal Acara Jam
Acara
07.30-08.00 08.30-08.15 08.15-09.00
Pendaftaran Pembukaan o Laporan Panitia Penyelenggara o Sambutan Kepala Badan Litbang Kehutanan o Sambutan Wakil Gubernur NTT dan pembukaan secara resmi o Doa o Rehat dan ramah-tamah
Sessi I Moderator Notulis 09.00-09.15
09 15-09.30
09.30-09.45
Ir. Luhut Sihombing Dani S. Hadi, S.Si Lahan Kritis dan Solusi Penanganannya di Provinsi Nusa Tenggara Timur I Komang Surata Rehabilitasi Hutan dan Lahan Berbasis Agroforestry pada Daerah Aliran Sungai Benain di Timor Gerson ND Njurumana Rehabilitasi dengan Jenis Tanaman yang Memiliki Keunggulan Komparatif di Nusa Tenggara Timur
Sumardi, Tigor Butar Butar, dan Bayu Adrian Victorino 09.45-10.00
Upaya Rehabilitasi Hutan dan Lahan dalam Pengelolaan DAS di Nusa Tenggara Timur
Antonius Toding Patandianan 10.00-10.45 Sessi II Moderator Notulis 10.45-11.00
11.00-11.15
11.30-11.45
Diskusi Elisabeth Lukas, SH Sumardi, S. Hut Pengembangan Cendana: Belajar dari Masyarakat di Sumba Barat Agung S. Raharjo Kondisi Pengembangan Hutan Rakyat di Kecamatan Kie, Kabupaten Timor Tengah Selatan Ida Rachmawati Kajian Pengembangan Ekowisata di Mutis Rahman Kurniadi
11.45-12.00
Hutan Kemasyarakatan di Pulau Lombok: Tinjauan Aspek Teknologi, Kelembagaan, dan Kebijakan Eko Pujiono
12.00-12.45
Diskusi ISHOMA
Sessi III Moderator Notulis 12.45-13.00
13.00-13.15
13.15-13.30 13.30-13.45
Ir. Tigor Butarbutar Eko pujiono, S. Hut Pola Partisipasi Masyarakat dalam Pengembangan Kegiatan Konservasi dan Rehabilitasi Lahan Kritis L. Michael Riwu Kaho dan Bayu A. Victorino Variasi dan Palatabilitas Pakan pada burung Paruh Bengkok di Penangkaran Oilsonbai, Kupang Kayat Ragam Jenis Flora Beracun Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur Dani Sulistiyo Hadi Rehabilitasi Hutan dan Konservasi Sumberdaya Alam di Nusa Tenggara Timur
92
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
Jam
Acara Luhut Sihombing
13.45-14.30 14.30-14.45 14.45-15.00 15.00-15.45
15.45-Selesai
Diskusi Rehat Perumusan Penutupan o Pembacaan Rumusan Hasil Dialog o Penyerahan Hasil Rumusan ke Pemerintah/Dinas Kehutanan Prov. NTT o Sambutan Penutupan o Do’a Kunjungan ke lapangan/Oilsonbai
Prosiding Kupang 12 November 2007
93
Daftar Peserta No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67.
Nama A. S. Esmirhan Agus Tunliu Agust Pigawahi Agustina Nafie Agustinus Tampubolon Ahmad Dimyati Alex Alexander J. M. A Anderias F.Fail Andri. L Anonius Patandian Anton Baron Bernadus Ndolu Blasius Paga Budiyanto DP Casper J. Banme CF. Lerikk Chris Daud Cornelia Faah Dani S. Hadi Daniac Kause E. Amalo Eai Bahabol Eben Ataupah Eko Pujiono Elisabeth Lukas Erlynda Kumalajati F. A. Tiran Fatmawati Felipus Banani Ferdinand Radja Feri Ana W. Fidrahman A Frans F Gerson Nd. Njurumana Hendara P I Komang Surata I Made Sudarta Ida Rachmawati Ika Krisnawanti Irfansyah Irhandy J. P J. Bay J. Ch. Manaha J. Hamanay J. N. Kallau Jakobus J. Bere Kamari Kayat Leonard Benu Luhut Sihombing Lukas Nadu M. Hidayatullah Mansyur Marsuni Marthen L. Selan Marthen Nokas Martinus Naklui Melenias P. Maupula Mellianus Wanaha Mery A. Bell Mesias Baunsele Ni kade Ayu D. Aryani Nurhuda A. P Ora Yohanes Oskar K. Oematan
Instansi DISTANBUNHUT kupang BPK Kupang PPLHSA-UNDANA Protokol Gubernur NTT Puslitbang Hasil Hutan Bogor BPDAS BN Dishut Kab Kupang BBKSDA NTT BPK Kupang Polresta Kupang BPDAS BN Dsihut Provinsi NTT BPDAS BN BPK Kupang Politani BPK Kupang Bapedalda Kota Kupang BDK Kupang Distanhut Kab. Kupang BPK Kupang BPK Kupang Dinas Kuhutanan UNKRIS BPK Kupang BPK Kupang BPK Kupang Dishut Propinsi BDK Kupang Protokol Gubenur NTT BDK Kupang BPK Kupang BPK Kupang BPK Kupang BPK Kupang Dishut Kab Kupang BPK Kupang UNKRIS BPK Kupang Polresta Kupang BPK Kupang Politani Polresta Kupang BBKSDA NTT Dishut Kab. Kupang Bapedalda Kota Kupang Bappedalda Kab. Kupang Forum DAS BBKSDA NTT Dishut Kab. Belu BPK Kupang BPK Kupang BBKSDA Dsihut Provinsi NTT BPK Kupang BPK Kupang BPK Kupang BPK Kupang Dishut Kab. TTS Dishut Kab. TTS Masyarakat BPK Kupang BPK Kupang Masyarakat Politani BPK Kupang BBKSDA BPK Kupang
94
Perpustakaan Balai Penelituran Kehutanan Kupang Alih Media Tahun 2011
No 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76. 77. 78. 79. 80. 81. 82. 83. 84. 85. 86. 87. 88. 89. 90. 91. 92. 93. 94.
Nama Petrus Son Piter Opat Rattah H. H Reddy Ngera Roberd Ndoen S. Agung Sri Raharjo S. Kadaful Salvatari Lake Sem Nautami Seri Edison Laltakaeb Sias Baunselu Sigit B. Prabawa Simon Frans Siprianus Eko Siswadi Slamet Edy S. Sriawan Sumardi Titi Maria Purna Upik Pramuningdiyani Vincensius Ferare Yanthon Sr. Luik Yasintus Manek Yes Bale Yes Benu Yos Bria Yulis
Prosiding Kupang 12 November 2007
Instansi BDK Kupang Dishut Kab. TTU BPK Kupang Pos Kupang Bappeda Kab Kupang BPK Kupang Bapedalda Prov. NTT Dishut Kab. TTU BPK Kupang BBKSDA NTT Masyarakat BPK Kupang Bapedalda Kab. Kupang Masyarakat BPK Kupang BPK Kupang Faperik – UMK BPK Kupang Dishut Kab. Belu BPK Kupang BPK Kupang DISTANBUNHUT kupang Masyarakat Timor Ekspress BBKSDA NTT BPK Kupang FH Undana
95