MODEL HUBUNGAN BERAT JENIS DENGAN KEDALAMAN GAMBUT UNTUK MENGHITUNG KANDUNGAN KARBON (regression model of bulk density with peat soil depth for carbon content calculation) Oleh/by : Acep Akbar, Eko Proyanto, Edy Suryanto Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru (Banjarbaru forestry research institute)
ABSTRACT Bulk density indicated peat weight per volume unit. Peat that located in every depth of the soil has different porosity and water content until has been predicted is different in bulk density. Considering this prediction, correlation test between peat soil depth and bulk density has been conducted on the sample plot at hemyc and fibric peat in Central Kalimantan. Samplel plot was selected according to peat distribution map. Sample peat was taken from four area for each soil depth which reached. Variable that measured in every depth were bulk density, water content, and carbon content. Results show that there was variation of peat bulk density values in several depth level, however did not has strong correlation between both. On the other hand, water and carbon content of the peat soil was found strong correlation with soil depth. Trend correlation between depth with water content more cuadratic than linear, logaritmic and cubic, whereas beetween peat soil depth with carbon content has strong corelation to form cuadratic and cubik equation. It could be concluded that determining bulk density of peat soil for biomass measurement by using alometric equation is not recommended. Using means value of bulk density in several peat soil depth to calculate biomass and carbon content is strongly recommended. Key word : Depth, Peat, Bulk density, carbon. ABSTRAK Berat jenis gambut mencerminkan bobot gambut per satuan volume. Gambut yang menempati setiap kedalaman mungkin memiliki porositas dan kadar air berbeda sehingga diduga pada setiap tingkat kedalaman gambut akan memiliki kerapatan jenis berbeda-beda. Atas dasar dugaan variasi inilah pengujian hubungan antara kedalaman dengan kerapatan jenis gambut dilakukan pada sample plot lahan gambut hemik dan fibrik di wilayah Kalimantan Tengah. Penentuan sampel dilakukan berdasarkan peta sebaran lahan gambut. Pada setiap plot pengukuran diambil sampel gambut dari empat titik dan setiap titik diambil sampel sesuai tingkat kedalaman yang diperoleh. Variabel yang diukur pada setiap kedalaman adalah kerapatan jenis, kadar air, dan kandungan karbonnya. Hasil-hasil menunjukkan bahwa nilai kerapatan jenis bervariasi pada setiap kedalaman gambut, namun keeratan hubungan kedua variabel tersebut ditemukan bersifat lemah. Di sisi lain, terdapat perbedaan kadar air dan kadar karbon pada beberapa kedalaman lapisan gambut. Kecenderungan pola hubungan antara kedalaman lapisan gambut dengan kadar air lebih bersipat kuadratik dibanding linear, logaritmik, dan kubik, sedangkan hubungan kedalaman gambut dengan kadar karbon berbentuk persamaan kubik dan kuadratik. Dapat disimpulkan bahwa persamaan fungsi tidak perlu digunakan dalam menghitung berat jenis gambut. Penggunaan nilai rata-rata berat jenis pada berbagai kedalaman untuk menghitung biomassa dan karbon gambut disarankan. Kata Kunci : Kedalaman, gambut, berat jenis, karbon.
I. PENDAHULUAN Hutan rawa gambut selain merupakan salah satu komponen ekosistem yang dapat menurunkan gas rumah kaca khususnya CO2, melalui vegetasinya, juga memiliki tanah gambut yang merupakan simpanan karbon utama di bumi. Karbon terikat dalam senyawa organik pada gambut menjadi cadangan karbon global (carbon stock) yang diharapkan tidak teremisikan. Gambut adalah benda fosil yang terbentuk akibat terjadinya proses dekomposisi yang tidak sempurna dalam keadaan anaerob dalam periode waktu ratusan bahkan ribuan tahun. Selain pengukuran karbon vegetasi yang dianggap penting sehubungan dengan terjadinya perubahan iklim akhir-akhir ini, penghitungan karbon pada tanah gambut juga menjadi aspek menarik dan penting dilakukan karena didalam tanah gambut sesungguhnya tersimpan senyawa karbon yang cukup besar. Menurut Hooijer et al (2006) secara global terdapat lebih dari 3000 juta ton karbon dioksida (CO2) diemisikan setiap tahun dari hutan rawa gambut. Sebagian besar emisi karbon pada tanah gambut diakibatkan oleh terjadinya kebakaran dan proses dekomposisi. Peristiwa lain yang menyebabkan terjadinya emisi adalah adanya konversi lahan dari hutan menjadi bentuk lain yang dikenal dengan Land use land use change and Forestry (LULUCF). Kondisi tersebut menjadi sumbangan besar terhadap peningkatan gas rumah kaca di atmosfer karena karbon dioksida tersebut merupakan gas rumah kaca terbesar yang mengisi atmosfer. Selama ini telah diketahui bahwa penyumbang gas rumah kaca terbesar adalah dari pembakaran benda-benda fosil, pertanian, kehutanan, dan dekomposisi atau pembakaran sampah. Jenis-jenis gas yang banyak berkotribusi terhadap pemanasan bumi dan dianggap sebagai gas-gas rumah kaca (GRK) menurut Annex A Protokol Kyoto adalah meliputi 6 jenis yaitu : Carbon Dioxide (CO2), Methane (CH4), Nitrouse oxide (N2O), Hydrofluorocarbon (HFC), Perfluorocarbon (PFC), dan Sulfurehexafluoride (SF6) (KLH, 2004). Gas CO2 memiliki ranking teratas (> 80%) dalam berkontribusi terhadap emisi gas rumah kaca. Isu perubahan iklim akibat terjadinya pemanasan global yang semakin mencuat di bumi, telah menyadarkan sebagian besar negara khususnya kelompok pecinta lingkungan di dunia untuk segera mencari penyebab-penyebabnya dan berkomitmen untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab tersebut. Salah satunya adalah menjaga simpanan-simpanan karbon utama bumi untuk tidak hilang teremisi ke atmosfer. Jumlah karbon yang tersimpan baik berupa vegetasi maupun tanah gambut penting untuk diketahui guna menentukan perhitungan seberapa besar peranan suatu hutan didalam meningkatkan dan menurunkan emisi gas rumah kaca yang terjadi selama ini. Pengetahuan tentang jumlah kandungan karbon pada berbagai komponen ekosistem juga akan menggambarkan siklus karbon yang ada disuatu wilayah. Kandungan karbon pada tanah gambut diduga bervariasi tergantung pada berat jenis, luas, dan kedalaman gambut, sedangkan berat jenis gambut akan berhubungan dengan kandungan air, porositas tanah dan tingkat kematangan gambut. Nilai berat jenis tanah gambut digunakan untuk menghitung biomassa gambut setelah luasan dan kedalaman lahan gambut diketahui. Untuk menghitung karbon hutan diperlukan nilai biomassa karena dari biomassa inilah menurut Brown (1997) dan Kettering (2001) terkandung karbon terikat sebanyak rata-rata 50% dari biomassa kering. Pengukuran karbon pada hutan rawa gambut dibedakan menjadi dua macam yaitu : (1) stok karbon aboveground (diatas permukaan tanah) dan belowground (di bawah permukaan tanah). Aboveground yang terdiri dari pohon, understorey, dan serasah, sedangkan below ground terdiri dari akar dan materi organik gambut. Penelitian perhitungan karbon vegetasi sudah dilakukan selama dua tahun terakhir, yaitu difokuskan pada pendugaan kandungan biomassa jenis-jenis Dipterocarpaceae dan Non-Dipterocarpaceae. Untuk mengumpulkan data dasar (baseline data) stok karbon dari berbagai tipe ekosistem hutan rawa gambut menuntut adanya teknik-teknik 2
pengukuran dan pendugaan biomassa yang mendekati realita lapangan pada berbagai tipe tapak rawa gambut. Untuk membangun data dasar perhitungan karbon tanah gambut diperlukan koreksi berat jenis gambut pada berbagai kedalaman dan tingkat kematangan. Untuk mengoreksi berat jenis diperlukan data langsung dari observasi lapangan. Data tersebut utamanya berat jenis,kadar air, porositas, pada berbagai kedalaman. Kadar karbon pada berbagai kedalaman gambut juga perlu diukur guna mengoreksi sejauhmana tingkat keakuratan perhitungan biomassa yang dikonversi menjadi 50% karbon organik. Pengembangan berbagai model penduga biomassa menuju metode perhitungan stok karbon yang sesuai hasil, terukur, transparan, dapat diverifikasi, dan konsisten dari waktu kewaktu sangat diperlukan (IPCC, 2006).. Perhitungan tersebut dapat digunakan untuk menduga jumlah biaya konvensasi mempertahankan hutan melalui skema REDD bagi hutan tropika basah Indonesia. Walaupun pengukuran karbon dalam skala luas menggunakan interpretasi citra landsat, tetapi persamaan statistik akan menjadi syarat perhitungan ketika ground check dilakukan. Pengukuran karbon di lahan gambut sangat berkaitan dengan metode pengambilan contoh tanah untuk menentukan bobot isi sebagai berat jenis. Pengukuran bobot isi selama ini banyak mengadopsi metode-metode yang telah diujicobakan untuk lahan-lahan gambut di wilayah temperate yang karakteristik bahan penyusunnya sangat berbeda dengan gambut tropika seperti Indonesia. Hasil penelitian Ahmad Yani (2003) menyimpulkan bahwa antara lapisan atas dan lapisan bawah gambut mempunyai perbedaan mendasar dalam hal kandungan C organik dimana pada lapisan atas lebih rendah dibanding lapisan bawah. Hal tersebut berkaitan dengan dekomposisi yang terjadi. Sedangkan nilai bobot isi lapisan atas lebih tinggi dari lapisan bawah (Ahmad Yani, 2003). Pertanyaan yang muncul adalah sejauhmana hubungan kedalaman gambut dengan nilai kerapatan jenisnya. Demikian juga bagaimana pola hubungan kedalaman tanah gambut dengan kandungan air dan kandungan karbonnya. Untuk itu, studi hubungan tingkat kedalaman gambut dengan berat jenis, kadar air, dan kandungan karbonnya dipelajari dalam penelitian ini. Apakah perhitungan karbon tanah gambut memerlukan koreksi berat jenis. Pada saat menghitung kandungan karbon pada gambut, luasan lahan gambut dapat diukur. Selanjutnya dilakukan pengukuran kedalaman gambut. Hasil perkalian luas dengan kedalaman inilah menghasilkan nilai volume gambut. Setelah volume lahan gambut diketahui, selanjutnya kandungan biomassa akan diketahui setelah mengetahui berapa nilai berat jenisnya atau bobot isi (bulk dencity). Nilai berat jenis dapat berbeda pada berbagai tingkat kedalaman gambut karena akan dipengaruhi oleh besar kecilnya partikel gambut, porositas tanah gambut, kadar air, dan proses dekomposisi. Persamaan statistik dibangun berdasarkan hubungan antara parameter kedalaman gambut dengan berat jenisnya, dan sebagai data penunjang dibuat juga pola hubungan kedalaman dengan kadar air dan karbonnya secara langsung. C. Hipotesis Terdapat hubungan erat (korelasi) antara kedalaman tanah gambut dengan berat jenisnya sehingga membentuk persamaan statistik yang dapat digunakan sebagai koreksi berat jenis gambut pada berbagai kedalaman untuk menghitung kandungan biomassa dan karbon gambut. D. Tujuan dan Sasaran
3
Penelitian ini bertujuan untuk memproleh model hubungan dan kecenderungan antara berat jenis dengan kedalaman gambut pada dua tingkat kematangan gambut (Fibrik dan Hemik) untuk menjadi instrumen perhitungan kandungan karbon tanah gambut. E. Luaran (output) Luaran penelitian ini adalah : a. b.
Informasi Teknis model-model hubungan persamaan antara tingkat kedalaman dengan berat jenis gambut untuk alat perhitungan karbon tanah gambut. Publikasi jurnal/tulisan ilmiah tentang persamaan-persamaan statistik gambaran pola hubungan fungsional antara berat jenis dan kedalaman gambut II. TINJAUAN PUSTAKA
Lahan gambut merupakan suatu ekosistem lahan basah yang dibentuk oleh adanya penimbunan/akumulasi bahan organik di lantai hutan yang berasal dari reruntuhan vegetasi di atasnya dalam kurun waktu lama (ribuan tahun). Akumulasi ini terjadi karena lambatnya laju dekomposisi dibandingkan dengan laju penimbunan bahan organik di lantai hutan dalam kondisi tergenang (Pokja PLGN, 2006). Secara fisik, lahan gambut merupakan tanah organosol atau tanah histosol yang umumnya selalu jenuh air atau terendam sepanjang tahun kecuali drainase. Beberapa akhli mendefinisikan gambut dengan cara yang berbeda-beda. Driessen (1978) mengatakan bahwa gambut adalah tanah yang memiliki kandungan bahan organik lebih dari 65% (berat kering) dengan ketebalan gambut lebih dari 0,5 meter. Sedangkan menurut Soil taxonomy bahwa gambut adalah tanah yang tersusun dari bahan organik dengan ketebalan lebih dari 40 cm atau 60 cm, tergantung dari berat jenis (BD) dan tingkat dekomposisi bahan organiknya. Pembentukan gambut di beberapa daerah pantai di Indonesia diperkirakan dimulai sejak jaman glasial akhir, sekitar 3.000 – 5.000 tahun yang lalu (Page et al. 2002), bahkan proses pembentukan gambut pedalaman lebih lama lagi yaitu sekitar 10.000 tahun yang lalu (Brady, 1997 dalam Murdiyarso et al 2004). Estimasi umur lahan gambut di Sungai Kahayan, Kalimantan Tengah adalah 11.000 tahun (Rieley et al, 1992). Gambut Palangkaraya, Kalimantan Tengah diperkirakan berumur 8.145-9.600 tahun (Neuzil, 1997). Di sisi lain, gambut Teluk Keramat, Kalimantan Barat diperkirakan berumur 4.040-1.980 (Staub and Esterly, 1994 dalam Pokja PLGN, 2006). Seperti gambut tropis lainnya, gambut di Indonesia dibentuk oleh akumulasi residu vegetasi tropis yang kaya akan kandungan lignin dan selulosa (Anderson, 1976). Karena lambatnya proses dekomposisi, didalam tanah gambut sering dijumpai adanya timbunan batang, cabang dan akar tumbuhan besar yang terawetkan dan strukturnya relatif masih nampak jelas. Sebagai sebuah ekosistem lahan basah, gambut memiliki sifat yang unik dibanding dengan ekosistemekosistem lainnya. Sifat unik gambut dapat dilihat dari sifat kimia dan fisiknya. Sifat kimia gambut lebih merujuk pada kondisi kesuburannya yang bervariasi, tetapi secara umum ia memiliki kesuburan rendah. Hal ini ditandai dengan tanah yang masam (pH rendah), ketersediaan sejumlah unsur hara makro (K,Ca,Mg, P) dan mikro (Cu, Zn, Mn, dan Bo) rendah, mengandung asam-asam organik beracun, serta memiliki Kapasitas Tukar Kation (KTK) yang 4
tinggi tetapi Kejenuhan Basa (KB) rendah. Gambut memiliki warna bervariasi pula.Setelah terdekomposisi muncul senyawa-senyawa yang berwarna gelap (Hardjowigeno, 1989) sehingga gambut dan air gambut umumnya berwarna coklat sampai kehitaman. Warna gambut menjadi indikator kematangan gambut. Semakin matang, gambut semakin berwarna gelap. Fibrik berwarna coklat, hemik berwarna coklat tua, dan saprik berwarna hitam (Widjaya, 1988). Dalam kondisi basah, warna gambut biasanya semakin gelap. Gambut memiliki berat jenis yang jauh lebih rendah daripada tanah aluvial. Semakin matang gambut, semakin besar berat jenisnya. Selain itu, gambut memiliki daya dukung atau daya tumpu yang rendah karena mempunyai ruang pori besar sehingga kerapatan tanahnya rendah dan bobotnya ringan. Ruang pori total untuk bahan fibrik/hemik adalah 86-91% (volume) dan untuk bahan hemik/saprik 88-92% atau rata-rata 90% volume (Suhardjo dan Driessen, 1977). Rendahnya daya tumpu akan menjadi masalah dalam pembuatan saluran irigasi, jalan, pemukiman, perkebunan, dan pencetakan sawah. Gambut juga memiliki daya hantar hidrolik (penyaluran air) secara horizontal (mendatar) yang cepat sehingga memacu percepatan pencucian unsur-unsur hara ke saluran drainase. Sebaliknya ia memiliki daya hidrolik vertikal sangat lambat. Akibatnya, lapisan atas gambut sering mengalami kekeringan, meskipun lapisan bawahnya basah. Hal ini menyulitkan pasokan air ke lapisan perakaran. Gambut juga memiliki sifat kering tak balik. Belakangan ini lahan gambut disadari menjadi komponen yang berperan penting dalam mengendalikan perubahan iklim karena selain kemampuannya dalam menyerap karbon udara juga memiliki stok karbon yang besar pada tanahnya (IPCC-GL, 2006). Ada lima sumber karbon (carbon pools) yang perlu dihitung hubungannya dengan emisi gas rumah kaca dan perubahan iklim yaitu : (1) biomas di atas tanah (above ground biomass), (2) biomas di bawah tanah (below ground biomass), (3) pohon yang mati (dead wood), (4) serasah, dan (5) tanah (soil). Sedangkan kayu yang dipanen (harvested wood products) belum diperhitungkan (IPCC-GL, 2006). Tanah gambut dihitung berdasarkan luas lahan gambut dikali tebal gambut, kemudian dikalikan berat jenisnya dalam bentuk BD (bulk density).
III. RUANG LINGKUP Penelitian ini dalam ruang lingkupnya dibatasi oleh beberapa pembatas. Pembatas pertama bahwa persamaan statistik yang menjadi target utama adalah mencari pola hubungan (regresi) dan keeratan hubungan (korelasi) antara kedalaman lapisan tanah gambut dengan nilai berat jenisnya. Pola hubungan korelasi tersebut diteliti pada dua tingkat kematangan gambut yang ada di Kalimantan Tengah yaitu (1) fibrik, dan (2) hemik, Pembatas berikutnya adalah pola keeratan hubungan ini dibatasi pada tujuan pendugaan karbon tanah gambut, artinya tidak melakukan perhitungan vegetasi yang tumbuh di atasnya. Formula keeratan hubungan antara kedalaman lapisan gambut dengan nilai berat jenis akan menjadi penentu perhitungan kandungan karbon tersimpan didalam gambut setelah volume lahan gambut dihetahui. Dengan demikian nilai berat jenis tidak lagi digeneralisir bernilai sama pada semua kedalaman dan semua tingkat kematangan lahan gambut. Dengan demikian setelah diketahui nilai volume tanah gambut, jika dikalikan dengan berat jenis pada kedalaman tertentu akan diperoleh nilai biomassa yang lebih akurat. Sedangkan nilai kandungan karbon perlu mengacu pada nilai konversi karbon aktual selain nilai konstanta yang telah dikemukakan Brown. (50% kali Biomassa). 5
Dengan memperoleh data berat jenis dari berbagai kedalaman gambut akan diperoleh suatu bentuk persamaan fungsi antara berat jenis dengan kedalaman lapisan gambut. Petak-petak ukur ditentukan mengikuti sebaran lahan gambut didalam hutan tempat penelitian. Semua jenis pengukuran dilakukan melalui analisis di laboratorium tanah dan tanaman Untuk pengukuran bobot kering dan kadar air dilakukan pengeringan sampel gambut di Laboratorium mengikuti prosedur yang dilakukan Stewart et al (1992), Kattering (2001), Rajagukguk et al (2000) yaitu pengeringan pada temperatur 105˚ hingga beratnya konstan (24 jam). Kerangka Pikir Penelitian dapat dilihat dalam Gambar 1 Karbon Global LULUC-F Hutan Rawa Gambut
Emisi Karbon
Stok Karbon Sampling destruktif
Tanah Gambut
Sampling Nondestruktif& Citra landsat
Ukur BJ pada berbagai kedalaman
Menggali 12 kedalaman gambut
Contoh gambut 200 gram
Menentukan 4 titik pengambilan contoh per plot dlm 2 kematangan
Uji kadar air, karbon& BJ di Lab
Diperoleh data BD dan kedalaman gambut. Persamaan statistik Penentu BJ aktual Perhitungan karbon gambut
Gambar 1. : Kerangka Pikir Penelitian Fugure 1. : Framework of the study
III. METODE PENELITIAN A. Bahan dan Peralatan Bahan yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah berupa hutan alam rawa gambut yang telah diketahui tingkat kematangan tanah gambutnya. Lokasi hutan terdiri dari hutan produksi dan konservasi. Bahan lain yang digunakan meliputi kantong plastik, karung plastik, tali rafia, patok 6
dan Meteran 50 m. Peralatan yang digunakan adalah bor tanah gambut, cangkul, parang, kompas, dan klinometer. Alat ukur lain adalah meteran 2 meter, parang, altimeter, dan GPS. Tally sheet, ATK dan kamera digital digunakan untuk pencatatan data dan dokumentasi.
B. Prosedur Kerja Penelitian 1.Penentuan Petak Ukur dan Pengumpulan data Petak ukur penelitian ditentukan secara purposif berdasarkan data keberadaan tanah gambut ideal untuk kematangan gambut tertentu. Peta-peta potensi lahan gambut di Kalimantan Tengah dijadikan data dasar terutama untuk menentukan tingkat kematangan dan lokasi gambut yang diteliti. Petak ukur dibuat berbentuk empat persegi panjang/kuadrat (Gambar 1) berukuran 20X100 meter, menyesuaikan dengan pola yang dilakukan oleh Hairiah et al (2001) saat mengukur potensi karbon tegakan yang ada didalam suatu kawasan. Pengeboran dilakukan pada empat titik dimana setiap titik terdiri dari 12 kedalaman. Pada setiap kedalaman 25 cm diambil contoh tanah gambut. Jumlah sampel akan diperoleh sebanyak 48 sampel. Sampel sebanyak 48 dikomposit menjadi 12 spesimen gambut. 2. Sampel tanah Gambut untuk Uji Laboratorium Untuk pengukuran kadar air, berat jenis dan kandungan karbon, sampel tanah gambut seberat 200 gram diambil untuk kepentingan pengukuran di Laboratorium. Semua pengukuran spesimen di Laboratorium dilakukan oleh Laboratorium Tanah dan Tanaman Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Banjarbaru, di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Timbangan duduk dengan kapasitas 3000 gram digunakan untuk menimbang spesimen sebelum di bawa ke Laboratorium. Sampel yang telah ditentukan dikumpul dengan ulangan empat kali dan dimasukan kedalam kantong plastik berlabel, selanjutnya dibawa ke Laboratorium guna pengukuran berat jenis, kadar air, dan kadar karbon. Kadar air diukur dengan cara mengeringkan contoh gambut.dalam oven pada temperatur 105˚ hingga beratnya konstan sebagaimana yang dilakukan oleh Stewart et al, (1992) dan Ketterings et al,(2001). Masing-masing spesimen diberi label sesuai identitas spesimen gambut pada berbagai kedalaman. Spesimen yang dipakai untuk pengukuran kadar air juga akan menjadi spesimen untuk analisis kandungan karbon. Berat jenis gambut dihitung berdasarkan metode water replacement. Dalam rangka menghindari penyusutan selama pengukuran volume, sampel yang diambil disaturasi terlebih dahulu dimana sampel-sampel tersebut direhidrasi selama 48 jam. Volume setiap sampel ditentukan oleh perbedaan ketinggian volume air saat sampel ditenggelamkan dalam gelas ukur dengan volume awal.. Berat jenis gambut merupakan barat kering oven dibagi volume kayu saturasi. 3.Penentuan faktor konversi karbon Faktor konversi karbon yang sangat umum digunakan yakni antara 0,45 – 0.69 (Brown, 1995). Faktor konversi tersebut sangat general sehingga berpotensi menghasilkan dugaan yang overestimate dan underestimate. Perbaikan faktor konversi ini dapat dilakukan dengan menentukan faktor konversi berdasarkan spesifikasi bahan organik pada tempat tertentu. Faktor
7
konversi ini adalah perbandingan antara besarnya karbon dibandingkan dengan besarnya biomassa keringnya, sehingga dapat dirumuskan sebagai berikut:
faktor konversi
besarnyakarbon per sampel gambut X 100% besarnyabiomassa per sampel gambut
Faktor konversi ini digunakan untuk melakukan perhitungan karbon jika hasil yang didapatkan dalam model atau inventarisasi berbentuk biomassa. Perhitungan kadar karbon dilakukan dengan metode pengeringan pada temperature tinggi dengan metode Muffle (Baca, Rajagukguk et al. 2000).
Petak ukur
Jarak antar PU sama
Gambar 2 : Lay out plot penelitian Figure 2 : lay out of the sample plot 4.Analisa data Data kedalaman dihubungkan dengan data berat jenis, kadar air, dan kadar karbon secara terpisah untuk memperoleh pola hubungan korelasi antara variabel independen dengan variabel dependen. Kadar air dari bagian-bagian gambut dihitung menggunakan rumus (Haygreen dan Bowyer, 1982) :
% KA =
BBc - BKc --------------- X 100% BKc
Dimana : BBc = Berat basah contoh 8
BBk = Berat kering contoh % Ka = Persen kadar air Dari data yang telah dikumpulkan, persamaan-persamaan yang umum didalam statistik digunakan untuk menentukan model persamaan apa yang paling tepat bagi hubungan kedua variabel yang dihubungkan. Persamaan tersebut dapat bersipat linear dan non linear. Sedangkan persamaan non linear dapat bersifat kuadratik, kubik, atau logaritmik. Perhitungan statistik akan dilakukan menggunakan Software SPSS 15 for Window dalam perangkat komputer (Sulaiman, 2004). 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Y = a + bx Y = a+bx+ cx² Y = a + bx + cx² + dx³ Y = abx Y = axb ln y = ln a + x ln b ln y = ln a + b ln x
Keterangan : Y = berat jenis (variabel dependen) X = variable independent (kedalaman gambut) a = konstanta regresi b,c,d = koefisien regresi ln = logaritma natural Pemilihan model berdasarkan kepada dua hal yaitu : (1) kesesuaian terhadap fenomena, (2). keterandalan model Keterandalan model diuji dengan : a. Koefisien determinasi (R²) Koefisien determinasi adalah perbandingan antara jumlah kuadrat regresi (JKR) dengan jumlah kuadrat total (JKT). Rumus yang digunakan adalah : R² = JKR/JKT X 100 % b. Uji F Uji F dipakai untuk melihat pengaruh variabel-variabel indepnden secara keseluruhan terhadap variabel dependen. Pengujian ini dilakukan dengan membandingkan nilai Fhitung dengan Ftabel. . Rumus untuk memperoleh Fhitung dinyatakan sebagai berikut : Fhitung = Σ (Y *- Ў)² / (k-1) Σ (Y – Ў)² / (n-k)
=
Rata-rata kuadrat regresi Rata-rata kuadrat residual 9
Dimana : Y Y* Ў N K
= Nilai pengamatan = nilai Y yang ditaksir dengan model regresi = Nilai rata-rata pengamatan = Jumlah pengamatan/sampel = jumlah variable independen
c. Uji t Uji t dipakai untuk melihat signifikansi pengaruh variabel independen secara individu terhadap variabel dependen dengan menganggap variabel lain bersifat konstan. Uji ini dilakukan dengan membandingan thitung dengan ttabel. Rumus untuk memperoleh nilai thitung adalah : t-hitung = bi - (β i ) Se (b i ) Dengan : bi = koefisien variabel ke-i βi = parameter ke-i yang dihipotesiskan Se (bi) = kesalahan standar bi Uji-uji untuk keterandalan model lain yang dapat digunakan adalah : Uji linearitas, Uji Homoskedasitas (kesamaan varians), uji Nonautokorelasi, Uji Nonmultikolinearitas, dan uji Normalitas untuk mencapai BLUE (Best Linear Unbiased Estimator). 5.Lokasi dan Waktu Penelitian Observasi dilakukan di Hutan Penelitian (KHDTK) Tumbang Nusa, Kalimantan Tengah. Areal penelitian kurang lebih 15 km dari Ibu Kota propinsi Palangkaraya. Areal tersebut merupakan Hutan penelitian Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Badan Litbang Kehutanan. Secara geografis kawasan hutan tersebut terletak antara 02018’37”02022’34” LS dan 114002’48”- 114006’46”BT sedangkan secara administratif termasuk dalam Desa Tumbang Nusa, Kecamatan Jabiren Raya, Kabupaten Pulang Pisau. Kalimantan Tengah. Ketinggian dari permukaan laut antara 0-5 m dpl., Lokasi tersebut berjarak 30 Km dari kota Palangkaraya. Kondisi areal dipengaruhi oleh pasang surut air sungai Kahayan dan mempunyai potensi banjir cukup besar terutama pada musim hujan. Tanah terdiri dari tanah gambut berkedalaman 1-3 meter. Berdasarkan surat penunjukan Menteri Kehutanan No. SK.76/MenhutII/2005 tangal 31 Maret 2005, luas total Hutan Penelitian Tumbang Nusa 5000 ha berada pada kawasan hutan produksi tetap (HPT). Iklim yang berlaku di daerah tersebut adalah iklim tropis (lembab) dimana temperatur berkisar antara 21ºC - 23º C dan suhu maksimum 36º C, dengan intensitas matahari cukup tinggi dan sumber air cukup banyak. Di lokasi ini hujan rata-rata mulai turun mulai Oktober sampai bulan Mei, dengan curah hujan antara 2.000-3.500 mm/tahun. Bulan kering berlangsung dari Juni sampai September. Sebagian dari areal ini kondisinya terbuka yang didominasi pakis-pakisan (20% dari total area). Pengambilan sampel untuk tingkat kematangan gambut yang berbeda dilakukan di Batampang (Blok E Eks-PLG) Hutan Konservasi Mawas,Barito Selatan dan Hampangin, katingan di Kalimantan Tengah. Penelitian dilakukan mulai bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2012. 10
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil 1.Variasi Kerapatan Jenis gambut pada Beberapa Kedalaman Tanah Gambut Hasil pengukuran kerapatan jenis tanah gambut menunjukkan adanya variasi nilai kerapatan jenis, tetapi nilai kerapatan rata-rata yang dihasilkan dari empat petak ukur bersifat tidak teratur sehingga tidak dapat membentuk suatu pola hubungan regresi. Kerapatan jenis tertinggi diperoleh pada kedalaman 2,5 meter (B1K10) yaitu 1,03, sedangkan kerapatan jenis terendah didapatkan dari kedalaman gambut 2,25 meter dan 25 cm yaitu 0,96. Nilai rata-rata kerapatan jenis dari 12 kedalaman gambut adalah 0,99 dengan standar deviasi 0,02. Variasi nilai kerapatan jenis pada 12 kedalaman gambut ombrogen dapat dilihat pada Gambar 3. Selanjutnya setelah nilai dirata-ratakan ternyata antara variable kedalaman dan kerapatan jenis tidak memiliki hubungan keeratan yang kuat yang ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi ( r ) antara 0,53-0,55 yang artinya antara kedua variable memiliki hubungan yang lemah (Young, 1982). Persamaan regresi yang dibentuk dari hubungan kedalaman gambut dengan kerapatan jenis prediksinya dapat dilihat dalam Gambar 4. Keeratan hubungan dalam bentuk persamaan tersebut bersifat lemah yang diprediksi dari 12 tingkat kedalaman gambut di Tumbang Nusa, Kabupaten Pulang Pisau.
BD1 1,04 1,02
BD
1 0,98 0,96
BD1 Kedalaman (cm)
0,94 0,92 25 50 75 100 125 150 175 200 225 250 275 300
Gambar 3. Diagram Pencar Nilai Kerapatan Jenis Gambut Rata-rata pada 12 kedalaman. Tanah gambut di daerah Tumbang Nusa memiliki kedalaman rata-rata 3 meter berbeda dengan di Hampangin yang hanya memiliki kedalaman rata-rata kurang dari 2 meter. Untuk itu uji korelasi hanya dilakukan terhadap data dari Tumbang Nusa dan data dari Hampangin diabaikan. Demikian juga data dari Batampang diabaikan karena hanya menghasilkan kedalaman 1,5 meter. Untuk keperluan pengujian pola hubungan antar variabel ada prinsip semakin besar jumlah 11
contoh (n) dalam tanah gambut maka hasil pengujian akan lebih akurat (Santoso,2001; Sulaiman 2004). 2.Hubungan Kedalaman tanah Gambut dengan Berat Jenis Melalui pengujian nilai rata-rata berat jenis dari 4 blok dalam 12 tingkat kedalaman. Maka ketiga hubungan yang dibuat yaitu bentuk logaritmik, kuadratik, dan kubik semua memiliki keterandalan model yang lemah yang ditunjukkan oleh nilai koefisien determinasi (R) antara 28 s/d 30%. Jika persamaan dibuat logaritmik maka nilai R= 29%. Artinya hanya 29% variabel berat jenis ditentukan oleh kedalaman tanah gambut, sedangkan 71% ditentukan oleh factor lain. Apabila persamaan dibuat kuadratik maka nilai R=28%, dan jika persamaan dibuat model kubik maka nilai R=30%. Dengan demikian ketiga persamaan tersebut mencerminkan lemahnya hubungan antara kedalaman gambut dengan berat jenisnya. (Gambar.4).
Gambar 4. Pola Hubungan antara Kedalaman dengan Kerapatan Jenis Gambut Hasil-hasil perbandingan nilai korelasi, regresi, koefisien determinasi, uji sigifikansi F dan t disajikan dalam Tabel 1. Tabel 1. Tabel Trend Hubungan Kedalaman Tanah Gambut dengan Berat Jenis Gambut Model Persamaan Regresi dan jumlah “n” Logaritmik Y=0,915+0,016 lnX (n=12) Y=0,966+0,0001X-(2,6x10-7 )X2 Kuadratik (n=12)
Korelasi (r)
Sign.F
Sign.t
0,54
Koef.Deter minasi ( R2 ) 0,29
0,07
0,07
0,53
0,28
0,23
0,50 0,78 12
Kubik (n=12)
Y=0,954+0,001X(3x10-6)X2+ (5,68x10-9 )X3
0,55
0,30
0,39
0,54 0,65 0,67
3.Hubungan Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Air Gambut Variasi nilai kadar air gambut pada berbagai kedalaman berkisar antara 405,38% s/d 1588,89% pada 12 tingkat kedalaman di Tumbang Nusa. Pada setiap blok nampak adanya turun naik dari kandungan air. Setelah diambil nilai rata-rata dari keempat blok pengamatan, Nampak bentuk model menjurus ke bentuk persamaan kuadratik (Gambar 5).
%
Kedalaman
Gambar 5. Variasi nilai kadar air gambut pada 12 tingkat kedalaman tanah Gambut Sebagai perbandingan pengujian model persamaan regresi yang dilakukan terhadap variabel kedalaman sebagai variabel independen dan kadar air sebagai faktor dependen, maka kedekatan model yang terjadi adalah seperti dapat dilihat dalam Tabel 2. Tabel 2. Perbandingan kemiripan model Regresi yang Terjadi dari Faktor Kedalaman tanah gambut dengan kadar air. Model Regresi
Persamaan
Korelasi (r)
Linear
Y=1006,157+0,567X
Logaritmik Y=354,159+152,341lnX
Sign.F Sign.t
0,178
Koef.Det erminasi ( R2 ) 0,032
0,402
0,162
0,195
0,579
0,579 0,000 0,195 13
0,528 0,000 Kuadratik Y=314,301+12,427X0,895 0,801 0,001 0,000 0,036X2 0,000 0,060 Kubik Y=652,750+1,964X+0,04 0,938 0,880 0,000 0,697 1X2 +0,001X3 0,265 0,051 0,009 Tabel 2 menunjukkan bahwa diantara 4 model persamaan regresi, yang memiliki kekuatan hubungan, determinasi, uji F dan Uji t, persamaan regresi linear terbaik adalah persamaan kuadratik (Gambar 6).
Y=314,3+12,427+0,036X
2
n = 12 ; R2= 0,80
2
N=12; R = 0,80
Gambar 6. Pola hubungan antara Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar air Gambut Variasi kadar air gambut rata-rata di Hampangin berkisar antara 478,28% pada kedalaman 25 cm dan 686,80% pada kedalaman satu meter, sedangkan kadar karbon berkisar antara 31,0465% sampai dengan 55,599%. Kadar air tertinggi adalah 795,73% pada kedalaman 100 cm. Kadar air terendah adalah 250,51 % berada pada lapisan 25 cm. Kadar karbon tertinggi 56,8035 berada pada lapisan gambut 1 meter, sedangkan terendah berposisi pada kedalaman 25 cm. Kadar Air dan Karbon pada beberapa kedalaman gambut di Hampangin disajikan dalam Gambar 7 dan 8.
14
%
%
Kedalaman
Kedalaman
Gambar 7. Kadar Air Gambut pada Beberapa Kedalaman di Hampangin
Gambar 8. Kadar Karbon Organik pada Beberapa Kedalaman di Hampangin
4.Hubungan Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Karbon Kandungan karbon bahan organik gambut bervariasi dari berbagai kedalaman. Kisaran nilai yang diperoleh dari lapangan antara maksimum dan minimum adalah antara nilai 38,61% dengan 57,95%. Nilai tertinggi diperoleh dari Blok 3 kedalaman 75 cm yaitu sebesar 57,95%. Pada blok 1, nilai tertinggi kadar karbon gambut mencapai 57,87% dan terendah 38,61%. Dari blok 2 diperoleh kandungan karbon tertinggi 57,79% sedangkan nilai terendah hanya mencapai 22,09%.
250 200 150
50
Kc3
0
Kc2
K a r b o n
Kedalaman
B1K12
Kc4
B1K1 B1K2 B1K3 B1K4 B1K5 B1K6 B1K7 B1K8 B1K9 BiK10 B1K11
100
Kc1
%
Gambar 9. Variasi Kadar Karbon Gambut pada Berbagai Kedalaman Tanah Gambut
15
Blok 3 menunjukkan nilai kadar karbon tertinggi sebesar 57,95% dan kadar terendah adalah 49,06%, sedangkan dari Blok 4 diperoleh nilai kadar karbon tertinggi adalah 57,51% dan terendah 47,18%. Hasil rata-rata dari keempat blok diperoleh suatu kecenderungan bahwa nilainilai kandungan karbon pada berbagai kedalaman menuju kearah bentuk yang sama. Hasil uji analisis model persamaan yang umum yang menjadi model persamaan dasar dari model pengembangan selanjutnya menunjukkan bahwa bentuk persamaan regresi adalah kubik dan kuadratik (Tabel 3). Penentuan model persamaan dengan mempertimbangkan nilai-nilai koefisien korelasi dan determinasi, nilai signifikansi F dan nilai signifikansi t. Sebagai ilustrasi nilai observasi dihubungkan dengan prediksi kecenderungan regresi tersaji dalam Gambar 10. Ilustrasi gambar regresi bentuk persamaan kubik ternyata lebih mendekati kearah kecenderungan data observasi (Gambar 10).
Tabel 3. Perbandingan Kemiripan Model Regresi yang Terjadi dari Faktor Kedalaman Tanah Gambut dengan Kadar Karbon Model Regresi
Persamaan
Korelasi (r)
Sign.F Sign.t
0,504
Koef.Det erminasi ( R2 ) 0,254
Linear
Y=59,931-0,028X
Logaritmik Y=67,212-2,438lnX
0,362
0,131
0,247
Kuadratik
Y=52,369+0,101X0,001X2
0,739
0,546
0,029
Kubik
Y=62,7350,219X+0,002X2+-4,9 10-6X3
0,883
0,780
0,005
x
0,094
0,094 0,000 0,247 0,000 0,101 0,040 0,000 0,098 0,043 0,019 0,000
16
2
-6 3
Y=62,735-0,219X+0,002X -4,9x10 X n = 12; R2= 0,78
2
N= 12; R = 0,88
Gambar 10. Model-model Persamaan Regresi Hubungan Kedalaman Gambut dengan Kadar Karbon Gambut B. Pembahasan Hubungan fungsi yang tidak terjadi antara kedalaman gambut dengan kerapatan jenisnya dapat diakibatkan oleh adanya proses pembentukan gambut yang tidak beraturan melalui proses dekomposisi, perbedaan kadar air, dan ukuran partikel yang berbeda-beda dalam material gambut. Proses pembentukan gambut berhubungan dengan tipe gambut apakah gambut bertipe obrogen atau topogen. Menurut Radjagukguk (1992) sebagian lahan gambut tropis di Indonesia bertipe gambut ombrogen yang terbentuk pada dataran tergenang oleh air hujan ladung dan tidak dipengaruhi oleh gerakan pasang surut air laut. Dalam proses pembentukannya didahului dengan proses pengendapan yang berbeda antara lapisan atas dengan bawah sehingga ukuran matrial dan partikel gambut bervariasi. Akibat pertanian dan kebakaran gambut menjadi lebih matang (Kurnain, 2005). Sedangkan menurut Yani (2003), antara lapisan atas dan lapisan bawah, gambut mempunyai perbedaan mendasar dalam hal kandungan karbon (C) organik dan bobot isi (bulk density). Proses dekomposisi tanah gambut terus berlangsung dan pada gambut bagian atas mengalami proses dekomposisi lebih cepat daripada bagian bawah. Didalam sistem hidrologi lahan gambut dikenal adanya permukaan air tanah (water table). Kondisi permukaan air tanah ini berlangsung turun naik. Fluktuasi permukaan air tanah ini akan berpengaruh terhadap kandungan air gambut pada berbagai kedalaman. Di sisi lain ukuran partikel gambut sangat berhubungan dengan jenis material organik saat pengendapan, proses mekanis berupa gesekan-gesekan dan pelapukan. Pola hubungan fungsi yang ditemukan dalam penelitian ini mencerminkan tidak adanya keteraturan hubungan antara kedalaman lapisan gambut dengan nilai kerapatannya sehingga untuk menentukan nilai kerapatan jenis gambut cukup dengan menggunakan nilai rata-rata yaitu 0,99. Fungsi persamaan regresi dari penelitian ini tidak dapat digunakan untuk menduga kerapatan jenis gambut. Bagian terdalam dari lapisan gambut umumnya ditandai adanya lapisan 17
pasir kuarsa berwarna putih. Pada saat mendekati lapisan pasir kerapatan jenis gambut dapat meningkat. Besar kecilnya kadar air tanah gambut menjadi salah satu indikator perbedaan ukuran partikel gambut. Penilaian kecenderungan bentuk hubungan antara tingkat kedalaman tanah gambut dengan berat jenis pada berbagai kedalaman ini ditentukan oleh besarnya nilai koefisien determinasi (R2) yaitu hanya sebesar 28-30% yang berarti hanya 28-30% variabel kerapatan jenis ditentukan oleh variabel independen berupa tingkat kedalaman. Sedangkan antara 70%-72% kerapatan jenis dipengaruhi oleh faktor lain. Nilai tersebut dijelaskan juga oleh nilai signifikansi ’F’ dan ” t” yang lebih besar dari 0,05 yang artinya antara kedua variabel tidak saling mempengaruhi. Penilaian di atas merupakan bagian dari prinsip Best Linear Unbiased Estimator (Rafi’i, 1986; Sulaiman, 2004.). Penentuan model hubungan yang terjadi antara faktor kedalaman gambut dengan kadar airnya dalam penelitian ini mempertimbangkan gabungan nilai korelasi, koefisien determinasi, nilai hasil uji F dan t pada Tabel 2. Jika hubungan tersebut dibuat garis linear maka nilai korelasi hanya diperoleh sebesar 0,178 yang berarti < 0,20, artinya tidak hubungan yang erat. Demikian juga apabila hubungan kedalaman tanah gambut dipaksakan menjadi hubungan yang logaritmik, maka nilai korelasinya adalah 0,402 yang berarti berada pada posisi antara 0,20 s/d 0,40 dimana menurut kriteria Young (1982) dalam Sulaiman (2004) berarti memiliki hubungan yang lemah. Ketika pola hubungan tersebut dibuat bentuk kuadratik maka nilai korelasi menjadi 0,895 berada pada posisi antara 0,70 s/d 1 yang berarti hubungan keeratan tinggi bagi kedua variabel tersebut. Demikian juga jika hubungan kedalaman gambut dengan kadar air dijadikan pola hubungan kubik, maka diperoleh nilai korelasi sebesar 0,938 yang berarti sama dengan kuadratik yaitu antara 0,70 s/d 1 yang berarti berhubungan kuat atau tinggi. Perbedaan yang terjadi antara bentuk hubungan kuadratik dengan kubik adalah pengujian berikutnya yakni nilai signifikansi F dari hasil uji analisis variansi dan nilai signifikansi hasil uji ”t”.(Tabel 2). Kedua persamaan regresi tersebut menunjukkan bahwa walaupun kedua regresi tersebut bernilai sangat nyata, tetapi pada persamaan kubik ditemui nilai signifikansi sebagian besar tidak nyata daripada regresi kuadratik. Pengambilan keputusan persamaan terbaik jatuh pada persamaan regresi kuadratik. Variasi nilai kadar air pada berbagai kedalaman gambut menujukkan adanya variasi ukuran partikel dan daya higroskopisitas gambut yang berbeda-beda. Gambut tropis menyimpan lengas sangat besar yaitu antara 200-1000% atas dasar bobot, dan 50-90% atas dasar volume (Soil Survey Staf, 1975). Mencermati hubungan fungsional yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu antara kedalaman gambut dengan kadar karbon yang dikandungnya, maka penentuan bentuk hubungan tersebut juga ditentukan utamanya dengan melihat nilai korelasi dan koefisien determinasi. Selanjutnya dilihat nilai F pada anova regresi dan nilai ”t” pada uji beda antar populasi. Jika persamaan diputuskan menjadi bentuk linear, nilai koefisien korelasi (r) adalah 0,504 (Tabel 3) yang berarti keeratan hubungan antar dua variabel bersifat substansial (Young, 1982) karena berada pada posisi antara 0,40 s/d 0,70. Namun ketika mencermati nilai koefisien determinasi terlihat cukup rendah 0,25 yang artinya hanya 25% variabel kedalaman menentukan kadar karbon gambut sehingga sebagian besar masih ditentukan oleh faktor lainnya. Ketika hubungan ini diuji dengan persamaan regresi berbentuk kuadratik dan kubik, maka diperoleh hasil hubungan korelasi tertinggi (0,883) bagi persamaan model kubik diantara semua nilai korelasi yang ada. Demikian juga dari nilai koefisien determinasi, persamaan model kubik menghasilkan nilai tertinggi yaitu 0,780. Artinya bahwa 78% variabel kedalaman menentukan variabel kadar karbon. Hanya 0,22% 18
dipengaruhi oleh faktor lainnya. Karbon organik yang terkandung didalam gambut sebagian besar dalam bentuk senyawa lignin, selulosa, hemiselulosa, lilin, tanin, resin, suberin,dan sejumlah protein (Stevenson, 1972). Khusus gambut Sumatera dan Kalimantan sebagian besar bahan organiknya didominasi lignin (>60%), sisa lainnya adalah selulosa,hemiselulosa, dan protein (Polak, 1975). Pendugaan stok karbon pada areal yang luas menggunakan citra landsat memerlukan dukungan hubungan antara refleksi data yang terekam oleh sensor alat citra dengan stok karbon yang diukur secara langsung atau ditaksir secara tidak langsung di lapangan (Chiesi et al.2005; Tan et al, 2007). Menurut Clark et al.(2001); Wang et al; (2003) bahwa metode yang paling akurat untuk pendugaan biomassa adalah melalui pendekatan destruktif sampling. Dua parameter yang penting diukur kaitannya dengan kandungan karbon gambut adalah berat jenis dan volume. Pendekatan destruktif tersebut sering digunakan untuk memvalidasi berbagai metode lainnya yaitu pendugaan stok karbon dengan pengukuran nondestruktif in-situ dan remote sensing. Kadar air dan kadar karbon dari hampangin tidak digunakan didalam menentukan model persamaan karena jumlah tingkat kedalaman sebagai sampel (n) masih lebih sedikit daripada di tumbang Nusa. Data tersebut lebih berfungsi pembanding nilai-nilai kadar air dan kadar karbon yang diperoleh di Tumbang Nusa.
V. KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan 1.Kedalaman tanah gambut tidak memiliki hubungan fungsi yang erat dengan nilai kerapatan jenis gambut. Nilai paling ideal untuk kerapatan jenis gambut adalah nilai rata-rata dari berbagai kedalaman gambut. Nilai rata-rata kerapatan jenis tersebut dapat digunakan untuk menghitung bobot kering gambut. 2.Variasi nilai kadar air pada berbagai kedalaman gambut menujukkan adanya variasi ukuran partikel dan porositas tanah gambut pada setiap tingkat kedalaman. Dalam penelitian ini telah dibuktikan adanya hubungan kedalaman gambut dengan kadar airnya yang cenderung berbentuk persamaan fungsi kuadratik. 3.Kadar karbon organik dalam gambut khususnya pibrik dan hemik memiliki korelasi dengan tingkat kedalaman sehingga membentuk hubungan fungsi kubik dan kuadratik. B. Saran Perhitungan potensi biomassa gambut pada berbagai kedalaman perlu mempertimbangkan nilai rata-rata kerapatan jenis gambut guna meningkatkan keakuratan. Penggunaan model persamaan alometrik penduga dalam menentukan kerapatan jenis gambut untuk kedalaman tertentu tidak disarankan ketika menghitung biomassa gambut. Sedangkan untuk menghitung kadar karbon organik pada berbagai kedalaman gambut disarankan menggunakan persamaan model kubik.
19
DAFTAR PUSTAKA Akbar. A. dan E. Priyanto 2009. Pemulihan Alami Stok Karbon Jenis Gerunggang (Cratoxylon arborenscens BL.) di Hutan Rawa Gambut Pasca Kebakaran Kalimantan Tengah. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru. Anderson, J.A.R. 1976. Observation on the ecology of five peat swamp in Sumatera and Kalimantan. Soil Res. Inst. Bogor Bull 3:45:55. Basuki, T.M.,Van Laake P.E., Skidmore A.K., Hussin Y.A. 2009. Allometric equations for Estimating the above-ground biomass in tropical lowland Dipterocarp forests. Forest Ecology and Management 257, 1684-1694. Brown, S. 1997. Estimating biomass and Biomass change of tropical forests; a primer, FAO. Forestry paper 134, Rome, 87 pp. Brown, S. A.J.R. Gillespie and A.E. Lugo. 1989. Biomass estimation Methods for Tropical forest with Applications to Forest inventory Data. Forest science 35:881-902. Chiesi, M., Maselli, F., Bindi, M., Fibbi, L., Cherubini, P., Arlotta, E., Tirone, G., Matteucci, G., Seufert, G., 2005. Modelling carbon budget of Mediterranean forests using ground and remote sensing measurements. Agricultural and Forest Meteorology 136, 22–34. Clark, D.A., Brown, S., Kicklighter, D.W., Chambers, J.Q., Thomlinson, J.R., Ni, J., Holland, E.A., 2001. Net primary production in tropical forests: an evaluation and synthesis of existing field data. Ecological Application 11 (2), 371–384. Driessen, P. dan H. Suhardjo, 1978. On the defective grain formation of sawah rice on peat. Soil Research Bulletin. ATA, SRI Bogor. Gomez K.A. and A.A. Gomez, 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. 2 nd Edition. An International Rice Research Institute Book. A Wiley-Interscience publication. New York. Hardjowigeno, S. 1989. Sifat-sifat dan potensi tanah gambut Sumatera untuk pengembangan pertanian. Hal. 15-42. Dalam Muis Lubis. A. et al.(ed) Prosiding Seminar Tanah Gambut untuk Perluasan Pertanian. Fak.Pertanian, Universitas Islam Sumatera Utara. Medan 27 November 1989. Haygreen JG and Bowyer JL. 1982. Forest Products and Wood science, an Introductions. Lowa State University Press. Ames. Lowa. Hitchcock H.C.; J.P. Mc. Donnell. 1979. Biomass Measurement : A Synthesis of the Literature Forest Resource Inventories. Workshop Proceedings. Colorado State University. Fort Collins.
20
Ketterings Q.M., Coe R., Van Noordwijk M., Ambagau Y., Palm C.A. 2001. Reducing uncertainty in the use of allometric Biomass equationa for predicting aboveground tree biomass in mixed secondary forests. Forest ecology and Management 146, 199-209. Krisfianti L.G., Ng. Ginting, dan A. Wibowo. 2008. Isu Pemanasan Global UNFCCC Kyoto Protokol dan Peluang Aplikasi A/R CDM di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran Atas Watak Gambut Ombrogen. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta (Disertasi). Maltby dan Immirizi. 1993. Carbon dynamics in peatlands and other wetlands soils : regional and global perspective. Chemosphere 27; 999 – 1023. Murdiyarso,D., Upik Rosalina, Kurniatun Hairiah, Lili Muslihat, I.N.N. Suryadiputra dan Adi Jaya. 2004. Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia. Wetlands InternationalIndonesia Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor. Indonesia. Neuzil, S.G. 1997. Onset and rate of peat and carbon accumulation in four domed ombrogenous peat deposits in Indonesia. In Biodiversity and Sustainability of Tropical Peatlands. (eds. Rieley, J.O., and S.E. Page). Samara Publishing Ltd.pp.55-72. Page S.E., Siegert, F. Rielay, J.O. Boehm H.D.V., Adi Jaya. 2002. The amount of carbon released from peat and forest fire in Indonesia during 1997. Nature. 4202. 61-65. Page. S.E., & J.O. Rieley. 1988. Tropical peatlands : a review of their natural resource functions. With particular reference to southeast asia. Intl. Peat Journal,8:95-106. Pokja PLG. 2006. Strategi dan Rencana Tindak Nasional Pengelolaan Lahan Gambut Nasional. Jakarta. Polak, B. 1952. Occurrence and fertility of Tropical Peatlands in Indonesia. Contrib. Gen. Agric, Res, Sta : No.104 Bogor. Priyatno D. 2009. SPSS untuk Analisis Korelasi, Regresi, dan Multivariate. Penerbit Gava Media. 106 hal. Rafi,i, S. 1986. Metode Statistika Analisis Untuk Penarikan Kesimpulan. Bina Cipta Anggota IKAPI, Jakarta. Rajagukguk, B. 1992. Utilisation and management of peatlends in Indonesia for Agriculture and Forestry. Proceedings of the Symposium on Tropical Peatland. Kuching, Sarawak, Malaysia. 6-10 Mei 1991. Pp.21-27. Rajagukguk, Kurnain A., Sajarwan A. Dan Kusuma R.E., 2000. Panduan Analisis Laboratorium untuk Gambut. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
21
Schroeder P.E., R.K. Dixon and J.K. Winjum. 1993. Forest Management and Assesment of Promising Forest Management Practices and Technologies, including site-level costs. For Enhanching the Conservation and Sequestration of atmospheric Carbon. Unasylva 173. Vol.44 p.52-60. Shimada S., H. Takahashi, M. Kaneko, and Haraguchi Akira. 2000. The Estimation of Carbon Resource in a Tropical Peatland: A Case Study in Central Kalimantan. Indonesia. International Symposium on Tropical Peat lands. Research and Development Center for Biology, The Indonesian Institute of Sciences. Bogor. Soil Survey Staff. 1990. Keys to Soil Taxonomy (4th ed). SMSS Technical Stevenson, F.J.& Ardakani, M.S. 1972. Organic matter reactions involving micronutrients in soils. In: Micronutrients in Agriculture. Soil Science Sosiety of America. Madison. Wisconsin pp.79-115. Stewart J.L., Duncan,A.J., Hellin, J.J., Hughes C.E, 1992. Wood biomass estimation of Centarl American dry zone species. Tropical Forestry Papers 26. Oxford Forestry Intsitute. Departement of Plant Sciences. University of Oxford. Sulaiman H. 2004. Analisis Regresi Menggunakan SPSS. Contoh Kasus dan Pemecahannya. Penerbit Andi Yogyakarta. Tojib A., Supriyadi, S. Hardiwinoto, and Yasuyuki Okimori. 2001. Estimation Formula of Aboveground Biomass in Several Land-use System in Tropical Ecosystems of Jambi, Sumatra. Proceedings of The Seminar on Dopterocarp Reforestation to Restore Environment through Carbon Sequestration. Kansai Environmental Engineering Center (Kansai) and Kanso in Cooperation with Faculty of Forestry Gajah Mada University. Yogyakarta. Tan, K., Piao, S., Peng, C., Fang, J., 2007. Sattellite-based estimation of biomass carbon stocks for northeast China’s forests between 1982 and 1999. Forest Ecology and Management 240, 114–121 Wang C. 2006. Biomass allometric equations for 10 co-occuring tree species in Chinese temperate forest. Forest Ecology and Management 222: 9 – 16. Wibowo A. 2009. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory). Rencana Penelitian Integratif 2010-1014. Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Yani, A. 2003. Beberapa Pendekatan Pengukuran karbon Tanah Gambut di Jambi. SkripsiProgram studi ilmu tanah.Fakultas Pertanian IPB.
22
LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Pengambilan Sampel Tanah Gambut di Tumbang Nusa
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Keterangan : 1.Pengambilan sampel gambut; 2.Pengukuran kedalaman; 3.Pemberian label sampel 4.Pengukuran batas 25cm; 5.Penggalian profil gambut; 6.Penampakan profil gambut 7.Kondisi vegetasi rawa gambut; 8.Koleksi sampel; 9.Peralatan pemb.profil gabut (fotografi Acep A.2012) 23
Lampiran 2. Pengambilan Sampel Tanah Gambut di Batampang dan Hampangin
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Keterangan : (Foto: Acep A.2012) 1.Transportasi menuju Lokasi sampel; 2.Mengukur jarak lokasi dari sungai; 3.Alat Sampan/klotok kecil di lokasi sampel; 4.Pengeboran gambut; 5.Vegetasi hutan Rawa Gambut Batampang; 6.sampel gambut; 7.Penggunaan alat bor gambut 8.Contoh gambut yang mendekati lapiran pasir kuarsa; 9.Penyambungan alat bor 24
Lampiran 3. Peta Lokasi Pengambilan Contoh Gambut di Kalimantan Tengah 3.1. Peta Rupa Bumi Indonesia dan Letak Kalimantan Tengah
3.2. Peta Sebaran Lahan Gambut di Kalimantan Tengah dan Lokasi Sampel
Sumber : Wetland International Indonesia Program (WIIP)
25
Lampiran 4. Anggaran Biaya Penelitian KODE
KEGIATAN/SUB KEGIATAN/JENIS BELANJA/RINCIAN BELANJA
PERHITUNGAN TAHUN 2012 VOLUME HARGA SATUAN JUMLAH BIAYA
2319.022 LAPORAN HASIL PENELITIAN PENGEMBANGAN PERHITUNGAN EMISI GRK KEHUTANAN (INVENTORY) 011 Model Hubungan Kedalaman Gambut Dengan Kandungan Karbon 521211. Belanja Bahan 1. Bahan dan perlengkapan penelitian - Patok kayu - Pengadaan papan nama plot - Tambang plastik - Parang - Karung plastik - Timbangan 2. Fotocopy dan dokumentasi - Fotocopy - Cetak photo - Album - Batery kecil Alkaline
1 27 1 9 2 12 1 1 700 60 1 6
Paket buah buah m buah buah buah Paket lembar lmbr Buah Buah
521219. Belanja Barang Non Operasional Lainnya 1. Harian lepas dalam rangka pelaksanaan kegiatan 515 HOK - Upah orientasi lapangan, penentuan lokasi dan pembuatan 15 HOK lay out - Upah pembantu pengeboran gambut hingga kedalaman 380 5-8 HOK meter - Upah koleksi dan pengkompisitan, labeling dan penimbangan 100 HOKgambut - Upah koleksi dan pengangkutan gambut (240 specimen) 20 HOK 2. Pembelian peta kedalaman dan kematangan gambut 1 lembar 522191. Belanja Jasa Lainnya 1. Analisis karbon organik 2. Analisis kadar air gambut 3. Analisis kerapatan gambut 4. Analisis kematangan gambut 524119. Belanja Perjalanan Lainnya 1. Dalam rangka koordinasi dan konsultasi - Tiket Pesaw at (2 orang PP) - Lumpsum ( 2 orang x 1 kali x 4 hari ) - Hotel Gol IV ( 2 orang x 3 malam ) 2. Dalam rangka pelaksanaan kegiatan - Transport (6 x 2 pp) - Lumpsum gol IV (2 orang x 8 hr x 3 kali) - Lumpsum gol III (2 orang x 3 kali x 8 hari )
80 80 80 80
2 2 8 6 12 12 48 48
smpl smpl smpl smpl
KET
96.824.000 96.824.000
2.574.000 46.600 582.600 40.800 59.000 4.000 200.000
2.974.000 2.574.000 1.258.200 582.600 367.200 118.000 48.000 200.000
RM
400.000 200 2.500 65.000 7.500
400.000 140.000 150.000 65.000 45.000 37.250.000 36.050.000 1.050.000 26.600.000 7.000.000 1.400.000 1.200.000
RM
70.000 70.000 70.000 70.000 70.000 1.200.000
6.640.000 2.000.000 1.600.000 1.600.000 1.440.000
RM
25.000 20.000 20.000 18.000
OT PP OH malam
6.440.000 2.250.000 425.000 830.000
49.960.000 RM 12.880.000 4.500.000 3.400.000 4.980.000
OT PP hari OH
3.090.000 290.000 355.000 345.000
37.080.000 3.480.000 17.040.000 16.560.000
26
Lampiran 5. Organisasi Pelaksana Penelitian No
Nama Lengkap
1
Dr. Acep Akbar
2.
Eko Priyanto, S.Hut.
Bidang Pria/Wanita Pendidikan Akhir Alokasi Waktu S3 Ilmu Pria/hari Kehutanan. S1 Kehutanan Pria/hari
Unit Kerja Nama Lembaga BPK-Banjarbaru
3.
Leo Jati Eriyanto
SKMA
Pria/hari
BPK Banjarbaru
4.
Edy Suryanto
SKMA
Pria/hari
BPK Banjarbaru
BPK Banjarbaru
27