II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspergillus flavus Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007) Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus
3
flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007) Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang
4
mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993). Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi (Gambar 3).
Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010) Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982). Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan
5
magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥ 95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.
B. Aflatoksin Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip (Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al. 2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina
a
Aflatoksin
Rumus Molekul
Berat Molekul
Titik leleh (0C)
B1
C17H12O6
312
268-269
B2
C17H14O6
314
286-289
G1
C17H12O7
328
244-246
G2
C17H14O7
330
237-240
M1
C17H12O7
328
299
M2
C17H14O7
330
293
B2A
C17H14O7
330
240
G2A
C17H14O8
346
190
Sumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,
6
aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut. hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA — > demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1, AFG1. Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002) Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A.
7
Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002) Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).
8
Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapangkapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).
Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin (Lee et al. 2004)
9
Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994) menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1. Goldblatt (1969) menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi (D’Mello 2002; Yu et al. 2002). Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari (Makfoeld 1993). Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davis 1969). Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang tinggi dan berbahaya (Diener dan Davis 1969) serta paling banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan (Lee et al. 2004). Oleh karena itu, kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti aflatoksin B1. Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb (Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004). Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb (Yu et al. 2002).Lee et al. (2004) menyatakan bahwa nilai LD50 dari aflatoksin ialah 0,5 mg/kg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC). Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan (Yu et al. 2002). Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan (Martins et al. 2008). Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis. Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh 10
aflatoksin (Verma 2004). Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. (2007) menyebutkan bahwa sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus. Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia (Bahri et al. 2003; Lilieanny et al. 2005) termasuk pada bahan pangan dan pakan (Aryantha et al. 2007). Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et al. 2006). Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang didistribusikan di Jawa telah terkontaminasi aflatoksin (Aryantha et al. 2007). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan oleh aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Berikut ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkana Konsentrasi aflatoksin (ppb)b
Efek yang ditimbulkan
20
Level maksimal yang diijinkan untuk manusia
50
Level maksimal yang diijinkan untuk hewan
100
Pertumbuhan lambat pada usia muda
200-400 >400
Pertumbuhan lambat pada usia tua Kerusakan hati dan kanker
a
Sumber: www.ipm.iastate.edu (2010) b part per billion
Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk berbasis kacang-kacangan dengan 80% produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm. Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai
11
jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan. Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaana Penggunaan Susu (perusahaan susu)
a
Konsentrasi aflatoksin (ppb)b Tidak terdeteksi
Jagung yang belum pasti pengolahannya
20
Jagung untuk hewan muda
20
Jagung untuk pakan ternak lembu
20
Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa
100
Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong
200
Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong
300
Sumber: http://www.pubs.caes.uga.edu/ (2009) part per billion
b
Lee et al. (2004) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan, selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh. Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan (Shier et al. 2005). Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan tingginya insiden kanker hati (Lee et al. 2004). D’Mello (2002) menyatakan bahwa aflatoksin banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan, Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan sindrom Reye’s. Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration (FDA) seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
12
Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan. Kandungan Aflatoksin
Komoditas
Spesies
0.5 (aflatoksin M1)
Susu
Manusia
20.0
Semua pangan kecuali
Manusia
a
(ppb)
susu 20.0
Pakan
Ternak
Jagung
Ternak lembu, ternak
100.0
b
200.0
b
Jagung
Karkas babi (>100 lbs.)
300.0
b
Jagung
Karkas sapi/lembu
300.0
b
Biji kapas sebagai pakan
Ternak
babi, dan unggas dewasa
a
part per billion pengecualian
b
Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Berikut ini (Tabel 5) ialah perbandingan dampak kontaminasi aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang. Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang1.
Faktor Periode produksi
Negara maju
Negara berkembang
Pra-panen
Pasca-panen
Tanaman yang
Jagung, kacang tanah,
Jagung, kacang, kopra, jewawut,
terkontaminasi
kacang pohon.
tepung ubi jalar, dan tepung singkong
Perhatian pertama
Biaya regulator untuk
Keracunan kronis, meliputi
pemantauan
hepatokarsinoma primer, penurunan
aflatoksin
kekebalan tubuh, dan keracunan akut. Perhatian kedua
Yield loss pada pakan
Yield loss pada pakan ternak
ternak 1
Sumber: Shier et al. (2005)
Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan (Cardwell dan Henry 2005), namun tidak demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin.
13
Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan mengancam keamanan pangan. Binder et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat indikasi yang jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India (275 ppb). Level kontaminasi rata-rata ialah 52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produkproduk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis, berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak (Binder et al. 2007). Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari lingkungan (Shier et al. 2005). Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan infeksi (Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002). Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah ingesti (Omaye 2004). D’Mello (2002) mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari miktoksin yang tersebar melalui makanan (foodborne mycotoxins) yang umum dijumpai di kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Reddy et al. (2009) melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari berasa. Kandungan Aflatoksin B1 (ppb) Isolat
Asal Sampel
b
YES medium
AFPAc
Crude rice grain
medium
mediumd
DRAf 002
Tamil Nadu
6400
-
62000
DRAf 006
Tamil Nadu
4500
-
13000
DRAf 009
Tamil Nadu
40000
-
415000
DRAf 012
Maharashtra
5800
-
15000
DRAf 018
Maharashtra
5000
-
36000
a
Sumber: Reddy et al. (2009) YES (Yeast Extract Sucrose) agar. c AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar) d Rice cultivar: Pusa Basmati 1 b
Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. (2009) bertujuan untuk melihat potensi isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi
14
akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk (Lee et al. 2004). Reddy et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan, maupun selama proses produksi. Omaye (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup. Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) menjadi sangat penting dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.
C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan tertentu untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Secara alamiah mikroba akan beradaptasi pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan mikroba tersebut. Pada laboratorium, kebutuhan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk mikroba harus dapat dipenuhi oleh medium kultur (Nazari 2010). Medium sintetis untuk kultur mikroba umumnya digunakan untuk berbagai tujuan mulai dari identifikasi mikroorganisme yang belum diketahui hingga produksi mikroba dalam jumlah besar untuk kepentingan bioteknologi. Aspergillus sp. penghasil aflatoksin merupakan salah satu kapang yang telah diteliti sejak lama dalam kondisi laboratorium. Berbagai media, baik media crude, semisintetis, maupun media sintetis telah digunakan untuk membiakan Aspergillus sp. Media yang umum digunakan bisa berupa media padat seperti SDA (Sucrose Dextrose Agar), PKA (Palm Kernel Agar), PDA (Potato Dextrose Agar), dan media crude dari jagung, kacang, maupun beras. Media cair yang umum digunakan antara lain media sintetis PDB (Potato Dextrose Broth) maupun media cair sintetis kompleks yang secara spesifik mampu meningkatkan produksi aflatoksin seperti media GAN (Glucose Ammonium Nitrate), AM (glucose-ammonium sulfate), SH (high salt), SL (synthetic low salt), Czapek-dox medium, YES (Yeast Extract Sucrose), dan SLS (Sucrose Low Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari 2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang ditumbuhkan. Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966; Reddy et al. 1971).
15
Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2% ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa Kandungan Aflatoksin (ppb)* Periode Inkubasi
Berat miselia
(hari)
kering (g/100
B1
G1
1000
1000
mL)
a
2
0,9
3
2,1
4000
10000
5
3,8
20000
53000
7
3,5
20000
53000
12
4,2
20000
53000
15
3,8
18000
48000
18
4,1
16000
42000
sumber: Davis et al. (1966)
Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961). Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu (Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc
Kandungan Aflatoksin (ppb)* Strain DU/KR 79 A
Medium GAN 8300
Medium GAN+ 2% medium groundnut 18100
DU/KR 79 C
9300
21300
DU/KR 79 D
15100
28700
DU/KR 79 E
1300
0
DU/KR 79 F
0
6800
DU/KR 79 G
10900
15000
DU/KR 79 K
0
500
a
Produksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7 hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00) b Nilai aflatoksin merupakan nilai total dari aflatoksin B1 dan B2
16
c
Sumber: Moggan et al. (1969)
Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba kompetitor Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.
D. Analisis Aflatoksin a.
ELISA Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography) secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak (Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000). ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro. Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar (Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader (Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap 17
AFB B1, namun maasih terjadi seedikit reaksi silang dengan AFB2 dan AF FG2, sedangkkan reakksi silang denngan AFG1 tiidak begitu ny yata. Secara sederhana prrinsip kompettisi langgsung dapat dillihat pada Gam mbar 7.
Gambar 77. Format ELIS SA kompetitif llangsung A untuk aflatokksin B1 pertam ma kali dilakuukan oleh Chuu dan Ueno paada Uji ELISA tahuun 1977 dengann nilai sensitivvitas sebesar 4 ng/mL sampell (Sekhon et all. 1996). ELISA Akit Aflavet A dengann nilai sensitiviitas 0,3 ng/mL sampel yang ddikembangkan oleh Balai Bessar Peneelitian Veterinner (Balitvet) akan digunakaan dalam peneelitian ini. EL LISA kit Aflavvet mem miliki keuntunngan antara laain waktu annalisis yang ccepat dengan sensitivitas dan d spessifisitas tinggi, reprodusibel, kisaran analisiis 0,3-30 ppb, reaksi silang yang y cukup kecil (AF FB1 100%, AF FB2 0,9%, AFG G1 3,1%, dann AFG2 1,6%), dan mampu menganalisis 40 sam mpel (duplo) sek kaligus atau 800 sampel secarra simplo (Racchmawati et al.. 2004). Metoode ELISA untuk anallisis aflatoksinn dan metabolitt lainnya terlahh berkembang pesat dalam dua d dekaade terakhir karena k proseddurnya yang sederhana dann mudah beraadaptasi denggan kebuutuhan analisiss disertai spesiffisitas dan senssitivitas yang tiinggi (Lee et al. a 2004).
b. TLC 18
Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kirakira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999; Hahn-Deinstrop 2007). Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan. Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan ekstensif di seluruh dunia. Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%. Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya, namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al. 2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).
c.
HPLC HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan
19
pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode dengan kegunaan yang luas dalam analisis. HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al. 2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif. Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi. HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee et al. 2004). Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat, hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Skema kerja alat HPLC. Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan
20
tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi, bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data. Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).
III.
BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 21