7
TEORI DAN KONSEP
Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat
Paradigma pembangunan telah bergeser dari Production Centered Development menjadi
People
Centered
Development
yang
mempunyai
inti
pemberdayaan
masyarakat, sedangkan indikator utama berdayanya masyarakat adalah partisipasi masyarakat. Pengembangan masyarakat merupakan wujud dari People Centered Development
dalam pembangunan. Pengembangan masyarakat dijelaskan oleh
Brokensha dan Hodge dalam Adi (2003) sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan pada skala komunitas yang menuntut partisipasi aktif dan jika perlu prakarsa dari anggota komunitas guna mencapai tingkat kesejahteraan yang lebih baik. Suharto (2005) menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat adalah salah satu metode pekerjaan yang tujuan utamanya untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat melalui pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada mereka serta menekankan pada prinsip partisipasi . Suharto juga menjelaskan bahwa pengembangan masyarakat berkenaan dengan upaya pemenuhan kebutuhan orang-orang yang tidak beruntung atau tertindas, baik karena kemiskinan, maupun diskriminasi. Suharto (2005) melengkapi pengembangan masyarakat dilakukan dengan pendayagunaan sumber-sumber yang ada pada komunitas/masyarakat. Pendekatan ini pada dasarnya lebih memfokuskan pada pengidentifikasian “apa yang dimiliki oleh orang miskin” daripada “apa yang tidak dimiliki orang miskin” yang menjadi sasaran pengkajian (Suharto, dkk.2003). Berdasarkan penjelasan di atas, ada tiga komponen penting di dalam kegiatan pengembangan masyarakat, yaitu bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup, pendayagunaan sumber-sumber yang ada, dan adanya partisipasi dari masyarakat, sehingga ketiga komponen tersebut menjadi tolok ukur dalam program yang akan dilaksanakan. Guna menumbuhkan partisipasi dari masyarakat maka terlebih dahulu ada aspek-aspek psikologis yang perlu diperhatikan. Moeljarto dalam Jamasy (2004) mengusulkan tiga hal yang perlu ditekankan pada masyarakat, yaitu: (1). Menekan perasaan ketidak berdayaan (impotensi) bila
8 berhadapan dengan struktur sosial-politis atau dengan meningkatkan kesadaran kritis masyarakat, (2). Menanamkan rasa persamaan (egalitarian), (3). Mengeluarkan dari perspektif sempit tentang takdir di mana mayarakat beranggapan bahwa kemiskinan dan kondisi yang dialami adalah merupakan takdir yang tidak bisa mereka ubah. Masyarakat perlu dijelaskan bahwa kondisi mereka bisa diubah, sehingga masyarakat berpikir reflektif dan partisipatif yang akan mendahulukan cara menjawab bagaimana manusia harus bertindak, berupaya, bekerja keras, dan berusaha. Hal-hal tersebut di atas sesuai dengan Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Ar-Ra’d ayat 11 dalam Isya (2002) :
3 öΝÍκŦàΡr'Î/ $tΒ (#ρçÉitóム4©®Lym BΘöθs)Î/ $tΒ çÉitóムŸω ©!$# χÎ) 3 Artinya “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka”. Firman Allah tersebut menegaskan pentingnya partisipasi dan pemberdayaan diri dari masyarakat yang ingin mengubah keadaannya menjadi lebih baik. Menurut Dharmawan (2000) pemberdayaan merupakan sebuah proses untuk mendapatkan energi yang cukup yang bisa digunakan untuk mendayagunakan kemampuannya untuk memperoleh daya saing, untuk membuat keputusan sendiri, dan mudah mengakses sumber-sumber kehidupan yang lebih baik. Menurut Payne dalam Adi (2003) pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses yang bertujuan untuk membantu klien memperoleh daya
untuk mengambil keputusan dan menentukan
tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki. Suharto (2005) menjelaskan bahwa pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok lemah sehingga mereka memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, yaitu kebebasan (bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan), dapat menjangkau sumber-sumber yang produktif yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan pendapatannya, dan berpartisipasi dalam pembangunan serta keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Program pemberdayaan masyarakat dikatakan berhasil dengan indikator-idikator sebagai berikut (Sumodiningrat, 1998) : (1). Berkurangnya jumlah masyarakat miskin, (2). Berkembangnya usaha peningkatan pendapatan yang dilakukan oleh masyarakat miskin dengan memanfaatkan sumberdaya yang tersedia, (3). Meningkatnya kepedulian
9 masyarakat
terhadap
kesejahteraan
keluarga
miskin
di
lingkungannya,
(4).
Meningkatnya kemandirian kelompok yang ditandai oleh makin berkembangnya usaha produktif kelompok, makin rapinya sistem administrasi kelompok dan makin luasnya interaksi kelompok dengan kelompok lain dalam masyarkat. Sumber-sumber
daya
yang
dimiliki
oleh
masyarakat
dalam
rangka
pemberdayaan masyarakat tersebut merupakan modal. Modal tersebut berupa modal alam, modal manusia, modal fisik, modal finansial, dan modal yang disetarakan dengan modal-modal tersebut yaitu modal sosial, karena dapat dikelola menjadi suatu aktivitas gerakan sosial yang melibatkan sekelompok orang yang dicirikan oleh adanya kerjasama, tujuan yang tegas, serta kesadaran dan kesengajaan (Daryanto, 2004). Daryanto selanjutnya menjelaskan bahwa pengelolaan modal sosial dapat menyumbang pada pembangunan ekonomi karena adanya jaringan, norma, dan kepercayaan di dalamnya yang menjadi kolaborasi sosial untuk kepentingan bersama. Modal sosial menurut Putnam (1993a) cenderung kepada ciri-ciri organisasi sosial, yaitu jaringan, norma-norma, dan kepercayaan. Struktur masyarakat juga merupakan bentuk modal sosial ( Dasgupta dan Ismail Serageldin, 2000). Fukuyama (2001) juga melihat gotongroyong sebagai modal sosial dengan alasan hal tersebut merupakan wujud kemampuan yang timbul dari rasa percaya masyarakat. Kerjasama dalam aktivitas gotong royong tersebut dilandasi oleh norma-norma informal dalam masyarakat.
Musholla sebagai Kelembagaan
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Gillin (dalam Soemardjan & Soemardi , 1964), kelembagaan dapat terdiri dari aksi, ide, kebiasaan, dan seperangkat adat. Berdasarkan pendapat Uphoff (1992), norma juga merupakan kelembagaan. Sementara berdasarkan Polak (1966) kelembagaan merupakan sebuah sistem peraturan-peraturan yang bertujuan mengatur pola hubungan antar manusia di dalam memenuhi kebutuhan pokoknya. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kelembagaan mempunyai inti tata aturan/norma dan pola hubungan. Sebuah kelembagaan merupakan hasil organisasi dari modal-modal sosial yang ada dalam masyarakat. Sebagaimana penjelasan di atas bahwa modal sosial dapat menggerakkan kerjasama masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup masyarakat,
10 maka kelembagaan pun terbentuk dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup manusia. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan Polak di atas. Musholla
juga
merupakan
sebuah
bentuk
kelembagaan.
Hal
tersebut
dikarenakan terdapat tata aturan dan pola hubungan di dalam musholla. Hal tersebut dapat terlihat dari kegiatan-kegiatan dan kerjasama yang ada di musholla. Sebagai contoh dalam kegiatan rehab musholla, terdapat tata aturan dan pola hubungan di dalamnya,
ada
struktur
kepanitiaan,
ada
mekanisme
rapat,
ada
mekanisme
pengumpulan dana, mekanisme perbaikan musholla, dan sebagainya; kegiatan pengajian dalam rangka pembinaan akidah jamaah, dan lain-lain. Musholla sebagai sebuah kelembagaan juga mempunyai fungsi-fungsi yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat khususnya jamaah musholla. Sumber daya yang ada di dalam musholla baik modal finansial, modal manusia, modal fisik, dan modal sosial dapat digunakan untuk melaksanakan kerjasama antar masyarakat sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik secara jasmani, rohani, maupun sosial. Musholla merupakan kelembagaan sebuah kelembagaan Agama Islam. Kegiatan-kegiatan di dalamnya merupakan wujud dari pelaksanaan ajaran Agama Islam, sehingga musholla tidak dapat dilepaskan dari prinsip-prinsip Agama Islam itu sendiri. Hal tersebut perlu dikemukakan menyangkut kecenderungan saat ini bahwa musholla kurang melaksanakan ajaran Islam secara menyeluruh. Musholla hanya digunakan sebagai sarana ibadah ritual saja, padahal ajaran Islam menyatakan bahwa musholla merupakan pusat kegiatan Islam, yang berisi tidak hanya kegiatan-kegiatan ritual ibadah saja, namun juga mencakup kegiatan kesejahteraan sosial (Ayub, dkk,2001).
Penguatan Kapasitas Kelembagaan
Daryanto
(2004)
mengungkapkan
pola
pengembangan
kelembagaan
masyarakat agar semakin kuat perlu memperhatikan beberapa aspek, yaitu : (1). Perbaikan struktur dan fungsi kelembagaan masyarakat, (2). Pemanfaatan informasi dan teknologi yang berimbang, (3). Peningkatan program-program pendidikan dan pelatihan secara berkelompok, (4). Meningkatkan pembangunan sarana dan prasarana aktivitas kelembagaan, (5). Memberdayakan dan memfasilitasi kelembagan masyarakat informal, (6). Menciptakan pemimpin kelembagaan yang transformasional. Perubahan peran ke arah yang lebih baik menurut Uphoff (1986) juga merupakan salah satu bentuk
11 penguatan kelembagaan. Perubahan peran yang ada tersebut diharapkan nilai-nilai di dalamnya juga turut berubah ke arah yang lebih maju. Syahyuti (2003) menjelaskan bahwa untuk menguatkan kelembagaan perlu diurai terlebih dahulu dan dianalisa variabel-variabel yang ada di dalam kelembagaan tersebut, dengan demikian kita dapat menentukan indikator-indikator yang menunjukkan kelemahan dari kelembagaan tersebut, sekaligus potensi dan kesempatan untuk ditingkatkan kapasitasnya. Variabel-variabel dalam kelembagaan yang perlu dianalisa adalah nilai, norma yang berlaku, dan group atmosphere (berkaitan dengan perilaku kolektif). Kluckhon dalam Syahyuti (2003) memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berguna untuk mengetahui nilai dalam kelembagaan tersebut. Intinya pertanyaan tersebut adalah untuk mengupas nilai yang berlaku dari sistem tata nilai, jenis nilai, dan orientasi dari nilai tersebut, sedangkan norma dilihat berupa aturan-aturan yang merupakan kesepakatan bersama dan dilakukan oleh masyarakat dalam kelembagaan tersebut. Sementara itu group atmosphere lebih menyangkut kinerja kelembagaan tersebut dan masyarakat yang ada di dalamnya. Berdasarkan penjelasan Syahyuti (2003), kapasitas suatu
kelembagaan
mencakup lima faktor, yaitu kepemimpinan (leadership), proses perencanaan program, pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar. Faktor kepemimpinan mencakup seberapa demokrasi kepemimpinan tersebut, dan bagaimana proses pemilihan pemimpin. Faktor proses perencanaan program berupa besar-kecilnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk merencanakan program. Faktor pelaksanaan program berupa keterlibatan masyarakat dalam pelaksanaan suatu program. Faktor alokasi sumber daya berupa sejauh mana sumber daya yang ada digunakan untuk kesejahteraan masyarakat, sedangkan faktor hubungan dengan pihak luar meliputi kerjasama dan dukungan dari pihak luar. Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut, penguatan kelembagaan dapat dilakukan dalam beberapa aspek, yaitu : 1. Perubahan peran dan fungsi kelembagaan 2. Penguatan nilai dan norma 3. Penguatan kelembagaan melalui penguatan program, teknologi, informasi, jejaring, dan kepemimpinan.
12 Kesejahteraan Masyarakat dalam Islam
Kesejahteraan sosial berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1974 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kesejahteraan Sosial dalam Suharto (2005b) adalah : suatu tata kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spiritual yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan, dan ketentraman lahir dan batin yang memungkinkan bagi setiap warga untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah, dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.
Definisi tersebut menyebutkan sebuah tata kehidupan dan penghidupan sosial yang berarti menuntut kegiatan-kegiatan tertentu baik yang bernilai materi maupun bernilai spiritual dalam sebuah kondisi yang aman, adanya jaminan keselamatan, penghormatan terhadap norma kesusilaan, serta terjaminnya ketentraman baik lahir maupun batin sehingga dilakukan sebuah tata untuk mencapai tujuan-tujuan yang disebutkan dalam undang-undang tersebut, yaitu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. Kebutuhan-kebutuhan jasmani antara lain sandang, pangan, papan, dan kesehatan. Kebutuhan-kebutuhan rohani berupa agama, keyakinan, kepercayaan, dan pendidikan, sedangkan kebutuhan sosial berupa hubungan yang sehat antar masyarakat, solidaritas, hormat menghormati, dan tenggang rasa. Di samping itu dituntut pula pemenuhan rasa aman, keselamatan, kesusilaan dan ketentraman lahir dan batin. PBB (dalam Suharto, 2005b) memberi batasan kesejahteraan sosial sebagai ”kegiatan-kegiatan yang terorganisasi yang bertujuan untuk membantu individu atau masyarakat guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya dan meningkatkan kesejahteraan
selaras
dengan
kepentingan
keluarga
dan
masyarakat”.
Jadi
kesejahteraan sosial bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, sedangkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia meliputi kebutuhan jasmani, rohani, dan sosial. Manusia
sebagai
ciptaan,
sudah
seharusnya
taat
dan
patuh
kepada
Penciptanya. Manusia wajib untuk mencari keridhoan-Nya dengan cara menjalankan semua perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Sabiq (1994), Qardhawi (1999), Al-Jazairi (2005), dan Al-Buthi (2004) memaparkan cara-cara untuk mencapai ridho Allah tersebut sekaligus kewajiban bagi setiap muslim. Cara-cara tersebut ternyata meliputi segenap aspek kehidupan baik kecintaan pada Allah , Rasul-Nya, orang-orang
13 beriman; kesucian dan kebersihan badan, pakaian, hati, dan pikiran; mau berterima kasih; tahan menghadapi musibah; berlaku adil; keteraturan; perbuatan baik; menepati janji; kerja keras; kelemahlembutan; kegigihan; keberlanjutan perbuatan baik; dan sebagainya meliputi semua aspek kehidupan baik sosial, ekonomi pendidikan, politik, kenegaraan, dan sebagainya. Nilai-nilai tersebut telah dicontohkan pula pada masa Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin (empat pemimpin Umat Islam pertama setelah Rasulullah) yaitu Abu Bakar as Shidiq, Umar bin Khatab, Utsam bin Affan, dam Ali bin Abi Tholib. Sebagai refleksi, kita dapat melihat apa yang dilakukan oleh Umar bin Khatab (Gymnastiar, 2004) di mana setiap malam dia selalu berkelilng berjalan kaki untuk melihat kondisi rakyatnya. Pernah suatu kali ketika menemui seorang ibu dengan anak-anaknya yang kelaparan, maka dia segera ke baitul mal (rumah kas negara) untuk mengambil gandum, dan dia panggul sendiri gandum tersebut untuk diberikan kepada ibu tersebut. Tentu saja santunan tersebut tidak hanya bagi Umat Islam, namun juga bagi umat lain, sebagaimana Umar bin Khatab menyantuni dengan tangannya sendiri seorang Yahudi tua yang buta. Kondisi yang dilandasi oleh semangat Umar bin Khatab tersebut menjadikan masyarakat hidup sejahtera. Bahkan dengan kesungguhan pemerintah dalam waktu singkat dapat merubah sebuah negara menjadi sejahtera. Hal tersebut terbukti pada masa pemerintahan Umat Islam dengan Khalifah (pemimpin) Umar bin Abdul Aziz. Shaqar (1994) menjelaskan bahwa Umar bin Abdul Aziz dengan kesungguhan dan komitmennya untuk mensejahterakan masyarakat dapat merubah kondisi yang terpuruk menjadi keadaan sejahtera hanya dalam waktu dua tahun. Tindakan kedua Umar tersebut sesuai dengan Firman Allah dalam Al-Qur’an surat An Nisa ayat 36 , Surat AlAnbiya ayat 107, Surat As-Syu’araa’ ayat 181-183 berikut : Surat An Nisa ayat 36: 4’n1öà)ø9$# “ÏŒ Í‘$pgø:$#uρ È⎦⎫Å3≈|¡yϑø9$#uρ 4’yϑ≈tGuŠø9$#uρ 4’n1öà)ø9$# “É‹Î/uρ $YΖ≈|¡ômÎ) È⎦ø⎪t$Î!≡uθø9$$Î/uρ ( $\↔ø‹x© ⎯ÏμÎ/ (#θä.Îô³è@ Ÿωuρ ©!$# (#ρ߉ç6ôã$#uρ * #·‘θã‚sù Zω$tFøƒèΧ tβ%Ÿ2 ⎯tΒ =Ïtä† Ÿω ©!$# ¨βÎ) 3 öΝä3ãΖ≈yϑ÷ƒr& ôMs3n=tΒ $tΒuρ È≅‹Î6¡¡9$# È⎦ø⌠$#uρ É=/Ζyfø9$$Î/ É=Ïm$¢Á9$#uρ É=ãΨàfø9$# Í‘$pgø:$#uρ ∩⊂∉∪ Artinya : ”Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anakanak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh [dekat dan jauh di sini ada yang mengartikan dengan tempat, hubungan kekeluargaan, dan ada pula antara yang muslim dan yang bukan muslim ], dan teman sejawat, ibnu sabil [Ibnus sabil ialah orang yang dalam perjalanan yang
14 bukan ma'shiat yang kehabisan bekal. termasuk juga anak yang tidak diketahui ibu bapaknya ] dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang sombong dan membangga-banggakan diri”, Surat Al-Anbiya ayat 107 : ∩⊇⊃∠∪ š⎥⎫Ïϑn=≈yèù=Ïj9 ZπtΗôqy‘ ωÎ) š≈oΨù=y™ö‘r& !$tΒuρ Artinya : ”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Surat As-Syu’araa’ ayat 181-183 : }¨$¨Ζ9$# (#θÝ¡y‚ö7s? Ÿωuρ ∩⊇∇⊄∪ ËΛ⎧É)tFó¡ßϑø9$# Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ (#θçΡΗuρ ∩⊇∇⊇∪ z⎯ƒÎÅ£÷‚ßϑø9$# z⎯ÏΒ (#θçΡθä3s? Ÿωuρ Ÿ≅ø‹s3ø9$# (#θèù÷ρr& * ∩⊇∇⊂∪ t⎦⎪ωšøãΒ ÇÚö‘F{$# ’Îû (#öθsW÷ès? Ÿωuρ óΟèδu™!$u‹ô©r& Artinya : ”Sempurnakanlah takaran dan janganlah kamu termasuk orang- orang yang merugikan (181); Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus (182). Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan (183). Sebagaimana penjelasan di atas, wujud dari ibadah manusia tidak hanya terbatas pada ritual ibadah saja, tetapi dari semua aspek kehidupan. Pembangkangan yang dilakukan oleh manusia akan berakibat merugikan manusia sendiri. Sebagai contoh, Allah telah memperingatkan manusia untuk tidak merusak lingkungan dalam AlQur’an Surat Ar Rum ayat 41 :
tβθãèÅ_ötƒ öΝßγ¯=yès9 (#θè=ÏΗxå “Ï%©!$# uÙ÷èt/ Νßγs)ƒÉ‹ã‹Ï9 Ĩ$¨Ζ9$# “ω÷ƒr& ôMt6|¡x. $yϑÎ/ Ìóst7ø9$#uρ Îhy9ø9$# ’Îû ߊ$|¡xø9$# tyγsß ∩⊆⊇∪ artinya ”Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar”. Dalam tataran aplikasi, kita dapat melihat kenyataan ketika manusia merusak hutan dengan alasan apapun, maka manusia akan menuai bencana, baik banjir, longsor, maupun bencana lainnya, dengan demikian Islam benar-benar merupakan agama yang telah lengkap, sebagaimana Firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3:
4 $YΨƒÏŠ zΝ≈n=ó™M}$# ãΝä3s9 àMŠÅÊu‘uρ ©ÉLyϑ÷èÏΡ öΝä3ø‹n=tæ àMôϑoÿøCr&uρ öΝä3oΨƒÏŠ öΝä3s9 àMù=yϑø.r& tΠöθu‹ø9$# t4 Ï3
15 artinya :”Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan telah Aku ridhoi Islam sebagai agamamu”. Husaini (1983) seorang ilmuwan dari London menjelaskan bahwa Islam telah membebaskan manusia dari theologi mistik, theologi dialektik, metafisik,dan introversi yang berlarut-larut, dengan demikian manusia dapat melibatkan diri ke dalam problemproblem sosial yang riil di dalam perkembangan manusia. Chamsyah (2003) menjelaskan bahwa selama ini banyak pihak yang menuding Islam bersifat orthodoks, kaku dan terbelakang, namun sebenarnya anggapan itu salah. Adapun adanya Umat Islam
yang
tertinggal
justru
karena
ketidakmauan
Umat
Islam
dalam
mengimplementasikan nilai-nilai Islam. Hal itu disinggung oleh Shakib Arslan –seorang modernis Islam –dalam Chamsyah (2003) yang mengatakan bahwa ”kaum Muslim (Umat Islam) terbelakang sementara yang lain maju, adalah karena kaum Muslim menyimpang dari ajaran Islam”. Berkaitan dengan aspek sosial, Islam sangat memperhatikan masalah-masalah yang timbul, sebagai contoh adalah masalah kemiskinan. Agama Islam mengajarkan, seseorang tidak boleh dibiarkan mengalami kelaparan, tanpa pakaian, menjadi gelandangan, tanpa tempat tinggal, atau kehilangan kesempatan membina keluarga, dan hal tersebut berlaku tidak hanya untuk orang Islam saja, tetapi juga bagi pemeluk non Islam (Qardhawi, 1995). Dalam rangka kesejahteraan sosial Islam dalam Al Banna (2003) menyebutkan tiga pilar utama yang harus dipenuhi, yaitu : (1).
Tanggung jawab penguasa, bahwa penguasa dalam hal ini kebijakan-kebijakan pemerintah haruslah berpihak kepada kesejahteraan masyarakat.
(2).
Penghormatan terhadap aspirasi umat, hal ini menunjukkan adanya model bottom up, dan pentingnya partisipasi masyarakat.
(3).
Pemeliharaan kesatuan umat, menunjukkan perlunya stabilitas di dalam masyarakat,
perlunya
bahu-membahu
dan
kesetiakawanan
sosial
dalam
masyarakat. Kosep strategi untuk mempertahankan kehidupan sosial yang efektif dan efisien menurut Amsyari (1990) pada intinya adalah penerapan Islam secara utuh dan penguatan kapasitas organisasi Islam dan pemeluknya. Pemahaman dan pelaksanaan Islam secara utuh yang disertai penguatan
kapasitas organisasi dan pemeluknya akan
menciptakan kesejahteraan yang sebenarnya. Tidak hanya melihat kesejahteraan dari
16 segi ekonomis, namun lebih menekankan pada segi ruhani, sehingga kemiskinan di sini lebih cenderung dibahas pada kemiskinan subjektif. Penjelasan tersebut bukan berarti Islam mengecilkan segi ekonomi, bahkan bagi orang kaya yang dermawan akan mendapatkan posisi istimewa di dalam Islam, sedangkan Islam menolak ketergantungan pada kemurahan individu dan sedekah (Qardhawi, 1995). Berbagai sarana untuk menghadapi kemiskinan dalam Islam adalah sebagai berikut (Qardhawi, 1995) : 1. Bekerja, hal ini merupakan kewajiban bagi mereka yang masih mampu baik secara mental maupun fisik. Pengecualian terhadap kewajiban bekerja berlaku bagi lanjut usia dan mereka yang memiliki keterbatasan fisik dan mental yang tidak memungkinkan bagi mereka untuk bekerja; 2. Jaminan sanak famili yang berkelapangan 3. Zakat, baik zakat fitrah maupun zakat mal. Bagi mereka yang memiliki kelebihan harta (kaya) diwajibkan untuk menyisihkan sebagian hartanya untuk menyantuni pihak-pihak yang berhak menerimanya; 4. Jaminan baitul mal. Pada pemerintahan kekhalifahan Islam, baitul mal merupakan kas bagi rakyat, sedangkan pada saat sekarang selain merupakan kas
juga bisa dibuat secara swadaya dengan sumber dana dari zakat dan
sedekah dari umat Islam. 5. Sedekah sukarela
Indikator Kesejahteraan
Indikator kesejahteraan dalam kajian ini didasarkan pada Al-Quran. Menurut sebagian pakar, kesejahteraan sosial yang didambakan Al-Quran tecermin dari surga yang dihuni oleh Adam dan istrinya, sesaat sebelum turunnya mereka melaksanakan tugas kekhalifahan di bumi (Shihab, 2006). Indikator kesejahteraan berdasarkan AlQuran adalah : a. Terpenuhinya kebutuhan dasar: pendidikan, pangan, sandang , papan, dan kesehatan Gambaran Al-Quran tentang indikator kesejahteraan di surga tersebut adalah:
. Ïπs3Íׯ≈n=yϑø9$# ’n?tã öΝåκyÎztä §ΝèO $yγ¯=ä. u™!$oÿôœF{$# tΠyŠ#u™ zΝ¯=tæuρ
17 ”Dan dia ajarkan kepada Adam nama-nama benda semuanya, kemudian dia perlihatkan kepada para malaikat ”(QS.AlBAqarah [2]:31). Hal tersebut menunjukkan pentingnya pendidikan bagi manusia, sehingga pada awal penciptaan manusia, Allah memberikan pelajaran kepada Adam. BKKBN (2004) memberikan indikator dalam hal pendidikan bagi keluarga sejahtera apabila minimal seluruh anggota keluarga yang berusia sepuluh sampai enam puluh tahun dapat membaca, dan anak berusia enam sampai lima belas tahun sedang bersekolah. Adapun indikator pangan, sandang, dan papan tergambar dalam Al-Quran berikut :
ωr& y7s9 ¨βÎ) ∩⊇⊇∠∪ #’s+ô±tFsù Ïπ¨Ψyfø9$# z⎯ÏΒ %m„äl¨Ψy_Ì÷‚ムŸξsù šÅ_÷ρt“Ï9uρ y7©9 Aρ߉tã #x‹≈yδ ¨βÎ) ãΠyŠ$t↔¯≈tƒ $uΖù=à)sù ∩⊇⊇®∪ 4©ysôÒs? Ÿωuρ $pκÏù (#àσyϑôàs? Ÿω y7¯Ρr&uρ ∩⊇⊇∇∪ 3“t÷ès? Ÿωuρ $pκÏù tíθègrB Hai Adam, sesungguhnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali jangan sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akibatnya engkau akan bersusah payah. Sesungguhnya engkau tidak akan kelaparan di sini (surga), tidak pula akan telanjang,dan sesungguhnya engkau tidak akan merasa dahaga maupun kepanasan (QS Thaha [20]: 117- 119) Ayat Al-Quran tersebut menggambarkan keadaan di surga dimana seseorang tidak akan kelaparan, tidak akan telanjang, dahaga, dan tidak pula kepanasan. Hal tersebut merupakan indikator pertama dari kesejahteraan, yaitu sandang pangan, papan (Shihab, 2006), dan ketidakpayahan menunjukkan kualitas kesehatan. Secara operasional, BKKBN (1994) memberikan indikator kesejahteraan dalam hal sandang, pangan dan papan. Dalam hal pangan, sebuah keluarga dikatakan sejahtera apabila dapat makan lebih dari dua kali sehari dan mampu menyediakan lauk pauk berupa ikan atau daging atau telur lebih dari sekali dalam seminggu. Indikator dalam hal sandang adalah apabila sebuah keluarga mempunyai pakaian yang bebeda untuk di rumah, bekerja/bersekolah, dan bepergian, serta minimal satu tahun sekali mendapatkan satu stel baju baru. Dalam hal papan, keluarga sejahtera minimal memiliki lantai seluas 8 m2 tiap anggota, dan sebagian besar lantai bukan dari tanah. Sedangkan indikator kesehatan adalah apabila ada anggota keluarga yang sakit dapat dibawa ke sarana/petugas kesehatan, dan dapat bertahan minimal tiga bulan tidak sakit. b. Suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia.
18 Indikator tersebut dilukiskan dalam Al-Quran sebagai berikut :
tβθä↔Å3§GãΒ Å7Í←!#u‘F{$# ’n?tã @≅≈n=Ïß ’Îû ö/àSã_≡uρø—r&uρ öΛèε ∩∈∈∪ tβθßγÅ3≈sù 9≅äóä© ’Îû tΠöθu‹ø9$# Ïπ¨Ψpgø:$# |=≈ysô¹r& ¨βÎ) ∩∈∇∪ 5ΟŠÏm§‘ 5b>§‘ ⎯ÏiΒ Zωöθs% ÖΝ≈n=y™ ∩∈∠∪ tβθã㣉tƒ $¨Β Νçλm;uρ ×πyγÅ3≈sù $pκÏù öΝçλm; ∩∈∉∪ Ya Sin [36]: 55-58 : Sesungguhnya penghuni surga pada hari itu bersenang-senang dalam kesibukan mereka. Mereka dan pasangan-pasangannya berada dalam tempat yang teduh, bersandar di atas dipan-dipan. Di surga itu mereka memperoleh buahbuahan dan memperoleh apa saja yang mereka inginkan. Kepada mereka dikatakan ”salam” sebagai ucapan selamat dari Tuhan Yang Maha Penyayang. Al-Thur [52]: 21-23:
4 &™ó©x« ⎯ÏiΒ ΟÎγÎ=uΗxå ô⎯ÏiΒ Νßγ≈oΨ÷Gs9r& !$tΒuρ öΝåκtJ−ƒÍh‘èŒ öΝÍκÍ5 $uΖø)ptø:r& ?⎯≈yϑƒÎ*Î/ ΝåκçJ−ƒÍh‘èŒ öΝåκ÷Jyèt7¨?$#uρ (#θãΖtΒ#u™ t⎦⎪Ï%©!$#uρ $pκÏù tβθããt“≈oΨoKtƒ ∩⊄⊄∪ tβθåκtJô±o„ $£ϑÏiΒ 5Οóss9uρ 7πyγÅ3≈xÎ/ Νßγ≈tΡ÷Šy‰øΒr&uρ ∩⊄⊇∪ ×⎦⎫Ïδu‘ |=|¡x. $oÿÏ3 ¤›ÍöΔ$# ‘≅ä. ∩⊄⊂∪ ÒΟŠÏOù's? Ÿωuρ $pκÏù ×θøós9 ω $U™ù(x. Artinya : Dan orang-orang yang beriman, beserta anak cucu mereka yang mengikuti mereka dalam keimanan, Kami pertemukan mereka dengan anak cucu mereka di dalam surga, dan Kami tidak mengurangi sedikit pun pahala amal kebajikan mereka. Setiap orang terikat dengan apa yang dikerjakannya. Dan Kami berikan kepada mereka tambahan berupa buah-buahan dan daging dari segala jenis yang mereka ingini. Mereka saling mengulurkan gelas yang isinya tidak menimbulkan ucapan yang tidak berfaedah ataupun perbuatan dosa. Shihab
(2006)
menyebutkan
kandungan
dalam
ayat-ayat
tersebut,
bahwa
kesejahteraan yang digariskan oleh Al-Quran berupa suasana damai, harmonis, tidak terdapat suatu dosa, dan tidak ada sesuatu yang tidak wajar, serta tiada pengangguran ataupun sesuatu yang sia-sia. Indikator kedua ini merupakan indikator yang berkaitan dengan interaksi dengan orang lain. Suasana damai dan harmonis menyangkut kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. Berdasarkan pemaparan Iskandar dan Nitimihardjo (1992), indikator operasional suasana damai dan harmonis dalam bertetangga dan bermasyarakat tersebut adalah berkurangnya pertengkaran,
bertambahnya
musyawarah,
bertambahnya
rasa
hormat-
menghormati, bertambahnya sikap saling tolong-menolong, dan sikap kekeluargaan.
Perbedaan dari indikator menurut Al-Quran dan indikator kesejahteraan lainnya adalah adanya prasyarat untuk mencapai kesejahteraan dengan
indikator-indikator
19 tersebut. Prasyarat tersebut adalah kepatuhan/ketaatan pada Allah, Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut dijelaskan oleh Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 38 :
tβθçΡt“øts† öΝèδ Ÿωuρ öΝÍκön=tæ ì∃öθyz Ÿξsù y“#y‰èδ yìÎ7s? ⎯yϑsù “W‰èδ ©Íh_ÏiΒ Νä3¨ΨtÏ?ù'tƒ $¨ΒÎ*sù ( $YèŠÏΗsd $pκ÷]ÏΒ (#θäÜÎ7÷δ$# $oΨù=è% ∩⊂∇∪ Artinya :”Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu (hai Adam, setelah engkau berada di dunia, maka ikutilah). Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tiada
ketakutan menimpa mereka dan tiada pula kesedihan”, (QS.Al-Baqarah [2]: 38).
Jadi
sebenarnya indikator utama kesejahteraan menurut Islam adalah kepatuhan
kepada Allah, Tuhan Semesta Alam. Kepatuhan kepada Allah tersebut secara operasional dapat dinilai berdasarkan keteraturan menjalankan ibadah (BKKBN,2004), dan menerapkan prinsip-prinsip Islam dalam seluruh sendi kehidupan (Sabiq, 1994).
Indikator Kapasitas Kelembagaan Masjid
Indikator kapasitas kelembagaan masjid secara umum sama dengan indikator kelembagaan yang telah dijelaskan di atas (pada sub-sub bab Penguatan Kapasitas Kelembagaan). Indikator secara khusus kapasitas kelembagaan masjid berkaitan dengan peran dan fungsinya. Kata masjid secara etimologi berarti tempat sujud, sehingga sekilas, masjid hanya ditujukan untuk sholat saja. Peran masjid sebenarnya tidak hanya terbatas hanya untuk kegiatan sholat saja. Al-Buthi (2004) menggambarkan bahwa Rasulullah menjadikan masjid sebagai pembinaan pertama untuk menegakkan masyarakat Islam yang kokoh dan terpadu. Perbedaan status ekonomi, sosial, ras, dan atribut lainnya dihilangkan di dalam masjid, sehingga tidak ada kesenjangan antar Umat Islam, sehingga semangat persaudaraan pun dapat dibina dengan lebih baik. Melalui masjid juga dilakukan kegiatan transfer pengetahuan keagamaan dan penanaman keyakinan secara lengkap. Masjid mempunyai hablumminallah
dua buah potensi sekaligus bagi Umat Islam, yaitu
(keterkaitannya dengan Allah) dan hablumminannas (keterkaitannya
dengan sesama manusia). Allah menjelaskan tentang fungsi masjid dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 108-109 berikut :
20 βr& šχθ™7Ïtä† ×Α%y`Í‘ Ïμ‹Ïù 4 Ïμ‹Ïù tΠθà)s? βr& ‘,ymr& BΘöθtƒ ÉΑ¨ρr& ô⎯ÏΒ 3“uθø)−G9$# ’n?tã }§Åc™é& î‰Éfó¡yϑ©9 4 #Y‰t/r& Ïμ‹Ïù óΟà)s? Ÿω }§¢™r& ô⎯¨Β Πr& îöyz Aβ≡uθôÊÍ‘uρ «!$# š∅ÏΒ 3“uθø)s? 4’n?tã …çμuΖ≈u‹ø⊥ç/ š[¢™r& ô⎯yϑsùr& ∩⊇⊃∇∪ š⎥⎪ÌÎdγ©Üßϑø9$# =Ïtä† ª!$#uρ 4 (#ρã£γsÜtGtƒ ∩⊇⊃®∪ š⎥⎫ÏϑÎ=≈©à9$# tΠöθs)ø9$# “ωöκu‰ Ÿω ª!$#uρ 3 tΛ©⎝yγy_ Í‘$tΡ ’Îû ⎯ÏμÎ/ u‘$pκ÷Ξ$$sù 9‘$yδ >∃ãã_ $xx© 4’n?tã …çμuΖ≈u‹ø⊥ç/ Artinya: Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. sesungguh- nya mesjid yang didirikan atas dasar taqwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu sholat di dalamnya. di dalamnya mesjid itu ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. dan Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bersih (108); Maka apakah orang-orang yang mendirikan mesjidnya di atas dasar taqwa kepada Allah dan keridhaan-(Nya) itu yang baik, ataukah orang-orang yang mendirikan bangunannya di tepi jurang yang runtuh, lalu bangunannya itu jatuh bersama-sama dengan dia ke dalam neraka jahannam. dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang- orang yang zalim (109). Berdasarkan kedua ayat tersebut, masjid berfungsi untuk meraih taqwa dan didirikan atas dasar taqwa. Adapun ciri-ciri taqwa dijelaskan oleh Allah dalam surat An-Nisa ayat 36, surat Al-Anbiya ayat 107, dan surat Asy-Syu’araa’ ayat 181-183 yang menekankan pada perintah untuk berbuat baik pada sesama manusia, serta surat Al-Imron ayat 133134 berikut : ’Îû tβθà)ÏΖムt⎦⎪Ï%©!$# ∩⊇⊂⊂∪ t⎦⎫É)−Gßϑù=Ï9 ôN£‰Ïãé& ÞÚö‘F{$#uρ ßN≡uθ≈yϑ¡¡9$# $yγàÊótã >π¨Ψy_uρ öΝà6În/§‘ ⎯ÏiΒ ;οtÏøótΒ 4’n<Î) (#þθããÍ‘$y™uρ * ∩⊇⊂⊆∪ š⎥⎫ÏΖÅ¡ósßϑø9$# =Ïtä† ª!$#uρ 3 Ĩ$¨Ψ9$# Ç⎯tã t⎦⎫Ïù$yèø9$#uρ xáø‹tóø9$# t⎦⎫ÏϑÏà≈x6ø9$#uρ Ï™!#§œØ9$#uρ Ï™!#§œ£9$# Artinya : ”Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (133), (yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan (134)”. Jadi masjid dipergunakan atas dasar dan untuk mewujudkan taqwa yang berarti masjid tidak hanya digunakan untuk melaksanakan ibadah ritual (sholat) saja, tetapi juga digunakan untuk berbuat kebaikan kepada sesama manusia yang dapat diwujudkan dalam kegiatan-kegiatan sosial dalam rangka peningkatan kesejahteraan . Chamsyah (2003) menjelaskan bahwa masjid juga mempunyai peran sosial yang potensial. Peran tersebut menyangkut aspek-aspek kegiatan spiritual, memelihara nilainilai sosial, wadah hubungan sosial, sentra zakat sebagai alat kohesi sosial dan pendukung terwujudnya masyarakat madani.
21 Aspek-aspek kegiatan spiritual tersebut akan membuat manusia menjadi manusia seutuhnya. Hal tersebut sesuai dengan fitrah manusia yang cenderung untuk kembali kepada Tuhannya. Keinginan manusia yang tidak terbatas akan dapat dikendalikan oleh kepatuhannya kepada Allah, sehingga sifat tamak dan serakah dapat dihindari. Masjid juga berperan dalam bidang sosial. Sebagai tempat berkumpulnya umat Islam yang heterogen, disertai dengan solidaritas kesamaan keyakinan, maka masjid merupakan wadah dalam hubungan sosial yang sekaligus akan memelihara nilainilai sosial di dalamnya. Zakat yang diberikan oleh orang kaya kepada orang miskin akan menjadi lem perekat, sehingga terjadi kohesi sosial lintas struktur masyarkat, sehingga timbul rasa saling mencintai dan saling menyayangi menuju terwujudnya masyarkat madani. Ayub, dkk (2001) juga menyebutkan beberapa fungsi masjid yang sangat berguna untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Fungsi-fungsi tersebut adalah : 1. masjid merupakan tempat kaum muslimin beribadat dan mendekatkan diri kepada Allah SWT; 2. masjid adalah tempat kaum muslimin beri’tikaf, membersihkan diri, menggembleng batin untuk membina kesadaran dan mendapatkan pengalaman batin / keagamaan sehingga selalu terpelihara keseimbangan jiwa dan raga serta keutuhan kepribadian; 3. masjid adalah tempat bermusyawarah kaum muslimin guna memecahkan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat; 4. masjid adalah tempat kaum muslimin berkonsultasi, mengajukan kesulitankesulitan, meminta bantuan, dan pertolongan; 5. masjid adalah tempat membina keutuhan ikatan jamaah dan kegotongroyongan di dalam mewujudkan kesejahteraan bersama; 6. masjid dengan majelis taklimnya merupakan wahana untuk meningkatkan kecerdasan dan ilmu pengetahuan muslimin; 7. masjid adalah tempat pembinaan dan pengembangan kader-kader pimpinan umat; 8. masjid sebagai tempat pengumpulan dana, menyimpan, dan membagikannya, dan 9. masjid sebagai tempat melaksanakan pengaturan dan supervisi sosial Ternyata fungsi dan peran masjid yang sesungguhnya tidaklah sesempit yang selama ini terlihat dalam masyarakat. Lima indikator-indikator kapasitas kelembagaan yang telah dijelaskan di atas haruslah dilandasi dengan peran dan fungsi masjid tersebut.
Artinya
baik
indikator
kepemimpinan,
proses
perencanaan
program,
pelaksanaan program, alokasi sumber daya, dan hubungan dengan pihak luar dinilai berdasarkan arah dan keberhasilannya dalam mencapai kesejahteraan masyarakat sesuai dengan peran dan fungsi masjid yang sebenarnya dengan indikator kesejahteraan yang telah disebutkan di atas.
22 Berdasarkan penjelasan tersebut, kapasitas kelembagaan masjid dikatakan baik apabila : a.
Kepemimpinan
yang
cocok
dengan
masyarakat
untuk
kepentingan
kesejahteraan masyarakat; b.
Perencanaan program yang aspiratif dan melibatkan masyarakat, program berisi kegiatan-kegiatan yang dapat meningkatkan kesejahteraan ;
c.
Pelaksanaan program didukung oleh masyarakat;
d.
Sumberdaya dialokasikan untuk kesejahteraan (tidak hanya ritual ibadah);
e.
Kerjasama dan dukungan dari pihak luar.
Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, and Threats)
Subroto (2001) menjelaskan bahwa SWOT adalah “sebuah teknik yang sederhana, mudah dipahami, dan juga bisa digunakan dalam merumuskan strategistrategi
dan
(administrator)”.
kebijakan-kebijakan Berdasarkan
untuk
pengertian
pengelolaan tersebut,
pegawai
SWOT
administrasi
dalam
konteks
pengembangan masyarakat merupakan sebuah teknik yang sederhana, mudah dipahami, dan juga bisa digunakan dalam merumuskan strategi-strategi dan kebijakankebijakan untuk melakukan pengembangan masyarakat. Analisa SWOT tersebut dilakukan dengan mengidentifikasi kelemahan dan kekuatan yang berasal dari faktor internal kelembagaan, serta mengidentifikasi kesempatan dan ancaman yang berasal dari faktor eksternal kelembagaan. Adapun factor internal dalam kelembagaan masjid adalah fasilitas masjid, pengurus, jamaah, dan kegiatan masjid, sedangkan faktor eksternal berupa dukungan dari pihak luar. Subroto (2001) juga menjelaskan bahwa “berdasarkan analisa SWOT tersebut cara-cara serta tindakan yang diambil, proses pembuatan keputusan harus mengandung dan mempunyai prinsip berikut ini; kembangkan kekuatan, minimalkan kelemahan, tangkap kesempatan/peluang, dan hilangkan ancaman”. Iskandarini (2002) juga menjelaskan bahwa “analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats)”. Dengan kata lain, tindakan yang dapat diambil setelah melakukan analisa SWOT ini adalah dengan
23 menambah kekuatan dan kesempatan serta mengatasi kelemahan dan ancaman. Kombinasi dari penggunaan hasil analisa tersebut adalah sebagai berikut : 1. Memanfaatkan kekuatan dan mengambil kesempatan; 2. Memanfaatkan kekuatan dan menghilangkan kelemahan; 3. Memanfaatkan kekuatan dan mengatasi ancaman; dan 4. Mengatasi kelemahan dan ancaman.
Kerangka Kerja Logis
Kerangka
kerja
logis
menurut
Saharudin
(2006)
dilakukan
dengan
menggunakan teknik visualisasi, merumuskan tujuan secara jelas, menyusun informasi secara sistematik dan matriks perencanaan program. Matriks tersebut dibuat dengan empat langkah, yaitu menentukan tujuan akhir dari program tersebut. Langkah kedua adalah menentukan manfaat dari program tersebut yang merupakan turunan dari tujuan akhir. Langkah ketiga adalah menentukan hasil/keluaran dari program. Hasil/keluaran tersebut merupakan hal-hal yang harus dicapai untuk mendapatkan manfaat yang telah disebutkan sebelumnya. Langkah keempat adalah menentukan kegiatan apa saja yang akan dilakukan untuk mencapai hasil/keluaran.