4
TINJAUAN PUSTAKA Domba Pada umumnya domba di Indonesia berekor tipis (Thin-tailed), tetapi ada pula yang berekor gemuk (Fat-tailed) seperti domba Donggala atau domba yang berada di Jawa Timur. Ternak ini tersebar luas serta sangat beragam. Dari populasi domba di Indonesia hampir 90% tersebar di Pulau Jawa, Jawa Barat merupakan salah satu daerah yang mempunyai populasi paling besar yaitu 55.14% dari seluruh populasi domba di Pulau Jawa. Dari Populasi yang ada di Jawa Barat diperkirakan 80 sampai 85% adalah domba tipe ekor tipis, termasuk bangsa lokal dan sisanya bangsa domba Garut (Devendra dan Mc Leroy 1992). Karakteristik domba lokal di antaranya bertubuh kecil, lambat dewasa, tidak seragam, berbulu kasar dan hasil daging relatif sedikit. Sifat lain domba lokal tampak dari warna bulu umumnya putih dengan bercak hitam di sekitar mata, hidung atau bagian lainnya (Murtidjo 1993). Panjang telinga sedang dan posisinya horisontal (Devendra dan Mc Leroy 1992). Domba jantan memiliki tanduk sedangkan betina tidak (Gatenby 1995). Tinggi badan betina dewasa sekitar 57 cm dan jantan dewasa 60 cm dengan bobot badan masing-masing 20 sampai 25 kg dan 40 sampai 60 kg (Devendra dan Mc Leroy 1992). Domba Jawa ekor tipis pada daerah dataran tinggi mempunyai bobot badan dewasa lebih berat sekitar 27 kg dibandingkan di daerah dataran rendah sekitar 16 kg (Gatenby 1995). Bobot lahir dan bobot sapih domba Jawa ekor tipis pada kelahiran tunggal masing-masing 2.64 kg dan 10 kg sedangkan pada kelahiran lebih dari satu masing-masing 1.68 kg dan 7.60 kg (Tiesnamurti 1992). Domba Jawa ekor tipis betina tidak menghasilkan sejumlah besar anak dalam kurun waktu yang pendek. Jumlah anak kembar dua dan kembar tiga setiap kelahiran biasa ditemukan (Gatenby 1995). Namun masih lebih sedikit dibandingkan domba Donggala dan domba Jawa ekor gemuk dan Garut (Devendra dan Mc Leroy 1992). Daging domba mempunyai serat yang lebih halus dari pada sapi dan kerbau, lebih empuk dan mempunyai rasa dan aroma yang khusus sehingga digemari di beberapa negara termasuk Indonesia. Sebaliknya di negara-negara maju daging domba kurang disukai, bahkan di Amerika menduduki ranking paling akhir setelah daging sapi, ayam, ikan, babi, kalkun, dan veal (Duckett and Kuber 2001).
5 Keuntungan lain daging domba tidak ditabukan dalam masyarakat dan tidak diharamkan dalam ajaran agama tertentu. Secara ekonomi harga daging domba lebih murah dari pada daging sapi.
Transportasi Ternak di Indonesia Usaha ternak potong dalam perkembangannya tidak lepas dari beberapa fasilitas, salah satu dari fasilitas itu adalah transportasi yang memegang peranan penting dalam suatu usaha peternakan. Transportasi sangat erat hubungannya dengan pengadaan pakan dan pemasaran dalam proses produksi. Hasil dari proses produksi ternak potong pada umumnya dipasarkan dalam bentuk ternak hidup. Usaha peternakan di Indonesia tidak merata untuk setiap daerah, bergantung dari kondisi alam dan tersedianya lahan, sehingga ada daerah yang surplus dan daerah yang minus. Daerah yang surplus ternak atau daerah produsen umumnya jauh dari daerah konsumen (daerah minus ternak). Oleh karena itu, transportasi merupakan sarana yang sangat penting untuk memasarkan hasil usaha peternakan dari daerah produsen ke daerah konsumen. RPH PD Dharma Jaya DKI Jakarta mendatangkan sapi potong dari daerah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Kupang, dan Kalimantan (Candra 2002). RPH Bogor mendatangkan sapi dari daerah Pati, Pekalongan, Madiun, dan Lampung, sedangkan domba, kambing dan babi dari daerah sekitar Cianjur dan Bogor (Harmiyadi 2000). RPH Tasikmalaya mendatangkan sapi dari daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur (Supriyadi 2003). Alat transportasi yang digunakan di Indonesia antara lain menggunakan kapal laut, kerta api, dan truk (Adoe 1981). Ternak potong yang berasal dari luar Pulau Jawa menggunakan kapal laut
dan transportasi darat menggunakan
kereta api atau truk. Lasmi (1988) menyebutkan bahwa transportasi sapi potong dari Kabupaten Lamongan ke Jakarta sebanyak 97.26% menggunakan truk yaitu truk tronton, dan truk gandeng. Truk tronton dapat mengangkut 18 sampai 19 ekor sapi, dan truk gandeng memuat lebih banyak yaitu sampai 33 sampai 34 ekor sapi. Ternak yang diangkut dari tempat yang dekat pada umumnya menggunakan truk engkel yang dapat mengangkut 6 sampai 10 ekor sapi. Ternak yang berada di dalam truk atau gerbong kerta api dimuat dalam posisi berdiri dengan jarak antar individu yang rapat. Keadaan ternak yang berdiri selama transportasi dapat menyebabkan luka memar, stres, maupun penyusutan
6 bobot badan (Lasmi 1988). Kepadatan yang dianjurkan oleh Direktorat Jenderal Peternakan (1997) adalah 0.16 m2 / ekor untuk domba dengan bobot badan 20 kg. Menurut Cockram et al. (1996) untuk lama perjalanan lebih dari 3 jam sebaiknya kepadatan seluas 0.27 m2 / ekor untuk domba dengan bobot badan 35 kg. Hal ini sejalan dengan pendapat Knowles et al. (1995) untuk domba dengan bobot badan 38 kg, dan lama transpor tasi 24 jam, kepadatan seluas 0.29 m2/ ekor.
Stres Akibat Transportasi Faktor yang paling umum mengakibatkan stres adalah transportasi yaitu waktu pengangkutan dari lokasi peternakan ke RPH. Stres transpor ini diakibatkan gabungan dari lelah di perjalanan, pembauran dengan ternak baru, cuaca yang buruk (mikro klimat) serta kekurangan pakan, dan minuman. Hal tersebut dapat berupa stres psikologis, fisiologis, dan fisik (Shorthose, dan Whytes 1988). Stres didefinisikan sebagai suatu respons yang spesifik dari tubuh ternak terhadap setiap permintaan yang terjadi. Respons terhadap stres berbeda di antara spesies dan di antara individu ternak pada spesies yang sama, bergantung pada kemampuan ternak dalam mengatasi stres, dan mekanisme mempertahankan homeostasis. Pada umumnya stres akan menimbulkan dua fase reaksi untuk mempertahankan kondisi homeostasisnya yaitu fase reaksi kejutan dan fase reaksi balik dan melibatkan 2 sistem neuro-hormonal yaitu hipotalamus-pituitari-adrenal, dan hipotalamus-pituitari-tiroid (Buckle 1983). Stres menstimuli sistem saraf, dan menyebabkan pembebasan adrenalin dari medula kelenjar adrenal dalam waktu singkat, kemudian kortikoid dari korteks adrenal, dan hormon tiroksin dari kelenjar tiroid. Adrenalin membantu memecah glikogen yang tersimpan dalam hati, dan urat daging, juga lemak yang disimpan dalam berbagai jaringan dalam tubuh. Adrenalin, dan noradrenalin juga membantu mengatur sirkulasi darah yang baik melalui pengaruhnya pada jantung, dan pembuluh darah. Kortikoid berfungsi memban tu glukoneogenesis, dan proteolisis, sedangkan hormon tiroid berfungsi meningkatkan metabolisme. Konsekuensi -konsekuensi dari cekaman, dan penyesuaian metabolik yang terkait akan mengakibatkan peningkatan kontraksi otot. Selama kontraksi otot yang intensif, sistem sirkulasi tidak dapat membawa oksigen, dan glukosa ke otot
7 dengan kecepatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan otot yang tinggi untuk sintesis ATP (Aberle et al. 2001; Lehninger 1994). Dalam hal ini, glikogen otot dipergunakan sebagai bahan bakar cadangan, dan dengan cepat diuraikan melalui glikolisis untuk membentuk laktat, dan menghasilkan ATP, yang merupakan sumber energi bagi kontraksi otot. Pada keadaan pasokan oksigen tidak mencukupi, ion hidrogen yang dilepaskan dalam glikolisis, dan siklus asam trikarboksilat tidak dapat bergabung dengan oksigen dengan kecepatan yang cukup. Dengan demikian, ion hidrogen cenderung berakumulasi dalam otot. Kelebihan hidrogen ini kemudian digunakan untuk mengonversi asam piruvat menjadi asam laktat yang memberi peluang bagi glikolisis untuk berlangsung pada kecepatan tinggi. Setiap glukosa menghasilkan 3 molekul ATP dalam glikolisis, sehingga metabolisme anaerob dapat memasok energi untuk otot (Aberle et al. 2001). Defisiensi glikogen otot pada ternak menyebabkan pnurunan laju glikolisis setelah kematian sehingga akan mengakibatkan daging mempunyai pH di atas 6.00, dan warna daging gelap (dark), keras (firm) serta berpenampakan kering (dry), bisa juga menyebabkan daging menjadi berwarna pucat, lembek, dan basah yang disebut PSE (pale, soft, exudative). Pada kondisi DFD (dark, firm, dan dry) terjadi mobilisasi glikogen otot sedangkan pada kondisi PSE, sistem peredaran tidak mampu mentransformasikan timbunan asam laktat dari otot sehingga ternak tidak mampu mempertahankan kondisi fisiologis (Judge 1989). Kemudahan terkena stres merupakan faktor yang menentukan kondisi ternak, dan status glikogen (Lawrie 1995).
Pengaruh Stres pada Flavor Daging Domba Flavor merupakan kualitas yang khas pada daging yang ditentukan ole h faktor-faktor
prapemotongan,
kondisi
penyimpanan
dan
penanganan
pascapemotongan. Faktor-faktor prapemotongan mencakup spesies, umur, jenis kelamin, bangsa, ransum, dan penanganan ternak (Ford dan Park 1980). Salah satu penanganan ternak yang akan mengakibatkan stres adalah waktu pengangkutan dari lokasi peternakan ke RPH. Stres bisa diakibatkan oleh lelah perjalanan, pembauran dengan ternak baru, cuaca yang buruk (mikroklimat) serta kekurangan pakan, dan minum. Setelah pemotongan, ATP digunakan untuk mempertahankan integritas sel dan dihasilkan oleh glikolisis anaerob yang memproduksi asam laktat dari
8 glikogen. Stres sesaat sebelum pemotongan dapat menyebabkan produksi asam laktat lebih sedikit sehingga pH akhir lebih tinggi. Daging sapi dengan pH di atas 6,6 penampakannya lebih gelap dari pada daging normal, dan dikenal sebagai daging Dark Firm Dry atau Cutting Meat. Daging sapi yang mempunyai pH akhir tinggi menghasilkan intensitas dan, akseptabilitas flavor yang lebih rendah (Bouton et al. 1957). Flavor otot longissimus dorsi yang dibakar cenderung menjadi tidak disukai dengan peningkatan pH pada daging sapi jantan kebiri, tetapi tidak tampak pada daging sapi jantan. Pada umumnya intensitas daging menurun dengan peningkatan pH akhir bersamaan dengan peni ngkatan aroma nonmeaty. Ford dan Park (1980) meneliti volatil flavor daging dari daging sapi dan, domba muda yang dimasak dari otot-otot yang mempunyai pH akhir tinggi (6,0 sampai 7,0), perubahan kasar ditemukan pada komposisi kualitatif dan, kuantitatif dari fraksi volatil flavor seperti peningkatan trimetil amin, ammonia, dan, collidin. Lawrie (1995) menyatakan bahwa flavor yang lebih rendah mungkin hasil dari struktur yang mengembang dari daging sapi yang mempunyai pH tinggi sehingga mengganggu akses dari cita rasa terhadap bahan-bahan flavor. Otototot yang mempunyai pH normal memiliki lebih banyak garam bebas yang tersedia untuk rasa daripada yang mempunyai pH tinggi, di samping itu volatilvolatil uap dari daging domba, dan daging sapi pada pH 6.0 berbeda dari pH 5.5 sampai 5.8. Flavor yang lemah juga diakibatkan oleh level karbohidrat yang rendah pada daging yang mempunyai pH akhir tinggi sehingga menghasilkan sedikit interaksi dengan asam amino atau protein. Pada daging pH normal interaksi ini paling bertanggung jawab terhadap berkembangnya flavor (Lawrie 1995). Kandungan gula daging sapi yang mempunyai pH 5.58 adalah 0.18% sedangkan pH 5.68 adalah 0.11% dan pH 6.53 hanya mengandung 0.03%. Hal ini memperlihatkan bahwa pada sapi dengan pH akhir tinggi selain cadangan glikogen rendah, level gula yang tereduksi juga rendah. Selain itu level ATP yang rendah akan menghasilkan IMP dan hipoksantin yang rendah pula. Dengan demikian intensitas flavor pun akan rendah karena IMP dan hipoksantin berfungsi sebagai peningkat flavor (Flavor Enhacer/Flavor potentiator) sehingga rasa lezat daging akan berkurang (Aberle et al. 2001).
9
Pemberian Gula dan Insulin setelah Transportasi Perlakuan prapotong pada sapi mencakup beragam rangsangan (seperti pemuasaan, pengangkutan, pembauran dengan ternak asing) akan menimbulkan stres, yang akhirnya dapat memengaruhi kualitas daging. Pada sapi yang mengalami stres terjadi keragaman dalam komponen darah. Level insulin dalam darah menurun selama stres agar level glukosa darah tetap stabil, sementara peningkatan level katekolamin secara langsung akan menyebabkan pengurasan glikogen otot (Eichinger et al. 1991). Kadar glikogen otot yang rendah pada sapi yang kelelahan
dapat
meningkat selama periode istirahat di RPH namun memerlukan waktu yang lama. Pemberian pakan (seperti rumput dan air minum) tidak tampak berpengaruh besar pada pH akhir. Sapi yang dikenai stres pembauran selama 6 jam mempunyai kandungan glikogen 41 ± 8.2 µmol/g bobot jaringan basah turun sampai 41% dari sapi yang tidak dikenai stres (100 ± 3.7 µmol/g) selama 18 jam hari pertama periode pemulihan konsentrasi glikogen sedikit meningkat sampai 45% dari nilai untuk sapi tanpa stres. Peningkatan berikutnya adalah 70% pada hari kedua, 75% pada hari keempat, dan 90% padahari ketujuh. Rataan laju pemulihan glikogen selama 7 hari pertama periode pemulihan adalah 6.6 µmol/g/h (Mc Veigh dan Tarrant 1981). Monim (1980) menyatakan pengurasan cadangan glikogen otot pada domba dengan memberikan adrenalin dan teramati laju pemulihan se besar 19 µmol/g/hari. Hasil-hasil tersebut memperlihatkan bahwa perombakan besarbesaran glikogen otot terjadi selama periode stres dan nilai pemulihannya termasuk suatu proses yang lamban. Hal ini terjadi akibat konsentrasi gula darah dan aktivitas insuli n yang lebih rendah pada ruminansia daripada nonruminansia. Beberapa upaya telah dilakukan dalam mempercepat pemulihan glikogen yaitu dengan senyawa gula tinggi (molase) pada pakan atau sebagai minuman sebelum atau selama pemasaran. Perbaikan-perbaikan yang dihasilkan dalam kualitas daging dilaporkan dalam penelitian ini, terutama apabila perlakuan melebihi 48 jam. Pada penelitian ini dilaporkan glukosa murni diberikan langsung dalam larutan selama periode 18 sampai 20 jam pengurungan, sapi jantan yang diberi larutan glukosa 5% mengkonsumsi cairan lebih banyak (19 l) dari pada yang diberi larutan elektrolit (12.0 l) dan air (17.4 l). Namun demikian pemberian glukosa ini tidak cukup baik memengaruhi pH akhir, tetapi berpengaruh pada
10 warna dan mengurangi jumlah penyusutan karkas sampai 3% (Schaefer et al. 1990). Shorthose dan Wythes (1988) melaporkan bahwa pemberian sukrosa sebanyak 5.4 g/kg bb pada 30 jam sebelum dipotong dapat meningkatkan persentase karkas dan bobot potong, tetapi tidak memengaruhi nilai pH akhir, sedangkan Priyodarsono (1990) melaporkan bahwa pemberian gula sebelum pengangkutan pada sapi Bali sebanyak 4 g/kg bb tidak berpengaruh pada bobot karkas dan pH akhir. Domba sebagai ternak ruminansia mempunyai laju pemulihan glikogen yang lamban. Insulin berperan sebagai perangsang penyerapan glukosa melewati dinding sel. Insulin dalam hal ini juga berperan dalam meningkatkan enzim
fosfofruktokinase
karena
insulin
mempunyai
kemampuan
untuk
meningkatkan pembentukkan ADP dan AMP. Glikogenesis pada otot bergantung pada kecukupan pasokan prekursor glikogen, glukosa-6-P yang merupakan sumber glukosa darah. Tarrant dan Lacourt (1984) menyatakan bahwa pengaruh injeksi dexamethasone sebelum stres, injeksi 3 ml insulin yang disertai pemberian glukosa pada sapi jantan setelah dikenai stres menyebabkan hiperglikemia, namun tidak mengurangi hilangnya glikogen otot selama stres dan tidak mengganggu laju atau besarnya penimbunan glikogen selama periode pemulihan setelah stres.
Flavor Daging Domba Flavor daging adalah hasil sensasi yang muncul dari dua respons yang berbeda, rasa dan aroma, serta kontribusi yang kurang dapat dipastikan dari daerah yang peka tekanan dan peka panas dari mulut. Banyak respons fisiologis dan psikologis yang dialami ketika makan daging dikaitkan dengan flavor dari produk. Flavor daging merangsang aliran saliva dan getah lambung, sehingga membantu proses pencernaan. Sensasi aroma dan flavor yang dihasilkan timbul dari gabungan faktor-faktor yang sulit untuk dipilahpilah. Secara fisiologis, persepsi terhadap rasa melibatkan 4 sensasi dasar (pahit, manis, asam, asin) oleh saraf-saraf yang bermuara pada sepanjang saluran hidung. Total sensasi adalah gabungan dari rangsangan gustatori (rasa) dan olfaktori (penciuman) (Aberle et al. 2001). Orang Jepang mengenal klasifikasi taste yang kelima (umami) yang menerangkan kualitas lezat dari
11 monosodium glutamat (Maga 1994) subtansi ini bersifat untuk meningkatkan intensitas flavor. Flavor daging secara alami terbentuk melalui sistim prekursor dengan adany a pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tersier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga terbentuk senyawa -senyawa volatil pembentuk flavor daging (Mottram 1991). Flavor daging domba merupakan suatu yang menarik karena aroma dari daging domba muda (lamb) atau dewasa (mutton) dapat dibedakan dan berbeda dari aroma daging lainnya. Pada kenyataannya, odor yang berbeda merupakan salah satu alasan bahwa konsumsi lamb kurang dibandingkan dengan daging dari ternak lain. Umumnya, flavor daging masak adalah akibat campuran dari campuran senyawa, mencakup (1) senyawa nonvolatil atau senyawa larut air yang bersifat taste-tactile, (2) potentiator dan sinergist (penguat dan penyelaras), dan (3) volatil yang menimbulkan sifat odor (MacLeod dan Seyyedain-Ardebili 1981).
Senyawa Nonvolatil Rasa yang terpenting dalam daging adalah asin, manis, pahit, asam, dan umami. Rasa manis dihubungkan dengan glukosa, fruktosa, ribosa dan beberapa asam amino, seperti glisin, alanin, serin, threonin, lysin, cistein, metionin, aspargin, glutamin, prolin dan hidroksi prolin. Rasa asam berasal dari asam aspartat, asam glutamat, histidin, dan asparagin bersama-sama dengan suksinat, laktat, inosinat. Rasa asin sebagian besar karena adanya garam-garam anorganik dan garam-garam sodium dari glutamat dan aspartat. Sedangkan rasa pahit berasal dari hipoksantin, bersama-sama dengan anserin, carnosin, dan beberapa peptida dan juga histidin, arginin, lysin, metionin, valin, leusin, isoleusin, phenylalanin, tryptophan, tyrosin, asparagin dan glutamin. Rasa umami diberikan oleh asam glutamat, monosodium glutamat (MSG), inosin monofosfat (IMP), guanosin monofosfat (GMP), dan peptida-peptida tertentu (Macleod 1994). Sebagian besar asam amino menyumb angkan rasa manis dan atau pahit; sedikit rasa asam, sedangkan garam natrium dari asam glutamat dan aspartat memberikan rasa asin (Kirimura et al.1969). Banyak peptida yang berkaitan dengan rasa pahit disebabkan oleh aksi hidrofobi dari rantai sisi asam amino (Ney 1979). Komponen lainnya dari daging yang memiliki sifat rasa asli meliputi: asam inosinat, asam suksinat, asam laktat,
12 asam ortofosforat, dan asam pirolidin karboksilat (Van den Ouweland et al. 1975; MacLeod et al. 1980). Beberapa peptida meningkatkan seluruh intensitas rasa, meningkatkan mouthfulness dan mildness, dan meningkatkan palatabilitas. Sejauh ini, senyawa ekstraktif yang paling berlimpah dari otot adalah kreatin fosfat, yang terdiri atas sekitar 0.5% dari otot segar (Mabrouk 1976). Anserin, arginin, lisin, dan histidin memiliki pengaruh yang konsisten dalam mulut (Mabrouk 1976). Prekursor. Prekursor pada spesies ternak yang berbeda adalah sama walaupun flavor dari spesies berbeda memiliki ciri tersendiri. Fraksi lemak pada daging sapi, babi dan domba secara kualitatif dan kuantitatif berbeda dalam hal komposisi asam lemaknya, sedangkan kandungan asam amino dan karbohidrat pada lean relatif sama. Dengan demikian pemanasan ekstrak lean menghasilkan flavor
daging
dasar
dari
berbagai
spesies,
sedangkan
jaringan
lemak
bertanggung jawab terhadap pembentukkan flavor khas untuk setiap spesies ternak. Jaringan daging terutama terdiri atas air, protein, lemak dan karbohidrat, sedikit senyawa yang mengandung nitrogen bukan protein, mineral, vitamin, dan senyawa organik lainnya. Pada pemanasan, komponen-komponen tersebut bereaksi
untuk
menghasilkan
campuran
volatil
kompleks
yang
menjadi
karakteristik dari flavor daging. Protein dan asam amino. Pemanasan protein dan asam amino berperan sebagai sumber ammonia bebas. Selain itu, asam amino yang mengandung sulfur, dan protein yang mengandung asam amino ini merupakan prekursor dari hidrogen sulfida. Hidrogen sulfida merupakan senyawaan sulfur satu-satunya yang teridentifikasi pada semua penelitian dan pada semua spesies daging. Pelepasan
hidrogen
sulfida
meningkat
dengan
waktu
dan
temperatur
pemanasan, diduga sebagai akibat dari denatursi protein dan reduksi ikatan –S-S menjadi –SH. Thiamine juga teridentifikasi sebagai prekursor hidrogen sulfida yang potensial (Arnold et al. 1969). Karbohidrat. Karbohidrat dengan cepat mengalami modifikasi enzimatis setelah pemotongan. Glukosa, fruktosa, ribose, glukosa 6 fosfat dan fruktosa 1.6-difosfat teridentifikasi dalam ekstrak cair jaringan daging (Jarboe dan Mabrouk 1974). Karbohidrat mudah dirombak selama pemanasan, membentuk senyawa -senyawa yang terdapat dalam fraksi aroma volatil atau yang bereaksi dengan komposisi lainnya dari daging yang dipanasi membentuk kelas
13 senyawaan volatil lainnya. Glukosa mengalami perubahan 42.4%, fruktosa relatif stabil sedangkan ribosa hampir 100% (Macy et. al. 1964). Asam Laktat.
Asam laktat merupakan produk utama dari degradasi
enzimatik postmortem dari glukosa dan glikogen dan memengaruhi pH jaringan. Modifikasi pH dapat memengaruhi reaksi kimia yang terjadi selama pemanasan. Lemak. Lemak terdapat dalam jaringan sebagai trigliserida, glikolipid, fosfolipid
dan
lipoprotein.
Autooksidasi
termal
dapat
berlangsung
pada
temperatur serendah-rendahnya 60ºC. Lakton, keton, alkohol, dan asam lemak berbobot molekul lebih rendah merupakan produk dari autooksidasi lemak. Oksidasi asam lemak tak jenuh, terutama C 18, dimulai dengan pembentukan hidrogen peroksida yang pecah menjadi alk-2-one, alkohol, alk-2-enol, dan alk2.4-dienal. Secara umum komponen prekursor daging dibagi menjadi 15 kelas (1) gula peptida, (2) asam-asam nukleat, (3) nukleotida bebas, (4) nukleotida yang terikat dengan peptida, (5) gula-gula nukleotida, (6) nukleotida sugaramin, (7) nukleotida asetilsugaramin, (8) nukleotida, (9) peptida, (10) asam amino bebas, (11) gula bebas, (12) gula fosfat, (13) sugaramin, (14) amin, (15) asam-asam organik (Mabrouk et al. 1967). Lebih lanjut Mabrouk et al. (1967) menentukan bahwa senyawa asam amino bebas dalam daging sapi, babi, dan domba adalah sama, namun pH-nya berbeda antarspesies, juga perbedaan kuantitatif terjadi pada asam amino asam, asam amino basa, dan asam amino bersulfur, dapat menjelaskan dengan baik tentang keragaman dalam volatil flavor yang berkontribusi pada perbedaan flavor seluruh spesies. Alabran (1982) menggunakan resonansi magnetik nuklir dan spektroskop inframerah, menentukan beberapa prekursor flavor lainnya dari fraksi daging sapi yang diperoleh dengan ekstraksi air dari daging sapi bebas lemak yang dikeringbekukan: asam glutamat, asam laktat, fosfoetanolamin, gliserol, kreatin, dan kreatinin. Senyawa tersebut mewakili 94% dari fraksi daging tersebut.
Senyawa Volatil Daging Domba Senyawa volatil menimbulkan beragam perbedaan sensasi odor. Senyawa ini terutama berasal dari karbohidrat, lemak, dan protein dan dengan sedikit kekecualian adalah sama pada semua daging.
14 Min et al. (1979), pada penelitiannya khusus tentang aroma roast beef , melaporkan bahwa fraksi asam memiliki odor yang lemah, tidak disukai, dan asam. Fraksi basa memiliki odor tanah (earthy ), bakar (roasted), sementara fraksi netral satu-satunya yang memberikan aroma seperti daging sapi yang menyenangkan. Senyawa hidrokarbon, alkilbenzen, dan karbonil dalam fraksi ini dipandang kurang penting dari pada lakton , furanoid, dan senyawa mengandung sulfur. Beragam senyawa heterosiklik tampak menjadi sangat penting pada flavor daging, bahkan meski senyawa tersebut terdapat dalam jumlah yang sangat sedikit (Ohloff dan Flament 1978; MacLeod dan Seyyedain-Ardebilli 1981).
Fraksi Netral Volatil Daging Domba Matang Pemanasan lemak lamb dan pengendapan total volatil pada suhu nitrogen cair menghasilkan larutan dengan aroma mutton yang sangat kuat. Penghilangan senyawa karbonil seperti 2.4-dinitrofenilhidrazon menyebabkan hilangnya odor mutton. Berdasarkan hasil tersebut, Hornstein dan Crowe (1963) mengusulkan bahwa paling tidak secara alami proporsi tertinggi dari aroma mutton adalah karbonil. Jacobson dan Kohler (1963) juga menganalisis fraksi netral dari volatil yang diko leksi dari tetesan air daging lamb. Mereka mengidentifikasi beberapa karbonil jenuh, termasuk 2- sampai 10-karbon n-alkanal, 5- sampai 10-karbon 2-alkanon, dan 2-metilsiklopentanon. Caporaso et al. (1977) mengidentifikasi 51 senyawa dalam fraksi netral dari volatil lemak-lamb. Dari ke 51 senyawa tersebut, 39 senyawa merupakan komponen dari flavor lamb. Jaringan lemak dicuci-uapkan dan dipilah menjadi fraksi asam, basa, dan netral dengan ekstraksi alir balik (counter current). Evaluasi olfaktoris menunjukkan bahwa fraksi netral mengandung odor mutton yang paling kuat, sehingga fraksi tersebut dianalisis lebih lanjut dengan kromatografi gas dan spektrometri massa. Pada setiap tahap dalam analisis ini, evaluasi olfaktoris dilakukan untuk menentukan pencatatan keberadaan beragam flavor lamb atau mutton. Hasil evaluasi diperoleh 14 senyawa (10 aldehid, 3 keton dan 1 lakton) yang diduga sebagai kontributor penting bagi odor mutton (Tabel 1).
15
Tabel 1 Kontributor penting untuk flavor lamb/mutton ALDEHIDA
KETON
Pentanal Hexanal Heptanal Octanal Nonanal 2-Octenal 2,4-Heptadienal 2,4-Heptadienal (isomer) 2,4-Decadienal 2,4-Decadienal (isomer) Sumber : Caporaso et al. (1977)
2-Nonanone 2-Dodecanone 2-Tridecanone
Lactones γ-Octalactone
Dimick et al. (1966) mencatat sejumlah kecil C10, C 12, C14, dan C16 alifatik δlakton terdapat dalam lemak depot domba. Selanjutnya Watanabe dan Sato (1968) melaporkan adanya C10, C12, dan C 14 γ-lakton. Panjang rantai karbon utama pada kedua macam lakton tersebut adalah C14. Sink dan Caporaso (1977) melaporkan hasil survei mereka terhadap literatur tentang flavor lamb dan mutton yang menunjukkan senyawa karbonil, lakton, dan senyawa mengandung sulfur sebagai kontributor utama bagi flavor mutton.
Fraksi Asam Volatil Daging Domba Matang Wong et al. (1975a) mengidentifikasi lebih dari 40 asam lemak volatiluapan pendek, sedang, dan panjang dari fraksi asam cincangan mutton masak. Asam rantai sedang (8 sampai 10-karbon) bercabang dan tak jenuh tampaknya memiliki karakteristik odor mutton dinamakan ‘SOO’ (kata Cina yang digunakan untuk menjelaskan flavor khas daging domba). Flavor SOO tampaknya sangat berkaitan dengan asam 4-metiloktanoat dan 4-metilnonanoat Pada penelitian berikutnya,
Wong
et
al.
(1975b)
memperoleh
penin gkatan
kemutonan
(muttoniness) yang sangat nyata pada cincangan daging domba betina masak yang berikatan dengan sejumlah kecil asam C9 dan C 10 bercabang 4-metil. Cincangan daging sapi mengandung jumlah asam tersebut yang jauh lebih sedikit daripada cincangan mutton, namun daging kambing mengandung kedua asam tersebut yang jauh lebih tinggi daripada mutton (Tabel 2). Daging kambing mungkin tidak memiliki odor masakan yang disukai, namun dapat dipastikan bahwa odornya bukanlah odor mutton.
16
Tabel 2 Konsentr asi asam lemak volatil dari lemak domba, sapi dan kambing Konsentrasi asam (ppm) Mutton Ewe Pasture-fed Beef Goat Sumber : Wong et al. (1975b)
4-Me-10
Hircinoic
2.9 1.7 0.7 122
5.7 3.4 48
Fraksi Basa Volatil Daging Domba Matang Analisis fraksi basa dari minyak volatil-uapan larut eter dari lemak roasted lamb menghasilkan 12 alkilpiridin, 12 alkilpirazin, dan 2 alkiltiazol. Alkilpirazin umumnya dikaitkan dengan aroma yang menyenangkan dari pangan bakar. Odor piridin kurang menyenangkan, dan keberadaannya dalam volatil lemak lamb masak mungkin berkontribusi pada odor mutton yang tidak disukai (Buttery et al. 1977).
Senyawa Siklik dalam Volatil Daging Domba Matang Komponen Siklik sebagian besar adalah aromatik atau heterosiklik, dan mengandung oksigen, nitrogen, dan/atau sulfur (Chang dan Peterson 1977). Senyawa-senyawa tersebut umumnya dihasilkan di bawah pemanasan dan memiliki odor yang tidak disukai. Campuran dalam jumlah kecil dapat menjadi sangat penting untuk aroma khas dari lamb masak. O-heterosiklik. Min et al. (1979) mengidentifikasi beberapa senyawa kabonil dan hidroksil aromatik dan heterosiklik yang mengandung oksigen seperti derivat furan dalam fraksi netral dari senyawa flavor volatil dari daging sapi bakar. Tonsbeek et al. (1968) mengisola si dua derivat furan (4-hidroksi-5-metil3(2H)-furanon dan 4-hidroksi -2,5-dimetil-3(2H) -furanon) dari konsentrat flavor daging sapi yang memiliki odor khas. Prekursor 4-hidroksi-5-metil-3(2H)-furanon telah diidentifikasi secara tentatif dari ektrak air nonvolatil sebagai ribosa-5-fosfat, dan asam karboksilat pirolidon atau taurin (Tonsbeek et al.1969). Schutte (1976) melaporkan bahwa furan, furanon, dan piran dapat terbentuk dari gula melalui penyusunan ulang Amadori dan terdapat dalam volatil flavor daging. Mabrouk (1976) mencatat bahwa furfural dan furan lainnya merupakan bagian dari komponen dalam campuran yang dihasilkan dari reaksi glukosa dan sistein atau sistin.
17 N-heterosiklik. Beragam pirol, tiazol, oksazol, piridin, dan pirazin dapat dihasilkan dengan memanaskan beragam komponen fraksi larut air dari ekstrak daging. Pemanasan glukosa dan asam amino bersama-sama menghasilkan pirazin teralkilasi, sedangkan pemanasan glukosa dan amonium klorida, terutama menghasilkan pirazin. Penambahan ion hidroksida meningkatkan hasil pirazin teralkilasi dalam campuran reaksi glukosa-amonia (Shibamoto dan Bernhard 1976). Senyawa sulfur, asiklik dan siklik, merupakan daya tarik tersendiri dalam kaitannya dengan flavor mutton. Kebanyakan dari senyawa tersebut memiliki odor yang tidak sedap, dan banyak macam senyawa mengandung sulfur yang telah diidentifikasi dalam volatil dari mutton masak (Nixon et al. 1979). Johnson dan Vickery (1964) menyatakan bahwa pH daging memengaruhi produksi H2S. Dua sampai tiga kali lebih banyak H2S berasal dari daging yang pH ototnya tinggi, seperti yang dikaitkan dengan mutton berkualitas rendah atau mutton yang kurus, daripada yang berasal dari mutton berkualitas tinggi. Selain odor sulfida, H2S mungkin merupakan kontributor utama untuk aroma daging, terutama odor yang tidak disukai seperti odor mutton, melalui reaksi termal dengan komponen lainnya dalam ekstrak daging. H2S dari sistein dan sistin akan bereaksi dengan glukosa membentuk beragam tiopene, tiazol, dan tiazolin (Mabrouk 1976). Aldehid jenuh akan bereaksi dngan H2S membentuk beberapa senyawa sulfur heterosiklik seperti tian, oksatian, tiazin, dan tiolan, di samping merkaptoalkil sulfida. Aldehid tak jenuh dan H2S menghasilkan banyak produk tambahan metiltio alifatik untuk ikatan rangkap karbon-karbon (Boelens et al. 1974). Menurut Schutte (1974), tiamin hampir pasti berperan sangat penting sebagai prekursor senyawa flavor yang mengandung sulfur. Apabila larutan tiamin cair dididihkan selama beberapa jam, maka odor daging dapat dikena li, Dan bila asam glutamat terdapat dalam larutan ini, maka dihasilkan aroma daging. Produk akhir volatil utama dari pemanasan larutan tiamin pada pH 6 adalah tiazol, tiofen, dan hidroksimerkaptan (Dwivedi dan Arnold 1973).
Reaksi Pembentukkan Flavor Daging Flavor daging secara alami terbentuk melalui sistem prekursor dengan adanya pemanasan. Selama pemanasan terjadi reaksi kimia sehingga terbentuk berbagai senyawa sekunder dan tertier yang berinteraksi lebih lanjut sehingga
18 terbentuk senyawa -senyawa volati l pembentuk flavor daging (Mottram 1991). Mekanisme umum pembentukan aroma akibat pemanasan bahan pangan dapat dilihat pada Gambar 1. Menurut Macleod dan Seyyedain-Ardebili (1981) reaksireaksi kimia yang berperan penting dalam pembentukkan flavor daging adalah reaksi Maillard, dan degradasi lipid, di samping pirolisis asam amino dan peptida, degradasi karbohidrat, dan tiamin.
Protein
Karbohidrat
Peptida
Oligosakarida
Asam amino bebas
Mono dan disakarida
Reaksi Maillard tahap awal Glikosalimin, produk Amandori dan Heyns
ser, leu, phe, pro, arg, cys, met, trp, lys
α-dikarbonil, furan, furanon, piranon
Lipid
Asam Lemak
Peroksida Hidroperoksida, asam akso, asam hidroksi, ketol Degradasi
2-alkadienal, 2,4dienal keton, lakton
Reaksi Maillard tahap lanjut Degradasi Strecker, kondensasi, rearrangement,
produk spesifik asam amino
produk spesifik karbohidrat
produk berasal dari lipida
Heterosiklik yang mengandung atom N dan S
Gambar 1 Jalur utama pembentukkan aroma akibat pemanasan dalam bahan pangan (Tressl, 1990)
19
1. Reaksi Maillard Reaksi Maillard merupakan reaksi antara gugus karbonil khususnya yang berasal dari gula pereduksi dengan gugus amino bebas residu rantai peptida. Di samping itu, reaksi yang melibatkan gugus ∝-amino residu asam amino juga berperan penting. Menurut Hodge (1953) reaksi ini mempunyai sifat yang kompleks dan berantai dan senyawa antara yang dihasilkan dapat bereaksi dengan senyawa antara yang lain. Reaksi ini tidak membutuhkan suhu tinggi suhu yang dibutuhkan dalam reaksi karamelisasi gula dan reaksi pirolisis protein (Hurrel et. al. 1982), karena reaksi Maillard merupakan reaksi katalisis. Laju reaksi meningkat dengan nyata dengan semakin tinginya suhu dan pencoklatan serta pembentukan komponen flavor umumnya terjadi lebih intensif pada suhu pemasakan dan kadar air rendah. Pada dasarnya reaksi Maillard dibagi menjadi 3 tahap yaitu tahap awal, intermediet, dan akhir (Hodge 1953). Skema tahapan reaksi Maillard dapat dilihat pada Gambar 2. Tahap awal melibatkan kondensasi gula dengan senyawa amino sehingga dihasilkan glikosilamin N-tersubstitusi (tahap A) yang selanjutnya akan terjadi penyusunan kembali strukturnya (rearrangement) sehingga terbentuk Amadori Rearrangement Product, ARP (tahap 2), dimana pada tahap ini belum terjadi pembentukan warna coklat. Tahap intermediet melibatkan dekomposisi ARP sehingga terbentuk senyawa -senyawa volatil dan nonvolatil berberapa molekul rendah. Pada tahap ini terjadi dehidrasi (tahap C) dengan melepaskan 3 molekul air membentuk furfural, atau melepaskan 2 molekul air membentuk redukton, terjadi tahap fisi (tahap D), terutama dengan cara aldolisasi, dan terjadi degradasi Stecker (tahap E), yang melibatkan interaksi asam amino dengan senyawa dikarbonil, baik dehidroredukton maupun produk-produk fisi. Tahap akhir terdiri atas koversi senyawa volatil, furfural, produk-produk fisi, dehidroredukton atau aldehida Stecker menjadi produk berberat molekul tinggi (melanoidin) melalui interaksinya dengan senyawa amin (tahap F dan G) (Nursten 1981).
20
Lipid
A
Protein
+ senyawa amino, -H2 O
B H
1-Amino-1-Deoksi-2-Ketosa
- 3 H2O
C
C
Redukton
Basa Schiff dari HMF atau furfural
Gula
+2H
+H2 O
- 2 H 2O
D
Produk-Produk Fisi (asetol, diasetil, piruvaldehida, dll.
F
-2H
E
-senyawa amino Dehidroredukton Degradasi Stecker +as α-amino
HMF atau Furfural
- CO2 F
F
+senyawa amino
G
Aldehida
G G
Aldol dan Polimer Tanpa N
G
+senyawa amino
G
+senyawa amino
+senyawa amino
Melanoidin Polimer dan Kopolimer Bernitrogen Berwarna Cokelat
Gambar 2 Skema reaksi Maillard (Hodge 1953; Nursten 1981)
21
2. Degradasi Stecker Degradasi Stecker merupakan salah satu reaksi penting yang digabungkan dengan reaksi Maillard yang melibatkan dekarboksilasi dan deaminasi oksidatif dari asam ∝-amino dengan adanya komponen dikarbonil. Produk yang dihasilkan merupakan bentuk aldehida dengan satu atom karbon berkurang daripada asam amino
asalnya
(aldehida
Stecker)
dan
satu
∝-aminoketon.
Aminoketon
merupakan senyawa intermediet penting dalam pembentukan beberapa kelas dari komponen heterosiklik termasuk pirazin, oxazol, dan tiazol (Vernin dan Parkanyi 1982).
3. Degradasi Lipid Lipid dan hasil degradasinya berperan pada produk olahan hasil pemanasan seperti goreng-gorengan, produk rebus (daging rebus), produk bakar, dan lain-lain. Pada umumnya reaksi yang terjadi selama pemanasan tersebut adalah reaksi oksidasi. Proses oksidasi lipid sangat dipengaruhi oleh suhu, kadar air, dan interaksi antara lipid dan/atau hasil degradasinya dengan senyawa amino dan/atau hasil degradasinya. Pada suhu yang tinggi (oksidasi termal), produk degradasi lipid akan semakin meningkat dan beragam. Pada aktivitas air yang rendah hasil degradasi lipid akan meningkat kemudian menurun kembali (Chang et al. 1978). Proses oksidasi lipid terjadi melalui mekanisme radikal bebas, reaksi ini diawali dengan pelepasan sebuah atom H yang labil pada lemak dan menghasilkan radikal-radikal bebas lainnya (Frankel 1980). Reaksi ini dapat disebut sebagai reaksi autooksidasi.
Glikogen dan Glukosa Glukosa adalah gula yang penting untuk mengontrol metabolisme energi dan sebagai pembentuk glikogen. Peran utama glikogen dalam otot post-mortem adalah melepaskan glukosa yang dapat dipakai untuk mengisi senyawa fosfat energi tinggi, selanjutnya glikogen dirombak secara cepat sehingga konsentrasi glikogen berubah dengan cepat setelah eksengiunasi. Bila cadangan glikogen dalam urat daging habis pada waktu akan dipotong, maka proses glikolitik yang normal tidak dapat terjadi dan pH (urat daging) hanya turun sesuai dengan jumlah glikogen yang ada. Daging yang pH-nya tinggi (normal : sekitar 5) akan
22 berwarna gelap, liat dan kering, kondisi yang demikian ini menyebabkan urat daging tersebut tidak dapat tahan lama untuk disimpan karena mikroorganisme pembusuk mudah/cepat berkembang biak pada pH yang tidak cukup rendah tersebut. Glikogen normalnya sekitar 1% dari bobot otot (Lawrie 1995), nilai istirahat konsentrasi glikogen otot pectoral domba sekitar 45 µmol/g (setara glukosa). Otot LD sapi pedaging mengandung sekitar 56 µmol/g pada 0 jam post-mortem (< 10 menit) (Bodwell et al. 1965). Level glikogen berubah pada waktu post-mortem dari nilai awalnya sekitar 56 µmol/g, level glikogen ini mencapai sekitar 42, 30, 10, dan 10 µmol/g berturutturut pada 6, 12, 24, dan 48 jam post-mortem. Dengan demikian sekitar 5.5 kali penurunan kandungan glikogen terjadi selama 24 jam. Howard dan Lawrie (1957) mengamati bahwa nilai glikogen awal untuk otot LD sapi pedaging sekitar 52 µmol/g namun menurun menjadi 8.3 µmol/g dalam 24 jam berkurang 6.25 kali lipat. Banyaknya glikogen yang tersisa ketika otot mengalami rigor mortis jatuh dalam kisaran 2-30% dari level istirahat dan bergantu ng pada konsentrasi istirahat asalnya dan laju ketika fosforilase dan enzim-enzim glikolitik lainnya menjadi tidak aktif dan tidak mampu lebih lama lagi merombak glikogen menjadi glukosa. Berkembangnya pH rendah sebagai hasil dari produksi asal laktat sela ma glikolosis anaerob merupakan faktor utama dalam menonaktifkan fosforilase dan enzim-enzim glikolitik lainnya. Dengan demikian, otot yang mengalami glikolisis dengan cepat memiliki level glikogen residu setinggi level yang mengalami hidrolisis lebih lamb an, karena sistem enzimnya mungkin dinonaktifkan lebih awal sehubungan dengan cepatnya penurunan pH yang berkaitan dengan produksi asam laktat yang lebih awal.
Senyawaan Fosfat Energi Tinggi Setelah ternak mati, hanya ada sedikit sumber energi, seperti glikogen simpanan, ATP dan ADP residu dan kreatin fosfat yang tidak digunakan. Sepanjang sumber ADP residu masih tetap tinggi, maka reaksi selanjutnya berlangsung untuk menyediakan ATP tambahan :
2 ADP
miokinase
ATP + AMP
23 AMP yang terbentuk dapat dideaminasi untuk menghasilkan inosin monofosfat (IMP) dengan reaksi berikut :
AMP
AMP deaminase
IMP + NH3
ADP dapat pula bereaksi dengan CP menghasilkan ATP
ADP + CP
kreatin kinase
ATP + Kreatin
Perombakan IMP lebih lanjut dapat terjadi sebagai berikut :
IMP
I + PO4
nukleosida fosforilase
hipoksantin + ribose I-fosfat hipoksantin + ribosa
Level ATP awal dalam otot sapi pedaging sekitar 10.9 µmol/g otot sedangkan CP awal sekitar 9 µmol/g. Nilai ATP dan ADP hanya dapat ditentukan secara tepat selama periode post-mortem berlangsung dan tahap awal rigor ketika CP dan resin tetisglikolitik mempertahankan ATP pada level yang hampir konstan. ATP dalam otot sapi pedaging pada 48 jam post-mortem menurun sampai sekitar 17% dari nilai awalnya. Sedangkan CP turun sampai 17% dari nilai awal pada 12 jam post-mortem dan menghilang pada 24 jam. AMP yang merupakan produksi dari hidrolisis ATP dan ADP terdiri hanya sekitar 0.2-0.3 µmol/g pada otot yang baru saja post-mortem (Bendall 1979). Dalam otot stenomandibularis sapi pedaging konsentrasi AMP meningkat 2 sampai 3 kali lipat pada 10 jam pertama post-mortem namun pada 24 jam biasanya menurun sampai level semula (Newbold dan Scopes 1971). Konsentrasi inosin nukleotida dalam otot istirahat terhitung sekitar 0.5 µmol/g (Bendall 1979), kebanyakan dari konsentrasi ini terdiri atas IMP yang secara langsung berkaitan dengan jumlah ATP yang dihidrolisis konsentrasi IMP meningkat sampai sekitar 5 µ mol/g pada 12-24 jam post-mortem. Level inosin dan hipoksantin secara normal adalah nol dalam otot istirahat (Rhodes 1965) hal ini karena keduanya terbentuk oleh IMP. Produksi hipoksantin mencapai 20-40% dari konsentrasi ATP istirahat pada 24 jam
post-mortem
untuk sapi pedaging. Otot LD sapi pedaging hanya mengandung sekitar 1 µmol/g
24 inosin dan dengan jumlah yang hampir sama untuk hipoksantin pada 5-6 hari post-mortem (Hamm 1977).
ATP ATP ase
Myokinase
ADP
Miokinase
AMP AMP deaminase
Nukleotidase
Adenosin
IMP
Nukleotidase
Adenosin deaminase
Inosin Inosin hydrolase
Hipoksantin Xantin Oksidase
Xantin Gambar 3 Lintas katabolisme nukleotida