205 VIII. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
8.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis atas data yang telah ditabulasi berkaitan dengan dampak investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah yang telah diuraikan secara terinci pada bab sebelumnya, diperoleh beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1.
Provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan basis spasial dan kinerja perekonomiannya dapat dikelompokkan menjadi tiga wilayah. Tiga wilayah tersebut adalah Sumatera, Jawa-Bali, dan wilayah Kalimantan, Sulawesi, Papua dan Nusa Tenggara (KSPN). Pengelompokkan ini dapat digunakan sebagai salah satu acuan bagi pemerintah daerah dalam menyusun kebijakan pembangunan daerah.
2.
Jumlah PAD per tahun per wilayah sangat bervariasi dari 457.41 milliar rupiah di wilayah KSPN sampai dengan 2.98 trilliun rupiah di wilayah JawaBali.
Demikian juga besarnya jumlah Dana Alokasi Umum dan Dana
Alokasi Khusus. Dana Alokasi Umum tertinggi di wilayah Jawa- Bali yaitu sebesar 7.66 trilliun rupiah dan terendah di wilayah KSPN sebesar 3.11 trilliun rupiah. Untuk Dana Alokasi Khusus yang tertinggi di wilayah KSPN 394.24 milliar rupiah dan terendah sebesar 297.97 milliar rupiah di wilayah Sumatera. 3.
Kapasitas fiskal yang merupakan penjumlahan dari PAD dengan dana perimbangan jumlah antar wilayahnya bervariasi. Kapasitas fiskal tertinggi dimiliki oleh provinsi-provinsi yang berada di wilayah Jawa Bali, yaitu
206 sebesar 4.28 trilliun rupiah per tahun. Sementara yang terendah adalah di wilayah KSPN hanya sebesar 1.5 trilliun rupiah. 4.
Pengeluaran pemerintah tertinggi adalah untuk belanja urusan konstruksi, yaitu sebesar 1.62 trilliun rupiah per provinsi di Wilayah Jawa-Bali. Dalam hal jumlah investasi, provinsi-provinsi di wilayah Jawa-Bali juga menduduki posisi paling tinggi yaitu sebesar 22.98 trilliun rupiah. Sementara yang terendah adalah pada provinsi di wilayah Sumatera yaitu 7.34 trilliun rupiah.
5.
Tenaga kerja terbanyak diserap oleh sektor pertanian. Hal ini terjadi di seluruh wilayah. Tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian di wilayah Jawa-Bali mencapai 3.41 juta; di wilayah Sumatera dan Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa-Tenggara Barat (KSPN) masing masing mencapai 1.18 juta dan 779.76 ribu tenaga kerja. Secara total jumlah tenaga kerja yang bekerja di wilayah Jawa-Bali mencapai 9.25 juta sementara di Sumatera dan wilayah KSPN masing-masing mencapai 2.148 juta dan 1.33 juta tenaga kerja.
6.
IPM tertinggi adalah 70.96 yang terjadi di provinsi-provinsi pada wilayah Sumatera dan yang terendah di wilayah KSPN, yaitu sebesar 67.26. Sedangkan jumlah penduduk miskin terbanyak di provinsi wilayah JawaBali, yaitu sebesar 3.48 juta orang dan yang terendah adalah di provinsi pada wilayah KSPN , yaitu sebesar 653.44 ribu orang.
7.
Besarnya pajak dipengaruhi oleh besarnya PDRB, jumlah kendaraan bermotor dan jumlah penduduk. Besarnya retribusi dipengaruhi oleh PDRB dan jumlah kendaraan bermotor. Bagi hasil pajak dipengaruhi oleh PDRB
207 dan luas wilayah. Sementara dana alokasi umum dipengaruhi oleh besarnya PDRB per kapita kapasitas fiskal dan jumlah penduduk. 8.
Penyerapan tenaga kerja sektoral secara umum dipengaruhi oleh upah sektoral dan PDRB sektoral. Sementara upah sektoral dipengaruhi oleh tenaga kerja sektoral dan upah sektor lain yang bersesuaian.
9.
Besarnya PDRB sektoral dipengaruhi dengan tenaga kerja sektoral dan besarnya belanja sektoral. PDRB sektor pertanian dipenaruhi oleh jumlah tenaga kerja sektor pertanian, belanja sektor pertanian, dan investasi. Demikian juga PDRB konstruksi dipengaruhi oleh jumlah tenaga kerja sektor konstruksi, belanja sektor konstruksi dan investasi. PDRB sektor industri dipengaruhi oleh tenaga kerja sektor industri, belanja sektor industri dan investasi.
10. Besarnya investasi yang merupakan investasi pemerintah dan swasta dipengaruhi oleh besarnya nilai PDRB, jumlah penerimaan pajak pemerintah, dan tingkat suku bunga. Sedangkan tingkat konsumsi rumahtangga dipengaruhi oleh pendapatan disposibel, jumlah penduduk, dan suku bunga. 11. Pada blok IPM dan kemiskinan, IPM dipengaruhi oleh konsumsi per kapita dan rata-rata lama sekolah di daerah yang bersangkutan. Jumlah penduduk miskin dipengaruhi oleh PDRB, tingkat inflasi dan jumlah penduduk. Selanjutnya rata-rata lama sekolah dipengaruhi oleh PDRB per kapita, belanja sektor pendidikan, dan belanja sektor kesehatan serta jumlah penduduk miskin. 12. Investasi dan pengeluaran pemerintah daerah merupakan faktor yang mempengaruhi perekonomian daerah pada era otonomi termasuk dalam
208 mempengaruhi
indikator
kesejahteraan
masyarakat.
Secara
umum,
peningkatan investasi sebesar 10 persen memberikan dampak paling besar terhadap kinerja perekonomian daerah dibanding peningkatan belanja sektoral. Kinerja perekonomian daerah yang dimaksud dalam hal ini antara lain adalah meningkatnya nilai PDRB, meningkatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya penerimaan daerah. Selain itu indikator kesejahteraan masyarakat juga semakin membaik yang ditandai dengan membaiknya indikator kesejahteraan masyarakat seperti
IPM dan menurunnya jumlah
penduduk miskin. 13. Besarnya pengeluaran pemerintah untuk pembangunan daerah diramalkan juga berdampak besar terhadap perekonomian daerah. Dampak meningkatnya belanja pertanian terhadap perekonomian daerah dan kesejahteraan masyarakat
diramalkan
lebih
besar
dibandingkan
dengan
dampak
peningkatan belanja industri dan belanja konstruksi. 14. Berdasarkan peramalan, dampak yang paling besar terhadap perekonomian daerah dan indikator kesejahteraan masyarakat adalah jika jumlah investasi dinaikkan 10 persen di daerah tersebut meningkat dan dibarengi dengan peningkatan pengeluaran pemerintah untuk sektor pertanian, indsutri, dan konstruksi yang besarnya diseleksi dengan cermat dan dilakukan
secara
simultan. 15. Peningkatan belanja sektor pendidikan sebesar 5 persen dan belanja sektor kesehatan sebesar 10 persen meningkatan IPM dan rata-rata tahun sekolah paling tinggi di wilayah Jawa-Bali, yaitu masing-masing sebesar 0.28 persen dan 0.85 persen.
209 16. Kebijakan agar rancangan peraturan daerah tentang rencana anggaran dan pendapatan belanja daerah provinsi untuk dievaluasi seperti
yang
diamanatkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah berpengaruh nyata terhadap peningkatan alokasi belanja pertanian, industri dan konstruksi.
8.2. Implikasi Kebijakan 1.
Untuk mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah dan antar provinsi di Indonesia pada era otonomi dan desentralisasi fiskal ini diiperlukan kebijakan desentralisasi fiskal yang spesifik dan mendasarkan kebutuhan dan karakteristik daerah
masing-masing.
Berkaitan dengan hal
tersebut
pengelompokan provinsi-provinsi menjadi tiga wilayah, yaitu Sumatera, Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan Nusa Tenggara Barat (KSPN) dapat menjadi salah satu alternatif yang penting. 2.
Untuk
meningkatkan
belanja
pemerintah
daerah
guna
peningkatan
kesejahteraan masyarakatnya diperlukan peningkatan kapasitas fiskal daerah. Hal ini didasarkan bahwa belanja merupakan fungsi dari penerimaan daerah. Sejalan dengan hal tersebut intensifikasi penerimaan dari pajak, retribusi dan dana bagi hasil menjadi strategis. Untuk itulah diperlukan kebijakan untuk meningkatkan penerimaan dari sektor tersebut melalui mengurangi kebocoran pajak dan peningkatan pelayanan terhadap wajib pajak. 3.
Selain itu, untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat diperlukan peningkatan investasi karena peningkatan investasi dibutuhkan untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, peningkatan angka Indeks
210 Pembangunan
Manusia,
peningkatan
penyerapan
tenaga
kerja,
dan
pengurangan jumlah penduduk miskin. Sejalan dengan hal ini maka pemerintah daerah disarankan untuk menyusun kebijakan investasi yang komprehensif. 4.
Secara umum peningakatan belanja pertanian mempunyai dampak yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan peningkatan belanja sektoral yang lain. Oleh karena itu, maka diperlukan kebijakan alokasi anggaran pertanian yang berkualitas terutama dalam penyusunan kegiatan di sektor ini.
5.
Investasi
memberikan
dampak
yang
lebih
besar
terhadap
kinerja
perekonomian daerah. Selain itu, belanja pertanian juga memberikan dampak yang lebih besar terhadap kinerja perekonomian daerah. Oleh karena itu, investasi yang prospektif diarahkan ke sektor pertanian agar membawa dampak yang optimal kepada kesejahteraan daerah. 6.
Belanja sektor pertanian, sektor industri dan konstruksi
mempengaruhi
kinerja perekonomian daerah. Untuk menghasilkan hasil yang optimal maka diperlukan seleksi yang profesional dalam penyusunan kegiatan agar kegiatan dapat bermanfaat maksimal kepada masyarakat. Untuk itu para penyusun kegiatan perlu memedomani dokumen perencanaan seperti Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah, dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah. 7.
Besarnya pengeluaran pemerintah daerah sangat ditentukan oleh besarnya penerimaan daerah. Struktur penerimaan daerah masih didominasi oleh DAU yang merupakan dana transfer dari pemerintah pusat. Untuk kelanggengan kapasitas fiskal daerah diperlukan peningkatan penerimaan dari Pendapatan
211 Asli Daerah (PAD). Sejalan dengan hal ini maka intensifikasi dan ekstensifikasi pajak, retribusi perlu ditingkatkan terutama terhadap faktor yang mempengaruhi pajak dan retribusi tersebut. 8.
Optimalisasi
belanja
sektoral
sangat
diperlukan
guna
peningkatan
kesejahteraan masyarakat untuk itu evaluasi terhadap RAPBD sebelum menjadi dokumen APBD. Hal ini dimaksudkan agar APBD yang telah disusun benar-benar mampu menjawab kebutuhan masyarakat. Hal ini sejalan dengan kebijakan evaluasi atas rancangan peraturan daerah yang telah disepakati oleh pemerintah provinsi dan DPRD seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang No. 32 Tahun 2004.
8.3.
Saran Penelitian Lanjutan Penelitian ini mempunyai banyak keterbatasan seperti telah diuraikan pada
Bab I. Sehubungan dengan hal tersebut maka untuk memperoleh hasil penelitian yang lebih komprehensif dan hasilnya dapat optimal sesuai dengan spesifikasi daerah penelitian, maka beberapa masukan berikut ini dapat menjadi pertimbangan untuk penelitian dengan topik otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dalam hubungannya dengan kinerja perekonomian daerah. 1.
Pada penelitian ini tidak dibahas secara mendalam tentang faktor lain yang diduga kuat mempengaruhi kinerja pereknomian daerah tetapi belum dimasukkan sebagai variabel penentu dalam penelitian ini, seperti dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Sejalan dengan hal tersebut maka diharapkan ada penelitian lanjutan kaitannya dengan pengaruh dana tersebut terhadap kinerja perekonomian daerah.
212 2.
Penelitian ini belum membahas peran komponen ekspor dan impor antar daerah dengan berbagai alasan. Sejalan dengan hal ini maka diperlukan penelitian lanjutan dengan memasukan variabel ini sebagai salah satu variabel penting dalam mempengaruhi kinerja perekonomian daerah.
3.
Untuk memperoleh hasil yang komprehensif, maka diperlukan pendekatan dengan memasukkan aspek lain seperti politik, sosial-budaya, ketentraman, ketertiban, akuntabilitas, dan konsistensi dalam akuntansi keuangan daerah terutama dalam kaitannya dengan pengelolaan keuangan daerah agar hasil yang diperoleh lebih menggambarkan kondisi yang sebenarnya.
4.
Topik penelitian peran investasi dan pengeluaran pemerintah terhadap kinerja perekonomian daerah perlu dilakukan lebih komprehensif dengan metode dan pendekatan yang berbeda. Dengan demikian maka para penyusun kebijakan dapat mempunyai banyak alternatif kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah pada era otonomi .