SKRIPSI
PREVALENSI CEMARAN Aspergillus flavus PADA RANTAI PRODUKSI PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Oleh : ARIS DWI TOHA F24104032
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PREVALENSI CEMARAN Aspergillus flavus PADA RANTAI PRODUKSI PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARIS DWI TOHA F24104032
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PREVALENSI CEMARAN Aspergillus flavus PADA RANTAI PRODUKSI PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : ARIS DWI TOHA F24104032
Dilahirkan pada tanggal 4 Maret 1987 Di Bojonegoro, Jawa Timur Tanggal lulus :
Mei 2008
Menyetujui Bogor,
Mei 2008
Dr.Ir. Harsi D. Kusumaningrum Dosen Pembimbing
Mengetahui,
Dr.Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen ITP
ARIS DWI TOHA. F24104032. Prevalensi Cemaran Aspergillus flavus pada Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum. ABSTRAK Indonesia merupakan salah satu negara utama penghasil tanaman palawija terutama jagung dan kedelai. Produksi jagung Indonesia tahun 2007 mencapai 13 juta ton dari 3.6 juta ha. Jawa Timur menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai produsen terbesar mencapai 4 juta ton dari 1.2 juta ha. Pada tahun 2000 2004 penggunaan jagung untuk konsumsi mencapai 40.2 %, industri pangan 22.3% dan pakan 37.5%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat cemaran Aspergillus flavus pada rantai produksi produk pangan berbasis jagung dan faktor pemicu pertumbuhannya dalam upaya meminimumkan kontaminasi Aspergillus flavus. Kapang ini merupakan penghasil aflatoxin pada jagung. Aflatoxin tersebut bersifat karsinogenik dan dapat mengganggu fungsi organ terutama hati, bahkan kematian. Tahap pertama dilakukan survei lapang dan pengambilan sampel pada lokasi yang ditentukan. Tahap kedua dilakukan analisis Aspergillus flavus jagung pipil diberbagai tingkat dan produk olahan jagung. Lokasi yang dipilih yaitu di kabupaten Bojonegoro yang merupakan sentra produksi jagung dengan pengambilan sampel secara sengaja (purposive sampling technique) sesuai rantai produksi. Berdasarkan survei rantai produksi produk pangan berbasis jagung di kabupaten Bojonegoro dikelompkkan lima yaitu pertama : petani-pengumpul – konsumen ; kedua : petani pengumpul - pengecer - konsumen ; ketiga : petani-pemipil-pengumpul-pengecerkonsumen ; keempat : petani-industri produk jadi - supermarket – konsumen ; kelima : petani – pemipil - pengering - industri produk intermediet dan produk jadi supermarket-konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu pada semua tingkat rantai produksi sebesar 32,5-35,5oC dan kelembaban udara berkisar antara 44 - 59 %. Sedangkan kadar air sampel jagung pipil yang diperoleh yaitu 13,5-14,9 % pada tingkat petani, 12,5-15,6 % pada pemipil, 10,9-14,4 % pada pengering, 11,6 – 14,9 % pada pengumpul dan 11,2 – 16 % pada pengecer. Pada produk intermediet berupa menir, beras, tepung jagung dan tepung maizena mempunyai kadar air 9-11,2 %, sedangkan produk pangan berupa marning, snack, tortilla, brondong, emping mempunyai kadar air 3,2-4,6 %. Nilai aw sampel jagung pipil adalah 0.74-0.81 pada tingkat petani, 0,74-0,83 pada pemipil, 0,71-0,72 pada pengering, 0,75-0,80 pada pengumpul, dan 0,71-0,79 pada pengecer. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kelembaban udara rendah sedangkan kondisi lingkungan seperti kadar air dan suhu lingkungan pada tingkat petani, pemipil, pengering, pengumpul, pengecer, dan industri sangat mendukung untuk pertumbuhan Aspergillus flavus. Data menunjukkan bahwa Aspergillus flavus ditemukan pada rantai produksi produk pangan berbasis jagung yaitu pada 29 sampel dari 46 sampel jagung pipil terkontaminasi atau 63 % dan pada 2 sampel dari 16 sampel yang berupa produk intermediet dan produk jadi terkontaminasi atau 13 %. Sedangkan dari semua sampel yang dianalisis yang terkontaminasi sebesar 50 % dengan kecenderungan A. flavus dari petani hingga pengecer mengalami kenaikan. Prevalensi Aspergillus flavus pada tingkat petani 40 %, pemipil sebesar 70%, pengering 50 %, pengumpul 85 %,
pengecer 70 %, industri produk setengah jadi sebesar 17 %, dan industri produk jadi sebesar 10 %. Berdasarkan data tersebut maka titik kritis kontaminasi A. flavus terjadi pada jagung pipil tingkat pengumpul kemudian pemipil dan pengecer. Hal ini dikarenakan kondisi kadar air, a w, dan suhu lingkungan yang mendukung pertumbuhan A. flavus. Produk olahan jagung mengandung populasi Aspergillus flavus lebih rendah daripada bahan baku jagung.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 4 Maret 1987. Penulis adalah anak ke-2 dari tiga bersaudara, dari pasangan
Sumantri
dan
Endang
Wahyuni.
Penulis
menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 1998 di SDN Banjarjo 1 Bojonegoro ,Jawa Timur kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SMPN 1 Bojonegoro, Jawa Timur hingga tahun 2001. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 5 Bogor, Jawa Barat pada tahun 2004. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian melalui jalur USMI pada tahun 2004. Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sebagai anggota staff Kesma, KAMMI Komsat IPB tahun 2005, staff PSDM Forum Bina Isami FATETA, Koordinator Departemen Peduli Pangan Indonesia (DPPI) HIMITEPA, Food Processing Club, Food Chat Club pada tahun 2006 dan anggota EMULSI majalah pangan pada tahun 2007 serta berbagai kepanitiaan lainnya, seperti “ Seminar Pangan Halal Nasional” tahun 2005, “Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru IPB” tahun 2005, “Lepas Landas Sarjana” tahun 2005, “Jalan Sehat Dies natalis IPB ke-42” tahun 2005, “Dauroh Marhalah KAMMI Komsat IPB” tahun 2005, “Masa Perkenalan Fakultas FATETA” tahun 2006, “FATETA SEHAT” tahun 2006, “BAUR” tahun 2006,”National Student Paper Competition” tahun 2007, “Musyawarah Kerja Nasional Himpunan Mahasiswa Peduli Pangan Indonesia” tahun 2007, dan “Field Trip ITP-41” tahun 2007. Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian dengan judul “Prevalensi Cemaran Aspergillus flavus pada Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung” di bawah bimbingan Dr.Ir. Harsi D. Kusumaningrum.
KATA PENGANTAR Alhamdulillahhirobbil „alamin, puji dan syukur dipanjatkan ke hadapan Allah SWT yang telah memberikan rahmatNya sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan. Skripsi ini merupakan pelaksanaan tugas akhir untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama melaksanakan penelitian dan terselesainya skripsi ini tentunya telah mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak dan ibu yang sangat aku cintai, yang tiada henti-hentinya memberikan bimbingan, kasih sayang, do‟a, nasihat, dan dukungan kepada penulis. 2. Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum selaku dosen pembimbing yang tiada hentihentinya memberikan saran, arahan, dan bimbingan kepada penulis. 3. Dra. Suliantari MS atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 4. Didah Nur Faridah, STP, M.Si atas kesediaannya sebagai dosen penguji. 5. Mbakku Yusliana Arianti dan Adikku Novia Wahyuana Triawati yang telah memberikan dukungan dan do‟a kepada penulis. 6. Om Totok dan Tante Titi yang telah memberikan dukungan, arahan, nasihat, dan do‟a kepada penulis. 7. Adik Sepupuku Ariq dan Arin sebagai boneka mainan penulis he..he..he 8. Keluarga besar Cepu dan Baureno yang telah memberikan dukungan dan do‟a kepada penulis. 9. Saudara seperjuanganku Muhammad Nanang K. dan Aldilla Sari U. yang dalam suka dan duka menjalani empat tahun ini. Terima kasih atas persahabatan, persaudaraan dan kerjasamanya selama ini, semoga untuk selamanya..amin. 10. Sahabatku M. Nanang K. yang selalu mendengarkan keluh kesah penulis. Semoga kita menjadi sahabat sejati 11. Teman-temanku : Ririn, Ofah, Dyah, Dilla, Nanang, Iqbal, Puke, Farid, Sofyan, Dikin, Bima, Ratih, Mega, Kordial, Ross, Tomy, Mas Taqi, April, Kani, Ade, Ihsaniati, Chabib, Ecy, Amel, Jambros, Dodi, Ancha, Anto, Boing, dll.
12. Teman-temanku di Al-Azzam : Arief Sadikin, Ujang Hendar, dan Ari Ikhsan Siregar. Terima kasih teman. 13. Teman-temanku di Kutilang dan Pondok Berkah (Iqbal, Farid, Hans Puke, Sofyan) tetangga (dyah dan zuni). 14. Rekan-rekanku di
Lab. Mikrobiologi (Nanang, Umul, Ety, Cici, Dodi,
Nenek”indri”) 15. Rekan-rekanku di Praktikum Terpadu ”Guava Juice” 16. Kepengurusan HIMITEPA 2006/2007 17. Tak terlupakan pejuang-pejuang futsal 41 (Iqbal, Anto, Ancha, Boing, Dodi, Dikin) 18. DPPI HIMITEPA 2006/2007 (Mega, Shinta, Ratih, Dewi, Ari, Umam, Ardi, Atus). Terima kasih atas kerjasamanya. 19. Adik sepergguruanku : Marcel, Adi, Khrisia. Senang sekali bisa satu bimbingan, kompak dan semangat yach. 20. Teman-temanku ITP 41, 42 dan 43. 21. Tak terlupakan yang telah memberikan pinjaman handout untuk sidangku^v^. 22. Serta teman-temanku yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangannya. Kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan dari semua pihak. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Mei 2008
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ v DAFTAR TABEL ............................................................................................................ vi DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................................... vii I. PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1 A. LATAR BELAKANG ........................................................................................... 1 B. TUJUAN ............................................................................................................... 4 C. MANFAAT........................................................................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................................. 5 A. JAGUNG....................................................................................................................5 B. PRODUKSI DAN KONSUMSI JAGUNG DI INDONESIA ................................. 10 C. JAGUNG PIPIL .................................................................................................... 12 D. JAGUNG MANIS ................................................................................................. 13 E. PRODUK PANGAN BERBASIS JAGUNG ......................................................... 14 F. KONTAMINAN KAPANG PADA JAGUNG ...................................................... 17 G. Aspergillus ................................................................................................................. 21 H. Aspergillus flavus ....................................................................................................... 23 I. AFLATOKSIN .......................................................................................................... 25 J. RANTAI PRODUKSI ................................................................................................ 28 K. METODE DAN MEDIA UJI A.flavus DAN TOTAL KAPANG ................................ 30 III.
METODOLOGI PENELITIAN
34
A. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................ 34 B. METODE................................................................................................................... 34 1.Survei Lapang dan Pengambilan Sampel .............................................................. 34 2.Analisis ................................................................................................................ 35 a. Kadar Air .......................................................................................................... 35 b.aw ...................................................................................................................... 36
iii
c. Analisis Aspergillus flavus dan Total Kapang .................................................... 36 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................................... .... 42 A. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ....................................................... .... 42 B. HASIL SURVEI ................................................................................................... .... 42 C. ANALISIS Aspergillus flavus DAN TOTAL KAPANG........................................ .... 48 D. KANDUNGAN Aspergillus flavus DAN TOTAL KAPANG MEDIA AFPA ........ .... 49 D.1 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Petani ............................... .... 50 D.2 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pemipil ............................. .... 53 D.3 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengering ......................... .... 56 D.4 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengumpul.......................... ... 58 D.5 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengecer........................... .... 60 D.6 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Produk Intermediet Tingkat Industri ... 62 D.7 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Produk Jadi Tingkat Industri ......... .... 64 D.8 Prevalensi Aspergillus flavus Pada Rantai Produksi dan Hubungan Antara Populasi Aspergillus flavus dengan Kadar Air, RH, dan Suhu. ............ .... 66 E. TOTAL KAPANG PADA MEDIA APDA............................................................ .... 69 F. PERBANDINGAN METODE TUANG DAN PERMUKAAN DALAM ANALISIS Aspergillus flavus .................................................................................................. .... 71 V.
KESIMPULAN DAN SARAN......................................................................................73 A. KESIMPULAN ..................................................................................................... .... 73 B. SARAN................................................................................................................. .... 74
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... ..75 LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................................... ..80
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1. Anatomi Biji Jagung ................................................................................... 8 Gambar 2. Produk Hasil Pengolahan Jagung ................................................................. 8 Gambar 3. Pohon Industri Jagung ................................................................................. 15 Gambar 4. Aspergillus sp............................................................................................... 22 Gambar 5. Struktur Morfologis Aspergillus flavus ......................................................... 23 Gambar 6. Gambar mikroskopis Aspergillus flavus pada Perbesaran 400 kali ................ 25 Gambar 7. Aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 ....................................................................... 26 Gambar 8. Koloni Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus .................................. 31 Gambar 9. Pembuatan Larutan Pengencer NaCl 0.85 % ................................................ 36 Gambar 10. Pembuatan Media AFPA ............................................................................. 37 Gambar 11. Pembuatan Media APDA ............................................................................ 38 Gambar 12. Analisis Aspergillus flavus Metode Tuang .................................................. 39 Gambar 13. Analisis Aspergillus flavus Metode Permukaan ............................................ 40 Gambar 14. Analisis Total Kapang ................................................................................. 41 Gambar 15. Saluran Pemasaran Jagung Pipil di Kabupaten Bojonegoro .......................... 44 Gambar 16. Sampel Jagung Tingkat Petani...................................................................... 51 Gambar 17. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Petani .................................................... 52 Gambar 18. Jumlah Total Kapang Tingkat Petani ............................................................ 52 Gambar 19. Sampel Jagung Pipil ..................................................................................... 54 Gambar 20. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pemipil ................................................... 55 Gambar 21. Jumlah Total Kapang Tingkat Pemipil ......................................................... 55 Gambar 22. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pemipil ................................................... 57 Gambar 23. Jumlah Total Kapang Tingkat Pengering ...................................................... 57 Gambar 24. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pengumpul ............................................. 59 Gambar 25. Jumlah Total Kapang Tingkat Pengumpul ................................................... 59 Gambar 26. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pengecer ................................................. 61 Gambar 27. Jumlah Kapang Tingkat Pengecer ................................................................ 61 Gambar 28. Jumlah Aspergillus flavus Produk Setengah Jadi .......................................... 63 Gambar 29. Jumlah Kapang Produk Setengah Jadi .......................................................... 63 Gambar 30. Jumlah Aspergillus flavus Produk Jadi ......................................................... 65 Gambar 31. Jumlah Kapang pada Produk Jadi ................................................................ 65
Gambar 32. Koloni Aspergillus flavus pada Media AFPA ............................................... 67 Gambar 33. Grafik Perbandingan Metode Tuang dan Permukaan .................................... 72
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Macam Produk Jagung dalam 100 Gram Bahan ............ 9 Tabel 2. Data Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Nasional .............................................................................................................................. 10 Tabel 3. Propinsi Penghasil Utama Jagung di Indonesia ...................................................... 11 Tabel 4. Data Penggunaan Jagung Dalam Negeri Tahun 2000-2004 .................................... 11 Tabel 5. Kondisi Untuk Pertumbuhan dan Produksi Aflatoksin pada Aspergillus flavus ................................................................................................................................... 25 Tabel 6. Komposisi (formula) Media PDA ......................................................................... 31 Tabel 7. Komposisi (formula) AFPA base .......................................................................... 32 Tabel 8. Data Jumlah Sampel pada Rantai Produksi ............................................................ 35 Tabel 9 . Definisi Pada Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung ............................ 46 Tabel 10. Kondisi dan Lama Penyimpanan Jagung Pipil pada Rantai Produksi .................... 47 Tabel 11. Lama Penyimpanan Sampel Setelah Pangambilan Hingga Analisis ..................... 49 Tabel 12. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Petani Berupa Jagung Tongkol Klobot. ................................................................................................................................ 51 Tabel 13. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pemipil Berupa Jagung Pipilan. ............... 54 Tabel 14. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pengering Berupa Jagung Pipilan. ............ 57 Tabel 15. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pengumpul Berupa Jagung Pipilan. .......... 58 Tabel 16. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pengecer Berupa Jagung Pipilan. .............. 61 Tabel 17. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Produk Intermediet .................................. 62 Tabel 18. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Produk Jadi. ............................................ 64 Tabel 19. Prevalensi Cemaran Aspergillus flavus pada Berbagai Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung .......................................................................... 67 Tabel 20. Total Kapang Produk Intermediet dan Produk Jadi pada Media APDA ................ 69 Tabel 21. Perbandingan Antara Metode Tuang dan Metode Permukaan pada Analisis A. flavus ............................................................................................................... 71
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Korelasi Antara Populasi Aspergillus flavus dengan Kadar Air, Kelembaban Udara dan suhu Lingkungan. ............................................... 80 Lampiran 2. Perbandingan Metode Tuang dan Permukaan dengan Uji T-Test ............. 81 Lampiran 3. Data Terkoreksi Aspergillus flavus .......................................................... 82
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan pokok setiap manusia sehingga harus aman dan bermutu. Pangan yang aman dan bermutu harus tersedia bagi semua lapisan masyarakat. Pangan tersebut dipilih secara hati-hati atau diolah dengan cara yang benar sehingga tidak membahayakan kesehatan konsumen. Pangan menjadi layak atau tidak dikonsumsi tidak terlepas dari ada tidaknya bahan pencemar. Bahan pencemar tersebut dapat terkandung di dalam makanan karena kontaminasi pada bahan pangan, selama proses pengolahan dan penyimpanan. Dari berbagai bahan pencemar yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Indonesia merupakan salah satu negara utama penghasil tanaman palawija terutama jagung dan kedelai. Di Indonesia jagung merupakan bahan pangan kedua setelah beras dan di dunia menduduki urutan ketiga setelah gandum dan padi. Produksi jagung Indonesia tahun 2007 mencapai 13.279.794 ton dari 3.619.411 ha , Jawa Timur menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai produsen terbesar mencapai 4.393.656 ton dari 1.154.365 ha (BPS, 2007). Jagung merupakan pangan non beras yang potensial sebagai sumber karbohidrat dan zat gizi lainnya. Jagung memiliki potensi yang besar sebagai bahan baku berbagai industri makanan, minuman, kimia dan farmasi, pakan ternak, serta industri lainnya (Departemen Perindustrian, 1992). Menurut Winarno (1988), dari 100 kg jagung dapat diperoleh 3.5-4.0 kg minyak jagung, 27-30 kg bungkil, pakan, gluten dan sebagainya, serta 54-67 kg pati. Sisanya 1523 kg hilang atau terbuang selama proses. Oleh karena beragamnya kegunaan jagung maka dapat dipastikan kebutuhan jagung akan tinggi. Sebagai bahan baku pangan, jagung dapat diolah menjadi berbagai jenis makanan. Aneka produk pangan yang dikonsumsi oleh manusia antara lain : flour corn atau soft corn, pop corn, jagung muda sayur, jagung bakar, mie jagung, corn flakes, roti jagung, mie jagung, produk ekstrusi dan tortilla.
Pada tahun 2000 - 2004 penggunaan jagung untuk konsumsi mencapai 40.18 %, industri pangan 22.29 % dan pakan 37.53 %. Namun pertumbuhan penggunaan rata-rata tiap tahun dari tahun 2000-2004 untuk konsumsi mengalami penurunan sebesar 3.95 %, sedangkan untuk industri pangan dan pakan mengalami kenaikan sebesar 0.97 % dan 3.83 % (Suryana et al. 2005). Mengingat semakin tingginya permintaan jagung tersebut maka mutu dan keamanan jagung harus diperhatikan. Sehingga dengan semakin meningkatya permintaan jagung maka pada rantai produksi perlu diperhatikan mulai dari pemanenam himhha siap dikonsumsi. (Thahrir et al. 1988). Tanaman jagung umumnya ditanam di daerah yang beriklim kering pada awal atau akhir musim kemarau. Tanaman ini cocok untuk ditanam di Indonesia karena kondisi tanah dan iklimnya yang sesuai. Di Indonesia tanaman ini tumbuh dan berproduksi optimum di daerah dataran rendah sampai ketinggian 750 m dpl (Rukmana, 1997). Selain faktor kondisi iklim dan tanah, serangan hama dan penyakit juga sangat mempengaruhi mutu dan hasil panen tanaman jagung. Hama pengganggu yang sering menyerang tanaman jagung di antaranya mamalia, rodenta, anthroposa dan nematoda. Sedangkan penyakit yang timbul, umumnya disebabkan oleh bakteri, cendawan, virus, nematoda, dan kekurangan zat hara (AAK,1993). Jagung sebagai bahan pangan yang kaya pati sebesar 61-78 %, protein 612 % dan lemak 3.1-5.7 % (White dan Johnson, 2005), merupakan substrat yang baik bagi cendawan toksigenik terutama golongan kapang yang menghasilkan mikotoksin. Salah satu mikotosin yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan yang terdapat pada jagung adalah aflatoxin. Menurut Cole et al. (1982) melaporkan bahwa aflatoxin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan di jagung. Mikotoksin ini hanya diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Diener dan Davis, 1986) Jagung merupakan bahan baku yang paling sering tercemar oleh mikotoksin terutama aflatoxin. Menurut Diener dan Davis (1986) aflatoxin pada jagung sebagian besar diproduksi Aspergillus flavus. Adapun jenis aflatoxin yang sering ditemui pada jagung yaitu aflatoxin B1 dan B2. Kedua jenis mikotoksin ini hanya dihasilkan Aspergillus flavus, sedangkan Aspergillus
parasiticus menghasilkan aflatoxin B1, B2, G1 dan G2 yang sering ditemui pada kacang tanah. Perbedaannya yaitu ditemukannya CPA (cyclopiazonic acid) pada aflatoxin jagung. CPA ini diproduksi oleh Aspergilus flavus sebagai metabolit sekunder. Menurut Muhilal dan Karyadi (1985), di Indonesia aflatoxin tergolong kedalam mikotoksin utama yang banyak mengkontaminasi produk-produk pertanian seperti jagung, kacang tanah, bahan pakan ternak, dan produk ternak. Mikotoksin ini tidak menimbulkan gejala yang bersifat akut, tetapi kelainan yang ditimbulkannya adalah akibat akumulasi karena menkonsumsi mikotoksin secara berulang-ulang dalam suatu periode tertentu (Fardiaz,1992). Aflatoxin ini dapat menyebabkan karsinogenik, mengganggu fungsi organ terutama hati, bahkan dapat mengakibatkan kematian (Payne, 1999). FDA membatasi kandungan aflatoxin pada makanan, batas maksimal pada biji-bijian dan bahan pangan sebesar 20 ppb untuk aflatoxin B1 dan 0.5 ppb untuk aflatoxin M1 pada susu. Keberadaan Aspergillus flavus dan mikotoksin pada suatu bahan pangan dapat menyebabkan food borne disease dan penurunan mutu pada bahan pangan tersebut. Hal ini tidak sejalan dengan dengan seruan keamanan pangan dari pemerintah (UU RI No. 7 Tahun 1996 tentang pangan), standar mutu produk (ISO 9000) dan mutu lingkungan (ISO 14000). Sehingga berbagai upaya untuk meminimumkan cemaran tersebut dalam rangka menghilangkan hambatan terutama
pada
rantai produksi
serta
melindungi
konsumennya
perlu
dikembangkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan suatu penelusuran cemaran Aspergillus flavus pada rantai produksi produk berbasis jagung agar dapat diketahui dibagian mana Aspergillus flavus menyerang dan menghasilkan mikotoksin supaya dapat dilakukan pencegahan dan penanggulangan.
B. Tujuan Tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui tingkat cemaran Aspergillus flavus pada rantai produksi dalam upaya meminimumkan kontaminasi Aspergillus flavus. 2. Mengetahui kondisi lingkungan penanganan jagung sebagai bahan baku produk pangan yang memicu pertumbuhan Aspergillus flavus.
C. Manfaat Data yang diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai acuan dalam memberikan rekomendasi perbaikan pengendalian cemaran Aspergillus flavus. Selain itu diharapkan dapat membantu dalam pengembangan produk pangan berbasis jagung.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Jagung Tanaman jagung berasal dari benua Amerika. Bentuk liar tanaman ini telah tumbuh 4.500 tahun yang lalu di pegunungan andes, Amerika Selatan. Linnaeus memberikan nama Zea mays untuk tanaman jagung. Zea berasal dari bahasa Yunani yang digunakan untuk mengklasifikasikan jenis padi-padian, dan mays berasal dari bahasa Indian yaitu Mahiz atau Marisi yang kemudian digunakan untuk sebutan spesies. Penyebaran tanaman ini ke berbagai negara di dunia antara lain dilakukan oleh orang Portugis dan Spanyol. Pada abad ke-16 orang Portugal menyebarluaskannya ke Asia termasuk Indonesia. Di Indonesia, tanaman jagung sudah dikenal sekitar 400 tahun yang lalu, didatangkan oleh orang Portugis dan Spanyol. Daerah pusat produksi jagung di Indonesia pada mulanya terkonsentrasi di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur dan Madura. Selanjutnya meluas ke daerah luar Jawa (Rukmana,1997). Dari hasil survei pertanian Biro Pusat Statistik (BPS) (2007) daerah yang memiliki produktivitas jagung tinggi antara lain adalah provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Utara. Produksi jagung dunia menempati urutan ketiga setelah padi dan gandum. Distribusi penanaman jagung terus meluas di berbagai negara karena mempunyai daya adaptasi yang luas di daerah subtropik ataupun tropik (Rukmana,1997). Indonesia merupakan negara penghasil jagung terbesar di kawasan Asia Tenggara maka tidak berlebihan apabila mencita-citakan untuk swasembada jagung. Tanaman jagung termasuk jenis tumbuhan semusim yang terdiri atas akar, batang, daun, bunga dan buah (Rukmana,1997). Tanaman ini mempunyai perakaran serabut yang terdiri atas akar seminal, akar koronal dan akar nafas. Akar seminal adalah akar yang tumbuh kebawah, akar koronal adalah akar yang tumbuh kearah atas dan akar nafas adalah akar yang tumbuh dari bukubuku di permukaan tanah
Dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan, kedudukan tanaman jagung diklasifikasikan sebagai berikut (Rukmana, 1997) : Kingdom
: Plantae
Divisio
: Spermatophyta
Sub Divisio
: Angiospermae
Class
: Monocotyledon
Ordo
: Poales
Famili
: Poaceae (Graminae)
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Tingkat masak pada jagung dipengaruhi oleh faktor genetik, keadaan iklim dan kesuburan tanah. Ciri-ciri tongkol jagung siap dipanen pada stadium matang fisiologis adalah sebagai berikut (Rukmana,1997) : 1. Tongkol berumur 7-8 minggu setelah keluar bunga. 2. Kelobot berwarna kuning atau putih kekuning-kuningan. 3. Bila tongkol dikupas tampak biji jagung berwarna kuning, putih atau kemerah-merahan (sesuai varietas), dan penampakannya mengkilap. 4. Bila biji ditekan tidak meninggalkan bekas melekuk artinya sudah padat (kompak). 5. Kadar air dalam biji sudah mencapai 35 – 40 %. Panen jagung juga dapat dilakukan pada kadar air rendah, yaitu dengan membiarkan dulu tongkol masak (kering) di ladang, bagian pucuknya dipotong agar kadar air biji saat panen mencapai 20-24%. Sedangkan menurut laporan Dinas Pertanian Pangan jawa Timur (1980), panen jagung biasa dilakukan pada kadar air 30-35%. Kriteria ini bervariasi sehingga biasanya diikuti dengan melihat tanda-tanda pada tanaman kering, serta bijinya yang mengkilat dan keras. Menurut Dinas Pertanian (2003), terdapat 2 (dua) jenis golongan tanaman jagung, yaitu jagung hibrida dan jagung komposit, yang masingmasing terdiri dari beberapa varietas yang dapat dikelompokkan berdasarkan masa panen sebagai berikut : varietas umur genjah yaitu jagung yang dapat dipanen pada umur kurang dari 90 hari, varietas umur sedang / medium yaitu
jagung yang dapat dipanen pada umur 90 – 100 hari dan varietas dalam yaitu jagung yang dapat dipanen pada umur diatas 100 – 125 hari. Waktu pemanenan yang terlalu awal atau terlambat dapat menyebabkan penurunan kualitas jagung. Apabila terlalu awal masa panen maka persentase butir muda cukup tinggi dan daya simpannya rendah, sedangkan bila terlambat menyebabkan kerusakan biji akibat deraan lingkungan dan terserang hama. Panen pada musim hujan sering menyebabkan biji jagung berjamur sehingga memudahkan terkontaminasi aflatoxin oleh cendawan Aspergillus sp. Menurut Suprapto (1998), tanaman jagung dapat tumbuh baik di hampir semua macam tanah tetapi akan tumbuh dengan lebih baik pada tanah yang gembur dan kaya akan humus. Tanah yang padat serta kuat menahan air tidak baik untuk ditanami jagung, karena pertumbuhan akarnya akan kurang baik atau akar-akarnya akan menjadi busuk. Selama pertumbuhan, tanaman jagung membutuhkan suhu optimum antara 230C-270C. Panen pada musim kemarau lebih baik daripada pada musim hujan, karena makin cepatnya kemasakan biji dan mempermudah proses pengeringan biji di bawah sinar matahari. Curah hujan yang ideal untuk tanaman jagung adalah antara 100 mm- 200 mm per bulan. Curah hujan paling optimum adalah sekitar 100 mm-125 mm per bulan dengan distribusi yang merata (Rukmana,1997). Tanaman jagung amat cocok pada tanah berdebu yang kaya hara dan humus. Disamping itu, tanaman jagung toleran terhadap berbagai jenis tanah, misalnya tanah andosol dan latosol, asalkan memiliki keasaman tanah (pH) yang memadai. Tanaman ini membutuhkan tanah yang bertekstur lempung, lempung berdebu ataupun lempung berpasir, dengan struktur tanah remah, aerasi dan drainasenya baik. (Rukmana,1997). Jagung terdiri dari empat bagian pokok yaitu, kulit (perikarp); endospermae, yaitu bagian yang menyimpan nutrisi untuk mendukung germinasi; lembaga; dan tulang pangkal (tipcap), yaitu tempat penempelan biji pada tongkol. Berikut disajikan gambar anatomi biji jagung dalam Gambar 1.
Gambar 1. Anatomi Biji Jagung (Johnson,1991)
Perikarp merupakan lapisan paling luar dari biji dan menempel pada aleuron. Perikarp terdiri dari sel-sel selulosa. Tip cap merupakan bagian jagung yang berukuran paling kecil dan terdapat pada bagian ujung bawah butir. Pada bagian tengah tip cap tepatnya di tempat melekatnya butir jagung dengan bongkol terdapat butir kecil berwarna hitam yang disebut
hilar layer dan
berfungsi sebagai komponen perekat selama pertumbuhan dan proses pematangan butir jagung. Endospermae merupakan bagian terbesar pada biji jagung yang mengandung pati sebagai cadangan energi. Bagian endospermae keras tersusun dari sel-sel lebih kecil dan susunan rapat, bagian endospermae lunak mengandung pati yang lebih banyak dan susunan pati tersebut tidak serapat pada bagian keras Jagung memiliki potensi yang besar sebagai setengah jadi berbagai industri makanan, minuman, kimia dan farmasi, pakan ternak, serta industri lainnya (Gambar 2).
Gambar 2. Produk Hasil Pengolahan Jagung (Departemen Pertanian, 2003)
Kandungan kimia jagung terdiri atas karbohidrat (80%), protein (10%), minyak (4,5%), serat kasar (3,5%) dan mineral (2%), setiap 100 kg jagung pipil; didominasi 64-67 kg pati, 27-30 bagian bungkil, gluten, serat dan 3,5 kg minyak jagung, adapun sisa yang hilang atau terbuang ternyata cukup banyak yaitu 12 - 25 kg (Departemen Pertanian, 2003). Mencermati kandungan dan komposisi tersebut jagung selain sebagai sumber kalori juga merupakan pensuplai nutrisi untuk memperoleh keseimbangan gizi penduduk. Kandungan gizi jagung dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Kandungan Gizi Berbagai Macam Produk Jagung dalam 100 Gram Bahan No Kandungan Gizi 1
Kalori (Kal)
2
Banyaknya Kandungan Gizi Dalam : JSK
JKPB
JGK
MZ
TJK
343.00 335.00
140.00
307.00
361.00
Protein (g)
4.70
7.90
8.70
0.30
9.20
3
Lemak (g)
1.30
3.40
4.50
0.00
3.90
4
Karbohidrat (g)
33.10
63.60
72.40
85.00
73.70
5
Kalsium (mg)
6.00
9.00
9.00
20.00
10.00
6
Fosfor (mg)
118.00
148.00
380.00
7
Zat Besi (mg)
0.70
2.10
4.60
8
Vitamin A (SI)
435.00
440.00
350.00
9
Vitamin B1 (mg)
0.24
0.33
0.27
0.00
0.38
10
Vitamin C (mg)
8.00
0.00
0.00
0.00
0.00
11
Air (g)
60.00
24.00
13.10
14.00
12.00
90.00
90.00
100.00
12
Bagian yang dapat dimakan (%)
Sumber Keterangan
30.00 256.00 1.50
2.40
0.00 510.00
100.00 100.00
: Direktorat Gizi Depkes RI, (1981) : JSK ( Jagung Segar Kuning), JKPB (Jagung Kuning Pipilan Baru), JGK (Jagung giling Kuning), MZ (Maizena), TJK (Tepung Jagung).
B.
Produksi dan Konsumsi Jagung di Indonesia Jagung merupakan bahan pangan kedua setelah beras. Produksi jagung Indonesia tahun 2000 mencapai 9.667.000 ton dari 3,5 juta ha dan tahun 2004 meningkat menjadi 11.355.000 dari 3,403 juta ha. Peningkatan produksi ini disebabkan oleh naiknya produktivitas jagung nasional sebesar
2,93 %
(Tabel 2). Pada tahun 2007 mencapai 13.279.794 ton dari 3.619.411 ha, Jawa Timur menduduki peringkat pertama di Indonesia sebagai produsen terbesar mencapai 4.393.656 ton dari 1.154.365 ha (BPS, 2007). Dibandingkan dengan negara-negara penghasil jagung dunia seperti Amerika Serikat dan Cina, produktivitas jagung pipilan Indonesia rata-rata masih terlalu rendah. Pada tahun 1997-2002 sebesar 2,8 ton per hektar dari 3.414.835 ha dan produksi rata-rata 9.444.072 ton. Sedangkan produktivitas Amerika Serikat mencapai 8,6 ton per hektar dan Cina 4,6 ton per hektar pada periode 2000-2001 (Departemen Pertanian, 2004).
Tabel 2. Data Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Jagung Nasional. Tahun
Luas Panen
Produksi
Produktivitas
(Ribu hektar)
(Ribu ton)
(Kuintal/hektar)
2000
3.500
9.677
27,65
2001
3.286
9.347
28,45
2002
3.127
9.654
30,88
2003
3.359
10.886
32.41
2004
3.403
11.355
33.36
Pertumbuhan
1,32%
4,3%
2,93%
tahun 2004 Sumber : Pusat Data dan Informasi Pertanian departemen Pertanian, 2004.
Daerah penghasil utama jagung di Indonesia adalah Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Gorontalo, Jawa Barat, dan NTT. Produksi terbesar berada di Propinsi Jawa Timur dengan jumlah produksi 4.393.656 ton dari 1.154.365 ha areal panen (Tabel 3).
Tabel 3. Propinsi Penghasil Utama Jagung di Indonesia ( 2007 ) Propinsi
Areal Panen
Produksi
( hektar)
( ton )
Jawa Timur
1.154.365
4.393.656
Jawa Tengah
571.484
2.206.639
Lampung
368.325
1.339.074
Sulawesi Selatan
254.526
896.839
Sumatera Utara
227.277
788.091
Gorontalo
122.848
584.840
Jawa Barat
114.771
583.821
Nusa Tenggara Timur
218.751
517.339
*) Sumber : BPS, 2007 Penggunaan jagung di Indonesia antara lain untuk konsumsi, industri pangan, dan pakan. Adapun perkembangan penggunaan jagung dalam negeri dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Data Penggunaan Jagung Dalam Negeri Tahun 2000-2004. (Suryana et al. 2005) Tahun Ribu ton (%) 2001 Ribu ton (%) 2002 Ribu ton (%) 2003 Ribu ton (%) 2004 Ribu ton (%) Rata-rata*1 Ribu ton (%) 2 R(%/thn)* Ribu ton (%) 2000
Konsumsi 4.675 (43,48) 4.567 ( 41,76) 4.478 (40,11) 4.338 (38,35) 4.299 (37,01) 4.478 (40,18) -1.98 (-3,95)
Industri Pangan 2.340 (21,85) 2.415 (22,08) 2.489 (22,29) 2.564 (22,51) 2.638 (22,70) 2.489 (22,29) 3.04 (0,97)
Pakan 3.713 (34,67) 3.955 (36,16) 4.196 (37,59) 4.438 (38,96) 4.680 (40,29) 4.197 (37,53) 5.96 (3,83)
Total 10.710 (100) 10.937 (100) 11.164 (100) 11.390 (100) 11.617 (100) 11.164 (100) 2.05 (0,85)
Keterangan : *1 : Rata-rata penggunaan jagung periode 2000-2004 *2 : Pertumbuhan penggunaan jagung periode 2000-2004
C.
Jagung Pipil Jagung pipil merupakan jagung tongkol yang telah dipipil dengan tangan atau alat sederhana ataupun dengan mesin pemipil. Setelah dijemur sampai kering jagung dipipil. Pemipilan dapat dilakukan dengan tangan atau dengan alat pemipil bila jumlah produksi cukup besar. Pada dasarnya memipil jagung adalah memisahkan antara biji dan tongkol. Dalam jumlah kecil pemipilan jagung dapat dilakukan dengan menggunakan tangan tetapi dalam jumlah besar menggunakan alat pemipil seperti TPI, tipe pedal atau sepeda. Terdapat beberapa cara pemipilan yang biasa dilakukan antara lain (Departemen Pertanian, 2003) : 1. Pemipilan secara tradisional, dengan menggunakan tangan. Pemipilan menggunakan tangan ini menyebabkan tidak adanya biji yang tertinggal dalam tongkol dan dapat menghasilkan jagung pipil tanpa cacat. 2. Pemipilan dengan cara penumbukan, dengan cara penumbukan ini memiliki kapasitas yang lebih besar dari cara pertama seperti tersebut di atas, namun dengan suatu syarat bahwa jagung yang akan ditumbuk dalam kondisi kering. Dengan cara ini biasanya tidak semua jagung dapat terpipil habis bahkan sering dijumpai biji jagung pipil yang pecah atau rusak. 3. Pemipilan dengan menggunakan alat pemipil dari kayu berbentuk semanggi. Alat ini cukup efektif memipil jagung secara manual. Diameter lubang pada alat pemipil ini disesuaikan dan dibuat sama dengan diameter jagung tongkol. Tongkol jagung tanpa klobot yang akan dipipil, diusahakan melewati lubang berbentuk semanggi seraya diputar kekiri dan kekanan. 4. Pemipilan dengan menggunakan alat pemipil tipe sepeda atau tipe pedal, dilakukan pada pemipilan jagung dalam jumlah yang relatif cukup besar.
5. Pemipilan dengan menggunakan mesin pemipil tipe silinder atau tipe pegas. a. Mesin pemipil tipe silinder mempunyai kapasitas dan ukuran yang bermacam-macam, mulai dari ukuran portable (kecil) sampai dengan ukuran stasioner (besar). b. Sedangkan mesin pemipil tipe pegas juga memiliki berbagai kapasitas dan ukuran. Dirancang satu atau dua lubang (yang dapat digerakkan dengan tangan maupun dengan motor); adapun yang dirakit berukuran empat atau enam lubang (khusus digerakkan dengan motor dan tidak bisa digerakkan dengan tangan). c. Pemipilan dengan menggunakan alat mesin yang disebut corn sheller dengan kapasitas jauh lebih besar. Setelah pemipilan jagung pipil dikeringkan kembali hingga kadar air tidak lebih dari 14 % (Departemen Pertanian, 2003). Cara pengeringan jagung pipil ini dapat dilakukan dengan menghamparkan butiran-butiran jagung di atas plastik atau lantai jemur.
D. Jagung Manis Sweet corn atau jagung manis sudah sejak lama dikenal oleh bangsa Indian, Amerika. Di Indonesia, jagung manis mula-mula dikenal dalam kemasan kaleng dari hasil impor. Baru tahun 1980-an tanaman ini ditanam secara komersil meskipun masih dalam skala kecil. Setelah berkembangnya toko-toko swalayan yang banyak menampung hasilnya, jagung manis ini diusahakan secara meluas. Menurut Koswara (1986), sifat manis pada sweet corn disebabkan oleh adanya gen su-1 (sugary), bt-2 (brittle) ataupun sh-2 (shrunken) yang dapat mencegah pengubahan gula menjadi zat pati pada endosperm sehingga jumlah gula yang ada kira-kira dua kali lebih banyak dibandingkan jagung biasa. Biji jagung manis atau sweet corn mirip dengan kaca (glassy) dan mengandung pati yang rasanya manis. Jagung ini biasanya dipanen muda untuk dijadikan makanan kaleng ataupun setengah jadi pembuatan sirop. Jagung manis mengandung kadar gula yang relatif tinggi dibandingkan dengan jagung
biasa. Jagung manis biasanya dipanen muda untuk dibakar atau direbus. Selain itu sweet corn umumnya dikonsumsi dalam bentuk sayuran pada tahap awal. Secara fisik maupun morfologi, jagung manis sulit dibedakan dengan jagung biasa. Perbedaan antara keduanya umumnya pada warna bunga jantan. Bunga jantan jagung manis berwarna putih sedangkan jagung biasa kuning kecoklatan. Pada proses pematangan kadar gula yang tinggi pada jagung manis menyebabkan biji keriput.
E. Produk Pangan Berbasis Jagung Biji jagung merupakan sumber potensial karbohidrat. Berdasarkan Gambar 3 jagung banyak diolah untuk berbagai industri. Biji yang tua diolah menjadi pati, tepung jagung (pada jenis jagung gigi kuda atau Dent corn, jagung Tepung atau Flour Corn), makanan kecil (snack), brondong (jagung berondong atau Pop corn), jenang, lepet jagung. Sedangkan biji jagung yang telah kering biasanya diolah menjadi jagung pipilan, beras jagung, ataupun jagung giling. Baby corn atau tongkol jagung amat muda sudah umum dikenal dan diperdagangkan sebagai bahan sayur. Dalam industri makanan skala besar, jagung diolah menjadi produk pati dan minyak jagung. Di Indonesia yang umum dijumpai yaitu berbasis jagung mutiara atau Flint corn. Dari berbagai produk hasil pengolahan jagung, pati dan minyak jagung merupakan produk utama yang biasa dikonsumsi manusia. Jagung muda biasanya dijual segar atau dikalengkan, sedangkan jagung tua dioah menjadi corn steep liquor, tepung jagung, pati jagung dan grits jagung. Pohon industri jagung dapat dilihat dalam Gambar 3. Beras jagung merupakan hasil olahan dari biji jagung tua. Produk ini merupakan hasil penggilingan kasar dan pemisahan kulit dan lembaga. Biji jagung dibersihkan kemudian dipecah dengan disc mill lalu disaring atau di ayak. Hasil saringan ada berupa menir, dedak, dan granula. Granula disosoh dengan polisher kemudian diayak dan hasil pengayakan beras jagung, menir jagung dan dedak jagung (Andriastuti, 2004)
Gambar 3. Pohon Industri Jagung (Purwono dan Hartono, 2006)
Penggilingan halus dan pengayakan akan menghasilkan tepung jagung. Pembuatan tepung jagung secara tradisional dapat dilakukan dengan biji jagung langsung digiling dengan dua lempengan batu atau roller. Lembaga tercampur dalam tepung sehingga mudah tengik dalam penyimpanan. Sedangkan pengolahan lebih maju terdapat proses pemisahan lembaga dari endosperma. Tepung maizena adalah salah satu dari hasil pengolahan dari pati jagung. Jagung pipilan yang bersih dan bermutu direndam dalam larutan H 2SO3 0,15% lebih kurang 40 jam. Perendaman dalam larutan H 2SO3 untuk mempermudah pengupasan kulit (pericarp). Selanjutnya jagung direndam dalam air selama 20 jam. Penggilingan dan perendaman dalam air untuk mempermudah pemisahan, lembaga dan butiran jagung yang mengandung pati (endosperm). Hasil penggilingan ditampung dalam bak air untuk memisahkan lembaga sehingga diperoleh jagung bebas lembaga. Kemudian jagung bebas lembaga digiling sampai halus dan disaring. Hasil dari penyaringan direndam dalam larutan NaOH 0,1% untuk memisahkan pati (maizena) dengan protein.
Kemudian pati dipisahkan dari larutan NaOH dan proteinnya. Selanjutnya pati dicuci dengan air dua kali dan diendapkan, endapan pati dikeringkan. Pati kering digiling menjadi tepung halus, kemudian dilakukan pengayakan tepung maizena, endapan pati dikeringkan dan digiling menjadi tepung halus yang disebut tepung maizena. Tortila merupakan produk jagung hasil pemasakan alkali yang paling populer. Tortila berasal dari Meksiko dan Amerika Tengah. Produk tortilla terdapat dalam berbagai bentuk seperti keripik tortilla (trotila chips), keripik jagung (corn chips), taco shells, tostados, nachos, enchiladas, tamales, tortilla meja (table tortilla), pazole, menudo, dan sebagainya. Perbedaan utama pada produk tersebut terletak pada ukuran partikel dalam adonannya. Pembuatan tortilla meliputi tahap-tahap perebusan dengan air kapur, perendaman, pencucian, penggilingan, pencetakan, dan pematangan (penggorengan suhu 160-170oC selama 10-30 detik atau pemanggangan 180oC selama 1-2 menit ) Snack jagung merupakan makanan ringan ekstrudat. Menurut SNI 012886-2000, produk ini dibuat melalui proses ekstrusi dari setengah jadi tepung dan atau pati dengan penambahan bahan makanan lain serta bahan tambahan makanan lain yang diizinkan dengan atau tanpa melalui proses penggorengan. Secara umum pengolahannya yaitu campuran setengah jadi dan bahan tambahan
dimasukkan ke dalam ekstruder dan dimasak pada suhu 177oC
selama 3 menit. Campuran yang sudah dimasak dimasukkan dalam ekstruder kedua. Ekstruder kedua ini dilengkapi dengan screw berpendingin yang dapat mempertahankan suhu campuran 82oC, selanjutnya bahan diekstrusi melalui cetakan untuk membentuk pellet. Pellet didinginkan sampai suhunya di bawah 38oC untuk mencegah lengket dan diroll menjadi serpihan dengan ketebalan 0.025 inchi dengan flaking roll. Selanjutnya dipanggang pada suhu 204-260oC. Produk hasil ekstrusi biasanya diberi citarasa keju, bawang, cabe, krim asam. Brondong
dibuat
dari
jagung
berondong
dengan
pemanasan.
Pengembangan volume terjadi pada 177oC (135 psi dalam biji). Pembuatan berondong dapat dengan pemanasan basah ( seperti menggoreng dengan minyak) dan kering (pemanggangan). Berondong umumnya dijual dalam keadaan sudah bercitarasa. Penambahan citarasa dengan pelapisan gula atau
sirup, minyak nabati, mentega, pewarna atau citarasa lain. Produk ini mudah menyerap air. Marning merupakan makanan ringan yang dibuat dari biji jagung tua yang direbus, dikeringkan, dan digoreng menggunakan minyak dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan. Umumnya digunakan bawang putih dan garam sebagai bumbu citarasa.
F. Kontaminan Kapang pada Jagung Kapang merupakan mikroba dalam kelompok fungi yang berbentuk filamen, yaitu strukturnya terdiri dari benang-benang halus yang disebut hifa. Kumpulan-kumpulan hifa membentuk kumpulan massa yang disebut miselium dan lebih mudah dilihat secara kasat mata. Menurut Fardiaz (1992), pertumbuhan kapang mula-mula akan berwarna putih, tetapi jika spora telah timbul akan terbentuk berbagai warna tergantung dari jenis kapang. Diperkirakan jumlah kapang antara 10.000-300.000 atau lebih yang dapat ditemukan di alam ini. Menurut Syarief et al. (2003), miselium (miselia) dapat dilihat dengan mata telanjang yang menyerupai kapas atau benang-benang wol dengan warna yang bermacam-macam. Pola pertumbuhan kapang menyerupai bakteri walaupun perkembangannya lebih lambat. Pertumbuhan atau perpanjangan hifa dimulai dengan pembelahan inti, yaitu dapat dimulai dari bagian tengah yang disebut pertumbuhan interkalar atau dari bagian ujung hifa yang disebut pertumbuhan apikal. Struktur miselia pada kapang mungkin spesifik untuk beberapa jenis kapang sehingga dapat digunakan untuk identifikasi. Bentuk-bentuk spesifik itu misalnya rhizoid pada rhizopus dan Absidia, foot cell pada Aspergillus. Menurut Fardiaz (1992), sifat-sifat fisiologis kapang secara umum dipengaruhi kebutuhan air, suhu pertumbuhan, kebutuhan oksigen dan pH, makanan, dan komponen penghambat. Untuk pertumbuhan kapang pasca panen pada bahan pangan yang disimpan dipengaruhi oleh faktor kadar air bahan, suhu, kelembaban relatif, lama penyimpanan, tingkat serangan kapang
sebelum bahan pangan disimpan, aktivitas serangga dan tungau (Christensen dan Kaufman, 1969). Christensen (1957) membagi fungi ke dalam tiga golongan berdasarkan keadaan lingkungan perkembangannya, yaitu : 1) fungi lapangan (field fungi), 2) fungi penyimpanan (storage fungi) dan 3 ) fungi perusakan lanjutan (advance decay fungi). Golongan tiga merupakan bagian sementara sedangkan dua bagian lain khusus pada komoditi biji-bijian. Fungi lapangan menyerang bijian yang sedang dan masak penuh dengan kandungan air paling sedikit 20 % atau keseimbangan relatif (RH) 90-100 %; fungi penyimpanan menyerang biji-bijian yang tersimpan setelah panen dengan kandungan air sekitar 13-20 % atau keseimbangan lembab relatif (RH) 7090% (Makfoeld,1993) Contoh
fungi
lapangan
adalah
Alternaria,
Fusarium,
Helminthosporium dan Cladosporium (Uraguchi dan Yamazaki, 1978). Juga termasuk Curvularia, Stemphylium, Epicoccum dan Nigospora yang umumnya menyerang dekat atau saat panen (Makfoeld,1993). Fungi penyimpanan menurut Uraguchi dan Yamazaki (1978), terdiri dari beberapa spesies antara lain Penicillium, Aspergillus, dan Sporendonema dan kadangkadang beberapa jenis khamir. Penicillium dan Aspergillus merupakan fungi yang diketahui ada dimana-mana dan hampir terdapat di setiap wilayah. Selain kedua fungi tersebut dikategorikan pula dalam fungi penyimpanan adalah
Absidia,
Mucor,
Rhizopus,
Chaetomium,
Scopulariopsis,
Paecilomyces dan Neurospora. Absidia, Mucor, dan Rhizopus umumnya ada hubungan dengan kerusakan pada kondisi lembab, karena kapang-kapang tersebut membutuhkan RH minimum 88 % untuk pertumbuhannya, kapang tersebut bukan fungi pemula kerusakan bahan dalam penyimpanan. Namun Aspergillus flavus dapat menyerang bahan dilapangan (walaupun termasuk fungi
penyimpanan)
apabila
kandungan
air
bahan
cukup
tinggi
(Makfoeld,1993). Pada umumnya sebagian besar kapang membutuhkan aw minimal untuk pertumbuhan lebih rendah dibandingkan dengan bakteri dan khamir. Christensen dan Kaufman (1969), melaporkan bahwa kapang pasca panen
dapat tumbuh pada substrat yang mempunyai kadar air keseimbangan dengan kelembaban relatif 65-90% (aw = 0.65-0.9). Menurut Makfoeld (1993), fungi pada umumnya akan dapat berkembang biak pada a w 0.65-0.8 dan terdapat fungi yang mampu tumbuh pada bahan kering angin yaitu kelembaban rendah dengan aktivitas air (aw) kurang dari 0.70. Suhu pertumbuhan optimum untuk kebanyakan kapang bersifat mesofil sekitar 25-30oC, tetapi beberapa dapat tumbuh pada suhu 5-37oC atau lebih, misalnya Aspergillus. Menurut Lillehoj (1986), kapang tumbuh cepat pada 20-30oC dengan kisaran tumbuh 0-60oC. Beberapa kapang bersifat psikrotrofik, yaitu tumbuh baik pada suhu lemari es dan bahkan beberapa masih dapat tumbuh lambat pada suhu dibawah suhu pembekuan, misalnya 5oC sampai -10oC. Beberapa kapang juga bersifat termofilik yaitu tumbuh pada suhu tinggi (Fardiaz, 1992). Suhu optimum untuk fungi saprofit yaitu 22-30oC (Pelczar et al. 1986). Semua kapang bersifat aerobik yaitu membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannya. Kebanyakan kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang luas, yaitu pH 2-8.5, tetapi umumnya pertumbuhan akan lebih baik pada kondisi asam atau pH rendah (Fardiaz ,1992). pH optimum untuk fungi yaitu 3.8-5.6 (Pelczar et al. 1986). Nilai pH diluar 2-10 umumnya bersifat merusak ( Syarief et al. 2003). Kapang
membutuhkan makanan sebagai sumber
energi dan
pertumbuhan. Komponen sederhana sampai kompleks pada makanan dapat digunakan sebagai sumber makanan kapang.
Unsur-unsur dasar untuk
makanan kapang antara lain karbon, nitrogen, hdrogen, oksigen, sulfur, fosfor, magnesium, zat besi dan sejumlah kecil logam lainnya (Syarief et al. 2003). Kebanyakan kapang memproduksi enzim hidrolitik, misalnya amilase, pektinase, proteinase, dan lipase. Oleh karena itu, dapat tumbuh pada makanan yang mengandung pati, pektin, protein, atau lipid. Beberapa kapang mengeluarkan komponen yang dapat menghambat pertumbuhan organisme lainnya, sebaliknya beberapa komponen lain bersifat mikostatik atau fungistatik, yaitu menghambat pertumbuhan kapang, misalnya asam sorbat, propionat dan asetat atau bersifat fungisidal yaitu
membunuh kapang. Pertumbuhan kapang biasanya berjalan lambat dibandingkan khamir
dan bakteri.
Oleh karena
itu,
jika
kondisi
pertumbuhannya memungkinkan semua organisme tumbuh, kapang biasanya kalah dalam kompetisi dengan khamir dan bakteri. Tetapi sekali kapang mulai tumbuh,
pertumbuhan
yang ditandai pembentukan miselium
berlangsung dengan cepat (Fardiaz,1992). Bahan pangan merupakan media yang sangat baik untuk tumbuh fungi bila keadaan memungkinkan. Bahan pangan yang telah ditumbuhi kapang dapat menyebabkan penurunan mutu dan keracunan. Penurunan mutu ini meliputi penurunan nilai gizi, penyimpangan warna, perubahan rasa dan bau, perubahan penampakan, adanya pembusukan, dan modifikasi komposisi kimia. Selain penurunan mutu tersebut, yang perlu diperhatikan adalah terdapat jenis kapang tertentu yang dapat menghasilkan metabolit sekunder yang bersifat patogen dan mampu mensintesis senyawa toksin. Senyawa ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan bahkan kematian. Peristiwa keracunan makanan yang ditumbuhi fungi telah dilaporkan sejak 1826 sampai pertengahan 1900. Sejak saat itu berbagai ungkapan penyakit karena fungi terutama karena toksin yang dikeluarkannya mulai menarik perhatian dan cukup meluas. Penyakit karena fungi disebut mikosis sedangkam mikotoksikosis adalah penyakit karena racun yang dikeluarkan oleh fungi yang bersangkutan. Menurut Syarief et al. (2003) penyakit yang dapat disebabkan oleh kapang dibedakan menjadi infeksi atau mikosis, alergi dan mikotoksikosis atau intotoksikasi. Mikotoksin merupakan senyawa organik beracun yang merupakan hasil dari metabolisme sekunder kapang. Definisi mikotoksin (Hawkswort et al. 1995) adalah semua metabolisme nonenzimatik yang dapat mengganggu organisme. Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoxin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960. Mikotoksin dapat ditemukan pada berbagai produk pangan dan pakan. Biji-bijian termasuk jagung merupakan komoditi yang sering terkontaminasi oleh mikotoksin (CAST, 2003). Kontaminasi mikotoksin pada biji-bijian terjadi sebagai hasil
infeksi atau infestasi fungi pada tanaman selama pertumbuhan, panen, dan pasca panen. Menurut Syarief et al. (2003), makanan yang telah tercemar oleh mikotoksin seringkali tidak lagi ditumbuhi kapang penyebab toksin tersebut Uraguchi dan Yamazaki (1978), mengelompokkan mikotoksin berdasarkan fungi penghasilnya dalam 14 macam mikotoksin, yaitu : aflatoxin dan sterigmatosin, luteoskirin dan sikloklorotin, sitrinin, rugulosin, siteoviridin, patulin dan asam penisilat, griseofulvin, okratoksin-A, rubratoksin, trikotesena toksin, butenolida, zearalenon, dan tremorgenik toksin. Dari beberapa mikotoksin tersebut yang terpenting dan sering ditemukan yaitu aflatoxin. Di Indonesia, aflatoxin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985), hal ini karena kondisi iklim tropis dan lingkungan yang mendukung untuk pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin tersebut, khususnya spesies Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan satu-satunya kapang utama penghasil aflatoxin (Diener dan Davis, 1986). Kapang Aspergillus flavus ini pada jagung umumnya berwarna hijau terang atau hijau muda seperti warna koloninya pada media APDA.
G. Aspergillus Aspergillus merupakan kapang yang hampir dapat tumbuh pada semua substrat. Fungi ini akan tumbuh pada buah busuk, sayuran biji-bijian, roti dan bahan pangan lainnya. Aspergillus dikelompokkan dalam 18 kelompok
yang keseluruhannya diperkirakan
mencapai 150 spesies
(Dwidjoseputro, 1978). Beberapa spesies termasuk fungi patogen, misalnya yang dapat menyebabkan kerusakan hati dan penyakit lainnya yang disebabkan oleh Aspergillus sp. disebut aspergilosis. Beberapa diantaranya bersifat saprofit sebagaimana banyak ditemukan pada bahan pangan. Menurut Syarief et al. (2003), untuk tumbuh pada sumber karbon seperti glukosa, fruktosa, maltosa, dan pati beberapa spesies Aspergillus menunjukkan kemampuan tumbuh pada lingkungan yang kekurangan nutrisi. Spesies
Aspergillus dapat tumbuh pada suhu tinggi dan a w rendah sehingga memungkinkan untuk tumbuh pada penyimpanan biji-bijian. Pada spesies tertentu Aspergillus banyak dimanfaatkan untuk berbagai keperluan manusia, antara lain jenis Aspergillus niger digunakan dalam pembuatan asam sitrat, asam glukonat, dan beberapa asam organik lainnya. Aspergillus oryzae digunakan dalam tahap pertama pembuatan kecap. Aspergillus akan terlihat dengan warna hijau, kuning, oranye, hitam atau coklat (Salle, 1961). Secara keseluruhan merupakan warna dari konidianya. Hifa bersekat dan bercabang, dalam hal ini yang membedakan dari genus Rhizopus. Pada bagian ujung hifa, terutama pada bagian yang tegak membesar dan merupakan konidiofornya yang didalamya terdapat konidiakonidia. Suatu batang pendek di bagian pendukung konidiofor kadang berkembang membulat dan disebut sterigmata, sterigmata ini dapat tumbuh memanjang (Gambar 4.)
Gambar 4. Aspergillus sp. Aspergillus dicirikan hifa bersekat dengan inti yang banyak, sehingga termasuk klas Ascomycetes. Tetapi kebanyakan Aspergillus belum ditemukan askus dan tubuh buahnya jelas, sehingga sering dimasukkan dalam klas Deuteromycetes. Ciri khasnya adalah terbentuknya konidia, sedangkan pembedaan spesiesnya adalah warna.
Ciri-ciri spesifik Aspergillus (Gambar 4) adalah sebagai berikut (Fardiaz, 1992) : 1. Hifa septat dan miselium bercabang, biasanya tidak berwarna, yang terdapat di bawah permukaan merupakan hifa negatif, sedangkan yang muncul diatas permukaan umumnya hifa fertil. 2. Kolini tampak kompak. 3. Konidiofor septat atau non septat, muncul dari foot cell (yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal). 4. Konidiofor membengkak menjadi vesikel pada ujungnya, membawa sterigmata di mana tumbuh konidia. 5. Sterigmata atau fialida biasanya sederhana, berwarna, atau tidak berwarna. 6. Konidia membentuk ranatai yang berwarna hjau, coklat, atau hitam. 7. Beberapa spesies tumbuh baik pada suhu 37oC atau lebih.
H. Aspergillus flavus Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit. Kapang ini termasuk divisio Thallophyta, subdivisio Deuteromycotina, klas fungi imperfecti (kapang tidak sempurna), ordo Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff, 1981). Struktur morfologi kapang Aspergillus flavus dapat dilihat pada Gambar 5 (Diener dan Davis, 1969). .
Gambar 5. Struktur morfologis Aspergillus flavus Aspergillus flavus termasuk kedalam kapang penyimpanan atau kapang gudang (Lillehoj, 1986). Namun walaupun termasuk kapang penyimpanan Aspergillus flavus dapat menyerang pada bahan di lapangan Kondisi
lingkungan
yang
kering
dan
panas
dapat
mendukung
perkembangbiakan Aspergillus flavus karena berkurangnya mikroba pesaing, turunnya kadar air pada biiji yang mempercepat proses pemasakan, dan menurunkan kegiatan fisiologis biji serta menghilangkan kemampuan produksi phytoalexin yaitu senyawa antimikroba dan anti jamur (Wotton dan Strange, 1986). Ciri-ciri spesifik kapang ini adalah hifa berseptat, miselium bercabang, biasanya tidak berwarna, yang terdapat di bawah permukaan merupakan hifa vegetatif, sedangkan yang muncul dipermukaan merupakan hifa fertil. Konidiofora membengkak menjadi vesikel pada ujungnya, membawa sterigmata dan konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam. Menurut Diener dan Davis (1986), Aspergillus flavus merupakan kapang proteolitik. Suhu minimum pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar 10-15oC, dan suhu maksimummya 45-50oC (Christensen dan Kaufmann, 1974). Suhu optimum pertumbuhan kapang ini 33oC. Kelembaban relatif minimum untuk pertumbuhan kapang ini yaitu pada batas RH78 % (Hultin et al., 1970). Pada kadar air 13-18 % kapang akan menyerang. Pada kadar air tinggi (27-28 %) dan kadar air rendah (10%) campuran jagung tersebut memiliki rata-rata kadar air 14 % atau lebih rendah lagi akan mendukung pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoxin (Lillehoj,1986). Menurut Saharibanong (2008), Aspergillus flavus dapat ditemukan pada setiap makanan diatas kadar air 10 %. Aspergillus flavus dapat tumbuh di kopra pada kadar air 8-12 % dan bagian minyak telah dihilangkan sebanyak 40% dari semula (Makfoeld, 1993). Kisaran aw minimum untuk pertumbuhan kapang ini adalah 0.78-0.84 (Anonim A, 2006). Sekali kapang menyerang biji-bijian maka akan terus tumbuh walaupun pada kadar air yang rendah (Lillehoj, 1986). Adapun kondisi untuk pertumbuhan dan produksi aflatoxin pada Aspergillus flavus dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kondisi Untuk Pertumbuhan dan produksi Aflatoxin pada Aspergillus flavus Kondisi
Pertumbuhan
Produksi Aflatoxin 37 13 16-31 0,82
Suhu Maksimum (0C) 43-48 0 Suhu Minimum ( C) 10-12 Suhu Optimum (0C) 33 Aw Minimum 0,78-0,84 pH Kisaran 2,1-11,2 pH optimum 3,4-10 (puncak optimum = 7,5) Sumber : (Anonim A, 2006) http://stdf-safenutproject.com/Dados/Presentation%20AFPA%20%20%20web.pdf
Adanya pertumbuhan Aspergillus flavus pada bahan pangan merupakan petunjuk adanya pencemaran aflatoxin terhadap bahan pangan tersebut. Hal ini dikarenakan Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan kapang yang menghasilkan aflatoxin. Secara mikroskopis dengan perbesaran 400 kali Aspergillus flavus dapat dilihat pada Gambar 6. Dari 1390 isolat Aspergillus flavus diberbagai negara, 803 macam atau 60 % diantaranya menghasilkan aflatoxin (Diener dan Davis, 1969). Aflatoxin ini merupakan mikotoksin yang berbahaya baik bagi hewan maupun manusia. Mikotoksin ini dapat menyebabkan hepatoksik bahkan kematian.
Gambar 6. Gambar mikroskopis Aspergillus flavus pada Perbesaran 400 kali
I. Aflatoxin Peristiwa tahun 1960 di Inggris terjadi epidemi besar-besaran pada ternak unggas, khususnya kalkun yang menelan korban lebih dari 100.000 ekor dalam jangka waktu tiga bulan merupakan awal ditemukannya aflatoxin. Penyebab penyakit tersebut belum diketahui, maka penyakit tersebut disebut
Turkeys- X Disease. Penyakit ini tidak hanya menyerang unggas seperti itik, burung dan lainnya namun juga babi dan sapi dengan gejala yang sama. Penelitian kemudian menunjukkan bahwa penyebabnya adalah tepung kacang tanah asal Brazil, campuran pakan ternak ini telah ditumbuhi kapang. Kapang diidentifikasi sebagai Aspergillus flavus
dan zat toksik sebagai mikotoksin
disebut Aspergillus flavus toksin. Pada kongres yang dilaksanakan di Inggris, yaitu International Working Party on Groundnut Toxicity Research, zat toksik yang dihasilkan A. flavus dinamakan aflatoxin (Wilson dan Hayes, 1973). Menurut Diener dan Davis (1986), mikotoksin ini hanya diproduksi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Secara alami aflatoxin terdapat pada jagung, barley, tepung, biji kapas, kacang, tepung kacang, beras, kedelai, gandum, dan biji sorgum. Bahan-bahan ini ditumbuhi kapang selama pemanenan dan penyimpanan pada kondisi lembab. Selain bahan pangan tersebut, makanan hasil fermentasi dapat juga terkontaminasi seperti kecap dan oncom (Makfoeld, 1993).
Mikotoksin ini mempunyai pengaruh biologis
terhadap makhluk hidup yang mengkonsumsinya, terutama hewan dan manusia. Secara alami aflatoxin terdiri atas 4 komponen induk yaitu aflatoxin B1, aflatoxin B2, aflatoxin G1, dan aflatoxin G2 ( B= blue fluorescence; G= green fluorescence). Berdasarkan jalur biosintesisnya, aflatoxin merupakan jenis mikotoksin turunan dari jalur asetat-malonat dan berdasarkan sudut kimiawinya termasuk kedalam mikotoksin bisfuranoid. Keempat jenis aflatoxin tersebut dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus sedangkan Aspergillus
flavus
menghasilkan jenis aflatoxin B1dan B2. Struktur kimia keempat aflatoxin tersebut adalah sebagai berikut :
Aflatoxin B1
Aflatoxin G1
Aflatoxin B2
Gambar 7. Aflatoxin B1, B2, G1, dan G2
Aflatoxin G2
Terdapat beberapa jenis aflatoxin yang telah diisolasi secara terpisah, tetapi hanya enam yang diamati secara mendalam karena sifat toksisitasnya dan banyak ditemukan dalam produk-produk alami yaitu B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoxin B1, B2, G1, dan G2 secara umum terdapat dalam konsentrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan ektrak kasar dari toksin jenis lainnya, dimana diisolasi pertama kali oleh Nesbit dan Hartley pada tahun 1962. Aflatoxin M1, dan M2 merupakan hasil metabolisme aflatoxin B1dan B2 dalam tubuh yang disekresikan kedalam susu, urine dan feses (Makfoeld, 1993). Aflatoxin mempunyai beberapa efek terhadap organisme antara lain efek racun, karsinogenik, mutagenik, dan teratogenik. Dari hasil percobaan Madhaven et al. (1970) pada kera yang dikutip oleh Muhilal (1971) menunjukkan bahwa efek racun aflatoxin pada dosis rendah menyebabkan kerusakan hati dan kematian pada kera yang diberi makanan yang mengandung sedikit protein Efek karsinogenik pada aflatoxin dikonsumsi dalam jumlah sedikit dalam waktu yang cukup lama (efek kumulatif). Aflatoxin jenis B1 terbukti dapat mengakibatkan mutasi pada beberapa organisme yang ditimbulkan dengan keabnormalan kromosom pada berbagai jenis sel dan mutasi gen. Selain itu efek teratogenik ditunjukkan pada hewan percobaan yang selama kehamilan diberi makan yang mengandung aflatoxin, dapat menghasilkan bayi yang cacat atau bahkan telah mengalami kematian sebelum dilahirkan. Batas maksimal kandungan aflatoxin telah ditetapkan oleh FDA. Batas maksimal total aflatoxin pada bahan pangan adalah 20 ppb dengan pengecualian pada susu maksimal sebanyak 0.5 ppb untuk aflatoxin M1. Apabila aflatoxin dalam tubuh manusia sebesar 1000 ppb maka dapat menyebabkan kanker hati (Williams et al, 2004). Pembentukan aflatoxin oleh Aspergillus flavus pada substrat alami dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis kapang, substrat, kelembaban dan kadar air, suhu dan waktu inkubasi, tingkat kematangan substrat, kadar oksigen dan karbondioksida serta interaksi mikroba. Kisaran suhu untuk pembentukan aflatoxin adalah 11-41oC, dengan suhu untuk pembentukan aflatoxin maksimum sedikit dibawah suhu optimum untuk pertumbuhan
kapangnya yaitu 24-30oC. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoxin oleh A. flavus pada kacang tanah steril adalah 25oC selama 7-9 hari. Suhu optimum untuk pembentukan aflatoxin bagi Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus adalah 25-40oC (Frazier dan Westhoff, 1981). Kelompok Aspergillus flavus dapat memproduksi aflatoxin dalam jumlah bervariasi pada substrat alami. Faktor terpenting yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi aflatoxin oleh Aspergillus flavus adalah kadar air substrat dan kelembaban udara disekitar substrat. Substrat yang mengandung karbohidrat tinggi (gandum, beras, jagung) umumnya menyebabkan produksi aflatoxin lebih tinggi daripada bijibijian (kacang tanah dan kedelai). Hal ini dimungkinkan karena biji-bijian mengandung kadar minyak yang cukup besar yang tidak dapat dimetabolisme dengan segera oleh Aspergillus flavus (Diener dan Davis, 1969). Menurut Cole et al. (1982) melaporkan bahwa aflatoxin adalah mikotoksin yang paling sering ditemukan di jagung. Kerusakan pada kulit merupakan faktor yang cukup penting terhadap penyerangan Aspergillus flavus dan perkembangan aflatoxin di dalam biji selama pengeringan. Biji-bijian yang telah rusak lebih sering terkontaminasi oleh Aspergillus flavus daripada yang masih utuh, baik selama penyimpanan maupun pengeringan buatan.
J. Rantai Produksi Produksi merupakan kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa yang nantinya akan dimanfaatkan oleh konsumen. Rantai produksi merupakan suatu jalur dimana mulai dari penerimaan setengah jadi hingga keluar produk dan sampai ke tangan konsumen. Dalam usaha menyediakan barang dan jasa tersebut produsen melakukan berbagai kegiatan rantai produksi seperti : produksi, pemasaran, pembelanjaan, riset, dan pengembangan. Pemasaran / tataniaga / distribusi merupakan kegiatan ekonomi yang berfungsi membawa barang dari produsen ke konsumen (Dwi, 2007). Salah satu kegiatan pada rantai produksi yang cukup besar dalam menciptakan faedah suatu barang adalah saluran distribusi. Saluran distribusi ini adalah lembaga-
lembaga distributor atau penyalur yang mempunyai kegiatan untuk menyalurkan barang-barang atau jasa-jasa dari produsen ke konsumen. Banyak sedikitnya lembaga-lembaga distributor atau penyalur dipengaruhi oleh jarak dari produsen ke konsumen, sifat komoditas, skala produksi dan kekuatan modal yang dimiliki. Menurut Nurbaity (2004), terdapat beberapa saluran pemasaran untuk barang konsumsi, yaitu: 1. Produsen-Konsumen : Bentuk saluran distribusi ini merupakan yang paling pendek dan sederhana, tanpa menggunakan perantara. Produsen dapat menjual barang yang dihasilkan langsung ke konsumen. Oleh karena itu saluran ini disebut distribusi langsung. 2. Produsen-Pengecer-Konsumen : Seperti saluran pertama, saluran ini disebut sebagai saluran distribusi langsung. Disini pengecer besar langsung melakukan pembelian kepada produsen. 3. Produsen-Pedagang
Besar-Pengecer-Konsumen
:
Saluran
ini
banyak
digunakan dan dinamakan saluran distribusi tradisional. Disini produsen hanya melayani penjualan dalam jumlah besar kepada pedagang besar saja, tidak menjaul kepada pengecer. Pembelian oleh pengecer dilayani pedagang besar dan pembelian konsumen dilayani pengecer. 4. Produsen-Agen-Pengecer-Konsumen : Saluran ini produsen memilih agen sebagai penyalurnya. Ia menjalankan kegaitan perdagangan besar. Sasaran penjualannya ditujukan kepada para pengecer besar. 5. Produsen-Agen-Pedagang Besar-Pengecer-Konsumen : Saluran ini sering menggunakan agen sebagai perantara untuk menyalurkan barangnya kepada pedagang besar yang kemudian menjaulanya kepada toko-toko kecil. Menurut Dharmaputra et al. (1993) populasi Aspergillus flavus dari petani, pengumpul, pedagang menengah, dan pedagang besar bervariasi. Kontaminasi aflatoxin pada jagung berawal pada petani, kemudian meningkat selama masa penyimpanan pada pedagang pengumpul (Siriacha et al. 1991). Menurut Kawashima et al. (1990) kontaminasi di Thailand dimulai dari petani hingga pengecer. Sehingga semakin lama penyimpanan dan jalur pemasaran
pada rantai produksi dapat memberi peluang makin banyak tumbuhnya Aspergillus flavus dan meningkatkan aflatoxin.
K. Metode dan Media Uji Aspergillus flavus dan Total Kapang
Analisis Aspergillus flavus dengan Metode Oxoid (2001) Sebanyak 40 g sampel dilarutkan pada 200 ml peptone water 0.1%. dan dihomogenkan selama 30 menit. Kemudian diencerkan dengan peptone water 0.1% hingga 1:10, 1:20, dan 1:40. Selanjutnya pada tiap-tiap pengenceran digoreskan ke permukaan agar AFPA sebanyak 0.1 ml dan diinkubasi pada 30oC selama 42-43 jam. Dalam pembuatan media AFPA, sebanyak 22.75 g media AFPA dilarutkan pada 500 ml aquades dengan pemanasan. Selanjutnya di autoklaf pada 121oC selama 15 menit. Setelah steril didinginkan hingga 50 oC dan dicampur suplemen chlorampenicol 50 mg sebelum dilakukan platitng (label media AFPA). Kemudian agar dituang pada cawan petri dan didinginkan.
Metode tuang dan Permukaan dengan BAM (2001) Sebanyak 25-50 g sampel dilarutkan pada peptone water 0.1% hingga 1:10, 1:100, 1:1000 dan seterusnya. Selanjutnya dihomogenkan dengan stomacher selama 2 menit atau blending selama 30-60 detik. Kemudian dibuat pengenceran dengan peptone water 0.1% hingga 10-6. Pada metode tuang : pipet secara aseptik 1.0 ml pada cawan petri kemudian tuang media agar dan didinginkan. Sedangkan pada metode permukaan : pipet 0.1 ml pada cawan petri yang telah dituang agar (agar telah membeku). Setelah itu cawan diinkubasi pada suhu 25oC dengan maksimal tiga tumpuk cawan dan tidak boleh dibalik. Setelah lima hari dilakukan penghitungan namun apabila belum ada yang tumbuh inkubasi kembali selama dua hari.
Media P DA Potato Dextrose Agar (PDA) merupakan media untuk menghitung dan mengisolasi kapang dan khamir. Media ini dapat untuk isolasi dan menghitung jumlah khamir dan kapang pada produk susu, daging segar, olahan
daging, dan produk pangan lainnya. Komposisi media PDA dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi (formula) Media PDA (Oxoid, 2001) Formula
g/liter
Potato extract
4.0
Glucose
20.0
Agar
15.0
pH 5.6 ± 0.2
Sebelum dipergunakan, media yang telah di autoklaf didinginkan sampai 50oC dan pH diatur sampai 3.5 dengan asam tartarat 10%. Setelah penambahan asam tartarat maka PDA menjadi APDA. Medium yang telah ditambah asam tidak boleh dipanaskan, karena akan mengalami hidrolisis pada agar dan merusak pembentukan gel (bentuk agar padat). Bubuk kering media (PDA) sebaiknya disimpan pada suhu 10-30oC dan digunakan sebelum tanggal kadaluarsa yang tercantum dalam label, sedangkan media yang telah siap untuk plating sebaiknya disimpan pada 2-8oC. Kapang Aspergillus flavus pada media PDA ini tumbuh dengan cirriciri spora berwarna hijau kekuningan atau hijau terang, koloni tidak melingkar, dan tidak tebal, sedangkan Aspergillus parasiticus memiliki cirri-ciri spora hijau gelap dengan koloni bulat dan tebal. Adapun kedua koloni dapat dilihat pada Gambar 8. A. flavus
A. parasiticus
Gambar 8. Koloni Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Media AFPA AFPA base merupakan media spesifik yang digunakan untuk mendeteksi dan menghitung kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Media ini merupakan modifikasi dari Aspergillus Differential Medium dan berdasarkan formulasi oleh Pitt, Hocking dan Glenn. Pemodifikasian media ADM dengan yeast extract (2%), peptone (1%), ferric ammonium citrate (0.05%), dan agar (1.5%). Ferric ion dan nitrogen anorganik untuk memproduksi warna spesifik pada kedua kapang tersebut. Idealnya, media untuk mengisolasi dan menghitung kapang dan khamir pada bahan pangan mendukung pertumbuhan organisme tersebut, mencegah terjadinya koloni kapang yang menyebar, menghambat pertumbuhan bakteri dan membentu dalam identifikasi fungi. Oleh karena itu, AFPA adalah media yang ideal untuk identifikasi, isolasi, dan menghitung jumlah kapang Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus.
Tabel 7. Komposisi (formula) AFPA base (Pitt et al. 1983) Formula
g/liter
Peptone
10.0
Yeast extract
20.0
Ferric ammonium Citate
0.5
Dichloran
0.002
Agar
15.0
pH 6.3 ± 0.2 AFPA base ini memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan media-media yang lain, yaitu : 1. Meningkatkan warna pada fungi karena konsentrasi yang optimum pada iron salt dan penambahan yeast extract. Koloni Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus menghasilkan warna oranye pada bagian bawah cawan petri. Warna tersebut merupakan ciri khas yang membedakannya dengan koloni kapang lain. 2. Meningkatkan pertumbuhan Aspergillus flavus agar lebih cepat, karena adanya keseimbangan yang optimal antara peptone dan yeast extract.
3. Meningkatkan penghambatan pertumbuhan bakteri, sehingga mempercepat pertumbuhan fungi. Hal ini karena adanya campuran dichloran dan chlorampenicol. Media AFPA yang akan digunakan perlu untuk ditambah suplemen selektif berupa chlorampenicol sebanyak 50 mg untuk 500 ml media. Chlorampenicol ini berfungsi antibiotik yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri sehingga fungi tidak terhambat. Hasil positif untuk pertumbuhan Aspergillus flavus pada media AFPA yaitu terbentuknya miselia berwarna putih, spora kekuningan, dan menghasilkan warna oranye terang di bagian bawah cawan, sedangkan Aspergillus parasiticus menghasilkan miselium putih, spora berwarna krim susu dan menghasilkan warna oranye terang dibagian bawah cawan petri. Aspergillus niger juga dapat tumbuh pada media ini dengan menghasilkan warna kuning pada bagian bawah, miselium berwarna putih, dan spora berwarna hitam.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A.
Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan adalah media AFPA (Aspergillus flavus parasiticus Agar), PDA (Potatoes Dextrose Agar), asam tartarat 10%, akuades, Klorampenikol, natrium klorida (NaCl), alkohol 70 %, spirtus, sampel jagung dan produk jagung dari daerah Bojonegoro. Alat-alat yang digunakan adalah mikropipet, cawan petri, cawan aluminium, tabung reaksi, hockey stick, pipet tetes, pipet mohr, erlenmeyer, neraca analitik, neraca digital, oven kering, autoklaf, a w meter (Shibaura aw meter wa-360), Thermo-Hygrometer Model GL-99, vortex, bunsen, sudip, gunting, dan inkubator.
B.
Metode
1. Survei Lapang dan Pengambilan Sampel Survei lokasi pengambilan sampel ditentukan berdasarkan kriteria adanya industri pangan yang berbasis jagung dan memiliki produktivitas jagung yang cukup tinggi. Survei lapang dilakukan dengan cara wawancara dan pengukuran suhu dan kelembaban udara (Thermo-Hygrometer Model GL-99) mengenai kondisi jagung dan produknya pada tingkat konsumsi langsung maupun untuk rantai produksi industri pangan. Pengambilan sampel dilakukan pada tiap pelaku pada rantai untuk konsumsi langsung dan industri pangan. Sampel diambil secara acak dengan metode purposive sampling technique. Purposive sampling merupakan salah satu non probality sample yang tidak menghiraukan prinsip-prinsip probability. Pemilihan sampel tidak secara random dan hasil yang diharapkan merupakan gambaran kasar tentang suatu keadaan. Teknik purposive sampling ini dilakukan hanya atas dasar pertimbangan peneliti yang menganggap unsurunsur yang dikehendaki telah ada dalam anggota sampel yang diambil (Nasution, 2003).
Sebanyak 10 sampel pada tingkat petani berupa jagung klobot kering, 10 sampel tingkat pemipil, 8 sampel pada tingkat pengering, 8 sampel pada tingkat pengumpul, 10 sampel pada pengecer, 6 sampel berupa produk intermediet, dan 10 sampel pada produk jadi. Sampel yang diambil yaitu jagung pipil varietas hibrida. Masing-masing sampel diambil 500 gram kemudian diambil 25 gram untuk analisis kandungan Aspergillus flavus dan total kapang.
Tabel 8. Data Jumlah Sampel pada Rantai Produksi Tingkat Rantai Produksi
Jumlah Sampel
Petani
10
Pemipil
10
Pengering
8
Pengumpul
8
Pengecer
10
Industri produk intermediet
6
Industri produk jadi
10
Total
62
Penelitian ini dimulai dari bulan Oktober 2007. Pada bulan Oktober sampai Desember 2007 dilakukan penelusuran rantai produksi produk pangan berbasis jagung untuk konsumsi langsung maupun industri pangan. Kemudian pengambilan sampel dimulai bulan Desember 2007-Februari 2008 di tingkat petani, pemipil, pengering, pengumpul, pengecer, industri produk intermediet dan industri produk jadi.
2. Analisis a. Kadar air, metode oven (AOAC, 1995) Mula-mula cawan kosong dikeringkan dalam oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sebanyak 3-4 gram contoh dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan dalam oven bersuhu 100-105oC selama 6 jam. Cawan yang telah
berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir.
Kadar air
(berat awal contoh berat akhir contoh) X 100% berat awal contoh
b. Analisis aw Aktivitas air (aw) sampel ditentukan dengan menggunakan aw meter (Shibaura aw meter wa-360). Sebanyak 3 gram sampel dimasukkan di wadah alat, kemudian aw setiap sampel dapat diketahui secara otomatis.
c. Analisis Aspergillus flavus dan Total Kapang c1. Persiapan Alat dan Pengencer Alat-alat gelas yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu. Sedangkan dalam pembuatan larutan pengencer NaCl 0.85 % dapat dilihat pada Gambar 9.
Garam NaCl 8.5 g
Ditambahkan akuades (1 L) dalam gelas piala
Diaduk sampai larut
Dipipet 9 ml kedalam tabung reaksi dan 225 ml ke dalam erlenmeyer
Ditutup kapas dan aluminium foil Disterilisasi di dalam autoklaf (121 oC, 15 menit) Didinginkan Larutan pengencer steril Gambar 9. Pembuatan Larutan Pengencer NaCl 0.85 %
c2. Persiapan Sampel Sampel jagung yang dianalisis ditimbang terlebih dahulu sebanyak 25 gram. Sampel yang berupa jagung klobot terlebih dahulu dipipil, sedangkan yang telah berupa jagung pipil langsung dimasukkan kedalam pengencer 225 ml. Sampel jagung yang berupa produk pangan dihancurkan terlebih dahulu agar dapat dimasukkan ke dalam erlenmeyer. Lamanya penyimpanan pada setiap sampel setelah pengambilan yaitu 1 hari - 4 minggu pada suhu refrigerator (7-10oC)
c3. Pembuatan Media AFPA (Oxoid, 2001) Media AFPA dibuat dengan tahapan seperti pada Gambar 10. AFPA base 22.75 gram
Ditambahkan akuades (500 ml) dalam erlenmeyer
Diaduk sampai larut
Ditutup kapas penutup Disterilisasi di dalam otoklaf (121 oC, 15 menit) Didinginkan 50oC
Dimasukkan 50 mg chlorampenicol Diaduk rata AFPA siap pakai
Gambar 10. Pembuatan Media AFPA (Oxoid, 2001)
c4. Pembuatan Media APDA (Oxoid, 2001) Media APDA dibuat dengan tahapan seperti Gambar 11. PDA base 19.5 gram
Ditambahkan akuades (500ml) dalam erlenmeyer
Diaduk sampai larut
Ditutup kapas penutup Disterilisasi di dalam otoklaf (121 oC, 15 menit) Didinginkan 50oC
Dimasukkan asam tartarat 10 % 7.5 ml Digoyang-goyang hingga rata APDA siap pakai
Gambar 11. Pembuatan Media APDA (Oxoid, 2001) c5. Analisis Aspergillus flavus Sebanyak 25 gram biji jagung ditimbang kemudian dimasukkan kedalam 225 ml pengencer steril lalu dikocok selama 120 detik. Pengenceran dilakukan hingga 10 -4. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang dan permukaan. Metode tuang dilakukan dengan dimasukkan 1 ml sampel dari tiap pengenceran 10 -1 hingga 10-4. Setelah itu media AFPA dituang dan cawan petri digoyangkan membentuk angka 8. Setelah dingin diinkubasi pada suhu ruang (25 oC) selama 5 hari. Pada metode permukaan terlebih dahulu media AFPA dituang kedalam cawan dan biarkan beku kemudian dipipet 0.1 ml sampel dari tiap pengenceran dan diratakan
dengan batang gelas steril. Inkubasi dilakukan selama 42-43 jam pada suhu 30oC. Metode tuang (Gambar 12) dilakukan pada semua sampel yang dianalisis sedangkan metode permukaan (Gambar 13) dilakukan hanya pada beberapa sampel saja. Hal ini dilakukan hanya untuk mengetahui seberapa akurat (banyaknya jumlah A. flavus yang tumbuh) diantara kedua metode tersebut. Biji Jagung 25 gram Dimasukkan ke 225 ml pengencer steril(NaCl 0.85%) Dikocok 120 detik Dilakukan pengenceran hingga 10-4 Dilakukan pemupukan pada cawan steril dari pengenceran 10-2 – 10-4 Ditambahkan AFPA siap pakai Dilakukan pencampuran dengan memutar cawan membentuk angka delapan (8) secara perlahan Dibiarkan hingga membeku Diinkubasi 25oC selama 5 hari
Dihitung koloni Aspergillus flavus ( berwarna oranye spesifik pada bagian bawah cawan petri dengan spora berwarna kekuningan) Gambar 12. Analisis Aspergillus flavus Metode Tuang (Modifikasi BAM, 2001) Biji Jagung 25 gram Dimasukkan ke 225 ml pengencer steril(NaCl 0.85%)
Dikocok 30 menit @
@ Dilakukan pengenceran hingga 10-3
Dipipet 0.1 ml (tiap pengenceran) ke cawan berisi AFPA beku
Diratakan dengan hockey stick steril Diinkubasi 30oC selama 42-43 jam
Dihitung koloni Aspergillus flavus ( berwarna oranye spesifik pada bagian bawah cawan petri dengan spora berwarna kekuningan) Gambar 13. Analisis Aspergillus flavus Metode Permukaan (Modifikasi Oxoid, 2001) c6. Analisis Total Kapang (Modifikasi BAM, 2001) Analisis total kapang berdasarkan metode BAM FDA dengan menggunakan media APDA (Gambar 14). Sampel yang dianalisa diambil dari tingkat industri (produk setengah jadi dan produk jadi). Sebanyak 25 gram sampel ditimbang kemudian dimasukkan kedalam 225 ml pengencer steril lalu dikocok selama 120 detik. Pengenceran dilakukan hingga 10 -4. Pemupukan dilakukan dengan metode tuang. Inkubasi pada suhu ruang (25oC) selama 5 hari. Biji Jagung 25 gram
Dimasukkan ke 225 ml pengencer steril(NaCl 0.85%)
Dikocok 120 detik Dilakukan pengenceran hingga 10-4
Dilakukan pemupukan pada cawan steril dari pengenceran 10 -2 – 10-4 @
@ Ditambahkan APDA siap pakai Dilakukan pencampuran dengan memutar cawan membentuk angka delapan (8) secara perlahan
Dibiarkan hingga membeku Diinkubasi 25oC selama 5 hari Dihitung koloni kapang yang tumbuh
Gambar 14. Analisis Total Kapang (Modifikasi BAM, 2001) c7. Pengamatan Aspergillus flavus dan Total Kapang Pada Media AFPA Serta Total Kapang Pada Media APDA Pengamatan dilakukan setelah masa inkubasi selama 5 hari. Total koloni pada media AFPA didapat dengan menghitung semua koloni kapang yang tumbuh, sedangkan total Aspergillus flavus diperoleh dengan menghitung koloni yang berwarna oranye spesifik pada bagian bawah cawan petri dengan spora berwarna kekuningan (Oxoid, 2001). Untuk menghitung total kapang pada media APDA didapat dengan cara menghitung semua koloni kapang yang tumbuh pada media tersebut. Jumlah koloni per gram dihitung dengan menggunakan metode harigan.
∑C
Cfu/g =
( n1 + 0.1 n2 + 0.01 n3 + 0.001 n4 ) d
Keterangan: Cfu/g: Jumlah koloni kapang per gram sampel ∑ C : Jumlah koloni pada cawan petri n d
: Jumlah cawan petri pada tiap pengenceran (simplo/duplo/triplo) : Tingkat pengenceran pertama yang dihitung
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Bojonegoro terletak di provinsi Jawa Timur yang memiliki luas 230.706 ha, dengan jumlah penduduk 1.176.386 jiwa. Kabupaten ini terletak pada 6°59' sampai dengan 7°37' Lintang Selatan dan 111°25' sampai dengan 112°09' Bujur Timur. Kabupaten ini termasuk beriklim tropis dengan suhu ratarata 27.80 oC. Suhu udara maksimum 31,4 oC, minimum 24,20 oC dengan kecepatan rata-rata angin 16 - 67 m/detik. Kabupaten ini terdiri atas 27 kecamatan. Penggunaan lahan di Kabupaten Bojonegoro terbagi dalam empat jenis penggunaan lahan yaitu : pertanian lahan sawah, lahan kering, perhutanan, dan perkebunan. Sebagian besar lahan digunakan untuk pertanian seperti padi dan tanaman palawija. Adapun tanaman palawija yang sering ditanam yaitu jagung. Potensi dan produksi jagung kabupaten Bojonegoro berupa jagung pipil. Produktivitas produk ini cukup tinggi. Pada bulan Oktober 2006-Maret 2007 luas lahan yang terealisasi untuk tanaman jagung sebesar 24.661 Ha dan pada April 2007- Agustus 2007 lahan untuk penanaman jagung mengalami kenaikan menjadi 40.649 ha. Kenaikan lahan penggunaan untuk tanaman jagung yang mengalami kanaikan tersebut menandakan bahwa produktivitas jagung di kabupaten Bojonegoro ini cukup tinggi. Sejalan dengan produksi yang cukup tinggi pada tahun 2007 telah dibangun pabrik pengolahan jagung terbesar di Jawa Timur (Anonim B ,2007). Pada penelitian dilakukan survei lapang di 10 kecamatan dari 27 kecamatan yaitu Bojonegoro, Dander, Trucuk, Kapas, Baureno, Kepohbaru, Ngasem, Banjarsari, Balen, dan Kanor. Selain karena masa panen, daerah tersebut dipilih karena produktivitas yang cukup tinggi dan terdapat pasar besar maupun pasar kecil.
B. Hasil Survei Rantai produksi merupakan suatu kegiatan dari mulai mendapatkan bahan baku hingga produk jadi. Selain itu, dalam rantai produksi juga terdapat kegiatan yang menghubungkan produsen ke konsumen. Kegiatan itu disebut juga tataniaga / pemasaran / distribusi. Kegiatan tersebut memiliki syarat efisiensi yaitu mampu menyampaikan barang dari petani produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya, mampu mengadakan pembagian yang adil pada keseluruhan harga yang dibayar konsumen terakhir kepada semua pihak yang ikut serta dalam kegiatan produksi tataniaga barang tersebut. Ada beberapa alternatif jenis saluran yang dapat digunakan berdasarkan jenis produk dan segmen pasarnya, yaitu saluran distribusi barang konsumsi, barang industri, dan jasa (Nurbaity, 2004). Penjualan barang konsumsi ditujukan untuk pasar konsumen, ada lima jenis rantai barang konsumsi yaitu produsen - konsumen, produsen –pengecer konsumen, produsen - pedagang besar - pengecer konsumen, produsen – agen – pengecer - konsumen, dan produsen – agen - pedagang besar-pengecerkonsumen. Sedangkan untuk industri terdapat empat rantai yaitu produsen pemakai industri, produsen - distributor industri - pemakai industri, produsen agen - pemakai industri, dan produsen – agen - distributor industri-pemakai industri. Pada penelitian ini ditelusuri rantai produksi dari jagung pipil sebagai bahan bakusampai dengan produk pangan. Tempat penelusuran penelitian ini di daerah Bojonegoro. Berdasarkan hasil survei di daerah Bojonegoro, Jawa Timur mata rantai produksi pangan berbasis jagung di kelompokkan menjadi lima : a. Pertama
: Petani - Pengumpul - Konsumen
b. Kedua
: Petani - Pengumpul – Pengecer – Konsumen
c. Ketiga
: Petani - Pemipil – Pengumpul – Pengecer - Konsumen
d. Keempat
: Petani – Industri Produk Jadi -SupermarketKonsumen
e. Kelima
: Petani - Pemipil–Pengering-Industri Produk Intermediet dan Produk Jadi - Supermarket-Konsumen
Saluran rantai produksi jagung pipil hingga menjadi produk secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 14
A3 A1
A2
PETANI
PEMIPIL
F
PENGUMPUL
B
PENGERING
E
C
G
PENGECER
INDUSTRI
H
D
SUPERMARKET
KONSUMEN
I
Gambar 15. Saluran Pemasaran Jagung Pipil di Kabupaten Bojonegoro Keterangan : A1-B
: Saluran pertama
A1-C-D
: Saluran kedua
A2-E-C-D
: Saluran ketiga
A3-H-I
: Saluran keempat
A2-F-G-H-I
: Saluran kelima
Pemilihan lokasi penelitian di Bojonegoro Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa daerah Jawa Timur merupakan daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia mencapai 4.393.656 ton dari 1.154.365 ha (BPS, 2007) dan Bojonegoro merupakan salah satu kabupaten di provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi produktivitas jagung yang cukup tinggi. Selain itu, di kabupaten ini juga telah dibangun pabrik pengolahan jagung terpadu terbesar di Jawa Timur (Anonim B ,2007). Pada saluran pertama petani menjual jagungnya kepada pengumpul kemudian ke konsumen. Saluran pertama ini tidak banyak dilakukan oleh pelaku
pemasaran, umumnya para konsumen yang membeli yaitu para tetangga yang jarak ke pengumpul tersebut dekat. Produk jagung yang dijual petani ke pengumpul telah berupa jagung pipil kering. Namun dalam penelitian ini jagung yang berasal dari petani berupa jagung klobot kering setelah dilakukan pengeringan di sawah. Saluran kedua, petani menjual jagung ke pengumpul kemudian ke pengecer dan terakhir ke konsumen. Saluran kedua ini banyak dilakukan oleh pelaku di Bojonegoro. Pengumpul membeli dari petani kemudian jagung pipil tersebut di salurkan ke pengecer-pengecer di pasar tradisional yang kemudian dari pengecer tersebut jagung pipil dapat diperoleh oleh konsumen. Seperti halnya saluran pertama jagung yang diperoleh dari tingkat petani dalam penelitian ini berupa jagung klobot. Saluran ketiga, rantai produksi jagung mengikuti saluran dari petani ke pemipil kemudian selanjutnya seperti saluran kedua. Untuk saluran keempat jagung pipil dari petani disalurkan pada industri berupa usaha kecil menengah yang mengolah jagung tersebut menjadi produk yang siap dikonsumsi seperti marning dan tortilla. Sedangkan untuk saluran kelima tidak banyak dilakukan, dari petani ke pemipil kemudian ke pengering dan selanjutnya ke industri dalam hal ini kerjasama antara pemerintah daerah dengan BPPT yang menghasilkan produk setengah jadi berupa beras jagung, menir jagung dan tepung jagung dan produk jadi berupa makanan ringan (snack sehat). Sampel berasal dari tingkat petani berupa jagung klobot kering, pemipil, pengering, pengumpul dan pengecer berupa jagung pipil, industri berupa produk setengah jadi yaitu yang masih memerlukan proses lebih lanjut sebelum dikonsumsi seperti beras jagung, menir jagung dan tepung jagung, dan industri berupa produk pangan siap konsumsi berupa marning, snack, tortilla, emping, dan brondong. Berdasarkan survei jagung pipil yang diperoleh berupa jagung pipil kuning, putih dan campuran. Menurut SNI 01-3920-1995 jagung kuning ialah jagung yang terdiri dari sekurang-kurangnya 90 % biji-bijinya berwarna kuning atau sebanyak-banyaknya 10 % berwarna lain, biji jagung berwarna merah dianggap jagung kuning asal warna merah hanya menutupi 50 % dari permukaan
biji seluruhnya. Jagung putih ialah jagung yang sekurang-kurangnya 90 % bijibijinya berwatna putih atau sebanyak-banyaknya 10 % biji-bijinya berwartna lain. Sedangkan jagung campuran ialah jagung yang terdiri dari biji-bijinya tidak termasuk didalam jagung kuning dan jagung putih. Walaupun berdasarkan survei ditemukan ketiga jenis jagung pipil tersebut namun sebagian besar jagung pipil yang diperoleh berupa jagung pipil kuning varietas hibrida. Berikut disajikan definisi rantai produksi yang digunakan pada penelitian, Tabel 9.
Tabel 9 . Definisi pada Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung Tingkat Rantai Produksi Tingkat 1 Tingkat 2 Tingkat 3 Tingkat 4
Tingkat 5
Tingkat 6
Tingkat 7
Lokasi Petani
Definisi
Tempat dimana jagung dipanen dan masih dalam penyimpanan petani itu sendiri. Pemipil Tempat dimana jagung yang diperoleh langsung dari petani dipipil dan dikeringkan. Pengering Tempat pengeringan jagung setelah dilakukan pemipilan. Pengumpul Tempat mengumpulkan jagung baik yang diperoleh dari petani maupun pemipil dimana pengumpul memberikan target banyaknya jagung yang dapat dikumpulkan sebelum diteruskan ke rantai selanjutnya. Pengecer Tempat penjualan jagung pipil setelah dari pengumpul. Pengecer ini dapat ditemui di pasar-pasar tradisional baik yang besar maupun yang kecil. Industri Produk Berupa kerjasama antara pemerintah daerah Intermediet dengan BPPT. Di Industri ini produk-produk yang dihasilkan berupa beas jagung, menir jagung, dan tepung jagung. Industri Produk Selain industri yang merupakan kerjasama Jadi antara pemerintah daerah dan BPPT berupa keluaran produk snack juga terdapat industri rumah tangga yang berupa marning, tortilla, dan Brondong Manis “Bintang Mas” dan tawar.
Berikut disajikan data kondisi penyimpanan dan waktu penyimpanan jagung pipil di rantai produksi produk pangan berbasis jagung.
Tabel 10. Kondisi dan Lama Penyimpanan Jagung Pipil pada Rantai Produksi Kode Sampel
Sumber
P1-P10 Petani (Petani 1 Petani 10)
JPP1, JPP2, JPP4-JPP10 (jagung pipil 1,dst) JPP 3 (Jagung pipil 3) PGR1PGR7(Penge ring 1, dst) PGR3 (Pengering 3)
Pemipil
PGL1-PGL8 (Pengumpul 1, dst)
Pengumpul
Macam Jagung Jagung Klobot
Pipilan
Pemipil Pipilan (BPPT dan PEMDA) Pengering Pipilan
Pengering Pipilan (BPPT dan PEMDA)
PCR1-PCR7 Pengecer (Pengecer 1, dst)
Pipilan
Pipilan
Kondisi Penyimpanan Didalam karung plastik diletakkan di lantai dan terdapat jagung yang digantung suhu ruang.
Lama Penyimpanan 3-7 hari atau hingga terjual,
Didalam Karung Plastik diletakkan di lantai di suhu ruang
3-7 hari atau hingga terjual.
Didalam Karung Plastik diletakkan di lantai di suhu ruang Didalam Karung Plastik diletakkan di lantai di suhu ruang Didalam Karung Plastik di lantai (ruang khusus tempat pengeringan) suhu ruang. Didalam Karung Plastik diletakkan di lantai di suhu ruang
3 hari
Didalam Karung Plastik, karung goni, wadah bambu diletakkan di lantai/diatas meja kayu di suhu ruang PBB1-PBB3 Produk Menir, Dikemas plastik di (Produk Intermediet tepung, letakkan di rak pada suhu Bahan Baku (BPPT dan dan Beras ruang 1, dst) PEMDA) Jagung PBB4-PBB6 Produk Maizena Dikemas sekunder (Produk Intermediet dengan karton, dan Bahan Baku kemasan primer plasitik 4, dst) di suhu ruang PJ1-PJ10 Produk Tortilla, Dikemas plastik pada (Produk Jadi Jadi marning, suhu ruang. 1, dst) snack, Brondong, Emping
3 hari
3 hari
1 minggu -1 bulan hingga terkumpul sesuai target. 1-3 hari atau hingga terjual semua.
> 2 bulan
> 2 bulan
1 minggu (Brondong) >2 bulan
Penelusuran rantai produksi yang tersambung secara utuh sulit untuk didapatkan. Hal ini karena pada umumnya jagung pada pasar besar maupun kecil berasal dari banyak petani sehingga sulit untuk ditelusuri. Berdasarkan hasil survei diperoleh tiga rantai yang tersambung secara utuh dari petani ke konsumen yaitu pada rantai pertama, kedua dan ketiga. Untuk industri, rantai yang tersambung yaitu dari pemipil sampai ke industri. Namun tidak semua industri hanya industri antara kerjasama pemerintah daerah dan BPPT saja yang ditemukan. Hal ini dikarenakan ketika pensurveian ternyata hasil petani yang panen di daerah sekitar telah dikumpulkan dan terdapat beberapa petani yang belum memasuki masa panen. Adapun jagung pipil yang diperoleh yaitu jagung pipil varietas hibrida (tongkol 2) dengan masa panen 100 – 110 hari. Menurut Departemen Pertanian (2003), jagung yang dapat dipanen pada umur diatas 100 – 125 hari termasuk varietas dalam.
C. Analisis Aspergillus flavus dan Total Kapang Alat-alat
yang akan digunakan disterilisasi terlebih dahulu sebelum
digunakan untuk analisis, hal ini dikarenakan untuk menghindari adanya kontaminasi dari alat tersebut. Pengencer yang digunakan adalah NaCl 0.85%. Pengencer ini merupakan larutan garam fisiologis yang dapat menjaga keseimbangan ion dan fisiologis dari mikroba. Penambahan chlorampenicol pada media AFPA dimaksudkan untuk menghambat pertumbuhan bakteri dan mencegah terjadinya koloni kapang yang menyebar. Sedangkan pada media PDA ditambahkan asam tartarat 10% bertujuan untuk menurunkan pH menjadi 3.5 sehingga dapat menghambat pertumbuhan bakteri. Lama penyimpanan jagung setelah pengambilan sampel hingga analisis Aspergillus flavus berkisar antara 1-30 hari. Perbedaan waktu analisis ini disebabkan keterbatasan dari alat-alat gelas yang dimiliki. Alat gelas yang dimiliki dapat digunakan untuk 10 sampel sedangkan sampel yang diperoleh dapat mencapai 15-20 sampel untuk sekali pengambilan. Berikut disajikan lama penyimpanan jagung setelah diperoleh dari para pelaku rantai produksi.
Tabel 11. Lama Penyimpanan Sampel Setelah Pangambilan Hingga Analisis Tingkat produksi Petani Pemipil Pengering Pengumpul Pengecer Industri Produk Intermediet Industri Produk Jadi
Lama Simpan 1 -7 hari 1 -7 hari 7-14 hari 7 -14hari 7-14 hari 1-14 hari 30 hari
Suhu Penyimpanan 7-10oC 7-10oC 7-10oC 7-10oC 7-10oC 25oC 25oC
Sampel jagung yang berasal dari petani dipisahkan dahulu dari tongkolnya. Pemisahan ini dilakukan secara aseptik setelah dikupas klobotnya terlebih dahulu kemudian ditimbang. Sedangkan untuk sampel jagung yang telah berupa pipilan langsung ditimbang. Untuk sampel produk pangan terlebih dahulu dihancurkan kemudian ditimbang dan dilakukan analisis sesuai metode penelitian.
D. Kandungan Aspergillus flavus dan Total Kapang Pada Media AFPA Koloni
Aspergillus flavus dan total kapang diamati setelah masa
inkubasi selama 5 hari dengan suhu 25 oC. Jumlah koloni total Aspergillus flavus diperoleh dengan menghitung koloni spesifik yang berwarna oranye pada bagian bawah cawan petri dengan spora berwarna kekuningan, sedangkan total kapang diperoleh dengan menghitung semua koloni yang memiliki miselium atau koloni yang serupa kapas yang tumbuh pada cawan. Sehingga jumlah Aspergillus flavus juga dihitung pada jumlah total kapang. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kandungan Aspergillus flavus dan total kapang pada berbagai rantai produksi, meliputi ; tingkat petani, tingkat pemipil, pengering, pengumpul, dan pengecer. Sedangkan pada tingkat industri dalam hal ini Usaha Kecil Menengah (UKM) meliputi industri yang menghasilkan produk intermediet dan industri yang menghasilkan produk jadi siap dikonsumsi.
D.1 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Petani Petani merupakan pelaku pertama pada rantai produksi produk pangan berbasis jagung. Petani inilah yang memproduksi jagung. Petani malakukan penanaman dan pemanenan. Pemanenan meliputi kegiatan jadwal panen, pemetikan hasil, pengumpulan, pewadahan sementara dan transportasi. Pada tingkat petani diperoleh dari 2 kecamatan yaitu Trucuk dan Baureno disesuaikan dengan masa panen ketika dilakukan survei. Berdasarkan survei di lapangan, pemanenan yang dilakukan petani yaitu menunggu jagung yang telah masak atau memasuki masa panen terlebih dahulu kering di sawah dengan bantuan sinar matahari. Lama hingga jagung klobot kering di sawah kira-kira 1-2 minggu atau bahkan 3 minggu tergantung dari cuaca dilapang. Menurut Departemen Pertanian (2003), terdapat 2 (dua) cara pemanenan jagung yang dapat dilakukan oleh petani dari cara yang praktis maupun yang kurang praktis, yaitu : a.
Pemanenan bentuk tongkol tanpa klobot, merupakan pemanenan yang secara umum paling banyak dikerjakan para petani dengan cara memotong tangkai tongkol dari batang dengan menggunakan tangan secara langsung, ataupun kadang-kadang dilakukan dengan memotong batang tanaman. Cara memotong tangkai tongkol dari batang dengan menggunakan tangan ternyata efisien dan lebih praktis, mengingat biaya dan pemakaian tenaga yang dikeluarkan lebih sedikit serta memakan waktu yang tidak terlalu lama.
b.
Pemanenan bentuk tongkol dengan klobot. Tahap-tahap yang dilakukan petani dalam penanganan jagung tongkol
yaitu mengumpulkan hasil panen di tempat yang teduh dan strategis sambil melakukan sortasi tongkol jagung yang terserang hama atau penyakit, memasukkan
tongkol
ke
karung
plastik,
mengangkut
hasil
panen,
mengeringkan hasil panen dalam bentuk ikatan-ikatan berisi 10 tongkol per ikat dengan cara dijemur diatas lantai atau digantung dan kemudian menyimpan ikatan-ikatan tongkol jagung dirumah atau tempat penyimpanan dengan cara
digantung pada dinding atau dikemas pada karung plastik. Lamanya pengeringan tongkol jagung sesudah dipetik sekitar 2-3 hari dibawah sinar matahari. Pada petani juga dilakukan penyimpanan pada suhu ruang hingga terjual, lama penyimpanan berkisar 3-7 hari atau hingga terjual. Adapun Gambar jagung klobot pada tingkat petani dapat dilihat pada Gambar 16. Setelah dilakukan analisis Aspergillus flavus dan total kapang pada sampel jagung tingkat petani, data jumlah Aspergillus flavus dan total yang diperoleh dihitung dengan metode harrigan. Jumlah Aspergillus flavus cfu/g kemudian di log-kan untuk memudahkan dalam penampilan grafik. Data dikelompokkan berdasarkan jumlah sampel petani. Kadar air, RH, dan suhu lapang dari petani dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Petani Berupa Jagung Tongkol Klobot. No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber
Petani
Sampel
Kadar Air (%)
Kelembaban Relatif (RH %)
Suhu Di Lapang (oC)
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10
14,0 13,5 14,4 14,6 14,9 14,3 14,0 13,8 13,8 14,0
53,0 50,0 54,0 51,0 50,0 51,0 51,0 52,0 50,0 51,0
34,5 34,5 34,5 34,5 34,5 34,5 34,5 34,5 34,5 34,5
Keterangan : P1= petani 1, P2= petani 2, dst.
Gambar 16. Sampel Jagung Tingkat Petani
Jumlah A.flavus (log cfu/g)
3 2.6 2.5 2.0
2.0
2.0
2 1.5 1 0.5 0
0
0
0
P5
P6
0
0
0 P1
P2
P3
P4
P7
P8
P9
P10
Tingkat Petani
Gambar 17. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Petani
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
6.0 5.0 5.0 4.2 3.8
4.0 3.1 3.0
2.8
3.9
4.0
4.1
P8
P9
P10
3.1 2.6
2.0 1.0 0.0 P1
P2
P3
P4
P5
P6
P7
Tingkat Petani
Gambar 18. Jumlah Total Kapang Tingkat Petani
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar air contoh jagung dari petani berkisar antara 13,5-14,9 %. Sedangkan kelembaban relatif, a w dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 50-54 %, 0,740,81 dan 34,5 oC. Pada penelitian ini populasi A.flavus pada jagung yang diperoleh dari petani antara 1,0 x 102 - 3,6 x 102 cfu/g. Sepuluh contoh jagung yang diperoleh dari petani, empat diantaranya terserang A. flavus atau 40 %. Sedangkan populasi total kapang penyimpanan yang diperoleh berkisar antara 4,0 x102 – 9,3 x104 cfu/g. Dari sepuluh contoh jagung semuanya terserang kapang penyimpanan.
Adanya Aspergillus flavus pada sampel contoh ini dikarenakan terpenuhinya keadaan lingkungan untuk pertumbuhan yaitu kadar air, a w dan suhu pertumbuhan yang ideal walaupun kelembaban relatifnya rendah. Begitu pula untuk kapang penyimpanan, kondisi lingkungan jagung tersebut sesuai untuk pertumbuhannya. Menurut Lillehoj (1986), kapang tumbuh cepat pada 2030oC dengan kisaran tumbuh 0-60oC. Kisaran aw minimum untuk pertumbuhan kapang ini adalah 0.78-0.84 (Anonim A, 2006). Sedangkan untuk sampel yang tidak terserang Aspergillus flavus diduga karena adanya kapang lain yang antagonis terhadap A. flavus. Menurut Christensen (1978), melaporkan bahwa kapang dapat tumbuh pada substrat yang mempunyai kadar air keseimbangan dengan kelembaban relatif 65-90% (aw = 0.65-0.9). Suhu minimum pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar 10-15oC, dan suhu maksimummya 45-50oC (Christensen dan Kaufmann, 1969). Suhu optimum pertumbuhan kapang ini 33 oC. Kelembaban relatif minimum untuk pertumbuhan kapang ini yaitu pada batas RH 78 % (Hultin et al. 1970). Pada kadar air 13-18 % kapang akan menyerang. Pada kadar air tinggi (27-28 %) dan kadar air rendah (10%) campuran jagung tersebut memiliki rata-rata kadar air 14 % atau lebih rendah lagi akan mendukung pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoxin (Lillehoj,1986).
D.2 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pemipil Pemipilan merupakan kegiatan melepaskan biji dari batang tongkol (janggel) dengan tangan atau dengan alat sederhana ataupun dengan mesin pemipil, membersihkan jagung pipil, mewadahi dan mengangkut ke tempat proses kegiatan lebih lanjut. Sampel jagung pipil yag diperoleh seperti terlihat pada Gambar 19. Berdasarkan survei, pemipilan yag dilakukan pada tingkat ini menggunakan tangan telanjang. Adapun sampel diperoleh dari Baureno, Dander, Kanor, Kepohbaru dan Sumberejo. Pemipilan ini menyebabkan tidak adanya biji yang tertinggal dalam tongkol dan mengurangi kerusakan atau cacat pada jagung pipil tersebut. Setelah dilakukan pemipilan biasanya jagung pipil tersebut diwadahi dalam karung plastik dan disimpan 3-7 hari pada suhu ruang atau
hingga terjual. Adapun hasil analisis kadar air, RH, dan suhu lapang pada pemipil dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pemipil Berupa Jagung Pipilan.
No
Sumber
Sampel
Kadar Air
Kelembaban
Suhu Di Lapang
(%)
Relatif (RH %)
(oC)
1
JPP1
14,4
56,0
34,6
2
JPP2
15,6
58,0
34,6
3
JPP3
12,3
55,0
34,6
4
JPP4
13,5
53,0
34,6
JPP5
14,3
55,0
34,6
6
JPP6
15,2
52,0
35,0
7
JPP7
13,9
52,0
34,0
8
JPP8
13,6
59,0
35,5
9
JPP9
13,7
54,0
34,0
10
JPP10
12,5
52,0
34,0
5
Pemipil
Keterangan : JPP1 : Jagung Pipil 1, JPP2 : Jagung Pipil 2, dst.
Gambar 19. Sampel Jagung Pipil
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar air contoh jagung dari pemipil berkisar antara 12,5-15,6 %. Sedangkan kelembaban relatif, aw dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 52-59 %, 0,740,83 dan 34-35 oC. Pada penelitian ini populasi A.flavus pada jagung yang diperoleh dari pemipil antara 1,0 x 102-1,7 x 103 cfu/g. Sepuluh contoh jagung yang diperoleh dari pemipil, 6 diantaranya terserang A. flavus atau 60 %. Sedangkan populasi total kapang yang diperoleh berkisar antara 0-1,5 x 105 cfu/g. Dari sepuluh contoh jagung sembilan diantaranya terserang kapang pasca panen.
Jumlah A.flavus (log cfu/g)
3.5
3.2
3.1
3 2.5
2.3
2.3
2.5
2.0
2 1.5 1 0.5
0
0
0
0
JP P1 0
JP P9
JP P8
JP P7
JP P6
JP P5
JP P4
JP P3
JP P2
JP P1
0
Tingkat Pemipil
6.0
5.2
5.0 4.0
4.3
4.0
3.9 3.1
3.9
4.0
3.7
3.0
3.0 2.0 1.0 0
JP P1 0
JP P9
JP P8
JP P7
JP P6
JP P5
JP P4
JP P3
JP P2
0.0
JP P1
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
Gambar 20. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pemipil
Tingkat Pemipil
Gambar 21. Jumlah Total Kapang Tingkat Pemipil
Sampel contoh JPP3 adalah sampel yang diperoleh dari kerjasama BPPT dan PEMDA sampel ini disimpan dalam karung plastik dan diletakkan dilantai dengan lama simpan hingga tiga hari pada suhu ruang, dari hasil penelitian bahwa sampel ini tidak terserang oleh baik Aspergillus flavus maupun kapang penyimpanan, hal ini dapat dikarenakan penanganan yang sangat baik dan masa simpan yang pendek sehingga kandungan kadar airnya rendah selain kelembaban relatif udara juga rendah. Selain itu, banyak sedikitnya jumlah kapang tergantung dari jumlah mikroba awal.
Sampel JPP2, JPP4, JPP7 hingga JPP10 mengandung jumlah A. flavus yang tinggi, hal ini dikarenakan selain kadar air yang relatif tinggi juga dipengaruhi masa simpan yang relatif lama 3-7 hari. Pada JPP 1, JPP 5, dan JPP6 tidak mengandung A.flavus padahal kadar airnya relatif tinggi hal ini diduga karena adanya kapang yang dapat menghambat pertumbuhan atau antagonis terhadap Aspergillus flavus. Kapang tersebut dapat menghasilkan metabolit yang dapat menghambat pertumbuhan A. flavus diduga kapang tersebut yaitu Aspergillus niger yang dapat menghasilkan asam sitrat atau asam glukonat dan Trichoderma harcianum yang dapat membentuk ammoniak. Untuk pertumbuhan kapang pasca panen pada bahan pangan yang disimpan dipengaruhi oleh faktor kadar air bahan, suhu, kelembaban relatif, lama penyimpanan, tingkat serangan kapang sebelum bahan pangan disimpan, aktivitas serangga dan tungau ( Christensen dan Kaufman, 1969).
D.3 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengering
Pengering jagung adalah kegiatan yang sangat penting. Pengeringan jagung dapat dilakukan, dalam bentuk tongkol berkelobot, tongkol tanpa klobot dan pipilan. Jagung pipilan dikeringkan kembali hingga kadar air berkisar 14 % (Departemen Pertanian, 2003). Cara pengeringan jagung pipilan adalah dengan menghamparkan butiran-butiran jagung diatas lantai jemur atau diatas plastik terpal.
Berdasarkan survei, diketahui bahwa jagung pipil kering diwadahi
karung plastik yang ditaruh di atas lantai pada suhu ruang dengan lama simpan 3 hari. Sampel diperoleh dari daerah Baureno dan Dander. Adapun hasil analisis kadar air, Rh, dan suhu lapang dari pengering dapat dilihat pada Tabel 14. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar air contoh jagung dari pengering berkisar antara 10,9-14,4 %. Sedangkan kelembaban relatif, a w dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 44-54 %, 0,71-0,72 dan 34,5-35 oC. Pada penelitian ini populasi A.flavus pada jagung yang diperoleh dari pemipil antara 1,0 x 102 - 1,1x103 cfu/g. Delapan contoh jagung yang diperoleh dari pengering, 4 diantaranya terserang A. flavus atau 50 %. Sedangkan populasi total kapang yang diperoleh berkisar antara 0-1,8x104
cfu/g. Dari delapan contoh jagung tujuh diantaranya terserang kapang pasca panen.
Tabel 14. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pengering Berupa Jagung Pipilan. No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sumber
Sampel
Kadar Air (%)
Kelem baban Relatif (RH %)
Suhu Di Lapang (oC)
Pengering
PGR1 PGR2 PGR3 PGR4 PGR5 PGR6 PGR7 PGR8
12,1 13,4 12,0 14,4 13,5 12,6 12,6 10,9
53,0 54,0 53,0 52,0 54,0 44,0 45,0 44,0
35,0 35,0 35,0 35,0 34,0 34,5 34,5 34,5
Keterangan : PGR1 : Pengering 1, PGR2 : Pengering 2, dst.
Jumlah A.flavus (log cfu/g )
3.5 3.0
2.8
3.0
2.5 2.0
2.0
2.0 1.5 1.0 0.5 0
0
0
PGR5
PGR6
0
0.0 PGR1
PGR2
PGR3
PGR4
PGR7
PGR8
Tingkat Pengering
Gambar 22. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pengering
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
4.5
4.0
4.3
4.2
4.0 3.5
3.9
3.2
3.0
3.0
2.6
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
0
0.0 PGR1
PGR2
PGR3
PGR4
PGR5
PGR6
PGR7
PGR8
Tingkat Pengering
Gambar 23. Jumlah Total Kapang Tingkat Pengering
Dari grafik dan tabel dapat dilihat bahwa PGR8 tidak terserang oleh Aspergillus flavus dan kapang pasca panen, hal ini dikarenakan PGR8 adalah sampel yang diperoleh dari kerjasama BPPT dan PEMDA dimana telah dilakukan proses pembinaan dan penanganan yang sangat baik yaitu dengan pengeringan yang bertahap dan dilakukan diruang khusus untuk pengeringan, walaupun masih menggunakan bantuan sinar matahari. Sedangkan pada sampel yang lain dikeringkan pada luar ruangan secara langsung dibawah sinar matahari. Sehingga kontaminasi kapang dari udara luar cukup signifikan.
D.4 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengumpul Pengumpul adalah pedagang yang melakukan kegiatan pembelian produk pertanian tertentu dari satu tempat ketempat lain dengan menggunakan alat angkut, sebagai contoh agen-agen tengkulak (Limbong dan Sitorus, 1987). Hasil survey menunjukkan bahwa pengumpul memperoleh jagung pipil dari petani dan pemipil. Lamanya pengumpulan yang dilakukan oleh pengumpul sekitar 1 minggu -1 bulan hingga terkumpul sesuai target yang dikemas pada karung plastik dan disimpan pada suhu ruang. Data dikelompokkan berdasarkan jumlah sampel pengumpul. Sampel diperoleh dari daerah Sumberejo, Kepohbaru dan Dander. Kadar air, RH, dan suhu lapang dari pengumpul dapat dilihat pada Tabel 15. Tabel 15.Kadar Air, RhH dan Suhu Lapang dari Pengumpul Berupa Jagung Pipilan.
No 1 2 3 4 5 6 7 8
Sumber
Sampel
Kadar Air (%)
Kelem baban Relatif (RH %)
Suhu Di Lapang (oC)
Pengumpul
PGL1 PGL2 PGL3 PGL4 PGL5 PGL6 PGL7 PGL8
14,9 14,2 13,0 13,0 11,6 12,5 13,5 13,5
52,0 52,0 53,0 52,0 55,0 50,0 53,0 53,0
34,5 34,5 34,5 35,0 34,5 32,0 34,5 34,5
Keterangan : PGL1 : Pengumpul 1, PGL2 : Pengumpul 2, dst.
Jumlah A.flavus ( log cfu/g)
4
3.6
3.5 3 2.5
2.6
3.0
3.0
PGL7
PGL8
2.6 2.3
2
2 1.5 1 0.5
0
0 PGL1
PGL2
PGL3
PGL4
PGL5
PGL6
Tingkat Pengumpul
Gambar 24. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pengumpul
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
6.0 5.0
5.0 4.0
4.0
PGL1
PGL2
4.2
4.2 3.8
3.8
3.7
PGL6
PGL7
PGL8
4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 PGL3
PGL4
PGL5
Tingkat Pengumpul
Gambar 25. Jumlah Total Kapang Tingkat Pengumpul
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar air contoh jagung dari pengumpul berkisar antara 11,6-14,9 %. Sedangkan kelembaban relatif, a w dan suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 44-54 %, 0,75-0,8 dan 34,5-35 oC. Pada penelitian ini populasi A. flavus pada jagung yang diperoleh dari pemipil antara 1,0x102 -3,9x103 cfu/g. Delapan contoh jagung yang diperoleh dari pengering, 7 diantaranya terserang A. flavus atau 85 %. Sedangkan populasi total kapang yang diperoleh berkisar antara 5,0x103-9,0x104 cfu/g. Dari delapan contoh jagung semuanya terserang kapang pasca panen. Adanya Aspergillus flavus pada sampel contoh ini dikarenakan terpenuhinya keadaan lingkungan untuk pertumbuhan yaitu kadar air, a w dan suhu pertumbuhan yang ideal walaupun kelembaban relatifnya rendah. Begitu pula untuk kapang penyimpanan, kondisi lingkungan jagung tersebut sesuai
untuk pertumbuhannya. Selain itu, adanya kontaminasi mikroba awal pada sampel jagung tingkat pengumpul yaitu adanya kapang yang telah menyerang pada panen, tingkat petani, dan pemipil, serta lamanya penyimpanan yang dilakukan oleh pengumpul untuk memenuhi jumlah target jagung hingga 1 bulan dapat menjadi penyebab banyaknya kapang Aspergillus flavus dan kapang pasca panen lainnya yang menyerang.
D.5 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Tingkat Pengecer Pengecer adalah lembaga yang melakukan kegiatan usaha menjual barang kepada konsumen akhir. Pengecer inilah yang nantinya berhubungan langsung dengan konsumen. Berdasarkan survei yang dilakukan barang yang ada dipengecer berasal dari pengumpul. Sebelum dijual ke konsumen pengecer melakukan sortasi untuk memisahkan jagung yang memiliki mutu yang baik dengan jagung yang kurang baik. Sortasi yang dilakukan sederhana, hanya melihat dari parameter warna, bau, penampakan, dan ada tidaknya kotoran tanpa menghitung butir rusak dan kadar air. Sampel diperoleh dari daerah Bojonegoro, Banjarsari, Balen, Kapas dan Ngasem. Pengecer ini dapat ditemukan pada pasar tradisional baik yang besar maupun yang kecil. Dalam melakukan penjualan, pengecer menggunakan karung plastik, karung goni, atau wadah bambu yang diletakkan di lantai/diatas meja kayu di suhu ruang. Lama waktu jagung pipil pada pengecer hingga terjual berkisar 1-3 hari atau hingga terjual semua jagung pipil tersebut disimpan pada suhu ruang dan biasanya diletakkan di lantai maupun di atas meja. Adapun hasil analisis kadar air, RH, dan suhu lapang pada jagung pipil tingkat pengecer dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Pengecer Berupa Jagung Pipilan. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber
Sampel
Kadar Air (%)
Kelembaban Relatif (RH %)
Suhu Di Lapang (oC)
Pengecer
PCR1 PCR2 PCR3 PCR4 PCR5 PCR6 PCR7 PCR8 PCR9 PCR10
14,9 16,0 14,5 15,0 12,6 15,2 15,1 11,2 14,0 13,2
48,0 52,0 51,0 56,0 50,0 54,0 57,0 50,0 52,0 51,0
35,5 35,0 34,5 34,0 33,5 33,0 32,5 32,0 33,0 32,5
6.0 4.8
5.0
4.1
4.0
3.7
4.0
4.0
3.9
3.8
3.4
3.7
3.5
3.0 2.0 1.0
C R 10
C R 9
P
P
C R 8 P
C R 7 P
C R 6 P
C R 5 P
C R 4 P
C R 3 P
P
P
C R 2
0.0
C R 1
jumlah Kapang ( log cfu/g)
Keterangan : PCR1= pengecer 1, PCR2= pengecer 2, dst.
Tingkat Pengecer
3.7
4 3.3
3.5
2.8
3
2.5
2.3
2.5
2.3 2.0
2 1.5 1 0.5
0
0
0
C R 10 P
C R 9 P
C R 8 P
C R 7 P
C R 6 P
C R 5 P
C R 4 P
C R 3 P
P
P
C R 2
0
C R 1
Jumlah A.flavus ( log cfu/g )
Gambar 26. Jumlah Aspergillus flavus Tingkat Pengecer
Tingkat Pengecer
Gambar 27. Jumlah Kapang Tingkat Pengecer
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa kadar air contoh jagung dari pengecer berkisar antara 11,2-16 %. Sedangkan kelembaban relatif, a w dan
suhu lapang pada saat pengambilan sampel yaitu kisaran antara 48-57 %, 0,710,79 dan 32-35,5 oC. Pada penelitian ini populasi A. flavus pada jagung yang diperoleh dari pengecer antara 0-5,6 x103 cfu/g. Sepuluh contoh jagung yang diperoleh dari pengecer, 7 diantaranya terserang A. flavus atau 70%. Sedangkan populasi total kapang yang diperoleh berkisar antara 3,5x103-6,9x104 cfu/g. Dari sepuluh contoh jagung semuanya terserang kapang pasca panen.
D.6 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Produk Intermediet Tingkat Industri Produk setengah jadi merupakan produk yang memerlukan pengolahan lebih lanjut. Adapun produk intermediet yang diperoleh yaitu berupa beras jagung, menir jagung, tepung jagung dan maizena. Produk-produk tersebut digunakan antara lain beras dan menir jagung diolah menjadi nasi jagung, tepung jagung dan maizena diolah lebih lanjut menjadi kue, roti, keripik, tortilla, mie jagung. Adapun hasil analisis kadar air, RH, dan suhu lapang dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Produk Intermediet No
1 2 3 4 5 6
Sumber
Sampel
Produk Intermed iet
PBB1 PBB2 PBB3 PBB4 PBB5 PBB6
Kadar Air Kelembaban (%) Relatif (Rh %) 10,6 11,2 10,3 9,1 9,0 9,0
51,0 50,0 54,0
Keterangan : PBB1 : Produk Intermediet berupa menir jagung PBB2 : Produk Intermediet berupa beras jagung PBB3 : Produk Intermediet berupa tepung jagung PBB4 : Produk Intermediet berupa maizena 4 PBB5 : Produk Intermediet berupa maizena 5 PBB6 : Produk Intermediet berupa maizena 6
Suhu Lapang (oC) 34,0 33,0 34,0
Di
Jumlah A.flavus ( log cfu/g )
3.5 3 3 2.5 2 1.5 1 0.5 0
0
PBB1
PBB2
0
0
0
PBB4
PBB5
PBB6
0 PBB3
Produk 1/2 Jadi
Gambar 28. Jumlah Aspergillus flavus Produk Intermediet
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
3.5 3.0
3
2.8
2.5 2 2.0 1.5 1.0 0.5 0
0
0
PBB4
PBB5
PBB6
0.0 PBB1
PBB2
PBB3
Produk 1/2 jadi
Gambar 29. Jumlah Kapang Produk Intermediet
Berdasarkan Gambar 28 terlihat bahwa semua produk intermediet tidak terkandung Aspergillus flavus kecuali untuk produk tepung jagung BPPT terserang A. flavus 1,0x103 cfu/g. Dari enam sampel satu sampel terserang A. flavus atau 17 %. Adapun untuk total kapang yang terkontaminasi kapang yaitu untuk keseluruhan produk intermediet menir, beras dan tepung jagung. Hal ini dapat dikarenakan proses pengolahannya konvensional hanya menggunakan proses penggilingan saja. Berdasarkan data terlihat bahwa total kapang tepung jagung adalah 1,0 x103 cfu/g. Hal ini menunjukkan bahwa tepung jagung masih dibawah batas maksimum SNI. Menurut SNI 01-3727-1995 cemaran mikroba kapang pada tepung jagung maksimum 1,0 x104 cfu/g. Pada produk menir jagung dan beras jagung belum terdapat standar bakunya, namun mengacu dari batas maksimum kapang pada SNI kedua produk ini masih di bawah batas maksimum yaitu 6,0
x102 cfu/g dan 1,0x102 cfu/g. Namun dari kadar air, SNI 01-3727-1995 menyatakan bahwa kadar air tepung jagung maksimum 10 % sedangkan pada sampel kadar airnya di atas batas maksimum SNI walaupun selisihnya tidak terlalu jauh. Pada produk intermediet sampel maizena dari perusahaan tidak mengandung baik Aspergillus flavus maupun total kapang. Hal ini kemungkinan penanganan setengah jadi dan pemrosesannya sangat baik adanya perendaman dalam larutan H2SO3 dan dalam larutan NaOH 0,1%. Selain itu karena produk ini berasal dari pati jagung dimana kandungan proteinnya sangat sedikit 0,30 g dalam 100 g bahan (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981). Pada ketiga produk tersebut juga memenuhi untuk batas maksimum kadar air dan total kapang. Menurut Diener dan Davis (1986), Aspergillus flavus merupakan kapang proteolitik. Sehingga dengan semakin sedikitnya jumlah protein maka peluang kapang ini untuk tumbuh semakin kecil.
D.7 Aspergillus flavus dan Total Kapang pada Produk Jadi Tingkat Industri Produk jadi merupakan produk yang langsung siap dikonsumsi oleh konsumen tanpa pengolahan lebih lanjut. Produk yang diperoleh untuk sampel yaitu marning, tortilla, emping, brondong, dan snack. Adapu hasil analisis kadar air, RH, dan suhu lapang dari produk jadi dapat dilihat pada Tabel 18. Tabel 18. Kadar Air, RH, dan Suhu Lapang dari Produk Jadi. No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Sumber
Sampel
Produk Jadi
PJ1 PJ2 PJ3 PJ4 PJ5 PJ6 PJ7 PJ8 PJ9 PJ10
Kadar (%) 4,6 4,3 2.7 5.3 3.2 3.8 4.3 3.5 3.8 4.1
Air
Kelembaban Relatif (RH %)
Suhu Di Lapang (oC)
50,0 51,0 50.0 52.0
34,5 34,0 34.0 33.0
50.0 51.0 50.0 50.0
32.0 34.0 32.0 32.0
Keterangan : PJ1 : Produk jadi berupa Marning 1 PJ2 : Produk jadi berupa Tortila jagung PJ3 : Produk jadi berupa Snack
PJ4 PJ5 PJ6 PJ7 PJ8 PJ9 PJ10
: Produk jadi berupa Brondong Manis : Produk jadi berupa Emping : Produk jadi berupa Tortila : Produk jadi berupa Brondong Tawar : Produk jadi berupa Marning 8 : Produk jadi berupa Marning 9 : Produk jadi berupa Marning 10
Jumlah A.flavus ( log cfu/g )
2.5 2 2 1.5 1 0.5 0
0
0
PJ1
PJ2
PJ3
0
0
0
0
0
0
PJ5
PJ6
PJ7
PJ8
PJ9
PJ10
0 PJ4
Produk Jadi
Gambar 30. Jumlah Aspergillus flavus Produk Jadi
Jumlah Kapang ( log cfu/g )
2.5 2 2 1.5 1 0.5 0
0
0
PJ1
PJ2
PJ3
0
0
0
0
0
0
PJ5
PJ6
PJ7
PJ8
PJ9
PJ10
0 PJ4
Produk Jadi
Gambar 31. Jumlah Kapang pada Produk Jadi
Berdasarkan Gambar 30 terlihat bahwa semua produk jadi tidak terkandung Aspergillus flavus kecuali untuk produk Brondong Manis terserang A. flavus 1,0x102 cfu/g sedangkan untuk total kapang produk jadi tidak terserang kapang kecuali pada produk Brondong Manis sebesar 1,0x102
cfu/g. Hal ini menunjukkan bahwa total kapang yang menyerang adalah A. flavus. Adanya kapang tersebut kemungkinan karena pengolahan yang konvensional. Dari sepuluh sampel satu sampel terserang A. flavus atau 10 %. SNI untuk brondong jagung tidak ada dan mengacu pada SNI jipang jagung (SNI 01-4450-1998) sampel brondong jagung ini masih di bawah batas maksimum SNI karena memiliki kandungan total kapang 1,0x102 cfu/g sedangkan SNI jipang jagung batas maksimumnya 1,0 x 103 cfu/g. Begitu pula untuk produk lainnya masih dibawah batas maksimum SNI 01-28862000 (makanan ringan ekstrudat) dengan kandungan cemaran kapang maksimal 5,0x101 cfu/g. Namun secara keseluruhan kandungan kadar air dan populasi A. flavus produk olahan jagung lebih rendah daripada jagung itu sendiri. Hal ini mungkin oleh banyaknya proses yang dilalui oleh jagung (baik proses kimia maupun fisik) sampai menghasilkan produk olahannya. Produk olahan lainnya yang berupa makanan ringan juga melalui banyak proses dan biasanya dicampur bahan lain seperti zat aditif.
D.8 Prevalensi Aspergillus flavus pada Rantai Produksi dan Hubungan Antara Populasi Aspergillus flavus dengan Kadar Air, Rh, dan Suhu.
Produksi merupakan kegiatan untuk menghasilkan barang atau jasa yang nantinya akan dimanfaatkan oleh konsumen. Rantai produksi merupakan suatu jalur dimana mulai dari penerimaan setengah jadi hingga keluar produk dan sampai ke tangan konsumen. Adapun tingkatan rantai produksi yang diperoleh berdasarkan hasil survei yaitu petani, pemipil, pengering, pengumpul, pengecer, industri produk setengah jadi dan industri produk jadi. Prevalensi cemaran Aspergillus flavus di berbagai rantai produksi tersebut dapat dilihat pada Tabel 19. Adapun koloni A.flavus dapat dilihat pada Gambar 32.
Aspergillus flavus
A.niger
Gambar 32. Koloni Aspergillus flavus pada Media AFPA Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui bahwa prevalensi cemaran Aspergillus flavus pada produk setengah jadi jagung di petani lebih rendah dibandingkan yang lain sebesar 40 % walaupun kadar air, RH, dan suhu lingkungan sama. Hal ini kemungkinan karena adanya kapang lain yang antagonis seperti Trichoderma harcianum atau Aspergillus niger, karena jagung pada tingkat petani berupa jagung klobot, dimana klobot ini melindungi jagung dari serangan awal mikroba, aktivitas serangga dan tungau. Selain itu, dapat dipengaruhi lama penyimpanan jagung tersebut. Menurut Christensen dan Kaufman (1969), untuk pertumbuhan kapang pasca panen pada bahan pangan yang disimpan dipengaruhi oleh faktor kadar air bahan, suhu, kelembaban relatif, lama penyimpanan, tingkat serangan kapang sebelum bahan pangan disimpan, aktivitas serangga dan tungau.
Tabel 19. Prevalensi Cemaran Aspergillus flavus pada Berbagai Rantai Produksi Produk Pangan Berbasis Jagung Jenis Sampel
Rantai Produksi
Petani (klobot) Pemipil Jagung Pipil Pengering Pengumpul Pengecer Produk setengah Industri jadi Produk Jadi Industri
Jumlah Sampel
Aspergillus flavus (%)
10 10 8 8 10
40 70 50 85 70
Rata-rata A. flavus(log cfu/g) 0.9 1.5 1.2 2.4 3.9
6
17
0.5
10
10
0.2
Data Tabel 19 menunjukkan bahwa Aspergillus flavus menyerang pada semua rantai produksi dengan kecenderungan dari petani hingga pengecer mengalami kenaikan jumlah Aspergillus flavus kecuali pada pengering. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa mikotoksin dari Aspergillus flavus dapat mengkontaminasi produk pangan berbasis jagung. Berdasarkan data di atas juga dapat diketahui bahwa titik kritis kontaminasi Aspergillus flavus terjadi pada pengumpul (85 %) kemudian diikiti pemipil dan pengecer (70%). Hal ini berarti pada pengumpul dari delapan sampel yang dianalisa sebanyak tujuh sampel terkontaminasi Aspergillus flavus. Pada pemipil dan pengecer dari sepuluh sampel yang dianalisa sebanyak tujuh sampel terkontaminasi A. flavus. Banyaknya Aspergillus flavus tersebut selain karena suhu dan kadar air juga faktor lama penyimpanan di pelaku rantai produksi. Menurut Probst (2007) dari 1.232 isolat kapang pada jagung di Kenya terdapat A.flavus 97.9 %. Sedangkan Hesseltine dan Rogers (1982), menyatakan bahwa jagung yang disimpan antara tahun 1972 hingga 1979 di Amerika mengandung A. flavus sebesar 95 %. Di Filipina tahun 1967-1982 dari 171 sampel jagung terserang 42 % Aspergillus flavus (Santamaria et al. 1972). Berdasarkan analisa statistik (Lampiran 1), populasi Aspergillus flavus berkorelasi baik dengan kadar air dan kelembaban relatif pada taraf signifikansi 1%. Hal ini berarti bahwa apabila semakin tinggi kadar air dan kelembaban udara maka jumlah atau peluang Aspergillus flavus tumbuh semakin besar. Sedangkan populasi Aspergillus flavus tidak berkorelasi dengan suhu lingkungan. Hal ini berarti setiap kenaikan suhu tidak berhubungan dengan kenaikan jumlah Aspergillus flavus karena suhu tumbuhnya berkisar antara 10-50oC (Christensen dan Kaufmann, 1974).
E. Total Kapang Pada Media APDA APDA merupakan media untuk menghitung dan mengisolasi kapang dan khamir. Media ini dapat untuk isolasi dan menghitung jumlah khamir dan kapang pada produk susu, daging segar, olahan daging, dan produk pangan lainnya. Penelitian ini menghitung total kapang yang tumbuh pada produk setengah jadi dan produk jadi.
Tabel 20. Total Kapang Produk Setengah Jadi dan Produk Jadi pada Media APDA Jenis Rantai Produksi Sampel Total Kapang (cfu/g) Sampel 7.0x102 PBB1 2.0x102 PBB2 Produk 1.1x103 PBB3 setengah Industri 0 PBB4 jadi 0 PBB5 0 PBB6 0 PJ1 0 PJ2 0 PJ3 2.7 x102 PJ4 0 Produk PJ5 Industri Jadi 0 PJ6 1.8 x102 PJ7 1.0 x102 PJ8 1.0 x102 PJ9 0 PJ10 Keterangan : PBB1 : Produk intermediet berupa menir jagung PBB2 : Produk intermediet berupa beras jagung PBB3 : Produk intermediet berupa tepung jagung PBB4 : Produk intermediet berupa maizena 4 PBB5 : Produk intermediet berupa maizena 5 PBB6 : Produk intermediet berupa maizena 6 PJ1 : Produk jadi berupa Marning 1 PJ2 : Produk jadi berupa Tortila jagung PJ3 : Produk jadi berupa Snack PJ4 : Produk jadi berupa Brondong Manis PJ5 : Produk jadi berupa Emping PJ6 : Produk jadi berupa Tortila PJ7 : Produk jadi berupa Brondong Tawar PJ8 : Produk jadi berupa Marning 8 PJ9 : Produk jadi berupa Marning 9 PJ10 : Produk jadi berupa Marning 10
Berdasarkan Tabel 20, dapat diketahui bahwa jumlah kapang untuk masing-masing produk intermediet berturut-turut mulai dari menir jagung beras jagung, tepung jagung , maizena 4, maizena 5 dan maizena 6 adalah 7,0x102, 2,0x102, 1,1x103, 0, 0, dan 0 cfu/g. Mengacu kepada SNI tepung jagung SNI 01-3727-1995, total kapang pada tepung jagung maksimum 104 cfu/g, maka untuk produk-produk setengah jadi tersebut masih dibawah batas maksimum yang diizinkan. Untuk produk menir, beras dan tepung jagung terkontaminasi
kapang
karena
dalam
proses
pengolahannya
hanya
menggunakan cara konvensional saja yaitu digrinder saja tanpa perlakuan panas lebih lanjut, sedangkan untuk produk maizena yang merupakan tepung pati jagung telah mengalami proses perendaman dalam larutan H2SO3 dan dalam larutan NaOH 0,1% serta pengeringan. Selain itu karena produk ini berasal dari pati jagung dimana kandungan proteinnya sangat sedikit 0,30 g dalam 100 g bahan (Direktorat Gizi Depkes RI, 1981). Produk jadi seperti Marning 1, Tortila jagung, Emping, Tortila, Marning 8, Marning
9, dan Marning 10 berturut-turut jumlah total
kapangnya yaitu 0,0,0,0,1,0x102, 1,0x102, dan 0 cfu/g. Mengacu pada produk SNI 01-3712-1995 produk emping mlinjo dengan kandungan cemaran kapang maksimal 1,0x104 cfu/g maka produk-produk tersebut dapat dikonsumsi. Produk Brondong Manis dan brondong tawar
mengandung
2,7x102 dan 1,8x102 cfu/g. SNI untuk brondong jagung belum ada. Namun mengacu pada SNI jipang jagung (SNI 01-4450-1998) sampel brondong jagung ini masih di bawah batas maksimum SNI karena memiliki kandungan total kapang 1,0x102 cfu/g sedangkan SNI jipang jagung batas maksimumnya 1,0 x 103 cfu/g. Begitu pula untuk produk snack masih dibawah batas maksimum SNI 01-2886-2000 ( makanan ringan ekstrudat) dengan kandungan cemaran kapang maksimal 5,0x101cfu/g. Sedikitnya jumlah kapang yang menyerang dibandingkan pada setengah jadi jagung dikarenakan produk-produk tersebut telah mengalami proses pengolahan baik fisik maupun kimia, selain itu karena adanya
tambahan bahan seperti bawang putih, garam dan bahan aditif lainnya dapat menghambat pertumbuhan mikroba.
F. Perbandingan Metode Tuang dan Metode Permukaan dalam Analisis Aspergillus flavus Metode tuang dan metode permukaan merupakan metode yang digunakan untuk hitungan cawan. Kedua metode ini telah mendapatkan rekomendasi dari Bacteriological Analytical Manual (BAM) FDA. Berdasarkan penelitian diperoleh hasil perbandingan antara metode tuang dan metode permukaan pada Tabel 21. Data metode tuang dan metode permukaan dianalisa uji T untuk dua sampel yang berpasangan dengan menggunakan program SPSS 11.5. Berdasarkan hasil analisa statistik diperoleh bahwa terdapat perbedaan nyata antara metode tuang dan metode permukaan pada taraf 5 %, hal ini dapat dilihat dari nilai Asymp Sig(2-tailed) = 0.001 < 0.05 (Lampiran 2). Setelah diperoleh hasil bahwa berbeda nyata, kemudian data tersebut dibandingkan sesuai dengan pengencerannya masing-masing. Tabel 21. Perbandingan Antara Metode Tuang dan Metode Permukaan pada Analisis A. flavus Jumlah Aspergillus flavus ( log cfu/g ) Sampel Metode Tuang Metode Permukaan P7 2.0 2.3 P9 2.0 2.4 P10 2.0 2.3 JPP7 2.3 3.0 JPP8 3.1 3.2 JPP10 3.0 3.0 JPP9 3.2 3.3 PGR4 2.0 2.3 PGL4 2.6 2.8 PGL5 3.6 3.7 PGL6 2.3 2.7 PGL7 3.0 3.3 PGL8 3.0 3.2 0 0 PCR10 0 0 PJ2 0 0 PJ3
Metode Permukaan (log cfu/g)
4.5 y = 1.0915x R2 = 0.9731
4.0 3.5 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
Metode Tuang (log cfu/g)
Gambar 33. Grafik Perbandingan Metode Tuang dan Permukaan Berdasarkan Gambar 33 ternyata hasil menunjukkan bahwa dengan menggunakan metode permukaan jumlah Aspergillus flavus lebih besar daripada metode tuang. Hal ini kemungkinan karena kapang (Aspergillus flavus) merupakan mikroba aerob yang membutuhkan oksigen bebas lebih banyak sehingga dengan metode permukaan peluang untuk tumbuh semakain besar. Setelah dibandingkan sample-sampel tersebut ternyata jika semakin besar nilai pada metode tuang maka nilai pada metode permukaan juga semakin besar sehingga ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara metode tuang dan permukaan adalah liner dengan persamaan statistik garis linier Y=1.0915X dengan R2=0.9731. Hal ini berarti jumlah kapang Aspergillus flavus pada metode permukaan lebih besar 1.0915 kali daripada metode tuang. Berdasarkan persamaan tersebut dapat diperoleh data terkoreksi hasil analisa Aspergillus flavus metode tuang pada Lampiran 3.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan survei mata rantai produksi produk pangan berbasis jagung di kabupaten Bojonegoro ada lima kelompok yaitu, (a) petani-pengumpul konsumen, (b) petani - pengumpul - pengecer -konsumen, (c) petani-pemipilpengumpul-pengecer-konsumen, (d) petani-industri produk jadi - supermarket konsumen, dan (e) petani - pemipil-pengering-industri produk intermediet dan produk jadi-supermarket-konsumen. Tingkat rantai produksinya terdiri atas petani, pemipil, pengering, pengumpul, pengecer dan industri ( produk intermediet dan produk jadi ). Populasi Aspergillus flavus, kadar air, dan a w contoh jagung yang diperoleh dari tingkat rantai produksi produk pangan berbasis jagung bervariasi diduga karena cara penanganan jagung sangat beragam. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kondisi lingkungan seperti kadar air dan suhu lingkungan pada tingkat petani, pemipil, pengering, pengumpul, pengecer, dan industri sangat mendukung untuk pertumbuhan Aspergillus flavus. Dari semua tingkat rantai produksi mengalami tahap penyimpanan pada suhu ruang. Tahap penyimpanan ini merupakan tahapan yang rawan terkontaminasi Aspergillus flavus Enam puluh tiga persen dari 46 sampel berupa jagung pipil terkontaminasi Aspergillus flavus. Tiga belas persen dari 16 sampel berupa produk intermediet dan produk jadi terkontaminasi Aspergillus flavus. Dari total 62 sampel berupa jagung pipil dan produk sebanyak 31 sampel terkontaminasi atau 50 %.
Semua tingkat rantai produksi mengandung Aspergillus flavus
dengan titik kritis terletak pada pengumpul kemudian pemipil dan pengecer. Pada pengumpul terkontaminasi Aspergillus flavus
85 % sedangkan pada
pemipil dan pengecer terkontaminasi Aspergillus flavus 70 %. Pada produk olahan jagung mengandung populasi A. flavus lebih rendah daripada bahan baku jagung.
Populasi Aspergillus flavus berkorelasi dengan kadar air dan kelembaban udara tetapi tidak berkorelasi dengan suhu lingkungan. Selain itu, semakin lama penyimpanan pada pelaku rantai produksi menyebabkan semakin besar peluang terserang Aspergillus flavus. Hasil data penelitian menunjukkan bahwa metode permukaan berbeda nyata dan lebih efektif dibandingkan metode tuang. Cemaran Aspergillus flavus pada jagung dan produknya merupakan indikasi adanya aflatoxin. Namun walaupun Aspergillus flavus sudah mati aflatoxin masih ada dalam bahan pangan yang telah terkontaminasi karena jika Aspergillus flavus tidak ada tidak berarti bahwa aflatoxin tidak ada. Sehingga untuk mengurangi jumlah aflatoxin maka Aspergillus flavus harus diminimalkan.
B. Saran Kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara sangat penting karena akan mempengaruhi kandungan kadar air pada bahan. Sehingga jagung sebisa mungkin dapat disimpan ditempat kering dan jangan kontak langsung dengan tanah, udara sekitar atau disimpan pada suhu refrigerator untuk mencegah dan menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus. Selain itu, semakin singkat lama penyimpanan jagung akan meminimumkan serangan kapang tersebut. Pada produk olahan jagung apabila diolah dengan baik dan diberi bahan tambahan pangan maka dapat menghambat atau bahkan membunuh Aspergillus flavus. Pengolahan panas yang cukup dapat membunuh kapang ini. Metode yang dianjurkan untuk analisis Aspergillus flavus yaitu menggunakan metode permukaan. Hal ini karena metode ini lebih efektif daripada metode tuang.
Lampiran 1. Korelasi antara Populasi Aspergillus flavus dengan Kadar Air, Kelembaban Udara dan suhu Lingkungan. Correlations A.FLAVUS K.AIR Pearson 1 .445(**) Correlation Sig. (2-tailed) . .000 N 62 62 K.AIR Pearson .445(**) 1 Correlation Sig. (2-tailed) .000 . N 62 62 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). A.FLAVUS
Kesimpulan : Terdapat korelasi antara Aspergillus flavus dengan kadar air pada taraf signifikansi 1% Correlations A.FLAVUS RH Pearson 1 .428(**) Correlation Sig. (2-tailed) . .001 N 62 61 RH Pearson .428(**) 1 Correlation Sig. (2-tailed) .001 . N 61 61 ** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). A.FLAVUS
Kesimpulan : Terdapat korelasi antara Aspergillus flavus dengan kelembaban udara pada taraf signifikansi 1% Correlations A.FLAVUS SUHU Pearson 1 .192 Correlation Sig. (2-tailed) . .137 N 62 61 SUHU Pearson .192 1 Correlation Sig. (2-tailed) .137 . N 61 61 Kesimpulan : Tidak terdapat korelasi antara Aspergillus flavus dengan suhu lingkungan pada taraf signifikansi 1% maupun 5% A.FLAVUS
Lampiran 2. Perbandingan Metode Tuang dan Permukaan dengan Uji T-Test Paired Samples Statistics
Mean Pair 1
TUA NG PER M
Std. Error Mean
Std. Deviation
N
2.131
16
1.1683
.2921
2.344
16
1.2334
.3084
Paired Samples Correlations Correlatio n
N Pair 1
TUANG & PERM
16
.989
Sig. .000 Paired Samples Test
Paired Differences
Std. Deviation
Std. Error Mean
95% Confidence Interval of the Difference
Sig. (2tailed)
Mean Lower Upper t df TUANG -.212 .1928 .0482 -.315 -.110 -4.409 15 .001 PERM Kesimpulan : Karena Sig.(2-talid) < 0.05 maka metode tuang berbeda nyata dengan metode permukaan pada taraf signifikansi 5% Pair 1
Lampiran 3. Data Terkoreksi Aspergillus flavus Hasil Analisa (log cfu/g)
Terkoreksi (log cfu/g)
Sampel
P1
0
0
PGR3
P2
2
2.2
PGR4
2
2.2
PCR10
0
0
P3
0
0
PGR5
0
0
PBB1
0
0
P4
2.6
2.8
PGR6
0
0
PBB2
0
0
P5
0
0
PGR7
2
2.2
PBB3
3
3.3
P6
0
0
PGR8
0
0
PBB4
0
0
P7
2
2.2
PGL1
2
2.2
PBB5
0
0
P8
0
0
PGL2
0
0
PBB6
0
0
P9
2
2.2
PGL3
2.6
2.8
PJ1
0
0
P10
0
0
PGL4
2.6
2.8
PJ2
0
0
JPP1
0
0
PGL5
3.6
3.9
PJ3
0
0
JPP2
2.5
2.7
PGL6
2.3
2.5
PJ4
2
2.3
JPP3
0
0
PGL7
3.0
3.2
PJ5
0
0
JPP4
2.3
2.5
PGL8
3.0
3.3
PJ6
0
0
JPP5
0
0
PCR1
0
0
PJ7
0
0
JPP6
2.6
2.8
PCR2
2.5
2.7
PJ8
0
0
JPP7
2.3
2.5
PCR3
2.3
2.5
PJ9
0
0
JPP8
3.1
3.4
PCR4
3.3
3.6
PJ10
0
0
JPP9
3.2
3.5
PCR5
2
2.2
JPP10
2
2.2
PCR6
2.8
3.0
PGR1
2.8
3.1
PCR7
3.7
4.1
PGR2
3.0
3.3
PCR8
0
0
Sampel
Hasil Analisa (log cfu/g)
Sampel
0
0
Hasil Analisa (log cfu/g)
PCR9
2.3
Terkoreksi (log cfu/g) 2.5