Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
SORPSI ISOTERMIS AIR KAPPA KAREGENAN Moisture Sorption Isotherm of Kappa Carrageenan Agus Supriadi1*), Herpandi2, Ginanjar3 1 Mahasiswa Pascasarjana Universitas Sriwijaya 2 Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Universitas Sriwijaya 3 Mahasiswa Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Universitas Sriwijaya *) Corresponding author:
[email protected]
ABSTACT The objective of this research was to observe moisture sorption isotherm of carrageenan product and determining the bound water fraction of primary, secondary bound water fraction and water tertiary boud water fraction. This study used laboratory experimental methods and data analysis descriptively. Parameters observed were the water content analysis, data analysis, water sorption isotherm, and the determination of the fraction of bound water areas (primary, secondary, tertiary). The results showed the water content of kappa carrageenan is equal to 6.83% (db). The water sorption isotherm curve was sigmoid. In the bound water fraction, the fraction of bound water kappa primer kargenan by 7.43% from 0.36 to 0.43 aw coincide on. In the secondary bound water fraction of 24% kappa carrageenan coincide at aw 0.76. While the secondary bound water fraction of 80.87 % kappa carrageenan. Keywords: Kappa kargenan, water sorption isotherm
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan model sorpsi isotermis, kapasitas air terikat primer, kapasitas air terikat sekunder dan kapasitas air terikat tersier. Penentuan model sorpsi isotermis dilakukan dengan metode gravity statis, Hasil penelitian menunjukkan bahwa model sorpsi isotermis kappa karagenan berbentuk khas sigmoid sebagaimana bahan pangan keringlainnya. Kapasitas air terikat primer sebesar 7,17% bertepatan pada aw 0,36-0,43, kapasitas air terikat sekunder sebesar 24% bertepatan pada aw 0,76 dan kapasitas air terikat sekunder sebesar 80,87% bertepatan pada aw > 0,9. Berdasarkan diagram stabilitas produk maka proses pengeringan kappa karagenan sebaiknnya dilakukan hingga kadar air 7,17%. Kata kunci: kappa karagenan, sorpsi isotermis
PENDAHULUAN Karagenan merupakan polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut merah dari jenis Chondrus, Euchema, Gigartina, Hypnea, Iradea dan Phyllophora (Sulaeman 2006 dalam Kiswanti, 2009). Karagenan dibedakan dengan agar berdasarkan kandungan sulfatnya (Hall 2009). Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae, polisakarida tersebut harus mengandung 20% sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai karagenan (FAO 2007). Karagenan berperan sangat penting sebagai stabilisator (pengatur keseimbangan), thickener (bahan pengentalan),
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
pembentuk gel, pengemulsi dan lain-lain (Imeson 2010). Sifat ini banyak dimanfaatkan dalam industri makanan, obat-obatan, kosmetik, tekstil, cat, pasta gigi dan industri lainnya. Karagenan komersil memiliki kandungan sulfat 22-38% (w/w). Karagenan dijual dalam bentuk bubuk, warnanya bervariasi dari putih sampai kecoklatan bergantung dari bahan mentah dan proses yang digunakan, dengan demikian karagenan memiliki sifat higroskopis yaitu mampu menyerap dan melepaskan air dari lingkungannya, maka sifat air dalam tepung karagenan menarik untuk dipelajari. Dalam bahan pangan air terdapat dalam bentuk bebas dan air terikat. Menurut Fenny (2008), air bebas didefinisikan sebagai air dalam bahan pangan yang bersifat sebagai air murni. Air tidak terikat akan dipindahkan selama proses pengeringan. Hubungan antara kadar air dan aw digambarkan dalam bentuk kurva isotermis sorpsi air. Isotermis sorpsi air dapat menunjukkan pada titik kadar air berapa dapat dicapai tingkat aw yang diinginkan atau yang tidak diinginkan, tetapi juga menunjukkan terjadinya perubahan-perubahan pada kandungan air yang dinyatakan dalam aw. Model isotermis sorpsi air BET (Brumauer, Emmerr dan Terller) sangat bermanfaat bagi penentuan kadar air dimana absorbsi bersifat satu lapis molekul air (Syarief dan Halid, 1993). Menurut Labuza (1968) dan Soekarto (1978) menyatakan bahwa kurva sorpsi isotermik air dibagi menjadi tiga bagian, yaitu daerah fraksi air terikat primer (monolayer), daah air terikat sekunder (multilayer) dan daerah air terikat tersier menunjukkan air yang terkondensasi pada pori-pori pada bahan. Isotermis sorpsi dan air terikat pada produk karagenan sangat penting dalam merancang proses pengeringan, terutama menentukan titik akhir pengeringan serta menentukan stabilitas produk karagenan selama penyimpanan maupun distribusi. Oleh sebab itu, untuk mengetahui pola penyerapan uap air produk karagenan perlu ditentukan pola kurva sorpsi (hubungan kadar air keseimbangan dengan aktivitas air (a w), batas fraksi air terikat primer, sekunder dan tersier. Sehingga dengan demikian diharapkan mendapatkan gambaran pola penyerapan uap air sehingga dapat digunakan sebagai dasar perancangan proses pengeringan dan stabilitas penyimpanan maupun selama distribusi. BAHAN DAN METODE Alat yang digunakan adalah krus porselin, oven, desikator, mortal, gelas ukur dan neraca analitik. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel karagenan, garam NaOH, CH3, LiCL, CH3COOK, MgCl2, Nal, K2CO3, Mg(NO3)2, Kl, SrCL2, NaNO3, NaCl, KBr, KCl, K2CRO4, Na2SO4, BaCl2, (NH4)H2PO4 dengan nilai aw yang telah diukur oleh Labuza et al., (1985). Analisa isotermis sorpsi air pada penelitian ini menggunakan 2 kali pengulangan untuk pengukuran kadar air kesetimbangan. Karagenan seberat ± 2 g ditempatkan dalam cawan porselin. Kemudian sampel disetimbangkan dalam desikator yang sebelumnya telah dilakukan pengaturan RH antara 0,7 –0,97% dengan menggunakan larutan garam-garam jenuh pada suhu ruang. Selanjutnya sampel yang dimasukkan dalam desikator untuk disetimbangkan sampai diperoleh berat konstan (perubahan berat lebih kecil dari 0,5 g). Sampel yang telah setimbang kemudian diukur kadar airnya menggunakan metode AOAC (1995). Data yang diperoleh kemudian diolah menggunakan software Microsoft office excel 2007. Grafik isotermis sorpsi air ditentukan dengan memplotkan antara kadar air kesetimbangan dengan nilai aw , sedangkan daerah air terikat primer ditentukan dengan mengguanakan persamaan BET (Braunauer-Emmet-Teller). Secara umum bentuk model persamaan BET adalah : aw 1 C−1 = Mo.C+ Mo.C aw (1−aw).M
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Dimana Mo adalah Nilai monolayer, M Kadar air (g air/ g bahan kering) pada aktivitas air (aw) dan C Konstanta. Daerah air terikat sekunder ditentukan dengan menggunakan model analisa logaritmik (log (1-aw) = b(M) + a), dimana M Kadar air (g air/ g bahan kering) pada aktivitas air (aw), B Faktor kemiringan dan A Titik potong ordinat.Daerah air terikat tersier ditentukan dengan melakukan ekstrapolasi terhadap kurva isotermis sorpsi air sehingga dapat diperkirakan kadar air bahan saat tekanan uap air jenuh, yaitu pada aw = 1 HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kadar Air Kadar air adalah jumlah air yang terdapat dalam bahan pangan dan terikat secara fisika maupun kimia. Kadar air bahan pangan menunjukkan jumlah air keseluruhan yang terdapat pada bahan baik berupa air bebas, air yang terdispersi pada permukaan makromolekul serta air yang terikat secara fisik dan kimia (Soedarmadji et al., 1996).Sehubungan dengan itu maka kadar air suatu bahan pangan cukup penting untuk diketahui, karena mempengaruhi umur simpannya. Adapun hasil uji kadar air dari produk kappa karagenan sebesar 6,83 % (bk). 2. Isotermis Sorpsi Air Pola penyerapan uap air tepung rumput laut jenis kappa karagenan berdasarkan kurva isotermis sorpsi air dapat ditentukan dengan cara mengkondisikan tepung rumput laut jenis kappa karagenan pada berbagai tingkat aktivitas air (a w) menggunakan larutan garam jenuh pada suhu 30 0C. Selama penyimpanan akan terjadi pelepasan uap air dari larutan garam dan penyerapan uap air oleh kappa karagenan ataupun sebaliknya. Hal ini akan berlangsung terus menerus sampai kadar air kappa karagenan mengalami kesetimbangan dengan kadar air dalam ruang penyimpanan. Data hasil pengukuran kadar air kesetimbangan (Equilibrium Moisture Content) kappa karagenan dalam berbagai tingkat aw pada suhu 30 0C ditunjukkan pada Tabel 1. Dari tabel 1 tersebut dapat diketahui bahwa semakin tinggi nilai a w maka kadar air seimbang (Equilibrium Moisture Content) dari kappa karagenan semakin tinggi. Hal ini karena kappa karagenan menyerap uap air dari lingkungan untuk mencapai kondisi yang seimbang. Banyak sedikitnya uap air yang diserap dipengaruhi kelembaban relatif atau RH lingkungan. Semakin tinggi RH lingkungan maka penyerapan uap air oleh kappa karagenan akan semakin besar. Tabel 1. Hasil pengukuran kadar air kesetimbangan kappa karagenan. Garam jenuh aw Kadar Air Kesetimbangan (M) (%) NaOH 0,07 2,92 LiCl 0,11 2,62 MgCl2 0,32 12,90 Nal 0,36 9,63 K2CO3 0,43 8,34 Mg(NO3)2 0,51 13,49 Kl 0,69 14,88 SrCl2 0,71 20,36
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
NaNO3 0,74 NaCl 0,76 KBr 0,81 KCl 0,84 K2CrO4 0,86 Na2SO4 0,86 BaCl2 0,90 NH4H2PO4 0,93 K2SO4 0,97 Keterangan : * Penggumpalan, ** Berjamur ringan
14,53 23,20 25,13 28,59 33,24 35,97 41,45* 46,06* 68,61**
Data aktivitas air (aw) dan kadar air seimbang kappa karagenan diplotkan dalam bentuk grafik dengan menggunakan persamaan polinomial pangkat tiga di dapatkan kurva berbentuk sigmoid (seperti huruf S) seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Kurva isotermis sorpsi air kappa karagenan. Kurva isotermis sorpsi air kappa karagenan berbentuk khas sigmoid. Hal ini didukung dengan penjelasan daru Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa pada setiap produk bahan pangan kering pada umumnya berbentuk khas sigmoid (S), dengan alur kurva desorpsi dan adsorpsi berbeda. 3. Penentuan Kapasitas Air Terikat Primer (MP) Menurut Labuza (1968) dalam Halawa YF (2012) bahwa air terikat primer merupakan molekul air yang terikat langsung oleh gugus aktif dalam bahan makanan. Molekul air ini berikatan dengan molekul-molekul lain yang mengandung atom O dan N seperti karbohidrat atau protein. Air terikat primer tidak dapat membeku pada proses pembekuan, tetapi sebagian dari air ini dapat dihilangkan dengan cara pengeringan biasa (Winarno, 2002). Air terikat primer dapat ditentukan dengan kurva isotermis sorpsi air pada kelembaban relatif lebih kecil dengan menggunakan model persamaan yang dijelaskan oleh Brunnauer, Emmet dan Teller (BET) (1983). Persamaan model BET merupakan model yang paling luas digunakan dan paling tepat untuk diterapkan pada bahan pangan yang mempunyai kisaran aw tertentu yaitu 0,05 – 0,45 (Chirife dan Idlesies, 1978 dalam Supriadi, 2004). Model ini dapat digunakan untuk menduga nilai lapisan air monolayer
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
yang diabsorpsi pada permukaan. Kandungan air pada lapisan monolayer ini sangat penting dalam menentukan stabilitas fisik dan kimia bahan yang dikeringkan. Secara umum bentuk model persamaan BET adalah : aw 1 C−1 = Mo.C+ Mo.C aw (1−aw).M Keterangan Mo Nilai monolayer, M Kadar air (g air/ g bahan kering) pada aktivitas air (aw), C Konstanta. Beberapa hal yang mendasari teori persamaan BET yang dikemukakan oleh Rizvi (1995) yaitu kondensasi pada lapisan pertama sebanding dengan laju penguapan dari lapisan kedua, energi ikatan seluruh molekul penyerap (adsorben) pada lapisan pertama sama, energi ikatan pada lapisan lain sebanding dengan ikatan adsorben murni, sehingga asumsi lebih jauh mengenai permukaan adsorben yang seragam dan tidak adanya interaksi lateral antara molekul adsorben adalah tidak benar, karena interaksi pada permukaan bahan pangan sangat seragam. Persamaan BET merupakan persamaan linier. Data aw dengan [aw/(1-aw)m] diplotkan ke dalam bentuk grafik akan diperoleh persamaan linier Y = 0,1182 X + 0,0212.
Gambar 2. Kurva kapasitas air terikat primer kappa karagenan dengan metode BET. Dari Persamaan regresi linier di atas dapat dihitung nilai M p dari sampel uji tersebut. Dari plot aw terhadap aw /(1-aw), diperoleh persamaan sebagai berikut Y= 0,1182x + 0,0212, maka C= (0,1182/0,0212)+ 1 = 6,57547, 0,0212= 1/ (M x 6,57547) M= 1/ (0,0212 x 6,57547) = 7,17 %, (batas air terikat primer) 2. Penentuan Kapasitas Air Terikat Sekunder (MS) Air terikat sekunder sering juga disebut sebagai lapisan multilayer. Air terikat sekunder merupakan molekul air yang membentuk ikatan hidrogen dengan molekul air lain, terdapat dalam mikrokapiler dan sifatnya berbeda dengan air murni (Winarno, 2002) Sesuai dengan kapasitas air terikat primer, dalam penentuan kapasitas air terikat sekunder digunakan nilai kadar air pada aw = 0,22 sampai dengan aw = 0,9 dengan menggunakan dua garis berpotongan. Terdapat garis lurus patah dua, garis lurus pertama diartikan mewakili air terikat sekunder dan garis lurus kedua mewakili air terikat tersier serta titik perpotongan menunjukkan peralihan air terikat sekunder ke tersier, sehingga disebut batas atas atau kapasitas air terikat sekunder (Supriadi, 2004).
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Penentuan kapasitas air terikat sekunder digunakan dengan model analisis logaritma yang dikemukakan oleh Soekarto (1978) yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : Log (1-aw) = b(M) + a Keterangan M Kadar air (g air / g bk), A Titik potong dengan ordinat, B Faktor kemiringan
Y= -0.0312x + 0.0865 2
R = 0.8511
Y= -0.0192x - 0.202 2
R = 0.9547
Gambar 3. Kurva kapasitas air terikat sekunder kappa karagenan dengan metode logaritma. Hubungan antara log (1-aw) dengan kadar air seimbang akan membentuk dua kurva berbentuk garis lurus seperti yang ditampilkan pada gambar 3. Dari hasil plot antara kadar air kesetimbangan (% bk) dengan (1-aw) didapatkan dua persamaan, yaitu Y = -0,0312x + 0,0865 dengan R2 = 0,8511 dan Y = -0,0192x + 0,202 dengan R2 = 0,9547. Dengan menggunakan persamaan regresi tersebut dapat dihitung kapasitas air terikat sekunder, dimana x1 = x2 = Ms, didapatkan x sebagai batas air terikat sekunder sebesar 24%. 4. Penentuan Kapasitas Air Terikat Tersier (MT) Menurut Labuza (1968) dalam Halawa, (2012) bahwa air terikat tersier . Penentuan kapasitas air terikat tersier dilakukan dengan menggunakan persamaan polinminal ordo 2. Data diambil dari kadar air pada a w batas air terikat sekunder yaitu 0,76 sampai batas aw pertumbuhan jamur berat 0,97 (Supriadi, 2004). Hal ini dapat dilihat pada gambar 4
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Gambar 4. Kurva kapasitas air terikat tersier kappa karagenan dengan metode polynomial ordo 2. Dari hasil plot diatas, didapatkan satu persamaan regresi yang dapat digunakan dalam penentuan kapasitas air terikat tersier, yaitu Y = 1202x2 – 1889x+ 768.67 dengan nilai R2 = 0.9668 pada saat aw = 1, didaatkan nilai Y sebesar 80,87 %. 4. Susunan Tiga Daerah Fraksi Air Terikat Berdasarkan perhitungan kapasitas air terikat dapat ditentukan tiga batas daerah fraksi air terikat. Tiga daerah air terikat memiliki peranan penting dalam menentukan stabilitas bahan pangan. Sebagaimana diungkapkan oleh Rockland dan Beuchat (1985) dalam Supriadi (2004) dari ketiga daerah kurva isotermis sorpsi air dapat ditentukan dimana daerah terjadinya berbagai reaksi kimia seperti reaksi pencoklatan, reaksi oksidasi, dan daerah pertumbuhan kapang, jamur dan bakteri. Batas tiga daerah fraksi air terikat, didasarkan pada nilai tertinggi dari masing-masing daerah yang meliputi fraksi air terikat primer (ATP) yang dibatasi oleh Mp, fraksi air terikat sekunder (ATS) yang dibatasi oleh Ms dan air terikat tersier (ATT) yang dibatasi oleh Mt. Dengan mengetahui kapasitas air terikat maka dapat diperkirakan besarnya kadar air kritis yang berada di bawah fraksi air terikat sekunder secara absorbsi. Dengan cara ini stabilitas bahan pangan selama penyimpanan dapat diperkirakan. Dengan demikian kurva isotermis sorpsi air mempunyai peranan penting dalam menentukan tingkat keawetan produk pangan baik yang dipengaruhi oleh aktivitas mikroorganisme maupun reaksi kimia dan enzimatis (Supriadi, 2004) Batas tiga daerah fraksi air terikat didasarkan pada nilai tertinggi dari masing-masing daerah yang meliputi fraksi air terikat primer (ATP) yang dibatasi oleh Mp, fraksi air terikat sekunder (ATS) yang dibatasi oleh Ms dan air terikat tersier (ATT) yang dibatasi oleh Mt. Dari hasil penelitian untuk fraksi ATP dibatasi oleh Mp sebesar 7,17 % yang seimbang dengan aw = 0,36 - 0,43 fraksi ATS dibatasi oleh Ms sebesar 24% yang seimbang dengan aw = 0,76 dan fraksi ATT di batasi oleh Mt sebesar 80,87 % yang seimbang dengan aw = 1. Besarnya fraksi ATP adalah sama dengan nilai Mp, besarnya fraksi ATS merupakan selisih antara Ms dengan Mp sedangkan besarnya fraksi ATT merupakan selisih antara Mt dengan Ms. Dari hasil penelitian diketahui nilai ATP selalu lebih kecil dari ATS dan ATS selalu lebih kecil dibandingkan dengan ATT. Berdasarkan analisis kurva isotermis sorpsi air dan fraksi air terikat kappa karagenan pada suhu 30 0C, wilayah air terikat kappa karagenan terbagi menjadi tiga wilayah yaitu wilayah I, II, dan III. Wilayah I adalah air terikat primer, wilayah II adalah air terikat sekunder, dan wilayah III adalah wilayah air terikat tersier. Dari ketiga wilayah tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menentukan proses pengeringan kappa karagenan yang baik. Winarno (2002) menyebutkan bahwa bakteri dapat tumbuh dengan baik pada a w minimum 0,90, khamir pada aw minimum 0,80-0,90 dan kapang pada aw minimum 0,600,70. Dari ketiga mikrobia tersebut, kapang merupakan mikrobia yang dapat tumbuh pada aw minimum paling rendah yaitu 0,60-0,70. Oleh karena itu, salah satu tujuan pengeringan bahan pangan untuk menghindari pertumbuhan kapang. Pada wilayah air terikat primer kappa karagenan (wilayah I) yaitu sebesar 7,43% yang bertepatan pada kisaran aw 0,36-0,43, molekul air memiliki ikatan ionik yang bersifat sangat kuat dengan molekul lain dalam bahan pangan seperti karbohidrat atau protein. Dengan pengeringan kappa karagenan sampai pada kadar air primernya maka molekul airnya tidak bias digunakan oleh mikrobia untuk pertumbuhan serta untukreaksi enzimatis yang merusak kappa karagenan. Buckle, et al (1987) menyebutkan bahwa pada kadar air dibawah nilai lapisan tunggal (monolayer), reaksi enzimatis terjadi secara lambat atau
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
tidak sama sekali. Hal ini disebabkan oleh berkurangnya substrat untuk meresap ke bagian aktif dari enzim. Pada wilayah air terikat sekunder (wilayah II) merupakan daerah yangrawan bagi proses pengeringan maupun kondisi penyimpanan ataudistribusi bahan pangan.Kapang mulai dapat tumbuh pada aw 0,6-0,7. Wilayah air terikat sekunder (wilayah II) kappa karagenan berada pada kadar air 24% yang bertepata pada aw 0,76. Apabila kappa karagenan dikeringkan hanya sampai kadar air terikattersiernya (wilayah III) maka kappa karagenan sangat mudah mengalamikerusakan. Bahkan Suyitno (1995) menyebutkanbahwa kerusakan yang terjadi pada wilayah air terikat tersier baik itukerusakan mikrobiologi, kimiawi maupun enzimatik akan berlangsunglebih cepat dibandingkan wilayah air terikat sekunder. Hal ini juga sejalandengan yang dikemukakan Syarief dan Hariyadi (1993), bahwa wilayah airterikat tersier (wilayah III) mengandung air bebas yang cukup banyak,sehingga sangat optimal bagi reaksi biokimia, mikrobia, dan reaksi fisik. Dari kurva air terikat tersier dapat diartikan bahwa kenaikkan kadar air seimbang yang cukup besar mengakibatkanhanya sedikit kenaikkan aktivitas air (a w). Namun demikian, aktivitas air (aw) pada wilayah air terikat tersier ini sudah sangat berpotensi bagipertumbuhan mikrobia baik itu kapang, khamir maupun bakteri. Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa batas wilayah air terikat tersier beradapada 80,87% dengan aktivitas air (a w) antara 0,7 – 1. Aktivitas air (aw) sebesar 1 sudah merupakan air murni Pengeringan kappa karagenan hingga mencapai atau mendekati pada kadar air terikat primernya diharapkan dapat mempertahankan stabilitas kappa karagenan. Dalam Primaswari (2000) disebutkan bahwa bahan makanan kering apabila kadar airnya di bawah kadar air lapis tunggal(air terikat primer) maka kerusakannya sangat kecil dan dapat diabaikan. Apabila kappa karagenan dikeringkan hingga mencapai atau mendekati kadar air terikat primernya maka dibutuhkan penyerapan uap air yang cukupbesar dan waktu yang relatif lama untuk mencapai kadar air tersierdibandingkan pengeringan sampai batas air terikat sekundernya.Akibatnya, umur simpan kappa karagenan dapat lebih lama.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut : 1. Hasil analisis kadar air kappa karagenan yaitu 6,83 %. 2. Bentuk kurva isotermis sorpsi air kappa karagenan adalah sigmoid. 3. Fraksi air terikat primer kappa karagenan dapat ditentukan dengan kurva isotermis sorpsi air yaitu 7,17 % yang bertepatan pada aw = 0,36 – 0,43. 4. Fraksi air terikat sekunder kappa karagenan dapat ditentukan dengan kurva isotermis sorpsi air yaitu 24 % yang bertepatan pada aw = 0,76 %. 5. Fraksi air terikat tersier kappa karagenan dapat ditentukan dengan kurva isotermis sorpsi air yaitu 80,87 % yang bertepatan pada aw = 1. DAFTAR PUSTAKA AOAC Assocation of Official Analytical Chemists. 1995. Official Methods of Analysts of Official Analytical Chemists, 16th. AOAC Inc. Arlington. Virginia. Apriyantono A., D. Fardiaz., N. L. Puspitasari., S. Yasni., dan Budianto, 1988. Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB, Bogor
Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2015, Palembang 8-9 Oktober 2015 ISBN: 979-587-580-9
Buckle KA.; Ronald, A. E.; Graham, H. F.; and Michael Wootton. 1987. FoodScience. UI Press. Jakarta. Duckworth RB. 1974. Water Relatiohsheps to Foods.IFST (UK) Mini Simp. Dehydration, 6-9. Fenny A. 2008. Kajian Formulasi dan Isotermik Sorpsi Air Bubur Jagung Instan. [Tesis]: Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor Feri K. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta. Halawa YF. 2012. Kajian Isotermis Sorpsi Air Kemplang Udang Jerbung (Panaeus merguensis) Desa Sungsang,Sumatera Selatan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. Labuza TP. Kaanane A, Chen JY.1985. Effect of Temperature on The Moisture Sorption Isotherms and Water Aktivity Shift of Two Dehydrated Food. Journal Food Science 50 : 385-391 Nopriansyah A. 2012. Kajian Isotermis Sorpsi Air Kerupuk Udang Jerbung (Penaeus merguensis) Mentah Asal Sungsang, Sumatera Selatan. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya, Palembang. Primaswari, Armeita Zufrine. 2000. Kajian Isotermi Sorpsi Lembab Bubuk Instan Jambu Biji (Psidium guajava) yang Ditambah Probiotik Lactobacillus sp. Dad-13. Skripsi Jurusan TPHP FTP UGM. Yogyakarta Rizvi SSH. 1995. Thermodynamis Properties of Foods Dehydration di dalam Engineering Properties of Foods. Rao MA editor. New York and Bassel : Marcel Dekker Inc. Rockland LB, dan L. R. Beuchat. 1987. Water Activity, Theory and Application to Food. Marcel Dekker. Inc. New York and Bassel. Soedarmadji B., Haryono dan Suhadi. 1997. Analisis Bahan Makanan dan Pertanian. Liberty. Yogyakarta. Soekarto ST. 1978. Pengukuran Air Ikatan dan Peranannya Pada Pengawetan Pangan. Buletin Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia, 3 (3/4) : 4-18. Supriadi A. 2004. Optimasi Teknologi Pengolahan Beras Jagung Instan. [Tesis]. Bogor : Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Syarief R dan Halid, H. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta: Arcan Kerjasama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Sulaeman S. 2006. Pengembangan Agribisnis Komoditi Rumput Laut Melalui Model Klaster Bisnis. Infokop Nomor 28 Tahun XXII. www.smecda.com/ deputi7/file_Infokop/EDISI%2028/komoditi_rumput_laut.pdf.[8september 2008]. Suyitno. 1995. Serat Makanan dan Perilaku Aktivitas Air Bubuk Buah. Disertasi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Van de Velde F, De Ruiter GA. 2005. Carrageenan. Steinbüchel A dan Rhee SK, editor. Didalam Polysaccharides and Polyamides in the Food Industry.Vol 1. Weinheim : Wiley-VCH Verlag GmbH and Co. KGaA. Winarno FG. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Wirakartakusumah MA. 1981. Kinetics of Starch Gelatinization and Water Absorbstion in Rice. Phd Thesis, University of Wisconsin, Madison.