Warta
Cendana
Balai Penelitian Kehutanan Kupang
Forestry Research Institute of Kupang (Forist)
| FOKUS |
KURA-KURA LEHER ULAR ROTE
PEMANFAATAN MANGROVE Oleh Masyarakat di Nusa Tenggara Timur
EVALUASI HUTAN KEMASYARAKATAN EKS. PERUM PERHUTANI DI KABUPATEN KUPANG
Edisi VI No.2 November 2013
Telaah Burung Feral di Kupang
RESENSI : Conserving Biodiversity in Arid Regions : Best Practices in Developing Nations
SEKAPUR SIRIH Menuju penghujung akhir tahun, Karyawan/ti Balai Penelitian Kehutanan Kupang berhasil mengukir prestasi pada bidangnya masing-masing. Sepanjang paruh kedua tahun 2013 tercatat sejumlah torehan prestasi diantaranya: Rattahpinnusa H Handisa, S.Sos terpilih menjadi juara 1 Pustakawan Berprestasi Terbaik Tingkat Propinsi Nusa Tenggara Timur Tahun 2013, Oki Hidayat, S.Hut berhasil masuk 3 besar lulusan terbaik Diklat Calon Peneliti Angkatan II yang diselenggarkan oleh Pusdiklat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Hal tersebut seolah mengikis pameo LIBANG sebagai Akronim suLIT berkemBANG. Terbangunnya iklim kompetisi yang positif di Balai Penelitian Kehutanan Kupang patut disyukuri karena hal ini akan semakin mendorong para karyawan/ti untuk berinovasi dibidangnya masing-masing. Pembaca yang Budiman, Majalah Warta Cendana pada edisi ini mengangkat topic tentang potensi keanekaragaman hayati endemic Nusa Tenggara Timur. Selama ini kita hanya mengenal Komodo sebagai satwa khas bumi Flobamora. Namun NTT sebagai New Treasure Teritory menyimpan kekayaan hayati yang tak ternilai. Patut kita sadari bersama bahwa potensi tersebut perlu di eksplorasi. Pantas kiranya jika kami sajikan sejumlah artikel yang terkait dengan topic tersebut. Semoga artikel yang berjudul: Kurakura Leher Ular, Telaah awal burung Feral akan semakin menambah wawasan kita.. Semoga sajian informasi tersebut dapat memenuhi rasa keingintahuan pembaca. Tak lupa kami mengundang para pembaca untuk mengirimkan artikelnya. Maupun memberikan masukan, kritik dan sarannya. Sehingga warta cendana yang hadir ditengah-tengah kita dapat semakin eksis.
DAFTAR ISI | FOKUS |
| RAGAM |
| PERISTIWA | h.25
Kura-Kura Leher Ular Rote
Pemanfaatan Mangrove Oleh Masyarakat Di Nusa Tenggara Timur
oleh: Kayat
Oleh : M. Hidayatullah
Conserving Biodiversity In Arid Regions: Best Practices in Developing Nations
h.1
h.9
h.23
| KILAS BERITA |
Telaah Awal Keberadaan Burung Feral di Kupang
Evaluasi Hutan Kemasyarakatan Eks. Perum Perhutani di Kabupaten Kupang
| GALERI | h.24
h.26
Oleh : Oki Hidadat
h.5
Oleh : Dani Pamungkas
h.16 Cover Photo by : Kayat REDAKSI
PENERBIT
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN KUPANG | FORESTRY RESEARCH INSTITUTE OH KUPANG
Penanggung Jawab Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang merupakan majalah ilmiah poluler Balai Peneleitian Kehutanan Kupang yang diterbitkan 3 kali dalam satu tahun, berisikan tema rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi, sosial ekonomi, ekowisata, lingkungan, HHBK, managemen, hukum kelembagaan, kebijakan publik dan lain-lain.
Dewan Redaksi Ketua merangkap Anggota Sigit B Prabawa, M.Sc. Anggota Rahman Kurniadi, S.Hut, M.Sc. Sumardi, S.Hut, M.Sc
Sekretaris Redaksi Ketua merangkap Anggota M. Azis Rakhman, S.Hut. Anggota Tipuk Purwandari, S.Kom, M.Sc. Rattah Pinnusa H.H, S.Sos.
Redaksi menerima sumbangan artikel sesuai tema terkait, Tim Redaksi berhak menyunting tulisan tanpa mngubah isi materi tulisan, Tulisan dapa dikirim melalui email ke
[email protected]
Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jln Untung Suropati No 7 B. Kupang Telp (0380)823357 Fax (0380) 831086 Email :
[email protected] www.foristkupang.org
| FOKUS |
KURA-KURA LEHER ULAR ROTE
SALAH SATU SATWA ENDEMIK NUSA TENGGARA TIMUR oleh: Kayat
PENDAHULUAN Kura-kura leher ular rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) termasuk satwa liar yang bernilai ekonomi sehingga terjadi penangkapan yang terus-menerus yang menyebabkan populasinya menurun (Shepherd dan Bonggi, 2005). Kura-kura leher ular rote dideskripsikan tahun 1994 oleh Anders G.J. Rhodin sebagai spesies endemik Pulau Rote Nusa Tenggara Timur (NTT), Indonesia. Dikatakan demikian karena satwa ini hanya ditemukan di Pulau Rote, dan tidak ditemukan di belahan bumi yang lainnya. (Shepherd dan Bonggi, 2005). Pada tahun 1970an satwa ini banyak sekali ditemukan di Pulau Rote. Namun tahun 1997 sampai 2001 kuota ekspor ditetapkan untuk spesies ini, dan dalam kurun waktu tersebut 259 ekor kura-kura leher ular rote secara legal diekspor dari Indonesia. Namun karena banyak kegiatan eksploitasi ilegal yang mencapai ratusan bahkan ribuan ekor, maka sejak tahun 2002 kuota bagi kurakura leher ular rote dikurangi hingga mencapai 0 (nol) oleh PHKA, karena
disadari bahwa spesies endemik ini berada di ujung kepunahan. Berdasarkan kriteria generik pada Pe r a t u r a n M e n t e r i Ke h u t a n a n No.P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018, kriteria yang diterapkan secara umum kepada semua kelompok taksa flora dan fauna, yang meliputi 5 kriteria yaitu (1) Endemisitas, (2) Status populasi, (3) Kondisi habitat, (4) Ke t e r a n c a m a n , d a n ( 5 ) S t a t u s pengelolaan spesies, kura-kura leher ular rote memiliki bobot penilaian spesies prioritas paling tinggi pada kelompok herpetofauna, yaitu 100. Artinya kurakura leher ular rote termasuk spesies dengan daerah penyebaran yang sangat terbatas; status populasi merupakan spesies yang di alam memiliki jumlah individu yang kecil; habitat yang sesuai hampir habis (habitat khusus); termasuk spesies yang banyak ditangkap/diburu s e c a r a b e s a r- b e s a r a n u n t u k diperdagangkan; dan termasuk spesies yang belum memperoleh perhatian cukup dari sisi pengelolaan (Dephut, 2008).
Edisi VI No.2 November 2013
1
PEMBAHASAN Kura-kura leher ular rote merupakan satwa endemik pada beberapa lokasi di Pulau Rote (Provinsi NTT), populasi berkurang drastis karena pencemaran perairan di darat dan perdagangan untuk hewan peliharaan. Laporan terakhir menyatakan bahwa hewan ini sudah tidak ditemukan lagi di habitat aslinya. Dikategorikan CR pada IUCN dan Apendiks II CITES. Diajukan untuk dilindungi. Untuk melindungi kura-kura berleher ular itu, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) juga bekerja sama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), sebagai Otoritas Ilmiah CITES (Konvensi Mengenai Perdagangan Internasional terhadap Species Satwa dan Tumbuhan Dilindungi) di Indonesia, untuk memasukkan kurakura berleher ular dari Pulau Roti ke dalam daftar spesies yang dilindungi penuh. Menurunnya populasi suatu jenis fauna di alam lebih banyak diakibatkan oleh aktivitas manusia dalam
memanfaatkan sumberdaya alam untuk kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarikan kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis fauna tersebut seperti kura-kura leher ular rote. Penurunan populasi suatu jenis selain karena eksploitasi yang berlebihan juga dikarenakan kerusakan habitat. Berdasarkan hasil wawancara dengan petugas dari Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Rote Ndao serta beberapa masyarakat lokal, diperoleh informasi bahwa beberapa danau yang pernah menjadi habitat kura-kura leher ular di Kabupaten Rote Ndao diantaranya adalah : 1. Kecamatan Rote Tengah : Danau Peto dan Danau Manute 2. Kecamatan Rote Selatan : Danau Seda 3. Kecamatan Lobalain : Danau Holoama dan mata air Lelain 4. Kecamatan Rote Barat Daya: Danau Tua dan Danau Ana 5. Kecamatan Rote Barat Laut: Danau Lenggu, Danau Naluk 6. Kecamatan Rote Barat : Danau Hela 7. Kecamatan Rote Timur : Danau Oendui, Danau Ina, Danau Ledulu Hasil survei menunjukkan bahwa sebaran danau habitat kura-kura leher ular rote, baik yang masih sesuai maupun yang sudah tidak sesuai lagi disajikan pada Gambar 1. di samping. Hasil wawancara dengan seorang pengumpul kura-kura leher ular rote di Ba'a diperoleh informasi bahwa usahanya dimulai dari tahun 1988, saat itu kurakura leher ular dewasa dijual dengan harga Rp 1.500. Dalam seminggu bisa dilakukan 2 kali pengiriman per minggu ke
2
Edisi VI No.2 November 2013
Kupang dengan jumlah 100 ekor per minggu. Tahun 1988-1990an merupakan masa puncak perdagangan kura-kura leher ular rote karena pada masa itu hewan ini masih sangat mudah dijumpai sehingga banyak orang yang menangkap dan menjualnya. Pada tahun 2004 pengumpul tersebut menjual 7 ekor induk kura-kura leher ular rote dengan harga Rp 1.500.000/ekor. Transaksi tersebut merupakan yang terakhir kali dilakukannya. Berdasarkan hasil observasi dari beberapa danau yang dulu diidentifikasi sebagai habitat kura-kura leher ular rote, ada beberapa kriteria yang menandakan bahwa danau yang disurvei tersebut masih layak sebagai habitatnya, diantaranya adalah (1) Baik sebagian atau seluruh badan danau masih ditumbuhi oleh berbagai jenis tumbuhan, mulai tingkat semai sampai pohon; (2) Banyak jenis tumbuhan air yang tumbuh di dalam maupun di permukaan danau; (3) masih ditemukanan hewan air sebagai pakan alami kura-kura leher ular rote, seperti ikan, anak katak, dan hewan air lainnya; (4) Akses dari rumah atau perkampungan cukup jauh sehingga interaksi masyarakat dengan danau sangat minim; (5) Ada aturan/hukum adat yang mengatur berbagai aktivitas masyarakat yang b e r ka i t a n d e n g a n d a n a u s e p e r t i hukuman/denda apabila melakukan aktivitas berikut : memanen ikan, mengambil kayu dan aktivitas lainnya yang mengganggu kelestarian lingkungan danau. Hasil survei menunjukkan bahwa dari 11 danau yang diobservasi hanya tinggal 2 danau yang masih layak sebagai habitat kura-kura leher ular rote, yaitu Danau Peto dan Ledulu. Walaupun hasil inventarisasi tidak ditemukan
perjumpaan langsung dengan satwa tersebut, namun menurut informasi dari masyarakat setempat bahwa di 2 danau tersebut masih sering dijumpai kura-kura leher ular rote. Untuk itu apabila kita serius ingin mengkonservasi kura-kura leher ular rote yang masih tersisa agar tidak punah, maka pihak Pemerintah bekerjasama dengan masyarakat harus melindungi kedua danau tersebut. Penetapan kedua danau tersebut menjadi kawasan yang dilindungi dan/atau dengan memberlakukan hukum adat yang ketat merupakan salah satu alternatif solusi yang bisa diambil. Perbandingan kondisi danau yang masih sesuai sebagai habitat kura-kura leher ular rote dengan yang sudah tidak sesuai lagi dapat dilihat pada Gambar 2 di balik halaman ini.
Reptillovers.blogspot.com TAXONOMY Chelodina mccordi 1.1 Class : Reptilia 1.2 Order : Testudines (Chelonia) 1.3 Family : Chelidae 1.4 Species : Chelodina mccordi Rhodin, 1994 1.5 Scientific synonyms: None. The species was previously considered an isolated population of Chelodina novaeguineae Boulenger, 1888 (see Wermuth and Mertens, 1961 [1996], de Rooij 1915, Rhodin, 1994). 1.6 Common names: English: Roti snake-necked Sumber: http://www.cites.org/common/cop/13/
Edisi VI No.2 November 2013
3
Danau Ledulu Kondisi Danau Peto dan Ledulu yang masih cocok sebagai habitat kura-kura leher ular rote Danau Oendui Kondisi Danau Ina dan Oendui yang sudah tidak cocok lagi sebagai habitat kura-kura leher ular
Gambar 2. Perbandingan antara danau yang masih layak sebagai habitat kura-kura leher ular rote
Selain usaha konservasi in-situ tersebut di atas, perlu juga usaha konservasi secara ek-situ melalui penangkaran kura-kura leher ular rote. Saat ini Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Ku p a n g s u d a h m u l a i m e n c o b a menangkarkan kura-kura leher ular rote di Stasiun Penelitian Oelsonbai. Diharapkan apabila penangkarannya sudah berhasil memperbanyak kura-kura leher ular rote, sebagiannya bisa dikembalikan ke habitat aslinya, seperti yang sudah dilakukan oleh Menteri Kehutanan yang bekerjasama dengan PT. Alam Nusantara (Alnusa) Jayatama pada tanggal 16 Juli 2009 melepasliarkan kura-kura leher ular rote sebanyak 40 ekor ke Danau Peto di Pulau
4
Edisi VI No.2 November 2013
Rote Hasil survei menunjukkan dari danau-danau yang masih ada, hanya Danau Peto dan Danau Ledulu yang masih cocok sebagai habitat dan masih ditemukan kura-kura leher ular rote, sedangkan danau lainnya sudah tidak cocok lagi. DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2006. Kura-Kura Leher Ular Pulau Roti Terancam Punah. Diakses dari Internet pada tanggal 13 April 2010 Dephut. 2008. Peraturan Menteri Kehutanan No.P.57/Menhut-II/2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018. Jakarta.
| FOKUS |
Telaah Awal Keberadaan Burung Feral di Kupang Oleh : Oki Hidayat
PENDAHULUAN Burung feral diartikan sebagai jenis burung dari luar (asing) yang diintroduksi, dalam pengertian lain jenis burung lepasan (lepas dari peliharaan) kemudian berkembangbiak secara alami di alam. Burung-burung tersebut bukan merupakan jenis alami setempat, s e h i n g g a ke b e r a d a a n n y a d a p a t membawa pengaruh ekologis. Secara umum keberadaan jenis asing atau jenis pendatang tersebut dikenal dengan istilah Invasive Alien Spesies (IAS). Berdasarkan IAS Indonesia, sampai tahun 2002 terdapat 36 jenis spesies asing invasif di Indonesia, enam di antaranya merupakan jenis-jenis yang masuk dalam daftar IAS yang dikeluarkan oleh ISSG (Invasive Spesies Specialist Group). Menurut CBD-UNEP definisi IAS adalah spesies yang diintroduksi baik secara sengaja maupun tidak disengaja dari luar habitat alaminya. Bisa pada tingkat spesies, subspesies, varietas dan bangsa. Meliputi organisme utuh, bagian-bagian tubuh, gamet, benih, telur maupun propagul yang mampu hidup dan bereproduksi pada habitat barunya. Yang kemudian menjadi ancaman bagi biodiversitas, ekosistem, pertanian, sosial ekonomi maupun
kesehatan manusia, pada tingkat ekosistem, individu maupun genetik. Invasi IAS merupakan ancaman utama terhadap ekosistem dan keanekaragaman hayati. Pengaruh IAS terhadap spesies lokal dan ekosistem sangat beragam. Biasanya bersifat tetap (irreversible). Dampak invasi IAS terkadang sangat besar. Spesiesspesies yang diintoduksikan seringkali menjadi pemangsa, mengalahkan pertumbuhan, menginfeksi atau menjadi vektor penyakit, berkompetisi,
Edisi VI No.2 November 2013
5
menyerang, bahkan berhibridisasi dengan spesies lokal (Kristanto, 2012). PEMBAHASAN Tidak banyak catatan mengenai jenis burung feral di Kupang, hingga saat ini belum ada literatur ilmiah resmi di dalam jurnal kapan pertama kali burung feral tercatat di Kupang. Beberapa catatan merupakan laporan birdtour yang hanya mencatat pertemuan jenis. Di Kupang tercatat tiga jenis burung feral, yaitu Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Merbah cerukcuk (Pycnonotus goiavier) dan Kerak kerbau (Acridotheres cinereus). Jenis tersebut ditetapkan berdasarkan kofirmasi beberapa literatur burung di Ti m o r y a n g tidak pernah mencantumk a n j e n i s t e r s e b u t dalam daftar burung/annot ated list (Tabel 1). D i dalam tiga literatur utama di atas mengenai burung di Timor, tidak ada yang mencatat keberadaan tiga spesies burung feral di Timor. Dalam buku The Bird of Wallacea, tercatat Cucak kutilang tersebar di Sulawesi, Merbah cerukcuk
6
Edisi VI No.2 November 2013
di Sulawesi dan Lombok, Kerak kerbau di Sulawesi. Sedangkan dalam buku Panduan Lapangan Burung-burung di Kawasan Wallacea, tercatat Cucak kutilang tersebar di Sulawesi, Merbah cerukcuk di Sulawesi dan Lombok, Kerak kerbau di Sulawesi, Sumba dan Flores. Karena belum adanya tulisan ilmiah yang mengkonfirmasi keberadaan burung feral di Kupang, maka untuk memperkirakan catatan pertama burung feral dilakukan dengan menelusuri beberapa Birdtour report. Berdasarkan penelusuran catatan di Birdtour report, catatan pertama burung f e r a l d i k u p a n g diperkirakan pada bulan Juli 2006 untuk jenis C u c a k kutilang. Untuk jenis Kerak kerbau pada bulan September 2 0 1 1 , sedangkan M e r b a h cerukcuk tercatat pada Juni 2012. Namun untuk jenis Merbah cerukcuk penulis menemukan pertama kali jenis ini di kupang pada tanggal 13 April 2012. Catatan ini diperkuat dengan bukti foto (Gambar 1). Cucak kutilang dan Merbah cerukcuk termasuk ke dalam famili Pycnonotidae (burung
Gambar 1. Merbah cerukcuk, Cucak kutilang, Kerak kerbau
cucak-cucakan), di Pulau Jawa dan Bali jenis ini merupakan jenis yang tersebar paling luas dan umum. Cucak kutilang hidup dalam kelompok yang aktif dan ribut, lebih menyukai pepohonan terbuka atau habitat bersemak di pinggir hutan, tumbuhan sekunder, taman, dan pekarangan bahkan kota besar. Tersebar secara global mulai dari Cina selatan, Aisa tenggara (kecuali Semenajung Malaysia), dan Jawa. Diintroduksi ke Sumatera dan Sulawesi Selatan, baru-baru ini mencapai Kalimantan Selatan (MacKinnon et al., 2010). Di Pulau Jawa, karena populasinya yang cukup melimpah di perkotaan jenis ini dikenal sebagai "burung sejuta umat". Sama seperti kerabatnya Cucak kutilang, MacKinnon et al. (2010) menyebutkan bahwa Merbah cerukcuk juga hidup secara berkelompok, sering berbaur dengan jenis cucak-cacakan lain, berkumpul beramai-ramai di tempat bertengger. Menyukai habitat terbuka, tumbuhan sekunder, tepi jalan dan kebun. Menghabiskan waktu lebih lama untuk makan di atas tanah daripada cucakcucakan jenis lain. Tersebar secara global di Asia tenggara, F i l i p i n a , Semenanjung Malaysia, Sunda Besar dan Lombok. Di
introduksi ke Sulawesi. Kerak kerbau termasuk ke dalam famili Sturnidae (burung jalak-jalakan). Secara global tersebar di Asia timur, Asia tenggara (kecuali Semenanjung Malaysia), Sulawesi, Sumatra (Introduksi), Jawa dan Bali. Hidup dalam kelompok kecil atau besar. Sebagian besar mencari makan di atas tanah, lapangan rumput dan sawah. Sering hinggap di atas atau di dekat sapi dan kerbau, menangkap serangga yang terhalau (MacKinnon et al., 2010). Beberapa kurator menuliskan Kerak kerbau sebagai Acridotheres Javanicus, namun Coates dan Bishop (1997) menuliskannya sebagai Acridotheres cinereus. Burung feral yang paling mudah dijumpai di kota kupang adalah Cucak kutilang. Jenis ini biasa dijumpai di pemukiman dan taman kota. Beberapa kali terlihat di Taman Nostalgia dan bermain di jalur hijau Jalan Frans Seda. Di Kampus Undana juga mudah dijumpai, hidup dalam kelompok kecil. Untuk jenis Merbah cerukcuk berdasarkan pengamatan hanya dijumpai di daerah Kayu Putih. Jenis ini c u ku p j a r a n g dijumpai dan biasanya hanya satu atau dua individu yang t e r a m a t i . Burung feral
Edisi VI No.2 November 2013
7
yang hidup dalam kelompok besar di Kupang yaitu Kerak kerbau. Satu kelompok besar berjumlah sekitar 50 individu hidup di Hutan Mangrove Oesapa (Teluk Kupang). Hutan kecil yang terisolasi ini menjadi habitat yang nyaman bagi burung tersebut. Pernah teramati turun ke pantai untuk mencari kerang, siput dan hewan kecil lainnya sebagai makanan. Sangat berbeda dengan kebiasaannya di Jawa yang mencari makan di atas tanah, lapangan rumput dan sawah, Kerak kerbau di Kupang telah mampu beradaptasi dengan lingkungannya sehingga dapat menyesuaikan diri dalam hal mencari makan. PENUTUP Keberadaan burung feral di Kupang saat ini telah menyebar dengan cukup luas. Besar kemungkinan burung tersebut dapat menyebar ke seluruh Daratan Timor. Populasinya yang terbilang relatif kecil hingga saat ini akan menjadi bertambah seiringnya waktu. Karena burung tersebut merupakan burung dengan tingkat adaptasi yang tinggi. Kehadirannya dapat mendatangkan bencana ekologis jika populasinya semakin besar. Jenis-jenis burung asli (native species) dengan niche yang sama dengan burung feral tersebut secara langsung akan merasakan dampak kehadirannya. Tidak menutup kemungkinan jika jenis asli kalah bersaing maka dengan sendirinya akan tersingkir. Oleh karena itu kajian yang lebih mendalam mengenai populasi burung feral perlu dilakukan untuk menjaga keaslian ekologi di Kupang (Timor Barat).
8
Edisi VI No.2 November 2013
DAFTAR PUSTAKA Coates, B.J., Bishop, K.D. dan Gardner, D. 1997. A Guide to the Birds of Wallacea : Sulawesi, the Mollucas and Lesser Sunda Island. Indonesia. Dove Publication, Australia. Eaton, J. 2006. Lesser Sundas, Indonesia and Post-tour Extension to West Java 16th – 29th /31st July 2006. BirdtourAsia, England. Kelly, A.G. 2012. Report on a Birding trip to Bali and The Lesser Sundas (Sumba, W. Timor, Flores, and Komodo) 25th May - 20th June 2012. Tidak dipublikasikan. Kristanto, Ady. 2012. Pendatang yang merajalela. Majalah Biodiversitas Indonesia Vol.02/No.01/2012. MacKinnon, J., Philips, K., dan Balen, B.V. 2010. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (Termasuk Sabah, Serawak dan Brunei Darussalam). LIPI/Burung Indonesia, Indonesia. Noske, R. dan Saleh, N. 1996. The Conservation Status of Forest Birds in West Timor. Report to LIPI. Robson, C. 2009. The Lesser Sundas 25 August – 13 September 2009 Tour report. Birdquest, England. Robson, C. 2010. The Lesser Sundas 30 August – 19 September 2009 Tour report. Birdquest, England. Robson, C. 2011. The Lesser Sundas 4 – 22 S e p t e m b e r 2 0 0 9 To u r re p o r t . Birdquest, England. White, C.M.N. dan Bruce, M.D. 1986. The Birds of Wallacea (Sulawesi, the Moluccas, and Lesser Sunda Island, Indonesia): an annotated check-list. British Ornithologists Union: Checklist No. 7. B.O.U. London.
| FOKUS |
PEMANFAATAN MANGROVE OLEH MASYARAKAT DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh : M. Hidayatullah PENDAHULUAN Mangrove memiliki beragam manfaat bagi kehidupan manusia dan sejarah pemanfaatan-ya telah dilakukan sejak lama. Berbagai produk dari magrove dapat dihasilkan baik secara langsung maupun tidak langsung seperti penggunaan kayu mangrove untuk kayu
bakar dan bahan bangunan, berbagai keperluan rumah tangga, pariwisata, bahan makanan, obat-obatan, perikanan, penelitian dan berbagai macam bentuk pemanfaatan yang lain. Menurut Noor, Y. R, dkk (2006) nilai ekonomi dari hasil perikanan pesisir merupakan manfaat mangrove yang sangat tinggi karena ban-
Edisi VI No.2 November 2013
9
yak jenis ikan yang bernilai ekonomi yang mengha-biskan sebagian siklus hidupnya pada habitat man-grove, beberapa diantaranya seperti kakap dan salmon maupun kepiting dan udang. Bentuk pemanfaatan yang hanya mengandalkan produksi kayu atau konversi lahan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, akan mempercepat terjadinya kerusakan hutan m a n - g ro v e . Pa d a h a l re s i ko y a n g ditimbulkan akibat ke-rusakan tersebut sampai pada tingkat mengancam kelangsungan hidup termasuk manusia. Secara umum pengaruh lingkungan terhadap kerusakan hutan magrove dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu: 1). Sifat fisik-kimia seperti peningkatan su-hu, pencemaran, terganggunya salinitas, sedimenta-si dan lain-lain, 2). Sifat biologi seperti perubahan spesies dominan, kerapatan populasi serta strukturnya sehingga akan menggangu kesimbangan rantai makanan dan keserasian in-teraksi antara komponen eksistem. Terkait dengan hal tersebut, maka kedepannya diharapkan pemanfaatan mangrove dapat berorientasi pada bentuk-bentuk pemanfaatan yang memperhatikan eksistensi keberadaan hutan mangrove. Pemanfaatan dimaksud dapat berupa pemanfaatan bagianbagian dari mangrove seperti daun, bunga dan buah untuk mendukung berbagai keperluan rumah tangga termasuk sebagai bahan makanan dan obat-obatan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa jenis mangrove di Nusa Tenggara Timur (NTT) ditemukan lebih dari 20 jenis mangrove (mangrove sejati dan mangrove ikutan). Kalau dicermati lebih mendalam diketahui bahwa semua jenis tersebut dapat
10
Edisi VI No.2 November 2013
memberi manfaat bagi masyarakat, baik yang dapat dimanfaatkan secara langsung maupun melalui pengolahan sederhana terlebih dahulu. Pada satu sisi bentuk pemanfataan seperti ini tidak men-imbulkan kerusakan berarti pada habitat mangrove, serta dapat memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat melalui pengolahan bagianbagian tanaman mangrove tersebut. Dengan demikian, perlu mendapat perhatian bagi semua pihak agar meningkatkan pemahaman dan ke t r a m p i l a n m a s y a r a ka t d a l a m pemanfaatan hasil-hasil dari hu-tan mangrove. PEMBAHASAN A . Potensi Mangrove Sebagai Sumber Alternatif Bahan Pangan Sesuai dengan UU NO. 7 tahun 1996, pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi setiap rakyat In-donesia serta harus dilaksanakan secara adil dan merata berdasarkan kemandirian dan tidak b e r t e n - t a n g a n d e n g a n ke y a k i n a n masyarakat untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas d a l a m m e n d u ku n g p e m b a n g u n a n nasional. Priyono, dkk (2010) mengatakan bahwa upaya pemenuhan kebutuhan pangan harus terus dil-akukan mengingat peran pangan sangat strategis, yaitu terkait dengan pengembangan kualitas sumber daya manusia, ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional sehingga ketersediaanya harus dalam jumlah yang cukup, bergizi, seimbang, merata dan terjangkau oleh daya beli masyarakat. Penambahan jumlah penduduk akan berdampak pada semakin
meningkatnya kebutuhan pangan, dan kebutuhan pangan bagi masyarakat pada umumnya akan menyesuaikan dengan pola makan masyarakatnya, bagi masyararakat Indone-sia pada umumnya makanan pokoknya bersumber pada satu sumber karbohidrat. Meskipun pada beberapa wilayah seperti bagi sebagian masyarakat Papua menggunakan sagu sebagai makanan pokok-nya dan sebagian masyarakat NTT menjadikan jagung sebagai makanan pokok. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi ketahanan pangan baik pada skala lokal maupun nasional, kondisi ini tidak akan terjadi apabila kita memiliki kemampuan untuk me-nyediakan sumber bahan pangan tersebut secara rutin dalam jumlah yang banyak. Adanya impor beras dalam jumlah besar dalam beberapa tahun terakhi menggambarkan bahwa kemampuan kita untuk menyediakan beras sebagai sumber kar-bohidrat utama bagi masyarakat belum maksimal. Berdasarkan hasil sensus pada tahun 2011, jumlah penduduk provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mendapai 4.776.485 jiwa dengan laju pertumbuhan setiap tahunnya mencapai 2,11 %. Hal ini berarti bahwa pada setiap tahun terjadi penambahan jumlah penduduk lebih dari 100.000 jiwa. Sementara itu ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat di NTT masih sangat terbatas, se-bagian besar bekerja sebagai petani penggarap dan nelayan. Dari total 2.158.039 jiwa angkatan kerja pada tahun 2012, terdapat pengangguran sebanyak 62.356 jiwa. Jumlah penduduk yang terus mening-kat tersebut juga berdampak terhadap ke b u t u h a n s a n d a n g d a n p a p a n masyarakat yang semakin meningkat. Kondisi ini mendorong kita untuk
menemukan sumber-sumber lain untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat kita sehari-hari. Potensi sumberdaya wilayah dan sumberdaya alam yang dimiliki Indonesia memberikan sumber pangan yang beragam, baik bahan pangan sumber kar-bohidrat, protein maupun lemak sehingga strategi pengembangan pangan perlu diarahkan pada potensi sumberdaya wilayah dan sumber pangan spesifik. Sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir seperti hutan mangrove memiliki potensi yang cukup tinggi untuk pemenuhan berbagai kebutuhan hidup manusia. Berbagai kebutuhan hidup manusia dapat tercukupi dari pemanfaatan hutan mangrove, mulai pemanfaatan langsung seperti pengambilan kayu untuk bahan bangunan dan kayu bakar, pembukaan lahan untuk area budidaya perikanan tambak, maupun pem-anfaatan dalam bentuk lain seperti pengolahan daun, kulit batang, daun dan buah mangrove untuk berbagai produk seperti bahan baku pembuatan obat, bahan dasar dalam pembuatan makanan mau-pun yang dapat dikonsumsi secara langsung. B. Manfaat Lain Dari Mangrove Sejauh ini pemanfaatan mangrove oleh masyarakat lebih banyak dalam bentuk p e n g a m b i - l a n ka y u u n t u k b a h a n bangunan atau kayu bakar serta pembukaan hutan mangrove untuk dikonversi menjadi area budidaya perikanan tambak. Bentuk-bentuk pemanfaatan seperti ini jika tidak ada pengawasan dari pihak-pihak terkait dapat berdam-pak buruk terhadap ke l e s t a r i a n e ko s i s t e m m a n g ro v e , sehingga manfaat yang dapat diberikan
Edisi VI No.2 November 2013
11
mangrove dalam menunjang kelangsungan hidup manusia akan terus menurun seiring dengan menurunya kualitas mangrove. Menurut Suraya-wan (2004) tingkat kerapatan hutan mangrove yang semakin menurun akan berdampak pada semakin menurunnya kemampuan hutan mangrove untuk menjalankan fungsi-fungsinya. Ke b e r a d a a n m a n g ro v e j u g a berkorelasi positif dengan produksi udang dan kepiting bakau, dimana makin luas hutan mangrove maka produksi udang dan kepiting juga semakin tinggi begitupun sebaliknya. Dengan demikian diperlukan pem-anfaatan mangrove yang lebih bijak sehingga selain nilai sosial ekonomi yang diperoleh dari pemanfaatan tersebut, nilai ekologi dan kelestarian lingkungan juga dapat dipertahankan. Pa d a b e b e r a p a w i l a y a h d i Indonesia su-dah banyak produk-produk makanan yang dihasilkan dari pengolahan bagian-bagian dari tana-man mangrove. Purnobasuki (2011) mengatakan bahwa di Kabupaten Biak Numfor memanfaatkan buah mangrove untuk dimakan terutama jenis Bruguiera gymnorrhiza yang buahnya diolah menjadi kue, kemudian penduduk disekitar sekitar hutan mangrove di Muara Angke Jakarta dan teluk Balikpapan secara tradisional telah mengkonsumsi beberapa jenis buah mangrove sebagai sayuran, seperti Rhizopora mucronata, dan Acrostecum aerum (kerakas). Bruguiera gymnorrhiza atau biasa disebut L i n d u r d i ko n s u m s i d e n g a n c a r a mencampurkannya dengan nasi sedangkan buah Avicennia alba (api-api) dapat diolah menjadi keripik. Buah Sonneratia alba (pedada) diolah menjadi sirup dan permen. Jenis Nipah fructicans
12
Edisi VI No.2 November 2013
juga dapat diolah menjadi gula dan kolak nipah. Begitu pula di sebagian wilayah Timor barat, Flores, Sumba, Sabu dan Alor, masyarakat menggunakan buah mangrove ini sebagai pengganti beras dan jagung pada waktu terjadi krisis pangan (Fortuna, 2005). Masyarakat di kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur, sudah terbiasa mengkonsumsi buah mangrove dan kacang hutan sebagai pangan lokal pada waktu tertentu. Buah mangrove jenis lindur (Bruquiera gymnorrhiza) yang secara tradisional diolah menjadi kue, cake, dicampur dengan nasi atau dimakan langsung dengan bumbu kelapa (Sadana, 2007) mengandung energi dan karbohidrat yang cukup tinggi, bahkan melampaui berbagai jenis pangan sumber karbohidrat yang biasa dikonsumsi masyarakat seperti beras, jagung singkong atau sagu. Pemanfaatan mangrove oleh masyarakat di Kabupaten Manggarai Barat dan masyarakat di sekitar kawasan Cagar Alam Maubesi Kabupaten Malaka (pemekaran dari Kabupaten Belu) juga masih sangat terbatas pemanfaatannya sebagai ba-han baku dalam pembuatan obat - obat t r adis ional, s e dangkan pengolahan untuk dijadikan sebagai sumber bahan pangan alternatif belum banyak dilakukan. Menurut Hidayatullah, M. dkk (2012) di desa Sepang dan Golo Sepang kecamatan Boleng kabupaten Manggarai Barat ditemukan sebanyak 10 jenis mangrove. Se-mentara itu di kawasan Cagar Alam Maubesi ditemukan sebanyak 23 jenis mangrove yang terdiri dari 17 jenis mangrove sejati dan 5 jenis mangrove ikutan. Dari beragam jenis mangrove tersebut, banyak yang
dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai alternatif sumber bahan pangan karena keterbatasan pengetahuan dalam pengolahanya. Berikut ini akan dijelaskan beberapa bentuk pemanfaatan mangrove yang dilakukan oleh masyarakat di dua lokasi tersebut. PENUTUP Potensi mangrove yang dimiliki oleh provinsi Nusa Tenggara Timur tersebar hampir pa-da semua wilayah kabupaten, sehingga sumberdaya tersebut dapat menjadi sumber bahan pangan yang melimpah jika dimanfaatkan secara bijak.
Kendala utama yang dihadapi masyarakat dalam pemanfaa-tan mangrove secara lestari adalah terbatasnya pengetahuan dan pemahaman mereka dalam mengolah bagian-bagian tanaman mangrove terutama daun dan buah menjadi produk yang dapat dikonsumsi. Hal ini menjadi penting ditengah daya beli mereka terhadap sumber bahan makanan pokok seperti beras dan jagung yang sangat rendah, bahkan produk-produk dari mangrove tersebut dapat menjadi sumber pendapatan bagi mereka jika dikemas dalam bentuk yang menarik. Pembinaan dan pendampingan
Edisi VI No.2 November 2013
13
14
Edisi VI No.2 November 2013
kepada masyarakat pesisir sangat diperlukan agar kedepannya masyarakat dapat mengadalkan mangrove sebagai salah satu sumber dalam pemenuhan kebutuhan, pada sisi lain kegiatan pendampingan dan pembinaan tersebut diharapkan dapat mengurangi tekanan masyarakat terhadap mangrove seperti konversi hutan mangrove untuk tambak maupun penebangan untuk bahan b a n g u n a n s e h i n g g a ke l e s t a r i a n ekosistem mangrove dapat terus dipertahankan. DAFTAR PUSTAKA Fo r t u n a , 2 0 0 5 . D i t e m u ka n b u a h mangrove sebagai Makanan Pokok. www.tempointeraktif.com Hidayatullah, M. dkk, 2012. Kajian Model Kemitraan Pemanfaatan Hutan Dan Jenis-Jenis Tumbuhan Mangrove Di Mang-garai Barat. Noor, Y. R, Khazali, M dan Suryadiputra, I. N. N, 2006. Panduan Pengenalan
Mangrove di Indonesia. Wetlands International. Priyono, A dkk. 2010. Beragam Produk Olahan Berbahan Dasar Mangrove. KeSemaT. Semara Purnobasuki, H. 2011. Potensi Buah Mangrove sebagai Alternatif Simber Pangan. http://herypurbafst.web.unair.ac.id Sadana, D. 2007. Buah Aibon di Biak Timor mengandung Protein Tinggi. Situs Resmi Pemda Biak. Suryawan, F. 2004. Keanekaragaman vegetasi mangrove pasca tsunami di kawasan pesisir pantai timur Nangroe Aceh Darussalam. Jurnal Biodefersitas, Jurusan Biologi FMIPA Universitas Syiah Kuala. Volume 8 Nomor 4. Undang Undang No. 7 Tahun 1996 Tentang Pangan
Edisi VI No.2 November 2013
15
| FOKUS |
EVALUASI HUTAN KEMASYARAKATAN EKS. PERUM PERHUTANI DI KABUPATEN KUPANG Oleh : Aziz Umroni
PENDAHULUAN Hutan Kemasyarakatan (HKm) adalah satu dari tiga skema pengelolaah hutan kolaboratif (Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa dan Hutan Tanaman Rakyat) yang dikembangkan oleh Kementerian Kehutanan bersama masyarakat. Menurut peraturan menteri kehutanan No.37 Tahun 2007, HKm adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat. Namun sebelum terminologi HKm ini muncul dan diformalisasikan dalam peraturan menteri, terminologi HKm terlebih dahulu dipakai oleh proyek rehabilitasi yang menggandeng swasta (Perum Perhutani) melalui skema Dana Reboisasi (DR). Perhutani melaksanakan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) pada tahun 1988-1999 di Nusa Tenggara Timur (NTT) dengan luas kegiatan 32.800 Ha yang tersebar di Kabupaten Kupang, Rote Ndao dan Timor Tengah Selatan. Kegiatan serupa dilaksanakan juga oleh Perum Perhutani di Provinsi Nusa Teggara Barat (NTB) dengan luas areal 15.362 Ha dengan sebaran di
16
Edisi VI No.2 November 2013
Kabupaten Dompu, Sumbawa dan Bima (Perhutani, 2000). Perhutani merupakan BUMN yang bergerak disektor kehutanan yang wilayah konsesinya be-rada di Pulau Jawa. Embrio Perum Perhutani ada sejak zaman Belanda yang dikenal dengan Jatibedrijf. Pasca kemerdekaan Perusahaan Negara (PN) Perhutani dibentuk pada tahun 1963. Perhutani mengalami pasang surut perubahan kelembagaan, dari Perusahaan Negara (PN) pada awal berdirinya, kemudian Perusahaan Umum (Perum) pada tahun 1972, Perusahaan Perseroan (PT) pada tahun 2001 dan kembali menjadi Perus-ahaan Umum (Perum) pada tahun 2003 dan paling mutakhir, kelembagaan perhutani berubah menjadi Perusahaan Umum (Perum) Kehutanan Negara (Suryohadikusumo, 2013). Perhutani mendapatkan mandat untuk mengelola sebagian besar kawasan hutan di Jawa dan menjadi pemangku kawasan hu-tan. Pada era tahun 1988 Perum Perhutani mendapatkan proyek RHL yang didanai dari skema dana reboisasi (DR) tahun
jamak (multi years). Kegiatan ini berlangsung sampai dengan awal reformasi tahun 1999-2000, tidak diperpanjang kemudian diserahkan kembali ke kementerian ke-hutanan. Setelah kegiatan HKm selesai, banyak masyarakat masih menganggap bahwa kawasan HKm eks Perhutani merupakan kawasan milik atau kawasan yang dikelola Perhutani. Jenis yang dikembangkan pada kegiatan HKm di NTT antara lain: Jati (Textona grandis), Johar (Cassia siamea), Ampupu (Eucaliptus urophylla), Mahoni (Swetenia macrophylla), Cendana (Isantalum album), Kayu Putih (Melaleuca luecadendron), Kayu Merah (Pterocarpus indicus), Jambu Mete (Anacardium o c i d e n t a l e ) , N a n g ka ( A r t o c a r p u s heterophyllus) dan Gmelina (Gmelina arborea). Namun dari dari kesemuanya yang tersisa merupakan blok-blok yang ditanami Jati dan Mahoni. Kabupaten Kupang memiliki kurang lebih 10.000 Ha lahan eks Perhutani yang masuk dalam rencana pengembangan HKm dan Kabupaten Rote Ndao memiliki kurang lebih 4.000 Ha yang saat ini dikelola oleh Kesatuan Pemangkuan Hutan Produksi (KPHP) Rote Ndao. PEMBAHASAN Desa Oebola merupakan desa yang berbata-san langsung dengan hutan kemasyarakatan "HKm" yang dikembangkan oleh Perum Perhutani di NTT. Desa Oebola terletak di Kecamatan Fatuleu yang dibatasi oleh desa Reknamo, Kecamatan Kupang Timur di sebelah utara, Desa Silu di sebelah Timur, Kecamatan Am Abi Oefeto di Sebelah selatan dan Desa Oenunuthono di sebelah barat. Hutan kemasyarakatan eks Perum
Perhutani di Desa Oebola relatif dekat dengan pemukiman (3-4 km). Batas antara pem-ukiman penduduk dengan kawasan hutan dibatasi oleh hutan desa yang juga sebagai buffer terhadap lokasi HKm Eks Perhutani. HKm blok Oebola ditanami Johar (Cassia siamea), Gmelina (Gmelina arborea Roxb.) dan Jati (Textona grandis). Masyarakat pada awal pembuatan plot dilibatkan sebagai tenaga menanam dan pesanggem. Pesanggem ini diberikan konsesi untuk menanam tanaman semusim sekaligus menjaga anakan (tumpang sari). Beberapa masyarakat masih ada yang tinggal di dalam kawasan hutan namun hanya satu atau dua kepala keluarga. Awalnya, disekitar kawasan hutan merupakan pemukiman (kampung lama) kemudian masyarakat berangsurangsur memin-dahkan huniannya ke lokasi yang lebih dekat dengan jalan desa. Topografi kawasan ini pada umumnya burbukit-bukit dan merupakan lereng dari sungai kecil yang menjadi batas antara Oebola di Kecamatan Fatuleu dengan Reknamo di Kecamatan Kupang Timur. Vegetasi alaminya berupa rumpun bambu jenis bambu duri (Bambusa blumeana J.A & J.H Schultes) dan kabesak (Acacia leucophloea) kemudian dibangun menjadi HKm dengan membuka lahan dan membersihkan rumpun bambu dan vegetasi ala-minya. Blok HKm diberi tanaman pagar berupa kabesak duri untuk menjaga dari kegiatan ernak lepas. Kegiatan survey lokasi eks HKm perum perhutani dilaksanakan untuk mengetahui kondisi aktual dari areal lokasi HKm. Survey dilakukan dengan sampling menggunakan metode transek. Sampling berjumlah sepuluh titik, disetiap titik diinventarisasi tegakan tinggalnya.
Edisi VI No.2 November 2013
17
Kondisi aktual HKm Blok Oebola dapat dilihat pada Gambar 1.
evaluasi yang dilakukan, tidak semua kawasan eks P e r u m Perhutani A. PELUANG d i r e k PENGEMBAN omendasikan GAN HKm u n t u k Evaluasi yang dikembangkan dilakukan oleh menjadi areal ke m e n t e r i a n konsesi HKm. kehutanan terPengembanga h a d a p n H K m k a w a s a n sebagaimana hutan eks Pedalam pasal 3 rum Perhutani Permenhut No. Gambar 1. Lokasi HKm Eks Perhutani Blok Oebola. di NTT dan NTB 37 tahun 2007 m e r e k mempunyai omendasikan beberapa lokasi untuk maksud untuk: (1) pengembangan kadikem-bangkan men-jadi HKm sesuai pasitas masyarakat (2) Pemberian akses dengan P.37 Tahun 2007 dan seba-gian masyarakat setempat terhadap hutan (3) lagi tidak merekomen-dasikan. Hal ini Ketersediaan lapangan kerja dan (4) disesuaikan dengan kondisi te-gakan dan Solusi bagi masalah ekonomi dan sosial. kondisi sosial masyarakat sekitar hutan. Maksud yang dikandung P.37 tahun 2007 Hasil Evaluasi yang dilakukan di NTT dan seharusnya menjadi ruh bagi rekNTB dapat dilihat pada Tabel 1. omendasi pengembangan HKm agar Berdasarkan Tabel 1 peluang tepat sasaran dan benar-benar men-jadi pengembangan Hutan Kemasyarakatan solusi bagi permasalahan masyarakat di NTT masih terbuka lebar. Tabel 1. Evaluasi Hutan Kemasyarakatan di NTB dan NTT. Target pengembangan HKm sebesar 98 ribu Ha Provinsi Evaluasi Luasan Rekomendasi Realisasi sejak tahun 2008 sampai (Ha) (Ha) Pengembangan HKm saat ini belum sepenuhnya NTB 18.415* 4.328** 14.837* tere-alisasi, bahkan dalam NTT 32.800# 98.322## -rapat koordinasi Sumber: pengembangan Hkm di NTT pada tahun 2012, diketahui bahwa realisasi penetapan HKm masih sangat kecil dari target. Namun dari
18
Edisi VI No.2 November 2013
* Direktorat Perhutanan Sosial tahun 2012. (Soehartono, 2012) ** Lampiran Surat Direktur Perhutanan Sosial Kemeterian Kehutanan No: 5.165/BPS-3/2009. dari www.samantafoundation.org # Data luas dan jenis tanaman hasil pembangunan HKm Perum Perhutani di wilayah NTT tahun 1987/1988 s/d 199/2000. dari www.samantafoundation.org # # Data target lokasi HKM tahun 2008 dari www.samantafoundation.org Keterangan : * Data sampai dengan Tahun 2011 dari delapan kabupaten di NTB. # Data Tegakan Tinggal HKm eks Perum Perhutani dari Kabupaten Kupang, Rote Ndao dan Timor Tengah Selatan..
desa disekitar kawasan hutan.
kelas diameter pohon, jenis yang dominan adalah kabesak dengan nilai dominasi sebesar 15,03% dan INP 57 % dari nilai maksimalnya 300%. Hal ini didukung dengan sebarannya dalam plot yang relatif tersebar. Hal ini diketahui dari nilai frekwensi ditemukannya jenis ini dalam plot sebesar 57 % atau sebagai gambaran, separuh lebihdari plot yang diamati, ditemukan jenis kabesak. Kerapatan relatif kabesak juga termasuk tinggi sebesar 25,24 % atau dari seluruh pohon yang dia-mati,
B. KONDISI VEGETASI Vegetasi yang tersisa di blok Oebola didominasi rumpun bambu duri (Bambusa blumeana J.A & J.H Schultes) yang tersebar didalam blok. Jenis lain yang ditemui antara lain: Johar (Cassia siamea), Dupe, Kabesak (Acacia leucophloea), Lamtoro (Leucaena leucocephala), Kom/bidara (Zizipus mauritiana) dan asam (Tamarindus indicus). Sebagian besar merupakan jenis-jenis yang hidup secara Tabel 2. Tabel Indeks Nilai Penting a l a m i a t a u Nama Jenis D DR K KR F FR INP b u k a n Asam 2,05 20,82 25,00 9,71 0,50 10,87 41,40 h a s i l Dupe 1,46 14,80 40,00 15,53 0,60 13,04 43,38 penanam Gewang 0,20 2,02 2,50 0,97 0,10 2,17 5,17 an. Hau Buni 0,16 1,65 5,00 1,94 0,10 2,17 5,77 Pen Haupenak 0,06 0,66 2,50 0,97 0,10 2,17 3,80 anaman Johar 0,41 4,20 27,50 10,68 0,50 10,87 25,75 y a n g Kabatek 0,04 0,36 2,50 0,97 0,10 2,17 3,50 dilakukan Kabesak 1,48 15,03 65,00 25,24 0,80 17,39 57,66 p a d a Kayu Merah 0,56 5,74 7,50 2,91 0,20 4,35 13,00 m a s a Kayu Ular 0,03 0,34 2,50 0,97 0,10 2,17 3,49 H K m Kesambi 0,78 7,93 10,00 3,88 0,30 6,52 18,33 antara Kom 0,95 9,67 27,50 10,68 0,50 10,87 31,22 l a i n : Kula 0,63 6,38 12,50 4,85 0,30 6,52 17,75 j o h a r , Lamtoro 0,93 9,42 25,00 9,71 0,30 6,52 25,65 gmelina Panaat 0,10 0,99 2,50 0,97 0,10 2,17 4,14 dan jati, Sumber : data survey (diolah). n a m u n h a n y a s e p e re m p a t n y a a d a l a h k a b e s a k . johar yang masih tersisa dengan Tanaman yang tersisa dari kegiatan HKm frekwensi yang relatif jarang yaitu johar nilai INPnya relatif rendah yaitu dibandingkan jenis lainnya. Jati tidak 25,75 % dari nilai maksimalnya 300% dan ditemukan lagi karena persaingan dengan kelimpahannya hanya sepuluh persen. rumpun bambu yang menekan pertumHasil tersebut belum menam-bahkan buhannya. Sementara gmelina, rusak akirumpun bambu dalam analisis, karena bat adanya aktifitas penggem-balaan. keterbatasan metode yang digunakan Hasil analisis vegetasi dapat dilihat pada dan bambu dikategorikan sebagai Hasil Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa pada Hutan Bukan Kayu (HHBK). Gambarannya
Edisi VI No.2 November 2013
19
secara umum adalah bam-bu selalu ada dalam setiap plot dan lebih dominan daripada kabesak. C. KONDISI SOSIAL Masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan HKm adalah masyarakat dusun IV Desa Oebola. Masyarakatnya secara umum pernah terlibat dalam kegiatan penanaman di lokasi Blok HKm baik sebagai pesanggem maupun sebagai buruh harian. Pekerjaannya mayoritas sebagai petani dan peternak subsisten dan menggantungkan hidupnya pada hutan terutama untuk ternak lepas mereka. Tingkat penghidupan
masyarakat relatif masih rendah dilihat dari daya dukung lahan di Desa Oebola tergolong rendah. Untuk mengetahui tingkat kepahaman masyaraat terhadap hutan dan kawasan hutan dilakukan survey dengan metode wawancara mendalam dengan empat pertanyaan kunci antara lain: (1). Kepahaman masyarakat terhadap hutan dan kawasan hutan (2). Kondisi aktual lokasi blok HKm. (3). Kendala pengelolaan dan (4). Harapan masyarakat terhadap pengelolaan kawasan hutan dimasa depan. Hasilnya secara kualitatif dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa
Tabel 3. Tabulasi Data Hasil Wawancara No
Pertanyaan Kunci
Jawaban
1
Kepahaman tentang hutan dan Kawasan hutan
Mengetahui : 80 % Tidak Mengetahui : 10 % Abstain : 10 %
2
Kondisi aktual blok Lokasi Hkm
Hanya Menyisakan Rumpun Bambu Kondisinya sangat panas Hanya Johar Yang tersisa Tanaman gmelina banyak yang mati karena ternak Kondisinya sama sesudah dan sebelum ada HKm Tidak pernah ke lokasi Kurang mengetahui karen a jarang kesana
3
Kendala Pengelolaan
Jarak yang agak jauh dari kampung Tertutup oleh rumpun bambu semua Ternak sapi lepas yang mengupas kulit anakan gmelina Takut dengan petugas kehutanan
4
Harapan Masyarakat
Sumber: data wawancara Tahun 2013.
20
Edisi VI No.2 November 2013
Mau ikut mengelola apabila sudah dibicarakan dengan bapak desa Tetap terjaga/dibiarkan seperti apa adanya Hutan harus ada tidak hanya padang Tidak menanam lagi jati putih namun diganti jenis yang lain. Tanam jati dan kemiri Bisa ikut menanam jagung dan ikut terlibat dalam mengelola hutan.
secara umum masyarakat paham tentang keberadaan kawasan hutan dengan persentase 80 persen masyarakat mengetahuinya. Hal ini karena: (1). Lokasi ka w a s a n h u t a n t e r s e b u t p e rn a h digunakan sebagai lokasi pengembangan H K m o l e h Pe r u m Pe rh u t a n i ( 2 ) . masyarakat dilibatkan sebagai pesanggem dan buruh lepas pada saat membangun pada tahap awal (3). Adanya kabesak sebagai pagar hidup dan masih bertahan sampai saat ini sehingga memudahkan melihat batas kawa-san, (4). Adanya hutan desa yang membatasi lokasi blok HKm dengan pemukiman sehinnga mampu menjadi buffer dan penanda. Secara umum masyarakat memahami kondisi aktual yang ada di dalam lokasi blok HKm. Mayoritas masyarakat menyebutkan kondisinya saat ini berupa rumpun bambu, tegakan yang tersisa berupa johar dan gmelina yang rusak karena ternak lepas. Sangat sedikit yang menyatakan tidak mengetahui kondisi aktual dari lokasi HKm (10 %). Kendala pengelolaan hutan yang dirasakan masyarakat dikarenakan: (1). Lokasi yang tidak berdampingan dengan pemukiman sehingga tidak bisa ikut mengontrol (2). Keberadaan rumpun bam-bu yang tumbuh secara masif, karena tidak ada perawatan plot akibatnya menekan tanaman pokok (3). Ternak lepas yang merusak tanaman gmelina dan (4). Tanaman pagar yang rusak sehingga ternak lepas dapat masuk ke lokasi HKm. Namun yang menarik a d a l a h ke n d a l a y a n g d i r a s a k a n masyarakat karena takut dengan petugas kehutanan namun hal ini dapat juga dinilai sebagai modal potensial. Harapan
masyarakat terhadap pengelolaan hutan antara lain: (1). terlibat seperti pada awal kegiatan HKm dengan bercocok tanam di areal HKm dengan tanaman semusim (2). Masyarakat ingin terlibat dalam pemilihan jenis, belajar dari pengala-man gmelina yang rentan terhadap aktifitas ternak. Secara umum masyarakat berharap keberadaan hutan tetap dipertahankan untuk penyangga kehidupan. PENUTUP Blok HKm di Desa Oebola telah berganti menjadi rumpun bambu duri (Bambusa blumeana J.A & J.H Schultes) yang mendominasi dan menekan tanaman HKm dan tegakan yang tersisa dari tanaman HKm adalah johar (Cassia siamea) namun kelimpahannya hanya sepuluh persen. Hasil analisis vegetasi menunjukkan bahwa Kabesak menjadi jenis yang dominan sampai dengan 50 %. Secara umum masyarakat mengetahui keberadaan lokasi HKm karena adanya batas yang definitif berupa Kabesak (Acacia leucophloea) sebagai tanaman pagar. Kendala pembangunan kehutanan (HKm) di blok Oebola adalah aktifitas ternak lepas dan pemilihan jenis tanaman HKm yang salah karena rentan terhadap aktifitas ternak lepas. Harapan masyarakat secara umum adalah ingin ikut terlibat dalam kegiatan HKm dengan menanam tanaman semusim dan sebagian lagi berharap kondisi hutan dibiarkan tetap seperti apa adanya (status quo). Pengembangan HKm di Blok Oebola direkomendasikan setidaknya karena memenuhi maksud dalam Permenhut P.37/Menhut-II/2007 dalam beberapa aspek antara lain: (1). Lokasi blok Oebola yang relatif dekat dengan
Edisi VI No.2 November 2013
21
masyarakat, (2). Kondisi masyarakat yang membutuhkan pemberdayaan untuk mengembangan kapasitas masyarakat, (3) Masyarakat yang masih dibawah garis kemiskinan dan membutuhkan lapangan pekerjaan dan lahan untuk bercocok tanam dan (4) Merehabilitasi plot HKm eks Perum Perhutani yang pernah dibangun. Penulis mengucapkan terima kasih kepada: BPDAS Benain Noelmina yang memfasilitasi penelitian ini. KRPH Kec. Fatuleu dan tim evaluasi HKm Kabupaten Kupang Tahun 2013. DAFTAR PUSTAKA Dinas Kehutanan Propinsi NTB. Tanpa Tahun. Lokasi HKm/HTR di Eks Perhutani. Di akses dari w w w. s a m n t a f o u n d a t i o n . o r g 1 5 November 2013. Jamaludin, S. 2013. Dari Perum Kembali ke Perum: Jatuh Bangun Kelembagaan Hutan Jati Di Jawa. Kumpulan Tulisan Darurat Hutan Indonesia, Mewujudkan A r s i t e t e k t u r B a r u Ke h u t a n a n Indonesia. Wana Aksara. Jakarta. Ke m e n t e r i a n Ke h u t a n a n . 2 0 0 9 . Rekapitulasi Hasil Evaluasi HKm Tahun 2008 di Propinsi NTB. Lampiran Surat
Direktur Bina Perhutanan Sosial Kementerian Kehutanan. Di akses dari w w w. s a m n t a f o u n d a t i o n . o r g 1 5 November 2013. -------------____________________. 2008. Sasaran Evaluasi HKm (Pasal Peralihan Permenhut P. 37/Menhut-II/2007). Di akses dari www.samntafoundation.org 15 November 2013. Permenhut P.37/Menhut-II/2007 Tentang Hutan Kemasyarakatan. Diakses dari www.dephut.go.id. 8 November 2013. Perhutani. 2000. SP Hutan Kemasyarakatan Unit II Jawa Timur di Ku p a n g . D i a k s e s d a r i www.samantafoundation.org, 11 November 2013. S o e h a r t o n o , T. R. 2 0 1 2 . E v a l u a s i P e n g e m b a n g a n H u t a n Kemasyarakatan di Nusa Tenggara Barat. Presentasi: Rapat Koordinasi P e n g e m b a n g a n H u t a n Kemasyarakatan di Provinsi Nusa Tenggara
? Second, in the same year, I launched the One Billion Indonesia Trees for the World (OBIT) program. I am very pleased with the progress of this program, for we—in the past three year—have successfully planted some 4.4 billion trees.? H.E. DR. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO PRESIDENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
22
Edisi VI No.2 November 2013
| RAGAM | Conserving Biodiversity In Arid Regions: Best Practices in Developing Nations Editor
: John Lemons, Reginald Victor, Daniel Scaffer Penerbit : Kuwer Academic Publishers, 2003 Deskrispi fisik : xv, 495 hl. Ilustrasi, index, ISBN : 1-4020-7483-2 Resensor : Rattahpinnusa H Handisa, S.Sos Nomor Klasifikasi : 577.3 CON J
DESKRIPSI : Setidaknya sepertiga bagian dari bumi adalah kawasan lahan kering (arid) dan lebih dari satu juta orang yang hidup dan bertahan di kawasan ini. Ekologi lahan kering memiliki keunikan sekaligus kerentanan. Sehingga kepunahan species flora dan fauna pada kawasan lahan kering dapat meningkatkan anacm terhadap keberlangsungan hidup jutaan orang yang hidup dikawasan ini. Buku Conserving Biodiversity In Arid Regions: Best Practices in Developing Nations merupakan sintesa hasil penelitian para ilmuwan yang bertujuan menjaga kesinambungan konservasi biodiversity di kawasan arid dan semi arid yang berada khusunya dinegara-negara berkembang. Buku ini menyajikan pedoman ringkas dan paparan para ahli terkait konservasi kawasan arid. Sehingga kehadiran buku ini sangat berguna bagi pembuat
kebijakan dan peningkatan partisipasi masyarakat local serta memperkuat peningkatan kapasita diri antar lembaga. Buku ini berisi 36 makalah yang merupakan hasil penelitian yang disajikan pada Konferensi Konvensi Keanekaragaman Hayati. (Convention on Biological Diversity) dan Konferensi Penanggulan-gan Penggurunan (Convention to Combat Desertification). Profil para editornya pun cukup meyakinkan. Dr. John Lemons merupakan Profesor ilmu biologi dan lingkingan di Universty of New Englang, Biddeford, Maine. Beliau telah menjadi per-reviuw lebih dari 100 artikel jurnal dan menulis tujuh buku yang bertema pembangunan berkesinambungan, ekologi dan permasalahan lingkungan. Buku ini akan membuka wawasan kita tentang pentingya menjaga kesinambungan biodiversitas di kawasan arid. (pinusa)
Edisi VI No.2 November 2013
23
| GALERI | Seminar Regional Tata Ruang. Kupang, 2 Juli 2013
24
Edisi VI No.2 November 2013
| PERISTIWA | Gelar Tekmologi Persemaian Cendana. Atambua 16 November 2013
Edisi VI No.2 November 2013
25
| KILAS BERITA | 26
SEMINAR REGIONAL, 2 JULI 2013 “PEMBANGUNAN KEHUTANAN BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA RUANG" ” Pengelolaan tata ruang wilayah yang baik dapat menghindarkan terjadinya bencana, konflik serta mewujudkan kualitas lingkungan hidup yang produktif dan berkelanjutan. Hal tersebut merupakan perwujudan amanat pelaksanaan Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 , dimana bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pengelolaan tata ruang yang baik memiliki nilai yang lebih penting di regional Bali Nusra yang memiliki alam yang ekstrim dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah. Bertolak pada kenyataan diatas, Balai Penelitian Kehutanan Kupang (BPK Kupang) bekerjasama dengan Fakultas Kehutanan UGM menggelar Seminar Regional Pembangunan Kehutanan Berkelanjutan Dalam Perspektif Tata Ruang. Seminar ini meryupakan bagian peringatan 100 tahun Badan Litbang Kehutanan dan 50 Tahun Fakultas Kehutanan UGM yang diperingati kedua lembaga. Seminar diselenggarakan di Hotel Swiss Bellin Crystal Kupang pada tanggal 2 Juli 2013 dan dibuka secara resmi oleh Kepala Badan Lit-bang Kehutanan Kementerian Kehutanan yang diwakili oleh Sekretaris Badan Litbang Kehutanan Ir. Tri Djoko, M.M. Seminar ini diharapkan dapat merumuskan arah penataan ruang regional Bali Nusra dalam konteks pembangunan kehutanan berkelanjutan sehingga dapat terwujud ruang ke-hidupan yang nyaman,
Edisi VI No.2 November 2013
produktif dan berkelanjutan. Target isu ini dirasakan sangat sentral seiring dengan tingginya perhatian masyarakat akan banyaknya bencana akibat kerusakan lingkungan seperti banjir, kekeringan dan pemanasan global serta timbulnya konflik lahan. Kenyataan tersebut sebagaimana diduga merupakan akibat kelalaian manusia dalam mengelola lingkungan. Kondisi tersebut telah menyadarkan para pihak akan perlunya reposisi perilaku manusia dalam mengelola lingkungan hidup yang diletakkan pada sebuah kerangka pikir dan pendekatan yang komprehensif. Hal ini akan memung-kinkan terjadinya sinergi para pihak dalam merevitalisasi ruang kehidupannya menuju ruang yang nyaman, produktif dan berkelanjutan. Pengelolaan tata ruang, termasuk kawasan hutan, merupakan permasalahan yang kompleks. Untuk membedah kompleksitas tersebut, seminar ini menghadirkan para ahli yang membidangi tata ruang dari berbagai insti-tusi di Indonesia. Para pembicara tersebut berasal dari Direktorat Penataan Ruang Wilayah Kementerian Pekerjaan Umum, Tropenbos International (TBI) Indonesia, Universitas Gad-ah Mada, Praktisi Hukum, Dinas Kehutanan Provinsi NTT dan Kementerian Kehutanan (Direktorat Perencanaan Kawasan Hutan, Puslitbang Perubahan Iklim dan Kebijakan serta Balai Penelitian Kehutanan Kupang). Sentralnya isu ini juga terlihat dari beragamnya para peserta seminar yang
Kupang, Universitas Kristen Artha Wacana dan Universitas Widya Mandira hadir dalam seminar. Menariknya, para peserta tidak hanya berasal dari region Bali Nusra (NTB, NTT dan Bali), namun juga berasal dari Maluku, Yogyakarya, Jakarta dan Surabaya.
| KILAS BERITA |
antara lain berasal dari praktisi kehutanan, instansi pemerintahan pusat dan daerah, LSM, tokoh masyarakat, peenliti dan para akademisi. Dari kalangan akademisi tercatat para pemerhati dari Universitas Nusa Cendana, Universitas Gadjah Mada, Politani Undana, Universitas Muhammadiyah Kupang, Universitas PGRI
PISAH SAMBUT PEJABAT STRUKTURAL, 28 OKTOBER 2013 Mutasi merupakan hal yang alami terjadi dalam sebuah organisasi, tak terkecuali Balai Penelitian kehutanan Kupang. Pada tanggal 28 Oktober 2013 dan bertempat di Aula Rapat diadakan acara pisah sambut terhadap para pejabat struktural yang mengalami rotasi dan promosi. Adapun pejabat baru di lingkup Balai Penelitian Kehutanan Kupang adalah: 1. Nama : Imam Budiman, S.Hut, M.A Jabatan sebelum : Staf pada Pusat Litbang Konservasi Rehabilitasi Hutan Jabatan sekarang: Kepala Seksi Perencanaan, Evaluasi dan Anggaran BPKK 2. Nama : Tipuk Purwandari, S.Kom, M.Sc Jabatan sebelum : Staf pada Balai Penelitian Kehutanan Kupang Jabatan sekarang : Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPKK. Sedangkan pejabat struktural dari BPKK yang memperoleh penugasan baru adalah: 1. Nama : Ir. Sigit Baktya Prabawa, M.Sc Jabatan sebelum : Kepala Seksi
Program, Evaluasi dan Kerjasama BPKK Jabatan sekarang : Kepala Bidang Data, Informasi dan Kerjasama BBPBTH Yogyakarta 2. Nama : Kristina Yuniati, S.Hut Jabatan sebelum : Kepala Sub Bagian Tata Usaha BPKK Jabatan sekarang : Kepala Sub Bidang Program dan Anggaran Penelitian Pusat Litbang Konservasi Rehabilitasi Hutan. Acara yang diikuti oleh seluruh karyawan/ti BPKK berlangsung dengan penuh nuansa kekeluargaan. Para perwakilan karyawan/ti memberikan kesan dan pesannya. Pada kesempatan tersebut, Ir. Misto, MP selaku Kepala Balai Penelitian Kehutanan Kupang turut memberikan sambutan. Beliau berpesan kepada para pejabat baru agar segera beradaptasi dengan lingkungan kerjanya. Sehingga beban tugas yang dibebankan kepada pejabat tersebut dapat dijalani seoptimal mungkin. Pemberian cenderamata menjadi acara puncaknya dan selanjutnya kegiatan diakhiri dengan acara makan bersama. (pinusa).
Edisi VI No.2 November 2013
27
Pantai Paga, Maumere Nusa Tenggara Timur source : travellermeds.blogspot.com, photo by willy steven
Edisi VI No.2 November 2013
28
PETUNJUK BAGI
PENULIS BAHASA Naskah artikel ditulis dalam Bahasa Indonesia, memuat tulisan bersifat popular/semi ilmiah dan bersifat informatif.
FORMAT Naskah diketik diatas kertas kuarto putih pada satu permukaan dengan 2 spasi. Pada semua tepi kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm.
JUDUL Judul dibuat tidak lebih dari 2 baris dan harus mencerminkan isi tulisan. Nama penulis dicantum-kan dibawah tulisan.
FOTO Foto harus mempunyai ketajaman yang baik, diberi judul dan keterangan pada gambar.
GAMBAR GARIS Grafik atau ilustrasi lain yang berupa gambar diberi garis harus kontas dan dibuat dengan tinta hitam. Setiap gambar garsi harus diberi nomor, judul dan keterangan yang jelas dalam bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Daftar Pustaka yang dirujuk harus disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantum-kan tahun penerbitan, sebagai berikut : Allan, J.E. 1961. The Determination of Copper by atomic Absorbstion of spectrophotometry. Spec-tophotometrim Acta (17), 459-466.
source : wikipedia.org