VII. PENGELOAAN SUMBERDAYA IKAN DI PERAIRAN PELABUHANRATU 7.1. Analisis Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Di Pelabuhanratu Identifikasi stakeholder dapat dilihat pada Tabel 23. Nilai kepentingan dan pengaruh masing-masing stakeholder kemudian dipetakan dalam sebuah gambar seperti terlihat pada Gambar 6. Berdasarkan pemetaan tersebut dapat terlihat bahwa stakeholder yang paling dominan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu adalah Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, sedangkan stakeholder yang paling lemah adalah aparat desa dan perbankan. Tabel
23.
Identifikasi Stakeholder Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Pelabuhanratu No Kepentingan Pengaruh Stakeholder 1 3,4 1,6 Industri Pengolahan Ikan 2 3,2 3,8 Kementerian Kelautan dan Perikanan RI 3 3,2 3,6 Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. Jabar 4 5,0 4,5 Dinas Kelautan dan Perikanan Kab. Sukabumi 5 3,5 3,5 KUD Mina 6 3,7 3,8 Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu 7 Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan 4,2 3,8 dan Perikanan Pelabuhanratu 8 3,2 4,0 Perguruan tinggi 9 Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia Kab. 4,3 3,8 Sukabumi 10 Kelompok Pengelola Rumpon 4,5 4,6 11 TPI 4,6 4,4 12 Bakul 4,9 4,4 13 Juragan/taweu 5,0 5,0 14 POKMASWAS 4,6 4,5 15 Aparat Desa 2,2 2,0 16 Perbankan 2,7 1,7 17 LEPP-M3R 2,7 2,5 18 Polisi Perairan 2,5 3,7 Sumber: Data Primer 2012, diolah
Pemetaan Stakeholder 3
5
12
13
4
11 14
10
9 7
Kepentingan
4
6
3
5
KUADRAN A (SUBJEK)
1
16
3
2
8
KUADRAN B (PEMAIN) 3
17 18 15
2 KUADRAN D (AKTOR)
KUADRAN C (PENONTON) 1
1
2
Keterangan: 1 = Indusitri Pengolahan Ikan 2 = KKP RI 3 = DKP Jawa Barat 4 = DKP Sukabumi 5 = KUD Mina 6 = PPNP 7 = SatKer PSKPP 8 = Perguruan Tinggi 9 = HNSI
3 Pengaruh
4
5
10 = Kelompok Pengelola Rumpon 11 = TPI 12 = Bakul 13 = Juragan/Taweu 14 = POKMASWAS 15 = Aparat Desa 16 = Perbankan 17 = LEPP-M3R 18 = Polisi Perairan
Gambar 6. Pemetaan Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Ikan Di Perairan Pelabuhanratu Berdasarkan hasil pemetaan aktor menurut derajat kepentingan dan pengaruhnya dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu dapat dilihat pada Gambar 6. Kuadran A (Subjek) ditempati oleh industri pengolahan sumberdaya ikan. Artinya, kelompok ini memiliki kepentingan tinggi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu, akan tetapi tidak langsung terlibat (kurang terlibat) dalam pengambilan dan perumusan berbagai kebijakan 80
pengelolaan sumberdaya ikan tersebut. Kelompok ini memiliki ketergantungan tinggi dalam hal kepentingan ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh kualitas sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu, yaitu untuk menjaga keberlangsungan industri pengolahan sumberdaya ikannya. Kuadran B (Pemain) dalam hal ini ditempati oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu termasuk Syahbandar Pelabuhanratu, Perguruan Tinggi, KUD Mina, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Sukabumi, Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan Pelabuhanratu (POKMASWAS), Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Bakul, Juragan/Taweu, dan Kelompok Pengelola Ikan Lainnya seperti Kelompok Pengelola Rumpon. Kelompok ini dinilai memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu termasuk dalam hal perumusan berbagai peraturan baik formal maupun non-formal. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan kecil, nelayan mengatakan bahwa tingkat kesejahteraan dan ekonomi mereka biasa saja. Nelayan pemilik yang lebi berkuasa dalam menikmati sumberdaya ikan di Pelabuhanratu. Hal ini menunjukkan bahwa stakeholder yang memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengelolaan sumberdaya ikan belum benar-benar melaksanakan fungsinya. Didukung juga dengan belum adanya pengendalian kondisi supply dan demand sumberdaya ikan itu sendiri.
81
Kuadran C (Penonton) dalam analisis ini ditempati oleh aparat desa, Perbankan, dan LEPP-M3R. Kelompok ini dinilai tidak terlalu memiliki kepentingan dan pengaruh terhadap pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Aparat desa dapat mencari sumber perekonomian desa lainnya seperti kegiatan pertanian di sekitar desa selain kegiatan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Sedangkan Perbankan dan LEPP-M3R dapat mengembangkan aktivitas usahanya agar tidak tergantung pada keberadaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Kuadran D (Aktor) ditempati oleh polisi perairan. Kelompok ini dinilai memiliki pengaruh tinggi dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Namun, kelompok ini tidak memiliki kepentingan yang tinggi terhadap sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sangat mempengaruhi pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu tersebut. Berdasarkan pemetaan stakeholder tersebut, sangatlah penting proporsi keterlibatan stakeholder yang tepat. Stakeholder- stakeholder yang dilibatkan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu dibagi dua, yaitu stakeholder yang harus dilibatkan secara langsung dan stakeholder yang tidak harus dilibatkan secara langsung yang dipisahkan oleh garis diagonal pada Gambar 6. Stakeholder yang harus dilibatkan secara langsung meliputi: Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu termasuk Syahbandar Pelabuhanratu, Perguruan Tinggi, KUD Mina, Satuan Kerja Pengawasan 82
Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia
(HNSI)
Kabupaten
Sukabumi,
Kelompok
Masyarakat
Pengawas
Sumberdaya Ikan Pelabuhanratu (POKMASWAS), Tempat Pelelangan Ikan (TPI), Bakul, Juragan/Taweu, Kelompok Pengelola Ikan Lainnya seperti Kelompok Pengelola Rumpon, dan Polisi Perairan. Sedangkan stakeholder yang tidak harus dilibatkan secara langsung diantaranya, Perbankan, Aparat Desa, LEPP-M3R, dan industri pengolahan sumberdaya ikan. Stakeholder-stakeholder ini harus tetap dilibatkan secara tidak langsung, misalnya melalui mendengar pendapat. Stakeholder yang harus dilibatkan secara langsung dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu dapat dikelompokkan berdasarkan hirarkinya menjadi lima kelompok. Pertama, kelompok nelayan yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok nelayan formal dan kelompok nelayan informal. Kelompok nelayan formal adalah kelompok yang secara formal terdaftar sebagai organisasi nelayan di pemerintahan dan memiliki badan hukum. Kelompok ini antara lain kelompok pengelola rumpon, kelompok masyarakat pengawas (POKMASWAS) sumberdaya ikan, dan Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI). Sedangkan kelompok nelayan informal adalah kelompok yang secara formal tidak terdaftar sebagai kelompok nelayan di pemerintahan dan tidak memiliki badan hukum. Kelompok ini juga tidak menjadi anggota dari kelompok nelayan yang ada. Namun, keberadaan kelompok nelayan informal ini dianggap sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya ikan di Peraran Pelabuhanratu. Biasanya kelompok ini diketuai dan dimotori oleh seorang Juragan/Taweu.
83
Kedua, tingkat pemerintah, yaitu Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan Pelabuhanratu, Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu (PPNP), dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah mengatur bahwa pemerintah kabupaten memiliki kewenangan pengelolaan sumberdaya ikan di wilayah perairan sekurang-kurangnya tiga perempat dari batas kewenanan Pemerintah Provinsi (12 mil). Ketiga, kelompok usaha/swasta. Kelompok ini umumnya ditempati oleh para bakul dan KUD Mina. Keberadaan kelompok swasta ini sangat bermanfaat bagi para nelayan, terutama dalam pengembangan modal usaha. Keempat, kelompok akademisi. Kelompok ini terdiri dari perguruan tinggi yang berada di sekitar Kabupaten Sukabumi. Kelima, kelompok keamanan yang ditempati oleh polisi perairan. Sebagian dari kelima kelompok tersebut sudah ada yang tidak berjalan sesuai fungsi dan kepentingannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan staf Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi dan staf Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu (PPNP) mengatakan bahwa KUD Mina tidak berfungsi dengan efektif. Sehingga sejak tahun 2011 Pengelolaan TPI telah diambil alih oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, yang sebelumnya dikelola oleh KUD Mina. 7.2. Fungsi dan Peran Masing-Masing Aktor/Stakeholder Hasil analisis aktor (stakeholder) pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu menatakan bahwa masing-masing aktor memiliki peran dan
84
kepentingan yang berbeda-beda. Akan tetapi, hubungan antar aktor tesebut harus tetap dijaga karena sangan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. 7.2.1. Kelompok Nelayan Formal Kelompok nelayan formal memiliki peran dalam beberapa kegiatan, antara lain: 1.
Kelompok Pengelola Rumpon berperan dalam mengelola rumpon yang ada di Perairan Pelabuhanratu.
2.
Kelompok Masyarakat Pengawas Sumberdaya Ikan (POKMASWAS) berperan dalam pengawasan sumberdaya ikan di lapangan. POKMASWAS dibentuk atas inisiatif masyarakat nelayan yang difasilitasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. POKMASWAS juga berperan sebagai mediator antara masyarakat nelayan dengan pemerintah/petugas.
3.
Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) berperan sebagai mediator antara nelayan yang menajdi anggotanya dengan pihak-pihak yang berkepentingan, khususya Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi, Pihak Perbankan, dan Pihak Swasta.
7.2.2. Kelompok Nelayan Informal Kelompok nelayan informal di Perairan Pelabuhanratu berperan dalam mengkoordinir nelayan-nelayan di luar angota kelompok nelayan formal. Kelompok nelayan informal ini dianggap sangat berperan dalam menjaga konflik pemanfaatn
85
sumberdaya ikan. Kelompok nelayan informal ini umumnya dikoordinir oleh para seuseupuh (orang yang dituakan) nelayan di sekitar Perairan Pelabuhanratu. Akan tetapi, selama ini kelompok nelayan informal ini belum banyak dilibatkan dalam pelaksanaan program pembangunan kelautan dan perikanan yang dilakukan oleh pemerintah daerah. 7.2.3.
Kelompok Pemerintah
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI (KKP-RI) berperan dalam mengatur aktivitas Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu (PPNP) dan Satuan Pengawasan Sumberdaya Ikan Pelabuhanratu. Lembaga ini merupakan perpanjangan kepentingan Kementerian Kelautan dan Perikanan RI di Perairan Pelabuhanratu. Kedua lembaga ini berada di bawah Direktorat Jenderal yang berbeda. Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, sedangkan Satuan Pengawasan Sumberdaya Ikan Pelabuhanratu berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Peraturan 16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan mengatakan bahwa Pelabuhan Perikanan Nusantara berperan dalam mengatur kapal ikan yang datang dan pergi dari pelabuhan. Pelabuhan Perikanan mempunyai fungsi mendukung kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi,
produksi,
pengolahan,
sampai
dengan
pemasaran.Daerah
operasional kapal ikan yang dilayani oleh PPNP tidak hanya mencakup wilayah
86
perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Berdasarkan keputusan menteri tersebut, Pelabuhan Perikanan dibagi menjadi empat kategori utama. Kategori tersebut antara lain:
PPS (Pelabuhan Perikanan Samudera)
PPN (Pelabuhan Perikanan Nusantara)
PPP (Pelabuhan Perikanan Pantai)
PPI (Pelabuhan Perikanan Ikan)
Kategori ini menurut kapasitas dan kemampuan masing-masing pelabuhan dalam menangani kapal yang datang dan pergi serta letak dan posisi pelabuhan. Karakteristik kelas pelabuhan perikanan tersebut dapat dilihat pada Tabel 24. Tabel 24. Karakteristik Kelas Pelabuhan Perikanan No 1
2 3
4
Kriteria Pelabuhan PPS Daerah operasional Wilayah laut kapal ikan yang teritorial, dilayani Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan laut lepas Fasilitas > 60 GT tambat/labuh kapal panjang dermaga, > 300 m dan dan kedalaman >minus 3 m kolam
PPN Wilayah laut teritorial dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia > 30 GT
PPP perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
PPI perairan pedalaman dan perairan kepulauan
> 10 GT
> 3 GT
> 150 m dan > 100 m dan > 50 m > minus 3 m > minus 2 m dan > minus 2 m > 75 kapal > 30 kapal > 20 kapal (2.250 GT) (300 GT) (60 GT) Tidak Tidak Tidak Ya Tidak Tidak
Kapasitas >100 kapal menampung kapal (6.000 GT) 5 Ekspor ikan Ya 7 Memiliki industri Ya perikanan Sumber: Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Peraturan 16/MEN/2006 tentang Pelabuhan Perikanan
87
Pemerintah daerah memiliki peran yang terlibat secara langsung dalam pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu yang terdiri dari beberapa instansi, diantaranya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Peran Pemerintah Daerah antara lain adalah: 1.
Membuat berbagai regulasi dan strategi implementasinya yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu,
2.
Mediator antara pihak nelayan dengan pihak swasta dalam pengembangan usaha perikanan para nelayan,
3.
Membina kelompok-kelompok pengawas dan kelompok nelayan dalam upaya membangun perikanan secara berkelanjutan,
4.
Mengatur dan membuat berbagai perizinan yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu,
5.
Mengatur aktivitas di Pelabuhan Perikanan Indonesia (PPI) dan Tempat Pelelangan Ikan (TPI),
6.
Memberdayakan kegiatan ekonomi masyarakat pesisir, khususnya nelayan di sekitar Pelabuhanratu. Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 32 Tahun 2008
tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Sukabumi, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi mempunyai tugas pokok melaksanakan urusan Pemerintah Daerah dan tugas pembantuan di bidang kelautan dan perikanan. Untuk
88
melaksanakan tugas pokok tersebut, berdasarkan Peraturan Bupati Sukabumi Nomor 49 Tahun 2010 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Dinas dan Perikanan Kabupaten Sukabumi melakukan fungsi antara lain: 1.
Penyusunan rencana dan program kerja di bidang kelautan dan perikanan,
2.
Penyiapan bahan perumusan kebijakan teknis di bidang kelautan dan perikanan,
3.
Pembinaan, pengendalian dan pengawasan tugas kesekretariatan, bidang pengendalian sumberday kelautan dan perikanan, bidang perikanan budidaya, bidnag pengolahan dan pemasaran hasil kelautan, dan bidang perikanan tangkap,
4.
Pelaksanaan tugas pembantuan di bidang kelautan dan perikanan,
5.
Pembinaan dan pengolahan administrasi, kepegawaian, keuangan, perlengkapan dan kesiapan,
6.
Pemberian rekomendasi teknis untuk penerbitan perizinan oleh dinas terkait,
7.
Pembinaan pengelolaan wilayah konservasi kelautan dan perikanan,
8.
Pengawasan dan pengendalian teknis pasca penerbitan perizinan,
9.
Pembinaan Unit Pelaksana Teknis Daerah,
10.
Pelaksanaan koordinasi dan kerjasama dengan unit kerja lain,
11.
Pelaksanaan monitoring dan evaluasi hasil pelaksanaan tugas,
12.
Pelaporan hasil pelaksanaan tugas
89
7.2.4. Kelompok Usaha/Swasta Kelompok usaha/swasta memiliki peran sebagai berikut: 1.
Koperasi Unit Desa (KUD) Mina dahulunya berperan dalam mengelola pelelangan hasil tangkap nelayan. Akan tetapi sejak tahun 2011 pengelolaan pelelangan ikan telah diambil alih langsung oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Saat ini KUD Mina hanya berperan dalam menyalurkan kebutuhan logistik kapal-kapal perikanan yang beroperasi si Perairan Pelabuhanratu.
2.
Bakul berperan dalam pemasaran hasil tangkapan nelayan di sekitar Perairan Pelabuhanratu. Hasil tangkapan nelayan kecil umumnya ditampung oleh para bakul yang ada di sekitar Perairan Pelabuhanratu. Bakul akan mamasarkan ikan hasil tangkapan nelayan ke konsumen dan para pengolah hasil perikanan yang ada di wilayah Pelabuhanratu. Selain membeli hasil tangkapan nelayan, sebagian besar bakul juga memberikan pinjaman kepada para nelayan.
7.2.5. Kelompok Keamanan Polisi
perairan
Pelabuhanratu
berperan
dalam
menangani
berbagai
permasalahan kriminal atau konflik yang terjadi di sekitar Perairan Kabupaten Sukabumi termasuk Perairan Pelabuhanratu. Polisi juga berperan dalam menjalankan aktivitasnya dengan bekerjasama dengan Satuan Kerja Pengawasan Sumberdaya Ikan Pelabuhanratu dan Kelompok Masyarakat Pengawas.
90
7.3. Keterkaitan Antar Aktor Berdasarkan kerangak berpikir Ostrom (1990), aktor-aktor dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu yang tergolong dalam level penentu kebijakan (collective choice level) antara lain, Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sukabumi. Kelompok ini berperan dalam menyusun dan menentukan kabijaka dan aturan main formal dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu. Sedangkan yang tergolong dalam level operasional (operational choice level) yaitu, kelompok usaha/swasta, kelompok nelayan formal, dan kelompok nelayan informal. Berdasarkan hasil analisis aktor pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu diperoleh bahwa selama ini masing-masing aktor dalam menjalankan perannya didasarkan pada keputusan masing-masing aktor. Hal ini disebabkan belum adanya suatu lembaga yang khusus untuk mengkoordinasikan masing-masing kepentingan aktor. Hal ini menyebabkan sering terjadinya konflik kepentingan dalam menjalankan ativitasnya.
91
Collective Choice Level
Perguruan Tinggi
Kementerian Kelautan dan Perikanan RI
Dinas Kelautan dan Perikanan
Kelompok Pemerintah
Dinas Kelautan dan Perikanan
Kelompok Usaha/Swasta
Kelompok Nelayan Formal
Kelompok Nelayan Informal
Operational Choice Level
Gambar 7. Keterkaitan Antar Aktor Pengelolaan Sumberdaya Ikan di Perairan Pelabuhanratu Keterangan: : Garis Koordinasi : Garis Penyaluran Dana : Garis Konflik Aktor pemerintah seharusnya dapat menyatukan masing-masing kepentingan aktor, akan tetapi sampai saat ini belum dapat dilakukan secara optimal. Selama ini, pemerintah lebih cenderung bekerjasama dengan kelompok masyarakat formal daklam menjalankan program kerjanya. Sementara kelompok masyarakat informal jarang dilibatkan dalam progam kerja pemerintah, padahal kekuatan kelompok masyarakat informal yang umumnya dikendalikan oleh tokoh-tokoh seuseupuh nelayan di Pelabuhanratu harusnya bias dimanfaatkan. Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Sukabumi juga diharapkan dapat menjembatani para aktor di tingkat masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya, akan tetapi sampai saat 92
ini dinilai masih kurang optimal. Hal ini mengakibatkan munculnya beberapa kelompok nelayan yang tidak percaya terhadap keberadaan HNSI bahkan tidak mengakuinya. Nelayan kecil umunya memandang bahwa HNSI hanya berpihak kepada para pengusaha perikanan dan pemilik kapal. Sehingga tidak jarang programprogram pemerintah untuk nelayan melalui HNSI cenderung hanya dinikmati oleh para pengusaha dan pemilik kapal. Nelayan kecil menilai program pemerintah berupa pemberian bantuan sering tidak tepat sasaran. Nelayan kecil hanyalah alat bagi para pengusaha dan pemilik kapal untuk mengusulkan permohonan bantuan yang pada akhirnya hanya mereka-mereka jugalah yang akan menikmatinya. 7.4. Efektivitas Fungsi Kelembagaan Non-Pasar Keefektifan fungsi dan peran suatu lembaga dilihat dari implementasinya di lapangan. Keefektifan tersebut dapat dilihat dari berbagai kategori dan sudut pandang. Biasanya penilaian kinerja dan fungsi kelembagaan tersebut akan lebih tepat jika dilhat dari berbagai sudut pandang termasuk dalam hal ini sudut pandang nelayan. Penelitian ini menggunakan indikator unsustainability, inequity, dan prosperity untuk melihat keefektifan fungsi kelembagaan non-pasar dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di Pelabuhanratu. 7.4.1. Unsustainability Indikator unsustainability digunakan untuk melihat sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu apakah menunjukkan bahwa sumberdaya ikan tersebut berkelanjutan atau bahkan sudah punah. Hasil wawancara
93
dengan nelayan diperoleh bahwa hasil tangkapan ikan mereka tidak menentu dari tahun ke tahun dan juga setiap bulannya karena perbedaan musim panen ikan. Berdasarkan data yang diperoleh dari Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu menunjukkan bahwa sumberdaya ikan di Pelabuhanratu
berfluktuasi tetapi
cenderung meningkat dari tahun 2001-2010. Produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu periode 2001-2010 dapat dilihat pada Tabel 25. Tabel 25. Produksi ikan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu Periode Tahun 2001-2010 Tahun
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Produksi dan Nilai Produksi Ikan yang Didaratkan di Pelabuhan Produksi Nilai (Rp) (Kg) 1.766.963 4.793.207.839 2.890.118 9.885.365.315 4.105.260 15.273.292.568 3.367.517 15.670.740.946 6.600.530 32.153.934.823 5.461.561 32.550.912.620 6.056.256 38.695.760.654 4.580.683 42.562.536.675 3.950.267 56.735.939.610 6.744.292 144.701.150.000 Sumber: PPNP, 2011
Produksi dan Nilai Produksi Ikan yang Masuk ke Pelabuhan Produksi Nilai (Rp) (Kg) 1.737.487 985.350 5.449.740.000 520.503 2.881.268.000 3.036.662 15.896.028.308 5.872.569 34.032.041.900 4.472.158 29.097.197.000 7.490.428 49.924.052.000 4.256.260 35.589.270.000 4.766.510 52.919.225.000 5.153.256 54.023.045.500
Jumlah Produksi dan Nilai Produksi Ikan di Pelabuhan Produksi Nilai (Rp) (Kg) 3.504.450 4.793.207.839 3.875.468 15.335.105.315 4.625.763 18.154.560.568 6.404.179 31.566.769.254 12.473.099 66.185.976.723 9.933.719 61.648.109.620 13.546.684 88.619.812.654 8.836.943 78.151.806.675 8.716.777 109.655.164.610 11.897.548 198.724.195.500
Berdasarkan Tabel 22. dapat dilihat bahwa volume produksi ikan Pelabuhan Nusantara Perikanan Pelabuhanratu pada tahun 2010 mengalami peningkatan diantaranya meningkatnya volume produksi ikan yang didaratkan di pelabuhan. Hal ini disebabkan meningkatnya volume produksi hasil tangkapan alat tangkap tuna longline, pancing tonda, payang, jaring rampus, trammel net, dan alat tangkap payang yang menggunakan perahu motor tempel walaupun kondisi umum cuaca tidak di
94
Perairan Teluk Pelabuhanratu dan Samudera Hindia sangat buruk sehigga sering terjadi gelombang pasang maupun badai. Selain musim ikan tidak menentu, perubahan alat tangkap yang dominan digunakan juga mempengaruhi peningkatan produksi hasil tangkapan yaitu dari alat tangkap yang dapat menangkap ikan yang bergerombol seperti alat tangkap payang dan gill net menjadi alat tangkap pancing tonda dengan alat bantu rumpon. Volume produksi ikan yang masuk ke pelabuhan melalui jalan darat juga mengalami kenaikan. Ikan tersebut didatangkan untuk memenuhi kebutuhan pasar lokal terutama untuk jenis-jenis ikan yang tidak ada di pelabuhan. Kenaikan volume ikan hasil tangkapan tentu saja diiringi dengan kenaikan nilai produksi hasil tangkapan yang didaratkan di pelabuhan. Hal ini dikarenakan mutu ikan semakin bagus dan terjadinya peningkatan volume produksi ikan untuk tujuan ekspor. Selain itu nilai produksi ikan yang masuk ke pelabuhan melalui darat juga mengalami peningkatan. Produksi tangkapan ikan dan nilai produksi ikan di yang masuk dan didaratkan di Pelabuhanratu cenderung meningkat setiap tahunnya. Akan tetapi, pengelolaan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu sudah tergolong ke dalam pengelolaan yang over fishing. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden didapat bahwa waktu melaut menjadi lebih panjang dari biasanya dan lokasi penangkapan menjadi lebih jauh dari biasanya (Tabel 26). Selain itu, ukuran ikan sasaran semakin kecil terlihat dari terjadinya pelanggaran jalur penangkapan karena ikan pada jalurnya semakin sedikit. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Wahyudin (2005) yang menunjukkan bahwa jumlah rata-rata input produksi (effort) aktual, baik ikan demersal maupun ikan pelagis lebih banyak dibandingkan effort optimalnya, 95
rente total dan rente nelayan bernilai negatif, dan diikuti dengan tingkat pendapatan bernilai negatif. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa pengelolaan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu saat ini telah termasuk dalam kondisi unsustainability. Sangat dibutuhkan peran kelembagaan non-pasar dalam memulihkan keadaan ini agar tercipta pengeloaan yang sustainability. Tabel 26. Waktu Melaut dan Lokasi Penangkapan Ikan oleh Nelayan Waktu Melaut
Jumlah Persentase Lokasi (%) Penangkapan Semakin Panjang 30 100,00 Semakin Jauh Semaki Singkat 0 0 Semakin Dekat Biasa Saja 0 0 Biasa saja Sumber: Data Primer, 2012
Jumlah 28 0 2
Persentase (%) 93,00 0 7,00
7.4.2. Inequity Indikator inequity digunakan dalam penelitian ini untuk melihat apakah pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu sudah terkelola secara adil dan merata atau terjadi ketidakadilan. Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan dikatakan adil dan merata dilihat dari kesamaan hak untuk mengakses dan memanfaatkan sumberdaya tersebut, pemerataan teknologi dan informasi, serta kesamaan hak untuk akses kelaut. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan, pengelolaan sumberdaya ikan di Pelabuhanratu belum terkelola dengan adil dan merata. Sebagian besar pengambil kebijakan memiliki kepentingan pribadi dalam sebuah keputusan dikarenakan ratarata pemilik kapal yang ada di Perairan Pelabuhanratu adalah pejabat-pejabat daerah yang memiliki kepentingan dan pengaruh tinggi dalam pengambilan suatu keputusan.
96
Hanya orang-orang yang memiliki uang dan kedudukan yang menguasai lapangan dan pasar perikanan. Orang-orang yang menguasai teknologi yang memperoleh informasi tentang keberadaan ikan dan yang akan bertahan hidup. Setiap orang berhak mengakses dan memanfaatkan sumberdaya ikan akan tetapi jika tidak menguasai teknologi, tidak semua orang akan bertahan dan dapat menikmati hasil laut. Hal ini menunjukkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya ikan di Perairan Pelabuhanratu tergolong ke dalam pengelolaan yang inequity. Program yang dilakukan pemerintah belum mengarah kepada pembinaan kepada nelayan terkait teknologi penangkapan ikan dan kurangnya informasi yang diperoleh nelayan kecil terkait penyebaran ikan di laut. 7.4.3. Prosperity Indikator
prosperity ini digunakan untuk melihat bagaimana tingkat
kesejahteraan nelayan dan kepemilikan nelayan. Indikator prosperity dilakukan untuk melihat ada tidaknya perbaikan kehidupan ekonomi nelayan khususnya nelayan kecil. Nelayan dapat dikatakan tingkat ekonominya meningkat jika ada perubahan dari keadaan ekonomi sekarang menjadi lebih baik dari ekonomi sebelumnya. Tingkat kesejahteraan nelayan di Pelabuhanratu dapat dilihat dengan dibandingkan antara nelayan sebelum menggunakan rumpon dan setelah menggunakan rumpon. Akan tetapi responden di lapangan diambil secara acak dan hanya fokus pada alat tangkap tertentu sehingga sulit dibandingkan. Nelayan menangkap ikan sesuai musimnya yang berarti memungkinkan perubahan pendapatan setiap bulannya.
97
Tabel 26 menunjukkan bahwa waktu penangkapan ikan semakin panjang dan lokasi penangkapan ikan semakin jauh. Hal ini memungkinkan biaya operasional penangkapan ikan akan semakin meningkat sedangkan jumlah produksi tangkapan ikan tidak menentu dan tergantung musim ikannya, yang berarti pendapatan nelayan dan tingkat ekonomi nelayan akan menurun. Kondisi ini diperparah dengan makin banyaknya nelayan yang bersaing ingin menangkap ikan di Perairan Pelabuhanratu seperti terlihat pada Tabel 17. Keadaan ini menunjukkan tingkat prosperity nelayan tidak mengalami peningkatan justru semakin buruk.
98