SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN Konsep dan Indikator Pemberdayaan
Penerbit : Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan.
Penanggung Jawab : Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, M.Sc. (Kepala Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan)
Penulis : Zahri Nasution Sastrawidjaja Tjahjo Tri Hartono Mursidin Fatriyandi Nur Priyatna
Editor : Zahri Nasution Asnawi
ISI DAPAT DIKUTIP DENGAN MENYEBUTKAN SUMBERNYA
BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN JAKARTA, 2007
ii
SAMBUTAN KEPALA BADAN RISET KELAUTAN DAN PERIKANAN DEPARTEMEN KELAUTAN DAN PERIKANAN RI
D
alam Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan 2000-2004 ikemukakan bahwa pembangunan kelautan dan perikanan, selain perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan, juga harus memperhatikan perubahan-perubahan lainnya sejalan dengan tuntutan masyarakat akan demokratisasi pembangunan, yakni adanya perubahan fungsi pemerintah dari provider menjadi fasilitator. Disamping itu, juga harus memperhatikan perubahan fungsi tata pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Juga perubahan pada paradigma pelayanan birokrasi dari birokrasi normatif menjadi responsif fleksibel. Akhirnya, perubahan paradigma pengambilan keputusan/kebijakan dari top down approach menjadi bottom up approach. Pendekatan sektoral juga diubah, tidak hanya mengandalkan pendekatan sektoral saja, tetapi juga harus menggunakan pendekatan wilayah. Kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan di Indonesia sangat majemuk, merupakan suatu fenomena yang terjadi akibat pengaruh interaksi masyarakat dengan Tuhan sebagai pencipta-Nya, antar masyarakat sendiri maupun masyarakat dengan lingkungannya. Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan kelautan dan perikanan, pengkajian fenomena ini mengandung nilai strategis, yaitu berupa upaya untuk memperoleh indikator yang dapat mewakili kondisi sosial budaya masyarakat kelautan dan perikanan dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakatnya. Nilai strategis indikator kondisi sosial budaya adalah sebagai alat untuk menggerakkan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Mobilisasi modal sosial sangat diperlukan karena disadari potensi masyarakat ini yang merupakan aset penting negara selama ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mandiri. Upaya mendapatkan indikator sosial budaya dalam riset ini, dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis keterkaitan antara pembangunan dengan konsep kebudayaan. Hal ini didasari pendapat para ahli sosiologi dan antropologi yang mengemukakan bahwa pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah program yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Jakarta, Nopember 2007 Kepala Badan Riset Kelautan dan Perikanan,
TANDATANGAN-NYAAAAAAAA Prof. Dr. Indroyono Soesilo, M.Sc.
iii
SAMBUTAN KEPALA BALAI BESAR RISET SOSIAL EKONOMI KELAUTAN DAN PERIKANAN
S
aya menyambut gembira dengan selesai dan diterbitkannya buku dengan judul Osial Budaya Masyarakat Nelayan: Konsep dan Indikator Pemberdayaan, yang ditulis oleh para peneliti lingkup Kelompok Peneliti Sosial Antropologi dan Kelembagaan, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSE-KP), Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Buku ini ditulis berdasarkan hasil-hasil riset yang dilakukan di bidang sosiologi antropologi yang dilaksanakan pada tahun 2003, 2004 dan 2005. Dasar pembentukan dan pemilihan indikator kondisi sosial budaya masyarakat nelayan ini menggunakan penggabungan kandungan makna dalam kebudayaan mesyarakat yang dikaitkan dengan makna pemberdayaan masyarakat. Dalam buku ini, data dan informasi kondisi sosial budaya masyarakat nelayan merupakan bagian penting untuk mendukung upaya perencanaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan, khususnya masyarakat nelayan, baik di perairan laut maupun perairan umum daratan. Kami menyadari buku ini masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, kami mengundang masyarakat yang berminat atas buku ini terutama dari kalangan peneliti untuk memberikan saran dan kritik guna penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai pengkayaan pendekatan riset pada bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan. Jakarta, Nopember 2007 Kepala BBRSE-KP,
TANDATANGAN-NYAAAAAAAA Dr.Agus Heri Purnomo, M.Sc.
iv
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
p
uji dan Syukur kami panjatkan kehadirat Yang Maha Kuasa, karena atas Berkah dan Rahmat-Nya jualah buku yang berjudul SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN: Konsep dan Indikator Pemberdayaan, ini dapat diselesaikan. Buku ini ditulis berdasarkan hasil-hasil riset yang dilakukan oleh para penulis pada tahun 2003, 2004 dan 2005. Penulis, dengan kegiatan penelitian ini tergabung dalam Kelompok Peneliti Sosial Antropologi dan Kelembagaan, Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan (BBRSE-KP), Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan. Dasar pembentukan dan pemilihan indikator kondisi sosial budaya masyarakat nelayan ini menggunakan penggabungan kandungan makna dalam kebudayaan mesyarakat yang dikaitkan dengan makna pemberdayaan masyarakat. Dalam buku ini, data dan informasi kondisi sosial budaya masyarakat nelayan merupakan bagian penting untuk mendukung upaya perencanaan pelaksanaan kegiatan pemberdayaan masyarakat kelautan dan perikanan, khususnya masyarakat nelayan, baik di perairan laut maupun perairan umum daratan. Kami menyadari buku ini masih mengandung kekurangan. Oleh karena itu, kami mengundang masyarakat yang berminat atas buku ini terutama dari kalangan peneliti untuk memberikan saran dan kritik guna penyempurnaan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat sebagai pengkayaan informasi bidang sosial ekonomi kelautan dan perikanan.
Jakarta, Nopember 2007
Tim Penulis
v
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI SAMBUTAN KEPALA BRKP – DKP SAMBUTAN KEPALA BBRSE-KP KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
ii iii iv v
I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Sistematika Isi Buku
1 1 4
II
LANDASAN TEORI 2.1 Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan 2.2 Urgensi Aspek Sosial Budaya Dalam Pemberdayaan Masyarakat 2.3 Peranan Modal Sosial Dalam Pemberdayaan Masyarakat 2.4 Peran Kelembagaan Dalam Pemberdayaan Masyarakat 2.5 Peran Pemerintah Dalam Pemberdayaan Masyarakat
7 7 8 9 11 13
III KERANGKA PEMIKIRAN 3.1 Dimensi Pengetahuan Lokal 3.2 Dimensi Sistem Religi 3.2 Dimensi Ekonomi 3.4 Dimensi Kelembagaan 3.5 Dimensi Politik
15 18 20 24 26 29
IV KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN LAUT 4.1 Bandar Lampung, Lampung 4.2 Lampung Selatan, Lampung 4.3 Pandeglang, Banten 4.4 Pasuruan, Jawa Timur 4.5 Selayar, Sulawesi Selatan 4.6 Makasar, Sulawesi Selatan
33 33 48 53 79 82 89
V KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN PEDALAMAN 5.1 Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan 5.2 Cianjur, Jawa Barat 5.3 Purwakarta, Jawa Barat 5.4 Musi Banyuasin, Sumatera Selatan
97 97 106 113 125
VI CIRI-CIRI UMUM MASYARAKAT NELAYAN
137
VII PENUTUP VIII DAFTAR PUSTAKA
145 147
1
I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pembangunan dapat memiliki makna sebagai upaya membangun masyarakat sekaligus mempertahankan kelestarian sumberdaya alam, termasuk sumberdaya kelautan dan perikanan, pada saat bersamaan. Oleh karena itu, pembangunan masyarakat dan sumberdaya kelautan dan perikanan, satu sama lain tidak dapat dipisahkan. Hal ini didasarkan atas sebuah premis yang menyebutkan bahwa salah satu penyebab kemiskinan adalah sumberdaya alam yang dipandang terbatas atau tidak tersedianya sumberdaya alam konvensional yang biasanya digunakan oleh masyarakat nelayan (Dahuri, 2000). Hal tersebut bisa terjadi karena dua hal yaitu: pertama, kondisi geografi dan ekologi yang memang tidak mendukung; dan kedua, teknologi yang dimanfaatkan oleh masyarakat masih sangat sederhana. Program-program pembangunan yang berkembang saat ini sebagian besar bersumber dari wacana pemberdayaan masyarakat dan pengelolaan sumberdaya alam yang berbasis masyarakat. Pendekatan ini diharapkan akan memberikan arah kepada pemerataan kesempatan kerja dan kehidupan yang lebih layak. Pendekatan tersebut, karena dibentuk dari partisipasi aktif masyarakat, diharapkan dapat menjamin kelestarian sumberdaya alam. Dalam operasionalnya, paradigma pembangunan yang berbasis masyarakat tersebut mensyaratkan adanya pembagian kewenangan antara pemerintah dan masyarakat. Untuk itu, dua elemen terpenting di dalam konsep pemberdayaan yang diperlukan adalah mempertemukan peranan pemerintah dan masyarakat secara egaliter. Masyarakat dengan potensi modal sosial (social capital)-nya dan
2
pemerintah dengan kebijakannya, secara bersama akan memberikan corak dan warna terhadap sumberdaya alam dan pengelolaannya. Pemberdayaan dapat merupakan salah satu upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Dengan kata lain, keberhasilan pemberdayaan masyarakat dalam konteks pembangunan antara lain bermakna bahwa suatu masyarakat tersebut menjadi bagian dari pelaku pembangunan itu sendiri (Hikmat, 2001). Berbagai aspek yang perlu diperhatikan dalam pembangunan, termasuk pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah bagaimana suatu inovasi yang lebih maju dapat bermanfaat bagi masyarakat, bagaimana memanfaatkan budaya lokal (termasuk kearifan lokal), bagaimana pula mekanisme pelaksanaan dan pembiayaan pembangunan tersebut. Terkait dengan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, perilaku manusia ketika memanfaatkannya cenderung mengganggap sumberdaya alam tersebut sebagai suatu sumberdaya milik bersama atau common property. Kondisi milik bersama tersebut dapat menimbulkan beberapa pandangan bahwa semua orang berhak memanfaatkan sumberdaya alam dan dikenal dengan prinsip open access dalam pengelolaannya. Implikasi negatif dari prinsip open access adalah “tidak ada satu pihak pun yang perduli untuk mengembalikan atau memulihkan sumberdaya alam yang telah rusak atau habis”. Penipisan sumberdaya ini pada akhirnya dapat menyebabkan menurunnya produktivitas ekonomi dalam pemanfaatannya, bahkan kemudian pada gilirannya dapat menurunkan kesejahteraan masyarakat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang bersumber pada kekuatan modal sosial masyarakat sendiri telah terbukti dapat mengurangi sikap ”selfish” dan ”free rider”, dan akhirnya kemudian cenderung lebih efektif mendorong ke arah pemanfaatan
3
sumberdaya yang sustainable (Ridley and Low, 1993). Sejalan dengan prinsip ini, Departemen Kelautan dan Perikanan hingga kini telah melaksanakan berbagai program pembangunan kelautan dan perikanan berbasis masyarakat. Sebagai contoh misalnya program Pengembangan Perikanan Berbasis Budidaya (Culture Based Fisheries, CBF) dan Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP). Faktor penting yang terkait dengan keberhasilan pelaksanaan program yang menggunakan pendekatan berbasis pemberdayaan masyarakat, antara lain adalah ketersediaan informasi tentang kondisi sosial budaya masyarakat yang menerima program. Hal ini telah banyak dikemukakan dalam berbagai hasil penelitian dan pendapat para pakar sebelumnya (Taryoto, 1999; Wiradi; 1997; Kusnadi, 2000; 2002). Bahkan, hasil kajian Cernea (1988) pada pelaksanaan pembangunan masyarakat di Asia menyatakan bahwa dalam setiap tahap kegiatan pembangunan (baik tahap identifikasi program, persiapan, penilaian, pelaksanaan, maupun evaluasi pembangunan), kesemuanya memerlukan sumbangan nyata, baik berupa informasi, interpretasi maupun analisis bidang sosiologi dan antropologi. Hingga kini, informasi yang terkait dengan kondisi sosial budaya masyarakat nelayan dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaannya masih belum banyak dikemukakan. Hal ini menyulitkan, terutama bagi para pengambil kebijakan, terutama untuk tujuan pelaksanaan program pembangunan berbasis masyarakat yang terkait dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kajian kondisi sosial budaya pada masyarakat kelautan dan perikanan, baik di wilayah pesisir, laut dan perairan umum daratan telah dilakukan selama 3 tahun (20032005) (Nasution et al., 2003; 2004; 2005). Buku ini mengemukakan data dan informasi kondisi sosial budaya masyarakat nelayan di wilayah pesisir, laut dan perairan umum daratan yang didasarkan atas hasil riset yang telah dilakukan tersebut.
4
1.2. Sistematika Isi Buku Buku ini berisikan analisis dan sintesis terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan yang menekankan pada upaya merangkum keragaman kondisi sosial budaya sebagai salah satu faktor penting di dalam program pemberdayaan masyarakat nelayan. Disamping prosedur yang umum dilakukan menurut kaidah-kaidah ilmu sosial, penelitian ini juga berusaha mendapatkan indikator yang dapat menggambarkan deskripsi keragaman kondisi sosial budaya masyarakat nelayan. Terobosan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memudahkan setiap pengguna dalam memahami faktor-faktor yang berdimensi sosial budaya dalam kehidupan masyarakat nelayan. Alur bahasan dibagi menjadi tujuh bagian yang masing-masing memiliki arti penting untuk pencapaian pemahaman terhadap hasilhasil penelitian yang dikemukakan. Bagian pertama, pendahuluan berisikan alasan mengapa pentingnya kondisi sosial budaya penting untuk diteliti dalam kaitannya dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan, dan ditulis dalam bentuk suatu buku khusus. Pada bagian kedua, dikemukakan beberapa kerangka teoritis yang terkait dengan pentingnya kondisi sosial budaya dalam pembangunan masyarakat (pemberdayaan masyarakat). Termasuk didalamnya bagaimana seharusnya peranan pemerintah, peranan kelembagaan, peranan modal sosial dan bagaimana kondisi pemberdayaan masyarakat yang ada saat ini. Pada bagian ketiga dikemukakan kerangka pemikiran, yang termasuk di dalamnya bagaimana penggalian kondisi sosial budaya yang penting terkait dengan kebudayaan dan aktivitas pemberdayaan masyarakat. Dimensi dan faktor yang digunakan serta data yang perlu dikumpulkan pada masing-masing dimensi juga dikemukakan sehingga didapatkan dimensi dan 25 faktor yang termasuk kedalam kondisi sosial budaya tersebut. Dimensi yang dikemukakan adalah dimensi
5
pengetahuan lokal, dimensi sistem religi, dimensi ekonomi, dimensi kelembagaan dan dimensi politik. Pada bagian keempat dan kelima dikemukakan kondisi sosial budaya masyarakat nelayan baik yang berada di perairan laut maupun perairan umum daratan. Masing-masing kondisi sosial budaya masyarakat nelayan diuraikan berdasarkan dimensi yang ditetapkan, sehingga gambaran utuh didapatkan pada masing-masing lokasi. Kemudian, ciri-ciri umum masing-masing kondisi sosial budaya masyarakat nelayan tersebut diperbandingkan dengan ciri-ciri umum masyarakat pedesaan dan perkotaan, sehingga diketahui kedudukan masyarakat nelayan tersebut berada, sebagaimana dikemukakan pada bagian keenam. Disamping ciri-ciri umum masyarakat nelayan, pada bagian keenam dikemukakan pula implikasi kondisi sosial budaya tersebut terhadap upaya pemberdayaan masyarakat nelayan, terkait dengan program yang ada di Departemen Kelautan dan Perikanan. Pada bagian akhir, dikemukakan kesimpulan yang memperlihatkan bagaimana kondisi sosial budaya penting bagi upaya pemberdayaan masyarakat nelayan.
7
II LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1. Paradigma Pembangunan Kelautan dan Perikanan Dalam Rencana Strategis Departemen Kelautan dan Perikanan 2001-2004 (DKP, 2002) dikemukakan bahwa berdasarkan perubahan paradigma dalam pembangunan ekonomi Indonesia secara keseluruhan, maka Departemen Kelautan dan Perikanan dalam melakukan pembangunan kelautan dan perikanan juga melakukan perubahan paradigma pembangunan. Perubahan yang dilakukan yaitu adanya keseimbangan paradigma pembangunan antara Resource Based Development (RBD) dengan Social Based Development (SBD). Resource Based Development (RBD) adalah paradigma pembangunan yang dilaksanakan dengan berorientasi pada pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya alam, terutama sumberdaya alam daratan (terrestrial), dengan cara pengelolaan yang terpusat pada pemerintah pusat. Dengan pendekatan RBD, sistem tata nilai, norma dan hak-hak adat masyarakat (lokal) banyak terabaikan. Akibatnya, hasil pembangunan bukan saja tidak dapat dinikmati oleh masyarakat, bahkan masyarakat banyak menanggung beban permasalahan lingkungan sebagai akibat dampak pembangunan (DKP, 2002). Di lain pihak, dalam kerangka SBD terkandung makna bahwa masyarakat terlibat dalam semua proses pembangunan, mulai dari perencanaan sampai dengan evaluasi dan pemantauan (DKP, 2002). Dengan demikian, masyarakat sebagai primary stakeholder yang akan memperoleh manfaat sosial (social benefit) terbesar dalam pembangunan menjadi sangat penting. Dalam paradigma ini, kearifan lokal, seperti hak-hak kepemilikan, hak ulayat, dan hak-hak perolehan
8
rakyat (entilement), serta kelembagaan lokal (local institution) akan menjadi perhatian utama (DKP, 2002). Dijelaskan pula, bahwa dalam pembangunan kelautan dan perikanan, selain perlu melakukan perubahan paradigma pembangunan, juga harus memperhatikan perubahan-perubahan lainnya sejalan dengan tuntutan masyarakat akan demokratisasi pembangunan, yakni adanya perubahan fungsi pemerintah dari provider menjadi fasilitator. Disamping itu, juga harus memperhatikan perubahan fungsi tata pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi. Kemudian, juga perubahan pada paradigma pelayanan birokrasi dari birokrasi normatif menjadi responsif fleksibel. Akhirnya, perubahan paradigma pengambilan keputusan/kebijakan dari top down approach menjadi bottom up approach. Sementara, pendekatan sektoral juga diubah, tidak hanya mengandalkan pendekatan sektoral, tetapi juga harus menggunakan pendekatan wilayah. 2.2. Urgensi Aspek Sosial Budaya dalam Pemberdayaan Masyarakat Kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan di Indonesia sangat majemuk. Fenomena ini terjadi akibat pengaruh interaksi masyarakat dengan Tuhan sebagai pencipta-Nya, antar masyarakat sendiri maupun masyarakat tersebut dengan lingkungannya (Susanto, 1987). Apabila dikaitkan dengan pelaksanaan pembangunan Nasional sektor kelautan dan perikanan, pengkajian fenomena ini berupa upaya untuk memperoleh indikator-indikator sosial budaya yang terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan mengandung nilai strategis. Nilai strategis indikator-indikator kondisi sosial budaya adalah sebagai alat pengukur tingkat keberhasilan pembangunan skala nasional, dalam hal menggerakkan modal sosial yang dimiliki masyarakat. Mobilisasi modal sosial sangat diperlukan karena disadari potensi masyarakat ini
9
yang sesungguhnya merupakan aset penting negara selama ini belum banyak dimanfaatkan secara optimal dalam rangka mewujudkan masyarakat yang mandiri. Upaya mendapatkan indikator sosial budaya dalam riset ini, dilakukan dengan terlebih dahulu mengkaji dan menganalisis keterkaitan antara pembangunan dengan konsep kebudayaan. Hal ini didasari pada adanya pendapat beberapa ahli sosiologi dan antropologi yang mengemukakan bahwa pembangunan dapat diartikan sebagai sebuah program pembangunan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat (Susanto, 1987; Irianto (dalam Masinambow, 1997). Berdasarkan pendapat ini, maka pembangunan dapat dilihat sebagai sebuah program yang isinya secara terencana bertujuan untuk merubah cara-cara hidup dari para warga masyarakat tersebut. Dalam perspektif ini, sebuah program pembangunan adalah sebuah program terencana untuk merubah acuan yang secara tradisional menjadi pedoman bagi kehidupan masyarakat tersebut menjadi suatu acuan yang baru sesuai dengan isi dan tujuan dari program pembangunan tersebut. Dalam pengertian ini program pembangunan dapat dilihat sebagai sebuah program pembangunan untuk merubah secara terencana kebudayaan dari masyarakat yang dibangun. 2.3. Peranan Modal Sosial dalam Pemberdayaan Masyarakat Pendekatan modal sosial merupakan alternatif dari strategi pengembangan ekonomi masyarakat golongan ekonomi lemah yang lazimnya ditunjang dana yang berasal dari bantuan proyek yang dikelola pemerintah. Sehubungan dengan hal ini Gittell et al., (2001) dalam Syahra (2003) melihat dua peranan yang dapat dimainkan modal sosial dalam upaya peningkatan kemampuan masyarakat dalam menjalankan kegiatan ekonomi. Peranan pertama berkaitan dengan bagaimana agar
10
modal sosial dapat memperkuat kapasitas organisasi yang mewadahi kegiatan ekonomi. Dalam hal ini modal sosial dapat dianggap sebagai aset dalam pengembangan ekonomi, yang dapat dilihat dari kapasitas dan kinerja organisasi-organisasi berbasis komunitas, dan lembagalembaga swadaya masyarakat yang berorientasi nirlaba dan badanbadan pemerintah. Faktor-faktor kunci yang memberi sumbangan terhadap keberhasilan lembaga-lembaga pelaksana pembangunan masyarakat itu termasuk keterampilan manajemen, kemampuan membuat perencanaan teknis dan kemampuan anggota personil dalam mengelola kegiatan, serta kemampuan menjalin hubungan baik dengan warga masyarakat. Salah satu masalah penting dalam menggunakan dan mengembangkan modal sosial dalam masyarakat miskin adalah bagaimana memilih dengan tepat warga masyarakat yang dilibatkan sejak awal dalam upaya pengembangan modal sosial. Kemudian, apa insentif yang dapat diberikan kepada mereka, serta bagaimana menelusuri hasil-hasil yang telah dicapai dan faktor-faktor penting lainnya. Masalah ini menjadi penting karena adanya kecenderungan berbagai organisasi berbasis masyarakat menghabiskan energi untuk berkompetisi memperoleh bantuan dana dari pemerintah dan lembaga-lembaga donor. Modal sosial, juga mencakup perasaan simpati dari seseorang atau suatu kelompok orang kepada seseorang atau kelompok lainnya. Perasaan simpati itu dapat berupa rasa kagum, perhatian, peduli, empati, penghargaan, rasa tanggungjawab, atau kepercayaan terhadap seseorang atau sekelompok orang (Robison et.al., 2002). Seberapa besar nilai modal sosial yang dimiliki seseorang terhadap orang lain ditentukan oleh seberapa jauh adanya unsur-unsur yang berupa rasa kagum, perhatian, kepedulian dan lain-lainnya itu pada seseorang terhadap orang lain.
11
Di lain pihak, masyarakat pun tidak cukup hanya menuntut dan menunggu saja hingga pejabat atau dinas terkait untuk memberikan pelayanan di bidang kesehatan, pendidikan, bantuan sosial dan sebagainya, karena tanpa adanya aktifitas yang mereka laksanakan sendiri dalam kaitan pelayanan tersebut maka hasil yang dicapai tidak akan optimal. Keberhasilan dari linking social capital ini terletak pada adanya kesadaran untuk menunjukkan partisipasi aktif dan kontribusi optimal dari masing-masing stakeholder. Proses untuk mencapai suatu tujuan bersama yang dilaksanakan melalui partisipasi aktif semua stakeholder itu dalam literatur modal sosial disebut sebagai koproduksi (Syahra, 2003). Koproduksi, merupakan konsep yang relatif baru. Tetapi salah satu unsurnya, “swadaya masyarakat” tentu bukan hal baru lagi dalam masyarakat Indonesia. Sistem swadaya ini beberapa tahun belakangan semakin mendapat perhatian, antara lain dari Bank Dunia (World Bank). Suatu contoh misalnya, bagaimana Bank Dunia telah mengubah strategi dan kebijakan pemberian bantuan yang sebelumnya mempercayakan pelaksanaan pembangunan hampir sepenuhnya kepada aparat pemerintah dari tingkat pusat sampai ke daerah menjadi pembangunan yang lebih berorientasi pada kehendak dan kebutuhan masyarakat atau community-driven development. Untuk itu, swadaya masyarakat bukan saja dalam bentuk tenaga dan material, tetapi juga mencakup pemikiran untuk merencanakan dan melaksanakan sendiri proyek pembangunan yang ada didaerahnya, sedangkan fungsi dan peran pemerintah lebih terbatas sebagai pemberi dana dan fasilitator. 2.4. Peran Kelembagaan dalam Pemberdayaan Masyarakat Para praktisi pembangunan sering mengalami frustasi terhadap kegagalan program (Hikmat, 2001). Kemunculan lebih mengedepankan partisipasi dan pemberdayaan masyarakat sebagai strategi dalam
12
pembangunan masyarakat, memerlukan seperangkat teknik-teknik. Teknik-teknik tersebut harus dapat menciptakan kondisi adanya keberdayaan masyarakat melalui proses pemberdayaan masyarakat secara partisipatif. Menurut Hikmat (2001), sebenarnya, masyarakat memiliki banyak potensi, baik dilihat dari sumber-sumber daya alam yang ada maupun dari sumber-sumber sosial budaya. Masyarakat memiliki kekuatan yang bila digali dan disalurkan akan berubah menjadi energi yang besar untuk mengatasi masalah yang mereka alami (Hikmat, 2001). Cara menggali dan mendayagunakan sumber-sumber daya yang ada dimasyarakat inilah yang menjadi inti dari pemberdayaan masyarakat. Di dalam pemberdayaan masyarakat, faktor yang paling penting adalah bagaimana mendudukkan masyarakat pada posisi pelaku (subjek) pembangunan yang aktif, bukan hanya penerima yang pasif. Konsep gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan mengutamakan inisiatif dan kreasi masyarakat dengan strategi pokok adalah memberi kekuatan (power) kepada masyarakat. Masyarakat lebih memahami kebutuhan dan permasalahan yang mereka hadapi. Untuk itu, harus diberdayakan agar mereka lebih mampu mengenali kebutuhan-kebutuhannya. Mereka juga dilatih untuk dapat merumuskan rencana-rencananya serta melaksanakan pembangunan secara mandiri dan swadaya. Dengan perkataan lain, gerakan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan dari, oleh, dan untuk masyarakat. Hikmat (2001) mengemukakan pula bahwa partisipasi warga masyarakat dalam melaksanakan gerakan pembangunan tersebut harus selalu didorong dan ditumbuhkembangkan secara bertahap, mantap, dan berkelanjutan. Jiwa partisipasi warga masyarakat adalah semangat solidaritas sosial, yaitu hubungan sosial yang selalu didasarkan pada perasaan moral, kepercayaan dan cita-cita bersama. Karena itu seluruh
13
warga masyarakat harus selalu bekerjasama, bahu membahu, saling membantu dan mempunyai komitmen moral dan sosial yang tinggi dalam masyarakat. Namun demikian, Hermanto et al., (1999) mengemukakan pula bahwa political will pemerintah harus tuntas dalam menangani kemiskinan masyarakat pantai (termasuk nelayan), termasuk pembinaan keluarga nelayan (anak dan isteri). Penanganan yang dilakukan melalui pendekatan partisipatif dapat membangkitkan peranan kelompok masyarakat nelayan sehingga kelompok tersebut menjadi mandiri dan harmonis terhadap mitra usaha (lembaga ekonomi dan keuangan). 2.5. Peran Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat Menurut Hikmat (2001), meskipun keanekaragaman sistem sosial budaya di Indonesia telah dikenal lama, namun cenderung diabaikan dan bahkan mulai dilupakan oleh sebagian masyarakat, termasuk kalangan pemerintah. Salah satu bukti bahwa pemerintah telah melakukan distorsi terhadap keanekaragaman sistem sosial budaya adalah perencanaan program pembangunan dari atas (top down planning) dan penggunaan pola penyeragaman strategi dalam melaksanakan pembangunan masyarakat. Memang pemerintah memiliki kepedulian untuk berupaya mengatasi masalah kemiskinan dan permasalahan sosial lainnya, tetapi kebijakan yang dibuat cenderung didesain oleh pemerintah dengan pola seragam dan bersifat instruksi dari atas. Instruksi inilah yang harus dilaksanakan sesuai dengan petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) (Hikmat, 2001). Dalam hal ini masyarakat lebih berperan sebagai obyek pembangunan dalam mensukseskan program yang sebelumnya telah dirancang oleh pemerintah, sehingga masyarakat bukan sebagai subjek pembangunan yang aktualisasi dirinya diakui. Dalam reposisi peran pemerintah, maka perlu adanya perbaikan
14
terhadap cara pengambilan keputusan dan penetapan serta penyampaian kebijakan. Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan adopsi kebijakan oleh masyarakat, faktor-faktor tersebut sangat ditentukan oleh kesediaan masyarakat dalam mengadopsi produk kebijakan yang dianjurkan tersebut. Menganalogikan kebijakan dengan suatu teknologi, maka faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan adopsi kebijakan adalah sifat-sifat inovasi, jenis keputusan inovasi, saluran komunikasi, ciri-ciri sistem sosial, kegiatan promosi, interaksi individu dan kelompoknya, sumber informasi dan faktor internal. Masyarakat tidak akan langsung mengadopsi atau menerapkan suatu produk kebijakan pada saat pertama kali mereka ketahui, mereka baru bersedia menerima dan menerapkan kebijakan tersebut apabila merasa yakin bahwa kebijakan atau teknologi tersebut menguntungkan dan memberi manfaat. Oleh sebab itu, diperlukan jangka waktu tertentu sebelum masyarakat mengambil keputusan akan mengadopsi atau menolak produk kebijakan tersebut. Adapun kemampuan masyarakat untuk menentukan sikap menerima atau mengadopsi kebijakan kelautan dan perikanan erat hubungannya dengan faktor karakteristik internal dan faktor karakteristik eksternal masyarakat pengguna atau penerima produk kebijakan. Proses adopsi terdiri lima tahap, yaitu 1) Tahap kesadaran, 2) Tahap minat, 3) Tahap penilaian, 4) Tahap percobaan serta 5 ) Tahap penerimaan (Rogers dan Shoemaker, 1971). Namun kelima tahapan adopsi tersebut tidak harus dilalui satu persatu. Terkait dengan hal ini, kajian yang mendalam terhadap berbagai faktor yang ikut menentukan tingkat adopsi produk kebijakan kelautan dan perikanan.
15
III. KERANGKA PEMIKIRAN
KERANGKA PEMIKIRAN
Kondisi sosial budaya merupakan syarat yang perlu diketahui dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Oleh karena itu, perlu diketahui unsur-unsur apa saja yang perlu diperhatikan terkait dengan suatu kebudayaan dalam masyarakat. Secara umum, unsur-unsur kebudayaan yang bersifat universal, menurut C. Kluckhohn dalam Koentjaraningrat (2003) adalah bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan hidup dan teknologi, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi, dan kesenian. Setiap unsur kebudayaan tersebut mengandung wujud-wujud kebudayaan. Menurut Koentjaraningrat (2003), wujud kebudayaan tersebut dapat berupa nilai-nilai budaya, sistem budaya, sistem sosial, dan dapat pula berupa artifak atau benda-benda fisik. Kebudayaan dalam wujud nilai-nilai budaya dapat berupa gagasan-gagasan yang telah dipelajari (oleh para warga suatu kebudayaan) sejak dini. Istilah untuk wujud kebudayaan ini adalah ”nilai-nilai budaya”, yang menentukan sifat dan corak pikiran, cara berpikir, serta tingkah laku manusia suatu kebudayaan.Wujud kebudayaan ini sangat sukar dirubah. Sementara, kebudayaan dalam wujud sistem budaya adalah abstrak (tidak dapat dilihat) dan hanya dapat diketahui serta dipahami (oleh warga kebudayaan lain, termasuk peneliti) setelah dipelajari dengan mendalam baik melalui wawancara yang mendalam atau dengan membaca literatur. Tempatnya adalah dalam kepala tiap individu warga kebudayaan yang bersangkutan yang dibawa kemanapun ia pergi. Kebudayaan dalam wujud ini juga memiliki pola dan berdasarkan sistem-sistem tertentu yang disebut ”sistem budaya”. Fungsi dari sistem budaya adalah menata serta menetapkan tindakan-tindakan dan
16
tingkah laku manusia. Sistem budaya dalam bahasa Indonesia juga lazim disebut ”adat-istiadat”. Kebudayaan dalam wujud sistem sosial digambarkan sebagai tingkah laku manusia, termasuk tingkah laku dalam melakukan suatu pekerjaan. Semua gerak-gerik yang dilakukan dari hari ke hari dan dari masa ke masa merupakan pola-pola tingkah laku yang dilakukan berdasarkan sistem. Pola-pola tingkah laku manusia tersebut disebut ”sistem sosial” dikarenakan terdiri dari aktivitas-aktivitas atau tindakan-tindakan berinteraksi antar individu yang dilakukan dalam kehidupan masyarakat. Semua aktivitas dan tindakan tersebut sifatnya dapat dilihat dan diobservasi.Wujud kebudayaan yang bersifat konkret (artifak atau benda-benda), merupakan wujud kebudayaan yang dapat diraba dan dilihat. Sebagai contoh adalah kapal/perahu, alat tangkap, rumah, dan lainlain. Pengkajian kebudayaan juga mencermati fungsi kebudayaan. Kebudayaan mempunyai fungsi yang besar bagi manusia dan masyarakat. Fungsi pertama adalah sebagai modal masyarakat dan anggota-anggotanya di dalam menghadapi bermacam kekuatan, seperti kekuatan alam maupun kekuatan-kekuatan lainnya di dalam masyarakat itu sendiri yang tidak selalu baik baginya. Fungsi lain dari kebudayaan adalah sebagai alat pemenuhan kepuasaan manusia (yang berasal dari manusia itu sendiri), baik di bidang spiritual maupun materil. Selain kebudayaan, konsep lainnya yang digunakan dalam menentukan pentingnya kondisi sosial budaya dalam rangka upaya pemberdayaan masyarakat nelayan adalah konsep pemberdayaan. Pengertian pemberdayaan masyarakat sebenarnya mengacu pada kata ”empowerment”, yaitu sebagai upaya untuk mengaktualisasikan potensi yang sudah dimiliki oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan pemberdayaan dalam pengembangan masyarakat menekankan pentingnya masyarakat lokal yang mandiri (self-reliant communities)
17
sebagai suatu sistem yang mengorganisir diri mereka sendiri. Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang berpusat pada manusia (people-centered development) ini kemudian melandasi wawasan pengelolaan sumberdaya lokal (community-based resources management). Dalam wawasan ini, terbentuk mekanisme perencanaan people-centered development yang menekankan pada teknologi pembelajaran sosial (social learning) dan strategi perumusan program bersama masyarakat. Moelyarto, 1999 dalam Wahyono et al., (2001) mengemukakan ciriciri pendekatan pengelolaan sumberdaya lokal yang berbasis masyarakat meliputi: a. Keputusan dan inisiatif untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat dibuat di tingkat lokal, oleh masyarakat yang memiliki identitas yang diakui peranannya sebagai partisipan dalam proses pengambilan keputusan; b. Fokus utama pengelolaan sumberdaya lokal adalah memperkuat kemampuan masyarakat dalam mengarahkan aset-aset yang ada dalam masyarakat setempat, untuk memenuhi kebutuhannya; c. Toleransi yang besar terhadap adanya variasi. Oleh karena itu mengakui makna pilihan individual dan mengakui proses pengambilan keputusan yang desentralistis; d. Budaya kelembagaannya ditandai oleh adanya organisasi-organisasi yang otonom dan mandiri, yang saling berinteraksi memberikan umpan balik pelaksanaan untuk mengoreksi diri pada setiap jenjang organisasi; e. Adanya jaringan koalisi dan komunikasi antara para pelaku dan organisasi lokal yang otonom dan mandiri, yang mencakup kelompok penerima manfaat, pemerintah lokal, bank lokal dan sebagainya, yang menjadi dasar bagi semua kegiatan yang ditujukan untuk memperkuat pengawasan dan penguasaan masyarakat atas
18
berbagai sumber yang ada, serta kemampuan masyarakat untuk mengelola sumberdaya setempat. Dengan demikian keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekologis dan sosial. Berdasarkan konsep kebudayaan dan makna yang terkandung dalam pemberdayaan masyarakat, maka ditetapkan lima dimensi kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi pengetahuan lokal, sistem religi, ekonomi, kelembagaan dan politik. Pada setiap dimensi terdiri atas faktor-faktor yang dikaji terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). 3.1. Dimensi Pengetahuan Lokal Dimensi ini merupakan pengkajian ”sistem pengetahuan” masyarakat nelayan setempat. Ruang lingkup kajian dibatasi pada pengetahuan lokal tentang pemanfaatan dan pengelolaan SDKP setempat secara arif. Dalam hal ini digali informasi tentang perilaku masyarakat yang ramah lingkungan beserta tata nilai yang menyebabkan terjadinya perilaku tersebut. Dikaitkan dengan upaya pemberdayaan, dalam dimensi ini diperlukan kajian terhadap tiga faktor, yaitu pemanfaatan dan pengelolaan SDKP, konservasi SDKP serta penegakan peraturan (law enforcement). Pengetahuan lokal masyarakat nelayan yang terkait dengan persepsi dan konsepsi, sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara lestari. Persepsi adalah suatu proses masyarakat mengetahui beberapa hal dengan menggunakan panca inderanya terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara lestari. Dalam tahapan proses selanjutnya, persepsi dapat menjadi suatu konsepsi. Hal ini terjadi pada saat persepsi yang dimiliki menjadi bahan
19
Tabel 1. Faktor, Atribut dan Jenis Data Dimensi Pengetahuan Lokal dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan No. 1.
Faktor Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan
Atribut/Verifier 1. Persepsi dan konsepsi terhadap sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan 2. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan 3. Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan
Jenis Data a. b. c. d.
e.
2.
Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
4. Persepsi dan konsepsi upaya konservasi 5. Mekanisme upaya konservasi
a. b. c. d.
3.
Penegakan peraturan (law enforcement)
6. Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan. 7. Mekanisme penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan. 8. Efektivitas penegakan peraturan.
a.
b.
c.
Batas-batas wilayah penangkapan ikan Klaim terhadap wilayah penangkapan ikan tertentu Pemegang wewenang dan distribusi hak pemenfaatan Aturan tentang daerah penangkapan, musim penangkapan, alat tangkap, atau aturan lainnya yang berhubungan dengan penangkapan ikan. Tata cara pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Keberadaan upaya konservasi SDKP. Pencetus dan pelaksana kegiatan konservasi SDKP. Tata cara pengaturan dan kegiatan konservasi SDKP Deskripsi dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari kegiatan konservasi SDKP. Peraturan-peraturan (tertulis ataupun tidak tertulis) yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Bentuk-bentuk sanksi di dalam peraturan-peraturan yang ada. Jumlah penyelesaian kasus pelanggaran (berdasarkan hukum normatif maupun hukum positif).
pemikiran (individu atau masyarakat) untuk membuat suatu rancangan tindakan. Persepsi dan konsepsi pada akhirnya menjadi bagian dari pengetahuan lokal, dan menjadi dasar berlangsungnya sistem dan mekanisme pemanfaatan dan pengelolaan SDKP. Sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDKP dalam hal ini merupakan suatu rangkaian perilaku dan tindakan masyarakat dalam
20
memperlakukan atau berinteraksi dengan SDKP yang ada. Pengkajian tentang konservasi SDKP dituangkan dalam bentuk pengetahuan lokal masyarakat setempat yang terkait dengan persepsi mereka tentang mekanisme konservasi SDKP. Mekanisme tersebut tercipta dengan tujuan untuk menjaga fungsi SDKP didalam mendukung keberlanjutan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Adapun fungsi SDKP tersebut terbagi ke dalam fungsi ekologi, sosial dan ekonomi. Dalam pembangunan berkelanjutan, ketiga fungsi SDKP tersebut harus senantiasa berada didalam suatu keseimbangan (Pearce and Warford, 1993). Terkait dengan konservasi SDKP, maka persepsi dan konsepsi yang dimaksud adalah pendapat atau paham tentang upaya konservasi SDKP. Persepsi dan konsepsi tersebut mencerminkan adanya suatu rancangan upaya konservasi di dalam pikiran masyarakat. Sementara itu, mekanisme merupakan suatu rangkaian perilaku dan tindakan masyarakat dalam upaya konservasi SDKP. Kesemua faktor yang termasuk dalam kategori pengetahuan lokal tersebut, beserta jenis data yang diperlukan untuk menjelaskannya, secara ringkas dikemukakan pada Tabel 1. 3.2. Dimensi Sistem Religi Dimensi ini merupakan pengkajian terhadap berfungsinya peran agama dan atau kepercayaan yang dianut terhadap aktivitas kehidupan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat. Dimensi ini memiliki tiga faktor penjelas, yaitu agama dan atau kepercayaan yang dianut, hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat, peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik masyarakat. Faktor agama dan atau kepercayaan yang dianut memandang agama merupakan suatu hal yang dijadikan sandaran penganutnya ketika terjadi hal-hal yang berada di luar jangkauan dan kemampuannya karena sifatnya yang supranatural. Dengan demikian, diharapkan dapat
21
mengatasi masalah-masalah yang non-empiris dan supra-empiris. Agama dan atau kepercayaan merupakan faktor esensial bagi identitas dan integrasi masyarakat. Masyarakat diikat oleh sistem simbol yang bersifat umum. Sistem simbol itu akan berpusat pada martabat manusia sebagai pribadi, kesejahteraan umum, dan norma-norma etik yang selaras dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Setiap masyarakat dalam proses menghayati cita-citanya yang tertinggi akan menumbuhkan kebaktian pada representasi diri simboliknya. Dalam bentuk sistem simbol, anggota masyarakat bisa menjadi sadar akan dirinya (identitas individu). Lebih jauh, sistem simbol merupakan cara berpikir tentang eksistensi kolektif. Hal ini yang menjadikan fungsi agama dapat berjalan dalam masyarakat yang bersangkutan. Agama memiliki fungsi mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat dipecahkan secara empiris karena adanya keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian manusia. Berjalannya fungsi agama tersebut diharapkan masyarakat merasa sejahtera, aman, stabil dan sebagainya. Dalam hal ini fungsi agama yang perlu diperhatikan adalah agama sebagai pemberi identitas diri/individu seseorang dan agama merupakan sarana hubungan transedental melalui pemujaan serta upacara ibadat. Hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat dalam hal ini terkait dengan ketaatan masyarakat terhadap syariat agama dan atau kepercayaan atas aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh penganut agama dan atau kepercayaan tersebut. Agama dan atau kepercayaan memiliki ajaran atau syariat yang juga mengatur aktifitas ekonomi masyarakat. Di sektor ekonomi terdapat dogma yang berfungsi menata norma ekonomi di dalam masyarakat. Ajaran atau syariat bersifat dogma seharusnya dipatuhi oleh masyarakat.
22
Tabel 2. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Sistem Religi dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. No. 1
2.
Faktor Agama dan atau kepercayaan yang dianut.
Hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat
Atribut/Verifier 1. Agama dan atau kepercayaan yan g dianut 2. Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. 3. Simbolik hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. 4. Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dan atau aliran kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat 5. Simbolik hubungan antara agama dan atau aliran kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat.
Jenis Data a.
b.
a.
b.
c.
d.
e.
3
Peranan agama dan 1. Peranan tokoh-tokoh atau kepercayaan agama dan atau dalam kegiatan kepercayaan. sosial-politik masyarakat
a.
b.
c.
Agama dan atau kepercayaan yang dianut dan dominan di masyarakat. Ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan yang dilakukan oleh pemeluknya.
Ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan aktifitas ekonomi yang ada di masyarakat. Jenis-jenis upacara serta kegiatan ritual keagamaan dan atau kepercayaan yang ada di masyarakat. Tujuan dan makna pelaksanaan ajaran atau syariat tersebut oleh masyarakat. Keberadaan dan bentuk (jika ada) pengaruh ajaran atau syariat tersebut kepada setiap anggota masyarakat. Seberapa luas ajaran atau syariat mengikat anggota masyarakat. Tokoh agama dan atau kepercayaan yang diakui masyarakat. Dasar-dasar penilaian/kriteria dari masyarakat terkait dengan pengakuan individu sebagai tokoh agama dan atau kepercayaan. Besarnya pengaruh tokohtokoh masyarakat yang dimaksud.
23
Lanjutan Tabel 2 No.
Faktor
Atribut/Verifier
Jenis Data d.
Keterlibatan tokoh agama dan atau kepercayaan dalam aktivitas masyarakat di luar kegiatan peribadahan. e. Bagaimana bentuk keterlibatan tersebut (jika ada).
Pengkajian terhadap ketaatan masyarakat pada ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan memerlukan pemahaman bahwa ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan memiliki simbol-simbol yang diartikan sebagai manifestasi atau cerminan dalam kehidupan keseharian. Simbol-simbol agama dan atau kepercayaan mencakup halhal seperti kegiatan ritual, upacara atau lainnya. Simbol-simbol ini digunakan dalam segala aktifitas kehidupan masyarakat termasuk aktivitas ekonomi di dalam pemanfaatan dan pengelolaan SDKP. Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial politik masyarakat mengandung pengertian bahwa agama dan atau kepercayaan pada saat tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial. Agama juga dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu kepada masyarakat ideal yang berdasarkan kepada ajarannya. Peranan pemimpin agama dan atau kepercayaan dalam aktifitas sehari-hari diperlukan karena pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan aspek batiniah. Dalam keseharian, pemimpin agama dan atau kepercayaan dapat berfungsi sebagai motivator, pembimbing, pemberi landasan etis dan moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek keseharian dan kegiatan pembangunan. Secara ringkas, faktor dan atribut serta jenis data dimensi sistem religi tersebut dikemukakan pada Tabel 2.
24
3.3. Dimensi Ekonomi Dimensi ini merupakan pengkajian terhadap pandangan dan sistem mata pencaharian hidup yang dilakukan dan dikembangkan oleh masyarakat nelayan setempat. Kebudayaan secara kritis telah ditempatkan pada tiga elemen utama dari ekonomi. Elemen pertama, yaitu produksi mencakup kebudayaan organisasi, kelas sosial dan konsekuensi-konsekuensi ekonominya. Elemen kedua yaitu konsumsi, mencakup persoalan selera dan preferensi yang dikaitkan dengan kelahiran perilaku konsumtif. Elemen ketiga, pertukaran adalah fungsi kebudayaan di dalam pasar, di mana kebudayaan berfungsi sebagai bentuk konstitutif aktor-aktor yang terlibat di dalam pasar, dari masyarakat pasar dan sarana pemahaman bentuk-bentuk kapitalis. Dimensi ini terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, pembagian peran dalam kegiatan produksi, sistem jaminan sosial dan tingkat konsumsi ikan. Masyarakat nelayan dikenal memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap SDKP.Tingkat ketergantungan tersebut membuat polapola produksi tertentu. Kegiatan produksi tidak hanya diartikan sebagai upaya di dalam pemenuhan kebutuhan keseharian (subsistensi). Namun kegiatan berproduksi lebih diartikan sebagai upaya untuk memperoleh hasil yang berorientasi pasar. Saat kegiatan produksi masih sebatas pada upaya pemenuhan kebutuhan keseharian, maka pengembangan usaha terkait dengan kegiatan produksi tersebut akan berjalan lamban. Berjalan lamban dapat diartikan sebagai lambatnya penyerapan teknologi atau rendahnya akses pada peningkatan teknologi dan rendahnya investasi. Melalui pengamatan, tingkat ketergantungan bisa juga diketahui dari jumlah dan jenis mata pencaharian alternatif (MPA) yang ada dan berkembang dalam masyarakat yang dikaji. Kegiatan produksi dalam konsep pemberdayaan harus memperhatikan spesialisasi dan keterampilan fungsional yang ada di
25
masyarakat. Dengan demikian akan ada pembagian peran di dalam pekerjaan. Ciri dari kegiatan ekonomi adalah semakin terspesialisasi suatu pekerjaan maka kecenderungan semakin efisien dalam pengalokasian sumberdaya. Spesialisasi terbentuk dari adanya keterampilan fungsional. Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan adanya keterbatasan akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin keberlangsungan terhadap hidup mereka, seperti halnya kebutuhan akan modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk memberikan jaminan kepada masyarakat. Sistem jaminan sosial mensyaratkan adanya bentuk-bentuk kerjasama diantara anggota masyarakat. Kerjasama-kerjasama dalam berbagai bentuk diantara anggota masyarakat bertujuan untuk menjamin keberlangsungan usaha. Kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan dalam proses produksi merupakan suatu hal yang diperlukan di dalam menghadapi sumberdaya yang memiliki tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Pola kerjasama juga dapat berupa pola-pola ketergantungan (interdependensi) antara anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya. Pola hubungan ketergantungan umumnya memberikan jaminan subsistensi kepada anggota yang terlibat di dalam kerjasama tersebut. Selain itu, hubungan saling ketergantungan juga memberikan pembagian insentif (sistem bagi hasil) sesuai dengan peran dan kontribusi masing-masing pelaku kegiatan ekonomi. Tingkat konsumsi makanan tertentu secara budaya terkait dengan kebiasaan dan pantangan makan. Besarnya tingkat konsumsi atas produk ter tentu dapat meningkatkan keinginan untuk
26
mempertahankan bahkan meningkatkan kegiatan produksi. Hal ini berkaitan dengan kajian pengembangan pasar produk kegiatan ekonomi (lokal, regional atau internasional). Faktor dan atribut atau verifier serta jenis data dimensi ekonomi tersebut dikemukakan pada Tabel 3. 3.4. Dimensi Kelembagaan Dimensi ini mengkaji berbagai lembaga sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat nelayan yang kajiannya mencakup proses Tabel 3. Faktor,Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Ekonomi dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. No. 1.
Faktor Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya
Atribut/Verifier 1. Orientasi kegiatan produksi 2. Pandangan terhadap inovasi teknologi yang digunakan (termasuk didalamnya pemahaman akan teknologi ramah lingkungan) 3. Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi 4. Diversifikasi MPA
Jenis Data a. b. c.
d. e.
f. 2.
3.
Pembagian Peran 5. Spesialisasi pekerjaan dalam Kegiatan 6. Keterampilan produksi fungsional yang dimiliki nelayan Sistem Jaminan 7. Kemampuan Sosial kerjasama 8. Interdependensi 9. Struktur hubungan 10. Sharing system
g. h.
a.
Sejarah penggunaan alat produksi Skala usaha produksi yang dijalankan saat ini Kemampuan masyarakat nelayan dalam melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur. Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi Jumlah dan jenis MPA (didalam maupun diluar sektor kelautan dan perikanan). Keinginan menjalankan jenis MPA yang ada. Jenis pekerjaan Pembagian peran dalam suatu pekerjaan
Bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi (produksi dan pemasaran) b. Kegiatan produksi mencakup kegiatan penangkapan dan di luar penangkapan.
27
Lanjutan Tabel 3 No.
Faktor
Atribut/Verifier
Jenis Data c.
4.
Tingkat konsumsi ikan
11. Tingkat konsumsi ikan
Bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat di dalam keseharian (seperti contoh arisan, pengajian, dll). d. Sistem bagi hasil atau margin yang diperoleh oleh pelaku-pelaku ekonomi. a. Berbagai cara pengolahan hasil perikanan b. Kebiasaan dan pantangan makan. c. Tingkat konsumsi ikan per kapita per tahun masyarakat nelayan setempat.
pembentukan serta aturan main, kewenangan dan aturan representasi dalam setiap organisasi sosial yang teridentifikasi dan teramati. Ciri umum lembaga sosial adalah organisasi pola-pola pemikiran dan polapola perilaku yang terwujud melalui aktifitas-aktifitas kemasyarakatan dan hasil-hasilnya. Lembaga sosial memiliki suatu tingkat kekekalan tertentu ketika himpunan norma-norma yang terkandung di dalam lembaga sosial tersebut berkisar kepada kebutuhan pokok sudah sewajarnya harus dipelihara. Kelembagaan memegang peranan penting di dalam konsep pemberdayaan. Kelembagaan dapat menjadi sebuah pembawa perubahan (agent of change) di dalam suatu komunitas masyarakat. Berdasarkan asal-usulnya kelembagaan dapat muncul dari inisiatif masyarakat ataupun pemerintah. Asal-usul terbentuknya lembaga di masyarakat sangat penting untuk diketahui. Hal ini terkait dengan dasar serta tujuan dari pembentukan lembaga tersebut. Selain itu, sifat lembaga yang ada juga menjadi penting untuk diketahui. Kemudian, eksistensi sebuah lembaga dapat dicirikan dengan adanya tiga hal. Ketiga hal tersebut adalah batas kewenangan, aturan representasi dan aturan
28
main dari lembaga tersebut. Batas kewenangan merupakan cerminan seberapa jauh lembaga tersebut mencakup norma-norma yang mengikat di dalam kehidupan anggotanya dan masyarakat. Aturan representasi mencerminkan seberapa jauh dapat memenuhi normanorma yang ada sesuai dengan kebutuhan anggotanya dan masyarakat. Aturan main dari lembaga merupakan cerminan dari normanorma yang menjadi pembatas bagi anggotanya dan masyarakat. Aturan-aturan ini haruslah dapat menata pola-pola tingkah laku anggotanya dan masyarakat. Fungsi dari lembaga sosial adalah menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control system). Konflik terjadi seiring munculnya perbedaan kepentingan atau kebutuhan di dalam suatu masyarakat. Berfungsinya peranan ini akan dapat mengikat tujuantujuan pembentukan lembaga sesuai dengan fungsi lembaga. Tabel 4 Tabel 4. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Kelembagaan dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. No. 1.
Faktor
Atribut/Verifier
Asal usul lembaga 1. Proses pembentukan 2. Sifat lembaga
Jenis Data a. b. c. d.
2.
3.
Eksistensi lembaga
Manajemen konflik
3. Batas kewenangan 4. Aturan representasi 5. Aturan main dari lembaga
a.
6. Manajemen konflik
a.
b. c.
b.
Sejarah pembentukan lembaga yang ada di masyarakat. Inisiatif pembentukan lembaga yang ada di masyarakat. Dasar pembentukan lembaga yang ada di masyarakat. Tujuan pembentukan lembaga yang ada di masyarakat. Identifikasi anggota-anggota lembaga sosial yang ada. Proses rekruitmen. Bentuk-bentuk aturan yang tertulis atau tidak tertulis dalam kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP (penangkapan dan non penangkapan). Kemampuan pemimpin atau seluruh anggota suatu lembaga sosial/kemasyarakatan dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat. Mekanisme atau prosedur penyelesaian konflik
29
menghimpun secara ringkas tentang faktor, atribut atau verifier dan jenis data dimensi kelembagaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat nelayan. 3.5. Dimensi Politik Dimensi ini mengkaji mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik. Dimensi ini terkait dengan kebijaksanaan pembangunan. Dimensi ini juga berusaha memahami bagaimana keputusan-keputusan yang sah dibuat dan dilaksanakan dalam suatu komunitas masyarakat. Tuntutan dan dukungan adalah input dari suatu sistem politik yang merupakan suatu bahan mentah atau informasi yang harus diproses di dalam sistem politik. Tuntutan berasal dari masyarakat. Tuntutan tersebut lahir apabila masyarakat membutuhkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan tidak akan terwujud apabila tidak disertai oleh dukungan. Dukungan bersumber dari kepemimpinan politik dalam masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat kepemimpinan politik merupakan kepemimpinan pemerintahan. Kepemimpinan dalam pemerintahan diperlukan untuk menjamin program pembangunan berwujud suatu program yang terencana dan dapat mengarahkan suatu perubahan cara hidup masyarakat yang sesuai dengan isi dan tujuan program pembangunan. Visi merupakan kemampuan untuk melihat pada inti persoalan. Pemahaman atau wawasan tersebut diperlukan agar program pembangunan direncanakan dan dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Seorang pemimpin penting memiliki kemampuan dalam memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain untuk mendapatkan manfaat bersama. Prinsip ini juga dapat dilihat dari seberapa jauh pimpinan mampu berkorban untuk memperoleh
30
kepercayaan masyarakat. Kepercayaan tersebut dapat digunakan oleh pimpinan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat secara lebih cepat dan terarah. Kemampuan berkomunikasi yang baik seorang pemimpin dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya juga hal yang haruslah diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan mengarahkan (inspiring and directing) anggota masyarakat yang dipimpinnya. Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu sistem, struktur dan fungsi. Sistem politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama mereka. Sistem politk sebagai sebuah saluran untuk mencapai tujuan-tujuan bersama masyarakat terkait erat dengan proses pengambilan keputusan atau penetapan aturan. Proses pengambilan keputusan ini merupakan cerminan dari representasi publik yang diwadahi oleh suatu lembaga sosial tertentu. Dasar pengambilan Tabel 5. Faktor, Atribut atau Verifier dan Jenis Data Dimensi Politik dalam rangka Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. No.
Faktor
Atribut/Verifier
1.
Tuntutan dan Dukungan terhadap sistem politik
1. Tuntutan dan pencetus tuntutan 2. Penilaian kepemimpinan oleh masyarakat 3. Dukungan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat
2.
Sistem Politik
4. Proses pengambilan keputusan / aturan representasi publik
3.
Keputusan dan Kebijakan
5. Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar
Jenis Data a. b. c. d. e. f. g. h. a. b. c. a.
Jenis-jenis tuntutan masyarakat Asal tuntutan yang teridentifikasi Visi pemimpin Daya empati pemimpin Kemampuan komun ikasi pemimpin Rasionalitas pemimpin Kemampuan pemimpin dalam Inspiring and directing Integritas pemimpin Transparansi Akuntabel Terbuka untuk diaudit (Auditable) Conflict of interest
31
keputusan sudah seharusnya diketahui oleh masyrakat luas yang menjadi anggota. Kemudian juga keputusan yang diambil haruslah mencerminkan alur logika dan pemikiran yang dapat diterima masyarakat. Selain itu, masyarakat harus memiliki akses untuk mengkaji kembali (merevisi) dan memutuskan ulang keputusan yang telah dibuat. Sistem politik sebagai suatu konsep ekologis, menunjukkan adanya suatu organisasi yang berintegrasi dengan suatu lingkungan yang mempengaruhinya dan dipengaruhinya. Secara ringkas, dimensi politik diuraikan menjadi faktor, atribut dan jenis data seperti yang dikemukakan pada Tabel 5. Dalam Tabel 5 terlihat bahwa keputusan dan kebijakan terkait erat dengan fungsi yang dimiliki oleh suatu sistem politik. Pada prinsipnya suatu keputusan dan kebijakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa melihat kepentingan dari luar. Kemudian menjadi suatu hal yang penting untuk melihat keselarasan antara keputusan dan kebijakan yang telah dibuat dengan keputusan dan kebijakan yang ada di luar sistem politik tersebut. Dengan demikian, menjadi hal penting untuk melihat terjalinnya kesamaan kepentingan antara pemegang kekuasaan lokal dan luar.
33
IV
KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN LAUT
Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan perairan laut yang dikemukakan dalam bagian ini merupakan hasil riset yang dilaksanakan pada berbagai masyarakat nelayan. 4.1. Bandar Lampung, Lampung.
Gambar 1. Suasana kegiatan penanganan ikan di PPP Lempasing, Bandar Lampung.
Pemukiman nelayan di Bandar Lampung terpusat pada tiga lokasi dengan ciri didominasi oleh etnis tertentu. Desa Lempasing (TPI Lempasing) dan Desa Gudang Agen Lama (TPI Ujung Bom) umumnya merupakan nelayan pendatang yang berasal dari Cirebon, Banten dan Jawa Timur (khusus Desa Lempasing) serta Daerah Cungkeng (Kampung Bugis) yang sebagian besar dihuni oleh pendatang Bugis. Di Bandar Lampung ini nelayan yang berasal dari Lampung sendiri (penduduk asli) jarang ditemukan, demikian juga hal yang sama pada bakul (pengumpul ataupun pengecer di TPI) (Gambar 1). Teknologi penangkapan yang digunakan oleh nelayan di wilayah Propinsi Lampung didominasi oleh mini purse seine, payang dan bagan dengan ukuran kapal yang beragam. Ukuran kapal yang dioperasikan di
34
wilayah Lempasing (TPI) berkisar antara 5 sampai 25 GT, dengan daerah penangkapan (fishing ground) Teluk Lampung dan sekitarnya. Kapal-kapal jukung dengan ukuran motor 5-10 PK juga masih banyak ditemukan, dimana pengguna teknologi penangkapan ini terutama adalah nelayan suku bugis (daerah Cungkeng). Di samping kapal-kapal untuk menangkap ikan, di Bandar Lampung juga tampak penggunaan kapal pelele, yaitu kapal yang terutama digunakan untuk mengumpulkan ikan (dominan hasil tangkapan nelayan bagan) disamping juga berfungsi untuk mengangkut perbekalan nelayan. Lama melaut relatif singkat, yaitu antara satu hari (one day fishing) untuk bagan perahu dan jukung hingga 2-3 hari untuk payang, cantrang dan mini purse seine. Daerah penangkapan jukung berkisar pada Jalur 1 (kurang dari 2 mil) disekitar lokasi bagan tancap disepanjang garis pantai Bandar Lampung hingga pesisir Kabupaten Lampung Selatan. Sementara daerah penangkapan cantrang, payang dan mini purse-seine terletak pada jalur 2 hingga 3, mulai dari daerah Lampung Selatan, daerah perairan Selat Sunda hingga pantai Timur Sumatera dan daerah perairan Lampung Barat. Dimensi Pengetahuan Lokal Konsepsi hak kepemilikan secara umum yang ada di masyarakat cenderung mengarah kepada konsepsi non property. Hal ini ditandai dengan persepsi masyarakat yang menganggap bahwa laut adalah pemberian Allah SWT, dan diciptakan untuk digunakan secara bersamasama. Hal ini ditandai juga dengan tidak adanya klaim yang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat terhadap sumberdaya laut yang ada di daerahnya sebagai wilayah mereka. Arti dari tidak adanya klaim wilayah juga menandakan bahwa setiap orang dari wilayah di luar daerah mereka, bisa menangkap ikan di wilayah tersebut. Walaupun demikian, secara tidak disadari ternyata ada nelayan yang sebenarnya menerapkan ”klaim” wilayah, terutama nelayan yang menggunakan alat
35
tangkap bagan. Tempat dimana bagan tersebut ditancapkan atau dioperasikan tidak boleh diganggu oleh nelayan lain. Sifat kepemilikan bagan tersebut diketahui dan dihargai oleh nelayan lainnya. Selain itu, konsepsi pengelolaan sumberdaya juga sangat erat kaitannya dengan bagaimana akses yang ada bagi masyarakat terhadap sumberdaya laut tersebut. Pemahaman masyarakat terkait dengan akses terhadap sumberdaya yang ada adalah laut bersifat open access. Artinya, siapa pun bebas untuk menangkap ikan di laut tempat mereka berada. Masyarakat tidak memiliki aturan-aturan tentang bagaimana memanfaatkan dan mengelola sumberdaya laut. Hal ini terjadi karena kondisi open access menggambarkan tidak adanya pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap kegiatan yang telah mereka lakukan. Satu aturan yang berlaku adalah siapa yang memiliki modal yang kuat akan lebih memiliki akses yang langsung terhadap sumberdaya yang lebih baik (dalam hal ini fishing ground). Sistem pengelolaan yang berlangsung di masyarakat Lempasing adalah cenderung bersifat open access. Mekanisme pengelolaan sumberdaya yang berjalan adalah siapapun berhak untuk menangkap ikan di wilayah Lempasing. Oleh karenanya, maka tidak ada mekanisme ataupun pengaturan apa pun yang terkait dengan fishing gears, seasoning dan lainnya. Semuanya berjalan dengan asas open access. Bahkan aturan-aturan formal yang ada tidak dapat berjalan efektif dan dipatuhi oleh masyarakat. Aturan-aturan Perda tersebut tentang pelarangan jenis-jenis alat tangkap tertentu yang dianggap merugikan. Terkait dengan faktor konservasi yang ada di masyarakat, dapat dilihat dari beberapa hal. Konsepsi upaya konservasi masyarakat dapat dilihat dari kesadaran mereka terhadap kondisi sumberdaya laut di wilayah mereka. Sebagian besar dari mereka telah menyadari atau merasakan bahwa kondisi sumberdaya laut sekarang ini telah semakin berkurang produksinya. Mereka beranggapan fenomena alam ini disebabkan faktor manusia berupa semakin banyaknya nelayan serta
36
faktor alam berupa adanya perubahan iklim. Demikian halnya dengan nelayan bagan tancap, mereka merasa saat ini jumlah ikan telah jauh berkurang. Bagi nelayan bagan tancap, penyebab dari berkurangnya hasil tangkapan karena banyaknya nelayan cantrang, payang dan arad yang beroperasi di daerah mulut teluk (Gambar 2).
Gambar 2. Kapal yang digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan di perairan laut sekitar
Penggunaan alat tangkap yang dilarang dan merusak juga ditengarai sebagai penyebab menurunnya tangkapan ikan. Masyarakat nelayan hanya beranggapan bahwa seharusnya pihak yang berwajib melakukan penindakan yang tegas terhadap pelaku perusakan lingkungan. Kasus yang sering terjadi adalah pihak yang berwajib membiarkan saja alat tangkap yang sebenarnya jelas-jelas telah dilarang seperti arad untuk tetap beroperasi. Pembuktian tentang kasus pemboman di laut juga sangat sulit untuk dibuktikan karena terbatasnya jumlah personil penegak hukum. Hal ini menyebabkan seringkali pelaku tidak dapat ditangkap karena lebih dahulu berhasil membuang barang bukti ke laut. Sampai dengan saat ini belumlah terlihat upaya konservasi yang benarbenar telah dilakukan oleh masyarakat setempat. Mekanisme konservasi pun tidak ada, kalaupun ada biasanya hal itu timbul dari inisiatif pemerintah.
37
Terkait dengan sanksi yang ada di masyarakat dalam hubungannya dengan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan maka yang sangat berperan adalah pihak pemerintah daerah. Pelarangan-pelarangan terhadap penggunaan alat tangkap yang merugikan sebenarnya telah diatur dalam bentuk peraturan daerah. Kasus yang paling sering terjadi adalah kasus pemboman ikan, namun sayangnya sangat sulit untuk menangkap pelaku. Dari pihak masyarakat sendiri belumlah memiliki sebuah aturan ataupun sanksi yang mereka buat sendiri terhadap pengelolaan sumberdaya laut. Berdasarkan informasi dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Lampung Selatan lemahnya penegakan peraturan dikarenakan masih kurangnya keasadaran masyarakat akan pentingnya penegakan peraturan. Faktor lain yang semakin melemahkan upaya penegakan peraturan adalah minimnya sarana dan parasarana penunjang yang dimiliki oleh aparat instansi yang berwenang. Dimensi Sistem Religi Masyarakat umumnya memeluk agama Islam dan menjadikannya sebagai dasar pandangan kehidupan. Namun berdasarkan penuturan informan didapatkan bahwa dalam kehidupan keseharian seringkali bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Bentuk upacaraupacara keagamaan yang mereka lakukan terutama yang terkait dengan kegiatan ekonomi, dalam hal ini dikaji melalui informasi mengenai upacara ”ruwatan laut” serta ”lek-lekan” yang dilakukan oleh masyarakat nelayan setempat. Menurut penuturan tokoh masyarakat yang dituakan disana (Pak Murdin), ”ruwatan laut merupakan tanda bersyukur dari nelayan atas rahmat yang diberikan Tuhan melalui hasil tangkapan dan keselamatan di tahun sebelumnya sekaligus memohon hal yang sama untuk waktu berikutnya”. Acara ”lek-lekan” oleh nelayan Cirebon dan pemasangan
38
paku emas (di bagian-bagian tertentu kapal) disertai pula dengan kegiatan pengajian. Hasil penggalian informasi yang sama kepada nelayan yang relatif masih muda menunjukkan bahwa aktifitas ritual lebih sekedar sebuah ritualisme saja. Nelayan-nelayan muda tidak lagi perduli terhadap makna sebenarnya, bahkan di dalam pelaksanaannya cenderung melenceng dari tujuan awal (”lek-lekan” terkadang menjadi ajang perjudian dan mabuk-mabukan). Hal ini berbeda dengan generasi tua nelayan yang masih memahami makna dari simbol-simbol yang terkandung di dalam aktifitas atau ritual keagamaan atau aliran kepercayaan. Keterlibatan tokoh-tokoh agama setempat umumnya hanya berperan pada masalah-masalah ibadah keagamaan. Namun pada beberapa kasus tokoh-tokoh ini juga berperan di dalam kehidupan keseharian. Seperti yang biasanya terjadi pada saat pemilihan kepala desa, ketua KUD ataupun sektor publik lainnya. Bagi sebagian informan, keterlibatan mereka di dalam sektor publik dan politik lebih dikarenakan faktor kharismatik. Keputusan yang biasanya mereka ambil bersifat hanya mengikat bagi anggota-anggota yang menjadi pengikutnya saja. Menurut penuturan informan yang ditemui, penggunaan simbol-simbol agama untuk mendukung ataupun menolak suatu program pembangunan belum pernah terjadi. Dimensi Ekonomi Dari pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan di lapang, didapatkan bahwa sudah sangat jarang sekali ditemui nelayan yang hanya bertujuan untuk subsistensi diri. Bagi mereka, jika mendapatkan ikan sedikit (kira-kira tidak mencukupi untuk dijual) biasanya digunakan untuk konsumsi saja. Sedangkan jika ikan itu cukup untuk dijual maka mereka akan menjualnya baik melalui TPI ataupun langsung kepada bakul. Namun sudah bisa dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam
39
melakukan kegiatan penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang). Di sisi lain, perilaku juragan bagan tancap mengganti teknologi penangkapannya merupakan cerminan cukup tingginya keinginan untuk memanfaatkan dan mengubah (merekayasa) hasil temuan baru (dalam hal ini bagan motor) yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan yang digelutinya. Selain itu, beberapa informan yang menggunakan alat tangkap selain bagan umumnya menginginkan untuk memiliki alat tangkap jaring setan atau jaring milenium. Menurut mereka dengan alat tangkap tersebut hasil tangkapan jauh lebih baik. Kendala umum yang dihadapi oleh nelayan di Bandar Lampung adalah keterbatasan modal. Resistensi terhadap kehadiran inovasi terjadi pada kasus penolakan masuknya purse seine di TPI Lempasing oleh nelayan setempat dikarenakan hasil tangkapan kapal purse seine dengan volume yang besar dirasakan oleh mereka menyebabkan harga jual ikan hasil tangkapan menjadi rendah (over supply) yang bermuara pada menurunnya pendapatan nelayan setempat. Meskipun demikian perlu dikaji lagi alasan atas penolakan tersebut mengingat disisi lain bertentangan dengan maraknya penjualan ikan hasil tangkapan di daerah lain dikirim dengan menggunakan kendaraan darat. Alat tangkap yang umumnya digunakan oleh nelayan di daerah ini adalah pancing, cantrang, payang, purse seine, arad, rawe, dan bagan (baik tancap maupun motor). Nelayan di daerah ini sudah menggunakan beberapa macam alat tangkap (multi gears) disesuaikan dengan musim ikan. Daerah penangkapan jukung berkisar pada Jalur 1 (kurang dari 2 mil) di sekitar lokasi bagan tancap disepanjang garis pantai Bandar Lampung hingga pesisir Kab. Lampung Selatan. Sementara daerah penangkapan cantrang, payang dan mini purse seine terletak pada jalur 2 hingga 3, mulai dari daerah Lampung Selatan, daerah perairan Selat Sunda hingga pantai timur sumatera dan daerah perairan Lampung Barat. Penggunaan alat tangkap yang dominan biasanya berbeda dan
40
sesuai dengan dari suku mana mereka berasal. Suku Bugis dominan menggunakan alat tangkap bagan tancap dan baru-baru ini mulai mengembangkan bagan motor. Sementara, suku Banten dominan menggunakan alat tangkap payang dan cantrang. Suku Jawa yang berasal dari daerah Jawa Tengah dan Timur dominan menggunakan alat tangkap mini purse seine, payang dan cantrang. Terbatasnya akses kepada lembaga ekonomi seperti bank ataupun KUD bagi sebagian besar kelompok nelayan membuat tidak cukupnya terekam gambaran hidup hemat dan berinvestasi. Hemat dalam hal ini bukan hanya berarti menyisihkan nilai hasil pekerjaan saja tetapi lebih mengarah kepada adanya upaya untuk investasi. Bagi kelompok juragan, budaya menabung di Bank ataupun KUD lebih terasa dibandingkan dengan kelompok ABK atau nelayan kecil. Para juragan rata-rata menyisihkan uangnya untuk kemudian meningkatkan alat tangkap atau pun menambah armadanya. Hal ini tampak disamping pada kisah Pak Arzein juga pada Pak Suwarno, seorang juragan di Desa Lempasing yang bergerak di pengolahan ikan asin. Saat ini Pak Suwarno beserta kelompok pengolahan ikan asinnya (Mina Bina Usaha) telah berhasil mendatangkan kapal purse seine berukuran 30 GT. Pengoperasian kapal tersebut bertujuan agar dapat menjamin pasokan bahan baku untuk kelompok Pak Suwarno, yang seringkali kekurangan pada saatsaat harga ikan segar sedang baik. Pak Lantang, yang berasal dari Kampung Bugis di Cungkeng menceritakan bahwa pada pertengahan tahun 1970–1980-an, orangtuanya dapat memiliki sedikitnya enam bagan tancap. Namun pada saat ini dikarenakan tidak pernah menyisihkan hasil tangkapannya dan lebih cenderung menghabiskannya untuk tujuan yang sangat konsumtif (membeli pakaian-pakaian mahal), dan kebiasaan tersebut terus berlanjut meskipun hasil tangkapan semakin menurun dan tidak menentu (diperkirakan oleh Pak Lantang mulai pada sekitar tahun 1985), akibatnya saat ini tidak lagi tersisa satupun armada.
41
Kemudian, hal yang perlu diperhatikan adalah berdasarkan pertanyaan yang diajukan pada kelompok ABK dan nelayan kecil, diperoleh jawaban yang menyiratkan bahwa dengan kondisi hasil tangkapan saat ini, maka dilapisan sosial ini mereka yang berhemat adalah mereka yang hingga saat ini masih dapat dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tanpa terlilit utang (umumnya pada juragan atau pada ”bank keliling”). Fenomena sosial di atas menunjukkan bahwa hemat dalam hal kehidupan nelayan dapat diartikan sebagai sebuah pola-pola jaminan sosial yang lebih dari hanya sekedar menyimpan materi untuk investasi, tetapi bisa juga berarti investasi dalam bentuk lainnya. Masyarakat akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin kelangsungan hidup mereka, seperti halnya kebutuhan akan modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk memberikan jaminan kepada masyarakat. Kecenderungan untuk memelihara hubungan dengan juragan dalam bentuk konsepsi patronklien atau pada ”bank keliling” juga dirasakan sebagai sebuah investasi jangka panjang. Dalam beberapa hal justru pihak juragan yang meninggalkan para kliennya dan beralih usaha karena semakin tidak menentunya kondisi sumberdaya ikan yang berarti juga semakin tidak menentunya pendapatan. Pengalihan penguasaan teknologi penangkapan yang dilakukan oleh para juragan tanpa mempertimbangkan bagaimana nasib ABK-nya yang selama ini telah ”berjuang” dapat dijadikan salah satu indikator rendahnya daya empati yang dimiliki oleh para juragan. Interdependensi (saling ketergantungan simetris) dalam kegiatan ini dilihat pada pola hubungan patron-klien. Sebenarnya baik patron maupun klien menguasai sumberdaya yang berbeda, patron menguasai sumberdaya modal sementara klien menguasai sumberdaya manusianya. Artinya, pola interdependensi mensyaratkan adanya dua pihak yang menguasai sumberdaya yang berbeda dan saling bekerja
42
sama. Jika dihubungkan dengan hubungan antara masyarakat nelayan dengan lembaga KUD ataupun TPI, maka didapatkan sebuah hubungan yang tidak simetris. Bagi juragan nelayan, proses perekrutan pada mulanya lebih berdasarkan pada koneksi atau hubungan kekerabatan. Namun demikian, semenjak hasil tangkapan dirasakan mulai menurun dan tidak menentu, mereka mulai merekrut ABK berdasarkan reputasi kejujurannya (juragan menceritakan adanya ABK yang tidak jujur didalam melaporkan hasil tangkapan dan menyerahkan uang hasil tangkapan) serta keahliannya didalam memperoleh hasil penangkapan. Proses perekrutan semacam ini juga dijumpai di unit usaha pembuatan kapal. Berdasarkan penuturan Pak Endi, seorang pendatang dari Banten dan merupakan ahli pembuat kapal yang telah berpengalaman lebih dari 30 tahun, untuk usaha pembuatan kapal yang dilakukan oleh keluarga dan skala kecil memang masih kental dengan budaya kekerabatan (umumnya beranggotakan satu keluarga batih, dengan si Bapak sebagai pemimpinnya). Hal ini dilakukan untuk menularkan keahlian pada si anak atau sanak familinya. Namun demikian manakala kelompok tersebut mulai tumbuh besar (seiring dengan order pembuatan kapal yang bertambah banyak), maka faktor keahlian adalah merupakan pertimbangan utama di dalam perekrutan tenaga kerja. Si pemimpin kelompok akan berusaha merekrut tenagatenaga berdasarkan orang yang telah memiliki keterampilan (dituturkan sebagai orang yang sudah ”jadi”) dibandingkan dengan kerabatnya (saudara atau teman dekat) yang masih memerlukan pembinaan. Hubungan yang terjadi hanya sebatas kepada keperluan ekonomi saja, tetapi tidak berarti memberikan jaminan subsistensi kepada nelayan. Proses lelang di TPI tidak berjalan dengan semestinya karena ikan hasil tangkapan lebih banyak yang langsung dijual kepada bakul,
43
sehingga tidak memberikan jaminan harga jual yang layak. Pemerintah Kota melalui Dinas Perikanan dan Kelautan hanya sebatas mengumpulkan retribusi tanpa pernah mengembalikan kembali kepada nelayan apabila mengacu pada perda yang ada apa yang menjadi hak mereka dalam bentuk Dana Kesejahteraan Nelayan (DKN).Walaupun kedua belah pihak menguasai sumberdaya yang berbeda namun tidak terjadi hubungan yang simetris, bahkan dalam beberapa hal dapat dikatakan terjadi sebuah eksploitasi nelayan melalui retribusi. Dimensi Kelembagaan Kelembagaan yang terbentuk di masyarakat adalah dilatarbelakangi berupa pola-pola kepemimpinan lokal yang mengikuti pola-pola kesukuan dan bersifat informal. Artinya masing-masing suku biasanya memiliki pemimpin lokal sendiri. Kepemimpinan lokal ini sangat memegang peranan penting di dalam penanganan (resolusi) konflik. Jika konflik yang terjadi disebabkan karena masalah antar anggotanya, maka hal tersebut cukup diselesaikan oleh pemimpin lokal sebagai fasilitator. Sedangkan jika konflik yang terjadi disebabkan oleh dua kelompok masyarakat atau suku yang berbeda maka peranan antara dua tokoh dari suku berasal sangat berperan. Kata-katanya dijadikan dasar bagi anggotanya untuk melakukan suatu tindakan. Konsep kepemimpinan lokal yang ada masih mewarnai ciri dari masyarakat komunal yang ditandai dengan adanya suatu semangat solidaritas mekanik. Masyarakat komunal pun dicirikan dengan sangat menonjolnya pola-pola hubungan primer serta kuatnya ikatan pada tradisi, terutama pada masyarakat Bugis. Pekerjaan sebagai nelayan bagan, cantrang, purse seine, pembuat perahu, pengolah ikan asin dan bakul lebih besar berkaitan dengan faktor modal dan sumberdaya yang mereka hadapi dibandingkan dengan keahlian yang mereka miliki. Hal tersebut disebabkan karena
44
rata-rata nelayan dapat dengan cepat belajar untuk melakukan salah satu pekerjaan tersebut asalkan ada modalnya. Oleh karena itu pengkajian lebih mendalam untuk faktor ini dilakukan pula dengan berlandaskan pada pengertian tentang diferensiasi dalam masyarakat nelayan seharusnya diawali dengan kesadaran bahwa mereka senasib dan kemudian diikuti dengan kemauan untuk bersatu. Secara umum dapat dikatakan bahwa belum adanya rasa kesadaran senasib dan keinginan untuk bersatu dikalangan nelayan Lempasing. Untuk masyarakat nelayan Lempasing, diferensiasi baru terjadi pada tingkatan kesukuan yang menguasai alat tangkap yang berbeda atau pun juga karena faktor akses kepada modal yang kecil. Berdasarkan penuturan Pak Hendi yang merupakan bendahara HNSI menyebutkan bahwa nelayan cantrang dan purse seine biasanya berasal dari Banten, Cirebon dan pekalongan, sedangkan palele dan bakul rata-rata berasal dari Cirebon. Untuk nelayan bagan umumnya dilakukan oleh nelayan yang berasal dari Bugis, untuk pengolah ikan asin cenderung pendatang dari wilayah Jawa, seperti yang dijumpai dilapangan adalah pendatang dari Brebes dan Cirebon. Dimensi Politik Pak Warsono dianggap sebagai seorang tokoh karena konsisten dalam memperjuangkan nasib masyarakat nelayan di Desa Lempasing. Disamping itu, juga dikenal mendahulukan kepentingan orang banyak dibandingkan dengan kepentingan dirinya sendiri. Berdasarkan penuturan Pak Murdin (tokoh masyarakat) pernah suatu kali Pak Warsono bersama dengan seorang rekan pengolah ikan asin dan lima orang nelayan (juragan) mengajukan proposal peminjaman modal kepada pihak Pertamina Lampung, namun yang disetujui oleh pihak Pertamina hanyalah beliau dan satu rekannya sesama pengasin. Akhirnya Pak Warsono memutuskan untuk tidak menerima pinjaman
45
modal dari Pertamina tersebut karena kelima nelayan lainnya tidak mendapatkan pinjaman modal. Pada saat proses pembuatan dan pengajuan proposal tersebut, beliau tidak mengenakan sepeserpun biaya kepada yang dibantunya walaupun dia sendiri telah menghabiskan uang sebesar Rp.600.000.Pemimpin dengan visi yang kuat yaitu memperjuangkan apa yang diinginkan oleh nelayan (tangkap, pengolah dan pengumpul), cukup tampak pada wawasan Pak Warsono. Berdasarkan penuturan nelayannelayan yang diwawancarai tentang Pak Warsono, tampak adanya kesamaan keinginan antara apa yang diinginkan oleh mereka dengan Pak Warsono sebagai orang yang ditokohkan oleh mereka, yaitu nelayan merasa aman dan nyaman ketika menyandarkan kapal terutama dari bentuk-bentuk retribusi tidak resmi dan juga ”alang-alang” (orangorang yang mengambil ikan ketika kapal bersandar). Kemudian, ketika melakukan proses lelang dapat dengan segera uangnya. Hal ini disebabkan seringnya bakul melakukan hutang kepada TPI dalam proses lelang dan terakhir mereka menginginkan untuk mendapatkan perhatian yang layak dari pemerintah, seperti contohnya dengan bantuan-bantuan yang berupa alat-alat fisik (teknologi penangkapan). Berbagai upaya yang telah dilakukan Pak Warsono beserta keseriusannya didalam memperjuangkan hal-hal tersebut diatas tampaknya yang membuat beliau dianggap sebagai wakil dari masyarakat. Walaupun upaya yang dilakukannya tersebut sering berarti harus berkonfrontasi dengan pihak pemerintah daerah ataupun KUD. Kematangan emosional dapat dilihat pada contoh Pak Arzein (Suku Bugis), beliau adalah seorang juragan yang memiliki tiga kapal. Pada beberapa waktu yang lalu, beliau mengakui pernah menabrak kapal nelayan lainnya ketika berpapasan di muara sungai. Secara sadar beliau langsung meminta maaf dan kemudian dengan segera menyelesaikannya dengan cara kekeluargaan yaitu dengan mengganti
46
kerusakannya. Beliau melarang ABK-nya untuk menggunakan kekerasan jika terjadi permasalahan yang menyangkut kehidupan di laut. Baginya semua masalah atau konflik tidak ada yang tidak bisa diselesaikan jika seandainya saja setiap orang mampu untuk menjaga emosinya serta berpikir jernih. Faktor usia cukup berpengaruh kuat didalam membentuk kematangan emosional seseorang. Hal ini diketahui dari informan yang menyebutkan sebagian besar sumber konflik dilakukan oleh generasi muda. Dimana bentuk konflik adalah perkelahian antar kampung (terutama di daerah Cungkeng) yang dipicu oleh hal-hal yang terjadi di darat, seperti pencurian, mabuk ataupun menggoda wanita. Faktor manajemen sangat terpengaruh oleh faktor kepemimpinan, sehingga akan lebih baik jika dilihat terlebih dahulu dari faktor-faktor yang menentukan seseorang menjadi pemimpin. Berdasarkan penuturan Pak Murdin (Ketua kelompok pengolahan ikan asin di Lempasing), kepemimpinan di KUD lebih ditentukan oleh kemampuan seseorang mempengaruhi publik dibandingkan dengan kemampuan manajerial. Bahkan menurutnya sekarang ketua KUD sendiri tidak dapat tulis baca, tetapi karena beliau adalah orang yang ditakuti oleh masyarakat maka beliau terpilih. Faktor transparansi tidak terlihat di dalam proses pengambilan keputusan, bahkan orang-orang yang dianggap terlalu vokal sering tidak diundang pada saat Rapat Anggota Tahunan (RAT) ataupun rapat-rapat penting lainnya walaupun orang tersebut merupakan anggota KUD. Hal yang menjadi sorotan utama adalah permasalahan Dana Kesejahteraan Nelayan yang tidak pernah diberikan kembali kepada nelayan.Walaupun sebenarnya dana tersebut merupakan hasil dari simpanan nelayan ketika mereka menjual ikan di TPI dan seharusnya kembali lagi kepada nelayan dalam bentuk dana kecelakaan di laut, dana paceklik, dana kematian dan lainnya.
47
Pemenuhan azas-azas manajemen yang baik (transparan, rasional, akuntabel dan auditable) dapat dilihat pada pengelolaan usaha pengolahan ikan asin oleh kelompok pengolah ikan asin ”Mina Bina Usaha” yang sesungguhnya dilakukan secara sederhana dan sarat dengan nuansa kekeluargaan. Berdasarkan diskusi dengan anggota kelompok masyarakat tersebut diketahui bahwa semua permasalahan yang tengah dihadapi hampir selalu dibicarakan dan diketahui secara bersama (transparan). Oleh mereka transparansi tersebut dicontohkan pada saat seluruh anggota kelompok mengetahui upaya pengurus kelompok untuk mengajukan pengadaan kapal motor. Selain mengetahui rencana tersebut mereka juga memahami pertimbangan yang mendasari dan tujuan dilakukannya upaya tersebut dimana menurut mereka yaitu untuk memenuhi dan menutupi kekurangan bahan baku ikan (apabila kondisi ini sedang terjadi mereka terpaksa mencari bahan baku hingga keluar daerah bahkan hingga P. Jawa). Secara prinsip penarikan alur pemikiran tentang alasan-alasan yang mendasari pengadaan kapal motor tersebut memenuhi prinsipprinsip akuntabilitas. Dan sampai dengan sekarang dengan keberadaan kapal motor tersebut sangatlah dirasakan manfaatnya yaitu mampu mencukupi sebesar 2 ton (rata-rata 1 ton) bahan baku per hari. Kapasitas produksi pengolahan ikan asin maksimal yang bisa dilakukan adalah 2,5 ton per hari dengan produksi minimal 1 ton per hari. Di Lempasing dan Cungkeng bisa dikatakan penyelenggaraan pemerintahannya tidaklah berjalan dengan baik. Sebelum melihat apakah telah tersedia saluran-saluran yang berfungsi sebagai representasi ”kedaulatan”, maka lebih baik jika ditilik dari sumber permasalahannya. Era otonomi daerah telah disalahpersepsikan baik oleh pemerintah kota, kabupaten, maupun propinsi. Semuanya hanya berpikir bagaimana mendapatkan PAD sebesar-besarnya, sehingga yang terjadi adalah perebutan aset-aset ekonomi yang dianggap potensial menghasilkan PAD.
48
Apa yang kemudian muncul adalah dualisme kepemimpinan atau kepentingan di dalam lembaga masyarakat yang seharusnya menjadi saluran-saluran ”kedaulatan” bagi masyarakat. Sering terjadi dalam satu kelembagaan ”kedaulatan” terdapat dua pengaruh yang saling bertentangan. Seperti halnya TPI yang ”dikuasai” oleh pemerintah kota membuat masyarakat ataupun tokoh nelayan tidak dapat berbuat banyak untuk melakukan perbaikan-perbaikan. Sedangkan KUD ”dikuasai” oleh masyarakat dan tidak mendapat restu dari pemerintah kota membuat terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam operasionalnya. 4.2. Lampung Selatan, Lampung Dimensi Pengetahuan Lokal Masyarakat nelayan di desa Maja mempersepsikan hak kepemilikan sumberdaya laut merupakan kepemilikan Allah SWT dan pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan dilakukan oleh pemerintah. Persepsi masyarakat terkait PSDKP adalah terutama dalam batas wilayah yang diklaim sejauh 4 mil laut untuk nelayan tradisional, namun dalam pemanfaatannya masih bersifat open access. Masyarakat tidak mengenal adanya pemegang wewenang dari sumberdaya laut yang ada, sehingga secara otomatis mereka beranggapan tidak adanya mekanisme pembagian atau pendistribusian hak pemanfaatan. Mekanisme yang berjalan adalah siapapun yang memiliki modal dan ingin berusaha dapat masuk dengan mudah ke sektor perikanan. Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan masih mencirikan open access. Persepsi masyarakat terkait dengan kegiatan konservasi merupakan tugas dan kewajiban dari pemerintah, belum menjadi tanggung jawab mereka sebagai masyarakat. Masyarakat tidak mengenal adanya upaya-upaya konservasi di wilayah sekitar mereka. Secara umum belum ditemukan mekanisme upaya konservasi yang
49
berjalan di masyarakat. Tuntutan dan pertimbangan ekonomi menjadi dasar dalam melakukan tindakan konservasi atau tidak. Mekanisme yang ada hanya berasal dari pemerintah melalui lembaga-lembaga formal. Belum ada bentuk sanksi yang bersumber dari masyarakat terhadap pelanggaran dalam pemanfaatan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Sanksi yang ada hanya bersumber dari peraturan pemerintah. Penegakan peraturan oleh aparat pemerintah mengacu kepada peraturan yang berlaku. Masyarakat memberikan laporan ketika mengetahui terjadi pelanggaran hukum. Penegakan peraturan dirasakan belum berjalan efektif karena pengawasan oleh pemerintah dirasakan kurang. Hal ini disebabkan oleh armada dan jumlah personel yang kurang. Dimensi Sistem Religi Agama yang dianut sebagian besar adalah Islam. Pelaksanaan syariat merupakan tanggung jawab pribadi tidak komunitas. Pelaksanaan agama dalam keseharian dipandang bersifat vertikal (manusia – Tuhan) dan hubungan horizontal (manusia – manusia). Terkait kegiatan penangkapan, masyarakat memandang bahwa rezeki berupa hasil tangkapan setiap orang sudah diatur oleh Tuhan. Hal ini menyebabkan jarang terjadi perebutan hasil tangkapan sesama anggota masyarakat. Namun demikian terkait dengan pemenuhan modal ekonomi, sebagian masyarakat masih menggunakan jasa tengkulak ataupun ”bank keliling” yang memberikan pinjaman dengan bunga tinggi, atau dalam terminologi syariat islam disebut dengan riba. Masyarakat beranggapan bahwa sebenarnya mereka terpaksa meminjam uang dengan sistem riba tersebut. Keterpaksaan ini disebabkan karena kebutuhan modal usaha dan tuntutan ekonomi bagi keluarganya. Masyarakat nelayan di daerah ini memiliki bentuk upacara atau kegiatan ritual terkait dengan kehidupan di laut. Secara komunitas,
50
masyarakat mengenal adanya bentuk-bentuk pesta atau syukuran laut. Masyarakat beranggapan bahwa dengan mengadakan syukuran laut maka musim panen ikan berikutnya akan lebih baik. Bagi sebagian besar masyarakat menganggap golongan ulama tidak memiliki kekuatan dalam aktifitas keseharian. Mereka hanya ditempatkan sebagai pemimpin dalam urusan ibadah keagamaan saja oleh masyarakat.Tokoh agama dalam masyarakat tidak memiliki pengaruh dalam aktifitas sosial politik. Dimensi Ekonomi Kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh sebagian besar nelayan di daerah ini hanya bertujuan untuk memenuhi kehidupan dan kebutuhan ekonomi sehari-hari (subsistensi). Masyarakat terlihat memiliki keinginan berinovasi bertujuan untuk meningkatkan ikan hasil tangkapan. Hal ini ditandai banyak ditemukannya bagan perahu yang merupakan pengembangan dari bagan tancap oleh nelayan yang berasal dari Bugis. Namun umumnya keinginan berinovasi tersebut selalu terganjal permodalan. Nelayan yang berasal dari Jawa umumnya jarang yang melakukan tindakan berinvestasi, hal ini didasarkan atas kondisi dalam upaya pemenuhan kebutuhan dan tuntutan ekonomi sehari-hari saja sulit terpenuhi. Lain halnya dengan masyarakat yang berasal dari Bugis, umumnya mereka berinvestasi dalam bentuk emas (perhiasan). MPA seperti pada pertanian kebun cukup tersedia namun masyarakat banyak yang tidak memiliki lahan dan keahlian dalam mengolah lahan pertanian tersebut. Kegiatan pemancingan cumi-cumi juga masih jarang dilakukan (Gambar 3). Belum terlihat adanya pembagian pekerjaan dalam kegiatan penangkapan. Semua orang yang berada di perahu secara bersamasama melakukan semua pekerjaan di atas kapal. Keterampilan
51
Gambar 3. Alat dan sarana penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di Desa Maja Lampung Selatan.
fungsional tidak terlihat dengan nyata. Hal tersebut disebabkan karena anggapan bahwa umumnya masyarakat tidak memiliki keahlian selain menjadi nelayan. Masyarakat mampu untuk bekerjasama dalam aktifitas produksi. Kerjasama juga lebih terlihat pada pola hubungan kekerabatan yang ada. Kerjasama juga terjalin dalam kehidupan keseharian seperti dalam hal pembangunan rumah ibadah. Interdependensi terjadi pada tingkat juragan dan ABK. Penyebabnya adalah secara umum nelayan tidak memiliki perahu dan juragan tidak turun ke laut. Bakul dengan nelayan juga memiliki interdependensi. Struktur hubungan yang terbentuk dalam masyarakat nelayan mengarah kepada hubungan yang cenderung asimetris. Hal ini disebabkan karena terjadinya ketimpangan faktor modal. Sistem bagi hasil diantara juragan dan nelayan ABK tidak berimbang dalam pembagian keuntungan dan penanggungan resiko kerugian. Tingkat konsumsi ikan pada masyarakat nelayan tergolong rendah. Umumnya ikan hasil tangkapan dijual. Dimensi Kelembagaan Masyarakat di lokasi ini secara formal belum memiliki kelembagaan yang berfungsi sebagai wadah dalam kehidupan mereka. Namun
52
masyarakat menganggap bahwa dalam keseharian secara tidak langsung sudah ada kelompok-kelompok. Kelompok-kelompok tersebut terbagi berdasarkan kekerabatan atau kesukuan. Masyarakat di lokasi ini secara formal memiliki kelembagaan yang dimaksudkan sebagai wadah dalam kehidupan mereka. Kelompok-kelompok tersebut diinisiasi oleh pemerintah setempat, namun tidak dapat berjalan. Lembaga bersifat informal dan formal. Kewenangan kelembagaan formal lebih luas dari kelompok informal, namun pada kenyataannya tidak dapat berjalan dan cenderung diacuhkan oleh masyarakat. Kewenangan kelompok informal hanya terbatas pada anggota kelompoknya. Kelompok formal memiliki aturan representasi dengan keterwakilan juragan atau pemilik modal lebih besar dibanding dengan anggota biasa. Sedangkan kelompok informal tidak memiliki aturan representasi. Kelompok formal memiliki aturan main sebagai peraturan yang dibuat berdasarkan inisiasi pengurus kelompok dan pemerintah. Kelompok informal yang ada tidak memiliki aturan main (peraturan), semuanya bergantung hanya kepada keputusan ketua kelompok atau juragan. Konflik yang terdapat pada masyarakat nelayan dalam banyak hal dapat diselesaikan oleh kelompok-kelompok informal. Penyelesaian konflik masih mengalami hambatan jika melibatkan konflik dengan masyarakat di lain daerah. Terkait dengan manajemen konflik yang selama ini berjalan adalah dengan melakukan penyelesaian secara kekeluargaan. Penyelesaian ini melibatkan antara tokoh-tokoh masing-masing suku dengan pemerintah desa. Dimensi Politik Penilaian kepemimpinan berdasarkan wibawa dan kejujuran seseorang. Dukungan yang kuat terhadap kepemimpinan kelompok masyarakat sangat bergantung terhadap masing-masing suku. Hal ini
53
disebabkan tidak adanya satu orang tokoh yang dianggap sebagai pemimpin keseluruhan dari masyarakat. Dukungan terhadap kelompok formal sangat rendah, masyarakat cenderung tidak perduli. Proses pengambilan keputusan belum mencerminkan representasi dari kepentingan seluruh masyarakat. Proses pengambilan keputusan umumnya cenderung hanya mewakili kepentingan kelompoknya saja. Hubungan antara tokoh informal masyarakat dengan pemerintah lokal berlangsung dengan baik, namun belum terjadi komunikasi yang efektif. 4.3. Pandeglang, Banten. Desa nelayan di Labuhan Teluk, secara geografis dilihat dari tofografinya terletak di pantai Barat yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Pantai Barat ini memiliki daerah pantai yang sempit, gelombang besar dan curam sedangkan pantai yang berpasir dengan gelombang yang tenang tempatnya sangat terbatas, sehingga menyebabkan kelompok konsentrasi masyarakat nelayan relatif kecil dan terpencar-pencar. Masyarakat nelayan yang hidup di daerah ini dilihat dari asal-usul sukunya berasal dari Sunda, Cirebon dan Bugis. Kehidupan masyarakat nelayan didaerah ini ada yang menetap, terutama dari masyarakat nelayan yang berasal dari Pandeglang dan Serang, dan juga dari suku Bugis, sedangkan dari Cirebon dan Rembang melakukan perpindahan secara teratur mengikuti waktu musim ikan. Berdasarkan cara melakukan penangkapan ikan yang terlihat dari peralatan penangkapan yang mereka gunakan, seperti bagan tancap dan apung yang dominan dari suku Bugis. Sementara, payang dan pancing banyak dilakukan oleh masyarakat nelayan Sunda dan jaring arad dan purse-seine oleh masyarakat nelayan dari Cirebon. Peralatan penangkapan seperti perahu, jaring dan mesin serta peralatan lainnya cukup bervariasi, volume dan tempat penangkapannya dipengaruhi oleh alat tangkapnya.
54
Jaring purse-seine menggunakan ukuran perahu yang lebih besar dengan GT mencapai 20 - 30 ton, mesin in-board dan jaring ukuran panjangnya mencapai 150 meter. Perahu dengan kapasitas 3 - 5 ton, mesin motor tempel menggunakan jaring payang dengan panjang sekitar 25 meter, pancing dan arad. Kegiatan penangkapan umumnya dilakukan one day fishing dengan lokasi sekitar 4 - 5 mil laut dari pantai. Untuk penangkapan menggunakan bagan, perahu yang dipakai adalah ukuran kecil dan bagannya ditempatkan tidak terlalu jauh dari tempat tinggal mereka. Dimensi Pengetahuan Lokal Persepsi terhadap sumberdaya alam merupakan hak milik Yang Maha Kuasa (Allah), karena itu wajib dipelihara bersama dan hasilnya dimanfaatkan bersama-sama. Dalam merealisasikan persepsi ini paling tidak ada dua pandangan sistem pengelolaan dan pemanfaatan yang terjadi; Pertama, ada sebagian masyarakatnya memandang bahwa ikan dilaut itu tidak akan habis, karena itu boleh saja melakukan usaha kegiatan penangkapan kapanpun seseorang itu mau selagi dia mampu. Kedua, sumberdaya laut apabila tidak dikendalikan dengan baik, ikan yang ada didalamnya akan berkurang (Gambar 4).
Gambar 4. Alat dan sarana penangkapan ikan yang digunakan oleh nelayan di wilayah Banten.
55
Batas-batas wilayah penangkapan ikan dari penduduk dusun Teluk yang menetap, dibatasi oleh hak kepemilikan fishing ground yang dimiliki bersama, karena tidak ada hak kepemilikan perorangan. Pembatas yang lainnya adalah musim penangkapan yang dipengaruhi oleh arah angin, dan sangat mempengaruhi keberadaan musim ikan. Karena itu maka penjagaan wilayah ppenangkapan menjadi kewajiban bersama masyarakat nelayan Teluk untuk menjaganya dari kegiatan penangkapan yang dilakukan oleh nelayan datangan. Keberadaan mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim penangkapan dan fishing right dilakukan secara bersama-sama. Musim penangkapan umumnya dilakukan pada bulan-bulan April hingga Desember dan tiga bulan sisanya dianggap musim paceklik. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan berdasarkan persepsi pertama menghasilkan pandangan bahwa sumberdaya laut dapat dieksploitasi sepanjang waktu karena bersifat open acceses. Property right system yang menyangkut fishing ground karena sifatnya milik bersama pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat penangkap sendiri tanpa ada pembatasan yang tegas. Dalam upaya pemanfaatan maka setiap anggota masyarakat bebas melakukan usaha penangkapan di daerah tersebut tanpa ada aturan yang tegas dan ketat. Terkait dengan klaim terhadap wilayah penangkapan ikan tertentu, pengaturan alat tangkap dan musim penangkapan, masyarakat nelayan hingga sampai sekarang belum mempunyai tatacara pengaturan penangkapan yang berasal dari dan oleh masyarakat nelayan sendiri. Pemegang wewenang dan distribusi hak pemanfaatan karena belum ada pengaturan yang tegas tadi mengakibatkan kurangnya kemampuan pengawasan langsung (kapal patroli khusus perikanan) untuk mencegah pelanggaran. Kelemahan ini telah menyebabkan terjadinya pertambahan alat tangkap, tetapi karena daerah fishing ground yang dimiliki bersama terbatas hal tersebut telah menyebabkan terjadinya keluhan terhadap penurunan hasil tangkapan oleh nelayan.
56
Keberadaan mekanisme pengelolaan, menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim penangkapan dan fishing right dilakukan secara bersama-sama. Musim penangkapan umumnya dilakukan pada bulan-bulan April hingga Desember dan tiga bulan sisanya dianggap musim paceklik. Keberadaan sumberdaya perikanan tangkap terletak di wilayah pantai Barat Pulau Jawa, berada dibagian lautan Hindia. Perairan ini sifat penangkapannya open access, artinya setiap orang dari penduduk desa Teluk mempunyai kesempatan yang sama untuk dapat melakukan penangkapan ikan di daerah fishing ground yang sama. Pertambahan armada penangkapannya dari tahun ke tahun cenderung sesuai dengan laju pertambahan penduduknya. Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan menyangkut aturan tentang daerah penangkapan, musim penangkapan, alat tangkap, atau aturan lainnya yang berhubungan dengan penangkapan ikan, hingga saat ini belum mempunyai tata cara pengaturannya, yaitu yang berasal dari dan oleh masyarakat nelayan sendiri.Tata cara pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP yang belum tegas mengakibatkan kurangnya kemampuan mengendalikan daerah fishing ground, sebagian besar anggota masyarakat nelayan desa Teluk dalam upaya melakukan penjagaan fishing ground yang mereka miliki telah melakukan reaksi menentang terhadap nelayan pendatang. Masyarakat nelayan pada umumnya menyatakan penyebab utamanya ikan hasil tangkapan mereka berkurang karena adanya nelayan pendatang yang melakukan pencurian di wilayah penangkapan mereka dengan menggunakan alat tangkap yang lebih besar dan alat tangkap aktif seperti mini trawl atau arad. Contoh nelayan pendatang yang dipersoalkan masyarakat adalah terhadap nelayan dari Sibolga. Terhadap nelayan dari Sibolga ini masyarakat telah melakukan reaksi, yaitu dengan cara melakukan menentang keras dan bentuk reaksi tersebut berupa penangkapan terhadap kapal pendatang. Kemudian
57
bahkan ada yang dibakar atau ditenggelamkan sehingga konflik sosial tidak dapat terhindarkan. Untuk masyarakat nelayan di desa Teluk, keberadaan upaya konservasi SDKP adalah berupa upaya konservasi yang di pahami sebagai daerah larangan. Daerah larangan ini apabila dilanggar, artinya nelayan melakukan penangkapan di daerah yang terlarang tersebut akan mendapat celaka (pamali). Daerah larangan biasanya terdiri dari daerah yang mempunyai karang, dan daerah tersebut secara umum telah diketahui oleh sebagian besar masyarakat nelayan. Pencetus dan pelaksana kegiatan konservasi SDKP yang berasal dari masyarakat dilakukan oleh aturan masyarakat sendiri melalui tokoh adat dan para alim ulama. Konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dirunut dari kesejarahan, ternyata masyarakat nelayan di sekitar pantai Barat Kabupaten Pandeglang telah mengenal konservasi. Konservasi yang mereka maksudkan adalah adalah upaya di lokasi-lokasi tertentu yang dilindungi bersama, alasan perlindungan adalah dengan memberikan berita bahwa didaerah tertentu tersebut memiliki bahaya tertentu yang dapat mengakibatkan celaka bagi pelanggarnya (biasanya daerah karang yang dilindungi). Dengan cara penuturan yang sakral, maka kepatuhan nelayan untuk tidak menghampiri atau melakukan kegiatan penangkapan didaerah tersebut dapat terjaga dengan baik dalam waktu yang cukup lama. Keberadaan upaya konservasi yang dikenalkan secara formal oleh institusi pemerintah belum dikenal luas, karena konsep konservasi yang dimaksudkan belum menjadi bagian kehidupan bersama. Disamping itu, arti konservasi yang dimaksudkan kadang kala berbeda dengan daerah larangan yang dimaksudkan oleh masyarakat.Tata cara pengaturan dan kegiatan konservasi SDKP yaitu berupa mekanisme penerapan upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan sesuai dengan konsepsi
58
yang dianut oleh masyarakat yaitu daerah larangan bersama yang terlindungi karena kesakralannya, kemudian penghormatan perlindungan tersebut dilakukan melalui upacara-upacara keagamaan tertentu berdasarkan keyakinan yang telah diturunkan secara turun temurun. Deskripsi dan manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dari kegiatan konservasi SDKP, prakteknya dalam masyarakat dapat berupa sedekah laut atau mauludan. Untuk perahu yang baru selesai dibuat dan siap pertama kali diturunkan ke laut, dalam bahasa keseharian masyarakat disebut temurunan, dan yang mengikuti upacara pembacaan doa atau tolak bala, biasanya diawali dengan upacara ritual dengan memenuhi berbagai macam syarat seperti kembang-kembangan, buah-buahan, kemenyan, nasi kuning atau tumpengan dan lain-lainnya yang disesuaikan dengan kebiasaan setempat. Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan ditinjau dari bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan adalah sebagai berikut. Pelanggaran oleh masyarakat nelayan setempat terhadap pemanfaatan, misalnya menggunakan alat tangkap yang merusak (pengeboman, trawl) bentuk sanksi yang diberikan masyarakat adalah berupa peringatan yang pemberitahuannya dilakukan oleh pemuka masyarakat. Isi peringatan biasanya berupa pemberitahuan bahwa alat tangkap yang digunakan tersebut akan merusak lingkungan tempat penangkapan ikan, yang akhirnya akan merugikan bersama, disamping itu cara-cara yang tidak terpuji akan menimbulkan keresahan bermasyarakat dan keluarga. Sanksi yang lebih tegas terpaksa diberikan oleh masyarakat apabila tetap melakukan pelanggaran yaitu berupa perusakan alat tangkap yang dipakai oleh nelayan. Pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat nelayan yang berasal dari laur daerah. Pertama dilakukan dengan cara memberikan
59
peringatan supaya meninggalkan daerah penangkapan dan tidak kembali lagi. Apabila melakukan pelanggaran lagi maka kadangkala masyarakat melakukan sanksi berbentuk melakukan penangkapan secara beramairamai dan merusak perahu dan alat penangkapannya. Pelanggaran oleh masyarakat nelayan setempat terhadap pengelolaan, misalnya melakukan penangkapan didaerah yang disepakati bahwa daerah tertentu adalah terlarang, daerah ini harus mendapat penjagaan bersama dengan mentaati menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan, dan bentuk sanksi yang diberikan masyarakat adalah berupa peringatan yang pemberitahuannya dilakukan oleh pemuka masyarakat. Isi peringatan biasanya berupa pemberitahuan bahwa alat tangkap yang digunakan tersebut akan merusak lingkungan tempat penangkapan ikan, yang akhirnya akan merugikan bersama. Disamping itu, cara-cara yang tidak terpuji akan menimbulkan keresahan bermasyarakat dan keluarga. Pelanggaran oleh masyarakat nelayan setempat terhadap konservasi, misalnya melakukan penangkapan didaerah yang disepakati bahwa daerah tertentu adalah terlarang dan sakralkan karena memiliki kekuatan yang ditabukan, daerah ini harus mendapat penjagaan bersama dengan mentaati untuk tidak mengganggu dan merusaknya. Bentuk sanksi yang diberikan masyarakat adalah berupa peringatan yang pemberitahuannya dilakukan oleh pemuka masyarakat bahwa daerah ini perlu dijaga kesakralannya, karena dapat merugikan baik secara sosial ataupun moral masyarakat karena dianggap kualat atau mendapat cobaan kesulitan hidup. Mekanisme penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan adalah berupa mekanismen penegakan peraturan tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Dilihat dari sanksi atas pelanggaran peraturan adalah sebagai berikut; mekanisme sanksi atas pelanggaran pemanfaatan yang dilakukan
60
kepada masyarakat nelayan di desa nelayan Labuhan Teluk, Carita Kabupaten Pandeglang untuk menegakkan peraturan, pertama-tama diserahkan kepada tokoh masyarakat atau pemuka agama agar diberi sanksi sesuai dengan hukum kebiasaan yang telah berlaku menurut adat istiadat setempat kalau pelanggarnya dari penduduk setempat. Kedua, apabila tidak dapat juga diselesaikan, baru kemudian diberikan kepada aparat yang berwenang (Dinas Kelautan dan Perikanan, atau aparat lainnya) agar dapat diproses lebih lanjut untuk dapat ditetapkan sanksinya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan negara yang berlaku. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan dilapangan, masyarakat nelayan pendatang dengan masyarakat nelayan asli di Labuhan Teluk, dapat bersosialisasi yang erat dengan saling membutuhkan. Dapat diketahui banyak masyarakat nelayan pendatang yang melakukan kegiatan penangkapan secara regulir seperti dari Cirebon, Rembang dapat melaksanakan kegiatan penangkapannya dengan tidak mengalamai hambatan dan gangguan dari masyarakat setempat. Bentuk sanksi dapat dijalankan dengan baik terhadap masyarakat nelayan yang mematuhi hukum kebiasaan yang berlaku di tempat yang mereka datangi, terbukti masing-masing nelayan dapat melakukan kerjasama penangkapan di lokasi yang sama walaupun berbeda asal usulnya. Dilihat dari penegakan pelaksanaan efektifitasnya masih dipertanyakan, karena belum terlihat adanya sinkronisasi antara sanksi menurut adat dan kebiasaan dengan sanksi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dilaksanakan oleh pemerintah. Dimensi Sistem Religi Agama yang dianut dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat nelayan desa Labuhan Teluk adalah Agama Islam dan mereka telah
61
menjadikannya sebagai dasar pandangan kehidupan. Oleh karena itu, kehidupan bermasyarakatnya didasarkan pada nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam. Banyak ditemukan tempat ibadah dan kegiatan keagamaan seperti mushollah, masjid, pendidikan yang bernafaskan Islam dan juga pengajian-pengajian (majelis taklim). Bentuk kegiatan tersebut telah mencerminkan bahwa masyarakat nelayan di daerah ini sangat patuh terhadap agama. Hal ini dapat dilihat dan diketahui apabila kita berbicara tentang nilai-nilai kehidupan, maka sendi-sendi kehidupan banyak didasarkan pada nilai-nilai agama. Dalam menjalin hubungan kehidupan, masyarakat telah memadukan hubungan mereka secara vertikal terhadap Allah swt, dan hubungan horizontal terhadap manusia dan alam sekitarnya. Jalinan hubungan yang bersifat horizontal diisi dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Karena itu apabila ada perselisihan antar kehidupan yang berkenaan dengan kemanusiaan, penyelesaiannya lebih didasarkan pada ajaran agama untuk diselesaikan secara kekeluargaan dan ridho serta ikhlas kepadaNya. Penyadaran seperti ini telah menciptakan hubungan sosial dan ekonomi yang harmonis, saling menjaga nilai-nilai yang baik bagi semua masyarakat. Adapun hubungan mereka sebagai manusia terhadap alam, sesuai dengan ajaran agama yang mereka terima dan amalkan bahwa alam beserta segala isinya adalah ciptaan Allah dan milik Allah, sedangkan kita hanya diberi kesempatan untuk memanfaatkannya. Oleh sebab itu setiap orang telah dituntut untuk ikut menjaga alam sekitarnya. Ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan yang dilakukan oleh pemeluknya ada hubungannya dengan peranan agama dalam kegiatan ekonomi secara langsung dan tidak langsung. Pengaruh yang dimaksudkan oleh masyarakat nelayan adalah pengaruh dalam bersikap terhadap suatu keputusan politik tertentu yang kadangkala telah diterjemahkan dalam bentuk program-program kebijakan. Indikasi
62
bahwa sebuah kebijakan yang telah dibuat oleh pemerintah untuk meningkatkan peran serta dalam pembangunan, yaitu dengan jalan ikut berpartisipasi aktif memanfaatkan hasil pembangunan tersebut (biasanya berbentuk bangunan fisik). Partisipasi pemanfaatan seringkali tidak optimal, hal ini ada hubungannya dengan peranan tokoh agama atau keyakinan tertentu bahwa pembangunan tersebut tidak memberikan manfaat bagi masyarakat. Pengambilan keputusan dalam kegiatan ekonomi masyarakat kerapkali dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama. Hal ini dapat terjadi karena tokoh masyarakat khususnya para Kiay adalah orang yang dapat dipercaya dalam masyarakat yang bersangkutan. Contohnya adalah pada saat menentukan kesepakatan siapa yang sebaiknya memimpin desa (RT, RW atau Kepala Desa) masyarakat biasanya senantiasa melakukan konsultasi sebelum menentukan pilihannya. Konsepsi agama dalam mendukung program pembangunan pada dasarnya selalu tidak bertentangan dengan tujuan baik pembangunan tersebut yang diselenggarakan oleh pemerintah. Hubungan simbolik antara agama atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat kadangkala masih dikaitkan dengan semacam upacara keagaman atau upacara kepercayaan tertentu yang dihubungkan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Hubungan pemanfaatan dan pengelolaan yaitu diwujutkan dalam bentuk upacara ritual, seperti waktu turun perahu pertama kali ke laut, perahu ini di dahului dengan upacara pembersihan, keselamatan dan tolak balah dengan mengikuti rangkaian upacara ritual yang telah terpola dan dianggap sakral, karena itu semua syarat dan kesucian harus terjaga dengan baik. Didalam upaya memanfaatkan sumberdaya alam yaitu kegiatan melakukan penangkapan ikan di laut, sebagian besar masyarakat masih melakukan upacara kenduri (selamatan) syukuran dengan memohon
63
doa bersama kepada Khalik, agar diberi kemudahan rezki yang banyak dan keselamatan selama mencari rezki ditengah laut. Kepercayaan dalam hal-hal tertentu yang berhubungan dengan sektor kelautan dan perikanan masih sering juga dilakukan. Kepercayaan tersebut misalnya setiap tahun harus ada upacara ritual keagamaan seperti sedekah laut, atau mauludan yang diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat, termasuk upacara kesenian atau upacara adat lainnya. Keberadaan dan bentuk pengaruh ajaran atau syariat tersebut kepada setiap anggota masyarakat adalah berupa keyakinan bahwa rezki yang akan didapat sebenarnya karena kehendak Allah SWT, dan manusia hanya berfungsi mengusahakan saja. Seberapa luas ajaran atau syariat mengikat anggota masyarakat, sangat tergantung kepada pemahaman masyarkat itu sendiri terhadap ajaran agama yang dianutnya. Makin besar pengetahuan dan pengalaman kerokhanian yang didapat oleh seorang nelayan, maka kepercayaan bahwa rezki itu milik sang Khalik semakin besar, karena itu untuk mendapatkannya harus dimulai dengan upaya-upaya yang suci, misalnya dapat dilakukan melalui doa orang tua atau orang yang dituakan. Agama dan atau kepercayaan pada saat tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial dan pada saat lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu kepada masyarakat ideal yang berdasarkan kepada ajarannya. Peranan pemimpin agama dan atau kepercayaan dalam aktifitas sehari-hari karena pada umumnya pembangunan diorientasikan pada upaya-upaya manusia yang bersifat utuh dan serasi antara kemajuan aspek lahiriah dan kepuasan aspek batiniah. Dalam pelaksanaan keseharian, pemimpin agama dan atau kepercayaan dapat berfungsi sebagai motivator, pembimbing, pemberi landasan etis dan moral serta menjadi mediator dalam seluruh aspek keseharian dan kegiatan pembangunan. Tokoh agama dan atau kepercayaan yang diakui masyarakat dalam ikut pengambilan keputusan dalam kegiatan sosial politik masyarakat kerapkali ikut berperan.
64
Besarnya pengaruh tokoh-tokoh masyarakat yang dimaksud tercermin dari sikap dukungan tokoh agama untuk ikut serta dalam proses pembangunan. Konsepsi agama dalam mendukung program pembangunan pada dasarnya selalu tidak bertentangan dengan tujuan pembangunan tersebut yang diselenggarakan oleh pemerintah. Keterlibatan tokoh agama dan atau kepercayaan dalam aktivitas masyarakat di luar kegiatan peribadahan merupakan manifestasi mereka dalam dinamika bermasyarakat. Teknis pelaksanaan yang tidak melibatkan secara utuh kehidupan masyarakat nelayan, seperti aspek sosial, agama dan hukum menyebabkan tertolaknya rencana pelaksanaan pembangunan itu sendiri. Jadi dari sudut peranan tokoh agama masyarakat, peranan pemuka agama ikut berperan dalam menentukan berhasil tidaknya sebuah proses pembangunan didalam masyarakat nelayan. Dimensi Ekonomi Masyarakat nelayan dikenal memiliki tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap SDKP. Tingkat ketergantungan tersebut membuat pola-pola produksi tertentu. Kegiatan produksi tidak hanya diartikan sebagai upaya di dalam pemenuhan kebutuhan keseharian (subsistensi). Namun kegiatan berproduksi lebih diartikan sebagai upaya untuk memperoleh hasil yang berorientasi pasar. Saat kegiatan produksi masih sebatas pada upaya pemenuhan kebutuhan keseharian, maka pengembangan usaha terkait dengan kegiatan produksi tersebut akan berjalan lamban. Berjalan lamban dapat diartikan sebagai lambatnya penyerapan teknologi/rendahnya akses pada peningkatan teknologi, rendahnya investasi. Tingkat ketergantungan juga bisa diketahui dari jumlah dan jenis mata pencaharian alternatif (MPA). Sejarah penggunaan alat produksi terkait dengan orientasi kegiatan produksi. Orientasi masyarakat nelayan di sekitar Kabupaten Pandeglang tujuan utamanya melakukan
65
kegiatan penangkapan ikan dan biota laut lainnya untuk menyambung penghidupan, oleh karena itu setiap hasil tangkapan yang didapat dari kegiatan penangkapan langsung di jual kepada pembeli. Kegiatan penangkapan untuk memenuhi kebutuhan pasar yang tersedia di subsektor perikanan, dan melalui jual beli ikan, maka pasar ikan di lingkungan masyarakat nelayan terus-menerus dapat berlanjut.Volume hasil tangkapan yang dikhususkan untuk konsumsi rumah tangga, berdasarkan hasil wawancara dilapangan mereka cenderung mengatakan sedikit sekali yaitu sekitar 15% saja, walaupun mereka hampir setiap hari mendapatkan ikan, tetapi ikan-ikan tersebut lebih diutamakan untuk dijual ke pasar. Skala usaha produksi yang dijalankan saat ini, adalah terkait erat dengan kapasitas pemasaran yang mapu dihasilkan nelayan. Pemasaran hasil tangkapan umumnya dilakukan oleh pedagang yang ada ditempat atau di desa Teluk, dan selanjutnya dipasarkan kepada pihak lainnya yang ada diluar daerah mereka. Nelayan penangkap bebas melakukan penjualan hasil tangkapannya kepada siapa saja yang mereka inginkan, terkecuali mereka yang terikat karena perjanjian (tertulis atau tidak tertulis) yang diakibatkan karena adanya pinjaman lebih dahulu kepada juragan sebelum melakukan penangkapan di laut. Untuk menjaga keseimbangan hubungan sosial akibat kegiatan ekonomi, maka sistem bagi hasillah yang dipakai sebagai sarana ekonomi masyarakat nelayan dalam melakukan kegiatan usaha penangkapannya dilaut. Kemampuan masyarakat nelayan dalam melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur dapat diketahui dari inovasi teknologi yang digunakan. Pandangan terhadap inovasi, adalah berkenaan dengan keadaan kemampuan masyarakat untuk dapat memanfaatkan atau mengubah (rekayasa) hasil temuan baru dari luar maupun dalam yang berimplipikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan setempat. Dari hasil pengamatan dilapangan sejak tahun
66
1985 hingga tahun 2004, dilihat dari peralatan kehidupan yang masyarakat nelayan gunakan, seperti perahu, jaring dan mesin hampir tidak mengalami perubahan yang signifikan. Belum ditemukannya peralatan lainnya yang mampu menghasilkan hasil tangkapan ikan lebih banyak dan efisein. Inovasi teknologi yang terjadi baru sebatas penggunaan palka berinsulasi tempat ikan untuk kapal purse-seine, sedangkan kapal/perahu lainnya masih menggunakan palka tanpa insulasi. Alat bantu penanganan ikan diatas perahu hanyalah termos es besar atau kotak es yang terbuat dari busa plastik untuk menempatkan ikan hasil tangkapan. Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi dapat dilihat dari cara-cara melakukan kegiatannya mulai dari penangkapan, penanganan dan pengolahan serta penjualan hasil tangkapan. Dengan kenyataan yang banyak ditemukan di lapangan, ternyata teknologi penangkapan belum banyak berubah, maka kinerja yang terbentuk selama ini diatas kapal, setelah pendaratan, selama penjualan (transportasi dan pelelangan) masih menggunakan cara-cara tradisional. Adapun pembagian pekerjaan masih berdasarkan pada fungsi-fungsi kepemilikan kapal, juragan/pedagang besar yang merangkap sebagai pemilik modal, dan nelayan penangkap tetap saja tidak menguasai harga pasar ikan yang dijualkannya tersebut. Peranan anak buah perahu/kapal masih diwakili oleh pemilik perahu/kapal atau orang suruhan dari pemilik modal dan mereka masih berposisi sebagai penerima hasil transaksi akhir. Cara berkomunikasi yang cepat berubah adalah terjadi di tingkat pemilik kapal/perahu, juragan karena mereka mampu menggunakan teknologi komunikasi yang lebih canggih. Pengaruh dari alat komunikasi ini adalah penguasaan informasi pasar tetap pengendaliannya lebih besar di tangan mereka dan nelayan penangkap tetap saja berada dipihak yang belum mengalami
67
inovasi, yaitu dari teknik penangkapan, kerjasama ataupun kemampuan memanfaatkan peluang yang terjadi akibat pergeseran cara-cara berkomunikasi secara tradisonal oleh juragan dan pemilik kapal/perahu. Jumlah dan jenis MPA (di dalam maupun diluar sektor kelautan dan perikanan) tercermin dari keterampilan fungsional yang dimilki masyarakat nelayan yang terkait dengan kehidupan sehari-hari. Masyarakat nelayan sebagai pelaku ekonomi kelautan perikanan telah mempunyai keterampilan yang terkait langsung dengan ekonomi yaitu kegiatan penangkapan, pengolahan, pembuatan peralatan penangkapan, pemasaran dan pembiayaan. Kegiatan penangkapan merupakan keterampilan kelompok fungsional yang umumnya dimiliki oleh kaum laki-laki, sehingga pergi kelaut untuk melakukan penangkapan merupakan bagian utama pekerjaan mereka. Pengolahan produk hasil tangkapan umumnya banyak dilakukan oleh kaum perempuan, sehingga kelompok keterampilan ini seolaholah menjadi bagian kehidupan perempuan. Produk olahan yang mereka buat umumnya masih terbatas pada produk olahan tradisional, seperti ikan asin, pengasapan, pemindangan. Diversifikasi mata pencaharian alternatif yang dikembangkan oleh masyarakat nelayan terkait erat dengan hasil sumberdaya perikanannya, baik dari perikanan tangkap atau dari perikanan budidaya. Perkembangan alat penangkapan yang terjadi di daerah lainnya yang telah menjadikan daerah mereka sebagai daerah penangkapan baru yang dilakukan secara reguler yang datang dari Cirebon dan Rembang ternyata tidak merubah banyak perahu kecilnya menjadi perahu yang lebih besar. Juga, tidak pula mempunyai pengaruh terhadap perubahan dinamika ekonomi masyarakat nelayan di wilayah Pandeglang pada umumnya. Untuk desa Teluk diketahui agak sulit menerima pengembangan dari luar secara drastis (cepat). Hal ini terjadi,
68
dimana ada suatu kondisi masyarakatnya cenderung tetap mempertahankan keadaan yang telah ada selama ini. Sikap ini mungkin terkait dengan pantai Barat Pulau Jawa yang bergelombang ganas dan pantainya sempit serta tidak terlindung, telah menyulitkan mereka untuk menerima hal-hal baru dari luar, karena resiko keamanan yang akan mereka dapatkan mungkin lebih besar lagi. Spesialisasi pekerjaan terkait secara langsung dengan jenis pekerjaan yang berhubungan erat dengan alat tangkap dominan yang digunakan oleh mayarakat nelayan desa Teluk dalam upaya mendapatkan hasil dari perairan (kelautan dan perikanan) guna menunjang proses produksi (panen). Alat tangkap terkait langsung dengan perahu kayu yang digunakan, yaitu mulai dari ukuran kecil hingga sedang, dan alat tangkapnya berupa jaring (purse-seine, payang, pancing) dan sarana bantuan mesin penggerak berupa mesin in-boat dan outboat. Perahu yang dipakai masyarakat nelayan adalah perahu kayu yang umumnya dibuat oleh masyarakat sendiri, khususnya perahu-perahu ukuran kecil dengan mesin penggerak motor tempel ber-merk Yamaha atau Donfeng. Perahu kayu ini belum dilengkapi dengan palka berinsulasi yang baik untuk menahan es supaya tidak hilang meleleh. Nelayan yang menggunakan peralatan tangkap seperti ini umumnya adalah pemakai jaring payang, dan arad. Daerah penangkapan mereka tidak terlalu jauh dari lepas pantai yaitu sekitar 2 - 4 mil laut dengan lama kegiatan penangkapan hanya satu hari, yaitu dimulai dari jam 04.30 pagi dan mendarat kembali sekitar jam 15.00 sore hari. Hasil tangkapan umumnya adalah tembang, kembung kecil dan tongkol kecil. Untuk kapal besar yang kaskonya masih terbuat dari kayu, telah membuat yang baik sebagian palkanya berinsulasi yaitu terdiri dari kayu, busa plastik, kayu dan kadang-kadang dilapisi fiber-glass, sehingga ikan hasil tangkapan dapat ditangani dengan baik, mutunya tidak cepat
69
mundur. Kapal jenis ini menggunakan alat tangkap umumnya purse-seine dan payang besar dengan jumlah ABK dari 15 sampai 20 orang, lama operasi bisa mencapai 2 (dua) dan 3 (tiga ) hari dengan lokasi penangkapan mencapai sekitar Selat Sunda dan Ujung Kulon. Hasil tangkapan dapat berupa tongkol, tembang, kembung, tenggiri dan layur. Pembagian peran dalam suatu pekerjaan adalah keinginan menjalankan jenis MPA adalah berhubungan langsung dengan kelompok-kelompok pekerjaan fungsional yang telah terbentuk didalam masyarakat nelayan. Kelompok pekerjaan tersebut seperti pembuatan peralatan penangkapan, dan untuk pembuatan perahu umumnya dilakukan oleh laki-laki, sedangkan pembuatan jaring kadangkadang dilakukan juga oleh perempuan, termasuk perbaikannya. Kelompok fungsional pemasaran hasil tangkapan untuk skala kecil dan masih berada disekitar labuhan Teluk dan Carita banyak dilakukan oleh perempuan, sedangkan pemasaran dalam jumlah partai besar umumnya telah dilakukan oleh laki-laki. Dari pola ini tergambarkan pembagian pekerjaan antara laki-laki dengan perempuan; keterampilan pemasaran ditingkat pengecer dilakukan oleh perempuan dan sedangkan pemasaran ditingkat pengumpul telah dilakukan oleh laki-laki. Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan akan adanya keterbatasan akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin keberlangsungan terhadap mereka, seperti halnya kebutuhan akan modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk memberikan jaminan kepada masyarakat. Sistem jaminan sosial mensyaratkan adanya bentuk-bentuk kerjasama diantara anggota masyarakat. Bentuk kerjasama tersebut bertujuan untuk menjamin keberlangsungan usaha. Kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan
70
dalam proses produksi merupakan suatu hal yang diperlukan di dalam menghadapi sumberdaya yang memiliki tingkat resiko dan ketidakpastian yang tinggi. Interdependensi masih dapat dikenali secara umum melalui struktur kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh masyarakat nelayan melalui pembagian pekerjaan mulai dari pengeksploitasian sumberdaya, pemasaran hasil dan sistem bagi hasil yang diberlakukan pada umumnya oleh sebagian besar masyarakat nelayan. Dilihat dari interdependensi antar elemen, ternyata antar nelayan saling memberikan informasi dan kesempatan untuk ikut melakukan kegiatan usaha penangkapan di lokasi fishing ground yang sama, bersamaan dengan itu terbentuk pula jaringan perdagangan hasil tangkapan ikan atau biota laut lainnya (udang, kepiting, dll). Ditinjau dari sini, maka ada hubungan timbal balik yang saling membutuhkan antara nelayan penangkap, dengan kaum perempuan yang umumnya adalah para pengecer (pedagang kecil) ikan/udang/kepiting atau biota laut lainnya dan juga ibu rumah tangga yang berfungsi menjualkan hasil tangkapan atau mengolahnya menjadi produk ikan olahan. Pekerjaan yang ada di dalam masyarakat nelayan yang telah terdeferensiasi menghasilkan struktur kerja menurut sifat pekerjaannya. Dilihat dari gender, sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak di perairan dilakukan oleh laki-laki (berlayar, menangkap ikan, menyelam, memperbaiki mesin, memperbaiki perahu, memasang jaring dan menentukan arus dan musim ikan). Adapun sifat pekerjaan yang menuntut lebih banyak dilakukan di darat, umumnya adalah pekerjaan perempuan (mendagangkan ikan/udang, melakukan pengolahan pengawetan ikan, mengatur rumah tangga selama lakinya ke laut) dan pekerjaan sosial lainnya. Saling ketergantungan dalam kegiatan ekonomi di sub sektor perikanan secara fungsional adalah keterkaitan antar sumberdaya,
71
peralatan penangkapan, pasar dan manusia. Kegiatan ekonomi adalah merupakan representasi dari adanya permintaan dan penawaran. Penawaran terjadi dikarenakan oleh adanya hasil produksi dari eksploitasi sumberdaya, dan permintaan terjadi oleh karena adanya pasar. Teknologi penangkapan dan manusia merupakan sarana penggeraknya. Keterkaitan ini dapat ditinjau dari dua sisi, pertama, keterkaitan secara langsung dan kedua, keterkaitan secara tidak langsung. Keterkaitan langsung adalah proses dari sumberdaya ikan dan biota lainnya, kegiatan penangkapan yang menghasilkan produksi hasil tangkapan (dalam bentuk segar dan olahan), dan pasar, kemudian keterkaitan ini dapat disebut mempunyai hubungan positif. Keterkaitan yang tidak bersifat langsung, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh para pemegang modal, pedagang (kecil, besar), dan komisioner (perantara). Peranan mereka menggerakkan kegiatan ekonomi cukup besar, karena mekanisme pasar sebagian terbesar berada dibawah pengendalian mereka, seperti mempertemukan pembeli lokal dan dari luar, termasuk norma-norma pasar yang berlaku di daerah. Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya dalam upaya nelayan melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya, hal ini dapat dilihat dari kemampuan menyisihkan nilai hasil pekerjaan ditinjau dari investasi ke sarana ekonomi dalam bentuk pembelian dan perbaikan peralatan penangkapan (perahu, jaring dan mesin), tampaknya belum banyak melakukannya. Investasi secara besar-besaran kepada peralatan penangkapan belum terlihat nyata. Hal ini diindikasikan dengan ukuran, dan volume perahu yang cenderung tidak banyak mengalami perubahan. Kapal purse-seine hanya berbobot antara 20 GT hingga 40 GT dengan kapasitas (10 - 20 ton) saja. Penyisihan hasil tangkapan untuk investasi pada nelayan skala kecil yang jarak operasinya ke daerah penangkapan hanya 2 hingga 4 mil laut, juga cenderung tidak banyak
72
mengalami perkembangan, bahkan ada kecenderungan beberapa perahu tidak dapat lagi beroperasi karena biaya operasionalnya tidak mampu ditutupi dengan nilai hasil tagkapannya. Kegiatan produksi mencakup kegiatan penangkapan dan di luar penangkapan yang apabila dilihat dari kemampuan untuk menyisihkan hasil pendapatan mereka dari kegiatan penangkapan untuk investasi masa depan dalam bentuk pembangunan perumahan. Untuk desa Teluk rata-rata masih sederhana dengan bangunan semi permanen, sebagian ada juga yang permanen, dan keadaan ini dibandingkan antara tahun 1985 dengan tahun 2004 memang menunjukkan adanya perubahan, tetapi perubahan yang terjadi tidaklah pesat. Kegiatan penangkapan di laut telah ada yang dibantu rumpon, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal, karena kebiasaan yang terjadi pada malam hari mereka tidak melakukan penangkapan. Bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat nelayan di dalam keseharian (seperti contoh arisan, pengajian, dll). Dapat terlihat dari kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu, pekerjaan tersebut memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam proses produksi dan ini telah terjalin dengan baik sekali, baik dalam hubungan sosial, kekerabatan dan keagamaan. Didalam perahu agar dapat menghasilkan produksi hasil tangkapan yang baik, pembagian pekerjaan telah sangat jelas dan harus dilakukan secara bersama-sama, sehingga setiap orang yang ada diatas perahu kemampuannya membangun kerjasama didasarkan pada fungsi kerja masing-masing dengan kemampuan sangat besar, karena nasib mereka secara bersamaan tergantung dari kerjasamanya tersebut. Jadi budaya bekerja bersama-sama diatas perahu, selama pelayaran, antar perahu nelayan dan antar anggota masyarakat satu kaum merupakan kerjasama mutlak yang harus dilakukan, prinsip ketaatan kepada aturan-aturan yang diberlakukan
73
untuk membangun keharmonisan kerjasama telah menjadi bagian yang diutamakan secara bersama-sama. Setiap pekerjaan spesialis mendapat pengakuan dan dihargai dengan prosentase atau bagian tertentu yang berbeda dengan bagian orang yang tidak mempunyai spesialisasi. Dari hasil tangkapan setiap kali mendarat, langsung dilakukan pembagian hasil berdasarkan sistem bagi hasil yang telah berlaku dan diakui secara umum oleh setiap anggota masyarakat nelayan di desa Teluk. Pembagian bagi hasil ini, untuk pemilik mendapatkan 2,5 (dua) bagian, nakhoda 1,5 (satu setengah) bagian dan anggota lainnya masing-masing 1 (satu) bagian, sedangkan pemberi pinjaman mendapat 10% dari raman kotor setiap kali kapal/perahu mendarat dan menjual hasil tangkapannya. Potongan 10% tidak mengurangi jumlah modal pinjaman yang diberikan oleh peminjam, terkecuali kalau seluruh modal pinajamannya dikembalikan secara kontan.Adapun kisaran jumlah total bagian yang dibagikan adalah antara 4 (empat) bagian hingga 5 (lima) bagian untuk kapal ukuran antara 3 hingga 7 GT, sedangkan Kapal purse-sein bisa mencapai 25 bagian. Tingkat konsumsi makanan tertentu secara budaya terkait dengan kebiasaan dan pantangan makan. Besarnya tingkat konsumsi atas produk ter tentu dapat meningkatkan keinginan untuk mempertahankan bahkan meningkatkan kegiatan produksi. Hal ini nantinya akan berkaitan dengan kajian pengembangan pasar produk kegiatan ekonomi (lokal, regional atau internasional). Dari susunan menu makanan kesehariannya berdasarkan informasi yang dikumpulkan (pak Samsuri, pak Mudin dan pak Hery), ada kebiasaan masyarakat nelayan pada umumnya. Kebiasaan umum yang berlaku adalah lebih mengutamakan penjualan ikan hasil tangkapannya dari pada untuk dikonsumsi oleh keluarga. Jadi dengan prioritas utama untuk dijual kepasar, maka bagian yang akan dimakan oleh keluarga porsinya sangat kecil. Keadaan ini dapat dilihat dari ragam makanan dari ikan yang
74
tersedia didalam masyarakat, jumlah ragam pengolahannya terbatas, seperti hanya di pepes, di goreng, di bakar atau di sayur dengan bumbu basah (santan, air). Pengolahan dalam bentuk makanan yang dapat dimakan setiap waktu (camilan) seperti kerupuk, naget, sosis, pempek, bakso, abon adalah hampir tidak ada atau sulit ditemukan ditengahtenag masyarakat. Berdasarkan susunan menu makanan harian tersebut, maka diperkirakan jumlah ikan yang dikonsumsi per-orang perbulannya paling tinggi 1,5 kg, jadi rata-rata tingkat konsumsi perkapita per-tahunnya hanya sebanyak 12 X 1,5 kg = 18 kg ikan saja. Memperhatikan kebiasaan makanan yang di konsumsi oleh kebanyakan masyarakat nelayan dari menu ikan, ragam dan jenisnya masih terbatas. Keterbatasan ini memberikan gambaran bahwa pengembangan pasar lokal dilihat dari pangsa pasar yang tersedia masih sangat kecil, oleh karena itu hasil tangkapan ikan masih lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan dari konsumen yang berada diluar daerah mereka sendiri (Jakarta, Bandung, Bogor, Sukabumi). Dimensi Kelembagaan Sejarah pembentukan lembaga yang ada di masyarakat dapat ditinjau dari eksistensi tentang fungsi penyaluran kelembagaan yaitu keberadaan lembaga yang berfungsi menyalurkan aspirasi masyarakat kedalam penyelenggaraan pemerintahan (tingkat. Kabupaten/Kota). Pembentukan lembaga dapat ditinjau dari dua cara, pertama yang dibentuk pemerintah dan kedua yang dibentuk oleh masyarakat sendiri. Pertama didalam lembaga formal pemerintahan di tingkat desa telah dibentuk lembaga-lembaga yang dibutuhkan yang disesuaikan dengan peraturan pemerintah yang berlaku. Lembaga yang ada didalam pemerintahan setingkat kelurahan ialah Dewan Perwakilan Desa (DPD) dan Lurah. Inisiatif pembentukan lembaga yang ada di masyarakat, keberadaannya dapat terlihat dari aspirasi masyarakat
75
nelayan baik bersifat perorangan ataupun kelompok yang ingin disalurkan. Aspirasi yang bersifat kelompok umumnya dibawa dan diajukan oleh tokoh masyarakat informal yang kepemimpinannya diakui oleh masyarakat. Pemimpin informal ini adalah kiay dan tokoh yang disegani). Sifat pembentukan lembaga yang ada di masyarakat tergantung dari tujuannya yang hendak dicapai.Tujuan pembentukan lembaga yang ada di masyarakat seperti pengajian, organisasi sosial lainnya adalah untuk menyalurkan kegiatan yang tumbuh di dalam masyarakat nelayan. Pembentukan lembaga yang diinisiasi oleh pemerintah (KUD Mina) tujuannya untuk membantu masyarakat nelayan dalam sub sektor ekonomi. Selain dari itu lembaga-lembaga resmi pemerintahan lainnya melaksanakan program kerjanya di tingkat desa dilakukan secara fungsional dengan berkoordinasi ke Kecamatan, seperti kesehatan, pendidikan, agama, keamanan dan lain-lainnya. Kelembagaan formal di tingkat desa ini ini secara organisatoris mempunyai hirarki langsung ke organisasi yang lebih tinggi yaitu kecamatan dan selanjutnya ke Bupati. Dimensi Politik Tuntutan dan dukungan adalah input dari suatu sistem politik yang merupakan suatu informasi yang harus diproses di dalam sistem politik. Tuntutan berasal dari masyarakat. Tuntutan tersebut lahir apabila masyarakat membutuhkan sesuatu dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tuntutan tidak akan terwujud apabila tidak disertai oleh dukungan. Dukungan bersumber dari kepemimpinan politik dalam masyarakat. Dalam kehidupan bermasyarakat kepemimpinan politik merupakan kepemimpinan pemerintahan. Kepemimpinan dalam pemerintahan diperlukan untuk menjamin program pembangunan berwujud suatu program yang terencana dan dapat mengarahkan suatu perubahan cara hidup masyarakat yang sesuai dengan isi dan tujuan program pembangunan.
76
Seorang pemimpin penting memiliki kemampuan dalam memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain untuk mendapatkan manfaat bersama. Prinsip ini juga dapat dilihat dari seberapa jauh pimpinan mampu berkorban untuk memperoleh kepercayaan masyarakat. Kepercayaan tersebut dapat digunakan oleh pimpinan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat secara lebih cepat dan terarah. Kemampuan berkomunikasi yang baik seorang pemimpin dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya juga hal yang haruslah diperhatikan. Hal ini bertujuan untuk melihat kemampuan seorang pemimpin memberi inspirasi dan mengarahkan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Tuntutan bukan hanya datang dari masyarakat nelayan selaku pemanfaat sumberdaya, tetapi juga datang dari pemerintah yang mempunyai fungsi regulasi. Dari kedua tuntutan ini sering memunculkan motivasi yang berbeda-beda dan dipahami secara berbeda pula. Jenis-jenis tuntutan masyarakat, umumnya berupa keinginan untuk melakukan penangkapan secara bebas, baik fishing ground maupun alat tangkap yang digunakan. Tuntutan lainnya adalah kelonggaran peraturan yang diterapkan kepada mereka apabila terjadi pelanggaran, dan mereka tidak dibebani pembiayaan yang besar. Pelanggaran diselesaikan tidak melalui aparat kepolisian atau pengaduan ke pengadilan, tetapi diselesaikan melalui musayawarah dengan sesama masyarakat melalui tokoh masyarakat masing-masing. Tuntutan yang teridentifikasi umumnya berupa penyelesaian pelanggaran yang dilakukan oleh masyarakat nelayan dari luaran atau dari masyarakat tempatan yang melanggar wilayah penangkapan di daerah lainnya. Reaksi pelanggaran yang kadang-kadang mengakibatkan perselisihan sosial antar desa dan kampung, sehingga kehidupan bermasyarakat menjadi tidak begitu aman. Contohnya penyerbuan oleh nelayan dari satu kampung ke kampung lainnya.
77
Visi pemimpin, adalah berkenaan dengan seberapa jauh pemimpin yang ada memiliki visi yang jelas dan meyakinkan. Sejauh mana visi tersebut dapat dipahami, menjadi bagian pengetahuan dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat setempat dimasa datang. Visi yang dimiliki pemimpin masyarakat tergantung darimana dia berasal. Umumnya memiliki visi untuk meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kedamaian warganya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah kesejahteraan yang didapat dengan cara-cara yang baik dan menurut aqidah agama (Islam), dan kedamaian dicapai melalui kegiatan keagamaan atau kegiatan sosial yang syarat dengan pesan moral kebaikan (tidak bohong, tidak angkuh, tidak mau menang sendiri). Daya empati pemimpin, di dalam masyarakat saat ini adalah yang mempunyai empati tinggi karena memiliki daya menyangkut kemampuan memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain yaitu anggota masyarakat untuk mendapatkan manfaat bersama apabila ada permasalahan. Prinsip ini juga dapat dilihat dari seringnya kepala desa dengan aparatnya yang lain ikut terjun langsung menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dari warganya, baik berkenaan dengan sesama warga atau dengan warga desa lainnya. Pengorbanan yang diberikan adalah seringnya tidak kenal pamrih dalam setiap kali melaksanakan tugas-tugas desarnya sehingga kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinannya semakin besar. Dari kepercayaan yang diperoleh tersebut ternyata mampu dan telah dapat digunakan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat lebih cepat dan terarah. Dukungan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat ada hubungannya dengan kemampuan membangun komunikasi. Kemampuan komunikasi pemimpin adalah bentuk komunikatif dan rasionalitas yang berhubungan dengan kapabilitas seseorang mendemonstrasikan berkomunikasi yang baik dengan anggota
78
masyarakat yang dipimpinnya. Dimana saja pemimpin desanya berada senantiasa disambut dengan empati, dan ini menunjukkan bahwa pemimpin desa dan tokoh masyarakat adalah kebanggaan mereka yang patut dibanggakan, apalagi terhadap tamu yang datang dari luar, jarang ada nada miring yang diperdengarkan. Hal ini adalah hasil dari kekentalan berkomunikasi dan komunikasi yang disampaikan ternyata dihargai dan dihormati oleh masyarakatnya dengan mengindahkan segala petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh aparat desanya dan tokoh masyarakatnya ikut berperan aktif sebagai penjelas masyarakat lebih lanjut. Kepemimpinan yang dikehendaki oleh masyarakat nelayan adalah terutama bersikap tegas, untuk mewujutkan itu maka pemimpin yang umumnya mucul dapat berasal dari tokoh masyarakat. Berkaitan dengan integritas adalah seberapa jauh anggota masyarakat setempat memberikan penilaian terhadap tokoh atau pemimpinnya dilihat dari aspek kejujuran, mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional. Pada umumnya integritas pemimpin yang dikehendaki adalah pemimpin yang sepenuhnya mencurahkan perhatiannya untuk mengayomi masyarakatnya sehingga masyarakatnya memiliki kebanggaan atas kepemimpinannya, masyarakat merasa punya orang yang mampu mengangkat harkat pribadinya dihadapan masyarakat kelompok lainnya. Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu sistem, struktur dan fungsi. Keputusan dan kebijakan terkait erat dengan fungsi yang dimiliki oleh suatu sistem politik. Pada prinsipnya suatu keputusan dan kebijakan tidak dapat berdiri sendiri tanpa melihat kepentingan dari luar. Kemudian menjadi suatu hal yang penting untuk melihat keselarasan antara keputusan dan kebijakan yang telah dibuat dengan keputusan dan kebijakan yang ada di luar sistem politik tersebut. Maka dari itu menjadi hal penting melihat terjalinnya kesamaan kepentingan antara pemegang kekuasaan lokal dan luar.
79
Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar dilihat dari conflict of interest. Benturan kepentingan umumnya tidaklah diakibatkan oleh faktor tunggal tetapi seringkali terjadi karena tatanan kesejarahan yang terpendam yang tidak terselesaikan sehingga disaat berada diluar kampung ikut melakukan upaya instabilitas internal kampungnya. Apabila kondisi memungkinkan maka goncangan dapat timbul dengan tiba-tiba, dan untuk menghindari itu perlu pemahaman mendalam dan diperhatikan. Alam demokrasi perlu ditumbuhkan secara perlahan dengan tidak mengenyampingkan ketokohan tradisional. Kemudian, ada upaya perbaikan kondisi ekonomi yang memadai, dan peningkatan intelektualitas masyarakat. Apabila faktor tersebut dapat ditumbuh kembangkan dalam budaya masyarakat, maka pola hubungan kekuasaan lokal dengan luar akan berjalan lebih transparan dan harmonis. Konflik yang terjadi antar komunitas akar permasalahannya tidak disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi muncul dari berbagai faktor multidimensional yang melibatkan persoalan yang terkait dengan status dan harga diri, kekuasan serta perebutan sumberdaya yang langkah.Yang terkait dengan status dan harga diri lebih banyak terkait dengan dimensi politik yang diikuti oleh berbagai kelompok masyarakat yang berbeda. Perselisihan yang diakibatkan olehnya melalui kepemimpinan yang bijaksana dapat meredam ketegangan konflik antar warganya. 4.4. Pasuruan, JawaTimur Dimensi Pengetahuan Lokal Persepsi dan konsepsi nelayan disini beranggapan bahwa sumberdaya laut merupakan anugrah dari Allah SWT yang bisa dimanfaat bersama-sama. Tidak ada batas-batas wilayah pengelolaan penangkapan sehingga pihak luar bisa menangkap ikan disini, begitupun sebaliknya kalau nelayan di desa ini menangkap ikan ditempat lain.
80
Aturan mengenai mekanisme pengelolaan maupun pemanfaatan SDP tidk ada, jadi bisa dikatakan masih bersifat open access. Dalam hal upaya konservasi, belum ada persepsi dan konsepsi dari masyarakat nelayan di desa ini. Upaya konservasi di desa ini bisa dikatakan tidak ada. Sangsi yang diberlakukan di desa ini belum ada jika ada pelanggaran baik dari pemerintah maupun dari masyarakat. Jika ada yang melanggar peraturan seperti adanya pemboman ikan hanya ada teguran dari masyarakat dan diberikan nasihat. Penegakan peraturan belum efektif tetapi secara lisan sudah berlaku. Dimensi Sistem Religi Sebahagian besar masyarakat disini beragama Islam dan menjadikannya sebagai pegangan hidup. Hubungan antara agama dengan kegiatan ekonomi secara langsung memang tidak terlihat tetapi digambarkan melalui kehidupan sehari-hari misalnya tidak boleh curang dalam mencari nafkah. Simbolik hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi, biasanya adanya upacaraupacara petik laut (sedekah laut) sebagai tanda syukur, tetapi 3 tahun terakhir ini tidak pernah lagi dilakukan karena terbentur masalah biaya. Peranan tokoh-tokoh agama dalam kegiatan sosial politik sangat berpengaruh misalnya dalam hal memilih partai politik. Dimensi Ekonomi Sebahagian besar hasil tangkapan nelayan dijual, hanya sebahagian kecil yang dikonsumsi dengan kata lain berorientasi ekonomi. Pemikiran terhadap perbaikan teknologi alat tangkap (rekayasa teknologi) sudah mulai nampak pada masyarakat nelayan walaupun masih sederhana misalnya banyak nelayan sekarang yang menggunakan alat tangkap tak-tak (dulunya alat tangkap payang) dengan hasil tangkapan ikan bulu ayam yang merupakan komoditas ekspor. Usaha
81
kearah investasi belum nampak karena hasil yang diperoleh hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Mata pencaharian alternatif nelayan tidak ada tetapi keinginan kearah sanasih ada. Spesialisasi pekerjaan tidak terlalu nampak karena alat tangkap masih skala kecil, hampir semua nelayan bisa melakukannya yang penting punya jiwa kesabaran dan ketekunan. Keterampilaan fungsional yang dimiliki nelayan di desa ini adalah pada pemilihan areal dan waktu penangkapan. Kerjasama pada kegiatan nelayan maupun diluar nelayan cukup bagus misalnya dalam kegiatan keagamaan dan sosial sangat respon sekali. Tingkat ketergantungan masih terasa, terlihat antara nelayan dengan juragan yaitu kedua belah pihak saling membutuhkan, juragan membutuhkan hasil produksi tangkapan sedangkan nelayan membutuhkan sebaliknya. Struktur hubungan yang terbentuk bisa dikatakan asimetris. Pembagian kontribusi hasil antara pemilik kapal dan ABK tidak berimbang, begitupun antara pemilik kapal dan juragan. Tingkat konsumsi termasuk rendah, diperkirakan 1,50 kg perorang perbulan. Dimensi Kelembagaan Kelompok–kelompok formal di desa ini seperti KUD, HNSI tidak ada kecuali nelayan yang mengikuti program PEMP dibentuk kelompokkelompok pemanfaat dan nelayan-nelayan yang tidak mengikuti program PEMP secara informal terbentuk dalam kelompok Patron Clin. Sifat lembaga informal, manajemennya belum teratur dan belum bisa sebagai wadah pembinaan. Sebagai pimpinan atau ketua kelompok ialah para juragan yang mempunyai akses permodalan sehingga tingkat kewenangannya tinggi. Belum mewakili kepentingan nelayan. Aturan main lembaga tidak jelas, kecuali sebagai wadah jual beli biasa.
82
Dimensi Politik Di desa ini masyarakatnya religius, sehingga kiai atau ulama mempunyai kharismatik yang kuat jadi penilaian kepemimpinan oleh masyarakat nelayan disini mempunyai sifat-sifat yang baik anatara lain jujur, memperlihatkan contoh yang baik, jadi yang dianggap tokoh termasuk bidang perikanan sesuai dengan krieria-kriteria yang disebuitkan terdahulu. Dukungan terhadap kepemimpinan bisa dikatakan positip. Proses penmgambilan keputusan oleh tokoh masyarakat dalam hal pembangunan perikanan sudah mempresentasikan kepentingan sebagian nelayan. Hubungn antara pemerintah local dengan luar cukup baik, terbukti jika ada programprogram pemerintah bisa direspon dengan baik. 4.5. Selayar, Sulawesi Selatan Dimensi Pengetahuan Lokal Masyarakat nelayan di wilayah Desa Pattikarya, termasuk dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang diatur dalam lingkup wilayah Kabupaten Selayar, Propinsi Sulawesi Selatan. Secara formal, pengaturan jalur penangkapan ikan sudah diterakan dalam peraturan daerah yang dikeluarkan oleh dinas perikanan dan kelautan setempat (4 mil dari tepi daratan ke arah laut). Secara informal, masyarakat di masing-masing desa yang disurvei memiliki pengetahuan tentang wilayah yang sejak nenek moyangnya diklaim sebagai wilayah penangkapan ikan mereka. Mereka (anggota masyarakat yang berprofesi sebagai nelayan) sangat paham mengenai batas-batas alam yang menandai wilayah penangkapan ikan tersebut. Pengakuan terhadap batas-batas wilayah penangkapan secara informal hanya berlaku di antara masyarakat di Kab.Selayar (masyarakat Selayar dianggap sebagai satu suku bugis tersendiri – berbeda dengan suku bugis yang hidup di daratan Sulawesi).
83
Pengaturan tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan hanya terbatas pada pelarangan untuk beroperasi bagi alatalat tangkap seperti trawl yang dioperasikan oleh masyarakat luar (Kab. Sinjai dan Kab. Bulukumba) yang lebih condong didasarkan pada alasan domisili. Bagi masyarakat luar daerah yang telah tinggal atau berdomisili lama bukan merupakan suatu kendala untuk turut mengoperasikan alat tangkap mereka. Sistem pengelolaan antar kedua lokasi penelitian agak berbeda, namun demikian keduanya cenderung mengarah ke open access. Pemberlakuan sistem property right oleh masyarakat nelayan Desa Pattikarya hanya dapat berlaku pada wilayah penangkapan nelayan yang tidak jauh dari tempat tinggal. Mereka tidak mampu untuk melarang nelayan luar yang menangkap ikan di wilayah yang agak berjauhan dengan tempat tinggal mereka, disamping nelayan luar tersebut tidak mengabaikan adanya klaim dari nelayan Desa Pattikarya atas wilayah perairan dimana mereka melakukan kegiatan penangkapan ikan. Sedangkan pada masyarakat nelayan Benteng yang memiliki wilayah penangkapan ikan jauh dari tempat tinggalnya telah mengakibatkan sistem pengelolaan dan pemanfaatan SDKP bersifat open access. Selain pengaturan batas wilayah penangkapan ikan, tidak diperoleh adanya aturan lokal lainnya yang menjadi acuan masyarakat lokal terkait dengan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Masyarakat nelayan di kedua lokasi juga masih memiliki anggapan bahwa isi laut tidak akan habis. Namun demikian, mereka sudah paham akan dampak negatif penggunaan bom dan racun dalam kegiatan penangkapan ikan bagi lingkungan perairan. Sanksi bagi pelanggaran kegiatan tersebut mengacu pada hukum formal, dengan upaya penerapannya yang relatif masih rendah karena terkendala oleh saranaprasarana pengawasan (termasuk tidak berfungsinya kapal pengawasan Ditjen SDKP ada di Benteng karena tingginya biaya perawatan dan operasional).
84
Dimensi Sistem Religi Seluruh masyarakat di Desa Pattikarya memeluk agama Islam, sedangkan di Benteng ada sekelompok masyarakat etnik Cina dalam jumlah kecil yang memeluk agama kristen yang berprofesi sebagai pedagang. Karenanya fokus kajian dimensi ini terpusat pada agama Islam dan pemeluknya. Dari sisi ketaatan melaksanakan ibadah sudah mulai berkurang, terutama di Desa Pattikarya. Menurut Imam Desa, saat ini hanya sekitar 40-50% dari anggota masyarakat yang wajib beribadah melaksanakan ibadah sholat Jum'at. Di desa Pattikarya tidak diperoleh informasi mengenai adanya upacara atau ritual yang terkait dengan kegiatan ekonomi. Simbolik hubungan antara agama dan atau kepercayaan, seperti larung sesaji atau sedekah laut, di masyarakat nelayan di Pantai Utara Jawa tidak pernah diselenggarakan. Simbolik hubungan hanya diperoleh pada saat pembuatan kapal dengan cara menanamkan bahan-bahan terbuat dari emas. Barang tersebut, biasanya dalam bentuk semacam paku, ditanamkan di bagian lunas kapal. Sewaktu pertama kali diluncurkan ke laut, diiringi dengan terlebih dahulu selamatan sederhana. Tokoh agama (Imam Desa) hanya berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Sedangkan terkait dengan kegiatan ekonomi, peran tersebut relatif sangat kecil. Fakta tersebut tampak pada aturan sama yang diterapkan di kedua lokasi penelitian, yaitu aturan untuk bergiliran menjadi imam dan khatib. Pada saat ini, banyak anggota masyarakat yang mendapat giliran untuk menjalankan kewajiban terkait dengan aturan tersebut, ”mangkir” dengan berbagai alasan. Namun alasan utama adalah melaut untuk mencari nafkah. Akibat dari ketidaktaatan terhadap aturan lokal tersebut, bila ada setiap anggota masyarakat yang ”mangkir” maka Imam Desa-lah yang menjadi penggantinya. Disamping kewajiban ”rutin” tersebut di atas, Imam Desa memiliki tugas untuk turut serta dalam menyelesaikan permasalahan sosial yang
85
terjadi di kehidupan sehari-hari (sebagai contoh: perseteruan antar 2 keluarga nelayan akibat kecemburuan besarnya hasil tangkapan). Tugas tersebut dirasakan oleh Imam Desa sebagai suatu tugas yang berat karena anggota masyarakat setempat yang sedang terlibat pertikaian itu tidak mengabaikan nasihat-nasihat yang diberikan oleh Imam Desa. Atau dengan kata lain, kewibawaan Imam Desa sebagai tokoh masyarakat yang disegani sehingga harus ditaati nasihat-nasihat atau pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan sudah banyak berkurang. Akibatnya, minat anggota masyarakat untuk menjadi Imam Desa rendah (bahkan dengan insentif berupa honor bulanan dari pemerintah daerah setempat). Dimensi Ekonomi Masyarakat nelayan di desa Pattikarya memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya kelautan dan perikanan yang berada berhadapan dengan desa mereka. Sebagian besar dari anggota masyarakat berprofesi sebagai nelayan. Mereka setiap hari pergi ke laut guna mendapatkan ikan hasil tangkapan. Alat tangkap yang digunakan yang dominan adalah jaring dan pancing dengan menggunakan perahu berukuran relatif kecil. Orientasi kegiatan produksi yang sangat condong ke arah pemanfaatan sumberdaya kelautan (ikan) tampak pula dari masih besarnya keengganan sebagian besar dari mereka untuk mencoba menjalankan profesi lain seperti menjadi petani vanila atau jambu mete. Hal ini dilandasi oleh anggapan mereka bahwa sumberdaya perikanan di laut sekitar mereka tidak akan habis. Hasil tangkapan seluruhnya dijual dan tidak ada yang ditujukan untuk konsumsi rumah tangga (kecuali hasil pancing anak buah kapal bagan apung saat menunggu jaring diangkat). Masyarakat Benteng relatif tidak terlalu bergantung terhadap sumberdaya laut. Hal ini tampak dari jenis mata pencaharian mereka
86
yang lebih beragam. Wilayah mereka yang termasuk kedalam wilayah ibukota Kabupaten yang notabene menjadi pusat perekonomian wilayah menyebabkan sebagian dari mereka memiliki mata pencaharian lain yang masih terkait dengan kegiatan perikanan seperti bakul dan pengolah ikan ataupun yang tidak terkait sama sekali tangkap seperti pedagang dan pegawai. Nelayan Kelurahan Benteng juga memiliki jangkauan melaut yang lebih jauh dibandingkan dengan nelayan Desa Pattikarya. Mereka memiliki wilayah penangkapan ikan hingga mencapai perairan sekitar kawasan Taman Nasional Laut Takabonerate yang berjarak lebih kurang 9 – 13 jam dari tempat tinggal mereka. Alat tangkap yang umum digunakan adalah bagan motor. Mereka menetap di kawasan Takabonerate (tidak pulang) sekitar 2 – 6 minggu (1,5 bulan). Hasil tangkapan lebih banyak diolah menjadi ikan asin dan dijual pada para pembeli dari daerah di luar Selayar. Mereka tidak banyak menjual hasil tangkapan dalam bentuk ikan segar karena kalah bersaing dengan nelayan dari luar Selayar (sarana penyimpanan yang sederhana – tidak membawa es/tidak memiliki palka khusus). Penjualan ikan segar hanya terbatas pada pasar di kota Benteng, ibukota Selayar. Hal ini juga mendukung masih kecil dan tradisionalnya skala usaha yang masyarakat nelayan di kedua desa tersebut. Skala usaha tersebut tampak pula dari spesialisasi pekerjaan yang sederhana. Tidak ada pembagian pekerjaan pada nelayan di Desa Pattikarya, sedangkan di Benteng meskipun sudah ada tetapi baru sebatas nahkoda dan nelayan buruh yang terbagi menjadi penurun dan pengangkat jaring pada alat tangkap bagan motor. Akibatnya, keterampilan fungsional tidak dimiliki oleh nelayan, terutama nelayan di Desa Pattikarya. Kemampuan bekerja sama antar nelayan yang mengoperasikan alat tangkap rendah. Hal ini dapat dijelaskan sedikitnya dari rendahnya hasrat atau keinginan untuk secara bersama mengembangkan
87
keterampilan, peningkatan akses ke lembaga permodalan atau pembiayaan. Akibatnya, nelayan tersebut sangat tergantung pada pemilik kapal dan pembeli ikan. Kondisi ini menyebabkan nelayan tidak memiliki posisi tawar menawar yang rendah, dalam bagi hasil dengan pemilik kapal serta dalam menentukan harga jual ikan dengan pembeli ikan di kawasan Takabonerate. Adapun tingkat konsumsi ikan, sebagaimana layaknya masyarakat sulawesi pada umumnya adalah relatif tinggi. Ikan menjadi menu utama didalam lauk-pauk sehari-hari masyarakat di kedua lokasi penelitian. Dimensi Kelembagaan Lembaga kemasyarakatan yang ada pada masyarakat nelayan di kedua lokasi berbeda, dalam arti lebih banyak di Benteng daripada di Pattikarya. Di Desa Pattikarya tampak lembaga formal yang dikepalai oleh Kepala Desa sangat dominan didalam pengaturan kehidupan sosial masyarakat. Lembaga informal yang bermain saat ini hanyalah antara nelayan dengan pengumpul ikan. Pengumpul ikan yang rata-rata berasal dari Benteng membeli ikan dengan harga yang telah ditentukan. Selebihnya tidak tampak adanya lembaga informal yang berperan kuat didalam kehidupan masyarakat setempat. Proses pemilihan meskipun sudah berlangsung cukup demokratis namun masih tampak dipengaruhi oleh kekuatan eksternal, yaitu pemerintahan di tingkat kecamatan dan kabupaten. Dalam hal ini ada semacam ”restu” dari pimpinan-pimpinan di tingkat daerah yang dimaksud kepada para calon kades sebelum mereka mencalonkan diri dalam pilkades. Lembaga informal yang dahulu berperan besar namun pada saat ini tidak lagi adalah lembaga keagamaan yang dipimpin oleh Imam Desa. Faktorfaktor yang menyebabkan pudarnya eksistensi lembaga informal ini sudah dijelaskan dalam dimensi religi.
88
Konflik yang menonjol yang terjadi dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan, tidak hanya di kedua lokasi penelitian namun juga Kabupaten Selayar secara keseluruhan, adalah dalam hal pemanfaatan sumberdaya perikanan antara nelayan Selayar dengan non Selayar yang berasal dari Sinjai ataupun Bulukumba. Penyebabnya adalah nelayan Selayar merasa memiliki hak milik (mengklaim) terhadap wilayah perairan yang ada, namun dari segi teknologi alat tangkap mereka tidak dapat bersaing dengan nelayan non Selayar. Akibatnya nelayan Selayar merasa hak milik mereka berupa sumberdaya ikan ”diambil” oleh nelayan non Selayar. Eksistensi konflik ini masih berlangsung hingga kini. Upaya mereduksi konflik sudah dilakukan oleh dinas perikanan dan kelautan setempat melalui upaya negosiasi antar kabupaten, dan dalam hal ini dinas perikanan dan kelautan tingkat propinsi menjadi fasilitatornya. Dimensi Politik Tuntutan masyarakat pada dasarnya berlandaskan pada pemenuhan kebutuhan hidup yang secara fisik masih rendah (terutama di Desa Pattikarya). Sebagai contoh, tuntutan masyarakat Desa Pattikarya atas BMKT yang ditemukan untuk segera diangkat oleh pihak pemerintah daerah lebih didasarkan pada nilai harta karun yang menurut mereka dapat digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan mereka. Asal tuntutan masyarakat sulit ditelusuri, namun demikian aspirasi masyarakat tersebut umumnya disalurkan melalui lembaga pemerintahan desa yang ada (Kepala Desa dan Badan Pertimbangan Desa). Dukungan masyarakat terhadap mereka juga dikarenakan mereka merupakan tokoh-tokoh masyarakat yang dilihat dari asal usul masih ada hubungan darah atau sekerabat. Proses pengambilan keputusan yang berjalan masih dominan bersifat top-down. Belum
89
terjadi proses musyawarah yang terjadi secara intensif antara pemerintah ataupun lembaga formal-informal lainnya dengan masyarakat. Hal ini berakibat pada berbagai kebijakan yang ditetapkan atas nama pemerintah menjadi polemik atau keresahan dalam kehidupan masyarakat setempat. Pada masalah BMKT tersebut di atas, masyarakat mengusulkan untuk segera membagi harta karun yang ada didalam kapal tenggelam. Keinginan masyarakat ini berbeda dengan tindakan yang diambil oleh pemerintah yang lebih didasari pada pengkajian aspek sejarah, nilai ekonomi dan hukum yang tentunya kurang dipahami oleh masyarakat setempat dengan tingkat pendidikan rata-rata rendah. Kurang pahamnya mereka akan adanya proses yang harus dijalani oleh pemerintah daerah setempat terhadap BMKT tersebut tampak dari kecurigaan masyarakat terhadap pihak pemerintah yang dirasa memperlambat proses pengangkatan BMKT. Kasus lainnya adalah tidak diterapkannya sanksi terhadap pelaku kegiatan penangkapan ikan illegal (dengan bom atau racun) oleh pihak yang berwenang. Masyarakat merasa tidak adanya perhatian pemerintah terhadap kasus-kasus perusakan lingkungan, yang oleh pemerintah setempat hal tersebut lebih dikarenakan kendala minimnya sarana-prasarana pengawasan. Komunikasi yang tidak lancar merupakan salah satu faktor penyebab masih kurang harmonisnya hubungan antara pemerintah dengan masyarakat. 4.6. Makassar, Sulawesi Selatan Dimensi Pengetahuan Lokal Perairan laut yang menjadi wilayah penangkapan masyarakat di sekitar Pulau Lae-Lae ini merupakan milik umum. Nelayan mengemukakan bahwa tidak ada hak kepemilikan seseorang di wilayah pesisir dan lautan yang menjadi tempat usaha penangkapan. Tidak ada hak khusus untuk menangkap ikan di perairan pesisir dan laut di sekitar
90
pulau ini.Tidak ada sistem pengelolaan yang mengatur pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan di dalamnya, kecuali pelarangan alat tangkap arad/trawl, potas, bom/dinamit, racun dan aliran listrik. Menurut kepala desa masayarakat di wilayahnya tidak pernah menggunakan alat tangkap atau cara penangkapan yang dilarang tersebut. Tidak ada mekanisme khusus dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, tetapi jika ada pelanggaran (menggunakan alat yang dilarang) langsung masyarakat melaporkan kepada Lurah setempat. Tidak ada konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan. Hanya dalam penerapan peraturan tertentu yang dilarang pemerintah melalui sistem monitor oleh nelayan lalu dilaporkan kepada Lurah jika ada pelanggaran-pelanggaran. Belum ada mekanisme upaya penerapan konservasi dalam hubungannya dengan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan. Mekanisme penegakan peraturan dilaksanakan dengan jalan musyawarah dulu. Jika tidak selesai barulah dilaporkan kepada yang berwajib baik aparat kelurahan, polisi dan dinas kelautan dan perikanan setempat. Belum ada bentuk sanksi yang diterapkan dalam masyarakat nelayan. Berlaku hukum positif dan dengan kepolisian urusannya. Pelanggaran dilaporkan ke Lurah setempat. Pelaksanaannya di lapangan dipercayakan kepada masyarakat nelayan saja. Dalam hal ini, masyarakat hanya berfungsi sebagai sumber informasi pelanggaran peraturan. Masyarakat beranggapan penegakan peraturan yang ada tidak berjalan efektif terutama dalam kaitannya dengan pemberantasan kegiatan penangkapan yang menggunakan bom pada karang-karang yang jauh dari pemukiman. Dimensi Sistem Religi Agama Islam merupakan agama yang dianut sebagian besar masyarakat di wilayah pulau ini. Namun demikian, pandangan kehidupan
91
tidak sepenuhnya menurut ajaran agama Islam. Misalnya masih ada praktek rentenir yang mengkreditkan uang kepada masyarakat nelayan. Bahkan, bunga berbunga dengan jaminan rumah yang kadang-kadang tergadai/terjual. Praktek ajaran agama antar manusia belum terlihat dilaksanakan. Ada kepercayaan tempat yang angker dalam melaksanakan penangkapan ikan tetapi ada juga masyarakat nelayan yang tidak percaya tentang hal ini. Bahaya yang akan timbal dalam kaitannya dengan penangkapan ikan dipikirkan masyarakat secara rasional.Tidak terdapat semacam upacara keagamaan atau kepercayaan tertentu dalam hubungannya dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan. Nelayan disini juga menangkap ikan di wilayah Pangkep, sedangkan di sekitar pulau mereka menangkap cumi-cumi. Tokoh-tokoh agama tidak banyak berpengaruh dalam masyarakat nelayan.Terdapat penggunaan konsepsi atau paham agama dalam hal ini. Sebagai contoh misalnya pak Lurah menggunakan pendekatan norma agama untuk mensukseskan program pemberdayaan masyarakat di dalam wilayah kelurahan mereka. Dimensi Ekonomi Produksi yang dihasilkan masyarakat nelayan berorientasi pasar dan semuanya dijual. Hal ini didasarkan atas alasan ikan yang ditangkap semuanya berharga mahal. Uangnya untuk memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Masyarakat nelayan mampu memanfaatkan teknologi canggih seperti potas tapi merusak sumberdaya. Malas dan enggan menggunakan pancing saja karena anggota masyarakat yang lainnya juga tetap menggunakan potas. Bahkan, karena menggunakan potas dilaksanakan sambil menyelam maka akibatnya banyak anggota masyarakat nelayan yang lumpuh.Alat tangkap yang dominan digunakan masyarakat adalah jaring dan pancing disamping menggunakan potas
92
Gambar 5. Aktivitas penangkapan ikan di perairan sekitar Pulau Lae-Lae Makasar, Sulawesi Selatan
untuk ikan karang bahkan bom (dinamit) (Gambar 5). Masyarakat nelayan di sekitar pulau Lae-Lae hanya menangkap cumi-cumi, sedangkan menangkap ikan yang lainnya di perairan Pangkep. Terdapat pembagian peran dalam kegiatan penangkapan ikan. Ada masyarakat yang hanya menangkap cumi-cumi saja dan ada yang hanya menangkapan ikan saja. Keterampilan fungsional lainnya yang dimiliki masyarakat nelayan selain menangkap ikan ádalah menggunakan motor tempel yang berfungsi sebagai angkutan penyeberangan dari Makasar ke Pulau Lae-Lae. Namun demikian, ada juga kerjasama dalam melaksanakan penangkapan ikan baik di sekitar Pulau Lae-Lae (2-3 orang) maupun keluar desa seperti ke Pangkep (7-10 orang) menggunakan pancing untuk mencari ikan karang. Kebanyakan nelayan lebih memikirkan rumah daripada pengembangan usaha. Tidak ada usaha untuk melakukan investasi pada usa penangkapan. Masyarakat nelayan sejauh ini mau mengerjakan pekerjaan alternative tetapi tidak punya modal untuk melaksanakannya. Modal dalam hal ini diperlukan untuk membeli perahu dan mesin nya yang dapat digunakan angkutan antar ke dan ke pulau. Tidak terlihat adanya hubungan yang bersifat positif antara nelayan dan pedagang maupun sesama nelayan. Nelayan lebih banyak
93
tergantung terhadap rentenir. Dalam hal ini, masyarakat nelayan terpaksa berhubungan dengan rentenir karena didesak oleh kebutuhan hidup sehari-hari. Pemerintah belum ada perhatian pada masyarakat nelayan tentang permodalan ini (baru mau ada). Kondisi patron klien antara rentenir dan nelayan selalu bertahan karena semakin meningkatnya biaya usaha penangkapan. Dalam hal ini nelayan selalu dirugikan dan sebaliknya rentenir yang selalu mendapatkan keuntungan (yang tidak sesuai dengan usahanya). Meskipun mereka mengetahui dan memahami pentingnya perencanaan dalam kegiatan perikanan tetapi sulit selalu untuk dipraktekkan di lapangan. Juga Ada faktor budaya siri yang luntur untuk mereka sehingga malas berusaha kalau berada di kampung sendiri.Tingkat konsumsi ikan rendah, sangat jarang makan ikan. Mengkonsumsi sekitar 4-5 ons per hari (3 anak) dengan frekuensi dua kali per minggu. Namun demikian ketika di laut makan ikan setiap hari. Dimensi Kelembagaan Belum ada kelembagaan yang mengkelompokkan masyarakat nelayan di wilayah ini. Hanya ada kelembagaan kelurahan yang sifatnya formal. Lembaga lain yang bersifat informal juga belum ada. Sistem kekerabatan jarang digunakan dalam berhubungan secara ekonomi. KUD tidak ada dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat nelayan.Tidak ada kelembagaan yang teridentifikasi sebagai penyelesaian konflik dalam masyarakat nelayan. Urusan konflik masyarakat secara keseluruhan diselesaikan oleh Lurah bersama RW nya serta Ketua RT di lingkungannya. Antara RT dan RW secara bersama bermusyawarah untuk membangun kelurahan baik secara fisik (bantuan diesel untuk penerangan desa) maupun non fisik (bantuan moidal misalnya). Kepala desa dan ketua kelompoknya tidak perhatian terhadap kehidupan masyarakat nelayan. Belum ada representasi
94
masyarakat nelayan dalam suatu kelembagaan yang ada yang sifatnya resmi (RT dan RW atau kelurahan). Tidak terbentuknya manajemen konflik yang dilaksanakan oleh suatu lembaga. Jika terjadi konflik dalam masyarakat misalnya sehubungan dengan mengurus permasalahan kompensasi BBM dapat diselesaikan oleh Lurah bersama RW nya. Mereka dapat dengan tegas memutuskan bahwa orang kaya tidak dapat menerima kompensasi BBM. Masyarakat sejauh ini menggunakan rasionalitas tapi untuk penggunaan potas alasannya mereka terpaksa, tidak ada jalan lain yang lebih baik lagi. Menggunakan alat tangkap pancing hasilnya sedikit. Meskipun demikian mereka tetap berusaha berbuat yang tidak bertentangan dengan kaidah umum yang berlaku di daerah setempat terutama dalam kegiatan sosial kemasyarakatan. Keberadaan penerapan sanksi didasarkan atas norma-norma atau aturan-aturan yang ada dan telah disepakati oleh anggota masyarakat secara menyeluruh. Misalnya jika kawin lari makan pasangan tersebut diusir dari kampung tersebut. Dimensi Politik Lurah memiliki visi untuk membangun masyarakat secara menyeluruh tapi visi tersebut tidak seluruh masyarakat memahaminya. Lurah dan RW nya memiliki kemampuan untuk menempatkan diri pada kondisi terhadap pihak lain untuk mendapatkan manfaat secara bersama. Pimpinan tersebut sejauh ini terlihat mau berkorban untuk masyarakat seperti dalam pengurusan kompensasi BBM, sebagai petugas tidak punya honor khusus untuk pekerjaan itu. Pimpinan tersebut juga mampu berkomunikasi dengan masyarakat misalnya menyelesaikan konflik dalam masyarakat terkait kompensasi BBM. Tidak terlihat hal-hal yang berhubungan dengan memberikan inspirasi dan mengarahkan anggotanya.
95
Sampai saat ini proses pengambilan keputusan belum diketahui oleh masyarakat. Masyarakat menilai Lurah, RT, RW harus dapat membangun keluarganya dan sabar serta adil dalam bertindak. Faktorfaktor yang menjadi dasar dalam pengambilan keputusan sangat terbuka dan sesuai dengan kondisi yang ada dalam masyarakat serta dapat diterima oleh masyarakat secara kolektif. Keputusan pemimpin dapat dikaji kembali jika memang keliru dan selama ini kejadian seperti ini belum terlihat dalam masyarakat. Kepentingan antara desa dan kabupaten adalah sama yaitu sama-sama mensejahterakan masyarakat nelayan secara menyeluruh dengan sumberdaya alam yang ada.
97
V.
KONDISI SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT NELAYAN PERAIRAN PEDALAMAN
Kondisi sosial budaya masyarakat nelayan yang dikemukakan dalam bagian ini merupakan contoh kondisi sosial budaya yang terdapat pada masyarakat nelayan perairan pedalaman yaitu sungai dan rawa serta waduk. 5.1. Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan Pemukiman masyarakat nelayan di perairan pedalaman Kalimantan Selatan banyak terdapat di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Pada wilayah Kabupaten Hulu Sungai Utara, wilayah perairan pedalaman banyak terdapat di kiri kanan sungai di perairan rawa lebak Sungai Negara. Desa Danau Bangkau merupakan salah satu desa pemukiman masyarakat nelayan perairan pedalaman yang mata pencaharian mereka menangkap ikan di perairan rawa lebak dan sungainya. Dimensi Pengetahuan Lokal Pada masyarakat nelayan di wilayah perairan sungai dan rawa di desa Danau Bangkau diketahui bahwa ada batas-batas wilayah penangkapan ikan terutama pada kolam-kolam yang dibangun sendiri oleh masyarakat yang dinamakan beje (semacam kolam perangkap). Oleh karena itu mereka mengadakan klaim terhadap wilayah penangkapan ikan tertentu yang mereka buat pada saat musim kemarau atau air surut. Dalam hal ini, secara pemegang wewenang dan mendistribusikan hak pemanfaatannya sumberdaya perikanan yang ada di dalam beje (seperti kolam perangkap yang dibuat di lahan perairan labak lebung) tersebut sepenuhnya dikelola oleh pemilik beje secara perorangan.
98
Di lain pihak, pemegang wewenang dan mendistribusikan hak pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berada di perairan umum secara keseluruhan adalah pemerintah daerah yang dalam hal ini diserahkan kepada Dinas Perikanan setempat. Pengaturan yang berhubungan dengan aturan daerah penangkapan dalam hal ini terdapat berupa pelarangan penangkapan di wilayah yang telah ditetapkan sebagai daerah suaka perikanan (reservat) yaitu perairan Danau Bangkau pada musim kemarau. Pelarangan penangkapan ikan di wilayah reservat tersebut diberlakukan untuk siapapun dan alat tangkap apapun. Disamping itu pelarangan yang ada antara lain tidak diperbolehkan melakukan penangkapan ikan di perairan sungai dan rawa menggunakan aliran listrik dan atau racun atau pestisida atau alat dan bahan yang membahayakan kelestarian sumberdaya perikanan tersebut. Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dalam hal ini adalah berupa pengetahuan lokal masyarakat setempat terkait dengan persepsi dan konsepsi serta mekanisme konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan yang bertujuan menjaga SDKP agar tetap berfungsi di dalam mendukung pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara lestari. Fungsi di dalam hal ini adalah fungsi ekologi dan ekonomi. Keberadaan upaya konservasi SDKP dalam hal ini hanya berupa penetapan kawasan tertentu yang difungsikan sebagai daerah reservat yang dicetuskan dan dilaksanakan oleh pemerintah setempat.Tata cara pengaturan wilayah konservasi di wilayah desa Danau Bangkau adalah dengan cara penjagaan reservat. Kegiatan konservasi SDKP antara lain berupa penjagaan kawasan dan pengendalian tumbuhan air yang berada di kawasan konservasi tersebut. Namun demikian secara umum responden mengemukakan bahwa belum terlihat secara nyata manfaat wilayah konservasi tersebut yang dirasakan oleh masyarakat setempat.
99
Hingga saat ini belum termonitor adanya semacam penegakan peraturan dalam bentuk penerapan pengetahuan lokal masyarakat setempat terkait dengan bentuk sanksi, mekanisme dan efektifitasnya dalam upaya pengelolaan dan pemanfaatan SDKP secara lestari. Peraturan-peraturan yang tertulis hanya terdapat yang berasal dari pemerintah yaitu berupa larangan penggunaan alat tangkap yang dapat membahayakan kelestarian SDKP, sedangkan peraturan yang tidak tertulis yang berasal dari masyarakat setempat hingga saat ini belum didapatkan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Bentuk-bentuk sanksi yang ada yang diterapkan dalam pengelolaan dan pemanfaatan SDKP termasuk upaya konservasinya hanya berupa peraturan yang ada dari pemerintah setempat. Namun demikian hingga saat ini belum terdapat adanya penyelesaian kasus pelanggaran baik berdasarkan hukum normatif maupun hukum positif. Dimensi Sistem Religi Adapun agama yang dianut sebagian besar masyarakat yang bermukim di desa Danau Bangkau adalah agama Islam. Namun demikian masih terdapat semacam kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat.Ajaran atau syariat agama dan atau kepercayaan yang dilakukan oleh masyarakat secara umum berdasarkan ajaran agama Islam. Terdapat hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Hubungan dalam hal ini terkait dengan ketaatan masyarakat terhadap syariat agama dan atau kepercayaan atas aktifitas ekonomi yang dilakukan oleh penganut agama dan atau kepercayaan tersebut. Hal ini tergambar dalam kegiatan penangkapan ikan mereka percaya bahwa ikan yang terdapat di perairan merupakan berkah dariYang Maha Kuasa. Namun demikian, belum ditemukan jenis-jenis upacara serta kegiatan ritual keagamaan dan atau kepercayaan yang ada di masyarakat
100
dalam kaitannya dengan aktivitas pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Dengan demikian belum ditemukan pula tujuan dan makna pelaksanaan ajaran atau syariat tersebut oleh masyarakat. Keberadaan dan bentuk pengaruh ajaran atau syariat tersebut kepada setiap anggota masyarakat hingga saat ini sangat mengikat terhadap pola kerja mereka. Sebagai contoh mereka lebih cenderung libur pada hari Jum'at sebagai upaya untuk melaksanakan ajaran agama tersebut. Secara umum kebiasaan ini diterapkan secara luas dan mengikat anggota masyarakat. Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik masyarakat. Dalam hal ini, agama dan atau kepercayaan pada saat tertentu dapat berfungsi sebagai pelindung tatanan sosial dan pada saat lainnya dapat menilai kondisi sosial saat sekarang dengan mengacu kepada masyarakat ideal yang berdasarkan kepada ajarannya. Tokoh agama merupakan panutan yang diakui oleh sebagian besar masyarakat setempat. Dasar-dasar penilaian/kriteria dari masyarakat terkait dengan pengakuan individu sebagai tokoh agama terkait dengan ketaatan tokoh agama tersebut terhadap ajaran agama. Kemudian tingkah laku dan perbuatan yang secara riel terlihat terhadap tokoh agama tersebut merupakan hal yang dilihat secara langsung oleh masyarakat juga. Oleh karena itu ada kepercayaan atau pengaruh tokoh-tokoh masyarakat yang dimaksud terhadap masyarakat setempat. Namun demikian tidak banyak keterlibatan tokoh agama dalam aktivitas masyarakat di luar kegiatan peribadahan terutama terhadap usaha penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat nelayan. Bentuk keterlibatan tokoh agama tersebut hanya sebagai panutan dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Dimensi Ekonomi Sejak lama masyarakat nelayan perairan pedalaman sungai dan rawa lebak disekitar desa menggunakan alat tangkap berupa pancing,
101
perangkap yang terbuat dari bambu dan rotan serta menggunakan jaring sejak dua puluhan tahun terakhir ini. Namun demikian skala usaha produksi yang dijalankan saat ini masih bersifat subsisten atau tradisional. Secara umum masyarakat nelayan cukup mampu dalam melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur. Hal ini tergambar dari kondisi alam yang diketahui mereka dalam hubungannya dengan penangkapan ikan dan mengusahakan lahan sawah yang mereka miliki. Sawah mereka usahakan pada musim kemarau di perairan rawa lebak, sedangkan usaha penangkapan ikan yang utama mereka lakukan pada saat air besar di musim penghujan. Hal ini telah mereka lakukan secara turun temurun antar generasi, sehingga laju investasi dalam kegiatan produksi dapat dikatakan sangat lambat dan kecil sekali untuk sebagian masyarakat. Jenis mata pencaharian alternatif terbatas pada usaha membuat dan memperbaiki alat tangkap yang mereka gunakan dan keberadaannyapun tidak banyak. Hal ini disebabkan sebagian besar masyarakat nelayan setempat dapat membuat dan memperbaiki sendiri alat tangkap yang mereka gunakan sehari-hari dalam usaha penangkapan ikan. Budidaya ikan belum berkembang di masyarakat nelayan dan desa setempat. Hanya ada beberapa orang telah melakukan pemeliharaan ikan dengan memanfaatkan ikan-ikan kecil sebagai pakan utama yang mereka berikan kepada ikan yang dipelihara. Komoditas ikan yang mereka pelihara adalah ikan haruan, betutu dan patin. Mata pencaharian alternatif di luar sektor perikanan hanya berupa usahatani padi sawah di sawah lebak dan berburuh jika ada pekerjaan yang berlangsung dalam pembangunan di desa setempat. Hal ini terutama mereka lakukan pada musim kemarau dimana saat itu usaha penangkapan ikan dapat dikatakan tidak banyak terlaksana kecuali pada perairan sungai dan kolam perangkap (beje) (Gambar 6). Namun demikian, ada keinginan yang kuat dari masyarakat untuk melaksanakan
102
Gambar 6. Perahu bermotor sebagai sarana penangkapan ikan di perairan pedalaman di Kalimantan Selatan.
mata pencaharian alternatif yang ada. Sebagai contoh misalnya budidaya ikan yang mereka laksanakan saat ini dibatasi oleh kondisi alam yang hanya dapat dilaksanakan pada saat air besar dan pelaksanaannyapun harus dipilih pada lokasi yang kualitas airnya cukup baik (tidak bangai). Pembagian peran dalam kegiatan produksi dalam konsep pemberdayaan harus memperhatikan spesialisasi dan keterampilan fungsional yang ada di masyarakat. Pada masyarakat desa Danau Bangkau terlihat bahwa secara umum ada pembagian peran di dalam pekerjaan produksi dalam usaha perikanan. Masyarakat nelayan sejauh ini terampil pada masing-masing alat tangkap yang sudah biasa mereka terapkan sejak lama dan turun temurun dan mereka telah mengetahui dimana di kawasan perairan mereka harus melaksanakan penangkapan ikan dan kapan waktunya yang tepat untuk dilaksanakan. Begitu pula untuk pekerjaan mengusahakan sawah yang mereka usahakan, kapan harus memulai untuk membuat bibit dan kapan seharusnya mereka menanam padi tersebut. Jaminan sosial merupakan suatu bentuk pola adaptasi dari masyarakat ketika dihadapkan pada permasalahan akan adanya keterbatasan akses terhadap sumberdaya. Dengan kata lain masyarakat akan menciptakan jaringan pengaman sosial yang dapat menjamin
103
keberlangsungan kehidupann mereka, seperti halnya kebutuhan akan modal ketika saluran-saluran formal yang ada tidak mampu untuk memberikan jaminan kepada masyarakat. Dalam hal ini, pada masyarakat nelayan di desa ini secara umum terpola pada hubungan sesama mereka masyarakat nelayan yang didasarkan pada kekerabatan keluarga inti. Pengadaan alat tangkap misalnya telah mereka lakukan menggunakan bahan yang ada di sekitar mereka seperti bambu dan rotan. Pada beberapa nelayan telah ada pula hubungan kerjasama dengan pedagang yang bmembeli ikan hasil tangkapan mereka dan dalam hal pengadaan benih ikan yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan budidaya. Bentuk kerjasama yang bersifat formal diantara sesama masyarakat nelayan di wilayah ini tidak ditemukan baik dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi produksi maupun pemasaran termasuk kegiatan di luar usaha penangkapan ikan. Juga, tidak ditemukan bentuk-bentuk kerjasama yang ada di masyarakat di dalam keseharian seperti contoh arisan ataupun pengajian ataupun sistem bagi hasil. Cara pengolahan hasil perikanan yang diasa terdapat pada masyarakat nelayan di desa ini hádala dengan cara diasin dan diasap atau diolah menjadi van makanan yang khas pada masyarakat setempat yang mereka namakan ketupat. Ketupat dalam hal ini dimakan dan diberi semacam bahan tambahan cair yang dicampur dengan ikan haruan sehingga menjadi kuahnya. Makanan yang terakhir ini menjadi kebiasaan sebagian besar masyarakat setempat, sedangkan pantangan makan tidak ditemukan. Adapun tingkat konsumsi ikan masyakat nelayan setempat berkisar 4-5 ons ikan per keluarga per hari dengan jumlah anggota keluarga berkisar 4 hingga 8 orang termasuk kepala keluarga.
104
Dimensi Kelembagaan Pembentukan lembaga yang ada di masyarakat desa ini antara lain lembaga sosial yang berfungsi sebagai sarana pengembangan hubungan sosial diantara masyarakat yaitu berupa perkumpulan pengajian yang dilakukan oleh masyarakat terutama dibentuk atas inisiatif pembentukan berasal dari tokoh agama yang ada di masyarakat. Dasar pembentukan lembaga tersebut hanya berdasarkan kebutuhan akan pengembangan kegiatan beragama yang ada di masyarakat dengan tujuan agar ajaran agama dapat berlangsung penerapannya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hubungannya dengan eksistensi lembaga yang dapat dicirikan dengan adanya tiga hal yaitu batas kewenangan, aturan representasi dan aturan main dari lembaga tersebut dapat dikemukakan bahwa eksistensinya hanya bersifat sosial. Artinya dari segi kewenangan tidak mempunyai kewenangan terhadap anggotanya, siapa saja dapat menjadi anggota lembaga sosial tersebut. Tidak terdapat hubungan atau bentuk-bentuk aturan yang tertulis atau tidak tertulis kelembagaan tersebut yang berhubungan dengan kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan SDKP. Dalam hubungannya dengan manajemen konflik terdapat fungsi lembaga sosial yang ada di desa ini yaitu berusaha menjaga keutuhan masyarakat dan memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control system) melalui pendekatan ajaran agama. Dalam hal ini terlihat kemampuan pemimpin atau seluruh anggota suatu lembaga sosial / kemasyarakatan dalam penyelesaian konflik yang terjadi di masyarakat selalu diusahakan melalui jalan musyawarah dan mufakat dengan mengambil peran tokoh agama yang berpengaruh terhadap masyarakat secara umum meskipun tidak terdapat mekanisme dan prosedur penyelesaian konflik secara khusus dalam kelembagaan sosial tersebut.
105
Dimensi Politik Berdasarkan informasi yang diperoleh dari pendapat tokoh masyarakat dan nelayan setempat beberapa tuntutan masyarakat saat ini adalah diperlukan adanya peran pemerintah dalam pembangunan perikanan khususnya masyarakat nelayan. Peran yang utama yang diharapkan masyarakat adalah sebagai pembina dalam berusaha di bidang perikanan terutama perikanan budidaya. Saat ini kegiatan budidaya yang dilakukan oleh masyarakat hanya didasarkan kepada informasi yang diperoleh dari sesama nelayan atau dari pedagang yang menawarkan benih ikan yang berasal dari daera lainnya terutama Banjarmasin. Dalam hubungannya dengan kegiatan perikanan visi pemimpin dalam hal ini diketahui dari dinas perikanan setempat bahwa pembangunan perikanan di wilayah ini lebih kepada mengatur usaha penangkapan ikan dan pengawasan terhadap hal-hal yang dapat mengganggu kelestarian sumberdaya perikanan. Dalam hal ini belum terlihat adanya daya empati pemimpin dan kemampuan komunikasi pemimpin terhadap masyarakat nelayan baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasionalitas pemimpin dalam hal ini belum mencapai apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh masyarakat nelayan setempat. Hal ini terlihat dengan adanya pendapat tokoh masyarakat dan nelayan yang mengemukakan bahwa menurut mereka masyarakat saat ini memerlukan tambahan modal untuk dapat melaksanakan usaha penangkapan ikan dalam skala yang lebih menguntungkan. Dengan demikian belum terlihat secara nyata adanya kemampuan pemimpin dalam inspiring and directing yang lebih lanjut akan memperlihatkan kurangnya integritas pemimpin. Kesatuan dan keutuhan sistem politik didukung oleh konsep, yaitu sistem, struktur dan fungsi. Sistem politik merupakan organisasi melalui
106
mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan-tujuan bersama dalam hal ini belum terlaksana sehingga belum terlihat adanya transparansi yang lebih lanjut dapat dikemukakan bahwa belum adanya tahap akuntabel dan terbuka untuk diaudit (auditable). Artinya sistem politik sebagai suatu konsep ekologis yang menunjukkan adanya suatu organisasi yang berintegrasi dengan suatu lingkungan yang mempengaruhinya dan dipengaruhinya belum terlihat, sedangkan keputusan dan kebijakan terkait erat dengan fungsi yang dimiliki oleh suatu sistem politik. Hal ini lebih lanjut memperlihatkan bahwa masih terdapat conflict of interest antara masyarakat di satu pihak terhadap pemerintahan di sistem yang lainnya. 5.2. Cianjur, Jawa Barat Masyarakat nelayan di desa Kamurang tidak mengenal adanya batas wilayah penangkapan termasuk daerah operasi penangkapan di perairan Waduk Cirata. Mereka menganggap perairan tersebut bebas bagi siapapun dan dimanapun untuk melakukan kegiatan penangkapan ikan. Tidak adanya klaim wilayah dan pelarangan bagi orang lain untuk menangkap ikan di suatu wilayah (sekitar desa tertentu) karena tindakan atau aturan tersebut akan dialami pula oleh masyarakat desa yang bersangkutan untuk wilayah lain (di sekitar desa lain). Pengaturan wilayah penangkapan juga belum dilakukan oleh pihak pemerintah, dalam hal ini Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai badan otorita pengelola waduk. Asal mula adanya kegiatan perikanan di daerah tersebut (baik KJA maupun penangkapan) ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak proyek pembangunan waduk. Masyarakat di daerah yang pertama kali dianggap melakukan kegiatan penangkapan adalah Desa Kamurang. Masyarakat setempat
107
memandang bahwa kepemilikan wilayah perairan adalah milik pemerintah. Terkait dengan sifat access terhadap sumberdaya, dari hasil wawancara dan pengamatan di lapang dapat dilihat bahwa siapapun bebas untuk melakukan usaha penangkapan. Oleh karenanya bisa dianggap masyarakat memandang sifat pengelolaan memenuhi asasasas open access. Dari hasil wawancara yang dilakukan kepada pihak Dinas pun mengakui belum adanya peraturan-peraturan yang mengatur usaha penangkapan ikan di perairan waduk Cirata di Kabupaten Cianjur ini. Tidak ada mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan yang saat ini berlaku di perairan waduk Cirata baik yang berasal masyarakat maupun pemerintah daerah. Kalaupun ada sesuatu pengaturan yang dilakukan oleh masyarakat, maka hal itu lebih didasarkan pada motif ekonomi saja. Sebagai contoh, masyarakat nelayan jarang yang menggunakan mata jaring di bawah 3 inchi. Tindakan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh motif ekonomi yaitu tidak adanya pembeli (bandar ikan) yang menampung ikan-ikan berukuran kecil (di bawah satu kilo berisi lima ekor). Terkait dengan konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan bisa dilihat dari beberapa hal. Nelayan setempat menyadari bahwa kondisi sumberdaya ikan pada saat ini telah cukup jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Namun mereka menolak anggapan bahwa ikan suatu saat akan habis. Menurut mereka penyebab dari semakin sedikitnya ikan (terutama ikan nila) adalah karena semakin tidak menentunya waktu surut dan pasangnya permukaan air. Waktu air sedang naik maka dianggap oleh masyarakat bahwa saat itu adalah musim panen. Sebaliknya, ketika air sedang surut dianggap oleh masyarakat bahwa saat itu adalah musim sulit mendapatkan ikan. Tidak ada mekanisme penerapan upaya konservasi yang perlu
108
dilakukan oleh masyarakat nelayan di perairan waduk Cirata ini. Penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan (ukuran mata jaring > 3 inchi) lebih disebabkan karena alasan-alasan ekonomi dibandingkan dengan upaya konservasi. Penggunaan mata jaring berukuran besar lebih bukan bertujuan agar benih-benih ikan tidak ikut terjerat dengan alasan konservasi, tetapi dengan alasan tidak adanya bandar ikan yang mau membeli ikan tersebut. Bentuk sanksi dan mekanismenya atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan lebih mengacu kepada hukum positif sesuai dengan yang berlaku secara formal. Belum ada aturan-aturan yang muncul dari dan berlaku di masyarakat setempat. Penegakan hukum formal juga belum didukung sepenuhnya oleh masyarakat. Sebagai contoh, untuk kasus penangkapan benih-benih ikan, masyarakat menganggapnya sebagai urusan pribadi si pelaku yang umumnya bermotifkan kesulitan ekonomi. Dimensi Sistem Religi Masyarakat nelayan di waduk Cirata umumnya memeluk Agama Islam dalam kesehariannya, namun hal tersebut tidak menjadikannya sebagai sebuah pedoman hidup keseharian. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa permasalahan ibadah adalah masalah perseorangan. Walaupun sering mereka tidak melaksanakan ibadah agama namun sifat tunduk dan pasrah mereka terhadap Allah SWT sangat kental terasa. Pandangan bahwa perairan tersebut merupakan hidayah dari Allah bagi semua orang dan rejeki sudah ada yang mengatur bagi setiap orang sangat mewarnai kehidupan keseharian. Hasil wawancara yang dilakukan menunjukkan bahwa tidak ada kegiatan-kegiatan yang bersifat ritualisme. Dan jika seandainya pun ada yang melakukan, maka masyarakat nelayan di desa Kamurang ini tidak turut campur. Tokoh agama tidak berperan di dalam kegiatan
109
kemasyarakatan. Mereka hanya dianggap sebagai imam masjid atau mushollah saja. Dimensi Ekonomi Dari pengamatan dan hasil wawancara didapatkan bahwa sudah sangat jarang sekali ditemui nelayan yang menangkap ikan hanya bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (subsisten). Ikan hasil tangkapan biasanya hanya disisihkan sedikit saja untuk konsumsi seharihari ketika ingin dan sebagian besar dijual. Dengan demikian sudah dapat dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam melakukan kegiatan penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang). Untuk penangkapan secara umum belum ditemukan teknologi baru yang dapat berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan. Pernah ada nelayan pendatang yang membawa jaring kantong (purse seine), namun setelah dioperasikan jaring tersebut cepat kotor dan rusak walaupun dari hasil tangkapan dapat menangkap semua jenis dan berbagai ukuran ikan. Selain itu nelayan menganggap jaring tersebut tidak praktis digunakan. Untuk itu, masyarakat setempat menganggap teknologi yang bisa memperbaiki usaha mereka adalah motor tempel dengan kekuatan yang cukup besar. Dari hasil pengamatan masih banyak nelayan yang menggunakan armada penangkapan berupa kapal dayung, layar dan rakit. Permasalahan yang muncul sehingga masyarakat terlihat kurang adaptif adalah karena kurang kuatnya modal. Alat tangkap yang dominan digunakan adalah berupa pancing, jala dan jaring (gill net) dengan hasil tangkapan umumnya berupa ikan nila, mas dan jambal. Masyarakat setempat secara umum hanya menggunakan satu jenis alat tangkap saja. Keterampilan fungsional yang ada di masyarakat sangat terkait dengan keahlian dan faktor modal serta ada atau tidaknya alternatif pekerjaan. Dari hasil wawancara dan observasi didapatkan bahwa jenis
110
pekerjaan yang ada dan berhubungan dengan penangkapan adalah sebagai nelayan dan bandar ikan. Menurut penuturan informan, pekerjaan sebagai seorang nelayan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi tetapi lebih kepada kemauan dan keberanian saja. Selain itu pekerjaan sebagai nelayan dianggap sebagai alternatif pekerjaan terakhir. Keterampilan fungsional juga didasarkan atas faktor modal, seperti halnya seorang bandar ikan. Kemampuan masyarakat dalam membangun kerjasama dalam proses produksi tidaklah terlalu terlihat. Hal yang sering terjadi justru bukan di dalam bidang produksi tetapi di dalam hal kemasyarakatan. Seperti halnya akan membantu ketika salah seorang dari mereka mendapatkan musibah tenggelam di waduk. Selain itu mereka masih melakukan kerjasama di dalam membantu memperbaiki perahu. Hal ini terjadi dalam lingkup yang kecil, bertetangga atau masih dalam hitungan kerabat. Upaya berinvestasi diawali dengan keinginan dan seberapa jauh mereka menerapkan budaya menabung. Informan yang diwawancara mengungkapkan bahwa kebiasaan menabung dilakukan hanya ketika mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak. Umumnya hasil menabung tersebut digunakan untuk membeli emas yang akan bisa dijual kembali dengan cepat ketika mereka memerlukan uang, kemudian membeli alat tangkap baru untuk mengganti yang rusak atau menambah jaring yang sudah dimiliki. Mata pencaharian alternatif (MPA) yang ada adalah upaya pengolahan ikan asin dan pertanian sawah surutan. Untuk pengolahan ikan asin, tidak ditemukan industri pengolahan ikan asin. Kegiatan pengasinan masih terbatas pada sifat konsumsi rumah tangga saja. Bahan baku yang digunakan adalah ikan nila yang mati dari KJA. Untuk pertanian sawah surutan masyarakat biasa menanam padi ketika
111
permukaan air surut. Menurut penuturan informan bahwa lahan di daerah ini termasuk ke dalam kategori sangat subur. Satu petak sawah bisa menghasilkan minimal 500 kwintal gabah kering, bahkan ada penggarap yang bisa panen mencapai dua ton gabah kering. Aturan yang berlaku di dalam klaim kepemilikan sawah surutan adalah siapa yang dahulu pertama kali membuat petak sawah maka orang lain tidak boleh menggarapnya. Walaupun demikian, mereka menyadari bahwa tanah surutan tersebut adalah milik pemerintah. Untuk setiap petak tanah tidak dikenakan biaya apapun oleh pihak pemerintah. Sayangnya pihak pengelola waduk tidak menginformasikan waktu air akan pasang, sehingga seringkali sebelum panen air sudah kembali menggenangi sawah yang telah ditanami masyarakat. Hanya sikap pasrah saja yang dapat dilakukan oleh pihak nelayan yang menggarap sawah tersebut. Jaminan subsistensi terhadap nelayan kecil diberikan oleh bandar ikan. Setiap bandar ikan memberikan bantuan modal kepada masing-masing nelayan langganannya jika mereka membutuhkan. Bentuk pinjaman yang umum diberikan adalah berupa uang bukan barang. Sifat hubungan yang terjalin adalah mengikat, yaitu nelayan tersebut harus menjual ikan kepada bandar yang memberikan pinjaman dengan harga jual yang berlaku umum di daerah tersebut. Hubungan antara bandar ikan dengan nelayan tidak menyentuh kepada permasalahan selain masalah operasional. Mereka tidak menjamin permasalahan ekonomi keluarga nelayan secara cuma-cuma sebagai bentuk ikatan. Hubungan interdependensi yang terjalin di masyarakat lebih dilihat pada pola-pola hubungan bandar ikan dengan nelayan. Sebenarnya baik bandar ikan maupun nelayan menguasai sumberdaya yang berbeda, bandar ikan menguasai sumberdaya modal sementara nelayan menguasai sumberdaya manusianya. Artinya, pola interdependensi mensyaratkan adanya dua pihak yang menguasai sumberdaya yang
112
berbeda dan saling bekerjasama. Hubungan ini didasari atas tingkat kebutuhan yang sama, bandar ikan membutuhkan supply ikan yang terus-menerus dari nelayan. Sebaliknya, nelayan membutuhkan bandar ikan untuk mendapatkan bantuan modal dalam keberlangsungan usahanya. Dari hasil penuturan informan didapatkan informasi asal-muasalnya terjadi karena adanya bentuk-bentuk pinjaman yang mengikat para nelayan. Dahulu ketika bandar ikan masih sedikit maka pola-pola pinjaman mengikat belum terlalu terlihat dan terasa manfaatnya bagi bandar ikan. Sekarang ketika bandar ikan semakin banyak, maka usaha-usaha pemenuhan stok ikan bagi bandar ikan menjadi sebuah keperluan yang mendesak. Oleh karena itu, kemudian muncul pola-pola pinjaman mengikat kepada nelayan yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan stok ikan bagi bandar ikan. Dimensi Kelembagaan Tidak ada kelembagaan di masyarakat nelayan (dalam hal ini yang disoroti adalah kelompok nelayan) baik itu yang muncul dari inisiatif pemerintah maupun masyarakat sendiri. Kelembagaan yang ada hanyalah pola-pola hubungan seorang bandar ikan dengan nelayan. Dengan bahasa lain, bahwa kelompok nelayan yang terbentuk lebih erat kaitannya dengan pola hubungan patron-klien dengan berdasarkan kepada kepentingan ekonomi patron. Peranan kelembagaan yang ada di dalam hal meredakan konflik yang terjadi tidak teridentifikasi. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penuturan seorang informan didapatkan bahwa penyelesaian konflik yang terjadi umumnya dilakukan secara musyawarah oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jarang sekali masyarakat yang terlibat konflik penangkapan meminta bantuan penyelesaian kepada pihak ketiga.
113
Dimensi Politik Kepemimpinan yang ada di masyarakat berlandaskan kepada faktor kepemilikan modal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa peran tokoh-tokoh agama tidak terlihat di dalam kehidupan keseharian, tetapi seorang bandar ikan sangat berperan. Dari hasil wawancara, diketahui bahwa persepsi para anggota terhadap tokoh berpihak kepada permasalahan yang mereka hadapi, seperti permasalahan modal. Dalam hal ini bandar ikan yang dianggap mempunyai visi yang berpandangan jauh ke depan untuk mengusahakan keberlangsungan usahanya. Berdasarkan hasil wawancara, ifat berkorban untuk kepentingan orang banyak atau yang dikenal sebagai altruisme merupakan suatu hal yang dianggap mutlak ada pada diri seorang tokoh masyarakat. Selain itu, informan menganggap bahwa seorang tokoh masyarakat setidaknya dapat diterima dan didengar oleh masyarakat. Hal ini menandakan bahwa perlunya seorang pemimpin memiliki kemampuan berkomunikasi. Dari hasil wawancara maka prinsip-prinsip rasionalitas, transparansi dan akuntabilitas belum terlihat apakah telah dilakukan atau belum mengingat tidak ada kelembagaan yang jelas terbentuk dalam hubungannya dengan pembinaan nelayan terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan waduk ini. 5.3. Purwakarta, Jawa Barat. Perairan Waduk Jatiluhur merupakan perairan yang dikelola oleh Perum Jasa Tirta II (PJT II) dan berfungsi serbaguna. Masalah pokok dalam pengelolaan perairan di daerah ini adalah karena adanya interaksi antara aktifitas ekonomi dan daya dukung lingkungan yang semakin terbatas, baik karena pengaruh alam (cuaca dan musim) maupun yang timbul akibat kegiatan budidaya keramba jaring apung (KJA) dan
114
Gambar 7. Areal penangkapan ikan di perairan Waduk Jatiluhur, Purwakarta - Jawa Barat.
penangkapan. Dalam hal ini telah dilakukan upaya-upaya yang dilakukan oleh PJT II bekerjasama dengan lembaga terkait (Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Purwakarta, Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta dan Loka Riset Pemacuan Stock Ikan Jatiluhur, Departemen Kelautan dan Perikanan). Upaya-upaya tersebut mencakup penetapan tata ruang wilayah perairan waduk (zonasi), pemantauan dan pengendalian pengembangan budidaya KJA dan perikanan tangkap (Gambar 7). Dimensi Pengetahuan Lokal Masyarakat nelayan di daerah ini tidak mengenal adanya batas wilayah penangkapan. Bahkan dari hasil wawancara diketahui bahwa perihal mengenai zonasi yang ditetapkan oleh PJT II pun tidak banyak diketahui oleh nelayan. Kalaupun ada pembatasan wilayah yang diketahui nelayan hanya berupa wilayah berbahaya yang berada di dekat turbin. Sedangkan yang terkait dengan daerah operasi penangkapan, mereka menganggapnya bebas bagi siapapun dan dimanapun. Oleh karenanya masyarakat setempat pun tidak melakukan klaim atas wilayah perairan yang ada di tempat mereka tinggal. Alasan ini dapat diketahui dari hasil wawancara dengan para nelayan yang ditemui.
115
Umumnya mereka menyatakan bahwa jika seandainya mereka melakukan klaim wilayah dan melarang orang lain untuk menangkap di daerah tersebut, maka secara otomatis mereka pun akan dilarang untuk menangkap di daerah lain. Sedangkan ikan tidak dapat dilarang untuk berpindah tempat dari satu lokasi ke lokasi lain. Secara otomatis tidak ada yang berperan sebagai pemegang wewenang daerah penangkapan selain pihak PJT II sebagai otorita pengelola waduk. Sayangnya pihak PJT II tidak memberikan perhatian kepada nelayan tangkap menyangkut peraturan-peraturan ataupun pemberian distribusi hak pemanfaatan seperti halnya kepada pembudidaya KJA. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan yang berlaku di daerah waduk Jatiluhur dapat dilihat dari sifat kepemilikan, akses terhadap sumberdaya dan aturan-aturan yang ada di daerah tersebut. Asal muasal adanya kegiatan perikanan di daerah tersebut (baik KJA maupun penangkapan) adalah ditujukan bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat yang terkena dampak proyek pembangunan waduk. Masyarakat setempat memandang bahwa kepemilikan wilayah perairan adalah milik pemerintah melalui pihak PJT II. Terkait dengan sifat akses terhadap sumberdaya, dari hasil wawancara dan pengamatan di lapang dapat dilihat bahwa siapapun bebas untuk melakukan usaha penangkapan. Walaupun dari pihak pemerintah (Dinas Peternakan dan Perikanan) menerbitkan semacam surat izin usaha perikanan, namun lebih banyak nelayan yang tidak memilikinya. Dengan demikian walaupun berdasarkan yuridisnya sifat pengelolaan waduk Jatiluhur adalah bersifat state management, namun pada kenyataannya masyarakat memandang sifat pengelolaan tersebut bersifat open access. Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan yang saat ini berjalan di waduk Jatiluhur dapat dibagi menjadi dua. Pertama, dari pihak
116
pemerintah dan otorita pengelola waduk, telah menetapkan beberapa peraturan.Aturan-aturan tersebut antara lain adanya penetapan zonasi (kawasan bahaya, kawasan perlindungan, kawasan penangkapan, kawasan budidaya, kawasan perhubungan air dan kawasan wisata dan olah raga air), pembatasan mata jaring, pelarangan penggunaan alat tangkap yang merugikan (bom, dan racun), dan surat izin (SIUP) bagi nelayan tangkap. Namun sayangnya berdasarkan pengakuan para nelayan banyak dari mereka yang tidak mengetahui aturan-aturan tersebut. Mekanisme yang kedua adalah mekanisme yang berjalan di masyarakat. Seperti telah disebutkan di atas, bahwa tidak ada aturanaturan pengelolaan yang berasal dan berjalan di masyarakat. Kalaupun ada sesuatu yang dilakukan oleh masyarakat dan sesuai dengan aturan dari pemerintah, maka hal itu didasarkan pada motif ekonomi saja. Sebagai contoh, masyarakat nelayan jarang yang menggunakan mata jaring di bawah 3,5 inchi dan sesuai dengan peraturan pemerintah setempat. Tindakan ini sebenarnya dilatarbelakangi oleh karena tidak adanya pembeli (bandar ikan) yang menampung ikan-ikan berukuran kecil (di bawah satu kilo berisi lima ekor). Pelarangan penggunaan bom atau racun juga dicermati karena umumnya setelah melakukan kegiatan tersebut ikan tidak lagi muncul untuk waktu yang cukup lama di daerah tersebut. Terkait dengan konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan bisa dilihat dari beberapa hal. Nelayan setempat menyadari bahwa kondisi sumberdaya ikan pada saat ini telah cukup jauh berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. Namun mereka menolak anggapan bahwa ikan suatu saat akan habis. Menurut mereka penyebab dari semakin sedikitnya ikan (terutama ikan nila) adalah karena anakanak ikan tersebut dimakan oleh ikan-ikan predator (ikan oscar merah) yang sekarang ini semakin banyak. Masyarakat juga secara aktif
117
menghindari kegiatan-kegiatan penangkapan yang dianggap merugikan oleh mereka sendiri. Penggunaan mata jaring berukuran besar ditujukan agar benihbenih ikan tidak ikut terjerat. Selain karena tidak adanya bandar ikan yang membeli, tetapi secara tidak disadari mereka berupaya untuk melindungi benih-benih ikan. Pelarangan penggunaan racun dan bom juga didasari karena setelah kegiatan tersebut ikan-ikan tidak lagi di tempat itu. Hal ini berarti menambah biaya produksi (ongkos bensin dan bekal) jika harus mencari di tempat lain yang lebih jauh. Untuk wilayah Pasir Astana yang merupakan kawasan perlindungan sampai dengan sekarang masih banyak dihindari oleh nelayan. Alasan untuk menghindari bukan karena mengetahui daerah tersebut merupakan daerah larangan, tetapi karena di daerah tersebut banyak akar-akar ataupun ranting pohon yang tenggelam di air. Jika mereka memasang jaring di tempat tersebut, maka seringkali tersangkut dan rusak. Mekanisme penerapan upaya konservasi tidak dilakukan secara sistematis dan disadari oleh masyarakat. Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa penggunaan alat tangkap merugikan lebih disebabkan pada awalnya karena alasan-alasan ekonomi dibandingkan dengan alasan konservasi. Upaya yang dilakukan oleh pihak pemerintah belum juga secara utuh menyentuh kepada nelayan penangkap. Hal-hal yang dilakukan adalah berupa penerbitan izin usaha penangkapan dan melakukan restocking ikan. Sayangnya penerbitan SIUP bukan atau belum ditujukan untuk pengaturan pengelolaan namun hanya lebih ditekankan kepada pendataan dan retribusi. Bentuk sanksi dan mekanismenya atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan lebih mengacu kepada hukum formal. Hal ini disebabkan karena tildak adanya aturan-aturan yang muncul dan berlaku di masyarakat setempat. Dari beberapa kasus yang pernah terjadi,
118
masyarakat cenderung untuk membela diri ketika menghadapi sesuatu yang dianggap membahayakan keberlangsungan usahanya. Sebagai contoh pernah terjadi seorang nelayan pendatang yang berasal dari Karawang menggunakan alat tangkap pukat. Setelah dirasakan oleh nelayan setempat ikan-ikan semakin berkurang dan ikan-ikan yang kecil-kecil (benih ikan) ikut tertangkap oleh nelayan pendatang tersebut, maka mereka bersama-sama melarang dan membakar alat tangkap pukat tersebut. Nelayan pemilik pukat diusir dan dilarang kembali ke daerah tersebut. Kasus penggunaan racun juga pernah terjadi yang melibatkan seorang mantan anggota TNI. Masyarakat melalui seorang tokohnya kemudian melapor kepada pihak yang berwajib untuk menangkap nelayan tersebut. Hal ini dilakukan karena mereka telah berulangkali mengingatkan namun tidak digubris melainkan mendapatkan ancaman dan tantangan dari mantan anggota TNI tersebut. Dimensi Sistem Religi Masyarakat umumnya memeluk Agama Islam dalam kesehariannya, namun hal tersebut tidak menjadikannya sebagai sebuah pedoman hidup keseharian. Banyak dari mereka yang beranggapan bahwa permasalahan ibadah adalah masalah perseorangan. Walaupun sering mereka tidak melaksanakan ibadah agama namun sifat tunduk dan pasrah mereka terhadap Allah SWT sangat kental terasa. Pandangan bahwa perairan tersebut merupakan hidayah dari Allah bagi semua orang dan rejeki sudah ada yang mengatur bagi setiap orang sangat mewarnai kehidupan keseharian. Hal-hal yang bersifat ritual seperti semacam acara syukuran, selametan tidak begitu membudaya di masyarakat setempat.Walaupun dari hasil wawancara, mereka tidak mengelak ada orang-orang yang melakukan kegiatan ”suguhan” dengan tujuan agar mendapatkan hasil
119
tangkapan yang banyak. Dari hasil wawancara didapatkan bahwa kegiatan tersebut bersifat pribadi dan cenderung bertentangan dengan norma agama yang mereka anut. Masyarakat tidak turut campur terhadap orang-orang yang melakukan kegiatan tersebut. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah hanya dengan berdoa saja kepada Allah ketika mereka akan menangkap ikan. Tokoh agama pun tidak berperan di dalam kegiatan kemasyarakatan. Mereka hanya dianggap sebagai imam masjid atau mushollah saja. Bahkan untuk kegiatan ”suguhan” pun mereka tidak mengambil peran apapun untuk melarang walaupun kegiatan tersebut diketahui cenderung bertentangan dengan aturan agama Islam. Dimensi Ekonomi Dari pengamatan dan hasil wawancara yang dilakukan di lapang, didapatkan bahwa sudah sangat jarang sekali ditemui nelayan yang hanya bertujuan untuk subsistensi diri. Ikan hasil tangkapan biasanya hanya disisihkan sedikit saja untuk konsumsi sehari-hari dan sebagian besar dijual. Hal ini berlaku walaupun hasil tangkapan mereka sangat sedikit, terkadang dijual keseluruhannya. Dengan demikian sudah bisa dikatakan bahwa orientasi mereka di dalam melakukan kegiatan penangkapan adalah berorientasi ekonomi (uang). Untuk penangkapan secara umum belum ditemukan teknologi baru yang dapat berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan. Masyarakat setempat menganggap teknologi yang bisa memperbaiki usaha mereka adalah motor tempel dengan kekuatan yang cukup besar. Dari hasil pengamatan masih banyak nelayan yang menggunakan armada penangkapan berupa kapal dayung, layar dan rakit. Alasan dari keinginan penggunaan motor tempel adalah dengan alat tersebut mereka dapat berada cepat dan menghemat tenaga di suatu daerah yang fishing ground-nya jauh. Permasalahan yang muncul
120
sehingga masyarakat terlihat kurang adaptif adalah karena kurang kuatnya modal. Sedangkan alat tangkap yang dominan digunakan adalah berupa pancing, jala dan gill net dengan hasil tangkapan umumnya berupa ikan nila, mas, oscar dan jambal. Keterampilan fungsional yang ada di masyarakat sangat terkait dengan keahlian dan faktor modal serta ada atau tidaknya alternatif pekerjaan. Dari hasil wawancara dan observasi didapatkan bahwa jenis pekerjaan yang ada adalah sebagai nelayan, bandar ikan besar dan bandar ikan keliling. Pekerjaan sebagai seorang nelayan tidak membutuhkan keahlian yang tinggi tetapi lebih kepada kemauan dan keberanian saja. Seorang nelayan, sebelumnya bekerja sebagai petani penggarap di Sumatera Selatan dan tidak memiliki pengetahuan apapun tentang penangkapan. Setelah bermukim di daerah ini, mulai mempelajari penangkapan dengan melihat dan bertanya kepada orangorang yang lebih dahulu melakukan kegiatan ini. Keterampilan fungsional juga didasarkan atas faktor modal, banyak yang berkeinginan untuk tidak menjadi nelayan tangkap tetapi menjadi seperti bandar ikan besar dan keliling namun mereka tidak memiliki kemampuan modal. Walaupun kemudian tidak dipungkiri dari hasil wawancara bahwa pekerjaan sebagai seorang bandar ikan haruslah memiliki kemampuan untuk membuka jaringan pemasaran hasil tangkapan. Kemampuan masyarakat dalam membangun kerjasama dalam proses produksi tidak terlihat. Hal yang sering terjadi justru bukan di dalam bidang produksi tetapi di dalam hal kemasyarakatan. Sebagai contoh, misalnya seseorang akan membantu ketika salah seorang dari mereka mendapatkan musibah tenggelam di perairan waduk. Upaya berinvestasi diawali dengan keinginan dan seberapa jauh mereka menerapkan budaya menabung. Informan yang di wawancara mengungkapkan bahwa kebiasaan menabung sebenarnya kerap
121
dilakukan ketika mendapatkan hasil tangkapan yang cukup banyak. Umumnya hasil menabung tersebut digunakan untuk membeli emas yang akan bisa dijual kembali dengan cepat ketika mereka memerlukan uang, kemudian membeli alat tangkap baru untuk mengganti yang rusak atau menambah jaring yang sudah dimiliki. Sedangkan umumnya mereka memiliki ikatan hutang-piutang kepada bandar ikan, tetapi hal ini tidak dianggap memberatkan karena pemotongan pinjaman dilakukan ketika mendapatkan ikan banyak dan tanpa batas waktu pengembalian. Mata pencaharia alternatif (MPA) yang ada adalah upaya pengolahan ikan asin. Kegiatan yang dilakukan masih bersifat skala rumah tangga dan sampingan. Bahan baku yang digunakan adalah ikan nila yang mati dari KJA atau ikan oscar (karena harga ikan segar dengan olahannya berbeda Rp.2.000,-). Seperti yang dituturkan oleh salah seorang informan, bahwa tujuan pengasinan ikan oscar adalah untuk meningkatkan nilai jualnya. Jaminan subsistensi terhadap nelayan kecil diberikan oleh bandar ikan besar dan bandar ikan keliling. Umumnya setiap bandar ikan keliling memiliki langganan tetap beberapa nelayan (bisa mencapai 20-50 orang per bandar keliling). Setiap bandar keliling memberikan bantuan modal kepada masing-masing nelayan langganannya jika mereka membutuhkan. Bentuk yang umum diberikan adalah barang bukan berupa uang. Sifat hubungan yang terjalin adalah mengikat, yaitu nelayan harus menjual ikan kepada bandar keliling yang memberikan pinjaman dengan harga jual yang berlaku umum di daerah tersebut. Setiap bandar keliling pun memiliki ikatan kepada satu orang bandar ikan besar tempat mereka menjual hasil tangkapan dengan mengambil keuntungan sebesar Rp 500,00 per kilogram ikan. Namun hubungan antara bandar ikan dengan nelayan tidak menyentuh kepada permasalahan selain masalah operasional. Mereka tidak menjamin
122
permasalahan ekonomi keluarga nelayan secara cuma-cuma sebagai bentuk ikatan, tetapi seandainya pun meminjamkan bantuan maka hal tersebut terhitung sebagai hutang. Hubungan interdependensi yang terjalin di masyarakat lebih dilihat pada pola-pola hubungan bandar ikan dengan nelayan. Sebenarnya baik bandar ikan maupun nelayan menguasai sumberdaya yang berbeda, bandar ikan menguasai sumberdaya modal sementara nelayan menguasai sumberdaya manusianya. Artinya, pola interdependensi mensyaratkan adanya dua pihak yang menguasai sumberdaya yang berbeda dan saling bekerja sama. Hubungan ini didasari atas tingkat kebutuhan yang sama, bandar ikan membutuhkan supply ikan yang terus-menerus dari nelayan. Sedangkan nelayan membutuhkan bandar ikan untuk mendapatkan bantuan modal dalam keberlangsungan usahanya. Dari hasil penuturan informan didapatkan informasi asalmuasalnya terjadi bentuk-bentuk pinjaman mengikat kepada para nelayan. Dahulu ketika masih sedikit bandar ikan maka pola-pola pinjaman mengikat belum terlalu terlihat dan terasa manfaatnya. Sedangkan sekarang ketika semakin banyak bandar ikan, maka usahausaha pemenuhan stok ikan menjadi sebuah keperluan yang mendesak. Kemudian muncul pola-pola pinjaman mengikat kepada nelayan yang bertujuan untuk menjaga keberlangsungan stok ikan bagi para bandar ikan. Dimensi Kelembagaan Kelembagaan yang ada di masyarakat nelayan (dalam hal ini yang disoroti adalah kelompok nelayan) awalnya berasal dari insiatif pemerintah daerah. Kelompok nelayan yang berdiri bersifat informal dan berdasarkan penuturan informan bahwa terdapat empat kelompok besar nelayan. Kelompok nelayan tersebut berdiri pada sekitar tahun 2003. Ketika itu nelayan dianjurkan untuk membuat kelompok-
123
kelompok dan bertujuan agar memudahkan di dalam masalah pembinaan, penyuluhan dan penyaluran bantuan. Mekanisme yang berjalan di kelompok nelayan adalah seorang bandar ikan besar dengan beberapa orang bandar ikan keliling serta ditambah dengan nelayan. Kelompok nelayan yang terbentuk lebih erat kaitannya dengan pola hubungan patron-klien dengan berdasarkan kepada kepentingan ekonomi dan sosial. Dari hasil wawancara yang dilakukan, diperoleh informasi bahwa kelompok-kelompok nelayan tersebut tidak memiliki aturan-aturan tertulis tentang operasionalisasi kelembagaan (tidak terdapat AD/ART). Namun demikian pada kelompok nelayan yang menamakan diri Himpunan Nelayan Perairan Umum Jatiluhur (HIMPUJAT) telah memiliki sebuah koperasi nelayan yang bernama Koperasi Nelayan Sawarga. Koperasi nelayan ini juga berdiri pada tahun 2003 dan telah memiliki badan hukum. Sifat dari koperasi ini adalah formal dengan unit usaha berupa simpan pinjam. Anggotanya adalah seluruh anggota yang menjadi anggota kelompok nelayan tersebut. Tidak ada peranan kelembagaan yang ada di dalam hal meredakan konflik yang terjadi diantara masyarakat nelayan. Hal ini disebabkan karena berdasarkan penuturan seorang informan didapatkan bahwa penyelesaian konflik yang terjadi umumnya dilakukan secara musyawarah oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Jarang sekali masyarakat yang terlibat konflik penangkapan meminta bantuan penyelesaian kepada pihak ketiga. Selain itu karena keberadaan kelompok ini masih baru maka belum begitu jelas peranannya di dalam kehidupan keseharian nelayan. Namun demikian, kelompok nelayan memiliki peran di dalam pengurusan permasalahan perizinan. Melalui kelompok nelayan, pemerintah daerah mulai berusaha menertibkan dengan cara bekerjasama di dalam pengurusan perizinan sebesar Rp 15.000,- per tahun. Selain itu, mulai tahun ini mereka mendapatkan satu piece gill net setiap mengurus surat izin.
124
Dimensi Politik Kepemimpinan yang ada di masyarakat berlandaskan kepada faktor kepemilikan modal. Seperti telah disebutkan di atas bahwa peran tokoh-tokoh agama tidak terlihat di dalam kehidupan keseharian. Peran seorang bandar ikan besar sangat berperan dalam keseharian, yang umumnya juga merupakan ketua kelompok nelayan. Karena sifat kelompok nelayan ini adalah informal, maka tidaklah terlalu terlihat sesuatu yang dianggap menjadi visi dari ketua kelompok. Dari hasil wawancara yang dilakukan, diketahui bahwa persepsi para anggota terhadap ketuanya adalah ketua kelompok haruslah berpihak kepada permasalahan yang mereka hadapi, seperti permasalahan modal. Seorang ketua kelompok haruslah bisa memberikan jaminan keberlangsungan usaha kepada anggotanya. Hal ini terjadi karena kelompok nelayan yang ada walaupun hasil bentukan pemerintah namun memiliki struktur patron-klien. Berdasarkan hasil wawancara, maka sifat berkorban untuk kepentingan orang banyak atau yang dikenal sebagai altruisme merupakan suatu hal yang dianggap mutlak ada pada diri seorang ketua kelompok. Seperti halnya yang dilakukan oleh ketua kelompok nelayan HIMPUJAT yang harus berkorban secara materi untuk melunasi hutang-hutang kepada pemerintah terkait dengan pengurusan surat izin penangkapan. Selain itu, informan menganggap bahwa seorang ketua kelompok setidaknya dapat diterima dan didengar oleh anggotanya. Hal ini menandakan bahwa perlunya seorang pemimpin memiliki kemampuan berkomunikasi. Berdasarkan pengakuan anggota kelompok nelayan tersebut, maka secara umum mereka mengakui kepemimpinan ketua kelompoknya karena memiliki kemampuan manajerial dan permodalan. Ketua kelompok nelayan yang juga berprofesi sebagai seorang bandar ikan besar membina anggotanya dengan cara tidak membeli
125
hasil tangkapan yang berupa ikan-ikan kecil (benih ikan). Hal ini ditujukan untuk membina atau menginspirasikan anggota agar tidak menggunakan mata jaring yang berukuran kurang dari 3,5 inchi. Selain itu, perihal pemberian satu piece gill net kepada anggota yang mengurus surat izin penangkapan juga ditujukan agar seluruh anggota kelompok memiliki surat izin tersebut. Terkait dengan pengambilan keputusan, dari hasil wawancara terhadap ketua kelompok nelayan mengaku melakukannya secara bermusyawarah. Walaupun kemudian pengambilan keputusan dilakukan oleh beberapa orang, tetapi hal tersebut diketahui oleh seluruh anggota. Terkait dengan permasalahan anggaran, ketua kelompok secara terus terang mengakui belum melakukan pelaporan kepada anggota secara terbuka. Hal ini disebabkan karena masih sederhananya organisasi yang dipimpinnya. Namun jika ada anggota kelompok yang menanyakan tentang permasalahan keuangan, maka dengan cepat dia akan memberikan catatan keuangannya. Dari uraian tersebut maka prinsip-prinsip rasionalitas, transparansi dan akuntabilitas sudah dilakukan walaupun hanya dalam batas-batas tertentu saja. 5.4. Musi Banyuasin, Sumatera Selatan Pemukiman yang bersifat menetap pada masyarakat nelayan di Sumatera Selatan secara umum terpusat pada masing-masing lokasi desa dengan ciri didominasi oleh etnis lokal. Di lain pihak masingmasing keluarga nelayan juga mempunyai tempat tinggal sementara pada wilayah perairan dimana mereka melaksanakan penangkapan ikan. Pada dua desa contoh yaitu Desa Kayu Ara dan Desa Danau Cala, Kabupaten Musi Banyuasin, sebagian besar masyartakat nelayan berprofesi sebagai nelayan penangkap ikan yang melaksanakan penangkapan ikan di perairan rawa banjiran (lebak lebung). Sementara
126
profesi sebagai pedagang pengumpul ikan lebih banyak dilakukan oleh para pemilik modal yang mendapatkan hak penangkapan ikan. Lokasi desa terletak kurang lebih 120 km dari kota Palembang dengan lama waktu tempuh sekitar 120-130 menit. Dimensi Pengetahuan Lokal Pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pedalaman di wilayah Sumatera Selatan terutama diatur melalui peraturan daerah (perda) tingkat kabupaten. Dalam perda tersebut diatur terutama pada sumberdaya perikanan yang terdapat pada perairan pedalaman berupa perairan sungai dan rawa banjiran (lebak lebung) di kiri kanan sungai tersebut. Berdasarkan hasil wawancara dengan nelayan diketahui bahwa persepsi masyarakat terhadap konsepsi hak kepemilikan dalam pengaturan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di perairan pedalaman pada prinsipnya mereka menyatakan bahwa sumberdaya perikanan adalah anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa yang pengaturannya dilakukan oleh pemerintah setempat. Sistem pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan yang berlaku tidak bersifat open access, melainkan ada property right system, baik menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim penangkapan atau fishing right lainnya. Hak kepemilikan terhadap sumberdaya perikanan yang berada di perairan pedalaman tersebut dapat diperoleh seseorang atau anggota masyarakat setempat melalui proses ”lelang” yang diadakan oleh pemerintah setempat. Mekanisme pengelolaan dilakukan melalui lelang umum yang dihadiri oleh masyarakat nelayan dan pelelangan dilaksanakan oleh panitia lelang yang dibentuk oleh pemerintah setempat. Lelang dilakukan dengan mekanisme harga naik-naik dengan harga pertama ditetapkan oleh panitia lelang (sebagai harga standar). Mekanisme
127
Gambar 8. Contoh sarana penangkapan ikan di perairan umum sungai dan rawa di Sumatera Selatan.
pemanfaatan baik menyangkut fishing ground, pengaturan alat tangkap, musim penangkapan atau fishing right lainnya pada perairan yang dimenangkan oleh seseorang diatur oleh pemenang lelang tersebut. Pemenang lelang memiliki hak penuh dalam mengatur siapa saja yang berhak melaksanakan kegiatan penangkapan ikan, menggunakan alat tangkap apa saja, kapan saja dan lokasi dimana saja seseorang nelayan lainnya dapat melaksanakan kegiatan penangkapan ikan. Dalam hal pemanfaatan, suatu hal yang biasa terjadi pada perairan pedalaman yang dilelangkan dimanfaatkan sepanjang tahun meskipun menggunakan teknologi yang sederhana (Gambar 8). Teknologi penangkapan ikan yang dilaksanakan secara sederhana tersebut telah memperhatikan hal-hal yang berhubungan dengan tingkah laku ikan dan penangkapan dilakukan dengan berbagai jenis dan tipe alat tangkap. Konsepsi upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan perairan pedalaman termasuk dalam peraturan daerah yang mengatur lelang lebak lebung. Dalam pengaturan tersebut misalnya terdapat pelarangan penggunaan hempang dengan jarak antar bilah bambu lebih kecil dari 1 cm. Begitu pula dengan pelarangan penggunaan mata jaring yang lebih kecil dari 1 cm.Tambahan pula, penetapan kawasan reservat (daerah perlindungan)
128
perikanan yang berfungsi sebagai daerah yang terlarang sama sekali dalam melaksanakan kegiatan penangkapan ikan. Mekanisme penerapan upaya konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan yang telah ada antara lain dengan menetapkan suatu perairan sebagai suatu perairan konservasi melalui suatu surat keputusan bupati. Selanjutnya keputusan bupati tersebut disampaikan kepada dinas perikanan dan kelautan setempat untuk selanjutnya dilakukan tindak lanjut baik berupa upaya pengawasan dan atau upaya pemeliharaannya. Mekanisme penegakan peraturan tentang pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan dilakukan dengan cara menetapkan batas-batas perairan yang berfungsi sebagai reservat, menetapkan penjaga dan pembuatan rumah jaga di perairan reservat. Namun demikian, hingga sejauh ini belum ada ditemukan pelanggaran penangkapan ikan di wilayah konservasi. Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan pemanfaatan, pengelolaan dan konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan berupa peringatan, perampasan terhadap alat tangkap yang digunakan dan denda sesuai dengan pengaturan yang disepakati antara pemilik perairan dan penyewa. Disamping itu, juga dilakukan pengawasan dan larangan melaksanakan penangkapan ikan menggunakan bahan dan alat yang dapat merusak sumberdaya perikanan seperti penggunaan arus listrik, penggunaan tuba dan racun. Mekanisme dan bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan sumberdaya kelautan dan perikanan tersebut tampaknya belum efektif dalam pelaksanaannya di lapangan. Hal ini terlihat dengan banyaknya penggunaan alat tangkap baik hempang maupun jaring dengan mata jaring lebih kecil dari 1 cm. Dimensi Sistem Religi Sebagian besar masyarakat nelayan di dua desa ini menganut agama Islam, yang juga berfungsi sebagai dasar dalam menjalani kehidupan.
129
Belum ditemui adanya suatu aliran kepercayaan tertentu yang dianut masyarakat tersebut.Agama Islam tersebut digunakan masyarakat tidak saja terbatas untuk hubungan antara manusia dan pencipta-Nya tetapi juga termasuk hubungan antar manusia. Terdapat kepercayaan-kepercayaan (berdasarkan agama dan aliran kepercayaan yang dianut) dalam hal-hal tertentu yang berhubungan dengan kegiatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan yaitu berupa kepercayaan bahwa ikan yang ada di sungai atau perairan tidak akan habis karena ikan tersebut merupakan anugrah Tuhan. Terkait dengan perairan atau sungai sebagai tempat mencari nafkah atau penghidupan khususnya nelayan maka rasa syukur terhadap sang pencipta disimbolkan oleh kegiatan berdoa sebelum melaksanakan panen ikan. Hal ini dilakukan misalnya pada saat melaksanakan panen ikan pada kegiatan penangkapan ikan menggunakan hempang bambu, tetapi tanpa adanya sesajian yang dibuang ke perairan atau disediakan di perairan. Artinya, belum ditemukan adanya kepercayaan tertentu dalam hubungannya dengan kegiatan ekonomi masyarakat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam pengambilan keputusan pada kegiatan sosial politik masyarakat tidak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh agama dan atau aliran kepercayaan tertentu yang terdapat dalam masyarakat yang bersangkutan. Hal ini dapat dilihat dari tokoh-tokoh yang diakui masyarakat tidak merupakan pemuka agama setempat. Oleh karena itu belum terdapat penggunaan konsepsi atau paham agama atau aliran kepercayaan tertentu dalam mendukung atau menolak suatu program pembangunan yang disampaikan oleh pemerintah setempat. Dimensi Ekonomi Sebagian besar produksi perikanan di desa contoh ditujukan untuk dijual, hanya sedikit saja yang digunakan untuk dikonsumsi atau
130
diberikan kepada keluarga dan atau kerabat. Produksi tersebut baik yang berupa ikan segar hasil tangkapan maupun ikan olahan (ikan asap dan ikan asin). Berdasarkan saluran pemasarannya, hasil tangkapan nelayan perairan umum sebagian besar dijual kepada pedagang yang sekaligus merupakan pemilik perairan (pemenang lelang). Beberapa alasan terjadinya mekanisme penjualan seperti ini antara lain adalah adanya keterikatan dalam perjanjian awal pada saat akan melaksanakan penangkapan ikan. Artinya nelayan menjual ikan hasil tangkapannya harus kepada pedagang tersebut karena keterikatan hutang (sewa perairan diperhitungkan dari sebagian nilai ikan hasil tangkapan). Dalam hal ini dapat dikatakan terjadi pola hubungan patron-klien, meskipun harga ikan ditentukan atas kesepakatan yang berlaku di pasaran. Adanya pola patron-klien dalam hal ini menyebabkan hanya sebagian kecil masyarakat nelayan yang mampu memanfaatkan dan mengubah (merekayasa) hasil temuan baru dari luar maupun dalam yang berimplikasi terhadap perbaikan kinerja usaha perikanan setempat. Dapat dilihat pada peralatan penangkapan ikan yang digunakan oleh masyarakat nelayan telah mempertimbangkan tingkah laku ikan meskipun alat tangkap yang digunakan sederhana dan tradisional. Keterampilan fungsional yang dimiliki oleh masyarakat nelayan dapat dikelompokkan berdasarkan mata pencaharian. Mata pencaharian yang terkait dalam hal ini adalah nelayan, petani kebun dan pembuat alat tangkap perikanan. Keberadaan kemampuan masyarakat nelayan dalam membangun kerjasama secara nyata untuk menyelesaikan pekerjaan tertentu yang memerlukan tenaga kerja lebih dari satu orang dalam proses produksi dapat dilihat dari kegiatan gotong royong di dalam melaksanakan penangkapan ikan menggunakan drive and push net (ngesar sungai). Hal ini dikarenakan kegiatan ekonomi sangat didominasi oleh perikanan
131
tangkap yang menggunakan alat tangkap tradisional yang sederhana tetapi dapat menangkap ikan dengan produktivitas yang tinggi. Menyimak kehidupan sosial budaya di desa contoh, dapat dikatakan gotong royong yang ada di dalam proses produksi tidak lagi bersifat bantu membantu atau sosial. Tenaga kerja yang diperlukan dalam pelaksanaan penangkapan ikan menggunakan alat tangkap apapun sudah merupakan tenaga upahan meskipun ada hubungan kekerabatan. Kerabat dalam hal ini hanya berfungsi sebagai sarana menjadi pelaksana kegiatan penangkapan ikan pada perairan yang dimiliki seseorang. Gotong royong yang bersifat sosial hanya terjadi pada saat ada anggota masyarakat yang tertimpa musibah misalnya kematian. Berdasarkan hasil wawancara diketahui bahwa ada upaya nelayan dalam melakukan investasi pada usaha penangkapan ikan sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Hal ini tercermin dari adanya simpanan nelayan yang berupa ikan olahan (ikan asin atau ikan asap). Untuk masyarakat nelayan (penangkapan) mereka akan menambah jumlah alat tangkap (terutama menggunakan hempang bambu). Lebih lanjut fenomena yang terjadi saat ini adalah keinginan para pelaksana penangkapan ikan untuk memenuhi pembayaran sewa perairan dan biaya pengadaan sarana dan prasarana penangkapan ikan. Perilaku ini muncul karena tidak adanya posisi tawar dari nelayan terhadap harga jual yang ditentukan oleh pedagang yang membeli ikan mereka. Fenomena ini juga dapat menjelaskan bahwa tidak ada faktor di luar ekonomi yang berpengaruh terhadap terjadinya transaksi. Ketersediaan mata pencaharian alternatif dapat dikatakan sangat terbatas yaitu hanya berupa lahan sawah dan kebun yang memerlukan modal untuk mendapatkannya.Tambahan pula, bagi masyarakat nelayan penangkapan hal ini selain karena rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan mereka. Sementara itu kemauan yang tinggi, meskipun belum dikatakan mata pencaharian alternatif, lebih dapat ditemukan
132
pada masyarakat yang berprofesi sebagai pedagang ikan. Sebagai contoh pedagang ikan tidak hanya membeli ikan pada perairan yang dikuasainya tetapi juga pada perairan dan nelayan lainnya dengan cara memperluas jaringan pelayanan mereka baik dalam pengadaan modal dan ataupun kebutuhan masyarakat nelayan sehari-hari. Di desa contoh telah pula terjadi spesialisasi pekerjaan di sektor kelautan dan perikanan, baik dalam perikanan tangkap maupun non perikanan. Dalam masyarakat desa tersebut dapat diketahui adanya kelompok masyarakat nelayan penangkap, pekebun dan petani sawah serta pedagang ikan. Namun demikian belum dapat ditelusuri adanya suatu hubungan yang bersifat positif antar kelompok tersebut. Hubungan yang positif dapat terjadi manakala keberadaan kelompokkelompok itu menjadikan saling ketergantungan yang seimbang dan menjamin keberlanjutan usaha perikanan di daerah tersebut. Jaringan Kerjasama Kolektif (JKK) akan terwujud apabila terjalin hubungan yang memberi jaminan subsistensi (kehidupan) terhadap buruh atau nelayan yang paling bawah. Di desa contoh, JKK ini lebih terlihat dalam wujud sistem kekerabatan. Sistem kekerabatan dalam hal ini adalah kepercayaan dari pemenang lelang perairan terhadap sanak saudaranya untuk melaksanakan kegiatan penangkapan ikan pada perairan miliknya. Sistem kekerabatan yang berlaku tidak hanya pada keluarga inti namun melingkupi keluarga besar (keluarga suami dan keluarga istri serta anak dan cucu). Namun demikian pembagian insentif berlaku selalu akan menggambarkan sebaran kontribusi dari masingmasing pelaku kegiatan ekonomi sektor kelautan dan perikanan. Hal ini tercermin dari bagi hasil yang diterapkan tidak terjadi perbedaan antara yang kerabat dengan non-kerabat dalam suatu kegiatan penangkapan yang sifatnya berkelompok (membutuhkan tenaga lebih dari satu orang).
133
Kemampuan masyarakat nelayan dalam memahami akan pentingnya melakukan pekerjaan secara terencana, logis dan terukur dapat dilihat dari rutinitas kegiatan atau pekerjaan sehari-hari. Hal ini tergambar secara nyata dalam perencanaan pembangunan alat tangkap (berupa corong, filtering device), mulai dari penentuan lokasi, waktu pembuatan dan ukuran dan bahan-bahan (jenis kayu dan bambu) yang digunakan. Hal ini misalnya tergambar dari adanya pendapat nelayan yang mengemukakan bahwa lokasi yang dipilih umumnya harus tepat dalam arti memiliki produktivitas tinggi, relatif aman dari gelombang sehingga alat tangkap yang dipasang dapat bertahan lebih lama karena pembuatan dan perancangannya yang benar. Dimensi Kelembagaan Lembaga yang terbentuk dalam masyarakat nelayan di desa contoh saat ini hanya berupa kelompok-kelompok informal yang terdiri dari kelompok nelayan pelaksana penangkapan ikan. Terbentuknya kelompok-kelompok ini dikarenakan oleh hubungan kekerabatan sebagaimana diuraikan diatas. Lembaga-lembaga informal tersebut berfungsi di dalam meredakan dan atau menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat nelayan melalui tokoh-tokohnya. Penguasaan pemerintahan desa tidak banyak berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat desa tersebut. Dalam hal ini, terdapat kebersamaan masyarakat melalui lembaga informal nelayan secara sukarela untuk mencapai win-win solution melalui tokoh-tokohnya. Oleh karena itu, lembaga-lembaga yang ada masih bersifat pasif dalam kaintannya dalam memenuhi kebutuhan masyarakat nelayan. Pemimpin atau beberapa anggota suatu lembaga sosial / kemasyarakatan yang ditokohkan di desa contoh memiliki kemampuan dalam pemecahan konflik yang terjadi di masyarakat dan menggalang kebersamaan secara sukarela untuk mencapai win-win solution. Hal ini
134
antara lain karena Kepala Desa merupakan pilihan masyarakat setempat. Pada umumnya masyarakat nelayan taat terhadap aturanaturan yang ditetapkan dan diberlakukan dalam kelompoknya. Hal ini tergambar dari adanya ketaatan nelayan dalam transaksi ikan hasil tangkapan mereka yang tertuju pada pedagang tertentu yang menjadi bos-nya. Keberadaan dan penerapan sanksi atas pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku atau diterapkan didalam suatu lembaga sosial/kemasyarakatan tidak saja hanya berupa sanksi moral tetapi juga berupa denda jika terdapat kerusakan pada salah satu pihak yang bertikai. Hal ini tampaknya berlaku efektif untuk mengurangi pelanggaran-pelanggaran atas aturan-aturan yang diberlakukan. Dimensi Politik Hinggga saat ini diketahui bahwa secara umum pemimpin yang ada di desa contoh tampaknya masih lebih cenderung berorientasi kepada kepentingan kelompok masyarakat nelayan jika dibandingkan dengan kepentingan masyarakat pedagang atau petani atau pekebun. Tidak didapatkan informasi yang menyatakan bahwa adanya isu-isu negatif yang berhubungan dengan kebijakan yang dikeluarkan oleh pimpinan di kedua desa contoh tersebut. Ada beberapa informasi yang mengarah kepada isu negatif yang muncul dari kelompok yang memiliki kepentingan yang berseberangan dengan kelompok masyarakat nelayan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa visi pimpinan yang ada di desa tersebut sebagian besar telah dapat dipahami oleh sebagian masyarakat terutama masyarakat nelayan. Disamping itu, sebagian besar visi yang ada telah mencerminkan terpenuhinya aspirasi dan kebutuhan masyarakat dalam visi yang dimiliki pimpinan tersebut. Pimpinan yang ada umumnya telah memiliki kemampuan dalam memahami dan menempatkan diri pada kondisi/persepsi pihak lain
135
untuk mendapatkan manfaat bersama. Pimpinan juga, cukup mampu berkorban untuk memperoleh kepercayaan masyarakat jika diperlukan sehingga dapat digunakan untuk menggerakkan kemajuan ekonomi masyarakat nelayan setempat secara lebih cepat dan terarah. Pimpinan telah pula memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan anggota masyarakat yang dipimpinnya. Pemimpin cukup memiliki kemampuan memberi inspirasi dan mengarahkan anggota masyarakat yang dipimpinnya di dalam kelompok masyarakat dimana ia berasal. Anggota masyarakat setempat secara umum dapat memberikan penilaian terhadap tokoh pemimpin (pimpinan) di lihat dari aspek kejujuran, mengemban kepercayaan dan menerapkan prinsip keadilan serta memiliki kematangan emosional. Meskipun belum sepenuhnya terjadi transparansi di dalam pengambilan keputusan tetapi isu-isu negatif hanya timbul pada sebagian kecil masyarakat, terutama dari kelompok masyarakat yang bukan merupakan daerah asal pemimpin tersebut. Tambahan pula bahwa faktor-faktor yang di nilai sebagian besar telah cukup mencerminkan alur logika/pemikiran yg dapat di terima secara kolektif oleh setiap kelompok masyarakat. Namun demikian, masih terdapat beberapa kelemahan pada penerapan azas rasionalitas dan akuntabilitas, tetapi keputusan yang telah diambil dapat dikaji kembali dan diputuskan ulang sehingga diusahakan akan terjalin kesamaan kepentingan antara pemegang kekuasaan dan masyarakat secara luas.
137
VI. CIRI-CIRI UMUM
MASYARAKAT NELAYAN
Data kualitatif yang bersumber dari wawancara dan observasi diolah dengan pernyataan-pernyataan deskriptif, sebagaimana dikemukakan pada bagian 4 dan 5. Informasi seluruh kondisi sosial budaya masyarakat nelayan diolah dan ditentukan ciri-ciri umumnya berdasarkan pengelompokan perairan laut dan perairan pedalaman. Ciri-ciri umum kondisi sosial budaya pada masyarakat nelayan dengan tipologi ekosistem perairan laut disajikan dalam Tabel 7. Kemudian, ciriciri umum untuk masyarakat nelayan perairan pedalaman dikemukakan pada Tabel 8. Tabel 7. Ciri-ciri Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Perairan Laut.
No.
1.1.
Dimensi dan Faktor
Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP)
Atribut/Verifier
Persepsi dan konsepsi terhadap sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDKP
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan
1.2.
Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan di Perairan Laut
· Perairan di daerah ini bebas bagi siapapun untuk mengakses dan memanfaatkan. Persepsi ini muncul didorong atas pola hubungan manusia dengan Tuhan. · Tidak ada penetapan batas wilayah dan atau wilayah penangkapan · Tidak ada Hak kepemilikan · Tidak ada pemegang wewenang dan pendistribusian hak kepemilikan
Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDP
Open access
Persepsi dan konsepsi upaya konservasi
Tidak ada persepsi dan konsepsi upaya konservasi SDP.
Mekanisme upaya konservasi
Tidak ada upaya konservasi baik langsung maupun tidak langsung (seperti motif ekonomi)
138
Lanjutan Tabel 7 Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan di Perairan Laut
No.
Dimensi dan Faktor
Atribut/Verifier
1.3.
Penegakan peraturan (law enforcement)
Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan.
Belum ada sanksi yang bersumber dari masyarakat
Mekanisme penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan.
Tidak ada mekanisme yang berjalan di masyarakat
Efektivitas penegakan peraturan.
Tidak ada
Agama dan atau kepercayaan yang dianut Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Simbolik hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat.
Agama menjadi panduan dalam aktivitas keseharian Prinsip agama tidak digunakan dalam kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat.
2.1. 2.2
Agama dan atau kepercayaan yang dianut Hubungan antara agama dan atau kepercaya an dengan kegiatan ekonomi masyarakat
Ada dengan melibatkan interaksi sesama manusia, karena sekedar ritual sifatnya menjadi sesuatu yang tidak kondusif.
2.3
Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik masyarakat
Peranan tokoh-tokoh agama dan atau kepercayaan.
Kurang Berperan
3.1.
Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya
Orientasi kegiatan produksi
Berorientasi pasar
Pandangan terhadap inovasi teknologi yang digunakan (termasuk pemahaman akan teknologi ramah lingkungan) Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi
Ada keinginan berinovasi
Diversifikasi MPA
Keinginan melakukan diversifikasi MPA rendah (terbatas pada sektor perikanan) namun peluang terbatas
Spesialisasi pekerjaan
Pembagian peran sangat terbatas
Keterampilan fungsional yang dimiliki nelayan
Mayoritas tidak ada keterampilan fungsional Perbedaan keterampilan fungsional terlihat pada kelompok pengolah ikan
3.2
Pembagian Peran dalam Kegiatan produksi
Investasi kecil dan lamban
139
Lanjutan Tabel 7
No.
3.3.
Dimensi dan Faktor
Sistem Jaminan Sosial
Atribut/Verifier
Kemampuan kerjasama Interdependensi
Struktur hubungan Sharing system
Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan di Perairan Laut
Kerjasama hanya terjadi di luar aspek produksi Tingkat ketergantungan intra (mis. juragan/bakul – nelayan) dan inter- kelompok (mis.nelayan dgn pengolah ikan) tinggi. Struktur hubungan asimetris. Pendistribusian hasil tidak berimbang antara juragan/bakul – nelayan.
3.4.
Tingkat konsumsi ikan
Tingkat konsumsi ikan
Tingkat konsumsi ikan tinggi.
4.1
Asal usul lembaga
Proses pembentukan
Masyarakat dengan berdasarkan kesukuan (kelompok nelayan) serta pemerintah (KUD). Baik lembaga formal maupun non formal tidak berpengaruh. Terbatas pada anggota
Sifat lembaga 4.2
Eksistensi lembaga
Batas kewenangan
Aturan representasi Aturan main dari lembaga 4.3 5.1
Manajemen konflik Tuntutan dan Dukungan terhadap sistem politik
Conflict resolution Penilaian kepemimpinan oleh masyarakat Dukungan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat
5.2
Sistem Politik
Proses pengambilan keputusan / aturan representasi publik
5.3
Keputusan dan Kebijakan
Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar
Tidak dapat mewakili dan memenuhi kebutuhan anggota Ada aturan main yang jelas dan dipatuhi Tidak ada manajemen konflik. Penilaian berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan etnis serta diakui oleh anggota. Dukungan tinggi untuk (lembaga non formal), sedangkan untuk lembaga formal dukungan rendah, cenderung menentang. Sangat sepihak, tidak mencerminkan representasi anggota. Tidak selaras.
140
Tabel 8. Ciri-ciri Umum Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Perairan Pedalaman. No.
1.1.
1.2.
Dimensi dan Faktor Pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP)
Konservasi sumberdaya kelautan dan perikanan
Atribut/Verifier
Sungai-Rawa
Penegakan peraturan (law enforcement)
2.1.
Agama dan atau kepercayaan yang dianut
2.2
Hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat
Waduk
Persepsi dan konsepsi terhadap sistem dan mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDKP
Perairan di daerah ini tidak secara bebas untuk diakses oleh setiap orang. Persepsi ini muncul didorong oleh sifat ekosistem dan sifat teknologi yang digunakan.
Perairan di daerah ini bebas bagi siapapun untuk mengakses dan memanfaatkan. Persepsi ini muncul didorong atas pola hubungan sesama manusia.
Sistem pengelolaan dan pemanfaatan
· Ada penetapan wilayah penangkapan · Hak kepemilikan berdasarkan interval waktu tertentu · Pemegang wewenang dan pendistribusian hak berada ditangan pemerintah daerah
Mekanisme pengelolaan dan pemanfaatan SDP Persepsi dan konsepsi upaya konservasi
Regulated fisheries
· Tidak ada penetapan batas wilayah dan atau wilayah penangkapan · Hak kepemilikan berada di tangan pemerintah melalui badan atau institusi atau otorita pengelola waduk. · Tidak ada pemegang wewenang dan pendistribusian hak kepemilikan. Open access
Sebagian masyarakat memiliki persepsi dan konsepsi upaya konservasi SDP. Upaya konservasi yang diinisiasi dan dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat.
Tidak ada persepsi dan konsepsi upaya konservasi SDP.
Bentuk sanksi atas pelanggaran pengaturan.
Sanksi bersumber dari masyarakat berupa denda
Mekanisme penegakan sanksi atas pelanggaran peraturan.
Ada, diselesaikan secara musyawarah dengan hukum normatif
Efektivitas penegakan peraturan. Agama dan atau kepercayaan yang dianut
Ada, belum efektif untuk seluruh wilayah perairan
Ada sanksi yang bersumber dari masyarakat berupa pelarangan beroperasi kembali Ada, Penegakan dilakukan aparat pemerintah. Masyarakat hanya sebagai sumber informasi pelanggaran peraturan. Ada dan berjalan efektif
Mekanisme upaya konservasi
1.3.
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi Ekosistem Daerah Penangkapan
Pandangan dan kepercayaan tentang hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat. Simbolik hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat.
Upaya konservasi hanya merupakan dampak dari motif ekonomi
Agama menjadi panduan dalam aktivitas keseharian, belum diterapkan sepenuhnya Prinsip-prinsip agama digunakan juga dalam kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat, belum diterapkan sepenuhnya.
Agama hanya terbatas hubungan ibadah dengan Tuhan
Ada dengan melibatkan interaksi sesama manusia, walaupun sekedar ritual.
Tidak ada melibatkan interaksi sesama manusia.
Prinsip agama tidak digunakan dalam kegiatan ekonomi antar anggota masyarakat.
141
Lanjutan Tabel 8
No.
2.3
3.1.
3.2
3.3.
Dimensi dan Faktor
Peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik masyarakat Tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya
Pembagian Peran dalam Kegiatan produksi
Sistem Jaminan Sosial
Atribut/Verifier
Sungai-Rawa
4.1
Tingkat konsumsi ikan Asal usul lembaga
Waduk
Peranan tokohtokoh agama dan atau kepercayaan.
Kurang berperan
Tidak berperan
Orientasi kegiatan produksi
Berorientasi pada pasar
Berorientasi pasar
Pandangan terhadap inovasi teknologi yang digunakan (termasuk pemahaman akan teknologi ramah lingkungan)
Tidak ada keinginan berinovasi
Tidak ada keinginan berinovasi
Besar dan laju investasi dalam kegiatan produksi Diversifikasi MPA
Investasi kecil dan lamban
Investasi kecil dan lamban
Keinginan melakukan diversifikasi MPA tinggi namun peluang terbatas
Keinginan melakukan diversifikasi MPA rendah walau peluang terbuka.
Spesialisasi pekerjaan
Ada pembagian peran dalam kegiatan produksi.
Tidak ada pembagian peran
Keterampilan fungsional yang dimiliki nelayan
Mayoritas ada keterampilan fungsional pada setiap nelayan. Perbedaan keterampilan fungsional berdasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan (nelayan, petani, pembuat alat tangkap, peladang dan penebang kayu). Kerjasama terjadi di hampir seluruh aspek
Tidak ada keterampilan fungsional
Kemampuan kerjasama Interdependensi
Interdependensi tinggi yang disebabkan faktor kekerabatan.
Struktur hubungan
Struktur hubungan bersifat simetris. Pendistribusian hasil berimbang.
Sharing system
3.4.
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi Ekosistem Daerah Penangkapan
Tingkat konsumsi ikan Proses pembentukan
Sifat lembaga
Tingkat konsumsi ikan tinggi. Bentukan masyarakat berdasarkan hubungan kekerabatan dan pengaruh agama. Informal
Kerjasama lebih banyak terjadi di luar aspek produksi Interdependensi (tingkat ketergantungan) tinggi antara bandar ikan besar, bandar ikan keliling dan nelayan. Struktur hubungan asimetris. Pendistribusian hasil tidak berimbang antara bandar ikan dengan nelayan. Tingkat konsumsi ikan sedang. Bentukan pemerintah dari lembaga yang sudah ada hasil inisiatif masyarakat. Lembaga non formal lebih berpengaruh dibanding lembaga formal.
142
Lanjutan Tabel 8
No.
4.2
Dimensi dan Faktor
Eksistensi lembaga
Atribut/Verifier
Kondisi Sosial Budaya Berdasarkan Tipologi Ekosistem Daerah Penangkapan Sungai-Rawa
Batas kewenangan
Terbatas pada anggota kelompok tersebut
Aturan representasi
Belum mewakili keseluruhan kepentingan anggota Ada aturan main yang jelas dan dipatuhi Manajemen konflik berjalan untuk seluruh masyarakat. Inisiatif dari pemerintah dan masyarakat. Penilaian berdasarkan kemampuan dalam mewakili aspirasi anggotanya.
4.3
Manajemen konflik
Aturan main dari lembaga Conflict resolution
5.1
Tuntutan dan Dukungan terhadap sistem politik
Penilaian kepemimpinan oleh masyarakat
Waduk Terba tas pada anggota kelompok nelayan dan KUD terdaftar Belum mewakili keseluruhan kepentingan anggota Ada aturan main untuk KUD dan Kelompok Nelayan Manajemen konflik berjalan untuk seluruh masyarakat. Inisiatif dari masyarakat. Penilaian berdasarkan kemampuan yang dimiliki dan diakui oleh anggota.
Dukungan terhadap kepemimpinan oleh masyarakat
Dukungan oleh anggota tinggi.
Dukungan oleh anggota tinggi.
5.2
Sistem Politik
Proses pengambilan keputusan / aturan representasi publik
Belum merepresentasikan keseluruhan anggota.
Belum merepresentasikan keseluruhan anggota.
5.3
Keputusan dan Kebijakan
Hubungan pemegang kekuasaan lokal dengan luar
Belum berjalan selaras.
Cukup baik dan terjadi komunikasi efektif dan berlanjut antara kelompok dengan pemerintah.
Berdasarkan uraian tentang pandangan atas berbagai hal serta kehidupan masyarakat di dimensi-dimensi yang dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa pada beberapa dimensi atau kondisi sosial budaya yang dikaitkan dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan, tampaknya masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat pedesaan. Namun demikian, sebagian kondisi sosial budaya juga telah terjadi proses transisi dari masyarakat yang berkarakter masyarakat pedesaan menjadi masyarakat dengan karakter masyarakat urban (perkotaan). Karakter masyarakat pedesaan di antaranya adalah tingkat konflik dan persaingan yang tinggi, kegiatan bekerja merupakan syarat penting untuk dapat bertahan hidup, masih kentalnya sistem tolong menolong dan jiwa gotong-royong serta masih berjalannya sistem musyawarah yang diteladani oleh tokoh-tokoh masyarakat. Sebaliknya, masyarakat
143
perkotaan pada umumnya tidak lagi memiliki karakter masyarakat pedesaan sebagaimana yang dimaksud. Sebagai contoh, misalnya, pada dimensi ekonomi, kehidupan masyarakat nelayan di dalam memenuhi kebutuhan hidupnya masih sangat dicirikan oleh aktivitas ekonomi dengan teknologi (alat tangkap) sederhana dan minimnya ketersediaan mata pencaharian alternatif. Disamping itu, kelembagaan ekonomi dan aturan-aturan ekonomi yang mampu dipahami juga belum dijalankan dan cenderung belum mengarah pada efisiensi kegiatan ekonomi (penangkapan ikan) serta pemerataan distribusi hasilnya. Masih kuatnya ikatan patron-klien dan belum menyentuhnya saluran atau lembaga keuangan formal merupakan penyebab utama bentuk kehidupan ekonomi masyarakat nelayan pada saat ini. Lebih lanjut, tidak ditemukannya ikatan patron-klien di beberapa masyarakat, lebih mencirikan masyarakat bersangkutan masih belum mencapai tingkat budaya industri yang kuat atau bahkan belum memiliki budaya industri. Dengan demikian karakter masyarakat pedesaan dalam hal ini masih sangat kental sebagai ciri sosial budaya masyarakat nelayan. Hasil penggalian kondisi ekonomi dari segi gotong-royong dan kekayaan juga mendapatkan suatu ciri umum masyarakat nelayan yang diteliti. Dari sisi pandangan dan kebiasaan melakukan kegiatan gotong royong, tampak bahwa masyarakat nelayan sedang mengalami transisi dari masyarakat pedesaan menuju masyarakat urban. Pandangan tentang kekayaan menunjukkan ciri umum masyarakat pedesaan di Indonesia, bahwa orang yang bisa bekerja keras dan akhirnya berhasil seminimal mungkin mendapat bantuan dari orang lain sangat dinilai tinggi dalam masyarakat (Koentjaraningrat, 1994). Kemudian, juga kajian atas dimensi politik, mendapatkan bahwa penanganan konflik yang telah melibatkan pihak luar juga merupakan ciri dari suatu masyarakat yang sedang mengalami transisi sosial budaya.
144
Masuknya pihak luar ke dalam penyelesaian konflik dan terkadang menentukan kehidupan masyarakat secara umum menunjukkan ciri lemahnya akses dan kepedulian masyarakat nelayan terhadap upaya mendapatkan ”kekuasaan” dalam mengelola kehidupannya sendiri. Kondisi ini juga menunjukkan tidak adanya kekuatan atau tokoh-tokoh yang sanggup mengarahkan masyarakat untuk berdaya serta di sisi lain juga mendukung kecenderungan telah lemahnya sistem gotong royong pada saat ini di masyarakat nelayan.
145
VII. PENUTUP
PENUTUP
Kondisi sosial budaya merupakan syarat yang perlu diketahui dalam rangka pemberdayaan masyarakat. Kondisi sosial budaya yang dikembangkan didasarkan unsur-unsur kebudayaan yang dikaitkan dengan makna pemberdayaan masyarakat. Setiap unsur kebudayaan tersebut mengandung wujud kebudayaan, baik berupa nilai-nilai budaya, sistem budaya, maupun sistem sosial. Keberdayaan masyarakat terletak pada proses pengambilan keputusan sendiri untuk mengembangkan pilihan-pilihan adaptasi terhadap perubahan lingkungan ekologis dan sosial. Berdasarkan konsep kebudayaan dan makna yang terkandung dalam pemberdayaan masyarakat, maka ditetapkan lima dimensi kehidupan sosial budaya masyarakat nelayan. Kelima dimensi tersebut adalah dimensi pengetahuan lokal, sistem religi, ekonomi, kelembagaan dan politik. Pada setiap dimensi terdiri atas faktor-faktor yang dikaji terkait dengan upaya pemberdayaan masyarakat nelayan dalam rangka pemanfaatan sumberdaya kelautan dan perikanan (SDKP). Dimensi pengetahuan lokal merupakan pengkajian terhadap tiga faktor, yaitu pemanfaatan dan pengelolaan SDKP, konservasi SDKP serta penegakan peraturan (law enforcement). Dimensi sistem religi memiliki tiga faktor penjelas, yaitu agama dan atau kepercayaan yang dianut, hubungan antara agama dan atau kepercayaan dengan kegiatan ekonomi masyarakat, peranan agama dan atau kepercayaan dalam kegiatan sosial-politik masyarakat. Dimensi ekonomi ini terdiri dari tiga faktor, yaitu tingkat ketergantungan terhadap sumberdaya, pembagian peran dalam kegiatan produksi, sistem jaminan sosial dan tingkat konsumsi ikan.
146
Sementara dimensi kelembagaan dikaji berbagai lembaga sosial yang terdapat dalam suatu masyarakat nelayan yang kajiannya mencakup proses pembentukan serta aturan main, kewenangan dan aturan representasi dalam setiap organisasi sosial yang teridentifikasi dan teramati.Terakhir, pada dimensi politik dikaji mata rantai antara politik dan masyarakat, antara struktur-struktur sosial dan struktur-struktur politik dan antara tingkah laku sosial dan tingkah laku politik, yang kesemuanya terkait dengan kebijaksanaan pembangunan. Berdasarkan kelima dimensi tersebut, maka dapat terlihat apakah masyarakat yang dikaji masih memiliki ciri-ciri umum masyarakat pedesaan, atau sudah ke arah transisi atau berkarakter masyarakat kota (urban). Dengan mengetahui ciri-ciri inilah kita dapat menentukan bagaimana upaya pemberdayaan yang harus dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada masyarakat nelayan perairan laut, selain dimensi kelembagaan, program pemberdayaan dapat mengintegrasikan dimensi ekonomi dan dimensi pengetahuan lokal. Namun demikian, dalam pelaksanaan teknisnya terdapat dua dimensi lainnya yang berlaku secara khusus sesuai dengan masingmasing lokasi yaitu dimensi sistem religi dan dimensi politik. Perbedaan ini mengandung pengertian bahwa perencanaan ataupun pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat yang terintegrasi tetap harus mempertimbangkan kondisi sosial budaya yang ada di setiap lokasi, khususnya terhadap dimensi sistem religi dan dimensi politik. Pada masyarakat nelayan perairan pedalaman, selain kelembagaan, pengintegrasian dimensi politik dan dimensi sistem religi juga dapat dilakukan secara bersamaan di seluruh lokasi. Dimensi ekonomi dan dimensi pengetahuan lokal secara khusus harus pula dimasukkan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemberdayaan.
147
VIII. DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Cernea, M.M. 1988. Sosiologi Untuk Proyek-Proyek Pembangunan. dalam M.M. Cernea (Ed). Mengutamakan Manusia Dalam Pembangunan;Variabel-Variabel Sosiologi di dalam Pembangunan Pedesaan. pp. 3-26. Publikasi Bank Dunia. Penerjemah; B.B.Teku. Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dahuri, R. 2000. Pendayagunaan Sumberdaya Kelautan Untuk Kesejahteraan Rakyat. Lembaga Informasi dan Studi Pembangunan Indonesia, LISPI, Jakarta. 146 p. Hikmat, R. H. 2001. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Humaniora Utama Press. Bandung. Cetakan Pertama. 260 p. Koentjaraningrat. 2003. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Bandung. 391p. Koentjaraningrat. 1994. Bunga Rampai Kebudayaan, Mentalitas dan Kebudayaan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 149 p. Kusnadi. 2000. Nelayan: Strategi Adaptasi dan Jaringan Sosial. Humaniora Utama Press. Bandung. 244 p. Kusnadi. 2002. Konflik Sosial Nelayan: Kemiskinan dan Perebutan Sumberdaya Perikanan. Penerbit LkiS.Yogyakarta. 190 p. Masinambouw, E.K.M (Ed.). 1997. Koentjaraningrat dan Antropologi di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 389 p. Nasution, Z, Sastrawidjaja, Hartono, T.T, Mursidin, Priyatna, F.N, Pranadji, T, Aji, G.B, Koeshendrajana, S, Suherman, M. 2004. Riset Sosio-Antropologi dan Kelembagaan dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat Kelautan dan Perikanan. Laporan Teknis. Bagian Proyek Pusat Riset Pengolahan Produk dan Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan. BRKP. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta Ridley, M and Low, B.S. 1993. Can Selfishness Save The Environnment?. The Atlantic Monthly. Taryoto, A. 1999. Internalisasi Aspek-Aspek Sosial Budaya dalam Proses Industrialisasi Pertanian. dalam I.W.Rusastra dkk (Eds.). Dinamika Inovasi Sosial Ekonomi dan Kelembagaan Pertanian. Hal. 7575-582. Pusat Penelitian Sosek Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta. Wahyono, A., I.G.P. Antariksa, M. Imron, R. Indrawasih, dan Sudiyono. 2001. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan. Penerbit Media Pressindo bekerjasama dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan Ford Foundation. Cetakan Pertama. Jakarta. 226 p. Wiradi, Gunawan. 1997. Rekayasa Sosial Dalam Menghadapi Era Industrialisasi Pertanian. dalam T. Sudaryanto dkk (Penyunting). Prosiding Industrialisasi, Rekayasa Sosial dan Peranan Pemerintah Dalam Pembangunan Pertanian. Hal.63-70. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian. Jakarta.