EDITORIAL Penasehat :
Pengantar Redaksi
Ketua STIKes Prima
Salam hangat,
Pengarah :
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa sehingga SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI No.2 Vol.3 Edisi Desember 2014 telah dapat diterbitkan. Penantian yang panjang untuk terkumpulnya naskah ilmiah sebagai materi utama terbitan kita. Untuk itu penelitian ilmiah di lingkup STIKes PRIMA JAMBI harus lebih kita gerakkan sebagai salah satu Tri Dharma Perguruan Tinggi. Kepada penulis yang telah mempercayakan kepada kami untuk menerbitkan karyanya kami mengucapkan terima kasih.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Ketua HAKLI Provinsi Jambi Ketua IAKMI Provinsi Jambi Puket I STIKes Prima Puket II STIKes Prima Puket III STIKes Prima Ketua Program Studi IKM Prima Ketua Program Studi D-IV Bidan Pendidik Prima Ketua Program Studi D-III Kebidanan Direktur Akademi Keperawatan Prima
Sekretaris LPPM STIKes Prima Jambi
Untuk edisi kali ini kami sajikan beberapa karya ilmiah dari bidang kebidanan, Bidan pendidik, Keperawatan, dan Kesehatan Masyarakat. Selain itu juga turut menampilkan karya ilmiah dari dosen pengajar dari beberapa sekolah dan akademi kesehatan lain. Akhir kata, maju terus dan selamat berkarya.
Mitra Bestari :
Semoga Bermanfaat.
Penanggung Jawab :
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Dr. Pantun Bukit, SE., MSi Dr. Sukarno, M.Pdi dr. I. Nyoman Ehrich Lister, M.Kes, AIFM dr. Adrianto Ghazali, M.Kes Marinawati Ginting, SKM., M.Kes Didik Suryadi, SKM., M.Kes Herlina Harahap, S.Kep., Ns., M.Kes V.A Irmayanti Harahap, SKM., M.Biomed Dody Izhar, SKM, M.Kes Chrismis Novalinda Ginting, S.SiT, M.Kes Erni Girsang, SKM, M.Kes
Editor/Editing : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Sakinah Dewi, S.Kep., M.Kes Sondang Selviana Silitonga, S.Kep., Ns., M.Kes Listautin, S.Kep., M.Kes Norliana Karo-Karo, SST Nia Nurziah, SKM Erna Simanjuntak, SKM Ns. Ridarti Sitorus, S.Kep Saut Siagian, S.T Johanes Ginting, SKM K. Klemens, SKM
Dewan Redaksi : 1. 2. 3.
Pimpinan Redaksi Redaktur Sekretaris Redaksi
: Erris Siregar, SKM, M.PH. : Marta Butar-Butar, SKM : Resli Siregar, S.Kep., Ns
Alamat Redaksi : Lembaga Penelitian dan Pengadian Kepada Masyarakat Kampus STIKes Prima Gedung D Lt.1 Jl. Raden Wijaya Rt.35 Kebun Kopi Thehok Kecamatan Jambi Selatan Telp/Fax : 0741 – 445963/445964 Email
:
[email protected]
Website
: www.stikesprima-jambi.xyz
Salam Sehat,
Redaksi
Volume 3 |No. 2 |Desember 2014
ISSN 2302 - 9862
SCIENTIA JOURNAL DAFTAR ISI 1.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 Dame Situngkir, Gustien............................................................................................................... 55
2.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014 Irma Harahap, Erris....................................................................................................................... 62
3.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 Listautin, Lismawati...................................................................................................................... 68
4.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014 Listautin........................................................................................................................................ 75
5.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014 Eko, Marta.................................................................................................................................... 83
6.
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (07 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 Nia, Lala........................................................................................................................................ 91
7.
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014 Sakinah, Herlina............................................................................................................................ 97
8.
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014 Sri Mulyati................................................................................................................................... 103
9.
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014 Herlina, Resli............................................................................................................................... 109
10.
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014 Gita Kirana Dewi, Rica Triseptinora............................................................................................. 115
11.
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGANKEPATUHAN BEROBATPASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 Wahyudin, Bejo Santoso..........................................................................................................................
123
12.
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014 Gumarang Malau, Johannes....................................................................................................... 133
13.
STUDI KOMPARASI IBU BERSALIN NORMAL DENGAN TINDAKAN MASSASE UTERUS, PERRANGSANGAN PUTING SUSU IBU DAN MANEJEMEN AKTIF KALA III TERHADAP KONTRAKSI UTERUS SERTA ASPEK PUBLIC HEALTH DI BPS.H CIGANJUR 2012 Vevi Endriani............................................................................................................................ 139
14.
HUBUNGAN KEPATUHAN MENGKONSUMSI ANTI RETROVIRAL VIRUS (ARV) DENGAN KENAIKAN JUMLAH CD4 ODHA DI LANCANG KUNING SUPPORT GROUP PEKANBARU Andriani, Rika, Sandhita............................................................................................................................ 150
15.
PENATALAKSANAAN ANC (ANTENATAL CARE) TERPADU PADA IBU HAMIL TRIMESTER II DAN III DI KELURAHAN PASIR PUTIH KECAMATAN JAMBI SELATAN TAHUN 2013 Subang Aini Nasution, Rizki Tri Wahyuni.................................................................................................. 160
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 Dame Situngkir¹, Gustien²* ¹Dinas Kesehatan Kota Jambi 2 STIKes Prima Prodi D IV Bidan Pendidik *Korespondensi penulis:
[email protected] ABSTRAK Hasil survei demografi kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua bayi 96,5% di Indonesia pernah mendapatkan ASI dan sebanyak 8% bayi baru lahir mendapat kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama. Dampak jika bayi baru lahir tidak diberikan kolostrum, bayi tidak mendapatkan zat kekebalan tubuh. Tujuan penelitian untuk mengetahui hubungan dan sikap ibu nifas dengan pemberian ASI kolostrum pada bayi baru lahir di wilayah kerja puskesmas putri ayu kota jambi tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas dari bulan Januari sampai Agustus 2014 di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu sebanyak 158 orang. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 32 orang ,dengan teknik pengambilan sampel adalah teknik stratified random sampling. Hasil analisis secara univariat diperoleh responden yang pengetahuan kurang baik 75%, responden yang pengetahuan baik 25%, responden yang memiliki sikap negative 59,4%, responden yang memiliki sikap positif 40,6%, responden yang tidak memberi ASI kolostrum pada bayi baru lahir 56,3%, responden yang memberikan ASI Kolostrum pada bayi baru lahir 43,8%. Uji bivariat menunjukkan pengetahuan terhadap pemberian kolostrum dengan p-value= 0,014, sikap dengan p-value= 0,041 terhadap pemberian kolostrum pada bayi baru lahir. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberi penyuluhan tentang manfaat pemberian ASI Kolostrum dan memberi dukungan serta motivasi kepada ibu ataupun keluarga dengan menganjurkan ibu melakukan memberikan ASI Kolostrum pada bayinya. Kata Kunci
: Pengetahuan, Sikap, Pemberian ASI Kolostrum
PENDAHULUAN Tingginya Angka Kematian Bayi dan rendahnya status gizi sebagai dampak krisis ekonomi yang melanda Bangsa Indonesia sejak pertengahan tahun 1997, menunjukkan bahwa peran Air Susu Ibu (ASI) sangat strategi, namun keadaan sosial budaya yang beranekaragaman menjadi tantangan peningkatan penggunaan ASI yang perlu diantisipasi. Di negara ASEAN, Indonesia merupakan negara dengan kematian bayi tertinggi yaitu sekitar 56/10.000 persalinan hidup atau sejumlah 280.000 orang terjadi setiap 18-20 menit sekali (Manuaba, 2009). Umumnya lebih dari separuh yaitu 31,9% - 54,3% dari bayi baru lahir masih dipuasakan (belum mulai diberi ASI) sampai bayi berumur 12 jam, bahkan pada 50,9% golongan ibu-ibu
berpenghasilan tinggi, masih memuasakan bayinya sampai 24 jam/lebih dan hasil survei demografi kesehatan Indonesia menunjukkan bahwa hampir semua bayi (96,5%) di Indonesia pernah mendapatkan ASI dan sebanyak 8% bayi baru lahir mendapat kolostrum dalam 1 jam setelah lahir dan 53% bayi mendapat kolostrum pada hari pertama (Setyawati dan Budiarso, 2008). Komposisi ASI ini sedemikian rupa, sehingga memenuhi kebutuhan bayi (protein, karbohidrat, lemak, vitamin / mineral dan air) untuk masa 4-6 bulan. Sesudah masa tersebut diperlukan tambahan, oleh karena kebutuhan yang meningkat dan tidak dapat lagi dipenuhi seluruhnya oleh ASI. Hanya sebagian kecil dari ibu-ibu yang tidak dapat menghasilkan ASI dan ini hanya meliputi 5% jumlahnya. Jadi sebagian besar ibuibu dapat menghasilkan ASI yang cukup, 56
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
hanya sayang sekali banyak ibu-ibu yang kurang memanfaatkan dan bahkan menggantikannya dengan formula buatan. Ini merupakan kesalahan besar yang telah dilakukan oleh ibu-ibu, petugas kesehatan maupun oleh penghasil formula buatan dan merupakan tugas kita semua untuk membetulkannya (Soedibyo, 2005). Pemberian ASI mempunyai pengaruh emosional yang luar biasa terhadap hubungan batin ibu dan anak, juga perkembangan jiwa si anak. Yang tidak kalah menarik, pemberian ASI dinyatakan lebih menguntungkan secara ekonomis dibanding pemberian susu formula tidak heran bila pemerintah Indonesia kerap mencanangkan program-program yang bertujuan untuk mendukung keberhasilan pemberian ASI (Wahab, 2007). ASI adalah makanan bayi yang paling penting terutama pada bulan-bulan pertama kehidupan. ASI merupakan sumber gizi yang sangat ideal dengan komposisi yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, karena ASI adalah makanan bayi yang paling sempurna baik secara kualitas maupun kuantitas. ASI sebagai makanan tunggal akan cukup memenuhi kebutuhan tumbuh kembang bayi normal sampai usia 4-6 bulan (Rohan, 2013). Kolostrum Merupakan cairan yang pertama kali disekresikan oleh kelenjar payudara, mengandung tissue debris dan residual material yang terdapat dalam
alveoli dan duktus dari kelenjar payudara sebelum dan setelah masa puerperium. Disekresikan oleh kelenjar payudara dari hari pertama sampai hari ketiga atau keempat.Kolostrum lebih banyak mengandung protein dibandingkan dengan ASI yang matur, tetapi berlainan dengan ASI yang matur, pada kolostrum protein yang utama adalah globulin (gama globulin) (Maritalia, 2012). Kandungan tertinggi dalam kolostrum adalah antibodi yang siap melindungi bayi ketika kondisi bayi masih sangat lemah. Kandungan protein dalam kolostrum lebih tinggi dibandingkan dengan kandungan protein dalam susu matur. Jenis protein globulas membuat konsistensi kolostrum menjadi pekat ataupun padat sehingga bayi lebih lama merasa kenyang meskipun hanya mendapat sedikit kolostrum. Kandungan hidrat arang dalam kolostrum lebih rendah dibandingkan ASI matur, ini disebabkan oleh aktivitas bayi pada tiga hari pertama masih sedikit dan tidak terlalu banyak memerlukan kalori. Total kalori dalam kolostrum hanya 58 kal/100 ml kolostrum (dalam bentuk cairan, pada hari pertama bayi memerlukan 20-30 cc (Soetjiningsih, 2012). Berdasarkan data yang didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Jambi pada tahun 2013 dari 20 Puskesmas di Kota Jambi, Puskesmas perawatan yang memiliki jumlah ibu nifas terbanyak terdapat di Puskesmas Putri Ayu.
57 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tabel 1. Berdasarkan distribusi Jumlah Ibu Nifas di Puskesmas di Kota Jambi Tahun 2013 Puskesmas
Jumlah Ibu Nifas Tahun 2012 Tahun 2013 Auduri 423 445 Kenali Besar 204 232 Kebun Handil 255 287 Kebun Kopi 246 290 Koni 117 145 Olak Kemang 144 157 Payo Selincah 195 187 Paal V 223 205 Paal X 214 209 PI 145 198 P II 108 111 P.baru 155 165 Putri Ayu 373 364 Rawasari 135 198 Simp.Kawat 212 207 Simp.IV Sipin 213 224 Tahtul Yaman 181 170 Tanjung Pinang 172 190 Talang Bakung 163 170 Talang Banjar 155 160 Total 4033 4314 Sumber: Dinas Kesehatan Kota Jambi Tahun 2013 Puskesmas Putri Ayu merupakan salah satu puskesmas yang yang memiliki perawatan dan zaal kebidanan dan data yang didapatkan dari dinas kesehatan kota jambi dari 20 puskesmas kota jambi puskesmas putri ayu memiliki jumlah nifas terbesar yaitu pada tahun 2013 yaitu sebanyak 364 ibu nifas. Dan pada tahun 2012 sebanyak 373 ibu. berdasarkan latar belakang diatas yang didapatkan dari puskesmas Putri Ayu Kota Jambi pada tahun 2014 dari bulan Januari sampai Agustus sebanyak 158 ibu. Diperoleh data yang dilakukan kepada 5 ibu nifas pada tanggal 18 Agustus 2014 di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi dengan wawancara terhadap 3 dari 5 ibu nifas mengatakan tidak mengetahui tentang kolostrum dan manfaat kolostrum untuk bayi. Dan 2 dari 5 ibu nifas mengetahui kolostrum dan cara pemberian kolostrum pada bayi baru lahir, dan ibu tidak memberikan ASI
Kolostrum sesudah anak lahir serta ibu jarang mengkonsumsi makanan yang bergizi selama nifas. ASI yang keluar dalam hari pertama (kolostrum) banyak mengandung zat anti yang diperlukan oleh bayi untuk pertahanan terhadap berbagai penyakit. Namun sebagian ibu yang sengaja tidak memberikan kolostrum tersebut oleh karena penampilan yang encer, kekuningan dan jumlahnya hanya sedikit, sehingga dianggap tidak baik dan tidak cukup untuk diberikan kepada bayi, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI khususnya kolostrum (Sastroasmoro, 2007). Menurut Azwar dikutip dari Wawan (2011), pembentukan sikap dipengaruhi beberapa faktor, yaitu pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi, lembanga agama, dan 58
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
faktor emosi dalam diri individu. Sikap negatif dalam pemberian ASI Kolostrum dapat terjadi dikarenakan ibu kurang memperoleh pengalaman dalam manajemen pemberian ASI terutama ASI Kolostrum. METODE PENELITIAN Masalah dalam penelitian ini belum diketahuinya hubungan pengetahuan dan sikap ibu nifas terhadap pemberian kolostrum pada bayi baru lahir di wilayah kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini dilakukan dengan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan
sikap ibu nifas dengan pemberian ASI Kolostrum pada bayi baru lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014. Pengumpulan data dilakukan melalui pengisian kuesioner. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu nifas pada bulan Januari sampai Agustus 2014 di Wilayah Kerja Putri Ayu Kota Jambi sebanyak 158 orang. Pengambilan sampel dalam penelitian ini dilakukan pada tanggal 02 sampai 09 September 2014 yang bertempat di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota sebanyak 32 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah stratified random sampling (Arikunto,2010)
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2 Hubungan Pengetahuan Responden Terhadap Pemberian ASI Kolostrum Pada Bayi Baru Lahir Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014. No Pengetahuan Pemberian ASI Kolostrum Tidak Ya n (%) P value n (%) n (%) 1 Kurang Baik 17 70,8 7 29,2 24 100 0,014 2 Baik 1 12,5 7 87,5 8 100 Jumlah 18 56,3 14 43,8 32 100 Berdasarkan hasil uji chi-square menunjukkan p-value 0,014 (p-value <0,05) berarti secara statistik ada hubungan antara pengetahuan dengan pemberian ASI kolostrum pada bayi baru lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang baik terhadap pemberian ASI Kolostrum. Pengetahuan yang baik tersebut didapatkan melalui berbagai faktor, seperti buku, media massa, penyuluhan dari puskesmas dan dari kerabat terdekat yang memberitahukan tentang pemberian ASI Kolostrum pada bayi baru lahir. Pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting dalam membentuk
perilaku seseorang, dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak di dasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2007). Menurut Lewit dikutip oleh Notoatmodjo (2007) perilaku merupakan hasil pengalaman dari proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan tindakan. Responden yang lain memiliki pengetahuan yang kurang tentang pemberian ASI kolostrum tetapi ibu tetap memberikan ASI kolostrum, hal ini dapat terjadi sesuai dengan penelitian Notoatmodjo (2005) yang menjelaskan bahwa faktor-faktor yang terkait dengan kurang pengetahuan (deficient 59
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
knowledge) terdiri dari: kurang terpapar informasi, kurang daya ingat/hapalan, salah menafsirkan informasi, keterbatasan kognitif, kurang minat untuk belajar, tidak familiar terhadap sumber informasi. Berdasarkan pengalaman ibu yang memberikan ASI sebanyak 29,4%, tetap memberikan ASI kolostrum sebanyak 23,5%. ASI yang keluar dalam hari pertama (kolostrum) banyak mengandung zat anti yang diperlukan oleh bayi untuk pertahanan terhadap berbagai penyakit. Namun sebagian ibu yang sengaja tidak memberikan kolostrum tersebut oleh karena penampilan yang encer, kekuningan dan jumlahnya hanya sedikit, sehingga dianggap tidak baik dan tidak cukup
untuk diberikan kepada bayi, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan ibu tentang manfaat ASI khususnya kolostrum (Sastroasmoro, 2007). Kurangnya pengertian dan pengetahuan tentang manfaat ASI dan menyusui menyebabkan ibu-ibu mudah terpengaruh dan beralih kepada susu formula. (Siregar, 2004). Untuk itu diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan mengenai pemberian Kolostrum pada bayi baru lahir dengan memberikan penyuluhan dan penyebaran leaflet pada ibu hamil saat melakukan pemeriksaan kehamilan, sehingga ibu memiliki keinginan memberikan ASI Kolostrum pada bayinya.
Tabel 3 Hubungan Sikap Terhadap Pemberian ASI Kolostrum Pada Bayi Baru Lahir Di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014. No Sikap Pemberian ASI Kolostrum Tidak Ya n (%) P value n (%) n (%) 1 Negatif 14 73,3 5 26,3 19 100 0,041 2 Positif 4 30,8 9 69,2 13 100 Jumlah 18 56,3 14 43,8 32 100 Berdasarkan hasil uji chi-square menunjukkan p-value 0,041(p-value <0,05) berarti secara statistik ada hubungan antara sikap dengan pemberian ASI kolostrum pada bayi baru lahir di Wilayah Kerja Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sintia (2013), penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik desain potong lintang pada bulan Desember 2012Januari 2013. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa ada hubungan bermakna antara sikap dengan pemberian ASI Kolostrum paada bayi baru lahir (α = 0,05; p-value= 0,03). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau obyek sehingga suatu sikap belum tentu akan
diwujudkan dalam bentuk suatu tindakan. Faktor-faktor lain termasuk faktor pendukung seperti fasilitas yang ada juga diperlukan untuk mengubah sikap menjadi tindakan yang positif. Sikap tidak dibawa sejak lahir, tetapi dipelajari dan dibentuk berdasarkan pengalaman dan latihan sepanjang perkembangan individu. Sebagai makhluk sosial, manusia tidak lepas dari pengaruh interaksi dengan orang lain, selain makhluk individual. Kedua faktor tersebut berpengaruh terhadap sikap (Maulana, 2009). Untuk itu diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberi dukungan dan motivasi kepada ibu ataupun keluarga dengan menganjurkan ibu melakukan perawatan payudara sehingga setelah persalinan ibu tidak memiliki hambatan
60 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU NIFAS DENGAN PEMBERIAN ASI KOLOSTRUM PADA BAYI BARU LAHIR DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
saat memberikan ASI Kolostrum pada bayinya. SIMPULAN Diperoleh responden yang memiliki pengetahuan kurang baik (75,0%), responden yang memiliki pengetahuan baik (25,0%), responden yang memiliki sikap negatif (59,4%), responden yang memiliki sikap positif (40,6%), responden yang tidak memberi ASI kolostrum pada bayi baru lahir (56,3%), responden yang memberikan ASI Kolostrum pada bayi baru lahir (43,8%). Adanya hubungan pengetahuan terhadap pemberian kolostrum dengan pvalue= 0,014, sikap dengan p-value= 0,041 terhadap pemberian kolostrum pada bayi baru lahir. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S.2010. Metode penelitian: PT Rineka Cipta. Jakarta Dinkes Kota Jambi. 2013. Data seluruh ibu nifas di puskesmas kota jambi Manuaba. 2009. Kesehatan reproduksi. EGC. Jakarta Maritalia, 2012. Manajemen ASI. EGC. Jakarta
Maulana. 2009. Promosi Kesehatan. Salemba Medika. Jakarta Notoatmodjo, Soekijo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta Notoatmodjo, Soekijo. (2007). Ilmu prilaku kesehatan. PT Rineka Cipta. Jakarta Rohan, Siyoto. 2013. Buku ajar kesehatan reproduksi. Numed. Yogyakarta Sastroasmoro. 2007. Asuhan Persalinan. TIM: Jakarta Setyawati & Budiarso. 2008. Asuhan Kebidanan. Trans Info Media. Jakarta Sintia. 2013. Penelitian analitik desain potong lintang pada bulan Desember 2012-Januari 2013 Siregar Arifin. 2004. Asuhan Kebidanan Patologi. Salemba Medika: Jakarta Soedibyo . 2005. Asuhan Kebidanan. Trans Info Media. Jakarta Soetjiningsih. 2012. Seri gizi klinik asi petunjuk untuk tenaga kesehatan. EGC:Jakarta Wahab. 2007. Komunitas kebidanan. Trans Info Media. Jakarta Wawan.2011.Teori dan Pengukuran Pengetahuan, Sikap, dan Perilaku Manusia. Nuhamedika: Yogyakarta
61 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014 1 2 Irma Harahap *, Erris 1 Akademi Keperawatan Jambi 2 Politeknik Kesehatan Jambi Jurusan Kesehatan Lingkungan *Korespondensi penulis:
[email protected]
ABSTRAK Kejadian menarche yang cenderung lebih awal saat anak belum mencapai kedewasaan pikiran ditambah dengan faktor kurangnya pengetahuan memunculkan beragam respon psikologis pada anak perempuan. Menarche yang datang terlalu dini mungkin akan menjadi peristiwa yang menakutkan traumatik bagi anak. Penelitian ini merupakan penelitian analitik untuk mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Menarche Pada Remaja Putri Di SMP Negeri 3 Kota Jambi Tahun 2014. Populasi dalam penelitian dengan jumlah 170 siswi. Sampel dalam penelitian ini dengan jumlah 119 orang . Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified Random sampling. Penelitian telah dilakukan di SMP Negeri 3 Kota Jambi yang pada pada tanggal 13-15 September tahun 2014. Hasil penelitian bahwa dari 62 (52,1) remaja putri yang mengalami menarche tidak normal mengalami aspek psikologis yang negatif yaitu sebanyak 53 (85.5%), Hasil penelitian ini dengan nilai p-value adalah 0,003 < 0,05 dari 62 (52,1) remaja putri yang mengalami menarche tidak normal dengan lingkungan sosial yang baik yaitu sebanyak 45 (51,7%), hasil penelitian ini dengan nilai p-value adalah 0,001 < 0,05 Simpulan penelitian ada hubungan yang bermakna antara menarche dengan aspek psikologis dengan nilai p-value 0,003, kemudian menarche dengan lingkungan sosial dengan nilai p-value 0,001, serta menarche dengan BMI dengan p-value 0,005 Kata kunci : Aspek Psikologis, Lingkungan sosial, Basal metabolik indek dan menarche
PENDAHULUAN Salah satu peristiwa terpenting yang terjadi pada remaja terutama pada remaja putri adalah datangnya mentruasi yang pertama kali (Menarche), biasanya pada umur 13– 15 tahun. Oleh sebab–sebab tertentu yang dikaitkan dengan keadaan gizi yang lebih tinggi, baik menstruasi pertama menjadi lebih awal. Di Inggris rata–rata datangnya mentruasi pertama pada usia 13 tahun, dibandingkan dengan keadaan di abad yang lalu, menstruasi pertama umumnya datang pada usia 15 tahun (Indah, 2010). Menarche merupakan tanda permulaan pemasakan seksual pada wanita yang terjadi kisaran usia 13 tahun atau sebelumnya, ditandai dengan datangnya haid untuk pertama sekali. Menarche merupakan permulaan haid yang bertanda bahwa wanita telah
memasuki ciri kemasakan seksual yang utama, yaitu suatu disposisi untuk konsepsi (hamil) dan melahirkan meskipun dibutuhkan kira-kira satu setengah tahun lagi untuk kemasakan atau reproduksi (kemudian istilah ini tidak lagi disebut sebagai menarche melainkan menstruasi) (Jamaluddin, 2004). Pada masa transisi dari masa anak-anak ke masa remaja, individu mulai mengembangkan ciri-ciri abstrak dan konsep diri menjadi lebih berbeda. Remaja mulai memandang diri dengan penilaian dan standar pribadi, tetapi kurang dalam interprestasi perbandingan sosial (Eni, 2011). Menstruasi (haid) merupakan ciri khas kedewasaan seorang wanita, dimana terjadi perubahan-perubahan siklik dari alat kandungannya sebagai persiapan untuk kehamilan. Pada masa remaja
62 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
adalah masa peralihan dari anak-anak menjadi dewasa. Ini ditandai dengan pertumbuhan yang terus berlanjut menuju kondisi somatik, seksual dan psikologi yang lebih matur. Perubahanperubahan tersebut tidak terjadi secara spontan, tetapi melalui proses pertumbuhan yang cepat setelah menstruasi pertama (menarche). Di akhir masa kanak-kanak akhir sebenarnya terjadi pada masa menjelang kedatangan masa remaja (Jamaluddin, 2004). Usia untuk mencapai fase terjadinya menarche dipengaruhi oleh banyak faktor antara lain faktor suku, genetik, sosial, ekonomi, dan gizi. Di Amerika usia ratarata untuk mecapai menarche adalah 13 tahun, sedangkan suku Bunding di Papua, Menarche dicapai pada usia 18,8 tahun (Widyastuti, 2009). Sedangkan di Indonesia gadis remaja pada waktu menarche bervariasi antara 10-16 tahun dan ratarata menarche 12,5 tahun, usia menarche lebih dini di daerah perkotaan dari pada yang tinggal di desa dan juga lebih lambat wanita yang kerja berat (Wiknjosastro, 2003). Di Indonesia jumlah remaja sangat besar yaitu kurang lebih 44 juta orang yang berusia antara 15 – 24 tahun. Jumlah tersebut meliputi hampir 25% dari total 220 juta penduduk indonesia. Setengah penduduk berusia bawah 25 tahun, lebih dari satu miliyar berusia antara 10 -19 tahun. Namun hanya 53,7 % putri yang mengerti artinya menarch. Tingkat pengetahuan remaja mengenai reproduksi sehat juga sangat rendah dengan teman sebaya sebagai sumber utama informasi. Sejumlah 60% remaja berharap untuk mendapatkan informasi untuk mendapatkan informasi dari orang tua, namun hanya 7,5 % saja yang memperolehnya (Jamaluddin, 2004). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinnya menstruasi, yaitu makanan yang bergizi, lingkungan, dan tingkat kemakmuran. Semakin tinggi tingkat kemakmuran masyarakat suatu daerah, semakin
cepat kaum perempuan mengalami menstruasi. (Ganong, 2003). Makanan bergizi dan faktor lingkungan, juga menjadi pemicu seseorang perempuan mengalami menstruasi lebih dini. Dibandingkan dengan kondisi perempuan beberapa tahun lalu, perempuan dimasa sekarang ini yang asupan makananya lebih bergizi dan lingkunganya lebih modern pun lebih dini mengalami menstruasi. Kejadian menarche yang cenderung lebih awal saat anak belum mencapai kedewasaan pikiran ditambah dengan faktor kurangnya pengetahuan memunculkan beragam respon psikologis pada anak perempuan. Menarche yang datang terlalu dini mungkin akan menjadi peristiwa yang menakutkan traumatik bagi anak. Anak perempuan yang tidak mengenal tubuhnya dan bagaimana proses reproduksi berlansung dapat mengira bahwa menstruasi merupakan bukti adanya penyakit atau bahkan hukuman akan tingkah laku yang buruk hingga seringkali menyebabkan anak takut dan gelisah. Selain itu, anak sering mengalami rasa malu yang amat dalam dan perasaan kotor saat menstruasi pertama mereka. Melihat fenomena tersebut, banyak peneliti yang kemudian mencari tahu perihal beragamnya respon yang ditunjukkan anak, terutama bila anak sekolah saat mengalami menarche. Perubahan psikologis yang dirasakan kebanyakan anak saat mengalami menarche meliputi perubahan emosi yang kuat dan sulit dikontrol sehingga anak mudah marah dan menangis. Selain itu anak juga sering merasakan akan kehilangan masa kanak-kanak yang menyenangkan. Usia anak yang biasa mengalami menarche terjadi pada usia 12-15 tahun, dan pada umumnya usia tersebut merupakan usia anak sekolah yang duduk di bangku sekolah menengah pertama. SMP Negeri 3 Kota Jambi dengan jumlah seluruh remaja puteri sebanyak 170, untuk kelas 1 dengan jumlah 64 kelas 2 63
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
dengan jumlah 59 dan kelas 3 dengan jumlah 47. Penelitian dilakukan di SMP Negeri 3 Kota Jambi karena, berdasarkan hasil survei awal yang dilakukan dengan cara mewawancarai atau menayakan langsung pada remaja
puteri di SMP Negeri 3 kota jambi pada usia berapa mereka mengalami menarche didapatkan dari 10 remaja putri 7 diantaranya mengalami haid pertama pada usia 13 tahun.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain cross sectional yang bertujuan mengetahui Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Menarche Pada Remaja Putri di SMP Negeri 3 Kota Jambi Tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi SMP Negeri 3 Kota Jambi dengan jumlah 170 siswi. Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian siswi di SMP Negeri 3 Kota Jambi dengan jumlah 119 orang (Notodadmojo, 2010).. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara stratified Random sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan pengisian kuesioner, Analisis data dilakukan secara bivariat dengan Uji Chi_Square. Penelitian telah dilakukan di SMP Negeri 3 Kota Jambi tanggal 13-15 September tahun 2014. Penentuan ini dapat berdasarkan macam-macam tingkatan, setelah ditentukan stratanya barulah masing-masing strata diambil secara
acak. (Sulistyaningsih, 2012). Kriteria inkulsi siswi yang bersekolah di SMP Negeri 3 Kota Jambi, bisa berkomunikasi dengan baik, bersedia menjadi responden dan sudah mengalami menarche HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan dari 119 responden sebagian besar remaja putri mengalami menarche yang tidak normal yaitu sebanyak 62 (52,1%) responden. Kemudian dari 119 responden sebagian besar sebanyak 104 (87,4%) responden memiliki aspke psikologi yang negatif terhadap menarche, diketahui sebagian besar responden dengan lingkungan sosial yang baik yaitu 87 (73,1%) responden. bahwa sebagian besar remaja putri dengan basal metabolik indek normal yaitu sebanyak 65 (54,6%) responden. penelitian tentang menarche terhadap aspek psikologis dapat di lihat pada tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Menarche Dengan Aspek Psikologi Pada Remaja Putri Di SMP Negeri 3 Kota Jambi Tahun 2014 Aspek psikologis No
Menarche
Positif
Total
Negatif n
1 2
Normal Tidak normal Total
n 6 9 15
% 10,5 14,5 12,6
n 51 53 104
Diketahui bahwa dari 62 (52,1%) remaja putri yang mengalami menarche tidak normal mengalami aspek psikologis yang negatif yaitu sebanyak 53 (85,5%), Hasil penelitian ini dengan nilai p-value adalah 0,003 <
% 49,0 85,5 87,4
57 62 119
% 47,9 52,1 100
OR 95% CI 0,693 (2302,086)
p-value
0,003
0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara menarche dan aspek psikologis. Menarche merupakan suatu pengalaman bagi anak perempuan, sekali seumur hidup dan seringkali sulit dilupakan . hal ini karena pengalaman 64
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
menarche dirasakan sangat mengejutkan dan penuh emosional. Tidak semua individu mampu menerima perubahan semasa usia sekolah hingga menjelang remaja, terutama saat menghadapi menarche. Salah satu yang sering muncul adalah kecemasan. Kecemasan merupakan gejala yang sering terjadi dan sangat mencolok pada peristiwa menarche yang kemudian diperkuat oleh keinginan untuk menolak proses fisiologis tersebut. Sekalipun sebelum anak sudah mengerti, namun kejadian menarche seringkali merupakan pengalaman yang traumatis,. Banyak anak perumpuan mempertanyakan apakah sakit kepala, dan sakit punggung yang sering mereka alami adalah hal yang normal (Heidi, 2008). Reaksi negatif yaitu suatu pandangan yang kurang baik dari seseorang anak terhadap munculnya menarche. Ketika muncul mennarche seorang individu akan merasakan adanya keluhankeluhan fisiologis (sakit kepala, sakit pinggang, mual dan muntah) maupun kondisi psikologis yang tidak stabil (bingung, sedih, stres, cemas, mudah
tersinggung, marah atau emosional. Hal ini kemungkinan karena ketidaktahuan anak tentang perubahanperubahan fisiologis yang terjadi pada awal kehidupan seorang wanita. Respon positive yaitu suatu pandangan yang menilai menarche sebagai peristiwa normal dan wajar. Dalam hal ini anak mampu memahami, menghargai dan menerima adanya menarche sebagai tanda kedewasaan seorang wanita. Tidak jarang anak merasa senang dan gembira saat mengalami menarche kerena mereka merasa telah dewasa dan dapat melakukan hal-hal yang layaknya seorang wanita dewasa dengan bebas dan lebih leluasa. Berdasarkan beberapa penelitian tersebut, respon menarche dikelompokkan kedalam respon positif dan respon negatif. Respon positif termasuk kedalamnya adalah bahagia dan biasa saja. Sementara respon negatif ditunjukkan dengan cemas, sedih takut, tegang dan marah. Hasil penelitian tentang menarche terhadap lingkungan sosial dapat di lihat pada tabel 2 berikut ini:
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Menarche Dengan Lingkungan Sosial Pada Remaja Putri Di SMP Negeri 3 Kota Jambi Tahun 2014 Lingkungan sosial Total Baik Kurang OR 95% CI p-value No Menarche baik n % n % n % 1 Normal 42 48,3 15 46,9 57 47,9 1,058 0,001 2 Tidak 45 51,7 17 27,4 62 52,1 (470-2,382) normal Total 87 73,1 32 26,9 119 100 Berdasarkan tabel 2 diketahui bahwa dari 62 (52,1%) remaja putri yang mengalami menarche tidak normal dengan lingkungan sosial yang baik yaitu sebanyak 45 (51,7%), Hasil penelitian ini dengan nilai p-value adalah 0,001 < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara menarche dan lingkungan sosial. Dalam berbagai penelitian yang telah dilakukan, dikemukakan bahwa
anak/remaja yang dibesarkan dalam lingkungan sosial keluarga yang tidak baik/disharmoni keluarga, maka risiko anak untuk mengalami gangguan kepribadian menjadi berkepribadian antisosial dan berperilaku menyimpang lebih besar dibandingkan dengan anak/remaja yang dibesarkan dalam keluarga sehat/harmonis (sakinah). Menurut sebuah penelitian menanyakan bahwa lingkungan sosial 65
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
berpengaruh terhadap waktu terjadinya menarche. Salah satunya yaitu lingkungan keluarga. Lingkungan keluarga yang harmonis dan adanya keluarga besar yang baik dapat memperlambat terjadinya menarche dini sedangkan anak yang tinggal di tengah-tengah keluarga yang tidak harmonis dapat mengakibatkan terjadinya menarche dini. Selain itu ketidakhadiran seorang ayah ketika
masih kecil, adanya tindakan kekerasan seksual pada anak dan adanya konflik dalam keluarga merupakan faktor yang berperan penting pada terjadinya menarche dini. Beberapa aspek struktur dan fungsi keluarga berpengaruh terhadap kejadian menarche dini. Hasil penelitian tentang menarche terhadap BMI dapat di lihat pada tabel 3 berikut ini:
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Menarche Dengan BMI Pada Remaja Putri Di SMP Negeri 3 Kota Jambi Tahun 2014 BMI Total OR kurus Normal kegemukan Obesitas p95% No Menarche value n % CI n % n % n % n % 1 Normal 7 12,3 35 53,8 10 47,6 5 8,8 57 47,9 0.693 0,005 2 Tidak 13 21 30 46,2 11 17,7 8 12,9 62 52,1 (230normal 2,086) Total 20 16,8 65 54,6 21 17,6 13 10,9 119 100 Berdasarkan tabel 3 diketahui bahwa dari 62 (52,1%) remaja putri yang mengalami menarche tidak normal memiliki nilai BMI normal sebanyak 30 (46,2%), Hasil penelitian ini dengan nilai p-value adalah 0,005 < 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna antara menarche dan BMI. Menarche merupakan tanda berfungsinya organ reproduksi dan sistem endokrin yang akan bermanifestasi pada polikistik ovarian sindrom dan risiko kanker payudara. Beberapa penelitian membuktikan bahwa berat badan sewaktu lahir dan berat badan yang overweight dapat menentukan usia terjadinya menarche. Meskipun mekanisme terjadinya jarang dipahami oleh semua orang. basal metabolik indek merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya menarche dalam hal ini telah terbukti bahwa berhubungan dengan pertumbuhan post natal dan kejadian peningkatan risiko penyakit DM, hipertensi dan penyakit jantung. Selanjutnya BBLR dan menarche dini merupakan faktor risiko terjadinya intoleransi glukosa pada wanita yang
mengalami sindrom polikistik ovaroum. Menurut penelitian Aishah (2011) mengungkapkan bahwa remaja yang memiliki IMT yang lebih tinggi cenderung mendapatkan menstruasinya lebih awal, hal ini dikarenakan leptin yang disekserisakan oleh kelenjar diposa. Leptin mempengaruhi kadar neuropeptida Y mengubah kadar seksresi LH, selain itu leptin juga berpengaruh pada maturasi oosit yang merangsang pematangan ovum yang dihasilkan oleh ovarium. Maka dapat disimpulkan bahwa remaja yang memiliki status gizi tinggi akanmengalami menarche lebih awal dibandingkan mereka yang memiliki status gizi rendah, karena perbedaan kelenjar adiposa yang mereka punya menghasilkan jumlah sekresi leptin yang berbeda. Lalu mereka dengan status gizi yang normal makan mengalami menarche di usia yang normal. SIMPULAN Hasil penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan menarche dapat ditarik kesimpulan bahwa: Ada 66
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN MENARCHE PADA REMAJA PUTRI DI SMP NEGERI 3 KOTA JAMBI TAHUN 2014
hubungan yang bermakna antara menarche dengan aspek psikologis dengan nilai p-value 0,003; Ada hubungan yang bermakna antara menarche dengan lingkungan sosial dengan nilai p-value 0,001; Ada hubungan yang bermakna antara menarche dengan BMI dengan p-value = 0,005. DAFTAR PUSTAKA Eny.
(2011). Kesehatan Reproduksi Remaja Wanita. Jakarta. Salemba Medika. Ganong. (2003). Menstruasi. Http://Id.Wikipedia.Org/Wiki/Menstr
uasi Diakses Pada Tanggal 2 Febuari 2014 Jamaludin (2004) ilmu kesehatan reproduksi. Jakarta. Salemba medika Notoatmodjo, S. (2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta; Rineka CIpta. Sulistyaningsih, 2011. Metodologi penelitian kebidanan kuantitatifkualitatif. Yogyakarta. Graha ilmu. Widyastuti, dkk. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya Wiknjosastro, H. Saifuddin AB & Rachimhadhi,T. (2003). Ilmu kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.
67 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 Listautin¹*, Lismawati2 1,2 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima Prodi D III Kebidanan *Korespondensi penulis:
[email protected] ABSTRAK Demam merupakan salah satu masalah yang kerap dijumpai dalam mengasuh dan membesarkan anak. Pengetahuan ibu diperlukan agar tindakan yang diberikan benar yaitu bagaimana ibu menentukan anak demam dan menurunkan suhu tubuh anak, masyarakat sering mengartikan demam dan diare sebagai sakit tifus, dengan demikian orang tua akan melakukan pola pemberian makan ke arah diet tifus, yakni makan bubur. Kandungan kalori yang diterima rendah pada bubur beras menyebabkan status gizi anak menurun. Penelitian bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan sikap ibu dengan penanganan demam pada balita. Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini yaitu jumlah balita demam bulan Januari-Mei sebanyak 104 balita dan jumlah sampel sebanyak 32 balita. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi dan telah dilaksanakan pada tanggal 15-22 Agustus tahun 2014. Analisis dalam penelitian ini adalah univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 10 responden (31,3%) penanganan demam pada balita baik, sebanyak 13 responden (40,6%) mempunyai pengetahuan baik dan sebanyak 12 responden (37,5%) memiliki sikap positif. Hasil bivariat menunjukkan bahwa pengetahuan ibu dengan penanganan demam pada balita dengan p-value (0.005) dan sikap ibu dengan penanganan demam pada balita dengan p-value (0.018). Disimpulkan bahwa ada hubungan pengetahuan dan sikap ibu terhadap penanganan demam pada balita di wilayah kerja puskesmas payo selincah kota jambi. Kata Kunci
: Pengetahuan, Sikap, Penanganan Demam balita
PENDAHULUAN Tumbuh kembang anak merupakan suatu proses yang dimulai dari sejak dalam kandungan sampai anak tumbuh dewasa, banyak faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak baik dari faktor genetik maupun lingkungan, sehingga dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik, sedangkan perkembangan berkaitan dengan pematangan fungsi organ atau individu (Susanti, 2009). Anak umur 0-5 tahun merupakan periode penting dalam tumbuh kembang anak, karena masa ini merupakan masa pertumbuhan dasar yang mempengaruhi dan menentukan perkembangan selanjutnya. Tumbuh kembang balita melalui periode atau tahapan tumbuh
kembang tertentu yang secara pesat dapat mencapai tumbuh kembang yang optimal (Eveline & Djamaludin, 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita yaitu antara lain faktor genetik, faktor lingkungan, umur, jenis kelamin, gizi, perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit yang diderita saat balita mengalami demam, dan balita yang menderita penyakit menahun akan terganggu tumbuh kembang dan pendidikannya serta musim kemarau panjang atau bencana alam lainnya, dapat berdampak pada tumbuh kembang anak antara lain sebagai gagalnya panen, sehingga banyak anak yang kurang gizi (Lina, 2010). Pada periode pertumbuhan balita, ada beberapa faktor yang dapat menghambat laju pertumbuhan. Pada masa ini apabila sistem imun balita 68
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
rendah, maka rentan terhadap berbagai penyakit yang dapat menghambat pertumbuhan balita. Penyakit infeksi akut maupun kronis menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak, sehingga pencegahan penyakit menular merupakan hal yang penting salah satunya demam. Demam bisa disebabkan karena infeksi yang disebut roseola. Perubahan selera makan adalah salah satu efek demam dan dampaknya pada tumbuh kembang anak balita. Apapun penyebab dari demam tersebut, buatlah anak nyaman dengan memberinya banyak cairan dan jangan tutupi badannya dengan selimut tebal. Dalam penangan demam pada balita, ibu masih belum dapat menangani dengan benar (Fauzie, 2014). Demam merupakan salah satu masalah yang kerap dijumpai dalam mengasuh dan membesarkan anak. Ibu berperan penting dalam merawat anak demam, pengetahuan ibu diperlukan agar tindakan yang diberikan benar yaitu bagaimana ibu menentukan anak demam dan menurunkan suhu tubuh anak, serta kapan ibu mambawa ke petugas kesehatan. Kurangnya informasi dan pengetahuan dapat membuat tindakan ibu menjadi keliru. Kesalahan yang sering terjadi di lingkungan kita seperti anak demam justru diselimuti dengan selimut tebal. Ibu perlu tahu bahwa pada usia dibawah lima tahun daya tahan tubuh anak memang merendah sehingga rentan sekali terkena infeksi penyebab demam (Malahayati, 2012). Tingginya suhu tubuh juga tidak dapat dijadikan indikasi bahwa penyakit yang diderita anak semua parah. Sebab pada saat itu tubuh sedang berusaha melakukan perlawanan terhadap penyakit akibat infeksi, dengan demikian demam dapat reda dengan sendirinya dalam 1–2 hari dan tidak selalu butuh pengobatan. Segeralah melakukan pengukuran dengan termometer setiap kali anak demam. Sekitar 30% - 50% demam disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan atas (ISPA), demam berdarah dengue, dan demam tifoid (Malahayati, 2012). Menurut Suryaningsih (2013), data terakhir yang diperoleh dari Survei Kesehatan Nasional (Susenas) 2010 tentang angka kesakitan bayi dan balita menunjukkan bahwa 49,1 % bayi umur kurang dari 1 tahun (49,0 % bayi lakilaki, 49,2 % bayi perempuan), dan 54,8 % balita umur 1-4 tahun (55,7% balita laki-laki, 54,0 % balita perempuan). Di antara anak umur 0-4 tahun tersebut ditemukan prevalensi panas sebesar 33,4 %, batuk 28,7 %, batuk dan nafas cepat 17,0 % dan diare 11,4 %. Angka kesakitan balita di Indonesia cukup tinggi dan terjadi peningkatan dari setiap tahunnya, yaitu pada tahun 2012 mencapai 47,7% kesakitan pada balita, dan cukup signifikan mengalami peningkatan pada tahun 2013 sebesar 71,4%. Sebesar 95% ibu bingung bila anaknya demam, alasan ibu karena demam pada anak menyebabkan kejang (69%), kerusakan otak (16%), koma (14%), gejala dari penyakit yang berat (11%), bahkan demam bisa menyebabkan kematian (Fauzie, 2014). Para ibu biasanya menyamakan tingginya demam dengan beratnya suatu penyakit yang menyerang anaknya. Demam yang mencapai 410C disebut hipertermia. Ada kira-kira 0.05% kejadian hipertermia pada anak di Indonesia. Apabila demam tidak ditangani maka dapat mengakibatkan kerusakan rangkaian khususnya sistem saraf pusat dan otot, sehingga mengakibatkan kematian. Demam yang mencapai suhu 410C angka kematiannya mencapai 17%, suhu 430C akan koma dengan angka kematian 70%, dan pada suhu 45.50C akan meninggal dalam beberapa jam (Suryaningsih, 2013). Hasil pra survei Suryaningsih (2013) di Puskesmas Mulyojati Metro Barat tanggal 20 Maret sampai dengan 25 April 2008 menyatakan bahwa dari 24 ibu yang mempunyai balita demam terdapat 17 ibu yang pengetahuannya 69
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
kurang dan, 4 ibu yang pengetahuannya cukup, dan hanya 3 orang yang pengetahuannya baik. Tingkat pengetahuan ibu tentang pertolongan pertama pada balita demam masih banyak yang kurang baik sehingga membuat penulis terpicu untuk menelitinya. Masyarakat sering mengartikan demam dan diare sebagai sakit tifus. Dengan demikian orang tua akan melakukan pola pemberian makan ke arah diet tifus, yakni makan bubur. Demikian praktik yang salah terus berlangsung setiap anak menderita demam. Kandungan kalori yang diterima rendah pada bubu beras menyebabkan status gizi anak menurun, sedangkan untuk melawan serangan infeksi, tubuh harus mempunyai persediaan zat gizi yang cukup. Demam menyebabkan pemecahan protein tubuh yang besar sehingga memerlukan masukan makanan sumber protein, kalori, vitamin, mineral yang ditemukan pada telur, susu, kacang, dan kacang hijau (Adiningsih, 2010). Sejauh ini demam pada anak sering menimbulkan fobia tersendiri bagi banyak ibu. Hasil penelitian memperlihatkan hampir 80% orang tua mempunyai fobia demam. Banyak ibu yang mengira bahwa bila tidak diobati, demam anaknya akan semakin tinggi. Karena konsep yang salah ini, banyak orang tua mengobati demam ringan yang sebetulnya tidak perlu diobati. Salah satu penatalaksanaan awal yang bisa dilakukan ibu dalam mengatasi anak yang mengalami demam yaitu mengompres dengan menggunakan air hangat dan memberikan obat penurun panas (Malahayati, 2012). Berdasarkan Data Dinas Kesehatan Kota Jambi, menunjukkan bahwa jumlah balita yang mengalami demam tidak tahu sebab yang tertinggi di Puskesmas Payo Selincah Kota
Jambi, yaitu pada tahun 2011 sebanyak 1.379 orang, tahun 2012 sebanyak 5.908 orang dan pada tahun 2013 sebanyak 5.723 orang. Data demam pada balita di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi bulan Januari-Mei tahun 2014 sebanyak 104 balita (Data Dinkes Kota Jambi, 2013). Survei awal yang telah dilakukan peneliti dengan cara wawancara mengenai penanganan demam pada balita di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi terhadap 10 ibu yang memiliki balita, menunjukkan bahwa 6 ibu mengatakan belum terlalu mengetahui cara penanganan demam pada balita di rumah dan terlalu takut dan cemas jika melihat balitanya mengalami demam. Sedangkan 4 ibu mengatakan mengetahui cara penanganan demam pada balita dan jika balita mengalami demam tidak langsung dibawa ke dokter tetapi dilakukan penanganan awal di rumah. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitik menggunakan desain cross sectional. Populasi dalam penelitian ini yaitu jumlah balita demam bulan Januari-Mei sebanyak 104 balita dan jumlah sampel sebanyak 32 balita. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling. Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi. Analisis dalam penelitian ini adalah univariat dan bivariat.
70 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Hubungan Pengetahuan Ibu Terhadap Penanganan Demam Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014 Penanganan Demam Pengetahuan Kurang Baik Baik P-value Total n % n % n % 17 89,5 2 10,5 19 100 Kurang Baik 0,005 Baik 5 38,5 8 61,5 13 100 Total 22 68,8 10 31,2 22 100 Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value 0,005 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan penanganan demam pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi. Dengan nilai OR terbesar 13,600 (2,154-85,856), ini berarti bahwa responden yang memiliki pengetahuan kurang baik mempunyai peluang sebesar 13-14 kali penanganan demam pada balita kurang baik jika dibandingkan dengan responden yang memiliki pengetahuan yang baik. Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah, responden memiliki pengetahuan yang baik sebanyak 13 responden (40,6%). Menurut Notoatmodjo (2010), pengukuran pengetahuan dapat dialihkan dengan wawancara atau angket yang menyatakan isi melalui orang lain. Hal ini berarti baiknya pengetahuan mereka dikarenakan mereka tidak sekedar tahu saja tetapi bisa memahami dan menganalisa pengetahuan yang mereka miliki. Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah, responden memiliki pengetahuan kurang baik sebanyak 19 responden (59,4%). Menurut Green dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan seseorang tergantung dari sumber informasi, pengalaman dan orang lain. Menurut peneliti, hal ini berarti rendahnya pengetahuan responden dikarenakan oleh kurangnya
sumber informasi dan pengalaman diri sendiri dan orang lain. Penelitian yang dilakukan sejalan dengan Penelitian Martinah (2011) mengenai hubungan pengetahuan dan sikap ibu yang memiliki balita dengan cara penanganan awal demam pada balita di Puskesmas Plaju Palembang, menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan cara penanganan awal demam pada balita dengan nilai p-value 0,005. Responden memiliki pengetahuan kurang baik, disebabkan responden pada umumnya belum tahu dan belum memahami dengan baik tentang penanganan demam pada balita. Hal ini dikarenakan kesadaran dan minat yang masih rendah untuk mencari tambahan informasi untuk meningkatkan pengetahuannya, disamping itu juga dapat dikarenakan sudah pernah diberikan penyuluhan kesehatan oleh responden tersebut mengenai penanganan demam pada balita tetapi responden lupa atau tidak ingat dengan informasi yang pernah didapat. Responden yang memiliki pengetahuan baik tentang penanganan demam pada balita, tetapi melakukan penanganan demam pada balita kurang baik dikarenakan responden telah diberikan informasi oleh petugas kesehatan mengenai penanganan demam pada balita tetapi responden tidak memiliki kesadaran dan menganggap remeh serta tidak menerapkan pengetahuan yang didapat 71
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
dalam perilaku yang baik yaitu penanganan demam pada balita. Responden yang memiliki pengetahuan kurang baik tetapi memiliki penanganan demam pada balita baik, hal ini dikarenakan responden tidak pernah mencari informasi tentang penanganan demam pada balita tetapi responden didukung oleh keluarga dengan mengingatkan responden untuk penanganan demam pada balita sewaktu balita demam sehingga menimbulkan perilaku yang baik, tetapi dengan perilaku tersebut tidak akan bertahan lama karena tidak didasari dengan pengetahuan yang baik. Pengetahuan merupakan hasil tahu dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo, 2007).
Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan responden tentang penanganan demam pada balita adalah dilakukannya pendidikan kesehatan kepada responden mengenai penanganan demam pada balita, menjelaskan dengan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti agar responden dapat memahami dengan baik dan juga dengan cara memberikan leaflet, brosur, dan kegiatan promotif lainnya seperti melakukan diskusi bersama responden. Selain itu diharapkan responden untuk aktif mencari informasi tentang penanganan demam pada balita agar menambah pengetahuan responden yang kurang baik. Jika hanya pasif saja, maka akan berdampak kurang baik pada tingkat pengetahuan mereka. Bagi responden yang telah mempunyai pengetahuan yang baik, harus selalu dipertahankan dan diingat materi-materi yang telah diberikan sebelumnya, agar mereka mengetahui penanganan demam pada balita.
Tabel 2. Distribusi Hubungan Sikap Ibu Terhadap Penanganan Demam Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014 Penanganan Demam Sikap
Kurang Baik
Baik
Total
Negatif
n 17
% 85,0
n 3
% 15,0
n 20
% 100
Positif Total
5 22
41,7 68,8
7 10
58,3 31,2
12 32
100 100
Pvalue 0,018
Hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value 0,018 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara sikap ibu dengan penanganan demam pada balita di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi. Dengan nilai OR terbesar 7,933 (1,478-42,581), ini berarti bahwa responden yang memiliki sikap negatif mempunyai peluang sebesar 7-8 kali penanganan demam pada balita kurang baik jika
dibandingkan dengan responden yang memiliki sikap positif. Berdasarkan hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi, responden memiliki sikap negatif sebanyak 20 responden (62,5%). Menurut Notoatmodjo (2010), sikap ditandai dengan berbagai tingkatan yaitu menerima, merespon, menghargai dan bertanggung jawab. Tingkatan sikap yang paling rendah adalah menerima. 72
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau dan mepertahankan stimulus yang diperhatikan (objek). Sedangkan sikap yang paling tinggi adalah bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko. Hal ini berarti masih adanya sikap negatif dari responden tentang penanganan demam pada balita, dikarenakan sikap responden tersebut masih pada tingkatan menerima belum pada tingkatan bertanggung jawab. Hasil penelitian di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi, responden memiliki sikap positif sebanyak 12 responden (37,5%). Menurut Alfort dalam Notoatmodjo (2010), bahwa sikap yang utuh atau total dibentuk melalui 4 komponen yakni kepercayaan, kehidupan, emosional dan kecenderungan untuk bertindak. Menurut peneliti, hal ini berarti tingginya sikap positif responden mengenai penanganan demam pada balita dikarenakan oleh pikiran, keyakinan dan emosi memegang peranan penting dalam kehidupannya. Penelitian yang dilakukan sejalan dengan Penelitian Martinah (2011) mengenai hubungan pengetahuan dan sikap ibu yang memiliki balita dengan cara penanganan awal demam pada balita di Puskesmas Plaju Palembang, menunjukkan adanya hubungan antara sikap ibu dengan cara penanganan awal demam pada balita dengan nilai pvalue 0.015. Menurut Notoadmodjo (2010), sikap adalah suatu kecenderungan untuk mengadakan tindakan suatu objek, dengan suatu cara yang menyatakan adanya tanda-tanda untuk menyenangi atau tidak menyenangi objek tersebut. Setiap diri seseorang memiliki sikap yang berbeda-beda dalam menanggapi suatu objek, semakin positif tanggapan seseorang terhadap suatu objek, maka semakin besar pula kemauan dirinya untuk mengambil tindakan terhadap objek tersebut.
Adapun sikap yang positif terhadap penanganan demam pada balita adalah dengan memberikan respon atau tanggapan yang baik dalam merespon bermacam masalah penanganan demam pada balita. Sedangkan sikap negatif adalah tidak merespon atau menanggapi dengan baik dalam hal merespon bermacam masalah penanganan demam pada balita. Berdasarkan penjelasan diatas terlihat bahwa responden mempunyai sikap yang negatif tentang penanganan demam pada balita karena mayoritas responden sudah menunjukkan sikap tidak sesuai dengan teori yang ada, yang mana responden mempunyai pengetahuan tetapi terhadap sikap yang dilakukan negatif. Hal tersebut bisa disebabkan oleh kurangnya kesadaran responden dalam melakukan tindakan penanganan demam pada balita. Sikap terhadap nilai-nilai kesehatan tidak selalu terwujud didalam suatu tindakan nyata, terkadang sikap terbentuk karena situasi yang dialami responden tersebut. Dalam hal ini sikap responden negatif kemungkinan karena kurangnya informasi yang didapat. Sebagian menganggap remeh, tidak peduli atau kurang kesadaran terhadap pengetahuan yang didapat tentang penanganan demam pada balita. Hal ini tentu dapat membuat persepsi yang menyimpang terhadap penanganan demam pada balita. Pengetahuan responden tentang penanganan demam pada balita yang masih kurang dapat menyebabkan sikap responden tersebut masih belum kearah yang positif. Upaya-upaya yang perlu dilakukan untuk membentuk sikap positif responden tentang penanganan demam pada balita yaitu dengan diberikan pendidikan kesehatan berkaitan dengan sikap yang baik dan tidak baik tentang penanganan demam pada balita dengan cara memberikan pengetahuan dan menanamkan nilai73
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU TERHADAP PENANGANAN DEMAM PADA BALITA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014
nilai serta persepsi positif. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan leaflet dan informasi seperti spanduk dalam upaya memberikan pengetahuan secara luas agar terbentuk sikap yang positif. Selain itu diharapkan petugas kesehatan juga ikut berperan aktif dalam penanganan sikap responden terhadap penanganan demam pada balita agar tidak membuat perilaku responden menjadi kurang baik. SIMPULAN Penanganan demam pada balita baik Sebanyak 10 responden (31,3%) dan Sebanyak 13 responden (40,6%) mempunyai pengetahuan baik. Sebanyak 12 responden (37,5%) memiliki sikap positif tentang penanganan demam pada balita. Adanya hubungan antara pengetahuan ibu dengan penanganan demam pada balita dengan p-value 0.005. Ada hubungan sikap ibu dengan penanganan demam pada balita dengan p-value 0.018. DAFTAR PUSTAKA Adiningsih, Sri, 2010. Waspadai Gizi Balita Anda : Tips Mengatasi Anak Sulit Makan. Penerbit PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Eveline & Nanang Djamaludin, 2010. Panduan Pintar Merawat Bayi Dan Balita. Penerbit PT Wahyu Media. Jakarta. Fauzie, Rifan, 2014. Pengaruh Kejang Demam Pada Kecerdasan Anak. Dalam http://health.kompas.com/read/2 011/10/12/13060491/ pengaruh.kejang.demam.pada.k ecerdasan. (Diakses tanggal 03 Juni 2014).
Lina,
Nova, 2010. Faktor Yang Mempengaruhi Tumbuh Kembang Anak. Dalam http://www.ibudanbalita.com/dis kusi/faktor-yang-mempengaruhitumbuh-kembang-anak. (Diakses tanggal 14 Juli 2014). Malahayati, 2012. Anak Kena Demam, Penyebab dan Cara Mengatasinya. http://bayibintang.blogspot.sg/20 13/07/anak-kena-demampenyebab-dan-cara.html. (Diakses tanggal 10 Mei 2014). Martinah, 2011. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Ibu yang Memiliki Balita dengan Cara Panganan Awal Demam Pada Balita Di Puskesmas Plaju Palembang. Karya Tulis Ilmiah, UKB, Palembang. Notoadmodjo, Soekidjo. 2007. ”Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi”. Jakarta : Rineka Cipta. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT. Rineka Cipta. Jakarta. Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Perilaku Kesehatan dan Ilmu Perilaku. PT. Rineka Cipta. Jakarta . Suryaningsih, 2013. Penanganan Demam Pada Balita. Dalam http://penanganan-demampada-balita.html. (Diakses tanggal 10 Mei 2014). Susanti, 2009. Gangguan Bicara dan Bahasa pada Anak. http://www.dokteranakku.com/w p,content/downloads/Buku%20g angguan%20bicara%20dan%20 bahasa. pdf (Diakses tanggal 05 Mei 2014).
74 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014 Listautin Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima Prodi D III Kebidanan Korespondensi penulis:
[email protected] ABSTRAK Malaria merupakan penyakit infeksi utama di dunia yang menginfeksi 170-300 juta orang dengan angka kematian 1 juta orang pertahun di seluruh dunia. Kasus malaria di Puskesmas Muara Kumpeh kabupaten Muaro Jambi tahun 2012 sampai 2013 ditemukan peningkatan sebesar 22,6% pada malaria klinis dan meningkat 28,7% pada penderita yang positif malaria. Tujuan penelitian menganalisa faktor kejadian malaria dan mengukur besarnya berbagai faktor risiko yang berpengaruh terhadap kejadian malaria. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain case control. Untuk mencari hubungan faktor risiko meliputi faktor lingkungan dan perilaku yang mempengaruhi terjadinya penyakit malaria. Kelompok kasus adalah semua orang yang dinyatakan malaria klinis, sedangkan kontrol adalah semua orang yang dinyatakan bebas malaria. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 86 orang responden, sampel kasus diambil secara acak sebanyak 43 orang dan kontrol juga 43 orang. Hasil uji bivariat menunjukkan bahwa kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria dengan pvalue (0,002) dan didapat hasil OR=4,359, genangan air dengan kejadian malaria dengan pvalue (0,004) dan didapat hasil OR=4,040, kebiasaan berada di luar rumah malam hari dengan kejadian malaria dengan p-value (0,002) dan didapat hasil OR=4,583 dan kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian malaria dengan (nilai p= 0,007) dan didapat hasil OR=3,958. Di simpulkan bahwa ada hubungan keberadaan kasa pada ventilasi, ada hubungan keberadaan genangan air, ada hubungan kebiasaan di luar rumah malam hari , a d a hubungan kebiasaan menggunakan kelambu dan ada hubungan kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria. Kata kunci : Malaria, Faktor Lingkungan, dan Faktor Perilaku ABSTRACT Malaria is one of main infectious diseases in the world contaminating 170 – 300 million people with a mortality rate of one million per year all over the world. The malarial cases at Public Health Center of Muaro Kumpeh of Muaro Jambi Disctrict from 2012 to 2013 showed an increase of 22,6% of clinical malaria and increased to 28,7% of patients who had malaria positive. The aim of this research is to analyze the factors of malaria occurrence and to measaure various factors that influence the occurrence of malaria. This is an observational research with the design of case control. In order to find out the relation of risk factors covering environmental and behavioral factors that influence the occurrence of malaria. Case group is all people to have suffered from clinical malaria, and control is all people to have been free from malaria. The number of samples of this study is 86 respondents, case samples are taken at random amounted to 43 people and the control is also 43 people. The results of bivariat test show that gauze attached to ventilation with the malaria occurrence of p-value (0,002) and resulted in OR=4,359, water puddle resulted in malaria occurrence of pvalue (0,004) resulted in OR=4,040, the habit of staying outside the house at night with malaria occurrence of p-value (0,002) and resulted in OR=4,583 and the habit of using a mosquito net with malaria occurrence of p-value (0,007) and resulted in OR=3,958. It is concluded that there is a relation of the gauze attached to ventilation, there is a relation of water puddle, the habit of staying outside the house at night, the habit of using a mosquito net and there is a relation of using mosquito propellent with the occurrence of malaria. Key Words: Malaria, Environmental Factor, and Behavioral Factor.
75 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit infeksi utama di dunia yang menginfeksi 170-300 juta orang dengan angka kematian 1 juta orang pertahun di seluruh dunia. Menurut WHO dalam Mukono, 2002 bahwa sehat adalah suatu keadaan yang lengkap meliputi kesejahteraan fisik, mental dan sosial, bukan semata-mata bebas dari penyakit dan cacat atau kelemahan. Sedangkan sakit merupakan akibat dari kesalahan adaptasi terhadap lingkungan dan reaksi manusia dengan sumber-sumber penyakit, seperti ISPA, diare, DBD, dan malaria (Mukono, 2002). Indonesia telah melakukan pemberantasan penyakit malaria sejak tahun 1959, namun hingga saat ini angka morbiditas dan mortalitas masih cukup tinggi (Zein, 2003). Indonesia kawasan timur mulai dari Kalimantan, Sulawesi Tengah sampai Utara, Maluku, Irian Jaya, Lombok, sampai Nusa Tenggara Timur, Timor-Timor merupakan daerah endemis malaria. Beberapa daerah di Sumatera mulai dari Lampung, Riau, Jambi dan Batam kasus malaria cenderung meningkat (Harijanto, 2010). Pada tahun 2005 sampai dengan 2010 AMI di Provinsi Jambi cenderung menurun. Pada tahun 2005 AMI di Provinsi Jambi berada pada angka 23,55 per 1.000 penduduk sampai dengan tahun 2010 menunjukkan angka 13,99 per 1.000 penduduk dan pada tahun 2012 untuk Annual Parasit Incidence (API) mengalami penurunan yang signifikan yaitu dari 2,17 per 1.000 penduduk (tahun 2011) menjadi 1,89 per 1.000 penduduk (Dinkes Provinsi Jambi, 2012) Kabupaten Muaro Jambi, tahun 2012 kasus malaria di kabupaten Muaro Jambi di temukan 8.109 kasus klinis dan 749 malaria parasit positif, tahun 2013 di temukan 6.509 kasus klinis dan 515 malaria parasit positif
atau API 1,4 per 1000 penduduk. Pada tahun 2013 malaria merupakan penyakit dengan urutan ketiga dari 10 penyakit terbesar di Muaro Jambi setelah penyakit Diare pada urutan kedua dan ISPA pada urutan pertama (Dinkes Muaro Jambi, 2013). Puskesmas Muara Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi kasus malaria ditemukan 250 orang malaria klinis dan 57 positif malaria pada tahun 2012 dan pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar 22,6% pada malaria klinis menjadi 323 orang dan meningkat 28,7% pada penderita yang positif malaria menjadi 80 orang, serta pada pada tahun 2014 selama bulan Januari sampai April angka kejadian malaria klinis sebanyak 157 orang dan yang dinyatakan positif ada 16 orang (Puskesmas Muara Kumpeh, 2013). Ada beberapa faktor lingkungan yang dapat menyebabkan terjadinya penularan malaria, antara lain: kondisi fisik rumah yang dindingnya tidak rapat dan ventilasi yang tidak menggunakan kawat kasa sehingga memudahkan nyamuk masuk ke dalam rumah (Depkes RI,1999). Kondisi lingkungan fisik di sekitar rumah yang terdapat genangan air atau bekas galian yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk serta kebiasaan atau perilaku masyarakat yang sering keluar malam dan tidak menggunakan obat anti nyamuk dapat meningkatkan risiko terjadinya penularan penyakit malaria (Harijanto, 2010). Berdasarkan hasil survei awal di lapangan bahwa di lihat 7 dari 10 rumah yang peneliti survei, kondisi lingkungannya kurang terjaga kebersihannya, terdapat tempat perindukan nyamuk untuk berkembangbiak berupa genangan air, bekas galian yang tidak ditimbun dan masih banyak semak belukar, serta keadaan rumah masyarakat yang masih banyak yang belum menggunakan kawat kasa pada 76
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
ventialsi. Sementara itu perilaku masyarakat yang tidak menggunakan kelambu dan obat anti nyamuk dalam upaya pencegahan penularan malaria juga sangat kurang. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan desain case control atau retrospektif study, karena dilakukan dengan mengidentifikasi atau mencari hubungan antara faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya suatu penyakit. Dalam penelitian ini ingin diketahui apakah suatu faktor risiko tertentu benar berpengaruh terhadap terjadinya efek yang diteliti dengan membandingkan faktor risiko tersebut pada kelompok kasus dengan kelompok kontrol. Penelitian di lakukan di wilayah kerja Puskesmas Muara Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Populasi penelitian ini adalah populasi kasus yaitu seluruh pasien yang berobat ke Puskesmas Muara Kumpeh yang di diagnosa dokter
mengalami penyakit malaria klinis yang berjumlah 157 orang. Populasi kontrol dalam penelitian ini adalah seluruh Masyarakat yang dinyatakan tidak mengalami penyakit malaria di wilayah kerja Puskesmas Muara Kumpeh Kabupaten Muaro Jambi. Sampel kasus dalam penelitian ini berjumlah 43 orang dan 43 orang jumlah sampel kontrol. Dimana sampel kasus dan sampel kontrol berbanding 1:1. Sehingga total sampel pada penelitian ini adalah 86 orang HASIL DAN PEMBAHASAN Hubungan antara kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria Hasil penelitian didapatkan bahwa ada 12 (30,8%) pada sampel kasus yang menggunakan kawat kasa pada ventilasi tetapi mengalami malaria, itu dikarenakan berdasarkan keterangan pada saat penelitian responden tersebut mempunyai kebiasaan beraktifitas di luar rumah seperti berkumpul di rumah tetangga dan memancing.
Tabel 1. Hubungan Keberadaan Kasa pada Ventilasi denganKejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2014. Keberadaan Kawat Kasa Pada Ventilasi Tidak ada Ada JUMLAH
Kejadian Malaria Kasus
%
Kontrol
%
31 12 43
66,0 30,8 50,0
16 27 43
34,0 69,2 50,0
Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria (nilai p= 0,002), sementara hasil perhitungan OR didapat hasil OR=4,359 dengan Confidence Interval (CI) 95%=1,756– 10,820. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa orang yang ventilasi rumahnya tidak dipasang kain kasa punya risiko terkena malaria 4,3 kali lebih besar
pvalue 0,002
OR 4,359
dibanding dengan orang yang ventilasi rumahnya terpasang kasa. Nyamuk Anopheles spp mudah masuk ke dalam rumah apabila tidak adanya kasa nyamuk pada ventilasi rumah. Hal ini tentunya akan memudahkan terjadinya kontak antara penghuni rumah dengan nyamuk penular malaria, sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya penularan malaria yang lebih tinggi 77
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
dibandingkan dengan rumah yang ventilasinya terpasang kasa nyamuk (Day, 2003) Penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Husin di Puskesmas Sukamerindu Kota Bengkulu (2007) yang menyatakan bahwa tidak adanya kasa/penghalang nyamuk masuk ke rumah mempunyai risiko 3,7 kali lebih tinggi menyebabkan malaria dari pada yang memasang kasa nyamuk pada ventilasi rumahnya. Selain itu hasil penelitian Hayati (2008) di wilayah kerja Puskesmas Pangandaran Kabupaten Ciamis membuktikan bahwa orang yang ventilasi rumahnya tidak terpasang kasa atau sebagian memiliki risiko menderita malaria 7,8 kali dibanding dengan orang yang ventilasi rumahnya terpasang kasa secara keseluruhan.
Pemerintah setempat sebaiknya mengupayakan program penyuluhan mengenai bahaya malaria dan upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam mencegah tertularnya penyakit malaria, yang salah satu upayanya yang dapat dilakukan masyarakat itu sendiri adalah dengan memasang kasa nyamuk. Hubungan antara genangan air dengan kejadian malaria Hasil penelitian menunjukan bahwa ada 11 (30,6%) pada sampel kasus yang tidak ada genangan air disekitar rumahnya tetapi mengalami malaria, berdasarkan keterangan pada saat penelitian responden tersebut mempunyai kebiasaan beraktifitas di luar rumah dan tidak menggunakan obat anti nyamuk oles (repellent).
Tabel 2. Hubungan Keberadaan Genangan Air dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2014. Genangan Air Ada
Kejadian Malaria Kasus % Kontrol 32 64,0 18
% 36,0
Tidak ada
11
30,6
25
69,4
JUMLAH
43
50,0
43
50,0
Hasil uji Chi-Square dapat dilihat pada tabel 4.10 di atas menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara genangan air dengan kejadian malaria (nilai p=0,004), sementara hasil perhitungan OR didapat hasil OR=4,040 dengan Confidence Interval (CI) 95%= 1,619– 10,083. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa yang disekeliling rumahnya terdapat genangan air punya risiko terkena malaria 4,040 kali lebih besar dari orang tidak terdapat genangan air di sekitar rumah mereka. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Suwito (2005) di Wilayah Kerja Puskesmas Benteng Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dimana rumah
pvalue
OR
0,004
4,040
penduduk yang sekelilingnya ditemukan genangan air dan ditemukan larva nyamuk mempunyai risiko terkena malaria 4,2 kali dibandingkan dengan rumah yang tidak terdapat genangan air dan tidak ditemukan larva nyamuk. Dalam hal ini faktor kebersihan lingkungan memegang peranan penting. Hindari genangan air dengan mempelancar aliran air keselokanselokan. Terhadap jentik nyamuk yang ditemui pada air tergenang harus dilakukan pemberantasan. Pemberantasan secara alamiah beberapa waktu yang lalu digalakan, misalnya dengan menyebarkan ikan kepala timah (Anies, 2007).
78 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
Hubungan antara kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari dengan kejadian malaria Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 10 (28,6%) pada sampel kasus yang tidak mempunyai kebiasaan berada di luar rumah pada malam hari tetapi
mengalami malaria, itu dikarenakan berdasarkan keterangan pada saat penelitian responden tersebut di sekitaran rumah responden itu terdapat genangan air yang bisa menjadi tempat perindukan nyamuk dan juga pada ventilasi rumah responden tidak dipasang kawat kasa.
Tabel 3. Hubungan Kebiasaan Berada di Luar Rumah Malam Hari dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2014. Kebiasaan Berada Di Luar Rumah
Kejadian Malaria
Keluar malam
Kasus 33
% 64,7
Kontrol 18
% 35,3
Tidak keluar Malam
10
28,6
25
71,4
JUMLAH
43
50,0
43
50,0
Hasil penelitian menunjukan hasil uji Chi-Square ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan berada di luar rumah malam hari dengan kejadian malaria (nilai p= 0,002), sementara hasil perhitungan OR didapat hasil OR=4,583 dengan Confidence Interval (CI) 95%= 1,806– 11,634. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa orang yang punya kebiasaan keluar rumah malam hari punya risiko terkena malaria 4,583 kali lebih besar dibanding orang yang tidak punya kebiasaan keluar rumah malam hari. Penelitian ini juga diperkuat lagi dengan penelitian Hayati (2008) di Wilayah Kerja Puskesmas pangandaran kabupaten Ciamis, dimana orang yang yang keluar rumah pada malam hari tidak menggunakan pakaian pelindung mempunyai risiko terkena malaria 3,2 kali lebih besar dibanding orang yang tidak punya kebiasaan keluar rumah malam hari. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Babba (2007) di wilayah Kerja Puskesmas Kota Jaya Pura yang menyatakan bahwa orang yang mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari tanpa menggunakan pakaian pelindung
pvalue
OR
0,002
4,583
mempunyai risiko terkena malaria 5,5 kali lebih besar dibanding orang yang tidak mempunyai kebiasaan keluar rumah pada malam hari. Penelitian ini didukung dengan teori menurut Hiswani (2004) bahwa kebiasaan keluar rumah malam hari pada jam nyamuk Anopheles spp. Aktif menggigit sangat berisiko untuk tertular malaria, dikarenakan nyamuk ini bersifat eksofagik dimana aktif mencari darah di luar rumah pada malam hari. Kebiasaan ini akan semakin berisiko jika orang terbiasa keluar rumah tanpa memakai pakaian pelindung seperti baju berlengan panjang dan celana panjang. Hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian malaria Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 9 (29,0%) pada sampel kasus yang menggunakan kelambu pada saat tidur tetapi mengalami malaria, itu dikarenakan berdasarkan keterangan pada saat penelitian responden tersebut sering beraktifitas diluar rumah pada malam hari dan tidak menggunakan obat anti nyamuk serta tidak terdapat kawat kasa 79
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
pada ventilasi rumah sehingga nyamuk dapat masuk dan menggigit sebelum
responden tidur di dalam kelambu.
Tabel 4. Hubungan Kebiasaan Menggunakan Kelambu dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2014. Kebiasaan Menggunakan Kelambu
Kejadian Malaria
Tidak Menggunakan
Kasus 34
% 61,8
Kontrol 21
% 38,2
Menggunakan
9
29,0
22
71,0
JUMLAH
43
50,0
43
50,0
Hasil uji Chi-Square menunjukkan ada hubungan antara kebiasaan menggunakan kelambu dengan kejadian malaria (nilai p= 0,007), sementara hasil perhitungan OR didapat hasil OR=3,958 dengan Confidence Interval (CI) 95%= 1,535– 10,206. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa orang yang tidak menggunakan kelambu waktu tidur punya risiko terkena malaria 3,958 kali lebih besar dari orang yang tidur menggunakan kelambu. Kebiasaan menggunakan kelambu merupakan upaya yang efektif untuk mencegah dan menghindari kontak antara nyamuk Anopheles spp dengan orang sehat disaat tidur malam, disamping pemakaian obat penolak nyamuk. Karena kebiasaan nyamuk Anopheles untuk mencari darah adalah pada malam hari, dengan demikian selalu tidur menggunakan kelambu yang tidak rusak atau berlubang pada malam hari dapat mencegah atau melindungi dari gigitan nyamuk Anopheles spp (Pusdatin, 2003). Hasil penelitian ini sesuai juga dengan penelitian Husin (2007) menyatakan kebiasaan tidur menggunakan kelambu pada malam hari mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian malaria di wilayah Puskesmas Sukamerindu Kecamatan Sungai Serut, dimana
pvalue
OR
0,007
3,958
risiko terkena malaria pada orang yang tidak memakai kelambu saat tidur malam 5,8 kali dibandingkan dengan yang mempunyai kebiasaan memakai kelambu saat tidur malam. Dilihat dari hasil penelitian dan alasan responden yang tidak menggunakan kelambu pada saat tidur, maka disarankan sebaiknya masyarakat yang tidak mendapat kelambu yang dibagikan oleh puskesmas untuk membeli sendiri kelambu yang ada di pasaran dan untuk masyarakat yang tidak bisa tidur apabila menggukan kelambu sebaiknya sebelum tidur menggukan obat anti nyamuk oles (repellent), bakar maupun yang saat ini sering di gunakan obat anti nyamuk elektrik. Hubungan antara menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada 14 (35,0%) pada sampel kasus yang menggunakan obat anti nyamuk tetapi mengalami malaria, itu dikarenakan berdasarkan keterangan pada saat penelitian responden tersebut mempunyai di rumah menggunakan obat anti nyamuk tetapi mempunyai kebiasaan beraktifitas di luar rumah seperti berkumpul atau mengobrol di rumah tetangga, buang air di belakang rumah dan memancing.
80 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
Tabel 5. Hubungan Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk Kebiasaan dengan Kejadian Malaria di Puskesmas Muara Kumpeh Tahun 2014. Kebiasaan Menggunakan Obat Anti Nyamuk Tidak Menggunakan
Kasus
%
Kontrol
%
29
63,0
17
37,0
Menggunakan
14
35,0
26
65,0
JUMLAH
43
50,0
43
50,0
Kejadian Malaria
Berdasarkan hasil uji ChiSquare menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria (nilai p= 0,017), sementara hasil perhitungan OR didapat hasil OR=3,168 dengan Confidence Interval (CI) 95%= 1,309– 7,665. Dari hasil ini menunjukan bahwa orang yang tidak menggunakan obat anti nyamuk waktu tidur punya risiko tertular malaria 3,168 kali lebih besar dari orang yang menggunakan obat anti nyamuk waktu tidur. Kebiasaan tidak menggunakan obat anti nyamuk diwaktu tidur banyak ditemukan pada kasus. Kebiasaan tersebut bagi masyarakat karena penyakit malaria sudah tidak dianggap sebagai penyakit yang berbahaya. Disamping itu dikarenakan banyak responden yang tidak menyukai bau dari obat anti nyamuk tersebut serta masih kurangnya pengetahuan responden tentang bahaya malaria. Dilihat dari hasil penelitian di atas, maka pemerintah setempat sebaiknya mengupayakan program penyuluhan mengenai bahaya malaria dan upaya apa saja yang dapat dilakukan dalam mencegah tertularnya penyakit malaria, yang salah satu upayanya yaitu menggunakan obat anti nyamuk baik bakar, oles maupun yang elektrik. Bagi masyarakat yang tidak menyukai bau obat nyamuk yang memang sebagian bau obat anti nyamuk ada yang sangat menyengat tetapi saat ini seiring perkembangan teknologi, telah banyak berbagai jenis
pvalue
3,168
0,017
3,168
obat anti nyamuk yang baunya tidak menyengat lagi dan bahkan baunya seperti parfum ruangan sehingga masyarakat dapat memilih alternatif tersebut. SIMPULAN Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat hubungan antara keberadaan kasa pada ventilasi dengan kejadian malaria ada hubungan keberadaan genangan air dengan kejadian malaria, ada hubungan kebiasaan di luar rumah malam hari dengan kejadian malaria, ada hubungan kebiasaan menggunakan kelamban dengan kejadian malaria dan ada hubungan kebiasaan menggunakan obat anti nyamuk dengan kejadian malaria. DAFTAR PUSTAKA Anies. 2007. Manajemen Berbasis Lingkungan. PT Elex Media Komputindo.Jakarta. Babba, I. 2007. Faktor-faktor Risiko Yang Mempengaruhi Kejadian Malaria, Studi Kasus di wilayah kerja Puskesmas Hamadi Jayapura.Tesis UNDIP. Day 2003. Nyamuk Penular Malaria, Dalam Jurnal Data dan Informasi Kesehatan, Pusdatin, Depkes RI, Jakarta. Depkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta. Depkes RI. 1999, Modul Epidemologi, Direktorat Jenderal PPM dan
81 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT MALARIA DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS MUARA KUMPEH KABUPATEN MUARO JAMBI TAHUN 2014
PLP, Drektorat pemberantasan Penyakit Bersumber Binatang. Jakarta. Dinas Kesehatan Provinsi Jambi. 2012. Profil Kesehatan Provinsi Jambi. Kota Jambi. Dinas Kesehatan Kabupaten Muaro Jambi. 2013. Profil Kesehatan Muaro Jambi. Sengeti. Harijanto. P.N. 2010. Malaria, Epidemiologi, Patogenesis, anifestasi Klinis dan Penanganan. EGC. Jakarta. Hayati. F, Wahyuningsih, N.E (2008). Hubungan Kondisi Fisik Rumah, lingkungan Sekitar Rumah dan Praktik Pencegahan dengan Kejadian Malaria di Wilayah Kerja Puskesmas Pangandaran Kabupaten Ciamis. Hiswani. 2004. Gambaran Penyakit dan Vektor Malaria Di Indonesia. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara. Husin,H. 2007. Analisis Faktor Risiko Kejadian Malaria di Puskesmas Merindu Kota Bengkulu, Thesis
Program Pascasarjana UNDIP, Semarang. Pusdatin. 2003. Malaria dan Kemiskinan, Jurnal dan Informasi Kesehatan Nomor 3, November, Depkes RI, Jakarta. Puskesmas Muara Kumpeh. 2013. Laporan Bulanan Pengobatan dan Penemuan Penderita Malaria. Puskesmas Muara Kumpeh. Mukono, H.J., 2002. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press. Surabaya. Suwito., Suhartono., Tri Joko. 2005. Kondisi Lingkungan Rumah dan Perlaku Masyarakat Sebagai Faktor Risiko Kejadian Malaria Di Puskesmas Benteng Bangka Belitung. J.Kesehatan Lingkungan Indonesia.Vol.4. No.2 Okt 2005. Zein, U. 2003. Medan Diduga Daerah Endemik Malaria. Available at: http://www.library.usu.ac.id/. Diakses tanggal 20 April 2014.
82 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014 Eko ¹,Marta²* 1,2 STIKes Prima Prodi Kesehatan Masyarakat *Korespondensi penulis :
[email protected] ABSTRAK Scabies (gudik) adalah penyakit kulit menular yang disebabkan oleh sarcoptes scabiei varian hominis (sejenis kutu, tungau), ditandai dengan keluhan gatal. Scabies sering dikaitkan sebagai penyakitnya anak pesantren alasannya karena anak pesantren suka/gemar bertukar, pinjam meminjam pakaian, handuk, sarung, bahkan bantal, guling dan kasurnya kepada sesamanya, Tujuan penelitian untuk diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Pengambilan sampel menggunakan teknik proportional stratified random sampling dengan besar sampel 97 santri. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Data dikumpulkan dengan kuesioner dianalisis dengan analisis univariat dan bivariat. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara motivasi santri dan peran petugas dengan perilaku pencegahan penyakit scabies (p-value = 0,575 dan p-value = 0,077 ). Ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014 (p-value = 0,015, p-value = 0,004 ). Ada Hubungan antara pengetahuan dab sikap santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Kata Kunci Petugas
: Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies, Pengetahuan, Sikap, Motivasi, Peran
PENDAHULUAN Kulit merupakan bagian tubuh manusia yang cukup sensitif terhadap berbagai macam penyakit. Penyakit kulit bisa disebabkan oleh banyak faktor diantaranya, faktor lingkungan dan kebiasaan hidup sehari-hari. Lingkungan yang sehat dan bersih akan membawa efek yang baik bagi kulit. Demikian pula sebaliknya, lingkungan yang kotor akan menjadi sumber munculnya berbagai macam penyakit (Rahmawati, 2009). Menurut data dari setiap Puskesmas di Kota Jambi scabies tercatat sebagai penyakit kulit kedua tersering. Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Jambi, penyakit kulit scabies banyak ditemukan, pada tahun 2012 penderita penyakit kulit scabies di Kota Jambi sebanyak 1494 orang dan pada tahun 2013 jumlah penderita penyakit kulit scabies di Kota Jambi tercatat
sebanyak 1687 orang, dimana terjadi peningkatan 193 kasus (11,44%). Dari 20 Puskesmas di Dinas Kesehatan Kota Jambi kejadian scabies terbanyak di Puskesmas Olak Kemang dengan jumlah 370 kasus pada tahun 2012 meningkat menjadi 467 kasus pada tahun 2013, dimana terjadi peningkatan 97 kasus (20,77%) (Dinkes Kota Jambi, 2014). Di wilayah kerja Puskesmas Olak Kemang hanya terdapat satu pemondokan yang memiliki jumlah santri Aliyah yang banyak yaitu 557 orang santri pada tahun 2013. Pondok pesantren As’ad yang memiliki jumlah populasi santri yang banyak dengan 3 tingkatan, yaitu Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah dan memiliki peningkatan kasus scabies tetapi bukan peningkatan yang signifikan. Jumlah kasus scabies yang terjadi di pondok pesantren As’ad mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari tahun 2012 penderita penyakit kulit scabies sebanyak 185 83
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
orang meningkat menjadi 198 orang penderita penyakit kulit scabies pada tahun 2013 dengan jumlah santri Aliyah 557 orang (Pondok Pesantren As’ad, 2013). Keberhasilan dalam mencegah penyakit scabies pada orang lain sangat ditentukan oleh kebiasaan dalam menjaga kebersihan diri. Oleh karena itu selama pengobatan dan perawatan diperlukan tingkat perilaku yang baik dari penderita. Perilaku penderita scabies dalam upaya mencegah prognosis yang lebih buruk dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap dan motivasinya tentang penyakit ini. Pengetahuan, sikap dan motivasi penderita yang buruk akan menyebabkan kegagalan dalam tindakan penanggulangan penyakit (Rahmawati, 2009). Apabila scabies tidak segera mendapat pengobatan dalam beberapa minggu maka akan timbul adanya dermatitis yang diakibatkan karena garukan. Rasa gatal yang ditimbulkan terutama pada waktu malam hari, secara tidak langsung akan menggangu kelangsungan hidup para santri terutama tersitanya waktu untuk istirahat tidur, sehingga kegiatan yang akan dilakukan pada siang hari seperti dalam proses belajar akan ikut terganggu. Selain itu, setelah klien sembuh akibat garukan tersebut akan meninggalkan bercak hitam yang nantinya juga akan mempengaruhi harga diri klien seperti merasa malu, cemas, takut dijauhi teman dan sebagainya (Kartika, 2008). Berdasarkan penelitian Aini (2009) dengan judul hubungan faktor lingkungan dan perilaku santri terhadap prevalensi scabies di Pondok Pesantren Putra Sidogiri Kecamatan Kraton-Kabupaten Pasuruan, hasil yang diperoleh menunjukkan kondisi lingkungan (sosial-budaya) (54,1%), perilaku kesehatan terhadap scabies yaitu tingkat pengetahuan (80,6%), motivasi (64,3%), dan personal hygiene (53,1%) berturut-turut baik dan tindakan terhadap scabies (54,1%) buruk.
Berdasarkan hasil penelitian Ningsih (2011), yang berjudul hubungan pengetahuan, dan sikap santri dengan pencegahan penyakit scabies di pondok pesantren Sa’adatudadaren Kota Jambi, menunjukkan bahwa dari 67 responden, sebanyak 52 responden (77,6%) memiliki pencegahan yang baik terhadap penyakit scabies, selanjutnya 52 responden (77%) memiliki pengetahuan yang tinggi terhadap penyakit scabies, sedangkan 40 responden (59,7%) memiliki sikap yang baik terhadap pencegahan penyakit scabies. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dan sikap santri dengan pencegahan penyakit scabies. Survei awal yang dilakukan di Pondok Pesantren As’ad pada 17 Juni 2014, dari 10 santri yang belum terkena scabies yang diwawancarai, diketahui 5 orang diantaranya memiliki pengetahuan yang kurang mengenai scabies serta bagaimana mengatasi gatal yang disebabkan oleh scabies, 4 orang diantaranya memiliki sikap kurang peduli atau menganggap biasa terhadap gatal-gatal karena gatal-gatal yang di alami bisa diobati dan 20% diantaranya sedikit termotivasi dalam melakukan pencegahan dikarenakan scabies bisa hilang sendirinya. Berdasarkan informasi kepala sekolah, guru, maupun petugas kesehatan yang ada di klinik pondok pesantren, bahwa di Pondok Pesantren As’ad masih ada terjadi kasus penyakit scabies dan belum pernah ada yang melakukan penyuluhan kesehatan penyakit scabies. METODE PENELITIAN Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku pencegahan penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren As’Ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi Tahun 2014. Penelitian ini merupakan 84
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk mempelajari adanya suatu dinamika korelasi (hubungan) antara faktor risiko dan efek, dilakukan menggunakan pendekatan observasi dan pengumpulan data sekaligus satu saat (Notoatmodjo, 2012). Populasi
dalam penelitian ini adalah semua santri Aliyah yang menginap di Pondok Pesantren As’ad Kota Jambi dengan jumlah populasi 557 santri. Sampel diambil dengan menggunakan teknik proportional stratified random sampling yang dibagi berdasarkan ruangan berjumlah 97 orang.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Hubungan Antara Pengetahuan Santri Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies Di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi Pengetahuan Kurang Baik Baik Jumlah
Perilaku Pencegahan Scabies Kurang Baik Baik n % n %
n
%
18 12 30
46,15 20,68 30,93
Total
p-value
21 46
53,85 79,32
39 58
100,0 100,0
67
69,07
97
100
Berdasarkan analisis dengan chi-square di peroleh p-value 0.015 > (0.05) dengan demikian terdapat hubungan antara pengetahuan santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui pancaindera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour) (Notoatmodjo, 2012).
0,015
Pada penelitian ini pengetahuan diukur berdasarkan pengetahuan responden tentang pengertian, cara penularan melalui pakaian, alat sholat dan handuk secara bergantian, mandi secara teratur, ventilasi dan pencahayaan, air bersih yang memenuhi syarat, menjaga kebersihan halaman, dan pengobatan scabies. Pada penelitian ini pengetahuan santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi sangat baik dengan perilaku pencegahan penyakit scabies. Dengan pengetahuan yang baik diharapkan para santri dapat lebih peduli dan mau melaksanakan kebiasaan hidup bersih secara perorang dan menjaga kebersihan kebersihannya.
85 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tabel 2 Hubungan Antara Sikap Santri Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies Di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi Tahun 2014 Sikap Negatif Positif Jumlah
Perilaku Pencegahan Scabies Kurang Baik Baik n % n % 24 48,0 26 52,0 6 12,77 41 87,23
n 50 47
% 100,0 100,0
30
97
100
30,9
67
69,1
Berdasarkan analisis dengan chisquare di peroleh p-value 0,000 > (0.05) dengan demikian terdapat hubungan antara sikap santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Sikap tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan seharihari merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap stimulus sosial (Notoatmodjo, 2012). Kejadian scabies yang tinggi diakibatkan karena santri memiliki sikap yang tidak baik meskipun ada santri yang memiliki sikap baik dapat juga terkena skabies karena scabies merupakan jenis penyakit yang menular. Menurut Azwar (2010) salah satu faktor yang dapat mempengaruhi sikap adalah pengaruh orang lain yang di anggap penting, orang lain yang berada disekitar kita merupakan salah satu di antara komponen sosial yang dianggap penting bagi santri adalah teman dekat atau teman sebaya. Di lingkungan Pondok Pesantren teman sebaya adalah orang yang sangat berpengaruh selain guru dan kyai yang berada di Pondok Pesantren karena merupakan teman di lingkungan sekolah dan lingkungan tempat tinggal, oleh karena itu jika seseorang teman memiliki sikap yang kurang dalam menjaga kebersihan dirinya tidak menutup kemungkinan dapat mempengaruhi teman yang lainnya. Fenomena yang terjadi di lingkungan pondok pesantren As’ad yaitu
Total
p-value
0,000
banyak santri yang kurang memperhatikan kebersihan pribadinya salah satu contoh yaitu tidak menjaga kebersihan handuk, terkadang menggunakan pakaian milik teman sekamar, perhatian terhadap kebersihan diri masing-masing santri di dukung dengan sikap yang di miliki oleh santri yang kemudian dapat berpengaruh terhadap prilaku yang di terapakan dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini sangat berpengaruh terhadap peningkatan kejadian skabies di Pondok pesantren As’ad tersebut. Dimana scabies dapat ditularkan melalui kontak tidak langsung yaitu melalui handuk dan pakaian. Menurut Siregar (2005) dalam Nugraheni (2012) bahwa scabies dapat berkembang pada higiene perorangan yang jelek, misalnya frekuensi mandi, penggunaan peralatan mandi seperti sabun, penggunaan pakaian dan handuk secara bergantian. Sesuai juga dengan Ginanjar (2006) dalam Nugraheni (2012) yang menyatakan bahwa kebersihan yang buruk penting dalam peningkatan insidensi skabies, peningkatan insidensi penyakit skabies juga terjadi pada seseorang yang tinggal di pondok pesantren yang hidup dalam higiene yang buruk dan pemukiman yang padat. Pada umumnya santri cukup mengetahui tentang penyakit scabies, namun kadang kala mereka kurang mensikapi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya penyakit skabies. Kondisi ini disebabkan karena kurang memperhatikan upaya untuk hidup sehat dalam rangka menjaga, memelihara dan meningkatkan kesehatan sehingga dibutuhkan untuk hidup sehat dan bersih. 86
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
Upaya yang dilakukan agar santri dapat memiliki sikap positif dalam kebersihan diri dengan melakukan upaya-upaya pencegahan penularan penyakit scabies melalui penyuluhan yang berhubungan dengan scabies
dimana para santri melilhat dari ustad atau guru yang ada disana dan peran petugas puskesmas , sehingga status kesehatan santri dan lingkungannya dapat terpantau secara berkelanjutan.
Tabel 3 Hubungan Antara Motivasi Santri Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies Di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi Tahun 2014 Motivasi Rendah Tinggi Jumlah
Perilaku Pencegahan Scabies Baik Kurang Baik n % n % 16 34,78 30 65,22 14 27,45 37 72,55
n 46 51
% 100,0 100,0
30
97
100
30,9
67
69,1
Berdasarkan analisis dengan chisquare di peroleh p-value 0.575 > (0.05) dengan demikian tidak terdapat hubungan antara motivasi santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa mengacu pada adanya kekuatan dorongan yang mengerakkan kita untuk berprilaku tertentu. Hal ini berarti semakin kuat motivasi santri maka semakin tinggi motivasi yang didapat. Hal ini sesuai dengan Notoatmodjo (2012) bahwa jika seseorang yang memiliki motivasi yang kuat dalam melakukan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan maka perilakunya akan menjadi konsisten. Motivasi tidak dapat dilihat secara langsung tetapi dapat disimpulkan dari perilaku, perasaan dan perkataan saat orang tersebut ingin mencapai tujuan. Oleh karena itu meningkatkan motivasi seseorang tidaklah mudah. Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa motivasi seseorang untuk melakukan sesuatu tergantung dari seberapa yakin orang tersebut terhadap hubungan antara usaha dengan keberhasilan, hubungan antara keberhasilan dengan imbalan yang
Total
p-value
0,575
akan diperoleh dan seberapa bernilainya imbalan tersebut. Berdasarkan penjelasan diatas terlihat bahwa responden mempunyai motivasi rendah Dengan perilaku pencegahan penyakit scabies, karena mayoritas responden sudah menunjukkan motivasi tidak sesuai dengan teori yang ada, yang mana responden mempunyai pengetahuan yang baik tetapi terhadap motivasi dalam diri yang dilakukan rendah. Hal ini dikarenakan mayoritas responden tidak diberikan motivasi atau dukungan oleh ustaz dan peran petugas. Tetapi tanpa adanya pengetahuan yang baik responden mengenai perilaku pencegahan penyakit scabies cenderung tidak akan melaksanakan perilaku pencegahan penyakit scabies tersebut. Untuk itu diperlukan upaya stimulasi yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku pencegahan penyakit scabies sendiri. Hal ini dilakukan dengan cara memberikan pendidikan kesehatan melalui penyuluhan-penyuluhan guna meningkatkan stimulasi santri sehingga santri menjadi lebih termotivasi untuk melaksanakan perilaku pencegahan penyakit scabies sendiri.
87 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tabel 4 Hubungan Antara Peran Petugas Dengan Perilaku Pencegahan Penyakit Scabies Di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi Tahun 2014 Perilaku Pencegahan Scabies Peran Petugas
Total
p-value
Kurang Baik n %
Baik n
%
n
%
Tidak Ada Ada
18 12
41,86 22,22
25 42
58,14 77,78
43 54
100,0 100,0
Jumlah
30
30,9
67
69,1
97
100
Berdasarkan analisis dengan chi-square di peroleh p-value 0.048 > (0.05) dengan demikian terdapat hubungan antara peran petugas dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014. Model Difusi Inovasi (Rogers &Shoemaker, 1971 dalam Hidayat, 2011) menegaskan peran agen-agen perubahan dalam lingkungan sosial, oleh karena itu mengambil fokus yang agak terpisah dari individu sasaran utama. Secara relatif, tetangga, petugas kesehatan, atau agen perubahan yang lain ikut membantu menghasilkan perubahan perilakuperilaku dengan cara-cara tertentu, misalnya dengan cara meningkatkan kebutuhan akan perubahan, membangun hubungan interpersonal yang diperlukan, mengidentifikasi masalah serta penyebab-penyebabnya, menetapkan sasaran dan jalan keluar yang potensial, memotivasi, seseorang supaya menerima dan memelihara aksi, dan memutuskan jalinan yang mengembalikan seseorang pada perilaku (Notoatmodjo, 2012). Hal ini dapat dikarenakan peran petugas masih belum terasa oleh santri atau santri tidak menuruti apa yang dikatakan oleh peran petugas. Santri kemungkinan lebih memilih untuk meniru teman-temannya daripada mengikuti apa yang dikatakan oleh peran petugas mereka. Hal ini sesuai dengan karakteristik siswa usia sekolah yaitu senang meniru orang-orang di sekitar mereka. Hasil ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Linda
0,048
dan Adiwiryono (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara peran teman sebaya dengan perilaku siswa. Mereka lebih memilih meniru perilaku seseorang yang memiliki karakteristik sama dengan mereka daripada orang lain yang berbeda karakteristik seperti orang yang lebih tua dari mereka, dalam hal ini adalah peran petugas tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa mereka juga menuruti peran petugas mereka sebagai orang yang dipanuti. Penelitian ini peran petugas mempunyai peran yang tinggi akan tetapi pada buktinya perilaku santri dalam pencegahan penyakit skabies juga masih tergolong rendah. Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Chotijah (2008) bahwa uji statistik peran petugas terhadap praktik PHBS menunjukkan hasil yang bermakna, semakin berperan petugas dalam mensosialisasikan pesan PHBS maka peserta didik akan lebih besar proporsinya dalam mempraktikkan PHBS. Meskipun peran petugas mempunyai peranan yang tinggi terhadap perilaku santri dalam hal mencegah terjadinya penyakit scabies tetapi apabila tidak didukung dengan kesadaran pada diri responden maka perilaku santri sebagai upaya pencegahan penyakit scabies akan tetap buruk sehingga penyakit skabies akan sulit untuk diberantas. Menurut Iskandar (2000) scabies merupakan penyakit yang sulit diberantas, sehingga diperlukan perilaku yang baik dan sehat dengan membiasakan untuk hidup bersih dan sehat. 88
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
Sesuai penelitian yang dilakukan oleh Linda (2010) di sebuah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini di Jakarta Utara menyatakan bahwa seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial dimana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/idolanya, kelompok arisan, majelis agama, dan lain-lain, dan bahkan masyarakat umum) menyetujui atau mendukung perilaku tersebut. Oleh
karena itu, untuk mendukung proses pemberdayaan masyarakat, khususnya dalam upaya meningkatkan para individu dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan bina suasana. Terdapat tiga pendekatan dalam bina suasana, yaitu pendekatan individu digunakan ketika santri yang terkena scabies melakukan konseling dengan orang yang lebih mengerti seperti petugas kesehatan, ustad, guru.
SIMPULAN Sebanyak 40,2% responden memiliki pengetahuan kurang baik dimana 18 responden (18,6%) memiliki perilaku pencegahan scabies kurang baik dan 21 (12,6%) perilaku pencegahan scabies baik. Sikap santri dengan perilaku pencegahan penyakit scabies di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014 yaitu sebanyak 50 responden (51,5%) memiliki sikap negatif dimana 24 responden (24,7%) memiliki perilaku pencegahan scabies kurang baik dan 26 (26,8%) perilaku pencegahan scabies baik. dari 51 responden (52,6%) memiliki motivasi tinggi dimana 14 responden (14,4%) memiliki perilaku pencegahan scabies
kurang baik dan 37 responden (38,1%) perilaku pencegahan scabies Sedangkan dari 54 responden (55,7%) memiliki peran petugas ada dimana 12 responden (12,4%) memiliki perilaku pencegahan scabies kurang baik dan 42 responden (43,3%) perilaku pencegahan scabies baik; Ada hubungan pengetahuan santri dengan p-value = 0,015, sikap santri dengan dengan p-value = 0,000 perilaku pencegahan penyakit scabies pada santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014; Tidak ada hubungan perilaku pencegahan penyakit scabies dengan p-value = 0,575., peran petugas kesehatan dengan p-value = 0,048. pada santri di Pondok Pesantren As’ad Olak Kemang Seberang Kota Jambi tahun 2014;
DAFTAR PUSTAKA Aini,
Nur. 2009. Hubungan Faktor Lingkungan dan Perilaku Santri Terhadap Prevalensi Scabies di Pondok Pesantren Putra “Sidogiri” Kecamatan Kraton-Kabupaten terkena skabies, dan pendekatan masyarakat umum digunakan ketika pada masyarakat sekeliling sekitar pondok pesantren untuk menjaga .Pasuruan. Fakultas Muhammadiyah Malang. Arikunto, Suharsimi, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta. Jakarta.
Djuanda, A. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Kelima. Cetakan kedua. Jakarta : FKUI. GrahamBrown, Robin. 2005. Dermatologi. Edisi 8. Jakarta. Erlangga. Kartika, H. 2008. Scabies.Diakses 26 Juni 2014. http://henykartika.wordpers.com/2 008/02/04/scabies. Mansyur, Muchtarudin,dkk. 2007. Pendekatan Kedokteran Keluarga Pada Penatalaksanaan Scabies Anak Usia Pra-sekolah. Jakarta: FKUI. Muzakir. 2008. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian 89
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU PENCEGAHAN PENYAKIT SCABIES PADA SANTRI DI PONDOK PESANTREN AS’AD OLAK KEMANG SEBERANG KOTA JAMBI TAHUN 2014
penyakit Scabies Pada Pesantren Yang ada di Kabupaten Aceh besar Tahun 2008. Jurnal USU. Medan. Ningsih, Dewi. 2011. Hubungan Pengetahuan dan Sikap Santri Dengan Pencegahan penyakit Scabies di Pondok Pesantren Sa’adatuddaren Kota Jambi. Skripsi. STIKBA Jambi. Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Kesehatan Masyarakat Ilmu & seni. Rhineka Cipta : Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo .2012. Ilmu Prilaku Kesehatan. Rhineka Cipta : Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo .2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rhineka Cipta : Jakarta. Rahmawati. 2009. Pengaruh Pendidikan Kesehatan Tentang Penyakit Scabies Terhadap Perubahan Sikap Penderita Dalam Pencegahan Penularan Penyakit Scabies Pada Santri. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Safri.
2008. Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Scabies Pada Santri di Pondok Pesantren Nurul Iman Desa Sebapo Kec. Mestong Kabupaten Muara Jambi. Skripsi. STIKES. Jambi. Setiawati, 2008. Proses Pembelajaran dalam Pendidikan Kesehatan. Jakarta: Trans Info Media. Sudirman, T. 2006. Scabies : Masalah Diagnosis dan Pengobatan. Majalah Kesehatan Damianus. Vol.5, No.2. September. 2006. Soedarto, M, dkk. 2009. Epidemiologi Penyakit Menular. Edisi 2. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Qomar, Mujamil. 2007. Pengembangan Manajemen Pondok Pesantren di Era Globalisasi. PONPES Jagad’ALIMUSSIRY. Zuyina, 2010. Teori dan Pengukuran Motivasi. Jakarta: Trans Info Media.
90 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014 Nia¹, Lala²* ¹Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima Prodi D III Kebidanan *korespondensi penulis:
[email protected] ABSTRAK Penyakit hepatitis B merupakan penyakit kronis yang menyerang hati dan merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia, pada masa bayi hepatitis B mempunyai risiko kronis hinga 90% dan sebanyak 25-30% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hepatis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Hubungan Pengetahuan, Motivasi dan akses ke sarana kesehatan dengan pemberian imunisasi Hepatitis B (0-7Hari). Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain cross setional. Jumlah populasi dalam penelitian ini 274 orang dengan jumlah sampel 71 responden puskesmas Putri Ayu Kota Jambi yang diambil dengan menggunakan teknik Accidental Sampling yaitu pengambilan sampel yang kebetulan ada di daerah penelitian. Analisa yang digunakan adalah analisis univariat dan Bivariat (Chi-Square). Status imunisasi hepatitis B (0-7Hari) menunjukkan bahwa 38 responden (53.5%) melakukan imunisasi Hepatitis B, Sebanyak 20 responden (28,2%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang Imunisasi Hepatitis B, 47 responden (66,2%) mempunyai motivasi baik, 33 responden (46,5%) mempunyai Akses Kesarana Kesehatan dekat. Hasil uji bivariat diperoleh bahwa pengetahuan responden dengan P-value (0,045), motivasi responden dengan P-value (0,007) dan akses ke sarana kesehatan responden dengan P-value (0,000). Di simpulkan bahwa ada hubungan pengetahuan, motivasi responden, akses pelayanan kesehatan responden terhadap pemberian imunisasi hepatitis B (0-7hari) di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi. Kata Kunci :
Pengetahuan, Motivasi, akses kesarana kesehatan dan imunisasi Hepatitis B
PENDAHULUAN Penyakit hepatitis B merupakan penyakit kronis yang menyerang hati dan merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia (Achmadi. 2006). Risiko penyakit kronis pada penderita hepatitis B lebih besar, bila infeksinya terjadi mulai dari awal kehidupan dibandingkan infeksi yang terjadi saat usia dewasa. Pada masa bayi infeksi penyakit hepatitis B mempunyai risiko menjadi kronis sekitar 90% dan sebanyak 25-30% diantaranya akan berkembang menjadi sirosis hepatis atau primer carcinoma hepatocelluler (Kemenkes RI,2008). Sekitar 10 juta jiwa dapat diselamatkan pada tahun 2006 melalui imunisasi. Bahkan hingga tahun 2015
sebanyak 70 juta jiwa anak-anak di negara miskin dapat diselamatkan dari penyakit-penyakit infeksi pada umumnya (WHO, 2002 dalam Saptandari 2010). Imunisasi adalah usaha memberikan kekebalan pada bayi dan anak dengan memasukan vaksin kedalam tubuh agar tubuh membuat zat anti untuk mencegah terhadap penyakit tertentu. Sebagai upaya dalam mencegah penularan hepatitis B secara vertikal dari ibu ke bayi maka pemberian imunisasi hepatitis B pertama sedini mungkin yaitu usia bayi 0 – 7 hari (WHO, Achmadi. 2006). Beberapa penyakit menular yang dapat menyebabkan kematian seperti tuberkulosis, hepatitis B, dipteri, tetanus, pertusis, polio, dan campak dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. 91
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
Negara Indonesia merupakan negara dengan tingkat prevalensi hepatitis B 2,5%-25%. Presentase tersebut diambil dari persentase terendah dan tertinggi yaitu populasi umum 5%-20%, kalangan donor darah 2,5%-15%, dan dikalangan wanita hamil 3,6%-8,7% (Kemenkes RI, 2010). Imunisasi hepatitis B cukup efektif untuk mencegah penyakit hepatitis B dan juga untuk mencegah kanker hati. Pemberian imunisasi hepatitis B kepada bayi sedini mungkin merupakan prioritas program yang telah dilakukan oleh pemerintah, guna memberikan perlindungan segera bagi bayi dari infeksi yang sudah terjadi melalui penularan perinatal berkembang menjadi kronis (Hidayat, 2005). Vaksin hepatitis B dapat memberikan proteksi yang memiliki daya lindung yang sangat tinggi (>96 %) terhadap penyakit hepatitis B. Bila jadwal imunisasi telah dijalani dengan lengkap, maka daya lindung akan bertahan lebih kurang selama 5 tahun, kemudian dapat diberikan tambahan imunisasi untuk memperpanjang daya lindungnya. Cakupan imunisasi meliputi seluruh propinsi di Indonesia hampir 97% dari 302 kabupaten telah mencapai target Universal Child Immunization (UCI). Hal ini berarti bahwa cakupan imunisasi untuk BCG, DPT, Polio, Campak dan Hepatitis B, mencapai 80% baik di tingkat nasional, propinsi, kabupaten bahkan di setiap
desa, sedangkan jumlah sasaran bayi di Indonesia per tahun 4,6 juta (Anonim, 2008). Ada bebrapa faktor yang berhubungan dengan pencapaian imunisasi hepatitis B antara lain tersedianya sarana dan prasarana, tenaga kesehatan, dana, jangkauan ke pelayanan, penyuluhan, pengetahuan masyarakat, sosial budaya dan sebagainya. Penyakit infeksi hepatitis B yang kronik, belum ada pengobatan yang memuaskan. Sebaiknya perhatian difokuskan kepada usaha pencegahan sedini mungkin. Oleh sebab itu maka pemerintah segera mengintegrasikan imunisasi hepatitis B ke dalam program imunisasi rutin secara nasional sesuai dengan acuan WHO. Imunisasi hepatitis B merupakan satu dari minimal 3 suntikan hepatitis B yang harus diterima oleh bayi. Efektivitas imunisasi hepatitis B akan tinggi bila suntikan hepatitis diberikan pada usia dini, yaitu 0-7 hari setelah kelahiran bayi (Yupi, 2004). Ada bebrapa faktor yang berhubungan dengan pencapaian imunisasi hepatitis B antara lain tersedianya sarana dan prasarana, tenaga kesehatan, dana, jangkauan ke pelayanan, penyuluhan, pengetahuan masyarakat, sosial budaya dan sebagainya. Berdasarkan data cakupan imunisasi di dinas kesehatan kota Jambi tahun 2014 dapat dilihat tabel 1 berikut ini:
Tabel 1.Cakupan imunisasi Januari-Desember 2013 Jenis imunisasi Hep 0 – 7 hari DPT 1 – HB Polio 4 Campak TT 2 + Berdasarkan data dari 20 Puskesmas yang ada di Kota Jambi,
Jumlah 16684 13998 13915 14148 16702
% 129,63 108,76 108,12 109,93 27,94
Puskesmas Putri Ayu merupakan puskesmas yang terletak di tengah 92
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
perkotaan, dan puskesmas dengan rawat inap dan bersalin, berdasarkan data yang diperoleh Januari – Desember 2013 jumlah bayi yang di
imunisasi Hb 0-7 hari adalah 620 bayi atau 66,84 %, sedangkan cakupan imunisasi yang ditetapkan oleh pemerintah adalah sebesar 80%.
Tabel 2. Jumlah Bayi yang di imunisasi HB 0-7 hari No Bulan Jumlah 1 Januari 57 2 Februari 47 3 Maret 77 4 April 50 5 Mei 43 Jumlah 274 Selain itu, banyak faktor yang jangkauan ke pelayanan, penyuluhan, berhubungan dengan pencapaian pengetahuan masyarakat, sosial imunisasi hepatitis B antara lain budaya dan sebagainya. tersedianya sarana, tenaga, dana, METODE PENELITIAN Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan desain Cross Sectional, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh bayi yang berkunjung untuk imunisasi di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi yaitu sebanyak 274 orang. Jumlah sampel yang diteliti
adalah sebanyak 71 orang. Yang diambil dengan menggunakan teknik Accidental Sampling yaitu pengambilan sampel yang kebetulan ada di daerah penelitian. Analisa data dilakukan dengan cara univariat dan bivariat dengan Uji Chi-Square atau qaikuadrat.
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 3. Hubungan Pengetahuan Ibu terhadap Imunisasi Hepatitis B (0-7hari) di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014
Pengetahuan Kurang Baik Baik Jumlah
Status Imunisasi Hepatitis B Tidak Ya n % n % 28 55 23 45 5 25 15 75 33 46,5 38 53,5
Hasil anlisa chi-square didapatkan bahwa (0,045 < 0,05 dengan CI =95%), dapat disimpulkan bahwa, ada hubungan signifikan antara pengetahuan responden dengan imunisiasi hepatitis B. Hal ini terbukti bahwa pengetahuan responden terhadap imunisasi hepatitis B (0-7hari) penting untuk menghindari kelainankelainan dari gangguan akibat dari tidak diberikannya imunisasi hepatitis B.
Total n 51 20 71
% 100 100 100
P-value
0,045
Berdasarkan hasil penelitian responden yang memiliki Pengetahuan yang baik dan memberikan imunisasi hepatitis karena responden mengerti akan akibat dari tidak diberikannya imunisasi hepatitis B mengerti apa akibat yang akan ditimbulkan oleh serangan penyakit hepatitis B. Upaya yang perlu dilakukan agar meningkatkan pengetahuan responden tentang pentingnya 93
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
imunisasi hepatitis B dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang beragam imunisasi terutama bagi keluarga yang baru memiliki anak dan dilengkapi dengan buku pengantar atau buku petunjuk tentang imunisasi pada anak yang dikemas dengan menarik untuk pembaca agar dapat menaikkan minat membaca pada responden dan mampu meningkatkan pengetahuan khususnya tentang hepatitis B. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Remanca
(2011) yang meneliti faktor-faktor perilaku responden dalam pemberian imunisasi hepatitis B dipuskesmas loloy Kota Padang Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Uji Chi-Square yang berfokus pada variabel pengetahuan dengan ketentuan nilai p-value 0,013 yang berarti ada hubungan antara pengetahuan responden dengan imunisiasi hepatitis B.
Tabel 4. Hubungan Motivasi ibu terhadap imunisasi hepatitis B (0-7hari) di puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014 Status Imunisasi Hepatitis B Tidak
Motivasi
Total
Ya
n
%
n
%
n
%
Kurang Baik
17
51.5
7
18.4
24
33.8
Baik
16
48.5
31
81.6
47
66.2
Jumlah
33
46,5
38
53,5
71
100
P-value
0,007
Hasil analisa chi-square didapatkan bahwa (0,007 < 0,05 dengan CI =95%), dapat disimpulkan, ada hubungan signifikan antara motivasi responden dengan imunisiasi hepatitis B. Hal ini terbukti bahwa motivasi responden terhadap imunisasi hepatitis B (0-7hari) penting untuk menghindari kelainan-kelainan dari gangguan akibat dari tidak diberikannya imunisasi hepatitis B. Responden yang memiliki Motivasi yang baik dan memberikan imunisasi hepatitis karena responden memiliki keinginan dan mengerti akan akibat dari tidak diberikannya imunisasi hepatitis B mengerti apa akibat yang akan ditimbulkan oleh serangan penyakit hepatitis B. Upaya yang perlu dilakukan agar meningkatkan motivasi responden tentang pentingnya imunisasi hepatitis B dengan cara
meningkatkan sosialisasi tentang beragam imunisasi terutama bagi keluarga yang baru dan pendidikan kesehatan yang disiapkan oleh petugas kesehatan. Upaya yang perlu dilakukan agar meningkatkan motivasi responden tentang pentingnya imunisasi hepatitis B dengan cara meningkatkan sosialisasi tentang beragam imunisasi terutama bagi keluarga yang baru dan pendidikan kesehatan yang disiapkan oleh petugas kesehatan. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Anrika (2010) yang meneliti hubungan motivasi ibu terhadap pemberian imunisasi hepatitis B dipuskesmas Sitiung sumatera barat. Dari hasil uji Chi-Square nilai pvalue 0,009 yang berarti ada hubungan motivasi terhadap pemberian imunisasi hepatitis B.
94 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tabel 5. Hubungan akses ke sarana Kesehatan yang ditempuh Ibu terhadap Imunisasi Hepatitis B (0-7hari) di Puskesmas Putri Ayu Kota Jambi Tahun 2014
Akses ke sarana kesehatan
Status Imunisasi Hepatitis B Tidak Ya
Total
n
%
n
%
n
%
Jauh
31
93.9
7
18.4
38
53.5
Dekat
2
6.1
31
81.6
33
46.5
Jumlah 33 46,5 38 Hasil analisa chi-square didapatkan (0,000 < 0,05 dengan CI =95%) disimpulkan bahwa, ada hubungan signifikan antara akses kesarana kesehatan responden dengan imunisiasi hepatitis B. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Hamka (2009) yang meneliti hubungan jarak tempuh ke sarana kesehatan keluarga terhadap pemberian imunisasi hepatitis B di Puskesmas Raminda Sari Gorontalo yang diteliti dengan Uji ChiSquare dengan nilai p-value 0,006.
53,5
P-value
0,000
71 100 Mayoritas responden tinggal jauh dari sarana kesehatan sehingga responden membutuhkan waktu yang sedikit lama untuk sampai pada pelayanan kesehatan, mayoritas responden tidak mendapatkan imunisasi hepatitis B dengan alasan terlalu sulit untuk menjangkau pelayanan kesehatan apalagi harus membawa bayinya sehingga hanya sedikit cakupan imunisasi hepatitis B yang didapat.
SIMPULAN Status imunisasi hepatitis B (07Hari) 38 responden (53.5%) melakukan imunisasi Hepatitis B dan 33 responden (46.5%) tidak melakukan imunisasi hepatitis B. 20 responden (28,2%) mempunyai pengetahuan yang baik tentang Imunisasi Hepatitis B, dan 51 responden (71,8%) mempunyai pengetahuan kurang baik. 47 responden (66,2%) mempunyai motivasi baik dan 24 responden (33,8%) memiliki motivasi kurang baik terhadap imunisasi hepatitis B. 33 responden (46,5%) mempunyai Akses Kesarana Kesehatan dekat dan 38 responden (53,5%) mempunyai Akses Kesarana Kesehatan jauh terhadap imunisasi hepatitis B. Adanya hubungan pengetahuan responden terhadap pemberian imunisasi hepatitis B (0-7hari) dengan p-value 0,045, motivasi responden dengan p-value
0,007, dan akses pelayanan. kesehatan dengan p-value 0,000 terhadap pemberian imunisasi hepatitis B (07hari). DAFTAR PUSTAKA Achmadi. 2006. Imunisasi. Kompas. Jakarta. Achmadi Abu. 2007. Ilmu Pendidikan. Rineka Cipta. Jakarta. Anonim. 2008. Pemberantasan Penyakit Menular. Jakarta. Anrika, 2010. Hubungan Motivasi Ibu terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B di Puskesmas Sitiung Sumatera Barat. Dinkes Kota Jambi.2014. Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Jambi. Hamka, 2009. Hubungan Jarak Tempuh Ke Sarana Kesehatan 95
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, MOTIVASI DAN AKSES SARANA KESEHATAN TERHADAP PEMBERIAN IMUNISASI HEPATITIS B (0-7 HARI) DI PUSKESMAS PUTRI AYU KOTA JAMBI TAHUN 2014
Keluarga terhadap Pemberian Imunisasi Hepatitis B Puskesmas Ramaida Sari Gorontalo. Hidayat. 2005. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak I. Salemba Medika. Jakarta. Kemenkes RI ,2010. Survey Demografi Kesehatan Indonesia. Jakarta.
Kemenkes RI ,2008. Pedoman Petugas Imunisasi. Depkes RI. Jakarta. Kemenkes RI ,2010. Buku Panduan Pemberian Imunisasi Bagi Petugas. Depkes RI. Jakarta. Yupi Suhartini. 2004. Buku Ajar Konsep Keperawatan. Jakarta
96 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014 Sakinah1*, Herlina2 1 STIKes Prima Prodi IKM 2 Akademi Keperawatan Prima Jambi * Koresponden penulis:
[email protected] ABSTRAK Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut, sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan mulut. Penyakit ini terjadi karena demineralisasi jaringan permukaan gigi oleh asam organis. Karies gigi bersifat kronis sebagian besar penderita mempunyai potensi mengalami gangguan seumur hidup. Namun demikian penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari masyarakat dan perencana program kesehatan Jenis penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional study yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, perilaku menggosok gigi dan peran orang tua dengan pencegahan karies gigi pada murid kelas satu SDN 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil kota Jambi Tahun 2014. Populasi dalam penelitian adalah seluruh orang tua murid kelas satu di sekolah dasar negeri 74/IV Jambi berjumlah 53 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini mempergunakan teknik Total Sampling. Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan September 2014, bertempat di Sekolah Dasar Negeri 74/IV. Analisis data menggunakan analisis Univariat dan Bivariat . Hasil analisis univariat didapatkan hasil (50,9%) responden tidak mencegah karies gigi, (69,8%) responden memiliki pengetahuan kurang baik, (64,2%) responden berperilaku kurang baik dalam menggosok gigi dan (60,4%) responden dengan peran orang tua kurang baik. Sedangkan d hasil analisis bivariat menunjukkan ada bubungan antara pengetahuan dengan pencegahan karies gigi p= value (0,001), perilaku menggosok gigi dengan pencegahan karies gigi p-value = 0,006 dan peran orang tua dengan pencegahan karies gigi p-value = 0,007. Ada hubungan pengetahuan, perilaku menggosok gigi dan peran orang tua dengan pencegahan karies gigi pada murid kelas satu SDN 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil kota Jambi Tahun 2014. Kata Kunci
: Pengetahuan, Perilaku menyikat gigi, Peran Orangtua
PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan gigi dan mulut dilakukan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk peningkatan kesehatan gigi, pencegahan penyakit gigi, pengobatan penyakit gigi, dan pemulihan kesehatan gigi yang dilakukan terpadu, terintergrasi, berkesinambungan, dan dilaksanakan melalui pelayanan kesehatan gigi perseorangan, pelayanan kesehatan gigi masyarakat, dan usaha kesehatan gigi sekolah (Kemenkes RI,2012). Karies gigi merupakan penyakit yang paling banyak dijumpai di rongga mulut bersama-sama dengan penyakit periodontal, sehingga merupakan masalah utama kesehatan gigi dan
mulut. Namun demikian penyakit ini sering tidak mendapat perhatian dari masyarakat dan perencana program kesehatan (Sariningsih, 2012). Sebagai pencegahan agar gigi sulung anak tidak berlubang, perlu perawatan sendiri yang dilakukan oleh orang tua dan anak di rumah. Dengan bimbingan orang tua, anak dibiasakan untuk menyikat gigi sesudah makan pagi dan sebelum tidur. Sesudah makan siang, anak dibiasakan berkumur-kumur dengan air. Hal ini akan sangat mengurangi terjadinya karies (lubang pada gigi) dan menjaga agar gusi menjadi sehat (Ssigupta, 2004). Menurut penelitian Nursanti (2008) pada murid SDN No 28/VIII Kelurahan Pulau Temiang Kabupaten 97
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tebo diketahui bahwa keteraturan menyikat gigi yang paling banyak adalah berkategori kurang baik yaitu 70 orang (77%) dan hanya 21 orang yang berkategori baik (23%). Menurut data dari Pengurus Besar PDGI (Persatuan Dokter Gigi Indonesia) menyebutkan bahwa sedikitnya 89 persen penderita gigi berlubang adalah anak-anak usia di bawah 12 tahun. Murid SD merupakan kelompok anak yang termasuk rentan terhadap karies gigi karena masa pertumbuhan gigi tetap yakni umur 6-12 tahun, disamping itu karies gigi pada
murid SD juga dalam kategori dangkal yang masih bisa dilakukan perawatan penambalan dan pencegahan agar tidak terjadi akibat karies gigi lebih lanjut (Depkes, 2004). Menurut data yang diperoleh dari dinas Kesehatan kota Jambi dari 20 Puskesmas Sekota Jambi, pada tahun 2012 jumlah penderita karies gigi adalah 5280 kasus, dan pada tahun 2013 jumlah penderita karies gigi adalah 5202 kasus. Penyakit karies gigi merupakan penyakit gigi tertinggi ketiga setelah Pulpitis (6970), dan Nekrosis Pulpa (9723).
Tabel 1. Distribusi Jumlah Murid Kelas 1 dan persentase penderita karies berdasarkan wilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi tahun 2013-2014 Murid Yang Jumlah Menderita Karies Murid Kelas I Jumlah % 1. SDN 77/IV 67 58 86,56 2. SDN 35/IV 37 31 83,78 3. SDN 105/IV 19 14 73,68 4. SDN 74/IV 62 57 91,93 5. SDN 177/IV 29 20 68,96 6. SDN 199/IV 13 7 53,84 7. SDN 58/IV 36 25 69,44 8. SDN 200/IV 27 18 66,66 9. SDN 75/IV 10 5 50 10. SDN 138/IV 43 21 48,83 11. SDN 156/IV 11 8 72,72 12. SDN 19/IV 71 40 56,33 13. SDN 76/IV 39 22 56,41 14. SD IT A.Dahlan 89 74 83,14 15. SD Xaverius 2 177 81 45,76 16. MIS Darussalam 79 62 78,48 17. SD Tunas Abadi 7 4 57,14 18. MIS Nururrodiah 36 21 58,33 19. MIT Muhajirin 7 3 42,85 20. SD Insan Madani 14 4 28,57 JUMLAH 873 576 65,99 Sumber : Data Penjaringan UKS Puskesmas Kebun Handil Tahun 2013-2014 No
Nama Sekolah
Berdasarkan uraian pada tabel 1 diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang faktorfaktor yang berhubungan dengan
pencegahan karies gigi pada murid SD 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi Tahun 2014.
98 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
METODE PENELITIAN
berhubungan dengan pencegahan karies gigi pada murid kelas satu sekolah Dasar Negeri 74/IV di wilayah kerja Puskesmas Kebun Handil kota Jambi. Populasi dalam penelitian ini yaitu orang tuamurid kelas satu di SDN 74/IV wilayah kerja Puskesmas Kebun Handil kota Jambi yang berjumlah 53 orang. Teknik pengambilan sampel adalah total sampling (Arikunto, 2005), dimana seluruh populasi dijadikan sampel,adalah orang tua murid kelas I SDN 74/IV.
Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan pencegahan karies gigi pada murid kelas satu Sekolah Dasar Negeri 74/IV di wilayah kerja Puskesmas Kebun Handil kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan metode penelitian yang digunakan adalah studi Cross Sectional (Notoatmodjo,2010) yaitu untuk mengetahui faktor-faktor yang HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 2. Distribusi responden berdasarkan Pengetahuan Dengan PencegahanKaries Gigi di Sekolah Dasar Negeri 74/IV di Wilayah Kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi Tahun 2014 Karies Gigi Tidak Mencegah Mencegah Pengetahuan
Kurang Baik Baik Jumlah
Jumlah
p-value
n
%
n
%
n
%
24 2 26
64,9 12,5 49,1
13 14 27
35,1 87,5 50,9
37 16 53
100 100 100
Hasil uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh p=value (0,001) < α=0,05 ini menunjukkan ada hubungan antara pengetahuan dengan pencegahan karies gigi di Sekolah Dasar Negeri 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi Tahun 2014. Penelitian ini sesuai dengan penelitian Novaliza (2011) yang menyatakan adanya hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan status karies gigi. Menurut Notoatmodjo (2007), pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu dan ini setelah orang melakukan penginderaan terhadap obyek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran,
0,001
penciuman, rasa dan raba.Sebagaian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Menurut peneliti pengetahuan tentang karies gigi berhubungan dengan pencegahan karies gigi. Usaha yang dilakukan dengan meningkatkan upaya promotif berupa penyuluhan karies gigi. Dalam meningkatkan pengetahuan ini bisa melalui penyuluhan secara langsung dan dapat pula melakukan penyuluhan secara tidak lansung yaitu melalui leaflet dan poster, dimana pesan yang disampaikan dalam penyuluhan tersebut adalah bagaimana cara melakukan pencegahan, dampak dari karies gigi serta bagaimana cara penanggulangannya.
99 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
Tabel 3. Distribusi Responden berdasarkan Perilaku Menggosok Gigi dengan Pencegahan Karies gigi di sekolah dasar negeri 74/IV di wilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Tahun 2014 Perilaku Menggosok Gigi
Tidak Mencegah
Karies Gigi Mencegah
Jumlah
n
%
n
%
n
%
Kurang Baik
22
64,7
12
35,3
34
100
Baik
4 26
21,1 49,1
15 27
78,9 50,1
19 53
100 100
p-Value
0,006
Hasil uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh p=value (0,006) < α=0,05 ini menunjukkan ada hubungan antara perilaku dengan pencegahan karies gigi di Sekolah Dasar Negeri 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi Tahun 2014. Cara menggosok gigi yang baik merupakan upaya terpenting dalam pemeliharaan kesehatan gigi dan merupakan perilaku kesehatan yang kegiatannya selalu dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini termasuk dalam upaya preventif untuk menunjang kesehatan gigi dan mulut. Penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Rida (2009) perilaku menjaga kebersihan gigi dilakukan sebatas apa yang diketahui saja, sehingga banyak responden yang melakukan upaya pencegahan karies gigi tetapi dengan cara yang kurang benar. Perilaku
kurang baik yang ditunjukkan oleh anak dalam upaya pencegahan karies gigi antara lain kebiasaan anak mengkonsumsi makanan manis dan tidak diakhiri dengan menggosok gigi atau setidaknya berkumur dengan air putih. Sehingga banyak anak yang mengalami karies gigi pada usia dini. Upaya yang dilakukan memberikan penyuluhan/informasi dan memberikan contoh sehingga informasi yang lebih menetap dalam berperilaku yang baik dapat diterapkan. Upaya preventif meliputi upaya pengadaan menggosok gigi masal, Program gosok gigi masal di sekolah diperlukan kerjasama yang baik antara petugas kesehatan dan guru-guru SD. Guru harus diberikan petunjuk mengenai cara menggosok gigi yang baik dan benar, sehingga dapat melakukan pengawasan pada saat tenaga kesehatan tidak hadir di sekolah.
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Peran Orang Tua dengan Pencegahan Karies Gigi di Sekolah Dasar Negeri 74/IV di Wilayah Kerja Puskesmas Kebun Handil Tahun 2014 Karies Gigi Peran Orang Tua
Tidak Mencegah
Mencegah
Jumlah
n
%
N
%
N
%
Kurang Baik
21
65,6
11
34,4
32
100
Baik
5
23,8
16
76,2
21
100
26
49,1
27
69,2
53
100
p-value
0,007
100 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
Hasil uji chi-square dengan tingkat kepercayaan 95% (α=0,05), diperoleh p=value (0,007) < α=0,05 ini menunjukkan ada hubungan antara peran orang dengan pencegahan karies gigi di Sekolah Dasar Negeri 74/IV diwilayah kerja Puskesmas Kebun Handil Kota Jambi Tahun 2014. Orang tua merupakan faktor penting pada perawatan kesehatan gigi anak. Orang tua menjadi contoh dalam melakukan promosi kesehatan gigi. Keberhasilan perawatan gigi pada anak dipengaruhi oleh peran orang tua dalam melakukan perawatan gigi. Beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua dalam perawatan gigi antara lain membantu anak dalam menggosok gigi terutama pada anak yang berusia dibawah 10 tahun (Novaliza, 2011). Penelitian ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (2009) Peran orangtua ada hubungannya dengan perilaku menyikat gigi murid dan peran orang tua ada hubungannya dengan status pengalaman karies, status periodontal dan oral hygiene murid. Upaya yang dilakukan orang tua diharapkan lebih meningkatkan perannya dalam upaya mencegah karies gigi pada anak terutama ketika anak dalam lingkungan rumah dalam pengawasan orang tua, memberikan contoh dalam menggosok gigi yang benar, mengawasi jajan anaknya, memeriksakan gigi anaknya setiap 6 bulan kedokter gigi atau puskesmas, menyediakan pasta gigi berfluoride. SIMPULAN Tingkat pengetahuan kurang baik (69,8%), perilaku menggosok gigi yang buruk (64,2%), peran orang tua yang tidak memberi contoh (60,4%) dan responden yang tidak mencegah (50,9%): Ada hubungan pengetahuan p=value (0,001), perilaku menggosok gigi dengan p=value (0,006) dan peran orang tua p=value (0,007) dengan pencegahan karies gigi.
DAFTAR PUSTAKA Arikunto,Suharsimi 2005. Manajemen Penelitian dan Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Jakarta Depkes RI,2004. Pedoman Upaya Kesehatan Gigi dan mulut Anakanak dan Ibu Hamil.Yogyakarta: Fitra Maya. Hutabarat N. 2009. Peran Petugas Kesehatan, Guru dan Orang Tua Dalam Pelaksanaan UKGS dengan Tindakan Pemeliharaan Kesehatan Gigi dan Mulut Murid Sekolah Dasar di Kota Medan.Tesis USU Medan. Kementerian Kesehatan RI. 2012. Pemetaan Status Kesehatan Gigi dan Mulut di Indonesia.Jakarta Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Notoadmodjo, S. 2007. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan.Jakarta : Rineka Cipta. Notoadmodjo. 2010. Metodelogi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Novaliza, 2011.Hubungan Pengetahuan Dukungan Orang tua dan Cara Menyikat Ggi dengan Status Karies Gigi Pada Siswa SMP/MTs di Wilayah Kerja Puskesmas Pelawan Kabupaten Sarolangun . Jambi. SkripsiSTIKES HI. Nursanti, 2008.Hubungan Faktor Karies Gigi dengan Karies Gigi Sulung Pada Murid SDN 28/VIII Kelurahan Pulau Temiang Kecamatan Tebo Jambi. Skripsi STIKES HI. Rida, Agustina. 2009 Hubungan Pengetahuan, sikap, dan tindakan kesehatan gigi dengan status karies gigi Pada Anak Usia 12 Tahun keatas di SD Wilayah Kerja Puskesmas Paal X Kecamatan Kota Baru Kota Jambi.Skripsi STIKES HI.
101 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.2 Vol.3 Desember 2014
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PENCEGAHAN KARIES GIGI PADA MURID KELAS SATU SDN 74/IV DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KEBUN HANDIL KOTA JAMBI TAHUN 2014
Sariningsih, E. 2012. Merawat Gigi anak Sejak Usia Dini. Jakarta: Penerbit Elex Media.
Srigupta A. A., 2004 Perawatan Gigi dan Mulut. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
102 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.2 Vol.3 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014 Sri Mulyati Akademi Keperawatan Prima Jambi Korespondensi penulis :
[email protected] ABSTRAK Menurut data hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo terdata pada tahun 2008 terdapat 428 kasus penderita kista endometriosis, 20% diantaranya meninggal dunia dan 65% diantaranya adalah wanita karir yang telah berumah tangga, sedangkan pada tahun 2009 terdata 768 kasus penderita kista endometriosis, dan 25% diantaranya meninggal dunia, dan 70% diantaranya adalah wanita karir yang telah berumah tangga. Angka kejadian kista ovarium di Indonesia sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan serata penyakit sistem reproduksi misalnya kista ovarium. Insiden di Indonesia kista ovarium ditemukan 2,39% - 11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan pengetahuan dan sikap wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan cross sectional, dilaksanakan pada tanggal 08 sampai 17 September 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah wanita usia subur yang berada di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi yaitu berjumlah 17.874 orang. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu 96 orang. Instrumen penelitian ini menggunakan kuesioner. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik stratified random sampling. Analisis yang digunakan adalah univariat dan bivariat. Hasil penelitian responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 57 (59,4%), pengetahuan tinggi sebanyak 39 (40,6%) responden. Responden yang memiliki sikap negatif tentang kista ovarium sebanyak 63 (65,6%), sikap positif tentang kista ovarium sebanyak 33 (34,3%) responden. Responden yang memiliki pencegahan kurang baik tentang kista ovarium sebanyak 60 (62,5%), pencegahan baik tentang kista ovarium sebanyak 36 (37,5%) responden. Ada hubungan pengetahuan (p-value 0,001) dan sikap (p-value 0,000) wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. Kata Kunci
: Pengetahuan, sikap, pencegahan kista ovarium
PENDAHULUAN Kesehatan bagi wanita adalah lebih dari kesehatan reproduksi. Wanita memiliki kebutuhan kesehatan khusus yang berhubungan dengan fungsi seksual dan reproduksi. Wanita mempunyai sistem reproduksi yang sangat sensitif terhadap kerusakan yang dapat terjadi disfungsi atau penyakit. Penyakit pada sistem tubuh ataupun pengobatan dapat berinteraksi dengan keadaan sistem reproduksi ataupun fungsinya (Kusmiran, 2011). Salah satu penyakit reproduksi yang menyerang wanita yaitu kista ovarium merupakan biasanya bersifat asimtomatis sampai mereka besar yang dapat menyebabkan
tekanan pada velvik merupakan deteksi dini dari keganasan (Rukiyah, 2012). Angka kejadian tertinggi pada negara maju, dengan rata-rata 1 per 100.000, kecuali di Jepang (6,4 per 100.000). Insiden di Amerika Selatan (7,7 per 100.000) relatif tinggi bila dibandingkan dengan angka kejadian di Asia dan Afrika (WHO, 2010). Menurut data hasil penelitian di Rumah Sakit Umum Cipto Mangunkusumo terdata pada tahun 2008 terdapat 428 kasus penderita kista endometriosis, 20% diantaranya meninggal dunia dan 65% diantaranya adalah wanita karir yang telah berumah tangga, sedangkan pada tahun 2009 terdata 768 kasus penderita kista endometriosis, dan 25% diantaranya meninggal dunia, dan 70%
103 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
diantaranya adalah wanita karir yang telah berumah tangga. Angka kejadian kista ovarium di Indonesia sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan oleh masalah yang berkaitan dengan kehamilan dan persalinan serata penyakit sistem reproduksi misalnya kista ovarium. Insiden di Indonesia kista ovarium ditemukan 2,39%-11,7% pada semua penderita ginekologi yang dirawat (Hanafi. 2005). Angka kejadian kista ovarium di Provinsi Jambi pada tahun 2012 terdapat jumlah seluruh penderita kista ovarium sebanyak 45 orang, tahun 2013 sebanyak 47 orang. Dari sekian banyak jenis penyakit kista, kista coklat (endometriosis) begitu menarik perhatian untuk diteliti dan diinformasikan kepada masyarakat, terutama untuk wanita di Indonesia yang setiap tahunnya bertambah banyak penderitanya. Perjalanan penyakit yang silent killer atau secara diam diam menyebabkan banyak wanita yang tidak menyadari bahwa dirinya sudah terserang kista ovarium dan hanya mengetahui pada saat kista sudah dapat teraba dari luar atau membesar. Kista ovarium juga dapat menjadi ganas dan berubah menjadi kanker ovarium. Untuk mengetahui dan mencegah agar tidak terjadi kanker ovarium maka seharusnya dilakukan pendeteksian dini kanker ovarium dengan pemeriksaan yang lebih lengkap. Sehingga dengan ini pencegahan terjadinya keganasan dapat dilakukan (Prawihardjo, 2005). Kista ovarium sering terjadi pada wanita di masa reproduksi, pada pemeriksaan mikroskopik kista tampak dilapisi oleh epitel torak tinggi dengan inti pada dasar sel, jika terdapat sobekan di dinding kista maka sel-sel epitel menyebar pada permukaan peritoneum rongga perut yang akan menimbulkan penyakit menahun dengan musin terus bertambah dan menyebabkan banyak perlekatan sehingga penderita meninggal karena ileus (Winkjosastro, 2008).
Penyebab dari kista/tumor ovarium belum ditemukan secara pasti, tetapi beberapa pendapat para ahli menyebutkan bahwa individu yang mempunyai riwayat heriditor mengidap tumor presentasenya lebih tinggi dari pada tidak mempunyai riwayat tumor. Tumor ini berasal dari perkembangan sel telur yang tidak dibuahi dalam ovarium (Rukiyah, 2012). Sampai sekarang belum ada cara deteksi dini yang sederhana untuk memeriksa adanya keganasan ovarium itu. Kista dapat dicurigai berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan panggul serta dikonfirmasikan dengan ultrasonografi sehingga dapat meningkatkan dan mengurangi kecurigaan akan keganasan ovarium. (Grenberg, 2007). Pembinaan kesehatan reproduksi remaja bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku hidup sehat pada remaja untuk mengatasi masalah yang ada. Dengan pengetahuan mengenai penyakit reproduksi salah satunya kista ovarium diharapkan remaja putri mampu memelihara kesehatan agar dapat memasuki masa kehidupan keluarga dengan reproduksi yang sehat (Widyastuti, 2009). Data yang didapatkan dari Rumah Sakit Umum Daerah Raden Mattaher Kota Jambi jumlah penderita kista ovarium pada tahun 2011 sebanyak 59 orang pada tahun 2012 sebanyak 57, pada tahun 2013 sebanyak 23 orang. Sedangkan jumlah wanita usia subur terbanyak di Kota Jambi pada tahun 2013 pada Puskesmas Rawasari sebanyak 17.874 wanita usia subur. Data yang didapatkan dari Puskesmas Rawasari dari bulan Januari sampai Juli tahun 2014 merujuk pasien dengan gejala kista ovarium untuk melakukan pemeriksaan ultrasonografi ke rumah sakit sebanyak 15 orang. Survei yang dilakukan dengan pengisian kuesioner kepada 10 wanita usia subur pada tanggal 25 Agustus 2014 di Puskesmas Rawasari Kota 104
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
Jambi dengan wawancara terhadap 8 dari 10 wanita usia subur mengatakan tidak mengetahui cara mencegah kista ovarium, 2 dari 10 wanita usia subur mengetahui tentang kista ovarium dan cara pencegahannya seperti menjaga kebersihan area kewanitaan dan mengkonsumsi makanan yang bergizi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan pengetahuan dan sikap wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Notoadmodjo, 2010). Maka populasi
pada penelitian ini adalah seluruh wanita usia subur di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2013. Menurut Notoatmodjo (2010) sampel penelitian adalah sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini merupakan teknik stratified random sampling. Jadi jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 96 responden. Analisis yang digunakan adalah analisis univariate dan bivariate, uji statistik yang digunakan adalah uji χ2 (Chi-square), dengan derajat kemaknaan 0,05. Bila p-Value ≤ 0,05 berarti ada hubungan yang bermakna (Ho ditolak), sedangkan bila p-value > 0,05 artinya tidak ada hubungan yang bermakna (Ho diterima).
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi pendidikan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014 Pekerjaan SD SMP SMA PT (S1) Jumlah
Frekuensi 32 23 36 5 96
Berdasarkan diatas dapat dilihat bahwa dari 96 responden, yang berpendidikan SD sebanyak 32 (33,3%), reponden yang berpendidikan SMP
Persentase 33,30% 24,00% 37,50% 5,20% 100,00%
sebanyak 23 (24,0%), responden yang berpendidikan SMA sebanyak 36 (37,5%) dan responden yang berpendidikan PT sebanyak 5 (5,2%).
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pekerjaan Responden di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014 Pekerjaan IRT Swasta Wiraswasta PNS Jumlah
Frekuensi 45 12 25 14 96
Persentase 46,90% 12,50% 26,00% 4,60% 100,00%
105 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
Berdasarkan tabel 2 dapat dilihat bahwa dari 96 responden yang bekerja sebagai IRT sebanyak 45 (46,9%) responden, responden yang bekerja sebagai swasta sebanyak 12 (12,5%)
responden, responden yang bekerja sebagai wiraswasta sebanyak 25 (26,0%) responden, dan bekerja sebagai PNS sebanyak 14 (4,6%).
Tabel 3. Hubungan Pengetahuan Wanita Usia Subur Dengan Pencegahan Kista Ovarium Di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi Tahun 2014
Penge tahuan Rendah Tinggi Jumlah
Pencegahan Kista ovarium Kurang Baik baik n % n % 40 70,2 17 29,8 20 51,3 19 48,7 60 62,5 36 37,5
Hasil analisis hubungan pengetahuan wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014 dari 57 responden yang memiliki pengetahuan rendah dengan pencegahan kista ovarium kurang baik sebanyak 40 (70,2%) responden sedangkan yang melakukan pencegahan kista ovarium baik sebanyak 17 (29,8%) responden. Dari 39 responden yang memiliki pengetahuan tinggi dengan pencegahan kista ovarium kurang baik sebanyak 20 (51,3%), dan yang melakukan pencegahan kista ovarium yang baik sebanyak 19 (48,7%) responden. Sedangkan dari hasil uji statistik didapat p-value 0.001 berarti dapat disimpulkan ada hubungan pengetahuan wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. Hal ini memiliki kesamaan dengan penelitian yang dilakukan di Surakarta didapatkan hasil tingkat pengetahuan wanita tentang kista ovarium di desa Jabung Sragen dapat dikategorikan dalam pengetahuan baik sebanyak 17 responden (24,2%), pengetahuan cukup yaitu 39 responden (55,8%) dan pengetahuan kurang sebanyak 14 responden (20%). Hasil penelitian ini, mayoritas responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang pencegahan kista ovarium, hal
Jumlah N 57 39 96
% 100 100 100
PValue
0,001
ini dipengaruhi faktor pendidikan, informasi, sosial budaya, lingkungan, dan usia. Pembinaan kesehatan reproduksi wanita bertujuan untuk memberikan informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku hidup sehat pada wanita untuk mengatasi masalah yang ada. Dengan pengetahuan mengenai penyakit reproduksi salah satunya kista ovarium diharapkan wanita mampu memelihara kesehatan agar dapat memasuki masa kehidupan keluarga dengan reproduksi yang sehat (Widyastuti, 2009). Pembekalan pengetahuan tentang perubahan yang terjadi secara fisik, kejiwaan secara fisik, kejiwaan dan kematangan seksual akan memudahkan remaja untuk memahami serta mengatasi berbagai keadaan yang membingungkannya. Informasi tentang haid dan mimpi basah, serta tentang alat reproduksi wanita perlu diperoleh setiap wanita (Widyastuti, 2009). Tingkat pendidikan seseorang akan berpengaruh dalam memberikan respon terhadap sesuatu yang datang dari luar seperti informasi dari teman atau dari lingkungan mengenai kesehatan. Orang yang lebih rasional terhadap informasi yang datang dan berpikir sejauh mana keuntungan yang berpendidikan tinggi akan memberikan respon yang mungkin akan mereka peroleh dari gagasan tersebut. Untuk itu 106
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
diharapkan perlunya upaya peningkatan pengetahuan responden tentang kista ovarium dengan memberikan penyuluhan mengenai upaya pencegahan kista ovarium. Dengan pengetahuan mengenai penyakit reproduksi salah satunya kista ovarium diharapkan remaja putri mampu memelihara kesehatan agar dapat memasuki masa kehidupan keluarga dengan reproduksi yang sehat (Widyastuti, 2009). Responden yang memiliki pengetahuan tinggi tetapi tidak dapat melakukan pencegahan kista ovarium. Responden tidak mengaplikasikan pengetahuan yang didapat dalam perilaku sehari-hari hal ini dikarenakan karena kesibukan responden dalam bekerja sehingga tidak memiliki waktu untuk mencegah kista ovarium seperti melakukan pemeriksaan pap smear dan menjalani pola hidup sehat seperti
berolahraga secara teratur. Sedangkan responden yang memiliki pengetahuan rendah tetapi dapat melakukan pencegahan kista ovarium hal ini dikarenakan responden menerapkan pola hidup sehat dan bersih seperti makan makanan yang bergizi, berolahraga dengan teratur, dan selalu menjaga kebersihan sekitar daerah kewanitaan. Diharapkan kepada petugas kesehatan untuk memberikan penyuluhan kepada wanita usia subur sehingga dapat mengetahui dan mencegah agar tidak terjadi kista ovarium dengan melakukan pendeteksian dini dan check-up medis minimal setahun sekali untuk wanita usia subur yang berusia 15 sampai 49 tahun dengan melakukan pemeriksaan teratur. Dan menerapkan pola hidup sehat. sehingga dapat mencegah terjadinya keganasan pada kista ovarium.
Tabel 4. Hubungan sikap wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014
No
Sikap
1 Negatif 2 positif Jumlah
Pencegahan kista ovarium Jumlah PKuran Value Baik g baik n % n % n % 60 95 3 4,8 63 100 0 0 33 100 33 100 0 60 63 36 38 96 100
Hasil analisis hubungan sikap wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium dari 54 responden yang memiliki sikap negatif dengan pencegahan kurang baik sebanyak 60 (95,2%) responden dan pencegahan kista ovarium yang baik sebanyak 3 (4,8%). Dari 42 responden yang menjawab sikap positif dengan pencegahan kista ovarium yang baik sebanyak 0 (0%) responden sedangkan pencegahan kista ovarium yang positif sebanyak 33 (100%) responden. Sedangkan dari hasil uji statistik didapat p-value 0.000 berarti dapat disimpulkan ada hubungan antara sikap wanita usia
subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. Menurut teori bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan Kemudian timbul persepsi dari individu dan memunculkan sikap, niat, keyakinan atau kepercayaan, yang dapat memotivasi dan mewujudkan keinginan menjadi suatu perbuatan. Perilaku mengikuti tahap-tahap yang telah disebutkan yakni melalui proses perubahan pengetahuan (knowledge) kemudian dapat terbentuk sikap (attitude) dan selanjutnya dapat timbul
107 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP WANITA USIA SUBUR DENGAN PENCEGAHAN KISTA OVARIUM DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS RAWASARI KOTA JAMBI TAHUN 2014
sebuah tindakan atau praktik (practice) (Notoatmodjo, 2010). Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau obyek sehingga suatu sikap belum tentu akan diwujudkan dalam bentuk suatu tindakan. Faktor-faktor lain termasuk faktor pendukung seperti fasilitas yang ada juga diperlukan untuk mengubah sikap menjadi tindakan yang positif. Responden yang memiliki sikap positif dengan pencegahan kista ovarium yang kurang baik dikarenakan responden tidak melakukannya secara teratur dan Responden yang memiliki sikap negatif dengan pencegahan kista ovarium yang baik dikarenakan
responden sangat memperdulikan kesehatannya sehingga selalu menjaga pola hidup sehat dan bersih dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk itu diharapkan petugas kesehatan dapat memberikan dukungan dan motivasi kepada wanita usia subur untuk melakukan pemeriksaan dini dengan papsmear dan pemeriksaan panggul serta dikonfirmasikan dengan ultrasonografi sehingga dapat meningkatkan dan mengurangi kecurigaan akan keganasan ovarium serta dampak lanjut jika menderita kista ovarium sehingga dapat meningkatkan kesadaran wanita usia subur dalam merubah perilaku yang tidak sehat.
SIMPULAN
Wanita. Jakarta: Salemba Medika Notoatmodjo. 2005. Promosi Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo, 2007. Promosi Kesehatan Dan Aplikasinya. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo. 2010. Metodologi Penelitian. Jakarta. Rineka Cipta Notoatmodjo. 2012. Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Prawihardjo. 2006. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Rukiyah dkk. 2012. Asuhan Kebidanan IV Patologi bagian 2. Trans info medika: jakarta WHO,2010. Angka Kejadian Kista Ovarium. Available online: http:/www.kesehatanonline.c om. diakses tanggal 25 Maret 2014 Widyastuti Yani, dkk. 2009. Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: Fitramaya Winkjosastro, 2008. Ilmu Kandungan. Edisi 2. Jakarta: yayasan bina Pustaka Sarwono Prawihardjo
Responden yang memiliki pengetahuan rendah sebanyak 57 (59,4%), pengetahuan tinggi sebanyak 39 (40,6%) responden. Responden yang memiliki sikap negatif tentang kista ovarium sebanyak 63 (65,6%), sikap positif tentang kista ovarium sebanyak 33 (34,3%) responden. Responden yang memiliki pencegahan kurang baik tentang kista ovarium sebanyak 60 (62,5%), pencegahan baik tentang kista ovarium sebanyak 36 (37,5%) responden. Ada hubungan pengetahuan (pvalue 0.001) dan sikap (p-value 0.000) wanita usia subur dengan pencegahan kista ovarium di Wilayah Kerja Puskesmas Rawasari Kota Jambi tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Hanafi, 2005. Kejadian Kista Ovarium. Available online: http://www.wtpaint.com/kistaovarum.html. diakses tanggaal 23 Maret 2014 Greenberg. 2007. Kedokteran Klinis. Jakarta: Erlangga Kusmiran Eny. 2011. Kesehatan Reproduksi Remaja dan
108 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014 Herlina1, *Resli 2 1 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Prima 2 Akademi Keperawatan Prima *Korespondensi Penulis :
[email protected] ABSTRAK Kanker Payudara dapat ditemukan secara dini dengan melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Deteksi dini dapat menekan angka kematian sebesar 25-30%. Semua wanita sebaiknya melakukan SADARI agar bisa merasakan benjolan aneh. Deteksi dini merupakan hal yang terpenting untuk mengontrol kanker payudara. Penelitian ini merupakan penelitian Analitik dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional, untuk mengetahui hubungan pengetahuan, persepsi remaja putri, dan peran keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini dilakukan di SMA Negeri 8 Kota Jambi dan telah dilakukan pada bulan Oktober tahun 2014. Populasi dalam penelitian ini yaitu seluruh siswi kelas X dan XI di SMA Negeri 8 Kota Jambi sebanyak 380 orang. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 77 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan stratified random sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dilakukan dengan cara pengisian kuesioner. Analisa yang digunakan adalah analisis univariat dan bivariat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi diperoleh p-value 0,002, adanya hubungan antara persepsi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi diperoleh p-value 0,001, dan adanya hubungan antara peran keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi diperoleh pvalue 0,024. Kata Kunci
: Pengetahuan, Persepsi, Peran Keluarga, Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)
PENDAHULUAN Kesehatan reproduksi adalah keadaan sehat secara menyeluruh serta proses reproduksi yang normal. Dengan demikian kesehatan reproduksi bukan hanya kondisi bebas dari penyakit, melainkan bagaimana seseorang dapat memiliki kehidupan seksual yang aman dan memuaskan (Malahayati, 2014). Kanker payudara merupakan tumor ganas yang tumbuh di jaringan payudara. Kanker payudara bisa di dalam kelenjar susu, jaringan lemak ataupun dalam jaringan ikat yang terdapat pada payudara. Kanker itu merupakan pertumbuhan sel payudara yang tidak terkontrol akibat perubahan yang tidak normal dari gen yang tidak bertanggung jawab atas pengaturan pertumbuhan sel. Pada kasus kanker
yang bertumbuh pada payudara gen yang bertanggung jawab terhadap pertumbuhan sel ikut termutasi. Hal itulah yang menyebabkan terjadinya kanker payudara (Saydam, 2012). Menurut data badan kesehatan dunia World Health Organization (WHO), setiap tahun terdapat 7 juta penderita kanker payudara di dunia, dan 5 juta di antaranya meninggal dunia (Kemenkes RI, 2011). Data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher rahim (11,78%). Kanker tertinggi yang diderita wanita Indonesia adalah kanker payudara dengan angka kejadian 26 per 100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan 16
109 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
per 100.000 perempuan (Kemenkes RI, 2011). Kanker Payudara dapat ditemukan secara dini dengan melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Deteksi dini dapat menekan angka kematian sebesar 2530%. Semua wanita sebaiknya melakukan SADARI agar bisa merasakan benjolan aneh. Deteksi dini merupakan hal yang terpenting untuk mengontrol kanker payudara (Shirley, 2003). Keluarga terutama orang tua sangat berperan penting dalam menjaga kesehatan anak. Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) merupakan suatu langkah yang harus dilakukan anak remaja untuk mencegah terjadinya kanker payudara. Keluarga harus memiliki informasi yang benar tentang Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) karena bisa membantu mereka melakukan Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) dengan cara memberikan informasi, mengingatkan dan memberikan pandangan yang positif agar mereka mau dan rutin melakukan Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) (Malahayati, 2014). Penelitian Siswati (2012) mengenai gambaran pengetahuan dan persepsi siswi tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 12 Kota Palembang, menunjukkan bahwa sebagian besar 65,7% siswi memiliki pengetahuan kurang baik tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), dan sebesar 72,3% siswi memiliki sikap negatif terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Berdasarkan data Dinas Pendidikan Kota Jambi, menunjukkan bahwa SMA Negeri 8 Kota Jambi merupakan SMA dengan jumlah siswa terbanyak nomor 4. Jumlah siswi SMA Negeri 8 Kota Jambi yaitu 927 siswa yang terdiri dari 347 siswi kelas X,
kelas XI sebanyak 308 siswi dan kelas XII sebanyak 272 siswi. Berdasarkan survei pada tanggal 17 Juli 2014 di SMA Negeri 8 Kota Jambi terhadap 10 siswi dari 380 siswi, didapat bahwa 7 siswi kurang mengetahui apa itu SADARI, manfaat dan cara melakukan pemeriksaan payudara sendiri serta menganggap SADARI tidak terlalu penting dilakukan, dan 3 siswi diantaranya mengetahui apa itu SADARI serta manfaat dan cara melakukan pemeriksaan payudara sendiri, serta masih kurangnya buku tentang kesehatan reproduksi di perpustakaan khususnya tentang SADARI. METODE PENELITIAN Masalah dalam penelitian ini adalah belum diketahuinya hubungan pengetahuan, persepsi remaja putri dan peran keluarga terhadap pemeriksaan payudara sendiri ( SADARI ) di SMA 8 Kota Jambi tahun 2014. ` Sifat penelitian ini merupakan penelitian Analitik dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional, suatu penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama dibatasi antara pengetahuan, persepsi remaja putri dan peran keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi tahun 2014, semua objek penelitian diamati pada waktu yang sama (Hidayat, 2010). populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswi kelas X dan XI di SMA Negeri 8 Kota Jambi sebanyak 380 orang. Sampel pada penelitian ini dipilih dengan menggunakan teknik Stratified Random Sampling yaitu penelitian dilakukan secara acak sederhana dengan cara mengambil sampel dengan memperhatikan strata (tingkatan) di dalam populasi yang berjumlah 77 orang (Riyanto, 2011).
110 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1.Distribusi Hubungan Pengetahuan Dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi Tahun 2014
Pengetahuan
Tidak Melakukan n %
SADARI Melakukan Jarang n %
Melakukan Sering n %
Total n
%
Kurang Baik
5
50,0
3
30,0
2
20,0
10
100
Cukup
24
58,5
12
29,3
5
12,2
41
100
Baik
4 33
15,4 42,9
20 35
76,9 45,5
2 9
7,7 26 11,7 77
Total
Hubungan pengetahuan dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi, didapat dari 10 responden dengan pengetahuan kurang baik yang tidak melakukan SADARI sebanyak 50,0%, dan dari 41 responden dengan pengetahuan cukup yang tidak melakukan SADARI sebanyak 58,5%. Sedangkan dari 26 responden dengan pengetahuan baik didapat 15,4% tidak melakukan SADARI. Dari hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value 0,002 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan pengetahuan dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan penelitian Surtinah (2013) mengenai hubungan pengetahuan dan persepsi siswi terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 20 Palembang, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pengetahuan siswi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), dengan nilai p-value 0,006. Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman,
Pvalue
0,002
100 100
rasa, dan raba. Sebagian besar pengetahuan diperoleh dari mata dan telinga. Pengetahuan merupakan pedoman dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan responden terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dikategorikan cukup, hal ini dikarenakan responden hanya mengetahui sebatas pengertian Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Pengetahuan seseorang tergantung dari sumber informasi, pengalaman dan orang lain. Menurut peneliti, hal ini berarti rendahnya pengetahuan responden dikarenakan oleh kurangnya sumber informasi dan pengalaman diri sendiri dan orang lain. Responden pada umumnya belum tahu dan belum memahami dengan baik tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Hal ini dikarenakan oleh kurangnya informasi yang diperoleh tentang ambulasi dini dikarenakan kurangnya petugas kesehatan yang memberikan penyuluhan ataupun kesadaran dan minat yang masih rendah untuk mencari tambahan informasi dalam rangka meningkatkan pengetahuannya. Pemeriksaan payudara sendiri (SADARI) merupakan suatu langkah yang harus dilakukan anak remaja untuk mencegah terjadinya kanker payudara. SADARI dilakukan secara 111
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
rutin, seorang wanita akan dapat menemukan benjolan pada stadium dini. Sebaiknya SADARI dilakukan pada waktu yang sama setiap bulan. Selain itu diharapkan responden untuk aktif mencari informasi tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) agar menambah pengetahuan responden yang kurang baik. Jika hanya pasif saja, maka akan
berdampak kurang baik pada tingkat pengetahuan mereka. Bagi responden yang telah mempunyai pengetahuan yang baik, harus selalu dipertahankan dan diingat materi-materi yang telah diberikan sebelumnya, agar mereka mengetahui manfaat dan pentingnya melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI).
Tabel 2.Distribusi Hubungan Persepsi Dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi Tahun 2014
Tidak Melakukan n %
SADARI Melakukan Jarang n %
Melakukan Sering n %
n
%
Negatif
27
60,0
15
33,3
3
6,7
45
100
Positif
6
18,8
20
62,5
6
18,8
32
100
Total
33
Persepsi
Total
Pvalue
0,001 42,9
35
45,5
Berdasarkan hasil dari 77 responden tentang hubungan persepsi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi, didapat dari 45 responden dengan persepsi negatif yang tidak melakukan SADARI sebanyak 60,0%. Sedangkan dari 32 responden dengan persepsi positif didapat 18,8% tidak melakukan SADARI. Dari hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value 0,001 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara persepsi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Penelitian yang telah dilakukan sejalan dengan penelitian Surtinah (2013) mengenai hubungan pengetahuan dan persepsi siswi terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 20 Palembang, menunjukkan bahwa adanya hubungan antara persepsi siswi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), dengan nilai p-value 0,014. Responden mempunyai persepsi negatif terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI)
9
11,7
77
100
dikarenakan responden menganggap remeh dan tidak peduli serta merasa Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) tidak terlalu penting dilakukan. Responden menganggap melakukan SADARI terlalu menyita waktu untuk kegiatan yang lain dan menganggap tidak perlu sering – sering, sebulan sekali sudah cukup. Persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh proses penginderaan, yaitu merupakan proses diterimanya stimulus oleh individu melalui alat indera atau juga disebut proses sensoris. Namun proses itu tidak berhenti begitu saja, melainkan stimulus tersebut diteruskan dan proses selanjutnya merupakan proses persepsi. Karena itu proses persepsi tidak dapat lepas dari proses penginderaan dan proses penginderaan merupakan proses pendahulu dari proses persepsi (Walgito, 2010). Banyak diantara wanita yang tidak melakukan SADARI, sebab takut malah menemukan sesuatu. Tetapi bahwa pendeteksian awal akan meningkatkan keberhasilan perawatan. 112
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
Jika seandainya menemukan benjolan belum tentu benjolan yang ditemukan merupakan tumor ganas, bisa saja benjolan tersebut merupakan kelenjar susu yang membengkak atau tumor jinak yang tidak perlu dikhawatirkan. Responden yang memiliki pengetahuan cukup dan memiliki persepsi negatif, dikarenakan responden tidak mengetahui masalah Payudara Sendiri (SADARI) sehingga
membentuk suatu anggapan yang negatif terhadap Payudara Sendiri (SADARI). Responden yang kurang diberikan penyuluhan atau tidak mencari informasi mengenai Payudara Sendiri (SADARI), maka responden tersebut akan menganggap Payudara Sendiri (SADARI) tidak terlalu penting dilakukan dan tidak wajib dilakukan responden.
Tabel 3. Distribusi Hubungan Peran Keluarga Dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi Tahun 2014
Peran Keluarga
Kurang Baik
Tidak Melakukan n %
SADARI Melakukan Jarang n %
Melakukan Sering n %
n
%
26
20
3
49
100
53,1
40,8
6,1
Total P-value
0,024 Baik
7
25,0
15
30,6
6
21,4
Total
33
42,9
35
45,5
9
11,7
Dari hasil dari 77 responden tentang hubungan peran Keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi, didapat dari 49 responden dengan peran Keluarga kurang baik yang tidak melakukan SADARI sebanyak 53,1%. Sedangkan dari 28 responden dengan peran Keluarga baik didapat 25,0% tidak melakukan SADARI. Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diperoleh nilai p value 0,024 (p<0,05) dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ada hubungan antara peran keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi. Peran keluarga mempunyai pengaruh yang sangat tinggi dalam harga diri, sebuah keluarga yang memiliki harga diri yang rendah akan tidak mempunyai kemampuan dalam membangun harga diri anggota keluarganya dengan baik, keluarga akan memberikan umpan balik yang
28 77
100 100
negatif dan berulang-ulang akan merusak harga diri bagi penderita, harga dirinya akan terganggu jika kemampuannya menyelesaikan masalahnya tidak adekuat. Akhirnya penderita mempunyai pandangan negatif dan kemampuan bersosialisasi dengan lingkungannya. Dari penjelasan diatas, menunjukkan bahwa masih banyaknya responden yang memiliki dukungan keluarga kurang baik terhadap Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Hal ini dikarenakan keluarga belum memahami dengan baik tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) dan belum pernah diberikan penyuluhan kesehatan oleh petugas kesehatan mengenai Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Padahal dengan adanya dukungan keluarga, maka responden dapat rutin melakukan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Jika hanya sasaran pada remaja putri saja yang selalu diberi 113
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
HUBUNGAN PENGETAHUAN, PERSEPSI REMAJA PUTRI, DAN PERAN KELUARGA DENGAN PEMERIKSAAN PAYUDARA SENDIRI (SADARI) DI SMA NEGERI 8 KOTA JAMBI TAHUN 2014
informasi, sementara keluarga kurang pembinaan dan pendekatan, keluarga kadang melarang responden karena faktor ketidaktahuan dan tidak ada komunikasi untuk saling memberikan pengetahuan. SIMPULAN Sebagian besar 41 responden (53,2%) mempunyai pengetahuan cukup tentang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI), sebagian besar 45 responden (58,4%) memiliki persepsi negatif, sebagian besar 49 responden (63,6%) memiliki peran keluarga kurang baik, sebagian besar 35 responden
(45,5%) melakukan tetapi jarang Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI). Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh p-value 0,002, hasil ini menunjukkan adanya hubungan antara pengetahuan dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi, adanya hubungan antara persepsi dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi dengan nilai pvalue 0,001, dan adanya hubungan antara peran keluarga dengan Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) di SMA Negeri 8 Kota Jambi dengan nilai p-value 0,024.
DAFTAR PUSTAKA Hidayat, Aziz Alimul, 2010. Metode Penelitian Kesehatan Paradigma Kuantitaif. Penerbit Health Books Publishing. Surabaya. Kemenkes RI, 2011. Jika Tidak Dikendalikan 26 Juta Orang Di Dunia Menderita Kanker. Dalam http://www.kemenkes-ri.htm. [Diakses tanggal 21 Mei 2012] Malahayati, 2014. Kesehatan Reproduksi Wanita. Dalam http://www. seksualitas.net/gspot-dan-kesehatan-reproduksiwanita.htm#. (Diakses tanggal 13 Juli 2014). Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta.
Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Perilaku Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Penerbit PT. Rineka Cipta. Jakarta. Riyanto, Agus, 2011. Aplikasi Metodologi Penelitian Kesehatan. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta. Saydam, Syafni G, 2012. Waspadai Penyakit Reproduksi Anda!. Penerbit Pustaka Reka Cipta. Jawa Barat. Shirley, Otto, 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Walgito, Bimo, 2010. Pengantar Psikologi Umum. Penerbit CV. Andi. Yogyakarta.
114 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014 1*
Gita Kirana Dewi, 2Rica Triseptinora Akademi Keperawatan Prima *Korespondensi penulis :
[email protected] 1,2
ABSTRAK Hasil analisis data risiko osteoporosis yang dilakukan oleh Puslitbang Gizi Depkes dengan Fonterra Brands Indonesia pada tahuan 2006 diperoleh bahwa di Indonesia, orang yang terserang osteoporosis pada usia 50 tahun ke atas adalah 32,3% wanita dan 28,8% pria. Penderita osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau fraktur karena mengalami penurunan kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang sehingga kekuatan tulang berkurang. Peneltiian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran diabetes militus dan pola makan pada lansia yang osteoporosis di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan rancangan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi pada tahun 2013 yang berjumlah 70 orang. Sampel diambil menggunakan teknik total sampling yang berjumlah 70 orang. Proses penelitian ini dilakukan pada bulan September 2014 Analisis data dilakukan secara univariat. Hasil penelitian secara univariat diperoleh bahwa sebagian besar 67,1%) responden tidak ada mengalami diabetes melitus dan (58,6%) responden memiliki pola makan yang baik pada lansia yang osteoporosis. Simpulan penelitian adalah responden yang memiliki pola makan kurang baik, lebih banyak yang menderita Diabetes Melitus, dari pada responden yang memiliki pola makan yang baik lebih sedikit menderita Diabetes Melitus pada Lansia yang osteoporosis di panti sosial Tresna werdha budi luhur kota jambi Tahun 2014. Kata Kunci
: Diabetes melitus, Pola Makan, Lansia Yang Osteoporosis
PENDAHULUAN Keberhasilan pembangunan terutama di bidang kesehatan, secara tidak langsung telah menurunkan angka kesakitan dan kematian penduduk, serta meningkatkan usia harapan hidup. Meskipun tidak sekaligus, hal ini berarti peningkatan mutu kehidupan yang pada gilirannya menimbulkan perubahan struktur penduduk dan sekaligus menambah jumlah penduduk berusia lanjut (Arisman, 2009). Perserikatan BangsaBangsa memperkirakan bahwa di tahun 2050 jumlah warga lansia di Indonesia akan mencapai ± 60 juta jiwa. Hal ini menyebabkan Indonesia berada pada peringkat ke-4 untuk jumlah penduduk lansia terbanyak setelah China, India dan Amerika Serikat. Meningkatkan jumlah penduduk usia lanjut (lansia) menimbulkan masalah terutama dari
segi kesehatan dan kesejahteraan lansia (Notoatmodjo, 2007). Osteoporosis atau yang sering disebut dengan istilah tulang keropos biasanya sering menyertai individu yang kurang asupan vitamin D nya ataupun kurang aktivitas selama mudanya. Hal tersebut dapat dicegah asalkan punya kemauan sejak dini, salah satunya banyak mengkonsumsi susu yang banyak mengandung kalsium dan vitamin D (Wahyunita, 2010). Massa tulang telah mencapai maksimum pada usia 35 tahun untuk wanita dan 45 tahun untuk pria. Bila konsumsi kalsium kurang dalam jangka waktu lama akan timbul keropos tulang (osteoporosis). Lansia dianjurkan untuk mengkonsumsi susu karena merupakan sumber kalsium yang baik (Maryam, 2008). Hasil analisis data risiko osteoporosis yang dilakukan oleh 115
SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Puslitbang Gizi Depkes dengan Fonterra Brands Indonesia pada tahuan 2006 diperoleh bahwa di Indonesia, orang yang terserang osteoporosis pada usia 50 tahun ke atas adalah 32,3% wanita dan 28,8% pria (Tjahjadi, 2009). Penderita osteoporosis mudah mengalami patah tulang atau fraktur karena mengalami penurunan kualitas tulang dan kuantitas kepadatan tulang sehingga kekuatan tulang berkurang. Penderita osteoporosis biasanya mengalami patah tulang di paha, tulang belakang, dan pergelangan tangan. Patah tulang paha hampir selalu membutuhkan tindakan operasi dapat mengganggu kemampuan berjalan dan dapat menyebabkan cacat permanen sampai kematian. Sementara patah tulang belakang memiliki konsekuensi serius, seperti tubuh memendek, nyeri punggung dan perubahan bentuk punggung (Akmal, 2010). Pencegahan osteoporosis ada tiga langkah, yaitu: menghentikan kebiasaan merokok, nutrisi yang benar harus terus di berikan dan di pertahankan agar proses resorpsi atau penghancuran tulang serta formasi atau pembentukan tulang kembali berjalan dengan stabil, sehingga terbentuklah tulang yang sehat, padat, dan kuat serta olahraga teratur (Tandra, 2009). Adanya perubahan-perubahan pada tubuh lansia, menghendaki pola konsumsi pangan yang berbeda dibandingkan pada usia-usia yang lebih muda. Pada prinsipnya kebutuhan akan macam zat gizi bagi lansia tetap sama seperti yang dibutuhkan oleh orangorang dengan usia yang lebih muda, yang berubah hanyalah jumlah dan komposisinya. Konsumsi energi sebaiknya dikurangi, disesuaikan dengan menurunnya aktivitas tubuh. Sebaliknya konsumsi makanan sumber protein, vitamin, dan mineral perlu ditingkatkan baik dari segi jumlah maupun mutunya (Budianto, 2009). Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya gizi pada lansia adalah keterbatasan ekonomi keluarga, penyakit-penyakit kronis,
pengaruh psikologis, hilangnya gigi, sikap dalam pemilihan makanan, kurangnya pengetahuan tentang gizi dan cara pengolahannya, serta menurunnya energi (Maryam, 2008). Salah satu tempat perawatan kesehatan bagi usia lanjut adalah Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi. Letak yang strategis dengan akses jalan yang lancar dan sangat mudah dijangkau menjadi suatu peluang besar bagi masyarakat untuk memanfaatkan pelayanan jasa kesehatannya. Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi memberikan pelayanan perawatan kesehatan bagi para lansia yang keluarganya memilih untuk menyerahkan kepada tenaga perawat kesehatan yang terlatih. Berdasarkan data diperoleh jumlah kejadian diabetes militus di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi sedikit, frekuensi peningkatan dan penurunan yang kecil tiap tahunnya dengan jumlah lansia sebanyak 70 orang. Dari survei awal penelitian di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014 dengan melakukan wawancara pada 6 lansia yang mengalami osteoporosis diperoleh gambaran bahwa 2 orang lansia mengalami penyakit diabetes militus dan 6 orang lansia dalam mengkonsumsi makanan cenderung memilih makanan cepat saji dibandingkan makanan sehat. Selain rasanya enak makanan saji juga praktis sehingga bisa langsung disantap. Penelitian ini bertujuan untuk melihat Gambaran Diabetes Militus dan Pola Makan Pada Lansia Yang Osteoporosis di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan melihat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif 116
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
(Notoatmodjo, 2005). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran diabetes militus dan pola makan pada lansia yang osteoporosis di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2014. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti (Notoadmodjo, 2005). Populasi dalam penelitian ini adalah lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi pada tahun 2013 yang berjumlah 70 orang. Sampel adalah objek yang diteliti dan dianggap mewakili seluruh populasi penelitian (Notoatmodjo, 2005). Menurut Arikunto (2006) apabila objeknya < 100 lebih baik diambil semua sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi, apabila subjeknya besar dapat diambil antara 10-15% atau 20-25% atau lebih dari total populasi. Sampel pada penelitian ini diambil dengan menggunakan teknik secara total sampling yaitu seluruh lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi yang berjumlah 70 orang. Penelitian ini menggunakan analisis univariat. HASIL DAN PEMBAHASAN Diagram 1 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Diabetes Militus Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014.
32,9% 67,1%
Ada Tidak Ada Berdasarkan diagram 1, diperoleh gambaran diabetes militus pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 23 responden (32,9%) ada mengalami
diabetes militus dan 47 responden (67,1%) tidak ada mengalami diabetes militus. Hasil penelitian gambaran diabetes militus pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 23 responden (32,9%) ada mengalami diabetes militus dan 47 responden (67,1%) tidak ada mengalami diabetes militus. Menurut American Diabetes Association (ADA) tahun 2010 dalam Perkeni (2011) diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. Prevalensi diabetes mellitus pada lanjut usia cenderung meningkat, hal ini dikarenakan diabetes mellitus pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dipengaruhi faktor intrinsik dan ekstrinsik. Menurut Maryam (2008) penyebab penyakit pada lansia pada umumnya berasal dari dalam tubuh (endogen) sedangkan pada orang dewasa berasal dari luar tubuh (eksogen). Hal ini disebabkan karena pada lansia telah terjadi penurunan fungsi dari berbagai organ-organ tubuh akibat kerusakan sel-sel karena proses manusia, sehingga produksi hormon, enzim, dan zat-zat yang diperlukan untuk kekebalan tubuh menjadi berkurang. Dengan demikian, lansia akan lebih mudah terkena infeksi. Selain itu, lansia juga sering menderita penyakit lebih dari satu jenis (multipaologi), dimana satu sama lain dapat berdiri sendiri maupun saling berkaitan dan memperberat. Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Hal ini sesuai dengan teori menurut Budiyanto dalam Suiraoka (2012) faktor risiko terjadinya risiko untuk terjadinya diabetes mellitus alah umur. Dengan semakin bertambahnya umur kemampuan jaringan mengambil glukosa darah semakin menurun. 117
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Penyakit ini lebih banyak terdapat pada orang berumur di atas 40 tahun daripada orang yang lebih muda. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Ariani (2012), yang berjudul “Gambaran Status Gizi dan Pola Penyakit Lansia Yang Berobat di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Tingkat II Kesehatan Daerah Militer I Bukit Barisan”. Penelitian ini menunjukkan bahwa status gizi lansia dari seluruh pola penyakit yang terbanyak adalah satus gizi gemuk sebanyak 33 orang (45,85), status gizi kurus 21 orang (29,2%) dan status gizi normal 18 orang (25%). Pola penyakit yang diderita lansia terbanyak adalah hipertensi sebanyak 22 orang sebanyak 22 orang (30,5%), diabetes melitus 19 orang (26,4%) dan penyakit jantung koroner 12 orang (16,7%). Tingginya angka kejadian penderita diabetes mellitus tidak hanya disebabkan faktor umur melainkan dapat juga disebabkan pola makan yang tidak baik. Sebagai tenaga kesehatan yang menjaga lansia maka perlu upaya pendidikan dan pengawasan terhadap pola makan lansia dengan memberikan diet diabetes melllitus. Tujuan utama dari diet diabetes mellitus adalah untuk menjaga kadar glukosa darah pada batas normal dan menjaga berat badan normal. Untuk itu makan sangat penting bagi tenaga kesehatan memberikan pendidikan dan pengarahan pada lansia yang menderita diabetes mellitus untuk merubah pola makan dari berbagai jenis makan yang seimbang dan mengatur jadwal makan secara teratur. Faktor lingkungan dengan pola dan gaya hidup yang tidak sehat serta tekanan pikiran (stres), diyakini sebagai penyebab utama penyakit diabetes sehingga mempengaruhi tingkat aktivitas. Kadar glukosa tinggi dalam tubuh yang tidak bisa diserap semua dan tidak mengalami metabolisme dalam sel, akan mengakibatkan seseorang kekurangan energi,
sehingga mudah lelah dan berat badan terus turun. Oleh sebab itu, petugas kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kesehatan lansia yang mengalami diabetes dengan melakukan keperawatan terhadap penyakit diabetes mellitus lansia serta melakukan upaya pendidikan dan pengawasan pada lansia terhadap pola makannya sehingga makanan yang dikonsumsinya sesuai dengan diet makanan pada pasien yang memiliki penyakit diabetes melitus. Diagram 2 Distribusi Proporsi Responden Berdasarkan Pola Makan Pada Lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014
41,4% 58,6%
Baik
Kurang Baik
Berdasarkan diagram 2, diperoleh gambaran pola makan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 41 responden (58,6%) memiliki pola makan yang baik dan 29 responden (41,4%) memiliki pola makan yang kurang baik. Hasil penelitian gambaran pola makan pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 menunjukkan bahwa sebanyak 41 responden (58,6%) memiliki pola makan yang baik dan 29 responden (41,4%) memiliki pola makan yang kurang baik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pola makan lansia yang berada di Panti Sosial sudah menunjukkan pola makan yang sudah baik dalam pemenuhan asupan gizi sesuai dengan kebutuhan tubuh dengan mengkonsumsi makanan yang bergizi seimbang. Hal ini sesuai dengan teori menurut Sulistyoningsih (2011) faktor 118
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
yang mempengaruhi terbentuknya pola makan diantaranya adalah pendidikan dan lingkungan. Pendidikan dalam hal ini biasanya dikaitkan dengan pengetahuan akan berpengaruh terhadap pemilihan bahan makanan dan pemenuhan kebutuhan gizi. Faktor lingkungan juga cukup besar berpengaruhnya terhadap pembentukan perilaku makan. Kebiasaan makan dalam keluarga sangat berpengaruh besar terhadap pola makan seseorang, kesukaan seseorang terhadap makanan terbentuk dari kebiasaan makan yang terdapat dalam keluarga. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Jonwesly Siregar (2010) yang berjudul “Perilaku Lansia Dalam Mengkonsumsi Makanan Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Horpak Kecamatan Tantom Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan”. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Penelitian ini bertujuan mengetahui perilaku lansia dalam mengonsumsi makanan sehat. Populasi adalah seluruh lansia berumur ≥ 60 tahun yang berada di wilayah kerja Puskesmas Batu Horpak Kecamatan Tantom Angkola. Sampel sebanyak 90 orang diambil dengan metode acak sistematis. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara menggunakan food recall dan food frequency. Hasil penelitian menunjukan dari 90 lansia, 73,3% berpengetahuan kurang, 45,6% memiliki sikap kurang, dan 52,2% memiliki tindakan kurang dalam mengonsumsi makanan sehat sedangkan tingkat konsumsi energi pada kategori sedang 51,1%, tingkat konsumsi protein pada kategori kurang 43,3%. Hasil penelitian yang berbeda ini menunjukkan bahwa lansia yang tinggal berada di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi, pola makannya lebih baik dibanding mereka yang tinggal di rumah sendiri maupun bersama anaknya. Lansia yang tinggal di Panti Sosial, pola makannya selalu
mendapatkan pendidikan dan pengawasan dari petugas kesehatan yang menjaganya. Petugas kesehatan di Panti Sosial selalu memberikan pendidikan tentang makanan yang bergizi dan seimbang serta pengawasan terhadap makanan yang harus dihindari (diet) bagi lansia yang memiliki penyakit regeneratif. Selain itu, pola makan lansia di Panti biasanya dilakukan sesuai dengan program yang telah ditetapkan yang dibuat secara sistematis dan terjadwal dengan baik. Lansia yang tinggal di rumah seperti penelitian yang dilakukan oleh Jonwesly Siregar (2010) pendidikan dan pengawasan terhadap pola makan lansia tidak sebaik dengan yang dilakukan petugas kesehatan di Panti. Bagi lansia yang tinggal di rumah sendiri biasanya pola makannya kurang diperhatikan karena sudah mulai pilihpilih terhadap selera makan. Begitu juga dengan lansia yang tinggal bersama keluarga atau anaknya, biasanya pola makannya kurang terkontrol dengan baik. Disamping keluarga atau anak yang juga memiliki kesibukan terhadap aktivitasnya sendiri juga karena terkadang lansia sering menolak bahkan membantah jika saran yang diberikan anak terhadap pola makannya tidak sesuai yang dikehendaki. Dari hasil penelitian diperoleh pola makan lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi yang sudah baik yaitu mengkonsumsi makanan yang mengandung zat gizi yang penting untuk kekebalan tubuh, makanan yang bermutu, pola makan beragam dan gizi seimbang. Disamping itu, pola makan lansia sudah baik ini ditunjukkan dengan makan secara teratur sesuai jadwal yang telah ditentukan. Pola makan yang baik ini dipengaruhi adanya peran petugas kesehatan dalam memberikan pendidikan dan bimbingan serta pengawasan terhadap pola makan lansia sehingga makanan yang dikonsumsi dapat memenuhi kebutuhan asupan gizi yang dibutuhkan tubuhnya. 119
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Adanya keteraturan dalam penjadwalan setiap kegiatan termasuk jadwal makan maka akan mempermudah dalam membentuk pola makan lansia semakin baik. Disamping itu, dalam mendukung pola makan yang baik, petugas kesehatan di panti juga dalam penyajian makanan berkolaborasi dengan tenaga ahli gizi sehingga makanan yang disajikan benar-benar memenuhi standar kecukupan gizi yang dibutuhkan para lansia mengingat lansia yang tinggal di Panti kebutuhan gizinya berbeda-beda baik yang disebabkan karena kondisi penyakit yang dideritanya maupun faktor lainnya. Dengan adanya ahli gizi, maka penyajian makanan atau diet makanan yang disajikan merupakan makanan yang bergizi seimbang. Selain peran petugas yang sudah melakukan perannya sebagai pelaksana pelayanan kesehatan, adanya peran pemerintah yang memberikan kontribusi dalam hal biaya operasional pelayanan kesehatan di panti serta sarana dan prasarana, maka mendorong motivasi petugas untuk menjalankan fungsinya sebagai pengasuh bagi para lansia. Kontribusi pemerintah seperti penyediaan biaya untuk menyajikan makanan yang bergizi sangat mendukung dalam pembentukan pola makan lansia yang baik. Namun, masih ada sebagian lansia yang memiliki pola makan yang kurang baik seperti kurangnya dalam mengkonsumsi buah-buhan seperti apel, alpukat, pepaya, pisang, jeruk dan lain-lain. Meskipun tenaga kesehatan yang ada di Panti sudah menyediakan buah-buah segar yang sehat namun banyak lansia yang masih kurang mengonsumsinya. Hal ini mungkin disebabkan karena selera makan buah yang rendah seperti pada waktu masa mudanya berlanjut sampai usia tua. Selain itu, rendahnya konsumsi makan terhadap disebabkan karena sudah banyak lansia yang tidak memiliki gigi sehingga sulit untuk
mengkonsumsi buah yang teksturnya masih agak keras. Untuk mengatasi rendahnya konsumsi buah karena gigi lansia banyak yang sudah ompong, tenaga kesehatan melakukan upayanya dengan memberikan dalam bentuk yang lembek atau lumat seperti dalam bentuk jus. Selain itu, masih banyak juga lansia yang memiliki pola makan yang kurang baik yaitu tidak minat untuk meminum susu minimal satu kali sehari serta minum suplemen vitamin dan mineral bagi lansia yang sulit memenuhi kebutuhan gizi dari makanan alami. Kurang minatnya lansia dalam meminum susu dikarenakan banyak lansia yang mengalami diare ketika minum susu. Hal ini karena dalam usus lansia tidak terkandung enzim laktosa untuk mencerna susu, sehingga laktosa dicerna dalam tubuh oleh mikroba di dalam usus besar yang menyebabkan diare. Oleh sebab itu, jika lansia tidak minat untuk minum susu biasa sebaiknya mengkonsumsi produk susu fermentasi seperti yoghurt dan keju yang tidak menimbulkan diare. Masih banyak terdapat lansia yang memiliki pola makan kurang baik meskipun sudah ada upaya pendidikan dan bimbingan serta pengawasan dari tenaga kesehatan yang bertugas mengasuhnya, maka perlu upaya pendekatan secara psikologis yang mungkin dapat membantu dalam pembentukan pola makan lansia. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Hendro (2009) yang meneliti pengaruh faktor psikososial seperti motivasi diri, persepsi, kepercayaan diri dan dukungan keluarga terhadap pola makan pada penderita diabetes melitus didapati bahwa faktor psikososial berpengaruh signifikan terhadap pola makan penderita diabetes mellitus rawat jalan di RSUD Deli Serdang. Begitu juga dengan kurang minatnya lansia dalam meminum suplemen vitamin dan mineral bagi lansia yang sulit memenuhi kebutuhan 120
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
gizi dari makanan alami. Masih banyak lansia yang tidak mengkonsumsi suplemen vitamin dan mineral dengan berbagai lasan seperti lupa atau tidak bisa dan tidak suka minum suplemen vitamin dan mineral karena biasa muntah jika menelan sejenis obatobatan. Terhadap masalah kelupaan dalam meminum obat, petugas kesehatan dapat melakukan upaya dengan mengingatkan serta melakukan terhadap jumlah suplemen vitamin yang diberikan pada lansia. Selain itu, petugas kesehatan harus mampu meyakinkan pada lansia jika dalam mengkonsumsi sejenis obat-obatan sering muntah harus di atasi dengan menelan suplemen dalam makanan seperti pisang atau sejenisnya. Penelitian di atas menunjukkan bahwa selain peran petugas kesehatan dalam pembentukan pola makan yang baik juga diperlukan peran keluarganya dalam motivasi dan kepercayaan diri lansia dalam menjalani hidupnya terutama dalam pola makannya. Motivasi dan kepercayaan diri dalam lansia juga memegang peranan besar dalam membentuk perilaku sehat pada lansia termasuk juga dalam hal pola makannya. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan pola makan lansia yang semakin baik diharapkan petugas kesehatan harus mampu mempertahankan perannya dalam membentuk pola makan yang sudah dilaksanakan dengan lebih meningkatkan lagi perannya agar semua lansia mampu menerapkan pola makan yang baik. Selain itu, perlu upaya dari tenaga kesehatan untuk selalu membimbing dan mengarahkan serta mengingatkan pada lansia untuk menerapkan pola makan yang baik. Dalam upaya membangkitkan motivasi dan kepercayaan diri lansia khususnya dalam menerapkan pola makan yang baik dengan melakukan kerja sama dengan anggota keluarganya sehingga meskipun tinggal terpisah dengan anggota keluarga, lansia juga tetap merasa diperhatikan oleh keluarganya
sehingga mengurangi perasaan kesepian atau rendah diri dengan kondisinya di usia tua. SIMPULAN Sebagian besar (67,1%) responden tidak ada mengalami diabetes melitus dan sebagian lainnya (32,9%) responden ada mengalami diabetes melitus. Sebagian besar (58,6%) responden memiliki pola makan yang baik dan sebagian lainnya (41,4%) responden memiliki pola makan kurang baik. Sehingga dapat disimpulkan responden yang memiliki pola makan kurang baik, lebih banyak yang menderita Diabetes Melitus, dari pada responden yang memiliki pola makan yang baik lebih sedikit menderita Diabetes Melitus pada Lansia yang osteoporosis di panti sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Akmal, 2010. Ensikopedi Kesehatan. Penerbit Ar Ruzz Media. Jogjakarta:404 hlm Ariani, 2012. Gambaran Status Gizi dan Pola Penyakit Lansia Yang Berobat di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Tingkat II Kesehatan Daerah Militer I Bukit Barisan. Arikunto, S, 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta: xi + 370 hlm. Arisman, 2009. Buku Ajar Ilmu Gizi: Gizi Dalam Daur Kehidupan. Penerbit EGC. Jakarta: xvii + 275 hlm. Budianto, A. K, 2009. Dasar-Dasar Ilmu Gizi. Penerbit UMM Press. Malang. Hendro, 2009. Pengaruh Faktor Psikososial dan Dukungan Keluarga Terhadap Pola Makan Pada Penderita Diabetes Melitus di RSUD Deli Serdang. 121
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN DIABETES MILITUS DAN POLA MAKAN PADA LANSIA YANG OSTEOPOROSIS DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Jonwesly Siregar, 2010. Perilaku Lansia Dalam Mengkonsumsi Makanan Sehat di Wilayah Kerja Puskesmas Batu Horpak Kecamatan Tantom Angkola Kabupaten Tapanuli Selatan Maryam, dkk., 2008. Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya. Penerbit Salemba Medika, Jakarta. Notoadmodjo, S, 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. PT Rineka Cipta, Jakarta. Perkeni, 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Militus Tipe 2 di Indonesia. Penerbit Perkumpulan Endokrinologi Indonesia Suiraoka, 2012. Penyakit Degeneratif. Penerbit Nuha Medika. Yogyakarta.
Sulistyoningsih, H, 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Penerbit Garaha Ilmu. Yogyakarta: xii + 242 hlm. Tandra, Hans, 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosis Mengenal, Mengatasi, Dan Mencegah Tulang Keropos. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Tjahjadi, V, 2009. Mengenal, Mencegah, Mengatasi Silent Kller Osteoporosis. Penerbit Pustaka Widyamara. Semarang. Wahyunita, dkk, 2010. Memahami Kesehatan Pada Lansia. Penerbit Trans Info Media.viii + 97 hlm
122 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
GAMBARAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN KEPATUHAN BEROBAT PASIEN DIABETES MELITUS TIPE II DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS PAYO SELINCAH KOTA JAMBI TAHUN 2014 1*
2
Wahyudin, Bejo Santoso Akademi Keperawatan Prima Jambi *Korepondensi penulis :
[email protected] 1,2
ABSTRAK Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia. Angka kasus diabetes melitus tipe II di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2010 terdapat 268 kasus, 564 kasus tahun 2011, 3594 kasus tahun 2012 dan 1952 pada tahun 2013. Survey awal dilakukan terhadap 10 pasien diabetes melitus tipe II pada tanggal 20 Juni 2014 di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi ternyata 60% pasien tidak mendapat dukungan keluarga dan 60% pasien tidak mengetahui mengenai manfaat dan pentingnya mematuhi pengobatan penyakit diabetes melitus. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah tahun 2014. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional. Populasi penelitian ini berjumlah 1952 pasien. Pengampilan sampel menggunakan teknik random sampling dengan besar sampel 42 pasien dilakukan pada tanggal 13-20 September 2014. Data dikumpulkan menggunakan kuesioner, kemudian dianalisis dengan analisis univariat. Berdasarkan hasil penelitian diketahui sebagian besar responden tidak patuh berobat sebanyak 23 responden (54,8%) dan 19 responden (45,2%) patuh berobat. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan rendah sebanyak 25 responden (59,5%) dan 17 responden (40,5%) memiliki pengetahuan tinggi dengan kepatuhan berobat. Sebagian besar responden memiliki dukungan keluarga kurang baik sebanyak 23 responden (54,8%) dan 19 responden (45,2%) memiliki dukungan keluarga baik dengan kepatuhan berobat. Dari hasil penelitian dapat di simpulkan pengetahuan responden tidak berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan berobat. Akan tetapi dukungan keluarga responden berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan responden dengan kepatuhan berobat diabetes melitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2014. Kata Kunci
: Kepatuhan Berobat, Pengetahuan, Dukungan Keluarga
PENDAHULUAN Penyakit degeneratif telah menjadi masalah kesehatan dunia yang cukup besar. Prevalensi dan insiden penyakit ini meningkat secara drastis di negara-negara industri baru dan negara sedang berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini ditandai dengan perubahan gaya hidup terutama di kota-kota besar, seperti semua hampir serba otomatis, makanan makin beragam, semakin banyak makanan yang berkalori tinggi, manis, serta mengandung banyak gula yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit degeneratif, salah satunya adalah penyakit diabetes melitus (Topan, 2005).
Diabetes melitus merupakan sekelompok kelainan heterogen yang ditandai oleh kenaikan kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Brunner & Suddarth, 2002). Penyakit DM sering disebut the great imitator, karena penyakit ini dapat mengenai semua organ tubuh dan menimbulkan bermacam keluhan. Gejala sangat bervariasi dan secara perlahan-lahan, sehingga pasien tidak menyadari akan adanya perubahan, seperti minum menjadi lebih banyak, buang air kecil menjadi lebih lebih sering ataupun makan menjadi lebih sering (Tandra, 2007). Menurut Brunner & Suddarth (2002), bahwa ada beberapa tipe penyakit diabetes melitus. Penyakit diabetes melitus dibedakan 123
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
berdasarkan penyebab, perjalanan klinik dan terapinya. Salah satu tipe penyakit diabetes melitus adalah penyakit diabetes melitus tipe II. DM tipe II merupakan penyakit kronik yang tidak dapat disembuhkan tetapi sangat potensial untuk dapat dicegah dan dikendalikan. Diabetes melitus tipe II umumnya menyerang orang-orang dengan pola diet tidak seimbang, orang dengan obesitas dan orang yang mempunyai gaya hidup modern dengan mengkonsumsi makan cepat saji (instan), gula yang berlebihan, kurangnya aktivitas fisik dan olahraga (Maulana, 2008). Menurut data Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni) pada tahun 2008, Indonesia menempati urutan terbesar dalam jumlah pasien diabetes melitus di dunia setelah India, Cina, dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes melitus mencapai 4% diseluruh dunia yang diprediksi mencapai 5,4% pada tahun 2025. Jumlah pasien diabetes melitus di Cina dan India mencapai 50 juta orang, sedangkan di Amerika Serikat merupakan jenis penyakit peringkat ke6 penyebab kematian. Prevalensi pasien diabetes melitus berjumlah 10% jenis diabetes melitus tipe I dan 90% jenis diabetes melitus tipe 2 (Perkeni, 2011). WHO memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030 (Perkeni, 2011). Pasien diabetes melitus tipe II dapat mengalami cacat seumur hidup, dan berisiko terhadap terjadinya penyakit lain dengan 24 kali berisiko
terjadi penyakit jantung, 25 kali berisiko terjadi kebutaan, 17 kali terjadi gagal ginjal, 5 kali terjadi gangren dan 2 kali terjadi gangguan pembuluh darah otak. Dampak lain dari penyakit diabetes melitus adalah terjadinya gangguan secara psikologis akibat rendahnya penerimaan pasien di masyarakat. Hal ini terjadi karena masih ada stigma masyarakat yang menganggap penyakit diabetes melitus merupakan penyakit menular (Soegondo, 2013). Menurut Smeltzer (2002), bahwa cara efektif yang dapat diterapkan pada pasien diabetes melitus adalah perencanaan makan, latihan, pemantauan glukosa darah, terapi dan pendidikan kesehatan. Terapi diabetes melitus tipe II harus meminimalkan gejala dan menghindari komplikasi, dan harus memungkinkan pasien menjalani hidup normal. Pasien diabetes melitus dalam menjalankan terapi membutuhkan edukasi (pendidikan kesehatan) dan membutuhkan dukungan agar pasien diabetes melitus mematuhi program supaya prognosis diabetes melitus yang dialami pasien menjadi baik (Darwis, 2005). Pasien diabetes melitus dalam menjalani terapi pengobatan membutuhkan kepatuhan dalam minum obat. Kepatuhan meminum obat pada pengobatan diabetes melitus sangat penting karena dengan minum obat secara teratur teratur dapat mengontrol kadar gula darah. Tingkat kepatuhan yang tinggi terhadap pengobatan diabetes melitus akan meningkatkan efektivitas pengobatan serta mencegah dampak buruk dari penyakit diabetes melitus, kepatuhan minum obat dalam jangka panjang mampu menurunkan morbiditas dan mortalitas pasiennya (Misnadiarly, 2006). Menurut Niven (2002) bahwa kepatuhan minum obat dipengaruhi faktor pengetahuan tentang manfaat dan kerugian mengikuti program pengobatan, sikap, faktor keluarga dan tenaga kesehatan, dan pengaruh teman sebaya (kelompok), sedangkan Sihombing (2013) menyatakan bahwa 124
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
faktor yang mempengaruhi kepatuhan pengobatan diabetes melitus, antara lain pemahaman dan sikap tentang tujuan dan aturan pengobatan, harga obat, akses memperoleh obat diluar rumah sakit, perhatian dan kepedulian keluarga, peran tenaga kesehatan (dokter dan perawat). Menurut hasil penelitian Anggina (2010) menyatakan bahwa faktor yang berhubungan kepatuhan berobat pada pasien diabetes melitus adalah biaya pengobatan, tingkat pengetahuan dan dukungan keluarga. Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan pengawasan langsung setiap keadaan sehat dan sakit terhadap pasien diabetes melitus, sehingga perlu adanya peran serta yang besar dari keluarga dalam memberkan dukungan dan pemenuhan kebutuhannya. Kurangnya dukungan keluarga selama proses pengobatan diabetes melitus dapat membuat individu rentan untuk tidak mematuhi program pengobatan (Diani, 2013). Perilaku seseorang yang patuh dalam menjalankan program pengobatan dipengaruhi oleh penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh perawat dalam meningkatkan pemahaman tentang pengobatan diabetes melitus. Peran perawat dalam perubahan perilaku pasien diabetes melitus sangat penting sebagai edukator dan konselor, sehingga perilaku klien yang tidak mendukung kesehatan dapat diubah menjadi perilaku yang taat dalam menjalani pengobatan (Waspadji, 2006). Pendidikan dan dukungan keluarga merupakan faktor yang mempengaruhi perilaku kepatuhan. Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografi yang dapat mempengaruhi seseorang baik terhadap lingkungan maupun objek tertentu. Semakin tinggi pendidikan seseorang, maka besar keinginan untuk memanfaatkan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya, sehingga dapat meningkatkan tingkat kepatuhan pasien dalam membantu pengobatan.
Tingkat pengetahuan pasien diabetes melitus dapat membantu meningkatkan pemahaman pasien terhadap kepatuhan program pengobatan dan dapat membantu pasien dalam menjalankan terapi, pemahaman tentang instruksi yang diberikan oleh perawat tentang program pengobatan (Niven, 2002). Berdasarkan hasil laporan Dinas Kesehatan Kota tahun 2013 dari 20 Puskesmas yang berada di Kota Jambi diperoleh Puskesmas Payo Selincah paling banyak penderita diabetes melitus sebanyak 1952 penderita. Penderita diabetes melitus di Puskesmas Payo Selincah dari tahun 2010 sampai tahun 2012 mengalami peningkatan dan mengalami penurunan pada tahun 2013. Dapat dilihat lebih jelas pada tabel dibawah ini : Tabel 1 Data Jumlah Penderita Diabetes Melitus Di Puskesmas Payo Selincah tahun 2010-2013. Jumlah Penderita Tahun % Diabetes Melitus Tipe II 2010 268 4,2 2011 564 8,8 2012 3594 56,3 2013 1952 30,7 Jumlah 6378 100% Berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Jambi, diketahui pasien diabetes melitus tipe II di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi pada tahun 2010 terdapat 268 pasien yang berobat mengalami peningkatan pada tahun 2011 dengan 564 pasien dan terjadi peningkatan yang drastis pada tahun 2012 dengan 3594 pasien namun pada tahun 2013 mengalami penurunan dengan 1952 pasien yang berobat. Survei awal yang dilakukan terhadap 10 pasien diabetes melitus tipe II yang berobat pada tanggal 20 Juni 2014 di Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi dengan cara wawancara 125
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
singkat, ternyata 60% pasien menyatakan bahwa pasien tidak mendapat dukungan keluarga berupa dukungan emosional untuk menjalankan program pengobatan diabetes melitus dan keluarga kurang memperhatikan pasien jadwal minum obat dan diet makanan pasien. Dari 10 pasien diperoleh 60% pasien tidak mengetahui mengenai manfaat dan pentingnya mematuhi pengobatan penyakit diabetes dan belum mendapatkan penyuluhan kesehatan mengenai pengobatan diabetes melitus. Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan gambaran pengetahuan dan dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2014. METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan cross sectional yaitu suatu metode yang dilakukan dengan tujuan melihat gambaran tentang suatu keadaan secara objektif dimana pengumpulan data dilakukan sekaligus pada suatu saat/waktu (Notoatmodjo, 2012), penelitian ini dilakukan pada tanggal 13 – 20 September tahun 2014. Populasi menurut Arikunto (2006) adalah keseluruhan subjek penelitian, populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien diabetes melitus tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2013 berjumlah 1952 orang. Penentuan besarnya sampel dengan rumus Lemeshow (1997) dalam Notoadmodjo (2012). Berdasarkan hasil dari penghitungan untuk menentukan besar sampel dalam penelitian ini, maka responden yang akan diambil untuk menjadi sampel berjumlah 42 orang. Analisis data secara univariat yang bertujuan untuk melihat gambaran
distribusi frekuensi dari setiap variabel yang diteliti. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 2. Distribusi Responden Berdasarkan Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014. Kepatuhan Persentase Frekuensi Berobat (%) Tidak Patuh 23 54,8 Patuh 19 45,2 Jumlah 42 100 Berdasarkan tabel 2, diperoleh gambaran kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2014 yaitu sebanyak 23 responden (54,8%) tidak patuh berobat dan 19 responden (45,2%) patuh berobat. Penilaian terhadap kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di peroleh berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan, meliputi kepatuhan tentang konsumsi obat anjuran dokter/perawat, kunjungan rutin, minum obat sesuai jadwal, pemeriksaan gula darah, olahraga teratur, menghindari makanan manis dan mengikuti diet diabetes. Kepatuhan atau yang dikenal dengan ’adherency’ adalah tindakan nyata untuk mengikuti aturan atau prosedur dalam upaya perubahan sikap dan perilaku individu (Niven, 2002). Kepatuhan diet DM yaitu perilaku menyakini dan menjalankan rekomendasi diet DM yang diberikan petugas kesehatan, Selain itu, kepatuhan diet merupakan salah satu kunci keberhasilan dalam penatalaksanaan penyakit DM tipe II karena merupakan bagian dari empat pilar utama pengelolaan DM tipe 2 di Indonesia (PERKENI, 2011). Pada penelitian ini, jika dilihat dari 42 responden diperoleh sebanyak 23 responden (54,8%) tidak patuh berobat dan 19 responden (45,2%) patuh berobat. Kepatuhan berobat 126
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
merupakan masalah besar yang terjadi pada penderita DM tipe 2 saat ini. Hal ini disebabkan karena nilai rata-rata kepatuhan terendah pada pengobatan penderita DM tipe II yaitu kepatuhan diet (PERKENI, 2011). Sebagian besar responden diabetes melitus tipe II tidak patuh melakukan olahraga secara teratur. Hal ini dimungkinkan karena mereka kurang mendapat informasi yang banyak dari dokter dan tenaga kesehatan mengenai aturan waktu dan frekuensi latihan jasmani yang dilakukan pada pasien DM tipe II serta dukungan keluarga yang selalu mengingatkan pasien untuk selalu berolahraga sehingga menghindari kebiasaan hidup yang kurang gerak atau bermalas-malasan. Menurut PERKENI (2011) kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu selama kurang lebih 30 menit), merupakan salah satu pilar dalam pengelolaan DM tipe 2. Latihan jasmani selain untuk menjaga kebugaran juga dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah. Sebagian besar responden diabetes melitus tipe II tidak patuh melakukan diet diabetes. Hal ini dimungkinkan karena pasien DM tipe 2 masih belum teratur dalam jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan. Diet dalam menjaga makanan yang dikonsumsi seringkali menjadi kendala bagi penderita diabetes melitus tipe II, karena masih tergoda dengan segala bentuk makanan yang dapat memperburuk kesehatan, hal tersebut juga tidak diimbangi dengan olahraga secara teratur karena didera rasa malas dalam diri mereka. Hal-hal yang telah disebutkan inilah yang menjadikan mereka tidak patuh. Terapi nutrisi medis (TNM) merupakan bagian dari penatalaksanan diabetes secara total. Kunci keberhasilan diet diabetes adalah keterlibatan secara menyeluruh dari
dokter, ahli gizi petugas kesehatan yang lain serta pasien dan keluarganya. Prinsip pengaturan diet diabetes pada penyandang diabetes hampir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat umum yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gzi masingmasing individu (PERKENI, 2011). Sebagian besar responden diabetes melitus tipe II tidak patuh melakukan minum obat sesuai dengan jadwal minum obat yang disarankan dokter/perawat. Hal ini dimungkinkan karena faktor usia, jenis kelamin, dukungan keluarga dan keyakinan diri. Menurut Brannon dan Feist (2004) dalam Setiadi (2014), kepatuhan dapat meningkat atau menurun seiring dengan bertambahnya usia, terdapat sedikit perbedaan kepatuhan pada wanita dan pria, dukungan sosial yang diterima dari keluarga dan keyakinan diri tentang penyakitnya yang dideritanya, pada umumnya ketika individu percaya bahwa dengan patuh terhadap pengobatan yang direkomendasikan dapat memberikan keuntungan kesehatan, maka individu akan patuh terhadap pengobatan tersebut. Upaya yang dilakukan pihak puskesmas dengan melakukan penyuluhan/konsultasi kepada pasien DM tipe II agar pasien dapat mengetahui penanganan DM secara tepat dan benar serta dapat merawat dirinya secara mandiri dan mengoptimalkan peran petugas kesehatan dalam konseling terapi gizi medis, latihan jasmani, kepatuhan makan obat dan menganjurkan pasien DM tipe II selalu memonitoring kadar glukosa darahnya demi meningkatkan derajat kesehatan yang optimal sesuai penatalaksanaan pilar penanganan DM tipe II. Ada peran aktif dari penderita dan dukungan keluarga untuk dapat meningkatkan kepatuhan pasien seperti memberikan obat dengan jadwal minum obat satu kali sehari, menganjurkan latihan jasmani, terapi 127
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
nutrisi medis sesuai dengan kebutuhannya guna mencapai sasaran terapi, keteraturan makan dalam hal jadwal makan, jenis, dan jumlah makanan, tidak mengubah jenis obat dari yang biasanya dikonsumsi oleh pasien apabila tidak dibutuhkan. Selain itu juga bisa dengan memberikan alat bantu seperti kartu pengingat obat yang bisa ditandai apabila pasien sudah minum obat. Tabel 3. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014. Pengetahuan
Frekuensi
Rendah Tinggi Jumlah
25 17 42
Persentase (%) 59,5 40,5 100
Berdasarkan tabel 3, diperoleh gambaran pengetahuan responden dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2014 yaitu sebanyak 25 responden (59,5%) memiliki pengetahuan rendah dan 17 responden (40,5%) memiliki pengetahuan tinggi dengan kepatuhan berobat. Penilaian terhadap pengetahuan dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II diperoleh berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan, meliputi hal mengendalikan kadar kadar gula darah, pengaturan makan, tanda dan gejala umum, faktor risiko, kegiatan menurunkan gula darah, penatalaksanaan, pencegahan gula darah dan manfaat olahraga bagi pasien diabetes mellitus tipe II. Pengetahuan adalah hasil penginderaan manuasia atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indera yang dimilikinya. Secara garis besar pengetahuan dibagi menjadi 6 tingkatan yaitu tahu, memahami,
aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2012). Sejak lama, penilaian terhadap pengetahuan tentang DM merupakan suatu komponen yang penting dalam keseluruhan penilaian terhadap para penyandang DM tipe 2. Penilaian pengetahuan seputar diabetes dan penatalaksanaannya sudah biasa digunakan dalam evaluasi dan penelitian untuk mengukur pengetahuan DM (PERKENI, 2011). Pada penelitian ini diketahui bahwa mayoritas responden berpengetahuan rendah sebanyak 25 responden (59,5%) dan 17 responden (40,5%) memiliki pengetahuan tinggi dengan kepatuhan berobat. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pasien DM tipe 2 di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah memiliki pengetahuan rendah terkait penyakit dan kepatuhan berobat DM. Hal ini dimungkinkan karena mereka kurang mendapat informasi yang banyak dari dokter dan tenaga kesehatan selama mengikuti edukasi dan konseling diabetes di Puskesmas dan dukungan keluarga sebagai orang terdekat dalam menjalani diet DM. Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang fungsi pengaturan pola makan pada pasien diabetes melitus. Hal ini dimungkinkan responden mengetahui pengaturan jadwal, jenis makanan dan jumlah namum prakteknya sebagian besar tidak menerapkan hal tersebut. Seluruh responden cenderung makan ketika merasa lapar, jenis makanan yang dianjurkan masih kurang belum dikonsumsi dan lebih mempercayai obat untuk menurunkan gula darah. Perencanaan makan merupakan salah satu pilar pengelolaan diabetes, meski sampai saat ini tidak satu pun perencanaan makan yang sesuai untuk pasien. Perencanaan makan harus disesuaikan menurut kebiasaan masing-masing 128
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
individu. Faktor yang berpengaruh pada respon glikemik makanan adalah cara memasak, proses penyiapan makanan, dan bentuk makan serta komposisi makanan (karbohidrat, lemak, dan protein). Jumlah masukan kalori makanan yang berasal dari karbohidrat lebih penting daripada sumber atau macam karbohidratnya. Gula pasir sebagai bumbu masakan tetap diijinkan. Pada keadaan glukosa darah terkendali, masih diperbolehkan untuk mengkonsumsi sukrosa (gula pasir) sampai 5% kebutuhan kalori (Jafar, 2009). Sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang manfaat olahraga teratur bagi pasien DM tipe 2. Hal ini dimungkinkan karena pasien tidak melakukan olahraga sehingga manfaat dari olahraga belum dirasakan pasien DM tipe II, dorongan dari keluarga dengan mengingatkan pasien untuk selalu olahraga dan anjuran dari petugas kesehatan. Pada saat seseorang melakukan latihan jasmani, pada tubuh akan terjadi peningkatan kebutuhan bahan bakar tubuh oleh otot yang aktif dan terjadi pula reaksi tubuh yang kompleks meliputi fungsi sirkulasi, metabolisme, dan susunan saraf otonom. Dimana glukosa yang disimpan dalam otot dan hati sebagai glikogen, glikogen cepat diakses untuk dipergunakan sebagai sumber energi pada latihan jasmani terutama pada beberapa atau permulaan latihan jasmani dimulai, sehingga setelah 30 menit akan terjadi penurunan kadar glukosa darahnya dibanding sebelum latihan jasmani (PERKENI, 2011). Hasil penelitian kali ini menunjukkan pengetahuan responden rendah cenderung lebih tidak patuh dalam melakukan kepatuhan berobat. Hal ini terjadi karena pengetahuan yang dimiliki responden mengenai diabetes dan penatalaksanaan dietnya akan menimbulkan kesadaran bagi mereka dan akhirnya akan menyebabkan mereka berperilaku sesuai dengan
mereka ketahui (Notoatmodjo, 2012). Oleh karena itu, pada penelitian ini responden dengan pengetahuan tinggi tentunya mudah dalam menjalankan segala anjuran diet dari dokter karena mereka mempunyai kesadaran untuk patuh berobat. Berdasarkan teori, perilaku yang didasarkan oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2012). Hal tersebut dikarenakan pengetahuan merupakan titik tolak terjadinya perubahan perilaku seseorang. Seorang penderita penyakit tertentu dengan tingkat pengetahuan yang kurang akan menyebabkan tidak patuh dalam menjalankan rekomendasi dari petugas kesehatan. Kepatuhan diet yang rendah pada penderita DM disebabkan karena pengetahuan yang kurang dan rendahnya informasi yang mereka dapatkan mengenai aturan serta cara mempertahankan diet yang baik. Pasien DM tipe II yang mempunyai pengetahuan rendah cenderung sulit untuk mengikuti anjuran dari petugas kesehatan. Pengetahuan mengenai manajemen diabetes merupakan manajemen yang dibutuhkan untuk memperoleh kesuksesan dalam pengelolaan diabetes tetapi itu saja tidak cukup perlu faktor lain yang mendukung (PERKENI, 2011). Jadi dalam konteks penelitian ini penderita DM yang mempunyai tingkat pengetahuan tinggi lebih paham dan mengerti mengenai anjuran diet untuk penyakitnya sehingga mereka pada akhirnya lebih patuh dalam menjalankan diet. Keberhasilan dalam pengelolaan diabetes melitus tipe II umumnya terjadi pada saat pola gaya hidup dan perilaku telah terbentuk kokoh.
129 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
Tabel 4. Distribusi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014. Dukungan Frekuensi Persentase (%) Keluarga Kurang Baik 23 54,8 Baik 19 45,2 Jumlah 42 100 Berdasarkan tabel 4, diperoleh gambaran dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi tahun 2014 yaitu sebanyak 23 responden (54,8%) memiliki dukungan keluarga kurang baik dan 19 responden (45,2%) memiliki dukungan keluarga baik dengan kepatuhan berobat. Penilaian terhadap dukungan keluarga dengan kepatuhan berobat pasien diabetes melitus tipe II di peroleh berdasarkan jawaban dari pertanyaan yang diajukan, meliputi keluarga mendampingi berobat, periksa kesehatan, mengingatkan kontrol gula darah, mengingatkan berolahraga, mendorong mengikuti diet dan keteraturan waktu diet, konsumsi obat, mengingatkan konsumsi obat, mencarikan informasi dan bagaimana membantu mengatasi diabetes melitus. Menurut Sarwono (2010) dukungan sosial keluarga merupakan keadaan yang bermanfaat bagi individu yang diperoleh dari orang lain sehingga orang akan tahun bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai dan mencintainya. Dukungan keluarga secara nyata merupakan bentuk kepedulian keluarga untuk memberikan stimulan, mengingatkan dan membantu penderita DM dalam pengaturan diet. Bentuk penilaian terhadap dukungan keluarga dalam penelitian ini didasarkan pada 10 pertanyaan mengenai dukungan moril yang diberikan keluarga dalam satu rumah kepada responden untuk mematuhi
aturan diet. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebanyak 23 responden (54,8%) memiliki dukungan keluarga kurang baik dan 19 responden (45,2%) memiliki dukungan keluarga baik dengan kepatuhan berobat. Sebagian besar responden memiliki dukungan keluarga kurang baik tentang keluarga mengerti bagaimana cara membantu anda dalam mengatasi diabetes, mengingatkan untuk minum obat sesuai dengan jadwal minum obat yang disarankan dokter/perawat, dan keteraturan waktu diet. Hal ini dimungkinkan responden telah memahami cara mengatasi diabetesnya sendiri, kesibukan kerja, sekolah dan kegiatan anggota keluarga lainnya dan komunikasi yang tidak baik antara anggota keluarga dengan pasien. Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahanperubahan yang dialami anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi perhatian anggota keluarga lainnya. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat. Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai kemampuan memutuskan tindakan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi dan diatasi (Susanti, dkk, 2013). Menurut teori, diet adalah upaya menurunkan berat badan atau mengatur asupan nutrisi tertentu. Diet adalah jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seseorang. Menurut Almatsier (2004) tujuan diet diabetes melitus adalah, membantu pasien memperbaiki kebiasaan makan dan olahraga untuk mendapatkan kontrol yang lebih baik, dengan cara : mempertahankan kadar gula glukosa darah supaya mendekati normal dengan menyeimbangkan asupan 130
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
makanan dengan insulin, dengan obat penurunan glukosa oral dan aktivitas fisik, mencapai dan mempertahankan kadar lipid serum normal, memberi cukup energi untuk mempertahankan atau mencapai berat badan normal, menghindari dan menangani komplikasi akut pasien yang menggunakan insulin seperti hipoglikemi, komplikasi jangka pendek dan jangka lama serta masalah yang berhubungan dengan latihan jasmani, meningkatkan derajat kesehatan secara keseluruhan melalui gizi yang optimal. Upaya yang dilakukan adalah keluarga lebih termotivasi untuk memberikan dukungan yang diberikan kepada pasien diabetes melitus dalam meningkatkan kepatuhan diet pada pasien diabetes melitus. Penatalaksanaan diabetes melitus adalah perencanaan makan (diet), latihan fisik, dan pengelobatan. Dalam menjalani terapi diet, dukungan dalam keluarga sangatlah diperlukan agar pasien diabetes melitus merasa nyaman dan tentraman untuk menjalani diet diabetes melitus. Selain itu pasien diabetes melitus patuh dalam melaksanakan perintah, mentaati aturan dan disiplin dalam menjalankan program diet yang sudah ditentukan, sehingga komplikasi dapat dikendalikan. SIMPULAN Sebagian besar responden tidak patuh berobat sebanyak 23 responden (54,8%) dan 19 responden (45,2%) patuh berobat, dari segi pengetahuan responden memiliki pengetahuan rendah sebanyak 25 responden (59,5%) dan 17 responden (40,5%) memiliki pengetahuan tinggi. Segi dukungan keluarga responden yang memiliki dukungan keluarga kurang baik sebanyak 23 responden (54,8%) dan 19 responden (45,2%) memiliki dukungan keluarga baik untuk kepatuhan berobat. Dari hasil penelitian dapat di simpulkan pengetahuan responden
tidak berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan berobat. Akan tetapi dukungan keluarga responden berbanding lurus dengan tingkat kepatuhan responden dengan kepatuhan berobat diabetes melitus tipe II di wilayah kerja Puskesmas Payo Selincah Kota Jambi Tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Almatsier, S. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : Ikrar Mandiri Abadi. Anggina,LL, Hamzah A., Pandhit. 2010. Hubungan antara Dukungan Sosial Keluarga dengan Kepatuhan Pasien Diabetes Mellitus dalam Melaksanakan Program Diet di Poli Penyakit Dalam RSUD Cibabat Cimahi. Bandung : Poltekkes Kemenkes Bandung. Brunner Dan Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. EGC. Jakarta. Darwis, Yullizar, Dr, Sp.Kj, MM, dkk. 2005. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium Untuk Penyakit Diabetes Melitus. Depkes RI. Jakarta. Diani, N. 2013. Pengetahuan dan Praktik Perawatan Kaki pada Klien Diabetes Melitus tipe 2 di Kalimantan Selatan. Skripsi. Jakarta : Universitas Indonesia. Jafar, Nurhaedar. 2009. Penanggulangan Diabetes Melitus tipe II. FKM Universitas Hasanudin. Makasar. Maulana. 2008. Mengenal Diabetes Melitus. Ar-rush Medi Group. Jakarta. Misnadiarly. 2006. Diabetes Mellitus: Gangren, Ulcer, Infeksi Mengenal Gejala, Menaggulangi dan Mencegah Komplikasi. Pustaka Populer Obor. Jakarta Niven, N. 2002. Psiklogi Kesehatan. EGC. Jakarta. Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Ilmu Kesehatan Teori dan Aplikasi. Rineka Cipta. Jakarta. 131
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
Notoatmodjo, Soekidjo. 2012. Metodologi Penelitian. Rineka Cipta. Jakarta. SPERKENI (Perkumpulan Endokrinologi Indonesia) 2011. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 Di Indonesia. Sarwono, Sarlito Wirawan. 2010. Psikologi Sosial. PT. Balai Pustaka. Jakarta. Sihombing, D., Nursiswati., Prawesti. 2013. Gambaran Perawatan Kaki dan Sensasi Sensorik Kaki pada Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik DM RSUD. Bandung: Universitas Padjadjaran. Susanti, Mei Lina,. Tri sulistyarini. 2013. Dukungan Keluarga Meningkatkan Kepatuhan Diet Pasien Diabetes Melitus Di Ruang Rawat Inap RS Baptis Kediri. Jurnal Stikes.Kediri. Setiadi, Arianto.2014. Hubungan Keyakinan Diri Dengan
Kepatuhan Minum Obat Pada Lansia penderita DM Tipe II di Wilayah Kerja Puskesmas Ayah. Skripsi. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. Smeltzer, S. C., & Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta. Soegondo, S dkk. 2013. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Tandra Hans. 2007. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Diabetes Melitus. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Topan Erik, Dr, Mha. 2005. Penyakit Degeneratif. PT. Alex Media Komputindo. Jakarta. Waspadji, S. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Penerbit FK UI. Jakarta.
132 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014 1*
Gumarang Malau, 2 Johannes Akademi Keperawatan Prima Jambi 2 STIKes Prima Jambi *Korespondensi penulis :
[email protected] 1
ABSTRAK Depresi pada lansia dipandang sebagai masalah yang penting karena adanya bukti bahwa depresi pada lansia akan membawa kepada ketidakmampuan atau disabilitas, baik fungsi fisik maupun sosial. Mereka yang mengalami stress psikososial dapat menyebabkan mereka menderita depresi, cemas dan mungkin psikosis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Terapi Okupasional Terhadap Penurunan Tingkat Depresi Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014. Penelitian ini merupakan penelitian Kuantitatif dengan design pre-experimen dengan rancangan “One Group Pretest Posttest Design” dan dilakukan pada tanggal 15 Agustus – 5 September 2014. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan kuesioner. Populasi dalam penelitian adalah seluruh lansia penghuni Panti Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 yang berjumlah 70 orang lansia. Jumlah sampel dalam penelitian ini mempergunakan teknik Total Sampling dengan jumlah sampel sebanyak 60 sampel dimana sebanyak 10 orang sampel tidak kooperatif dengan terlebih dahulu seluruh populasi mengisi kuesioner untuk mengetahui berapa orang yang depresi dan tidak depresi. Analisis data menggunakan analisis Univariat dan Bivariat. Hasil penelitian, depresi responden sebelum dilakukan terapi okupasional, 22 orang tidak depresi setelah dilakukan terapi meningkat menjadi 34 responden, 23 responden mengalami depresi ringan setelah dilakukan terapi menurun menjadi 18 responden dan 15 responden mengalami depresi sedang setelah dilakukan terapi menurun menjadi 8 responden. Ada pengaruh terapi okupasional terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia dengan nilai p-value pada uji T adalah 0,000 < 0,005. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, responden merasa depresi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014 karena pihak panti jarang melakukan terapi okupasional terhadap responden. Oleh karena itu hendaknya, pelaksanaan dari terapi okupasional di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014 tetap di jalankan secara rutin. Sehingga dapat menurunkan tingkat depresi pada responden. Kata Kunci
: Terapi Okupasional, Depresi
PENDAHULUAN Keberhasilan Pemerintah dalam Pembangunan Nasional telah diwujudkan di berbagai bidang, yaitu adanya kemajuan ekonomi, perbaikan lingkungan hidup, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama di bidang medis. Keberhasilan di berbagai bidang tersebut akan meningkatkan umur harapan hidup manusia. Akibatnya jumlah penduduk yang berusia lanjut meningkat dan bertambah cenderung lebih cepat (Keliat, 2011). Pada tahun 2010 jumlah penduduk Lansia di Indonesia yang tinggal di perkotaan sebesar 12,380,321
(9,58%) dan yang tinggal di perdesaan sebesar 15,612,232 (9,97%). Terdapat perbedaan yang cukup besar antara Lansia yang tinggal di perkotaan dan di perdesaan. Perbedaan ini bisa jadi karena antara lain Lansia yang tadinya berasal dari desa lebih memilih kembali ke desa di hari tuanya, dan mungkin juga bisa jadi karena penduduk perdesaan usia harapan hidupnya lebih besar karena tidak menghirup udara yang sudah berpolusi, tidak sering menghadapi hal-hal yang membuat mereka stress.
133 SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Hasil sensus penduduk tahun 2011 diketahui jumlah lanjut usia di Provinsi Jambi sebanyak 156.372 jiwa atau 8,39% dari jumlah penduduk Provinsi Jambi pada tahun 2012 menjadi 165.367 jiwa atau sekitar 8,85% dan pada tahun 2013 terjadi peningkatan jumlah lanjut usia baik secara absolut maupun presentasenya yaitu 172.342 jiwa atau sekitar 9,020% dari jumlah total Provinsi Jambi (BPS Jambi, 2013). Lanjut usia adalah suatu kejadian yang pasti akan dialami oleh semua orang yang dikarunia usia panjang, terjadi tidak bisa dihindari oleh siapapun, namun manusia dapat berupaya untuk menghambat kejadiannya. Menua (menjadi tua = aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normal sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakkan yang diderita (Akhmadi, 2009). Bagi manusia normal, siapapun orangnya, tentu telah siap untuk menerima keadaan baru dalam setiap fase hidupnya dan mencoba menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungannya (Al-Isawi, 2010). Daya tangkal tubuh lansia lebih rendah dibandingkan dengan usia muda dan produktif sehingga lebih mudah terkena penyakit dan lansia kurang tahan terhadap tekanan mental, lingkungan dan fisik (Nugroho, 2000). Perubahan penampilan fisik sebagai bagian dari proses penuaan yang normal, seperti berkurangnya ketajaman panca indera, menurunnya daya tahan tubuh merupakan ancaman bagi integritas orang usia lanjut. Belum lagi mereka masih harus berhadapan dengan kehilangan peran diri, kedudukan sosial serta perpisahan dengan orang-orang yang dicintai. Kondisi diatas menyebabkan orang usia lanjut menjadi lebih rentan untuk mengalami problem mental, salah
satunya adalah depresi (Maedani, 2010). Hawari (2004) menyatakan bahwa depresi dapat dipengaruhi oleh stressor psikososial yaitu setiap keadaan atau peristiwa yang menyebabkan perubahan dalam kehidupan dalam kehidupan seseorang sehingga orang itu terpaksa mengadakan adaptasi atau penyesuaian diri untuk menanggulanginya. Depresi merupakan suatu gangguan afektif yang ditandai dengan hilangnya minat atau kesenangan dalam aktivitas-aktivitas yang biasa dan pada waktu yang lampau. Secara umum insiden depresi pada wanita dibanding pria adalah 1.2 - 2.0 / 1.0, dengan angka morbiditas pada pria adalah 4 - 8 per 1000 kelahiran hidup. Pada lansia, prevalensi depresi diperkirakan 15% dari populasi usia lanjut dan diduga sekitar 60% dari pasien di unit geriatri menderita depresi. Pada tahun 2020 depresi pada lansia akan menduduki urutan teratas di negara berkembang, termasuk Indonesia (Nursalam, 2012). Menurut "The National Old People's Welfare Council" di Inggris dalam Nugroho (2000) menyatakan bahwa depresi merupakan salah satu penyakit atau gangguan umum pada lansia yang menduduki ranking teratas. Menurut Maryam (2008), ada lima sumber utama yang dapat mencetuskan terjadinya depresi, yaitu : kehilangan keterikatan yang mencakup kehilangan cinta dan kasih sayang serta kehilangan seseorang yang sangat dicintai, peristiwa besar dalam kehidupan, peran dan ketegangan peran, perubahan fisiologis, sumber koping yang mencakup dukungan keluarga dan status sosial ekonomi. Salah satu terapi yang paling efektif untuk menurunkan tingkat depresi adalah terapi okupasional. Dikarenakan dalam terapi ini penderita depresi selain mendapatkan relaksasi tubuh juga merasakan peningkatanpeningkatan fungsi kerja tubuh seperti aliran darah yang lancar, menurunnya 134
SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
keluhan sakit di persendian serta bagi penderita depresi dapat menenangkan pikiran dan jiwa. Keuntungan teknik okupasional ini dibandingkan dengan terapi musik, kelompok atau lainnya adalah terapi ini dapat dilakukan secara massal dan penderita dapat berinteraksi langsung antara penderita (Nugroho, 2010). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Kota Jambi untuk tahun 2012 jumlah lansia sebesar 80.900 jiwa dengan perincian usia 45-59 tahun berjumlah 43.373 jiwa, usia 60-69 tahun berjumlah 23.929 jiwa dan usia > 70 tahun berjumlah 13.298 jiwa dengan jumlah kunjungan lansia berjumlah 88.512 jiwa, sedangkan data jumlah lansia untuk tahun 2013 berjumlah 89.367 jiwa (Dinkes Kota Jambi, 2012). Panti sosial tresna werdha budi luhur (PSTW) merupakan satu-satunya panti jompo di Provinsi Jambi yang menampung lansia agar mereka mendapatkan perawatan yang layak, pada tahun 2007, jumlah usia lanjut di Panti Werdha berjumlah 70 orang yang terdiri dari 38 orang berjenis kelamin laki- laki dan 32 orang berjenis kelamin wanita (PSTW Budi Luhur, 2013 ). Menurut Pengurus Panti Sosial Tresna Werdha, terapi okupasi berupa senam lansia hanya 1 kali dilakukan dalam seminggu. Hasil pemeriksaan kesehatan yang dilakukan oleh Dokter di Panti Sosial Tresna Werdha diketahui bahwa lansia yang mengalami depresi sebanyak 37 orang (60,7%). Hasil survei dengan melakukan wawancara dengan 5 orang lansia diketahui sebanyak 2 lansia mengatakan sedih, masa depannya buruk, tidak berharga dan merasa dirinya tidak berguna, 2 orang lansia mengatakan dirinya tidak berguna, tidak berdaya, tidak mau makan, merasa kecewa dengan dirinya, sedangkan 1 orang lansia mengatakan merasa senang tinggal di panti karena berkumpul dengan lansia lainnya.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian Kuantitatif dengan design preexperiment, rancangan yang digunakan adalah One Group Design, Pretest Posttest Design. Dalam rancangan ini tidak ada kelompok pembanding, tetapi paling tidak sudah dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya eksperimen (perlakuan) (Notoatmodjo, 2005). Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang akan diteliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi tahun 2014 berjumlah 70 lansia dan dilakukan pada tanggal 15 Agustus – 5 September 2014. Sampel adalah sebagian populasi yang akan diteliti atau sebagian jumlah dari karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Notoatmodjo, 2010). Cara pengambilan sampel dalam penelitian ini mengacu pada teori Arikunto (2006) yang mengatakan jika jumlah populasi di bawah 100, lebih baik diambil semua. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan teknik Total Sampling Sampling, dengan jumlah sampel sebanyak 60 sampel dimana sebanyak 10 orang sampel tidak kooperatif dengan terlebih dahulu seluruh populasi mengisi kuesioner untuk mengetahui berapa orang yang depresi dan tidak depresi. Analisis data menggunakan analisis Univariat dan Bivariat. Analisis data dengan univariat dan analisis bivariat. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah uji stasistik non parametrik dengan menggunakan uji t-test. Teknik ini digunakan untuk menguji signifikan dua sampel yang berhubungan. Jika p-value alpha (0,05), maka Ho ditolak dengan kata lain terdapat pengaruh terapi okupasi (olahraga/senam) terhadap penurunan tingkat depresi.
135 SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1.Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Skala Depresi Lansia Sebelum Dilakukan Terapi Okupasional Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Tahun 2014.
Depresi Ringan
Sebelum Terapi Okupasional 23
38.3
Depresi Sedang Depresi Berat Jumlah Sampel
15 0 38
25.0 0.0 100.0
Skala Depresi
%
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Skala Depresi Lansia Sesudah Dilakukan Terapi Okupasional Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Tahun 2014.
Skala Depresi Depresi Ringan Depresi Sedang Depresi Berat Jumlah Sampel
Sesudah Terapi Okupasional 18 8 0 16
% 30.0 13.3 0.0 100.0
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Skala Depresi Lansia Sebelum dan Sesudah Terapi Okupasional Di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014.
Terapi Sebelum Sesudah
Tidak Depresi (0-4) 22 34
Skala Depresi Depresi Depresi Ringan Sedang (5-7) (8-16) 23 15 18 8
Berdasarkan tabel 1 didapat bahwa skala depresi responden sebelum dilakukan terapi okupasional adalah untuk depresi ringan berjumlah 23 responden (38,3%), tidak depresi berjumlah 22 responden (36,7%), depresi sedang berjumlah 15 responden (25,0%) dan tidak ada yang depresi berat (0%). Berdasarkan tabel 2 didapat bahwa skala depresi responden sesudah dilakukan terapi okupasional adalah sebelum dilakukan teknik okupasional yaitu 22 yang berarti terjadi peningkatan sebanyak 12 orang, depresi ringan berjumlah 18 responden (30,0%) terjadi penurunan bila
Depresi Berat (> 16) 0 0
pvalue 0.000
dibandingkan sebelum dilakukan teknik okupasional yaitu sebanyak 5 orang menjadi depresi ringan dan depresi sedang berjumlah 8 responden (13,3%) terjadi penurunan bila dibandingkan dengan sebelum dilakukan teknik okupasional yaitu sebanyak 7 orang dengan rincian 5 orang ke depresi ringan dan 2 orang tidak depresi. Berdasarkan tabel 3, dengan jumlah sampel sebanyak 60 orang didapatkan bahwa skala depresi responden sebelum dilakukan terapi okupasional, 22 orang tidak depresi setelah dilakukan terapi meningkat menjadi 34 responden, 23 responden mengalami depresi ringan setelah
136 SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
dilakukan terapi menurun menjadi 18 responden dan 15 responden mengalami depresi sedang setelah dilakukan terapi menurun menjadi 8 responden. Berdasarkan dari Uji T didapatkan Nilai p-value 0,000 < 0,05. Berarti dari hasil uji statistik yang diperoleh ada pengaruh terapi okupasional terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014. Menurut Saddock (20090, untuk terapi pengobatan depresi lansia. Teknik okupasional termasuk dalam pengobatan terapi psikologis. Teknik okupasional terbukti efektif dalam mengurangi kegelisahan hati dan bahkan dapat melawan kemarahan. Karena jika jantung bekerja pada saat berolahraga, maka konsentrasi pikiran tidak akan terfokus pada urusan pekerjaan lagi. Selain dapat mengalihkan pikiran, aerobik yang rutin juga dapat meningkatkan ketahanan kardiovaskular, sehingga nantinya dapat bersikap tidak terlalu berlebihan dalam menyikapi suatu masalah. Aktivitas yang terbukti efektif dalam melawan ketegangan otak adalah aerobik seperti berjalan kaki, bersepeda, jogging dan yoga. Menurut Nugroho (2010), salah satu terapi yang paling efektif untuk menurunkan tingkat depresi adalah terapi okupasional. Dikarenakan dalam terapi ini penderita depresi selain mendapatkan relaksasi tubuh juga merasakan peningkatan-peningkatan fungsi kerja tubuh seperti aliran darah yang lancar, menurunnya keluhan sakit di persendian serta bagi penderita depresi dapat menenangkan pikiran dan jiwa. Keuntungan teknik okupasional ini dibandingkan dengan terapi musik, kelompok atau lainnya adalah terapi ini dapat dilakukan secara massal dan penderita dapat berinteraksi langsung antara penderita. Upaya yang bisa dilakukan untuk lebih mengefektifkan teknik okupasional terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia adalah dengan
mempertahankan teknik okupasional dalam bentuk senam lansia maupun senam kegel sehingga derajat kesehatan lansia dapat meningkat khususnya dalam penurunan tingkat depresi pada lansia. SIMPULAN Depresi responden sebelum dilakukan terapi okupasional, 22 orang tidak depresi setelah dilakukan terapi meningkat menjadi 34 responden, 23 responden mengalami depresi ringan setelah dilakukan terapi menurun menjadi 18 responden dan 15 responden mengalami depresi sedang setelah dilakukan terapi menurun menjadi 8 responden. Ada pengaruh terapi okupasional terhadap penurunan tingkat depresi pada lansia dengan nilai p-value pada uji T adalah 0,000 < 0,005. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, responden merasa depresi di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014 karena pihak panti jarang melakukan terapi okupasional terhadap responden. Oleh karena itu hendaknya, pelaksanaan dari terapi okupasional di Panti Sosial Tresna Werdha Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014 tetap di jalankan secara rutin. Sehingga dapat menurunkan tingkat depresi pada responden. DAFTAR PUSTAKA Akhmadi. 2009. “Kategori Kemandirian Jilid 2”. Penerbit: Balai Pustaka : Jakarta. Al-Isawi. 2010. “Fase Penurunan Lanjut Usia (Mental dan Psikis)”. Diakses Jam : 12.30 Wib, tanggal : 28 Mei 2010. Trixie Warnet Jambi. Arif, 2008. Lansia dan fenomena. http:www/lansia.org.$/?/2008. Diakses tanggal : 21 September 2014. Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.
137 SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
PENGARUH TERAPI OKUPASIONAL TERHADAP PENURUNAN TINGKAT DEPRESI LANSIA DI PANTI SOSIAL TRESNA WERDHA BUDI LUHUR KOTA JAMBI TAHUN 2014
Hawari, 2009. “Mengenal Lanjut Usia”. TIM, Yogyakarta. Keliat, 2011. “Faktor-Faktor Utama Dalam Kemandirian”. Penerbit : Nuha Medika : Yogyakarta. Maryam, 2008. “Mengenal Lanjut Usia Lanjut dan Perawatannya”. Salemba Medika : Jakarta. Maedani, 2012. ”Kategori Lansia dan Permasalahannya”. Diakses jam : 14.45 Wib. Tanggal : 20 Mei 2010. Trixie Warnet Jambi. Notoatmodjo, S (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta, Jakarta Notoatmodjo, S (2010). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Rineka Cipta, Jakarta
Nugroho, 2010. “Keperawatan Gerontik”. Edisi1 Buku Kedokteran. Penerbit : EGC : Jakarta. Nursalam, 2012. ”Konsep Penatalaksanaan Asuhan Keperawatan Pada Lansia”. Salemba Medika. Yogyakarta. Profil PSTW Budi Luhur Kota Jambi Tahun 2014. Jumlah Lansia Tahun 2013 di PSTW Budi Luhur Kota J ambi. Saddock, 2009. ”Asuhan Keperawatan Gerontik Edisi 6”. Salemba Medika, Jakarta.
138 SCIENTIA JOURNAL STIKES PRIMA JAMBI
Vol.3 No.2 Desember 2014
STUDI KOMPARASI IBU BERSALIN NORMAL DENGAN TINDAKAN MASSASE UTERUS, PERRANGSANGAN PUTING SUSU IBU DAN MANEJEMEN AKTIF KALA III TERHADAP KONTRAKSI UTERUS SERTA ASPEK PUBLIC HEALTH DI BPS.H CIGANJUR 2012 NORMAL MATERNITY MOTHER COMPARISON STUDY WITH MASSASE UTERUS ACTION, MATERNAL NIPPLE STIMULATION AND MAK III STAGE TOWARD UTERUS CONTRACTION AS WELL AS PUBLIC HEALTH ASPECTS IN BPS.H CIGANJUR YEAR 2012 Vevi Endriani Korespondensi penulis :
[email protected] Program Studi Pascasarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Indonesia Maju ABSTRAK Mengetahui perbandingan dan perbedaan kontraksi uterus dengan dilakukan massase uterus, perangsangan puting susu ibu serta manejemen aktif kala III dan aspek public health di BPS. H di Ciganjur Jakarta Selatan Tahun 2012. Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu True exsperiment dengan rancangan desain Pretest Posttest with control group yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu satu kelompok eksperimen sebagai perlakuan dan satu kelompok control sebagai pembanding dengan jumlah populasi 90 orang ibu bersalin. Desain ini dipilih untuk, mengetahui/membuktikan pengaruh, perbedaan/signifikan massase uterus, perangsangan puting susu ibu dan manejemen aktif kala III ibu bersalin terhadap subjek, dan besaran manfaat dan kesulitan yang didapat dari kedua kelompok eksperimen yang diteliti dengan menggunakan uji Anova (Analysis of varian) Two Ways Anova dengan aplikasi Special Package For Statistis Science (SPSS). Hasil penelitian dari statistik ada hubungan antara massase uterus terhadap kontraksi uterus sebesar P=0,020 berarti P
No.3 Vol.2 Desember 2014
PENDAHULUAN Angka kematian di Indonesia masih tinggi bila dibandingkan dengan negara di Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand dan Malaysia, banyak faktor yang mempengaruhi tingginya angka kematian ibu dan bayi, diantaranya status kesehatan ibu, keadaan sosial ekonomi dan budaya. Menurut Saifudin, 90% kematian ibu terjadi disaat persalinan dan penyebab kematian ibu adalah komplikasi obstetrik yang sering tidak dapat diperkirakan sebelumnya, misalnya perdarahan, partus lama atau partus tak maju. Deteksi dini pada tiap kemajuan persalinan dan pencegahan partus lama bermakna dapat menurunkan resiko terjadinya sepsis, perdarahan pascapersalinan, ruptur uteri dengan segala akibatnya.1Angka Kematian Ibu (AKI) menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2002-2003 sebesar 307 per 100.000 kelahiran hidup, angka ini masih jauh dengan target yang ingin dicapai secara nasional di tahun 2010 yaitu 125 per 100.000 kelahiran hidup.2 Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia saat ini masih menjadi persoalan yang sangat penting untuk dijadikan prioritas masalah. Di beberapa negara berkembang angka kematian maternal melebihi 1000 wanita tiap 100.000 kelahiran hidup, dan data WHO menunjukkan bahwa 25% dari kematian maternal disebabkan oleh perdarahan post partum dan diperkirakan 100.000 kematian maternal tiap tahunnya.3 Di Inggris separuh kematian ibu hamil akibat perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum. Di Indonesia, Sebagian besar persalinan terjadi tidak di rumah sakit, sehingga pasien yang bersalin di luar kemudian mengalami perdarahan postpartum dan terlambat sampai ke rumah sakit, saat datang keadaan umum / hemodinamik nya sudah memburuk, akibatnya mortalitas tinggi.4 Perdarahan setelah melahirkan atau post partum hemorrhagic (PPH)
adalah konsekuensi perdarahan berlebihan dari tempat implantasi plasenta, trauma ditraktus genitalia dan struktur sekitarnya, atau keduanya. diperkirakan ada 14 juta kasus perdarahan dalam kehamilan setiap tahunnya paling sedikit 128.000 wanita mengalami perdarahan sampai meninggal. Sebagian besar kematian tersebut terjadi dalam waktu 4 jam setelah melahirkan dan kebanyakan terjadi pada wanita dengan usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun serta wanita dengan jarak persalinan yang dekat yaitu kurang dari 2 tahun5. Setelah bayi lahir mampu mencegah terjadinya retensio plasenta dan perdarahan pasca persalinan, bahkan meminimalkan tindakan pemberian suntikan uterotonika/ oxytocin pasca melahirkan. Jelas hal ini sangat menguntung bagi pasien maupun bidan sendiri, selain meminimalkan tindakan terhadap ibu, ibu juga merasa tidak tersakiti karena harus menerima protap (prosedur tetap) rutin yang selama ini wajib dilakukan pada (managemen aktif kala III). Dimana terdiri dari pemberian oksitosin, peregangan tali pusat terkedali dan dilakukannya massase uterus. Pemberian oksitosin oksitosin menstimulasi kontraksi otot polos uterus. Peran tepatnya dalam mencetuskan persalinan pada ibu hamil tidak jelas. Akan tetapi, oksitosin menyebabkan peningkatan intensitas kontraksi uterus saat terjadi kemajuan persalinan dan mendekati pelahiran. Obat pitocin adalah derivatif oksitosin dan digunakan secara klinis untuk mencetuskan dan mempercepat persalinan.6 Sedangkan Tujuannya agar bisa merasakan uterus berkontraksi saat plasenta lepas. Segera setelah tandatanda pelepasan plasenta terlihat dan uterus mulai berkontraksi tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah lumbal dan kepala ibu (dorso-kranial). Lakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya inversio uteri. Lahirkan 140
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
plasenta dengan peregangan yang lembut mengikuti kurva alamiah panggul (posterior kemudian anterior). Dalam persalinan pembuluh darah yang ada di uterus melebar untuk meningkatkan sirkulasi ke uterus atoni uteri dan subinvolusi uterus menyebabkan kontraksi uterus menurun sehingga pembuluh darah yang melebar tadi tidak menutup sempurna sehingga perdarahan terjadi terus menerus. Trauma jalan lahir seperti epiostomi yang lebar, laserasi perineum dan rupture uteri juga menyebabkan perdarahan karena terbukanya pembuluh darah, penyakit darah pada ibu, misalnya afibrinogemia atau hipofibrinogemia karena tidak ada atau kurangnya fibrin untuk membantu proses pembekuan darah juga merupakan penyebab dari perdarahan postpartum7. Perdarahan yang sulit dihentikan biasa mendorong pada keadaan shock hemoragik. Perdarahan postpartum dapat terjadi karena terlepasnya sebagian plasenta dari rahim dan sebagian lagi belum, karena perlukaan pada jalan lahir atau karena atonia uteri merupakan sebab terpenting perdarahan postpartum. Pijat Rahim Untuk Mencegah Perdarahan Postpartum. Pendarahan dari saluran kelamin setelah melahirkan (postpartum perdarahan) merupakan penyebab utama kematian ibu dan cacat di daerah kekurangan sumber daya dengan akses miskin kepelayanan kesehatan. Ini adalah penyebab utama kematian ibu di SubSahara Afrika dan Mesir, namun sebagian besar di cegah. Sebaiknya perdarahan dikurangi dengan manajemen aktif rutin pengiriman plasenta, tahap ketiga persalinan. Kandungan merekomendasikan rutin pijat rahim setelah pengeluaran plasenta untuk memperkuat kontraksi post partum Pijat rahim diberikan setiap 10 menit selama 60 menit setelah lahir secara efektif mengurangi kehilangan darah, dan kebutuhan untuk uterotonics tambahan
80%. Jumlah kehilangan darah pada ibu bersalin lebih dari 500ml darah. Hal ini melibatkan penempatan kantong di perut wanita yang lebih rendah dan merangsang rahim dengan memijat atau meremas gerakan berulang untuk merangsang kontraksi rahim. Tinjauan ini mencakup satu percobaan terkontrol yang secara acak 200 wanita baik pijat rahim atau tidak setelah manajemen aktif kala III persalinan, termasuk penggunaan rutin oksitosin.8 Sedangkan pada perangsangan puting susu ibu setelah bayi lahir, lepasnya oksitosin sangat berguna untuk pengeluaran plasenta pada kala III ibu bersalin dan mencegah perdarahan paska peersalinan. Disinilah letak rahasianya IMD (inisiasi menyusui dini). Tehnik ini juga bisa mempercepat/memperkuat kontraksi yang sudah ada (akselerasi/augmentasi persalinan). Saat dilakukan niple stimulation, akan keluar hormon yang namanya Oksitosin, yaitu suatu hormon yang menyebabkan kontraksi rahim, yang dilepaskan oleh tubuh saat payudara dirangsang. Agar oksitosin bisa keluar, maka rangsangan yang dilakukan harus menyerupai isapan bayi. Saat bayi mengisap puting (sucking). Perangsangan Puting susu ibu atau Nipple stimulation bisa memberikan efek yang kuat, mirip seperti oksitosin buatan (sintetis) yang sering dipakai saat induksi persalinan. Perangsangan persalinan ini perlu dilakukan untuk membantu pembukaan saat akan melaksanakan persalinan alami. Jika pembukaan belum genap sepuluh, persalinan sepenuhnya belum bisa dilakukan sebab dikhawatirkan proses persalinan tidak bisa berjalan maksimal. Setelah bayi lahir, lepasnya oksitosin sangat berguna untuk pengeluaran plasenta dan mencegah perdarahan paska persalinan. Disinilah letak rahasianya IMD (inisiasi menyusui dini), saat nifas hormon ini akan terus keluar dengan rangsangan isapan bayi yang berguna untuk mengecilkan rahim ke ukuran 141
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
awal sebelum hamil yang dikenal dengan istilah involusi rahim. Jika proses involusi tidak sempurna, maka akan terjadi perdarahan paska melahirkan HPP (hemorrhagia post partum). Sedangkan pada manejemen kala III (tiga) sangat penting dilakukan pada setiap asuhan persalinan normal dengan tujuan untuk menurunkan angka kematian ibu saat ini, manajemen aktif kala III (tiga) telah menjadi prosedur tetap pada asuhan persalinan normal dan menjadi salah satu kompetensi dasar yang harus dimiliki setiap tenaga kesehatan penolong persalinan (dokter dan bidan). Secara teknis, Manajemen Aktif Kala III meliputi tindakan pemberian uterotonika (oksitosin) profilaksis, penjepitan segera tali pusat pasca lahirnya bayi, dan peregangan tali pusat terkendali untuk melahirkan plasenta. Manajemen Aktif Kala III dikenalkan pada asuhan persalinan normal untuk mengurangi perdarahan, salah satu penyebab utama kematian ibu. Manajemen Aktif Kala III memperbarui prosedur yang ada sebelumnya. Manajemen Aktif Kala III, seorang ibu bersalin tidak diberikan uterotonika pasca lahirnya bayi dan plasenta dilahirkan spontan tanpa peregangan tali pusat.9 Tingginya angka kejadian perdarahan postpartum membuktikan bahwa ada faktor penyebab pendarahan sehingga peneliti mengambil judul penelitian studi komparasi tindakan ibu bersalin normal dengan tindakan massase uterus, perangsaan puting susu ibu serta manajemen aktif kala III terhadap kontraksi uterus pada ibu bersalin serta kajian publik health di BPS.H Ciganjur Jakarta Selatan 2012. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yaitu True Experimen dengan rancangan desain Pretest – Posttest With Control Group
design, yang terbagi dalam dua kelompok, yaitu satu kelompok eksperimen sebagai perlakuan dan satu kelompok control sebagai pembanding. Desain ini dipilih untuk, mengetahui/membuktikan pengaruh, perbedaan/signifikan massase uterus, perangsangan puting susu ibu dan manejemen aktif kala III ibu bersalin terhadap subjek, dan besaran manfaat dan kesulitan yang didapat dari kedua kelompok eksperimen yang diteliti dengan menggunakan uji Anova (Analysis of varian) dengan analisis varian dua faktor (Two Ways Anova).10 Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari 2012 sampai bulan Desember 2012, penulis megambil lokasi penelitian di BPS.H di Ciganjur Jakarta Selatan. Populasi pada penelitian ini adalah semua ibu bersalin normal dengan usia kehamilan aterm (37 – 42 Minggu) yang datang untuk melahirkan di BPS.H di Ciganjur Jakarta Selatan yang berjumlah 90 ibu bersalin yang dilakukan pada bulan februari 2012 sampai dengan. Desember 2012. Sampel dalam penelitian ini sebanyak 90 responden ibu bersalin normal. Penelitian ini menggunakan data primer yang didapat dari hasil wawancara langsung dan pengisian data formulir yang berisi pertanyaan mengenai usia ibu, jumlah anak, kadar hemoglobin, usia kehamilan kenaikan berat badan, pendidikan serta penyimpanan oksitosin Subyek dipilih sesuai dengan kriteria penelitian. Orang tua calon subyek penelitian diberi informasi tentang penelitian ini dan selanjutnya diminta kesediaan menandatangani formulir informed consent sebelum dijadikan subyek penelitian.11 Pengolahan data pada penelitian ini menggunakan program analisis data untuk pengolahan data kuantitatif. Untuk mengkaji hipotesis dan tujuan penelitian seperti yang ditetapkan, maka dilakukan analisis statistik dengan bantuan perangkat lunak program komputer. Data yang telah dipilih lalu diolah dan selanjutnya 142
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
dianalisis dan diinterpretasikan lebih lanjut dengan mengggunkan program SPSS. Analisis data dilakukan secara
bertahap yaitu analisis univariat, analisi bivariat dan analisis multivariat
HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Menurut Karekteristik Ibu bersalin normal di BPS.H Ciganjur Jakarta Selatan Tahun 2012. Karekteristik Responden Umur Jumlah Anak Usia Kehamilan Kadar HB sebelum Kadar HB post partum Kenaikan Berat Badan
Massase Uterus
MAK III
Perangsang Puting Susu
Kategori
Jumlah
Persen (%)
20-35tahun
77
85,6
<20 >35tahun
13
14,4
1-2 Anak 3-4 Anak 36-40Mgg
71 19 82
78,9 21,1 91,1
<36 >40Mgg
8
8,9
> 12 gr/dl <12 gr/dl > 12 gr/dl <12 gr/dl 12-15 kg <12 kg 20" 30" 35" 40" 20" 30" 35" 20" 30" 35"
26 64 18 72 56 34 9 17 3 1 16 10 4 13 13 4
28,9 71,1 20 80 62,2 37,8 30 56,7 10 3,3 53,3 33,3 13,3 43,3 43,3 13,3
Tabel 2. Hubungan Karakteristik Responden Terhadap massase uterus, MAK III dan Perangsang Puting Susu ibu bersalin Perangsang Massase uterus MAK III Puting Susu VARIABEL P P P VALUE Sig VALUE Sig VALUE Sig 0,588 0,889 7,081 0,029 0,876 0,645 Umur 5,082 0,166 10,078 0,006 0.007 0,996 Paritas 0,791 0,852 5,445 0,066 0,94 0,625 Usia Kehamilan 5,082 0,166 HB Sebelum 4,191 0,123 0,867 0,648 2,742 0,433 Kenaikan Berat Badan 6,65 0,036 0,231 0,891 2,414 0,491 HB Sesudah 6,65 0,036 2,802 0,246 36,846 0,182 23,313 Pendarahan 0,179 11,227 0,884
143 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Berdasarkan tabel 1 hasil analisis univariat, Penelitian ini hanya melibatkan dua variabel dependent, dimana masih banyak variabel confounding lain yang juga penting. Pemilihan variabel tersebut didasari oleh teori tentang massase uterus, perangsangan puting susu dan manajemen aktif kala III berkaitan dengan kontraksi uterus pada ibu bersalin dan penelitian–penelitian terdahulu. Menurut pengelompokan umur dari 90 responden sebanyak 77 orang (85,6 %) adalah yang berumur 20 -35 tahun, sedangkan 13 orang (14,4%) berumur <20 >35 tahun yang dilakukan. Jadi kebanyakan responden berusia 20-35 tahun (85,6%). Menurut pengelompokan paritas (Jumlah anak) responden sebanyak 71 orang (78,9%) adalah yang mempunyai paritas 1-2 anak dan sebanyak 19 orang (21,1%) yang mempunyai paritas 3-4 anak. Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai 1-2 anak (78,9%). Menurut pengelompokan usia kehamilan responden sebanyak 82 orang (91,1%) adalah yang usia kehamilan 36–40 minggu dan sebanyak 8 orang (8,9%) yang usia kehamilan <36>40 minggu. Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai 1-2 anak. Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai usia kehamilan 36-40 minggu (91,1%). Menurut pengelompokan kadar HB sebelum bersalin 26 orang (28,9%) yang mempunyai HB sebelum bersalin>12 gr/dl, dan sebanyak 16 orang (71,9%) yang mempunyai HB sebelum bersalin < 12 gr/dl. Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai HB sebelum bersalin < 12 gr/dl (71,9%). Menurut pengelompokan kadar HB post partum 18 orang (20%) yang mempunyai HB post partum >12 gr/dl, dan sebanyak 72 orang (80%) yang mempunyai HB post partum < 12 gr/dl. Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai HB sesudah bersalin <12 gr/dl (80%).
Menurut pengelompokan Berat Badan 56 orang (62,2%) yang mempunyai Berat Badan 12–15kg, dan sebanyak 34 orang (37,8%). Jadi kebanyakan responden sudah mempunyai berat badan 12–15kg (62,2%). Menurut pengelompokan massase uterus dengan lama 30’’sebanyak 17 orang (56,7%) dan massase uterus dengan lama 20’’ sebanyak 9 orang (30%). Jadi kebanyakan responden dengan melakukan tindakan selama 30’’ (56,7%). Sedangkan menurut pengelompokan MAK III dengan lama 20’’ sebanyak 16 orang (53,3%) dan massase uterus dengan lama 30’’ sebanyak 10 orang (33,3%). Jadi kebanyakan responden melakukan tindakan selama 20’’(53,3%) Menurut pengelompokan perangsangan puting susu ibu bersalin dengan tindakan selama 20’’sebanyak 13 orang (43,3%) dan perangsangan puting susu ibu bersalin selama 30’’ sebanyak 13 orang (43,3%). Jadi kebanyakan responden melakukan tindakan selama 20’’ dan 30’’. Berdasarkan hasil tabel 2. Pengujian secara serempak atau bersama-sama diketahui bahwa pengaruh massase, hb selama hamil, usia kehamilan, umur, kenaikan berat badan, paritas, hb sesudah persalinan terhadap manajemen aktif kala III ibu bersalin berdasarkan paritas 10,078 dengan signifikan 0,006. Signifikan > 0,05 hal ini dibuktikan bahwa tidak terjadi hubungan yang signifikan massase, HB sebelum, usia kehamilan, umur, kenaikan berat badan, paritas, HB sesudah terhadap kontraksi. Berdasarkan hasil tabel 3. Hasil pengujian secara serempak atau bersama-sama diketahui bahwa pengaruh massase uterus, MAK III dan perangsangan puting susu ibu bersalin berdasarkan massase uterus degan P value: 59,692 dengan signifikan 0,003 Signifikan > 0,05 hal ini dibuktikan bahwa tidak terjadi hubungan yang 144
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
signifikan antara MAK III dengan Perangsangan puting susu ibu bersalin. Tabel 3 Hubungan massase Uterus, MAK III, Dan Perangsang Puting Susu terhadap Kontraksi Kontraksi Variabel p value Sig a 59.692 .003 Massase uterus a 17.786 .337 MAK III Perangsang 9.854a .773 Puting Susu Tabel 4 Tabel ANOVA Perbandingan Uji anova terhadap massase uterus, MAK III dan perangsangan puting susu ibu bersalin terhadap kontraksi uterus. Kontraksi T Sig.
Variabel Massase uterus
.549
.788a
MAK III Perangsang Susu
1.443
.239a
.361
.915a
Puting
Berdasarkan hasil tabel 4. Hasil akhir analisis multivariat menunjukan bahwa tidak ada perbedaan antara tindakan massase uterus, MAK III dan perangsangan puting susu ibu selama bersalin dengan nilai signifikan massase uterus 0,788 dan MAK III dengan nilai signfikan 0,239 sedangkan nilai perasangan puting susu ibu bersalin dengan nilai signifikan 0,915. DISKUSI Massase Uterus. Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti melakukan kontraksi uterus adalah lakukan pijatan uterus untuk mengeluarkan bekuan darah. Bekuan darah yang terperangkap di uterus akan menghalangi kontraksi uterus yang efektif berikan 10 unit oksitosin IM (Intra
Muskular). Pijat rahim diberikan setiap 10 menit selama 60 menit setelah lahir secara efektif mengurangi kehilangan darah, dan kebutuhan untuk uterotonics tambahan 80%. Jumlah kehilangan darah pada ibu bersalin lebih dari 500ml darah. Lakukan kateterisasi, dan pantau cairan keluar-masuk. Periksa kelengkapan plasenta Periksa kemungkinan robekan serviks, vagina, dan perineum. Jika perdarahan terus berlangsung, Penyebab yang pasti dari mulai timbulnya His tidak diketahui. Dan kontraksi uterus sangat pengaruh dari oksitosin (hormon yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisa dan menyebabkan kontraksi rahim selama persalinan).12 Konfederasi Internasional Bidan dan Federasi International Gynaecologists dan Dokter kandungan merekomendasikan untuk melakukan rutin pijat rahim/massase uterus setelah pengeluaran plasenta untuk memperkuat kontraksi post partum. Dengan cara merangsang rahim dengan memijat atau meremas gerakan berulang untuk merangsang kontraksi rahim agar tidak terjadi perdarahan post partum (Haemoragia Post Partum. Perangsangan Puting Susu Ibu Bersalin. Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti melakukan perangsangan puting susu ibu adalah Niple stimulation sebetulnya merupakan cara induksi (merangsang) persalinan secara alami. Tehnik ini juga bisa mempercepat/memperkuat kontraksi yang sudah ada (akselerasi/augmentasi persalinan). Saat dilakukan niple stimulation, akan keluar hormon yang namanya Oksitosin, yaitu suatu hormon yang menyebabkan kontraksi rahim, yang dilepaskan oleh tubuh saat payudara dirangsang. Setelah bayi lahir, lepasnya oksitosin sangat berguna 145
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
untuk pengeluaran plasenta dan mencegah perdarahan paska peersalinan. Disinilah letak rahasianya IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Saat nifas hormon ini akan terus keluar dengan rangsangan isapan bayi yang berguna untuk mengecilkan rahim ke ukuran awal sebelum hamil yang dikenal dengan istilah involusi rahim. Jika proses involusi tidak sempurna, maka akan terjadi perdarahan paska melahirkan hemorrhagia post partum suatu kondisi yang sangat berbahaya (life threatening).13 Perangsangan Puting susu ibu Nipple stimulation bisa memberikan efek yang kuat, mirip seperti oksitosin buatan (sintetis) yang sering dipakai saat induksi persainan. Karena itu tidak boleh sembarangan merangsangnya, terutama buat merangsang persalinan. Saat nifas hormon ini akan terus keluar dengan rangsangan isapan bayi yang berguna untuk mengecilkan rahim ke ukuran awal sebelum hamil yang dikenal dengan istilah involusi rahim. Manejemen aktif Kala III Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti. Keuntungan manajemen aktif kala III (tiga) adalah: Persalinan kala tiga lebih singkat. Mengurangi jumlah kehilangan darah. Mengurangi kejadian retensio plasenta. Langkah utama manajemen aktif kala III (tiga) ada tiga langkah yaitu: Pemberian suntikan oksitosin. Penegangan tali pusat terkendali. Masase fundus uteri. Pemberian suntikan oksitosin dilakukan dalam 1 menit pertama setelah bayi lahir. Namun perlu diperhatikan dalam pemberian suntikan oksitosin adalah memastikan tidak ada bayi lain (undiagnosed twin) di dalam uterus. Mengapa demikian? Oksitosin dapat menyebabkan uterus berkontraksi yang dapat menurunkan pasukan oksigen pada bayi.
Suntikan oksitosin dengan dosis 10 unit diberikan secara intramuskuler (IM) pada sepertiga bagian atas paha bagian luar (aspektus lateralis). Tujuan pemberian suntikan oksitosin dapat menyebabkan uterus berkontraksi dengan kuat dan efektif sehingga dapat membantu pelepasan plasenta dan mengurangi kehilangan dsarah. Klem pada tali pusat diletakkan sekitar 5-10 cm dari vulva dikarenakan dengan memegang tali pusat lebih dekat ke vulva akan mencegah evulsi tali pusat. Meletakkan satu tangan di atas simpisis pubis dan tangan yang satu memegang klem di dekat vulva. Tujuannya agar bisa merasakan uterus berkontraksi saat plasenta lepas. Segera setelah tanda-tanda pelepasan plasenta terlihat dan uterus mulai berkontraksi tegangkan tali pusat dengan satu tangan dan tangan yang lain (pada dinding abdomen) menekan uterus ke arah lumbal dan kepala ibu (dorso-kranial). Lakukan secara hatihati untuk mencegah terjadinya inversio uteri. Lahirkan plasenta dengan peregangan yang lembut mengikuti kurva alamiah panggul (posterior kemudian anterior). Ketika plasenta tampak di introitus vagina, lahirkan plasenta dengan mengangkat pusat ke atas dan menopang plasenta dengan tangan lainnya. Putar plasenta secara lembut hingga selaput ketuban terpilin menjadi satu. Segera setelah plasenta lahir, lakukan massase fundus uteri dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan memastikan bahwa kotiledon dan selaput plasenta dalam keadaan lengkap. Periksa sisi maternal dan fetal. Periksa kembali uterus setelah satu hingga dua menit untuk memastikan uterus berkontraksi. Evaluasi kontraksi uterus setiap 15 menit selama satu jam pertama pasca persalinan dan setiap 30 menit selama satu jam kedua pasca persalinan.14
146 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Umur Umur adalah lamanya hidup seseorang dari sejak lahir sampai ulang tahun terakhir yang dinyatakan dengan tahun.15 Umur didefinisikan adalah lama hidup seseorang yang dihitung sejak lahir ibu dalam satuan tahun16. Umur ibu salah satu faktor penentu mulai proses kehamilan sampai persalinan, mereka yang berumur kurang dari 20 tahun dikhawatirkan mempunyai resiko komplikasi yang erat dengan kesehatan reproduksi wanita yang bersangkutan. Gangguan ini bukan hanya bersifat fisik karena belum optimalnya perkembangan fungsi organ-organ reproduksi, namun secara psikologi belum siap menanggung beban moral, mental dan gejolak emosional yang timbul serta kurang pengalama dalam proses persalinan. Penelitian Senewe menyebutkan, Ada 23,5% ibu yang mengalami komplikasi pada waktu persalinan, dimana komplikasi terbesar adalah partus lama dan perdarahan salah satu penyebab adalah faktor umur ibu, dimana risiko tertinggi terdapat pada ibu yang berumur < 20 tahun dan >35 tahun12. Hal senada dijelaskan Suprapto (2002) Kelompok umur ibu resiko < 20 tahun dan paritas 4 atau lebih yang sebenarnya memerlukan pelayanan kesehatan yang adekuat justru masih cukup banyak yang dilayani non Nakes.17 Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti, bahwa tidak ada hubungan nya antara Umur dengan kontraksi uterus dimana usia yang lebih muda cenderung lebih tertutup mengenai dibandingkan dengan usia yang lebih tua maka kedewasaan dan tanggung jawab akan semakin bertambah sehingga usia yang lebih matang dapat menetukan mana yang baik dan mana yang buruk dalam proses persalinan.
Paritas Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki oleh seseorang. Paritas merupakan keadaan wanita berkaitan dengan jumlah anak yang dilahirkan. Dalam istilah kebidanan ada beberapa klasifikasi ibu berdasarkan paritas ibu yaitu: primipara (ibu yang telah melahirkan seorang anak), Multipara (ibu yang telah melahirkan lebih dari 24 kali), grande multipara (ibu yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih).18 Paritas merupakan keadaan seorang wanita sehubungan dengan kelahiran anak yang dapat hidup. Paritas diperkirakan ada kaitannya dengan arah pencarian informasi, hal ini dihubungkan dengan pengaruh pengalaman sendiri maupun orang lain terhadap pengetahuan yang dapat mempengaruhi perilaku saat ini atau kemudian hari. Usia Kehamilan Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti. Usia kehamilan 36 minggu - 40 minggu bisa dimasukan dalam melakukan tindakan persalinan dengan menggunakan massase uterus.19 HB Selama Hamil Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti dimana HB >12gr/dl bisa dilakukan massase uterus guna mengantisipasi perdarahan ibu post partum. HB selama Hamil merupakan hal yang perlu diperatikan. Kondisi anemia kekurangan zat besi puncaknya sering terjadi pada trimester II dan III. Kondisi tersebut bisa saja disebabkan karena asupan Fe yang kurang, adanya infeksi parasit dan interval kehamilan yang pendek. Keadaan anemia seringkali menyebabkan ibu jatuh 147
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
dalam kondisi mudah lelah, kekuatan fisik menurun, timbulnya gejala kardiovaskuler, predisposisi infeksi, risiko pospartum blood loss, dan risiko gangguan penyembuhan luka.20 Kenaikan berat badan Berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus tidak ada berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti.karna Hb <12 gr / dl bisa dilakukan karna ibu bersalin sudah dalam melewati proses persalinan dan Hb.Sesudah post partum tidak mempengaruhi dengan signifikan. Kenaikan Berat Badan selama hamil merupakan Peningkatan energi dan zat gizi yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Sehingga kekurangan zat gizi tertentu yang diperlukan saat hamil dapat menyebabkan janin tumbuh tidak sempurna. Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan.21 Dengan demikian makanan ibu hamil harus cukup bergizi agar janin yang dikandungnya memperoleh makanan bergizi cukup, untuk alur terhambatnya pertumbuhan dari aspek gizi ibu. Perlu diperhatikan secara khusus adalah pertumbuhan janin dalam daerah pertumbuhan lambat dan daerah pertumbuhan cepat. Daerah pertumbuhan lambat terjadi sebelum umur kehamilan 14 minggu. Setelah itu pertumbuhan agak cepat, dan bertambah cepat sampai umur kehamilan 34 minggu. Kebutuhan zat gizi ini diperoleh janin dari simpanan ibu pada masa anabolik, dan dari makanan ibu setiap hari selama hamil. Makanan ibu selama hamil dan keadaan gizi ibu pada waktu hamil berhubungan erat dengan berat badan lahir rendah (BBLR).22 Apabila
makanan yang dikonsumsi ibu kurang dan keadaan gizi ibu jelek maka besar kemungkinan bayi lahir dengan BBLR. Konsekuensinya adalah bahwa bayi yang lahir kemungkinan meninggal 17 kali lebih tinggi dibanding bayi lahir normal. Menurut National Academy of Science, variasi kenaikan berat badan ibu hamil tergantung pada berat badan ibu sebelum hamil. Khususnya bisa diketahui dengan menilai body mass index (BMI).23 Untuk bisa mencukupi dan menyeimbangkan gizi pada saat hamil dan menyusui, komposisi zat gizi harus diperhatikan. Kalori dicukupi namun jangan terlalu banyak, hanya 17%, protein 25% dan vitamin dan mineral 20 – 100%. HB Sesudah Persalinan Kesimpulan yang diambil dari hasil penelitian ini adalah berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti di buktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti. Sehingaga tidak ada hubungan ibu bersalin dengan Hb. Dengan kontraksi ibu dimana yang Hb tidak mempengaruhi ibu dalam proses persalinan.24 Hubungan massase uterus terhadap kontraksi uterus ibu bersalin kala III, berdasarkan hasil uji disimpulkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kontraksi dengan massase uterus. Berdasakan observasi dilapangan bahwa peneliti dibuktikan bahwa kontraksi uterus dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti melakukan kontraksi uterus adalah melakukan pijatan uterus untuk mengeluarka bekuan darah agar kontraksi lebih baik. Hubungan Parangsangan puting susu ibu bersalin terhadap kontrraksi uterus ibu bersalin kala III berdasarkan hasil uji disimpulkan adanya hubungan yang signifikan antara kontraksi dengan oerangsangan puting susu ibu bersalin berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti dibuktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya 148
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
eksperimen yang dilakukan oleh peneliti melakukan perangsangan puting susu ibu adalah perangsangan puting susu merupakan cara induksi persalinan secara alamiah dan terdapat hormon oksitosin dalam melakukan perangsangan puting susu ibu. Hubungan menejemen aktif kala III terhadap kontraksi uterus ibu bersalin berdasarkan hasil uji disimpulkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara kontraksi dengan manejemen aktif kala III berdasarkan observasi dilapangan oleh peneliti dibuktikan bahwa kontraksi uterus berhubungan dengan adanya eksperimen yang dilakukan oleh peneliti. DAFTAR PUSTAKA Saifudin (2007) deteki dini pada tahap kemajuan persalinan, Jakarta. Depkes RI (2005) AKI berdasarkan SDKI, Jakarta, Depkes 2010. WHO (2002) pengertian kematian maternal, Jakarta Yayan Akhyar (2011) Pengertian Perdarahan Postpartum, Jakarta. Marlyn E Dongoes (2011) komplikasi selama kehamilan dan persalinan, Jakarta, 2011. The Cochrane Collaboration databased evidance based midwifery (2011), America serikat The Cochrane Collaboration databased evidance based midwifery (2011), America serikat Manajemen Aktif Kala III Terbukti Efektif Dalam Pencegahan Perdarahan Pascapersalinan. Jurnal Kesehatan ibu.depkes.go.id/ diunduh 2011. Notoatmodjo, Soekidjo.(2001) Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Hurlock (2002) Pengertian Usia, Jakarta 2002. Depkes RI (2005) AKI berdasarkan SDKI, Jakarta, Depkes 2010. Senewe (2003)Pandangan Pendidikan, Jakarta, 2003.
Suprapto (2002) pencapaian pendidikan dan tingkatan pendidikan, Jakarta, 2002 Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan.(2008) Jakarta: EGC. Mochtar, Rustam.(2008) Synopsis Obstetric. Jakarta: EGC. Depkes RI.(2010) Asuhan Persalinan normal, Jakarta, Depkes 2010. Bidan kita (2010) Melahirkan tampa suntikan oksitosi.www.blogspot. Jakarta 2010. Budiarti, T. 2009. Efektifitas pemberian paket “Sukses ASI” terhadap produksi ASI ibu menyusui dengan section caeserea di Wilayah Depok Jawa Barat. Tesis UI. 2009. Nizam, 2010. Kematian ibu akibat perdarahan disebabkan oleh perdarahan post partum. Jakarta 2010. Primantara Dhany, dkk (2011). Penyebab Kematian maternal dan neonatal, Jakarta 2011. Wiknjosastro, (2002) Kontraksi uterus mempengaruhi perdarahan post partum, Jakarta, 2002. Varney, Helen Dkk (2002). Buku saku Bidan. Jakarta: EGC. The Cochrane Collaboration databased evidance based midwifery (2011), America serikat. Mansjoer, Arief. (2000) Kapita selekta. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000. . . .
149 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
HUBUNGAN KEPATUHAN MENGKONSUMSI ANTI RETROVIRAL VIRUS (ARV) DENGAN KENAIKAN JUMLAH CD4 ODHA DI LANCANG KUNING SUPPORT GROUP PEKANBARU 1
2
3
Andriani, Rika, Sandhita Akademi Kebidanan Internasional Pekanbaru Korespondensi Penulis :
[email protected] 1,2,3
ABSTRACT HIV (Human Imunnodeficiency Virus) is a virus that attacks the human immune system and then causes AIDS. Statistics of HIV AIDS cases reported in Indonesia by the Indonesian Ministry of Health states that the cumulative number of HIV infections up to as many as 108 600 people in June 2013 and the cumulative number of AIDS from 1987 - June 2013 as many as 43 667 people. One important step is tackling HIV AIDS PLHA to improve adherence to antiretroviral drug taking. ARV therapy success rate is highly dependent on the level of compliance of PLHA. Expected with a high degree of compliance can increase the number of people living with HIV CD4. This study is a quantitative analytical design that aims to determine relationships ARV compliance with the rise in the number of people living with HIV in CD4 Lancang Kuning Support Group Pekanbaru 2014. Study was conducted in January-May in Lancang Kuning Support Group Pekanbaru, using primary data with a population of 30 people, a sampling technique that the total population. Instrument research using questionnaires, data processing univariate frequency distributions are presented in the table, followed by bivariate analyzes are presented using the chi-square test. Results reveal that the majority of respondents do not obey ARVs by 22 people (73.33 %) and the majority of respondents experienced an increase in CD4 cell count 27 people (90%). From a statistical test with chi-square test found no relationship adherence consume ARV with the increase in CD4 cell count of PLHA. Suggestions for administrators to be able to motivate members to improve compliance guidance antiretroviral therapy. Keywords
: Adherence , ARV , CD4
PENDAHULUAN Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan penyakit menular yang disebabkan Human Immunodeficiency Virus (HIV).Penyakit ini merupakan penyakit berbahaya dan harus diwaspadai dimana penyebarannya sangat cepat ke seluruh dunia (Notoatmodjo, 2007). HIV telah menyebar ke seluruh dunia dan segala lapisan masyarakat dengan sangat cepat. HIV belum dikenal sama sekali 27 tahun yang lalu. Saat ini HIV telah menginfeksi lebih dari 65 juta orang di dunia (hampir setengahnya meninggal dunia). AIDS menduduki peringkat ke-4 penyebab kematian pada orang dewasa diseluruh dunia. AIDS juga menyebabkan usia harapan hidup turun lebih dari 10 tahun di beberapa negara. HIV dan AIDS menyebabkan banyak tenaga kerja produktif yang meninggal, pelayanan sosial dan kesehatan terbebani. HIV dan AIDS merupakan ancaman besar bagi kesehatan masyarakat, seluruh sektor sosial, dan
pembangunan (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua, 2009). Saat ini HIV dan AIDS telah menyebar luas di hampir seluruh bagian dunia. Berdasarkan laporan UNAIDS (United Nations Programme on HIV AIDS) (2009) yang mengurusi masalah AIDS, jumlah penderita HIV dan AIDS dalam sepuluh tahun terakhir terjadi penyebaran secara luas dalam waktu yang sangat cepat. Dilaporkan perkirakan Orang Dengan HIV dan AIDS (ODHA) di dunia sekitar 31,1 - 35,8 juta orang, munculnya infeksi baru 2,4-3,0 juta orang, dan kejadian kematian berjumlah 1,7 - 2,4 juta orang. Penyebaran kejadian ini, 97% berada di wilayah miskin yang didominasi oleh wilayah Afrika, disusul wilayah Asia, dan Amerika Latin (Setyodi dan Triyanto, 2012). Kasus HIV pertama kali ditemukan 22 tahun yang lalu. Sejak tahun 2000, Indonesia tergolong sebagai negara dengan epidemi HIV terkonsenstrasi (karena prevalensi HIV pada populasi pecandu narkoba suntik/penasun, PS/Penjaja Seks, waria, dan LSL/Lelaki 150
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Suka Lelaki dibeberapa kota mencapai lebih dari 5%). Statistik kasus HIV dan AIDS di Indonesia yang dilaporkan oleh Ditjen PP & PL Kemenkes RI bulan Juni 2013 menyebutkan bahwa jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai dengan Juni 2013 sebanyak 108.600 orang dan jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dengan Juni 2013 sebanyak 43.667 orang (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Laporan kasus HIV dan AIDS di Riau yang dihimpun Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau terdata 1.503 kasus HIV dan 859 kasus AIDS yang tersebar di berbagai kabupaten/kota se-Riau. Hal ini menjadikan Riau menduduki peringkat ke sepuluh besar untuk jumlah kasus AIDS tertinggi pada tahun 2013 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Dari 12 kabupaten/kota se-Riau, ibukota provinsi Riau Pekanbaru memiliki angka tertinggi dengan angka 488 untuk kasus HIV dan 524 untuk kasus AIDS (Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Riau, 2013). Melihat fenomena yang ada, dapat dikatakan AIDS merupakan krisis kesehatan dan AIDS memerlukan respons dari masyarakat dan memerlukan layanan pengobatan dan perawatan untuk individu yang terinfeksi HIV. Pengobatan setelah terjadi pajanan infeksi HIV pada seseorang adalah terapi Antiretroviral, yang berarti mengobati infeksi HIV dengan beberapa obat yang disebut sebagai obat Anti Retroviral Virus (ARV) karena HIV merupakan retrovirus. ARV tidak membunuh virus HIV, namun hanya dapat memperlambat laju pertumbuhan virus HIV tersebut. Obat ARV membantu menghambat proses perkembangbiakan HIV dalam sel CD4, dengan demikian mengurangi jumlah virus yang tersedia untuk menularkan ke sel CD4 lainnya. Akibatnya sistem kekebalan tubuh dilindungi dari kerusakan dan mulai pulih kembali, seperti ditunjukkan oleh peningkatan dalam jumlah sel CD4 (Green, 2009). Pemberian obat ARV pada pasien HIV positif merupakan upaya untuk memperpanjang umur harapan hidup orang yang terinfeksi HIV yang dikenal
dengan istilah ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). ARV bekerja melawan infeksi dengan cara memperlambat reproduksi HIV dalam tubuh. Untuk tetap menekan virus ditubuh, ARV harus dipakai terus menerus. Umumnya ARV efektif digunakan dalam bentuk kombinasi, bukan untuk mematikan virus, tetapi untuk memperpanjang hidup ODHA, membuat mereka lebih sehat, dan lebih produktif dengan mengurangi viremia (jumlah virus dalam darah) dan meningkatkan jumlah sel-sel CD4 (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2013). Tidak semua ODHA membutuhkan ARV. ARV hanya dibutuhkan apabila sistem kekebalan tubuh melemah. Ini dapat dilihat melalui gejala klinis, atau dengan tes darah yang disebut limfosit total atau CD4 (Spiritia, 2009). Di Indonesia, jumlah ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan Maret 2013 sebanyak 33.114 orang. 96% (31.682 orang) dewasa dan 4% (1.432 orang) anak. Pemakaian rejimennya adalah 95,4% (31.589 orang) menggunakan Lini 1 dan 4,6% (1.525 orang) menggunakan Lini 2 (Ditjen PP & PL Kemenkes RI, 2013). Perluasan akses pada ARV di Indonesia sejak program pemberian ARV dengan subsidi penuh oleh pemerintah yang diluncurkan pada tahun 2004, maka semakin banyak ODHA mendapatkan ARV. Dengan harapan mutu hidupnya menjadi lebih baik dan dapat bertahan hidup seperti orang lain, asalkan terapi ARV dipakai terus-menerus secara patuh (Komisi Penanggulangan AIDS, 2013). Kepatuhan pada jadwal pengobatan adalah sangat penting. Jika tingkat obat dalam darah ODHA menjadi terlalu rendah, maka virus ditubuh dapat menjadi lebih kebal (resistan) terhadap obat ARV yang dipakai. Bila hal ini terjadi, maka obat yang dipakai menjadi tidak efektif terhadap jenis virus baru ini. Beberapa ahli menganggap bahwa bila lebih dari dua kali sebulan lupa minum obat, maka jenis virus yang resisten dapat muncul. Bila ini terjadi, terapi akan mulai gagal sehingga mungkin harus mengganti semua obat yang dipakai. Obat baru ini kemungkinan lebih mahal atau lebih sulit diperoleh (Green, 2009). 151
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Hasil penelitian dibawah ini menunjukkan bahwa dengan 95% kepatuhan, hanya 81% orang yang mencapai viral load yang tidak terdeteksi. Tabel 1.1 Hubungan kepatuhan dengan viral load Tingkat Kepatuhan Viral load yang tidak terdeteksi Di atas 95% 90 – 95% 80 – 90% 70 – 80% Di bawah 70%
81% 64% 50% 25% 6%
maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:Apakah ada hubungan kepatuhan mengkonsumsi Anti Retroviral Virus (ARV) dengan kenaikan jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014.”. PenelitianinibertujuanUntuk mengetahui hubungan kepatuhan mengkonsumsi Anti Retroviral Virus (ARV) dengan kenaikan jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014 METODE PENELITIAN
Sumber: Lembar Informasi Yayasan Spiritia 2013 Dari 3 ODHA yang menjadi responden pada survey awal yang dilakukan peneliti di Pekanbaru Support Group, 1 orang (33,3%) patuh dan CD4 nya naik, 1 orang (33,3%) tidak patuh dan CD4 nya naik, serta 1 orang (33,4%) patuh dan CD4 nya tidak naik. Di Pekanbaru terdapat LSM yang bergerak dalam bidang penanggulangan HIV dan AIDS yang memberikan dukungan serta bimbingan terhadap orang yang telah terinfeksi HIV dan AIDS yaitu Lancang Kuning Support Group (LKSG). Saat ini Lancang Kuning Support Group telah memberikan dukungan dan bimbingan terhadap lebih dari 200 ODHA yang ada di Pekanbaru. Berdasarkan latar belakang tersebut, mendorong penulis untuk meneliti “Hubungan Kepatuhan Mengkonsumsi ARV Dengan Kenaikan Jumlah CD4 ODHA Di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Pada Tahun 2014. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah peneliti kemukakan diatas
Penelitian ini menggunakan desain penelitian analitik dengan pendekatan Cross Sectional Study, ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time apporoach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Januari sampai dengan bulan Mei 2014. Penelitian dilaksanakan di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Populasi dan Sampel Populasi penelitian ini adalah seluruh sukarelawan (voulenteer) yang terinfeksi HIV dan AIDS yang tergabung dalam Lancang Kuning Support Group Pekanbaru yang berjumlah 30 orang. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian adalah total sampling dimana sampelnya seluruh populasi yang ada di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru yang berjumlah 30 Orang.
152 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional Variabel Independen Kepatuhan ODHA
Definisi Operasional
Skala
Alat Ukur
Kategori
Adalah perilaku ODHA sesuai dengan ketentuan (benar obat/dosis, benar cara, benar waktu) yang diberikan oleh professional kesehatan
Nominal
Kuesioner - Patuh apabila benar obat/dosis, benar cara, benar waktu
- Tidak patuh
Kenaikan Kadar sel darah putih Jumlah CD4 dalam sistem kekebalan ODHA tubuh ODHA yang diserang oleh virus HIV. Dilakukan perbandingan antara pemeriksaan CD4 terakhir dan sebelumnya.
Ordinal
apabila tidak benar obat/dosis, cara dan waktu Kuesioner - Naik apabila jumlah CD4 saat ini meningkat dari yang sebelumnya
- Tidak naik (turun/tetap) apabila jumlah CD4 saat ini lebih rendah/sama dari yang sebelumnya
Jenis dan Cara Pengumpulan Data Data yang diperoleh langsung oleh peneliti melalui angket kuesione, sebagai pembanding untuk jumlah CD4 ODHA, diambil data dari Lancang Kuning Support Group. Teknik Analisa Data Analisa Univariat Digunakan untuk mengetahui gambaran persentase masing-masing variabel penelitian yaitu variabel kepatuhan mengkonsumsi ARV dan variabel kenaikan jumlah CD4 ODHA dengan menggunakan distribusi frekuensi. 𝐹 𝑃 = × 100% 𝑁
Keterangan : P = Presentase F = Frekuensi N =Jumlah responden (Machfoedz, 2010) Analisis Bivariat Keputusan pengujian hipotesis penelitian dilakukan dengan taraf signifikan ɑ = 0,05 dengan Confidence Interval 95% (Hidayat, 2007). Uji statistik untuk melihat hubungan antara dua variabel independen dan dependen digunakan uji chi-square. Untuk mengetahui chi-square dilakukan secara manual. Hipotesis diterima pada derajat kemaknaan bila X2 hitung > X2 tabel dengan nilai X2 tabel (3,841).
153 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Dapat dilihat sebagian besar (53,33%) respondenberjeniskelaminlaki-laki..
Rumus mencari X2 hitung: 𝑥2 =
𝑁 𝑎.𝑑−𝑏.𝑐 2 𝑎+𝑐 𝑏+𝑑 𝑎+𝑏 𝑐+𝑑
Analisa Univariat
Keterangan : X2 = chi-square N = Besar Sampel
3.Kepatuhan Tabel 3 Distribusi Frekuensi Berdasarkan KepatuhanMengkonsumsiAnti Retroviral Virus (ARV) Di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru
Rumus mencari X2 tabel: Dk = (b-1)(k-1) Keterangan : Dk = Derajat Kebebasan b = Baris k = Kolom (Suyanto, 2008) HASIL DAN PEMBAHASAN HasilPenelitian Data Umum 1. Umur Tabel 1 Distribusi Frekuensi Berdasarkan Umur ODHA Di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Umur
F
%
Produktif(≥20Thn) Tidak produktif (<20Thn)
30 0
100 0
30
100
Jumlah
Dari Tabeldiatas dapat dilihat seluruh responden berusia Produktif (≥20Thn) yaitu 100%. 2. JenisKelamin Tabel 2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Berdasarkan Umur ODHA Di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru JenisKelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
f
%
16 14 30
53.33 46.67 100
Pengetahua
F
%
Tidakpatuh Patuh Jumlah
22 8 30
73.33 26.67 100
Berdasarkan Tabel diatas terlihat sebagian besarrespondentidakpatuhmengkonsumsi Anti Retroviral Virus (ARV) yaitu 73,33%. 4. KenaikanJumlah CD4 Tabel4 Distribusi Frekuensi Berdasarkan KenaikanJumlah CD4 Di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Sikap Naik TidakNaik/ Tetap Jumlah
F
%
27 3
90 10
30
100
Dapat dilihat sebagian besar (90%) Jumlah CD4 responden mengalami kenaikan.
154 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Analisa Bivariat Tabel 5 Hubungan Kepatuhan Mengkonsumsi Anti Retroviral Virus (ARV) Dengan Kenaikan Jumlah CD4 ODHA Di Lancang Kuning SupportGroup Pekanbaru Tahun 2014 Jumlah CD4 Naik
Kepatu han
Patuh TidakP atuh
Jumlah
Tidak Naik/ Tetap n %
n
%
Total
N
%
8
100
0
0
8
100
1 9
86. 3
3
13. 6
2 2
100
2 7
90
3
10
3 0
100
Dari hasil perhitungan diatas dapat dilihat x2 hitung = 1,212 dan x2 tabel dengan ɑ=0,05 adalah 3,841 (tabel chi kuadrat), dengan itu berarti x2 hitung < x2 tabel berarti tidak ada hubungan yang bermakna pada kepatuhan mengkonsumsi ARV terhadap kenaikan jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014. Pembahasan Penelitian 1. Kepatuhan ODHA dalam Mengkonsumsi ARV di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Tahun 2014 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mayoritas responden tidak patuh mengkonsumsi ARV yaitu sebanyak 22 orang (73,33%). Kepatuhan pada terapi adalah sesuatu keadaan dimana pasien mematuhi pengobatannya atas dasar kemauan sendiri, bukan hanya karena mematuhi perintah dokter (Kemenkes RI, 2011). Kepatuhan mengkonsumsi ARV diukur dari ketepatan waktu konsumsi, cara mengkonsumsi ARV, dan dosis per hari. Kepatuhan pada jadwal pengobatan
adalah sangat penting. Jika tingkat obat dalam darah menjadi terlalu rendah, maka virus di tubuh dapat menjadi kebal (resisten) terhadap obat ARV yang dipakai. Penelitian menunjukkan bahwa 90-95% dosis harus diminum untuk penekanan virus yang optimal, sedangkan tingkat kepatuhan yang lebih rendah lebih sering menimbulkan kegagalan (Green, 2009). Jadwal ketat minum obat HIV tidak boleh meleset agar bisa menekan jumah virus di tubuhnya. Jika tidak disiplin maka obat akan menjadi resisten terhadap tubuh (Spiritia, 2013). Hasil penelitian saat ini sejalan dengan data WHO tahun 2006 menunjukkan bahwa kepatuhan rata-rata pasien pada terapi jangka panjang terutama HIV/AIDS di negara maju hanya sebesar 50%, sedangkan di negara berkembang, jumlah tersebut bahkan lebih rendah (Budi, 2010). Hasil penelitian saat ini tidak sesuai dengan penelitian terdahulu yang diilakukan oleh Syafrizal (2011) di Lentera Minangkabau Padang bahwa mayoritas ODHA patuh dalam mengkonsumsi ARV yaitu sebanyak 23 orang (71,9%). Begitu juga dengan penelitian Fillah (2011) di RSUD Tugurejo dan RS Umum Panti Wilasa Semarang bahwa mayoritas ODHA memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dalam menjalani terapi ARV yaitu sebanyak 34 orang (70%). Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa setiap ODHA harus patuh dalam menjalani terapi ARV, karena jika adanya ketidakpatuhan terhadap terapi ARV dapat memberikan efek resistensi obat sehingga obat tidak dapat berfungsi atau gagal. Sebelum memulai terapi ARV, kemauan pasien untuk memakai terapi harus jelas ditegakkan. Rencana pengobatan harus dibuat dan dapat dipahami serta disetujui oleh ODHA agar ODHA tetap konsisten menjalani terapi ARV, karena terapi ini bersifat seumur hidup. Jadi, sebelum memulai terapi hendaknya meyakinkan diri sendiri akan kesiapan memulai terapi ARV. a. Pengaruh Usia Terhadap Kepatuhan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mayoritas responden berusia 155
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
produktif (≥20 tahun) yaitu sebanyak 29 orang (96,67%). Hubungan antara kepatuhan dengan usia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah kekhususan penyakit yang diderita, waktu terjangkit penyakit tersebut, dan ketentuan yang berlaku untuk dapat dinyatakan sebagai seorang yang patuh dalam menjalani perawatan. Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa kepatuhan dapat meningkat atau menurun sejalan usia (Widyanti, 2008). Hal ini sesuai dengan penelitian Fillah (2011) bahwa usia produktif lebih dominan dibandingkan dengan usia tidak produktif yaitu sebanyak 90%. Menurut Fillah (2011) bahwa usia berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kepatuhan pengobatan ARV. Menurut hasil penelitian Hutabarat (2007) bahwa usia seseorang akan mempengarui kepatuhan dalam mengkonsumsi obat. Pada usia yang tidak produktif cenderung lebih patuh dibandingkan usia produktif. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa adanya pengaruh usia dengan tingkat kepatuhan. Menurut pendapat peneliti bila usia seseorang semakin tua, maka dapat menurunkan kepatuhan terapi ARV, karena pada usia ini biasanya seseorang bersikap tidak peduli kepada dirinya dan hanya berfokus kepada pekerjaannya masing-masing sehingga pada umur >20 tahun atau sering disebut usia produktif ini dapat mempengaruhi kepatuhan ODHA dalam terapi ARV yang disebabkan oleh kurang memperdulikan dirinya.
perbedaan dalam rekomendasi khusus. Beberapa penelitian menemukan bahwa pria dan wanita kurang lebih memiliki tendensi yang sama untuk tidak menjalankan program latihan mereka. Meskipun demikian, wanita menunjukkan tingkat kepatuhan yang lebih baik pada diet untuk kesehatan dan menjalankan beberapa tipe pengobatan tertentu (Widyanti, 2008) Menurut penelitian Fillah (2011) bahwa tingkat kepatuhan pengobatan ARV >95% terbanyak pada responden perempuan yaitu 19 orang (39%), sedangkan tingkat kepatuhan terendah (80-89%) lebih banyak pada perempuan yaitu 3 orang (6%) daripada laki-laki 2 orang (4%). Menurut penelitian Alakija (2005) bahwa pria lebih patuh terhadap pengobatan ARV daripada wanita (Fillah, 2011). Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi kepatuhan dalam terapi ARV. Dalam penelitian ini, jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki yaitu sebanyak 53,33%. Menurut peneliti biasanya pada laki-laki tampak sikap tidak patuh pada peraturan yang ada, karena banyak hal yang dikerjakan dari berbagai pekerjaan untuk menafkahi diri sendiri dan bahkan yang telah mempunyai keluarga, sehingga ODHA laki-laki sering lupa akan pentingnya terapi ARV yang sedang dijalaninya.
b. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Kepatuhan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mayoritas responden terdiri dari resonden laki-laki yaitu sebanyak 16 orang (53,33%). Menurut Skiner dalam Notoatmodjo (2005) mengatakan bahwa kepatuhan minum obat dipengaruhi faktor interna penderita antara lain jenis kelamin. Para peneliti menemukan bahwa hanya terdapat sedikit perbedaan antara kepatuhan pria dan wanita secara keseluruhan, tetapi ada beberapa
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan mayoritas responden mengalami kenaikan jumlah CD4 yaitu sebanyak 27 orang (90%) dan responden yang tidak mengalami kenaikan jumlah CD4 sebanyak 3 orang (10%). HIV adalah retrovirus yang menginfeksi sel sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel T CD4 dan makrofag yang merupakan komponen vital dari sistem kekebalan tubuh. Hal inilah yang membuat ODHA memiliki sistem kekebalan tubuh lemah dan mudah terkena infeksi. Setelah lama terinfeksi
2. Kenaikan Jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Tahun 2014
156 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
HIV jumlah CD4 akan semakin menurun, karena saat sel CD4 menggandakan diri untuk melawan infeksi apapun mereka juga membuat banyak tiruan HIV. Jumlah CD4 adalah ukuran kunci kesehatan sistem kekebalan tubuh. Semakin rendah jumlahnya, semakin besar kerusakan yang diakibatkan HIV, karenanya seseorang harus mengonsumsi obat ARV untuk mempertahankan kekebalan tubuhnya(Spiritia, 2013). Hasil penelitian saat ini sejalan dengan penelitian Ramadhani (2008) di RSK Dharmais bahwa sebagian besar pasien HIV AIDS memperlihatkan kenaikan jumlah CD4 setelah mendapatkan pengobatan ARV 6-12 bulan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Hartono (2013) di RSUP. H. Adam Malik bahwa terdapat peningkatan atau kenaikan jumlah CD4 sesudah terapi ARV. Menurut penelitian Ratridewi (2009) di RSU dr Saiful Anwar Malang bahwa terdapat peningkatan berat badan dan peningkatan CD4 setelah pengobatan dengan ARV lini pertama. Berdasarkan uraian tersebut diketahui bahwa jumlah CD4 akan mengalami peningkatan setelah mengkonsumsi ARV. Menurut WHO (2007) kenaikan CD4 pasien cukup signifikan pada 3-4 bulan pertama terapi ARV. Menurut peneliti biasanya ODHA sudah menjalani terapi ARV > 6 bulan akan mengalami kenaikan jumlah CD4. Dalam penelititan ini ditemukan bahwa dari 30 orang responden yang menjalani terapi ARV >6 bulan terdapat 27 orang (90%) yang mengalami kenaikan jumlah CD4. 3. HubunganKepatuhan Mengkonsumsi ARV dengan Kenaikan Jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru Tahun 2014 Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan terdapat 8 orang responden yang patuh mengkonsumsi ARV mayoritas mengalami kenaikan jumlah CD4 yaitu sebanyak 8 orang (100%). Dari 22 orang responden yang
tidak patuh mengkonsumsi ARV mayoritas mengalami kenaikan jumlah CD4 yaitu sebanyak 19 orang (86,36%) dan 3 orang (13,64%) CD4 nya tidak naik. Dari hasil uji statistik dengan chisquare didapatkan x2 hitung = 1,212 dan x2 tabel dengan ɑ=0,05 adalah 3,841 (tabel chi kuadrat), dengan itu berarti x2 hitung < x2 tabel berarti tidak ada hubungan yang bermakna pada kepatuhan mengkonsumsi ARV terhadap kenaikan jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014. Menurut Bachmann (2006) dalam Budi (2010), Penggunaan obat ARV diperlukan tingkat kepatuhan tinggi untuk mendapatkan keberhasilan terapi dan mencegah resistensi yang terjadi. Tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi ARV harus sempurna atau hampir sempurna. Banyak penelitian menunjukkan bahwa dengan kelupaan hanya satu atau dua dosis per minggu, akan berdampak besar dalam keberhasilan terapi (Spiritia, 2005). Hal ini ditunjukkan dengan adanya perbaikan klinis pasien serta peningkatan jumlah CD4. Pada pasien dengan konsumsi ARV yang optimal, jumlah CD4 meningkat >100 dalam 6-12 bulan pertama pada pasien dengan virus yang rentan dan yang belum pernah memakai ARV, serta patuh dengan obat (Depkes RI, 2003). Keberhasilan terapi dapat dilihat dari tanda-tanda klinis pasien yang membaik setelah terapi, salah satunya dengan infeksi oppurtunistik tidak terjadi. Ukuran jumlah sel CD4+ menjadi prediktor terkuat terjadinya komplikasi HIV. Jumlah CD4 yang menurun merupakan tanda bahwa terapi tidak bekerja seperti yang diharapkan. Ini mungkin terjadi karena kecendrungan lupa minum obat ARV. Ketidakpatuhan minum ARV akan mengakibatkan menurunnnya penekanan terhadap replika virus yang pada gilirannya akan terjadi pemusnahan sel CD4 (Green, 2009). Menurut Somi untuk mendapatkan respon penekanan jumlah virus sebesar 85% diperlukan kepatuhan penggunaan obat 90-95%. Dalam hal ini, jika ODHA harus minum obat rata-rata sebanyak 60 kali dalam sebulan maka pasien 157
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
diharapkan tidak lebih dari 3 kali lupa minum obat (Budi, 2010). Penelitian saat ini tidak sejalan dengan penelitian Syafrizal (2011) di Lantera Minangkabau yang menyimpulkan bahwa kepatuhan dari penderita ODHA berhubungan dengan keberhasilah terapi Anti Retroviral Virus (ARV). Berdasarkan analisa peneliti di dapatkan bahwa ada responden yang tidak patuh namun berhasil terapi ARV, hal ini dikarenakan responden hanya kelupaan atau terlambat minum obat 1-3 dosis per bulannya. Secara teoritis telah dijelaskan bahwa kepatuhan 95 % berarti hanya lupa atau terlambat meminum 3 dosis sebulan dari jadwal yang ditentukan. Dengan demikian peneliti berasumsi bahwa tidak hanya kepatuhan ODHA dalam mengkonsumsi ARV saja yang dapat meningkatkan jumlah CD4 tetapi juga faktor lain seperti status gizi ODHA yang dapat menyebabkan penyerapan obat ARV yang optimal didalam tubuh. SIMPULAN ODHA yang patuh mengkonsumsi ARV di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014 terdapat 8 orang (26,67%); Jumlah CD4 ODHA yang mengalami kenaikan dari periode sebelumnya di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014 terdapat 27 orang (90%); Dari hasil penelitian yang telah dilakukan peneliti menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara kepatuhan mengkonsumsi Anti Retriviral Virus (ARV) dengan kenaikan jumlah CD4 ODHA di Lancang Kuning Support Group Pekanbaru tahun 2014. DAFTAR PUSTAKA Budi, Anggipita. 2010. Hubungan Antara Pengetahuan, Motivasi Dan Dukungan Keluarga Dengan Kepatuhan Terapi ARV ODHA. Alamat website: www.journal.unnes.ac.id/index.p hp/kemas Diakses pada tanggal 15 April 2014 pukul 20.00 wib Depkes RI. 2003. Pedoman Penggunaan Terapi Antiretroviral. Jakarta : Spiritia
Ditjen PP & PL Kemenkes RI. Laporan HIV AIDS TW 1 2013. Alamat website: www.kemenkesri.or.id/laporanHIV-AIDS-TW1 . Diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 pukul 20.00 wib Fillah, Risha, et al. 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Pengobatan ARV Pada ODHA Di RSUD Tugurejo Dan RS Umum Panti Wilasa Semarang. UGM : Yogyakarta Green, Chris. 2009. Pengobatan Untuk AIDS. Jakarta: Spiritia Hidayat, A. Azizi Alimul. 2007. Metodologi penelitian kebidanan dan teknik analisa data. Jakarta : Salemba Medika Hutabarat, Basaria. 2007. Pengaruh faktor interna & eksterna terhadap kepatuhan minum obat penderita kusta di Kab. Asahan Tahun 2007. Alamat website: www.reposbry.usu.ac.id. Diakses pada tanggal 10 April 2014 pukul 21.00 wib Kemenkes RI. 2011. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral. Jakarta: Ditjen PP & PL Komisi Penanggulangan AIDS Nasional. Dasar HIV AIDS. Alamat website: www.aidsindonesia.or.id. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 pukul 23.00 wib Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Papua dan Papua Barat. 2009. HIV dan AIDS Sekilas Pandang. Jakarta: KPAN Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi Riau. Data kasus HIV AIDS. Alamat website: www.kpaprovriau.com. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2013 Machfoedz, Irchan. 2010. Metodologi Penilitian (Kuantitatif dan Kualitatif) Bidang Kesehatan, Keperawatan, Kebidanan, Kedokteran. Yogyakarta: Fitramaya Maryunani, Anik dan Ummu Aeman. 2009. Pencegahan HIV Dari Ibu Ke Bayi: Penatalaksaan Di 158
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Pelayanan Kebidanan. Jakarta: Trans info media Murni, Suzana dkk. 2004. Hidup dengan HIV AIDS. Jakarta: Spiritia Notoatmodjo, Soekidjo. 2007. Kesehatan Masyarakat : Ilmu dan Seni. Jakarta : Rineka Cipta _______ . 2012. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Ramadian, Okki dan Eky Riztriawan. 2010. Pengaruh Efek Samping Antiretroviral Lini Pertama terhadap Adherens pada ODHA di Layanan Terpadu HIV RSCM. Alamat website: www.ARVRSCM.pdf.wordpress.com. Diakses pada tanggal 25 Oktober 2013 pukul 20.00 wib Ramadini, Yulian, et al. 2008. Perbandingan efikasi beberapa kombinasi ARV pada pasien HIV AIDS ditinjau dari kenaikan jumlah CD4 rata-rata di RSK Dharmais Jakarta tahun 20052006. Alamat website: www.majalahilmukefarmasian.fmipa-ui.com. Diakses pada tanggal 15 April 2014 pukul 21.00 wib Ratridewi, Irene. 2009. Evaluasi Jumlah Sel CD4 Dan Berat Badan Anak Dengan HIV AIDS Yang Mendapatkan ARV Lini Pertama Di RS Dr. Saiful Anwar Malang. Alamat website: www.unbra.org.com . Diakses pada tanggal 12 April 2014 pukul 20.00 wib Riyadi, Slamet. 2008. 11 Langkah Memahami HIV & AIDS. Yogyakarta: LP3Y-KPA Nasional Setyodi dan Endang Triyanto. 2012. Strategi Pelayanan Keperawatan Bagi Penderita AIDS. Yogyakarta: Graha Ilmu Suyanto dan Ummi Salamah. 2008. Riset Penelitian. Yogyakarta: Mitra Cendikia Press Syafrizal. 2011. Hubungan Kepatuhan Odha Dengan KeberhasilanTerapi Antiretroviral (Arv) Di LanteraMinangkabau Support
PadangTahun 2011. Padang: STIK Alifah Padang Widyanti, Khairina. 2008. Hubungan Antara Jumlah Dukungan Sosial Yang Diterima Dengan Persepsi Kepuasan Terhadap Dukungan Sosial Yang Diterima Pada ODHA. Alamat website : www.hubunganantaraliteratur.pdf.org.com Wirdhana, Indra dkk. 2011. Program Penyiapan Kehidupan Berkeluarga Bagi Remaja (PKBR). Jakarta: BKKBN Yayasan Spiritia. 2013. Lembaran Informasi Tentang HIV/AIDS Untuk ODHA. Jakarta: Spiritia ***
159 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
PENATALAKSANAAN ANC (ANTENATAL CARE) TERPADU PADA IBU HAMIL TRIMESTER II DAN III DI KELURAHAN PASIR PUTIH KECAMATAN JAMBI SELATAN TAHUN 2013 1
2
* Subang Aini Nasution, Rizki Tri Wahyuni 1,2 STIKes Prima Jambi Korespondensi Penulis :
[email protected]
ABSTRAK Pelayanan Antenatal Care (ANC) terpadu seharusnya dilakukan kepada ibu hamil saat pemeriksaan kehamilan. Namun banyak ibu hamil yang kurang mendapatkan ANC secara terpadu seperti TT (Tetanus Toxoid) dan tes laboratorium. Padahal sangat penting untuk mencegah terjadinya tetanus, melihat dan mengurangi adanya PMS (Penyakit Menular Seksual), serta mencegah infeksi penyakit menular seksual dari ibu ke bayi. Masa kehamilan penting bagi seorang wanita dalam siklus hidupnya untuk menentukan kualitas kehidupan selanjutnya. Penelitian penatalaksanaan ANC terpadu pada ibu hamil trimester II dan trimester III di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013. Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif. Jumlah populasi sebanyak 25 orang, jumlah sampel sebanyak 25 orang, dimana data diperoleh melalui observasi dengan wawancara langsung kepada setiap responden dengan tehnik pengambilan sampel yaitu sampling jenuh. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 April - 23 Mei 2013. Penelitian menggunakan data primer. Hasil penelitian mayoritas responden dapat diperoleh bahwa dari 25 orang responden yang melaksanakan 18 orang (72%) dan hasil minoritas responden yang tidak melaksanakan ANC terpadu sebanyak 7 orang (28%). Dapat disimpulkan penatalaksanaan ANC terpadu pada ibu hamil di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013 tidak melakukan ANC secara terpadu. Dikarenakan kurangnya pengetahuan ibu hamil tentang ANC secara terpadu, pekerjaan ibu yang terlalu sibuk, tidak mengetahui tanda bahaya selama kehamilan, serta kurangnya tenaga kesehatan memberikan ANC secara terpadu kepada ibu hamil. Diharapkan kepada ibu hamil agar meningkatkan pengetahuannya tentang kunjungan ANC terpadu. Dan diharapkan kepada petugas kesehatan memberikan pelayanan ANC secara terpadu kepada ibu hamil.
Kata Kunci : Penatalaksanan, Kunjungan ANC, Terpadu, Ibu hamil
PENDAHULUAN Menurut MNH (Maternal Neonatal Health) asuhan antenatal merupakan prosedur rutin yang dilakukan oleh petugas (dokter, bidan, perawat) dalam membina suatu hubungan dalam proses pelayanan pada ibu hamil untuk mempersiapkan persalinannya. Memberikan asuhan antenatal yang baik akan menjadi salah satu sandaran safe motherhood dalam usaha menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu dan perinatal (Kusmiyati dkk, 2009). Masa kehamilan merupakan masa yang penting bagi seorang wanita dalam siklus hidupnya. Masa ini memerlukan perhatian khusus, karena masa ini akan menentukan kualitas kehidupan selanjutnya, khususnya bagi anak atau janin yang dikandung. Awal kehamilan merupakan masa-masa kritis bagi janin dan
perkembangan serta pertumbuhan organorgan tubuh untuk menentukan kehidupan selanjutnya, khususnya bagi anak atau bayi yang dikandung (Bartini, 2012). Kesehatan ibu merupakan masalah nasional yang perlu mendapat prioritas utama, karena sangat menentukan kualitas sumber daya manusia pada generasi mendatang. Ini didasarkan pada tujuan dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI), yaitu mengukur pencapaian sasaran dari program kesehatan nasional, khususnya yang berkaitan dengan program pembangunan kesehatan ibu dan anak “KIA” (Dewik, 2013). Menurut WHO (World Health Organization) memperkirakan bahwa ada 500.000 kematian ibu melahirkan di seluruh dunia setiap tahunnya. Adapun 99 persennya terjadi di negara berkembang. 160
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
Berdasarkan angka tersebut, diperkirakan bahwa hampir satu orang ibu setiap menit meninggal akibat kehamilan dan persalinan. Angka kematian maternal di negara berkembang diperkirakan mencapai 100 sampai 1.000 lebih per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara maju berkisar antara 7 sampai 15 per 100.000 kelahiran hidup (Ronald, 2011). Indikator yang digunakan untuk menggambarkan akses ibu hamil terhadap pelayanan antenatal adalah cakupan K1 kontak pertama dan K4 - kontak 4 kali dengan tenaga kesehatan yang mempunyai kompetensi, sesuai standar. Secara nasional angka cakupan pelayanan antenatal saat ini sudah tinggi, K1 mencapai 94,24% dan K4 84,36% (data Kementerian Kesehatan, 2009). Walaupun demikian, masih terdapat disparitas antar provinsi dan antar kabupaten/kota yang variasinya cukup besar. Selain adanya kesenjangan, juga ditemukan ibu hamil yang tidak menerima pelayanan dimana seharusnya diberikan pada saat kontak dengan tenaga kesehatan ‘missed opportunity’ (Kementerian kesehatan RI, 2010). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia Departemen Kesehatan (SDKI Depkes) menunjukkan bahwa AKI di Indonesia secara nasional adalah sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup dan merupakan angka tertinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Sumber data yang lain pada tahun 1994, dari hasil penelitian di rumah sakit umum di Indonesia, menunjukkan bahwa angka kematian ibu adalah sebesar 550 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini mengalami penurunan sebesar 373 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini tiga sampai enam kali lebih besar dari negara di wilayah ASEAN dan lebih besar 50 kali dibandingkan dengan negara maju (Ronald, 2011). Berdasarkan Laporan Akuntabilitas Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2011, AKI tahun 2010 yaitu 268 per 100.000 kelahiran hidup di Sumatera Utara. Angka ini mengalami peningkatan jika dibandingkan AKI pada tahun 2009 yaitu sebesar 260 per 100.000 kelahiran hidup dan tahun 2008 sebesar 258 per 100.000 kelahiran hidup (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Berdasarkan survei yang dilakukan pada tanggal 19–21 Februari di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013, didapatkan 4 dari 25 ibu hamil yang tidak mengetahui bahwa pemeriksaan ANC atau pemeriksaan kehamilannya paling sedikit dilakukan sebanyak 4 kali serta tidak mendapatkan pelayanan secara terpadu karena kurangnya pengetahuan ibu dan pelayanan secara terpadu dari tenaga kesehatan. Maka dari itu peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Penatalaksanaan ANC Terpadu pada Ibu Hamil Trimester II dan Trimester III di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013”. Berdasarkan latar belakang di atas peneliti merumuskan masalah penelitian yaitu bagaimana Penatalaksanaan ANC Terpadu pada Ibu Hamil Trimester II dan Trimester III di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan menggunakan wawancara yang dijawab responden dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana penatalaksanaan ANC Terpadu pada ibu hamil di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013. Pengambilan sampel ini menggunakan metode Sampling jenuh dimana pengambilan sampel didasarkan atas semua jumlah populasi yakni semua ibu hamil Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013 dengan jumlah sekitar 25 orang yang diperoleh dari kepala lingkungan setempat serta masyarakat kecamatan Sei Putih Barat. ( Notoatmodjo, 2010 ) HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan judul penelitian yang berjudul tentang Penatalaksanaan Antenatal Care (ANC) Terpadu Pada Ibu Hamil Trimester II dan Trimester III di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013 yang dilakukan pada tanggal 20 April - 23 Mei 2013 terdapat 25 sampel. Sampel diperoleh dari data primer. Data primer yaitu data yang diperoleh dari langsung dari ibu hamil dengan cara door to door. Lalu peneliti melakukan penelitian 161
SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
dengan cara pengisian lembar observasi. Dimana setelah dilakukan pengumpulan data dengan 25 sampel, peneliti melakukan pengolahan, maka diperoleh data sebagai berikut: Tabel 1 Distribusi Penatalaksanaan AnteNatal Care (ANC) Terpadu pada Ibu Hamil Di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013. Variabel Penatalaksanaan Dilakukan Tidak dilakukan Total
Jumlah (n)
Persentase (%)
18 7
72% 28%
25
100%
Berdasarkan tabel 1 di atas dapat diketahui bahwa dari 25 orang responden mayoritas yang melakukan ANC secara terpadu adalah sebanyak 18 orang (72%) dan minoritas yang tidak melakukan ANC secara terpadu sebanyak 7 orang (28%). Menurut Profesor Peter Abraham perawatan antenatal sudah ada sejak berabad-abad, namun demikian pada tahun 1930 pelayanan demikian menjadi lebih luas. Sekarang sebagian besar wanita hamil sangat sedikit mengalami risiko komplikasi, tetapi pada beberapa wanita dengan komplikasi medis atau riwayat obstetrik harus dilakukan monitoring lebih intensif. Perawatan antenatal bertujuan untuk memberikan perawatan yang sesuai untuk tiap individu. Selama periode antenatal disamping saran bidan dan kalangan kedokteran, juga bertujuan untuk membantu wanita mempersiapkan kelahirannya dan perawatan bayinya selama periode pasca kelahiran (enam minggu setelah kelahiran). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013 terhadap 25 orang, yang melakukan penatalaksanaan ANC Terpadu sebanyak 18 orang (72%). Menurut asumsi peneliti ibu hamil yang melaksanakan ANC Terpadu adalah ibu yang memiliki pengetahuan tentang tanda bahaya pada kehamilan baik dari keingintahuan ibu yang tinggi, sering bertanya pada petugas kesehatan, petugas pelayanan kesehatan yang menerapkan ANC secara terpadu dengan lengkap,
pengalaman ibu selama kehamilannya sebelumnya, sumber informasi dari teman, keluarga dan sering mendapat informasi dari berbagai sumber baik dari keluarga atau tenaga kesehatan. Hasil penelitian ibu hamil yang melakukan ANC Terpadu terdapat 7 orang (28%) yang tidak melakukan ANC secara Terpadu. Hal ini terjadi karena usia ibu hamil, jenis pekerjaan, karena kurangnya keingintahuan ibu hamil tentang tanda bahaya pada kehamilan jika tidak dilakukan pemeriksaan ANC secara terpadu, menganggap melaksanakan ANC Terpadu tersebut tidak terlalu penting karena dipengaruhi oleh tingkat pendidikan kurangnya informasi yang didapat oleh ibu tersebut, baik dari sumber informasi, media cetak, pengalaman dari teman atau keluarga sehingga pengetahuan ibu tergolong kurang serta dari tenaga kesehatan yang kurang memberikan konseling serta informasi tentang ANC Terpadu saat kunjungan pemeriksaan kehamilan. Menurut asumsi peneliti bahwa ibu hamil yang tidak melakukan ANC secara terpadu dikarenakan petugas kesehatan yang kurang memberikan pelayanan secara terpadu. Karena setiap tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta harus dapat memberikan pelayanan yang komprehensif terhadap ibu hamil agar dapat memastikan kehamilan berlangsung normal, mendeteksi dini masalah dan penyakit yang dialami ibu hamil, meningkatkan motivasi masyarakat khususnya ibu hamil dalam melakukan pemeriksaan kehamilan secara teratur minimal 4 kali kunjungan ANC, serta melakukan intervensi secara adekuat. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh peneliti tentang Penatalaksanaan ANC Terpadu pada Ibu Hamil Trimester II dan Trimester III di Kelurahan Pasir Putih Kecamatan Jambi Selatan Tahun 2013 dapat disimpulkan bahwa mayoritas responden tidak melakukan penatalaksanaan ANC secara Terpadu pada ibu hamil.
162 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014
DAFTAR PUSTAKA Bartini Istri., 2012. Asuhan Kebidanan Pada Ibu Lahir Normal, Nuha Medika, Jogjakarta. Dewik A.A., 2013. Gambaran Pengetahuan Tenaga Kesehatan Tentang AntenatalCare, http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ ebiomedik/article/view/3261 Di akses tanggal 06/02/2013. Kemenkes RI., 2010. Pedoman Pelayanan Antenatal Terpadu, http://www.scribd.com/mobile/doc/20 1148634 Di akses tanggal 06/02/2013 Kusmiyati dkk., 2009. Perawatan Ibu Hamil, Fitramaya,Yogyakarta. Notoatmodjo Soekidjo., 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta, Jakarta. Ronald
H.S., 2011. Pedoman dan Perawatan Kehamilan Yang Sehat dan Menyenangkan, Nuansa Aulia, Bandung.
163 SCIENTIA JOURNAL STIKes PRIMA JAMBI
No.3 Vol.2 Desember 2014