TINJAUAN PUSTAKA
Sapi Bali Sapi bali adalah sapi asli Indonesia sebagai hasil domestikasi dari banteng liar yang telah berjalan lama. Kapan dimulainya proses penjinakan banteng belum diketahui dengan jelas, demikian pula dengan mengapa lebih terkenal di Indonesia sebagai sapi bali dan bukannya sapi banteng mengingat dalam keadaan liar dikenal sebagai banteng. Pendapat yang bisa dirujuk adalah dijinakkan di Jawa dan Bali (Herweijer, 1947; Meijer, 1962; Pane, 1990 dan 1991) dan dalam perkembangannya ternyata kondisi di Bali lebih sesuai bagi bangsa sapi ini karena adanya budaya orang bali yang memuliakan ternak sapi. Sementara itu tidak berhasilnya pengembangan sapi bali di Jawa kemungkinan disebabkan karena cukup tingginya populasi ternak domba yang kemungkinan besar telah menjadi carrier dari penyakit MCF (Malignant Catarrhal Fever) yang mudah sekali menulari sapi bali dengan akibat yang cukup fatal bagi bangsa sapi ini. Hal yang berbeda terdapat di beberapa wilayah di Indonesia seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, Sumatera dan Kalimantan. Dalam keadaan liar, habitat asli banteng di Indonesia, adalah di Jawa Timur (Blauran) dan di Jawa Barat (Ujung Kulon). Dari galur yang lebih kecil, banteng juga ditemukan di perbatasan hutan Kalimantan Timur, Laos, Vietnam dan di Semenanjung Coubourgh di Australia Utara (Scherf, 1995). Walaupun demikian yang pasti sesuai dengan namanya, dapat dikatakan bahwa sapi bali di Indonesia hampir semuanya bermula dari sapi bali yang ada di Bali dan hasil pembuktian lanjutan menunjukkan bahwa sapi bali di Bali adalah yang paling
Universitas Sumatera Utara
murni (Namikawa dan Widodo, 1978; Namikawa dkk, 1980) jika digunakan darah banteng sebagai kontrolnya. Saat ini penyebaran sapi bali telah meluas hampir keseluruh wilayah Indonesia, konsentrasi sapi bali terbesar adalah di Sulawesi Selatan, Pulau Timor, Bali dan Lombok. Pane (1989) menyatakan bahwa jumlah sapi bali di Sulawesi Selatan dan Pulau Timor telah jauh melampaui populasi sapi bali ditempat asalnya (Pulau Bali). Pada tahun 1991 ditaksir jumlah sapi bali di Indonesia sekitar 3,2 juta, dengan jumlah terbanyak di Sulawesi Selatan (1,8 juta ekor), Nusa Tenggara Timur (625 ekor) dan Pulau Bali (456 ekor) (Hardjosubroto, 1994). Secara umum bila dilihat dari peta penyebaran sapi bali di luar Indonesia, ternyata sapi bali juga terdapat di negara Asia Tenggara lainnya, Australia Utara dan sedikit di peternakan khusus di Texas dan Australia (Brisbane dan NSW) dan juga dalam jumlah terbatas tersebar di 112 buah tempat penangkaran dan kebun binatang di seluruh dunia. Pada tempat-tempat yang disebut belakangan, sapi bali lebih dikenal sebagai “banteng cattle” (Devendra dkk, 1973; Kirby, 1979; Scherf, 1995; Talib dkk., 1998). Ditinjau dari sistematika ternak, sapi bali masuk familia Bovidae, Genus bos dan Sub-Genus Bovine, yang termasuk dalam sub-genus tersebut adalah; Bibos gaurus, Bibos frontalis dan Bibos sondaicus. Sapi bali mempunyai ciri-ciri khusus antara lain: warna bulu merah bata, tetapi yang jantan dewasa berubah menjadi hitam (Hardjosubroto, 1994).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Williamson and Payne (1993) bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut : Phylum : Chordata; Subphylum : Vertebrata; Class : Mamalia ; Sub class : Theria ; Infra class : Eutheria ; Ordo : Artiodactyla ; Sub ordo : Ruminantia; Infra ordo : Pecora; Famili : Bovidae; Genus : Bos (cattle); Group : Taurinae; Spesies : Bos taurus (sapi eropa), Bos indicus (sapi india/sapi zebu), Bos sondaicus (banteng/sapi bali) Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa ada tanda-tanda khusus yang harus dipenuhi sebagai sapi bali murni, yaitu warna putih pada bagian belakang paha, pinggiran bibir atas dan pada paha kaki bawah mulai tarsus dan carpus sampai batas pinggir atas kuku, bulu pada ujung ekor hitam, bulu pada bagian dalam telinga putih, terdapat garis belut (garis hitam) yang jelas pada bagian atas punggung, bentuk tanduk pada jantan yang paling edial disebut bentuk tanduk silak congklok yaitu jalannya pertumbuhan tanduk mula-mula dari dasar sedikit keluar lalu membengkok keatas, kemudian pada ujungnya membengkok sedikit keluar. Pada sapi betina bentuk tanduk yang ideal disebut manggul gangsa yaitu jalannya pertumbuhan tanduk satu garis dengan dahi arah kebelakang sedikit melengkung kebawah dan pada ujungnya sedikit mengarah kebawah dan kedalam, tanduk ini berwarna hitam. Sapi Bali merupakan plasma nutfah dan sebagai ternak potong andalan yang dapat memasok kebutuhan akan daging sekitar 27% dari total populasi sapi potong Indonesia (Bandini, 1999). Sebagai ternak potong, pertumbuhan sapi Bali tergantung pada kualitas nutrien yang terkandung pada tiap bahan pakan yang dimakan. Pada umumnya, kebutuhan akan nutrien dari ternak sapi adalah energy berkisar 60 – 70% “total digestible nutrien” (TDN), protein kasar 12%, dan lemak
Universitas Sumatera Utara
3 – 5% (Abidin, 2002). Pemanfaatan hijauan bernilai hayati tinggi sebagai sumber pakan belum bisa mendukung kebutuhan sapi Bali akan nutrien. Hal ini disebabkan karena hijauan bernilai hayati tinggi dan ketersediaannya terbatas pada musim kemarau. Potensi Sapi Potong Lokal di Indonesia Tiga bangsa sapi lokal yang berpotensi dikembangkan di Indonesia adalah sapi ongole (sumba ongole dan peranakan ongole), sapi bali dan sapi madura. Bangsa sapi tersebut telah beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan dan cekaman di wilayah Indonesia. Dari ketiga bangsa sapi lokal tersebut, sapi bali paling tahan terhadap cekaman panas (Sutrisno dkk, 1978), di samping memiliki tingkat kesuburan yang baik, kemampuan libido pejantan lebih unggul, persentase karkas tinggi (56%) dan kualitas daging baik. Bobot tubuh ternak senantiasa berbanding lurus dengan konsumsi pakan, makin tinggi bobot tubuhnya, makin tinggi pula tingkat konsumsinya terhadap pakan (Kartadisastra, 1997). Produktivitas Sapi Bali Produktivitas adalah hasil yang diperoleh dari seekor ternak pada ukuran waktu tertentu (Hardjosubroto, 1994) dan Seiffert (1978) menyatakan bahwa produktivitas sapi potong biasanya dinyatakan sebagai fungsi dari tingkat reproduksi dan pertumbuhan. Tomaszewska dkk. (1988) menyatakan bahwa aspek produksi seekor ternak tidak dapat dipisahkan dari reproduksi ternak yang bersangkutan, dapat dikatakan bahwa tanpa berlangsungnya reproduksi tidak akan terjadi produksi. Dijelaskan pula bahwa tingkat dan efesiensi produksi ternak
Universitas Sumatera Utara
dibatasi oleh tingkat dan efesiensi reproduksinya. Produktivitas sapi potong dapat juga dilihat dari
jumlah kebuntingan, kelahiran, kematian, panen pedet
(Calf crop), perbandingan anak jantan dan betina, jarak beranak, bobot sapih, bobot setahun (yearling), bobot potong dan pertambahan bobot badan (Trikesowo dkk, 1993). Kebutuhan Nutrisi Sapi Bali Wahyono dan Hardianto (2004) menyatakan kebutuhan nutrisi pakan sapi untuk tujuan produksi (pembibitan dan penggemukan) dapat dilihat pada Tabel 1 berikut : Tabel 1. Kebutuhan nutrisi pakan sapi. Uraian Bahan ( %) Kadar Air Bahan Kering Protein Kasar Lemak Kasar Serat Kasar Kadar Abu TDN
Tujuan Produksi Pembibitan Penggemukan 12 12 88 88 10,4 12,7 2,6 3,0 19,6 18,4 6,8 8,7 64,2 64,4
Sumber : Wahyono dan Hardianto (2004).
Pakan Sapi Menurut Hardianto (2000) ada beberapa pengertian tentang bahan pakan ternak yaitu sebagai: 1) Sumber serat yaitu adalah bahan-bahan yang memiliki kandungan serat kasar (SK) > 18% (contoh: limbah pertanian dan kulit biji polong-polongan). 2) Sumber energi yaitu bahan-bahan yang memiliki kadar protein kurang dari 20% dan serat kasar kurang dari 18% atau dinding selnya kurang dari 35% (contoh: biji-bijian, kacang-kacangan, buah-buahan, umbiumbian dan sisa penggilingan). 3) Sumber protein yaitu bahan-bahan yang
Universitas Sumatera Utara
memiliki kandungan protein kasar > 20% (contoh: berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti bungkil, bekatul maupun yang bukan berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti silase ikan). 4) Sumber mineral yaitu bahan-bahan yang memiliki kandungan mineral yang cukup tinggi, misalnya makanan berbutir dan umbiumbian. 5) Pakan tambahan yaitu bahan-bahan tertentu yang ditambah kedalam ransum, seperti: obat-obatan, anti biotika, hormon, air dan zat flavour. Menurut Parakkasi (1995) pakan merupakan semua bahan yang bisa diberikan dan bermanfaat bagi ternak. Pakan yang diberikan harus berkualitas tinggi yaitu mengandung zat-zat yang diperlukan oleh tubuh ternak untuk kehidupannya seperti air, karbohidrat, lemak, protein, mineral dan air. Pakan yang di berikan sebaiknya jangan sekedar untuk mengatasi rasa lapar atau sebagai pengisi perut saja melainkan harus benar-benar bermamfaat untuk kebutuhan hidup, membentuk sel-sel baru, mengganti sel-sel yang rusak dan untuk produksi (Widayati dan Widalestari, 1996). Rumput sebaiknya diberikan dalam bentuk cacahan sepanjang 10 cm, rumput bentuk cacahan ini lebih disenangi ternak. Sedangkan legume sebaiknya diberikan tidak dalam bentuk segar, tetapi harus dilayukan terlebih dahulu, pelayuan bisa mengurangi ransum seperti mimosin pada leucaena (Murti, 2002). Pakan ternak ruminansia pada umumnya terdiri dari hijauan sperti rumput, leguminosa kedua
bahan
dan
konsentrat.
tersebut
akan
Pemberian menjamin
pakan
berupa
terpenuhinya
zat
kombinasi -
zat
gizi
(Smith dan Mangkoewidjojo,1988).
Universitas Sumatera Utara
Konsentrat Ternak ruminansia membutuhkan konsentrat untuk mengisi kekurangan makanan yang diperolehnya dari hijauan. Pemberian konsentrat pada sapi tidak sama dengan hewan lainnya (Novirma, 1991). Teknik pemberian pakan juga perlu diperhatikan dengan kaitannya dengan suplementasi konsentrat, untuk meningkatkan kecernaan
bahan organik sapi,
pemberian konsentrat sebaiknya dilakukan dua jam sebelum,tetapi menurut (Owen, 1979),konsentrat dapat diberikan secara bersama-sama dengan hijauan sebagai pakan lengkap. Hal ini sejalan dengan pendapat (Ibrahim, 1988), pada pemberian hijauan dan konsentrat secara bersama-sama dalam bentuk campuran yang seragam, akan meningkatkan nilai guna hijauan yang diberikan, terutama bila hijauan yang di berikan berkualitas rendah. Konsentrat adalah pakan yang memiliki protein dan energi yang cukup tinggi PK≥ 18%. Pada ternak y ang digemukkan semakin banyak konsentrat dalam pakan akan semakin baik asalkan konsumsi serat kasar tidak kurang dari 15 % BK pakan. Oleh karena itu, banyaknya pemberian pakan konsentrat adalah formula pakan harus terbatas agar tidak terlalu gemuk (Siregar, 2003). Pemberian konsentrat terlalu banyak akan meningkatkan konsentrasi energi pakan yang dapat menurunkan tingkat konsumsi sehingga tingkat konsumsi energi sendiri dapat berkurang (Parakkasi, 1995). Pemberian hijauan pakan berbasis daun-daunan leguminosa semak tersebut masih memunculkan kekhawatiran, terutama dalam hal pemenuhan mikroba rumen dan ternak akan energi siap pakai (available energy) dan nitrogen bukan protein (NPN). Karena hampir 85% mikroba rumen dapat memanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
NPN untuk sintesis protein tubuhnya (Schaefer dkk, 1980), sudah selayaknya dibutuhkan kehadiran konsentrat berurea sebagai sumber NPN. Dengan harapan dapat meningkatkan populasi bakteri, proteinmikroba di dalam rumen, kecernaan BK, dan nutrien ransum. Blok Multinutrisi (BM) Urea Molases Blok (UMB) merupakan pakan tambahan yang biasa diberikan pada ternak pada saat hijauan yang diberikan mengalami kualitas dan palatabilitas rendah. Kandungan molases yang mengandung karbohidrat mudah dicerna dan urea yang terdapat pada UMB menjadikannya sebagai enrichment media bagi fermentasi rumen. Penggunann UMB pada ternak sapi potong terbukti dapat
meningkatkan
konsumsi
pakan
dan
pertambahan
bobot
badan
(Preston dan Leng, 1990). Blok mutinutrisi merupakan suplemen untuk ternak ruminansia yang dibuat dari bahan baku urea, molases (tetes tebu) dan bahan lain seperti mineral yang diolah dan dibuat dalam bentuk silinder atau balok padat serta keras. Bentuk ini sengaja dirancang agar ternak memakan dengan cara menjilat. Suplemen ini memberi kesempatan bagi ternak untuk memperoleh tambahan nutrisi berupa protein, energi dan mineral. Selain itu BM juga dapat meningkatkan daya cerna dan konsumsi serat kasar. BM atau Urea Mineral Molases Blok (UMMB) adalah pakan tambahan (imbuhan), yang menyediakan nutrisi penting bagi ternak seperti protein, energi dan mineral yang biasanya sangat kurang pada sumber hijauan dan limbah pertanian. BM diberikan dalam bentuk padat, keras, kompak, tapi bisa larut dalam air (Hamdan, 2005).
Universitas Sumatera Utara
Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak
yang
mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Saka Multinutrien Blok (USMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea, saka, mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat-zat makanan lebih sempurna dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991). Penggunaan multinutrient block merupakan salah satu
cara
untuk
meningkatkan kecernaan pakan ternak ruminansia, khususnya pada musim kemarau yang berkepanjangan. Multinutrient block ini mengandung urea, mineral, dan kadangkadang diberi protein by-pass (Tolleng, 2002).
Leng (1995) menyatakan bahwa USMB juga dapat meningkatkan effisiensi daya cerna hijauan oleh ternak dan merupakan makanan yang baik untuk meningkatkan pertumbuhan dan kesuburan ternak yang menderita kurang gizi. Selanjutnya Leng (1995) menyimpulkan pembuatan USMB dapat direkayasa sendiri dengan pemanfaatan bahan lokal dan mudah diterapkan. Blok multinutrisi diberikan dengan cara diletakan di tabung bambu atau dikotak pakan. Pakan suplemen ini diberikan pada pagi hari, jumlahnya disesuaikan dengan tingkat konsumsi yang dianjurkan pada setiap jenis ternak. Kebutuhan BM untuk ternak besar (sapi dan kerbau) mencapai 350 g/ekor/hari, sedangkan
kambing dan domba sebesar 120 g/ekor/hari.
Blok Multinutrisi
merupakan hasil proses pengolahan bahan pakan dengan hasil pengolahan yang bervariasi. Oleh karena BM mempunyai kualitas yang sangat bervariasi yaitu yang mempunyai kualitas baik dan tidak baik. Berikut gambaran dari kualitas BM.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Kualitas blok multinutrisi (BM) Parameter
Baik
Tidak baik
Warna Bau Rasa pH Tekstur
Coklat matang Aroma khas molases Asam, manis, dan gurih 3,5 – 4,2 Padat, kenyal, kesat dan tidak berlendir
Belang berbintik putih Busuk tengik Sangat asam Lebih dari 4,2 Bergumpal, pecah, basah, dan berlendir.
Sumber: (http ://insidewinme.blogspot.com/penggunaan BM)
Blok multinutrisi (BM) mengandung non-protein nitrogen (NPN), yang di dalam rumen akan mengaktifkan mikroba rumen dan disintesis menjadi asamasam amino yang dibutuhkan tubuh ternak. Selain urea, blok multinutrisi juga terdiri atas berbagai bahan penyusun lain, seperti molases, bungkil inti sawit (BIS), dedak padi, tepung ikan, semen, kapur, garam dapur dan ultra mineral. Pada domba, pemberian blok multinutrisi (BM) sebesar 4 gram perhari per kg bobot badan terbukti mampu meningkatkan pertambahan bobot badan harian domba. Selain itu juga terbukti meningkatkan akseptabilitas domba terhadap limbah pertanian dengan serat kasar cukup tinggi seperti kulit dan tongkol jagung (Sodiq dan Abidin, 2002). Molases Molases dapat digunakan sebagai pakan ternak. Keuntungan penggunaan molases untuk pakan ternak adalah kadar karbohidrat tinggi (46-60% sebagai gula), kadar mineral cukup disukai ternak. Molases atau tetes tebu juga mengandung vitamin B kompleks dan unsur-unsur mikro yang penting bagi ternak seperti kobalt, boron, jodium, tembaga, mangan dan seng. Sedangkan kelemahannya adalah kadar kaliumnya yang tinggi dapat menyebabkan diare bila
Universitas Sumatera Utara
dikonsumsi terlalu banyak (Rangkuti et al., 1985). Kandungan nilai gizi molases dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kandungan nilai gizi molases Kandungan Zat Bahan kering Protein kasar Lemak kasar Serat kasar TDN
Kadar Zat (%) 67.5 3-4 0.08 0.38 81.0
Sumber : Laboratorium Ilmu Makanan Ternak Jurusan Peternakan FP-USU, Medan (2005).
Bungkil Inti Sawit Menurut Davendra (1997) bungkil inti sawit adalah limbah hasil ikutan dari hasil ekstraksi inti sawit. Bahan ini diperoleh dengan proses kimiawi atau cara mekanik. Walaupun kandungan proteinnya agak baik, tapi karena serat kasarnya tinggi dan palatabilitasnya rendah menyebakan kurang cocok bagi ternak monogastrik, melainkan lebih cocok bagi ternak ruminansia. Semakin tinggi persentase bungkil inti sawit dalam pakan, maka kenaikan bobot badan perhari semakin besar, namun demikian pemberian optimal dari bungkil inti sawit ialah 1,5 % dari bobot badan untuk mempengaruhi pertumbuhan ternak domba.
Universitas Sumatera Utara
Kandungan nilai gizi dalam bungkil inti sawit dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan nilai gizi bungkil sawit Uraian Protein kasar TDN Serat kasar Lemak kasar Bahan kering Ca P
Kandungan (%) 15,4a 81b 16,9a 2,4a 92,6a 0,10c 0,22c
Sumber : a. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak, Departemen Peternakan FP USU (2005). b. Laboratorium Ilmu Makanan Ternak IPB, Bogor (2000). c. Siregar (2003).
Dedak Padi Dedak padi adalah bahan pakan yang diperoleh dari pemisahan beras dengan kulit gabahnya melalui proses penggilingan padi dari pengayakan hasil ikutan penumbukan padi (Parakkasi, 1995). Sedangkan menurut Rasyaf (1992) sebagai bahan makanan asal nabati, dedak memang limbah proses penggilingan padi menjadi beras. Oleh sebab itu kandungan nutrisinya juga cukup baik, dimana kandungan protein dedak halus sebesar 12%-13%, kandungan lemak 13%, dan serat kasarnya 12%. Pemanfaatan dedak padi di Indonesia sampai saat ini adalah sebagai pakan ternak. Hal ini dikarenakan kandungan yang terkandung dalam dedak padi yang mempunyai nilai gizi yang tinggi seperti lipid, protein, karbohidrat, vitamin, mineral dan juga serat. Tepung Ikan Tepung ikan merupakan bahan makanan asal hewan yang sangat kondang sebagai bahan makanan sumber protein dan asam-asam amino yang baik. Tepung
Universitas Sumatera Utara
ikan digunakan untuk menjamin pemenuhan keseimbangan asam-asam amino dalam formulasi pakan yang dibuat, karena 90% hingga 94% bahan makanan pembentuk pakan berasal dari sumber nabati yang umumnya miskin akan Methionine, lysine, Tryptopan dan Cystine. Keempat asam amino yang kurang ini dapat ditutupi dengan tepung ikan (Rasyaf, 1992). Ampas Tahu Tahu banyak diproduksi di daerah Sumedang, yang mencapai 15 ton kacang kedele per hari, sehingga menghasilkan ampas tahu kering sebanyak 4 ton per hari (Kopti DT II Sumedang, 1999). Ampas tahu merupakan hasil ikutan dari proses pembuatan tahu, yang diperoleh dari residu pendidihan bubur kedele yang memiliki daya tahan tidak lebih dari 24 jam dalam ruangan terbuka (Tim Fatemata, 1981). Kandungan protein maupun zat nutrisi lainnya dari ampas tahu kering cukup baik, mengandung protein kasar 22,64%; lemak kasar 6,12%; serat kasar 22,65%; abu 2,62%; kalsium 0,04%; fosfor 0,06%; dan Gross Energi 4010 kkal/kg (Laboratorium Nutrisi Ternak Ruminansia dan Kimia Makanan Ternak Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran, 2006). Garam Dapur Garam dapur adalah sejenis mineral yang lazim dimakan manusia. Bentuknya kristal putih, dihasilkan dari air laut. Biasanya garam dapur yang tersedia secara umum adalah Sodium klorida. Garam sangat diperlukan tubuh, namun bila dikonsumsi secara berlebihan dapat menyebabkan berbagai penyakit. Garam dapur diperlukan oleh ternak sebagai perangsang menambah nafsu makan.
Universitas Sumatera Utara
Garam juga merupakan unsur yang sangat dibutuhkan dalam kelancaran faali tubuh (Sumopraswoto, 1993). Semua herbivora akan suka memakan garam apabila disediakan dalam bentuk jilatan (lick) atau dalam bentuk halus dalam tempet mineral. Oleh karena itu biasanya garam digunakan sebagai campuran fosfor atau mineral mikro dan senyawa lainnya seperti obat parasit (Tillman dkk,1981). Pada umumnya bahan makanan yang digunakan untuk ternak tidak cukup mengandung Na dan Cl untuk memenuhi kebutuhan produksi optimum (termasuk unggas). Hampir semua bahan makanan nabati (termasuk khususnya hijauan tropis) mengandung Na dan Cl relatif lebih kecil dibanding bahan makanan hewani. Oleh karena itu bahan makanan ruminan (terutama hijauan) harus ditambahkan suplemen Na dan Cl dalam bentuk garam dapur, pemberian tersebut dapat dilakukan secara ad libitum (Parakkasi, 1995). Penggunaan toleransi maksimum terhadap pemberian NaCl untuk berbagai spesies dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Toleransi maksimum berbagai spesies terhadap NaCl. Spesies
Level NaCl dalam makanan (%)
Sapi Pedaging
4a
Perah
9a
Domba
9a
Babi
8a
Unggas
2b
Kuda
3b
Kelinci
3a
Sumber : a = Ammerman dkk., 1980. Sumber : b )= Didapatkan dengan ekstrapolasi dari hewan lain.
Universitas Sumatera Utara
Urea Urea adalah suatu senyawa organik yang terdiri dari unsur karbon, hidrogen, oksigen dan nitrogen dengan rumus CON2H4 atau (NH2)2CO. Urea juga dikenal dengan nama carbamide yang terutama digunakan di kawasan Eropa. Nama lain yang juga sering dipakai adalah carbamide resin, isourea, carbonyl diamide dan carbonyldiamine. Senyawa ini adalah senyawa organik sintesis pertama yang berhasil dibuat dari senyawa anorganik. Urea bila diberikan kepada ruminansia akan melengkapi sebagian dari protein hewan yang dibutuhkan, karena urea tersebut disintesa menjadi protein oleh mikroorganisme dalam rumen. Untuk hal tersebut diperlukan sumber energi seperti jagung atau molases (Anggorodi, 1979). Parakkasi (1995) menyatakan bahwa disamping dapat menguntungkan, urea dapat pula merugikan karena dapat menyebabkan keracunan (minimal tidak bermanfaat) bila penggunaannya tidak semestinya. Oleh karena itu beberapa prinsip dasar penggunaanya perlu diketahui, dimana batas penggunaan urea dalam ransum sekitar 8%. Ultra Mineral Zat-zat mineral lebih kurang merupakan 3 - 5% dari tubuh hewan. Hewan tidak dapat membuat mineral, sehingga harus disediakan dalam makanannya. Dari hasil penelitian dapat diterangkan bahwa mineral tersebut harus disediakan dalam perbandingan yang tepat dan dalam jumlah yang cukup. Terlalu banyak mineral dapat membahayakan individu. Suatu keuntungan ialah bahwa sebagian besar mineral dapat diberikan dalam jumlah yang besar dalam pakan tanpa
Universitas Sumatera Utara
mengakibatkan kematian, tetapi kesehatan hewan menjadi mundur sehingga menyebabkan kerugian ekonomis besar (Anggorodi, 1979). Mineral yang dibutuhkan ternak memang relatif sedikit, namun mineral sangat penting dan diperlukan kesempurnaan makanan yang dikonsumsi oleh ternak tersebut. Mineral esensial yang diperlukan oleh tubuh ternak terbagi dalam dua kelompok, yakni mineral makro yang terdiri dar Ca, P, Mg, Na, K dan Cl, serta mineral mikro yang terdiri atas Cu, Mo, Fe dan lain-lain. Kebutuhan akan mineral makro lebih banyak dibandingkan jumlah kebutuhan mineral mikro (Murtidjo, 1993). Parakkasi (1995) menyatakan bahwa untuk memenuhi kebutuhan mineral, mungkin dapat diusahakan bila ruminan bersangkutan dapat mengkonsumsi hijauan yang cukup. Hijauan tropis umumnya mengandung (relatif) kurang mineral (terutama di musim kemarau) maka umumnya ruminan di daerah tropis cenderung defisiensi mineral. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kebutuhan mineral pada ternak. Diantaranya adalah bangsa ternak, umur, jenis kelamin, pertumbuhan, kesuburan berkembang biak, laktasi, iklim, pakan, kandungan mineral tanah, keseimbangan hormonal dan kegiatan fali di dalam tubuh (Sumopraswoto, 1993). Menurut (Tillman dkk, 1981) secara umum mineral-mineral berfungsi sebagai berikut : 1.
Bahan pembentukan tulang dan gigi yang menyebabkan adanya jaringan keras dan kuat
2.
Mempertahankan keadaan koloidal dari beberapa senyawa dalam tubuh
3.
Memelihara keseimbangan asam basa tubuh
Universitas Sumatera Utara
4.
Aktivator sistem enzim tertentu
5.
Komponen dari suatu enzim
6.
Mineral mempunyai sifat yang karakteristik terhadap kepekaan otot dan saraf. Kandungan beberapa mineral dalam ultramineral cukup tinggi terutama
kandungan kalsium karbonat, phosphor dan sodium klorida Tabel 6. Tabel 6. Kandungan mineral ultra mineral. Kandungan Zat
Kadar Zat (%)
Kalsium karbonat Phospor Mangan Iodium Kalium Cuprum Sodium klorida Besi Zn Mg
50,00 25,00 0,35 0,20 0,10 0,15 23,05 0,80 0,20 0,15
Sumber : Eka Farma disitasi Warisman (2009).
Sistem Pencernaan Ternak Ruminansia Sistem pencernaan merupakan sistem yang terdiri dari saluran pencernaan dan organ-organ pelengkap yang berperan dalam proses perombakan bahan makanan, baik secara fisik, maupun kimia menjadi zat-zat makanan yang siap diserap
oleh
dinding
saluran
pencernaan
(Parakkasi,
1990).
Menurut
Anggorodi (1990) pencernaan adalah penguraian bahan makanan ke dalam zat-zat makanan dalam saluran pencernaan untuk dapat diserap dan digunakan oleh jaringan-jaringan tubuh. Saluran pencernaan dari semua hewan dapat dianggap sebagai tabung yang dimulai dari mulut sampai anus yang fungsinya dalam
Universitas Sumatera Utara
saluran pencernaan adalah mencernakan dan mengabsorpsi makanan dan mengeluarkan sisa makanan sebagai tinja (Tillman dkk, 1998). Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, fermentatif dan hidrolisis. Proses mekanik terdiri dari mastikasi atau pengunyahan dalam mulut dan gerakan-gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh konstraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara fermentatif dilakukan oleh mikroorganisme rumen sedangkan secara hidrolisis dilakuakan oleh jasad renik dengan cara penguraian dalam rumen (Tillman dkk, 1991). Bagian-bagian sistem pencernaan adalah mulut, parinks, (pada ruminansia terdapat rumen retikulum, omasum, abumasum). Usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yaitu glandula saliva, hati dan pankreas (Frandson, 1992). Ruminansia berasal dari kata latin “ruminate” yang berarti “mengunyah berulang-ulang”. Proses ini disebut proses ruminansi yaitu suatu proses pencernaan pakan yang dimulai dari pakan dimasukkan ke dalam rongga mulut dan masuk ke rumen setelah menjadi bolus-bolus dimuntahkan kembali (regurgitasi),
dikunyah
kembali
(remastikasi),
lalu
penelanan
kembali
(redeglutasi) dan dilanjutkan proses fermentasi di rumen dan ke saluran berikutnya. Proses ruminansi berjalan kira – kira 15 kali sehari, dimana setiap ruminansi berlangsung 1 menit sampai 2 jam (Prawirokusumo, 1994). Frandson (1992) menyatakan bagian – bagian dari saluran pencernaan adalah mulut, parinks, oesofagus (pada ruminansia merupakan perut depan atau forestimach), perut grandular, usus halus, usus besar serta glandula aksesoris yang terdiri dari glandula saliva, hati dan pankreas.
Universitas Sumatera Utara
Proses utama dari pencernaan adalah secara mekanik, enzimatik ataupun mikrobial. Proses mekanik terdiri dari mastikasi ataupun pengunyahan dalam mulut dan gerakan – gerakan saluran pencernaan yang dihasilkan oleh kontraksikontraksi otot sepanjang usus. Pencernaan secara enzimatik atau kimiawi dilakukan oleh enzim yang dihasilkan oleh sel – sel dalam tubuh hewan yang berupa getah – getah pencenaan. Mikroorganisme hidup dalam beberapa bagian dari saluran pencernaan yang sangat penting dalam pencernaan ruminansia. Pencernaan oleh mikroorganisme ini juga dilakukan secara enzimatik yang enzimnya dihasilkan oleh sel – sel mikroorganisme (Tillman dkk,1991). Pertumbuhan dan aktivitas mikroba selulolitik yang efisien, sama halnya dengan mikroba rumen lain, membutuhkan sejumlah energi, nitrogen, mineral dan faktor lain (misalnya vitamin). Selanjutnya dinyatakan pula bahwa energi merupakan faktor essensial utama yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba rumen. Mikroba rumen menggunakan energi untuk hidup pokok, teristimewa untuk melakukan transport aktif (Bamualim,1994). Menurut lambung
yaitu
Rangkuti dkk rumen,
(1985) retikulum,
ruminansia omasum
mempunyai dan
empat
abomasum.
Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyatakan bahwa pada waktu lahir abomasum merupakan bagian utama, tetapi begitu susu diganti dengan rumput, rumen tumbuh sampai 80% kapasitas lambung. Retikulum dan omasum berkembang pada waktu yang sama (Tillman dkk, 1991). Kemampuan mencerna bahan makanan ditentukan oleh beberapa faktor seperti jenis ternak, komposisi kimia makanan dan penyiapan makanan. Lebih
Universitas Sumatera Utara
lanjut dijelaskan bahwa daya cerna suatu bahan makanan tergantung pada keserasian zat-zat makanan yang terkandung didalamnya (Tillman dkk, 1991). Protein merupakan suatu zat makanan yang essensial bagi tubuh ternak dan tersediaan protein yang cukup menyebabkan aktivitas dan pertumbuhan mikoorganisme meningkat sehingga proses pencernaan dan konsumsi juga meningkat (Bamualim, 1994). Kecernaan Kecernaan setiap bahan makanan atau ransum dipengaruhi oleh spesies hewan, bentuk fisik makanan, komposisi bahan makanan atau ransum, tingkat pemberian
makanan,
temperatur
lingkungan
dan
umur
hewan
(Rahjan dan Pathak, 1979). Menurut Tillman dkk, (1998) kecernaan dapat diartikan banyaknya atau jumlah proporsional zat-zat makanan yang ditahan atau diserap oleh tubuh. Zat makanan yang terdapat di dalam feses dianggap zat makanan yang tidak tercerna dan tidak diperlukan kembali (Cullison 1978). Kecernaan dapat dipengaruhi oleh tingkat pemberian pakan, spesies hewan, kandungan lignin bahan pakan, defisiensi zat makanan, pengolahan bahan pakan, pengaruh gabungan bahan pakan, dan gangguan saluran pencernaan (Church dan Pond, 1988). Dinyatakan oleh Anggorodi (1990) yang mempengaruhi daya cerna adalah suhu, laju perjalanan melalui alat pencernaan, bentuk fisik bahan makanan, komposisi ransum, dan pengaruh terhadap perbandingan dari zat makanan lainnya. Jenis kelamin, umur dan strain mempunyai pengaruh terhadap daya cerna protein dan asamasam amino, tetapi pengaruhnya tidak konsisten (Doeschate dkk., 1993).
Universitas Sumatera Utara
Prinsip penentuan kecernaan zat-zat makanan adalah menghitung banyaknya zat-zat makanan yang dikonsumsi dikurangi dengan banyaknya zat makanan yang dikeluarkan melalui feses (Ranjhan, 1980). Kecernaan protein kasar tergantung pada kandungan protein di dalam ransum (Ranjhan, 1980). Ransum yang kandungan proteinnya rendah, umumnya mempunyai kecernaan yang rendah pula dan sebaliknya. Tinggi rendahnya kecernaan protein tergantung pada kandungan protein bahan pakan dan banyaknya protein yang masuk dalam saluran pencernaan (Tillman dkk., 1998). Tingkat kecernaan suatu pakan menggambarkan besarnya zat-zat makanan yang tersedia yang dapat dimanfaatkan oleh ternak untuk proses hidup pokok (maintenance), pertumbuhan, produksinya, maupun reproduksi (Ginting, 1992). Pencernaan Pakan Pencernaan pakan merupakan suatu rangkaian proses yang terjadi pada pakan selama berada didalam saluran pencernaan sampai memungkinkan terjadinya suatu penyerapan (Webster, 1987). Untuk penentuan kecernaan dari suatu pakan maka harus diketahui terlebih dahulu dua hal yang penting yaitu; jumlah nutrien yang terdapat dalam pakan dan jumlah nutrien yang dapat dicerna dan
dapat
diketahui
bila
pakan
telah
mengalami
proses
pencernaan
(Tillman dkk, 1991). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa pengukuran kecernaan atau nilai cerna suatu bahan pakan adalah usaha menentukan jumlah nutrisi dari suatu bahan pakan yang didegradasi dan diserap dalam saluran pencernaan. Daya cerna juga merupakan presentasi nutrien yang diserap dalam saluran pencernaan yang hasilnya akan diketahui dengan melihat selisih antara jumlah nutrisi yang dimakan
Universitas Sumatera Utara
dan jumlah nutrien yang dikeluarkan dalam feses. Nutrisi yang tidak terdapat dalam feses inilah yang diasumsikan sebagai nilai yang dicerna dan diserap. Konsumsi Pakan Konsumsi pakan antara lain dipengaruhi oleh bobot hidup ternak. Semakin tinggi bobot hidup ternak, konsumsi BK pakan semakin tinggi pula. Selain karena bobot hidupnya yang berbeda, konsumsi pakan yang berbeda ini juga dikarenakan bangsa ternak yang berbeda (Kearl, 1982).
Sesuai dengan pendapat
Sumadi dkk. (1991), bahwa bangsa ternak dapat mempengaruhi konsumsi pakan karena kecepatan metabolism pakan pada setiap bangsa ternak berbeda apabila mendapat pakan dengan kualitas yang sama. Tillman dkk. (1998), konsentrat merupakan bahan pakan ternak yang mudah dicerna sehingga laju aliran pakan dalam saluran pencernaan lebih cepat dan memungkinkan ternak untuk menambah konsumsi pakan. Menurut Smith dan Chruch (1979), palatabilitas pakan dipengaruhi oleh faktor fisik dan kimiawi pakan, yang akan berpengaruh pada fisiologis ternak dalam rangsangan penglihatan, penciuman dan rasa dalam mengkonsumsi pakan. Crampton dan Harris (1969), bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi PK adalah jumlah BK pakan yang dikonsumsi. Konsumsi BK pakan memegang peranan penting, karena menurut Tilllman dkk. (1998), dari BK pakan tersebut ternak memperoleh zat-zat nutrisi penting, seperti energi, protein, vitamin dan mineral. Menurut NRC yang dikutip oleh Mariani (1994), jumlah bahan kering yang dikonsumsi oleh sapi tergantung pada berat badan, tingkat produksi, kondisi lingkungan, kondisi tubuh, tipe dan jenis bahan makanan.
Universitas Sumatera Utara
Tingkat perbedaan konsumsi dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain faktor ternak (bobot badan, umur, tingkat kecernaan pakan, kualitas pakan dan palatabilitas) (Parakkasi, 1995). Jumlah konsumsi bahan kering pakan dipengaruhi beberapa variabel meliputi palatabilitas, jumlah pakan yang tersedia dan komposisi kimia serta kualitas bahan pakan. Parakkasi (1995) menyatakan ketersediaan zat makanan yang dibutuhkan oleh mikroba rumen untuk menjalankan fungsi yang normal harus mendapatkan perhatian khusus misalnya pertambahan suplai sumber N pada bahan makanan yang rendah proteinnya akan meningkatkan konsumsi dari bahan pakan tersebut. Variasi kapasitas produksi disebabkan oleh makanan pada berbagai jenis ternak ditentukan oleh konsumsi (60%), kecernaan (25%) dan konversi hasil pencernaan produk yaitu sekitar 15%. Untuk melengkapi kebutuhan gizi ternak terutama ternak
yang
mengkonsumsi bahan makanan yang berkualitas rendah, maka makanan tambahan sangat diperlukan. Urea Multinutrien Blok (UMB) adalah makanan tambahan yang terdiri dari bahan campuran yang berasal dari hasil ikutan pertanian atau industri pertanian, garam, kapur, urea, mineral yang dapat memperbaiki kondisi lingkungan rumen, sehingga pencernaan zat-zat makanan lebih sempurna dan pada akhirnya akan meningkatkan produktifitas ternak (Hendratmo dkk, 1991). Pertambahan berat rata-rata sapi Bali yang sangat rendah (kurang dari200g/ekor/hari),
sebenarnya
masih
dapat
ditingkatkan
dengan
memberikanjumlah maupun kualitas pakanyang Memadai. Lana dan Nitis (1989) melaporkan tambahan berat rata-rata 460 g/ekor/hari ketika sapi Bali diberikan pakan rumput lapangan dengan tambahan konsentrat yang terdiri dari : 5 %
Universitas Sumatera Utara
bungkil kelapa, 10 % cacah ketela pohon dan 15 % dedak padi. Pemanfaatan morea plus sangat menjajikan karena urea yang terdapat pada molasses akan meningkatkankandungan N pada pakan, sedangkan molasses yang ada di dalamnyadisamping sebagai sumber energi juga merupakan penyeimbang antarasumber N dan energi sehingga pemanfaatan serat kasar menjadi optimal.
Universitas Sumatera Utara