PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG DIHASILKAN
NUR AINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
2
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, April 2009
Nur Aini NRP. F261040021
3
ABSTRACT NUR AINI. Effects of Spontaneous Fermentation During Soaking of Local Variety of White Corn (Zea mays L.) on Physicals, Chemical and Functional Characteristics of Its Flour. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI, TIEN R. MUCHTADI and NURI ANDARWULAN . The uses of white corn in food industry in Indonesia are still limited. To explore the potential uses, evaluation of chemical physical, and functional properties of white corn flour is needed. The objective of this study was to evaluate chemical, physical and functional properties of white corn flour, and its changes as affected by spontaneous fermentation during soaking of white corn grits. Corn flour was prepared by soaking of white corn grits followed by drying and grinding. Soaking was done at closed pan and controlled temperature, to promote spontaneous fermentation. The resulted flour was fractionated using multiple sieve of 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) and 200 mesh (75µm) and analyzed for its chemicals, physicals and functional characteristics. Fermentation process as long as 24 hr will reduce gelatinization temperature (Tg) of resulted flour from 82oC to 76.2oC; but finally Tg would increase (85.2oC) at 72 hr of fermentation. Fermentation process of corn grits do not affect its peak viscosity (in the range of 493 -560BU), but will increase only after fermentation of more than 48-60 hr (648 -573 BU); and further fermentation would reduce the peak viscosity (550 BU)similar to that of flour resulted from process without fermentation. Flour resulted from corn grits after fermentation process of 12 hr has breakdown viscosity of 0 BU. This suggests that heat stability of flour produced from corn grits after 12 hr fermentation is higher that that of control flour (breakdown viscosity of 68 BU). The breakdown viscosity was maintained relatively constant until fermentation process up to 60 hr; and finally decreases to -60 BU after 72 hr of fermentation. Measured as ratio of cold viscosity/hot viscosity after 15 minutes of stirring at constant temperature of 95oC ( Vd ), tendency of retrogradation was reduced by fermentation process for 48 hr 1.87) as compared to that of control (
Vd Vpa15
Vpa15 ( Vd Vpa15
=
= 2.97). After 48 fermentation of corn
grits do not affect the tendency of retrogradation of the resulted flour; at which Vd remain at 2.14. Flour produced using fermentation process of corn grits Vpa15
exhibit very high gel strength. After 48 hr fermentation of corn grits, the flour has gel strength of 19.47 gforce, very high as compared to that of control flour of 5.95 gforce. Further fermentation of more than 48 hr only slightly reduced the gel strength to 14.48 gforce, still very high as compared to that of control flour. The smaller particle size, the lower fiber content, loose density, packed density, gelatinization temperature and gel strength o, the higher protein and fat content, angle of repose, whiteness, water absorption capacity, oil absorption capacity, peak viscosity, breakdown viscosity, tendency of retrogradation and gel stickiness
4 of the resulted flour. Using correlation and regression analysis several correlation equations were proposed to be used as a prediction tools of several chemical, physical and functional properties as affected by extend of fermentation process and particle size of flour. Several equations proposes were Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 + 0.6628T + 12.923, where Tg is gelatinization temperature (oC), Vpa15 is hot viscosity after 15 minutes constant stirring (Brabender Unit; BU), Gsi and Gsii are gel strength (gforce) of corn flour with particle size of >150-250 µm and >106150 µm, respectively, and t is length of fermentation (steeping) of corn grits (hr). Overall, our results showed that control of length of fermentation of corn grits and particle size may be used as a mean t control several chemical, physical and functioal properties of the resulted corn flour. Key Words: white corn, spontaneous fermentation, particle size, physics, chemical, functional .
5
RINGKASAN NUR AINI. Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan. Dibawah bimbingan PURWIYATNO HARIYADI, TIEN R. MUCHTADI dan NURI ANDARWULAN. Jagung putih mempunyai karakter hard endosperm sehingga memiliki keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai bahan makanan yang berbasis pati. Salah satu alternatif pengolahan jagung dan sebagai bentuk diversifikasi pangan adalah pembuatan tepung jagung. Dalam penelitian ini akan dipelajari pengaruh fermentasi spontan selama perendaman grits jagung putih terhadap karakteristik fisik, kimia dan fungsional tepung yang dihasilkan dan penentuan waktu fermentasi optimum untuk mendapatkan sifat tepung sesuai dengan yang diinginkan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan melakukan modifikasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih dengan metode fermentasi spontan. Pada tahap pertama dilakukan pembuatan tepung jagung 60 mesh menggunakan metode fermentasi spontan dengan cara perendaman grits jagung putih, dan dilanjutkan dengan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Pada tahap ini juga dilakukan fraksinasi tepung jagung 60 mesh menggunakan ayakan bertingkat 100 mesh (150 µm), 150 mesh (106 µm) dan 200 mesh (75µm) sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung, selanjutnya dilakukan analisa sifat fisik, kimia dan fungsionalnya. Penelitian ini menunjukkan bahwa proses fermentasi selama perendaman grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar, abu, pati, gula reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak; serta meningkatkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air pada tepung yang dihasilkan. Proses fermentasi grits jagung putih sampai 24 jam akan menurunkan suhu gelatinisasi tepung yang dihasilkan, dari 82oC pada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 76.2oC. Fermentasi lanjutan dari 24 jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC). Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU). Selanjutnya, tepung jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan viskositas puncak meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama 12 jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU. Proses fermentasi menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang dihasilkan. Hal ini
6 ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC ( Vd ), yaitu dari 2.97 untuk Vpa15
tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi menjadi 1.87 pada tepung yang diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam. Proses fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam tidak mengubah kecenderungan retrogradasi tepung jagung. Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce), namun kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat fungsional. Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin kecil derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut curah. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat kasar, loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel sedangkan kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown viscosity, retrogradasi dan kelengketan gel meningkat. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung jagung non fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan menurunkan kembali kapasitas penyerapan air (113.6%); sedangkan fermentasi grits selama 70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi 69.3% dari tepung non fermentasi (82.8%). Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan terjadinya retrogradasi. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam menurunkan Vd (2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan Vpa15
fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi
Vd Vpa15
(3.11); sedangkan
pada tepung berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam menurunkan Vd (1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi Vpa15
lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi
Vd Vpa15
(2.40)
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin rendah kekuatan gel. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kekuatan gel (27.9 gforce) dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi lanjutan sampai 45 jam tidak mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6
7 gforce). Pada tepung berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam meningkatkan kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (14 gforce). Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 + 0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan lama proses fermentasi dan ukuran partikel dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih. Kata kunci: jagung putih, fermentasi spontan, ukuran partikel, fisik, kimia, fungsional
8
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
9
PENGARUH FERMENTASI SPONTAN SELAMA PERENDAMAN GRITS JAGUNG PUTIH VARIETAS LOKAL (Zea mays L.) TERHADAP KARAKTERISTIK FISIK, KIMIA DAN FUNGSIONAL TEPUNG YANG DIHASILKAN
NUR AINI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009
10 Judul Disertasi
Nama NRP
: Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan : Nur Aini : F261040021
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.Si Anggota
Dr. Ir. Nuri Andarwulan, M.Si Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi Ilmu Pangan
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S
Tanggal Ujian: 24 Maret 2009
Tanggal Lulus: 8 April 2009
11
PRAKATA Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi rahmat dan berkahNya sehingga penulisan disertasi yang berjudul ”Pengaruh Fermentasi Spontan Selama Perendaman Grits Jagung Putih Varietas Lokal (Zea mays L.) Terhadap Karakteristik Fisik, Kimia dan Fungsional Tepung yang Dihasilkan” dapat diselesaikan. Disertasi ini dibuat sebagai salah satu syarat mahasiswa pascasarjana program S3 untuk meraih gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pangan, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih yang sangat tulus dan mendalam kepada Ketua Komisi Pembimbing Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc yang telah banyak meluangkan waktu untuk membimbing, berdiskusi, memberikan arahan dan wawasan ilmu terutama di bidang rekayasa pangan serta memberikan dorongan moril sehingga penulis dapat menyelesaikan program S3 ini; anggota Komisi Pembimbing Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, M.S. dan Dr. Ir. Nuri Andarwulan yang telah meluangkan waktu dalam membimbing, memberikan saran dan tambahan pengetahuan kepada penulis. Terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc sebagai dosen penguji luar komisi pada ujian tertutup atas saran-saran dan masukannya yang sangat menambah cakrawala pengetahuan penulis terutama di bidang Ilmu Pangan, serta demi kesempurnaan Disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS dan Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si sebagai dosen penguji pada ujian terbuka atas saran-saran, diskusi dan masukannya yang menambah pengetahuan penulis dan demi kesempurnaan Disertasi ini. Terima kasih kepada Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc selaku ketua Program Studi Ilmu Pangan atas saran-saran dan masukannya pada ujian tertutup. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc sebagai pimpinan sidang pada ujian tertutup, juga atas saran-saran dan masukannya; juga kepada Dr. Ir. Sam Herodian, MS sebagai Dekan Fakultas Teknologi Pertanian atas kesediaannya sebagai pimpinan sidang pada Ujian terbuka. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada para Staf Pengajar di lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, khususnya pada Program Studi Ilmu Pangan yang telah memberikan ilmu dan pengalaman selama penulis menempuh pendidikan di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rektor Universitas Jenderal Soedirman, Dekan Fakultas Pertanian, Ketua Jurusan Teknologi Pertanian dan Ketua Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto atas ijin dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menempuh pendidikan di IPB. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) yang telah memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) untuk penulis mengikuti program Doktor di IPB. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (DP2M) Dikti yang telah membantu sebagian dana penelitian melalui program Hibah Bersaing XIV 2006-2007. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada
12 PT Indofood Sukses Makmur Tbk. melalui Program Indofood Riset Nugraha 2008 yang telah membantu sebagian dana penelitian. Terima kasih kepada Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) atas bantuannya pada penulisan Disertasi. Kepada Ayahanda Munawar (almarhum) dan Ibunda Muslihah, penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang mendalam atas didikan, doa restu, dorongan dan motivasi serta bantuan moril dan materiil sehingga memberikan dukungan yang luar biasa bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan hingga ke jenjang tertinggi. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada kakak-kakak, adik-adik dan semua saudara atas doa dan dukungannya selama penulis mengikuti pendidikan di IPB. Rasa terimakasih yang sangat tulus penulis sampaikan kepada Ananda Hanif Ainurrizky yang dengan penuh pengertian dan sabar mendampingi selama penulis mengikuti program S3 ini. Terima kasih kepada Ir Supadmo dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Tengah di Ungaran yang telah membantu pengadaan jagung putih. Terima kasih kepada para sahabat di Program Studi Ilmu Pangan IPB, baik yang telah lulus (Akhyar, M.Si, Dr. Ir. Sussi Astuti, Msi, Dr. Ir. Yuspihana Fitrial, M.Si) maupun yang masih dalam proses kelulusan, atas persahabatan yang indah serta kerjasama yang baik selama penulis menempuh studi S3. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman di Jurusan Teknologi Pertanian, terutama program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan, Universitas Jenderal Soedirman atas dukungannya dalam menempuh program S3. Terima kasih juga kepada staf administrasi dan teknisi, baik di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan serta Seafast Center IPB atas bantuannya selama penelitian. Akhirnya semua budi baik yang diberikan kepada penulis semoga diterima dan diberi balasan berlipat ganda oleh Allah SWT. Semoga disertasi ini bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan. Amin.
Bogor, April 2009
Nur Aini
13
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Pati tanggal 1 Februari 1973 dari Bapak Munawar dan ibu Muslihah. Penulis merupakan putri kedua dari lima bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian UGM pada tahun 1990 sampai 1995. Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pasca Sarjana UGM dan menyelesaikannya pada tahun 2001. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Pangan IPB diperoleh pada tahun 2004. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS) Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Penulis bekerja sebagai dosen di Jurusan Teknologi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Jendral Soedirman Purwokerto sejak tahun 1997 sampai sekarang. Karya ilmiah berjudul Hubungan Sifat Fisikokimia dan Amilografi Tepung Jagung Putih yang Dipengaruhi Waktu Perendaman Grits Jagung telah disajikan pada Seminar Nasional Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan (PATPI) di Palembang pada bulan Oktober 2008. Sebuah artikel telah diterbitkan dengan judul Hubungan Sifat Kimia dan Rheologi Tepung Jagung Putih dengan Fermentasi Spontan Grits Jagung di Forum Pasca Sarjana IPB volume 2 tahun 2009. Artikel-artikel tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis dalam menyelesaikan program S3.
14
Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dedi Fardiaz, M.Sc
Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr. Ir. S. Joni Munarso, MS 2. Dr. Ir. Titi Chandra Sunarti, M.Si
15
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
Halaman iii v viii
DAFTAR ISTILAH
X
1.
PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Tujuan penelitian 1.3 Manfaat penelitian
1 1 6 6
2.
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung 2.2 Jagung putih 2.3 Tepung jagung 2.4 Pati jagung 2.4.1 Amilosa 2.4.2 Amilopektin 2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan umbi-umbian 2.6 Sifat fisik tepung 2.6.1 Ukuran partikel 2.6.2 Densitas kamba 2.6.3 Sifat alir 2.7 Sifat fungsional adonan 2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan 2.7.2 Sifat rheologi
7 7 9 11 12 14 15 15 17 18 19 20 21 21 24
3. BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu dan tempat penelitian 3.2 Bahan dan alat 3.3 Metode penelitian 3.4 Prosedur analisa 3.5 Analisa data
25 25 25 26 31 38
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi kimia bahan baku 4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung 4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung 4.2.2 Ukuran partikel tepung jagung 4.2.3 Densitas kamba tepung jagung
39 39 40 40 48 49
16 4.2.4 Sudut curah tepung jagung 4.2.5 Derajat putih tepung jagung 4.2.6 Kapasitas penyerapan air 4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak 4.2.8 Suhu gelatinisasi 4.2.9 Viskositas puncak 4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan 4.2.11 Retrogradasi adonan 4.2.12 Sifat gel 4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan 4.3.1 Packed density tepung jagung 4.3.2 Loose density tepung jagung 4.3.3 Sudut curah tepung jagung 4.3.4 Derajat putih tepung jagung 4.3.5 Suhu gelatinisasi 4.3.6 Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC (Vpa15)
54 56 59 61 62 64 66 72 74 80 80 81 81 82 83 83
4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas saat dipertahan selama 15 menit pada suhu 95oC 4.3.8 Kekuatan gel 4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap sifat fisikokimia tepung dan fungsional adonan jagung 4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung 4.4.2 Densitas kamba tepung jagung 4.4.3 Sudut curah tepung jagung 4.4.4 Derajat putih tepung jagung 4.4.5 Kapasitas penyerapan air 4.4.6 Kapasitas penyerapan minyak 4.4.7 Suhu gelatinisasi 4.4.8 Viskositas puncak 4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan 4.4.10 Retrogradasi adonan 4.4.11 Sifat gel 4.5 Pembahasan umum
84
5. SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan 5.2 Saran
85 86 87 92 96 99 101 102 103 104 109 113 115 117 121 121 123
DAFTAR PUSTAKA
124
LAMPIRAN
133
17
DAFTAR TABEL Halaman 1.
Beberapa proses fermentasi spontan yang dilakukan pada serealia dan umbi-umbian
5
2.
Distribusi komponen-komponen utama jagung
9
3.
Komposisi kimia jagung putih dan kuning
10
4.
Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin
14
5.
Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung jagung
40
6.
Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
40
7.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air perendam
42
8.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan
46
9.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa tepung jagung
48
10. Loose dan packed density tepung jagung dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
50
11. Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
55
12. Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
57
13. Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
60
14. Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
61
15. Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
63
16. Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
65
17. Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
67
18. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan retrogradasi adonan tepung jagung
73
19. Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung
75
18
20. Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung
79
21. Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung
80
22. Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung
81
23.
82
Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung jagung
24. Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung
83
25. Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung
83
26. Hasil prediksi dan pengukuran Vpa15
84
27.
84
Hasil pengukuran dan prediksi
Vd Vpa15
Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung
85
Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung jagung yang telah divalidasi
86
30. Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung
88
31. Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi jagung dan ukuran partikel tepung
91
28. jagung 29.
19
DAFTAR GAMBAR Halaman
1.
Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi komponen-komponen utama
2.
Jagung putih dan kuning
10
3.
Struktur internal dan organisasi granula pati
13
4.
Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi
23
5.
Jagung putih yang digunakan
25
6.
Pembuatan tepung jagung putih
27
7.
Diagram alir jalannya penelitian tahap 1 dan 2
29
8.
Diagram alir jalannya penelitian tahap 3
30
9.
Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits jagung
39
10.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar protein tepung jagung
43
11.
Pengaruh waktu fermentasi konduktivitas air perendam
terhadap
44
12.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung
46
13.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung
47
14.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi ukuran partikel tepung jagung
49
15.
Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung jagung
51
16.
Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung jagung
52
17.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap densitas kamba tepung jagung
54
18.
Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung
56
19.
Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 0, 36 dan 60 jam
57
20.
Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung
58
21.
Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung
59
22.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu gelatinisasi adonan jagung
64
grits
jagung
7
20
23.
Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan waktu fermentasi grits jagung
67
24.
Pengaruh kadar protein terhadap viskositas panas 15 menit
69
25.
Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 menit
71
26.
Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( Vd )
73
Vpa15
27.
Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel
28.
Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung kekuatan gel
terhadap
77
29.
Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan scanning electron microscope (SEM)
87
30.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kadar serat kasar tepung jagung
89
31.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kadar protein tepung jagung
90
32.
Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed density tepung jagung.
93
33.
Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung terhadap packed density tepung jagung
93
34.
Hubungan kadar serat kasar dengan packed density tepung jagung
94
35.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap loose density tepung jagung.
95
36.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap packed density tepung jagung.
96
37.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung.
97
38.
Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung putih
98
39.
Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung putih.
98
40.
Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 15 jam
99
41.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
100
42.
Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
100
76
21
43.
Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
101
44.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.
102
45.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung.
103
46.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.
104
47.
Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung non fermentasi
105
48.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak tepung jagung.
106
49.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm
106
50.
Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung.
107
51.
Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung
108
52.
Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung.
109
53.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas panas 15 menit pasta jagung.
110
54.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
110
55.
Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
111
56.
Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity pasta jagung.
112
57.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas dingin pasta jagung.
114
58.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel Vd tepung terhadap adonan jagung. Vpa15
114
59.
Pengaruh ukuran partikel tepung terhadap amilografi tepung jagung fermentasi 70 jam
115
60.
Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kekuatan gel tepung jagung
116
22
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1.
Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan scanning electron microscope (SEM)
133
2.
Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
134
3.
Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
135
4.
Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
136
5.
Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel
137
kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung 6.
Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
138
7.
Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
139
8.
Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
140
9.
Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
141
10. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
142
11. Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung
143
12. Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
144
13. Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik
145
23 tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung 14. Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
146
15. Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
147
16. Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
148
17. Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
149
18. Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
150
19. Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
151
20. Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung
152
21. Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi butiran jagung dan ukuran partikel tepung
153
24
DAFTAR ISTILAH Istilah
Arti
Grits jagung
Jagung pipilan yang digiling menggunakan pin disc mill sehingga dihasilkan jagung dengan ukuran partikel ± 4mm
Sifat fungsional
Sifat suatu bahan maupun komponen bahan yang dapat mencirikan fungsinya dalam suatu sistem
Suhu gelatinisasi
suhu awal mulai terjadi peningkatan viskositas selama pemanasan
Viskositas puncak (VP)
viskositas tertinggi yang dicapai selama pemanasan
Viskositas panas (Vpa)
viskositas yang dicapai pada suhu 95oC
Viskositas panas 15 menit (Vpa15)
viskositas setelah dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC
Breakdown viscosity
Perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit (VP – Vpa15)
Viskositas dingin (VD)
viskositas yang dicapai pada saat suhu diturunkan ke 50oC
Setback viscosity
perubahan viskositas yang terjadi ketika suspensi diturunkan suhunya dari viskositas puncak (VD- VP)
Kekuatan gel
gaya yang diberikan pada saat gel mulai pecah
Koefisien korelasi (r)
Keeratan hubungan linier antara sepasang peubah x dan y, yang tidak ditentukan mana variabel bebas dan variabel tidak bebas
Koefisien determinasi atau koefisien regresi (R2)
Koefisien keragaman; keeratan hubungan antara sepasang peubah x dan y, yang diketahui variabel bebas dan variabel tidak bebas
1.
PENDAHULUAN 1.1
Latar belakang
Usaha penyediaan pangan merupakan masalah utama yang dihadapi beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.
Sampai saat ini masalah
pengadaan beras sebagai bahan pangan sumber karbohidrat di Indonesia masih belum teratasi sepenuhnya.
Penyebab keadaan ini antara lain karena 95%
penduduk Indonesia mengutamakan beras sebagai makanan pokok. Saat ini konsumsi beras nasional per kapita mencapai 139.15 kg/tahun, sedangkan idealnya adalah 100 kg/tahun (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008). Salah satu alternatif untuk mengatasi krisis pangan yang terjadi saat ini adalah melalui diversifikasi pangan untuk mendukung Program Ketahanan Pangan. Dalam upaya memacu diversifikasi pangan, jagung merupakan salah satu alternative yang dapat dipilih. Di Indonesia, produksi jagung sebagai bahan pangan pokok berada di urutan ketiga setelah padi dan ubi kayu. Produksi jagung nasional selama lima tahun terakhir menunjukkan kecenderungan peningkatan sebesar 11.225.243 ton (2004), 12.523.894 ton (2005), 11.609.403 (2006), 13.287.527 ton (2007) dan 15.860.299 ton (2008) (BPS, 2009). Produktivitas jagung pada tahun 2008 mencapai 40 – 42.3 kuintal/ha dan sasaran pada tahun 2009 naik menjadi 44.12 kuintal/ha, dengan produksi 18 juta ton (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian 2008). Berdasarkan warnanya, jagung kering dibedakan menjadi jagung kuning (90% bijinya berwarna kuning), jagung putih (90% bijinya berwarna putih) dan jagung campuran yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut. Jagung putih mempunyai karakter endosperm dan pati yang bersifat spesifik. Dibandingkan dengan jagung kuning, jagung putih merupakan jenis jagung yang kurang dikenal luas karena penggunaannya sebagai bahan pangan kurang berkembang. Jagung putih mempunyai biji berwarna putih dengan susunan dan ukuran biji yang bervarisi, dan berdensitas tinggi
yaitu 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi
dibandingkan rata-rata jagung lain yaitu 1.3 g/cm3 (Poneleit 2001). Densitas jagung putih yang lebih tinggi merupakan indikator kekerasan biji jagung yang
2 menyebabkan keterbatasan dalam proses penggilingan untuk digunakan sebagai bahan makanan yang berbasis pati (Vegrains 2005). Padahal jagung putih mempunyai keistimewaan yaitu pada budidaya lebih tahan terhadap kekeringan dan produktivitasnya lebih tinggi daripada jagung kuning. Jagung putih juga mengandung sejumlah komponen yang mengkilap seperti kaca (tekstur “glasslike”) pada endosperm yang jumlahnya relative terhadap endosperm yang bertepung. Di Indonesia, jagung putih dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai nasi jagung, selain sebagai bahan baku industri rumah tangga seperti marning dan emping jagung. Dilihat dari nilai gizi, kandungan protein jagung putih (10.36%), lebih tinggi dibandingkan dengan jagung kuning (9.5%) (Watson 1987 dan Asiamaya.com 2009). Kandungan protein jagung ini lebih tinggi daripada beras giling (6,69 %). Untuk memenuhi kebutuhan jagung untuk konsumsi langsung, di beberapa daerah masyarakat membuat tepung jagung dengan peralatan sederhana (perendaman dan tanpa perendaman). Perendaman dilakukan dengan tujuan melunakkan endosperm yang bersifat keras (horny endosperm) sehingga lebih memudahkan pada proses pengolahan. Beberapa pabrik pengolahan jagung menghasilkan tepung jagung (40 dan 50 mesh) sebagai produk samping (10%) disamping grits jagung (8, 12, 16, 24 mesh) sebagai produk utama yang digunakan sebagai bahan baku snack jagung (Pusat Teknologi Agroindustri BPPT 2008).
Penelitian tentang sifat-sifat tepung jagung putih dilakukan untuk
mengetahui sifat tepung jagung putih sehingga bermanfaat dalam aplikasi untuk menentukan produk pangan yang cocok dibuat berdasarkan sifat-sifat tersebut. Pengendalian sifat fungsional tepung jagung penting untuk mendesain beberapa produk makanan berbasis tepung jagung, terutama untuk kelompok orang yang tidak toleran terhadap gluten. Tepung jagung dipilih sebagai langkah awal diversifikasi pengolahan jagung putih karena beberapa hal. Pertama, tepung lebih luas penggunaannya untuk berbagai macam bahan makanan.
Kedua,
penyimpanan tepung lebih mudah dan umur simpan lebih lama. Ketiga, adanya
3 defisiensi beberapa zat gizi dapat lebih mudah difortifikasi atau disuplementasi jika dalam bentuk tepung. Ukuran partikel merupakan salah satu sifat fisik penting karena perannya dalam unit operasi seperti mixing, pengeringan, ekstrusi dan pneumatic handling. Selain itu ukuran partikel tepung penting dalam evaluasi kualitas dan sifat tepung selama pengolahan.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa ukuran dan
distribusi ukuran partikel tepung mempengaruhi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung. Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa semakin besar ukuran partikel tepung ubi jalar, semakin rendah densitas dan viskositas adonan pada saat pendinginan. Bedolla dan Rooney (1984) menyatakan bahwa ukuran partikel tepung jagung ternikstamalisasi berkorelasi positif dengan suhu gelatinisasi, semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung semakin tinggi suhu gelatinisasi. Meningkatnya ukuran partikel tepung amaranth juga meningkatkan suhu gelatinisasi (Valdez-Niebla et al.1993). Cadden (1987) menyatakan bahwa ukuran partikel yang semakin kecil menurunkan daya alir tepung. Sifat fisik produk yang berbasis tepung sangat dipengaruhi sifat-sifat fungsional adonan.
Viskositas adonan tepung penting dalam penggunaannya
sebagai pengganti gum. Water holding capacity, kelarutan tepung dan viskositas adonan merupakan parameter penting yang menentukan kualitas bahan sumber karbohidrat yang digunakan sebagai fat substitutes. Indeks penyerapan air dan indeks kelarutan air berguna dalam formulasi adonan makanan dan aplikasi minuman karena sifat alami hidrofobik/hidrofiliknya. Sedangkan indeks penyerapan lemak dapat
menunjukkan interaksi alami antara lemak dengan
komponen tepung. Salah satu proses pengolahan umbi-umbian dan serealia menjadi tepung dan adonan adalah metode fermentasi spontan yang dapat dilakukan secara sederhana yaitu merendam bahan di dalam air selama selang waktu tertentu. Menurut Sefa-Dedeh dan Cornelius (2000) perendaman biji-bijian dalam air yang berlebihan akan diikuti pertumbuhan beberapa mikroorganisme yang diinginkan, seperti bakteri asam laktat, yeast, dan jamur. Menurut Latunde-Dada (2009), pada proses fermentasi sereal seperti jagung, sorgum dan milet menjadi ogi dan agidi terdapat peran beberapa mikroorganisme seperti Saccharomyces cereviceae,
4 Lactobacillus sp, Fusarium sp, Candida mycoderma dan Penicillium sp. Sementara itu Amusa et al. (2005) menemukan adanya Lactobacillus lactis, Lactobacillus fermenter dan Streptococcus lactis pada ogi. Nago et al. (1998) menyatakan bahwa mikroorganisme yang dominant pada ogi adalah bakteri asam laktat (109 CFU/g) dan yeast (107 CFU/g). Salah satu masalah pada jagung adalah tingginya kadar mikotoksin, terutama aflatoksin, walaupun
masih dibawah nilai ambang batas (30 ppb)
persyaratan untuk dikonsumsi.
Pada umumnya kadar aflatoksin pada jagung
petani di Indonesia bervariasi, yaitu kisaran 4,5 ppb – 665 ppb dengan perincian 47,62 % sampel terinfeksi aflatoksin dengan kadar 4,5 ppb – 24 ppb; 52,38 % sampel terinfeksi dengan kadar 72,0 ppb – 665 ppb. Dari sejumlah sampel pedagang pengumpul/pengekspor, ditemukan hanya 50% yang mengekspor biji jagung dengan kadar aflatoksin <30 ppb (Balai Penelitian Tanaman Serealia 2007). Mikroorganisme yang tumbuh pada proses fermentasi, terutama bakteri, potensial dalam mendegradasi mikotoksin atau mengurangi bioavailabilitasnya. Diantara bakteri yang ada, bakteri asam laktat telah diidentifikasi dapat mengurangi availabilitas aflatoksin secara in vitro (Gratz 2007). Di antara 5 galur Lactobacillus, L. rhamnosus galur GG dan galur LC705 paling efisien dalam mengikat aflatoksin B1 dan menghilangkan 80% aflatoksin B1 dari media selama 0 jam inkubasi yang menunjukkan pengikatan tersebut berlangsung sangat cepat (Haskard et al. 2001). Munimbazi dan Bullerman (1998) menyatakan bahwa isolat Bacillus pumilus dapat menghambat pertumbuhan jamur penghasil aflatoksin sebesar 98.2% sampai 99%. Menurut Achi dan Akomas (2006) fermentasi digunakan secara luas untuk mengubah dan mengawetkan makanan karena teknologinya mudah dan keperluan energinya rendah serta produk akhirnya mempunyai kualitas organoleptik yang unik, salah satunya yaitu mempunyai flavor yang menyenangkan. Pada sereal yang difermentasi, bakteri asam laktat menghasilkan komponen utama berupa asam laktat yang merupakan komponen aroma non volatil utama di samping komponen flavor yang lain yaitu asam karboksilat, ester dan aldehid (Onyango et al. 2004).
5 Beberapa penelitian mengenai fermentasi pada umbi-umbian dan serealia telah dilakukan.
Proses fermentasi spontan pada sereal dan umbi-umbian
menghasilkan perubahan beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung seperti terlihat pada Tabel 1. Proses fermentasi serealia dan umbi-umbian dalam pembuatan tepung dan pasta memerlukan waktu fermentasi yang bervariasi. Pembuatan ogi, makanan tradisional dari Nigeria biasanya dipersiapkan dengan cara perendaman biji jagung selama 1-2 hari, diikuti penggilingan dan fermentasi lanjutan selama 1-3 hari (Nago et al. 1998). Aremu (1993) membuat ogi dengan cara merendam biji jagung dalam aquadest dengan perbandingan 1:2 selama 48 jam sehingga pHnya mencapai 4.5.
Pembuatan uji, sereal yang difermentasi dilakukan dengan
merendam sereal dalam air dengan perbandingan 1:1 selama 24 jam (Onyango et al. 2003). Tabel 1 Beberapa proses fermentai spontan yang dilakukan pada serealia dan umbi-umbian Peneliti Bahan baku dan Perubahan sifat produk yang produk dihasilkan Subagio Fermentasi ubi kayu • Kadar serat tepung menurun (2006) selama 12 – 72 jam • Kemampuan pembentukan gel menghasilkan tepung dan daya rehidrasi meningkat ubi kayu terfermentasi • Viskositas adonan panas dan dingin meningkat Dufour et al. Fermentasi adonan • Viskositas maksimum adonan (2006) dari ubi kayu menurun • Daya pengembangan meningkat Elkhalifa et Fermentasi sorghum • Densitas menurun 10 % al. (2005) 24 jam menghasilkan tepung sorghum Fermentasi sereal Onofiok dan • Densitas dan viskositas adonan menghasilkan Nnanyelugo menurun makanan sapihan (1998) Onyango et Fermentasi sereal • Viskositas menurun al. (2003) menjadi ogi
Waktu fermentasi bahan dalam pembuatan tepung mempengaruhi sifat produk yang dihasilkan. Untuk mendapatkan waktu fermentasi yang optimal
6 dapat dilakukan dengan cara pembentukan model hubungan antara waktu fermentasi dan sifat fisik, kimia dan fungsional tepung. Model adalah suatu struktur yang dibuat dengan tujuan untuk menunjukkan hubungan dan karakteristik beberapa obyek tertentu. Menurut Williams (1991), suatu model sering membuka hubungan yang mungkin tidak kelihatan pada beberapa parameter tertentu dan sebagai hasilnya bisa diperoleh pengetahuan yang lebih besar pada obyek yang dimodel. 1.2
Tujuan penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mempelajari sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih. Tujuan khusus penelitian ini adalah: 1. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang dipengaruhi proses fermentasi spontan grits jagung. 2. Mengetahui adanya interaksi antar sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung. Pembentukan model dilakukan untuk interaksi antar variabel yang teridentifikasi. 3. Mengetahui sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung.
1.3 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti dan pihak terkait untuk mempermudah optimalisasi produksi tepung jagung putih dalam aplikasinya pada produk pangan. Selain itu penelitian ini dapat membantu masyarakat tentang alternatif pemanfaatan produk pangan dari jagung putih, sesuai dengan sifat fisik, kimia dan fungsional yang dimilikinya serta meningkatkan nilai ekonomis jagung putih, sebagai diversifikasi pangan terutama sebagai produk olahan.
7
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Komposisi kimia dan anatomi biji jagung
Biji jagung terdiri atas tiga bagian utama, yaitu (a) perikarp, lapisan luar yang tipis, berfungsi mencegah embrio dari organisme pengganggu dan kehilangan air; (b) endosperm, sebagai cadangan makanan, mencapai 75% dari bobot biji yang mengandung 90% pati dan 10% protein, mineral, minyak, dan lainnya; dan (c) lembaga atau germ, sebagai miniatur tanaman yang terdiri atas plamule, akar radikal, scutelum, dan koleoptil (Hardman dan Gunsolus 1998). Bagian-bagian biji jagung ini dapat dilihat pada Gambar 1. Selain itu biji jagung juga mengandung tip cap yaitu bagian yang menghubungkan biji dengan janggel.
Gambar 1 Potongan melintang jagung yang menunjukkan lokasi komponenkomponen utama (Shukla dan Cheryan 2001) Perikarp merupakan lapisan pembungkus biji yang berubah cepat selama proses pembentukan biji. Pada waktu kariopsis masih muda, sel-selnya kecil dan tipis, tetapi sel-sel itu berkembang seiring dengan bertambahnya umur biji. Pada taraf tertentu lapisan ini membentuk membran yang dikenal sebagai kulit biji atau testa/aleuron yang secara morfologi adalah bagian endosperm. Bobot lapisan aleuron sekitar 3% dari keseluruhan biji. Perikarp merupakan lapisan luar biji yang dilapisi oleh testa dan lapisan aleuron. Lapisan aleuron mengandung 10% protein (Subekti et al. 2008). Endosperm merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu sekitar 85% yang hampir seluruhnya terdiri atas karbohidrat dari bagian yang lunak (floury
8 endosperm) dan bagian yang keras (horny endosperm). Pati endosperm tersusun dari senyawa anhidroglukosa yang sebagian besar terdiri atas dua molekul, yaitu amilosa dan amilopektin, dan sebagian kecil bahan antara (White 1994). Namun pada beberapa jenis jagung terdapat variasi proporsi kandungan amilosa dan amilopektin. Protein endosperm jagung terdiri atas beberapa fraksi, yang berdasarkan kelarutannya diklasifikasikan menjadi albumin (larut dalam air), globumin (larut dalam garam), zein atau prolamin (larut dalam alkohol konsentrasi tinggi), dan glutelin (larut dalam alkali). Proporsi masing-masing fraksi protein pada endosperm adalah 3% albumin, 3% globulin, 60 % zein, dan glutelin 26% (Vasal 1994). Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperm jagung. Berdasarkan pada konstanta sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio axial sekitar 15:1).
Protein zein mempunyai
komposisi asam amino dengan kadar asam glutamat, prolin, leusin dan alanin yang tinggi; serta kadar lisin, triptofan, histidin dan metionin yang rendah. Berdasarkan pada perbedaan kelarutan, ada 2 jenis protein zein yaitu α-zein yang larut pada etanol 95 % dan ß-zein yang larut pada etanol 60 %.
α-zein
mengandung lebih banyak histidin, arginin, prolin dan metionin daripada ß-zein (Laszity 1986). Protein glutelin tidak hanya berfungsi sebagai protein penyimpanan, tetapi juga sebagai protein struktural (protein membran atau protein kompleks, protein dinding sel). Protein glutelin mempunyai kadar lisin, arginin, histidin dan kadar triptofan lebih tinggi daripada zein, tetapi mempunyai kadar asam glutamat yang lebih rendah. Lembaga merupakan bagian biji jagung dengan porsi yang cukup besar. Pada biji jagung tipe gigi kuda, lembaga meliputi 11,5% dari bobot keseluruhan biji.
Lembaga tersusun atas dua bagian yaitu scutelum dan poros embrio
(embryonic axis). Lembaga dicirikan oleh tingginya kadar lemak (33.2%), protein (18.4%), dan mineral (10.5%) (Tabel 2).
9 Tabel 2. Distribusi komponen-komponen utama jagung Berat kering komponen (%) Komponen Biji utuh (%) Endosperma Lembaga Perikarp Pati 62 87 8.3 7.3 Protein 7.8 8 18.4 3.7 Lemak 3.8 0.8 33.2 1 Abu 1.2 0.3 10.5 0.8 Lain-lain* 10.2 3.9 29.6 87.2 Air 15 -
Tip cap 5.3 9.1 3.8 1.6 80.2 -
Keterangan: * By difference: termasuk serat, nitrogen non protein, pentosan, asam fitat, gula terlarut, xantofil Sumber: Shukla dan Cheryan (2001)
Analisis kimia biji jagung menunjukkan bahwa masing-masing fraksi mempunyai sifat yang berbeda (Tabel 2). Proses pengolahan dengan menghilangkan sebagian dari fraksi biji jagung akan mempengaruhi mutu gizi produk akhir (Subekti et al. 2008).
Informasi komposisi kimia tersebut
bermanfaat bagi industri pangan untuk menentukan jenis bahan dan proses yang harus dilakukan agar diperoleh mutu produk yang sesuai dengan yang diinginkan.
2.2 Jagung putih
Deskripsi sederhana jagung putih adalah biji jagung tanpa perwarnaan pigmen kuning. Definisi yang lebih lengkap menyatakan bahwa endosperm biji jagung putih tidak hanya harus murni putih, tanpa pigmen kuning sama sekali, tetapi juga tanpa warna merah atau biru yang disebabkan pigmen antosianin dan coklat atau perubahan warna lain yang diakibatkan komponen flavonoid. Lapisan aleuron dan kulit juga harus bersih dan terhindar dari antosianin dan komponen flavonoid yang lain. Jagung putih yang diinginkan mempunyai biji besar dan seragam, punya atau hanya terdiri dari gigi-gigi yang ringan, mempunyai specific gravity tinggi, tidak ada yang retak dan bebas dari penyakit busuk terutama yang dapat menyebabkan akumulasi aflatoksin (Poneleit 2001). Warna jagung yang umum ada sekarang adalah putih dan kuning (Gambar 2). Namun demikian ada juga jenis jagung dengan warna lain seperti blue corn. Pada umumnya, dengan harga yang sama, di Afrika bagian timur dan selatan, jagung putih lebih disukai jika dibandingkan jagung kuning. Menurut Jayne et al. (1996), jagung putih lebih rendah mutunya untuk konsumsi manusia
10 dibandingkan jagung kuning. Sebagai hasilnya, jagung kuning dikonsumsi hanya pada musim kering, pada saat jagung putih tidak tersedia.
Gambar 2 Jagung putih dan kuning (Sumber http://www.swallowtailgardenseeds.com/assets) Tabel 3 Komposisi kimia jagung putih dan kuning (basis kering) Komposisi kimia Jagung kuning pipilan a) Jagung putih pipilanb) Protein (% bk) 9.5 10.36 Lemak (% bk) 4.3 4.9 Serat (% bk) 9.5 11.2 Kalsium (% bk) 0.03 0.008 Besi (mg/100 g) 3 2.16 Karotenoid total (mg/kg) 30 Vitamin B1 (mg/100 g) 0.33 0.38 Sumber: a) Watson (1987) b)
hasil pengolahan data asiamaya.com (2009)
Jagung putih yang murni cocok untuk pengolahan jagung terutama untuk produk penggilingan kering (Poneleit 2001). Jagung putih juga digunakan dalam proses pemasakan dengan kapur untuk membuat tortilla, chips jagung dan snack (Hansen & Van der Sluis 2004). Karena jagung putih umumnya diproses dengan penggilingan kering, pemasakan dengan basa atau penggilingan basah, faktor penting yang perlu dipertimbangkan adalah true density. True density jagung
11 putih rata-rata 1.34 g/cm3, sedikit lebih tinggi daripada jenis jagung lain yaitu 1.3 g/cm3. True density yang tinggi merupakan indikator kekerasan dan diinginkan untuk penggilingan kering dan pemasakan dengan kapur (US Grain Council 2006).
2.3 Tepung jagung
Jagung dapat diproses lebih lanjut menjadi produk pangan diantaranya tepung jagung, minyak dan pati jagung. Tepung jagung merupakan salah satu produk jagung yang didapatkan dengan proses penggilingan kering dengan ukuran partikel kurang dari 0,193 mm (ayakan US no 75) (Serna-Saldivar et al. 2001). Menurut SNI 01-3727-1995, syarat ukuran partikel tepung jagung adalah minimal 99% lolos ayakan 60 mesh dan minimal 70% lolos ayakan 80 mesh. SNI 01-37271995 juga mensyaratkan kadar air maksimal 10%. Beberapa produk pangan yang terbuat dari tepung jagung antara lain adalah pancake, muffin, donat, roti, breading, batter dan makanan bayi (Hansen & Van der Sluis 2004). Tepung jagung juga digunakan sebagai bahan baku sereal sarapan siap saji, makanan ringan dan sebagai bahan pengikat dalam pengolahan daging. Pada prinsipnya penggilingan biji jagung menjadi tepung adalah proses pemisahan perikarp, endosperm dan lembaga dan dilanjutkan dengan proses pengecilan ukuran. Perikarp harus dipisahkan pada proses pembuatan tepung karena kandungan seratnya tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar. Pada proses pembuatan tepung, dilakukan pemisahan lembaga karena tanpa pemisahan lembaga akan menyebabkan tepung mudah tengik.
Tip cap atau
bagian pangkal juga harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar. Partikel tip cap akan terlihat sebagai butir-butir hitam yang merusak warna tepung. Pada pembuatan tepung, endosperm merupakan bagian yang digiling menjadi tepung. Proses pembuatan tepung jagung biasanya dilakukan dengan cara penggilingan kering (Yuan & Flores 1996).
The North American Millers
Association dalam Hansen dan Van der Sluis (2004) menggolongkan penggilingan jagung dengan metode kering
menjadi tiga metode yaitu proses
degerming tempering, stone-ground process atau proses nondegerming dan proses
12 pemasakan secara alkali (nixtamalization).
Ketiga proses tersebut akan
menghasilkan karakter tepung dan nilai gizi yang berbeda. Proses degerming tempering
paling
umum
dilakukan,
dengan
cara
memisahkan
endospermnya kemudian digiling, dikeringkan, dan diayak.
bagian
Proses ini
menghasilkan tepung jagung berukuran paling halus.
2.4 Pati jagung
Pati memegang peranan penting dalam pengolahan pangan terutama karena mensuplai kebutuhan energi manusia dengan porsi tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian dan tanaman sumber pati lainnya. Dalam bentuk aslinya pati secara alami merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati sehingga dapat digunakan untuk identifikasi.
Selain ukuran granula,
karakteristik lain adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum serta permukaan granulanya (Jobling 2004). Komponen utama biji jagung adalah pati, yaitu sekitar 72 sampai 73% dari berat biji. Karbohidrat lain berada sebagai gula sederhana seperti glukosa, sukrosa dan fruktosa dengan jumlah bervariasi antara 1 sampai 3% dari biji. Pati jagung terdiri dua polimer glukosa yaitu amilosa dan amilopektin. Pada jagung jenis endosperm dent atau flint, jumlah amilosa 25 sampai 30%, sedang amilopektin mencapai 70 sampai 75%. Jumlah amilosa dan amilopektin bervariasi menurut jenis jagungnya (Sandhu et al. 2004). Pati jagung yang mengandung hampir 100% amilopektin menghasilkan produk dengan tekstur lebih stabil. Berdasarkan data dan analisa Transmission Electron Microscope (TEM), telah diajukan beberapa model struktur kristalin pati (Gallant et al. 1997; Ridout et al. 2002).
Dengan mengkombinasikan hasil penelitian beberapa tahun
menggunakan teknik mikroskop, ilmuwan dapat menyusun struktur internal dan organisasi granula pati seperti terlihat pada Gambar 3. Granula pati (2-100 µm) terdiri dari bagian semi kristalin
(120–500 nm) dan amorf (120–500 nm)
(Vandeputte & Delcour, 2004). Di dalam granula, pati tersusun atas lingkaran yang menyebar keluar dari pusat ke permukaan granula. Jumlah dan ukuran lingkaran tergantung asal pati (Ridout et al. 2002). Studi eksperimental
13 menunjukkan bahwa cincin semi kristalin terutama tersusun atas rantai amilopektin.
Gambar 3 Struktur internal dan organisasi granula pati (Gallant et al. 1997) 2.4.1 Amilosa Amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan ikatan α-(1,4) dari struktur cincin piranosa. Amilosa umumnya dinyatakan sebagai bagian linier dari pati meskipun sebenarnya jika dihidrolisis dengan β-amilase pada beberapa jenis
14 pati tidak diperoleh hasil hidrolisa yang sempurna.
β-amilase menghidrolisa
amilosa menjadi unit-unit residu glukosa dengan memutuskan ikatan α-(1,4) dari ujung non pereduksi rantai amilosa menghasilkan maltosa. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang digunakan.
Secara umum amilosa yang diperoleh dari umbi-
umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibanding amilosa dari pati biji-bijian.
Kemampuan amilosa untuk berinteraksi dengan
iodine membentuk kompleks berwarna biru merupakan cara untuk mendeteksi adanya pati. Amilosa dapat terpisah dari granula yang mengembang di atas suhu gelatinisasi.
Fraksi amilosa biasanya dapat diisolasi dengan cara leaching
(Hizukuri 1996), dengan cara dispersi dan presipitasi dan dengan metode ultrasentrifugasi (Majzoobi et al. 2003).
Vorwerg et al. (2002) berhasil
mengisolasi dengan metode kombinasi enzim untuk memecah cabang amilopektin diikuti pembentukan kompleks 1-butanol pada amilosa.
Sifat-sifat umum dan
fungsionalitas amilosa disajikan pada Tabel 4. Tabel 4 Beberapa sifat penting amilosa dan amilopektin Sifat Amilosa Amilopektin Struktur molekul Cabang (α-1,4; α-1,6) Linear (α-1,4) Berat molekul ~106 dalton ~108 dalton Derajat polimerisasi 1500 – 6000 3x105 – 3x106 Kompleks helix Kuat Lemah Pewarnaan iod Biru Merah-ungu Larutan encer Tidak stabil Stabil Retrogradasi Cepat Lambat Sifat pembentuk gel Kaku, tak dapat balik Lunak, reversible Sifat pembentuk film Kuat Lemah dan mudah patah Sumber: Chen (2003)
2.4.2 Amilopektin
Amilopektin merupakan komponen utama dari pati dan merupakan polisakarida terbesar. Amilopektin merupakan polimer yang mempunyai ikatan α-(1,4) pada rantai lurusnya serta ikatan β-(1,6) pada titik percabangannya.
Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 4-5% dari keseluruhan ikatan yang
15 ada pada amilopektin. Amilopektin secara dominan bertanggung jawab terhadap kristalinitas granula pati (Gallant et al. 1997). Peranan enzim ß-amilase sangat bermanfaat dalam memberikan informasi struktur amilopektin.
Enzim ini akan mendegradasi amilopektin secara tidak
lengkap, menghasilkan 50-60% maltosa dan dekstrin dengan berat molekul tinggi yang mengandung semua ikatan antar (interchange linkage) dan bagian dalam molekul.
Untuk mengetahui distribusi panjang rantai amilopektin biasanya
dianalisa menggunakan HPLC (high performance liquid chromatography), SEC (size exclusion chromatography) dan high performance anion exchange chromatography (HPAEC). Rata-rata panjang rantai amilopektin adalah 18-24 (Hizukuri 1996).
2.5 Fermentasi spontan pada proses pengolahan serealia dan umbi-umbian
Menurut Steinkraus (2002) makanan terfermentasi adalah substrat makanan yang ditumbuhi mikroorganisme yang dapat dimakan, terutama amilase, protease dan lipase yang menghidrolisis polisakarida, protein dan lemak menjadi produk dengan flavor, aroma dan tekstur menyenangkan dan menarik bagi konsumen. Makanan terfermentasi mempunyai keunggulan lebih stabil selama penyimpanan, lebih aman dikonsumsi, serta meningkatnya nilai gizi dan daya terima pada konsumen. Makanan terfermentasi lebih aman dikonsumsi karena proses fermentasi dapat menghilangkan zat anti nutrisi dan racun yang biasanya terdapat pada bahan mentah dan diproduksi selama penyimpanan. Fermentasi asam laktat pada serealia dan ubi kayu merupakan teknologi yang berkembang pada skala rumah tangga di negara-negara Afrika. Produkproduk seperti ogi, mumu, mahewu dan uji merupakan makanan dari sereal yang diasamkan dan dikonsumsi secara luas baik pada orang dewasa maupun anakanak (Nout 1989, Oluwamukomi et al. 2005, Amusa et al. 2005). Di Nigeria, makanan sapihan pertama biasanya disebut pap (dibuat dari jagung fermentasi) dan pap juga digunakan sebagai makanan utama pada orang dewasa.
Ogi dari
Nigeria terbuat dari jagung, millet atau sorghum yang dicuci dan direndam selama 2 sampai 72 jam sampai terjadi fermentasi asam laktat. Setelah itu biji-bijian tersebut ditiriskan dan digiling halus serta diayak sehingga menghasilkan slurry
16 yang halus dengan kadar padatan sekitar 8% (Banigo dan Muller 1972). Uji dari Kenya merupakan produk yang serupa dengan ogi tetapi sebelum dicampur dengan air dan difermentasi dilakukan penggilingan terlebih dahulu. Slurry awal terdiri dari 30 % padatan yang kemudian difermentasi spontan selama 2 sampai 5 hari sampai menghasilkan 0.3 sampai 0.5 % asam laktat.
Slurry kemudian
diencerkan sehingga kadar padatan menjadi 4 sampai 5% dan ditambahkan 6% sukrosa untuk dikonsumsi (Gatumbi dan Muriru 1987). Proses fermentasi spontan dilakukan dengan cara merendam bahan dalam air pada selang waktu tertentu dengan memanfaatkan mikroorganisme dari lingkungan. Selama proses perendaman tersebut terjadi perubahan sifat yang disebabkan adanya aktivitas bakteri antara lain adalah bakteri asam laktat (Hounhouigan et al. 1993a, Johansson et al. 1995). Menurut Hounhouigan et al. (1993a), Lactobacillus fermentum dan Lactobacillus brevis
merupakan spesies
utama yang ditemukan di mawe, adonan dari jagung yang difermentasi. Sedangkan Johansson et al. (1995) menyatakan bahwa Lactobacillus plantarum merupakan mikroorganisme dominan yang berada pada ogi. Nago et al. (1998) menemukan 65 strain bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi yang berasal dari Benin, yang pada umumnya adalah lactobacilli yang bersifat heterofermentatif. Tiga spesies yang utama (sekitar 90%) adalah Lactobacillus fermentum biotype cellobiosus, Lactobacillus brevis dan Lactobacillus fermentum; sedangkan yang lain adalah Lactobacillus curvatus dan Lactobacillus buchneri (6%). Sedangkan Akinrele (1970) mengidentifikasi Lactobacillus plantarum, Corynebacterium sp. dan Aerobacter cloacae sebagai mikroorganisme yang dominan pada ogi Nigeria. Selain bakteri juga ditemukan adanya yeast pada proses fermentasi serealia (Nago et al. 1998, Hounhouigan et al. 1993b, Akinrele 1970). Menurut Nago et al. (1998) pada ogi dari Benin diisolasi 54 strain yeast, 41% merupakan spesies Candida, yang meliputi C. humicola dan C. krusei.
Sebanyak 26%
diidentifikasi sebagai isolat yeast Geotrichum; sedangkan isolat lain diidentifikasi sebagai Cryptococcus dan Trichosporan. Hounhouigan et al. (1993b) mengisolasi Candida krusei dan Candida kefyr dari mawe. Sementara itu Akinrele (1970) mengisolasi Candida krusei, Rhodotorula spp, Saccharomyces cerevisiae dan Candida mycoderma dari ogi.
17 Proses fermentasi sereal dan ubi kayu menghasilkan beberapa perubahan sifat fisik dan fungsional produk yang dihasilkan. Menurut Subagio (2006), pada fermentasi ubi kayu, mikroorganisme yang tumbuh selama proses fermentasi akan menghasilkan enzim pektinolitik dan selulolitik yang dapat menghancurkan dinding sel ubi kayu sedemikian rupa sehingga terjadi pelunakan granula pati. Proses pelunakan granula pati ini menyebabkan perubahan sifat fisik tepung yang dihasilkan berupa meningkatnya kemampuan membentuk gel, daya rehidrasi dan kemudahan melarut pada tepung serta naiknya viskositas adonan. Hounhouigan et al. (1993b) menyatakan bahwa bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik pada mawe dapat menurunkan densitas kamba dan viskositas adonan.
Nago et al.
(1998) menyatakan bahwa daya cerna protein secara in vitro pada ogi 20% lebih tinggi daripada tepung jagung biasa karena adanya enzim proteolitik dan atau dihasilkan oleh bakteri proteolitik. Menurut Lorri (1993) densitas energi adonan sereal yang difermentasi asam laktat sebesar 1.2 kkal/g, lebih tinggi 3 kali lipat daripada adonan sereal yang tidak difermentasi asam laktat pada kekentalan yang sama yaitu 0.4 kkal/g. Daya cerna protein secara in vitro pada sereal dengan kadar tannin tinggi meningkat dari 32 menjadi 40% sebelum fermentasi menjadi 41 sampai 60% setelah fermentasi asam laktat.
2.6 Sifat fisik tepung
Sifat fisik tepung dapat dipelajari menggunakan pendekatan pada sifatsifat produk berbentuk bubuk. Karakterisasi sifat fisik produk berbentuk bubuk biasanya dilakukan pada dua tingkat, yaitu pada tingkat partikel dan pada tingkat bulk (Peleg 1983). Sifat-sifat makanan berbentuk bubuk dalam bentuk bulk dipengaruhi oleh sifat-sifat partikelnya, dan hubungan antara keduanya tidak sederhana karena ada faktor-faktor eksternal yang mempengaruhinya, seperti sistem geometri
serta perlakuan mekanis dan thermal yang diberikan selama
pembuatannya. Dalam banyak hal tidak mungkin untuk memperkirakan sifatsifat bulk hanya dari sifat partikelnya saja jika informasi proses mekanis dan thermal yang diberikan tidak lengkap dan akurat. Pada hal-hal tertentu, sifat-sifat pada tingkat bulk dapat diperkirakan sebagai sifat partikel meskipun tidak selalu tepat.
18 Karakterisasi makanan berbentuk bubuk diperlukan untuk aplikasinya dalam quality assurance, desain proses dan pengembangannya. Penentuan sifatsifat bubuk yang tepat dan akurat merupakan aspek penting dalam produksi bubuk.
2.6.1 Ukuran partikel
Ukuran partikel penting dalam evaluasi kualitas tepung, sifat tepung dalam pengolahan dan kenampakan produk-produk yang diproses dengan cara pemanggangan. Menurut Davies (2006) metode analisis ukuran partikel dibagi menjadi 6 kelompok yaitu (1) metode visual (misalnya dengan mikroskop optik dan mikroskop elektron); (2) metode pemisahan (misalnya pengayakan); (3) metode scanning stream; (4) metode scanning field (misalnya dengan fifraksi laser; (5) metode pengendapan; dan (6) metode permukaan (misalnya permeabilitas, adsorbsi). Diantara metode-metode tesebut, metode pengayakan paling sering digunakan untuk mengkarakterisasi ukuran tepung dalam proses penggilingan. Menurut Hoseney (1998), tepung diayak melewati ayakan dengan bukaan 136 μm. Sedangkan di Amerika Utara, tepung pada umumnya harus melewati ayakan dengan ukuran bukaan 112 μm, dressed flour 132 μm dan tepung kue 93 μm. Tepung terigu diklasifikasikan ke dalam tiga fraksi yang berbeda menurut ukuran berbeda: (1) sel endosperm, bagian sel endosperm dan kelompok granula pati dan protein (diameter > 35 µm) dimana kadar proteinnya sama atau lebih tinggi daripada tepung itu sendiri; (2) granula pati besar dan kecil, sebagian mengikat protein (diameter 15 – 35 µm); dan (3) potongan-potongan kecil protein dan granula pati yang terpisah (diameter < 15 µm). Kadar protein pada fraksi (2) dan (3) bervariasi 0.5 sampai 2 kali lipat daripada tepung itu sendiri. Oleh karena itu pembagian ukuran partikel membuat jumlah protein dan pati dalam jumlah berbeda, sehingga memungkinkan untuk mendapatkan tepung dengan sifat bervariasi dari satu tepung itu sendiri. Distribusi ukuran partikel merupakan satu cara yang bisa mewakili sampel bubuk atau bahan yang bersifat bulk dalam analisa ukuran partikel. Menurut Barbosa-Carnovas dan Yan (2003) untuk bahan yang tidak satu ukuran, pada
19 umumnya digunakan dua metode. Pertama, histogram yang menunjukkan %tase antara ukuran partikel tertentu berdasarkan beratnya, sedangkan kedua yaitu menggunakan distribusi kumulatif.
Metode penentuan ukuran partikel dan
distribusi ukuran partikel sangat luas digunakan dalam industri karena kombinasinya mempengaruhi sifat fisik lain pada sistem powder seperti daya alir, bulk density dan kemampatan. Karena tepung sereal pada umumnya mempunyai ukuran partikel yang beragam, perlu mendeskripsikan distribusi ukuran partikel. Distribusi ukuran parikel penting dalam analisa proses penanganan, pengolahan dan fungsionalitas.
2.6.2 Densitas kamba
Densitas kamba merupakan salah satu sifat fisik penting pada tepung sereal karena memainkan peran dalam penyimpanan, transportasi dan pemasaran (Barbosa-Carnovas & Yan 2003). Densitas kamba adalah massa partikel satu per unit volume tempat tertentu yang ditentukan dengan menimbang wadah dengan volume yang diketahui yaitu dengan membagi berat bersih bubuk dengan volume wadah. Karena bubuk dapat dimampatkan, densitas kamba juga dapat dinyatakan sebagai sifat yang spesifik yaitu loose density (pada waktu dituang), packed density (setelah vibrasi) atau compact
density (sesudah dimampatkan).
Hubungan antara densitas kamba (ρb) dan densitas partikel (ρs) diekspresikan sebagai: ρb = (1-εp)(1- εb)ρs = (1-ε)ρs
(Hoseney 1994)
dimana εp adalah porositas partikel, εb porositas bulk (rasio volume yang kosong antar partikel pada volume total) dan ε adalah porositas, didefinisikan sebagai rasio volume kosong (inter dan intra partikel) terhadap volume bubuk total. Kebanyakan
bubuk makanan bersifat kohesif yang berarti gaya antar
partikel bersifat atraktif karena berat partikel yang relatif tinggi. Karena bulk density bubuk makanan tergantung kepada kombinasi faktor yang saling tergantung yaitu intensitas gaya antar partikel yang atraktif, ukuran partikel dan jumlah titik kontak maka perubahan dalam satu sifat bubuk dapat menghasilkan perubahan yang nyata dalam bulk density bubuk, dimana besarnya tidak dapat ditentukan.
20
2.6.3 Sifat alir
Sifat mengalir bubuk penting untuk mempelajari tingkah laku tepung terutama selama proses penanganan dan pengolahan, misalnya pada proses pencampuran, kompresi, pengemasan dan transportasi. Sifat alir bubuk harus dipelajari sebagai faktor kualitas bahan mentah yang bisa digunakan untuk mempertahankan keseragaman produk dan juga untuk menghindari kondisi yang memungkinkan terjadinya gangguan proses. Salah satu indikator untuk melihat kemampuan mengalir makanan berbentuk bubuk adalah berdasar sudut curahnya. Sudut curah merupakan satu parameter curah dalam desain pengolahan bubuk, penyimpanan dan sistem penyampaian. Sudut curah ini tergantung kepada cara pembentukan bubuk (seperti pengaruh kecepatan) sehingga nilainya tidak selalu dapat dibandingkan. Dalam bubuk yang kohesive, pengukuran sudut curah kadang-kadang sulit karena bentuknya yang tidak beraturan. Sudut curah dapat digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir. Besarnya sudut curah 10 derajat menunjukkan bubuk bersifat aerated, 10 sampai 30 derajat mengalir sangat baik, 30 sampai 45 derajat menunjukkan bubuk dapat mengalir bebas, 45 sampai 60 derajat hampir mengalir dan lebih dari 60 derajat kohesive dan tidak mengalir (Barbosa-Canovas &Yan 2003).
2.7 Sifat fungsional adonan
Karakterisasi sifat fungsional adonan diperlukan untuk mendapatkan informasi tentang potensi penggunaannya pada proses pengolahan komersial. Menurut Sira (2000) karakterisasi sifat fungsional yang penting dapat dilihat melalui profil gelatinisasinya.
Profil tersebut didefinisikan dengan fenomena
sebagai berikut: 1.
Gelatinisasi berarti pemecahan ikatan intermolekuler dengan meningkatnya suhu, dan sisi yang mengikat H menyerap air lebih banyak sehingga meningkatkan kekacauan struktur, menurunkan daerah kristalisasi dan kehilangan
birefringence.
Pati
dengan
kadar
amilosa
tinggi
sulit
tergelatinisasi lebih dari 100oC dan dapat membentuk film dan serat dengan kelarutan lebih tinggi dan pengembangan pada kondisi alkali. Struktur yang
21 heliks dapat memerangkap asam lemak dan menghambat pengembangan granula. 2.
Pembentukan
adonan
merupakan
fenomena yang mengikuti proses
gelatinisasi pada pati yang dilarutkan. Hal ini termasuk pengembangan granula, keluarnya komponen molekuler dari granula dan pada akhirnya kekacauan total pada granula. 3.
Retrogradasi berhubungan dengan jumlah percabangan.
Ikatan H antara
gugus OH pada amilosa dalam pati tergelatinisasi selama pendinginan menghasilkan retrogradasi. Air keluar dari struktur gel dan pati menjadi tidak larut.
Pati dengan amilopektin tinggi tidak akan teretrogradasi
saat
dibekukan.
2.7.1 Gelatinisasi dan sifat adonan
Gelatinisasi merupakan proses pembengkakan granula diikuti berubahnya struktur granula dan hilangnya sifat kristalin. Sebelum granula berubah, beberapa bahan (terutama amilosa) mulai terpisah dari granula. Komponen-komponen yang terpisah meningkat dengan meningkatnya berat molekul dan lebih meningkat lagi dengan meningkatnya suhu (Prentice et al. 1992). Tetapi tidak semua amilosa terpisah selama gelatinisasi (Ellies et al. 1988). Perubahan morfologis granula pati
selama
pengembangan
tergantung
sifat
alami
pati.
Kemampuan
pembengkakan granula biasanya dihitung sebagai daya pengembangan (berat pengembangan granula yang tersedimentasi tiap gram pati kering) atau volume pengembangan (volume granula yang mengembang tiap gram pati kering) pada suhu tertentu (Konik et al. 2001).
Sifat-sifat pengembangan pati tidak hanya
tergantung pada sifat patinya tetapi juga tergantung pada kadar amilosa. Sifat-sifat adonan pati sangat penting untuk karakterisasi pati dan aplikasinya. Informasi yang penting seperti suhu gelatinisasi, viskositas puncak dan viskositas balik dapat ditentukan dengan Brabender amylograph (Chen 2003). Sifat-sifat adonan ini sangat berguna
sebagai indikator pada aplikasi pati.
Beberapa sifat yang didapatkan langsung dari kurva gelatinisasi seperti terlihat pada Gambar 4 meliputi:
22 (i) Viskositas puncak (VP): viskositas maksimum yang dicapai selama proses pemanasan (ii) Viskositas panas (Vpa): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC. (iii) Viskositas panas 15 menit (Vpa15): viskositas yang dicapai pada suhu 95oC setelah dipertahankan selama 15 menit (iv) Viskositas dingin (VD): viskositas yang dicapai pada waktu pendinginan mencapai suhu 50oC Selain itu ada sifat-sifat lain yang diperoleh dengan cara menghitung dari sifatsifat di atas yaitu: (i) Breakdown (BD) = VP – Vpa15 (ii) Setback (SB) = VD – VP (iii) Rasio viskositas dingin:viskositas panas 15 =
VD Vpa15
Selama penyimpanan adonan menjadi keruh dan biasanya menjadi endapan yang tidak larut. Hal ini disebabkan oleh rekristalinisasi molekul pati, pada awalnya amilosa membentuk rantai double helix yang diikuti pengumpulan ”helix-helix”. Fenomena ini disebut retrogradasi.
Retrogradasi adalah proses
yang terjadi ketika molekul-molekul pati tergelatinisasi mulai bergabung kembali membentuk suatu struktur tertentu, yang merupakan proses larutnya rantai linier polisakarida dan mengurangi kelarutan molekul.
Fenomena retrogradasi
merupakan hasil ikatan hidrogen antara molekul pati yang punya gugus hidroksil dan sisi penerima hidrogen.
Pada tahap awal, dua atau lebih rantai pati
membentuk ikatan sederhana yang dapat berkembang lebih luas pada suatu bagian secara teratur yang akhirnya membentuk daerah kristalin.
23
Gambar 4 Ilustrasi kurva sifat-sifat gelatinisasi (Sumber: Sowbhagya dan Bhattacharya 2001) Amilosa merupakan penyebab utama terjadinya retrogradasi dalam waktu singkat karena molekul amilosa terdiri dari rantai yang paralel. Retrogradasi dalam waktu lama ditunjukkan dengan rekristalisasi yang terjadi secara lambat pada bagian luar amilopektin (Daniel & Weaver 2000).
Amilopektin yang
terkristalisasi dalam gel yang teretrogradasi dapat meleleh pada suhu 55oC, sementara amilosa yang terkristalisasi suhu pelelehannya mencapai 130oC (Zhang & Jackson 1992). Kecepatan dan jumlah retrogradasi meningkat dengan meningkatnya jumlah amilosa.
Pada pati yang alami, retrogradasi juga tergantung pada
konsentrasi pati, suhu penyimpanan, pH, suhu proses dan komposisi adonan. Retrogradasi pada umumnya dipicu oleh konsentrasi pati yang tinggi, suhu penyimpanan rendah dan pH antara 5 sampai 7. Garam-garam anion dan kation monovalen dapat memicu retrogradasi pati (Chen 2003).
24 2.7.2 Sifat rheologi
Rheologi merupakan ilmu yang mempelajari deformasi dan aliran bahan. Sifat rheologi bahan merupakan informasi penting tentang struktur dan sifatnya selama pengolahan dan dalam penggunaan. Menurut Vergnes et al. (2003) aplikasi pendekatan rheologi pada produk serealia pada umumnya mengalami kesulitan karena: 1.
Produk sereal mempunyai formulasi sangat kompleks dengan beberapa komponen (pati, protein, air, gula, lipida) yang dapat berinteraksi dan mudah membentuk struktur yang lain, pati terdiri dua makromolekul, amilosa yang linier dan amilopektin bercabang. Hal ini mengakibatkan multifase, bahan yang secara rheologi komplek.
2.
Adonan dari produk sereal mempunyai sifat non-Newtonian tinggi, dengan tingkat elastisitas tinggi dan sangat sensitif terhadap suhu, kadar air dan komposisi lain (pati, adanya lipida)
3.
Beberapa komponen meskipun dalam jumlah kecil seperti lipida dapat menyebabkan slip pada dinding dan secara keseluruhan mengubah daya alir.
25
3 BAHAN DAN METODE 3.1 Waktu Dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan di laboratorium Souteast Asian Food & Agriculture Science & Technology (SEAFAST) Center IPB, dan Laboratorium Departemen Ilmu & Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB dari bulan Mei 2006 sampai Desember 2008.
3.2 Bahan dan alat
Bahan utama penelitian ini adalah jagung putih varietas Lokal (Zea mays L.) (Gambar 5) dari Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah di Ungaran, hasil panen di Kecamatan Kaloran Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Bahan-bahan penunjang yang digunakan adalah aquadest, bahan kimia untuk analisa seperti asam sulfat, natrium hidroksida, dan lain-lain.
Gambar 5 Jagung putih yang digunakan Alat yang digunakan dalam penelitian yaitu seperangkat alat pembuatan tepung meliputi pin disc mill dan ayakan 60, 100, 150 dan 200 mesh serta alatalat analisa meliputi brabender amilograph, tekstur analyzer, spektrofotometer, dan lain lain.
26 3.3 Metode penelitian
Penelitian dilakukan dalam 3 tahap utama yaitu: 1. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung, meliputi tahap-tahap sebagai berikut: a. Pembuatan tepung jagung secara fermentasi spontan menggunakan metode Aremu (1993) yang dimodifikasi dengan tahap-tahap sebagai berikut: (i) penggilingan jagung pipilan menjadi grits jagung dengan diameter ± 4 mm menggunakan pin disc mill, (ii) penampian menggunakan tampah, (iii) penghilangan kotoran, perikarp dan bagianbagian yang mengapung di air setelah direndam selama 5 menit, (iv) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40%, (v) fermentasi spontan grits jagung dalam kontainer plastik tertutup pada suhu 27oC dengan perbandingan aquadest:jagung 2:1 (6l:3kg) dalam wadah plastik tertutup volume 16 l), (vi) penirisan selama 30 menit sampai kadar air kurang lebih 40%, (vii) pengeringan menggunakan kabinet pengering dengan suhu 50oC selama 3 jam, (viii) penggilingan menggunakan pin disc mill, dan (ix) pengayakan 60 mesh.
Cara
pembuatan tepung jagung dapat dilihat pada Gambar 6. Pada tahap ini fermentasi grits jagung dilakukan dengan waktu 0, 12, 24, 36, 48, 60 dan 72 jam. b. Analisa sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang dihasilkan pada tahap 1a. Sifat tepung yang dianalisa meliputi: kadar air, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar pati, kadar gula reduksi, kadar amilosa, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, loose density, packed density, sudut curah, derajat putih, suhu gelatinisasi, viskositas puncak, viskositas panas, viskositas panas selama 15 menit, viskositas dingin, kekuatan dan kelengketan gel. Analisa data yang dihasilkan pada tahap 1b. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing variabel sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel.
27 Apabila ada variabel yang berkorelasi dengan tingkat signifikansi (p) ≤ 0,01 dilakukan analisa regresi. Berdasarkan analisa regresi didapatkan persamaan regresi yang menunjukkan kecenderungan data dan R2 yang menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi akan diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut. Model yang diperoleh merupakan model prediktif sederhana. Jagung putih pipilan Penggilingan kasar dan penampian (grits jagung Ø ± 4 mm)
Penghilangan bagian yang terapung setelah perendaman dalam air selama 10 menit
kulit
Penirisan selama 30 menit sampai kadar air ± 40% Fermentasi spontan pada wadah tertutup (jagung:aquadest 3 kg: 6 l) suhu 27oC Penirisan selama 30 menit sampai kadar air ± 40%
Pengeringan (kabinet pengering, suhu 50oC, 3 jam)
Penggilingan
Pengayakan 60 mesh Tepung jagung 60 mesh Gambar 6 Pembuatan tepung jagung putih 2. Pembuatan tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 15, 30, 45, 57.5 dan 70 jam jagung menggunakan metode seperti pada tahap 1a. Tepung
28 jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia dan fungsional seperti pada point 1b. Apabila pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai R2 yang memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya validasi kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran yang sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan sebagai model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap ini kurang dari atau sama dengan 10 %. Alur penelitian pada tahap 1 dan 2 dapat dilihat pada Gambar 7. 3. Karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih yang dipengaruhi ukuran partikel tepung dan waktu fermentasi grits jagung, Tepung jagung 60 mesh dengan waktu fermentasi 0, 15, 30, 45, 57.5 dan 70 jam difraksinasi menggunakan ayakan bertingkat 100, 150 dan 200 mesh sehingga didapatkan empat kelompok ukuran partikel tepung yaitu >150 – 250 µm, >106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤75 µm (Earle 1983). Tepung jagung putih yang dihasilkan dianalisa sifat fisik, kimia tepung dan sifat fungsional adonan seperti pada point 1b. Alur penelitian pada tahap 3 dapat dilihat pada Gambar 8.
29
Gambar 7 Diagram alir jalannya penelitian tahap1 dan 2
30
Gambar 8 Diagram alir jalannya penelitian tahap 3
31 3.4 Prosedur analisa Kadar air dianalisa dengan metode pengeringan (AOAC 1995).
Ditimbang kurang lebih 2 g sampel ke dalam cawan porselen yang telah diketahui beratnya (a), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105oC sampai berat konstan (b). Kadar air dihitung berdasarkan selisih berat cawan sebelum dan sesudah pengeringan. Kadar air =
( a − b) x100% beratsampel
Kadar lemak dianalisa menggunakan Soxhlet (AOAC 1995).
Ditimbang sampel kurang lebih 3 gram dalam saringan timbel kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak atau dibungkus kain saring. Selanjutnya sampel tersebut diletakkan pada alat ekstraksi soxhlet, kemudian dipasang alat kondenser diatasnya dan labu lemak di bawahnya yang telah diketahui beratnya (a). Dituangkan pelarut dietil eter atau petroleum eter ke dalam labu lemak dan dilakukan refluks selama minimum 5 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Distilasi pelarut dalam labu lemak, kemudian pelarutnya ditampung. Selanjutnya labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven pada suhu 105oC. Setelah dikeringkan sampai berat tetap dan didinginkan dalam desikator, labu ditimbang beserta lemaknya (b) sehingga berat lemak dapat dihitung. Kadar lemak (% bk) =
b −1 10000 x beratsampel 100 − kadarair
Kadar protein dianalisa dengan metode Kjeldahl (AOAC 1995).
Sampel ditimbang sebanyak 200 mg dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 30 ml. Ditambahkan 1,9±0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 3,8 ± 0,1 ml H2SO4. Setelah ditambahkan batu didih maka sampel dididihkan selama 1 – 1,5 jam sampai cairan menjadi jernih. Tabung beserta sampel didinginkan dengan air dingin. Isi labu dan air bekas pembilasnya dipindahkan ke alat destilasi. Labu erlenmeyer diisi 5 ml larutan H3BO4 dan ditambahkan 4 tetes indicator, kemudian
32 diletakkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor terendam dalam larutan H3BO4. Larutan NaOH-Na2S2O3 sebanyak 8-10 ml ditambahkan ke dalam alat destilasi dan dilakukan destilasi sampai didapat destilatnya ± 15 ml dalam erlenmeyer. Destilat dalam erlenmeyer tersebut kemudian dititrasi dengan larutan HCl 0,02 N hingga terjadi perubahan warna hijau menjadi biru.
Dilakukan
perhitungan jumlah nitrogen setelah sebelumnya didapat jumlah volume (ml) blanko. Perhitungan : Jumlah N (%) =
mlHCl − mlblanko x N HCl x 14,07 x 100 mgsampel
Kadar protein (% bk) = jumlah N x faktor konversi (6,25) x
100 (100 − kadarair )
Kadar serat kasar ditentukan dengan metode gravimetric (AOAC 1995).
Ditimbang sampel kurang lebih 1 g yang telah diekstrak lemaknya (a) ditaruh dalam Erlenmeyer 600 ml dan ditambah 3 tetes zat anti buih. Selanjutnya ditambahkan 200 ml larutan H2SO4 0,255 N mendidih dan ditutup dengan pendingin balik. Didiamkan selama 30 menit dengan kadang-kadang digoyanggoyangkan.
Disaring suspensi melalui kertas saring. Residu yang tertinggal
dalam erlenmeyer dicuci dengan air mendidih. Residu dicuci dalam kertas saring sampai air cucian tidak bersifat asam lagi. Kemudian dipindahkan residu dari kertas saring ke dalam erlenmeyer secara kuantitatif. Sisanya dicuci lagi dengan 200 ml larutan NaOH mendidih sampai semua residu masuk ke dalam erlenmeyer. Didihkan dengan pendingin balik sambil kadang-kadang digoyang-goyangkan selama 30 menit. Disaring kembali melalui kertas saring yang diketahui beratnya (b) sambil dicuci dengan larutan K2SO4 10%. Residu dicuci sekali lagi dengan air mendidih, kemudian dengan alcohol 95% kurang lebih 15 ml. Kertas saring dikeringkan pada 110oC sampai berat konstan (1-2 jam), didinginkan dalam desikator dan ditimbang (c). Kadar serat kasar (% bk) =
c−b 10000 x kadarlemak 100 − kadarair (ax )+a 100
33 Kadar abu dianalisa dengan metode pengabuan langsung (AOAC 1995).
Ditimbang kurang lebih 2 g sampel dalam cawan yang telah dikeringkan dann diketahui beratnya (a), kemudian cawan tersebut diletakkan dalam tanur pengabuan, dibakar sampai berwarna abu-abu atau sampai beratnya tetap. Cawan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang (b). Kadar abu (% bk) =
b−a 10000 x beratsampel 100 − kadarair
pH diukur dengan metode potentiometric (AOAC 1995).
Pengukuran pH dilakukan pada air perendam dan tepung jagung. Untuk sampel yang berupa air, sampel tersebut langsung diukur pHnya, sedang untuk sampel yang berupa tepung dilakukan preparasi terlebih dahulu. Preparasi sampel untuk dilakukan dengan menambahkan 20 ml aquades dalam 1 g tepung, kemudian dikocok dengan stirer dan kemudian ditambah lagi dengan 50 ml aquades dan dihomogenkan. Sampel dibiarkan selama 1 jam kemudian diukur pH supernatan.
Kadar pati metode ekstraksi asam perklorat (Apriyantono et al. 1989).
Sebanyak 0,2 g tepung dimasukkan tabung sentrifuse kemudian ditambahkan 2 tetes etanol 80 % untuk membasahkan sampel, kemudian ditambahkan 5 ml air dan dicampur merata. Selanjutnya ditambahkan 25 ml etanol 80 % (v/v) panas, dicampur merata dan dibiarkan selama 5 menit kemudian disentrifuse. Supernatan didekantasi, supernatannya digunakan untuk analisa gula setelah etanolnya diuapkan, sedang residunya untuk analisa pati, kemudian diulang ekstraksi dengan 30 ml etanol 80% dan ditambahkan 5 ml air ke dalam residu dan 6,5 ml asam perklorat 52% sambil diaduk diatas magnetic stirer selama 5 menit, didiamkan sebentar kemudian diaduk lagi selama 15 menit. Selanjutnya ditambahkan 20 ml air dan disentrifuse kembali.
Supernatan didekantasi,
kemudian dimasukkan labu takar 100 ml. Residu diekstrak seperti sebelumnya, kemudian supernatan dimasukkan ke labu takar yang berisi hasil dekantasi pertama. Volume supernatan ditepatkan sampai tanda, kemudian 5 ml filtrat bagian atas dibuang dan selebihnya disaring.
1 ml filtrat atau hasil
34 pengencerannya dimasukkan tabung reaksi kemudian ditambah 5 ml pereaksi Anthrone, dicampur merata. Tabung reaksi dipanaskan dalam penangas air 100oC selama 12 menit. Setelah didinginkan, dibaca absorbansi pada 630 nm. Hasilnya diplot pada larutan glukosa standar. Kadar pati (% bk) = % glukosa x 0.9 x
100 100 − kadarair
Dengan % = glukosa diperoleh dengan memasukkan nilai A 630 pada persamaan standar 0.9 = faktor konversi Kadar gula reduksi dianalisa dengan metode Nelson Somogyi (Apriyantono et al. 1989).
Supernatan yang telah diuapkan etanolnya pada analisa pati diencerkan sampai volume tertentu kemudian diambil 1 ml ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambah 1 ml larutan Nelson dan dipanaskan pada 100oC selama 20 menit. Setelah itu didinginkan dan ditambah 1 ml Arsenomolybdat dan 7 ml aquadest, selanjutnya dibaca absorbansi pada 540 nm.
Hasilnya diplot pada
larutan glukosa standar. Kadar gula reduksi =
absorbansi beratsampelx(100 − kadarair )
Kadar amilosa dianalisa secara spektrofotometri (Juliano 1971)
Sampel sebanyak kemudian diberi
100 mg dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL,
1 mL etanol 95% dan 9 mL NaOH 1 N. Larutan dibiarkan
selama 23 jam pada suhu kamar atau dipanaskan dalam penangas air bersuhu 100˚C selama 10 menit dan didinginkan selama 1 jam. Larutan kemudian diencerkan dengan air suling menjadi 100 mL, dipipet sebanyak 5 mL, dimasukkan kedalam labu ukur 100 mL yang berisi 60 mL air, kemudian ditambahkan 1 mL asam asetat 1 N dan 2 mL I2 2% dan diencerkan sampai volume 100 mL. Larutan dikocok dan didiamkan selama 20 menit, kemudian diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 620 nm. Kadar amilosa dihitung dengan rumus :
35
Kadar amilosa (% bk) =
Dimana fk =
A620 xfkx100 x100% 100 − kadarair
1 1000 x 20 1 x = abs1 ppm 1000000 abs1 ppmx50
Keterangan : A620 = absorban sampel ka = kadar air 20 dan 1000 = faktor pengenceran fk = faktor konversi Derajat putih (Whiteness meter)
Derajat putih pati diukur dengan Photoelectric Tube Whiteness meter electric laboratory C-100-3.
Untuk mengukur derajat putih terlebih dahulu
dilakukan standarisasi dengan menggunakan Barium Sulfat yang dianggap memiliki derajat putih 87 %. Setelah itu sampel-sampel dimasukkan dalam kotak pengukur untuk mengukur derajat putihnya.
Densitas kamba
Analisa densitas kamba dilakukan menggunakan silinder plastik yang telah diketahui volume (V) dan beratnya (W1). Bahan dimasukkan ke dalamnya dengan hati-hati sampai penuh dan kemudian permukaan bubuk pada mulut silinder diratakan dengan penggaris logam, lalu silinder dan isinya ditimbang (W2).
Selanjutnya bahan dipadatkan dan diisi sampel lagi sampai mampat
kemudian ditimbang (W3). Densitas kamba dihitung sebagai loose density dan packed density menggunakan rumus: Loose density (δ1 ) =
W 2 − W1 V
Packed density (δ2 ) =
W 3 − W1 V
Sifat alir (Donsi dan Ferrari 1990)
Sifat alir ditentukan berdasarkan nilai sudut curah yang ditentukan dengan 100 g tepung dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dituangkan dengan cepat pada alas datar dan diukur sudut curah yang terbentuk menggunakan jangka
36 sorong dengan mengukur tinggi (t) dan diameter (d) alas curahan. Proyeksi curahan dianggap membentuk sudut segitiga sama kaki t
tg α =
t 0,5d
d
Kapasitas penyerapan air dianalisa secara gravimetri (Kadan et al. 2003).
Tabung sentrifuse diisi 2 g sampel tepung jagung yang ditimbang berat tabung dan sampel (a), kemudian ditambah 9 ml aquades dan divortex. Selanjutnya didiamkan selama 30 menit kemudian disentrifuse 3000 rpm selama 15 menit dan didekantasi, kemudian ditimbang beratnya (b) Kapasitas penyerapan air =
b−a 10000 x a (100 − kadarair )
Kapasitas penyerapan minyak dianalisa secara gravimetri (Kadan et al. 2003).
Sebanyak 1 g sampel tepung jagung dimasukkan tabung sentrifuse dan ditimbang beratnya (a), dicampur dengan 9 ml minyak kemudian divortex selama 1 menit dan ditempatkan dalam waterbath 50oC selama 15 menit. Kemudian divortex lagi selama 1 menit dan dipanaskan pada waterbath 15 menit. Selanjutnya dilakukan sentrifugasi selama 10 menit pada 1650 x g, dilakukan dekantasi minyak dann ditimbang beratnya (b). Kapasitas penyerapan minyak =
b−a 10000 x a (100 − kadarair )
Sifat-sifat adonan dan gelatinisasi menggunakan Brabender amylograph menurut metode AACC 22-12 (Hung & Morita 2004).
Tepung jagung putih didispersikan dalam 450 ml air terdistilasi dengan 10 % (berat kering) tepung. Kemudian suspensi dipanaskan dari 30 ke 95oC dengan kecepatan 1,5oC/menit. Pada suhu 95oC adonan dipertahankan selama 15 menit, kemudian didinginkan sampai 50oC. Viskositas puncak (VP), yaitu viskositas tertinggi yang dicapai adonan selama proses pemanasan, viskositas panas (VPa)
37 yaitu viskositas yang dicapai pada 95oC, viskositas panas 15 menit (VPa15), yaitu viskositas pada waktu suhu dipertahankan 97oC selama 15 menit, viskositas adonan dingin (VD) yaitu viskositas yang dicapai pada suhu 50oC. Suhu pembentukan adonan didefinisikan sebagai suhu pada waktu viskositas pertama kali meningkat. Untuk mengetahui stabilitas adonan dihitung nilai breakdown dan setback viscosity. Breakdown viscosity = VP - HV15, setback viscosity = VD – VP. Kekuatan dan kelengketan gel menggunakan texture analyzer.
Suspensi tepung hasil pengukuran amilografi dituangkan dalam wadah sehingga gel memiliki diameter rata-rata 4,2 cm dan tinggi 5 cm. Pengukuran kekuatan gel dilakukan menggunakan texture analyzer memakai probe berdiameter 1 cm dan panjang 2,5 cm. Kecepatan probe 0,2 mm/s; beban 100 gram dan kedalaman 4 mm.
Distribusi ukuran partikel menggunakan metode pengayakan (Earle 1983).
Tepung jagung yang dihasilkan pada tahap pertama penelitian dilakukan perhitungan distribusi ukuran partikel. 100 g sampel tepung jagung 60 mesh diayak menggunakan ayakan bertingkat 80, 100, 120, 150, 170 dan 200 mesh. Berat sampel yang tertahan pada masing-masing ayakan tersebut ditimbang beratnya sehingga didapat 7 distribusi ukuran yaitu lolos 60 mesh dan tidak lolos 80 mesh (ukuran partikel >180-250 µm), lolos 80 mesh tidak lolos 100 mesh (ukuran partikel >150-180 µm), lolos 100 mesh tidak lolos 120 mesh (ukuran partikel >125-150 µm), lolos 120 mesh tidak lolos 150 mesh (ukuran partikel >106-125 µm), lolos 150 mesh tidak lolos 170 mesh (ukuran partikel >90-106 µm), lolos 170 mesh tidak lolos 200 mesh (ukuran partikel >75-90 µm) dan lolos 200 mesh (ukuran partikel ≤75 µm).
3.5 Analisa data
38 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung.
Untuk mengetahui pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung yang dihasilkan dilakukan uji pembedaan dengan uji lanjut Duncan. Antar sifat fisik, kimia dan fungsional dianalisa korelasi untuk mengetahui hubungan keeratan masing-masing variabel sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel.
Variabel yang
berkorelasi dengan nilai koefisen korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01 dianalisa regresi untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar variabel tersebut sehingga didapatkan persamaan regresi dan R2 (koefisien determinasi) yang menunjukkan penyebaran data. Persamaan regresi dengan R2 tertinggi akan diajukan sebagai sebagai model hubungan antar variable tersebut. Model yang diperoleh merupakan model prediktif sederhana.Tahap validasi Apabila
pada tahap 1 diperoleh model prediktif dengan nilai R2 yang
memadai, maka akan dilakukan pengujian lebih lanjut; sebagai upaya validasi kemampuan pendugaannya dibandingkan dengan hasil pengukuran yang sesungguhnya, pada kisaran t yang sesuai. Persamaan akan ditetapkan sebagai model prediktif apabila standar deviasi yang didapatkan pada tahap ini kurang dari atau sama dengan 10 %. Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung adonan jagung.
Untuk mengetahui pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung dilakukan uji pembedaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan uji lanjut Duncan.
Antar sifat fisik, kimia dan fungsional
dianalisa korelasi sehingga didapat nilai koefisien korelasi (r) antar variabel pada masing-masing ukuran partikel. Variabel yang berkorelasi dengan nilai koefisen korelasi (r) pada tingkat signifikansi ≤ 0,01 dianalisa regresi untuk mengetahui kecenderungan hubungan antar variabel tersebut sehingga didapatkan persamaan regresi dan R2.4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Komposisi kimia bahan baku
39 Berdasarkan kadar amilosanya, jagung putih yang digunakan pada penelitian termasuk kelompok non waxy dengan kadar amilosa 28.49%. Seperti halnya jenis jagung yang lain, komponen tertinggi jagung putih pipilan yang digunakan adalah pati (74.3 % bk), protein (11.16% bk), serat kasar (7.36% bk) dan lemak (4.64 % bk). Jagung pipilan (Gambar 9a) yang digunakan kemudian digiling menjadi grits jagung menggunakan pin disc mill dengan diameter saringan 4 mm sehingga grits jagung yang digunakan sebagai bahan pembuatan tepung jagung mempunyai ukuran partikel ± 4 mm (Gambar 9b). Komposisi kimia grits jagung yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung jagung tidak berbeda dengan jagung pipilan, hanya pada serat kasarnya mengalami perbedaan. Pada jagung pipilan jumlah serat kasar sebesar 7.36%, sedangkan pada grits jagung menjadi 4.09% seperti dapat dilihat pada Tabel 5.
Pada tahap
penggilingan, bagian-bagian seperti perikarp, pangkal dan aleuron hancur dan kemudian dipisahkan melalui proses penampian sehingga kandungan serat kasar grits jagung lebih rendah daripada kandungan serat kasar jagung pipilan.
(b)
(a)
Gambar 9 Bahan baku yang digunakan (a) jagung putih pipilan (b) grits jagung putih.
Tabel 5 Komposisi kimia jagung putih pipilan, grits jagung dan tepung jagung Komponen Kadar air (%)
Jagung pipilan 13.36
Grits 13.07
Tepung 10.32
40 Lemak (% bk) 4.64 Protein (% bk) 11.16 Abu (% bk) 1.48 Serat kasar (% bk) 7.36 Pati (% bk) 74.3 Keterangan: bk = basis kering
4.42 11.12 1.33 4.09 75.17
4.05 10.02 1.01 2.97 77.04
4.2 Pengaruh waktu fermentasi spontan grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung
4.2.1 Komposisi kimia tepung jagung
Kadar lemak, serat kasar, protein, dan abu tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi dapat dilihat pada Tabel 6. Secara umum, jumlah komponen-komponen kimia tersebut mengalami penurunan dibandingkan dengan grits jagung yang digunakan (Tabel 5 dan 6). Tabel 6 Komposisi kimia tepung jagung putih yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu Komposisi kimia tepung jagung yang dihasilkan fermentasi grits Protein Lemak Abu Serat jagung (jam) Kadar air (%) (% bk) (% bk) (% bk) kasar (% bk) 10.02 1.01d±0.0 2.97b±0.7 0 10.32ab±0.18 c±0.14 4.05d±0.11 6 5 12 24 36 48 60
10.05ab±0.50 9.24b±0.14
3.78c±0.30 0.78c±0.01 0.55b±0.0 b b c 11.66 ±0.54 9.18 ±0.12 3.81 ±0.13 2 0.47ab±0.0 10.02a±0.83 8.89a±0.13 3.82c±0.21 6 0.49ab±0.0 10.80ab±0.10 8.74a±0.34 3.72bc±0.13 8 0.53b±0.0 11.42ab±0.95 8.73a±0.14 3.44a±0.24 4
1.28a±0.03 1.32a±0.07 1.12a±0.03 1.25a±0.02 1.01a±0.16
72 11.32ab±1.63 8.78a±0.14 3.46ab±0.14 0.40a±0.07 1.10a±0.04 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Kadar serat kasar tepung jagung tanpa fermentasi (2.97 %) lebih rendah daripada kadar serat grits jagung putih yang digunakan (4.09 %). Hal ini
41 disebabkan sebagian besar serat kasar pada jagung terdapat pada bagian perikarp. Bagian perikarp akan menghasilkan tepung jagung dengan tekstur kasar sehingga dihilangkan pada proses pembuatan tepung jagung. Hal ini mengakibatkan kadar serat kasar tepung jagung yang dihasilkan lebih kecil daripada kadar serat kasar grits jagung. Fermentasi grits jagung selama 12 jam menurunkan kadar serat kasar tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 6).
Serat pada jagung mengalami
penurunan pada 12 jam pertama fermentasi (1.28%), apabila dibandingkan kadar serat kasar tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (2.97%). Serat merupakan bagian yang tidak terpisahkan pada struktur alami tanaman yang terdiri dari beberapa komponen seperti lignin, selulosa, hemiselulosa, substansi pektik, gum, waxes, dan oligosakarida yang tidak tercerna. Hemiselulosa dan substansi pektik yang mampu mengikat air dan mengembang disebut serat larut.
Sebagian
hemiselulosa, selulosa dan lignin, yang sedikit mengikat air disebut serat tidak larut atau serat kasar (Kalac dan Míka, 1997). Menurut Burge dan Duensing (1989) serat jagung terdiri dari 67% hemiselulosa, 23% selulosa dan 0.1 % lignin. Penurunan kadar serat kasar kemungkinan disebabkan aktivitas mikroorganisme yang mengubah serat kasar atau serat tidak larut menjadi serat larut. Fermentasi lanjutan sampai 72 jam relatif tidak mengubah kadar serat kasar (1.1%). Menurunnya kadar serat tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi juga seperti yang terjadi pada pembuatan tepung ubi kayu menggunakan proses fermentasi (Subagio 2006). Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan (8.89 %) apabila dibandingkan kadar protein tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (10.02 %). Penambahan waktu fermentasi cenderung tidak mengubah kadar proteinnya. Penurunan kadar protein selama fermentasi grits jagung seperti yang terjadi pada pembuatan ogi. Menurut Nago et al. (1998) kadar protein ogi yang berasal dari Benin 9% lebih rendah daripada jagung yang digunakan, sedangkan pada ogi yang berasal dari Gnonli terjadi kehilangan protein sebesar 38%. Menurut Hounhouigan et al. (1993c) terjadi penurunan kadar protein sebesar 38% pada pembuatan mawe. Menurunnya kadar protein disebabkan adanya aktivitas enzim yang bersifat proteolitik.. Menurut
42 Okenhen dan Ikenebomeh (2007) pada ogi terdapat aktivitas enzim proteinase sebesar 4.8 mg/ml. Protein pada kernel jagung terdiri dari albumin (8 %), globulin (9 %), zein atau prolamin (39%) dan glutelin (40%); sedangkan protein pada endosperm terdiri dari zein (47%), glutelin (39%), albumin (4%) dan globulin (4%) (Laszrity 1986).
Perendaman mengakibatkan masuknya air ke dalam grits jagung,
memperlunak kernel dan terjadinya bagian terlarut dari lembaga sehingga protein albumin yang
bersifat larut air mengalami leaching dan terbuang dalam air
perendam yang berakibat menurunnya kadar protein tepung jagung yang dihasilkan. Penurunan kadar protein berhubungan juga dengan pHnya.
Pada saat
fermentasi 12 sampai 36 jam, pH air perendam jagung berada di luar titik isoelektrik (Tabel 7) dan beberapa protein mempunyai kelarutan tinggi sehingga protein terlarut dalam air perendam. Hal ini mengakibatkan penurunan kadar protein hanya terjadi pada waktu fermentasi 12 sampai 36 jam (Tabel 6). Setelah 48 jam fermentasi, air perendam jagung berada pada titik isoelektrik yaitu pada pH 4.5 – 4.8 (Tabel 7) sehingga kelarutan protein jagung selama proses fermentasi minimal dan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan relatif konstan. Tabel 7 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH air perendam Waktu fermentasi (jam) pH 0 6.67e±0.24 12 6.07d±0.54 24 5.63c±0.27 36 5.13c±0.42 48 4.83b±0.33 60 4.60a±0.38 72 4.62a±0.29 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Fermentasi grits jagung sampai 36 jam menurunkan kadar protein tepung jagung yang dihasilkan (Gambar 10).
Berdasarkan hasil tersebut maka kadar
43 protein tepung jagung yang dihasilkan dengan fermentasi grits jagung sampai 36 jam dapat ditentukan menggunakan rumus regresi linier dengan persamaan: (R2 = 0.7848) (1)
Pr = -0.029t + 9.855
dengan Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam % basis kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
12
protein (% bk)
10 8 Pr = -0.029t + 9.855 R2 = 0.7848
6 4 2 0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 10 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar protein tepung jagung. Fermentasi grits jagung menurunkan kadar abu tepung jagung yang dihasilkan. Menurunnya kadar abu selama fermentasi disebabkan lepasnya mineral pada waktu perendaman, yaitu terjadi leaching sebagian mineral pada air perendam. Sahlin (1999) menyatakan bahwa kadar abu tidak dipengaruhi oleh fermentasi kecuali jika pada proses fermentasi tersebut ditambahkan beberapa garam atau terjadi leaching saat bagian yang cair dipisahkan dari makanan yang difermentasi. Jagung mempunyai mineral-mineral natrium, kalium, fluor, iodine yang mempunyai tingkat kelarutan tinggi dalam air dan afinitas rendah sehingga banyak terdapat sebagai ion bebas (Watson 1987). Ion-ion inilah yang mengalami leaching dalam air perendam sehingga kadar mineral tepung mengalami penurunan selama fermentasi sampai 36 jam (0.47 %), dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (1.01 %). Fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam cenderung tidak mengubah kadar abu. Penurunan kadar abu
44 selama fermentasi jagung juga ditemukan pada pembuatan ogi dari kadar abu pada jagung sebesar 1.35 – 1.38 menjadi 0.4 – 0.6 pada ogi (Nago et al. 1998). Selain sebagai ion bebas, mineral pada jagung juga terdapat dalam bentuk kompleks. Menurut Watson (1987) komponen anorganik yang paling banyak terdapat pada jagung adalah fosfor, yang sebagian berada sebagai garam kaliummagnesium asam fitat yang merupakan bentuk ester dari heksafosfat inositol. Fitin adalah bentuk penyimpanan penting dari fosfor, yang dipecah oleh enzim fitase pada proses fermentasi. Mineral yang berada dalam bentuk kompleks inilah yang tidak mengalami leaching dalam air perendam sehingga fermentasi grits jagung setelah 36 jam tidak mengubah kadar mineralnya. Larutnya sebagian mineral mengakibatkan meningkatnya konduktivitas atau daya hantar listrik pada air perendam. Berkebalikan dengan kadar mineral, daya hantar listrik pada air perendam naik selama fermentasi sampai 36 jam, kemudian cenderung tetap seperti terlihat pada Gambar 11.
konduktivitas (mhos)
1000 800 600 400 200 0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 11 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap konduktivitas air perendam. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar lemak 4.05 %. Kadar lemak mengalami penurunan selama 12 jam fermentasi menjadi 3.78 %. Fermentasi lanjutan sampai 48 jam cenderung tidak mengubah kadar lemak tepung (3.72 %), selanjutnya setelah fermentasi selama 60 jam kadar lemak
45 menurun (3.4 %).
Penurunan kadar lemak juga terjadi pada pembuatan ogi
sehingga kadar lemak bahan yang semula 3.9 – 4.4 turun menjadi 3 – 3.5 (Nago et al. 1998, Hounhouigan et al. 1993c).
Penurunan kadar lemak disebabkan
aktivitas mikroorganisme yang bersifat lipolitik.
Ohenhen dan Ikenebomeh
(2007) menyatakan adanya aktivitas enzim lipase sebesar 1.8 mg/ml pada ogi. Fermentasi jagung sampai 36 jam menurunkan kadar pati, gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan seperti terlihat pada Tabel 8. Penurunan pH terjadi karena aktivitas bakteri asam laktat selama perendaman. Asam laktat merupakan asam non volatil yang umum terdapat selama fermentasi sereal dan umbi-umbian yang dihasilkan oleh Lactobacillus plantarum. Johansson et al. (1995) menemukan adanya galur Lactobacillus plantarum yang bersifat amilolitik sejumlah 14 persen dari total bakteri asam laktat yang diisolasi dari ogi, sedangkan Hounhouigan et al. (1993a) menemukan Lactobacillus fermentum yang bersifat amilolitik dari mawe. Keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik selama pengolahan jagung meningkatkan kecepatan asidifikasi sehingga menurunkan pH (Johansson et al. 1995). Selain asam laktat juga dihasilkan sejumlah besar asam asetat dan karbondioksida dari heksosa melalui jalur heksosa monofosfat.
Adanya
gelembung pada permukaan slurry selama proses perendaman menunjukkan produksi karbondioksida (Onyango et al. 2003). Asam laktat dan asam asetat menurunkan pH media sementara karbondioksida mengeluarkan udara dari slurry selama fermentasi.
Fermentasi grits jagung selama 36 jam menurunkan pH
tepung jagung yang dihasilkan dari 5.67 menjadi 4.4, kemudian setelah 48 jam naik menjadi 4.6 (Tabel 8). Penurunan pH pada proses fermentasi jagung ini sesuai dengan penelitian Aremu (1993) bahwa perendaman jagung selama 48 jam mengakibatkan penurunan pH menjadi 4.5, sedangkan menurut Sefa Dedeh (2001), fermentasi adonan jagung selama 24 jam menurunkan pH dari 6.3 menjadi 4.0. Sedangkan Nago et al. (1998) menyatakan bahwa pembuatan ogi dengan fermentasi selama 48 jam mengubah pH menjadi 3.3 sampai 3.7. Apabila digambarkan pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung akan menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti
46 terlihat pada Gambar 12. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan pH tepung jagung dapat dinyatakan dengan persamaan: Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861
(R2 = 0.7855) (2)
dengan Ph adalah pH tepung jagung, t adalah waktu fermentasi grits jagung dan R2 adalah koefisien determinasi. Tabel 8 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar pati, gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan Waktu fermentasi Kadar pati Kadar gula reduksi pH (jam) (% bk) (% bk) c 0 77.04 ±0.44 2.70d±0.08 5.67e±0.04 12 76.13bc±0.56 2.21c±0.34 5.47d±0.04 ab b 1.55 ±0.11 4.93c±0.07 24 74.01 ±1.38 1.16a±0.04 4.4a±0.02 36 74.1ab±1.36 a a 1.10 ±0.13 4.6b±0.13 48 72.05 ±1.57 1.50b±0.21 4.88c±0.08 60 72.26a±1.93 a b 1.66 ±0.13 4.7b±0.09 72 71.49 ±2.48 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% 7 6
pH
5 4 3
Ph = 0.0005t2 - 0.0493t + 5.7861
2
R2 = 0.7855
1 0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 12 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap pH tepung jagung. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai kadar gula reduksi 2.7 %, dan fermentasi selama 36 jam menurunkan kadar gula reduksi menjadi 1.16 %. Penurunan kadar gula reduksi disebabkan penggunaan gula sebagai substrat oleh bakteri asam laktat. Fermentasi lanjutan sampai 72 jam meningkatkan kadar gula reduksi menjadi 1.66 % yang merupakan akibat dari
47 pemecahan pati menjadi gula reduksi oleh bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik. Bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik berhasil diisolasi dari ogi yaitu Lactobacillus plantarum (Johansson et al. 1995) dan dari mawe yaitu Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a). Menurut Johansson et al. (1995) keberadaan bakteri asam laktat yang bersifat amilolitik selama pengolahan jagung meningkatkan ketersediaan sumber energi seperti glukosa atau maltosa dari pati atau bakteri asam laktat lain. Adanya pemecahan pati menjadi gula reduksi mengakibatkan penurunan kadar pati tepung jagung yang dihasilkan dari 77.04 % pada tepung jagung non fermentasi menjadi 71.49 % pada tepung jagung yang dihasilkan dari proses fermentasi selama 72 jam (Tabel 8). Menurut SefaDedeh (2001) pengaruh fermentasi terhadap konsentrasi gula bervariasi.Selama 24 jam fermentasi, konsentrasi fruktosa, glukosa dan galaktosa menurun, sedangkan xilosa dan maltosa meningkat.
Pengaruh waktu fermentasi grits
jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung dapat digambarkan sebagai grafik kuadratik seperti terlihat pada Gambar 13.
Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi dapat dinyatakan dalam persamaan: Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71
(R2 = 0.7676) (3)
dimana Gr adalah kadar gula reduksi tepung jagung dalam % basis kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
3.0
gula reduksi(%)
2.5 2.0 1.5 1.0 Gr = 0.0006t2 - 0.06t + 2.71 R 2 = 0.7676
0.5 0.0 0
20
40 waktu (jam)
60
80
48 Gambar 13 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar gula reduksi tepung jagung. Fermentasi jagung selama 72 jam menurunkan kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan menjadi 26.81% dari kadar amilosa semula 28.39%. Pada proses fermentasi terjadi aktivitas mikroorganisme yang bersifat amilolitik (raw starch digesting amylase). Beberapa mikroorganisme yang bersifat amilolitik pada proses fermentasi jagung adalah Lactobacillus plantarum (Johansson et al. 1995), Lactobacillus fermentum (Hounhouigan et al. 1993a). Tabel 9 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kadar amilosa tepung jagung Waktu fermentasi jagung Kadar amilosa tepung jagung 0 28.39c±0.71 12 27.95c±0.67 24 27.83c±2.35 36 27.03ab±0.61 48 27.45bc±1.04 60 26.42a±1.70 72 26.81ab±0.54 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5%
4.2.2 Distribusi ukuran partikel tepung jagung
Fermentasi grits jagung sampai 36 jam mengakibatkan tepung jagung mempunyai distribusi ukuran partikel hampir sama seperti terlihat pada Gambar 14. Pada tepung jagung yang dibuat dari grits jagung dengan fermentasi 48 jam, jumlah partikel berukuran paling halus (kurang dari 75 µm) meningkat dan distribusi partikelnya paling banyak dibanding partikel berukuran lainnya. Perendaman butiran jagung pada proses fermentasi mengubah bagian yang keras pada endosperm (horny endosperm) menjadi banyak bagian yang lunak (fluory endosperm) dan menjadi lebih mudah digiling. Fermentasi melunakkan struktur jagung sehingga proses penggilingan menjadi lebih mudah sehingga semakin lama proses fermentasi, tepung jagung lebih banyak terdistribusi pada ukuran partikel yang kecil.
49
35
0 jam 48 jam
30
12 jam 60 jam
24 jam 72 jam
36 jam
distribusi (%)
25 20 15 10 5
≤75 µm
>75-90 µm
>90-106 µm
>106-125 µm
>125-150 µm
>150-180 µm
>180-250 µm
0
ukuran partikel (µm)
Gambar 14 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap distribusi ukuran partikel tepung jagung.
4.2.3 Densitas kamba tepung jagung
Loose density dan packed density tepung jagung menurun dengan semakin meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti terlihat pada Tabel 10. Hasil ini mirip dengan pembuatan tepung sorghum secara fermentasi yang menurunkan densitas tepung sebesar 10 % (Elkhalifa et al. 2005). Semakin rendah kadar protein, lemak, serat kasar dan abu, semakin rendah loose dan packed density tepung jagung. Lebih tinggi kadar protein dan pati, lebih tinggi loose dan packed density tepung jagung. Hal ini sesuai dengan penelitian Pereira et al. (2008), bahwa jagung dengan kadar protein tinggi mempunyai densitas lebih tinggi. Endosperm biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan protein, dan struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua komponen tersebut. Menurut Abdelrahman dan Hoseney (1984), ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi struktur biji jagung, diantaranya ketebalan matriks protein yang kontak dengan granula pati dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan
50 granula pati.
Semakin tinggi ketebalan matriks protein yang kontak dengan
granula pati, semakin tinggi densitas. Tabel 10
Loose dan packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi grits jagung Loose density Packed density (jam) (g/ml) (g/ml)
0 0.504d±0.019 0.72e±0.003 c 12 0.478 ±0.004 0.693d±0.006 0.689cd±0.001 24 0.469bc±0.002 ab 0.685c±0.007 36 0.462 ±0.001 0.664b±0.003 48 0.46ab±0.002 a 0.659b±0.002 60 0.45 ±0.009 0.651a±0.002 72 0.447a±0.007 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf 5% Pengaruh kadar protein terhadap densitas kamba tepung jagung juga terjadi karena strukturnya. Menurut Damodaran (1996), fraksi serta distribusi residu hidrofobik dan hidrofilik pada struktur primer protein mempengaruhi beberapa sifat fisikokimia protein. Zein merupakan protein penyimpanan terbesar pada endosperm jagung dengan komposisi asam amino utama adalah asam glutamat (21.4 %), leusin (18.7 %), alanin (13.3 %) dan prolin (10.7 %) yang merupakan protein hidrofobik
(Wilson 1987).
Berdasarkan pada konstanta
sedimentasi dan difusi, molekul zein mempunyai bentuk globula panjang (rasio axial sekitar 15:1) (Laszity 1986). Hal ini juga sesuai pernyataan Damodaran (1996) bahwa apabila sebuah protein sebagian besar terdiri dari asam amino hidrofobik, maka diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area permukaan:volume yang memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio area permukaan dibanding volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas kamba besar sehingga protein paling berpengaruh terhadap densitas kamba tepung jagung.
Kadar protein mempunyai pengaruh tinggi
terhadap densitas kamba tepung jagung yang dapat dilihat dari nilai koefisien
51 korelasi, yaitu pada loose density (r = 0.84, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.932, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar protein, semakin tinggi packed density tepung jagung seperti terlihat pada Gambar 15. Apabila hubungan antara kadar protein dan packed density digambarkan dalam suatu grafik maka terbentuk garis regresi linier dengan persamaan: (R2=0.8673)
Dp = 0.0375Pr + 0.3442
(4)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml, Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam % basis kering dan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila persamaan (4) disubstitusi dengan persamaan (1) akan didapatkan persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan packed density tepung jagung yaitu: Dp = -0.0011t + 0.714
(5)
dengan Dp adalah packed density tepung jagung dalam g/ml dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.
packed density (g/ml)
0.80
0.75
0.70
0.65
Dp = 0.0375Pr + 0.3442 R 2 = 0.8673
0.60 8.0
8.5
9.0
9.5
10.0
10.5
protein (% bk)
Gambar 15 Pengaruh kadar protein terhadap packed density tepung jagung. Semakin besar kadar serat kasar, semakin tinggi loose dan packed density tepung jagung. Serat kasar pada jagung terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin. Lignin dan hemiselulosa mempunyai kemampuan yang tinggi untuk menyerap air. Hidrasi serat menyebabkan terbentuknya matriks gel dan meningkatkan densitas kamba bahan. Adanya hubungan antara serat kasar dengan
52 loose dan packed density sesuai pendapat Rasper (1982) bahwa selulosa, hemiselulosa dan lignin berperan terhadap densitas sereal. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kadar serat kasar dengan loose density (r = 0.894, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar serat kasar, semakin tinggi loose density tepung jagung seperti terlihat pada Gambar 16. Hubungan antara loose density dengan kadar serat kasar dapat dinyatakan dalam persamaan: (R2 = 0.7997)
Dl = 0.026s + 0.43
(6)
dengan Dl adalah loose density tepung jagung dalam g/ml, s adalah kadar serat kasar dalam % basis kering.
loose density (g/ml)
0.60
Dl = 0.026s + 0.43 R2 = 0.7997
0.55
0.50
0.45
0.40 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
serat kasar (% bk)
Gambar 16 Pengaruh kadar serat kasar terhadap loose density tepung jagung. Semakin tinggi kadar abu, semakin tinggi loose dan packed density tepung jagung. Mineral-mineral dalam jagung yaitu natrium, kalium, fluor, dan iodine banyak terdapat sebagai ion bebas. Menurut Nabrzyski (1997) gugus anionik mempunyai daya tarik menarik yang kuat yang akan mempengaruhi densitasnya. Lebih kuat interaksi dengan gugus anionik maka lebih tinggi densitas kamba tepung jagung. Kadar abu berkorelasi dengan loose density (r = 0.842, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.758, p ≤ 0.01). Semakin tinggi kadar lemak, semakin tinggi loose dan packed density tepung jagung. Pengaruh lemak terhadap densitas kamba hampir sama dengan
53 protein, yaitu berkaitan dengan hidrofobisitasnya. Lemak yang bersifat hidrofobik diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area permukaan:volume. Rasio area permukaan dibanding volume yang kecil pada lemak jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas kamba besar. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak dengan loose density (r = 0.651, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.804, p ≤ 0.01). Semakin lama waktu fermentasi jagung, semakin rendah densitas kamba tepung jagung yang dihasilkan. Hal ini senada dengan Elkhalifa et al. (2005) bahwa perendaman sorghum selama 24 jam dalam pembuatan tepung sorghum akan menurunkan densitas tepung
sorghum yang dihasilkan sebesar 10%,
sedangkan Onofiok dan Nnanyelugo (1998) menyatakan bahwa fermentasi dapat menurunkan densitas
kamba yang tinggi pada makanan sapihan di Afrika.
Fermentasi telah dilaporkan sebagai suatu metode tradisional dan berguna untuk preparasi makanan sapihan dengan densitas rendah. Adanya hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasinya yaitu loose density (r = -0.877, p ≤ 0.01) dan packed density (r = -0.959, p ≤ 0.01). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density dan loose density tepung jagung menghasilkan persamaan regresi linier sebagai berikut: Dp = -0.0009t + 0.712
(R2
=
0.9188) (7) Dl = -0.0007t + 0.493 2
(R = 0.7691) (8) dengan Dp dan Dl adalah packed density dan loose density tepung jagung dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi. Berdasarkan korelasi antara faktor-faktor yang berpengaruh, didapatkan persamaan 5 dan 7 yang dapat digunakan untuk memprediksi packed density tepung jagung berdasarkan waktu fermentasi grits jagung. Persamaan 5 dan 7 mempunyai slope dan intersept yang hampir sama sehingga apabila diaplikasikan akan mendapatkan nilai yang tidak berbeda jauh. Berdasarkan pertimbangan bahwa persamaan 7 mempunyai koefisien determinasi lebih besar dan packed density tidak hanya dipengaruhi kadar protein tetapi juga komponen kimia lain
54 seperti pati, serat kasar dan lemak maka persamaan 7 dipilih sebagai model prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi. 0.80
densitas kamba (g/ml)
Dp = -0.0009t + 0.712 R 2 = 0.9188
0.70 0.60
Dl = -0.0007t + 0.493 R 2 = 0.7691
0.50 0.40
loose density
pack ed density
0.30 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 17 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap loose density dan packed density tepung jagung. Persamaan 6 dan 8 dapat digunakan untuk memprediksi loose density tepung jagung. Persamaan 6 digunakan untuk memprediksi loose density tepung jagung berdasar kadar serat kasar, sedangkan persamaan 8 berdasarkan waktu fermentasi grits jagung. Persamaan 6 mempunyai koefisien determinasi lebih tinggi, tetapi serat kasar sulit dikendalikan pada pembuatan tepung jagung secara fermentasi maka persamaan 8 dipilih sebagai model prediktif loose density tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
4.2.4 Sudut curah tepung jagung
Sudut curah dapat digunakan sebagai indikator kemampuan mengalir. Fermentasi jagung meningkatkan sudut curah tepung jagung yang dihasilkan atau menurunkan daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Tabel 11. Fermentasi grits jagung sampai 24 jam meningkatkan sudut curahnya, dan waktu fermentasi setelah itu cenderung tidak mengubah sudut curah (Tabel 11). Peningkatan sudut curah berkorelasi dengan penurunan kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati, loose density dan packed density.
Dengan demikian semakin tinggi kadar
protein, serat kasar dan pati, semakin tinggi kemampuan bahan mengalir.
55
Tabel 11 Sudut curah tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi jagung (jam) Sudut curah (o) 0 41.9a±0.1 12 44.4b±1.3 24 47.2cd±0.7 36 48.4d±0.4 48 46.2c±0.9 60 48.3d±1.1 72 48.2d±0.5 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%
Semakin rendah kadar serat kasar dan protein, semakin tinggi sudut curah tepung jagung. Kemampuan bahan
untuk mengalir dipengaruhi tekstur. Salah
satu komponen serat adalah selulosa yang berperan besar terhadap tekstur makanan nabati.
Fungsi utama selulosa dalam dinding sel dikombinasikan
dengan hemiselulosa, protein, pektin dan lignin memberikan kesatuan struktur (Aguilera dan Stanley 1999). Dinding sel digambarkan sebagai mikrofibril selulosa yang melekat pada bagian amorf terutama terdiri dari substansi pektik dan hemiselulosa.
Selulosa berperan memberi struktur yang kuat sehingga
memudahkan bahan mengalir, sebagai akibatnya fermentasi yang mengakibatkan penurunan kadar serat akan meningkatkan sudut curah atau dengan kata lain akan menurunkan daya alir tepung jagung. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara sudut curah tepung jagung dengan kadar serat kasar (r = -0.785, p ≤ 0.01) dan kadar protein (r = -0.73, p ≤ 0.01). Semakin tinggi densitas kamba, semakin kecil luas permukaan sehingga bahan lebih mudah mengalir dan sudut curah menurun.
Luas permukaan
menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang baik bagi daya alir pada sistem bubuk. Lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume,
56 partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara sudut curah tepung jagung dengan loose density (r = -0.853, p ≤ 0.01). Semakin besar loose density, semakin kecil sudut curah seperti terlihat pada Gambar 18. Apabila digambarkan hubungan antara loose density dengan sudut curah tepung jagung akan menghasilkan persamaan: (R2 = 0.7286) (9)
Sr = -102.66Dl + 94.32
Apabila persamaan 9 disubstitusi dengan persamaan 8 maka akan didapatkan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan sudut curah tepung jagung dalam persamaan sebagai berikut: Sr = -0.072t + 43.71
(10)
dimana Sr adalah sudut curah tepung jagung dalam derajat dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.
sudut curah (o )
55 50 45 40
Sr = -102.7Dl + 94.3 R 2 = 0.7286
35 0.30
0.40
0.50
0.60
loose density (g/ml)
Gambar 18 Pengaruh loose density terhadap sudut curah tepung jagung.
4.2.5 Derajat putih tepung jagung
Fermentasi meningkatkan derajat putih tepung jagung seperti terlihat pada Tabel 12 dan Gambar 19. Fermentasi grits jagung selama 48 jam meningkatkan derajat putih tepung jagung (70.5 %) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (62.8 %). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak mengubah derajat putih tepung jagung yang dihasilkan (Tabel 12).
57 Semakin tinggi kadar protein dan gula reduksi, derajat putih tepung semakin rendah. Hal ini disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis antara protein dan gula reduksi yang mengakibatkan warna coklat sehingga menurunkan derajat putih tepung jagung. Tabel 12 Derajat putih tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi Derajat putih (%) 0 62.8a±0.5 12 64.0a±1.8 24 66.7b±0.9 36 68.1b±2.1 48 70.5c±0.9 60 71.1c±0.6 72 71.5c±1.0 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%
(a) (b) (c) Gambar 19 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama (a) 0 jam, (b) 36 jam, (c) 60 jam. Semakin rendah pH, kemungkinan terjadinya reaksi pencoklatan enzimatis semakin rendah sehingga derajat putih tepung yang dihasilkan semakin tinggi. Reaksi pencoklatan non enzimatis ini mengakibatkan adanya korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan kadar gula reduksi (r = -0.696, p ≤ 0.01), kadar protein (r = -0.875, p ≤ 0.01) dan pH (r = -0.729, p ≤ 0.01).
Kadar protein
mempunyai korelasi yang lebih kuat dengan derajat putih tepung jagung, dan
58 hubungannya dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti yang terlihat pada Gambar 20. Apabila hubungan antara kadar protein dengan derajat putih tepung jagung digambarkan sebagai grafik linier akan menghasilkan persamaan: (R2 = 0.7658) (11)
W = -5.367Pr +115.9
Apabila dilakukan substitusi persamaan 11 dengan persamaan 1 akan didapatkan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung jagung dalam persamaan: W = 0.16t + 63
(12)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu fermentasi grits jagung.
derajat putih (%)
75
70
65 W = -5.367Pr + 115.9 R2 = 0.7658 60 7.0
8.0
9.0
10.0
11.0
kadar protein (%bk)
Gambar 20 Pengaruh kadar protein terhadap derajat putih tepung jagung. Semakin tinggi kadar lemak tepung jagung, semakin rendah derajat putih tepung karena lemak yang berwarna kuning menurunkan derajat putih tepung jagung. Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak (r = -0.706, p ≤ 0.01). Keberadaan beberapa jenis mineral, terutama zat besi akan menurunkan derajat putih pada tepung jagung sehingga semakin tinggi jumlah mineral atau semakin besar kadar abu maka semakin rendah derajat putih tepung jagung. Hal ini mengakibatkan korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan kadar abu (r = -0.827, p ≤ 0.01).
59 Tepung jagung dengan densitas kamba tinggi mempunyai derajat putih yang lebih rendah. Hal ini disebabkan semakin tinggi densitas kamba, semakin kecil luas permukaan bahan dan dengan adanya pemantulan cahaya akan terbentuk bayangan yang kelihatan lebih gelap. Semakin rendah densitas kamba berarti luas permukaan bahan semakin tinggi sehingga akan terbentuk bayangan yang lebih terang. Hal ini terlihat dengan adanya korelasi antara derajat putih tepung jagung dengan loose density (r = -0.855, p ≤ 0.01) dan packed density (r = -0.925, p ≤ 0.01).
Hubungan antara packed density dan derajat putih tepung
jagung dapat digambarkan sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 21 dengan persamaan: (R2 = 0.8545) (13).
W = -140.83Dp + 163.6
Apabila persamaan 13 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan derajat putih tepung jagung dalam persamaan: W = -0.13t + 63.3
(14)
dengan W adalah derajat putih tepung jagung sedangkan t adalah waktu fermentasi grits jagung.
derajat putih (%)
75 70 65 60 55
W = -140.8Dp+ 163.6 R 2 = 0.8545
50 0.60
0.65
0.70
0.75
packed density (g/ml)
Gambar 21 Pengaruh packed density terhadap derajat putih tepung jagung. Persamaan 12 dan 14 dapat digunakan untuk memprediksi derajat putih tepung jagung, dan kedua persamaan tersebut mempunyai slope dan intersept hampir sama yaitu W = 0.16t + 63 (12) dan W = 0.13t + 63.3 (14). Persamaan
60 14 diturunkan dari persamaan 13 yang memiliki slope lebih besar sehingga dipilih sebagai model prediktif untuk dibuktikan pada tahap validasi.
4.2.6 Kapasitas penyerapan air
Kapasitas penyerapan air memberikan gambaran jumlah air yang tersedia untuk gelatinisasi (Elkhalifa et al. 2005). Fermentasi grits jagung selama 12 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air tepung jagung (104.8 %), dibanding tepung non fermentasi (101.8 %), sedangkan fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak mengubah kapasitas penyerapan air (106.4 %) seperti terlihat pada Tabel 13. Salah satu produk pangan yang perlu kapasitas penyerapan air yang lebih tinggi adalah bassang, salah satu makanan pokok khas dari Sulawesi Selatan dengan bentuk seperti bubur. Dalam proses pembuatan bassang juga melalui proses perendaman selama 8 – 13 jam dan dilanjutkan dengan pemasakan selama 4 – 9 jam. Tabel 13 Kapasitas penyerapan air tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi jagung Kapasitas penyerapan air (%) 0 101.76a±0.65 12 104.82b±0.1 24 105.32b±0.85 36 106.66b±1.01 48 105.96b±1.74 60 105.95b±0.9 72 106.41b±0.83 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% Amilosa merupakan rantai lurus yang mempunyai kemampuan menyerap air lebih rendah dibanding amilopektin yang merupakan rantai bercabang. Hal ini mengakibatkan semakin tinggi kadar amilosa, semakin rendah kapasitas penyerapan air pada tepung jagung, demikian juga semakin besar rasio
61 amilosa:amilopektin pada tepung jagung akan menghasilkan kapasitas penyerapan air yang semakin kecil. Semakin tinggi
kadar protein dan kadar abu, semakin rendah kapasitas
penyerapan air pada tepung jagung. Muatan yang berlawanan pada protein dan mineral mempengaruhi kecepatan penyerapan air granula pati sehingga protein dan mineral berkompetisi dengan pati dalam menyerap air. Hal
ini
mengakibatkan adanya korelasi negatif antara kapasitas penyerapan air dengan kadar protein (r = -0.521, p ≤ 0.05) dan kadar abu (r = -0.59, p ≤ 0.01). Menurut Barbut (1999) faktor-faktor intrinsik yang mempengaruhi sifat mengikat air pada tepung dengan kadar protein relatif tinggi adalah komposisi asam amino, bentuk protein, hidrofobisitas/hidrofilik permukaan. Semakin besar densitas kamba, semakin rendah kemampuan menyerap air.
Hal ini disebabkan tepung jagung dengan densitas kamba besar berarti
mempunyai massa yang besar dan luas permukaan kecil sehingga kemampuan tepung jagung dalam menyerap air lebih rendah dibandingkan tepung jagung yang mempunyai densitas kamba kecil. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kapasitas penyerapan air tepung jagung dengan loose density (r = -0.462, p ≤ 0.05) dan dan packed density (r = -0.54, p ≤ 0.05).
4.2.7 Kapasitas penyerapan minyak
Fermentasi grits jagung sampai 36 jam akan menurunkan kapasitas penyerapan minyak (60.6 %) dibandingkan tepung non fermentasi, sedangkan fermentasi lanjutan sampai 72 jam tidak menurunkan secara nyata kapasitas penyerapan minyak (55.9 %) seperti terlihat pada Tabel 14.
Kapasitas
penyerapan minyak yang semakin rendah diperlukan pada produk-produk yang diproses dengan penggorengan sehingga tidak menyerap minyak dalam jumlah yang besar. Dengan demikian apabila diinginkan produk hasil gorengan yang tidak banyak menyerap minyak dapat digunakan tepung yang dihasilkan dengan proses fermentasi. Tabel 14 Kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi grits jagung (jam) Kapasitas penyerapan minyak (% bk)
62 0 71.5c±3.9 12 64.8bc±4.7 24 64.9bc±4.9 36 60.6ab±6.6 48 61.3ab±2.3 60 61.4ab±2.8 72 55.9a±4.1 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%
Kapasitas penyerapan minyak pada tepung jagung terutama berkaitan dengan kadar lemak dan kadar protein. Semakin besar kadar lemak atau protein, semakin besar kapasitas penyerapan minyak.
Hal ini berhubungan dengan
mekanisme kapasitas penyerapan minyak yang disebabkan pemerangkapan minyak secara fisik dengan gaya kapiler dan peran hidrofobisitas protein (Voutsinas dan Nakai, 1983). Sirivongpaisal (2006) menyatakan bahwa kapasitas penyerapan minyak pada tepung bambara groundnut lebih besar daripada pati bambara groundnut karena kadar protein dan lemak yang lebih tinggi pada tepung, yang dapat memerangkap lebih banyak minyak. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan kadar lemak (r = 0.445, p ≤ 0.05) dan kadar protein (r = 0.68, p ≤ 0.01).
4.2.8 Suhu gelatinisasi
Suhu gelatinisasi menunjukkan suhu awal meningkatnya viskositas pati saat dipanaskan atau awal terjadinya gelatinisasi. Tabel 15 menunjukkan bahwa fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan.
Fermentasi grits jagung selama 24 sampai 48 jam
menghasilkan tepung jagung dengan suhu gelatinisasi tetap, sedangkan fermentasi grits jagung selama 48 sampai 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan suhu gelatinisasi meningkat. Fermentasi selama 48 jam mengubah suhu gelatinisasi tepung jagung menjadi 76.7oC. Suhu gelatinisasi ini lebih tinggi daripada suhu gelatinisasi ogi yang difermentasi selama 48 jam menurunkan suhu gelatinisasi menjadi 71.6oC (Nago et al. 1998). Semakin rendah suhu gelatinisasi, semakin
63 cepat terjadinya gelatinisasi, dan untuk produk pangan yang memerlukan syarat ini dapat dicapai dengan fermentasi selama 24 jam. Keberadaan gula pada pemanasan pati akan menghambat gelatinisasi karena terhambatnya pembengkakan granula pati oleh gula reduksi yang bersifat hidrofilik, sehingga semakin banyak jumlah pati dibanding gula akan semakin cepat terjadinya gelatinisasi yang akan menurunkan suhu gelatinisasi.
Pada
aplikasi pembuatan produk pangan, untuk menghindari suhu gelatinisasi yang terlalu tinggi karena adanya gula, maka penambahan gula dilakukan setelah terjadinya gelatinisasi. Pengaruh gula terhadap gelatinisasi tergantung jenis gula, sukrosa mempunyai suhu gelatinisasi tertinggi, dimana peningkatannya tergantung konsentrasi sukrosa.
Gula lain yaitu fruktosa, glukosa, maltosa
mempengaruhi gelatinisasi dengan pola yang sama. Lebih tinggi konsentrasi substansi mengandung hidroksil yang larut air, lebih besar penghambatan pengembangan granula (Christianson 1982).
Hal ini mengakibatkan adanya
korelasi antara suhu gelatinisasi dengan rasio pati dibanding gula reduksi (r = 0.463, p ≤ 0.05). Tabel 15 Suhu gelatinisasi adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi jagung (jam) Suhu gelatinisasi (oC)* 0 82bc±1.5 12 80.8b±2.5 24 76.2a±0.8 36 76.3a±0.9 48 76.7a±1.2 60 82.1bc±2.8 72 85.2c±1.8 Keterangan: * suhu awal gelatinisasi ** merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa *** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%. Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menurunkan suhu gelatinisasi tepung jagung yang dihasilkan menjadi 76.2oC dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82oC).
Penurunan suhu gelatinisasi
64 merupakan akibat dari melemahnya struktur granula dan disintegrasi selama proses perendaman. Gelatinisasi diawali pada bagian yang amorf karena ikatan hidrogen lebih lemah pada bagian tersebut. Pada perendaman jagung, granula pati mengalami pengembangan, dan semakin lama perendaman bagian yang amorf dapat mengalami leaching. Adanya leaching pada sebagian granula yang bersifat amorf
mengakibatkan
partikel
tepung
jagung
yang
dihasilkan
mudah
tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi lanjutan dari 24 jam sampai 48 jam suhu gelatinisasi relatif tetap (76.7oC) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam meningkatkan suhu gelatinisasi (85.2oC) (Gambar 22). Meningkatnya suhu gelatinisasi karena pembentukan kompleks inklusi heliks antara lemak dengan amilosa. Menurut Eliasson dan Gudmunsson (1996) pada saat amilosa keluar dari granula selama proses gelatinisasi, lemak membentuk kompleks dengan amilosa tersebut, kemungkinan di permukaan granula dan menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat.
Hubungan
antara suhu gelatinisasi adonan jagung dengan waktu fermentasi grits jagung dapat dinyatakan dengan model prediktif yang bersifat kuadratik: Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8
(R2 = 0.7504) (15)
dengan Tg adalah suhu gelatinisasi adonan jagung dalam oC, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam, sedangkan R2 adalah koefisien determinasi.
suhu gelatinisasi (o C)
90 Tg = 0.006t2 - 0.39t+ 82.8 R2 = 0.7504
85 80 75 70 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 22 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap suhu gelatinisasi adonan jagung
65 4.2.9 Viskositas puncak
Viskositas puncak merupakan titik puncak viskositas adonan pada proses pemanasan yang merupakan indikator kemudahan jika dimasak dan juga menunjukkan kekuatan adonan, yang terbentuk dari gelatinisasi selama pengolahan dalam aplikasi makanan. Pada saat suspensi pati dipanaskan, granula yang mulai mengembang sejak mencapai suhu gelatinisasi akan terus mengembang. Selama gelatinisasi, amilosa mengalami leaching dari granula pati dan bersama dengan amilopektin menjadi sangat terhidrasi. Akibatnya suspensi menjadi lebih jernih dan viskositasnya meningkat terus sampai mencapai puncak, dimana granula mengalami hidrasi maksimum. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi
mempunyai viskositas
puncak 493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam relatif tidak mengubah viskositas puncaknya (560 BU). Selanjutnya, tepung jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi selama 48 jam menunjukkan viskositas puncak meningkat (648 BU), dan bertahan sampai dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573 BU).
Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam
menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi (Tabel 16). Hal ini sedikit berbeda dengan penelitian Onyango et al. (2003) bahwa pada fermentasi sereal menjadi ogi akan terjadi penurunan viskositas, juga Dufour et al. (2006) yang menyatakan bahwa pada adonan ubi kayu yang difermentasi, terjadi penurunan viskositas maksimum.
Tabel 16 Viskositas puncak adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi jagung (jam) Viskositas puncak (BU) 0 493,3a±27,5 12 513,3ab±41,6 24 510ab±17,3 36 560abc±26,5 48 648,3c±53,5 60 573,3bc±35,1 72 550ab±36,1 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
66 ** angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% Semakin tinggi kadar protein tepung jagung, semakin rendah viskositas adonan jagung. Hal ini berhubungan dengan sifat protein yang hidrofilik akan bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Kurangnya air yang dapat diserap oleh pati karena dihambat oleh protein menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak adonan. Hal ini mengakibatkan adanya interaksi antara viskositas puncak dengan kadar protein (r = -0.725, p ≤ 0.01) dan rasio pati:protein (r = 0.731, p ≤ 0.01). Pengaturan pH menjadi asam mengakibatkan protein menjadi
lebih
bermuatan positif dan karbohidrat terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil yang lebih bermuatan negatif. Pada kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik antara pati dan protein. Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan negatif dan sedikit interaksi yang terjadi antar komponen tersebut.
Hal ini
mengakibatkan adanya korelasi antara viskositas puncak dengan pH tepung (r = 0.639, p ≤ 0.01). Semakin tinggi pH, semakin rendah viskositas puncak tepung jagung. Hal ini senada dengan penelitian Mestres et al. (1996) bahwa viskositas adonan jagung maksimum turun secara terus menerus dari pH 4 sampai 10. Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah viskositas puncak adonan jagung. Gula bersifat hidrofilik yang akan bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Hal ini mengakibatkan terhambatnya gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak adonan. Viskositas puncak adonan jagung berkorelasi dengan kadar gula reduksi (r = -0.543, p ≤ 0.05) dan rasio pati:gula reduksi (r = 0.543, p ≤ 0.05). Viskositas puncak tepung sorghum menurun dengan meningkatnya konsentrasi garam yang diakibatkan peran gaya ionik (Zhang dan Hamaker 2005). Hruskova et al. (2003) juga menyatakan bahwa viskositas maksimum paling tinggi terdapat pada sampel tepung dengan kadar abu paling rendah. Hal ini mengakibatkan semakin tinggi kadar mineral, semakin rendah viskositas puncak (r = -0.497, p ≤ 0.05).
67 4.2.10 Sifat adonan selama pemanasan
Sifat-sifat adonan selama proses pemanasan dapat dilihat dari nilai viskositas panas, viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity. Viskositas panas merupakan indeks kemudahan pemasakan dan merefleksikan kelemahan granula dalam mengembang. Breakdown viscosity merupakan nilai penurunan viskositas yang terjadi dari viskositas maksimum menuju viskositas terendah ketika suspensi dipanaskan pada suhu 95°C selama 15 menit.
Breakdown
viscosity menunjukkan stabilitas adonan selama proses pemasakan. Sifat pasta yang stabil sangat dikehendaki, slah satunya pada pembuatan mie, khususnya untuk menjaga keutuhan mie ketika melalui proses pengukusan (steaming). Proses fermentasi grits jagung selama 24 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas panas 495 BU, tidak berbeda nyata dengan viskositas panas tepung jagung tanpa fermentasi (502 BU). Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam meningkatkan viskositas panas (643 BU), sedangkan proses fermentasi setelah itu akan menurunkan lagi viskositas panas (543 BU) seperti dapat dilihat pada Tabel 17 dan Gambar 23.
Peningkatan viskositas panas selama fermentasi sesuai
penelitian Subagio (2006) bahwa tepung ubi kayu yang dihasilkan melalui proses fermentasi meningkat viskositas panasnya. Menurut Henshaw et al. (1996), pola viskositas adonan panas beberapa jenis legume ditentukan oleh dua faktor yaitu derajat pengembangan granula pati dan resistensi granula yang mengembang terhadap kelarutan oleh panas atau fragmentasi dengan shear. Tabel 17 Sifat-sifat adonan jagung selama pemanasan yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi grits Viskositas panas (BU) Viskositas panas 15 Breakdown viscosity jagung (jam) menit (BU) (BU) 0 12 24 36 48 60 72
502ab±16 453a±20 495ab±44 560c±27 643d±33 573c±35 543bc±25
425 a±9 513bc±42 468ab±50 525bcd±50 583de±29 547cde ± 33 610e ± 10
68c±18 0b±0 15b±3 27b±3 35bc±5 27b±18 -60a±6
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%
68
VP
Vpa15
Gambar 23 Amilografi tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Keterangan: ____ non fermentasi, ____ fermentasi 12 jam, ____ fermentasi 24 jam, ____ fermentasi 36 jam ____ fermentasi 48 jam, ____ fermentasi 60 jam ____ fermentasi 72 jam Stabilitas pemanasan dapat dilihat dari nilai breakdown viscosity, dimana breakdown viscosity 0 BU atau mendekati 0 BU menunjukkan stabilitas pemanasan yang baik. Proses fermentasi jagung selama 12 jam menghasilkan tepung jagung dengan breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 12 sampai 60 jam menghasilkan tepung jagung dengan stabilitas pemanasan relatif tetap, dan setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun (-60 BU) seperti terlihat pada Tabel 17. Menurut Oluwamukomi et al. (2005), keberadaan dan interaksi protein dengan pati menurunkan viskositas, senada dengan pernyataan Hamaker dan Griffin (1993) bahwa pati deproteinasi mempunyai viskositas lebih tinggi karena pengembangan lebih besar yang disebabkan protein mempunyai pengaruh menghambat pengembangan pati dan pengerasan selama pemanasan. Penghilangan protein dari larutan pati menyebabkan pati mempunyai viskositas lebih besar karena granula tanpa protein lebih mudah pecah dan jumlah air yang masuk ke granula lebih banyak mengakibatkan peningkatan pengembangan granula sehingga semakin kecil kadar protein, semakin besar pengembangan granula yang meningkatkan viskositas panas dan viskositas panas 15 menit.
Hal ini mengakibatkan adanya interaksi antara kadar protein tepung jagung
dengan viskositas panas (r = -0.659, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.827, p ≤ 0.01).
69 Semakin besar kadar protein tepung jagung, semakin rendah Vpa15 (Gambar 24). Korelasi antara kadar protein tepung jagung dengan viskositas panas 15 menit adonan jagung dapat dinyatakan sebagai persamaan linier: (R2 = 0.7635) (16)
Vpa15 = 96.601Pr + 1394.8
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU, Pr adalah kadar protein tepung jagung dalam jam sedangkan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila dilakukan substitusi persamaan 16 dengan persamaan 1 maka akan didapatkan persamaan linier antara waktu fermentasi grits jagung dengan viskositas panas 15 menit : Vpa15 = 2.78t + 443.1
(17)
dengan Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung putih dalam BU dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.
800
Vpa 15 (BU)
600
400 Vpa15 = -96.601Pr + 1394.8 R 2 = 0.7635
200
0 8.0
8.5
9.0
9.5
10.0
10.5
kadar protein (% bk)
Gambar 24 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap viskositas panas 15 menit. Semakin tinggi kadar lemak, semakin rendah stabilitas adonan selama pemanasan sehingga menurunkan viskositas panas 15 menit yang berarti semakin lemah pengembangan granula pati.
Helstad (2006) menyatakan bahwa pada pati serealia,
biasanya lipid menghambat hidrasi granula dan pengembangan terutama akibat jumlah amilopektin tinggi. Menurut Singh et al. (2006) pembentukan kompleks amilosa-lipid akan menghambat pengembangan granula pati.
Pada saat gelatinisasi, amilosa keluar
dari granula pati dan membentuk kompleks inklusi amilosa-lemak.
Pembentukan
kompleks ini mengurangi kecenderungan amilosa untuk berikatan, membentuk gel dan teretrogradasi sehingga menghambat kecepatan pengerasan selama pemanasan. Hal ini
70 mengakibatkan adanya korelasi antara kadar lemak tepung jagung dengan viskositas panas 15 menit (r = -0.642, p ≤ 0.01). Menurut Fredriksson et al. (1998) sifat pati selama gelatinisasi dipengaruhi rasio amilosa:amilopektin. Amilopektin berperan terhadap pengembangan dan sifat adonan pati, sedangkan amilosa menghambat pengembangan. Granula pati dengan kadar amilopektin tinggi menghasilkan granula yang lebih mengembang dan viskositas tinggi sementara rantai linier amilosa keluar dari granula dan membuat fase kontinyu di luar granula bersama lipid sehingga menghambat pengembangan dan menghasilkan viskositas adonan yang rendah. Semakin besar kapasitas penyerapan
air pada suatu bahan, semakin kuat
mengikat air dan hal ini juga mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan. Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit (r = 0.684, p ≤ 0.01).
Hal ini sesuai dengan penelitian Henshaw et al. (1996) bahwa perbedaan
viskositas merupakan variasi penyerapan air. Pada pH rendah, ikatan hidrogen dalam granula pati akan terpecah lebih cepat sehingga meningkatkan kecepatan pengembangan granula. Semakin tinggi pH tepung jagung,
semakin
rendah
indeks
kemudahan
pemasakan
dan
semakin
lemah
pengembangan granula pati. Hal ini didukung dengan adanya korelasi antara pH dengan viskositas panas (r = -0.679, p ≤ 0.01) dan viskositas panas 15 menit (r = -0.584, p ≤ 0.01). Mineral yang berada dalam adonan pati selama pemanasan mudah mengalami leaching.
Semakin banyak mineral yang berada dalam bahan, semakin tinggi
kemungkinan bahan tersebut mengalami leaching sehingga kestabilan adonan selama pemanasan menurun. Hal ini dapat dilihat dari menurunnya viskositas selama pemanasan yang didukung dengan adanya korelasi antara kadar abu dengan viskositas panas 15 menit (r = -0.676, p ≤ 0.01). Stabilitas selama pemanasan berkorelasi dengan densitas tepung. Hal ini berhubungan juga dengan pengaruh hidrofobisitas protein jagung protein.
terhadap densitas
Protein jagung sebagian besar terdiri dari asam amino hidrofobik yang
diasumsikan berbentuk globular (mendekati spherical) sehingga meminimalkan rasio area permukaan dibanding volume (Damodaran 1996). Rasio area permukaan:volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas besar sehingga pengembangan granula, peningkatan viskositas dan stabilitas adonan menjadi rendah. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi viskositas panas 15 menit adonan jagung dengan loose density (r = 0.717, p ≤ 0.01) dan packed density (r = 0.849, p ≤ 0.01).
71 Semakin besar packed density tepung jagung, semakin kecil viskositas panas 15 menit adonan jagung (Gambar 25). Korelasi antara packed density dengan viskositas panas 15 menit dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan: (R2 = 0.7696) (18)
Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9
Apabila persamaan 18 disubstitusi dengan persamaan 7 maka akan didapatkan persamaan hubungan antara viskositas panas 15 menit dengan waktu fermentasi grits jagung sebagai berikut: Vpa15 = 2.17t + 452.3
(19)
dimana Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit adonan jagung dalam BU dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.
800
Vpa 15 (BU)
600
400 Vpa15 = -2409.2Dp + 2167.9 R2 = 0.7696
200
0 0.64
0.66
0.68
0.70
0.72
0.74
packed density (g/ml)
Gambar 25 Pengaruh packed density tepung terhadap viskositas panas 15 menit. Persamaan 17 dan 19 menggambarkan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan viskositas panas 15 menit. Persamaan 19 merupakan hasil substitusi persamaan 18 yang mempunyai koefisien determinasi sedikit lebih besar dibandingkan persamaan 17. Persamaan 19 dipilih sebagai model prediktif viskositas panas selama 15 menit pada suhu 95oC dan akan dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi.
4.2.11 Retrogradasi adonan Kecenderungan retrogradasi dapat dilihat dari viskositas dingin, setback viscosity atau rasio viskositas dingin dibandingkan dengan viskositas panas setelah dipertahankan
72 Vd Vpa selama 15 menit pada suhu 95 C ( 15 ). Selama pendinginan, berkumpulnya kembali o
antar molekul pati terutama amilosa akan menghasilkan pembentukan struktur gel dan viskositas akan meningkat ke viskositas akhir. Peningkatan viskositas saat pendinginan menentukan kecenderungan berkumpul kembali pati yang merefleksikan kecenderungan produk untuk teretrogradasi (Hagenimana et al. 2006). Namun apabila kecenderungan untuk berkumpul kembali tersebut lemah, ikatan hidrogen akan terbentuk secara lambat, molekul air akan sempat keluar dan yang terbentuk bukan gel akan tetapi endapamm. Peristiwa keluarnya air dari perangkap hidrogen pasta ini disebut sineresis. Fermentasi jagung selama 36 jam meningkatkan viskositas dingin tepung jagung dari 1260 BU pada tepung yang dibuat tanpa fermentasi menjadi 1430 BU pada tepung yang dibuat dengan fermentasi selama 36 jam. Selanjutnya fermentasi sampai 48 jam menurunkan viskositas dingin (1045 BU) dan fermentasi lanjutan sampai 72 jam meningkatkan lagi viskositas dinginnya menjadi 1308 BU seperi terlihat pada Tabel 18. Peningkatan viskositas pada saat pendinginan sesuai dengan penelitian Subagio (2006) yang menyatakan bahwa tepung ubi kayu yang dibuat melalui proses fermentasi akan meningkat viskositas dinginnya. Lebih tinggi
Vd Vpa15
, lebih besar retrogradasi yang terjadi. Menurut Sowbhagya
Vd dan Bhattacharya (2001), Vpa15 lebih menggambarkan retrogradasi selama pendinginan
dibandingkan parameter lain seperti viskositas dingin atau setback viscosity. Tepung Vd jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai Vpa15 2.97 dan perendaman sampai 48 Vd jam akan menurunkan Vpa15 (1.87). Fermentasi lanjutan sampai 72 jam cenderung tidak
Vd mengubah Vpa15 (2.14).
Tabel 18 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kecenderungan retrogradasi adonan tepung jagung Vd Waktu fermentasi Viskositas dingin Setback viscosity Vpa15 grits jagung (jam) (BU) (BU) 0 12 24 36 48 60
1260bcd±66 1223bc±31 1323de±47 1403e±49 1045a±18 1203b±64
767cd±39 710bc±40 813cd±31 843d±68 427a±70 630b±97
2.97d±0.17 2.39bc±0.17 2.68cd±0.06 2.64cd±0.26 1.87a±0.18 2.21b±0.24
73 72 1308cd±54 758cd±20 2.14ab±0.06 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa ** angka yang diikuti dengan huruf sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5%
Lebih tinggi kadar protein, lebih tinggi kecenderungan terjadinya retrogradasi. Peningkatan retrogradasi kemungkinan karena peningkatan ikatan hidrogen selama pendinginan yang disebabkan perlakuan hidrothermal dan interaksi antara polisakarida dan protein (Oluwamukomi et al. 2005). Hal ini meningkatkan pertumbuhan daerah micellar gel dan meningkatkan indeks retrogradasi matriks sehingga lebih banyak air Vd Korelasi antara kadar protein dengan Vpa15 dapat digambarkan
yang terperangkap.
sebagai grafik linier seperti terlihat pada Gambar 26. Peningkatan ikatan hidrogen mempengaruhi pH, sehingga pH juga berkorelasi dengan retrogradasi. Semakin rendah pH tepung jagung, kecenderungan terjadinya retrogradasi semakin tinggi.
4
Rv
3
2
Rv = 0.553Pr - 2.542 R 2 = 0.6638
1 8.0
8.5
9.0
9.5
10.0
10.5
kadar protein (% bk)
Vd Vpa Gambar 26 Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap Rv ( 15 )
Vd Vpa 15 . Hubungan antara kadar Semakin tinggi kadar protein, semakin besar
protein dengan
Vd Vpa15
dapat digambarkan sebagai grafik linier dengan persamaan:
Rv = 0.553Pr– 2.542
(R2 = 0.6638) (20)
Apabila persamaan 20 disubstitusi dengan persamaan 1 maka akan didapatkan persamaan : Rv = -0.02t + 2.9
(21)
74 Vd dengan Rv adalah Vpa15 dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Persamaan Rv Vd = -0.02t + 2.9 selanjutnya digunakan sebagai model prediktif Vpa15 yang masih harus
dibuktikan ketepatannya pada tahap validasi. Semakin besar loose dan packed density, semakin besar kecenderungan terjadinya retrogradasi.
Vd Vpa 15 hampir Mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap
sama dengan mekanisme pengaruh densitas kamba terhadap adonan jagung selama pemanasan. Pengaruh densitas kamba terhadap retrogradasi dapat dilihat dengan adanya Vd korelasi antara Vpa15 dengan loose density (r = 0.67, p ≤ 0.01) dan packed density (r =
0.802, p ≤ 0.01). Kemudahan adonan saat dimasak juga mempengaruhi tingkat retrogradasi tepung jagung.
Semakin mudah pemasakan dan semakin stabil selama pemanasan, maka
semakin rendah kecenderungan produk teretrogradasi. 4.2.12 Sifat gel Kekuatan gel menunjukkan besarnya beban yang diberikan pada saat gel mulai pecah. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi selama 48 jam mempunyai kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Hal ini disebabkan menurunnya beberapa komponen kimia seperti serat kasar, protein, gula reduksi, abu dan pH yang berkorelasi dengan kekuatan gel. Kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam seperti dapat dilihat pada Tabel 19.
Hal ini
disebabkan meningkatnya kadar gula reduksi serta pH tepung jagung; sedangkan kadar serat kasar, kadar protein dan kadar abu menurun. Tabel 19 Sifat gel adonan jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung Waktu fermentasi grits Kekuatan gel (g force) Kelengketan gel jagung (jam) 0 5.95a±0.6 -4.48c±0.38 b 12 9.11 ±0.88 -4.18c±0.5 -5.28c±0.78 24 13.9cd±0.24 d -5.02c±0.76 36 15.39 ±1.04 e -4.7c±0.78 48 19.47 ±1.15 d -7.02b±0.63 60 14.48 ±0.93 c -8.33a±0.99 72 12.86 ±0.85
75 Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf sama menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 5% Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung seperti terlihat pada Gambar 27. Pada pH rendah, pati lebih cepat tergelatinisasi dan akan menghasilkan gel yang semakin kuat. Pada pH rendah yang sangat ekstrim menyebabkan hidrolisis pati, dimana bagian amorf granula pati akan dipecah terlebih dahulu sedangkan bagian kristalin dihidrolisis pada kecepatan lebih rendah. Pada penelitian ini tepung jagung yang digunakan mempunyai range pH 4,4 sampai 5.7 sehingga belum terjadi hidrolisis pati. Hal ini mengakibatkan gel yang dihasilkan makin kuat dengan menurunnya pH (r = -0.867, p ≤ 0.01). Gel paling lemah terbentuk pada pH asam yang ekstrem (pH 1-2) dan sangat basa (pH>10), sedangkan pada pH 12 tidak terbentuk gel (Kilara 2006). Semakin tinggi pH tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel. Hubungan antara pH tepung jagung dengan kekuatan gel dapat dinyatakan sebagai persamaan: (R2
Gs = -8.19Ph + 53.8
=
0.7516)
(22)
2
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, Ph adalah pH tepung jagung dan R adalah koefisien determinasi. Apabila persamaan 22 disubstitusi dengan persamaan 2 maka akan didapatkan persamaan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel adonan jagung sebagai berikut: Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.4
(23)
dengan Gs adalah kekuatan gel dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam.
kekuatan gel (force)
25 20 15 10 Gs = -8.19Ph + 53.8 R2 = 0.7516
5 0 4.0
4.5
5.0
pH
5.5
6.0
76 Gambar 27 Pengaruh pH tepung jagung terhadap kekuatan gel. Semakin tinggi kadar gula reduksi tepung jagung, semakin rendah kekuatan gel yang dihasilkan seperti dapat dilihat pada Gambar 28. Gula bersifat hidrofilik sehingga dapat menghambat pengikatan air pada pati. Kadar gula reduksi yang semakin rendah akan menurunkan suhu gelatinisasi dan sebagai konsekuensinya meningkatkan viskositas dan kekuatan gel yang terbentuk. Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap kekuatan gel adonan jagung dapat dilihat dari nilai koefisien korelasi yaitu r = -0.901, p ≤ 0.01.
. Semakin besar kadar gula reduksi, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung
dan hubungan ini dapat dinyatakan dengan persamaan: (R2 = 0.8113) (24)
Gs = -6.98Gr + 25.185
dengan Gs adalah kekuatan gel adonan jagung dalam g force, Gr adalah kadar gula reduksi tepung jagung dalam % berat kering dan R2 adalah koefisien determinasi. Apabila persamaan 24 disubstitusi dengan persamaan 3 akan didapatkan hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan kekuatan gel tepung jagung dengan persamaan: Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3
(25)
Kekuatan gel (gforce)
25 20 15 10 Gs = -6.98Gr + 25.2 R 2 = 0.8113
5 0 0.0
1.0
2.0
3.0
gula reduksi (%)
Gambar 28 Pengaruh kadar gula reduksi tepung jagung terhadap kekuatan gel.
Semakin tinggi kadar protein tepung jagung atau semakin rendah rasio pati dibanding protein, semakin rendah kekuatan gel adonan jagung yang terbentuk. Tanpa adanya panas, mekanisme interaksi protein-pati merupakan interaksi antar muatan, yang sangat tergantung pH dan titik isoelektrik protein. kompleksitas reaksi antara pati dan protein.
Pemanasan meningkatkan
Perubahan thermal dalam protein
77 berhubungan dengan denaturasi yang dipacu dengan keberadaan air. Denaturasi protein sereal berhubungan dengan reaksi disulfida-sulfhidril yang menghasilkan ikatan silang protein, misalnya interaksi protein-protein.
Pati menjadi kehilangan kristalinitas,
pengembangan granula dan leaching amilosa meninggalkan amilopektin. Granula pecah dan matriks amilosa membentuk jaringan gel. Pada saat terjadi kontak protein dan pati, terbentuk matriks pati-protein yang stabil melalui ikatan hidrogen, kovalen dan ionik. Matrik pati-protein yang terbentuk menentukan kekuatan gel. Hal ini didukung dengan adanya korelasi antara kekuatan gel dengan kadar protein (r = -0.832, p ≤ 0.01) dan rasio pati dibanding protein (r = 0.74, p ≤ 0.01). Tepung yang lebih cepat mengalami gelatinisasi atau suhu gelatinisasinya rendah, akan menghasilkan granula yang lebih mengembang, lebih tahan terhadap pemasakan sehingga meningkatkan kekuatan gel yang dihasilkan.
Retrogradasi adonan jagung
menurunkan kekuatan gel. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kekuatan gel dengan suhu gelatinisasi (r = -0.467, p ≤ 0.05), viskositas puncak (r = 0.715, p ≤ 0.01), viskositas panas (r = 0.74, p ≤ 0.01), dan viskositas panas 15 menit (r = 0.578, p ≤ 0.01) Vd Vpa 15 (r = -0.638, p ≤ 0.01). dan
Berdasarkan variabel yang berkorelasi didapatkan persamaan 23 dan 25 untuk memprediksi kekuatan gel.
Kedua persamaan tersebut sedikit berbeda hanya di
intersepnya, yaitu 6.4 dan 6.3. Persamaan 25 diturunkan dari persamaan 24 yang mempunyai koefisien determinasi lebih besar sehingga persamaan ini (Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3) ditetapkan sebagai model prediktif yang akan dibuktikan pada tahap berikutnya. Fermentasi grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan kelengketan gel -4.7, tidak berbeda nyata dengan tepung jagung non fermentasi (-4.48), selanjutnya fermentasi sampai 72 jam meningkatkan kelengketan gel (-8.33) seperti terlihat pada Tabel 19. Nilai yang semakin negatif pada kelengketan gel menunjukkan kelengketan gel yang semakin besar. Kelengketan gel terutama berkaitan dengan kadar amilosa dan kadar lemak. Selama pengembangan, amilosa cenderung larut dan lepas ke dalam media air, mengalami reasosiasi di antara ikatan hidrogennya dan menghasilkan gel. Adonan menjadi keruh dan buram saat didinginkan dan akhirnya akan mengeluarkan air membentuk konsistensi elastis. Eliasson dan Gudmundsson (1996) menyatakan bahwa rasio amilosa/amilopektin mempunyai pengaruh besar terhadap sifat rheologi adonan dan gel. Kompleks inklusi amilosa-lemak yang terbentuk dipermukaan granula menghambat pengembangan dan
78 meningkatkan kelengketan gel. Kompleks inklusi lemak-amilosa ini mempengaruhi pula viskositas dan breakdown viscosity yang mencerminkan stabilitas adonan.
Hal ini juga
yang mengakibatkan viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity berkorelasi dengan kelengketan gel.
Ada tiga kemungkinan kompleks inklusi amilosa-lemak,
pertama kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat mengubah atau memperlambat distribusi air dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran amilosa pada proses kristalisasi kembali. Sedangkan interaksi amilopektin dan lemak berarti bahwa lemak langsung berinteraksi dengan fraksi amilopektin pada tingkat yang lebih kecil dan menghambat retrogradasi melalui kompleks amilopektin-lemak. Semakin stabil adonan yang terbentuk, kelengketan gel semakin berkurang. Semakin tinggi kadar mineral dalam bahan, semakin rendah kelengketan gel. Mineral menghambat leaching amilosa dari granula pati sehingga semakin sedikit kemungkinan terjadinya leaching mineral, kelengketan gel lebih rendah. Hal ini dapat dilihat dari adanya korelasi antara kelengketan gel adonan jagung dengan kadar abu tepung jagung (r = 0.536, p ≤ 0.05). Semakin banyak air yang terdapat di dalam bahan memungkinkan ikatan antar partikel.
Sebagai akibatnya, bahan menjadi sulit mengalir dan meningkatkan
kelengketan. Hal ini mengakibatkan adanya korelasi antara kelengketan gel dengan kadar air (r = -0.517, p ≤ 0.05) dan sudut curah (r = -0.603, p ≤ 0.01). Pada tahap pertama penelitian ini didapat beberapa model prediktif dalam bentuk persamaan regresi untuk mengendalikan sifat fisik dan fungsional
tepung jagung
berdasar korelasi dengan variabel yang lain. Persamaan-persamaan tersebut dapat dilihat pada Tabel 20. Tabel 20 Model prediktif beberapa sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung No Persamaan Variabel terikat 1. Dp = -0.0009t + 0.712 Packed density 2. Dl = -0.0007t + 0.493 Loose density Sudut curah 3. Sr = -0.072t + 43.7 4. W = 0.13t + 63.3 Derajat putih Suhu gelatinisasi 5. Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Viskositas panas 15 menit 6. Vpa15 = 2.17t + 452.3 Vd 7. Rv = -0.02t + 2.9 8.
2
Gs = -0.004t + 0.4t + 6.3
Vpa15
Kekuatan gel
79 4.3 Validasi model prediktif yang dihasilkan Berdasarkan hasil karakterisasi pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung putih didapatkan beberapa model prediktif untuk mengendalikan sifat fungsional dan fisik tepung jagung (Tabel 20).
Validasi
dilakukan untuk mengetahui ketepatan model tersebut sehingga nantinya dapat digunakan untuk aplikasi lebih lanjut. Model yang divalidasi adalah beberapa model yang menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dengan sifat fisik dan fungsional adonan jagung. Validasi dilakukan pada 5 titik yaitu 15, 30, 45, 57.5 dan 70 jam.
4.3.1 Packed density tepung jagung
Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik dan kimia tepung jagung dipilih persamaan yang menggambarkan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan packed density tepung jagung yaitu Dp = -0.0009t + 0.712 dengan Dp adalah packed density tepung jagung 60 mesh dalam g/ml, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam. Berdasarkan hasil pengukuran dan perhitungan pada tahap ini didapatkan nilai packed density seperti terlihat pada Tabel 21. Tabel 21 menunjukkan bahwa prediksi packed density mendekati nilai pengukuran yang didapatkan dengan standar deviasi kurang dari 10 %. Persamaan untuk memprediksi packed density diperoleh dari korelasi langsung antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density sehingga adanya beberapa variabel yang berkorelasi sudah termasuk di dalamnya. Tabel 21 Hasil pengukuran dan prediksi packed density tepung jagung Waktu fermentasi grits jagung (jam)
Hasil pengukuran packed density (g/ml)
Prediksi packed density (g/ml)
Standar deviasi (%)
15 30 45 57.5 70
0.703 0.673 0.656 0.624 0.605
0.699 0.685 0.672 0.660 0.649
0.6 -1.8 -2.4 -5.8 -7.3
Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
Persamaan Dp = -0.0009t + 0.712 dapat digunakan untuk memprediksi packed density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung. Persamaan tersebut dapat dipergunakan untuk tepung jagung yang
80 dihasilkan dari grits jagung dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam, dan penggunaan di luar waktu tersebut perlu penelitian lebih lanjut. 4.3.2 Loose density tepung jagung
Persamaaan Dl = -0.0007t + 0.493 diperoleh pada tahap karakterisasi tepung jagung untuk memprediksi loose density tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
Tabel 22 menunjukkan bahwa prediksi loose density
mendekati nilai pengukuran yang didapatkan dengan standar deviasi kurang dari 10 %.
Persamaan untuk memprediksi loose density diperoleh dari korelasi
langsung antara waktu fermentasi grits jagung dengan loose density sehingga adanya beberapa variabel yang berkorelasi sudah diperhitungkan di dalamnya. Dengan demikian persamaan Dl = -0.0007t + 0.493 dapat digunakan untuk memprediksi loose density tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam. Tabel 22 Hasil pengukuran dan prediksi loose density tepung jagung Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi loose Standar grits jagung loose density (g/ml) density (g/ml) deviasi (%) (jam) 15 0.465 0.483 -3.8 30 0.448 0.472 -5.4 45 0.438 0.462 -5.4 57.5 0.437 0.453 -3.7 70 0.426 0.444 -4.3 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
4.3.3 Sudut curah tepung jagung
Sudut curah yang merupakan indikator daya alir bahan dapat diprediksi berdasar waktu fermentasi jagung menggunakan persamaan Sr = -0.072t + 43.7. Tabel 23 menunjukkan prediksi sudut curah dan hasil pengukuran sampai 30 jam masih tepat (standar deviasi kurang dari 10 %), tetapi setelah waktu 45 jam, perbedaan antara nilai prediksi dengan hasil pengukuran mempunyai standar deviasi lebih dari 10 %. Persamaan Sr = -0.072t + 43.7 merupakan hasil substitusi korelasi antara sudut curah dengan loose density. Sudut curah tepung jagung
81 tidak hanya dipengaruhi loose density, tetapi juga kadar protein, kadar serat kasar, kadar pati dan packed density sehingga hasil pengukuran sudut curah mempunyai standar deviasi yang tinggi dibandingkan hasil pengukuran. Dengan demikian persamaan tersebut hanya tepat digunakan untuk memprediksi sudut curah berdasar waktu fermentasi grits jagung selama 0 sampai 30 jam. . Tabel 23 Hasil pengukuran dan prediksi sudut curah tepung jagung Prediksi sudut curah Standar Waktu fermentasi Hasil pengukuran o o () deviasi (%) grits jagung sudut curah ( ) (jam) 15 43.7 42.62 2.4 30 46.0 41.54 9.7 45 46.8 40.46 13.5 57.5 47.2 39.56 16.1 70 47.0 38.66 17.7 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa 4.3.4 Derajat putih tepung jagung Berdasarkan hasil karakterisasi didapatkan persamaan untuk memprediksi derajat putih tepung jagung putih yaitu W = 0.13t + 63.3. Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung masih berada pada kisaran nilai prediksi dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 24. Berdasarkan hasil tersebut maka persamaan W = 0.13t + 63.3 dapat digunakan untuk memprediksi derajat putih tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung, dengan W adalah derajat putih tepung jagung (%) dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).
Tabel 24 Hasil pengukuran dan prediksi derajat putih tepung jagung
82 Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi derajat Standar grits jagung derajat putih (%) putih (%) deviasi (%) (jam) 15 65.5 65.25 0.4 30 68.4 67.2 1.8 45 70.7 69.15 2.1 57.5 69.4 70.775 -2.0 70 71.7 72.4 -0.9 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
4.3.5 Suhu gelatinisasi Korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan suhu gelatinisasi dapat dinyatakan dengan persamaan kuadratik Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8.
Hasil
pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi masih berada pada kisaran nilai prediksi dengan standar deviasi 10% seperti terllihat pada Tabel 25. Berdasarkan hasil tersebut maka persamaan Tg = 0.006t2 - 0.3934t + 82.847 dapat digunakan untuk memprediksi suhu gelatinisasi, dengan Tg adalah suhu gelatinisasi (oC ) dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Tabel 25 Hasil pengukuran dan prediksi suhu gelatinisasi tepung jagung Prediksi suhu Standar Waktu fermentasi Hasil pengukuran gelatinisasi (oC) deviasi (%) grits jagung suhu gelatinisasi (oC) (jam) 15 81.0 78.3 3.3 30 75.3 76.5 -1.5 45 75.8 77.4 -2.1 57.5 77.8 80.2 -3.1 70 80.7 84.9 -5.2 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
4.3.6
Viskositas panas saat dipertahankan selama 15 menit pada suhu 95oC (Vpa15)
Salah satu parameter untuk mengetahui stabilitas adonan selama pemanasan dilihat berdasarkan Vpa15. Berdasarkan hasil karakterisasi sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung didapatkan persamaan korelasi antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas panas 15 menit. Tabel 26 menunjukkan
83 bahwa viskositas panas 15 menit dapat diprediksi menggunakan persamaan Vpa15 = 2.17t + 452.3 dengan standar deviasi kurang dari 10%. Tabel 26 Hasil pengukuran dan prediksi Vpa15 Prediksi Vpa15 (BU) Standar Waktu fermentasi Hasil pengukuran deviasi (%) grits jagung Vpa15 (BU) (jam) 15 483 485 -0.3 30 566 517 8.6 45 533 550 -3.1 57.5 599 577 3.7 70 593 604 -2.0 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
4.3.7 Rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas saat dipertahan selama 15 menit pada suhu 95oC (
Vd Vpa15
)
Kecenderungan bahan untuk teretrogradasi dapat dilihat berdasarkan yang dapat diprediksi berdasarkan waktu fermentasi jagung persamaan Rv = -0.02t + 2.9 dengan Rv adalah
Vd Vpa15
Vd Vpa15
menggunakan
dalam BU dan t adalah
waktu fermentasi dalam jam. Tabel 27 menunjukkan bahwa persamaan tersebut dapat digunakan untuk memprediksikan karena setelah itu menghasilkan nilai
Vd Vpa15
Vd Vpa15
sampai waktu fermentasi 30 jam
dengan standar deviasi antara nilai
yang diprediksi dan nilai pengukuran lebih dari 10 %.
Tabel 27 Hasil pengukuran dan prediksi Waktu fermentasi grits jagung (jam) 15 30 45 57.5 70
Hasil pengukuran Vd Vpa15
2.53 2.27 2.37 2.11 2.30
Vd Vpa15
Prediksi 2.6 2.30 2.0 1.75 1.5
Vd Vpa15
Standar deviasi (%) -2.8 -1.2 15.7 17.1 34.9
84 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa 4.3.8 Kekuatan gel Berdasarkan hasil analisa korelasi kekuatan gel dengan variabel lain, didapatkan korelasi antara kekuatan gel dengan waktu fermentasi grits jagung. Korelasi itu dapat dirumuskan menjadi persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 dimana Gs adalah kekuatan gel tepung jagung (g force), dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). Tabel 28 memperlihatkan prediksi kekuatan gel yang diperoleh dan hasil pengukuran kekuatan gel. Pada fermentasi selama 45 jam, persamaan tersebut kurang tepat diaplikasikan karena standar deviasi yang diperoleh lebih dari 10%. Persamaan Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3 dapat digunakan untuk memprediksikan kekuatan gel dengan waktu fermentasi 0 sampai 72 jam, kecuali pada fermentasi 45 jam, dimana hasil pengukurannya memiliki standar deviasi lebih dari 10 % dari nilai prediksi. Tabel 28 Hasil pengukuran dan prediksi kekuatan gel tepung jagung. Waktu fermentasi Hasil pengukuran Prediksi kekuatan Standar grits jagung kekuatan gel (gforce) gel (gforce) deviasi (%) (jam) 15 11.369 11.40 -0.3 30 16.224 14.70 9.4 45 20.319 16.20 20.3 57.5 17.528 16.08 8.3 70 15.321 14.70 4.1 Keterangan: * merupakan angka rata-rata 3 ulangan dan 2 kali analisa
Pada tahap kedua penelitian ini didapat beberapa model dalam bentuk persamaan matematika yang telah divalidasi untuk menguji kelayakannya (Tabel 29). Model matematika ini diharapkan dapat diaplikasikan untuk mengendalikan sifat fisik dan fungsional tepung jagung berdasar waktu fermentasi grits jagung.
85
Tabel 29 Model prediktif sifat fisik dan fungsional tepung jagung yang telah divalidasi No
Persamaan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Dp = -0.0009t + 0.712 Dl = -0.0007t + 0.493 Sr = -0.072t + 43.7 W = 0.13t + 63.3 Tg = 0.006t2 – 0.39t + 82.8 Vpa15 = 2.17t + 452.3
7.
Rv = -0.02t + 2.9
8.
Gs = -0.004t2 + 0.4t + 6.3
Variabel terikat Packed density Loose density Sudut curah Derajat putih Suhu gelatinisasi Viskositas panas 15 menit
waktu fermentasi (jam) 0 – 72 0 – 72 0 – 30 0 – 72 0 – 72 0 – 72
Vd Vpa15
0 – 30
Kekuatan gel
0 – 30; 57.5 - 70
4.4 Pengaruh interaksi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap sifat fisik, kimia dan fungsional tepung
Gambar 29 menunjukkan tepung jagung non fermentasi dengan ukuran partikel yang berbeda. Gambar 29a menunjukkan tepung jagung 60 mesh sebelum difraksinasi, sedangkan Gambar 29b, 29c, 29d dan 29e menunjukkan hasil fraksinasi tepung jagung dari yang berukuran paling besar sampai paling kecil. Tepung jagung
60 mesh mempunyai
ukuran partikel kurang dari 250 µm.
Gambar 29b menunjukkan tepung jagung berukuran paling besar dengan ukuran partikel >150- 250 µm. Gambar 29c menunjukkan tepung jagung berukuran >106-150 µm. Gambar 29d menunjukkan tepung jagung berukuran partikel >75 106 µm. Gambar 29e menunjukkan tepung jagung dengan ukuran partikel paling kecil dengan ukuran ≤ 75 µm. Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 45 jam menunjukkan ukuran partikel yang hampir sama (Lampiran 1).
86
(a)
(b)
(c)
(d) (e) Gambar 29 Partikel tepung jagung tanpa fermentasi dilihat menggunakan scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali) (a) 60 mesh (b) >150 250 µm c) >106 – 150 µm, (d) >75 – 106 µm, (e) ≤ 75 µm.
4.4.1 Komposisi kimia tepung jagung
Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung berpengaruh nyata terhadap kadar serat kasar tepung jagung, tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.
Semakin kecil ukuran partikel tepung,
semakin kecil kadar serat kasar serta semakin besar kadar protein dan kadar tepung jagung (Tabel 30).
88 Serat kasar terdapat pada bagian-bagian perikarp, lembaga dan endosperm masing-masing 86.7, 8.8 dan 2.7 % (Lubin 1992). Penggilingan akan menghaluskan sebagian besar endosperm, yang hanya mengandung serat kasar dalam jumlah kecil sehingga kadar serat kasar pada tepung jagung berukuran partikel kecil lebih sedikit daripada tepung berukuran partikel besar. Perikarp yang banyak mengandung serat kasar dibuang pada pencucian, dan sebagian yang tersisa sulit dihaluskan sehingga tidak lolos pada ayakan yang lebih kecil, demikian juga bagian lembaga. Hal ini mengakibatkan tepung jagung dengan ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar serat kasar lebih rendah daripada tepung dengan ukuran partikel lebih besar. Waktu fermentasi grits jagung menurunkan kadar serat kasar tepung jagung dengan tingkat penurunan yang hampir sama sehingga menghasilkan grafik seperti pada Gambar 30. Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi 70 jam menurunkan kadar serat kasar (1.67 %), dibandingkan
tepung non fermentasi (2.58 %), demikian
juga pada tepung berukuran partikel ≤ 70 µm kadar serat kasar turun dari 1.82 % (non fermentasi) menjadi 0.97 % (fermentasi 70 jam).
3.0
serat kasar (% bk)
2.5 2.0 1.5 1.0 0.5
> 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0.0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 30 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kadar serat kasar tepung jagung
89 Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kadar protein tepung jagung. Hal ini mirip dengan sifat pada tepung gandum yaitu tepung dengan ukuran partikel lebih kecil mempunyai kadar protein lebih besar Canovas dan Yan 2003).
(Barbosa-
Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm, waktu
fermentasi selama 70 jam menurunkan kadar protein menjadi 8.96% dibandingkan tepung jagung berukuran ≤ 75 µm tanpa fermentasi (11.03 %). Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, kadar protein tepung setelah fermentasi 70 jam (7.21%) relatif tidak berubah dari kadar protein tepung tanpa fermentasi (7.85%). Perubahan kadar protein tepung jagung pada masing-masing ukuran partikel ini dapat dilihat pada Gambar 31.
12.0 11.0
protein (%bk)
10.0 9.0 8.0 7.0 6.0
> 150-250µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
5.0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 31 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kadar protein tepung jagung Waktu fermentasi grits jagung berpengaruh nyata terhadap kadar pati tepung jagung, sedangkan ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya tidak berpengaruh.
Pati jagung mempunyai ukuran partikel 1 sampai 7 μm untuk
partikel berukuran kecil dan 15 sampai 20 μm untuk partikel berukuran besar. Ukuran partikel tepung jagung paling kecil pada penelitian ini adalah ≤ 75 μm sehingga semua pati lolos pada ayakan yang paling kecil. Hal ini mengakibatkan
90 tidak ada perbedaan kadar pati antara ukuran partikel tepung yang berbeda. Sebagian besar pati (87,6%) berada pada bagian endosperm yang dapat menjadi halus pada proses penggilingan dan terdistribusi hampir merata pada semua ukuran partikel tepung jagung. Tabel 31 Kadar pati, kadar gula reduksi dan pH tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Waktu Ukuran Kadar pati Kadar gula pH fermentasi partikel (% bk) reduksi (% bk) jagung (jam) 0 60 mesh 77.0±0,4 2.70±0.08 5.67±0.04 >150-250 µm 74.1 ± 0.6 2.04±0.07 5.66±0.05 >106-150 µm 76. ± 1.2 2.15±0.03 5.73±0.1 >75-106 µm 75.7 ± 0.3 2.21±0.11 5.69±0.04 ≤75 µm 76.3 ± 0.8 2.57±0.03 5.67±0.06 15 60 mesh 76.5±2.4 1.37±0.12 4.8±0.12 >150-250 µm 75.0 ± 2.5 1.37±0,133 4.69±0.12 >106-150 µm 74.4 ± 1.5 1.31±0.07 4.71±0.8 >75-106 µm 74.6±1.3 1.52±0.10 4.78±0.07 ≤75 µm 75.3±2.0 1.32±0.18 4.84±0.03 30 60 mesh 76.6±1.7 1.33±0.23 4.72±0.11 >150-250 µm 72.0 ± 2.2 1.23±0.16 4.72±0.1 >106-150 µm 72.5±3.4 1.28±0.11 4.69±0.05 >75-106 µm 73.2±4.2 1.36±0.09 4.69±0.06 ≤75 µm 72.6±2.7 1.43±0.22 4.63±0.09 45 60 mesh 73.7±0.8 1.72±0.19 4.57±0.28 >150-250 µm 71.9±2.3 1.46±0.15 4.34±0.08 >106-150 µm 72.6±2.8 1.54±0.09 4.33±0.1 >75-106 µm 72.2± 4 1.26±0.11 4.35±0.11 ≤75 µm 71.8±2.4 1.48±0.13 4.19±0.03 57.5 60 mesh 74.6±3.1 1.25±0.25 4.42±0.02 >150-250 µm 72.2±2.8 1.32±0.13 4.33±0.06 >106-150 µm 70.6±2.2 1.50±0.05 4.4±0.08 >75-106 µm 71.4 ± 3.8 1.28±0.19 4.39±0.05 ≤75 µm 71.6±2.6 1.25±0.32 4.39±0.02 70 60 mesh 71.6±2.3 1.48±0.33 4.34±0.12 >150-250 µm 69.7±1.6 1.33±0.06 4.67±0.09 >106-150 µm 72.2 ± 2.6 1.47±0.05 4.61±0.03 >75-106 µm 69.4 ± 2.5 1.57±0.06 4.66±0.1 ≤75 µm 69.0 ± 2.6 1.37±0.04 4.67±0.05 Keterangan: angka dengan huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak beda nyata pada taraf 0.05
91 4.4.2 Densitas kamba tepung jagung
Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel
tepung serta interaksi
keduanya berpengaruh nyata terhadap loose dan packed density tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung, loose dan packed density tepung jagung semakin kecil. Hal ini disebabkan semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan dan semakin besar pula volume sehingga densitas semakin kecil. Densitas tepung jagung yang berbeda ukuran partikelnya mempunyai korelasi dengan kadar protein, serat kasar, lemak, abu, pati, amilosa dan waktu fermentasi jagung (Lampiran 12). Protein utama pada jagung adalah zein dengan berat molekul sekitar 22 sampai 24 kilodalton (Laszity 1986). Berdasarkan gaya sedimentasi dan difusi, molekul zein berbentuk globula sehingga lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein, sehingga protein memiliki densitas besar. Pada tepung jagung berukuran besar, sedikit peningkatan kadar protein akan meningkatkan densitas. Sedangkan tepung jagung berukuran kecil mempunyai luas area permukaan dibanding volume yang besar yang memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik pada bagian luar. Hal ini mengakibatkan penurunan densitas. Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, perubahan kadar protein ini cenderung tidak mengubah packed density seperti terlihat pada Gambar 32. Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, perubahan kadar protein dari 7.08 % menjadi 7.85 % meningkatkan packed density dari 0.669 g/ml menjadi 0.748 g/ml; sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm peningkatan kadar protein dari 8.96 % menjadi 11.03 % mengubah packed density dari 0.585 g/ml menjadi 0.635 g/ml.
92
packed density (g/ml)
0.800
0.700
0.600
0.500 >150-250 µm >75 – 106 µm
>106 - 150 µm ≤75 µm
0.400 5.0
7.0
9.0
11.0
13.0
protein (%bk)
Gambar 32 Pengaruh kadar protein dan ukuran partikel terhadap packed density tepung jagung. Semakin tinggi kadar serat kasar dan semakin besar ukuran partikel, semakin tinggi packed density tepung jagung (Gambar 33). Apabila dibuat suatu grafik hubungan antara kadar serat kasar dan packed density tepung jagung akan didapatkan garis regresi linier seperti dapat dilihat pada Gambar 34. Berdasarkan hasil tersebut dapat dinyatakan bahwa kadar serat kasar mempunyai pengaruh terhadap packed density tanpa dipengaruhi ukuran partikel tepung.
packed density (g/ml)
0.80
0.70
0.60
0.50
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0.40 0.0
1.0
2.0
3.0
4.0
serat kasar (% bk)
Gambar 33 Pengaruh kadar serat kasar dan ukuran partikel tepung terhadap packed density tepung jagung
93
packed density (g/ml)
0.80
0.70
0.60 Dp = 0.0764s + 0.5148
0.50
R 2 = 0.7386
0.40 0.0
1.0
2.0
3.0
serat kasar (% bk)
Gambar 34 Hubungan kadar serat kasar dan packed density tepung jagung.
Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam menurunkan loose density tepung jagung menjadi 0.463 g/ml dibandingkan tepung jagung yang tidak difermentasi (0.535 g/ml). Sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, loose density relatif tidak berubah dengan meningkatnya waktu fermentasi selama 70 jam dari 0.395 g/ml menjadi 0.368 g/ml (Gambar 35). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm dan >106 – 150 µm dapat dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan persamaan: Dli = -0.001t + 0.532
(R2 = 0.801)
Dlii = -0.001t+ 0.508
(R2 = 0.8272)
dimana Dli dan Dlii adalah loose density tepung jagung berukuran > 150 - 250 µm dan >106 – 150 µm dalam g/ml, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
94
0.60
loose density (g/ml)
Dlii= -0.001t + 0.508 R 2 = 0.8272
Dli = -0.001x + 0.532 R2 = 0.801
0.50
0.40
0.30 > 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0.20 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 35 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap loose density tepung jagung.
Peningkatan waktu fermentasi grits jagung juga menghasilkan grafik cenderung mendatar pada packed density tepung jagung berukuran paling kecil (≤ 75 µm) seperti terlihat pada Gambar 36. Pada tepung berukuran ≤ 75 µm, waktu fermentasi selama 70 jam sedikit menurunkan packed density (dari 0.635 g/ml menjadi 0.585 g/ml); sedangkan pada tepung berukuran partikel >150 – 250 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam menurunkan packed density (0.639 g/ml) dari tepung non fermentasi (0.748 g/ml). Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dengan packed density tepung jagung berukuran >150 - 250 µm, >106 – 150 µm dan >75 – 106 µm dapat dinyatakan dalam bentuk grafik linier dengan persamaan-persamaan: Dpi = -0.0016t + 0.744
(R2 = 0.9215);
Dpii = -0.0012t + 0.702
(R2 = 0.7921);
Dpiii = -0.0011t + 0.678
(R2 = 0.8555),
Dengan Dpi, Dpii dan Dpiii adalah packed density tepung jagung berukuran >150 250 µm, >106 – 150 µm
dan >75 – 106 µm dalam g/ml, t adalah waktu
fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
95
packed density (g/ml)
0.80
Dpii= -0.0012t + 0.702 R2 = 0.7921
Dpi = -0.0016t + 0.744 R 2 = 0.9215
0.70 0.60
Dpiii = -0.0011t + 0.678 R 2 = 0.8555
0.50 0.40
> 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0.30 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 36 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap packed density tepung jagung.
4.4.3 Sudut curah tepung jagung
Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap sudut curah tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung semakin besar sudut curah tepung jagung, yang berarti daya alir semakin rendah. Menurut Cadden (1987) ukuran partikel yang semakin kecil menurunkan daya alir tepung. Hal ini sesuai dengan pernyataan Domian dan Poszytek (2005) yang menyatakan bahwa perubahan ukuran partikel dapat mempengaruhi daya alir tepung. Semakin kecil ukuran partikel, rasio luas permukaan terhadap massa meningkat. Menurut Fitzpatrick et al. (2004), luas permukaan menentukan
gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan
kohesi sehingga rasio luas permukaan terhadap volume merupakan indikasi yang baik bagi daya
alir pada sistem bubuk.
Lebih tinggi rasio luas permukaan
terhadap volume, partikel cenderung lengket dengan partikel yang lain dan hal ini mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir.
Hal ini juga sesuai
dengan pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan gaya kohesiv. Partikel tepung jagung berukuran kecil cenderung tidak mengalami perubahan daya alir dengan meningkatnya waktu fermentasi grits jagung seperti
96 terlihat pada Gambar 37. Pada tepung jagung berukuran ≤ 75 µm , sudut curah tidak berubah dengan bertambahnya waktu fermentasi; sedangkan pada tepung jagung berukuran > 150-250 µm fermentasi 70 jam meningkatkan sudut curah menjadi 47.6o, dari tepung non fermentasi (29.4o).
60
o
sudut curah ( )
50 40 30 Sri = 0.225t + 31.53 R2 = 0.8579
20 10
> 150-250 µm >75 – 106 µm
>106 - 150 µm ≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 37 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung.
Semakin kecil ukuran partikel, perubahan kadar protein, lemak, serat kasar dan abu cenderung tidak mengubah sudut curah tepung jagung (Lampiran 13). Pada tepung jagung berukuran partikel kecil, kadar lemak cenderung tidak mempengaruhi daya alirnya sehingga menghasilkan grafik mendatar seperti pada Gambar 38. Hal ini sesuai dengan penelitian Fitzpatrick et al. (2004) bahwa pada susu bubuk berukuran partikel kecil mempunyai daya alir relatif tidak berubah dengan meningkatnya kadar lemak; sedangkan pada susu bubuk berukuran partikel besar, daya alirnya meningkat dengan menurunnya kadar lemak. Hal ini disebabkan pengaruh gaya kohesiveness akibat kadar lemak yang tinggi lebih dominan daripada ukuran partikel pada susu bubuk berukuran partikel kecil .
97
60
o
sudut curah ( )
50 40 30 Sri = -24.48l + 106.2 R2 = 0.7084
20 10
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
kadar lemak (% bk)
Gambar 38 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung putih Semakin tinggi densitas dan semakin besar ukuran partikel, semakin kecil sudut curah.
Semakin tinggi densitas, semakin kecil luas permukaan, demikian
juga semakin besar ukuran partikel. Gaya permukaan antarpartikel seperti gaya gesekan dan kohesi ditentukan oleh luas permukaan dan masa yang proporsional terhadap volume, merupakan indikasi yang baik bagi daya alir pada sistem bubuk. Semakin besar ukuran partikel tepung, semakin kecil luas permukaan sehingga tepung lebih mudah mengalir atau sudut curah semakin kecil. Pada tepung jagung dengan ukuran partikel kecil, perubahan packed density cenderung tidak mempengaruhi daya alir tepung seperti dapat dilihat pada Gambar 39. 60
sudut curah (o )
50 40 30 20 10
Sri = -130.48Dp + 129.2 R2 = 0.7999
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 0.50
0.60
0.70
0.80
packed density (g/ml)
Gambar 39 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap sudut curah tepung jagung putih.
98 Peningkatan waktu fermentasi grits jagung menurunkan sudut curah tepung jagung berukuran partikel >150 – 250 µm.
Hubungan antara waktu
fermentasi grits jagung dengan sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel 150 – 249.9 µm dapat dinyatakan sebagai persamaan linier (R2 = 0.8579)
Sri = 0.2252t + 31.528
dengan Sri adalah sudut curah tepung jagung dengan ukuran partikel 150 – 249.9 µm dalam o, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
4.4.4 Derajat putih tepung jagung
Semakin kecil ukuran partikel, semakin tinggi derajat putih tepung (Gambar 40 dan 41). Hal ini disebabkan tepung dengan ukuran partikel kecil mempunyai luas permukaan besar sehingga akan terbentuk bayangan yang lebih cerah. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap derajat putih tepung jagung menghasilkan grafik linier dengan kemiringan hampir sama pada semua ukuran partikel tepung jagung seperti dapat dilihat pada Gambar 41. Pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm, tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai derajat putih 60.7 % dan fermentasi 70 jam meningkatkan derajat putihnya (68.7 %). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi 70 jam meningkatkan derajat putih (79.6%) dibandingkan tepung yang dibuat tanpa fermentasi (74.9%).
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 40 Tepung jagung yang dibuat dari fermentasi grits jagung selama 15 jam dengan ukuran partikel (a) > 150-250 µm; (b) >106-150 µm, (c) >75-106 µm; (d) ≤75 µm
99
90
derajat putih (%)
Wiv = 0.068t + 74.7
Wiii = 0.087t + 69.4 R 2 = 0.7195
2
R = 0.8413
80
70 Wi = 0.097t + 63.3
Wii = 0.042t + 68.4 60
R2 = 0.6422
2
R = 0.5498
50 0
> 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 41 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung. Derajat putih tepung jagung berkorelasi dengan kadar protein, gula reduksi dan pH pada hampir semua ukuran (Lampiran 14).
Hubungan antara kadar
protein dan gula reduksi dengan derajat putih berkorelasi dengan reaksi pencoklatan non enzimatis, yang didukung dengan korelasi antara derajat putih dengan pH pada tepung jagung semua ukuran. Tepung jagung berukuran partikel ≤75 µm mempunyai kisaran derajat putih lebih tinggi (74.9 – 79.6 %) pada pH antara 4.2 sampai 5.7 dibanding tepung berukuran partikel >150-250 µm (60.7 68.7 %) pada kisaran pH yang hampir sama (4.3 sampai 5.7) seperti dapat dilihat pada Gambar 42. 90
derajat putih (%)
80 70 60
Wi = -6.042Ph + 95.4 R2 = 0.873
50 40
> 150 - 250 µm >75 – 106 µm
>106 - 150 µm ≤ 75 µm
30 4.0
4.5
5.0
5.5
6.0
pH
Gambar 42 Pengaruh pH dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
100 Semakin tinggi packed density, semakin kecil luas permukaan bahan dan dengan adanya pemantulan cahaya akan terbentuk bayangan yang kelihatan lebih gelap. Hubungan densitas dengan derajat putih tepung jagung berhubungan juga dengan luas permukaan.
Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm,
peningkatan packed density dari 0.639 g/ml menjadi 0.748 g/ml menurunkan derajat putih (dari 68.7 % menjadi 60.7 %); demikian juga pada tepung berukuran partikel >150-250 µm peningkatan packed density (dari 0.585 g/ml menjadi 0.635 g/ml) akan menurunkan derajat putih (dari 79.6 % menjadi 74.9 %) seperti dapat dilihat pada Gambar 43.
derajat putih (%)
90
80
70
60 > 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
50 0.50
0.60
0.70
0.80
packed density (g/ml)
Gambar 43 Pengaruh packed density dan ukuran partikel tepung terhadap derajat putih tepung jagung.
4.4.5 Kapasitas penyerapan air
Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata terhadap kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam menyerap air lebih besar (Gambar 44). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kapasitas penyerapan air menjadi 128.9% dari tepung jagung non fermentasi (115.9 %), dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam akan menurunkan kembali kapasitas penyerapan air (113.6%). Sedangkan pada tepung
101 berukuran partikel >150 – 250 µm, fermentasi cenderung tidak mengubah kapasitas penyerapan air tepung yang dihasilkan seperti terlihat pada Gambar 44. Dengan demikian apabila diinginkan produk-produk yang perlu tingkat rehidrasi tinggi dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran
kapasitas penyerapan air(%)
partikel ≤ 75 µm.
140
120
100 > 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
80 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 44 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kapasitas penyerapan air tepung jagung.
4.4.6. Kapasitas penyerapan minyak
Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung yang dihasilkan, sedangkan interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata. Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kapasitas penyerapan minyak karena semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar sehingga kemampuan bahan dalam menyerap minyak semakin besar.
Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm,
fermentasi grits selama 70 jam menurunkan kapasitas penyerapan minyak menjadi 69.3% dari tepung non fermentasi (82.8%). Pada tepung berukuran partikel >150 – 250, kapasitas penyerapan minyak relatif tidak berubah dengan fermentasi seperti terlihat pada Gambar 45. Dengan demikian apabila diinginkan produk dengan kapasitas penyerapan minyak kecil maka digunakan tepung dengan ukuran partikel yang lebih besar. Sebagai contoh
102 adalah untuk melapisi (coating) produk-produk yang digoreng, pelapisan menggunakan tepung berukuran partikel besar lebih menguntungkan karena lebih
kapasitas penyerapan minyak (%)
sedikit menyerap air.
100 Kpm iv = -0.205t + 83 R 2 = 0.7258
80 60 40 20
> 150-250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 45 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung. Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kapasitas penyerapan minyak tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm menghasilkan grafik regresi linier yang menurun. Hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan: (R2 = 0.7258)
Kpmiv = 0.2048t + 83
dengan Kpmiv adalah kapasitas penyerapan minyak tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm dalam % berat kering, t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
4.4.7 Suhu gelatinisasi
Waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung tetapi interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata.
Lebih kecil ukuran partikel tepung, lebih rendah suhu
gelatinisasi karena luas permukaan lebih besar sehingga lebih cepat menyerap air. Semakin cepat bahan menyerap air akan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian
103 Bedolla dan Rooney (1984) bahwa semakin tinggi ukuran partikel tepung jagung ternikstamalisasi, semakin tinggi suhu gelatinisasi. Valdez-Niebla et al. (1993) juga menyatakan bahwa pada tepung amaranth, meningkatnya ukuran partikel tepung akan meningkatkan suhu gelatinisasi. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung terhadap
suhu gelatinisasi pada semua ukuran partikel tepung
menunjukkan grafik seperti terlihat pada Gambar 46.
suhu gelatinisasi (o C)
90 85 80 75 70 65 60 0
> 150 - 250µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 46 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap suhu gelatinisasi tepung jagung.
4.4.8 Viskositas puncak
Waktu fermentasi jagung dan ukuran partikel tepung berpengaruh nyata terhadap viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan, demikian juga interaksi keduanya.
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar
viskositas puncak tepung jagung. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada tepung gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper 1982).
Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin besar luas
permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar sehingga viskositas puncak tepung jagung meningkat.
Tepung jagung non fermentasi berukuran partikel
>150-250 µm mempunyai viskositas puncak 328 BU, ukuran partikel yang lebih kecil (>106-150 µm) meningkatkan viskositas puncak (524 BU) dan ukuran partikel yang lebih kecil (>75 – 106 µm) juga meningkatkan viskositas puncak
104 (629 BU) hampir sama dengan viskositas puncak tepung berukuran partikel ≤ 75 µm ( 665 BU) seperti dapat dilihat pada Gambar 47.
VP
Gambar 47 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung non fermentasi (___>150 – 250 µm, ___ >106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm, ____ ≤ 75 µm). Waktu fermentasi grits jagung selama 70 jam meningkatkan viskositas puncak pada tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm menjadi 565 BU dibandingkan tepung non fermentasi (328 BU). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi grits jagung selama 70 jam cenderung tidak mengubah viskositas puncak (698 BU) dari tepung non fermentasi (665 BU) seperti terlihat pada Gambar 48 dan 49. Hal ini disebabkan kemampuan tepung tersebut dalam menyerap air sudah maksimal sehingga peningkatan luas permukaannya tidak lagi meningkatkan kapasitas penyerapan air dan viskositas cenderung tetap.
105
viskositas puncak (BU)
800
600
400
Vp i = 3.17t + 370.9 R2 = 0.7957
200 > 150 - 250 µm >75 – 106 µm
>106 - 150 µm ≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 48 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak tepung jagung.
VP
Gambar 49 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap amilografi tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm (____ fermentasi 0 jam, ____ fermentasi 45 jam, ____ fermentasi 70 jam). Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan rasio pati:protein, kadar serat kasar, kadar lemak, rasio pati:gula reduksi, pH, kadar abu, kadar amilosa, loose density, packed density, dan sudut curah pada tepung jagung berukuran besar (Lampiran 17). Pada tepung jagung berukuran partikel lebih kecil, meningkatnya kadar protein, lemak dan serat kasar cenderung tidak
106 mempengaruhi densitas dan sudut curah sehingga pada tepung jagung dengan ukuran partikel kecil, variabel-variabel tersebut tidak mempengaruhi viskositas puncak. Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar protein, serat kasar dan lemak akan meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan viskositas puncak. Semakin mudah bahan mengalir atau semakin rendah sudut curah, semakin rendah viskositas puncak. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, meningkatnya sudut curah (dari 29.4o menjadi 47.6o) akan meningkatkan viskositas puncak (dari 328 BU menjadi 587 BU) seperti terlihat pada Gambar 50. Sedangkan tepung berukuran partikel ≤ 75 µm mempunyai kisaran sudut curah yang kecil (45.7–47.7o) sehingga viskositas puncak hampir sama (665–698 BU), mirip dengan tepung berukuran partikel > 75 – 106 µm (sudut curah 45 – 47.2o dan viskositas puncak 585-662 BU).
Viskositas puncak (BU)
800
600
400 Vpi = 13.002Sr - 30 R 2 = 0.7888 200 > 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 25
30
35
40
45
50
o
sudut curah ( )
Gambar 50 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung. Viskositas puncak tepung jagung berkorelasi dengan kadar lemak pada dan amilosa pada tepung jagung berukuran partikel besar (108-149 µm dan 150-249 µm) (Gambar 51 dan 52). Pengaruh lemak dan amilosa berhubungan dengan pembentukan kompleks amilosa-lemak yang akan menghambat pengembangan granula pati. Pada tepung dengan ukuran partikel kecil (75-105.9 µm dan 0.1-74.9
107 µm), tidak terjadi penghambatan pengembangan kompleks amilosa-lemak yang terbentuk di permukaan granula kemungkinan karena partikel yang kecil mempunyai luas permukaan besar sehingga masih bisa terjadi pengembangan granula di sisi yang lain.
Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm,
penurunan kadar lemak (3.18%) menjadi
2.45% mengakibatkan peningkatan
viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, penurunan kadar lemak cenderung tidak mengubah viskositas puncak seperti dapat dilihat pada Gambar 51. Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, peningkatan kadar amilosa dari 26.% menjadi
28.4 % mengakibatkan
penurunan viskositas puncak (327 BU menjadi 587 BU); sedangkan pada tepung berukuran ≤ 75 µm, perubahan kadar amilosa cenderung tidak mengubah viskositas puncak seperti dapat dilihat pada Gambar 52.
Viskositas puncak (BU)
800
600
400 Vpi = -357.83l + 1457.7 R2 = 0.7064 200
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
4.5
kadar lemak (% bk)
Gambar 51 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung.
108
Viskositas puncak (BU)
800
600
400
200 > 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 25
26
27
28
29
30
kadar amilosa (% bk)
Gambar 52 Pengaruh kadar amilosa dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas puncak adonan jagung. Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas puncak tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas puncak dapat dinyatakan dalam bentuk regresi linier dengan persamaan: (R2 = 0.7957)
Vpi = 3.18t + 371
dengan Vpi adalah viskositas puncak adonan jagung berukuran partikel >150-250 µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam) dan R2 adalah koefisien determinasi.
4.4.9 Sifat adonan selama pemanasan
Waktu fermentasi grits jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap sifat adonan selama pemanasan yaitu viskositas adonan panas, viskositas panas 15 menit (Vpa15) dan breakdown viscosity tepung jagung. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin besar luas permukaan sehingga penyerapan airnya semakin besar. Hal ini akan meningkatkan Vpa15 dan breakdown viscosity. Pada tepung berukuran partikel >150 -250 µm, fermentasi selama 70 jam akan meningkatkan Vpa15 menjadi 530 BU dari tepung non fermentasi (416 BU). Breakdown viscosity akan meningkat menjadi 35 BU pada tepung yang dibuat dengan fermentasi 70 jam dibandingkan
109 tepung non fermentasi (-88 BU). Pada tepung jagung berukuran partikel ≤ 75 µm, fermentasi relatif tidak mengubah viskositas panas selama 15 menit (Vpa15) dan breakdown viscosity (Gambar 53 dan 54).
VPa15 (BU)
800
600
400
200
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 53 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas panas 15 menit tepung jagung.
breakdown viscosity (BU)
200
100
0 0
20 waktu (jam)
-100
-200
40
60
80
Bdi = 1.48x - 77 R2 = 0.8102
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
Gambar 54 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity tepung jagung. Seperti halnya viskositas puncak, sebagian besar parameter yang berkorelasi dengan sifat adonan selama pemanasan juga hanya berkorelasi pada tepung jagung yang berukuran besar yaitu >150-250 µm dan >106-150 µm
110 (Lampiran 18). Penjelasan perubahan stabilitas adonan selama pemanasan pada tepung jagung berukuran partikel besar sama dengan perubahan viskositas puncak adonan jagung. Pada tepung dengan ukuran partikel besar, peningkatan kadar lemak akan meningkatkan densitas dan menurunkan sudut curah sehingga menurunkan breakdown viscosity (Gambar 55). Tepung jagung berukuran besar mempunyai rasio area permukaan:volume kecil sehingga adanya sedikit perubahan akan berdampak pada parameter yang lain, misalnya menurunnya kadar lemak akan membuat pengembangan granula dan peningkatan viskositas menjadi lebih besar dengan volume yang kecil, dan ini lebih terlihat nyata dibanding tepung berukuran kecil. Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan kadar lemak dari 2.45 % menjadi 2.99 % akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU menjadi 25 BU, sedangkan pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm, peningkatan kadar lemak dari 3.28 menjadi 3.72 % relatif tidak mengubah breakdown viscosity.
breakdown viscosity (BU)
200
100
0 1.0
2.0
3.0
4.0
5.0
kadar lemak (% bk) -100 > 150 - 250 µm >75 – 106 µm
>106 - 150 µm ≤ 75 µm
-200
Gambar 55 Pengaruh kadar lemak dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity tepung jagung. Kadar protein, lemak, serat kasar, abu dan amilosa mempengaruhi sudut curah pada tepung jagung dengan ukuran partikel besar. Sudut curah tepung jagung mempengaruhi sifat-sifat tepung jagung dengan ukuran partikel besar selama proses pemanasan, salah satunya adalah breakdown viscosity (Gambar 56).
111 Peningkatan sudut curah (dari 29.4o menjadi 47.6o) pada partikel tepung berukuran >150 – 250 µm akan mengubah breakdown viscosity dari -88 BU menjadi 35 BU. Tepung berukuran partikel kecil mempunyai kisaran sudut curah kecil (47 - 47.7o) sehingga breakdown viscosity relatif tidak terpengaruh seperti terlihat pada Gambar 56.
breakdown viscosity BU)
150 100 50 0 25
30
35
45
50
55
o
-50 -100
40
sudut curah ( ) > 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
-150
Gambar 56 Pengaruh sudut curah dan ukuran partikel tepung terhadap breakdown viscosity tepung jagung. Kapasitas penyerapan air berkorelasi dengan viskositas panas 15 menit dan breakdown viscosity pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm. Korelasi breakdown viscosity dengan kapasitas penyerapan air terjadi pada tepung berukuran kecil karena luas permukaan yang lebih besar lebih banyak menyerap air. Semakin besar kapasitas penyerapan
air pada suatu bahan, maka
akan
semakin kuat bahan tersebut menahan air selama proses pemasakan dan hal ini mengakibatkan adonan lebih stabil selama pemanasan. Fermentasi grits jagung selama 0 sampai 72 jam meningkatkan viskositas panas dan breakdown viscosity tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan viskositas panas serta breakdown viscosity dapat dinyatakan dalam bentuk persamaan regresi linier: Vpai = 3.1815t + 360.23
(R2 = 0.7208);
Bdi = 1.4797t + 76.974
(R2 = 0.8102)
dimana Vpai adalah viskositas panas adonan jagung berukuran partikel >150-250
112 µm dalam Brabender Unit (BU), Bdi adalah breakdown viscosity adonan jagung berukuran partikel >150-250 µm dalam Brabender Unit (BU), t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam).
4.4.10 Retrogradasi adonan
Waktu fermentasi jagung, ukuran partikel tepung dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap viskositas dingin, setback viscosity dan
Vd . Vpa15
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar kemungkinan terjadinya retrogradasi. Hal ini dapat dilihat berdasarkan nilai viskositas dingin atau Vd Vpa15
(Gambar 57 dan 58).
Semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin luas
permukaan sehingga lebih besar kemungkinan terjadinya leaching amilosa dari granula pati.
Semakin banyak terjadinya leaching meningkatkan retrogradasi
adonan jagung. Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam menurunkan viskositas dingin (1120 BU) dari tepung non fermentasi (1642 BU) dan fermentasi lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi viskositas dingin (1950 BU). Pada tepung berukuran partikel > 150 – 250 µm, peningkatan waktu fermentasi selama 70 jam meningkatkan viskositas dingin tepung (1263 BU) dari tepung non fermentasi (983 BU) (Gambar 57). Pada tepung berukuran partikel ≤ 75 µm fermentasi grits selama 30 jam menurunkan
Vd Vpa15
(2.08) dari tepung non fermentasi (2.80) dan fermentasi
lanjutan sampai 70 jam meningkatkan lagi Vd
Vpa15
(3.11). Sedangkan pada tepung
berukuran partikel >150 – 250µm fermentasi grits selama 45 jam menurunkan Vd (1.88) dari tepung non fermentasi (2.37) dan fermentasi lanjutan sampai 70 Vpa15
jam meningkatkan lagi Vd (2.40) seperti dapat dilihat pada Gambar 58. Vpa15
113
viskositas dingin (BU)
2500 2000 1500 1000 500
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 57 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap viskositas dingin adonan jagung.
4.0
3.0
2.0
1.0 > 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0.0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 58 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Vd terhadap adonan jagung. Vpa15 Semakin besar ukuran partikel tepung jagung, semakin rendah viskositas dingin adonan jagung. Tepung jagung yang dibuat melalui proses fermentasi grits jagung selama 70 jam dengan ukuran partikel >150 – 250 µm mempunyai viskositas dingin 1263 BU, lebih kecil daripada tepung berukuran partikel <106 – 150 µm (1420 BU), >75 – 106 µm (1705 BU) dan ≤ 75 µm (1950 BU) seperti
114 terlihat pada Gambar 59. Hal ini sesuai dengan penelitian Iwuoha dan Nwakanma (1998) pada tepung ubi jalar, bahwa semakin besar ukuran partikel ubi jalar, semakin rendah viskositas adonan saat pendinginan.
VD
Gambar 59 Pengaruh ukuran partikel terhadap amilografi tepung jagung yang dibuat dengan fermentasi grits jagung selama 70 jam (___>150 – 250 µm, ___ >106 – 150 µm, ___ >75 – 106 µm, ____ ≤ 75 µm Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar kemungkinan terjadinya retrogradasi adonan, tetapi pada tepung jagung yang dibuat dari proses fermentasi selama 30 jam, kecenderungan tererogradasi tersebut hampir sama pada tepung dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm dan ≤ 75 µm (Gambar 57 dan 58. Semakin besar kemungkinan teretrogradasi, semakin besar kemungkinan terjadinya pengerasan produk selama proses pendinginan. Pada produk-produk bakery, hal tersebut tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan terjadinya staling. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm atau ≤ 75 µm.
4.4.11 Sifat gel
Semakin besar ukuran partikel, semakin tinggi kekuatan gel karena semakin kecil ukuran partikel tepung, semakin besar luas permukaan bahan sehingga
115 semakin besar terjadinya leaching amilosa dari granula pati yang akan menurunkan kekuatan gel dan meningkatkan kelengketan gel.
Pada tepung
berukuran partikel ≤ 75 µm, kekuatan gel relatif tidak berubah dengan meningkatnya waktu fermentasi (Gambar 60). Pada tepung berukuran partikel >150-250 µm, fermentasi selama 30 jam meningkatkan kekuatan gel (27.9 gforce) dari tepung non fermentasi (18.6 gforce), fermentasi lanjutan sampai 45 jam tidak mengubah kekuatan gelnya (27.6 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (17.6 gforce). Pada tepung berukuran partikel >106-150 µm, fermentasi selama 45 jam meningkatkan kekuatan gel (25.4 gforce) dari tepung non fermentasi (13.2 gforce), dan waktu fermentasi selanjutnya sampai 70 jam akan menurunkan kekuatan gel (14 gforce).
kekuatan gel (g force)
35
Gs i = -0.008t2 + 0.57t + 18.7 R 2 = 0.9363
30 25 20
Gs ii = -0.009t2 + 0.663t+ 12.9
y
R2 = 0.9221
15 10 5
> 150 - 250 µm
>106 - 150 µm
>75 – 106 µm
≤ 75 µm
0 0
20
40
60
80
waktu (jam)
Gambar 60 Pengaruh waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung terhadap kekuatan gel tepung jagung Tepung jagung dengan ukuran partikel ≤ 75 µm mempunyai kekuatan gel yang lebih kecil dibanding tepung berukutan lain. Hal ini berhubungan dengan tingkat sineresisnya, dimana pada tepung berukuran kecil kemungkinan terjadi sineresis lebih besar sehingga gel yang dihasilkan lebih lemah. Tepung jagung berukuran partikel >150-250 µm yang dibuat dengan fermentasi grits jagung selama 30 jam mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu sebesar 27.9 gforce.
Kekuatan gel tepung jagung ini sedikit lebih tinggi
116 dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas sama yang dimodifikasi secara oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan Hariyadi 2007). Pengaruh waktu fermentasi grits jagung terhadap kekuatan gel menunjukkan grafik yang bersifat kuadratik seperti terlihat pada Gambar 65. Hubungan antara waktu fermentasi grits jagung dan kekuatan gel pada tepung jagung dapat dinyatakan dengan persamaan: Gsi = -0.008t2 + 0.57t + 18.7
(R2 = 0.9363)
Gsii = -0.009t2 + 0.66t + 12.9
(R2 = 0.9221)
dimana Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel 150249.9 µm dan 106-149.9 µm dalam g force, t adalah waktu fermentasi grits jagung dalam jam dan R2 adalah koefisien determinasi.
4.5 Pembahasan umum
Beberapa sifat fungsional tepung jagung yang dibuat dari tepung jagung terfermentasi dipengaruhi oleh sifat fisik dan kimia. Diantara sifat kimia yang berkorelasi, kadar protein dan lemak tepung jagung sangat menentukan sifat fisik dan fungsional tepung. Kadar protein tepung jagung berkorelasi dengan densitas dan sudut curah tepung jagung serta sifat-sifat gelatinisasi dan kekuatan gel pasta jagung.
Hal ini dipengaruhi struktur biji jagung, terutama pada bagian
endosperm, seperti yang dinyatakan oleh Abdelrahman dan Hoseney (1984). Endosperm biji jagung terdiri dari dua komponen utama yaitu granula pati dan protein, dan struktur fisik endosperm tergantung pada interaksi antar dua komponen tersebut. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi variasi struktur biji jagung, diantaranya ketebalan matriks protein yang kontak dengan granula pati dan kekuatan adhesi antara matriks protein dan granula pati. Adanya dominasi pengaruh protein terhadap struktur biji jagung ini mempengaruhi pula sifat fisik tepung jagung. Korelasi yang tinggi antara kadar protein dengan densitas tepung jagung terjadi juga karena komposisi fraksi dan distribusi residu hidrofobik dan hidrofilik pada protein. Kandungan asam amino terbesar pada protein jagung adalah asam amino yang bersifat hidrofobik yang diasumsikan berbentuk globular sehingga
117 meminimalkan rasio antara area permukaan dengan volume yang memungkinkan lebih banyak residu hidrofobik terdapat pada bagian dalam protein. Rasio antara area permukaan dengan volume yang kecil pada protein jagung mengakibatkan tepung jagung mempunyai densitas yang besar dengan meningkatnya kadar protein (Damodaran 1996). Pengaruh kadar protein terhadap densitas ini mempengaruhi juga sudut curah atau sifat alir tepung jagung. Protein yang bersifat hidrofilik akan bersaing dengan pati untuk mendapatkan air. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Oluwamukomi et al. (2005) dan Hamaker dan Griffin (1993) bahwa keberadaan dan interaksi protein dengan pati menurunkan viskositas. Kurangnya air yang dapat diserap oleh pati karena adanya protein akan menghambat proses gelatinisasi dan menurunkan viskositas puncak pasta. Semakin tinggi kadar protein membuat rasio antara pati dengan protein semakin rendah yang mengakibatkan menurunnya viskositas pasta. Pengaruh kadar protein tepung jagung terhadap parameter gelatinisasi dan sifat gel pasta jagung dipengaruhi juga oleh pH. Pengaturan pH menjadi asam mengakibatkan protein menjadi lebih bermuatan positif dan karbohidrat akan terdehidrasi menghasilkan gugus karboksil yang lebih bermuatan negatif. Pada kondisi tersebut terjadi ikatan elektrostatik antara pati dan protein yang akan meningkatkan viskositas pasta dan pada akhirnya akan terbentuk gel yang kuat. Pada pH basa, baik protein dan pati mempunyai muatan negatif dan sedikit interaksi yang terjadi antar komponen tersebut sehingga viskositas menjadi rendah dan gel yang terbentuk menjadi lemah. Mekanisme pengaruh lemak terhadap sifat fungsional terjadi karena pembentukan kompleks amilosa-lemak di permukaan granula yang kemudian menghambat pengembangan sehingga suhu gelatinisasi meningkat. Hal ini sesuai dengan penelitian Singh et al. (2006) dan Eliasson dan Gudmunsson (1996) bahwa lemak dapat membentuk kompleks inklusi heliks dengan molekul amilosa, antara rantai hidrokarbon lemak dan heliks pada amilosa, yang memungkinkan terjadi annealing (proses peningkatan kristalinitas). Peristiwa ini akan menghasilkan derajat kristalin lebih tinggi sehingga jika terjadi gelatinisasi, suhu gelatinisasi akan meningkat dan viskositas menurun. Kompleks inklusi amilosalemak yang menghambat gelatinisasi kemungkinan ada tiga bentuk, pertama
118 kompleks utuh yang mengganggu kristalisasi amilopektin dan menghambat retrogradasi; kedua kompleks amilosa-lemak dapat memperlambat distribusi air dan retrogradasi; dan ketiga kristalisasi bersama amilosa dan amilopektin ke tingkat yang lebih luas, dan substansi kompleks tersebut mengurangi peran amilosa pada proses kristalisasi kembali (Eliasson dan Gudmunsson 1996). Peran protein dan lemak terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung seperti yang dinyatakan oleh Zhang dan Hamaker (2005) bahwa pati, protein dan lemak adalah 3 komponen utama pada makanan dan fungsionalitasnya tidak hanya menentukan nilai produk, tetapi juga sifat tekstural dan umur simpan. Kompleks lemak-amilosa yang terbentuk dari interaksi antara pati dan lemak juga mempengaruhi
fungsionalitas
pati,
yaitu
menurunkan
retrogradasi,
dan
mempengaruhi sifat termal dan mekanis pada pati. Semakin kecil ukuran partikel, semakin besar luas permukaan dan semakin besar pula volume sehingga densitas semakin kecil dan daya alir semakin turun. Hal ini sesuai dengan pendapat Fitzpatrick et al. (2004) bahwa luas permukaan menentukan gaya permukaan antarpartikel seperti gesekan dan kohesi sehingga lebih tinggi rasio luas permukaan terhadap volume akan mengurangi kecenderungan partikel untuk bergerak turun karena gaya gravitasi sehingga mengurangi kemampuan bahan untuk mengalir.
Hal ini juga sesuai dengan
pernyataan Stasiak dan Molenda (2004) bahwa penurunan ukuran partikel cenderung menurunkan daya alir karena luas permukaan partikel meningkatkan gaya kohesiv. Lebih kecil ukuran partikel tepung, luas permukaan lebih besar sehingga lebih cepat menyerap air dan semakin cepat pula terjadinya gelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi semakin rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Bedolla dan Rooney (1984) dan Valdez-Niebla et al. (1993) bahwa semakin kecil ukuran partikel, semakin rendah suhu gelatinisasi. Tepung jagung berukuran kecil lebih rendah suhu gelatinisasinya sehingga viskositas puncak, viskositas panas dan viskositas dingin lebih besar. Hal ini hampir mirip dengan keadaan pada tepung gandum bahwa tepung yang lebih halus viskositasnya lebih besar (Rasper 1982). Sementara itu Iwuoha dan Nwakanma (1998) menyatakan bahwa pada tepung ubi
119 jalar, semakin besar ukuran partikel ubi jalar, semakin rendah viskositas adonan saat pendinginan. Fermentasi
grits jagung selama 48 jam menghasilkan tepung jagung
dengan kekuatan gel 19.47 gforce, hampir sama dengan kekuatan gel pati jagung varietas Srikandi yang dimodifikasi secara oksidasi asetilasi, yaitu sebesar 19.23 gforce (Nur-Aini dan Hariyadi 2007). Sedangkan tepung jagung berukuran >150 – 250 µm yang dibuat dengan waktu perendaman grits jagung selama 30 jam mempunyai kekuatan gel tertinggi yaitu sebesar 27.9 gforce. Kekuatan gel tepung jagung ini sedikit lebih tinggi dibandingkan kekuatan gel pati jagung varietas sama yang dimodifikasi secara oksidasi, yaitu sebesar 25.5 gforce (Nur Aini dan Hariyadi 2007). Pati jagung tersebut dapat digunakan sebagai pengganti gelatin pada pembuatan marshmallow ceam, sehingga tepung jagung dengan kekuatan gel hampir sama juga dapat digunakan sebagai pengganti gelatin sebagai gelling agent. Pada produk-produk bakery, terjadinya retrogradasi tidak diinginkan karena dapat mengakibatkan terjadinya staling (pengerasan) produk selama penyimpanan. Untuk meminimalkan terjadinya hal tersebut, dapat digunakan tepung hasil fermentasi selama 30 jam dengan ukuran partikel <106 – 150 µm, >75 – 106 µm atau ≤ 75 µm.
120
5 SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan
Sifat fisik, kimia dan fungsional tepung jagung dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung jagung. 1. Fermentasi grits jagung putih menurunkan kadar protein, lemak, serat kasar,
abu, pati, gula reduksi, pH, densitas kamba dan kapasitas penyerapan minyak pada tepung yang dihasilkan; sedangkan sudut curah, derajat putih dan kapasitas penyerapan air meningkat. 2. Proses fermentasi grits jagung putih selama 24 jam menurunkan suhu
gelatinisasi tepung jagung (76.2oC) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (82oC) karena adanya leaching pada sebagian granula yang bersifat amorf mengakibatkan partikel tepung jagung yang dihasilkan mudah tergelatinisasi sehingga suhu gelatinisasi menurun. Fermentasi grits selama perendaman 24 sampai 48 jam relatif tidak mengubah suhu gelatinisasi tepung jagung,
sedangkan
proses
fermentasi
selama
perendaman
72
jam
meningkatkan suhu gelatinisasi tepung jagung (85.2oC). 3. Tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi mempunyai viskositas puncak
493 BU, dan proses fermentasi sampai 36 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak relative tetap (560 BU).
Selanjutnya proses
fermentasi selama 48 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak meningkat (648 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman grits jagung selama 60 jam (573 BU). Proses fermentasi grits jagung selama 72 jam menghasilkan tepung jagung dengan viskositas puncak menurun lagi (550 BU), hampir sama dengan viskositas puncak tepung jagung tanpa fermentasi. 4. Tepung jagung yang dihasilkan dengan proses fermentasi jagung selama 12
jam mempunyai breakdown viscosity 0 BU, sehingga stabilitas pemanasan lebih tinggi daripada tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (68 BU). Stabilitas ini terus dipertahankan selama fermentasi sampai jam ke 60, dan setelah 72 jam stabilitas pemanasan menurun menjadi -60 BU.
121 5. Proses fermentasi menurunkan kecenderungan retrogradasi tepung yang
dihasilkan. Hal ini ditunjukkan dengan menurunnya rasio viskositas dingin dibanding viskositas panas setelah 15 menit pengadukan pada suhu 95oC Vd ( Vpa15 ), yaitu dari 2.97 untuk tepung yang dibuat tanpa proses fermentasi menjadi 1.87 pada tepung yang diperoleh dengan proses fermentasi 48 jam. Proses fermentasi lanjutan selama 48 sampai 72 jam tidak mengubah kecenderungan retrogradasi tepung jagung. 6. Tepung jagung yang dihasilkan dengan perendaman 48 jam mempunyai
kekuatan gel yang meningkat (19.47 gforce) dibandingkan tepung jagung yang dibuat tanpa fermentasi (5.95 gforce). Kekuatan gel ini akan mengalami sedikit penurunan (14.48 gforce) jika perendaman dilanjutkan selama 60 jam. 7. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
kimia, kadar protein paling berpengaruh terhadap sifat fisik dan fungsional tepung jagung. Semakin rendah kadar protein tepung jagung semakin rendah loose density, packed density, sudut curah, kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin tinggi derajat putih, kapasitas penyerapan air, viskositas puncak dan stabilitas pemanasan. 8. Berdasarkan pada hasil analisa korelasi dan regresi, di antara beberapa sifat
fisik, packed density merupakan faktor paling berpengaruh terhadap sifat fungsional.
Semakin besar packed density tepung jagung, semakin besar
kapasitas penyerapan minyak dan retrogradasi tepung jagung; tetapi semakin kecil derajat putih, kapasitas penyerapan air, stabilitas pemanasan serta sudut curah. 9. Semakin kecil ukuran partikel tepung jagung, semakin kecil kadar serat kasar,
loose density, packed density, suhu gelatinisasi dan kekuatan gel sedangkan kadar protein, kadar lemak, sudut curah, derajat putih, kapasitas penyerapan air, kapasitas penyerapan minyak, viskositas puncak, breakdown viscosity, retrogradasi dan kelengketan gel meningkat. 10. Dengan menggunakan analisa korelasi dan regresi, diperoleh beberapa
persamaan yang bisa digunakan untuk memprediksi pengaruh lama proses fermentasi spontan (perendaman) terhadap beberapa sifat fisik, kimia dan
122 fungsional. Beberapa persamaan tersebut adalah Tg = 0.006t2 - 0.39t + 82.8; Vpa15 = 2.17t + 452.3, Gsi = -0.0084t2 + 0.57t + 18.754, Gsii = -0.0091t2 + 0.6628T + 12.923 dimana Tg adalah suhu gelatinisasi (oC), Vpa15 adalah viskositas panas 15 menit (BU), Gsi dan Gsii adalah kekuatan gel tepung jagung berukuran partikel >150 µm dan >106-150 µm dalam g force, dan t adalah waktu fermentasi grits jagung (jam). 5.2 Saran 1. Fermentasi grits jagung pada pembuatan tepung jagung meningkatkan
stabilitas pemanasan pada adonan jagung dan menurunkan kecenderungan produk untuk teretrogradasi sehingga tepung jagung yang dihasilkan melalui proses fermentasi jagung dapat diaplikasikan pada produk pangan yang memerlukan sifat tersebut, misalnya pada produk bakery yang perlu kecenderungan retrogradasi rendah. 2. Agar proses fermentasi dapat dikontrol maka fermentasi harus dilakukan pada
kondisi yang sama yaitu pada wadah tertutup, suhu 27oC, air yang digunakan adalah aquadest dengan perbandingan aquadest dan grits jagung adalah 6 l: 3 kg. 3. Beberapa sifat fisik, kimia dan fungsional bisa dikendalikan melalui waktu
fermentasi. Hal ini menunjukkan bahwa proses bisa dikontrol dan untuk itu perlu penelitian mengenai jenis-jenis mikroorganisme yang tumbuh dominan pada proses fermentasi jagung secara spontan sehingga pertumbuhan mikroorganisme tersebut dapat dikendalikan. 4. Fermentasi spontan grits jagung sampai 48 jam dan ukuran partikel yang
semakin besar meningkatkan kekuatan gel sehingga dapat diaplikasikan sebagai gelling agent pada produk pangan, contohnya sebagai pengganti gelatin.
DAFTAR PUSTAKA
123 [AACC] American Association of Cereal Chemists. 2000. Approved methods of the AACC, 10th ed. Methods 22-12, 46-12, 54-10, 54-21, 76-30A. St Paul MN: The Association. Abdelrahman AA, Hoseney RC. 1984. Basics for hardness in pearl millet, grain sorghum and corn. Cereal Chemistry 61:232-235 Achi OK, Akomas NS. 2006. Comparative assessment of fermentation techniques in the processing of fufu, a traditional fermented cassava product. Pakistan Journal of Nutrition 5:224-229. Aguilera JS, Stanley DW. 1999. Microstructural Principles of Food Processing and Engineering, 2nd ed. Gaithenrsburg: Aspen Publishers. Akinrele IA. 1970. Fermentation studies on maize during the preparation of a traditional African starch-cake food. Journal of the Science of Food and Agriculture. 21:619-625. Amusa NA, Ashaye OA, Oladapo MO. 2005. Microbiological quality of ogi and soy-ogi (a Nigerian fermented cereal porridge) widely consumed and notable weaning food in southern Nigeria. Journal of Food, Agriculture & Environment 3: 81-83. AOAC. 1995. Official methods of analysis. Washington DC: Association of Official Analytical Chemist. Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989. Analisa Pangan. Bogor: IPB Press. Aremu CY. 1993. Nutrient composition of corn OGI prepared by a slightly modified traditional technique. Food Chemistry 46:231-233. Asiamaya.com. 2009. Jagung putih manis http://www.asiamaya.com/nutrients/jagung putih-htm.
mentah.
Badan Standarisasi Nasional. Standar Nasional Indonesia 01-3727-1995. Tepung Jagung. Balai Penelitian Tanaman Sereal. 2007. Proses pasca panen jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id.htm. Diakses 2 April 2009. Banigo EOI, Muller HG. 1972. Manufacture of ogi (a Nigerian fermented cereal porridge): Comparative evaluation of corn, sorghum and millet. Canada International Food Science Technology 5:217-221. Barbosa-Canovas GV, Yan H. 2003. Powder characteristics of preprocessed cereal flours. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ, editor. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 173-208. Barbut S. 1999. Determining water and fat holding. Di dalam Hall GM, editor: Methods of testing protein functionality. New York: Blackie Academic and Professional. hlm 186-225. Badan Pusat Statistik. 2009. www.bps.go.id (5 Januari 2009).
124 Bedolla S, Rooney LW. 1984. Characteristics of US and Mexican instant maize flours for tortilla and snack preparation. Cereal Foods World 29:732-736. Boyer CD, Shannon JC. 1987. Carbohydrates of the kernel. Di dalam Watson SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology.. St Paul: American Association of Cereal Chemists. hlm 253-272 Burge RM. Duensing WJ. 1989. Processing and dietary fiber ingredient applications of combran. Cereal Foods World 34:535-538. Cadden A-M. 1987. Comparative effects of particle size reduction on physical structure and water binding properties of several plant fibers. Journal of Food Science 52:1595-1599. Chen Z. 2003. Physicochemical properties of sweet potato starches and their application in noodle products. [Disertasi]. Belanda: Wageningen University. Cherry JP. 1982. Protein-polysaccharide interactions. Di dalam Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI. hlm 375-398. Christianson DD 1982. Hydrocolloid interactions with starches. Di dalam Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport: AVI. hlm 399-419. Czuchajowska Z, Klamczynski A, Paszezynska B, Bail BK. 1998. Structure and functionality of barley starches. Cereal Chemistry 75: 747-754. Daniel JR, Weaver CM. 2000. Carbohydrates: functional properties. Di dalam: Christen GL, Smith JS, editor. Food Chemistry: Principles and Applications. California: Science technology system. hlm 63-66. Damodaran S. 1996. Amino acids, peptides and protein. Di dalam Fennema OR, editor. Food Chemistry. New York: Marcel Dekker. hlm 321-429. Davies R. 2006. Size measurement. Di dalam Masuda H, Higashitani K, Yoshida H, editor. Powder Technology Handbook. 3rd edition. New York:CRC. hlm 13-52. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Departemen Pertanian. 2008. Kebijakan peningkatan produksi jagung di Indonesia. Makalah Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta: 24 November 2008. Donsi G, Ferrari G. 1990. Flow and mixing behaviour of Food Powders. Di dalam: Spiess WEL, Schubert H. Physical Properties and Control. London and New York: Elsevier Applied Science. Dufour D, Larsonneur S, Alarcon F, Brabet C, Chuzel G. 2006. Improving the bread-making potential of cassave sour starch. Di dalam Cassava Flour and Starch: Progress in Research and Development. http://www.ciat.cgiar.org/agroempresas/pdf/cassava_flour/pdf. (30 Maret 2005). Earle RL. 1983. Unit Operations in Food Engineering. 2nd ed. New York: Pergamon Press.
125 Elkhalifa AEO, Schiffler B, Bernhardt R. 2005. Effect of fermentation on the functional properties of sorghum flour. Food Cemistry 92:1-5. Eliasson AC, Gudmundsson M. 1996. Starch: physicochemical and functional aspects. Di dalam Eliasson AC, editor. Carbohydrates in Food. New York: Marcel Dekker. Ellies HS, Ring SG, Whittam MA. 1988. Time-dependent changes in the size and volume of gelatinized starch granules on storage. Food Hydrocolloids 2:321-328. Fredriksson H, Silverio J, Andersson R, Eliason AC, Aman P. 1998. The influence of amylase and amylopectin characteristics on gelatinization amd retrogradation properties of different starches. Carbohydrate Polymers 35:119-134. Fitzpatrick JJ, Iqbal T, Delaney C, Twomey T, Keogh MK. 2004. Effect of food powder properties and storage conditions on the flowability of milk powders with different fat contents. Journal of Food Engineering 64:435-444. Gallant DJ, Bouchet B, Baldwi PM. 1997. Microscopy of starch: evidence of a new level of granule organization. Carbohydrate Polymers 32:177-191. Gatumbi RW, Muriru N. 1983. Kenyan uji. Di dalam Steinkraus KH, editor. Handbook of Indigenous Fermented Foods. New York: Marcel Dekker. hlm 198-203. Gratz S. 2007. Aflatoxin binding by probiotics: experimental studies on intestinal aflatoxin transport, metabolism and toxicity. Disertasi. Finlandia: Universitas Kuopio. Hagenimana A, Ding X, Fang T. 2006. Evaluation of rice flour modified by extrusion cooking. Journal of Cereal Science 43:38-46. Hamaker BR, Griffin VK. 1993. Effect of disulfide bond-containing protein on rice starch gelatinization and pasting. Cereal Chemistry 70:377-380. Hansen T, Van-der-Sluis E. 2004. Corn-based food production in South Dakota: a preliminary study. South Dakota State University. Hardman and Gunsolus. 1998. Corn growth and development. Extension Service. University of Minesota. Haskard CA, El Nezami HS, Kankaanpää PE, Salminen S, Ahokas JT. 2001. Surface binding of aflatoxin B1 by lactic acid bacteria. Appl Environ Microbiol 67:3086-3091. Hassan AB et al. 2006. Effect of processing treatments followed by fermentation on protein content and digestibility of pearl millet (Pennisetum typhoideum) cultivars. Pakistan Journal of Nutrition 5:86-89. Helstad S. 2006. Ingredient interactions: sweeteners. Di dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on food quality. . New York: CRC. Hlm 167-194.
126 Henshaw FO, McWatters KH, Oguntunde AO, Phillips RD. 1996. Pasting properties of cowpea flour: Effects of soaking and decortication method. J. Agric. Food Chemistry 44:1864-1870. Hizukuri S. 1996. Starch: Analytical aspects. Di dalam Eliasson A. editor. Carbohydrates in food. New York: Marcel Dekker. hlm 363-403. Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993a. Characterization and frequency distribution of species of lactic acid bacteria involved in the processing of mawe, a fermented maize dough from Benin. International Journal of Food Microbiology. 18:279-287. Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993b. Composition of microbial and physical attributes of mawe, a fermented maize dough from Benin. International Journal of Food Science and Technology. 28:513-517. Hounhouigan DJ, Nout MJR, Nago CM, Houben JH, Rombouts FM. 1993c. Changes in the physico-chemical properties of maize during natural fermentation of mawe. Journal of Cereal Science. 17:291-300. Hoseney RC. 1994. Principles of cereal science and technology. 2nd ed. St. Paul MN: American Association of Cereal Chemists. hlm 125 – 146. Hruskova M, Svec I, Kucerova I. 2003. Effect of malt flour addition on the rheological properties of wheat fermented dough. Czechnia. Journal Food Science 21:210-218. Hung PV, Morita N. 2004. Dough properties and bread quality of flours supplemented with cross-linked cornstarches. Food Research International 37:461-467. Ingbian EK, Akpapunam MA. 2005. Appraisal of traditional technologies in the processing and utilization of mumu; a cereal based local food product. African Journal of Food and Nutritional Sciences 5(2) http://www.ajfand.net. (7 Juli 2006). Ipteknet. 2009. Teknologi tepat guna tentang pengolahan pangan: tanaman penghasil pati. http://www.iptek.net.id/warintek/htm. Diakses 27 Februari 2009. Iwuoha CI, Nwakanma MI. 1998. Density and viscosity of cold flour pastes of cassava (Manihot esculenta Grantz), sweet potato (Ipomoea batatas L. Lam) and white yam (Dioscorea rotundata Poir) tubers as affected by concentration and particle size. Carbohydrate Polymers 37: 91-101. Jayne TS et al. 1996. Effects of market reform on access to food by low-income households: Evidence from four countries in Eastern and Southern Africa. Technical Paper No. 25. Bureau for Africa/USAID. Jobling, S. 2004. Improving starch for food and industrial application. Current opinion in Plant Biology 7: 210-218. Johansson ML, Sanni A, Lonner C, Mollin G. 1995. Phenotypic based taxonomy using API 50 CH of lactobacilli from Nigerian ogi, and the occurrence of
127 starch fermenting strains. International Journal of Food Microbiology. 25:159-168. Juliano BO. 1971. A simplified assay for milled rice amylosa. Cereal Science Today 16:334-360. Kadan RS, Bryant RJ, Pepperman AB. 2003. Functional properties of extruded rice flours. Journal of Food Science. 68:1669-1672. Khalil. 1999. Pengaruh kandungan air dan ukuran partikel terhadap perubahan perilaku fisik bahan pakan local: Sudut tumpukan, daya ambang dan factor higroskopis. Media Peternakan 1:1-11. Kilara A. 2006. Interactions of Ingredients in Food Systems: An Introduction. Di dalam Gaonkar AG, McPherson A. editor. Ingredient interactions: Effect on Food Quality. New York: CRC. hlm 1-20. Konik CM et al. 2001. Evaluation of the 40 mg swelling test for measuring starch functionality. Starch/Stärke 53:14-20. Latunde-Dada GO. 2009. Fermented foods and cottage industries in Nigeria. http://www.unu.edu/unupress/food?v184c/ch3.htm. Diakses 27 Februari 2009. Laszrity R. 1986. Maize proteins. Di dalam The Chemistry of Cereal Protein. USA: CRC Press. Lorri WSM. 1993. Nutritional and microbiological evaluation of fermented cereal weaning foods. [Disertasi]. Swedia: Department of Food Science, University of Technology.Goteborg. Lubin D. 1992. Maize in human nutrition. FAO. Roma, Italy. http://www.fao.org /documents/shows_cdr_files (30 Desember 2005). Majzoobi M, Rowe AJ, Connock M, Hill SE, Harding SE. 2003. Partial fractionation of wheat starch amylose and amylopectin using zonal ultracentrifugation. Carbohydrate Polymers 52:269-274. Mestres C, Boungou O, Akissoe N, Zakhia N. 1996. Comparison of the expansion ability of fermented maize flour and cassava starch during baking. J. Science Food Agriculture 80:665-672. Morikawa K, Nishinari K. 2002. Effects of granula size and size distribution on rheological behavior of chemically modified potato starch. Journal of Food Science 67:1388-1392. Munimbazi C, Bullerman LB. 1998. Inhibition of aflatoxin production of Aspergillus parasiticus NRRL 2999 by Bacillus pumilus. Mycopathology. 140: 163-169. Nabrzyski M. 1997. Mineral Components. Di dalam Sikorski ZE, editor. Chemical and functional properties of food components. Lancaster: Technomic Publishing. hlm 35-64. Nago MC, Hounhouigan JD, Akissoe N, Zanou E, Mestres C. 1998. Characterization of the Beninese traditional ogi, a fermented maize slurry:
128 physicochemical and microbiological aspects. International Journal of Food Science and Technology 33:307-315. Nelles EM, Dewar J, Bason ML, Taylor JRN. .2000. Maize Starch Biphasic Pasting Curves. Journal of Cereal Science 31:287–294. Nout MJR, Rombouts FM, Hautvast GJ. 1989. Accelerated natural lactic fermentation of infant food formulations. Food and Nutrition Bulletin. 11(1). http://www.unu.edu/unupress/food/htm. (30 Juni 2006). Nur-Aini, Hariyadi P. 2007. Pasta pati jagung putih waxy dan non-waxy yang dimodifikasi secara oksidasi dan asetilasi-oksidasi. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia 12:1-7. Ohenhen RE, Ikenebomeh MJ. 2007. Shelf stability and enzyme activity studies of ogi: a corn meal fermented product. Journal of American Sciences. 3: 38-42. Oluwamukomi MO, Eleyinmi AF, Enujiugha VN. 2005. Effect of soy supplementation and its stage of inclusion on the quality of ogi – a fermented maize meal. Food Chemistry. 91:651-657. Onyango C, Okoth MW, Mbugua SK. 2003. The pasting behaviour of lacticfermented and dried uji (an East African sour porridge). J. Science Food Agriculture. 83:1412-1418. Onyango C, Bley T, Raddatz H, Henle T. 2004. Flavour compounds in backslop fermented uji (an East African sour porridge). European Food Research Technology 218: 579-583. Onofiok NO, Nnanyelugo DO. 1998. Weaning foods in West Africa: nutritional problems and possible solutions. Food and Nutrition Bulletin 19:27-33. Peleg M. 1983. Physical characteristics of food powders. Di dalam Peleg M, Bagley EB, editor. Physical properties of foods. Westport, Connecticut: AVI Publishing Company. Peplinski AJ, Paulsen MR, Bouzaher A. 1992. Physical, chemical and dry milling properties of corn of varying density and breakage susceptibility. Cereal Chemistry 69:397-400. Pereira RC, et al. 2008. Relationship between structural and biochemical characteristics and texture of corn grains. Genetics and Molecular Research. 7:498-508. Perez OE, Haros M, Suarez C, Rosess CM. 2003. Effect of steeping time on the starch properties from ground whole corn. Journal of Food Engineering 60:281-287. Poneleit CG. 2001. Breeding white endosperm corn. Di dalam Hallauer, AR editor. Specialty corns. Washington: CRC. hlm 235-272. Prentice RDM, Stark JR, Gidley MJ. 1992. Granule residues and 'ghosts' remaining after heating A-type barley-starch granules in water. Carbohydrat Research 227:121-130.
129 Pusat Teknologi Agroindustri, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2008. Tepung Jagung Teknologi dan Tantangan Pengembangannya. Makalah Seminar Pengembangan Agroindustri Tepung Jagung dalam Mendukung Ketahanan Pangan. Jakarta 24 November 2008. Ragae S, El-Sayed M. Abdel-Aal. 2006. Pasting properties of starch and protein in selected cereals and quality of their food products. Food Chemistry 95:9-18. Rasper VF. 1982. Effect of preparative procedure on the evaluation of in vitro indigestible residue (dietary fiber). Di dalam Lineback DR, Inglett GE, editor. Food Carbohydrates. Westport, Connecticut: AVI. hlm 333-355. Ridout MJ, Gunning AP, Parker ML, Wilson RH, Morris VJ. 2002. Using AFM to image the internal structure of starch granules. Carbohydrate Polymers 50: 123-132. Sahlin P. 1999. Fermentation as a method of food processing production of organic acids, pH-development and microbial growth in fermenting cereals. [Tesis]. Lund Institute of Technology. Lund University. Sandhu KS, Singh N, Kaur M. 2004. Characteristics of the different corn types and their grain fractions: physicochemical, thermal, morphological and rheological properties of starch. Journal of Food Engineering 64: 119127. Sefa-Dedeh S, Cornelius B. 2000. The microflora of fermented nixtamalized corn. Pertemuan tahunan Institute of Food Technologists. Dallas, Texas 20-25 Juni 2000. Sefa-Dedeh S, Kluvitse Y, Afoakwa EO. 2001. Influence of fermentation and cowpea steaming on some quality characteristics of maize-cowpea blends. African Journal of Science and Technology 2:71-80. Serna-Saldivar SO, Gomez MH, Rooney LW. 2001. Food uses of regular and specialty corns and their dry-milled fractions. Di dalam Hallauer AR, editor. Specialty Corns. Washington: CRC Press. hlm 303-337. Shukla, R., & Cheryan, M. (2001). Zein: the industrial protein from corn. Industrial Crops and Products 13: 171–192. Singh N, Kaur L, Sandhu KS, Kaur J, Nishinari K. 2006. Relationships between physicochemical, morphological, thermal, rheological properties of rice starches Food Hydrocolloids 20:532-542 Sira EEP. 2000. Determination of the correlation between amylose and phosphorus content and gelatinization profile of starches and flours obtained from edible tropical tubers using differential scanning calorimetry and atomic absorption spectroscopy. [Tesis]. Wisconsin: University of Wisconsin-Stout. Sirivongpaisal P. 2008. Structure and functional properties of starch and flour from bambarra groundnut. Songklanakarin J. Sci. Technol. 30 (Suppl.1), 51-56. http://www.sjst.psu.ac.th. (28 Desember 2008).
130 Sowbhagya CM, Bhattacharya KR. 2001. Change in pasting behavior of rice during aging. J Cereal Science 34:115-124. Stasiak M, Molenda M. 2004. Direct shear testing of flowability of food powders. Res. Agr. Eng. 50:6-10. Steinkraus KH. 2002. Fermentations in world food processing. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety 1:23-32. Subagio A. 2006. Ubi kayu substitusi berbagai tepung-tepungan. Food Review 1(3):18-21. Subekti NA, Syafruddin, Efendi R, Sunarti S. 2008. Morfologi tanaman dan fase pertumbuhan jagung. http://balitsereal.litbang.deptan.go.id. (8 Januari 2008). Svanberg U, Sjogren E, Lorri W, Svennerholm. A-M, Kaijser B. 1992. Inhibited growth of common enteropathogenic bacteria in lactic-fermented cereal gruels. World J of Micro and Biotech. 8: 601-606. Valdez-Niebla JA, Paredes-Lopez O, Vargas-Lopez JM, Hernadez-Lopez D. 1993. Moisture sorption isotherms and other physicochemical properties of nixtamalized amaranth flour. Food Chemistry 46:19-23. Vandeputte GE, Delcour JA. 2004. From sucrose to starch granule to starch physical behaviour: a focus on rice starch. Carbohydrate Polymers 58: 245–266. Vasal, S.K. 1994. High quality protein corn. Di dalam Halleuer AR, editor. Specialty Corns. USA: CRC. Vegrains. 2005. Value enhanced grains http://www.vegrains.org (30 Maret 2005).
products:
white
corn.
Vergnes B, Valle GD, Colonna P. 2003. Rheological properties of biopolymers and applications to cereal processing. Di dalam: Kaletunc G, Breslauer KJ, editor. Characterization of Cereals and Flours: Properties, Analysis and Applications. New York: Marcel Dekker. hlm 209-266. Vorwerg W, Radosta S, Leibnitz, E. 2002. Study of a preparative-scale process for the production of amylose. Carbohydrate Polymers 47:181-189 Watson SA. 1987. Stucture and Composition. Di dalam Watson SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology. St Paul, Minnesota: American Association of Cereal Chemists. hlm 53-82. White PJ. 1994. Properties of corn strach. Di dalam: Halleuer AR, editor. Specialty Corns. USA: CRC Press. hlm 34-62. Williams HP. 1991. Model building in mathemathical programming. London: John Wiley & Sons. Wilson CM. 1987. Proteins of the Kernel. Dalam Watson SA, Ramstad PE, editor. Corn: Chemistry and Technology. St.Paul Minnesota: American Association of Cereal Chemists. hlm 273-310.
131 Yuan J, Flores RA. 1996. Laboratory dry milling performance of white corn: effect of physical and chemical corn characteristics. Cereal Chemistry 73:574-578. Zhang W, Jackson DS. 1992. Retrogradation behavior of wheat starch gels with differing molecular profiles. J. of Food Science 57:1428-1432. Zhang G, Hamaker BR. 2005. Sorghum (Shorgum bicolor L. Moench) flour pasting properties influenced by free fatty acids and protein. Cereal Chemistry 82:534-540.
132 Lampiran 1
Partikel tepung jagung fermentasi 45 jam dilihat menggunakan scanning electron microscope (SEM) (perbesaran 50 kali)
(a)
(b)
(c)
(d) (e) Keterangan : (a) tepung jagung 60 mesh (b) tepung jagung berukuran partikel 150 – 249.9 µm (c) tepung jagung berukuran partikel 106 – 149.9 µm, (d) tepung jagung berukuran partikel 75 – 105.9 µm, (e) tepung jagung berukuran partikel 0.1 – 74.9 µm.
133 Lampiran 2 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel yang berkorelasi
Koefisien korelasi Loose density Packed density Kadar protein 0.84** 0.932** Kadar lemak 0.651** 0.804** Kadar serat kasar 0.894** 0.758** Kadar abu 0.842** 0.839** Kadar pati 0.672** 0.79** Kadar amilosa 0.674** 0.664** Waktu fermentasi butiran jagung -0.877** -0.959** Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0,01
134 Lampiran 3 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Protein Serat kasar Pati Loose density Packed density Waktu fermentasi butiran jagung
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi -0.73** -0.785** -0.739** -0.853** -0.745** 0.777**
135 Lampiran 4 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Kadar protein Kadar gula reduksi PH Kadar lemak Kadar serat kasar Kadar pati Kadar amilosa Kadar abu Loose density Packed density Waktu fermentasi butiran jagung
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi -0.875** -0.696** -0.729** -0.706** -0.633** -0.743** -0.72** -0.827** -0.855** -0.925** 0.934**
136 Lampiran 5 Korelasi antara kapasitas penyerapan air dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Kadar amilosa Rasio amilosa:amilopektin Kadar protein Kadar serat kasar Kadar abu Loose density Packed density Waktu fermentasi butiran jagung
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05 ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi -0.442* -0.46* -0.521* -0.75** -0.59** -0.462* -0.54* 0.606**
137 Lampiran 6 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Kadar lemak Kadar protein Kadar serat Kadar abu Kadar pati Loose density Packed density pH Kapasitas penyerapan air Waktu fermentasi butiran jagung
Keterangan: ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi 0.445* 0.68** 0.654** 0.633** 0.62** 0.743** 0.751** 0.609** -0.581** -0.712**
138 Lampiran 7 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Rasio pati:gula reduksi
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05
Koefisien korelasi -0.502*
139 Lampiran 8 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung Variabel Kadar protein Rasio pati:protein pH Kadar gula reduksi Rasio pati:gula reduksi Kadar abu Waktu fermentasi butiran jagung
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05 ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi -0.725** 0.731** -0.639** -0.543* 0.543* -0.497* 0.573**
140 Lampiran 9 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi butiran jagung
Variabel
Kadar protein pH Kadar gula reduksi Kadar serat kasar Kadar lemak Kadar abu Kadar amilosa Loose density Packed density Kapasitas penyerapan air Viskositas puncak Waktu fermentasi grits jagung
Viskositas panas -0.659** -0.679** -0.575** -0.494* -0.568** 0.439* 0.876** 0.587**
Koefisien korelasi Breakdown Viskositas panas viscosity 15 menit -0.827** 0.435* -0.584** -0.478* -0.618** 0.601** -0.642** -0.676** 0.535* -0.486* -0.717** 0.631** -0.849** 0.596** 0.684** -0.482* 0.735** 0.799** -0.557**
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05 ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
141 Lampiran 10 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung Koefisien korelasi Variabel
Rasio pati:gula reduksi Kadar protein Kadar lemak Kadar serat kasar Kadar abu Kadar gula reduksi Loose density Packed density pH Kapasitas penyerapan air Viskositas puncak Viskositas panas Waktu fermentasi grits jagung
Viskositas dingin
-0.484* -
Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05 ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
Setback
Rasio VD:VPa15
viscosity
-0.588** 0.496* -0.664** -0.645** -
-0.577** 0.815** 0.645** 0.614** 0.55** 0.584** 0.67** 0.802** 0.434* -0.542* -0.745** -0.627** -0.691**
142 Lampiran 11 Korelasi antara kekuatan dan kelengketan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung Koefisien korelasi Variabel Kekuatan gel Kelengketan gel Kadar protein -0.832** 0.463* Rasio pati:protein 0.74** -0.443* Kadar gula reduksi -0.901** pH -0.867** Kadar abu -0.801** 0.536* Kadar serat kasar -0.666** Kadar air -0.517* Kadar lemak 0.658** Kadar amilosa 0.636** Packed density -0.685** 0.687** Kapasitas penyerapan air 0.669** Sudut curah 0.685** -0.603** Suhu gelatinisasi -0.467* -0.554** Viskositas puncak 0.715** Viskositas panas 0.74** Viskositas panas 15 menit 0.578** -0.544* Breakdown viscosity 0.583** Rasio VD:VPa15 -0.638** Waktu fermentasi grits jagung 0.642** -0.777* Keterangan: * = korelasi nyata pada taraf 0.05 ** = korelasi nyata pada taraf 0.01
143 Lampiran 12 Korelasi antara loose density dan packed density dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel
Ukuran partikel (µm)
Kadar protein
150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9
Kadar serat kasar
Kadar lemak
Kadar abu
Kadar pati
Kadar amilosa
Waktu fermentasi grits jagung
Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05 ** : korelasi pada taraf 0.01
Koefisien korelasi Loose density Packed density 0.581* 0.621** 0.658** 0.643** 0.767** 0.688** 0.592** 0.708** 0.650** 0.772** 0.857** 0.749** 0.712** 0.863** 0.722** 0.806** 0.891** 0.83** 0.858** 0.658** 0.907** 0.617** 0.698** 0.798** 0.788** 0.614** 0.789** 0.748** 0.735** 0.473* 0.469* 0.507* 0.484* 0.576* 0.563* 0.66** 0.634** 0.578* 0.628** 0.718** 0.724** 0.668** 0.634** 0.765** 0.762** 0.605** -0.893** -0.96** -0.91** -0.89** -0.729** -0.925** -0.819** -0.693**
144 Lampiran 13 Korelasi antara sudut curah dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi Kadar protein
Kadar serat kasar Kadar lemak Kadar abu
Loose density
Packed density
Ukuran partikel (µm) 150-249.9 106-149.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9
Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05 ** : korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi -0.555* -0.533* -0.787** -0.75** 0.565* -0.884** -0.707** -0.556* -0.653** -0.65** -0.569* -0.85** -0.904** -0.578* -0.894** -0.781** -0.52*
145 Lampiran 14 Korelasi antara derajat putih dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi Kadar protein
Kadar gula reduksi pH
Kadar lemak
Kadar serat kasar
Kadar abu
Packed density
Loose density
Ukuran partikel (µm) 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9
Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05 ** : korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi
-0.63** -0.518* -0.731** -0.711** -0.84** -0.657** -0.513* -0.934** -0.709** -0.794** -0.657** -0.778** -0.746** -0.802** -0.611** -0.609** -0.525* -0.869** -0.629** -0.668** -0.692** -0.72** -0.836** -0.813** -0.611** -0.805** -0.655** -0.758** -0.718** -0.675** -0.802**
146 Lampiran 15 Korelasi antara kapasitas penyerapan minyak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi Kadar protein
Kadar lemak Kadar serat kasar Kadar abu
Loose density Packed density pH Sudut repose
Ukuran partikel (µm) 106-149.9 0.1-74.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 106-149.9 0.1-74.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 106-149.9 0.1-74.9 106-149.9
Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05 ** : korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi 0.605** 0.613** 0.7** 0.559* 0.698** 0.673** 0.601** 0.687** 0.645** 0.573* 0.718** 0.693** 0.678** 0.569* 0.492* 0.541* 0.601** 0.63** -0.633**
147 Lampiran 16 Korelasi antara suhu gelatinisasi dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi Rasio pati:gula reduksi Rasio pati:gula reduksi
Ukuran partikel (µm) 106-149.9 0.1-74.9
Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05 ** : korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi
-0.613** -0.511*
148 Lampiran 17 Korelasi antara viskositas puncak dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi Rasio pati:protein Rasio pati: gula reduksi Kadar lemak Kadar lemak PH Kadar abu Kadar serat kasar Kadar serat kasar Kadar amilosa Kadar amilosa Loose density Loose density Packed density Packed density Sudut curah
Ukuran partikel (µm) 150-249.9 150-249.9 150-249.9 106-149.9 150-249.9 150-249.9 150-249.9 106-149.9 150-249.9 106-149.9 150-249.9 106-149.9 150-249.9 106-149.9 150-249.9
Keterangan * : korelasi nyata pada taraf 0.05 ** : korelasi nyata pada taraf 0.01
Koefisien korelasi
0.643** 0.547* -0.886** -0.536* -0.762** -0.731** -0.776** -0.574* -0.764** -0.614** -0.785** -0.566* -0.865** -0.627 0.918**
149 Lampiran 18 Korelasi antara stabilitas pasta jagung selama pemanasan dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi
Rasio pati:protein
Ukuran partikel (µm)
150-249.9 106-149.9 Kadar serat kasar 150-249.9 106-149.9 Kadar lemak 150-249.9 106-149.9 Kadar abu 150-249.9 106-149.9 Kadar gula reduksi 150-249.9 Kadar amilosa 150-249.9 106-149.9 0.1-74.9 pH 150-249.9 Loose density 150-249.9 106-149.9 Packed density 150-249.9 106-149.9 Sudut curah 150-249.9 106-149.9 Kapasitas penyerapan 75-105.9 air 0.1-74.9 150-249.9 Viskositas puncak 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9
Viskositas panas (BU) 0.569** -0.796** -0.818** -0.675** -0.771** -0.706** -0.517* -0.801** -0.748** -0.852** 0.874** 0.933** 0.623** 0.954** 0.882**
Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05 ** : korelasi pada taraf 0.01
Koefisien korelasi Breakdown Viskositas viscosity panas 15 (BU) menit (BU) 0.615** 0.598** 0.542* -0.759** -0.701** -0.762** -0.783** -0.909** -0.65** -0.771** -0.54* -0.714** -0.645** -0.73** -0.709** -0.631** -0.777** -0.646** -0.676** -0.828** -0.773** -0.78** -0.869** -0.774** 0.839** 0.906** 0.781** -0.674** -0.569* 0.959** 0.927** 0.699** 0.781** 0.652** 0.714** 0.768** -
150 Lampiran 19 Korelasi antara retrogradasi pasta jagung dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi
Ukuran partikel (µm)
Rasio pati:gula reduksi Rasio pati:gula reduksi pH
106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 150-249.9 0.1-74.9
Loose density Packed density Kapasitas penyerapan air Viskositas puncak Suhu gelatinisasi Breakdown viscosity Viskositas panas
Viskositas menit
panas
15
150-249 75-105.9 0.1-74.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 150-249.9 0.1-74.9
Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05 ** : korelasi pada taraf 0.01
Koefisien korelasi Viskositas Setback Rasio viscosity dingin VD:HV15 (BU) (BU) -0.591** -0.55* -0.488* -0.516* -0.554* 0.492* 0.841** 0.516* 0.681** 0.475* 0.586* 0.567* -0.775** -0.761** -0.683**
0.601** 0.651** 0.718** 0.624** 0.52* 0.552* 0.667** 0.55*
-0.659** 0.579* 0.527* 0.716** -0.569* 0.545* -0.611** 0.619** -0.664 0.487*
0.717** 0.489* 0.665** -
151 Lampiran 20 Korelasi antara kekuatan gel dengan variabel kimia dan fisik tepung jagung putih yang dipengaruhi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Variabel yang berkorelasi
Kadar gula reduksi Kadar protein Kadar serat kasar pH Viskositas dingin Viskositas puncak Breakdown viscosity Setback viscosity
Ukuran partikel (µm) 106-149.9 75-105.9 0.1-74.9 0.1-74.9 0.1-74.9 106-149.9 0.1-74.9 150-249.9 106-149.9 75-105.9 75-105.9 75-105.9 106-149.9 75-105.9
Keterangan * : korelasi pada taraf 0.05 ** : korelasi pada taraf 0.01
Koefisien korelasi
-0.571* -0.488* -0.706** -0.528** -0.633** -0.667** -0.691** -0.618** -0.662** -0.594** -0.624** -0.616** -0.625** -0.53*
152 Lampiran 21 Kadar amilosa tepung jagung yang dihasilkan dengan variasi waktu fermentasi grits jagung dan ukuran partikel tepung Waktu fermentasi jagung (jam) 0
15
30
45
57.5
70
Ukuran partikel
60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm 60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm 60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm 60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm 60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm 60 mesh 150-249.9 µm 106-149.9 µm 75-105.9 µm 0.1-74.9 µm
Kadar amilosa (% bk) 27,9±0,3 28.4±0.3 28±0.4 28±0.2 28.2±0.3 29.1±0.7 27.2±0.7 27.4±0.6 27.7±0.6 27.5±0.6 28.5±0.7 27.1±0.7 27.1±0.7 27.4±0.8 27.3±0.9 28.1±0.8 26.7±0.7 26.7±0.7 26.8±0.7 26.7±0.8 27.1±0.9 26.5±0.4 26.5±0.6 26.7±0.9 26.4±0.8 26.8±1.2 26.6±0.5 26.4±0.5 26.4±0.6 26±0.7