PENGARUH FUNGI Aspergillus flavus, Aspergillus terreus, DAN Trichoderma harzianum TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT Avicennia officinalis (Effect of Fungi Aspergillus flavus, Aspergillus terreus and Trichoderma harzianum on Seedling Growth of Avicennia officinalis) Indah K Sihombing1, Yunasfi2, Budi Utomo2 Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara,Jl. Tridarma Ujung No. 1 Kampus USU Medan 20155 (Penulis Korespondensi, Email:
[email protected]) 2Staf Pengajar Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara
1Mahasiswa
ABSTRACK Mangrove has the ability to absorb organic and inorganic from environment. Fungi in mangrovecan decompotition of litter and neutralize the accumulation of heavy metals. This research can provide information on the types of fungi are able to increase growth of seedlingA. officinalis. This research was conducted from October 2014 until January 2015 using a completely randomized design (CRD) with treatment application three types of fungi and five replications. There are three types of fungi namely appliedA. flavus, A.tereus and T. harzianum. Application ofT. Harzianumgave the best result on seedling growth parameter of A. Officinaliswith an average height 26.04 cm, application of A. Flavusgave the best diameter growth, the best leaf area and total dry weight of A. Officinaliswith an average diameter 0.62 cm, leaf area total 66238,6 cm2 and total dry weight 2.82 g, higher than the average of control. Keywords: Avicennia officinalis, fungi, mangrove, acumulation.
PENDAHULUAN Hutan mangrove adalah tipe hutan yang khas yang terdapat di sepanjang pantaiatau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang air laut. Mangrove tumbuh pada pantai-pantai yang terlindung atau pantai-pantai yang datar. Biasanya tempat yang tidak ada muara sungainya hutan mangrove sedikit, namun pada tempat yang mempunyai muara sungai besar dan delta yang aliran sungainya banyak mengandung lumpur dan pasir, mangrove biasanya tumbuh meluas. Mangrove tidak tumbuh di pantai yang terjal dan berombak besar dengan arus pasang-surut yang kuat karena hal ini tidak memungkinkan terjadinya pengendapan lumpur dan pasir yang merupakan substrat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove (Odum, 1996). Indonesia merupakan satu diantara negara yang mempunyai hutan mangrove paling luas di dunia. Pada tahun 2010 Giri dkk., (2011) menyebutkan bahwa Indonesia memiliki hutan mangrove dengan luas 3.112.989 Ha yang merupakan 22,6 % dari total luas hutan mangrove di seluruh dunia. Walaupun mangrove Indonesia merupakan yang terluas di dunia namun kondisinya semakin menurun dari tahun ke tahun akibat degradasi hutan. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan khusus untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ekstrim, seperti kondisi tanah yang tergenang, kadar garam yang tinggi serta kondisi tanah yang kurang stabil. Dengan kondisi lingkungan yang seperti itu, beberapa jenis mangrove
mengembangkan mekanisme yang memungkinkan secara aktif mengeluarkan garam dari jaringan, sementara yang lainnya mengembangkan sistem akar nafas untuk membantu memperoleh oksigen bagi sistem perakarannya. Dalam hal lain, beberapa jenis mangrove berkembang dengan buah yang sudah berkecambah sewaktu masih di pohon induknya atau vivipar (Rusila,dkk., 1993). Beberapa jamur dilaporkan mempunyai potensi sebagai agen pengendali hayati dari jamur patogenik. Diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker, 1984). Diantara berbagai jenis tumbuhan mangrove, pohon api-api (Avicennia sp) merupakan jenis mangrove sejati dan pionir dan sangat baik dalam menstabilkan tanah sehingga berpotensi untuk dikembangkan menjadi tanaman rehabilitasi. Dalam kegiatan rehabilitasi dibutuhkan tanaman yang dapat cepat tumbuh, untuk memperoleh tanaman tersebut maka diperlukan aplikasi fungi yang dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman Avicennia officinalis. Beberapa jamur dilaporkan mempunyai potensi sebagai agen pengendali hayati dari jamur patogenik. Diantaranya adalah Trichoderma spp. (Baker, 1984). Salah satu mikroorganisme fungsional yang dikenal luas sebagai pupuk biologis tanah adalah jamur Trichoderma sp. Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Beberapa spesies Trichoderma telah dilaporkan sebagai agensia hayati seperti T. harzianum, T. viridae, dan T.konigii yang
berspektrum luas pada berbagai tanaman pertanian. Biakan jamur Trichoderma diberikan ke areal pertanaman dan berlaku sebagai biodekomposer, mendekomposisi limbah organik (rontokan dedaunan dan ranting tua) menjadi kompos yang bermutu. Serta dapat berlaku sebagai biofungisida,yang berperan mengendalikan organisme patogen penyebab penyakit tanaman. Trichoderma dapat menghambat pertumbuhan beberapa jamur penyebab penyakit pada tanaman antara lain Rigidiforus lignosus, Fusarium oxysporum, Rizoctonia solani, Sclerotiumrolfsi. Disamping kemampuan sebagai pengendali hayati, Trichoderma harzianum memberikan pengaruh positif terhadap perakaran tanaman, pertumbuhan tanaman, hasil produksi tanaman. Sifat ini menandakan bahwa juga Trichoderma harzianum berperan sebagai Plant Growth Enhancer . Dari sekian banyak jenis mangrove di Indonesia, jenis mangrove yang banyak ditemukan antara lain adalah jenis api-api (Avicennia sp.), bakau (Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.), dan pedada (Sonneratia sp.) merupakan tumbuhan mangrove utama yang banyak dijumpai. Jenis-jenis mangrove tersebut adalah kelompok mangrove yang menangkap, menahan endapan dan menstabilkan tanah habitatnya. Jenis api-api (Avicennia sp.) atau di dunia dikenal sebagai black mangrove merupakan jenis terbaik dalam proses menstabilkan tanah habitatnya karena penyebaran benihnya mudah, toleransi terhadap temperatur tinggi, cepat menumbuhkan akar pernafasan (akar pasak) dan sistem perakaran di bawahnya mampu menahan endapan dengan baik serta dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap arus, gelombang besar dan angin (Irwanto, 2008).
METODE PENELITIAN Waku dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2014 dan selesai pada bulan Januari 2015. Pengambilan biji dan penanaman bibit A. Officinalis dilaksanakan di Desa Nelayan Indah sebagai daerah yang dekat dengan kawasan industri. Peremajaan fungi dilaksakan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universiats Sumatera Utara, Medan. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cawan Petri, tabung reaksi, gelas ukur, labu Erlenmeyer, pipet tetes, timbangan analitik, kamera, oven, spidol permanen, Autoklaf, inkubator fungi, label kertas, aluminum foil, plastik clingwrap, lampu
Bunsen, gunting, benang nilon, corong, kapas kertas saring, polybag, sarung tangan, sprayer, kompor. Bahan penelitian yang digunakan adalah fungi yang diperoleh dari hasil peremajaan, alkohol 70 %, spritus, antibiotik, aquades. Prosedur Penelitian 1. Pembuatan PDA Media Potato Dextrose Agar (PDA) dibuat dengan menggunakan bahan kentang 200 g, agaragar 20 g dan gula 20 g. Media PDA dimasukkan ke dalam Erlenmeyer, kemudian disterilkan menggunakan autoklaf dengan suhu 1210C dan tekanan 15 psi selama 15 menit dan disimpan di lemari pendingin untuk menghindari pertumbuhan mikroorganisme lain. Sampai media tersebut akan digunakan dalam proses peremajaan fungi, biasanya cukup 3 hari. 2. Peremajaan Fungi Media PDA dipanaskan hingga mencair, cawan Petri yang telah steril disiapkan. Media PDA dimasukkan ke dalam cawan Petri sampai seluruh cawan terisi. Fungi yang telah diisolasi sebelumnya diambil sedikit yaitu 1 cm x 1 cm sebagai inang dan dimasukkan kedalam cawan Petri. Cawan Petri yang berisi fungi kemudian disimpan dan ditunggu sampai fungi tersebut tumbuh dan berkembang. Waktu yang dibutuhkan fungi tersebut untuk tumbuh dan berkembang adalah 3 hari dan pertumbuhan maksimal akan terlihat setelah 1 minggu. 3. Pembuatan Media Tanam dan Penanaman Media yang digunakan adalah lumpur yang diambil dari kedalaman 0 cm-20 cm dan dimasukkan ke dalam wadah tanam polybag yang berukuran 15 cm. Pengambilan biji diupayakan diambil dekat dengan lokasi yang akan dilakukan penanaman. Pengambilan biji harus diseleksi, yaitu memilih biji yang sehat dan berwarna kekuningan, jika dari biji yang sudah tumbuh harus memilih biji yang memiliki pertumbuhan sesuai dengan umurn ya. Biji A. officinalis kemudian ditanam ke wadah yang sudah diisi lumpur. Setelah biji tersebut tumbuh dan memiliki dua buah daun, diaplikasikan jamur yang didapat dari hasil peremajaan fungi.Jenis-jenis fungi yang telah disiapkan untuk penelitian diaplikasikan dengan cara membuat suspensi fungi. Fungi yang tumbuh di media PDA diambil 1 cm x 1 cm, selanjutnya fungi ini dimasukkan ke dalam air steril 10 ml pada tabung reaksi. Fungi yang ada dalam tabung reaksi ini selanjutnya dikocok, sampai fungi terlepas dari agar. Tiap jenis fungi dibuat 5 kali ulangan suai dengan perlakuan yang akan dilaksanakan. Suspensi fungi ini selanjutnya dimasukkan ke dalam polybag.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Parameter yang Diamati 1. Tinggi semai (cm) Pengukuran tinggi semai dilakukan sekali dua minggu selama tiga bulan. Alat ukur yang digunakan adalah penggaris dengan ketelitian 1 cm. Pengukuran tinggi dimulai dari batang yang telah di beri tanda titik awal pengukuran terlebih dahulu, demikian dengan pengukuran selanjutnya sehingga data yang diperoleh lebih akurat. 2. Diameter semai (cm) Diameter batang diukur dengan menggunakan jangka sorong. Untuk mendapatkan pengukuran yang lebih akurat diameter batang diukur dari batang yang telah di beri tanda titik awal pengukuran. 3. Luas permukaan daun Perhitungan luas daun dilaksanakan pada pengamatan terakhir. Daun diletakkan di kertas putih kemudian difoto, lalu di scan ke komputer, selanjutnya dihitung dengan menggunakan software image J. 4. Bobot kering tajuk dan akar Dianalisis setelah data terakhir diambil. Daun dan akar dari setiap perlakuan dan kontrol masing masing dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 70oC (1-2 hari) sampai berat konstan. Kemudian daun dan akar tersebut ditimbang dengan menggunakan timbangan analitik. Rancangan percobaan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan acak lengkap (RAL) karena kondisi lingkungan persemaian yang homogen dan faktor perlakuannya hanya satu yaitu pengaruh aplikasi fungi. Terdapat tiga jenis fungi yang diaplikasikan dengan lima kali ulangan. ๐๐๐ = ๐ + ๐๐ + ๐๐๐ Keterangan: Yij = respon pertumbuhan tanaman terhadap perlakuan ke-i ulangan ke-j ยต = rata-rata umum ฯi = taraf perlakuan ฮตij = pengaruh galat perlakuan ke-i ulangan ke-j i = Kontrol, A. flavus, A. tereus, dan T. harzianum j = 1, 2, 3, 4, 5
Hasil Pengamatan dan pengukuran yang dilakukan terhadap bibit A. officinalis selama 12 minggu menunjukkan perbedaan terhadap pertambahan tinggi, diameter, luas daun dan berat kering total. Data pengamatan bibit A. officinalis dapat dilihat pada Tabel 1.. Tabel 1. Data pengamatan bibit A. officinalis selama 12 minggu
1. Tinggi bibit Dari pengukuran yang dilakukan selama 12 minggu, diperoleh data tinggi semai A. officinalis yang dapat dilihat pada Lampiran 1. Semua bibit A. officinalis yang diberi perlakuan aplikasi jenis-jenis fungi menunjukkan pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan kontrol kecuali pada luas permukaan daun. Pertambahan tinggi yang lebih besar terdapat pada bibit A. officinalis dengan perlakuan T. harzianum dengan tinggi rata-rata 26.04 cm sedangkan yang terendah terdapat pada bibit tanpa aplikasi fungi dengan tinggi rata-rata 16.3 cm. Grafik pertambahan tinggi setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Pengukuran tinggi bibit A. officinalis 2. Diameter bibit Pemberian fungi berpengaruh terhadap diameter bibit A. officinalis.Hasil pengukuran diameter dapat dilihat pada Lampiran 4. Diameter tertinggi terdapat pada bibit A. officinalis yang diberi perlakuan aplikasi fungi A. flavus dengan diameter 0,62 cm. Sedangkan diameter terkecil terdapat pada bibit yang tidak diberi perlakuan dengan diameter sebesar 0,56 cm. Sebagian bibit menunjukkan tidak ada perubahan diameter setiap minggunya seperti
Bobot Kering Total
pada bibit tanpa pemberian fungi ulangan dua, dimana pada minggu pertama dan kedua tidak ada pertambahan diameter selain itu pada bibit yang diberi fungi A. terreus juga terjadi hal yang sama yaitu pada ulangan ketiga, bibit tersebut tidak mengalami pertambahan diameter pada minggu kedua dan ketiga. Pertumbuhan semua bibit A. officinalis setiap minggunya, dapat dilihat pada Gambar 4.
3 2 1 0 Kontrol
T. harzianum
A. flavus
A. terreus
Perlakuan
Gambar 6. Bobot kering total bibitA. officinalis Perbedaan secara keseluruhan pada pengamatan bibit A. officinalis yang terjadi pada setiap perlakuan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 4. Pengukuran diameter bibit A. offiicinalis
Luas Daun (cm2)
3. Luas daun Luas daun dihitung pada akhir pengamatan untuk setiap perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 6. Aplikasi fungi menunjukkan perbedaan luas permukaan daun pada masing-masing perlakuan. Luas permukaan daun tertinggi terdapat pada bibit A.officinalis dengan perlakuan A. flavus sebesar 66238,6 cm2, sedangkan yang terendah terdapat pada Kontrol dengan luas permukaan daun sebesar 40335cm2. Perbedaan luas permukaan daun pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 5.
a
b
c
d
e
f
70000 60000 50000 40000 30000 20000 10000 0 Kontrol
A. flavus
A. terreus
T. harzianum
Perlakuan
Gambar 5. Luas daun bibit A. officinalis 4. Bobot Kering Total Setelah data tinggi dan diameter selanjutnya, dihitung bobot kering total bibit A. officinalis seperti yang tercantum pada Lampiran 9. Bobot kering total merupakan hasil penjumlahan dari bobot kering tajuk dan bobot kering akar. Bobot kering tertinggi terdapat pada bibit dengan perlakuan A. flavus sebesar 2,822 g dan yang terendah terdapat pada kontrol yaitu sebesar 1,53 g. Perbedaan berat kering total pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 7. Bibit A. officinalis sebelum aplikasi (a), sesudah aplikasi (b), A. flavus (c), T. harzianum (d), A. terreus (e) dan Kontrol (f) Pembahasan Hasil pengamatan terhadap bibit A. officinalis untuk semua parameter menunjukkan bahwa fungi memiliki peran yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman baik tinggi bibit, diameter bibit, luas daun serta bobot kering total bibit.
1. Tinggi bibit Berdasarkan hasil pengamatan tinggi tanaman yang dilakukan, aplikasi fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman (Lampiran 2).Setelah uji sidik ragam tersebut maka dilakukan Uji Lanjutan BNT pada taraf 5%, pengaruh aplikasi fungi dengan perlakuan T. harzianum tidak berbeda nyata dengan perlakuan A. terreus (Lampiran 3). Tinggi bibit tanamaan A. officinalis yang paling baik diantara beberapa perlakuan aplikasi fungi adalah tanaman dengan perlakuan T. harzianum sebesar 26.04 cm dan pertumbuhan tinggi tanaman yang paling rendah adalah tanpa perlakuan atau kontrol. Hal ini disebabkan oleh Trichoderma harzianum berperan sebagai fungi antagonis terhadap pathogen, juga berperan dalam meningkatkan pertumbuhan tanaman melalui produksi auksin dan proses dekomposisi bahan organik. Spesies Trichoderma disamping sebagai organisme pengurai, dapat pula berfungsi sebagai agen hayati dan stimulator pertumbuhan tanaman. Mengingat peran T. harzianum yang sangat besar dalam menjaga kesuburan tanah dan menekan populasi jamur patogen, sehingga T. harzianum memiliki potensi sebagai kompos aktif juga sebagai agen pengendali organisme patogen karena mampu menyediaakan unsur hara makro dan mikro yang dibutuhkan oleh tanaman untuk pertumbuhannya. Penelitian Suwahyono (2004) juga menyatakan bahwa pemberian T. harzianum mampu meningkatkan jumlah akar dan daun menjadi lebar, serta aplikasi T. harzianum pada tanaman alpukat yang terserang penyakit setelah beberapa minggu muncul pucuk daun yang baru. 2. Diameter batang Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan di lapangan, rata-rata pertumbuhan diameter tertinggi terdapat pada fungi A. flavus dengan diameter rata-rata 0,62 cm dan pertumbuhan diameter terendah terdapat pada tanaman kontrol dengan diameter rata-rata 0,56 cm. Pada hasil analisis sidik ragam pemberianfungi berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter bibit A. officinalis (Lampiran 5). Hal ini dipengaruhi oleh umur bibit yang cenderung masih muda sehingga pertumbuhan diameternya tidak begitu besar. Pada pengamatan yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pemberian fungi tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan diameter batang bibit A. officinalis namun, jika dibandingkan dengan bibit tanpa perlakuan, bibit yang diberi fungi memiliki pertumbuhan diameter batang yang lebih tinggi terutama bibit yang diberi fungi A. flavus karena fungi A. flavus tersebut mampu menyediakan unsur hara P bagi tanaman.
3. Luas daun Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, luas daun paling tinggi adalah pada tanaman dengan perlakuan A. flavus. Hal ini dikarenakan oleh kemampuan fungi A. flavus dalam menyediakan unsur hara terutama unsur hara P yang dibutuhkan bibit dalam pertumbuhannya . Hal ini sesuai dengan pernyataan Arshad (1993) yang menyatakan bahwa Aspergillus mempunyai kemampuan dalam melarutkan fosfat terikat dibandingkan dengan bakteri sehingga mampu menyediakan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk pertumbuhannya dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman tersebut (Goenadi dkk, 1995). Dari hasil analisis sidik ragam diperoleh bahwa perlakuan pemberian fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap luas permukaan daun bibit A. officinalis (Lampiran 7). Dan setelah dilakukan Uji Lanjutan BNT dengan taraf 5% terhadap luas daun, pemberian fungi A. flavus, A. terreus dan T. harzianum berbeda nyata terhadap kontrol (Lampiran 8). Aplikasi fungi berbeda secara signifikan dengan kontrol, dimana pada pengamatan luas daun ini, luas daun yang terkecil pada bibit Kontrol. Perbedaan ini disebabkan oleh kemampuan fungi dalam menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh bibit A. officinalis sehingga dapat meningkatkan luas daun bibit A. officinalis serta kondisi lingkungan atau suhu yang mendukung pertumbuhan A. flavus untuk berkembang secara optimal yaitu sekitar 26-270C (Lampiran 12). Hal ini sesuai dengan pernyataan Lestari (2012) yang menyatakan bahwa A. flavus dapat tumbuh pada suhu 12-480C dan akan tumbuh optimal pada suhu 270C. Jika dibandingkan kondisi daun yang diberikan perlakuan fungi dan tanpa perlakuan atau kontrol akan terdapat perbedaan yang sangat signifikan dimana daun pada kontrol mengalami perubahan warna menjadi kekuning-kuningan dan terdapat bercak-bercak coklat, hal ini disebabkan karena adanya kandungan logam berat berupa Cu dan Pb (Lampiran 13). Pada daun bibit A. officinalis yang diberi perlakuan fungi, logam berat tersebut kurang berpengaruh terhadap kondisi daun yang ada karena fungi-fungi tersebut mampu menetralisir kandungan logam berat. 4. Bobot kering total Hasil perhitungan untuk bobot kering total menunjukkan bahwa penggunaan jenis fungi memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot kering total tanaman (Lampiran 10). Bobot kering total yang paling tinggi adalah pada bibit dengan perlakuan A. flavus. Dan setelah dilakukan Uji Lanjutan BNT dengan taraf 5% terhadap bobot kering total bibit A. officinalis dengan perlakuan A.
flavus tidak berbeda nyata dengan A. terreus (Lampiran 11). Bobot kering menunjukkan kemampuan tanaman dalam menyerap bahan organik yang digunakan untuk proses pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan dan perkembangan tanaman memerlukan unsur hara dan air, penyerapan air dan hara yang baik dipengaruhi oleh pertumbuhan akar. Pemberian fungi terhadap tanaman memberikan pertumbuhan akar yang lebih baik sehingga proses penyerapan hara dan air dapat berjalan dengan baik. Bobot kering total merupakan hasil pertumbuhan tanaman secara keseluruhan termasuk menunjukkan kemampuan tanaman dalam menyerap bahan organik. Unsur-unsur hara dan air yang diserap dari tanah berhubungan secara langsung dengan akar tanaman, sehingga dengan penambahan fungi penyerapan unsur hara menjadi lebih baik dan hasilnya meningkatkan pertumbuhan tanaman yang ditunjukkan oleh bobot kering total. Aktivitas Aspergillus sp. mampu mengubah P tidak tersedia menjadi tersedia dimana unsur hara P tersebut merupakan unsur hara paling penting dalam pertumbuhan akar tanaman. Apabila akar tanaman bertumbuh dengan baik maka kandungan unsur hara yang diserap oleh tanaman akan semakin banyak, dengan daya serap akar yang baik terhadap unsur hara maka bobot kering total tanaman akan semakin tinggi karena seperti yang telah diketahui bahwa bobot kering total merupakan kemampuan tanaman dalam menyerap unsur hara yang diperoleh dari hasil penjumlahan bobot kering akar dan bobot kering tajuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Gultom (2008) yang menyatakan bahwa pemberian unsur P berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman, terutama dalam perkembangan akar tanaman.Semakin banyak perakaran tanaman maka semakin luas akar tanaman dapat menyerap unsur hara sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman. Thaher (2013) juga mengatakan bahwa fungi Aspergillus sp yang diaplikasikan ke bibit R. mucronata menunjukkan pengaruh yang sangat signifikan terhadap bobot kering serasah daun R. mucronata. Fungi Aspergillus sp merupakan salah satu fungi yang mampu hidup pada daerah yang ekstrim sesuai dengan pernyataan Effendi (1999). Fungi ini diketahui mampu bertahan dalam keadaan lingkungan yang tidak menguntungkan dari pada mikroorganisme lain.
Tabel 2. Korelasi antar perlakuan
Korelasi Parameter Pertumbuhan Selain beberapa parameter pertumbuhan bibit yang diamati, hasil antar parameter menunjukkan korelasi yang saling berhubungan sehingga dapat diketahui keterkatitan nilai antar parameter seperti pada Tabel 2.
2.
Keterangan: 0.00-0.199
: Sangat rendah 0.20-0.399 : Rendah 0.40-0.599 : Cukup 0.60-0.799 : Kuat 0.80-1.000 : Sangat kuat
Berdasarkan data Tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa setiap pertumbuhan tinggi memberikan korelasi positif yang rendah terhadap pertumbuhan diameter. Setiap pertambahan tinggi memberikan korelasi positif yang rendah terdahap terhadap luas daun. Pada pertambahan tinggi memberikan korelasi positif yang rendah juga terhadap bobot kering total. Diameter memberikan korelasi positif yang rendah terhadap luas daun dan korelasi diameter dengan bobot kering juga memberikan korelasi positif yang rendah. Namun, luas daun berkolerasi positif yang cukup terhadap bobot kering total. Perbandingan KemampuanFungi Kemampuan setiap fungi dalam meningkatkan pertumbuhan A. officinalis berbedabeda pada setiap parameter, penetuan perbandingan kemampuan fungi tersebut ditentukan dengan metode scoring sehingga dapat ditentukan persentase dari setiap fungi tersebut (Lampiran 14). Fungi A. flavus memiliki persentase paling tinggi dalam mendukung pertumbuhan bibit A. officinalis sebesar 83.33 %, fungi T. harzianum sebesar 66,66 %, dan fungi A. terreus memberikan persentase yang paling rendah dalam mendukung pertumbuhan bibit tersebut sebesar 50 %. Dari parameter pengamatan diketahui bahwa A. flavus mendominasi dalam memberikan pengaruh yang terbaik dibandingkan dengan jenis fungi lain serta kontrol. Jika dilihat pada parameter Diameter dan Luas Daun, A. flavus dan T. harzianum tidak berbeda nyata. Namun perbedaan hasil perbandingan ini terjadi karena faktor suhu yang lebih mendukung pertumbuhan optimal fungi A. flavus dibanding fungi T. harzianum sehingga persentase yang diperoleh oleh A. flavus lebih tinggi.
KESIMPULAN 1.
Aplikasi fungi mampu mempercepat pertumbuhan A. officinalis. Kemampuan setiap fungi berbeda-beda yaitu fungi T. harzianum mampu meningkatkan pertumbuhan tinggi bibit sedangkan fungi A. flavus mampu meningkatkan pertumbuhan diameter, luas daun dan bobot kering total.
satellite data. Global Biogeography 20:154โ159.
DAFTAR PUSTAKA Arief, A. 2003. Hutan Mangrove: Fungsi Dan Manfaatnya, Penerbit Kanius. Yogyakarta. Arshad, M and W.T Frankenberger. 1993. Microbial Production of Plant Growth Regulators. In F.B. Metind (ed.) Soil Microbial Ecology. Marcel Dekker, Inc. NewYork. Basel. Hongkong p.307 - 347. Baker, R., Y. Elad and I. Chet. 1984. The Controlled Experiment in The Scientific Method With Special Emphasis on Biological Control. Phytopathology. 74: 1019-1021. Bustaman, H. 2006. Seleksi Mikroba Rhizosfer Antagonis Terhadap Bakteri Ralstolnia solanacearum Penyebab Bakteri Layu Bakteri pada Tanaman Jahe di Lahan Tertindas. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 8(1) : 12-18. Chang, Y.C., R. Baker, O. Kleifeld and I. Chet. 1986. Increased Growth of Plants in Presence of The Biological Control Agent Trichoderma harzianum. Plant Dis. 70:145-148. Chet, I., Y. Hadar, J. Katan and Y. Henis. 1979. Biological Control of Soil-Brone Plant Pathogens by Trichoderma harzianum. In Soil-Borne Plant Pathogens. Eds. B. Erida Nurahmi et al. (2012) J. Floratek 7: 57 - 65 Schippers and W. Gams. pp. 585-592. Academic Press, London. Dahuri, R. 2002. Pengolahan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Laut Secara Terpadu. Sinar Geofisika. Jakarta.
Ecology
and
Goenadi, D.H., R. Saraswati, N.N. Naganro, dan J.A.S. Adiningsih. 1995. Nutrient solu-bilizing and aggregate-stabilizingmicrobes isolated from selected humic tropical soil. Menara perkebunan 63(2): 60-66. Gultom, J.M. 2008. Pengaruh Pemberian Beberapa Jamur Antagonis dengan berbagai Tingkat Konsentrasi Untuk Menekan Pertumbuhan Jamur Phytium sp. Penyebab Rebah Kecambah Pada Tanaman Tembakau (Nicotiana tabaccum L). Gunarto. 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai. Jurnal Litbang Pertanian. Jakarta. Handajani, N.S. dan T. Purwoko. 2008. Aktivitas ekstrak rimpang lengkuas (Alpinia galanga) terhadap pertumbuhan jamur Aspergillus spp. penghasil aflatoksin dan Fusarium moniliforme. BIODIVERSITAS. 9(5): 161-164. Howard, R.L., E. Abotsi, J.V. Rensburg, and Howards. 2003. Lignocellulose biotechnology: issues of bioconversion and enzyme production. African Journal of Biotechnology 2: 602-619. Hutagalung, H.P. 1991. Pencemaran Laut Oleh Logam Berat. Puslitbang Oseanologi. Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. LIPI. Jakarta.
Fekete. 2009. Conidia of Aspergillus flavus mold . http://enfo.agt.bme.hu/drupal/node/2780, diakses pada tanggal 29 November 2014.
M. 2007. Isolation and identification mouldmicoflora inhabiting plant leaf litter from Mount Lawu, Surakarta, Central Java. Biodiversitas, Vol. 8, No.2. ISSN: 1412-033X. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong.
Effendi, I. 1999. Pengantar Mikrobiologi Laut. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Riau. Pekan Baru.
Irwanto. 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya. http//:www.irwantoshut.com. [09 Oktober 2014].
Gandjar, I., R. A Samson, Karin van den TweelVermeulendan A. Oetari. 1999. Pengenalan Kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Khazali, M. 1999. Panduan Teknis: Penanaman Mangrove bersama Masyarakat. Wetlands International โ Indonesia Programme, Bogor.
Giri, C., E. Ochieng, L. L. Tieszen, Z. Zhu, A. Singh, T. Loveland, J. Masek dan N. Duke. 2011. Status and distribution of mangrove forests of the world using earth observation
Ilyas,
Kumar, M.S., H.M. Sarnaik, and A.K. Sadhukhan. 2000. A rapid technique for screening of lovastatin-producing strain of Aspergillusterreus by agar plug and Neurosporacrassa bioassay. Journal of microbiological methods. 1(1) 21-25.
Lestari, 2012. Pengaruh Konsentrasi Natrium Nitrat Terhadap Kemampuan Anti- Candida albicans dari Aspergillus flavus Uicc 360. [SKRIPSI]. Fakultas Matematika Dan Ilmu Pengetahuan Alam. Departemen Biologi. Depok. Notohadiprawiro, 2006. Tanah dan Lingkungan. Kursus AMDAL PPLH UGM.Yogyakarta. Odum, E. P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Alih Bahasa. Cahyono, S. FMIPA IPB. Gadjah Mada University Press. 625p. Rusila, Y., Th. Siburian and Rudyanto. 1993. Milky Stork Banding at Pulau Rambut. West Java. Indonesia. SIS Newsletter Vol. 6 No. 12. Saenger, P., E.J. Hegerl and J.D.S. Davie. 1983. Global Status of Mangrove Ecosystems.IUCN Commission on Ecology Papers No. 3, 88 hal. Sasekumar, A., M.U. Leh, V.C. Chong, R. DโCruz and M.L. Audrey. 1989. The Sungai Pulai (Johor): A Unique Mangrove Estuary. Prosiding Seminar Tahunan ke-12 the Malaysian Society of Marine Sciences. Hal. 191-211. Soerianegara, I. 1987. Masalah Penentuan Batas Lebar Jalur Hijau Hutan Mangrove. Prosiding Seminar III Ekosistem Mangrove. Jakarta. Hal 39.
Sunarso, S. 2005. Hukum Pidana Lingkungan Hidup, Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Suwahyono, U. dan P. Wahyudi. 2004. Penggunaan Biofungisida pada Usaha Perkebunan. Diakses dari http://www.iptek. net.id. [20 Desember 2014]. Tindaon, H. 2008. Pengaruh Jamur Antagonis Trichoderma harzianum Dan Pupuk Organik Untuk Mengendalikan Patogen Tular Tanah Sclerotium rolfsii Sacc. Pada Tanaman Kedelai (Glycine max L.) di Rumah Kasa. Skripsi. Departemen Hama Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Medan. Thaher, E. 2013. Laju Dekomposisi Serasah Rhizophora mucronata dengan Aplikasi Fungi Aspergillus sp. Pada Berbagai Tingkat Salinitas. Skripsi. USU. Medan. Tomlinson, P.B. 1986. The Botany of Mangroves. Cambridge University Press,Cambridge, U.K., 419 hal. Widyastuti, S.M., Sumardi, dan Supriyanto. 1999. Pemanfaatan biofungisida, Trichoderma sp. untuk mempercepat penguraian serasah Acacia mangium. Mediagama 1 (1): 13-20.