drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
1001 SADDAM Penulis
: Drh. Chaidir, M.M.
Penyelaras
: Mahyudin Al Mudra, SH. MM. Ir. Tuti Sumarningsih, ST., MT. Penerbit : ADICITA KARYA NUSA Jalan Sisingamangaraja 27, Karangkajen, Yogyakarta 55153 Telepon/faksimile (0274) 379250, 372893, 377067 http://www.adicita.com E-mail:
[email protected] 516.9246AKN03 © Hak cipta yang dilindungi undang-undang All rights reserved Pengolah kulit : Wisnoe, Anwar Penata letak : Ariawijaya Pencetak : Mitra Gama Widya Edisi Pertama, cetakan pertama, Januari 2004 ISBN 979-9246-64-4
ii
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Istriku. Lian
dan. anak-anakku: Chaleed, Hanna, Lingga, Rimba
iii
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Tentang Penulis Chaidir yang lebih dikenal dengan nama drh. Chaidir, MM kelahiran 29 Mei 1952 di Pemandang, Kec. Rokan IV Koto, Rokan Hulu, Provinsi Riau, adalah seorang politisi senior asal Riau. Sejak tahun 1992 ia menjadi anggota DPRD Provinsi Riau, dan menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau periode 19992004 dan Periode 2004 s/d 2008. Gelar Dokter Hewan, ia raih dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada pada tahun 1978, dan Pada tahun 2001. Ia menamatkan program, Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. Dan tahun 2013 ia mengambil Program Doktor Manajemen Fakultas Pasca Sarjana Universitas Pasundan Bandung. Selain pendidikan formal di atas, Chaidir sempat pula mengenyam pendidikan di luar negeri, di antaranya : Course On Bovine, Ovine and Swine, IFOA, Reggio Emilia, Italia, sertifikat September 1990 – April 1991 dan Short Course On Tropical Animal Diseases, Queensland, Australia, Sertifikat April – Juni 1986. Selepas menjadi Ketua DPRD Provinsi Riau, Chaidir menghabiskan waktu sebagai dosen di beberapa Universitas di Riau, Tercatat ia aktif sebagai Dosen Tidak Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Persada Bunda Pekanbaru sejak Tahun 2014, Dosen Tidak Tetap Jurusan Komunikasi FISIPOL Universitas Riau Pekanbaru sejak tahun 2009, Dosen Tidak Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru sejak tahun 2009, Dosen tidak tetap di Fak Ekonomi Univ Lancang Kuning, Pekanbaru, selain itu Chaidir juga pernah menjabat sebagai : 1. Ketua BPA AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2015 s/d 2016. 2. Komisaris Utama AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2012 s/d 2013 3. Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2011 s/d 2013 iv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Chaidir cukup aktif sebagai Pembicara dan Narasumber di seminar-seminar, baik yang di adakan oleh Kampus-kampus, juga Seminar yang diadakan oleh Instansi Pemerintah dan Swasta. Sejak masih Mahasiswa hingga saat ini, ia cukup aktif menulis, tercatat sudah 7 buah buku yang telah diterbitkan, Yaitu buku : 1. Suara dari Gedung Lancang Kuning, Penerbit Pusat Peranserta Masyarakat, Pekanbaru Tahun 1998. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr Ir Muchtar Ahmad, MSc, Rektor UNRI 2. Berhutang Pada Rakyat, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2002. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr Ichlasul Amal, Rektor UGM 3. Panggil Aku Osama, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2002. Dengan Kata Pengantar Oleh Ashadi Siregar, Budayawan/Sastrawan. 4. 1001 Saddam, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2004. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr. Tabrani Rabb. 5. Menertawakan Chaidir, Penerbit Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru, 2006, diberi kata Pengantar Oleh Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan/Budayawan. 6. Membaca Ombak, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2006. Dengan Kata Pengantar oleh Goenawan Mohamad, sastrawan/budayawan/wartawan senior. 7. Demang Lebar Daun, Penerbit Telindo Publishing, Pekanbaru Tahun 2007, Dengan Kata Pengantar oleh Hasan Junus, Sastrawan. Selain itu Chaidir juga aktif sebagai penulis kolom tetap di berbagai media cetak, yaitu : 1. Penulis kolom tetap rubrik PERNIK setiap pekan di Harian Koran Riau 2014 s/d sekarang.. 2. Penulis Rubrik “SIGAI” berupa refleksi terbit setiap hari Senin di Harian Riau Pos, November 2008 s/d sekarang.
v
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3. Penulis Rubrik ”Fabel” berupa fabel, terbit setiap hari Selasa di Harian Koran Riau Pekanbaru, Januari 2012 s/d 2014. 4. Penulis Rubrik ”Cakap Bebas” berupa refleksi terbit setiap hari Selasa di Harian Vokal di Perkanbaru, April 2010 s/d Juli 2014. 5. Penulis Rubrik Minda Kita di Tabloid “Mentari” setiap minggu 20012007 6. Penulis Catatan Akhir Pekan di Tabloid “Serantau” Setiap minggu,1999-2000.
Selain sebagai Politisi dan Akademisi, Chaidir dikenal juga sebagai Cendekiawan, Budayawan dan Tokoh Masyarakat Riau, ada beberapa penghargaan yang ia dapatkan diantaranya : 1. Anugerah Kebudayaan Sagang Kencana Tahun 2015, Yayasan Sagang. 2. Piagam Tanda Kehormatan, PWI Riau Award (Legend Award), 10 Mei 2014. 3. Penghargaan Kehormatan Alumni Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Ikasari Pekanbaru 2008 4. Pemenang Alumni Award dianugerahkan oleh FKH - UGM 2005 5. Kalung Summa Darma Kelas I dianugerahkan oleh UNRI Pekanbaru 2004 Website Facebook Twitter Google Plus Youtube Linkedin
: http://drh.chaidir.net : https://www.facebook.com/drh.chaidir.2 : https://twitter.com/BungChaidir : https://plus.google.com/+drhChaidirMM : https://www.youtube.com/c/drhchaidirmm : https://www.linkedin.com/in/drh-chaidir-mm-65553a45
Email
:
[email protected]
vi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Pengantar Penerbit Sebagaimana tiga buku Chaidir terdahulu, Suara Dari Gedung Lancang Kuning, Berhutang Kepada Rakyat, dan Panggil Aku Osama, buku 1001 Saddam merupakan kumpulan tulisan Chaidir yang dimuat di tabloid Mentari sejak bulan Mei 2002 hingga pertengahan September 2003. Penggulingan pemerintahan Saddam Hussein oleh Amerika dan Inggris menjadi pusat perhatian Chaidir pada bukunya yang keempat ini, setelah pada buku yang ketiga, Chaidir menunjukkan simpati yang serupa kepada Osama bin Laden. Rekaman tragedi Irak itu sendiri hanya terdiri atas tujuh buah tulisan. namun menjadi sangat menonjol karena mencuatkan isu internasional tentang arogansi, kesewenang-wenangan, dan kenaifan sebuah negara"adikuasa dalam memperlakukan negara lain. Bagi pembaca yang sudah menikmati tiga buku Chaidir terdahulu, tentunya sudah sangat akrab dengan gaya bahasa penulis, yang banyak menampilkan bahasa Melayu. Sebagai orang Riau asli kelahiran 29 Mei 1952, Melayu memang menjadi akar budaya yang melekat kuat pada diri penulis. Pepatah, istilah, dan ungkapan-ungkapan Melayu yang rancak dan indah tersebar di berbagai tulisan, membuat buku tulisan Chaidir memiliki cita rasa yang berbeda dengan buku-buku lain. Bagi pembaca yang belum menemukan kata atau kalimat yang tidak bisa dijumpai dalam bahasa Indonesia, insya Allah itu bukan karena salah cetak atau editor kami terlewat menyuntingnya, tetapi memang demikianlah gaya asli penulis. Fonem e dalam bahasa Melayu pada umumnya dibaca seperti membaca kata karena, bukan seperti dialek Betawi pada kata gue. Sekali lagi, pada buku ini Chaidir menebarkan wawasan yang luas pada masalah-masalah budaya, politik, ekonomi, filsafat, dan terutama masalah-masalah sosial kemanusiaan. Posisinya yang strategis sebagai ketua lembaga legislatif membuat ia memiliki banyak pengetahuan tentang masalah-masalah yang paling up to date, tidak saja dalam skala Riau, tetapi juga dalam skala nasional, bahkan internasional. la juga menunjukkan concern yang tinggi pada keadilan, moral, martabat, kehormatan, keterhormatan, serta marwah bangsa. Sebagai seorang yang bergerak persis di tengah arus deras perputaran politik, keteguhan sikap seperti ini jelas merupakan sesuatu yang tidak sering dijumpai. vii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bagi AdiCita, kepercayaan menerbitkan 1001 Saddam adalah kebanggaan tersendiri. Buku ini diharapkan bukan hanya sekadar sarana Chaidir untuk "rekreasi" atau "proklamasi" untuk menyatakan bahwa ia masih memiliki idealisme. Lebih dari itu, 1001 Saddam dan tiga buku sebelumnya merupakan dokumen otentik untuk mengingatkan kembali Chaidir atas komitmennya terhadap konstituen masyarakat Riau yang diwakilinya, manakala ia melupakan janji dan tanggung jawabnya sebagai wakil rakyat. Buku ini kelak akan menjadi 'garpu tala' yang akan mengukur apakah Chaidir benar-benar seorang politisi intelektual yang memiliki integritas, atau hanya sekadar "merely politician" seperti kebanyakan politisi biasa lainnya, yang antara ucapan dan tindakannya "jauh panggang dari api". Riau sebagai provinsi yang kaya sumber daya alam memang menjadi wilayah petrodolar baru pada era otonomi daerah. Perubahan politik yang sangat mendasar ini membawa implikasi pada hampir semua aspek kehi-dupan masyarakatnya, mulai dari pejabat tinggi hingga ke rakyat jelata. Konflik-konflik horisontal maupun vertikal yang muncul dalam berbagai sisi dan wajah, dipotret dengan sangat baik oleh Chaidir, serta dibingkai dengan nilai-nilai moral. Semoga tulisan-tulisan ini dapat menjadi cermin bagi pembaca untuk melihat karakter diri kita sendiri, mungkin tidak sebagai orang Riau, tapi sebagai bangsa Indonesia. Tahniah. Apalah tanda kayu meranti Daunnya lebat batangnya serasi Apalah tanda pemimpin sejati Menipu rakyat ia jauhi Apalah tanda Melayu bermarwah Taati janji pelihara amanah Apalah tanda Melayu pilihan Amanah orang ia peliharakan Yogyakarta, Januari 2004 Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M viii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Daftar Isi Tentang Penulis ...................................................................... Pengantar Penerbit ................................................................. Daftar Isi ................................................................................ Catatan Pengiring: Prof. Dr. Tabrani Rab ............................. Sekapur Sirih Penulis .............................................................
iv vii ix xii xvii
Bagian Satu Meneroka Politik Lokal ............................................................... 1 "September Kelabu" ........................................................ 2 Mengais Kebaikan yang Tercecer ................................... 3 Timor Leste ..................................................................... 4 Balada Uni Soviet ........................................................... 5 Pekanbaru Bertabur Bintang ........................................... 6 Kado Manis dari Kepri ................................................... 7 Jika Aku Mencintaimu ................................................... 8 Aktor lntelektual ............................................................. 9 Dialog Lintas Kafilah ..................................................... 10 Tragedi Tanah Rencong ..................................................
1 2 6 10 14 18 22 26 30 34 38
Bagian Dua Romantika Manusia .......................................................................... 1 Jangan Beri Peluru Kepada Musuh ................................... 2 Ditinggikan Seranting ....................................................... 3 Profesor Tabrani Yang Berani .......................................... 4 Warung Kelambu .............................................................. 5 Berguru Kepalang Ajar ..................................................... 6 Membaca Tanda-tanda ...................................................... 7 Gerakan Sosial .................................................................. 8 Andai Ada Inul ................................................................. 9 Seratus Tahun Kebangkitan .............................................. 10 Habis Banjir Terbitlah Asap ............................................. 11 Gelas-gelas Bocor ............................................................. 12 Kadar Laleh dan Ladan .....................................................
42 43 46 50 54 58 61 65 69 72 76 80 84
ix
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bagian Tiga Tak Melayu Hilang di Bumi ....................................................... 1 Hari jadi ............................................................................. 2 Raja Minyak dari Riau ...................................................... 3 Persebatian Cendekiawan ................................................. 4 Fitnah Sepanjang Zaman .................................................. 5 Sayang Sayang Selat ........................................................ 6 Balada Riau ...................................................................... 7 Etika Kehendak ................................................................ 8 Islah lslah lslah ................................................................. 9 Balada Huzrin Hood ......................................................... 10 Perempuan Penguasa Kata-kata ....................................... 11 Perginya Seniman Pemangku Negeri ...............................
87 88 92 96 100 104 108 112 116 120 124 127
Bagian Empat Komunikasi Budaya ................................................................... 1 Pelajaran dari Prancis dan Korea ..................................... 2 Bola, Cinta, dan Persaudaraan ......................................... 3 Membangkit Batang Terendam ....................................... 4 Seputih Kapas Sebening Embun ...................................... 5 Don't Cry For Me Argentina ............................................ 6 Gong Xi Fa Choi .............................................................. 7 Mega Kurban ................................................................... 8 Historia Vital Magistra .................................................... 9 AliBaba ............................................................................ 10 Inul Syndrome ................................................................. 11 Sri Amanah Dwi Wangsa ................................................
131 132 136 140 144 147 152 156 161 165 168 172
Bagian Lima Tragedi Negeri 1001 Malam .................................................... 1 Pandanglah Ke Timur ..................................................... 2 Arogansi Amerika Itu ..................................................... 3 Satu Kata Beda Makna ....................................................... 4 Si Jago Perang ................................................................. 5 Bukan Perang Naga Bonar .............................................. 6 Wawancara Imajiner dengan Saddam .............................
176 177 181 185 189 193 197
x
http://drh.chaidir.net
2004
7 1001 Saddam .................................................................
202
Bagian Enam Keadilan yang Tersembunyi ........................................................... 1 Pesan Hang Jebat ................................................................. 2 Mobil Bodong ...................................................................... 3 Kearifan Pujangga ........................................................... 4 Hukum Antah Berantah ................................................... 5 TKI: Benci Tapi Rindu .................................................... 6 Mendung Pasti Berlalu .................................................... 7 Indira ............................................................................... 8 Belajar Melihat Gajah ..................................................... 9 Mencabut Tali Aki .......................................................... 10 Dying Young ...................................................................
296 297 301 305 309 313 317 321 324 328 332
drh. Chaidir, MM
xi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Catatan Pengiring Prof. Dr. Tabrani Rab Ketika itu, 1 Ramadhan, puasa pertama. Chaidir datang membawa bukunya yang akan terbit, 1001 Saddam, menyusul tiga bukunya terdahulu, Suara Dari Gedung Lancang Kuning, Berhutang Pada Rakyat, dan Panggil Aku Osama. Tentu saja, Ketua DPRD yang berlatar belakang perguruan tinggi ini mempunyai identitas tersendiri dengan warna intelektual di tingkat Riau khususnya dan tingkat nasional umumnya. "Bang! Buku yang satu ini saya mintakan kata pengantar dari Abang", ungkapnya kepada saya. Padahal, kelas tiga tokoh yang mengantarkan tiga bukunya terdahulu, Prof. Dr. Muchtar Ahmad pada buku Suara Dari Gedung Lancang Kuning, Prof. Dr. Ichlasul Amal pada buku Berhutang Pada Rakyat, dan Ashadi Siregar pada buku Panggil Aku Osama, tentu jauh lebih tinggi dari saya. Untunglah, Chaidir mengangkat saya setinggi langit dalam Sekapur Sirih. Saya dinyatakan oleh penulis sebagai sosok brilian dan unik. Kami pun berbicara panjang lebar, bagai laut yang tak bertepi. Malam hari sebelumnya, tepatnya malam 1 Ramadhan, kebetulan saya menonton Lawrence of Arabia, sebuah film yang bercerita tentang kisah kehidupan seorang petualang Inggris yang berhasil membangkitkan Revolusi Arab terhadap Turki. Dalam film ini, Omar Sharif dan Anthony Quin yang berperan sebagai orang Arab pendamping Lawrence berhasil mengalahkan tentara Turki yang jumlahnya tiga setengah kali lebih banyak dari tentara Arab. Namun, kemenangan Arab tersebut berakhir dengan permulaan kepahitan: kering-kerontangnya air Damaskus, matinya listrik, layanan rumah sakit yang buruk, dan tentu saja ujung-ujungnya, gonjangganjing pemerintahan Arab di Palestina yang hampir merupakan penderitaan tanpa batas. Aksi Lawrence of Arabia bersama orang-orang Arab untuk menghancurkan Turki yang sama-sama bergama Islam kemudian dikenal dengan Revolt in Desert. Kekuatan Arab ini berhasil menghancurkan 14.000 prajurit Turki yang mempertahankan rel kereta api Madinah - Damaskus, hanya dengan satu kata, "No prison!" (Bunuh semua!). Sang Lawrence memekikkan kata ini di hadapan 4.000 tentara Arab. xii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bagaimana tanggapan Abdullah, putra kedua Hussein, penguasa Mekah yang kelak menjadi Raja Jordan? "Dewan Arab ini hanyalah pemerintahan sementara yang akan membawa kesengsaraan bagi orang Arab." Faisal, putra ketiga Hussein yang ditunjuk oleh Inggris menjadi Raja ketiga di Irak juga menyatakan hal yang sama. "Dewan ini kelak akan mengantarkan bangsa Arab ke dunia gelap gulita." Di bagian lain jazirah Arab, bangsa Yahudi di bawah pimpinan PM Inggris, Deseraili, seorang Yahudi tulen, membuat rencana besar dengan Allenby, atasan Lawrence of Arabia. "Palatin (Palestina) adalah Kan'an, tanah yang dijanjikan untuk Yahudi." Ketika Mahathir menyatakan bahwa Yahudi sebagai perusak dunia Islam, maka akar permulaannya adalah Lawrence of Arabia dan terlukanya Islam karena terjadinya peperangan antara Arab dengan Turki. Kebijakan Allenby ini menjadi dasar bagi Deseraili, sang PM Inggris yang Yahudi, untuk mengoyak-oyak dunia Arab. Kondisi inilah yang juga ditulis oleh Chaidir dalam 1001 Saddam. Chaidir dalam 1001 Saddam berusaha untuk mengangkat kembali sebuah siklus Lawrence dan Faisal ketika mengalahkan Turki. Terbukalah peluang serangan Bush dan Blair terhadap Saddam dan Irak, sementara Palestin yang dibuahkan Abdullah dan anaknya Raja Hussein menjadikan Palestina neraka bagi Arab. Maka, pembantaian Arab di Palestina oleh bangsa Yahudi dan pengobrak-abrikan Saddam dan Irak oleh Bush dan Blair menyebabkan Chaidir berteriak dalam 1001 Saddam. Namun, jalan sejarah tak selurus rencana Bush dan Blair. Irak telah diramalkan menjadi Vietnam kedua dan menyebabkan Bush berpikir dua kali sebelum menyerang Iran dan Korea Utara, dua negara yang dituduh sebagai negara nuklir. Dalam mengantarkan buku 1001 Saddam ini, saya juga teringat pada kisah seorang tokoh film bernama Nash. Ahli matematika dan numerical dari Princenton University Amerika yang memenangkan hadiah nobel untuk bidang matematika ini harus menempuh jalan yang betul-betul gila (schizophren), hanya untuk membuktikan antara kegilaan dan ketepatan matematika yang diturunkan oleh Einstein, E=mc2. Kegilaan dan ketepatan matematika ini dalam sejarah manusia kemudian diteruskan oleh Bill Gate, perancang Microsoft, sehingga anda dapat membawa
xiii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
komputer ke tempat tidur dan hanya perlu pergi ke ATM bila anda memerlukan uang. Dalam kedua kegelisahan, yakni kegelisahan Einstein dengan presisi serta prediksi yang pasti dan kegelisahan fluktuasi politik lokal maupun dunia karena distorsi yang terus-menerus akibat gesekan-gesekan sosial, muncul ide Chaidir untuk melahirkan 1001 Saddam, dimulai dari Meneroka Politik Lokal yang langsung dirasakan oleh Chaidir, baik karena interaksi kemanusiaan yang dalam maupun gesekan-gesekan sosial dengan alam dan tradisinya sendiri. Fenomena Inul sebagai simbol keluh kesah Chaidir tak dapat dinafikan. Tak Melayu Hilang di Bumi ditutupnya dengan teori keseimbangan antara politik yang mapan dan lahirnya puisi dan balada. Dalam Tak Melayu Hilang di Bumi, Chaidir hendak mengungkapkan hal penting, art longa vita brevis (hidup ini sangat pendek dan seni itu abadi). Tapi, dalam komunikasi budaya, Chaidir tidaklah mengupas akulturasi, akan tetapi menggodoknya. Don't Cry For Me Argentina yang merupakan warna tersendiri dalam 1001 Sadam sampai Sindroma Inul. Fenomena Inul sendiri diwakili oleh dua judul dalam buku ini, "Andaikan Ada Inul" pada bagian kedua dan Inul Syndrome pada bagian keempat. Barulah tulisan itu menukik pada Tragedi Negeri 1001 Malam di bagian kelima. Khusus 1001 Saddam pada halaman 252, Chaidir meratapi Laila Majenun (dongeng malam dari tanah Arab). Saya kira, dari 1001 Malam inilah muncul ide 1001 Saddam. Chaidir mencoba menarik sejarah Babilonia hingga kisah Saddam, kemudian menuliskan Bush dan Blair sebagai tak lebih dari Hulagu dan Timur Lenk yang menghancurkan Baghdad. Sayangnya, ketika tulisan itu diturunkan, Bush belum berhadapan dengan demonstrasi dalam negeri yang dapat menyebabkannya mengikuti langkah Nixon. Vietnam kedua mungkin muncul di Irak. Hotel Al Rasyid telah menjadi saksi. Politik memang susah diprediksi. Dalam bagian keenam, Keadilan yang Tersembunyi, Chaidir tak dapat menafikan humankind is one. Muncul keinginan untuk melahirkan keadilan dan menyatakannya dengan jelas. Korupsi ulama berupa ketidakpedulian, korupsi penguasa berupa ketidakadilan, dan korupsi kaum sufi adalah kemunafikan. la menutup dengan sebuah ungkapan indah. "Tugas manusia memang bukanlah menaklukkan xiv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
waktu, tapi menciptakan sejumlah kenangan yang dapat disebut dengan manis pada masa datang." Pengalaman penulis 1001 Saddam yang begitu luas sebagai hasil perjalanan panjangnya membuka mata kita. Kegelisahan antara dunia yang dilihatnya dengan lingkungan hidup dan prediksi-prediksi yang melenceng menyebabkan Chaidir selalu berada dalam distorsi. Untungnya, ia menemukan jalan keluar. la menampakkan tembok kegelisahan itu dengan pikiran jernih dan menulisnya dalam 1001 Saddam. Buku 1001 Saddam yang ditulis oleh Chaidir ini juga tak terlepas dari pendekatan psikologi sosial. Memakai istilah CG. Young, inovasi selalu lahir dari pemikiran kolektif alam bawah sadar. Inovasi ini puiaiah yang meiahirkan distorsi sampai ditemukannya suatu konvensi yang baru atau kembali ke konvensi yang lama. Akan tetapi, berapa lama distorsi ini terjadi? No body knows. Keadaan tersebut merupakan peristiwa yang diangkat oleh Chaidir, seorang intelektual yang menceburkan diri dalam legislatif. Tidaklah berlebihan jika Sartre menggambarkan keintelektualan berakhir begitu pemikiran bebas diantukkan ke tembok, entah tembok eksekutif atau tembok legislatif. Akan tetapi, yang pasti, kebebasan intelektual ini harus terbenam, menyesuaikan nada legislatif. Oleh karena itu, kegelisahan akibat distorsi yang berkepanjangan merupakan benang kusut yang tak berujung. Distorsi ini telah melahirkan ide-ide Chaidir dalam Suara Dari Gedung Lancang Kuning, Berhutang Pada Rakyat, dan Panggil Aku Osama. Kini, muncul 1001 Saddam. Kegelisahan antara prediksi matematik dan permainan menara gading dari fenomena sosial dicurahkan Chaidir dalam karya-karyanya. Sekali menyala, api kegelisahan itu tak akan pernah padam. Antara dunia luar yang dilihat dan fenomena sosial yang dibaca, dimana Chaidir mengabdi, menyebabkan munculnya kegelisahan. Kegelisahan itu tercurah dalam 1001 Saddam. Suatu saat, saya pernah mendengarkan ceramah pertamanya di Universitas Riau setelah kunjungannya ke Korea. "Jalannya lebar-lebar dan kukuh", begitu salah satu uraiannya dalam ceramah itu. Saya tahu bahwa kegelisahan ini tak pernah berhenti dalam diri Chaidir, karena dia melihat kenyataan di sekelilingnya yang tak seperti harapannya di Korea. Ketidakseimbangan perbandingan ini menyebabkan kegelisahan Chaidir bermuara pada sebuah pertanyaan, apa yang sebenarnya terjadi pada bangsa ini? xv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Wawasan Chaidir yang sangat luas menerawang fenomena dunia dalam komumkasi budaya dan kemudian menukik ke rutinitas yang terjadi sehari-hari di lingkungannya menyebabkan Chaidir lahir sebagai penganut ucapan Descartes, Cogito Ergo Sum. Saya berpikir, karena itu saya ada. Walaupun membayangkan penulisan sebagai usaha memperpanjang umur, namun dalam kemelut masa-masa kritis, Chaidir pun berbisik kepada saya, "Kebenaran itu ada di kampus. Oleh karenanya, yang dapat menembus tembok-tembok dilematis adalah intelektual kita", bisiknya dengan tenang. Buku 1001 Saddam ini bukanlah fenomena dilematis Chaidir, akan tetapi sebuah keyakinannya bahwa sebagaimana lagu yang didendangkan Madonna, "Don't cry for me Argentina. The truth is I never left you. All though my wild days and my mad existence, I kept my promise. Don't keep your distance!" (Jangan menangis untukku Argentina. Sebetulnya aku tak pernah meninggalkanmu. Sepanjang kehidupanku yang liar dan kegilaanku, aku menepati janjiku. Jangan menjauhkan diri!) Pengantar ini saya tutup dengan sebuah ungkapan Christopher Lasch. "The past should be considered as a political and psychological treasure from which we draw the resources to cope with the future." (Masa lalu harus dipertimbangkan sebagai kegagalan politik atau tekanan perasaan yang harus kita ambil untuk rencana kita masa depan). Sejauh masa lalu, antara kejadian hari ini dan harapan masa depan muncul kegelisahan. Muara kegelisahan ini bukan khayalan, tapi "goresan tulisan sebagai hasil penuangan intelektual kita". Benarlah apa yang diajarkan oleh Chaidir kepada kita dalam 1001 Saddam. Semoga, tak ada waktu yang tersisa dan tersia-sia oleh gelombang dan buih kehidupan.
xvi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Sekapur Sirih Penulis Tanpa terasa, pekan demi pekan, bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun, terus berlalu dan kita, antara sadar dan tidak, selalu saja terombang-ambing kesana kemari dalam berbagai persoalan hidup dan kehidupan laksana lautan tak berpantai. Adakalanya kita terlambat menyadari, bahwa apa yang kita lakukan sarat dengan formalitas dan tidak memiliki kedalaman makna. Yang lebih tragis, perbuatan anak manusia itu adakalanya kontraproduktif terhadap pemanusiaan itu sendiri. Perang misalnya,terhyata tidak hanya milik kaum barbar atau kaum Gurkha, tapi juga menjadi pilihan orang-orang yang menurut akal budi telah tercerahkan, sementara kita suka terlambat menyadari. Waktu terus saja berjalan tanpa kompromi, tidak pernah tertaklukkan oleh manusia yang nisbi. Apa yang telah diucapkan Milan Kundera agaknya benar, bahwa tugas manusia bukanlah untuk menaklukkan masa depan, tapi menciptakan sejumlah kenangan yang dapat disebut dengan manis pada masa mendatang. Tapi sejujurnya, tulisan-tulisan yang dirangkum dalam buku ini tidak dimaksudkan untuk sebuah kenangan manis seperti apa yang dimaksud oleh Milan Kundera. Tulisan-tulisan ini ada karena memang saya harus menulis, karena saya merasa perlu untuk mencurahkan apa yang terpikirkan dan apa yang terasa dalam hati. Tulisan-tulisan ini lahir sebagai sebuah obligasi moral yang tidak dapat tersampaikan secara lisan dengan utuh. Katakanlah juga itu sebagai respon terhadap stimulus yang tak pernah jera mengganggu dari waktu ke waktu. Sesekali muncul juga pertanyaan ragu dalam hati, apakah tulisan saya berguna atau tidak. Kenapa mesti bersusah payah mengajak orang lain untuk berempati atau, lebih jauh, melakukan perenungan? Kenapa mesti menyorongkan pipi, padahal hidung tidak mancung? Tetapi perasaan seperti itu tentu saja tidak relevan untuk dipelihara. Manusia boleh mati, kata Francis Bacon, tapi ia bisa memperpanjang umurnya, jika ia meninggalkan sesuatu yang "abadi", yaitu sebuah karya. Karya itu bisa bernama buku, sebuah novel, dan sah pula bila hanya sebuah puisi. Karya inilah yang bisa membuat seorang anak manusia dapat lebih bertahan ketika melawan waktu. Bacon lebih jauh mengatakan, sebuah karya atau monumen yang terbuat dari xvii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pengetahuan dan kearifan memiliki kemungkinan bertahan lebih besar dari hasil-hasil karya yang lain, semisal berupa monumen is tana, candi, ataupun sebuah kota. Suatu kali ketika saya diundang untuk menjadi salah seorang pembicara dalam sebuah seminar, seorang pembicara lain berbisik kepada saya, mengatakan dia telah membaca buku saya (Berhutang Pada Rakyat dan Panggil Aku Osama). Buku tersebut dia beli di toko buku. Terus terang, hati saya berbunga-bunga. Pembisik itu saya anggap mewakili seribu pembisik lainnya dan itu membuat saya bertekad akan terus menulis selama saya masih sanggup untuk melakukannya. Saya kemudian menemukan justifikasi yang memperkokoh keyakinan saya setelah membaca buku James W. Pennebaker, "Ketika Diam Bukan Emas". Saya menemukan justifikasi, mengapa harus menulis dan mengapa harus menerbitkan buku. Pennebaker menyimpulkan risetnya bahwa mencurahkan isi hati (self disclosure) dapat berpengaruh positif bagi perasaan, pikiran, dan kesehatan tubuh. Membuka diri amat gampang caranya, berbagilah dari hati ke hati kepada orang yang anda percayai! Atau yang lebih baik lagi, tuliskanlah secara bebas isi hati anda! Pada bagian lain, waktu, membisikkan kepada kita, bahwa tradisi menulis dalam sejarah Melayu adalah catatan sejarah yang diukir dengan tinta emas. Jika menyingkap bilik sejarah Melayu Riau, maka kita dapat menyaksikan dan merasakan bahwa gemuruh agenda intelektual itu sudah berlangsung sejak lama. Kejayaan Melayu Riau terbilang bukan tersebab agenda politik, ekonomi, atau militer, tapi oleh agenda kebudayaan yang sarat dengan supremasi inteletualitas. Tanda sejarah itu diberikan melalui kehalusan budi pekerti dan kesantunan tutur bahasa. Ketinggian dan keranggian budaya itu terlihat, misalnya, bagaimana seorang sastrawan dan budayawan Raja Ali Haji mampu menghasilkan sebuah master peace Gurindam Duabelas dan berbagai karya lain. Kegemilangan itu terus berlanjut dengan munculnya sastrawan Suman HS sebagai salah seorang pembaharu sastra Indonesia, kemudian muncul pula pengarang perempuan Selasih Seleguri dan penyair-penyair lain yang terbilang nama, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsuddin, Idrus Tintin, Hasan Yunus, dan lain-lain.
xvii i
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kegemaran menulis memaksa saya untuk membaca, dan yang lebih penting adalah, kegemaran itu saya rasakan mampu mengawal saya memposisikan diri dalam keseimbangan peristiwa material dan spiritual, sekaligus barangkali juga meredakan kegelisahan-kegelisahan akibat perusakan-perusakan eksistensi manusia modern yang agresif, materialistik, dan kejam. Benturan itu, sadar atau tidak, berlangsung setiap saat di sekeliling kita seakan tak terdamaikan. Kegemaran itu barangkali dapat diparidang pula—dan saya tidak keberatan—sebagai sebuah pelarian dari peran di panggung kekuasaan yang problematikanya nyaris tak terpikulkan. Peran itu oleh sementara kawan-kawan yang telah tercerahkan diang-gap aneh. Saya dapat memahami bila itu menjadi sebuah prasangka. Keseluruhan tulisan dalam buku ini memang ditulis pada saat saya menempati posisi sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau, posisi yang pada masanya banyak disorot karena kekuasaannya cukup besar sehingga seringkali dipandang dengan sinisme yang berlebihan. Publik yang telah memperoleh pendidikan politik selama era reformasi menyadari bahwa lembaga legislatif meru-pakan pusat kekuasaan baru di samping lembaga lainnya, dimana benturan demi benturan kepentingan tak terelakkan, sementara setiap penghujung pekan saya menulis refleksi-refleksi yang beberapa diantaranya mengandung pesan. DPRD, lembaga dimana saya berkiprah, adakalanya terasa dekat dengan rakyat, namun tempo-tempo terasa jauh, laksana sebuah menara gading. Wakil entah ke-mana, konstituen entah dimana, masing-masing jalan sendiri. Masyarakat pula pada sisi lain, agaknya adalah masyarakat yang anomi. Disorganisasi hubungan antar manusia adakalanya tertangkap dengan mudah, karena menampakkan diri dengan vulgar, namun adakalanya tersembunyi, terasa ada terkatakan tidak. Gejala ketidakseimbangan psikologis yang dapat melahirkan perilaku sosial menyimpang dalam berbagai manifestasi selalu menarik perhatian saya dan membuat saya terusik untuk menulis. Di tahun-tahun awal abad ke-21 ini, kita nampaknya akrab dengan terma-terma keterbuangan, keterasingan, kebencian, dendam, bahkan benturan-benturan kepentingan yang sepertinya tak terdamaikan. Pertanyaan yang selalu mengusik adalah, adakah tahap ini memang harus kita lalui sebagai sebuah episode kehidupan masyarakat yang sedang
xix
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
berubah? Tidak ada yang bisa membantah, pembahan masyarakat, kebudayaan, dan peradaban memang sedang berlangsung. Masyarakat kita umumnya tidak lagi dapat disebut sebagai masyarakat primitif, masyarakat tradisional pun tidak. Masyarakat kita sesungguhnya sudah maju. Namun, beriringan dengan kemajuan dan perubahan yang cepat itu, proses akulturasi pun berlangsung cepat, bahkan terkesan anomi. Pada sisi lain, kita belum menemukan formula yang tepat bagaimana mengantisipasinya. Dengan segala keterbatasan, saya memaksakan diri memotret kejadian demi kejadian, kisah demi kisah anak manusia itu dalam bentuk refleksi ringan setiap pekan di Tabloid Mentari yang saya pimpin. Sudah barang tentu tulisan ini sepenuhnya dalam sudut pandang saya. Redaksi tidak pernah bisa menolak, betapapun buruknya tulisan yang saya susun. Tanpa terasa, pekan demi pekan, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun pun berganti, halaman Minda Kita di tabloid Mentari telah menjadi milik saya seutuhnya. Redaksi boleh menggarap halaman lain tapi halaman Minda Kita adalah halaman khusus untuk tulisan saya. Halaman itu milik "raja". Kesulitan muncul ketika tulisan saya yang berserakan itu hendak dibukukan. Temanya terlalu bervariasi, mulai dari Warung Berkelambu di kaki lima kota Pekanbaru, Balada Huzrin Hood, Fenomena Inul, Evita Peron, Piala Dunia Sepak Bola, sampai perseteruan Amerika dengan Saddam Hussein. Tak ketinggalan pula guratan nasib Laleh dan Ladan. Tulisan "suka-suka" itu entah masuk kategori apa, saya pun tidak tahu. Mungkin yang paling tepat memang masuk kategori "suka-suka", dan oleh karenanya membaca buku ini jangan terlalu serius, baca sajalah di kala senggang! Keseluruhan tulisan yang saya tulis setiap pekan dalam periode Mei 2002 sampai dengan pertengahan September 2003, dengan bersusah payah, akhirnya dikelompokkan dalam enam bagian. Namun, pengelompokan ini pun tidak mungkin hitam putih. Bagian Pertama dengan tajuk "Meneroka Politik Lokal", memuat tulisan-tulisan ringan yang merupakan refleksi berkaitan dengan tingkah polah masyarakat dalam memberikan apresiasi terhadap gelombang transparansi dan demokrasi di tengah masyarakat yang berbilang kaum dan sedang mengalami turbulensi. Hidup kita ini terdiri dari kafilah-kafilah yang berbeda, dan daftar perbedaannya bisa panjang, mulai dari perbedaan xx
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
individu, kelompok, suku, puak, agama, bangsa, dan juga kepentingan. Perbedaan-perbedaan itu akan menjadi sumber pertelagahan bila tidak disikapi secara bijak dan cerdas. Tidak ada resep apapun yang ditawarkan. Catatan-catatan ini tidak lebih dari sekadar ajakan untuk saling mengingatkan. "Romantika Manusia" yang merupakan tajuk pada Bagian Kedua, memuat catatan-catatan tentang hidup dan kehidupan manusia. Dalam tajuk ini, ada Warung Kelambu, ada Inul yang fenomenal, dan ada pula refleksi tentang Kadar Laleh dan Ladan, dua gadis Iran yang kembar siam. Entah pesan apa yang diusung oleh Laleh dan Ladan. Tapi yang jelas, tak ada seorang manusia pun yang tahu tentang buku takdirnya, termasuk Laleh dan Ladan, juga Inul. Ada manusia yang dilahirkan dengan keberuntungan, ada yang tidak beruntung. Ada juga manusia yang dilahirkan untuk menjadi contoh peringatan bagi yang lain, apa pun bentuk peringatan itu. Bagian Ketiga dengan tajuk "Tak Melayu Hilang di Bumi", adalah bagian yang banyak bercerita tentang balada Riau dan oleh karenanya barangkali sedikit berbau subyektif. Tajuk ini pun sengaja saya kutip dari ucapan Hang Tuah yang terkenal itu, "Tuah Sakti Hamba Negeri, Esa Hilang Dua Terbilang, Patah Tumbuh Hilang Berganti, Tak Melayu Hilang di Bumi". Secara antropologis, etnis Melayu agaknya tak akan pernah hilang dari bumi, tapi kalau hanya sekadar menjadi mentimun bungkuk, dimasukkan tidak menambah, dikeluarkan tidak mengurangi, itu akan sangat menyedihkan dan menyakitkan. Rasanya tidak akan ada satu puak pun membiarkan dirinya selalu menjadi pecundang. Kompleksitas Riau agaknya menarik untuk dicermati sebagai perbandingan bagi daerah lain. Andaikan Riau tidak kaya akan sumber daya alam, mungkin tidak akan pernah ada perusakan alam, limbah, dan marjinalisasi, Entah sampai kapan, peribahasa Ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan atau itik berenang mati kehausan, tidak lagi relevan untuk diucapkan di Riau. Ungkapan laut sakti rantau bertuah, yang agaknya tepat menggambarkan betapa besarnya potensi Riau, seringkali menjadi sumber inspirasi bagi saya dalam menuangkan catatan-catatan akhir pekan di halaman Minda Kita itu.
xxi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bagian Keempat bertemakan "Komunikasi Budaya". Bagian ini memuat beberapa catatan betapa dialog kebudayaan menjadi sesuatu yang tak boleh diabaikan. Kemiskinan komunikasi amat berpeluang menimbulkan mis-komunikasi yang akhirnya akan dapat menimbulkan asumsi-asumsi yang salah, prasangka, atau bahkan fitnah. Kebudayaan memang harus didialogkan secara cerdas untuk membangun saling pengertian antar kafilah-kafilah kehidupan yang tidak akan pernah bisa dibuat seragam. Orang Melayu sudah sejak dulu memberikan apresiasi terhadap keberagaman masyarakatnya. Hal ini tergambar dari ungkapan adat "Adat hidup orang Melayu, puaknya banyak hatinya satu". Ungkapan lain menjelaskan, "Apa tanda Melayu terpuji, berlain bangsa sepinggan nasi', atau dikatakan, "Apa tanda Melayu bertuah, berlainan suku hidup serumah", atau "Apa tanda Melayu ternama, berkawan tidak memandang bangsa". Komunikasi budaya yang berlatar ketulusan dan kearifan akan membangun silaturahmi lintas kafilah. Bagian Kelima bertemakan "Tragedi Negeri 1001 Malam". Tema ini sebagian besar saya tulis dari keprihatinan saya terhadap Perang Teluk, ketika Amerika dan Inggris memaksakan kehendaknya menumbangkan Saddam Hussein, Presiden Irak yang sah, apapun alasannya. Waktu kelihatannya akan membuktikan tuduhan. bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal tidak terbukti. Waktu juga mencatat, pendudukan Irak oleh Amerika, agaknya belum akan mengungkai masalah. Hari demi hari pasca perang, korban masih saja berjatuhan, entah sampai kapan. Sementara Saddam entah dimana rimbanya. Secara fisik, tanpa perlu rekayasa genetika, orang-orang Arab umumnya memiliki kemiripan wajah dan ini menyulitkan bagi suku bangsa lain untuk langsung membedakannya dari sebuah kerumunan. Sama halnya, misalnya, bila bangsa lain melihat orang-orang suku bangsa Cina, susah membedakan mana David Lee yang asli dan mana yang bukan. Tulisan dengan judul 2001 Saddam, yang kemudian saya ambil menjadi judul buku, kira-kira bermakna mati satu tumbuh seribu. Negeri Irak sudah beberapa kali hancur, sebut saja misalnya ketika Hulagu, keponakan Jengis Khan, menaklukkan Baghdad, atau kemudian pada abad yang berbeda ketika Timur Lenk dari Mongolia menyerbu dan menghancurkan Baghdad. Agresor demi agresor silih berganti menghancurkan Negeri 1001 Malam
xxii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
itu, tapi sejarah mencatat negeri itu kembali bangkit. Lalu apa bedanya dengan pasukan George W. Bush dan Tony Blair? Saddam Hussein bisa saja hancur dihantam rudal Amerika dan Inggris, kemudian dipaksakanlah berdirinya rezim boneka di Irak. Tapi, sampai kapan rezim itu akan bertahan, seratus tahun, dua ratus tahun, atau seribu tahun? Sejarah akan mencatat, seperti yang dicatat terhadap Hulagu dan Timur Lenk itu. Bahkan, pada hemat saya, Bush dan Blair justru telah menyemai Saddam di Irak dan di bagian dunia lainnya akan segera tumbuh 1001 Saddam yang mungkin akan lebih Saddam daripada Saddam. Bagian Keenam bertemakan "Keadilan yang Tersembunyi". Tema ini memuat beberapa tulisan sebagai catatan refleksi potret apresiasi masyarakat terhadap kesadaran berkonstitusi dan kesadaran hukum. Pembangunan kita, disadari atau tidak, terlalu banyak mengedepankan gairah material sehingga cenderung menjadi sesuatu yang anomi, bahkan memangsa anak-anaknya sendiri. Pembangunan ekonomi misalnya, jika tidak dibingkai dengan keimanan dan kebudayaan yang kokoh akan mengarah kepada homo homini lupus. Pembangunan hukum pula, hanya berfungsi sebagai penghakiman, bukan penyadaran. Rasa keadilan masyarakat sering ter-abaikan. Gerakan reformasi untuk menata ulang berbagai aspek dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara memang belum tuntas. Kita memang masih berada dalam masa transisi yang panjang, entah sampai kapan. Tetapi, itu bukan merupakan excuse bagi kita untuk tidak menegakkan supremasi hukum. Di samping etika dan akhlak, supremasi hukum itu menjadi ruhnya reformasi. Kita tentu tidak ingin masyarakat mencari keadilan yang tersembunyi dengan cara lain. Dengan diterbitkannya kumpulan tulisan ini, saya harus menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada kawankawan di Tabloid Mentari yang telah bekerja keras sehingga Mentari tetap eksis dan saya me-miliki wahana untuk berekspresi. Acapkali dengan sabar mereka terpaksa menunggu saya mengetik menyelesaikan tulisan untuk Minda Kita. Anggap sajalah buku ini sebagai kado ulang tahun yang kedua Tabloid Mentari. Saya juga merasa berhutang budi pada teman-teman, para praktisi hukum, para aktivis LSM, para penyair, terutama rekan-rekan wartawan
xxii i
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
yang selalu mengkritisi dan memberikan komentar terhadap tulisan saya. Dari perdebatan kita, seringkali saya menemukan gagasan dan dorongan motivasi untuk terus menulis. Kepada penyair dan budayawan muda Melayu, Syaukani Al Karim, yang sering meminjami saya buku dan bahkan tidak jarang memberikan kontribusi gagasan dan ilustrasi yang tak ternilai, dari lubuk hati yang dalam, secara khusus saya menyampaikan ucapan terima kasih. Ketulusan dan pengertian orang yang paling dekat dengan saya, isteri saya Hj. Yulianti, SH dan anak-anak, Rimba, Lingga, Hanna, dan si bungsu Chaleed, yang selalu mau berkompromi membiarkan saya berjamjam di ruang kerja sangat mengesankan. Kadang-kadang saya merasa berdosa telah menyita waktu yang seharusnya saya peruntukkan bagi keluarga. Saya merasa mendapat dorongan yang luar biasa ketika Chaleed, kelas dua SD, dengan bangga membaca namanya tercantum dalam buku yang ditulis papanya. Kesediaan Prof. Dr. Tabrani Rab untuk memberikan kata pengantar sungguh membanggakan. Prof. dr. Tabrani Rab dalam pandangan saya adalah seorang tokoh yang brilian dan unik, bukan karena dia adalah seorang Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah dan Calon Presiden RI dalam Konvensi Partai Golkar, tapi karena dia adalah seorang mahaguru yang amat sangat produktif. Dia bisa menulis kapan saja dan tentang apa saja dengan tulisan yang selalu tajam, menukik, dan menggelitik. Untung, profesor kita ini belum lagi melewati demarkasi (walaupun sudah hampir). Sebab, kalau melewati tentu sudah dikelompokkan ke dalam "The odd man out". Oleh karena itu, menurut pandangan saya, dia paling cocok untuk memberikan komentar suka-suka terhadap buku kumpulan tulisan yang juga lebih bersifat suka-suka ini. Sejujurnya, Prof. dr. Tabrani Rab telah menuliskan sebuah pengantar yang impresif. Seperti tiga buku sebelumnya (Suara Dari Gedung Lancang Kuning yang diberi pengantar oleh Prof. Dr. Muchtar Ahmad, Berhutang Pada Rakyat yang diberi pengantar oleh Prof. Dr. Ichlasul Amal, dan Panggil Aku Osama yang diberi pengantar oleh Ashadi Siregar), buku 1001 Saddam ini pun menjadi menarik karena tokoh yang menuliskan kata pengantarnya. Oleh karena itu, dari lubuk hati terdalam, saya
xxi v
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada "Ongah" Tabrani. Kepada sohib saya, Fratello H. Mahyudin Al Mudra, SH., MM (dan isterinya, Ir. Hj. Tuti Sumarningsih, ST., MT), pimpinan Penerbit Adicita Karya Nusa, Yogyakarta, saya selalu merasa tersanjung dengan apresiasi anda berdua terhadap naskah saya. Grazie molto per tutti, Frat. Grazie. Saya tidak peduli itu berlebihan atau tidak. Yang pasti, komentar anda berdua menjadi motivasi saya untuk terus berkarya dan membuat saya awet muda. Sulit bagi saya untuk mencari ungkapan yang tepat sebagai tanda terima kasih atas kesediaan Anda mengoreksi secara teliti seluruh naskah saya. Saya tahu Anda beserta seluruh staf yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu telah bertungkus lumus menyelesaikan penerbitan buku ini. Bravo, Frat. Saya berhutang budi pada Anda semua. Saya berharap para pembaca buku ini bisa menikmati perasaan yang mengiringi tulisan demi tulisan, walaupun itu ringan dan tidak memiliki kedalaman. Yang baik sila ambil, yang buruk sila tinggalkan. Pekanbaru, Januari 2004
Chaidir
xxv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 1
1
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
1 "September Kelabu" Ada dua tragedi di bulan September yang dicatat dengan tinta tebal oleh sejarah. Yang pertama, tragedi yang bikin heboh jagat raya yang dikenal sebagai tragedi 11 September 2001 atau September Eleven. Yang kedua, tragedi yang bikin heboh nusantara, yang dikenal dengan peristiwa 2 September 1985. Keduanya populer disebut September Kelabu. September Kelabu agaknya memang julukan yang paling pas untuk kedua peristiwa tersebut. Kelabu dalam konteks ini berarti suasana duka yang tercipta akibat dari suatu peristiwa yang menyedihkan dan mengecewakan, setelah tertimpa suatu musibah. Tetapi, kelabu secara harfiah juga berarti abu-abu, yakni suatu kombinasi warna antara hitam dan putih, tidak putih tetapi juga tidak hitam. Tragedi 11 September 2001 di New York, Amerika Serikat adalah sebuah tragedi yang sangat mengguncang dunia. Bayangkan! Dua gedung kembar pencakar langit yang diberi nama World Trade Center (WTC) Twin Tower yang menjadi kebanggaan Amerika Serikat hancur luluh lantak setelah ditabrak dua buah pesawat komersial milik maskapai penerbangan AS sendiri yang dikendalikan oleh teroris. Tragisnya, pesawat itu sedang mengangkut ratusan penumpang. Hanya dalam tempo beberapa menit saja, gedung kembar WTC yang terdiri dari 110 lantai dengan tinggi 417 meter itu rata dengan tanah. Ribuan orang tewas. Angka tepatnya tidak lagi tercatat. "Kiamat kecil" itu tidak hanya terjadi di New York. Pada jam yang hampir bersamaan, markas besar Departemen Pertahanan AS, Pentagon di Washington DC, juga ditubruk oleh pesawat komersial lainnya dengan misi yang sama.
2
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Orang hampir-hampir tidak percaya kalau tragedi ini bisa terjadi. Bagaimana mungkin AS yang demikian canggih sistem pertahanannya, demikian ketat sistem pengamanannya dan demikian hebat jaringan intelijen-nya bisa kecolongan dan dipermalukan. Bukankah jarak waktu antara pesawat pertama yang menabrak gedung pertama dengan pesawat kedua yang menabrak gedung kedua sekitar 18 menit? Kenapa tidak dapat segera dicegah tubrukan yang kedua itu? Kenapa Pentagon yang biasanya tidak tersentuh itu demikian mudah diterobos? Orang semakin heran ketika AS menuding Osama bin Laden sebagai otak dari semua ini. Padahal, Osama bin Laden diidentifikasi tinggal dalam "bunker" (ruang persembunyian bawah tanah) di Afghanistan, beribu-ribu mil jaraknya dari New York. Osama memang telah diketahui dunia bermusuhan dengan AS. Namun, apakah dia memiliki sistem komunikasi super canggih, lebih canggih dari yang dimiliki AS, sehingga Osama bisa mengendalikan operasi yang sangat top secret itu? Bisakah Osama mengendalikan operasi pesawat terbang bunuh diri ala "Kamikaze" itu dari bunkernya tanpa terdeteksi oleh AS? Pada penggalan lain dari September Kelabu, 17 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 September 1985, tragedi juga terjadi di Riau. Berbeda dengan tragedi yang terjadi di gedung kembar WTC dan Pentagon, tragedi di gedung Lancang Kuning Riau bukan berupa bom atau pesawat bunuh diri. Walaupun bukan bom, "ledakan" di gedung Lancang Kuning ini telah membuat geger, tidak hanya Riau tetapi juga seluruh Indonesia. Bayangkan, Mayjen Imam Munandar, Gubernur Riau yang sedang berkuasa dan menjadi calon unggulan Pemerintah Pusat untuk memenangkan pemilihan dan kembali menjadi Gubernur Riau untuk periode yang kedua, dikalahkan demikian saja oleh H. Ismail Suko, calon lokal yang semula dipasang hanya sebagai calon pendamping. Istilah calon pendamping pada era itu memang demikianlah adanya. Calon pendamping adalah basa-basi politik dalam 3
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pemilihan seorang kepala daerah ketika itu. Pemilihan oleh DPRD hanya formalitas. Itu pula pada awalnya yang terbaca di permukaan pada saat pemungutan suara berlangsung. Namun makin lama pemungutan suara pada tanggal 2 September itu tidak hanya sekedar formalitas. Para anggota DPRD Riau menggunakan hati nuraninya dan suasana menjadi mencekam. H. Ismail Suko memenangkan pemungutan suara. Dia memperoleh 19 suara, sementara sang unggulan, Mayjen Imam Munandar, hanya memperoleh 17 suara. "Kalau saya tidak sedang berangkat haji, Ismail Suko akan memperoleh 20 suara", kenang Drs. H. Mujtahid Thalib, salah seorang eksponen peristiwa 2 September itu suatu ketika. Orang juga hampir-hampir tidak percaya, bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Seorang jenderal dikalahkan oleh seorang "anak singkong". Kalau di era sekarang, kejadian seperti itu tentu bukan hal yang luar biasa. Tetapi masa itu, sistem politik sangat sentralistik dan otoriter. "A" kata pusat, "A" pula jadinya. Si Badu kata pusat, maka semua di daerah harus mengamankannya. Pemilihan Kepala Daerah semuanya diatur secara "tertib". Tidak boleh ada penyimpangan. Kalau menyimpang berarti tidak loyal kepada kepemimpinan nasional dan itu menjadi masalah yang sangat serius. Pendekatan waktu itu memang pendekatan sekuriti. Peran intelijen negara sangat kuat. Tetapi kenapa pembangkangan 19 anggota DPRD itu tidak tercium? Kedua tragedi, tragedi WTC dan tragedi gedung Lancang Kuning, memang berbeda waktu, tempat, pelaku, dan sederet panjang perbedaan lain. Kesamaannya? Kedua tragedi ini memancing sikap pro-kontra. Semua orang mengutuk aksi teroris yang membawa horor terhadap peradaban. Nyawa manusia seakan tidak berharga sama sekali. Tetapi ketika kekuasaan yang sangat kuat menekan si lemah dengan sewenang-we-nang, orang cenderung permissive terhadap kesalahan si lemah. Tindakan pemojokan secara tidak seimbang, memancing munculnya aksi solidaritas. Fenomena inilah yang kita 4
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
saksikan ketika Osama bin Laden dikambing-hitamkan oleh AS. Maka kita lihat, Osama dianggap musuh oleh AS. Tetapi, pada saat yang bersamaan dia dianggap pahlawan di belahan lain planet ini. Jadi, wajar bila tragedi 11 September itu terlihat abu-abu. Biarlah sejarah yang akan mengadili. Tragedi 2 September juga idem dito. Pusat dan kelompokkelompok kepentingannya (yang kadangkala lebih galak daripada orang pusat yang sesungguhnya) yang membonceng memandang peristiwa ini sebuah pembangkangan, bahkan ada yang sampai hati mengatakan pengkhianatan. Tapi dalam perspektif daerah, ini adalah suatu bentuk perlawanan terhadap kesewenang-wenangan. Ke-19 anggota DPRD Riau itu pada saat yang bersamaan dianggap sebagai pahlawan yang mem-bela daerah. Ke-19 anggota Dewan ini menurut saya telah bertindak maju mendahului zamannya. Kita adakalanya memang susah memetakan putih atau hitam. Kalaulah itu merupakan personifikasi dari kebaikan dan keburukan (mengelaborasi dari cerita Kahlil Gibran), hanya ada beberapa orang yang mengenali kebaikan walaupun ia menggunakan pakaian keburukan. Ada juga yang dapat mengenali keburukan, karena pakaian yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan wajahnya yang asli.
(8 September 2002)
5
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
2 Mengais Kebaikan yang Tercecer Sebuah peristiwa (seperti revolusi dan hal yang melukai), kata All Syariati, adalah sebuah pesan. Sebuah pesan yang memberikan iktibar dan sekaligus meminta kita mengais-ngais mencari kebaikan yang mungkin tercecer dan kemudian mengambilnya sebagai pengalaman untuk berbuat atau tidak berbuat, menyikapi atau tidak menyikapi hal yang sama pada masa yang akan datang. Orang bijak menyebut kebaikan yang tercecer itu sebagai hikmah. Dalam konteks Riau, pesan seperti yang disebutkan oleh Syariati itu telah datang. Tanpa mempedulikan pandangan-pandangan yang diberikan serta ketentuan-ketentuan hukum yang disepakati bersama, DPR RI secara sepihak mengesahkan pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Kita tersentak. Tapi kita tersentak bukan karena Provinsi Kepulauan Riau itu disahkan. Bagi saya pribadi, bukan pengesahan itu benar yang menusuk kalbu, tapi adalah bagaimana proses itu berlangsung. Saya sangat mafhum. Dalam situasi tumbuhnya nilai-nilai baru, perilaku dan cara pandang terhadap suatu kewilayahan telah berubah dan akan terus berubah seiring dengan eemuruh demokrasi. Segala sesuatu adalah mungkin terjadi. Namun demikian, idealnya, meskipun peluang perubahan sedang terbuka lebar, tetaplah perubahan itu harus dimainkan dalam suatu minda? aturan yang telah disepakati bersama. Sebagai sebuan negara, yang katanya sedang bergerak maju dengan menjunjung tinggi supremasi hukum, semestinya semua kebijakan publik dan politik harus bersandar dan mengacu pada perundang-undangan yang berlaku. Sikap yang diambil oleh DPR RI pada tanggal 24 September 2002 yang lalu mengingatkan saya kepada sejarah tentang bagaimana pada masa lampau, yaitu tahun 1824, secara sepihak melalui "Treaty 6
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
of London", negeri-negeri Melayu dibagi di atas meja demikian saja oleh Inggris dan Belanda. Jika pada masa lampau yang melakukan itu adalah penjajah, maka pada hari ini, melalui semacam "Treaty of Jakarta", DPR RI melakukan hal yang sama terhadap Riau. Apakah yang dapat kita petik dari peristiwa ini? Penegakan aturan ternyata masih jauh dari apa yang kita cita-citakan. Pada hemat saya apa yang dilakukan oleh DPR RI akan menjadi sebuah preseden buruk bagi penegakan supremasi hukum dan konstitusi di negeri ini. Sebagai sebuah lembaga yang membuat undang-undang, semestinya DPR RI berdiri pada barisan depan dalam menghormati produk undang-undang yang telah dibuat. Sayangnya, ternyata kita sulit sekali berharap demikian, pun kepada lembaga semacam DPR RI. Jika sikap semacam ini terus dikembangkan oleh DPR RI dan Pemerintah Pusat, maka samalah artinya dengan membuka peluang ketidaktaatan hukum dalam masyarakat. Ketaatan berkonstitusi (constitutional consciousness) seringkali dikaitkan dengan keteladanan. Keteladanan yang buruk akan dicontoh secara lebih buruk lagi. "Guru kencing berdiri, murid kencing berlari", kata tetua kita. Kita sadar bahwa kita sekarang hidup di alam de-mokrasi. Kekuasaan ada di tangan rakyat melalui wakil-wakilnya di DPR yang dipilih melalui pemilu secara bebas. Tetapi kekuasaannya bukanlah tidak terbatas. Kekuasaan itu dipagari oleh undang-undang. Hak inisiatif DPR secara logika bukanlah lisensi untuk boleh menebas undang-undang lain. Sebab kalau demikian, kekuasaan itu menjadi tak terbatas. Kekuasaan tak terbatas adalah sebuah tirani. Sejujurnya, Riau sebagai provinsi induk tidaklah menolak keinginan dari saudara-saudara kita di Kepulauan Riau untuk membentuk provinsi. Hanya saja keinginan tersebut harus lebih dulu dimulai dengan sejumlah persiapan, sehingga ketika kelak provinsi itu terbentuk, segala sesuatunya sudah dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Kita juga menginginkan agar pemisahan dapat berlangsung secara manis, sebagaimana perpisahan Cheko dan Slovakia, dan 7
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
karenanya diperlukan waktu untuk memperbincangkan segala sesuatunya dalam suasana kekeluargaan yang semerbak dengan aroma kemelayuan. Tapi begitulah. Segala sesuatunya telah terjadi. Kembali kepada AH Syariati di atas, maka mari kita memandang peristiwa yang terjadi sebagai sebuah pesan penting bagi pembangunan Riau ke depan. Pesan itu adalah, bahwa kita harus lebih bersatu padu dalam menghadapi berbagai persoalan yang ada di depan kita. Persatuan dan kebersamaan itu sangat penting, sebab hanya dengan modal itulah kita akan dapat melawan penindasan. "Penindasan itu tidak akan pernah datang sendirian", kata Albert Camus, "tapi berikut dengan terasingnya keadilan. Oleh karenanya harus dihadapi bersama-sama." Persatuan masyarakat (societal cohe-siveness) mutlak perlu jika kita berharap menjadi sebuah negeri yang kuat. Tanpa persatuan dan kesatuan sikap, kita akan demikian mudah dipandang sebelah mata oleh orang lain, khususnya dalam hal penegakan marwah. Pada masa datang, persoalan yang akan muncul mungkin saja lebih besar dari yang kita perkirakan. Tapi, jika di antara kita telah terbentuk sebuah persatuan yang kuat, saya kira, kita akan lebih mudah mengatasinya. Pesan lain untuk kita, dari peristiwa pengesahan RUU Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau ini adalah, bahwa kita tidak perlu mengikuti cara yang mereka ambil dalam mencapai kehendak. Sebagai orang Melayu, kita selalu melakukan sesuatu dengan penuh kehormatan. Sebuah kekecewaan yang datang tidak perlu membuat kita menggadaikan kehormatan. Namun demikian, sebuah sikap keterhormatan tetap perlu kita tunjukkan. Lebih dari itu, sebagai orang Riau, kita juga tidak harus menenggelamkan diri secara terusmenerus dalam sebuah persoalan. Biarkanlah semua yang telah terjadi tenggelam dalam tidurnya yang abadi. Di depan terdapat sejumlah harapan yang sedang menunggu se-mangat juang kita semua. Dari sisi yang lain, apa yang kita sebut sebagai "Treaty of Jakarta" adalah sebuah pertanyaan pula bagi DPR RI dan Pemerintah 8
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Pusat. Dengan cara beginikah kita akan mengurus negeri kita Indonesia? Dengan cara beginikah kita menginginkan dukungan dari semua lapisan? Ini namanya "politik belah bambu". Politik belah bambu adalah cara membelah bambu dengan mengangkat sebelah dan menginjak sebelah lainnya. Semestinya DPR RI dan Pemerintah Pusat, sesuai dengan kapasitasnya, harus melakukan sesuatu dengan lebih baik dari yang lain. Mereka harus bisa membuat setiap orang menyukai dan menghormati, dan tentu itu harus didapatkan lewat keputusan yang diambil secara adil. Akhirnya, seperti yang telah saya sampaikan di atas, kita tak boleh tenggelam dan menenggelamkan diri dalam satu situasi yang telah terjadi. Mari kita terus mengais, barangkali masih ada kebaikan yang tercecer di sana. Kemudian setelah mengambil iktibar, kita harus terus melangkah maju membawa Riau menjadi sebuah negeri yang maju dan bermartabat. (29 September 2002)
9
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3 Timor Leste Jika kadang-kadang kami tampak lebih memilih keadilan ketimbang negara kami, ini karena kami hanya ingin mencintai negara kami dalam keadilan, seperti kami menginginkan mencintainya dalam kebe-naran dan harapan. "Manusia harus mengagungkan keadilan agar dapat berperang melawan ketidakadilan eksternal, menciptakan kebahagiaan agar dapat protes melawan penderitaan," begitu Albert Camus menulis. Penulis Francis pemenang hadiah Nobel ini mengekspresikan pemikirannya yang sedang gundah gulana di bawah penaklukan Jerman dalam Perang Dunia Kedua. Di Timor Timur tidak ada Perang Dunia, tidak ada pula sastrawan, budayawan, atau penulis besar seperti Albert Camus. Kita juga tidak tahu apakah selain pergulatan senjata dan kekerasan, di sana ada pergulatan pemikiran intelektual ala Albert Camus. Semenjak tang-gal 7 Desember 1975, hari pertama Indonesia memasuki Timor Timur dengan dukungan moril AS dan Australia, yang terdengar hanya kisah tentang tragedi kema-nusiaan. Peperangan, pembunuhan, dan pembakaran adalah aroma yang menyengat hidung. Menurut angka yang dikutip dari berbagai media massa, tidak kurang dari 5000 pahlawan kita gugur dalam "Operasi Seroja" yang terkenal itu. Ribuan pula warga Timor Timur yang menjadi korban, baik yang mengerti maupun yang tidak mengerti apa-apa. Tanggal 20 Mei 2002, renungan Albert Camus itu, yang agaknya menjadi renungan sebagian besar warga Timor Timur, mengkristal dalam upacara peresmian ke-merdekaan Timor Timur menjadi Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) sekaligus pelantikan presidennya yang pertama, Xanana Gusmao. Bersama Sekjen PBB Kofi Annan dan beberapa pemimpin dunia lainnya, Presiden kita, Megawati Soekarnoputri hadir dalam aca-ra yang sangat penting tersebut. 10
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Memang bagi Presiden Megawati, andaikan bisa memilih, pilihan yang tersedia tidak lagi banyak. Hadir, pasti akan melukai hati keluarga pahlawan kita yang gugur di Timor Timur. Tidak hadir, apalah kata tetangga kita itu nanti. Pada-hal, mereka sudah menunjukkan iktikad baik, ketika Xanana Gusmao mengantarkan undangan langsung kepada Ibu Presiden. Tetangga kita berhelat, masak kita tidak hadir. Adakah dendam masih tersimpan. atau demikian kerdilkah jiwa kita? Di mana kebesaran hati dan kelapangan dada kita? Sejarah tidak mungkin lagi diputar balik. Pahlawan yang gugur tidak mungkin lagi kembali. Jajak pendapat tak mungkin lagi diulang. Memang benar kata Francis Moore, "Ketika perang usai, setelah kedua pihak lelah baku hantam, dan akhirnya berdamai, apakah sebenarnya yang diperoleh rakyat? Pajak, janda, kaki kayu, dan utang". Memang pedih dan pahit. Namun, betapa pun pedihnya, betapa pun pahitnya, ini sebuah kenya-taan yang harus dihadapi. Yang lalu biarlah berlalu. Dengan demikian, kehadiran Presiden Megawati Soekarnoputri dalam acara peresmian kemerdekaan RDTL dan pelantikan presidennya dapat dipahami dan diberi apresiasi sewajarnya. Sebab sampai dunia ini kiamat kelak, Indonesia dan Timor Leste tetap saja akan bertetangga dekat. Apalah rasanya bila dua tetangga dekat berseteru sepanjang masa. Menyusun agenda kawasan agaknya akan lebih memberikan pencerahan yang berarti bagi rakyat kedua negeri. Langkah-langkah komplementer dan saling mengisi di antara keduanya akan lebih berguna. Tapi Timor Leste kan miskin, apa yang bisa disumbangkannya dalam kerja sama ekonomi dan pembangunan? Pandangan ini agaknya yang perlu kita cermati secara tajam. Kondisi sekarang, ya. Mereka masih miskin dan tertinggal jauh. Tetapi dengan posisi anak bungsu yang baru sembuh dari sakit yang mematikan, segala perhatian dan kasih sayang tercurah kepadanya. "PBB akan tetap mendampingi. Semua teman di seluruh dunia akan tetap membantu", kata Kofi Annan. 11
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dari pertemuan kebetulan saya dengan seorang pengusaha Indonesia yang menjadi mitra pemerintah Timor Leste, sesaat sebelum RDTL lahir, diceritakan bagaimana besarnya potensi migas dan mineral di Timor Leste. Saya teringat, bukankah suatu kali pernah terjadi krisis "Timor Gap" (Celah Timor) antara Indonesia dan Australia beberapa waktu yang lalu ketika Indonesia masih berada di Timor Timur? Kata tetua kita, "Kalau tak ada berada, takkan burung tempua bersarang rendah, ya kan?" Mungkin informasi itu memang valid. Konon, potensi migas di Celah Timor ini sangat besar, sehingga lembaga keuangan yang dikendalikan oleh PBB tidak segan-segan menyediakan dana dalam jumlah yang sangat besar untuk membantu pembangunan Timor Leste. Menurut informasi, demikian dimanjakannya Timor Leste sehingga ada lembaga keuangan yang bersedia membayar terlebih dahulu pembelian migas di Celah Timor. Jumlahnya konon mencapai empat milyar US dolar, atau setara dengan hampir 40 triliun rupiah, untuk satu tahun. Bilamana informasi ini akurat, maka bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan Timor Leste: booming pembangunan. Dengan luas wilayah yang tidak sampai seluas Provinsi Bali dan jumlah penduduk yang hanya sekitar 220.000 jiwa, mereka mengalokasikan dana hampir 40 triliun rupiah per tahun. Pastilah mereka akan maju dengan sangat cepat. Apa pun akan bisa mereka bangun. Bandingkan dengan APBD provinsi se-Indonesia, kecuali provinsi-provinsi di Jawa, Kaltim, dan Riau, yang jumlahnya di atas satu triliun, provinsi lain rata-rata hanya setengah triliun per tahun. Percepatan pembangunan yang luar biasa itu se-cara psikologis mungkin saja terjadi, karena Xanana Gusmao dengan seluruh rakyatnya tentu akan berusaha membuktikan pilihan kemerdekaan yang mereka ambil adalah benar. Mereka akan beriari sekencangkencaugnya mengejar ketertinggalan, sedangkan kita masih terseokseok. Energi kita pun setiap hari terkuras membenahi masalah internal. Bila kondisinya demikian, maka rasanya dalam tempo 12
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sepuluh tahun, Timor Leste sudah akan berada di depan kita dan kita bersiap-siaplah untuk belajar dari kemajuan mereka. Mengantisipasi kemung-kinan seperti ini, maka kanal-kanal perekonomian dengan hinterland Timor Leste agaknya sudah mulai harus dicermati dan dibuka. Saya sempat berbicara dengan Jaksa Agung Timor Leste, Linggoneos Montero, untuk sekedar berbasa-basi mengucapkan selamat merayakan Hari Kemerdekaan. Dia kedengaran "sumringah" mendengarkan ucapan saya. Kita boleh setuju boleh tidak, boleh marah boleh benci. Tetapi, nilai-nilai marwah adalah sebuah nilai universal. Tidak hanya Albert Camus dari Francis yang berhak berbicara tentang marwah, Yung Dolah dari Bengkalis, orang-orang dari Timor Leste, ataupun siapa saja juga berhak memperkatakannya.
(26 Mei 2002)
13
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
4 Balada Uni Soviet Ketika Neil Amstrong, astronot Amerika Serikat, mendarat di bulan pada 21 Juli 1969, bukan main bangganya dia karena menjadi orang pertama yang mendarat di benda alam itu. Tapi beberapa saat kemu-dian pesannya tertangkap loyo di pangkalan NASA di bumi (tentu saja di Amerika). "We are not the first", "Kita bukan yang pertama," kata Neil Amstrong. Lantas siapa yang pertama? Ternyata di bulan sudah ada pangkalan Uni Soviet, rumah makan Padang, dan isteri Yung Dolah yang sedang memanggang ikan terubuk. Anekdot itu jelas hanya sebuah guyonan dan ceritanya bisa dibuat sera tapi fleksibel, tergantung situasi dan kondisi, dan siapa yang bercerita. Dalam cerita-cerita humor, konkurensi Amerika Serikat dengan Uni Soviet, memang selalu menjadi menu utama. Hal ini disebabkan karena pada masa dulu hanya ada dua super power di atas dunia ini, Amerika Serikat dan Uni Soviet. Kedua kekuatan ini memang siap tempur di segala bidang, baik di bidang politik, ekonomi, dan apalagi militer. Di berbagai front, mereka berhadapan secara fisik, seperti di semenanjung Korea, di Afghanistan, di Balkan, dan| juga di Berlin. Bagi generasi yang lahir dan tumbuh dewasa setelah tahun 1991, Uni Soviet memang tidak lagi akrab di telinga. Sejak tahun itu, Union of Soviet Socialist Republics (USSR) atau Uni Soviet telah runtuh dan hanya tinggal nama. Kekuatan besar yang ditakuti oleh Amerika Serikat telah tamat riwayatnya. Uni Soviet, yang semula rnenguasai lebih dari separuh benua Eropa dan seperlima Asia, terpecah-pecah menjadi beberapa negara. Kecuali Republik Federasi Rusia yang masih tergolong besar, lainnya menjadi negara-negara kecil yakni Armenia, Azerbaijan, Belarus, Estonia, Georgia, Kazakhstan, Kirghiztan, Latvia, Lithuania, Moldova, Tajikistan, Turkmenistan, Ukraina, dan Uzbekistan. 14
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Negara-negara ini tidak lagi "dihitung" dalam percaturan dunia, karena apa bedanya, misalnya, dengan negara-negara kecil seperti Tibet, Laos, Ekuador, Uruguay, dan sebagainya. Mereka tidak lagi memiliki "bargaining power". Mereka akan dilirik ketika diperlukan saja, selebihnya terpaksa akan mengikuti kehendak pasar global yang dikendalikan oleh negara-negara besar yang memiliki power dan kekayaan. Uni Soviet yang berdirinya diproklamirkan oleh Lenin tahun 1922, sebagai puncak dari kegagalan reformasi, bahkan revolusi yang menumbangkan Kekaisaran, menjadi sebuah contoh klasik betapa pemerintahan yang sentralistik dengan kekuasaan penuh ternyata bukan pilihan terbaik. Tetapi pada sisi lain juga bisa menjadi cermin. Komunitas yang berkecai-kecai menjadi negara-negara kecil, yang berjuang sendiri-sendiri, agaknya bukan pula solusi yang memiliki prospek dalam dunia yang semakin penuh dengan persaingan. Sejarah mencatat betapa powerful-nya Josef Stalin yang menggantikan Lenin, bahkan dia berhasil membawa Uni oviet menjadi pemenang Perang Dunia II. Atau Nikita Chrusychov yang naik setelah Stalin wafat. Atau pemimpin Uni Soviet kemudian seperti Kosygin dan Brezhnev. Tapi semuanya tak kuasa membendung gelombang dahsyat demokratisasi dan semangat keterbukaan yang melanda dunia. Sampai akhirnya pemimpin Uni Soviet terakhir, Mikhail Gorbachev, tidak punya pilihan selain mengikuti kehendak sejarah. Tetapi kecenderungan dunia juga mencatat, betapa kebersamaan itu diperlukan. Lihatlah negara-negara Eropa yang membuat "koalisi" dengan menyatukan mata uangnya! Partisipasi harus menjadi ruh pembangunan, apabila "makhluk" yang bernama pembangunan itu menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan yang bermartabat. Apabila kran partisipasi dibuka lebar, maka tidak ada lagi kekuasaan yang mutlak di sentra kekuasaan untuk merumuskan suatu kebijakan, melainkan setelah mendengarkan suara rakyat. Maka, elan rezim yang percaya bahwa uniformitas adalah cara untuk menyatukan perbedaan-perbedaan telah tamat. Seluruh Uni 15
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Soviet tidak bisa diseragamkan pendekatannya, walau dengan caracara represif sekalipun, sebab warganya lahir dan besar sebagai suku bangsa dalam satu republik. Suku bangsa Slavia misalnya, lahir dan besar di Rusia. Suku bangsa Estonia dan Latvia beranak pinak di Estonia dan Latvia. Demikian pula suku bangsa Georgia, Armenia, dan Azerbaijan yang konon emosional tapi suka humor, lahir dan berkembang di republiknya, Georgia, Armenia, dan Azerbaijan. Mereka disatukan oleh ideologi di bawah bendera Uni Soviet. Waktu itu, mereka bangga disebut warga Uni Soviet, tetapi lebih bangga lagi menyebut dirinya orang Rusia, Georgia, Latvia, dan seterusnya. Kondisi ini berbeda dengan Amerika Serikat. Walaupun mereka yang tinggal di Amerika Serikat berasal dari berbagai suku bangsa dan mereka juga bangga atas suku bangsa asalnya, tapi mereka lebih bangga menyebut dirinya orang Amerika. Fenomena runtuhnya Uni Soviet memang menarik untuk direnungkan tentang apa-apa sesungguhnya yang membuat kita merasa berbeda dan apa-apa pula sesungguhnya yang membuat kita merasa perlu bersatu dalam kebersamaan. Alam ini memang penuh dengan rahasia, yang acapkali tidak mampu kita tangkap maknanya. Ada kecenderungan orang-orang ingin memisahkan diri dari sebuah persekutuan dan ingin berdiri sendiri dengan alasan yang tentunya mudah dicari. Merdeka sebagai suatu negara sendiri, sehingga dari satu negara menjadi dua negara, membuat provinsi sendiri, mendirikan kabupaten sendiri, dan seterusnya. Tetapi pada saat yang bersamaan, orang-orang ingin menyatukan diri menghadapi musuh bersama. Persekutuan seperti APEC (Asian Pacific Economy Community), NAFTA (North American Free Trade Area), AFTA (Asean Free Trade Area), MEE (Masyarakat Ekonomi Eropa), dan sebagainya adalah bentuk-bentuk lain dari kebersamaan wajah baru. Beberapa negara merasa perlu bersatu untuk saling mengisi menghadapi tantangan bersama. Masyarakat Ekonomi Eropa, misalnya, telah iebih jauh melangkah dengan menyatukan mata uang me-ka menjadi Euro. 16
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dengan demikian, mata uang lira Italia, franc Francis, gulden Belanda, mark Jerman, dan sebagainya tidak lagi ada dan dengan demikian pula tidak ada lagi kerugian negara mereka terhadap perbedaan kurs dengan dollar Amerika. Amerika Serikat sekarang agaknya harus berpikir sepuluh kali lebih cermat dalam membina hubungan dagang dengan negara-negara Eropa. Bargaining position dari Italia, Prancis, Belanda, ataupun Jerman jauh lebih kuat ketimbang sebelumnya, ketika mereka masih memiliki mata uang sendiri. Keadaan ini memang bertolak belakang dengan negara-negara eks Uni Soviet yang sudah hampir kehilangan bargainingnya sama sekali dalam percaturan dunia. Belajar dari fenomena itu semua, agaknya tidaklah berlebihan bila Riau yang memiliki sumber kekayaan alam yang cukup besar ini tetap memelihara posisi bargainingnya. Semua mimpi besar kita hanya akan bisa dicapai jika semua unsur, semua elemen, dan semua kelompok pada semua tingkat dan keahlian bersatu dan saling membahu. Mengutip Frantz Fanon, inilah tanah kita, jika kita pergi maka semuanya akan musnah. Saya juga ingin mengatakan, mari kita bersatu untuk kehendak bersama yang lebih baik. Tanpa hal itu, kita tidak akan mendapatkan apa-apa.
(30 Juni 2002)
17
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
5 Pekanbaru Bertabur Bintang Sesaat ketika matahari tergelincir, sebuah pesawat Hercules TNI Angkatan Udara mendarat dengan mulus di landasan pacu Sultan Syarif Qasim II Pekanbaru. Pesawat itu, yang terkesan gagah, bergerak pelan menuju hanggar TNI AU. Persis di depan tetamu, pesawat loreng itu memutar, kemudian berhenti. Pintu pesawat kemudian terbuka dan dari sana muncul seorang perwira tinggi berbintang empat. Inilah dia rupanya Jenderal Ryamizard Ryacudu, orang nomor satu di jajaran TNI Angkatan Darat yang kesohor itu. Sebagai seorang Kepala Staf TNI AD, Jenderal Ryamizard Ryacudu, tentu tidak datang sendiri. Di belakangnya menyusul Jenderal berbintang tiga, Letjen Bibit Waluyo, Pangkostrad, lalu nampak pula Jenderal berbintang dua, Mayjen Ismet Yuzairi, mantan Pangdam I Bukit Barisan, kemudian beberapa Jenderal berbintang dua lainnya, dan selanjutnya diikuti oleh beberapa orang Jenderal berbintang satu, yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Jangan lupa Pangdam I Bukit Barisan, Mayjen Tri Tamtomo, seorang Jenderal berbintang dua, telah terlebih dahulu menunggu diPekanbaru. Maka tidak berlebihan bila seorang kawan menyebut hari itu, "Pekanbaru Bertabur Bintang". Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1423 H yang menurut versi Pemerintah jatuh pada tanggal 6 Desember 2002 itu, menjadi terasa istimewa dengan kehadiran jenderal-jenderal ini. Seorang teman berbisik kepada saya, kota ini memang bertuah. Hari ini, 1 Syawal, hari bertuah, didatangi orang-orang bertuah. Saya menjawab, semoga masyarakatnya ikut bertuah. Ada apa dengan Pekanbaru? Ada apa dengan Riau? Adakah sesuatu yang luar biasa yang menyebabkan para jenderal ini mengunjungi kota bertuah? Gawatkah Pekanbaru? Ternyata tidak. Ini 18
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
hanya sebuah tradisi di jajaran pimpinan TNI untuk berlebaran dengan prajurit dan masyarakat di daerah. Sentuhan silaturahim itu terlihat, bahwa Jenderal Ryamizard tidak hanya datang dengan para jenderal dalam jajarannya, tetapi juga didampingi isterinya, puteri pertama dari Bapak Try Sutrisno, mantan Wakil Presiden kita. Tentu saja Ny. Ryamizard RC tidak hanya sendiri. Ibu-ibu yang lain juga ikut mendampingi. Tidakkah mereka-mereka ini ingin berlebaran dengan anak-anak dan kerabat di Jakarta? Tentu ingin, dan itu manusiawi. Tetapi, ini kan sudah risiko jabatan. Di sini agaknya berlaku pepatah orang tua-tua, "Alah bisa karena biasa". Pagi Idul Fitri, Jenderal Ryamizard RC beserta rombongan menunaikan shalat sunat Idul Fitri di Nangroe Aceh Darussalam bersama masyarakat dan prajurit, bersalam-salaman, dan kemudian terbang langsung ke Pekanbaru. Masyarakat tentu senang, karena untuk bersalaman dengan Jenderal Ryamizard RC, mereka tidak harus datang ke Jakarta, yang belum tentu juga dapat. Sekarang beliau sendiri yang datang. Bagi prajurit, kehadiran seorang komandan, yang sebelumnya hanya mereka kenal nama dan fotonya, bisa memberikan dorongan semangat yang luar biasa, apalagi sebagian besar dari prajurit ini jauh dari orang tua, anak, dan isteri. Lagi pul a komandan itu memiliki kepemimpinan yang kuat dan kharisma, seperti Jenderal Ryamizard Ryacudu. Di Pekanbaru, acara Jenderal Ryamizard RC beserta rombongan adalah tunggal, silaturahim. Namun, di te-ngah silaturahim tersebut, masyarakat Pekanbaru khu-susnya dan Riau pada umumnya terkejut juga ketika Sang Jenderal mensinyalir adanya empat pintu masuk penyelundupan senjata melalui Riau. Senjata-senjata tersebut diselundupkan melalui Riau ke Aceh untuk mempersenjatai GAM. Kita percaya kepada intelijen TNI-AD yang barangkali menemukan indikasi itu. Andaikan sinyalemen itu diperkuat oleh indikasi yang mengarah kepada suatu kenyataan, masyarakat Riau juga tidak perlu merasa terpojok. Namanya juga penyelundupan, pasti tidak diketahui oleh 19
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
aparat keamanan dan instansi terkait di pelabuhan. Apalagi ini penyelundupan senjata, tentu didukung oleh jaringan bawah tanah yang barangkali dikendalikan dari suatu tempat, entah di mana. Operasinya tentu sangat rahasia. Kalau ketahuan, tentu saja sudah ditangkap sejak lama. Namun demikian, andaikan jaringan itu memang ada, maka sesungguhnya itu menjadi tidak lagi signifikan dan telah kadaluarsa dengan ditandatanganinya perjanjian damai antara Pemerintah RI dan GAM di Swiss pada tanggal 9 Desember 2002 yang baru lalu. Tidak ada lagi gunanya senjata yang dibuat oleh manusia untuk memusnahkan manusia. Itu sebuah tragedi peradaban. Perang konvensional seperti itu sesungguhnya sudah lama ditinggalkan oleh bangsa-bangsa yang mampu mengapresiasi peradaban dengan baik. Perang tidak lagi diperlukan di zaman modern ini. Sebab, pe-rang itu, atau pertelagahan apa pun bentuknya, bak kata petuah orang Melayu, "yang menang akan jadi arang, yang kalah akan jadi abu". Dalam era globalisasi sekarang, yang mengedepan sebenarnya adalah perang dagang dan perang kebudayaan. Saling pengaruh dan saling mempengaruhi tidak lagi dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan akal pikiran. Pendudukan dengan senjata secara fisik memang nampak, tapi itu akan menimbulkan dendam berkepanjangan dan perlawanan yang tak habis-habis-nya. Pendudukan bersenjata yang dilakukan oleh Jer-man terhadap Francis di awal Perang Dunia II misalnya, agaknya layak disimak, betapa Jerman tidak mampu menundukkan hati dan pikiran para intelektual Francis yang terus saja melakukan perlawanan intelektual, walaupun itu di bawah tanah. Albert Camus, seorang pemenang hadiah Nobel Sastra, mengungkapkan perlawanan itu melalui tulisan-tulisannya di koran bawah tanah, "Combat". "Kau mungkin sudah yakin, kami yang akan menang", tulis Albert Camus, "Namun kami akan menang berkat kekalahan itu, berkat kemajuan yang panjang dan lambat yang di dalamnya kami mene-mukan justifikasi kami, berkat penderitaan yang 20
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dalam ketidakadilannya mengajarkan kami suatu hikmahr Penderitaan itu mengajari kami rahasia kemenangan-kemenangan itu. Jika kami tidak kehilangan rahasia itu, kami akan mengetahui kemenangan akhir". Kita memang sedang mencoba mencari kebaikan yang tercecer dari pertelagahan-pertelagahan yang telah banyak menimbulkan pengorbanan darah dan air mata.
(22 Desember 2002)
21
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
6 Kado Manis dari Kepri Sebuah kado manis dipersembahkan untuk peringatan Hari Ibu tahun ini oleh DPRD Kota Tan-jung Pinang, Kepulauan Riau (Kepri), ketika mereka dengan mayoritas mutlak memberikan suaranya kepada Dra Hj Suryatati A. Manan. Dengan mengantongi 19 suara dari 25 orang anggota DPRD Kota Tanjung Pinang, Suryatati memenangkan pemilihan Walikota Tanjung Pinang secara demokratis dengan angka mutlak. Pemilihan Walikota Tanjung Pinang vang berlangsung pada tanggal 21 Desember 2002, sehari sebelum peringatan Hari Ibu tanggal 22 Desember, beberapa hari agaknya menorehkan beberapa catatan manis bagi Suryatati. Dia terpilih sebagai Kepala Daerah pertama di kabupaten/kota yang tergabung dalam Provinsi Kepri setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2002 tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau. Suryatati juga tercatat sebagai Walikota definitif Tanjung Pinang yang pertama. Yang paling monumental adalah, dia menjadi perempuan pertama yang sebagai Kepala Daerah dalam sejarah perkembangan Provinsi Riau dan Provinsi Kepulauan Riau. Oleh karena itu, dalam peringatan Hari Ibu di berbagai tempat di provinsi ini, terpilihnya Suryatati sebagai Walikota Tanjung Pinang menjadi buah bibir dan dianggap sebagai sebuah kado istimewa. Kegem-biraan ibu-ibu itu tentu bukan tanpa alasan, karena walau Megawati Soekarnoputri, Presiden Republik Indonesia adalah seorang tokoh perempuan sejati, namun secara umum kiprah perempuan di panggung politik di era reformasi ini belum begitu menggembirakan. Secara relatif justru menurun bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Kasus Riau misalnya. Bila dalam periode sebelumnya di DPRD Provinsi Riau masih terdapat lima orang tokoh perempuan, maka dalam periode sekarang tinggal hanya semata wayang. 22
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Gambaran serupa umumnya terlihat pula di DPRD tingkat kabupaten dan kota. Siapa yang patut dipersalahkan dengan kondisi seperti itu? Adakah laki-laki yang selalu mencoba mem-pertahankan hegemoni, perempuan yang dianggap kalah bersaing, lembaganya yang tidak akomodatif, atau ada kambing hitam yang lain? Suatu kali dalam sebuah dialog, saya yang kebetulan hadir sebagai salah seorang narasumber dalam kedudukan saya sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau, dituding oleh seorang peserta sebagai orang yang harus bertanggung jawab terhadap, "diskriminasi" tersebut. Tentu saja tudingan itu memancing tawa peserta lainnya, sebab adakah peran yang bisa dimainkan oleh seorang Ketua DPRD agar lembaga yang ia pimpin akomodatif terhadap perimbangan laki-laki dan perempuan? Yang mempersiapkan calon anggota dewan itu adalah partai politik peserta pemilihan umum. Kalau begitu, partai politiknya yang salah? Masalahnya juga tidak sesederhana itu. Sepengetahuan saya, setiap partai politik mempersiapkan calon anggota legislatif (caleg), terutama menjelang Pemilu 1999 yang lalu, melalui proses penyaringan dari bawah (bottom-up). Dengan demikian sesungguhnya, caleg laki-laki atau perempuan sama peluangnya untuk tersaring atau tidak tersaring oleh partai. Di samping kapasitas dan kapabilitas caleg yang bersangkutan, yang menjadi pertimbangan bagi parpol adalah apakah sang caleg "layak jual" atau tidak. Tapi, argumentasi seperti itu memang selalu tidak memuaskan, bahkan mengundang perdebatan. Barangkali karena desakan yang demikian kuat, konon, dalam Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu yang sekarang sedang digodok oleh DPR RI, ada wacana untuk mematok angka kuota keterwakilan bagi perempuan, sehingga ada keterjaminan gender dalam lembaga legislatif yang akan datang. Ada yang usul 20%, ada yang usul 30%, tapi ada yang ekstrem meminta 50%. Alasannya, karena populasi perempuan dalam komposisi penduduk Indonesia adalah sekitar 50%. Nah lho! Itu berarti setiap partai politik harus 23
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
menempatkan caleg-caleg perempuan di nomor jadi sesuai dengan ketentuan undang-undang. Bagaimana dengan partai perempuan yang seluruh kadernya adalah perempuan? Sesungguhnya, tidak ada model peran politik bagi seorang perempuan. Booles dan Swan menyebutkan dalam buku Power Failure, dalam satu jajak pendapat di Amerika Serikat, mereka membuat sebuah simpulan menarik dan membuat kita tersenyum. "Hampir semua pria Amerika Serikat tidak ragu-ragu bahwa mereka berhak menjadi presiden, sedangkan hampir semua perempuan bersikap sebaliknya". Agaknya benar seperti apa yang dikatakan oleh Kamla Bhasin, bahwa untuk dianggap sama dengan laki-laki, perempuan harus dua kali lebih baik daripada laki-laki. "Untungnya hal itu tidaklah sulit," katanya pede. Masalah eksistensi peran perempuan ini memang bukan masalah antara laki-laki vis a vis perempuan. Oleh karena itu, para pakar dewasa ini lebih suka menggunakan istilah gender. Pendekatannya lebih sosiologis. Gender lebih merujuk kepada definisi sosial budaya dari laki-laki dan perempuan dan cara masyarakat membe-dakan laki-laki dan perempuan serta memberikan peranperan sosial kepada mereka, bukan pendekatan berdasarkan jenis kelamin semata. Ketika John Naisbitt, seorang futurist kondang, menulis pada tahun 1996 tentang delapan megatrends Asia yang mengubah dunia, orang antara yakin dan tidak, bahwa akan terjadi perubahan dari dominasi kaum pria ke munculnya kaum perempuan. Tapi Naisbitt jelas tidak sembarangan. Dia mengidentifikasi, sebagaimana dituangkannya dalam buku Megatrend Asia, bahwa di Jepang hampir semua penjual jasa jual beli mata uang asing adalah perempuan. Di Singapura pula, jumlah manajer perempuan hampir meningkat tiga kali lipat dalam dekade terakhir. Dan jangan terkejut, bila satu dari setiap lima manajer di Hongkong adalah perempuan. 24
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Argumentasi Naisbitt diperkuat ketika ia mengelaborasi laporan Business Times Singapura. "Wanita di Asia telah jauh lebih banyak memasuki sektor bisnis, sebagian karena kurangnya tenaga ahli yang berpendidikan telah menghapuskan prasangka jenis kelamin dengan lebih cepat, dan sebagian lagi karena keluarga-keluarga bisnis telah mengakui nilai keahlian komersial kaum wanita. Karena itu, hanya dalam satu generasi saja, beberapa negara Asia telah menciptakan suatu armada wanita karir yang terus melakukan mobilitas ke atas, berwawasan global, makmur, dan ambisius. Ini jelas bukan kekuatan yang kecil". Jadi, terpilihnya Suryatati sudah diramal oleh Naisbitt, ha..ha... Perempuan jelas akan menjadi pesaing utama laki-laki. Namun, perempuan bukan untuk dimusuhi, tapi untuk dikasihi dan dicintai, paling tidak itu menurut filsuf Friedrich von Schiller. "Hormatilah perempuan",
katanya. "Mereka menjalin dan menenun mawar-mawar surgawi dalam hidup kita di dunia ini". Kita telah bosan dengan kekerasan. Kita memerlukan sentuhan mawar-mawar.
(29 Desember 2002)
25
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
7 Jika Aku Mencintaimu Pemerintah, dengan alasan untuk mengatasi defisit anggaran, mengeluarkan sebuah keputusan kontroversial, yaitu menaikkan harga Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, dan Telepon. Seperti yang dira-mal sejak awal, akhirnya keputusan itu menuai sejumlah perlawanan dari berbagai komponen masyarakat yang terkapar akibat keputusan tersebut. Gelombang demonstrasi muncul di mana-mana, semakin besar dan semakin lama merebak pula ke sejumlah kota-kota di Indonesia. Di Jakarta, ribuan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi dan sejumlah elemen masyarakat melakukan aksi, baik ke gedung DPR RI maupun ke Istana Negara, yang intinya menuntut agar kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu segera dica-but. Tak berbeda dengan Jakarta, di kota-kota lain di Indonesia juga terjadi gerakan serupa, seperti Pekanbaru, Surabaya, Medan, Padang, Makasar, dan seterusnya. Di Pekanbaru, perjuangan menolak kenaikan Bahan Bakar Minyak, Tarif Dasar Listrik, dan Tarif Telepon, bahkan berlangsung dengan berbagai cara. Selain melakukan aksi turun ke jalan dalam beberapa gelombang (dan belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti), aksi juga dilakukan dengan mogok makan. Menanggapi hal itu, DPRD Provinsi Riau segera mengarnbil sikap dengan menggelar rapat paripurna dengan materi bahasan khusus, yaitu menyikapi tuntutan masyarakat yang menolak kenaikan tiga komponen di atas. Sesuai dengan hasil rapat paripurna, DPRD Provinsi Riau mengeluarkan sikap resmi, yang intinya mendesak Pemerintah Pusat untuk membatalkan kenaikan BBM, TDL, dan Tarif Telepon. Apa yang dilakukan oleh DPRD Provinsi Riau itu pada hakikatnya adalah sebuah tindakan memahami diri sebagai wakil rakyat. Dengan kata lain, 26
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sebuah upaya harus dilakukan karena itu memang harus dilakukan. Persoalan apakah upaya itu berhasil atau tidak, biarlah menjadi sebuah kesepakatan bersama antara realitas dan nurani pemerintah. Meski belum sampai pada puncak kehendak, pemerintah akhirnya menyetujui sebagian dari klausul tuntutan rakyat yang terlontar dalam setiap demonstrasi dengan mengeluarkan kebijakan menunda kenaikan tarif telepon dan mengurangi rasio kenaikan tarif dasar listrik serta mengurangi rasio kenaikan tarif bahan bakar minyak. Mudah-mudahan akan muncul lagi kebijakan baru yang sesuai dengan kondisi riil masyarakat. Salahkah pemerintah menaikkan tiga kebutuhan masyarakat tersebut? Dalam hitung-hitung ekonomi yang disampaikan pemerintah dan terlebih jika mengacu pada kehendak perdagangan bebas serta defisit anggaran negara, keputusan itu sepertinya dapat dibe-narkan. Tapi ada satu persoalan, yaitu masyarakat kita secara umum, dengan kondisi perekonomian yang ada, tidak mampu menanggung tambahan beban. Dengan demikian, meski keputusan itu dapat dibenarkan secara teori, tapi dalam praktik, ia tetaplah menjadi keputusan yang tidak rasional. Masyarakat kita saat ini tengah berada dalam kondisi yang memprihatinkan. Selain itu, jumlah pengangguran juga sangat besar, sehingga keputusan yang diambil pemerintah memberikan kesan tidak peduli dengan keprihatinan rakyat. Kemarahan rakyat menjadi bertambah, karena pada saat yang sama, pemerintah justru membuat keputusan kontroversial dengan memberikan Release and Discharge, yaitu semacam pengampunan terhadap konglomerat bermasalah yang dianggap menunjukkan iktikad baik dalam menyelesaikan kewajibannya. Padahal, masyarakat tahu persis, para konglomerat bermasalah inilah yang menjadi penyebab utama keruntuhan perekonomian Indonesia. Sikap pemerintah itu, di mata rakyat, menjadi terkesan meng-hina dan menyebabkan mereka melawan. 27
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dalam hal BBM misalnya, pemerintah mengatakan bahwa selama ini masyarakat telah "dimanjakan" oleh subsidi dan pemberian subsidi itu bukan sebuah kebijakan yang baik. Itu benar. Tapi soalnya, bukankah masyarakat kita selama beberapa puluh tahun ini juga "termanja dalam kemiskinan" karena ketidakmampuan negara dalam menaikkan taraf hidup? Jadi, tepatkah. subsidi BBM itu disebut memanjakan rakyat? Subsidi BBM sesungguhnya harus dilihat dari keberpihakan kebijakan saja. Idenya memang semua kenaikan barang juga harus diimbangi dengan kemampuan menaikkan daya beli masyarakat. Boleh-boleh saja harga minyak dan yang lain sama dengan harga di Malaysia atau di Singapura, tapi usahakan juga agar pendapatan masyarakat sama dengan di sana. Bila demikian, pasti masyarakat akan setuju. Masalahnya adalah, sisi pengeluaran semakin naik, sementara pendapatan tetap atau semakin turun, makanya masyarakat tak setuju. Sejumlah orang biiak mengatakan, Kemiskinan adalah bapak dari revolusi dan kejahatan. Pastilah karena kemiskinan itu yang menjadi penyebab munculnya gejolak, sebagaimana yang terjadi hari ini. Jike masyarakat kite beduit, tentulah die senyumsenyum saje mendenga minyak naek, ye tak? Andai dibandingkan jumlah subsidi untuk rakyat dengan jumlah uang yang dicuri oleh sejumlah konglomerat, pastilah subsidi itu akan lebih kecil. Andai juga utang para konglomerat yang telah berlangsung sejak negeri dikandung badan dapat ditangani, maka pasti juga banyak persoalan akan dapat diselesaikan dan tidak akan terjadi defisit dalam anggaran negara. Justru selama ini, yang terjadi adalah sebuah pemihakan pada konglomerat (seperti kasus BLBI) dan kemudian masyarakatlah yang harus menanggung akibatnya. Tapi begitulah, sayang disayang, keputusan yang tidak tepat itu akhirnya membuat hubungan antara pemerintah dengan rakyat menjadi saling menyusahkan. Pemerintah harus cepat menyadari ini, jika tidak ingin keadaan semakin memburuk. Saya sepakat dengan para pakar, bahwa negara28
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
negara donor boleh-boleh saja mengharuskan ini dan itu untuk sebuah bantuan. Tapi jika memang kondisi masyarakat tidak memungkinkan, maka harus dicari solusi lain yang lebih baik dan bermartabat. Bukankah kata orang tidak satu jalan ke Roma? Negara donor (IMF, CGI, dll), dalam pandangan saya, sepertinya punya kepentingan politis yang sangat besar di balik syarat-syarat bantuan yang mereka kucurkan. Uang yang mereka tawarkan seperti sebuah diplomasi terselubung untuk ikut campur dan menekan Pemerintah Indonesia. Kelak apabila Indonesia sudah memiliki ketergantungan yang besar terhadap mereka, maka dengan mudah mereka menghancurkan Indonesia dalam lobi-lobi internasional. Pun sepertinya mereka telah mendapatkan itu selama beberapa dekade terakhir. Sekali lagi, pemerintah harus segera memahami ini. Biarlah kita sama-sama bersakit, tapi tidak mengorbankan banyak hal dan juga marwah bangsa. Buatlah kebijakan yang memenuhi rasa keadilan bagi rakyat, dan rakyat pasti akan mendukung. "Berlaku adil kepada rakyat, tanda raja beroleh inayat," begitu bunyi kearifan Melayu dalam Gurindam Duabelas. Rakyat pun akan berucap, seperti bait manis dalam karya penulis penerima hadiah Nobel, Najib Mahfouz, Jika aku mencintaimu, mengapa aku mesti meninggalkanmu. (26 Januari 2003)
29
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
8 Aktor Intelektual Hampir setiap kali ada aksi perlawanan, baik yang dilakukan para buruh kepada pengusaha mau-pun masyarakat terhadap pemerintah, selalu muncul sebuah kata sakti, yang tidak hanya membuat pelaku aksi menjadi takut, tetapi juga menjadi semacam kartu untuk memberikan citra negatif bagi perjuangan yang sedang berlangsung. Tak jarang pula kata itu menjadi alasan bagi aparat untuk mengambil tindakan tegas. Kata itu berbunyi aktor intelektual, yang sekali waktu ia berubah pula menjadi dalang, laiu provokator, atau penunggang. Siapa dan apakah aktor intelektual, sang dalang, sang provokator, atau si penunggang itu? Secara harfiah, ia adalah seorang atau sebuah sosok yang berada di belakang peristiwa. la bisa saja bernama pemimpin gerakan perlawanan, bisa seorang pendukung dana, bisa sang konseptor, bisa pengatur strategi, bisa orang yang rnemiliki kepentingan tertentu, dan bisa saja memang seorang penghasut profesional. Namun demikian, dengan pemahaman lain yang lebih positif, aktor intelek bisa bukan siapa-siapa, bisa bukan sosok, tapi adalah sebuah semangat kebenaran, sebuah antitesis atas ketidakadilan, sebuah kesadaran atas etika dan moral, dan seterusnya, yang jumlahnya sama dengan makna-makna negatif. Dalam makna-makna yang negatif, aktor intelektual, dalang, atau penunggang memiliki tempat khusus dalam sejarah pertentangan antarmanusia, antarelit, dan antarkehendak untuk berkuasa. Alkisah, iblis merupakan aktor intelektual, dalang, atau penunggang terpenting yang pertama dalam drama pembangkangan manusia. Setelah mendapat hasutan dari iblis, Nabi Adam menjadi tergoda untuk melanggar peringatan Allah sehingga memakan "Buah Quldi", yang
30
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
kemudian membuat Adam terusir dari surga. Hampir semua kitab menyebutkan hal ini, meskipun dengan elaborasi yang berbeda. Bermula dari iblis, maka bermunculanlah aktor intelektual lain yang bermain dalam beragam peristiwa, pada beragam wilayah yang melintasi zaman, dan dengan beragam kepentingan pula. Dalam kisah Musa misalnya, Samiri merupakan aktor intelektual dalam penyembahan berhala sapi yang terbuat dari emas. Dalam konsep Nasrani, Judas Iskariot merupakan dalang dari skenario penangkapan Yesus Kristus. Yazid bin Muawiyah pula merupakan aktor utama dalam peristiwa Padang Karbala. Di mata pemerintah kolonial Inggris, Mahatma Gandhi dianggap sebagai tokoh yang mengotaki perlawanan bangsa India. Osama bin Laden dituduh pula oleh Amerika sebagai aktor yang ber-tanggung jawab pada peledakan World Trade Center. Dunia Melayu tak kurang pula meninggalkan jejak sejarah tentang aktor intelektual ini. Hang Jebat dianggap sebagai dalang dari munculnya keberanian rakyat jelata melawan kelompok raja dan bangsawan. Megat Seri Rama, yang membunuh Sultan Mahmud Marhum Mangkat Dijulang, adalah aktor regicide (pembunuhan raja oleh orang kebanyakan) pertama dalam dunia Melayu, Sultan Husin adalah dalang dari lepasnya tanah Tumasik (Singapura), dan banyak lagi. Berjela-jela paniangnya kalau nak disebut semua. Lebih lagi di Indonesia. Kata itu seakan berada di ujung bibir dan digunakan oleh setiap rezim dan orde kekuasaan, serta selalu pula meminta korban. Dianggap sebagai penantang konsep-konsep revolusioner, Muhammad Natsir dan beberapa tokoh dikebiri hak politiknya oleh Sukarno, dan banyak pula yang dijebloskan ke penjara. Dituduh sebagai aktor intelektual peristiwa Malari, Hariman Siregar dan kawan-kawan ditangkap oleh rezim Soeharto, begitu juga nasib yang menimpa kelompok Petisi 50, dan banyak lagi kasus yang bersangkut-kait dengan kata di atas. 31
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Setelah rezim yang represif hanyut, ternyata kata-kata di atas tidak ikut hanyut. Setiap rezim ternyata suka memakainya, terutama untuk menghadapi pihak lawan, hinggalah sekarang. Mengiringi maraknya gerakan yang menuntut pembatalan kenaikan BBM, TDl dan dan Tarif Telepon, kata aktor intelektual, dalang, provokator, atau penunggang ikut pula menggema. Sejumlah pejabat tinggi di negeri ini ramai-ramai mengatakan, bahwa ada beberapa aktor intelektual yang berada di balik aksi demonstrasi yang terjadi. Tak sedikit pula nama yang dibabitkan, mulai dari mantan pejabat tinggi negara, pimpinan partai, sampai pengusaha. Benarkah tuduhan ini? Benarkah kesadaran dan kecerdasan bangsa kita demikian rendah, sehingga segala sesuatunya bergantung pada seseorang yang disebut aktor intelektual itu? Mungkin saja benar, bahwa memang ada orang yang mencoba bermain di balik aksi yang ada. Hanya saja terlalu naif jika penyebab semua aksi ini dialamatkan pada sesosok aktor intelektual. Aktor intelektual, dalang, atau penunggang hanya bisa menuai api jika ada yang menanam bara. Lalu, apakah baranya? Mari kita ke bilik Socrates. Pertanyaan dasarnya adalah, mengapa kita, sehingga ada pembangkang? Bukankah ketika satu jari menunjuk orang, maka empat jari yang lain menunjuk diri sendiri? Jika kita berbuat benar, maka percayalah orang tidak terlalu buta sehingga akan melawan kebenaran. Jika kita memang memberikan kebaikan bagi dirinya, dan jika memang kita membuat kebijakan yang sesuai de-ngan kebutuhan masyarakat, percayalah masyarakat tidak akan mati-matian melakukan aksi. Tapi, ketika masyarakat melawan kebijakan yang kita hasilkan, maka ada apakah dengan kebijakan itu? Masihkah kita akan mengatakan, bahwa kebijakan kita itu benar dan mengatasi kebenaran realitas yang ada dalam masyarakat. Sebagai pelayan masyarakat, ketika berhadapan dengan penolakan, maka pertanyaannya bukanlah "mengapa engkau 32
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sehingga begini," tapi bertanyalah seperti yang dianjurkan oleh Emmanuel Levinas, "Apa salahku padamu, Sahabat?" Dari sisi yang lain, kita memang bisa membenarkan bahwa demonstrasi mahasiswa dan masyarakat yang selama ini terjadi disebabkan oleh adanya aktor intelektual atau provokator. Tapi aktor intelektual atau provokatornya bukanlah sosok, melainkan kebijakankebijakan yang selama ini mendera rakyat. Jika tidak ingin masyarakat melawan, maka hentikan kebijakan publik yang sewenang-wenang, seperti perampasan tanah, hukum yang pilih kasih, pengkhianatan terhadap hajat hidup orang banyak, penganiayaan terhadap guru, pemihakan terhadap pengusaha yang nakal, dan berbagai kebijakan lain yang cenderung mengabaikan sisi-sisi kernanusiaan. Itulah aktor intelektual, dalang, atau provokator yang sebenarnya, atau apalah namanya. Aktor intelektual bernama kebijakan yang salah ini memang harus dibatalkan atau diubah, karena berpotensi melahirkan instabilitas, kekacauan, dan perpecahan yang bisa mengancam keutuhan sebuah bangsa. Pemerintah bukan waktunya lagi untuk main tuding. Mari sama-sama berkaca dan saling berbuat baik. Dengan demikian, hampir dapat dipastikan tidak akan ada lagi perlawanan. Jika pemerintah memandang diri sebagai Master dan masyarakat sebagai Slave, maka kita tidak akan pernah sampai kepada cita-cita, seluhur apa-pun citacita itu. Jika antara pemerintah tidak melakukan fungsinya sebagai pelayan yang mengarifi realitas sosial masyarakat, maka tuailah perlawanan, nikmatilah kehancuran! (2 Februari 2003)
33
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
9 Dialog Lintas Kafilah Suatu hari beberapa bulan lalu, saya kebetulan sedang berada di Sekretariat DPP Partai Golkar di Jakarta. Biasalah orang daerah, tentu kalau sempat, mampir juga ke markas partainya. Yang membuat luar biasa hari itu adalah acara pengajian yang diadakan Partai Golkar. Terus terang saya agak terkejut ketika penceramahnya adalah Alwie Shihab, Ketua Umum PKB. Dalam hati saya bertanya-tanya, ada apa ini, kena-pa Alwie Shihab, kartu truf apa lagi yang hendak dimainkan oleh Partai Golkar dan PKB. Sambil menikmati ceramah dari almukarom, saya berbisik kepada teman di sebelah. Saya mendapatkan penjelasan singkat bahwa acara pengajian ini acara pengajian rutin yang diadakan oleh Partai Golkar. Penceramahnya biasanya dari berbagai kalangan, tidak peduli berasal dari partai politik lain seperti Alwie Shihab itu. Pada saat pengajian ini kita tidak berbicara mengenai kepartaian, tapi kita berbicara tentang keagamaan, tentang akidah, tentang moral, tentang hubungan antarmanusia dalam perspektif Islam dan tentang hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Kita ini kan ibarat aki juga, sekali-sekali perlu discharge supaya kuat lagi," kata teman berbisik sambil tersenyum. Saya pun mengangguk-angguk mafhum. Suatu kali saya diminta memberikan pidato pengantar pada dialog lintas agama yang diselenggarakan oleh NU Pekanbaru. Saya pun tiba-tiba teringat Alwie Shihab, dan momen ceramah agama di DPP Partai Golkar itu saya elaborasi sebagai ilustrasi dalam pidato saya. Agama memang dipahami selalu menjadi solusi terbaik untuk mengatasi perbedaan-perbedaan atau bahkan konflik, karena ajarannya selalu mengedepankan nilai-nilai kebajikan, kasih sayang, toleransi, dan harmonisasi bahkan juga introspeksi. Pokoknya semua yang baik-baik. Tetapi agama juga bisa menjadi penyulut konflik bila 34
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
berkembang pemahaman-pemahaman sempit yang luput dicermati secara arif dan kemudian situasi diperburuk pula oleh provokasi pihak tertentu atau oleh pemberitaan-pemberitaan yang kurang proporsional dan kurang obyektif. Potensi konflik itu tidak hanya menjadi milik lintas agama, bahkan juga bisa terjadi secara internal antara penganut satu aliran atau sekte dengan sekte lainnya dalam tubuh satu agama. Kemajemukan adalah pangkal dari segala potensi konflik ini. Milyaran manusia hidup dan milyaran manusia lagi akan terus dilahirkan oleh perjalanan waktu. Tapi, satu pun tidak ada yang sama, walau dengan teknik kloning sekalipun. Setiap orang memiliki keistimewaannya sendiri, yang satu berbeda dengan yang lain, paling tidak dalam karakter, kegemaran, dan seba-gainya. Kemajemukan atau pluralitas itu sifatnya kodrati, given. Pluralisme itu adalah kenyataan sejarah umat manusia sebab hidup ini sesungguhnya terdiri dari kafilah panjang dengan perbedaan-perbedaan dalam bentuk individu, kelompok, wilayah, suku, agama, dan bangsa. Menidakkan pluralitas samalah artinya dengan menidakkan sunnatullah. Masing-masing kafilah tidak bisa saling menguasai. Antarindividu, antarkelompok, antaragama, atau antarsuku bangsa harus memiliki peluang untuk mengatur diri masing-masing dan membangun kanal-kanal dan komunikasi satu dengan lain-nya melalui dialog-dialog lintas kafilah yang membangun. Dalam masalah kemajemukan agama sebagai potensi konflik, Nurcholis Madjid dalani sebuah tulisannya yang dimuat dalam buku Kehampaan Spiritual Masyarakat Modern, mengajukan pertanyaan, "Adakah sesuatu nilai yang mampu mempertemukan agama-aga-ma di negeri ini sehingga membuat mereka (para umat beragama itu) tidak harus saling menghancurkan?" Pertanyaan itu dijawab sendiri oleh Nurcholis Madjid. "Jika pertanyaan itu jatuh ke tangan kelompok masyarakat yang pesimis, biasanya dengan mudah mereka segera meragukannya, malahan mengingkarinya. Akan tetapi, bila pertanyaan 35
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
itu ditanyakan kepada kelompok masyarakat yang optimis, niscaya tanpa ragu secuil pun mereka akan menjawab 'ada', kendatipun hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat prinsipil. Hal-hal yang lebih rinci, seperti ekspresi-ekspresi simbolik dan formalistik, tentu sulit dipertemukan". Nurcholis lebih jauh berpendapat, bahwa masingmasing agama, bahkan sesungguhnya masing-masing kelompok intern suatu agama, mempunyai idiom yang khas, yang hanya berlaku secara intern. Karena itulah, ikut campurnya penganut agama tertentu terhadap rasa kesucian orang dari agama lain, adalah tidak masuk akal dan hasilnya pun akan nihil. Dialog lintas kafilah yang dilandasi dengan sema-ngat kebersamaan agaknya memang kanal yang paling melegakan di tengah masyarakat yang telah bertekad untuk membangun hari esok yang lebih cerah di negeri ini. Rasa persatuan dan kesatuan serta rasa kebersamaan (societal cohesiveness), senasib sepenanggungan, ke bukit sama mendaki ke lurah sama menurun, memang sesuatu yang mutlak harus dibangun di negeri ini. Perbedaan yang ada bukan untuk saling menghancurkan, tapi untuk saling memperkuat dan saling mengisi, symbiose mutualistic. Konflik yang berkepanjangan, yang tak habis-habisnya, akan melemahkan kita. Perbedaan pendapat adalah halal dan lumrah sepanjang perbedaan itu membuat kita semakin dewasa dan produktif. Agama, apalagi, sama sekali tidak boleh menjadi faktor kontraproduktif dalam pembangunan kemasyarakatan. Keberhasilan hanya akan tercapai melalui dukungan semua unsur sesuai dengan perannya. Apa yang tertulis di gerbang masuk Universitas Andalusia, di zaman keemasan Islam di Spanyol beberapa abad yang lampau, menarik untuk kita cermati, "Sebuah negara yang baik, didukung oleh empat hal: keadilan para pemimpin, kebijaksanaan kaum cendekiawan, keperkasaan orang-orang yang berani, dan doa orangorang yang jujur." Jika kita menggabungkannya menjadi sebuah kebersamaan, maka kitalah kemenangan itu. 36
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Pluralitas, sekali lagi, tak akan mungkin diganti dengan sebuah homogenitas, karena itu adalah sebuah kenyataan sejarah. Tidak ada jawaban yang mudah untuk hal ini dan tidak ada satu jawaban pun yang memuaskan semua orang. (13 April 2003)
37
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
10 Tragedi Tanah Rencong Kisah pertentangan antara Pemerintah Indonesia dengan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sepertinya akan sampai ke puncak. Masing-masing pi-hak terlihat saling mempersiapkan diri, karena perang sepertinya sudah menjadi sesuatu atau sebuah diplomasi akhir yang tak terelakkan. Pihak RI menuding GAM telah melanggar kesepakatan perdamaian yang ditandatangani di Jenewa, karena terbukti tidak mau menggudangkan senjata dan masih saja melakukan peiLglidudiigaii ierhauap TNI, serta berbagai kesaiahan lain. Sebaliknya, GAM justru menuding bahwa Pemerintah RI dan TNI-lah yang melanggar kesepakatan tersebut, dan memberi alasan bahwa mereka belum mau menggudangkan senjata karena Pemerintah juga belum merelokasi TNI. Siapa pun yang akan menang bukanlah sesuatu yang harus kita pertimbangkan. Dalam konteks GAM dan RI, yang menang akan jadi arang dan yang kalah akan jadi abu, itu pun kalau kedua-duanya tidak menjadi puing dan kemudian musnah. Hal yang menyesakkan kita dari peristiwa ini adalah, bahwa perang yang akan terjadi merupakan sebuah perang saudara. Sebuah perang antara dua elemen yang lahir dari ibu dan bapak dari sejarah yang sama, sekaligus dua elemen yang sarna-sama membesarkan sejarah Indonesia itu sendiri. Kita agaknya lupa petuah orang-orang bijak, "Dalam peperangan, semua menderita kekalahan, termasuk si pemenang". Pada satu sisi, kita tak dapat menyalahkan keinginan pemerintah untuk bertindak tegas, karena secara de jure maupun de facto, Aceh adalah bagian integral dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tidak ada sebuah negara pun yang ingin tercabik-cabik, baik oleh kekuatan luar maupun oleh kekuatan dalam. Kita tentu sangat memahami hal itu. Dari sisi lain, kita juga akan melihat bahwa 38
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pemberontakan GAM bukanlah sesuatu yang tanpa alasan, paling tidak dalam perspektif mereka. GAM adalah generasi yang kesekian dalam sejarah pemberontakan di Aceh, yang dulu dimulai oleh Teuku Daud Baurerueh pada masa Soekarno. Pemberontakan itu pada mulanya justru berangkat dari ketidakmampuan pemerintah dalam mengakomodir berbagai kepentingan Aceh. Ketidakmampuan pemerintah itu, bahkan kemudian diperparah oleh kebijakan pemerintah Orde Baru yang menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Pemberlakuan DOM nampaknya dipakai pula sebagai alasan baru untuk semakin membenci Pemerintah Republik Indonesia dan TNI, karena DOM dalam berbagai versi pemberitaan melalui media massa, telah menjadikan Aceh sebagai medan pembantaian (killing field) dalam berbagai bentuk dan skala yang eksesif. Perang saudara mungkin akan segera berlangsung, tapi kita tidak mengharapkan itu terjadi sebab kata orang, banyak yang bisa memulai peperangan, tetapi sedikit yang bisa mengakhirinya. Sebuah perang atau revolusi akan meminta korban, atau seperti yang dikatakan oleh Ali Syariati, seorang reformis Iran, akan berisi atau berakhir dengan dua hal, yaitu darah dan pesan. Andai perang di Aceh ini terjadi juga, maka masyarakat banyak akan berada pada barisan yang paling dirugikan. Darah akan berceceran di mana-mana, mengalir dari tubuh yang tertembak, juga tumpah dari hati yang tersayat. Penulis Barat, Prancis Moore, dengan ketus mengatakan, "Ketika perang usai, setelah kedua pihak lelah baku hantam, dan akhirnya berdamai, apakah sebenarnya yang diperoleh rakyat?" Moore menjawab sendiri, "Pajak, janda, kaki kayu, dan utang". Sejarah telah banyak memberikan pelajaran kepada kita, apa yang diucapkan oleh Moore itu ada benarnya. Kita berharap sebuah jalan damai terus ditempuh oleh kedua belah pihak. Peluang untuk itu masih ada, setidaknya terungkap dalam ucapan utusan senior Joint Security Committee (JSC) GAM, Teuku Sofyan Ibrahim Tiba, "Kami siap untuk perang, tapi kami menyukai ja39
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
lan damai. Pemerintah RI jangan terlalu memaksakan kehendak ...." Hal yang penuh niat damai juga disampaikan oleh pemerintah melalui Menko Polkam, Susilo Bambang Yudhoyono. jika memang benar iktikad itu maka artinya masih terbuka peluang yang sangat besar untuk menyelesaikan persoalan Aceh melalui perundingan. Kita optimis, seperti petuah orang bijak, sesungguhnya tidak ada perang yang tidak terelakkan. Kalau perang pecah juga, maka itu adalah karena manusia gagal bertindak bijaksana. GAM dan Pemerintah RI harus kembali duduk semeja memperbincangkan persoalan bersama. Mengkaji kembali persoalan yang menjadi asal dari ihwal pertelagahan ini, dan kemudian mencari jalan penyelesaian secara lebih terhormat dan bermartabat. Perang, dengan alasan apa pun, haruslah kita hindari, karena perang hanya akan menghasilkan kesengsaraan yang tanpa batas apalagi sebuah perang saudara. Dalam sejarah perang dunia, perang saudara berpotensi menghancur-leburkan sebuah bangsa. Lebih dari itu, sejak dunia terkembang, korban perang dan penderitaan yang terbesar justru disumbangkan oleh perang saudara yang berlangsung di serata belahan dunia pada berbilang abad. Lalu, mengapa kita harus menambahnya? Kedua belah pihak harus saling berbesar hati demi sebuah perdamaian. Berbesar hati, sebab konsekuensi dari sebuah kata "demi perdamaian" adalah berarti kemungkinan hilangnya beberapa kepentingan yang selama ini ada dan ingin dicapai, baik oleh RI maupun GAM. Jika tak ada semangat berbesar hati, maka selamanya kita akan berdiam pada sebuah rumah ego yang justru berdindingkan penderitaan. Bagi Aceh pula, jika semua elemen tidak berbesar hati, maka Aceh akan terus dicatat sebagai sebuah tragedi di tengah-tengah kebahagian orang lain. Kini pun Aceh sudah relatif tertinggal jauh dari daerah lain. Bagi pemerintah, jika kita kembali pada Ali Syariati, maka peristiwa ini adalah sebuah pesan, bahwa pemerintah harus 40
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
menjalankan tugasnya secara lebih baik. Aceh dan GAM-nya bukanlah satu-satunya pemberontakan yang pernah terjadi di Indonesia, tapi hanya satu dari banyak peristiwa yang sudah berlangsung sejak lama, seperti DI/TII, PRRI- PERMESTA, RMS, dan sebagainya. Bagi RI, pemberontakan yang banyak terjadi sejak orde lama hingga sekarang seharusnya menjadi sebuah pertanyaan bagi diri, apakah negara telah dijalankan sesuai dengan fungsi yang sebenarnya. Atau, jika merujuk pada kebudayaan Melayu, apakah para pemimpin sudah melakukan tugasnya secara baik, apakah itu tugas pemakmuran maupun tugas pemberi keteladanan. Sekali lagi, kita berharap perang saudara tidak terjadi karena kita tak ingin menuai penderitaan dan air mata. Filipina adalah sebuah contoh kasus. Betapa penderitaan membahana ketika pertelagahan sesama saudara terjadi, yang akhirnya menewaskan Benigno "Ninoy" Aquino. Semua orang diliputi perasaan dendam antara satu dengan yang lain dan antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, sehingga Kardinal Sin harus tampil memimpin sebuah pertemuan untuk memahami kebersamaan sambil menyanyikan lagu-lagu pujian, "..... Negeri yang telah menyerap darah, bunga, cinta, dan air mata..........." Kita tak ingin menyanyikan lagu itu. Maka, marilah berdamai, agar kita tak menyanyikan penderitaan.
(4 Mei 2003)
41
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 2
42
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
1 Jangan Beri Peluru Kepada Musuh Konon menurut dongeng, hanya Pak Pandir yang memberikan peluru kepada musuh sebab hanya Pak Pandir yang tidak bisa membedakan "laman" depan rumah dengan "laman" belakang rumahnya sendiri. Ketapel pun dipergunakannya terbalik sehingga batunya tidak mengenai tupai di dahan, tapi menghajar kepalanya sendiri. Demikian pandirnya tokoh dalam dongeng pengantar tidur ini, sehingga dia tidak bisa mengetahui konsekuensinya bila peluru diberikan kepada musuh. Tanpa diberikan tambahan peluru saja musuh su-dah kuat, kemungkinan kita menang hanya fifty-fifty. Apalagi amunisi musuh ditambah, habislah kita. Kalau pun kita mau menang juga, kita harus mengeluarkan tenaga yang besarnya rrrruar biasa. Maka, petuah orangorang bijak bestari menyatakan, "Jangan berikan peluru kepada musuh!" Tapi, siapa kita, siapa musuh? Benarkah kita sungguh-sungguh memusuhi musuh? Bukankah pada saat Yang sama ketika kita mengatakan pihak lain adalah mussuh, kita juga menjadi musuh pihak lain? Ketika orang-orang muslim dituding sebagai oknum di belakang peristiwa "September Eleven" (11 September), muda-mudi Amerika kemudian justru malah giat mendalami buku-buku tentang Islam. Ketika kaum muslimin di Indonesia membenci Yahudi, K.H Abdurrahman Wahid, sebelum menjadi presiden rupanya sudah mesra dengan Israel. Sehingga ketika beliau terpilih menjadi Presiden RI yang kelima, hampir saja dibuka hubungan dagang dengan Israel. Hanya karena tekanan yang rrrruar biasa hebatnya, maka niat itu tidak kesampaian. Salah-benar di dunia fana ini acapkali tidak lagi hitam putih. Pada sudut kesalahan adakalanya mengandung sisi-sisi kebenaran. Sebaliknya, pada sudut kebenaran pula sesekali juga mengandung sisi-sisi kesalahan. Apakah ini karena kita sudah sulit membedakan kesalahan dan kebenaran, kebaikan dan keburukan? Manusia memang sulit sekali mengalahkan hawa nafsunya. Hawa nafsu ini pulalah yang menggiring manusia untuk seringkali mengedepankan kepentingan ketimbang kebenaran.
43
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Agaknya cerita yang ditulis oleh Kahlil Gibran boleh jadi merupakan pembenaran dari kondisi itu. Suatu hari, demikian Kahlil Gibran menulis, Kecantikan dan Keburukan bertemu di tepi laut. Mereka saling berkata, 'Marilah kita berenang ke Iaut'. Lalu mereka menanggalkan pakaian dan berenang. Setelah beberapa saaty Keburukan kembali ke tepi dan mengenakan pakaian Kecantikan, kemudian pergi. Saat Kecantikan keluar dari Iaut ia tidak menemukan pakaiannya. Karena malu bertelanjang, akhirnya ia mengenakan pakaian Keburukan. Hingga hari ini, kita tak mampu mengenali mereka satu per satu. Hanya ada segelintir orang yang mengenali Kecantikan, meskipun ia mengenakan pakaian Keburukan. Ada juga yang dapat mengenali Keburukan, karena pakaian yang ia kenakan tak mampu menyembunyikan wajahnya yang asli. Gibran mengemas filsafat dalam cerita yang sesungguhnya ringan tetapi melintasi zaman. Semenjak dahulu kala agaknya memang sudah ada kerisauan yang panjang tentang biasnya kebaikan dan keburukan. Hari-hari dewasa ini masyarakat kita sarat dengan konflik, entah itu vertikal atau horizontal. Entah antar-suku atau bahkan intrasuku. Rasa senasib sepenanggungan seolah menjauh. Bau permusuhan seakan ada di mana-mana. Sesungguhnya yang kita perlukan adalah aroma kedamaian, kerukunan, dan ketenteraman. Tetapi sangat mengherankan, demikian susah mencari persamaan di antara perbedaan. Pernahkah kita saling membuat daftar panjang tentang persamaan dan perbedaan yang ada di antara kita dengan pihak lain yang menjadi seteru kita? Kalau belum, mari kita coba memulai. Buatlah daftar panjang itu dengan kebeningan hati dan kejernihan berpikir. Kemudian, daftar panjang itu suatu kali dipertemukan. Saya sangat optimis, hal-hal yang mengandung kesamaan pasti akan lebih banyak dari hal-hal yang berbeda. Agaknya sebuah kesimpulan atau kesepahaman bukanlah suatu hal yang mustahil untuk dirumuskan selama semua pihak tidak menutup mata kepala dan mata hati. Rumus tetua kita kemudian dapat diterapkan di sini, "Perbedaan yang besar dikecil-kecilkan, perbedaan yang kecil dihilangkan", bukan justru sebaliknya. Masyarakat kita memang sedang berubah. Nilai-nilai yang dulu merupakan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, kini mulai longgar. Lihatlah misalnya, bagaimana cucu kemenakan tidak lagi loyal kepada Datuknya. Cucu terlalu pintar dan terlalu maju untuk dikungkung, 44
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sementara Datuk pula adakalanya suka lupa daratan dan cuai terhadap cucu kemenakan. Peluang ini tentu tercium oleh pihak lain yang suka menangguk di air keruh. Selamanya selalu saja ada pihak ketiga yang menarik keuntungan dari pertelagahan antarsesama. Sementara pihak yang bertelagah tidak mendapatkan apa-apa, yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu. Maka, jangan heran bila air tidak akan pernah dibiarkan bening, banyak yang berkepentingan untuk tetap membiarkannya keruh. Kita sudah berpengalaman diperdayai kompeni dengan taktik "devide et impera"nya. VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie - Gabungan perusahaan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur) yang populer dengan sebutan kompeni itu memang sudah lama hilang dari muka bumi, tetapi pendekatan adu domba yang dipergunakannya agaknya tidak pernah mati, bahkan semakin menjadijadi. Adalah sebuah ironi, melihat kekayaan sumber daya alam yang kita miliki, yang mestinya membawa kesejahteraan bagi banyak orang, sejauh ini justru membawa pertikaian dan perpecahan. Kita ternyata tidak cukup cerdas untuk memanfaatkannya. Yang mengedepan justru nuansa perebutan dengan mengusung segala yang bisa diusung, dengan menggunakan segala macam atribut. Tragisnya lagi, kita bahkan tidak segan-segan_ (atau karena rendahnya kesadaran) memberikan peluru kepada pihak lawan. Padahal kita pasti tidak akan rela4 memainkan peran sebagai tokoh Pak Pandir dalam ngeng itu. Benar kata orang bijak. "Hampir semua orang bisa hidup tenang bersama kesalahan masing-masing, tetapi kesalahan orang lain membuat kita naik pitam".
(28 Juli 2002)
45
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
2 Ditinggikan Seranting Yang namanya konsep pemimpin dan kepemim pinan dewasa ini sedang dikunyah-kunyah oleh publik, tidak hanya di tataran lokal, di daerah-daerah di mana akan berlangsung pemilihan Kepala Daerah, bahkan juga untuk tataran nasional. Diskusi tidak hanya terjadi dalam bentuk seminar-seminar atau semiloka di hotel berbintang, perdebatan di kedai-kedai kopi pun tidak kalah serunya. Di kedai kopi jalan Hang Tuah, Pekanbaru misalnya, tempat mangkalnya para kuli disket alias wartawan, semua permasalahan pemimpin dan kepemimpinan dikupas tuntas. Mulai dari George W. Bush, Saddam Hussein, Dr. Mahathir Mohamad, sampai kepada Megawati Soekarnoputri dan Hamzah Haz. Saleh Djasit, Huzrin Hood, dan Jefri Noor jangan tanya. Itu menu tetap sehari-hari. Biasanya, bila sudah menyangkut kepemimpinan seorang tokoh, maka sang tokoh akan "ditelanjangi" habis tanpa basa-basi. Kedai kopi di Jalan Hang Tuah agaknya pantas dijuluki akademi politik bayangan di Kota Bertuah Pekanbaru. Perdebatan mengenai konsep pemimpin dan kepemimpinan ini agaknya terdorong oleh iklim politik yang sangat meriah dewasa ini, ditambah pula dengan berjibunnya buku-buku tentang kepemimpinan yang beredar di pasaran. Buku-buku ini mudah diperoleh dan harganya pun terjangkau. Bahasan tentang berbagai aspek kepemimpinan dapat dengan mudah kita cari, misalnya mengenai esensi kepemimpinan, kepemimpinan visioner, pemimpin dalam krisis, pemimpin global, pemimpin kredibel, kepemimpinan Churchill, kepemimpinan Lincoln, kepemimpinan Melayu, semua ada, bahkan sampai kepada pemimpin badak, pemimpin kelelawar, dan sebagainya. Mustahil buku-buku itu tak ada satu pun yang dibeli dan dibaca. Para calon pemimpin pun bisa belajar (kalau mau), pilih gaya kepemimpinan yang mana, Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khattab, Kennedy, Lee lacocca, atau kepemimpinan seperti raja komputer Bill Gates? Memang ironis. Demikian banyak bacaan, demikian banyak referensi, demikian banyak perbandingan yang bisa dipetik dari kesalahan46
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
kesalahan negeri lain, tapi kita terpuruk dalam wilayah krisis kepemimpinan. Apakah karena kita tidak mau belajar atau tidak mampu belajar? Mungkin salah satu benar, atau kedua-duanya benar. Paling tidak, itu pendapat dari para pengamat. Ada beberapa petunjuk ke arah itu yang patut kita cermati. Lihatlah wajah kita sekarang, wajah masyarakat kita. Lihatlah, bagaimana susahnya membangun sebuah kebersamaan. Lihat bagaimana longgarnya sebuah ikatan persaudaraan. Solidaritas demikian rapuh. Rasa senasib sepenanggungan tinggal hiasan bibir. Pertelagahan demi pertelagahan tak pernah terdamaikan. Mengelaborasi Editorial Harian Media Indonesia, para pemimpin kita agaknya memang terjebak dalam parokialisme. Beliau-beliau para pemimpin itu, kalau tidak terperangkap dalam kepentingan partai atau kelompok, maka mereka terperangkap dalam isme-isme sempit seperti provinsialisme, kabupatenisme, kecamatanisme, sukuisme, dan sebagainya. Kita semakin susah mencari seorang pemimpin yang memiliki kemampuan mendamaikan pertelagahan, yang bisa diterima dan dipercaya menjadi penengah, yang tidak berpikir untuk kepentingan suatu kelompok atau pribadinya. Pemimpin seperti itu harus memiliki kapabilitas, kredibilitas, dan integritas yang tinggi, sehingga bisa diterima oleh kedua pihak yang bertelagah. Sesungguhnya kepemimpinan tokoh-tokoh non formal dalam masyarakat pernah mengalami masa keemasan, ketika setiap ucapan mereka menjadi fatwa, ketika mereka amat disegani. Tapi kini entah siapa yang salah, nilai-nilai itu nampaknya telah bergeser. Entah cucu kemenakan yang tidak lagi menghormati para datuk dan petinggi sukunya, atau petinggi suku yang tidak amanah sehingga tidak dipercaya lagi oleh cucu kemenakan. Dalam beberapa kasus, ketika beberapa pertelagahan yang terjadi dikembalikan kepada masyarakat agar dicarikan penyelesaiannya, solusi win-win tetap tidak ditemukan, bahkan cenderung memunculkan masalah baru yang lebih rumit. Dalam perspektif budaya Melayu, sebagaimana ditulis oleh budayawan Riau, Tenas Effendy dalam bukunya "Pemimpin Dalam Ungkapan Melayu", pemimpin adalah orang yang dituakan oleh kaum dan bangsanya. "Yang didahulukan selangkah, yang ditinggikan Seranting, yang dilebihkan serambut, yang dimuliakan sekuku . Ungkapan ini dengan tegas menunjukkan, bahwa antara pemimpin dan masyarakat jaraknya 47
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
hanya sekadar "didahulukan selangkah dan ditinggikan seranting", sehingga mudah dijangkau dan dihubungi. Bahkan dalam ungkapan adat yang lain ditegaskan lagi, "jauhnya tidak berjarak, dekatnya tidak berantara". Dengan demikian akan terjalin hubungan yang akrab antara pemimpin dengan masyarakatnya, sebagaimana ungkapan "bagaikan aur dengan tebing". Dalam ungkapan lain, "bila pemimpin tak tahu diri umat binasa rusaklah negeri". Ungkapan ini membawa maksud, apabila seorang pemimpin tak tahu diri, tidak tahu kewajibannya, tidak tahu tanggung jawab dan beban yang dipikulnya, tidak memiliki kemampuan untuk memimpin, atau berbuat sewenang-wenang dan emosional, maka binasalah rakyat dan rusaklah negeri. Dari berbagai konsep kepemimpinan, ada tiga aspek penting yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin. Pertama, kapabilitas (Capability) kemampuan; kedua, kredibilitas (credibility) dapat dipercaya; dan ketiga, integritas (integrity) kejujuran. Bila ketiga faktor ini telah dimiliki oleh seorang pemimpin, maka orang ini sudah termasuk pemimpin yang berkepribadian mulia, tidak hanya dalam perspektif budaya Melayu tetapi juga secara universal. Dia akan mampu membawa masyarakatnya kepada kebahagiaan dan kesejahteraan. Konsep kepemimpinan menurut Machiavelli memang harus dihindarkan. Dalam opini Machiavelli, menjadi pemimpin adalah untuk mencari kekuasaan. Sebagaimana dielaborasi oleh Jansen H. Sinamo dan Agi Santosa dalam bukunya "Pemimpin Kredibel, Pemimpin Visioner", Machiavelli mutlak mengabaikan integritas Moral kepemimpinan ia benamkan dalam-dalam di bawah harga sebuah kekuasaan. Konsep kepemimpinan Machiavelli itulah yang membawa tragedi kepemimpinan bagi Hitler, Pol Pot, dan Milosevic, kehilangan kekuasan dan mati bunuh diri. Pol Pot dan kekuasaannya raib. Milosevic menjadi penjahat atas kekuasaannya sendiri, diburu dan diadili oleh dunia internasional. Inilah fakta yang berhadapan dengan opini Machiavelli tentang kepemimpinan. Kekuasaan sesungguhnya diperoleh dari rakyat. Sebab dalam sebuah negara yang menganut paham demokrasi, rakyatlah yang berkuasa. Bila sang pemimpin memperoleh kekuasaan, maka kekuasaan itu haruslah
48
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dipergunakan sebaik-baiknya untuk peningkatan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyat. "Raja adil raja disembah, raja zalim raja disanggah." (3 November 2002)
49
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3 Profesor Tabrani Yang Berani Suka atau tidak suka, rela atau tidak rela, kini julukan Profesor Tabrani telah bertambah satu lagi. Selebritis! Dulu dia memang sudah selebritis juga tapi agaknya belum sah, belum afdhol. Sejak ia mempersunting selebritis Alicia Johar yang ngetop di era 1970 an, maka julukan selebritis untuk Prof. Tabrani menjadi sah. Alicia Johar, artis separuh baya itu masih tetap cantik (kalau tak cantik, manalah pula kawan kita mabuk kepayang). Alicia Johar masih membintangi seri sinetron Kecil-kecil Jadi Manten, sebagai Emaknya Syahrul Gunawan. Konsekuensinya, Profesor Tabrani muncul dalam program Check and Recheck, Kabar Kabari, dan Hot Spot yang diperuntukkan bagi kalangan selebritis dan kehidupannya. Cari popularitas? Tentu tidak, sebab Profesor Tabrani tidak lagi memerlukan popularitas. Dia sendiri denga "Tabrani Rab"nya sudah cukup populer. Saya yakin Profesor kita kali ini memang ketemu batunya, dan berani jatuh cinta lagi. Gerangan siapa duluan yang rebut hati, Alicia kah atau Sang Profesor, tentu tida lagi jadi soal dan tidak relevan untuk dipersoalkan. Kini selasih itu telah mereka tanam berdua di sudut halaman dan mereka siram berdua, sebagai lambang percintaan. Profesor Tabrani agaknya sudah lelah menjadi duren (duda keren). Menjadi duren flamboyan godaannya memang banyak. Tahun lalu, ketika Theys, tokoh Papua Merdeka, tewas dan kemudian disusul pula oleh Teuku A. Syafe'i, tokoh GAM, Profesor Tabrani sempat tercekam. la, yang jugaa sering dijuluki Presiden Riau Merdeka, sempat ketar-ketir dan berkelakar dalam satu forum dialog di DPRD Riau. Katanya, ia takut mati, tapi kemudian buru-buru ditambahkan, karena sedang pengantin baru. Saya baru sadar ketika beberapa hari kemudian, dia memperkenalkan pendamping barunya, seorang wanita yang berdarah Timur Tengah. Namun, tak lama kemudian saya pun mendengar, bahwa Profesor kita kembali menduda dan kembali ke kesunyian sebagaimana voice mail telepon selulernya yang memelas.
50
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Assalamu'alaikum ... dalam kesunyian ... dan renunganku seorang .... tinggalkanlah pesan. Profesor Tabrani Rab memang sebuah fenomena. Apalah jadinya Riau modern tanpa kehadiran sosok yang selalu membuat leguh-legah ini. Sekejap ade, sekejap tak ade. Dia tidak hanya akrab dengan pekerjaanpekerjaan dan karya-karya intelektual, seperti menulis, menerbitkan buku, mengisi seminar, menyelenggarakan forum-forum diskusi, dan sebagainya. Kepeduliannya terhadap akar rumput pun sudah teruji. Dia tidak segan-segan mengacungkan tinju membela buruh, ikut berunjuk rasa menuntut keadilan, dan juga rela bertungkus lumus membela kelompok yang teraniaya. Salah satu alasan kenapa Profesor Tabrani Rab bersedia tampil memberikan orasi di panggung Partai Golkar dan kembali mengenakan jaket kuning dalam satu Rapat Akbar beberapa waktu yang lalu, adalah karena dia menganggap Akbar Tanjung dari Partai Golkar sedang teraniaya. Suatu saat, tanpa membawa persiapan apa-apa, kami terpaksa pula bermalam saat meninjau rumah-rumah penduduk yang dibakar di dusun Ampaian Rotan, kecamatan Bagan Sinembah oleh kelompok] orang yang tidak bertanggung jawab. Saya melihat kepeduliannya yang sangat tinggi terhadap rakyat yang terpinggirkan dan digilas oleh ketidakadilan. Komitmennya terhadap ke-Riau-an dan ke-Melayu-, an tidak usah diragukan lagi. Sampai-sampai, akibat semangatnya yang tinggi dalam memperjuangkan hak-hak lokal yang terabaikan akibat kebijakan pemerintah pusat yang sentralistis, Profesor Tabrani pun mendapat julukan yang dirasakannya ngeri-ngeri sedap, Presiden Riau Merdeka. Dalam kontroversi reaksi yang muncul, kemerdekaan itu pun kemudian diterjemahkannya bukan dalam arti sebuah negeri yang berdaulat, tetapi merdeka dalam memanfaatkan sumber daya alam bagi se-besar-besar kesejahteraan rakyat. Masalah pun cair. Oleh karena itu, ketika suatu kali saya menghubunginya pada suatu senja yang sudah agak jauh, apakah Ongah Tab (panggilah akrabnya yang lain) bersedia seandainya DPRD Riau memilih Ongah sebagai Calon Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), dengan terkekeh, dia menjawab bersedia. Dia kemudian sungguh-sungguh terpilih sebagai anggota DPOD bersama calon dari Sulawesi Selatan. Padahal, hampir seluruh provinsi mengusung calon dalam pemilihan tersebut. DPOD 51
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
adalah sebuah lembaga yang berada langsung di bawah Presiden. Kendaraan DPOD ini memberi peluang kepada Profesor Tabrani Rab untuk berkomunikasi langsung dengan Presiden. Hal itu tampak dilakukannya dengan baik. Keberadaannya di DPOD memmbuktikan bahwa kecintaan Profesor Tabrani Rab terhadap NKRI tidak perlu diragukan lagi. Cara mencintai mungkin yang berbeda. Kinerjanya di DPOD membuktikan bahwa Ongah layak jual. Dia tidak hanya terkenal di Bagan Siapi-api dan Riau kampung halamannya. Di bagian lain negeri ini, namanya juga cukup kondang. Oleh karena itu pula, ketika nama Profesor Tabrani Rab tidak muncul dari Riau sebagai salah satu bakal calon Presiden dalam Konvensi Pemilihan Presiden RI dari Partai Golkar, namun justru muncul di Jakarta yang mewakili organisasi kemasyarakatan, orang tidak heran. Bahkan, hal ini menguntungkan dan menjadikan nama Profesor Tabrani Rab semakin terlihat besar dan berkibar. Buktinya, dia lolos verifikasi oleh Panitia Nasional Konvensi Partai Golkar dan kini tercatat sebagai salah seorang dari 19 Bakal Calon Presiden RI dari Partai Golkar yang resmi diizinkan berkampanye ke daerah-daerah seluruh Indonesia. Dalam suatu sosialisasi diri bakal calon Presiden dari Partai Golkar baru-baru ini di Pekanbaru saya memperoleh kesempatan yang bagus sebagai moderator, mengingat yang tampil adalah kandidat-kandidat yang memiliki kelas. Beliau-beliau adalah Akbar Tanjung, Yusuf Kalla, Sri Sultan Hamengkubuwono X, dan last but not least, Profesor Tabrani Rab. Ketika saya melihat kandidat lain, masing-masing didampingi oleh istri, saya tidak tahan untuk tidak usil menggoda Profesor Tabrani. Saya memperkenalkan Nina Akbar Tanjung, kemudian Nyonya Yusuf Kalla, menyusul Ratu Hemas. Saya belum menyebut kandidat Presiden yang keempat, hadirin sudah tertawa duluan, karena Profesor Tabrani memang tidak ada pendampingnya. Kandidat kita yang satu ini memang berstatus duda. Oleh karena itu, suatu kali Profesor Tabrani pernah bilang, apabila dia terpilih meniadi Presiden RI, maka program pertamanya adalah membubarkan Dharma Wanita. Dia hanya terkekeh ketika Akbar Tanjung menyarankan agar cepat-cepat mencari pendamping. Entah karena diledek dalam pertemuan tersebut, entah karena saran Akbar Tanjung, beberapa hari kemudian, Profesor Tabrani Rab dengan berani sungguh-sungguh menanggalkan status duremya, melangsungkan 52
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pernikahannya yang kesekian dengan artis Alicia Johar. Profesor Tabrani agaknya tidak mau main-main dengan waktu, karena waktu selalu menolak untuk ditaklukkan, apalagi oleh manusia yang nisbi, sebagaimana diucapkan oleh Milan Kundera. Tugas manusia memang bukanlah menaklukkan waktu, tapi menciptakan sejumlah kenangan yang dapat disebut dengan manis pada masa datang. Profesor Tabrani, sabas (20 September 2003)
53
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
4 Warung Kelambu Kamus Idiom bahasa prokem agaknya akan segera muncul dari Riau. Setelah Wanita Tuna Susila diberi julukan "Ayam Kampung" yang kemudian bermetamorfosa menjadi "Ayam Kampus", selanjutnya disusul pula dengan istilah "Ayam Bersepatu" di Karimun, kini muncul "Warung Kelambu". Kendati istilah Warung Kelambu kedengarannya terkesan sedikit rada mesum dan berbau esek-esek, namun tidak ada hubungan sanak famili sama sekali dengan Ayam Kampus atau Ayam bersepatu itu. Yang jelas Ayam kampung, Ayam Kampus, Ayam Bersepatu, atau warung kelambu adalah pekerjaan-pekerjaan yang dianggap oleh masyarakat dan pemerintah menyimpang dan menyalahi aturan. Mungkin masih banyak kosakata lain yang akan muncul. Tidak jelas siapa yang mulai menggunakan istilah "Warung Kelambu". Istilah ini demikian saja menjadi populer sebagai julukan terhadap tempat-tempat makan, cafe-cafe, warung-warung, atau kedaikedai kopi yang tetap buka di siang hari bulan Ramadhan, ketika umat Islam sedang menunaikan ibadah puasa. Warung-warung ini secara malumalu memang menutup diri supaya tidak terlihat transparan dari luar, entah dengan menutup pintu, entah dengan kain tabir. Akibat ditutup dengan kain tabir itu, menimbulkan kesan seperti berkelambu, maka disebutlah Warung Kelambu. Tentu tidak terdata di Biro Statistik berapa jumlah dan siapa-siapa saja yang menggunakan jasa warung kelambu ini. Tapi paling tidak, agaknya ada tiga kelompok. Yang pertama adalah kalangan non muslim yang memang tidak menunaikan ibadah puasa, yang kedua adalah kelompok muslim yang tidak berpuasa karena alasan-alasan tertentu seperti pekerja-pekerja berat atau orang yang sakit, dan yang ketiga adalah orang-orang muslim yang tidak tahan berpuasa, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi. Di rumah, di depan anak isteri, dia berpuasa untuk jaga gengsi, tapi di luar rumah dia berselingkuh dengan warung kelambu. Seorang teman menyodorkan premis begini, 54
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
"pengunjung warung kelambu pasti tidak puasa, tetapi pemilik warung kelambu belum tentu tidak puasa." Teman saya ini mungkin benar. Tetapi sesungguhnya, penjual jasa warung kelambu tidak memaksa pembeli untuk masuk ke dalam warung kelambu dan kemudian berkelambu-ria. Mereka hanya menggunakan pendekatan ilmu ekonomi saja ada demand ada supply. Ada yang membutuhkan, ada yang mensuplai. Karena ada pembeli, maka mereka menjual. Bagi mereka yang memiliki naluri bisnis, tentu merasa sayang bila peluang itu dilewatkan begitu saja. Yang penting uang masuk. Bukankah akan lebih banyak pengeluaran untuk lebaran dan mudik? Salahkah warung kelambu? Rasanya bukan masalah salah atau benar. Masalahnya adalah karena faktor keterusikan saja. Masalah toleransi. Sebagian kalangan yang menunaikan ibadah puasa merasa terusik dan berkeberatan dengan adanya warung-warung yang masih tetap buka (walaupun pakai kelambu) di bulan puasa Ramadhan. Agaknya karena alasan tersebut, maka pemerintah yang mempunyai fungsi normatif sebagai nengatur masyarakat memang harus mengeluarkan aturan. Yang namanya aturan tentu ada yang terlindungi atau terayomi, sebaliknya juga ada pihak-pihak yang terkena aturan. Konon, tidak semua daerah mengeluarkan aturan yang melarang warung-warung makan ditutup selama bulan puasa Ramadhan. Ini memperkuat asumsi, ada yang tidak terusik atau tidak berkeberatan dengan kegiatan-kegiatan warung makan yang melayani pembelinya di siang hari selama bulan puasa. Kelompok ini agaknya termasuk pengikut aliran Aa Gym. Orang yang berpuasa memiliki kesabaran yang tinggi, dia tidak urus kepada orang lain yang makan dan minum di depannya. Bahkan, hal itu dianggap godaan dan cobaan yang justru akan meningkatkan kualitas berpuasa seseorang. Keadaan memang agak dilematis. Betapa tidak. Di bulan puasa kebutuhan keluarga biasanya meningkat. Makanan dituntut lebih berkualitas dan bervariasi dari biasanya. Demikian pula pakaian. Seluruh anggota keluarga memerlukan baju baru untuk menyambut Hari Raya. Kita ingin sedikit memanjakan diri dan keluarga. Dengan demikian pengeluaran keluarga pasti akan meningkat. Memang sulit dibayangkan, pada saat-saat kebutuhan keluarga meningkat, pada saat itu justru mereka 55
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
harus kehilangan mata pencaharian karena warung mereka harus ditutup. Warung-warung itu adalah sektor informal yang banyak memberikan peran dalam mengatasi pengangguran di saat-saat kita sedang mengalami krisis. Tapi pemerintah, untuk kondisi sekarang, memang tidak bisa lain, harus memainkan perannya sebagai regulator, sebagai pengatur masyarakat dalam kehidupar beragama. Sebab kalau semua anggota masyarakat adalah penganut kesabaran seperti yang disampaikan Aa Gym itu, atau seperti Aa Gym sendiri, maka masalahnyal akan selesai. Tidak perlu ada pengaturan, tidak perlu ada kekhawatiran terhadap provokasi yang dapat merusak toleransi dan kerukunan hidup antarumat beragama yang pada akhirnya memporak-porandakan tatanan masyarakat itu sendiri. Namun kondisinya tidak demikian. Ketersinggungan dalam masyarakat dewasa ini demikian mudah terjadi. Hal-hal kecil dapat memicu perselisihan yang lebih luas, bahkan hal-hal yang sepele kadangkadang harus ditebus dengan jiwa. Orang semakin gampang menjadi marah. Ada yang mengatakan bahwa kondisi masyarakat kita saat ini ibarat padang rumput yang kering. Sedikit saja bara api dilemparkan, maka padang rumput itu akan terbakar habis. Oleh karena itu, pemerintah nampaknya tidak mau ambil risiko. Menghindari atau mencegah terjadinya pertengkaran akibat kesalah-pahaman akan lebih mudah daripada mendamaikan sebuah pertengkaran. Malaysia konon lebih tegas mengatur masalah orang yang makan-minum di muka umum selama bulan Ramadhan. Tidak ada yang bisa menjelaskan secara tepat kenapa kondisi masyarakat yang sangat reaktif dan eksplosif seperti yang kita alami sekarang ini tercipta. Semakin dijelaskan semakin kabur. Satu-dua ada yang mencoba-coba memberikan argumentasi, tapi yang muncul adalah "kambing hitam", mempersalahkan orang lain, kelompok lain, atau bahkan rezim. Padahal, dalam konsep Islam kita tidak mengenal istilah dosa rezim. Yang masuk neraka bukan rezim, tetapi individu-individu yang berdosa. Kita memang selalu gagal melakukan introspeksi secara arif dan cerdas. Sesungguhnya agama tidak dibuat sebagai penghalang bagi kemanusiaan. Oleh karena itu, sesuatu yang sejalan dengan nilai 56
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
kemanusiaan tentu akan bertahan, sedangkan yang tidak sejalan, dengan sendirinya akan sirna. Agama berasal dari Tuhan, tetapi untuk kepentingan manusia itu sendiri.
(24 November 2002)
57
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
5 Berguru Kepalang Ajar Masyarakat kita dewasa ini cenderung berkembang aneh (The Odd Society). Barat mengatakan, masyarakat Indonesia kekanak-kanakan. Kekanak-kanak-an bermakna seperti kanak-kanak, walaupun bukan kanakkanak. Sebab kalau kanak-kanak, maka sekolahnya tentu di Taman Kanakkanak. Istilah kekanak-kanakan memang hanya disangkutkan dengan orang yang bukan kanak-kanak. Saya teringat Gus Dur ketika suatu kali bercanda dalam pidatonya di depan sidang DPR RI, ketika beliau masih memangku jabatan Presiden RI, dengan mengatakan, bahwa DPR kita seperti Taman Kanak-kanak. Waktu itu, anggota DPR tersinggung berat. Mereka marah besar, seperti kebakaran jenggot. Gus Dur bercandanya memang keterlaluan, mosok anggota Dewan Yang Terhormat koq dibilang seperti Taman Kanak-Kanak. Dimana keterhormatannya kalau begitu? Kita memang boleh sependapat boleh tidak terhadap tudingan Barat bahwa masyarakat kita kekanak-kanakan. Mau marah atau tidak marah? Silakan. Seorang teman berkomentar, kalau marah tanda ya, kalau tidak marah tanda setuju. Hayo, pilih yang mana? Artinya, potret buram karakter kita sebagai sebuah bangsa yang berbudaya, nampaknya sulit untuk kita pungkiri, walaupun itu juga bukan merupakan suatu hipotesis yang memerlukan pembuktian. Sejujurnya, gejala umum yang kita lihat di tengah masyarakat yang sedang mengalami pancaroba dewasa ini adalah, emosionalitas lebih mengedepan daripada rasionalitas. Cakrawala menyempit. Sikap kita sering banci terhadap suatu masalah. Suka "menegakkan benang basah", apalagi bila "benang basah" itu berasal dari kelompok sendiri. Suka memfitnah dan mempergunjingkan orang lain. Tidak menguasai masalah, tapi ingin disebut sebagai pengamat. Ingin gelar Doktor, beli saja, tak perlu S-3. Profesor pun ada yang instan kalau mau. Konon dengan tarif 2,5 - 5 juta rupiah anda akan memperoleh gelar tersebut. Ada yayasan yang tidak memiliki hati dan dengan licik memanfaatkan kegandrungan masyarakat dalam hal gelar menggelar ini dengan membawa-bawa nama Universitas Harvard, Universitas Berkeley, Universitas California, dan 58
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sebagainya. Bukankah ini tipologi dari masyarakat yang kekanak-kanakan atau tipologi masyarakat tradisional yang gamang karena "berguru kepalang ajar", yang masih sangat terbatas perkembangan intelektualitasnya? Gejala-gejala itu nampak menonjol pada masyarakat yang belum terdewasakan atau tercerahkan. Bukankah anak Taman Kanak-Kanak sangat bangga diperankan sebagai dokter kecil dalam sebuah pesta karnaval? Kita marah ketika tamu mengatakan di rumah kita ada tikus. Tapi kita membiarkan tong-tong sampah dan lorong-lorong gelap tak terurus. Kita meneteskan air mata untuk hal-hal yang seharusnya tidak kita tangisi, sebaliknya kita tertawa-tawa ketika orang lain sedang belasungkawa. Dapat dipahami bila Australia merasa tersinggung ketika Kapolri, Jenderal Da'i Bachtiar, bercanda ringan dan tertawa bersama Imam Samudra, saat melihat "Manusia Bom" itu di tahanan. Kejadian yang tidak disengaja itu, sialnya, diliput pula oleh media elektronik dan dipancarluaskan ke mancanegara. Sesungguhnya, institusi-institusi pendidikan kita telah banyak menghasilkan sarjana-sarjana yang pintar, walaupun dari segi jumlah belum mencapai ambang yang memadai. Tetapi masalahnya, sebagaimana dikatakan oleh Profesor Muchtar Achmad, Rektor Universitas Riau, pendidikan kita baru pada tahap menghasilkan orang yang pintar, belum menghasilkan orang yang cerdas. Kecerdasan, menurut Muchtar Achmad, adalah suatu gabungan antara kepintaran dan kepandaian, kebijaksanaan dan kepiawaian. Profesor Muchtar agaknya benar, pengalaman kita bermasyarakat menunjukkan, orang yang memiliki kecerdasan mampu merespon lingkungannya secara arif dan bijak, sehingga ia mampu bertutur kata secara santun dan mampu bersikap secara pas dalam berbagai situasi dan kondisi. Orang yang pintar tetapi tidak cerdas, adakalanya "tulalit", tidak nyambung, atau in-absentia. Dia di antara ada dan tiada, dan seringkali tidak kontekstual. Sedihnya, dia tidak tahu" kalau dia tidak tahu. Pendidikan merupakan kegiatan yang berhubungan langsung dengan hidup dan kehidupan manusia. Pendidikan merupakan usaha dari manusia dewasa yang sadar akan kemanusiaannya dalam membimbing, melatih, mengajar, dan menanamkan nilai-nilai serta dasar-dasar pandangan hidup dan juga kebajikan kepada generasi muda, agar nantinya 59
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
menjadi manusia yang sadar dan bertanggung jawab akan tugas-tugas hidupnya sebagai manusia, sesuai dengan sifat hakikat dan ciri-ciri kemanusiaannya. Pendidikan menjadi sebuah keniscayaan karena pendidikan pada dasarnya bukan hanya untuk membina kepribadian dan akhlak manusia, tapi juga membentuk karakter sebuah bangsa. Oleh sebab itu, corak pendidikan erat hubungannya dengan corak penghidupan. Berubah corak penghidupan, berubah pula corak pendidikannya. Proses berpikir merupakan aspek penting dalam pendidikan. Mengapa demikian? Karena pendidikan, melalui proses pembelajaran, pada hakikatnya memang berupaya untuk melatih olah pikir manusia agar menjadi insan yang mandiri dan otonom tidak mudah terpro-vokasi, dan tidak gampang terkooptasi. Pertanyaan yang mendasar adalah, adakah sesuatu yang salah dalam sistem pendidikan kita, sehingga kita tumbuh menjadi insan-insan yang tidak memiliki karakter, tidak berwatak? Budi pekerti menjauh, sopan santun sirna. Kacamata yang diberikan adalah kacamata kuda, yang tentu saja sudut pandangnya sempit. Institusi ilmu ekonomi lebih banyak menghasilkan ekonom yang mahir ilmu perkalian, tetapi tidak pandai membagi. Institusi ilmu politik lebih banyak menghasilkan ahli politik yang mahir melakukan politiking. Institusi ilmu hukum pula lebih banyak menghasilkan ahli hukum yang mahir menjerat hukum. Kita tidak boleh membiarkan karakter bangsa ini tumbuh menjadi masyarakat yang impersonal, masyarakat tanpa hati nurani, tidak dewasadewasa. Bila terus menerus terdorong ke arah itu, akhirnya nanti akan terjerumus menuju titik nadir, suatu titik di mana tidak lagi ada akhlak, tidak lagi ada aturan-aturan manusia dan Ilahi. Bila itu yang terjadi, maka nilai yang berlaku adalah nilai-nilai dunia binatang, kekerasan, dan kelicikan. Optimisme Albert Camus agaknya layak disimak "Aku tetap percaya bahwa dunia ini tidak mempunyai makna hakiki", kata Albert Camus, "namun, aku tahu bahwa sesuatu di dalamnya mempunyai makna dan itu adalah manusia karena dia merupakan satu-satunya cip-taan yang bersikukuh untuk memiliki makna". Nah! (1 Desember 2002) 60
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
6 Membaca Tanda-tanda El Nino dan La Nina agaknya boleh tidur dengan nyenyak mengakhiri tahun 2002. Mereka tidak dikambinghitamkan dalam musibah banjir di beberapa kabupaten di Riau yang terjadi rrrrruar biasa di penghujung tahun. Padahal tahun-tahun sebelumnya, segala sesuatu yang menyangkut dengan perilaku alam yang merugikan penghuninya, seperti bila terjadi bencana kekeringan, banjir, topan, atau badai, mereka selalu dipersalahkan. Para pengamat ramai-ramai mengatakan, bencana alam itu pasti akibat pengaruh El Nino atau La Nina. Manusia memang cenderung menggamangkan atau agaknya frustrasi akibat sulitnya mengidentifikasi fenomena alam, sehingga disebut saja itu pengaruh El Nino atau La Nina. El Nino sesungguhnya adalah sebuah fenomena alam yang diidentifikasi oleh para ahli sebagai arus panas yang mengalir dari utara ke selatan menyusuri pantai Peru dan Ekuador, nun jauh di Amerika Latin sana. Arus ini biasanya muncul sekali dalam empat tahun dan menyebabkan kematian ikan dan burung-burung. El Nino yang kuat pernah terjadi di pantai California dan menimbulkan badai dan banjir yang dahsyat. La Nina pula diberikan terhadap topan dan badai yang pernah menerjang di Filipina. Beberapa tahun yang lalu, bencana kekeringan dan banjir yang terjadi di Indonesia, yang menyebabkan kegagalan pertanian, disebut-sebut sebagai akibat pengaruh El Nino dan La Nina. Entah buaya entah katak, entah iya entah tidak, tidak ada yang tahu secara persis. Apakah betul arus panas yang melintasi pantai barat Amerika yang merupakan bagian dari Samudra Pasifik itu berpengaruh sampai ke Indonesia? Agaknya karena memang tidak ada kabar berita dari Amerika sana, maka banjir yang terjadi di Rokan Hulu, Kampar, Indragiri Hulu, dan Pelalawan tidak dikait-kaitkan dengan El Nino maupun La Nina. Banjir yang terjadi di Riau di penghujung tahun 2002 yang lalu memang luar biasa. Ada yang mengatakan banjir besar seperti itu terjadi dalam siklus 20 tahunan, tapi beberapa orang tua di Rokan Hulu mengatakan banjir besar seperti itu sudah lama sekali tidak pernah terjadi. 61
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Ada yang bilang, terakhir kali terjadi pada tahun 1954. Saya memang belum pernah mekihat kota Pasir Pengarayan, ibukota Kabupaten Rokan Hulu berkuah-ruah seperti itu. Di Kabupaten Kampar pula, semenjak waduk PLTA Koto Panjang selesai dibangun beberapa tahun lalu, warga yang tinggal di bagian hilir waduk di sepanjang aliran Sungai Kampar tidak lagi pernah kebanjiran. Mereka, dan juga para pejabat, begitu yakin, dengan dibendungnya air Sungai Kampar di bagian hulu di PLTA Koto Panjang itu, maka pelepasan air dapat dikendalikan. Kalau curah hujan banyak dan permukaan air di waduk naik, maka pintu air dibuka sesuai keperluan sehingga permukaan air sungai Kampar tetap terkawal. Ironisnya, tahun lalu, masyarakat sangat risau karena permukaan air di waduk turun sampai pada level yang sangat mengkhawatirkan. Apabila turun terus, maka mungkin tidak akan sanggup lagi menggerakkan turbin. Apabila ini terjadi, maka suplai listrik untuk Riau akan berhenti. Sekarang keadaannya berbalik 180 derajat. Air yang perlu dibuang dari bendungan PLTA demikian banyaknya sehingga pintu air tidak lagi dapat mengendalikan untuk tidak terjadinya banjir di wilayah hilir. Seriusnya masalah banjir yang terjadi di Riau terlihat dari perhatian para pejabat tinggi kita. Setidaknya, tiga Menteri Kabinet Gotong Royong RI menyempatkan diri meninjau dan memberikan bantuan kepada korban banjir, yakni Menteri Kimpraswil, Drs. Ir. Soenarno, Dipl. H.E., Menko Kesra, Yusuf Kalla, dan Menteri Sosial, Bachtiar Chamzah, S.E. Ketua DPR-RI, Ir. Akbar Tanjung, bahkan sempat menyusuri Sungai Kampar selama tiga jam lebih dengan menggunakan speed-boat dari Pangkalan Kerinci - Langgam - Buluh Cina - Teratak Buluh. Ir Akbar Tanjung dapat menyaksikan langsung perkampungan yang terkepung air di sepanjang sungai dan tentu merasakan betapa getir kehidupan mereka. Pertanyaan yang menarik adalah, setelah sekian lama tidak pernah terjadi banjir besar seperti ini, dan ketika banjir seperti ini juga tidak lagi diprediksi, layaknya di Sungai Kampar itu, mengapa semua ini terjadi? Ir. Akbar Tanjung memberikan komentar moderat, "Pemerintah perlu mengkaji apa penyebab banjir besar seperti ini," ujarnya. Tidak ada tendensi untuk menyalahkan siapa-siapa. Ir. Akbar Tanjung agaknya wajar meminta pemerintah untuk mempelajari fenomena alam ini. Sebab kalaulah, misalnya, perusakan hutan yang dijadikan kambing hitam 62
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tunggal penyebab banjir setelah El Nino tidak disebut-sebut, kenapa tahun 1954; juga terjadi banjir besar? Tahun 1954 hutan kita belum porak poranda seperti sekarang. Barangkali memang karena curah hujan yang amat sangat luar biasa di penghujung tahun 2002 yang menjadi biangnya. Tetapi ini bukan bermakna dengan demikian penebangan hutan secara luar biasa boleh diteruskan. Sebab anak SD pun bisa menjawab dengan tepat bila kepada mereka ditanyakan apa akibat penebangan hutan. Mereka secara aklamasi pasti menjawab: banjir! Sesungguhnya, berbagai gerakan dan kebijaksanaan tentang penyelamatan lingkungan hidup telah dibuat. Untuk secara terus-menerus mengingatkan kita, maka secara internasional telah ditetapkan tanggal 5 Juli sebagai Hari Lingkungan Hidup. Indonesia telah pula memiliki Undang Undang yang mengatur masalah pengelolaan lingkungan hidup, yaitu UU No. 23 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Kita juga memiliki suatu lembaga nondepartemen untuk menangani masalah ini, yaitu Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Untuk memotivasi dan menyadarKan masyarakat, maka setiap tahun diberikan pula penghargaan Kalpataru kepada setiap orang yang berjasa terhadap lingkungan hidup. Berbagai bentuk LSM melakukan pemantauan terhadap pengelolaan lingkungan hidup, perusakan hutan, penebangan liar, dan pembukaan lahan, seperti "Green Peace", WALHI, dan sebagainya. Di samping itu masih ada pula pers lokal yang demikian galak menyorot pelanggaran-pelanggaran dan perusakan lingkungan hidup. Di kampuskampus juga banyak organisasi mahasiswa pencinta alam yang memberikan apresiasi terhadap lingkungan hidup. Kurang apa? Para penyair pun menaruh perhatian yang sangat besar terhadap lingkungan hidup, seperti ungkapan rasaan penyair terkenal, Taufik Ismail, berikut ini Allah........ Kami telah membaca gempa Kami telah disapu banjir Kami telah dihalau api dan hama Kami telah dihujani abu dan batu Allah..... 63
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Ampuni dosa-dosa kami Beri kami kearifan untuk membaca seribu tanda-tanda. Kita memang selalu alpa membaca tanda-tanda dan selalu bangga dengan dosa-dosa. Ebiet G. Ade agaknya benar, mari kita tanya kepada rumput yang bergoyang.
(5 Januari 2003)
64
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
7 Gerakan Sosial Gerakan sosial, gerakan massa, atau gerakan informal merupakan sebuah fenomena penting dalam sejarah pertumbuhan dan kemajuan bangsa-bangsa. Hampir semua peristiwa besar dan mengubah sebuah tatanan, baik itu politik, ekonomi, maupun sosial budaya, seringkali bermula dan mendapat momentum melalui sebuah gerakan sosial. Gerakan sosial itu dalam perspektif politik secara populer juga sering disebut people power. Prancis mungkin adalah sebuah contoh. Perubahan besar yang terjadi di tanah itu berawal dari sebuah revolusi sosial yang berbentuk gerakan massa, yang terkenal dengan sebutan Revolusi Prancis 1789. Pada masa itu, rakyat berbondong-bondong melawan kebijakan raja yang sama sekali tidak bijak, dan meruntuhkan penjara Bastille, yang merupakan lambang kekuasaan otoriter. Bastille jatuh, berikut dengan dieksekusinya Louis XVI dan Marie Antoinette. Setelah terjadi revolusi penting ini, Prancis kemudian berubah haluan, dari negara yang menganut sistem monarki absolut berubah menjadi sebuah negara demokratis. Di Iran, gerakan sosial juga menjadi awal dari kebangkitan pemerintahan Ayatullah Khomeini dan munculnya kekuasaan para Mullah. Terlepas dari baik buruk pemerintahan Shah Iran, sejarah mencatat bahwa gerakan massa yang berlangsung di tanah Persia itu, akhirnya mengantarkan keluarga kerajaan Iran ke pengasingan, sehinggalah sekarang. Negara tetangga kita, Filipina, juga berulang-ulang menggunakan gerakan sosial atau people power untuk menggulingkan penguasa yang sedang bertahta di singgasana. Ferdinand Marcos diturunkan, kemudian rakyat menaikkan Corazon Aquino. Hal yang sama terulang beberapa tahun kemudian ketika Estrada diturunkan oleh rakyat dan menaikkan Gloria Macapagal Arroyo. Di Indonesia, gerakan sosial tak kurang pula pekiknya. Tak terlalu berlebihan pula jika dikatakan bahwa gerakan sosial merupakan bagian terpenting serta tak terpisahkan dari perjalanan Indonesia sebagai sebuah bangsa. Kemerdekaan Indonesia itu sendiri, pada dasarnya tidaklah 65
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
semata-mata muncul dari gerakan bersenjata, tapi juga lewat gerakan sosial yang tumbuh sebagai manifestasi dari kesadaran sejumlah kaum muda, waktu itu, akan realitas. Gerakan imiah, yang dipimpin oleh Sukarni, yang kemudian memaksa Ir. Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Gerakan sosial pula, yang kemudian mengukuhkan semangat kemerdekaan itu dengan melakukan sebuah rapat besar di Lapangan Ikada. Sejak saat itu, gerakan sosial seakan-akan menjadi penyebab utama perubahan Indonesia. Orde Lama tumbang karena gerakan sosial. Orde Baru tumbang, juga karena gerakan sosial, dan begitu juga yang berlaku bagi orde dan rezim berikutnya. Gerakan sosial, gerakan massa, atau gerakan informal pada hakikatnya merupakan jawaban spontan dan penuh prakarsa dari rakyat jelata terhadap negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok atau kehendak realitas sosial golongan penduduk yang melarat. Peter Burke dalam Sejarah dan Teori Sosial (History and Social Theory) membagi gerakan sosial atas dua tipe, yaitu gerakan sosial yang pada dasarnya dilakukah untuk memulai sebuah perubahan dan gerakan sosial yang dilakukan sebagai reaksi atas perubahan yang sedang terjadi. Dalam kasus Indonesia, kedua tipe seperti yang dibicarakan oleh Peter Burke ini pernah terjadi. Sebelurn tahun 1966, dapat kita katakan, bahwa lebih banyak dari gerakan sosial yang terjadi mengarah pada pemberian dukungan terhadap legitimasi negara yang baru saja berdiri. Sedangkan pasca 1966, gerakan yang terjadi lebih mengarah pada kritik atau reaksi terhadap kebijakan negara, seperti peristiwa Malari, Kedung Ombo, Tanjung Priok, Gerakan Reformasi 1998, dan sebagainya. Pertanyaannya adalah, mengapa harus melalui gerakan sosial informal? Munculnya gerakan sosial informal, dalam banyak kasus, disebabkan oleh kegagalan sistem pemerintahan menyelesaikan persoalan melalui jalur formal, khususnya ketika pemerintah terkesan atau secara semena-mena mengabaikan realitas kehidupan yang berlangsung dalam masyarakat, seperti kemiskinan, kehilangan kemampuan daya beli, dan rendahnya kesempatan kerja. Penyebab lain, adalah tidak berfungsinya lembaga-lembaga politik dan hukum dalam menyikapi keresahan rakyat. Misalnya, perangkat hukum baru proaktif jika rakyat sudah mulai berteriak, dan yang menyedihkan, selalu terkesan tak peduli atas kesalahan golongan penguasa. Mario Vargas Llosa, dalam pengantar untuk buku 66
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Hernando De Soto, Masih Ada Jalan Lain, Revolusi Tersembunyi di Dunia Ketiga, mengatakan, bahwa apabila keabsahan hukum (legality) merupakan hak istimewa yang hanya dapat diperoleh bila seseorang memiliki pengaruh, baik itu politik maupun ekonomi, maka orang yang tersisih atau golongan penduduk miskin tidak mempunyai pilihan lain selain menempuh jalan di luar hukum (illegality). Dalam perspektif politik pun kita sering memperoleh pembelajaran, bila lembaga parlemen formal tidak bisa memainkan perannya secara optimal, maka jangan heran kalau kemudian muncul parlemen jalanan. Dalam studi kasus di Peru, ketika sistem merkantilis hanya menguntungkan pelaku-pelaku ekonomi yang dekat dengan pembuat kebijakan dan ketika rakyat dihadapkan kepada persoalan prosedural yang berbelit-belit dalam proses pengurusan apa pun, termasuk pendirian usaha, maka masyarakat dengan segera melakukan perlawanan. Perlawanan itu tidak hanya dilakukan dengan turun ke jalan-jalan, tapi juga dengan membentuk jaringan-jaringan informal. Untuk melawan pengusahapengusaha yang mendapat fasilitas, masyarakat Peru yang dihadapkan pada kesulitan prosedur, membangun pasar-pasar gelap yang sekarang berkecambah di seantero Peru. Demonstrasi menentang kenaikan harga BBM, TDL, dan tarif telepon yang lalu dapat pula kita jadikan contoh yang terjadi di dalam negeri. Perlawanan yang dilakukan masyarakat terhadap kebijakan tidak populis itu, tidak dapat dengan serta merta dituding sebagai sebuah kejahatan atau karena termakan hasutan. Sama sekali tidak. Apa yang dilakukan oleh masyarakat dan mahasiswa adalah sebuah gerakan murni yang muncul dari sebuah kesadaran tentang realitas yang mereka hadapi. Pemimpin sudah bukan waktunya lagi untuk memaksakan kebijakan kepada rakyat jika rakyat memang tidak menginginkannya. Masyarakat kita tidak akan macam-macam kalau memang kebijakan yang diputuskan itu sejalan dengan kemampuan yang mereka miliki. Dalam hal ini, pemimpin harus percaya, bahwa rakyat lebih tahu dari siapa pun, tak terkecuali pemerintah, tentang kemampuan mereka, tentang apa yang mereka inginkan, dan akibat dari kebijakan yang salah tentang mereka. Jika mereka merasa kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak dapat diterima oleh logika kehidupan mereka, maka mereka secara spontan akan melakukan antitesis. 67
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Negara atau pemerintah, dalam menyikapi gerakan sosial, harus lebih banyak melakukan introspeksi diri, mengkaji ulang kebijakankebijakan, serta harus dapat pula membuat keputusan-keputusan yang benar. Apabila sebaliknya, pemerintah mengambil posisi yang berlawanan dengan kehendak realitas, maka sepanjang masa kita akan terus jatuh bangun sebagai sebuah bangsa. Lebih dari itu, gerakan sosial sebagai penggerak perubahan sebenarnya adalah sebuah tanda dari suatu peri kehidupan negara yang tidak sehat, kita tidak berharap itu, karenanya kita harus introspeksi dan kita harus berubah. (23 Februari 2003)
68
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
8 Andai Ada Inul Entah mimpi apa ibunya Inul ketika hamil anak yang bernama Inul. Sebab, tidak disangka, Inul yang dulu tidak ngetop, hanya seorang artis tarkam (antar kampung) di Jawa Timur, kini melejit menjadi diva seni suara dan goyang. Dari beberapa tahun yang lalu hanya dibayar dua ratus lima puluh ribu rupiah sekali manggung, kini berpenghasilan tidak kurang dari Rp 750 juta per bulan. Inul pun menjadi buah bibir di mana-mana, baik di kalangan kawula muda maupun di kalangan balita" (bandot lima puluh tahunan), baik di kalangan sesama jenis wanita apalagi di kalangan pria. Dia dipuja oleh pendukungnya dan teman-temannya sesama artis, namun dicerca oleh kalangan moralis. Ada apa dengan Inul? Tiba-tiba saja orang di sekeliling saya banyak bercerita tentang Inul Daratista, padahal saya buta sama sekali tentang figur ini. Rasanya saya menjadi "tulalit" karena tidak mengikuti perkembangan. SMS humor pun bertubi-tubi masuk ke HP saya, bunyinya lucu-lucu, menggelikan. "Disinyalir virus baru melanda Indonesia, bila terserang akan menjadi demam, panas-dingin, lidah menjulur, air liur menetes, dan linu-linu sekitar paha. Namanya, virus Inul-fluenza". Influenza diplesetkan menjadi Inul-fluenza. Ada lagj SMS begini, "Ternyata Inul sudah 10 kali kawin-cerai Sebabnya, tidak ada suami yang tahan. Inul mengubah pedang menjadi keris". Ada-ada saja. Di lain hari, se orang teman mengirim SMS mengingatkan saya, "ada acara penting di tv", tulisnya. Saya pikir pasti ada dialog yang bagus, saya pun buru-buru ke depan layar tv, ter nyata Inul lagi "ngebor". Goyangan Inul yang amat sangat luar biasa itu dipopulerkan oleh media pers dengan istilah ngebor, entah darimana asal usulnya, pokoknya inul sudah identik dengan ngebor. Yang membuat saya tersenyum masam adalah SMS berikut "Untuk meningkatkan produksi CPP Block, PT Bumi siak pusako akan memanggil Inul untuk ngebor sumur minyak baru". Kenapa tiba-tiba beralih ke CPP Block, inul kan di Jawa sedangkan CPP Block itu ada di Riau. Apa hubungan Inul dengan CPP Block? Ternyata hanya. dalam urusan "ngebor-mengebor". Secara kebetulan, Harian Kompas tanggal 26 69
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Februari 2003 kemarin memang memuat berita yang cukup mengagetkan dan sekaligus menyedihkan. Produksi ladang minyak yang dikelola konsorsium PT Bumi Siak Pusako-Pertamina Hulu turun drastis dari semula sekitar 43.000 barel per hari menjadi sekarang di bawah 30.000 barel per hari. Betulkah turun demikian banyak sehingga dikhawatirkan akan mengganggu penerimaan negara? Sesungguhnya saya tidak mau percaya dengan berita itu, tetapi yang berbicara adalah Pak Rachmat Soedibyo. Beliau ini Dirjen Migas, sekarang menjadi Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas (BP-Migas), dan beliaulah pejabat yang paling kompeten di republik ini dalam masalah produksi minyak yang dikelola oleh perusahaan-perusahaan Kontrak Production Sharing (KPS) seperti yang dilakukan oleh PT. Bumi Siak PusakaPertamina Hulu itu. Dalam pengetahuan yang sangat terbatas tentang ladang-ladang minyak ini, saya memberikan komentar ketika ditanyai oleh para wartawan mengenai berita turunnya produksi CPP Block itu. Pertama, mungkin pemeliharaan sumur-sumur minyak yang ditinggalkan Caltex dulu kurang optimal. Jangankan pompa yang memompa minyak dari perut bumi pada kedalaman 1000 meter, pompa sumur air penduduk dengan kedalaman lima meter saja perlu pemeliharaan. Kedua, lazimnya pada ladang-ladang minyak, entah itu di Arab sana, di Irak, di Kazakhstan, atau di Afrika, memerlukan penggalian sumur-sumur baru dalam area konsesi yang dimiliki. Usaha ini memerlukan biaya yang tidak kecil, diperlukan investasi raksasa. Untuk menemukan sumur-sumur baru yang produktif memang diperlukan pengeboran-pengeboran yang berkesinambungan. Nah dalam masalah pengeboran inilah orang membuat plesetan. Yang sedang rajin dan populer bornya adalah Inul. Maka orang dengan mudah mengasosiasikan Inul dengan CPP Block. Andai ada Inul yang bisa ngebor setiap saat, tidak lagi perlu ada kekhawatiran penurunan produksi CPP Block dan Pak Rachmat Soedibyo pun tidak lagi perlu risau tidak tercapainya target penerimaan negara dari sektor migas. Kita pun di daerah bisa tidur nyenyak, tidak khawatir dipersalahkan karena tidak mampu mengelola ladang minyak dengan baik. Padahal penyerahan pengelolaan ladang minyak CPP Block ke daerah seperti yang dilakukan oleh pemerintah terhadap PT. BSP-Pertamina Hulu adalah sebuah model yang diharapkan menjadi pola yang berlaku secara nasional di masa mendatang. 70
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Semoga saja penurunan itu sifatnya hanya sementara dan produksi bisa naik lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tapi seandainya memang terjadi penurunan yang signifikan, maka kita perlu memikirkan secara bersama-sama. Terperangkap dalam nina bobo kekuasaan sempit, berada dalam jerat primordialisme yang berlebihan, atau dalam "guilty feeling" (perasaa bersalah), tidak akan menyelesaikan masalah. Yang hadapi adalah hari ini dan masa depan. Fenomena Inul dengan magic-bornya yang menghe bohkan itu, yang diplesetkan ke permasalahan kita tentu tidak membuat kita kebakaran jenggot, justru sebaliknya membuat kita tersenyum menghadapi permasalahan yang dihadapi. Saya tidak hendak menjustifikasi nge bornya Inul yang kontroversial itu. Itu bukan urusan saya, tetapi saya memberikan apresiasi terhadap teman yang mengelaborasi Inul ke permasalahan yang kita hadapi. Sebuah permasalahan yang sesungguhnya tidak ringan, karena ini menyangkut image terhadap implementasi sebuah model kebijakan yang sebelumnya kita perjuangkan dengan cukup berat. Masalah yang terasa berton-ton beratnya, menjadi ringan gara-gara bornya Inul. Tentu itu sangat berlebihan. Namun, apa yang ditulis oleh Richard Carlson dan Kristine Carlson dalam bukunya “Don’t sweat the small stuff in Love” agaknya menarik. "Tidak ada sebaik humor yang sehat, yang mampu membuat kita menertawakan diri sendiri itu yang membuat anda kebal menghadapi masalah yang dihadapi". Inul membuat kita tersenyum, tetapi elaborasi yang inheren terhadap kemampuan ngebornya membuat kita tersenyum-senyum. (2 Maret 2003)
71
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
9 Seratus Tahun Kebangkitan Dalam sejarah kemajuan dan perkembangan, baik yang berlangsung pada sebuah kelompok, sebuah puak, ataupun sebuah negara, selalu saja bermula atau didahului oleh sebuah kebangkitan besar, sebuah perubahan yang mendasar pada segala bidang. Jazirah Arabia adalah sebuah kebangkitan besar, sebuah perubahan yang mendasar di segala bidang. Jazirah Arabia adalah sebuah contoh untuk itu. Kawasan tersebut ber-ubah menjadi sebuah kawasan penting setelah terjadi sebuah kebangkitan besar dalam bidang keagamaan, yaitu masuknya Islam. Di bawah semangat pencerahan - yang dibawa Nabi Muhammad, yang kemudian dilan-jutkan oleh khalifah yang empat (Abu Bakar Siddiq, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib), jazirah Arabia kemudian tumbuh menjadi wilayah yang diperhitungkan. Beralih ke kawasan Eropa Timur. Kita menyaksikan bahwa gemuruh perkembangan yang berlangsung di sana pada saat ini juga karena adanya kebangkitan dalam bentuknya masing-masing. Kebangkitan Rusia datang melalui kehancuran komunisme, kemajuan Rumania melalui proses peruntuhan rezim Nicolai Ceausescu, dan kebangkitan Jerman Timur melalui penyatuan dua negara ras Aria yang ditandai dengan diruntuhkannya Tembok Berlin. Dunia Melayu juga berkembang lewat sebuah ke bangkitan. Jika pada kurun sebelum abad ke-19 dunia Melayu, khususnya Riau, belum menunjukkan kemajuan yang berarti, setelah terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan, baik di Riau Lingga maupun Siak Sri Inderapura, kerajaan-kerajaan Melayu pun kemudian muncul sebagai negeri-negeri yang makmur dengan kebudayaan yang tinggi dan ranggi. Beberapa contoh di atas memberikan penjelasan kepada kita, betapa sebuah perubahan atau sebuah kebangkitan memberikan peran yang sangat besar bagi kehebatan sebuah kawasan. Indonesia, sejak tahun 1908, dan sudah hampir mendekati seratus tahun, sebenarnya sudah mengalami sejumlah periode kebangkitan, dalam makna melakukan upaya perubahan. Pada awal kemerdekaan kita menggunakan UUD 1945, lalu beralih kepada 72
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Konstitusi RIS dengan sistem federal. Kemudian setelah pemilu 1955, kila menggunakan sistem parlementer dan dilanjutkan dengan demokrasi terpimpin. Dianggap gagal dengan demokrasi terpimpin Orde Baru pun menggantikan Orde Lama. Orde Baru pun kemudian dianggap gagal, lalu muncul Orde Reforrnasi, yang hingga kini sudah berjalan pula selama 5 tahun. Muncul suatu pertanyaan, jika Indonesia sudah melewati berbagai bentuk kebangkitan, lalu mengapa sampai saat ini Indonesia masih saja tertinggal atau kalah jauh jika dibandingkan dengan negara-negara yang seangkatan atau lebih muda? Atau mengapa reforrnasi yang sudah berjalan selama 5 tahun ini belum piernberikan hasil yang maksimal? Memang tidak mudah untuk menjawabnya, atau opsi jawabannya terlalu banyak dan benar semua. Ketika saya memberikan sebuah pidato pada acara peringatan lima tahun reforrnasi kemarin di kampus IAIN Pekanbaru, "gugatan" substantif inilah yang muncul. Dalam pandangan saya, lambat atau cepat sebuah kemajuan itu berlangsung, tidaklah didasarkan oleh seberapa banyak terjadinya peristiwa perubahan atau kebangkitan. Persoalan utamanya adalah, seberapa jauh dan seberapa sungguh-sungguh kita semua menerjemahkan amanat atau pesan perubahan dan kebangkitan yang telah terjadi itu secara benar dan jujur. Meskipun sering terjadi gelombang perubahan, sebagaimana yang berlaku di Indonesia, tidaklah menjadi jaminan, bahwa kemajuan yang signifikan akan segera menjelang, jika tidak diikuti oleh tindakan-tindakan dengan tulus ikhlas yang mengarah pada kemajuan yang diinginkan. Dr. Mahathir Mohamad agaknya benar ketika mengatakan orang Melayu itu pelupa. Lobang di mana dia pernah tersandung pun dia lupa, sehingga tersandung untuk kcdua kalinya Kelompok kepentingan yang memanfaatkan situasi terlalu banyak. Di era Orde Baru mereka memanfaatkan kesempatan, di era reforrnasi pun mereka dengan licik memanfaatkan keadaan. Alkisah, pada suatu ketika di negeri antah berantah, terjadilah perang antara bangsa burung dan bangsa serigala. Sang kelelawar nimbrung dengan ikut membantu bangsa burung. Namun ketika melihat bangsa burung mulai terdesak, kelelawar mulai menghindar dan bersembunyi di dahan-dahan pohon. Ketika bangsa serigala pulang dengan sorak-sorai kemenangan, bangsa kelelawar bergabung. "Bukankah kalian tadi berperang di sebelah burung melawan kami?" tanya serigala marah. 73
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
"Tidakkah kalian lihat, kami memang memiliki sayap,: tapi kami tidak punya paruh, bahkan mulut kami bergigi seperti kalian", kelelawar berargumentasi. Bangsa serigala setuju. Beberapa waktu kemudian, bangsa burung menyerang negeri bangsa serigala, dan terjadilah pertempuran sengit. Ketika bangsa serigala mulai terdesak bangsa kelelawar yang tadinya ikut membantu serigala mulai menghindar dan bersembunyi di dahan-dahan pohon. Bangsa serigala akhirnya kalah. Bangsa burung berpesta pora dan bangsa kelelawar ikut pula nimbrung berpesta pora. Sebagian bangsa burung menggugat kelelawar. "Hai kelelawar! Bukankah tadi kamu berperang melawan kami?" Bangsa kelelawar dengan tangkas menjawab, "Hai sahabat bangsa burung! Kami memang tidak memiliki paruh seperti kamu, tapi kami memiliki sayap, mana ada serigala yang bisa terbang. Jadi kita sebangsa". Bangsa burung pun percaya. Tapi satu atau dua anggota bangsa burung dan bangsa serigala melihat dan menyadari, ada sesuatu yang tidak beres, kelelawar culas, kelelawar oportunis. Kedua bangsa itu akhirnya menjatuhkan hukuman adat kepada bangsa kelelawar. Dilarang mencari makan siang. Karakter kelelawar itu, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, dalam masyarakat yang sedang mengalami transisi yang panjang ini, agaknya sebuah realitas sosial yang tidak bisa dipungkiri. Karakter itu, terasa ada terpegang tidak. Sebuah kebangkitan, hanya akan berhubungan dengan pencapaian matlamat, jika semua komponen bermain dalam ruang iktikad perubahan itu sendiri. Dengan pengertian lain, sebuah langkah nyata harus dilakukan. Yang sering terjadi adalah, setelah perubahan dimulai, semua elemen tidak secara bersama-sama menemukan dan kemudian mengatasi akar persoalan vang sebenarnya, sehingga perubahan atau reformasi hanya berlalu sebagai sebuah gempita dari sebuah waktu. Andai seperti ini yang terjadi di Indonesia, maka jangankan seratus tahun kita mencoba bangkit, seribu tahun pun, kita tetap tidak akan sampai pada taraf yang diinginkan. Dengan cara apakah sebuah perubahan harus dilakukan? Ada banyak cara, namun jalan yang paling dominan, yang merupakan urat nadinya, adalah dengan melakukan pembangunan sumber daya manusia. Hal semacam ini juga yang diinginkan oleh Budi Utomo pada tahun 1908, yang selalu kita peringati pada setiap hari Kebangkitan Nasional. Dalam 74
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tujuan berdirinya, Budi Utomo menginginkan terjadinya kemajuan nusa dan bangsa yang harmonis, yang dilakukan dengan jalan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, teknik dan industri, kebudayaan, dan mempertinggi cita-cita kemanusiaan untuk mencapai kehidupan bangsa yang terhormat. Dari tujuan Budi Utomo yang merupakan ruh Kebangkitan Nasional tersebut kita mendapat gambaran, bahwa hakikat kebangkitan atau perubahan adalah bahwa kita harus melakukan perbaikan sumber daya dalam segala bidang. Jika semangat perubahan atau kebangkitan itu tidak disertai dengan melakukan perbaikan, maka Indonesia akan terus berada dalam keadaan yang tidak menguntungkan. Kalau tak berbuat nyata, maka akan macam bayi, bangket jatoh, bangket jatoh, ya tak pak Lung? Hari Kebangkitan Nasional dan ulang tahun kelima reformasi tahun ini, memang harus kita jadikan momentum untuk melakukan proses penerjemahan perubahan atau kebangkitan ke dalam bentuk tindakan yang lebih nyata. Sejarah Indonesia dalam bentuk keterpurukannya telah mengajarkan kita banyak hal, bahwa keinginan yang baik tanpa implementasi yang signifikan, dan tanpa melihat kondisi riil akan memberikan hasil yang justru bertolak belakang. Dalam konteks Riau, Kebangkitan Nasional dan Ulang Tahun Reformasi juga merupakan momentum untuk melakukan sesuatu secara lebih baik dan lebih kongkret. Sebagai orang Riau, munculnya Riau yang maju dan makmur tentu saja menjadi harapan semua. Untuk itu diperlukan usaha keras dan kita memang harus melakukannya. Kita tidak ingin reformasi, yang seperti kata Ali Syariati, berisi dua konsekuensi yaitu darah dan pesan, hanya semata menjelaskan tentang darah dan lalu mengaburkan pesan. Kita tak ingin itu. Kalau itu yang terjadi, maka seratus tahun pun kebangkitan itu, kita tidak akan memperoleh apa-apa, kecuali luka-luka yang setiap kali meneteskan darah yang membasahi persada.
(25 Mei 2003)
75
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
10 Habis Banjir Terbitlah Asap Awal tahun ini, beberapa ronde banjir besar melanda Riau. Sungai Rokan, Sungai Kampar, Sungai Siak, dan Sungai Indragiri, empat sungai besar yang membelah Riau dan laksana urat nadi dalam tubuh Riau, melimpah-ruah. Beberapa tetua di Pasir Pengarayan, ibu-kota Kabupaten Rokan Hulu, mengatakan, banjir besar seperti ini, yang menghanyutkan rumah penduduk, sudah lama sekali tidak pernah terjadi. Tidak ada yang tahu persis kapan teriadi, tapi beberapa sumber menyebutkan konon pernah terjadi tahun 1954. Tidak ada tudingan pada El Nino —arus panas yang mengalir dari utara ke selatan di pantai barat Amerika Latin sana— seperti biasanya ketika kita mengkambinghitamkannya apabila bencana alam karena buruknya cuaca. Tidak juga ada yang menuding pengaruh La Nina, topan Filipina. Agaknya semua maklum bin mafhum bahwa terlepas dari curah hujan yang agaknya memang luar biasa, banjir itu memang akibat ulah tangan manusia yang merusak alam secara amat sangat luar biasa. Hutan di hulu sungai, yang seharusnya menjadi daerah tangkapan air (catchment area), habis ditebangi. Hutan lindung dibabat, diambil kayunya, sebagian yang bagus-bagus untuk kayu lapis, sebagian lainnya yang bengkokbengkok dijadikan chip (dicincang kecil-kecil) atau dijadi-kan bubur kertas. Tidak ada yang tersisa. Pemanfaatan kayunya demikian sempurna. Lahan yang terbuka? Itu soal mudah. Dalam tempo sekejap akan disulap menjadi kebun-kebun sawit. Dalam sebuah obrolan santai "Ongol-ongol" di Riau TV beberapa hari yang lalu, bersempena Hari Lingkungan Hidup, saya menerima beberapa pertanyaan atau kerisauan pemirsa. Mereka sangat khawatir, suatu saat kelak tradisi lomba pacu jalur di Teluk Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi akan punah, atau akan kehilangan elannya karena penduduk tidak lagi bisa memperoleh pohon yang batangnya bisa dijadikan jalur (sampan). Memang jalur tersebut akan bisa disubstitusi perannya oleh fibre glass (mungkin akan lebih ringan dan laju), tetapi pacu jalur yang sudah mentradisi lebih dari 100 tahun ini, memiliki banyak 76
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
ritual yang tidak tergantikan oleh fibre glass. Prosesi menghela jalur dari tengah belantara ke tepi sungai, tentu akan hilang. Itu baru yang kasat mata, yang tidak kasat-mata? Dalam acara "Ongol-ongol" tersebut juga mencuat banyak cerita tentang penebangan hutan dan praktik-praktik mafia yang inheren. Pengawasan terhadap perizinan, penebangan liar, dan pengangkutan kayu. Semuanya dianggap lemah. Tapi, iya tak iya juga. Sebab, kita sudah sering mendengar adanya seminar tentang illegal logging dan mestinyalah sudah banyak rekomendasi yang dihasilkan, tapi penggundulan hutan tetap berlangsung dan seakan tak tersentuh. Sekarang, ketika musim hujan telah berlalu dan musim kering menjelang, orang pun ramai-ramai mernbakar lahan. Setelah wabah banjir yang menyebabkan banjir air mata karena hilangnya jiwa dan harta-benda, kini muncul pula asap yang juga menyebabkan banjir air mata, tapi karena mata terasa perih. Menurut nengusaha perkebunan atau kehutanan, pembakaran itu akibat ladang berpindah dari penduduk. Menurut penduduk, itu ulah pengusaha. Alasannya menurut penduduk, mereka dari dulu sudah berladang (dan ber-pindah-pindah) secara tradisional dan tidak ada wabah asap seperti beberapa tahun terakhir ini. Mestinya dengan lahan yang semakin sempit bagi penduduk karena lahan sudah teralokasikan untuk pengusaha, ladang berpindah tidak lagi leluasa seperti dulu. Entah mana yang betul. Yang jelas, jumlah titik api yang terpantau oleh satelit NOAA (National Oceanic and Atmospheric Administration) tetap masih banyak. Beberapa hari yang lalu masih tercatat sejumlah 1.280 titik api. Ini artinya, jelas ada pembakaran, atau keterbakaran lahan, disengaja atau tidak disengaja, atau pura-pura tidak sengaja. Satelit mana bisa ditipu. Sayangnya belum ditemukan satelit yang langsung bisa mengidentifikasi siapa yang berada di balik pembakaran itu, sehingga selalu sulit dibuktikan melalui pengadilan siapa yang patut disalahkan. Padahal, masalah asap ini sudah menjadi agenda tetap setiap tahun. Sesungguhnya lahan dan hutan adalah sumber penghidupan. Sumber daya alam ini harus dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat dalam memperoleh kehidupan yang lebih bermartabat. Manusia diberi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk dapat memanfaatkan sumber daya alam secara baik dan benar. Dari sudut pandang ekonomi, sebenarnya sah-sah saja sumber daya alam itu 77
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dieksploitasi. Kalau kita membiarkan kekayaan itu berserakan di sekitar kita sementara kita hidup tidak sejahtera, apa bedanya de-ngan masyarakat di zaman batu. Orang akan cenderung berbuat lebih baik, mengolah lebih baik dan lebih banyak, dan seterusnya. Tapi kita seringkali berpikir kontradiktif. Kita negeri yang kaya akan sumber daya alam, dan kita harus hidup sejahtera dengan memanfaatkannya. Tetapi pada saat yang sama kita tidak ingin lingkungan hidup kita terjejas. Tidak ada kegiatan eksploitasi sumber daya alam yang tidak menimbulkan kerusakan lingkungan. Yang membedakan adalah parah atau parah sekali. Ada yang rusak permanen, ada yang bisa diperbaiki. Itu saja. Alasan moral untuk peraturan lingkungan hidup berakar pada tradisi preservasi. Masyarakat kita sendiri sesungguhnya secara tradisional telah memberikan apresiasi alamiah dalam upaya preservasi ini. Kita mengenal adanya hutan sialang, hutan larangan, hutan persukuan, dan seterusnya. Jadi sebetulnya, perlunya pengaturan lingkungan hidup tidak hanya karena kerusakan lingkungan yang akan membawa akibat pada kehidupan manusia, tetapi karena lingkungan memiliki nilai intrinsik. Hal ini mudah dikatakan, tetapi di dalam kenyataannya tidak seperti yang dibayangkan. Ketiadaan ukuran prinsip kapan mengalah, seringkali memancing wacana yang tidak berkesudahan. Berita orang mati karena terseret arus banjir misalnya, tidak akan menarik untuk pemberitaan, tetapi seekor gajah mati dibunuh akan menggegerkan dunia. Beritanya terbawa LSM pencinta lingkungan hidup sampai ke mana-mana. Beberapa Environmentalist (ahli dan pencinta lingkungan hidup) yang radikal menekankan bahwa manusia tidak lebih tinggi dari makhluk hidup lainnya dan setiap penyampingan lingkungan hidup harus dilarang. Namun, sebagian besar mereka yang mempertahankan lingkungan hidup berdasarkan moral tidak dapat menerima penderitaan manusia atas nama perlindungan lingkungan. Agaknya memang diperlukan kecerdasan dalam memanfaatkan sumber daya alam kita. Pemanfaatannya secara berlebihan, apalagi sampai pada derajat amat sangat berlebihan, akan membawa bencana. Kita tidak ingin mengorbankan kemanusiaan untuk membela kepentingan lingkungan hidup, tetapi juga kita tidak ingin untuk kemanusiaan semusim kita
78
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
mengorbankan lingkungan hidup. Anak cucu kita kelak masih akan hidup dari bumi yang sama, bumi ini juga. (15 Juli 2003)
79
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
11 Gelas-gelas Bocor Membaca kemiskinan di hotel berbintang memang terasa lebih dramatis. Pada kenyataannya, seminar-seminar, lokakarya-lokakarya, workshop, diskusi, atau apalah namanya yang diadakan oleh para pakar, tidak pernah diadakan di dusun Pemandang yang ter-pencil di kaki gunung atau di desa nelayan Selat Nenek nun jauh di pulau. Sebab, di desa itu tidak ada networking, komputer, tidak ada over-head projector, in-focus, tidak juga ada sarana komunikasi, dan tidak ada ruang-ruang sejuk dengan musik-musik lembut. Yang dominan adalah segunung kesunyian yang sudah berabad-abad seakan tak tersentuh peradaban. Tapi, membaca kemiskinan agaknya memang harus dari jauh. Laksana penderita hipermetropia, dari jauh terlihat jelas, dari dekat dia buram. Atau seperti melihat gunung, tinggi rendahnya hanya terlihat dari jauh, sementara dari dekat pandangan terhalang oleh lebatnya hutan belantara. Kenapa demikian? Karena kemiskinan itu, walau aromanya sangat kental menyengat hidung, tapi seringkali tidak dirasakan oleh masyarakat yang tinggal dan akrab bersama kemiskinan itu. Dia seakan merupakan bagian dari kehidupan yang memang sudah demikianlah adanya. Mereka dari zarnan ke zaman hidup di desa, di kaki gunung atau di desa nelayan itu, dan mereka merasakan kedamaian dalarn kesunyian tak bertepi yang kompromistis. Kenapa mesti berdebat? Tidak ada yang perlu diperdebatkan tentang kemiskinan di sana. Di desa-desa miskin itu mereka tidak pernah merasakan kemiskinan sebagai sesuatu yarig menakutkan. Memperkatakan kemiskinan sama dengan membuka aib. Mereka yang tinggal di desa-desa, yang miskin secara material dalam perspektif kekotaan, hanya memerlukan air untuk berminyak. Yang biasanya tidak pandai menyembunyikan diri adalah kemiskinan di perkotaan. Mereka selalu tampak dramatik dan adakalanya eksploitatif, bahkan agitatif. Namun sesung-guhnya secara substansial, kemiskinan di pedesaan atau di perkotaan sama saja. Kemiskinan tetap kemiskinan. Mereka adalah kelompok yang kurang beruntung, disadvantage. 80
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kemiskinan, menurut pandangan Aristoteles, adalah bapaknya revolusi dan kejahatan. Agaknya inilah yang menakutkan. Kemiskinan dari sudut pandang kekalahan, sarat dengan sindrom kekalahan yang inheren. Kata orang bijak, kemiskinan bukanlah kejahatan, tetapi kemiskinan mudah menjadi biang kejahatan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa gerakan humanisme untuk mendekatkan kehidupan yang lebih bermartabat kepada kemanusiaan adalah satu keniscayaan yang menjadi agenda kenapa kemiskinan harus diberantas. Namun kekhawatiran atas dampak dari kemiskinan adalah bagian lain yang menjadi sebab kenapa kemiskinan harus diatasi. Banyak orang kurang menyadari perut lapar dan amarah cuma dibatasi dengan garis tipis. Dalam berbagai kasus kejahatan dan pemberontakan atau revolusi sosial yang terjadi di sejumlah negara, selalu saja berawal dari persoalan kemiskinan. Kejatuhan monarki Prancis, kehancuran komunisme di Uni| Soviet, tumbangnya Nicolae Ceausescu di Rumania,] sampai pada krisis multidimensi dan eskalasi kejahatan di negeri kita sendiri adalah beberapa contoh yang harus menjadi cambuk bagi kita untuk mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu, kata Aristoteles, hal utama yang harus dilakukan oleh negara adalah mengatasi kemiskinan. Dengan masyarakat yang makmur, maka secara otomatis negara akan kuat serta mudah mengambil atau melakukan kebijakan lain dalam rangka peninggian derajat. Sejalan dengan Aristoteles, Islam pun secara jelas menggambarkan kemestian memerangi kemiskinan ini. Kemiskinan itu mendekatkan manusia pada kekufuran, begitu bunyi ajarannya. Bahkan dalam bahasa lain, Imam Al Ghazali mengatakan bahwa uang (kemakmuran) itu adalah jalan ke surga, karena dengan kemakmuran orang akan menjadi lebih mudah untuk beribadah, baik dalam bentuk bersedekah maupun berbagai ibadah Kemiskinan adalah sesuatu yang tidak kita ingin kan, tapi merupakan hal yang tidak terelakkan. Dan berbagai studi tentang pembangunan negara, kemiskinan merupakan masalah krusial yang sering dibicarakan. Jangankan pada negeri belahan dunia ketiga, seperti negeri kita, pada negara super power dan makmur sekelas Amerika pun, kemiskinan ini menjadi soal yang; memeningkan kepala, meskipun dengan kuantitas dani kualitas yang berbeda. 81
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Menurut Bank Dunia, secara internasional ukuran yang digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah melalui purchasing power parity, yaitu penduduk yang hidup di bawah 1 dollar Amerika Serikat per hari dan 2 dollar AS per hari. Kalau dirupiahkan, adalah penduduk yang hidup di bawah Rp 8.000,- per hari dan di bawah Rp 16.000,- per hari. Di Indonesia pada tahun 1999, masih menurut Bank Dunia, penduduk yang hidup di bawah 1 dollar per hari sebanyak 7,7 persen. Namun jika dihitung dengan menggunakan 2 dollar per hari, ada 55 persen. Perbedaan angka yang jauh ini, yakni dari 55 persen ke 7,7 persen, memiliki makna bahwa banyak sekali masyarakat Indonesia yang hidup di atas 1 dollar per hari, tapi masih di bawah 2 dollar per hari. Berarti, banyak masyarakat yang hidup sangat dekat dengan garis batas kemiskinan. Mereka adalah orang yang sangat rentan untuk menjadi lebih miskin, jika kea-daan ekonomi memburuk. Sedikit saja perahu kita oleng mereka akan karam. Apa yang harus kita lakukan? Inilah yang hendak diteroka oleh Riau Concern Club (RCC) dalam suatu diskusi membedah kemiskinan di salah satu hotel berbintang di Pekanbaru, Riau, belum lama ini. Banyak hal diungkapkan dalam diskusi yang menarik ini, antara lain misalnya betapa upaya pengentasan kemiskinan di daerah ini laksana mengisi gelasgelas bocor, berapa pun diisi akan selalu habis. Program-program yang ada seakan tak memberikan makna. Penyadap karet tidak pernah menjadi kaya, karena hasilnya habis untuk beras atau berjudi kecil-kecilan di kedai kopi. Nelayan pula, berhenti melaut untuk menghabiskan hasil tangkapannya dengan menikmati Joged Medan berhari-hari. Mereka tidak pernah bisa menabung, seberapa dapat seberapa habis. Pemetaan kemiskinan secara tajam merupakan hal Yang mendesak untuk dilakukan. Siapa yang miskin, berapa jumlahnya, di mana, di kaki gunungkah atau di desa pantai, miskin apa, penyebabnya apa, adalah pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab dengan jujur dan transparan. Kita memerlukan peta yang akurat mengenai penyebaran kemiskinan ini, baik penyebaran geografis maupun penyebaran etnis. Hanya dengan peta yang jelas, program yang tepat dapat disusun dan bantuan dapat diberikan secara tepat sasaran. Apa yang diucapkan oleh seorang sastrawan Jerman, Heinrich Heine, menarik untuk disimak. Heine mengatakan bahwa kehendak 82
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
untuk berbuat atau kemauanlah yang membuat seseorang menjadi besar atau kecil. Sesungguhnya kemauan dan kehendak bersama jualah yang menentukan apakah kita bisa menambal gelas yang bocor itu atau tidak. (6 Juli 2003)
83
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
12 Kadar Laleh dan Ladan Jodoh, rezeki, dan ajal adalah rahasia Tuhan. Dalam Islam, kadar (takdir) baik dan buruk adalah salah satu Rukun Iman yang tidak terbantahkan. Bujang dan dara boleh saja merencanakan bulan madu dan membangun mimpi-mimpi indah perkawinan, tapi kalau Yang Maha Kuasa berkehendak lain, bulan madu akan tinggal impian. Rumah mewah dengan harta melimpah pun hanya sebatas satu batang korek api. Ajal pula tak ada satu orang pun yang bisa menduga bila akan tiba dan di mana. Mati di kasur yang empukkafi atau di rimba belantara tak ada yang bisa meramalkan. rahasia Ilahi. Semuanya gelap dan gaib. Itu pulalah yang dialami oleh dua orang gadis kembar siam dari Teheran, Laleh dan Ladan. Mereka tentu tidak pernah berencana akan mengakhiri hayatnya di Singapura, jauh dari negerinya, Iran. Bahkan kalau disimak pemberitaan-pemberitaannya, mereka adalah orang-orang yang optimis. Kalau bukan karena orang-orang yang optimis, dan memiliki kepribadian yang kuat, takkan mungkin mereka bisa menyelesaikan pendidikan S-l di Fakultas Hukum. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana mereka menjalani kehidupan selama 29 tahun dengan kepala menempel satu dengan lainnya. Di mana pun, kapan pun mereka terpaksa selalu berdua. Tidur, bangun, ke kampus, bahkan ke kamar kecil terpaksa selalu berdua. Mereka bisa menyelesaikan kuliahnya, itu adalah sesuatu yang luar biasa. Bukankah untuk memasuki bangku perguruan tinggi mereka harus melalui jenjang Sekolah Dasar, SLIP, dan SLTA? Itu sudah mereka lalui dalam kondisi fisik yang sangat sulit. Dari pemberitaan yang dapat kita ikuti, mereka memiliki kepribadian yang normal, terkesan ceria dan cerdas, dan juga cantik. Diberitakan oleh berbagai media, mereka tumbuh menjadi gadis kecil, abg, remaja, dan kemudian dewasa dengan kepribadian yang berbeda. Ladan lebih terbuka dan suka bicara, sementara Laleh dikenal pendiam dan pemikir. Laleh cinta binatang, tapi Ladan lebih suka menghindarinya. Dalam perbedaan karakter itu, mereka berada dalam satu kesatuan. 84
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bayangkan susahnya membangun kompromi demi kompromi! Mungkin hanya dalam ujian mereka menikmati keterbatasan fisik itu. karena bisa leluasa saling bisik_ untuk memberikan jawaban soal. Dalam kehidupan dewasa, mereka biasa berkirim e-mail untuk menjalin komunikasi dengan kawan-kawannya. Dengan kondisi fisik yang tidak normal, mereka bisa melakukan aktivitas normal termasuk mencari informasi ke mana-mana untuk menemukan dokter ahli yang bisa mengoperasi mereka. Mereka sudah pergi ke Jerman, negeri yang terkenal dengan ilmu pengetahuan dan teknologi mutakhir, tapi ahli di sana menolak karena menyimpulkan terlalu besar risikonya memisahkan kepala mereka yang berdempet itu. Sampai akhirnya mereka menemukan seorang dokter dari Rumah Sakit Raffles di Singapura, Dr. Keith Goh, yang sudah punya reputasi sukses memisahkan kembar siam. Tapi seluruh upaya yang dilakukan dokter bersama timnya gagal. Si kembar itu pun gagal memenuhi impiannya untuk hidup sebagai manusia biasa yang terpisah. Mereka tidak akan pernah lagi menyadari bahwa harapan mereka telah pupus selamanya. Sebelum memasuki ruang operasi mereka masih terlihat ceria membayangkan kehidupan baru pasca operasi. Keceriaan itu terlihat dari petikan surat yang ditulis Laleh dan Ladan sebelum operasi. "Kami mulai menapaki kehidupan berdua. Mudah-mudahan operasi berhasil membawa kami ke ujung jalan yang sulit ini, sehingga kami bisa mengawali hidup baru yang indah sebagai dua manusia yang terpisah". Akhirnya jalan sulit itu tidak bisa mereka lalui dan mimpi-mimpi indah itu pun terkubur bersama jasad mereka selamanya. Kematiannya diratapi bukan karena mereka siapa-siapa, atau karena mereka bukan siapa-siapa. Kematian mereka diratapi karena mereka telah menjadi kekasih dunia dalam waktu yang tidak terlalu lama. Dunia telah jatuh cinta kepada kegigihan mereka untuk bisa menikmati Kehidupan normal yang berada di depan mata. Tetapi ternyata, tak satu pun orang bisa menolong, padahal orang-orang di sekelilingnya memiliki semua kelengkapan yang di atas kertas dan secara teoritis harusnya mampu memberikan pertolongan. Ternyata ada pembatas halus, lebih halus dari sutera, yang tak tertembus oleh kemampuan manusia. Itulah yang namanya kada dan kadar. Kada merupakan ketentuan Tuhan yang di dalamnya terdapat iradat-Nya untuk semua makhluk. Adapun kadar merupakan perwujudan dari ketentuan yang telah digariskan, yang tak 85
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
terubahkan sehelai rambut dibelah tujuh sekalipun. Kehidupan manusia Pada dasarnya adalah realisasi dari apa yang telah digariskan Tuhan sejak semula jadi, baik kehiduparvj yang menyangkut hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk, beruntung atau rugi, senang atau menderita, bahagia atau kecewa, dan lain sebagainya. Al Ghazali mengatakan, tidaklah akan terjadi pada alam nyata dan alam gaib, sedikit atau banyak, kecil atau besar, baik atau buruk, manfaat atau mudarat, iman atau kufur, pandai atau bodoh, beruntung atau celaka, bertambah atau berkurang, taat atau maksiat, kecuali dengan kada dan kadar Allah SWT. Hal tersebut berlaku karena hidup dan kehidupan manusia itu telah ditentukan Tuhan sejak semula jadi dan kita hanya tinggal menjalaninya saja. Menurut beberapa hadis, ketika kita, manusia, berada dalam rahim ibu, seorang malaikat diutus untuk menuliskan empat kalimat dalam buku tak-dir manusia, yaitu tentang ajal, rezeki, pekerjaan, dan kesenangan atau kebahagiaan, kemudian baru ditiupkan roh, maka jadilah manusia dengan buku takdirnya. Tetapi walaupun dari sono sudah tertulis, tidak ada satu orang pun manusia yang tahu apa yang tertulis dalam buku takdirnya. Oleh karenanya, sangat tidak terpuji bila manusia hanya berpangku tangan menunggu nasib. Upaya adalah wujud kita sebagai manusia yang diberi akal budi, yang membedakan kita denga hewan. Entah "pesan" apa yang diusung oleh Laleh dan Ladan jauh-jauh dari Teheran. Mungkin mereka tidak bermaksud membawa pesan apa-apa. Tetapi, kehadirannya di Singapura, yang disiarkan oleh media massa secara luar biasa ke seluruh dunia dalam sekejap mata, menumbuhkan kesadaran bahwa kita adalah manusia biasa. Kesempurnaan manusia sebagai makhluk terletak pada ketidaksempurnaannya. Ilmu manusia ada batasnya. Manusia hanya bisa merencanakan dan berupaya, sedangkan keputusan di tangan Tuhan. Ada makhluk yang dilahirkan dengan keberuntungan, ada yang tidak beruntung. Ada juga makhluk yang dilahirkan untuk menjadi contoh peringatan bagi yang lain. Kearifan, itulah agaknya pesan yang tertinggal dari kepergian dua gadis kembar ini. Laleh dan Ladan, dari seberang lautan kami ucap-selamat jalan. (13 Juli 2003) 86
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 3
87
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
1 Hari Jadi Dalam serentang perjalanan anak manusia, mulai dari merecup lahir hingga menuju peristiwa perjanjian terakhir, adalah sebuah laman kisah kehidupan. Laman kisah itu kemudian diracik dan dikenang secara periodik dalam sebuah peristiwa yang bernama hari jadi atau ulang tahun. Dalam peringatan hari jadi, setahun sekali, orang, kelompok, kota, dan negara mengenang dirinya, mengkaji sesuatu yang positif dan negatif dalam perjalanannya selama setahun, kemudian mengambil langkah-langkah penting untuk memasuki waktu berikutnya. Begitulah, segala sesuatu tumbuh dari serangkai peristiwa dan secara terus-menerus peristiwa demi peristiwa bertambah, dan ritual peringatannya terus berlangsung. Milan Kundera dalam bukunya Kitab Lupa dan Gelak Tawa (The Book of Laughter and Forgetting) mengatakan, bahwa tugas manusia adalah menghimpun sejumlah kenangan yang bisa disebut dengan manis pada masa mendatang. Berhadapan dengan pikiran Kundera ini, maka hari jadi bukanlah sekadar peristiwa bergembira karena kita telah sebuah fase kehidupan. Tapi lebih jauh, hari jadi adalah tempat merenungi apa-apa yang telah kita lakukan dan sekaligus tempat berunding dengan diri tentang kenangan dan tanda apa yang harus kita bangun pada hari-hari mendatang. Jika hari jadi hanya sekadar waktu berkisah, maka sungguh kita akan menjadi orang-orang yang merugi. Apakah yang hendak kita lakukan dalam menyambut hari jadi Riau tahun ini? Akan banyak sekali alternatif dan sekaligus jawaban untuk itu. Yang pasti adalah, masyarakat Riau akan mendapat kado istimewa, diserahkannya pengelolaan ladang minyak CPP Block ke Riau setelah dua puluh satu tahun lebih dikelola oleh Caltex Pacific Indonesia bekerja sama dengan Pertamina yang mewakili Pemerintah 88
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Republik Indonesia. Bukan penyerahan itu semata yang membanggakan masyarakat Riau, lebih dari itu adalah kesungguhan Pemerintah Pusat untuk mewujudkan janjinya bahwa mereka memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah. Namun demikian, pada pandangan saya, hari jadi Riau tahun ini adalah sebuah momentum yang bagus untuk merenung secara lebih mendalam, yaitu mempelajari apa-apa yang telah terjadi dan apa-apa yang akan terjadi. Intinya adalah menjadikan hari jadi yang ke-4E ini sebagai peristiwa penyadaran. Mengapa intinya adalah penyadaran? Paling tidak dengan penyadaran, kita menjadi tahu betul ke mana kita akan melangkah, sebab kita telah mengarifi kesalahan masa lalu secara baik. Kita samasama melihat, bahwa dalam rentang waktu setahun ini, Riau seakanakan berada dalam tahun dukacita. Masalah tak henti-hentinya menerpa, mulai dari persoalan internal, seperti menipisnya rasa kebersamaan dan badai perpecahan, sampai pada kenyataan bahwa betapa kita seringkali dirugikan dalam hubungan dengan pusat kekuasaan, secara politik maupun ekonomi. Dengan menjadimomentum hari jadi ini sebagai peristiwa penyadaran, maka kita akan kembali menemukan diri serta tahu apa sebenarnya yang harus kita lakukan untuk menebus semua kekalahan. Riau adalah segumpal harapan, dan harapan itu adalah milik kita semua. Untuk itu, kita tidak mungkin rnembiarkan negeri ini berada dalam keadaan tak menentu secara terus-menerus, karena apa yang telah terjadi belum pasti adalah takdir kita. Kita harus mengubahnya, karena kita telah sepakat bahwa negeri ini harus lebih baik dari kemarin. Untuk itu, kita memerlukan waktu singgah atau waktu jeda untuk mensetting kembali segala sesuatunya. Dari sudut masyarakat misalnya, hari jadi ini jadikanlah sebagai ruang untuk melakukan introspeksi dan kontemplasi tentang apa yang telah kita lakukan untuk negeri kita yang besar ini. Sementara itu, bagi pemegang teraju kekuasaan, momentum ini pula harus dijadikan 89
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tempat menengok ke belakang, apakah tugas sebagai pemimpin sudah dilakukan sesuai dengan amanah kemanusiaan atau belum. Jika dengan cara ini kita memperingatinya, maka hari jadi akan menemukan sosoknya yang penting. Jika tidak, maka hari jadi hanya merupakan sebuah pengulangan atau tempat orang-orang menghitung hari. Bersempena dengan hari jadi ini, ada beberapa hal penting yang harus kita lakukan secara bersama. Pertama, meningkatkan rasa kebersamaan. Kebersamaan ini penting karena pada akhir-akhir ini kebersamaan itu terlihat semakin menipis. Kita tak jarang bertelagah hanya demi masalah kecil, tidak signifikan, dan demi sesuatu yang belum jelas, sehingga yang menerima akibatnya adalah masyarakat Riau itu sendiri. kebersamaan yang kuat, maka orang-orang akan mudah mempermainkan kita, membuat posisi tawar kita menjadi lemah, dan kondisi itu akan berujung pada kekalahan kita sendiri. Apa pun yang kita miliki tidak akan berarti banyak jika tidak kita iringi dengan kebersamaan. Kenyataan telah menunjukkan kepada kita \ betapa beberapa tahun terakhir ini lemahnya kebersa maan telah menjadi penyebab utama sejumlah kegagalan yang menimpa. Hari jadi tahun ini, harus menjadi awal kesadaran untuk menuju ke arah kebersamaan yang kuat dan menjadi awal persatuan masyarakat yang menggetarkan. Jika kebersamaan itu terbentuk, maka dari posisi masing-masing kita akan berusaha mak-simal mengganti kemalangan lampau menuju keme-nangan yang pasti. Hal kedua, memacu kerja keras. Adalah sebuah kenyataan, bahwa kita memiliki tanah yang subur dan sumber daya yang melimpah. Hanya saja, semua yang tersedia itu baru akan berarti bagi kemaslahatan negeri, jika kita bekerja keras. Tak pernah ada sebuah negeri bisa maju dan menjawab semua kehendak masyarakat, jika kita semua mau bekerja keras untuk keinginan cita kemakmuran yang kita idamkan. Pekerjaan (kerja keras) itu, kata filsuf Voltaire, akan 90
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
menjauhkan kita dari tiga keburukan; rasa bosan, dosa, dan kemiskinan. Selamat Hari Jadi. (3 Agustus 2002)
91
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
2 Raja Minyak dari Riau “
Ini dia Raja Minyak dari Riau”, teriak seorang teman ketika saya muncul dalam acara reuni alumni Fakultas Kedokteran Hewan UGM Yogyakarta setahun yang lalu. Dengan perasaan bangga dalam hati, saya menimpali sekenanya, saya bukan raja minyak tapi raja munyuk, kata saya yang disambut ketawa riang kawan-kawan lama. Riau memang identik dengan minyak. Ke manapun Kita pergi di nusantara mi, minyak hampir selalu menjadi pembuka kata. "Oh Riau ya, wah ini dia si raja minyak", begitu sering terdengar. Dalam empat tahun terakhir ini simbol minyak itu semakin kuat ketika Riau berjuang habis-habisan untuk mendapatkan hak pengelolaan ladang minyak CPP Block (Coastal Plains Pekanbaru) yang habis kontraknya dengan Caltex. Riau bahkan tidak hanya kaya dengan sumber daya alam minyak yang terletak di perut bumi, minyak yang di atas perut bumi pun, berupa minyak kelapa sawit, bukan alang kepalang produksinya. Apalagi nanti ketika lebih dari satu juta hektar kebun kelapa sawit mulai berbuah. Saya teringat beberapa tahun yang lalu dalam suatu| kunjungan kerja ke Sulawesi Utara. Rombongan kami mendapat pujian (atau sindiran) dari tuan rumah. " adalah provinsi petrodolar, Pemerintah Daerahnya ya", kata mereka. Tuan rumah kemudian melanjutkan kalau di Sulawesi Utara yang ada bukan minyak burni, tapi minyak kelapa. Karena pemilik kelapa adalah rakyat, maka yang kaya adalah rakyat. Waktu itu dalam hati saya berkata, minyak bumi itu kan benda aneh, "menetesnya" ke atas bukan ke bawah. Anda tidak tahu atau pura-pura tidak tahu. Angka berbicara, walaupun lebih dari separuh produksi minyak nasional berasal dari perut bumi Riau, kontribusinya terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat tempatan nyaris tak 92
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
terdengar. Buktinya, di awal tahun 90-an itu, menurut Prof. Mubyarto, Riau termasuk kategori provinsi termiskin di Indonesia. Untuk ukuran Sumatera, Riau hanya sedikit lebih baik dari Bengkulu. Tapi, kita kan tidak mau kelihatan miskin amat, kita pandai "berminyak air". Prof. Mubyarto (1992) menulis dalam bukunya Riau Dalam Kancah Perubahan ekonomi Global", Provinsi Riau sebagaimana halnya Provinsi Daerah Istimewa Aceh (sekarang Provinsi Nangroe Aceh Darussalam), adalah provinsi yang amat kaya akan sumber daya alam minyak bumi. Tetapi karena pengusahaannya memerlukan teknologi canggih melalui modal asing, ternyata amat sulit "meneteskan" hasilnya pada masyarakat setempat. Pengusahaan minyak bumi, menurut Prof. Mubyarto, dilakukan secara monopoli oleh Perusahaan Negara Pertamina dalam bentuk kerja sama dengan kontraktor asing dalam hal ini Caltex sehingga 100% hasilnya disetor ke kas Pemerintah Pusat. Kecuali untuk pajak bumi dan bangunan, seluruh pajak perseroan minyak dan pajak-pajak lainnya, misalnya pajak penghasilan, menjadi porsi penerimaan Pemerintah Pusat. Tapi itu kan dulu. Kini agaknya Riau sungguh-sungguh menjadi provinsi petrodolar. Bermula dari terbitnya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang memberikan 15% dari seluruh hasil rninyak setelah potong pajak kepada daerah penghasil, Riau mulai menggeliat. Perolehan daerah dari dana bagi hasil telah meningkatkan anggaran pembangunan daerah lebih dari lima kali lipat. Kabupaten dan kota di Provinsi Riau kini terlihat giat membangun berpacu mengejar ketertinggalannya. Walaupun hanya beberapa kabupaten saja yang menjadi daerah penghasil minyak, itu tidaklah menjadi soal, sebab kabupaten dan kota yang bukan sebagai daerah penghasil tetap mendapatkan bagian sebesar enam persen. Kabupaten Kuantan Singingi misalnya, walaupun sama sekali tidak ada bau minyak di sana, seperti juga Kota Batam dan Kota Tanjung Pinang, tetap mendapatkan bagian. Kabupaten dan kota yang berada dalam satu provinsi akan 93
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
mendapat bagian walaupun mereka bukan daerah penghasil minyak. Enak kan? Kini peluang menjadi provinsi petrodolar semakin terbuka lebar ketika tanggal 6 Agustus 2002 Provinsi Riau melalui konsorsium PT. Bumi Siak Pusako dengan Pertamina, dipercaya oleh Pemerintah Pusat mengelola ladang minyak di Riau yang dikenal sebagai ladang minyak CPP Block. Caltex memiliki empat ladang minyak, yang terbesar adalah Rokan Block, yang kedua CPP Block, berikutnya adalah Siak Block dan MFK Block (Mountain Front Kuantan Block). Dua yang disebut terakhir produksinya sangat kecil, total hanya sekitar 3300 barel per hari. Yang terbesar tentu saja Rokan Block dengan produksi sekitar 650.000 barel per hari. CPP Block sendiri sesungguhnya produksinya mengalarni declining (penurunan) dari semula sekitar 70.000 barel per hari, kini tinggal sekitar 43.000 barel per hari. Tiga block lainnya termasuk Rokan Block, Indonesia yang diwakili Pertamina masih terikat kontrak dengan Caltex. Dari hitung-hitungan yang dilakukan oleh kawan-kawan yang akhir-akhir ini cukup banyak yang tiba-tiba menjadi pakar dalam menghitung revenue (perolehan) dari minyak, nilai nominal dari CPP Block sebetulnya tidaklah terlalu fantastik. Tetapi kepercayaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada Riau untuk mengelola CPP Block mengandung makna politis yang sangat dalam. Ini bisa bermakna Pemerintah Pusat memang konsisten dengan semangat otonomi daerah, dan bisa juga bermakna daerah memperoleh kembali marwahnya. Penghargaan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat akan sangat bermakna bagi daerah dalam mengembangkan kreativitasnya. Tanggal 8 Agustus 2002 boleh jadi merupakan hari yang sangat istimewa dalam sejarah perminyakan di Riau ketika Caltex mengakhiri kiprahnya di CPP Block. Tepat jam 00 tanggal 9 Agustus, pengelolaan CPP Block berpindah tangan kepada PT. Bumi Siak Pusako. Walaupun permasalahan yang inheren belum lagi tuntas semuanya, seperti misalnya masalah kompensasi, pembagian saham dengan Pemerintah 94
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Provinsi, dan sebagainya, tapi itu tidaklah menjadi persoalan berat. Dulu, teks proklamasi kemerdekaan bangsa kita ini juga ditulis amat singkat oleh Bung Karno, padahal itu menyangkut nasib sebuah bangsa. Konon lagi hanya masalah internal CPP Block — masalah bagi membagi — itu urusan adik beradik atau anak beranak. Tak perlulah seperti Si poltak, Raja Minyak dari Medan dalam sinetron Gerhana itu, yang selalu berteriak peeening, peeening... Tidak ada yang kalah dalam CPP Block bila kita melihatnya dengan kebesaran jiwa, semuanya tampil sebagai pemenang. CPP Block adalah sebuah pertaruhan panjang, tetapi kita mencatatnya dengan tinta emas, tak kira kalah atau menang. (11 Agustus 2002)
95
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3 Persebatian Cendekiawan Kita memang agak terlambat memulai, tapi kata orang bijak, terlambat lebih baik daripada tidak sama sekali. Apa buktinya kita terlambat? Kita terlena dalam nina bobo sebagai suatu daerah yang kaya akan sumber daya alam, minyak bumi, gas, timah, granit, bauksit, dan sekarang batubara, semen, dan tentu saja pasir laut yang heboh itu. Itu belum semua, masih ada hutan dan lahan perkebunan ratusan ribu hektar. Kita masih punya empat sungai air tawar yang tak akan pernah kering yang akan kita ekspor kemanapun. Tapi lihatlah! Semua orang bilang, orang Riau ibarat ayam bertelur di lumbung padi mati kelaparan, atau ibarat itik berenang di sungai mati kehausan. Alamaaak. Jawabannya klasik dan semua kita sudah tahu: masalah sumber daya manusia! Lapangan pekerjaan yang tersedia menuntut keterampilan, penguasaan iptek, dan profesionalisme. Sementara kita, kemampuan itu yang kurang. Maka, jadilah kalah dalam pertandingan, bahkan adakalanya kalah sebelum bertanding-Kalaupun ada yang menang satu dua orang, itu individual sifatnya, bukan hasil dari suatu kerja sama tim atau keberpihakan dari sebuah sistem. Institusi yang ada, seperti lembaga-lembaga pendidikan, lembaga-lembaga pelatihan, di mana angkatan kerja diinkubasi dan disemai, seperti kekurangan ruh, tidak fokus. Pengamat rnengatakan, institusi kita kalah mutu. Stop, jangan kambing hitamkan institusi! Kita semua kambing hitam, kalau mau disebut kambing hitam. Pendekatan kita terlalu "matre". Sejujurnya kita selama ini terlalu mengedepankan modal dasar yang bersifat materialistis berupa kekayaan sumber daya alam. Kita mengundang investor untuk membawa modalnya masuk. Kita kemudian mengkonversikan modal yang dibawa ke dalam angka96
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
angka pertumbuhan ekonomi daerah. Semakin besar nilai investasi dolar Amerika, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi suatu daerah ... dan kita pun bertepuk tangan. Kita abai terhadap kapital lain yang masuk bersanding dengan dolar itu, yakni modal intelektual yang tersembunyi dalam pikiran sumber daya manusianya. Apa yang dikatakan oleh William Butler Yeats agaknya menarik untuk kita simak. Modal manusia, menurut Yeats, adalah tempat di mana semua tangga dimulai ketika kita mulai menapak, sumber inovasi, tempat asal wawasan. Jika modal intelektual adalah sebuah pohon (satu dari metafora Leif Edvinsson), maka manusia adalah getahnya. Uang dapat berbicara, tetapi tidak dapat berpikir. Terkadang mesin melaksanakan lebih baik daripada yang dapat dilakukan manusia, tetapi mesin tidak menciptakan. Maka, ketika Persebatian Cendekiawan Melayu Riau dicanangkan berdiri dan mendapatkan perhatian yang cukup besar dari petinggi-petinggi Riau, pandanglah ini sebagai sebuah upaya yang walaupun terlambat, tetapi patut diapresiasi secara cerdas dalam rangka mengeksploitasi modal intelektual yang ini tersembunyi. Kita memang kurang memposisikan modal intelek tual dari para cendekiawan kita sebagai sesuatu yang signifikan. Domain ini seakan tak terlirik, sementara kita setiap kali berhari-hari mencari kesesuaian pendekatan; dalam pemecahan suatu masalah secara cerdas dan; bijak. Sejarah telah mencatat dengan tinta emas betapa besar peran yang dimainkan oleh para cendekiawan Melayu Riau sejak zaman dahulu dalam upaya pencerahan masyarakatnya. Sebutlah Raja Ali Haji yang terkenal dengan Gurindam Duabelasnya. Haji Ibrahim dengan pantun-pantunnya. Riau juga memiliki intelektual lain seperti Raja Ali Kelana dan Raja Aisyah Sulaiman. Nama terakhir merupakan satu dari sedikit penulis perempuan yang terkenal pada zamannya. Angkatan berikutnya tercatat pujangga Suman HS, Selasih Seleguri, dan Sutardji Calzoum Bachri. 97
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kini cendekiawan Melayu Riau bertebaran di berbagai bidang, seperti Ibrahim Sattah, Hasan Yunus, Yusmar Yusuf, Taufik Ikram Jamil, Prof. Tabrani Rab, Prof Muchtar Achmad, Al Azhar, Azlaini Agus, dan panjang sekali daftarnya kalau mau disebut satu-satu. Mereka-mereka ini merupakan modal manusia sebagaimana dikatakan oleh Yeats. Orang yang bijaksana pastilah orang yang berilmu, tetapi orang yang berilmu belum tentu bijaksana. Premis ini agaknya disetujui di serata dunia. Orang Jepang bilang, "berilmu tapi tidak bijaksana adalah laksana setumpuk buku di punggung keledai". Pilihan yang paling ideal memang berilmu dan bijaksana. Inilah agaknya "pakaian" yang tidak terbantahkan bagi seseorang yang mendapat predikat cendekiawan atau merasa dirinya sebagai seorang cendekiawan. Berilmu saja atau bijaksana saja, belum tepat menyandang cendekiawan. Berilmu saja, bisa membahayakan bagi orang lain bahkan bisa menghancurkan peradaban. Apa hendak dikata kalau mereka membikin bom atom kemudian menjatuhkannya. Tapi hanya bermodal bijaksana, orang yang hidup di zaman batu pun memilikinya. Seorang cendekiawan adalah orang berilmu dan arif bijaksana sekaligus. Ungkapan Tenas Effendy, Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau, agaknya yang paling pas mendeskripsikan cendekiawan ini. Cendekiawan, menurut orang tua-tua kita, sebagaimana dielaborasi Tenas, adalah orang-orang cerdik pandai dan orang-orang handal yang memiliki ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang, baik duniawi maupun ukhrowi. Ungkapan adat terhadap cendekiawan ini, masih menurut Tenas, adalah lautan ilmu dan telaga budi. Cendekiawan adalah tempat orang meminta petuah, tempat orang menyontoh meneladan, tempat menimba ilmu pengetahuan. Mereka ini, menjadi suluh dalam gulita, menjadi penuntun dalam gelap, menjadi pencelik mata dan pelapang dada, menjadi pembuka jalan pada kemajuan. 98
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Tenas Effendy masih memiliki senarai ungkapan adat tentang cendekiawan, sebagaimana dikatakannya: Yang disebut cendekiawan Ilmu cukup takah sepadan Arifnya menjadi teladan Bijaknya menjadi ikutan Yang disebut cendekiawan Dada lapang pikiran panjang Arif menyimak faham berbilang Bijak berkira muka belakang Cerdik menengok letak bintang Faham membaca gelap dan terang ..................... Persebatian Cendekiawan Melayu Riau yang baru saja diresmikan tentulah memikul banyak harap dan pinta sebagaimana ungkapan adat Melayu, Berguna baju karena sejudu Berguna pakaian karena serasi Bertuah Melayu karena berilmu Bertuah cendekiawan karena berbakti Atau dalam pesan berikutnya, Besar kayu karena berdahan Daunnya tumbuh silih berganti Besar Melayu karena cendekiawan Selamat maju jaya... (25 Agustus 2002)
99
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
4 Fitnah Sepanjang Zaman Konon, kapal Kerajaan Lancang Kuning yang menjadi legenda itu, tenggelam di Tanjung Jati, perairan Bengkalis, bermula dari sebuah fitnah. Panglima Umar yang menyesal alang kepalang telah membunuh Datuk Laksamana yang tak bersalah, dengan sengaja melayarkan Lancang Kuning melewati Tanjung Jati. Maka, sebagaimana sumpah Datuk Laksamana sebelum tewas di ujung keris Panglima Umar, kapal itu tenggelam di Tanjung Jati. Ceritanya, Panglima Hasan tergiur dengan isteri Panglima Umar, Siti Zubaidah yang cantik jelita. Panglima Hasan mengatur siasat. Ditiupkannya isu, orang Bengkalis melarang nelayan Bukit Batu untuk menangkap ikan terubuk. Berita itu sudah barang tentu membuat Datuk Laksamana risau dan mengutus Panglima Umar untuk berangkat ke Bengkalis menyelidiki gerangan apa yang terjadi. Sepeninggal Panglima Umar, Siti Zubaidah yang sedang hamil muda, digoda oleh Panglima Hasan. Namun Siti Zubaidah tidak tertaklukkan oleh Panglima Hasan. Penasaran, Panglima Hasan mengancam, apabila tidak bersedia menerima cintanya, Siti Zubaidah akan dibunuh dan dijadikan galang kapal Lancang Kuning. Sebab konon dipersyaratkan, pada saat peluncuran perdana Lancang Kuning harus seorang wanita hamil anak sulung yang dikorbankan sebagai galangnya. Singkat cerita Siti Zubaidah dibunuh oleh Panglima Hasan dan dijadikan galang kapal. Sepulangnya dari Bengkalis, Panglima Hasan bercerita Datuk Laksamanalah yang memerintahkan Siti Zubaidah dikorbankan sebagai galang Lancang Kuning. Panglima Umar tentu saja berang dan kemudian membunuh Datuk Laksamana. Hal ihwal fitnah ini juga terjadi pada bagian lain Negeri Junjungan, Bengkalis. Dalam satu versi tersebutlah kisah Awang Mahmuda yang berkelahi tujuh hari tujuh malam dengan Awang 100
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bungsu. Perkelahian itu bermula ketika tersebar berita bahwa Awang Bungsu berusaha merebut Dayang Dermah, calon isteri Awang Mahmuda. Awang Bungsu kemudian tewas. Nasi telah menjadi bubur ketika diketahui bahwa berita itu ternyata hanya fitnah. Legenda negeri Melayu di Selat Melaka memang tak pernah sepi dari fitnah. Cerita yang sudah umum diketahui dalam satu versi adalah ketika Panglima Hang Tuah harus baku bunuh dengan Hang Jebat. Adalah Patih Karmawijaya yang meniupkan fitnah untuk mencari keuntungan politik pribadi di kerajaan, bahwa Hang Tuah telah berbuat serong dengan Tun Teja, isteri Sultan Melaka. Hang Tuah diperintahkan oleh Sultan untuk dihukum bunuh. Untung nasib Hang Tuah belum tamat, dia diselamatkan oleh Datuk Bendahara. Hang Jebat yang tidak rela Sultan dan saudaranya difitnah, kemudian mengamuk. Keributan ini dieksploitir dengan licik oleh Patih Karmawijaya untuk melancarkan fitnah kedua. Hang Jebat difitnah berbuat makar dengan maksud-maksud yang jahat kepada Sultan. Sultan kemudian memerintahkan Panglimanya, Hang Tuah, untuk membunuh saudaranya, Hang Jebat, yang dituduh telah berbuat makar untuk meruntuhkan kerajaan. Fitnah, yang bermula dari nafsu menguasai yang tak terkawal oleh etika moral, agaknya telah menjadi sesuatu yang inheren dalam dunia fana ini. Dalam literatur sejarah Islam misalnya, kita juga mencatat fitnah ini banyak diilustrasikan menimbulkan kekacauan. Cerita-cerita sahabat yang terusir dari kampung halamannya, cerita tentang perampasan harta benda, cerita tentang orang-orang yang disakiti dan diganggu kebebasannya beragama, bahkan cerita tentang pembunuhan, banyak dikaitkan bermula dari sebuah fitnah. Literatur juga mencatat peristiwa pembunuhan Usman RA, khalifah yang ketiga sepeninggal Nabi Muhammad SAW, adalah peristiwa al-fitnah al-kubra (fitnah besar) yang pertama. Peristiwa peperangan antara Mu'awiyah dengan Ali RA adalah fitnah besar yang kedua. Diriwayatkan, para demonstran yang berasal dari Mesir yang 101
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
berunjuk rasa kepada Usman RA, semula sudah puas dengan jawaban Usman RA, kemudian mulai bergerak pulang. Namun masuklah provokasi dari Abdullah bin Saba, sehingga para demonstran terbalik, kembali menyerang Usman RA dan membunuhnya. Peristiwa ini memang bernuansa politik. Jadi sejak zaman dahulu kala, provokator memang sudah ada. Fitnah itu memang dahsyat, demikian dahsyatnya, sehingga kitab suci Al Qur'an menggambarkan bahwa fitnah adalah lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah adalah perbuatan yang tidak terpuji, itu jelas. Fitnah menurut kamus adalah perkataan bohong atau tanpa dasar kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang, seperti menodai nama baik atau merugikan kehormatan orang. Fitnah bisa menyebabkar orang baik-baik yang bercitra baik menjadi orang yang bercitra jelek. Fitnah juga bisa menyebabkan seseorang kehilangan kepribadian atau karakternya. Fitnah bisa menyebabkan seseorang dihukum masuk penjara. Fitnah juga bisa menyebabkan orang atau kelompok saling bermusuhan, bahkan saling membunuh. Perburuan Osama bin Laden dan kemudian penghancuran Irak oleh Amerika Serikat, agaknya juga sebuah fitnahl yang berawal dari kegeraman Amerika terhadap teroris dan terhadap senjata pemusnah massal yang didugal dimiliki Irak. Setakat ini senjata pemusnah massal itu hanya ilusi. Hari-hari ke depan ini, di tanah Melayu Riau, bila tidak hatihati, kita pun akan menuai badai akibat fitnah. Hidup kita ini merupakan kafilah panjang perbedaan-perbedaan, mulai dari individu, kelompok, suku, agama, bahasa, bahkan juga kepentingan. Pada masyarakat itulah kita akan melaksanakan dua agenda penting, yaitu pemilihan Gubernur Riau dan Pemilihan Umum. Yang namanya pemilihan, tentu hanya ada satu yang tampil sebagai pemenang. Kalaulah boleh semuanya menjadi Gubernur atau semua partai menjadi pemenang Pemilu, biarlah itu terjadi, asalkan bisa memuas semua kafilah tadi. Tapi itu sesuatu yang tidak mungkin. 102
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Di sinilah agaknya kearifan kita semua dituntut, bagaimana secara bijak perbedaan-perbedaan itu disikapi. Terjadinya bias dalam berkomunikasi bisa saja terjadi, karena itu dipengaruhi oleh banyak faktor. Mulai dari hal-hal yang bersifat tidak prinsip, seperti kemampuan komunikator dan komunikan, serta kualitas pesan (messages), sampai kepada hal-hal yang bersifat prinsip seperti latar belakang budaya, adat istiadat, agama, dan sebagainya. Itu belum termasuk kemungkinan adanya dalang, provokator, atau kalangan oportunis yang memang selalu berupaya menciptakan instabilitas atau perbenturan untuk mencari keuntungan pribadi. Itu sudah banyak kita lihat sekarang di tengah rnasyarakat. Ini semua berpotensi untuk menimbulkan salah pengertian antara satu dengan lainnya dari beraneka ragam kafilah itu. Oleh karena itu, orang tua-tua kita berpetuah, biarpun harimau di perut, tapi kambing jua yang keluar di mulut. Dengan kata lain, hal-hal yang tidak layak untuk diperkatakan, tidak perlu diperkatakan, karena itu akan dapat berkembang menjadi fitnah. Kita sudah terlalu sering diadu-domba, bahkan de-mikian seringnya, sehingga banyak cerita yang sudah melegenda. Tidakkah kita mampu berkaca dan kemudian lebih cermat membaca tandatanda. Kita tentu tidak ingin penyesalan terjadi seperti Panglima Umar atau Awang Mahmuda itu, dan kita juga tentu tidak ingin mengalami nasib tragis seperti Hang Jebat. Tak usahlah marah dibilang loyang, karena emas tetaplah emas, meski dalam lumpur sekalipun. (20 April 2003)
103
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
5 Sayang Sayang Selat Negeri-negeri Melayu adalah negeri dengan peradaban selat. Berbasah-basahan dengan air, atau seperti yang dikatakan oleh seorang kawan, yaitu negeri-negeri yang tumbuh dan berkembang senafas dengan riak air dan deburan gelombang. Seperti juga Malaysia, Singapura, Brunei, dan beberapa wilayah lainnya termasuk Thailand Selatan dan Mindanao di Filipina. Pada masa lampau, akibat politik dan penjajahan, negeri-negeri Melayu itu akhirnya terpisah. Narnun uemikian, meski terpisah oieh batasan teritor namun mereka semua tetap merasa dekat karena disatukan oleh sebuah ikatan yang sama, yaitu sama-s berbasis kebudayaan Melayu. Atas nama kesamaan akar kebudayaan itu, belum lama ini (tepatnya tanggal 4—7 September 2002), di Bengkalis dilaksanakan sebuah helat kebudayaan yang cukup besar, yang diberi nama Sayang Sayang Selat. Helat budaya yang diikuti oleh kalangan budayawan, seniman, akademisi, dan masyarakat itu, selain menyuguhkan pertunjukan seni lintas negara, juga diisi dengan perbincangan kebudayaan yang melibatkan para pakar; sejumlah negara, seperti dari Malaysia, Singapura, Riau, dan juga Jepang. Oleh panitia, saya juga diundang dalam helat kebudayaan tersebut. Berbeda dengan yang lain, saya datang tidak untuk memberikan sambutan atau membawa makalah tentang kebudayaan, tapi diminta untuk membaca puisi (sesuatu yang sudah lebih 20 tahun tidak saya geluti). Karena keterbatasan waktu, saya hanya sempat membacakan satu puisi "Mencari Sebuah Masjid" karya Sastrawan Taufik Ismail, meskipun saya sudah menyiapkan beberapa buah. Saya tidak tahu apakah saya membacanya dengan bagus atau tidak. Bagi saya itu tidak lagi begitu penting, yang jelas saya sangat menikmati
104
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dan melakukannya dengan gembira (begini-begini, pernah juara baca puisi, wak, tapi dulu, he, he, he...). Dalam pandangan saya pribadi, dialog-dialog, atau gerakan kebudayaan, seperti Sayang Sayang Selat atau kegiatan yang senafas dengan itu, adalah suatu yang sangat positif dan harus terus dilakukan. Hiruk-pikuk pembangunan yang seringkali lebih mengutamakan pada hal-hal yang berbau fisik dan material, selalu akan hanva melahirkan sebuah ketidakseimbangan yang pada gilirannya akan membuat sebuah negeri menjadi kehilangan aura dan ruh. Dengan kuatnya gerakan kebudayaan beriringan di sisi pembangunan di bidang lain, maka akan selalu besar kemungkinan bagi sebuah puak atau negeri untuk berada dalam wadah keluhuran. Lebih dari itu, gerakan kebudayaan menjadi penting, terlebih lagi pada masa sekarang, pada hemat saya, bukan saja karena kebudayaan atau seni dapat meredakan dan menetralisir perilaku masyarakat modern yang cenderung anomi, kejam, agresif, dan serba masif, seperti yang diisyaratkan oleh Matthew Arnold, tapi juga karena kebudayaan itu, terutama bagi orang Melayu, adalah sumber jati diri. Sebagai sebuah sumber jati maka semangat dan gerakan kebudayaan harus terus ditumbuhkan, harus terus diperjuangkan, sehinggas kemajuan yang kita capai adalah sebuah kemajuan yang tidak tercerabut dari akar, tidak menjadi sebuah kemajuan yang mengawang-awang. Tapi sebaliknya adalah sebuah kemajuan yang memiliki nilai kemuliaan dai\ tetap mengakar pada nilai luhur kebudayaan Melayu. Apabila dihubungkan dengan Visi Riau 2020, yang bercita-cita untuk menjadikan Riau sebagai Pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, maka geliat gerakan kebudayaan, semacam Sayang Sayang Selat dan yang sejenis dengan itu, menjadi suatu hal yang sangat mendukung, karena dari pertemuan semacam itu, kita menjadi dapat merumuskan secara lebih baik arah pembangunan kebudayaan yang kita idam-idamkan. Kondisi-kondisi dan cara pembangunan budaya 105
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
yang dilakukan negara lain dalam satu kawasan, semisal Malaysia dan Singapura, dapat menjadi pembanding yang baik bagi Riau, sehingga Riau dapat pula menentukan suatu model pembangunan kebudayaan yang sesuai dengan kondisi Riau terkini. Jika tidak demikian, maka sebaik dan sebesar apa pun cita-cita kebudayaan yang kita pancangpkan, tidak akan mendapatkan hasil yang maksimal. Dalam kunjungan saya ke Singapura memenuhi undangan pemerintah negeri itu beberapa waktu lalu, "Singapore Radio" sempat melakukan interview dengan saya dan terus terang saya tergugah karena wartawatinya banyak bertanya tentang "Malay Culture". Ini sejalan dengan pemikiran kita betapa kebudayaan Melayu harus menjadi nafas pembangunan yang sedang kita galakkan entah itu politik atau ekonomi. Singapura nampaknya sedang berusaha keras agar budaya Melayu itu tetap menjadi salah satu konstituen utama dalam jati diri baru orang Singapura. Pada era otonomi daerah ini, kita memiliki sedikit keleluasaan dan peluang dalam menetapkan kebijakan nernbangunan pada segala bidang. Selain itu, otonomi juga membuat kita memiliki kemampuan yang lebih memadai secara finansial. Dan tentu saja dari peluang kebijakan dan material yang ada pada Riau saat ini, khusus pada lapangan kebudayaan, akan membuat kita bisa melakukan pengembangan pembangunan kebudayaan itu secara lebih baik dan terarah. Terlepas dari "keleluasaan" yang ada pada kita, saya juga mempercayai, bahwa maju mundur pembangunan kebudayaan juga sangat tergantung pada "kehendak kebudayaan", pada pihak kita, baik itu pelaku kebudayaan, pemegang teraju negeri, dan juga masyarakat. Untuk itu, mungkin diperlukan kesamaan sikap dalam menjayakan kebudayaan ini, sebagai bagian dari pembangunan diri dan martabat negeri. Dengan kesamaan sikap dan didukung pula dengan kesatuan masyarakat Riau, saya kira, menjadikan Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu dan menemukan jalan te-rangnya bukanlah suatu Utopia. 106
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Gerakan pembangunan kebudayaan merupakan hal yang mesti terus ditumbuhkan dan diberi laluan, khususnya jika kita tidak ingin pembangunan memangsa anak-anaknya. Strategi pembangunan kebudayaan itu pula harus terus dirapikan, sehingga kelak masanya tiba, negeri ini wujud sebagai sebuah negeri yang maju dengan nilai kebudayaan yang ranggi. Dan bahkan menjadi "Selat Kebudayaan" Melayu dengan irama gelombang dan aroma tersendiri di antara gemuruh-gemuruh gelombang dan aroma selat kebudayaan dunia yang lain. Semoga. (22 September 2002)
107
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
6 Balada Riau Tanggal 9 Agustus tahun 2002 ini Riau genap berusia 45 tahun semenjak terjadinya pemekaran Provinsi Sumatera Tengah menjadi tiga provinsi, yakni Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Air mata kebahagiaan Wan Ghalib dan kawan-kawan ikut menandai berdirinya Provinsi Riau ketika itu. Sejak itu pulalah Riau mulai merangkak, belajar berdiri, dan mulai berlari mengejar mimpi-mimpi, untuk kemudian hari menjadi provinsi yang terkemuka di Indonesia. Tanggal 19 Juli tahun 2002 ini, bilamana Rancangan Undang Undang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau, sebagaimana banyak dilansir media massa, jadi disetujui oleh DPR RI, barangkali air mata Wan Ghalib dan kawan-kawan akan kembali menetes. Riau ditakdirkan "mati muda" sebelum sempat memberikan sesuatu yang lebih bermakna bagi masyarakatnya. Bila Kepulauan Riau ditakdirkan menjadi provinsi terpisah, maka ini adalah sebuah kenyataan pahit, sebuah kado yang sangat getir untuk HUT Provinsi Riau yang ke-45. Ini sebuah nadir dalam sejarah berdirinya provinsi Riau. Apalagi suara gagasan pembentukan provinsi Riau Pesisir yang semula sayup-sayup, kini mulai semakin nyaring. Sayup-sayup di kejauhan, dibawa angin lalu, terdengar pula celoteh gagasan atau wacana pembentukan Provinsi Indragiri. Tahun 2002 ini agaknya merupakan tahun sulit dan titik balik dalam sejarah Provinsi Riau. Badai sangat besar sedang melanda, walaupun Meneg Lingkungan Hidup Dr. Nabiel Makarim menyatakan, badai El Nino maupun La Nina tidak mengancam serius. Di Riau agaknya muncul terlalu banyak "front pertempuran". Cobalah catat baikbaik! Di samping masalah usul pembentukan Provinsi Kepulauan Riau itu, ada masalah pasir laut, ada masalah Otorita Batam, masalah CPP Block, dan masalah tiga desa antara Kabupaten Kampar dan 108
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kabupaten Rokan Hulu. Semua masalah ini menumpuk di pemerintahan pusat, terutama di DPR RI. Hampir tak ada hari tanpa masalah Riau, seakan kawan-kawan di DPR RI lupa dengan agendaagenda nasional, yang sesungguhnya menjadi suatu keniscayaan untuk mereka pikirkan sebagai konsekuensi logis dari tugas mereka. Karena hampir tiada hari tanpa menyebut Riau, maka ada anggota dewan yang terhormat di sana memplesetkan kepanjangan DPR RI itu sebagai "Dewan Perwakilan Rakyat Riau". lye tak iye. Kalau pusat setiap hari membicarakan Riau dan hasilnya adalah program-program bantuan untuk mengetengahkan kembali rakyat Riau yang selama ini terpinggirkan, maka itu tentu sebuah pekerjaan yang mulia dan patut kita hargai. Tapi masalahnya lain. Semua orang sudah tahu, Riau mendapat atensi yang luar biasa, apalagi penyebabnya kalau bukan ada udang di balik batu. Sudah menjadi rahasia umum, konon kalau bukan karena "kemenyan" takkan prokontra Kepulauan Riau dipelihara dalam waktu yang demikian lama. Dalam, masalah pasir laut pula, anak kecil juga tahu, betapa banyaknya kepentingan bisnis kelompok-kelompok tertentu di sana. Masalah yang semula sederhana berkembang bak benang kusut. Tak jelas lagi yang mana pangkal yang mana ujung. Padahal, pembeli pasir laut itu hanya Singapura dan penjualnya hanya Riau, Andaikan Pemerintah Pusat percaya kepada Gubernur yang menjadi wakilnya di daerah, maka Pemerintah Republik Indonesia ini tidak akan "telanjang" di depan mata Singapura. Serahkan masalah pasir itu kepada Gubernur dan para Bupati sesuai dengan semangat otonomi daerah (dan memang masalah pasir memasir itu urusan daerah), para eksportir lama yang sudah malang melintang diakomodasi, para eksportir baru diseleksi dan difasilitasi. Iuran yang merupakan bagian pusat setor ke pusat, hak kabupaten setor ke kabupaten, hak provinsi setor ke provinsi dalam semangat reformasi dan transparansi. Bila itu dilakukan, masalahnya tidak akan berkembang runyam. Keuntungan akan mengalir secara proporsional kepada pengusaha, kepada 109
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Pemerintah Pusat dan daerah, dan kepada masyarakat berupa dana Community development, Last but not least, ada kepastian hukum, tidak ada saling curiga dan saling fitnah. Kalau kita kompak, Singapura pasti tidak berkutik. Masalah Otorita Batam, adalah "ladang" lain, demikian juga masalah tiga desa yang diperebutkan Kampar dan Rokan Hulu, semuanya berpeluang sebagai "pabrik kemenyan". Semakin berlarutlarut masalah ini semakin menguntungkan pihak-pihak tertentu. Dalam hati saya sering bertanya, sampai seberapa lama para pihak ini kuat adu stamina. Bukankah yang menjadi korban adalah programprogram pembangunan yang tidak sempat mendapatkan perhatian secara penuh karena konsentrasi para penyelenggaranya terpecahpecah? Itu belum kalau kita berbicara tentang bisnis kehutanan dan bisnis perkebunan. Dengan mengusung nama koperasi dan kepentingan rakyat, pusat demikian mudah memberikan rekomendasi kepada kelompok-kelompok tertentu tanpa bertanya kepada orang daerah. Agaknya, seandainya Provinsi Riau bukan daerah yang kaya akan sumber daya alam, campur tangan pusat terhadap daerah ini tidak akan sehebat sekarang. Kita tidak terkejut dengan keprihatinan Wakil Presiden Hamzah Haz terhadap lambatnya pembangunan di Riau dibandingkan dengan kekayaan alam yang dimiliki. Pernyataan itu memang sudah sewajarnya. Pernyataan itu hanya memperkuat kenyataan, bahwa kita hampir tidak sempat berbenah karena disibukkan menghadapi berbagai macam masalah akibat sikap pusat yang "bias" terhadap paradigma baru otonomi daerah. Pusat misalnya, bisa "lepas" terhadap provinsi lain, tetapi ketika berhadapan dengan Riau, segalanya menjadi sarat dengan kepentingan. Lihatlah bagaimana pendekatan pusat terhadap masalah Kepulauan Riau. Cermati juga masalah CPP Block! Teroka juga masalah Otorita Batam kaitannya dengan Free Trade Zone dan Pemerintah Kota Batam. 110
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Semuanya tarik-menarik dalam suasana suuzon yang sangat kental antara satu pihak dengan lainnya. Kita tidak tahu sampai kapan suasana seperti zaman "wild wild west" ini terus dipelihara, ketika koridor hukum dan peraturan perundangan tidak menjadi bingkai. Logikanya tentu amat sederhana. Bila hukum dan peraturan perundangan itu diinterpretasikan sesuai dengan kehendak kita, maka jangan kebakaran jenggot bila suatu saat orang lain membuat interpretasi berbeda. Sekali lagi, bila Kepulauan Riau ditakdirkan menjadi provinsi terpisah, Provinsi Riau sebagai provinsi induk tidak akan kiamat. Tapi bahwa ini sebuah kemalangan bagi Riau, itu tidak dapat dipungkiri. Secara psikologis, kondisi itu telah meruntuhkan kepercayaan terhadap hukum dan peraturan perundangan yang berlaku. Semogalah kemalangan dan kesulitan ini membuat kita lebih bijaksana. (14 Juli 2002)
111
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
7 Etika Kehendak Beberapa hari yang lalu, dalam aksi mendukung pembentukan "Provinsi Kepulauan Riau", terjadi peristiwa pembakaran beberapa patung orang yang dianggap menghalangi tujuan pembentukan tersebut, termasuk patung saya. Tentu saja, patung-patung tersebut hangus dimakan api. Terus terang, saya tidak tersinggung, juga tidak marah pada orang-orang yang membakarnya. Itu kan patungpatungan. Yang menjadi pertanyaan, memang, mengapa ada gagasan itu? Ada apa dengan gagasannya? Sebab gagasan pembakaran itu, dari satu sisi dapat memberikan arti negatif, bahwa _ telah terjadi pergeseran paradigma dan nilai dalam diri Melayu. Orang Melayu yang selama ini dikenal sangat santun, dengan kejadian itu akan segera dipandang sebaliknya, keras dan memaksa. Realitas pergeseran nilai itulah yang membuat saya termenung dan merenung. Apa tanda kerja bermanfaat Memegang sunnah mengikut adat Banyak faedah besar manfaat Dunia akhirat beroleh rahmat Saya kemudian jadi bertanya dalam hati, apakah pembakaran patung itu sudah dilandasi dengan seperangkat epistemi moral kebudayaan, atau paling tidak sebuah keyakinan, bahwa dengan hangusnya patung-patung tersebut, maka semua keinginan akan tercapai? Tidakkah pembakaran patung tersebut justru akan nienjadi tanda bahwa kita sebenarnya telah kehilangan "pegangan", serta mengikis sisi-sisi penting dari kesan-tunan Melayu itu sendiri. Mengapa pula, demi kehendak, kita harus meniru budaya-budaya yang
112
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
membuat kita tercerabut dari peradaban kita yang luhur. Tapi nak cakap pade siape? Keinginan saudara-saudara saya dari Riau Kepulauan, untuk membentuk provinsi sendiri, bukanlah suatu hal yang salah ataupun melawan hukum. Sebagai pribadi, saya sangat menghormati semangat itu. Namun demikian, persoalan Riau Kepulauan, pada hemat saya, bukanlah soal menjadi provinsi atau tidak, tapi lebih rnenjurus kepada soal percepatan pembangunan di semua bidang. Itu yang harus dilakukan. Jika saudara-saudara saya dari Riau Kepulauan mengatakan, bahwa ketertingggalan (keterlambatan pembangunan) disebabkan oleh "kezaliman" Pekanbaru, tanyelah sama orang pekanbaru iye ke. Barangkali begini, bahwa pada masa lampau, kita sama-sama dizalimi oleh pusat kekuasaan yang otoriter. Baru kemudian, setelah terjadi reformasi dan perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan, segala sesuatunya berubah, dan kita memiliki kewenangan yang cukup besar untuk mengatur diri sendiri. Dalam kondisi yang sekarang, semestinya kita bersatu untuk membangun Riau ke depan menjadi Riau Raya, sebagai-jnana kita memulainya secara bersama-sama pada tahun 1950-an. Lebih dari itu, berkait dengan percepatan pembangunan, maka saya kira persoalannya bukanlah berhubungan dengan keharusan menjadi sebuah provinsi. Bukankah Undang Undang Otonomi Daerah sudah mengatur, bahwa otonomi tersebut terpusat di kabupaten dan kota? Karena undang-undang sudah mengatur demikian, maka secara mendasar, persoalan keinginan untuk membangun daerah secara lebih baik sudah menemukan jalan. Untuk sampai kepada pembangunan yang diidam-idamkan itu, menjadi tugas pemerintah setempatlah (masing-masing kabupaten/kota) untuk melakukan berbagai kebijakan demi mempercepat pembangunan itu sendiri. Selain itu, karena setiap kabupaten/kota sudah otonom, maka persoalan rentang kendali juga sudah tidak menjadi persoalan yang menakutkan.
113
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Jika memang tujuan semua ini adalah "kemakmuran" masyarakat dan kemudian jalan kemakmuran masyarakat itu telah tampak melalui kebijakan otonomi yang dilaksanakan di kabupaten/kota, maka mengapa "provinsi" harus menjadi satusatunya pilihan? Andai benar. kemakmuran yang menjadi esensi, yang menjadi hakikat, saya kira, sebagai sesama saudara kita bisa duduk semeja memperbincangkan "kemungkinan kemakmuran" itu. Dengan duduk bersama, pastilah kita akan menemukan solusi yang lebih baik untuk Riau dan kemaslahatan negeri yang kita cita-citakan. Lain soalnya kalau semua ini menyangkut "kepentingan" para pihak tertentu. Saya tentu saja tidak berharap demikian. Perjuangan yang dilakukan bukanlah sesuatu yang salah, namun bila itu dibingkai dengan semangat kebudayaan Melayu yang agung, yaitu dengan kesantunan, penuh kesopanan dan keterhormatan, tentulah akan lebih seronok dan mengesankan. Ungkapan Albert Camus berikut agaknya menarik, "Kami tidak merendahkan apa pun demi negara kami, kebenaran pasti menang melawan kepalsuan". Albert Camus agaknya benar mengapa mesti panik, saat-saat yang dinantikan itu akan datang, ketika kebenaran menang melawan kepalsuan. Sopan santun itulah etika kita, dan itu juga yang harus mewarnai setiap kehendak yang kita impikan. Sebesar apa pun kehendak itu. Kita tentu saja tidak ingin kebengisan menjadi gurat-gurat wajah kita yang baru, sebab itu akan menghina "lenggang dan lenggok" budaya yang menjadi pakaian kita zaman-berzaman. Jadi, persoalan pembakaran patung-patung yang dilakukan di Tanjung Pinang itu, terus terang saya tidak begitu mempersoalkannya secara pribadi walaupun banyak yang merasa keberatan. Biarlah itu menjadi kenangan. Memahami hal itu, tiba-tiba saja saya teringat pada H.G. Wells, yang mengatakan, bahwa masalah di masa lain akan menjadi lelucon di masa depan. Wells agaknya benar, saya membayangkan sepuluh tahun mendatang ketika anak cucu saya melihat patung Chaidir yang perutnya buncit digotong dan kemudian 114
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dibakar beramai-ramai, dari kliping koran yang masih tersisa, mereka tentu tertawa sebab mereka tidak tahu permasalahannya. Lagipun mereka tak akan ambil pusing. Gus Dur benar, adakalanya kita perlu berkata, begitu aja koq dipikirin. (12 Mei 2002)
115
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
8 Islah Islah Islah Kata yang paling populer minggu ini dan beberapa hari mendatang adalah lebaran. Dari aspek semantis, lebaran jelas bermakna hari raya umat Islam, yang jatuh pada tanggal 1 Syawal dalam bulan Arab. Lebaran 1 Syawal disebut juga Hari Raya Idul Fitri. Di Semenanjung Malaysia lebih populer dengan sebutan Hari Raya Aidil Fitri. Dari aspek sosiologis, lebaran agaknya bisa bermakna ketupat, kelamai, baju baru, atau juga mudik. Namun yang paling konseptuai adaiah, lebaran bermakna sila-turahim. Memulai hidup baru dengan semangat islah dalam suasana silaturahim, hubungan antarmanusia yang lebih akrab, bersahabat, dan bermartabat. Selama bulan Ramadhan, umat Islam telah melatih diri membangun hubungan persaudaraan, kebersamaan, dan rasa senasib sepenanggungan. Orang-orang yang karena kemampuan ekonominya tidak sepatutnya menanggung lapar dan haus, secara ikhlas melakukannya, bahkan kemudian membagikan sebagian hartanya untuk fakir miskin dan anak yatim. Hawa nafsu keduniaan dikenda-likan sedemikian rupa. Oleh karenanya, bagi umat Islam Yang menunaikan ibadah puasa Ramadhan dengan penuh kesungguhan, berhak merayakan Idul Fitri sebagai hari kemenangan. Semua umat Islam di seluruh dunia, dalam suasana Idul Fitri ini menyapa antarsesama. Menyapa dan bersalaman, menyapa dan bersalaman tak hentihenti. Kata-katanya pun sederhana namun sarat makna: Selamat Idul Fitri mohon maaf lahir dan batin, minal aidin walfaidzin. Lebaran memang sekaligus memiliki dua dimensi, yakni dimensi vertikal (Hablumminallah - hubungan dengan Allah) dan dimensi horizontal (hablumminannas -hubungan dengan sesama 116
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
manusia). Dalam dimensi vertikal, memang hanya umat Islam yang melaksanakan puasa Ramadhan dengan sungguh-sungguh dapat merasakan kemesraan dan getaran hubungannya dengan Sang Pencipta. Namun dalam dimensi horizontal, lebaran agaknya telah menjadi milik bersama. Untuk Indonesia misalnya, kehangatan persaudaraan Idul Fitri itu tidak hanya terjadi antarsesama umat Islam, umat agama lain pun ikut menyapa dan bersalaman sembari mengucapkan maaf lahir dan batin bahkan tidak sedikit, yang fasih mengucapkan minal aidin walfaizin. Padahal idiom ini sesungguhnya eksklusif. Tema silaturahim dalam arti mempererat hubungan antarsesama dengan saling memaafkan adalah tema sentral dalam agenda lebaran. Konsep Idul Fitri sesungguhnya adalah anugerah yang luar biasa dari Sang Pencipta kepada umat manusia, setelah umat manusia itu diciptakan berkaum-kaum. Bukankah Allah SWT. telah berfirman, sebagaimana tercantum dalam kitab suci Al Qur'an Surat Al-Hujurat ayat 13, "Hai manusia, Aku menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal". Pemahaman kita terhadap ayat tersebut adalah, bahwa pluralisme itu hukum alam, kodrati, atau sunnatullah. Dengan demikian, kemajemukan, keragaman, atau kebhinekaan tidak mungkin kita hindari. Mengingkari pluralisme sama saja mengingkari sunnatullah dan itu pekerjaan yang sia-sia. Kafilah panjang bangsabangsa dan suku-suku itu bahkan kini lebih diperpanjang lagi dengan munculnya kelompok-kelompok, organisasi-organisasi, atau partaipartai, masing-masing dengan bendera dan kepentingannya. Misi atau kepentingan yang berbeda menyebabkan timbulnya potensi konflik. Potensi konflik menjadi mengakar manakala barisan kafilah tersebut tidak memperoleh perlakuan dan kesejahteraan yang sama. Padahal jelas, apabila kesejahteraan itu merupakan outcomes dari sebuah sistem, dia pasti tidak akan sama, walaupun faktor 117
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
inputnya sama. Hal ini disebabkan karena kelompok-kelompok, sukusuku, atau bangsa-bangsa yang membentuk barisan panjang kafilah kehidupan itu satu dan lainnya memang tidak pernah sama. Jangankan antara kelompok atau suku bangsa, antara individu satu dengan lainnya saja sudah berbeda. Kepala boleh sama-sama hitam atau sama-sama botak, tapi pikiran tetap tidak sama. Entah nanti, 200 atau 500 tahun yang akan datang, apabila teori kloning manusia telah demikian canggihnya sehingga mampu diciptakan dua, tiga, atau empat atau lebih manusia kembar yang sama dan sebangun baik dalam bentuk maupun dalam sifatnya, tapi rasanya itu mustahil. Oleh karena itu, apa yang terungkap dalam dialog yang sangat mengesankan antara Nabi Muhammad SAW. dengan pengikutnya di Madinah pada hari-hari terakhir sebelum beliau wafat patut menjadi perenungan kita. Dengan tatapan santun seorang pemimpin yang bijak bestari, Nabi bertanya kepada pengikutnya, "Jika kelak Romawi dan Persia telah berada dalam genggaman kalian, apakah yang akan kalian lakukan?" Para sahabat segera menjawab, "Kami akan bersikap seperti kebiasaan kami selama ini, ya Rasulullah. Kami akan selalu tawakkal dan bersahaja". Namun seakan tahu apa yang bakal terjadi di masamasa sepeninggal dirinya, Beliau lantas menyanggah, "Tidak. Kalian akan berlomba-lomba mencari kekayaan dan saling mementingkan diri dan kelompok sendiri, serta tidak toleran terhadap kelompok lain, meski mereka adalah saudaramu sendiri. Pada saat itu kalian akan menduga bahwa berperang demi harta dan jabatan adalah jihad di jalan Allah, sehingga kalian akan menjadi binasa kecuali jika kalian bertakwa". Beratus-ratus tahun kemudian, abad datang silih berganti, sejarah telah membuktikan secara berulang-ulang tentang kebenaran ucapan Nabi Muhammad SAW. ini. Lebaran tahun ini kita rayakan di tengah polarisasi kelompok kepentingan yang tajam di tengah masyarakat. Masing-masing konstituen kafilah kehidupan itu berlomba-lomba merebut kekayaan dan kekuasaan sebagaimana diprediksi oleh Nabi SAW. itu. Beda 118
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pendapat yang mestinya menjadi kawan berpikir untuk mempertajam konsep telah bermetamorfosa menjadi saling melemahkan, bahkan saling meniadakan satu dengan lainnya. Pertelagahan terjadi di manamana dan seakan tak terdamaikan. Kelembagaan Datuk dan Ninik Mamak tidak lagi mendapatkan apresiasi selayaknya dari cucu dan kemenakan. Para pemimpin pula tidak memiliki kredibilitas dan integritas sebagai mediator. Bangsa kita agaknya sedang mengalami krisis akhlak yang sangat serius. Banyak orang berbicara tentang islah nasional sebagai salah satu jalan keluar. Esensi moral islah adalah silaturahim dan saling memaafkan. Tapi maaf-memaafkan saja tidak cukup. Itu semua harus diselimuti oleh akhlak dan budi pekerti yang mulia, yang menimbulkan rasa saling percaya. Selamat Hari Raya Idul Fitri, minal aidin walfaizin, mohon maaf lahir dan batin. (8 Desember 2002)
119
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
9 Balada Huzrin Hood NAMA Huzrin Hood adalah nama yang sering terucap dari setiap bibir dalam hampir tiga tahun otonomi daerah menjadi paradigma baru pemerintahan di negeri ini. Hampir tiada hari bagi sebuah surat kabar tanpa menulis namanya dan tentu hampir tiada hari bagi pembaca tanpa menyebut namanya. Nama Huzrin Hood disebut dalam suka dan nestapa, terpendam da-lam simpati dan antipati, terbayang dalam benci tapi rindu. Sebanyak yang suka, sebanyak itu pula yang tidak suka. benang dan tidak senang tidak berjarak sejaurT mata memandang, tapi berada dalam satu ruang yang boleh dikata tidak pula lapang. Hitam dan putih har beda-beda tipis. Salah dan benar ada kalanya bisa dipisahkan tapi sulit dibedakan. Mengelaborasi Kahlil Gibran, kebaikan dan keburukan walau bisa diketahui, tapi lebih sering sulit dikenali apalagi dari pakaian dan asesorisnya. Tentu semua itu manusiawi. Itu pertanda bahwa Huzrin Hood adalah manusia. Kendati namanya sering diasosiasikan dengan Robin Hood, pahlawan dalam cerita dongeng Inggris itu. Pembaca surat kabar, pendengar radio, pemirsa televisi, mereka juga manusia yang hidup dalam alam nyata. Mereka bukan malaikat. penjahat dan polisi adalah manusia, pengacara dan jak-sa juga manusia. Tuan dan hamba semuarya manusia. Manusia adalah manusia, memiliki peluang yang sama. Di depan satwa membusungkan dada sebagai makhluk paling sempurna, tapi di depan Sang Pencipta mengaku sebagai makhluk tak sempurna, apalagi bila berbuat dosa. Tapi yang namanya manusia, selalu bisa mencari "tempat jatuh", seperti kata orang bijak; "kesempurnaan manusia itu terletak pada ketidaksempurnaannya." Maka semua insan punya peluang yang sama untuk berbuat dosa dan
120
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
mengaku itu sebagai takdir manusia yang memang diciptakan tidak sempurna. Huzrin Hood adalah sebuah fenomena atau barang-kali sebuah contoh soal betapa tidak tentu dan tidak terduganya hari esok dalam sebuah masyarakat yang sedang mengalami turbulensi seperti sekarang ini. Kita berada dalam masa transisi yang panjang, yang entah kapan akan berakhir. Ibarat sebuah pesawat yang terbang dalam cuaca buruk, kita semua terguncang-guncang, barang-barang berserakan, gelas-gelas berjatuhan, ada yang jatuh pecah menimpa muka dan meneteskan darah. Pertanyaannya adalah, adakah masamasa seperti ini memang hams kita lalui. Tidakkah dapat kita hindari, sehingga tidak perlu ada yang terluka, tidak perlu ada air mata. Luka, betapapun kecil goresannya, akan meninggalkan parut. Belum lagi beberapa purnama berlalu ketika Huzrin Hood dieluelukan sebagai pahlawan perjuangan Provinsi Kepulauan Riau (dan dia memang berhak memperoleh penghargaan seperti itu), dia kemudian ditahan di penjara. Mengejutkan? Pastilah mengejutkan. Tragis? Tentulah iya. Saya tidak hendak berbicara salah-benar dalam kasus penahanan Huzrin Hood. Sebab kasus Huzrin Hood itu multidimensional. Huzrin Hood sendiri beserta keluarga terdekatnya, karena ditempa dalam lingkungan keagamaan yang kuat, rasanya tentu siap secara mental menghadapi musibah itu. Saya teringat suatu kali, pada suatu hari, Huzrin Hood bercerita tentang komentar anaknya yang sedang studi di Kuala Lumpur, sesaat setelah bapaknya terpilih menjadi Bupati Kepulauan Riau. Komentar anaknya: Innalillahi wainna ilaihi roji'un. Respon anaknya tidak lazim, seperti yang sering kita dengar bila orang terdekat terpilih untuk suatu jabatan penting seperti itu. Umumnya ucapan selamat. Tapi anak Huzrin tidak. Dia justru menyampaikan ucapan dukacita, karena jabatan itu menurutnya sebuah cobaan yang apabila tidak dipangku dengan baik, amanah itu akan menjadi musibah. Kalau bukan karena pemahaman yang dalam 121
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tentang ke-Islaman, tentulah anak Huzrin tidak akan bersikap demikian. Terlepas dari salah-benar apa yang dilakukan oleh Huzrin Hood, Bupati Kepulauan Riau, dalam memperjuangkan aspirasi rakyatnya yang ingin meningkatkan status Kepri menjadi provinsi, apa yang diucapkan olph anaknya itu menjadi kenyataan. Jabatan bupati telah menjadi cobaan terbesar dalam perjalanan hidupnya. Yang tidak siap menghadapi musibah ini agaknya bukan Huzrin Hood, tapi gerbong panjang yang dihelanya di belakang. Gerbong ini juga bagian dari "penumpang" pesawat yang terbang dalam cuaca buruk itu, bagian dari masyarakat Indonesia yang sedang berada dalam masa transisi panjang. Ini sebuah tragedi kehi-dupan. Huzrin Hood adalah sebuah contoh, kalau tidak mau disebut sebagai korban turbulensi, keadaan yang tidak menentu, unpredictable dan uncertainty. Dia korban dari tarik-menarik kepentingan sebagaimana disinyalir oleh filsuf Thomas Hobbes beberapa abad yang lampau: helium omnium contra omnes - manusia itu cenderung berperang antar sesama. Penyebabnya, tidak lain adalah konflik kepentingan. Huzrin Hood sendiri dalam peta kepentingan itu adalah juga seorang pahlawan, tinggal memandangnya dari sudut yang mana. Dalam skala nasional, secara struktural, Huzrin Hood hanyalah seorang bupati. Seberapa besar pun kewe-nangan yang diberikan oleh Undang-undang, bupati tetaplah bupati. Ada keterbatasan laman tempat bermain, walaupun oleh sementara kalangan di pusat para bupati dan walikota ini disebut sebagai raja-raja kecil di daerah. Mereka bukan langit yang ketujuh, lapisan yang tertinggi. Di atas langit masih ada langit. Ada ratusan bupati dan walikota, dan di atasnya masih ada 30 gubernur. Namun, walaupun hanya seorang bupati, resonansi Huzrin keras sekali dan tidak boleh diabaikan demikian saja. Apalagi bila kita memandangnya sebagai sebuah drama kemanusiaan yang boleh jadi mewakili realitas benturan-benturan yang terjadi dalam pencarian keseimbangan-keseimbangan baru di tengah masyarakat. 122
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Tragedi Huzrin Hood bagaimanapun telah membe-rikan catatan perenungan kepada kita semua bagaimana harusnya kita memandang atau memposisikan diri secara arif dalam masa transisi yang tidak nyaman itu. Tinggal bagaimana kita menyikapinya sehinggalah tidak menimbulkan luka-luka yang membekas. Balada anak manusia yang bernama Huzrin Hood ini tentulah menarik bila nanti dituangkan dalam suatu autobiografi. Sobat Huzrin, perjuangan memang selalu membawa dua hal, yaitu pengorbanan dan pesan. Anda tentu mafhum. (8 Juni 2003)
123
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
10 Perempuan Penguasa Kata-kata NGERUMPI biasanya identik dengan perempuan. Dengan kata lain, perempuan memang suka memperkatakan atau mempersendakan sesuatu, kadangkala tak kenal waktu. Tapi bahwa perempuan juga bisa menjadi penguasa kata-kata, barangkali juga banyak yang tidak menyangka. Itulah agaknya yang hendak dipertontonkan oleh Herlela, seorang perempuan penulis puisi yang bermastautin di Pekanbaru, Riau. Dengan rasa percaya diri yang sangat tinggi, dia berhasil meng^ gandeng Ibu Aida Ismeth untuk menerbitkan buku antologi puisi yang ditulis oleh perempuanperempuan penulis puisi. Tidak hanya itu, dia pun dengan kawan kawan berhasil mengumpulkan para perempuan penulis puisi senusantara ini untuk membacakan puisi-puisinya di Pekanbaru. Maka, walaupun beberapa lelaki ikut membaca puisi, malam itu jelas didominasi oleh perempuan. Herlela beruntung memiliki kawan seperti Ibu Aida Ismeth yang mendukung penuh penerbitan dan peluncuran buku itu. Padahal, kalau dilihat kasat mata, Herlela dan Aida Ismeth berbeda bak siang dan malam. Aida Ismeth (tentulah perempuan), adalah seorang isteri dari pejabat penting yang bermastautin di Batam, dosen Universitas Indonesia pula, sedangkan Herlela? Herlela adalah nobody, sepeda motor buruknya pun terbatuk-batuk ketika mengantarkan undangan ke rumahku, tapi dia bahagia dan selalu tertawa berderai-derai. Namun kedua perempuan ini memiliki dedikasi yang tinggi terhadap dunia seni-budaya. Puisi mempersatukan mereka, membuat tidak ada jurang pemisah antara si miskin dan si kaya. Karena itulah agaknya seorang pemenang Nobel Sastra, William Buttler Yeats, mengatakan, Irlandia yang sejahtera menjadi indah karena sastra dan puisi, juga balada. 124
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Penyair adalah penguasa kata-kata. "Tapi mereka tidak mengendalikan kata-kata secara otoriter, memangkas atau mencukur", kata penyair Taufik Ismail. "Mereka akan duduk santai, terbaring terpejam, membiarkan kata-kata mengukur emosinya, dan bernikmat-nikmat dengan kata-kata untuk mendapatkan pencerahan". Itulah agaknya yang dilakukan oleh penyair-penyair perempuan kita ini. Tidak semua penyair yang memberikan kontribusi puisi dalam buku antologi tersebut hadir, tetapi agaknya kehadiran penyair dari Nangroe Aceh Darussalam, Sumbar, Makassar, Malang, dan Jawa Tengah cukup mewakili kawan-kawannya. Ham-pir semua perempuan penyair Riau tampil malam itu, sebut saja Murparsaulian, Hasnah Dumasari, Tien Marni, Herlelaningsih, dan beberapa penyair muda yang berbakat seperti DM. Ningsih. Lebih jauh, Naisbitt dalam Megatrend 2000 menjelaskan, bahwa pada abad ke-21 seni akan menunjukkan suatu peran yang lebih besar dalam hubungan antar manusia, bahkan antarbangsa. Mengelaborasi Naisbitt, kemajuan teknologi yang berkembang dengan pesat akan membuat batas-batas teritorial dalam hubungan antar negara menjadi hilang. Manusia seakan-akan berada dalam sebuah kawah besar, di mana antara yang satu dengan yang lain akan dapat saling berhu-bungan dengan cepat. Kondisi ini pada gilirannya akan berpotensi mengaburkan identitas manusia itu sendiri. Maka pada masa depan, kata Naisbitt, hanya agama dan seni yang mampu menjadi identitas dan la tar kebu-dayaan seorang manusia, sebuah puak atau negeri. Naisbitt mungkin tak berlebihan tentang kecenderungan globalisasi itu. Tapi mengapa seni? Jawabnya, karena seni berangkat dari nilai dasariah kebudayaan manusia, dan karena ia memiliki kemampuan bertahan relatif lebih kuat dari hal-hal lain. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh penyair TS. Eliot, yaitu karena seni merupakan sebuah sumber jatidiri. Hanya saja, kata Eliot, meskipun seni merupakan sebuah jatidiri, ia tetap-lah sesuatu yang harus diperjuangkan, sesuatu yang harus dikembangkan. 125
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Beberapa pendapat di atas memberikan kita sebuah simpulan sederhana, bahwa seni dengan segenap perkembangannya merupakan suatu hal yang sangat penting, dan untuk itu harus dikembangkan dan didukung secara maksimal sehingga dapat berjalan secara sepadan dan bersanding setanding dengan bidang-bidang lain. Kita bersyukur, kreativitas kesenian di Riau telah menunjukkan suatu kemajuan yang signifikan, sehingga kita tidak perlu khawatir, andaipun ramalan Naisbitt seperti yang dilansir di atas menjadi kenyataan. Kita, dengan gemuruh perkembangan seni yang saat ini berlangsung tidak hanya di Pekanbaru, tapi juga pada tingkat kabupaten dan kota, sudah memiliki kesiapan secara baik dalam hal penunjukan identitas. Namun dernikian, tentu saja gerakan pencarian dan pemantapan harus terus dilakukan, sehingga seni tidak hanya selesai sebagai tanda atau identitas semata, tapi jika bisa, harus sampai pada tahap menjadi jatidiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa karya sastra merupakan manifestasi kehidupan jiwa bangsa dari abad ke abad. Di dalam karya sastra terkandung nilai-nilai budaya yang mencerminkan kehidupan manusia pada waktu tertentu. Karya sastra merupakan khazanah ilmu pengetahuan dan budaya. Oleh karena itu, penghayatan terhadap karya sastra akan memberikan keseimbangan antara pemerolehan ilmu pengetahuan dan teknologi di satu pihak dan pembangunan jiwa di pihak lain. Keselarasan keduanya sangat berperan dalam pembangunan manusia. Semoga ke depan semakin banyak perempuan-perempuan yang mengokohkan dirinya sebagai penguasa kata-kata, yang mengajarkan kepada kita tentang kearifan, kejujuran, dan kecerdasan. (7 Juni 2003)
11 126
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
11 Perginya Seniman Pemangku Negeri Negeri pujangga ini kembali kehilangan seorang pujangga terbaiknya, Idrus Tintin. Dia pergi dalam kesepian ketika negerinya berada dalam kegilaan kebendaan yang seakan tak terobatkan, sebagaimana dikeluhkan oleh Wordsworth; Dunia selalu saja bersama kita, siang dan malam, Ambil dan habiskan, kita boroskan tenaga kita. Kita abaikan alamyang jadi milik kita Tapi Idrus Tintin memilih sepi. Dia selalu berjarak^ dengan keduniaan, kendati dia berada di sana. Dia selalu ingin bermanjamanja dengan mimpi-mimpinya sampai akhir hayatnya. Dalam sebuah buku Kesatuan Kreatif Rabindranath Tagore, diungkapkan, seorang penyair mengatakan tentang takdirnya sebagai pemimpi, tentang kesia-siaan impian-impiannya, meski impian-impian itu selalu bersamanya: Aku gantungkan di antara insan-insan kepalaku yang tak peduli; Buahku adalah impian-impian, sedangkan buah mereka adalah roti: Insan-insan dunia dan penidur yang terbakar matahari, Akan dipanen maut; tetapi setelah panen, Dunia akan mencari peninggalanku, aku si penidur. Idrus Tintin adalah seorang penyair yang malang-rnujur dalam dunianya. la tak hanya piawai dalam memainkan kata-kata yang kemudian menjadi sajak, tapi juga seorang yang sangat penting dalam perkembangan teater di Riau. Kehidupan kesenimanannya adalah 127
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sebuah perjalanan panjang. Dari sejumlah karya puisinya yang tersebar di mana-mana, juga seperti yang terhimpun dalam bukunya, kita seakan dibawa berkelana dalam sebuah perjalanan spiritual penulis yang berpindah dari satu tempat ke tempat lain dan dari satu persoalan kehidupan ke persoalan kehidupan yang lain. Sastra (kesenian) adalah sebuah sisi yang tak terpi-sahkan dari kehidupan manusia, sebab ia adalah sebuah karya yang diciptakan untuk kemanusian dan untuk memahami diri. Ketika manusia sepakat bahwa kehidupan yang ideal adalah sebuah kehidupan yang di dalamnya terdapat keserasian atau keseimbangan antara peristiwa material dan spiritual, maka kesenian merupakan salah satu dari elemen penting yang ada dalam dunia spiritual yang dicari manusia. Seni menjadi suatu hal yang penting karena dengan kesenian, seorang manusia akan mengerti dari mana kediriannya berasal, sehingga dengan demikian ia menjadi tahu pula ke mana harus melangkah. Dalam dunia yang modern, kepentingan seni semakin terasa, khususnya ketika manusia, entah secara sadar atau tidak dan disebabkan oleh persaingan material, menjadi sebuah sosok yang kehilangan keseimbangan. Dalam kondisi manusia modern yang demikian itu, maka hams ada sebuah media penyeimbang. Selain agama, media itu adalah seni. Mengelaborasi Matthew Arnold, maka peran seni pada dunia yang sekarang adalah untuk menetralisir atau, paling tidak, untuk meredakan kerusakan-kerusakan eksistensi manusia modern yang agresif, materialistis, dan kejam. Negeri ini sesungguhnya sangat menyadari itu. Sastra sebagai sebuah percabangan seni yang berkembang di Riau merupakan sebuah dunia yang gemilang, Disebut gemilang, karena dari kesusastraan inilah, Riau dikenal oleh dunia luar, bahkan lebih dikenal dari dunia politik dan ekonomi. Kegemilangan itu ditandai dengan lahirnya pengarang-pengarang terpilih yang tumbuh pada setiap zaman. Pada penghujung abad ke-19 muncul Raja Ali Haji dengan Gurindam Duabelas dan sejumlah karya lain, kemudian disusul oleh 128
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Raja Aisyah Sulaiman Riau dan Khalid Hitam. Sesudah zaman Raja Ali Haji, pada abad ke-20, tradisi kegemilangan itu terus berlanjut dengan munculnya Suman HS sebagai salah satu pelopor cerpcn dan pcmbaru sastra di Indonesia Seangkatan dengan Suman HS, tumbuh besar pula seorang pengarang perempuan, yaitu Selasih Selegurr yang ikut memberi warna dalam kesusastraan Indonesia dan sekaligus mengokohkan kegagahan Riau pada lapangan sastra ini. Seperti ungkapan Hang Tuah, Esa hilang dua terbilang, patah tumbuh hilang berganti, generasi kepengarangan di bawah Suman HS dan Selasih Seleguri, bermunculan pula sejumlah pengarang terbilang dengan wilayah garapan masing-masing, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, BM Syamsudin, Hasan Yunus, dan sebuah nama lagi yang patut kita sebut dan kita kenang dengan takzim dan penuh rasa hormat, yaitu Seniman Pemangku Negeri (SPN), Idrus Tintin. Dalam pandangan saya pribadi, bagi SPN Idrus Tintin, semua tempat adalah sebuah panggung ekspresi kesenian. Sebagai seniman, ia tidak terikat kepada ruang dan waktu secara ketat, sebab seni baginya adalah sesuatu yang membebaskan diri dari keterikatan alamiah terhadap ruang dan waktu. Riau sesungguhnya memerlukan orang-orang semacam SPN Idrus Tintin ini agar geliat pembangunan dan gemerlap perburuan material tidak tercabut dari akar tunggang sejarah, baik sejarah diri maupun sejarah kebudayaan. Kita juga tidak menginginkan, Riau tumbuh menjadi sebuah negeri yang maju hanya secara fisik, sebab kemajuan satu bidang dan ketertinggalan bidang lain, tidak hanya melahirkan kepincangan, tapi sekaligus akan menyebabkan timbulnya kegamangan kemanusiaan. Sebuah negeri yang ideal, kata William Butler Yeats, adalah sebuah negeri ramai oleh puisi dan balada pada satu sisi, dan memiliki sistem yang kuat pada sisi lain. Keseimbangan semacam inilah yang harus kita capai.
129
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Idrus Tintin. tidak lagi akan pernah bersama kita mengawal keseimbangan itu, tapi penyair tidak pernah dikubur bersama karyanya. Pesan moral melalui puisi-puisinya akan terus hidup dan akan tetap dikenang. Bang Idrus Tintin, selamat jalan. (20 Juli 2003)
130
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 4
131
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
1 Pelajaran dari Prancis dan Korea Bola itu bulat. Inilah muasal dan sumber keyakinan dari gerakan sejarah dalam sepak bola. Bola terus menggelinding, dan sejarah pun berubah, seringkali tak terduga. Kata-kata ini semakin menemukan makna dan kebenarannya jika kita terus menyimak apa yang terjadi di Korea dan Jepang. Di sana, bola yang bulat itu menjadi semacam antitesis, mematahkan se-mua prediksi, serta membuat garis baru pada peta sejarah. Sejarah baru, membentuk diri dalam degup dan harapan, dalam tangis di antara tepukan panjang, bahkan dalam keterpanaan dan ketidakpercayaan pada penyimpangan garisgaris utama sejarah bola itu sendiri. Ya, itulah sepakbola. Sebelum peluit akhir berbunyi, maka segala sesuatu adalah niskala. Prancis adalah contoh korban keniskalaan itu. Siapa tak kenal Prancis. Siapa pun tahu, Prancis adalah sebuah negeri sepak bola yang sasa. Bertabur uang dan bintangbintang kelas satu. Ada Zinedine Zidane, Theiry Henry, Fabian Barthez, dan sejumlah nama besar lainnya yang menjadi jamin-an. Selain itu mereka juga adalah pemegang gelar juara Piala Dunia 1998. Tapi Senegal dan beberapa Negara lemah lainnya membuat Prancis harus mengukir sejarah getir dan tersingkir, bahkan hanya sejajar dengan Arab Saudi dan Tunisia, menjadi juru kunci yang dicaci. Kekalahan Prancis adalah suatu ironi. Di Prancis sendiri, semua kalangan membicarakan kekalahan itu, mulai dari Vice President Rolls Royce yang mengundang kami makan, sampai sopir taksi, yang pada intinya adalah negatif. Menurut mereka, kekalahan Prancis disebabkan oleh arogannya pemain. Mereka merasa besar kepala, sebab mereka adalah Juara Dunia, Juara Eropa, dan pemain dengan bayaran termahal. Popularitas dan uang membuat mereka lupa diri dan mengidap semacam syndrome the best. Perasaan sebagai the best itu 132
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
akhirnya membuat mereka lupa mencermati kekuatan lawan dan kelemahan diri sendiri. Lalu Korea. Luar biasa, fantastis, dan mengagumkan. Inilah kata-kata yang diucapkan banyak orang. Inilah juga sejarah bagi Asia. Di atas kertas, Korea sudah diramalkan tersingkir di babak awal. Tapi, anggapan itu dapat mereka balikkan dengan mempelupuh Portugal dan lawan-lawan satu grupnya. Di enam belas besar, mereka berhadapan dengan raksasa Italia. Orang pun mulai menghitung, berapa kekalahan yang akan mereka derita. Opini publik membuat Korea tak ingin menjadi. pecundang. Hasilnya, sekali lagi mereka menggemparkan dunia, dengan memberikan Italia tiket pulang kampung lewat pertandingan yang dramatis. Ironisnya, golden goal Korea justru disumbangkan oleh pemain Korea yang merumput di klub Seri A Italia, Perugia, yaitu Ahn Jung Hwan. Korea mengajarkan kepada kita, bahwa kesungguhan, kerja keras, dan menjadikan marwah sebagai alas perjuangan akan memberikan hasil maksimal, ketimbang hanya memiliki pemain hebat dengan andalan bayaran mahal. Prancis, Argentina, dan Italia telah berdepan dengan palu godam itu. Sebagai tim favorit yang bertabur bintang dan uang, mereka dikalahkan oleh tim dengan para pemain yang berjuang bukan semata-mata demi uang, tapi juga atas nama spirit dan marwah. Bravo Korea. Pada ruang dan kelas yang berbeda, PSPS Pekanbaru mungkin sama dengan Prancis, bertabur bintang dan uang, tapi kalah di lapangan. Ironis tapi nyata. Kekalahan Prancis dan kemenangan Korea membuat kita harus mengambil iktibar, bahwa pemain-pemain mahal dan taburan uang yang banyak bukanlah satu-satunya jaminan untuk meraih mimpi. Ada persoalan-persoalan lain yang bersifat nonteknis dan nonmaterial, yang juga sangat penting dalam sebuah perjuangan atau permainan, yaitu kesungguhan untuk bermain baik dan menjadikan perjuangan atau permainan yang baik itu sebagai bagian dari gerakan spirit dan marwah. 133
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dalam banyak kasus sepak bola, para pemain seringkali menjadikan mahal-murahnya bayaran sebagai alasan untukk berusaha bermain baik atau tidak. Dari sikap seperti inilah sebetulnya sebuah malapetaka sepak bola dimulai. Seharusnya, para pemain tidak menjadikan jumlah bayaran yang mahal itu sebagai penggesa untuk bermain baik. Yang ideal adalah, bahwa bayaran yang mahal merupakan "risiko" dari permainan cemerlang yang kita suguhkan. Jika pemain memulai pertandingan dengan spirit serta menjadikan uang sebagai "risiko" atau sub-ordinat dari tujuan, maka saya percaya bahwa hasilnya pasti akan berbeda. Korea yang menekuk Italia dan Senegal yang menghempas Prancis dan Swedia telah membuktikan itu. PSPS Pekanbaru memang telah gagal menjadi yang terbaik di pentas Ligina, tapi pesta itu belum usai dan the show must go on. Kita masih bisa meraih mimpi itu pada masa mendatang. Hanya saja, mulai saat ini kita harus mengubah cara kerja dan perspektif. Seperti yang saya tulis sebelumnya, kita paling tidak harus memperhatikan dua hal, yaitu pembinaan (mempertajam kemampuan) dan pembangunan akhlak (spirit dan moral force). Dengan tim yang kita punya, kita sebenarnya telah membuka jalan lebar menuju keberhasilan. Tinggal lagi bagaimana kita membina mereka dengan baik dan terarah dan kemudian menanamkan spirit, sehingga mereka kemudian bermain dengan penuh semangat, dengan pembelaan marwah sebagai tujuan. Kemenangan tak perlu menjadi tujuan, cukuplah ianya menjadi "risiko" dari permainan baik yang disuguhkan. Dengan permainan yang baik dan kemenangan sebagai risiko, uang pasti akan mengalir pada para pemain. Ye tak? Mari kita ucapkan Selamat buat Korea, yang membuat kita bangga menjadi orang Asia, yang membuat kita terimbas memiliki kenangan indah dalam penyelenggaraan Piala Dunia. Mudah-mudahan PSPS belajar banyak dan kekalahan Prancis dan kemenangan Korea ini, sehingga terpancing pula untuk menciptakan kenangan tersendiri di tempat yang berbeda. 134
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Apalah manusia tanpa kenangan. Tugas manusia, kata Milan Kundera, bukanlah menaklukkan masa depan (karena masa depan selalu menolak untuk ditaklukkan), tapi adalah bagaimana menghimpun sejumlah kenangan yang bisa disebut dengan manis pada masa datang. Itulah tugas manusia, itu jugalah tugas PSPS, dan itu tak bisa dicapai dengan kekalahan dan kesalahan yang panjang. Tim sepak bola kita (khususnya PSPS) memang harus berbenah, di samping karena hal itu belum terlambat, juga karena kita tak sudi tercatat semata-mata sebagai martir dalam gempita kemenangan dan sejarah sepak bola. PSPS, kamu bisa! (23 Juni 2002)
135
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
2 Bola, Cinta, dan Persaudaraan Sebuah pesta pasti akan berakhir. Begitulah yang terjadi di Korea dan Jepang, setelah sebulan penuh berpesta-pora dan memberikan hiruk pikuk pada dunia. Sebulan penuh kita dimanjakan oleh mimpi-mimpi, imajinasi, dan kemeriahan. Kini kita kembali pa-da kehidupan nyata. Tim Samba Brazil yang menjadi simbol kekuatan sepak bola Amerika Latin kembali menjadi juara dunia setelah menekuk simbol kekuatan benua Eropa, Tim Panser Jerman, 2-0 di pertandingan final. Lalu di belakangnya muncul Tuiki Jctu Korea, yang dikatakan orang sebagai sejarah yang berubah dan tak terduga. Akan halnya Turki dan Korea, pada hemat saya, bukanlah semata-mata karena mereka telah menjadi pemenang ketiga dan keempat, tetapi secara hakikat adalah karena kesungguhan mereka untuk menolak diri sebagai sebuah wilayah kosong dalam buku peta juara. Ungkapan bahwa Brazil dan Jerman telah mengembalikan hirarkhi persepakbolaan dunia, agaknya adalah pertanda betapa menakutkannya kekuatan Turki dan Korea, atau juga Senegal dan Jepang. Tim-tim yang semula berada di peringkat buncit hierarki persepakbolaan dunia dan sama sekali tidak diperhitungkan, ter-nyata telah menguburkan nama-nama tim elit seperti Italia, Argentina, Inggris, dan bahkan sang juara berta-han, Francis. Final perebutan Juara III yang biasanya hambar dan hanya sekedar basa-basi, oleh Turki dan Korea dibuat sangat menarik dan pantas untuk ditonton. Ada beberapa catatan penting yang sesungguhnya dapat kita tarik dari penyelenggaraan piala dunia ini dari beberapa sudut pandang. Pertama, bola adalah cinta dan persaudaraan. Menarik sekali ungkapan pelatih Turki, Senol Gunes, sewaktu timnya akan menghadapi Brazil di semi final. Setelah dikalahkan oleh Brazil pada 136
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
babak penyisihan beberapa hari sebelumnya, para pengamat memperkirakan bahwa pertemuan semi final antara keduanya, akan menjadi ajang balas dendam Turki pada Brazil. Tidak, kata Senol Gunes, sebab bola adalah cinta, perdamaian, dan harmonisasi. Dan, Gunes benar, memang tidak terlihat dendam itu. Yang terjadi adalah, bahwa kedua tim berusaha menampilkan permainan terbaik, meski kemudian Turki kalah, tapi mereka telah memenangkan simpati penonton. Turki hanyalah sebuah contoh. Hal yang sama juga dilakukan oleh Korea, Jepang, Senegal, Argentina, Amerika Serikat, Inggris, dan tim-tim lainnya. Semua berusaha menampilkan permainan yang baik tanpa niat-niat buruk kepada lawan, tak peduli apakah lawan itu berasal dari negara yang berbeda garis politik ataupun berbeda secara agama dengan mereka. Perbedaan politik, ras, dan agama lebur dalam sebuah kecintaan sebagai sesama manusia. Semua pemain seolah-olah berlomba menunjukkan cinta dan persaudaraan dengan akar keyakinan masing-masing, lewat sikap mereka di lapangan. Yang berlatar Nasrani sepertinya berpegang secara maksimal kepada "Golden rule"-nya agama Nasrani: "Apa yang tidak kamu sukai orang lain melakukan terhadapmu, maka jangan lakukan", sementara yang berlatar Islam, dengan sikap mereka di lapangan, seolah-olah berkata: "Kami memberikan kelembutan, sesuatu yang tidak akan hinggap, melainkan membuatnya indah, dan tidak akan pergi kecuali membuat sesuatu menjadi jelek" (elaborasi dari pesan Nabi kepada Aisyah, dalam Tanbighul Ghafilin). Kedua, bola adalah gerakan kemanusiaan. Piala Dunia, yang dilaksanakan sekali dalam empat tahun itu, menjadi semacam tempat penyadaran kemanusiaan, sekaligus semacam sebuah simpang tempat orang-orang mengambil bekal kemanusiaan dan merenungi hakikat kebersamaan setelah negara menjadi batas dan pertarungan ekonomi, politik, dan kekuasaan menjadi alat pemisah.
137
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Bola seakan menjadi sebuah jawaban, ketika media-media lain, seperti kaukus-kaukus politik internasional dan hubungan antarnegara dengan alur ekonomi dan kebudayaan, atau mungkin juga agama, gagal menjadi, perekat. Bola seakan-akan menjadikan dirinya sebagai jawaban akhir atas krisis kemanusiaan, peradaban, persaudaraan, dan harmonisasi. Dari hasil pertandingan di lapangan hijau, yang menang adalah Brazil. Tapi setiap orang, dengan etnis yang beragam, saling berpelukan merayakannya. Tim-tim yang kalah, sampai pada negara yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dalam penyelenggaraan piala dunia tersebut, sama-sama bergembira dan mele-xburkan kemenangan sebagai milik bersama. Masyarakat dunia seperti sampai pada satu titik makrifat, bahwa apa pun yang terjadi dan berlangsung pada penyelenggaraan piala dunia, adalah jalan kelahiran kembali sebagai manusia. Dahsyat sekali. Hal lain yang tak kalah menariknya untuk kita catat adalah, bahwa piala dunia dan respon yang muncul terhadapnya membuat bola menjadi semacam "agama kemanusiaan" yang mampu membuat manusia rukun (tak berlebihan kan kalau bola mendapat hadiah Nobel Perdamaian, he..he..). Pertarungan-pertarungan politik, ekonomi, dan perseteruan antarnegara cenderung membuat yang satu dengan yang lain seperti terpisah jauh. Masyarakat dunia seakan membutuhkan sebuah "agama baru", dimana setiap individu dapat memilikinya dalam keragaman pandangan dan keyakinan, baik secara politik, ekonomi, budaya, dan bahkan dalam keragaman agama. Sebuah "agama baru" tanpa klaim kebenaran, sebuah agama kemanusiaan yang mampu meluruhkan semua manusia dalam persaudaraan dan harmonisasi. "Agama kemanusiaan" itu mungkin adalah bola. Bola juga menjadi bahasa komunikasi universal. Secara kebetulan, pada saat yang bersamaan dengan penyelenggaraan piala dunia, saya mengikuti pertemuan-pertemuan bisnis bersama rombongan Gubernur Riau di Inggris, Prancis, Jerman, dan di Swiss. 138
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dalam berbagai pertemuan yang sempat saya ikuti di London, Paris, Frankfurt, Berlin, dan di Zurich, cerita tentang piala dunia adalah bumbu penyedap komunikasi. Pembicaraan yang pada awalnya sering terkesan formal penuh basa-basi serta merta menjadi "cair" ketika pembicaraan memasuki wilayah bola. Di pusat kota Berlin, sekelompok anak muda yang rnengendarai kendaraan berteriak ke arah saya dan Bupati Kuansing, Drs. Asrul Djaafar: "Korea ... Korea Korea.." Mereka mungkin mengira kami orang Korea. Pak Asrul pun kontan membalas sambil melambaikan tangannya, Hidup Korea! Tentu saja mereka tidak paham, tetapi itu tidak penting, komunikasi toh telah terjadi. Ada simpati yang mereka ungkapkan dan itu kami pahami. Bola memang tidak dapat dipungkiri telah menjelajah ke semua sudut kehidupan. Dia menjadi bahasa, "agama", dan perekat dalam pluralitas. (7 Juli 2002)
139
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3 Membangkit Batang Terendam Bimala tercabik-cabik antara kewajiban terhadap suaminya, Nikhil, dan tarikan yang teramat kuat dari Sandip, sang pemimpin gerakan politik yang radikal dan memukau. la berjuang keras untuk mengatasi perbenturan yang tak terdamaikan antara tertib dunia rumah yang berbudaya tinggi dan kebebasan —bisa juga keliaran— dunia luar. Drama memuncak ketika Sandip meminta sejumlah harta kepada Bimala sebagai cara untuk melestarikan kekuasaannya atas Bimala. Ini membawa komplikasi-komplikasi yang gawat, dan novel diakhiri dalam adegan-adegan yang sangat tegang dan kekerasan yang sungguh ngeri, Kini Bimala menyadari bahwa jalan yang ditunjukkan Sandip kepadanya adalah jahat. Dia menjauhinya, tetapi semuanya telah terlambat. Novel kuat yang mengambil latar dunia ningrat dan tuan tanah di Benggala pada 1908 ini ditulis oleh Rabin-dranath Tagore (18611941), seorang penulis besar India, yang memenangkan hadiah Nobel bidang sastra. Tagore secara amat bagus menjalin tumbuhnya sebuah kisah cinta dengan sebuah kesadaran politik yang terasa kontekstual menerobos zaman. Entah mengapa, saat membalik lembar demi lembar novel "The Home and The World" (Rumah dan Dunia) karya Rabindranath Tagore ini, khayalan saya justru keluar dari setting kehidupan di Benggala yang menjadi latar, kemudian liar menyusuri relung-relung sungai dan selat di bumi Melayu Riau. Dalam imajinasi saya, tokoh Sandip saya lihat sebagai tokoh yang merepresentasikan pembangunan fisik yang gegap gempita, ketika peningkatan kualitas hidup diukur dari indikator-indikator makro, besarnya investasi, pabrik-pabrik, dan sebagainya. Sementara pada sudut lain, ada upaya 140
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
yang intens untuk membangkit batang terendam, menjadikan adat istiadat dan nilai-nilai budaya sebagai minda. Hal ini terlihat dari tumbuhnya kesadaran di kalangan intelektual dewasa ini untuk mendialogkan nilai-nilai kebudayaan dengan program-program pembangunan fisik kekinian yang tengah berlangsung sebagai realitas sosial. Akhir-akhir ini kita memang banyak berbicara tentang terma keterbuangan, keterasingan, bahkan benturan-benturan, yang sepertinya tak terdamaikan. Perbenturan nilai seperti yang ditulis dengan manis oleh Allahyarham Ediruslan Pe Amanriza dalam novelnya "Panggil Aku Sakai , masin terasa relevan. Bagaimana Batin Bandaro, kepala suku Sakai, yang terpikat oleh kemajuan dan pembaharuan, berdepan dengan Bedang, tokoh muda Sakai yang memilih hidup di hutan dengan cara hidup lama. Pesan yang kita tangkap adalah, pembangunan, apabila tidak mengindahkan nilai-nilai budaya, akan menjadi asing, terasing, atau bahkan akan menimbulkan resistensi. Nilai-nilai baru seyogianya harus melalui proses sosialisasi terlebih dahulu, dan kalau perlu disenyawakan dengan nilai-nilai lama yang berguna. Pesan itu juga dapat kita petik dari sepotong ilustrasi esai. Ediruslan Pe Amanriza dalam bukunya "Kita Dari Pedih Yang Sama"; ketika orang asli Irian dibangunkan perumahan seperti di Jawa, rumah yang oleh pemerintah dianggap memenuhi syarat-syarat kesehatan itu ditinggalkan. Apa yang salah? Ternyata rumah tradisional yang menurut pemerintah tidak memenuhi syarat kesehatan, justru merupakan antisipasi alamiah penduduk asli untuk menghindarkan diri dari serangan nyamuk malaria. Kebudayaan, seperti yang dikatakan oleh Edward W. Said, sangat penting peranannya dalam pembentukan sikap, acuan, dan tindakan masyarakat. Sebuah kemajuan tidaklah diukur dari seberapa pesat pembangunan fisik telah dilakukan, tapi adalah sejauh mana
141
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sebuah keseimbangan material dan spiritual atau pembangunan kemanusiaan itu dapat berlangsung secara terus-menerus. Semua negara besar, seperti yang kita lihat sekarang ini, semisal Jepang dan Cina, pada dasarnya tumbuh dan berkembang dengan alas dan semangat kebudayaan. Kemajuan Eropa pada hakikatnya juga adalah sebuah kristalisasi endapan dari sebuah gerakan kebudayaan yang telah berlangsung selama berabad-abad, khususnya setelah terjadi revolusi kebudayaan dan pencerahan yang menggetarkan, yang terkenal dengan renaissance dan humanisme, atau gerakan Aufklaruung di Jerman. Di Cina misalnya. Kemajuankemajuan besar yang dicapai sehingga Cina menjadi negara hebat seperti sekarang ini, sesungguhnya tidak terlepas dari spirit-spirit Kong Fu Tse, Meng Tse, dan Lao Tse yang sudah dipancangkan berabadabad sebelumnya. Demikian pula Jepang, Korea, dan tidak jauh jaraknya dari kita, Thailand dan Malaysia, tumbuh dengan jati diri yang kuat. Berangkat dari kesadaran dan belajar dari besarnya kepentingan gerak kebudayaan dalam memajukan sebuah negeri, maka Riau juga menjadikan kebudayaan sebagai mahkota pembangunan. Dijadikannya kebudayaan sebagai mahkota pembangunan tumbuh dari pemahaman akan realitas Riau terkini, bahwa gemuruh pembangunan fisik hari ini, kelak akan meruntuhkan banyak nilai, dan untuk itu perlu digagas secara terarah dan sistematis sebuah wilayah penyeimbang. Penyeimbang itu, selain agama, hanyalah kebudayaan dengan segala praktik yang ada di dalamnya. Pembangunan kebudayaan Melayu mendapat tempat yang sangat besar, bahkan kebudayaan Melayu merupakan kerangka utama yang membingkai pembangunan di bidang lainnya di Riau. Riau mengemas kerangka kebudayaan ini secara molek dalam Visi Riau 2020, yakni menjadikan Riau sebagai pusat perekonomian dan pusat kebudayaan Melayu di Asia Tenggara. Dengan segala hambatan yang kita sadari, peluang untuk itu nampaknya ada. Setidaknya, di samping 142
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
faktor sejarah, dewasa ini telah tumbuh kesadaran dan semangat kebudayaan di kalangan terdidik. Kalangan ini sekarang sangat peduli terhadap eksistensi kebudayaan Melayu, terbukti misalnya dengan semakin bergemuruhnya agenda kegiatan kebudayaan. "Kita mencita-citakan lahirnya suatu komunitas masyarakat atau negeri yang tersembuhkan, sebuah negeri yang manis oleh lagu, cerita, puisi, serta balada pada satu sisi, dan memiliki kemakmuran beserta sistem yang kuat pada sisi lain", ungkap William Butler Yeats dalam bukunya "Culture and Imperialism". Dan ini nampaknya telah disadari. Kita memang harus bersama mem-bangkitkan batang terendam itu, dan peran cendikiawan di sini sangat menentukan. Kita tentu tidak ingin tenggelam dalam romantisme masa silam, tapi kita juga tidak ingin jadi Bimala yang berkeping-keping dalam benturan yang tak terdamaikan Kita ingin memperoleh kesejahteraan secara berkualitas dan bermartabat, sebuah kemenangan yang paripurna. (6 Oktober 2002)
143
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
4 Seputih Kapas Sebening Embun Andai ada pemilihan SMS favorit menyambut bulan suci Ramadhan, maka yang akan terpilih agaknya adalah SMS ini: "Seputih kapas sebening embun, mari kita putihkan hati dan beningkan pikiran menyambut Ramadhan". Paling tidak inilah SMS yang paling banyak masuk ke telepon genggam saya. Ternyata banyak juga orang yang berpotensi untuk menjadi romantis, tergantung suasananya saja. Yang lain misalnya menulis: "Di ufuk telah membayang Ramadhan, mari ikhlaskan sanubari dan mintalah ampun pada sesama. Sucilah diri, sucilah hati, jelanglah bulan yang penuh hikmah, marhaban ya Ramadhan". Atau yang ini: "Di gerbang Ramadhan yang suci ini tiada kata yang dapat diukir kecuali saling membersihkan diri dari kealpaan dan kesalahan, kita manusia biasa". Itu SMS orang yang diselimuti suasana romantis Ramadhan. Yang serius seperti tahun-tahun lalu juga tidak kalah banyaknya, seperti: "Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan, syahrul mubarak syahrul Qur'an, washshiyam, washshabr, wadda'wah, walukhuwwah, waljihaad, La'allakum tattaquun. Maksudnya kira-kira, selamat datang bulan suci Ramadhan, bulan penuh berkah, bulan turunnya kitab suci Al Qur'an, bulan puasa, bulan vang penuh kesabaran, bulan yang penuh dakwah, bulan yang penuh rasa persaudaraan, bulan yang penuh Jihad melawan hawa nafsu, kekuasaan, arogansi, dan sejenisnya, semoga kamu menjadi hamba yang bertakwa. Orang politik lain lagi SMSnya. "Dengan buku menuju bulan, dengan agama menuju Tuhan, dengan politik menuju kekuasaan, dan insya Allah dengan kekuasaan menuju ridho-Nya. Jangan salah gunakan kebebasan, kekuasaan adalah macan, kamu pun bisa dimakan. Selamat menunaikan ibadah puasa Ramadhan".
144
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kedengaran seperti pantun tapi lugas dan sarat muatan filosofis. Ada yang romantis, ada yang sarat dengan dakwah, ada yang bernada politis, tapi juga ada SMS yang konyol. "Orang bijak santun bicaranya, orang baik sopan perilakunya, orang cerdas tepat tindakannya, orang stress kerjaannya baca SMS melulu...". Untung pintu maaf sedang terbuka lebar-lebar, sehingga tidak jadi soal biar dituding sebagai orang yang sedang stress. Kalau pintu maaf sedang tertutup, SMS yang terakhir itu tentu bisa membuat geram. Kata-kata Marhaban ya Ramadhan (Selamat Datang Wahai Ramadhan), dengan hati tulus ikhlas mohon maaf lahir dan batin, semoga kita dapat memasuki Ramadhan dengan hati yang suci bersih, hilangkan segala sak Wasangka, memenuhi jagat raya. Kata-kata itu melantun bergelombang melintasi batas-batas negeri, menyinggahi hati orang-orang tersayang. Semua saling mengingat bahwa di sini ada sahabat dan di sana ada sahabat. Semua saling mengingatkan bahwa kita ini hamba Yang lemah di sisi Allah. Banyak kata-kata indah dilayangkan melalui jasa telekomunikasi elektronik yang memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi. SMS (Short Message Service adalah sebuah jasa yang ditawarkan untuk memudahkan para pengguna jasa. Tahun lalu saya menulis kolom "E-Ramadhan" pada halaman yang sama di tabloid Mentari sebagai respon munculnya kecenderungai baru di tengah masyarakat dengan menggunakan jasa telekomunikasi elektronik untuk mengungkapkan perasaan atau sekadar tanda saling ingat. Waktu itu saya menerima dan mengirim banyak SMS, tahun ini rupanya lebih gila-gilaan. Selama empat hari menjelang hari pertama bulan Ramadhan saya menerima tidak kurangl dari 200 SMS, dan tentu, saya harus mengirim balasan minimal dengan jumlah yang sama. Dalam pandangan dan apresiasi saya, bulan Ramadhan memiliki daya pikat yang luar biasa. Ramadhan dapat membangkitkan romantisme religius dalam diri kaum muslimin dan muslimat. 145
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Romantisme religius itu berupa kerinduan terhadap Allah dan RasulNya. Romantisme itu juga bisa dalam bentuk kerinduan terhadap orang tua baik yang masih ada maupun yang telah_ tiada, kerinduan terhadap keluarga yang jauh, kerinduan terhadap sanak famili, kerinduan terhadap desa, di mana kita dilahirkan, ketika kita menghabiskan tu semasa anak-anak dengan mengaji di masjid atau di surau. Bisa juga kerinduan terhadap handai taulan dan sederetan panjang kerinduan religius yang terasa indah dan susah untuk dirangkaikan dalam kata demi kata. Seorang teman berkomentar, bila demikian indahnya, kenapa tidak setiap bulan saja bulan Ramadhan? “Even/month is Ramadhan", katanya. Bukankah dulu ada pemeo sebelum bom meledak di Legian Bali, semua hari di Bali adalah hari Minggu? "Everyday is Sunday in Bali” kata orang bule. Begitu ekspresifnya Bali sehingga semua hari terasa laksana hari Minggu, hari libur. Andaikan setiap bulan adalah bulan Ramadhan, rnaka agaknya, tidak akan ada pertelagahan yang tidak terdamaikan. Tidak ada kesalahan yang tak terampunkan. Bukankah kita sesungguhnya sudah letih bertelagah antarsesama? Sudah demikian banyak "mesiu" yang kita hamburkan tak beraturan, bahkan adakalanya ketika musuh sudah kehabisan "mesiu" kita beri mereka "mesiu" tambahan agar pertempuran tak cepat usai. Begitu nyelenehnya abad ini. Dikatakan perang saudara, tak ada pula yang mengangkat senjata. Tak dikatakan perang saudara, pertelagahan demi pertelagahan tak kunjung selesai, perseteruan seakan laksana laut tak bertepi. Padahal sesungguhnya, tak ada perang yang tak berakhir, bahkan Perang Dunia pun ada akhirnya. Tentulah sebuah Utopia mengharapkan semua bulan laksana Ramadhan. Tidak mungkin. Tetapi setidaknya kita memiliki masa sekali dalam setahun untuk melatih diri menghadapi semua permasalahan duniawi yang semakin hari semakin rumit. Harus ada jeda agar sejenak kita bisa bernafas lega. Sebab tidak jarang ketika kita berhasil 146
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
memecahkan suatu masalah ternyata itu merupakan awal dari sebuah masalah baru yang ada kalanya jauh lebih rumit daripada masalah sebelumnya. Dewasa ini kita selalu berhadapan dengan pertelagahan yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang acapkali tak termediasi secara baik, entah itu kepentingan kelompok, partai, suku, daerah, bahkan juga agama. Bila kepentingan itu mengedepan secara mutlak, inilah yang dinamakan hawa nafsu. Konflik akibat nafsu ingin menguasai, nafsu ingin mendominasi, pada akhirya lebih dahsyat dari perang saudara konvensional dengan menggunakan senjata. Setidak-tidaknya ada dua makna yang terkandung dalam berbagai SMS itu, dalam perspektif hubungan dengan Sang Maha Pencipta dan dalam perspektif hubungan dengan sesama manusia. Ramadhan adalah, masa ketika hamba bisa bermanja-manja dengan Sang Maha Pencipta. Ramadhan adalah masa ketika hati seputih kapas dan sebening embun memandang semuanya sama, kita bersaudara. (10 November 2002)
147
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
5 Don't Cry For Me Argentina "........Don't cry for me Argentina The truth is I never left you All through my wild days, my mad existence I kept my promise, don't keep your distance" (Jangan menangis untukku Argentina Sebetulnya aku tak pernah meninggalkanmu Sepanjang kehidupanku yang liar dan kegilaanku Aku menepati janjiku, jangan menjauhkan diri). Itu refrain sebuah lagu cantik dalam film Evita Peron yang pernah dinyanyikan oleh Madonna, bintang cantik yang memainkan Evita Peron dalam film tersebut. Film dan lagu itu sesungguhnya dibuat untuk mengenang Evita Peron, First Lady (Ibu Negara) Argentina 1946—1952 yang sangat kharismatik dan dipuja oleh rakyatnya. Evita Peron bukan Presiden Argentina. Yang menjadi Presiden dalam periode itu adalah Juan Peron, suaminya, yang menunjukkan karakter sama dengan pemimpin militer lainnya di dunia. Tidak ada jabatan penting yang dipegang oleh Evita Peron kecuali sebagai pekerja sosial, membantu orang-orang miskin, dan memperjuangkan hak pilih kaum wanita Argentina. Evita Peron sangat dekat dengan rakyatnya dicintai tidak hanya oleh rakyatnya sendiri, tetapi juga dikagumi di bagian dunia lainnya. Dia bintang film yang cantik, tetapi itu tidak membuatnya pongah. Kekuasaa yang diperoleh suaminya sebagai presiden, diberi makna dengan baik oleh Evita. Siapa pun ketika itu mengetahui kokohnya pemerintahan Juan Peron adalah akibat peran isterinya yang pandai mengambil hati rakyatnya.
148
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Evita Peron sesungguhnya layak hidup di singgasana emas. Dia cantik, selebritis, dan kaya pula. Tetapi kesempatan itu tidak dilakukannya. Dia memilih menghabiskan hari-harinya bertemu dengan rakyatnya yang miskin, berdialog dengan mereka, dan membuatkan program-program untuk menolong mereka. Oleh karenanya, ketika dia menyerah kepada kanker yang merenggut jiwanya dalam usia yang relatif masih muda, 33 tahun, seluruh rakyat Argentina menangis. Presiden Juan Peron pun kelimpungan, popularitasnya menurun drastis, dan tiga tahun kemudian tumbang. Dalam beberapa aspek, seperti sosial, politik, dan ekonomi, Indonesia tidak berbeda jauh dengan Argentina. Walaupun Argentina telah merdeka sejak tahun 1816, tapi mereka masih termasuk negara Dunia Ketiga seperti juga Indonesia. Mereka juga cukup lama berada di bawah rezim militer dan yang tidak kalah pentingnya seperti halnya Indonesia, mereka juga termasuk negara yang terlilit utang, bahkan disebut-sebut sebagai pengutang terbesar di dunia. Negaranya hampir bangkrut akibat krisis utang yang tak tertanggungkan, yang sudah jatuh tempo. Masyarakatnya pun sedang mengalami demoralisasi akibat krisis politik dan ekonomi. Indonesia pun, dalam hitung-hitungan di atas kertas, sebenarnya sudah harus bangkrut. Kita juga terjerat utang yang sangat besar. Utang luar negeri Pemerintah mencapai angka 60 milyar dollar AS, atau sekitar 600 triliun rupiah. Utang swasta pula mencapai 70 milyar dollar AS, atau setara dengan sekitar 700 trilyun rupiah. Bila dijumlahkan, utang luar negeri mencapai 1.300 triliun rupiah. Itu baru utang luar negeri ncek. Utang dalam negeri bertimbun, jumlahnya tidak kurang dan 650 trilyun rupiah. Maka, bila ditotal utang luar negeri dengan dalam negeri, jumlahnya hampir 2.000 triliun rupiah. Dua ribu triliun rupiah saudare, dan itu uang semua..he..he... Susah menghitung berapa nolnya jumlah itu kira-kira sama dengan enam tahun APBN kita. Tetapi bila belanja rutin dan pembangunan itu (rata-rata 350 triliun pertahun), semuanya dipergunakan untuk 149
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
melunasi utang, berarti 220 juta penduduk Indonesia Selama enam tahun tidak pakai makan dan minum. Alamaaaaak, mana tahaaan. Tadi bile hutang itu nak kite lunaskan ncek? Untuk cicilan bunga utangnya saja tahun ini harus dialokasikan dana dalam APBN sebesar 80 triliun rupiah, belum cicilan terhadap pinjaman pokoknya. Pusing! Gambaran buram ini disampaikan oleh Menteri Komunikasi dan Informasi, Syamsul Mu'arif, dalam ilustrasi pidatonya beberapa hari lalu di Pekanbaru. Pesimiskah Menteri kita ini? Tidak juga. Dalam perjalanan dan RRI ke Stasiun TVRI di Rumbai, kami berdua satu mobil dan terlibat pembicaraan mengenai beberapa hal menyangkut situasi terkini. Negara mi memartg hdak boleh lagi salah urus. Kalau dibiarkan salah urus, akibatnya bisa berkeping-keping. Salah satu faktor penting yang perlu mendapatkan perhatian serius adalah terjalinnya komunikasi yang baik antara stake holder dan share holder di negara ini. Komunikasi yang baik akan membangun saling pengertian, yang kemudian menumbuhkan sikap saling menghargai, saling memberi, dan saling menerima. Saling pengertian di antara stake holder ini nampaknya agak menjauh sekarang. Rasa senasib sepenanggungan tidak tercipta. Satu dan lainnya semau gue, nafsi-nafsi. Evita Peron memainkan perannya dengan baik sebagai seorang Ibu Negara. Walaupun ia masih muda, bintang film dan glamour, tapi itu semua tidak menghalanginya dekat dengan rakyatnya. Pers dunia mencatat, betapa korupnya rezim pemerintahan Juan Peron ketika itu, tetapi Evita Peron melakukan pendekatan psikologis yang memikat hati rakyatnya, sehingga mereka merasa dimanusiakan, walaupun pada bagian lain mereka dirugikan oleh kebijakan pemerintah yang kurang berpihak kepada mereka. Evita Peron memang telah lama mati, tetapi apa yang dilakukannya, bisa menjadi model bagaimana membangun hubungan yang hangat antara rakyat dengan lingkaran dalam kekuasaan. Ini juga 150
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
konon yang dilakukan oleh Raja Thailand, Bhumibol, terhadap rakyatnya di pedesaan, sang raja berdialog, memberikan bibit, dan menanyakan hasil panen sang petani. Evita dan juga Raja Bhumibol selalu menyapa, menyapa, dan menyapa. Bait terakhir lagu Don't Cry For Me Argentina, melukiskan betapa dalam Evita Peron mencintai negaranya dan dicintai rakyatnya: ".....There's nothing more I can think of to say to you/But all you have to do is look at me/To know that every word is true" (Tak ada lagi yang akan kukatakan kepadamu/Engkau hanya perlu melihat kepadaku/Untuk mengetahui bahwa setiap perkataanku adalah benar). Konon, sebagaimana kita baca di media massa, Ibu Mega sudah dua kali meneteskan air mata untuk rakyatnya di Aceh. Yang menjadi renungan kita adalah kapan rakyat kita akan menangis untuk pemimpinnya. (27 Oktober 2002)
151
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
6 Gong Xi Fa Choi Cina adalah sebuah bangsa yang tua. Memperkatakan Cina, baik sebagai bangsa maupun etnis, samalah artinya membicarakan sebuah sejarah yang panjang. Ketika sebagian besar bangsa di dunia masih berada dalam keterbelakangan peradaban, pada saat yang sama, Cina telah menjadi salah satu pusat peradaban dan kebudayaan dunia, yang bersanding secara setanding (jika tidak lebih besar) dengan kebudayaan tua lainnya yang pernah berdiri megah, seperti peradaban Yunani, Sumeria, Mesir Kuno, Mesopotamia dan Babylonia. Bahkan menurut Michael H. Hart dalam The 100, a Rangking of the Most Influential Person in History _ pada abad ke 7—8, Cina merupakan negeri dengan kebudayaan termaju di dunia, sebelum kemudian tertinggal oleh Eropa pada abad ke-15. Kebesaran peradaban Cina pada sejumlah lapangan, mendapat tempat khusus di sepanjang sejarah. Di sana pernah hidup sejumlah tokoh yang ikut memberi bentuk pada perubahan dan perkembangan dunia, seperti Kong Fu Tse, Lao Tse, dan Meng Tse pada lapangan pendidikan, moral, dan spiritual. Ada Tsai Lun (105 M) yang menemukan kertas, yang penemuannya itu kemudian membuat perkembangan ilmu pengetahuan menjadi semakin pesat. Di lapangan pemerintahan dan kemiliteran, mereka mempunyai Qin Shi Huang Di atau Chin Shih Huang Ti (259 SM - 210 SM) dan Sui Wen Ti atau Yang Chien (541- 604), dan banyak lagi hingga ke pengetahuan tentang pengobatan dan seni. Adalah suatu hal yang wajar, kalau Nabi Muhammad SAW. sampai berpesan tuntutlah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina. Meski merupakan sebuah negeri yang penting dalam kebudayaan sejagat dan sekarang telah demikian maju dan berpengaruh pula, bangsa Cina tetaplah sebuah bangsa yang dibangun 152
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dengan alas kepatuhan kepada tradisi yang ditinggalkan oleh para leluhur atau nenek moyang mereka. Salah satu tradisi yang selalu dirayakan adalah menyambut pergantian tahun, yang kita kenal dengan Imlek. Perayaan pergantian tahun Cina adalah sebuah perayaan yang telah berlangsung ribuan tahun. Dari sebuah sumber yang pernah saya dapat, dikatakan bahwa tradisi ini. mungkin dalam bentuk vane berbeda dengan sekarang, telah dilakukan semenjak awal-awal bermulanya kebudayaan dan peradaban Cina di pinggir sungai Hwang Ho, yang kemudian berkembang sejalan dengan perkembangan kebudayaan dan spiritual Cina itu sendiri. Ditarik dari kurun waktu yang demikian jauh, maka tidak mengherankan jika perayaan itu sendiri dewasa ini menjadi begitu bergema. Seperti yang terlihat pada tanggal 2 Februari beberapa hari lalu, seluruh orang Cina yang hidup dengan latar kebudayaan Cina, di mana pun berada, secara bersama merayakan tahun baru. Tahun baru Imlek. Tahun Kambing Air. Pada tanggal itu, seluruh dunia gegapgempita. Ini bisa dimaklumi. Dengan jumlahnya yang fantastis (mendekati 1,5 milyar), maka suku bangsa yang satu ini ada hampir di semua negara. Karenanya, dapat dibenarkan pendapat yang mengatakan, bahwa etnis Cina adalah etnis yang tak pernah kesepian, karena dalam setiap 5 (lima) orang penduduk dunia, seorang daripadanya adalah orang Cina. Di Indonesia, khususnya Riau, perayaan Tahun Baru Cina juga tak kalah meriahnya. Dalam rangka tahun baru, berbagai acara dibentangkan. Kemeriahan ini bukanlah karena jumlah mereka yang banyak, tapi karena mulai membaiknya keterbukaan dan juga telah berubahnya cara pandang masyarakat dalam berinteraksi dengan etnis Cina. Dengan membaiknya berbagai hal tersebut, masyarakat etnis Cina menjadi lebih leluasa mengekspresikan diri di tengah-tengah masyarakat.
153
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Lalu jika demikian, apakah yang harus kita lakukan dalam kondisi yang membaik ini? Akan kita hela ke manakah arti penting Imlek ini, khususnya sebagai sebuah masyarakat bangsa? Pada hemat saya, perayaan Imlek ini merupakan sebuah momentum dalam membangun dan mengukuhkan kebersamaan. Sekah iagi, sebuah media yang baik untuk membangun kebersamaan. Tak bisa dipungkiri, selama ini dan juga sejak lama, sepertinya terjadi stagnasi atau terdapat sebuah jurang dalam hubungan sosial. Dengan membaiknya situasi dan cara pandang, maka terbuka kesempatan untuk menata kembali hubungan sosial yang selama ini belum berjalan sebagaimana mestinya. Melalui penataan yang sungguh-sungguh akan muncul sebuah persatuan yang kuat, dan dengan persatuan yang kuat itulah, kemajuan atau kemenangan sebuah negeri dimungkinkan. Daripade becekau tak tentu pasal, kan lebih baek besatu-padu membangun negeri, ye tak? lyelah. Menarik garis memanjang dan melebar (mudah-mudahan saya tidak dianggap terlalu utopis), perayaan Tahun Baru Cina atau Imlek ini semestinya juga menjadi sebuah momentum bagi persatuan Asia. Dewasa ini terlihat adanya kecenderungan masyarakat dunia untuk "kembali kepada asal". Eropa bersatu, misalnya, dibentuk dan terbangun dari sebuah kesadaran bahwa mereka berasal dari ras yang sama, yaitu Kaukasoid. Begitu pula persatuan Afrika, terbentuk dari semangat kebersamaan sebagai ras Negroit, dan hanya Asia yang belum melakukan itu secara lebih kongkrit. Dari manakah akar umbinya harus ditarik, sehingga persatuan itu menjadi suatu hal yang memungkinkan? Sebagaimana Eropa dan Afrika yang menggunakan tema ras, maka bangsa Asia pun bisa melakukannya dari sana. Bukankah hampir keseluruhan bangsa Asia berasal dari sebuah ras besar yang bernama Mongoloid? Dari sana kemungkinan itu digagas dan dimulai. Rumpun Melayu (sub ras Mongoloid) memang telah melakukannya dengan membentuk Asean, tapi secara sadar harus kita 154
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
akui, bahwa persatuan itu belum cukup Kuat untuK berdiri sendiri, khususnya ketika berhadapan dengan gempuran kekuatan faksi lain yang lebih kuat. Eropa telah membuktikan, bahwa dengan bersatu, mereka telah mengukuhkan diri sebagai sebuah kekuatan besar dalam semua hal, yang hampir tanpa tanding. Semestinyalah kenyataan semacam itu menggesa negara-negara Asia untuk mengambil langkah yang sama, sehingga dengan demikian, Asia akan muncul menjadi sebuah kekuatan yang dahsyat. Dua kekuatan Asia, seperti Jepang dan Cina, memang telah berada pada posisi yang diperhitungkan, tapi saya kira, posisi itu akan menjadi lebih menggerunkan jika negara-negara yang berada dalam rumpun Mongoloid ini bersatu membina kebersamaan bersatu. Jika sejak sekarang rasa kebersamaan itu dikukuhkan, maka jika kelak apa yang diramalkan oleh Naisbitt terjadi (bahwa negaranegara akan bersatu berdasarkan kesamaan alas kebudayaan), bangsa Asia akan berada pada posisi siap untuk menghadapinya. Kebersamaan dan pembangunan semangat Asia merupakan jalan yang paling bagus jika Asia secara keseluruhan ingin berdiri sama tinggi dengan kekuatan lain. Jika tidak, maka selamanya Asia akan dianggap sebagai bangsa kelas dua, atau bahkan kelas tiga, seperti yang terjadi selama ini. Semogalah kebersamaan itu kian menguat. Gong Xi Fa Choi. (9 Februari 2003)
155
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
7 Mega Kurban Tidak ada peristiwa pengorbanan terbesar yang tercatat dalam sejarah perkembangan dunia selain kisah Nabi Ibrahim AS, yang harus menyembelih anak kandungnya, Ismail, karena mendapat perintah dari Allah SWT. Agaknya selama dunia terkembang inilah kisah pengorbanan yang paling monumental, yang setiap tahun selalu dirujuk dan dikenang. Kisah pengorbanan Nabi Ibrahim AS yang harus mengorbankan anak satu-satunya. Ismail. amat sangat mencekam. Betapa tidak, anak yang paling disayang diperintahkan untuk dikurbankan. Dalam perspektif kekinian, perintah itu memang terasa sangat aneh dan mengada-ada. Tapi di zaman nabi-nabi dulu, perintah seperti itu memang dimungkinkan terjadi. Mendengar perintah yang diterima oleh ayahandanya, Ismail dengan yakin dan ikhlas menja-wab penuh hormat kepada ayahandanya: "....Hai Bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Kemudian, sebagaimana diriwayatkan dalam kuku-buku sejarah Islam, Nabi Ibrahim AS membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi di Mina, tempat di mana para jemaah haji beratus-ratus tahun kemudian melakukan ritual melempar jumrah. Konon, sebelum acara penyembelihan dimulai, Ismail mengajukan tiga permohonan, yaitu: (1) sebelum ia disembelih hendaknya terlebih dahulu Ibrahim AS mengasah pisau setajam-tajamnya, agar ia cepat mati dan tidak menimbulkan rasa kasihan maupun penyesalan dari ayahnya; (2) ketika menyembelih, muka Ismail harus ditutup agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya, karena kasihan melihat wajah anaknya; dan (3) bila penyembelihan telah selesai, agar pakaian Ismail yang
156
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
berlumuran darah dibawa ke hadapan ibunya, sebagai saksi bahwa kurban telah dilaksanakan. Maka, sebagaimana diriwayatkan, dengan berserah diri kepada Allah SWT, Ismail pun dibaringkan dan dengan segera Ibrahim AS menyentakkan pisaunya dan mengarahkannya ke leher anaknya. Akan tetapi, sebagaimana disebut dalam kitab suci Al Qur'an, keajaiban memang terjadi sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Ismail diganti oleh Allah SWT dengan seekor domba yang besar. Maka kisah mega kurban itu pun berakhir dengan happy ending. Andaikan Ismail tidak diganti secara tiba-tiba oleh: Allah SWT dengan seekor domba, maka peristiwa tragis akan terjadi, dan tentu ceritanya akan lain. Tentulah Ismail mati muda dan tentu Nabi Ibrahim AS harus membawa pakaian yang berlumuran darah itu pulang ke rumahnya untuk diperlihatkan kepada isterinya, yang notabene adalah ibunda dari Ismail AS. Hati ibu mana yang tidak akan hancur berkeping-keping bila suasana itu kita pandang dalam emosi dengan perspektif kekinian. Dan tentulah lain skenario sejarah mega kurban itu yang harus dijelaskan kepada umat Islam abad demi abad kemudian, sampai kiamat menjelang. Peristiwa itu mengingatkan kepada manusia yang beriman bagaimana semestinya kepatuhan dan ketaatan kepada perintah Allah SWT. Nabi Ibrahim AS telah menunjukkan betapa patuhnya dia, dikalahkannya semua perasaan sedihnya yang tentu amat sangat luar biasa. Nabi Ibrahim AS tidak tahu adanya skenario dari Allah SWT untuk mengganti Ismail dengan domba di saat kritis itu. Oleh karenanya, peristiwa mega kurban Nabi Ibrahim AS dan Ismail itu kemudian diabadikan oleh Allah SWT menjadi salah satu unsur syariat Islam, yang hingga kini dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Setiap tahun, kemudian, umat Islam yang memiliki kemampuan dan keberadaan selalu menyembelih hewan kurban dan memberikan daging hewan kurbannya kepada orang-orang yang tidak mampu. Daging-daging hewan kurban itu bahkan tidak lagi hanya 157
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
didistribusikan lintas RT atau RW. Saudi Arabia misalnya, setiap tahun mengirim beratus-ratus ton daging hewan kurban ke negara-negara Islam yang miskin di Afrika. Tindakan menyembelih hewan kurban itu sesungguhnya bermakna simbolik. Di masa Nabi Ibrahim AS, hewan ternak merupakan simbol kekayaan yang paling tinggi. Orang yang banyak memiliki ternak adalah orang kaya, orang yang tidak memiliki ternak adalah orang miskin. Tapi di zaman sekarang simbol kekayaan bukan lagi kambing, onta, atau sapi, melainkan rumah-rumah megah, mobil mewah, atau perkebunan berhektar-hektar. Menyembelih seekor kambing atau seekor sapi bagi orang kaya, nilainya mungkin tak seberapa. Penyembelihan hewan kurban tidak lagi dilihat dalam aspek kepatuhan terhadap perintah Allah SWT dan ketaatan menjalankan syariat agama, tetapi juga mengandung semangat toleransi dan kesetiakawanan. Lebih dari itu sesungguhnya adalah semangat kebersamaan dan semangat rela berkorban. Yang kaya membantu yang miskin, yang kuat membantu yang le-mah, yang pintar menolong yang bodoh. Dalam makna yang paling hakiki, kurban berarti kedekatan. Esensi pelaksanaan ibadah kurban adalah sesuai dengan arti-nya, yaitu dekat, atau dengan kata lain, bahwa kurban merupakan sebuah upaya mendekatkan diri kepada Tuhan dan sesama manusia. Dalam hubungan antarmanusia, setiap orang memerlukan orang lain. Hubungan yang ideal mestilah terbangun atas dasar saling memberi dan saling mendekatkan diri. Dalam konteks kehidupan negara, semangat berkurban juga merupakan suatu hal yang sangat diperlukan. Negara yang bernama Indonesia, atau sebuah negeri yang bernama Riau ini, sesungguhnya hanya akan bisa sampai pada matlamat, yaitu menjadi Indonesia yang makmur, atau menjadi Riau yang sejahtera, jika semua elemen masyarakat menumbuhkan semangat berkorban dalam diri, jika semua orang Riau sudah mempersiapkan dirinya untuk berkurban,
158
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sesuai dengan kemampuan dan latar belakang yang dimiliki, maka kemenangan yang diimpi-impikan, bukan lagi sebuah kemustahilan. Sebuah negeri yang maju, tidaklah cukup karena negeri itu telah mempunyai sejumlah sumber daya alam, tenaga terdidik, atau karena mempunyai seperangkat pengaturan. Tidak, sungguh semua itu tidak cukup, Semua kelebihan yang ada hanya akan memberikan hasil yang baik, jika orang-orang yang hidup di dalamnya, memiliki semangat saling berbagi dan punya rasa saling memiliki antara satu komponen dengan komponen yang lain, dan kemudian rasa itu diterjemahkan dalam kehidupan sehari-hari. Sebaliknya, kekayaan yang dimiliki oleh sebuah negeri akan menjadi sebuah fitnah, atau lebih menakutkan lagi, menjadi puncak kehancuran jika di dalamnya tidak hidup orang-orang yang mampu dan mau berbagi demi kemaslahatan bersama. Dari sisi yang lain, kurban juga dapat dielaborasi sebagai suatu sikap untuk menjalankan fungsi secara benar. Jika harta merupakan kewajiban dalam pelaksanaan fungsi secara benar dari orang kaya terhadap si miskin, maka para birokrat dapat pula melaksanakan makna kurban itu dengan memberikan layanan publik secara maksimal. Begitu juga para pengusaha, ketika ia memperhatikan nasib para buruh dengan baik, maka sesungguhnya ia telah menjalankan usaha dengan makna yang sama. Pun juga, para penyapu jalan, jika fungsinya dilakukan secara baik, maka ia pun akan sampai pada hakikat itu. Inti kurban adalah, setiap orang melakukan fungsi dalam kapasitasnya masing-masing dengan ikhlas. Jika kita kembalikan kepada kisah Nabi ibrahim AS di atas, maka bukankah keberanian Nabi Ibrahim juga didasarkan pada pelaksanaan fungsi dan kewajiban sebagai Nabi Allah yang taat kepada Khaliknya? Hal yang menyedihkan adalah, bahwa semangat berkurban, dalam berbagai esensi dan makna, kian menipis dalam hubungan horizontal atau sesama manusia. Dewasa ini, orang-orang sepertinya sedang terperangkap dalam kemaruk pemuasan diri sendiri dan 159
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
melupakan bahwa di sekitarnya ada tanggung jawab yang harus ia pikul sebagai konsekuensi menjadi "golongan Yang dimenangkan" oleh realitas. Kita seringkali dibuat tertegun, ketika melihat betapa dengan sengaja orang menganiaya orang lain demi kepentingannya. Sekali waktu kita tersentak pula, ketika menyaksikan betapa orang secara sadar berlaku tidak peduli kepada orang yang mengharapkan pertolongan darinya. Bukankah pada sekujur diri kita ada kewajiban terhadap orang lain? Bukankah Islam mengajarkan, bahwa orang yang paling berguna/mulia adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain? Hari Raya Kurban ini merupakan sebuah latar dasariah yang baik bagi kita semua untuk kembali ke makna kurban. Jika selama ini kita merasa kurang dekat dengan orang lain maka dari sekarang, mari secara bersama kita memperbaikinya. Jika selama ini kita alpa dalam melakukan kewajiban dan tanggung jawab kemanusiaan, maka tak ada kata terlambat untuk menata diri. Riwayat mega kurban Nabi Ibrahim AS dan Ismail akan terus bergemuruh dalam jiwa kemanusian dan kehambaan kita, jika semangat kurban itu kita dentingkan dalam kekinian, serta kita terjemahkan dalam nerilaku kehidupan. Andai semangat kurban ini tertuang dalam kehidupan masyarakat kita, maka pastilah dengan segera akan menjadi sebuah negeri yang penuh kemenangan. Saya percaya, bahwa kita tentu saja tidak sepakat untuk membiarkan negeri kita menjadi sebuah negeri yang gundah berwajah individualis dan terbelakang. Untuk itu mari kita isi hidup kita dengan semangat kurban, sebab dengan cara inilah kita akan "menjadi". Bila tiap generasi melakukannya, maka tiap generasi akan mewariskan kemenangan pada generasi berikutnya. Pun, tiap generasi akan dapat pula berkata, seperti ungkapan romantis para pejuang berani mati atau nyanyian legiun asing, "Dari kota-kota kecil nun jauh kami datang dengan kebersamaan, berjuang, dan mempercayakan apa yang kami menangkan,... untuk kau simpan." (16 Februari 2003) 160
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
8 Historia Vital Magistra Pada acara Pelatihan Kepemimpinan yang ditaja oleh Jaringan Komunikasi Organisasi Melayu Riau (JKOMR), saya diminta untuk memberikan semacam "petuah" tentang bagaimana semestinya sebuah kepemimpinan dilaksanakan. Saya tidak memberikan petuah, tapi hanya mencoba berbagi catatan dan bersanding fikir dengan kita semua. Saya hendak memulai catatan ini dengan mengambil simpulan yang diutarakan oleh Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe. Dalam risalahnya yang berjudul Introduction to International Relation: Power and Justice, dikatakan bahwa kebesaran atau ketidakca kapan, kearifan atau ketidakrasionalan, kecerdasan atau ketidaktahuan, dan keefektifan atau ketidakmampuan seorang pemimpin akan sangat berpengaruh bagi power yang dimiliki sebuah negara. Saya sependapat dengan itu. Amerika, Prancis, India, Inggris, Jerman, dan Rusia menjadi negara-negara yang penting tidaklah semata-mata karena kelebihan yang fantastis dibandingkan dengan kita. Mereka menjadi maju karena, selain memiliki sumber daya materiil, negara mereka juga dibangun dengan sebuah fondasi kepemimpinan yang cerdas dan berkepribadian kuat. Mereka menjadi maju karena mereka menyimpan seorang Thomas Jefferson, Napoleon Bonaparte, Mahatma Gandhi, Winston Churchill, Adolf Hitler, Stalin, dan seterusnya serta sejumlah nama lain lagi yang memberikan pengaruh besar dalam sejarah dunia. Sejarah Melayu pun memperlihatkan hal yang sama. Jika kita menyimak perjalanan kegemilangan kebudayaan dan pentadbiran Melayu, mulai dari zaman Sriwijaya, Johor, Riau-Lingga, Melaka, sampai Siak Sri Inderapura, maka kita dapat pula melihat bahwa ternyata, lebih banyak keberhasilan dunia Melayu tersebut berpuncak 161
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dari faktor kepemimpinan. Sriwijaya misalnya. Kegemilangan Kerajaan Sriwijaya tidaklah karena Sriwijaya sangat kaya dengan hasil alam atau memiliki balatentara yang sekuat pasukan Alexander The Great atau Iskandar Zulkarnain, tapi justru karena pada masa kegemilangan itu, Sriwijaya dipimpin oleh seorang yang cerdas (Dapunta Hyang) dan memiliki kepribadian yang baik serta kuat. Dengan kepemimpinan seperti itu, kita menyaksikan bagaimana Sriwijaya mengokohkan diri sebagai sebuah negeri Melayu yang sangat terkenal pada zaman-nya. Sriwijaya menjadi kerajaan nasional yang pertama di Nusantara, bahkan sempat menjadi kerajaan pertama yang memiliki sistem pendidikan sampai tingkat Perguruan Tinggi, yaitu Universitas Nalanda, dengan salah satu guru besarnya adalah seorang anak negeri yang bernama Satyakirti. Kemudian Riau-Lingga. Kegemilangan tanah ini mencuat justru pada abad ke-19. Pada masa itu, para pemegang teraju kekuasaan yang juga terdidik berkolaborasi dengan para ilmuan dan budayawan semisal Raja Ali Haji, Khalid Hitam, Aisyah Sulaiman, dan sejumlah tokoh berpengetahuan luas lainnya. Pada masa ini semua hal diatur secara baik, sampai kepada tugas-tugas yang diemban oleh seorang raja. Seorang raja (seperti yang tertera dalam kitab Tsamarat alMuhimmah), mempunyai dua tugas utama. Pertama, tugas pemakmuran. Tugas ini mewajibkan seorang pemimpin harus mampu bekerja keras untuk memberikan jaminan kemakmuran bagi rakyat. Kedua, melakukan tugas sebagai imam. Jika sebelum rasionalisasi Islam pemimpin diartikan sebagai "bayang-bayang Tuhan di atas muka bumi" (Dzilullah fil Ardhi), maka setelah rasionalisasi tugas seorang pemimpin adalah juga tugas spiritual, yaitu mengembangkan syiar agama di tengah-tengah masyarakat. Tersebab kepemimpinan merupakan elemen kunci dalam menuju kemajuan, maka harus ada pula ukuran-ukuran terhadap kepemimpinan itu sendiri. Filsuf Ibnu Khaldun dalam risalahnya yang berjudul "Negara Utama" (Al Madinatul Fadilah) menetapkan bahwa 162
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
paling tidak harus ada 4 (empat) syarat bagi seseorang yang ingin menjadi pemimpin. Pertama, memiliki kesehatan yang baik (jasmani dan rohani). Kedua, berpengetahuan luas (cerdas) dan bijaksana. Ketiga, sanggup bekerja keras, dan Keempat, taat beribadah kepada Allah. Dengan memiliki paling tidak empat hal itu, kata Ibnu Khaldun, maka baru dimungkinkan sebuah negeri akan dapat berjalan dengan baik dan sesuai harapan. Adalah suatu hal yang menyedihkan, ketika kita melihat, banyak di antara kita yang lebih mengedepankan semangat untuk memimpin ketimbang lebih dulu membekali diri dengan elemenelemen yang seharusnya ada. Budaya ingin mendapatkan sesuatu secara cepat saji; (instan), bukanlah suatu model yang baik, karena pada gilirannya justru akan membawa negeri menuju malapetaka. Dunia Melayu telah memberikan contoh yang jelas tentang hal ini. Ketika Raja Ali Kelana ditahbiskan sebagai Kelana (calon Yang Dipertuan Muda Riau) atau Perdana Menteri, maka hal pertama yang dilakukannya adalah mencari ilmu pengetahuan, dan kemudian melakukan perjalanan keliling ke serata negeri dan daerah taklukan. Perjalanan ini dilakukannya, dengan maksud untuk mengetahui secara jelas persoalan-persoalan yang ada dalam masyarakat, yang kelak akan dipimpinnya. Di sepanjang perjalanan, ia membuat sejumlah catatan mengenai peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, dan hukum. Ketika kelak menjadi Yang Dipertuan Muda, ia sudah mengetahui permasalahan dasar yang harus ia kerjakan. Jika pada masa sekarang generasi muda Melayu menginginkan sebuah negeri yang maju, maka banyak-banyaklah belajar, baik belajar untuk membekali diri dengan pengetahuan, belajar memahami persoalan-persoalan aktual, dan juga belajar dari sejarah. Ya, juga dari sejarah. Historia vital magistra, sejarah adalah guru yang utama, dan dengannya kita bisa memahami sejumlah persoalan yang telah terjadi, untuk kita perbaiki sisi salahnya pada hari ini. Andaipun pada generasi muda Melayu terkini telah muncul kesadaran tentang tanah dan 163
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sejarah, tapi jika tidak diimbangi dengan pengetahuan dan pemahaman, maka kita akan kembali mengulang kesalahan yang sudah terjadi. Negeri kita terkini memerlukan orang-orang yang bisa berjuang secara cerdas, karena kenyataan mengajarkan kepada kita, bahwa perjuangan tanpa bekal yang cukup tidak akan memberikan hasil yang optimal bagi diri kita. Saya, mungkin juga seluruh orang di negeri itu berharap generasi hari ini mau belajar dari semua Peristiwa yang telah terjadi, sehingga kelak negeri ini memiliki seorang pemimpin yang dapat memakmurkan negeri, serta memegang amanah tanah dan sejarah. By amending our mistakes, we get wisdom. Ya, mari kita percaya bahwa generasi kita telah menjadi bijak dengan belajar dari kesalahan. Dengan optimisme semacam itu, dan semangat kuat generasi penerus, maka kita mempunyai harapan besar. Kerja keras harus terus terbangun secara berkelanjutan, sebab meski harapan itu besar, tapi kadangkala seperti kata penulis besar Franz Kafka, "memang ada banyak harapan, tapi bukan untuk kita." Mari terus membangun diri dan dengannya kita akan memiliki diri. (12 Januari 2003)
164
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
9 Ali Baba Ali Baba merupakan kisah terkenal dalam dunia Arab, dan juga akrab dengan dunia Melayu. Syahdan, Ali Baba merupakan salah satu kisah dari seribu satu cerita yang disampaikan oleh Syahrizad menjelang tidur, sebagaimana termaktub dalam alfu Lailah wa Lailah, atau Seribu Satu Malam, yang di Eropa dikenal dengan nama Arabian Night. Dalam Seribu Satu Malam, Ali Baba adalah sebuah cerita komedi sekaligus satire. Berkisah tentang seorang yang miskin, namun kemudian menjadi kaya karena menemukan sebuah goa harta para lanun bin penjahat ibni perampok. la kemudian tumbuh menjadi pedagang yang berhasil dan terkenal sangat dermawan di seantero Baghdad. Kekayaannya membuat banyak orang iri dan bermaksud jahat, tapi beruntung ia mempunyai seorang pembantu yang sangat cerdik, sehingga semua rencana kejahatan atas dirinya dapat digagalkan. Dunia Melayu sangat mengakrabi tokoh ini. Allahyarham P. Ramlee, puluhan tahun yang lalu pernah menjadikan Ali Baba ini sebagai salah satu judul film komedi yang disutradarainya, dengan sedikit plesetan di sana sini. Jalan ceritanya tak jauh berbeda, tapi ketika Ali Baba akan membuka dan menutup kunci goa, mantera yang diucap oleh Ali Baba berubah menjadi bahasa wayang. Mat ingsun mantra aji Semar ngising Rampung ngising Semar tilem. Ade-ade saje P. Ramlee, bile pulak Ali Baba belajar bahasa Jawa, hehehe. Seiring dengan perjalanan waktu, zaman, dan kepentingan, Ali Baba menemui sebuah erosi penafsiran. Sebagai contoh, nama itu beberapa waktu belakangan ini menjadi sebuah sebutan yang terkenal, khususnya setelah perang Irak dan Amerika usai, dengan kekalahan di pihak Irak dan Saddam Husein. Tapi sayang, popularitas 165
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
nama Ali Baba di Baghdad ini bernuansa sangat negatif, karena dinisbatkan dengan peristiwa penjarahan yang berlangsung secara besar-besaran di berbagai sudut kota. Entah mengapa, seusai perang, seperti terorganisir, para penduduk serentak melakukan perampasan, mulai dari toko, gedung pemerintah, bahkan sampai kedutaan negara asing. Penafsiran yang paling sering digunakan untuk kata Ali Baba ini adalah untuk menyebut adanya kerja sama lain saling bertolak belakang, baik secara etnik, cara hidup, maupun kultur. Di Malaysia misalnya, kerjasama dua orang atau kelompok dimana satu sama lain saling bertolak belakang, baik secara etnik, cara hidup maupun kultur, ada semangat predator. Sekali waktu Baba makan Ali, lain waktu Ali pula makan Baba, dan pada waktu tertentu, Ali dan Baba berkolaborasi makan anak buah Ali dan Baba, dan makan yang lainlain lagi. Kerja sama, baik antara dua orang, dua kelompok, atau dua daerah yang berbeda, bukanlah sesuatu yang negatif, sebaliknya dianjurkan demi kemajuan. Dalam sejarah dunia, tidak ada sebuah puak atau negara dapat menjadi besar dan maju tanpa melakukan kerja sama dengan pihak lain. Kerja sama adalah suatu hal yang tak terelakkan, karena ia semacam sunnatullah atau hukum alam bagi interaksi manusia. Tanpa kerja sama, akan banyak hal yang terbengkalai, dan kita tentu saja tidak berharap hal itu terjadi. Pemerintah Provinsi Riau, dalam upaya percepatan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, juga melakukan berbagai kerja sama dengan beberapa pihak luar yang dianggap mungkin, misalnya dalam hal minyak, pembangunan infrastruktur, pembangunan ekonomi, dan lain sebagainya. Kita tentu saja mendukung hal itu, sepanjang semua kerjasama yang dilakukan itu memang ditujukan untuk kemaslahatan masyarakat. Yang tidak akan kita setujui adalah kerja sama dalam terma tafsiran negatif Ali Baba di atas. Kemaslahatan dan kemakmuran masyarakat, haruslah menjadi pangkal dari semua kerja sama dan 166
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
kebijakan, baik ekonomi, politik, sosial, maupun budaya yang dilakukan pemerintah. Jika kemakmuran masyarakat tidak dijadikan matlamat, maka kerjasama apa pun yang dilakukan hanya akan menjadi alat bagi kepentingan sepihak. Yang lebih parah lagi adalah, jika kerjasama yang dilakukan oleh warga Ali dan kelompok Baba adalah kerjasama untuk menyengsarakan rakyat, menebang hutan-hutan ulayat, atau melipat uang rakyat. Sebagai contoh adalah kasus perbankan, dimana uang rakyat justru dipergunakan untuk semata demi kepentingan kelompok Baba, sebagaimana yang terjadi pada kasus BLBI. Kalau yang model begini, tak peduli Ali tak peduli Baba, harus dilawan. Kembali pada berbagai kerjasama yang dilakukan oleh Pemerintah Riau, hal yang harus dicermati adalah apakah kerja sama yang dilakukan itu penting bagi Riau atau tidak. Jangan sampai, misalnya, kita berharap investasi yang kita terima pada waktu berikutnya adalah demonstrasi. Selain itu, apakah juga kebijakankebijakan yang dibuat tersebut kelak berpotensi melahirkan kekuatan baru, semacam yang terjadi di Malaysia atau tidak. Andai tidak, kolaborasi semacam apa pun, perlu dipikir .ulang. Ali Baba yang akan ada di Riau haruslah Ali Baba yang positif, sebuah perpaduan warna yang menghasilkan warna-warna yang bagus di atas kanvas. Jika yang demikian itu terjadi, maka setiap orang di Riau akan menyanyikan lagu Ali Baba, lebih merdu dari yang dinyanyikan dalam film P. Ramlee, ya Ali, ya Baba, ya Aliiiiiiiiii Baba. (27 April 2003)
167
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
10 Inul Syndrome Daya magic Inul memang luar biasa. Saya coba mencari topik lain, tapi Inul juga yang iya. Inul memang sebuah fenomena. Banyak tokoh dan berbagai lembaga ikut mengurusnya. Banyak yang membela dan tidak sedikit pula yang mengecam. Heboh Inul ini semakin menjadi-jadi, khususnya setelah Inul mendapat kecaman keras dari Raja Dangdut, Rhoma Irama, dan penyanyi dangdut senior lainnya. Pada mulanya Inul tertunduk mendapat teguran tersebut, tapi setelah kemuuiaii meuJcipeii. peittbelaan dari berbagai kalangan yang berpengaruh, Inul kembali tegak, dan tentu saja dengan mempersiapkan goyang ngebor yang lebih tajam dari yang sudahsudah. Pembelaan pun datang dari tokoh dan lembaga yang tidak kepalang tanggung. Gus Dur misalnya, membela Inul dengan bersemangat dan bahkan mengatakan akan mempersiapkan anggota untuk melawan ancaman Rhoma Irama. Dari kalangan penegak hukum datang juga pembelaan. Pengacara Hotma dan Ruhut Sitompul siap membantu Inul dengan beberapa tuntutan. Bahkan konon akan menyiapkan 100 pengacara. Lalu, karena menganggap Rhoma melawan kebebasan pers, dengan meminta media elektronik mencekal Inul, Tarman Azzam, Ketua Umum PWI pusat, ikut pula berada dalam barisan Inul, dan bahkan dalam wawancaranya di sebuah televisi, Tarman Azzam yang saya kenal baik, menyebutkan pasal yang bisa dikenakan kepada Rhoma serta target hukumannya. Sudah cukup? Ternyata belum. Pembelaan yang bertubi-tubi datang lagi dari delapan penjuru angin. Ada yang dari kelompok pembela kreativitas, ada Guruh Soekarno Putra, partai politik, LSM yang mengurus hak-hak perempuan, dan bermacam-macam lagi. Di samping itu, kalangan artis dangdut pun terpecah dua, ada yang pro 168
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Rhoma Irama dan banyak pula yang membela Inul. Sepertinya, semester pertama tahun 2003 ini, adalah bulan-bulan Inul. Mengapa Inul begitu menghebohkan? Memang tidak ada jawaban yang pasti. Namun demikian ada sebuah kemungkinan, yaitu bahwa Inul merupakan sebuah titik letupan dari persaingan antarartis Indonesia, khususnya dangdut, yang memang memiliki banyak poros, berbeda garapan, dan berlainan kepentingan serta cara pandang. Pada mulanya Inul hanya penyanyi kelas kabupaten atau paling banter kelas provinsi. Namanya kemudian mulai mencuat ketika goyang khasnya yang dipopulerkan oleh media pers dengan istilah "ngebor" itu berusaha dibungkam oleh ulama Pasuruan. Tapi himbauan ulama Pasuruan yang meminta masyarakat mencekal Inul, ternyata tidak mempan. Inul semakin menjadi-jadi, ngebor sana, ngebor sini, ngebor di mana-mana. Alhasil, namanya melejit. Jika dulu kelas kabupaten, sekarang Inul sudah go internasional. Dalam sejarah kreativitas seni di Indonesia, fenomena semacam Inul ini tidak banyak terjadi, apalagi sampai melibatkan berbagai komponen yang berada di luar seni itu sendiri, katakanlah dunia politik dan hukum. Kegegeran Inul mungkin hanya bisa dibandingkan dengan kegegeran tahun 1960-an, yaitu ketika terjadi perseteruan antara kelompok seniman penanda tangan Menifesto Kebudayaan (Manikebu) dengan kelompok Lekra, yang kemudian menyeT-et beberapa orang penanda tangan itu ke dalam penjara. Kisah lain yang senada dengan ini, mungkin adalah kasus Ki Panji Kusmin dengan cerpennya yang berjudul Langit Makin Mendung. Sama halnya dengan pertentangan kelompok Manikebu dengan Lekra yang membuat beberapa seniman dibungkam dan masuk penjara, dalam kasus Ki Panji Kusmin terjadi hal yang sama. Redaktur majalah sastra, HB Jassin, yang bersikeras tetap melindungi nama Ki Panji Kusmin, digiring ke penjara. Bedanya dengan Inul adalah, bahwa pada masa lampau itu, kebebasan kreativitas memang dibelenggu oleh ideologi secara ketat. 169
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Jika Soekarno menyerukan revolusi, atau demokrasi terpimpin, maka itu harus diikuti oleh semua sektor dan disiplin. Jika dilanggar, seperti yang dilakukan para seniman penanda tangan Manikebu, maka dengan segera akan dianggap sebagai pembangkang atau kontrarevolusioner, dengan akibat yang pasti, penjara. Dalam kasus Inul, kita memang tidak bisa memastikan siapa yang salah, Inul ataukah Rhoma. Jika ditilik dari sudut pandang kebebasan ekspresi, apa yang dilakukan Inul adalah sesuatu yang sah, karena kebebasan ekspresi tidak bisa ditakar dengan nilai-nilai moral tertentu, apalagi hanya melalui sebuah takaran yang "dianggap sepihak". Dari sisi yang lain, Rhoma juga tidak bisa kita salahkan, karena ia menilai dari sudut pandang yang berbeda dan dengan kaidah-kaidah yang berbeda pula. Bagi Rhoma, mungkin sebuah kebebasan ekspresi tidak bisa diterjemahkan secara semena-mena, melainkan harus bermain dalam sebuah takaran moral yang merujuk kepada hukum agama. Kita memang tidak dapat menuduh Inul atau Rhoma. Jika hendak dibawa kepada hukum Islam, akan ada persoalan, yaitu Indonesia bukan negara Islam. Jika hendak merujuk kepada kebebasan ekspresi murni, ada pula suatu fakta, bahwa Indonesia bukan negara sekuler, melainkan sebuah negara yang didiami oleh para pemeluk agama yang taat yang menjunjung tinggi moral. Dalam hal moral ini, bahkan sudah diajarkan sejak dini di sekolah-sekolah. Saya tidak ingin membela siapa-siapa, karena sudah banyak yang melakukan itu. Namun demikian, saya hendak memberi sedikit catatan perenungan. Kebebasan ekspresi bukanlah sesuatu yang mutlak. Setiap orang boleh saja berekspresi, tapi pada setiap orang juga harus ditumbuhkan sebuah kesadaran secara mandiri, bahwa di sekeliling diri, ada orang lain, ada lingkungan yang beraneka ragam kafilah. Dengan kesadaran itu, kita akan menjadi mawas diri. Dalam ekspresi kita, ada kemestian memahami orang lain yang mungkin berbeda dengan kita, dan itu merupakan sebuah konsekuensi. 170
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Seniman Butet Kartaredjasa, yang membela Inul, mungkin benar, bahwa tak ada ukuran pornografi, sebab sesuatu dikategorikan sebagai porno atau tidak tergantung pada "otak "orang itu sendiri. Tapi bukankah sesuatu terjadi, katakanlah kejahatan, tidak sematamata karena pemikiran seseorang, tapi juga rangsangangan dan kesempatan? Jika segala sesuatu hanya berdasarkan konsep "Ideal" Butet tersebut, maka sepertinya tak perlu ada kaidah-kaidah dalam kehidupan. Lebih ekstrem, jika semua dikembalikan kepada penilaian individu semata, maka mungkin tak ada urgensinya pembuatan batas kebenaran dan kesalahan yang selama ini ada dalam berbagai anutan. Saya menjadi teringat pesan Nabi yang telah diwariskan kepada kita: "Korupsi para ulama itu terjadi melalui ketidakpedulian, korupsi para penguasa melalui ketidakadilan, dan korupsi kaum sufi adalah kemunafikan". Namun kini agaknya, ketidakpedulian, ketidakadilan, dan kemunafikan itu tidak semata milik ulama, penguasa dan kaum sufi. Kita, masyarakat, juga memilikinya. (11 Mei 2003)
171
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
11 Sri Amanah Dwi Wangsa SRI SULTAN Hamengku Buwono X, Sultan Yogyakarta, dianugerahi gelar kehormatan oleh Lembaga Adat Melayu Riau. Gelar yang dilekatkan cli pundak Sultan adalah Sri Amanah Dwi Wangsa. Mak-sudnya kira-kira, dengan gelar itu, si pemegeng gelar, sejak dikukuhkan, memangku amanah dan memiliki kewajiban moral untuk mengekalkan simpai persebatian kedua hala, Melayu dan Jawa. Dari satu sisi pemberian gelar kehormatan ini adalah sesuatu yang biasa saja, seperti layaknya Presiden Prancis memberikan gelar kepada bintang film kita Christine Hakim. Namun di sisi lain, di tengah menguaknya isu primordialisme sempit atau bahkan isu disintegrasi, pemberian gelar kehormatan antara puak, laksana si tawar si dingin. Tidak dapat dinafikan, dewasa ini, permasalahan serius yang dihadapi oleh bangsa kita adalah menipisnya rasa solidaritas, rasa persatuan dan kesatuan, rasa senasib sepenanggungan. Ke bukit kita mungkin memang masih sama-sama mendaki, tetapi dengan cara dan kepentingan yang berbeda. Ke lurah mungkin kita masih sama menurun, tapi tak lagi satu tujuan dan miskin pula dengan persebatian. Realitas sosial membendangkan, kita tidak lagi memberikan bobot penghargaan yang seimbang dan selaras terhadap kemajemukan dan semangat persatuan. Semangat yang mendominasi alam pikiran anak negeri ketika membaca "Bhinneka Tunggal Ika", agaknya telah bergeser dari "berbeda tapi satu" ke "satu tapi berbeda". Semangat primordialisme sudah berada di depan dan kelihatannya sudah mendominasi serta telah terekam dalam keseharian kita, ketika hidup serumah tapi tak lagi beramah tamah, h~idup bertetangga tak lagi jaga-menjaga, hidup sedusun tak lagi tuntun-menuntun, hidup sekampung tak lagi tolong-menolong, hidup 172
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sedesa tak lagi bertenggang rasa, hidup senegeri tak lagi berimemberi, hidup sebangsa tak lagi rasa-merasa. Padahal pesan orang tua-tua kita tidaklah demikian. Orang tua-tua Melayu mengamanahkan: Hidup serumah beramah tamah, hidup bertetangga jaga-menjaga, hidup sedusun tuntun-menuntun, hidup sekampung tolong menolong, hidup sedesa bertenggang rasa, hidup senegeri berimemberi, hidup sebangsa rasa merasa. Salah satu faktor yang memberikan kontribusi cukup dominan dalam mempengaruhi kondisi itu agaknya adalah karena paradigma masyarakat kita yang sarat dengan muatan pohtik (paradigma politik lokal). Semua aspek dipolitisasi. Padahal kalau sudah bernuansa politik maka pendekatannya pasti kekuasaan dan kepentingan. Kalau sudah berbicara kekuasaan dan kepentingan, sederetan panjang kafilahkafilah yang beraneka ragam yang terdiri dari individu, kelompok, suku, agama, wilayah, adat, bangsa, dan sebagainya akan terfragmentasi atau terpolarisasi dalam berbagai kotak. Kotak dan kutub-kutub ini satu dengan lainnya berpotensi untuk friksi. Pluralitas itu adalah kenyataan sejarah umat manusia. Pluralitas itu kodrati sifatnya. Menidakkan pluralitas samalah artinya dengan menidakkan sunnatullah. Dalam format ideal, masing-masing kafilah tidak bisa saling menguasai, tapi antara keduanya harus memiliki peluang untuk mengatur diri masing-masing dan memiliki peluang untuk membangun komunikasi satu dengan lainnya melalui dialog-dialog lintas kafilah yang konstruktif. Namun apabila yang mengedepan selalu saja agenda politik, apalagi politik yang tidak berbudaya, yang tidak memiliki jati diri, maka format interaksi lintas kafilah tidak lagi ideal. Simbiose mutualistik antarkafilah tentu sukar diharapkan bila kondisi tidak lagi ideal. Yang terjadi adalah saling jegal, saling memojokkan, dan saling fitnah. Sebab politik itu memang suka menyem-bunyikan banyak wajah dalam banyak kafilah dan panjangnya gerbong yang melintasi.
173
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Agar paradigma satu dalam perbedaan (unity in diversity) memiliki makna bagi kemaslahatan umat, maka buhulnya tidak boleh mudah terungkai. Persyaratannya antara lain adalah masyarakatnya harus sudah tercerahkan. Dengan masyarakat yang tercerahkan, perbedaan bukan sesuatu yang melemahkan. Heterogenitas atau pluralitas justru akan membuat kita semakin, cepat maju. Masyarakat yang tercerahkan adalah masyarakat yang memberi apresiasi yang tinggi terhadap kebudayaan. Mengapa kebudayaan? Memang akan banyak sekali jawaban untuk itu. Jawaban yang paling sederhana adalah karena kebudayaan itu dapat menerjemahkan diri secara lebih lugas. Kebudayaan merupakan sebuah implementasi dari seperangkat pemahaman, harapan, dan sekaligus kehendak manusia dalam membangun dirinya. Dengan melakukan tindakan kebudayaan, orang menjadi dapat memandang diri sendiri, bangsa, masyarakat, dan tradisi dari sudut pandang ideal. Perbedaan-perbedaan cara pandang itu kemudian melahirkan keragaman kebudayaan pula antara satu dengan yang lain, bermula dari diri, kemudian menjadi kelompok, menjadi puak, dan perbedaan itu sampai menjadi sebuah bangsa. Ketinggian dan keranggian kebudayaan sebuah puak atau negeri justru salah satunya diukur dari kemampuan menciptakan "kelainan" dengan yang lain, menciptakan sesuatu yang berbeda dengan orang lain. Ada identitas. Btfkan justru obsesi untuk membuat se-muanya menjadi uniform atau mengembangkan perasaan superioritas atau inferioritas, ordinate atau subordinate. Dengan demikian, sesungguhnya tidak perlu ada perasaan apriori dalam suatu dialog kebudayaan. Dialog diperlukan untuk memelihara komunikasi budaya. Kemiskinan dialog budaya justru akan menimbulkan misinterpretasi dan misinterpretasi akan membentuk asumsi-asumsi yang salah, bahkan bisa menjurus kepada fitnah. Hemat kami, pemberian gelar tersebut adalah sesuatu yang biasa saja, bagian dari sebuah komunikasi kebudayaan, itu saja. Bukan sesuatu yang aneh. Ke depan wilayannya justru harus diperlebar 174
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
secara selektif Agenda demi agenda kebudayaan yang mengedepankan intelektualitas, keluhuran budi, dan kesantunan akan menandai Provinsi Riau sebagai pusat kebudayaan Melayu. Semogalah upaya yang telah dilakukan oleh Lembaga Adat Melayu Riau memberikan sumbangan kepada upaya kita bersama untuk memperkokoh jalinan persatuan dan kesatuan dalam kemajemukan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. (29 Juni 2003)
175
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 5
176
2004
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
1 Pandanglah Ke Timur Mulut kamu adalah harimau kamu. Pepatah ini, sekarang mungkin sangat tepat untuk dialamatkan pada Amerika dan Inggris, pasca penyerbuan brutalnya ke Irak. Penyerbuan yang dimulai dengan pembenaran-pembenaran sepihak, yaitu dengan menuduh Irak memiliki Senjata Pemusnah Massal, akhirnya mengalami delegitimasi, khususnya setelah tuduhan tersebut, seperti yang diduga banyak pihak sejak awal, tidak terbukti. Lebih jauh, justru saat ini, Amerika dan Inggris mendapat kecaman dari dalam negeri dan dunia internasional. Bahkan, di Inggris berujung dengan kematian penasehat pertahanan, ahli senjata Dr. David Kelly, 59, yang sebelumnya menjelaskan kesalahan itu di BBC. Akibatnya, popularitas Perdana Menteri Tony Blair menurun. Lebih dari itu, saat ini, Amerika juga harus menuai perlawanan dari rakyat Irak yang, konon, mereka bantu. Entah sudah berapa banyak tentara yang tewas oleh perang gerilya kota yang dilancarkan rakyat Irak, yang sepertinya sulit untuk diselesaikan. Kita tidak tahu, alasan apa lagi yang akan digunakan Amerika untuk membela diri atas fakta-fakta yang ada. Amerika dan Inggris mungkin bisa saja mengganti opini dunia dengan mengatakan bahwa tindakan mereka masih dapat dibenarkan karena Saddam telah bertindak sewenang-wenang, diktator, otoriter, dan itu diatur dalam Declaration of Human Right, "Untuk menjaga agar orang (negara) tidak mengambil jalan kekerasan sebagai jalan terakhir, maka kekuasaan sewenang-wenang dan penindasan harus ditentang keras." Saddam mungkin saja sewenangwenang dan otoriter dalam pandangan Amerika, tapi itu tidaklah dengan serta-merta menjadi pembenar bagi Amerika untuk menyerang sebuah negara yang berdaulat, dan kemudian mendudukinya. Sebab, ketika sebuah kesewenang-wenangan 177
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tumbang, maka kekuatan yang datang seringkali menjadi sebuah kesewenang-wenangan baru pula. Hal ini tentu menjadi sebuah pengalaman yang teramat mahal yang harus dibayar oleh sebuah negeri. Mungkin benar apa yang dipercayai orang, bahwa perang Amerika-Irak, sesungguhnya bukan persoalan senjata pernusnah massal, tapi lebih mengarah pada kehendak hegemoni dan mempertunjukkan power politik sebagaimana yang dilansir oleh Klaus Knorr dalam Military Power and Potential, bahwa negara maju sering memanifestasikan power politik dalam bentuk kemampuan pemerintah untuk mempengaruhi atau memaksa pemerintah lain untuk menyetujui keinginan politiknya. Inilah sebenarnya yang utama, lagi pula Irak bukanlah sebuah kasus pertama dalam perang internasional. Hal yang sama pernah dilakukan oleh Amerika dalam kasus Ortega di Kolombia, perang Vietnam, penyerbuan Grenada, dan sekarang Amerika ikut campur tangan pula di Liberia dengan target presiden Charles Taylor. Mengelaborasi konsep psikoanalisa Sigmund Freud, apa yang dilakukan oleh Amerika merupakan dorongan libidinal atas kehendak hegemoni yang besar dalam percaturan politik internasional. Tapi, pembenaran bukanlah kebenaran, dan seperti kata Thomas Jefferson, sebuah kebenaran akan terbukti dengan sendirinya. Pembenaran justru sebaliknya, terkadang bahkan mempermalukan kita. Malang bagi Amerika. Kebenaran itu terbukti dengan sendirinya, laksana dalam Kisah Seribu Satu Siang dan Malam, karya sastrawan pemenang Nobel, Najib Mahfouz, kebenaran, walaupun suatu tempo kelihatannya dizalimi, tapi di lain tempo pada saat yang tepat dia akan muncul mengalahkan kepalsuan. Lihatlah, bagaimana tuduhan terhadap Irak tidak terbukti dan kebenaran lain pun segera menampakkan diri dalam bentuk perlawanan rakyat Irak! Perlawanan yang dilakukan rakyat Irak, pada hemat saya, sesungguhnya tumbuh dari sebuah kesadaran bahwa apa yang 178
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dilakukan Amerika bukanlah sesuatu yang secara murni dikehendaki oleh orang Irak sendiri. Rakyat Irak tetap memandang bahwa Amerika adalah bangsa asing yang datang dengan kesewenang-wenangan tersendiri, sebuah pribadi yang sedang, mencoba menguasai sebuah pribadi yang lain. Masyarakat Irak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Sigmund Freud dalam Civilization and Its Discontents yang mengatakan, bahwa jika pribadi lain berkuasa atas diri saya, maka pribadi itu pun akan menghancurkan, memperkosa, mengeksploitasi, dan membunuh saya, meski tak mendapatkan keuntungan dari tindakan tersebut. Atas dasar itu, rakyat Irak melawan. Lagi pula masyarakat Irak juga tahu, bahwa perang yang terjadi sesungguhnya adalah persoalan pribadi yang digeneralisir menjadi persoalan bangsa dan persoalan internasional. Atau bahkan tidak berlebihan, bila perang itu disebut perang para paranoid. Amerika mungkin harus meninjau ulang (remaking) terhadap semua kebijakannya dengan memandang bahwa Amerika bukanlah satu-satunya standar kebenaran. Pandanglah ke Timur! Timur boleh saja dianggap Barat sebagai negeri yang terlalu banyak tata krama, kurang produktif, atau kurang demokratis, tetapi Timur memi-liki banyak sekali pernik-pernik kebajikan dan persahabatan dan selalu memberikan penghargaan dan apresiasi yang layak terhadap hubungan persaudaraan. Belajarlah mencari kebaikan-kebaikan yang tercecer! Sebuah dunia internasional yang damai tidaklah harus diciptakan lewat sebuah perang, tapi juga dengan cara memandang orang lain dengan penghormatan yang besar. Gandhi lewat Satyagraha-nya telah mengajarkan kepada dunia bagaimana sebuah dunia yang damai dibangun, bagaimana sebuah kebenaran ditata. "Aku menentang orang Inggris dengan teramat sangat," kata Gandhi, "tapi aku tetap menghargai mereka sebagai teman dialog yang
179
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sederajat." Amerika harus mencontoh Gandhi untuk masa-masa mendatang. (1 Agustus 2003)
180
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
2 Arogansi Amerika Itu Terorisme kembali menjadi sebuah kata yang penting pada akhir-akhir ini. Terorisme menjadi sebuah kata yang penting, bukan saja karena kata itu dikaitkan dengan sesuatu yang berkonotasi menakut-kan, keji, biadab, ataupun berbau darah, tapi karena pada saat ini kata itu berhubungan dengan sebuah negeri yang bernama Amerika. Sebuah negeri, yang paling getol memburu para teroris, yang kemudian menjadi korban terorisme itu sendiri. Gaung kata terorisme itu semakin bergema, karena tanggal 11 September 2002 ini, Amerika Serikat memperingati genap setahun tragedi penabrakan yang melu-luhlantakkan gedung World Trade Center, yang menu-rut Amerika dilakukan oleh jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden. Kita paham mengapa Amerika sangat marah. Bagi Amerika, serangan 11 Sepetember 2001 yang lalu merupakan sebuah kehinaan besar, di mana sebagai sebuah negara adidaya, yang selama ini mengaku memiliki sistem pertahanan tercanggih, dibuat tak berdaya. Kehinaan yang diterima oleh Amerika ini, bagi pemerintahan Bush, lebih besar dari apa yang pernah terjadi pada tahun 1941 yang mereka sebut sebagai "Hari Kehinaan" (Day of Infamy), yaitu ketika pasukan Kamikaze Jepang datang secara tiba-tiba dan menghancurkan Pearl Harbour. Sekali lagi, kita paham dan sangat mengerti, jika karena peristiwa itu, Amerika mengambil suatu tindakan. Yang membuat kita tidak paham adalah ketika Amerika harus menuding orang lain sekehendak hatinya, untuk memuaskan diri. Amerika sepertinya secara sengaja menjadikan peristiwa 11 September 2001 sebagai dasar pijakan tanpa batas untuk mendiskreditkan musuh-musuhnya, seperti Irak, Iran, Libya, Kuba, Suriah, Korut, dan bahkan sampai pada negara-negara semacam Indonesia dan Malaysia. 181
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Indonesia? Lalu apa hubungan peringatan "September Kelabu" yang berlangsung di Amerika itu dengan Indonesia? Ternyata khusus terhadap Indonesia, Amerika menganggap bahwa di Indonesia terdapat jaringan Al Qaeda, yang selain eskalasinya semakin besar, juga sewaktu-waktu dapat mengancam, sehingga Amerika perlu mengambil langkah-langkah pengamanan, setelah lebih dulu menuduh bahwa pemerintah Indonesia tidak mengambil langkah-langkah memadai untuk mengatasi keadaan itu. Salah satu langkah pengamanan yang dilakukan Amerika adalah menutup kantor kedutaan Besarnya di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya. "Walau Al Qaeda dikejar-kejar, kita tahu bahwa jaringan Al Qaeda masih jauh dari dikalahkan. Kami menerima contoh jelas mengenai itu beberapa jam yang lalu, melalui informasi yang dapat dipercaya mengenai ancaman suatu teroris tertentu terhadap Kedutaan Besar kami di Jakarta dan Konsulat Jenderal di Surabaya, yang menyebabkan ditutupnya kedua perwakilan itu," kata Dubes Amerika untuk Indonesia, Ralph Boyce, seperti yang dikutip oleh berbagai media. Sebegitu hebatkah terorisme di Indonesia, sehingga membuat negara semacam Amerika menjadi takut? Tidakkah itu berlebihan? Amerika wajar untuk takut dan sekaligus benci dengan terorisme. Saya kira, bukan hanya Amerika. Semua kita tidak setuju dengan terorisme, karena terorisme, dalam bentuk seperti apa pun atau dengan alasan yang bagaimanapun, adalah suatu penghinaan terhadap kemanusiaan. Atau seperti yang dikatakan oleh Bush, karena terorisme itu berbahaya ba-gi tiga gagasan besar dunia, yaitu berbahaya terhadap perdamaian, demokrasi, dan pasar bebas. Yang tidak wajar dan tidak kita setujui adalah, jika Amerika menjadikan apa yang menimpa dirinya sebagai sebuah alasan untuk menuding semua orang atau banyak negara sebagai bagian yang ikut bertanggung jawab. Jika lebih jauh kita melihat, tidakkah sesungguhnya terorisme itu muncul, justru karena kebijakan internasional Amerika yang salah, memihak, dan tidak seimbang? Dalam berbagai kasus politik 182
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
internasional, misalnya persoalan Palestina - Israel, sangat terlihat bagimana Amerika cenderung memihak Israel, dan bahkan selalu menerima tanpa reserve konsep-konsep tentang bahaya Islam Palestina. Sikap-sikap Amerika dalam sejumlah kebijakan internasional yang tidak seimbang tersebut, bagi banyak negara dunia ketiga, adalah semacam gerakan Neo-Imperialisme, dan tentu saja sikap itu menyakitkan serta menuai perlawanan. "Jika imperialisme meningkat, baik dalam jangkauan maupun kedalamannya, tulis Edward W. Said dalam "Culture and Imperialism", maka perlawanan pun akan semakin kuat. Dalam kasus Amerika Serikat, mungkin kondisi inilah yang menjadi bibit terorisme, khususnya ketika orang tak lagi punya jalan yang normal untuk menyelamatkan dirinya dari penderitaan. Peristiwa peringatan 11 September sepertinya secara sengaja dijadikan sebuah jalan bagi Amerika untuk bisa memiliki kesempatan meneguhkan hegemoni, juga sekaligus ikut campur dalam urusan negara lain. De-ngan segala dalihnya, Amerika Serikat, melalui tragedi yang terjadi, seperti sedang membangun pembenaran untuk melakukan sesuatu. Ini mungkin, karena setelah perang dingin selesai dan sebagian besar negara komunis membubarkan diri, Amerika seperti kehilangan pijakan untuk mencampuri kedaulatan negara lain. Yang terasa menusuk bagi kita dalam hubungannya dengan peristiwa ini, adalah betapa Amerika seakan-akan menggiring persoalan terorisme ini paralel dengan Dunia Islam. Padahal Dunia Islam mencintai perdamaian, lebih besar dari yang mampu diperkirakan oleh Bush, ataupun Amerika sendiri. Kita berharap, agar Amerika Serikat, khususnya pemerintahan Bush, dapat memandang persoalan secara lebih baik dan arif, searif Jefferson atau Abraham Lincoln dalam memandang diri dan Amerika. Kekuasaan dan kemampuan besar, seharusnya seperti sebuah telaga, kata tokoh spiritual Cina, Lao Tse, ia tenang dan dalam, tidak bergemuruh seperti sungai yang mengalir dari gunung. Kita berharap Amerika begitu. Jika tidak, seperti apa yang dikatakan oleh banyak 183
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
pengamat, maka1 Amerika akan menuai perlawanan yang semakin mere-bak, baik secara samar maupun terang-terangan. Kita tidak berharap Amerika Serikat justru yang menyemai bibit-bibit ketidakpuasan itu dan kemudian menyuburkannya. Kata orang, siapa yang menabur angin akan menuai badai. (15 September 2002)
184
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
3 Satu Kata Beda Makna Suatu hari di tengah keramaian kota Bangkok, Thailand, mata saya tertumbuk pada sederetan kaos yang dipajang oleh pedagang kaki lima setempat. Ada sebuah kaos mencolok mata, desainnya nyeleneh. Lukisan wajah dua tokoh kontroversial yang sangat populer di dunia saat ini terpampang berdampingan. Keduanya ganteng laksana sahabat karib. Siapa lagi kalau bukan George W. Bush dan Osama bin Laden. Yang pertama tentu Presiden Amerika Serikat, yang satunya pemimpin AI Qaeua yang saiigai. uibeiuji Amerika Serikat. Islahkah? Rujukkah? Atau rekonsiliasikah mereka? Adakah kampanye di Thailand untuk menda-maikan dua pihak yang berseteru itu? Ternyata tidak. Di atas lukisan kedua tokoh itu tertulis: "Two Terrorists". Maknanya jelas bin tegas: dua orang teroris. Lebih jelas lagi maksud perancangnya, Osama bin Laden adalah teroris, George W. Bush juga teroris. Yang tidak jelas adalah, apa kira-kira pikiran yang ada dalam benak perancang desain kaos itu. Macam berani betul dia. Apakah karena rasa humornya yang tinggi, atau karena berangkat dari sebuah perenungan yang sarat dengan kepedihan terhadap tragedi kemanusiaan yang tak habis-habisnya. Kedua tokoh ini telah menjadi konsumsi pemberitaan yang selalu bernuansa pembunuhan, Osama bin Laden dengan pengikutnya memerangi Amerika sebagai zionis yang ikut bertanggung jawab terhadap pembantaian warga sipil Palestina, sementara Amerika memerangi Osama bin Laden dengan pengikutnya dengan tuduhan sebagai teroris. Desain kaos yang nyeleneh itu bisa mengandung makna yang dalam, bisa juga tidak bermakna apa-apa. Tergantung siapa yang melihatnya dan siapa yang memakainya. Bagi yang menaruh perhatian khusus dan rajin mengikuti sepak terjang kedua tokoh itu, lukisan 185
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
tersebut agaknya bolehlah dianggap mewakili. Bisakah anda membayangkan apa reaksi George W. Bush dan Osama bin Laden bila mereka dikirimi kaos tersebut? Kalau kaos itu dijual di negeri-negeri di mana sentimen anti Amerikanya cukup kuat, maka itu adalah sesuatu yang wajar. Tetapi Thailand, negeri yang tidak pernah dijajah ini, bukanlah negeri anti Amerika (walaupun bukan sekutu AS). Oleh karena itu, adanya kreasi desain kaos seperti itu cukup menarik, karena memberikan sinyal bahwa sikap pro-kontra terhadap pertelagahan yang seakan tak terdamaikan antara Amerika Serikat dan Osama bin Laden sudah menja wacana di serata dunia. Dunia punya hak untuk menilai mana yang benar dan mana yang salah. Bagi Amerika Serikat dan sekutunya, Osama bin Laden dengan Al Qaedanya adalah teroris, tetapi sebaliknya bagi Osama bin Laden dan pengikutnya, Amerika Serikatlah yang teroris. Klaim dari masingmasing kubu sama, yakni sama-sama merasa benar dan sama bersikukuh kubu lainlah yang menebar pembunuhan. Mana yang salah dan mana yang benar sungguhan, wallahu A'lam, karena kedua kubu jangankan kalah, merasa draw pun tidak mau. Tetapi di atas semua itu, sesungguhnya dalam dunia yang sudah semakin tua ini tidaklah mudah untuk membedakan yang baik dan yang buruk secara hitam putih. Cerita Kahlil Gibran, seorang penulis besar Lebanon yang besar di Amerika Serikat, agaknya layak dielaborasi. Suatu hari, cerita Kahlil Gibran, Kebaikan dan Keburukan bertemu di tepi laut. Mereka saling berkata, "Marilah kita berenang ke laut". Lalu mereka menanggalkan pakaian dan berenang. Setelah beberapa saat, Keburukan kembali ke tepi dan mengenakan pakaian Kebaikan, kemudian pergi. Pada saat Kebaikan keluar dari laut ia tidak menemukan pakaiannya, karena malu bertelanjang akhirnya ia mengenakan pakaian Keburukan. Akibatnya hari ini, kata Kahlil Gibran, kita tak mampu mengenali mereka satu per satu. Hanya ada beberapa orang yang mengenali Kebaikan meskipun ia menggunakan pakaian 186
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Keburukan. Ada juga yang da-pat mengenali Keburukan, karena pakaian yang ia kenakan, tak mampu menyembunyikan wajahnya yang asli. Kahlil Gibran agaknya benar, sekarang kita sulit mengenali keduanya. Teroris hanya satu kata, dan sesungguhnya jelas artinya universal, tapi dimaknai secara berbeda tergantung dari sudut mana memandangnya. Tragedi Bali adalah sebuah tragedi nasional bahkan internasional. Tragedi ini jelas merupakan ulah dari teroris. Tapi kita belum tahu yang mana. Tragedi yang merenggut hampir 200 nyawa ini disebut sebagai tragedi kedua terbesar setelah tragedi WTC New York. Kita telah memasuki lembaran baru dalam kehidupan berbangsa, yang sayangnya bukan lembaran penuh dengan keindahan, melainkan sebuah lembaran hitam. Orang boleh saja berdebat tentang teror itu, tapi sebuah stasiun televisi swasta terkenal di Jakarta, dalam jajak pendapat yang diadakannya, menampilkan angka: hanya sekitar 25% saja dari responden yang percaya pengeboman itu dilakukan oleh orang-orang Indonesia, 50% lainnya berkeyakinan pembunuhan kejam itu dilakukan oleh konspirasi intelijen negara asing. Sekitar 25% lainnya tidak tahu atau tidak berkomentar. Bagi kita sebenarnya, tak peduli teror itu dilakukan oleh siapa, oleh jaringan Al Qaeda atau bukan, oleh intelijen Amerika atau bukan. Teror itu telah memberikan pelajaran yang teramat pahit, menyesakkan dada, dan meninggalkan luka yang teramat dalam. Pengeboman di Bali itu tidak hanya sekedar membunuh manusia, tetapi juga membunuh karakter bangsa. Bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berbudaya tinggi, halus budi, santun, bangsa yang penyayang, tercoreng demikian saja oleh bom itu. Bangsa kita agaknya sedang mengalami ujian yang sangat berat. Dulu kita diadu domba oleh VOC (Veree-nigde Oost Indische Compagnie - gabungan perusa-haan-perusahaan dagang Belanda untuk perdagangan di Hindia Timur) yang kelihatan wujudnya, kini kita 187
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
dipecah-belah oleh kekuatan yang tak jelas wujudnya. Kekuatan itu menyebarkan virus dalam otak kita masing-masing dan virus itu bernama kepentingan. Obatnya hanya satu: membangun kebersamaan (societal cohesiveness) yang bermartabat, bermoral, dan berkeadilan dengan latar kearifan. (20 Oktober 2002)
188
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
4 Si Jago Perang Meskipun mendapat kecaman dari berbagai elemen masyarakat Islam dan komunitas dunia, Amerika tetap mengumumkan akan melakukan serangan ke Irak. Amerika sepertinya sudah menjadikan rencana serangannya sebagai harga mati dalam hubungan inter-nasionalnya dengan Irak, walaupun PBB tidak memberikan izin. Dan walaupun Irak secara bertahap menunjukkan suatu iktikad baik dengan memberikan kesempatan kepada tim inspeksi senjata PBB melakukan tugasnya dan bahkan menghancurkan pula beberana rudal yang dianggap melebihi kapasitas sistem pertahanan nasional. Di Indonesia, "perang" melawan perang Amerika atas Irak bergemuruh di setiap daerah. Berbagai organisasi masyarakat, organisasi Islam, atau hampir semua organisasi yang ada, menentang kehendak perang Amerika. Begitu pula di Riau, Pekanbaru khususnya, penolakan terhadap rencana Amerika ditunjukkan melalui serangkaian demonstrasi, dan bahkan hingga penyegelan terhadap sesuatu yang berbau Amerika. Kita menolak serangan Amerika atas Irak. Kita menolak bukan semata-mata karena soal Islam atau karena ingin membela Saddam Hussein, tapi kita menolak rencana Amerika ini karena kita melihat sisi ketidakadilan Amerika (juga PBB) dalam menyikapi berbagai kasus internasional. Amerika diam ketika Israel membunuh warga Palestina meskipun Israel membunuh anak-anak dan para wanita, tapi sebaliknya dengan cepat memberikan tanggapan kekerasan dengan menyerang Afghanistan meski yang dicari hanya satu orang yang bernama Osama bin Laden. Amerika hanya memandang pasif ketika terjadi pembantaian di Chechnya, tapi dengan cepat memberikan reaksi atas gerakan yang bertentangan dengan keinginannya, seperti di Kolombia, Mindanao, dan sebagainya. Ketidakadilan semacam inilah 189
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
yang membuat kita semua tidak setuju. Ketidak-setujuan itu meluas sehingga menimbulkan reaksi dimana-mana. Jika Amerika memang memposisikan dirinya sebagai Polisi Dunia (World Cop), semestinya Amerika juga melakukan tindakan serupa terhadap semua hal yang membahayakan kemanusiaan. Tidak "tiba di perut dikempiskan, tiba di mata dipicingkan". Lebih dari itu, kita menolak perang Amerika ini, karena kita sadar bahwa perang, dalam banyak kasus, justru tidak mampu menyelesaikan inti persoalan, dan tak jarang pula berbelok pada tujuan-tujuan lain, seperti menjatuhkan pemimpin yang tidak disukai, atau penguasaan ekonomi, seperti yang disinyalir oleh Richard Lewinsohn dalam "The Profits of War Through the Ages", yaitu bahwa perang menjadi alat bantu untuk mencapai kepuasan para pemilik uang dan kaum industrialis dari negara-negara imperialis yang berusaha mencapai posisi monopoli ekonomi regional maupun global. Perang Amerika-Afghanistan pasca peledakan World Trade Center adalah contoh nyata. Pengusaha Amerika berada di garis terdepan dalam membangun perusahaan seusai mereka membentuk pemerintahan koalisi yang dipimpin Hamid Karzai. Yang paling tragis, yang juga merupakan inti penolakan kita, adalah bahwa perang akan lebih banyak menimbulkan kehancuran. Perang yang berlangsung dari awal abad ke-20 sampai tahun 1945 sudah membunuh lebih dari 16.000.000 manusia, yang sebagian besar dari korban, justru adalah masyarakat sipil yang tidak memiliki kepentingan apa pun terhadap perang. Kemudian, pada rentang waktu yang sama, kita menyaksikan pula tingkat kemiskinan membengkak akibat perang. Jutaan anak dan wanita terserang penyakit, dan sejumlah kemajuan, serta pranata sosial dan ekonomi yang terbangun, hancur berkeping-keping. "Ketika perang usai", kata Francis Moore, "setelah kedua belah pihak lelah baku hantam dan akhirnya berdamai, apakah sebenarnya yang diperoleh rakyat?" Moore menjawab sendiri: "Pajak, janda, kaki kayu, dan utang". 190
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Kita memang tidak tahu secara persis apa yang diinginkan oleh Amerika, dan juga tidak tahu mengapa Amerika sangat menggilai perang. Padahal dalam Piagam PBB, perang diletakkan sebagai instrumen terakhir dalam konflik internasional. Dalam pasal 51 dimuat pelarangan secara tegas penggunaan perang sebagai instrumen politik, kecuali untuk mempertahankan diri secara individu atau kolektif. Pelarangan itu juga termaktub pada pasal 2 ayat 4 yang berbunyi: Semua anggota dalam hubungan internasionalnya harus menahan diri untuk tidak mengancam atau menggunakan kekuatan terhadap integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Mustahil Amerika tidak paham klausul ini, mereka kan tidak bodoh amat. Merujuk pada statistik perang, Amerika dapat dikategorikan sebagai pembangkang utama Piagam PBB di atas dan sekaligus mengukuhkan diri sebagai si jago perang. Betapa tidak, dari lebih 105 peperangan yang terjadi dalam berbagai skala pada rentang waktu 50 tahun (1945-1990-an), khususnya seusai perang dunia ke-2, Amerika menduduki tempat teratas sebagai negara yang sangat sering berperang. Memang sebuah ironi, sebab Amerika adalah sebuah negeri di mana lembaga perdamaian didirikan, negeri tempat pasalpasal pelarangan perang dikuat-kuasakan, dan juga sebuah negeri yang setiap waktu mengaku sebagai kampiun kemanusiaan. Kita bersyukur, ternyata masih banyak negara-negara yang tidak sejalan dengan kebuasan Amerika dan Inggris, seperti Prancis, Jerman, Cina, dan Rusia misalnya. Pada hemat saya, penolakan mereka terhadap perang yang dicanangkan Amerika pastilah tumbuh dari sebuah kesadaran bahwa perang bukanlah merupakan sebuah instrumen penyelesaian pertikaian yang bermoral. Atau paling tidak penolakan itu muncul sebagai sebuah antitesis dari kebiasaan negara maju, seperti yang dikatakan oleh Klaus Knorr dalam Military Power and Potential, bahwa negara maju sering memanifestasikan power
191
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
politik dalam bentuk kemampuan pemerintah untuk mempengaruhi atau memaksa pemerintah lain untuk menyetujui keinginan politiknya. Kita jelas menolak serangan Amerika atas Irak kare-na akan lebih banyak bencana kemanusiaan yang akan timbul ketimbang perdamaian yang akan tegak. Apalagi, seperti yang banyak dicurigai masyarakat dunia, perang Amerika ini lebih bertendensi balas dendam dan menjatuhkan seseorang, serta penguasaan atas sumber daya minyak ketimbang hal-hal lain. Kita menolak rencana si jago perang, Amerika, karena kita menolak manusia dan kemanusiaan dihancurkan. Sesungguhnya, menurut Bonar Law, "tidak ada perang yang tak terelakkan. Kalau perang pecah, maka itu adalah karena manusia gagal bertindak bijaksana". (9 Maret 2003)
192
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
5 Bukan Perang Naga Bonar Perang Amerika dan Irak akhirnya terjadi juga. Manusia akhirnya gagal bertindak arif. Inilah titik puncak dari eskalasi pertentangan antara kedua negara yang sudah berlangsung sejak lama. Pada tahun 1991, di bawah kepemimpin George Bush, Amerika memborbardir Irak karena Irak menganeksasi Kuwait. Meski dihantam oleh pasukan multinasional dengan rekomendasi PBB, Saddam Hussein tetap gagah di posi-sinya, walau korban yang jatuh tidak sedikit. Kini Amerika di bawah komando George W. Bush, sang anak, kembali melakukan hal yang sama, menyerang Irak, Negeri 1001 Malam, dengan alasan Irak mempunyai sejumlah senjata pemusnah massal dan memiliki kedekatan dengan jaringan Al Qaeda. Meskipun tidak mendapat restu dari PBB, mendapat kecaman yang luas dari dalam negeri, serta ditolak oleh beberapa negara penting dalam Dewan Keamanan, seperti Rusia, Cina, dan Prancis, Amerika tetap mengerahkan mesin-mesin perangnya ke Teluk Persia. Nyali Amerika semakin bertambah, setelah Inggris, Spanyol, dan Australia memberikan dukungan baginya. Apa yang dilakukan oleh Amerika adalah sebuah ironi. Sebagai sebuah negara pendiri PBB, semestinya Amerika berada di garis terdepan dalam menolak perang sebagai instrumen politik internasional, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Amerika merupakan negara yang paling gila berperang dalam sejarah hubungan antarnegara, khu-susnya pada abad ke-20. Perang Amerika dan Irak, pada sisi yang lain, juga akan menjatuhkan kredibilitas PBB sendiri. Jika selama ini masyarakat internasional menganggap bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah sebuah lembaga yang memiliki kekuatan dalam menciptakan perdamaian, dengan pelanggaran Amerika dan sekutunya terhadap Piagam PBB, dunia internasional tidak lagi akan memiliki kepercayaan 193
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
penuh kepada lembaga tersebut. Lebih celaka lagi, jika PBB tidak tegas kepada Amerika Serikat, maka itu akan menjadi semacam preseden bagi negara-negara lain untuk melakukan peperangan. Tapi begitulah. Perang sudah dimulai, dan kita tidak tahu, siapa yang akan memenangkan pertarungan. Satu hal pasti seperti ungkapan melayu Yang menang jadi arang yang kalah jadi abu. Amerika mengklaim, bahwa mereka dengan segera memenangkan perang dan membawa Saddam Hussein sebagai penjahat perang ke Mahkamah Internasional, dan juga memastikan kepada masyarakat dunia bahwa korban masyarakat sipil akan terminimalisir oleh kemampuan teknologi yang mereka kuasai. Saddam juga tak mau kalah gertak. Saddam menjanjikan bahwa tanah Irak akan menjadi kuburan massal bagi tentara Amerika jika meneruskan niat perangnya. Entah klaim pihak mana yang menjadi kenyataan, tapi yang paling jelas adalah, dari kedua belah pihak akan jatuh korban. Apakah yang dicari oleh Amerika dengan perang ini? Rasanya tak cukup alasan jika Amerika menganggap bahwa Irak memiliki senjata pemusnah massal. Seperti yang dipercayai oleh masyarakat dunia, perang ini lebih bernuansa minyak plus dendam pribadi. Irak dengan minyaknya yang sangat besar membuat Amerika sangat tergiur, tapi liur Amerika yang meleleh itu terhambat oleh sikap pemerintah Irak yang tidak bersahabat, bahkan keras kepala, tidak mau menuruti keinginan Amerika Serikat, dan ini tentu menggusarkan Bush Jr. Selain minyak, perang ini juga agaknya beralas dendam pribadi, khususnya untuk menebus malu Bush Jr atas usaha ayahnya yang gagal menggulingkan Saddam Hussein pada tahun 1991. Amerika seharusnya memikirkan kembali niatnya, sebab andaipun memenangkan peperangan, dunia tak akan bertepuk tangan karena dasar peperangan itu sendiri telah salah. Lagi pula orang akan mafhum jika Irak kalah, sebab Irak lemah dalam segala hal, terlebih setelah dikenakan sanksi selama 12 tahun oleh PBB, yang juga dimotori oleh Amerika. Sebaliknya, jika ternyata Amerika kalah, maka 194
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
perang ini akan menjadi, sebuah sejarah yang sangat memalukan bagi Amerika, terlebih jika kalah dengan korban yang banyak. Jika Amerika meneruskan kegilaan perangnya, maka tak dapat pula disalahkan jika Amerika kemudian menjadi target serangan. Sebab sebuah tindakan perlawanan, seperti peristiwa Black September, bukan muncul tanpa alasan yang jelas. Terorisme dalam hubungan antarnegara selalu diawali oleh adanya penistaan sebuah negara kuat terhadap negara yang lebih lemah darinya, sebagaimana yang terjadi dalam hubungan Israel dan Palestina. Mengelaborasi ungkapan pendiri Hamas, Dr. Abdul Aziz Rantisi, bahwa perlawanan yang dilakukan para pejuang Islam terhadap Israel (perjuangan itu dicap terorisme oleh Amerika dan Barat), baik melalui Intifadah ataupun Istishadi (Syuhada yang dipilih sendiri atau pengebom bunuh diri) sesungguhnya tidaklah berangkat dari sebuah kebencian. "Kami tidak memusuhi orang Yahudi sebagai orang Yahudi, tapi itu kami lakukan karena perang dilancarkan oleh Israel kepada Palestina." Arti perang adalah kehancuran. Menjadikan perang sebagai sebuah usaha mengejar impian untuk mendapatkan keamanan nasional yang mutlak, seperti yang dikatakan Amerika Serikat adalah sesuatu yang tidak rasional. Rasionalitas perang akan menjadi semakin kabur, jika kehancuran atau kerugian yang diderita oleh sebuah negara lebih besar dari kepentingan politis yang berhasil dicapai. Melihat kondisi Irak dan mobilisasi tentara Irak yang bersandar pada konskripsi atau wajib militer, serta pengerahan pasukan rakyat (Levee en masse), baik laki-laki maupun perempuan, maka kita sudah akan mendapat kepastian, bahwa hasil perang ini hanya satu, sebuah kematian yang besar, sebuah kehanruran yang paripurna, nyawa maupun harta benda. Kita memang tak dapat menghalangi ambisi Amerika, tapi paling tidak, kita bersyukur, bahwa tidak banyak elemen masyarakat dunia yang mendukung perang, tak terkecuali rakyat Amerika sendiri. Saya percaya, setiap kita menolak perang, bukan saja karena perang 195
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
adalah sebuah kejahatan dalam hubungan internasioal, tapi lebih dari itu, karena kita menolak penistaan atas kemanusiaan dan semangat perdamaian. Perang akan menyebabkan sebuah peradaban lebur dalam desing nafsu dan peluru keserakahan. Lebih dari itu, perang dengan cara yang bagaimanapun atau dengan teknologi secanggih apa pun, tetap akan menimbulkan korban masyarakat sipil yang sangat besar. Korban akan jatuh di kedua belah pihak, dan yang akan tersisa, setelah arang dan abu, setelah puing dan mus-nah, adalah tangis kepedihan dan dendam. Seorang tokoh jenderal yang kocak dalam film Naga Bonar pun digambarkan tak kuasa membendung tangisnya ketika sahabatnya gugur dalam peperangan. "Itulah, sudah kubilang", kata Naga Bonar terisak, "jangan berteempur, tapi berteempur juga kau, mati kau kan? Matilah kau dimakan cacing". Perang Amerika dan sekutunya melawan Irak bukan perang Naga Bonar. Perang itu perang sungguhan, nyawa dan harta benda seakan tak berharga. Tapi apa hendak dikata. (23 Maret 2003)
196
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
6 Wawancara Imajiner dengan Saddam Ditemui di bunkernya di tepi sungai Tigris, Baghdad, kota dongeng 1001 malam itu, Saddam Hussein terkesan rileks nonton CNN yang nonstop 24 jam menyiarkan Perang Teluk jilid dua. Dia dikelilingi oleh beberapa orang stafnya. "Negeriku sekarang menjadi negeri 1001 rudal," katanya dingin. Ternyata Saddam juga memiliki rasa humor seperti orang Yogya, suka bermain kata-kata. "Nggak bapak, nggak anak, sama saja" (maksudnya, dulu dalam Perang Teluk jilid satu Prcsiden Amerika Serikat George Bush, sekarang anaknya, George Walker Bush), "keduanya paranoid", kata Saddam, sambil mengunyah kurma kegemarannya. Lho kenapa anda mengatakan begitu? (Saddam menatapku) Mereka merasa dirinya hebat, bisa mengalahkan siapa saja. Mereka menganggap diri mereka super power. Tapi coba anda lihat, George Bush digantikan oleh Bill Clinton dan Clinton digantikan oleh George W Bush, sebagai Presiden Amerika Serikat. Tapi Saddam masih berdiri kokoh di sini, nggak ada matimatinya. Atau kalau pun aku mati, mati satu tumbuh seribu. Banyak rakyat Irak yang akan bisa menggantikan aku, bahkan lebih hebat dari Saddam Hussein. O ya, apa benar anda mempersiapkan orang-orang yang mirip dengan anda? Ah, itu bukan sesuatu yang penting. Aku justru memperoleh inspirasi dari kuiz televisi anda. Aku lupa nama stasiunnya, tapi nama acaranya aku ingat, ASAL, Asli Apa Palsu, pembawa acaranya Taufik 197
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Savalas. Ya kan? (Saddam nyengir) Sejak Perang Teluk jilid satu, aku memperkenalkan kuiz ASAL anda itu di Irak, dan ternyata peminatnya banyak. Orang Irak ternyata ganteng-ganteng dan banyak yang mirip aku. Sebenarnya aku bisa saja melakukan kloning, untuk menciptakan orang-orang yang sama sebangun dengan aku, tapi menurutku itu haram. Sampai saat ini sudah berapa Saddam ASAL yang bisa anda himpun? Negeriku kan negeri 1001 malam, Saddam pun ada 1001. Aku berani bertaruh Bush tidak akan bisa membedakan mana Saddam asli dan mana yang palsu atau asli tapi palsu. Bush tidak akan pernah bisa melihat mana Saddam yang sesungguhnya, karena dia tidak punya mata hati. Ok, sebenarnya kenapa sih koq kelihatannya Bush dendam amat sama anda? Nggak tahu, aku kan tidak pernah mengganggu Bush. Duabelas tahun Irak diembargo oleh Amerika dan sekutunya. Kami tidak boleh menjual minyak. Ada orang yang mau beli minyak kami, tapi mereka tidak berani karena diancam oleh Amerika. Kami tidak berbuat apaapa, padahal anak-anak kami membutuhkan obat-obatan, vitamin, dan gizi yang baik. Sekarang anak-anak kami tumbuh dalam keadaan kurang gizi. Kami dituduh memiliki senjata pemusnah, dituduh memiliki senjata biologis, dan sebagainya. Mengenai "senjata biologis" ini, bukan hanya aku, Bush juga punya, Tony Blair punya, semua orang laki-laki punya senjata (Saddam lagi-lagi bercanda). Anda kirim Inul pun ke Irak, aku tetap tidak akan memperlihatkan "senjata biologis" itu, haram, haram, haram.
198
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
Dari mana Mr. Presiden mengenal Inul? Aku kan baca majalah Time. Aku sedang berpikir, pasca perang nanti mungkin aku akan undang Inul untuk ngebor sumur-sumur minyak baru, ha ... ha ... ha ... hhhuk (Saddam terbatuk). Tapi Time itu kan majalah Barat? Justru karena itu majalah Barat. Anda tidak akan pernah mengenal perilaku Barat bila anda tidak membaca apa-apa tentang Barat. Aku juga mengenal filsafat perangnya Sun Tzu. Untuk mengalahkan musuh, anda tidak hanya cukup mempelajari kelemahannya, tapi anda juga harus mengenal kekuatannya. Di sinilah kesalahan Bush. Dia hanya mengenal kekuatannya sendiri, sebagai sebuah negeri super-power, dan dengan kekuatannya itu dia kira dia bisa melibas siapa pun. Benar, Amerika mungkin bisa meluluhlantakkan Saddam dengan beribu-ribu rudal. Tapi, ingat! Ribuan Saddam lain akan muncul dan mereka akan memusuhi Amerika selamanya. Dia tidak mengenal kami. Dia hanya mengenal Irak dalam bingkai prasangka, sangat subyektif. Tapi apa sih kekuatan Irak? Kekuatan Irak ada di sini (Saddam menunjuk ke dadanya). Penderitaan mengajarkan kepada kami, jiwa sia-sia melawan pedang, namun jiwa bersama pedang akan selalu menang atas pedang saja. Itulah sebabnya mengapa kami tidak takut kepada Amerika dan sekutunya. Kami berperang dengan jiwa. Kami dapat memastikan bahwa pedang kami memiliki jiwa. Kami berperang di negeri kami sendiri, mempertahankan kehormatan negeri, membela hak yang hendak dirampas oleh agresor. Kami terpaksa menyaksikan orangorang tak berdosa mati dan kami sendiri berisiko untuk mati. Tapi 199
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
kalaupun ajal itu datang, kami akan mati syahid. Sementara pedang Amerika? Pedang mereka tak berjiwa. Mereka tidak tahu berperang untuk apa. Cobalah tanya prajurit Amerika dan sekutunya. Mereka tidak akan bisa menjelaskan mengapa mereka harus mengarungi samudera luas dan menembaki orang-orang di Negeri 1001 Malam ini dan kemudian menghabiskan nyawa mereka sendiri di sini. Kalau prajurit-prajurit itu boleh memilih, mereka tentu lebih suka mabukmabukan di pub, makan hamburger, atau berlibur dengan keluarga. Sekarang mereka berperang setengah hati karena takut mati. Tapi peralatan dan perlengkapan perang mereka menakutkan? Bagi anda mungkin menakutkan, bagi kami tidak. Wallahi. Tidakkah pasukan Amerika dan sekutunya itu bisa anda lawan dengan senjata pemusnah yang anda miliki? Yang bilang kami memiliki senjata pemusnah itu kan Amerika. Buktinya? Tim PBB sudah datang ke sini dan mereka tidak menemukan apa-apa, tapi Amerika tidak percaya. Mereka minta PBB agar memerintahkan kepada kami untuk menghancurkan peluru kendali pertahanan diri kami, itu pun sudah kami lakukan. Sekarang dunia silakan lihat, yang memiliki senjata pemusnah itu kan Amerika. Mereka memiliki pesawat-pesawat tempur canggih. Mereka punya pesawat pengebom Siluman B-2, pengebom jarak jauh B-l, pengebom B-52. Mereka juga memiliki pesawat Siluman F-117, F-15, F-16, F/A18, A-10 Thunderbolt, dan masih banyak lagi helikopter tempur lainnya. Itu belum berbagai jenis bom yang mereka curahkan di negeri kami, juga ribuan rudal yang mereka tembakkan ke kota-kota kami yang menyebabkan penduduk sipil, orang-orang tua, wanita, dan anak-anak menjadi korban. Kami tidak memiliki pesawat tempur, tidak memiliki tank. Kami tidak mungkin melawan mereka di udara dan di 200
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
gurun. Kami tidak punya pilihan lain, mereka akan kami biarkan masuk ke kota, dan kami akan hadapi satu-lawan satu, kami akan melakukan gerilya kota. Mr. Presiden, apakah anda tidak sedih melihat negeri anda porak poranda seperti ini? Bangunan-bangunan itu ciptaan manusia, sebagai salah satu wujud manusia memberikan makna terhadap keberadaan mereka di atas dunia ini, sebagai tanda mereka memiliki peradaban. Semuanya adalah anugerah dari Tuhan. Pantaskah kita untuk anugerah-anugerah itu? Bila tidak, maka semuanya akan hilang (Saddam termenung sejenak). Aku selalu berdoa, jika harta benda dan kebahagiaan itu memang bukan milikku, biarlah dia pergi. Jika kesedihan menjadi takdirku, biarlah; tapi biarkanlah kami sebagai sebuah bangsa yang berdaulat memilih untuk anak cucu kami di negeri kami sendiri. (... Tiba-tiba saya terkejut mendengar sirine meraung, saya pikir ada serangan udara. Tapi bukan, ternyata sebuah mobil polisi lewat di depan rumah saya di Jalan Gajah Mada, Pekanbaru. Jelas, saya di Pekanbaru. Saya tidak sedang berada di Baghdad.) (5 April 2003)
201
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
7 1001 Saddam AIkisah, Ratu Shahrizad dihukum mati oleh suaminya, Sang Raja yang sedang bertahta. Eksekusi akan dilakukan menjelang fajar. Tapi Sang Ratu ternyata tidak mau menyerah begitu saja kepada nasib. Dia mencoba menunda eksekusinya dengan mengisahkan cerita demi cerita kepada suaminya, dan setiap cerita diakhiri dengan akhiran (ending) yang harus diteruskan pada malam berikutnya. Sang Ratu dengan cerdik menggantung cerita. Cerita Aladin disambung besok malam, demikian juga cerita Ali Baba, cerita simbad dan sebagainya selalu dilanjutkan besok malam. Demikian seterusnya sehinggalah eksekusinya tertunda 1001 malam. Keseluruhan cerita yang didongengkan oleh Sang Ratu itu disebut Dongengan Malam di Tanah Arab. Dan sesungguhnya dongeng-dongeng itu merupakan hasil daya cipta penyair-penyair masa lampau di Irak untuk mengungkapkan masa-masa keemasan kota Baghdad. Konon, tidaklah semua dongeng itu berasal dari Arab, ada yang berasal dari India dan ada pula yang berasal dari Persia. Namun karena cerita dongeng ini didongengkan di Baghdad, maka terkenallah ibukota Irak itu sebagai Kota 1001 Malam. Tidak begitu jelas, apakah kisah Ratu Shahrizad itu sendiri juga sebuah dongeng atau kisah nyata. Kota 1001 Malam itu kini di ambang kehancuran total secara kultural dan fisik, akibat agresi tentara Amerika dan Inggris yang melakukan pengeboman secara membabi buta, menewaskan ribuan orang-orang tak berdosa, dan menghancurkan situs-situs peninggalan sejarah Islam yang masih tersisa oleh zaman. Sebenarnya, Irak muncul sebagai sebuah negara merdeka baru pada akhir Perang Dunia I. Tetapi awal sejarahnya telah dimulai sejak lebih dari 8.000 tahun yang silam di sebuah wilayah yang dikenal 202
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
sebagai "Bulan Sabit Subur" (Fertile Crescent). Di dataran subur di antara Sungai Efrat dan Sungai Tigris inilah, pertanian dan aksara pertama mulai dikembangkan, dan salah satu kekaisaran paling awal didirikan. Di sini pula konon kapal Nabi Nuh terdampar. Adalah Bangsa Sumeria dalam sejarah Irak kuno yang mulai memperkenalkan peradaban kepada dunia. Merekalah yang memperkenalkan penggunaan roda, pandai besi, menciptakan kalender pertama dan daur 60 menit per jam dan 24 jam per hari yang sampai kini masih dipakai di seluruh dunia. Di masa Kekaisaran Babilonia, dibangunlah sebuah Taman Bergantung, sehingga menjadi salah satu keajaiban dunia. Namun Irak adalah sebuah negeri melegenda yang tak putus dirundung perang. Mulai dari zaman Sebelum Masehi, tepatnya tahun 539 SM, Irak dikalahkan oleh Bangsa Persia. Beberapa abad kemudian penaklukan dilakukan pula oleh Iskandar Yang Agung. Bahkan Kekaisaran Romawi juga pernah mengokupasi Irak. Dalam masa kebangkitan Islam, pada tahun 637, Irak dikuasai oleh bangsa Arab yang beragama Islam. Selama pemerintahan Khalifah Abbasiyah (750—1258), Irak dengan ibukotanya Baghdad menjadi pusat Zaman Keemasan Islam dan bangsa Arab. Kesusastraan, sains, dan perdagangan berkembang dengan pesat. Tahun 1258 negeri itu diserang dan ditaklukkan oleh Hulagu, cucu Jengis Khan, hingga kekayaan dan perbendaharaan ilmu pengetahuan yang sangat penting bagi peradaban dunia, hancur total. Tahun 1400 diserang oleh bangsa Mongolia di bawah pimpinan Timur Lenk. Tahun 1508 pula diserang bangsa Persia yang dipimpin oleh Ismail Shafawy; tahun 1683 dikuasai oleh Turki Usmani, yang beberapa abad kemudian (1917) diduduki Inggris. Tahun 1980 sampai delapan tahun kemudian Irak berperang dengan tetangganya Iran, yang menyebabkan lebih dari 70.000 tentaranya tewas. Pada tanggal 2 Agustus 1990, Irak mengejutkan dunia dengan menyerang dan menduduki Kuwait, yang dianggap sebagai boneka Amerika di Teluk Persia. Penyerangan Kuwait itu 203
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
akhirnya menyulut Perang Teluk pertama pada bulan Januari— Februari 1991. Irak akhirnya terkena sanksi dilarang terbang dan dilarang menjual minyak dan diemabrgo oleh PBB sehingga membuat negara itu lurnpuh. Saddam Hussein, dari Partai Baath, yang menjadi pemimpin Irak semenjak tahun 1979 memang mengambil sikap yang konfrontatif terhadap Amerika Serikat. Saddam menunjukkan sikap ketidaksenangannya kepada Amerika yang selalu saja mendiskreditkan dirinya berada di belakang aksi-aksi teror, sementara Amerika sendiri dianggap sangat toleran bahkan tutup mata terhadap kebrutalan Israel yang menindas bangsa Palestina. Amerika dianggap tidak adil dan berlaku sewenang-wenang. Amerika sebaliknya menggambarkan Saddam Hussein sebagai seorang pemimpin diktator dan represif. Kini Perang Teluk jilid dua sudah terjadi dan bila tidak terjadi mukjizat, Irak akan hancur karena lawan memiliki peralatan dan perlengkapan perang yang sangat canggih. Namun tidak seperti Perang Teluk jilid satu, perang jilid dua ini dikutuk oleh dunia. Alasan bahwa Saddam masih tetap membandel dan menyimpan senjata pemusnah dianggap terlalu mengada-ada, karena Tim Khusus PBB sendiri tidak menemukannya. Tapi Amerika Serikat dan Inggris tidak mau tahu, dan tetap saja membombardir Irak terutama Baghdad sehingga menimbulkan korban ribuan jiwa dan harta benda yang nilainya tidak sedikit. Tragisnya, sebagian besar dari korban pengeboman itu adalah penduduk sipil, orang-orang tua, wanita, dan anak-anak yang tak berdosa. Kota 1001 Malam, Baghdad, yang beberapa kali pernah hancur dalam beberapa abad yang lalu, kini kembali hancur. Kita tidak tahu justifikasi apa lagi yang akan diberikan oleh Amerika dan Inggris atas penye-rangan yang membabi-buta ini. Sementara orang-orang Irak, syaraf takutnya telah putus, mereka memilih mati syahid untuk membela tanah airnya. Pada kondisi ini apa bedanya Bush dan Blair dengan Hulagu, keponakan Jengis Khan yang menghancurkan Baghdad dan 204
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2004
membunuh pemimpin-pemimpin Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-13 atau dengan Timur Lenk dari Mongolia yang juga kemudian menghancurkan Baghdad. Mereka menguasai Baghdad beberapa abad, kemudian dikalahkan oleh agresor lain. Agresor satu pun dikalahkan kelak oleh agresor lainnya. Di atas langit ternyata ada langit. Apalagi Bush dan Blair menyuruh tentaranya berperang dengan risiko mati di negeri orang, dengan misi hanya untuk menghancurkan rezim Saddam dan menggantikannya dengan rezim pro Amerika. Saddam Hussein bisa saja hancur lebur dihantarn rudal-rudal dan bom Amerika yang dahsyat itu. Taruhlah Amerika berhasil memaksakan berdirinya rezim baru boneka Amerika, tapi sampai kapan rezim itu akan bertahan? Seratus tahun, dua ratus tahun, atau seribu tahun? Sejarah akan mencatat, seperti yang dicatat terhadap Hulagu dan Timur Lenk itu. Bukankah Bush dan Blair kini sedang menyemai Saddam di Irak dan di bagian dunia lainnya. Akan segera tumbuh 1001 Saddam yang mungkin akan lebih Saddam daripada Saddam. Nah!! (6 April 2003)
205