PENGGUNAAN KULTUR STARTER UNTUK MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Aspergillus flavus dan MEREDUKSI AFLATOKSIN SELAMA FERMENTASI GRITS JAGUNG
MELINA SARI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Penggunaan Kultur Starter untuk Menghambat Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juli 2012
Melina Sari NIM F251090161
iv
v
ABSTRACT MELINA SARI. Use of starter culture to inhibit the growth Aspergillus flavus and reduce aflatoxin during maize fermentation. Under the direction of HARSI D. KUSUMANINGRUM, RATIH DEWANTI- HARIYADI and NUR RICHANA Aflatoxin is a human carcinogen produced as a secondary metabolite by Aspergillus flavus that frequently contaminates maize. Previous research indicated that spontaneous fermentation of maize grits can improve the quality of maize flour. This research aimed to develop starter cultures from indigenous microorganism isolated from spontaneous fermentation of maize and use them to improve the easiness of grinding as well as to inhibit the growth Aspergillus flavus and reduce aflatoxin during fermentation of local white corn grits varieties Pulut. The starter culture were developed using an amylolyitic Candida famata and a non amylolytic Lactobacillus plantarum found troughout corn spontaneous fermentation. Use of the starter culture for maize fermentation increased the percentage of fine flour as compared to that without fermentation. However the percentage of fine flour is similar to spontaneous fermentation. Fermentation for 72 h using mixed starter culture of L. plantarum and Candida famata resulted in the highest fine maize flour percentage (39.31%) during milling for 2 min. Single starter culture L. plantarum inhibited the growth of Aspergillus flavus the fastest after fermentation. The number of Aspergillus flavus declined for 1 log cfu/ml during 48 h fermentation. In addition, the highest reduction of aflatoxin was demonstrated by single starter culture L. plantarum. Fermentation for 72 h can reduce aflatoxin until 87.83%. Keywords: Aflatoxin, Aspergillus flavus, fermentation, L. plantarum, Candida famata
vi
vii
RINGKASAN MELINA SARI. Penggunaan Kultur Starter untuk Menghambat Pertumbuhan Aspergillus Flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung. Dibimbing oleh HARSI D. KUSUMANINGRUM, RATIH DEWANTI-HARIYADI and NUR RICHANA Pembuatan tepung dari jagung putih lokal varietas Pulut mengalami kendala dikarenakan sifat endosperm jagung yang keras, sehingga secara tradisional masyarakat telah melakukan perendaman untuk mempermudah penggilingan. Disamping itu tingginya kandungan aflatoksin yang ada pada jagung menjadi permasalahan utama di Indonesia bahkan di dunia. Tujuan penelitian ini adalah mengembangkan kultur starter dari mikroorganisme indigenus yang tumbuh selama fermentasi spontan grits jagung untuk mengetahui pengaruhnya terhadap penghambatan Aspergillus flavus dan aflatoksin selama proses fermentasi grits jagung putih lokal varietas Pulut serta kemudahan penggilingan grits jagung menjadi tepung. Penelitian ini dilakukan secara bertahap. Pada tahap awal penelitian dilakukan penyusunan formula kultur starter dari mikroorganisme indigenus yang berasal dari fermentasi grits jagung spontan. Pada tahap kedua dilakukan pengujian kemampuan formula kultur starter dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus sp BCC F0219 serta mereduksi aflatoksin B1 pada grits jagung selama fermentasi terkendali. Pada tahap ketiga dilakukan pengujian pengaruh formula kultur starter pada fermentasi terkendali grits jagung terhadap pertumbuhan mikroflora selama fermentasi grits jagung dan kemudahan penggilingan grits jagung. Isolat yang digunakan dalam formula kultur starter adalah C. famata dan L. plantarum dengan beberapa pertimbangan antara lain (1) Isolat kapang hasil isolasi belum teridentifikasi spesiesnya pada saat penelitian dilakukan (2) Pada fermentasi spontan, dari isolat BAL dan khamir hanya khamir C. famata yang bersifat amilolitik 3) Pertumbuhan L. plantarum selama fermentasi spontan meningkat tajam dari 2 log pada 4 jam fermentasi hingga 8,5 log pada 12 jam fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa L. plantarum pada 4-12 jam fermentasi berada pada fase log 4) Candida famata yang bersifat amilolitik dapat membantu pemecahan pati jagung, sehingga dapat dimanfaatkan oleh L. plantarum dan pertumbuhannya akan lebih cepat. Susunan formula yang dibuat yaitu : (S1) L. plantarum yang ditambahkan pada awal fermentasi; (S2) L. plantarum + C. famata yang ditambahkan bersamaan pada awal fermentasi; dan (S3) C. famata yang ditambahkan pada awal fermentasi dan L. plantarum yang di tambahkan pada 12 jam fermentasi. Jumlah kultur starter yang ditambahkan untuk masing-masing isolat L. plantarum dan Candida famata sebanyak 106 sel/gram grits jagung. Jumlah spora Aspergillus flavus BCC F0219 yang digunakan untuk mengkontaminasi grits jagung sebanyak 106 spora/gram grits jagung, dan jumlah ekstrak aflatoksin yang digunakan untuk mengkontaminasi grits jagung sebesar 64.30 ppb. Penghambatan Aspergillus flavus dapat terjadi pada fermentasi spontan, namun selama fermentasi berlangsung jenis mikroorganisme yang ada tidak dapat dikendalikan. Fermentasi dengan kultur starter dapat menghambat Aspergillus
viii
flavus. Formula kultur starter paling baik yang dapat digunakan dalam penghambatan Aspergillus flavus BCC F0219 selama fermentasi grits jagung adalah penggunaan kultur tunggal Lactobacillus plantarum (S1) dengan waktu penghambatan paling cepat yaitu 48 jam pasca inokulasi. Penggunaan formula kultur campuran dan ko-kultur (Candida famata + L. plantarum) juga dapat menghambat, namun membutuhkan waktu yang lebih lama. Penggunaan fermentasi spontan untuk mereduksi aflatoksin pada grits jagung dapat dilakukan, jika aflatoksin yang ada pada grits jagung dalam jumlah kecil kurang dari 64.30 ppb. Reduksi aflatoksin sudah terlihat pada 48 jam fermentasi, namun tidak sebesar reduksi setelah 72 jam fermentasi. Setelah 72 jam fermentasi, reduksi aflatoksin tertinggi ditunjukkan oleh formula kultur starter tunggal Lactobacillus plantarum (S1) dari 64.30 ppb turun menjadi 7.83 ppb (87.83%). Lama waktu fermentasi grits jagung dapat mempengaruhi pH tepung dan jumlah tepung halus yang dihasilkan pada proses penggilingan. Semakin lama fermentasi semakin rendah pH tepung serta meningkatkan jumlah tepung halus yang dihasilkan dengan satu kali penggilingan. Formula kultur starter dan waktu yang paling baik dalam menghasilkan jumlah tepung halus paling tinggi yaitu formula S2 (L. plantarum+C. famata) pada 72 jam fermentasi. Selama fermentasi berlangsung, pertumbuhan BAL meningkat secara signifikan baik dengan penambahan kultur starter maupun kontrol, sedangkan khamir cenderung menurun. Fermentasi menggunakan formula kultur starter selama 48 jam menurunkan jumlah khamir dari jumlah awal fermentasi dan mengalami sedikit kenaikan pada fermentasi selama 72 jam sedangkan pada Kontrol pertumbuhan khamir menurun hingga fermentasi 72 jam. Fermentasi terkendali dengan menggunakan kultur starter dapat meningkatkan proporsi tepung dengan partikel halus yang lolos pada ayakan 100 mesh dengan pengayakan bertingkat selama 2 menit. Proporsi tepung dengan partikel halus terbanyak diperoleh setelah grits jagung difermentasi selama 72 jam dengan menggunakan kultur starter kultur campuran L. plantarum dan Candida famata (S2) (39.31%). Jumlah tepung halus yang dihasilkan menggunakan formula kultur campuran L. plantarum dan Candida famata (S2) menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0.05) dan hampir mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan tepung tanpa difermentasi. Formula kultur yang menghasilkan tepung jagung lebih banyak pada ayakan 100 mesh selanjutnya adalah S1 sebesar 32.11%, namun jumlah ini tidak berbeda secara signifikan (α>0.05) dibandingkan dengan tepung yang tidak difermentasi.
Kata kunci: Aflatoksin, Aspergillus flavus, fermentasi, L. plantarum, Candida famata
ix
© Hak cipta milik IPB, tahun 2012 Hak cipta dilindungi undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apapun tanpa izin IPB
x
xi
PENGGUNAAN KULTUR STARTER UNTUK MENGHAMBAT PERTUMBUHAN Aspergillus flavus dan MEREDUKSI AFLATOKSIN SELAMA FERMENTASI GRITS JAGUNG
MELINA SARI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
xii
Penguji Luar Komisi untuk Ujian Tesis: Dr. Elvira Syamsir, S.TP, M.Si.
xiii
Judul Tesis
: Penggunaan Kultur Starter Untuk Menghambat Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung
Nama NIM
: Melina Sari : F251090161
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum Ketua
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc Anggota
Dr. Ir. Nur Richana, M.Si Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 2 Juli 2012
Tanggal Lulus :
xiv
xv
PRAKATA Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat dan rahmat-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah yang berjudul “Penggunaan Kultur Starter Untuk Menghambat Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Mereduksi Aflatoksin Selama Fermentasi Grits Jagung”. Penelitian dan penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pangan, di Sekolah Pascasarjana IPB. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus kepada Dr. Ir .Harsi D. Kusumaningrum, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc dan Dr. Ir. Nur Richana, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi, memberikan arahan, bimbingan, masukan dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini sehingga dapat menambah ilmu pengetahuan dan wawasan pada penulis. Terima kasih kepada Staf Pengajar di lingkungan Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menempuh pendidikan di IPB Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian atas bantuan biaya penelitian yang diberikan kepada Tim Peneliti Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc melalui Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2011 yang telah mendanai penelitian penulis. Kepada Ayahanda Maas Jama dan ibunda Yulimar, penulis menyampaikan ungkapan rasa hormat, terima kasih yang mendalam atas didikan, doa, dorongan dan motivasi serta terima kasih juga kepada seluruh keluarga besar atas segala doa, motivasi, dan semangat yang telah diberikan. Terima kasih juga penulis ucapakan kepada Staf laboratorium SEAFAST Center IPB Mba Ari, Mas Yerris, Bu Entin (Alm), Pak Taufik, Bu Sari, Pak Jun, Pak Deni, Pak Abah, atas bantuannya selama pelaksanaan penelitian, dan juga kepada Mba Mar yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan kelengkapan administrasi. Staf laboratorium Seameo Biotrop Service Laboratory ibu Santi, ibu Ely dan mba Neng yang telah memberikan bantuannya selama penulis berada di lab. Sahabatku Yandi, Hurriyah, Anna, Zulya yang selalu ada disaat penulis membutuhkan semangat, dukungan, tempat berbagi disaat suka dan duka. Teman-teman seperjuangan di IPN Riyanti, Tina, kak Wanny, Hermawan, Fenny, Mbak Wida, Rani, Rangga, Dede, mba Vanessa, Dian, Kiki, Kak Lina, Bu Tanti, Bu Indah, Pak Supriyadi, Bang Nandi, Pak Ikhsan, Kak Cicoy, Bu Rahma, Ni Fahma, mba Ria, Rion, Melinda terima kasih atas kebersamaannya selama ini. Keluarga Bpk Hj. Rahmat, Ibu, Teh Ika, Teh Iis, dd’ Fauzan yang telah memberikan kehangatan keluarga selama penulis berada di Bogor. Terakhir penulis memohon maaf, apabila dalam penulisan karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis masih mengharapkan kritik dan saran dari pembaca. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk kita semua. Bogor, Juli 2012 Melina sari
xvi
xvii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Baturaja pada tanggal 13 November 1986 sebagai anak tunggal dari bapak Maas Jama dan ibu Yulimar. Pendidikan Sekolah Dasar dijalani selama enam tahun di SD Negeri 18 Baturja dan lulus pada tahun 1998. Selanjutnya, penulis melanjutkan pendidikan lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 2 Baturaja hingga tahun 2001 dan sekolah menengah atas di SMU Negeri 1 Baturaja hingga tahun 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima sebagai mahasiswa Universitas Andalas Padang, Fakultas Pertanian dan memperoleh gelar sarjana tahun 2009. Pada tahun 2009, penulis melanjutkan kembali pendidikan Strata 2 (S2) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Ilmu Pangan.
xviii
xix
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................. xxi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xxiii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xxv PENDAHULUAN ................................................................................................
1
Latar Belakang ....................................................................................
1
Perumusan Masalah......................................................................... .....
3
Tujuan Penelitian ..................................................................................
4
Lingkup Penelitian ................................................................................
4
Hipotesis.. ..............................................................................................
4
Manfaat Penelitian ...............................................................................
4
TINJAUAN PUSTAKA Jagung ...................................................................................................
5
Tepung Jagung ....................................................................................
7
Fermentasi Spontan Pada Proses Pengolahan Tepung Jagung ............
10
Aspergillus flavus dan Aflatoksin .........................................................
13
Aflatoksin pada Jagung .........................................................................
16
Pengendalian Aflatoksin .....................................................................
18
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian .............................................................
21
Bahan dan Alat ....................................................................................
21
Metode Penelitian ...............................................................................
22
Metode Analisis ..................................................................................
29
Analisis Statisttik ................................................................................
33
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Kultur Starter .............................................................. a. Kandidat Isolat Formula Kultur.. .................................................. b. Penyusunan Formula Kultur Starter ............................................. c. Konfirmasi Isolat .........................................................................
35 35 35 36
Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Starter Terhadap Aspergillus flavus dan Aflatoksin ........................................................................... a. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus flavus Selama Fermentasi terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut...........
38 38
xx
b. Penurunan Aflatoksin B1Selama Fermentasi Terkendali Grits Jagung Putih Varietas pulut........................................................
41
Pertumbuhan Mikroflora Selama Fermentasi Grits Jagung Dengan Menggunakan Formula Kultur Starter .....................................
46
Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Sarter Terhadap Kemudahan Penggilingan Grits Jagung dan Tepung yang dihasilkan .. a. Kemudahan Penggilingan Grits Jagung Pada Produksi Tepung ... b. Nilai pH dan Derajat Asam Tepung ..............................................
51 51 53
KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................................
57
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
59
xxi
DAFTAR TABEL 1
Halaman Kandungan amilosa/amilopektin biji jagung dari beberapa varietas. ....... 6
2
Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering) .........................
7
3
Komposisi kimia (%) berbagai tipe jagung lokal ......................................
7
4
Syarat mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995.....................
8
5
Penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi............
12
6
Kandungan aflatoksin pada jagung dan produknya di beberapa daerah di Indonesia................................................................................................
17
Cemaran kapang dan Aspergillus flavus pada jagung di beberapa daerah di Indonesia....................................................................................
18
8
Formulasi kultur starter yang digunakan...................................................
24
9
Susunan formula kultur starter.................................................................. .
36
10 Karakteristik mikroorganisme yang digunakan pada formulasi................
36
11 Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung yang di fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam................................. .
44
7
12 Pertumbuhan BAL dan khamir (log koloni/ml) selama
fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.........................
49
13 Persentase sebaran tepung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48 dan 72 jam fermentasi pada berbagai ukuran mesh ayakan dengan satu kali penggilingan.................................................................................. 52
xxii
xxiii
DAFTAR GAMBAR Halaman 9
1
Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung ...........................................
2
Rumus struktur aflatoksin ..........................................................................
15
3
Diagram alir tahapan penelitian .................................................................
23
4
Proses fermentasi grits jagung terkontaminasi dengan formula kultur Starter .........................................................................................................
26
Prose pembuatan tepung jagung dengan fermentasi menggunakan Kultur starter... ...........................................................................................
28
6
Pembentukan zona bening disekitar sel khamir Candida famata ..............
37
7
Identifikasi L.plantarum (A) Gram Positif, (B) Katalase Negatif), (C) Penampakan L. plantarum pada media yang mengandung CaCO3 0,5% ditandai dengan membentuk zona bening. ...........................
38
Penurunan jumlah Aspergillus flavus pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam....................................................
39
5
8
9
Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung fermentasi dengan menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam..................................................... 42
10 Pertumbuhan koloni BAL dan khamir pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1(A), Formula kultur Starter S2 (B), formula kultur starter S3 (C) dan kontrol (D) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam...................................................... 47 11 Perubahan nilai pH air rendaman grits jagung fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi......................................................................... 49 12 Persentase sebaran tepung hasil fermentasi pada berbagai tingkat waktu yang berbeda menggunakan formula kultur starter S1 (L. plantarum ), S2 (L. plantarum + C. famata), S3 (C. famata + L. plantarum), dan K (Kontrol) serta TP (Tanpa Fermentasi) dengan satu kali penggilingan................................................................................................. 51 13 Perubahan nilai pH tepung jagung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi..............................................................................
53
xxiv
14 Derajat asam tepung jagung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi......................................................................................... 54
xxv
DAFTAR LAMPIRAN 1
Halaman Hasil uji konfirmasi ulang.......................................................................... 73
2
Analisis statistik pertumbuhan L. plantarum..............................................
3
Analisis statistik pertumbuhan Aspergillus flavus....................................... 76
4
Analisis statistik pertumbuhan C. famata...................................................
77
5
Analisis statistik pH air rendaman ............................................................
78
6
Analisis statistik derajat asam tepung .......................................................
79
7
Analisis statistik Aflatoksin ......................................................................
80
8
Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel < 60 mesh .............
81
9
Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 60-80 mesh ........
83
10 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 80-100 mesh ......
85
11 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran pertikel >100 mesh ....
87
12 Analisis statistik nilai pH tepung jagung fermentasi .................................
89
13 Gambar fermentasi grits jagung..................................................................
90
75
xxvi
PENDAHULUAN Latar Belakang Jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman pangan sumber karbohidrat selain gandum, padi dan umbi-umbian. Di Indonesia produksi jagung sebagai bahan pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan meningkat dari sebesar 11 609 463 ton pada tahun 2006, 13 287 527 ton pada tahun 2007, 16 317 252 ton pada tahun 2008, 17 041 215 ton pada tahun 2009 dan menjadi 18 016 537 ton pada tahun 2010 (BPS 2010). Peningkatan produksi jagung juga diikuti dengan meningkatnya konsumsi (benih, pakan, konsumsi langsung, tercecer/susut, dan produk olahan) jagung dari tahun ke tahun sebesar 12 264 385 ton pada tahun 2005, 12 504 949 ton pada tahun 2006, 13 217 244 ton pada tahun 2007, 14 659 525 ton pada tahun 2008 dan 15 680 459 ton pada tahun 2009 (Purna & Hamidi 2010). Jagung yang baru dipanen mempunyai kadar air tinggi sekitar 30%. Sauer (1986) mengatakan kadar air jagung yang melebihi 16% dengan kelembaban udara lebih dari 85% selama masa penyimpanan memberikan kesempatan pada Aspergillus flavus untuk berkembang dan menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin merupakan masalah keamanan jagung diseluruh dunia, termasuk Indonesia. Aflatoksin B1 dikenal sebagai aflatoksin yang paling bersifat karsinogen terhadap mamalia (Cary et al. 2000). Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan dituangkan dalam SNI 7385:2009 mengenai Batasan Maksimum Kandungan Mikotoksin Dalam Pangan yang menyebutkan bahwa batas maksimum kandungan aflatoksin B1 (AFB1) pada jagung dan produk olahannya adalah 20 ppb (BSN 2009). Sementara itu berdasarkan SK Badan POM ditetapkan batas maksimal cemaran aflatoksin B1 pada produk dan olahan jagung adalah 15 ppb dengan batas maksimum total aflatoksin adalah 20 ppb. Namun demikian pada kenyataannya, data yang ada menunjukkan bahwa komoditi pertanian Indonesia masih mangandung cemaran aflatoksin lebih tinggi (> 20 ppb) (Bahri et al. 2005; Ali et al. 1998; Rahayu 2008; Tangendjaja et al. 2008; Kusumaningrum et al. 2010).
2
Salah satu jenis jagung varietas lokal yang berasal dari Sulawesi Selatan dan sedang dikembangkan di Indonesia adalah jagung putih varietas Pulut. Menurut the Ohio State University Extension (2010), jagung pulut (waxy corn) adalah jagung dengan jumlah kandungan amilopektin yang tinggi mendekati 100% sedangkan jagung normal mengandung amilopektin 75% dan 25% amilosa. Sifat lilin (waxy) jagung pulut dikendalikan oleh gen resesif tunggal, gen wx. Weatherwax (1922) menyatakan bahwa jagung pulut (waxy corn) memiliki endosperm yang keras seperti tipe flint corn. Pengolahan produk jagung pulut saat ini di Sulawesi Selatan baru sebatas pengganti makan pokok seperti binte, baro’bo, marning, jagung rebus dan jagung bakar (Syuryawati et al. 2010). Oleh karena itu perlu dilakukan upaya untuk dapat meningkatkan nilai ekonomi dari jagung pulut, misalnya dengan mengolah jagung menjadi tepung jagung. Tepung jagung bersifat fleksibel karena dapat digunakan sebagai bahan baku berbagai produk pangan. Pengolahan jagung menjadi produk tepung telah banyak dilakukan diantaranya sebagai tepung komposit (terigu, ubi kayu dan jagung) dalam pembuatan mi (Yulmar et al. 1997), pengolahan jagung sebagai bahan baku dalam bentuk tepung komposit (Susila & Resmisari 2005), serta Suarni (2009) juga melakukan pengkajian terhadap prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies). Secara umum terdapat dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan dalam produksi tepung yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan, sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman (Suardi et al. 2002). Upaya peningkatan kualitas tepung yang telah dilakukan yaitu dengan melakukan penambahan enzim atau fermentasi dengan menggunakan ragi tape pada proses penepungan. Tepung yang dihasilkan mengalami perubahan sifat fisikokimia dan fungsionalnya, yaitu kadar amilosa dan derajat polimerisasi menurun, sedangkan gula reduksi dan dekstrosa ekuivalen meningkat (BB-Pascapanen 2010). Selain itu tekstur tepung jagung yang dihasilkan lebih halus dibanding tepung aslinya. Fermentasi spontan grits jagung yang dilakukan oleh Aini (2009) menunjukkan bahwa lamanya waktu fermentasi spontan pada jagung putih varietas Srikandi mempengaruhi ukuran partikel tepung, karakter tepung dan
3
beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional dari tepung yang dihasilkan. Aini (2009) juga menyarankan untuk mengetahui jenis mikroorganisme yang tumbuh dominan selama fermentasi sehingga pertumbuhan dapat dikendalikan selama fermentasi. Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) mengatakan bahwa perendaman bijibijian dalam air yang berlebihan akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti
Bakteri Asam Laktat (BAL), khamir, dan kapang.
Menurut Gratz (2007) BAL berpotensi dalam mendegradasi mikotoksin atau mengurangi bioavailabilitasnya, salah satunya dapat mengurangi availabilitas aflatoksin secara in vitro. Elsanhoty dan Azeke (2009) melakukan pengujian terhadap empat strain BAL dan bifidobacteria
yang menunjukkan bahwa
Lactobacillus rhamnosus TISTR 541 memiliki kemampuan paling besar dalam mengikat aflatoksin secara in vivo dan fermentasi tepung gandum terkontaminasi aflatoksin dengan menggunakan Lactobacillus rhamnosus TISTR 541 dan kamir roti paling efektif mereduksi aflatoksin dibandingkan hanya menggunakan khamir roti atau BAL saja selama fermentasi pembuatan roti Baladi. Berdasarkan informasi dan permasalahan di atas, perlu dilakukan pengkajian pada proses fermentasi grits jagung dengan menggunakan formula kultur starter yang berasal dari mikroorganisme indigenus yang tumbuh selama fermentasi spontan jagung untuk mengetahui pengaruh kultur starter terhadap Aspergillus flavus dan penurunan aflatoksin selama proses fermentasi grits jagung putih lokal varietas Pulut serta meningkatkan kemudahan penggilingan. Perumusan Masalah 1.
Jagung putih lokal varietas Pulut berpotensi untuk dikembangkan menjadi tepung jagung dan digunakan sebagai bahan baku ingredien sebagai alternatif tepung, tetapi jagung memiliki permasalahan keamanan pangan terkait aflatoksin serta memiliki endosperm yang keras.
2.
Fermentasi spontan dalam pembuatan tepung jagung menyebabkan terjadinya perubahan sifat karakteristik tepung, namun perubahan sifat ini mungkin bersifat tidak konsisten karena pertumbuhan berbagai jenis mikroorganisme yang tidak diketahui jenisnya.
4
3.
Beberapa jenis BAL dan khamir pernah dilaporkan secara in vitro memiliki kemampuan dalam mereduksi aflatoksin, sehingga perlu diteliti lebih lanjut. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh
fermentasi dengan kultur starter terhadap penghambatan pertumbuhan Aspergillus flavus dan reduksi kandungan aflatoksin pada grits jagung putih lokal varietas Pulut. Tujuan khusus dari penelitian ini : 1.
Mengembangkan kultur starter dari mikroorganisme indigenus yang tumbuh selama fermentasi spontan pada grits jagung dan mengetahui pengaruhnya terhadap penghambatan pertumbuhan Aspergillus flavus dan reduksi aflatoksin selama proses fermentasi grits jagung putih lokal varietas Pulut.
2.
Mengetahui pengaruh kultur starter dalam meningkatkan kemudahan penggilingan grits jagung menjadi tepung. Lingkup Penelitian Analisis pada tepung jagung yang dihasilkan hanya sebatas mengetahui
jumlah rendemen tepung dengan tekstur halus yang lebih banyak dalam satu kali penggilingan, tidak mencakup perubahan karakter sifat fisiko kimia dan fungsional dari tepung jagung yang dihasilkan. Hipotesis 1.
Penggunaan kultur starter dapat menghambat pertumbuhan Aspergilllus flavus dan mereduksi aflatoksin pada grits jagung.
2.
Penggunaan kultur starter akan meningkatkan kemudahan penggilingan grits jagung sehingga menghasilkan tekstur tepung halus yang lebih banyak dalam satu kali penggilingan. Manfaat Dengan penelitian ini diharapkan dapat diperoleh formula kultur starter
yang tepat dan waktu fermentasi grits jagung terbaik untuk menghasilkan tepung jagung dengan kandungan aflatoksin yang rendah.
5
TINJAUAN PUSTAKA Jagung Jagung dapat dikelompokkan menurut umur panen dan bentuk biji. Berdasarkan umur, jagung dibagi menjadi 3 golongan, yaitu: 1) Berumur pendek (genjah): 75-90 hari, contoh: Genjah Warangan, Genjah Kertas, Abimanyu dan Arjuna. 2) Berumur sedang (tengahan): 90-120 hari, contoh: Hibrida C 1, Hibrida CP 1 dan CPI 2, Hibrida IPB 4, Hibrida Pioneer 2, Malin, Metro dan Pandu. 3) Berumur panjang: lebih dari 120 hari, contoh: Kania Putih, Bastar, Kuning, Bima dan Harapan. Berdasarkan bentuk biji, jagung dibagi menjadi 7 golongan, yaitu: Dent Corn, Flint Corn, Sweet Corn, Pop Corn, Flour Corn, Pod Corn, Waxy Corn. Jagung dengan varietas unggul mempunyai sifat-sifat seperti produksi tinggi, umur pendek, tahan serangan penyakit utama dan sifat-sifat lain yang menguntungkan. Varietas unggul ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: jagung hibrida dan varietas jagung bersari bebas (Prihatman 2000). Di Indonesia ada beberapa jenis varietas jagung yang dikenal antara lain: Abimanyu, Arjuna, Bromo, Bastar Kuning, Bima, Genjah Kertas, Harapan, Harapan Baru, Hibrida C 1 (Hibrida Cargil 1), Hibrida IPB 4, Kalingga, Kania Putih, Malin, Metro, Nakula, Pandu, Parikesit, Permadi, Sadewa, Wiyasa, Bogor Composite-2 (Prihatman 2000). Syuryawati et al. (2010) mengatakan jenis jagung yang disukai masyarakat sebagai pangan pokok adalah jagung putih varietas lokal, salah satunya yaitu jagung putih lokal varietas Pulut. Jagung putih lokal varietas Pulut berasal dari Sulawesi Selatan dan dikembangkan oleh Badan Penelitian Serealia Temanggung Jawa Tengah. Setiap jenis varietas jagung memiliki perbedaan kandungan komponen penyusun, salah satunya kandungan amilosa dan amilopektin. Perbedaan (%) kandungan amilosa dan amilopektin dari beberapa jenis varietas jagung dapat dilihat seperti pada Tabel 1.
6
Tabel 1 Kandungan amilosa/amilopektin biji jagung dari beberapa varietas Varietas Amilosa (%) Amilopektin (%) Srikandi Putih -1 31.05 68.95 Srikandi Kuning -1 30.14 69.86 Anoman 29.92 70.08 Lokal non Pulut Takalar 28.50 71.50 Lokal Pulut Takalar 4.25 95.75 Sukmaraga 34.55 65.45 Sumber: Suarni dan Firmansyah (2005) dalam Suarni (2009) Menurut the Ohio State University Extension (2010), kandungan amilopektin jagung pulut (waxy corn) mendekati 100% sedangkan jagung normal mengandung 75% amilopektin dan 25% amilosa. Berdasarkan kriteria tersebut maka jagung varietas lokal Pulut Takalar termasuk dalam waxy corn, sedangkan varietas lainnya yang tercantum pada Tabel 1 merupakan jagung normal. Amilopektin adalah bentuk pati yang terdiri dari sub unit glukosa bercabang sedangkan amilosa terdiri dari molekul glukosa tidak bercabang. Jagung pulut ditemukan di Cina pada tahun 1908 yang mempunyai sifat lilin (waxy) dan dikendalikan oleh gen resesif tunggal, gen wx. Menurut Fergason (1994) adanya gen tunggal waxy (wx) yang bersifat resesif epistasis pada kromosom sembilan akan mempengaruhi komposisi kimiawi pati, karena gen wx hanya memproduksi komponen amilopektin, dan tidak memiliki fraksi amilosa. Weatherwax (1922) menyatakan bahwa jagung pulut (waxy corn) memiliki endosperm yang keras seperti tipe flint corn. Berdasarkan warna bulir jagung, jagung putih adalah biji jagung tanpa pewarnaan pigmen kuning. Poneleit (2001) menyatakan definisi lengkap jagung putih bahwa endosperm biji jagung putih tidak hanya harus putih murni, tanpa pigmen kuning sama sekali, tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Perbedaan warna jagung putih dan kuning juga dapat dilihat pada Tabel 2 yang menunjukkan kandungan karotenoid jagung pipil kuning lebih tinggi dari jagung pipil putih. Lapisan aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan seragam, mempunyai specific gravity yang tinggi, biji tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001).
7
Jagung putih dan kuning memiliki komposisi kimia yang cukup berbeda. Jagung putih memiliki kandungan kimia yang lebih tinggi, komposisi kimia beberapa tipe jagung dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Tabel 2 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering) Komposisi kimia Jagung kuning pipilana) Jagung putih pipilanb) Protein (% bk) 9.5 10.36 Lemak (% bk) 4.3 4.9 Serat (%bk) 9.5 11.2 Kalsium (% bk) 0.03 0.008 Besi (mg/100 g) 3 2.16 Karotenoid total (mg/kg) 30 Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38 Sumber: a) Watson (1987) b) Hasil pengolahan data asia maya.com (2009) Tabel 3 Komposisi kimia (%) berbagai tipe jagung lokal Varietas Air Abu Protein Serat Lemak Kasar Srikandi Putih*) 10.08 1.81 9.99 2.99 5.05 Srikandi Kuning*) 11.03 1.85 9.95 2.97 5.10 Anoman*) 10.07 1.89 9.71 2.05 4.56 Lokal pulut*) 11.12 1.99 9.11 3.02 4.97 Lokal non pulut*) 10.09 2.01 8.78 3.12 4.92 Bisi 2**) 9.07 1.00 8.40 2.20 3.60 Lamuru**) 9.80 1.20 6.90 2.60 3.20 *) Suarni dan Firmansyah (2005) **) Suharyono et al. (2005)
Karbohidrat 73.07 72.07 73.77 72.81 74.20 75.10 76.30
Tepung Jagung Pengolahan produk jagung pulut saat ini di Sulawesi Selatan baru sebatas pengganti makan pokok seperti binte, baro’bo, marning, jagung rebus dan jagung bakar (Syuryawati et al. 2010). Beberapa penduduk daerah lainnya di Indonesia (Madura dan Nusa Tenggara) menggunakan jagung sebagai pangan pokok. Selain sebagai sumber karbohidrat, jagung juga digunakan sebagai pakan ternak, diambil minyak dan patinya atau dibuat tepung. Tepung jagung merupakan salah satu produk jagung yang diperoleh melalui proses penggilingan. Serna-Saldivar et al. (2001) membuat tepung jagung melalui proses penggilingan kering dengan ukuran partikel kurang dari 0.192 mm (ayakan US no 75). Syarat utama tepung jagung berdasarkan SNI nomor 01-3727-1995 adalah ukuran partikel tepung jagung minimal 99% lolos ayakan
8
60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. Persyaratan mutu lain yang harus dipenuhi tepung jagung yang dihasilkan di Indonesia harus berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Syarat mutu tepung jagung berdasarkan SNI 01-3727-1995 No Kriteria Uji Satuan Persyaratan 1 Keadaan 1.1 Bau Normal 1.2 Rasa Normal 1.3 Warna Normal 2 Benda-benda asing Tidak boleh ada 3 Serangga dalam bentuk stadia dan Tidak boleh ada potongan-potongan 4 Jenis pati lain selain pati jagung Tidak boleh ada 5 Kehalusan 5.1 Lolos ayakan 80 mesh % Min.70 5.2 Lolos ayakan 60 mesh % Min.99 6 Air % b/b Maks.10 7 Abu %b/b Maks.1.5 8 Silikat % b/b Maks.0.1 9 Serat kasar %b/b Maks.1.5 10 Derajat asam ml.N.NaOH/100gr Maks.4.0 11 Cemaran logam 11.1 Timbal(Pb) mg/kg Maks.1.0 11.2 Tembaga(Cu) mg/kg Maks.10.0 11.3 Seng(Zn) mg/kg Maks.40.0 11.4 Raksa(Hg) mg/kg Maks.0.05 12 Cemaran arsen(As) mg/kg Maks. 0.5 13 Cemaran mikroba: 13.1 Angka lempeng total koloni/gr Maks. 5x106 13.2 E.coli APM/gr Maks. 10 13.3 Kapang Koloni/gr Maks. 104 Prinsip pengolahan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung jagung karena kandungan seratnya yang tinggi dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik. Tip cap atau bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang dapat merusak warna tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi
9
tepung. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung seperti terlihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Bagian-bagian dari permukaan biji kernel jagung Sumber: Eckhoff & Watson 2009
Suardi et al. (2002) menyatakan dua jenis metode penepungan yang sering diterapkan dalam produksi tepung dan serealia yaitu metode basah dan metode kering. Pada metode basah dilakukan perendaman bahan terlebih dahulu sebelum ditepungkan, sedangkan metode kering tidak dilakukan perendaman. Richana dan Suarni (2005) melakukan proses pembuatan tepung jagung dengan metode basah, proses dilakukan dengan menggunakan jagung kering yang disosoh lalu direndam selama 4 jam, ditiriskan dan selanjutnya ditepungkan. Untuk memperbaiki kualitas tepung, proses penepungan jagung juga dapat dilakukan dengan penambahan enzim maupun fermentasi dengan ragi tape. Tepung jagung yang diperoleh dengan cara seperti ini disebut tepung termodifikasi. Hal ini disebabkan karena tepung yang dihasilkan telah berubah sifat fisikokimia dan fungsionalnya, yaitu kadar amilosa dan derajat polimerisasi menurun,
sedangkan
gula
reduksi
dan dekstrosa ekuivalen meningkat
(BB-Pascapanen 2010). Selain itu tekstur tepung jagung termodifikasi lebih halus dibanding tepung aslinya. Proses pembuatan tepung jagung termodifikasi yang telah dilakukan adalah dengan membuat beras jagung, yaitu jagung yang telah disosoh dan dikecilkan ukurannya. Kemudian beras jagung ditambah ragi tape (1 kg : 1 g) lalu direndam dalam air selama 2 hari. Beras jagung kemudian ditiriskan, dikeringkan, dibuat tepung, diayak, dan dikemas (BB-Pascapanen
10
2010). Pengolahan jagung menjadi produk olahan telah banyak dilakukan, diantaranya sebagai tepung komposit (terigu, ubi kayu dan jagung) dalam pembuatan mie (Yulmar et al. 1997), pengolahan jagung sebagai bahan baku dalam bentuk tepung komposit (Susila & Resmisari 2005) serta Suarni (2009) juga melakukan pengkajian terhadap prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies). Fermentasi Spontan Pada Proses Pengolahan Tepung Fermentasi adalah proses metabolik yang melepaskan energi dari gula atau molekul lain. Berbagai mikroorganisme dapat memfermentasi berbagai substrat dan produk akhir yang dihasilkan tergantung jenis mikroba yang tumbuh, substrat dan enzim yang berperan. Berdasarkan sumber mikroba yang berperan, proses fermentasi dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu fermentasi spontan, back slopping, dan fermentasi terkendali. Fermentasi spontan adalah fermentasi yang terjadi tanpa penambahan mikroba dalam bentuk starter atau ragi, proses fermentasi yang terjadi tergantung mikroba yang terdapat pada bahan baku. Fermentasi back slopping adalah proses fermentasi yang berlangsung dengan menggunakan mikroba yang terdapat pada produk fermentasi sebelumnya dan fermentasi terkendali adalah fermentasi yang berlangsung dengan menambahkan mikroba dalam jumlah dan jenis tertentu secara langsung pada bahan baku yang akan difermentasi. Cara pertama dapat menghasilkan mutu produk yang tidak seragam karena jumlah dan jenis mikroba yang berperan belum tentu sama dalam setiap proses. Demikian juga dengan cara kedua, kemungkinan gagal karena mutu tidak
seragam
cukup
besar.
Sebaliknya,
dengan
fermentasi
terkendali
kemungkinan berhasil (mutu produk seragam untuk setiap kali ulangan) sangat besar karena jumlah dan jenis mikroba awal diketahui sehingga hasilnya pun dapat diprediksi ( Tortora et al. 2004) Proses fermentasi dapat dilakukan oleh BAL. Selama proses fermentasi, karbohidrat diuraikan menjadi asam laktat, setelah karbohidrat, protein dan lemak akan dihidrolisa. Ketiga komponen ini akan membentuk produk akhir berupa senyawa asam laktat dan senyawa lainnya (Fardiaz 1989). Selain BAL, kapang ataupun khamir juga dapat berperan dalam proses fermentasi. Kapang dapat bersifat amilolitik, proteolitik dan lipolitik. Kapang yang bersifat amilolitik akan
11
memecah pati menjadi gula-gula sederhana. Kapang yang bersifat proteolitik akan memecah protein menjadi asam amino dan kapang yang bersifat lipolitik akan memecah asam lemak san senyawa aromatik lainnya. Nout et al. (1997) mengatakan bahwa mikroflora telah ada sejak tanaman jagung berada dalam masa pra-panen. Nout et al. (1997) juga mengatakan bahwa mikroflora baik berupa bakteri, kapang maupun khamir pada tanaman jagung pra-panen memegang peranan dalam menarik perhatian serangga dan juga interaksi
terhadap pertumbuhan dan produksi mikotoksin oleh kapang. Jenis
khamir yang lazim ditemukan meliputi Candida guilliermondii (55%) Candida zeylanoides (24%), Candida shehatae (11%), dan Debaryomyces hansenii (3%). Selain itu juga ditemukan Trichosporon cutaneum, Cryptococcus albidus var. Aerius dan Pichia membranijaciens. Mayoritas khamir yang ditemukan pada jagung tidak dapat memfermentasi gula seperti sukrosa dan maltosa. Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) melaporkan bahwa perendaman bijibijian dalam air yang berlebihan akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa mikroorganisme seperti BAL, khamir, dan kapang. Selain itu fermentasi juga banyak dilakukan pada serealia dan umbi-umbian untuk memperbaiki mutu, terutama pada produk singkong dan jagung. Akinrele (1970) mengatakan jenis mikroorganisme yang terdapat selama fermentasi spontan maize di Afrika berupa kapang Cephalosporium, Fusarium, Aspergillus dan Penicillium. BAL yang dominan yaitu Lactobacillus plantarum dan juga beberapa khamir Candida mycoderma, Saccharomyces cerevisiae dan Rhodotorula. Di Afrika proses fermentasi spontan secara luas telah banyak digunakan dalam pengolahan serealia dalam membuat berbagai jenis makanan. Fermentasi spontan memberikan kontribusi dalam pengembangan tekstur, rasa, meningkatkan keamanan pangan, dan meningkatkan nilai gizi (kualitas protein) pada pangan berbasiskan jagung serta mengurangi faktor anti nutrisi (Afoakwa et al. 2007). Beberapa penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi-umbian dapat dilihat pada Tabel 5.
12
Tabel 5 Penelitian proses fermentasi pembuatan tepung jagung dan umbi Nama produk Tepug jagung dan singkong fermentasi
Tepung jagung
Tepung jagung fortifikasi kacang tanah Bambara
Tepung jagung termodifik asi
Perlakuan
Karakteristik tepung
Referensi
Perendaman dalam air pada suhu 20 atau 35 oC, 15 hari, dikeringkan sinar matahari 10-12 jam atau oven 40 oC 24 jam.
Selama fermentasi pH tepung jagung Mestres et al. menurun lebih cepat dari tepung 2000 singkong. Tepung jagung memiliki kandungan asam yang lebih tinggi namun tepung tidak mempunyai kemampuan mengembang dalam berbagai kondisi penelitian, diduga hal ini karena tingginya kandungan asam laktat yang dihasilkan. Fermentasi spontan 1. Jagung yang difermentasi Aini 2009 pada wadah tertutup spontan sampai 36 jam,memiliki dengan ukuran partikel tepung yang perbandingan terdistribusi dengan baik dari jangung: aquadest ukuran partikel 75 µm-150 µm. (3kg:6L) pada suhu Sedangkan fermentasi 48 jam 27 oC selama 72 partikel jagung yang berukuran jam paling halus ( kurang dari 75µm) meningkat. 2. Fermentasi spontan menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH, Densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak pada tepung yang dihasilkan, sedangkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air meningkat.
Fermentasi dengan mencampur tepung jagung:kacang bambara 70:30 direndam dengan air perbandingan 1:1 selama 72 jam pada suhu 28oC (susu ruang) Grits jagung direndam dengan BAL dengan perbandingan 1 1kg grits: 1 gram L.brevis / L. casei direndam selama 1, 2, 3 hari.
Selama proses fermentasi Mbata et al, mikroflora secara bertahap 2009 berubah dari bakteri enterik gram negative, kapang, BAL dan khamir berubah menjadi BAL dan khamir yang mendominasi. Dan mikroorganisme yang tidak diinginkan seperti koliform dan kapang yang muncul di awal tereliminasi setelah 24 jam. Dengan penambahan BAL meningkatkan kualitas tepung dan produk roti yang dihasilkan. Berdasarkan komposisi kimia, sifat pati dan sifat tepung, perendaman terbaik adalah dengan L.casei selama 3 hari.
Richana al, 2011
et
13
Aspergillus flavus dan Aflatoksin Jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi sekitar 30%. Sauer (1986) mengatakan kadar air jagung yang melebihi 16% dengan kelembaban udara lebih dari 85% selama masa penyimpanan memberikan kesempatan pada Aspergillus flavus untuk berkembang dan menghasilkan aflatoksin. Hal ini di dukung dengan iklim hujan tropis di Indonesia yang menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH>80%) dengan suhu rata-rata 28-33 oC. Kondisi ini sesuai dengan syarat pertumbuhan dan perkembangan A. flavus serta menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin telah lama dikenal sejak tahun 1960-an, lebih dari seratus ribu ternak kalkun mati di Inggris setelah memakan kacang yang diimpor dari Afrika dan Amerika Selatan. Dari pakan tersebut diisolasi Aspergillus flavus dan toksin yang dihasilkan oleh kapang ini yang dikenal dengan aflatoksin (Jay 2000). Selain A. flavus, aflatoksin juga dihasilkan oleh A. paraciticus. Aspergillus flavus menghasilkan Aflatoksin B1 (AFB1) dan Aflatoksin B2 (AFB2) dan A. parasiticus menghasilkan empat komponen utama aflatoksin yaitu aflatoksin B1, G1, B2 dan G2 (Jay 2000). Jenis lain yang juga diketahui menghasilkan aflatoksin seperti A. nomius, A. bombycis, A. pseudotamartii dan A. ochraceoroseus (Jay 2000). Aflatoksin bersifat mutagen dan karsinogen tarhadap manusia. Memakan makanan yang mengandung aflatoksin dapat menyebabkan kanker liver pada manusia (Calvo 2004). Kapang A. flavus dapat dibedakan dengan A. parasiticus berdasarkan karakteristik morfologinya. A. flavus memproduksi konidia dengan ukuran dan bentuk yang bervariasi, dinding sel konidia tipis dan teksturnya bervariasi dari halus hingga kasar. Sedangkan konidia yang diproduksi oleh A. parasiticus berbentuk bulat, dinding sel konidia tebal dan bertekstur kasar. Selain itu vesikel pada A. flavus lebih besar dengan diameter > 50 µm, sedangkan A. parasiticus jarang ditemukan lebih dari 30 µm (Pitt & Hocking 1997) Aspergillus flavus memiliki hifa berseptum dan miselium bercabang, koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang, konidiofor muncul dari sel kaki, yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan yang dapat tumbuh pada suhu 12-48 oC
14
dengan aw paling rendah 0.8, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhan adalah 25-42 oC. Pertumbuhan kapang dan perkecambahan konidium ideal pada aw lebih dari 0.9 dan akan terhambat jika aw kurang dari 0.7 (Bhatnagar et al. 2000). Dewanti-Hariyadi et al. (2008) mengamati waktu optimum biosintesis aflatoksin oleh A. parasiticus pada media Potato Dextrose Broth (PDB) yang diinkubasi selama 10 hari pada suhu 28-30 oC. Jumlah aflatoksin B1 yang dihasilkan hampir mencapai 20 ppb, sedangkan dengan pengkayaan media menggunakan Malt Extract Broth (MEB) 50% dengan penambahan filtrat Saccharomyces dan M rouxii dapat mempercepat biosintesis dan meningkatkan produksi aflatoksin 40-800 ppb. Purwijatiningsih et al. (2005) melaporkan dengan menggunakan spora A. flavus sebanyak 106 spora/ml, waktu optimum terbentuknya aflatoksin terjadi pada hari ke-9 selama inkubasi menggunakan 100 ml media PDB di suhu ruang dengan total aflatoksin berkisar 35000-42500 ppb. Menurut Marth dan Doyle (1979) A. flavus menghasilkan aflatoksin dalam jumlah maksimal setelah 5 sampai 9 hari. Inkubasi selanjutnya produksi aflatoksin akan menurun. Penurunan tersebut disebabkan
karena
aktifitas enzim P450 monooksigenase yang berperan dalam mendegradasi aflatoksin secara endogen (Hamid et al. 1987). Aspergillus parasiticus memiliki konidiofora yang muncul dari permukaan hifa dengan ukuran panjang 250-500 µm, tidak berwarna atau coklat muda dan berdinding halus. Vesikel berbentuk bulat dengan diameter 20-35 µm dan hanya ¾ bagian permukaan vesikel yang subur (fertile). Vesikel membentuk phialide dengan panjang 7-11µm yang memproduksi konidia berbentuk bulat. Biasanya berdiameter 4-6 µm, dinding selnya bertekstur kasar dan biasanya akan membentuk kepala konidia yang bulat (Pitt & Hocking 1997). A. parasiticus dapat tumbuh pada suhu antara 12-42 oC dengan suhu optimal pertumbuhan 32 oC. Nilai aw minimum untuk pertumbuhan adalah 0.82 pada suhu 25 oC, 0.81 pada suhu 30 oC dan 0.80 pada suhu 37 oC serta pH antara 2.4-10.5 pada ketiga suhu tersebut (Pitt & Hocking 1997). Aflatoksin dapat diproduksi oleh A. flavus pada suhu antara 7.5- 40 oC dengan suhu optimum 24-28 oC (Jay 2000). Sedangkan A. parasiticus dapat memproduksi aflatoksin pada suhu antara 12-40 oC, aw 0.86 dan pH 3-8 (Pitt &
15
Hocking 1997). Kemampuan kapang untuk membentuk dan menimbun aflatoksin tergantung pada beberapa faktor, yaitu potensi genetik kapang, persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu dan pH) serta lamanya kontak antara kapang dengan subtrat (Jay 2000). Ada empat macam aflatoksin yang telah dikenal yaitu B1, B2, G1 dan G2. Istilah B dan G barasal dari warna biru (blue) dan hijau (green) sinar fluoresens dibawah lampu UV pada alat Kromatografi Lapis Tipis. Angka 1 dan 2 menunjukkan perbedaan antara senyawa utama dan minor (Pitt & Hocking 1997). Aflatoksin B2 merupakan derivat dari dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan derivat dari aflatoksin G1. Rumus struktur dari aflatoksin B1, B2, G1 dan G2 dapat dilihat seperti pada Gambar 2. Jika dilihat sepintas antara aflatoksin B1 dan B2, tidak nampak adanya perbedaan sama sekali, demikian halnya dengan aflatoksin G1 dan G2. Namun bila diperhatikan secara baik-baik terdapat perbedaan pada ikatan rangkapnya (Syarief et al. 2003)
Gambar 2. Rumus struktur aflatoksin Aflatoksin bersifat sangat stabil, dengan beberapa perlakuan tidak dapat sepenuhnya mengurangi toksisitasnya. Aflatoksin bersifat tahan panas, pada suhu 60 dan 80 oC jumlah aflatoksin yang rusak tidak berarti dan hanya sedikit yang rusak pada suhu 100 oC. Usaha untuk menghindari aflatoksin adalah mencegah aflatoksin pada bahan pangan dengan menghambat atau mencegah pertumbuhan kapang penghasil aflatoksin pada bahan pangan yang bersangkutan. Menurut Jay (2000) usaha pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan menurunkan
16
kelembaban relatif ruang simpan hingga dibawah 80% sehingga didapat aw sekitar 0.65-0.70 akibatnya kapang akan terhambat pertumbuhannya. Aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling toksik dan mendapat perhatian dalam dunia kesehatan karena bersifat hepatotoksik, mutagenik, teratogenik dan impulsif. Efek biologis dari aflatoksin dapat bersifat akut, kronis dan kerusakan dari ketahanan dan respon imun. Sifat akut dari aflatoksin dapat terjadi apabila toksin yang terkonsumsi dalam jumlah besar. Pada dasarnya target organ utama dari aflatosikosis ini adalah liver dan juga merupakan salah satu faktor penyebab penyakit sirosis hati (Cary et al. 2000; Kuniholm et al. 2008). Selain itu Tchana et al. (2010) menemukan adanya AFB1 dalam urin anak-anak yang kekurangan gizi. Hal ini dapat menyebabkan risiko penurunan potensi pertumbuhan selama perkembangan mereka karena aflatoksin menghambat sintesis protein. Kasus keracunan terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir terjadi pada 2004 dari 317 kasus dilaporkan 125 orang meninggal (Lewis et al. 2005). Aflatoksin Pada Jagung Aflatoksin
merupakan
salah
satu
senyawa
karsinogen
yang
mengkontaminasi bahan pangan dan pakan. Aflatoksin sering mengkontaminasi jagung, kacang-kacangan, cotton, gandum, sorghum dan minyak dari biji-bijian. Dharmaputra (2002) mengatakan
bahwa permasalahan aflatoksin merupakan
masalah dunia, terutama masalah di negara berkembang. Dimana keamanan pangan dan sistem keamanan belum berkembang dengan baik untuk melindungi konsumen dari produk yang tidak aman. Di negara maju, konsumen sudah lebih peduli terhadap isu keamanan seperti aflatoksin Codex
Alimentarius
Commission
merekomendasikan
kandungan
maksimum aflatoksin sebesar 15 ppb (B1+B2+G1+G2) pada kacang dan 0.05 ppb aflatoksin M1 pada susu (Jay 2000), sedangkan batas maksimum aflatoksin yang diperbolehkan dalam makanan dan pakan ternak oleh FDA di Amerika Serikat sebesar 20 ppb (Bhatnagar et al. 2000). Tingginya kandungan aflatoksin merupakan masalah keamanan pada jagung yang ada di Indonesia. Peraturan tentang batasan maksimum aflatoksin dalam produk pangan telah dituangkan SNI 7385: 2009 yang menyebutkan bahwa
17
batas maksimum kandungan aflatoksin B1 (AFB1) pada jagung dan produk olahannya adalah 20 ppb (BSN 2009). Komoditi jagung di Indonesia mengandung aflatoksin dengan kadar relatif tinggi. Hal ini terlihat dari hasil mapping aflatoksin dibebepara daerah sentra produksi jagung seperti terlihat pada Tabel 6. Tabel 6 Kandungan aflatoksin pada jagung dan produknya di beberapa daerah di Indonesia Sampel Kandungan Aflatoksin Daerah Sumber Jagung 119 ng/g (maximum 487 ng/g) Indonesia Ali et al. (1998) Jagung pakan 31.5 µg/kg Lampung Bahri et al. 25 µg/kg Jawa Timur (2005) Jagung pakan 19.1 µg/kg (max 79.3 µg/kg) Sumatera Budi Utara Tangendjaja et al. (2008) 26.0 µg/kg (maxz 164 µg/kg) Lampung 64.0 µg/kg (max 201 µg/kg Jawa barat 87.4 µg/kg (max 236 µg/kg) Jawa Tengah 72.6 µg/kg (max 197 µg/kg) Sulawesi Selatan Jagung tingkat 2.98 ppb Kabupaten Suma (2008) petani Garut Pedagang 8.46 ppb pengumpul Pedagang 36.71 ppb besar Jagung level 30% dari 84 sampel tercemar Malang, Rahayu (2008) petani aflatoksin di atas 20 ppb, 10% Tuban, di atas 100 ppb, dengan nilai Kediri, tertinggi 470 ppb. Madura, Jagung level 45% dari 55 sampel diatas 20 dan Purbalingga pengepul dan ppb dan 18% diatas 100 ppb. pedagang Tepung jagung 38.8 ppb Bogor, Kusumaningrum Boyolali, (2010) Beras jagung 29.65 ppb Bojonegoro Jagung 137.53 ppb berondong Jagung puff 43.99 ppb. Peningkatan
jumlah
aflatoksin
dalam
jagung disebabkan
karena
meningkatnya jumlah A. flavus pada jagung. Hasil penelitian Kusumaningrum et al. (2010) menunjukkan tingkat cemaran kapang dan A. flavus pada jagung yang ada dibeberapa daerah di Indonesia cukup tinggi seperti terlihat pada Tabel 7.
18
Tabel 7 Cemaran kapang dan Aspergillus flavus pada jagung di beberapa daerah di Indonesia Tingkat Rata-rata A.flavus Rata-rata Kapang Lokasi distribusi (Log cfu/g) (Log cfu/g) Petani < 1.0 5.9±0.0 Bogor Pengumpul < 1.0 6.2±0.0 (Jagung manis) Pasar Induk 1.9±2.6 6.2±0.0 Pengecer < 1,0 6.0±0.2 Petani 1.0±0.0 4.5±0.0 pemipil 2.6±0.0 3.9±0.0 Boyolali Pengumpul 2.7±1.2 4.7±0.1 (Jagung pipil) Pasar Induk 2.6±0.5 4.4±0.6 Pengecer 1.7±1.4 4.1±1.6 Petani 0.9±1.1 3.7±0.7 pemipil 1.8±1.3 3.5±1.4 Bojonegoro Pengumpul 1.3±1.2 3.0±1.4 (Jagung pipil) Pasar Induk 2.2±1.1 3.7±1.0 Pengecer 1.9±1.4 3.6±0.4 Sumber: Kusumaningrum et al. (2010) Pengendalian Aflatoksin Teknik pengendalian mikotoksin dilakukan ketika kontaminasi kapang tidak lagi dapat dicegah. Salah satunya dengan dekontaminasi sebelum bahan baku digunakan untuk keperluan pangan dan pakan. Teknik pengendalian aflatoksin dapat dilakukan secara fisik, kimiawi dan biologis. Detoksifikasi secara kimia untuk mendegradasi aflatoksin dapat menggunakan asam, basa, bisulfit, klorin dan agent oksidasi (King & Prudente 2005). Hasil penelitian Tabata et al. (1994) memperlihatkan larutan asam klorida dan asam sulfat dengan konsentrasi 1% dapat mendegradasi aflatoksin B1 dan G1, sedangkan larutan basa Na2CO3, NaOH dan NaOCl dengan konsentrasi masing-masing 1% dapat mendegradasi keempat jenis aflatoksin (B1, B2, G1 dan G2). Aflatoksin B1 dan B2 pada jagung dapat direduksi dengan menggunakan bisulfit. Ketika jagung yang sudah dikeringkan ditambahkan 250 ppb AFB1 dengan beberapa perlakuan, 1% sodium bisulfit dapat mereduksi 28.2% selama 72 jam, selain itu 0.2% H2O2 ditambahkan sebelum sodium bisulfit dapat mereduksi 65.5%, pemanasan pada suhu 45-65 oC selama satu jam dapat mereduksi 68.4% dan radiasi sinar ultraviolet (UV) dapat mereduksi 45.7% (Jay 2000). Selain itu pengendalian aflatoksin juga dilakukan dengan menggunakan radiasi gama (Sabahat 2010), asam sitrat (Safara et al.
19
2010), amonia (Bagley 1979), dan menggunakan larutan elektrolisis Anoda NaCl (Suzuki et al. 2002), Metode
lain
adalah
dengan
pengendalian
secara
biologis
yang
menggunakan mikroorganisme kompetitor yang diharapkan dapat mencegah pertumbuhan Aspergillus flavus dan biosintesis aflatoksin. Nannocytis exedens Reichenbach yang merupakan bakteri tanah diketahui berpotensi sebagai biokompetitor bagi A. flavus dan A. parasiticus (Taylor & Draughon 2001). Selain itu aktivitas khamir sebagai anti kapang dan anti aflatoksin juga telah dilaporkan oleh beberapa peneliti. Candida krusei WRL-038 dan Pichia anomala memiliki daya hambat paling tinggi terhadap biosintesis aflatoksin (Hua et al. 1999). Saccharomyces cerevisiae efektif mengurangi pengaruh negatif aflatoksin pada ayam (Stanley et al. 1993). Hai (2006) juga melakukan penelitian untuk menghambat pembentukan aflatoksin dengan menggunakan Bacillus subtilis. Penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh A.flavus juga dilakukan dengan menggunakan Rhizopus oligosporus dan Candida yang berasal dari ragi tempe. Ragi tempe tersebut dapat menghambat dengan mereduksi aflatoksin berturut-turut sebesar 37.21% dan 99.96% (Purwijatiningsih et al. 2005). Dewanti-Hariyadi et al. (2008) melakukan reduksi aflatoksin yang dihasilkan oleh A. parasiticus dengan menggunakan ragi yang mengandung M. Rouxii, Saccharomyces sp berturut-turut sebesar 99.7% dan 98.1%. Karunaratne et al. (1990) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa isolat BAL dari silase komersial yaitu Lactobacillus acidophillus, L. bulgaricus dan L. plantarum dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin. Campuran ketiga kapang tersebut dapat menghambat secara total perkecambahan spora kapang. Pertumbuhan sel L. plantarum efektif mencegah pertumbuhan kapang dengan adanya pengaruh pH dan kompetisi antar mikroorganisme, dan hasil metabolit nya efektif mereduksi jumlah aflatoksin. Onilude et al. (2005) melakukan pengujian terhadap penghambatan produksi aflatoksin yang diproduksi oleh Aspergillus oleh BAL yang diisolasi dari makanan cereal fermentasi. Penghambatan maksimum terhadap aflatoksin dilakukan oleh L. plantarum YO, yang dapat menghambat sel vegetatif dan pertumbuhan spora dari seluruh kapang Aspergillus penghasil aflatoksin.
20
Sedangkan Lactococcus spp. RS3 and L. brevis WS3 hanya mampu menghambat A. parasiticus C7, A. flavus B5 dan C6 . Elsanhoty dan Azeke (2009) melakukan pengujian terhadap empat strain BAL dan bifidobacteria yang menunjukkan bahwa Lactobacillus rhamnosus TISTR 541 memiliki kemampuan paling besar dalam mengikat aflatoksin secara in vivo dan fermentasi tepung gandum terkontaminasi aflatoksin dengan menggunakan L. rhamnosus TISTR 541 dan kamir roti paling efektif mereduksi dibandingkan dengan hanya khamir roti atau bal saja. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh dinding sel bakteri belum dapat di pahami dengan baik, namun diperkirakan bahwa ada keterlibatan komponen utama seluler seperti peptidoglikan, serta polisakarida dinding sel dan protein dalam mengikat aflatoksin dan interaksi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Mendoza et al. 2009). Hasil penelitian Haskard et al. (2001) dalam pengujian aflatoksin secara invitro terhadap kemampuan BAL mereduksi aflatoksin dalam medium cair menunjukkan adanya pengikatan aflatoksin B1 pada pelet kultur setelah dilakukan proses pencucian/ memisahkan antara medium dan kultur. Selain itu Haskard et al. (2001) juga mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena aflatoksin B1 diikat oleh bakteri dengan cara melemahkan interaksi non kovalen seperti pada kantong hidropobik pada permukaan bakteri.
21
BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2011 sampai dengan April 2012 di laboratorium South East Asian Food & Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian IPB, serta Seameo Biotrop Service Laboratory. Bahan Dan Alat Bahan utama penelitian ini adalah jagung putih lokal varietas Pulut dari Balai Penelitian Serealia Maros, Sulawesi Selatan. Mikroorganisme yang digunakan antara lain Aspergillus flavus sp BCC F0219 isolat lokal dari koleksi kultur Bbalivet, Candida famata dan L. plantarum untuk pembuatan kultur starter yang merupakan kultur koleksi Rahmawati. Media pertumbuhan mikroorganisme yang digunakan adalah Potato-Dextrose Agar (PDA), deMan Rogosa Sharpe (MRS), Oxytetracycline Glucose Yeast Extract Agar (Ogye Agar) dan API kit 20C AUX dan API CHL 50 untuk konfirmasi khamir dan BAL yang digunakan. Bahan kimia yang digunakan dalam penelitian ini adalah air destilata, larutan pengencer garam fisiologis (5 g pepton, 8.5 g NaCl, 1000 ml air destilisasi, pH 7.0 ± 0.2), alkohol, etanol, indikator fenolptalin, NaOH 0.1N, larutan gram-iodin (0.5% kristal iodin ditambahkan pada larutan 1.5% larutan kalium iodida) sedangkan bahan kimia untuk analisis aflatoksin menggunakan metanol, NaCl 2.2%, n-heksan, Na2SO4 anhidrat, kloroform, serta menggunakan standar aflatoksin B1. Alat yang digunakan dalam penelitan ini adalah seperangkat alat pembuatan tepung seperti pin disc mill, ayakan (60, 80 dan 100 mesh) serta alatalat analisa meliputi timbangan, cawan petri, tabung reaksi, erlenmeyer, mikro pipet beserta tipnya, bunsen, jarum ose, gelas ukur, pipet Mohr, gelas objek dan cover glass, colony counter, mikroskop, oven, corong gelas, corong pemisah, mikro syringe, hemasitometer, vial, pH meter, desikator, vortex, autoclave, pelat TLC Silica gel 60 F254 Merck, buret, corong pemisah, gyratotry shaker, stomacher, bejana kaca untuk elusi, UV detector.
22
Metode Penelitian Penelitian dilakukan dalam tiga tahap. Tahap pertama penelitian adalah tahap pendahuluan yaitu menyusun formula kultur starter dari mikroorganisme indigenus. Sebelum penyusunan formula kultur dilakukan konfirmasi ulang terlebih dahulu secara biokimiawi terhadap mikroorganisme indigenus yang akan digunakan. Tahap kedua bertujuan untuk menguji kemampuan formula kultur starter dalam menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus sp BCC F0219 serta mereduksi aflatoksin B1 selama fermentasi grits jagung. Tahap ketiga, melihat kemampuan formula kultur starter terhadap pertumbuhan mikroflora selama fermentasi grits jagung dan kemudahan penggilingan yang ditandai dengan meningkatnya proporsi rendemen tepung jagung yang halus saat penggilingan grits jagung dengan satu kali penggilingan. Secara keseluruhan, diagram alir tahapan penelitian ini disajikan pada Gambar 3. 1. Konfirmasi Khamir dan BAL Untuk Penyusunan Formula Kultur Starter Mikroorganisme yang digunakan dalam pembuatan kultur starter di konfirmasi ulang secara biokimiawi. Konfirmasi jenis BAL di lakukan dengan API kit API CHL 50 sedangkan untuk uji konfirmasi khamir menggunakan API kit 20C AUX. Konfirmasi sifat amilolitik dengan menumbuhkan Khamir dan BAL pada media pertumbuhan yang mengandung 2% pati kemudian diinkubasi selama 3-4 hari pada suhu 25 oC dan kemudian ditetesi larutan gram-iodin (0.5% kristal iodin ditambahkan pada larutan 1.5% larutan kalium iodida). Isolat yang terpilih diformulasikan untuk membuat kultur starter yang akan digunakan dalam fermentasi grits jagung. Penyusunan formulasi yang
digunakan berdasarkan
kurva pertumbuhan (Rahmawati Komunikasi personal 2012), dan sifat amilolitik. Jumlah L. plantarum yang digunakan dalam formula kultur starter sebanyak 106 CFU/gram sampel yang berumur 24 jam, khamir 106 sel khamir/gram sampel yang berumur 4 hari. Susunan formula kultur starter yang akan digunakan seperti terlihat pada Tabel 8.
23
Isolat BAL dan khamir dari fermentasi spontan
TAHAP 1
Pengujian konfirmasi secara biokimia Penyusunan Formulasi kultur starter Formula Kultur Starter
TAHAP 2
TAHAP 3 Grits jagung Grits jagung
1. Kontaminasi spora A. flavus (106CFU/g) 2. Kontaminasii ekstrak aflatoksin
Grits jagung terkontaminasi
Fermentasi grits jagung : air (1kg: 3L) Selama 48, 72 jam pada suhu ruang
Penirisan selama ± 30 menit
Pengeringan (kabinet pengering, suhu 60 oC selama ±3jam)
Grits jagung fermentasi
Fermentasi grits jagung : air (1kg: 3L) Selama 48, 72 jam pada suhu ruang
Penirisan selama ± 30 menit
Pengeringan (kabinet pengering, suhu 60 oC selama ±3jam)
Grits jagung fermentasi
Penggilingan
Pengayakan tepung (60, 80, 100 mesh) Selama 2 menit
Tepung jagung fermentasi
Gambar 3. Diagram alir tahapan penelitian
24
Tabel 8 Formulasi kultur starter yang digunakan Formulasi Jenis Formula mikroorganisme S1 Kultur tunggal (BAL)
2.
Waktu Inokulasi Jam ke -0
S2
Kultur campuran (BAL + Khamir)
Jam ke- 0
S3
Ko-kultur
Jam ke-0 (khamir) dan jam ke-12 (BAL)
(Khamir + BAL)
Persiapan Kultur Starter a.
Persiapan kultur BAL (Jenie et al. 2000 dan Nuraida et al. 2008) Isolat BAL yang diperoleh dari hasil isolasi pada fermentasi spontan
dipindahkan ke dalam MRS Broth lalu diinkubasi selama 2 hari. Selanjutnya satu ose kultur diinokulasikan ke media agar tegak semisolid MRSA yang ditambah 1% CaCO3 lalu diinkuasi selama 2 hari pada suhu 37 oC (kultur stok). Kultur stok disimpan dalam refrigerator. Kultur kerja dibuat dengan menumbuhkan BAL pada medium cair MRS selama 24 jam. Selanjutnya sel dipisahkan dengan cara disentrifus berpendingin. Kultur BAL sebanyak 10 ml ditempatkan dalam centrifuge tube volume 10 ml secara aseptis, kemudian disentrifuse pada kecepatan 3500 rpm, selama 10 menit pada suhu 5 oC. Media MRSB dipisahkan secara aseptis, kemudian sel BAL yang tertinggal diencerkan dengan menambahkan 10 ml larutan garam fisiologis. Jumlah BAL dalam kultur dihitung dengan menggunakan metode tuang pada media agar MRS. b. Persiapan Spora Kapang dan Sel Khamir ( Kim et al. 2000) Kultur murni kapang dan khamir disegarkan dengan cara menggoreskan kembali kultur murni tersebut pada agar miring PDA yang baru, kemudian diinkubasi pada suhu 28-30 oC selama 7 hari untuk kapang, 4 hari untuk khamir. Suspensi spora kapang dan sel khamir dibuat dengan menambahkan aquades steril ke dalam tabung agar miring. Suspensi spora kapang dan sel khamir dihitung dengan menggunakan hemasitometer kemudian diatur konsentrasinya dengan melakukan pengenceran.
25
3.
Pengaruh Formula Kultur Starter Dalam Menghambat Pertumbuhan Aspergillus flavus sp BCC F0219 Dan Mereduksi Aflatoksin B1 Pada Fermentasi Grits Jagung a.
Kontaminasi Aspergillus flavus sp BCC F0219 Pada Grits Jagung (Khanafari et al. 2007) Kontaminasi jagung dilakukan mengikuti metode Khanafari et al.
(2007) yang dimodifikasi. Lima puluh gram butiran grits jagung yang telah terlebih dahulu direndam, dibersihkan kotorannya dan ditiriskan, kemudian ditambah spora Aspergillus flavus sp BCC F0219 sehingga diperoleh konsentrasi spora sekitar 106 spora/gr grits jagung lalu diaduk rata dan diinkubasi semalam pada suhu 25 oC. Jagung yang telah dikontaminasi spora Aspergillus flavus sp BCC F0219 digunakan dalam fermentasi gris jagung seperti terlihat pada bagan fermentasi grits jagung terkontaminasi pada Gambar 4. b. Ekstraksi Aflatoksin Murni dari A. flavus sp BCC F0219 (Afiandi 2011 dan Koehler et al. 1975) Aflatoksin diekstraksi dari suspensi 108 spora/ml Aspergillus flavus sp BCC F0219 yang terlebih dahulu diinokulasikan sebanyak 2.5 ml pada erlenmeyer yang berisi 250 ml media Potato Dextrose Broth (PDB) dengan pengaturan pH 4.00, sehingga diperoleh 106 spora/ml pada media yang siap ditumbuhkan. Kemudian di inkubasi selama 5-9 hari pada suhu ruang. Ekstraksi aflatoksin yang dilakukan dengan metode Koehler et al. (1975) yang dimodifikasi yaitu dengan menghancurkan hifa Aspergillus pada media PDB dengan menggunakan stomacher. Hifa Aspergillus flavus yang telah hancur dimasukkan kembali ke dalam erlenmeyer berisi media PDB secara aseptis. Kloroform sebanyak 250 ml ditambahkan ke dalam erlenmeyer yang berisi 250 media PDB yang telah bercampur Aspergillus flavus sp BCC F0219 (1:1), kemudian di shaker selama 15 menit pada gyratory shaker. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam corong pemisah lalu kocok dan diamkan hingga terjadi pemisahan. Lapisan bawah (kloroform) diambil dan disaring dengan kertas saring Whatman no.1. Proses ekstraksi ini dilakukan sebanyak 2 kali. Gabungan dari ekstrak kloroform dievaporasi dangan rotary vacuum evaporator hingga ekstrak menjadi pekat.
26
Total aflatoksin dalam ekstrak kloroform diukur dengan menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC). Butiran jagung
Penggilingan kasar grits jagung ± 4mm Perendaman dan Pembersihan penghilangan kotoran, perikarp & bagian-bagian yang mengapung selama5 menit dengan air steril Penirisan selama ±30 menit 1. Spora A.flavus 106spora/gram 2. Ekstrak aflatoksin
Grits jagung
Grits jagung terkontaminasi Kultur starter : S1, S2, S3
Fermentasi grits jagung (1kg: 3L) dengan air destilasi steril Selama 48, 72 jam pada suhu ruang
.
Analisis : -Total aflatoksin -Total A.flavus Analisis : -Total aflatoksin -Total A.flavus Analisis : -Total A.flavus -Perubahan pH
Penirisan selama ±30 menit Analisis :
Pengeringan (kabinet pengering, suhu 60 oC selama ±3 jam)
-Perubahan pH -Total asam -Total aflatoksin
Grits jagung fermentasi
Gmbar 4. Proses fermentasi grits jagung terkontaminasi dengan formula kultur starter c.
Kontaminasi Aflatoksin pada Grits Jagung (Khanafari et al. 2007) Grits jagung sebanyak 200 gram kontaminasi dengan ekstrak aflatoksin
sebesar 69 ppb (11ml ekstrak yang mengandung 1.26 µl/ml) lalu di aduk rata dan di kering uapkan dengan oven pada suhu 50 oC selama ±10 menit untuk menghilangkan kloroform dari jagung.
27
d. Fermentasi Grits Jagung Terkontaminasi Dengan Formula Kultur Starter Proses fermentasi grits jagung dengan menggunakan formula kultur starter terpilih mengikuti metode Aini (2009) dengan beberapa modifikasi. Modifikasi dilakukan dengan mengganti jagung yang digunakan dengan jagung yang terlebih dahulu telah dikontaminasi Aspergillus flavus sp BCC F0219 atau jagung yang dikontaminasi dengan ekstrak aflatoksin. Pada saat jagung direndam dalam air destilasi steril dilakukan penambahan formula kultur starter yang diketahui jenis mikroba dan jumlahnya kemudian difermentasi selama 48 dan 72 jam. Setelah fermentasi selesai dilakukan penirisan dengan menggunakan saringan selama 30 menit, lalu dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet pada suhu 60 oC selama ±3 jam. Produk akhir grits jagung diuji total asam tertitrasi, kadar air, perubahan pH dan total aflatoksin. Bagan proses seperti terlihat pada Gambar 4. 4.
Pengaruh Formula Kultur Starter pada Fermentasi Grits Jagung terhadap Pertumbuhan Mikroflora Selama Fermentasi Grits Jagung dan Kemudahan Penggilingan Grits Jagung. Proses fermentasi grits jagung dilakukan mengikuti metode Aini (2009)
yang dimodifikasi dengan menggunakan jagung putih varietas Pulut. Tahap-tahap fermentasi grits jagung sebagai berikut: (i) penggilingan kasar jagung dengan diameter ± 4mm menggunakan pin disc mill, (ii) penampian menggunakan tampah, (iii) penghilangan kotoran, perikarp dan bagian-bagian yang mengapung setelah direndam selama 5 menit dengan menggunakan air destilasi steril, (iv) penirisan menggunakan saringan selama ± 30 menit, (v) perendaman grits jagung dalam wadah plastik tertutup volume 5 liter pada suhu ruang selama 48 dan 72 jam dengan perbandingan air destilata : jagung 3:1 (3L : 1kg), (vi) pengeringan grits jagung dengan menggunakan pengering kabinet pada suhu 60 oC selama ±3 jam. Tahap penepungan dilakukan dengan menggiling grits jagung yang telah kering dengan menggunakan pin disc mill dengan waktu ± 3 menit dengan ukuran ayakan 60 mesh. Tepung yang dihasilkan di ayak dengan menggunakan ayakan getar bertingkat dengan ukuran 60, 80, dan 100 mesh. Uji kemudahan penggilingan dilakukan dengan menghitung jumlah rendemen tepung paling halus
28
yang dihasilkan ayakan 100 mesh. Bagan tahapan ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Butiran jagung
Penggilingan kasar grits jagung ± 4mm Perendaman dan Pembersihan penghilangan kotoran, perikarp & bagian-bagian yang mengapung selama 5 menit dengan air steril
Penirisan selama ±30 menit Kultur starter : S1, S2, S3
Analisis : Total BAL dan Khamir
Fermentasi grits jagung (1kg: 3L) dengan air destilasi steril Selama 48, 72 jam pada suhu ruang
. Penirisan selama ±30 menit Pengeringan (kabinet pengering, suhu 60 oC selama ± 3 jam)
Grits jagung fermentasi
Penggilingan tepung Pengayakan tepung (60, 80, 100 mesh) Selama 2 menit
1.
2. 3.
Analisis : Total rendemen tepung pada tiap tingkat ayakan Total asam Perubahan pH
Tepung jagung fermentasi
Gambar 5 Proses pembuatan tepung jagung dengan fermentasi menggunakan formula kultur starter
29
Metode Analisis 1.
Analisis total BAL dengan metode tuang (Nago et al. 1998 dan BAM 2001) Sebanyak 5 gram grits jagung dan 15 ml air fermentasi di ambil secara
aseptis, kemudian stomacher hingga halus. Sebanyak 5 ml sampel ditambahkan ke dalam 45 ml larutan pengencer garam fisiologis-pepton (5 g pepton, 8.5 g NaCl, 1000 ml air destilisasi, pH 7.0 ± 0.2) kemudian dibuat pengenceran desimal (1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya). Pemupukan dalam metode tuang dilakukan dengan cara mengambil sampel yang telah diencerkan sebanyak 1 ml kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri steril lalu ditambahkan MRS Agar steril yang telah ditambahkan CaCO3 0.5% secara double-layer sebanyak 15-20 ml. Jumlah koloni dihitung setalah inkubasi selama 48 jam. Koloni bakteri dapat dihitung dengan rumus Standar Plate Count sebagai berikut:
Keterangan: N ∑C n1 n2 d
= jumlah Koloni per ml atau per gram produk = jumlah semua koloni yang dihitung dari 2 cawan = jumlah cawan pada pengenceran pertama = jumlah cawan pada pengenceran kedua = pengenceran peertama yang dihitung
Limit deteksi berkisar 25 hingga 250 koloni. Ketika dalam cawan terdapat koloni kurang dari 25, maka dalam pelaporannya dikatakan bahwa jumlahnya 2.5x101 CFU/ml. Jika tidak ditemukan koloni dalam cawan hingga pengenceran terendah, maka pelaporannya sebanyak 1.0x101 CFU/ml. Namun jika koloninya melebihi 250, maka dianggap sebagai TBUD (tidak bisa dihitung). Dengan demikian, hanya cawan yang jumlah koloninya berkisar 25 hingga 250 saja yang dapat dihitung sebagai jumlah koloni bakteri yang diinokulasikan. 2.
Total koloni kapang dan khamir (Nago et al. 1998 dan BAM 2001) Metode ini pada prinsipnya sama dengan perhitungan jumlah sel BAL yaitu
5 gram grits jagung dan 15 ml air fermentasi diambil secara aseptis, kemudian stomacher hingga halus. Sebanyak 5 ml sampel ditambahkan ke dalam 45 ml larutan pengencer garam fisiologis-pepton (5 g pepton, 8.5 g NaCl, 1000 ml air destilisasi, pH 7.0 ± 0.2) kemudian dibuat pengenceran desimal (1:10, 1:100, 1:1000, dan seterusnya). Sebanyak 1 ml contoh yang telah diencerkan dipipet ke
30
atas permukaan cawan petri steril lalu tambahkan Potato-Dextrose Agar (PDA) yang telah ditambahkan asam tartarat 10% (14ml dalam 1L) untuk menghitung total kapang, Oxytetracycline Glucose Yeast Extract Agar (Ogye Agar) yang telah ditambahkan kloramphenikol 0.01% untuk menghitung khamir kemudian di simpan pada inkubator 25 oC selama 3 hari. Jumlah koloni yang dihitung dengan limit deteksi berkisar 10 hingga 150 koloni. 3.
Perhitungan spora kapang dengan Petroff-Hauser (Fardiaz, 1992) Dalam metode petroff-Hauser, hitungan mikroskopik dilakukan dengan
pertolongan kotak-kotak skala, dimana dalam setiap ukuran skala seluas 1mm2 terdapat 25 kotak besar dengan luas 0.04 mm2 dan tiap kotak besar terdiri dari 16 kotak kecil. Tinggi contoh yang terletak diantara gelas obyek dengan gelas penutup adalah 0.02 mm. Jumlah spora dalam beberapa kotak besar dihitung, kemudian jumlah spora rata-rata dalam 1 kotak besar. Jumlah spora per ml dihitung sebagai berikut: ∑spora per contoh (spora/ml) = ∑ spora per kotak besar x 25 kotak x 1/0,02 x 103 = ∑ spora per kotak besar x 1.25 x 105 4.
Pengukuran pH dengan metode potentiometric (AOAC 1995) Pengukuran nilai pH dilakukan pada air fermentasi dan tepung jagung.
Untuk sampel berupa air diukur langsung nilai pHnya, sedangkan untuk sampel berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel dilakukan dengan menambahkan 20 ml aquades dalam 1 gram tepung, kemudian dikocok dengan stirer kemudian ditambah lagi dengan 50 ml aquades dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian di ukur pH supernatan dengan menggunakan alat pH meter yang sebelumnya telah dikalibrasi dengan 2 buah buffer yaitu buffer 4 dan buffer 7. Elektroda dibiarkan beberapa saat sampai pembacaan stabil. Angka pH yang terbaca diatur dengan menggunakan tombol kalibrasi sampai diperoleh angka pH yang sesuai dengan pH buffer. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan tissue. Elektroda yang sudah kering baru di celupkan ke dalam larutan supernatan sampel selama beberapa saat, nilai pH dibaca setelah menunjukan angka yang stabil.
31
5.
Uji derajat asam tepung (SNI 1995) Timbang tepung 10 gram, masukkan kedalam erlenmeyer 250 ml,
tambahkan 100 ml alkohol 96% netral dan biarkan selama 24 jam sambil sesekali digoyang kemudian di saring. Titar dengan menggunakan NaOH 0.05 N dengan menggunakan larutan indikatornPP Derajat asam =
ml N naOH/100gr
Keterangan : W = Berat sampel (gr) V = Volume NaOH yang terpakai saat titrasi (ml) N = Normalitas NaOH yang digunakan untuk titrasi 6.
Uji kemudahan penggilingan (Aini 2009) Pengujian dilakukan dengan melakukan penggilingan grits jagung hasil
fermentasi menggunakan pin disc mill dengan ayakan ukuran 60 mesh selama ± 3 menit. Kemudian dilakukan pengayakan bertingkat dari 60, 80 dan 100 mesh dengan kecepatan yang sama dan waktu selama 2 menit. Persentase sebaran tepung pada tiap tingkat pengayakan dan tiap waktu fermentasi dihitung dengan: % tepung =
7.
Analisis aflatoksin menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) a.
Prinsip Metode analisis aflatoksin yang digunakan diadopsi dari metode Tropical
Product Institue (TPI) tahun 1980. Aflatoksin dalam sampel diekstrak menggunakan metanol dan dihilangkan lemaknya dengan n-heksana. Pemurnian dilakukan memakai kloroform dan dehidrasi dilakukan dengan menggunakan sodium sulfat anhidrat. Identifikasi aflatoksin dilakukan dengan cara elusi 1 (satu ) dimensi pada TLC plate. b. Ekstraksi aflatoksin (TPI 1980) Sampel jagung ditimbang sebanyak 25 lalu dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Sebanyak 50 ml metanol dan 5 ml larutan NaCL 2.2% ditambahkan ke dalam erlenmeyer. Campuran dikocok menggunakan
32
mechanical shaker selama 30 menit dengan kecepatan 120 rpm. Setelah itu disaring menggunakan kertas Whatman No 1. Larutan sampel yang sudah disaring dimasukkan kedalam corong pemisah 250 ml kemudian ditambah 25 ml n-heksan dan di kocok, setelah terjadi pemisahan, lapisan bawah (fraksi metanol) dikumpulkan dalam botol 100 ml, tahapan ini diulangi kembali dengan menambah kembali 25 ml n-heksana. Fraksi metanol yang telah bebas lemak ini dimasukkan kembali kedalam labu kocok 250 ml, ditambah 10 ml aquadest, setelah itu ditambahkan 25 ml kloroform lalu kocok satu menit. Kemudian lapisan (fraksi kloroform) disaring dan didehidrasi menggunakan 5 gram Na2SO4 anhidrat dan ditempatkan dalam botol bersih. Ekstraksi dengan menggunakan 25 ml kloroform diulangi sekali lagi. Cairan hasil ekstraksi diuapkan sampai kering. Contoh hasil penguapan dilarutkan kembali menggunakan 500 µl kloroform secara kuantitatif untuk pengujian. c.
Pembuatan deret standar dan spotting Bejana kromatografi diisi dengan eluen kloroform aseton 9:1. Pada pelat
TLC Silica gel 60 F254 Merck ukuran 10 x 20, dibuat garis menggunakan pensil yang mengindikasikan batas bawah (1.5 cm dari tepi bawah) dan batas atas (1.5cm dari batas atas). Titik-titik tersebut digunakan sebagai tempat spotting larutan standar maupun contoh, masing-masing berjarak 1-1.5 cm. Sebanyak 1 µl sampai 8 µl larutan standar B1 konsentrasi 2.03 ppm dan 3.97 ppm dispotting pada lempeng kromatografi menggunakan microsyringe 10 µl. Pada lempeng yang sama dispotting juga 10 µl larutan contoh/sampel. Lempeng tersebut dimasukkan kedalam bejana yang berisi eluen, lalu dielusi dari bawah ke atas sampai pelarut mencapai batas atas. Setelah itu keringkan memakai dryer. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan UV viewing cabinet pada panjang gelombang 366 nm. Uji kuantitatif dilakukan dengan membandingkan intensitas perpendaran contoh dan standar. Kandungan aflatoksin dihitung sebagai µg/kg dengan cara :
33
Kandungan Aflatoksin (ppb) = Keterangan : S = Volume aflatoksin standar (µl) yang meberikan perpendaran setara dengan Z µl sampel. Y = Konsentrasi aflatoksin standar dalam µl/ml Z = Volume ekstrak sampel yang dibutuhkan untuk memberikan perpendaran setara dengan S µl standar aflatoksin V = Volume pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel ekstrak akhir (µl) W = Volume sampel (ml/gr) Fp = Faktor pengenceran
Analisis Statistik Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis secara statistik menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan dua kali ulangan. Perlakuan yang mempengaruhi adalah formulasi kultur starter yang digunakan. Model linear yang digunakan untuk rancangan dalam penelitian ini yaitu: Yij = µ +τi+ ε ijk Keterangan: Yij µ
τi
ε ijk
= Respon nilai pengamatan pada percobaan ke-i yang memperoleh perlakuan ke-j = Pengaruh rata-rata populasi = Pengaruh perlakuan ke-i = Pengaruh acak dari satuan percobaan yang ke-i yang memperoleh kombinasi perlakuan j
Data hasil penelitian dianalisis dengan ANOVA-Balanced ANOVA. Adanya perbedaan yang nyata (p< 0.05), dilanjutkan dengan uji Duncan dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan softwere SPSS Statistics 17.0.
34
35
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Kultur Starter a. Kandidat Isolat Formula Kultur Hasil identifikasi Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menunjukkan terdapat beberapa jenis mikroorganisme selama 72 jam fermentasi spontan grits jagung Anoman, antara lain: 5 jenis kapang, 3 spesies khamir, dan 3 spesis BAL. Isolat kapang yang diperoleh yaitu Rhizopus, Fusarium, Penicillium, Aspergillus flavus dan Aspergillus niger. Spesies khamir yang diperoleh antara lain Candida famata, Kodamaea ohmeri dan Candida krusei/incospicua. Dari ke tiga jenis spesies tesebut hanya satu khamir yang bersifat amilolitik yaitu C. famata. Hasil isolasi BAL yang diperoleh antara lain Lactobasillus plantarum 1, Lactococcus lactis ssp lactis 1, dan Pediococcus pentosaceus 1. Uji amilolitik yang dilakukan pada ketiga jenis BAL menunjukktan tidak ada satupun isolat BAL yang bersifat amilolitik. b. Penyusunan Formula Kultur Starter Pemilihan isolat yang digunakan dalam formulasi kultur starter hanya jenis khamir amilolitik dan BAL yaitu C. famata dan Lactobacillus plantarum. Hal ini dilakukan dengan beberapa pertimbangan antara lain 1) Isolat kapang hasil isolasi Rahmawati (Komunikasi personal 2012) belum teridentifikasi secara jelas spesiesnya dan masih tercampur dengan Aspergillus flavus; 2) Pada fermentasi spontan spesies khamir yang bersifat amilolitik hanya C. famata; 3) Pertumbuhan L. plantarum pada kurva pertumbuhan BAL selama fermentasi spontan yang dilakukan Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menunjukkan terjadi peningkatan populasi selama fermentasi dari 2 log pada 4 jam fermentasi hingga 8,5 log pada 12 jam fermentasi, diikuti dengan pertumbuhan konstan hingga 72 jam fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa waktu optimal untuk pertumbuhan L. plantarum berada pada 4-12 jam fermentasi; 4) Dengan adanya C. famata sebagai khamir amilolitik diharapkan dapat membantu pemecahan pati jagung menjadi lebih cepat, sehingga dapat dimanfaatkan oleh L. plantarum dan pertumbuhannya akan lebih cepat. Penyusunan formula kultur starter dari hasil seleksi isolat yang ada seperti terlihat pada Tabel 9.
36
Tabel 9 Formulasi S1 S2 S3
Susunan formula kultur starter Mikroorganisme Waktu Inokulasi L. plantarum Jam ke-0 L. plantarum + C. famata Jam ke-0 C. famata + L. plantarum Jam ke-0 (C. famata) dan Jam ke-12 (L. plantarum)
c. Konfirmasi Isolat Isolat yang digunakan pada formula kultur starter yaitu Lactobacillus plantarum dan C. famata dikonfirmasi ulang secara biokimiawi. Hasil konfirmasi isolat seperti terlihat pada Tabel 10. Tabel 10 Karakteristik mikroorganisme yang digunakan pada formulasi Mikroorganisme Karakteristik 1. Bentuk sel batang, Gram positif 2. Katalase negatif 3. Persen ID API CHL 50 : 99.9% Lactobacillus plantarum 4. Pertumbuhan pada suhu 37 oC selama 24 jam ±4.61x109 CFU/ml 5. Amilolitik negatif 1. Bentuk sel bercabang, memiliki pseudohyphae dan blastoconidia
Candda famata 2. 3. 4. Olivier
et
al.
(2008)
Persen ID API 20C AUX : 92,8% Pertumbuhan pada suhu 25 oC selama 4 hari ± 1.75x109 sel/ml. Amilolitik positif
mengatakan
bahwa
banyak
yang
salah
mengidentifikasi antara Debaryomyces hansenii (C. famata) dan Pichia guilliermondii (C. guilliermondii). C. famata biasa ditemukan dalam berbagai jenis keju, sedangkan C. guliiermondii tersebar di alam dan biasa terdapat pada mikroflora manusia umumnya, namun kedua jenis spesies candida ini susah dibedakan secara fenotip. Menurut Wadsworth center (2008) C. famata dan C. guilliermondii dalam pembacaan API kit 20C AUX memiliki pembacaan biocode yang sama, yang membedakannya adalah besarnya pembentukan
37
melezitose dan rafinosa yang hanya sebesar 60% sedangkan Candida guilliermondii sebesar 90%. Uji konfirmasi ulang yang dilakukan untuk khamir C. famata dan BAL Lactobacillus plantarum menunjukkan keakuratan mencapai 92,8% untuk C. famata dan untuk Lactobasillus plantarum 99,9%. Data lengkap hasil uji API seperti terlampir pada Lampiran 1. Dari hasil konfirmasi uji amilolitik yang dilakukan terhadap C. famata, diketahui bahwa C. famata bersifat amilolitik, hal ini terlihat dengan adanya pembentukan zona bening di sekitar sel khamir saat ditetesi larutan gram-iodin seperti terlihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Pembentukan zona bening disekitar sel khamir C. famata Pada gambar terlihat adanya zona bening disekitar sel C. famata. Hal ini menunjukkan bahwa C. famata tersebut bersifat amilolitik. Karena sel mikroorganisme yang memiliki kemampuan amilolitik akan menghidrolisis pati pada media di sekeliling tempat tumbuhnya dan dalam zona degradasi tidak terbentuk warna biru, yang merupakan dasar deteksi dan seleksi. Zona bening akan tampak setelah beberapa saat ditambahkan larutan iodin. Frazier dan Westhoff (1988) menjelaskan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan salah satu jenis BAL homofermentatif dengan temperatur optimal lebih rendah dari 37 oC. BAL bersifat Gram positif, katalase negatif, non motil, tidak membentuk spora, serta penghasil asam. BAL di temukan pada material yang kaya karbohidrat khususnya makanan fermentasi (Soomro et al. 2002 dalam Adebayo et al. 2010). Axelsson (1998) mengatakan bahwa L. plantarum tersebar di alam, dan banyak diaplikasikan dalan industri pangan. L. plantarum merupakan
38
BAL yang paling tahan asam. Hasil pengujian secara fisik terhadap L. plantarum menunjukkan hal yang sama seperti terlihat pada Gambar 7.
A 1
B
C
Gambar 7. Identifikasi L. plantarum (A) Gram Positif, (B) Katalase Negatif), (C) Penampakan L. plantarum pada media yang mengandung CaCO3 0.5% ditandai dengan membentuk zona bening. Hasil identifikasi menunjukkan bahwa L. plantarum bersifat Gram positif dan berbentuk batang dan uji katalase dengan menggunakan H2O2 menunjukkan tidak ada gelembung gas yang menandakan bahwa L. plantarum bersifat katalase negatif. Kemampuan membentuk asam laktat ditandai dengan adanya zona bening di sekitar koloni pada media DeMan Rogosa Sharpe (MRS) Agar yang di tambahkan 0.5% CaCO3. Gobel (2005) dalam Djide dan Elly (2008) menjelaskan bahwa penambahan CaCO3 pada media dimaksudkan untuk menyeleksi BAL, karena BAL yang tumbuh pada media ini akan memberikan zona bening disekitar koloni setelah inkubasi selama 2-3 hari. Hal ini dikarenakan BAL menghasilkan asam laktat yang akan bereaksi dengan CaCO3 membentuk Ca-laktat yang larut di dalam media. Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Starter Terhadap Aspergillus flavus dan Aflatoksin a. Penghambatan Pertumbuhan Aspergillus flavus Selama Fermentasi Terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut Penurunan jumlah Aspergillus flavus selama fermentasi grits jagung varietas Pulut dengan menggunakan formula kultur starter seperti disajikan pada Gambar 8. Penggunaan formula kultur mempengaruhi jumlah Aspergillus selama fermentasi. Formula S1 menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus sp BCC F0219 dengan waktu penghambatan paling cepat, yaitu 24 jam. Namun, besarnya
39
penghambatan Aspergillus flavus menggunakan formula S1 tidak berbeda dengan kontrol seperti terlihat pada Lampiran 3. Hal ini menunjukkan bahwa dengan fermentasi spontan grits jagung pertumbuhan Aspergillus flavus dapat terhambat. Sedangkan formula yang menggunakan formula kultur campuran (S2 dan S3) juga dapat menghambat, namun membutuhkan waktu yang lebih lama. 3,96 Total A. flavus (Log koloni/ml)
4,00 3,50
3,51 3,09
3,07
3,00
0 jam
2,50 1,88
2,00 1,50
<1,00 <1,00
48 jam
1,86
<1,00
72 jam <1,00
1,17
<1,00
1,00 S1
S2 S3 Formula Kultur Starter
Kontrol
Gambar 8. Penurunan jumlah Aspergillus flavus pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam. Purwijatiningsih et al. (2005) menunjukkan adanya penghambatan terhadap pertumbuhan Aspergillus flavus oleh kultur tunggal Candida sp1 secara in vitro. Cerikcioglu (2003) menyatakan bahwa Candida termasuk salah satu yeast killer toxin yang dapat menghambat pertumbuhan kapang, bakteri dan protozoa dengan cara membentuk ikatan pada reseptor yang spesifik pada permukaan sel patogen. Hal ini berlawanan dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan formula kultur campuran (S2 dan S3) tidak memberikan pengaruh karena jumlah penurunan A. flavus berbeda jauh dengan formula kultur tunggal S1 dan Kontrol. Hal ini diduga karena kondisi lingkungan yang tidak medukung C. famata untuk berkembang dengan cepat karena adany persaingan mendapatkan nutrisi antar mikroorganisme yang ada menyebabkan khamir khususnya C. famata tidak dapat menghambatan Aspergillus flavus sp BCC F0219. Randhawa et al. (2002) melakukan uji penghambatan secara in vitro terhadap Aspergillus fumigatus menggunakan kultur tunggal beberapa jenis spesies Candida menunjukkan adanya kemampuan Candida dalam menghambat perkembangan kapang Aspergillus fumigatus.
40
Penelitian secara in vitro pada BAL terhadap penghambatan pada kapang telah banyak dilakukan. Ghonaimy et al. (2007) menunjukkan kekuatan penghambatan dari sel bebas supernatan L. acidophilus ATCC 4495 dalam penghambatannya terhadap A. Flavus sebesar 11.5 mm dan A. Parasiticus sebesar 13 mm. Sedangkan L. acidophilus ATCC 20552 memiliki aktifitas penghambatan yang rendah. Selain itu dalam penelitian Onilude et al. (2005) disebutkan bahwa L. Plantarum mampu menghambat pertumbuhan A. Flavus. Penghambatan germinasi spora A. flavus oleh L. plantarum juga dilaporkan oleh Khanafari et al. (2007), spora kapang yang dikelilingi oleh sel L. plantarum mengalami degradasi. BAL memiliki respon yang baik dalam mengahadapi tekanan akibat penurunan pH lingkungan yang terjadi dengan cepat (Kajfasz & Quivey 2011). Selama fermentasi pH lingkungan menurun karena terjadi akumulasi asam organik terutama asam laktat. Namum pH dalam sitoplasma BAL tersebut lebih basa dibandingkan medium disekitar sel. Hal ini disebabkan karena sel dengan cepat mensekresikan asam laktat melalui media pembawa ke medium ektraseluler (Hutkins & Nannen 1993). Penghambatan Aspergillus flavus terjadi karena beberapa molekul asam laktat dapat berdisosiasi menjadi H+ dan anion yang dapat meningkatkan pergerakan proteo transmembran yang bergerak menuju sel, sehingga kapang membutuhkan energi lebih untuk menjaga keseimbangan sel dan kekurangan energi untuk pertumbuhan (Aryantha & Lunggani 2007). Lunggani (2007) juga menyatakan BAL mempunyai kemampuan untuk bereaksi lebih cepat untuk menghadapi stress asam sehingga aktivitas metabolismenya tidak terganggu. Sebaliknya bagi A. Flavus membutuhkan energi yang relatif lebih banyak untuk merespon lingkungannya yang asam disamping untuk proses metabolismenya Selain kemampuan untuk bertahan pada kondisi asam, BAL dapat menghambat Aspergillus flavus dengan adanya hasil metabolit sekunder yang dihasilkannya selain asam laktat. Lavermicocca et al. (2000) dalam Adebayo dan Aderiye (2010) menyebutkan bahwa aktifitas antifungal yang dimiliki oleh L. plantarum isolat dari adonan asam berupa asam organik seperti asam phenyl lactic dan 4-hydroxyl-phenyl-lactic acid. Proses pengahambatan yang dilakukan oleh BAL terjadi pada hari ke dua masa inkubasi (Adebayo et al. 2010).
41
Dalie et al. (2010) juga mengatakan bahwa filtrat kultur L. plantarum 21B menghasilkan senyawa antifungal yang memiliki aktifitas penghambatan terhadap Penicillium
corylophilum,
Penicillium
roqueforti,
Penicillium
expansum,
Aspergilus niger, A. flavus, and Fusarium graminearum. Aktifitas antifungal tersebut dianggap berasal dari produksi asam phenyllactic dan 4-hydroxyl-phenyllactic dan jumlah antifungal yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan kapang kurang dari 7.5 mg/ml phenyllactic. Hasil penelitian Xu et al. (2003) menunjukkan bahwa pertumbuhan A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 terhambat ketika spora ditambahkan pada kultur L. plantarum yang telah di inkubasi selama 24 jam dan juga ketika ditambahkan pada saat yang bersamaan. Penghambatan pertumbuhan A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 mungkin karena adanya inaktifasi viabilitas dari spora. Spora menjadi membengkak dengan adanya L. plantarum ATCC 8014, dan pada saat yang sama A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 mempengaruhi bentuk sel L. plantarum ATCC 8014 yang juga menjadi besar. Namun ketika L. plantarun ATCC 8014 ditambahkan pada A. flavus subsp. parasiticus NRRL 2999 yang telah berumur 3 hari tidak ada efek pada pertumbuhan kapang dan produksi aflatoksin yang dihasilkan. b. Penurunan Aflatoksin B1 Selama Fermentasi Terkendali Grits Jagung Putih Varietas Pulut Kandungan Awal Aflatoksin Pada Grits Jagung. Jagung yang digunakan adalah jagung putih varietas Pulut dengan kadar air sekitar 10-13%. Jagung disimpan pada suhu ruang dalam kondisi baik. Selama penyimpanan tidak ada kerusakan kemasan plastik akibat hama gudang seperti tikus. Sebelum dilakukan tahapan kontaminasi grits jagung varietas pulut, terlebih dahulu dilakukan tahapan ekstraksi aflatoksin dari kultur murni Aspergillus flavus sp BCC F0219. Hasil ekstraksi aflatoksin dianalisis dengan menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) terhadap kandungan aflatoksin B1. Dari hasil analisis diketahui kandungan aflatoksin B1 pada ekstrak sebesar 1260 ppb. Kontaminasi aflatoksin pada grits jagung dilakukan dengan menambahkan ekstrak ke dalam grits jagung dengan konsentrasi 69 ppb atau sebanyak 16 ml ekstrak aflatoksin ditambahkan kedalam setiap 200 gram grits jagung. Hasil
42
analisis dengan menggunakan TLC menunjukkan kandungan aflatoksin B1 yang terdapat pada grits jagung yang terkontaminasi sebesar 64.30 ppb dan jumlah kandungan aflatoksin ini murni berasal dari ekstrak aflatoksin, karena analisis jagung awal sebelum di kontaminasi tidak terdeteksi adanya kandungan aflatoksin pada jagung. Penurunan kandungan aflatoksin B1 pada fermentasi grits jagung. Proses fermentasi menurunkan kandungan aflatoksin pada grits jagung kontaminasi. Besarnya penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung seperti terlihat pada Gambar 9.
Kandungan Aflatoksin (ppb)
70,00
64,30
64,30
64,30
64,30
60,00 50,00 0 jam
40,00 30,00
48 jam
23,29
20,12 19,46
20,00 7,82
10,00
15,50 11,63
16,0915,89
72 jam
0,00 S1
S2 S3 Formula Kultur Starter
Kontrol
Gambar 9. Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung fermentasi dengan menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam. Dari Gambar 9 terlihat bahwa fermentasi dapat menurunkan kandungan aflatoksin pada grits jagung. Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung terlihat pada 48 jam fermentasi dengan besar reduksi aflatoksin berkisar antara 60-70% sedangkan pada fermentasi 72 jam persentase penurunan kandungan aflatoksin mencapai 87.83% dari jumlah aflatoksin awal 64.30 ppb, seperti terlihat pada Tabel 11. Hal ini bertolak belakang dengan Oluwafemi dan Ikeowa (2005) yang mengatakan bahwa reduksi aflatoksin pada fermentasi maize baru terjadi setelah 72 jam fermentasi sebesar 50%. Reduksi aflatoksin pada grits jagung kontrol pada fermentasi 48 jam lebih besar dibandingkan dengan formula kultur. Hal ini dikarenakan pada fermentasi grits jagung kontrol semua mikroorganisme alami kapang, khamir, dan bakteri
43
yang terdapat pada jagung dapat tumbuh pada awal fermentasi. Pertumbuhan kapang membantu proses penurunan aflatoksin. Misra et al. (2010) menyebutkan Penicillium citrinum, Trichoderma viride dan Aspergilllus niger masing-masing dapat menghambat aflatoksin hingga 90.23; 90.15% dan 79.385. DewantiHariyadi et al. (2008) menyatakan M. Rouxii mampu mendegradasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 masing-masing sebesar 76.9%; 83.3%; 77.8% dan 81.8%. Rahmawati (Komunikasi personal 2012) menyebutkan bahwa kapang jenis Penicillium dan Aspergillus niger terdapat pada grits jagung selama fermentasi spontan. Keberadaan kapang ini selama fermentasi memungkinkan dalam membantu penurunan kandungan aflatoksin selama fermentasi. Pengaruh penggunaan formula kultur starter baru terlihat setelah fermentasi selama 72 jam. Formula kultur starter yang dapat mereduksi aflatoksin paling besar adalah S1 yaitu kultur starter yang hanya menggunakan L. plantarum. Sedangkan penggunaan kultur starter campuran
dan ko-kultur
dengan
menggunakan C. famata tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan kontrol. Matumba et al. (2009) mengatakan bahwa pada proses perendaman selama 24, 48 dan 72 jam pada pengolahan tepung jagung secara tradisional di Afrika dapat menurunkan kandungan aflatoksin sebesar 72.4, 75.4 dan 80.9% . Analisis statistik penggunaan formula kultur starter dalam mereduksi aflatoksin pada tiap jam fermentasi menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (α>0.05), hal ini berarti bahwa jumlah reduksi aflatoksin dengan formula kultur sama dengan jumlah reduksi aflatoksin tanpa menggunakan formula (Kontrol). Namun jika dilihat dari segi keamanan pangan, kemampuan kultur starter S1 dalam mereduksi aflatoksin jauh lebih besar dibandingkan kontrol, sehingga jumlah aflatoksin di dalam jagung semakin sedikit semakin aman dikonsumsi. Selain itu tinggi rendahnya kandungan aflatoksin pada jagung juga berkaitan dengan batasan aflatoksin yang diizinkan pada tiap negara yang
lebih rendah dibandingkan
Indonesia 20 ppb. Negara-negara Eropa Union menetapkan standar aflatoksin B1 pada tepung jagung sebesar 5 ppb dan total aflatoksin 10 ppb (Official Journal of the European Union 2010), FDA menetapkan maksimum aflatoksin pada jagung dan produknya sebesar 20 ppb, dan Codex menetapkan maksimum aflatoksin sebesar 15 ppb. Beberapa negara menetapkan batas maksimum yang lebih rendah
44
terhadap kandungan aflatoksin dalam bahan pangan seperti Australia 5 ppb, Jerman 4 ppb (Wu 2004). Tabel 11 Penurunan kandungan aflatoksin pada grits jagung yang di fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam. Tahapan Fermentasi
Kandungan AFB1 Jagung (ppb)
Kandungan AFB1 air rendaman (ppb)
Total reduksi AFB1 Oleh Kultur Starter (ppb)
Penurunan aflatoksin (%)
Jagung Awal
0
TD
TD
TD
Jagung + Aflatoksin
64.3
TD
TD
TD
S1 S2 S3 K1
23.29 20.12 15.50 16.09
2.03 4.06 4.06 2.03
38.98 40.12 44.75 46.18
60.62a 62.39a 69.59 a 71.83 a
48 Jam
S1 7.83 0 56.48 87.83 a 72 S2 19.46 0 44.84 69.74 a Jam S3 11.63 0 52.68 81.92 a K1 15.89 0 48.41 75.28 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom penurunan aflatoksin pada setiap jam fermentasi menunjukkan reduksi aflatoksin yang tidak berbeda nyata (α = 0,05); TD= tidak dianalisis; angka 0= <0.5 ppb (batas limit deteksi alat). Dari Tabel 11 terlihat bahwa aflatoksin dalam jagung tidak berpindah ke dalam air. Hal ini terlihat dengan sedikitnya aflatoksin yang ada di dalam air pada 48 jam dan tidak adanya kandungan aflatoksin yang terkandung dalam air setelah 72 jam. Tidak adanya kandungan aflatoksin pada air rendaman jagung menunjukkan bahwa adanya peran mikroorganisme dalam mereduksi aflatoskin selama fermentasi. Khanafari et al. (2007a) mengatakan bahwa reduksi aflatoksin dengan menggunakan BAL L. plantarum PTCC 1058 melibatkan pengikatan secara fisik toksin terhadap dinding sel/komponen penyusun dinding sel. Mekanisme pengikatan aflatoksin oleh dinding sel bakteri belum dapat di pahami dengan baik, namun diperkirakan bahwa ada keterlibatan komponen utama seluler seperti peptidoglikan, serta polisakarida dinding sel dan protein dalam mengikat aflatoksin dan interaksi ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (Mendoza et al. 2009). Hasil penelitian Haskard et al. (2001) dalam pengujian aflatoksin
45
secara invitro terhadap kemampuan BAL mereduksi aflatoksin dalam medium cair menunjukkan adanya pengikatan Aflatoksin B1 pada pelet kultur setelah dilakukan proses pencucian/ memisahkan antara medium dan kultur. Selain itu Haskard et al. (2001) juga mengatakan bahwa hal tersebut terjadi karena aflatoksin B1 diikat oleh bakteri dengan cara melemahkan interaksi non kovalen seperti pada kantong hidropobik pada permukaan bakteri. Polisakarida dan peptidoglikan pada dinding sel merupakan unsur penting yang bertanggung jawab dalam pengikatan mutagen pada BAL. Adanya kondisi asam pada lingkungan dapat memutuskan ikatan glikosidik dalam polisakarida dan melepaskan monomer yang dapat berfragmentasi menjadi aldehid. Asam juga dapat memutuskan ikatan amida pada peptida atau protein yang menghasilkan akan komponen asam amino, sehingga asam dapat memecah struktur peptidoglikan pada BAL. Pemecahan struktur peptidoglikan dapat menyebabkan terjadinya penurunan ketebalan peptidoglikan, reduksi dalam cross-links dan atau terjadi peningkatan ukuran pori. Adanya gangguan pada dinding sel BAL ini memungkinkan terjadinya pengikatan aflatoksin B1 pada dinding sel dan membran plasma yang tidak tersedia ketika sel BAL dalam keadaan utuh. Dugaan ini dikuatkan juga dengan penelitian Khanafari et al. (2007 b) yang menunjukkan bahwa sel BAL yang terlebih dahulu mendapat perlakuan autoclave tidak dapat mereduksi aflatoksin B1 dengan baik, dan dengan meningkatkan waktu inkubasi menyebabkan terjadinya penurunan jumlah reduksi. Selain itu Khanafari et al. (2007 b) juga menjelaskan bahwa terjadi perubahan bentuk sel pada BAL L. plantarum PTCC 1058 yang ditandai dengan perubahan bentuk batang sel menjadi lebih pendek dan sifat gram positifnya berubah menjadi gram negatif. Penambahan C. famata didalam formula kultur selama fermentasi tidak memberikan pengaruh terhadap reduksi aflatoksin selama fermentasi. Menurut Shetty dan Jespersen (2006) dari beberapa jenis khamir yang diamati kemampuannya dalam mengikat aflatoksin, tidak banyak khamir yang memiliki kemampuan yang besar dalam mengikat aflatoksin, hanya jenis khamir spesifik yang dapat mengikat aflatoksin. Jenis khamir dari strain Debaryomyces hansenii yang mampu mengikat aflatoksin 15-39 % diketahui hanya ada satu jenis. Salah satu khamir yang diketahui dapat mengikat aflatoksin dengan baik adalah
46
Saccharomyces cereviceae. Jouany et al. (2005) mengatakan bahwa yang memegang peranan penting dari dinding sel khamir Saccharomyces cereviceae dalam interaksinya terhadap mikotoksin adalah komponen β-D-Glucans. Lemahnya ikatan hidrogen dan van der waals berkaitan dalam pembentukan kompleks kimia antara mikotoksin dan β-D-Glucans. Interaksi kimia yang terjadi antara mikotoksin dan β-D-Glucans lebih bersifat adsorbsi (penyerapan) dibandingkan dengan pengikatan. Dan ketidak mampuan C. famata dalam menyerap aflatoksin mungkin dikarenakan struktur dinding sel yang berbeda. Pertumbuhan Mikroflora Selama Fermentasi Grits Jagung Dengan Menggunakan Formula Kultur Starter Prose fermentasi memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan mikroflora
yang ada selama fermentasi grits jagung. Pertumbuhan mikroflora selama fermentasi seperti terlihat pada Gambar 10. Tanpa adanya penambahan formula kultur starter, jumlah BAL dan khamir yang terdapat pada grits jagung cukup tinggi yaitu 5.37 log koloni/ml untuk BAL dan 5.22 log koloni/ml khamir. Hal ini disebabkan karena mikroflora telah ada sejak tanaman jagung berada dalam masa pra-panen. Nout et al. (1997) mengatakan mikroflora baik berupa bakteri, kapang maupun khamir pada tanaman jagung pra-panen memegang peranan dalam menarik perhatian serangga dan juga interaksi
terhadap pertumbuhan dan
produksi mikotoksin oleh kapang. Jenis khamir yang lazim ditemukan meliputi Candida guilliermondii (55%) Candida zeylanoides (24 %), Candida shehatae (11%), dan Debaryomyces hansenii (3%). Selain itu juga ditemukan Trichosporon cutaneum, Cryptococcus albidus var. Aerius dan Pichia membranijaciens. Selama fermentasi berlangsung, pertumbuhan BAL meningkat secara signifikan baik dengan penambahan kultur starter maupun kontrol, sedangkan khamir cenderung menurun. Fermentasi menggunakan formula kultur starter selama
48 jam
menurunkan jumlah khamir dari jumlah awal fermentasi dan mengalami sedikit kenaikan pada fermentasi selama 72 jam sedangkan pada Kontrol pertumbuhan khamir menurun hingga fermentasi 72 jam.
47
B
A 9,26
10,00 7,01
6,00
5,19
5,07 3,92
4,00 2,00
48 jam
8,00
7,13 5,83
6,00
4,97
4,57
4,00
9,21
0 Jam
48 jam
khamir
Bal
khamir
Bal
Bal
72 jam
72 jam
Lama waktufermentasi
Lama waktufermentasi
10,00
khamir
0,00
khamir
Bal
khamir
Bal
khamir
Bal
0 Jam
C
9,21
D 9,27
10,00
9,13
8,00 5,94 4,97
4,68 3,37
4,00 2,00
Log koloni/ml
8,00
6,00
5,37 5,22
4,54
4,00
2,47
2,00
48 jam
72 jam
Lama waktufermentasi
0 Jam
48 jam
khamir
Bal
khamir
Bal
khamir
Bal
khamir
Bal
khamir
Bal
0 Jam
khamir
0,00
0,00
Bal
Log Koloni/ml
10,07
2,00
0,00
6,00
10,34
10,00 Log Koloni/ml
Log Koloni/ml
8,00
12,00
9,16
72 jam
Lama waktufermentasi
Gambar 10. Pertumbuhan koloni BAL dan khamir pada fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1(A), Formula kultur Starter S2 (B), formula kultur starter S3 (C) dan kontrol (D) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam.
Jumlah BAL pada formula kultur S2 lebih tinggi dari formula kultur yang lainnya khususnya S3 diduga karena seimbangnya antara kebutuhan nutrisi dan riboflavin (Vit B1) yang dibutuhkan oleh BAL. Menurut Phaff (2001) C. famata
48
memproduksi Vitamin B1(riboflavin). Pada formula kultur S3 persediaan nutrisi sebagian besar telah digunakan terlebih dahulu oleh C. famata sehingga pertumbuhan BAL menjadi lebih rendah. BAL memberikan kondisi asam yang kondusif bagi khamir, sedangkan khamir memberikan vitamin dan faktor pertumbuhan lainnya untuk BAL. Adanya fermentasi meningkatkan jumlah log BAL yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jagung tanpa fermentasi (0 jam) (Nana 2003). Jumlah pertumbuhan BAL setelah fermentasi selama 48 dan 72 jam terlihat konstan. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan BAL pada saat itu berada pada fase stasioner. Penambahan Candida famata dalam formula kultur tidak mempengaruhi jumlah pertumbuhan bakteri asam laktat selama fermentasi, hal ini kemungkinan karena belum optimalnya sifat amilolitk dari C. famata, sehingga pati jagung belum terhidrolisis secara sempurna untuk dapat dimanfaatkan oleh BAL. Mohamed et al. (2007) menunjukkan bahwa C. famata memproduksi secara optimum enzim amilase setelah 72 jam masa inkubasi dengan optimum pH 5 pada suhu 25-30 oC. Biomasa tertinggi dihasilkan setelah 48 jam inkubasi pada rentang pH 6-7.5. Berdasarkan uji ANOVA jumlah awal BAL pada 0 jam fermentasi menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (α<0.05) pada formula kultur S3 dan kontrol terhadap formula S1 dan S2. Sedangkan kenaikan jumlah BAL pada fermentasi dengan formula kultur maupun fermentasi spontan (kontrol) selama fermentasi 48 dan 72 jam menunjukkan perbedaan tidak yang signifikan pada pengujian ANOVA (α>0.05). Jumlah khamir pada 0 jam fermentasi menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0.05) pada setiap formula kultur,
sedangkan
pertumbuhan khamir selama fermentasi 48 dan 72 jam tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (α >0.05). Seperti terlihat pada Tabel 12. Data statistik dapat dilihat pada Lampiran 2 dan 4.
49
Tabel 12 Pertumbuhan BAL dan khamir (log koloni/ml) selama fermentasi grits jagung menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3, dan K (Kontrol) yang difermentasi selama 48 dan 72 jam. Jumlah BAL atau Khamir (log koloni/ml) dengan Jenis Waktu penambahan formula kultur isolat Fermentasi S1 S2 S3 K a a b 0 jam 7.01 7.13 4.97 5.39b BAL 48 jam 9.26 a 10.34 a 9.21 a 9.27 a 72 jam 9.16 a 10.07 a 9.21 a 9.13 a ab a b 0 jam 5.07 5.83 5.94 5.22 ab Khamir 48 jam 3.92 a 4.57 a 3.37 a 4.54 a a a a 72 jam 5.19 4.97 468 2.47 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan jumlah BAL yang berbeda nyata (α = 0,05) Pertumbuhan C. famata selama fermentasi grits jagung varietas Pulut dipengaruhi oleh asam organik yang dihasilkan oleh BAL. Roosita dan Fleet (1999) mengatakan bahwa C. famata dapat tumbuh pada media yang mengandung asam laktat dan sitrat dan dapat meningkatkan nilai pH. Laukova (2003) mengatakan Candida maltosa
dapat bertahan terhadap lingkungan yang
mengandung asam laktat hingga 1.59 %. Pada Gambar 11 menunjukkan adanya penurunan pH pada air rendaman. 6,00
5,80
5,82
5,79
4,504,41
Nilai pH
5,00 4,00
5,75
3,80 3,57
3,573,73
3,583,73 0 jam
3,00
48 jam 72 jam
2,00 1,00 0,00 S1
S2
S3
Kontrol
Formula Kultur Starter
Gambar 11. Perubahan nilai pH air rendaman grits jagung fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi. Putri et al. (2012) mengatakan peningkatan jumlah mikroorganisme penghasil asam menyebabkan terjadinya penurunan pH selama fermentasi.
50
Peningkatan kembali pH menunjukkan bahwa asam organik yang dihasilkan dimanfaatkan sebagai substrat oleh jenis mikroorganisme yang lainnya seperti khamir. Hal ini menunjukkan adanya perubahan dominasi mikroorganisme untuk setiap tahapan fermentasi. Kemampuan khamir dapat bertahan pada kondisi asam karena adanya sistem biologi dari sel khamir dalam menjaga pH intraseluler. pH intraseluler dan pemompaan H+ memainkan peranan penting dalam pertumbuhan khamir. Kerja pH intraseluler diatur oleh ATP-ase membran plasma yang mendorong terbentuknya gradien transmembran dalam transportasi nutrisi (Laukova 2003). Penurunan jumlah khamir pada awal fermentasi hingga 48 jam pertama terjadi karena adanya kompetisi untuk mendapatkan nutrisi. Pada fermentasi menggunakan kultur starter pada saat 48 hingga 72 jam terjadi kenaikan kembali jumlah khamir. Hal ini diduga karena C. famata dapat memanfaatkan asam organik yang dihasilkan oleh BAL sebagai sumber karbonnya, sehingga pertumbuhannya kembali meningkat. Khamir pada kontrol mengalami penurunan hingga 72 jam fermentasi dikarenakan khamir yang tumbuh bervariasi tidak hanya dari jenis C. famata yang tidak dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang ada. Roosita dan Fleet (1999) juga mengatakan bahwa C. famata memanfaatkan asam laktat sebagai sumber karbon dan juga dapat menghasilkan asam organik. Hal ini juga tergambar dari nilai derajat asam pada tepung yang dihasilkan seperti pada Gambar 14. Formula kultur starter campuran (S2 dan S3) pada fermentasi 72 jam terjadi kenaikan nilai derajat asam yang lebih sedikit jika di bandingkan dengan formula kultur yang hanya menggunakan L. plantarum (S1) dan kontrol. Kenaikan yang sedikit ini diduga karena penggunaan asam laktat yang dihasilkan oleh L. plantarum sebagai sumber karbon oleh C. famata sehingga jumlah asam laktat berkurang. Disamping itu C. famata juga menghasilkan asam organik yang berkemungkinan jumlahnya tidak terlalu besar sehingga kenaikan jumlah asam yang ada pada tepung menjadi sedikit.
51
Pengaruh Penggunaan Formula Kultur Sarter Terhadap Kemudahan Penggilingan Grits Jagung dan Tepung yang dihasilkan a. Kemudahan Penggilingan Grits Jagung Pada Produksi Tepung Proses fermentasi meningkatkan jumlah tepung yang dihasilkan pada tiap tingkat pengayakan dibandingkan tepung yang Tanpa Fermentasi (TP). Proses pengayakan dilakukan secara bertingkat dengan ukuran ayakan 60, 80 dan 100 mesh. Semakin besar ukuran mesh, semakin halus pertikel tepung yang dihasilkan. Persentase penyebaran tepung pada tiap tingkat ayakan seperti terlihat pada Gambar 12. 39,31
40,00 33,16 34,24 34,07
35,00
30,87 32,11
30,95 31,13
Persen tepung (%)
30,00 25,00
21,41
< 60 mesh
20,00
60-80 mesh
15,00
80-100 mesh
10,00
> 100mesh
5,00 0,00 TP
S1
0 jam
S2
S3
48 jam
K
S1
S2
S3
K
72 Jam
Formula kultur yang digunakan sampai waktu tertentu
Gambar 12. Persentase sebaran tepung hasil fermentasi pada berbagai tingkat waktu yang berbeda menggunakan formula kultur starter S1 (L. plantarum ), S2 (L. plantarum + C. famata), S3 (C. famata + L. plantarum), dan K (Kontrol) serta TP (Tanpa Fermentasi) dengan satu kali penggilingan. Pada tepung yang dihasilkan dengan fermentasi, jumlah distribusi tepung pada ayakan 100 mesh meningkat dan paling besar jumlahnya dibandingkan dengan tepung pada tingkat ayakan lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa lama waktu fermentasi grits jagung dapat meningkatkan jumlah tepung dengan partikel halus yang lebih banyak. Jumlah tepung dengan partikel halus yang paling bayak diperoleh pada fermentasi 72 jam dengan menggunakan kultur starter S2 sebesar 39.31% dari total tepung. Besarnya jumlah tepung halus yang dihasilkan
52 menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0.05) dan hampir mencapai dua kali lipat dibandingkan dengan tepung tanpa difermentasi. Formula kultur selanjutnya yang menghasilkan tepung jagung lebih banyak pada ayakan 100 mesh yaitu S1 sebesar 32.11%, namun jumlah ini tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (α>0.05) terhadap tepung yang tidak difermentasi seperti ditunjukkan pada Tabel 13. Data statistik dapat dilihat pada Lampiran 8-11. Tabel 13. Persentase sebaran tepung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48 dan 72 jam fermentasi pada berbagai ukuran mesh ayakan dengan satu kali penggilingan Persen (%) tepung hasil fermentasi dengan menggunakan formula kultur Ukuran Waktu mesh fermentasi S1 S2 S3 Kontrol a a a 0 jam 31,92 31,92 31,92 31,92 a <60 48,00 21,17 ab 19,01 b 19,83 b 20,22 b b b ab 72,00 19,74 16,17 26,65 14,99 b 60-80 0 jam 11,13 a 11,13 a 11,13 a 11,13 a 48,00 23,93 b 25,02 b 19,56 b 24,5 b 72,00 19,73 a 15,46 ab 16,74 ab 21,08 b a a 80-100 0 jam 35,54 35,54 35,54 a 35,54 a b b 48,00 21,74 21,73 26,54 a 24,32 a ab ab 72,00 28,41 29,07 25,66 a 32,81 a >100 0 jam 21,41a 21,41 a 21,41 a 21,41 a 48,00 33,16 a 34,24 ab 34,07 b 30,87 a 72,00 32,11 a 39,31 b 30,95 ab 31,13 a Keterangan: angka yang diikuti huruf yang berbeda pada kolom yang sama pada setiap ukuran mesh menunjukkan jumlah persentase tepung yang berbeda nyata (α = 0,05) Pada fermentasi tanpa menggunakan formula (Kontrol), tepung dengan partikel yang lebih halus juga meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa fermentasi spontan juga dapat menghasilkan tepung halus lebih banyak. Hal ini disebabkan karena terjadi pelunakan biji jagung pada saat perendaman dan adanya penyerapan sejumlah air kedalam biji jagung yang menyebabkan bagian yang keras pada endosperm (horny endosperm) menjadi bagian yang lunak (fluory endosperm) serta mengembang sehingga menjadi lebih mudah digiling. Semakin mudah penggilingan maka akan semakin banyak tepung halus yang akan dihasilkan. Selain itu proses fermentasi menyebabkan terjadinya penurunan pH dan peningkatan asam pada tepung. Tingginya kandungan asam dapat
53
mempercepat terjadinya proses hidrolisis pati yaitu reaksi antara pati dengan air sehingga pati pecah atau terurai dan larut di dalam air sehingga meningkatkan jumlah tepung yang dihasilkan. b. Nilai pH dan Derajat Asam Tepung Proses fermentasi menurunkan nilai pH dari tepung yang dihasilkan. Pada fermentasi selama 48 jam pH tepung mengalami penurunan berkisar antara 5.044.36 dan pada 72 jam nilai pH bertahan pada 4.36-4.31. Fermentasi dengan menggunakan formula kultur starter selama fermentasi 48 dan 72 jam mengalami penurunan pH yang lebih rendah daripada kontrol. Perubahan nilai pH selama fermentasi terlihat seperti pada Gambar 13. Analisis statistik nilai pH menunjukkan perbedaan yang signifikan (α<0.05) pada tepung jagung yang difermentasi dengan menggunakan kultur starter selama 48 jam terhadap tepung yang difermentasi spontan (Kontrol) sedangkan nilai pH tepung yang difermentasi selama 72 jam dengan kultur starter dan spontan tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (α>0.05) seperti terlihat pada Lampiran 12. Penurunan pH terjadi akibat adanya aktifitas BAL selama perendaman. Nilai pH tepung yang dihasilkan jauh lebih rendah dari nilai pH tepung yang dihasilkan dengan metode yang umum digunakan (dry milling) berkisar antara 5.2-6.73 (Riyani 2007; Ekafitri 2009; Zulkhair 2009). Semakin rendahnya pH tepung menunjukkan bahwa semakin meningkatnya kandungan senyawa asam yang terdapat pada tepung. 7,00
6,41
6,41
6,41
6,00
Nilai pH
5,00
4,37 4,30
4,35 4,32
4,50 4,41
6,41 5,04 4,36
4,00
0 jam
3,00
48 jam 72 jam
2,00 1,00 0,00 S1
S2
S3
Kontrol
Formula kultur starter
Gambar13.
Perubahan nilai pH tepung jagung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi.
54
Tingginya kandungan asam menyebabkan nilai pH tepung menurun, seperti terlihat pada Gambar 14 yang menunjukkan bahwa jumlah senyawa asam yang terdapat pada tepung semakin meningkat pada fermentasi selama 48 dan 72 jam karena adanya aktifitas dari BAL yang menghasilkan senyawa yang bersifat asam. Jumlah asam pada tepung jagung yang dihasilkan naik dari 4.55 hingga 5.30 ml. N. NaOH/100 g. Jumlah asam tertinggi terdapat pada tepung jagung yang difermentasi dengan menggunakan kultur starter kultur tunggal L. plantarum (S1) yang difermentasi selama 72 jam, sedangkan jumlah asam terendah terdapat pada tepung yang difermentasi spontan (Kontrol) selama 48 jam. Uji ANOVA kenaikan jumlah asam pada tepung yang difermentasi dengan menggunakan kultur starter dan kontrol selama 48 dan 72 jam menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan (α>0.05) seperti terlihat pada Lampiran 6. 5,30
5,40
ml. N. NaOH/100g
5,20
5,05 4,90
5,00 4,80 4,60
4,90
4,70 4,55
4,55
4,55
4,95
5,00
4,65 4,55
0 jam 48 jam 72 jam
4,40 4,20 4,00 S1
S2 S3 Formula kultur starter
Kontrol
Gambar 14. Derajat asam tepung jagung hasil fermentasi menggunakan formula kultur starter S1, S2, S3 dan K (Kontrol) selama 0, 48, dan 72 jam fermentasi. Exelsson (1998) mengatakan produk akhir fermentasi bakteri asam laktat dapat berupa asam laktat, etanol, asetat, dan CO2. Tingginya derajat asam yang dihasilkan pada tepung fermentasi dikarenakan tidak adanya proses pencucian grits sebelum dilakukan pengeringan sehingga melebihi dari standar yang telah ditetapkan SNI nomor 01-3727-1995 tentang tepung jagung yaitu maksimal 4 ml. N. NaOH/100gr dengan Normalitas NaOH 0.1 N. Hasil penelitian Aini (2009) menunjukkan penurunan pH selama fermentasi grits jagung diikuti dengan
55
penurunan kadar gula reduksi, dan semakin rendah gula reduksi akan meningkatkan kekuatan gel yang dihasilkan. Hal ini disebabkan karena kadar gula yang semakin rendah akan menurunkan suhu gelatinisasi sehingga meningkatkan viskositas dan kekuatan gel yang terbentuk. Tepung jagung dengan kekuatan gel tinggi dapat digunakan sebagai pengganti gelatin (gelling agent).
56
57
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Penghambatan Aspergillus flavus dapat dilakukan dengan fermentasi spontan, namun selama fermentasi berlangsung jenis mikroorganisme yang ada tidak dapat dikendalikan. Fermentasi dengan kultur starter dapat menghambat Aspergillus flavus. Formula kultur starter paling baik yang dapat digunakan dalam penghambatan Aspergillus flavus BCC F0219 selama fermentasi grits jagung adalah menggunaan kultur tunggal Lactobacillus plantarum (S1). Dengan jumlah awal aflatoksin sebesar 64.30 ppb, reduksi aflatoksin pada grits jagung sampai dengan batas aman dapat dilakukan dengan fermentasi spontan. Reduksi aflatoksin sudah terlihat pada 48 jam fermentasi, namun tidak sebesar reduksi aflatoksin setelah 72 jam fermentasi. Setelah 72 jam fermentasi, reduksi aflatoksin tertinggi ditunjukkan oleh formula kultur starter tunggal Lactobacillus plantarum (S1) dari 64.30 ppb turun menjadi 7.83 ppb (87.83%). Lama waktu fermentasi grits jagung dapat mempengaruhi pH tepung dan jumlah tepung halus yang dihasilkan pada proses penggilingan. Semakin lama fermentasi semakin menurunkan pH tepung dan meningkatkan jumlah tepung halus yang dihasilkan dengan satu kali penggilingan. Formula kultur starter dan waktu yang paling baik dalam menghasilkan jumlah tepung halus paling tinggi yaitu formula S2 (L. plantarum+C. famata) pada 72 jam fermentasi diikuti oleh formula kultur starter tunggal Lactobacillus plantarum (S1), walaupun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan secara statistik.
Saran Untuk lebih mengetahui pengaruh formula terhadap tepung yang dihasilkan perlu dilakukan pengujian lebih lanjut terhadap sifat fisiko dan kimia dari tepung jagung yang dihasilkan. Disamping itu dapat dilakukan penyusunan formula dengan mikroorganisme yang lebih bervariasi dan mengkombinasi formula dengan menggunakan kapang.
58
59
DAFTAR PUSTAKA Abarca ML, Bragulat MR, Castella G, Cabanes FJ. 1994. Ochratoxin a production by strains of Aspergillus niger var. Niger. Appl. Environ. Microbiol 60(7) : 2650-26 Adebayo CO, Aderiye BI .2010. Antifungal activity of bacteriocins of lactic acid bacteria from some nigerian fermented food. Res. J. Microbiol 5(11): 10701082 Afiandi N. 2011. Uji potensi isolat lokal aspergillus flavus sebagai penghasil aflatoksin. [Skripsi]. Bogor: Fakultas teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Afoakwa EO, Sefa-Dedeh S, Budu AS, Sakyi-Dawson E, Asomaning J. 2007. Influence of spontaneous fermentation on some quality characteristics of maize-based cowpea-fortified nixtamalized foods. Ajfand Online 7(1) Agati V, Guyot JP, Morlon-Guyot J, Talamond P, Hounhouiga DJ. 1998. Isolation and characterization of new amylolytic strains of Lactobacillus fermentum from fermented maize doughs (mawe and ogi) from Benin. J appl Microbiol 85: 512-520. Aini N. 2009. Pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih varietas local (Zea mays L.) terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Akinrele AL. 1970. Fermentation studies on maize during the preparation of a traditional african starch-cake food. J Sci Food Agr 21(12):619625.[terhubungberkala] http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/jsfa.2740211205/abstract.[12 April 2012]. Ali N, Sardjono, Yamashita A, Yoshizawa T. 1998. Natural co-occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxynivalenol, nivalenol and zearalenone) in corn from Indonesia.[Abstrak]. Food Addit Contam. 15(4):377-84. [AOAC] Association of Official Analytical Chemistry. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry. Washington DC. : AOAC Intl. Aryantha INP, Lunggani AT. 2007. Suppression on the aflatoxin-B production and growth of Aspergillus flavus by lactic acid bacteria (Lactobacillus delbrueckii, Lactobacillus fermentum and Lactobacillus plantarum). Biotechnology 6(2):257-262.
60
Asiamaya.com. 2009. Jagung putih manis mentah. http://www.asiamaya.com/nutrients/jagungputih.htm [5 April 2011]. Axelsson L. 1998. Lactic Acid Bacteria: Clasification and Physicology. Dalam Salminen S. Editor. Lactic Acid Bacteria Microbiology and Functional Aspect. New York Basel. Marcel Dekker. INC. Bagley. 1979. Decontamination of corn containing aflatoxin by with ammonia. J Am Oil Chem Soc 56: 808-811. Bahri SR. Maryam R. Widyastuti. 2005. Cemaran aflatoksin pada bahan pakan dan pakan di beberapa daerah propinsi Lampung dan Jawa Timur. Jitv10(3):236-241. Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2007. Deskripsi varietas unggul jagung. Edisi kelima. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian-Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan-Balai Penelitian Tanaman Serealia. [BAM] Bacteriological Analytical Manual. 2001. Aerobic plate count. http://www.fda.gov/Food/ScienceResearch/LaboratoryMethods/Bacteriologi calAnalyticalManualBAM/UCM063346 [ 5April 2011]. [BB-Pascapanen] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian. 2010. Tepung jagung termodifikasi sebagai pengganti terigu. Warta Penelitian Dan Pengembangan 32(6): 5-7. Bhatnagar D, Cleveland TE, Payne GA. 2000. Aspergillus Flavus. Dalam Robinson Rk, Batt CA, Patel PA, Editor. Encyclopedia of food Microbiology vol 3. New York: Academic Press.Pp: 72-79. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2010. Produksi Tanaman Pangan Angka Ramalan II Agustus 2010. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Penetapan batas maksimum cemaran mikroba dan kimia dalam makanan. Badan Pengawas Obat dan Makanan. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. SNI 7385: 2009 Batas maksimum kandungan mikotoksin dalam pangan. Badan Standarisasi Nasional. Calvo AM. 2004. Mycotoxins Dalam Badrowski WM, Sikorski ZE Editor. Toxin in Food. Washington. CRC Press. Pp 213-235. Cary JW, Bhatnagar D, Linz JE. 2000. Aflatoxin: Biological significance and regulation of biosynthesis dalam Cary JW, Linz JE, Bhatnagar D Editor. Microbial foodberne disease mechanisms of pathogenesis and toxin synthesis. Pennsylvania. Technomic Publishing Co.INC.
61 Cerikcioğlu N. 2003. Medical importance of yeast killer toxin. Mikrobiol Bul. Apr-Jun:37(2-3):215-21. Abstract. [terhubung berkala] http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14593905 [14 April 2012]. Czerny M, Schieberle P. 2002. Important aroma compounds in freshly ground whole meal and white wheat flour—Identification and quantitative changes during sourdough fermentation. J Agri Food Chem 50:6835-40. Dalie DKD. 2010. Lactic acid bacteria – Potential for control of mould growth and mycotoxins: A review. Food Control 21 (2010) 370–380. Dharmaputra OS. 2002. Review on aflatoksin in Indonesia food and feedstuff and their product. Biotropia 19.hlm 26-46. Dharmaputra OS, Putri ASR, Retnowati I, Ambarwati S. 2003. Antagonistic effect of three fungal isolates to Aflatoxin-producing Aspergilus flavus. Biotropia 21: 19 – 31. Dewanti‐Hariyadi R, Raharjanti DS, Nurwitri CC, Kusumaningtyas E. 2008. Inhibition of Aspergillus parasiticus growth and reduction of aflatoxin by yeast isolated from ragi, an Indonesian traditional culture starter. Di dalam: Lessons Learned from Current Food Crisis. International Conference Proceeding Investing in Food Quality, Safety & Nutrition. Jakarta, October 27‐28, 2008. Hlm 211-226. Djide NM, Elly. 2008. Isolasi BAL Dari Air Susu Ibu, Dan Potensinya Dalam Penurunan Kadar Kolesterol Secara In Vitro. Majalah Farmasi dan Farmakologi 12(3): 73-78. Eckhoff SR, Watson SA. 2009. Corn and Sorghum Starch: Production. Dalam BeMiller J, Whistler R. Editor. Starch chemistry and Technology 3thed. Food Science and Technology, International Series. Academic Press of Elsevier. Pp 373-439. Ekafitri R. 2009. Karakteristik tepung lima varietas jagung kuning hibrida dan potensinya untuk membuat mie jagung.[skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Elsanhoty RM dan Azeke M A. 2009. Assessment of the ability of some probiotic bacteria to bind and remove aflatoxin from contaminated wheat during baladi bread making. Nigerian Annals Of Natural Sciences 9(1): 49-59. Fardiaz S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisa Microbiology Pangan. Bogor. Pusat Antar Unversitas. IPB. Frazier WC, Westhoff DC. 1988. Food Microbiology. 4thed. Mc Graw-Hill Book Co. New York.
62
Fergason V. 1994. High amylose and waxy corn. In: Halleuer AR (Ed.) Specialty Corns. CRC Press Inc. USA. Frisvad JC, Smedsgaard J, Samson RA, Larsen TO, Thrane U. 2007. Fumonisin B 2 Production by Aspergillus niger. J. Agric. Food Chem. 55: 9727–9732. Ghonaimy GA, Yonnis AAM, Abol-Ela MF. 2007. Inhibition of Aspergillus flavus and a.parasiticus fungal growth and its aflatoxins (B1, B2, G1 and G2) production by Lactobacillus acidophillus. J. Egypt. Soc. Toxicol 37: 5360. Gobel RB. 2005. Isolasi dan identifikasi BAL. Makalah Dalam Kurus Singkat Pemanfaatan BAL Dalam Bidang Pangan Dan Kesehatan Bagi Staf Akademik PTN Kawasan Timur Indonesia. Universitas Hasanuddin. Makassar. Gratz S. 2007. Aflatoxin binding by probiotics: experimental studies in intestinal aflatoxin transport, metabolism and toxicity. [Disertasi] Finlandia: Universitas Kuopio. Hansen T, Van-der-Sluis E. 2004. Corn-based food production in south Dakota: a preliminary. South Dakota State University. Hai NN. 2006. Bacillus subtilis possibly used for aflatoxin control. Proceedings of International workshop on biotechnology in agriculture. October 20-21. Halm M, Osei-Yaw A, Hayford A, Kpodo KA, Amoa-Awua WKA. 1996. Experience with the use of a starter culture in the fermentation of maize for “kenkey” production in Ghana. World J Microbiol Biotechnol 12: 591-536. Haskard AC, El-Nezami HS, Kankaanpää PE, Salminen S, Ahokas JT. 2001. surface binding of aflatoxin B1 by lactic acid bacteria. Appl. Environ. Microbiol 67(7) : 3086–3091. Hamid, Abidin, Smith JE. 1987. Degradation of aflatoxin by Aspergillus flavus. J General Microbiol. 133: 2023-2029. Hua SST, Baker Jl, Flores-Esperitu M. 1999. Interactions of saprophytic yeasts and theNOR mutant of Aspergillus flavus in wounded pistachios. [Abstracts] of the General Meeting of the American Society for Microbiology 97: 507. Hua SST. 2002. Potential use of saprophytic yeasts to control Aspergillus Flavus in almond and pistachio orchards. Proc. 3rd IS on Pistachios and Almonds Eds I. Battle, I. Hormaza & M.T. Espiau Acta Hort. 591. Hutkins, Robert W, Nannen, Nancy L. 1993. pH Homeostasis in Lactic Acid Bacteria. J Dairy Sci 76:2354-2365.
63 Jay, JM. 2000. Modern Food Microbiology 6thed. New York: Chapman & Hall. Jenie, BSL. 1996. Peranan BAL sebagai pengawet hayati makanan (food bioreservative). J. Ilmu dan Teknologi Pangan. 1: 60-73. Jenie BSL. Suliantari, Andjaya N. 2000. Pengembangan produk makanan tradisional rendah garam berbasis ikan melalui aplikasi BAL penghasil bakteriosin. Laporan Hibah Bersaing tahun 1999/2000. Johnson, L.A. 1991. Corn: Production, Processing, and utilization. Di dalam : Handbook of Cereal Science of technology. Karel K and Josep GP, editor.Marcell Decker Inc., New York . Jong-Gyu Kim. 2007. Anti-aflatoxigenic activity of some bacteria related with fermentation. Communicating Current Research and Educational Topics and Trends in Applied Microbiology. A. Méndez-Vilas. Jouany JP, Yiannikouris A, Bertin G. 2005. The chemical bonds between mycotoxins and cell wall components of Saccharomyces cerevisiae have been Identified. Archiva Zootechnica vol. 8: 26-50. Kajfasz JK, Quivey RG Jr. 2011. Responses of Lactic Acid Bacteria to Acid Stress. Di dalam Tsakalidou V, editor : Stress Responses of Lactic Acid Bacteria. Athens, Greece : Springer.Pp: 23-53. Karunaratne A, Wezenberg E, Bullermean LB.1990. Inhibition of mold growth and aflatoxin production by Lactobacillus spp. J. Food Protect 53: Hlm 230-236. Khanafari A, Soudi H, Miraboulfathi M. 2007a. Biocontrol of Aspergillus flavus and aflatoxin B1 production in corn. Iran J Environ Health Sci Eng 4(3): 163-168. Khanafari A, Soudi H, Miraboulfathi M, Osboo RK. 2007 b. An in vitro Investigation of Aflatoxin B1 Biological Control by Lactobacillus plantarum. Pakistan J Biol Science 10(15): 2553-2556. Kim JG, Lee YW, Kim PG, Roh WS, Shintani H. 2000. Reduction of aflatoxin by Korean soynean paste and its effect on cytotoxicity and reproductive toxicity part I. Inhibiton of growth and aflatoxin production of Aspergillus flavus by Korean paste (doen-jang)and identification of active component. J food Prot.63:1295-1298. King JM, Prudente AD. 2005. Chemical detoxification of aflatoxin in food and feeds. Dalam : Abbas HK. Editor. Aflatoxin and food safety. New York: CRC press.
64
Kuniholm MH, Lesi OA, Mendy M, Akano AO, Sam O, Hall AJ, Whittle H, Bah E, Goedert JJ, Hainaut P, Kirk GD. 2008. Aflatoxin exposure and viral hepatitis in the etiology of liver cirrhosis in the Gambia, West Africa. Environmental Health Perspectives 116(11): 1553-1557. Kusumaningrum HD, Suliantari, Toha AD, Putra SH, Utami AS. 2010. Cemaran Aspergillus flavus dan Aflatoksin pada rantai distribusi produk pangan berbasis jagung dan faktor yang mempengaruhinya. J Teknol Industri Pangan XI(2):171-176. Lavermicocca PF, Valerio F, Evidente A, Lazzaroni S, Corsetti A, Gobbetti M. 2000. Purification and characterization of novel antifungal compounds from the sourdough Lactobacillus plantarum strain 21 B. Applied Microbiol 66:4084-4090. Laukova D, Valík L, Görner F. 2003. Effect of lactic acid on the growth dynamics of Candida maltosa YP1. Czech J. Food Sci 21(2): 43–49. Lewis L, Onsongo M, Njapau H, Schurz-Rogers H, Luber G, Kieszak S, Nyamongo J, Backer L, Dahiye AM, Misore A, DeCock K, Carol Rubin, the Kenya Aflatoxicosis Investigation Group. 2005. Aflatoxin contamination of commercial maize products during an outbreak of acute aflatoxicosis in eastern and central kenya. Environment Health Perspective 113(12):1763-1767. Lunggani AT. 2007. Kemampuan BAL dalam menghambat pertumbuhan dan produksi aflatoksin B2 Aspergilllus flavus. Bioma 9(2): 45 – 51. Mahdhi A, Hmila Z, Behi A, Bakhrouf A. 2011. Preliminary characterization of the probiotic properties of C. famata and Geobacillus thermoleovorans. Iran. J. Microbiol. 3 (3) : 129-134. Marth EH, Doyle MP. 1979. Update on molds: Degradation of aflatoxins. Bacteriological. Reviews. 41(4) : 822-855. Mattjik AA, Sumertajaya. 2006. Perancangan Percobaan dengan aplikasi SAS dan MINITAB. IPB press. Matumba L, Monjerezi M, Chirwa E, Lakudzala D, Mumba P. 2009. Natural occurrence of AFB1 in maize and effect of traditional maize flour production on AFB1 reduction in Malawi. African J Food Science 3(12): 413-425. Mbata TI, Ikenebomeh MJ, Alaneme JC. 2009. Studies on the microbiological, nutrient composition and antinutritional contents of fermented maize flour fortified with bambara groundnut (Vigna subterranean L). African J Food Science 3(6): 165-171.
65
Mcfeeters RF. 2004. Fermentation microorganisms and flavor changes in fermented foods. J. Food sci.vol 69(1): 35-37. Mendoza AH. 2009. Screening of Lactobacillus casei strains for their ability to bind aflatoxin B1. Food and Chemical Toxicology 471:064–1068. Mestres CO, Boungou, Akissoe N Zakhia N. 2000. Comparison of the expansion ability of fermented maize flour and cassava starch during baking. J Sci Food Agri 80: 665-672. Misra T, Dixit J, Singh S. 2010. Effectofsome co-existing moulds onaflatoxin production in wheat grains under competitive environment. Indian J Sci Res.1(2) : 75-77. Mohamed L. 2007. Optimization of growth and extracellular glucoamylase production by C. famata isolate. African J Biotechnol 6 (22): 2590-2595. Nago MC, Hounbouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres S. 1998. Characteristic of the Beninese traditional Ogi, a fermented maize slurry: Phisicochemical and Microbiology aspect. Intl J Food science Technol 33: 307-315. Nana T. 2003. Aroma characteristics of spontaneously fermented Ghanaian maize dough for kenkey. Eur Food Res Technol 217:53–60. Nout MJR, Platis CE, Wicklowet DT. 1997. Biodiversity of yeasts from illinois maize. Can J Microbial. 43: 362-367. Nuraida L, Hana, Dwiari SR, Faridah DN. 2008. Pengujian Sifat Probiotik dan Sinbiotik Produk Olahan Ubi Jalar Secara In Vivo. J Teknol Industri Pangan 19(2):89-96. Ohio State University Extension. 2010. Specialty Corns: Waxy, High-Aiamylose, High-Oil, and High-Lysine Corn. http://ohioline.osu.edu/agf-fact/0112.html [ 5 Juli 2010]. Oluwafemi, F dan Ikeowa, M.C. 2005. Fate of aflatoxin B1 during fermentation of maize into “Ogi”. Nigerian Food J 23. Onilude AA, OE Fagade, MM. Bello, Fadahunsi IF. 2005. Inhibition of aflatoxinproducing aspergilli by lactic acid bacteria isolates from indigenously fermented cereal Gruels. African J Biotechnol 4 (12): 1404-1408. Petersson S, Jonsson N, Schnurer J. 1998. Pichia anomala as a biocontrol agent during storage of high-moisture feed grain under airtight conditions. Postharv Biology Technol 15: 175–184. Phaff HJ. 2001. Yeasts. Encyclopedia Of Life Sciences. Secondary article. Nature Publishing Group.
66
Pitt JL, Hocking AD. 1997. Fungi and Food Spoilage. London: Blackie Academic and professional. Prihatman K. 2000. Jagung. TTG Budidaya Pertanian. Jakarta: Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn dalam Hallauer AR. Editor Specialty Corn. Washington: CRC : 235-272. Pozo-Insfran DD, Carmen H, Brenes, Sergio O, Serna Saldivar, Stephen T, Talcott. 2006. Polyphenolic and antioxidant content of white and blue corn(Zea mays L.) product. Food Research Intl 39:696-703. Purna I, Hamidi. 2010. Peran Teknologi Pertanian dalam Meningkatkan Produktivitas Tanaman Jagung. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=43 60&Itemid=29 [28 april 2012]. Purwijantiningsih E, Dewanti-Hariyadi R, Istiana. 2005. Penghambatan pertumbuhan dan produksi aflatoksin dari aspergillus flavus oleh kapang dan khamir ragi tape. Biota 10(3): 146-153. Putri WDR, Haryadi, Marseno DW, Cahyanto MN. 2012. Isolasi dan karakterisasi BAL amilolitik Selama fermentasi growol, makanan tradisional Indonesia. J Teknol Pert 13(1): 52-60. Rahayu ES, Raharjo S, Rahmianna AA. 2008. Cemaran aflatoksin pada produksi jagung di daerah jawa timur. Agritech 23(4):174-183. Reddy KRN, Surendhar CHR, Kumar PN, Reddy CS, Muralidharan K. 2009. Genetic variability of aflatoxin B1 producing Aspergillus flavus strains isolated from discolored rice grains. World J Microbiol Biotechnol (2009) 25:33–39. Raharjanti DS. 2006. Penghambatan pertumbuhan Aspergillus parasiticus dan reduksi aflatoksin oleh kapang dan khamir ragi tape. [Tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana Intitut Pertanian Bogor. Randhawa HS, Sandhu RS, Kowshik T. 2002. In vitro inhibition of Aspergillus fumigatus by Candida species, especially C. albicans and C. glabrata. Current Science 82(7): 860-865. Richana N, Budiyanto A, Mulyawati I. 2011. Lactic acid bacteria for fermentation of the Modified corn flour production. Proceeding The 3rd International Conference of Indonesian Society for Lactic Acid Bacteria (3rd IC-ISLAB).
67
Richana N dan Suarni. 2005. Teknologi Pengolahan Jagung. Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca panen, Bogor. Balai Penelitian tanaman serealia, Maros. Riyani. 2007. Teknologi produksi dan karakterisasi tepung jagung varietas unggul nasional. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Roosita R, Fleet GH. 1999. Growth of yeast isolates from cheese on organic acids in the presence of sodium chloride. Food technol. Biotechnol 37(2) 73-79. Sabahat. 2010. Determination and reduction of aflatoxin by gamma irradiations in wheat maize and rice. [ tesis]. Faisalabad : University of Agriculture. [terhubung berkala] http://eprints.hec.gov.pk/ (28 April 2012). Safara M, Zaini F, Hashemi Sj, Mahmoudi M, Khosravi AR, Shojai-Aliabadi F. Aflatoxin detoxification in rice using citric acid. Iranian J Publ Health 39(2):24-29. Sauer DB. 1986. Condition that effect growth of Aspergillus flavus and production aflatoxin in stored maize. In proceedings ofthe workshop, El Batan, Mexico: 41-50. Sefa-Dedeh S, Cornelius B. 2000. The microflora of fermented nixtamalized corn. Pertemuan Tahunan Institute of Food Technologist. Dallas, Texas 20-25 Juni 2000. Serna-Saldivar SO, Gomez MH, Rooney LW. 2001. Food use of regular and specialty corn and their dry-milled fraction. Dalam Hallauler AR. Editor. Specialty Corns. Washington: CRC Prsess. Hlm 303-337. Shetty PH, Jespersen L. 2006. Saccharomyces cerevisiae and lactic acid bacteria as potential mycotoxin decontaminating agents. Trends in Food Science & Technology 17:48–55. Soomro AH, Masud T, Anwaar K. 2002. Role of lactic acid bacteria in food preservation and human health. A review. Pak. J. Nutr 1:20-24. Stamer JR. 1976. Lactic Acid Bacteria. Dalam Mario P, Don F. 1976. Public Health and Spoilage Aspect. The AVI Publishing Company. Inc. Westport, Connecticut. Stanley VG, Ojo R, Woldesenbet S, Hutchinson DH. 1993. The use of S. cereviseae to suppres the effect of aflatoxicosis in boiler chick. Poultry Sci. 72: 1867-1872. Suardi, Suarni, Prabowo A. 2002. Teknologi sederhana prosesing sorgumsebagai bahan pangan. Prosiding Seminar Nasional Balai PengkajianTeknologi Pertanian Sulawesi Selatan . Hlm: 112-116.
68
Suarni. 2009. Komposisi nutrisi jagung menuju hidup sehat. Prosiding Seminar Nasional Serealia: 60-68. Suarni U, Firmansyah JU. 2005. Beras jagung: Prosesing dan kandungan nutrisi sebagai bahan pangan pokok. Prosiding seminar dan lokakarya nasional. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan penelitian dan pengembangan pertanian. Departemen Pertanian. Suarni. 2009. Prospek pemanfaatan tepung jagung untuk kue kering (cookies). J Lit Pertan, 28(2):63-71. Suharyono SU, Nursin RW, Arief, Murhadi. 2005. Protein quality of Indonesian common maize does not less superior to quality protein maize. Makalah pada 9th ASEAN Food Conference. Jakarta. Susila BA, Resmisari A. 2005. Review : Tepung jagung komposit, pembuatan dan pengolahannya. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Inovatif Pascapanen untuk Pengembangan Industri Berbasis Pertanian. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor 7-8 September 2003. Suzuki T, Noro T, Kawamura Y, Fukunaga K, Watanabe M, Ohta M, Sugiue H, Sato Y, Kohno M, Hotta K. 2002. Decontamination of aflatoxin-forming fungus and elimination of aflatoxin mutagenicity with electrolyzed nacl anode solution. J. Agric. Food Chem 50: 633−641. Syarief R, Ega L, Nurwitri CC. 2003. Mikotoksin bahan pangan. Bogor: IPB Press. Syuryawati, Margaretha, Hadijah. 2010. Pengolahan jagung pulut menunjang diversifikasi pangan dan ekonomi petani. Prosiding Pekan Serealia Nasional. Tangendjaja B. Rachmawati E, Wina. 2008. Mycotoxin contamination on corn used by feed mills in Indonesia. Indones J Agri Scie 9(2): 68-76. Taniola OD, Odunfa SA. 2001. The effect of processing methods on level of lysine, methionine and general acceptability of Ogi processed using starter cultures. Int J Food Microbiol. 63:1-9. Tabata S, Kamimura H, Lbe A, Hashimoto H, Tamura Y. 1994. Degradation of aflatoxin by food additive. J food protect. 57(1):42-47. Taylor WJ, Draughon FA. 2001. Nannocystis exedens: A potential biocompetitive agent against Aspergillus flavus and Aspergillus parasiticus. J Food Protect. 64(7):1030-1034.
69
Tawali AB . 2007. Pengkajian teknologi produksi dan penyimpanan jagung sosoh pratanak. Laporan akhir RUSNAS Diversifikasi Pangan Pokok Tahun anggaran 2007. Universitas Hasanuddin. Tortora GJ, BR Funke, CL Case. 2004. Microbiology an Introduction. 8th ed. Pearson- Benjamin Cumming. Tchana AN, PF. Moundipa, Tchouanguep FM. 2010. Aflatoxin contamination in food and body fluids in relation to malnutrition and cancer status in Cameroon. Int J Environ Res Pub Health 7:178-188. Vandenbergh PA. 1993. Lactic acid bacteria, their metabolic product and interference with microbial growth. FEM Microbial Rev. 12: 221-237. Wadsworth center. 2008. Mycology Proficiency Testing program Critique January 2008 Test Event. New York State Department of Health. New Scotland Avenue Albany. New York. Watson SA. 1987. Structure and Composition. Dalam Watson SA, Ramstad PE. Editor. Corn: Chemistry and Technology. Sta Paul, Minnesota: American Association of Cereal Chemists:53-82. Weatherwax P. 1922. A rare carbohydrate in waxy maize. Genetics 7: 568-572 Wiseman, DW, Marth EH. 1981. Growth and aflatoksin production by Aspergillus parasiticus when in the presence of Streptococcus lactis. Mycopathologia 73: 49-56. Wu F. 2004. Mycotoxin risk assessment for the purpose of setting international regulatory standards. Environmental Science & Technology. 38(15):40494055 Xu J. Wang H, Ji R, Luo X. 2003. Study on the effect of the growth and aflatoxin production by Aspergillus flavus parasiticus NRRL 2999 in the present of Lactobacillus plantarum ATCC 8014. J hygi research 32(4):334-8. Abstract. [terhubung berkala] [http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14535095 [14 April 2012] Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry-milling performance of white corn: effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chem. 73(5):574-578. Yulmar J, Edial A, Azman, Aswardi, K Iswari. 1997. Penggunaan tepung komposit (terigu, ubikayu dan jagung) dalam pembuatan mie. Prosiding Sminar Tek. Pangan. Hlm 428-43 7. Zulkhair H. 2009. Karakterisasi tepung jagung lokal dan mie basah jagung yang dihasilkan. [skripsi]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
70
71
72
73
Lampiran 1 Hasil Uji Konfirmasi Ulang 1. Lactobacillus plantarum
74
2. Candida famata
75
Lampiran 2 Analisis statistik pertumbuhan L. plantarum Tests of Between-Subjects Effects Source
Corrected Model
Intercept
Formula_kultur
Error
Total
Corrected Total
Dependent Variable
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Bal 0 jam
7.415a
3
2.472
8.672
.032
b
3
.586
2.817
.171
c
3
.409
.946
.498
Bal 48 jam
1.757
Bal 72 jam
1.227
Bal 0 jam
299.758
1
299.758
1051.735
.000
Bal 48 jam
726.567
1
726.567
3494.372
.000
Bal 72 jam
705.940
1
705.940
1633.129
.000
Bal 0 jam
7.415
3
2.472
8.672
.032
Bal 48 jam
1.757
3
.586
2.817
.171
Bal 72 jam
1.227
3
.409
.946
.498
Bal 0 jam
1.140
4
.285
Bal 48 jam
.832
4
.208
Bal 72 jam
1.729
4
.432
Bal 0 jam
308.312
8
Bal 48 jam
729.156
8
Bal 72 jam
708.896
8
Bal 0 jam
8.555
7
Bal 48 jam
2.589
7
Bal 72 jam
2.956
7
Homogeneous subsets L. plantarum Bal_0_jam Formula_kultur uncana,,b,,c
N
S3
2
K
2
S1
2
S2
2
Sig .
Bal_48_jam
Subset 1
2
Formula_kultur
4.9700 a,,b,,
Duncan
2
9.2150
7.0100
S1
2
9.2650
7.1350
K
2
9.3000
.826
S2
2
10.3400
Bal_72_jam
a,,b,,c
Duncan
Subset 1
K
2
9.1300
S1
2
9.1600
S3
2
9.2150
S2
2
10.0700
Sig.
1
c
Sig.
N
Subset
S3
5.3700
.495
Formula_kultur
N
.231
.074
76
Lampiran 3 Analisis statistik pertumbuhan Aspergillus flavus Tests of Between-Subjects Effects Source Corrected Model
Dependent Variable
Formula_kultur
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
F
Sig.
1.085
a
3
.362
.856
.532
2.592
b
3
.864
.411
.754
flavus_72_jam
.000
c
3
.000
.
.
flavus_0_jam
92.820
1
92.820
219.518
.000
Flavus_48_jam
27.454
1
27.454
13.064
.022
flavus_72_jam
8.000
1
8.000
.
.
flavus_0_jam
1.085
3
.362
.856
.532
Flavus_48_jam
2.592
3
.864
.411
.754
flavus_72_jam
.000
3
.000
.
.
flavus_0_jam
1.691
4
.423
Flavus_48_jam
8.406
4
2.101
flavus_72_jam
.000
4
.000
flavus_0_jam
95.597
8
Flavus_48_jam
38.452
8
flavus_72_jam
8.000
8
flavus_0_jam
2.777
7
10.998
7
.000
7
flavus_0_jam Flavus_48_jam
Intercept
Type III Sum of Squares
Flavus_48_jam flavus_72_jam
77
Lampiran 4 Analisis statistik pertumbuhan C. famata Tests of Between-Subjects Effects Source
Dependent Variable
Corrected Model
Type III Sum of Squares
Khamir_0_jam Khamir_48_jam
Intercept
Formula_kultur
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
F
Sig.
1.130
a
3
.377
4.696
.085
1.945
b
3
.648
2.632
.186
c
Khamir_72_jam
9.431
3
3.144
2.351
.214
Khamir_0_jam
243.101
1
243.101
3030.243
.000
Khamir_48_jam
134.562
1
134.562
546.306
.000
Khamir_72_jam
149.905
1
149.905
112.125
.000
Khamir_0_jam
1.130
3
.377
4.696
.085
Khamir_48_jam
1.945
3
.648
2.632
.186
Khamir_72_jam
9.431
3
3.144
2.351
.214
Khamir_0_jam
.321
4
.080
Khamir_48_jam
.985
4
.246
Khamir_72_jam
5.348
4
1.337
Khamir_0_jam
244.552
8
Khamir_48_jam
137.492
8
Khamir_72_jam
164.684
8
Khamir_0_jam
1.451
7
Khamir_48_jam
2.930
7
Khamir_72_jam
14.779
7
Homogenous subset C. famata Khamir_0_jam
Khamir 48 ajm Subset
Formula_kultur
N
a,,b,,c
S2
2
5.0650
K
2
5.2200
5.2200
S1
2
5.8300
5.8300
S3
2
Duncan
1
2
.057
Khamir_72_jam Formula_kultur a,,b,,c
Duncan
Subset
N
1
K
2
2.4750
S3
2
4.6750
S1
2
4.9750
S2
2
5.1900
Sig.
Duncan
.083
.069
N
Subset 1
a,,b,,c
5.9350
Sig.
Formula_kultur S3
2
3.3750
S2
2
3.9200
K
2
4.5400
S1
2
4.5700
Sig.
.078
78
Lampiran 5 Analisis statistik pH air rendaman Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable
Type III Sum of Squares
Corrected Model pH_air_rendaman_0
.005
a
3
.002
.367
.782
pH_air_remdaman_48
1.288
b
3
.429
14.056
.014
pH_air_rendaman_72
.663
c
3
.221
5.256
.071
pH_air_rendaman_0
268.309
1
268.309 56337.766
.000
pH_air_remdaman_48
115.824
1
115.824
3791.300
.000
pH_air_rendaman_72
122.853
1
122.853
2920.721
.000
.005
3
.002
.367
.782
pH_air_remdaman_48
1.288
3
.429
14.056
.014
pH_air_rendaman_72
.663
3
.221
5.256
.071
pH_air_rendaman_0
.019
4
.005
pH_air_remdaman_48
.122
4
.031
pH_air_rendaman_72
.168
4
.042
pH_air_rendaman_0
268.333
8
pH_air_remdaman_48
117.235
8
pH_air_rendaman_72
123.684
8
.024
7
pH_air_remdaman_48
1.410
7
pH_air_rendaman_72
.831
7
Source
Intercept
Formula_kultur
Error
Total
pH_air_rendaman_0
Corrected Total pH_air_rendaman_0
Df
Mean Square
a,,b,,c
Formula_kultur
Subset N
Duncan
a,,b,,c
2
3.5700
5.7950
S2
2
3.5700
2
5.8000
S3
2
3.5800
2
5.8200
K
2
2
5.7500
S3
2
S1 S2
Duncan
.371
Formula_kultur
Sig.
Subset N
1
S2
2
3.7300
S3
2
3.7300
S1
2
3.8000
K
2
Sig.
1
S1
K
pH_air_rendaman_72
a,,b,,c
Subset N
1
Sig.
Duncan
Sig.
pH_air_remdaman_48
pH_air_rendaman_0 Formula_kultur
F
2
4.4150 .753
1.000
2
4.5000 .958
1.000
79
Lampiran 6 Analisis statistik derajat asam tepung Tests of Between-Subjects Effects
Source
Type III Sum of Squares
Dependent Variable
Corrected Model
3
.000
.000
1.000
.104
b
3
.035
.297
.827
c
3
.048
.307
.820
Derajat_asam_0_jam
165.620
1
165.620 3680.444
.000
Derajat_asam_48_jam
183.361
1
183.361 1577.301
.000
derajat_asam_72_jam
206.045
1
206.045 1308.222
.000
.000
3
.000
.000
1.000
Derajat_asam_48_jam
.104
3
.035
.297
.827
derajat_asam_72_jam
.145
3
.048
.307
.820
Derajat_asam_0_jam
.180
4
.045
Derajat_asam_48_jam
.465
4
.116
derajat_asam_72_jam
.630
4
.158
Derajat_asam_0_jam
165.800
8
Derajat_asam_48_jam
183.930
8
derajat_asam_72_jam
206.820
8
.180
7
Derajat_asam_48_jam
.569
7
derajat_asam_72_jam
.775
7
derajat_asam_72_jam
.145
Formula_kultur Derajat_asam_0_jam
Total
Corrected Total Derajat_asam_0_jam
Derajat_asam_48_jam
Derajat_asam_0_jam Formula kultur
Subset N
a,,b,,c
Duncan
4.5500
S1
2
4.7000
4.5500
S2
2
4.9000
4.5500
S3
2
4.9000
1.000
Sig.
2
S3
2 2
derajat_asam_72_jam Subset
c
1
S3
2
4.9500
K
2
5.0000
S2
2
5.0500
S1
2
5.3000
Sig.
.430
Duncan
1 4.6500
S2
N
N a,,b,,c
2
4.5500
Sig.
a,,b,,
Subset K
2
Formula_kultur
Formula_kultur
1
S1
K
Duncan
Sig.
.000
Derajat_asam_48_jam
Error
F
a
Derajat_asam_0_jam
Intercept
Mean Square
Df
.506
80
Lampiran 7 Analisis statistik Aflatoksin Tests of Between-Subjects Effects Dependen
Type III Sum of
Source
t Variable
Squares
Corrected Model
Afla_0
Intercept
Formula_kultur
Error
Total
Corrected Total
df
Mean Square
F
Sig.
.000
a
3
.000
.000
1.000
Afla_48
80.399
b
3
26.800
.252
.856
Afla_72
153.634
c
3
51.211
.484
.712
Afla_0
33075.920
1
33075.920
58874.902
.000
Afla_48
2812.125
1
2812.125
26.470
.007
Afla_72
1501.794
1
1501.794
14.183
.020
.000
3
.000
.000
1.000
Afla_48
80.399
3
26.800
.252
.856
Afla_72
153.634
3
51.211
.484
.712
2.247
4
.562
Afla_48
424.947
4
106.237
Afla_72
423.553
4
105.888
Afla_0
33078.167
8
Afla_48
3317.471
8
Afla_72
2078.981
8
2.247
7
Afla_48
505.346
7
Afla_72
577.187
7
Afla_0
Afla_0
Afla_0
81
Lampiran 8 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel < 60 mesh Tests of Between-Subjects Effects Source Corrected Model
Dependent Variable
Error
Total
Corrected Total
Mean Square
F
Sig.
2
7068.507
7.677
.066
b
2
9763.322
7.479
.068
c
2
5793.382
11.182
.041
K_krg_60
d
20106.840
2
10053.420
13.585
.031
S1_krg_60
146734.482
1
146734.482
159.359
.001
S2_krg_60
125686.427
1
125686.427
96.284
.002
S3_krg_60
168304.002
1
168304.002
324.847
.000
K_krg_60
126063.015
1
126063.015
170.351
.001
S1_krg_60
14137.013
2
7068.507
7.677
.066
S2_krg_60
19526.643
2
9763.322
7.479
.068
S3_krg_60
11586.763
2
5793.382
11.182
.041
K_krg_60
20106.840
2
10053.420
13.585
.031
S1_krg_60
2762.335
3
920.778
S2_krg_60
3916.110
3
1305.370
S3_krg_60
1554.305
3
518.102
K_krg_60
2220.055
3
740.018
S1_krg_60
163633.830
6
S2_krg_60
149129.180
6
S3_krg_60
181445.070
6
K_krg_60
148389.910
6
S1_krg_60
16899.348
5
S2_krg_60
23442.753
5
S3_krg_60
13141.068
5
K_krg_60
22326.895
5
S1_krg_60 S3_krg_60
Waktu_fermentasi
Df a
S2_krg_60
Intercept
Type III Sum of Squares 14137.013 19526.643
11586.763
82
S2_krg_60
S1_krg_60 Waktu_fermentasi a,,
Duncan b,,c
N
1 2 117.8500
48 jam
2 126.4500 2
a,,b,,c
Duncan
224.8500
Sig.
.795
2
a,,
b,,c
48 jam
2 112.9000 112.9000
0 jam
2
224.8500 .680
Waktu_fermentasi
Subset 1
.053
48 jam
2 118.1000
72 jam
2 159.5000
0 jam
2 .167
Subset N
2 a,,b,,c
Sig.
96.4500
Sig.
1.000
2
K_krg_60
Waktu_fermentasi
Duncan
1
72 jam
S3_krg_60
N
Subset N
2
72 jam
0 jam
Waktu_fermentasi
Subset
Duncan
1
72 jam
2
159.5000
48 jam
2 120.4500
224.8500
0 jam
2
.064
Sig.
2
89.5500
224.8500 .339
1.000
83
Lampiran 9 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 60-80 mesh Tests of Between-Subjects Effects Source Corrected Model
Intercept
Waktu_fermentasi
Error
Total
Corrected Total
Dependent Variable
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
S1_60
4228.413
a
S2_60
5524.523
b
2
2762.262
30.605
.010
c
2
728.852
8.944
.054
2
2114.207
12.178
.036
S3_60
1457.703
K_60
4880.610
d
2
2440.305
15.188
.027
S1_60
76659.207
1
76659.207
441.551
.000
S2_60
67904.482
1
67904.482
752.363
.000
S3_60
58016.667
1
58016.667
711.948
.000
K_60
82063.815
1
82063.815
510.744
.000
S1_60
4228.413
2
2114.207
12.178
.036
S2_60
5524.523
2
2762.262
30.605
.010
S3_60
1457.703
2
728.852
8.944
.054
K_60
4880.610
2
2440.305
15.188
.027
S1_60
520.840
3
173.613
S2_60
270.765
3
90.255
S3_60
244.470
3
81.490
K_60
482.025
3
160.675
S1_60
81408.460
6
S2_60
73699.770
6
S3_60
59718.840
6
K_60
87426.450
6
S1_60
4749.253
5
S2_60
5795.288
5
S3_60
1702.173
5
K_60
5362.635
5
84
S2_60 S1_60 Waktu_fermentasi Waktu_fermentasi N a,,b,,c
Duncan
Subset
Subset
N
1
2
0 jam
2
72 jam
2 117.8000 117.8000
48 jam
2
a,,b,,c
Duncan
78.4000
142.9000
Sig.
.058
1
2
0 jam
2
78.4000
72 jam
2
92.2000
48 jam
2
148.5500
Sig.
.242
1.000
.153 K_60
S3_60 Subset
Waktu_fermentasi
Waktu_fermentasi
Subset
N N a,,b,,c
Duncan
1
2
,c
0 jam
2
72 jam
2 100.1500 100.1500
48 jam
2
Sig.
78.4000
116.4500 .095
a,,b,
Duncan
.169
1
2
0 jam
2
72 jam
2
125.9500
48 jam
2
146.5000
Sig.
78.4000
1.000
.203
85
Lampiran 10 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran partikel 80-100 mesh Tests of Between-Subjects Effects
Source Corrected Model
Depende nt Variable S1_80 S2_80
Intercept
Waktu_fermentasi
Error
Total
Corrected Total
Type III Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
a
2
7545.659
6.745
.078
b
2
7544.784
7.331
.070
c
15091.319 15089.568
S3_80
11949.941
2
5974.970
6.269
.085
K_80
11131.532
d
2
5565.766
4.560
.123
S1_80
201549.350
1
201549.350
180.173
.001
S2_80
203717.856
1
203717.856
197.944
.001
S3_80
210555.173
1
210555.173
220.920
.001
K_80
233121.997
1
233121.997
191.005
.001
S1_80
15091.319
2
7545.659
6.745
.078
S2_80
15089.568
2
7544.784
7.331
.070
S3_80
11949.941
2
5974.970
6.269
.085
K_80
11131.532
2
5565.766
4.560
.123
S1_80
3355.930
3
1118.643
S2_80
3087.505
3
1029.168
S3_80
2859.255
3
953.085
K_80
3661.510
3
1220.503
S1_80
219996.599
6
S2_80
221894.929
6
S3_80
225364.369
6
K_80
247915.039
6
S1_80
18447.249
5
S2_80
18177.073
5
S3_80
14809.196
5
K_80
14793.042
5
86 S2_80
S1_80 Waktu_fermentasi
Waktu_fermentasi
Subset N
a,,b,,c
Duncan
1
48 jam
2 129.8500
72 jam
2 169.6000
0 jam
2
Sig.
Subset N
a,,b,,c
2
2 129.0000
72 jam
2 173.4000 173.4000
169.6000 250.3900
0 jam
2 .260
Waktu_fermentasi N
1 a,,b,,c
2
144.9000
158.0500
72 jam
2
196.0500
250.3900
0 jam
2
250.3900
2
153.5500
48 jam
2 2
.052
Duncan
1
48 jam
72 jam
Sig.
Subset
Subset N
0 jam
.096
K_80
Waktu_fermentasi
a,,b,,c
250.3900
Sig.
.095
S3_80
Duncan
2
48 jam
.320
Duncan
1
Sig.
.057
87
Lampiran 11 Analisis statistik rendemen tepung dengan ukuran pertikel >100 mesh Tests of Between-Subjects Effects Source
Dependent Type III Sum of Variable Squares
Corrected Model
S1_100
Error
Total
Corrected Total
F
Sig.
2
1311.685
2.975
.194
7143.819
b
2
3571.909
10.581
.044
c
2
1399.633
9.209
.052
K_100
1556.643
d
2
778.321
1.461
.360
S1_100
194803.409
1
194803.409
441.781
.000
S2_100
230974.488
1
230974.488
684.217
.000
S3_100
193615.992
1
193615.992
1273.887
.000
K_100
180793.985
1
180793.985
339.453
.000
S1_100
2623.371
2
1311.685
2.975
.194
S2_100
7143.819
2
3571.909
10.581
.044
S3_100
2799.267
2
1399.633
9.209
.052
K_100
1556.643
2
778.321
1.461
.360
S1_100
1322.850
3
440.950
S2_100
1012.725
3
337.575
S3_100
455.965
3
151.988
K_100
1597.810
3
532.603
S1_100
198749.630
6
S2_100
239131.032
6
S3_100
196871.224
6
K_100
183948.438
6
S1_100
3946.221
5
S2_100
8156.544
5
S3_100
3255.232
5
K_100
3154.453
5
S3_100
Waktu_fermentasi
Mean Square
a
S2_100
Intercept
df
2623.371
2799.267
88
S2_100
S1_100 Waktu_fermentasi N a,,b,,c
Duncan
Waktu_fermentasi
Subset
0 jam
N
1 2
Subset
150.8400
a,,b,,
Duncan
1
2
0 jam
2 150.8400
c
72 jam
2
191.7100
48 jam
2 203.3100 203.3100
48 jam
2
198.0100
72 jam
2
Sig.
Sig.
.110
.065
Waktu_fermentasi
a,,b,,c
Duncan
Waktu_fermentasi
Subset 1
Subset N
2 a,,b,,c
2
150.8400
185.2100 185.2100
48 jam
2
183.9100
202.8600
72 jam
2
186.0100
2
150.8400
72 jam
2
48 jam
2 .069
Duncan
1
0 jam
0 jam
Sig.
.189
S3 100
S3_100
N
234.4600
.248
Sig.
.224
89
Lampiran 12 Analisis statistik nilai pH tepung jagung fermentasi Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable
Source Corrected Model
Type III Sum of Squares
Sig.
3
.000
.000
1.000
.629
3
.210
3.901
.111
c
3
.004
1.395
.366
pH_tepung_0
328.705
1
328.705 102720.250
.000
pH_tepung_48
166.988
1
166.988
3106.028
.000
pH_tepung_72
151.293
1
151.293
47839.688
.000
.000
3
.000
.000
1.000
pH_tepung_48
.629
3
.210
3.901
.111
pH_tepung_72
.013
3
.004
1.395
.366
pH_tepung_0
.013
4
.003
pH_tepung_48
.215
4
.054
pH_tepung_72
.013
4
.003
pH_tepung_0
328.718
8
pH_tepung_48
167.832
8
pH_tepung_72
151.319
8
.013
7
pH_tepung_48
.844
7
pH_tepung_72
.026
7
pH_tepung_72
.013
Formula_kultur pH_tepung_0
Total
F
b
pH_tepung_48
Error
Mean Square
.000
pH_tepung_0
Intercept
df
a
Corrected Total pH_tepung_0
Homogenus subset pH_tepung_48
pH_tepung_0 Formula_kultur N a,,b,,c
Duncan
Formula_kultur
Subset
Subset N
1
S1
2
6.4100
S2
2
6.4100
S3
2
6.4100
K
2
6.4100
Sig
a,,b,,c
Duncan
S2
2
4.3600
S1
2
4.3700
S3
2
4.5000
K
2
pH_tepung_72 Formula_kultur
Subset N
Duncan
1
S2
2
4.3050
S1
2
4.3200
K
2
4.3600
S3
2
4.4100
Sig.
2
4.5000 5.0450
1.000 Sig.
a,,b,,c
1
.141
.583
.078
90
Lampiran 13. Gambar fermentasi grits jagung Fermentasi grits jagung selama 48 jam
Keterangan: K1 48= Fermentasi spontan (Kontrol) selama 48 jam S1 48 = Fermentasi dengan kultur starter tunggal L. plantarum selama 48 jam S2 48 = Fermentasi dengan kultur starter campuran L. plantarum dan Candida famata selama 48 jam S3 48 = Fermentasi dengan ko-kultur Candida famata dan L. plantarum selama 48 jam
91
Fermentasi grits jagung selama 72 jam
K1 72= Fermentasi spontan (Kontrol) selama 72 jam S1 72 = Fermentasi dengan kultur starter tunggal L. plantarum selama 72 jam S2 72 = Fermentasi dengan kultur starter campuran L. plantarum dan Candida famata selama 72 jam S3 72 = Fermentasi dengan ko-kultur Candida famata dan L. plantarum selama 72 jam