YANG TERLEWATKAN DALAM PENDIDIKAN DAN PELATIHAN Oleh Samsul Hidayat, M.Ed (Widyaiswara Madya BKD & DIKLAT Provinsi NTB)
ABSTRAKSI Ilmu pengetahuan, ketrampilan juga pesan moral yang akan disampaikan kepada peserta diklat, didik maka seyogyanya pengajar memperhatikan keberadaan individu tiap peserta didik, dengan cara mengenal lebih dekat hal-hal yang berkaitan dengan Latar belakang, pengetahuan dan taraf pengetahuan, Cara belajar peserta didik, Usia Peserta didik, Tingkat Kematangan, Spektrum dan ruang lingkup minat, Lingkungan social ekonomi, Hambatan- hambatan lingkungan dan kebudayaan Inteligenesia, keselarasan dan sikap Prestasi belajar Motivasi. Dengan mengenal hal-hal diatas, dapat mempermudah menjankan tugasnya dalam mengajar sekaligus mendidik serta mengembangkan pendidikan berkarakter dngan metode pembelajaran yang proporsional, sehingga peningkatan kualitas pendidikan dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Kata kunci : Pendidikan, karakter, nilai nilai, pendidik
PENDAHULUAN Ada kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani. Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi? Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas. Orangtua telah menanamkan virus
kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar. Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya. Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.
PENDIDIKAN YANG BERBASIS KARAKTER Pendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa. Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negaranegara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam. Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos. Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral. Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan
membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness. Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan. Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah. Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup. Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan. Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh. Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang. Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.
BELAJAR DAN MENGAJAR DENGAN HATI Seiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran. Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.
Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini
telah
masuk
kurikulum
SESKOAD
Bandung.
Fenomena
ini
tentu
amat
menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan. Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif. Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru, murid dan peserta diklat berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan. Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat
merindukan
pemimpin,
birokrat,
dan
pelaku
pasar
yang
senantiasa
mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.
KUANTITAS DAN KUALITAS DIPRORITASKAN SECARA SEIMBANG Kuantitas dan kualitas pendidikan harus diprioritaskan secara seimbang. Yang sering terjadi adalah kuantitas yang tinggi akan mengurangi kualitas atau sebaliknya kualitas yang tinggi dapat mengurangi kuantitas. Karena itu dalam pembiayaan pendidikan perlu adanya asumsi yang berlaku secara umum: Pendidikan untuk semua. Penyediaan pendidikan yang proporsional merupakan hal sangat penting. Ketetapan ini berlaku untuk seluruh warga. Ketetapan dirancang dan berlaku untuk
memenuhi kebutuhan setiap orang. Kesempatan untuk memperoleh pendidikan, untuk semua warga negara dalam memperoleh kesempatan pendidikan dan mutu pendidikan yang dapat memenuhi kebutuhan hidup yang baik secara kualitas maupun kuantitas. Masyarakat berhak memperoleh pendidikan yang setinggi-tingginya dengan fasilitas Negara, dalam bentuk, 1) Lembaga pendidikan harus didukung oleh dana melalui perpajakan public, b)Perlakuan yang khusus bagi mereka yang ingin mengirimkan anaknya ke perguruan tinggi, c)Masing-masing status perlu menyediakan hukum dan konsekuensinya dalam mendukung keuangan, d)Masing-masing warga negara turut mendukung dengan kemampuannya pada lembaga pendidikan
negeri dan institusi
yang lebih tinggi. Untuk memprioritaskan kualitas dan kuantitas pendidikan ini, masingmasing lembaga pendidikan mempunyai prioritas pembiayaan yang berbeda-beda. Menurut Bobbit (1992), sekolah secara mandiri dan berkewenangan penuh menata anggaran biaya secara efisien, karena jumlah enrollment akan menguras sumber-sumber daya dan dana yang cukup besar. Penggunaan biaya yang tidak perlu dihindari. Efektifitas pembiayaan sebagai salah satu alat ukur efisiensi, program kegiatan tidak hanya dihitung berdasarkan biaya tetapi juga waktu, dan amat penting menseleksi penggunaan dana operasional, pemeliharaan, dan biaya lain yang mengarah pada pemborosan. Perhitungan kuantitatif yang dapat digunakan untuk melihat efisiensi dan efektifitas internal antara lain digunakan pertimbangan rata-rata lama waktu belajar (average study time) yang dihabiskan oleh lulusan dalam satu periode tertentu. Banyaknya waktu yang dihabiskan oleh siswa (pupil year wasted) sebagai pemborosan, hal tersebut terjadi antara lain karena pengulangan kelas, putus sekolah, dan berhenti sementara. Waktu yang dibutuhkan lembaga pendidikan, sekolah (years input pe graduate) untuk menghasilkan lulusan yang normal maupun mengulang. Schultz
(1963)
mengemukakan
output
dapat
diilustrasikan
seperti
ketrampilan dasar, ketrampilan pekerjaan, kreatifitas, bakat dan lainnya. Output ini menjadi gambaran bahwa ketrampilan dan pengetahuan melalui proses pendidikan perlu dukungan biaya. Ketersediaan anggaran untuk pengelolaan satuan pendidikan pada semua jenjang dan jenis pendidikan menjadi penting untuk membangkitkan kinerja (meningkatkan kualitas) sekolah agar menjadi lebih baik. Strategi yang ditempuh
sehingga terpenuhi biaya pendidikan yang direkomendasikan oleh UU No. 20 tahun 2003 Sispenas Pasal 46 ayat 1 yang menyatakan bahwa pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan undang-undang tersebut penyediaan anggaran pendidikan menjadi tanggung jawab negara baik pemerintah pusat yang bersumber dari APBN maupun
pemerintah
propinsi
yang
bersumber
dari
APBD
dan
pemerintah
Kabupaten/Kota yang juga bersumber dari APBD, sehingga masing-masing perlu adanya wewenang yang jelas. Selain itu untuk menggalang peran serta masyarakat perlu adanya suatu sistem yamg mendukung atau memberikan ruang gerak kepada sekolah untuk mengembangkan kreatifitas dan inovasinya. Saat ini yang terjadi di negara kita, untuk lembaga pendidikan, sekolah negeri, apabila kekurangan dana karena suplay dari pemerintah terbatas, maka lembaga pendidian, sekolah cenderung menunggu alokasi dana berikutnya dari pemerintah. Jika sekolah berinisiatif untuk mengatasinya dengan dana diluar alokasi pemerintah, tidak ada aturan yang membenarkannya. Seandainya sekolah mampu mengakses dana yang bersumber non pemerintah, pekerjaan tersebut dianggap negatif, karena tidak legal.
PENDIDIKAN YANG BERKARAKTER Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya. Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter? Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya. Pertanyaan saya, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi
seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi. Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.
HAL HAL PENTING YANG PERLU MENJADI PERHATIAN Kalau boleh saya menarik sebuah analogi, sistem pendidikan itu ibarat sebuah rangkaian perjalanan yang wajib dipersiapkan segalanya sebaik mungkin apabila ingin mencapai tujuan yang hendak dicapai. Rangkaian itu antara lain: 1). Visi, itu ibarat tujuan/lokasi yang hendak dituju, ingin seperti apa dan ingin menghasilkan apa pendidikan kita dalam jangka pendek, menengah, dan jangka panjang, 2) Kurikulum, itu ibarat sebuah buku pedoman atau peta penunjuk jalan, harus bagaimana kita melangkah dan harus melalui jalur mana dan bagaimana untuk mencapai tujuan itu, 3)KualitasPengajar/guru, mereka ibarat supir yang akan membawa atau mengatur kendaraan menuju lokasi tujuan dengan berpedoman kurikulum atau peta pedoman tadi. Mereka inilah faktor penentu sampai atau tidak, cepat atau lambat sampai di lokasi tujuan (visi), 4) Sarana Fisik Pendidikan, ini ibarat kendaraan yang akan digunakan. Kalau kendaraan baik dan terawat, maka perjalanan akan lancar dan mudah sampai di tujuan. Sebaliknya, jika kendaraan rusak atau terbengkalai, maka perjalanan akan menemui banyak kendala, 5) Peserta didik, mereka ini ibarat penumpang yang akan kita antarkan untuk sampai dengan tepat di tujuan yang telah ditetapkan.
KESIMPULAN Untuk mempermudah kita menguasai dan transfer
ilmu pengetahuan,
ketrampilan juga pesan moral yang akan disampaikan kepada peserta diklat, didik maka seyogyanya pengajar memperhatikan keberadaan individu tiap peserta didik, dengan cara mengenal lebih dekat hal-hal yang berkaitan dengan Latar belakang,
pengetahuan dan taraf pengetahuan, Cara belajar peserta didik, Usia Peserta didik, Tingkat Kematangan, Spektrum dan ruang lingkup minat, Lingkungan social ekonomi, Hambatan- hambatan lingkungan dan kebudayaan Inteligenesia, keselarasan dan sikap Prestasi belajar Motivasi. Dengan mengenal hal-hal diatas, dapat mempermudah tenaga pendidik untuk menjankan tugasnya dalam mengajar sekaligus mendidik serta mengembangkan metode pembelajaran sehingga peningkatan kualitas pendidikan dapat tercapai sesuai yang diharapkan. Sistem pendidikan itu ibarat sebuah rangkaian perjalanan yang wajib dipersiapkan segalanya sebaik mungkin apabila ingin mencapai tujuan yang hendak dicapai.
DAFTAR PUSTAKA 1. Darmastuti Suetrisno. Ir., M.Ed., Peningkatan Mutu Pendidikan Di Sekolah Dasar : Pendekatan Menyeluruh dan Desentralistis tentang Pola dan Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Taman Kanak-Kanak Dan Sekolah Dasar Jakarta 2001. 2. Darmastuti Suetrisno. Ir., M.Ed., Manajemen Berbasis Sekolah Untuk Sekolah Dasar. Departemen Pendidikan Nasional. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Taman Kanak-Kanak Dan Sekolah Dasar Jakarta 2001. 3. Edi Suardi, Drs. , S Nasution Prof., Dr.,MA., M Moh Rifai Joedoprawiro., Administrasi dan Superpisi Pendidikan, Direktorat pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, Direktorat Pendidikan dasar dan Menengah Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemenn Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2000 4. Rocman Natawijaya, Drs., LJ Moleong, Drs., MA., Psikologi Pendidkan. Direktorat pendidikan Guru dan Tenaga Teknis, Direktorat Pendidikan dasar dan Menengah
Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah Departemenn Pendidikan dan Kebudayaan. Mei Tahun 2001 5. Sardiman A.M., Interaksi dan Motivasi Bekajar Mengajar. _Ed. I, Cet. II._ Jakarta : PT Raja Grafindo Persada Jakarta 2004 6. Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm