PENGARUH SUHU DAN SUMBER INOKULUM TERHADAP PRODUKSI BIOGAS DARI LIMBAH MAKANAN PADA PEROMBAKAN ANAEROB Skripsi
Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh gelar Sarjana Sains
Oleh : Agus Purnomo NIM. M0404019
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Permasalahan lingkungan hidup akhir-akhir ini yang sangat menonjol adalah pemanasan bumi (global), krisis energi, dan sampah atau limbah. Permasalahan ini secara umum diakibatkan oleh aktifitas manusia. Pemanasan global atau dikenal dengan Global Warming adalah kejadian meningkatnya temperatur rata-rata atmosfer, laut dan daratan bumi. Hal ini disebabkan karena tingkat pencemaran lingkungan, eksploitasi alam tanpa batas, pembakaran bahan bakar minyak berlebih dan penanganan limbah yang belum optimal.
Kondisi
ini
menimbulkan
beberapa
dampak
antara
lain
ketidakseimbangan ekosistem alam, meningkatnya gas rumah kaca seperti CO2 dan CH4, rusaknya lapisan ozon dan lai sebagainya. Satu diantaranya efek dari ketidakseimbangan alam tersebut adalah mencairnya gunung es di kutub akibat panasnya suhu bumi (Pudja, 2007). Lingkungan merupakan segala sesuatu disekitar kita yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik serta dipengaruhi budaya manusia Isu lingkungan terutama pencemaran udara, pemanasan global, paradigma teknologi bersih dan zero waste telah mendorong peningkatan perhatian pada sumber-sumber energi yang terbarukan yang ramah lingkungan. Demikian pula kebutuhan energi masyarakat yang semakin meningkat dan harga bahan bakar minyak (fosil/energi tak terbarukan) yang membumbung tinggi menjadi salah satu upaya pemenuhan
2
kebutuhan energi yang lebih murah dan tersedia melimpah berupa biogas sebagai energi terbarukan (Mahajoeno, 2008). Ariati (2001) menjelaskan krisis energi juga terjadi karena pasokan tidak seiring dengan pemenuhan kebutuhan energi (konsumsi)
bahkan
penyusutan/kelangkaan
produksi
atau
harga/biaya
perolehannya semakin rumit dan mahal. Sejauh ini telah banyak langkah untuk mengatasi permasalahan lingkungan hidup tersebut, antara lain mengurangi kecenderungan dan ketergantungan teradap BBF (Bahan Bakar Fosil) secara bertahap dan terencana. Pengembangan sumber-sumber energi alternatif yaitu sumber energi baru dan terbarukan. Limbah berpotensi sebagai salah satu energi alternatif untuk menghasilkan biogas dengan alat digester (Mahajoeno, 2008). Menurut Sugiharto (1987) menjelaskan bahwa teknologi pengolahan limbah baik cair maupun padat merupakan kunci dalam memelihara kelestarian lingkungan. Biomassa
limbah
sangat
bermanfaat
untuk
menunjang
program
diversifikasi energi melalui pengurangan penumpukan sampah atau limbah, sementara perombakan anaerob memberikan nilai tambah, yaitu kontribusi energi terbarukan (biogas) juga pupuk cair/organik (Mahajoeno, 2008). Kerakteristik kimia, fisika dan biologi biomassa limbah organik atau bahan makanan baik limbah rumah makan, industri kerajinan tahu dan tapioka perlu diketahui dan ditingkatkan nilai tambahnya, di lain pihak pemanfaatan limbah merupakan upaya kemelimpahan residu organik dan potensi penghasil gas rumah kaca (Siswanto, et al, 2005). Untuk mengetahui efektifitas dari pengolahan limbah pangan dalam
3
membentuk energi alternatif (biogas) maka dilakukan penelitian tentang pembentukan biogas dengan biokonversi (digester) anaerob.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan: Bagaimanakah pengaruh perbedaan sumber inokulum (metanogen) dan suhu terhadap produksi biogas dari limbah makanan pada perombakan anaerob?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Mengetahui pengaruh sumber inokulum terhadap produksi biogas yang terbaik dari limbah makanan.
2.
Mengetahui pengaruh perbedaan suhu fermentasi di dalam biodigester tipe batch pada produksi biogas.
3.
Mengetahui pengaruh interaksi antara suhu dan sumber inokulum terhadap produksi biogas dari limbah makanan. D. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah memberikan informasi
mengenai sumber metanogen yang lebih efektif dalam perombakan limbah untuk produksi biogas. Sebagai salah satu upaya untuk peningkatan sumber-sumber energi terbarukan. Mendukung kebijakan pemerintah di sektor energi sebagai upaya pemenuhan kebutuhan energi masyarakat yang ramah lingkungan serta dapat mengurangi efek pencemaran sehingga mengurangi efek pemanasan global.
4
BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1.
Permasalahan lingkungan Lingkungan merupakan segala sesuatu disekitar kita yang terdiri dari
faktor biotik dan abiotik serta dipengaruhi budaya manusia. Permasalahan lingkungan hidup yang menonjol adalah pemanasan bumi (global), krisis energi, dan sampah atau limbah. Manusia berperan sangat besar dalam menjaga keseimbangan alam. Kesuksesan perkembangan peradaban manusia menimbulkan resiko keseimbangan iklim bumi. Berbagai kasus pencemaran lingkungan yang terjadi dewasa ini diakibatkan oleh limbah dari berbagai kegiatan industri, rumah sakit, pasar, restoran hingga rumah tangga. Hal ini disebabkan karena penanganan dan pengolahan limbah tersebut belum mendapatkan perhatian yang serius. Sebenarnya, keberadaan limbah dapat memberikan nilai negatif bagi suatu kegiatan industri. Limbah tersebut biasanya langsung dibuang tanpa pengolahan terlebih dahulu karena penanganan dan pengolahannya membutuhkan biaya yang cukup tinggi sehingga kurang mendapatkan perhatian dari kalangan pelaku industri, terutama kalangan industri kecil dan menengah (Sugiharto, 1987). Pencemaran limbah yang menghasilkan gas metana merupakan salah satu penyebab
pemanasan
global
sehingga
dikhawatirkan
akan
mengancam
keseimbangan alam. Menurut Nurmaeni (2001), pemanasan global dan rusaknya lapisan ozon pada stratosfer bumi disebabkan terakumulasinya gas-gas rumah kaca dalam jumlah yang berlebihan. Temperatur rata-rata global naik sebesar
5
0.74°C selama abad ke-20, dimana pemanasan lebih dirasakan pada daerah daratan daripada lautan. Jumlah karbondioksida yang lebih banyak di atmosfer. Karbondioksida adalah penyebab paling dominan terhadap adanya perubahan iklim saat ini. Efek
rumah
kaca
disebabkan
karena
naiknya
konsentrasi
gas
karbondioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah sulfur dioksida (SO2), nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana (CH4) dan khloro fluoro karbon (CFC). Mekanisme terjadinya efek rumah kaca adalah sebagai berikut; Bumi secara konstan menerima energi, kebanyakan dari sinar matahari tetapi sebagian juga diperoleh dari bumi itu sendiri, yakni melalui energi yang dibebaskan dari proses radioaktif. Sinar tampak dan sinar ultraviolet yang dipancarkan dari matahari. Radiasi sinar tersebut sebagian dipantulkan oleh atmosfer dan sebagian sampai di permukaan bumi. Di permukaan bumi sebagian radiasi sinar tersebut ada yang dipantulkan dan ada yang diserap oleh permukaan bumi dan menghangatkannya (Anonim, 2008; Netsains, 2007).
Potensi metana untuk meningkatkan temperatur lebih tinggi dibandingkan dengan karbondioksida. Satu studi penelitian reaktifitas metana telah dilakukan, disimpulkan
bahwa
potensi
pemanasan
globalnya
lebih
dari
20
kali
karbondioksida dan konsentrasinya pada atmosfer meningkat satu hingga dua persen per tahun (Netsains, 2007). Sementara itu, ternak-ternak dalam jumlah besar akan mengemisikan metana, begitu pula pertanian dan pembuangan limbah,
6
sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous oksida. Kegiatan-kegiatan manusia yang mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer saat ini sangat banyak dilakukan dan sangat esensial dalam ekonomi global. Nurmaini (2001) menjelaskan penggunaan biomassa (bahan-bahan organik) sebagai bahan bakar akan mengkonversi metana menjadi bahan bakar yang lebih bermanfaat sehingga potensi metana yang dilepaskan ke atmosfer menjadi berkurang.
2.
Limbah makanan Sampah seringkali didefinisikan sebagai bahan atau material hasil produksi
atau sisa konsumsi yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tubuh atau nilai guna hilang karena barang tidak sesuai dengan peruntukan. Limbah seringkali digunakan untuk pengganti istilah kata sampah yang seringkali dibedakan menjadi limbah padat maupun limbah cair. Sampah rumah tangga dapat bersifat padat maupun cair, yang penyimpanan maupun pengumpulannya sebelum dibuang ke tempat pembuangan akhir sampah tidak merugikan lingkungan dan mengganggu kesehatan penghuninya. Banyak cara pemusnahan sampah dari tingkat sederhana hingga yang menggunakan peralatan teknologi mutakhir agar tidak menimbulkan kerugian
yang
berarti
baik
kepada
pembuangnya
(manusia)
maupun
lingkungannya. Limbah biomassa berasal dari argoindustri, perternakan atau pabrik pengolahan hasil pertanian maupun limbah kota/domestik, umumnya mengandung konsentrasi bahan organik sangat tinggi. Bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat didegradasi secara biologi. Limbah cair tersebut mengandung nitrogen, phospat dan natrium. Besar atau kecilnya pencemaran limbah organik diukur oleh
7
Chemical Oxygen Demand (COD), Biological Oxygen Demand (BOD) untuk limbah cair, sedangkan untuk yang berbentuk sludge atau lumpur diukur dengan Total Volatile Solid (TVS) (Jenie dan Winiati, 1993). Limbah rumah makan bisa berasal dari dapur, yakni bagian dari sayuran dan bahan makanan lain yang tidak termasak dan memang harus dibuang, misalnya tongkol jagung, tangkai-tangkai sayuran dan lainnya. Bisa juga sisa makanan yang tidak habis dimakan tamu warung tersebut (Nugroho et al; 2007). Sebuah proses biokonversi dipilih untuk mengolah limbah organik dari makanan. Kuncinya adalah untuk mendapatkan pH seimbang dan suhu yang tepat sehingga enzim dan mikroorganisme yang digunakan dapat bekerja maksimal (Riyadi, 2007). Limbah tinggi kandungan energi dan tinggi nitrogen mencakup tepung ikan, bungkil dan beberapa limbah sayuran (Anonim, 2008). 3.
Batasan Biokonversi Proses daur hidup di alam oleh semua makhluk hidup berlangsung melalui
berbagai tahapan panjang yang dapat dibedakan menjadi dua arah yaitu : pembentukan (biosintesa) dan pemecahan (biolisa). Proses biologis pembentukan dan pemecahan ini disebut biokonversi. Teknologi konversi secara umum dapat dibedakan menjadi empat kelompok yaitu : pembakaran langsung (melalui tungku/tanur), gasifikasi (hasil berupa gas CO2 dan H2), pirolisa (pengarangan) dan fermentasi (biogas/alkohol) (Judoamidjojo et al., 1989). Proses biokonversi adalah perubahan bentuk suatu bahan polimer atau produk biomassa menjadi berbagai jenis produk nabati maupun hewani berlangsung secara simultan, meskipun terdapat fluktuasi keseimbangan proses
8
akibat berbagai pengaruh misalnya pengaruh kondisi setempat. Biokonversi limbah organik dari rumah makan terjadi dalam kondisi anaerob oleh mikroorganisme, yang dihasilkan produk samping biogas sebagai energi terbarukan dan lumpur pekat sebagai pupuk organik (Mahajoeno, 2008) 4.
Energi Biogas dan Teknologi Perombakan anaerob Energi merupakan daya usaha yang dapat menggerakan sesuatu barang
atau benda. Sumber energi utama bumi adalah sinar matahari/surya. Sebagian energi surya sendiri diserap secara alamiah menjadi misalnya energi hidro, energi angin, energi ombak dan energi kimiawi yang tersimpan pada tanaman. Terkadang lebih praktis dan ekonomis bagi manusia untuk memanfaatkan energienergi sekunder ini ketimbang memanfaatkan energi surya secara langsung (Triwahyuningsih et al., 2006). Bahan bakar fosil dan nuklir suatu saat nanti akan habis. Di samping itu, krisis energi juga terjadi terutama karena pasokan tidak seiring
dengan
pemenuhan
kebutuhan
energi
(konsumsi)
bahkan
penyusutan/kelangkaan produksi atau harga/biaya perolehannya semakin rumit dan mahal. Hal ini disebabkan oleh karena kebutuhan meningkat sesuai tingkat kesejahteraan maupun bertambahnya jumlah penduduk (Ariati, 2001). UNFCCC 2007 di Nusa Dua, Bali, menegaskan bahwa di masa yang akan datang, penggunaan jenis bahan bakar fosil akan ditekan seminimal mungkin. Semakin sedikit penggunaan bahan bakar fosil, maka semakin ramah terhadap lingkungan. Salah satu strategi dalam upaya pemenuhan kebutuhan energi yang lebih murah dan tersedia melimpah berupa bioenergi (biogas) sebagai energi terbarukan (Mahajoeno, 2008)
9
Tabel 1. Komposisi Biogas Penjelasan
Rumus
Persentase
Metan
CH 4
55-65%
Karbondioksida
CO 2
36-45%
Nirogen
N2
0-3%
Hidrogen
H2
0-1%
Oksigen
O2
0-1%
Hidrogen Sulfida
H2 S
0-1%
Sumber : Energi Resources Development Series No. 19, Escap, Bangkok (Kadir, 1995) Penggunaan biogas sebagai energi alternatif tidak menghasilkan polusi, disamping berguna menyehatkan lingkungan karena mencegah penumpukan limbah sebagai sumber penyakit, bakteri, dan polusi udara. Keunggulan biogas adalah karena konstruksi digester sederhana, hemat ruang, awet, mudah perawatan dan penggunaannya, dan dihasilkan lumpur kompos maupun pupuk cair (Abdullah, 1991). Gas metana (CH4) yang merupakan komponen utama biogas merupakan bahan bakar yang berguna karena mempunyai nilai kalor yang cukup tinggi (Tabel 1.3). Karena nilai kalor yang cukup tinggi itulah biogas dapat dipergunakan untuk keperluan penerangan, memasak, menggerakkan mesin dan sebagainya (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; UN, 1980 dan Nurhasanah et al 2006). Sistem produksi biogas juga mempunyai beberapa keuntungan seperti (a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c) sebagai pupuk dan
10
(d) produksi daya dan panas (Koopmans, 1998; UN, 1980; Yapp et al; 2005 dan Nurhasanah et al., 2006). Energi biogas mengandung nilai kalori lebih dari bahan bakar lainnya, artinya akan lebih banyak panas yang dihasilkan untuk memasak dan lebih cepat proses masak tersebut. Dalam pemakaian biogas, bau akan limbah akan berkurang karena proses penguraian bahan organik yang berlangsung. Selain itu pencemaran karena asap seperti pada proses memasak dengan kayu sedikit saja terjadi. Tabel 2. Nilai Kalori Biogas dan Bahan Bakar Lain Bahan Bakar
Nilai Kalori (KJ/Kg)
Bio Gas
15.000
Kayu
2.400
Arang
7.000
Minyak Tanah
8.000 (Ginting, 2007).
Bahan biogas dapat diperoleh dari limbah pertanian yang basah, kotoran ternak (manure), kotoran manusia dan campurannya. Kotoran ternak seperti sapi, kerbau, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil biogas dan hasil yang diperoleh memuaskan (Harahap et al; 1978). Teknologi perombakan anaerob merupakan salah satu bagian strategi pengelolaan limbah cair buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif (Bitton, 1999). Aplikasi Teknologi Digester Anaerob (TDA) yang lebih luas sekarang menjadi kebutuhan dalam usaha menuju pembangunan berkelanjutan
11
dan produksi energi terbarukan. Kecenderungan ini didukung oleh pertumbuhan kebutuhan pasar akan energi “hijau” (de Mez et al; 2003). Biogas diproduksi dibawah kondisi dekomposisi anaerobik melalui tiga tahap : 1.
Hidrolisis : Mikrobia hidrolitik mendegradasi senyawa organik kompleks yang berupa polimer (lemak, protein, dan karbohidrat) menjadi monomernya yang berupa senyawa tak terlarut dengan berat molekul yang lebih ringan. Proses hidrolisis membutuhkan mediasi exo-enzim yang dieksresi oleh bakteri fermentatif . Hidrolisis molekul komplek dikatalisasi oleh enzim ekstra seluler seperti sellulase, protease, dan lipase. Walaupun demikian proses penguraian anaerobik sangat lambat dan menjadi terbatas dalam penguraian limbah sellulolitik yang mengandung lignin (Said, 2006).
2.
Pembentukan asam : bakteri pembentuk asam yang merombak senyawasenyawa organik menjadi asam lemak volatile dan ammonia. Tahap ini dilakukan oleh berbagai kelompok bakteri, mayoritasnya adalah bakteri obligat anaerob dan sebagian yang lain bakteri anaerob fakultatif.
3.
Pembentukan metana : bakteri pembentuk metana memanfaatkan asam-asam ini untuk membentuk metana (CH4) (Veziroglu, 1991). Bakteri tersebut hanya mengkonsumsi asam format, asam asetat, methanol, hidrogen dan karbondioksida sebagai substrat. Proses hidrolisis merupakan salah satu tahap proses yang sangat penting
agar tidak terjadi kegagalan proses pada biodegradasi anaerob. Hidrolisis akan mempengaruhi kinetika proses keseluruhan karena tahap yang berlangsung paling
12
lambat dapat mempengaruhi laju keseluruhan (Adrianto et al., 2001). Perombakan bahan organik polimer (lemak, protein, dan karbohidrat) dalam kondisi anaerob melibatkan aktivitas enzim ekstraseluler yang dikeluarkan oleh mikroorganisme anaerob. Hidrolisis enzim ekstraseluler (lipase, protease dan karbohidrase) terhadap bahan organik polimer akan dihasilkan molekul-molekul lebih kecil sehingga dapat dikonsumsi oleh mikroorganisme (Kusarpoko, 1994; Sahirman, 1994). Pada fermentasi anaerob dihasilkan biogas dan lumpur pekat (sebagai pupuk organik). Proses hidrolisis enzimatis dan fermentasi anaerob dapat dilangsungkan secara simultan (Spangler and Emert, 1986, Wright et al., 1988). Proses perombakan anaerob bahan organik untuk pembentukan biogas dipengaruhi oleh dua faktor yaitu, biotik dan abiotik. Faktor biotik berupa mikroorganisme dan jasad yang aktif di dalam proses ataupun mikroba dan jasad kehidupan diantara komunitas jasad. Faktor abiotik meliputi : substrat; kadar air bahan/substrat; rasio C/N dan P dalam bahan/substrat; suhu; kehadiran bahan toksik (unsur beracun); pH dan pengadukan (Wellinger, 1999). Semua mikroorganisme memerlukan kondisi lingkungan tertentu untuk pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga terdapat variasi persyaratan pertumbuhan untuk spesies yang berbeda antara lain waktu, Makanan, Kelembaban, Suhu, Oksigen (untuk yang aerob) (Sudaryati et al., 2007). Mikroorganisme memerlukan nutrient yang akan menyediakan energi, biasanya diperoleh dari substansi yang mengandung karbon, nitrogen untuk sintesis protein, vitamin dan yang berkaitan dengan faktor pertumbuhan, dan mineral (Sherrington, 1981).
13
Terdapat dua kelompok bakteri metanogen penting pada proses anaerob, yaitu metanogen hidrogenotrofik (menggunakan H/kemolitotrof) mengubah hidrogen dan CO2 menjadi metana, dan metanogen asetotrofik (asetoklasik) metanogen pemisah asetat yang mengubah asetat menjadi metana dan CO2 (Bitton, 1999). Suhu berpengaruh terhadap proses perombakan anaerob bahan organik dan produksi gas. Pada kondisi karyofilik (5-200C), proses perombakan berjalan rendah, kondisi mesofilik (25-400C), perombakan berlangsung baik dan terjadi percepatan proses perombakan dengan kenaikan suhu, serta kondisi termofilik (45-650C), untuk bakteri termofilik dengan perombakan optimal pada 550C (NAS 1981, Bitton 1999). Proses perombakan anaerob biasa berlangsung pada pH antara 6,6-7,6; bakteri metanogen tidak dapat toleran pada pH di luar 6,7-7,4 sedangkan bakteri non metanogen mampu hidup pada pH 5-8,5 (NAS, 1981). Praperlakuan kimia pada umumnya limbah cair memiliki derajat keasaman tinggi (< pH 5) dan penambahan Ca(OH)2 digunakan untuk meningkatkan pH limbah cair menjadi netral (Bitton, 1999). Sahirman (1994) mengungkapkan bahwa pengaturan pH awal dengan (CaCO3) bersama pengadukan kontinu 100 rpm (tekanan 1 atm, suhu kamar) sangat berpengaruh terhadap total biogas yang dihasilkan selama 4 minggu fermentasi. Hal ini dikarenakan adanya intensitas kontak antara mikroorganisme dan substrat jauh lebih baik dan menghindari akumulasi padatan terbang ataupun padatan mengendap yang akan mengurangi volume keefektifan digester.
14
Salah satu cara menentukan bahan organik yang sesuai untuk menjadi bahan masukan sistem biogas adalah dengan mengetahui perbandingan Karbon (C) dan Nitrogen (N) atau disebut rasio C/N. Beberapa percobaan yang telah dilakukan oleh ISAT menunjukkan bahwa aktifitas metabolisme dari bakteri methanogenik akan optimal pada nilai rasio C/N sekitar 8-20 (Anonim, 2008). Konsentrasi substrat (rasio C:N) terkait kebutuhan nutrisi mikroba; homogenitas sistem dan kandungan air (padatan tersuspensi (SS), padatan total (TS), asam lemak volatile (VFA)) (Bitton, 1999). Senyawa dan ion tertentu dalam substrat dapat bersifat racun, misalnya senyawa dengan konsentrasi berlebihan ion Na+ dan Ca+ > 8000 mg/l; K+ > 12000; Mg++ dan NH4+ > 3000, sedangkan Cu, Cr, Ni dan Zn dalam konsentrasi rendah dapat menjadi racun bagi kehidupan bakteri anaerob (Bitton, 1999). Starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik menjadi biogas, bisa digunakan lumpur aktif organik atau cairan isi rumen (Ginting, 2007). Keuntungan pemilihan proses secara anaerobik adalah proses anaerobik tidak membutuhkan energi untuk aerasi, lumpur atau sludge yang dihasilkan sedikit, polutan yang berupa bahan organik hampir semuanya dikonversi ke bentuk biogas (gas metana) yang mempunyai nilai kalor cukup tinggi. Kelemahan proses degradasi ini adalah kemampuan pertumbuhan bakteri metan sangat rendah, membutuhkan waktu dua sampai lima hari untuk penggandaanya, sehingga membutuhkan reaktor yang bervolume cukup besar (Mahajoeno, 2008).
15
5.
Sumber Inokulum Mikrobia merupakan salah satu faktor kunci yang ikut menentukan
berhasil tidaknya suatu proses penanganan limbah cair organik secara biologi. Keberadaanya sangat diperlukan untuk berbagai tahapan dalam perombakan bahan organik. Hanifah (2003) menyatakan bahwa efektifitas biodegradasi limbah organik menjadi metana membutuhkan aktifitas metabolik yang terkoordinasi dari populasi mikrobia yang berbeda-beda. Populasi mikroba dalam jumlah dan kondisi fisiologis yang siap diinokulasikan pada media fermentasi disebut sebagai starter (sumber metanogen). Dalam proses anaerobik, mikrobia yang digunakan berasal dari golongan bakteri. Bakteri yang bersifat fakultatif anaerob yaitu bakteri yang mampu berfungsi dalam kondisi aerobik maupun anaerobik. Bakteribakteri tersebut dominan dalam proses penanganan limbah cair baik secara aerobik ataupun anaerobik. Jenie (1993) menyatakan bahwa sejumlah besar bakteri anaerobik dan fakultatif yang terlibat dalam proses hidrolisis dan fermentasi senyawa organik antara lain adalah Bacteroides, Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Streptococcus. Bakteri asidogenik (pembentuk asam) seperti Clostridium, bakteri asetogenik (bakteri yang memproduksi asetat dan H2) seperti Syntrobacter wolinii dan Syntrophomonas wolfei. Pancapalaga, (2007) menjelaskan bahwa limbah ternak masih mengandung nutrisi atau zat zat padat yang potensial untuk mendorong kehidupan jasad renik.
Menurut Harahap et al., (1980) bahwa kotoran hewan seperti kerbau, sapi, babi dan ayam telah diteliti untuk diproses dalam alat penghasil gasbio dan hasil yang diperoleh memuaskan. Ternak ruminansia mempunyai sistem pencernaan khusus
16
yang menggunakan mikroorganisme dalam sistem pencernaannya yang berfungsi untuk mencerna selulosa dan lignin dari rumput atau hijauan berserat tinggi. Oleh karena itu pada tinja ternak ruminansia, khususnya sapi mempunyai kandungan selulosa yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil analisis diperoleh bahwa tinja sapi mengandung 22.59% sellulosa, 18.32% hemi-sellulosa, 10.20% lignin, 34.72% total karbon organik, 1.26% total nitrogen, 27.56:1 ratio C:N, 0.73% P, dan 0.68% K (Pancapalaga, 2007). Kadarwati (2003) menambahkan bahwa rasio C/N kotoran sapi adalah 18. Pemanfaatan limbah peternakan sebagai aktivator proses anaerobik memerlukan kondisi C/N 20-25. Ada kaitan yang sangat erat antara unsur Carbon (C) dan Nitrogen (N). Dalam proses fermentasi, 2/3 dari karbon digunakan sebagai sumber energi bagi pertumbuhan mikroorganisme, dan 1/3 lainnya digunakan untuk pembentukan sel bakteri. Perbandingan C dan N pada rasio yang rendah, aktivitas biologi akan terhambat, sedang rasio yang lebih tinggi, nitrogen akan menjadi variable (Eliantika, 2009). Limbah peternakan ayam berbau tidak enak, dan memiliki kandungan unsur N paling tinggi yaitu 65,8 kg/ton di banding limbah ternak yang lainnya. Sedangkan kotoran sapi potong memiliki nilai unsur N sebesar 26,2 kg/ton (Ridwan, 2006 ). Menurut Leestyawati (2005), kandungan unsur hara N pada kotoran babi adalah 4,24 %, kotoran sapi 2,65 % dan ayam 4,86 %. Kondisi ini baik untuk penambahan unsur hara mikro dan makro untuk pertumbuhan bakteri. Bakteri metana yang telah berhasil diidentifikasi terdiri dari empat genus (Jenie, et al., 1993) : 1. Bentuk batang dan tidak membentuk spora dinamakan Methanobacterium.
17
2. Bentuk batang dan membentuk spora adalah Methanobacillus. 3. Bentuk kokus yaitu Methanococcus atau kelompok koki yang membagi diri. 4. Bentuk sarcina pada sudut 900 dan tumbuh dalam kotak yang terdiri dari 8 sel yaitu Methanosarcina Metana dan karbondioksida yang terbentuk melalui proses anaerobik dengan
bantuan
bakteri
metan
maka
proses
pembentukannya
disebut
metanogenenesis. Proses perombakan dapat dilihat sebagai berikut: molekul-molekul lebih kecil (asam lemak volatil, alkohol, asam laktat, senyawa mineral)
, Lemak, Protein, dan Karbohidrat
Bakteri Fermentatif menghasilkan exo-enzim (lipase, protease dan karbohidrase) CH3CH2OH + CO2
CH3COOH + 2H2
....................... (pers. 1)
Bakteri Asidogenik Etanol
Asam Asetat
CH3CH2COOH + 2H2O CH3COOH + CO2 + 3H2 ........ (pers. 2) Bakteri Asidogenik Asam Propionat
Asam Asetat
CH3CH2CH2COOH + 2H2O 2CH3COOH + 2H2 ............ (pers. 3) Bakteri Asidogenik Asam Butirat
Asam Asetat
Asetotropik metanogenesis :
CH3COOH
CH4 + CO2
Bakteri Metanogen
18
........................................ (pers. 4)
Hidrogenotropik metanogenesis : 4H2 + CO2
CH4 + H2O
........................................ (pers. 5)
Bakteri Metanogen (Said, 2006) 6.
Reaktor Biogas Teknologi perombakan (perombakan) anaerob merupakan salah satu
bagian strategi pengelolaan air limbah atau buangan industri yang cukup berdayaguna dan efektif (Mahajoeno, 2008). Prometheus (2005) menyarankan agar reaktor biogas menggunakan slurry (campuran substrat dan air yang telah dihomogenasikan) dengan kandungan padatan maksimal sekitar 12.5%. Slurry bisa dimasukkan hingga 3/4 volume tangki utama. Volume sisa di bagian atas tangki utama diperlukan sebagai ruang pengumpulan gas. Di dalam reaktor bakteri-bakteri metan mengolah limbah bio atau biomassa dan menghasilkan biogas metan. Pada umumnya, produksi gas metana yang optimum akan terjadi pada HTR 20-30 hari (Garcelon et al, 2001). Hal ini berarti harus diperkirakan bahwa slurry akan berada selama 20-30 hari di dalam reaktor. Sistem produksi biogas dibedakan menurut cara pengisian bahan bakunya, yaitu pengisian curah dan pengisian kontinyu. Dalam penelitian ini digunakan sistem pengisian curah. Sistem pengisian curah (SPC) adalah cara penggantian bahan yang dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari tangki pencerna setelah produksi biogas berhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu
19
tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Teguh, 2005; UN, 1980; Nurhasanah et al., 2006). B. Kerangka Pemikiran Limbah makanan berpotensi menghasilkan gas metan yang merupakan salah satu sumber penyebab efek rumah kaca jika terbuang ke atmosfer. Potensi gas metan dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar pengganti bahan bakar fosil berupa biogas (Singgih dan Mera, 2008). Biogas dihasilkan dari proses penguraian bahan organik oleh bakteri pada proses metanogenesis dalam keadaan anaerob yang dilakukan di dalam digester, yaitu tempat untuk menampung dan menguraikan bahan organik dalam keadaan anaerob (APO, 2003). Kunci dalam proses biokonversi mengolah limbah makanan adalah mendapatkan pH seimbang dan suhu yang tepat sehingga enzim serta mikroorganisme yang digunakan dapat bekerja maksimal (Riyadi, 2007). Adanya variasi metanogen maupun konsentrasi substrat pada perombakan anaerob diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal dalam produksi biogas, sehingga diperoleh keuntungan secara ekonomis dan secara ekologis (APO, 2003). Secara skematis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat disajikan sebagai berikut:
20
Industri pangan Limbah Warung Makan
Modifikasi Teknologi Digester Anaerob
Variasi Suhu
Variasi Inokulum sapi
Mengalami fermentasi produk: CH4 + CO2 Berpotensi sebagai sumber energi Biogas dan pupuk cair
Gambar 2. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
C. Hipotesis 1. Variasi sumber inokulum metanogen pada berbagai substrat limbah makanan dapat memberikan pengaruh terhadap produksi biogas. 2. Adanya variasi suhu substrat limbah rumah makan pada perombakan anaerob dapat memberikan pengaruh terhadap produksi biogas. 3. Adanya interaksi antara suhu dan sumber inokulum memberikan pengaruh terhadap produksi biogas dari limbah makanan.
21
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanan di Laboratorium Pusat (green house) F. MIPA dan sub Laboratorium Kimia, Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih 4 bulan, dimulai pada bulan Juni sampai September 2009.
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan pada penelitian ini mencakup serangkaian alat konstruksi digester, peralatan gelas dan peralatan pengukur untuk analisis fisika kimia serta peralatan lain sebagai pendukungnya. Alat konstruksi digester terdiri dari jerigen 5 liter, botol 600 ml, selang kecil dengan panjang + 20 cm, mikrotip, rak penyangga, thermocouple, ember besar dan drum besar. Blender, heater dan roll kabel sebagai alat pendukungnya. Peralatan gelas untuk analisis fisika kimia meliputi : batang pengaduk, gelas piala, gelas ukur, cawan porselin, perangkat soxchlet, condensor, botol jam, botol serum, botol flakon, tabung reaksi, labu ukur, pipet biuret, pipet ukur, pipet tetes, tips pipet plastik, dan gelas Erlenmeyer 50-1000 ml. Peralatan pengukur analisis fisika kimia meliputi : neraca listrik, oven, thermometer, pH-meter, tabung gas N dan metana, hot-plate, suhu dan pengukur tekanan gas.
22
Bahan penelitian meliputi : substrat yang terdiri dari limbah rumah makan sumber inokulum kotoran sapi, sumber inokulum kotoran ayam, sumber inokulum limbah makanan, air, urea dan larutan Ca(OH)2/NaOH sebagai pemberi suasana basa.
C. Rancangan Percobaan Rancangan percobaan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Olah Faktorial dengan dua faktor perlakuan. Faktor pertama adalah variasi sumber inokulum meliputi sumber inokulum limbah makanan, sumber inokulum kotoran ayam, sumber inokulum kotoran sapi dan faktor kedua adalah suhu perlakuan yang berbeda dalam 2 kondisi, yaitu dengan suhu ruang 30-350C (T1) dan suhu tinggi/termofilik 50-550C (T2), masing-masing perlakuan dengan 3 ulangan.
Tabel 3. Rancangan Percobaan Perombakan Anaerob Limbah Makanan. No Perlakuan
Sumber Inokulum
Suhu
Agitasi
1.
LMT1
Inokulum limbah warung makan T1
2x
2.
LMT2
Inokulum limbah warung makan T2
2x
3.
KST1
Inokulum Kotoran sapi
T1
2x
4.
KST2
Inokulum Kotoran sapi
T2
2x
5.
KAT1
Inokulum Kotoran Ayam
T1
2x
6.
KAT2
Inokulum Kotoran Ayam
T2
2x
Keterangan: Sumber inokulum 20%, substrat limbah makanan disekitar kampus UNS 80%, pH 7, agitasi 2X perhari.
23
C. Cara Kerja Penelitian ini menggunakan limbah pangan sebagai substrat atau media utama untuk produksi biogas ditambah sumber inokulum sebagai starter . Limbah pangan tersebut terdiri dari limbah makanan sisa buangan warung. Sumber inokulum terdiri dari sludge sapi, sludge ayam dan limbah makanan. Pada penelitian ini digunakan digester dengan volume 5 liter, yaitu 4 liter volume digester sebagai volume kerja, sedangkan sisanya (1 liter) sebagai ruang udara. Dari 4 liter volume kerja digester diisi oleh sumber inokulum dengan konsentrasi 20% (0,8 liter) dan volume sisanya digunakan untuk substrat. Penelitian ini mencakup beberapa tahap/skala percobaan. Tahap percobaan tersebut adalah : a.
Tahap Persiapan Tahap ini mencakup percobaan pendahuluan, menyediakan kebutuhan alat
dan bahan percobaan, serta skematik rancangan percobaan. Persiapan alat dan bahan serta analisis peubah diamati baik kimia maupun fisika, masing-masing akan diuraikan pada tahap pelaksanaan percobaan skala laboratorium. Inokulum limbah makanan dibuat dengan cara mencampur biomassa (limbah) dan air dengan perbandingan 1:1. Sebelumnya, biomassa (limbah) dihomogenasikan terlebih dahulu dengan tambahan air menggunakan blender. Biomassa yang sudah homogen dimasukkan kedalam drum. Karena proses ini berlangsung secara anaerob maka drum harus tertutup rapat. Proses fermentasi berlangsung selama kurang lebih dua sampai tiga minggu, hingga terbentuk sludge (lumpur aktif). Perlu dilakukan agitasi selama proses fermentasi
24
berlangsung. Hal ini bertujuan agar material-material organik (biomassa) yang ada dalam drum dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh bakteri sebagai sumber makanan sehingga metabolisme maupun perkembangan bakteri dapat berjalan dengan baik. Setelah sludge terbentuk, dapat langsung dimanfaatkan sebagai sumber inokulum (starter) dalam pencernakan anaerob (digester). Sumber inokulum kotoran sapi dan kotoran ayam sudah bersifat aktif sehingga dapat langsung digunakan sebagai starter. Substrat dan sumber inokulum akan di fermentasikan dalam bioreaktor modifikasi (jerigen volume 5 L, botol 600 ml dan selang kecil) yang dilakukan di dalam green house selama 6 minggu. b.
Tahap Penelitian
1.
Pembuatan biogas Sistem yang digunakan untuk pembuatan biogas dalam penelitian ini
adalah sistem curah, yaitu dengan cara penggantian bahan dilakukan dengan mengeluarkan sisa bahan yang sudah dicerna dari tangki pencerna setelah produksi biogas berhenti, dan selanjutnya dilakukan pengisian bahan baku yang baru. Sistem ini terdiri dari dua komponen, yaitu tangki pencerna dan tangki pengumpul gas. Untuk memperoleh biogas yang banyak, sistem ini perlu dibuat dalam jumlah yang banyak agar kecukupan dan kontinyuitas hasil biogas tercapai (Abdullah, 1991; GTZ, 1997; Teguh, 2005; UN, 1980 dalam Nurhasanah dkk; 2006). Sebelum dilakukan proses biokonversi dalam digester anaerob, perlu dilakukan homogenisasi biomassa (limbah) dengan air agar substrat lebih mudah
25
dicerna
oleh
mikroorganisme.
Proses
homogenisasi
dilakukan
dengan
menggunakan blender. Setelah proses homogenisasi selesai, selanjutnya dilakukan pengukuran beberapa parameter diantaranya : suhu, pH, COD, BOD, TS, VS, ratio C/N dan konsorsia bakteri. Pengukuran dilakukan empat kali selama penelitian yaitu : awal, minggu ke-2, minggu ke-4 maupun akhir penelitian. Pengukuran biogas dilakukan di akhir penelitian. Langkah pertama yang dilakukan dalam mencampur substrat dengan sumber inokulum dalam digester adalah sumber inokulum dimasukkan terlebih dahulu ke dalam digester dengan konsentrasi tertentu (pada penelitian digunakan konsentrasi 20% dari 4 L volume kerja digester atau setara dengan 0,8 L). Langkah selanjutnya adalah substrat dimasukkan ke dalam digester sebanyak kurang lebih 3,2 L. Setelah semua bahan dimasukkan dalam digester, segera ditutup rapat agar proses fermentasi bekerja dalam kondisi anaerob. Selanjutnya diragkaikan degan tangki pengumpul gas dari botol 600 ml yang yang penuh diisi air. Setelah biogas terbentuk maka biogas akan dialirkan dari tangki pencerna (jerigen) ke dalam tangki pengumpul gas (botol 600 ml) melalui selang kecil sehingga air akan terdorong keluar dan biogas akan masuk ke dalam tangki tersebut (menggantikan air). Dengan demikian, dapat diketahui volume gas yang masuk ke dalam tangki pengumpul gas sama dengan volume air yang keluar dari botol pengumpul gas. Selama proses fermentasi berjalan, dilakukan agitasi sebanyak 2 kali setiap harinya.
26
2.
Pengukuran parameter
Pengukuran pH dan suhu Bahan disediakan : larutan Buffer pH : 4, Larutan Buffer pH : 7 dan pH
meter. Elektroda pH meter dimasukkan ke dalam air suling, dilap dengan tisu lalu dimasukkan dalam larutan Buffer pH : 4, bilas dengan air, lap dengan tisu dan dimasukkan ke dalam Buffer pH : 7. pengukuran pada contoh, elektroda dimasukkan ke dalam 25 ml contoh dalam gelas piala lalu pH meter dibaca. Demikian pula untuk pengukuran suhu substrat menggunakan elektroda terpasang.
Pengukuran COD Bahan disiapkan antara lain: K2Cr2O7; Ag2SO4; Fe (NH4)2 (SO4)2. 6H2O;
indikator Feroin; HgSO4; laruta H2SO4 pekat dan peralatan Refluks, Kondensor Liebiq; Erlenmeyer Asahi dan peralatan Titrasi. Limbah contoh sebanyak 5 ml yang telah diencerkan dengan air suling dimasukkan ke dalam erlenmeyer dan ditambahkan 10 ml.
K2Cr2O7 0.025 N dan 10 ml H2SO4 pekat. Setelah
campuran tersebut dingin, dititrasi dengan larutan Fe(NH4)2SO4 0.025 N, dengan indikator ferroin. Titrasi dihentikan setelah terjadi perubahan warna biru kehijauan menjadi merah anggur. Volume Fe(NH4)2SO4 0.025 N yang digunakan untuk titrasi dicatat sebagai a ml. Dengan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap blangko air suling. Volume Fe(NH4)2SO4 yang digunakan dicatat b ml.
(b - a) x 0.025 x 8000 x f
COD (ppm) = ml contoh
27
f : Faktor pengenceran (Greenberg et al; 1992).
Pengukuran BOD
Bahan pereaksi disiapkan:. MnSO4 . 4H2O, (NaOH- NaI- NaN3) sebagai alkali Iod-azida; H2SO4 pekat, larutan H2SO4 4N, KI 10%, Amilum, larutan Tio-sulfat 0,025 N, Na2S2O3 . 5H2O dengan peralatan: botol Winkler 250 ml dan perangkat titrasi. Contoh yang bersifat asam atau basa dinetralkan dengan penambahan NaOH atau HCl. Penambahan Na2SO3 ke dalam contoh dilakukan jika diduga mengandung senyawa khlor aktif dengan perbandingan molar yang sama. Botol-botol disimpan dalam inkubator pada suhu 30o C, selama satu jam (tiap contoh sampel menggunakan dua botol BOD). Salah satu botol diambil, kemudian dianalisa kadar oksigen terlarutnya. Botol yang lainnya disimpan selama tiga hari dalam inkubator 30oC sebelum dianalisa kadar oksigen teriarutnya. Analisis oksigen terlarut dilakukan juga terhadap blangko (X0 – X3) - (B0 – B3) BOD3 (ppm)=
(1-f) f
X0: Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-0 X3 : Kadar oksigen terlarut dalam contoh pada hari-5 B0: Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-0 B3 : Kadar oksigen terlarut dalam blangko pada hari-5; f : Faktor pengenceran (Greenberg et al; 1992).
Padatan total (Total Solids) (Metode Evaporasi) Sebanyak 25-50 ml contoh yang telah diaduk dimasukkan ke dalam cawan
dan ditimbang bersama cawan dan dianggap sebagai W2. Sebelum digunakan cawan dibersihkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 1050C selama satu
28
jam.. Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang ditimbang (W1). Dilanjutkan pada suhu 5500C selama satu jam. Setelah itu cawan didinginkan di dalam desikator hingga suhu ruang ditimbang (W3). Contoh diuapkan dalam cawan dan diteruskan dengan pengeringan di dalam oven pada suhu 1050C, selama satu jam. Setelah didinginkan di dalam desikator, cawan ditimbang (W4).
(Greenberg et al; 1992).
Padatan mudah uap (Volatile Solids). Setelah penetapan padatan total kemudian dibakar pada suhu 5500 C
selama 1 jam menggunakan furnace, masukkan desikator dan timbang lagi (W5).
(W3-W5) X 106 Padatan Terikat (ppm) =
Z
Padatan mudah uap (VS): padatan total-padatan terikat (Greenberg et al; 1992).
Pengukuran pertumbuhan bakteri Pengukuran pertumbuhan bakteri sama dengan pengukuran kuantitaif
populasi bakteri. Pada penelitian ini pertumbuhan bakteri dilihat dengan metode hitungan mikroskopik secara langsung, dimana sebelumnya perlu dilakukan
29
beberapa kali proses pengenceran (10-9). Adapun langkah kerja yang dilakukan dalam teknik dilusi atau pengenceran adalah sebagai berikut : o
larutan kultur (sampel) diambil 1 ml dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis pada tabung reaksi untuk memperoleh dilusi 1/10 bagian.
o
diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/10 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/100 bagian.
o
diambil 1 ml dari larutan dilusi 1/100 dan dimasukkan ke dalam 9 ml garam fisiologis untuk memperoleh dilusi 1/1000 bagian, dan seterusnya sampai pengenceran 10-9. Maksud dari 1/10, 1/100, 1/1000, 1dst adalah suatu rasio dilusi yang
apabila pada tiap dilusi ditumbuhkan ke dalam suatu media dan koloninya yang tumbuh dapat dihitung, maka jumlah sel mikroba dapat diketahui dengan cara : 1 Nilai Jumlah Bakteri = Jumlah koloni x Jumlah Pengenceran
Pada metode hitungan mikroskopik langsung, sampel diletakkan pada ruang hitung yang disebut hemasitometer dan jumlah sel dapat ditentukan secara langsung
dengan
bantuan
mikroskop.
Keuntungan
metode
ini
adalah
pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Kelemahan lain adalah terkadang sel cenderung bergerombol sehingga sukar membedakan sel secara individu. Cara mengatasinya adalah dengan memisahkan gerombolan sel
30
tersebut dengan menambahkan bahan anti gumpal seperti dinatrium etilen diamin tetraasetat dan Tween 80 sebanyak 0,1%. Adapun langkah kerja hitungan mikroskopik dengan hemasitometer adalah sebagai berikut : o
sebelumnya permukaan hitung dan kaca penutup hemasitometer dibersihkan
o
kaca penutup hemasitometer diletakkan di atas permukaan hitung hemasitometer
o
suspensi sel bakteri yang telah diencerkan sebanyak 10-9 dikocok., Suspensi diambil 0,1-0,5 ml dengan menggunakan pipet Pasteur. Pengambilan suspensi dengan pipet Pasteur dapat dilakukan dengan cara pipet tersebut dimasukkan ke dalam suspensi lalu pangkal pipet ditutup dengan jari telunjuk
o
Ujung pipet Pasteur diletakkan pada lekukan berbentuk V pada tepi kaca penutup hemasitometer secara cermat dan ruang hemasitometer dibiarkan terpenuhi suspensi secara kapiler. Jari telunjuk digunakan untuk mengatur aliran suspensi agar mencegah aliran berlebihan pada bagian bawah kaca penutup
o
Hemasitometer diletakkan di bawah mikroskop. Diamati dengan objektif kekuatan lemah dan jumlah sel (yang terdapat pada 80 buah kotak kecil yang terletak di dalam kotak bagian tengah berukuran 1 mm2) dihitung. (Suranto,dkk, 2001 & Salmah, 2004)
Pegukuran biogas Komposisi gasbio (CO2, CH4) dalam reaktor ditetapkan dengan
kromatografi gas (Fison GC-8000) yang dilengkapi dua kolom. Chromodsorb Teflon 108 (60-80 mesh) dan saringan molekuler (60-80 mesh) lapis baja
31
antikarat. Kolom dihubungkan parallel dengan split 1:1. Nitrogen sebagai gas pembawa dengan total laju gas pembawa 45 ml/menit. Suhu kolom, injektor dan detektor penghubung suhu masing-masing 40,110 dan 1000C. Pengujian aktivitas gas metan diukur dalam kromatografi gas Sigma (Perkin Elmer) dilengkapi detektor penghubung panas 100 mA. Gas dipisahkan dengan argon sebagai gas pembawa dalam kolom saringan molekuler pada 1000C (Weijma et al, 2000).
E. Analisis Data Data yang diperoleh adalah data kuantitatif. Data kuantitatif yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam GLM univariate. Uji lanjut menggunakan Duncan’s Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf uji 5%.
32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Biogas adalah bahan bakar berguna yang dapat diperoleh dengan memproses limbah (sisa) yang basah, kotoran hewan dan manusia atau campurannya, yang dihasilkan dari suatu proses fermentasi bahan organik oleh bakteri dalam keadaan tanpa oksigen atau anaerobik, Biogas merupakan gas yang tidak berbau, tidak beracun dan tidak menimbulkan asap hitam serta mudah terbakar dan amat ideal sebagai sumber energi baru (Harahap et a., 1980).
1. Pegukuran Awal Substrat Penelitian ini melibatkan limbah makanan dengan batasan limbah yang berasal dari warung makan sekitar kampus UNS Surakarta. Limbah makanan dapat berasal dari nasi, sayuran, buah-buahan, ikan, daging, telur, dan aneka sisa lainnya, Pemilihan limbah rumah makan karena bahan organik tersebut terdiri dari karbohidrat, protein, lemak dan selulosa atau ligno selulosa yang dapat didegradasi secara biologi (Nugroho et al; 2007). Selain itu ditambahkan juga inokulum yang berfungsi sebagai starter. Starter yang di gunakan adalah inokulum limbah makanan, kotoran sapi dan kotoran ayam yang telah aktif. Hal ini didukung oleh pernyataan oleh (Ginting, 2007) bahwa starter diperlukan untuk mempercepat proses perombakan bahan organik menjadi biogas, bisa digunakan lumpur aktif organik atau cairan isi rumen.
33
Substrat terdiri dari tiga kelompok, yaitu : limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum limbah makanan 20% (kontrol); limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum kotoran sapi 20% (substrat A); dan limbah rumah makan yang dicampur dengan inokulum kotoran ayam 20% (substrat B). Masing-masing kelompok substrat dibagi lagi dalam dua kelompok suhu lingkungan yang berbeda, yaitu suhu ruang (T1) dan suhu tinggi (T2). Sebelum proses fermentasi anaerob dilaksanakan perlu diketahui karakter awal dari masing-masing kelompok substrat. Hal ini bertujuan untuk melihat nilai efisiensi perombakan substrat limbah organik terhadap beberapa sifat fisik, kimia, dan biologi dari limbah seperti pH, suhu, BOD, COD, TS, VS, dan populasi bakteri, yang terjadi selama proses fermentasi. Selain itu, karakterisasi di awal juga dapat dijadikan acuan untuk mengetahui sifat limbah yang baik untuk produksi biogas, karena limbah belum mendapat perlakuan. Berikut adalah karakter substrat sebelum dilakukan proses fermentasi anaerob : Tabel 4. Hasil pengukuran awal substrat sebelum fermentasi dilaksanakan. No
Substrat
Parameter yang diamati Suhu (oC)
pH
BOD (g/l)
COD (g/l)
TS (g/l)
VS (g/l)
Konsorsia Bakteri (sel/ml)
1
LM
31,3
7,07
13,49
60,44
128,0
87,0
8,7x105
2
KS
31,7
7,11
7,12
41,76
51,3
23,5
6,4x105
3
KA
31,9
7,11
6,53
31,50
50,1
31,2
3,3x105
Keterangan: LM: substrat dengan inokulum limbah makanan. KS: substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA: substrat dengan inokulum kotoran ayam.
34
Substrat dengan inokulum limbah makanan memiliki nilai BOD, COD, TS dan VS lebih besar dibandingkan dengan substrat dengan inokulum yang lainnya (tabel 4). Ini menjelaskan bahwa inokulum limbah makanan masih memiliki bahan organik yang besar sehingga dapat menambah beban organik lebih banyak pada substrat dibandingkan inokulum kotoran sapi maupun inokulum kotoran ayam. Proses perombakan anaerob (fermentasi) berlangsung selama 6 minggu dengan interval 2 minggu yaitu minggu ke-0 (M0), minggu ke-2 (M2), minggu ke-4 (M4) dan minggu ke-6 (M6), Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi bakteri), maupun abiotik seperti kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, suhu, dan starter. Faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006).
2. Derajat keasaman (pH) Perbedaan jenis substrat juga memberikan pengaruh terhadap nilai pH selama proses fermentasi anaerob. pH substrat akan mengalami sedikit banyak perubahan. Berikut adalah rata-rata nilai pH dalam empat kali waktu pengamatan (minggu ke_n) selama proses fermentasi anaerob berlangsung :
35
Tabel 5. Rata-rata pH substrat limbah makanan sekitar kampus UNS dalam 4 kali waktu pengamatan. pH substrat Kelompok substrat
Hari ke-0
Hari ke-15
Hari ke-30
Hari ke-45
LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KS 20%
7,07
6,17
6,14
6,08
7,11
7,12
7,86
7,89
LM 80% + Inokulum KA 20%
7,11
7,85
7,80
8,10
LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KS 20%
7,07
6,64
6,89
6,98
7,11
7,62
7,57
7,77
LM 80% + Inokulum KA 20%
7,11
7,74
8,12
8,39
1. Suhu Ruang
2, Suhu Tinggi
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Derajat keasaman (pH) substrat mengalami perubahan selama proses fermentasi (tabel 5). Kresnawaty, et al., (2008) menyatakan bahwa diawal reaksi pembentukan biogas, bakteri penghasil asam akan aktif lebih dulu sehingga pH pada digester menjadi rendah, kemudian bakteri metanogen menggunakan asam tersebut sebagai substrat sehingga menaikkan nilai pH. Hal ini dapat menjelaskan bahwa seharusnya pH substrat mulai mengalami penurunan pada minggu kedua, setelah itu pH dapat kembali netral. Tetapi hal demikian hanya terjadi pada kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum indigenous pada suhu tinggi sedangkan kelompok substrat limbah rumah makan dengan inokulum indigenous pada suhu ruang turun, pH substrat kelompok yang lain cenderung naik. Nilai pH memiliki peranan yang sangat penting dalam proses Anaerobic Digestion karena akan mempengaruhi kinerja bakteri yang terlibat. Pertumbuhan bakteri tidak dapat tumbuh dengan maksimum dan bahkan dapat menyebabkan
36
kematian pada rentang pH yang tidak sesuai, Kadarwati, (2003) menjelaskan bahwa nilai pH optimum dalam produksi biogas berkisar antara 6,8-8. Pada awal penelitian, pH limbah makanan cukup asam yaitu 4,3, pH sangat asam karena banyaknya jeruk dalam limbah tersebut. Oleh karena itu dalam penelitian semua kelompok perlakuan dinetralkan dengan penambahan NaOH (Ginting, 2007). Setiap kelompok perlakuan, substrat dicampur inokulum dalam suatu wadah dilanjutkan dengan penambahan NaOH sebanyak 25 gram sehingga menjadi netral berkisar antara 7,07-7,11. Pengukuran pH yang diperoleh, dapat dijelaskan bahwa ada pengaruh proses degradasi terhadap nilai pH pada perlakuan suhu mesofilik dan termofilik. pH substrat pada hari ke-0, baik yang suhu ruang maupun suhu tinggi adalah netral. Hal ini karena semua kelompok substrat sudah dinetralkan dengan penambahan NaOH. Pada umumnya, pH mulai menurun pada hari ke-15 dan pH naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH kembali netral). Hal ini terjadi pada kelompok limbah dengan inokulum warung makan perlakuan suhu tinggi yaitu di hari ke-15 pH menurun, namun pH mulai naik pada hari ke-30 dan hari ke-45 (pH kembali netral), pH menurun disebabkan karena sedang terjadi proses asidifikasi (pembentukan asam). Setelah proses asidifikasi selesai, selanjutnya masuk pada tahap methanogenesis yaitu perubahan asam menjadi methana. Asam yang terbentuk pada tahap asidifikasi akan digunakan oleh bakteri methanogen sebagai substrat dalam pembentukan gas methan dan CO2 sehingga pH kembali netral. Tingkat keasaman diatur oleh proses itu dengan sendirinya. Karbondioksida yang dihasilkan oleh bakteri larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-)
37
yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali (kembali netral). Pada substrat dengan inokulum warung makan perlakuan suhu ruang, nilai pH semakin turun (asam) hingga hari ke-45, berada pada kisaran dibawah 6,5. Menurut Ratnaningsih et al., (2009). pH yang terus menurun disebabkan proses metanogenesis tidak berjalan sempurna, bakteri penghasil asam tumbuh terlalu cepat sehingga asam yang dihasilkan akan lebih banyak dari jumlah yang dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil methan, akibatnya sistem akan terlalu asam. Sebaliknya terjadi pada kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi dan substrat dengan inokulum kotoran ayam, nilai pH terus naik. Hal ini terjadi karena senyawa asam yang dihasilkan oleh bakteri penghasil asam dapat dikonsumsi oleh bakteri penghasil methan dengan cepat, akibatnya menghasilkan banyak CO2 yang larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali, sistem akan menjadi basa.
3. Konsorsia Bakteri Parameter pH berpengaruh pada pertumbuhan bakteri (Reith et al, 2002). Berdasarkan hasil pengamatan konsorsia bakteri pada masing-masing kelompok substrat dengan menggunakan metode mikroskopis diketahui bahwa kelompok substrat yang memiliki jumlah konsorsia bakteri tertinggi adalah kelompok substrat dengan inokulum kotoran ayam sedangkan yang terendah adalah kelompok substrat dengan inokulum kotoran sapi. Data hasil konsorsia bakteri ditampilkan dalam tabel sebagai berikut:
38
Tabel 6. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata konsorsia bakteri total setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. No 1. 2. 3.
Kelompok inokulum LM KS KA Rata-rata
Rata-rata konsorsia total (sel.103/ml/hari) T1 T2 Rata-rata 4,4629 6,6289 5,5459b 3,0889 4.3851 3,7370a 4,0038 5,2184 4.6111b a b 3,8158 4,8296
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 7. Rata-rata konsorsia bakteri substrat limbah makanan sekitar kampus UNS dalam 4 kali waktu pengamatan. Konsorsia bakteri (sel.104/ml) Substrat
Hari ke-0
Hari ke-15
Hari ke-30
Hari ke-45
Rata-rata
12,06
13,39
10,01
Suhu Ruang LM 80% + LM 20% (K)
5,80
8,78
LM 80% + KS 20% (A)
4,30
7,09
8,86
9,27
7,38
LM 80% + KA 20% (B)
2,20
7,87
12,32
12,01
8,60
LM 80% + LM 20% (K)
4,54
11,26
12,98
14,66
10,86
LM 80% + KS 20% (A)
3,30
7,32
9,24
13,16
8,26
LM 80% + KA 20% (B)
5,82
5,52
8,40
15,66
8,85
Suhu Tinggi
Analisis sidik ragam konsorsia bakteri memperlihatkan hasil yang berbeda nyata atau
signifikan antar
perlakuan (tabel 6). Perlakuan variasi
inokulum LM berbeda nyata dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS, tetapi tidak berbeda nyata dengan inokulum KA. Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan substrat dengan variasi inokulum memberikan pengaruh signifikan terhadap konsorsia bakteri. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap konsorsia bakteri. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap konsorsia bakteri. Konsorsia bakteri total tertinggi adalah inokulum LM
39
didapatkan 5,5459 (sel.103/ml/hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum KS sebesar 3,7370 (sel.103/ml/hari). Konsorsia bakteria total perlakuan suhu T2 sebesar 4,8296 (sel.103/ml/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 3,8158 (sel.103/ml/hari). Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan variasi substrat memberikan pengaruh signifikan terhadap jumlah konsorsia bakteri, sedangkan penambahan suhu tidak berpengaruh signifikan terhadap jumlah konsorsia bakteri. Jumlah konsorsia bakteri pada hari ke-0 yang tertinggi adalah kelompok kontrol dan kelompok kotoran ayam (tabel 7). Jumlah konsorsia bakteri mengalami peningkatan pada semua perlakuan dengan pertumbuhan rata-rata konsorsia bakteri tertinggi adalah dari kelompok inokulum limbah warung makan yaitu 10,86 sel.104/ml/hari untuk substrat termofilik sedangkan jumlah konsorsia bakteri terendah adalah dari kelompok inokulum kotoran sapi yaitu 7,38 sel.104/ml/hari untuk substrat mesofilik. Kemudian apabila dilihat dari pola pertumbuhannya, tampak bahwa pola pertumbuhan bakteri pada semua kelompok substrat adalah sama yaitu terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri. Pada hari ke-0 hingga hari ke-45 terjadi kenaikan jumlah konsorsia bakteri, kecuali substrat B (suhu ruang) yang turun sedikit setelah hari ke-30 hingga hari ke-45 tetapi penurunan jumlahnya tidak terlalu signifikan. Jika dihubungkan antara grafik nilai pH dengan pertumbuhan konsorsia bakteri, substrat kontrol pada suhu ruang mulai hari ke-0 hingga hari ke-45 pH menurun yang disertai dengan jumlah konsorsia bakteri yang terus meningkat pada rentang hari tersebut. Hal ini dimungkinkan pada lingkungan asam, bakteri pembentuk asam akan cepat tumbuh
40
akibatnya jumlah konsorsia bakteri juga meningkat. Oleh karena itu substrat kontrol pada suhu ruang mungkin didominasi oleh bakteri asam Sedangkan pada substrat kontrol pada suhu tinggi hari ke-0 hingga hari ke 45 terjadi peningkatan konsorsia bakteri, padahal pada hari ke-30 dan hari ke-45 telah terjadi peningkatan pH (kembali netral) setelah sebelumnya pada hari ke-15 sempat terjadi penurunan pH (asam). Konsorsia bakteri, substrat A dan B mulai hari ke-0 hingga hari ke-45, pH yang naik diikuti kuantitas konsorsia bakteri yang terus meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok ini konsorsia bakteri didominasi bakteri metanogen. Pada kelompok ini pembentukan gas metan dan CO2, berjalan baik karena banyaknya CO2 yang larut dalam air untuk membentuk ion bikarbonat (HCO3-) lebih banyak yang menyebabkan larutan menjadi lebih alkali. Adanya metanogen dalam jumlah yang seimbang dengan bakteri lain (seperti bakteri asam) akan menyebabkan proses produksi biogas berjalan baik pula. Metode yang digunakan adalah metode yang sederhana maka tidak dapat dipastikan jenis bakteri maupun bentuknya, tetapi hanya dapat diketahui jumlahnya. Salmah (2004) mejelaskan
keuntungan metode ini adalah
pelaksanannya cepat dan tidak memerlukan banyak peralatan. Kelemahannya ialah tidak dapat membedakan sel-sel hidup dan mati, yang artinya hasil yang diperoleh adalah jumlah total sel yang ada di dalam populasi. Oleh karena itu, jenis bakteri yang ada hanya dapat diperkirakan dengan melihat parameter pH dan uji nyala. Jika dilihat dari pH masing-masing kelompok substrat yang tergolong cukup asam, bisa dimungkinkan bahwa bakteri yang mendominasi adalah
41
golongan bakteri pembentuk asam. Jika dilihat dari uji nyala, kelompok substrat yang dapat menghasilkan nyala api artinya proses perombakan berjalan seimbang, bakteri asam dan metanogen berada dalam jumlah yang seimbang sehingga dapat bekerja secara simbiosis. Jika konsorsia bakteri lebih didominasi oleh bakteri asam maka proses perombakan menjadi tidak seimbang, akibatnya gas metana yang terbentuk hanya sedikit atau bahkan tidak ada (karena lingkungan yang terlalu asam dapat mematikan metanogen). Dengan demikian biogas yang dihasilkan jika dibakar tidak menimbulkan nyala api.
4. Produksi Biogas Biogas terbentuk karena adanya kerja berbagai bakteri yang ikut terlibat dalam aktivitas perombakan substrat kompleks. Jumlah produksi biogas yang diperoleh berdasarkan perbedaan sumber inokulum dan juga perbedaan suhu lingkungan dalam 45 hari waktu pengamatan terlihat pada grafik berikut:
42
Volume Biogas
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
T1 T2
LM
KS
KA
Jenis Inokulum
Gambar 2. Jumlah volume biogas yang diperoleh dari masing-masing kelompok substrat setelah 6 minggu fermentasi. Keterangan : LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.
Kelompok substrat yang menghasilkan produksi biogas paling banyak adalah dari kelompok inokulum KA (40,81 l/45 hari atau 0,91 l/hari), sedangkan kelompok menghasilkan produksi biogas paling sedikit adalah kelompok inokulum LM/kontrol yaitu 3,59 l/ 45 hari atau 0,08 l/hari (gambar 2). Kelompok substrat dengan penambahan suhu T2 juga memperlihatkan hasil produksi biogas yang lebih tinggi dari pada kondisi suhu ruang (T1). Hal ini menjelaskan bahwa fermentasi substrat dengan inokulum KA berjalan dengan optimal. Banyak faktor mempengaruhi keberhasilan produksi biogas, yaitu faktor biotik (populasi bakteri), maupun abiotik seperti kondisi anaerob, bahan baku isian, nutrisi (C/N), pH, suhu, dan starter, faktor tersebut dapat mempercepat proses fermentasi jika
43
kondisi lingkungan optimal bagi pertumbuhan bakteri perombak (Simamora, et al., 2006). Biogas merupakan gas produk akhir dari proses degradasi materi organik seperti karbohidrat, lemak, dan protein. Kecepatan dan efisiensi perombakan perombakan proses degradasi substrat tergantung pada bentuk secara fisik dan secara kimia (jenis substrat maupun inokulum). Selain jenis, konsentrasi juga sangat berperan dalam proses perombakan dan produksi biogas. Mahajoeno, et al., (2008) menjelaskan bahwa faktor yang berpengaruh terhadap produksi biogas, di antaranya adalah inokulum. Hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa Inokulum LKLM II-20% (b/v) dengan substrat 15 L, diperoleh produksi biogas paling baik dibandingkan konsentrasi lainnya dimana produksi biogasnya mencapai 121 liter. Biogas merupakan hasil dari proses perombakan materi organik oleh mikroorganisme. Proses tersebut terdiri dari empat tahap yaitu 1) hidrolisa senyawa polimer organik menjadi senyawa lebih rendah sehingga dapat diserap oleh membran sel mikroba. Misalkan hidrolisis karbohidrat menjadi monomer-monomernya. Protein menjadi asam amino, lemak menjadi asam lemak rantai panjang maupun alkohol, 2) fermentasi senyawa sederhana, sebagai sumber energi populasi mikroba nonmetanogenik. Fermentasi hasil hidrolisis tersusun senyawa organik sederhana terutama asam lemak volatil (VFA), gas CO2, dan H2, beberapa asam laktat dan etanol. Proses tersebut dikenal sebagai fermentasi asam atau asidogenesis. 3) Hasil reduksi fermentasi yang harus dioksidasi di bawah kondisi anaerob menjadi asam asetat, CO2 dan hidrogen, sebagai substrat bakteri metana yang dikenal dengan bakteri asetogen atau mikroba obligat pereduksi proton. Tahap terakhir pengolahan limbah cair anaerob
44
adalah 4) fermentasi metana, yang terdapat dua tipe reaksi yaitu tahapan CO2 dan H2 diubah menjadi metana dan air, sedang tahapan lain asetat diubah menjadi metana dan CO2 ( Werner et al., 1989). Produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu dapat dilihat pada tabel sebagai berikut: Tabel 8. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap rata-rata produksi biogas setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. Kelompok No Rata-rata produksi biogas total (liter/ hari) inokulum T1 T2 Rata-rata 1. LM 0,0799 0,2146 0,1472 a 2. KS 0,5999 0,8139 0,7069 b 3. KA 0,7310 0,9069 0,8190 c a b Rata-rata 0,4702 0,6451 Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%). Tabel 9. Rata-rata produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS menggunakan biodigester sistem curah dengan waktu fermentasi 6 minggu. Kelompok substrat Rata-rata volume biogas (liter/hari) M2
M4
M6
T1
T2
T1
T2
T1
T2
LM 80% + LM 20% (K)
0,064
0,150
0,080
0,137
0,095
0,357
LM 80% + LM 20% (A)
0,199
0,869
0,746
1,008
0,854
0,565
LM 80% + LM 20% (B)
0,381
1,287
0,945
0,702
0,867
0,729
Keterangan: LM : Substrat dengan inokulum limbah makanan. KS : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. KA : Substrat dengan inokulum kotoran ayam. Jumlah produksi biogas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok perlakuan menunjukkan perbedaan yang cukup signifikan (Tabel 8). Berdasarkan analisis sidik ragam produksi biogas memperlihatkan hasil yang berbeda nyata atau signifikan antar perlakuan. Perlakuan variasi inukulum LM berbeda nyata
45
dengan kelompok perlakuan variasi inukulum KS dan kelompok substrat KA. Dari analisis tersebut juga dapat diketahui bahwa perlakuan substrat dengan variasi inokulum memberikan pengaruh signifikan terhadap produksi biogas. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap produksi biogas. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap produksi biogas.
Produksi biogas total tertinggi
adalah inokulum KA didapatkan 0,8190 (liter/hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum LM sebesar 0,1472 (liter/hari). Produksi biogas total perlakuan suhu T2 sebesar 0,6451 (liter/hari) lebih tinggi dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 0,4702 (liter/hari). Produksi biogas rata-rata terbanyak 1,287 liter/hari (tabel. 9) terjadi pada perlakuan BT2, yaitu: penggunaan substrat dengan inokulum kotoran ayam pada suhu tinggi karena terjadi proses degradasi cepat dan suhu yang konstan. Hal ini dimungkinkan karena pengaruh dari starter inokulum yang diberikan. Mahajoeno, et al., (2008) menjelaskan bahwa fungsi penambahan starter adalah sebagai sumber metanogen sehingga proses fermentasi dan pembentukan biogas berjalan lebih
cepat.
Kondisi tersebut
merupakan
kombinasi
perlakuan terbaik
dibandingkan dengan kombinasi perlakuan lain yang menghasilkan volume biogas lebih sedikit. Kelompok kontrol memiliki produksi total yang lebih sedikit dibanding kelompok A dan B (gambar 2). Menurut Ratnaningsih et al., (2009) jumlah produksi biogas yang sangat kecil menunjukkan bahwa telah terjadi proses degradasi yang tidak maksimal. Namun demikian, banyak sedikitnya yang
46
dihasilkan tidak dapat menentukan nyala tidaknya biogas yang dihasilkan. Test uji nyala digunakan untuk mengetahui produksi biogas yang dihasilkan dapat terbakar atau tidak. Energi biogas menjadi mudah terbakar jika memiliki kandungan gas methan lebih dari 50%. Hammad (1996) mengatakan bahwa biogas dapat terbakar apabila terdapat kadar metana minimal 57%, sedikit berbeda menurut Hessami et al., (1996) biogas dapat terbakar jika kandungan metana minimal 60%. Pada umumnya
apabila gas metana ini dibakar maka akan
berwarna biru dan menghasilkan banyak energi panas. Energi yang terkandung dalam biogas tergantung dari konsentrasi metana. Semakin tinggi kandungan metana maka semakin besar kandungan energi (nilai kalor) pada biogas, dan sebaliknya (Kapdi et al., 2004 dan Pambudi, 2008). Sumber utama nilai kalor biogas berasal dari gas metan, plus sedikit dari H2 serta CO. Sedang karbondioksida dan gas nitrogen tidak memiliki konstribusi dalam soal nilai panas tadi, Bitton (1999) menyatakan bahwa produksi biogas hasil perombakan jasad renik tidak murni metana tetapi merupakan gas campuran misalnya terbentuk pula CO2 dan H2O. Tabel 10. Test Uji Nyala Produksi Biogasa masing-masing substrat. Kelompok substrat LM 80% + Inokulum LM 20% (K) LM 80% + Inokulum KS 20% (A) LM 80% + Inokulum KA 20% (B)
Suhu T1 ++ ++
Suhu T2 ++ ++ ++
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Biogas yang dihasilkan selama 45 hari fermentasi (tabel 10.) diketahui bahwa tidak semua kelompok substrat menghasilkan biogas dengan kualitas yang
47
baik (Lampiran 6). Kualitas ini dapat dinilai dari nyala atau tidaknya gas setelah dilakukan proses pembakaran dan warna api yang dihasilkan pada saat pembakaran. Kelompok perlakuan kontrol pada suhu ruang biogas yang diperoleh tidak tidak menghasilkan nyala api atau dapat dikatakan bahwa kandungan metananya kurang dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena proses degradasi yang tidak maksimal akibat keidakseimbangan antara senyawa-senyawa dan unsurunsur berbeda serta suasana asam pada substrat. Werner et a.l, (1989) menjelaskan dampak negatif dapat terjadi oleh ketidakseimbangan, sehingga fermentasi anaerob secara total dapat berhenti atau menurun akibat adanya bahan beracun. Bahan beracun dapat berupa senyawa yang sudah ada dalam biomassa atau senyawa yang dihasilkan selama proses fermentasi anaerob. Mikroba metanogen membutuhkan garam-garam anorganik dalam jumlah mikro untuk mengendalikan tekanan osmosis internal dan sebagai kofaktor enzim (Adam, 1980). Menurut Werner et al (1989) unsur tersebut sebaiknya terdapat dalam konsentrasi sekitar 10-4 M, karena konsentrasi tinggi Ca, Mg, K dan Na dapat menjadi faktor penghambat. Kresnawaty et al., (2008) penurunan pH terjadi karena asam organik yang terbentuk selama asidogenesis seperti asam asetat, propionate, butirat, valerat bahkan isovalerat dan isobutirat, sedangkan pada tahap asetogenesis produk utama yang dihasilkan adalah asam lemak volatil. Nilai pH yang terus menurun mengakibatkan biogas yang dihasilkan tidak optimal (kandungan metana rendah atau bahkan belum terbentuk) karena lingkungan yang asam tidak cocok untuk perkembangan metanogen.
48
Kelompok perlakuan kontrol suhu tinggi, perlakuan A dan B gas yang dihasilkan pada botol saat pertama kali belum menghasilkan nyala api. Hal ini dikarenakan proses perombakan anaerob memerlukan beberapa tahapan, diantaranya: hidrolisis, asidogenesis, dan methanogenesis, Pada saat awal perombakan masih didominasi oleh proses hidrolisis dan asidogenesis, sehingga gas yang dihasilkannya pun kebanyakan masih berupa gas CO2, H2, dan senyawa yang bersifat asam seperti asam asetat. Gas sudah dapat menghasilkan nyala api yaitu pada botol kedua nyala api masih kecil dan sudah berwarna biru. Pada uji nyala botol ketiga dan seterusnya menghasilkan nyala api yang baik berwarna biru dan relatif besar. Hal ini dapat dikatakan bahwa kandungan metannya kurang dari 50%. Pembakaran akan mengeluarkan api yang berwarna biru, karena gas yang dibakar adalah gas metan (CH4), yang ikatan molekulnya hanya mengandung 1 atom C dan 4 atom hydrogen. Produksi biogas yang diperoleh menjelaskan bahwa volume biogas yang dihasilkan pada kondisi suhu tinggi (45-50ºC) lebih banyak dibandingkan suhu ruang (25-31ºC). Hal ini mungkin dikarenakan pada suhu tinggi (termofilik) substrat akan terdegradasi lebih cepat dan memudahkan difusi bahan terlarut, sehingga pembentukan gas akan lebih cepat pula. Hal ini sesuai dengan pernyataan Metcalf & Eddy (2003) bahwa suhu termofilik digunakan untuk penghancuran cepat dan produksi tinggi (m3 gas/m3 bahan per hari) serta waktu retensi pendek dan bebas dari desinfektan. Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu (Tobing PL, & Z, Poeloengan, 2003; Wellinger and Lindeberg, 1999). Gambar 9 dan 10 merupakan hasil pengamatan suhu substrat
49
pada dua kondisi yang berbeda yaitu kondisi suhu ruang (25-31°C) dan suhu tinggi (45-50°C) dalam 45 hari waktu pengamatan.
32 31.5 suhu (°C)
31 30.5
Kontrol
30
A
29.5
B
29 28.5 hari ke-0
hari ke-15
hari ke-30
hari ke-45
Waktu Fermentasi
Gambar 3. Rata-rata suhu masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (25-31°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45, 45.6
suhu (°C)
45.5 45.4 45.3
Kontrol
45.2
A B
45.1 45 hari ke-0
hari ke-15
hari ke-30
hari ke-45
Waktu Fermentasi
Gambar 4. Rata-rata suhu masing-masing kelompok substrat pada kondisi suhu ruang (45-50°C) pada hari ke-0, hari ke-15, hari ke-30, dan hari ke-45. Keterangan : K : Substrat dengan inokulum limbah makanan. A : Substrat dengan inokulum kotoran sapi. B : Substrat dengan inokulum kotoran ayam.
50
Suhu didalam digester dapat diketahui dengan jelas bahwa terjadi perbedaan suhu substrat pada kondisi mesofilik maupun termofilik. Kelompok substrat suhu kamar memiliki rentang suhu antara rata-rata antara 29,9-31,9°C dan kelompok substrat suhu tinggi memiliki rentang suhu antara : 45,2-45,6°C. Pada kondisi mesofilik, suhu substrat paling tinggi yaitu pada hari ke-0 yaitu antara 31,3-31,9°C. Hal ini dikarenakan suhu lingkungan pada saat itu cukup tinggi, yaitu 34°C. Pada hari ke-15, suhu substrat mulai mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan yaitu antara 29,9-30,3°C. Tidak berbeda jauh dengan suhu substrat pada hari ke-15, suhu substrat pada hari ke-30 dan hari ke-45 ada pada rentang antara 30,1-30,6°C. Kenaikan atau penurunan suhu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah. Pada kondisi termofilik, dipergunakan alat bantu berupa termokopel sebagai pengatur suhu lingkungan biodigester agar suhu tetap stabil. Berdasarkan data yang telah diperoleh, nilai suhu dipertahankan pada kisaran diatas 45°C. Perubahan suhu substrat yang terjadi pada hari ke-0 hingga hari ke-45 tidak berbeda antar masing-masing kelompok substrat yaitu berkisar antara 45,1-45,6°C. Faktor suhu akan membedakan dalam proses pendegradasian substrat. Bitton (1999) menjelaskan bahwa perombakan berlangsung baik pada kondisi mesofilik dan perombakan optimal kondisi termofilik (45-650C).
51
Tabel 11. Perbandingan rata-rata produksi biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS setelah waktu fermentasi 6 minggu pada suhu ruang dengan suhu tinggi. Kelompok substrat LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KS 20% LM 80% + Inokulum KA 20%
Total produksi biogas (L) Suhu ruang Suhu tinggi 3,59 9,66 26,99 36,63 32,89 40,81
Peningkatan Produksi Biogas 169% 34% 24%
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam.
Suhu substrat dapat berpengaruh meningkatkan produksi biogas dari limbah makanan (tabel 11). Hal tersebut dapat dijelaskan karena meningkatnya suhu substrat dapat memacu reaksi kimia, yang dapat meningkatkan perombakan dari unsur yang kompleks menjadi yang lebih sederhana,. Percobaan yang dilakukan selama 6 minggu pengaruh suhu terhadap produksi biogas tertinggi adalah sebanyak 40,8 L untuk suhu tinggi dan 32,9 L suhu ruang, selain itu diketahui juga terjadi peningkatan produksi biogas berkisar antara 24%-169% pada suhu tinggi dibandingkan suhu ruang. Hal tersebut dapat dipahami karena produksi biogas dengan bahan limbah makanan merupakan proses biofermentasi, yaitu peran pokok dilakukan oleh berbagai macam mikroba. Oleh sebab itu hasil perombakan yang lebih cepat, memudahkan aktifitas bakteri metanogenik membentuk biogas, sehingga peningkatan suhu dapat meningkatkan produksi biogas (Metcalf & Eddy 2003, NAS 1981, Bitton 1999 dan Wllinger 1999). Perbedaan volume biogas yang diperoleh juga dapat disebabkan karena pada kondisi suhu ruang terjadi perubahan suhu lingkungan 2-5°C (suhu lingkungan tidak konstan).
Menurut
52
Wellinger
and Lindeberg,
(1999)
menjelaskan bahwa Proses fermentasi anaerob sangat peka terhadap perubahan suhu. Hal ini berpengaruh pula terhadap perubahan suhu substrat. Perubahan suhu yang terlihat cukup signifikan yaitu pada hari ke-45, suhu substrat turun menjadi ±25°C. Penurunan yang cukup signifikan ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang berubah, yaitu suhu lingkungan yang rendah karena hujan. Sehingga kondisi suhu substrat di dalam biodigester pun menjadi rendah akibatnya bakteri metanogenik berkembang lambat dan sensitif terhadap perubahan mendadak pada kondisi-kondisi fisik dan kimiawi. Material bahan dalam hal ini jerigen yang digunakan sebagai biodigester bukan merupakan isolator/penahan panas yang baik sehingga temperatur lingkungan dapat mempengaruhi materi di dalam biodigester (Raliby et al., 2009). Sedangkan pada kelompok substrat suhu tinggi, bagian luar digester sudah diberi termokopel dengan tujuan mempertahankan suhu agar tetap konstan. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, diketahui bahwa ketika suhu lingkungan diluar digester diatur 50°C maka suhu substrat (dalam digester) adalah ± 45°C. Perbedaan suhu antara di luar dan di dalam digester mungkin disebabkan karena perbedaan dari masing-masing bahan/media menyerap panas tersebut. Kondisi di luar digester lebih panas karena media yang menerima panas dalam bentuk cair (air) sehingga lebih cepat menyerap panas, sedangkan media yang menerima panas di dalam digester adalah limbah dalam bentuk mendekati padat (sedikit cair/kental) sehingga proses penyerapan panasnya lebih lama. Suhu lingkungan diluar digester tetap dipertahankan 50°C dengan menggunakan termokopel, agar tidak terjadi perubahan suhu substrat (konstan).
53
5. Konsentrasi COD, BOD, TS, dan VS Proses perombakan anaerob juga dapat menurunkan tingkat pencemaran dari limbah organik sehingga aman bagi lingkungan, selain dihasilkan biogas sebagai sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Proses perombakan atau degradasi bahan organik dapat dilihat dari perubahan karakter atau sifat outlet limbah (effluent), baik sifat fisik maupun kimia seperti pH, BOD (Biological Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand), Volatil Solid (VS) dan Total Solids (TS). Selain perubahan sifat, proses degradasi juga dapat dilihat dari nilai reduksi/effisiensi perombakan. Ratnaningsih (2009) menjelaskan bahwa efisiensi perombakan total solid disebabkan perombakan oleh mikroorganisme. Haryati (2006)
menambahkan bahwa proses degradasi anerobik dapat
menurunkan nilai TS, VS, BOD dan COD. Adapun nilai rata-rata BOD, COD, TS dan VS dipengaruhi oleh interaksi antara jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap lama waktu fermentasi berdasarkan uji analisis sidik ragam
yang
dilanjutkan uji DMRT 5% ditampilkan pada tabel berikut : Tabel 12. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi BOD setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. No 1.
Kelompok inokulum LM
2. 3.
T1
Rata-rata konsentrasi BOD (gram/l) T2 Rata-rata
12,7733
10,8400
11,8067 b
KS
3,7667
1,9067
2,8367 a
KA
3,0433 6,5278a
1,2367 4,6611b
2,1400 a
Rata-rata
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
54
Tabel 13. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi COD setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. No 1. 2. 3.
Kelompok inokulum LM KS KA Rata-rata
Rata-rata konsentrasi COD (gram/l) T1 T2 Rata-rata 51,8133 47,3133 49,5633c 16,0333 16,0333 16,0333b 5,1100 9,0967 7,1033 a 24,3189 a
24,1478 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%). Tabel 14. Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi TS setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. No 1. 2. 3.
Kelompok inokulum LM KS KA Rata-rata
Rata-rata konsentrasi TS (gram/l) T1 T2 Rata-rata 79,7667 16,7000 48,2333 b 8,4667 6,7667 7,6167 a 8,4000 6,4667 7,4333 a a b 32,2111 9,9778
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Tabel 15 Pengaruh jenis substrat dan suhu lingkungan terhadap konsentrasi VS setelah waktu 6 minggu dalam biodigester anaerob. No 1.
Kelompok inokulum LM
2.
KS
0,4667
0,4000
0,4333 a
3.
KA
2,1333 16,1667 a
0,9000
1,5167 a
Rata-rata
Rata-rata konsentrasi VS (gram/l) T2 Rata-rata 6,6333 26,2667 b 45,9000
T1
2,6444 b
Keterangan : angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata antar perlakuan dan angka yang diikuti huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata antar perlakuan (taraf uji 5%).
Uji analisis sidik ragam dari data yang diperoleh diketahui bahwa perbedaan jenis iokulum pada substrat dan suhu lingkungan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap nilai rata-rata BOD, COD, TS dan VS
55
(P<0,05) (Lampiran 12, 13, 14, dan 15). Setelah dilakukan uji lanjut dengan menggunakan DMRT pada taraf 5% diketahui bahwa terdapat beda nyata antar masing-masing kelompok kombinasi perlakuan (Tabel 10, 11, 12 dan 13), Kelompok yang memiliki nilai rata-rata BOD terendah adalah inokulum KA (2,14 g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan inokulum KS tetapi berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap rata-rata konsentrasi BOD. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap BOD. Nilai BOD total terendah adalah inokulum KA didapatkan 36,85 (L/45 hari) sedangkan yang terendah adalah inokulum LM sebesar 6,625 (L/45 hari), nilai BOD total perlakuan pada suhu T2 sebesar 4,6611 (g/l) lebih lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 6,5278 (g/l). Nilai rata-rata COD terendah terjadi pada perlakuan inokulum KA yaitu sebesar (7,1033 g/l), nilai ini berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh terhadap rata-rata konsentrasi COD. Perlakuan suhu T1 (24,3189 g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan T2, sedangkan interaksi suhu dengan inokulum tidak berpengaruh terhadap rata-rata konsentrasi COD. Uji lanjut dengan menggunakan DMRT pada taraf 5% untuk nilai rata-rata TS terendah terjadi pada inokulum KA yaitu 7,4333 g/l, nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan inokulum KS tetapi berbeda nyata dengan kelompok perlakuan lain. Variasi suhu berpengaruh terhadap nilai rata-rata konsentrasi nilai TS, demikian juga interaksi suhu dengan inokulum berpengaruh signifikan terhadap rata-rata konsentrasi total TS. Nilai TS total perlakuan pada suhu T2
56
sebesar 9,9778 (g/l) lebih lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 32,2111 (g/l). Sedangkan untuk nilai VS terendah adalah inokulum KS sebesar 0,4333 (g/l), nilai ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan KA tetapi berbeda nyata dengan kelompok kombinasi perlakuan lain. Penambahan suhu berpengaruh signifikan terhadap rata-rata konsentrasi VS, demikian juga interaksi suhu dengan inokulum berpengaruh signifikan terhadap rata-rata konsentrasi total VS. Perlakuan suhu T1 berbeda nyata dengan T2, nilai rata-rata konsentrasi VS total perlakuan pada suhu T2 sebesar 2,6444 (g/l) lebih lebih rendah dibandingkan perlakuan suhu T1 sebesar 16,1667 (g/l). Proses degradasi dapat menurunkan nilai COD, O’Flaherty et al., (2006) menyatakan bahwa perombakan limbah cair secara biologis, tahap anaerobik merupakan tahapan yang sangat menentukan keberhasilan proses perombakan. Pada tahap tersebut terjadi perombakan bahan-bahan organik menjadi asam, selanjutnya dirombak menjadi asam asetat, dan proses berlanjut membentuk gas metana dan CO2, sehingga terjadi penurunan COD limbah. Proses efisiensi perombakan
anerob
berlangsung cukup tinggi. Mahajoeno (2008) menyatakan bahwa efisiensi perombakan LCPMKS COD, BOD, dan VS anarob sistem curah cukup tinggi lebih dari 90%, tetapi efisiensi perombakan TS sebesar 62,7%, rendahnya efisiensi TS karena padatan suspensinya tersusun dari selulosa sehingga sulit untuk dirombak. Nilai efisiensi perombakan anaerob BOD, COD, TS, dan VS selama 45 hari ditampilkan pada tabel sebagai berikut:
57
Tabel 16. Nilai efisiensi degradasi perombakan organik (%) pada substrat limbah rumah makan dengan fermentasi anaerob setelah 6 minggu. Efisiensi perombakan (%) COD
BOD
TS
VS
1. Suhu Ruang LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KS 20%
14,3
5,29
23,9
17,5
61,6
47,1
82,7
70,6
LM 80% + Inokulum KA 20%
72,56
53,3
83,2
67,7
LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KS 20%
36,9
21,9
82,4
73,2
83,8
72,8
78,3
79,3
LM 80% + Inokulum KA 20%
85,2
80,9
80,0
78,2
2. Suhu Tinggi
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam Efisiensi perombakan pada semua perlakuan mengalami penurunan nilai COD dan BOD, tetapi dengan nilai effisiensi yang berbeda-beda. Menurut Kresnawaty (2008) penurunan nilai COD dan BOD disebabkan karena telah terjadi proses hidrolisis. Pada tahap tersebut, bahan organik dimanfaatkan oleh mikroorganime sebagai nutrisi dan mengubahnya ke dalam bentuk senyawa yang lebih sederhana. Reduksi COD dan BOD tertinggi sebesar 85,2% dan 80,9% pada substrat dengan inokulum kotoran ayam dengan suhu tinggi. Pada tahapan tersebut bakteri pendegradasi limbah dapat bekerja secara optimal, karena waktu tinggal (HRT) yang cukup lama memberi kesempatan kontak lebih lama antara lumpur anaerobik (inokulum) dengan limbah organik (substrat). Sedangkan reduksi COD dan BOD terendah sebesar 14,3% dan 5,29% yaitu pada kelompok kontrol pada suhu ruang. Rendahnya reduksi ini dimungkinkan karena limbah dominan mengandung senyawa organik yang bersifat komplek sehigga menjadi beban influen. Munazah dan Prayatni (2008), semakin tinggi beban influen maka
58
effisiensi penyisihan akan menurun. Selain itu, dapat disebabkan juga oleh tidak sempurnanya proses fermentasi substrat akibat terlalu rendahnya derajat keasaman substrat, sehingga proses dekomposisi anaerob pada biodigester tidak mencapai tahapan methanogenic sempurna. Perubahan sifat kimia yang lain adalah perubahan nilai total solid dan volatil solid. Proses perombakan anaerob selama 45 hari, memperlihatkan bahwa terjadi penurunan TS dan VS. Reduksi TS tertinggi sebesar 83,2% pada substrat dengan inokulum kotoran ayam bersuhu ruang, sedangkan yang terendah adalah 23,9% pada substrat dengan inokulum limbah makanan bersuhu ruang. Efisiensi perombakan organik VS tertinggi sebesar 79,3% pada substrat dengan inokulum kotoran sapi bersuhu tinggi, sedangkan yang terendah adalah 17,5% pada substrat dengan inokulum limbah makanan bersuhu ruang. Reduksi total solids dan volatil solids ini disebabkan perombakan bahan organik oleh aktivitas mikroorganisme (Ratnaningsih, 2009). Nilai efisiensi perombakan organik TS dan VS yang cukup tinggi dikarenakan aktivitas perombakan oleh mikroorganisme berjalan dengan baik. Hal ini mungkinkan juga kondisi rasio C/N seimbang pada substrat. Wellinger (1999) mejelaskan bahwa bahan baku (substrat) dengan rasio C/N tinggi dicampur dengan
rasio C/N rendah akan memberikan rerata rasio
komposisi input sesuai kadar optimal produksi biogas yang diinginkan. Seperti di Cina, rasio C/N seimbang diperoleh dari campuran sekam padi pada dasar perombak dengan kotoran/limbah domestik. Di Nepal dan India pengumpanan perombak
dengan
kotoran
gajah
dicampur
limbah
kotoran
manusia
memungkinkan keseimbangan rasio C/N mendorong produksi biogas stabil. Jenis
59
limbah (substrat) peternakan umum kandungan nitrogen (N) tinggi dibandingkan kadar karbon (C). Rasio karbon terhadap nitrogen limbah yang ditambahkan ke perombak sebaiknya berbanding 20 bagian C dan satu bagian N (20:1) untuk memperoleh produksi optimum metana. Residu panen pertanian dan sayuran, biasanya berkadar N rendah tapi tinggi kadar C, dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja perombak dengan mencampur kadar N tinggi limbah peternakan, dan dapat memberi lebih baik rasio C:N untuk produksi biogas. Bitton (1999) menambahkan bahwa konsentrasi substrat (rasio C:N:P) terkait kebutuhan nutrisi mikroba, homogenitas dan kandungan air volatil solid (VS); total solid (TS) dan asam lemak volatil (VFA). Pencampuran kotoran ternak (ayam dan sapi) menyebabkan terjadinya keseimbangan rasio C/N sehingga perombakan berjalan lebih baik. Biogas terbentuk dari proses perombakan anarob. Ada korelasi yag didapat antara nilai efisiensi perombakan anaerob dengan produksi biogas yang dihasilkan. Mahajoeno (2008) menjelaskan bahwa produksi biogas berkorelasi berkorelasi negatif dengan total padatan, padatan tersuspensi, BOD dan COD yang artinya semakin rendah total padatan, padatan tersuspensi, BOD dan COD semakin tingi produksi biogas.
60
Tabel 17. Korelasi reduksi COD, BOD, TS, VS dengan produksi Biogas dari limbah organik rumah makan sekitar kampus UNS setelah waktu fermentasi 6 minggu tertinggi dan terendah.
Parameter COD ( %) BOD ( %) TS ( %) VS ( %) Produksi biogas (L/45 hari)
Korelasi reduksi COD, BOD, TS, VS dengan produksi Biogas tertinggi dan terendah LM 80% + Inokulum LM 20% LM 80% + Inokulum KA 20% Suhu ruang Suhu tinggi 14,3 85,2 5,29 80,9 23,9 80,0 17,5 78,2 3,59 40,81
Keterangan: LM: limbah makanan. KS: kotoran sapi. KA: kotoran ayam. Jumlah biogas yang terakumulasi sebanding dengan nilai reduksi COD, BOD, TS, dan VS (tabel 15). Tingkat reduksi yang tinggi akan menghasilkan jumlah akumulasi gas yang besar dan begitu juga sebaliknya (Nugraihini, 2008). Dapat dilihat bahwa kelompok substrat dengan inokulum limbah makanan memiliki reduksi COD, BOD, TS, dan VS yang lebih rendah dibandingkan dengan substrat dengan inokulum kotoran ayam. Hal ini dimungkinkan dapat terjadi karena proses secara biologi oleh mikroorganisme telah mencapai titik optimum sehingga pada beban pengolahan yang lebih tinggi, zat-zat pencemar tidak dapat lebih banyak tersisihkan, sehingga menghasilkan bahan organik terlarut resisten yang meningkatkan konsentrasi COD, BOD, TS, dan VS effluent (Munazah dan Prayatni, 2008).
61
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, dapat disimpulkan bahwa: 4.
Variasi substrat dengan perlakuan sumber inokulum berpengaruh terhadap produksi biogas.
5.
Perlakuan suhu tinggi (45,2-45,6°C) dapat meningkatkan produksi biogas berkisar antara 24%-169%.
6.
Tidak ada interaksi antara suhu dengan sumber inokulum. Penambahan suhu termofilikl pada sumber inokulum kotoran ayam terhadap kinerja selama 45 hari biodigester anaerob untuk produksi biogas terbaik yaitu 0,91 l/hari.
B. Saran Dari kesimpulan di atas, dapat dituliskan saran sebagai berikut: 1.
Diperlukan parameter pengukuran rasio C/N agar tetap seimbang karena penting untuk megetahui kebutuhan nutrient mikroorganisme agar dapat melakukan metobolisme yang baik.
2.
Diharapkan pengukuran kualitas biogas dilakukan sehingga dapat diketahui prosentase kandungan metana dan adanya penelitian lebih lanjut tentang sisa cairan yang berpotensi besar sebagai pupuk organik.
62
DAFTAR PUSTAKA Abdullah,K., Abdul Kohar Irwanto, Nirwan Siregar, Endah Agustina, Armansyah H.Tambunan, M. Yasin, Edy Hartulistiyoso, Y. Aris Purwanto, 1991. Energi dan Listrik Pertanian, JICA-DGHE/IPB Project/ADAET, JTA-9a (132). Adam, K. H. 1980. Process parameter retention time and loading rates. In National Workshop on Biogas Technology, Kuala Lumpur, 23-24 March 1981, 172-188. Adrianto A., T. Setiadi, M. Syafilla dan O.B., Liang. 2001. Studi kinetika reaksi hidrolisis senyawa kompleks organic dalam proses biodegradasi Anaerob. Jurnal Biosains 6(1) : 1-9. Anonim. 2008. Dasar-Dasar Teknologi Biogas. http://www.google.com/teknologi biogas [pdf] (10 Maret 2009). [APO] Asian Productivity Organization. 2003. A Measurement Guide to Green Productivity. Tokyo, Asian Productivity Organization. Ariati R, 2001. Indonesian Energy Policy: Towards Greater Local Manufacturing for Renewable Energy. Asean Energy Bulletin, 3rd Quarter. 5(3): 4-6. Bitton, G. 1999. Wastewater Microbiology. 2nd ed. Wiley Liss Inc. New York. De Mez , T. Z. D., Stams, A. J. M., Reith, J. H., and G., Zeeman. 2003. Methane production by anaerobic digestion of wastewater and solid wastes. In : Biomethane and Biohydrogen Status add Perspectives of biological methane and hydrogen production. Edited by J.H. Reith, R.H. Wijffels and H. Barten. Dutch Biological Hydrogen Foundation. Eliantika, E F 2009 Biogas Limbah Peternakan Sapi Sumber Energi Alternatif Ramah Lingkungan. Bengkulu, http://www.tenangjaya.com. (08 Januari 2009). Garcelon, J. and Clark, J. 2001. Waste Digester Design. Civil Engineering Laboratory Agenda, University of Florida, http://www.ce.ufl.edu/activities/waste/wddndx.html. (10 Maret 2009). Ginting, Nurzainah. 2007. Penuntun Praktikum : Teknologi Pengolahan Limbah Peternakan. Departemen Peternakan Fakultas Pertanian : Universitas Sumatera Utara. Greenberg, A.E., L.S. Clasceri and A.D. Easton. 1992. Standard Methods for the Examination of Water Wastewater. 18th ed. APHA, AWWA, WACF. Washington.
63
GTZ.
1990. Biogas Utilization. http://gtz.de/gate/techinfo/biogas/appldev/operation/utilizat. (10 Maret 2009) Hammad S.M.D. 1999. Integrated environmental and sanitary engineering project at Mirzapur. Journal of Indian Water Work Association 28:231236 Hanifah,T A Christine Jose dan Titania T. Nugroho. 2001. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Dengan Teknologi EM (Effective Mikroorganisms). Jurnal Natur Indonesia III (2): 95 – 103. Harahap, F.M., Apandi, dan S. Ginting. 1978. Teknologi Gasbio. Bandung : treatment. Journal of Animal Science 12 (4): 604 – 606. Haryati, T. 2006. Biogas : Limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Jurnal Wartazoa. Vol 6 (3):160-169 . Hessami M.A., Christensen S. and Gani R. 1996. Anaerobic digestion of household organic waste to produce biogas. Renewable Energy (9) : 1-4, 954-957 Jenie, B.S.L. dan Winiati P.R. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta. Judoamidjojo, R.M., E.G. Said dan L. Hartoto. 1989. Biokonversi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dit. Jend. Pendidikan Tinggi. P A U Bioteknologi IPB : Bogor. Kadarwati, Sri. 2003. Studi Pembuatan Biogas dari Kotoran Kuda dan Sampah Organik Skala Laboratorium. Jurnal P3TEK Vol.2, No.1 Kadir, Abdul. 1995. Energi : Sumber Daya, Inovasi, Tenaga Listrik dan Potensi Ekonomi. Edisi kedua. Jakarta : Universitas Indonesia (UI Press). Kapdi AA, Vijay VK, Rajest SK & R Prasat. 2004. Biogas Scrubbing Compression and Storage: Perspectives and Prospectus in India Context. Renewable Energy. 4:1-8 Koopmans, A. 1998. Trend in Energy Use. Expert Consultation on Wood Energy, Climate and Health. 7-9 October, 1998, Phuket, Thailand. Kresnawaty, Irma., I. Susanti., Siswanto., dan Tri Panji. 2008. Optimasi produksi biogas dari limbah lateks cair pekat dengan penambahan logam. Jurnal Menara Perkebunan. Vol 76(1): 23-35. Kusarpoko, B. 1994. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Anaerob Perombak Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : Bogor. Leestyawati, N. W. 2005. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Kotoran Ternak. Denpasar: Dinas Peternakan Provinsi Bali.
64
Mahajoeno, E., Lay W.B, Sutjahjo, H.S., Siswanto. 2008. Potensi Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit untuk Produksi Biogas. Biodiversitas (9):48 – 52. Metcalf & Eddy . 2003. Wastewater Engineering: Treatment, Disposal, and Reuse, 4th ed., McGraw-Hill, Singapore Munazah, A.R dan Prayatni Soewondo. 2008. Penyisihan organik melalui dua tahap pengolahan dengan modifikasi ABR dan Constructed Wetland pada industri rumah tangga. Jurusan Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, ITB. Volume 4 No 4, Desember 2008. [NAS] National Academy of Sciences. 1981. Methane generation from human, animal, and agricultural wastes. 2nd Ed. National Academy of Sciences, Washington, D.C. NetSains. 2007. “Mengapa Biomassa Mampu Menekan Efek Pencemaran?”. http://www.NetSains.com/biomassa. (10 Maret 2009) Nugrahini, Panca; T.M.Rizki Habibi; dan Anita Dwi Safitri. 2008. Penentuan parameter kinetika proses anarobik campuran limbah cair industri menggunakan reaktor Upflow Anaerobic Sludge Blanket (UASB). Jurusan Teknik Kimia, Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains dan Teknologi-II 2008, Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Nugroho, A., R.P Djoko M. dan Danny S. 2007. Cara Mengatasi Limbah Rumah Makan. Teknik Kimia Universitas Diponegoro : Semarang. Nurhasanah, Ana., Teguh W.W., Ahmad A. dan Elita R. 2006. Perkembangan Digester Biogas di Indonesia (Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Tengah). Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian : Serpong. Nurmaini. 2001. Peningkatan Zat-Zat Pencemar Mengakibatkan Pemanasan Global. Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Sumatera Utara. O’Faherty V, Collins G, & M. Therese, 2006. The Microbiology and Biodiversity of anaerobic bioreactor with relevance to domestics sewage treatment, //http:www.development of biogas denmask, pdf. (9 Desember 2009) Pambudi, N.A. 2008. Pemanfaatan biogas sebagai energi alternatif. Jurusan Teknik Mesin dan Industri, Fakultas Teknik:Universitas Gadjah Mada. http://www.dikti.org/ (10 Maret 2009) Prometheus. 2005. Reaktor Biogas Skala Kecil/Menengah (Bagian Kedua). Artikel IPTEK : Bidang Energi dan Sumber Daya Alam. http://www.prometheus-energy.com/digester.html. (10 Maret 2009) Pancapalaga, Wehandaka 2007. Evaluasi Briket Kotoran Sapi Dan Limbah Pertanian (Kosap Plus) Sebagai Bahan Bakar Alternatif. (Thesis) Malang: UMM. Raliby, Oesman; Retno Rusdjijati; dan Imron Rosyidi. 2009. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas sebagai bahan bakar alternatif pada industri
65
pengolahan tahu. //http:www.openpdf.com/ebook/biogas-dari-limbah-tahu, pdf. (9 Desember 2009) Ratnaningsih, Widyatmoko, H dan Yananto, T. 2009. Potensi pembentukan biogas pada proses biodegradasi campuran sampah organik segar dan kotoran sapi dalam batch reaktor anaerob. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 5(1): 20-26. Reith, J.H., H. den Uil, H. van Veen, W.T.A.M. de Laat, J.J. Niessen, E. de Jong, H.W. Elbersen, R. Weusthuis, J.P. van Dijken & L. Raamsdonk, 2002. Coproduction of bio-ethanol, electricity and heat from biomass residues. Proceedings of the 12th European Conference on Biomass for Energy, Industry and Climate Protection, 17 -21 June 2002, Amsterdam, The Netherlands. pp. 1118 - 1123. Ridwan. 2006. Kotoran Ternak sebagai Pupuk dan Sumber Energi. Diterbitkan pada Harian Independen Singgalang. Rabu, 1 Februari 2006. Riyadi, Awang. 2007. Portable Refinery menghasilkan bahan bakar dari limbah makanan dan sampah. http://www.Aw/livescience.com. (14 September 2009) Sahirman, S. 1994. Kajian Pemanfaatan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Memproduksi Gasbio. [Tesis]. Program Pascasarjana IPB : Bogor. Sa’id, E.G. 2006. Bioindustri: Penerapan Teknologi Fermentasi. Jakarta: PT Mediyatama Sarana Perkasa Salmah. 2004. Analisis Pertumbuhan Mikrobia pada Fermentasi. Program Teknik Kimia, FT. Sumatra Utara :USU. Sherrington, K.B. 1981. Ilmu Pangan : Pengantar Ilmu Pangan Nutrisi dan Mikrobiologi. Yogyakarta :UGM Press. Singgih, M.L dan K Mera. 2008. Perancangan Alat Teknologi Tepat Guna untuk Mengurangi Dampak Lingkungan dan Meningkatkan Pendapatan Rumah Pemotongan Ayam. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi VIII. Program Studi MMT-ITS : Surabaya Simamora, S. et al. 2006. Membuat Biogas Pengganti Bahan Bakar Minyak Dan Gas Dari Kotoran Ternak. Jakarta: AgroMedia Pustaka Siswanto, S. Marsudi, Suharyanto, E. Mahajoeno, & Isroi. 2005. Pemanfaatan Limbah Padat dan Cair Pabrik Kelapa Sawit untuk Produksi Kompos Bioaktif & Gas Bio. Laporan akhir RUK 2005: 62 hlm. Spangler, D.J.and G.H. Emert. 1986. Simultaneos saccharification/fermentation with Zymomonas mobilis. Biotech, 28 (1):115 - 118. Suranto, Setyaningsih. R, A Susilowati, & T Purwoko. 2001. Petunjuk Praktikum Mikrobiologi, hal 35-37. Surakarta: Jurusan Biologi, FMIPA, UNS.
66
Sudaryati,N L G; I W Kasa dan I W B Suyasa. 2007. Pemanfaatan Sedimen Perairan Tercemar Sebagai Bahan Lumpur Aktif Dalam Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu ECOTROPHIC . 3 (1) : 21 - 29. Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta : UI-Press. Teguh Wikan Widodo and Agung Hendriadi. 2005. Development of Biogas Processing for Small Scale Cattle Farm in Indonesia. Conference Proceeding: International Seminar on Biogas Technology for poverty Reduction and Sustainable Development. Beijing, October 17-20,2005. pp. 255-261 [in English]. Tobing PL. & Z. Poeloengan, 2003. Pengendalian Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit secara Biologis di Indonesia. Warta PPKS 5(1):99-105 Triwahyuningsih, N dan A Rahmat. 2006. Pemanfaatan Energi Biomassa sebagai Biofuel : Konsep Sinergi dengan Ketahanan Pangan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Fakultas Pertanian UMY. United Nations. 1980. Guidebook on Biogas Development. Energy Resources Development Series No. 21. Economic and Social Commission for Asia and The Pacific. Bangkok. Thailand. Veziroglu, T.N. 1991. Hydrogen Technology for Every Needs of Human Settlement. Journal Hydrogen Energy, 12:99. Weijma, J., A.J.M. Stams, L.W. Hulshoff-Pol and G. Lettinga. 2000. Thermophilic sulfate reduction and methanogenesis with methanol in a high rate anaerobic reactor. Biotech. 67 (3):354 – 363. Wellinger A, & A. Lindeberg 1999. Biogas upgrading and utilization. IEA Bioenergy Task 24: energy from biological conversion of organik wastes. 18 p http://www. IEA Bioenergy/Task 24.edu/pdf. (14 September 2009) Werner U., Stochr V. and N. Hees. 2004. Biogas Plant in Animal Husbandry : Application of the Dutch Guesllechaft Fuer Technische Zusemmernarbeit (GTZ) GnbH. http://www. Gtz.de/dokumente/oe44/ecosan/pdf. (14 September 2009) Wright, J.D., C.E Wyman and K. Grohmann. 1988. Simultaneous saccharification and fermentation of lignocelluloses. Biochem. Biotechnol 18:75-81. Yapp, Jason and Rijk, Adrianus.2005. CDM Potential for the Commercialization of the Integrated Biogas System. http://www.unapcaem.org/F-biogas.PDF. (14 September 2009)
67