SKRIPSI
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Oleh :
ALDILLA SARI UTAMI F24104001
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ALDILLA SARI UTAMI F24104001
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Aldilla Sari Utami. F24104001. Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung. Di bawah bimbingan Harsi D.Kusumaningrum.
ABSTRAK Konsumsi pangan adalah jumlah pangan (tunggal atau beragam) yang dimakan seseorang atau kelompok orang dengan tujuan tertentu. Ketersediaan merupakan salah satu faktor yang mendominasi konsumsi serta memberi pengaruh terhadap kesukaan. Kota Bojonegoro sebagai salah satu daerah sentra penanaman jagung memiliki ketersediaan yang cukup tinggi akan produk pangan berbasis jagung. Faktor ketersediaan ini akan dikaji hubungannya dengan tingkat konsumsi penduduk dan dijadikan perbandingan terhadap tingkat konsumsi produk jagung di kota Bogor sebagai daerah sub-urban. Upaya pemberdayaan jagung sebagai bentuk diversifikasi pangan harus diimbangi dengan upaya peningkatan keamanan pangan. Di Indonesia, kadar aflatoksin pada jagung telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI yakni sebesar 20 ppb untuk jenis aflatoksin B1. Metode penelitian yang digunakan untuk pengumpulan data adalah teknik survey dengan alat bantu kuesioner. Pengambilan sampel responden dilakukan secara purposive sampling technique. Survey dilakukan pada 2 lokasi yakni Bojonegoro sebagai daerah sentra produksi jagung dan Bogor sebagai daerah sub urban dengan jumlah responden dari masing-masing lokasi sebanyak 50 orang. Analisis aflatoksin dilakukan dengan metode Thin Layer Chromatography (TLC) terhadap jenis aflatoksin B1, B2, G1 dan G2. Hasil kuesioner pada butir tingkat kesukaan menunjukkan bahwa sebesar 28% responden di kota Bojonegoro menyukai produk jagung sedangkan 60% responden bersikap netral. Responden di kota Bogor yang menyukai produk jagung adalah sebesar 42% dan sebanyak 50% responden bersikap netral. Akses responden Bojonegoro untuk mendapatkan produk jagung tidak berbeda nyata untuk lokasi pasar, warung, minimarket dan supermarket. Hasil kuesioner pada responden Bogor menunjukkan bahwa responden di lokasi ini lebih memilih warung (44%) dan minimarket (32%) sebagai tempat membeli dibandingkan pasar (24% dan supermarket (22%). Rata-rata frekuensi konsumsi jagung di daerah Bojonegoro lebih tinggi dibandingkan rata-rata frekuensi konsumsi jagung di kota Bogor. Sebanyak lebih dari 50% responden (62%) di Bojonegoro mengonsumsi produk jagung minimal sekali dalam seminggu. Sedangkan, sebanyak 70% responden Bogor belum tentu mengonsumsi produk jagung dalam tiap minggunya. Responden di Bojonegoro yang memiliki tingkat frekuensi konsumsi lebih tinggi ternyata lebih banyak memilih snack marning jagung (76%) diikuti popcorn siap makan (70%). Hal menarik dapat diamati pada hasil kuesioner terhadap responden di kota Bogor. Sebanyak 74% responden di daerah ini lebih memilih produk pangan tradisional berbasis jagung dibandingkan produk dalam kemasan lainnya.
Domisili responden tidak berpengaruh nyata terhadap kesukaan responden tetapi berpengaruh terhadap frekuensi konsumsi produk jagung. Hal ini terkait erat dengan adanya pengalaman makan di masa kecil serta faktor ketersediaan akan produk jagung. Responden yang menyukai produk jagung belum tentu memiliki frekuensi konsumsi yang tinggi pula dimana hasil yang didapatkan menunjukkan korelasi yang sangat lemah antara faktor kesukaan dan frekuensi. Begitupun halnya dengan porsi konsumsi produk jagung, semakin tinggi frekuensi konsumsi tidak mempengaruhi besarnya porsi konsumsi respoden. Analisis aflatoksin dilakukan pada 3 kategori sampel, yakni jagung pipil, produk intermediate, dan produk akhir. Berdasarkan hasil analisis aflatoksin, sebanyak 4 dari 25 sampel (16%) terkontaminasi aflatoksin B1 dengan kadar melebihi batas yang ditetapkan oleh BPOM RI, yakni 20 ppb. Aflatoksin juga sudah ditemukan pada jagung pipil di tingkat petani, walaupun kadarnya masih < 20 ppb. Hasil analisis korelasi menunjukkan adanya korelasi yang positif antara keberadaan populasi Aspergillus flavus dengan kadar aflatoksin pada sampel jagung pipil dan produk intermediate.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
SURVEY KONSUMSI DAN STUDI ANALISIS KANDUNGAN AFLATOKSIN BEBERAPA PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Oleh : ALDILLA SARI UTAMI F24104001
Dilahirkan pada tanggal 26 Juni 1987 di Palembang Tanggal lulus : Juni 2008
Menyetujui, Bogor,
Mei 2008
Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Ketua Departemen ITP
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Palembang, 26 Juni 1987. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara, dari pasangan Dr. H. M. Hatta Dahlan, M.Eng dan Hj. Erwana Dewi, M.Eng. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SD Kartika II-3 Palembang, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Palembang hingga tahun 2001. Penulis menamatkn pendidikan menengah atas di SMUN 1 Palembang pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI (Undangan Saringan Masuk IPB) pada tahun 2004. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, yaitu menjadi pengurus HIMITEPA masa bakti 2006-2007 sebagai staf Divisi Profesi dan Internal, anggota Forum Bina Islami (FBI) Fateta, Bendahara OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) IKAMUSI, staf FORCES masa bakti 2005-2006, serta Koordinator Reporter pada Majalah Emulsi. Selain itu, penulis juga pernah mengikuti berbagai kepanitiaan, diantaranya Bendahara LCTIP XIV 2006, Koordinator Sie Konsumsi Baur 2006. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Survey Konsumsi dan Studi Analisis Kandungan Aflatoksin Beberapa Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan Dr.Ir. Harsi D.Kusumaningrum.
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sejak Pelita V, pemerintah menetapkan untuk lebih menggalakkan penganekaragaman pangan melalui pengembangan tanaman pangan non padi guna memenuhi kebutuhan pangan nasional. Salah satu tanaman pangan non padi yang mendapat prioritas untuk dikembangkan adalah jagung. Jagung (Zea mays L.) di Indonesia merupakan bahan pangan pokok kedua setelah padi. Konsumsi jagung sebagai pangan mengalami peningkatan dari 2,21 juta ton pada tahun 1970 menjadi 6,09 juta ton pada tahun 1998, dengan tingkat pertumbuhan rata-rata mencapai 3,70% per tahunnya. Pertumbuhan ini juga didorong oleh terjadinya pertumbuhan populasi sebesar 2,09% dan konsumsi per kapita yang meningkat rata-rata 1,52% setiap tahunnya. Bahkan, tingkat konsumsi pada tahun 1999-2004 terus mengalami peningkatan sedikit demi sedikit hingga mencapai lebih dari 2 juta ton. Upaya perbaikan tingkat konsumsi jagung perlu dilakukan sebagai bentuk diversifikasi pangan di Indonesia. Oleh karena itu, faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi jagung perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Sehingga, perbaikan yang dilakukan dapat berjalan efektif dan tepat sasaran. Upaya ini tentunya harus diimbangi dengan jaminan keamanan pangan terhadap produk jagung itu sendiri. Kontaminan yang sering ditemukan pada jagung dan produk olahannya adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Pada tahun 1977 dari pertemuan gabungan antara Food Agriculture Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan United Nation Development Program (UNDP) pada Conference on Mycotoxins di Nairobi, Kenya, dilaporkan bahwa masalah kesehatan akibat keracunan toksin asal kapang akan menjadi salah satu golongan penyakit tidak menular yang relevan dan
potensial di negara-negara berkembang di masa yang akan datang. Masalah mikotoksin dan mikotoksikosis sangat penting di Indonesia mengingat negara kita ini terletak di daerah tropis yang merupakan lingkungan ideal untuk tumbuhkembang segala jenis kapang, termasuk Aspergillus flavus sebagai penghasil utama aflatoksin. Faktor- faktor lain yang tidak kalah pentingnya terkait dengan cara penanganan, pengelolaan dan penyimpanan hasil komoditi pertanian pasca panen dari berbagai jenis bahan makanan masih sering dilakukan secara tradisional dan kurang higienis. Meningkatnya penggunaan jagung sebagai bahan baku pada beberapa produk pangan akan menjadi beresiko apabila terdapat kandungan aflatoksin di dalamnya, karena aflatoksin sendiri mempunyai sifat tidak rusak terhadap pemanasan. Sehingga, beberapa produk olahan jagung yang telah melewati proses pemanasan pun tidak luput dari bahaya aflatoksin. Di Indonesia, Setdal Bimas mempersyaratkan kandungan aflatoksin maksimal 40 ppb untuk jagung, sedangkan Departemen Kesehatan mengusulkan 20 ppb untuk jagung dan kacang-kacangan beserta produknya. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan aflatoksin yang masih terdapat dalam beberapa produk olahan jagung di Indonesia.
B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan memperoleh data konsumsi jagung dari 2 jenis kelompok masyarakat, yakni kelompok konsumen yang bermukim di sentra penanaman jagung dan kelompok konsumen yang berada di daerah urban. Selain itu juga dilakukan analisis aflatoksin dengan tujuan mengetahui kandungan aflatoksin yang terdapat pada produk pangan berbasis jagung yang beredar di pasaran yang sering menjadi konsumsi masyarakat.
C. Manfaat Penelitian Adapun manfaat diadakannya penelitian ini adalah : 1. Memberikan gambaran mengenai aspek konsumsi produk pangan berbasis jagung serta menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh di dalamnya
sehingga dapat dijadikan landasan dalam upaya peningkatan konsumsi jagung sebagai salah satu bentuk diversifikasi pangan 2. Memberikan data mengenai kandungan aflatoksin pada beberapa produk berbasis jagung, dimulai dari sampel jagung pipil tingkat petani, produk intermediate hingga produk akhir sehingga dapat dijadikan gambaran mengenai titik kecenderungan dimulainya kontaminasi aflatoksin.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Produk Olahan Jagung Biji jagung kaya akan karbohidrat. Sebagian besar berada pada endospermium. Kandungan karbohidrat dapat mencapai 80% dari seluruh bahan kering biji. Karbohidrat dalam bentuk pati umumnya berupa campuran amilosa dan amilopektin. Pada jagung ketan, sebagian besar atau seluruh patinya merupakan amilopektin. Perbedaan ini tidak banyak berpengaruh pada kandungan gizi, tetapi lebih berarti dalam pengolahan sebagai bahan pangan. Komposisi kimia butir jagung, tepung jagung dan maizena dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Kimia Butir Jagung, Tepung dan Pati Jagung Komposisi
Jagung pipil Putih Kuning Kalori (cal) 355 355 Protein (gr) 9.2 9.2 Lemak (gr) 3.9 3.9 Hidrat arang (gr) 73.7 73.7 Kalsium (mg) 10.0 10.0 Fosfor (mg) 256.0 256.0 Besi (mg) 2.4 2.4 Vitamin A (SI) 0.0 510.0 Vitamin B (mg) 0.38 0.38 Vitamin C (mg) 0.0 0.0 Air (%) 12.0 12.0 Sumber : Hubeis, 1984
Tepung Jagung Putih Kuning 355 355 9.2 9.2 3.9 3.9 73.7 73.7 10.0 10.0 256.0 256.0 2.4 2.4 0.0 510.0 0.38 0.38 0.0 0.0 12.0 12.0
Pati Jagung 343 0.3 0.0 85.0 20.0 30.0 1.5 0.0 0.0 0.0 4.0
Jagung merupakan sumber karbohidrat sesudah padi. Selain itu juga digunakan sebagai sayuran (baby corn dan jagung manis), sebagai makanan ringan (pop corn) dan dan makanan ternak atau sayuran (waxy-corn atau pulut). Klobot keringnya dapat dimanfaatkan sebagai pembungkus makanan, misalnya wajid Cililin. Pada jenis jagung opaque yang mengandung tryptophan dan lysine, dimanfaatkan sebagai sumber makanan untuk meningkatkan gizi. Jagung manis tidak mampu memproduksi pati sehingga bijinya terasa lebih manis ketika masih muda. Jenis jagung manis dan baby corn yang biasa digunakan sebagai sayuran banyak menjadi konsumsi rumah tangga sehari-hari. Para ibu rumah tangga biasa mendapatkan pasokan jagung ini dari pasar setempat