drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
PANGGIL AKU OSAMA Penulis Penyelaras
Penerbit
Telepon/faksimili
: drh. Chaidir, M.M. : Mahyudin Al Mudra Tuti Sumarningsih Rachmi N. Hamidawati : ADICITA KARYA NUSA Jalan Sisingamangaraja 27, Karangkajen, Yogyakarta 55153 (0274) 379250, 372893, 377067 http: //www.adicita.com E-mail:
[email protected] 443.9246AKN02 © Hak cipta yang dilindungi undang-undang All rights reserved
Perancang kulit : Ijonk, Elvin Nasabandhi Penata letak : Victor "Pheqtorz" Aria Wijaya Pencetak : Mitra Gama Widya Edisi pertama, cetakan pertama, Mei 2002 Edisi pertama, cetakan kedua, Agustus 2002 ISBN 979-9246-32-6
Sanksi Pelanggaran Pasal 44 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 Ten tang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,-(seratus juta rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
ii
drh. Chaidir, MM
iii
http://drh.chaidir.net
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Tentang Penulis Chaidir yang lebih dikenal dengan nama drh. Chaidir, MM kelahiran 29 Mei 1952 di Pemandang, Kec. Rokan IV Koto, Rokan Hulu, Provinsi Riau, adalah seorang politisi senior asal Riau. Sejak tahun 1992 ia menjadi anggota DPRD Provinsi Riau, dan menjabat sebagai Ketua DPRD Provinsi Riau periode 19992004 dan Periode 2004 s/d 2008. Gelar Dokter Hewan, ia raih dari Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gajah Mada pada tahun 1978, dan Pada tahun 2001. Ia menamatkan program, Pasca Sarjana Universitas Padjajaran. Dan tahun 2013 ia mengambil Program Doktor Manajemen Fakultas Pasca Sarjana Universitas Pasundan Bandung. Selain pendidikan formal di atas, Chaidir sempat pula mengenyam pendidikan di luar negeri, di antaranya : Course On Bovine, Ovine and Swine, IFOA, Reggio Emilia, Italia, sertifikat September 1990 – April 1991 dan Short Course On Tropical Animal Diseases, Queensland, Australia, Sertifikat April – Juni 1986. Selepas menjadi Ketua DPRD Provinsi Riau, Chaidir menghabiskan waktu sebagai dosen di beberapa Universitas di Riau, Tercatat ia aktif sebagai Dosen Tidak Tetap Sekolah Tinggi Ilmu Sosial Ilmu Politik (STISIP) Persada Bunda Pekanbaru sejak Tahun 2014, Dosen Tidak Tetap Jurusan Komunikasi FISIPOL Universitas Riau Pekanbaru sejak tahun 2009, Dosen Tidak Tetap Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIPOL Universitas Islam Riau (UIR), Pekanbaru sejak tahun 2009, Dosen tidak tetap di Fak Ekonomi Univ Lancang Kuning, Pekanbaru, selain itu Chaidir juga pernah menjabat sebagai : 1. Ketua BPA AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2015 s/d 2016. 2. Komisaris Utama AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2012 s/d 2013 3. Ketua Harian BPA AJB Bumiputera 1912 di Jakarta Tahun 2011 s/d 2013 iv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Chaidir cukup aktif sebagai Pembicara dan Narasumber di seminar-seminar, baik yang di adakan oleh Kampus-kampus, juga Seminar yang diadakan oleh Instansi Pemerintah dan Swasta. Sejak masih Mahasiswa hingga saat ini, ia cukup aktif menulis, tercatat sudah 7 buah buku yang telah diterbitkan, Yaitu buku : 1. Suara dari Gedung Lancang Kuning, Penerbit Pusat Peranserta Masyarakat, Pekanbaru Tahun 1998. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr Ir Muchtar Ahmad, MSc, Rektor UNRI 2. Berhutang Pada Rakyat, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2002. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr Ichlasul Amal, Rektor UGM 3. Panggil Aku Osama, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2002. Dengan Kata Pengantar Oleh Ashadi Siregar, Budayawan/Sastrawan. 4. 1001 Saddam, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2004. Dengan Kata Pengantar Oleh Prof Dr. Tabrani Rabb. 5. Menertawakan Chaidir, Penerbit Yayasan Pusaka Riau, Pekanbaru, 2006, diberi kata Pengantar Oleh Fakhrunnas MA Jabbar, Sastrawan/Budayawan. 6. Membaca Ombak, Penerbit Adicita Karya Nusa, Jogyakarta Tahun 2006. Dengan Kata Pengantar oleh Goenawan Mohamad, sastrawan/budayawan/wartawan senior. 7. Demang Lebar Daun, Penerbit Telindo Publishing, Pekanbaru Tahun 2007, Dengan Kata Pengantar oleh Hasan Junus, Sastrawan. Selain itu Chaidir juga aktif sebagai penulis kolom tetap di berbagai media cetak, yaitu : 1. Penulis kolom tetap rubrik PERNIK setiap pekan di Harian Koran Riau 2014 s/d sekarang.. 2. Penulis Rubrik “SIGAI” berupa refleksi terbit setiap hari Senin di Harian Riau Pos, November 2008 s/d sekarang.
v
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3. Penulis Rubrik ”Fabel” berupa fabel, terbit setiap hari Selasa di Harian Koran Riau Pekanbaru, Januari 2012 s/d 2014. 4. Penulis Rubrik ”Cakap Bebas” berupa refleksi terbit setiap hari Selasa di Harian Vokal di Perkanbaru, April 2010 s/d Juli 2014. 5. Penulis Rubrik Minda Kita di Tabloid “Mentari” setiap minggu 20012007 6. Penulis Catatan Akhir Pekan di Tabloid “Serantau” Setiap minggu,1999-2000.
Selain sebagai Politisi dan Akademisi, Chaidir dikenal juga sebagai Cendekiawan, Budayawan dan Tokoh Masyarakat Riau, ada beberapa penghargaan yang ia dapatkan diantaranya : 1. Anugerah Kebudayaan Sagang Kencana Tahun 2015, Yayasan Sagang. 2. Piagam Tanda Kehormatan, PWI Riau Award (Legend Award), 10 Mei 2014. 3. Penghargaan Kehormatan Alumni Sekolah Menengah Farmasi (SMF) Ikasari Pekanbaru 2008 4. Pemenang Alumni Award dianugerahkan oleh FKH - UGM 2005 5. Kalung Summa Darma Kelas I dianugerahkan oleh UNRI Pekanbaru 2004 Website Facebook Twitter Google Plus Youtube Linkedin
: http://drh.chaidir.net : https://www.facebook.com/drh.chaidir.2 : https://twitter.com/BungChaidir : https://plus.google.com/+drhChaidirMM : https://www.youtube.com/c/drhchaidirmm : https://www.linkedin.com/in/drh-chaidir-mm-65553a45
Email
:
[email protected]
vi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Pengantar Penerbit Apalah tanda batang putat Batang putat bersegi buahnya Apalah tanda orang beradat Orang beradat tinggi marwahnya *)
M
arwah dan keterhormatan itulah yang merupakan isu
besar dan menjadi komitmen drh. Chaidir M.M. dalam Panggil Aku Osama, buku kedua dari kumpulan catatan akhir pekannya yang pernah dimuat di tabloid Mentari, Pekanbaru. Sebagamana buku pertamanya, Berhutang Pada Rakyat, buku kedua ini merupakan mozaic dari sekian banyak snapshot yang dilakukan penulis atas berbagai peristiwa dan fenomena yang terjadi di masyarakat, khususnya masyarakat Riau yang sedang mengalami perubahan-perubahan besar di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Dari berbagai topik yang dikupas tuntas oleh penulis, ada satu benang merah yang demikian kuat kita rasakan menjadi spirit tulisan-tulisan tersebut, yaitu marwah bangsa dan keterhormatan kemanusiaan. Sebagaimana pada buku Berhutang Pada Rakyat, pada Panggil Aku Osama ini pembaca dimanjakan dengan judul-judul tulisan yang kuat dan menarik, serta ulasan yang kaya dengan informasi. Namun sedikit berbeda dengan buku pertama, pada buku kedua ini gaya bertutur penulis terasa lebih serius. Perkembangan situasi yang semakin berat tampaknya membuat penulis tidak banyak lagi memiliki kesempatan untuk bercanda-ria. Bangsa kita memang sedang menghadapi persoalan yang sangat serius, dan sebagai salah seorang pemangku negeri yang masih memiliki hati nurani, penulis tampaknya benar-benar risau dengan situasi ini. Bagi sebagian politikus, lip service adalah hal yang jamak mereka lakukan, baik kepada konstituen maupun kepada lawan politik. Dan penulis adalah seorang tokoh partai politik, tercermin dari kepercayaan partai kepadanya untuk menduduki kursi legislatif selama beberapa periode. Boleh jadi semua yang ditulisnya adalah "pemerah vii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
bibir" dalam rangka image building. Tetapi sangat sulit membayangkan seseorang dapat menulis sekian banyak tumpahan perasaan dan pikiran secara demikian intens, di mana tulisan-tulisan itu selalu konsisten pada suatu nilai-nilai tertentu, jika semuanya hanya lip service. Untuk ini, barangkali tak terlalu salah jika dikatakan penulis "berhutang moral" kepada pembaca atas tulisan-tulisannya. Tulisan-tulisan Chaidir merupakan sebuah kejujuran tentang fenomena yang sedang terjadi di tengah masyarakat. Sebuah kejujuran yang —meskipun getir— harus kita terima, karena merupakan potret sesungguhnya tentang diri kita. Tulisan-tulisan ini mengajak kita untuk sama-sama berkaca di depan cermin besar (tetapi buram), mempersaksikan wajah kita yang hitam, bopeng, kejam, dan siap memangsa sesama. Kata "kita" telah kehilangan ikatan dan makna intrinsiknya, menjadi "aku" dan "kau" yang berhadapan secara antagonistis. Selain ta'rifnya telah kabur, kohesivitas "kita" juga semakin mengendur. Hakikat penderitaan bersama, senasib sepenanggungan, sebiduk sama berlayar, berkayuh sama ke hilir, hanya tinggal kumpulan kata mutiara yang entah ke mana rimbanya. Yang ada sekarang adalah saling memusnahkan, saling menihilkan. Dapat diumpamakan, situasi masyarakat kita sekarang ibarat orang memanjat pinang; yang satu naik, yang lain menariknya ke bawah. Jika sudah demikian, kita akan hancur dan pihak lain yang akan menuai keuntungan. Ibarat kata pepatah Melayu, "Kapal pecah hiu yang kenyang" Chaidir menawarkan konsep-konsep untuk menghadapi situasi pancaroba yang sekarang sedang melanda bangsa kita. Meskipun tidak semuanya baru —karena sebagian merupakan nilai-nilai dan ajaran moral tempatan yang sudah banyak dikenal, tetapi sayangnya telah banyak dilupakan— konsep-konsep tersebut sangat relevan dan menjanjikan penyelesaian yang dapat menyelamatkan semua pihak yang sedang bertikai. Dengan kekuatan tulisannya, Chaidir mengimbau, mengajak, dan mendesak semua pihak untuk menyelamatkan bangsa ini. Jika imbauan dan ajakan itu dengan konsisten dilaksanakan oleh dirinya viii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sendiri seiaku ketua DPRD Propinsi Riau, rekan sejawatnya yang duduk di lembaga legislatif, para eksekutif, seluruh pemangku negeri serta pemegang kekuasaan yang sedang berdaulat, maka keruntuhan Indonesia dapat dicegah dan kejayaan bangsa akan dapat ditegakkan. Pada era reformasi dan kemudian era pelaksanaan otonomi daerah yang sekarang ini membuat semua orang gamang, tatkala Indonesia hampir-hampir menjadi terra incognita, buku yang berisi ajakan untuk bergandeng tangan ini terasa menjadi sesuatu yang sangat berharga; ibarat kompas yang diberikan kepada kafilah yang tersesat di tengah badai gurun. Jika banyak buku dapat mengubah dunia, harapan kami semoga buku ini —dan buku-buku lainnya yang memiliki spirit sama— dapat menyelamatkan Indonesia yang kita cintai ini dari kehancuran.
Berbuah macang dimakan ungka Dilanda angin gugur sendiri Salah cencang tangan terluka Salah memimpin hancur negeri *) Apalah tanda padi berbuah Lebatlah tangkai daunnya subur Apalah tanda negeri bertuah Rakyatnya damai hidupnya makmur *) Akhirul kata, semoga buku ini bisa menghadirkan sesuatu yang baru ke hadapan pembaca. Harapan yang lebih besar, semoga perenungan-perenungan "budak Melayu" ini merupakan sumbangan pemikiran yang cukup berarti bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita di masa mendatang, yang tengah menghadapi tantangan demikian besar. Kepada penulis yang telah mempercayakan pengolahan dan penerbitan naskah berharga ini kepada kami, Penerbit Adicita Karya Nusa menyampaikan terima kasih tak terperi: Jika kecil tetapak tangan,
ix
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
nyirupun kami tadahkan. Kami bangga mempersembahkan buku ini kepada pembaca. Tahniah. Jogjakarta, 29 Mei 2002
Mahyudin Al Mudra, S.H.,M.M.
*) Diambil dari "Tunjuk Ajar Dalam Pantun Melayu" oleh Tenas Effendy”
x
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Daftar Isi Tentang Penulis .......................................................... Pengantar Penerbit ..................................................... Daftar Isi .................................................................... Catatan Pengiring: Ashadi Siregar ............................ Prakata Penulis .......................................................... Alam Terkembang Jadi Guru .................................. 1 Bulan Bersejarah ................................................ 2 Alam Terkembang Jadi Guru ............................. 3 Mengenang Ediruslan Pe Amanriza ................... 4 Budaya lnstan ..................................................... 5 Kambing Hitam .................................................. 6 Terra Incognita ................................................... 7 Ayam Bersepatu.................................................. 8 Main Kayu .......................................................... Menangkap Suara Rakyat ...................................... 1 Tiga "Ta" ........................................................... 2 Berawal dari Akhir ............................................ 3 Character Assassination .................................... 4 Duka BBM ......................................................... 5 Kesadaran Kultural ............................................ 6 Law Enforcement............................................... 7 "Buon Venuti Per Voi"....................................... 8 The Dream Team................................................ 9 PSPS-ku Sayang PSPS-ku Malang ................... Sebuah Perbandingan .......................................... 1 Greoux Les Bains ............................................. 2 Petronas ............................................................ 3 Bencana New York .......................................... 4 'KarenaMu Malaysia' ....................................... xi
iv Vii Xi Xiii Xxv 1 2 6 10 14 18 22 26 30 34 35 39 43 47 51 55 59 63 67 71 72 76 80 84
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Membaca Tokoh ................................................... 1 Megawati Soekarnoputri ................................ 2 Membaca Amien Rais .................................... 3 Panggil Aku Osama ....................................... 4 Panggil Aku Osama "Part Two" .................... 5 Jefri Noer ....................................................... 6 Dato' Rastam .................................................. 7 Mr. Lee........................................................... 8 Akbar Tanjung................................................ 9 Yasser Arafat ................................................. Membangun Kehormatan ............................... 1 E-Ramadan ................................................... 2 Merajut Tirai Kasih ...................................... 3 Membangun Kehormatan ............................. 4 Di Balik Perang Uhud .................................. 5 Pesan dari Ramallah ..................................... 6 Udang di Balik Batu ....................................
xii
89 92 96 100 104 108 112 116 120 124 125 129 133 137 141 145
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Catatan Pengiring Ashadi Siregar Apa gerangan alasan yang cocok bagi saya untuk mengantarkan buku ini? Apakah dikarenakan penulisnya Ketua DPRD Propinsi Riau? Tentunya tidak. Saya tidak pernah memiliki pertalian khas dengan figur yang sedang dalam jabatan politik. Atau karena buku ini merupakan karya seorang dokter hewan (drh.)? Rasa-rasanya tidak juga, mengingat disiplin akademik tersebut terlalu jauh untuk menjadi pertimbangan bagi saya selaku pengamat inedia, kendati ada sejumlah dokter hewan yang saya kenal sebagai sastrawan maupun wartawan. Ataukah karena dia lulusan Universitas Gadjah Mada (UGM), dan semasa mahasiswanya sempat saya kenal? Sering orang bilang bahwa hubungan di antara alumni UGM atau yang biasa disebut KAGAMA bak ikatan "kesukuan". Tetapi saya tidak biasa berada dalam komunitas suatu "kesukuan", termasuk perikatan alumni. Sembari membaca kumpulan kolom atau esai ini, saya menimbang-nimbang. Pertimbangan ini untuk dua sisi, pertama pertimbangan bagi saya dalam menulis pengantar, dan kedua pertimbangan tentang tulisan-tulisan H. Chaidir ini. Pertimbangan dapat dipandang sebagai alasan dari setiap penulisan. Dalam berkomunikasi dengan publik selamanya didorong oleh suatu alasan, maksud, atau intensi (intention). Termasuk pengantar ringkas ini, dengan sendirinya ada intensi di dalamnya. Dari intensi diwujudkan tema, dan dari tema itu akan tertangkap wacana yang mengandung suatu makna. Intensi saya tak pelak sederhana saja, yaitu keinginan untuk menangkap makna dari setiap tulisan di buku ini. Boleh jadi tercampur dengan intensi lainnya, seperti terdorong oleh simpati saya kepada seorang alumni UGM yang pulang kampung untuk membangun daerahnya. Tetapi di atas itu semua, adalah simpati saya kepada setiap orang yang memilih dunia tulisan (teks) sebagai salah xiii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
satu kegiatannya. Buku ini merupakan kumpulan esai atau kolom yang tadinya ditulis secara reguler di media pers. Ditambah dengan cakupan tema yang luas, saya membayangkan, karya semacam itu bermula dari dorongan yang khas dalam menghadirkan suatu wacana. Apakah keberadaannya sebagai anak rantau di Yogyakarta ikut sebagai taktor pertimbangan dalam tulisan-tulisannya? Sebagaimana mahasiswa godokan UGM, banyak di antaranya yang memiliki perhatian yang kias, melampaui batas-batas disiplin akademik yang digelutinya. Kecenderungan ini biasanya tercermin dalam aktivi-tasnya kelak dalam masyarakat. Perhatian dan apresiasi terhadap masalah-masalah sosial yang beragam akan terpuaskan pada saat menulis dengan tema yang bervariasi untuk media pers. Tetapi suatu esai atau kolom bukan hanya dinilai dari temanya. Lebih jauh di dalamnya dapat ditangkap intensi untuk menghadirkan suatu wacana. Intensi semacam ini merupakan dorongan yang bersifat kultural, berbeda halnya dengan sekadar motif berkomunikasi untuk tujuan-tujuan pragmatis. Dunia teks dan aktivitas tulis-menulis sebagai upaya melahirkan wacana, sering dipandang sebagai upaya membangun jembatan dalam komunikasi antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarkebudayaan. Melalui dunia teks yang diciptakan oleh seseorang, manakala dia menulis tentang manusia, maka dia telah membuka dirinya, bahkan lebih jauh membuka masyarakatnya, dan kebudayaannya terhadap manusia, masyarakat dan kebudayaan yang lain pula. Begitulah, dengan dunia teks manusia sekaligus merekam, menelaah, mengembangkan, dan memperluas jaring-jaring pengalaman yang kompleks yang berasal dari hubungan antarmanusia, antarmasyarakat, dan antarkebudayaan. Pada sisi lain dunia teks juga mencerminkan diri penulisnya. Ibarat berjalan, dengan tulisannya seorang penulis meninggalkan jejaknya. Ketika masih kecil berjalan tertatih-tatih, jejaknya kecil dan samar. Tetapi mungkin juga jejak yang tertinggal mencerminkan injakan pada kaki orang lain. Ini terlihat dari teks yang berintensi xiv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
propaganda, bersifat top-down dan berdimensi tunggal sebagamaina biasa datang dari penulis fanatik (true believer), menunjukkan jejak sebagai pembunuh nilai kultural humanitarian. Teks ditempatkan dalam upaya memenangkan perang merebut hegemoni di ruang publik (public sphere). Perebutan hegemoni di ruang publik, pada dasarnya merupakan upaya politik, kendati dalih yang digunakan adalah moral agama, hak kesukuan, dan lainnya. Karenanya teks difungsikan hanya untuk menafikan pihak lain. Dalam konteks Indonesia, di tengah-tengah suasana menguatnya komunalisme, eksklusifisme agama dan suku, kekerasaan massa, orientasi materialistis dan mentalitas instan, teks semacam ini banyak muncul melalui media massa dan selebaran-selebaran. Karenanya terasa kerinduan terhadap dunia teks yang mengolah makna kehidupan, dalam orientasi nilai kultural humanitarian. Sisi humanitarian ini bertumpu kepada kebenaran nilai kehidupan manusia. Bukan dengan kebenaran ideologis. Menempatkan nilai kehidupan manusia sebagai sumber kebenaran akan menjadikan teks menembus sekat-sekat yang memperbedakan manusia. Upaya menembus sekat untuk menemukan manusia, selayaknya dikerjakan dalam setiap aktivitas kultural dalam orientasi humanitarian. Orientasi semacam ini mewujud melalui wacana yang dihadirkan dalam kehidupan publik, di-maksudkan untuk memelihara tiga aspek penting dalam kehidupan kultural, yaitu ruang kebebasan dan netralitas, basis rasionalitas dan kecerdasan, dan orientasi pada derajat kemanusiaan. Ruang kebebasan dan netralitas meru-pakan kondisi yang menjaga manusia untuk memiliki kediriannya. Basis rasionalitas dan kecerdasan dijalankan dengan mengembangkan kultur toleransi dan anti keke-rasan dalam interaksi sosial. Sedang orientasi derajat kemanusiaan diwujudkan melalui pilihan wacana publik yang bermakna guna memerangi konstruksi sosial yang merugikan nilai kemanusiaan. Ketiga aspek ini dapat dirangkum dalam satu kata, keterhormatan, atau kemuliaan, atau marwah (dignity) Bagi manusia dalam kehidupan xv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
publiknya. Dalam penangkapan saya, intensi dari esai atau kolom dalam buku ini kira-kira ke arah sana. Saya mengenal H. Chaidir, penulis buku ini, di antara pergaulan saya dengan sejumlah mahasiswa asal Riau di asrama mereka di Yogyakarta tahun '70-an. Kemudian sesekali saya mengikuti artikelnya di surat kabar. Tulisannya ketika itu lebih banyak berkaitan dengan disiplin akademiknya, kedokteran hewan. Maka saya tidak terlalu heran kalau kemudian dia tetap rajin menulis untuk surat kabar. Lama kami tidak saling berhubungan, baru pada awal tahun 2002 saya bertemu dengannya dalam suatu acara pelatihan untuk wartawan di Pekanbaru. Dalam perjalanan kariernya kemudian dia menjabat sebagai wakil rakyat sekaligus sebagai Ketua DPRD Propinsi Riau. Di luar itu dia juga menerbitkan sebuah surat kabar mingguan, dan di situ dia menulis secara reguler. Dengan begitu tetap terpelihara minatnya sebagai seorang kolumnis. Buku ini merupakan kumpulan kolomnya di surat kabar setempat. Bagaimana penghargaannya terhadap dunia teks, dengan sendirinya tercermin dari semangatnya memimpin surat kabar dan menulis secara berkala di media pers. Kalau mau disimak obsesinya tentang dunia teks, boleh dilihat dalam obituari yang ditulisnya atas meninggalnya seorang sastrawan setempat ("Mengenang Ediruslan Pe Amanriza"): Tradisi menulis atau mengarang adalah salah satu keunggulan budaya Melayu. Dan itu telah dilakukan dengan amat baik oleh Ediruslan Pe Amanriza. Kontri-businya dalam kebudayaan tak ternilai dan itu semua menjadi amal jariah baginya. Buah karyanya akan selalu dikenang dan tak akan pernah terlupakan. Tulisan dalam konteks kultural ibarat jejak yang ditinggalkan. Dengan begitu bukan hanya sekadar berkomunikasi dengan khalayak sekarang, melainkan untuk menghadirkan suatu wacana yang mengandung suatu makna bagi kehidupan. Bagaimana sesungguhnya wacana yang ditampilkannya? Lewat kolom-kolom yang ditu-lisnya, tercermin perhatiannya yang luas terhadap perma-salahan di ruang publik. Mulai dari permasalahan yang terjadi dalam lingkup lokal, nasional, dan internasional. Pengamatannya tajam, sampai dapat menceritakan tebalnya sepatu xvi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
pekerja seks di Tanjung Balai Karimun (" Ayam bersepatu"). Tulisan dengan gaya humor ini menyiratkan keprihatinan terhadap merebaknya prostitusi seiring dengan turisme. Dalam berbagai tulisannya terkesan bahwa dia ingin setiap permainan dijalankan dengan cantik. Boleh disebut sebagai permainan dalam rambu kultural. Karenanya dia tidak dapat menerima pembunuhan figur person atau kelompok, dengan penghancuran citra sosialnya. Ini di-ungkapkannya dalam kolomnya ("Character Assassination") ketika seorang mahasiswa dipecat dari universitasnya hanya karena melakukan unjuk rasa mahasiswa di depan Menteri Pendidikan Nasional. Dja mengutip komentar orang bahwa pemecatan itu merupakan character assassination terhadap gerakan mahasiswa. Di situ ditulisnya: Barangkali komentar itu berlebihan, tapi mengundang perhatian. Unjuk rasa yang biasa diikuti dengan penyampaian aspirasi secara amat berani dan terbuka tanpa tedeng alingaling, bahkan biasanya dibumbui dengan ekspresi emosional, kelihatannya sudah menjadi karakter pergerakan dalam era reformasi sekarang ini. Sikap yang amat berani, terbuka, tanpa basa-basi dan bebas dari rekayasa, kelihatannya membedakan pergerakan mahasiswa dengan pergerakan-pergerakan sejenis lainnya yang seringkali sarat dengan muatan kepentingan. Karakter pergerakan mahasiswa memang tidak ditunggangi oleh kepentingan. Namun demikian sesungguhnya aksi unjuk rasa mahasiswa jangan melulu dilihat dari cara dan gayanya, tetapi difokuskan kepada substansi yang disampaikan. Substansi yang disampaikan walaupun secara redaksional kadang sangat provokatif, tetapi acapkali memuat hal-hal yang sangat mendasar dan penting. Dan sekali lagi, dalam merumuskan sikapnya, biasanya mahasiswa tidak punya kepentingan. Kalaupun ada kepentingan, maka kepentingan itu adalah dalam ko-ridor fungsi mahasiswa sebagai sosial kontrol dan moral force. Namun sebagai manusia, mahasiswa juga bisa salah dan mereka harus diingatkan xvii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
untuk mencari ja-wabannya di ruang kuliah dan di perpustakaan melalui diskusi-diskusi akademis. Dia dapat memahami karakter dunia mahasiswa. Untuk itu gaya suatu unjuk rasa yang ditampilkan mahasiswa baginya tidak perlu dipersoalkan, sebab yang penting adalah substansi yang diangkat oleh gerakan mahasiswa tersebut. Ketajaman pandangan yang dapat memilah antara cara menyampaikan dan substansi suatu pesan, maka masalah didekati dengan lebih arif. Untuk dunia mahasiswa dia memiliki pemahaman atas suatu cara, kendati mungkin dipandang kasar. Dia tidak menyetujui adanya character assassination, karena merasa sebagai cara yang kasar. Karenanya pula dia menulis tentang sejumlah figur dengan mengeksplorasi nilai lebih dari setiap tokoh. Tokoh-tokoh yang ditulisnya baik domestik maupun mancanegara dijadikan titik tolak untuk melihat permasalahan sosial. Tokoh ditempatkan dalam suatu ruang sosial, untuk kemudian pembaca diajak untuk mengapresiasi nilai kehidupan di ruang sosial tersebut. Konteks kultural dari tulisan-tulisan H. Chaidir boleh dibilang bertolak dari kepeduliannya atas Ke-Melayuan. Dia menulis dalam "Main kayu": Banyak bahan renungan yang layak dijelajahi apabila kita menonton rapat Pansus Kepri tersebut. Pengungkapan rasa senang dan tidak senang demikian vulgarnya, sehingga agak berdenging telinga mendengarnya, apalagi bagi telinga yang sudah terbiasa dengan pantun-memantun ini. Adakah ini manifestasi atau hanya sebuah indikasi dari demokrasi. Bukankah kata yang bernama "hak" itu tidak hanya menjadi milik kita sendiri, dan hal yang sama juga berlaku untuk kata "kewajiban". Pasangan kata hak dan kewajiban adalah pasangan sehidup semati. Bila hak saja yang mengedepan, moyang kita bilang bernama otoriter, dan kalau kewajiban saja yang ada itu namanya budak belian. Dalam demokrasi, bukankah cantik jika kita tidak emo-si jiwa manakala orang lain mengatakan "tidak" terha-dap gagasan kita? xviii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Kolom-kolomnya boleh disebut berpretensi untuk membangun suatu nilai (value) dalam kehidupan sosial. Untuk itu tema-tema yang diangkatnya diolah sebagai isu yang dipertalikan dengan kehidupan di Riau. Dengan kata lain, lewat kolomnya terbersit keinginan membangun wacana Ke-Riau-an (Riauness). Riau baginya suatu entitas politik sekaligus kultural. Entitas politik Riau dibentuk melalui kepropinsian wilayah geografis dalam Kepublik Indonesia. Sedangkan suatu entitas kultural da pat berada pada plaform yang mengatasi batas geografis. Ke-Melayuan Riau pada dasamya rnemiliki distinct; dengan ditempatkan dalam konteks geo-politik Indonesia. Ke-Melayu-an Riau dapat dibedakan dari KeMelayu-an Malaysia, Ke-Melayu-an Deli (Sumatera Timur), atau Ke-Melayu-an lainnya. Karenanya boleh jadi dia mengalami kegalauan ketika muncul isu Kepulauan Riau (Kepri) yang ingin memisah dari Riau Daratan untuk menjadi propinsi sendiri. Apakah raison d'etre dari pemisahan itu? Kalau pem-bagian kekayaan yang tidak adil, bagaimana memperjuangkan keadilan itu kalau malah bercerai? Riau sendiri mengalami ketidakadilan itu, seperti ditulisnya ("Bulan Bersejarah"): Riau sebagai kumpulan manusia dan harapan, dapat dikatakan berada dalam posisi dikalahkan. Sejak Riau digabungkan dengan Indonesia, kepada kita hanya dipersembahkan kegetiran dan cerita panjang tentang kekalahan. Ironisnya kondisi itu terjadi justru setelah kita memberikan nal terbaik yang kita miliki kepada bangsa ini. Dalam Kasus CPP Block misalnya, kita melihat bagaimana kita sedemikian sulit mendapatkan sebagian kecil dari tanah kita sendiri, setetes dari minyak kita sendiri. Padahal dulu Sultan Syarif Qasyim II menyerahkannya secara tulus kepada republik ini dengan satu message untuk menyelamatkan dan mensejahterakan bangsa Indonesia. Walaupun sudah pasti Sultan Syarif Qasyim menyerahkan tanpa reserve, tapi tidakkah negeri asahiya dapat menggunakannya xix
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
barang sedikit untuk rrieningkatkan harkat dan martabat masyarakat setempat? Riau sebagai entitas politik dalam era otonomi memiliki peluang untuk mengambil porsi yang proporsional atas kekayaan alamnya. Bagian terbesar dari kekayaan alam ini secara aktual berada di Riau Daratan. Disebut bersifat aktual karena memang sudah dimanfaatkan, kendati belum proporsional pembagian pusat dan daerah. Berbeda halnya dengan kekayaan alam yang masih bersifat potensial di berbagai laut lepas pantai dan pulau-pulau Kepri. Upaya untuk memperbesar porsi kekayaan alam daerah untuk kepentingan rakyat tempatan merupakan semangat yang menggerakkan otonomi daerah. Karenanya keinginan untuk memisah sebagai suatu propinsi bagi Kepri menimbulkan tanda tanya. Kalau perjuangan otonomi daerah berhasil, terutama dengan kekayaan minyak bumi yang ada di Riau Daratan mulai dinikmati oleh rakyat tempatan, bukankah Kepri tidak ikut lagi? "Dendam" sosial dan kultural macam apakah yang mendorong elit dari Kepri untuk tidak mau bersama-sama dalam suatu entitas dengan Riau Daratan? Riau sebagai suatu entitas pada hakikatnya memiliki basis kultur dominan, yaitu Ke-Melayu-an. Hal ini memiliki kemiripan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, yaitu suatu wilayah yang bersifat heterogen secara sosiologis. Dari komposisi anggota DPRDnya pada tingkat propinsi dan kabupaten/kotamadya saja sudah terlihat betapa bervariasinya latar belakang kesukuannya, sebagaimana halnya penduduknya. Namun dalam heterogenitas itu terdapat suatu kultur utama (mainstream), yaitu Jawa -Yogyakarta, dan dalam pada itu berlangsung suatu proses sosial bersifat multikultural. Kultur mainstream biasanya merupakan basis dan berasal dari penduduk asli, yang dapat dibedakan dari kultur pendatang dengan latar belakang suku masing-masing. Pendekatan multikultural ditandai dengan pengelolaan kehidupan warga dalam dimensi politik, ekonomi dan kultural dengan menjaga agar tidak terjadi dominasi dari pihak yang lebih xx
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
besar terhadap yang lebih kecil. Besar (mayoritas) dan kecil (minoritas) di sini adakalanya berdasarkan jumlah, tetapi dapat juga dilihat atas ketimpangan struktural, melalui akses dan penguasaan kekuasaan (Power), ekonomi atau kultural secara sederhana adalah melihat adanya kondisi struktural dengan komponen yangberada dalam posisi kuat (powerfull) dan lemah (powerless). Dengan demikian strategi otonomi daerah adalah pengelolaan kepentingan berbagai komponen yang berbeda, dengan orientasi setiap komponen berada dalam proses "win-win" dalam setiap perebutan peluang di ruang publik. Masalah sosial yang sering muncul adalah saat komponen yang powerless untuk waktu yang lama, biasanya akan menggunakan cara-cara brutal akibat alam pikiran "amuk" saat merasa tekanan atau ketertindasan tidak dapat ditanggulangi lagi. Kalau pihak yang powerless ini adalah komponen yang berasal dari kultur mainstream, maka konflik sosial dengan pendatang akan sangat parah. Di Yogyakarta, aktivitas kultural mainstream berlangsung sebagai bagian kehidupan sosial, karenanya setiap orang, apa pun latar belakang kulturalnya dapat ikut ambil bagian. Tidak ada yang merasa terdominasi, sebaliknya pula kelompok dengan kultur mainstream tidak merasa terdesak. Maka interaksi bersifat multikultural dapat berlangsung. Komponen masyarakat dengan kultur mainstream tidak merasa perlu menghimpun diri secara fisik, sebagaimana orang Batak tidak perlu mendirikan Ikatan Masyarakat Batak di Tapanuli. Sebaliknya orang Yogyakarta yang bermukim di Tapanuli sangat wajar kalau membuat organisasi atau paguyuban, sebagaimana orang Minang berhimpun dalam "Minang Sakato" di Yogyakarta atau kota-kota lain di Jawa. Ada yang tidak beres manakala muncul Ikatan Masyarakat Minang di ranah Minangkabau. Kultur mainstream di Yogyakarta dipelihara oleh kraton, sedang kultur mainstream di Minangkabau dijaga oleh akuk mainak penghuhi adat.
xxi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Inilah agaknya yang ingin dibahas H. Chaidir dalam menyikapi bermunuculannya organisasi Melayu di Riau ("Kesadaran kultural"). Dia mempertanyakan kehadiran Lasykar Hulubalang Melayu, Gerakan Pemuda Melayu, Pemuda Melayu Riau Bersatu, dan lainnya. Ditulisnya: Pertanyaannya sekarang adalah: Dalam konteks ke-Melayuan, peran apakah yang harus dimainkan oleh sejumlah organisasi yang ada ini? Saya kira, dalam kondisi Riau sekarang, peran utama yang harus dilakukan adalah mengawal eksistensi dan perkembangan budaya Melayu itu sendiri. Peran mengawal suatu kultur memerlukan suatu strategi kultural. Jelas tidak mudah merumuskan dan menjalankan strategi kultural. Ini tidak sekadar menampilkan nyanyian berbahasa setempat, atau tari-tarian yang diolah dari tari asli, atau pakaian tradisional. Kolom pendek yang ditulisnya tentulah tidak memadai untuk membicarakan masalah yang kompleks itu. Kemunculan organisasi yang diformalkan berbasis kultural di daerahnya sendiri, boleh jadi sebagai indikasi adanya perasaan terdominasi oleh pendatang. Sebagaimana munculnya organisasi Betawi di Jakarta, menunjukkan betapa kultur ke-Betawi-an terdesak oleh faktor-faktor kultural dari suku pendatang. Kalau bukan karena merasa terdesak, ke-Melayu-an yang muncul dalam organisasi formal di wilayahnya sendiri agaknya dimaksudkan untuk mencari jati diri yang distingtif, untuk dapat dibedakan dengan jati diri ke-Me-layu-ah lainnya. Boleh jadi upaya ini dimaksudkan untuk menjadikan kultur Melayu Riau sebagai mainstream di Propinsi Riau, sehingga Riau sebagai suatu entitas kultural dapat menjadi basis untuk memelihara sebagai entitas politik pula. Dari sini proses otonomi daerah kiranya dapat disikapi secara komprehensif melalui suatu gerakan kultural. Pertama-tama sebagai suatu langkah bersifat politis dalam membangun sistem pemerintahan yang lebih bersifat bottom-up dan xxii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
demokratis. Upaya untuk mengakhiri pemerintahan bersifat topdown dan sentralistis dengan sistem komando yang mengadaptasi sistem militeristis perlu dijawab dengan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berdasarkan akuntabilitas terhadap publik daerah. Ini berarti diwujudkannya suatu kultur politik yang bertolak dari ke-Melayu-an yang ditempatkan dalam kultur pemerintahan modern yang demokratis dan menyejahterakan rakyatnya. Seiring pula pada langkah bersifat sosiologis adalah membangun komunitas demografis sebagai entitas daerah yang memiliki dinamika atas landasan kultural, yaitu adanya acuan nilai bersama dalam kehidupan yang lebih baik di ruang publik. Pada saat membayangkan adanya acuan nilai bersama di ruang publik, dengan sendirinya harus dimulai dari person-person dalam institusi strategis, seperti institusi politik (birokrasi negara dan partai politik), institusi pendidikan, termasuk institusi media massa. Dengan kata lain, institusi sosial yang berorientasi pada publik diharapkan lebih dulu berdasarkan dan menjalankan kegiatan institusional dengan nilai dimaksud. Kultur ke-Melayu-an sebagai mainstream di Riau mewujud melalui sistem nilai yang mempengaruhi pola interaksi warga. Dengan kata lain, sistem nilai yang berasal dari kultur mainstream menjadi acuan nilai bersama (shared values) dalam kehidupan sosial. Kolom-kolom yang ditulis H. Chaidir dalam buku ini telah berusaha menggali kearifan yang berasal dari nilai ke-Melayu-an. Ke depan masih banyak yang perlu ditulis, sebagai upaya untuk menghadirkan wacana dalam membentuk acuan mlai bersama dalam kehidupan sosial di Riau. Kupasan. atas ke-Riau-an masih tetap diperlukan sebagai bagian dari pendidikan kewargaan (civic education), perihal bagaimana menjalani kehidupan di ruang publik secara kultural. Adapun pandangan-pandangan yang ternukil di buku ini datang dari daerah, selain diperlukan bagi rakyat tempatan, lebih
xxiii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
jauh pastilah memperkaya wawasan ke-Indonesia-an bagi pembaca di luar daerah Riau. Yogyakarta, Mei 2002
Ashadi Siregar
xxiv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Prakata Penulis
"M
inda" dalam idiom Melayu Riau bermakna
.jendela, tapi bisa juga berarti frame (bingkai). Ketika saya diminta untuk mengisi halaman "Minda Kita" sekali seminggu oleh Pemimpin Redaksi Tabloid Mentari yang terbit di Pekanbaru, saya tidak menolak, walaupun untuk itu saya pasti akan terikat dan kalang kabut. Saya akan kesulitan mengatur waktu. karena dalam kapasitas saya sebagai Ketua DPRD Propinsi Riau, agenda kegiatan saya sangatlah padat. Tetapi ini adalah sebuah tantangan intelektual yang selayaknya memang harus direspon. Apalagi saya diberi kebebasan untuk menulis dan berekspresi tentang apa saja yang menurut nilainilai kewajaran dan estetika memang pantas untuk diteropong dari balik jendela atau diberi bingkai. Ada dua aspek yang serta merta terpikirkan oleh saya. Pertama, saya akan dapat mensosialisasikan pemikiran-pemikiran yang pantas dikedepankan. Kedua, saya terpaksa harus secara terusmenerus menggali berbagai sumber ilmu pengetahuan. Dan itu, walaupun tak seberapa, tetap memberikan kontribusi untuk mengembangkan tradisi keilmuan dalam masyarakat yang ingin kita tegakkan. Mengedepankan rasio, menjunjung tinggi supremasi hukum dan keterbukaan, serta memperhatikan etika moral adalah watak intelektual yang harus dipelihara. Pernyataan-pernyataan yang mengindikasikan bahwa kita pasti benar dan orang lain selalu salah, bukan merupakan cermin dari masyarakat yang berbasis keilmuan. Menyingau dari balik jendela bukanlah pekerjaan yang sulit, tetapi membuat narasi dari fenomena yang terjadi di dunia luar, mendeskripsikan pergerakan-pergerakan dinamika masyarakat yang sedang dilanda panca-roba, menghubung-hubungkan satu peristiwa dengan peristiwa lain, mencari sebab dan akibat sebuah peristiwa, xxv
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
bukanlah pekerjaan yang sederhana. Apatah lagi bila peristiwa demi peristiwa itu hendak dicarikan rujukan simpulnya dalam buku-buku teks. Hukum sebab akibat atau kausalitas, menurut filsuf Immanuel Kant, hanyalah salah satu cara yang kita gunakan untuk memahami dunia, masih banyak segi lain yang perlu dipertimbangkan. Saya memang selalu terusik oleh lingkungan yang seringkali memberikan cermin tempat kita berkaca. Peristiwa-peristiwa yang terjadi seringkali membangkitkan kesadaran-kesadaran dan renungan sederhana." Alam terkembang jadi guru," kata sastrawan A. A. Navis. Ungkapannya singkat, tapi sarat makna. Kita seringkali congkak untuk mau belajar dari alam sekitar. Padahal alam sekitar banyak sekali memberikan contoh, pelajaran dan perumpamaan yang maknanya sangat dalam. Interaksi saya dengan lingkungan masyarakat seringkali merupakan awal dari sebuah proses kreatif untuk menulis sebuah esai. Suatu ketika, pembimbing haji kelompok saya menjelaskan peristiwa Perang Uhud saat kami melakukan ziarah ke lembah Uhud. Dalam perang tersebut pasukan Nabi Muhammad Saw. yang semula menang, akhirnya kalah dari pasukan Quraisy yang datang dari Makkah. Penyebabnya hanya satu, yakni nafsu tak terkendali ingin menguasai harta benda. Saat itu juga muncul dalam pikiran saya bahwa peristiwa itu kontekstual dengan perebutan pengelolaan sumber daya alam di Riau, perebutan antarsesama. Sekembalinya ke Tanah Air saya menulis "Di Balik Perang Uhud". Salah satu kelemahan esai yang mengangkat isu-isu kontemporer atau isu aktual adalah cepat basi. Hal ini disebabkan karena dinamika yang terjadi di tengah masyarakat demikian tingginya, layaknya revolusi teknologi informatika yang sedang melanda dunia. Perubahan demi perubahan demikian cepat terjadi. Kemarin misalnya, kita masih menyaksikan dan menikmati watak Gus Dur ber-main di panggung, hari ini sudah ganti dengan Megawatt Soekarno Putri. Kemarin sudah ada pawai perdamaian di Maluku dan kita sudah siap-siap membakar semua kliping koran xxvi
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
masa lalu yang kelam, tapi hari ini keke-rasan dan pembunuhan kembali terjadi. Kesebelasan PSPS Pekanbaru Riau misalnya, yang bertabur bintang pemain nasional dan juga bertabur uang, telah membuat saya (dan mungkin juga banyak orang kecele. PSPS begitu diyakini akan menjadi juara atau paling tidak masuk final, tahunya malah keok. Masih untung tidak degradasi. Sampai di sini kita bingung membuat catatan, adakah uang tidak berpengaruh pada prestasi? Ataukah kita tidak siap dan salah tingkah menjadi orang kaya? Pengalaman adalah sumber pengetahuan, kata orang bijak. Kita berbicara tentang banyak agenda sekaligus yang menuntut penyelesaian instan secara simultan: demokrasi, transparansi, dan akuntabilitas, tetapi kita belum menemukan format pendekatan yang pas. Kelompok yang tidak sabar atau kelompok oportunis, cenderung mencari jalan pintas, bahkan tidak segan-segan mengusung kepentingan rakyat dengan melakukan kebohongankebohongan. Problematika itulah yang secara sepatah-sepatah saya tinjau dari "jendela" saya. Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah catatancatatan lepas yang saya tulis setiap minggu di Tabloid Mentari. Terus terang saya agak kesulitan mengelompokkannya. Hal ini disebabkan karena tema yang saya angkat sebagai substansi tulisan sangat bervariasi. Saya tak kuasa membendung panggilan pengembaraan pemikiran menyaksikan perkembangan yang terjadi di sekitar. Saya selalu merenung tentang makna di balik peristiwa dan itu harus saya ungkapkan dalam bentuk tulisan, yang sesungguhnya pada awalnya tidak direncanakan untuk dibukukan. Judul: "Panggil Aku Osama" adalah judul alternatif yang diusulkan kawan-kawan. Untuk sekadar memudahkan pembaca, kumpulan tulisan. ini saya kelompokkan ke dalam lima kelompok yang sesungguhnya tidak terlalu spesifik dapat dibedakan. Kelompok pertama Alam
xxvii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Terkembang Jadi Guru. Bagian ini memuat narasi saya terhadap lingkungan masyarakat dan perilakunya. Ada hal-hal sederhana yang layak untuk direnung, ada pula segi-segi yang harus dikritisi atau malah diberi bingkai. Beberapa catatan aspiratif dimasukkan ke dalam kelompok kedua. Saya mencoba mengemas suara-suara masyarakat yang menarik untuk diungkapkan. Di sana ada harapan tidak hanya kepada penyelenggara pemerintahan, tapi juga kepada sesama anggota masyarakat itu sendiri. Ini perlu untuk diperhatikan, sebab pemerintahan tidak berdiri sendiri. Peranan masyarakat juga ikut mem-berikan kontribusi terhadap apa yang terjadi. Sebab sesungguhnya, situasi sekarang adalah situasi yang baru dalam format yang baru. Semua sedang belajar dan mencari posisi yang pas agar tidak terasa gamang. Kumpulan tulisan yang saya masukkan ke dalam kelompok ketiga agaknya tidak persis sebagai suatu perbandingan kendati diberi judul Sebuah Perbandingan. Tetapi bagaimanapun pengalaman perjalanan ke negeri orang sedikit banyak tetap membekas yang adakalanya pantas sebagai bahan renungan. Mencontoh yang baik tak ada salahnya. Dalam kelompok keempat saya mencoba meneropong Beberapa Tokoh dari sudut yang saya anggap sesuai dengan rubrik yang diberikan kepada saya. Tentu, ha-laman ini bukanlah biografi, melainkan sebuah catatan humanis dari sedikit komentar saya terhadap ucapan-ucapan, pemikiran dan keberadaan seorang tokoh. Ini adalah catatan yang dibuang sayang. Tokoh yang saya tulis bukanlah mewakili komunitas tertentu, melainkan demikiar. saja ir.uncul dalatn gagasan saya. Agaknya ini sebuah proses kreatif. Tokoh seperti Jefri Noer, Bupati Kabupaten Kampar, Riau misalnya, mana dikenal di Papua atau di Sulawesi, tetapi proses terpHihnya Jefri sebagai seorang bupati memberikan catatan khusus yang layak dicermati oleh semua orang.
xxviii
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Kelompok kelima, Membangun Kehormatan. Memba-ngun kehormatan dan mempertahankan keterhormatan adalah sesuatu yang sangat asasi. Bangunan itu bernama harga diri, kemuliaan, rasa bermartabat, yang oleh orang Riau sering disebut marwah. Sebuah perjuangan yang dimulai dengan iktikad baik, tulus ikhlas, tak kira berhasil atau tidak, adalah sebuah marwah. Perasaan itu yang dibingkai dengan etika moral keislaman, saya coba rajut dalam beberapa tulisan. Dengan diterbitkannya buku ini, saya harus berterima kasih kepada kawan-kawan di Tabloid Mentari; Affan Bey, Irwan, Zufra, Fendri, Erison, dan kawan-kawan. Acapkali dengan sabar mereka terpaksa menunggu saya mengetik menyelesaikan tulisan untuk "Minda Kita", atau bahkan sekali-sekali Mentari terlambat terbit karena saya belum sempat bermenung di depan komputer. Kening saya selalu berkerut membaca SMS Zufra: "Bang, jangan lupa Minda Kita minggu ini, besok dead-line". Tapi saya sejujurnya menyukai itu, saya merasa menjadi orang penting. Ketulusan dan pengertian orang yang paling dekat dengan saya, istri saya Hj. Yulianti, S.H. dan anak-anak, Rimba, Lingga, Hanna dan si bungsu Chaleed, yang membiarkan saya "tenggelam" di ruang kerja, sangat menge-sankan. Kadang saya merasa berdosa pada kalian semua karena telah menyita waktu, ketika semustinya kita ber-cengkerama. Mudah-mudahan buku ini memberikan kebanggaan bagi kalian. Kesediaan Bang Ashadi Siregar untuk memberikan kata pengantar sangat membanggakan. Kontribusi dosen Fisipol UGM Yogyakarta, yang Juga Dfrektur LP3Y yang prestisius itu, berikut nama besarnya sebagai novelis dengan karyanya yang sangat populer Cintaku Di Kampus Biru dan Kugapai Cintamu, sungguh tak ternilai harganya. Untuk itu saya hanya bisa menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih. Kepada sahabat saya H. Mahyudin Al Mudra, S.H., M.M. dan istrinya, Ir. Hj. Tuti Sumarningsih, S.T., MT., pimpinan Penerbit xxix
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Adicita Karya Nusa Yogyakarta, saya sangat tersanjung dengan komentar Anda berdua tentang naskah saya. Saya kira itu berlebihan. Saya tidak tahu apa yang harus saya berikan sebagai tanda terima kasih untuk kesediaan Anda mengoreksi secara teliti seluruh naskah saya. Saya tahu Anda berdua beserta seluruh staf telah bertungkus lumus berminggu-minggu menyelesaikan penerbitan buku ini. Saya berhutang budi pada Anda semua. Terakhir, semoga buku yang tidak seberapa ini bisa memperkaya khazanah wacana tentang perjuangan kita mewujudkan keterhormatan dan kehidupan yang lebih bermartabat. Pekanbaru, 29 Mei 2002
drh. Chaidir, M.M.
xxx
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 1 Alam Terkembang Jadi Guru
1
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
1 Bulan Bersejarah "Pelajarilah sejarah", kata pujangga Thomas Carlyle, "agar kita tidak tergelincir di hari depan". Bulan Agustus ditakdirkan sebagai bulan yang bersejarah. Didahului oleh Singapura yang merayakan hari ulang tahunnya tanggal 9 Agustus, kemudian disusul Indonesia tanggal 17, dan ditutup oleh Malaysia pada tanggal 31. Riau ikut-ikutan menambah makna dengan merayakan hari jadinya tanggal 9 Agustus, sama Dengan hari kebangsaan Singapura. Latahkah Riau? Tentu tidak. Sebab ketika Ir. Soekarno, Presiden pertama RI menandatangani UU Darurat No, 19 Tahun 1957 di Bali, Singapura masih merupakan bagian dari Kerajaan Malaysia. Jadi Riau lebih dulu lahir, baru kemudian menyusul Singapura. Lebih dari seabad yang lampau, seorang filsuf ketatanegaraan, Ernest Renan, dalam orasinya di depan mahasiswa Universitas Sorbonne Paris, pada 11 Maret 1882, mengatakan bahwa hakikat sebuah negara adalah semata-mata soal perasaan dan soal kehendak untuk hidup bersama karena penderitaan-penderitaan yang sama di masa lampau. Ernest Renan saya kutip karena ungkapannya memberi kita tempat berkaca dan membaca: sudahkah bangsa kita ini umumnya, dan daerah kita ini khususnya dijalankan dengan berpegang pada amanah-amanah penderitaan bersama tersebut. Jawabannya tentu saja sudah dan belum! Tergantung bagaimana cara memandangnya. Iba-rat mendeskripsikan sebuah gelas yang terisi setengah. Sebagian orang akan mengatakan gelas itu hampir penuh, sebagian lainnya akan mengatakan gelas itu hampir kosong, padahal gelas yang dilihat adalah gelas yang sama. 2
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Namun jika kita mau menyelami sedikit lebih dalam hakikat amanat penderitaan bersama itu pada hari ini, maka di hadapan kita akan terbentang sebuah kenyataan, bahkan berlapis-lapis kenyataan, yang akan menjelaskan kepada kita, bahwa hakikat penderitaan bersama telah berubah wujud secara signifikan menjadi penderitaan sa-tu pihak dan kemenangan pada pihak lainnya. Kalah menang menjadi kerangka acuan dan kata "kita" seakan telah kehilangan makna. Bangsa kita hari ini bagaikan sebuah lukisan besar berbagai peristiwa kepedihan. Di mana-mana ada kebangkrutan ekonomi dan moral, ada kegetiran, dan bahkan lebih tragis, sebagian orang telah melanggar fitrah kemanusiaan dengan saling membunuh sesama manusia. Ada memang sedikit harapan pencerahan, ketika nakhoda berganti di pusat kekuasaan. Namun badai belum lagi sungguhsungguh berlalu, semua masih trauma terhadap munculnya badai susulan. Sesungguhnya hakikat hari jadi bukanlah semata-mata peristiwa mengenang dan berbagi cerita, bukan sekadar bergembira, meniup lilin, dan menghitung usia. Tidak! Esensi peringatan hari jadi adalah sebuah media perenungan untuk membaca diri. Sebuah media untuk menilai perjalanan, apa yang telah kita lakukan selama ini, apa yang telah berhasil dan apa pula yang kita masih gagal mencapainya. Peringatan hari jadi memang tidaklah sekadar mengenang sesuatu, tetapi kita ingin memetik lebih dari itu, belajar dari perjuanganperjuangan masa lampau. Kita ibarat berhenti di sebuah terminal. Panjang jalan yang sudah dilalui dan penuh lika-liku, lebih panjang lagi jalan yang akan ditempuh yang kita belum tahu persis lika-likunya. Sejarah perjuangan masa lampau telah mengajarkan kita banyak hal, dan sejarah masa lampau juga mengamanahkan banyak hal kepada kita untuk diperjuangkan pada hari ini guna mengarungi masa depan. Sejujurnya patut dicatat, bahwa sampai hari ini telah banyak hal yang dilakukan. Tetapi juga sangat manusiawi untuk menyadari bahwa sampai hari ini pun kita masih saja dikalahkan oleh suatu 3
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sistem, dan tak jarang pula dikalahkan oleh sebuah konspirasi yang menyesakkan. Realitas menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Riau masih berada dalam kondisi kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah, keterbelakangan, dan berbagai kelemahan lainnya. Riau sebagai kumpulan manusia dan harapan, dapat dikatakan berada dalarn posisi dikalahkan. Sejak Riau digabungkan dengan Indonesia, kepada kita hanya dipersembahkan kegetiran dan cerita panjang tentang kekalahan. Ironisnya kondisi itu terjadi justru setelah kita memberikan hal terbaik yang kita miliki kepada bangsa ini. Dalam kasus CPP Block misalnya, kita melihat bagaimana kita demikian sulit mendapatkan sebagian kecil dari tanah kita sendiri, setetes dari minyak kita sendiri. Padahal dulu Sultan Syarif Qasyim II menyerahkannya secara tulus kepada republik ini dengan satu message untuk menyelamatkan dan menyejahterakan bangsa Indonesia. Walaupun sudah pasti Sultan Syarif Qasyim menyerahkan tanpa reserve, tapi tidakkah negeri asalnya dapat menggunakannya barang sedikit untuk meningkatkan harkat dan martabat masyarakat setempat? Tidak ada pilihan lain. Kita semua harus bergandeng tangan menyatukan gerak langkah, saling mendukung melalui bidang dan keahlian masing-masing. Jika tidak, kita akan terus-menerus menelan kekalahan. Mari kita bangun Riau dengan kesepakatan yang kokoh dan memuaskan. Kita harus meninggalkan warisan yang baik bagi masa depan, agar hari ini tidak dicatat sebagai sejarah hitam oleh generasi mendatang. Jika kita mau berbuat, akan selalu ada jalan. Jika kita saling mendukung, maka akan ada kemenangan. Kita harus selalu duduk semeja untuk membicarakan Riau yang besar dan kaya. Itu lebih baik dan lebih bermakna ketim-bang bertelagah sesama sendiri. Ada sekian juta orang Riau yang akan menerima akibat dari 4
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
pertelagahan, dan sebaliknya jumlah yang sama akan menikmati sesuatu yang lebih baik, jika Riau kita bangun dengan kebersamaan. Mari kita mengaca pada sejarah. Dirgahayu Indonesia, Dirgahayu Riau.
(20—27 Agustus 2001)
5
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
2 Alam Terkembang Jadi Guru “Alam terkembang jadi guru", kata sastrawan yang berasal dari Ranah Minang A.A. Navis. Ungkapannya singkat, tapi sarat makna. Kita seringkali terlalu congkak untuk mau belajar dari alam sekitar. Padahal alam sekitar banyak memberikan contoh, pelajaran dan perumpamaan yang maknanya sangat dalam. Coba lihat perumpamaan berikut: "Ibarat ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk". Sememangnya padi semakin berisi semakin merunduk, hanya padi yang hampa yang mencuat ke atas. Padi yang hampa tidak berguna. Sifat fisik padi ini kemudian diberi makna filosofis. Semakin tinggi ilmu seseorang, semakin rendah hatinya, demikian makna yang terkandung. Kayu di rimba pun dibidalkan orang tua-tua: "Kayu di rimba takkan sama tinggi. Kalau sama tinggi di mana angin akan lalu". Adanya perbedaan status sosial ekonomi, perbedaan pangkat, perbedaan ilmu, atau perbedaan-perbedaan physically, dipahami sebagai sesuatu yang lumrah, ibarat kayu di rimba yang lumrah tidak sama tinggi, namun bukan berarti saling mengalahkan. Si buta penghembus lesung, si tuli pembunyi meriam, si lumpuh pula penunjuk jalan, begitu orang bijak member! bidal terhadap kerja sama dalam kebersamaan. Semakin tinggi sebatang pohon, semakin keras diterpa angin, begitu orang tua-tua mengingatkan anak cucunya. Kalau akarnya tidak kuat maka pohon akan roboh. Sebaliknya rumput, tidak perlu takut diterpa angin, tetapi harus rela diinjak orang. Benalu pula, berinduk semang di kayu lain, tapi lambat laun induk semang akan mati, karena makanannya diisap sangbenalu.
6
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Masih banyak lagi hal ikhwal alam sekitar yang menyimpan falsafah. Coba lihat bagaimana orang Melayu memandang kedudukan, fungsi, dan tanggung jawab pemimpinnya dalam ungkapan berikut. "Bagaikan kayu besar di tengah padang Rimbun daunnya tempat berteduh Kuat dahannya tempat bergantung Kukuh batangnya tempat bersandar Besar akarnya tempat bersila". Besarnya tanggung jawab pemimpin misalnya, dalam perspektif Melayu digambarkan pula dalam link lagu Lancang Kuning. Lancang Kuning berlayar malam; haluan. menuju ke laut dalam; kalau nakhoda kuranglah paham; alamat kapal akan tenggelam. Realitas kehidupan sehari-hari bisa bermuara pada tataran filosofis seperti kita melihat pohon besar di tengah padang yang rimbun daunnya atau Lancang Kuning yang megah itu. Kalau penalaran berhenti sampai pada kekaguman fisik, maka kita tidak akan pernah mendapatkan makna di balik peristiwa. Padahal di balik peristiwa itu seringkali tersimpan petuah-petuah yang sangat dalam maknanya bagi kehidupan. Tanggal 9 Agustus 2001 beberapa hari lalu, masyarakat Buluh Cina di Kecamatan Siak Hulu, Kabupaten Kampar, Propinsi Riau menggelar Pacu Sampan di Sungai Kampar. Tanggal 23 Agustus kemarin siang, masyarakat Kuantan Singingi menggelar pula Pacu Jalur legendaris di Sungai Indragiri (Sungai Kuantan), Teluk Kuantan Kabupaten Kuantan Singingi. Ketika menyaksikan babak final Pacu Sampan Buluh Cina, saya kebetulan duduk berdekatan dengan Bapak Tenas Effendy, Ketua Majelis Kerapatan Adat Propinsi Riau. Di sela-sela riuh rendah penonton yang antusias mendukung jagonya, kami terlibat percakapan serius. "Pacu sampan ini sesungguhnya memiliki falsafah," ungkap Pak Tenas. "Sampan itu memiliki haluan dan kemudi. Ke mana arah haluan 7
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
akan ditentukan oleh kemudi. Para pendayung pun harus mendayung sampannya secara serentak untuk mendapatkan akselerasi percepatan yang maksimal. Betapa pun bagus perahunya, kekar-kekar pun pendayungnya, namun bila tidak didayung dengan serentak, maka mereka akan kalah." Apa yang dikemukakan oleh Pak Tenas menarik untuk disimak. Kerja sama yang bersinergi merupakan persyaratan mutlak bila ingin memperoleh hasil yang maksimal. Semua harus mengerahkan kemampuan, sa-ling isi mengisi dan saling tutup menutupi kelemahan yang ada: Yang ahli mengemudi ditempatkan di kemudi, pendobrak ditempatkan di haluan, dan pemompa semangat ditempatkan di tengah. Semua pendayung harus memahami misi yang diemban. Kalau kita tidak mengendalikan kemudi dengan baik dan tidak mau mendayung secara serentak, maka kita akan dikalahkan oleh alam kita sendiri, akan dikalahkan oleh lawan, walaupun sesungguhnya lawan hanya memiliki kekuatan yang minim. Kita dikalahkan bukan karena lawan memang tangguh, tetapi karena kesalahan kita sendiri yang demikian susah untuk merangkai suatu kebersamaan secara sinergik. Saya termenung sejenak. Kita sering menyaksikan pacu jalur dan pacu sampan, tapi hampir tidak ada sesuatu yang bisa dipetik sebagai bahan perenungan, kecuali kemeriahan pesta dan kekhawatiran suatu saat kelak kita tidak lagi bisa menyaksikan pacu jalur karena tidak ada lagi kayu yang bisa dipakai untuk membuat jalur. Padahal, sesungguhnya ada sesuatu yang me-ngandung nilai sangat tinggi sebagai bahan perenungan seperti apa yang diungkapkan Pak Tenas itu. Riau terberkati ditakdirkan memiliki empat sungai besar, yaitu Rokan, Siak, Kampar, dan Indragiri, belum terhitung wilayah lautan. Kapal, sampan, pompong, pancung, atau apa pun namanya, adalah jenis-jenis kendaraan air yang akrab dengan kehidupan masyarakat. Tetapi kita lalai berguru kepada alam sekitar. Akibatnya sungai dan 8
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
lautan diposisikan tidak lebih dari sekadar kekayaan alam yang harus dieksplorasi dan dieksploitasi sampai luluh-lantak. Pacu jalur di Teluk Kuantan sudah mentradisi bahkan sudah melegenda. Kini menyusul pula lomba pacu sampan di Buluh Cina, yang baru tiga tahun terakhir ini dikelola secara baik dan berpotensi untuk menyamai kemeriahan Pacu Jalur. Cerita-cerita di balik layar perlombaan pun hampir sama, ada upacara-upacara ritual yang inheren. Bagi saya pacu jalur atau pacu sampan, tidak banyak berbeda. Satu di Sungai Indragiri, satu di Sungai Kampar, itu saja. Kedua event ini akan memperkaya khazanah agenda tontonan dan pariwisata Riau. Tapi falsafah yang terkandung dalam pacu jalur dan pacu sampan tetap sama: haluan dan kemudi harus sebati, dayung pun harus serentak. (26 Agustus—1 September 2001)
9
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3 Mengenang Ediruslan Pe Amanriza Diukur dari waktu, pergaulan saya dengan Ediruslan Pe Amanriza belum lagi layak disebut karib, karena baru ketika saya mulai menapak di Gedung Lancang Kuning DPRD Riau, kami mulai berkenalan satu dengan lainnya. Sebelumnya, saya sering mendengar namanya karena dia memang sudah malang melintang di dunia karang-mengarang, sementara Edi belum lagi pernah mendengar nama saya. Kami baru semakin dekat semenjak Ediruslan Pe Amanriza mulai menjadi anggota DPRD Propinsi Riau tahun 1999. Sejak saat itu komunikasi intelektual sering terjadi. Dia beri saya buku, saya pun adakalanya membawakan oleh-oleh buku untuknya . Sayang sekali buku Warisan Riau (Riau Heritage) yang dari awal beberapa kali didiskusikan dengan saya, bahkan terakhir ia menyiapkan kata sambutan saya dalam buku yang rencananya akan diluncurkan oleh Ibu Presiden, tidak sempat lagi disaksikan peluncurannya. Apabila ada orang yang meninggal dunia, maka ingatlah yang bersangkutan tentang hal-hal yang baik saja, begitulah semestinya. Hubungan pertemanan saya dengan Ediruslan Pe Amanriza, sememangnya selalu yang baik-baik saja. Saya sangat kagum terhadap kemampuannya mengolah kata dan cerita, sehingga kisah-kisah yang memuat pesan-pesan moral dengan kompleksitas permasalahan yang kaku dan tidak menarik, seperti masalah resetlement Sakai dan penyerobotan lahan, dirangkainya menjadi sangat indah dan menarik seperti tertuang dalam romannya Panggil Aku Sakai dan Ditaklukkan Sang Sapurba. Sebagai seorang budayawan, Ediruslan Pe Amanriza sangat konsisten terhadap pandangannya. Proses pembangunan itu adalah proses budaya, tulis Ediruslan Pe Amanriza dalam buku kumpulan esainya Kita dari Pedih yang Sama. Edi betul. Pembangunan apabila tidak mengindahkan budaya akan menjadi asing, terasing, atau 10
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
bahkan akan menimbulkan resistensi. Sebab pembangunan itu pada hakikatnya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan manusia secara lebih berkualitas. Ada nilai-nilai baru yang diperkenalkan. Nilai-nilai baru ini seyogianya harus melalui proses pengenalan (sosialisasi) terlebih dahulu, dan kalau perlu disenyawakan dengan nilai-nilai lama yang berguna. Jadi tidak drastis. Dengan cara itu dapat dilihat sejauh mana sesungguhnya kemampuan masyarakat kita menyerap nilai-nilai baru yang diperlukan bagi pembangunan agar sesuai dengan perkembangan zaman. Ediruslan mengambil contoh kekeliruan menerapkan nilai-nilai baru ke tengah-tengah masyarakat tradisional. Dulu pemerintah melihat masyarakat Man yang tinggal dalam rumah tradisional sangat mengabaikan fak-tor kesehatan karena rumah tersebut tidak berjendela dan tidak berventilasi. Mereka dibangunkan rumah modern seperti di Jawa dan Sumatra. Apa yang terjadi, rumah modern yang dianggap telah memenuhi syarat kesehatan itu ditinggalkan mereka. Dan mereka kembali ke rumah lama. "Apa yang salah?" tanya Edi dalam esainya. Ternyata rumah tradisional yang menurut pemerintah tidak memenuhi syarat kesehatan, justru merupakan antisipasi alamiah penduduk asli untuk menghindarkan diri dari serangan nyamuk malaria. Pendekatan yang keliru juga terjadi dalam memperkenalkan nilai-nilai baru pada masyarakat Suku Sakai. Mereka dibangunkan pemukiman yang lebih layak menurut perspektif orang-orang modern, sebab suku Sakai oleh bangsa yang lebih berbudaya itu disebut sebagai suku terbelakang. Terbelakang karena rendahnya peradaban. Oleh karena itu, mereka dimukimkan, dibuatkan perumahan, sebagai contoh di Kandis, Kabupaten Bengkalis, Riau. Tetapi pemukiman itu jauh dari hutan dan sungai yang sudah merupakan jiwa mereka. Akhirnya pemukiman itu juga mereka tinggalkan. Oleh karena itu, Edi bersikukuh, budaya harus menjadi dasar pembangunan, bukan sekadar aspek yang harus dibangun, karena budaya hakikatnya tidak 11
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sama dengan aspek ekonomi dan politik meskipun keduanya merupakan bagian integral dari kebudayaan. Apa sesungguhnya "kebudayaan" yang sampai akhir hayat digeluti Edi sehingga dia mendapatkan julukan terhormat sebagai seorang budayawan? Kurang apa kepintaran Prof. Habibie, tapi dia ilmuwan dan bukan budayawan. Kurang apa hebatnya Ibu Mega, tapi ibu kita ini lebih tepat disebut politikus superulung, bukan budayawan. Kebudayaan berasal dari kata Sanskerta "buddha-yah", bentuk jamak dari ”buddhi” yang berarti budi atau akal. Dengan demikian kebudayaan dapat diartikan sebagai hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal. Tetapi ada juga pendapat lain mengenai asal kata kebudayaan, yaitu berasal dari kata majemuk "budidaya", artinya daya dari budi, kekuatan dari akal. Menurut Prof. Koentjaraningrat, kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu. Tetapi sesungguhnya kebudayaan itu sendiri telah dirumuskan ke dalam lebih dari 160 definisi oleh berbagai ahlinya. Para pakar ihnu sosial lebih suka memberikan makna yang lebih luas pada konsep kebudayaan, yaitu keseluruhan permikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya dan oleh karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar. Konsep ini amat luas karena meliputi hampir seluruh aktivitas manusia dalam kehidupannya. Kebudayaan bersifat abstrak, tak dapat diraba atau difoto. Lokasinya ada di dalam kepala-kepala, atau dengan kata lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Kebudayaan ada dalam sebuah tulisan, dalam tutur kata, dalam perilaku. Oleh karena itu, karya tulis warga masyarakat seringkali menggambarkan kebudayaan yang hidup yang melingkupi alam pikiran pengarangnya. 12
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Suatu sistem nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi, yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi perilaku manusia. Budayawan adalah orang yang berkecimpung dalam kebudayaan, orang yang bertungkus lumus dalam pemeliharaan dan pengawalan ide-ide, gagasan-gagasan yang" dianggap baik oleh masyarakat dalam berbagai aspek; sosial, politik, ekonomi, hukum, kesenian, dan sebagainya. Tradisi menulis atau mengarang adalah salah satu keunggulan budaya Melayu. Dan itu telah dilakukan dengan amat baik oleh Ediruslan Pe Amanriza. Kontribusinya dalam kebudayaan tak ternilai dan itu semua menjadi amal jariah baginya. Buah karyanya akan selalu dikenang dan tak akan pernah terlupakan. (14—20 Oktober 2001)
13
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
4 Budaya Instan Suatu hari dalam penerbangan Jakarta - Yogya, saya duduk di sebelah Menteri Perikanan dan Kelautan, Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, M.Sc. Menteri ini, yang sudah mulai saya kenal ketika ia masih Dirjen, menurut saya, adalah orang yang rendah hati, intelek, dan jauh dari kesan ngebossi. Oleh karenanya dalam durasi terbang selama lima puluh menit itu, banyak hal aktual yang kami bicarakan, mulai dari kemungkinan terlibatnya agen-agen Israel dalam tragedi Menara WTC dan Pentagon di America Serikat sampai kepada pergeseran nilai-nilai uaiam masyarakat yang membawa dampak cukup luas. Salah satu dari nilai-nilai baru itu kemudian menjadi perenungan saya, dan kemudian saya (coba) elaborasi, yaitu munculnya budaya instan. Hewan apa pula ini budaya instan? Yang sering kita dengar adalah budaya politik, budaya mumpung, atau budaya malu. Budaya politik misalnya, seringkali didefinisikan sebagai suatu pola sikap, keyakinan, dan perasaan tertentu yang mendasari, mengarahkan, dan memberi arti kepada tingkah laku dan proses politik dalam suatu sistem politik, mencakup cita-cita politik maupun norma-norma yang sedang berlaku di masyarakat politik. Budaya mumpung pula adalah suatu sikap yang tidak terpuji tentang ketidakjujuran menggunakan fasilitas jabatan atau kekuasaan atau kepercayaan yang diamanahkan. Yang harus hati-hati didefinisikan adalah budaya malu, jangan sampai terjebak dalam penggunaan awalan ke dan akhiran an. Kalau ini dilakukan tentu artinya sangat berbeda. Budaya malu, lebih tepat didefinisikan sebagai suatu sikap malu untuk berbuat tidak terpuji atau tidak senonoh. Itulah budaya malu. 14
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Nah, budaya instan? Tentu tidak ada hubungan darah sama sekali dengan susu instan atau mie instan, tapi hubungan "ideologi" dengan produk ini agaknya ada. Untuk menyajikan susu atau mie instan tidak usah repot-repot memasak air panas terlebih dahulu, pakai air dingin juga oke, yang penting airnya telah dimasak. Produsen memanjakan konsumen dengan memberikan kemudahan: tidak usah repot-repot. Budaya instan, kira-kira, adalah suatu kebiasaan baru yang tumbuh dalam masyarakat kita yang selalu ingin cepat jadi, ingin cepat berhasil, ingin cepat dapat untung besar, tanpa harus memeras keringat berlama-lama. Ya, seperti susu atau mie instan itu. Dewasa ini memang berkembang suatu kecenderungan orang ingin cepat jadi, ingin cepat memiliki, seperti meniup lampu Aladin. mgin cepat jadi kaya caranya mencuri, merampok, atau main judi. Ingin cepat kawin sang pacar dibawa lari. Ingin cepat jadi sarjana, caranya nyontek skripsi. Ingin cepat jadi doktor, caranya terima saja tawaran untuk memperoleh doktor honoris causa yang sekarang memang menjadi trend. Di Batam, saya terkagum-kagum dan sekaligus terkaget-kaget melihat teman-teman saya, beberapa di antaranya, sudah menyandang gelar profesor doktor. Barangkali kita ingin meniru gaya Amerika Latin. Di negara-negara yang berbahasa Spanyol, guru sekolah dasar pun mereka panggil profesor. Besarnya nilai harapan di luar batas-batas kemampuan potensial tidak hanya terjadi di zaman gila ini saja. Nilai-nilai negatif materialistik itu, atau dalam bahasa yang lebih vulgar, kerakusan terhadap harta dan tahta, sesungguhnya sama tuanya dengan sejarah kehidupan umat manusia. Dahulu kala pada zaman Sebelum Masehi, filsuf Socrates, guru dari Plato, begitu terancam kehidupannya karena menolak keinginan para penguasa diktator tiga puluh tyrannoi. Mereka meminta Socrates sebagai anggota Panitia Pengadilan Negara Athena, dan bekerja sama dengan diktator itu dalam upaya membunuh seorang yang bernama Leon. Bukan karena Leon memang bersalah, melainkan semata-mata hanya untuk merampas harta 15
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
miliknya yang amat banyak. Kerakusan akan kekayaan, ternyata sanggup menaklukkan akal budi serta sanggup menghancurkan norma-norma kehidupan dan standar moralitas yang merupakan benteng pertahanan dan pelindung kebajikan, kebaikan, keadilan, dan peradaban umat manusia. Bahaya kerakusan akan kekayaan yang demikian itu, bukan hanya dapat terjadi dalam suatu struktur negara yang diktatorial, tetapi dapat juga terjadi dalam struktur dan bentuk serta sistem negara yang mana pun juga, termasuk di negara kita. Pemerintahan demokratis Athena pada zaman Plato itu, yang berhasil diktator tiga puluh tyrannoi tadi, ternyata juga tidak berhasil melepaskan diri dari cengkeraman bahaya kerakusan akan kekayaan yang mengerikan itu. Sejarah kemudian kembali terulang. Layaknya hanya sekadar berganti jaket, semen-tara nilai-nilai kerakusan dalam tubuh dan jiwa di dalamnya tidak sungguh-sungguh hilang. Mana mungkin? Gambaran itu terlihat dari sejarah hari-hari terakhir dalam riwayat Socrates ketika dia ditangkap dan dipenjarakan sambil menanti hukuman mati. Sebenarnya Socrates dapat melarikan diri dengan jalan menyuap pejabat pemerintah yang berwenang. Tetapi hal itu tidak dilakukannya, kendati pun uang suap telah disediakan oleh teman-temannya. Socrates tidak mau melibatkan diri ke dalam tradisi suap-menyuap itu, yang bukan saja melumpuhkan para penguasa dan menghancurkan negara, tetapi juga merusak akhlak si penyuap itu sendiri. Sadar atau tidak, si penyuap telah menjadibudak dari segala keinginan dan hawa nafsu yang jahat. Walaupun untuk mempertahankan prinsip itu Socrates harus menerima ajal di tiang gantungan. Budaya instan adalah pola sikap rakus, tetapi agaknya tidak hanya itu. Ancaman terhadap pemerintahan Gus Dur yang dalam tempo enam bulan harus mampu mengatasi krisis, seperti yang pernah dilontarkan oleh Amien Rais, dan kemudian ancaman yang sama kepada pemerintahan Megawatt, adalah sisi-sisi budaya instan. 16
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Mana mungkin krisis yang multidimensional bisa diselesaikan dalam tempo enam bulan, setahun pun belum tentu. Dalam skala lokal kita dapat melihat betapa tidak sabarnya masyarakat ketika konsep ekonomi kerakyatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah daerah belum juga membuat rakyat menjadi kaya. Masyarakat ingin instan. Hari ini konsep ekonomi kerakyatan itu dilaksa-nakan, maka hari ini juga rakyat sudah harus menjadi kaya, atau paling tidak sudah harus mulai menjadi kaya Pandangan yang sama juga kita tangkap dari respon masyarakat terhadap Visi 2020 Riau. Visi 2020 adalah mimpi tentang wujud daerah ini di masa depan, mustahil diwu-judkan besok pagi seperti meniup lampu Aladin. Tetapi seperti kata Abraham Lincoln, "They want to get done", hari ini juga mereka ingin memiliki semuanya. Kata Pak Rokhmin Dahuri, "Masyarakat agaknya sudah terlalu sering dikalahkan sehingga mereka tidak lagi sabar menunggu hari esok." (28 Oktober—3 November 2001)
17
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
5 Kambing Hitam Belum pernah terjadi dalam sejarah Kabupaten Kampar Propinsi Riau, pemilihan kepala daerah terjadi demikian sengitnya seperti pemilihan yang berakhir kemarin pagi di kota "Beriman", Bangkinang. Hari-hari menjelang pemilihan adalah hari-hari "pengusungan". Semua calon mengusung apa yang bisa diusung, mengadu apa yang bisa diadu, mengepit kepala harimau. Semua bertempur dengan senjata pamungkas, laksana mortal combat game. Sepertinya, kalau tak menang dunia akan kiamat. Ada yang menggunakan bom curah seperti di Afghanistan, ada pula yang menggunakan jurus pendekar mabuk yang sulit diterka lawan, seperti Wiro Sableng. Spekulasi di pasar taruhan pun konon bergerak cepat. Tidak tersedia sama sekali ruang untuk alternatif. Pilihan hanya ada satu, yaitu menang. Padahal kandidatnya banyak, paling tidak ada empat pasang, sementara pemenang hanya ada satu dan belum pernah terjadi hasil pertandingan draw. Andaikan pemilihan bupati meniru gaya tinju pro di Amerika sana, tentu ada bupati versi WBC, versi WBA, versi IBF, atau versi WBO. Dan ceritanya akan lain. Tetapi sayangnya jabatan bupati di setiap kabupaten hanya ada satu. Oleh karena itu, persaingannya seakan-akan menyeramkan: menang berarti hidup, kalah berarti mati. Tidak ada kemungkinan kedua atau ketiga. Jalan pikiran seperti ini telah membuat wacana politik lokal kita, khususnya di Kabupaten Kampar, tegang dan penuh dengan intimidasi politik yang jauh dari suasana menyejukkan. Kabupaten Kampar yang biasanya memberikan kesan sejuk, tenteram, dan agamis karena lingkungan masyarakatnya yang Islami, gara-gara dinamika politik lokal menampakkan wajah yang keras, agak aneh, dan penuh emosi. Sepertinya, kau bukan dirimu lagi, persis nyanyian Ruth Sahanaya itu. 18
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Dalam sebuah realitas kehidupan masyarakat yang bergerak cepat dewasa ini, memang tidak banyak orang: yang berani berpikir alternatif. Win-win solution yang seringkali ditawarkan sebagai resep mujarab, acapkali pula hanya tinggal sebagai penghias bibir. Orang malahan cenderung berpikir tunggal, yaitu bagaimana caranya agar mampu memenangkan semua pertarungan secara habis-habisan, apa pun risikonya. Ada kecenderungan orang ingin memperoleh semuanya dan tidak menyisakan sedikit pun bagi yang lain. Untuk tujuan itu kalau perlu nyawa pun rela: dikorbankan. Sedikit sekali yang berani mengainbil inisiatif dan rajin berpikir alternatif, objektif, dan rasional. Kalau kita menyadari bahwa hakikat kegiatan pemilihan sesungguhnya adalah suatu aktivitas manusia-manusia yang memiliki akal budi, maka hal-hal semacam itu tidak perlu terjadi. Penggunaan instrumen-instrumen konflik secara membabi buta dalam mencapai tujuan hanya akan menimbulkan kekacauan serta konflik baru yang semakin tak terselesaikan, bahkan mungkin dendam. Andaipun berhasil, maka kondisi yang ada akan terjadi seperti ungkapan Melayu, "Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu". Hanya ada satu cara bagi kita, betapa pun sulitnya, yaitu jalur kompromi. Bagaimanapun sebuah kompromi harus dilakukan, yaitu sebuah kompromi yang berkeadilan dan bermartabat, sebuah kompromi yang berlatar kearifan. Masing-masing kita harus arif. Yang menang harus arif, yang kalah juga harus arif. "Menang tanpa ngasorake," kata orang Yogya. Menang tanpa mempermalukan yang kalah, adalah sebuah ungkapan yang mengandung makna filosofis yang dalam. Masih dalam peribahasa Jawa, ungkapan itu biasanya didahului dengan ungkapan, "Ngluruk tanpa bala". Kondisi di mana pihak yang menang tidak perlu mempermalukan pihak yang kalah dan pihak yang kalah tidak merasa dipermalukan, dilecehkan, atau dihina, hanya akan terwujud apabila pihak-pihak tersebut bertempur tanpa menggunakan pasukan. Ngluruk tanpa bala (bertempur tanpa pasukan), akan menghasilkan 19
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sebuah kemenangan yang sarat dengan makna. Tetapi, sekali lagi ini falsafah Jawa, yang menurut orang Jawa sendiri, mudah diucapkan namun sulit dipraktikkan. Dalam aktivitas pemilihan, sesungguhnya secara naluriah manusia akan memilih sesuatu yang baik, lebih baik, dan yang terbaik. Tetapi kemampuan menentukan yang baik atau terbaik itu berbeda dari orang ke orang, tergantung pada dorongan hawa nafsu, perasaan dan kecenderungan yang ada pada dirinya. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kita sering menemukan kasus di mana orang salah melakukan pilihan dan bereaksi macam-macam atas kesalahan dan kekalahannya. Dan peluang untuk bereaksi macam-macam tidak hanya bagi pihak yang kalah, pihak yang menang pun sama peluangnya. Jika masing-masing pihak ada kearifan, maka pertelagahan tidak akan terwujud. Hari ini kita tidak berada di pihak yang menang, barangkali akibat kekurangarifan kita sendiri dalam mendayagunakan potensi kekuatan yang dimiliki, atau karena kurang solidnya perjuangan. Tetapi itu tidak bermakna bahwa dunia akan kiamat dan bukan pula berarti bahwa kita hams melakukan tindakan tidak adil dan sepihak. Karena apabila itu kita lakukan, maka predikat menghalalkan segala macam cara pun layak disandang, dan itu bukan cara yang bermartabat. Kekalahan, kata orang barat, bukankah sebuah kemenangan yang tertunda? Pemilihan kepala daerah mestinya adalah sebuah peristiwa biasa yang tidak perlu direspon dan dielaborasi terlalu berlebihan. Jabatan adalah sebuah amanah yang apabila mampu diemban oleh sang pejabat akan menjadi hikmah, tetapi apabila disalahgunakan akan menjadi musibah. Peluang untuk keduanya terbuka sama lebarnya. Seorang kawan mengingatkan kepada saya, "Jabatan itu sama dengan uang Bung, sebab jabatan itu berarti kekuasaan. Kekuasaan kalau sedikit menjadi kawan, tapi kalau banyak menjadi 20
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
setan. Sebab kekuasaan, menurut teori dari sononya memang cenderung disalahgunakan." Karena itu, siapa pun pemenang pemilihan Bupati Kampar secara hakikat tak jadi masalah. Yang penting, bermanfaat atau tidak bagi masyarakat Kampar khusus-nya dan Riau pada umumnya. Mari kita buang keranda kebencian yang selama beberapa bulan ini diusung ke mana-mana, sebab itu sebuah kesia-siaan. Kita memerlukan manusia-manusia yang berhati lapang, manusia yang toleran, penahan amarah, pemaaf, dan kaya akan kearifan. Ini akan jauh lebih berharga, bahkan tak ternilai harganya. Kata orang bijak, "Orang yang tidak pernah meminta maaf, apalagi memberi maaf, adalah orang yang mengaku tidak pernah berbuat salah. Yang mengaku tidak pernah berbuat salah, adalah orang yang paling banyak melakukan kesalahan. Saling memaafkan lebih baik daripada saling mencari kambing hitam." (4—10 November 2001)
21
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
6 Terra Incognita Dalam idiom politik orang biasa mengatakan: "Today is yours, tomorrow nobody knows" (Hari ini milik Anda, besok tak ada seorang pun yang tahu). "Rencana di tangan manusia, keputusan di tangan Tuhan". Artinya sebaik dan serapi apa pun rencana yang disusun, kenyataan dalam pelaksanaannya kadang berbeda. Kadang sesuai dengan harapan, kadang melebihi harapan, kadang pula jauh dari harapan. Kedua ungkapan tersebut walaupun bernada pesimistis, namun agaknya tidak terbantahkan. Manakala matahari tahun 2000 tenggelam perlahan-lahan di kaki langit setahun yang lalu, tak ada yang bisa meramalkan secara pasti bahwa pada tahun 2001 akan terjadi banyak tragedi kemanusiaan yang maha dahsyat. Siapa yang bisa menduga? Orang hanya bisa membuat asumsi, hanya bisa membuat prediksi terhadap kejadian berulang seperti berulangnya permintaan terhadap kebutuhan pokok beras, gula, minyak, dan sebagainya. Kebutuhan tahun depan tentu bisa dihitung dari pertambahan jumlah penduduk, terjaminnya suplai dari produsen dan kemampuan beli masyarakat. Prediksi juga bisa disusun berdasarkan trend yang terlihat sepanjang tahun sebelumnya secara statistik. Ada satu seri data yang memberi banyak informasi dan interpretasi. Tetapi terhadap sesuatu yang tidak ada datanya secara kuantitatif, orang hanya bisa menduga. Ada memang individu tertentu yang memiliki kelebihan intuisi (oleh masyarakat awam disebut "orang pintar"), dan orang seperti ini berani membuat ramalan. Tetapi tetap saja apa yang akan terjadi esok, ketika matahari tahun 2002 menyingsing di ufuk timur, tidak ada yang bisa membuat skenario secara pasti. 22
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Ketika kapal Titanic mulai dibangun dan selesai di penghujung tahun 1911, para pembuatnya mengatakan kapal mewah itu tak akan mungkin tenggelam. Tetapi apa yang terjadi? Dalam pelayaran perdananya tanggal 14 April 1912, kapal itu nyatanya tenggelam setelah menabrak gunung es, dan menewaskan 1503 orang dari 2206 orang penumpangnya yang sebagian besar adalah kalangan selebritis. Ketika Nelson Mandela dipenjarakan selama 27 tahun di Pulau Robben Afrika Selatan sejak tahun 1974 oleh rezim apartheid di negeri itu, tidak ada yang meramaikan dia akan menjadi Prcsidcn Afrika Selatan setelah keluar dari penjara. Minoru Yamasaki sama sekali tak pernah membayangkan kalau Gedung Kembar pencakar langit World Trade Center (WTC) 110 tingkat yang dirancangnya, dan telah menjadi land mark megapolitan New York selama 27 tahun, ambruk rata dengan bumi setelah ditabrak dua buah pesawat terbang bunuh diri. Demikian juga dengan gedung Markas Besar Pertahanan AS Pentagon di Washington DC, siapa yang berani menyentuh? Tidak ada yang menduga kalau gedung yang dilengkapi dengan detektor canggih itu akan bisa diporak-porandakan oleh teroris musuh Amerika. Hingga penghujung bulan Desember tahun 2000, Gus Dur pun sangat percaya diri bahwa dia akan tetap bertahan sebagai Presiden RI sampai tahun 2004, tapi di pertengahan 2001 toh tumbang juga. Penduduk sipil di Afghanistan sama sekali tidak menduga kalau tragedi yang menimpa Gedung WTC di New York akan menyebabkan negeri mereka juga hancur lebur kena bom. Aliansi Utara juga tidak menduga bakal secepat itu menguasai Afghanistan dengan menumbangkan Taliban. Tidak ada yang bisa menduga persis apa yang akan terjadi esok hari. Itu rahasia Sang Pencipta. Banyak pertanyaan renungan yang menarik di penghujung tahun 2001 ini. Salah satu agaknya adalah, masihkah tahun 2002 boleh kita sebut sebagai tahun transisi seperti tahun 2001 dan tahun-tahun sebelumnya di era reformasi ini? Kalau memang demikian, tidakkah ini 23
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
hanya bentuk jastifikasi dari kefrustrasian kita dalam merespon perubahan yang terjadi? Sebab dengan demikian, semua kealpaan menjadi sah-sah saja karena kita berada dalam era transisi yang memerlukan penyesuaian-penyesuaian dan memerlukan koridor rambu-rambu yang sangat luas. Begitukah? Kita agaknya masih belum sungguh-sungguh bebas dari lilitan krisis berdimensi banyak dewasa ini. Kita agaknya memerlukan masa transisi yang cukup panjang karena ini menyangkut perubahan sikap mental. Sebut sajalah krisis di bidang politik, ekonomi, bahkan juga nilai-nilai etika moral yang membuat kita terpuruk dan dianggap sebagai bangsa yang tidak lagi berbudaya dan tidak lagi bermartabat. Di bidang politik kita berada dalam terra incognita (kawasan liar) politis dengan ham-pir tanpa petunjuk yang jelas, tanpa pedoman, tanpa acuan. Pada bidang ekonomi juga bisa dikatakan berada di terra incognita. Mazhab mana yang kita ikuti tak lagi jelas, kapitalis atau sosialis, sementara made in sendiribelum lagi jelas rimbanya. Konsep Ekonomi Pancasilanya Prof. Mubyarto misalnya, entah di mana kini. "Jangankan konsep Ekonomi Pancasila yang dari dulu memang masih diperdebatkan, bahkan konsep ilmu ekonomi secara keseluruhan pun telah mati!" ujar seorang pengamat dengan sinis. Tentu ini hanya salah satu bentuk kegusaran dan kega-lauan terhadap kejadian-kejadian yang tidak lagi masuk akal. Ketika kita berbicara tentang supremasi hukum misalnya, yang terjadi justru hukum rimba, siapa yang kuat dia yang menang. Ambil contoh perspektif daerah Riau. Seseorang atau sekelompok orang seakan boleh saja membuka lahan, menebang hutan dan membuat kebun beratus-ratus bahkan beribu-ribu hektar sesuka hati tanpa izin. Semuanya seakan menjadi sah-sah saja asalkan ke mana-mana mengusung payung ekonomi kerakyatan. Dengan dalih ekonomi kerakyatan juga, ada kelompok-kelompok yang mengumpulkan uang dari rakyat yang katanya untuk dibuatkan atau 24
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
dibelikan kebun sawit untuk rakyat. Pada-hal ini hanya jerat muslihat menipu rakyat. Sesungguhnya terra incognita ini tidak boleh dibiarkan berkelanjutan, sebab ia laksana kangker yang stadium demi stadium semakin meruyak. Bahkan kalau mau sedikit kejam, sesungguhnya di wilayah terra incognita, di mana berlaku ketiadaan aturan manusia dan Ilahi, maka aturan yang berlaku adalah nilai-nilai dunia kebinatangan. Kita tentu tidak mau disebut sebagai negeri kebun binatang tanpa sekat. Tidak ada aturan, tidak ada nilai, tidak ada hierarki, dan tidak ada pemerintahan. Diperlukan kesadaran tinggi untuk memahami bahwa perubahan dan kemajuan tidak hanya membawa kenikmatan, kemudahan, dan keindahan hidup, tetapi juga mengangkut segerobak kompleksitas permasalahan bertali-temali bahkan juga kejahatan yang berdimensi banyak. Oleh karena itu, tempo yang terpenting dari kesadaran historis dalam merespon perganrian tahun, kata orang bijak, bukanlah meratapi atau tenggelam dalam kejayaan rnasa lalu, tetapi menatap masa depan. Sebab, semua makhluk yang hidup akan menjalani sisa hidupnya di masa depan. Sayangnya, masa depan tak bisa diramalkan, bahkan adakalanya merupakan terra incognita. Namun upaya untuk mempersiapkan hari esok yang lebih baik merupakan kewajiban makhluk yang bernama manusia, karena berbeda dengan makhluk lainnya, manusia diberi akal budi. Semoga di tahun 2002 kita lebih baik. (30 Desember—5 Januari 2002)
25
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
7 Ayam Bersepatu Entah mimpi apa induk ayam menetaskan telur bernama ayam. Sebab ayam, beratus-ratus tahun kemudian menjadi komoditas yang tidak hanya enak menjadi santapan perut, tetapi juga lezat bagi santapan penikmat birahi. Bagi komoditas yang disebut pertama, bernamalah ia ayam panggang, ayam gulai, ayam rendang, ayam goreng, dan sebagainya. Ayam goreng pun ada? pula spesiesnya, ada ayam goreng pop, ada ayam goreng kalasan, ayam goreng Tuan Kentucky, ayam go-reng Puan Suharti, dan entah apalagi. Itu untuk konsumsi perut. Untuk konsumsi sekitar wilayah perut (maaf, sekali lagi maaf!), ada istilah ayam kampung, ada ayam kampus, dan baru saya dengar, ada pula istilah ayam bersepatu. Nah kalau ayam kampung dan ayam kampus segmen pasarnya tidak terlalu spesifik, ayam bersepatu memiliki ceruk pasar yang khas, yakni turis bersandal. Kloplah sudah, ayam bersepatu pasangannya turis bersandal. Ayam bersepatu? Swear, saya juga baru dengar. Adalah Ibu Dwi Ria Latifa, S.H., Anggota DPR-RI dari Fraksi PDI Perjuangan yang menyebutkan istilah ayam bersepatu ini untuk para pekerja seks atau WTS yang berkeliaran di kampung halamannya, Tanjung Balai Karimun. Ibu Ria kelihatan masygul menyaksikan kota kelahirannya itu, yang dulu disebut sebagai Kota Granit, kini tumbuh padat menjadi kota esek-esek karena banyaknya pekerja seks. "Saya sendiri sempat ditawari oleh sopir taksi untuk melayani tamu dari Singapura. Gila, nggak! Apa tampang saya ini seperti "ayam bersepatu". Padahal sepatu saya tidak tebal Iho," cerita Ibu Ria gundah dalam suatu pertemuan Komisi II DPR-RI dengan DPRD Riau di Gedung Lancang Kuning belum lama ini. 26
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Istilah ayam bersepatu konon diberikan karena umumnya para WTS atau WSP (Wanita Siap Pakai) yang berkeliaran di kota Tanjung Balai Karimun umumnya memakai sepatu tebal-tebal. Mereka berkeliaran di hotel-hotel, di diskotik-diskotik, di salon-salon, dan tempat hiburan lainnya. Dan mereka mudah dikenali dari penampilan, cara perpakaian, dan ya itu tadi, sepatunya! Tidak jelas maksudnya apa, karena modekah, untuk ciri komunitas merekakah, atau untuk mengatrol tinggi tubuhnya? Dari pemantauan sepintas ketika suatu kali saya menginap di hotel terbaik di Kota Granit itu, para pekerja seks ini umumnya memang terlihat menggunakan sepatu tebal, dan umumnya kelihatan masih muda belia. Dari beberapa informasi yang saya peroleh, mereka memang bukan produk lokal atau orang asli setempat. Ayam bersepatu ini biasanya menjadi langganan turis-turis bersandal dari Singapura. Turis bersandal adalah julukan yang diberikan kepada umumnya turis apek-apek yang berasal dari Singapura, untuk sekadar membedakan mereka dengan turis-turis bule atau turis Jepang yang biasanya lebih suka menikmati golf murah di Batam dan Bintan. Turis bersandal ini bukan dari kalangan the have, tapi bukan pula berarti mereka miskin. Mereka umumnya berprofesi sebagai sopir taksi, sopir bus kota, cleaning service, penjaga malam, dan sejenisnya. Penghasilan mereka pas-pasan untuk ukuran hidup di Singapura, tetapi masih terhitung lumayan untuk ukuran kita, apa-lagi kalau pendapatan mereka itu dikurskan dalam rupiah. Coba bayangkan, dengan uang 150 dolar Singapura saja, atau sekitar Rp750.000,- mereka sudah bisa berangkat ke luar negeri, menginap satu malam di hotel terbaik di Tanjung Balai Karimun, makan sea food enak, dan tentu, seperti yang menjadi impian mereka: menikmati ayam bersepatu semalam suntuk. Sekalipun mereka sopir taksi, apalah artinya uang 150 dolar untuk ukuran gaji mereka. Oleh karena itu, seorang sopir taksi atau petugas cleaning service bisa makan angin dua kali sebulan atau bahkan setiap minggu ke Tanjung Balai Karimun, ke 27
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Batam, atau ke Tanjung Pinang. Konon sekarang Tanjung Batu, masih dalam wilayah Kabupaten Karimun, juga menjadi tempat tujuan wisata turis-turis bersandal ini. Dari aspek ekonomi, kehadiran turis bersandal ini adalah ladang yang subur bagi hotel-hotel, restoran-restoran, dan tempattempat hiburan. Turis-turis bersandal ini adalah pembeli-pembeli yang haus akan suasana bebas aturan seperti yang mereka temui di pulaupulau kita. Mereka jenuh dengan kehidupan yang serba mekanistik dan digitalistik. Dan pelariannya adalah ke pulau-pulau di seberang yang hanya berjarak satu jam dengan kapal ferry. Di pulau-pulau yang laksana terra incognita itu, mereka bebas berimajinasi menuruti naluri-naluri yang terkekang akibat tuntutan kehidupan modern di negerinya. Mengapa peluang ini tidak dimanfaatkan. Maka terjadilah hukum dagang di sini. Ada pembeli ada penjual, tak jelas lagi mana yang muncul lebih dulu, ayam atau telur. Menyalahkan pemerintah daerah sepenuhnya dalam masalah ayam bersepatu ini tentu tidak adil. Dalam suatu bincang-bincang dengan Bupati Karimun M. Sani baru-baru ini, terkesan adanya kegusaran Sang Bupati terhadap tudingan dari luar yang menyudutkan Pemda sebagai pihak yang tidak berdaya menangani masalah ayam bersepatu ini. "Orang jangan berkomentar saja dari luar, tapi datanglah ke Karimun, lihat keadaan yang sesungguhnya dan bantu kami memikirkannya," ujar Bupati gusar. Suka atau tidak suka, banyaknya turis bersandal yang datang ke Karimun sedikit banyak telah menggairahkan perekonomian di daerah itu. Tingkat hunian hotel bagus dan restoran-restoran hidup. Membasmi sekali pukul ayam-ayam bersepatu, tentu akan menyurutkan pula kunjungan turis-turis bersandal, sementara objek lain untuk turis berdasi atau turis berkulit kuning dari Timur Jauh seperti Jepang, Cina, dan Korea belum lagi tersedia. Lapangan golf, tourist resort, fasilitas marine sport, dan hotel-hotel berbintang misalnya, tampaknya masih menunggu investor. 28
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Tapi bukan berarti Pemda tidak berbuat sesuatu. Saya mendengar sudah ada rencana untuk melokalisasikan ayam-ayam bersepatu ini. Di samping itu, Karimun juga telah memiliki Peraruran Daerah tentang Kependudukan yang populer disebut Perdaduk seperti yang dimiliki oleh kota Batam. Perdaduk akan dapat dipakai sebagai alat untuk mengendalikan penduduk, khususnya pendatang, sehingga entah namanya ayam kampung atau ayam bersepatu tidak akan leluasa lagi memasuki Karimun. Apabila kedua langkah ini efektif, maka ayam bersepatu akan mengalami zero growth, pertumbuhannya akan nol. Yang ada pun secara teoretis, semakin lama akan semakin berkurang. Dan Bu Ria barangkali tidak lagi perlu rnasygul. Tetapi ini tentu tidak sederhana. Ayam bersepatu boleh dibatasi, tetapi turis bersandal? Bagaimana melarang mereka agar tidak berakhir pekan di pulau-pulau? Agaknya karena ada hukum pembeli dan penjual inilah maka sejak dahulu kala, profesi pelacur itu tidak pernah bisa musnah. Bahkan ada yang mengatakan profesi pelacur sama tuanya dengan sejarah kehidupan manusia. Nah! (27 Januari—2 Februari 2002)
29
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
8 Main Kayu Tak ada cerita yang lebih seru minggu-minggu terakhir ini, kecuali cerita tentang Pansus Kepri. Pansus Kepri adalah Panitia Khusus DPR-RI yang membahas usul pembentukan Propinsi Kepulauan Riau. Cerita ten-tang persidangan Pansus Kepri di media lokal, telah me-ngalahkan cerita tentang tewasnya Panglima Gerakan Aceh Merdeka, Tgk Abdullah Syafii. Luar biasa elaborasinya. Rapat Pansus Kepri tanggal 24 Januari yang baru lain, memang seru ibarat pertandingan sepak bela, mereka sudah "main sore" alias "main kayu", dan diiringi pula sorak-sorai penonton yang membakar emosi. Maka saling tebas pun tak terhindarkan. Tidak jelas lagi, yang mana kaki yang mana bola, bahkan yang mana kepala. Wasit pun ikutikutan "hanyut". Menyaksikan arena yang hiruk pikuk itu, budayawan kita, Al Azhar, yang memberikan "siaran pandangan mata" kepada saya. la menulis gundah gulana dalam SMS-nya: "Bang, berikan aku lampu siang Socrates itu, pinjamkan aku, agar kucari lagi manusia di tengah kerumunan itu," ratapnya. Lama saya termenung mencari makna ungkapan yang puitis itu. Mata saya memandang ke layar kaca, menatap Hanjoyo Putro, Panda Nababan, dan kawan-kawan dari Pansus Kepri, tetapi pikiran saya menerawang dalam pengembaraan olah verbal, mencari deskripsi yang paling tepat untuk menggambarkan suasana. Banyakbahan renungan yang layak dijelajahi apabila kita menonton rapat Pansus Kepri tersebut. Pengungkap-an rasa senang dan tidak senang demikian vulgarnya, se-hingga agak berdenging telinga mendengarnya, apalagi bagi telinga yang sudah terbiasa dengan pantun-memantun ini. Adakah itu manifestasi atau hanya sebuah indikasi dari demokrasi. Bukankah kata yang bernama 30
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
"hak" itu tidak hanya menjadi milik kita sendiri, dan hal yang sama juga berlaku untuk kata "kewajiban". Pasangan kata hak dan kewajiban adalah pasangan sehidup semati. Bila hak saja yang mengedepan, moyang kita bilang itu bernama otoriter, dan kalau kewajiban saja yang ada itu na-manya budak belian. Dalam demokrasi, bukankah cantik jika kita tidak emosi jiwa manakala orang lain mengatakan "tidak" terhadap gagasan kita? Sederetan panjang pertanyaan bisa kita susun menyaksikan jalannya rapat dan hal-hal yang inheren. Betapa kejujuran sudah semakin langka dap akal budi semakin menjauh. Demokrasi kita demokrasi kepentingan, politik kita politiking. Permainan kuda-kudaan semakin menjadi-jadi, namun tidak jelas siapa menunggangi siapa. Siapa yang menjadi kuda Troya dan siapa yang menjadi Menelausnya. Merespon sewajarnya sebuah kehendak yang berlebihan adalah sebuah sikap yang arif. Menarik, jika kita mengelaborasi pemikiran penyair Rendra berikut, "Kewajaran bukanlah sekadar apa yang boleh dilakukan, tetapi apa yang harus dilakukan." Misalnya, kewajaran orang hidup untuk menghargai kerukunan. Hal ini menurut Rendra, tidak hanya berarti bahwa orang hidup boleh menghargai kerukunan, tetapi orang hidup harus menghargai kerukunan. Dan jika ia tidak menghargai kerukunan, ia dianggap tidak wajar. Analog dengan tesis itu, pemain sepak bola boleh "main kayu", tapi apakah ia harus "main kayu". Kalau "main kayu" menjadi sebuah keharusan, maka itu menjadi tidak wajar. Tidak ada yang bisa memungkiri bahwa kemajuan berpikir manusia dan perubahan-perubahan cepat yang terjadi di sekitar kita telah membuat hidup semakin kompleks. Jalan hidup tidak lagi linear, tetapi berliku-liku. Setiap individu memberikan respon yang berbedabeda terhadap perubahan lingkungannya. Ada yang apatis, ada yang wajar, ada yang reaktif, ada pula yang amat sangat reaktif; pantang kesenggol dia sudah meninju. 31
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Merespon perilaku Pansus Kepri, kita tidak perlu berkecil hati, apalagi merajuk dan membawa diri. Tak ada gunanya. Petuah orang tua-tua agaknya layak kita renungkan, "Sebanyak-banyaknya rumput jelatang, lebih banyak lagi rumput hijau yang lembut. Kebiruan langit tetap lebih luas daripada awan gelap." Kalau orang-orang baik tidak lebih banyak daripada orang yang tidak baik, maka kita tak akan pernah merdeka. Analog dengan itu kita tetap percaya, insan-insan yang memiliki kecerdasan emosional tetap lebih banyak jumlahnya di DPR-RI kita. Hal yang perlu kita lakukan adalah memperkuat rasa persatuan, memperkuat rasa keterikatan dalam kebersamaan (societal cohesiveness), sehingga kekuatan kita menjadi solid. Laksana sapu lidi kan? Kesatuan pemikiran dan pandangan akan dapat dicapai, jika kita membina secara mandiri apa yang selalu disebut para budayawan kita sebagai "Semangat Ke-Riau-an" atau "Riauness" dalam diri kita masing-masing. Jika semangat Ke-Riau-an itu dapat kita tumbuhkan, maka semua kita akan serentak maju demi Riau, tak peduli latar belakang ras atau etnis kita masing-masing. Bukankah semua etnis di Riau ini sudah berikrar, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung? Mari kita bangkit sebagai orang Riau, berjuang sebagai orang Riau, dan menang sebagai orang Riau. Secara gamblang kita dapat belajar bagaimana Aceh dan Papua berhasil mendapatkan secara maksimal apa yang menjadi tuntutan mereka. Semua itu mereka da-patkan, karena mereka berhasil menyatukan misi dan visi dalam sebuah perjuangan yang solid. Kita akan mendapatkan hal yang sama, jika kita juga menyatukan visi, misi, serta memiliki semangat yang sama, baik secara politik, ekonomi, sosial, dan budaya, di atas panggung Indonesia. Kehendak bersama, inilah kunci dan ini juga yang hams kita lakukan untuk Riau. Jakarta tidak usah khawatir, asal elemen konflik di Riau ini tidak dikomporkompori, daerah ini akan aman tenteram. Dan orang Jakarta pun bisa 32
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
leluasa datang, berbisnis, dan tidur nyenyak di Riau. Syaratnya tentu, jangan seperti "Belanda minta tanah". Kita harus sama-sama menolak hasil kompetisi yang tidak adil sebagai bagian, dan menyatakan tidak sepakat untuk menjadikan kekuasaan dan kesewenang-wenang-an sebagai langit tempat berharap. "Raja adil raja disem-bah, Raja zalim raja disanggah". Ungkapan filsuf Thomas Carlyle agaknya layak dielaborasi; tugas besar kita bukanlah melihat yang samar-samar di kejauhan, tetapi mengerjakan yang sudah berada di depan mata. Mari kita bergandeng tangan memperjuangkan Riau, karena sebuah keberhasilan hanya akan tercapai melalui dukungan semua unsur. Belasan abad yang lampau, pada masa keemasan Islam Spanyol, di pintu gerbang masuk Universitas Andalusia tertulis kata-kata mutiara sebagai berikut, "Sebuah negara yang baik ditunjang empat hal: keadilan para pemimpin, kebijaksanaan kaum cendekiawan, keperkasaan orang-orang yang berani, dan doa orang-orang yang jujur". Jika kita semua di Riau menggabungkan empat hal di atas maka sesungguhnya kitalah pemilik kemenangan itu. (3—9 Februari 2002)
33
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 2 Menangkap Suara Rakyat
34
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
1 Tiga "Ta" Tiga "Ta" tidak ada hubungan saudara sama sekali dengan 3-T seperti yang sering dibicarakan di berbagai seminar dan diskusi globalisasi. Tiga T adalah merupakan singkatan dari telekomunikasi, transportasi, dan turisme, yakhi tiga aspek yang sangat mempengaruhi perekonomian dunia dewasa ini. Sementara tiga "ta" adalah singkatan dari tahta, harta, dan wanita. Ketiga kosakata ini walaupun bisa juga mempengaruhi ekonomi dunia, tetapi konteksnya tentu berbeda. Jangan dikira tahta, harta, dan wanita tidak mempengaruhi dunia Disebabkan oleh tiga "ta" ini orang bisa berperang. Ka-rena tiga ta ini juga orang bisa bunuh-bunuhan, bahkan sesama saudara sekalipun. Kita sudah mendengar riwayat yang panjang tentang ini. Tahta, harta, dan wanita, berbeda artinya, tetapi seringkali dirangkaikan bila orang berbicara tentang libido kekuasaan. Seakan sudah menjadi aksioma, tahta, harta, dan wanita selalu dikaitkan dengan intrik-intrik di seputar perebutan kekuasaan. Mantan Presiden Gus Dur tidak tumbang digoyang isu "wanita" Aryanti, tetapi jatuh oleh isu harta dan kenekatannya mempertahankan tahta. Akbar Tanjung belum pernah digoyang isu wanita, tetapi dia amat kalang kabut digoyang isu harta. Barangkali hanya Ibu Mega yang kecil peluangnya untuk digoyang isu wanita, karena beliau sendiri adalah wanita di atas tahta. Tiga "ta" ini bisa menjadi sumber motivasi bagi seseorang untuk mencapai puncak karier, tetapi ketiga "ta" itu baik dalam kapasitasnya sebagai sumber motivasi ataupun sebagai sumber destruksi sama dahsyatnya. Do-rongan yang luar biasa kuatnya untuk meraih tahta, dengan kata lain menghalalkan segala macam cara untuk mencapainya, akan menjadi malapetaka. Keserakahan terhadap 35
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
harta, juga sama buruknya. Nafsu birahi liar yang tak terkendali, demikian pula, bisa menghancurkan semuanya. Dorongan yang hebat untuk mendapatkan atau mempertahankan tahta, dorongan untuk menumpuk harta tujuh keturunan, dorongan untuk mendapatkan wanita sesuai selera, adalah dorongan-rorongan primitif yang muncul ke permukaan secara tak terkendali. Orang yang gagal melawan kerakusan dan kebuasannya sendiri, adalah orang yang gagal menekan dorongan primitif yang muncul dari dalam dirinya. Kita sering mendengar ungkapan jastifikasi dari orang-orang yang sukses membungkus ambisinya: ambisi boleh, ambisius tidak boleh. Perjuangan untuk mengekang dorongan primitif itulah yang oleh Nabi Muhammad Saw. disebut sebagai Jihadul Akbar (perjuangan terbesar). Karena seseorang harus berjuang melawan dirinya sendiri, menundukkan hawa nafsunya sendiri. Namun kalau dia berhasil melepaskan diri dari desakan dorongan primitif itu, pastilah dia akan memenangkan pertarungan terbesar dalam hidupnya. Berbicara mengenai dorongan-dorongan primitif dan dorongan-dorongan positif yang muncul dari dalam diri manusia, kita tidak bisa berpaling dari teori warisan Sigmund Freud, seorang ahli ilmu jiwa dan penemu teori psikoanalisa. Freud membagi jiwa manusia ke dalam tiga sistem, yaitu id, superego, dan ego. Id, menurut Freud, ada dalam alam bawah sadar kita. la merupakan tempat bagi dorongan-dorongan primitif, yaitu dorongan yang belum dibentuk atau dipengaruhi oleh kebudayaan. Dorongan ini ada dua, yaitu dorongan untuk hidup dan mempertahankan kehidupan (life instinct) dan dorongan untuk mati (death instinct). Bentuk dorongan hidup adalah dorongan seksual atau libido. Bentuk dorongan mati adalah agresi, yaitu dorongan yang menyebabkan orang ingin menyerang orang lain, berkelahi, berperang, atau marah. Esensi dari id adalah prinsip kesenangan, yang bertujuan memuaskan semua dorongan primitif, dorongan hawa nafsu seksual, membunuh, dan sebagainya. 36
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Sementara superego, menurut Freud, adalah sistem yang dibentuk kebudayaan. Superego berisi dorongan untuk berbuat kebajikan, dorongan untuk mengikuti norma-norma masyarakat. Superego selalu berusaha menekan dorongan-dorongan id. Akibatnya akan selalu terjadi saling tekan antara dorongan id dan dorongan superego. Kedua sistem yang saling tekan itu dijaga keseimbangannya oleh ego, sehingga tidak ada satu pun yang terlalu dominan. Tidak boleh terjadi dorongan dari id saja yang dimunculkan ke kesadaran, sebaliknya juga tidak semua dorongan superego saja yang dipenuhi. Ego, menurut Freud, menjalankan prinsip kenyataan (reality principle), yaitu menyesuaikan dorongan-dorongan id dan superego dengan kenyataan di dunia luar. Ego yang lemah tidak mampu menjaga keseimbangan antara superego dan id. Kalau ego terlalu dikuasai oleh dorongan id saja, maka orang itu akan menjadi psikopat (tidak memperhatikan norma-norma dalam segala tindakannya). Kalau ada orang-orang yang semau gue di sekitar Anda, tidak mau tahu dengan etika-etika yang berlaku umum dalam masyarakat, maka hanya ada dua kemungkinan, barangkali orang itu psikopat atau sedang sakau setelah menenggak putau sehingga menjadi kacau-balau. Kalau seseorang dikuasai oleh superegonya, maka ia akan menjadi psikoneurose. Orang ini berada dalam kondisi depresi karena konflik emosional secara internal. Dorongan primitifnya sebagian besar tidak terakomodasi, tidak tersalurkan, sementara kenyataan hidup yang ditemui tidak demikian, realitas sangat berbeda. Jika dorongan id dan dorongan superego seseorang dalam kondisi berimbang, maka orang tersebut memiliki kemampuan berpikir, kemampuan merasa dan berbuat secara normal. Kondisi psikologis ini cenderung menen-tukan cara berpikir, merasa, bertindak dan cara-cara tertentu dari seseorang dalam merespon lingkungannya, termasuk respon terhadap tiga "ta" tadi. Bila yang mengedepan adalah dorongan-dorongan primitif, maka ketiga "ta" itu akan menjadi musibah, tetapi bila dorongan primitif itu berada dalam suatu 37
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
perimbangan dengan dorongan-dorongan moral, maka tiga "ta" bisa menjadi berkah. Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik disebut sebagai orang yang tidak bermoral. Maka secara sederhana kita mungkin dapat menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan manusiawi. Namun tentu sulit membuat deskripsi, orang yang baik atau orang yang bermoral itu orang yang bagaimana? Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda, yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang memiliki sikap batin yang baik dan melakukan perbuatan-perbuatan yang baik pula. Sikap batin itu seringkali juga disebut nati. Orang yang baik mempunyai hati yang baik. Akan tetapi sikap batin yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan lahiriah yang baik pula. (2—8 Desember 2001)
38
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
2 Berawal dari Akhir Tiga event yang sangat sakral bagi umat manusia yang berbudaya dan bermartabat telah berlangsung dalam suasana aman, damai, dan tenteram di penghujung tahun 2001. Paling tidak di Riau di mana saya bermastautin. Indikasinya sederhana, no conflict no bomb. Konflik ditakuti karena bisa meluas cepat seperti wabah anthrax. Sementara bom jelas ditakuti karena meledak tanpa basa-basi sehingga membuat suasana mencekam. Tiga event tersebut adalah Hari Raya Idul Fitri 1422 H, Hari Natal, dan malam Tahun Baru 2002. Sebelumnya memang ada kekhawatiran, salah satu atau salah dua atau ketiga-tiga event tersebut akan kacau. Semula memang ada informasi yang mengkhawatirkan, dan informasi itu karena merupakan desas-desus cepat menyebar dan tak jelas asal usulnya. Desas-desus itu memang sangat mengkhawatirkan, apalagi catatan pahit setahun silam mungkin masih terasa segar dalam ingatan. Di daerah ini beberapa bom meledak di malam Natal yang menyebabkan korban tewas berjatuhan dan beberapa lainnya luka berat dan ringan. Catatan hitam masa lalu itu tentu menghantui dan membuat trauma masyarakat, apalagi masyarakat kita sangat mempercayai pepatah orang tua-tua, "malang itu tidak berbau". Oleh karena itu, walaupun perayaan ketiga event tersebut tetap berlangsung dalam suasana meriah, namun secara jujur diakui oleh beberapa pemuka agama yang saya temui dalam berbagai kesempatan, belum kembali ke suasana seperti beberapa tahun sebelumnya, ketika perasaan-perasaan sentimen keagamaan, kesukuan, dan ras masih terkawal dengan baik. Terkawal maksudnya bukan akibat pengamanan aktif oleh aparat keamanan seperti yang 39
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kita lihat tahun ini, tetapi terkawal secara pastf oleh rambu-rambu internal di dalam diri masing-masing umat. Dulu ungkapan-ungkapan yang tidak boleh diucapkan, sungguh-sungguh tidak diucapkan. Biarpun hari-mau di perut, tetapi kambing juga yang dikeluarkan di mulut. Nilai-nilai ini sebelumnya masih terkawal dengan baik, sehingga ketersinggungan yang mungkin timbul akibat nuskomunikasi dapat ditekan pada tingkat yang minimal. Maklum masyarakat kita sekarang sangat heterogen, berbilang kaum, lubuk tidak sama, padang pun berbeda, sebagaimana bidal orang tuatua, "lain lubuk lain ikannya lain padang lain belalangnya". Perayaan tiga event yang baru saja berlalu di akhir tahun 2001, tidak dapat dinafikan memang berlangsung dalam pengamanan aktif dari aparat keamanan pada tingkat kesiapsiagaan penuh. Saya tidak tahu apakah itu siaga satu, dua, tiga, atau berapa, tetapi melihat Kapolda Riau, Pak Joni Yodjana berseragam pada saat menunaikan salat Idul Fitri dan ketika menghadiri perayaan Natal, saya merasa ada sesuatu yang berkaitan dengan kewaspadaan. Suatu kali sambil senyum-senyum simpatik Pak Joni memberikan argumentasi. Beliau bilang, "Hanya untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat, bahwa polisi ada di tengah-tengah mereka." Saya pun maklum bin mahfum, Aparat memang tidak mau ambil risiko dengan berpura-pura tidak ada masalah. Rasa aman masyarakat memang sedang terjejas. Sebab bagaimanapun, kekhusyukan beribadah tentu sedikit banyak akan terpengaruh oleh keamanan dan ketertiban masyarakat. Suasana yang kondusif di akhir tahun 2001, khususnya dalam keamanan dan ketertiban masyarakat, merupakan awal yang baik untuk menapaki hari-hari di tahun 2002 yang sekarang sudah kita masuki. Sulit terbantahkan bahwa masyarakat kita adalah masyarakat yang agamis. Agenda-agenda keagamaan seperti Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan Tahun Baru yang berlangsung secara beriringan di akhir tahtm 2001 merupakan agenda yang sangat sakral dan maha penting bagi umat beragama. Sedikit saja kekhusyukan dan 40
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kemeriahan itu terusik, para pengikutnya akan bereaksi keras, bahkan cenderung berlebihan. Ini sebuah pertanda bahwa masalah agama adalah masalah yang sangat prinsipil dan asasi. Masyarakat kita selalu menempatkan dimensi kebendaan atau duniawi dalam keadaan seimbang, selaras dan serasi dengan dimensi kerohanian. Keduanya berada dalam suatu harmonisasi. Dunia-akhirat bagi kita, umat beragama, adalah padanan yang tak bisa dipisahkan. Ukuran ini tentu tidak sama dengan ukuran di negara-negara maju yang menganut paham sekuler, di mana dimensi kerohanian bukan menjadi urusan pemerintah, melainkan urusan pribadi, urusan individu. Dalam masyarakat kita yang tidak menganut paham sekuler, keterikatan emosional antara pemeluk dengan paham yang dianutnya umumnya sangat kuat. Seseorang belum tentu menjadi pemeluk agama yang baik, tapi pasti ia pengikut yang setia. Pengalaman kita dengan peristiwa pahit setahun yang lalu memperkokoh kesadaran dan pemahaman kolektif bahwa ketertiban, keamanan, dan rasa aman ternyata memang mahal. Ibaratnya, kita baru sadar sinar matahari itu indah ketika hari demi hari cuaca mendung berawan gelap. Amerika Serikat bisa menghitung kerugian material dari ambruknya gedung pencakar langit World Trade Center di New York atau rusaknya Pentagon, tetapi mereka tidak bisa menghitung kerugian moril dari ancaman senjata kuman anthrax. Dampaknya sangat luas, mereka menjadi takutbepergian ke luar rumah. Mereka merinding melihat tepung, tidak lagi bisa membedakan mana tepung yang tercemar kuman anthrax mana yang tidak, padahal bahan baku makanan pokok mereka adalah tepung gandum. Dalam kadar yang berbeda, rasa aman kita pun telah terjejas. Secara fisik kita bisa mengatakan Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal, dan Tahun Baru berlangsung aman, tetapi kita tidak bisa membohongi diri. Ada sesuatu yang hilang, yakni suasana kedamaian dan ketenteraman dalam hati kita masing-masing ketika kita berangkat menunaikan 41
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
ibadah agama. Kita baru sedikit lega melihat kapolda dan danrem ada di sana, di tengah kita. Kalau bapak berdua mi ada, pasti di sana banyak anak buahnya, walaupun mereka hanya berpakaian preman. Yang menjadi bahan renungan kita adalah sampai kapan keadaan seperti ini akan berlangsung, yaitu kondisi di mana kita merasa aman hanya ketika aparat ada di sekitar kita. Sesungguhnya keamanan dan rasa aman itu menjadi tanggung jawab kita bersama, menjadi tanggung jawab warga dan menjadi tanggung jawab semua pemeluk agama. Okelah, untuk tahun 2001 kemarin keamanan dan rasa aman itu dikawal oleh aparat keamanan, tetapi ke depan pelanpelan pengamanan fisik seperti itu harus bisa kita kurangi, kita serahkan kepada diri masing-masing sebagai bentuk dari pemahaman bahwa kita adalah ma-syarakat yang berbudaya dan bermartabat. Aparat adalah juga manusia biasa, yang juga pasti ingin berkumpul berhari raya atau berhari Natal bersama keluarganya. Mari kita awali tahun 2002 dengan akhir yang baik tahun 2001. (6—12 Januari 2002)
42
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3 Character Assassination Sudah menjadi resam manusia, selalu ingin mendapatkan banyak hal sekaligus. Jika disuruh memilih, hidup enak tapi kalau mati masuk neraka atau hidup pas-pasan tapi kalau mati masuk sorga, maka orang yang cerdas akan memilih hidup enak dan kalau mati masuk sorga. Hidup ini ternyata juga seperti orang berdagang. Dengan modal sekecil-kecilnya diharapkan untung sebesar-besarnya. Bekerja seadanya, tapi hasil diharapkan sebanyak-banyaknya. Krisis politik diharapkan bisa tuntas sekaligus dengan krisis ekonomi, sementara SDM yang menjalankan sistem dan pranata penegakan supremasi hukum yang diperlukan untuk mengatasi krisis itu masih lemah. Kita mengizinkan unjuk rasa, tapi pada saat yang sama kita mengharamkan tindakan anarkis. Kita memperbolehkan mahasiswa turun ke jalan, tetapi sekaligus mengharuskan mereka menegakkan disiplin. Padahal semua tahu kalau massa sudah turun ke jalan dan menjadi sebuah gerakan massa, maka perilakunya pun perilaku massa; emosionalitas tinggi, dan rasionalitas rendah. Kata orang, demokrasi hanya beda-beda tipis dengan anarki. Sedikit saja tergelincir, maka demokrasi akan menjadi anarki, sebab keduanya hanya dipisahkan oleh rambut dibelah tujuh. Oleh karena itu, Lee Kuan Yew, mantan Perdana Menteri Singapura, arsitek pembangunan yang berhasil membangun Singapura menjadi sebuah negeri kaya, bersikukuh mengatakan, bukan demokrasi yang akan membuat rakyat sejahtera, tapi disiplin. Lee Kuan Yew tentu tidak betul seratus persen, tetapi juga tidak sepenuhnya salah. Demokrasi yangbaik memang memerlukan disiplin dari warga negaranya, yakni suatu sikap kepatuhan terhadap peraturan yang berlaku. Hak dan kewajiban ditempatkan dalam tataran yang seimbang, sebab yang 43
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
memiliki hak dan kewajiban tidak hanya kita sendiri; orang lain juga memiliki barang yang sama. Namun repotnya, disiplin berkaitan erat dengan tingkat pendidikan masyarakat. Makin tinggi tingkat pen-didikan masyarakat, makin mampu masyarakat tersebut memberikan apresiasi terhadap disiplin. Tapi alur berpikir ini agak repot diterapkan dalam setting kehidupan pergerakan mahasiswa di kampus. Sebab mahasiswa di kampus memang diskenario untuk berpikir dan berbicara bebas. Biarlah mereka mencari makna disiplin itu dari ruang-ruang kuliah, di laboratorium, di perpustakaan, atau bahkan di kantin dan di halaman kampus, atau di kamar-kamar kos. Mahasiswa bahkan diskenario oleh alam boleh menggugat apa saja, boleh meragukan bumi berputar atau meragukan bahwa bintang adalah api. Karakter pergerakan mahasiswa seakan memang telah menemukan bentuk dalam era ref ormasi ini. Mahasiswa tidak hanya mampu memaksa presiden untuk turun tahta, tetapi juga mampu memaksa dekannya untuk meletakkan jabatan. Lho apa dekan lebih tinggi daripada presiden? Dalam perspektif psikologis pergerakan mahasiswa, agaknya memang demikian, sebab mereka tidak takut kepada presiden, tapi mereka takut kepada dekan. Tetapi dekan yang mereka takuti itu pun bisa mereka lengserkan kalau mereka mau. Oleh karena itu, terasa menyentakkan ketika Misbah, seorang mahasiswa UNRI dipecat sebagai buntut aksi unjuk rasa mahasiswa di depan Menteri Pendidikan Nasional, yang notabene adalah "bapak kandung" mereka sendiri. Ada yang berkomentar, pemecatan ini merupakan character assassination atau pembunuhan karakter terhadap pergerakan mahasiswa. Sebab dengan demikian ke depan mahasiswa akan berpikir dua kali untuk melakukan unjuk rasa, apalagi dengan berteriak-teriak secara lantang memprotes kebijakankebijakan yang mereka anggap sungsang. Barangkali komentar itu berlebihan, tapi mengundang perhatian. Unjuk rasa yang biasanya diikuti dengan penyampaian 44
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
aspirasi secara amat berani dan terbuka tanpa tedeng aling-aling, bahkan biasanya dibumbui dengan ekspresi emosional, sudah menjadi karakter pergerakan mahasiswa dalam era reformasi sekarang ini. Sikap yang amat berani, terbuka, tanpa basa basi, dan bebas dari rekayasa, adalah segi-segi yang membedakan pergerakan mahasiswa dengan pergerakan-pergerakan sejenis lainnya yang seringkali sarat dengan muatan kepentingan Karakter pergerakan mahasiswa memang tidak bisa ditunggangi oleh kepentingan. Namun demikian sesungguhnya aksi unjuk rasa mahasiswa jangan melulu dilihat dari cara dan gayanya, tetapi difokuskan kepada substansi yang disampaikan. Substansi yang disampaikan walaupun secara redaksional kadang sangat provokatif, tetapi acapkali memuat hal-hal yang sangat mendasar dan penting. Dan sekali lagi, dalam merumuskan sikapnya, biasanya mahasiswa tidak punya kepentingan. Kalaupun ada kepentingan, maka kepentingan itu adalah dalam koridor fungsi mahasiswa sebagai sosial kontrol dan moral force. Namun sebagai manusia, mahasiswa juga bisa salah dan mereka harus diingatkan untuk mencari jawabannya di ruang kuliah dan di perpustakaan melalui diskusi-diskusi akademis. Character assassination kedengarannya memang agak seram. Presiden Abdurrahman Wahid ketika masih berkuasa seringkali mengeluhkan tentang adanya character assassination terhadap dirinya. Gus Dur agaknya adalah contoh yang paling baik terhadap tuduhan character assassination itu. Selama menduduki jabatan presiden, Gus Dur terkekang. Dia tidak lagi bisa berbicara bebas sesuka hati-nya, juga tidak lagi boleh melawak. Tetapi karena memang sudah menjadi karakternya sebagai individu yang merdeka, bebas dalil, bebas berbicara apa saja, dan bebas menertawakan apa dan siapa saja, maka kemudian timbul kontroversi-kontroversi. Hari-hari terakhir sebelum Sidang Istimewa MPR yang menggusur dirinya dari tampuk kekuasaan, Gus Dur yang biasanya ceria dan humoristik, kehilangan 45
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
karakternya sama sekali. Dia mengeluh bahwa pers telah melakukan character assassination terhadap dirinya. Character assassination sekarang juga dikeluhkan oleh Akbar Tanjung, Ketua DPR-RI yang juga adalah Ketua Umum Partai Golkar. Tuduhan korupsi melalui "trial by the press" yang demikian gencar dialamatkan kepadanya tentu akan sangat mempengamhi citra Akbar Tanjung sebagai seorang politikus yang berkarakter. Berpuluh-puluh tahun Akbar Tanjung membangun citra dirinya yang dimulai dari HMI, sebagai aktivis yang memiliki integritas kokoh. Integritas pribadi itu terlihat dari sikap, cara berbicara, dan caranya merespon perkembangan politik di sekitarnya yang jauh dari konfrontatif. Kini karakter itu dibunuh. Kita tidak tahu sejauh mana pembunuhan karakter itu memang sungguh-sungguh terjadi, sebab ini adalah hal yang abstrak. Terbunuh badan tampak kuburnya, terbunuh karakter? (13—19 Januari 2002)
46
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
4 Duka BBM Ibuku telah mati kemarin,juga hari ini." Itulah ungkapan pedih tokoh 'Orang Asing' dalam karya Albert Camus. Ungkapan itu muhcul ketika kepada dirinya datang penderitaan dan penindasan yang bertubi-tubi, serta takmenunjukkan tanda untuk selesai. 'Orang Asing' sesungguhnya dapat mewakili sejumlah realitas kemiskinan bagi banyak orang dalam banyak negara, yang oleh ketidakbijakan negara, menjadi kehilangan harapan. 'Orang Asing' mungkin adalah contoh yang paling tepat untuk menggambarkan realitas yang dialami rakyat Indonesia. Sudah beberapa puluh tahun rakyat Indonesia membangun harapan dalam dirinya, tapi setelah melewati berbagai sistem pemerintahan, melewati berbagai perubahan kebijakan, dan bahkan melewati pergantian sejumlah rezim, rakyat Indonesia tetap berada dalam kondisi yang menyedihkan. Betapa tidak. Belum lagi selesai melewati sejumlah mimpi buruk yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, dan baru saja akan membangun mimpi baru, penderitaan kembali datang dengan bentuk yang bermacam-macam dan tindih-menindih. Mulai dari ketakutan akibat pergolakan politik, keamanan yang tidak terjamin, melemahnya nilai tukar mata uang, sampai munculnya bencana alam. Ternyata semua itu masih belum cukup. Belum lama ini rakyat semakin tercekik oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan BBM dengan persentase yang cukup menakutkan, tanpa peduli kondisi rakyat. Dengan segera, kenaikan BBM tersebut menuai kecaman yang cukup keras dari berbagai kalangan, kelompok mahasiswa, dan kelompok masyarakat. Gelombang demonstrasi menolak kenaikan BBM terjadi di mana-mana, tak terkecuali Riau. Bahkan di Riau, 47
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
demonstrasi diikuti pula dengan gerakan mogok makan dari beberapa mahasiswa. Reaksi keras masyarakat dan perjuangan mahasiswa menolak kenaikan tersebut sebenarnya suatu hal yang wajar dan memang sudah pada tempatnya. Secara dan sebagai pribadi, maupun sebagai anggota dewan, saya sependapat, dan bahkan mendukung perjuangan yang dilakukan itu. Kenaikan BBM menuai kecaman, pada hemat saya, karena BBM tidak bisa naik hanya untuk dirinya sendiri, tapi membawa akibat menaiknya harga bagi semua komoditas lain, dan akibat-akibat lain itulah yang sangat memberatkan masyarakat. Pemerintah memang memberikan alasan, bahwa BBM harus dinaikkan supaya tidak membebani anggaran. Kebijaksanaan pemberian subsidi yang dianggarkan dalam APBN selama ini terasa memberatkan pemerintah. Sebuah alasan yang masuk akal kalau hanya kita lihat dari satu sisi dan sepintas, namunbenarkah demikian? Apakah memang subsidi BBM akan membuat negara ini bangkrut? Pada pikiran saya, persoalannya tidak demikian. Bukan subsidi itu benar yang membebani, tapi justru hal-hal lain yang tidak bersangkut paut dengan kemaslahatan masyarakat, seperti mengeluarkan banyak uang untuk menyelamatkan sejumlah bank yang hampir kolaps, menalangi utang swasta, program penyelamatan para konglomerat, dan sejumlah persoalan besar lainnya. Jika kita bandingkan, beban subsidi BBM pastilah lebih kecil dari beban yang ditanggung untuk urusan yang tak bersangkut-kait dengan rakyat tersebut. Itu belum lagi, kalau kita berhitung soal danadana yang meng-hilang tidak pada tempatnya, dan lain-lain jenis kejahatan pribadi, kejahatan jabatan, dan kejahatan kelompok kekuasaan, yang kadang memakan persentase yang cukup besar dari anggaran. Berangkat dari pemikiran yang demikian, sebagaimana yang saya sebut di atas, maka saya dapat memahami penolakan masyarakat, LSM, mahasiswa, dan unsur-unsur lainnya di Indonesia, 48
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
maupun di Riau. Substansi permasalahan sebenarnya terletak pada ketidakberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil oleh penyelenggara negara. Jika penyelenggaraan kebijakan dilaksanakan secara benar, dan didukung pula dengan efesiensi dan efektivitas birokrasi dan keuangan, saya kira subsidi BBM bukanlah sebuah beban yang berat. Beberapa waktu yang lalu, sejumlah mahasiswa Riau melakukan demonstrasi menentang kenaikan BBM, dengan rnelakukan mogok makan. Sebuah perjuangan yang besar dan patut dihargai. Mereka kemudian meminta saya mendukung mereka dan menolak kenaikan BBM tersebut. Seperti yang sudah saya jelaskan, saya berada di pihak mereka, tapi persoalannya tidak semudah itu. Kenaikan BBM diputuskan oleh pemerintah pusat dan disetujui oleh DPR, maka jika memang kenaikan itu harus dibatalkan, maka harus dibatalkan oleh si pembuatnya. Daerah hanya dapat memberi masukan dan mengimbau agar pemerintah pusat mengkaji ulang kebijakan yang telah diambil dengan mempertimbangkan kondisi riil masyarakat. Respon keras atas kenaikan BBM ini, di mata saya adalah sesuatu yang pantas, selain karena persoalan akibat kenaikan BBM itu terhadap barang-barang lain, juga karena BBM bersentuhan langsung dengan napas kehidupan rakyat. Namun demikian, saya kira, semua pihak haras arif dalam menyikapi hal ini, terutama bagi masyarakat Riau, jangan sampai kita harus membayar lebih besar dan mahal sebagai akibat dari emosi yang meluap. Secara filosofis, mari kita sama-sama mengingatkan kepada penyelenggara negara untuk kembali kepada fitrah. Tugas, esensi, dan fitrah sebuah negara, adalah memakmurkan rakyat. Begitu bunyi pesan dan keharusan yang terdapat dalam manuskrip-manuskrip kemaharajaan Melayu. Kata-kata ini memberikan kita suatu pengertian, bahwa keberhasilan sebuah sistim pemerintahan atau keberhasilan suatu rentang amanah kekuasaan, diukur dari seberapa 49
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
jauh pemegang amanah kekuasaan (pelayan rakyat) tersebut dapat menjamin kehidupan masyarakat. Jaminan tersebut dalam bentuk yang minimal adalah tersedianya kebutuhan secara memadai dan dapat dijkngkau pula oleh kekuatan-kekuatan ekonomi rakyat. Jika hal itu terpenuhi maka pemerintahan dapat dianggap telah berhasil, tapi jika tidak, pastilah telah terjadi disfungsi dan "kesalahan" dalam peiwapan kebiiakan ekonomi dan kebijakan publik. Di Indonesia, hal inilah yang tidak terwujud. Rakyat selalu berada dalam posisi dikorbankan demi sejumlah "atas nama", baik itu atas nama pembangunan, atas nama persatuan, dan lain-lain, yang sesungguhnya tak lebih dari sebuah cara mengelabui akan ketidakmampuan melaksanakan fungsi. Jangankan bermimpi tentang kemakmur-an, untuk hidup saja, rakyat semakin susah, dan bertambah susah justru dalam usia kemerdekaan yang semakin tua. Sampai sekarang keadaan itu seperti belum akan ber-ubah, dan entah sampai kapan. Tapi kita memang harus mengubahnya.
(17—23 Februari 2002)
50
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
5 Kesadaran Kultural Mengamati perjalanan otonomi yang telah berlangsung selama lebih setahun ini, saya melihat, paling tidak, ada dua perkembangan yang cukup menarik dari sejumlah perkembangan yang terjadi di Riau, yaitu perkembangan pembangunan pada satu sisi, dan mun-culnya kesadaran kebudayaan pada sisi yang lain. Perkembangan dan pesatnya pembangunan, bagi saya, merupakan konsekuensi logis dari kondisi yang ada, dan memang sudah pada tempatnya. Tapi munculnya kesadaran kultural sering dengan gempita pembangunan, merupakan hal yang harus mendapat perhatian kita semua. Di mana-mana di Riau, kini muncul sejumlah organisasi Melayu yang memposisikan diri secara signifikan dalam pembangunan dengan memperlihatkan jati diri kemelayuan yang kental. Ada Lasykar Hulubalang Melayu, ada Gerakan Pemuda Melayu, Pemuda Melayu Riau Bersatu, Ikatan Keluarga Melayu Riau, Rumpun Melayu Bersatu, dan sejumlah nama lain yang menunjukkan ikti-kad kebersamaan dan siap berperan aktif mendukung perjalanan Riau menuju masa depan. Pertanyaan sekarang adalah dalam konteks ke-Melayu-an, peran apakah yang harus dimainkan oleh sejumlah organisasi yang ada ini? Saya kira, dalam kondisi Riau sekarang, peran utama yang harus dilakukan adalah mengawal eksistensi dan perkembangan budaya Melayu itu sendiri. Pemikiran ini muncul berdasarkan pandangan saya terhadap realitas Riau sekarang ini. Tidak bisa kita pungkiri, heterogenitas penduduk Riau yang terdiri dari lintas agama, etnis, dan akar budaya, dan kemudian dilingkari oleh akselerasi pembangunan dan sergapan kapital, dapat membuat segala sesuatu menjadi bias, tak terkecuali budaya Melayu Riau pada masa datang. Apabila koridor budaya 51
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
tersebut dibiarkan tidak terkawal secara terus-menerus, tentu tidak mustahil akan banyak generasi berikutnya menjadi tidak kenal lagi dengan kebu-dayaannya sendiri. Dan tentu saja hal tersebut akan mem-berikan akibat pula pada eksistensi Riau Melayu. Maka, dalam kondisi yang bagaimanapun, Riau ke depan tetap harus berada pada arah budaya dan identitas yang jelas. Pembangunan yang mengabaikan kebudayaan lokal tidak akan sesuai dengan hakikat pembangunan itu sendiri, karena ia akan meminggirkan masyarakat lokal, yang seharusnya justru menjadi kelompok sasaran. Hal yang sama pernah saya sampaikan pada peresmian Lasykar Hulubalang Melayu, di Batam, pada 24 Oktober 2001 yang lalu. Pada acara tersebut, saya mengatakan (menyarankan), bahwa adalah lebih bijak jika Lasykar Hulubalang Melayu, atau organisasi-organisasi Melayu lainnya menitikberatkan aktivitas pada pengawalan kebudayaan, khususnya kebudayaan Melayu. Pengawalan di sini, dalam konteks Batam misalnya, tidak hanya sekadar memberikan identitas, tapi sekaligus memberikan peluang kepada masyarakat Melayu agar dapat bersanding secara setanding dengan kekuatankekuatan yang melingkarinya. Bukan saja ketika berhadapan dengan heterogenitas Batam, tapi juga ketika berdepan dengan Malaysia dan Singapura. Tidak bisa tidak, jika pembangunan tidak berangkat dari kesadaran budaya setempat, maka yang terjadi adalah terpinggirnya masyarakat lokal, dan tentu saja hal ini tidak kita inginkan. Di samping tidak manusiawi juga bisa menjadi benih-benih konflik yang tak berkesudahan. Selain alasan-alasan di atas, ada sejumlah pertimbangan lain tentang perlunya pengawalan budaya ini dilakukan. Pertama, gerakangerakan ekonomi dan kapital yang tertuang dalam bentuk pembangunan fisik dan material akan kehilangan ruh jika tidak berporos pada kebudayaan secara tepat. Dengan terjaganya budaya dan tetap berkembangnya kesadaran kultural, maka pembangunan tidak akan kehilangan arah. Hampir semua negara maju mengawal dan 52
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
merujuk pada kebudayaan tertentu, seperti Eropa merujuk pada kebudayaan Yunani dan Timur Tengah merujuk pada Islam. Dalam kasus Riau pula, kebudayaan Melayu harus menjadi ruh bagi pembangunan yang sedang dilaksanakan. Pemberian ruh dan identitas itu tentu saja hanya bisa dilakukan, jika hnHaya Melayu itu sendiri terjaga dengan baik. Merujuk Riau, jika otonomi dilaksanakan secara sungguh-sungguh, maka ke depan Riau akan menjadi sebuah daerah yang maju pesat, dan kemajuan fisik itu memerlukan ruh dan pengimbang agar ia tidak menjadi sebuah peristiwa pembangunan yang tanpa alas, dan pengimbang yang tepat adalah kebudayaan. Kesadaran semacam ini dapat kita lihat di Francis, Jepang, Cina, yang pembangunan fisik material berjalan seimbang dengan kebudayaan, sehingga mereka muncul menjadi sebuah bangsa yang bermarwah. Kedua, Kesadaran kultural itu penting untuk menum-buhkan semangat juang. Secara historis, bangsa Melayu, adalah bangsa pekerja keras, dan dengan kerja keras itu mereka berhasil membangun sejumlah kerajaan besar dan pusat-pusat perdagangan yang terkenal, seperti kerajaan Sriwijaya, Riau Lingga, Siak Sri Indrapura, Johor, Melaka, dan sebagainya. Dengan terjaganya kesadaran semacam itu, maka secara perlahan generasi sekarang dan mendatang akan memiliki semangat juang yang besar untuk membawa Riau menuju kejayaan. Jika kita hubungkan dengan program untuk menjadikan Riau sebagai pusat Kebudayaan Melayu di Asia Tenggara, seperti yang termaktub dalam Visi Riau 2020, maka tidak bisa tidak, pengawalan dan pengembangan kesadaran kultural ini harus diperhatikan. Dengan kesadaran kultural itu, semangat juang generasi muda sekarang dan generasi mendatang akan terpompa secara positif, sehingga mereka dapat pula melahirkan karya dan hasil yang besar dalam bidang kebudayaan, melebihi kegemilangan hasil budaya yang pernah terjadi pada masa Kemaharajaan Melayu lebih dari seabad yang lampau. 53
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Ketiga, pada masa datang —sesungguhnya sudah dimulai dari sekarang— kita hidup pada sebuah zaman tanpa batas, atau yang lebih sering disebut sebagai era globalisasi atau kesejagatan. Pada era ini, manusia seperti berada dalam sebuah rumah yang besar, di mana setiap orang saling bisa berhubungan secara mandiri melalui kecerdasan teknologi. Pada masa itu, batas-batas teritorial dan negara sudah menjadi kehilangan arti. Jika benar apa yang dikatakan oleh para futurist bahwa hanya seni (budaya) dan agama saja lagi yang menjadi identitas atau tanda pengenal sesuatu kaum, puak, atau bangsa, maka dengan menjadikan pengawalan budaya dan penumbuhan kesadaran kultural sebagai prioritas, maka artinya kita sudah melakukan sesuatu dan satu hal yang benar dalam menghadapi masa datang. Memang akan banyak sekali jawaban untuk itu, tapi inti dari semuanya, bahwa kita memang perlu melakukan pengawalan budaya Melayu ini secara baik, seiring dengan berkembangnya kebudayaan lain secara baik pula. Untuk mewujudkan semua itu, selain diperlukan sinergi antar berbagai pihak, juga harus didukung oleh kehendak yang kuat, baik kehendak politik, kehendak ekonomi, kehendak sosial, dan kehendak kebudayaan dari segenap unsur masyarakat. Tanpa pengawalan budaya, saya khawatir, generasi mendatang, seperti generasi Chaleed, anak saya, akan menjadi sebuah generasi yang gamang dengan dirinya. "Kebudayaan itu meredakan, serta mampu menetralisir perilaku-perilaku masyarakat urban (perkotaan) yang cenderung anomi, agrestf, kejam, dan serbamasif," kata Mathew Arnold dalam Kebudayaan dan Kekuasaan. Saya kira saya setuju dengan pandangan ini.
(3—9 Maret 2002) 54
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
6 Law Enforcement Dewasa ini, penegakan hukum (law enforcement) merupakan kata dan keinginan yang selalu diteriakkan semua orang. Sejak bergulirnya reformasi, persoalan penegakan hukum mendapat sorotan utama. Hal ini mungkin bersangkut-kait dengan telah terlalu lamanya hukum dijadikan sebagai alat kekuasaan yang korup dan otoriter. Memang, dan tak bisa tidak, untuk menuju Indonesia yang demokratis penegakan hukum merupakan suatu hal yang sangat penting, karena ianya merupakan salah satu syarat bagi perKembangan demokinsi. Dapat dikatakan, apabila tidak ada penegakan hukum maka demokrasi adalah omong kosong. "Biar langit runtuh, hukum harus tetap ditegakkan", begitu bunyi "sumpah" dalam dunia hukum. Kata-kata itu menunjukkan bahwa, apa pun yang terjadi, hukum harus dijalankan sesuai dengan ketentuan yang disepa-kati bersama. Di mana-mana di serata dunia, penataan sebuah negara selalu dimulai dengan penataan hukum. Sebagai contoh, ketika Amerika didirikan, maka hal pertama yang dibenahi mulai dari zaman George Washington adalah persoalan hukum, dan kemudian terus ditata sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika hukum itu sendiri. Begitu Amerika, begitu pula Prancis. Penegakan hukum di Francis bermula dari sejarah getir pemerintahan monarkhi, terutama pada masa Louis IV dan VI yang meletakkan posisi hukum di bawah kekuasaan. Posisi hukum pada masa Louis tergantung kepada kehendak politik kekuasaan, sehingga kita semua mengenal istilah "Negara (hukum) adalah saya" (L'etat Cest Moi). Sejarah kemudian mengajarkan bahwa pengkhianatan terhadap hukum akhirnya 55
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
membuat Francis runtuh, dan kemudian berganti sistem setelah terjadi revolusi Prancis yang terkenal itu. Bagaimana dengan Indonesia? Di negeri kita, hukum adalah sebuah ironi. Kita mengaku sebagai negara hukum, tapi sejalan dengan itu pelanggaran terhadap hukum dan mekanisme peradilan terus pula berlangsung. Kita sering melihat, betapa dalam setiap proses hukum selalu ada intervensi, kalau tidak intervensi uang maka pastilah intervensi politik dan kekuasaan. Hukum di Indonesia akan sangat sulit ditegakkan selagi kita tidak menghormati hukum dan mekanisme hukum itu sendiri. Beberapa kawan dari mancanegara pernah mengatakan kepada saya, bahwa penegakan hukum di Indonesia umumnya dan Riau khususnya masih sangat lemah, dan dengan itu, kata mereka lagi, akan berakibat kurang baik bagi perkembangan di bidang lain. Lebih lan-jut mereka mengatakan, walaupun seribu kali Pemerintah Daerah Riau melakukan roadshow ke luar negeri, tidak akan ada artinya selama tidak ada kepastian hukum atau masih lemahnya penegakan hukum. Saya rasa ini benar. Orang-orang asing, juga para investor, memerlukan kepastian hukum, terutama jika mereka ingin menanamkan investasi dalam jumlah besar. Mereka tidak mungkin melakukan spekulasi atas modal yang mereka tanamkan karena hal itu akan membahayakan mereka dari sudut bisnis. Siapa yang mau mempertaruhkan uangnya kalau mereka tahu pasti akan kalah? Dari kondisi yang ada itu, tidaklah mengherankan kalau kemudian kita membaca di sejumlah media, banyak pengusaha yang melarikan modalnya ke luar negeri. Sebagian bahkan konon memilih Vietnam daripada membiarkan modalnya tetap tinggal di Indonesia. Saya kira, seperti yang saya sebut di atas, lemahnya penegakan hukum di Indonesia karena hukum tidak berjalan sesuai dengan mekanisme yang ada. Di samping itu juga karena terlalu banyak intervensi politik, dan pada sisi yang lain, para penegak hukum mengakomodir intervensi yang berlangsung. Jika hal semacam ini 56
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
terus berlangsung, maka penegakan hukum di Indonesia tidak akan berjalan sampai kapan pun. Kita memang tidak menolak, bahwa ada hubungan yang signifikan antara politik dan hukum, yaitu bahwa hukum adalah produk dari komitmen politik. Tapi ketika hukum sudah berdiri sebagai pilar negara, maka seharusnya politik juga harus tunduk pada Vetentuan-ketentuan hukum. Hukum sudah waktunya menjadi panglima dalam kehidupan masyarakat. Jika tidak demikian, maka secara terus-menerus kita (masyarakat) akan berada dalam ketidakpastian, yang pada gilirannya akan melemahkan sendi-sendi kehidupan bernegara. Semua kita harus taat kepada hukum, jika kita memang ingin negeri ini beradab. Para pemimpin sudah waktunya untuk berdiri pada barisan paling depan dalam hal menghormati hukum, dan tidak melakukan intervensi bagi kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok. Jika tidak ada kehendak yang kuat untuk menjunjung supremasi hukum, maka kita akan kembali kepada hukum rimba: yang kuat memakan yang lemah. Megawati Soekarnoputri, dalam rangka kunjungannya ke Beijing, ketika dimintai komentar tentang proses hukum Akbar Tanjung, mengatakan bahwa adalah lebih baik jika persoalan tersebut diserahkan pada mekanisme hukum. Dan pada masa mendatang, lanjut Megawatt, masyarakat Indonesia secara keseluruhan diharapkan taat pada ketentuan. Ini adalah sebuah imbauan yang bagus, yaitu persoalan hukum biarlah ditangani secara hukum. Jika persoalan hukum diselesaikan dalam koridor hukum, saya kira, siapa pun yang akan dibawa ke pengadilan tidak akan menimbulkan ekses yang berkepanjangan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Celakanya, di Indonesia, penegak hukum seringkali takluk pada sejumlah intervensi sehingga hukum menjadi "keinginan" yang bermain dengan wacana "suka dan tidak suka", dan bukan lagi peristiwa keadilan. 57
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Jadi, sekali lagi, hukum harus ditegakkan. Kekuatan-kekuatan politik dan kekuasaan pula harus dimainkan dalam koridor hukum yang sebenarnya. Jangan lagi ada intervensi tehadap hukum, terutama bagi para pemimpin politik dan kekuasaan. "Hukum adil atas rakyat, tanda raja beroleh inayat," kata Raja Ali Haji dalam Gurindam Duabelas, dan man kita bersama-sama ke arah itu.
(31 Maret—6 April 2002)
58
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
7 "Buon Venuti Per Voi" Buon venuti, bravo! Selamat datang orang hebat, begitu saya menyapa Kurniawan di Gedung Daerah beberapa hari lalu. Sambil melontarkan senyuman, Kurniawan pun refleks menjawab, "grazie," (terima kasih). Dalam hati saya berkata, benar, dia jebolan Italia. Saya sengaja menyapanya dalam bahasa Italia, tidak lebih hanya sekadar memberikan suasana agar Kurniawan dan Bima Sakti serasa sedang diperkenalkan sebagai bintang liga sepakbola Seri A Italia. Duilee. Tapi Ligina (Liga Indonesia) kan memang Liga Seri A nya Indonesia sebut sajalah begitu. Orang-orang Italia, negeri spagheti di mana Kurniawan dan Bima Sakti pernah berguru sepak bola, memang ramah, suka ngobrol, dan suka saling memuji. Mereka biasa saja mengatakan temannya orang yang paling cantik atau paling ganteng, paling hebat di dunia. Yang dipuji balas memuji atau dengan tanpa beban mengatakan terima kasih, sepertinya dia memang layak menerima pujian itu. Kurniawan dan Bima Sakti mestinya sudah terbiasa dengan kebiasaan orang-orang Italia ini. Dua pemuda mantan diklat sepak bola Primavera Italia, Bima Sakti dan Kurniawan, yang kini juga tercatat sebagai pemain nasional Indonesia, memang telah hadir di Kota Bertuah Pekanbaru. Mereka pun datang bukan pula sembarang datang, datang memperkuat Askar Bertuah PSPS Pekanbaru. Kedua anak muda ini diperkenalkan bersama beberapa orang pemain baru PSPS, termasuk empat orang pemain nasional lainnya. Ada sang kiper Hendro Kartiko, ada libero Slamet Riyadi, kemudian Eko Purjianto, dan ada Edu Juanda. Perkenalan itu bersempena pula dalam syukuran ulang tahun Gubernur Riau Saleh Djasit yang ke-59 tanggal 59
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
13 November yang baru lalu di Gedung Daerah. Tak ayal lagi ini merupakan kado amat sangat istimewa bagi Pak Saleh, karena memang setahu saya, sebagaimana Pak Saleh pernah bercerita kepada saya, se-jak setahun lalu Pak Saleh sudah terobsesi untuk memboyong anak-anak muda itu ke Pekanbaru. Tapi dalam musim kompetisi Ligina tahun lalu Pak Saleh rupanya belum berhasil mengikat kontrak. Transfer Bima Sakti dan Kurniawan dari PSM Makassar ke PSPS Pekanbaru telah bikin heboh percaturan sepak bola nasional. Dengan uang transfer Rp 500 juta per orang untuk satu musim kompetisi di luar gaii dan bonus, ini merupakan rekor baru dalam sejarah persepakbolaan profesional Indonesia, bahkan konon dua kali lipat lebih tinggi dari rekor sebelumnya yang dipegang oleh pemain Persebaya Uston Nawawi. Beberapa klub peserta Ligina kedengaran bersungut-sungut karena transfer itu dianggap terlalu mahal dan merusak pasaran. Tetapi sesungguhnya itu adalah hal yang biasa dalam sepak bola profesional. Kehadiran pemain bintang jelas akan menarik bagi para sponsor untuk mendanai klub, dan penonton pun tidak akan segan-segan merogoh koceknya untuk membeli karcis yang mahal. Sepakbola memang sudah memasuki era baru, era industrialisasi. Sepak bola tidak lagi bisa hanya dilihat sebagai olahraga hobi, tetapi juga sebagai industri, sebagai sebuah ladang bisnis. Siapa lagi yang akan memberikan penghargaan yang layak kepada anak-anak muda kita yang berprestasi kalau bukan kita? Bima Sakti dan Kurniawan adalah dua orang pemain terbaik dalam skuad Primavera, sebuah proyek ambisius PSSI. Beberapa tahun yang lalu, PSSI mengirim pemain-pemain yunior untuk berlatih, menetap, dan ikut kompe-tisi Primavera di Italia selama lebih kurang dua tahun. Proyek tersebut dianggap gagal karena Tim Primavera gagal menjadi sebuah Tim PSSI yang tangguh. Tetapi sesungguhnya Tim PSSI Primavera tidak dapat dikatakan jelek. Pada puncak prestasinya, mereka hanya kalah tipis 1-2 dari Korea Selatan di Seoul dalam kejuaraan resmi Pra-Olympiade waktu itu. Setelah itu belum 60
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
pernah ada Tim PSSI yang mampu kalah tipis dari Korea Selatan. Coba, kalah tipis saja tidak bisa, apalagi draw. Jangan bicara menang, itu mimpi di siang belong. Tetapi secara individu, banyak pemain-pemain hebat di Ligina sesungguhnya berasal dari Tim Primavera, sebut saja Anang Ma'ruf, Nuralim, Uston Nawawi, Kurnia Sandy, dan banyak yang lain. Primavera dalam bahasa Italia sebenarnya berarti musim semi. Italia memberikan nama Primavera untuk Liga Yunior. Barangkali karena musim semi adalah musim yang menggembirakan, penuh keindahan, dan keceriaan. Di awal musim semi, yang biasanya dimulai awal April setiap tahun, bunga-bunga mulai menguncup dan kemudian mekar berwarna-warni di seluruh negeri setelah hampir lima bulan kering kerontang diterpa musim dingin. Agaknya filosofi bunga-bunga, daun-daun, dan pucuk-pucuk yang baru tumbuh dan baru mekar inilah yang diambil oleh orang-orang Italia sebagai simbol bagi anak-anak muda yang baru mulai berkiprah di sepak bola, sebuah industri raksasa di Italia. Seperti di Brazilia, Argentina, dan beberapa negara Latin lainnya, di Italia sepak bola sudah seperti agama. Sepak bola demikian menguasai hidup mereka. Setiap akhir pekan hampir semua mata dan telinga mereka arahkan ke stadion-stadion di mana berlangsung pertandingan Seri A maupun Seri B. Kalau mereka tidak sempat menonton langsung, maka banyak di antara anggota masyarakat yang menenteng radio kecil ke mana-mana atau menghidupkan radio di mobil untuk mendengarkan siaran pandangan mata pertandingan. Banyak pemain-pemain hebat Italia yang berlaga di Seri A sekarang adalah jebolan kompetisi Primavera. Sebut saja Alessandro Del Piero dari Juventus, Vieri dari Inter Milan, Cannavaro dari Parma, Totti dari AS Roma, Rober-to Baggio dari AC Milan, dan termasuk juga dua kiper nasional Italia yang amat tangguh, Toldo dan Buffon, semuanya bintang-bintang yang bersinar di Primavera. Sebagai pemain muda yang bersinar di Primavera dan sekarang di Ligina, wajar kalau pencinta sepak bola di Pekanbaru berharap 61
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
banyak terhadap kehadiran Bima Sakti dan Kurniawan di Askar Bertuah PSPS Pekanbaru. Apalagi secara keseluruhan ada enam orang pemain nasional berada dalam skuad Askar Bertuah PSPS. Maka PSPS kini layak menyandang predikat sebagai "The Dream Team", sebuah tim impian. Mudah-mudahan tim impian ini bisa memenuhi impianimpian pencinta sepak bola di rantau ini, khususnya di Pekanbaru, tidak justru menjadi The Dreaming Team, atau tim yang bermimpi. Semoga Bima Sakti, Kurniawan, Hendro Kartiko, dan kawankawan yang sudah mengilap, bisa tampil lebih mengilap lagi di kota minyak ini. Mari kita beri anak-anak muda ini apresiasi sewajarnya. Buon Venuti per voil (25 November—1 Desember 2001)
62
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
8 The Dream Team Kekalahan adalah kemenangan yang tertunda, kata orang bijak. Hebat benar kata-kata mutiara ini, sehingga menjadi si tawar si dingin ketika "The Dream Team" kalah telak 2-0 dari Persija Jakarta dalam pertan-dingan perdananya. Kata-kata mutiara tersebut mampu menjadi obat yang mujarab untuk mengobati hati yang kecewa ketika harus menerima kekalahan yang di luar harapan itu. Namun kata-kata indah hanya bermakna bagi crang yang gemar berfilsafat. Bagi yang tidak peduli, tentu lain ceritanya. Kalah ya kalah, tidak usah diakalakali supaya kelihatan menang. Bahwa hari ini kalah besok mungkin menang, memang sudah menjadi hukum alam. Hidup kan seperti roda pedati; berputar terus, kadang di atas kadang di bawah. Orang yang kalah memang punya sejuta alasan, kata orang yang menang. Tapi itu manusiawi. Maka jangan heran bila kemenangan yang tertunda itu pun dibreakdown secara beraneka ragam. Ada yang bilang, The Dream Team - sebuah julukan yang aduhai untuk PSPS Pekanbaru -sebaiknya jangan langsung menang, sebab nanti mereka menjadi besar kepala. Yang lain mengatakan, dengan kekalahan ini grafik penampilan PSPS nanti akan bagus. Ini mungkin pendapat ahli statistik. Dia lupa bahwa ini sepak bola, kita bukan bertanding untuk membuat statistik yang baik, tapi bertanding untuk kemenangan (tentu dengan sportivitas yang tinggi). Ada pula yang menghibur diri sendiri, ini kan pertandingan pertama, masih ada pertandingan berikutnya, kita belum kiamat. Kalah 2-0? "Aaah, nggak apa-apa", kata yang lain menirukan iklan sebuah produk rokok. Yang arif pula memberikan komentar, kekalahan ini akan membuat PSPS introspeksi dan lebih waspada dalam pertandingan berikutnya. 63
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Apa pun komentar yang sifatnya menghibur diri, boleh-boleh saja, tidak ada yang larang. Yang menyesakkan agaknya, pertandingan perdana ini menurut orang-orang Pekanbaru, apalagi menurut "Askar theking" (julukan untuk supporter PSPS) akan dimenangkan oleh PSPS. PSPS sedang berada dalam semangat bertanding yang tinggi. Apalagi semua petinggi Riau dan Pekanbaru tum-pah ruah ke Stadion Utama Senayan memberikan dukung-an. Ada gubernur, ada wakil gubernur, ada sekda, para bupati, dan wali kota pun tidak ketinggalan, para kepala dinas jangan tanya. Dan last but not least, ketua dan beberapa anggota DPRD Propinsi dan kabupaten/kota seakan menggelar Rapat Paripurna di Stadion Utama Senayan. Semua optimis PSPS, Askar Bertuah, akan menang. Harapan itu sesungguhnya tidak pula berlebihan setelah menyaksikan hasil beberapa try-out PSPS. Stadion Utama Senayan pasti tidak lebih angker daripada Stadion Teladan Medan. Persija tidak lebih menakutkan ketim-bang PSMS Medan. lya kan? Nah, PSMS saja ditundukkan oleh PSPS di Stadion Teladan Medan. Tidak tanggungtanggung pula, skor kemenangan PSPS pun fantastik: 4-0. Semen Padang dan PSP yang seumur-umur tidak per-nah mampu dikalahkan PSPS, itu pun sudah dikalahkan. Manajer Tim Anto Rachman dan pelatih Suimin Diharja terkesan berbunga-bunga sekembalinya dari uji coba di Medan. Tak ketinggalan Gubernur Saleh Djasit yang gila bola, berbinar-binar dengan hasil uji coba itu. Askar Ber-tuah telah menampakkan dirinya sebagai The Dream Team seperti apa yang dijuluki oleh pengamat olahraga dan media pers baik lokal maupun nasional. Tetapi agaknya, predikat The Dream Team (Tim Impian) itu pula yang menjadi beban bagi PSPS ketika melakukan pertandingan perdana melawan Juara Bertahan Persija Jakarta yang dibuka dan disaksikan langsung oleh Wakil Presiden Hamzah Haz. PSPS Pekanbaru dijuluki sebagai Tim Impian karena bertabur bintang. Klub mana pun, pelatih mana pun, akan selalu memimpikan 64
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sebuah tim yang bertaburan dengan bintang. PSPS sekarang memang tiba-tiba saja bertaburan dengan pemain nasional. Pemain-pemain itu pun di Tim Nasional PSSI bukan pula pemain-pemain yang rata-rata, tetapi pemain jangkar. Nama-nama seperti Bima Sakti, Kurniawan, penjaga gawang Hendro Kartiko, Slamet Riyadi, Eke Purjianto, da« F.du Juanda adalah pemain-pemain nasional yang berbakat. Bima Sakti bahkan tercatat sebagai pemain termahal di Indonesia di musim kompetisi Liga Indonesia - Bank Mandiri ke-8 ini. Tim manajer yang didukung penuh oleh Gubernur Saleh Djasit, tidak ragu mengontrak pemain-pemain nasional ini walaupun untuk itu PSPS harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Konon tidak kurang dari dua miliar rupiah dana yang dikeluarkan untuk mengontrak pemainpemain nasional ini. Gubernur percaya bahwa tim yang bagus akan berdampak positif bagi pembinaan olahraga di daerah ini dan lebih jauh dari itu dapat menggugah rasa kebersamaan masyarakatnya yang berbilang kaum. Apa yang saya saksikan dari tribun kehormatan Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, PSPS terkesan tampil kurang pede, ragu-ragu, dan sedikit grogi. Saya yakin itu bukan kemampuan yang sesungguhnya dari PSPS. Bahkan sang jenderal di lapangan, pemain termahal Bima Sakti yang menjadi kapten PSPS sama sekali tidak kelihatan menonjol. Bima Sakti bahkan membuat blunder ketika dia mengganjal dengan keras seorang pemain Persija, dan atas kesalahannya itu dia dikenai kartu kuning. Kekalahan itu walaupun mengecewakan, tapi tidak boleh mematahkan semangat Askar Bertuah. Kekalahan itu justru harus menjadi cambuk dan dievaluasi dengan sungguh-sungguh oleh pelatih dan seluruh pemain. Sebagai seorang pelatih yang baik, Suimin Diharja tentu mampu membuat analisis terhadap jalannya pertandingan, apalagi di sana ada Bima Sakti dan Kurniawan yang per-nah berlatih di Italia selama dua tahun bahkan sempat mengikuti kompetisi Primavera di negeri spagheti itu. Mereka tentu bisa menjadi mitra 65
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
diskusi untuk menyiasati pertandingan-pertandingan berikutnya. Pompa semangat tim untuk berjumpa kembali dengan Persija di Stadion Utama Bung Karno di partai puncak kelak. Masyarakat pencinta sepak bola di Pekanbaru khususnya, dan di Riau pada umumnya menaruh harapan yang tinggi pada The Dream Team ini untuk mewujudkan impian-impian yang selama ini seakan mustahil untuk diwujudkan. Kini peluang itu sesungguhnya terbuka, tidak ada masalah dengan materi pemain. Yang perlu ditempa dan dipompa agaknya adalah kekompakan dan semangat tim. Sebab sebaik apa pun materi pemain, setinggi apa pun teknik individualnya, sepak bola tetap saja dimainkan oleh 11 orang. Dan karena ini adalah olahraga tim, maka kekompakan dan semangat kebersamaan antara sesama pemain dan antara pemain dengan pengu-rus tetap menjadi sesuatu yang sangat penting. Saya yakin PSPS sebagai The Dream Team akan semakin kompak dan akan mampu membuat the dream come true (impian menjadi kenyataan). Dan saya juga percaya kepada ucapan orang bijak itu: kekalahan adalah kemenangan yang tertunda. Semoga!
(20—26 Januari 2002)
66
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
9 PSPS-ku Sayang PSPS-ku Malang Bulan madu Bima Sakti dan kawan-kawan dengan pencinta PSPS Pekanbaru tampaknya akan terputus di tengah jalan. Sebenarnya, sampai dengan partai pertandingan yang ke-14 ketika PSPS tanpa ampun menghajar PSDS Deli Serdang 8-0, semua masih berjalan lancar dan meyakinkan sesuai skenario. Seluruh kerabat kerja PSPS demikian juga para pendukung yang menamakan dirinya "Askar Theking", masih berbunga-bunga dan yakin PSPS akan melaju ke babak delapan besar. Tetapi kemudian tak ada topan tak ada badai. lima pertandingan berturut-turut Bima dan kawan-kawan melempem, bagai ayam sayur. Pamor PSPS sebagai "The Dream Team" (Tim Impian) yang bertabur bintang melorot drastis. Julukan "The Dream Team" pun mulai diplesetkan oleh para pencinta menjadi "The Dreaming Team" (Tim Yang Bermimpi). Bola memang masih bundar, tetapi ketika tak satu pun gol mampu dijaringkan dalam lima pertandingan terakhir berturut-turut, bahkan terhadap tim lemah Persikab Bogor dan PSMS Medan, ceritanya menjadi lain. Ini masalah yang sangat serius. Padahal, tanpa maksud meremehkan Persikab dan PSMS, kedua kesebelasan ini tampil buruk dalam Ligina VIII sehingga selalu menjadi tempat panen gol bagi kesebelasan lain. PSPS Pekanbaru, sialnya, tidak hanya selalu gagal dalam membobol gawang lawan, justru gawang mereka sendiri yang dikawal oleh kiper nasional Hendro Kartiko beberapa kali kebobolan. Akibatnya, jalan menuju Senayan untuk babak empat besar, yang menjadi impian setiap kesebelasan, yang tadinya terang benderang, kini mulai berkabut tebal. Beberapa rekan wartawan yang semula memuja PSPS kini mulai skeptis. "Senayan? Mimpi kali ye", ujar 67
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
mereka. Senayan agaknya memang tinggal impian. Hanya keajaiban saja yang bisa menyelamatkan PSPS setelah Rabu sore yang ba-ru lalu ditekuk Pelita Krakatau Steel 1-0. Apalagi menurut berita yang saya baca di koran lokal, pelatih Suimin Diharja telah "disuruh" mengambil cuti panjang alias dipecat. Kalau benar Suimin dipecat, maka agaknya PSPS Pekanbaru telah runtuh. Sebuah keruntuhan yang terlalu dini dan patut disayangkan karena tidak sewajarnya. PSPS merupakan tim dengan materi pemain yang sangat bagus, tetapi salah urus. Secara psikologis, para pemain bintang PSPS tampaknya mengalami demoralisasi. Bima Sakti, Kurniawan, dkk. yang dikontrak mahal tertekan karena merasa berdosa tidak mampu mengangkat prestasi PSPS. Ini masalah kehormatan. Pertanyaan kita adalah, di mana letak salahnya? Dana cukup, bahkan membuat kesebelasan lain di Tanah Air menjadi iri melihat kemampuan PSPS memobilisasi dana. Kualifikasi kemampuan individu pemain? Siapa yang meragukan kehebatan Bima Sakti dan Kurniawan yang pernah berguru selama dua tahun di kompetisi Primavera Italia. Bima Sakti bahkan sempat terpilih menjadi pemain terbaik di Primavera dan Kurniawan pula termasuk dalam jajaran top scorer di negeri spaghetti itu. Hendro Kartiko? Dia palang pintu tim nasional. Slamet Riyadi, Eko Purjianto, Edu Juanda, memiliki kemampuan teknis di atas rata-rata. Rahmat Rivai atau Foci? Dia pemain pujaan penonton. Dan Suimin Diharja? Dia salah seorang pelatih terbaik yang dimiliki PSSI. Lalu, letak salahnya di mana? Kesimpulannya: bukan masalah teknis, tetapi masalah nonteknis. Tidak dapat dipungkiri, PSPS dalam empat bulan terakhir ini telah menjadi buah bibir, khususnya di Riau. Semua memperkatakan bola, mulai dari gubernur sampai tukang sapu. Bima Sakti dkk., memang memiliki daya magnet. Dan itu wajar, bukankah mereka adalah pemain-pemain nasional yang memiliki nama besar. Maka wajar pula kalau manajer PSPS mengontrak mereka untuk bertanding 68
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
di bawah bendera PSPS Pekanbaru dalam Ligina VIE PSSI tahun ini. Dan kontrak itu dari awal sudah bikin heboh. Bukan karena kerelaan Bima Sakti dan Kurniawan bermain untuk Pekanbaru yang belum memiliki tradisi sepak bola di pentas nasional, tetapi karena nilai kontraknya tercatat sebagai rekor tertinggi untuk pemain sepak bola di Indonesia. Masing-masing memperoleh Rp 500 juta untuk satu musim kompetisi (kurang dari satu tahun), di luar gaji dan bonus. Jumlah ini jelas lebih besar dari gaji seorang anggota DPRD Propinsi Riau. Tapi masalah agaknya bermula di sini. Pemain kita belum siap menjadi profesional dan menjadi kaya. Bayaran mereka yang mahal telah menjadi heban rnenta!, sehingga mereka selalu tampil di bawah tekanan dan salah tingkah di lapangan. Uang, kata orang, kalau sedikit menjadi kawan, kalau banyak menjadi setan. Dari awal saya sudah risau dengan semangat bertanding mereka. Para pemain tidak mampu menunjukkan kelasnya dan jauh dari kesan bersemangat. Saya tidak menyaksikan ketika PSPS menang 8-0 lawan PSDS, tapi dari beberapa kali saya menonton, terlihat betapa kemampuan Bima Sakti dkk. belum tereksploitasi secara maksimal. Bima dan Kurniawan selalu bermain di bawah kemampuan terbaiknya. Mereka memang pemain berbakat, tetapi sebagai pemain professional tampaknya belum memadai. Bakat individu saja ternyata tidak cukup, paling tidak begitu dikatakan ilmuwan Eric Hoffer. Bakat memberi banyak kesempatan untuk maju. Namun semangat besarlah yang kerap memberi kesempatan bahkan memberi banyak bakat. Ikatan emosional agaknya menjadi faktor lain yang perlu dipertimbangkan. Sebenarnya untuk seorang pemain profesional, tidaklah menjadi penting di klub mana mereka bermain. Kita lihatbagaimana seorang pemain profesional yang berasal dari Afrika bermain habis-habisan dalam Liga Francis atau Liga Italia. Mereka selalu bermain all-out. Teta-pi untuk ukuran sepak bola ala Indonesia, ikatan emosional pemain dengan klub yang dibela tampaknya masih signifikan walaupun sulit dibuktikan. Beberapa indikasi dapat dilihat, 69
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
misalnya, ketika PSM Makassar mendapat suntikan beberapa pemain bintang, prestasinya melejit, de-nukian juga Semen Padang dan Arema Malang. Mereka telah memiliki modal dasar berupa pemain-pemain lokal yang berbakat. Mereka telah memiliki tradisi sepak bola. Tetapi PSPS? Ini kesebelasan instan. Komposisi pemainnya semua pemain "impor", dengan demikian tidak memiliki ikatan emosional dengan daerah. Tiba-tiba saya rindu dengan Miskardi, pemain Kuantan Singingi yang tak pernah lagi saya hhat menggmng boia dengan iaju dan Tarjaki Lubis yang jumpalitan di bawah mistar. Sesungguhnya bagi PSPS, kemenangan adalah sebuah keniscayaan, sebab kita telah mengerahkan semua upaya secara maksimal. Bagi PSPS kemenangan mestinya bukan lagi sebuah sukses apabila sukses itu diartikan sebagai kemampuan mewujudkan keinginan dengan upaya minimal. Tetapi sudahlah, kegagalan bukan berarti kiamat. Kegagalan menurut Wendell Phillips, tidak lain dari pelajaran dan langkah pertama ke arah perbaikan. PSPS-ku sayang PSPS-ku malang, padahal bertabur bintang, bertabur uang, tapi pecundang. Sayang .... (28 April—4 Mei 2002)
70
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 3 Sebuah Perbandingan
71
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
1 Greoux Les Bains Monsieur Vincent La Rocca jongkok di samping kursi Willy Siahaan. Satu tangannya memegang lutut Willy dan satunya memegang sandaran kursi. Saya tidak mengerti apa yang sedang mereka perbincangkan dengan akrab, mereka berbicara dalam bahasa Prancis. Yang terasa aneh dan menarik bagi saya, Monsieur Vincent La Rocca adalah Wali kota Greoux Les Bains (dibaca: Grulebang), sebuah kota kecil yang indah di Prancis Selatan, kota di mana Group Sanggar Malay Dance dari Pekanbaru manggung atas undangan wali kotanya. Dan, Willy Siahaan adalah seorang pegawai rendah Konsulat Jenderal RI di Marseille yang ditugasi oleh Konsul Jenderal sebagai pengemudi saya selama berada di wilayah Prancis Selatan termasuk di Greoux Les Bains. Tidak terbayangkan oleh saya seorang wali kota mau berbicara langsung dengan rakyat biasa seperti Willy tanpa hambatan protokoler yang lazim ditemui di negeri kita. Sama sekali tidak kelihatan beda status antara La Rocca dengan Willy, padahal dari segi kepangkatan dan penghasilan, jangan tanya. Restoran dan hotel tempat kami dijamu oleh La Rocca siang itu, adalah milik La Rocca pribadi. Dibuatbuatkah sikap merakyat seperti itu? Rasanya tidak. Tidak ada tingkah polah La Rocca yang kelihatan norak, tidak juga Willy, orang Indonesia yang sudah berada di Prancis selama 15 tahun. Willy tidak kelihatan rikuh, tidak juga ngelunjak. Sikapnya saya perhatikan wajar saja walaupun yang jongkok di sebelahnya adalah seorang wali kota. Entah mengapa saya jadi teringat Prof. B.J. Habibie, mantan Presiden kita, ketika membuat suatu deskripsi tentang masyarakat madani yang waktu itu sedang hangat-hangatnya menjadi wacana. Gambaran masyarakat madani, menurut Prof. B.J. Habibie, adalah 72
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
suatu masyarakat yang anggotanya hidup berdampingan sederajat. Seorang direktur tidak merasa risi makan siang satu meja dengan tukang sapu. Mereka bisa berbincang-bincang akrab, tetapi setelah itu mereka kembali ke tugas masing-masing. Seorang direktur juga tidak segan-segan mengucapkan selamat pagi terlebih dahulu kepada sopirnya, atau sekadar menanyakan apa kabar. Masyarakat madani tidak gembar-gembor tentang persamaan hak, persamaan derajat, tentang persaudaraan tetapi hakikatnya mereka wujudkan dalam tindakan-tindakan nyata, dalam perilaku sehari-hari. Sebab sesungguhnya bukankah sebagai manusia, direktur dan sopir adalah sama, hanya profesi yang membedakan: yang satu sopir yang satunya direktur. "Baju kebesaran" direktur kan tidak perlu dibawa ke mana-mana dan tidak perlu dipertontonkan di segala tempat. Dalam deskripsi pemikiran Prof. Habibie, wong cilik tidak perlu minder bila berbincang-bincang dengan orang yang status sosialekonominya tinggi, sebaliknya tidak juga perlu "ngelunjak" alias besar kepala apabila diperlakukan secara terhormat sederajat. Apalah artinya "baju kebesaran" apabila di dalamnya terbungkus akal bulus. Sebaliknya baju boleh lusuh, tetapi di dalamnya terbungkus tubuh yang memiliki kepribadian agung. Pada masyarakat madani, pejabatnya merakyat, rakyatnya pula tidak sirik. Egaliter, begitulah agaknya ungkapan yang paling tepat. Kondisi masyarakat yang ideal sebagaimana digambarkan atau dikhayalkan oleh Prof. Habibie itu mudah diucapkan, na-mun sulit dalam perwujudannya. Pengalaman beberapa tahun terakhir ini merupakan minda yang sulit untuk digambarkan. Masyarakat kita hampir-hampir kehilangan identitas, kita bahkan cenderung menjadi aneh. Kita berbicara tentang supremasi hukum misalnya, tapi pada saat yang sama kita melanggar rambu-rambu. Kita berbicara tentang demokrasi, tapi kita marah bila orang lain berbeda pandangan. Banyak kejadian yang mengindikasikan bahwa kita ternyata sangat rasialis. 73
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Kita memang tidak memiliki segmen sejarah seperti Revolusi Prancis yang terkenal dengan semboyan liberte, egalite, dan fraternitenya. Semboyan itu pula yang sampai kini, walau tidak lagi digembar-gemborkan, terpatri dalam sanubari orang-orang Prancis, walaupun kejadiannya telah berlangsung lebih dari tiga abad yang silam. Kebebasan.persamaan.dan persaudaraan ini membuat orangorang Prancis memiliki imej yang ramah dan tidak arogan sebagaimana konon imej orang-orang Eropa Utara atau Amerika. Komitmen yang sungguh-sungguh untuk mengakui kebebasan, mengakui persamaan dan komitmen untuk memelihara persaudaraan telah membebaskan Prancis dari tirani kekuasaan absolut yang mengungkung mereka selama beberapa abad sebelum revolusi itu meledak. Semboyan itu sekarang tidak lagi mereka teriakkan sebagai yel-yel, tapi sudah mendarah daging. Kota Greoux Les Bains adalah sebuah kota kecil, tapi tertata dengan cantik dan indah. Kota yang berbukit-bukit ini sungguh memanjakan warganya dengan berbagai macam fasilitas publik, salah satu di antaranya adalah tersedianya trotoar yang tertata cantik untuk para pejalan kaki. Pejalan kaki tidak akan cepat merasa letih karena di sepanjang trotoar terdapat bunga-bunga yang cantik dan terawat dengan baik. Suasana itu memungkinkan warganya berkreasi dan memberikan apresiasi yang tinggi terhadap sebuah hasil karya, termasuk kesenian dan kebudayaan. Maka, tidak heran bila wali kotanya tidak lagi memikirkan hal-hal yang berkaitan dengan perut dan sekitarnya. Tingkat basic neednya sudah tinggi, sehingga dia tidak segan-segan membelanjakan fulusnya untuk memberikan tontotan kesenian yang menarik bagi warga dan turis-turis yang berdatangan ke kotanya dengan mengundang Sanggar Malay Dance. Pada saat makan siang dengan Wali kota Greoux Les Bains itu, saya mengingat karib saya Pak Herman Abdullah yang dilantik menjadi Wali kota Pekanbaru. Greoux Les Bains dan Pekanbaru tentu tidak sama, tetapi bila Pak Herman berhasil memanjakan warganya dan 74
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
berhasil menumbuhkan semangat persamaan dan persaudaraan yang bermartabat di Kota Bertuah ini, tentulah itu sebuah master-piece yang akan dikenang sepanjang masa. (1 Agustus 2001)
75
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
2 Petronas Petronas kini lebih dikenal sebagai nama gedung kembar (Twin Tower) pencakar langit di Kuala Lumpur, Malaysia. Gedung ini termasuk gedung tertinggi di dunia. Padahal Petronas sesungguhnya bukanlah perusahaan properti. Petronas adalah Pertaminanya Malaysia. Petronas yang dulu belajar dari Pertamina, kini telah tumbuh menjadi perusahaan raksasa. Mereka merambah ke mana-mana, ke Kazakstan, Myanmar, Afrika, dan lain-lain. Petronas bahkan telah membangun dua unit gedung pencakar langit yang menjadi kebanggaan rakyat Malaysia. Di Semenanjung, nama Petronas tak akan terpisahkan dari nama Tengku Razaleigh. Tokoh anak Kelantan inilah yang berjasa mendirikan Petronas. Saya dari dulu ingin bersua dengan Tengku yang satu ini dan saya beruntung (mimpi kali ye?). Melalui jasa sohib saya Aziz Cemok, saya berhasil menemui "Raja Minyak dari Malaysia" ini di kantornya yang terkesan anggun di pusat kota Kuala Lumpur belum lama ini. Bayangan saya akan berhadapan dengan seorang tokoh glamour, sebagaimana layaknya orang-orang yang berkecimpung dalam bisnis perminyakan, serta merta sirna. Saya bertemu dengan seorang tokoh yang sangat kebapakan, akrab, dan low profile. Tokoh ini, 35 tahun yang lalu, ketika masih berumur 28 tahun diberi tugas oleh Tuanku Abdurrahman, Perdana Menteri ketika itu, untuk menyusun konsep pengelolaan minyak bumi di Malaysia. Masalahnya, ketika ada operasi "Ganyang Malaysia" di awal tahun enam puluhan, Malaysia memberikan kebebasan kepada Sabah dan Serawak untuk mengelola hasil minyak buminya. Kebijakan ini diambil agar Sabah dan Serawak tetap setia kepada Semenanjung Malaysia. Ketika kemudian hubungan Indonesia dan Malaysia kembali normal, 76
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
ganyang-mengganyang usai, pusat kekuasaan di Kuala Lumpur bingung bagaimana sebaiknya mengelola minyak di Sabah dan Serawak ini. The Rising Star, Tengku Razaleigh, mendapat tugas besar dari perdana menteri. Apa yang dilakukannya pertama-tama adalah belajar dari Pertamina. Maka dia pun mondar-mandir Kuala Lumpur—Jakarta untuk menemui Dr. Ibnu Soetowo. "Suatu kali saya diajak Pak Ibnu Soetowo dalam kunjungannya ke daerah, saya lupa di mana. Saya kagum sekali melihat Pak Ibnu Soetowo disambut seperti raja", kenang Tengku Razaleigh. Diilhami oleh Pertamina, Tengku Razaleigh mendirikan Petronas. Sistem penambangan minyak diperbarui. Perusahaanperusahaan Malaysia harus ikut dalam konsesi minyak yang sebelumnya telah diberikan kepada orang asing. Tengku Razeleigh bercerita bagaimana Amerika sewot. Mereka protes, bahkan Presiden Gerald Ford sampai menelepon Perdana Menteri. "Tapi saya tak takut, saya tak bisa diberhentikan Amerika, saya pun tak digaji Petronas." "Saya hanya mengajukan konsep yang sederhana saja. Sebelumnya orang Barat diberi konsensi: selama masih ada bulan dan bintang. Mana boleh," kata Tengku. Berbual-bual dengan Tengku Razaleigh, rasanya saya ingin berlama-lama. Lembut penuh keakraban, penuh kehangatan, dan penuh kearifan, itulah kesan saya terhadap sosok ini. Dari penampilannya yang bersahaja tidak tampak bahwa dia adalah seorang tokoh penting Malaysia. Majalah Asiaweek edisi November 1999 menyebutnya sebagai "The Leader in Waiting", pemimpin yang sedang menunggu. Jelas yang dimaksud oleh Asiaweek, yang ditunggu Tengku Razaleigh adalah kursi perdana menteri. Siapa Tengku Razaleigh? Walau tidak pernah menepuk dada, dia bukanlah Tengku sembarang Tengku. Tengku ini adalah seorang ahli ekonomi yang dianggap mampu mengimbangi pemikiran Dr. Mahathir dalam visi perekonomian Malaysia. Pengalamannya memang mengesankan. Di samping pendiri Petronas, Tengku Razaleigh adalah 77
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
juga pendiri Bank Bumi Putera dan Badan Investasi Negara, Pernas, bahkan juga pernah menjadi Menteri Keuangan serta Menteri Perdagangan dan Perindustrian Malaysia. Dengan pembawaannya yang lembut tak terbayangkan oleh saya bagaimana Tengku Razaleigh bisa menantang Dr. Mahathir untuk memperebutkan kursi Presiden UMNO pada tahun 1987, walaupun akhirnya dia "tewas". Namun tercatat, dengan hanya kalah 43 suara dari 1.479, pertarungan itu dianggap paling sengit sepanjang sejarah Malaysia. Kekalahan itu membawa Tengku keluar dari UMNO untuk kemudian mendirikan Partai Semangat '46 dan berkoalisi dengan Partai Islam se-Malaysia (PAS) di negerinya, Kelantan. Dalam pemilu 1990 Partai Semangat dan PAS menyapu bersih semua kursi parlemen untuk Kelantan. Namun ketika Tengku Razaleigh kembali ke UMNO tahun 1996, dia pun diterima karena dianggap sebagai tokoh Melayu yang cerdas dan memiliki kadar intelektualitas yang tinggi. Tengku Razaleigh adalah tokoh dari Kelantan yang dianggap mampu mengalahkan Tuan Guru Nik Aziz Mat pemimpin PAS di Kelantan yang tidak pernah berhasil ditundukkan oleh Dr. Mahathir. Menurut pengamat dari Malaysia, apabila Tengku berhasil mengalahkan Cik Gu Nik Aziz di Kelantan maka peluang untuk naik ke pucuk pimpinan UMNO sangatlah besar, apalagi Tengku dianggap sebagai tokoh yang bisa mempersatukan Melayu di Malaysia setelah retak akibat isu Anwar Ibrahim. Tengku Razaleigh dianggap bersikap netral dalam isu yang paling banyak disorot di Malaysia dalam satu dekade terakhir ini. Oleh karena itu, dengan kapasitasnya yang sangat besar Tengku Razaleigh dianggap paling sesuai menggantikan Dr. Mahathir Mohamad sebagai Perdana Menteri Malaysia. Tengku Razaleigh kini memang tidak lagi menjadi teraju Petronas. Tapi Petronas yang belajar dari Pertamina itu telah diasuhnya menjadi anak yang pandai mengali-ngali dan membagi-bagi 78
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sehingga mampu memberikan kado istimewa bagi Malaysia. Dan karena itu Petronas dicintai rakyat Malaysia. Tanggal 31 Agustus ini adalah hari Kebangsaan Malaysia, entah kado apalagi yang diberikan oleh Petronas kepada negaranya. Tengku Razaleigh, tolong ajarkan kami ilmu mengali dan membagi. (2—8 September 2001)
79
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3 Bencana New York Ingat Kamikaze? Kamikaze adalah nama armada pesawat tempur Jepang dalam Perang Dunia II. Tugasnya menggempur kapal perang sekutu dengan cara menghantamkan pesawatnya ke cerobong asap kapal perang sekutu. Pesawatnya hancur dan kapalnya meledak. Aksi bunuh diri dari pilot armada Kamikaze ini luar biasa heroiknya. Kapal Induk Amerika The USS Franklin tenggelam setelah dihajar oleh Kamikaze. Kamikaze diilhami oleh mitos patriotik samurai dalam cerita kuno Jepang, ketika para samurai rela mengorbankan dirinva untuk kerajaan dengan cara bunuh diri. Serupa, tapi tidak sama, modus Kamikaze bisa kita saksikan di layar televisi beberapa hari yang lalu. Sayangnya pesawat bunuh diri itu bukan pesawat tempur, tetapi pesawat komersial Boeing 767 dan Boeing 757 milik Maskapai Penerbangan Amerika dan mengangkut pula sejumlah penumpang. Sasaran yang digempur pun bukan Armada ke-7 Amerika, tetapi gedung kembar pencakar langit World Trade Center di New York, sebuah kota terbesar dan teramai di dunia. Akibatnya, ribuan korban jatuh. Angka sementara tercatat, tidak kurang dari 10.000 orang tewas dalam bencana tersebut. Rasanya seperti mimpi melihat gedung pencakar langit ditabrak oleh pesawat terbang komersial. Tidak pula satu, dua gedung kembar pencakar langit ditabrak oleh dua pesawat komersial yang berbeda selang 18 menit. Pesawatnya tentu hancur terbakar dan gedung kembar yang bertingkat 110 dengan ketinggian 417 meter itu juga ambruk bersama kobaran api. Tragisnya, kejadian itu detik demi detik direkam dengan saksama oleh kamera televisi laksana pembuatan sebuah film kolosal. Tetapi ini bukan film kolosal, ini 80
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kejadian nyata yang sangat mengerikan dan ditonton oleh jutaan umat manusia di jagat ini. Jumlah korban banyak sekali dan kemungkinan angkanya terus bertambah. Yang pasti, Boeing 767 yang menabrak pertama mengangkut 81 penumpang dan 11 awak sedangkan pesawat kedua, Boeing 757, mengangkut 58 penumpang dan 6 awak, semuanya tewas. Gedung kembar World Trade Center itu sendiri, menurut berbagai informasi, masing-masing mempekerjakan tidak kurang dari 40 ribu orang. Orang-orang ini adalah pegawai-pegawai syarikat perniagaan mulai dari top eksekutif perusahaan sampai tukang antar surat dan sekuriti, penjaga toko, restoran, orang-orang yang terlibat dalam perdagangan valuta asing, dan sebagainya. Dan menurut informasi juga, masing-masing gedung kembar WTC ini setiap harinya dikunjungi tidak kurang dari 100 ribu pengunjung, baik yang terlibat dalam urusan bisnis maupun turis-turis yang sekadar ingin menikmati Manhattan (pusat kota New York) dari puncak gedung pencakar langit itu. Tiba-tiba semuanya menjadi horor yang menakutkan dan mengerikan. Kita bisa melihat dengan jelas melalui layar kaca bagaimana orang-orang yang melambai-lambaikan tangannya minta pertolongan. Sedihnya, kita hanya bisa menyaksikan, tetapi tidak bisa memberikan pertolongan sampai mereka terperangkap api dan kemudian ambruk bersama gedung jangkung itu ke bumi. Alangkah mengerikannya. Bahkan negara adidaya seperti Amerika Serikat pun tidak mampu berbuat apa-apa, padahal interval antara kejadian pertama dengan munculnya pesawat kedua yang menghajar kembaran gedung pertama adalah sekitar 18 menit. Cukup waktu sesungguhnya untuk berbuat sesuatu seperti ketangkasan yang sering dipertontonkan melalui film-film yang diproduksi oleh perusahaan perfilman Hollywood. Tetapi sekali lagi ini bukan film. Ini kejadian sesungguhnya. Gedung kembar yang didesain oleh arsitek Jepang Minoru Yamasaki ini selesai dibangun tahun 1973. Dan dengan ketinggian 417 81
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
meter yang terdiri atas 110 tingkat, Gedung Kembar WTC langsung memecahkan rekor gedung modern tertinggi di dunia yang semula dipegang oleh gedung Empire State Building yang memiliki 102 lantai dengan tinggi 381 meter di jantung Manhattan, New York City. Gedung Kembar WTC dibangun di tepi pantai menghadap ke Samudra Atlantik sehingga laksana pintu gerbang memasuki kota New York. New York City memang dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit. Akibat keterbatasan ruang, New York telah mulai membangun gedung-gedung pencakar langit pada tahun 1929, ketika di negeri kita, kuda konon masih makan besi. Gedung yang pertama berdiri pada tahun 1929 adalah Chrysler Building yang terdiri atas 77 lantai. Kemudian menyusul Empire State Building dan Gedung Kembar WTC yang mendapat serangan "kamikaze" itu. New York masih memiliki beberapa gedung pencakar langit yang lain, seperti Chase Manhattan Building (71 lantai), Sixty Wall Tower (66 lantai), Woolworth Building (60 lantai), Lever House, Seagram Building, Panam Building, dan lainlain. Di pusat perdagangan dunia, di mana Gedung Kembar itu berdiri, juga ada gedung pencakar langit lainnya seperti Custom Building, Plaza Building, dan Glass Tower. Sampai akhir hayatnya, Selasa 11 September 2001 kemarin, Gedung Kembar ini masih merupakan salah satu land mark New York dan masih memegang rekor gedung mencakar langit tertinggi di New York. Tetapi sejak tahun 1976 rekor pencakar langit tertinggi di dunia diambil alih oleh gedung Sears Tower di Chicago dengan ketinggian 442 meter. Chicago adalah kota terbesar ketiga di Amerika Serikat setelah New York City dan Los Angeles. Namun rekor Sears Tower ini kemudian ditumbangkan oleh gedung Petronas Twin Tower di Kuala Lumpur, Malaysia, dengan ketinggian 452 meter. Dan, Petronas Twin Tower ini pun akan dikalahkan oleh Gedung Shanghai World Financial Center di Shanghai, Cina, yang akan segera selesai dengan tinggi 500 meter. 82
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Suatu saat di musim gugur beberapa tahun yang lalu, dalam suhu yang sudah mulai dingin dan angin musim gugur yang mulai kencang, saya berdiri di halaman Patung Liberty di lepas pantai New York City, memandang ke arah kota dengan membelakangi Samudra Atiantik. Gedung Kembar WTC memang terlihat laksana pintu gerbang. Sekarang "gerbang" itu telah ambruk oleh kesombongan dan kenekatan anak manusia. Semogalah bencana itu yang terakhir kali. (16—22 September 2001)
83
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
4 'KarenaMu Malaysia' Malaysia boleh! Untuk pertama kalinya dalam sejarah SEA Games, Malaysia muncul sebagai ju-ara umum. Malaysia boleh tahan, adalah ungkapan Melayu untuk memberikan salut terhadap suatu kehebatan. Malaysia memang hebat sekarang. Dalam beberapa kali SEA Games sebelumnya ketika Malaysia menjadi tuan rumah, mereka belum pernah keluar sebagai juara umum, paling banter hanya peringkat ketiga setelah Indonesia dan Thailand. Kali ini Malaysia tidak hanya sukses mendepak Thailand dan Indonesia, mereka juga sukses sebagai penyelenggara dengan mempertontonkan kemajuan pembangunan di Malaysia yang sangat atraktif. Petronas ("Pertamina"nya Malaysia) misalnya, membangun gedung kembar pencakar langit tertinggi di dunia, mengalahkan gedung kembar pencakar langit WTC yang sekarang telah runtuh ditubruk pesawat terbang. Kuala Lumpur juga memiliki kebanggaan lain, "KL Tower" yang indah dan menakjubkan. Memang selaku tuan rumah Malaysia bisa diuntungkan oleh "kemudahan" ketika atletnya bertanding, tetapi yakinlah kemudahan saja tidak akan cukup bila mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik. Tidak usah mengecilkan arti kemenangan lawan, akui sajalah, Malaysia boleh! Adakah pengaruh spirit "KarenaMu Malaysia" demikian hebat memompa semangat? KarenaMu Malaysia, rangkaian kata yang terasa unik, adalah tema peringatan hari ulang tahun ke-44 Malaysia 31 Agustus tahun ini. Uniknya lagi, belum pernah terjadi tema hari jadi Malaysia sama dengan tema hari jadi tahun sebelumnya. Tapi tema KarenaMu Malaysia dipertahankan dua tahun ber-turut-turut, HUT 84
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
tahun 2000 dan 2001. KarenaMu Malaysia, singkat, tetapi sarat makna dan filosofi. Melalui sosialisasi yang demikian gencar dan bersahabat, Malaysia mampu mengawal emosi dan sekaligus prestasi masyarakatnya sehingga rakyatnya termotivasi, tersugesti, dan merasa berutang budi pada negara., Apa pun yang dituntut oleh negara rakyatnya siap berbakti, bahkan mati. "Tanpa Malaysia, kami tidak akan jadi begini", begitu Konsul Malaysia di Pekanbaru, Ahmad Samad, menjelaskan secara singkat filosofi dari KarenaMu Malaysia. Dampak dari tema ini telah membangkitkan semangat cinta kepada tanah air, dan rakyat Malaysia bangga menjadi orang Malaysia. Cukupkah dengan memompa semangat saja? Tentu tidak. Malaysia di bawah kepemimpinan Dr. Mahathir Mohamad, sejak hampir 20 tahun yang lalu telah berhasil membuat dan mengimplementasikan suatu perencanaan strategis. Malaysia berhasil mengidentifikasi secara tajam potensi konflik yang ada dalam bahasa yang sederhana. Mereka menyadari ada masalah dengan distribusi kekayaan negara yang bersentuhan dengan identitas suku, agama, dan ras. Distribusi tidak seimbang terhadap identitas Melayu. Kalau ini tidak ditangani dengan sungguh-sungguh, bisa menjadi bom waktu. Maka untuk menghilangkan potensi konflik tersebut, yang sudah pernah meletus bulan Mei tahun 1969 berupa kerusuhan etnik, Malaysia kemudian merumuskan Dasar Ekonomi Baru (DEB). DEB bukanlah bertujuan memberi kekayaan yang sama bagi setiap rakyat Malaysia, tetapi mewujudkan distribusi kekayaan yang wajar antara kaum-kaum. Apa yang ada pada bukan bumiputera, harus ada juga pada bumiputera. Sesungguhnya yang paling mudah adalah membagikan sama rata kekayaan itu kepada semua. Namun beberapa percobaan pada masa lalu oleh negara-negara komunis dan sosialis untuk mendistribusikan semua kekayaan dengan sama rata kepada seluruh rakyat telah menghasilkan kemiskinan yang sama rata, bukan 85
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kekayaan yang sama rata. DEB tidaklah bertujuan mengagih semua kekayaan dengan sama rata antarkaum, sebab hal ini dapat menjejas perkembangan ekonomi negara. Tujuannya adalah untuk mencapai pertumbuhan dengan keadilan, yaitu menghasilkan lebih banyak kekayaan dan mengagihkannya ke arah pembetulan ketidakseimbangan antarkaum, bukan antarindividu. Dalam konsep DEB, Malaysia memerlukan pertumbuhan ekonomi. Kekayaan melalui pengembangan perniagaan merupakan salah satu titik perhatian dalam konsep DEB. Untuk mengoreksi ketimpangan distributif, Malaysia ngotot memperuntukkan bahagian yang lebih besar dari kekayaan baru itu kepada bumiputera dibanding bukan bumiputera, yang memang telah menguasai bahagian yang jauh lebih besar dari kekayaan ekonomi yang ada. Jika diberi bahagian dan kesempatan yang sama kepada kedua golongan, apatah lagi jika diberi berdasar-kan kemampuan menimba kekayaan, tentulah jurang perbedaan itu semakin luas, bukan berkurang. DEB adalah tentang hal ikhwal ekonomi, khususnya tentang menyusun semula ekonomi Malaysia supaya kaum-kaum yang tinggal di negara ini mendapatkan bagian yang adil dari kekayaan ekonomi negara. Ini tidaklah dicapai melalui pengagihan kekayaan dengan mengambil harta orang kaya untuk dibagikan kepada orang lain. Sebaliknya, reposisi itu dicapai dengan menghasilkan kekayaan baru, dengan member! peluang-peluang mendapatkan kekayaan itu secara sungguh-sungguh, bukan lips service, supaya golongan yang tidak berada mendapat lebih banyak peluang daripada golongan yang berada. Tanggung jawab menolong bumiputera untuk mendapatkan peluang dan kekayaan terletak bukan saja di atas bahu pemerintah, tetapi di atas bahu bumiputera itu sendiri yang juga harus pandai menggunakan peluang bagi mendapatkan kekayaan. Dengan kata-kata yang sederhana, pemerintah akan memberi kontrak atau izin perniagaan yang eksklusif kepada bumiputera, tetapi selepas itu 86
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
bumiputera harus mengurus dan mengembang-kan ekonomi mereka sendiri. Konsepnya sederhana dan tanpa tedeng aling-aling. Ketika Malaysia mencapai kemerdekaan pada tahun 1957, banyak pengamat yang meramalkan bahwa negara yang terdiri dari multietnis (berbilang kaum) ini akan terpuruk secara politik dan ekonomi. Namun 40 tahun kemudian, Malaysia telah mencapai pembangunan ekonomi yang cemerlang serta keharmonisan kaum yang telah menjungkirbalikkan ramalan pengamat yang skeptis itu. Malaysia bahkan telah tumbuh menjadi suatu negeri yang maju dan modern. Dan kini dalam cabang olahraga pun mereka semakin sulit tertandingi. Sesungguhnya Malaysia dan Riau adalah dua negeri serumpun. Keduanya, agaknya hanya dipisahkan oleh olahraga, tetapi keduanya dipertautkan oleh Selat Malaka. Visi Riau 2020 pun sedikit banyak diadopsi dari tetangga. Meniru sukses apa salahnya, lagi pun keduanya memiliki akar budaya yang sama. Kata orang, bahasa menunjukkan budaya.
(30 September—6 Oktober 2001)
87
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 4 Membaca Tokoh
88
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
1 Megawati Soekarnoputri Ada catatan humanis dibuang sayang yang masih tersimpan rapi dalam disket saya tentang Ibu Mega. Ternyata, urusan banyolmembanyol tidak hanya milik Gus Dur, yang dikenal sebagai presiden yang paling humoristik di dunia. Bu Mega juga bisa melawak, walaupun saya yakin tidak ada obsesi beliau untuk dikenal sebagai seorang presiden yang humoris. Di sela-sela makan siang menjelang peringatan HUT PDI Perjuangan Propinsi Riau di Pekanbaru belum lama ini, Bu Mega, yang ketika itu undangan yang duduk mendampingi beliau di meja utama ketawa ria. Selaku Ketua DPRD Riau, saya beruntung mendapat kehormatan duduk di sebelah kiri Bu Mega, sementara di sebelah kanan duduk Gubernur Riau Saleh Djasit. Suatu kali ketika menyaksikan karapan sapi (lomba balapan sapi) di Madura, Bu Mega bercerita, namanya dipanggil oleh protokol perlombaan. "Selanjutnya Mega kami persilakan tampil", Ibu Mega menirukan gaya protokol. "Tentu saja saya agak kebingungan, karena tanpa basa-basi protokol perlombaan memanggil nama saya," kata Bu Mega. "Yaak ... kami persilakan", kata protokol menegaskan. "Saya sudah hampir berdiri, ketika tiba-tiba muncul seekor sapi Madura. Saya baru sadar bahwa Mega yang dipanggil itu bukan saya, tapi seekor sapi," kata Ibu Mega sambil ketawa renyah. Kami semua dibuat Ibu Mega ketawa. Karena yang mentertawakan diri sendiri itu adalah Ibu Megawati Soekarnoputri, yang waktu itu seorang wakil presiden, tentu saja ini membuat ger-geran kami yang mendampingi Bu Mega makan siang ketika itu, apalagi Bu Mega bercerita dengan akrab dan santai. Salah seorang pejabat teras di Riau berbisik kepada saya kemudian, "Ternyata senyum Ibu Mega itu manis sekali," katanya tulus. Wow ..., belum taaahu dia. Inilah antara lain yang membuat Pak Taufik Kiemas kesengsem. 89
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Tunggu Bung, cerita banyol-membanyol belum habis. Bu Mega masih punya cerita tentang Ketua Cabang PDI Perjuangan Kabupaten Bangil di Jawa Timur yang berperawakan kecil tidak meyakinkan. "Perawakannya bahkan lebih kecil daripada Ketua DPD PDI Perjuangan Propinsi Riau," kata Bu Mega sambil menunjuk Pak Suryadi Khusaini yang memang berperawakan kecil. "Tapi, kecil-kecil cabe rawit Iho, biar kecil tapi poeedes," kata Bu Mega dalam logat Jawa Timuran. "Buktinya", Bu Mega meneruskan, "Di zaman ketika masih ada istilah daerah bebas partai politik, Kabupaten Bangil itu termasuk daerah bebas parpol. Suatu kali saya didatangi oleh seorang aktivis partai, perawakannya kecil, benar-benar tidak meyakinkan. Dia bilang dia siap menjadi pengurus partai di Bangil. Saya tidak percaya, tapi si aktivis yang kecil itu tetap saja membandel, sampai kemudian ketika musim bebas parpol habis, dia jadi ketua cabang dan sekarang, eeh malah jadi bupati". "Kecil-kecil begitu kok bisa jadi bupati ya," canda Bu Mega senyum-senyum. Bu Mega mungkin belum tahu, orang kecil dan pendek itu umumnya cerdik. Sebab, konon (nah, ini alasan menurut Prof. Habibie, Presiden ketiga RI yang juga berperawakan kecil), orang kecil itu jarak antara perut dan otaknya lebih pendek sehingga suplai makanan dari perut ke otak lebih cepat. Itu konon. Betul atau tidak, wallahualam. Kini Ibu Mega telah terpilih menjadi Presiden RI yang kelima. Akankah Bu Mega masih bisa bercerita dalam suasana santai dan akrab seperti itu? Kita belum tahu persis karakter Bu Mega, seperti misalnya karakter Gus Dur yang suka melawak. Dulu kita pernah mendengar nina bobok: Presiden pertama Bung Karno, sangat tepat karena waktu itu bangsa kita memerlukan seorang orator untuk membakar semangat mempertahankan kemerdekaan. Soeharto pula muncul pada masa yang tepat ketika bangsa kita harus mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Periode selanjutnya, kita memerlukan seorang presiden ilmuwan seperti Habibie yang dapat memberikan muatan teknologi karena kita akan tinggal landas. Tepat juga. Namun kemudian ternyata kita gagal tinggal landas bahkan akhirnya terjebak dalam krisis multidimensi yang hampir-hampir membuat kita putus asa, maka 90
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sangat tepat kita memiliki seorang presiden yang humoris seperti Gus Dur, semuanya kelihatan ringan, begitu aja kok dipikirin. Semuanya bisa disebut muncul tepat sesuai dengan zamannya, namun sayangnya semua turun dari singgasana dalam keadaan yang mengenaskan. Karakter mereka telah terbunuh oleh keadaan secara kejam, sehingga mereka kehilangan elannya. Gus Dur misalnya, tidak lagi bisa merespon secara kocak serangan dari lawan-lawan politiknya. Padahal di awal kepemimpinannya, ketika dia disuruh mundur, dengan kocak Gus Dur menjawab, "Maju saja susah, kok disuruh mundur." Atau ketika dia dituntut turun, dengan ringan dia menjawab, "Dokter saya menyuruh turun... turunkan berat badan," katanya. Suasana langsung demikian saja menjadi cair, paling tidak untuk sementara. Nah, bagaimana dengan Bu Mega? Warisan masalah terlalu berat untuk dihumorkan. Cobalah bayangkan bila ada program nasional merakyatkan tertawa dan mentertawakan rakyat, kan bisa dikejar orang satu kampung dengan parang. Kita semua berharap Bu Mega juga muncul pada saat yang tepat, ketika semua permasalahan sudah mencapai titik kulminasinya, ketika masalah itu sendiri sudah bosan jadi masalah, sehingga semua menjadi kaji menurun dan akhirnya dapat diselesaikan dengan tuntas. Daftar pan-jang pembunuhan karakter (character assassination) menjadi pengalaman buruk, jangan lagi sampai terulang. Kita pernah dipimpin oleh empat pria sejati, tapi gagal. Sekarang kita coba sentuhan wanita. John Naisbitt, agaknya Anda benar! (3—9 Agustus 2001)
91
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
2 Membaca Amien Rais Siapa tak kenal Amien Rais. Tokoh kunci Poros Tengah ini adalah orang yang paling berjasa dalam mendudukkan Gus Dur di singgasana kepresidenan, tetapi kemudian dia pula yang paling berjasa mengusung Gus Dur turun dari singgasana dan memfasilitasi haiknya Megawatt Soekarnoputri. Anda boleh bilang apa saja, tapi fakta menunjukkan Amien Rais layak diberi julukan "Kings Maker". Dalam Sidang Umum MPR tahun 1999, Amien Rais selaku pemimpin Poros Tengah, konon mendatangi Gus Dur dan berbasa-basi menawarkan kepada Gus Dur apakah bersedia dipilih menjadi presiden. Konon, sekali lagi konon, jawaban yang diharapkan Amien ketika itu adalah, dengan keterbatasan fisiknya, Gus Dur akan menjawab: tidak bersedia. Bila Amien bertanya basa-basi, Gus Dur pula menjawabnya tanpa basa-basi: dia bersedia! Maka, pertanyaan tidak mungkin diulang lagi dan Gus Dur pun melenggang kangkung. Momen ini, entah benar entah tidak, sering menjadi bahan cerita politik di warung kopi. Amien Rais adalah tokoh reformasi yang paling terkenal, ucapan-ucapannya orisinil dan sering membuat orang kebakaran jenggot. Tanpa segan-segan dia mengatakan bahwa Indonesia akan segera memiliki kepemimpinan nasional yang baru. Padahal pada pertengahan Juli 2001, ketika Amien membuat statement politik itu, Gus Dur kan sedang garang-garangnya. Maka tak ayal lagi, Gus Dur pun menantang adu kekuatan dan langsung mengeluarkan rudalnya: dekrit! Untung rudal itu tidak mengenai sasaran, alias luput. Kalau tidak luput, sasarannya pasti sudah luluh lantak. Dekrit adalah senapan pamungkas Gus Dur yang sudah sering diacung-acungkannya untuk menakut-nakuti lawan. Senapan itu kemudian sungguh-sungguh dipergunakannya, tetapi ternyata tidak lagi mangkus, bahkan kalau boleh disebut, senjata makan tuan. Terdorongnya dekrit dikeluarkan oleh Gus Dur, bisa jadi sebuah 92
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
skenario politik tingkat tinggi, namun bisa juga kebetulan. Banyak pengamat mengatakan, dekrit itu "blessing in disguise" —suatu kejadian yang memberikan berkah. Situasi cepat menjadi matang, walaupun terkesan matang dikarbit. The game is over! Amien Rais memang terkenal ceplas-ceplos. Sepertinya kalau bicara tak ambil pusing, layaknya tidak memiliki saraf takut. Atau saraf takutnya telah lama putus. Perihal keberanian yang nilainya 150 ini, ada yang berseloroh, jangan-jangan Pak Amien juga memiliki jin sebagai body guardnya. Tidak dapat disangkal, hiruk pikuknya panggung politik nasional lima tahun terakhir ini telah memberikan peluang bagi Amien Rais untuk menancapkan benderanya. Amien Rais kelihatannya menemukan habitatnya pada keadaan yang tidak menentu (uncertainty) dan keadaan yang tidak dapat diperkirakan (unpredictable). Tentu masih segar dalam ingatan kita, saat awal bergulirnya gerakan reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa. Petinggi-petinggi seperti cacing kepanasan dan kehilangan muka dihujat kiri-kanan hari demi hari, tetapi tidak dengan Amien Rais. Amien laksana burung merak mengepak-ngepakkan sayapnya kian kemari. Amien ibarat ikan dan mahasiswa ibarat kolamnya. Amien bisa membawakan diri secara pas dan ungkapan-ungkapannya terasa mengena dengan selera mahasiswa. Ketika Gus Dur naik ke singgasana kepresidenan dengan atribut ulama intelektual dan membawa segudang predikat, tokoh prodemokrasi, reformis, tokoh Islam, tokoh pencerahan dan mulai melakukan gebrakan demi gebrakan, Amien seakan tenggelam. Suaranya sayup-sayup terdengar, atau bahkan nyaris tak terdengar. Dia kemudian baru bangun dari lelap ketika Gus Dur mulai kehilangan keseimbangan akibat bisikan-bisikan yang agaknya tidak akurat, sehingga melakukan beberapa blunder. Amien pun mulai "bernyanyi" dan mendendangkan lagu untuk sohibnya Gus Dur: "Kau bukan dirimu lagi". Dan koor pun mulai memanasi Amien: "Kau yang memulai kau yang mengakhiri". Maka sejarah pun berulang. Amien Rais kelihatannya sangat menikmati habitatnya: situasi yang kacau-balau dan suasana yang mencekam. Semakin tertekan 93
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
semakin dia menampakkan diri. Oleh karena itu, ujian sesungguhnya bagi kepemimpinan Amien Rais, menurut hemat saya, bukan bagaimana ia keluar dari situasi sulit, tetapi bagaimana dia unjuk gigi di masa damai. Di masa sulit, jelas dia sudah teruji. Oleh karena itu, saya tidak begitu heran kenapa Pak Amien tidak berceramah secara panjang lebar dalam peringatan Hari Ulang Tahun Partai Amanat Nasional se-Sumatra di Balai Dang Merdu, Pekanbaru, Riau. Padahal kesempatan seperti itu lazimnya akan dipergunakan dengan baik oleh seorang pemimpin partai untuk memberikan pemantapan platform partai terhadap para anggotanya yang jauh-jauh datang ingin mendengarkan wejangan pemimpinnya. Ketika Amien Rais memulai pidatonya dengan mengatakan, "Saya tidak akan berbicara panjang lebar." Kontan beberapa hadirin nyeletuk agar pidatonya panjang. Pak Amien mungkin belum tahu, di Pekanbaru harus ditanya dulu "mau panjang atau pendek"? Saya membaca, Pak Amien mungkin sedang tidak mood, atau masih belum hilang letih ngurusin negara. Tetapi setelah agak lama saya renungkan, saya menyadari kenapa Pak Amien kurang bersemangat untuk berpidato. Iklim kehidupan berbangsa yang kondusif seperti sekarang agaknya bukan habitat yang sesuai bagi tokoh yang bernama Amien Rais. Sasaran tembaknya saat ini memang sudah tidak ada lagi. Ibu Mega terlalu dini untuk dikritik, belum cukup alasan untuk dikirimi rudal, seperti yang dilakukannya terhadap Gus Dur ketika menyampaikan pidato dalam pembukaan Musyawarah Wilayah PAN Riau beberapa waktu yang lalu. Ketika itu tanpa basabasi Amien Rais melontarkan beberapa rudal scud-nya. Amien Rais bukan tidak pernah memancing, dia mengkritik kunjungan Ibu Mega berkeliling ASEAN, tetapi kritik ini tampaknya tidak direspon oleh "pasar". Atau itu hanya sekadar kritik basa-basi. Hamzah Haz pula, sebagai tokoh yang tersisih dari kumpulan Gus Dur ketika berkuasa, adalah figur yang layak pada posisinya sekarang, juga belum memiliki
94
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
celah untuk dikritik. Sementara Akbar Tanjung terlalu santun untuk dikirimi rudal, lagi pula kan sesama anggota majelis. Bukankah sesama bus kota dilarang saling mendahului?
(9—15 September 2001)
95
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3 Panggil Aku Osama Ketika Perang Teluk berkecamuk, awal tahun 1991, saya sedang studi di Reggio Emilia, Italia, sebuah kota kecil tidak jauh dari Bologna. Beberapa kawan sekelas yang mengikuti program ini yang berasal dari negara-negara Afrika, seperti Aljazair, Tunisia, Tanzania, Kenya, Mesir, dan Senegal benar-benar mengagumi Saddam Hussein, Presiden Irak yang gagah berani melawan Amerika. Sebaliknya, mereka sangat membenci Presiden Amerika Serikat George Bush (ayah dari George W Bush. Presiden AS yang sekarang) Suatu kali saya disodori teka-teki oleh Lalou Fadhilla, seorang kawan yang berasal dari Aljazair: "Siapa cowok yang paling ganteng di dunia?" (dalam bahasa Italia tentu). Sambil senyum-senyum cewek cantik ini memberi saya kesempatan beberapa saat berpikir. Saya tahu ini bukan pertanyaan yang serius. Saya pun menjawab sekenanya, "Saddam Hussein!" Kawan saya itu bersorak gembira, ternyata saya "betul". "Vero, vero, davero! Tu sei bravo il mio fratello" (Betul, sangat betul, kamu hebat sekali saudaraku)," jerit Fadhilla. Saddam Hussein memang kalah secara fisik dalam Perang Teluk (siapa yang bisa melawan kedigdayaan Amerika?), dan Irak kemudian dikenai embargo oleh AS bersama sekutu-sekutunya. Tapi Saddam Hussein memenangkan hati tidak hanya umat Islam di seluruh dunia, juga negara-negara dunia ketiga yang terpinggirkan. Saddam Hussein menang moril dan menjadi pahlawan di mata rakyatnya, apalagi kemudian, Presiden AS yang menghajarnya, tumbang silih berganti. George Bush dikalahkan Bill Clinton dan Clinton dikalahkan George W Bush, dan Saddam masih berdiri di sana, tak ada "matinya". Maka kemudian ketika saya pulang ke tanah air, saya tidak terkejut ketika kawan saya Ir. Nasrun Effendi, mantan Ketua AMPI Propinsi Riau, memberi nama anaknya Saddam. Sebuah kedai kopi di Pasar Pusat di Pekanbaru pun diberi nama Kedai Kopi Saddam. Mungkin masih banyak Saddam-Saddam yang lain, seperti juga orang96
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
orang memberi nama anaknya Habibie atau Mega, sebagai wujud sebuah kekaguman. Dan kini, muncul fenomen baru: Osama bin Laden! Anda tentu ternganga dan terbelalak melihat menara kembar pencakar langit WTC di New York ditabrak dua buah pesawat komersial dan kemudian runtuh ke bumi tapi saya yakin, anda kembali ternganga ketika menyadari kenyataan-kenyataan lain yang mengekori bencana tersebut. Osama bin Laden, dituduh sebagai tokoh yang berada di balik aksi teror ini. Tokoh yang konon dikenai sebagai pribadi pemalu dan jarang tampil di muka umum ini, dicap sebagai ekstrimis Islam yang sangat anti-Amerika. Tuduhan itu agaknya muncul dari beberapa indikasi yang dirangkai oleh AS dari beberapa ancaman permusuhan yang dikumandangkan Osama bin Laden, terutama kegeraman Osama terhadap Amerika dan Israel dalam masalah Palestina. Maka, Pemerintah Taliban yang berkuasa di Afghanistan, di mana konon Osama bermukim, dan menurut Amerika menyembunyikan Osama, diberi ultimatum oleh AS: apabila dalam tempo 3 x 24 jam tidak menyerahkan Osama, maka AS bersama sekutunya akan melakukan ope-rasi militer terhadap Afghanistan. "Kami tidak memerangi Afghanistan, kami hanya mencari dan menangkap Osama," begitu kata AS. Dari mana AS belajar mengultimatum 3 x 24 jam itu? Sebab sepengetahuan saya, yang pertama mensosialisasikan ultimatum tempo 3 x 24 jam itu adalah ARUK (Aliansi Riau Untuk Kuasai CPP Block), sebuah aliansi dari beberapa kelompok pergerakan pemuda dan mahasiswa di Riau yang mengultimatum pemerintah pusat dalam masalah perpanjangan kontrak salah satu ladang minyak di Riau. Lalu beberapa hari kemudian disusul oleh Polda DKI Jakarta yang juga memberikan ultimatum 3 x 24 jam kepada Tommy Soeharto agar menyerah. Dan AS pun kemudian ikutikutan latah menggunakan senjata ultimatum 3 x 24 jam, walaupun agaknya hanya gertak sambal. Betul atau tidak Osama bersalah, tudingan itu telah membuat heboh. Kalau betul misalnya, alangkah dahsyatnya orang yang bernama Osama bin Laden ini. Dari bunkernya di Afghanistan, sebuah negeri 97
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
yang porak-poranda akibat perang saudara, dia bisa mengendalikan sebuah operasi mahapenting dan maharahasia. Sungguh luar biasa! Tentulah Osama bukan orang sembarang orang, dan tentulah Osama memiliki peralatan komunikasi yang super canggih, yang mengalahkan peralatan komunikasi super canggihnya AS. Tidak cukup hanya dengan saling kirim SMS. Kalau tidak super canggih, tentulah jaringan komunikasi Osama akan dengan mudah disadap oleh jaringan intelijen AS. Apalagi selama ini Osama bin Laden, dalam perspektif AS, adalah seorang teroris yang masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO) nomor wa-hid di sono yang selalu diteropong keberadaannya. Namun, masyarakat tentu belum lupa sepenuhnya ketika nama Osama bin Laden juga pernah mencuat berhari-hari setelah peristiwa pengeboman gedung federal AS di Oklahoma City yang juga menewaskan banyak korban. Ironisnya, kendati penyelidikan tertuju kepada Osama, namun akhirnya diketahui pengeboman dilakukan oleh mantan serdadu AS, Timothy McVeigh, yang mengalami depresi hebat. Keliru kan? Kalau tudingan kepada Osama kembali salah seperti kasus Oklahoma City itu, maka alangkah gegabahnya AS mencari kambing hitam, apalagi dengan mengerahkan armadanya: darat, laut, dan udara. Itu artinya sama saja Amerika menabur angin. Dan sudah menjadi hukum alam, siapa menabur angin akan menuai badai. Coba lihat, belum lagi terbukti Amerika salah sasaran, mereka pun telah menuai badai. Gelombang aksi anti-Amerika ini, juga membuat kita ternganga. Walaupun Presiden AS George W Bush telah mengumpulkan tokohtokoh muslim di seluruh negeri Paman Sam dan membuat pernyataan bahwa Amerika bukan memerangi umat Islam, tetapi memerangi teroris, namun polarisasi sudah telanjur mengental dan simpati sudah mengalir kepada si lemah. Kita juga ternganga melihat reaksi yang berlebihan terhadap Amerika, seperti aksi-aksi sweeping yang memalukan, aksi-aksi pembakaran bendera. dan sebagainya. Osama pun dibela habis-habisan walaupun belum jelas siapa sesungguhnya Tuan Osama bin Laden ini. Teroriskah atau pahlawan. 98
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Musibah gedung WTC dan Pentagon merupakan pil yang teramat pahit bagi AS dan juga telah menyibakkan banyak hal tentang perilaku kita. Sepatutnya AS dan kita belajar banyak dari kasus ini. Pihak lemah yang terpojok sangat mudah meraih simpati. Dan itu diperoleh Osama. Sehingga saya pun mahfum ketika suatu siang beberapa hari yang lalu sebuah SMS masuk ke HP saya: "Bang, panggil aku Osama".
(7—13 Oktober 2001)
99
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
4 Panggil Aku Osama "Part Two" Esai saya yang berjudul "Panggil Aku Osama" di Tabloid Mentari dua minggu yang lalu mendapat respon dari kawan-kawan muda yang membuat saya geli. Beberapa SMS masuk ke HP saya. "Bang Chaidir, panggil aku juga Osama," kata mereka. "Bang, aku memang Osama, namaku Osamah Kurniawan," kata yang lain. Yang membuat saya terkejut, Pak Abusamah, yang biasanya saya panggil Pak Abu, tidak lagi mau dipanggil Pak Abu, dia juga minta dipanggil Osama, mungkin karena secara secara fonetis bunyi pengucapan Abusamah memang mirip dengan Osama. Di Afghanistan ada Osama, di Pekanbaru ada Abusamah, begitulah kira-kira. Yang gila lagi ada teman yang memanggil suaminya Osama, dan menjuluki putranya Osama Junior. Edan! Osama, lengkapnya Osama bin Laden adalah sebuah nama yang mendunia dan paling terkenal pasca tragedi Gedung WTC di New York dan Gedung Pentagon di Washington 11 September. Yang mempopulerkan nama itu justru Presiden Amerika Serikat George Walker Bush yang amat sangat membenci Osama. Presiden Bush mengajak seluruh penjuru dunia memerangi dan menangkap Osama hidup atau mati. Tentu ada yang setuju ada yang tidak, ada yang wait and see, ada yang me-nunggu di muara (hanya menunggu hasilnya saja), tetapi ada juga yang seperti baling-baling di atas bukit, tergantung ke mana angin bertiup. Sesungguhnya Osama bin Laden bukan levelnya George W Bush. George W Bush adalah presiden dari satu-satunya negara superpower di dunia saat ini, tokoh dunia yang sangat terkenal, dihormati, disegani, dan tinggal di gedung putih yang mewah. Ibaratnya, kumis ada, jenggot pun punya. Presiden Amrik cing! Opo ora hebat! Sementara Osama bin Laden, konon memang kaya, tetapi dia bukan tokoh dunia. Afghanistan yang miskin berantakan dan disorder itu pun bukan dia yang mengepalai. Dia hanya "anak dagang" 100
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
di Afghanistan. Osama lebih tepat disebut nomaden karena tempat tinggalnya berpindah-pindah dari satu bunker ke bunker yang lain, dari satu kemah ke kemah lain. Dalam bahasa gaulnya, Bush adalah somebody, sementara Osama nobody. Kasihaaan deh lo! Kalau menggunakan gaya kepemimpinan Jawa, Bush harus diupayakan mati-matian tidak akan pernah menyebut nama Osama bin Laden. Bush tidak perlu menyebut Osama sebagai musuh nomor satu, karena kalau dilakukan demikian maka sang lawan akan merasa hebat sekali. Perlu ada rekayasa agar orang lain yang memunculkan nama Osama, sedangkan sang pemimpin akan hemat berkomentar. Kalaupun berkomentar dia akan mengatakan: mungkin bukan dia orangnya, orang itu hanya kaliber pencuri ayam. Pokoknya bagaimana rivalnya direndahkan martabatnya. Tapi Bush bukan orang Jawa. Lain lubuk lain ikannya, lain padang lain belalangnya. Kini foto Bush dan Osama bergandengan di mana-mana seperti dua sejoli. Bush telah membuat Osama selevel dengannya. Kini, ketika kaitan Osama bin Laden dengan tragedi Gedung WTC dan Gedung Pentagon belum lagi menampakkan titik-titik terang bahkan semakin kusut, muncul pula tuduhan lain untuk Osama yang tidak kalah dahsyatnya. Osama dituding oleh Wakil Presiden Amerika Serikat, Dick Cheeney, sebagai otak di balik penyerangan AS dengan senjata biologi (biological weapon) melalui penyebaran kuman anthrax di Amerika Serikat. Amerika tampaknya tak putus dirundung heboh. Setelah tragedi 11 September yang menjadi tragedi abad ini, kini AS kembali heboh. Negeri Paman Sam itu diserang kuman anthrax. Kuman anthrax adalah sejenis kuman yang biasanya menyerang ternak sapi, kambing, kuda, atau domba. Tetapi penyakit anthrax disebut penyakit zoonosis karena termasuk penyakit hewan yang dapat menular kepada manusia. Apabila individu yang tercemar tidak dapat diidentifikasi secara dini, maka individu tersebut dalam bahaya kematian, sebab kuman Bacillus anthracis yang menyebabkan penyakit anthrax tersebut di dalam tubuh penderita akan menghasilkan toksin atau racun yang mematikan. Bila diketahui secara dini obatnya sebetulnya mudah, yaitu dengan suntikan 101
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
antibiotik. Penyebaran kuman anthrax memang tidak secepat virus HIV, tetapi yang menyulitkan dalam pemberantasan penyakit anthrax adalah kuman itu sukar untuk dimusnahkan, apalagi bila sudah tercecer ke mana-mana. Kuman ini bisa hidup selama empat puluh tahun dalam spora di tanah, untuk kemudian akan kembali berkembang biak apabila lingkungannya favourable (menguntungkan). Untuk suatu negeri di mana anthrax ditemukan secara sporadis, penyakit tersebut tidak terlalu menjadi momok, tetapi untuk negeri yang modern dan perfeksionis seperti AS, pencemaran kuman anthrax tersebut merupakan musibah besar dan menakutkan. Dan yang lebih mengancam AS sebenarnya adalah meluasnya rasa ketakutan, kepanikan, dan ketidaknyamanan. Warganya tidak lagi bebas. Pemerintah terpaksa mengeluarkan seperangkat petunjuk, larangan ini itu dan sebagainya, yang sesungguhnya tidak disenangi oleh warganya yang sudah terbiasa bebas. Sebagai sebuah negara superpower, mereka sekarang mengalami demoralisasi. Jadi adalah sangat wajar apabila AS kalang-kabut menghadapi senjata biologis tersebut. Amerika membombardir Afghanistan dengan rudal dari pesawat tempur dan kapal induk, sementara AS sendiri dibombardir dengan kuman anthrax atau entah apalagi. Hanya saja, siapa yang mengirim kuman-kuman tersebut belum dapat dibuktikan, masih misterius. Kambing hitam yang paling mudah adalah Osama bin Laden. Di sisi lain, setakat ini Osama bin Laden justru semakin kuat dengan semakin banyaknya dukungan moral dari seluruh penjuru dunia, bahkan terkesan berlebihan. Kemungkinan bahwa Osama betul berada di belakang tragedi Gedung WTC dan Gedung Pentagon serta penyerangan AS dengan seniata biologi kuman anthrax telah diabaikan. Betul atau tidak tudingan AS itu tidak lagi dipertimbangkan. Orang hanya melihat kondisi terkini, AS dengan pesawat-pesawat tempur super canggihnya dan perlengkapan perang yang super lengkap telah menghajar sebuah negara kecil dan lemah. Dan yang menggugah rasa simpati, si kecil dan si lemah yang tidak berdaya itu bertekad melawan terus sampai tetesan darah menghabisan, walaupun dia akan hancur 102
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
lebur. Pemimpin Taliban Afghanistan Mullah Mohammad Omar dengan semangat pantang menyerah mengatakan hanya ada dua pilihan "kematian atau kemenangan". Satu hal: Mereka tetap tidak akan menyerahkan Osama bin Laden. Semua sudah terbawa arus, entah hikmah dan pembelajaran apa yang bisa kita petik dari tragedi peradaban ini, sementara korban terus saja berjatuhan. Mengherankan, tidak ada nuansa ketakutan di sana. Dan orang semakin banyak saja yang menyebut dirinya Osama. Rasarasanya, walaupun kelak Osama akan luluh lantak di terjang rudal atau bom Amerika, masalahnya juga tidak akan usai, karena akar permasalahan sesungguhnya tidak terungkai.
(21—27 Oktober 2001)
103
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
5 Jefri Noer Sampai kartu suara yang ke 44 dibuka, skor masih imbang antara sang calon unggulan Zulher dengan sang "kuda hitam" Jefri Noer: 22 vs 22. Kartu suara terakhir, kartu suara ke-45, dibuka dengan hati-hati oleh Panitia Pemilihan yang tampak ikut tegang: Jefri Noer! Maka, dengan memperoleh 23 suara, yang berarti lebih dari setengah Anggota DPRD Kampar, resmilah Jefri Noer terpilih sebagai Bupati Kampar, Propinsi Riau periode 2001 - 2006. "Pertandingan" mendebarkan itu sebelumnya telah terjadi pada babak penyisihan ketika kedudukan imbang terjadi antara Syawir Hamid dan Jefri Noer: 13 lawan 13. Sementara Zulher telah melenggang lebih dulu ke babak final dengan mengantongi 18 suara. Jefri pada saat gen-ting itu berhasil memperoleh tambahan satu suara sementara Syawir terpaku pada 13 suara. Ibarat pertandingan sepak bola, perjuangan Jefri Noer untuk menjadi juara cukup sengit. Semua pertandingan dimenangkannya melalui "adu pinalti". Banyak hal yang menarik dalam proses pemilihan Bupati Kampar kali ini, apalagi dengan tampilnya Jefri Noer sebagai pemenang dan dengan demikian menjadikan dia sebagai pucuk pimpinan Kampar, orang yang didulukan selangkah dan ditinggikan seranting di masyarakat. Jefri adalah orang swasta murni, sama seperti Rusli Zainal, Bupati Indragiri Hilir, yang untuk pertama kalinya di Riau berhasil menjungkirbalikkan tradisi, bahwa jabatan kepala daerah adalah porsi orang-orang birokrasi atau TNI. Dan sampai saat ini, walaupun pada awalnya ada kalangan yang skeptis, Rusli Zainal dalam pemantauan saya telah menunjukkan kinerja yang brilian sebagai Bupati Indragiri Hilir. Rusli Zainal telah mem-berikan garansi bahwa orang swasta layak menjadi kepala daerah. Sebenarnya Bupati Rokan Hulu, Ramlan Zas, juga bukan berasal dari birokrasi atau TNI, tetapi dengan pengalamannya yang hampir 10 tahun menjadi Anggota DPRD Propinsi Riau, apalagi latar 104
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
belakang profesinya sebagai pengacara, saya tidak menggolongkan Ramlan Zas sebagai swasta murni. Di samping itu, Ramlan Zas belum lagi cukup setahun menempati posisinya di singgasana Rokan Hulu, sehingga terlalu dini untuk memberikan suatu penilaian walau sifatnya kualitatif sekalipun. Entah terpengaruh oleh kawan-kawannya dari Indragiri Hilir, entah tidak, kenyataannya DPRD Kampar telah memilih orang swasta untuk menjadi nakhoda "perahu" Kampar selama lima tahun ke depan. Tapi itu sama sekali tidak relevan untuk dikaji. Yang relevan adalah, Rusli Zainal dengan kepiawaian lobinya telah sukses di Inhil, maka Jefri Noer harus lebih sukses lagi sebagai nakhoda Kampar, apalagi duetnya Zakir BS adalah birokrat yang berpengalaman. Rasa optimis itu agaknya bukan sesuatu yang mustahil. Walaupun masih muda dalam usia, tetapi Jefri bukanlah orang baru dalam dunia organisasi dan kepartaian, dan sebagai anak negeri produk lokal alias putra daerah (meminjam istilah orang pusat), tentu seluk-beluk wilayah yang dipimpinnya tidak lagi asing bagi Jefri. Sebagai orang swasta murni, yang sudah ter-biasa dengan "dunia pendekatan", Jefri tentu tahu benar bagaimana cara melakukan pendekatan ke bawah, ke atas, dan ke samping. Itu makanannya sehari-hari. Keunggulan kompetitif yang dimiliki oleh seorang seperti Jefri adalah keberaniannya untuk mengambil risiko tanpa ada keraguraguan. Ini nilai-nilai enterpreneurship yang sudah melekat pada dirinya. Perjuangan (dan ini agaknya juga berlaku untuk pembangunan) memerlukan keberanian dan keyakinan. Orang yang tidak per-nah berani mengambil risiko dan selalu ragu-ragu hanya akan menuai kekalahan dan kepedihan. Apabila platform enterpreneurship ini berhasil diadopsi dan menjadi platform perjuangan daerah maka saya yakin Kampar ke de-pan akan semakin solid dan hebat. Hanya saja memang hams diingat, apabila sebelumnya keberanian mengambil risiko itu hanya akan membawa konsekuensi pribadi atau perusahaan, maka sekarang keberanian mengambil risiko itu membawa konsekuensi nasib daerah, nasib masyarakat luas sehingga apa pun risiko yang hendak di-ambil harus sungguh-sungguh diperhitungkan. 105
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Ada sisi-sisi di mana Jefri tentu periu membuka diri untuk sebuah kompromi gagasan dan pemikiran, karena kehidupan bermasyarakat bukanlah pertimbangan ekonomi semata, atau pertimbangan politik, atau pertimbangan sosial semata. Kompromi pemikiran harus siap dipertimbangkan dalam arti tidak sepenuhnya apa yang telah menjadi konsep-konsep yang selama ini telah berhasil mengantarkan Jefri menjadi seorang pengusaha yang sukses dapat diterapkan, atau menekan dengan serendah-rendahnya kehendak orang lain. Kompromi adalah suatu keseimbangan yang memenuhi rasa keadilan dan sekaligus marwah. Kampar adalah sebuah negeri yang sangat kental dengan adat istiadat dan iklim keagamaan. Kedua faktor ini boleh dikatakan merupakan faktor yang sangat dominan dalam masyarakat Kampar. Mengabaikan faktor ini sama dengan membuat masyarakat Kampar terasing di negerinya sendiri. Dan untuk hal seperti ini pun Jefri Noer kelihatannya sudah terbiasa. Dia akrab dengan lingkungan santri, bahkan dia telah memiliki sebuah pesantren di kawasan Rumbai. Jefri tentu menyadari dan sependapat bahwa apa yang harus diperjuangkan hanya akan berhasil apabila didukung oleh suatu kehendak politik, kehendak ekonomi, kehendak sosial, dan kehendak budaya bersama yang lahir dan tumbuh dari persatuan masyarakat (societal cohesiveness). Apabila potensi pemuka-pemuka agama, pemuka-pemuka adat, dan eksponen pemuda dapat dipersatukan dalam sebuah semangat kebersamaan, maka ini akan menjadi sebuah kekuatan yang luar biasa. Namun masyarakat sendiri juga harus bersedia mengembangkan nilai-nilai kompromi. Dalam arti yang sederhana, demo-krasi, yang sekarang menjadi kata kunci, harus dimaknai bahwa kita bisa berbeda pendapat sebe;um keputusan diambil, namun setelah keputusan dibuat semua harus loyal kepada keputusan tersebut. Perbedaan, apalagi sampai pada tingkat pertikaian, sudah waktunya dihentikan, karena secara psikologis pertikaian itu melemahkan. Perbedaan pendapat adalah hal yang halal dan lumrah, sepanjang perbedaan itu membuat kita semakin dewasa dan produktif. Untuk apa perbedaan bila membuat kita berkecai-kecai. 106
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
"Oblivione sempiterna delendam" (Biarlah kepedihan peristiwa masa lalu tenggelam dalam tidurnya yang abadi). Kata-kata itu diucapkan oleh filsuf Cicero kepada masyarakat Romawi yang hampir terpecah akibat pem-bunuhan Julius Caesar. Cicero benar dengan ungkapan-nya, karena masa depan tetap lebih penting dari sebuah masa silam yang kelam. Jefri, selamat bekerja. (11—17 November 2001)
107
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
6 Dato' Rastam Apa beda Indonesia dengan Malaysia dalam masalah otonomi? Indonesia, kata undang-undang sih, seluruh kewenangan bidang pemerintahan menjadi kewenangan daerah, kecuali lima perkara, yakni kewenangan dalam bidang politik luar negeri, kewenangan dalam bidang pertahanan keamanan, dalam bidang peradilan, dalam bidang moneter dan fiskal, serta kewenangan dalam bidang agama. Dan lima perkara itu masih di-tambah dengan satu perkara yang maknanya bisa sangat luas, yaitu kewenangan dalam bidang lain. Nah kewenangan dalam bidang lain inilah yang bisa panjang kalau mau diperpanjang, bisa sempit kalau mau dipersempit, dan bisa luas tak bertepi kalau mau diperluas. Padahal kebiasaan kita kan kalau bisa luas mengapa mesti dipersempit? Kalau bisa dipermudah mengapa mesti dipersulit? Sebenarnya kebiasaan itu tidak semuanya salah, tetapi juga tidak semuanya betul. Bukankah ada kelompok "manusia X" yang berpikir kurang produktif: kalau bisa dipersulit kenapa mesti dipermudah? Nah, Malaysia? Dalam masalah kewenangan ini tegas dikatakan dalam konstitusinya, semua menjadi kewenangan pemerintah federal (pusat), kecuali dua perkara: tanah dan agama! Tanah dan agama menjadi kewenangan negara bagian untuk mengaturnya. Terbalik kan? Hanya sedikit yang menjadi kewenangan daerah atau negara bagian. Di negeri kita yang berbilang suku, agama dan ras ini, agama justru menjadi kewenangan pemerintah pusat, sehingga pendekatannya seragam, padahal jelas berbeda-beda. Di negeri tercinta ini juga, di mana banyak tanah ulayat, tanah justru menjadi kewenangan pemerintah pusat. Perkara pertanahan ini sebenarnya, menurut undang-undang Iho kawan, adalah kewenangan wajib yang merupakan kewenangan daerah kabupaten dan kota. Lebih jelasnya lagi baca pasal 11 UU No. 22 Tahun 1999 itu. Tetapi oleh pemerintah pusat, dengan segala 108
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
macam dalih, pertanahan ini ditarik kembali menjadi kewenangan pusat. Undang-undang tinggal undang-undang, Bung! Interpretasinya tergantung selera. Dalam bahasa otonomi kita, 2x2 tidak sama dengan 4. Kalau ada yang menjawab sama, itu kuno. Jawaban yang "benar" dalam perspektif pusat adalah: berapa persen untukku, untukmu aku nggak urus, kalau perlu kamu nggak usah dapat bagian dari 2x2 itu. Punyamu punyaku, punyaku ya punyaku. Perbedaan perspektif otonomi Indonesia dan Malaysia itu, saya elaborasi dari uraian Dato' Rastam Mohammad Isa, Duta Besar Malaysia untuk Indonesia dalam suatu pertemuan silaturahim di DPRD Propinsi Riau baru-baru ini. Dato' Rastam tentu tidak berbicara tentang Indonesia, dia berbicara tentang Malaysia, apa-apa yang menjadi kewenangan federal dan apa-apa yang menjadi kewenangan negara bagian di Malaysia. "Malaysia sesungguhnya lebih sentralistik daripada Indonesia," kata Dato' Rastam. Menyinggung masalah minyak dan gas bumi, Dato' Rastam menjelaskan, Malaysia hanya memberikan 5% saja untuk negara bagiannya, selebihnya milik pemerintah federal. Dalam hal kewenangan yang disebutkan di atas dan dalam hal migas, Malaysia kelihatannya memang lebih sentralistik daripada Indonesia. Di negeri kita, daerah penghasil memperoleh bagi hasil 15% untuk minyak bumi, dan untuk gas alam, daerah penghasil justru memperoleh 30%. Hebat kan? Tetapi mengapa rasa ketidakpuasan masih eskalatif. Jawabannya mungkin, Malaysia lebih "sincere" (sungguh-sungguh dan jujur) dalam mengatur hubungan pusat-daerah (federal-negara bagian) sementara kita lebih bernuansa akal-akalan. Contoh: Negara Bagian Trengganu memperoleh bagi hasil 5% dari tambang minyak lepas pantai (offshore), padahal tambang tersebut jauh berada di lepas pantai Trengganu, di luar 12 mil laut. Mestinya Trengganu tidak dapat, tetapi karena yang terdekat ke ladang minyak tersebut adalah Negara Bagian Trengganu, maka dapatlah Trengganu lima persen. Sementara Kabupaten Natuna kita, kering kerongkongan nelayannya berteriak 109
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
agar diberi bagian dari gas alam cair yang ditambang di lepas pantainya, tetap saja pusat bersikukuh Natuna tidak berhak, sebab tambang gas itu berada di luar batas 12 mil laut. Padahal dalam batas-batas wilayah kabupaten pemekaran yang diundangkan oleh pemerintah pusat juga, tambang gas itu berada dalam batas-batas wilayah Kabupaten Natuna. Pusat bersikukuh berpegang pada UU No 22 Tahun 1999, karena berada di luar wilayah yang menjadi kewenangan propinsi dan kabupaten. Kalau UU itu yang dipakai sebagai rujukan, maka seharusnya penambangan minyak di Minas dan di Duri harus diserahkan kepada daerah untuk mengelolanya, karena UU tersebut secara tegas mengatur bahwa daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya. Dan yang dimaksud dengan sumber daya nasional dalam penjelasan UU tersebut (yang mestinya merupakan bagian yang tak terpisahkan) adalah sumber daya alam, sumber daya buatan, dan sumber daya manusia. Jelas, tegas, limitatif, dan tidak interpretatif. Di sini, kelihatannya pemerintah pusat menurut ibarat Melayu sudah tergolong kepada orang-orang yang berprinsip: "Tiba di mata dipicingkan, tiba diperut dikempiskan". Padahal menurut tunjuk-ajar para tetua Melayu: "Tiba di mata janganlah dipicingkan, tiba di perut jangan dikempiskan". Dengan kata lain, jangan mau menang sendiri, hukum itu tidak hanya berlaku untuk orang lain, untuk kita sendiri pun berlaku. Pertemuan pimpinan DPRD Riau dan pimpinan fraksi dengan Dato' Rastam hanya sekitar satu setengah jam, tetapi banyak hal yang bisa dielaborasi untuk masa depan rantau bertuah ini. Malaysia dan Riau tidak pernah dipisahkan oleh Selat Malaka. Dari semula jadi, Malaysia dan Riau justru telah dipertautkan oleh Selat Malaka. Banyak sisi kesamaan kedua negeri, sebut saja dalam hal bahasa, agama, budaya, dan adat istiadat, semuanya merupakan sisi-sisi yang mempertautkan Riau dan Malaysia. Riau sebagai ujung tombak dari Sumatra dapat meman-faatkan keunggulan komparatifnya baik dalam kedekatan geografis maupun dalam kedekatan-kedekatan budaya itu. 110
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Visi Malaysia untuk menjadikan negeri itu sebagai "Pusat Kecemerlangan" atau "Center of Excellent" agak-nya memang patut diakselerasi oleh Riau, apalagi Malaysia, sebagaimana disampaikan oleh Dato' Rastam berada dalam posisi ingin bergandengan tangan dengan Indonesia untuk maju bersama di kawasan Asia Tenggara ini. Dan Riau tentu merupakan wilayah Indonesia yang diuntungkan karena kedekatan-kedekatan itu. Poros Riau—Malaysia agaknya merupakan poros yang semustinya dikembangkan secara sungguh-sungguh ketika poros Riau—Singapura menjadi tidak lagi seimbang. Kerja sama pengembangan SDM, pengembangan ekonomi, dan kerja sama kebudayaan adalah agenda-agenda yang harus dipertinggi intensitasnya antara "kedua hala". (9—15 Desember 2001)
111
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
7 Mr. Lee Hubungan Indonesia dan Singapura akhirnya memanas. Naiknya eskalasi konflik Indonesia dan Singapura ini diakibatkan oleh pernyataan Menteri Senior Singapura, Lee Kuan Yew, yang menyatakan bahwa di Indonesia terdapat jaringan terorisme, yang sewaktu-waktu dapat mengancam Singapura. Pernyataan Lee tersebut segera mengundang reaksi keras dari berbagai kalangan di Indonesia. Mulai dari mahasiswa, masyarakat, sampai ke kalangan DPR dan MPR. Bahkan, secara khusus, Ketua MPR, Amien Rais, sempat mengeluarkan nada keras menanggapi hal tersebut, dan meminta pemerintah segera mengeluarkan pernyataan resmi. Sejalan dengan itu, demonstrasi menentang pernyataan Lee marak di mana-mana. Mulai dari Jakarta, khususnya di depan Kedutaan Besar Singapura di Indonesia, sampai ke tingkat propinsi seperti Pekanbaru, dan beberapa daerah lain. Menyikapi hal tersebut, menurut saya, kemarahan rakyat Indonesia adalah sesuatu yang semestinya. Pernyataan tersebut tidak hanya mendiskreditkan gerakan Islam, tapi juga menyinggung perasaan sebuah bangsa, yang implikasinya dapat pula merusak citra Indonesia dalam pergaulan internasional, khususnya setelah terorisme menjadi suatu hal yang menakutkan pasca serangan terhadap WTC, 11 September 2001, yang berikut pula dengan serangan Amerika ke Afganistan. Tambahan pula, Lee ternyata tidak dapat menunjukkan bukti-bukti terhadap apa yang dituduhkan. Sungguh, kita sangat menyayangkan sikap yang ditunjukkan oleh Lee Kuan Yew, ataupun pemerintah Singapura dalam kasus ini. Seharusnya, sebagai dua negara yang bersahabat, bertetangga sangat dekat dan satu kawasan, sikap yang harus dikembangkan adalah saling menghargai antara satu sama lain dalam semangat persekutuan. Sikap 112
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Lee, sepertinya menunjukkan suatu iktikad yang tidak bersahabat, sebagaimana layaknya dua negara tetangga. Sebetulnya, tidak hanya dalam hal ini saja Indonesia menyimpan rasa kecewa terhadap Singapura. Sebelumnya, ketika Indonesia sedang dilanda oleh keadaan yang menakutkan secara ekonomi pasca gerakan refor-masi, dan ingin melakukan proses hukum terhadap kekayaan sejumlah konglomerat, Singapura justru membuka pintu kepada sejuirdah konglomerat yang ingin nielin dungi asetnya. Betapa banyak konglomerat Indonesia yang menyimpan uangnya di bank-bank Singapura, bahkan ada yang menggunakan praktik "money laundrying" (cuci uang). Mestinya Singapura pada waktu itu melihat bahwa Indonesia berada dalam kondisi krisis. Masalah program reklamasi pantai di Singapura dengan menggunakan pasir laut dari Riau misalnya, telah menyinggung perasaan masyarakat Riau. Pemerintah Singapura demikian saja berlepas tangan dengan mengatakan masalah impor pasir laut itu bukan urusan pemerintah. Kekecewaan Indonesia sekarang ini, menurut saya, sudah merupakan akumulasi dari sejumlah kekecewaan yang ada terhadap Singapura, baik secara ekonomi maupun politik. Padahal jika kita ingin jujur, sesungguhnya Indonesia, seperti juga Riau misalnya, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap perkembangan Singapura, melalui mekanisme perdagangan yang tidak seimbang. Sikap yang ditunjukkan oleh Lee yang membuahkan kemarahan rakyat dari satu sisi, dan tanggapan pemerintah yang belum jelas pada sisi yang lain, membuat saya tiba-tiba teringat kepada Presiden Soekarno. Saya pun berandai-andai, jika pada saat ini Indonesia diperintah oleh Soekarno, maka saya yakin tanggapannya akan berbeda. Bukan suatu hal yang luar biasa bila keluar perintah: sebelum ayam jantan berkokok esok hari Singapura harus direbut. Generasi tua tentu masih ingat bagaimana dulu ada operasi Ganyang Malaysia. Perintah sebelum ayam jantan berkokok itu tentu akan menimbulkan benturan militer yang dahsyat.
113
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Tapi pemerintahan sekarang adalah pemerintahan Megawati Soekarnoputri, bukan pemerintahan Soekarno, dan tatanan serta konstelasi ideologi, politik, dan ekonomi kawasan Asia Tenggara pun sudah berubah. Lebih dari itu, kita juga tentu tidak ingin mengedepankan atau menggunakan tanggapan dengan cara yang demikian, sebab sebagai bangsa yang terhormat, kita tentu lebih dulu ingin mengedepankan cara yang terhormat. Saya tidak ingin lebih jauh mengomentari ending dari ketegangan ini, meski sepanjang yang saya ketahui, pernyataan yang tidak mengenakkan dari Menteri Senior Singapura bukanlah barang baru, khususnya dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia pun bukan satu-satunya negara yang pernah tertikam "lidah tajam" Lee. Pemerintah Malaysia pun pernah tersinggung oleh Singapura, khususnya ketika pemerintahan Mahathir dikritik atas kebijakan memberikan keistimewaan terhadap bumi-putera, Melayu. Lee juga kabarnya pernah membuat orang Melayu Singapura tersinggung oleh pernyataannya. Dalam pernyataannya, Lee Kuan Yew meragukan ketinggian nasionalisme tentara Singapura yang berasal dari etnis Melayu, jika kelak berhadapan dengan Malaysia secara militer. Yang terakhir ini memang soal dalam negeri me-reka, tapi rentetan peristiwa itu menunjukkan bahwa Lee memang sering bersikap demikian. Seperti yang saya katakan di atas, kita menyayangkan sikap yang demikian, namun terlepas dari siapa pun Lee dan bagaimanapun kedudukan Singapura secara ekonomi dan politik, maka sebagai bangsa yang memiliki martabat, kita memang perlu meminta secara tegas kepada Singapura untuk memberikan klarifikasi dan meminta maaf atas pernyataannya. Sikap tegas ini perlu untuk mengajarkan kepada Lee, atau kepada siapa pun juga, bahwa dalam kondisi yang bagaimanapun, mereka tidak punya hak untuk semena-mena dalam memandang negara lain. Jika ketegasan ini tidak kita berikan, maka orang kelak 114
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
akan memandang sebelah mata terhadap eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara yang bermartabat. Sekali lagi, kita menyayangkan sikap tidak bersahabat ini. Namun demikian, kita juga harus menyikapi persoalan yang ada dengan hati-hati dan berkepala dingin. Jika kita tidak hati-hati, atau hanya mengedepankan emosi, maka kita justru akan terbelit pada tali konflik yang memanjang. (10—16Maret2002)
115
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
8 Akbar Tanjung Apalah artinya sebuah nama, kata orang Inggris. Tapi bagi Akbar Tanjung, dan juga bagi umumnya kaum Muslimin, nama mengandung makna. Nama seringkali mewarnai watak seseorang. Orang bernama Amin umumnya mempunyai sifat yang lurus, atau mungkin, banyak orang yang bersifat lurus kebetulan bernama Amin. Barangkali ibarat ayam dan telur. Premis itu, boleh setuju boleh tidak, seakan menjadi suatu yang sulit terbantahkan pada diri Akbar Tanjung. Eki Syachrudin, suatu kali menulis tentang Akbar Tanjung dalam buku "Akbar Tanjung Anak Desa Sorkam", yang disusun oleh Evendhy Siregar: "Setelah saya pikir-pikir," tulis Eki," Akhirnya memang sudah begitulah guratan tangan Akbar. la oleh yang di Atas sono ditakdirkan untuk meraih the greatness, kebesaran atau ke-akbar-an dalam hampir segala bidang kehidupannya." Rasanya hampir semua orang tahu bagaimana riwayat karier Akbar Tanjung di organisasi dan di panggung politik, mulai dari HMI, KNPI, dan kemudian di Golkar yang telah bermetamorfosis menjadi Partai Golkar. Dia selalu menjadi tokoh sentral, selalu menjadi yang terbesar. Namun menjelang tengah malam tanggal 7 Maret 2002 "the greatness" itu seakan luluh demikian saja ketika Akbar Tanjung terpaksa harus mendekam dalam tahanan Kejaksaan Agung berkaitan dengan kasus dana non-budgeter Bulog. Dia menghadapi masalah yang juga besar karena tanggung jawab yang besar untuk menyelamatkan partainya. Akbar berarti besar. Semua serbabesar. Namun, simpati kelihatannya mengalir untuk Akbar Tanjung, bukan karena alasan penahanannya yang masih "debatable", melainkan karena figur Akbar Tanjung pada dasarnya adalah seorang tokoh yang santun dan bersahabat. Dr. Rizal Mallarangeng, 116
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Direktur Freedom Institut Jakarta menulis dalam Harian Kompas, bahwa Akbar Tanjung adalah seorang tokoh yang senantiasa tampil dengan kata-kata yang selalu terukur dan emosi yang senantiasa terjaga dengan baik. Sebagai seorang politisi ia telah terbukti mampu mengemudikan biduk partainya melewati berbagai kesulitan politik dan memperoleh legitimasi kuat dari rakyat dengan muncul sebagai pemenang kedua dalam pemilu tahun 1999, yang oleh para pengamat disebut sebagai pemilu yang paling bebas, terbuka dan representatif sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Agaknya karena sudah terbiasa bermain buih di masa kecilnya, karena dia memang anak pesisir Samudra Hindia, maka Akbar Tanjung tidak pernah panik diterpa ombak. Badai selalu bisa dihadapinya dengan tenang. Akbar Tanjung memang lahir di Desa Sorkam, sekitar 30 km dari kota Sibolga (Tapanuli Tengah— Sumatra Utara), dengan nama lengkap Djanji Akbar Zahiruddin Tanjung. Sejak umur 7 tahun sudah menjadi anak yatim, dan sejak kecil bercita-cita menjadi TNI-AL, tapi tidak kesampaian. Mungkin karena Akbar Tanjung adalah anak pesisir yang akrab dengan laut dan pantai, sehingga terobsesi menjadi anggota TNI Angkatan Laut. Mungkin karena kepribadiannya yang kuat dan me-nonjol, maka suatu waktu beberapa tahun lalu, dia terpilih sebagai anggota DPR terpopuler. Yang melakukan jajak pendapat adalah Litbang Harian Kompas. Selama empat hari, tanggal 16 sampai dengan 19 Desember 1999, Kompas mengumpulkan pendapat masyarakat, siapa tokoh-tokoh nasional terpopuler di berbagai bidang seperti politik, ekonomi, hukum, militer, olahraga, dan seni. Sebanyak 1629 responden pemilik telepon, yang berasal dari Jakarta, Sura-baya, Medan, Makassar, Yogyakarta, Manado, Denpasar, Pekanbaru, Lampung, Samarinda, Banjarmasin, Pontianak, dan Jayapura berhasil ditanyai oleh Kompas secara acak. Setiap pertanyaan disusun dengan jawaban terbuka sehingga memungkinkan setiap responden untuk memberikan jawaban secara bebas terhadap tokoh yang menjadi pilihannya. Di samping itu, setiap responden juga diwajibkan memberikan alasan 117
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
dasar pemilihan tokoh tersebut. Hasilnya? Meskipun Akbar Tanjung begitu gencar diserang lawan-lawan politiknya ketika itu, ternyata menurut hasil jajak pendapat tersebut, sebagian besar responden memilih Akbar Tanjung sebagai Anggota DPR yang paling dikagumi pada tahun 1999 dengan meraih angka 42,6 persen. Pilihan tersebut cukup besar jumlahnya, jauh melebihi dukungan terhadap tokoh-tokoh lainnya seperti Amien Rais (5,8 persen) dan Khofifah Indar Parawansa (5,1 persen). Menurut sebagian besar responden, kekaguman mereka kepada Akbar Tanjung karena tokoh ini mau mengakui kekurangannya, tegas, punya keberanian, tenang, dan sabar. Orang sabar memang dikasihi Allah. Di kalangan Partai Golkar sendiri, Akbar Tanjung dikenal sebagai sebuah kamus besar. Dia sangat konsisten mensosialisasikan paradigma baru Partai Golkar. Dia selalu bisa tampil pidato tanpa teks menjelaskan paradigma baru Partai Golkar dalam waktu hampir dua jam dengan bahasa sederhana, namun memiliki kedalaman dan mengalir laksana sedang membaca sebuah buku, dan tidak membosankan. Pertemuan-pertemuan partai di mana pun, selalu dimanfaatkannya dengan baik untuk memberikan pendidikan politik. Pendidikan politik menurut Akbar sangat penting agar seluruh anggota partai memahami dengan baik hak dan kewajibannya, mampu berpikir rasional, tidak hanya mengedepankan emosionalitas. Akbar gemar mengajak pihak lain berdialog. Dia sangat percaya akan kekuatan dialog. Dengan berdialog kita dapat mensosialisasikan gagasan-gagasan dan pemikiran kita dan dengan berdialog pula kita bisa memahami gagasan-gagasan dan pemikiran orang lain. Oleh karenanya Akbar Tanjung selalu membangun suasana yang dialogis dan itu pula yang dikembangkan dalam tubuh Partai Golkar yang dipimpinnya. Hari-hari terakhir ini, orang besar dari Desa Sorkam itu mendapat ujian yang besar. Kekuatan yang dihadapinya besar, baik kekuatan hukum yang memang besar, maupun kekuatan kekuasaan yang berbeda kepentingan dengan Akbar. Tragisnya semua mengusung supremasi hukum. 118
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Thomas Hobbes pernah mensinyalir adanya kecenderungan manusia berperang melawan sesamanya dalam rangka memenuhi kepentingannya (bellum omnium contra omnes). Tapi kecenderungan itu tidak boleh dibiarkan menjadi liar. Siapa yang akan mengendalikan kecenderungan itu? Hukum! Hukum adalah produk politik, tapi ketika hukum telah terbentuk maka semua "makhluk" politik harus tunduk pada hukum. Apabila politik tidak tunduk kepada hukum, apalagi makhluk politik berupaya mengintervensi hukum, maka kekuasaan atau tahta yang menjadi muara dari sebuah perjuangan politik, akan menjadi langit-langit yang tak tersentuh. Dan kekuasaan akan ber-metamorfosis menjadi Sang Leviathan ala Thomas Hobbes, dengan kekuasaan mutlak tergenggam di tangan. Mengerikan.
(17—23Maret2002)
119
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
9 Yasser Arafat Andai Adolf Hitler masih hidup, tentulah ia bisa diminta bantuannya untuk memerangi Israel dan agaknya sang Kanselir ini tidak akan berkeberatan sama sekali. Sejarah dunia mencatat, pada akhir Perang Dunia Kedua, Nazi yang dikomandoi Hitler membunuh lebih kurang 6 juta Yahudi Eropa. Demikian dendamnya mereka terhadap Yahudi. Kini Yahudi yang direpresentasikan oleh Israel, kembali membuat geram bangsa lain melalui tindakan mereka yang membabi buta di Palestina. Perseteruan Israel dengan Palestina memang tidak pernah usai, tetapi bahwa kemudian Israel memasuki Palestina dengan kekerasan dan menyandera Presiden Palestina Yasser Arafat bersama orang-orang dekatnya di kantor sang Presiden, ini tentu sudah "menyalah". Dendam di Tepi Barat Sungai Yordan dan di Jalur Gaza itu tampaknya tidak pernah reda. Israel, betapa pun dikutuk dunia, tetap dibela oleh Amerika Serikat. Dan bangsa Palestina pula didukung oleh negara-negara Arab dan negara-negara muslim lainnya di dunia. Anehnya, Amerika dan negara-negara Arab itu berkawan dekat. Dalam commonsense, bila orang di belakang layar bersahabat karib, maka mestinya orang-orang yang sedang main di atas panggung, menuruti apa pun yang dikehendaki dari belakang layar. Tapi permasalahannya memang tidak linear seperti itu. Bargaining Yahudi di Amerika Serikat sangat kuat, sementara bangsa-bangsa Arab sendiri sangat sulit untuk dipersatukan. Barat memang sangat berkepentingan terhadap menduanya sikap bangsa-bangsa Arab. Sebab bila bangsa-bangsa Arab ini bersatu teguh, akan menjadi kekuatan yang menakutkan Barat. Tetapi pengepungan Presiden Yasser Arafat di kantornya, di kota Ramallah di Tepi Barat, apa pun alasannya susah untuk dicerna dengan akal sehat. Bagaimana mungkin seorang presiden dari sebuah 120
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
bangsa yang berdaulat demikian saja dikepung. Dan menjadi lebih aneh bin ajaib, katanya pengepungan tetap akan dilakukan oleh Israel sampai Presiden Yasser Arafat hengkang dari Palestina dan tidak boleh kembali lagi ke negerinya. Yasser Arafat bukanlah tokoh karbitan. Namanya dikenal besar kecil, tua muda di seluruh dunia terutama di negeri-negeri muslim. Sebutlah Palestina atau PLO, yentu yang terbayang adalah sosok Yasser Arafat. Palestine Liberation Organization (PLO) adalah organisasi politik yang mewakili bangsa Arab Palestina dengan tujuan untuk mendirikan negara Palestina bagi bangsa Arab. PLO pada tahun 1974 diakui oleh negara-negara Arab sebagai "wakil rakyat Palestina satu-satunya dan sah". Yasser Arafat adalah seorang tokoh revolusioner Palestina yang membentuk organisasi perlawanan Al-Fatah. Al-Fatah sendiri dalam bahasa Arab artinya adalah pembukaan, penaklukan. Maksudnya adalah penaklukan Palestina untuk orang Palestina yang mengadakan perlawanan terhadap Israel. la mulai bergerilya bersama Al-Fatah tahun 1950 sampai kemudian pada tahun 1969 ia terpilih menjadi ketua PLO yang didirikannya. Pada tahun 1974, Yasser Arafat melakukan debat di Sidang Umum PBB mengenai Palestine dan menjadi pemimpin organisasi nonpemerintahan resmi pertama yang diberi kesempatan seperti itu dalam Sidang Umum PBB. Hasilnya, PBB kemudian mengakui PLO sebagai wakil bangsa Arab Palestine. Pada tahun 1991, ia memimpin PLO untuk berpihak pada Irak dalam Perang Teluk melawan Amerika Serikat dan sekutunya. Popularitas Yasser Arafat semakin melambung ketika pada tahun 1994 bersama pemimpin Israel Yitzhak Rabin dan Shimon Peres meraih hadiah Nobel Perdamaian. Palestine sejak zaman dahulu kala memang dihuni oleh bangsa Arab sampai kemudian bangsa Yahudi melakukan emigrasi. Arus pertama bangsa Yahudi terjadi sekitar tahun 1800. Emigrasi besarbesaran terjadi tahun ini, akibat penindasan kaum Yahudi di Eropa Timur. Maka kemudian terbentuk gerakan Zionisme yang bertujuan menjadikan Palestina negara merdeka bagi bangsa Yahudi. 121
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Inggris boleh disebut penyebab awal malapetaka ketika mereka memberikan dukungan dengan membuat "Deklarasi Balfour" pada tahun 1917, yang memberikan peluang bagi terbentuknya "National Home" bangsa Yahudi di Palestina, tanpa mengganggu hak-hak bangsa non-Yahudi di daerah ini. Bangsa Arab sudah barang tentu menolak keras Deklarasi Balfour ini. Ketika Naziisme lahir di Eropa dan bangsa Yahudi dikejarkejar, gelombang pengungsi Yahudi ke Palestina makin besar, dan dengan mengumpulnya mereka di tanah Palestina itu, dukungan terhadap negara Israel makin meluas. Pada tahun 1947, Inggris mengimbau PBB untuk menangani masalah Palestina. Rekomendasi Komisi Istimewa PBB untuk Palestina kemudian membagi wilayah ini menjadi negara Arab dan negara Yahudi; sementara Yerusalem di bawah pengawasan internasional. Keputusan yang diambil Sidang Umum PBB tahun 1947, di-terima oleh bangsa Yahudi, tetapi bangsa-bangsa Arab menolaknya. Maka perang pun pecah. Setahun kemudian, pada tahun 1948, negara Israel diproklamirkan dengan ibu kota Yerusalem. Maka sejak saat itu perang demi perang pun pecah di wilayah itu antara bangsa-bangsa Arab dengan Israel. Perang kedua pecah tahun 1956, perang ketiga yang disebut perang enam hari pecah tahun 1967, perang keempat pecah kembali tahun 1973. Setiap kali perang setiap kali diakhiri dengan gencatan senjata, dan setiap kali dilanggar. Pada tahun 1978, Presiden Mesir Anwar Sadat, Perdana Menteri Israel Menachem Begin, dan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter mengambil inisiatif dengan melakukan perundingan di Camp David. Hasilnya, mengimbau perdamaian MesirIsrael dengan dua butir persetujuan: penarikan pasukan Israel dari Sinai dan perundingan status otonomi Tepi Barat Sungai Yordan dan Jalur Gaza. Kini negara Palestina dengan penduduk lebih kurang tiga setengah juta jiwa telah sah berdiri dengan presidennya Yasser Arafat. Jumlah penduduk Palestina hampir sama dengan penduduk Israel. 122
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Oleh karena itu, memperlakukan Yasser Arafat secara tidak bermartabat tentu akan membuat umat Islam seluruh dunia akan marah. Dan Amerika Serikat agaknya akan kembali menuai badai. Amerika Serikat sebagai sahabat karib Israel, walaupun dalam perkembangan terakhir mulai menekan Israel untuk mundur dari Palestina, tidak begitu saja dipercaya oleh negara-negara Islam yang bersimpati terhadap Palestina. Itu lagu lama yang selalu dimainkan oleh Amerika Serikat. Pada akhirnya mereka tetap saja akan membela kepentingan sahabatnya Israel. Sesungguhnya tidak lagi jelas siapa yang berpengaruh terhadap siapa, Amerika Serikatkah yang berpengaruh terhadap Israel, atau sebaliknya. Sebab, dari berbagai sumber, orang Yahudi memang tidak sampai 20 persen di parlemen Amerika Serikat, tetapi pengaruh mereka luar biasa besarnya. Kita tentu tidak berharap Israel sedang melakukan pembersihan etnis seperti yang terjadi dalam kasus Kosovo, tetapi melihat gelagat yang terjadi dalam beberapa hari terakhir ini, kesan itu tidak dapat dipungkiri. Oleh karenanya saya pun memahami kenapa demikian banyak orang dari berbagai negeri muslim yang menyatakan dirinya bersedia menjadi sukarelawan membela Palestina dan rela mati syahid.
(7—13 April 2002)
123
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
Bagian 5 Membangun Kehormatan
124
2002
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
1 E-Ramadan Sebuah pesan elektronik melalui jasa SMS (short message services) masuk ke HP saya: "Ahlan wa sahlan yaa Ramadhan, syahrul mubarak syahrul Qur'an, washshiyam, washshabr, wadda'wah, walukhuwwah, waljihaad, La'allakum tattaquun\\" Maksudnya kira-kira, selamat datang bulan suci Ramadan, bulan penuh berkah, bulan turunnya kitab suci Alquran, bulan puasa, bulan yang penuh kesabaran, bulan yang penuh dakwah, bulan yang penuh rasa persaudaraan, bulan yang penuh jihad melawan hawa nafsu, kekuasaan, arogansi, dan sejenisnya, semoga kamu menjadi hamba yang bertakwa. Pesan itu terasa lain dari sekian banyak SMS yang masuk dan oleh karenanya saya pun meneruskannya ke hand phone (telepon genggam) teman-teman lain yang sempat saya kirimi. Sambil duduk dalam mobil pun saya bisa ber-SMS-ria mengirimkan ucapan selamat memasuki Ramadan 1422 H. Mudah dan murah. Mudah karena saya tak perlu menuliskan ucapan selamat melalui sebuah kartu yang pasti banyak menyita waktu dan tenaga, murah karena biaya sekali kirim SMS lebih murah dari prangko surat kilat. Teknologi komunikasi melalui jasa SMS, tak lebih, merupakan sebuah produk dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka saya pun teringat ucapan Albert Einstein yang disampaikannya dalam suatu kuliah singkat di depan mahasiswa Institut Teknologi California Amerika Serikat, "Ilmu membuat hidup menjadi mudah." Ucapan Albert Einstein ini dalam setting waktu yang berbeda, disambung oleh da'i sejuta umat KH Zainuddin MZ, "Ilmu membuat hidup menjadi mudah, agama membuat hidup menjadi indah." Ungkapan-ungkapan itu dielaborasi oleh Prof. B.J. Habibie, "flmu pengetahuan dan teknologi (iptek) tanpa iman dan takwa (imtak) berarti buta, imtak tanpa iptek akan lumpuh." 125
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Maka untuk sekadar berlatah ria, era ketika ucapan-ucapan selamat menunaikan ibadah puasa dan selamat Idul Fitri mulai menggunakan jasa elektronik, mungkin dapat kita sebut bahwa kita telah memasuki era "e-Ramadan". e-Ramadan atau electronic Ramadan, atau Ramadan digital, maksudnya adalah memberi kemudahan pada apa saja yang berhubungan dengan Ramadan melalui kemajuan teknologi elektronik. Bukankah sebentar lagi kita akan memasuki era e-government dan e-commers? e-government adalah pemerintahan elektronik atau pemerintahan digital, sedangkan e-commers adalah perdagangan elektronik atau perdagangan digital. Tapi jangan salah, yang disebut terakhir itu bukan perdagangan barang-barang elektronik, jangan keliru. e-commers adalah perdagangan dengan menggunakan jasajasa kemajuan teknologi elektronik, semua menggunakan komputer. Orang jual beli barang atau tawar-menawar cukup dari rumah saja, buka komputer, pencet sana-sini, barang akan datang ke rumah. Transfer uang pun cukup melalui komputer dari rumah masingmasing. Maka Anda akan terhindar dari bahaya kecopetan atau perampokan. Itu dalam skala mikro. Dalam skala globalnya, hanya dengan membuka komputer di Roma atau di Tokyo misalnya, seorang pedagang yang ingin mengimpor biji kopi, dia akan langsung tahu daerah-daerah mana yang menjadi produsen kopi terbaik di dunia, berapa luas kebunnya untuk menjamin kontinuitas suplai, bagaimana kemudahan pengangkutannya dan bagaimana costnya. Apakah dari Brazilia, Lampung, atau dari Aceh Tengah? e-government pula, sederhananya kira-kira adalah pemerintahan yang sudah menggunakan komputer dalam segala kegiatan dan pelayanannya. Semua pekerjaan menjadi mudah, cepat dan hemat, efektif, dan efisien atau sangkil dan mangkus. Komputer tidak bisa diajak ber-KKN-ria, bersekongkol, komputer juga tidak bisa melakukan pungutan atau kutipan liar. Kalau Anda berbicara tentang otonomi daerah yang ditandai dengan transparansi dan akuntabilitas, maka komputer adalah "si tawar si dingin"nya, dengan 126
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kata lain adalah obatnya. Tanda terima kutipan pajak yang diketikkan di sebuah komputer di Tembilahan, Kabupaten Indragiri Hilir misalnya, akan langsung terekam dan bisa dilihat di komputer Kepala Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Riau di Pekanbaru pada saat yang sama. Dan pada saat yang sama juga gubernur bisa memonitor melalui layar komputer di ru-ang kerjanya. Kemajuan proyek di Bengkalis misalnya langsung bisa diketahui oleh gubernur melalui komputer di mejanya. Instruksi dari sang gubernur pun hanya dengan sekali pencet di ruangannya akan langsung bisa diterima di seluruh kabupaten dan kota. Malaysia adalah contoh negara yang sudah melakukan egovernment. Dr. Mahathir memang boleh. Cobalah amati bagaimana dia membangun pusat pemerintahan canggih di Putra Jaya, dan tidak jauh dari Putra Jaya, Dr M juga membangun Cyber Jaya, pusat komputernya Malaysia. Seluruh dunia dengan mudah bisa mengakses informasi yang berkaitan dengan Malaysia, dengan demikian dunia perdagangan internasional dengan mudah pula dapat melakukan kesepakatan-kesepakatan bisnis dengan pihak Malaysia. Ada kepastian hukum dan ada kepastian pelayanan yang prima. Secara budaya dan geo-grafis Riau kan dekat dengan Malaysia, mestinya Riau juga bisa seperti Malaysia. Nah, e-Ramadan? Ah itu agaknya hanya sebuah kelatahan menggunakan istilah "e" saja. Menambah keindahan dan getaran jiwa memasuki bulan suci Ramadan melalui SMS terlalu berlebihan kalau sudah disebut e-Ramadan. Tetapi misalnya, bila suatu saat kita semua telah computer minded, seperti mengatur menu sahur dengan komputer, menu berbuka dengan komputer, membayar zakat fitrah melalui komputer maka itu baru boleh disebut kita telah memasuki era e-Ramadan. Sekarang agaknya masih jauh. e-government saja belum. Penentuan hari pertama puasa atau penentuan hari raya saja kita masih berbeda. Padahal kalender yang kita lihat adalah kalender yang sama dan ufuk yang kita lihat adalah ufuk yang sama, tetapi kita memberikan makna yang berbeda. Untuk sekadar menghibur 127
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
diri dan memberikan jastifikasi terhadap eksistensi kita sebagai umat manusia, kita boleh mengatakan, di situlah letak sempurnanya umat yang bernama manusia. Kesempurnaan manusia terletak pada ketidaksempurnaannya. Ahlan waa sahlan yaa Ramadhan. Bulan ini bulan penuh berkah, bulan di mana kita umat manusia kembali memiliki momentum untuk melakukan perenungan-perenungan yang mendalam terhadap ketidak sempurnaan kita. (18—24 November 2001)
128
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
2 Merajut Tirai Kasih Dendam, cinta, dan air mata, adalah tiga tema yang menonjol dalam sinetron-sinetron yang membanjiri layar kaca kita dalam satu dekade terakhir ini. Sesungguhnya itu juga refleksi dari realitas kehidupan masyarakat kita yang dewasa ini sedang dirundung krisis dan sedang mengalami perubahan besar hampir dalam segala aspek kehidupan. Lingkungan yang berubah cepat menyebabkan perubahan pada gaya hidup. Sukar untuk tidak mengatakan telah terjadi perubahan nilai-nilai dalam masyarakat kita nilai-nilai etika dan estetika dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan sesaat dan individual. Rasa kesetiakawanan sosial yang menipis, ikatan persaudaraan yang menjadi longgar, hidup nafsi-nafsi, siape lu siape gue, individualistis, materialistis, justru menjadi ciri-ciri yang menonjol dalam masyarakat kita dewasa ini. Itu belum cukup karena dorongan primitif sering pula mengedepan; nafsu saling membunuh, saling menyakiti, saling membakar, saling memangsa, homo homini lupus—manusia yang satu serigala bagi manusia lainnya. Atau bentuk yang paling ringan dari dorongan primitif yang terdapat dalam diri seseorang; demikian mudahnya mengumbar nafsu amarah, menghujat, memfitnah, cepat naik pitam, dan bereaksi secara berlebihan terhadap suatu kondisi yang kurang menyenangkan. Dulu, ada sifat-sifat yang terasa menonjol dalam masyarakat Melayu sebagai bentuk reaksi terhadap se-suatu yang mengganggu. Sifat-sifat itu seakan berproses dari satu stadium ke stadium lainnya. Mula-mula reaksi itu adalah "biarlah". Ini bentuk yang paling akomodatif. Biarlah, tak apa-apa itu, tak akan ada apa-apa. Kalau kemudian apa-apanya itu masih juga mengganggu, maka muncul reaksi pada stadium kedua: "mengalahlah". Mengalah tentu bukan kalah, tapi menghindari konflik. Kalau kemudian ternyata apa-apanya itu rupanya 129
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
cukup bebal, maka reaksi yang ketiga muncul sambil mengurut dada, "sabarlah". Kalau reaksi pada stadium 1,2, dan 3 itu, biarlah, mengalahlah, dan sabarlah, tidak juga men-dapatkan perhatian sedikit pun, maka biasanya orang Melayu mulai pasang kuda-kuda dan mulai "keluar", wah ini tampaknya sudah "menyalah". Kalau sesuatu sudah dideskripsikan sebagai "menyalah", maka jaraknya dengan "amuk" tinggal dipisahkan oleh selaput tipis. Kini, akibat impitan permasalahan yang berjibun dan kegamangan menghadapi situasi baru yang terasa agak aneh itu, maka proses biarlah, mengalahlah, sabarlah, menyalah, dan amuk tidak lagi memerlukan tempo. Ada aksi, ada reaksi, bahkan reaksi amat sangat berlebihan dibandingkan aksinya. Sesungguhnya, dendam tidak ada dalam konsep Islam. Sebab paling tidak sekali setahun umat Islam berada dalam suasana saling memaafkan. Dendam adalah amarah yang terpendam tak terlampiaskan secara berke-panjangan. Sementara dalam konsep Islam amarah itu tidak boleh dipendam. Amarah harus diselesaikan paling lama dalam tempo 3 x 24 jam, ya 3 x 24 jam! Islam mengajarkan kepada pengikutnya agar menyambung atau mempererat tali persaudaraan. Tirai kasih persaudaraan yang terkoyak, segera dirajut kembali. Hubungan silaturahmi tidak boleh dibiarkan ierjejas. Tujuannya tidak lain adalah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kedamaian. Damai itu indah dan keindahan kedamaian itu baru kita sadari ketika kita tidak lagi hidup dengan selesa karena harus berhadapan dengan penjahat di sekeliling. Apa nikmatnya melaksanakan ibadah, kalau ke mana-mana harus selalu siap dengan pistol yang terko-kang. Damai membuat kita saling tolong-menolong dalam kebajikan. Umat Islam dilarang saling membenci. Kalaupun pertelagahan (pertengkaran) itu terpaksa terjadi juga, sampai saling tidak tegur sapa, maka tidak boleh lebih dari tiga hari tiga malam saja lamanya (3 x 24 jam). Saya pernah mendengar ceramah ustad di suatu penga-jian, Rasulullah saw. bersabda, "Tidak halal bagi orang Islam membenci saudaranya (sesama Islam) melebihi tiga hari. Jika telah 130
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
berlalu selama tiga hari, hendaklah men-jumpainya dan member! ucapan salam." Dengan demikian alangkah hebatnya konsep Idul Fitri. Ada agenda tetap dan indah, sekali setahun, umat Islam dan umat lainnya, bersalaman, bersalaman, dan bersalaman. Saling maaf-memaafkan. Bersalaman dan memaafkan adalah aktivitas yang paling dominan di Hari Raya Idul Fitri yang sekali setahun itu. Dan ini sudah berlangsung sejak dahulu kala dalam konsep Islam. Maka mestinya, tidak lagi ada dendam, tidak juga amarah, tidak juga ada amuk, semua bisa diselesaikan dalam semangat persaudaraan. Maaf-memaafkan adalah kewajiban yang harus dihidupkan di antara sesama umat Islam. Masih saya dengar dari pengajian, perintah Allah Swt. jelas dan tegas, "Jadilah engkau pemaaf". Melakukan pembalasan atas perbuatan seseorang, memang bukan merupakan suatu kesalahan, namun memaafkan adalah tindakan yang terpuji. Hubungan silaturahmi seringkali rusak akibat komunikasi yang tidak baik. Orang menyebutnya miskomunikasi. Kadangkadang maksud baik tidak selalu dapat ditangkap dengan jelas. Kritik bercampur-baur dengan fitnah, karena tidak didukung oleh informasi yang akurat, sementara keinginan untuk mengkritik cukup kuat bahkan sudah seperti orang sakau. Maka dengan semangat Idul Fitri segala bentuk miskomunikasi dan segala bentuk eksesif dari pergeseran nilai-nilai itu dikubur dalam-dalam. Tali persaudaraan dengan sanak kerabat, tetangga dan sesama umat Islam kembali dirajut dengan jalan saling mengunjungi. Jangan pikirkan jabatan, jangan pikirkan gengsi, acungkan tangan, bersalaman. Dengan demikian kalau ada tirai kasih persaudaraan yang terkoyak segera kembali menjadi pulih, komunikasi akan kembali terjalin, hubungan batin, sambung rasa akan kembali terbina. Kita memerlukan tangantangan yang saling bergandengan, bukan tangan-tangan yang saling menepiskan. Biarlah dendam dan permusuhan itu hanya ada dalam sinetron. Karena seperti kata mutiara: "Menanam dendam untung131
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
untungan, hidup sukar mati pun sesat", artinya, hidup mendendam hanyalah sebuah perjudian. Dendam justru akan menambah penyakit dan pende-ritaan batin, baik dunia maupun akhirat. Hidup mendendam itu tak lebih dari ibarat menelan air garam, sekali diminum tak pernah memuaskan. Dendam akan berbalas dendam. Idul Fitri memberi kita peluang untuk saling memaafkan dan sekaligus introspeksi diri. Kita simak apa saja yang telah kita kerjakan dan kesalahan apa yang telah kita perbuat? Jika ada, sudah seharusnya kita bertekad memperbaikinya agar tidak terulang pada waktu-waktu mendatang. Dengan demikian insya Allah, perilaku kita dari tahun ke tahun semakin lebih baik. Kalau tak ada awan, kita tak akan bisa merasakan indahnya mentari. Biarlah semua dendam dan kemarahan itu, kalau ada, tenggelam dalam tidurnya yang abadi. Selamat Idul Fitri, minal aidin walfaidzin, maaf lahir batin. (16—29 Desember 2001)
132
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
3 Membangun Kehormatan Melakukan pembangunan fisik, wujudnya bisa bermacammacam, bisa dirasa, dilihat, dan diraba. Hasilnya bisa sebuah plaza indah, gedung yang megah, atau pencakar langit yang mengagumkan. Membangun kehormatan dan mempertahankan keterhormatan wujudnya juga bisa bermacam-macam dan esensial. Hasilnya bisa bernama harga diri, kemuliaan, rasa bermartabat, dan bagi orang Riau hasil keseluruhan itu disebut dengan marwah. Marwah itu abstrak, tidak terlihat, namun nilainya lebih berharga. Tangankan dibanding dengan sebuah plaza mewah, dengan nyawa pun marwah itu lebih mahal. Keterhormatan bisa milik individu, bisa milik sebuah keluarga, tapi bisa juga milik sebuah lembaga atau insti-tusi. Atau lebih besar lagi, milik sebuah bangsa. Seringkali keterhormatan individu membawa sekaligus nama keluarga dan nama lembaga. Semua orang sudah tahu, bagaimana sepak terjang si Badu, misalnya; sifatnya adalah individual, oknum, bukan atas nama keluarga atau lembaga, tetapi pasti dikaitkan juga dengan marwah keluarga dan bahkan marwah lembaga. Siapa dia itu? Ooh si Badu, pantaslah dia begitu, dia kan keturunan si Anu. Atau, ooh, dia anggota Dewan; anggota Dewan kok begitu ya. Komentarkomentar seperti itu tidak bisa kita hindari, tidak pula bisa dimanipulasi. Gara-gara tersangka kasus peledakan gedung kembar pencakar langit WTC di New York memiliki nama Arab misalnya, maka semua orang yang namanya berbau Arab dan Muslim selalu diawasi dengan ketat. Konon wali kota Pekanbaru, Herman Abdullah, termasuk yang diawasi secara khusus ketika berada di Amerika Serikat yang kebetulan bersamaan waktunya dengan peristiwa runtuhnya gedung kembar WTC yang megah itu. Saya berpikir, anak saya yang bernama Abdel Chaleed, pastilah suatu saat kelak akan kesulitan untuk mendapatkan visa 133
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kunjungan ke Amerika Serikat. Begitulah akibat langsung dari peristiwa jati diri. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah sebuah lembaga yang terhormat, demikian juga lembaga serupa di daerah, baik di propinsi maupun di kabupaten, dan kota. Status dan posisinya yang terhormat itu, memberikan akibat langsung pula pada individu yang duduk di dalamnya, sehingga mereka pun selalu dipanggil sebagai "yang terhormat". Disebut lembaga yang terhormat, agaknya adalah, karena lembaga tersebut merupakan lempal beikumpumya wakii-wakii rakyat yang disaring melalui serangkaian proses dan akhirnya memperoleh legitimasi melalui penulihan umum. Dengan demikian wakil-wakil rakyat tersebut mestinya adalah orang-orang pilihan. Dalam pemilihan umum, rakyat bebas memilih partai politik mana yang dikehendaki mewakili suaranya. Maka secara teoretis, sebuah partai politik pasti akan me-nempatkan kader-kader terbaiknya untuk dipilih mewakili rakyat. Kader-kader tersebut mestinya adalah kader-kader yang memiliki integritas yang terpuji dan teruji, memiliki dedikasi, loyalitas, dan mampu menjaga kehormatan dirinya sendiri, kehormatan partainya, dan kehormatan lembaganya yang terhormat itu. Membangun keterhormatan sama susahnya dengan menjaga dan memelihara keterhormatan. Contoh kasus di Italia agaknya adalah hal yang paling menarik dalam konteks ini, bagaimana seorang mantan pelacur yang su-dah dikenal umum menjadi seorang anggota parlemen. Keterhormatan tidak bisa dibangun dalam sekejap mata, dia memerlukan waktu dan pengakuan. Dan susahnya, pandangan yang sudah terbentuk terhadap diri seseorang atau lembaga, susah sekali untuk diubah. Keterhormatan juga bukan soal harta. Harta memang bisa membuat kedudukan seseorang menjadi lebih baik dalam ukuranukuran material, tapi bukan ukuran keterhormatan. Harta yang banyak juga bisa membuat orang menjadi tidak terhormat, apabila harta itu hasil KKN atau cara-cara tidak halal lainnya. Dalam
134
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
konteks pemerin-tahan, keterhormatan itu adalah persoalan performance, kinerja, output yang positif bagi orang banyak. Secara lebih dalam, inti dari sebuah keterhormatan adalah bersikap baik sesuai dengan kebenaran kolektif yang disepakati bersama. Keterhormatan lembaga tergambar dari sikap dan perilaku anggotanya, serta ketaatan pada hukum-hukum yang melingkarinya. Terhormat setinggi langit pun status lembaganya, apabila anggotanya tidak mampu mengawal sikap dan perilakunya, maka lembaganya tidak akan mampu mempertahankan predikat keterhormatannya. Keterhormatan dapat dibangun dengan berbagai cara sesuai dengan ruang lingkup dan bentuk hubungan yang ada. Sebagai manusia, dalam hubungan vertikal (di hadapan Tuhan), keterhormatan dibangun melalui ketakwaan dan selalu berbuat baik dalam hubungan sosial. Sebagai lembaga eksekutif, keterhormatan terbangun dari bagaimana pelayanan diberikan secara maksimal terhadap kemaslahatan masyarakat, dan seterusnya. Sebagai anggota DPR, keterhormatan terwujud dari kemampuan menyalurkan aspirasi masyarakat secara luas dan menyangkut semua pihak dan strata (tidak atas dasar kepentingan-kepentingan kelompok tertentu) dan diukur pula dari ketaatan untuk memegang kebijakan-kebijakan yang justru dihasilkannya sendiri. Adalah suatu hal yang ironis, jika anggota dari sebuah lembaga terhormat, seperti DPR misalnya, dalam mengambil kebijakan tertentu mengangkangi hal-hal yang telah disepakati bersama sebagai sebuah ketentuan perundang-undangan. Yang lebih menyakitkan bagi kita semua sebagai makhluk hukum adalah, bahwa kepada kita dihadapkan sebuah pelanggaran yang sewenangwenang terhadap konstitusi yang telah dihasilkan atas nama kepentingan bersama, atas nama kepentingan sebuah bangsa, di mana pelanggaran itu justru untuk hal-hal yang sama sekali tidak bersangkut paut dengan mar-wah bangsa dalam pergaulan 135
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
internasional, tapi sebaliknya hanya untuk mengakomodir orgasmus ego, perasaan berkuasa, dan kepentingan sepihak. Hakikat keterhormatan adalah hakikat pemuliaan dan memuliakan manusia. Dengan taat kepada konstitusi dan kesepakatan atas "rasa bersama". artinva kita telah ikut memberikan sumbangan dalam pembangunan marwah bangsa dan membangun keterhormatan. Akan jadi apa kita nantinya, jika masing-masing kita, masing-ma-sing lembaga, dan wilayah-wilayah kehidupan, tidak membangun "keterhormatan" secara baik dan maksimal. Jika kita tidak membangun keterhormatan, maka kita akan menuju ke suatu keadaan yang menyedihkan, dan masing-masing kita tak ubahnya seperti apa yang dikatakan oleh pengarang Irlandia, William Buttler Yeats, yaitu menjadi "penari yang menghentakkan kaki sambil menggemerincingkan lonceng-lonceng (menggemakan suara) kebiadaban". Mari kita kembali pada keterhormatan, mari terus membangun keterhormatan. Tiba-tiba saya teringat pada pesan Nabi kepada Aisyah (elaborasi dari Tanbihul Ghafilin): "Milikilah sikap yang baik dan kelembutan (sikap terhormat), sebab sikap itu tidak akan datang kepada sesuatu selain membuatnya menjadi indah, dan tidak akan pergi dari sesuatu selain membuatnya menjadi buruk." (10—16 Februari2002)
136
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
4 Di Balik Perang Uhud Pernah dengar Perang Uhud? Perang Uhud adalah perang yang terjadi antara pasukan Quraisy Makkah melawan pasukan Nabi Muhammad Saw. bersama para sahabatnya yang bermukim di Madinah. Karena perang itu terjadi di Bukit Uhud atau Jabal Uhud, di pinggir kota Madinah, maka perang itu dikenal sebagai Perang Uhud. Perang ini pada awalnya diungguli oleh pasukan Nabi Muhammad Saw. yang menvebabkan pasukan Quraisy terdesak dan terpaksa mundur dengan meninggalkan harta benda, perlengkapan perang, makanan, dan sebagainya. Pasukan Nabi yang semula mengambil posisi strategis di Bukit Uhud, tergiur dan turun ke Lembah Uhud berebut harta benda tersebut. Melihat keadaan ini, pasukan Quraisy berbalik dan merebut posisi strategis Bukit Uhud dan menghujani'pasukan Nabi dengan anak-anak panah yang mematikan. Pasukan Nabi kocar-kacir, korban berjatuhan di pihak Nabi. Di Perang Uhud inilah pasukan Nabi meng-alami kekalahan teruk untuk pertama kalinya. Setelah pasukan Quraisy meninggalkan medan Uhud dengan penuh kemenangan, Nabi Muhammad Saw. dan para sahabatnya kembali ke Lembah Uhud untuk mengambil mayat-mayat kaum Muslimin untuk dikuburkan. Paman Nabi, yang sangat dicintainya, Hamzah bin Abdul Muthalib juga ikut tewas dalam perang ini. Nabi sangat terpukul. "Ini sebuah malapetaka", ujar Nabi Muhammad Saw. kepada para sahabatnya. Maka sampai sekarang, umumnya jemaah haji Indonesia selalu melakukan ziarah ke Jabal Uhud ini untuk mengenang perjuangan Nabi, berdoa untuk beliau dan sahabat-sahabatnya, sambil memaknai kekalahan Nabi dalam perang tersebut. Nafsu untuk menguasai harta benda secara tidak terkendali ternyata menimbulkan malapetaka. Ini sebuah message (pesan) yang 137
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sangat jelas dan universal dari Bukit Uhud. Oleh karena itu, walaupun Riau berada ribuan mil dari Bukit Uhud, pesan itu tetap relevan dan kontekstual. Apalagi kini di era otonomi, daerah berpeluang untuk menarik manfaat yang lebih besar dari kekayaan sumber daya alamnya dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Dari berbagai indikasi tahun-tahun terakhir ini, suka atau tidak suka, kita terlalu banyak mencurahkan energi tenaga dan pikiran bagaimana mengeksploitasi dan memanfaaikan sumber daya aiam yang kita miliki untuk kesejahteraan masyarakat. Riau memang kaya akan sumber daya alam. Orang bilang, Riau itu negeri "di bawah minyak di atas minyak di tengah gambut" (baca: di bawah tanah minyak bumi, di atas tanah minyak kelapa sawit dan di tengah gambut tebal yang juga bisa dipakai sebagai sumber energi dan bermacam-macam keperluan). Salahkah bila itu dieksploitasi? Tentu tidak. Bukankah itu nikmat yang diberikan oleh Yang Mahakuasa? Tetapi mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam itu secara berlebihan, apalagi kalau amat sangat berlebihan, tentu juga tidak dapat dibenarkan. Apatah lagi dalam pemanfaatan kekayaan alam tersebut satu pihak dengan pihak lainnya cakar-cakaran, saling sikut, saling pojok memojokkan, saling menjatuhkan bahkan saling bunuh. Satu pihak mengklaim kekayaan alam itu milik mereka, mereka yang paling berhak. Pihak lain mengklaim bahwa mereka juga berhak. Rebutan kewenangan pun tidak terelakkan. Tidak hanya antara pusat dan daerah, bahkan juga antara daerah satu dengan daerah lain. Tidak hanya itu Tuan, rebutan juga bisa terjadi antar puak, lebih kecil lagi ruang lingkupnya antara sesama suku, bahkan antara mamak dan kemenakan. Si kemenakan "teking", tidak lagi mau tunduk kepada mamaknya (ini kan zaman reformasi, katanya). Si mamak pula, karena merasa dituakan dan didulukan selangkah, makan sendiri alias "mansur" - main surang (baca: seorang). Rebutan "harta karun" itu mulai dari yang berskala besar seperti berebut rezeki di sekitar wilayah penambangan minyak dan gas, berebut menam-bang batu bara, berebut menambang granit, berebut 138
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
menebang hutan, pembukaan lahan untuk perkebunan, pengerukan pasir, dan seterusnya, sampai kepada yang kecil-kecil. Akhirnya timbul konflik, persatuan dan kesatuan buhulnya menjadi longgar, persaudaraan menjadi retak. Dalam sudut pandang itu, kekayaan sumber daya alam tidak hanya dapat dilihat sebagai berkah, tetapi juga sekaligus musibah. Sebab intensitas yang sangat tinggi dalam ekslploitasinya akan menimbulkan kerusakan alam, yang sebagian diantaranya masih bisa diperbaiki, tetapi sebagiannya lagi rusak permanen. Bahkan dalam proses pengolahan kekayaan alam kita itu, ada pula yang menghasilkan limbah. Kalau kita lihat kecenderungan pengusahaan sumber daya alam kita dewasa ini, seperti minyak, pasir, dan hutan, terlihat seakan-akan dunia sudah mau kiamat. Kalau minyak bisa disedot hari ini, disedot semuanya hari ini juga. Demikian pula pasir laut, kalau bisa, dikeruk semuanya hari ini. Hutan pula, kalau bisa ditebang habis semuanya hari ini. Tidakkah kita sisakan sedikit untuk anak cucu? Bukankah sustainable development (pembangunan berkelanjutan) itu harus menjadi salah satu prinsip dalam pengelolaan sumber daya alam kita? Dalam suatu perbincangan dengan Laksamana Sukardi, Menteri BUMN kita beberapa waktu yang lalu, saya mencatat beberapa hal yang menarik. Laks menga-takan bahwa sesungguhnya kekayaan terhadap SDA bukan serta merta membuat masyarakat akan sejahtera. "Daerah yang terlalu mengedepankan kekayaan SDA sama seperti anak mendapatkan warisan," kata Laks. Kalau kebetulan si anak mampu mengelola dengan baik warisan itu, maka warisan tersebut akan berguna, tetapi yang sering terjadi anak-anak pada cakar-cakaran memperebutkan warisan. Laksamana memberikan contoh seperti Singapura, Swiss, Korea Selatan, dan bahkan Jepang, mereka ini ada-lah negeri-negeri yang tidak memiliki SDA, tetapi mereka menjadi pengekspor cokelat, pengekspor ikan, dan peng-ekspor minyak. Kualitas SDM memang
139
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
sangat menentukan. Kualitas tidak hanya dilihat dari kemampuan penguasaan iptek, tetapi juga pada sikap dan karakter Kita memang kaya akan SDA, tetapi kita mengeksploitasinya tidak secara bermartabat, sehingga kekayaan yang ada tidak hanya membuat masyarakat tidak sejahtera, bahkan membuat satu dan lainnya saling curiga, per-saudaraan menjadi longgar dan kita berkecai-kecai. Yang menarik keuntungan dari situasi itu akhirnya pihak lain. Perang Uhud memang terjadi nun jauh di sana lebih dari seribu tahun yang lalu, tetapi "pesan" kekalahan Nabi Muhammad Saw. dalam perang tersebut mestinya dapat ditangkap dengan jelas. Kita tidak ingin jadi pecundang.
(24—30 Maret 2002)
140
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
5 Pesan dari Ramallah ”Aku tidak akan menyerah kepada Israel, tapi akan berjihad sampai mati seperti para pendahuluku, yang juga mati dalam jihad." Begitu bunyi pesan Yasser Arafat kepada dunia. Pesan itu disampaikannya dari rumahnya yang dibombardir tentara Israel, setelah Israel akhirnya mengumumkan Arafat sebagai musuh. Palestina memang melawan dengan segenap kekuatan yang ada, baik dengan kekuatan senjata, melalui jalur intifadah, maupun melalui istishadi (orang-orang yang memilih kematian sebagai alat perjuangan atau yang lebih dikenal sebagai pengebom bunuh diri). Tapi itu tidak berarti banyak, karena Israel memiliki kekuatan militer yang lebih besar, dan lebih celaka lagi, kekuatan Israel yang besar itu mendapat dukungan pula lewat kebijakan politik Amerika Serikat yang tidak jelas. Pertempuran yang tidak seimbang antara Israel dan Palestina ini memakan korban yang besar dari kalangan Palestina dan Islam. Sejumlah korban berjatuhan di Ramallah, sementara PBB bungkam, dan Amerika justru menuding bahwa teroris Palestinalah yang memicu semua ini. Sungguh suatu sikap yang tidak adil dan menunjukkan arogansi yang besar. Sikap Amerika ini bukan lagi suatu ambivalensi, tapi justru merupakan sebuah pemihakan yang tegas terhadap Israel, dan sekaligus membenarkan asumsi bahwa pasca perang dingin, Amerika memang menjadikan Islam sebagai musuh. Serangan Israel yang langsung mengarah pada simbol Palestine, Yasser Arafat, ini, dengan segera mendapat respon dunia internasional. Sejumlah negara segera menyampaikan kecaman dan kutukan terhadap serangan yang dilakukan. Tidak hanya masyarakat di negara-ne-gara Islam, tapi dukungan terhadap Palestine juga datang dari kelompok-kelompok masyarakat Eropa yang membenci
141
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
peperangan, seperti demonstrasi yang dilakukan di Belgia, dan bahkan di Amerika sendiri. Di Indonesia, dukungan untuk Palestina juga mengalir. Pemerintah Indonesia secara resmi, juga telah mengecam dan mengutuk serangan Israel tersebut. Bersamaan dengan itu, di kalangan masyarakat, gelombang-gelom-bang demonstrasi terjadi hampir setiap hari, yang pada iritirtya mengutuk kebrutalar. serangan Israel dar. ketidak jelasan sikap politik Amerika. Tidak hanya itu, seruan jihad pun dikumandangkan. Di beberapa tempat dibuka posko-posko pendaftaran mujahid yang bersedia diberangkatkan. Sebagai orang Islam kita mendukung Palestina, dan sekaligus mendukung semangat dan gerakan jihad yang dilakukan. Dukungan kita kepada Palestina, di samping atas dasar semangat keIslaman, juga karena Palestina sedang berada dalam posisi teraniaya secara kemanusiaan, dan jihad untuk melawan orang-orang yang merendahkan martabat kemanusiaan itu hukumnya wajib. Sikap Israel itu sudah waktunya diberikan perlawanan nyata. Keberingasannya sudah terasa begitu merendahkan, yang ironisnya hal itu justru terjadi di jantung Islam itu sendiri. Jika kita (dunia Islam) tidak memberikan respon yang lebih konkret, maka Israel akan semakin semena-mena. Atas dasar itu, kita memang harus mendukung gerakan jihad yang dikumandangkan di beberapa negara Islam, juga seperti yang dilakukan oleh kelompok-kelompok pembela Islam di tanah air. Kita tidak mungkin lagi meletakkan harapan pada kebijakan internasional Amerika maupun PBB, tapi harus lebih mengarahkan perlawanan dengan membangkitkan solidaritas Islam. Jika kita runut, pertikaian Palestina dan Israel bukanlah suatu hal yang baru, tapi sebaliknya sudah berlangsung sangat lama, khususnya ketika klaim atas tanah suci Palestina tidak bisa dirujuk kepada salah satu agama, baik itu Yahudi, Nasrani, maupun Islam. Dan sepanjang pertikaian yang berlangsung lama tersebut, Palestina, selalu berada pada pihak yang dirugikan. 142
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Lebih dari itu, kita secara jelas dapat melihat, bahwa meski perjanjian damai selalu dilaksanakan, tapi Israel sering tampil sebagai kekuatan yang melanggar perjanjian yang disepakati. Hal ini dapat kita lihat sejak perjanjian Camp David sampai sekarang, yang kesemuanya dilanggar oleh Israel dengan alasan bahwa Palestina men-sponsori gerakan teroris. Padahal kalau kita lihat, apa yang sedang dilakukan Israel terhadap Palestina adalah sebuah gerakan terorisme negara. Penyerangan Ramallah ini adalah sebuah contoh, bagaimana Israel sebenarnya tidak mempunyai iktikad damai, sebab penyerangan mereka lakukan justru bersamaan dengan sedang berlangsungnya pembicaraan damai Arab-Israel di Beirut (26—28 Maret 2002). Dari fakta ini, umat Islam dan juga negara-negara Islam sebetulnya tidak perlu melakukan perundingan apa pun, tapi meng-konkretkan perlawanan secara nyata. Jihad mungkin merupakan jalan terbaik, terutama setelah kita memang telah menempuh upaya damai yang lebih lembut, namun tak membawa hasil, sementara korban di pihak Islam terus berjatuhan. Jihad. Ya, sekali lagi Jihad. Di mata saya, pesan jihad yang bernuansa getir, yang diucapkan oleh Yasser Arafat dari Ramallah, adalah undangan bag! semua umat Islam agar membuka mata dan sekaligus melakukan sesuatu untuk martabat Islam itu sendiri. Jihad juga harus menjadi jawaban, karena serangan Israel tidak hanya menjelaskan makna persengketaan kedua negara, tapi lebih dari itu, penyerangan tersebut juga memberi arti bahwa Islam dianggap sebagai sesuatu yang lemah. Serangan Israel ini seharusnya juga menjadi sebuah peringatan penting bagi dunia Islam dan negara-negara Arab, bahwa Islam harus memakai cara yang keras untuk mengingatkan dan menghadapi Israel. Oleh itu, gerakan jihad ini merupakan suatu gerakan yang harus didukung bersama oleh orang Islam dengan cara dan kemampuannya masing-masing. 143
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
Ramallah telah memberikan kita pesan keislaman dan pesan kemanusiaan, bahwa penindasan terhadap Islam sedang berlangsung. Jika kita tak mempedulikan ini, maka sungguh kita membiarkan diri dizalimi. (14—20 April 2002)
144
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
6 Udang di Balik Batu Forum Paris Club III yang berlangsung di Paris, Prancis tanggal 11—12 April 2002 telah berakhir. Yang tinggal kini adalah wacana dan perenungan-perenungan yang bertalian dengan peristiwa tersebut, dan itu tentu saja kontroversial. Ada yang gembira, ada yang acuh, ada pula yang prihatin dengan amat sangat. Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Paris memang sangat jauh dari Jakarta, tetapi hasil dari perdebatan dan pembahasan dot yang terjadi di kota itu sangat mempengaruhi masa depan Indonesia. Ada apa dengan Forum Paris Club? Sederhananya kira-kira begini. Negara-negara kaya yang menjadi kreditur (yang memberikan pinjaman), membuat suatu forum pertemuan, dan dalam forum pertemuan tersebut Indonesia sebagai debitur (pengutang atau peminjam) akan "diadili". Indonesia harus mempertanggungjawabkan sebagian dari utang luar negerinya yang jatuh tempo pada tahun ini, yakni sejumlah 5,5 miliar dolar Amerika Serikat dari total utang sejumlah 67 miliar dolar AS. Jumlah utang Indonesia itu kira-kira sama dengan 670 triliun rupiah (kalau kita anggap nilai tukar Rp 10.000,- per dolar AS). Dan jumlah yang harus segera dilunasi itu kira-kira setara dengan Rp 55 triliun. Perihal jumlah utang luar negeri Indonesia ini pun bervariasi angkanya, ada yang menyebut 67 miliar dolar AS, ada pula yang menyebut angka 86 miliar dolar AS (atau kira-kira 860 triliun rupiah). Kalau kita minta informasi kepada Prof. Tabrani Rab, Anggota DPOD kita, angka utang tersebut lebih fantastik lagi. Sudah bisa dipastikan, dalam pertemuan Paris Club tersebut, sang kreditur akan berdalih atau pura-pura berdalih dengan mengajukan bermacam-macam pertanyaan kepada sang debitur yang berkeringat dingin. Saudara belanjakan ke mana uang yang saudara pinjam dan bagaimana caranya. Saudara mestinya tidak usah pakai baju baru, tapi 145
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
kenapa beli baju baru? Uang dari mana yang Anda pakai untuk pembeli baju baru tersebut? Kenapa Anda beri juga subsidi BBM sehingga BBM di Indonesia termurah harganya di dunia? Kenapa Anda tidak jual semua BUMN termasuk yang masih sehat? Lantas mengenai defisit anggaran, dari mana akan Anda tutup? Tahun ini utang Anda sudah jatuh tempo sebanyak 5,5 miliar dolar AS, bagaimana cara Anda membayarnya? Dan segudang pertanyaan lain yang harus diberikan jawaban secara komplet dan memuaskan Oleh karena itu, Tim Ekonomi Indonesia yang hadir dalam forum tersebnt sampai harus melakukan simulasi di Jakarta sebelum mereka berangkat ke Paris. Laksana mahasiswa yang akan maju ujian skripsi, Tim Ekonomi Indonesia ini konon terlebih dahulu berlatih menjawab soal-soal yang mungkin akan diajukan oleh para kreditur dalam Forum Paris Club III. Pasti ada juga upaya Tim Ekonomi ini untuk mencari kisi-kisi soal supaya bisa mempersiapkan diri menjawab pertanyaan dengan mulus. Hasilnya? Tim Ekonomi Indonesia lulus dengan predikat sangat memuaskan. Indonesia yang seharusnya sudah melunasi utangnya sejumlah 5,5 miliar dolar AS tahun 2002—2003, diberi masa tenggang 10 tahun, kemudian 10 tahun berikutnya harus lunas. Dengan demikian utang Indonesia dijadwal ulang dengan memberikan masa pelunasan total selama 20 tahun, suatu keputusan yang cukup melegakan. Walaupun penjadwalan kembali (rescheduling) utang itu bermakna pemerintah yang sekarang akan mewariskan utang sejumlah 5,5 miliar dolar AS kepada anak-cucu kita nanti, tapi jelas ini memberikan Indonesia kesempatan bernapas. Dan lebih dari itu terbuka pula kesempatan untuk melakukan konsolidasi keuangan negara, sebagaimana diucapkan oleh Wapres Hamzah Haz. Tetapi rescheduling itu tentu tidak gratis. Yang tidak gratis itu pun pilihannya sudah tinggal sedikit, tidak lagi bisa memilih secara leluasa. Negara-negara kreditur yang tergabung dalam Paris Club ini bukanlah kumpulan pekerja sosial panti jompo yang memiliki sifat penyayang, mereka adalah bankir-bankir kelas kakap dan kapitalis. Pekerjaan-pekerjaan sosial, bukan urusan mereka. Cerita itu hanya ada 146
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
dalam film-film picisan, selebihnya tidak. Semua harus bisa dikonversikan ke dalam modal uang dan bisa dihitung untung ruginya secara eksak. Jangankan rugi, impas saja mereka tidak akan mau. Oleh karenanya kalau mereka mengiakan Indonesia yang meminta utangnya dijadwal ulang, itu pasti ada udang di balik batu. Konsesi yang mereka minta ada yang diucapkan dan ada pula yang sengaja disimpan. Yang terucap misalnya adalah keharusan melakukan liberalisasi perdagangan, menghapuskan segala bentuk subsidi, termasuk subsidi BBM, keharusan privatisasi BUMN, harus ini, harus itu dan sebagainya. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana Tim Ekonomi kita mengambil posisi yang pas dalam forum Paris Club III itu, menjawab dengan tangkas pertanyaan-pertanyaan para kreditur lalu kemudian mengangguk lemah ketika disodorkan sederetan keharusan-keharusan. IMF pasti membela Indonesia dengan memuji Indonesia sebagai democratic country yang baru, simpati perlu diberikan kepada Indonesia, bahkan juga aplaus. Tetapi IMF yang mengelola dana pinjaman itu pun ada udang di balik batu juga. Negeri sebesar dan selugu Indonesia terlalu besar dan terlalu lugu untuk diabaikan. Inilah agaknya yang tidak diucapkan oleh negara-negara kreditur dan IMF. Dengan penduduk 220 juta jiwa dan potensi konflik yang sangat besar (baca: mudah diadu domba), Indonesia adalah pasar yang cukup menggiurkan untuk segala macam bentuk produk. Tranparansi dan demokrasi yang ditandai dengan perbedaan pendapat yang tajam dan saling mele-mahkan, agaknya sangat disukai oleh negara-negara kreditur, sebab itu bermakna tingkat ketergantungan akan semakin tinggi. Negera-negara kreditur itu sesungguhnya tidak kehilangan apa-apa bila Indonesia tidak mampu membayar utangnya, sebab mereka akan mendapatkan bunga pinjaman sepanjang masa. Sebaliknya akan terjadi bila Indonesia semakin solid dan kokoh. Alasan bahwa Indonesia adaiah sebuah negeri yang besar dengan potensi pasar yang besar agaknya adalah alasan mengapa rescheduling itu diperoleh. Bila Indonesia merupakan negeri kecil, 147
drh. Chaidir, MM
http://drh.chaidir.net
2002
lemah, dan miskin sumber daya alam, tentu tidak akan ada kreditur yang mau ambil pusing. Apa yang kita khawatirkan sejak lama semakin menyadarkan kita bahwa penjajahan fisik memang tidak akan pernah terjadi lagi di abad modern ini, tetapi penjajahan ekonomi sekarang sedang kita alami. Messages di sebalik Forum Paris Club III mengingatkan, kita agaknya semakin jauh dari kemandirian sebagai sebuah bangsa yang berdaulat.
(21—27 April 2002)
148