UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL AFLATOKSIN
SKRIPSI
NICHO AFIANDI F24061661
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
POTENTIAL TEST OF Aspergillus flavus LOCAL STRAIN AS AFLATOXIN PRODUCER Nicho Afiandi1, Hanifah Nuryani Lioe1, Romsyah Maryam2 1
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, P.O. Box 220, Bogor 16002, West Java, Indonesia 2 Balai Besar Penelitian Veteriner, P.O. Box 151, Bogor 16114, West Java, Indonesia Phone 62 877 2017 4874, e-mail:
[email protected]
ABSTRACT Aflatoxin is found in food and livestock feed in Indonesia. Aflatoxin is toxigenic, mutagenic, teratogenic, carcinogenic, and immunosuppresive compound. Hazardous potential of aflatoxin demands the avaibility of aflatoxin standard for analysis. Pure 55 strains of Aspergillus flavus were screened with ELISA to evaluate the potential yield of aflatoxin. Result of screening suggested that isolate S.26 contained the highest AFB1 (1212,3 ppb). This isolate was chosen for aflatoxin production on PDB (Potato Dextrose Broth) media and GAN (glucose ammonium nitrate) media with five replications. A. flavus from JCM was also grown in the same media under the same condition as the reference isolate to produce aflatoxins. TLC analysis results suggested that both A. flavus cultures from S.26 and JCM isolates grown on GAN showed no ability to produce aflatoxin while those grown on PDB could produce aflatoxin. Aflatoxin analysis of the A. flavus culture of S.26 isolate grown on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the ninth until twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 200-500 ppb and the average of 310 ppb (n=5). Analysis of A. flavus culture of JCM isolate on PDB by TLC suggested that the highest aflatoxin production was reached at the twelfth day with a range of aflatoxin concentrations 150-400 ppb and the average of 240 ppb. HPLC analysis of A. flavus culture of S.26 isolate had the highest amount of aflatoxin of 935,8 ppb at the ninth day while A. flavus culture of JCM isolate had the highest aflatoxin production of 847,7 ppb at the twelfth day. A. flavus of local isolate (S.26) has higher potential in producing aflatoxins on PDB media compared to A. flavus of reference isolate (JCM). Production of alfatoxin might be affected by variations in nitrate source, initial pH, medium composition, and chain of serial transfers during preparation and analysis. The aflatoxin produced by A. flavus of local isolate in PDB media could be the candidate of aflatoxin standards which are essential for the analysis of aflatoxins by means of purification on column chromatography.
Keywords:aflatoxin, Aspergillus flavus, HPLC, TLC, ELISA
NICHO AFIANDI. F24061661. Uji Potensi Isolat lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin. Di bawahbimbinganHanifah Nuryani Lioe dan Romsyah Maryam. 2011.
RINGKASAN
Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan yang berasal dari produk pertanian di Indonesia. Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan.Aflatoksin merupakan senyawa toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan bersifat immunosuppresif.Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana, termasuk penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah menguji potensi isolat lokal Aspergillus flavusdalam menghasilkan aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan dalam analisis aflatoksin. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan di berbagai laboratorium di Indonesia dalam melakukan analisis cemaran aflatoksin termasuk identifikasi dan kuantifikasi. Secara umum,penelitian ini terbagi atas tiga tahap. Tahap pertama berupa seleksi kemampuan isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin menggunakan teknik ELISA. Tahap kedua berupa pembiakanisolatlokalA. flavusterpilih padamediaPDB (Potato Dextrose Broth) dan media GAN (glucose ammonium nitrate) termodifikasi. Tahap terakhir berupa analisis kandungan aflatoksin dalambiakanmenggunakan TLC (Thin Layer Chromatography) dan dikonfirmasi menggunakan HPLC (High Performance Liquid Chromatography). Tahapseleksimenunjukkan bahwa dari 10 isolatlokal A. flavusyang terdiri atas 55 sampel yang diuji, isolat S.26 merupakan isolat Aspergillus flavus yang paling banyak memproduksi aflatoksin, terutama AFB1 sebesar 1212,3 ppb. Isolat tersebut kemudian dibiakkan dalam media PDB dan media GAN setelah disegarkanpada media agar miring SDA (Sucrose Dextrose Agar). Tahappembiakan dilakukan selama tiga minggu dan dilakukan sampling pada interval waktu yang telah ditentukan. Pembiakan dilakukan menggunakan kontrol positif isolat Aspergillus flavus JCM. Tahapan analisis sampel dilakukan menggunakan TLC dan HPLC setelah sampel sebelumnya diekstrak menggunakan kloroform. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa sampel S.26 dan JCM yang dibiakkan dalam media GAN termodifikasi tidak menghasilkan aflatoksin. Sementara itu, hasil analisis TLCkedua isolatyang dibiakkan dalam media PDB secara konstan menghasilkan aflatoksin pada tiap ulangan (n=5). Beberapa faktor yang diduga mempengaruhi perbedaan kemampuan produksi aflatoksin darikedua isolat tersebutdalam media PDB dan GAN antara lainadanyaperbedaan komposisi medium, pH awal dan sumber nitrat. Hasil analisis TLC untuk isolat S.26 dari media PDB menunjukkan produksi aflatoksin tertinggi pada hari 9-12 dengan kisaran konsentrasi 200-500 ppb dan rataan aflatoksin sebesar 310 ppb.Sementara itu, produksi aflatoksin tertinggi oleh isolat JCM pada media PDB terlihat pada hari ke-12 dengan kisaran konsentrasi yang lebih rendah yaitu150-400 ppb dan rataan sebesar 240 ppb. Aflatoksindari sampelbiakanA. flavusdalammedia PDB selanjutnyadikonfirmasimenggunakan HPLC setelah diderivatisasi menggunakanasamtrifluoroasetat (TFA). Hasil analisis HPLC menunjukkan bahwa produksiaflatoksinolehisolat S.26 yang optimum terjadipadahari ke-9 dengankonsentrasisebesar 935,8
ppb. Sementara itu produksi aflatoksinolehisolat JCM yang optimum terjadipadahari ke-12 dengankonsentrasisebesar 847,7 ppb. Penurunan produksi aflatoksin yang optimum dibandingkan hasil uji ELISA disebabkan oleh adanya pengaruh dari faktor kesalahan positif yang dapat terjadi dalam uji ELISA. Berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi antara lainpenyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan.
UJI POTENSI ISOLAT LOKAL Aspergillus flavus SEBAGAI PENGHASIL AFLATOKSIN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh NICHO AFIANDI F 24061661
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Judul Skripsi
: Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin
Nama
: Nicho Afiandi
NIM
: F24061661
Menyetujui,
Pembimbing I,
Pembimbing II,
(Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si) NIP 19680809 199702.2.001
(Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.MedSc) NIP 19640618 198503.2.001
Mengetahui : Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc) NIP: 19650814 199002.1.001
Tanggal Lulus :
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 1 Juni 2011 Yang membuat pernyataan
Nicho Afiandi F 24061661
© Hak cipta milik Nicho Afiandi, tahun 2011 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor dan Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
RIWAYAT HIDUP
Nicho Afiandi dilahirkan di Pematang Siantar, 20Mei 1988. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Yohanes Sugandi dan Erliana Purba. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SDN Sukamanah, Cianjur, kemudian melanjutkan pendidikan menengah pertama di SLTPN 1 Cianjur, Cianjur, Jawa Barat hingga tahun 2003. Penulis menamatkan pendidikan menengah atas di SMAN 1 Cianjur, Cianjur pada tahun 2006 dan pada tahun yang samaditerima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Penulis memilih Program Studi Major Teknologi Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian.Selama menjalani studi di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai kegiatan dan organisasi kemahasiswaan, diantaranya menjadi pengurus FPC (Food Processing Club) sebagai Ketua Divisiice cream serta aktif di berbagai kepanitiaan, seperti anggota divisi logistik dan transportasi “Pelatihan dan Seminar HACCP VI” tahun 2008, anggota Komisi Disiplin “Masa Perkenalan Departeman ITP (BAUR)” tahun 2008, koordinator divisi logistik dan transportasi “Pelatihan dan Seminar HACCP VII dan ISO 22000:2005” tahun 2009, dan wakil koordinator divisi logistik dan transportasi “IFOODEX (Indonesian Food Expo)” tahun 2010. Penulis juga mendapat hibah Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2007 yang diselenggarakan oleh DIKTI. Pada tahun 2010 penulis terpilih sebagai penerima beasiswa unggulan DIKTI untuk mengikuti MIT (Malaysia-Indonesia-Thailand) Student Mobility Program di Universiti Teknologi Mara (UiTM) Malaysia. Penulis juga mengikuti ICAAI (International Conference on Agriculture and Agro-Industry) di Mae Fah Luang University, Thailand, sebagai presentator poster yang berjudul “Review of Effervescent Powder from Mangosteen Pericarp which is Rich in Xanthones as Potential Functional Food” pada tahun 2010. Penulis melakukan magang penelitian sebagai tugas akhir di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor dengan judul “Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus sebagai Penghasil Aflatoksin” di bawah bimbingan Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si dan Dr. Dra. Romsyah Maryam, M.MedSc.
i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadiratAllah Bapa yang Maha Kuasa atas tuntunan dan berkat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi yang berjudul “Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Sebagai Penghasil Aflatoksin” ini disusun berdasarkan magang penelitian yang dilakukan di Laboratorium Mikologi dan Laboratorium Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor. Selama kegiatan perkuliahan, magang penelitian, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Keluarga terkasih : Yohanes Sugandi dan Erliana Purba selaku orang tua, Niche Evandani dan Nichi Firani, atas dukungan semangat, doa, nasihat, saran, serta dukungan moril maupun materi kepada penulis. 2. Ibu Dr. Ir. Hanifah Nuryani Lioe, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang selalu menyediakan waktu dan kesabaran di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan saran, arahan, masukan, motivasi dan bimbingan kepada penulis. 3. Ibu Dr. Ir. Romsyah Maryam, M.Med.Sc atas kesediaannya menjadi dosen pembimbing akademik kedua dan memberikan dana serta kesempatan kepada penulis untuk melakukan magang penelitian di Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor, juga atas kesediaannya menyediakan waktu dan kesabaran di tengah-tengah kesibukannya untuk memberikan saran, masukan, dan bimbingan kepada penulis. 4. Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum atas waktu dan kesediannya sebagai dosen penguji pada sidang skripsi penulis serta masukan dan saran yang diberikan demi perbaikan skripsi ini. 5. Segenap dosen pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas ilmu, bimbingan, dan nasehat yang diberikan kepada penulis. 6. Ibu Enny, Pak Rahmat, dan segenap teknisi dan staf pada bagian Mikologi dan Toksikologi Balai Besar Penelitian Veteriner (Balitvet) Bogor yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas ilmu, bantuan, bimbingan, dan masukan selama penulis melakukan magang penelitian dan penyusunan skripsi. 7. Sahabat-sahabat “Alumnus Kantin PAU”:R. Dhimas Satrio Utomo, Yohanes Zega, dan Anis Zamaluddin atas kesediaannya untuk berbagi semangat, pikiran, mimpi dan inspirasi demi masa depan cemerlang. 8. Sahabat satu bimbingan: Manikharda dan Siti Sri Utami atas kebersamaan selama berbagi suka dan cita selama awal proses bimbingan sampai sekarang. 9. Sahabat “Cempaka 17”: Hendriyanto Halim, Willy Supandi, Hutomo Pramudyanto, Jun Holland Simamora, dan Afdi Pratama atas semangat, bantuan, dukungan, maupun halangan dan hambatan yang diberikan selama penulis melakukan magang penelitian dan penyusunan skripsi. 10. Sahabat-sahabat terdekat yang membuat hari-hari penuh tawa dan semangat: Riza Khamal Shadiq, Arius Wiratama, Wonojatun, Erick, dan Abdi Tunggal Cahyo. Salam sukses untuk semuanya.
ii
11. Sahabat-sahabat terbaik yang saling memberikan dukungan dan semangat selama penyusunan skripsi: Dion Sugianto, Sandra Mariska, Roni Septiawan, dan Yogi Karsono. Terima kasih atas kebersamaan dan dukungan kalian disaat suka maupun duka. 12. Keluarga besar ITP 43 yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu atas kebersamaan dan kekeluargaan yang membuat hari-hari penulis menjadi penuh kesan dan tidak terlupakan. Salam sukses untuk semuanya 13. Para staf PITP dan LSI, yang selalu melayani penulis dengan senang hati mencari skripsi, buku, artikel, jurnal dan fotokopi semua bahan-bahan tersebut untuk kepentingan penulisan skripsi ini. 14. Para StafUPT ITP dan IPN: Bu Novi, Mbak Ani, Bu Kokom, Bu Sofi, Mbak Darsi dan Bu Mar, serta para staf Rektorat. Terima kasih atas kesediaan, kesabaran, dan kesigapannya dalam membantu penulis untuk menyelesaikan masalah administrasi. Penulis menyakini masih banyak pihak-pihak yang belum disebutkan di atas, kepada semuanya penulis menyampaikan terima kasih banyak atas segala bantuan yang telah diberikan selama ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih memiliki banyak kekurangan sehingga penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari berbagai pihak untuk memperbaiki dan menyempurnakan penulisan skripsi ini. Penulis juga berharap semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak.
Bogor, Juni 2011
Nicho Afiandi
iii
DAFTAR ISI Halaman RIWAYAT HIDUP ....................................................................................................................... .i KATA PENGANTAR .................................................................................................................. .ii DAFTAR ISI .............................................................................................................................. . iv DAFTAR TABEL ...................................................................................................................... .vi DAFTAR GAMBAR .....................................................................................................................vii DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................................................. ...viii I.
PENDAHULUAN ................................................................................................................ 1 A. LatarBelakang................................................................................................................ 1 B. TujuanPenelitian ............................................................................................................ 2
II.
TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................................................... 3 A. Aspergillus flavus .......................................................................................................... 3 B. Aflatoksin ...................................................................................................................... 6 C. Kultivasi Kapang pada Medium Cair ........................................................................... 15 D. Analisis Aflatoksin ........................................................................................................ 17 a.
ELISA ............................................................................................................. 17
b.
TLC ................................................................................................................. 19
c.
HPLC..............................................................................................................19
III. BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN .................................................................. 22 A. Bahan dan Alat .............................................................................................................. 22 B. MetodePenelitian ........................................................................................................... 22 1.
Seleksi Isolat Lokal Aspergillus sp yang Berpotensi Memproduksi Aflatoksin .. 22
2.
Evaluasi Produksi Aflatoksin pada Dua Medium Cair ......................................... 23 a.
Penyegaran Isolat Sampel Hasil Seleksi ........................................................ 23
b.
Evaluasi Pertumbuhan Isolat dalam Media Cair dan Produksi Aflatoksin ... 23
C. Analisis .......................................................................................................................... 25 1.
2.
Seleksi Isolat LokalMenggunakan KIT ELISA Aflatoksin Produksi BBalivet .. 25 a.
Preparasi Ekstrak Sampel ............................................................................... 25
b.
Preparasi Konjugat Encer ............................................................................... 25
c.
Preparasi Larutan Substrat .............................................................................. 25
d.
Analisis Aflatoksin B1 dengan KIT ELISA .................................................. 25 1.
Tahap Pencampuran dalam Microplate ........................................... 25
2.
Tahap Reaksi .................................................................................... 26
3.
Tahap Pembacaan dan Perhitungan ................................................. 27
AnalisisProduksi Aflatoksin .................................................................................. 27 a.
Sampling ......................................................................................................... 27
iv
b.
Ekstraksi Aflatoksin........................................................................................ 27
c.
Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC ........................................................ 27
d.
1.
Tahap Persiapan ............................................................................... 27
2.
Tahap Identifikasi ............................................................................ 27
3.
Tahap Pengamatan ........................................................................... 28
4.
Perhitungan....................................................................................... 28
Konfirmasi Hasil Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC ....................... 28 1.
Tahap Derivatisasi............................................................................ 28
2.
Tahap Analisis .................................................................................. 29
3.
Tahap Perhitungan ........................................................................... 29
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................................................ 30 A. Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan ELISA ...................... 30 B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC ............................................................. 32 C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC ...................................... 36 V.
KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................................................ 43 A. Kesimpulan .................................................................................................................... 43 B. Saran .............................................................................................................................. 43
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 44 LAMPIRAN .................................................................................................................................. 50
v
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Karakteristik berbagai jenis aflatoksin .................................................................................. 6 Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkan .......................................................... 11 Tabel 3. Konsentrasi maksimum aflatoksin untuk berbagai penggunaan......................................... 12 Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan .... 13 Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang .................... 13 Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari beras .......................... 14 Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YES ......................................... 16 Tabel 8.Produksi aflatoksin B pada medium GAN ........................................................................... 16 Tabel 9. Kadar aflatoksin dalam sampel berdasarkan analisis menggunakan ELISA kit ................ 31 Tabel 10.Hasil uji TLC kadar aflatoksin sampel pada media PDB..................................................33 Tabel 11. Hasil uji HPLC kadar aflatoksin sampel ulangan 2 pada media PDB...............................38
vi
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar ....................................................... 3 Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus ............................................................... 4 Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus......................................................... 5 Gambar 4. Skema produksi aflatoksin ............................................................................................... 7 Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterimagtosistin ............................................................. 8 Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin ...................................................................... 9 Gambar 7. Format ELISA kompetitif langsung...............................................................................18 Gambar 8. Skema kerja alat HPLC..................................................................................................20 Gambar 9. Ilustrasi percobaan dengan menggunakan isolat S.26 (s) dari dua media berbeda (PDB dan GAN) dalam lima ulangan dengan kontrol negatif (-) yakni media yang tidak diinokulasi dan kontrol positif (+) berupa media yang diinokulasi isolat JCM .. 24 Gambar 10 Interval sampling yang dilakukan (S1-S10) dari total 21 hari inkubasi (H0-21) ......... 24 Gambar 11. Ilustrasi pada antibody-coated microplates ................................................................... 26 Gambar 12. Tampilan kurva kalibrasi analisis untuk sampel S.3 (A) 6/8/09, S.5 (D) 29/7/09, S.26 (C) 31/7/09, dan F-0213 (B) 13/9/09 berdasarkan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dengan ELISA kit Aflavet ...................................... 30 Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi........................................... 34 Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB .................................................................. 34 Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb ...................................................................................................................... 37 Gambar 16. Kromatogram sampel ulangan ke-2 S.26 PDB H9 (AFB1=13 ppb) ............................ 37 Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB (pH=4,00 dan suhu inkubasi 25°C) dengan interval h7-h21 ................................................................. 39 Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium ................................... 41
vii
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Tabel hasil seleksi ELISA .................................................................................................. 51 Lampiran 2. Gambar microplate yang digunakan dalam uji ELISA ..................................................... 53 Lampiran 3. Microplate spectrophotometer yang digunakan dalam uji ELISA ................................... 53 Lampiran 4. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media GAN termodifikasi .............................................. 54 Lampiran 5. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media PDB ..................................................................... 55 Lampiran 6. Pertumbuhan isolat JCMdalam media GAN termodifikasi .............................................. 56 Lampiran 7. Pertumbuhan isolat JCM dalam PDB ............................................................................... 57 Lampiran 8. Tabel hasil analisis dengan TLC pada media PDB ............................................................ 58 Lampiran 9. Gambar peralatan TLC yang digunakan ............................................................................ 59 Lampiran 10. Gambar alat UV-reader dalam analisis TLC .................................................................... 59 Lampiran 11. Tabel hasil analisis HPLC pada media PDB .................................................................... 60 Lampiran 12. Gambar kromatogram standar dalam analisis HPLC ...................................................... 61 Lampiran 13. Gambar kromatogram sampel dalam analisis HPLC ....................................................... 62 Lampiran 14. Sonikator yang digunakan dalam persiapan fase gerak HPLC ........................................ 63 Lampiran 15. Instrumen HPLC yang digunakan dalam analisis HPLC ................................................. 63
viii
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Keamanan pangan merupakan salah satu isu kesehatan masyarakat yang semakin penting seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya mengkonsumsi pangan yang aman. Hak untuk mendapatkan pangan yang aman merupakan salah satu hak asasi manusia. Meskipun demikian, sampai dengan saat ini masalah keamanan pangan masih belum bisa teratasi dengan baik. Salah satu penyebab pangan menjadi tidak aman ialah adanya kontaminasi mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang. Kesadaran penduduk dunia akan keamanan pangan dapat dilihat dengan diterapkannya standar mutu produk internasional ISO 9000, standar mutu lingkungan ISO 14000, dan ekolabel sebagai instrumen pengendali nonlegal dalam interaksi pasar (Kasno, 2004). Beberapa kapang jenis tertentu mampu menghasilkan suatu senyawa organik beracun yang disebut mikotoksin (Syarief et al. 2003). Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu, dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Verma (2004) menyatakan bahwa kuantitas aflatoksin yang lebih tinggi umum dijumpai pada komoditas yang berasal dari negara subtropis dan tropis dimana kondisi lingkungannya lebih cocok untuk pertumbuhan kapang dan produksi mikotoksin. Pada tahun 1980-an dilaporkan adanya keracunan aflatoksin di Ujung Pandang (Makassar) akibat satu keluarga mengkonsumsi kue khas daerah yang dinyatakan telah terkontaminasi aflatoksin sehingga menyebabkan tewasnya seluruh anggota keluarga tersebut. Kasus ini menimbulkan polemik pro dan kontra menyangkut efek kematian yang mendadak (akut) dari mikotoksin yang belum pernah terdokumentasi (Syarief et al. 2003). Aflatoksin banyak ditemukan pada bahan pangan dan pakan di Indonesia yang berasal dari produk pertanian. Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan berpotensi menyebabkan tertimbunnya residu dalam tubuh sehingga dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Diaz et al. 2006; Van Eijkeren et al. 2006). Di Indonesia setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200.000 penderita kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin (Pitt et al. 1997). Potensi bahaya aflatoksin dalam pangan dan pakan mendorong munculnya berbagai regulasi terkait dengan aflatoksin. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Penentuan konsentrasi aflatoksin dalam suatu komoditas pertanian, baik pakan maupun pangan, membutuhkan suatu metode analisis tertentu. Gilbert et al. (2005) menyatakan bahwa analisis aflatoksin pertama kali dilakukan lebih dari 30 tahun yang lalu menggunakan thin layer chromatography (TLC). Kemajuan teknologi analisis saat ini telah mengarah pada penggunaan instrumen high performance liquid chromatography (HPLC). Meskipun demikian, pada dasarnya metode analisis aflatoksin membutuhkan penggunaan standar acuan. Sementara itu, standar aflatoksin sangat sulit untuk diperoleh di Indonesia karena mikotoksin ini dikategorikan
1
sebagai senyawa bioterorisme yang menyebabkan peredaran maupun perdagangannya sangat diawasi dengan ketat oleh pihak-pihak terkait. Kapang Aspergillus sp., seperti A. flavus penghasil aflatoksin dapat tumbuh dengan baik pada iklim tropis Indonesia yang memiliki kelembaban, suhu, serta curah hujan tinggi. Hal tersebut menjadikan aflatoksin sebagai mikotoksin terpenting di Indonesia dari sekian banyak jenis mikotoksin lainnya. Potensi bahaya kontaminasi aflatoksin yang sangat besar bagi produkproduk pertanian Indonesia membutuhkan penanganan yang tepat dan terencana yang mencakup manajemen pengelolaan komoditas pangan baik pra-panen dan pasca panen. Pemerintah perlu segera mengambil langkah untuk meminimalisasi kontaminasi aflatoksin terutama pada komoditas pertanian untuk memperkecil hambatan dalam pemasaran serta melindungi konsumen dalam dan luar negeri melalui manajemen yang baik. Manajemen yang baik mencakup penyediaan metode untuk menganalisis keberadaan aflatoksin dalam komoditas pertanian dengan cepat. Hal tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan tersedianya standar acuan aflatoksin yang bisa diperoleh dengan cepat, terjangkau, dan berkesinambungan. Potensi isolat lokal dari kapang Aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin sangat tinggi, sehingga memungkinkan pemanfaatannya untuk memproduksi aflatoksin yang dapat dijadikan kandidat standar acuan. Kesulitan untuk memperoleh standar komersial memberikan peluang untuk menggali potensi isolat Aspergillus flavus. lokal sebagai penghasil aflatoksin untuk dijadikan standar. Hal tersebut diharapkan mampu mengatasi masalah kekurangan persediaan standar acuan untuk berbagai laboratorium termasuk identifikasi dan kuantifikasi cemaran aflatoksin.
B. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian ini adalah menguji kemampuan potensi isolat lokal Aspergillus flavus dalam menghasilkan aflatoksin. Secara khusus penelitian ini bertujuan: 1. Menyeleksi potensi isolat lokal A. flavus dalam memproduksi aflatoksin B1 dengan uji ELISA. 2. Mengevaluasi produksi aflatoksin dari isolat lokal terbaik pada medium cair PDB (Potato Dextrose Broth) dan medium cair GAN (Glucose ammonium nitrate) yang dimodifikasi. 3. Menganalisis aflatoksin yang dihasilkan dengan metode TLC dan mengkonfirmasi hasilnya dengan metode HPLC. Hasil pengamatan terhadap kromatogram kemudian dijadikan acuan dalam menentukan apakah isolat lokal yang digunakan memiliki potensi yang cukup untuk memproduksi aflatoksin dalam skala besar untuk dijadikan acuan dalam analisis aflatoksin. Penelitian ini diharapkan mampu membantu untuk menguji potensi isolat lokal sebagai penghasil aflatoksin. Hal tersebut pada akhirnya diharapkan mampu membantu membuat standar alternatif untuk analisis aflatoksin.
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Aspergillus flavus Aspergillus flavus pada sistem klasifikasi yang terdahulu merupakan spesies kapang yang termasuk dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas kapang Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff 1978). Sistem klasifikasi yang lebih baru memasukkan genus Aspergillus dalam Ascomycetes berdasarkan evaluasi ultrastruktural, fisiologis, dan karakter biokimia mencakup analisis sekuen DNA. Kapang dari genus Aspergillus menyebar luas secara geografis dan bisa bersifat menguntungkan maupun merugikan bergantung pada spesies kapang tersebut dan substrat yang digunakan (Abbas 2005). Aspergillus memerlukan temperatur yang lebih tinggi, tetapi mampu beradaptasi pada aw (water activity) yang lebih rendah dan mampu berkembang lebih cepat bila dibandingkan dengan Penicillium (Hocking 2006). Genus ini, sekalipun memerlukan waktu yang lebih lama dan intensitas cahaya yang lebih untuk membentuk spora, tetapi mampu memproduksi spora yang lebih banyak sekaligus lebih tahan terhadap bahan-bahan kimia (Hocking 2006; Pitt 2006). Hampir semua anggota dari genus Aspergillus secara alami dapat ditemukan di tanah dimana kapang dari genus tersebut berkontribusi dalam degradasi substrat anorganik. Spesies Aspergillus dalam industri secara umum digunakan dalam produksi enzim dan asam organik, ekspresi protein asing serta fermentasi pangan. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek’s agar dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Koloni Aspergillus flavus pada media Czapek agar (Hedayati et al. 2007) Aspergillus flavus merupakan kapang saprofit di tanah yang umumnya memainkan peranan penting sebagai pendaur ulang nutrisi yang terdapat dalam sisa-sisa tumbuhan maupun binatang. Kapang tersebut juga ditemukan pada biji-bijian yang mengalami deteriorasi mikrobiologis selain menyerang segala jenis substrat organik dimana saja dan kapan saja jika kondisi untuk pertumbuhannya terpenuhi. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Scheidegger dan Payne 2003). Sifat morfologis Aspergillus
3
flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiofor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman 1977). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa tampilan mikroskopis Aspergillus flavus memiliki konidiofor yang panjang (400-800 µm) dan relatif kasar, bentuk kepala konidial bervariasi dari bentuk kolom, radial, dan bentuk bola, hifa berseptum, dan koloni kompak (Gambar 2). Koloni dari Aspergillus flavus umumnya tumbuh dengan cepat dan mencapai diameter 6-7 cm dalam 10-14 hari (Ruiqian et al. 2004). Kapang ini memiliki warna permulaan kuning yang akan berubah menjadi kuning kehijauan atau coklat dengan warna inversi coklat keemasan atau tidak berwarna, sedangkan koloni yang sudah tua memiliki warna hijau tua (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Keberagaman ceruk ekologi yang dicakup oleh Aspergillus sub-genus Aspergillus bagian Flavi (grup Aspergillus flavus) dipadukan dengan kemampuan beberapa spesiesnya untuk memproduksi aflatoksin menjadikan grup Aspergillus flavus sebagai grup yang paling banyak dipelajari hingga saat ini.
Gambar 2. Tampilan mikroskopis dari Aspergillus flavus (Hedayati et al. 2007) Aspergillus flavus tersebar luas di dunia. Hal ini disebabkan oleh produksi konidia yang dapat tersebar melalui udara (airborne) dengan mudah maupun melalui serangga. Komposisi atmosfir juga memiliki pengaruh yang besar terhadap pertumbuhan kapang dengan kelembaban sebagai variabel yang paling penting (Hedayati et al. 2007). Tingkat penyebaran Aspergillus flavus yang tinggi juga disebabkan oleh kemampuannya untuk bertahan dalam kondisi yang keras sehingga kapang tersebut dapat dengan mudah mengalahkan organisme lain dalam mengambil substrat dalam tanah maupun tanaman (Bhatnagar 2000). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan bagian grup Aspergillus yang sudah sangat dikenal karena peranannya sebagai patogen pada tanaman dan kemampuannya untuk menghasilkan aflatoksin pada tanaman yang terinfeksi (Abbas 2005). Kedua spesies tersebut merupakan produsen toksin paling penting dalam grup Aspergillus flavus yang
4
mengkontaminasi produk agrikultur (Yu et al. 2002). Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus mampu mengakumulasi aflatoksin pada berbagai produk pangan meskipun tipe toksin yang dihasilkan berbeda. Aspergillus sp. umumnya mampu tumbuh pada suhu 6-60°C dengan suhu optimum berkisar 35-38°C. Aspergillus flavus dapat tumbuh pada Rh minimum 80% (aw minimum=0.80) dengan Rh minimum untuk pembentukan aflatoksin sebesar 83% (aw minimum pembentukan aflatoksin=0.83). Rh minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan Rh mininum untuk sporulasi adalah 85%. Kenaikan suhu, pH, dan persyaratan lingkungan lainnya akan menyebabkan aw minimum bertambah tinggi (Makfoeld 1993). Tampilan mikroskopis Aspergillus flavus dapat dilihat lebih jelas melalui mikroskop tiga dimensi (Gambar 3).
Gambar 3. Tampilan mikroskopis 3-D dari Aspergillus flavus (Reddy et al. 2010) Vujanovic et al. (2001) berpendapat bahwa Aspergillus flavus dapat tumbuh optimal pada aw 0.86 dan 0.96. Sauer (1986) menyatakan bahwa Aspergillus flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan Aspergillus flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al. 1982). Aspergillus flavus menyebabkan penyakit dengan spektrum luas pada manusia, mulai dari reaksi hipersensitif hingga infeksi invasif yang diasosiasikan dengan angioinvasion. Sindrom klinis yang diasosiasikan dengan kapang tersebut meliputi granulomatous sinusitis kronis, keratitis, cutaneous aspergillosis, infeksi luka, dan osteomyelitis yang mengikuti trauma dan inokulasi (Hedayati et al. 2007). Semntara itu, Aspergillus flavus cenderung lebih mematikan dan tahan terhadap antifungi dibandingkan hampir semua spesies Aspergillus yang laiinya (Hedayati et al. 2007). Selain itu, kapang tersebut juga mengkontaminasi berbagai produk pertanian di lapangan, tempat penyimpanan, maupun pabrik pengolahan sehingga meningkatkan potensi bahaya dari Aspergillus flavus (Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007). Hedayati (2007) menyatakan bahwa penyebaran Aspergillus flavus yang merata sangat dipengaruhi oleh iklim dan faktor geografis Pertumbuhan Aspergillus flavus dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan
5
magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum). Faktor lain yang juga berpengaruh antara lain cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan Aspergillus flavus berkisar pada 30˚C dengan Rh ≥ 95% (Onions et al. 1981). Secara umum kapang adalah organisme aerobik sehingga gas O2 dan N2 akan menurunkan kemampuan kapang untuk membentuk aflatoksin. Efek penghambatan oleh CO2 dipertinggi dengan menaikkan suhu atau menurunkan Rh dengan kadar O2 minimum 1% untuk pertumbuhan. Perlakuan dan analisis yang tepat sangat dibutuhkan untuk mencegah penurunan produksi aflatoksin dalam lingkungan laboratorium.
B. Aflatoksin Aflatoksin merupakan sekelompok toksin yang memiliki struktur molekul yang mirip (Ruiqian et al. 2004). Aflatoksin ditemukan secara tidak sengaja pada insiden kematian seratus ribu ekor kalkun di suatu peternakan di Inggris pada tahun 1960. Penyakit tersebut dikenal dengan nama Turkey X Disease karena belum diketahui penyebabnya pada waktu itu (Yu et al. 2002). Penyebab penyakit tersebut ditemukan berupa sejenis toksin yang terdapat dalam tepung kacang tanah pada ransum ternak. Pengujian yang melibatkan sampel ransum ternak mengungkapkan keberadaan sejenis kapang (Goldbatt 1969; Ruiqian et al. 2004). Toksin tersebut berasal dari kontaminasi Aspergillus flavus pada campuran ransum ternak tersebut. Nama toksin tersebut diambil dari penggalan kata Aspergillus flavus toksin yang disingkat menjadi aflatoksin karena Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan spesies dominan yang bertanggung jawab atas kontaminasi aflatoksin pada tanaman sebelum dipanen maupun selama penyimpanan (Yu et al. 2004; Yusrini 2005). Aflatoksin memiliki karakteristik seperti dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Karakteristik Berbagai Jenis Aflatoksina
a
Aflatoksin
Rumus Molekul
Berat Molekul
Titik leleh (0C)
B1
C17H12O6
312
268-269
B2
C17H14O6
314
286-289
G1
C17H12O7
328
244-246
G2
C17H14O7
330
237-240
M1
C17H12O7
328
299
M2
C17H14O7
330
293
B2A
C17H14O7
330
240
G2A
C17H14O8
346
190
Sumber: http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp (2010)
Produksi aflatoksin merupakan sebuah konsekuensi dari kombinasi berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis. Faktor-faktor yang mempengaruhi meliputi temperatur, kelembaban, cahaya,
6
aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Beberapa faktor-faktor tersebut bisa mempengaruhi ekspresi gen yang meregulasikan produksi aflatoksin (aflR) maupun gen struktural kemungkinan dengan mengubah ekspresi faktor-faktor transkripsi global yang merespons sinyal dari lingkungan dan nutrisi (Yu et al. 2002). Yu et al. (2002) menyatakan bahwa aflatoksin disintesis dari malonyl CoA dalam dua tahap. Tahap pertama ialah pembentukkan hexaonyl CoA dilanjutkan tahap kedua berupa pembentukkan decaketide anthraquinone. Beberapa seri reaksi oksidasi-reduksi (Gambar 4) yang sangat terorganisir kemudian menghasilkan aflatoksin. Skema produksi aflatoksin yang umum diterima saat ini ialah sebagai berikut. hexanoyl CoA precursor —> norsolorinic acid, NOR —> averantin, AVN —> hydroxyaverantin, HAVN —> averufin, AVF —> hydroxyversicolorone, HVN—> versiconal hemiacetal acetate, VHA —> versi-conal, VAL —> versicolorin B, VERB —> versicolorin A, VERA — > demethyl-sterigmatocystin, DMST —> sterigmatocystin, ST —> Omethylsterigmatocystin, OMST—> aflatoxin B1, AFB1 and aflatoxin G1, AFG1. Gambar 4. Skema produksi aflatoksin (Yu et al. 2002) Biosintesis aflatoksin merupakan proses yang sangat kompleks (Gambar 5) dan diatur oleh gen-gen yang tersusun dalam suatu kelompok gen. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa efek posisi kromosomal dan juga beberapa gen regulator akan bergantung pada kontrol nutrisi dan lingkungan. D’Mello (2002) secara singkat menyatakan bahwa aflatoksin, seperti halnya patulin dan fumonisin, memiliki jalur biosintesis polipeptida dengan metabolit primer berupa Asetil koenzim-A.
7
Gambar 5. Jalur biosintesis aflatoksin dan sterigmatosistin (Yu et al. 2002) Meskipun demikian, pentingnya produksi aflatoksin secara biologis maupun dalam kaidah evolusi bagi kapang itu sendiri masih sangat sedikit dipahami. Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang umumnya diasosiasikan dengan respon kapang terhadap lingkungan yang membatasi pertumbuhan (Carvalho 2010).
8
Fente et al. (2001) menyatakan aflatoksin sebagai mikotoksin dengan sifat beracun dan karsinogenik tinggi yang dihasilkan dari beberapa strain Aspergillus flavus, Aspergillus parasiticus, dan Aspergillus nomius. Aflatoksin yang terutama dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus merupakan metabolit fungi yang terjadi secara alami dan telah lama dikenal sebagai kontaminan lingkungan yang signifikan (Wang et al. 2005). Kapangkapang tersebut umum dijumpai pada bahan pakan atau pangan yang mengalami proses pelapukan (Diener dan Davis 1969) atau disimpan dalam kondisi kelembaban tinggi (Winn dan Lane 1978) meskipun tidak semua kapang tersebut menghasilkan aflatoksin. Hal tersebut mendorong munculnya metode untuk menyeleksi kemampuan kapang untuk memproduksi aflatoksin. Aflatoksin diberi akhiran sesuai dengan penampakan fluorosensinya dibawah sinar UV pada lempeng kromatografi lapisan tipis dengan silika gel yang disinari ultraviolet (Syarief et al. 2003). Penampakan fluoresensi biru diberi akhiran B (blue) dan penampakan fluorosensi hijau diberi akhiran G (green). Berdasarkan mobilitas pada kromatografi lapisan tipis, penamaan aflatoksin diberi indeks angka tambahan menjadi B1, B2, G1, dan G2, masing-masing dengan struktur molekul yang berbeda namun mirip (Gambar 6).
Gambar 6. Struktur molekul berbagai jenis aflatoksin (Lee et al. 2004)
9
Semakin kecil indeks angka tambahan tersebut, semakin cepat Rf (Rate of Flow) dari spot sehingga rasio antara jarak spot dan eluen semakin besar. Steyn (1991) dan Miller (1994) menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1. Goldblatt (1969) menyatakan bahwa aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. AFM1 dan AFM2 pertama kali diisolasi dari susu yang dihasilkan oleh sapi yang diberi pakan yang terkontaminasi aflatoksin (Ruiqian et al. 2004). Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa molekul aflatoksin memiliki inti coumarin yang berikatan dengan bifuran atau pentanon seperti pada AFB1 dan AFB2, atau lakton seperti pada AFG1 dan turunannya AFG2. Aflatoksin merupakan grup komponen heterosiklik turunan polikeptida dari furanocoumarins yang dapat berpendar dengan setidaknya 16 jenis toksin yang sudah terkarakterisasi memiliki kaitan struktural yang umumnya digolongkan berdasarkan residu dihidrofuran atau tetrahidrofuran yang tergabung ke coumarin moiety tersubstitusi (D’Mello 2002; Yu et al. 2002). Pembentukan aflatoksin terjadi pada kisaran suhu 11-41°C dengan suhu untuk pembentukan aflatoksin maksimum sedikit di bawah suhu optimum untuk pertumbuhan kapangnya yaitu 24-30°C. Suhu dan waktu optimum untuk pembentukan aflatoksin pada Aspergillus flavus pada kacang tanah steril adalah 25°C selama 7-9 hari (Makfoeld 1993). Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davis 1969). Aflatoksin B1 merupakan aflatoksin yang paling dominan dan mempunyai sifat racun yang tinggi dan berbahaya (Diener dan Davis 1969) serta paling banyak ditemui dalam konsentrasi tinggi baik pada pangan maupun pakan (Lee et al. 2004). Oleh karena itu, kebanyakan penelitian yang telah dilakukan umumnya cenderung difokuskan untuk meneliti aflatoksin B1. Regulasi terkait akan aflatoksin telah menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah menetapkan batas maksimum kandungan aflatoksin B1 dan aflatoksin total pada produk olahan jagung dan kacang tanah adalah masing-masing sebesar 20 ppb dan 35 ppb (Keputusan Kepala BPOM RI No. HK.00.05.1.1405 tahun 2004). Beberapa negara uni-eropa menerapkan regulasi batas maksimum jumlah aflatoksin sebesar 5 ppb (Yu et al. 2002).Lee et al. (2004) menyatakan bahwa nilai LD50 dari aflatoksin ialah 0,5 mg/kg berat badan sehingga aflatoksin diketahui lebih bersifat karsonogenik dibandingkan hampir semua karsinogen lainnya dan dikategorikan sebagai karsinogen kelas I oleh International Agency for Research on Cancer (IARC). Aflatoksin dapat bersifat toksigenik, mutagenik, teratogenik, karsinogenik, dan immunosuppresif pada hewan percobaan (Yu et al. 2002). Aflatoksin mampu menyebabkan penyakit dalam jangka panjang (kronis) dan penyakit jangka pendek (akut) bergantung pada dosis dan frekuensi paparan aflatoksin. Salah satu efek yang paling sering terjadi ialah kehilangan sintesis protein, termasuk sintesis antibodi sesuai dengan dosis paparan (Martins et al. 2008). Aflatoksin umumnya mempengaruhi liver dan beberapa kasus terkontaminasi aflatoksin telah terjadi pada kelompok masyarakat di berbagai negara, terutama negara tropis. Meskipun demikian, kasus keracunan akut masih jarang terjadi sehingga kewaspadaan masyarakat masih terbilang rendah. Syarief et al. (2003) menyatakan bahwa aflatoksin dapat mengakibatkan kerusakan hati, organ tubuh yang sangat penting dan juga berperan dalam detoksifikasi aflatoksin itu sendiri. Hasil penelitian sejauh ini menunjukkan bahwa telah terdapat cukup bukti berupa hasil penelitian in vitro dan in vivo yang mendukung pandangan bahwa manusia memiliki proses biokimia yang dibutuhkan oleh karsinogen yang diinduksi oleh 10
aflatoksin (Verma 2004). Aflatoksin yang dikonsumsi secara terus-menerus, walaupun dalam jumlah kecil, mampu menyebabkan kanker hati. Hedayati et al. (2007) menyebutkan bahwa sampai saat ini obat yang diketahui dapat menyembuhkan kontaminasi Aspergillus adalah amphotericin B (AmB) dan itraconazole. Saat ini penggunaan voriconazole, posaconazole, dan caspofungin juga telah diterima untuk pengobatan kontaminasi Aspergillus. Meskipun belum ada laporan terinci mengenai kerugian ekonomi dikarenakan adanya keengganan untuk melaporkan kasus kontaminasi aflatoksin, data penelitian menunjukkan adanya dampak aflatoksin pada produksi pertanian dan peternakan di Indonesia (Bahri et al. 2003; Lilieanny et al. 2005) termasuk pada bahan pangan dan pakan (Aryantha et al. 2007). Kontaminasi aflatoksin pada bahan pangan dan pakan menyebabkan adanya residu dalam tubuh yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia dan hewan ternak (Maryam et al. 1995; Maryam, 1996; Devegowda et al. 1998; Maryam et al. 2003; Van Eijkeren et al. 2006; Diaz et al. 2006). Data dari LIPI mengindikasikan bahwa 47% kecap yang didistribusikan di Jawa telah terkontaminasi aflatoksin (Aryantha et al. 2007). Pitt dan Hocking (1997) memperkirakan bahwa setiap tahun terjadi kematian 20.000 orang penderita kanker hati di Indonesia yang disebabkan oleh aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu mikotoksin yang menjadi perhatian bagi produsen produk dairy diantara lebih dari 200 jenis mikotoksin yang telah diidentifikasi. Hal tersebut mendorong adanya regulasi untuk mencegah kontaminasi aflatoksin dalam produk pangan. Sejak tahun 2003 diperkirakan terdapat lebih 100 negara yang memiliki regulasi terkait dengan mikotoksin dengan total populasi mencakup 87 % penduduk dunia (Egmond et al. 2005). Berikut ini ialah beberapa regulasi yang terkait dengan aflatoksin. Secara umum konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkannya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Konsentrasi aflatoksin dan akibat yang ditimbulkana Konsentrasi aflatoksin (ppb)b
Efek yang ditimbulkan
20
Level maksimal yang diijinkan untuk manusia
50
Level maksimal yang diijinkan untuk hewan
100
Pertumbuhan lambat pada usia muda
200-400 >400
Pertumbuhan lambat pada usia tua Kerusakan hati dan kanker
a
Sumber: www.ipm.iastate.edu (2010) b part per billion
Pengaruh aflatoksin terhadap keamanan pangan menjadi nyata terkait dengan kemampuannya untuk terakumulasi dalam bahan pangan. Kebanyakan kasus kontaminasi aflatoksin pada pangan dan pakan yang telah dilaporkan di Indonesia umumnya berupa produk berbasis kacang-kacangan dengan 80% produk kacang-kacangan yang dipercontohkan dapat mengandung aflatoksin B1 dengan jumlah rataan sebesar 30 ppm. Potensi bahaya dari aflatoksin dan kecenderungannya untuk menjadi residu pada berbagai bahan pangan dan pakan menimbulkan kebutuhan akan batasan yang wajar mengenai
11
jumlah aflatoksin dalam suatu bahan pakan atau pangan. Hal ini berkaitan erat dengan isu keamanan pangan yang semakin menjadi perhatian. Seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholder) perlu mengetahui tingkat cemaran aflatoksin melalui pengujian aflatoksin pada komoditi bahan pangan dan pakan yang menjadi komoditas perdagangan. yang dapat dilihat dalam Tabel 3. Penerapan standar yang aman akan menurunkan resiko terjadinya paparan aflatoksin dari bahan pangan maupun pakan. Tabel 3. Konsentrasi aflatoksin maksimum untuk berbagai penggunaana Penggunaan Susu (perusahaan susu)
a
Konsentrasi aflatoksin (ppb)b Tidak terdeteksi
Jagung yang belum pasti pengolahannya
20
Jagung untuk hewan muda
20
Jagung untuk pakan ternak lembu
20
Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa
100
Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong
200
Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong
300
Sumber: http://www.pubs.caes.uga.edu/ (2009) part per billion
b
Lee et al. (2004) menyatakan bahwa kontaminasi aflatoksin dapat terjadi di lapangan, selama panen dan distribusi, dan dalam kondisi dimana kapang dimungkinkan untuk tumbuh. Aflatoksin dapat menginduksi efek akut pada manusia dan kasus di lapangan terus terjadi meskipun kesadaran masyarakat dunia akan toksisitas dan implikasinya terhadap kesehatan telah semakin meningkat. Beberapa masalah yang ditimbulkan memiliki kesamaan, meskipun demikian terdapat perbedaan dalam prioritas masalah yang dikhawatirkan (Shier et al. 2005). Permintaan untuk pemyediaan metode pemantauan kontaminasi aflatoksin yang sederhana, cepat, dan ekonomis dengan peralatan yang sederhana dalam cakupan regional berkembang seperti Asia Tenggara, Timur Tengah, dan Afrika terus meningkat dikarenakan tingginya insiden kanker hati (Lee et al. 2004). D’Mello (2002) menyatakan bahwa aflatoksin banyak dijumpai pada kacang-kacangan di daerah Afrika Timur dan Barat, India, Taiwan, Thailand, dan Filipina yang menyebabkan kanker hati, kwashiorkor, serosis, hepatitis akut, dan sindrom Reye’s. Perkembangan yang ada dalam lingkup regional pada akhirnya akan mempengaruhi lingkup internasional. Regulasi aflatoksin pada perdagangan baik regional maupun internasional merupakan perhatian berbagai pihak terkait baik konsumen, produsen, maupun penentu kebijakan. Seiring meningkatnya perhatian akan isu keamanan pangan, kadar aflatoksin pada komoditi ekspor-impor pangan dan pakan saat ini merupakan salah satu parameter utama jaminan mutu dan keamanan produk. Berbagai regulasi mengenai aflatoksin yang dikeluarkan mengindikasikan tanggapan pemerintah yang serius akan isu keamanan pangan dan pakan yang disebabkan oleh kontaminasi aflatoksin. Aflatoksin merupakan salah satu miktoksin yang diregulasikan oleh US. Food and Drug Administration (FDA) seperti dapat dilihat pada Tabel 4.
12
Tabel 4. Panduan FDA mengenai level aflatoksin yang dapat diterima pada pangan dan pakan. Kandungan Aflatoksin
Komoditas
Spesies
0.5 (aflatoksin M1)
Susu
Manusia
20.0
Semua pangan kecuali
Manusia
a
(ppb)
susu 20.0
Pakan
Ternak
Jagung
Ternak lembu, ternak
100.0
b
200.0
b
Jagung
Karkas babi (>100 lbs.)
300.0
b
Jagung
Karkas sapi/lembu
300.0
b
Biji kapas sebagai pakan
Ternak
babi, dan unggas dewasa
a
part per billion pengecualian
b
Kontaminasi aflatoksin memberikan dampak yang besar baik di negara maju maupun negara berkembang. Berikut ini (Tabel 5) ialah perbandingan dampak kontaminasi aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang. Tabel 5. Perbandingan dampak aflatoksin bagi negara maju dan negara berkembang1.
Faktor Periode produksi
Negara maju
Negara berkembang
Pra-panen
Pasca-panen
Tanaman yang
Jagung, kacang tanah,
Jagung, kacang, kopra, jewawut,
terkontaminasi
kacang pohon.
tepung ubi jalar, dan tepung singkong
Perhatian pertama
Biaya regulator untuk
Keracunan kronis, meliputi
pemantauan
hepatokarsinoma primer, penurunan
aflatoksin
kekebalan tubuh, dan keracunan akut. Perhatian kedua
Yield loss pada pakan
Yield loss pada pakan ternak
ternak 1
Sumber: Shier et al. (2005)
Negara-negara maju umumnya telah memiliki instrumen yang memadai untuk memantau level kontaminasi pada pangan dan pakan (Cardwell dan Henry 2005), namun tidak demikian halnya untuk negara berkembang, terutama daerah-daerah pertanian yang miskin.
13
Negara maju juga telah memiliki sistem pengalihan produk-produk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, sebagai contoh, jagung yang terkontaminasi masih dapat digunakan untuk pakan sapi sesuai batasan yang diregulasikan. Hal tersebut berbeda dengan negara berkembang yang masih belum memiliki diversitas pasar yang cukup sehingga produk-produk pertanian yang terkontaminasi masih dapat ditemukan pada produk untuk konsumsi manusia dan mengancam keamanan pangan. Binder et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat indikasi yang jelas dari kontaminasi aflatoksin yang tinggi pada sampel dari wilayah Asia Selatan dengan kontaminasi aflatoksin tertinggi ditemukan di India (275 ppb). Level kontaminasi rata-rata ialah 52 ppb dengan nilai median 24 ppb. Perhatian utama tentang aflatoksin pada negara berkembang umumnya terpusat pada efek toksik dan dampak kesehatan melalui konsumsi langsung produkproduk pertanian yang terkontaminasi aflatoksin, terutama permasalahan keracunan kronis, berbeda dengan negara maju yang umumnya berupa kerugian pasar akibat komoditi yang ditolak (Binder et al. 2007). Perhatian akan keracunan kronis semakin meningkat seiring ditemukannya bukti bahwa aflatoksin dapat bersinergi dengan polutan dari industri maupun toksin alami dari lingkungan (Shier et al. 2005). Aflatoksin juga dilaporkan mampu mengurangi imunitas pada ternak ayam dan dimungkinkan untuk mengurangi imunitas pada manusia karena toksisitas kronis ditemukan mampu memodulasi sistem imun sehingga meningkatkan kecenderungan infeksi (Oswald, et al. 1998; D’Mello 2002). Toksisitas akut bisa terjadi tiga minggu setelah ingesti (Omaye 2004). D’Mello (2002) mengelompokkan aflatoksin sebagai salah satu dari miktoksin yang tersebar melalui makanan (foodborne mycotoxins) yang umum dijumpai di kacang-kacangan dan buah yang dikeringkan. Potensi bahaya aflatoksin menimbulkan kebutuhan akan analisis aflatoksin yang dapat dilakukan dengan cepat dan akurat. Standar yang dibutuhkan dalam analisis aflatoksin dapat diperoleh dari isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Reddy et al. (2009) melakukan penelitian berupa seleksi isolat Aspergillus flavus potensial yang diisolasi dari beras yang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Produksi aflatoksin B1 oleh Aspergillus flavus yang diisolasi dari berasa. Kandungan Aflatoksin B1 (ppb) Isolat
Asal Sampel
b
YES medium
AFPAc
Crude rice grain
medium
mediumd
DRAf 002
Tamil Nadu
6400
-
62000
DRAf 006
Tamil Nadu
4500
-
13000
DRAf 009
Tamil Nadu
40000
-
415000
DRAf 012
Maharashtra
5800
-
15000
DRAf 018
Maharashtra
5000
-
36000
a
Sumber: Reddy et al. (2009) YES (Yeast Extract Sucrose) agar. c AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar) d Rice cultivar: Pusa Basmati 1 b
Penelitian yang dilakukan oleh Reddy et al. (2009) bertujuan untuk melihat potensi isolat lokal Aspergillus flavus penghasil aflatoksin. Isolat lokal yang memiliki potensi tinggi
14
akan digunakan untuk menghasilkan standar murni. Aflatoksin termasuk toksin yang stabil dalam pengaruh panas sehingga sangat sulit untuk dihancurkan apabila sudah terbentuk (Lee et al. 2004). Reddy et al. (2010) menyatakan bahwa kontaminasi mikotoksin merupakan hal yang tidak bisa dihindarkan. Praktek agronomi dan produksi saat ini tidak memungkinkan pencegahan total terhadap keberadaan kontaminasi mikotoksin selama penanaman, panen, penyimpanan, maupun selama proses produksi. Omaye (2004) menyatakan bahwa terdapat hubungan langsung antara konsumsi makanan yang mengandung aflatoksin dan kanker hati dimana laki-laki lebih berpeluang untuk terserang. Insiden kontaminasi aflatoksin sangat tinggi di India dan Afrika dimana masyarakat terpaksa mengkonsumsi biji-bijian berkapang untuk bertahan hidup. Sementara itu, dekontaminasi mikotoksin baik melalui penggunaan perlakuan panas maupun bahan kimia membutuhkan peralatan dan biaya yang tidak sedikit disertai kemungkinan penurunan nilai gizi dari produk yang terkontaminasi. Oleh karena itu, aplikasi Good Agricultural Practices (GAP) dan Good Manufacturing Practices (GMP) menjadi sangat penting dalam berbagai upaya pencegahan kontaminasi aflatoksin.
C. Kultivasi Kapang Pada Medium Cair Mikroorganisme membutuhkan nutrisi sebagai sumber energi dan kondisi lingkungan tertentu untuk proses pertumbuhan dan reproduksi. Secara alamiah mikroba akan beradaptasi pada lingkungan yang paling sesuai untuk kebutuhan mikroba tersebut. Pada laboratorium, kebutuhan akan lingkungan hidup yang sesuai untuk mikroba harus dapat dipenuhi oleh medium kultur (Nazari 2010). Medium sintetis untuk kultur mikroba umumnya digunakan untuk berbagai tujuan mulai dari identifikasi mikroorganisme yang belum diketahui hingga produksi mikroba dalam jumlah besar untuk kepentingan bioteknologi. Aspergillus sp. penghasil aflatoksin merupakan salah satu kapang yang telah diteliti sejak lama dalam kondisi laboratorium. Berbagai media, baik media crude, semisintetis, maupun media sintetis telah digunakan untuk membiakan Aspergillus sp. Media yang umum digunakan bisa berupa media padat seperti SDA (Sucrose Dextrose Agar), PKA (Palm Kernel Agar), PDA (Potato Dextrose Agar), dan media crude dari jagung, kacang, maupun beras. Media cair yang umum digunakan antara lain media sintetis PDB (Potato Dextrose Broth) maupun media cair sintetis kompleks yang secara spesifik mampu meningkatkan produksi aflatoksin seperti media GAN (Glucose Ammonium Nitrate), AM (glucose-ammonium sulfate), SH (high salt), SL (synthetic low salt), Czapek-dox medium, YES (Yeast Extract Sucrose), dan SLS (Sucrose Low Salt) (Davis et al. 1966; Maggon et al. 1969; Reddy et al. 1971; Saxena et al. 1988; Nazari 2010). Media sintetis kompleks umumnya mengalami modifikasi dalam komposisinya untuk mempelajari aspek korelasi antara komposisi media dan pertumbuhan mikroba yang dibiakan serta menemukan komposisi medium yang paling tepat untuk suatu jenis mikroba tertentu yang ditumbuhkan. Pemilihan media untuk kultivasi strain Aspergillus flavus lokal yang digunakan akan mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. Berbagai media sintetis maupun semisintetis menunjukkan adanya produksi aflatoksin yang tinggi terutama media YES (Yeast Extract Sucrose) dan GAN (Glucose Ammonium Nitrate) (Davis et al. 1966; Reddy et al. 1971).
15
Davis et al. (1966) melaporkan tentang adanya produksi aflatoksin B1 dan G1 yang tinggi pada medium YES (Yeast Extract Sucrose) yang mengandung 20% sukrosa dan 2% ekstrak yeast.. Hasil percobaan Davis et al. (1966) dapat dilihat pada Tabel 7 di bawah.
Tabel 7. Produksi aflatoksin dari Aspergillus flavus pada medium YESa Kandungan Aflatoksin (ppb)* Periode Inkubasi
Berat miselia
(hari)
kering (g/100
B1
G1
1000
1000
mL)
a
2
0,9
3
2,1
4000
10000
5
3,8
20000
53000
7
3,5
20000
53000
12
4,2
20000
53000
15
3,8
18000
48000
18
4,1
16000
42000
sumber: Davis et al. (1966)
Sementara itu, Maggon et al. (1969) melakukan penelitian produksi aflatoksin pada beberapa strain Aspergillus flavus menggunaan medium GAN. Medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) merupakan medium stasioner sintetis yang mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus (Brian et al. 1961). Meskipun demikian medium GAN memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu (Maggon et al. 1969). Hasil percobaan Moggan et al. (1969) dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Produksia aflatoksin Bb pada medium GANc
Kandungan Aflatoksin (ppb)* Strain DU/KR 79 A
Medium GAN 8300
Medium GAN+ 2% medium groundnut 18100
DU/KR 79 C
9300
21300
DU/KR 79 D
15100
28700
DU/KR 79 E
1300
0
DU/KR 79 F
0
6800
DU/KR 79 G
10900
15000
DU/KR 79 K
0
500
a
Produksi aflatoksin merupakan nilai rata-rata dari dua set percobaan yang diukur setelah inkubasi selama 7 hari dengan suhu 25˚C (pH awal=7,00) b Nilai aflatoksin merupakan nilai total dari aflatoksin B1 dan B2
16
c
Sumber: Moggan et al. (1969)
Nazari (2010) menyatakan bahwa banyak media sintentis telah tersedia secara komersial termasuk media yang telah ditambahkan komponen khusus sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan mikroba yang diinginkan atau menghambat pertumbuhan mikroba kompetitor Media sintetis yang umum digunakan untuk pertumbuhan fungi seperti PDB juga menunjukkan hasil positif dalam memproduksi aflatoksin meskipun jumlahnya pada umumnya tidak tinggi (Reddy et al. 1971; Kusumaningtyas 2007). Media sintetis kompleks dan media dengan ekstrak crude telah direkomendasikan untuk produksi aflatoksin dalam jumlah tinggi dari Aspergillus (Reddy et al. 1971). Meskipun media sintetis dapat menunjukkan produksi aflatoksin yang tinggi pada suatu strain, perubahan strain maupun komposisi media dapat secara signifikan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin.
D. Analisis Aflatoksin a.
ELISA Berbagai teknik analisis seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography), GC (Gas Chromatography), dan TLC (Thin Layer Chromatography) secara umum tersedia untuk analisis aflatoksin (Sekhon et al. 1996). Meskipun demikian metode analisis diatas dinilai kurang efisien dan cukup mahal karena membutuhkan clean up sampel yang ekstensif dan instrumen yang mahal sehingga tidak cocok untuk keperluan seleksi yang membutuhkan metode yang cepat dan peralatan sederhana sehingga bisa dilakukan dengan cepat di lapangan (Sekhon et al. 1996; Rachmawati 2005). Metode ELISA sudah menjadi metode seleksi umum yang diakui sebagai metode kuantitatif dikarenakan memiliki spesifisitas dan sensitivitas yang tinggi dengan preparasi sampel minimal, prosedur kerja yang cepat, dan mampu menseleksi sampel dalam jumlah banyak (Patey et al. 1992; Sekhon et al. 1996; Wilson 2000; Zahn et al. 2009). Meskipun demikian, metode ELISA memiliki kelemahan yaitu adanya reaksi silang dengan komponen lain yang memiliki struktur molekul yang mirip (Wilson 2000). ELISA adalah suatu teknik deteksi yang berdasarkan atas reaksi spesifik antara antigen dan antibodi. Metode ini, mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi dengan enzim sebagai indikator (Burgess 1995). Prinsip dasar analisis ELISA ialah terjadinya kompetisi antara standar AFB1 atau sampel dengan enzim konjugat untuk berikatan dengan antibodi affinitas tinggi yang teradsorpsi secara pasif pada plat mikro. Enzim konjugat yang tidak berikatan dengan antibodi yang terlapis pada plat mikro akan tercuci dan enzim yang mengikat antibodi pada plat mikro akan bereaksi dengan substrat dan memberikan warna hijau kebiruan (Burgess 1995; Rachmawati 2005; Weck dan Vanputte, 2006). Semakin tinggi AFB1 pada sampel atau standar, semakin sedikit enzim konjugat yang berikatan dengan antibodi, maka warna yang terbentuk akan semakin pudar (Stanker et al. 1995). Reaksi dihentikan dengan penambahan larutan penghenti dan intensitas warna yang terbentuk diamati. Hasil analisis ditentukan secara kualitatif dengan pandangan mata atau kuantitatif dengan membaca optical density (OD) pada ELISA-reader (Burgess 1995). ELISA–Kit Aflavet menunjukkan respon antibodi spesifik terhadap 17
AFB B1, namun maasih terjadi seedikit reaksi silang dengan AFB2 dan AF FG2, sedangkkan reakksi silang denngan AFG1 tiidak begitu ny yata. Secara sederhana prrinsip kompettisi langgsung dapat dillihat pada Gam mbar 7.
Gambar 77. Format ELIS SA kompetitif llangsung A untuk aflatokksin B1 pertam ma kali dilakuukan oleh Chuu dan Ueno paada Uji ELISA tahuun 1977 dengann nilai sensitivvitas sebesar 4 ng/mL sampell (Sekhon et all. 1996). ELISA Akit Aflavet A dengann nilai sensitiviitas 0,3 ng/mL sampel yang ddikembangkan oleh Balai Bessar Peneelitian Veterinner (Balitvet) akan digunakaan dalam peneelitian ini. EL LISA kit Aflavvet mem miliki keuntunngan antara laain waktu annalisis yang ccepat dengan sensitivitas dan d spessifisitas tinggi, reprodusibel, kisaran analisiis 0,3-30 ppb, reaksi silang yang y cukup kecil (AF FB1 100%, AF FB2 0,9%, AFG G1 3,1%, dann AFG2 1,6%), dan mampu menganalisis 40 sam mpel (duplo) sek kaligus atau 800 sampel secarra simplo (Racchmawati et al.. 2004). Metoode ELISA untuk anallisis aflatoksinn dan metabolitt lainnya terlahh berkembang pesat dalam dua d dekaade terakhir karena k proseddurnya yang sederhana dann mudah beraadaptasi denggan kebuutuhan analisiss disertai spesiffisitas dan senssitivitas yang tiinggi (Lee et al. a 2004).
b. TLC 18
Kromatografi didefinisikan sebagai metode analisis dimana sebuah fase gerak bergerak melewati fase stasioner sehingga campuran senyawa dapat dipisahkan dalam komponen-komponennya. Penggunaan istilah TLC (Thin Layer Chromatografy) dimulai oleh E. Stahl pada tahun 1956 yang berarti proses pemisahan secara kromatografis dimana fase stasioner yang tersusun atas lempeng tipis yang dilapisi solid absorbent setebal kirakira 0,25 mm diaplikasikan pada fase gerak yang berupa cairan (Fried and Sherma 1999; Hahn-Deinstrop 2007). Prinsip dasar TLC adalah penempatan sampel uji pada fase stasioner yang berupa lempeng tipis dan sampel akan bergerak sampai batas tertentu dengan bantuan fase gerak karena adanya gaya kapiler. Selama perjalanan dari titik spotting hingga batas perambatan akan terjadi pemisahan campuran senyawa uji karena adanya perbedaan sifat antara senyawa-senyawa tersebut ketika berinteraksi dengan fase stasioner. Metode TLC umum digunakan dalam berbagai analisis termasuk analisis aflatoksin karena metode ini menggunakan pelarut dalam jumlah sedikit, waktu pengembangan yang singkat, fase gerak dapat dengan mudah diganti, dan mampu menganalisis sampel secara simultan. Sejak penemuan aflatoksin pada tahun 1961, metode TLC telah menjadi metode pilihan untuk menganalisis aflatoksin maupun toksin lainnya. Meskipun aplikasinya dalam publikasi akhir-akhir ini semakin menurun, metode TLC masih digunakan secara rutin dan ekstensif di seluruh dunia. Analisis aflatoksin menggunakan TLC dapat dilakukan secara kuantitatif dengan menggunakan metode perbandingan dengan standar (Jones 1972). Aflatoksin merupakan senyawa yang dapat berpendar sehingga intensitas fluoresensi sampel pada lempeng TLC dapat diamati di bawah UV-reader pada panjang gelombang tertentu. Analisis dilakukan dengan membandingkan intensitas fluoresensi sampel dengan sederetan fluresensi standar dari berbagai konsentrasi dengan batas kesalahan 10-20%. Metode TLC merupakan metode kromatografi yang lebih sederhana, ekonomis, dan memiliki peralatan yang kurang canggih dibandingkan metode kromatografi lainnya, namun banyaknya waktu dan tenaga kerja yang dibutuhkan serta keterbatasan dalam tingkat akurasi membatasi penggunaannya dalam ranah penelitian (Lee et al. 2004; Ruiqian et al. 2004). Meskipun demikian metode TLC masih sering digunakan terutama apabila sampel yang dianalisis bisa merusak kolom pada LC (Liquid Chromatography) atau GC (Gas Chromatograhy), sampel bersifat non-volatil atau memiliki volatilitas yang rendah, dan sampel dalam jumlah banyak harus dianalisis secara simultan dan cost-effective dalam periode waktu yang terbatas (Hahn-Deinstrop 2007).
c.
HPLC HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu metode analisis yang paling sering digunakan. HPLC menggunakan fase gerak cair untuk memisahkan komponen-komponen dalam campuran dengan fase stasioner yang bisa berupa cairan maupun padatan. Komponen-komponen tersebut dilarutkan dalam pelarut dan kemudian dialirkan dengan tekanan tinggi melewati kolom kromatografi. Fase stasioner didefinisikan sebagai material yang terimobilisasi dalam kolom. Interaksi antara larutan sampel dengan fase gerak dan fase stasioner bisa dimanipulasi melalui beragam pilihan
19
pelarut maupun fase stasioner. Hal tersebut menjadikan metode HPLC sebagai metode dengan kegunaan yang luas dalam analisis. HPLC pada dasarnya merupakan sebuah proses adsorpsi yang dinamis (Skoog et al. 2007). Molekul analit yang bergerak melewati packing bead yang berongga akan berinteraksi dengan titik-titik adsorpsi permukaan. Interaksi yang terjadi umumnya ditentukan oleh jenis HPLC. Pada HPLC Reversed Phase (RP) interaksi terjadi secara hidrofobik. Pada HPLC Normal Phase interaksi dominan terjadi secara polar dalam bentuk interaksi dipol-dipol dimana molekul polar akan tertahan pada fase stasioner sedangkan molekul yang non-polar akan terbawa oleh fase gerak. Sementara itu, HPLC dengan pertukaran ion akan terjadi interaksi ionik. Semua jenis interaksi diatas bersifat kompetitif. Molekul analit akan berkompetisi dengan molekul eluen pada titik-titik adsoprsi. HPLC Reversed Phase (RP) merupakan jenis yang paling banyak digunakan dalam analisis mencakup hampir 90% dari semua aplikasi kromatografi. Metode HPLC membutuhkan prosedur clean up yang ekstensif dan proses derivatisasi untuk meningkatkan sensitivitas deteksi serta tenaga kerja terlatih untuk mengoperasikannya (Lee et al. 2004). Metode HPLC memiliki beberapa keunggulan antara lain mampu menangani senyawa yang stabilitasnya terhadap suhu terbatas, mampu memisahkan senyawa yang serupa dengan resolusi yang baik, waktu yang diperlukan untuk pemisahan relatif singkat, hasil analisis kuantitatif mampu memberikan presisi yang tinggi dan teknik analisisnya yang peka. Skema kerja alat HPLC dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Skema kerja alat HPLC. Reservoir merupakan tempat menghilangkan udara ataupun gas yang terkandung dalam pelarut untuk menghilangkan kemungkinan terjadinya resolusi yang buruk dengan menggunakan bantuan pompa vakum. Sistem pompa juga digunakan untuk mengalirkan pelarut sebagai fase gerak ke seluruh sistem. Sampel uji dinjeksikan ke dalam kolom menggunakan injektor berupa katup injeksi. Injeksi dilakukan secara langsung ke dalam kolom menggunakan syringe untuk memperoleh efisiensi yang tinggi. Kolom merupakan
20
tempat fase stasioner terimobilisasi. Efisiensi kolom akan dipengaruhi oleh besarnya partikel fase diam. Semakin kecil ukuran fase diam, semakin besar efisiensi kolom. Deteksi pada alat HPLC dilakukan oleh detektor. Detektor harus memiliki sensitivitas yang tinggi, bersifat inert untuk jangka konsentrasi tertentu dan dapat mendeteksi eluen tanpa mempengaruhi resolusi kromatogram. Hasil deteksi kemudian diolah menjadi data kromatogram dalam rekorder dan disimpan dalam sistem data. Metode HPLC merupakan salah satu metode analisis aflatoksin yang paling banyak dilakukan. Metode ini berguna dalam penentuan kemurnian dan perhitungan kandungan aflatoksin dalam sampel secara kuantitatif, serta mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004).
III.
BAHAN DAN METODOLOGI PENELITIAN 21
A. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah Aspergillus sp. isolat lokal yang dikumpulkan dari berbagai daerah disekitar Jawa Barat dan Jabotabek, isolat Aspergillus sp. JCM, standar aflatoksin B1 (AFB1), metanol 60%, pengencer konjugat, konjugat aflatoksin peroksidase (AFB1-HRPO), tetramethilbenzidine (TMB), buffer natrium asetat, media agar miring SDA (Sucrose Dextrose Agar), media PDB (Potato Dextrose Broth), asam klorida (HCl) 1 M, natrium hidroksida (NaOH) 1 M, media GAN (Glucose Ammonium Nitrate), kloroform, akuades, akuades steril, asam sulfat (H2SO4) 1,25M, glukosa, ammonium nitrat, kalium dihidrogen fosfat, magnesium sulfat, suplemen mineral, timbal asetat, asam asetat glasial, akuabides, alkohol 85%, metanol, n-heksana, dan trifluoroasetat (TFA). Alat-alat yang digunakan dalam penelitian antara lain botol sampel, ELISA-kit Aflavet mencakup mixing plate, antibody-coated plate dan, botol konjugat, microplate spectrophotometer, pipet 100 μl, pipet 200 μl, multi-channel pipette, tip, timer, bak cuci, komputer, printer, erlenmeyer (pyrex ® iwaki te-32) 250 ml , tabung reaksi, pipet (Boeco C000267) 1 mL, sarung tangan lateks, masker wajah, freezer, inkubator, beberapa mikroskop (Olympus mikroskop inversi cx-41rf class:student microscope; Vickers mikroskop binokular M. 750294) , hemasitometer (Marienfeld assistent No. 422), vorteks, pembakar bunsen, kapas tutup erlemenyer, alumunium foil, oven (Memmert tv50b; Binder/ed 53), autoklaf (All American/1941x), kulkas (Sanyo SR-258FG frost type), TLC-plates, TLC-reader, dan laminary air flow cabinet (Oliphant VLF4/LUS S/198), dan HPLC (Hitachi D-7000 HSM: Interface D7000, FL-Detector L-7485, Autosampler L-7200, UV-detector L-7400).
B. Metode 1. Seleksi Isolat Lokal Aspergillus sp yang Berpotensi Memproduksi Aflatoksin Uji potensi isolat menggunakan kit ELISA yang dikembangkan oleh Rachmawati et al. (2005). Sebanyak 10 isolat lokal yang terdiri dari 55 sampel yang telah diisolasi dari biji jagung, kacang tanah tanpa kulit, dan pakan ternak dari beberapa daerah di Jabodetabek ditumbuhkan pada media PDB (inkubasi 9 hari, suhu 25°C). Sampel-sampel tersebut kemudian diuji potensinya untuk memproduksi aflatoksin menggunakan teknik ELISA. Seleksi dilakukan dengan jumlah produksi aflatoksin B1 sebagai kriteria seleksi. Sampel dengan hasil produksi aflatoksin B1 tertinggi akan dipilih untuk evaluasi pada tahap berikutnya.
2. Evaluasi Produksi Aflatoksin pada Dua Medium Cair a. Penyegaran Isolat Sampel Hasil Seleksi 22
Penyegaran isolat dilakukan untuk persiapan pembuatan suspensi isolat dalam media cair sebagai persiapan untuk tahap pembiakan isolat lokal hasil seleksi dalam media cair. Isolat lokal Aspergillus flavus dari sampel cair hasil seleksi disegarkan kembali dengan cara ditumbuhkan pada media agar miring SDA (Sucrose Dextrose Agar) selama satu minggu pada suhu 25°C. Koloni yang tumbuh kemudian disuspensikan untuk memperoleh suspensi Aspergillus sp sebanyak 109 spora/mL. Suspensi yang diperoleh kemudian diinokulasikan pada media cair yang telah disiapkan seperti yang dijelaskan di bawah.
b. Evaluasi Pertumbuhan Isolat dalam Media Cair dan Produksi Aflatoksin Evaluasi dilakukan terhadap isolat hasil penyegaran untuk melihat kurva produksi aflatoksin dan jumlah produksi aflatoksin dengan ilustrasi percobaan yang dapat dilihat pada Gambar 9. Suspensi Aspergillus sp. Sebanyak 109 spora/mL yang telah disiapkan dari hasil penyegaran isolat diinokulasikan sebanyak 1,5 mL pada erlemenyer yang berisi 150 mL media cair sehingga diperoleh 107 spora/mL pada media yang siap untuk ditumbuhkan. Adapun media cair yang digunakan dalam penelitian ini ialah: I. Media Potato dextrose broth (PDB) dengan pengaturan pH pada kisaran pH 4,00 (Kusumaningtyas 2007). II. Medium GAN (glucose ammonium nitrate) mengikuti Brian et al. (1961) termodifikasi yang terdiri atas 30 g glukosa, 30 g sukrosa, 2,4 g NH4NO3, 10,0 g KH2PO4, 2,0 g MgSO4.7H2O, dan suplemen mineral mencakup 26,6 mg ZnSO4.7H2O, 2,67 mg CuSO4.5H2O, 1,36 mg Co(NO3)2.6H2O dan 66,67 mg CaCl2 dengan pH 7,00.
(s) (+) (‐) (s) (+) (‐)
PDB
GAN
Gambar 9. Ilustrasi Percobaan dengan menggunakan isolat S.26 (s) dari dua media berbeda (PDB dan GAN) dalam lima ulangan dengan kontrol negatif (-) yakni media yang tidak diinokulasi dan kontrol positif (+) berupa media yang diinokulasi isolat JCM.
23
Kondisi pertumbuhan kemudian diatur pada suhu 25oC dengan tingkat kelembaban normal. Selanjutnya pertumbuhan pada kedua media cair tersebut diamati tren produksi aflatoksin melalui pengamatan jumlah aflatoksin yang terdapat dalam medium. Pengamatan tren produksi aflatoksin dilakukan selama 21 hari dengan mengadakan sampling pada interval waktu yang telah ditentukan seperti dapat dilihat pada Gambar 10.
H 0
H 1
H 2
S1
S2
H 3
H 4
H 5 S3
H 6
H 7
H 8
S4
H 9
H 10
S5
H 11 H 12 H 13 H 14 H 15 H 16 H 17 H 18 H 19 H 20 H 21
S6
S7
S8
S9
S10
Gambar 10. Interval sampling yang dilakukan (S1-S10) dari total 21 hari inkubasi (H0-H21)
Hasil sampling kemudian dianalisis dengan metode TLC untuk melihat total aflatoksin dalam media sebagai hasil metabolisme sekunder Aspergillus flavus. yang ditumbuhkan pada media. Total aflatoksin dari hasil sampling kemudian digambarkan dalam bentuk kurva produksi aflatoksin untuk memperoleh informasi saat produksi maksimum aflatoksin tercapai. Setelah produksi aflatoksin mencapai maksimum, media dengan nilai produksi maksimum tertinggi akan dipanen untuk selanjutnya dilakukan tahapan produksi massal.
C. Analisis 1. Seleksi Isolat Lokal Menggunakan KIT ELISA Aflatoksin Produksi Bbalitvet a. Preparasi Ekstrak Sampel Metode analisis yang digunakan yaitu metode ELISA kompetitif langsung (Rachmawati 2005; Rachmawati et al. 2004). Sebanyak 1 mL sampel cair yang terdiri atas 55 sampel isolat lokal Aspergillus flavus yang telah ditumbuhkan pada media PDB (inkubasi 9 hari pada suhu 25°) dipipet ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan klorofom sebanyak 1 mL dan divorteks selama 1 menit. Fase klorofom kemudian diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel. Kemudian ditambahkan lagi 1 mL klorofom pada larutan yang tersisa di dalam tabung untuk kemudian divorteks selama 1 menit. Fase klorofom diambil dan dimasukkan ke dalam botol sampel.
24
Klorofom dalam botol sampel kemudian dikeringkan dalam water bath. Selanjutnya ditambahkan metanol 60% sebanyak 1 mL pada sampel dalam botol sampel dan dikocok hingga aflatoksin terlarut dalam metanol 60%. Larutan yang dihasilkan kemudian diambil untuk dianalisis dengan cara di bawah. b. Preparasi Konjugat Encer Konjugat aflatoksin peroksidase (AFB1-HRPO) dicampur dengan pengencer konjugat dalam perbandingan 30 μl konjugat per mL pengencer konjugat. Konjugat yang telah dibuat kemudian disiapkan untuk dicampurkan dengan standar dalam plat pencampuran. c. Preparasi larutan Substrat Substrat A (buffer natrium asetat) dalam ELISA-Kit (Aflavet) dicampur dengan substrat B (tetramethilbenzidine) dalam perbandingan 30 μl substrat B per mL substrat A. Substrat yang telah siap kemudian digunakan dalam proses pencampuran.
d. Analisis Aflatoksin B1 dengan KIT ELISA
1. Tahap Pencampuran dalam microplate Sebelum pencampuran semua bahan terlebih dahulu dikondisikan dalam suhu ruang. Larutan standar aflatoksin B1 (AFB1) dengan konsentrasi 0,12; 0,37; 1,10; 3,30; 10,00; dan 30,00 ppb disiapkan. Kemudian dalam plat pencampuran dibuat campuran antara 100 μl standar AFB1 dan 100 μl konjugat yang telah diencerkan. Blanko juga dibuat dengan mencampurkan 100 μl metanol 60% dengan 100 μl metanol 60%.
2. Tahap reaksi Campuran standar atau ekstrak sampel dan konjugat pada plat pencampuran kemudian dipindahkan sebanyak 75 μl ke dalam plat terlapis antibodi masing-masing duplo. Campuran pada plat terlapis antibodi kemudian diinkubasikan pada suhu ruang selama 5 menit. Selanjutnya larutan dibuang dan plat dicuci dengan 3 kali pencucian dalam air kemudian dikeringkan. Pada plat terlapis antibodi kemudian ditambahkan larutan substrat yang sudah disiapkan sebanyak 100 μl dan plat diinkubasikan kembali selama 10 menit dalam suhu ruang. Pada tahap ini akan terbentuk warna hijau yang kepekatannya berbanding terbalik dengan konsentrasi aflatoksin yang terdeteksi pada plat. Tahap selanjutnya ialah penambahan 50 μl larutan penghenti (H2SO4 1,25 M) hingga warna larutan pada plat terlapis antibodi berubah menjadi kuning dan siap untuk dibaca pada ELISA reader (microplate spectrophotometer). Ilustrasi pada plat terlapis antibodi dapat dilihat pada Gambar 11 (Catatan: A1=campuran baris A kolom 1 pada plat pencampur).
25
1’
2’
3’
4’
A’ A1
A1
A2
A2
B1
B1
B2
B2
C’ C1
C1
C2
C2
D’ D1
D1
D2
D2
E’
E1
E1
E2
E2
F’
F1
F1
F2
F2
G’ G1
G1
G2
G2
H’ H1
H1
H2
H2
B’
5’
6’
7’
8’
9’
10’
11’
12’
Gambar 11. Ilustrasi pada antibody-coated microplates
3. Tahap Pembacaan dan Perhitungan Larutan pada plat terlapis antibodi dibaca dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. Pembacaan dengan ELISA reader akan mendapatkan nilai serapan warna (optical density) pada tiap sumur plat. Perhitungan dilakukan dengan menggunakan persamaan yang telah tersedia pada program penunjang. Data kandungan AFB1 pada sampel diperoleh dengan memasukkan hasil pengukuran OD atau persen inhibisi sampel ke persamaan garis kurva kalibrasi standar, dikalikan faktor pengenceran dan dibagi bobot sampel. Apabila % inhibisi sampel yang diperoleh lebih besar dari persen inhibisi standar 10-30 ppb, terdapat kemungkinan sampel mengandung AFB1 dalam jumlah tinggi sehingga diperlukan perlakuan pengenceran untuk mendapat kisaran konsentrasi yang terdeteksi pada ELISA-Kit. Konsentrasi akhir kemudian harus dikalikan lagi dengan faktor pengenceran.
2. Analisis Produksi Aflatoksin (Bainton et al. 1980) 26
a. Sampling Proses sampling dilakukan dengan mengambil 1 mL media secara aseptis dan kemudian disimpan pada botol sampel yang telah disiapkan. b. Ekstraksi Aflatoksin Proses esktraksi dilakukan dengan mencampurkan 1 mL sampel dengan 1 mL klorofom dalam tabung reaksi bertutup kemudian divorteks selama 1 menit. Setelah itu dilakukan pemisahan fase klorofom dan hasil pemisahan dimasukkan ke dalam botol hasil ekstrak yang telah disiapkan. Larutan yang tersisa dalam tabung reaksi ditambahkan lagi klorofom sebanyak 1 mL dan divorteks selama 1 menit. Kemudian dilakukan pemisahan fasa klorofom dan hasil pemisahan dimasukkan dalam botol hasil ekstraksi. Fasa klorofom kemudian dihilangkan menggunakan waterbath. Hasil ekstraksi telah siap untuk dianalis. c. Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC (Bainton et al. 1980)
1. Tahap Persiapan Persiapan dilakukan dengan penjenuhan bejana TLC dengan fase gerak (kloroform : aseton=9 : 1). Persiapan lempeng TLC dilakukan dengan mendiamkan lempeng TLC dalam oven dengan suhu 80˚C selama satu jam.
2. Tahap Identifikasi Analisis aflatoksin dilakukan dengan menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) satu dimensi dengan fase gerak (kloroform : aseton = 9 : 1). Plat TLC yang digunakan adalah plat dengan fase diam silika gel. Ekstrak aflatoksin yang telah dihasilkan kemudian ditotolkan secara kuantitatif pada lempeng kromatografi. Setelah itu lempeng kromatografi dimasukkan ke dalam bejana yang berisi pelarut (kloroform : aseton = 9 : 1) yang telah dijenuhkan lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas elusi. Lempeng kromatografi kemudian dikeringkan.
3. Tahap pengamatan Hasil elusi dikeringkan dan diamati di bawah lampu UV pada panjang gelombang 365 nm. Perpendaran dan waktu rambatnya (Rf) dari bercak sampel dan standar dibandingkan.
4. Perhitungan Kandungan aflatoksin pada sampel didapatkan dengan membandingkan intensitas perpendarannya dengan standar. Hal tersebut didapatkan dari deret standar aflatoksin yang dielusi dengan pelarut. Aflatoksin dikatakan positif apabila Rf sampel
27
sama dengan standar. Kandungan aflatoksin ditentukan dengan rumus sebagai berikut (Bainton et al., 1980) :
Keterangan : S : Volume aflatoksin standar (μL) yang memberikan perpendaran setara dengan Z μL sampel. Y : Konsentrasi aflatoksin standar aflatoksin dalam μg/mL. Z : Volume ekstrak sampel (μL) yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran setara S μL standar aflatoksin. W : Berat aflatoksin yang diekstrak (g). V : Volume pelarut yang dibutuhkan (μL) FP : Faktor pengenceran.
d. Konfirmasi Hasil Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC
1. Tahap Derivatisasi Analisis aflatoksin konfirmasi dilakukan menggunakan High Performance Liquid chromatography (HPLC) fase terbaik (reversed phase) dengan fase gerak (akuabides : metanol grade : asam asetat glasial = 65 : 15 : 20) yang telah melalui proses vacuum filtering dengan sonikator. Sampel hasil ekstraksi sebanyak 1 mL diderivatisasi dengan menambahkan 50 µL TFA dan 200 µL n-heksana lalu didiamkan selama 15 menit dalam ruang asam. Sampel kemudian dikeringkan di dalam oven bersuhu ±50˚Cselama 10 menit, selanjutnya dilarutkan dalam 1 mL fase gerak dan diinjeksikan ke dalam HPLC.
2. Tahap Analisis Sampel yang telah diderivatisasi divorteks sebelum kemudian diinjeksikan ke dalam HPLC. Hasil analisis kemudian ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Setiap sampel yang dianalisis memiliki nilai faktor pengenceran yang berbeda bergantung pada intensitas aflatoksin yang teramati dalam sampel. Kondisi instrumen HPLC yang digunakan meliputi: a.
Kolom
: C18 µBondapack (3,9 x 300 mm) column
b.
Detektor
: Fluoresen, λem 425nm dan λeks 365 nm
c.
Volume injeksi
: 20 µL
d.
Laju aliran
: 1,2 mL/menit
e.
Fase gerak isokratik: metanol/akuabides/asam asetat glasial (15/20/65)
28
f.
Lama running
: 30 menit.
g.
Suhu
: suhu ruang
3. Tahap Perhitungan Perhitungan kadar aflatoksin yang terdapat pada sampel secara konvesional dapat dihitung menggunakan persamaan:
/
Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel (ppm) Lc = Luas area contoh Ls = Luas area standar Cs = konsentrasi standar (ppm) FP = Faktor pengenceran Bc = Bobot contoh (g) Meskipun demikian, instrumen HPLC yang digunakan mampu memproses data secara otomatis sehingga perhitungan dapat pula dilakukan dengan persamaan: / Keterangan: Cp = Konsentrasi aflatoksin dalam sampel (ppm) Ch = Konsentrasi aflatoksin dalam kromatogram (ppm) Bc = Bobot contoh (g)
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Seleksi Isolat Lokal Penghasil Aflatoksin Menggunakan KIT ELISA Proses seleksi sampel isolat lokal Aspergillus sp. yang dilakukan menggunakan Kit ELISA dengan format kompetitif langsung telah berhasil dilakukan. Jumlah total sampel yang telah menjalani uji potensi ialah sebanyak 55 sampel dari 10 isolat Aspergillus flavus yang diperoleh dari hasil sampling di daerah Jawa Barat dan Jabotabek, disertai isolat JCM. Hasil pembacaan dari microplate spectrophotometer kemudian diolah dengan perhitungan hingga menghasilkan nilai persen inhibisi. Nilai serapan (OD) dan persen inhibisi dari ikatan konjugat dan antibodi kemudian dijadikan kurva kalibrasi standar, yaitu plot antara nilai OD dan konsentrasi aflatoksin B1. Kedua kurva kalibrasi analisis menunjukkan linieritas yang baik. Berikut ini ialah salah satu kurva kalibrasi yang digunakan (Gambar 12).
29
% Inhibisi
100 y = 14,55ln(x) + 22 R² = 0,940 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0 0
1 10 Aflatoksin B1 (ng/ml)
100
Gambar 12. Tampilan kurva kalibrasi analisis untuk sampel S.3 (A) 6/8/09, S.5 (D) 29/7/09, S.26 (C) 31/7/09, dan F-0213 (B) 13/8/09 berdasarkan pembacaan dengan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm dengan ELISA kit Aflavet.
ELISA-kit yang digunakan merupakan ELISA-kit yang dikembangkan oleh Balitvet yakni ELISA-kit Aflavet yang spesifik untuk analisis aflatoksin B1. Hasil seleksi dari 10 isolat lokal (S3, S5, S9, S11, S14, S17, S19, S23, S26, dan F-0213) yang terdiri atas 50 sampel dengan satu isolat kontrol positif (JCM) yang terdiri dari 5 sampel menggunakan ELISA-kit ditampilan pada Tabel 9.
Tabel 9. Kadar aflatoksin dalam sampel berdasarkan analisisg menggunakan ELISA Kitc
30
Sampelb
S3
S5
S9
S11
H1
Kadar aflatoksina (ppb)f 534,0
H3
267,0
H5
491,4
H8
Sampel H1
Kadar aflatoksin (ppb)f 27,7
H3
29,4
H1
Kadar aflatoksin (ppb)f 319,7
H3
108,4
H5
878,6
H5
1212,3
n.d
H8
145,7
H8
145,1
H11
31,4
H11
79,9
H11
143,7
H1
219,9
H1
n.d
H1
14,7
H3
234,2
H3
n.d
H3
84,5
H5
219,9
H5
n.d
H5
25,6
H8
101,2
H8
n.d
H8
252,8
H11
433,7
H11
n.d
H11
64,9
H1
267,0
H1
n.d
H1
n.d
H3
178,6
H3
n.d
H3
734,6
H5
223,0
H5
n.d
H5
556,7
H8
302,5
H8
n.d
H8
809,4
H11
178,6
H11
n.d
H11
445,9
H1
38,3
H1
n.d
H3
135,4
H3
n.d
H5
18,1
H5
n.d
H8
108, 4
H8
n.d
H11
249.0
H11
n.d
S14
S17
S19
S23
Sampel
S26
F-0213
JCMh
a
Aflatoksin B1. Sampel isolat lokal Aspergillus flavus koleksi Bbalitvet Culture Collection (BCC) yang ditumbuhkan dalam media PDB (inkubasi 9 hari, suhu 25°C). Data merupakan hasil sampling pada hari ke-1, 3, 5, 8, dan 11. c ELISA-Kit Aflavet dengan format direct competitive ELISA yang dikembangkan oleh Balitvet (Balai Besar Penelitian Veteriner), Cimanggu, Bogor. d Sampel diinkubasi tambahan selama 10 menit sebelum dibaca persen inhibisi pada ELISA-reader. e Sampel isolat lokal Aspergillus flavus yang dipilih untuk dilanjutkan dalam tahapan penelitian berikutnya. f part per billion g Persamaan yang digunakan dalam menentukan nilai persen inhibisi ialah: y=14,721Ln(x) + 25,931; R2=0,9159. Pengecualian pada sampel S.3 H11, S.5 H3, S.26 H5, dan F-0213 H8 yang menggunakan persamaan y=14,551Ln(x) + 22; R2=0,9406. Sampel dengan kadar aflatoksin tertinggi ialah sampel S.26 H5 dengan kandungan aflatoksin sebesar 1212,3 ppb. n.d = not detected (below quantitation limit: 0,3 ng/g) h Isolat JCM merupakan isolat kontrol positif (+) b
Balitvet mengembangkan metode analisis AFB1 secara Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) berupa Aflavet yang telah divalidasi dengan melakukan inner laboratorium study dan telah terbukti mendapatkan hasil konsisten dengan metode standar kromatografi 31
(Rachmawati et al. 2004). Analisis berlangsung dalam plat mikro. Aflatoksin B1 yang terdapat pada sampel akan berkompetisi dengan konjugat untuk berikatan dengan antibodi yang terlapis dalam plat mikro. Data hasil seleksi menunjukkan bahwa dari 55 sampel isolat lokal yang diseleksi diperoleh 69% hasil positif. Sampel terdeteksi mengandung aflatoksin dalam kisaran 17,7-1212,3 ppb dengan 27 sampel mengandung aflatoksin <100 ppb, 27 sampel mengandung aflatoksin dalam kisaran 100-1000 ppb, dan satu sampel mengandung aflatoksin >1000 ppb dengan kandungan aflatoksin rata-rata sebesar 187,5 ppb. Jumlah aflatoksin terdeteksi tertinggi ditemukan pada sampel S.26(C) dengan jumlah aflatoksin B1 terdeteksi sebesar 1212,3 ppb. Sampel tersebut kemudian akan dipilih untuk dilanjutkan ke tahapan penelitian berikutnya. Tahapan seleksi yang dilakukan menggunakan ELISA-Kit berjalan dengan cepat dan efisien, sehingga bisa mempercepat waktu seleksi yang dibutuhkan. Pada hasil seleksi ditemukan pula beberapa sampel yang menghasilkan nilai n.d (not detected). Hal tersebut terjadi karena jumlah aflatoksin B1 apabila ada pada sampel-sampel tersebut berada di bawah limit deteksi AFB1 ELISA-Kit Aflavet yakni 0,3 ng/g (Rachmawati et al. 2004). Hal tersebut kemungkinan disebabkan sampel-sampel tersebut menghasilkan aflatoksin B1 dalam jumlah terlalu sedikit, tidak menghasilkan aflatoksin B1 atau bahkan memang tidak menghasilkan aflatoksin samasekali. Uji ELISA seringkali memberikan hasil kesalahan positif, sehingga konfirmasi hasil uji ELISA menggunakan uji lain yang lebih spesifik seperti HPLC (High Performance Liquid Chromatography) sangatlah penting untuk dilakukan (Ruiqian et al. 2004).
B. Hasil Analisis Aflatoksin Menggunakan TLC Sampel yang telah dibiakkan dalam media cair PDB dan GAN termodifikasi kemudian di-sampling secara aseptis untuk analisis kandungan aflatoksin menggunakan metode TLC (Thin Layer Chromatography). Sampel kemudian disimpan dalam suhu refrigerator sebelum diekstrak menggunakan klorofom. Sampel yang telah diekstrak dianalisis dengan metode TLC menggunakan teknik perbandingan dengan standar (Jones 1972). Sampel di-spotting pada lempeng silika gel (fase stasioner) dengan fase gerak kloroform-aseton (9:1) yang telah dipersiapkan dan diletakkan dalam developing chamber yang telah dijenuhkan terlebih dahulu. Secara alami aflatoksin memberikan fluoresensi pada panjang gelombang tertentu yang disebabkan oleh struktur oxygenated pentaheterocyclic aflatoksin (Fente et al. 2001). Hal tersebut memungkinkan analisis aflatoksin menggunakan TLC untuk kemudian hasil fluoresensi dibaca menggunakan UV-reader pada panjang gelombang 365 nm. Hasil fluoresensi yang diamati dalam UV-reader dibandingkan dengan hasil fluoresensi standar yang digunakan. Selanjutnya dilakukan perhitungan konsentrasi aflatoksin dalam sampel sesuai dengan rumus yang tersedia. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua sampel dari semua ulangan yang diperoleh dari media GAN termodifikasi tidak terdeteksi menghasilkan aflatoksin. Uji TLC yang dilakukan pada sampel dari media GAN termodifikasi telah diujikan dengan berbagai volume spotting namun tetap tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin yang terdeteksi pada sampel. Hal tersebut berbeda dengan hasil analisis TLC pada sampel dari media PDB yang secara konstan
32
menunjukkan adanya produksi aflatoksin pada tiap ulangan sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Hasil uji TLCe kadar aflatoksin sampel pada media PDBa Kadar Aflatoksin (ppb)* Sampling
Ulangan 1 b
H0
Ulangan 2 c
b
JCM
S.26
Ulangan 3 c
b
JCM
S.26
Ulangan 4 c
b
JCM
S.26
Ulangan 5 c
b
JCM
S.26
Rataan c
JCMb
S.26c
JCM
S.26
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
H2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
H5
100
100
0,0
0,0
100
100
0,0
0,0
0,0
0,0
40
40
H7
100
250
250
250
150
100
50
50
100
100
130
150
H9
150
450
300
500
200
200
200
200
150
150
200
290
H12
200
300
400
300
200
150
250
200
150
200
240
230
H14
200
100
250
200
200
150
100
100
150
100
180
130
H16
100
100
100
150
150
150
100
50
100
150
110
120
H19
0,0
100
50
150
100
50
50
50
100
100
60
90
H21
0,0
0,0
50
50
50
0,0
25
25
50
50
35
25
a
Media PDB (pH 4.00, suhu 25°C) Kontrol positif (+) berupa isolat Aspergillus flavus Koleksi JCM c Sampel berupa isolat lokal Aspergillus flavus S.26 d ppm (part per billion=ng/g) e Konsentrasi standar aflatoksin yang digunakan: B1=200 ppb, B2=100 ppb, G1=1000 ppb, G2=300 ppb. LoD = 0.4 ppb (Meilawati 2007) b
Berbeda dengan sampel pada medium GAN termodifikasi, sampel pada medium PDB menunjukkan adanya produksi aflatoksin. Perbedaan hasil yang cukup signifikan mengindikasikan adanya perbedaan kapabilitas kedua media yang digunakan dalam mendukung produksi aflatoksin pada strain S.26 dan JCM. Meskipun hasil analisis sampel dari media GAN termodifikasi tidak menunjukkan keberadaan aflatoksin, hasil pengamatan visual selama periode pembiakan kapang pada media GAN termodifikasi menunjukkan adanya pertumbuhan kapang yang ditunjukkan dengan adanya koloni pada media. Meskipun demikian, ciri-ciri morfologis koloni yang terdapat pada media GAN termodifikasi berbeda dengan koloni yang dijumpai pada media PDB. Koloni pada media PDB memiliki ciri morfologis berwarna kuning kehijauan dan berubah menjadi hijau tua pada koloni yang sudah tua (Gambar 13). Sementara itu, koloni pada media GAN termodifikasi berwarna putih yang berasal dari miselium kapang (Gambar 14). 33
Gambar 13. Koloni Aspergillus flavus pada media GAN termodifikasi
Gambar 14. Koloni Aspergillus flavus pada media PDB
Brian et al. (1961) menyatakan bahwa medium GAN (Glucose Ammonium Nitrate) mampu menunjukkan hasil produksi aflatoksin yang tinggi pada beberapa strain Aspergillus flavus. Meskipun demikian, hasil penelitian Maggon et al. (1969) menunjukkan bahwa medium GAN dapat memberikan hasil yang rendah pada beberapa strain tertentu. Hasil percobaan yang dilakukan Moggan et al. (1969) mengindikasikan bahwa medium GAN bisa memberikan hasil yang variatif bergantung pada strain Aspergillus flavus yang diujikan. Aspergillus tidak membutuhkan garam untuk produksi toksin sehingga ketersediaan trace element dalam media sangat mempengaruhi produksi toksin. Meskipun demikian, setiap strain memiliki kebutuhan yang berbeda-beda sehingga efek dari trace element yang tersedia dalam medium GAN dapat menunjukkan hasil yang variatif (Moggan et al. 1969). Nazari (2010) menyatakan bahwa perubahan pada komposisi medium bisa mempengaruhi parameter pertumbuhan yang berbeda. Hal tersebut menjelaskan mengapa beberapa peneliti telah melaporkan adanya pengaruh yang besar dari suatu medium terhadap pertumbuhan suatu kapang
34
sementara beberapa peneliti lain melaporkan tidak adanya pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan dari kapang yang sama. Berdasarkan hal tersebut diduga bahwa strain S.26 (C) dan JCM yang digunakan dalam analisis dengan TLC, seperti halnya strain DU/KR 79 F dan DU/KR 79 K dalam penelitian Moggan et al. (1969) tidak menunjukkan produksi aflatoksin dalam medium GAN termodifikasi karena pengaruh dari modifikasi medium berupa substitusi sukrosa pada sebagian glukosa, penetapan pH awal 7, maupun ketidakcocokan strain terhadap medium GAN. Uji TLC dilakukan pada 100 sampel yang berasal dari sampling pada lima ulangan yang berasal dari strain yang sama sehingga apabila strain yang digunakan tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada medium GAN termodifikasi maka semua sampel yang diujikan akan memberikan hasil yang sama. Kasno (2003) menyatakan bahwa koloni Aspergillus flavus yang sudah menghasilkan spora akan berwarna cokelat kehijauan hingga kehitaman dan miselium yang berwarna putih sudah tidak nampak lagi. Penampakkan warna putih pada koloni kapang di media GAN termodifikasi diduga terjadi karena kapang yang tumbuh belum atau tidak mampu menghasilkan spora. Bukti-bukti menunjukkan bahwa metabolit sekunder dapat diasosiasikan dengan proses perkembangan kapang seperti sporulasi dan pembentukkan sklerotia (Yu et al. 2002). Rendahnya produksi aflatoksin disebabkan pula oleh rendahnya pembentukkan biomassa miselia kapang yang mengindikasikan adanya pertumbuhan yang terhambat. Pertumbuhan yang terhambat akan mempengaruhi produksi aflatoksin karena meskipun aflatoksin merupakan metabolit sekunder namun produksinya sangat terkait dengan berbagai enzim yang ikut terhambat saat pertumbuhan terhambat. Sardjono et al. (1992) dan Aryantha et al. (2007) menyimpulkan bahwa pertumbuhan miselia yang terhambat memiliki pengaruh langsung dan tidak langsung kepada sintesis enzim termasuk enzim yang berperan dalam produksi aflatoksin sehingga akan berpengaruh terhadap produksi aflatoksin baik langsung maupun tidak langsung. Lebih lanjut Yu et al. (2002) menyatakan bahwa hasil pengamatan menunjukkan kondisi lingkungan yang dibutuhkan untuk metabolisme sekunder dan pembentukkan spora adalah sama. Pembentukkan spora dan metabolit sekunder juga berlangsung secara bersamaan. Hal ini mungkin bisa menjelaskan alasan tidak ada aflatoksin yang terdeteksi pada uji TLC pada sampel-sampel dari media racikan. Berbeda dengan koloni pada media GAN termodifikasi, warna koloni pada media PDB menandakan bahwa koloni tersebut telah menghasilkan spora dan metabolit sekunder. Hal tersebut sejalan dengan hasil analisis TLC yang menunjukkan adanya aflatoksin yang diproduksi oleh kapang pada media PDB. Meskipun demikian, penyebab adanya perbedaan hasil dari kedua media masih belum dapat dijelaskan dengan akurat karena faktor utama yang menyebabkan adanya perbedaan belum bisa diidentifikasi. Kedua media yang digunakan secara umum hanya memiliki perbedaan dalam pH awal dan sumber nitrat yang digunakan. Media GAN termodifikasi memiliki pH 7.00 dengan nitrat berasal dari sumber anorganik yakni ammonium nitrat. Sementara itu, media PDB yang digunakan memiliki pH awal 4.00 dengan nitrat berasal dari sumber organik. Kedua faktor tersebut diduga mempengaruhi produksi aflatoksin pada kedua media. Yu et al. (2002) menyatakan bahwa terdapat bukti potensial tentang ekspresi gen dalam produksi aflatoksin yang dipengaruhi oleh sinyal lingkungan, seperti pH dan kandungan nitrat. Meskipun demikian, pengaruh nitrat terhadap produksi aflatoksin sampai saat ini masih belum jelas. Sementara itu, Buchanan et al. (1975) dan Ruiqian (2004) menyatakan bahwa bahwa pH awal tidak mempengaruhi produksi aflatoksin pada beberapa strain secara signifikan dan universal, 35
sedangkan pengamatan lainnya menunjukkan bahwa pH asam lemah secara nyata menekan pertumbuhan kapang namun menghasilkan aflatoksin yang lebih tinggi. Hasil pengamatan menunjukkan media PDB dengan pH awal 4.00 mampu mendukung produksi aflatoksin lebih baik dibanding media GAN termodifikasi yang memiliki pH awal 7.00 terhadap strain S.26 dan JCM yang dievaluasi. Meskipun demikian, tidak diketahui signifikansi pengaruh faktor pH awal karena pH akhir pada kedua media tidak diukur. Pengaruh dari pH awal bergantung pada komposisi media sehingga pH awal yang optimum untuk tiap media akan berbeda. Namun demikian, terdapat indikasi bahwa pH awal 7.00 mungkin merupakan salah satu penyebab minimnya produksi aflatoksin pada media GAN termodifikasi. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk melihat pengaruh pH awal sekaligus menentukan pH awal yang paling optimum untuk media GAN termodifikasi. Parameter lain selain pH awal dan komposisi media antara media GAN termodifikasi dan media PDB adalah sama. Parameter seperti ketersediaan O2 dan CO2, suhu, dan kelembaban udara dianggap seragam karena kedua media ditempatkan pada ruang inkubasi yang sama. Kedua media ditempatkan pada ruangan dengan temperatur sekitar 25˚C dan kelembaban udara normal. Temperatur ruang inkubasi diusahakan tetap konstan dalam kisaran 25˚C. Meskipun demikian, pengatur suhu yang berupa AC (Air Conditioner) memungkinkan adanya sedikit variasi suhu selama pembiakan kapang, namun variasi suhu tersebut dialami oleh biakan dalam kedua media sehingga dalam hal ini kondisi pembiakan dapat disimpulkan seragam. Kedua jenis sampel baik dari isolat lokal S.26 dan JCM memiliki produksi tertinggi pada ulangan kedua. Sampel isolat S.26 pada ulangan kedua menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 400 ppb dan sampel isolat JCM menghasilkan nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 500 ppb. Sampel dari ulangan kedua kemudian dianalisis menggunakan HPLC untuk memperoleh nilai kandungan aflatoksin yang lebih akurat. Metode TLC dalam analisis aflatoksin yang dilakukan masih memiliki beberapa kelemahan seperti tingkat sensitivitas yang lebih rendah dari metode lain seperti HPLC. Publikasi hasil penelitian yang menggunakan TLC juga telah menurun jumlahnya dalam tahuntahun belakangan. Meskipun demikian, metode ini masih dapat digunakan untuk melihat kurva produksi aflatoksin dari sampel yang diuji. Metode TLC dengan teknik perbandingan dengan standar dalam mengestimasi konsentrasi aflatoksin merupakan pengukuran subjektif. Kesulitan dalam memperkirakan perbedaan-perbedaan kecil dalam intensitas fluoresensi secara visual menyebabkan adanya kisaran presisi sebesar ± 20% dalam kondisi ideal (Jones 1972). Faktor yang mempengaruhi tingkat presisi analisis antara lain kesalahan dalam spotting, variasi resolusi dari batch yang berbeda tiap lempeng silika gel, dan kesalahan dalam penentuan peak areas pada pengamatan di UV-reader. Akurasi dan tingkat presisi dalam analisis aflatoksin bisa ditingkatkan dengan mengembangkan instrumen pengukuran yang dapat mengukur intensitas fluoresensi secara objektif.
C. Hasil Konfirmasi Produksi Aflatoksin Menggunakan HPLC Analisis menggunakan metode HPLC kemudian dilakukan sebagai uji konfirmasi dari analisis menggunakan metode TLC yang dilakukan sebelumnya. Analisis dilakukan dengan menggunakan HPLC fase normal secara bertahap hingga menemukan kandungan aflatoksin pada sampel dalam range pada kromatogram. Sebelum sampel diinjeksikan standar terlebih dahulu diinjeksikan. Berikut ini merupakan salah satu kromatogram standar (Gambar 15). 36
Gambar 15. Kromatogram standar aflatoksin: B1=5 ppb, B2=2,5 ppb, G1=25 ppb, dan G2=7,5 ppb Sampel ulangan kedua dari media PDB kemudian mengalami proses derivatisasi dengan trifluoroasetat (TFA) sebelum kemudian dianalisis menggunakan HPLC. Data diperoleh dalam bentuk kromatogram seperti dapat dilihat pada Gambar 16.
Gambar 16. Kromatogram sampel ulangan ke-2 S. 26 PDB H9 (AFB1=13 ppb)
37
Hasil analisis sampel ulangan kedua yang telah diderivatisasi ditampilkan dalam bentuk kromatogram. Hasil perhitungan setelah memasukkan variabel faktor pengenceran dan berat contoh sehingga menghasilkan kadar aflatoksin dalam sampel dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil uji HPLCa kadar aflatoksin sampel ulangan 2 pada media PDBb Sampelc
ULANGAN 2
Ulangan
Jenis Sampel
Kadar Aflatoksin (ppb)d Kode Sampel
B1
B2
G1
G2
PDB (+) H7
369,1
-nd-
--nd--
3,7
Isolat
PDB (+) H9
652,6
-nd-
--nd--
7,8
Aspergillus
PDB (+) H12
847,7
17,9
--nd--
--nd--
flavus JCM
PDB (+) H14
447,7
0,9
--nd--
--nd--
PDB (+) H16
74,7
-nd-
--nd--
--nd--
PDB H7
290,2
--nd--
--nd--
--nd--
Isolat
PDB H9
935,8
--nd--
--nd--
--nd--
Aspergillus
PDB H12
596,2
--nd--
--nd--
--nd--
flavus lokal S.26
PDB H14
148,6
4,7
304,2
--nd--
PDB H16
201,5
82,6
1.772,3
--nd--
a
High Performance Liquid Chromatography menggunakan fase gerak isokratik metanol:asam asetat glasial:akubiades (15:20:65), laju alir:1,2 mL/menit, volume injeksi: 20µL, detektor: fluoresen λem (425 nm), λeks (365 nm), kolom C18 µBondapack (3,9x300 mm). Nilai %SBR=0,21-2,00%. Analisis ANOVA one-variant (fhitung=0.04953) menunjukkan kedua sampel (S.26 dan JCM) tidak berbeda nyata. b media PDB (Potato Dextrose Broth) dengan pH awal 4.00 c Sampel merupakan ulangan kedua dari lima ulangan d part per billion
Analisis menggunakan HPLC mampu mendeterminasi kandungan aflatoksin dalam sejumlah sampel dengan lebih akurat (Ruiqian et al. 2004). HPLC merupakan alat berbasis-kimia untuk kuantifikasi dan analisis sejumlah komponen kimia dalam suatu campuran kimiawi. Alat tersebut memiliki banyak kegunaan dan dapat diotomatisasi dengan mudah meskipun aplikasi yang lebih luas menjadi terbatas karena prosedurnya yang kompleks dan peralatannya yang mahal. Meskipun demikian, aplikasi pada penelitian yang beragam mampu menjadikan metode HPLC sebagai metode yang paling banyak dilakukan dalri seluruh metode kromatografi (Skoog et al. 2007). Hasil analisis aflatoksin pada kedua sampel dimulai pada sampel H-7 seperti dapat dilihat pada Gambar 17.
38
Jumlah AFB1 (ppm)
1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4 0,3 0,2 0,1 0,0
H7
H9
H12
H14
H16
H19
H21
AFB1 S,26 0,290230 0,935820 0,596220 0,148654 0,201552 0,000000 0,000000 AFB1 JCM 0,369099 0,652630 0,847690 0,447693 0,074684 0,000000 0,000000 Gambar 17. Kurva produksi aflatoksin B1 isolat S.26 dan JCM pada media PDB (pH 4,00 dan suhu inkubasi 25°C) dengan interval h7-h21. Hasil analisis menunjukkan bahwa kedua sampel memiliki nilai dan waktu produksi maksimum yang berbeda. Sampel isolat lokal memiliki nilai produksi toksin maksimum sebesar 935,8 ppb yang diperoleh pada H-9 sedangkan sampel isolat JCM memproduksi aflatoksin sebesar 847,7 ppb yang diperoleh pada H-12. Hasil tersebut dapat dibandingkan dengan percobaan yang dilakukan oleh Aryantha et al. (2007) yang menghasilkan aflatoksin sebesar 1090,1 ppb. Kandungan aflatoksin sampel isolat lokal S.26 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan hasil seleksi yang diperoleh menggunakan teknik ELISA, yakni sebesar 1.212,3 ppb. Hal tersebut mnegindikasikan adanya kemungkinan hasil kesalahan positif pada uji seleksi. Penurunan nilai produksi maksimum aflatoksin juga mungkin disebabkan oleh adanya pengaruh dari berbagai faktor yang membedakan sampel uji HPLC dengan sampel yang digunakan dalam seleksi. Sampel yang dianalisis menggunakan HPLC telah mengalami penyegaran dalam media padat agar miring dan berbagai serial transfer dalam proses persiapan dan pembiakan. Hal tersebut bisa mempengaruhi kemampuan sampel dalam meproduksi toksin. Strain dari Aspergillus flavus seringkali mengalami degenerasi melalui perlakuan serial transfer pada media berkultur yang menyebabkan perubahan morfologi seperti penurunan sporulasi pada area hifa, serta ketidakmampuan untuk memproduksi sklerotia diiringi penurunan produksi aflatoksin (Horn et al.. 2001). Aspergillus flavus diketahui dapat tumbuh secara aseksual dengan baik dalam kondisi laboratorium, meskipun demikian populasinya secara alamiah sangat poliformik (Hedayati et al. 2007). Reddy et al. (1971) menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada media sintetis untuk pertumbuhan fungi secara umum lebih rendah dari produksi pada media crude seperti media padat jagung maupun media sintetis dengan ekstrak crude. Bilgrami et al. (1988) memberikan postulasi bahwa penurunan produksi aflatoksin pada kondisi laboratorium bisa disebabkan oleh minimnya paparan terhadap lingkangan kompetitif dan kondisi stres seperti terdapat di alam. Penurunan produksi aflatoksin setelah melalui serial transfer di laboratorium mungkin dapat diartikan pada level populasi dimana seleksi lebih memilih varian Aspergillus yang tidak menghasilkan aflatoksin. Horn et al. (2001) menjelaskan bahwa dalam populasi di alam, kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan cenderung memilih spesies tipe liar (wild type) dan
39
menyingkirkan spesies-spesies yang umumnya hanya dapat diamati di laboratorium. Meskipun demikian, efek yang lebih jelas dari kompetisi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi Aspergillus flavus seringkali sulit untuk dideteksi karena keberagaman yang tinggi dalam produksi aflatoksin pada tiap sampel. Produksi aflatoksin sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain karakteristik biologis dan kimiawi spesies, substrat, dan lingkungan seperti iklim dan faktor geografis, serta faktor-faktor lain meliputi temperatur, kelembaban, cahaya, aerasi, pH, sumber karbon dan nitrogen, faktor stress, lipida, trace metal salt, tekanan osmosis, potensi oksidasi-reduksi, dan komposisi kimiawi dari nutrien yang diberikan (Yu et al. 2002; Ruiqian et al. 2004; Hedayati et al. 2007; Martins et al. 2008). Selain itu, pengelompokkan gen mengindikasikan bahwa produksi aflatoksin memiliki kaitan dengan fungsi kelangsungan hidup kapang. Meskipun demikian, hal tersebut masih belum sepenuhnya dipahami mengingat tidak semua Aspergillus flavus menghasilkan aflatoksin namun masih tetap dapat bersaing dengan Aspergillus flavus dalam relung yang sama (Yu et al. 2002). Berbeda dengan biosintesis kebanyakan metabolit sekunder lainnya, ekpresi gen aflatoksin terbantu dengan adanya karbohidrat sederhana seperti glukosa, sukrosa, dan maltosa, namun bukan oleh pepton maupun laktosa. Chiou et al. (2002) Melaporkan bahwa dari 18 enzim yang terlibat dalam reaksi biosintesis aflatoksin, gen Afi-J merupakan gen yang menentukan produktivitas aflatoksin. Apabila gen tersebut terganggu atau inaktif, produksi aflatoksin akan menurun dengan sangat signifikan bahkan sampai tidak memproduksi aflatoksin samasekali. Yu et al. (2002) lebih lanjut menyatakan bahwa beberapa faktor nutrisi dan lingkungan tersebut dapat mempengaruhi akumulasi aflatoksin dengan mengubah aktivitas dari satu atau lebih enzim yang terlibat dalam biosintesis aflatoksin. Ruiqian et al. (2004) menyatakan bahwa aflatoksin hanya diproduksi pada temperatur 12-42˚C dengan temperatur optimal 25-35˚C. Produksi aflatoksin umumnya lebih optimum dalam kelembaban tinggi. Sebagai misal, kelembaban udara maksimum untuk produksi aflatoksin pada jagung adalah 25% pada 30˚C dengan kelembaban relatif bervariasi dari 83-88%. Kandungan O2 dan CO2 juga mempengaruhi pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin. Penurunan kandungan CO2 dalam udara sebesar 20% akan menekan produksi aflatoksin dan pertumbuhan kapang. Penurunan kandungan O2 dalam udara sebesar 10% juga akan menekan produksi aflatoksin. Meskipun demikian, pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin hanya akan benar-benar terhenti pada kandungan O2 dalam udara kurang dari 1% (Ruiqian et al. 2004). Kemampuan Aspergillus untuk memproduksi aflatoksin bergantung pada sistem metabolismenya, terutama metabolisme primer lipida dan enzim-enzim synthetase spesifik untuk memproduksi metabolit sekunder (Martins et al. 2008). Hal tersebut merupakan ciri-ciri spesifik yang unik dari tiap strain sehingga strainstrain yang berbeda dapat memberikan hasil yang berbeda dimana beberapa strain mampu memproduksi aflatoksin, terutama aflatoksin B1 dan B2, dalam jumlah besar sementara beberapa strain yang lain tidak (Hedayati et al. 2007). Hasil pengamatan dengan TLC dan HPLC menunjukkan bahwa kadar aflatoksin dapat turun bahkan sampai tidak terdeteksi pada beberapa ulangan. Secara alami produsen aflatoksin, yakni beberapa strain Aspergillus sp. tertentu mampu melakukan proses biodegradasi dari aflatoksin. Ciegler et al. (1966) menyatakan bahwa degradasi aflatoksin merupakan suatu proses kompleks yang melibatkan beberapa parameter. Beberapa penulis menyatakan bahwa toksin digunakan sebagai sumber energi ketika karbohidrat yang tersedia sudah habis. Meskipun demikian hal tersebut nampaknya kurang tepat ketika Ciegler et al. (1966) melaporkan bahwa 40
penambahan karbohdrat setelah produksi maksimum toksin tercapai tidak mencegah degradasi toksin. Ciegler et al. (1966) lebih lanjut menyatakan bahwa lisis miselia diperlukan untuk terjadinya degradasi aflatoksin. Beberapa strain Aspergillus flavus yang tidak menunjukkan kemampuan mendegradasi aflatoksin sebelumnya bisa diinduksi untuk melakukan degradasi dengan melakukan fragmentasi pada miselianya. Sementara itu, strain yang mampu mendegradasi toksin dapat dicegah dengan menempatkan strain tersebut dalam kondisi dimana miselia lisis sulit untuk terjadi. Pengamatan lebih lanjut menyimpulkan adanya sebuah reaksi non-spesifik pada miselia yang telah lisis. Sementara itu, Hamid dan Smith (1987) menyatakan bahwa terhambatnya degradasi toksin pada miselia yang utuh dan tidak lisis mengindikasikan adanya sejenis sistem enzim cytochrome P-450 monooxygenase dalam proses biodegradasi aflatoksin. Meskipun demikian, peranan spesifik enzim tersebut dalam lajur degradasi aflatoksin masih membutuhkan penelitian lebih lanjut. Penelitian lainnya juga menunjukkan keberadaan sistem enzim tersebut pada Aspergillus flavus, meskipun demikian lokasi yang tepat dari aktivitas enzim tersebut dalam jalur degradasi toksin masih belum diketahui. Azab et al. (2005) menyatakan bahwa fragmentasi miselia sangat penting untuk biodegradasi aflatoksin, dimana fragmentasi akan melepaskan faktor intraselular yang bertanggung jawab untuk proses biodegradasi aflatoksin. Hasil biodegradasi fungi mengungkapkan bahwa laju degradasi tercepat diasosiasikan dengan miselia fungi berusia sembilan hari baik pada spesies Aspergillus flavus maupun Aspergillus parasiticus. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi dapat dilihat pada Gambar 18.
Gambar 18. Persentase aflatoksin yang mengalami biodegradasi oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus yang mengalami fragmentasi miselium (Sumber: Azab et al. 2005)
41
Hasil pengamatan pada kromatogram sampel juga menunjukkan adanya komponenkomponen lain baik yang tidak teridentifikasi maupun komponen aflatoksin selain aflatoksin B1 yang berasal dari reaksi silang yang mungkin terjadi selama proses seleksi. Hal tersebut menjadikan kemurnian aflatoksin dalam sampel belum mencukupi untuk dijadikan standar. Proses purifikasi lebih lanjut masih dibutuhkan untuk mencapai kemurnian standar yang diinginkan. Penelitian yang sejenis pernah dilakukan oleh Reddy et al. (2009). Hasil penelitian Reddy et al. (2009) menunjukkan bahwa dari 85 strain Aspergillus flavus yang diseleksi, hanya 51% strain yang mampu menghasilkan aflatoksin B1 sebesar 200-40000 pbb dalam uji ELISA dari isolat yang ditumbuhkan pada medium YES. Hasil tersebut secara komparatif menunjukkan potensi yang jauh lebih besar dibandingkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini yakni sebesar 17,7-1213,3 ppb. 5 sampel dengan nilai produksi aflatoksin tertinggi ditumbuhkan pada media padat beras dan menunjukkan hasil yang lebih tinggi dalam kisaran 13000-415000 ppb. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Reddy et al. (1971) yang menyatakan bahwa produksi aflatoksin pada crude media umumnya lebih tinggi dari media sintetis. Reddy et al. (2009) juga menemukan adanya medium yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada isolat yang ditumbuhkan, yakni medium AFPA (Aspergillus flavus and parasiticus agar). Seperti halnya medium GAN termodifikasi yang tidak menunjukkan produksi aflatoksin pada penelitian ini, diduga medium AFPA tidak cocok untuk mendukung produksi aflatoksin dari isolat yang digunakan. Secara umum penelitian yang dilakukan Reddy et al. (2009) mampu menghasilkan produksi aflatoksin yang jauh lebih tinggi dibandingkan penelitian ini. Produksi aflatoksin B1 yang tinggi dari strain Aspergillus flavus potensial bisa membantu menghasilkan standar murni untuk analisis kontaminasi aflatoksin pada beras di pasar domestik dan ekspor (Reddy et al. 2009).
42
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Hasil seleksi menggunakan metode ELISA menunjukkan bahwa dari sepuluh isolat yang terdiri atas 55 sampel yang diuji, terdapat 7 isolat yang terdiri atas 38 sampel yang mampu menghasilkan aflatoksin dengan isolat S.26 sebagai sampel yang paling banyak memproduksi AFB1 dengan jumlah terdeteksi sebesar 1212,3 ppb. Hasil analisis TLC menunjukkan bahwa isolat S.26 yang diperoleh dari media GAN termodifikasi (n=5) tidak menghasilkan aflatoksin. Sementara itu hasil analisis TLC terhadap isolat S.26 dari media PDB secara konstan menunjukkan adanya produksi aflatoksin pada tiap ulangan (n=5). Koloni pada media PDB memiliki ciri morfologis berwarna kuning kehijauan dan berubah menjadi hijau tua pada koloni yang sudah tua. Hal tersebut mengindikasikan bahwa koloni pada media PDB telah menghasilkan spora yang mengindikasikan adanya produksi aflatoksin. Hasil analisis TLC untuk sampel JCM dari media PDB menunjukkan bahwa semua ulangan menunjukkan produksi tertinggi pada hari ke-12 dengan rata-rata produksi aflatoksin sebesar 240 ppb dalam kisaran produksi 150-400 ppb. Sementara itu, sampel S.26 dari media PDB keempat ulangan menunjukkan produksi tertinggi pada hari 9-12 dengan kisaran produksi 200-500 ppb dan rataan konsentrasi aflatoksin sebesar 310 ppb. Hasil analisis HPLC berbeda dengan TLC. Hasil HPLC menunjukkan bahwa sampel isolat S.26 memiliki nilai produksi maksimum aflatoksin sebesar 935,8 ppb yang diperoleh pada hari ke-9, sedangkan sampel isolat JCM memiliki nilai produksi maksimum sebesar 847,69 ppb yang diperoleh pada hari ke-12. Kandungan aflatoksin sampel isolat lokal S.26 mengalami penurunan apabila dibandingkan dengan hasil seleksi yang diperoleh menggunakan teknik ELISA. Penurunan nilai produksi maksimum aflatoksin disebabkan oleh adanya pengaruh faktor kesalahan positif dalam analisis karena adanya reaksi silang pada uji ELISA. Aflatoksin yang terkandung dalam isolat lokal S.26 memiliki potensi untuk dijadikan kandidat standar dalam analisis aflatoksin namun masih harus melalui proses purifikasi lebih lanjut karena tingkat kemurnian yang diperoleh belum memenuhi persyaratan standar. Hal tersebut dapat dilihat dari masih banyaknya komponen non-aflatoksin B1 pada kromatogram.
B. Saran Optimasi hasil seleksi bisa dilakukan mnggunakan ELISA kit dengan konjugat yang telah diverifikasi terlebih dahulu dan hasil yang diperoleh langsung dikonfirmasi dengan metode HPLC. Media yang digunakan sebaiknya sudah menjalani uji potensi untuk memastikan bahwa media tersebut mendukung produksi aflatoksin optimum termasuk pengaruh pH awal dan nutrien yang diberikan. Penggunaan instrumen seperti HPLC maupun GC-MS bisa dijadikan alternatif metode TLC untuk menghindari adanya data yang membutuhkan pengukuran subjektif. Proses purifikasi lebih lanjut juga dapat dilakukan untuk mencapai kemurnian yang memenuhi persyaratan untuk dijadikan standar acuan dalam analisis aflatoksin.
43
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, H. K. 2005. Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press, Taylor & Francis Group. Aryantha, I. N. P., Lunggani, A. T. 2007. Suppression on the aflatoxin-B production and the growth of Aspergillus flavus by lactic acid bacteria (Lactobacillus delbrueckii, Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum). Biotechnology 6(2): 257-262. Azab, R. M., Tawakkol, W. M., Hamad, A. M., Abou-Elmagd, M. K., El-Agrab, H. M., Refai, M. K. 2005. Detection and estimation of aflatoxin B1 in feeds and its biodegradation by bacteria and fungi. Egyptian Journal of Natural Toxins 2:39-56 Bahri, S., Maryam, R. 2003. Mikotoksin berbahaya dan pengaruhnya terhadap kesehatan hewan dan manusia. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 4-5(1-2): 31-34. Bainton, S. J., Coker, R. D., Jones, B. D., Morlet, E. M., Nagreland, M. J., Turner, R. L. 1980. Mycotoxin Training Manual. London: Tropical Product Institute. Bhatnagar, D., Cleveland, T. E., Payne, G.A. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology: 72–79. London: Academic Press. Bilgrami, K. S., Sinha, S. P., Jeswal, P. 1988. Loss of toxigenicity of Aspergillus flavus strain during subculturing: a genetic interpretation. Curr Sci 57: 551-552. Binder, H. M., Tan, L. M., Chin, L. J., Handl, J., Richard, J. 2007. Worldwide occurence of mycotoxins in commodities, feeds and feed ingredients. Animal Feed Science and Technology 137: 265-282. Brian, P. W., Dawking, A. W. 1961. Phytotoxic compounds produced by Fusarium sp. J. Espel. Botany 12:1-12. Buchanan, R. L., Ayres, J. C. 1975. Effect of initial pH on aflatoxin production. Applied Microbiology 30(6): 1050-1051. Burgess, G. W. 2005. Prinsip dasar ELISA dan variasi konfigurasinya, teknologi ELISA dalam diagnosis dan penelitian. Di dalam: Yusrini, H. Teknik analisis kandungan aflatoksin B1 secara ELISA pada pakan ternak dan bahan dasarnya. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10. Cardwell, K. F., Henry, S. H. 2005. Risk of exposure to and mitigation of effects of aflatoxin on human health: A west African example. Di dalam: Abbas, H. K. (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press, Taylor and Francis Group.
44
Carvalho, A. L. U., Oliveira, F. H. P. C., Mariano, R. L. R., Gouveia, E. R., Souto-Maior, A. M. 2010. Growth, sporulation, and production of bioactive compounds by Bacillus subtilis R14. Brazilian Archives of Biology and Technology 53(3): 643-652. Chiou, C. H., Miller, M., Wilson, D. L., Trail, F., Linz, J. E. 2002. Chromosomal location plays a role in regulation of aflatoxin gene expression in Aspergillus parasiticus. Applied environ. Microbiol. 68: 306-315. Ciegler, A., Peterson, R. E., Lagoda, A. A., Hall, H. H. 1966. Aflatoxin production and degradation by Aspergillus flavus in 20-litres fermentors. Applied Microbiology 14(5): 826-833. Davis, N. D., Diener, U. L., Eldridge, D. W. 1966. Production of aflatoxins B1 and G1 by Aspergillus flavus in semisynthetic medium. Applied Microbiology 14(3): 378-380. Devegowda G., Raju, M. V. L. N., Afzali, N., Swamy, H. V. L. N. 1998. Mycotoxin picture worldwide: Novel solutions for their counteraction. Passport to the year 2000: Biotechnology in feed industry. Proceedings of Alltech’s 14th Annual Symposium : 241255. Diaz G. J., Espitia, E. 2006. Occurence of aflatoxin M1 in retail milk samples from Bogota, Columbia. Food Additives and Contaminants 23(8): 811-815. Diener. U. L., Davis, N. D. 1969. Aflatoxin formation by Aspergillus flavus. Di dalam: L. A. Goldblatt (ed.). Aflatoxin: Scientific Background, Control and Implication. New York: Academic Press. D’Mello, J. P. F. 2002. Mycotoxins in cereal grains, nuts, and other plan products. Di dalam: D’Mello, J. P. F (ed). Food Safety Contaminants and Toxins. Trowbridge: Cromwell Press. Egmond, Hans. P., Jonker, Marco. A. 2005. Worldwide regulations on aflatoxins. Di dalam: Abbas, H. K (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press- Taylor & Francis Group. Fente, C. A.., Ordaz, J. Jaimez., Vazquez, B. I., Franco, C. M., Cepeda, A. 2001. New additive for culture media for rapid identification of aflatoxin-producing Aspergillus strain. Appl. Environ. Microbiol. 67(10): 4858-4862. Frazier, W. C., D. C. Westhoff. 1978. Food Mycrobiology. New York : McGrow-Hill Book Co. Fried, B., Sherma, J. 1999. Thin Layer Chromatography 4th edition. New York : Marcel Dekker Inc. Gilbert, J., Vargas, E. A. 2005. Advances in sampling and analysis for aflatoxins in food and animal feed. Di dalam: Abbas, H. K (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press-Taylor & Francis Group. Goldblatt, L. A. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. New York : Academic Press.
45
Hahn-Deinstrop, Elke. 2007. Applied Thin Layer Chromatography: Best Practice and Avoidance of Mistakes, 2nd edition. Weinhein: WILEY-VCH Verlag GmbH and Co. KgaA. Hamid, A. B., Smith, J. E. 1987. Degradation of aflatoxin by Aspergillus flavus. Journal of General Microbiology 133: 2023-2029. Hedayati, M. T., Pasqualotto, A. C., Warn, P. A., Bowyer, P., Denning. D. W. 2007. Aspergillus flavus : human pathogen, allergen, and mycotoxin producer. Microbiology 153: 1677-1692. Hocking, A. D. 2006. Aspergillus and related teleomorphs. Di dalam: C. W. Blackburn (Ed). Food Spoilage Microorganisms. Woodhead : CRC Press. Horn, B., Dorner, J. W. 2001. Effect of competition and adverse culture condition on aflatoxin production by Aspergillus flavus through successive generations. Mycologia 94(5): 741751. Jones, B. D. 1972. Methods of Aflatoxin Analysis. London: Tropical Products Institute. Kasno, A. 2004. Pencegahan infeksi Aspergillus flavus dan kontaminasi aflatoksin pada kacang tanah. Jurnal Litbang Pertanian 23(3): 75-81. Kusumaningtyas E. 2007. Potensi kapang Aspergillus sp. dalam memproduksi aflatoksin (unpublished research). Lee, N. A., Wang, S., Allan, R. D., Kenndedy, I. R. 2004. A rapid aflatoxin B1 ELISA: development and validation with reduced matrix effects for peanuts, corn, pistachio, and soybeans. J. Agric. Food Chem. 52: 2746-2755. Lilieanny, D. O. S., Putri, A. S. R. 2005. Populasi kapang pascapanen dan kandungan aflatoksin pada produk olahan kacang tanah. Jurnal Mikologi Indonesia 10(1): 17-20. Makfoeld, D. Mikotoksin Pangan. 1993. Jakarta: Penerbit Kanisius. Maggon, K. K., Viswanathan, L., Venkitasubramanian, T. A. 1969. Aflatoxin production by some indian strains of Aspergillus flavus link ex fries. J. Gen. Microbiology 59: 119-124. Maryam, R. 1996. Residu aflatoksin dan metabolitnya dalam daging dan hati ayam. Prosiding pada Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 12-13 Maret 1996, Bogor. pp: 336-338. Maryam, R. 2009. Uji Potensi Isolat Lokal Aspergillus flavus Koleksi Balitvet Culture Collection (BCC) (Komunikasi pribadi). Maryam, R., Bahri, S., Zahari, P. 1995. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan aflatoksikol dalam telur ayam ras dengan kromatografi cair kinerja tinggi. Prosiding pada Seminar Nasional Teknologi Veteriner untuk Meningkatkan Kesehatan Hewan dan Keamanan Bahan Pangan Asal Ternak, 22-24 Maret 1994, Cisarua, Bogor. pp: 412-416.
46
Maryam R., Sani, Y., Djuariah, S., Firmansyah, R., Miharja. 2003. Efektivitas ekstrak bawang putih (Allium sativum linn.) dalam penanggulangan aflatoksikosis pada ayam petelur. J. Ilmu Ternak dan Vet. 8(4): 239-246. Martins, H. M., Almedia, I., Marques, M., Bernardo, F. 2008. Interaction of wild strains of Aspergillus parasiticus ATCC15517 on aflatoxins production. Int. J. Mol. Sci. 9:334-400. Meilawati. 2007. Unjuk Kerja Metode Penetapan Kadar Residu Aflatoksin G1, B1, G2, dan B2 pada Jagung Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) [Laporan Magang]. Bogor: Balai Besar Penelitian Veteriner. Miller, J. D., H. L. Trenholm. 1994. Mycotoxin in Grain Compound Other than Aflatoxin. . St. Paul , Minnesota : Eagan Press. Nazari, S. H. 2010. Sonicated date syrup media preparation for microbial culture. African Journal of Biotechnology 10(3): 424-432. Omaye, S. T. 2004. Food and Nutritional Toxicology. New York: CRC Press. Onions, A. H. S. 1982. Mycotoxigenic Fungi. Di dalam: Roberts, J. B. L. D., Skinner, F. A. (eds.). Isolation and Identification Methods for Food Poisoning Organism. New York: Academic Press. Oswald, I. P., Comera, C. 1998. Immunotoxicity of mycotoxins. Rev. Med. Vet. 149: 239-245. Patey, A. L., Sharman, M., Gilbert, J. 1992. Determination of total aflatoxin levels in peanut butter by enzyme linked imunnosornbent assay: Collaborative study. J.AOAC International 75(4): 693–697. Pitt, J. I. 2006. Penicillium and related genera. Di dalam: C. W. Blackburn (ed). Food Spoilage Microorganisms. Woodhead: CRC Press. Pitt, J. I., Hocking, A. D. 1997. Fungi and Food Spoilage 2nd Edition. Blackie Academic & Professional. An Imprint of Chapman & Hall. pp. 593. Rachmawati, S. 2005. Kit ELISA (AFLAVET) untuk deteksi aflatoksin pada produk pertanian. Seminar Nasional Teknologi Pertanian dan Veteriner. pp: 1005-1010. Rachmawati, S., Lee, A., Murdiati, T. B., Kennedy, I. 2004. Pengembangan Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) untuk analisis aflatoksin B1 pada pakan ternak. Prosiding pada Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner. Kerjasama Balai Penelitian Veteriner, Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan dengan Department for Internatinal Development (DfID-UK), 20–21 April 2004, Bogor. Reddy, K. R. N., Raghavender, C. R., Reddy, B. N., Salleh, B. 2010. Biological control of Aspergillus flavus growth and subsequent aflatoxin B1 production in sorghum grains. African Journal of Biotechnology 9(27): 4257-4250.
47
Reddy, K. R. N., Saritha, P., Reddy, C. S., Muralidharan, K. 2009. Aflatoxin B1 producing potential of Aspergillus flavus strains isolated from stored rice grains. African Journal of Biotechnology 8(14): 3303-3308. Reddy,
S. V., Waliyar, F. 2010. Properties of aflatoxin and http://www.icrisat.org/aflatoxin/aflatoxin.asp. [13 Feb 2011]
it
producing
fungi.
Reddy, T. V., Viswanathan, L., Venkitasubramanian. 1971. High aflatoxin production on a chemically defined medium. Applied microbiology 22(3): 393-396. Richard-Mollard, D., H. Bizot. J. L. Multon. 1982. Activita de I’eau. Facteur essentiel of de I’evolution microbioloque de aliments. Volume 2: 3-17. Ruiqian, L., Qian, Y., Thanaboripat, D., Thansukon, P. 2004. Biocontrol of Aspergillus flavus and aflatoxin production. Di dalam: Abbas, H. K (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press, Taylor & Francis Group Sardjono., Rahayu, K., Sudarmadhi, S. 1992. Growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus in mixed culture with Aspergillus oryzae. ASEAN Food Journal 7(1): 30-33. Sauer, D. B. 1986. Condition that affect growth of Aspergilllus flavus and production of aflatoxin in stored maize. Page 41-50. In proceedings of the Workshop. El Batan, Mexico. Saxena, M., Mukerji, K. G., Raj, H. G. 1988. Positive correlation exists between glutathione Stransferase activity and aflatoxin formation in Aspergillus flavus. Biochem. J. 254: 567-570. Scheidegger ,K. A., Payne, G. A. 2003. Unlocking the secrets behind secondary metabolism: a review of Aspergillus flavus from pathogenicity to functional genomics. Journal Toxicol. 22: 423– 459. Sekhon, C. P. S., Kapur, J., Sodhi, S. S., Jand, S. K. 1996. Qualitative and quantitative detection of aflatoxin B1 in poultry sera by enzyme-linked immunosorbent assay. J. Biosci 21(4): 471476. Shier, W. T., Abbas, H. K. Weaver, M. A., Horn, B. W. 2005. The case for monitoring Aspergillus flavus aflatoxigenity for food safety assessment in developing countries. Di dalam: Abbas, H. K (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press, Taylor and Francis Group. Skoog, D. A., West, D. M., Holler, F. J. 2007. Fundamentals of Analytical Chemistry. Drenthe: Saunders College Publishing. Smith, J. E. and J. A. Pateman. 1977. Genetics and Physiology of Aspergillus. New York : Academic Press. Stanker, L. H., Beier, R. C. 1995. Introduction to immunoassay for residue analysis: Concept, formats and applications iniImmunoassays for residue analysis. Di dalam: ELISA Workshop:
48
Simple Test for Monitoring Mycotoxins and Pestisides in Produce. Post Harvest Technology Insitute, November 15–17th 1999, Ho Chi Minh City, Vietnam. pp. 12–22. Steyn, P. S. 1991. The Biosynthesis of Mycotoxins. A study Secondary Metabolism. New York: Academic Press. Syarief, R., Ega, L., Nurwitri, C. C. 2003. Mikotoksin Bahan Pangan. Bogor: IPB Press. Van Eijkeren, J. C. H., Bakker, M. I., Zeilmaker, M. J. 2006. A simple steady-state model for carryover of aflatoxins from feed to cow’s Milk. Food Additives and Contaminants 23(8): 833838. Verma, R. J. 2004. Aflatoxin cause DNA damage. International Journal of Human Genetics 4(4): 231236. Vujanovic, V., Smoragiewicz, W., Krzysztyniak, K. 2001. Airborne fungal ecological niche determination as one of the possibilities for indirect mycotoxin risk assessment in indoor air. EnvironToxicol 16: 1–8 Yu, J., Bhatnagar, D., Ehrlich, K. C. 2002. Review: Aflatoxin biosynthesis. Rev Iberoam Micol 19: 191-200. Yusrini, H. 2005. Teknik analisis kandungan aflatoksin B1 secara ELISA pada pakan ternak dan bahan dasarnya. Buletin Teknik Pertanian Vol. 10. Wang, J. S., Tang, L. 2005. Epidemiology of aflatoxin exposure and human liver cancer. Di dalam: Abbas, H. K (ed). Aflatoxin and Food Safety. London: CRC Press, Taylor & Francis Group. Weck, R., Van Putte, R. 2006. A simple and rapid ELISA for detecting aflatoxin contamination in corn. The American Biology Teacher 68 (8): 492-495. Wilson, R. I., Mathers, D. T., Mabury, S. A. 2000. ELISA dan GC-MS as teaching tools in the undergraduate environmental analytical chemistry laboratory. Journal of Chemical Education 77(12): 1619-1620. Winn, R. T., Lane, G. T. 1978. Aflatoxin production on high moisture corn and sorghum with a limited incubation. J. Dairy Sci 61: 762-764. Zahn, M., Lee-Joung, M., Wang, D., Trinh, T., Fay, Brooke., Ma, W. 2009. Product-specific sample clean-up and HPLC analysis of aflatoxins for a dietary Product. Phytochem. Anal. 20:335337.
49
LAMPIRAN
50
Lampiran 1. Tabel Hasil Seleksi dengan ELISA
Kadar
Faktor
Kadar
aflatoksin
Pengenceran
aflatoksin
terukur (ppb)
(FP)
(ppb)
Sampel
d
(A) 6/8/09
0,5
(B) 3/8/09 S3
S5
S9
S11
65,61
31,4
-
n.d
(C) 31/7/09
12,3
40
491,4
(D) 29/7/09
6,7
40
267
(E) 27/7/09
13,4
40
534
(A) 6/8/09
10,8
40
433,7
(B) 3/8/09
2,5
40
101,2
(C) 31/7/09
5,5
40
219,9
(D)d 29/7/09
3,6
65,61
234,2
(E) 27/7/09
5,5
40
219,9
(A) 6/8/09
4,5
40
178,6
(B) 3/8/09
7,6
40
302,5
(C) 31/7/09
5,6
40
223
(D) 29/7/09
4,5
40
178,6
(E) 27/7/09
6,7
40
267
(A) 6/8/09
6,2
40
249
(B) 3/8/09
2,7
40
108,4
(C) 31/7/09
0,5
40
18,1
(D) 29/7/09
3,4
40
135, 4
(E) 27/7/09
1,0
40
38,3
51
(A) 27/7/09
Kadar aflatoksin terukur (ppb) 2,8
Faktor Pengenceran (FP) 10
Kadar aflatoksin (ppb) 27,7
(B) 29/7/09
2,9
10
29,4
(C) 31/7/09
87,9
10
878,6
(D) 3/8/09
14,6
10
145,7
(E) 6/8/09
8,0
10
79,9
(A) 27/7/09
n.d
-
n.d
(B) 29/7/09
n.d
-
n.d
(C) 31/7/09
n.d
-
n.d
(D) 3/8/09
n.d
-
n.d
(E) 6/8/09
n.d
-
n.d
(A) 6/8/09
n.d
-
n.d
(B) 3/8/09
n.d
-
n.d
(C) 31/7/09
n.d
-
n.d
(D) 29/7/09
n.d
-
n.d
(E) 27/7/09
n.d
-
n.d
(A) 6/8/09
n.d
-
n.d
(B) 3/8/09
n.d
-
n.d
(C) 31/7/09
n.d
-
n.d
(D) 29/7/09
n.d
-
n.d
(E) 27/7/09
n.d
-
n.d
(A) 6/8/09
3,6
40
143,1
(B) 3/8/09
3,6
40
145,1
(C)d,e 31/7/09
18,5
65,61
1212,3
(D) 29/7/09
2,7
40
108,41
(E) 27/7/09
8,0
40
319,7
(A) 6/8/09
1,6
40
64,9
(B) 3/8/09
3,9
65,61
252,8
(C) 31/7/09
0,6
40
25,6
(D) 29/7/09
2,1
40
84,5
(E) 27/7/09
0,4
40
14,7
Sampel
S14
S17
S19
S23
S26
f
F-0213
52
(A) 27/7/09
Kadar aflatoksin terukur (ppb) n.d
-
Kadar aflatoksin (ppb) n.d
(B) 29/7/09
18,4
40
734,6
(C) 31/7/09
13,9
40
556,7
(D) 3/8/09
20,2
40
809,4
(E) 6/8/09
11,1
40
445,9
Sampel
JCM
Faktor Pengenceran (FP)
Contoh perhitungan: Sampel JCM (D) 3/8/09 Kadar aflatoksin (ppb) = Kadar aflatoksin terukur (ppb) x FP = 20,2 x 40 = 809,4
Lampiran 2. Gambar microplate yang digunakan dalam uji ELISA
Lampiran 3. Microplate Spectrophotometer yang digunakan dalam uji ELISA
53
Lampiran 4. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media GAN termodifikasi
Sampel S.26 Media GAN H-9
Sampel S.26 Media GAN H-12
Sampel S.26 Media GAN H-14 Sampel S.26 Media GAN H-16
Sampel S.26 Media GAN H-19 Sampel S.26 Media GAN H-21
54
Lampiran 5. Pertumbuhan isolat S.26 dalam media PDB
Sampel S.26 Media PDB H-9
Sampel S.26 Media PDB H-12
Sampel S.26 Media PDB H-14
Sampel S.26 Media PDB H-16
Sampel S.26 Media PDB H-19
Sampel S.26 Media PDB H-21
55
Lampiran 6. Pertumbuhan isolat JCM dalam media GAN termodifikasi
Sampel JCM Media GAN H-9
Sampel JCM Media GAN H-12
Sampel JCM Media GAN H-14
Sampel JCM Media GAN H-16
Sampel JCM Media GAN H-19
Sampel JCM Media GAN H-21
56
Lampiran 7. Pertumbuhan isolat JCM dalam media PDB
Sampel JCM Media PDB H-9
Sampel JCM Media PDB H-12
Sampel JCM Media PDB H-14
Sampel JCM Media PDB H-16
Sampel JCM Media PDB H-19
Sampel JCM Media PDB H-21
57
Lampiran 8. Tabel Hasil Analisis dengan TLC pada media PDB Pembacaan TLC (µL)a Sampling
Ulangan 1 b
(+) H0
0,0
S.26
Ulangan 2 c
b
(+)
Ulangan 3
S.26
c
b
(+)
S.26
Ulangan 4 c
b
(+)
S.26
Ulangan 5 c
b
(+)
Rataan c
(+)b
S.26c
S.26
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
H2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
0,0
H5
2
2
0,0
0,0
2
2
0,0
0,0
0,0
0,0
0,8
0,8
H7
2
5
5
5
3
2
1
1
2
2
2,6
3
H9
3
9
6
10
4
4
4
4
3
3
4
5,8
H12
4
8
6
4
3
5
4
3
4
4,8
4,6
H14
4
2
5
4
4
3
2
2
3
2
3,6
2,6
H16
2
2
2
3
3
3
2
1
2
2,2
2,4
H19
0,0
2
1
3
2
1
1
1
2
2
1,2
1,6
H21
0,0
0,0
1
1
1
0,0
0,5
0,5
1
1
0,7
0,5
6
3
a
Semua sampel dianalisis menggunakan standar 0,2 ppm, volume pengenceran 500 µL, dan volume spotting 2 µL. Contoh perhitungan: S.26 ulangan 1 H9
Diketahui:
S Y V FP W Z
= 9 µL = 0,2 µg/mL = 500 µL =1 = 1 mL = 2 µL
Kandungan aflatoksin (ppm)
Kandungan aflatoksin
= 9 µL x 0,2 µg/mL x 500 µL x 1 1 mL x 2 µL = 0,450 µg/mL = 0,450 ppm = 450 ppb
58
Lampiran 9. Gambar peralatan TLC yang digunakan
Lampiran 10. Gambar alat UV-reader dalam analisis TLC
59
Lampiran 11. Tabel Hasil Analisis HPLC pada media PDB Sampel Ulangan
Kadar Aflatoksin (ppb)
Faktor
B2
G1
G2
Pengenceran
44
1,1
--nd--
--nd--
50
PDB (+) H7
7,4
-nd-
--nd--
0,1
50
PDB (+) H9
13,1
-nd-
--nd--
0,2
50
PDB (+) H12
16,9
0,4
--nd--
--nd--
50
PDB (+) H14
8,9
0,2
--nd--
--nd--
50
PDB (+) H16
14,9
-nd-
--nd--
--nd--
5
PDB (+) H19
0,0
--nd--
--nd--
--nd--
-
PDB (+) H21
0,0
--nd--
--nd--
--nd--
-
PDB H7
5,8
--nd--
--nd--
--nd--
50
PDB H9
18,7
--nd--
--nd--
--nd--
50
Isolat
PDB H12
11,9
--nd--
--nd--
--nd--
50
Aspergillusflavus
PDB H14
29,7
0,9
60,8
--nd--
5
lokal S.26
PDB H16
40,3
16,5
354,5
--nd--
5
PDB H19
0,0
--nd--
--nd--
--nd--
-
PDB H21
0,0
--nd--
--nd--
--nd--
-
Jenis Sampel
Kode Sampel
Isolat S.26 H9c
HPLC 3 H9
ULANGAN 2
Isolat JCM
B1
Contoh perhitungan: Sampel S.26 PDB H7
/ Diketahui:
Cp
Ch FP Bc
= 5,8 ppb = 50 = 1 mL
= 5,8 ppb x 50 1 mL = 290,2 ppb
60
Lampiran 12. Gambar kromatogram standar dalam analisis HPLC
61
Lampiran 13. Gambar kromatogram sampel dalam analisis HPLC
62
Lampiran 14. Sonikator yang digunakan dalam persiapan fase gerak HPLC
Lampiran 15. Instrumen HPLC yang digunakan dalam analisis HPLC
63