PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
MODUL
Diklat Teknis Substantif Dasar Pajak I
PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK Jalan Sakti Raya No. 1 Kemanggisan Jakarta Barat Telp. (021)5481155-5481476; Fax. (021) 5481394 www.bppk.depkeu.go.id/unit-kerja/unit-pusat/pusdiklat-pajak/
DIKLAT TEKNIS SUBSTANTIF DASAR PAJAK I
BAHAN AJAR
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai Oleh:
Darwin WIDYAISWARA UTAMA
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA BADAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN KEUANGAN PUSAT PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PAJAK 2014
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
DAFTAR ISI
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN DAN PERTAMBANGAN DASAR HUKUM, OBJEK, SUBJEK, TARIF DAN DASAR PENGENAAN 4 A. DASAR HUKUM ......................................................................................... 4 B. OBJEK DAN SUBJEK ................................................................................ 4 C. TARIF ......................................................................................................... 5 D. DASAR PENGENAAN ................................................................................ 5 DASAR PERHITUNGAN DAN CARA MENGHITUNG PBB ................................. 7 A. DASAR PERHITUNGAN PBB .................................................................... 7 B. BATAS TIDAK KENA PAJAK ..................................................................... 7 C. CARA MENGHITUNG PBB ........................................................................ 7 PEMBAYARAN, PENAGIHAN DAN SURAT KETETAPAN PAJAK ..................... 8 A. TATACARA PEMBAYARAN ....................................................................... 8 B. TATACARA PENAGIHAN........................................................................... 8 C. PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) ................................... 9 KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN .............................................. 10 A. KEBERATAN PBB .................................................................................... 10 B. BANDING PBB ......................................................................................... 11 C. PENGURANGAN PBB ............................................................................. 11 PEMBAGIAN HASIL DAN KETENTUAN PIDANA ............................................. 13 A. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB ................................................. 13 B. KETENTUAN PIDANA.............................................................................. 13 PBB SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN, DAN PERTAMBANGAN ........ 15 A. SEKTOR PERKEBUNAN ......................................................................... 15 B. SEKTOR PERHUTANAN ......................................................................... 25 C. SEKTOR PERTAMBANGAN .................................................................... 34 REFERENSI ...................................................................................................... 48
DTSD Pajak II
i
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
ii
DTSD Pajak II
BEA METERAI PENDAHULUAN ............................................................................................... 51 PENGERTIAN BEA METERAI .......................................................................... 53 A. BEA METERAI ADALAH PAJAK .............................................................. 53 B. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN BEA METERAI .................................... 55 C. BEA METERAI ADALAH PAJAK ATAS DOKUMEN ................................. 56 D. OBJEK BEA METERAI ............................................................................. 58 E. BUKAN OBJEK BEA METERAI ................................................................ 60 SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA METERAI................................ 61 A. SUBJEK BEA METERAI ........................................................................... 61 B. SAAT TERUTANG BEA METERAI ........................................................... 61 C. TARIF BEA METERAI .............................................................................. 62 PELUNASAN BEA METERAI ............................................................................ 65 A. PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN BENDA METERAI ................................................................................................. 65 B. PELUNASAN BEA METERAI MENGGUNAKAN CARA LAIN .................. 67 C. AKIBAT APABILA KETENTUAN CARA PELUNASAN BEA METERAI TIDAK DIPENUHI ..................................................................................... 77 D. BENDA METERAI YANG SAAT INI MASIH BERLAKU DI INDONESIA ... 78 E. PENGADAAN DAN PENGELOAAN BENDA METERAI ........................... 79 F. PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN DAN PENJUALAN BENDA METERAI ................................................................................................. 80 G. PEMETERAIAN KEMUDIAN .................................................................... 82 SANKSI, DALUWARSA, DAN KETENTUAN PIDANA ....................................... 86 A. SANKSI ATAS KEWAJIBAN PEMENUHAN BEA CUKAI ......................... 86 B. DALUWARSA BEA METERAI .................................................................. 87 C. KETENTUAN KHUSUS ............................................................................ 88 D. KETENTUAN PIDANA.............................................................................. 89 E. KETENTUAN PERALIHAN ....................................................................... 90 PENEGAKAN HUKUM BEA METERAI.............................................................. 91 A. PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGENAAN BEA METERAI. ............. 91
DTSD Pajak II
iii
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B. PEMBENTUKAN TIM VERIFIKASI PENJUALAN BENDA METERAI ....... 91 C. PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN MESIN TERAAN BEA METERAI ......................................................................................... 93 D. PEMANTAUAN PROSES PENUKARAN BENDA METERAI .............. 95 E. INTENSIFIKASI BEA METERAI ............................................................ 96 F. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK CLAN BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGGANTI LOGO PERUSAHAAN ..... 97 G. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK DAN BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGUBAH NAMA PERUSAHAAN...... 98 H. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS SURAT KOLEKTIF SAHAM 99 I. BEA METERAI ATAS KARTU KREDIT ............................................. 100
iv
DTSD Pajak II
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN DAN PERTAMBANGAN
DTSD Pajak II
1
PENDAHULUAN
Tanah dan bangunan merupakan barang komoditi atau merupakan barang ekonomi yang berpengaruh sangat kuat terhadap kehidupan bangsa, negara dan penduduknya. Negara sebagai organisasi yang mengatur dan memerintah rakyat serta kehidupan bernegara demi mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyatnya berkewajiban untuk mengatur tata hidup dan pendayagunaan tanah baik sebagai barang ekonomi maupun tempat tinggal. Untuk itu sudah sejak zaman kerajaan sampai dengan berdirinya Negara, pendayagunaan tanah ini diatur oleh para penguasa atau Negara. Salah satu pengaturan pendayagunaan tanah disamping melalui Undang-undang Pokok Peraturan Agraria, Land Use dan Land Reform adalah melalui Perpajakan Atas Tanah. Sebelum tahun 1985 disadari bahwa saat itu berlaku sistem perpajakan atas tanah dan bangunan khususnya yang menyangkut pajak kebendaan dan pajak kekayaan yang diciptakan sejak zaman Belanda, telah menimbulkan tumpang tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga menyebabkan pajak berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta meratakan pendapatan masyarakat.
DTSD Pajak II
3
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
DASAR HUKUM, OBJEK, SUBJEK, TARIF DAN DASAR PENGENAAN
A. DASAR HUKUM Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan kepada Undang-Undang No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang telah disempurnakan dengan Undang-Undang No.12 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas UndangUndang No.12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan, yang selanjutnya di dalam tulisan ini disebut dengan UU PBB.
B. OBJEK DAN SUBJEK Objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Menurut UU PBB, Bumi dapat diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Sedangkan permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Di dalam memori penjelasan UU PBB yang termasuk bangunan adalah :
jalan lingkungan dalam suatu komplek bangunan
jalan tol
kolam renang
pagar mewah , taman mewah
tempat olah raga
galangan kapal , dermaga
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
fasilitas lain yang memberi manfaat
Di dalam UU PBB juga diatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB yaitu: 1. objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan
4
DTSD Pajak II
2. Objek yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu 3. Objek yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah negara yang belum dibebani suatu hak 4. Objek
yang
dipergunakan
oleh
perwakilan
diplomatik,
konsulat
berdasarkan azas perlakuan timbal balik 5. Objek
yang
digunakan
oleh
badan
atau
perwakilan
organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Kuangan Subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak maka subjek pajak tersebut menjadi wajib pajak.
C. TARIF PBB mempunyai tarif tunggal (single tarif) sebesar 0,5% yang berlaku sejak UU PBB tahun 1985 sampai dengan sekarang.
D. DASAR PENGENAAN Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang mempunyai pengertian sebagai berikut: “harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”. Berdasarkan pengertian NJOP tersebut terdapat 3(tiga) pendekatan penilaian yang dapat dilakukan untuk menentukan besarnya NJOP yaitu : 1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (properti) dengan jalan membandingkan objek yang dinilai dengan objek lain yang sejenis yang telah diketahui nilai jualnya. Pendekatan ini dapat juga disebut dengan Metode Perbandingan Harga.
DTSD Pajak II
5
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
2. Pendekatan Biaya ( Cost Approach ) yaitu menentukan nilai suatu objek (properti) dengan jalan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut. Biaya yang diperhitungkan adalah biaya bangunan baru kemudian dikurangi dengan penyusutan yang ada. 3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach) yaitu menentukan nilai suatu objek (properti) dengan jalan mengkapitalisasikan pendapatan bersih dari objek tersebut dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini dapat juga disebut Pendekatan Kapitalisasi. NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3(tiga) tahun, kecuali daerah tertentu setiap tahun sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010, klasifikasi bumi(tanah) dan bangunan terbagi atas dua bagian besar yaitu pertama, untuk sektor perdesaan dan perkotaan dan kedua adalah untuk sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Untuk sektor perdesaan dan perkotaan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 100 kelas sedangkan bangunan terdiri dari
40
kelas,
sedangkan
untuk
sektor
perkebunan,
perhutanan
dan
petambangan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 200 kelas sedangkan bangunan terdiri dari 100 kelas.
6
DTSD Pajak II
DASAR PERHITUNGAN DAN CARA MENGHITUNG PBB
A. DASAR PERHITUNGAN PBB Yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu suatu persentase tertentu dari NJOP. Berdasarkan UU PBB, NJKP ditentukan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 ditetapkan bahwa untuk objek pajak dengan nilai jual satu milyar atau lebih serta objek pajak sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan NJKPnya sebesar 40% dari NJOP dan untuk objek pajak lainnya sebesar 20% dari NJOP.
B. BATAS TIDAK KENA PAJAK Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No: 23/PMK.03/2014 tanggal 3 Pebruari 2014 ditetapkan batas NJOPTKP sebesar Rp12 juta per Wajib Pajak.
C. CARA MENGHITUNG PBB Dari beberapa parameter yang telah disebutkan di atas maka besarnya PBB terutang dapat dihitung dengan menggunakan formula: PBB
DTSD Pajak II
= Tarif x NJKP x (NJOP - NJOPTKP) = 0,5% x 20% x (NJOP - NJOPTKP) atau = 0,5% x 40% x (NJOP - NJOPTKP)
7
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
PEMBAYARAN, PENAGIHAN DAN SURAT KETETAPAN PAJAK
A. TATACARA PEMBAYARAN Wajib Pajak langsung melakukan pembayaran ke Bank Tempat Pembayaran (Bank TP) atau Kantor Pos Tempat Pembayaran (Kantor Pos TP) dengan membawa SPPT asli. Setelah pembayaran WP akan memperoleh STTS asli yang telah diregister oleh Pejabat Bank/Kantor Pos TP. 1. Wajib Pajak dapat melakukan pembayaran melalui pemidahbukuan uang dari rekening WP ke rekening Kas Negara qq PBB (nama rekening Kas Negara untuk penerimaan PBB). 2. Wajib Pajak dapat mengirimkan uang (transfer) melalui Bank maupun Kantor Pos ke rekening Kas Negara qq PBB. 3. Untuk Wajib Pajak sektor perdesaan dan perkotaan dapat membayar melalui petugas pemungut yang ditunjuk. Dari petugas, Wajib Pajak akan menerima Tanda Terima Sementara (TTS). Petugas akan menyetorkan uang yang diterimanya dari WP ke Bank/Kantor Pos TP dan menerima STTS asli yang kemudian harus dikirimkannya (dikembalikan) kepada Wajib Pajak yang telah membayar. Disamping itu untuk wajib pajak sektor perdesaan dan perkotaan juga dapat melakukan pembayaran melalui jaringan ATM yang telah bekerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam pembayaran PBB
B. TATACARA PENAGIHAN Jatuh tempo SPPT adalah 6 (enam) bulan. Pembayaran setelah lewat jatuh tempo WP akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan maksimum 24 bulan (48%). Setelah jatuh tempo dan WP belum juga membayar PBB akan dikeluarkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang jatuh temponya 1(satu) bulan. Kemudian berturut-turut akan dikeluarkan Surat Paksa (SP), Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan akhirnya barang sitaan
8
DTSD Pajak II
akan dilelang untuk membayar PBB (Tata Urutan Penagihan diatur lebih lanjut dalam Undang Undang Penagihan Pajak).
C. PENERBITAN SURAT KETETAPAN PAJAK (SKP) Sebab-sebab terbitnya SKP : 1. SPOP tidak kembali. SPOP yang dikirim ke Wajib Pajak harus dikembalikan dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima oleh WP. Lewat waktu akan ditetapkan secara jabatan dengan mengeluarkan SKP. Jumlah ketetapan pajak dalam SKP adalah jumlah pokok pajak (secara jabatan) ditambah denda administrasi sebesar 25%. Jatuh tempo SKP adalah 1(satu) bulan. Lewat jatuh tempo akan diberlakukan UU Penagihan Pajak. 2. SPOP dikembalikan oleh WP kemudian diproses menjadi SPPT. Setelah terbit SPPT terdapat data baru hasil pemeriksaan SPOP yang menyebabkan Pajak Terutang tambah besar. Atas kekurangan pajak tersebut akan diterbitkan SKP yang jumlahnya adalah sebesar kekurangan ditambah denda administrasi 25% dari kekurangan tersebut. SPPT, SKP dan STP adalah merupakan dasar penagihan PBB (Pasal 12 UU PBB).
DTSD Pajak II
9
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
KEBERATAN, BANDING DAN PENGURANGAN
A. KEBERATAN PBB 1. WP dapat mengajukan keberatan atas SPPT atau SKP mengenai : a. Luas objek bumi dan bangunan b. NJOP/ klasifikasi bumi dan atau bangunan c. Perbedaan penafsiran UU dan peraturan perundang-undangan antara WP dengan fiskus, misalnya: 1). Penetapan Subjek Pajak sebagai wajib pajak 2). Objek Pajak yang seharusnya tidak dikenakan PBB 3). Penerapan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), Standar Investasi Tanaman (SIT), Run Of Mine (ROM), Free On Board (FOB), Free On Rail (FOR) 4). Penentuan saat pajak terutang 5). Tanggal jatuh tempo 2. Keberatan diajukan dalam waktu 3(tiga) bulan setelah terima SPPT/SKP, kecuali apabila wajib pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya. 3. Pengajuan keberatan yang tidak memenuhi persyaratan tersebut tidak dapat dipertimbangkan. 4. Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat keberatan diterima, Direktorat Jenderal Pajak harus memberikan keputusan atas pengajuan keberatan. 5. Apabila Direktorat Jenderal Pajak tidak memberikan suatu keputusan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan maka pengajuan keberatan wajib pajak dianggap diterima. 6. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak atas keberatan dapat berupa menerima seluruhnya atau sebagian, menolak atau menambah besarnya jumlah pajak yang terhutang. 7. Pengajuan keberatan oleh WP tidak menunda kewajiban membayar pajak
10
DTSD Pajak II
8. Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak terhadap Keputusan Keberatan.
B. BANDING PBB 1. Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan Direktur Jenderal Pajak. 2. Permohonan banding diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia, dengan alasan yang jelas dalam waktu 3 (tiga) bulan sejak keputusan diterima, dilampiri surat keputusan tersebut. 3. Satu surat pengajuan banding untuk satu SK Keberatan. 4. Jumlah pajak terutang harus dibayar lebih dahulu sebesar 50% 5. (lebih lanjut lihat UU Peradilan Pajak)
C. PENGURANGAN PBB 1.
Pengurangan PBB dapat diberikan kepada : a. Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau sebab-sebab tertentu lainnya yaitu : 1). Objek pajak berupa lahan pertanian/ perkebunan/ perikanan/ peternakan yang hasilnya sangat terbatas yang dimiliki, dikuasai, dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi. 2). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya meningkat
akibat
adanya
pembangunan
atau
perkembangan
lingkungan.. 3). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak
orang
pribadi
yang
penghasilannya
semata-mata
pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi..
DTSD Pajak II
11
dari
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
4). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi. 5). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib Pajak
veteran
pejuang
kemerdekaan
dan
veteran
pembela
kemerdekaan termasuk janda/dudanya. 6). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban rutin perusahaan. b. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman. c. Wajib Pajak anggota veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela kemerdekaan termasuk janda/dudanya. 2. Permohonan pengurangan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala KPP Pratama yang menerbitkan SPPT atau SKP dengan mencantumkan besarnya persentase pengurangan yang dimohonkan. 3. Permohonan pengurangan diajukan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan terhitung: a. Sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa. 4. Keputusan atas permohonan pengurangan dapat berupa mengabulkan seluruh, sebagian atau menolak permohonan. 5. Keputusan atas permohonan pengurangan harus diterbitkan selambatlambatnya 3 (tiga) bulan sejak diterimanya permohonan pengurangan dari Wajib Pajak, apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Keputusan belum diterbitkan, maka permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan.
12
DTSD Pajak II
PEMBAGIAN HASIL DAN KETENTUAN PIDANA
A. PEMBAGIAN HASIL PENERIMAAN PBB Hasil penerimaan PBB yang diterima oleh Bank/Kantor Pos TP dari para WP dalam jangka waktu satu minggu (setiap hari Jum’at) harus dilimpahkan ke Bank/Kantor
Pos
Persepsi.
Oleh
Bank/Kantor
Pos
Persepsi kemudian
dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos Operasional III juga pada setiap hari Jum’at. Kemudian oleh Bank/Kantor Pos Operasional III pelimpahan penerimaan PBB dari Bank/Kantor Pos Persepsi tersebut pada setiap hari Jum’at dibagikan kepada yang berhak menerimanya yaitu :
10 % untuk bagian Pemerintah Pusat
9 % untuk bagian Biaya Pemungutan
16,2 % untuk bagian Pemerintah Propinsi
64,8 % untuk bagian Pemerintah Kabupaten/Kota
Sejak tahun anggaran 1994/1995 bagian Pemerintah Pusat sebesar 10% dilimpahkan kembali kepada daerah Kabupaten/Kota dengan imbangan sbb :
6,5 % dibagikan merata keseluruh daerah Kabupaten/Kota
3,5 % dibagikan sebagai insentif kepada daerah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus rencana penerimaan sektor pedesaan dan perkotaan.
B. KETENTUAN PIDANA Apabila WP : 1. Karena alpa/lupa :
tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada DJP;
menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya sebesar 2 (dua) kali pajak yang terhutang. 2.
Karena sengaja :
tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP;
DTSD Pajak II
13
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
menyampaikan SPOP tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
memperlihatkan surat palsu atau dipalsukan atau dokumen lain yang palsu atau dipalsukan seolah-olah benar;
tidak memperlihatkan atau tidak meminjamkan surat atau dokumen lainnya;
tidak menunjukkan data atau tidak menyampaikan keterangan yang diperlukan.
sehingga menimbulkan kerugian kepada Negara, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 2 (dua) tahun atau setinggi-tingginya sebesar 5 (lima) kali pajak yang terhutang. Terhadap bukan wajib pajak yang bersangkutan, yang melakukan tindakan sebagaimana tersebut di atas, dipidana dengan pidana kurungan selamalamanya 1 (satu) tahun atau denda setinggi-tingginya Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah). Ancaman pidana tersebut dilipatkan dua apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana di bidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak selesai menjalani sebagian atau seluruh pidana penjara yang dijatuhkan atau sejak dibayarnya denda.
14
DTSD Pajak II
PBB SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN, DAN PERTAMBANGAN
A. SEKTOR PERKEBUNAN Perkebunan adalah usaha pertanian yang diusahakan dengan pengurusan yang teratur dan sistematik, penjagaan tanaman yang rapi, kawasan tanaman yang luas, pengeluaran produk yang teratur dan mengikuti jadual (Abd.Rachman, 1992: 109). PBB sektor Perkebunan, peraturan pelaksanaannya diatur dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-64/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010 dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-149/PJ/2010 tanggal 27 Desember 2010. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER64/PJ/2010 tersebut di atas, yang dimaksud dengan objek pajak sektor perkebunan adalah objek pajak bumi dan bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan yang diberikan hak guna usaha perkebunan. Sebagaimana halnya dengan sektor pedesaan dan perkotaan, pendataan untuk sektor perkebunan juga menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak Sektor Perkebunan. SPOP sektor perkebunan ini dikirim ke wajib pajak yaitu perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan. Setelah diisi secara jelas, benar, lengkap dan ditandatangani oleh salah seorang dari direksi perkebunan, SPOP tersebut kemudian dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama dengan dilampiri data pendukung yang dibutuhkan berupa fotokopi surat dari Dinas Perkebunan tentang izin (hak) pengelolaan perkebunan ataupun fotokopi Hak Guna Usaha dari Badan Pertanahan Nasional. Untuk menguji kebenaran data yang tercantum di dalam SPOP Perkebunan tersebut, Kantor Pelayanan Pajak Pratama dapat menggunakan data dari instansi terkait yaitu Dinas Perkebunan setempat. Penilaian untuk menentukan NJOP perkebunan menggunakan pendekatan biaya (cost approach) yang tercermin dari adanya Standar Investasi Tanaman (SIT)
DTSD Pajak II
15
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
perkebunan. Standar Investasi Tanaman perkebunan adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman,
dan
pemeliharaan
tanaman.
Standar
Investasi
Tanaman
perkebunan ini masing-masing berbeda menurut umur dan jenis tanamannya. Misalnya tanaman coklat yang berumur satu tahun akan berbeda dengan yang telah berumur lebih dari satu tahun. Tanaman coklat akan berbeda Standar Investasinya dengan tanaman karet walaupun umurnya sama. Demikian juga Standar Investasi Tanaman ini berbeda antara satu daerah dengan daerah lain, sedangkan Dalam penentuan SIT ini terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai berikut: Tanaman berumur panjang adalah tanaman yang berumur lebih dari satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dibongkar sekali panen. Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur sampai dengan satu tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar sekali panen. Tanaman Belum Menghasilkan (TBM) adalah tanaman pada fase belum menghasilkan yang dimulai dari umur tanaman satu tahun (TBM1) dan seterusnya sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut belum menghasilkan (TBMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. Tanaman Menghasilkan (TM) adalah tanaman pada fase menghasilkan yang dimulai dari tahun pertama tanaman menghasilkan (TM1) sampai dengan tahun terakhir tanaman tersebut menghasilkan (TMn) yang rentang fasenya tergantung masing-masing jenis tanaman. Satuan Biaya Tanam (SBT) adalah satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman. Satuan Biaya Pembangunan Kebun (SBPK) adalah satuan biaya tahunan perkegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman yang selanjutnya disebut P0, pemeliharaan tahun pertama yang disebut P1, dan seterusnya sampai dengan pemeliharaan tahun terakhir sebelum tanaman tersebut menghasilkan yang disebut Pn untuk setiap hektar perluasan kebun disuatu wilayah
16
yang
diterbitkan
oleh Direktorat Jenderal Perkebunan,
DTSD Pajak II
Departemen Pertanian. SBPK yang diterbitkan ini dikelompokkan menjadi 6 (enam) wilayah, yaitu: 1. Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali 2. Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, Bangka Belitung 3. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau 4. Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur 5. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur 6.
Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat
Secara empiris besarnya biaya tenaga kerja, bahan dan alat adalah sebesar 71% dari biaya dalam SBPK, sedangkan sisanya sebesar 29% merupakan biaya infrastruktur, sertifikasi lahan, management fee dan administrasi. Contoh SBPK tahun 2009 seperti tabel berikut. Gambar 1 Satuan Biaya Pembangunan Kebun
DTSD Pajak II
17
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Indeks Biaya Tanaman yang selanjutnya disebut IBT adalah angka yang digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM dan disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tabel berikut. Gambar 2 Tabel Indeks Biaya Tanaman
Tabel Indeks Biaya Tanam (IBT) Penghitungan SIT untuk tanaman berumur panjang sebagai berikut: 1. SIT pada fase TBM ditetapkan sebagai berikut: a. SIT pada fase TBM1 merupakan SBT pada fase TBM1 b. 2) SIT pada TBM2 merupakan penjumlahan dari SIT pada fase TBM1 dengan SBT pada fase TBM2. c. 3) SIT pada fase TBMn merupakan penjumlahan dari SIT pada fase TBMn-1 dengan SBT pada fase TBMn
18
DTSD Pajak II
2. SIT pada suatu tahun dalam fase TM ditetapkan sebesar SIT pada fase TBM terakhir (TBMn) ditambah dengan SBT pada fase TM tahun tersebut. 3. Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman masing-masing jenis tanaman adalah seperti tabel berikut. Gambar 3 Fase TBM dan TM Sesuai Umur dan Jenis Tanaman
Tabel Rincian fase TBM dan TM sesuai umur tanaman Penghitungan SBT pada tanaman berumur panjang adalah sebagai berikut: 1. SBT pada fase TBM: a. SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P0 dan kegiatan P1 b. SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk kegiatan P2 dan seterusnya
DTSD Pajak II
19
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
c. SBPK pada angka 1) dan angka 2) di atas adalah SBPK untuk tahun sebelum tahun pajak berjalan. d. Dalam hal SBPK pada angka 3) di atas tidak diterbitkan, maka SBT pada fase TBM tahun pajak berjalan ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT pada fase TBM tahun pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut: SBTt = SBTt-1 x ( 1 + i ) dimana: SBTt = SBT tahun pajak berjalan SBTt-1 = SBT tahun pajak sebelumnya i = tingkat diskonto yang ditetapkan sebesar 10% 2. SBT pada fase TM ditetapkan sebesar SBT pada fase TBM terakhir (TBMn) dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut. Contoh perhitungan SIT Kelapa Sawit tahun 2011 dan penjelasannya adalah sebagai berikut.
20
DTSD Pajak II
Penjelasan: Kolom 1:
Fase tanaman dikelompokkan menjadi fase TBM dan fase TM. Fase TBM terdiri dari TBM1 (kegiatan P0 dan P1), TBM2 (kegiatan P2) dan seterusnya. Fase TM terdiri dari TM1 sampai dengan TM22
Kolom 2:
Umur tanaman kelapa sawit mulai dari umur 1 tahun sampai 25 tahun
Kolom 3:
IBT yang digunakan sebagai dasar perhitungan SBT pada fase TM
Kolom 4:
SBPK per ha yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada tahun sebelum tahun pajak berjalan pada fase TBM.
Kolom 5:
SBT per ha pada fase TBM untuk tahun pajak berjalan.
Perhitungan SBT untuk fase TBM sebagai berikut: a. SBT TBM1 (P0)= 71% x (SBPK P0) = 71% x 13.768.000= 9.775.280 x (1+0,1) = Rp10.752.808,b. SBT TBM1 (P1)= 71% x (SBPK P1) = 71% x 7.950.000 = 5.644.500 x (1+0,1) = Rp6.208.950,c. SBT TBM2 (P2)= 71% x (SBPK P2) = 71% x 7.688.000 = 5.458.480 x (1+0,1) = Rp6.004.328,d. SBT TBM3 (P3)= 71% x (SBPK P3) = 71% x 8.365.000 = 5.939.150 x (1+0,1) = Rp6.533.065,Kolom 6:
SBT per ha pada fase TM untuk tahun pajak berjalan. Perhitungan SBT untuk fase TM sebagai berikut: a. SBT TM1 = (SBT TBM3) x (IBT TM1) = 6.533.065 x 0,9514 = Rp6.215.558,-
Kolom 7:
SIT per ha untuk Tahun Pajak berjalan, merupakan nilai tanaman
sesuai umurnya, dihitung dengan cara sebagai berikut: a. SIT TBM1 = (SBT TBM1) = (SBT P0) + (SBT P1) = 10.752.808 + 6.208.950 = Rp16.961.758,b. SIT TBM2 = (SIT TBM1) + (SBT TBM2) = 16.961.758 + 6.004.328 = Rp22,966.086,-
DTSD Pajak II
21
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
c. SIT TBM3 = (SIT TBM2) + (SBT P3) = 22.966.086 + 6.533.065 = Rp29.499.151,d. SIT TM1 = (SIT TBM3) + (SBT TM1) = 29.499.151 + 6.215.558 = Rp35.714.709,e. SIT TM2 = (SIT TBM3) + (SBT TM2) = 29.499.151 + 5.913.730 = Rp35.412.881,f.
SIT TM3 = (SIT TBM3) + (SBT TM3) = 29.499.151 + 5.626.929 = Rp35.126.080,-
g. Dan seterusnya Kolom 8: SIT per M2 sebagai dasar ketetapan nilai tanaman. Penghitungan SIT untuk tanaman berumur pendek ditentukan sebesar biaya pengolahan tanah, penanaman, dan pemeliharaan untuk tanaman tersebut. Di dalam suatu wilayah perkebunan terdapat beberapa jenis areal yaitu: a) areal produktif, b) areal belum produktif, c) areal emplasemen dan d) areal lainnya. Pengertian dari masing-masing areal dan penentuan NJOPnya adalah sebagai berikut: 1. Areal Produktif adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang
telah
ditanami
dengan
komoditas
perkebunan
baik
telah
menghasilkan ataupun belum menghasilkan. Nilai tanah untuk areal ini merupakan penjumlahan dari Nilai Dasar Tanah dengan Standar Investasi Tanaman. Nilai Dasar Tanah diperoleh dari perkalian luas tanah areal produktif dengan nilai dasar tanah areal produktif per meter persegi. Nilai dasar tanah areal produktif merupakan hasil penilaian di lapangan yang dihitung dalam satuan rupiah per meter persegi sedangkan Standar Investasi Tanamannya dihitung dalam satuan rupiah per hektar. 2. Areal Belum Produktif merupakan suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang terdiri dari areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami dan areal yang belum diolah. Nilai tanah untuk areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami merupakan perkalian luas tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami dengan nilai dasar tanah areal sudah diolah tetapi belum ditanami per meter persegi termasuk di dalamnya biaya
22
DTSD Pajak II
pembukaan lahan, sedangkan nilai tanah untuk areal yang belum diolah merupakan perkalian luas tanah belum diolah dengan nilai dasar tanah areal belum diolah per meter persegi. 3. Areal Emplasemen adalah suatu areal di dalam wilayah suatu perkebunan yang diatasnya terdapat bangunan-bangunan dan sarana pelengkap lainnya, seperti perumahan karyawan, kantor perusahaan, gudang, dan lain-lain. Nilai tanah untuk areal emplasemen ini adalah merupakan perkalian luas tanah areal emplasemen dengan nilai dasar tanah emplasemen per meter persegi termasuk biaya pematangan tanah. 4. Areal Lainnya terdiri dari areal tidak produktif/tidak dapat dimanfaatkan (seperti rawa, cadas, dan jurang) dan areal jalan yang meliputi jalan utama yang terletak di dalam/di luar areal perkebunan, jalan produksi yang berfungsi untuk pengumpulan hasil dan jalan kontrol yang berfungsi untuk pengawasan areal perkebunan. Nilai tanah untuk areal tidak produktif merupakan perkalian luas tanah areal tidak produktif dengan nilai dasar tanah areal tidak produktif per meter persegi, sedangkan nilai tanah areal jalan merupakan perkalian luas tanah areal jalan dengan nilai dasar tanah areal jalan per meter persegi termasuk di dalamnya biaya pematangan tanah. Perhitungan nilai tanah per meter persegi suatu areal perkebunan adalah dengan jalan membagi nilai tanah seluruh areal dengan luas tanah seluruh areal. Hasil perhitungan ini yang merupakan nilai tanah per meter persegi suatu areal kebun kemudian dikonversi ke dalam Tabel Klasifikasi Tanah untuk menentukan NJOP per meter persegi dari areal perkebunan tersebut sebagai dasar untuk menghitung PBB terutang.1 Contoh perhitungan PBB Perkebunan: PT.Sawit Seberang, sebuah perusahaan perkebunan kelapa sawit didaerah Sumatera
Utara
memiliki/menguasai/mendapat
manfaat
dari
tanah
dan
bangunan dengan rincian sebagai berikut :
1
Pola perhitungan seperti ini menimbulkan bias terhadap nilai yang sebenarnya dari masingmasing areal, karena kemungkinan terdapat perbedaan nilai tanah yang sangat signifikan dari masing-masing areal. Sebaiknya digunakan perhitungan masing-masing nilai tanah di dalam suatu areal langsung dikonversi ke Tabel Klasifikasi.
DTSD Pajak II
23
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. Tanah 1. Areal kebun : a. Usia tanaman 2 tahun : 100 Ha, Nilai Dasar Tanah (NDT) = Rp1.700,/ M2. SIT (TBM2) : Rp22.966.086,- per Ha b. Tanaman sudah menghasilkan : 300 Ha, NDT = Rp1.700,-/M2 S I T ( TM1 ) : Rp35.714.709,- per Ha 2. Areal emplasemen : a.
Kantor : 0,5 Ha , NDT = Rp14.000,- / M2
b. Gudang : 1 Ha , NDT = Rp10.000,- / M2 c.
Pabrik : 2 Ha, NDT = Rp10.000,- / M2
B. Bangunan : a. Kantor : 500 M2 , Nilai Bangunan = Rp700.000,- / M2 b. Gudang : 1.000 M2, Nilai Bangunan = Rp505.000,- / M2 c. Pabrik : 4.000 M2 , Nilai Bangunan = Rp365.000,- / M2 Hitung PBB atas perkebunan tersebut bila NJOPTKP : Rp10 juta!
Jawaban: A. Nilai Tanah: 1. Areal Kebun : a. Usia tanaman 2 tahun : 100 x 10.000 x Rp1.700 = Rp 1.700.000.000,SIT (TBM2): 100 x Rp22.966.086,-
= Rp 2.296.608.600
b. Tanaman sdh menghasilkan : 300 x 10.000 x Rp1.700= Rp 5.100.000.000,-
SIT
(TM1):
300
x
Rp35.714.709,-=
Rp10.714.412.700,2. Areal Emplasemen : a. Kantor : 0,5 x 10.000 x Rp14.000,-
= Rp 70.000.000,-
b.
b. Gudang : 1 x 10.000 x Rp10.000,-
= Rp 100.000.000,-
c.
c. Pabrik : 2 x 10.000 x Rp10.000,-
= Rp 200.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 )
= Rp20.181.021.300,-
Nilai Tanah/M2 = Rp20.181.021.300/4.035.000 = Rp5.001,49/M2 Hasil konversi : Kelas 161 = Rp5.000,- /M2
24
DTSD Pajak II
NJOP Tanah seluruhnya = 4.035.000 x Rp5.000 = Rp20.175.000.000,B. Nilai Bangunan : a. Kantor : 500 x Rp700.000,-
= Rp 350.000.000,-
b. Gudang : 1.000 x Rp505.000,-
= Rp 505.000.000,-
c. Pabrik : 4.000 x Rp365.000,-
= Rp 1.460.000.000,-
Nilai Bangunan seluruhnya
= Rp 2.315.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = Rp2.315.000.000 / 5.500 = Rp420.909,09 Hasil konversi : Kelas 068 = Rp427.000,- /M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 5.500 x Rp427.000,- = Rp2.348.500.000,NJOP Tanah dan Bangunan seluruhnya
= Rp22.523.500.000,-
NJOPTKP
= Rp
NJOP untuk perhitungan PBB
= Rp22.513.500.000,-
10.000.000,-
PBB = 0,5% x 40% x Rp22.513.500.000,- = Rp45.027.000,-
B. SEKTOR PERHUTANAN Eksploitasi hutan di Indonesia pada umumnya menggunakan sistem konsesi yang terdiri dari beberapa tipe yaitu (Wahyu, 2003: 223): a. Hak Pengusahaan Hutan (HPH) b. Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) c. Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) Berdasarkan penguasaannya hutan di Indonesia dapat dibagi dalam 3(tiga) wilayah yaitu, wilayah hutan negara, wilayah pengusahaan hutan , dan wilayah budidaya hutan. Wilayah hutan Negara jelas belum dikenakan PBB karena merupakan milik Negara yang belum dibebani suatu hak diatasnya. Sedangkan wilayah pengusahaan hutan dan wilayah budidaya hutan sudah dikenakan PBB. Disamping itu berdasarkan kemanfaatannya, hutan dapat dibagi atas hutan produksi, hutan tanaman, dan hutan alam.
DTSD Pajak II
25
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, sedangkan hutan tanaman adalah hutan produksi yang dibangun dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, pengolahan, dan pemasaran hasil hutan. Hutan alam merupakan hutan produksi yang di dalamnya telah bertumbuhan pohon-pohon alami dan dimanfaatkan melalui serangkaian kegiatan berupa pemanenan atau penebangan,
penanaman,
pemeliharaan,
pengamanan, pengolahan,
dan
pemasaran hasil hutan. Pengenaan PBB sektor perhutanan diatur melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-36/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perhutanan dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-89/PJ/2011 tanggal 18 Nopember 2011. Berdasarkan peraturan tersebut di atas, objek pajak PBB perhutanan adalah bumi dan/atau bangunan yang digunakan untuk kegiatan usaha perhutanan yang diberikan hak pengusahaan hutan. Objek pajak bumi di dalam sektor perhutanan terdiri dari areal produktif, areal belum produktif, areal emplasemen, dan areal lain. Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam. Areal belum produktif merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman, atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam. Areal emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang diperkeras, sedangkan yang dimaksud areal lain adalah areal hutan selain dari areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen. Sebagaimana halnya dengan sektor perkebunan, pendataan untuk sektor perhutanan juga menggunakan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) dan Lampiran SPOP (LSPOP) Sektor Perhutanan. SPOP dan LSPOP sektor Perhutanan ini dikirim ke wajib pajak yaitu perusahaan- perusahaan yang bergerak di bidang perhutanan. Setelah diisi secara jelas, benar, lengkap dan ditandatangani SPOP dan LSPOP tersebut kemudian dikirim ke Kantor Pelayanan Pajak Pratama dengan dilampiri data pendukung yang dibutuhkan berupa fotokopi surat-surat yang berhubungan dengan masalah perhutanan dari
26
DTSD Pajak II
instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan atau instansi lainnya yang mengeluarkan izin usaha di bidang kehutanan. Penentuan NJOP masing-masing areal perhutanan ditentukan sebagai berikut: 1. Nilai tanah untuk hutan tanaman ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali untuk areal produktif ditambah dengan Standar Investasi Tanaman (SIT). Nilai dasar tanah diperoleh melalui proses penilaian yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan SIT adalah jumlah biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Nilai tanah per meter persegi dihitung dengan jalan membagi nilai tanah seluruh areal perhutanan dengan luas seluruh areal perhutanan, kemudian dikonversi ke dalam tabel klasifikasi sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor PER-150/PMK.03/2010 untuk memperoleh NJOP per meter persegi areal tanah perhutanan. 2. Nilai tanah untuk hutan alam ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali untuk areal produktif sebesar perkalian pendapatan bersih setahun dengan Angka Kapitalisasi. Pendapatan bersih setahun ditentukan sebesar pendapatan kotor (jumlah produksi kayu dan bukan kayu dikalikan harga satuan produksi) setahun dikurangi Biaya Produksi setahun, sebelum tahun pajak. Biaya produksi setahun ditentukan sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun. Angka Kapitalisasi dan Rasio Biaya Produksi ditetapkan dengan keputusan Direktur Jenderal Pajak. Untuk menghitung SIT perlu diketahui beberapa istilah yang berhubungan dengan formula perhitungan SIT tersebut yaitu: 1. Satuan Biaya Tanaman (SBT) yaitu satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun berdasarkan umur dan jenis tanaman. 2. Standar Biaya Pembangunan Hutan Tanaman (SBPHT) yaitu satuan biaya tahunan per kegiatan yang meliputi kegiatan pembukaan lahan dan penanaman (P0), pemeliharaan tahun pertama (P1), dan seterusnya sampai
DTSD Pajak II
pemeliharaan
tahun
terakhir
(Pn)
untuk
setiap
hektar
27
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
pembangunan hutan tanaman di suatu wilayah, yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan, Kementerian Kehutanan.
Selanjutnya formula perhitungan SIT dapat digambarkan sebagai berikut.
SBPHT
SBPHT
Median SBPHT x 72% x Indeks Wilayah x Indeks
Terendah - Tertinggi
Tanaman
Per Wilayah
SBPHT x 72% x Indeks Tanaman
Per Jenis Tanaman
SBPHT x 72% x Indeks Wilayah
SIT
SIT P1 = SBT P0 + SBT P1 SIT P2 = SBT P0 + SBT P1 + SBT P2
SBTt = SBT t-1 x (1+i)
Dalam hal SBPHTB pada tahun sebelum Tahun Pajak tidak diterbitkan, SBT ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT Tahun Pajak sebelumnya dengan tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut: Dimana: SBTt = SBT Tahun Pajak SBTt-1 = SBT Tahun Pajak sebelumnya i = tingkat diskonto (10%) Indeks Wilayah terbagi atas: Wilayah I (0,900)
Wilayah II (0,970)
Wilayah III (1,030)
Banten
Sulawesi Selatan
Kalimantan Timur
Papua
Jawa Barat
Sulawesi Tengah
Riau
Papua Barat
Jawa Tengah
Sulawesi Utara
NAD
Maluku
DIY
Gorontalo
Kep. Riau
28
Wilayah IV (1,100)
DTSD Pajak II
Sulawesi Tenggara
Jawa Timur Sumatera Utara Banten
Indeks Tanaman adalah sebagai berikut: No.
Jenis Tanaman
Indeks Tanaman
1
Jelutung Pulai
1,0000
2
Rotan
0,8850
3
Sengon
0,9380
4
Jabon
0,9780
5
Akasia
0,8780
6
Jati
1,0120
7
Tanaman Lainnya
1,0000
Berikut akan ditampilkan konsep penilaian dan perhitungan PBB sektor Perhutanan, yaitu hutan tanaman dan hutan alam. KONSEP PENILAIAN DAN PERHITUNGAN PBB SEKTOR PERHUTANAN
HUTAN TANAMAN Nilai Tanah
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah
Nilai Tanah/m2
a. Areal Produktif b. Areal Belum Produktif c. Areal Emplasemen d. Areal Lainnya
Klasifikasi
= Luas x (Nilai Dasar Tanah/m2 + SIT/m2) = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2 = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2 = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2
NJOP Bumi/m2 x Luas Tanah
NJOP BUMI NJOP
Nilai Bgn/m2
Klasifikasi
NJOP Bgn/m2 X Luas Bgn
Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan
Tarif
NJOP BGN
NJKP
NJOP TKP
Nilai Bangunan a. Pabrik/Kilang b. Perkantoran c. Perumahan d. Mess/Guest House e. Gudang f. Ruang WorkShop g. Sarana Olah Raga/Rekreasi h. Poliklinik
DTSD Pajak II
i. MCK j. Jalan diperkeras k. Landasan Pesawat l. Pelabuhan m.Jembatan n. Gorong-gorong o. Bangunan Lainnya
PBB Terhutang
(X) (X)
29
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
KONSEP PENILAIAN DAN PERHITUNGAN PBB SEKTOR PERHUTANAN
HUTAN ALAM Nilai Tanah
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah
Nilai Tanah/m2
a. Areal Produktif b. Areal Belum Produktif c. Areal Emplasemen d. Areal Lainnya
Klasifikasi
= Nilai Tanah Areal Produktif = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2 = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2 = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2
NJOP Bumi/m2 x Luas Tanah
NJOP BUMI NJOP
Nilai Bgn/m2
Klasifikasi
NJOP Bgn/m2 X Luas Bgn
Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan
NJOP BGN
Tarif
NJKP
NJOP TKP
Nilai Bangunan a. Pabrik/Kilang b. Perkantoran c. Perumahan d. Mess/Guest House e. Gudang f. Ruang WorkShop g. Sarana Olah Raga/Rekreasi h. Poliklinik
i. MCK j. Jalan diperkeras k. Landasan Pesawat l. Pelabuhan m.Jembatan n. Gorong-gorong o. Bangunan Lainnya
PBB Terhutang
(X) (X)
Contoh Perhitungan PBB Perhutanan (Hutan Tanaman) PT. Wanasetra, sebuah perusahaan pengelola hutan tanaman industri memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sebagai berikut : A. Bumi/Tanah 1. Areal produktif a. Tanah
yang
ditanami
komoditas
hutan
industri
dan
telah
menghasilkan : Tanaman sonokeling : 500 Ha, Nilai Dasar Tanah: Rp5.000,- / M2 ) Standar Investasi Tanaman (SIT) = Rp29.308.000,- / Ha. b. Tanah yang belum menghasilkan : Sonokeling tahun ke-4 : 100 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2 SIT = Rp24.278.000,- / Ha Sonokeling tahun ke-5 : 200 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2 SIT = Rp27.698.000,- / Ha
30
DTSD Pajak II
2. Log Ponds (perairan) : 20 Ha, NDT = Rp140,- /M2 3. Areal lainnya (rawa, payau) : 50 Ha, NDT = Rp140,- / M2 4. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,- / M2 b. Gudang : 5.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2 c. Kantor : 1.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2 d. Perumahan : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2 B. Bangunan : 1. Pabrik : 3.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,- / M2 2. Gudang : 500 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2 3. Kantor : 200M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2 4. Perumahan : 1.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanasetra tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp10.000.000,-
Jawaban A. NJOP Bumi/Tanah 1. Areal Produktif a. Tanah sudah menghasilkan tanaman sonokeling : 500 x 10.000 x Rp5.000,SIT = 500 x Rp29.308.000,-
= Rp25.000.000.000,= Rp14.654.000.000,-
b. Tanaman belum menghasilkan : Sonokeling tahun ke-4 : 100x10.000xRp5.000,- = Rp 5.000.000.000,SIT = 100 x Rp24.278.000,-
= Rp 2.427.800.000,-
Sonokeling tahun ke-5 : 200x10.000xRp5.000,- = Rp10.000.000.000,SIT = 200 x Rp27.698.000,-
= Rp 5.539.600.000,-
2. Log Ponds = 20 x 10.000 x Rp140,-
=Rp
28.000.000,-
3. Areal lainnya = 50 x 10.000 x Rp140,-
=Rp
70.000.000,-
= Rp
12.000.000,-
4. Areal Emplasemen : a. Pabrik = 10.000 x Rp1.200,-
DTSD Pajak II
31
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
b. Gudang = 5.000 x Rp1.200,-
= Rp
6.000.000,-
c. Kantor = 1.000 x Rp1.200,-
= Rp
1.200.000,-
d. Perumahan = 10.000 x Rp1.200,-
= Rp
12.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 + 3 + 4 )
= Rp62.750.600.000,-
Nilai tanah/M2 = 62.750.600.000/8.726.000 = Rp7.191,22 Hasil konversi: Klas 154 = Rp7.150,-/M2 NJOP Bumi/Tanah seluruhnya = 8.726.000 x Rp7.150,- = Rp62.390.900.000,-
B. NJOP Bangunan : 1. Pabrik = 3.000 x Rp225.000,-
= Rp 675.000.000,-
2. Gudang = 500 x Rp225.000,-
= Rp 112.500.000,-
3. Kantor = 200 x Rp310.000,-
= Rp 62.000.000,-
4. Perumahan = 1.000 x Rp225.000,-
= Rp 225.000.000,-
Nilai Bangunan
= Rp 1.074.500.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 1.074.500.000/4.700 = Rp228.617,02 Hasil konversi: Klas 090 = Rp225.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 4.700 x Rp225.000,- = Rp1.057.500.000,NJOP Bumi dan Bangunan
= Rp63.448.400.000,-
NJOPTKP
= Rp
NJOP sebagai dasar perhitungan PBB
= Rp63.438.400.000,-
PBB = 0,5% x 40% x Rp63.438.400.000,-
= Rp126.876.800,-
10.000.000,-
Contoh perhitungan PBB Perhutanan (Hutan Alam): PT. Wanalestari, suatu perusahaan bidang perhutanan (hutan alam) di Kalimantan Selatan memiliki/menguasai/mendapat manfaat dari bumi dan bangunan sbb : A. Bumi/Tanah 1. Areal produktif: tanah hutan blok tebangan : 200 Ha. 2. Areal belum/tidak produktif : Tanah hutan non blok tebangan : 4.000 Ha ; NDT = Rp200,-/M2 3. a. Log ponds : 10 Ha; NDT = Rp140,-/M2
32
DTSD Pajak II
b. Log yards : 5 Ha; NDT = Rp200,-/M2 4. Areal lainnya (rawa, payau) : 100 Ha; NDT = Rp140,- / M2 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2 b. Gudang : 2.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2 c. Kantor : 1.000 M2 ; NDT = Rp660.-/M2 d. Perumahan : 10.000 M2 ; NDT = Rp910,-/ M2 B. Bangunan 1. Pabrik : 1.000 M2; Nilai = Rp264.000,- / M2 2. Gudang : 500 M2; Nilai = Rp264.000,-/M2 3. Kantor : 200 M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2 4. Perumahan : 5.000 M2 ; Nilai = Rp310.000,-/M2 C. Angka kapitalisasi : 8,5 Hasil bersih sebelum tahun pajak berjalan : Rp1.000.000.000,Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanalestari tersebut bila NJOPTKP = Rp10.000.000,-!!
Jawaban: A. NJOP Bumi/Tanah: 1. Areal produktif : 8,5 x Rp1.000.000.000,-
= Rp 8.500.000.000,-
2. Areal belum produktif : 4.000 x 10.000 x Rp200,-
= Rp 8.000.000.000,-
3.
a. Log ponds : 10 x 10.000 x Rp140,-
= Rp 14.000.000,-
b. Log yards : 5 x 10.000 x Rp200,-
= Rp 10.000.000,-
4. Areal lainnya : 100 x 10.000 x Rp140,-
= Rp 140.000.000,-
5. Areal Emplasemen : 1. Pabrik : 20.000 x Rp660,-
= Rp 13.200.000,-
2. Gudang : 2.000 x Rp660,-
= Rp
1.320.000,-
3. Kantor : 1.000 x Rp660,-
= Rp
660.000,-
4. Perumahan : 10.000 x Rp910,-
= Rp
9.100.000,-
Nilai Bumi (1+2+3+4+5)
= Rp16.688.280.000,-
Nilai Bumi/M2 = 16.688.280.000/43.183.000 = Rp386,45/M2
DTSD Pajak II
33
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Hasil konversi: Klas 193 = Rp390,-/M2 NJOP Bumi seluruhnya = 43.183.000 x Rp390,-
= Rp16.841.370.000,-
B. NJOP Bangunan : a.Pabrik : 1.000 x Rp264.000,-
= Rp 264.000.000,-
b.Gudang : 500 x Rp264.000,-
= Rp 132.000.000,-
c. Kantor : 200 x Rp310.000,-
= Rp 62.000.000,-
d. Perumahan : 5.000 x Rp310.000,-
= Rp1.550.000.000,-
Nilai Bangunan :
= Rp2.008.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 2.008.000.000/6.700 = Rp299.701,49/M2 Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 6.700 x Rp310.000,- = Rp2.077.000.000,NJOP Bumi dan Bangunan :
= Rp18.918.370.000,-
NJOPTKP :
= Rp
10.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB
= Rp18.908.370.000,-
PBB : 0,5% x 40% x Rp18.908.370.000,-
= Rp37.816.740,-
C. SEKTOR PERTAMBANGAN Usaha bidang pertambangan dapat diklasifikasikan berdasarkan kepada hasil tambang dan lokasi penambangannya (Wahyu, 2003: 215). Berdasarkan hasil tambang terbagi atas 2 (dua) jenis yaitu pertama pertambangan minyak, gas dan panas bumi, dan kedua pertambangan bukan minyak, gas dan panas bumi yang mengeksploitasi bahan tambang logam (seperti bijih besi) dan bukan logam (seperti batubara, pasir). Sedangkan berdasarkan lokasi penambangan, usaha bidang pertambangan terdiri dari pertama, pertambangan lepas pantai (off shore) dan kedua pertambangan daratan (on shore). Menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang dimaksud dengan bahan galian adalah unsur-unsur kimia mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan termasuk batu-batu mulia yang merupakan endapan-endapan alam. Bahan-bahan galian ini terbagi atas 3 (tiga) jenis yaitu:
34
DTSD Pajak II
1. Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan keamanan serta perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi, bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, batubara, uranium dan bahan radio aktif lainnya, nikel, timah. 2. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak, antara lain seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak, platina, yodium, belerang. 3. Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional, antara lain seperti nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir kwarsa, batu apung, batu kapur, granit, andesit. Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis yaitu:
1.
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Pertambangan Energi Panas Bumi
Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)
Pengenaan PBB sektor pertambangan mineral dan batubara (minerba) diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012 tanggal 28 Desember 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk Pertambangan Mineral dan Batubara dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-64/PJ/2012 tentang Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-32/PJ/2012. Di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini yang dimaksud dengan PBB Mineral dan Batubara adalah PBB atas bumi dan/atau bangunan yang berada di kawasan yang digunakan untuk kegiatan pertambangan mineral dan batubara. Kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba meliputi wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis dan wilayah di
DTSD Pajak II
35
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
luar wilayah izin pertambangan atau wilayah pertambangan sejenis yang merupakan satu kesatuan yang digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan Minerba. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum dimanfaatkan), areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi. Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan operasi produksi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan. Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut: 1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
36
DTSD Pajak II
dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal cadangan produksi, areal tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan. 2. Tubuh bumi operasi produksi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh bumi operasi produksi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil bersih galian tambang dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak. Hasil bersih ditentukan melalui pengurangan pendapatan kotor dengan biaya produksi galian tambang sedangkan besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
Contoh perhitungan PBB sektor Pertambangan Batubara: PT. Equatorial Mining, sebuah perusahaan tambang batubara di Kalimantan Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan sebagai berikut : A. Bumi (Tanah ) 1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,-/M2 2. Areal Belum Produktif : a. Areal Cadangan Produksi : 500 Ha; Nilai = Rp300,-/M2 b. Areal Belum Dimanfaatkan : 100 Ha; Nilai = Rp300,-/M2 3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp200,-/M2 4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp1.200,-/M2 b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp1.200,-/M2 c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2
DTSD Pajak II
37
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,-/M2 B. Bangunan 1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp310.000,-/M2 2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp310.000,-/M2 3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2 4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2 C. Hasil bersih penjualan bahan galian tambang setahun = Rp1 Milyar. Angka Kapitalisasi = 9,5 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Equatorial Mining tersebut apabila NJOPTKP = Rp10 juta
Jawaban: A. NJOP Bumi/Tanah : 1. Tubuh Bumi Operasi Prouduksi = 9,5 x Rp1milyar
= Rp9.500.000.000,-
2. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 400
= Rp 800.000.000,-
3. Areal Belum Produktif : a. Areal Cadangan Produksi = 500 x 10.000 x 300
= Rp1.500.000.000,-
b. Areal Belum Dimanfaatkan = 100 x 10.000 x 300
=Rp 300.000.000,-
4. Areal tidak produktif : 100 x 10.000 x Rp200,-
= Rp 200.000.000,-
5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 x 10.000 x Rp1.200,-
= Rp 240.000.000,-
b. Gudang : 2 x 10.000 x Rp1.200,-
= Rp 24.000.000,-
c. Kantor : 1 x 10.000 x Rp5.000,-
= Rp 50.000.000,-
d. Perumahan : 5 x 10.000 x Rp10.000,-
= Rp 500.000.000,-
Nilai Bumi/Tanah ( 1+2+3+4+5) :
= Rp13.114.000.000,-
Nilai Bumi/M2 = 13.114.000.000/9.280.000 = Rp1.413,15/M2 Hasil konversi: Klas 180 = Rp1.440,-/M2 NJOP Bumi seluruhnya = 9.280.000 x Rp1.440,- = Rp13.363.200.000,B. NJOP Bangunan
38
1. Pabrik : 50.000 x Rp310.000,-
= Rp15.500.000.000,-
2. Gudang : 5.000 x Rp310.000,-
= Rp 1.550.000.000,-
3. Kantor : 2.000 x Rp365.00,-
= Rp 730.000.000,-
DTSD Pajak II
4. Perumahan : 10.000 x Rp429.000,Nilai Bangunan ( 1+2+3+4 ) :
= Rp 4.290.000.000,-
= Rp22.070.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 22.070.000.000/67.000 = Rp329.402,98/M2 Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x 310.000
= Rp20.770.000.000,-
NJOP Bumi + Bangunan :
= Rp34.133.200.000,-
NJOPTKP :
= Rp
NJOP untuk perhitungan PBB :
= Rp34.123.200.000,-
10.000.000,-
PBB= 0,5% x 40% x Rp34.123.200.000,- = Rp68.246.400,2.
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Pengenaan PBB sektor pertambangan migas diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012 tentang Tata Cara Pengenaan
Pajak
Bumi
dan
Bangunan
Sektor
Pertambangan
Untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan Bangunan sektor Migas adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Migas yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). KKKS ini merupakan badan usaha atau bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan kontrak kerja sama. Objek Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan meliputi bumi dan bangunan. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh
DTSD Pajak II
39
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi. Dasar pengenaan dari PBB sektor Migas adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan. Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut: 1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif. 2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh bumi eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil penjualan Migas dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak dimana Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore
40
DTSD Pajak II
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia. Contoh perhitungan PBB sektor Pertambangan Migas PT. Mutiara Hitam, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di pedalaman
Kalimantan
menguasai/memperoleh
manfaat
dari
bumi
dan
bangunan dengan rincian sbb: A. Bumi (Tanah ) 1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2 2. Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2 3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2 4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2 5. Areal Emplasemen : a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2 b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2 c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2 d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2 B Bangunan : 1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2 2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2 3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2 4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2 C.Hasil penjualan minyak bumi setahun sbb: 1. Triwulan pertama produksi sebesar: 25.000 barrel dengan harga US $45 per barrel 2. Triwulan kedua produksi sebesar: 30.000 barrel dengan harga US $46 per barrel 3. Triwulan ketiga produksi sebesar 33.000 barrel dengan harga US $45,5 per barrel 4. Triwulan keempat produksi sebesar 34.000 barrel dengan harga US $46 per barrel. Angka Kapitalisasi = 9,5 Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00
DTSD Pajak II
41
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT.Mutiara Hitam tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00
Jawaban: Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut: Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150
= Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150
= Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150
= Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150
= Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun
= Rp50.970.075.000,-
A. NJOP Bumi: a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000
= Rp484.215.713.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,-
= Rp
600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200
= Rp
600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150
= Rp
150.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150
= Rp
1.500.000,-
f. Areal Emplasemen: 1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900
= Rp
180.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 900
= Rp
18.000.000,-
3. Kantor: 10.000 x 1.000
= Rp
10.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100
= Rp
55.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi:
= Rp485.830.213.000,-
Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51 Hasil konversi: Klas 105 = Rp78.000,-/M2 NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,B. NJOP Bangunan: 1. Pabrik: 50.000 x 365.000
= Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000
= Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000
= Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000
= Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan:
= Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58
42
DTSD Pajak II
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan:
= Rp517.956.000.000,-
NJOPTKP:
= Rp
NJOP untuk perhitungan PBB:
= Rp517.944.000.000,-
PBB= 0,5% x 40% x 517.944.000.000
= Rp1.035.888.000,-
3.
12.000.000,- -
Pertambangan Panas Bumi
Pengenaan PBB atas sektor pertambangan panas bumi diatur di dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-11/PJ/2012 tanggal 20 April 2012 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi dan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012. Berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan untuk pertambangan Panas Bumi adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh pengusaha Panas Bumi. Pengusaha Panas Bumi adalah Pertamina atau perusahaan penerusnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, kontraktor kontrak operasi bersama (joint operation contract), dan pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi. Objek PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha Panas Bumi. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal
DTSD Pajak II
43
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi. Dasar pengenaan dari PBB Panas Bumi adalah NJOP yang merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan. Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut: 1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masingmasing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif. 2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi untuk tubuh bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk tubuh bumi eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan hasil produksi dan harga produksi uap dan/atau harga produksi listrik, untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit listriknya dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi atau Angka Kapitalisasi dengan hasil produksi dan harga produksi uap untuk PBB Panas Bumi yang pembangkit
44
DTSD Pajak II
listriknya tidak dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi. Besarnya Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. 3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia. Contoh Perhitungan PBB Panas Bumi: PT.Saptapertala, sebuah perusahaan di bidang sumber energi panas bumi di daerah Jawa Timur, menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan bangunan dengan rincian sebagai berikut: A. Bumi (Tanah ) a. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp400,-/M2 b. Areal Belum Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp350,-/M2 c. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp300,-/M2 d. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp200,-/M2 e. Areal Emplasemen : 1. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp3.500,-/M2 2. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2 3. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp5.000,-/M2 4. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp10.000,-/M2 B Bangunan : a.
Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
b.
Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
c.
Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
d.
Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
C.Hasil penjualan uap panas bumi setahun sbb: 1. Triwulan pertama produksi sebesar: 150 Kwh dengan harga US $20 per Kwh 2. Triwulan kedua produksi sebesar: 135 Kwh dengan harga US $25 per Kwh 3. Triwulan ketiga produksi sebesar 160 Kwh dengan harga US $26 per Kwh
DTSD Pajak II
45
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
4. Triwulan keempat produksi sebesar 165 Kwh dengan harga US $30 per Kwh Angka Kapitalisasi = 9,5 Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00 Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Sapta Pertala tersebut apabila NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00
Jawaban: Hasil penjualan uap panas bumi setahun sebagai berikut: 1.Triwulan pertama: 150 x US $20 x Rp9.150,-
= Rp 27.450.000,-
2.Triwulan kedua: 135 x US $25 x Rp9.150,-
= Rp 30.881.250,-
3.Triwulan ketiga: 160 x US $26 x Rp9.150,-
= Rp 38.064.000,-
4.Triwulan keempat: 165 x US $30 x Rp9.150,-
= Rp 45.292.500,-
Jumlah total hasil penjualan uap panas bumi
= Rp141.687.750,-
A. NJOP Bumi: a. Tubuh Bumi eksploitasi = 9,5 x 141.687.750,- = Rp1.346.033.630,b. Areal Produktif:= 200 x 10.000 x 400
= Rp 800.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 200 x 10.000 x 350
= Rp 700.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 300
= Rp 300.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 200
= Rp
2.000.000,-
f. Areal Emplasemen: 1. Pabrik: 20 x 10.000 x 3.500
= Rp 700.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 5.000
= Rp 100.000.000,-
3. Kantor: 1 x 10.000 x 5.000
= Rp 50.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 10.000
= Rp 500.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi:
= Rp4.498.033.630,-
Nilai Bumi/M2 = 4.498.033.630/5.290.000 = Rp850,29/M2 Hasil konversi: Klas 186 = Rp820,-/M2 NJOP Bumi seluruhnya = 5.290.000 x Rp820,- = Rp4.337.800.000,B. NJOP Bangunan: 1. Pabrik: 50.000 x 365.000
= Rp18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 365.000
= Rp 1.825.000.000,-
46
DTSD Pajak II
3. Kantor: 2.000 x 505.000
= Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000
= Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan:
= Rp27.035.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.035.000.000/67.000 = Rp403.507,46/M2 Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2 NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,Jumlah NJOP Bumi dan Bangunan:
= Rp31.673.800.000,-
NJOPTKP:
= Rp
NJOP untuk perhitungan PBB:
= Rp31.661.800.000,-
PBB= 0,5% x 40% x Rp31.661.800.000,-
= Rp63.323.600,-
DTSD Pajak II
12.000.000,- -
47
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
REFERENSI
1. Undang-undang Nomor 12/1985 jo. Undang-undang Nomor 12/1994. 2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010 3. Peraturan direktur Jenderal Pajak Nomor 64/PJ/2010 4. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 36/PJ/2011 5. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 32/PJ/2012 6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor 45/PJ/2013
48
DTSD Pajak II
BEA METERAI
DTSD Pajak II
49
PENDAHULUAN
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar sudah sepatutnya dikelola dengan sebaik-baiknya agar penerimaan negara dapat terjaga kesinambungannya guna mendukung kegiatan pemerintahan umum dan pembiayaan pembangunan yang dijalankan Pemerintah. Jumlah penerimaan pajak pada APBN 2008 sebesar Rp.601,476 trilyun, dimana Rp 3,341 trilyun lebih berasal dari penerimaan pajak lainnya termasuk bea meterai. Bila kita amati dari kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia pada dewasa ini, pengelolaan bea meterai oleh Pemerintah dirasa belum optimal, ini dapat dilihat dari masih banyak praktik-praktik melawan hukum yang sulit dicegah maupun diambil tindakan oleh penegak hukukm, seperti pemalsuan bea meterai, ketidaklancaran distribusi, sampai pada pembuatan dokumen yang tidak dipenuhi kewajiban bea meterainya. Adalah tugas Direktorat Jenderal Pajak agar Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai dan peraturan perundang-undangan terkait terlaksana dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, diperlukan sumber daya manusia yang kompeten dan handal di bidang bea meterai, mengingat permasalahan bea meterai yang tidak boleh dibilang sederhana karena kompleksitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat, jumlah penduduk, serta wilayah peredaran yang luas di seluruh nusantara. Untuk memberikan pemahaman yang utuh terhadap bea meterai, sampai saat ini masih dirasa sulit, karena masih sedikit tersedianya literatur tentang bea meterai, baik dalam bentuk kompilasi peraturan perundangundangan maupun dalam bentuk buku. Dengan tersusunnya bahan ajar ini diharapkan dapat menambah alternatif bahan bacaan tentang bea meterai guna memperluas khasanah pengetahuan para pembacanya. Bahan ajar ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan ajar di lingkungan Pusdiklat Pajak Jakarta. Mengingat batasan waktu yang tersedia untuk penyajian materi dalam diklat, maka kedalaman isi bahan ajar ini disesuaikan dengan jumlah pelatihan yang tersedia serta diselaraskan dengan tujuan Diklat Teknis Substantif Dasar II Pajak..
DTSD Pajak II
51
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Tujuan umum pembelajaran Bea Meterai ini adalah agar peserta diklat memahami ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang bea meterai dan tugas-tugas DJP dalam pengelolaan bea meterai. Adapun Tujuan Khusus dari pembelajaran Bea Meterai ini agar peserta diklat : 1. Memahami pengertian bea meterai 2. Dapat menjelaskan subjek, saat terutang, dan tarif bea meterai 3. Dapat menjelaskan cara pelunasan bea meterai 4. Dapat menjelaskan sanksi-sanksi atas kewajiban pemenuhan bea meterai, daluwarsa, dan ketentuan Pidana 5. Dapat menjelaskan penegakan hukum Bea Meterai.
52
DTSD Pajak II
PENGERTIAN BEA METERAI
Bila kita amati dalam kehidupan sehari-hari, dari berbagai hal yang berlangsung di masyarakat berkaitan dengan bea meterai, tampak bahwa pemahaman masyarakat tentang bea meterai memang masih rendah. Bea meterai lebih sering dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam pembuatan dokumen. “Surat perjanjian itu tidak sah karena tidak diberi meterai” misalnya. Atau Setiap tanda terima uang harus diberi meterai supaya sah, tanpa tahu apa yang dimaksud dengan sah itu. Mengenai pemenuhan bea meterai apakah sesuai dengan kententuan atau tidak sering kali tidak diperhatikan oleh masyarakat. Kondisi ini tentunya harus diperbaiki mengingat bea meterai merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diterapkan di seluruh indonesia. Masyarakat perlu memahami mengapa harus melunasi bea meterai dan bagaimana ketentuan yang benar. Selanjutnya bea meterai dapat diterima sebagai salah satu jenis pajak di Indonesia, dimana pembayarannya hanya untuk kepentingan pajak dan tidak ada kaitannya dengan hal – hal lain diluar pajak.
A. BEA METERAI ADALAH PAJAK Bea meterai adalah pajak, ini dapat dibuktikan dengan melihat ciri-ciri yang melekat pada pengertian bea meterai dengan disandingkan dengan ciri-ciri pajak. Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain : 1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemeerintah 2. Pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang serta aturan pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan; 3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi langsung secara individual yang diberikan oleh Pemerintah; 4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah; 5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemaasukannya masih terdapat surplus, maka surplus tersebut digunakan untuk investasi publik.
DTSD Pajak II
53
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari Pemerintah. 7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung. Selanjutnya tentang bea meterai dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Nomor. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai :”Dengan nama bea meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini”. Hal ini menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen. Apabila diperhatikan, pemungutan bea meterai oleh pemerintah dari masyarakat (orang atau badan) yang membuat dokumen memang memenuhi kriteria tentang pajak diatas. Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini : 1. Bea
meterai
menertibkan
dipungut benda
oleh
meterai
pemerintah dan
pusat,
yang
mengedarkannya
berwenang
sebagtai
alat
pembayaran bea meterai yang terurtang ataupun memberikan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain. Memang penerbitan dan pengedaran benda meterai tidak ditangani secara langsung oleh pemerintah, tetapi diserahkan kepada Perum Peruri untuk mencetak benda meterai dan menunjuk PT Pos Indonesia untuk mengedarkannya. Hanya saja tetap saja kedua hal ini dilakukan atas nama Pemerintah Pusat. 2. Hasil penjualan benda meterai maupun pembayaran sejumlah uang tertentu untuk mendapatkan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain semuanya masuk ke kas Pemerintah Pusat. 3. Orang atau badan yang membuat dokumen yang terutang bea meterai di pungut bea meterai yang terutang oleh pemerintah tanpa ada balas jasa (kontra
prestasi)
atau
pembayaran
bea
meterai
terutang
yang
dilakukannya. 4. Hasil penerimaan bea meterai bersama dengan hasil penerimaan pajak pusat lainnya digunakan oleh Pemerintah Pusat untuk menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan, yang hasilnya juga dinikmati oleh pembayar bea meterai. Hal ini menunjukan sebenarnya ada kontra prestasi yang diberikan oleh pemerintah
54
DTSD Pajak II
Ditinjau dari ciri-ciri tersebut di atas, tentu dapat dikatakan bahwa bea meterai memenuhi kriteria pungutan yang dimaksud dalam pajak. Bea meterai adalah pajak.
B. DASAR HUKUM PEMUNGUTAN BEA METERAI Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 merupakan pengganti dari Aturan Bea Meterai tahun 1921 yang sampai dengan 31 desember 1985 menjadi dasar hukum pemungutan bea meterai Indonesia. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 disahkan dan diundangkan di Jakarata pada tanggal 27 Desember 1985 dan dinyatakan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985 dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 69 dan penjelasan undang- undang ini dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3313. Ditinjau dari hukum pajak, Undang-Undang Nomor 13 tahun 1985, selanjutnya disebut sebagai UU Bea Meterai, memiliki dua fungsi, yantu sebagai hukum pajak material dan sekaligus sebagai hukum pajak formal, hukum pajak material mengatur
tentang
norma-norma
yang
menerangkan
keadaan-keadaan,
perbuatan-perbuatan, dan peristiwa- peristiwa hukum yang haru dikenakan pajak, siapa saja yang dikenakan pajak, serta besarnya pajak yang terutang. Dengan perkataan lain, dapat dikatakan bahwa hukum ini memuat segala sesuatu tentang timbulnya, besarnya dan haPusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, peraturan yang memuat kenaikankenaikan, denda -denda dan hukuman-hukuman serta tata cara pembebasan dan pengembalian pajak serta hak tagihan yang memiliki fiskus. Hukum pajak formal mengatur tentang tata cara mengimplementasikan hukum pajak material sebagai menjadi suatu kenyataan. Termasuk didalamnya penyelenggaraan pemungutan pajak, antara lain mengenai penetapan suatu utang pajak, pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban para wajib pajak baik sebelum maupun sesudah diterimanya surat ketetapan pajak, kewajiban pihak ketiga dan prosedur dalam pemungutan pajak, hak wajib pajak, dan sanksi terhadap wajib pajak yang melanggar, kewenangan fiskus, kewajiban fiskus, serta sanksi terhadah fiskus yang tidak menjalankan tugasnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tujuan pengaturan hukum pajak
DTSD Pajak II
55
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
formal ini adalah untuk melindungi fiskus dan wajib pajak serta memberi jaminan agar hukum pajak material dapat diselenggaraan dengan tepat. Dalam UU Bea Meterai dapat ditemui ketentuan tentang apa yang menjadi objek, tarif, pihak yang terutang, saat terutang, dan cara pelunasan bea meterai yang merupakan bagian dari hukum pajak material. Di bagian lain juga dapat ditemui ketentuan tentang ketentuan bagi pejabat yang dalam jabatannya berhubungan dengan dokumen, sanksi administrasi bagi wajib bea meterai yang tidak memenuhai kewajibannya sebagaimana mestinya, dan ketentuan pidana terhadap barang siapa yang meniru dan memalsukan benda meterai, yang pada dasarnya merupakan bagian dari hukum pajak formal.
C. BEA METERAI ADALAH PAJAK ATAS DOKUMEN Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya pasal 1 ayat (1) UU Bea Meterai menyatakan ” dengan nama bea meterai dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini ”. Hal ini menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen. Dengan demikian, yang dikenakan pajak adalah dokumen yang dibuat oleh orang atau badan yang berkepentingan atas dokumen tersebut. Karena bea meterai adalah pajak atas dokumen, maka merupakan hal yang sangat penting unutuk memahami apa yang dimaksud dengan dokumen. 1.
Pengertian Dokumen
Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai memberikan definisi dokumen sebagai kertas yang berisikan tulisan yag mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan. Definisi ini memberikan pengertian dokumen secara sempit, yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan secara sempit karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya terbatas dalam bentuk kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain seperti film, rekaman vidio, kaset, dan sebagainya. Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia
56
yang
disusun
oleh
Tim
Penyusun
Pusat
Pembinaan
dan
DTSD Pajak II
Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen memiliki tiga pengertian, yaitu: 1. Surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan surat perjanjian); 2. Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim melalui pos; atau 3. Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang dapat dijadikan bukti keterangan. Hanya saja, karena secara umum yang digunakan oleh masyarakat (setidaknya sampai dengan 1983 pada saat UU Bea Meterai dibuat) adalah kertas sebagai dokumen yang membuktikan adanya perbuatan hukum, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka dokumen yang dikenakan pajak dalam UU Bea Meterai dibatasi hanya pada kertas yang berisi tulisan. 2.
Jenis-Jenis Surat / Dokumen
Dokumen sebagaimana didefinisiskan dalam Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai oleh masyarakat luas dikenal sebagai surat atau akta. Untuk dapat memahami dokumen secara lebih komprehensif, perlu juga diketahui tentang pembagian surat. Surat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu surat di bawah tangan dan surat autentik. Selanjutnya surat dibawah tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa dan akta di bawah tangan, dan surat autentik dapat dibedakan menjadi akta autentik dan surat dinas. Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta autentik menurut Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata. Untuk mempermudah pemahaman mengenai dokumen dapat diperhatikan skema pada gambar 1 di bawah ini:
DTSD Pajak II
57
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Gambar 4 Skema Surat
Keterangan :
Surat
adalah serangkaian
kata-kata
dalam
bentuk
tulisan
yang
mengandung maksud tertentu dari pembuatnya.
Surat di bawah tangan adalah surat yang tidak dibuat oleh pejabat umum
Surat Autentik adalah surat yang dibuat oleh pejabat umum ( Pejabat umum adalah pejabat yang diangkat oleh Pemerintah dan ditugaskan serta diberi wewenang untuk melakukan sebagian dari pekerjaan pemerintah untuk membuat akta yang berkaitan dengan peeristiwa atau perbuatan hukum)
Akta adalah surat yang ditandatangani , yang khusus dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa atau perbuatan hukum.
D. OBJEK BEA METERAI Sebagaimana telah dikemukan di awal kegiatan belajar ini, Pasal 1 UU Bea Meterai menyebutkan bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang dipakai oleh masyarakat dalam lalu lintas hukum. Objek bea meterai adalah dokumen. Jika tidak dibuat dokumen, maka tidak ada masalah pengenaan bea meterai. Selanjutnya UU Bea Meterai mengisyaratkan bahwa yang menjadi objek bea meterai bukan perbuatan hukumnya, seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, menerima uang, melakukan pemborongan pekerjaan, dan sebagainya; melainkan dokumen yang dibuat untuk melakukan telah terjadi perbuatan itu, seperti akta jual beli, akta atau surat perjanjian sewa-menyewa,
58
DTSD Pajak II
kuitansi, surat perjanjian pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Isi surat perjanjian yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya saja jual beli tanah di bulan atau perjanjian mengenai perbuatan yang dilarang, tidak menjadi penghalang untuk mengenakan bea meterai atas surat perjanjian mengenai halhal tersebut. Dalam praktik di masyarakat di mungkinkan dua pihak atau lebih mengadakan perjanjian tersebut, tetapi tanpa membuat dokumen yang berkaitan dengan perjanjian dimaksud (tanpa surat perjanjian). Terhadap keadaan ini tidak ada permasalahan mengenai bea meterai karena yang dikenakan bea meterai adalah dokumen, bukan perjanjian yang diadakan tersebut. 1.
Dokumen yang DikenakanBea Meterai
Sesuai dengan pasal 2 UU Bea Meterai dokumen yang dikenakan bea meterai adalah : a. Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan, atau keadaan yang bersifat perdata. b. Akta-akta notaris dan salinannya. c. Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) termasuk rangkap-rangkapnya. d. Surat yang memuat jumlah Uang, yaitu; 1) Yang menyebutkan penerimaan uang; 2) Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; 3) Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank; dan 4) Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep , dan cek. f.
Efek dalam nama dan bentuk apapun
Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut pada huruf d, e, dan f diatas juga dimaksudkan termasuk jumlah uang atau harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri
DTSD Pajak II
59
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan bea meterai.
E. BUKAN OBJEK BEA METERAI Pasal 4 UU Bea Meterai menentukan tidak dikenakan bea meterai atas dokumen, antara lain : a. dokumen yang berupa : 1) surat penyimpanan barang; 2) konosemen; 3) surat angkutan penumpang dan barang; 4) keterangan pemindahan yang dituliskan di atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam angka 1), angka 2), dan angka 3); 5) bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang; 6) surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim; 7) surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam angka 1) sampai angka 6). b. segala bentuk Ijazah; c. tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu; d. tanda bukti penerimaan uang Negara dari kas Negara, Kas Pemerintah Daerah, dan bank; e. kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari Kas Negara, Kas Pemerintahan Daerah dan bank; f.
tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi;
g. dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut; h. surat gadai yang diberikan oleh Perusahaan Jawatan Pegadaian; i.
tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
60
DTSD Pajak II
SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA METERAI
A. SUBJEK BEA METERAI Pasal 6 UU Bea Meterai menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 6 tersebut dijelaskan subjek bea meterai untuk tiap-tiap jenis dokumen sebagai berikut: a. Dalam hal dokumen dibuat sepihak, misalnya kuitansi, Bea Meterai terhutang oleh penerima kuitansi. b. Dalam hal dokumen dibuat oleh 2 (dua) pihak atau lebih, misalnya surat perjanjian di bawah tangan, maka masing-masing pihak terhutang Bea Meterai atas dokumen yang diterimanya. c. Jika surat perjanjian dibuat dengan Akta Notaris, maka Bea Meterai yang terhutang baik atas asli sahih yang disimpan oleh Notaris maupun salinannya yang diperuntukkan pihak-pihak yang bersangkutan terhutang oleh pihak-pihak yang mendapat manfaat dari dokumen tersebut, yang dalam contoh ini adalah pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Jika pihak atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain, maka Bea Meterai terhutang oleh pihak atau pihak-pihak yang ditentukan dalam dokumen tersebut.
B. SAAT TERUTANG BEA METERAI Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat terutang bea meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat. Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang bea meterai sebagai berikut: a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
DTSD Pajak II
61
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan termasuk juga bahwa pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya kuintansi, cek, dan sebagainya. b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat selesainya dokumen dubuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut. c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia.
C. TARIF BEA METERAI Tarif bea meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam UU Bea meterai, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu dokumen yang merupakan surat ya.ng dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif bea meterai berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen itu. Tarif bea meterai ditetapkan dengan undang-undang. Berdasarkan tarif-tarif yang dikenakan atas dokumen-dokumen sebagaimana tersebut pada Pasal 2 UU Bea Meterai, tarif bea meterai adalah Rp 1.000,- dan Rp 500,-. Selanjutnya dalam Pasal 3 UU BeaMeterai disebutkan bahwa dengan Peraturan Pemerintah dapat ditetapkan besarnya tarif Bea Meterai dan besarnya batas pengenaan harga nominal yang dikenakan Bea Meterai, dapat ditiadakan, diturunkan, dinaikkan setinggi-tingginya enam kali atas dokumen-dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2. Berdasarkan ketentuan ini, seiring dengan adanya perkembangan ekonomi nasional, pemerintah telah mengadakan dua kali penyesuaian tarif dan besarnya harga nominal yang dikenakan bea meterai, yaitu perbahan pertama dengan Peraturan Pemerinth Nomor 7 tahun 1995, tarif bea meterai diubah menjadi Rp 1.000,-- dan Rp 2.000,-. Perubahan
62
DTSD Pajak II
kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, yaitu tarif bea meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,-- dan Rp 6.000,-. Perkembangan tarif bea meterai per jenis dokumen tercantum dalam tabel 1 berikut: Tabel 1 Perbandingan Tarif Bea Meterai dari Waktu ke Waktu Tarif Bea Meterai
No . 1.
2, 3. 4,a .
4.b . 4c
4d 5a
5b
5c
5d
Dokumen Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya (a.l. Surat Kuasa, surat hibah, surat pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/keadaan yang bersifat perdata. Akta Notaris dan salinannya Akta yang dibuat PPAT termasuk rangkapannya Surat yang memuat sejumlah uang lebih dari Rp 1 juta (harga nominal yang dinyatakan dalam mata uang asing) a. Yang menyebutkan penerimaan uang; b. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening di bank; c. Yang berisi beerisi pembeitahuan saldo rekening di bank, dan d. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah dilunasi atau diperhitungkan. Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 Surat yang memuat jumlah uang lebih dari Rp 100.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 250.000,00 Surat yang memuat jumlah uang tidak lebih dari Rp 1.00.000,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,00 Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep yang hargaa nominalnya lebih dari Rp 250.000,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1.000.000,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp 250000,00 Surat berharga seperti wesel, promes,dan
DTSD Pajak II
UU No. 13 Th. 1985
PP No. 7 Th. 1995
PP No. 24 th. 2000
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Rp 500,00
Rp 1.000,00
Rp 3.000,00
Rp 500,00
Tidak terutang
Tidak dikenakan
Tidak terutang
Tidak terutang
Tidak dikenakan
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Rp 500,00
Rp 1000,00
Rp 3.000,00
Rp 500,00
Tidak terutang
Tidak dikenakan
Tidak
Tidak
Tidak
63
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
6a 6b
6c
6d 7a 7b
7c
7d 8.
aksep yang hargaa nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000,00 Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000,Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000,- terapi tidak ebih dari Rp 1.000.000,-Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya lebih dari Rp 100.000,00 tetapi tidak lebh dari Rp 250.000,00 Cek dan bilyet giro yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000,Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 1.000.000 Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 250.000.,00 tetapi tidak lebih dari Rp 1,000,000,00 Efek yang harga nominalnya lebih dari Rp 100.000.,00 tetapi tidak lebih dari Rp 250000,00 Efek yang harga nominalnya tidak lebih dari Rp 100.000.,00 Dokumen yang akan digunakan sebagai alat bukti di muka pengadilan melputi : a. Surat-surat biasa dan surat kerumah-tanggaan; b. Surat-surat yang semula tidak dikenakan bea meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang lain, selain dari masksud semula.
terutang
terutang
dikenakan
Rp 1000,00
Rp 1000,00
Rp 3.000,00
Rp500,00
Rp 1000,00
Rp 3.000,00
Rp 500,00
Rp 1000,00
Rp 3.000,00
Tdk terutang *)
Rp 1000,00
Rp 3.000,00
Rp 1.000,00
Rp 2.000,00
Rp 6.000,00
Rp 500,00
Rp 1.000,00
Rp 3.000,00
Rp 500,00
Tidak terutang
Rp 3.000,00
Tidak terutang
Tidak terutang
Rp 3.000,00
Rp 1.000,00
Rp 2000,00
Rp 6.000,00
Keterangan : *) Berdasarkan Peraturan Pemerintah anomor 13 Tahun 1989 tentang Perubahan Besarnya Tarif Bea Meterai dan besarnya bea meterai atas batas harga nominal yang dikenakan bea meterai ata cek dan bilyet giro, diubah menjadi Rp 500,00.
64
DTSD Pajak II
PELUNASAN BEA METERAI
Secara umum bea meterai atas dokumen yang terutang dilunasi denga dua cara, yaitu dengan menggunakan benda meterai atau menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada umumnya bea meterai atas dokumen dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam undangundang dan pelaturan pemerintah. Benda meterai yang dapat digunakan untuk melunasi bea meterai yang terutang adalah meterai tempel dan kertas meterai. Disampig itu, dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain bagi pelunasan bea meterai, misalnya membubuhkan tanda tera sebagai pengganti benda meterai diatas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan pelaturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.
A.
PELUNASAN BEA METERAI DENGAN MENGGUNAKAN BENDA METERAI
Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana pelunasan benda meterai terutang adalah benda meterai sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2) huruf b UU Bea Meterai, yaitu meterai tempel dan kertas metereai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. 1.
Meterai Tempel Pelunasan bea meterai dengan menggunakan meterai tempel dilakukan sesuai dengan Pasal 7 ayat( 3) – (6) UU Bea Meterai, yaitu sebagai berikut. a. Meterai tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas dokumen yang dikenakan Bea Meterai. b. Meterai tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan. c. Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian tanda tangan ada di atas kertas dan sebagian lagi di atas meterai tempel.
DTSD Pajak II
65
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas kertas. Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana letak tanda tangan akan dibubuhkan diatas kertas yang bersangkutan. Pada umumnya di bawah tulisan yang sudah selesai. Jika suatu dokumen yang dibubuhi meterai tempel harus ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda tanga pertama harus mempergunakan meterai tempel tersebut. 2.
Kertas Meterai Pelunasan bea meterai dengan menggunakn kertas meterai dilakukan sesua dengan Pasal 7 ayat (7) – (8) UU Bea Meterai, yaitu dengan cara menuliskan dokumen yang menjadi objek bea meterai pada kertas meterai yang ditentukan. Tanda tangan pihak yang membuat dokumen tersebut dilakukan di atas kertas meterai, pada bagian yang sesuai dengan dokumen yang dibuat (tidak ditentukan harus pada sisi tertentu dari kertas meterai). Jika isi dokumen yang dikenakan bea meterai terlalu panjang untuk dimuat seluruhnya di atas kertas meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak ber meterai. Suatu dokumen yang menggunakan beberapa helai kertas (misalnya akta pendirian sebuah perseroan terbatas) dan akta pendirian tersebut menggunakan kertas meterai, maka hanya bagian awal (helai pertama) saja yang menggunakan meterai, kemudia helai-helai berikutnya dapat menggunakan kertas biasa tanpa meterai. Kertas meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.
Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi. Hal ini berarti bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakai, sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai. Andaikan bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau keterangan lain tersebut terutang bea meterai tersendiri yang besarnya disesuaikan dengan besarnya tarif bea meterai yang berlaku. Jika sehelai kertas
66
DTSD Pajak II
meterai karena suatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang belum merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang ada pada kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai lagi. Apabila ketentuan tentang bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas meterai, demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
B. PELUNASAN BEA METERAI MENGGUNAKAN CARA LAIN Pelunasan bea meterai lainnya adalah dengan menggunakan cara lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 104/KMK.04/1986 tanggal 22 Februari 1986, pelunasan bea meterai degan menggunakan cara lain adalah dengan menggunakan mesin teraan meterai atau alat lain dengan teknologi tertentu, yang penggunaannya harus mendapat izin tertululis dari Direktur Jendral Pajak. Izin penggunaan diberikan kepada pemakai yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur Jendral Pajak. Ketentuan dengan cara lain ini telah mengalami berbagai perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi yang dapat dipergunakan untuk memperlancar pelunasan bea meterai. Terakhir, ketentuan mengenai pemeteraian dengan cara lain diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tanggal 28 April 2000 sebagai berikut: 1. Pemeteraian dengan cara lain dilakukan dengan tiga cara, yaitu: a. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan meterai; b. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan teknologi percetakan; atau c. Dengan membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan sistem komputerisasi 2. Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan cara lain harus mendapat ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak.
DTSD Pajak II
67
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
3. Hasil pencetakan tanda Bea Meterai Lunas harus dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak; Pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan menggunakan teknologi percetakan dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri) dan/atau Perusahaan sekuriti
yang
mendapat
ijin
dari
Badan
Koordinasi
Pemberantasan Uang Palsu (Botasupal) yang di tunjuk oleh Bank Indonesia. 4. Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada dokumen yang tidak terutang Bea Meterai ataupun yang belum digunakan untuk mencetak tanda Bea Meterai Lunas, dapat dialihkan untuk penggunaan berikutnya. 5. Penerbit dokumen dengan tanda Bea Meterai Lunas yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi harus melunasi Bea Meterai yang terutang berikut dendanya 200 % (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan cara menyetorkannya ke Kas Negara atau Bank Persepsi. 6. Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan Meterai atau dengan menggunakan meterai tempel.
1.
Tata Cara Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Ketentuan pelaksanaan tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai tercantum dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep 122b/Pj./2000 sebagai berikut : a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen. b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai
68
DTSD Pajak II
harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun pembuatan
mesin
teraan
meterai
yang
akan
digunakan,
serta
melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap hari. c.
Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp 15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.
d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin penggunaan mesin teraan meterai mempunyai kewajiban sebagai berikut
:
(1) Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap bulan. (2) Menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat satu bulan setelah mesin teraan meterai tidak dipergunakan lagi atau terjadi perubahan alamat/tempat kedudukan pemilik/pemegang ijin penggunaan mesin teraan meterai. e. Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan. f.
Bea meterai yang belum dipergunakan karena mesin teraan meterai rusak atau tidak dipergunakan lagi, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai lain atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas
dengan
teknologi
percetakan
ataupun
dengan
sistem
komputerisasi. g. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus mengajukan
permohonan
secara
tertulis
kepada
Kepala
Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan. h. Penggunaan mesin teraan meterai tanpa ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
DTSD Pajak II
69
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
i.
Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari deposit yang disetor dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar, dan pencabutan ijin penggunaan mesin teraan meterai.
j.
Penggunaan mesin teraan meterai yang melewati masa berlakunya ijin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin.
k. Penyampaian laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin. Seiring dengan perkembangan teknologi digital pada berbagai perlatan perkantoran, termasuk dalam teknologi mesain tera, maka untuk mengantisipasi perkembangan teknologi tesebut, telah diterbitkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per - 45/Pj/2008 Tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital. Pada prinsipnya hal-hal yang diatur dalam peraturan ini sama dengan hal-hal yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122b/Pj./2000 tanggal 29 Oktober 2009. Namun terdapat beberapa hal baru yang diatur antara lain : a. Aplikasi Kode Deposit; adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik distributor Mesin Teraan Meterai Digital yang ditempatkan pada Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang berfungsi sebagai penerbit Kode Deposit Mesin Teraan Meterai Digital setelah mendapat informasi hasil verifikasi pembayaran deposit dari Aplikasi e- meterai; b. Aplikasi e- meterai adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik Direktorat Jenderal Pajak yang melayani pendaftaran Mesin Teraan Meterai Digital, verifikasi pembayaran deposit, dan pelaporan Bea Meterai, yang dapat diakses melalui portal intranet Direktorat Jenderal Pajak, c. Petugas Kantor Pelayanan Pajak meneliti dan meng-input data yang disampaikan oleh wajib Pajak ke Aplikasi e- meterai.
70
DTSD Pajak II
d. Petugas Kantor Pelayanan Pajak mencetak Surat Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dari Aplikasi e- meterai. e. Wajib Pajak setelah membayar deposit Mesin Teraan Meterai Digital akan memperoleh Kode Deposit paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal pembayaran deposit dilakukan. f.
izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal ditetapkan, dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
g. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan akan berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital. Surat pemberitahuan tersebut dikirimkan kepada Wajib Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sebelum batas waktu berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas
dengan Mesin
Teraan Meterai Digital. h. Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan
Wajib
Pajak
tidak
melakukan
perpanjangan
izin
pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim Surat Teguran kepada Wajib Pajak paling lambat 5 (lima) hari sejak berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan. i.
Wajib Pajak yang tidak melakukan perpanjangan izin pembubuhan dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari
sejak
tanggal
pengiriman
Surat
Teguran, dikenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan selama 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital. j.
Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital harus diterbitkan paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.
k. Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital diatur sebagai berikut: 1) Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai
DTSD Pajak II
71
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Digital Wajib Pajak belum juga melakukan perpanjangan izin pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim Surat Teguranpaling lambat 5 (lima) hari sejak berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan. 2) Wajib Pajak harus menindaklanjuti Surat Teguran sebagaimana dimaksud pada huruf C yaitu dengan melakukan perpanjangan izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Digital dalam jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal Surat Teguran dikirim. 3)
Apabila Wajib Pajak tidak menindaklanjuti Surat Teguran sampai dengan batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf D, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan selama 1 (satu) tahun
dimulai
sejak
tanggal
diterbitkannya
Surat
Keputusan
Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital. 4) Kepala Kantor Pelayanan Pajak harus nnencrbitkan Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital kepada Wajib Pajak paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan Mesin Teraan Meterai Digital yang telah selesai masa penangguhan perpanjangan izin pembubuhannya, dapat digunakan lagi oleh Wajib Pajak. 5) Dengan berlakunya Peraturan Direktur Jenderal pajak ini, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai sepanjang mengatur tata cara pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai Manual, dinyatakan masih berlaku sampai dengan tanggal 28 April 2010. 6) Saldo deposit yang masih tersisa karena Mesin Teraan Meterai Manual yang digunakan sampai dengan tanggal 28 April 2010 belum habis, dapat dialihkan ke setoran jenis pajak yang lain dengan cara pemindahbukuan (Pbk).
72
DTSD Pajak II
7) Prosedur pengalihan saldo deposit diatur sebagai berikut: a) Wajib Pajak harus mengajukan Surat Permohonan Pengalihan Deposit kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar, dengan: -
Mencantumkan jumlah saldo deposit yang akan dialihkan, dan
-
Memberitahukan perhitungan ke setoran pajak yang lain untuk dilakukan pemindahbukuan atas saldo deposit yang akan dialihkan.
b) Untuk mengetahui jumlah saldo deposit yang dialihkan Petugas Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penelitian fisik dan administrasi terhadap Mesin Teraan Meterai Manual yang hasilnya dibuatkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam lampiran 10 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai. c) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada huruf b Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam lampiran 13 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai. d) Kepala
Kantor
Pelayanan
Pajak
wajib
menyelesaikan
pemindahbukuan (Pbk) terhadap saldo deposit yang dialihkan dan mengirimkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai paling lambat 10 (lima) hari kerja sejak Surat Permohonan Pengalihan di terima lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak. e) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 29 April 2008.
2.
Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Teknologi Percetakan. Ketentuan pelaksanaan tentang tata cara pelunasan bea meterai dengan
DTSD Pajak II
73
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
membubuhkan tanda bea meterai lunas dengan tekonologi percetakan diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak nomor Kep - 122c/Pj./2000 sebagai berikut : a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun. b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai, dengan enggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Presepsi. c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan, harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea Meterai yang telah dibayar. d. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus menyampaikan laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 10 setiap bulan. (1) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sebelum tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan menggunakan meterai tempel. (2) Bea Meterai kurang bayar atas cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tanda Bea Meterai Lunasnya dibubuhkan sejak tanggal 1 Mei 2000 harus dilunasi dengan menggunakan mesin teraan meterai atau dengan menggunakan meterai tempel dengan ditambah denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai kurang bayar tersebut.
74
DTSD Pajak II
(3) Pelunasan denda administrasi seperti tersebut pada ayat (2) di atas dilakukan dengan menyetorkan ke Kas Negara melalui Bank Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. (4) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang belum dipergunakan dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan Meterai, pembubuhan tanda Bea Meterai
Lunas
lainnya
dengan
teknologi
percetakan
atau
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi. (5) Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan. e. Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai
Lunas dengan teknologi percetakan
tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai. f.
Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri) atau perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas tanpa adanya ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pencabutan ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda BeaMeterai Lunas dengan teknologi percetakan.
g. Penyampaian laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.
3.
Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi Ketentuan Pelaksanaan Tata Cara Pelunasan Dengan Membubuhkan Tanda
DTSD Pajak II
75
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Bea Meterai Lunas Dengan Sistem Komputerisasi Diatur Dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122d/PJ./2000 Tanggal 1 Mei 2000 sebagai berikut: a. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang sebagaimana dimaksud Pasal 1 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata peMeteraian setiap hari minimal sebanyak 100 dokumen. b. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi, harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai setiap hari. c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi harus melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank Presepsi. d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi harus menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan. e. Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pe meteraian 1 (satu) bulan berikutnya. f.
Penerbit dokumen yang mempunyai saldo Bea Meterai kurang dari estimasi kebutuhan satu bulan, harus mengajukan permohonan ijin baru dengan terlebih dahulu melakukan pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar kekurangan yang harus dipenuhi untuk mencukupi kebutuhan 1 (satu) bulan.
76
DTSD Pajak II
g. Bea Meterai yang belum dipergunakan karena sesuatu hal, dapat dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan. h. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan. i.
Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 ndang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea.
j.
Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian dari pembayaran di muka yang dilakukan, dikenakan sanksi denda administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar.
k. PembubuhanTanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisai yang melewati masa berlakunya ijin yang diberikan, dikenakan sanksi pencabutan ijin. l.
Penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin.
C. AKIBAT
APABILA
KETENTUAN
CARA
PELUNASAN
BEA
METERAI TIDAK DIPENUHI Pelunasan bea meterai, baik dengan menggunakan benda bea meterai maupun dengan cara lain, harus memenuhi ketentuan yang telah dikemukakan di atas. Apabila ternyata ketentuan pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka dokumen tersebut dinyatakan tidak ber meterai dan tentunya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang bea meterai dengan tegas menentukan apabila ketentuan tentang cara pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka berlaku ketentuan di bawah ini. 1) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan benda bea meterai tidak memenuhi ketentuan, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak ber meterai (Pasal 7 ayat (9) UU Bea Meterai). Hal ini berakibat akan dikenakan
DTSD Pajak II
77
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
sanksi berupa denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak dibayar. 2) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan mesin teraan meterai atau cara lainnya sebagaimana dimaksudkan dalm Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Bea Meterai dilakukan tanpa izin, maka berdasarkan Pasal 14, perubahan tersebut merupakan kejahatan sehingga dapat diancam dengan pidana penjara selama-lamanya tujuh tahun.
D. BENDA
METERAI
YANG
SAAT
INI
MASIH
BERLAKU
DI
INDONESIA Benda meterai yang saat ini masih berlaku di Indonesia sebagai sarana pelunasan bea meteai adalah benda meterai desain tahun 2005, yang diterbitkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 April 2005. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 adalah peraturan tersebut pada dasarnya hanya mengubah ketentuan tentang meterai tempel, yaitu mengganti meterai tempel desain tahun 2002 dengan desain tahun 2005. hanya saja ternyata dalam ketentuan penutup peraturan tersebut menyatakan bahwa Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002 dinyatakan tidak berlaku. Hal ini berarti dasar hukum pemberlakuan kertas meterain desai tahun 2002 juga dinyatakan tidak berlaku lagi. Ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 tentunya kurang sesuai dengan UU Bea Meteai yang menentukan bahwa kertas meterai juga merupakan sarana pelunasan bea meterai terutang. Oleh karena inu, Menteri Keuangan kemudian melakukan perubahan atas aturan dimaksud dengan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005, yang ditetapkan tanggal 5 Oktober 2005 dan berlaku pada tanggal ditetapkan. Peraturran Menteri Keuangan Nomor 90/OMK.03/2005 mengubah Pasl 4 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 sehingga menjadi berbunyi: “Pada saat Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002, tentang Bentuk, Ukuran, dan Warna Benda Meterai Desain Tahun 2002, sepanjang yang mengatur mengenai
78
DTSD Pajak II
meterai tempel dinyatakan tidak berlaku.” Dengan demikian, sebenarnya ketentuan tentang kertas meterai yang diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK. 03/2002 tetap berlaku. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 memberikan kepastian hukum tentang tetap berlakunya kertas meterai sebagai sarana pelunasan bea meterai terutang. .
E. PENGADAAN DAN PENGELOAAN BENDA METERAI Pengadaan, Pengelolaan, dan penjualan benda meterai tidak dilaksanakan sendiri oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai instansi yang mengelola pajak pusat, melainkan diserahkan kepada instansi lain yang dipandang berkompeten dalam hal pengadaan maupun pengelolaan dan penjualan benda meterai. Hal ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1986 tentang Pengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai yang ditetapkan pada tanggal 5 Juni 1986 dan mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1986. Dalam peraturan pemerintah tersebut disebutkan bahwa pencetakan dalam rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perum Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri). Tata cara dan persyaratan pencetakan benda metera diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Sementara itu, pengelolaan dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh Perum Pos dan Giro. Tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai diatur lebih lanjut oleh Menteri Keuangan. Saat ini tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai diatur oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nimor 133a/KMK.04/2000 tentangPengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda Meterai, dan ditetapkan tanggal 28 April 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 2000. sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pencetakan dalam rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum) Percatakan Uang Republik Indonesia (Perurit). Hasil pencetakan benda meterai dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara dan persyaratan pencetakan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun pengelolaan dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia dan atau
DTSD Pajak II
79
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
badan usaha lain yang ditunjuk. Hasil penjualan dan persediaan Benda Materai dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Sebagai imbalan atas perannya mengelola dan menjual benda meterai maka kepada PT Pos Indonesia diberikan provisi atas penjualan benda meteai. Besarnya provisi penjualan benda meterai ditetapkan oleh Direktur Jendersl Pajak. Untuk melaksanakan ketentuan ini Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 448/PJ./2000 tanggal 17 Oktober 2000 tentang Besarnya Provisi Penjualan Benda Meterai. Dalam keputusan tersebut diatur provisi penjualan benda meterai desain tahun 2000 kopur Rp. 3.000,00 dan Rp.6000,00 sebesar Rp.110,00 (seratus sepuluh rupiah) per lembar/keping. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2000. Benda meterai yang tidak berlaku lagi dan benda meterai yang rusak, cacat, atau kotor sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya dimusnahkan berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Tata cara pemusnahan benda meterai ditetapkam oleh Direktur Jenderal Pajak. Pelaksanaan pemusnahan dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak, yang terdiri dari unsur Direktur Jenderal Pajak, PT Pos Indonesia, dan Perum Peruri. Biaya pemusnahan dibebankan pada mata anggaran Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
F. PENGAWASAN TERHADAP PENGELOLAAN DAN PENJUALAN BENDA METERAI Sehubungan dengan pengelolaan dan penjualan pada meterai milik Direktorat Jenderal Pajak yang dilakukan oleh PT Pos Indonesia ( Persero ), Direktur Jenderal Pajak telah mengeluarkan Surat Edaran Dirjen Pajak NOMOR SE 23/PJ.53/2003 Tentang Pengelolaan dan Panjualan Benda Meterai pada tanggal 17 September 2003. Dalam surat edaran tersebut disebutkan bahwa PT Pos Indonesia ( Persero ) mempunyai kewajiban antara lain : 1. Menjual benda meterai dan menyetorkan seluruh uang hasil penjualannya setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa ; dan 2. Menyampaikan laporan bulanan penjualan dan persediaan benda meterai beserta bukti setor uang hasil penjualan, yang dapat berupa Surat Setoran
80
DTSD Pajak II
Pajak (SSP) standar bagi Kantor Pos Pemeriksa yang belum on line atau SSP khusus bagi Kantor Pos Pemeriksa yang sudah on line, kepada Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya. Dalam rangka pengawasan terhadap kewajiban PT Pos Indonesia (Persero) tersebut Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa wajib melaksanakan hal-hal di bawah ini: 1) Mencocokan jumlah penjualan benda meterai yang tercantum pada laporan yang disampaikan Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar ketiga SSP standar atau SSP khsus atas hasil penjualan benda meterai dan meneliti MAP/kode jenis pajak dan kode jenis storan yang tercantum pada SSP tersebut. a) Mencocokan bukti setor atas hasil penjualan benda meterai yang dilaporkan oleh Kantor Pos Pemeriksa dengan lembar kedua SSP standar atau SSP khusus dari KPKN; b) Menatausahakan laporan penjualan benda meterai beserta bukti setor atas hasil penjualan benda meterai dengan baik. 3. Kantor Pelayanan Pajak wajib menyampaikan surat teguran kepada Kantor Pos Pemeriksa dalam hal: a) Kantor pos pemeriksa belum menyampaikan laporan bulanan penjualan dan persediaan beda meterai sampai dengan batas waktu yang ditentukan; dan atau b) Kantor pos pemeriksa tidak menyetorkan hasil penjualan benda meterai setiap hari ke rekening giro atas nama kas negara c.q. Kepala Kantor Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor Pos Pemeriksa. 4. Dalam rangka meneliti kebenaran laporan bulanan penjualan dan persediaan benda meterai dan memantau persediaan benda meterai di wilayah kerjanya, Kantor Pelayanan Pajak bersama-sama dengan Kantor Pos Pemeriksa wajib melakukan verifikasi atas penjualan dan pesediaan benda meterai, dengan ketentuan sebagai berikut.
DTSD Pajak II
81
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
a) Verifikasi penjualan dan persediaan benda meterai dilakukan secara berkala setiap tiga bulan sekali (setiap triwulan) paling lambat 21 hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan. Hasil verifikasi penjualan dan pesediaan benda meterai dicantumkan dalam berita acara yang ditandatangani kedua belah pihak dan dituangkan dalam laporan Verifikasi Penjualan dan Persediaan Benda Meterai. Berita acara dan laporan Verifikasi Pejualan dan Pesediaan Benda Meterai disampaikan kepada Kepala Kantor Wilayah DJP dengan tembusan disampaikan kepada Manajemen Prangko dan Meterai PT Pos Indonesia (Persero) dan Direktur PPN dan PTLL paling lambat akhir bulan pada bulan dilakukannya verifikasi. 5. Kepala Kantor Wilayah DJP wajib mengawasi pelaksanaan veifikasi penjualan dan persediaan benda meterai di wilayah kerjanya dan wajib menyampaikan Laporan Triwulanan Penjualan dan Persediaan Benda Meterai kepada Direktur PPN dan PTLL paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya setelah bulan diterimanya Laporan Verifikasi Penjualan dan Persediaan Benda Meterai. Hal ini perlu dipahami dan dilaksanakan oleh pejabat pajak terkait demi tertib administrasi pengelolaan benda meterai.
G. PEMETERAIAN KEMUDIAN Pemeteraian kemudian merupakan salah satu cara pelunasan bea meterai selain pelunasan dengan menggunakan benda meterai dan pelunasan dengan cara lain. Hal ini untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dan dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 yang menyatakan : Pemeteraian kemudian dilakukan atas: a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan. b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya. c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
82
DTSD Pajak II
1.
Ketentuan Pelaksanaan Pemeteraian Kemudian
Ketentuan pelaksanaan tentang pemeteraian kemudian diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 476/Kmk.03/2002 Tentang Pelunasan Bea Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 19 November 2002 sebagai berikut: a. Pemeteraian
kemudian
wajib
dilakukan
oleh
pemegang
dokumen
sebagaimana dimaksud pasal 10 UU Bea Meterai dengan menggunakan meterai Tempel atau Surat Setoran Pajak dan harus disahkan oleh Pejabat Pos. b. Lembar kesatu dan lembar ketiga Surat Setoran Pajak yang digunakan untuk pemeteraian kemudian harus dilampiri dengan daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Surat Setoran Pajak dimaksud. c. Pengesahan atas pemeteraian kemudian dapat dilakukan setelah pemegang dokumen membayar denda : 1) Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya, wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi. 2) Dalam hal pemeteraian kemudian atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia, baru dilakukan setelah dokumen digunakan, maka pemegang dokumen wajib membayar denda sebesar 200% (dua ratus persen) dari Bea Meterai yang terutang. 3) Denda sebagaimana dimaksud dalam a) dan b) dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak. d. Besarnya Bea Meterai yang harus dilunasi dengan cara pemeteraian kemudian adalah: 1) Atas dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan. 2) Atas dokumen yang tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya adalah sebesar Bea Meterai yang terutang;
DTSD Pajak II
83
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
3) Atas dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia adalah sebesar Bea Meterai yang terutang sesuai dengan peraturan yang berlaku pada saat pemeteraian kemudian dilakukan. 2.
Tata Cara Pemeterian Kemudian dengan menggunakan Meterai Tempel
Tata cara pemeteraian kemudian dengan menggunakan meterai tempel diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/PJ/2003 tanggal 6 januari 2003, sebagai berikut : a. Pemegang dokumen membawa dokumen yang akan dilunasi dengan Cara pemeteraian kemudian kepada Pejabat pos pada Kantor Pos terdekat; b. Pemegang dokumen melunasi Bea Meterai vang terutang atas dokumen yanq dimeteraikan kemudian tersebut sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam
476/KMK.03/2002
Pasal tentang
3
Keputusan Pelunasan
Menteri Bea
Keuangan
Meterai
Nomor
Dengan
Cara
Pemeteraian Kemudian dengan cara menempelkan Meterai Tempel pada dokumen yang akan dimeteraikan kemudian. c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau Kurang dilunasi sebagaimana mestinya Wajib membayar denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak dengan kode jenis MAP 0174. d. Dokumen
telah
dimeteraikan
kernudian
dan
SSP
dicap
"TELAH
DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 sebagaimana diatur Iebih lanjut dengan KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002" oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pos yang bersangkutan. 3.
Tata Cara Pemeteraian Kemudian Menggunakan SSP
Pemeteraian Kemudian dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-02/PJ/2003 tanggal 6 januari 2003, sebagai berikut : a.
Membuat daftar dokumen yang akan dimeteraikan kemudian.
b.
Membayar Bea Meterai yang terutang berdasarkan daftar tersebut sesuai ketentuan di dalam Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan Nomor
84
DTSD Pajak II
476/KMK.03/2002
tentang
Pelunasan
bea
Meterai
Dengan
Cara
Pemeteraian Kemudian dengan menggunakan SSP. c.
Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagairnana mestinya vvajib membayar denda administrasi sebesar 200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan menggunakan SSP terpisah dengan SSP yang digunakan untuk memeteraikan kemudian.
d.
Cara pengisian SSP adalah sebagai berikut 1)
SSP yang digunakan untuk melunasi pemeteraian kemudian, diisi dengan Kode Jenis Pajak (MAP) 0171.
2)
SSP yang digunakan untuk membayar denda administrasi, diisi dengan Kode Jenis (MAP) 0174.
e.
Daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan SSP yang telah digunakan untuk membayar pemeteraian kemudian dicap "TELAH DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 1985 sebagaimana diatur lebih lanjut dengan KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002" oleh Pejabat Pos disertai dengan tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pejabat Pos yang bersangkutan.
DTSD Pajak II
85
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
f.
SANKSI, DALUWARSA, DAN KETENTUAN PIDANA
A. SANKSI ATAS KEWAJIBAN PEMENUHAN BEA CUKAI Salah satu daya paksa yang dapat dilakukan oleh fiskus untuk menerapkan pajak terhadap masyarakat atau wajib pajak adalah adanya sanksi yang tegas terhadap barang siapa yang melakukan pelanggaran ketentuan perpajakan. Hal ini juga berlaku dalam pengenaan dan pemungutan bea meterai. Pasal 8 UU Undang Bea Meterai dengan tegas mengatur bahwa dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar. Pemegang dokumen dimaksud harus melunasi bea meterai yang terutang berikut dendanya dengan cara pemeteraian kemudian. Pengenaan sanksi denda ini dapat dilihat pada contoh di bawah ini. 1. Dokumen yang menurut ketentuan dikenakan bea mcterai Rp 6.000,00
tetapi temyata tidak diberi meterai. Besarnya pemeteraian kemudian yang harus dilakukan terhadap dokumen tersebut adalah sebesar Rp 18.000,00 dengan perincian sebagai berikut:
Bea Meterai yang tidak dibayar = Rp. 6.000,00
Denda Administrasi 200 %
= Rp. 12.000,00
Jumlah
= Rp. 18.000,00
2. Jika dokumen sebagaimana contoh 1 diatas hanya diberi meterai Rp. 3.000,00 maka besarnya pemeteraian kemudian adalah Rp. 9.000,00 dengan perincian sebagai berikut:
86
Bea Meterai yang kurang dibayar
= Rp. 3.000,00
Denda Administrasi 200 %
= Rp. 6.000,00
Jumlah
= Rp. 9.000,00
DTSD Pajak II
B. DALUWARSA BEA METERAI Berdasarkan Pasal 12 UU Bea Meterai kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang daluwarsa setelah lampau waktu lima tahun, terhitung sejak tanggal dokumen dibuat. Ditinjau dari segi kepastian hukum daluwarsa lima tahun dihitung sejak tanggal dokumen dibuat, berlaku untuk seluruh dokumen termasuk kuitansi. UU Bea Meterai menentukan bahwa yang daluwarsa adalah kewajiban pemenuhan bea meterai dan denda administrasi yang terutang. Hal ini berarti apabila dokumen yang dibuat, baik sepihak maupun oleh beberapa pihak, merupakan dokumen yang harus dikenakan bea meterai, tetapi ternyata tidak dipenuhi oleh pihak pembuat pemegang dokumen tersebut dalam jangka lima tahun dan tidak terjadi sengketa, maka setelah lewat lima tahun kewajiban bea meterai atas dokumen tersebut menjadi tidak berlaku lagi. Ketentuan saat daluwarsa kewajiban pemenuhan bea meterai tersebut di atas, dalam praktiknya mungkin mengalami kendala, yaitu apabila ketentuan daluwarsa tersebut dikaitkan dengan saat terutang bea meterai atas dokumen yang dibuat sepihak, dalam hal ini kwitansi misalnya. Kutitansi terutang, apabila nilai nominalnya sudah memenuhi ketentuan, terutang bea meterai saat diserhakan dan diterima oleh pihak pembayar. Permasalahan akan timbul apabila tanggal saat menyerahkan/saat diterima tidak sama dengan tanggal kuitansi. Dokumen yang dibuat di luar negeri pada dasarnya tidak terutang bea meterai pada saat dokumen tersebut dibuat di luar negeri. Kewajiban bea meterai Indonesia baru timbul pada saat dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia. Dengan demikian, tentunya daluwarsa bea meterai Indonesia atas dokumen tersebut tidak bisa dihitung sejak tanggal dibuatnya dokumen tersebut (di luar negeri), melainkan seharusnya dihitung sejak tanggal dipergunakan di Indonesia. Apabila dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia enam tahun setelah dibuat di luar negeri, tentunya apabila menurut ketentuan tentang daluwarsa bea meterai menurut UU Bea Meterai, maka pemenuhan kewajiban bea meterai di Indoesia telah daluwarsa sehingga dokumen tersebut dapat dipergunakan di Indonesia tanpa perlu membayar bea meterai Indonesia. Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 UU Bea Meterai yang menegaskan bahwa justru pada saat dokumen dipergunakan di Indonesia (walaupun setelah
DTSD Pajak II
87
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
enam tahun sejak dokumen dibuat di luar negeli) pada saat itulah terutang bea meterai Indonesia.
C. KETENTUAN KHUSUS Dalam UU Bea Meterai terdapat ketentuan khusus bagi para pejabat tertentu yang tidak dibenarkan untuk melakukan sesuatu jika dokumen yang diajukan kepadanya ternyata bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sesuai dengan tarif yang berlaku. Sesuai Pasal 11 UU Bea Meterai pejabat pemerintah, hakim, panitera, juru sita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan di antaranya: 1. Menerima, mempertimbangkan, atau menyimpan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar; 2. Melekatkan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarifnya pada dokumen yang lain yang berkaitan; 3. Membuat salinan, tembusan, rangkapan, atau petikan dari dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dibayar; atau 4. Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang dibayar sesuai dengan tarif bea meterainya. Ketentuan Pasal 11 ini menunjukkan bahwa mereka juga harus turut mengawasi pelaksanaan UU Bea Meterai. Dalam pekerjaan sehari-hari para pejabat tersebut memiliki kewenangan tertentu yang diberikan oleh undang-undang dan peraturan lainnya untuk mengesahkan ataupun mempergunakan dokumen, yang pada umumnya merupakan objek bea meterai. Oleh karena itu, untuk mengamankan penerimaan negara dari sektor bea meterai, para pejabat tersebut memiliki kewajiban untuk tidak menggunakan dokumen yang bea meterainya belum dilunasi sebagaimana mestinya. Pelanggaran terhadap ketentuan di atas dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Bagi para pejabat yang dimaksud apabila melanggar atau tidak mengindahkan ketentuan itu dikenakan sanksi administratif sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku bagi masing-masing pejabat yang
88
DTSD Pajak II
bersangkutan. Misalnya bagi pegawai negeri sipil dapat diterapkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 30 Tahun 1980. Bagi Notaris dapat diterapkan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl 1860 No.3).
D. KETENTUAN PIDANA Sebagaimana dengan jenis pajak lainnya, pada bea meterai juga terdapat kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait terutama oleh wajib pajak bea meterai. Untuk menjaga agar ketentuan dalam bea meterai dapat dijalankan secara benar, maka terhadap pihak yang melakukan tindak pidana dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sesuai Pasal 13 dan 14 UU Bea Meterai, ketentuan berkaitan dengan tindak pidana di bidang bea adalah sebagai berikut: 1. Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana : a. barangsiapa meniru atau memalsukan meterai tempel dan kertas meterai atau meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai; b. barangsiapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau memasukan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang dibuat dengan melawan hak; c. barangsiapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan, menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukan ke Negara Indonesia meterai yang mereknya, capnya, tanda-tangannya, tanda sahnya atau tanda waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolaholah meterai itu belum dipakai dan atau menyuruh orang lain menggunakan denganmelawan hak; d. barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru dan memalsukan benda meterai. Tindak Pidana sebagaimana dimaksud di atas adalah kejahatan. 2. Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b tanpa izin Menteri Keuangan, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 7 (tujuh) tahun.
DTSD Pajak II
89
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Pasal 13 UU Bea Meterai tidak menentukan besarnya hukuman dan juga tidak mencantumkan kualifikasi perbuatannya. Hal ini diserahkan kepada hakim yang mengadilinya sesuai dengan ketentuan dalam KUHP.
E. KETENTUAN PERALIHAN Pasal 15 UU Bea Meterai mengatur tentang ketentuan peralihan pemberlakuan UU Bea Meterai yang baru. Hal ini perlu diatur untuk mencegah kevakuman bea meterai pada awal pemberlakuan bea meterai yang baru sesuai dengan UU Bea Meterai. Atas dokumen yang tidak atau kurang dibayar bea meterainya yang dibuat sebelum UU Bea Meterai berlaku, bea meterainya tetap terutang berdasarkan Aturan Bea Meterai 1921( Zegel- verordening 1921 ). Pelaksanaan ketentuan ini diatur oleh Menteri Keuangan. Walaupun
ketentuan
peralihan
ini
dengan
tegas
dicantumkan,
untuk
melaksanakan ketentuan tersebut perlu diperhatikan mengenai kapan saat terutangnya bea meterai sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 5 UndangUndang Bea Meterai, sebagaimana contoh di bawah ini. 1. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan. Oleh karena itu, kuitansi, cek dan sebagainya, yang walaupun dibuat (ditandatangani) dalam bulan Desember 1985, tetapi baru diserahkan dalam bulan Januari 1986 berlaku ketentuan UndangUndang Bea Meterai. 2. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari satu pihak adalah pada saat selesainya dokumen itu dibuat. Oleh karena itu, kontrak pemborongan yang ditandatangani pada tanggal 31 Desember 1985 atau sebelumnya, berlaku ketentuan ABM 1921. 3. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia. Dengan demikian, dokumen, misalnya surat perjanjian kredit yang dibuat.
90
DTSD Pajak II
PENEGAKAN HUKUM BEA METERAI
Bea meterai merupakan pajak yang menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang memberikan kontribusi penerimaan yang cukup besar. Hal ini menuntut fiskus sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan untuk menatausahakan bea meterai harus dapat memasyarakatkan, memantau, dan mengawasi agar bea meterai dapat dilaksanakan secara benar oleh masyarakat. Untuk pengamanan dan kelancaran pelaksanaan ketentuan tentang bea meterai, fiskus perlu memerhatikan dan melakukan beberapa tindakan di antaranya :
A. PEMANTAUAN PELAKSANAAN PENGENAAN BEA METERAI. Langkah-langkah pemantauan diperlukan dalam rangka menjamin keamanan penerimaan negara berkaitan dengan pelaksanaan pemenuhan kewajiban bea meterai oleh masyarakat. Pemantauan dapat berupa: 1. Melakukan pengamatan di tempat-tempat penjualan benda meterai untuk memantau kemungkinan beredarnya benda meterai palsu; 2. Secara cermat mengawasi penggunaan mesin teraan bea meterai; 3. Segera mengadakan penyuluhan terhadap pengusaha hotel, rumah
makan, pedagang (partai dan eceran), pabrikan, dan pengusaha lainnya yang membuat nota, faktur yang juga berfungsi sebagai tanda terima uang bahwa mereka harus membubuhkan meterai tempel pada nota / faktur tersebut sesuai dengan UU Bea Meterai; 4. Memantau pemeteraian cek, bilyet giro, surat yang menyatakan pembukuan uang dan penyimpanan uang dalam rekening di bank, serta surat yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank, apakah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
B. PEMBENTUKAN TIM VERIFIKASI PENJUALAN BENDA METERAI Sebagaimana telah dikemukakan wewenang penjualan dan pengelolaan peredaran benda meterai diserahkan kepada PT Pos Indonesia (Persero).
DTSD Pajak II
91
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Untuk memastikan bahwa penjualan dan pelaporan penjualan benda meterai dilakukan secara benar, fiskus memiliki tugas untuk memantau pelaksanaan penjua1an benda meterai. Guna melaksanakan tugas ini, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim verifikasi penjualan benda meterai dengan pertimbangan bahwa untuk ketertiban dan kelancaran pelaksanaan verifikasi penjualan benda meterai, perlu dibentuk tim yang bertugas melaksanakan penelitian, penatausahaan, dan pelaporan terhadap hasil penjualan benda meterai yang telah dilakukan oleh PT Pos Indonesia (Persero). Hal ini dituangkan dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep565/PJ.53/1998 tentang Pembentukan Tim Verifikasi Penjualan Benda Meterai yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 1998 dan mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Berdasarkan keputusan ini, Direktur Jenderal Pajak membentuk tim verifikasi penjualan benda meterai yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur Direktorat Jenderal Pajak dan PT Pos Indonesia (Persero). Unsur Direktorat Jenderal Pajak beranggotakan Kepala Subdit PPN Jasa dan Pajak Tidak Langsung Lainnya (PTLL), Kepala Bagian Keuangan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak, Kepala Seksi Pajak Tidak Langsung Lainnya, Kasubag Pembukuan dan Verifikasi, Kaur Pengadaan Bagian Perlengkapan, dan Pelaksana Subdit PPN Jasa dan ITLL. Unsur PT Pos Indonesia (Persero) terdiri dari Manajer Keagenan, Manajer Verifikasi, Manajer Prangko, Manajer Tarif & HI', Manajer Pandapos, dan Asman Pandapos. Tim verifikasi penjualan benda meterai mempunyai tugas-tugas antara lain: 1. Melaksanakan penelitian, baik secara administrasi maupun fisik atas hasil penjualan benda meterai dan persediaan benda meterai; 2. Melakukan
pencatatan,
penatausahaan,
dan
pelaporan
yang
berhubungan dengan pelaksanaan tugas pada huruf a; dan 3. Melaporkan hasil pelaksanaan verifikasi penjualan dan persediaan benda meterai kepada Direktur Jenderal Pajak.
92
DTSD Pajak II
C. PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN MESIN TERAAN BEA METERAI Pemberian izin penggunaan mesin teraan bea meterai dilakukan atas dasar pertimbangan kemudahan dan pemberian pelayanan yang secepatya kepada para pemakai mesin teraan bea meterai. Dan memberikan jaminan keamanan yang memadai bagi penerimaan negara. Mesin teraan bea meterai merupakan mesin buatan manusia yang mungkin saja mengalami kerusakan dalam pemakaiannya. Apabila terjadi kerusakan salah satu implikasi yang perlu diperhatikan adalah status deposit pembayaran dimuka untuk mendapatkan izin pemakaian mesin tersebut, apakah masih dapat digunakan, dianggap hangus, atau dapat diminta kembali oleh pemilik / atau pemegang izin mengunakan mesin teraan bea meterai. Pada dasarnya apabila mesin teraan bea meterai rusak masih menyimpan deposit atau sisa deposit, maka sisa deposit tersebut dapat dipakai untuk pengisian deposit yang akan dilaksanakan kemudian, setelah mesin teraan bea meterai diperbaiki dan dapat dipergunakan dengan semestinya. Dengan demikian, tidak dilakukan pengembalian atas pembayaran bea meterai yang telah disetor. Untuk setiap pembukaan dan pemasangan segel mesin teraan bea meterai baik
untuk
keperluan
perbaikan
mesin
teraan
bea
meterai
yang
bersangkutan maupun untuk pengisian deposit, dibuat Berita Acara Pembukaan dan Pemasangan Segel dan dicatat pada buku register pengisian deposit mesin teraan bea meterai. Setiap pengisian deposit mesin teraan bea meterai dicatat juga dalam Kartu Pengawasan Pengisian Deposit Mesin Teraan bea meterai. Untuk pengawasan, terhadap pemakai mesin teraan bea meterai yang ada dilakukan pendataan sehingga dapat diketahui jumlah pemakai, jumlah mesin teraan bea meterai, merek mesin teraan, dan ketertiban pengiriman laporan pemakaian mesin teraan. Terhadap para pemilik / pemegang izin mesin teraan bea meterai perlu dilakukan pengawasan agar mereka tidak menyalahgunakan izin yang diberikan kepadanya. Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap para pemilik pemegang izin menggunakan mesin teraan bea meterai, fiskus
DTSD Pajak II
93
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
harus mengefektifkan sarana administrasi pengawasan yang sudah ada untuk menghindari penyimpangan yang mungkin terjadi dalam penggunaan mesin teraan bea meterai. Berkaitan dengan pengawasan tersebut ada beberapa langkah yang perlu dilakukan oleh fiskus, sebagaimana di bawah ini : 1. Fiskus harus mengawasi kepatuhan para pemegang izin pemilik mesin
teraan
bea
meterai
dalam
memenuhi
kewajiban
menyampaikan laporan bulanan. Dalam hal pemegang lzin tidak mematuhi
kewajibannya,
fiskus
harus
segera
mengirim
surat
peringatan dan dilanjutkan dengan mengirim surat teguran sesuai dengan ketentuan yang belaku. Apabila peringatan dan teguran tidak diindahkan, fiskus segera melakukan penyegelan terhadap mesin teraan bea meterai milik pemegang izin pemilik mesin teraan bea meterai tersebut. 2. Izin penggunaan mesin teraan bea meterai diberikan untuk jangka waktu dua tahun untuk mesin teraan manual dan empat tahun utuk mesin teraan digital, sebagaimana ditentukan dalam surat keputusan pemberian izinnya, dan dapat diperpanjang lagi. Apabila batas waktu dua tahun/empat tahun hampir habis, atau angka depositnya sudah mendekati angka pembilang akhir, fiskus mengingatkan kepada yang bersangkutan untuk menyetor kembali dan mengajukan permohonan perpanjangan izinnya. 3. Apabila izin tidak akan diperpanjang, fiskus segera melakukan penyegelan dan pencabutan izin pemakaiannva. 4. Apabila deposit yang telah dibayarkan oleh pemegang Izin pemilik mesin teraan bea meterai hampir habis sebelum jangka waktu dua tahun berdasarkan laporan bulanannya, fiskus harus menganjurkan kepadanya untuk segera menyetor kembali dalam waktu tujuh hari sebelum depositnya habis dan selanjutnya dilakukan pembukaan segel dan pengisian deposit yang baru dengan dibuatkan Berita Acara
Pembukaan
Segel
Mesin
teraan
bea
meterai
serta
memperpanjang / memperbaharui izin pemakaiannya. 5. Terhadap pemegang izin pemilik mesin teraan bea meterai yang melaporkan bahwa mesin teraan bea meterainya rusak, fiskus harus
94
DTSD Pajak II
melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran laporan tersebut.
Pemeriksaan
dilakukan
dengan
cara
melakukan
pembukaan segel mesin teraan untuk mengetahui jumlah deposit yang masih tersedia, untuk selanjutnya dikompensasikan untuk pengisian deposit mesin teraan bea meterai yang baru, atau terus digunakan
hingga
habis
setelah mesin
yang
rusak
tersebut
diperbaiki. 6. Untuk menjaga kerapihan dokumen pemegang izin mesin teraan meterai, fiskus perlu membuat berkas khusus bagi setiap pemilik / pemegang izin mesin teraan bea meterai, yang menampung dokumen-dokumen berupa: arsip Surat Keputusan Pemberian Izin, surat setoran deposit, laporan bulanan, arsip surat peringatan, arsip surat teguran, arsip Surat Keputusan Perpanjangan Izin, arsip Berita Acara Pemasangan Segel, arsip Berita Acara Pembukaan dan Pemasangan Segel, serta surat-surat lain yang berkenaan dengan pemilik mesin teraan
D. PEMANTAUAN PROSES PENUKARAN BENDA METERAI Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana perunasan bea meterai selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini dapat terjadi karena adanya perubahan tarif bea meterai terutang yang diatur dengan peraturan pemerintah, untuk menghindari upaya pemalsuan dari pihak yang tidak bertanggung jawab, maupun karena alasan teknis perubahan angka tahun dari abad ke-20 menjadi abad ke-21. Umumnya apabila dilakukan perubahan desain benda meterai tidak begitu saja membuat benda meterai desain yang lama (sebelumnya) menjadi tidak berlaku pada saat keputusan Menteri Keuangan tentang desain benda meterai yang baru dikeluarkan atau diberlakukan. Selalu ada jangka waktu pemberlakuan benda meterai yang lama agar tidak terjadi kekosongan benda meterai di masyarakat. Selanjutnya apabila masa ·berlaku benda meterai desain lama telah terlampaui benda meterai desain lama masih dapat ditukarkan dengan benda meterai desain yang baru dengan nilai tukar yang sarna sampai jangka waktu tertentu. Penukaran dapat dilakukan pada kantor-kantor pos di seluruh Indonesia.
DTSD Pajak II
95
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Dalam praktik masih sering dijumpai Kantor pos melakukan penjualan benda meterai desain lama walaupun masa berlaku benda meterai tersebut telah berlalu. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fiskus harus senantiasa memantau penjualan benda meterai dan meminta kantor pos untuk segera menghentikan penjualan tersebut Apabila benda meterai desain lama temyata masih ada di kantor-kantor pos, fiskus harus meminta IT Pos Indonesia (Persero) untuk segera menariknya ke gudang Kantor Pusat IT Pos Indonesia (Persero) di Bandung. Penukaran benda meterai desain lama dengan benda meterai desain yang baru dapat dilakukan apabila masa berlaku benda meterai desain lama sebagai sarana pelunasan bea meterai telah dilampaui. Apabila jangka waktu tersebut masih belum dilampaui, benda meterai desain lama tidak dapat ditukarkan dengan desain yang baru karena pada dasamya dalam jangka waktu tersebut benda meterai desain lama masih dinyatakan sebagai sarana pelunasan bea meterai. Apabila sampai batas waktu terakhir penukaran benda meterai desain lama terlampaui dan temyata masyarakat masih memiliki benda meterai desain lama, orang atau badan yang memiliki benda meterai tersebut tidak dapat lagi melakukan penukaran dengan benda meterai desain baru. Hal ini perlu disampaikan kepada masyarakat umum agar memahami kapan saat penukaran benda meterai desain lama dapat dilakukan.
E. INTENSIFIKASI BEA METERAI Sebagai instansi yang diberi kewenangan untuk mengelola pajak, Direktorat Jenderal Pajak harus selalu berusaha untuk meningkatkan penerimaan pajak. Hal ini juga dilakukan terhadap bea meterai. Sehubungan dengan pelaksanaan UUBea Meterai serta peraturan pelaksanaannya fiskus dapat melakukan upaya intensifikasi bea meterai atas dokumen yang menjadi objek bea meterai yang dibuat oleh institusi tertentu. 1. Menghimbau kepada penerbit dokumen untuk segera mengenakan bea meterai atas dokumen yang diterbitkan; 2. Memberitahukan kepada penerbit dokumen bahwa pemenuhan kewajiban bea meterai atas dokumen yang diterbitkan dapat
96
DTSD Pajak II
dilakukan dengan cara pembubuhan tanda bea meterai lunas dengan sistem kamputerisasi; 3. Bilamana dalam pemeriksaan pajak ditemukan dokumen yang bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya, atas dokumen tersebut wajib dikenakan bea meterai dengan ditambah denda administrasi sebesar 200 % dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar dengan cara pemeteraian kemudian.
F. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK CLAN BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGGANTI LOGO PERUSAHAAN Dalam kegiatan bisnis dimungkinkan suatu perusahaan mengganti logo perusahaan karena alasan tertentu. Salah satu dampak dari perubahan logo ini adalah terkait dengan penggunaan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain, apakah tetap dapat dipergunakan atau tidak, mengingat salah satu identitas perusahaan tersebut, yaitu logo perusahaan telah mengalami perubahan. Demi tertib administrasi pemberian izin pelunasan bea meterai dengan cara lain, perusahaan dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk diberikan izin yang baru dengan. logo perusahaan yang baru. Dalam hal ini akan diberikan izin yang baru, di mana pembayaran di muka yang telah dilakukan oleh perusahaan tersebut untuk memperoleh izin sebelumnya dapat dialihkan untuk pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet giro guna mendapatkan izin yang baru sehubungan dengan perubahan logo perusahaan. Untuk maksud ini, pihak perusahaan hams mengadakan stock opname bersama-sama
dengan
pejabat
Direktorat
Jenderal
Pajak
sehingga
diperoleh kepastian mengenai jumlah blanko cek dan bilyet giro yang telah dipergunakan dan jumlah yang masih dalam persediaan. Sisa blanko cek dan bilyet giro harus dimusnahkan dengan disaksikan oleh pejabat Direktorat Jenderal Pajak dengan dibuatkan Berita Acara Pemusnahan Blanko Cek dan Bilyet Giro tersebut. Hari, tanggal, dan jam pemusnahan harus diberitahukan oleh pihak perusahaan dimaksud kepada Direktur
DTSD Pajak II
97
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Jenderal Pajak, melalui Kantor Pelayanan Pajak setempat. Segala biaya yang timbul dari pemusnahan blanko cek dan bilyet giro menjadi beban perusahaan tersebut.
G. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS BLANKO CEK DAN BILYET GIRO KARENA PERUSAHAAN MENGUBAH NAMA PERUSAHAAN Selain pengalihan karena adanya perubahan logo perusahaan, pengalihan pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet giro guna mendapatkan izin pelunasan bea meterai, dengan cara lain juga dapat dilakukan oleh perusahaan yang mengubah nama perusahaan. Karena alasan tertentu dimungkinkan perusahaan melakukan perubahan nama perusahaan. Dengan mengubah nama perusahaan salah satu implikasi yang terjadi adalah dalam hal penggunaan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain oleh perusahaan sebelum nama perusahaan diubah tidak otomatis dapat digunakan oleh perusahaan setelah melakukan perubahan nama. Izin yang telah diberikan sebelumnya otomatis dibatalkan, tetapi perusahaan
tersebut
dapat
mengajukan
permohonan
baru
untuk
mendapatkan izin kembali pelunasan bea meterai dengan cara lain. Karena pada dasarnya perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang sama hanya
melakukan
perubahan
nama,
Direktur
Jenderal
Pajak
akan
memberikan izin kepada perusahaan tersebut Pada saat perusahaan melakukan perubahan nama, dimungkinkan masih terdapat deposit pembayaran di muka bea meterai apabila jumlah dokumen yang dimeteraikan kurang dari pembayaran di muka yang telah dilakukan perusahaan tersebut. Dalam hal demikian, kelebihan pembayaran tersebut tidak hilang, tetapi juga tidak dapat diminta kembali atau direstitusi oleh perusahaan dengan nama lama. Hal yang mungkin dilakukan adalah perusahaan dengan nama yang baru mengajukan permohonan pemakaian pengalihan pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet giro guna mendapatkan izin pelunasan bea meterai dengan cara lain sehubungan dengan adanya perubahan nama perusahaan. Tata cara pengajuan dan pengalihan pembayaran di muka dimaksud sama dengan pengalihan
98
DTSD Pajak II
pernbayaran di muka karena perusahaan melakukan perubahan logo perusahaan.
H. PENGALIHAN BEA METERAI LUNAS ATAS SURAT KOLEKTIF SAHAM Saham sebagai tanda kepemilikan seseorang atau suatu badan.pada suatu perusahaan dapat dibuat dalam bentuk surat kolektif saham. Sesuai dengan ketentuan dalam UndangUndang Bea Meterai, surat kolektif saham, yang merupakan salah satu contoh efek, merupakan bentuk dokumen yang dikenakan bea meterai. Pelunasan bea .meterai terutang dapat dilakukan dengan pembubuhan tanda bea meterai lunas dengan mesin teraan bea meterai atau teknologi percetakan sesuai dengan izin yang diberikan oleh Direktur Jenderal Pajak. Bentuk surat kolektif saham adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada saat diterbitkannya saham tersebut. Pada penerbitan tersebut bea meterai harus dilunasi oleh pemegang saham. Dalam praktik bisnis dimungkinkan adanya perubahan bentuk sura kolektif saham, antara lain disebabkan oleh adanya perubahan peraturan yang ditetapkan oleh bursa efek dan adanya perubahan modal dasar dari daftar pemegang saham perseroan. Hal ini berakibat surat kolektif saham yang telah diterbitkan sebelumnya dinyatakan tidak berlaku/tidak dapat dipakai lagi. Salah satu konsekuensi dari hal ini terkait dengan pelunasan bea meterai yang telah dilakukan atas surat kolektif saham yang lama. Perusahaan menerbitkan surat kolektif saham dalam jumlah tertentu, sesuai dengan kebutuhan,dana yang diinginkan dari pihak luar perusahaan.Pada saat diterbitkan perusahaan telah melunasi bea meterai terutang atas seluruh saham yang diterbitkan. Saham tersebut dapat ditawarkan secara terbatas ataupun secara terbuka melalui bursa efek. Dalam praktik dimungkinkan saham yang telah dicetak tidak laku seluruhnya dibeli oleh pihak luar perusahaan. Apabila karena suatu hal terjadi perubahan bentuk surat kolektif saham, surat kolektif saham yang lama yang belum laku tidak berlaku lagi. Dalam kondisi demikian, bea meterai yang telah dilunasi pada saat pencetakan surat saham yang lama dan ternyata
DTSD Pajak II
99
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
belum dibeli oleh pihak luar perusahaan dapat dialihkan pada pencetakan bilyet giro yang baru milik perusahaan yang menerbitkan saham dimaksud. Hal ini dimaksudkan agar perusahaan tersebut tidak dirugikan karena adanya perubahan bentuk surat saham kolektif yang lama. Untuk maksud pengalihan, ini perusahaan dimaksud dapat mengajukan permohonan mengalihkan bea meterai lunas atas saham kolektif sejumlah surat kolektif lama yang belum digunakan. Atas permohonan ini, petugas pajak akan melakukan pemeriksaan, dan berdasarkan hasil pemeriksaan Direktur Jenderal Pajak (atau pejabat yang berwenang) akan memberikan izin pengalihan dimaksud. Pengalihan dilakukan sesuai dengan jumlah bea meterai yang telah dilunasi atas surat saham yang belum digunakan dan pengalihan dilakukan untuk pencetakan blanko bilyet giro yang baru atau pelunasan bea meterai atas dokumen dengan menggunakan mesin teraan bea meterai. Pengalihan dilakukan sesuai dengan tarif bea meterai yang berlaku pada saat pengalihan. Surat kolektif saham lama yang belum digunakan dimusnahkan oleh petugas pajak dengan disaksikan oleh wajib pajak dan untuk itu dibuatkan berita acara pemusnahannya.
I.
BEA METERAI ATAS KARTU KREDIT
Salah satu dokumen yang menjadi objek bea meterai adalah tanda terima pembayaran tagihan (billing statement) kartu kredit. Tanda terima ini selain berfungsi sebagai bukti penerimaan uang juga berfungsi sebagai dokumen yang berbentuk surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. Ketentuan tentang batas nilai nominal uang yang menentukan terutang atau tidaknya dan berapa tarif bea meterai yang terutang atas dokumen tersebut disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku pada saat dibuatnya dokumen dimaksud. Pelunasan bea meterai
atas dokumen tersebut dapat dilakukan dengan
sistem komputerisasi ataupun dengan menggunakan meterai temple. Nilai dalam tagihan kartu kredit yang dipergunakan sebagai harga nominal yang dikenakan bea meterai adalah nilai pembayaran yang dilakukan oleh pemegang kartu kredit dalam satu periode tagihan karena jumlah tersebut menunjukkan suatu pengakuan dari penerbit kartu kredit atas pelunasan
100
DTSD Pajak II
sebagian atau seluruh utang pemegang kartu kredit. Sebagai contoh, pada bulan Juli 2001 pemegang kartu kredit melakukan pembayaran sebanyak tiga kali dengan jumlah sebesar Rp1.500.000,00. Maka, bea meterai yang dikenakan atas tagihan kartu kredit yang memuat pembayaran tersebut adalah sebesar Rp. 6.000,00.
DTSD Pajak II
101