KARAKTERISTIK METANOGEN SELAMA PROSES FERMENTASI ANAEROB BIOMASSA LIMBAH MAKANAN Sunarto, Artini Pangastuti, dan Edwi Mahajoeno Jurusan Biologi,Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas sebelas Maret, Jl.Ir.Sutami No 36A Surakarta 57126, Tel./Fax.+62-271-663375
Abstrak Salah satu sumber energi terbarukan adalah biogas. Gas ini berasal dari hasil perombakan anaerobik berbagai macam biomassa, salah satunya adalah dari limbah industri tahu. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas selain dapat memberi suplai energi murah yang terbarukan, juga membantu mengurangi pencemaran lingkungan. Proses perombakan limbah cair tahu secara anaerob yang diteliti dalam penelitian ini. Dinamika komunitas metanogen selama proses tersebut diamati dengan teknik Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) untuk melihat dinamika populasi metanogen selama proses fermentasi dan teknik Analysis of Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA) untuk mendapatkan hasil yang lebih detil tentang identitas metanogen. Sampel dari lumpur digester anaerob diambil pada waktu hari ke 0, 5, 10, 15, dan 20 selama fermentasi berlangsung untuk ekstraksi DNA dan analisis molekuler. Terdeteksi ada 3 Terminal Restriction Fragment (TRF) yang mewakili ilotipe metanogen dengan teknik T-RFLP. Setelah dibandingkan pada database Ribosomal Database Project, panjang TRF tersebut menunjukkan adanya kekerabatan dengan Methanobrevibacter iliformis, Methanosphaerula palustris, dan uncultured archaea dari Group I crenarchaeote. Dua tipe pertama terdeteksi pada semua sampel dengan kemelimpahan yang tinggi di awal dan semakin turun dengan berjalannya waktu fermentasi. Filotipe yang terakhir hanya ditemukan pada sampel di hari ke-5. Pada sampel hari ke-0, kemelimpahan tinggi diduga karena metanogen yang terdeteksi berasal dari inokulum yang digunakan tetapi kemungkinan kondisi fermentasi selanjutnya menjadi tidak optimum untuk pertumbuhannya. Hal ini juga didukung oleh banyaknya gas metan yang dihasilkan, yang justru paling banyak terukur pada hari ke 5 fermentasi. Dari hasil ini dapat diduga bahwa proses fermentasi anaerobik limbah cair tahu masih bisa dioptimasi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Proil ARDRA menunjukkan setidaknya ada 3 ilotipe yang berbeda pada hari ke-20. Hasil ini lebih banyak dari peak yang terdeksi oleh teknik T-RFLP. Selanjutnya ilotipe-ilotipe ini akan disekuens gen penyandi 16S rRNA untuk identiikasi. Kata kunci : Karakteristik, metanogen, fermentasi anaerob, biomassa, limbah makanan Pendahuluan Beberapa tahun terakhir ini energi merupakan persoalan yang krusial didunia. email :
[email protected]
44
Peningkatan permintaan energi yang disebabkan oleh pertumbuhan populasi penduduk dan menipisnya sumber cadangan minyak dunia serta permasalahan emisi dari bahan bakar fosil memberikan tekanan
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
kepada setiap negara untuk segera memproduksi dan menggunakan energi terbaharukan. Selain itu, peningkatan harga minyak dunia hingga mencapai 100 U$ per barel juga menjadi alasan yang serius yang menimpa banyak negara di dunia terutama Indonesia. Lonjakan harga minyak dunia akan memberikan dampak yang besar bagi pembangunan bangsa Indonesia. Konsumsi BBM yang mencapai 1,3 juta/barel tidak seimbang dengan produksinya yang nilainya sekitar 1 juta/barel sehingga terdapat deisit yang harus dipenuhi melalui impor. Menurut data ESDM (2006) cadangan minyak Indonesia hanya tersisa sekitar 9 milliar barel. Apabila terus dikonsumsi tanpa ditemukannya cadangan minyak baru, diperkirakan cadangan minyak ini akan habis dalam dua dekade mendatang. Indonesia merupakan negara kaya akan sumber daya energi dan potensi sumber energi yang tinggi itu terutama potensi energi baru terbarukan. Sistem pemenuhan kebutuhan energi mendesak penelitian terobosan-terobosan baru, diantaranya meningkatkan pemanfaatan sumber-sumber energi baru terbarukan. Pemerintah dengan Kebijaksaan energi Perpres Nomor 5 tahun 2006 dan Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025, merupakan kebijaksanaan pemerintah yang mengatur diversiikasi energi terbarukan. Oleh karena itu, eksplorasi terhadap sumber-sumber alternatif saat ini menjadi sebuah kebutuhan (Triwahyuningsih, 2008). Kebijakan tersebut menekankan pada sumber daya yang dapat diperbaharui sebagai altenatif pengganti bahan bakar minyak. Salah satu sumber energi alternatif adalah biogas. Gas ini berasal dari berbagai macam biomasaa limbah organik, salah satunya adalah dari limbah industri makanan yang dapat dimanfaatkan menjadi energi melalui proses digesti anaerobik. Proses ini merupakan peluang besar untuk menghasilkan energi alternatif sehingga akan mengurangi dampak penggunaan bahan bakar fosil.
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
Sejauh ini karakteristik mikrobiologis proses fermentasi anaerob biomassa limbah makanan belum pernah dikaji dan masih sangat terbatas. Karakteristik kimia, isika, dan biologi biomassa limbah industri makanan perlu dipelajari. Pencernaan anaerobik mengacu berbagai reaksi dan interasi yang terjadi diantara bakteri metanogen dan non-metanogen serta bahan (biomasa) yang diumpankan ke dalam pencerna sebagai input. Proses degradasi ini adalah proses isiko-kimia komplek dan proses biologis yang melibatkan berbagai faktor dan tahapan bentuk perubahan. Penghancuran input yang merupakan bahan organik dicapai dalam tiga tahapan, yaitu (a) hidrolisa, (b) pengasaman (acidiication), dan (c) pembentukan metan (methanization) (de Mezt, et al., 2003). Informasi karakteristik komunitas mikroba selama proses fermentasi anaerob biomassa limbah industri makanan dapat menjadi dasar pemahaman dalam penelitian ini yang berfokus pada identiikasi dan kuantiikasi methanogen selama proses digesti anaerob dan pada akhirnya dapat dimanfaatkan untuk produksi biogas secara berkelanjutan. Studi mengenai keragaman mikrobiota masih menemui kendala. Medium buatan dan kondisi kultur yang ada saat ini hanya menguntungkan bagi sebagian prokariot yang umumnya bersifat heterotrof aerobik, sehingga hanya golongan ini yang terwakili dalam analisis berbasis kultur. Hanya sebagian kecil prokariot yang teramati dengan mikroskop yang dapat dikulturkan. Misalnya, pada kulit ikan, hanya kurang dari 0,01% dari total bakteri yang dapat dikulturkan (Bernardsky & Rosenberg 1992). Sementara pada usus ikan Rainbow Trout, persentase bakteri yang dapat dikulturkan lebih besar, rata-rata sekitar 50% dari total bakteri yang ada (Spanggaard et al. 2000). Masalah ini dapat diatasi dengan teknik berbasis molekuler, yaitu dengan analisis DNA atau RNA yang diekstrak langsung dari lingkungan. Sampai saat ini beberapa
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
45
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
gen telah digunakan sebagai penanda molekuler bagi kelompok bakteri, dan yang paling banyak digunakan adalah gen penyandi 16S rRNA. Gen ini bersifat ubikuitus hanya pada kelompok bakteri sehingga dapat menjadi penanda universal yang spesiik untuk kelompok bakteri. Beberapa teknik berbasis molekular yang sering digunakan untuk analisis komunitas bakteri adalah Denaturing/Thermal Gradient Gel Electrophoresis (DGGE/TGGE), Ampliied Ribosomal DNA Restriction Analysis (ARDRA), Fluorescent in-situ Hybridization (FISH), DNA Microarray, dan yang baru-baru ini berkembang adalah Terminal Restriction Fragment Length Polymorphism (T-RFLP) (Marsh et al. 2000). Berbagai teknik berbasis molekular ini akan memberikan gambaran lebih lengkap mengenai komunitas prokariot, seperti biomassa viable, struktur komunitas (proil genotipe populasi bakteri), bahkan status isiologis dan nutrisi serta aktivitas metabolisme. Meskipun Indonesia adalah salah satu negara penghasil minyak dan gas, namun berkurangnya cadangan minyak, pencabutan subsidi menyebabkan harga minyak naik dan turunnya kualitas lingkungan akibat penggunaan bahan bakar fosil yang berlebihan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumber-sumber energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan menjadi pilihan. Salah satu dari energi terbarukan adalah biogas, biogas memiliki peluang yang besar dalam pengembangannya (Widodo et al., 2006). Untuk mereduksi emisi metana (CH4) dari TPA ke atmosfer dapat digunakan dua cara, yaitu memanfaatkan metana di TPA sebagai bahan bakar, atau mengkonversikan material sampah organik sebagai bahan bakar. Alternatif pertama dan kedua merupakan strategi dalam mengubah sampah menjadi energi (waste to energy). Teknologi pengolahan limbah baik cair maupun padat merupakan kunci dalam 46
memelihara kelestarian lingkungan (Sugiharto, 1987). Oleh karena energi yang dihasilkan berasal dari bahan bakar berupa sampah yang diproduksi setiap hari, maka waste to energy menjadi salah satu jenis dari energi terbarukan (renewable energy) (Ratnaningsih et all., 2009). Biogas merupakan gas yang dihasilkan yang dapat diproduksi dari bahan organik seperti biomassa, limbah pertanian, dan juga kotoran hewan melalui proses fermentasi anaerobik. Gas yang dihasilkan dari proses fermentasi tersebut mengandung nilai kalor yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memasak dan penerangan bagi rumah tangga dipedesaan. Sisa dari fermentasi ini juga dapat digunakan sebagai pupuk yang sangat bermanfaat bagi tanaman. Disamping itu juga pengelolaannya dapat meningkatkan kebersihan lingkungan, karena limbah pertanian dan kotoran hewan yang selama ini dibuang pada tempat terbuka (Wibowo, dkk, 1985). Bahan baku yang memproduksi gas metan bisa berasal dari semua bahan organik, baik yang berwujud padat, maupun cair, kecuali bahan organik senyawa hidrokarbon tinggi seperti plastik, karet, juga lilin (Wax). Bahan yang mudah dicerna banyak mengandung selulosa seperti jerami padi atau gandum, rumput-rumputan dan sebagainya. Sedangkan bahan yang banyak mengandung lignin (kayu) sukar untuk dicerna. Bahan yang memiliki kadar air tinggi lebih mudah untuk dicerna (Sianturi, 1990). Teknologi pencernakan (digesti) anaerob merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang berdayaguna dan efektif. Penerapan teknologi ini selain murah dan praktis untuk buangan dengan beban organik dan berat molekul tinggi, mampu mereduksi energi terkandung dalam limbah untuk pengelolaan lingkungan dan mampu mendegradasi senyawa-senyawa senobiotik maupun rekalsitran (Bitton 1999).
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Penggunaan sistem reaktor biogas memiliki keuntungan, antara lain yaitu mengurangi efek gas rumah kaca, mengurangi bau yang tidak sedap, mencegah penyebaran penyakit, panas, daya (mekanis/listrik) dan hasil samping berupa pupuk padat dan cair. Pemanfaatan limbah dengan cara seperti ini secara ekonomi akan sangat kompetitif seiring naiknya harga bahan bakar minyak dan pupuk anorganik. Disamping itu, caracara ini merupakan praktek pertanian yang ramah lingkungan dan berkelanjutan (Marchaim, 1992). Ada beberapa jenis reaktor biogas yang dikembangkan diantaranya adalah digester jenis kubah tetap (Fixed-dome), digester terapung (Floating drum), digester jenis balon, jenis horizontal, jenis lubang tanah, jenis ferrocement. Jenis digester biogas yang sering digunakan adalah jenis kubah tetap (Fixed-dome) dan jenis drum mengambang (Floating drum) (Aguilar, 2001). Biogas dapat digunakan untuk berbagai keperluan sesuai dengan sifat gas alam. Pemanfaatan biogas dalam teknologi mesin internal (mesin berbahan bakar gas) sangat andal dan telah berkembang. Ribuan mesin berbahan bakar gas telah dioperasikan di areal pengolahan limbah dan pembangkit biogas (ACE 2005). Pemanfaatan biogas sebagai bahan bakar kendaraan digunakan mesin yang sama konstruksinya dengan kendaraan mesin berbahan bakar gas alam. Terdapat lebih dari tiga juta kendaraan berbahan bakar gas alam di dunia dan sekitar 1000 kendaraan mobil dan bus berbahan bakar biogas. Ini menunjukkan bahwa konstruksi kendaraan menggunakan biogas sebagai bahan bakar kendaraan tidak bermasalah (IEA 2002). Perbedaan lain antara proses aerobik dan anerobik terletak pada karakteristik biomassa yang menentukan jalannya proses perombakan. Pada proses aerobik, biomassa terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi masing-masing merombak
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
bahan organik untuk keperluannya masingmasing. Pada proses anaerobik, sebenamya biomassa juga terdiri atas berbagai jenis mikroorganisme, tetapi merombak bahan organik satu setelah yang lain dari bahan organik hingga biogas. Dengan demikian, proses berlangsung sempurna hingga menghasilkan produk akhir, hanya jika proses pertukaran massa pada setiap mikroorganisme yang terlibat berlangsung dengan kecepatan sama. Karena alasan tersebut, proses anaerobik lebih sensitif terhadap pengaruh bahan toksik, pH, dan temperatur dibanding dengan proses aerobik (Bapedal, 1995). Proses anaerob mempunyai banyak keunggulan bila dibandingkan dengan proses aerob antara lain tidak membutuhkan energi untuk aerasi, lumpur atau sludge yang dihasilkan sedikit, polutan yang berupa bahan organik hampir semuanya dikonversi ke bentuk biogas (gas metan) yang mempunyai nilai kalor cukup tinggi. Kelemahan proses degradasi ini adalah kemampuan pertumbuhan bakteri metan sangat rendah, membutuhkan waktu dua sampai lima hari untuk penggandaannya, sehingga membutuhkan reaktor yang bervolume cukup besar (Mahajoeno, 2007). Perhitungan emisi metan lebih rumit karena tidak semua gas metan yang terbentuk di TPA (Tempat Pembuangan Akhir) dapat lepas ke atmosfer. Pada saat metan bergerak dari dalam lapisan timbunan sampah menuju permukaan, apabila terdapat Oksigen maka bakteri anerobik akan mengoksidasi metana menjadi karbon dan air. Berdasar pengukuran yang dilakukan Jegers dan Peters dalam Solvato (1992) hanya 70% dari gas metana yang terbentuk di TPA yang diemisikan ke dalam atmosfer, sedangkan yang 30 % gas metan yang terbentuk dioksidasi oleh bakteri anaerob ketika bergerak menuju permukaan timbunan sampah TPA. Sampah organik yang terurai secara anerobik akan menghasilkan: 50 – 60% CH4; 35 – 45 % CO2 dan 0 – 5% gas
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
47
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
rumah kaca lainnya). Biokonversi anaerob bahan organik dan pencemar merupakan suatu teknologi yang dikembangkan untuk melindungi lingkungan melalui pengelolaan limbah dan air limbah. Produk akhir biokonversi anaerob adalah gasbio, campuran metana dan karbon dioksida yang bermanfaat sebagai sumber energi terbarukan. Digesti (pencernakan) anaerob merupakan proses sederhana secara teknologi membutuhkan energi rendah untuk mengubah bahan organik dari berbagai jenis air limbah, buangan padat dan biomas menjadi metana. Aplikasi Teknologi Digesti Anaerob yang lebih luas sekarang, menjadi kebutuhkan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan ini didukung oleh pertumbuhan kebutuhan pasar akan energi ”hijau” dan oleh optimisasi substansial TDA pada dekade lalu, terutama perkembangan modern sistem ko-digesi dan ”laju tinggi” (de Mez et al. 2003). Karakteristik kimia dan biologi dari biokonversi (digester) anaerobic merupakan proses biologi komplek yang mengandung sejumlah populasi bakteri, yang secara spesiik terkait dengan substrat dan produknya (Hutnan et al., 1999). Dalam lingkungan anaerob mikroorganisme umumnya berperan membebaskan metana dari asam cuka antara lain, Methanosarcina, Methanococcus, Methanobacterium, dan Methanobacillus. Perombakan anaerob secara luas digunakan untuk memantapkan padatan organik terkonsentrasi (memadat/ lumpur), dengan BOD lebih besar dari 10,000 mg/l, dipindahkan dari tangkiendap, ilter biologik, dan pembangkit lumpur aktif. Beberapa pembangkit menggunakan pencernak anaerob sebagai langkah pertama membuang kelebihan zat nitrogen dari aliran sisa sebelum perlakuan aerob (Werner et al. 1989). Dekomposisi anaerob mikrobiologis merupakan proses dimana mikroor48
ganisme tumbuh dan menggunakan energi dengan memetabolisis bahan organik dalam lingkungan anaerob dan menghasilkan metana (Vaziroglu, 1991). Sahidu (1983) mengungkapkan bahwa biogas adalah suatu campuran gas-gas yang dihasilkan dalam suatu proses pengomposan bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen (proses anaerob). Deinisi lain menyebutkan bahwa biogas adalah campuran beberapa gas yang tergolong bahan bakar hasil fermentasi dari bahan organik dalam kondisi anaerob dan gas yang dominan adalah metana (CH4) dan karbondioksida (CO2) (Simamora et al. 2006). Dalam fermentasi anaerob terbagi menjadi 4 tahapan proses penguraian (Raskin et al., 2007). Dimana setiap tahapan akan melibatkan kelompok bakteri yang berbeda yang akan bekerja secara bersinergi antara satu kelompok dengan kelompok bakteri lainnya sehingga terbentuk konsorsium bakteri (Raskin et al., 1997). Konsortia bakteri tersebut dapat digolongkan pada bakteri non metanogen dan bakteri metanogen. Bakteri non metanogen terbagi menjadi golongan bakteri hidrolitik, fermentatif, dan asetogenik. Empat tahap proses transformasi bahan organik pada sistem anaerobik tersebut yaitu, : a. Hidrolisis Pada tahapan hidrolisis, mikrobia hidrolitik mendegradasi senyawa organik kompleks yang berupa polimer menjadi monomernya yang berupa senyawa tidak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Lipida berubah menjadi asam lemak rantai panjang dan gliserin, polisakarida menjadi gula (mono dan disakarida), protein menjadi asam amino dan asam nukleat menjadi purin dan pirimidin. Proses hidrolisis membutuhkan mediasi exo-enzim yang disekresi oleh bakteri fermentatif. Hidrolisis molekul kompleks dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase (Said, 2006).
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Sejumlah besar mikroorganisme anaerob dan fakultatif yang terlibat dalam proses hidrolisis dan fermentasi senyawa organik antara lain adalah Clostridium. b. Asidogenesis. Monomer-monomer hasil hidrolisis dikonversi menjadi senyawa organik sederhana seperti asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral seperti karbondioksida, hidrogen, amoniak, dan gas hidrogen sulida. Tahap ini dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif. Contoh bakteri asedogenik (pembentuk asam) adalah Clostridium (Said, 2006). c. Asetogenesis Hasil asidogenesis dikonversi menjadi hasil akhir bagi produksi metana berupa asetat, hidrogen, dan karbondioksida. Sekitar 70 % dari COD semula diubah menjadi asam asetat. Pembentukan asam asetat kadang-kadang disertai dengan pembentukan karbondioksida atau hidrogen, tergantung kondisi oksidasi dari bahan organik aslinya. Etanol, asam propionate, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomas wolfei (Said, 2006). Etanol, asam propionat, dan asam butirat dirubah menjadi asam asetat oleh bakteri asetogenik d. Metanogenesis. Pada tahap metanogenesis, terbentuk metana dan karbondioksida. Metana dihasilkan dari asetat atau dari reduksi karbondioksida oleh bakteri asetotropik dan hidrogenotropik dengan menggunakan hidrogen. Acetoclastic metanogen mengubah asam asetat menjadi : CH3COOH CH4 + CO2 Hidrogenotropik metanogen mensintesa hidrogen dan karbondioksida menjadi : 2H2 + CO2 CH4 + 2H2O
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
Tiga tahap pertama di atas disebut sebagai fermentasi asam sedangkan tahap keempat disebut fermentasi metanogenik. Tahap asetogenesis terkadang ditulis sebagai bagian dari tahap asidogenesis. Dalam proses anaerob, senyawa organik diubah terlebih dahulu menjadi asam-asam volatil pada tahap asidogenesa, kemudian asam volatil ini akan diubah menjadi metana pada tahap metanogenesa. Asam volatil utama yang menjadi substrat bagi bakteri pembentuk metana adalah asam asetat. Oleh karena itu, parameter utama untuk proses anaerob adalah mengendalikan pembentukan asam asetat (Syaila et al., 1996). ATA telah dikembangkan untuk menentukan adanya efek toksik suatu senyawa pada mikroorganisma yang mengkonversi asam asetat menjadi metana. Mikroorganisme pembentuk metana dari asam asetat ini merupakan mikroorganisme yang paling sensitif terhadap toksisitas diantara mikroorganime yang dapat menghasikan metana. Adanya penghambat bagi mikroorganisme metanogenesa akibat penambahan jumlah sampel dapat diketahui dari penurunan laju produksi gas untuk sampel dibandingkan laju produksi gas untuk kontrol (Owen et al., 1979). Metanogen adalah Archaea yang terdapat pada bahan bahan organik dan menghasilkan metan dalam proses keseluruhan rantai hidupnya dalam keadaan anaerobik. Famili metanogen digolongkan menjadi 4 genus berdasarkan perbedaanperbedaan sitologi, berbentuk batang: (a) Tidak berspora, methanobacterium (b) berspora, methanobacillus. berbentuk lonjong: (a) Sarcine, methanosarcina (b) Tidak termasuk group sarcinal, methanococcus. Metanogen berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi isik dan kimiawi. Sebagai contoh, penurunan 2oC secara mendadak pada slurry mungkin secara signiikan berpengaruh pada pertumbuhannya dan laju produksi gas (Edwards
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
49
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
T. and. McBride, 1975) Metode Penelitian Pembuatan digester Tutup botol air mineral dilubangi dengan menggunakan solder, 1 rangkaian digester terdiri dari 3 botol (digester, air, botol kosong). Botol yang tengah adalah botol air, dilubangi 2 buah menghubungkan dua botol lainnya dengan menggunakan selang 0,5 cm untu botol kosong dan 1,0 cm untuk botol digester. Lubang dan selang yang dimasukkan dilem supaya kedap udara sampai tertutup tidak bocor. Rangkaian digester dibuat 10 rangkaian, 2 untuk dikorbankan pada hari ke-0, 2 rangkaian pada hari ke-5, 2 rangkaian pada hari ke-10, 2 rangkaian pada hari ke-15 dan 2 rangkaian pada hari ke-20. Cara kerjanya adalah ketika digester sudah menghasilkan gas maka akan menekan air sehingga air akan berpindah kebotol kosong, dengan ini volume gas dapat diukur. Homogenisasi limbah makanan Sebelum dilakukan proses biokonversi dalam digester anaerob, perlu dilakukan homogenisasi biomassa (limbah) dengan air agar substrat lebih mudah dicerna oleh mikroorganisme. Proses homogenisasi dilakukan dengan menggunakan blender. Limbah makanan dimasukkan kedalam bak plastik besar, kemudian diblender dengan perbandingan air dan limbah makanan adalah 2 : 1. Rancangan penelitian Perlakuan sebanyak 1 kali dengan ulangan 3 kali, setiap 2 minggu dikorbankan 3 rangkaian. Jika pengambilan sampel sebanyak 5 kali yaitu pada hari ke; 0, 5, 10, 15, dan 20. Maka jumlah rangkaian digester adalah 10 rangkaian. Perlakuan limbah makanan adalah inokulum 20%, substrat 80%. Sampel biomasa limbah makanan yang sudah homogen dimasukkan kedalam botol digester dengan perhitungan inokulum 50
20% dan substratnya 80%. 12 rangkaian tersebut diberi label P1A1 (perlakuan 1 ulangan ke 1) dengan masing-masing ulangan sebanyak 3 kali, kemudian ditambahkan nama mingguannya. Kajian tahap pertama ini diambil sampelnya pada minggu ke 0, 2, 4, 6 minggu inkubasi. Pengukuran isik berupa pH dan suhu masing-masing ulangan tiap pengambilan sampel. Ekstraksi DNA sampel Ekstraksi DNA menggunakan UltraClean Soil DNA kit (MoBio, CA) mengikuti prosedur yang dianjurkan oleh produsen. Ampliikasi Gen 16S sRNA Ampliikasi Gen penyandi 16S rRNA dilakukan dengan primer bakteri dan primer archaea, forward primer forward 5’-(Ar109f) ACK GCT CAG TAA CAC GT -3’ dan primer reverse 5’- (Ar 912r) CTC CCC CGC CAA TTC CTT TA -3’, buffer (NEB, MA), dNTP Mix, U Taq DNA Polymerase (NEB, MA), dan ddH2O. : DNA 100 ng, 1x buffer (NEB, MA), 2 μl 10 mM dNTP Mix, 2 U Taq DNA Polymerase (NEB, MA), 5 pmol masing-masing primer, ddH2O sampai 50 μl. Program PCR terdiri dari 1 siklus pada 94°C selama 3 menit; 30 siklus pada 94°C selama 1 menit, 55°C selama 1 menit, 72°C selama 1 menit; 1 siklus pada 72°C selama 7 menit; diakhiri dengan penyimpanan pada 4°C. Bagian DNA utas tunggal dari amplikon didigesti dengan Mung Bean Nuclease (NEB, MA) kemudian dipuriikasi dengan QIAquick Gel Extraction Kit (Qiagen, Germany). Digesti Amplikon Amplikon didigesti dengan enzim restriksi yang memotong dengan frekuensi tinggi, yaitu RsaI dan MspI (NEB,MA) secara terpisah dengan kondisi reaksi : 5U enzim, 1x buffer, 100-200 ng DNA, ddH2O sampai 20 μl, dan diinkubasi pada 37°C
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
semalam. Selanjutnya dilakukan desalting dengan QIAquick Nucleotide Removal Kit (Qiagen, Germany). DNA hasil digesti dilarutkan dalam 30 μl elution buffer. Analisis T-RFLP DNA hasil digesti dicampur dengan 1 μl HD-400[ROX] sebagai standar ukuran internal. DNA didenaturasi dengan pemanasan pada 95°C selama 5 menit kemudian segera ditempatkan pada es selama 5 menit. Selanjutnya campuran dimasukkan dalam 96-well plate dan dimasukkan dalam sistem elektroforesis kapiler pada ABIprism™ 3100 Automated DNA Sequencer (PE Applied Biosystem). Panjang fragmen terlabel dideterminasi dengan program GeneScan® (Perkin Elmer). Uku-
ran TRF yang diketahui dicocokkan dengan database pada situs Ribosomal Database Project II (Marsh et al., 2000). Untuk konirmasi TRF hasil pemotongan dengan 2 enzim restriksi digunakan program Fragsort (www.oardc.ohio-state.edu/trlpfragsort). Analisis data Bacterial phylotype richness (S) merupakan total puncak TRF berbeda/tipe restriksi yang berbeda yang ditemukan pada tiap sampel. Indeks Shannon-Wiener (H’) dan evenness (E) dihitung untuk menggambarkan keragaman komunitas pada tahapan berbeda dan nilai penting relatif dari tiap ilotipe dalam keseluruhan komunitas. H’ dihitung dengan rumus se-
Hari ke-
Perlakuan
Suhu
pH
0
P1 0
33
7
5
P1A 5
33
5,9
P1B 5
33
5,6
P1A 10
31,5
5,9
P1B 10
32
5,9
P1A 15
31,5
5,7
P1B 15
31,5
5,8
P1A 20
29,
5,5
P1B 20
29,5
5,4
P2A 5
33,5
5,7
P2B 5
33
5,8
P2A 10
31,5
5,5
P2B 10
31,5
5,5
P2A 15
31,5
5,7
P2B 15
31,5
5,5
P2A 20
29,5
5,4
P2B 20
29,5
5,4
10
15
20
5
10
15
20
Tabel 1. Pengukuran pH dan Suhu pada Proses Fermentasi Anaerob Limbah Makanan Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
51
Karakteristik Metanogen
Hari ke-
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
Rata-rata biogas yang dihasilkan (ml)
1
P1 2,6
P2 0,4
2
2,7
0,4
3
2,9
0,4
4
3,4
0,9
5
3,5
0,9
6
3,5
0,9
7
3,8
1,4
8
4,3
1,5
9
4,3
1,5
10
4,8
1,8
11
4,8
1,8
12
4,8
1,8
13
4,8
1,8
14
4,8
1,8
15
4,8
1,8
16
5,3
1,9
17
5,3
2
18
5,3
2
19
5,3
2
20
5,4
2
Tabel 2. Pengukuran biogas Selama proses fermentasi anaerob limbah makanan bagai berikut: H’= -Σ (pi) (ln pi) dengan pi adalah kemelimpahan relatif dari fragment i. Evenness dihitung sebagai berikut: E = H’/ Hmax dengan Hmax = ln S (Margalef, 1958). Proil komunitas bakteri dibandingkan antar tingkatan proses. 52
Hasil Dan Pembahasan a. Parameter isik dan kimia Pengukuran secara isik antara lain pH dan suhu. Hasil pengukuran pH dan suhu pada hari ke-0, 5, 10, 15, dan 20 terlihat pada tabel 1. pH awal disamakan
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
dengan menggunakan NaOH untuk menaikkan pH sehingga mencapai keseragaman pH 7. Semakin hari pH masing-masing perlakuan mengalami penurunan menjadi lebih asam. Selain faktor lingkungan seperti pH dan suhu, jumlah biogas yang dihasilkan juga diukur untuk mengetahui volume biogas per harinya pada tiap perlakuan. Berikut adalah hasil produksi biogas berdasarkan variasi jenis substrat dan perbe-
mengalami kenaikan. Sedangkan perlakuan P1 (inokulum limbah makanan 20%, substrat limbah makanan 80%) menghasilkan biogas lebih banyak dibandingkan P2 (inokulum limbah makanan 20%, substrat kotoran sapi 80%). Hasil pengukuran pH awal disamakan dengan cara menetralkan larutan digester menjadi pH 7, setelah pengukuran hari ke-5, pH yang diukur mengalami peningkatan yaitu 8, 146 untuk P1 (substrat
Tabel 3. Hasil pengukuran pH dan suhu (OC) pada proses fermentasi anaerob limbah cair tahu Perlakuan Hari 0 Hari 5 Hari 10 Hari 15 Hari 20 pH suhu pH suhu pH suhu pH suhu pH P1A1 7 30 8,060 31 8,119 30 7,541 30 7,938 P1A2 7 30 8,232 31 7,884 30 7,593 30 7,804 Rata-rata 7 30 8,146 31 8,001 30 7,567 30 7,871 P2A1 7 30 7,741 31 8,230 30 7,785 30 7,636 P2A2 7 30 8,068 31 7,961 30 7,797 30 7,582 Rata-rata 7 30 7,904 31 8,095 30 7,91 30 7,609 Keterangan : P1A1 : inokulum limbah tahu 20%, substrat limbah cair tahu 80% P1A2 : inokulum limbah tahu 20%, substrat limbah cair tahu 80% P2A1 : inokulum limbah tahu 20%, substrat kotoran sapi 80% P2A2 : inokulum limbah tahu 20%, substrat kotoran sapi 80% daan suhu lingkungan dalam biodigester dengan waktu fermentasi 20 hari. Dari hasil pengukuran didapatkan rata-rata volume biogas yang dihasilkan
suhu 30 30 30 30 30 30
limbah cair tahu) dan 7, 904 untuk P2 (substrat kotoran sapi). Untuk selanjutnya P1 (substrat limbah cair tahu) pH mengalami penurunan sampai hari yang ke 15, sampai hari ke 20 mengalami sedikit peningkatan. Sedangkan untuk larutan digester dengan substrat kotoran sapi (P2) mengalami peningkatan pada hari ke 5, yaitu pH 7,904 lalu mengalami peningkatan pada hari ke 10, sedangkan pada hari ke 15 dan hari 20 mengalami penurunan. Pada awal pembuatan, tiap digester mempunyai volume yang sama yaitu 286 ml, sedangkan setelah terjadi fermen-
Tabel 4. pengukuran volume biogas (ml) untuk proses fermentasi anaerob limbah cair tahu Hari ke-
Rata-rata biogas yang dihasilkan (ml)
1
P1 2,0
P2 0,2
2
2,5
0,2
3
2,9
0,3
4
3,2
0,5
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
53
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
5
3,5
0,5
6
3,5
0,6
7
4,0
1,0
8
4,3
1,3
9
4,5
1,3
10
4,8
1,5
11
4,8
1,5
12
4,8
1,5
13
4,8
1,5
14
5,0
1,6
15
5,0
1,8
16
5,0
1,9
17
5,0
2
18
5,0
2
19
5,0
2
20
5,0
2,1
tasi anaerob mengalami perubahan suhu tiap perlakuannya. Namun ada pula yang tidak mengalami peningkatan jumlah volume gas setelah fermentasi anaerob. Analisis Metagenomik Analisis ini menggunakan pendekatan penyandi 16S rRNA yang telah menjadi prosedur baku untuk menentukan hubungan ilogenetik dan menganalisis suatu
54
ekosistem. Penggunakan analisis gen 16S rRNA sebagai satu-satunya pendekatan untuk deinisi spesies pada prokaryota dapat menunjukkan hubungan kekerabatan, tetapi tidak dapat menggambarkan keanekaragaman prokaryota di alam (Pangastuti, 2006).
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Gambar 1. Elektroforegram hasil analisis T-RFLP untuk komunitas metanogen pada limbah cair tahu Ekstraksi DNA dari lumpur digester anaerob dilakukan dengan cara mengekstrak langsung dari lumpur mendapatkan gambaran keseluruhan prokariot. Ekstraksi DNA yang dilakukan dengan berbagai metode, metode isik, kimia ataupun gabungan dari isik dan kimia. Ekstraksi DNA secara isika menggunakan metode sonikasi, secara kimia menggunakan metode PCI (Phenol Chloroform Isoamylalchohol) dan metode gabungan dengan menggunakan Kit dan Sonikasi – PCI. Hasil analisis T-RFLP dapat dilihat pada gambar 1. Komunitas metanogen pada digester anaerob yang menggunakan
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
limbah cair tahu sebagai substrat selama 20 hari fermentasi relatif stabil. Terdeteksi ada 3 Terminal Restriction Fragment (TRF) yang mewakili ilotipe metanogen dengan teknik T-RFLP. Kemelimpahan masing-masing ilotipe tersebut ditunjukkan oleh luas area di bawah puncak. Dinamika populasi ketiga ilotipe itu dapat dilihat pada Gambar 2. Dua tipe pertama terdeteksi pada semua sampel dengan kemelimpahan yang tinggi di awal dan semakin turun dengan berjalannya waktu fermentasi. Filotipe yang terakhir hanya ditemukan pada sampel di hari ke-5. Pada sampel hari ke-0, kemelimpahan tinggi diduga karena metanogen yang terdeteksi berasal dari inokulum yang digunakan tetapi
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
55
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
kemungkinan kondisi fermentasi selanjutnya menjadi tidak optimum untuk pertumbuhannya. Metanogen yang berada pada inokulum harus melakukan adaptasi pada kondisi yang baru. Oleh karena itu, populasi cenderung menurun di awal fermentasi lalu mulai naik lagi di hari ke-20. Setelah dibandingkan pada database Ribosomal Database Project, panjang TRF tersebut menunjukkan adanya kekerabatan dengan Methanobrevibacter iliformis, Methanosphaerula palustris, dan uncultured archaea dari Group I crenarchaeote. Methanobrevibacter iliformis dan Methanosphaerula palustris merupakan archaea metanogenik sementara untuk ilotipe yang ketiga belum diketahui apakah memiliki kemampuan untuk menghasilkan gas metan.
Jumlah gas metan (CH4) yang dihasilkan ditunjukkan pada tabel 5. Jumlah metan yang dihasilkan menunjukkan hasil yang paling tinggi pada hari ke-5 kemudian turun di hari ke-10 dan naik serta stabil sejak hari ke-15. Hal ini disebabkan karena populasi metanogen yang memang paling tinggi di awal fermentasi. Uji nyala yang dilakukan menunjukkan bahwa jumlah metan yang dihasilkan belum mencukupi untuk menyala/terbakar. Dari hasil ini dapat diduga bahwa proses fermentasi anaerobik limbah cair tahu masih bisa dioptimasi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Produksi biogas belum mencapai puncaknya pada hari ke-20. Kemungkinan juga diperlukan perlakuan khusus seperti penambahan sumber C atau N di luar substrat yang digunakan.
7000 6000 5000 Methanobrevibacter filiformis
4000
Methanosphaerula palustris
3000 uncultured archaea dari Group I crenarchaeote
2000 1000 0 0
5
10
15
20
Gambar 2. Dinamika populasi metanogen selama proses fermentasi limbah cair tahu
56
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
Karakteristik Metanogen
Perlakuan P0 P5 P10 P15 P20
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
Konsentrasi CH4 (ppm) 0 1,092,61 570,20 712,66 655,82
Tabel 5. Jumlah gas Metan yang dihasilkan selama proses fermentasi limbah cair tahu Untuk mendapatkan hasil yang lebih detail tentang komunitas mikroorganisme selama proses fermentasi limbah cair tahu dilaku-
chaeote. Populasi metanogen belum mencapai kondisi optimum, sehingga gas yang dihasilkan belum optimal.
kan analisis dengan metode Ampliied Ribosomal DNA Restriction Analysis. Proil ARDRA menunjukkan setidaknya ada 4 ilotipe archaea yang berbeda pada hari ke20. Hasil ini lebih banyak dari peak yang terdeksi oleh teknik T-RFLP. Selanjutnya ilotipe-ilotipe ini akan disekuens gen penyandi 16S rRNA untuk identiikasi.
Daftar Pustaka Amann, R. I, W. Ludwig, K.H. Schleifer. 1995. Phylogenetic Identiication and in situ Detection of Individual Microbial Cells Without Cultivation. Microbiol Rev 59:143-169. Applied Biosystem. 2005. Terminal Fragment Length Polymorphism (TRFLP) Analysis on Applied Biosystems Capillary Electrophoresis Systems.USA : 850 Lincoln Centre Drive. Atlas, M. R. and R. Bartha, 1987. Microbial Ecology Fundamentals and Applications. The Benjamin Cum-
Kesimpulan Selama proses fermentasi anaerob terdapat sedikitnya 3 ilotipe archaea metanogenik yaitu Methanobrevibacter iliformis, Methanosphaerula palustris, dan uncultured archaea dari Group I crenar-
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013
57
Karakteristik Metanogen
Sunarto, Artini Pangastuti, Dan Edwi Mahajoeno
mings Publising Company Inc. Bulut Çisem. 2003. Isolation and Molecular Characterization of Lactid Acid Bacteria from Cheese. Tesis. Departemen Biotechnology and Bioengeineering. Izmir Institute of Technology Turkey Bitton, G., 1999. Wastewater Microbiology, 2nd Edition. Wiley-Liss Inc., NewYork, 578 pp. Clifton Potter, dkk. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia Sumber Pengendalian dan Baku Mutu. Proyeck of EMDI-BAPEDAL. De Mez, T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman, 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In: Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of biological methan and hydrogen production. Edited by J.H. Reith, R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen Foundation. Diky, A., Fahritesi, AR., Feronica, SW., Putri, DS. 2008. Proses Pengolahan Limbah Tahu dan Penurunan Baku Mutu Lingkungan Limbah Cair yang layak Dibuang ke Lingkungan. [Tugas Akhir]. Tehnik Kimia Universitas Sebelas Maret Surakarta. Dina, NF, 2007. Pengaruh Lemak pada Limbah Instalasi Gizi (dapur) terhadap Efektiitas Pengolahan Limbah di Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Surakarta. [Skripsi]. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta Fry, L.J., 1974, Practical Building of Methane Power Plant For Rural Energy Independence, 2nd edition, Chapel River Press, Hampshire-Great Britain. Judoamidjojo, R.M., Said E.G. and L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U Bioteknologi 58
IPB, Bogor. 315 hal. Lukow, Thomas, Peter F. Dun¢eld, Werner Liesack. 2000. Use of The T-RFLP Technique to Assess Spatial and Temporal Changes in The Bacterial Community Structure within An Agricultural Soil Planted with Transgenic and Non-Transgenic Potato Plants. FEMS Microbiology Ecology 32 : 241 – 247 Pangastuti, A. 2008. Analisis Komunitas Bakteri Selama Tahapan Perkembangan Larva. IPB:Disertasi. Stoica, Elena. 2009. Application of T-RFLP Analysis to The Study of the Coastal Black Sea Bacterioplankton. Romanian Biotechnology Letter 14 (5) : p. 4710-4719 Syaf, M. 2007. Efektiitas Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu di Kota Madiun. [Tesis]. Program Studi Ilmu Lingkungan. Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Wenas, R.I.F, Sunaryo, dan Styasmi, S. 2002. Comperative Study on Characteristics of Tannery, ”Kerupuk Kulit”, ”Tahu-Tempe” and Tapioca Waste Water and the Altemative of Treatment. Environmental Technology. Ad. Manag. Seminar, Bandung, January 9-10, 2003 p. Pos 5-1 - pos 5-8. Werner U., Stochr V. and N., Hees (1989) Biogas Plant in Animal Husbandry:. Application of the Dutchs Guesllechaft fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. Clifton Potter, dkk. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri di Indonesia Sumber Pengendalian dan Baku Mutu. Proyeck of EMDI-BAPEDAL. Nurhasan dan B. Pramudyanto. 1987. Pengolahan air Buangan Industri Tahu. Yayasan Bina Lestari dan WALHI, semarang.37 p.
Jurnal EKOSAINS | Vol. V | No. 1 | Maret 2013