114 II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Potensi dan Produksi Ikan Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang sangat besar dan bervariasi yang tersebar di wilayah perairan laut dan perairan darat (seperti danau, waduk, sungai dan rawa-rawa). Hasil pengkajian stock ikan di perairan Indonesia
yang dilaksanakan
Badan Riset Kelautan dan Perikanan-DKP
bekerjasama dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2001, potensi lestari sumberdaya ikan laut Indonesia diperkirakan sebesar 6,4 juta ton/tahun. Jika diasumsikan 80% dari potensi lestari merupakan jumlah tangkapan maksimum yang diperbolehkan, maka jumlah ikan laut yang dapat dimanfaatkan maksimal 5,12 juta ton/tahun. Tabel 1. Tingkat Pemanfaatan Sumberdaya Ikan (SDI) menurut Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan Tahun 2001
1.
Jenis Sumberdaya Ikan Ikan Pelagis Besar
2.
No
Potensi (ton/th)
JTB (ton/tahun)
Produksi (ton)
Tingkat Pemanfaatan (%) 78,97
1.165.360
932.288
736.170
Ikan Pelagis Kecil
3.605.660
2.884.528
1.784.330
61,86
3.
Ikan Demersal
1.365.090
1.092.072
1.085.500
99,40
4.
Ikan Karang
145.250
116.200
156.890
135,02
5.
Udang Penaeid
94.800
75.840
259.940
342,75
6.
Lobster
4.800
3.840
4.080
106,25
7.
Cumi-cumi
28.250
22.600
42.510
188,10
6.409.210
5.127.368
4.069.420
79,37
Jumlah
Keterangan : JTB = Jumlah tangkapan yang diperbolehkan
Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap tahun 2005, angka perkiraan produksi penangkapan ikan di laut mencapai 4,97 ton atau sekitar 77,7% dari jumlah potensi lestari atau 97% dari jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB). Sedangkan penangkapan di wilayah perairan umum dengan luas sekitar 54 juta hektar, sebagian besar berupa perairan rawa yaitu ±39,4 juta hektar (71,63%) dan perairan sungai dan danau ±14,6 juta hektar (28,37%), total potensi produksi diperkirakan sebanyak
115 0,9 juta ton/tahun. Sementara itu, produksi perikanan Indonesia selain dari penangkapan, juga dihasilkan dari usaha budidaya seperti budidaya air laut, budidaya air payau dan budidaya air tawar. Pada tahun 2004, budidaya air laut mampu menghasilkan ikan sebanyak 420.919 ton, budidaya air payau menghasilkan sekitar 559.612 ton dan budidaya air tawar sekitar 488.179 ton (Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, 2005). Secara umum, produksi ikan nasional dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2006 mengalami peningkatan rata-rata per tahun sebesar 6,36% yaitu 5,1 juta ton produksi pada tahun 2000 menjadi 7,4 juta ton pada tahun 2006. Kontribusi produksi ikan nasional masih didominasi oleh usaha penangkapan khususnya penangkapan di laut. Kontribusi perikanan budidaya terhadap produksi ikan nasional pada tahun 2006 naik menjadi 35,5%, dimana pada tahun 2005 kontribusi produksi ikan nasional hanya mencapai 31,5% dari total produksi (Siaran pers Perikanan Sebagai Penggerak Ekonomi Masyarakat. 27/06/07). Dari jumlah produksi ikan nasional tersebut, sebagian besar (70%) dipasarkan dalam bentuk segar dan frozen dengan tujuan pasar ekspor dan pasar domestik, dan sisanya (30%) dipasarkan dalam bentuk ikan olahan seperti ikan asin, ikan asap, ikan pindang/ presto, ikan kaleng, bakso ikan, nuget, otak-otak dan lain-lain. 2.2 Pengolahan dan Mutu Ikan Usaha pengolahan ikan dewasa ini berkembang cukup pesat seiring dengan perkembangan teknologi pengolahan. Berbagai usaha pengolahan ikan telah dikenal di Indonesia dari yang tradisional sampai yang menggunakan teknologi
modern.
Berkembangnya
pengolahan
ikan
ini
dilandasi
oleh
pemanfaatan produk ikan yang memberikan keuntungan yang optimal. Di samping
itu,
pengolahan
ikan
dapat
dijadikan
sebagai
upaya
dalam
mempertahankan mutu dan dapat menciptakan margin harga baru yang menguntungkan bagi para pelaku usaha. Menurut terminologi FAO, ikan olahan tradisional atau ”cured fish” adalah ikan yang diolah secara sederhana dan umumnya dilakukan dalam skala industri rumah tangga. Jenis produk olahan yang termasuk industri olahan tradisional antara lain ikan asin kering, ikan pindang, ikan asap dan fermentasi. Produk seperti ini tidak hanya dikenal di Indonesia, tetapi juga di negara-negara Asia, Afrika bahkan sampai ke Eropa (Inggris, Norwegia, Polandia). Produk olahan
116 ikan tradisional ini mempunyai sebaran distribusi yang luas karena pada umumnya produk relatif stabil walaupun pengawetan dan pengemasan masih sangat sederhana. Data statistik perikanan Indonesia menunjukan bahwa produksi ikan olahan dari perikanan laut mengalami perkembangan secara signifikan. Pada kurun waktu antara tahun 1993 – 2003, produksi ikan olahan mengalami peningkatan rata-rata 13,13% per tahun. Sementara produksi ikan olahan dari perairan umum mengalami peningkatan rata-rata sebesar 7,57% per tahun. Bila dibandingkan dengan jumlah hasil tangkapan ikan pada tahun 2003 maka jumlah hasil tangkapan ikan yang diproses menjadi produk olahan baru mencapai 30% dari total produksi (Ditjen Perikanan Tangkap, 2005). Berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (2005), total produksi perikanan Indonesia pada tahun 2004 mencapai 6.275.810 ton, dan 1.501.064 ton dari total produksi tersebut adalah produk olahan hasil perikanan. Dari jumlah produk olahan hasil perikanan tersebut, produksi pengolahan hasil perikanan dari industri menengah dan modern (produk pembekuan atau frozen ) memberi kontribusi yang paling dominan yaitu sebesar 631.320 ton (42,06%), kemudian diikuti oleh produksi ikan asin/kering UKM memberi kontribusi sebesar 586.323 ton (37,86%), produksi pemindangan sebesar 122.807 ton (8,8%) dan produksi ikan kaleng (industri pengalengan) sebesar 31.945 ton (2,13%). Usaha pengolahan produk perikanan dikelompokan menjadi beberapa kelompok berdasarkan jenis produknya, yaitu pembekuan (frozen), pengalengan (canning), pengasinan, pengasapan, pemindangan dan pengolahan produk turunan (diversifikasi produk). Sedangkan berdasarkan skala usahanya, usaha pengolahan produk perikanan secara umum dikelompokan menjadi: a)
Pengolahan tradisional/kelompok Usaha Kecil Menengah (UKM), umumnya berskala kecil dilakukan secara manual dan menggunakan peralatan yang relatif
sederhana.
Jenis
penggaraman/pengasinan
usaha
kelompok
(dried/salted),
ini
antara
pemindangan
lain
(boiling),
pengasapan (smoking), fermentasi (fermentation) dan pengolahan lainnya. Beberapa hal yang merupakan ciri-ciri pengolahan tradisional/ kelompok UKM sekaligus merupakan permasalahan utama dalam pengembangannya antara lain :
117 1)
Teknologi dalam proses pengolahan masih sederhana dan hampir tidak ada perkembangan.
2)
Variasi produk terbatas.
3)
Penanganan mutu produksi dan pasca produksi seperti pengemasan, pelabelan dan pergudangan masih terbatas bahkan hampir tidak ada.
4)
Pengetahuan dalam pemasaran masih terbatas akibat kurangnya informasi penjualan.
b)
5)
Permodalan relatif kecil.
6)
Tidak mempunyai sistem manajemen dalam mengembangkan usaha.
7)
Tingkat pendidikan Sumberdaya Manusia-nya relatif rendah.
Pengolahan modern/ kelompok skala industri, umumnya skala besar dengan menggunakan peralatan modern sebagai alat bantu. Jenis usaha kelompok ini antara lain pembekuan (freezing), pengalengan (canning), pembuatan tepung ikan (fishmeal making ) dan pengolahan lainnya seperti nuget ikan, surimi dan lain-lain. Usaha pengolahan modern biasanya berorientasi pada pasar ekspor dengan menitikberatkan pada produk yang dihasilkan dalam jumlah yang banyak dan berkesinambungan serta mutu yang sangat baik. Pengolahan modern biasanya sudah menerapkan kaidah-kaidah cara penanganan yang baik (Good Handling Practices), pengolahan yang baik (Good Manufacturing Practices) dan pendistribusian/ pemasaran yang baik (Good Distributing Practices). Penerapan kaidah-kaidah tersebut ditujukan untuk menghasilkan suatu produk yang prima sesuai dengan standar mutu yang telah ditetapkan dari mulai produksi, distribusi
sampai ke tangan
konsumen, seperti zero tolerance terhadap bahan-bahan pencemar baik kimia (chloromphenicol dan nitrofuran), fisika (partikel logam atau benda lain) maupun biologi (bakteri Vibrio parahaemaliticus, Salmonella dan
Escherichia coli ).
Tabel 2. Produksi Ikan Olahan Periode 2000 – 2004 No
Jenis Olahan
1. Penggaraman/Pengeringan
Volume Produksi (ton) 2000
2001
2002
2003
2004
611.662
584.394
571.577
598.235
568.323
118 2. Pemindangan
66.457
134.071
124.826
121.491
122.807
3. Pembuatan Terasi
16.457
21.607
7.251
9.342
9.809
4. Pembuatan Peda
7.950
13.442
4.996
4.911
4.665
76
524
2
6
10
6. Pengasapan
37.641
36.561
53.905
56.574
59.403
7. Pembekuan
305.923
307.235
319.237
573.911
631.320
8. Pengalengan
21.227
25.299
36.913
28.415
31.945
9. Pembuatan Tepung Ikan
1.640
12.204
16.612
8.635
7.339
10. Lain-lain
9.195
30.158
53.645
53.355
65.443
5. Pembuatan Kecap Ikan
Jumlah
1.078.352 1.165.495 1.188.364 1.453.875 1.501.064
Sumber : Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan, 2005
2.2.1
Pengolahan Ikan Asap Ikan merupakan salah satu sumber protein hewani yang memiliki
kandungan gizi sangat lengkap, mudah didapat, dan harganya relatif murah. Namun dibalik kelebihan itu, ikan memiliki kelemahan yaitu cepat mengalami pembusukan dibandingkan dengan bahan makanan lain. Proses pembusukan ini disebabkan oleh aktivitas bakteri pengurai yang ada dalam tubuh ikan dan proses penguraian dari reaksi kimia organik yang terdapat dalam ikan. Ciri-ciri ikan yang segar antara lain daging kenyal, mata jernih menonjol, sisik kuat dan mengkilat, sirip kuat, warna keseluruhan termasuk kulit cemerlang, insang berwarna merah, dinding perut kuat dan bau ikan segar. Sedangkan ciri-ciri ikan yang tidak segar (busuk) antara lain mata suram dan tenggelam, sisik suram dan mudah lepas, warna kulit suram dengan lendir tebal, insang berwarna kelabu dengan lendir tebal, dinding perut lembek, warna keseluruhan suram dan berbau busuk. Salah satu usaha untuk mempertahankan mutu ikan adalah pengawetan secara tradisional dengan metode pengasapan yang bertujuan mengurangi kadar air dalam tubuh ikan, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi bakteri untuk tumbuh dan berkembang biak. Ikan asap adalah hasil pengawetan ikan yang pengerjaannya merupakan gabungan dari penggaraman (perendaman dalam air garam) dan pengasapan sehingga menghasilkan aroma dan rasa yang khas (spesifik).
Peralatan dan bahan yang digunakan untuk pembuatan ikan asap
adalah tungku (drum) pengasapan, meja, pisau, baskom, kayu bakar, rak, ikan segar, bumbu atau rempah-rempah, freezer, kemasan, timbangan dan vacuum
119 sealer. Secara umum proses pembuatan ikan asap dapat diilustrasikan seperti Gambar 1.
Gambar 1.
Proses Pembuatan ikan asap
Sumber : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. 2001
Sebagai bahan makanan, ikan asap harus memenuhi syarat layak untuk
dikonsumsi, aman bagi kesehatan dan memiliki manfaat mutu bagi kesehatan. Kriteria Ikan Asap yang bermutu : 1)
Rupa dan warna ikan asap yang dihasilkan harus licin, mengkilat, dan berwarna coklat emas muda;
2)
Bau dan rasa dari ikan asap yang baik dapat memberikan bau atau aroma yang khas ikan asap (bau asap yang sedap dan merangsang selera);
120 3)
Proses pengasapan ikan dengan metode menggunakan panas pada suhu 70 ~ 80 C, dapat menghasilkan ikan yang tahan lama (awet) disimpan sampai 1 bulan, dibandingkan dengan pengasapan pada suhu 20 ~ 30 C (kurang dari 1 bulan).
Gambar 2. Contoh produk ikan olahan di asap (ikan asap) 2.2.2 Aspek Mutu Produk Proses pengolahan ikan secara tradisional dapat menyebabkan penurunan mutu protein sampai dengan 5% tergantung dari lamanya proses pengolahan tersebut. Pada proses pengasapan ikan sebaiknya dilakukan pada waktu singkat dan kepekatan asap rendah, karena asap mengandung senyawa-senyawa karbonil yang akan bereaksi dengan lisin dan mereduksi kualitas protein. Bahan baku yang disimpan beku hingga 33 minggu dapat menyebabkan hilangnya lisin dan tiamin yang tersedia masing-masing 74% dan 90% setelah proses pengasapan (Zotos et al., 1995). Burt (1988) menyatakan bahwa beberapa jenis vitamin yang terdapat dalam ikan akan mengalami kerusakan sebagai akibat proses pengeringan atau pengasapan, tergantung waktu dan suhu, pH, serta terjadinya
penirisan
("drip").
Pengasapan
panas
(di
atas
80DC) dapat
menyebabkan hilangnya vitamin yang larut dalam air seperti niasin, riboflavin, dan asam askorbat hingga 4% (Bhuiyan et al., 1993).
121 Proses pemanasan pada ikan dapat menyebabkan terjadinya reaksi Maillard antara senyawa amino dengan gula pereduksi yang membentuk melanoidin yaitu suatu polimer berwarna coklat yang menurunkan nilai penampakan produk. Pencoklatan juga terjadi karena reaksi antara protein, peptida, dan asam amino dengan hasil dekomposisi lemak. Reaksi ini dapat menurunkan nilai gizi protein ikan yaitu menurunkan nilai cerna dan ketersediaan asam amino, terutama lisin. Bahkan apabila dilakukan pemanasan yang berlebihan (di atas 90°C) dan berulang-ulang dapat menyebabkan pembentukan H2S yang merusak aroma dan mereduksi
ketersediaan
sistein
dalam
produk
(Pan,
1988).
Untuk
mempertahankan mutu dan nilai gizi produk, kondisi tersebut di atas harus menjadi pertimbangan dalam melakukan pengolahan. 2.2.3 Aspek Keamanan Produk a. Kimiawi Makanan yang diolah dengan cara dipanggang menggunakan arang, listrik, gas, minyak tanah, atau diasap mempunyai potensi besar menimbulkan bahaya senyawa karsinogenik dan mutagenik. Senyawa polar yang larut dalam air dan tahan panas, mendorong terjadinya pembentukan mutagen, misalnya karbolin selama pemanasan makanan (Krone et al., 1986). Kondisi pembakaran, pemanggangan, dan pengasapan sangat cocok bagi pembentukan hidrokarbon
aromatik polisiklik (PAH), senyawa N-nitroso (NNC), dan amina aromatik heterosiklik (HAA), yang semuanya bersifat karsinogenik. HAA merupakan hasil reaksi antara asam amino dengan pirolisat protein, lebih sering ditemukan pada produk panggang daripada produk asap. Adapun NNC, baik yang berupa N-nitrosamin (NNA), maupun N-nitrosodimetilamin, merupakan hasil reaksi antara nitrogen oksida, yang berasal dari nitrit atau asap kayu, dengan senyawa amina sekunder yang banyak terdapat dalam ikan. Pemanggangan dengan kompor gas atau minyak tanah pada suhu di atas 100°C dapat menghasilkan NNC yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanggang listrik. Walaupun demikian, NNC yang terdapat dalam produk dapat didegradasi dengan sterilisasi (Dikun et al., 1980), atau melalui metabolisme oleh mikroorganisme (Harada & Yamada, 1979). Pada ikan asap, PAH berasal dari asap kayu, terutama lignin dan selulosa. Fraksi hidrokarbon dari asap kayu mengandung lebih dari 24 jenis PAH. Walaupun tidak semua jenis PAH tersebut bersifat karsinogenik, Benzopirena
122 (BP), salah satu jenis PAH, adalah indikator karsinogenitas. Sikorski (1988) menyebutkan kandungan BP pada ikan asap sekitar 0,70 hingga 60 ng/g (bb) terbanyak terdapat di bagian kulit. BP juga lebih banyak ditemukan pada ikan yang diasap secara tradisional (pengasapan langsung pada suhu tinggi) dibandingkan dengan yang menggunakan alat pengasap dengan generator asap yang terpisah yang bekerja pada suhu rendah. Pada prinsipnya pengasapan harus dilakukan dengan mengatur suhu dan kecepatan aliran udara serta kepekatan asap agar produksi fenol dan karbonil menjadi seperti yang diinginkan yakni pembentukan PAH sekecil mungkin. Meskipun demikian, kuantifikasi proses pengolahan tidak pemah dilakukan karena intensitas asap yang diinginkan konsumen bervariasi, sedangkan faktor yang berpengaruh terhadap intensitas asap produk akhir, juga beragam seperti jenis dan kelembaban kayu, atau jenis, ketebalan, kadar air, dan kadar lemak ikan. Oleh karena itu, pengaturan suhu, kecepatan udara, dan kepekatan asap diatur secara manual, disesuaikan dengan intensitas asap yang diinginkan. Sebagai pedoman, Sikorski (1988) menyatakan bahwa untuk mencegah pembentukan BP, suhu dekomposisi kayu harus di bawah 40°C dan suhu oksidasi senyawa volatil hasil dekomposisi tersebut tidak lebih dari 20°C. b. Mikrobiologis Kandungan protein ikan yang relatif ‘tinggi’ dengan kandungan air mencapai 10-60%, memerlukan cara penanganan dan pengolahan yang tepat serta penyimpanan dengan suhu yang mampu menonaktifkan bakteri pengurai. Apabila penanganan produk perikanan kurang baik seperti kurang saniter dan higienis, penyimpanan tidak ditutup/dikemas dengan baik serta temperatur tinggi maka akan rentan terhadap kerusakan mikrobiologis. Kerusakan mikrobiologis dapat menyebabkan pembusukan produk baik oleh bakteri, jamur yang patogen ataupun oleh enzim (racun) yang terbentuk dari hasil reaksi pembusukan. Sikorski et al. (1998) menyatakan bahwa Enterobacteriaceae, Salmonella
typhimurium dan Vibrio parahaemolyticus sering ditemukan pada ikan asap yang berkadar air tinggi. Karena cara pengolahan yang tidak saniter dan higienis maka tidak menutup kemungkinan terjadinya kontaminasi baik dengan peraltan, lingkungan, udara maupun dengan para pengolah, sehingga menjadikan produk ikan asap rentan terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus. Walaupun
123 demikian, Listeria monocytogenes, bakteri penyebab meningitis yang sering ditemukan pada ikan asap di beberapa negara, namun belum pernah dilaporkan terjadi pada produk olahan ikan di Indonesia. Hal ini kemungkinan disebabkan ikan asap di lndonesia tidak disimpan pada suhu rendah (beku) yang merupakan persyaratan bagi kehidupan bakteri tersebut. Selain penyakit yang disebabkan oleh bakteri, bahaya lain adalah terjadinya keracunan akibat pertumbuhan Clostridium botulinum, bakteri pembentuk spora yang tahan terhadap panas dan menghasilkan racun botulisme. Bakteri ini bersifat anaerobik yaitu mampu hidup di tempat yang hampa udara sehingga penggunaan kemasan yang hampa udara pada produk perikanan belum tentu terhindar dari serangan bakteri.
Bakteri lain yang
merusak ikan dan menimbulkan suatu toksin bagi manusia adalah bakteri
Morganella, Proteus, dan Klebsiella, yang mampu merubah kandungan hidtidin dalam ikan berdaging merah menjadi histamine melalui proses dekarboksilasi. Pada orang-orang tertentu, histamine dapat menyebabkan keracunan berupa gatal-gatal yang cukup hebat. Penyimpanan ikan tanpa pendinginan sebelum diolah dapat mempercepat terjadinya pembentukan histamin. Salah satu derivatif histamin yang toksik adalah senyawa yang disebut giserosin, yang dapat menyebabkan tukak lambung (GE). Jamur yang sering tumbuh pada kondisi aktivitas air atau kadar air rendah, selain menurunkan nilai estetika, juga potensial untuk menghasilkan racun. Ikan asin, ikan pindang, dan ikan asap paling sering ditumbuhi Aspergillus spp. dan
Penicillium spp. Jenis jamur yang dominan pada ikan asin adalah Polypaecilum pisce dan A. niger (Wheeler et al., 1986), namun jenis serofilik yang ditemukan pada ikan asin adalah A. crwamori, A. carbonarius, A. glaucus, A. tamarii, dan
Eurotium glaucus (Santoso et al., 1999). Pada ikan kayu dari cakalang (katsuobushi), jenis jamur yang sering ditemukan yakni A. glaucus, P glaucus, A.
melleus. E repem, danE rubrum. Jamur ini diyakini mampu memberikan aroma yang lezat pada ikan kayu, sedangkan A. flavoviridescens, Torula spp.,
Clado~porium herbarum, dan Catennlaria faliginea adalah kontaminan yang tidak disukai (Motohiro, 1988). Jenis jamur yang potensial menghasilkan racun karsinogenik adalah
Aflavus, yang menghasilkan aflatoksin. Jamur ini mempunyai waktu germinasi 8
124 jam pada aktivitas air 0,97 dan suhu 30°C, sehingga untuk menghambat pertumbuhannya dapat dilakukan dengan pengaturan aktivitas air. Radiasi dengan sinar gamma pada 0,62-5,00 KGy dapat mematikan spora Aflavus. Wheeler et al, (1986) menemukan Aflavus pada beberapa sampel ikan asin yang diambil dari pasar-pasar di Indonesia, walaupun aflatoksin tidak ditemukan pada sampel sampel tersebut. Toksin lain yang ditemukan pada ikan asin adalah moniliformin yang dihasilkan oleh Fusariumfusaroides (Rabie et all, 1978) Kerusakan oleh bakteri maupun jamur sebenarnya dapat dihindari dengan mengembangkan model-model pembusukan produk olahan oleh beberapa jenis bakteri dan jamur tertentu. Suatu model pembusukan ikan asin oleh bakteri
Staphylococcus xylosus, Halobacterium salinarium, dan jamur telah dihasilkan oleh Doe dan Heruwati (1988). Sebagai contoh, dengan model yang merupakan fungsi antara aktivitas air produk, suhu dan waktu penyimpanan dapat diprediksi bahwa bila suatu produk yang mempunyai aktivitas air antara 0,75-0,90 disimpan pada suhu antara 25-45°C, maka produk tersebut akan mengalami penjamuran setelah disimpan lebih dari 20 jam.
2.2.4 Good Manufacturing Practices (GMP) dan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) Asal mula Good Manufacturing Practices (GMP) adalah suatu peraturan yang dicetuskan oleh pemerintah Amerika Serikat (US-FDA) yang menuntut sistem manajemen mutu dan keamanan pangan, penentuan kriteria yang mampu memenuhi the code of Federal Regulation (21 CFR parts 110) guna memperoleh produk pangan yang bebas dari penyimpangan mutu. Definisi GMP adalah minimum standar sanitasi dan proses pengolahan yang diperlukan untuk menjamin produksi pangan secara utuh (Luning et al., 2002). Lebih lanjut menjelaskan tentang unsur-unsur GMP yang terkandung antara lain dokumentasi dan
pencatatan
(recordkeeping),
kualifikasi
personal/SDM
(personnel
qualification), sanitasi dan higienis (Hygienee and Sanitation), verifikasi alat dan peralatan (equipment verification), validasi proses (procces validation) dan penanganan bahan (complaint handling). Dalam implementasinya, GMP dapat berperan dalam menjamin untuk menghasilkan suatu produk pangan yang bermutu dan aman bagi kesehatan.
125 Sebelumnya, baik-buruknya mutu produk ditentukan dengan mengandalkan pengujian akhir di laboratorium. Namun hal itu ternyata tidak efektif, sehingga diperlukan adanya penerapan sistem jaminan mutu dan sistem manajemen lingkungan, dan sistem produksi pangan yang baik (Good Manufacturing
Practices). Dengan menerapkan GMP diharapkan produsen pangan dapat menghasilkan produk makanan yang bermutu, aman dikonsumsi dan sesuai dengan tuntutan konsumen, bukan hanya konsumen lokal tetapi juga konsumen global (Fardiaz, 1997). Fardiaz (1997) mengemukan ada dua hal yang berkaitan dengan penerapan GMP di industri pangan yaitu Critical Control Point (CCP) dan Hazard
Analysis and Critical Control Point (HACCP). Critical Control Point (CCP) atau Titik Kendali Kritis adalah setiap titik, tahap atau prosedur dalam suatu sistem produksi pangan yang apabila tidak terkendali dapat menimbulkan resiko kesehatan yang tidak diinginkan. CCP diterapkan pada setiap tahap proses mulai dari produksi, pertumbuhan dan pemanenan, penerimaan dan penanganan bahan tambahan (ingredien), pengolahan, pengemasan, distribusi
sampai
dikonsumsi oleh konsumen. Batas kritis (critical limit) adalah toleransi yang ditetapkan dan harus dipenuhi untuk menjamin bahwa suatu CCP secara efektif dapat mengendalikan bahaya mikrobiologis, kimia maupun fisik. Batas kritis pada CCP menunjukkan batas keamanan. Sedangkan Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP) atau Analisis Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap bahan, produk, atau proses untuk menentukan komponen, kondisi atau tahap proses yang harus mendapatkan pengawasan yang ketat dengan tujuan untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan. HACCP merupakan suatu sistem pengawasan yang bersifat mencegah (preventif) terhadap kemungkinan terjadinya keracunan atau penyakit melalui makanan (Fardiaz, 1997). Sistem HACCP memuat 7 prinsip yang merupakan konsepsi HACCP antara lain analisis bahaya (Hazard Analysis), pengendalian titik kritis (Critical Control Point), penentuan batas kritis (Critical Limit), pemantauan titik kritis (Monitoring), tindakan perbaikan (Corective Action), pencatatan (Record keeping) dan verifikasi (Verification).
126 Sistem HACCP mempunyai tiga pendekatan penting dalam pengawasan dan pengendalian mutu produk pangan, yaitu: (1) keamanan pangan (food
safety), yaitu aspek-aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit; (2) kesehatan dan kebersihan pangan (whole-someness), merupakan
karakteristik
produk
atau
proses
dalam
kaitannya
dengan
kontaminasi produk atau fasilitas sanitasi dan higiene; (3) kecurangan ekonomi (economic fraud), yaitu tindakan ilegal atau penyelewengan yang dapat merugikan konsumen. Tindakan ini meliputi antara lain pemalsuan bahan baku, penggunaan bahan tambahan yang berlebihan, berat yang tidak sesuai dengan label, “overglazing” dan jumlah yang kurang dalam kemasan (Hadiwihardjo, 1998). Penerapan GMP dan HACCP merupakan implementasi dari jaminan mutu pangan sehingga dapat dihasilkan produksi yang tinggi dan bermutu oleh produsen yang pada akhirnya akan menciptakan kepuasan bagi konsumen (Hubeis, 1994).
2.2.5 Penerapan Sistem Manajemen Mutu Industri pengolahan ikan memiliki mata rantai yang melibatkan banyak pelaku, yaitu mulai dari produsen primer, pendistribusian, pengolah, penyalur, pengecer, konsumen. Pada masing-masing mata rantai tersebut diperlukan pengendalian mutu (quality control) yang berorientasi pada standar jaminan mutu (quality assurance) baik di tingkat produsen sampai ke konsumen. Penanganan mutu dalam rangka menciptakan jaminan mutu dan keamanan harus dilakukan melalui penerapan dan penguasaan total quality management (TQM) yang dimanifestasikan dalam bentuk pengakuan sertifikat mutu internasional seperti ISO seri 9000 s.d. ISO-9004. Sertifikat sebagai senjata untuk menembus pasar internasional merupakan sebuah
dokumen
yang
menyatakan
suatu
produk/jasa
sesuai
dengan
persyaratan standar atau spesifikasi teknis tertentu (Hubeis, 1994). Indonesia mengadopsi ISO-9000 dengan nama SNI-seri 19-9000-Manajemen Mutu. ISO seri 9000 memberikan pedoman tentang bagaimana suatu organisasi dapat menghasilkan produk atau jasa yang bermutu, dengan mutu yang konsisten. Standar ISO seri 9000 mengarahkan keseluruhan sistem manajemen mutu
127 untuk menyempurnakan dan menjaga mutu produk.
Sistem ini mengakui
bahwa proses mutu terpadu melibatkan semua bagian dan fungsi organisasi. ISO-9000 dapat digunakan pada situasi tanpa kontrak (ISO 9004) dan situasi kontrak (ISO-9001, ISO-9002, dan ISO-9003). Tiga model jaminan mutu untuk situasi kontrak yaitu ISO-9001 : sistem mutu dalam desain/pengembangan, produksi dan instalasi; ISO-9002 : sistem mutu dalam produksi dan instalasi; sedangkan ISO-9003 : sistem mutu dalam inspeksi dan uji akhir (Kadarisman, 1996). Dengan diperolehnya sertifikat tersebut diharapkan dapat meningkatkan posisi tawar produk yang dihasilkan baik di pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. 2.3 Pemasaran Ikan Pemasaran ikan menunjukan kenaikan permintaan yang positif seiring dengan laju pertumbuhan penduduk serta meningkatnya kesadaran masyarakat akan ’makanan sehat’ yang terdapat pada ikan sebagai akibat dari peningkatan pengetahuan. Sementara itu, suplai ikan untuk mencukupi permintaan tersebut dipasok dari hasil tangkapan dan hasil budidaya. 2.3.1
Permintaan Produk Perikanan di Pasar
Jumlah pasokan ikan dari usaha penangkapan cenderung pertumbuhannya relatif stagnan sehingga secara umum mengakibatkan pasar dalam negeri mengalami kekurangan pasokan ikan sebesar 0,6 juta ton per tahun (Badan Penelitian dan Pengembangan Perdagangan, 2006). Disisi lain, kekurangan pasokan tidak otomatis menyebabkan harga ikan naik. Berdasarkan uji koefisien
trend harga menunjukan tidak adanya peningkatan harga yang signifikan, dengan kata lain harga ikan relatif stabil di tengah kekurangan pasokan. Kondisi ini juga mengindikasikan bahwa pengelolaan produk perikanan belum memenuhi standar kualitas dunia dan sistem distribusi yang efektif. Berdasarkan pengukuran tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun Indonesia, yang pada tahun 2006 berkisar 28,69 kg dan diperkirakan akan meningkat terus menjadi 30 kg per kapita pada tahun 2006/2007, maka diprediksikan permintaan produk perikanan di pasar dalam negeri akan mengalami kenaikan. Selain itu trend konsumsi ikan di masyarakat perkotaan cenderung naik sejalan dengan tingkat kesadaran akan hidup sehat yang berkembang akhir-akhir ini. Sebagian besar produk perikanan laut digunakan
128 untuk memenuhi permintaan akhir yang terdiri atas konsumsi rumah tangga, industri/usaha pengolahan dan sisanya untuk memenuhi permintaan ekspor. 2.3.2
Pola Distribusi Secara umum pola distribusi produk perikanan di Indonesia antara satu
pola dengan pola yang lain berbeda panjang rantai distribusinya. Panjang rantai pemasaran
menandai banyaknya jumlah
penyampaian
produk
perikanan
yang
perantara yang dihasilkan
terlibat
dalam
nelayan/pembudidaya
(produsen) ke konsumen yaitu konsumen terlembaga (hotel, restoran, industri pengolahan dan ekspor) dan konsumen akhir (rumah tangga). Panjangnya rantai pemasaran menandakan terjadinya beberapa kali transaksi jual beli, yaitu pertukaran hasil ikan dengan uang sebelum ikan dibeli oleh konsumen akhir. Pola distribusi produk perikanan dari nelayan/ produsen sampai ke konsumen akhir dapat digambarkan pada Gambar 3 sebagai sebagai berikut :
Gambar 3. Pola distribusi pemasaran ikan Sumber :
Kajian
Rantai
Ditribusi
Produk
Pengembangan Perdagangan, Perdagangan RI, Jakarta.
Perikanan
2006).
(Diseminasi Hasil Penelitian dan Balitbang Perdagangan, Departemen
2.4 Kerangka Teoritis Strategi Pemasaran 2.4.1 Definisi dan Prinsip Pemasaran Definisi pemasaran banyak dikembangkan oleh para pakar antara lain American Marketing Association, 1960 mendefinisikan bahwa Pemasaran adalah
129 pelaksanaan dunia usaha yang mengarahkan arus barang-barang dan jasa-jasa dari produsen ke konsumen atau pihak pemakai. Definisi ini menekankan pada aspek distribusi ketimbang pada kegiatan pemasaran. Kemudian definisi lain dikemukakan oleh Kotler (1990) dalam bukunya Marketing Management Analysis,
Planning, and Controling, bahwa pemasaran adalah suatu proses sosial, dimana individu dan kelompok mendapatkan yang dibutuhkan, dan diinginkan dengan menciptakan dan mempertahankan produk dan nilai. Tujuan
pemasaran
sebuah
perusahaan
bukanlah
laba
melainkan
menciptakan dan mempertahankan pelanggan atau konsumen (Levitt, 1989). Dengan menciptakan konsumen-konsumen baru dan mempertahankannya maka sistem penjualan akan terjaga stabil dan tentunya akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan. Menurut sebuah penelitian Boston Consulting Group yang diacu dalam Zimmerer dan Scarborough (2002) mengemukakan bahwa mempertahankan pelanggan akan menghasilkan laba diatas rata-rata dan pertumbuhan pangsa pasar yang sangat baik. 2.4.2
Definisi dan Prinsip Strategi Pemasaran
Istilah strategi
diambil dari bahasa Yunani yaitu ’strategos’ yang
mempunyai pengertian ilmu perencanaan dan pengerahan sumberdaya untuk operasi besar-besaran, melansir kekuatan pada posisi siap yang paling menguntungkan sebelum melakukan penyerangan terhadap lawan. Dalam bidang ekonomi dan manajemen, pengertian strategi bervariasi. Johnson & Scholes (1997) dan Hutabarat & Huseini (2006) mendefinisikan strategis sebagai arah dan cakupan jangka panjang organisasi untuk memperoleh keunggulan melalui konfigurasi sumberdaya dalam lingkungan yang berubah-ubah untuk mencapai
kebutuhan
pasar
dan
memenuhi
keharapan
pihak
yang
berkepentingan. Sementara Henry Mintzberg (1994) dan Hutabarat & Huseini (2006) mendefinisikan strategi sebagai 5 P yaitu : a)
Strategi sebagai perspektif, dimana strategi dalam membentuk misi yang menggambarkan perspektif kepada semua aktivitas.
b)
Strategi sebagai posisi, dimana dicari pilihan untuk bersaing
c)
Strategi sebagai perencanaan, dalam hal strategi menentukan tujuan performansi perusahaan.
130 d)
Strategi sebagai pola kegiatan, dimana dalam suatu strategi dibentuk suatu pola yaitu umpan balik dan penyesuaian. Strategi sebagai penipuan (ploy) yaitu muslihat rahasia.
e)
Hamel dan Prahalad (1994) dan Umar (2001) mendefinisikan strategi sebagai tindakan yang bersifat incremental, terus menerus dan dilakukan berdasarkan apa yang diharapkan oleh para pelanggan di masa mendatang. Strategi diklasifikasikan menjadi 3 yaitu Strategi Generik (Generic Strategy), Strategi Utama (Grand Strategy) dan Strategi Fungsional. Strategi generik adalah suatu pendekatan strategi perusahaan secara umum untuk mengungguli pesaing, yang akan ditindaklanjuti dengan strategi operasional yaitu strategi utama (Umar, 2000). Penjelasan lebih jauh seperti diuraikan dalam Tabel 3. Strategi utama yang dijabarkan di tingkat fungsional perusahaan sering kali disebut strategi fungsional. Tabel 3. Strategi Generik dan Strategi Utama Fred R. David Strategi Generik (Generic Strategy)
Strategi Utama (Grand Strategy)
Strategi Integrasi (Integration Strategy) Strategi Intensif (Intensive Strategy) Strategi Diversifikasi (Diversification Strategy) Strategi Bertahan (Defensive Strategy)
Strategi Integrasi ke depan Strategi Integrasi ke belakang Strategi Integrasi horisontal Strategi Pengembangan Pasar Strategi Pengembangan Produk Strategi Penetrasi Pasar Strategi Diversifikasi Konsentrik Strategi Diversifikasi Konglomerat Strategi Diversifikasi Horisontal Strategi Usaha Patungan Strategi Penciutan Biaya Strategi Penciutan Usaha Strategi Likuidasi
Sumber: Buku Metode Riset Bisnis, Husein Umar, 2002.
Kotler (1990) mendefinisikan strategi pemasaran adalah logika pemasaran dan
berdasarkan
itu
unit
usaha
diharapkan
mencapai
sasaran-sasaran
pemasarannya. Dalam mendisain strategi pemasaran yang paling penting dilakukan adalah menerapkan konsep segmentasi pasar (segmentation), penentuan target pasar (targeting) dan penentuan posisi pasar (positioning). Tujuannya adalah memposisikan suatu produk dalam benak konsumen sehingga produk tersebut memiliki keunggulan kompetitif yang berkesinambungan.
131 a.
Segmentasi Pasar (Segmenting) Pada dasarnya segmentasi pasar adalah suatu strategi yang didasarkan
pada falsafah manajemen pemasaran yang orientasinya pada konsumen. Dengan melaksanakan segmentasi pasar, kegiatan pemasaran dapat dilakukan lebih terarah dengan penggunaan sumberdaya yang dimiliki secara lebih efektif dan efisien guna memberikan kepuasan bagi konsumen. Prinsip dari segmentasi pasar adalah membagi-bagi pasar yang bersifat heterogen dari suatu produk ke dalam satuan-satuan pasar (segmen pasar) yang bersifat homogen. Berdasarkan definisi di atas diketahui bahwa pasar suatu produk tidaklah homogen, akan tetapi pada kenyataannya adalah heterogen. Ada empat ktiteria yang harus dipenuhi segmen pasar agar proses segmentasi pasar dapat dijalankan dengan efektif dan bermanfaat bagi perusahaan, yaitu: 1)
Terukur (Measurable), artinya segmen pasar tersebut dapat diukur, baik besarnya, maupun luasnya serta daya beli segmen pasar tersebut.
2)
Terjangkau (Accessible), artinya segmen pasar tersebut dapat dicapai sehingga dapat dilayani secara efektif.
3)
Cukup luas (Substantial), sehingga dapat menguntungkan bila dilayani.
4)
Dapat dilaksanakan (Actionable), sehingga semua program yang telah disusun untuk menarik dan melayani segmen pasar itu dapat efektif. Dalam kegiatan bisnis, segmentasi pasar digunakan untuk mendisain
produk-produk yang lebih responsif terhadap kebutuhan pasar, merumuskan pesan-pesan komunikasi yang efektif, menciptakan keunggulan dan menganalisis perilaku konsumen. Segmentasi pasar dibagai dalam tiga kelompok yaitu : 1)
Pemasaran segmen yaitu kelompok besar yang dapat diidentifikasikan dalam sebuah dengan perbedaan keinginan, daya beli, lokasi geografis, perilaku membeli sehingga dapat dipisahkan beberapa segmen yang luas.
2)
Pemasaran ceruk (niche) yaitu kelompok yang diidentifikasi secara lebih sempit dari segmen, yang merupakan sub-segmen atau kelompok yang memilih sekumpulan ciri berbeda tetapi mencari gabungan manfaat khusus.
3)
Pemasaran individual yaitu tingkat segmentasi yang paling terperinci pada pemasaran secara individual atau sesuai dengan pesanan (costumized). Segmentasi pasar dapat dilakukan melalui dua cara yaitu segmentasi yang
dilakukan sebelum produk diluncurkan ke pasar (segmentasi apriori) dan segmentasi yang dilakukan setelah produk beredar di pasar (segmentasi post-
132 hoc). Purnama (2002) menjelaskan bahwa variabel dalam melakukan segmentasi pasar konsumen adalah segmentasi geografis, demografis, psikologis dan perilaku konsumen. Sedangkan variabel dalam melakukan segmentasi pasar bisnis demografis, operasional, pendekatan pembelian, situasi dan karakteristik pribadi.
b. Penentuan Pasar Target ( Targeting)
Targeting merupakan suatu kegiatan dalam pemasaran yang berisi menilai serta memilih satu atau lebih segmen pasar yang akan dimasuki oleh suatu perusahaan. Dalam menentukan segmen pasar yang akan dimasuki, maka langkah yang pertama adalah menghitung dan menilai potensi profit yang akan didapat dari berbagai segmen yang ada. Tujuan
utama
penentuan
pasar
target
(targeting)
adalah
untuk
menghindari kerugian-kerugian yang bakal terjadi dalam kegiatan pemasaran, atau paling tidak menguranginya sekecil mungkin. Hal yang harus diperhatikan dalam menentukan pasar sasaran (targeting) adalah ukuran dan potensi pertumbuhan segmen, karakteristik struktural segmen, dan kesesuaian produk dan pasar/product – market fit (Chandra (2005). c.
Penempatan produk ( Product Positioning) Menurut Kotler (2002), positioning adalah tindakan merancang tawaran
dan citra perusahaan sehingga menempati suatu posisi yang terbedakan di antara pesaing dalam benak pelanggan sasaran. Hasil akhir penentuan dari
positioning adalah keberhasilan penciptaan suatu usulan nilai yang terfokus pada pasar. Penempatan posisi produk (positioning) adalah bagaimana cara produk, merek atau organisasi perusahaan dipersepsikan secara relatif dibandingkan dengan para pesaingnya oleh pelanggan saat ini atau calon pelanggan (Chandra, 2005). Secara garis besar positioning terdiri atas 3 hal utama yaitu : 1) Pemilihan konsep positioning 2) Perancangan
dimensi
atau
fitur
yang
paling
efektif
dalam
mengkomunikasikan positioning. 3) Mengkoordinasikan dengan bauran pemasaran untuk menyampaikan pesan yang konsisten.
133 Banyak ahli pemasaran menyarankan agar mempromosikan produk hanya satu manfaat sentral. Penentuan posisi nomor satu yang paling umum dipromosikan adalah kualitas terbaik, pelayanan terbaik, harga termurah, nilai terbaik, paling aman, paling cepat, dan teknologi paling maju. Penekankan terhadap salah satu penentuan posisi produk dan menyampaikannya dengan penuh keyakinan, memungkinkan perusahaan tersebut akan selalu diingat dan terkenal karena kekuatan yang dimiliki. Kotler (2002) menjelaskan ada beberapa strategi penentuan posisi bagi suatu perusahaan, yaitu: 1) Penentuan posisi menurut atribut, yaitu terjadi bila suatu perusahaan memposisikan diri menurut atribut, seperti ukuran dan lama keberadaannya. 2) Penentuan posisi menurut manfaat, yaitu Produk diposisikan sebagai pemimpin dalam suatu manfaat tertentu. 3) Penentuan posisi menurut penggunaan/penerapan, yaitu suatu perusahaan memposisikan produk sebagai yang terbaik untuk sejumlah penggunaan/ penerapan. 4) Penentuan posisi menurut pemakai yaitu perusahaan dapat memposisikan produk sebagai yang terbaik bagi sejumlah kelompok pemakai. 5) Penentuan posisi menurut pesaing yaitu produk memposisikan diri sebagai lebih baik dari pesaing yang disebutkan namanya atau yang tersirat. 6) Penentuan posisi menurut kategori produk yaitu produk diposisikan sebagai pemimpin di suatu kategori produk. Kotler (2002:343) juga mengatakan bahwa saat perusahaan menambah jumlah pengakuan terhadap manfaat merek mereka, maka mereka juga menghadapi risiko ketidakpercayaan dan kehilangan penentuan posisi yang jelas. Secara umum, perusahaan harus menghindari empat hal utama dalam penentuan positioning : 1)
Penentuan positioning yang kurang (underpositioning) Pembeli tidak benar-benar merasakan sesuatu yang khusus tentang produk yang ditawarkan dan dianggap hanya sekedar pendatang baru di pasar.
2)
Penentuan positioning yang berlebihan (overpositioning) Pembeli mungkin memiliki citra yang terlalu sempit terhadap produk yang ditawarkan.
3)
Penentuan positioning yang membingungkan (confused positioning)
134 Pembeli mungkin memiliki citra yang membingungkan tentang produk yang ditawarkan karena perusahaan terlalu banyak membuat pengakuan atau terlalu sering mengubah positioning produk. 4)
Penentuan positioning yang meragukan (doubtful positioning) Pembeli mungkin sukar mempercayai pengakuan dari suatu merek karena pengaruh harga, ciri khusus, atau perusahaan pembuat produk itu. Strategi
positioning
yang
ditentukan
oleh
perusahaan
harus
dikomunikasikan secara efektif baik secara visual maupun secara tulisan. Misalnya perusahaan memilih posisi sebagai terbaik dalam mutu, maka mutu perlu dikomunikasikan dengan memilih tanda atau petunjuk fisik yang umumnya berkaitan dengan penilaian mutu. Harga yang mahal biasanya identik dengan produk yang bermutu tinggi. d.
Bauran Pemasaran Pemasaran dapat diartikan, selain yang telah didefinisikan di atas, sebagai
proses perencanaan dan pelaksanaan konsepsi, penetapan harga, promosi, dan distribusi gagasan, barang dan jasa dalam rangka memuaskan tujuan individu dan organisasi (Chandra, 2005). Dalam implementasinya, organisasi perusahaan atau individu menggunakan serangkaian alat pemasaran yang dikenal dengan Bauran Pemasaran (Maketing Mix).
Marketing mix merupakan kombinasi variabel-variabel atau kegiatan yang merupakan inti dari sistem pemasaran, yang dapat dikendalikan oleh perusahaan untuk mempengaruhi tanggapan konsumen dalam pasar sasaran. Stanton (1986) mendefinisikan marketing mix adalah istilah yang dipakai untuk menjelaskan kombinasi empat besar pembentuk inti sistem pemasaran sebuah organisasi. Keempat unsur tersebut adalah penawaran produk/jasa, struktur harga, kegiatan promosi, dan sistem distribusi yang disebut Four P's yaitu : 1)
Product (Produk/Jasa) Terdiri atas variasi produk/ jasa, kualitas, kuantitas, desain, fitur, merek, kemasan, ukuran, layanan dan garansi. Produk merupakan elemen yang paling penting, karena dengan produk inilah perusahaan berusaha untuk memenuhi "kebutuhan dan keinginan" konsumen.
2)
Price (Harga)
135 Terdiri atas harga katalog, diskon, potongan khusus, periode pembayaran, dan persyaratan kredit. 3)
Place (tempat/Saluran Distribusi) Setelah perusahaan berhasil menciptakan barang atau jasa yang dibutuhkan konsumen dan menetapkan harga yang layak, tahap selanjutnya adalah menentukan metode penyampaian produk/jasa tersebut ke konsumen/pasar. Pengertian tempat dalam kontek marketing mix tidak hanya merupakan pengertian secara fisik tetapi tempat atau keberadaan produk yang mudah didapat oleh konsumen baik di suatu took, distributor, atau jaringan pemasaran lainnya. Semakin mudah tempat/ keberadaan suatu produk akan sangat mudah dilihat, diingat dan diputuskan untuk memilihnya.
4)
Promotion (Promosi) Aspek ini berhubungan erat dengan berbagai kegiatan untuk memberikan informasi tentang produk/jasa yang ditawarkan yang meliputi antara lain kegiatan periklanan (advertising), penjualan pribadi (Personal Selling), Promosi penjualan (Sales Promotion) dan Publisitas (Publicity).
2.4.3 Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) Persaingan dalam pemasaran produk merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Perusahaan berlomba-lomba untuk saling ’mengalahkan satu sama lainnya’ demi mendapatkan pangsa permintaan yang lebih besar dalam ruang pasar yang semakin sempit dengan prospek keuntungan/laba dan pertumbuhan semakin berkurang. Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) merupakan suatu strategi pemasaran yang berusaha keluar (menghindari) kompetisi baik dengan produk sejenis maupun tidak sejenis dan menciptakan ruang pasar baru yang belum terjelajahi,
menciptakan
permintaan
dan
peluang
pertumbuhan
yang
menguntungkan. Fokus utama dari Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) ini adalah menciptakan inovasi nilai (Value Innovation). a.
Inovasi Nilai : Batu-Pijak Strategi Samudera Biru Inovasi nilai memberikan penekanan setara pada nilai dan inovasi. Nilai
tanpa inovasi cenderung berfokus pada penciptaan nilai dalam skala besar, dengan kata lain sesuatu yang meningkatkan nilai produk tetapi tidak memadai untuk membuat unggul secara menonjol di pasar. Inovasi tanpa nilai cenderung
136 bersifat mengandalkan teknologi, pelopor pasar atau futuristik dan sering membidik sesuatu yang belum siap diterima dan dikonsumsi oleh pembeli (Kim & Mauborgne, 2005). Dalam pengertian ini, sangat penting membedakan antara inovasi nilai, inovasi teknologi, dan usaha menjadi pelopor pasar. Inovasi nilai diciptakan
dalam wilayah
di
mana tindakan perusahaan secara
positif
memengaruhi struktur biaya dan tawaran nilai bagi pembeli. Penghematan biaya dilakukan dengan menghilangkan dan mengurangi faktor-faktor yang menjadi titik persaingan dalam industri. Nilai pembeli ditingkatkan dengan menambah dan menciptakan elemen-elemen yang belum ditawarkan industri. Dalam perjalanan waktu, biaya berkurang lebih jauh ketika skala ekonomi bekerja setelah terjadi volume penjualan tinggi akibat nilai unggul yang diciptakan. Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 4 dibawah ini, penciptaan samudera biru adalah menekan biaya seefisien mungkin dan meningkatkan nilai produk bagi pembeli, sehingga nilai yang diterima pembeli berasal dari manfaat dan harga yang ditawarkan perusahaan kepada pembeli, dan nilai bagi perusahaan dihasilkan dari harga dan struktur biaya. Inovasi nilai tercapai hanya ketika keseluruhan system kegiatan utilitas, harga, dan biaya perusahaan terpadu dengan tepat (Kim & Mauborgne, 2005).
Biaya
Inovasi Nilai
Nilai Pembeli
Upaya Bersamaan dalam mengejar Diferensiasi dan Biaya Rendah
Gambar 4. Dinamika diferensiasi-biaya rendah yang mendasari inovasi nilai. Sumber : ”Strattegi Samudera Biru”. Kim, W.C. and R. Mauborgne. 2005. Hal. 36
b. Prinsip-prinsip Strategi Samudera Biru
137 Dalam mendukung perumusan dan penerapan Strategi Samudera Biru, telah dirumuskan enam prinsip Strategi Samudera Biru yang mendorong kesuksesan penerapan dan pelaksanaannya beserta resiko-resiko yang ditangani oleh prinsip-prinsip tersebut
(Kim & Mauborgne, 2005). Ke-enam prinsip
tersebut adalah merekonstruksi batasan-batasan pasar, fokus pada gambaran pasar bukan pada angka, menjangkau melampaui permintaan yang ada, melakukan rangkaian strategis dengan tepat, mengatasi hambatan-hambatan utama dalam organisasi dan mengintegrasikan eksekusi ke dalam strategi. c. Kerangka Kerja dan Alat Analisis Kerangka kerja dan alat analitis untuk menciptakan inovasi nilai
dalam
penerapan Strategi Samudera Biru (Blue Ocean Strategy) adalah: 1)
Kanvas Strategi Yaitu kerangka aksi sekaligus diagnosis untuk membangun strategi samudera biru yang baik. Kanvas strategi memiliki fungsi merangkum situasi saat ini dalam ruang pasar yang sudah dikenal sehingga bisa memahami dimana kompetisi saat ini sedang tercurah, faktor-faktor apa yang sedang dijadikan ajang kompetisi dalam produk dan jasa serta memahami apa yang didapatkan konsumen dari penawaran kompetitip di pasar.
2)
Kerangka Kerja Empat Langkah (four actions framework) Yaitu
suatu
langkah
kerja
yang
mengevaluasi
faktor-faktor
yang
berpengaruh dalam penciptaan kurva nilai baru. Kerangka kerja empat langkah mempunyai empat pertanyaan kunci antara lain : a) Faktor apa saja yang harus dihapuskan dari faktor-faktor yang telah berlangsung selama ini pada industri? b) Faktor apa saja yang harus dikurangi hingga di bawas standar industri? c) Faktor apa saja yang harus ditingkatkan hingga di atas standar industri? d) Faktor apa saja yang belum pernah ditawarkan industri sehingga harus diciptakan?
Hapuskan Faktor-faktor yang harus dihapuskan dari faktor yang umum
138
Kurangi Faktor-faktor yang harus dikurangi hingga dibawah standar industri
Ciptakan Faktor-faktor yang belum pernah ditawarkan industri
Kurva Nilai Baru
Tingkatkan Faktor-faktor yang harus ditingkatkan hingga diatas standar
Gambar 5.
Skema
Kerangka
Kerja
Empat
Langkah
framework) dari Blue Ocean Strategy.
(four
actions
Sumber : ”Strattegi Samudera Biru”. Kim, W.C. and R. Mauborgne. 2005. Hal. 53
3)
Skema Hapuskan-Kurangi-Tingkatkan-Ciptakan Yaitu alat analisis pelengkap bagi kerangka kerja empat langkah. Skema ini akan mendorong perusahaan untuk bertindak berdasarkan pertanyaan pada kerangka kerja empat langkah dalam menciptakan suatu kurva nilai baru. Skema ini memberikan empat manfaat utama yaitu mendorong perusahaan untuk
mengejar
menganalisis
diferensiasi
setiap
faktor
dan yang
biaya
murah
menjadi
ajang
secara
bersamaan,
kompetisi
sehingga
menemukan berbagai asumsi implisit yang dibuat secara tidak sadar dalam berkompetisi, menghindari kesalahan dalam struktur biaya dan modifikasi produk secara berlebihan sehingga menyebabkan kenaikan biaya dan mudah dipahami oleh menejer di segala level. 2.4.4 Analisis Strategi Pemasaran Dalam penerapan suatu strategi pemasaran, keberhasilan suatu stategi yang diterapkan sangat bergantung pada hasil analisis faktor internal dan eksternal perusahaan saat ini. Untuk menghasilkan suatu hasil analisis yang optimal diperlukan alat-alat analisis antara lain : a.
Analisis Eksternal Analisis Eksternal merupakan suatu analisis yang dilakukan terhadap
faktor-faktor yang berada di luar organisasi/perusahaan dan tidak dapat dikontrol oleh organisasi tersebut. Tujuan dari Analisis Eksternal ini adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpotensi menjadi peluang dan ancaman
139 terhadap organisasi. Secara umum faktor-faktor eksternal dapat dikelompokkan menjadi empat kategori sebagai berikut : 1) Faktor politik, hukum dan pemerintahan, merupakan faktor eksternal yang berupa kebijakan-kebijakan Pemerintah, baik Pemerintah Daerah maupun Pemerintah Pusat yang dikeluarkan dalam bentuk peraturan, undang-undang, atau himbauan yang dapat mempengaruhi organisasi. 2) Faktor ekonomi, merupakan faktor eksternal yang berkaitan dengan bidang ekonomi yang dapat mempengaruhi suatu organisasi seperti suku bunga kredit, ketersediaan kredit, tingkat inflasi, nilai tukar mata uang, tingkat penghasilan dan sebagainya. 3) Faktor sosial, budaya, demografi dan lingkungan, merupakan faktor eksternal yang berkaitan dengan bidang sosial, budaya, demografi dan lingkungan yang dapat memberikan dampak terhadap produk, jasa, pasar dan pelanggan. 4) Faktor teknologi, merupakan faktor eksternal yang berkaitan dengan perkembangan
dan
pemanfaatan
teknologi
melalui
perubahan
atau
penemuan baru yang dapat mempengaruhi organisasi. Untuk melihat faktor-faktor yang merupakan peluang/ancaman yang mungkin akan dihadapi oleh perusahaan, maka perlu dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Menentukan probabilitas terjadinya peluang/ancaman dengan kategori Rendah, Sedang atau Tinggi. 2) Menilai dampak yang mungkin ditimbulkan oleh peluang/ancaman tersebut dengan kategori Rendah, Sedang atau Tinggi. 3) Mengidentifikasi problem yang mungkin timbul terhadap manajemen akibat peluang/ancaman yang memiliki probabilitas tinggi dan dampak yang juga tinggi. 4) Menilai urgensi terhadap perusahaan dari seberapa besar dampak pada kelangsungan perusahaan dan kapan akan dialami oleh perusahaan. 5) Menetapkan isu strategik eksternal. Isu strategik eksternal ditetapkan dari penilaian terhadap peluang/ancaman yang probabilitasnya tinggi dan dampaknya tinggi serta akan dialami oleh perusahaan dalam waktu dekat. 6) Menetapkan key performance indicator (KPI) sebagai alat untuk mengukur isu strategik eksternal.
140 7) Melakukan inisiatif strategik berikut target dan program yang akan dilakukan. Untuk memudahkan dalam evaluasi, langkah-langkah tersebut di atas dapat disederhanakan dalam bentuk Tabel 4 seperti tersaji dibawah ini. b. Analisis Internal Analisis Internal adalah suatu analisis yang dilakukan terhadap seluruh aspek yang berada di dalam organisasi dan dapat dikontrol sepenuhnya oleh organisasi tersebut. Analisis Internal bertujuan mengetahui kekuatan dan kelemahan dari suatu organisasi/perusahaan. Untuk melihat aspek-aspek yang merupakan kekuatan dan kelemahan organisasi/
perusahaan,
maka
dilakukan
analisis
yang
akurat
terhadap
parameter-parameter kunci dalam organisasi sebagai berikut : 1)
Key Result Area Key Result Area merupakan kinerja pokok yang dituntut dari suatu organisasi atau bidang yang harus dikelola dengan baik karena hasilnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup perusahaan (Drucker, 1993). Lebih lanjut Drucker (1993) mengemukakan bahwa Key Result Area dari suatu perusahaan terdiri atas : a) Profitabilitas, yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba buat perusahaan. b) Produktivitas, yaitu kemampuan perusahaan dalam menghasilkan produk atau jasa buat konsumen. c) Pengelolaan Dana, yaitu kemampuan perusahaan dalam mengelola dana yang mampu menghasilkan pengembalian (return) yang baik. d) Kedudukan
Pasar,
yaitu
posisi
perusahaan
dalam
persaingan
dibandingkan dengan pesaing dalam produk yang sejenis. e) Pengembangan Organisasi, Sarana dan Prasarana, yaitu kemampuan perusahaan dalam mengembangkan organisasi dan fasilitas yang dimiliki. f) Pengembangan Sumberdaya Manusia, yaitu kemampuan perusahaan dalam meningkatkan kualitas dan potensi dari sumberdaya manusia yang dimiliki. g) Inovasi dan Pembaruan, yaitu kemampuan perusahaan dalam melakukan inovasi dan pembaruan baik dalam bentuk produk maupun proses produksi.
141 h) Tanggung
Jawab
Sosial,
yaitu
kemampuan
perusahaan
dalam
menjalankan peran dalam bidang sosial dan kemasyarakatan. 2)
Functional Management Functional
Management
merupakan
penilaian
terhadap
kinerja
dari
manajemen yang terdiri atas : a) Kinerja keuangan, yaitu penilaian terhadap segala hal yang berhubungan dengan aspek keuangan mulai pendapatan, keuntungan sampai dengan persediaan. b) Kinerja pemasaran, yaitu penilaian terhadap segala hal yang berhubungan dengan aspek pemasaran mulai dari tingkat penjualan sampai dengan promosi. c) Kinerja
operasional,
yaitu
penilaian
terhadap
segala
hal
yang
berhubungan dengan aspek operasional mulai dari sumberdaya manusia sampai dengan tingkat efisiensi proses produksi. 3)
Balanced Scorecard Balanced
Scorecard
membantu
para
merupakan
eksekutif
suatu
dalam
kerangka
komprehensif
menterjemahkan
tujuan
yang
strategis
perusahaan ke dalam serangkaian ukuran kinerja yang koheren yang kemudian mengkomunikasikannya kepada karyawan sebagai pelaksana.
Balanced Scorecard merupakan sistem manajemen yang dapat memotivasi untuk peningkatan yang terkait dengan produk, proses, pelanggan dan perkembangan pasar. Sebagai suatu sistem manajemen kinerja, Balanced
Scorecard terdiri atas empat perspektif atau pandangan yang membentuk suatu kerangka kerja dalam mengukur kinerja organisasi sebagai berikut : a) Perspektif Finansial, bertujuan meningkatkan nilai dan memuaskan para pemegang saham. Isu strategis yang diukur dalam Perspektif Finansial adalah pertumbuhan dan peningkatan penerimaan, reduksi biaya atau peningkatan produktivitas dan peningkatan utilisasi aset. b) Perspektif Pelanggan, bertujuan memuaskan pelanggan dengan cara mengidentifikasi pelanggannya dan segmen pasar dimana mereka bermain. c) Perspektif Proses Bisnis Internal, bertujuan mengetahui proses-proses kritis yang teridentifikasi dalam perusahaan. Ini dilakukan untuk mencapai tujuan peningkatan nilai pelanggan dan peningkatan nilai pemegang
142 saham. Model yang biasa digunakan adalah model rantai nilai proses bisnis internal yang terdiri atas proses inovasi, proses operasional dan proses pelayanan. d) Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan, bertujuan mengetahui cara mempertahankan keberlangsungan perusahaan terhadap perubahan dan peningkatan. Tujuan ini dimanfaatkan untuk pengendali dalam mencapai keunggulan hasil dari perspektif finansial, perspektif pelanggan dan perspektif proses bisnis internal. c.
Analisis Nilai-Nilai Manajerial Nilai-nilai manajerial adalah jiwa dan spirit dari suatu organisasi yang
menjadi arah dan pemandu langkah-langkah yang akan dilakukan yang meliputi visi dan misi, tujuan dan norma/ nilai perusahaan. 1) Visi dan Misi Visi merupakan suatu pernyataan tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi/perusahaan. Pernyataan Visi ini harus singkat dan memuat makna yang jelas. Visi yang jelas menjadi dasar untuk membuat pernyataan Misi yang komprehensif. Misi merupakan suatu pernyataan bisnis yang menjadi landasan yang digunakan perusahaan dalam mencari keunggulan bersaing. Dalam Misi ini tertuang untuk kepentingan siapa perusahaan dioperasikan dan kriteria yang digunakan dalam menilai kinerja perusahaan. Pernyataan Misi yang jelas sangat membantu dalam menetapkan tujuan-tujuan dan merumuskan strategi secara efektif. Menurut David (2003), pernyataan Misi yang baik dan efektif harus memiliki sembilan komponen atau ciri sebagai berikut : a. Pelanggan : ”Siapakah para pelanggan dari perusahaan?” b. Produk atau jasa: ”Apa produk atau jasa utama yang dihasilkan perusahaan?” c. Pasar : ”Secara geografis dimanakah pasar perusahaan dalam bersaing?” d. Teknologi : ”Apakah perusahaan memiliki teknologi yang mutakhir ?” e. Perhatian terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan keuntungan: ”Apakah perusahaan memiliki komitmen terhadap pertumbuhan dan kondisi keuangan yang sehat?”
143 f.
Filsafat: ”Apakah keyakinan, nilai-nilai, cita-cita dan prioritas etis dasar perusahaan?”
g. Konsep diri : ”Apakah kompetensi perusahaan yang mencolok atau keunggulan kompetitif utamanya?” h. Perhatian terhadap citra publik: ”Apakah perusahaan tanggap terhadap persoalan-persoalan sosial, komunitas dan lingkungan?” i.
Perhatian terhadap karyawan: ”Apakah para karyawan merupakan asset perusahaan yang berharga ?”
2) Tujuan Utama Perusahaan Perumusan
tujuan
utama
perusahaan
adalah
usaha
untuk
lebih
mengaktualkan misi bisnis perusahaan tersebut. Pada umumnya tujuan utama perusahaan mengandung karakteristik sebagai berikut (Dess and Miller, 1993) : a. Mengenai masalah keuangan dan non keuangan b. Dapat dicapai dengan usaha yang keras c. Dihubungkan dengan dimensi waktu d. Memfasilitasi trade-off antara tujuan-tujuan yang sama baiknya e. Mengurangi konflik antara kepentingan yang saling bersimpangan f.
Dapat diukur perkembangannya
g. Menghindari konsekuensi yang tidak diinginkan 3) Norma-Norma dan Nilai-Nilai Perusahaan Norma-norma dan nilai-nilai perusahaan merupakan software yang menggerakkan seluruh aktivitas organisasi baik bisnis maupun non bisnis. Norma-Norma merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi oleh seluruh anggota organisasi yang disertai sanksi-sanksi bagi yang melanggarnya dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan organisasi yang maksimal. d. Analisis Kesenjangan (Gap) Analisis gap adalah analisis perbandingan yang menunjukkan adanya perbedaan antara nilai sebuah atribut layanan atau produk dibandingkan dengan standar yang ditetapkan (Radian, 2003). Dalam penetapan standar ini bisa bersifat subyektif dan sangat bergantung pada tolak ukur yang ditetapkan. Misalnya gap bisa teridentifikasi ketika membandingkan antara skor atribut sebuah produk dengan skor rata-rata untuk atribut yang sama yang dimiliki
144 pesaing. Bisa juga analisis gap ini didasarkan pada hasil perbandingan antara skor tiap atribut dengan standar yang diinginkan oleh perusahaan. Menurut Radian (2003), hasil dari analisis gap bisa digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki kinerja produk atau layanan yang ditawarkan kepada konsumen. Analisis gap ini bisa bersifat positif atau negatif. Gap positif jika realisasi skor untuk atribut produk atau jasa lebih tinggi dibandingkan dengan standar yang ditetapkan, dan jika ternyata lebih kecil, maka termasuk gap negatif. Baik gap positif maupun negatif, maka hasil yang bisa diperoleh adalah skor perbandingan yang akan mampu menunjukkan posisi produk yang ditawarkan perusahaan dibandingkan dengan produk yang ditawarkan oleh pesaing. e.
Analisis SWOT Analisis SWOT dilakukan dengan menggunakan informasi yang diperoleh
dari hasil Analisis Eksternal, Analisis Internal dan pengkajian terhadap Nilai-Nilai Manajerial. Analisis SWOT pada model manajemen strategis dari Fred R. David yaitu analisis yang umum digunakan dalam merumuskan strategi yang dapat diambil oleh perusahaan sesuai dengan kemampuan perusahaan. Analisis ini terdiri atas tahapan antara lain: 1) Tahapan masukan (Input Stage) Menggabungkan hasil Analisis Internal dan Eksternal untuk mendapatkan kondisi perusahaan secara utuh dan menyeluruh yang mencakup kekuatan (strenth) dan kelemahan (weakness) perusahaan itu sendiri serta peluang (oportunity) dan ancaman (treath) dari pihak luar. 2) Tahap mencocokan (Matching Stage) Membandingkan dan mencocokan kekuatan (strenth) dan kelemahan (weakness) internal perusahaan dengan peluang (oportunity) dan ancaman (treath) dari pihak luar. Kemudian menyusun strategi-strategi yang dapat dikembangkan yang sesuai dengan kondisi dan kemampuan perusahaan. 3) Tahap keputusan (Decision Stage) Membahas strategi pemasaran yang cocok dengan karakter produk dari hasil analisis dan membandingkan dengan alternatif strategi lain yang sesuai. Kemudian memetakan faktor internal dan eksternal. Hunger & Wheelen (2003) menyatakan bahwa Analisis SWOT harus mengidentifikasi kompetensi
145 langka (distinctive competence) perusahaan yaitu keahlian tertentu dan sumber-sumber yang dimiliki perusahaan serta metode unggul yang digunakan. Kompetensi langka sering juga dikatakan sebagai kapabilitas inti (core capability) yaitu kapabilitas yang secara strategis membuat sebuah perusahaan berbeda. Tabel 4. Matrik analisis strategi pemasaran (SWOT) Kekuatan (strengths) Strategi SO: Peluang (opportunities) Ancaman (Threats)
Kelemahan (weakness) Strategi WO :
Menggunakan kekuatan inter- Mengembangkan kelemahan nal untuk meraih keuntungan internal dengan meraih keundari peluang eksternal tungan dari peluang eksternal Strategi ST :
Strategi WT :
Menggunakan kekuatan inter nal untuk menghindari/ mengurangi pengaruh/ ancaman eksternal
Mengarahkan taktik bertahan untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari ancaman lingkungan
Sumber : Diadaptasi dari Buku Manajemen Strategis, J. David Hunger & Thomas L. Wheelen. 2003, halaman 231.
Berikut ini disajikan tabel analisis faktor Internal (IFAS) dan faktor External (EFAS). Tabel 5. Model Analisis Faktor Internal (IFAS) dan Faktor Bobot Peringkat (B) (P) Faktor Strategis Internal Kekuatan : 0–1 1–5 • Faktor I, II, dst Kelemahan : 0–1 1–5 • Faktor I, II, dst Total 1.00 Faktor Strategis External Peluang : • Faktor I, II, dst Ancaman : • Faktor I, II, dst Total
External (EFAS). Skor Keterangan (B X P)
BXP BXP .........
0–1
1–5
BXP
0–1 1.00
1–5
BXP .........
Sumber : Buku Manajemen Strategis, J. David Hunger & Thomas L. Wheelen. 2003, halaman 197.
146 Untuk menyimpulkan faktor-faktor strategis suatu perusahaan, maka faktor strategis eksternal (EFAS) dengan faktor strategis internal (IFAS) dikombinasikan ke dalam sebuah ringkasan analisis faktor strategis (SFAS) (Tabel 6). Tabel 6. Ringkasan Analisis faktor-faktor Strategis (SFAS) Faktor Strategis Kunci (Faktor yang terbaik) IFAS yang terbaik • Faktor I • Faktor II, dst EFAS yang terbaik • Faktor I • Faktor II, dst Total
Bobot (B)
Peringkat (P)
Skor (B X P)
0-1
1–5
BXP
0-1 1.00
1–5
BXP .........
Durasi P M PJ
Ket.
Sumber : Buku Manajemen Strategis, J. David Hunger & Thomas L. Wheelen. 2003, halaman 197.
f.
Analisis Industri dan Foresight Analisis
Industri
adalah
suatu
analisis
yang
digunakan
untuk
mengidentifikasi struktur utama dari suatu industri yang memberikan gambaran tingkat profitibilitas. Analisis Industri akan menghasilkan peta intensitas persaingan dari suatu industri yang sedang dianalisis dan perkiraan tinggi rendahnya
tingkat
keuntungan
dari
industri
tersebut.
Porter
(2000)
mengidentifikasi lima perangkat kekuatan (Competitive Strategy Porter ) dalam persaingan industri sebagai berikut : 1)
Ancaman pendatang baru Ancaman pendatang baru pada suatu industri berasal dari penambahan kapasitas baru, keinginan untuk merebut bagian pasar yang sudah ada dan kemampuan sumberdaya yang besar. Ini akan mengakibatkan kemungkinan penurunan harga atau kenaikan biaya sehingga kemampuan perusahaan menghasilkan laba menurun. Besarnya ancaman pendatang baru terhadap suatu industri bergantung pada besarnya rintangan masuk ditambah dengan reaksi pemain lama dan menciptakan “standar“ bagi peserta yang akan masuk.
2)
Persaingan di antara perusahaan yang ada Persaingan
di
antara
perusahaan
yang
ada
lebih
ditujukan
untuk
mendapatkan posisi yang paling menguntungkan. Persaingan timbul karena satu atau lebih pesaing merasakan tekanan atau melihat suatu kesempatan
147 untuk meningkatkan posisinya. Persaingan ini dilakukan melalui penurunan harga, perang iklan dan peningkatan pelayanan. 3)
Ancaman produk substitusi Ancaman produk substitusi dialami oleh semua perusahaan dalam industri. Produk substitusi yang perlu dicermati adalah yang memiliki harga atau prestasi yang lebih baik atau berasal dari industri yang memiliki laba tinggi.
4)
Kekuatan tawar pembeli Kekuatan tawar pembeli terbentuk dari kemampuan mereka (konsumen) memaksa penurunan harga, menawar dengan meminta kualitas yang lebih baik dengan pelayanan yang diinginkan sehingga menurunkan kemampuan menghasilkan laba.
5)
Kekuatan tawar pemasok Kekuatan
tawar
pemasok
terbentuk
melalui
kemampuan
mereka
mengancam untuk menaikkan harga ataupun menurunkan kualitas barang yang
dipasok.
perusahaan
Pemasok
untuk
yang
menghasilkan
kuat laba.
mampu
menekan
Kekuatan
ini
kemampuan
bisa
menekan
keuntungan sampai pada tingkat dimana harga jual lebih rendah dari biaya produksi. PENDATANG BARU POTENSIAL
Kekuatan dari Pemerintah, organisasi Stakeholder Lainnya
PARA PESAING INDUSTRI
Kekuatan tawar menawar pembeli PEMBELI
Kekuatan tawar menawar PEMASOK
Ancaman pendatang baru
Persaingan di antara Perusahaan yang ada Ancaman produk substitusi PRODUK SUBSTITUSI
Gambar 6. Kekuatan Dalam Persaingan Industri Sumber : Buku Strategi Bersaing: Teknik Menganalisis Industri dan Pesaing, Michael E. Porter @1980. Terjemahan Agus Maulana (2000). Erlangga, Jakarta
148 Industry Foresight yaitu suatu tinjauan yang digunakan untuk merumuskan suatu pandangan baru tentang suatu industri di masa depan. Industry Foresight ini perlu dilakukan
mempertimbangkan kecenderungan perubahan pada sisi
teknologi, demografi, regulasi/peraturan, gaya hidup, geopolitik dan sebagainya.
Industri Foresight memberikan kerangka berfikir baru buat perusahaan untuk melakukan langkah-langkah strategis menghadapi perubahan-perubahan yang mungkin terjadi di masa depan. g.
Perencanaan Strategik Perencanaan strategik adalah suatu rangkaian tindakan dan keputusan
yang dibuat oleh manajemen yang memandu pada pengembangan strategi tertentu yang dirancang untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya. Perencanaan strategik merupakan suatu usaha untuk merumuskan kegiatan dimasa depan dengan mempengaruhi, mengarahkan dan mengendalikan perubahan-perubahan terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi kegiatan tersebut dalam kerangka waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan. Perencanaan strategik ini penting karena dapat menjadi pedoman pelaksanaan yang mengarahkan kegiatan ke arah tujuan yang ingin dicapai, memberikan alternatif pilihan yang dapat memberikan manfaat yang optimal, menjadi tolok ukur dalam evaluasi keberhasilan pelaksanaan kegiatan dan memberikan perkiraan terhadap hambatan dan peluang sehingga pelaksanaan dapat terjamin. Perencanaan strategik memiliki beberapa komponen penting yang biasa digunakan untuk merumuskan perencanaan jangka panjang perusahaan yaitu : 1) Tujuan, merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh perusahaan pada masa depan. Tujuan biasanya merupakan konversi dari visi perusahaan dan bersifat jangka panjang dan kualitatif. 2) Sasaran, merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh perusahaan pada masa depan dalam kerangka waktu yang lebih pendek. Sasaran biasanya lebih specifik, dapat diukur, dapat dicapai, realistis, terikat waktu, memberikan tantangan dan bersifat kuantitatif. 3) Arsitektur Strategik, merupakan jalur dan cetak biru dari strategi perusahaan untuk meraih masa depan yang diinginkan sesuai dengan situasi dan tantangan yang dihadapi oleh perusahaan. Arsitektur strategik biasanya berisi
149 pengembangan
fungsi-fungsi
baru
dalam
perusahaan,
mengakuisisi
kompetensi baru, melakukan migrasi dari kompetensi yang sudah ada atau melakukan konfigurasi ulang terhadap pelanggan yang akan dihadapi dimasa mendatang melalui pemetaan kondisi saat ini dan kondisi pada masa depan. Arsitektur strategik merupakan pemandu arah yang akan dituju oleh perusahaan pada masa mendatang dengan rentang waktu yang disepakati. Arsitektur strategik merupakan penghubung antara saat ini dan masa depan, penghubung antara jangka pendek dan jangka panjang. 4) Program, merupakan rencana kerja yang akan dilakukan sesuai dengan strategi dan arsitektur strategik yang ditetapkan untuk mencapai tujuan dan sasaran perusahaan. 5) Rencana Tindakan (Action Plan), merupakan langkah-langkah atau tindakantindakan yang akan dilakukan sebagai penjabaran dari program kerja yang telah ditetapkan. 2.4.5 Kajian Penelitian Terdahulu Kajian strategi pemasaran ini bukan merupakan yang pertama. Beberapa penelitian sebelumnya yang menyinggung tentang strategi pemasaran telah banyak dilakukan sehingga dapat dijadikan sebagai acuan dalam penulisan ini. Pada tahun 2002, Agus Setia Sembiring telah melakukan penelitian perencanaan strategik jangka panjang di P.T. Dafa Teknoagro Mandiri, dengan memfokuskan pada analisis faktor eksternal dan internal perusahaan. Alat analisis yang digunakan adalah Analisis Deskriptif, Analisis Fungsional, Analisis EFE/IFE, Analisis I-E dan Analisis SWOT. Kemudian pada tahun 2004, Aryanto Purwadi melakukan penelitian perencanaan strategik dalam peningkatan pangsa pasar penghimpunan dana dan penyaluran kredit di PT. Bank BNI (Persero) Tbk. Cabang Imam Bonjol Padang. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Deskriptif, Matriks EFI, Matriks EFE, Matriks Profil Persaingan, Matriks SWOT dan Matriks Perencanaan Strategis Kuantitatif (QSPM). Pada tahun yang sama, Agus Winasis Chandra (2004) menyusun karya ilmiah Formulasi Strategi Bisnis di P.T. Metalisha Intiguna. Fokus penelitian ini adalah memformulasikan beberapa alternatif strategi usaha yang sesuai dengan kondisi lingkungan internal dan ekternal perusahaan serta merekomendasikan prioritas alternatif strategi. Alat
150 analisis yang digunakan adalah Analisis Five’s Porter dengan Metode Delphi, Matriks IFE, Matriks EFE, Matriks I-E, Matriks TOWS dan QSPM. Pada tahun 2006, Rafian Joni melakukan penelitian tentang perencanaan strategik P.T. Anugrah Jaya Agung. Penelitian ini bertujuan menyusun strategi bersaing P.T. Anugrah Jaya Agung - Hotel Salak The Heritage Bogor dalam menghadapi intensitas persaingan industri perhotelan di Kota Bogor dalam beberapa tahun mendatang serta merumuskan perencanaan strategik jangka panjang perusahaan. Alat analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah Analisis Eksternal dan Internal, Analisis Industri dan Foresight, Analisis SWOT, Analisis Biaya Strategik dan Blue Ocean Strategy. Perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitian sebelumnya adalah dilakukannya analisis biaya strategik lanjutan yang dipadukan
dengan
Program Linear penentuan produk yang paling menguntungkan. Selain itu pendekatan Blue Ocean Strategy dari W. Chan Kim dan Renee Mauborgne lebih difokuskan pada ‘penciptaan nilai‘ produk yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing. 2.5
Kerangka Pemikiran Konseptual Kerangka pemikiran konseptual dalam penyusunan kajian ini mengacu
pada tujuan penelitian dan target output yang ingin dicapai. Kerangka konseptual ini dapat digambarkan seperti dalam tabel dibawah ini : Tabel 9. Kerangka pemikiran konseptual kajian Tujuan b) Mengkaji strategi pemasaran usaha pengolahan ikan asap UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor.
Metodologi ‐ Analisis Biaya ‐ Analisis Manajerial ‐ Analisis Industri
‐ Analisis SWOT
2. Merumuskan strategi pemasaran UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor
Analisis Kesenja ngan terhadap aspek Biaya, mana jerial, kelayakan industry dan situasi
Indikator/ Parameter
Target Output
‐ Profitabilitas Perusahaan (BEP) ‐ Visi - Misi dan Stakeholder ‐ Kelayakan industri (bahan baku, bahan penunjang, pesaing, pembeli, produk sejenis) ‐ Strategi Pemasaran berdasarkan kelemahan, kekuatan dan peluang – ancaman
Strategi Pemasaran Yang diterapkan saat ini
Draft rumusan Strattegi Pemasaran UKM Petikan Cita Halus.
Rumusan Strategi pemasaran UKM Petikan Cita Halus – Citayam Bogor (Jangka
151 dalam menghadapi intensitas persaingan.
berdasarkan SWOT.
Panjang dan Jangka Pendek)
Kerangka pemikiran ini diimplemetasikan melalui tahapan-tahapan antara lain : 1) Tahap Pertama adalah mengkaji strategi pemasaran yang diterapkan perusahaan selama dua tahun terakhir serta mengumpulkan informasiinformasi yang terkait dengan kinerja perusahaan baik internal maupun eksternal. 2) Tahap kedua adalah melakukan Analisis Eksternal dengan merumuskan faktor-faktor eksternal, mengidentifikasi peluang dan ancaman perusahaan dan menetapkan isu strategik eksternal. 3) Tahap yang ketiga adalah melakukan Analisis Internal dengan merumuskan faktor-faktor internal, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan perusahan dan menetapkan isu strategik internal. 4) Tahap yang keempat adalah melakukan Analisis Nilai-nilai Manajerial yang meliputi analisis Visi dan Misi perusahaan, analisis tujuan utama perusahaan dan analisis Norma-norma dan Nilai-nilai perusahaan. 5) Tahap yang kelima adalah melakukan Analisis Industri dan Foresight, untuk memperoleh struktur persaingan industri dan merumuskan strategi bersaing perusahaan serta pandangan industri pada masa depan untuk menentukan langkah-langkah yang dapat diambil perusahaan. 6) Tahap yang keenam adalah menentukan faktor-faktor strategis perusahaan dari hasil Analisis SWOT, sehingga dapat ditentukan strategi perusahaan dalam menghadapi persaingan. 7) Tahap yang ketujuh adalah menyusun perencanaan strategik perusahaan secara lengkap dan menyeluruh.