PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN
Oleh RATIH DWI SETYAWARDHANI F34103126
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh RATIH DWI SETYAWARDHANI F34103126
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN TERHADAP FERMENTASI SERTA PERUBAHAN MUTU TAPE KETAN HITAM SELAMA PENYIMPANAN
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh RATIH DWI SETYAWARDHANI F34103126
Lahir di Jakarta, 13 Agustus 1985 Tanggal Lulus : Mei 2008 Bogor, Mei 2008 Menyetujui:
Dr. Ir. Krisnani Setyowati Pembimbing I
Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi Pembimbing II
Ratih Dwi Setyawardhani F34103126. Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Krisnani Setyowati dan Mulyorini Rahayuningsih. 2008.
RINGKASAN Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang diproduksi oleh industri skala rumah tangga secara tradisional. Pada umumnya pembuatan tape ketan menggunakan kemasan tradisional (besek) dan kemasan plastik yang berbahan dasar sama antara wadah dengan tutupnya, yaitu PP. Jenis kemasan yang digunakan berhubungan dengan mudah tidaknya gas masuk ke dalam kemasan. Jumlah gas yang terkandung dalam kemasan dapat mempengaruhi proses fermentasi. Semakin banyak gas maka semakin cepat proses fermentasi. Tape ketan biasa dibuat dalam jumlah banyak, sehingga tidak langsung habis sekali konsumsi dan perlu disimpan. Namun, tape ketan yang disimpan masih mengalami fermentasi dan jika terjadi secara terus-menerus akan menyebabkan perubahan tape ketan menjadi alkohol dan asam. Hal ini tentu saja mempengaruhi mutunya. Oleh sebab itu tape ketan biasa disimpan dalam lemari pendingin. Suhu dingin menyebabkan laju fermentasi berlangsung lambat. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis kemasan dan volume ketan yang berbeda terhadap fermentasi tape ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) serta mengkaji pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan mutu yang terjadi pada penyimpanan dingin. Penelitian dilakukan dalam dua tahap, tahap pertama yaitu penelitian pendahuluan yang bertujuan melihat pengaruh jenis kemasan dan volume ketan yang berbeda terhadap fermentasi pada proses pembuatan tape ketan. Kemasan yang digunakan terdiri dari tiga kemasan, yaitu kemasan I, kemasan II dan kemasan III. Volume yang diujikan pada tape ketan adalah 90%, 75% dan 60%. Tape ketan tersebut difermentasi pada suhu ruang selama 2-3 hari dan dilakukan analisis proksimat, analisis kimia dan uji organoleptik setiap 6 jam sekali. Analisis proksimat meliputi : kadar air, abu, protein, serat dan lemak yang dilakukan pada ketan mentah, ketan kukus dan tape ketan untuk mengetahui perubahan kandungan gizi yang terdapat di dalamnya. Analisis kimia meliputi : kadar gula, total asam dan pH. Sedangkan uji organoleptik meliputi : tekstur, rasa dan aroma. Tahap kedua adalah penyimpanan tape ketan pada lemari pendingin (chiller). Tape ketan dibuat pada kemasan dan volume ketan yang terbaik berdasarkan hasil penelitian pendahuluan yaitu kemasan I dengan volume 90%. Tape ketan kemudian difermentasi selama 2-3 hari dan setelah jadi disimpan dalam lemari pendingin (chiller) pada kemasan I, kemasan III dan kemasan IV. Analisis proksimat dan uji kadar alkohol dilakukan sebelum dan setelah penyimpanan dalam lemari pendingin (chiller). Sedangkan pengamatan terhadap kadar gula, total asam, pH dan organoleptik dilakukan setiap hari selama dua minggu untuk mengetahui penurunan mutunya. Karakteristik dari bahan pengemas tape ketan yaitu: kemasan I merupakan kemasan yang terbuat dari anyaman bambu atau yang dikenal dengan nama “besek”. Kemasan ini diberi alas daun pisang yang diketahui dapat membantu
dalam proses peragian (fermentasi) dan memberikan aroma tertentu. Kemasan II merupakan kemasan plastik berbentuk lingkaran yang memiliki bahan dasar berbeda antara wadah dan tutupnya. Wadahnya berbahan dasar PP dan tutup berbahan dasar PE sehingga memiliki kemampuan yang berbeda untuk menahan gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Sedangkan kemasan III merupakan kemasan plastik yang memiliki bahan dasar sama antara wadah dan tutup yaitu berbahan dasar PP. Kemasan IV memiliki bahan dasar yang sama seperti kemasan II, tetapi perbedaan hanya pada bentuknya. Perbedaan bahan dasar pada wadah dan tutup kemasan mempengaruhi banyak sedikitnya gas dan uap air yang terdapat dalam kemasan sehingga dapat mempengaruhi kualitas tape ketan dan mempengaruhi nilai laju transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR) yang dihasilkan. Berdasarkan hasil perhitungan, nilai laju transmisi yang terkecil adalah kemasan IV (4,25; 17,26; 99,86 cm3/hari). Sehingga kemasan IV diduga merupakan kemasan yang dapat mempertahankan kualitas mutu tape ketan. Berdasarkan penelitian pendahuluan, tape ketan yang terbaik dibuat pada kemasan I dan volume 90%. Hal ini dilihat dari uji organoleptik, terutama rasa yang menunjukkan kenaikan tingkat kemanisan dan dari kadar gula maksimum yang dihasilkan yaitu 35,3 obrix. Dari hasil analisis proksimat didapatkan bahwa kemasan IV dapat mempertahankan penurunan komposisi kimia tape ketan. Hal ini dilihat dari kadar air yang mengalami peningkatan namun tidak terlalu besar. Kadar alkohol tape ketan yang disimpan pada kemasan III dan IV tidak mengalami perubahan selama penyimpanan, sedangkan tape ketan yang disimpan pada kemasan I menurun. Selama penyimpanan, tape ketan mengalami peningkatan kadar gula. Hal ini dikarenakan fermentasi masih terjadi dan mengubah karbohidrat menjadi gula. Kemasan yang menunjukkan slope peningkatan kadar gula terbesar adalah kemasan IV (1,4085). Kemasan IV memiliki ketebalan yang relatif tinggi sehingga mempengaruhi kandungan O2 yang terdapat dalam kemasan, fermentasi menjadi lebih lambat. Nilai total asam selama penyimpanan semakin meningkat. Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar alkohol dan lama fermentasi. Tape ketan yang disimpan dalam kemasan III memiliki slope terkecil (1,1951). Kemasan III memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air terutama oksigen yang rendah menyebabkan mikroorganisme aerobik sulit tumbuh, sehingga jumlah karbohidrat yang dipecah menjadi asam menjadi berkurang. Nilai pH yang semakin menurun selama penyimpanan berkorelasi dengan nilai total asam yang semakin meningkat. Nilai slope penurunan pH pada kemasan I lebih kecil dibandingkan kemasan III dan IV. Hasil uji organoleptik, baik rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum terhadap tape ketan selama penyimpanan menunjukkan panelis lebih menyukai tape ketan yang disimpan pada kemasan IV. Tape ketan yang terbaik dibuat pada kemasan I dan volume 90%. Berdasarkan analisa perubahan mutu tape ketan, yaitu kadar gula, total asam, pH, kadar alkohol dan uji organoleptik didapatkan hasil bahwa tape ketan lebih baik disimpan pada kemasan IV.
Ratih Dwi Setyawardhani F34103126. The Effect of Package Type and Glutinous Rice Volume on Fermentation and The Quality Alteration of Black Glutinous Rice During Storage. Supervised by Krisnani Setyowati and Mulyorini Rahayuningsih. 2008. SUMMARY Tapai is one of the fermentation product that is traditionally produced in home scale industry. Generally the production of glutinous rice tapai uses traditional package (besek) and plastic package that have same material between its base and cover, which is PP. Package type that is used relate with gas penetration into the package. Volume of the gas that stay on the package is able to affect the fermentation process. More gas makes faster fermentation process. Glutinous rice tapai is usually made in lot quantities, so it can not be eaten up straightaway and need to be stored. However, stored glutinous rice tapai is still fermenting and if keep going continuously could convert it into alcohol and acid. That’s of course affecting the tapai quality. That’s why glutinous tapai ussualy stored in a chiller. Cold temperature causes fermentation rate become slower. This research was aimed to find out the effect of different package type and glutinous rice volume to the black glutinous rice (Oryza sativa glutinosa) fermentation and also studied the effect of package type to the quality alteration that was happened during cold storage. The research was done in two steps, first step was pre-research that was aimed to observe the effect of different package type and glutinous rice volume for fermentation in glutinous rice tapai making process. The use package were consisted of three packages, that were package I, package II and package III. The observed volume on glutinous rice tapai were 90%, 75% and 60%. Those glutinous rice tapai were fermented in room temperature for 2-3 days and done proximate analysis, chemical analysis and sensory analysis test once every 6 hours. Proximate analysis were consisted of: water content, ash, protein, fiber and lipid that were done on raw glutinous rice, steamed glutinous rice and glutinous rice tapai to observe the nutrition alteration in it. The chemical analysis were consisted of: sugar content, total acid and pH. While the sensory analysis test were consisted of : texture, taste and aroma. The second step was the storage of glutinous rice tapai in chiller. Glutinous rice tapai was made in the best package and the best volume glutinous rice based on the pre-research result which was package I with 90% volume. The glutinous rice tapai was then fermented for 2-3 days and the product was stored in chiller in package I, package III, and package IV. The proximate analysis and alcohol content analysis were done before and after the storing in chiller. While the analysis of sugar content, total acid, pH and sensory analysis test were done everyday for two weeks to observe its quality decrease. Glutinous rice tapai package characteristic were: package I was a package that was made of bamboo plait or used to know as “besek”. This package was given banana leaf base that was known could help in fermentation process and gave certain aroma. Package II was a rounded plastic container that had different material between its base and cover. The base was PP and its cover was PE so it
had different ability to resist gas and water vapor that enter the package. While the package III was a package that had same material between its base and cover which was PP. Package IV had the same material with package II, but the difference was its shape. The material difference between package base and cover affected the amount of gas and water vapor in the package so it could affect glutinous rice tapai quality and affect transmission rate value (O2TR, CO2TR, and WVTR) that produced. Based on calculation result, the smallest transmission rate value was package IV (4,25; 17,26; 99,86 cms3/day). So package IV presumed as the package that able to maintain the glutinous rice tapai quality. Based on pre-research, the best glutinous rice tapai made in package I and 90% volume. This could be observed from sensory analysis test, especially taste that showed the increasing of sweetness rate and from maximum sugar content that was produced which is 35,3 obrix. From the proximate analysis result wasobtained that package IV could maintain the decrease of glutinous rice tapai chemical composition. This could be observed from the water vapor that was increased but not too high. The glutinous rice tapai alcohol content that packed in packages III and IV did not have alteration during storage, while the glutinous rice tapai that was packed in package I decreased. During the storage, glutinous rice tapai had the increasing of sugar content. This is because the fermentation was still happening and converted carbohydrate into sugar. Package that showed the biggest sugar content increasing slope was package IV (1,4085). Package IV had relatively high thickness so it was affecting O2 content in the package, fermentation became slower. Total acid value during storing was getting increased. The increase of total acid related with alcohol content and the duration of fermentation. Glutinous rice tapai that packed in package III had smallest slope (1,195). Package III had the ability to absorb gas and vapor especially low oxygen caused aerobic microorganism difficult to grow, so the amount of carbohydrate that were broken into acid was decreased. The decreased pH value during storing correlated with the increased total acid value. The pH decreasing slope value in package I was less than package III and IV. Sensory analysis test result, either taste, aroma, texture and general acceptance for glutinous rice tapai during storing showed that the panelist preferred the glutinous rice tapai that packed in package IV. The best glutinous rice tapai was made in package I with 90% volume. Based on the result of glutinous rice tapai quality alteration analysis, which were sugar content, total acid, pH, alcohol content and sensory analysis test obtained that glutinous rice tapai was better packed in package IV.
SURAT PERNYATAAN Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul ” Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama Penyimpanan” merupakan karya asli saya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing akademik, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, Mei 2008
Ratih Dwi Setyawardhani F34103126
BIODATA PENULIS Penulis yang mempunyai nama lengkap Ratih Dwi Setyawardhani dilahirkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 1985. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara dari pasangan Sampoernowati (Almh) dan Abdul Manan. Penulis memulai pendidikannya di TK Tunas Harapan Jakarta pada tahun 1989, kemudian penulis melanjutkan pendidikan sekolah dasar di SDN 17 Pagi Jakarta pada tahun 1991. Setelah itu penulis menempuh pendidikan menengah di SLTPN 216 Jakarta pada tahun 1997 dan penulis melanjutkan ke SMUN 77 Jakarta pada tahun 2000. Pada tahun 2003, penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui seleksi penerimaan mahasiswa baru (SPMB). Penulis melaksanakan kegiatan Praktek Lapangan pada bulan Juli-Agustus tahun 2006 di PT Ultrajaya Milk Industry And Trading Company, Bandung dengan judul “Mempelajari Aspek Proses Produksi Dan Pengemasan Susu Uht Rasa Coklat di PT Ultrajaya Milk Industry And Trading Company, Bandung”. Pada tahun 2007 sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian di laboratorium Departemen Industri Pertanian Bogor dengan judul “Pengaruh Jenis Kemasan Dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Ketan Hitam Selama Penyimpanan”.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena hanya dengan rahmat dan karunianya penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Skripsi ini berjudul “Pengaruh Jenis Kemasan dan Volume Ketan Terhadap Fermentasi Serta Perubahan Mutu Tape Ketan Hitam Selama Penyimpanan”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Industri Pertanian di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini tidak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah membantu. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada : 1. Ibu Dr. Ir. Krisnani Setyowati selaku Dosen pembimbing pertama yang telah memberikan bimbingan, saran dan pengarahan kepada penulis selama studi hingga menyelesaikan skripsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian. 2. Ibu Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MSi. selaku Dosen pembimbing kedua yang telah memberikan bimbingan, saran membantu dan pengarahan kepada penulis selama penelitian hingga menyelesaikan skripsi di Departemen Teknologi Industri Pertanian. 3. Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS selaku Dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk penyempurnaan skripsi ini. 4. Ibu Ir. Indah Yuliasih, M.Si., Bapak Drs. Purwoko, M.Si., dan Bapak Ir. Sugiarto, M.Si. atas arahan dan bantuan yang diberikan selama penelitian. 5. PT. Tupperware Indonesia atas dana yang telah diberikan dalam pelaksanaan penelitian. 6. Bapak, Ibu, kakak, dan seluruh keluarga penulis atas do’a, kasih sayang, semangat dan motivasi kepada penulis. 7. Ibu Sri, Ibu Ega, Pak Sugiardi, Pak Edi, Ibu Rini, dan Pak Gunawan atas bantuan yang diberikan selama penelitian. 8. Tim Tupperware yang kompak (Purwati, Farah, Umi, Nurul, Helmi, Hendrick, Agung, Adith, Sendy, Renata, dan Derry) atas segala bantuan,kerja sama dan dukungannya.
9. Dewi Ratih Pujihastuti rekan satu bimbingan atas diskusi dan motivasinya. 10. Seluruh teman-teman di Departemen Teknologi Industri Pertanian angkatan 40 dan Wisma Padasuka yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kebersamaan, persaudaraan, bantuan dan motivasinya. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangannya. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Bogor, Mei 2008 Penulis
DAFTAR ISI Halaman BIODATA PENULIS ...................................................................................... i KATA PENGANTAR ..................................................................................... ii DAFTAR ISI.................................................................................................... iv DAFTAR TABEL............................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG ............................................................................ 1 B. TUJUAN ................................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4 A. BERAS KETAN .................................................................................... 4 B. RAGI TAPE ........................................................................................... 5 C. PEMBUATAN TAPE KETAN.............................................................. 8 D. PLASTIK POLIETILEN ....................................................................... 12 E. PLASTIK POLIPROPILEN................................................................... 13 F. KEMASAN TRADISIONAL................................................................. 14 G. PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH ......................................... 15 III. METODOLOGI PENELITIAN................................................................. 18 A. BAHAN DAN ALAT ........................................................................... 18 B. METODE PENELITIAN ...................................................................... 18 1. Karakteristik Kemasan ...................................................................... 18 2. Penelitian Pendahuluan ..................................................................... 20 3. Penelitian Utama ............................................................................... 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 25 A. KARAKTERISTIK KEMASAN .......................................................... 25 B. PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN PADA FERMENTASI TAPE........................................................................... 28 1. Kadar Gula ........................................................................................ 29 2. Total Asam Tertitrasi ........................................................................ 32
3. Derajat Keasaman (pH)..................................................................... 36 4. Analisis Proksimat ............................................................................ 39 C. PENURUNAN MUTU TAPE KETAN SELAMA PENYIMPANAN 42 1. Sifat Kimia ........................................................................................ 46 a. Kadar Gula ................................................................................... 46 b. Total Asam Tertitrasi ................................................................... 47 c. Derajat Keasaman (pH)................................................................ 49 d. Kadar Alkohol.............................................................................. 52 2. Analisis Organoleptik....................................................................... 53 a. Rasa .............................................................................................. 54 b. Aroma........................................................................................... 56 c. Tekstur.......................................................................................... 58 d. Penerimaan Umum....................................................................... 60 3. Aplikasi Dan Manfaat Penyimpanan ............................................... 61 V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 63 A. KESIMPULAN ...................................................................................... 63 B. SARAN .................................................................................................. 64 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 65 LAMPIRAN..................................................................................................... 69
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Komposisi kimia beras ketan hitam dan beras ketan putih................ 5 Tabel 2. Peranan mikroba pada ragi tape ......................................................... 7 Tabel 3. Komposisi kimia tape ketan per 100 gram ........................................ 12 Tabel 4. Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik ................................................................ 14 Tabel 5. Data sifat fisik bahan pengemas tape ketan ....................................... 26 Tabel 6. Hasil analisis proksimat ketan mentah............................................... 38 Tabel 7. Hasil analisis proksimat tape ketan.................................................... 43
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Diagram alir pembuatan tape ketan.................................................... 9 Gambar 2. Diagram alir pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan dan volume ketan yang berbeda....................................................... 23 Gambar 3. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama penyimpanan pada suhu rendah ....................................................... 24 Gambar 4. Grafik peningkatan kadar gula (derajat brix) pada kemasan dan volume ketan yang berbeda....................................................... 29 Gambar 5. Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan dan volume ketan yang berbeda....................................................... 33 Gambar 6. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) pada kemasan dan volume ketan yang berbeda....................................................... 37 Gambar 7. Grafik peningkatan kadar gula selama penyimpanan ...................... 46 Gambar 8. Grafik peningkatan total asam selama penyimpanan....................... 48 Gambar 9. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) selama penyimpanan...... 49 Gambar 10. Tahapan reaksi pembentukan hasil samping fermentasi tape ketan hitam selain alkohol dan asam ....................................................... 51 Gambar 11. Grafik kadar alkohol selama penyimpanan.................................... 52 Gambar 12. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap rasa selama penyimpanan ...................................................................... 54 Gambar 13. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap aroma selama penyimpanan ...................................................................... 56 Gambar 14. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur selama penyimpanan...................................................................... 58 Gambar 15. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap penerimaan umum selama penyimpanan ...................................................................... 60
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Perhitungan nilai transmission rate masing-masing kemasan .... 70 Lampiran 2. Prosedur pengujian ...................................................................... 79 Lampiran 3. Form pengujian organoleptik....................................................... 84 Lampiran 4. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan....... 85 Lampiran 5. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept pembuatan tape ketan.. 86 Lampiran 6. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway ............................... 87 Lampiran 7. Hasil organoleptik pembuatan tape ketan.................................... 88 Lampiran 8. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept tape ketan selama penyimpanan ................................................................................ 89 Lampiran 9. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan............................ 90 Lampiran 10. Data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan .................. 91
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Beras ketan merupakan bahan makanan pokok di Laos dan Muangthai bagian utara. Beras ketan biasa digunakan sebagai makanan penutup (dessert) atau diolah menjadi makanan kecil lain, misalnya dibuat tape ketan dan berbagai jenis kue. Tape merupakan salah satu makanan hasil fermentasi yang telah banyak dikenal di Indonesia. Pada umumnya tape diproduksi oleh industri skala rumah tangga dengan teknik pembuatan secara tradisional. Tape ketan merupakan makanan yang digemari dan disukai masyarakat karena mempunyai rasa manis dan sedikit asam serta aroma yang khas dari alkohol. Nilai gizi dari beberapa bahan pangan fermentasi dapat meningkat dibandingkan bahan mentah. Melalui fermentasi sejumlah karbohidrat dan protein akan terdegradasi menjadi fraksi yang lebih kecil dan mudah dicerna. Selain itu proses fermentasi dapat meningkatkan nilai ekonomi dan cita rasa suatu bahan pangan. Pembuatan tape ketan pada umumnya dilakukan dengan menggunakan kemasan besek dan daun pisang, karena memiliki kelebihan-kelebihan yang tidak dimiliki oleh kemasan modern seperti plastik yang berbahan dasar polietilen dan polipropilen. Kemasan pada tape tidak hanya berfungsi sebagai pelindung dari debu, tetapi juga berfungsi untuk mengatur serta merapikan makanan agar mudah dan praktis dibawa-bawa, dipegang atau dibuka ketika hendak disantap. Kelebihan kemasan daun dapat membantu dalam proses peragian (fermentasi) dan memberikan aroma tertentu. Disamping kelebihan-kelebihan tersebut di atas, kemasan besek masih memiliki beberapa kekurangan yaitu rongga-rongga yang dapat menyebabkan bahan makanan dapat terkontaminasi oleh kotoran dan air dari luar. Selain itu, apabila bahan makanan yang disimpan memiliki kandungan air maka air tersebut dapat mudah keluar. Karena terbuat dari bahan biologi (bambu) maka kemasan besek mudah rusak dan hanya dapat digunakan beberapa kali
pemakaian.
Dalam
distribusi,
apabila
ditumpuk
terlalu
berat
akan
mengakibatkan perubahan baik pada bentuk juga dalam mutunya. Kemasan plastik lebih mudah ditemukan dan tersedia untuk berbagai macam kegunaan, dapat digunakan berulang-ulang kali, lebih rapat sehingga terlindung dari debu dan kontaminasi dari luar, tersedia dalam berbagai jenis ukuran sesuai dengan ruang penyimpanan yang ada serta dapat ditumpuk secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang tidak terlalu rapat sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam ruang pendingin sebagai tempat penyimpanan. Plastik polietilen merupakan kemasan yang memiliki kerapatan rendah, tahan panas, mudah dibentuk, transparan, fleksibel pada suhu rendah serta atmosfer di dalam kemasan dapat disesuaikan dalam rangka mengatur masa kadaluarsa. Plastik polipropilen merupakan kemasan dengan permeabilitas uap air yang rendah, permeabilitas gas sedang, tahan terhadap suhu tinggi, asam kuat dan basa, minyak serta ringan dan mudah dibentuk. Fermentasi dapat dipengaruhi oleh kandungan O2 yang terdapat dalam kemasan. Fermentasi pada tape ketan yaitu anerobik fakultatif yang merupakan proses fermentasi yang tidak memerlukan O2 dari luar namun lebih menggunakan O2 yang terdapat pada lingkungan sekitarnya. Ruang udara yang tersisa dalam wadah pembuatan tape ketan akan mempengaruhi proses fermentasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini akan diteliti pengaruh jenis atau sifat kemasan dan volume ketan dalam suatu wadah pada proses pembuatan tape ketan. Selain itu juga akan diteliti pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan mutu tape ketan yang terjadi saat disimpan pada suhu rendah (chiller). Penyimpanan pada suhu rendah baik dalam keadaan beku maupun tidak beku merupakan salah satu penyimpanan yang telah lama dilakukan untuk mencegah kerusakan pada bahan pangan. Pendinginan berfungsi untuk mengawetkan dan memperlambat penurunan mutu bahan dan produk pangan hingga jangka waktu tertentu, tergantung jenis bahannya. Pendinginan biasanya dilakukan menggunakan lemari es dengan suhu 5-8°C.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan jenis kemasan dan volume ketan terbaik terhadap fermentasi tape ketan hitam (Oryza sativa glutinosa) serta mengkaji pengaruh jenis kemasan terhadap perubahan mutu yang terjadi pada penyimpanan tape ketan dengan suhu rendah (chiller).
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. BERAS KETAN Beras ketan (Oryza sativa glutinosa) merupakan salah satu varietas dari padi dan termasuk famili Graminae (Kirk dan Othmer, 1954). Beras ketan bila dimasak nasinya mempunyai sifat sangat mengkilap, sangat lekat dan kerapatan antara butir nasi tinggi sehingga volume nasinya sangat kecil (Legowo, 1984). Menurut Juliano (1967), butir beras tersusun dari endosperm, aleuron dan embrio. Dalam aleuron dan embrio terdapat protein, lemak, mineral dan beberapa vitamin, sedangkan endosperm hampir seluruhnya terdiri dari pati. Pati (C6H10O5)n adalah cadangan makanan yang terdapat di dalam biji atau umbi tumbuh-tumbuhan. Pati juga terdapat pada bagian tumbuh-tumbuhan yang berwarna hijau. Beras ketan mempunyai sifat yaitu butir patinya berwarna gelap dan lunak, sedangkan beras biasa butir patinya seperti pecahan kaca dan keras (Grist, 1959). Menurut Hesseltine (1979), pati merupakan butir atau granula yang berwarna putih, mengkilat, tidak mempunyai bau dan rasa. Granula pati dibentuk dari lapisan air. Unit glukosa pada pati membentuk dua jenis polimer, yaitu polimer lurus atau linier dan polimer bercabang. Polimer linier membentuk amilosa dan polimer bercabang membentuk amilopektin. Amilosa adalah polisakarida yang terdiri dari glukosa yang membentuk rantai linier melalui ikatan α – 1,4 – glukosida. Amilopektin adalah molekul hasil polimerasi unit-unit glukosa anhidrous melalui ikatan α – 1,4 – glukosida dan cabang α -1,6 – glukosida. Kandungan amilopektin dan amilosa yang terdapat dalam pati berbeda untuk setiap jenis tanaman. Rata-rata pati mengandung 22-26% amilosa dan 78-74% amilopektin (Hesseltine, 1979). Biasanya berdasarkan kandungan amilosa dan amilopektinnya, beras dibedakan dari beras ketan. Beras ketan adalah beras yang mengandung sedikit amilosa yaitu kira-kira 1-2%, sedangkan beras biasa mengandung 12-37% amilosa. Kandungan amilopektin pada beras ketan 76-77% (Legowo, 1984). Pada Tabel 1, dapat dilihat
perbandingan komponen dan komposisi kimia bahan penyusun beras ketan hitam dan beras ketan putih. Tabel 1. Komposisi kimia beras ketan hitam dan beras ketan putih Kandungan (per 100 gram bahan) Komponen Beras Ketan Putih Beras Ketan Hitam Energi (kal)
362,00
356,00
Protein (g)
6,70
7,00
Lemak (g)
0,70
0,70
Karbohidrat (g)
79,40
78,00
Kalsium (mg)
12,00
10,00
Fosfor (mg)
148,00
148,00
Besi (mg)
0,80
0,80
Vitamin B1(mg)
0,16
0,20
Air (g)
12,00
13,00
Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1972) Senyawa terbesar selain pati yang terkandung pada beras ketan adalah protein yang disebut oryzenin. Kadar lemak dalam beras tidak begitu tinggi, yaitu rata-rata 0,7 persen dan kandungan asam-asam lemak yang terbanyak adalah asam oleat, asam linoleat dan asam palmitat. Kandungan senyawa lain seperti vitamin dan mineral-mineral sangat rendah. Beberapa vitamin yang terdapat dalam beras ketan terutama thiamin, riboflavin dan niacin. Beberapa mineral yang terdapat adalah besi, kalsium, fosfor, magnesium dan sebagainya (Juliano, 1972).
B. RAGI TAPE Ragi tape atau ragi pasar merupakan kultur campuran yang terdiri dari kapang, khamir, dan bakteri. Ragi merupakan sumber mikroba yang akan mengubah pati menjadi gula kemudian mengubah gula menjadi alkohol dan asam-asam organik, sehingga menghasilkan tape dengan rasa dan aroma yang manis dan khas.
Ragi tape dapat dibuat dengan bahan baku beras atau tepung beras, dicampur dengan beberapa rempah-rempah seperti lengkuas, bawang putih, jeruk nipis dan lada. Rempah-rempah tersebut berfungsi sebagai pembangkit aroma dan menghambat mikroba yang tidak diinginkan (terutama bakteri Gram positif dan Gram negatif tertentu) atau bahkan digunakan untuk menstimulir mikroba yang diinginkan (Rahayu dan Suliantari, 1990). Saono (1981) menyatakan bahwa ragi yang digunakan dan dibuat di Jawa bervariasi mutunya pada setiap pembuatan, sehingga sulit untuk memperoleh mutu produk yang seragam walaupun dari ragi yang sama. Aktivitas ragi akan menurun selama penyimpanan dan batas waktu penyimpanan maksimum adalah selama 2-3 bulan. Ragi sebagai starter mengandung mikroba sebagai mikoflora (kapang) amilolitik. Pada berbagai ragi tape dapat dijumpai jenis Candida sp, Hansenula sp, Saccharomyces sp, Torula sp, Chlamydomucor sp, Aspergillus sp, Mucor sp, Endomycopsis sp, Rhizopus sp, Penicillium sp, Fusarium sp (Kirk dan Othmer, 1954). Sedangkan menurut Ko (1982), tidak semua mikroba yang telah ditentukan dalam ragi, penting untuk fermentasi bahan yang mengandung pati menjadi tape. Mikroba yang aktif dalam fermentasi adalah Mucor rouxii, Chlamydomucor oryzae, Saccharomyces cerevisiae, Rhizopus oryzae, Candida javanica, Mucor sp., Hansenula anomala, dan Endomycopsis fibuliger. Kapang Rhyzopus oryzae dan Chlamydomucor oryzae menghasilkan enzim amilase yang mengubah pati menjadi gula. Khamir Saccharomyces cerevisiae akan mengubah gula menjadi alkohol dan komponen aroma dan citarasa (Beauchat, 1987). Peranan masing-masing mikroba dalam fermentasi tape dapat dilihat pada Tabel 2. Saccharomyces cerevisiae merupakan khamir yang sering digunakan dalam pembuatan tape, roti, brem bali, arak beras, bir dll. Khamir ini tumbuh pada kondisi dengan persediaan air cukup. Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan kapang, yaitu dengan suhu optimum 25-300C dan pada keadaan asam (pH 4-4,5). Khamir tumbuh
terbaik pada kondisi aerobik, walaupun demikian beberapa khamir dapat tumbuh pada kondisi anaerobik. Menurut Saono (1981), enzim yang mampu mengubah glukosa menjadi alkohol dan CO2 selama fermentasi adalah enzim zimase yang dihasilkan oleh khamir S. cerevisie yang dapat membentuk komponen aroma selama fermentasi. Tabel 2. Peranan mikroba pada ragi tape Grup Mikroba Genus Kapang amilolitik
Peranan
Amylomyces
Pembentukan sakarida dan air
Mucor
Pembentukan sakarida dan air
Rhizopus
Pembentukan air dan alkohol
Khamir amilolitik
Endomycopsis
Pembentukan sakarida dan aroma
Khamir non amilolitik
Saccharomyces
Pembentukan alkohol
Hansenula
Pembentukan aroma spesifik
Endomycopsis
Pembentukan aroma spesifik
Candida
Pembentukan aroma spesifik
Bakteri asam laktat
Pediococcus
Pembentukan asam laktat
Bakteri amilolitik
Bacillus
Pembentukan sakarida
Sumber : Saono (1981) Menurut
Winarno
dan
Laksmi
(1974),
faktor-faktor
yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroba adalah nutrisi, air, suhu, pH, dan adanya senyawa-senyawa penghambat pertumbuhan. Sebagian besar dari khamir tumbuh baik dengan persediaan air yang banyak atau pada aw yang tinggi. Tetapi karena banyak khamir yang dapat tumbuh pada konsentrasi gula dan garam yang lebih tinggi daripada bakteri, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa khamir membutuhkan air yang lebih sedikit daripada bakteri. Tetapi kebanyakan khamir membutuhkan air yang lebih banyak daripada kapang. Umumnya batas aw terendah untuk khamir sekitar 0,88-0,94. Untuk khamir bir, aw minimun 0,94, sedangkan untuk khamir yang biasa tumbuh pada susu kental manis adalah 0,90, dan khamir untuk roti adalah 0,91. Khamir bersifat osmofilik dapat terhenti pertumbuhannya dalam larutan garam dan gula (sirup) yang mempunyai aw 0,78.
Pada umumnya kisaran suhu untuk pertumbuhan ragi (sebagian besar) adalah serupa dengan kapang, dengan suhu optimum sekitar 25-300C dan suhu maksimum kira-kira 35-470C. Beberapa macam ragi dapat tumbuh pada suhu 00C atau kurang dari 00C. Konsentrasi ion hidrogen yang aktif dinyatakan dengan pH sering menentukan macam mikroba yang tumbuh pada makanan dan produk yang dihasilkan. Setiap mikroba masing-masing mempunyai pH optimum, minimun dan maksimum pertumbuhannya. Sebagian besar bakteri tumbuh paling baik pada pH mendekati netral, tetapi beberapa bakteri menyukai suasana asam dan yang lain dapat tumbuh dengan sedikit asam atau dalam suasana basa. Sebagian besar kapang dapat tumbuh pada kisaran pH yang lebar yaitu 2,0-8,5, tetapi biasanya senang hidup pada pH asam. Pertumbuhan ragi pada umumnya lebih baik pada suasana asam dengan pH 4,0-4,5 dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada suasana basa. Berdasarkan proses respirasinya, mikroba dibagi menjadi 4 golongan yaitu anaerobik, aerobik, anaerobik fakultatif, dan mikroaerofilik. Mikroba termasuk golongan aerobik, bila untuk pertumbuhannya memerlukan molekul oksigen bebas, dan golongan anaerobik tidak memerlukan oksigen dan tumbuh dengan baik tanpa adanya oksigen bebas, sedangkan golongan fakultatif dapat tumbuh dengan atau tanpa oksigen bebas. Mikroba yang mikroaerofilik membutuhkan hanya sejumlah kecil oksigen bebas. Beberapa bakteri yang tergolong bakteri aerob dapat menggunakan oksigen yang berasal dari hasil reduksi nitrat menjadi nitrit. Kapang-kapang yang tumbuh pada makanan, umumnya adalah aerobik karena membutuhkan oksigen untuk tumbuh.
C. PEMBUATAN TAPE KETAN Tape ketan merupakan makanan tradisional yang terbuat dari beras ketan (Oryzae sativa glutinosa) yang telah dimasak, didinginkan dan diinokulasi dengan ragi. Ragi mengandung berbagai mikroba yang diperlukan dalam fermentasi tape (Cronk et al., 1977). Komponen utama dalam beras ketan adalah pati. Dalam keadaan utuh bulir-bulir pati sangat tahan terhadap
aksi-aksi zat kimia dan enzim (Damardjati, 1979). Pati yang dipanaskan dalam air tidak mengalami perubahan sampai suhu gelatinasi tercapai, ikatan-ikatan kimia pati menjadi lemah dan butir-butir pati akan mengembang (Winarno, 1980). Dalam keadaan mengembang, pati akan mudah bereaksi dengan zat-zat kimia dan enzim, mengalami perubahan mekanik yang dapat menyerap lebih banyak air (Damardjati, 1979). Senyawa lain yang terkandung setelah pati adalah protein, kemudian vitamin dan mineral. Tape ketan merupakan suatu produk fermentasi tradisional. Hasil fermentasi akan menentukan cita rasa dan komposisi kimia tape ketan. Tape ketan mempunyai rasa manis dan sedikit asam serta cita rasa yang khas karena mengandung alkohol, selain itu tekstur menjadi lembek. Tahap pembuatan tape ketan meliputi persiapan dan pengerjaan yang dilanjutkan dengan proses fermentasi. Persiapan meliputi pencucian, pemasakan dan pendinginan. Menurut Soedarmo (1973), pencucian bertujuan untuk menghilangkan kotoran maupun sisa dedak yang mungkin masih tertinggal,
selain
itu
kemungkinan
adanya
bahan
pengawet
dapat
diminimumkan pada waktu diadakan fermentasi. Proses pembuatan tape ketan secara tradisional dapat dilihat pada Gambar 1. Beras Ketan Hitam Dibersihkan dari kotoran, pasir atau gabah dan dicuci Direndam semalaman Dicuci dengan air bersih Dikukus selama ± 30 menit Didinginkan sampai mendekati suhu ruang Dicampur dengan ragi tape 0,1% Diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari Tape ketan Gambar 1. Diagram alir pembuatan tape ketan (Saono, 1981)
Fermentasi adalah salah satu reaksi oksidasi-reduksi di dalam sistem biologi yang menghasilkan energi dengan senyawa organik sebagai donor dan akseptor elektron (Fardiaz, 1989). Fermentasi tape termasuk anerobik fakultatif yang artinya dapat melakukan fermentasi dengan ada atau tidaknya oksigen yang terkandung pada lingkungannya, tetapi biasanya lebih memanfaatkan oksigen yang terdapat pada lingkungan yang berada di sekitarnya (Rachman, 1989). Teknologi fermentasi dalam memproduksi makanan
terfermentasi
menghasilkan
produk
seperti
roti,
minuman
beralkohol, tempe, tauco, tape, nata de coco, dan lain-lain. Produk fermentasi ketan yang sudah cukup terkenal di masyarakat Indonesia adalah tape ketan. Tape ketan merupakan salah satu makanan tradisional yang cukup banyak digemari. Pembuatannya melibatkan aktivitas yang dilakukan oleh species khamir, yaitu Saccharomyces cerevisiae. Semula istilah fermentasi digunakan untuk menyatakan peristiwa perubahan sari buah menjadi minuman beralkohol. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan khususnya mikrobiologi dan biokimia, maka dewasa ini istilah fermentasi telah mempunyai pengertian yang lebih luas. Ditinjau dari segi biokimia, fermentasi merupakan aktifitas mikroorganisme untuk memperoleh energi yang diperlukan untuk metabolisme dan pertumbuhannya melalui pemecahan atau katabolisme terhadap senyawa-senyawa organik secara anaerobik. Perubahan kimiawi utama yang terdapat dalam proses fermentasi adalah hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa, karena adanya aktivitas kapang amilolitik Amylomyces rouxii dan khamir Endomycopsis burtonii. Proses selanjutnya glukosa akan terfermentasi menjadi etanol dan asam-asam organik yang menimbulkan rasa dan aroma yang khas. Khamir Hansenula akan mengesterifikasi alkohol dan asam-asam organik sehingga menghasilkan tape yang beraroma kuat (Steinkraus, 1983). Dewasa ini fermentasi mempunyai pengertian yang lebih luas yaitu mencakup aktifitas metabolisme mikroorganisme baik aerobik maupun anaerobik dimana terjadi perubahan atau transformasi kimiawi dari substrat organik. Dari segi mikrobiologi, industri fermentasi adalah proses untuk
menghasilkan berbagai produk dengan perantaraan atau dengan melibatkan mikroorganisme. Jadi dari segi mikrobiologi, industri fermentasi merupakan pendayagunaan sifat-sifat biokimiawi mikroba untuk menghasilkan berbagai produk baik produk-produk katabolisme maupun anabolisme atau biosintesa (Rachman,1989). Pada pembuatan tape, yaitu makanan tradisional Indonesia yang dibuat dari ubi kayu atau beras ketan, khamir yang berperan yaitu Saccharomyces cerevisiae dan Zigosaccharomyces (Fardiaz, 1989). Menurut Fardiaz (1992), Chlamydomucor oryzae dan Endomycopsis fibuliger merupakan mikroba yang memegang peranan utama untuk mengubah beras ketan menjadi tape yang bermutu baik. Kemungkinan Chlamydomucor oryzae memulai fermentasi dengan mengubah pati menjadi gula, kemudian proses selanjutnya oleh Endomycopsis
fibuliger
sehingga
terbentuk
alkohol
dan
komponen
membentuk flavor. Pembuatan tape ketan yang menggunakan ragi termasuk dalam proses heterofermentasi karena pada fermentasi menggunakan dua macam biakan yang berbeda yaitu jenis kapang dan khamir (Hesseltine, 1979). Khamir Hansenula sp yang terdapat pada ragi mempunyai kemampuan untuk membentuk ester dari asam-asam dan alkohol sehingga tape menjadi beraroma karena terbentuknya etil asetat. Pembuatan tape yang merupakan proses fermentasi menyebabkan beberapa keuntungan antara lain meningkatkan citarasa, aroma, nilai gizi dan kelezatan (Ko, 1972). Komposisi kimia tape ketan per 100 gramnya dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi kimia tape ketan per 100 gram Parameter Tape Ketan Putih Tape Ketan Hitam 173,000 173,000 Energi (kal) 0,500 3,000 Protein (g) 0,100 0,500 Lemak (g) 42,500 37,500 Karbohidrat (g) 30,000 6,000 Kalsium (mg) 30,000 35,000 Fosfor (mg) 0,500 Besi (mg) Vitamin A(SI) 0,007 0,040 Vitamin B (mg) 56,100 58,900 Air (g) Sumber : Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI (1990)
D. PLASTIK POLIETILEN Plastik didefinisikan sebagai suatu polimer dari monomer-monomer organik dengan berat molekul tinggi. Pembuatan plastik berlangsung dalam suatu proses yang disebut proses polimerisasi dari bahan baku plastik yang berasal
dari
gas
alam,
batu
bara,
minyak
bumi,
dan
lain-lain
(Pawitan,1986). Menurut Paine (1977) plastik dapat didefinisikan sebagai campuran dari bahan yang komponen-komponen utamanya polimer sintetis, dapat dibentuk menjadi serat, lembaran, maupun padatan, dapat dicetak, dan kemudian mengeras. Selain polimer sebagai komponen utamanya, plastik juga mengandung beberapa bahan berikut yaitu penguat, pelarut, pelumas, pemlastis, katalis, penyerap UV, dan zat warna. Polietilen mempunyai rumus umum (CH2-CH2)n yang dihasilkan dari proses polimerisasi adisi gas etilen yang diperoleh sebagai hasil samping industri arang dan minyak (Syarief et al.,1989). Berdasarkan densitasnya PE terdiri dari 3 jenis yaitu, Low Density Polyethylene (LDPE), Medium Density Polyethylene (MDPE), High Density Polyethylene (HDPE). Ciri-ciri ketiga plastik tersebut adalah sebagai berikut : (i). LDPE mempunyai densitas 0,9100,925 g/cm3, dihasilkan melalui proses tekanan tinggi. Digunakan sebagai kantong, mudah dikelim, dan murah; (ii). MDPE mempunyai densitas 0,9260,940 g/cm3, lebih kaku dari LDPE dan memiliki suhu leleh lebih tinggi daripada LDPE; (iii). HDPE mempunyai densitas 0,941-0,965 g/cm3, paling kaku di antara ketiganya, tahan terhadap suhu tinggi; (iv). LDPE (Low Density
Polyethilene) dibuat dari gas etilen, karena tersusun dari banyak rantai cabang maka stuktur molekul LDPE kurang rapat dan amorf. Polietilen memiliki sifat-sifat lemas, lebih lunak, kekuatan tarik rendah, tidak tahan panas dan bahan kimia. Polietilen apabila dipanaskan pada suhu tinggi akan terjadi pembentukan karbonil yang menyebabkan timbulnya bau plastik terhadap produk yang ada di dalamnya (Syarief, et al., 1989). Secara umum menurut Syarief (1989), sifat dari polietilen yaitu: a. Memiliki penampakan yang bermacam-macam. b. Mudah dibentuk, lemas, dan mudah ditarik. c. Daya rentang tinggi tidak sobek. d. Mudah dikelim panas sehingga banyak digunakan untuk laminasi dengan bahan lain. Memiliki titik lebur pada suhu 120 ºC. e. Tidak cocok untuk mengemas produk yang berlemak dan berminyak. f. Tahan terhadap asam, basa, alkohol, deterjen, dan bahan kimia lainnya. g. Dapat digunakan untuk penyimpanan beku sampai dengan -50 ºC. h. Transmisi gas cukup tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan beraroma. i. Dapat dicetak setelah mengoksidasi permukaannya. j. Memiliki sifat kedap air dan uap air (HDPE > MDPE > LDPE).
E. PLASTIK POLIPROPILEN Menurut Syarief et al. (1989), polipropilen (PP) termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama dari PP yaitu : a. Ringan (densitas 0,9 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan jernih dalam bentuk film. b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan rapuh dan tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek. d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang. e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 1500C. f. Titik leburnya tinggi. g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak.
h. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzen, toluen, terpentin dan asam nitrat kuat. Penggunaan plastik sebagai bahan pengemas mempunyai keunggulan dibandingkan dengan bahan kemasan lainnya karena sifatnya yang ringan, mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap produk, tidak korosif seperti wadah logam, transparan, kuat, termoplastik dan permeabilitasnya terhadap uap air, CO2, dan O2. Permeabilitas terhadap uap air dan udara tersebut menyebabkan peran plastik dalam memodifikasi ruang kemas selama penyimpanan. Sifat terpenting bahan kemasan yang digunakan meliputi pemeabilitas gas dan uap air, bentuk dan permukaannya. Permeabilitas uap air dan gas, serta luas permukaan kemasan mempengaruhi produk yang disimpan. Jumlah gas yang baik dan luas permukaan yang kecil menyebabkan masa simpan produk lebih lama (Winarno, 1987). Pada Tabel 4 disajikan permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi uap air dari beberapa jenis film plastik. Tabel 4. Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik Permeabilitas Transmisi uap air (cc/hari-100 in2-mil) Jenis Film (g/hari-100 in2-mil) CO2 O2 LDPE 550 PVC 150 PP 240 PS 310 Sumber : Buckle et al. (1985)
2900 970 800 1050
1,3 4,0 0,7 8,0
F. KEMASAN TRADISIONAL Kemasan makanan tradisional merupakan jenis kemasan yang memanfaatkan bahan botanis (daun-daunan, misalnya) yang berfungsi bukan saja sebagai pelindung isinya dari debu atau agar tahan lama, tapi juga merupakan upaya untuk membereskan, mengatur, merapikan makanan itu agar mudah dan praktis dibawa-bawa, dipegang atau dibuka ketika hendak disantap dan membantu tangan dalam melakukan tugas.
Selain itu, bahan kemasan tersebut juga memberikan aroma tertentu pada makanannya. Misalnya, peuyem ketan yang dibungkus dengan daun pisang berbeda keharuman rasanya (aroma) dari yang dibungkus dengan daun jambu air. Pada jenis makanan tertentu pengemasan dengan bahan botanis, di samping melakukan fungsi-fungsi tadi, juga turut membantu proses, misalnya, penjamuran pada tempe dan peragian (fermentasi) pada peuyeum ketan. Sebagai rupa desain kemasan memberikan daya pikat atau ‘iklan’ tersendiri, suatu bujukan agar orang-orang tertarik untuk menikmati isinya, atau dalam konteks
dagang
agar
makanan
itu
menarik
serta
dibeli
orang
(http://lc.bppt.go.id/ladang_bambu/upload/kemasan.pdf). Pada tape ketan yang dikemas secara tradisional, selain dikemas dengan daun biasanya juga dilapisi dengan kemasan besek yang terbuat dari bambu yang dianyam. Anyaman bambu merupakan kesatuan dari serpihan serat-serat bambu yang agak kaku tetapi elastis dengan maksud untuk membuat suatu wadah atau permukaan datar. Bambu merupakan tanaman yang mempunyai banyak kegunaan karena bersifat kuat, ringan, dan keras serta mudah dibentuk. Sehingga dengan sifat-sifat tersebut bambu yang dapat digunakan untuk berbagai keperluan. (Berlian dan Rahayu, 1995).
G. PENYIMPANAN PADA SUHU RENDAH Penyimpanan bahan pangan pada suhu dingin baik dalam keadaan beku maupun tidak beku merupakan salah satu penyimpanan yang telah lama dilakukan untuk mencegah kerusakan bahan pangan (Harper, 1976). Menurut Soesarsono, 1981; Buckle, 1978, penyimpanan pada suhu rendah diperlukan untuk bahan pangan, karena cara ini dapat mengurangi : a. Kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya. b. Proses penuaan (aging) yang disebabkan oleh adanya proses pematangan (ripening), pelunakan (softening), dan perubahan-perubahan warna dan tekstur. c. Kehilangan air dan pelayuan. d. Kerusakan karena bakteri, kapang dan khamir.
e. Proses-proses lain yang tidak dikehendaki yang dapat mengakibatkan menurunnya mutu. Suhu pada saat metabolisme berlangsung dengan sempurna disebut suhu optimum. Pada suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah daripada suhu optimum, metabolisme akan berjalan kurang sempurna (Winarno dan Fardiaz, 1973; Will et al, 1981), bahkan berhenti sama sekali pada kisaran suhu yang terlalu tinggi atau terlalu rendah. Pada umumnya proses respirasi akan berlangsung terus hingga setelah bahan dipanen. Respirasi adalah suatu proses metabolisme dengan cara menggunakan oksigen dalam pembakaran senyawa makromolekul seperti karbohidrat, protein dan lemak yang akan menghasilkan CO2, air dan sejumlah besar elektron-elektron (Winarno dan Aman, 1981). Respirasi ini terus berlangsung sampai bahan menjadi mati dan kemudian membusuk yang merupakan tahap akhir kehidupan dalam pertanian. Penyimpanan bahan pangan pada suhu rendah dapat memperpanjang masa hidup jaringan-jaringan di dalam bahan pangan tersebut. Hal ini disebabkan bukan saja karena laju respirasi menurun, tetapi juga karena pertumbuhan mikroba penyebab kebusukan dapat diperlambat. Pendinginan tidak dapat membunuh mikroba tetapi hanya bersifat menghambat pertumbuhannya. Cara pengawetan dengan suhu rendah dibedakan menjadi dua, yaitu pendinginan (cooling) dan pembekuan (freezing). Pendinginan adalah penyimpanan bahan pangan di atas suhu pembekuan yaitu -2-10°C. Pendinginan yang biasa dilakukan sehari-hari dalam lemari es umumnya mencapai suhu 5-8°C (Winarno dan Fardiaz, 1973). Pendinginan biasanya akan mengawetkan bahan pangan sebelum beberapa hari atau beberapa minggu tergantung dari jenis bahan pangannya. Sedangkan pembekuan dapat mengawetkan bahan pangan untuk beberapa bulan atau beberapa tahun. Perbedaan yang lain antara pendinginan dan pembekuan adalah dalam hal pengaruhnya terhadap keaktifan mikroba dalam bahan pangan. Penggunaan suhu rendah dalam pengawetan bahan pangan tidak dapat menyebabkan kematian mikroba, sehingga bila bahan pangan beku
dikeluarkan dari penyimpanan dan dibiarkan mencair lagi (thawing), pertumbuhan mikroba pembusuk dapat berjalan dengan cepat. Penggunaan suhu rendah terutama untuk beberapa hasil pertanian tertentu perlu mendapat perhatian karena kerusakan fisiologis dapat lebih cepat terjadi terutama pada suhu rendah, misal kerusakan akibat proses pendinginan (chilling injuries) dan kerusakan akibat proses pembekuan (freezing injuries). Penggunaan suhu rendah yang kurang tepat dapat mengakibatkan kerusakan fisiko-kimia. Jenis kerusakan yang mungkin terjadi adalah ”chilling injuries”, ”freezing injuries” dan “freezing burn” (Syarief dan Halid, 1993).
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. BAHAN DAN ALAT Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras ketan hitam yang dibeli dari Pasar Anyar, kota Bogor dan ragi yang dibeli dari Pasar Gunung Batu. Bahan lain yang diperlukan adalah kemasan dengan wadah berbahan dasar PP dan tutup berbahan dasar PE, kemasan dengan wadah dan tutup berbahan dasar PP, dan kemasan berbahan dasar bambu biasa disebut besek yang dialasi daun pisang, serta bahan-bahan kimia untuk analisis yang berupa CuSO4, Na2SO4, H2SO4 pekat, akuades, NaOH 50%, HCl 0,02 N, indikator mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan etil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1), NaOH 0,02 N, pelarut heksan, H2SO4 0,325 N, NaOH 1,25 N, aceton/alkohol, NaOH 0,1 N, indikator PP, larutan buffer. Alat yang digunakan untuk penelitian terdiri atas alat untuk proses dan alat untuk analisis. Peralatan untuk proses berupa lemari es yang memiliki ruangan chiller suhu 10 sampai 15°C. Sedangkan alat untuk analisis terdiri atas neraca analitik, cawan alumunium/porselen, oven, desikator, pemanas destruksi, tanur listrik, labu Kjeldahl, alat destilasi, hand refractometer, kertas saring, kapas, alat ekstrasi Soxhlet, pH-meter, serta alat-alat gelas yang digunakan dalam penelitian.
B. METODE PENELITIAN 1. Karakteristik Kemasan Pada penelitian ini menggunakan bermacam-macam kemasan yang memiliki perbedaan bahan dasar. Kemasan yang digunakan ada 4 macam, yaitu kemasan I merupakan kemasan berbentuk persegi yang terbuat dari anyaman bambu yang dikenal dengan nama “besek”, biasanya digunakan sebagai wadah dalam acara selamatan atau acara-acara besar di beberapa daerah. Kemasan II merupakan kemasan plastik yang berbentuk lingkaran/silindris, memiliki bahan dasar berbeda antara wadah dan
tutupnya. Wadahnya berbahan dasar polipropilen dan tutupnya berbahan dasar polietilen sehingga memiliki kemampuan yang berbeda untuk menahan gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Pada bagian tutupnya memiliki air sealed yang mendekati nilai nol sehingga dapat menahan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan. Kemasan III merupakan kemasan plastik yang berbentuk persegi, memiliki bahan dasar sama antara wadah dan tutupnya yaitu berbahan dasar polipropilen. Pada bagian tutupnya memiliki air sealed, tetapi nilainya tidak mendekati nol, sehingga gas dan uap air lebih mudah masuk ke dalam kemasan. Kemasan IV merupakan kemasan plastik yang berbentuk persegi, memiliki bahan dasar berbeda antara wadah dan tutupnya. Wadahnya berbahan dasar polipropilen dan tutupnya berbahan dasar polietilen sehingga memiliki kemampuan yang berbeda untuk menahan gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Pada bagian tutupnya memiliki air sealed yang mendekati nilai nol sehingga dapat menahan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan. Karakteristik kemasan yang dihitung yaitu densitas, gramatur, ketebalan, luas pemukaan, dan laju transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR). Gramatur dihitung berdasarkan pembagian bobot kemasan dengan luas kemasan. Densitas dihitung dari hasil perhitungan gramatur dibagi dengan ketebalan kemasan. Luas permukaan dihitung untuk menghitung laju transmisi (O2TR, CO2TR, dan WVTR). Sedangkan laju transmisi dihitung untuk mengetahui berapa banyak gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan, sehingga dapat diketahui bagaimana kemampuan kemasan yang digunakan dalam menahan gs dan uap air. Laju transmisi dihitung dari perbedaan tekanan terutama tekanan O2 dalam udara yang diasumsikan tekanannya sama yaitu 21% dan mengalikannya dengan luas permukaan yang diketahui dan dikalikan dengan faktor konversi permeabilitas dan dibagi dengan ketebalan kemasan. Perhitungan laju transmisi (transmission rate) dapat dilihat pada Lampiran 1.
2. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan yang dilakukan adalah pembuatan tape ketan hitam dengan menggunakan tiga jenis kemasan dan volume ketan yang berbeda-beda, disimpan dalam kondisi ruangan yang higienis pada suhu ruang. Penelitian pendahuluan ini bertujuan untuk mendapatkan jenis kemasan dan volume ketan terbaik terhadap fermentasi saat inkubasi pada proses pembuatan tape ketan. Beras yang akan digunakan untuk pembuatan tape ketan adalah beras ketan hitam. Beras ketan hitam ini terlebih dahulu dicuci sampai bersih kemudian direndam selama kurang lebih satu malam dan dicuci kembali lalu dikukus selama ± 30 menit sebelum dibuat menjadi tape ketan. Beras ketan hitam yang telah dikukus kemudian didinginkan sampai mendekati suhu ruang dan ditambahkan ragi dengan perbandingan satu kilogram ketan menggunakan dua butir ragi. Setelah itu, dimasukkan ke dalam tiga jenis kemasan yang berbeda yaitu kemasan I, kemasan II, dan kemasan III, di mana masing-masing kemasan mempunyai volume ketan yang berbeda-beda yaitu 90% (b/v), 75% (b/v) dan 60% (b/v). Volume ketan dihitung untuk mengetahui seberapa banyak ruang sisa dalam kemasan. Cara perhitungannya yaitu dengan cara menimbang bobot kemasan (a), bobot kemasan yang sudah diisi dengan ketan kukus hingga penuh (b). Setelah didapatkan kurangi antara bobot kemasan yang sudah diisi dengan ketan kukus hingga penuh (b) dengan bobot kemasan (a) tersebut, didapatkan bobot ketan (c). Kemudian nilai volume ketan 90% (b/v) atau diketahui ruang sisa kemasan didapatkan dari perkalian 90% bobot ketan (c). Misalnya bobot kemasan (a) 300 g, bobot kemasan yang sudah diisi dengan ketan kukus hingga penuh (b) 400 g, sehingga didapatkan 400 g – 300 g = 100 g (c) x 90% = 90 g. Jadi bobot ketan yang dimasukkan dalam kemasan yaitu sebanyak 90 g. Nilai 90 g diasumsikan dengan volume ketan 90% (b/v) dalam kemasan dan diasumsikan ruang sisa yang terdapat dalam kemasan sebanyak 10%. Beras ketan hitam dalam masing-masing kemasan dibiarkan selama 2-3 hari atau selama 48-72 jam hingga beras ketan hitam tersebut menjadi
tape ketan. Diagram alir proses pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan dan volume ketan yang berbeda dapat dilihat pada Gambar 2. Pada penelitian pendahuluan ini dilakukan analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference)) pada ketan mentah dan ketan yang sudah dikukus. Selain itu juga dilakukan analisis kimia dan fisik yaitu kadar gula, kadar total asam, pH, dan organoleptik (rasa, aroma, tekstur). Analisis ini dilakukan setiap enam jam sekali selama dua hari. Prosedur pengujiannya dapat dilihat pada Lampiran 2.
3. Penelitian Utama Penelitian utama bertujuan untuk melihat perubahan mutu yang terjadi selama penyimpanan tape ketan hitam pada suhu rendah. Pada penelitian utama dibuat kembali tape ketan dengan menggunakan kemasan yang sudah terpilih pada penelitian pendahuluan yaitu kemasan I dengan volume 90%. Setelah tape ketan sudah jadi dipindahkan dalam kemasan I, kemasan III, dan kemasan IV kemudian disimpan dalam lemari pendingin selama 14 hari dan dilakukan pengamatan fisik dan kimia setiap hari. Kemasan II diganti dengan kemasan IV karena dilihat dari volume kemasan, ketebalan kemasan, dan luas permukaannya, serta seminimal mungkin disamakan bentuknya karena dengan bentuk yang berbeda akan sangat berpengaruh pada hasil penyimpanan, selain itu agar mudah ditumpuk secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang tidak terlalu rapat sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam ruang pendingin sebagai tempat penyimpanan. Analisis kimia yang dilakukan yaitu kadar total asam, kadar gula, pH, dan kadar alkohol yang hanya dilakukan pada saat awal dan akhir penyimpanan tape ketan hitam, dan uji organoleptik (rasa, aroma, tekstur, dan penerimaan umum). Uji organoleptik yang dilakukan memakai uji mutu hedonik yang dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Besaran skalar digambarkan dalam bentuk garis lurus berarah dengan pembagian skala dengan jarak yang sama, yaitu 1-10. Jenis panelis yang
digunakan yaitu jenis panelis agak terlatih/semi terlatih dengan jumlah panelis sebanyak 15 orang. Perhitungan organoleptik dihitung dari rata-rata penilaian harian oleh panelis dengan 2x ulangan berdasarkan skala nilai pada form (1-10) selama 14 hari dengan mengamati nilai rasa, tekstur, aroma dan penerimaan umum. Dari nilai tersebut diperoleh grafik trend nilai secara linier untuk melihat perubahannya. Adapun contoh form pengujian organoleptik yang dilakukan dapat dilihat pada Lampiran 3, sedangkan hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4. Selain analisis di atas, juga dilakukan analisis proksimat (kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, dan kadar karbohidrat (by difference)) pada awal saat tape ketan hitam yang sudah jadi dan sebelum disimpan ke dalam lemari pendingin (refrigerator) serta pada akhir penyimpanan. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama penyimpanan pada suhu rendah (dingin) dapat dilihat pada Gambar 3.
Beras Ketan Hitam Dibersihkan dari kotoran, pasir atau gabah dan dicuci Direndam semalaman Dicuci dengan air bersih Dikukus selama ± 30 menit Didinginkan sampai mendekati suhu ruang Dicampur dengan ragi tape 0,1%
Kemasan I
Kemasan II
Volume Volume Volume Volume Volume Volume Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan Ketan 90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v) 90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v)
Kemasan III Volume Volume Volume Ketan Ketan Ketan 90% (b/v) 75% (b/v) 60% (b/v)
Diinkubasi pada suhu ruang selama 2-3 hari Tape ketan hitam
Analisis proksimat dilakukan pada ketan mentah, ketan kukus dan tape yang sudah jadi: - Kadar Air - Kadar Abu - Kadar Protein - Kadar Lemak - Kadar Karbohidrat (by difference)
Analisis dilakukan setiap 6 jam selama 2 hari: - Kadar Gula - Kadar Total Asam - pH - Organoleptik (rasa, aroma, tekstur)
Gambar 2. Diagram alir pembuatan tape ketan hitam dalam kemasan dan volume ketan yang berbeda
Tape Ketan Hitam
Kemasan I
Kemasan III
Kemasan IV
Penyimpanan dalam chiller
Analisis proksimat dilakukan pada awal sebelum penyimpanan dan akhir penyimpanan : - Kadar Air - Kadar Abu - Kadar Protein - Kadar Lemak - Kadar Karbohidrat (by difference)
Analisis dilakukan setiap hari : - Kadar Gula - Total Asam - pH - Kadar Alkohol - Organoleptik (rasa, aroma, tekstur, dan penerimaan umum)
Penurunan mutu selama penyimpanan pada suhu rendah Gambar 3. Diagram alir kajian penurunan mutu tape ketan hitam selama penyimpanan pada suhu rendah (dingin)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. KARAKTERISTIK KEMASAN Karakterisasi kemasan perlu dilakukan untuk mengetahui sifat-sifat bahan kemasan yang digunakan. Dalam penelitian ini, kemasan yang digunakan untuk pembuatan dan penyimpanan tape ketan hitam adalah kemasan plastik yang memiliki bahan dasar polipropilen dan polietilen serta kemasan berbahan dasar bambu. Karakteristik kemasan dapat dilihat dari beberapa faktor yaitu nilai densitas, gramatur, O2TR, CO2TR, dan WVTR. Setiap kemasan memiliki kemampuan yang berbeda dalam menyerap gas dan uap air, tergantung dari jenis polimer penyusunnya. Kemasan yang berbahan dasar polipropilen, memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air yang lebih rendah dibandingkan dengan kemasan yang berbahan dasar polietilen. Kemampuan dalam menyerap gas dan uap air ke dalam suatu bahan kemasan dapat dilihat dari nilai laju transmisinya. Semakin kecil nilai laju transmisi yang diperoleh maka semakin rendah kemampuan suatu bahan kemasan tersebut dalam menyerap gas dan uap air, begitu juga sebaliknya. Faktor-faktor yang mempengaruhi laju transmisi yaitu suhu, kelembaban udara, perbedaan tekanan, ketebalan dan luas permukaan. Data sifat fisik dari tiap kemasan dapat dilihat pada Tabel 5. Perhitungan laju transmisi gas oksigen (O2TR), laju transmisi gas karbondioksida (CO2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) diperoleh berdasarkan hasil pengukuran dimensi tiap kemasan. Semakin besar nilai perhitungan laju transmisi gas oksigen (O2TR), laju transmisi gas karbondioksida (CO2TR), dan laju transmisi uap air (WVTR) maka akan mempengaruhi mutu dari tape ketan. Banyaknya O2 yang terkandung dalam kemasan akan mempengaruhi aktivitas mikroba aerob yang berperan dalam fermentasi tape ketan. Sedangkan dalam penyimpanan terjadi oksidasi yang dapat menurunkan mutu dari tape ketan hitam tersebut walaupun kerja mikroba menjadi lebih lambat karena disimpan dalam lemari pendingin (chiller).
Tabel 5. Data sifat fisik bahan pengemas tape ketan Perhitungan Gramatur (g/m2) Densitas (kg/m3) Ketebalan (mm) Luas permukaan (cm2) O2TR (cm3/hari) Total CO2TR (cm3/hari) Total WVTR (cm3/hari) Total Kondisi Penutupan
Kemasan I wadah tutup 368,64 231,85 1,59
1,39
770,4 ∞
∞
Kemasan IV wadah tutup 1309,14 1857,22 552,38 1205,99
0,233
1,64
1,22
1,26
2,37
1,54
838,78
268,67
4639,05
212,75
1479,6
372,6
11,88
0,53
1,95
2,30
∞
48,21
∞
51,96 337,36 27,99
50,35 356,34 15,82
17,26 58,51 41,35
365,35 Air sealed mendekati nol
372,16 Air sealed tidak mendekati nol
99,86 Air sealed mendekati nol
∞ ∞
Kemasan III wadah tutup 191,85 1560,52 157,25 1238,51
11,25 1,56 12,81 45,64 6,32
∞ ∞
Kemasan II wadah tutup 1380,58 1879,63 5925,24 1146,12
∞ Non sealed
* suhu 30oC Keterangan : Kemasan I Kemasan II Kemasan III Kemasan IV
12,41
4,25 2,14
7,92
9,34
: kemasan berbahan dasar bambu : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE : kemasan plastik berbahan dasar PP + PP : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE
Pengukuran nilai densitas suatu plastik sangat penting, karena densitas menunjukkan struktur plastik secara umum. Aplikasi dari hal tersebut dapat dilihat dari kemampuan plastik dalam melindungi produk dari beberapa zat seperti air, O2 dan CO2. Ketebalan bahan kemasan sangat menentukan laju transmisi gas oksigen (O2TR) dan uap air (WVTR) kemasan (Robertson, 1993). Ketebalan dan luas permukaan diukur untuk menghitung laju transmisi. Semakin tebal kemasan maka semakin sedikit gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan, sehingga semakin kecil nilai laju transmisi yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya. Selain itu, semakin besar luas permukaan kemasan maka semakin besar nilai laju transmisi yang dihasilkan, begitu juga sebaliknya. Dengan adanya oksigen, karbondioksida dan uap air akan mempengaruhi produk selama penyimpanan karena dapat menyebabkan terjadinya oksidasi dan hidrolisis. Semakin kecil nilai O2TR, CO2TR, dan WVTR dari hasil perhitungan, maka bahan kemasan dapat melindungi produk dari proses oksidasi dan hidrolisis sehingga dapat mempertahankan kualitas produk, begitu juga sebaliknya.
Berdasarkan perhitungan, kemasan I memiliki nilai O2TR, CO2TR, dan WVTR terbesar di antara keempat kemasan yang digunakan. Besarnya ronggarongga atau pori-pori pada kemasan I yang terbuat dari anyaman bambu, menyebabkan mudahnya gas dan uap air masuk ke dalam kemasan sehingga dapat mempercepat proses fermentasi serta menyebabkan terjadinya proses oksidasi dan hidrolisis yang menyebabkan kemasan tersebut tidak dapat mempertahankan kualitas tape ketan hitam. Kecilnya pori-pori pada kemasan II, kemasan III, dan kemasan IV dapat menghambat masuknya mikroba yang akan mempengaruhi proses fermentasi dan mencegah terjadinya proses oksidasi dan hidrolisis sehingga diharapkan dapat mempertahankan mutu tape ketan hitam. Pada kemasan IV memiliki nilai O2TR, CO2TR dan WVTR yang terkecil di antara ketiga kemasan tersebut. Kecilnya nilai O2TR, CO2TR, dan WVTR pada kemasan IV ini karena ketebalan kemasan yang dimiliki lebih besar dibandingkan dengan kemasan II dan kemasan III, sehingga gas dan uap air yang masuk lebih sedikit terutama gas O2. Kemasan IV relatif lebih melindungi produk dari proses oksidasi dan hidrolisis, sehingga dapat mempertahankan kualitas produk serta dapat memperlambat proses fermentasi. Sifat kaku (rigid) dan ketebalan yang dimiliki oleh kemasan polipropilen dan polietilen memungkinkan untuk penggunaan berulang kali. Kemasan besek dikategorikan kemasan yang hanya dapat dipakai beberapa kali karena apabila berulang kali dipakai dan dibersihkan akan mudah rusak. Hal lain yang harus dimiliki oleh kemasan adalah sistem penutupannya. Dengan sistem penutupan yang baik maka kemasan yang memiliki kemampuan menyerap gas maupun uap air yang rendah secara keseluruhan dapat meningkatkan daya lindung kemasan terhadap produk. Apabila bahan kemasan tersebut tersusun dari polimer yang memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air yang sangat rendah terhadap gas dan uap air, tetapi tidak memiliki sistem penutup yang baik maka kemasan tersebut menjadi kurang optimum dalam menjaga mutu produk yang dikemasnya. Di antara keempat kemasan yang digunakan, kemasan I memiliki sistem penutupan yang tidak rapat dikarenakan pada kemasan ini mempunyai ronggarongga atau pori-pori. Kemasan II, kemasan III, dan kemasan IV memiliki
bahan dasar kemasan dan kondisi penutupan yang berbeda-beda. Pada kemasan II dan kemasan IV memiliki bahan dasar yang tidak sama antara wadah dan tutupnya. Tutup pada kemasan II dan IV memiliki air sealed yang mendekati nilai nol sehingga dapat menghambat keluar masuknya gas dan uap air ke dalam kemasan. Berdasarkan perhitungan, kemasan II memiliki nilai O2TR, CO2TR dan WVTR yang lebih besar dibandingkan dengan kemasan IV karena wadah pada kemasan II lebih tipis dan luas permukaan wadah kemasan II lebih besar dibandingkan dengan kemasan IV, sehingga gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan lebih banyak. Pada kemasan III memiliki bahan dasar yang sama antara wadah dan tutupnya yaitu sama-sama berbahan dasar polipropilen. Tutup pada kemasan III memiliki air sealed yang tidak mendekati nilai nol sehingga gas dan uap air lebih mudah masuk ke dalam kemasan. Banyaknya gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan menghasilkan nilai O2TR, CO2TR dan WVTR yang lebih besar daripada kemasan II dan kemasan IV.
B. PENGARUH JENIS KEMASAN DAN VOLUME KETAN PADA FERMENTASI TAPE Tujuan tahapan ini adalah untuk mendapatkan jenis kemasan dan volume ketan terbaik terhadap proses fermentasi saat inkubasi berlangsung, sehingga dapat menghasilkan tape ketan yang lebih baik dan disukai oleh konsumen. Pemilihan jenis kemasan dan volume terbaik ini dilakukan melalui analisis kimia dan uji organoleptik yang dilakukan setiap 6 jam sekali selama 2-3 hari atau selama 48-72 jam. Analisis kimia yang dilakukan selama periode pembuatan tape ketan adalah kadar gula, total asam tertitrasi, derajat keasaman (pH), dan uji organoleptik. Selain dilakukan analisis kimia dan uji organoleptik juga dilakukan analisis proksimat pada ketan mentah dan ketan kukus serta tape ketan yang sudah diinkubasi selama 2-3 hari atau selama 48-72 jam. Nilai korelasi, slope, dan intercept hasil pembuatan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 5. Hasil analisis kimia dan uji organoleptik serta analisis proksimat yang telah dilakukan selama proses pembuatan adalah sebagai berikut.
1. Kadar Gula Perubahan kadar gula pada proses fermentasi tape ketan diukur dengan nilai derajat brix dan diamati setiap 6 jam. Kurva kadar gula dapat dilihat pada Gambar 4. Dari Gambar 4, terlihat bahwa terjadi kenaikan kadar gula selama waktu fermentasi. Gula tersebut terbentuk dari pemecahan pati oleh kapang. 40.00 y = 0.5551x + 0.7283 R2 = 0.8709
35.00
Derajat Brix
30.00 y = 0.5109x + 0.5725 R2 = 0.8553
25.00 20.00 15.00
y = 0.5254x + 0.3913 R2 = 0.8504
10.00 5.00 0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
(a) 21.00
Derajat Brix
18.00
y = 0.3306x + 2.5645 R2 = 0.9311
15.00 12.00
y = 0.2975x + 2.5269 R2 = 0.9200
9.00 6.00
y = 0.2975x + 2.5269 R2 = 0.9200
3.00 0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan III
Kemasan II
(b) 40.00 35.00
y = 0.5362x - 0.9638 R2 = 0.8772
Derajat Brix
30.00 25.00
y = 0.5297x - 0.3370 R2 = 0.8490
20.00 15.00
y = 0.5399x + 0.2101 R2 = 0.8457
10.00 5.00 0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan III
Kemasan II
(c) Keterangan : (a). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 90% (b). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 75% (c). Grafik peningkatan kadar gula pada volume 60% Gambar 4. Grafik peningkatan kadar gula (derajat brix) pada kemasan dan volume ketan yang berbeda
Kenaikan kadar gula yang dihasilkan akan semakin tinggi dengan semakin lamanya tape difermentasi. Peningkatan kadar gula selama fermentasi terus terjadi meskipun reaksi perubahan gula menjadi alkohol berjalan cepat. Selama fermentasi, pati dipecah menjadi molekul-molekul glukosa oleh enzim α-amilase yang disebut tahap sakarifikasi (Algaratman, 1977), sehingga meningkatkan kadar gula pada tape ketan. Apabila molekul-molekul glukosa dipecah lebih lanjut akan menghasilkan alkohol dan asam organik. Asam-asam yang dihasilkan selama fermentasi yaitu asam laktat, asam asetat, dan asam suksinat. Proses pemecahan glukosa menjadi etanol terjadi melalui jalur Heksosa difosfat (HDP) yang disebut juga jalur Embden Meyerhoff-Parnas (EMP) (Rose, 1977). Skema Embden Meyerhoff-Parnas dapat dilihat pada Lampiran 6. Berdasarkan Gambar 4, kadar gula yang dihasilkan berkisar antara 0
0–35,3 brix. Kadar gula tertinggi terjadi pada kemasan I dengan nilai maksimum 35,30brix. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 9. Pada grafik dapat dilihat bahwa semua faktor perlakuan menghasilkan kenaikan kadar gula yang relatif kecil. Perbedaan nilai slope kenaikan kadar gula tidak jauh berbeda di antara ketiga kemasan yang digunakan. Di antara tiga kemasan yang digunakan pada volume 90% nilai slope kenaikan kadar gula yang dihasilkan terlihat jelas perbedaannya. Volume 90% memiliki ruang hampa yang sedikit sehingga kandungan O2 yang tersedia hanya sedikit. Berdasarkan Gambar 4 juga dapat dilihat bahwa yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terbesar yaitu kemasan I (0,5551) dan yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terkecil yaitu kemasan II (0,5109). Pada volume 75%, di antara ketiga kemasan yang digunakan dapat dilihat nilai slope kenaikan kadar gula yang dihasilkan tidak jauh berbeda, begitu juga dengan volume 60%. Pada volume 75% yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terbesar yaitu kemasan I (0,3306) dan yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terkecil yaitu kemasan II dan III (0,2975).
Pada volume 90% dan 75% kemasan I memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terbesar, karena kemasan I memiliki rongga-rongga pada wadah dan tutup kemasannya. Hal ini menyebabkan lebih mudahnya gas dan uap air terutama gas O2 yang terdapat dalam kemasan, sehingga proses perombakan karbohidrat menjadi gula oleh kapang lebih cepat terjadi dibandingkan dengan kemasan II. Kemasan II dengan volume 90%, 75%, dan 60% memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terkecil. Kecilnya nilai slope peningkatan kadar gula pada kemasan II disebabkan oleh lebih rapatnya jenis kemasan tersebut dan memiliki sistem penutupan yang lebih rapat (air sealed mendekati nol) yang menyebabkan gas dan uap air sulit keluar masuk ke dalam kemasan sehingga mempengaruhi proses fermentasi. Kemasan III dengan volume 60% memiliki nilai slope kenaikan kadar gula lebih besar dibandingkan dengan kemasan II. Kedua kemasan ini mempunyai bahan dasar yang sama pada wadahnya yaitu polipropilen. Namun tutup pada kemasan II berbahan dasar polietilen, sedangkan tutup pada kemasan III berbahan dasar polipropilen. Walaupun kemasan III mempunyai tutup berbahan dasar polipropilen yang sifat permeabilitas terhadap udara lebih rendah dibandingkan dengan polietilen, tetapi sistem penutupannya kurang rapat (air sealed tidak mendekati nilai nol) seperti pada kemasan II sehingga dapat menahan udara lebih sedikit masuk ke dalam kemasan. Akibatnya udara lebih mudah masuk ke dalam kemasan sehingga proses perombakan karbohidrat menjadi gula lebih banyak. Proses pembentukan glukosa terjadi secara aerob yang membutuhkan O2, terbentuknya glukosa karena aktivitas kapang Chlamydomucor oryzae yang menghasilkan enzim amilase sehingga pati diubah menjadi glukosa. Di antara ketiga volume dan ketiga kemasan ini, yang memiliki nilai slope peningkatan kadar gula terbesar adalah kemasan I dengan volume 90%. Tape yang dihasilkan kemasan I dengan volume 90% memiliki kadar gula yang lebih banyak. Hal ini didukung dengan hasil uji organoleptik yaitu rasa manis yang dihasilkan lebih disukai oleh konsumen.
Uji organoleptik ditujukan untuk mengetahui penerimaan panelis terhadap rasa. Hasil uji organoleptik tersebut menunjukkan bahwa rasa manis sudah terasa pada jam ke-12 pada kemasan I dengan ketiga volume yang berbeda. Sedangkan pada kemasan II dan III, tape ketan terasa manis pada jam ke-18. Semakin lama tape difermentasi, rasa manis yang dihasilkan akan semakin tinggi terutama pada jam ke-48. Tiga jenis kemasan dan tiga jenis volume yang menghasilkan rasa manis paling tinggi yaitu pada kemasan I dengan volume 90% (Lampiran 7). Berdasarkan hasil analisis kimia dan uji organoleptik yang dilakukan, kemasan I dengan volume 90% merupakan kemasan yang dipilih untuk pembuatan tape ketan.
2. Total Asam Tertitrasi Total asam merupakan total kandungan asam organik yang terdapat pada bahan. Pengukuran total asam dilakukan dengan mentitrasi bahan dengan NaOH. Nilai total asam tertitrasi dinyatakan dalam ml NaOH 0,1 M/100 ml bahan. Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar alkohol yang dihasilkan dan lamanya fermentasi. Selama proses fermentasi, bakteri menghasilkan asam-asam organik seperti asam asetat, laktat, suksinat dan sebagainya yang merupakan hasil samping dari pembentukan alkohol. Semakin lama fermentasi, alkohol dan asam organik yang dihasilkan juga lebih banyak. Nilai total asam pada tiga kemasan dan volume yang digunakan dilihat pada Gambar 5.
49.00 y = 0.5778x + 5.8667 R2 = 0.9135
Total Asam (%)
44.00 39.00 34.00
y = 0.6311x + 3.9644 R2 = 0.9002
29.00 24.00
y = 0.7133x + 4.6578 R2 = 0.9070
19.00 14.00 9.00 4.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) kemasan I
kemasan II
kemasan III
Kemasan I
(a).
Kemasan II
Kemasan III
44.00 y = 0.6378x + 4.6933 R2 = 0.9121
Total Asam (%)
39.00 34.00 29.00
y = 0.6933x + 6.4711 R2 = 0.9302
24.00 19.00
y = 0.7111x + 4.8000 R2 = 0.9448
14.00 9.00 4.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) kemasan I
kemasan II
kemasan III
Kemasan I
Kemasan II
(b).
45.00
y = 0.5711x + 1.2267 R2 = 0.9896
40.00
Total Asam (%)
Kemasan III
35.00 30.00
y = 0.6289x + 7.0400 R2 = 0.9145
25.00 20.00
y = 0.7133x + 3.3244 R2 = 0.9527
15.00 10.00 5.00 0.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
(c). Keterangan : (a). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 90% (b). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 75% (c). Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada volume 60% Gambar 5. Grafik peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan dan volume ketan yang berbeda Dari Gambar 5, terlihat bahwa total asam tertitrasi semakin meningkat dengan lamanya waktu fermentasi. Total asam tertitrasi yang dihasilkan berkisar antara 3,20–45,60%, data hasil analisis pada pembuatan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 9. Di antara tiga kemasan yang digunakan pada volume 90% dapat dilihat nilai slope yang dihasilkan terlihat perbedaan yang sangat besar. Perbedaan nilai slope peningkatan total asam tersebut dikarenakan banyaknya O2 yang tersedia di dalam kemasan
sehingga
mempengaruhi
proses
fermentasi.
Berdasarkan
Gambar 5, dapat dilihat yang memiliki nilai slope peningkatan total asam terbesar yaitu kemasan III (0,7133). Pada volume 75%, di antara ketiga kemasan yang digunakan dapat dilihat bahwa nilai slope peningkatan total asam tertitrasi yang dihasilkan terlihat jelas perbedaannya. Tersedianya O2 yang terlalu sedikit ataupun
terlalu banyak di dalam kemasan sangat mempengaruhi pembentukan asam atau proses fermentasi. Berdasarkan Gambar 5, yang memiliki nilai slope peningkatan total asam tertitrasi terbesar yaitu kemasan III (0,7111). Sedangkan pada volume 60% di antara ketiga kemasan yang digunakan juga memperlihatkan nilai slope yang berbeda. Berdasarkan Gambar 5, yang memiliki nilai slope peningkatan total asam tertitrasi terbesar yaitu kemasan III (0,7133). Dilihat dari tiga jenis volume dan tiga kemasan yang digunakan bahwa kemasan III dengan volume 90% dan volume 60% memiliki nilai slope peningkatan total asam tertitrasi terbesar. Besarnya nilai slope peningkatan total asam tertitrasi pada kemasan III dikarenakan gas dan uap air mudah masuk ke dalam kemasan ini. Luas permukaan yang dimiliki pada kemasan III juga dapat mempengaruhi banyaknya kandungan O2 sehingga nilai laju transmisi oksigen (O2TR) yang dihasilkan lebih besar dibandingkan kemasan II (Tabel 5). Selain itu O2 dapat masuk dari celah antara tutup dan wadahnya, karena pada tutupnya tidak memiliki sistem penutupan yang rapat (air sealed tidak mendekati nol). Banyaknya O2 dalam kemasan akan mempengaruhi proses fermentasi sehingga total asam yang terbentuk semakin banyak. Tingginya total asam yang terkandung pada tape ketan dapat mempengaruhi rasa yang dihasilkan. Semakin rendahnya total asam yang terkandung dalam tape ketan maka semakin bagus kualitas yang dimiliki oleh tape ketan. Kebanyakan konsumen tidak menyukai tape ketan yang memiliki rasa asam. Menurut Hasan (1987), perubahan yang terjadi selama fermentasi adalah hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa yang menimbulkan rasa manis, serta fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam-asam organik. Apabila proses fermentasi terus berlanjut akan terbentuk asam asetat karena adanya bakteri Acetobacter yang sering terdapat pada ragi dan bersifat oksidatif. Alkohol yang dihasilkan dari hasil penguraian glukosa akan dioksidasi lebih lanjut menjadi asam asetat. Produk lain yang dihasilkan dari fermentasi yaitu metanol, gliserol, asetaldehid, dan ester.
Selain terbentuk asam asetat juga dapat terbentuk asam piruvat dan asam laktat. Asam piruvat adalah produk antara yang
terbentuk pada
hidrolisis gula menjadi etanol. Asam piruvat dapat diubah menjadi etanol atau asam laktat. Bakteri Pedicoccus pentosaseus mengkatalis perubahan asam piruvat menjadi asam laktat (Kozaki, 1979). Asam-asam organik yang terbentuk seperti asam laktat akan bereaksi dengan alkohol membentuk suatu ester aromatik yaitu etil asetat yang merupakan salah satu komponen pembentuk citarasa tape. Aroma tape selain disebabkan oleh ester asam etanoat, juga disebabkan oleh adanya komponen-komponen alkohol, karbonil, asam dan zat-zat lain seperti
etil
benzena,
propil
benzena,
butilrelaktan,
dan
veralan
(Soedarsono, 1972). Reaksi-reaksi yang berlangsung di dalam fermentasi tape yaitu : amilase 2C6H12O6 2(C5H10O5)n + n H2O Chlamydomucor oryzae Pati Glukosa & Rhyzopus oryzae C6H12O6 + H2O Glukosa C2H5OH + O2 Etanol
zimase S. cerevisiae
Acetobacter
CH3COOH + C2H5OH Asam asetat etanol
2 C2H5OH + 2 CO2 Etanol CH3COOH + H2O Asam asetat
Hansenula
CH3COOC2H5 + H2O Etil asetat
Ketersediaan oksigen yang terkandung pada setiap kemasan akan mempengaruhi fermentasi. Sifat dari setiap kemasan yang memiliki permeabilitas terhadap oksigen dan uap air juga akan mempengaruhi fermentasi tersebut. Banyak sedikitnya ketersediaan oksigen dalam ruang kemasan mempengaruhi fermentasi tape. Jika semakin banyak tersedia oksigen dalam ruang kemasan maka akan menurunkan kecepatan reaksi jalur EMP, karena terjadi inaktifasi oksidatif enzim-enzim EMP. Perubahan jumlah total asam juga diperlihatkan oleh perubahan derajat
keasaman (pH), dimana peningkatan total asam selama fermentasi diikuti dengan pH yang cenderung menurun.
3. Derajat Keasaman (pH) Penurunan nilai pH menunjukkan terjadinya peningkatan total asam organik. Pengukuran nilai pH perlu dilakukan untuk mengetahui tingkat keasaman / kebasaan suatu produk dan berkaitan dengan keamanan serta umur simpan produk. Hasil pengukuran pH selama fermentasi dapat dilihat pada Gambar 6. 6.50 y = -0.0298x + 5.8731 R2 = 0.9413
6.00
y = -0.0313x + 5.9691 R2 = 0.9314
pH
5.50 5.00
y = -0.0324x + 5.9607 R2 = 0.9344
4.50 4.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
(a). 7.00 y = -0.0298x + 5.9447 R2 = 0.9177
6.50
pH
6.00
y = -0.0283x + 5.8822 R2 = 0.9189
5.50 y = -0.0351x + 6.0076 R2 = 0.9063
5.00 4.50 4.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
(b).
Kemasan II
Kemasan III
6.50 y = -0.0343x + 6.1673 R2 = 0.9134
6.00
y = -0.0279x + 5.9442 R2 = 0.9109
pH
5.50 5.00
y = -0.0277x + 5.8358 R2 = 0.9022
4.50 4.00 0
6
12
18
24
30
36
42
48
Waktu Fermentasi (Jam) Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
Kemasan I
Kemasan II
Kemasan III
(c). Keterangan : (a). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 90% (b). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 75% (c). Grafik penurunan derajat keasaman pada volume 60% Gambar 6. Grafik penurunan derajat keasaman (pH) pada kemasan dan volume ketan yang berbeda Nilai pH yang dihasilkan menurun dengan semakin lamanya fermentasi sehingga rasa tape yang dihasilkan semakin asam. Menurut Hasan (1987), perubahan yang terjadi selama fermentasi adalah hidrolisis pati menjadi maltosa dan glukosa yang menimbulkan rasa manis, serta fermentasi sebagian gula menjadi alkohol dan asam-asam organik. Berdasarkan gambar di atas, ketiga jenis kemasan dan ketiga volume ketan yang digunakan mengalami penurunan, dilihat dari tanda negatif (-) pada nilai slope penurunan pH yang dihasilkan. Nilai pH yang dihasilkan berkisar antara 4,60–6,21, dan rata-rata nilai pH terendah terjadi pada jam ke-48. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan dapat dlihat pada Lampiran 9. Nilai pH terendah terjadi pada kemasan I dengan volume 90%. Pada volume 90%, di antara ketiga kemasan yang digunakan menghasilkan nilai slope penurunan pH yang tidak jauh berbeda, karena kandungan O2 terlalu sedikit sehingga proses fermentasi tidak terlalu cepat. Pada volume 75% dan volume 60% menghasilkan nilai slope penurunan pH yang cukup jauh berbeda, sehingga lebih terlihat perbedaan nilai slopenya dibandingkan dengan volume 90%. Kandungan O2 yang terdapat dalam volume 75% tidak terlalu banyak dibandingkan dengan volume 60%, sehingga mempengaruhi proses fermentasi. Semakin banyak kandungan O2 dalam kemasan maka akan mempengaruhi fermentasi yang
menyebabkan semakin tingginya kandungan total asam dan semakin rendahnya nilai pH yang dihasilkan. Penurunan pH selama fermentasi disebabkan banyaknya asam organik yang terbentuk karena keaktifan enzim di dalam khamir, dimana selain mengubah gula menjadi alkohol terbentuk juga hasil sampingan seperti asam laktat, asam asetat, gliserol dan sebagainya. Asam-asam organik yang terbentuk dapat berbeda untuk setiap bahan, hal ini disebabkan perbedaan jenis dan jumlah karbohidrat serta perbedaan gula yang terbentuk. Penurunan pH juga terjadi apabila terbentuk asam-asam yang lebih banyak akibat adanya oksidasi ataupun adanya bakteri yang dapat membentuk asam asetat dengan mengoksidasi alkohol. Menurut Fox dan Allan (1977), reaksi perubahan tersebut dapat ditulis sebagai berikut : Acetobacter CH3COOH + H2O C2H5OH + O2 Berdasarkan Gambar 6, volume 90% memiliki nilai slope penurunan pH terbesar yaitu pada kemasan III (-0,0324) dan yang memiliki nilai slope penurunan pH terkecil yaitu pada kemasan I (-0,0298). Besarnya nilai slope penurunan pH disebabkan lebih rapatnya permukaan pada kemasan III sehingga keluar masuknya gas dan uap air akan lebih sulit dibandingkan dengan kemasan I. Sulitnya keluar masuk gas dan uap air pada kemasan III akan mempengaruhi banyaknya gas dan uap air yang terkandung dalam kemasan, sehingga mempengaruhi fermentasi yang akan menghasilkan banyak sedikitnya asam-asam yang terbentuk sehingga mempengaruhi pH yang terbentuk. Kemasan I memiliki rongga-rongga pada kemasan yang akan mempengaruhi cepat atau lambatnya proses fermentasi. Semakin besar nilai pH maka semakin basa dan menunjukkan kandungan total asam yang terkandung dalam tape ketan semakin kecil. Pada volume 75% yang memiliki nilai slope penurunan pH terbesar yaitu kemasan III (-0,0351) dan nilai slope penurunan pH terkecil yaitu kemasan II (-0,0283). Semakin besar nilai slope penurunan pH yang dihasilkan menunjukkan semakin basa. Kemasan II memiliki kemampuan menyerap gas dan uap air lebih rendah daripada kemasan III, sehingga kemasan II menghasilkan nilai slope penurunan pH yang lebih kecil
dibandingkan kemasan III. Selain itu, pada kemasan II memiliki wadah yang lebih tebal dan tutup yang lebih rapat (air sealed mendekati nol) dibandingkan kemasan III, sehingga gas dan uap air lebih sulit masuk ke dalam kemasan. Pada volume 60% yang memiliki nilai slope penurunan pH terbesar yaitu kemasan I (-0,0343) dan yang memiliki nilai slope penurunan pH terkecil yaitu kemasan II (-0,0177). Besar kecilnya nilai slope penurunan pH dipengaruhi oleh perbedaan jenis kemasan.
4. Analisis Proksimat Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui perubahan yang terjadi yaitu perubahan dari ketan mentah menjadi ketan kukus dan saat sesudah menjadi tape ketan yang belum disimpan pada suhu rendah. Hasil analisis proksimat yang dilakukan dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Hasil analisis proksimat ketan mentah Analisis Kadar Abu (%) (bk) Kadar Air (%) (bk) Kadar Protein (%) (bk) Kadar Lemak (%) (bk) Kadar Karbohidrat (by difference) (%) (bk)
Proksimat Awal Ketan Ketan Mentah Kukus 2,2124 1,0064 0,1192 0,4879 10,8478 11,8609 4,3852 2,3437 82,5571
84,7957
Proksimat Sebelum Penyimpanan Tape Ketan 1,1733 0,5379 17,5756 2,4322 78,8204
Dari Tabel 6, dapat dilihat kadar abu yang terdapat pada ketan mentah lebih tinggi dibandingkan dengan kadar abu pada ketan kukus dan tape ketan. Kadar abu pada ketan mentah sebesar 2,2124% menurun menjadi 1,0064% pada ketan kukus. Sedangkan kandungan kadar abu pada tape ketan mengalami peningkatan yaitu 1,1733%. Kadar abu suatu bahan pangan menunjukkan besarnya jumlah mineral yang terkandung dalam bahan pangan tersebut (Apriyantono et al., 1989). Pada proses pengabuan, zat-zat organik diuraikan menjadi air dan karbondioksida, tetapi bahan anorganik (mineral) tidak diurai menjadi air dan karbondioksida.
Penurunan nilai kadar abu dari ketan mentah menjadi ketan kukus disebabkan karena sebagian mineral yang terkandung dalam ketan mentah menghilang karena perendaman yang cukup lama sebelum diolah menjadi ketan kukus. Menurut Departemen Kesehatan RI (1990), kadar abu per 100 gram pada ketan yang ditumbuk yaitu sebesar 1,5 g dan pada ketan yang sudah dikukus yaitu sebesar 0,6 g sedangkan pada tape sebesar 0,6 g. Kadar air pada ketan mentah mengalami peningkatan dari 0,1192% menjadi 0,4879% pada ketan kukus, hal ini disebabkan ketan kukus banyak menyerap air saat perendaman sebelum dimasak dan saat pemasakan. Menurut Setiono (1975) dalam Rohmah (1997), beras dengan kadar air kurang dari 14% akan lebih aman disimpan sedangkan beras dengan kadar air lebih dari 14% akan menyebabkan pertumbuhan mikroba dan perkembangbiakkan serangga bertambah cepat. Perubahan ketan kukus menjadi tape ketan menyebabkan peningkatan kadar air yang cukup tinggi, yaitu dari 0,4879% menjadi 0,5379%. Peningkatan tersebut disebabkan karena bahan mengalami proses fermentasi, sehingga pada saat proses fermentasi akan dihasilkan cairan yang terdiri dari air, asam, alkohol, dan ester. Kadar protein ketan mentah menjadi ketan kukus meningkat dari 10,8478% menjadi 11,8609%. Kadar protein pada tape ketan mengalami kenaikan sebesar 17,5756%. Menurut Winarno, et al., (1980), protein dapat mengalami kerusakan oleh pengaruh-pengaruh panas, reaksi kimia dengan asam atau basa, dan sebab-sebab lainnya. Disamping itu protein dapat mengalami denaturasi, degradasi dan menghasilkan komponen-komponen yang menimbulkan bau busuk. Denaturasi protein dapat dihambat dengan cara
menurunkan
suhu
penyimpanan
serendah
mungkin
(Wirakartakusumah, 1992). Degradasi protein secara anaerobik dilakukan oleh enzim proteolitik, yang dibedakan menjadi dua yaitu endopeptidase dan
eksopeptidase.
aminopeptidase
yang
Eksopeptidase membutuhkan
dibedakan terminal
menjadi
dua
yaitu
bebas
–NH2
dan
membutuhkan ion metal untuk aktifitasnya, dan karboksipeptidase yang menghidrolisa peptida yang mempunyai terminal –COOH.
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar lemak kasar yang terkandung pada ketan mentah menjadi ketan kukus mengalami penurunan (Tabel 6). Kandungan kadar lemak kasar yang terdapat pada tape ketan mengalami peningkatan, namun tidak terlalu besar seperti ketan kukus. Kadar lemak kasar mengalami penurunan karena oksidasi tetap berlangsung sesuai dengan permeabilitas kemasan terhadap oksigen. Selain itu, penurunan kadar lemak kasar juga disebabkan oleh aktivitas enzim lipase yang disekresikan oleh mikroorganisme. Mikroorganisme ini menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol serta menghidrolisis fosfolipid menjadi senyawa bernitrogen dan fosfor. Sifat-sifat lemak yang penting dalam teknologi pangan adalah lemak akan menjadi lunak langsung dengan pemanasan karena tidak mempunyai titik cair yang tinggi, jika dipanaskan lebih lanjut mula-mula akan menguap, kemudian menyala dan terbakar (suhu pada saat-saat tersebut berturut-turut disebut suhu penguapan, suhu nyala, dan suhu bakar), lemak dapat menjadi tengik jika dioksidasi atau jika asam-asam lemak dibebaskan dari gliserol oleh enzim, dan lemak dapat membentuk emulsi dengan air dan udara. Gelembung-gelembung lemak dapat bersuspensi dengan air seperti didalam susu atau krim dimana jumlah air lebih banyak, atau air dapat bersuspensi dengan lemak seperti pada mentega dimana jumlah lemak lebih banyak. Kadar karbohidrat yang dihasilkan mengalami peningkatan pada ketan mentah menjadi ketan kukus sebesar 82,5571% menjadi 84,7957%. Sedangkan pada tape ketan mengalami penurunan yang cukup besar yaitu sebesar 78,8204%. Karbohidrat memegang peranan penting dalam biologi khususnya dalam respirasi, yang dapat dioksidasi menjadi enersi. Zat-zat penting yang termasuk karbohidrat adalah gula, dekstrin, pati, selulosa, pektin dan gum. Kadar karbohidrat mengandung kadar serat dalam tape ketan. Karena itu serat makanan pada umumnya merupakan karohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya mengandung serat makanan. Menurut Winarno (1997), karbohidrat juga mempunyai
peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain.
C. PENURUNAN MUTU TAPE KETAN SELAMA PENYIMPANAN Pada penelitian utama dibuat tape ketan dengan menggunakan kemasan dan volume ketan yang terpilih dari tahap sebelumnya yaitu kemasan I dengan volume 90%. Setelah tiga hari diinkubasi pada kemasan dan volume ketan yang terpilih, tape ketan yang telah matang atau telah difermentasi dipindahkan ke dalam kemasan III, kemasan IV dan kemasan yang terpilih itu sendiri (kemasan I), kemudian disimpan pada suhu rendah (chiller) dengan pengamatan setiap hari selama dua minggu. Penyimpanan ini bertujuan untuk mengetahui perubahan sifat fisik dan kimia tape ketan selama penyimpanan pada suhu rendah sebagai upaya untuk memperpanjang umur simpan tape ketan. Analisis yang dilakukan selama penyimpanan yaitu analisis kimia, fisik, dan uji organoleptik. Analisis kimia yang dilakukan meliputi kadar gula, total asam tertitrasi, derajat keasaman (pH), dan kadar alkohol yang diuji pada awal dan akhir penyimpanan. Penyimpanan pada suhu rendah (chiller) diperlukan untuk bahan pangan, karena dapat mengurangi kegiatan respirasi dan metabolisme lainnya, proses penuaan (aging) yang disebabkan oleh adanya proses pematangan (ripening), pelunakan (softening), perubahan-perubahan warna dan tekstur, kehilangan air dan pelayanan, kerusakan karena bakteri, kapang dan khamir, proses-proses lagi yang tidak dikehendaki yang mengakibatkan menurunnya mutu (Soesarsono, 1981; Buckle, 1978). Penyimpanan suatu produk akan menyebabkan perubahan kandungan gizi dari produk tersebut. Hal ini disebabkan selama penyimpanan terjadi reaksi fisik, kimia, maupun mikrobiologi yang mempengaruhi komposisi gizi. Untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada tape ketan yang disimpan pada suhu rendah (chiller), dilakukan analisis proksimat pada dua titik pengamatan yaitu awal dilakukan pada saat tape ketan sudah difermentasi atau diinkubasi selama tiga hari serta sebelum disimpan pada suhu rendah (chiller) dan
terakhir dilakukan pada akhir penyimpanan. Hasil analisis proksimat tape ketan yang disimpan dalam suhu rendah (chiller) dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Hasil analisis proksimat tape ketan Analisis Proksimat Kadar Abu (%) (bk) Kadar Air (%) (bk) Kadar Protein (%) (bk) Kadar Lemak (%) (bk) Kadar Karbohidrat (by difference) (%) (bk)
Proksimat Awal Sebelum Penyimpanan Tape ketan 1,1733 0,5379 17,5756 2,4322 78,8204
Proksimat Akhir Penyimpanan Disimpan Disimpan Disimpan pada pada pada kemasan I kemasan III kemasan IV 1,4927 1,3045 1,0299 0,5291 0,5587 0,5495 12,5207 12,6952 8,8026 6,5475 6,8072 6,4217 79,4404
79,1840
83,7512
Keterangan : Kemasan I : kemasan berbahan dasar bambu Kemasan III : kemasan plastik berbahan dasar PP + PP Kemasan IV : kemasan plastik berbahan dasar PP + PE Kadar abu yang diperoleh pada analisis proksimat mengalami peningkatan yang tidak terlalu besar. Dari Tabel 7, dapat dilihat proksimat kadar abu sebelum penyimpanan dan akhir penyimpanan meningkat, yaitu pada tape ketan yang disimpan dalam kemasan I dan kemasan III. Nilai kadar abu tape ketan sebelum disimpan dalam suhu rendah (chiller) sebesar 1,1733%, setelah disimpan dalam suhu rendah (chiller) nilai kadar abunya mengalami peningkatan menjadi 1,4927% pada kemasan I dan menjadi 1,3045% pada kemasan III. Sedangkan tape ketan yang disimpan dalam kemasan IV nilai kadar abunya mengalami penurunan menjadi 1,0299%. Penurunan nilai kadar abu pada tape ketan yang disimpan dalam kemasan IV disebabkan kandungan air yang dihasilkan pada kemasan ini lebih banyak dari tape ketan yang disimpan dalam kemasan I dan kemasan III, sehingga kandungan mineral yang terkandung pada bahan ikut larut dalam air tersebut. Kadar air yang terbentuk pada tape ketan sebesar 0,5379%. Setelah tape ketan disimpan dalam suhu rendah (chiller) yaitu pada akhir penyimpanan mengalami kenaikan, namun hanya pada tape ketan yang disimpan dalam kemasan I mengalami penurunan menjadi 0,5291%. Sedangkan pada kemasan III dan kemasan IV, nilai kadar airnya mengalami kenaikan yang tidak terlalu besar. Pada kemasan III nilai kadar airnya sebesar 0,5587% dan pada kemasan
IV nilai kadar airnya sebesar 0,5495%. Menurut Winarno et al., (1980), kadar air pada permukaan bahan dipengaruhi oleh kelembaban nisbi (RH) udara di sekitarnya. Apabila kadar air bahan rendah sedangkan RH di sekitarnya tinggi, akan terjadi penyerapan uap air dari udara, sehingga bahan menjadi lembab atau kadar airnya menjadi tinggi. Apabila suhu bahan lebih rendah (dingin) daripada suhu sekitarnya akan terjadi kondensasi uap air udara pada permukaan bahan dan merupakan media yang baik bagi pertumbuhan kapang atau pertumbuhan bakteri. Selain itu karena produk yang disimpan ini merupakan produk fermentasi, maka tidak hanya karena pengaruh dari suhu penyimpanan saja yang mempengaruhinya, tetapi juga dari jenis kemasannya yang memiliki permeabilitas terhadap gas dan uap air yang baik. Semakin rendah permeabilitas terhadap gas dan uap air maka semakin banyak gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan. Banyaknya sedikitnya gas dan uap air yang masuk ke dalam kemasan akan mempengaruhi banyak sedikitnya kandungan air yang terdapat pada tape ketan. Tingginya kadar air yang dihasilkan pada kemasan III dan kemasan IV saat penyimpanan, disebabkan oleh bahan yang disimpan berupa bahan yang mengalami proses fermentasi. Saat proses fermentasi akan dihasilkan cairan yang terdiri dari air, asam, alkohol, dan ester. Pada kemasan I kadar air yang terkandung lebih rendah daripada kemasan III dan kemasan IV, hal ini disebabkan pada kemasan I terjadi sirkulasi dengan udara sekitar penyimpanan yang menyebabkan bahan menjadi lebih kering di antara kemasan yang lainnya. Konsumen kebanyakan lebih menyukai tape ketan yang memiliki kadar air tinggi daripada tape ketan yang memiliki kadar air rendah. Bahan yang disimpan merupakan bahan yang mengalami fermentasi, maka semakin banyaknya kadar air pada bahan yang disimpan akan mempengaruhi mikroba yang terkandung pada bahan tersebut. Hal ini menyebabkan semakin lamanya bahan disimpan, maka rasa asam dan aroma alkohol yang terbentuk semakin kuat. Kadar protein tape ketan sebelum disimpan dalam suhu rendah (chiller) sebesar 17,5756% menurun menjadi 12,5207% pada kemasan I, pada kemasan
III menurun menjadi 12,6952%, dan pada kemasan IV menurun menjadi 8,8026%.
Protein
menghasilkan
dapat
mengalami
komponen-komponen
denaturasi, yang
degradasi
menimbulkan
dan
bau
juga busuk.
Pemanasan menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Semakin tinggi suhu pemanasan, semakin cepat terjadinya denaturasi protein. Pemanasan menginaktifkan enzim inhibitor dan menyebabkan denaturasi protein. Sementara itu, denaturasi protein dapat dihambat dengan cara menurunkan suhu penyimpanan serendah mungkin (Wirakartakusumah, 1992). Berdasarkan hasil analisis, kadar lemak kasar pada proksimat akhir mengalami kenaikan. Kadar lemak kasar mengalami penurunan karena selama penyimpanan oksidasi tetap berlangsung sesuai dengan permeabilitas kemasan terhadap oksigen. Kelemahan dari penggunaan plastik yang mempunyai permeabilitas tinggi terhadap gas organik dan oksigen adalah masih mungkin bahan teroksidasi dan mengalami kerusakan (Winarno dan Jenie, 1983). Selain itu, penurunan kadar lemak kasar juga disebabkan oleh aktivitas enzim lipase yang disekresikan oleh mikroorganisme menghidrolisis trigliserida menjadi asam lemak dan gliserol serta menghidrolisis fosfolipid menjadi senyawa bernitrogen dan fosfor. Semakin rendah kandungan gas dan uap air yang terdapat dalam kemasan akan mempengaruhi kandungan kadar lemak pada tape ketan. Karena semakin sedikitnya gas dan uap air dalam kemasan semakin rendah kemungkinan terjadinya oksidasi yang dapat mempengaruhi mutu tape ketan dan hidrolisis lemak. Kadar karbohidrat yang dihasilkan selama penyimpanan mengalami peningkatan yang tidak begitu besar kecuali pada kemasan IV. Kadar karbohidrat ini mengandung kadar serat dalam tape ketan. Menurut Winarno (1997), serat-serat banyak berasal dari dinding sel berbagai sayuran dan buahbuahan. Secara kimia dinding sel tersebut terdiri dari beberapa jenis karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin dan nonkarbohidrat. Karena itu serat makanan pada umumnya merupakan karohidrat atau polisakarida. Berbagai jenis makanan nabati pada umumnya mengandung serat makanan.
Karbohidrat pada tape ketan berasal dari gula dan pati. Menurut Almatsier (2004), sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serealia, umbiumbian, kacang-kacang kering dan gula. Menurut Wianrno dan Fardiaz (1973) bahwa fungsi utama karbohidrat sebagai penyedia keperluan energi tubuh, pengatur metabolisme lemak, penghemat fungsi protein (protein spare), simpanan sebagai glikogen dan sumber energi utama bagi otak dan susunan syaraf. Menurut Winarno (1997), karbohidrat juga mempunyai peranan penting dalam menentukan karakteristik bahan makanan, misalnya rasa, warna, tekstur dan lain-lain.
1. Sifat Kimia Sifat kimia yang dianalisis selama penyimpanan bertujuan untuk mengetahui pengaruh lama penyimpanan terhadap perubahan mutu kimia yang meliputi kadar gula, derajat keasaman (pH), kadar alkohol, dan total asam tertitrasi. Hasil nilai korelasi, slope dan intercept selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 8, sedangkan hasil analisis sifat kimia yang telah dilakukan selama penyimpanan adalah sebagai berikut. a. Kadar Gula Perubahan kadar gula pada penyimpanan tape diukur dengan nilai derajat brix dan diamati setiap hari selama dua minggu. Hasil pengukuran kadar gula dapat dilihat pada Gambar 7. Dari Gambar 7, dapat dilihat bahwa terjadi kenaikan kadar gula selama penyimpanan. 35 30
y = 1.4024x + 1.4329 R2 = 0.9067
Derajat Brix
25 20
y = 1.4085x + 0.9848 R2 = 0.8082
15 10
y = 0.5671x + 0.9680 R2 = 0.8769
5 0 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan III
Kemasan IV
Kemasaan I
Kemasan III
Kemasan IV
Gambar 7. Grafik peningkatan kadar gula selama penyimpanan
Nilai kadar gula yang dihasilkan berkisar antara 0–300Brix, data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 10. Kadar gula tertinggi terjadi pada kemasan I. Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat nilai slope peningkatan kadar gula yang tertinggi pada kemasan IV dengan nilai sebesar 1,4085. Pada saat penyimpanan masih terjadi proses fermentasi, apabila proses fermentasi terjadi semakin lama dapat meningkatkan kadar gula dan pada proses selanjutnya menghasilkan alkohol, gas karbondioksida dan asam-asam organik. Pembentukan asam yang lebih banyak dapat disebabkan oleh bakteri yang dapat membentuk asam asetat dengan mengoksidasi alkohol (Frazier, 1978). Tingginya nilai slope peningkatan kadar gula pada kemasan IV karena ketebalan yang dimilikinya mempengaruhi kandungan O2 yang terdapat dalam kemasan, selain itu kemasan ini juga memiliki tutup yang lebih rapat (air sealed mendekati nol). Rendahnya nilai O2TR memperlihatkan bahwa kandungan O2 dalam kemasan sedikit, sehingga mempengaruhi fermentasi yang terjadi. Proses pembentukan glukosa terjadi secara aerob yang membutuhkan O2, terbentuknya glukosa karena aktivitas kapang yang menghasilkan enzim amilase sehingga pati diubah menjadi glukosa. Setelah itu glukosa dipecah menjadi alkohol dengan khamir S. cerevisiae yang menghasilkan enzim zimase yang bersifat anaerob sehingga kandungan O2 tidak berpengaruh. Tingginya nilai slope peningkatan kadar gula pada kemasan IV menunjukkan bahwa kemasan ini dapat mempertahankan kadar gula atau rasa manis yang terbentuk.
b. Total Asam Tertitrasi Total asam merupakan total kandungan asam organik yang terdapat pada bahan. Selama penyimpanan ditunjukkan adanya peningkatan nilai total asam tertitrasi pada setiap kemasan. Total asam dipengaruhi oleh kandungan air dalam bahan. Karena kadar air tape selama penyimpanan meningkat, maka total asam pada tape juga turut
meningkat. Selain itu peningkatan total asam juga berhubungan dengan kadar alkohol dan lama fermentasi, dimana semakin lama fermentasi, kadar alkohol meningkat dan total asam juga meningkat. Peningkatan total asam dapat dilihat pada Gambar 8. 70.00
Total Asam (%)
65.00
y = 1.6439x + 45.225 R2 = 0.831
60.00 y = 1.1973x + 49.128 R2 = 0.8281
55.00 50.00
y = 1.5921x + 43.54 R2 = 0.8333
45.00 40.00 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan III
Kemasan IV
Kemasan I
Kemasan III
Kemasan IV
Gambar 8. Grafik peningkatan total asam selama penyimpanan Fermentasi dapat terjadi karena adanya aktivitas mikroba penyebab fermentasi pada substrat organik yang sesuai. Menurut Winarno et al. (1980), fermentasi karbohidrat oleh ragi atau mikroba lain dapat menghasilkan CO2, alkohol, asam organik dan zat-zat organik lainnya. Asam organik inilah yang menyebabkan total asam tape ketan meningkat. Berdasarkan Gambar di atas dapat dilihat nilai total asam yang dihasilkan berkisar antara 52–66%, data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada tabel 10. Semakin lama disimpan total asam yang terbentuk akan semakin tinggi, walaupun tape ketan disimpan pada suhu rendah proses fermentasi tetap terjadi tetapi tidak secepat pada suhu ruang. Dari pengukuran yang dilakukan, nilai slope peningkatan total asam selama penyimpanan pada kemasan I dan IV memiliki nilai slope penurunan yang tidak jauh berbeda. Nilai slope peningkatan total asam yang terendah yaitu pada kemasan III dengan nilai slope sebesar 1,1951 dan tertinggi pada kemasan I dengan nilai slope sebesar 1,6378. Tingginya nilai kemiringan total asam pada kemasan I disebabkan oleh kandungan gas dan uap air yang tidak terhingga (Tabel. 5), sehingga mempercepat pertumbuhan mikroba
aerobik yang dapat menyebabkan tingginya total asam yang dihasilkan akibat dari pertumbuhan mikroba yang terdapat dalam kemasan tersebut. Sedangkan kandungan oksigen yang rendah mengakibatkan mikroba aerobik sulit tumbuh. Semakin sedikit jumlah mikroba menyebabkan berkurangnya jumlah karbohidrat yang dipecah menjadi asam pada proses fermentasi. Total asam yang terbentuk selama penyimpanan berubah-ubah, menurunnya total asam disebabkan oleh karena pembentukan asam sebelum enzim dekarboksilase aktif sudah cukup tinggi, utnuk akhirnya menurun setelah terjadi dekarboksilasi yang menyebabkan jumlah asam gliserat, piruvat dan laktat yang terbentuk lebih banyak dibandingkan jumlah asam yang terbentuk akibat oksidasi etil alkohol yaitu asam asetat.
c. Derajat Keasaman (pH) Kadar total asam yang meningkat akan menurunkan nilai pH karena pengukuran pH berdasarkan jumlah ion hidrogen yang terurai dari asam. Oleh karena itu semakin tinggi total asam yang terukur, semakin banyak ion hidrogen yang terurai dan pH yang terukur semakin rendah. Fermentasi yang semakin lama menyebabkan penurunan nilai pH. Selama penyimpanan nilai pH yang dihasilkan semakin menurun. Menurunnya pH selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 9. 5.40 5.30
y = -0.0077x + 5.0960 R2 = 0.9107
5.20
pH
5.10
y = -0.0313x + 5.1863 R2 = 0.7863
5.00 4.90
y = -0.0388x + 5.2257 R2 = 0.8617
4.80 4.70 4.60 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Gambar
Kemasan III
9.
Kemasan IV
Grafik penurunan penyimpanan
Kemasan I
derajat
Kemasan IIII
keasaman
Kemasan IV
(pH)
selama
Berdasarkan gambar di atas menurunnya nilai pH yang dihasilkan dapat dilihat dari tanda negatif (-) pada nilai slope penurunan pH. Hasil pH yang diperoleh berkisar antara 4,88–5,08, data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan dapat dilihat pada Lampiran 10. Nilai slope penurunan pH yang tertinggi yaitu kemasan III dengan nilai sebesar 0,0388 dan nilai slope penurunan pH yang terendah yaitu kemasan I dengan nilai sebesar -0,0077. Penurunan nilai slope pH yang kecil ini disebabkan karena jumlah mikroba yang ada hanya sedikit sehingga aktivitas mikroba pembentuk asam laktat yaitu bakteri Pediococcus yang memecah karbohidrat menjadi asam-asam organik hanya sedikit. Nilai slope pH pada kemasan III dan kemasan IV menghasilkan nilai slope penurunan pH yang tidak berbeda jauh. Namun pada kemasan III merupakan nilai slope penurunan pH yang tertinggi di antara kemasan I dan kemasan IV. Banyak sedikitnya kandungan oksigen yang terdapat dalam kemasan akan mempengaruhi pemecahan atau pembentukan asam-asam organik dari glukosa, mikroba yang berperan disini yaitu Acetobacter. Banyaknya oksigen yang masuk ke dalam kemasan menyebabkan perhitungan O2TR yang dihasilkan menjadi lebih besar. Besarnya nilai O2TR dikarenakan pada kemasan III memiliki wadah yang lebih tipis dan luas permukaan wadah yang lebih besar daripada kemasan IV sehingga O2 lebih banyak masuk ke dalam kemasan, selain itu pada kemasan III memiliki sistem penutupan yang kurang rapat (air sealed tidak mendekati nol) daripada kemasan IV. Nilai slope penurunan pH pada kemasan III dan kemasan IV tidak jauh berbeda sehingga kemasan dan lamanya penyimpanan tidak mempengaruhi nilai pH tape. Berdasarkan nilai slope penurunan pH yang dihasilkan tidak berkorelasi dengan nilai slope peningkatan total asam yang dihasilkan, yang seharusnya antara total asam yang dihasilkan berbanding teralik dengan pH. Semakin tinggi total asam yang dihasilkan semakin rendah pH. Penurunan pH selama fermentasi disebabkan banyaknya asam organik yang terbentuk karena keaktifan enzim di dalam khamir, dimana selain mengubah gula menjadi alkohol terbentuk juga hasil sampingan
seperti asam laktat, asam asetat, gliserol dan sebagainya. Diagram alir pembentukan hasil samping fementasi tape ketan selain alkohol dan asam dapat dilihat pada Gambar 10. Pati Hidrolisis Glukosa Glikolisis Asam Piruvat Piruvat dekarboksilase Mg2+, Thiamin Pirofosfat Asetaldehid + CO2 Alkohol dehidrogenase NADH2 Etanol Gambar 10. Tahapan reaksi pembentukan hasil samping fermentasi tape ketan selain alkohol dan asam Asam-asam organik yang terbentuk dapat berbeda untuk setiap bahan, hal ini disebabkan perbedaan jenis dan jumlah karbohidrat serta perbedaan gula yang terbentuk. Penurunan pH juga terjadi apabila terbentuk asam-asam yang lebih banyak akibat adanya oksidasi ataupun adanya bakteri yang dapat membentuk asam asetat dengan mengoksidasi alkohol. Menurut Fardiaz (1989), pH merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroba. Mikroba pada umumnya dapat tumbuh pada kisaran pH 3,0-6,0. Kebanyakan bakteri mempunyai pH optimum sekitar 6,5-7,5. Pada pH di bawah 5,0 dan di atas 8,5 hanya bakteri asam asetat dan bakteri oksidasi sulfur yang dapat tumbuh dengan baik. Khamir menyukai pH 4,0-5,0 dan dapat tumbuh pada kisaran pH 2,5-8,5. Sedangkan kapang mempunyai pH optimum 5,0-7,0, tetapi seperti halnya khamir, kapang masih dapat hidup pada pH 3,0-8,5.
d. Kadar Alkohol Kadar alkohol memegang peranan penting dalam proses fermentasi karena berhubungan dengan penerimaan konsumen. Produk dengan kadar alkohol yang tinggi akan menyebabkan penerimaan konsumen menjadi berkurang. Dari hasil penelitian diketahui bahwa alkohol tape ketan selama penyimpanan memiliki nilai kadar alkohol yang bervariasi dan rata-rata kadar alkohol yang terkandung pada tape ketan rendah. Kadar alkohol selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 11.
Kadar Alkohol (%)
2.5 2 1.5 1 0.5 0 Awal Penyimpanan
Akhir Penyimpanan Titik Pengamatan
Kemasan I
Kemasan III
Kemasan IV
Gambar 11. Grafik kadar alkohol selama penyimpanan Berdasarkan gambar di atas dapat dilihat bahwa kadar alkohol yang terkandung dalam tape ketan memiliki kisaran antara 0–2 %. Kadar alkohol yang dihasilkan pada tape ketan ini tergolong rendah. Pengamatan ini hanya dilakukan dua kali dalam 14 hari. Pengamatan awal yaitu hari ke-0 yang merupakan awal dari penyimpanan tape ketan dalam suhu rendah (chiller). Ketiga kemasan memiliki nilai kadar alkohol yang sama yaitu 2%. Pada pengamatan akhir yaitu hari ke-14, kemasan III dan kemasan IV memiliki nilai kadar alkohol yang tetap yaitu sebesar 2%, sedangkan kemasan I nilai kadar alkohol yang terkandung mengalami penurunan yaitu menjadi 1%. Alkohol terbentuk sebagai hasil hidrolisis gula yang terdapat pada tape yang selanjutnya diubah menjadi asam (Winarno dan Fardiaz, 1984). Menurut Nuraini (1980), semakin lama fermentasi, aktivitas kapang masih tinggi untuk memecah pati yang tersedia menjadi gula,
selanjutnya gula ini diubah menjadi alkohol oleh khamir. Selain itu, karena
penyimpanan
dilakukan
dalam
wadah
yang
tertutup,
kemungkinan alkohol yang menguap relatif kecil. Penyimpanan pada suhu dingin menyebabkan proses perombakan gula menjadi alkohol oleh mikroba-mikroba yang terdapat pada ragi terhambat. Selain itu, sifat alkohol yang mudah menguap sehingga menyebabkan sebagian alkohol akan mengalami oksidasi membentuk asam asetat, dan sebagian lagi akan bereaksi dengan asam yang terbentuk menghasilkan ester aromatik. Hal tersebut menyebabkan alkohol bebas yang terdapat dalam tape menjadi berkurang, sehingga akan memberikan hasil pengukuran yang rendah (Jonsen, 1984). Pada penyimpanan awal rata-rata kadar alkohol yang dimiliki setiap kemasan nilainya sama, hal ini disebabkan saat pembuatan tape ketan menggunakan kemasan yang sama yaitu kemasan I. Kadar alkohol selama penyimpanan berubah-ubah, meningkatnya kadar alkohol disebabkan karena proses fermentasi masih terus berlangsung selama penyimpanan,
sedangkan
menurunnya
kadar
alkohol
selama
penyimpanan disebabkan karena esterifikasi, oksidasi, dan penguapan. Menguapnya alkohol dapat disebabkan oleh ruang pendingin yang digunakan memiliki kelembaban yang rendah, sedangkan tape ketan memiliki kelembaban yang cukup tinggi. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan menguapnya alkohol dari bahan ke lingkungan. Selain itu karena kemasan I memiliki kemapuan menyerap gas dan uap yang paling besar daripada kemasan III dan kemasan IV. Untuk itu akhir pengamatan, kemasan I kandungan alkoholnya menurun, akibat dari lebih mudahnya gas masuk ke dalam kemasan sehingga oksidasi lebih mudah terjadi.
2. Analisis Organoleptik Uji Organoleptik dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen secara subjektif terhadap mutu tape ketan selama penyimpanan meliputi rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum. Pada penelitian ini uji
organoleptik dilakukan dengan menggunakan uji mutu hedonik. Berbeda dengan uji kesukaan, uji mutu hedonik tidak menyatakan suka atau tidak suka melainkan menyatakan kesan tentang baik atau buruk. Mutu hedonik dapat bersifat umum yaitu baik-buruk dan bersifat spesifik seperti manisasam untuk rasa tape.
a. Rasa Rasa dapat dinilai karena adanya tanggapan rangsangan kimiawi oleh indera perasa (lidah) yang meliputi kesatuan interaksi antara sifatsifat aroma dan tekstur serta dapat mempengaruhi penilaian konsumen terhadap suatu produk. Nilai rasa dipengaruhi oleh kemanisan dan rasa asam, tetapi juga dipengaruhi oleh alkohol. Hasil uji organoleptik
Tingkat kesukaan
terhadap rasa selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 12. 8.5 8.0 7.5 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 4.5 4.0
y = -0.2176x + 8.2938 R2 = 0.9491 y = -0.1869x + 7.8320 R2 = 0.9629 y = -0.1552x + 7.6430 R2 = 0.9488 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Lama Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan IV
Kemasan III
Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap rasa tape ketan antara skor 6-10 Gambar 12. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap rasa selama penyimpanan Berdasarkan Gambar 12, dapat dilihat nilai kesukaan terhadap rasa tape ketan semakin menurun yang ditandai oleh tanda negatif (-) dengan semakin lamanya waktu penyimpanan. Nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa yang terendah terdapat pada kemasan IV dan nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa tertinggi pada kemasan I. Kemasan IV memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa sebesar -0,1552 dan kemasan I memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa sebesar -0,2176.
Semakin rendahnya nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap rasa yang dihasilkan pada kemasan IV dapat dikatakan bahwa kemasan tersebut baik untuk menyimpan tape ketan karena penurunan rasa manis yang tidak terlalu banyak. Penurunan rasa manis dapat disebabkan masih adanya
proses
fermentasi pada saat penyimpanan, sehingga rasa manis yang sudah terbentuk berubah menjadi rasa asam, dan dipengaruhi oleh alkohol. Selain itu karena kemasan IV memiliki kemasan lebih tertutup rapat dibandingkan dengan kemasan I menyebabkan O2 yang masuk ke dalam kemasan hanya sedikit sehingga nilai O2TR yang dihasilkan lebih rendah yang dapat mempengaruhi proses fermentasi, proses oksidasi, dan volatilisasi yang terjadi lebih rendah. Menurut Widowati (1993), semakin lama penyimpanan, perubahan rasa yang terjadi semakin besar yang disebabkan oleh hilangnya senyawa kimia penting pembentuk rasa melalui volatilisasi, oksidasi, kondensasi, dan reaksi kimia lainnya. Semua kemasan yang digunakan sangat berpengaruh pada nilai laju transmisi gas oksigen (O2TR), nilai laju transmisi gas karbondiokasida (CO2), dan nilai laju transmisi uap air (WVTR). Kemasan IV memiliki kemampuan menyerap uap air dan gas yang rendah, sehingga lebih baik untuk menyimpan bahan yang memiliki kadar air tinggi. Semakin tinggi kadar air yang dihasilkan dapat mempengaruhi rasa, karena kadar gula dan total asam yang dihasilkan juga akan semakin rendah. Penilaian panelis terhadap rasa bervariasi, batas penilaian panelis dikatakan masih menyukai tape ketan yaitu antara nilai 6-10. Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin rendahnya penilaian panelis terhadap rasa manis selama penyimpanan dapat disebabkan rasa tape ketan sudah menjadi asam, yang sebagian besar konsumen tidak begitu menyukai rasa tape ketan yang asam. Jika dilihat dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke-11 untuk kemasan I dan III sudah tidak layak dikonsumsi karena
panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,5 dan 5,6). Namun, untuk kemasan IV masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih memberikan skor 6,1 pada penilaian organoleptik terhadap rasa. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4.
b. Aroma Aroma merupakan sifat yang penting untuk diperhatikan dalam penilaian organoleptik bahan pangan karena aroma merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada daya terima konsumen terhadap suatu produk. Aroma merupakan sifat yang sangat cepat memberikan kesan bagi konsumen. Penilaian terhadap aroma dapat dilakukan dari jarak jauh atau tanpa melihat produk. Nilai kesukaan terhadap aroma tape ketan semakin menurun dengan semakin lama waktu penyimpanan. Penurunan yang dihasilkan tidak terlalu besar karena nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap aroma yang dihasilkan tidak berbeda jauh. Hasil uji organoleptik terhadap aroma dapat dilihat pada Gambar 13. 8.5 y = -0.2162x + 8.0179 R2 = 0.9650
Tingkat kesukaan
8.0 7.5
y = -0.2356x + 8.1467 R2 = 0.9540
7.0 6.5 6.0
y = -0.2018x + 7.9435 R2 = 0.9554
5.5 5.0 4.5 4.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Lama Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan IV
Kemasan III
Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap aroma tape ketan antara skor 6-10 Gambar 13. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap aroma selama penyimpanan Berdasarkan nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap aroma yang dihasilkan, nilai yang tertinggi pada kemasan III dengan nilai sebesar -0,2356 dan nilai yang terendah pada kemasan IV dengan nilai
sebesar -0,2018. Menurut Winarno (1997), aroma menentukan kelezatan dari suatu produk. Aroma terjadi karena adanya sejumlah komponen volatil yang berasal dari produk tersebut yang dapat terdeteksi oleh indera pembau. Aroma tape berhubungan dengan total asam dan kadar alkohol yang dihasilkan. Asam-asam tersebut dihasilkan pada proses fermentasi lebih lanjut seperti asam asetat dan asam-asam organik lainnya. Selain itu ester yang dihasilkan dari esterifikasi asam dengan alkohol juga mempengaruhi pernurunan aroma yang terjadi (Wood, 1998). Ketebalan yang dimiliki oleh suatu kemasan berhubungan dengan kemampuan gas dan uap air masuk ke dalam kemasan. Tinggi rendahnya nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap aroma berkaitan dengan ketebalan yang dimiliki oleh masing-masing kemasan sehingga mempengaruhi aroma yang terkandung dalam tape ketan tersebut saat penyimpanan. Berdasarkan kemasan yang digunakan semakin rapatnya suatu kemasan akan semakin kuat aroma yang dihasilkan pada bahan yang disimpan. Hal ini dapat melindungi sifat-sifat dari aroma yang memiliki sifat volatilisasi dapat terhindari seminimum mungkin. Tape ketan yang disimpan masih mengalami fermentasi sehingga rasa asam, aroma alkohol dan ester yang dihasilkan semakin banyak walaupun tidak sebanyak pada saat sebelum disimpan dalam chiller. Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin rendahnya penilaian panelis terhadap aroma selama penyimpanan dapat disebabkan aroma alkohol yang dihasilkan semakin menyengat. Jika dilihat dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke-10 untuk kemasan I sudah tidak layak dikonsumsi karena panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,8). Namun, untuk kemasan III dan IV masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih memberikan skor 6,1 dan 6,2 pada penilaian organoleptik terhadap aroma. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat
dilihat pada Lampiran 4. Rata-rata semakin kuatnya aroma asam, alkohol dan ester yang dihasilkan pada pembuatan tape disukai oleh konsumen, tetapi ada juga konsumen yang tidak menyukainya.
c. Tekstur Nilai kesukaan terhadap tekstur tape ketan selama penyimpanan semakin lama mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh semakin lama waktu penyimpanan, maka tekstur yang dihasilkan semakin lembek karena kandungan air pada tape tersebut. Tetapi di antara ketiga kemasan tersebut ada juga yang menghasilkan tekstur tape menjadi kering. Hasil
Tingkat kesukaan
uji organoleptik terhadap tekstur dapat dilihat pada Gambar 14. 8.5 8.0
y = -0.1761x + 7.8972 R2 = 0.9523
7.5 7.0 6.5
y = -0.1664x + 7.9204 R2 = 0.9507
6.0 5.5 5.0
y = -0.1647x + 7.9479 R2 = 0.9500
4.5 4.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Lama Penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan IV
Kemasan III
Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur tape ketan antara skor 5-10 Gambar 14. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur selama penyimpanan Pada Gambar 14, nilai kesukaan terhadap tekstur tape ketan dapat dilihat dari nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape ketan yang paling rendah yaitu kemasan IV (-0,1647) sedangkan yang memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape ketan paling tinggi pada kemasan I (-0,1761). Tingginya nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape ketan pada kemasan I dapat dikatakan bahwa tekstur tape ketan selama penyimpanan paling lembek dengan semakin lamanya penyimpanan. Sedangkan pada kemasan IV yang memiliki nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap tekstur tape ketan yang terendah memiliki nilai tekstur tape
ketan tidak begitu lembek. Hasil nilai kesukaan terhadap tekstur tape merupakan selera dari konsumen. Tekstur dipengaruhi oleh kadar air. Menurut Syarief dan Halid (1993), air merupakan komponen penting dalam bahan pangan karena air dapat mempengaruhi kekerasan, penampakan, citarasa, dan nilai gizinya. Tekstur tape menjadi lunak atau mengalami pengerutan. Jaringan permukaan tape yang keriput atau mengkerut terjadi pada suhu dingin karena terjadi proses pengerasan. Proses pengerasan terjadi karena adanya pengeringan pada lapisan luar tape. Tekstur yang lunak terjadi karena pembentukan cairan sebagai hasil samping dari proses fermentasi. Cairan tersebut keluar dari jaringan sehingga tekstur menjadi lunak. Pembentukan cairan selain menyebabkan tekstur menjadi lunak, juga mengakibatkan penyusutan jaringan yang selanjutnya menyebabkan kekeriputan (Jonsen, 1984). Lembeknya
tekstur
tape
ketan
yang
dihasilkan
selama
penyimpanan dipengaruhi oleh sifat kemasan yang digunakan. Pada kemasan IV tekstur tape ketan yang dihasilkan paling rendah karena memiliki nilai O2TR yang rendah daripada kemasan I (Tabel 5), sehingga cairan yang terbentuk dari hasil samping fermentasi tidak terlalu banyak yang dapat mempengaruhi tektur tape ketan
selama penyimpanan.
Sedangkan pada kemasan I tekstur yang dihasilkan berdasarkan nilai slope penurunan mutu organoleptik dengan yang diamati oleh indera penglihatan berbeda. Berdasarkan indera penglihatan tekstur tape ketan semakin lama disimpan akan semakin kering, hal ini disebabkan pada kemasan I memiliki rongga-rongga sehingga selama penyimpanan terpengaruh oleh peranan air terhadap bahan pangan dengan lingkungan sekitar. Fenomena yang dapat terjadi berupa perpindahan air berbentuk uap air dari bahan ke atmosfer, maupun sebaliknya. Perpindahan uap air antara komponen yang berbeda pada satu kemasan, atau antar bahan makanan dan atmosfir dapat disebabkan karena komposisi produk tersebut dan ruangan sekitar yang berkaitan dengan kelembaban udara pada lemari pendingin. Ruang pendingin yang digunakan memiliki
kelembaban yang rendah, sedangkan tape ketan memiliki kelembaban yang cukup tinggi. Ketidakseimbangan ini mengakibatkan perpindahan air yang terjadi dari bahan ke lingkungan. Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin rendahnya penilaian panelis terhadap tekstur selama penyimpanan dapat disebabkan tekstur tape ketan yang semakin lembek. Jika dilihat dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke10 untuk kemasan I dan III sudah tidak layak dikonsumsi karena panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,9 dan 5,8). Namun, untuk kemasan IV masih layak untuk dikonsumsi sampai hari ke-12 karena panelis masih memberikan skor 6,1 pada penilaian organoleptik terhadap tekstur. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4.
d. Penerimaan Umum Parameter ini merupakan parameter penerimaan umum yang dilakukan untuk mengetahui penerimaan konsumen secara menyeluruh terhadap suatu produk. Nilai kesukaan terhadap penerimaan umum selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 15. 8.5
y = -0.2157x + 8.1184 R2 = 0.9493
Tingkat Kesukaan
8.0 7.5
y = -0.2199x + 8.0780 R2 = 0.9526
7.0 6.5
y = -0.1771x + 7.8033 R2 = 0.9529
6.0 5.5 5.0 4.5 4.0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Lama penyimpanan (Hari) Kemasan I
Kemasan IV
Kemasan III
Keterangan : batas tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan umum tape ketan antara skor 6-10 Gambar 15. Grafik penurunan mutu organoleptik terhadap penerimaan umum selama penyimpanan
Berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan, penerimaan umum terhadap tape ketan yang paling disukai yaitu tape ketan yang disimpan pada kemasan IV. Kemasan IV dapat dikatakan lebih disukai oleh konsumen berdasarkan uji organoleptik yang dilakukan terhadap rasa, aroma, dan tekstur serta dilihat dari nilai slope penurunan mutu organoleptik terhadap penerimaan umum yang dihasilkan paling kecil yaitu sebesar -0,1771 daripada kemasan yang lain. Penentuan seorang panelis menilai tape ketan tersebut sudah tidak layak untuk dikonsumsi dengan melihat nilai skor di bawah 6. Semakin rendahnya
penilaian
panelis
terhadap
penilaian
umum
selama
penyimpanan dapat disebabkan rasa manis, aroma dan tekstur tape ketan sudah tidak disukai oleh panelis. Jika dilihat dari hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan, pada hari ke-11 untuk kemasan I sudah tidak layak dikonsumsi karena panelis sudah memberikan skor di bawah 6 (5,5). Namun, untuk kemasan III dan IV masih layak untuk dikonsumsi karena panelis masih memberikan skor 6,1 pada penilaian organoleptik terhadap penerimaan umum. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan dapat dilihat pada Lampiran 4. Penilaian umum penilaian keseluruhan terhadap rasa manis, asam dan aroma alkohol yang dihasilkan tape ketan. Namun, parameter rasa merupakan syarat utama suatu produk dapat diterima oleh konsumen (Nuraini,1980).
3. Aplikasi Dan Manfaat Penyimpanan Upaya penerapan kemasan modern berupa kemasan plastik berbahan dasar PE dan PP merupakan salah satu alternatif yang dapat digunakan dalam proses pembuatan makanan tradisional berupa tape ketan. Hal ini disebabkan sulitnya menemukan kemasan tradisional yaitu kemasan besek dan daun pisang untuk pembuatan tape ketan terutama pada masyarakat perkotaan. Kemasan plastik lebih mudah ditemukan dan tersedia untuk berbagai macam kegunaan, dapat digunakan berulang-ulang kali, tersedia dalam berbagai jenis ukuran sesuai dengan ruang penyimpanan yang ada
serta dapat ditumpuk secara rapi dan teratur dengan jarak penumpukan yang tidak terlalu rapat sehingga memberikan pengaturan sirkulasi udara dalam ruang pendingin sebagai tempat penyimpanan. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi produk dan ruang penyimpanan sehingga produk yang disimpan dapat mempertahankan kualitasnya dan mengurangi laju penurunan mutu yang terjadi selama penyimpanan. Perbandingan volume ketan yang digunakan dalam proses pembuatan tape ketan bertujuan untuk memperoleh kondisi volume yang lebih baik dalam menghasilkan tape ketan pada masing-masing kemasan, sehingga diharapkan masyarakat dapat mengetahui volume yang lebih baik digunakan dalam proses pembuatan tape ketan. Karena hal ini akan mempengaruhi proses fermentasi yang berlangsung dan tape ketan yang dihasilkan nantinya. Ruang kosong yang terlalu banyak dalam kemasan dapat menyebabkan proses fermentasi menjadi lebih cepat dan menghasilkan variasi rasa antara rasa manis, asam dan aroma alokohol yang lebih banyak, begitu juga sebaliknya. Untuk itu dalam proses pembuatan tape ketan, banyaknya volume ketan dalam kemasan sebaiknya hanya 90% dari volume kemasan yang digunakan agar menghasilkan tape ketan yang lebih baik dan disukai oleh masyarakat. Dalam penyimpanannya, tape ketan lebih baik disimpan menggunakan kemasan yang tertutup rapat yang memiliki air sealed yang baik karena akan mempengaruhi
penyimpanan.
Hal
ini
juga
memberikan
kondisi
penyimpanan yang lebih bersih karena air yang dihasilkan dari fermentasi tidak akan mempengaruhi bahan makanan lain yang juga disimpan dalam lemari pendingin, serta dapat mengurangi atau mencegah masuknya cemaran dari lingkungan selama penyimpanan karena kemasannya tertutup rapat. Sehingga diharapkan mampu memperlambat penurunan mutu dan memperpanjang umur simpan.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Pada pembuatan tape ketan, jenis kemasan dan volume ketan yang berbeda akan mempengaruhi fementasi tape ketan, karena persediaan oksigen yang terdapat dalam kemasan mempengaruhi terjadinya proses fermentasi. Analisis kimia yang dilakukan menunjukkan bahwa kemasan yang terbaik di antara kemasan lainnya yaitu kemasan I dengan volume 90%. Hal ini dilihat dari nilai slope kadar gula yang tertinggi yaitu 0,5551 dengan nilai slope total asam terendah yang bernilai 0,5778 dan nilai slope pH sebesar -0,0298, selain itu juga didukung oleh uji organoleptik dari rasa manis yang dihasilkan. Analisis fisiko kimia tape ketan pada awal dan akhir penyimpanan menunjukkan penurunan pada tape ketan yang disimpan pada semua jenis kemasan. Kadar gula mengalami peningkatan selama penyimpanan yang dikarenakan fermentasi masih terjadi dan mengubah karbohidrat menjadi glukosa. Kemasan yang menunjukkan peningkatan kadar gula tertinggi yaitu kemasan IV (1,4085). Nilai total asam selama penyimpanan juga meningkat. Peningkatan total asam berhubungan dengan kadar alkohol yang dihasilkan dan lamanya fermentasi. Tape ketan yang disimpan dalam kemasan III memiliki nilai slope peningkatan total asam terendah (1,1951). Nilai pH selama penyimpanan berkorelasi dengan total asam yang semakin meningkat. Nilai slope penurunan pH pada kemasan I yang terendah (-0.0077). Sedangkan kadar alkohol pada akhir penyimpanan yang tidak mengalami penurunan yaitu kemasan III dan IV (2%). Hasil uji organoleptik, baik rasa, aroma, tekstur dan penerimaan umum terhadap tape ketan selama penyimpanan menunjukkan panelis lebih menyukai tape ketan yang disimpan pada kemasan IV yang dilihat dari penurunan nilai slope terkecil (-0,1552, -0,2018, -0,1647, dan -0,1771), dengan rasa manis, asam dan aroma alkohol yang bervariasi. Sehingga berdasarkan analisa terhadap penurunan mutu yang terjadi selama penyimpanan suhu dingin, tape ketan masih layak dikonsumsi hingga 11 hari waktu penyimpanan yang menggunakan kemasan IV.
B. SARAN Beberapa saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini diantaranya : 1. Menggunakan volume ketan yang 90% agar mendapatkan volume ketan yang lebih optimal. 2. Pada penyimpanan dianjurkan menggunakan kemasan yang tertutup rapat selain untuk dapat mempertahankan mutu, juga dapat melindungi kontaminasi dari bahan lainnya. 3. Penelitian selanjutnya sebaiknya dilakukan uji kadar pati untuk mengetahui kandungan pati setelah fermentasi dan penyimpanan.
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association of Official Analytical Chemist. AOAC Inc., Washington. Algaratman, R. 1977. Production of High Fructose Syrup From Starch. Di dalam K. Tan (Ed). Papers of First International Sago. Symp. Kualalumpur. Apriyantono, A., D. Fardiaz., N. L. Puspitasari., Sedarnawati., dan S. Budiyantono. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. PAU Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Beauchat, L. R. 1987. Traditional Fermented Food Product. Di dalam Beauchat, L. R. (ed). Food and Beverage Mycology. The avi Publ. Co., Inc., Wesport, Connecticut. Berlian, N., dan E. Rahayu. 1995. Bambu : Budidaya dan Prospek Bisnis. Penebar Swadaya, Jakarta. Buckle, K. A. 1978. Technology of Food Preservation. In a Course Manual in Food Science. Australian Vice Chancellors Committee. PP : 75-139. Buckle, K. A., R. A. Edward., G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1978. Ilmu Pangan (terjemahan). UI Press, Jakarta. Buckle, K. A., R. A. Edward., G. H. Fleet, dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan Purnomo dan Adiono. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Cronk, T. C., K. H. Steinkraus, L. R. Hackler dan L. R. Mattick. 1977. Production of Higher Alcohol During Indonesian Tape Ketan Fermentation. Appl. Environ. Mycrobiol. 33:1067-1073. Damardjati, D. S. 1979. Struktur dan Komposisi Beras. Sekolah Pasca Sarjana. IPB, Bogor. Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 1972. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Bhratara, Jakarta. Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan RI. 1990. Komposisi Zat Gizi Pangan Indonesia, Jakarta. Fardiaz, S. 1989. Penuntun Praktikum Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan I. PT Gramedia, Jakarta.
Frazier, W. C. Dan D. C. Westhoff. 1978. Food Microbiology. Tata McGraw Hill Pub. Co. Limited, New Delhi. Grist, D. H. 1959. Rice. Longmans and Co., London. Harper, J. C. 1976. Element of Food Engineering. The AVI Publishing Company. Inc. Westport, Connecticut. Hasan, Z., M. I. K. Karim dan M. A. Augustin. 1987. Tapai Fermentation in Malaysia. Di dalam NODAI Research Institute : Traditional Foods and Processing in Asia. Tokyo University of Agriculture. Tokyo. Hesseltine, C. W. 1979. Mycroorganism Involved in Food Fermentation Asia. Procedings International Symposium on Mycrobiological Aspect of Food Storage, Processing and Fermentation in Tropical Asia, Bogor, 10 – 13 Desember 1979. FTDC- IPB, Bogor. Jonsen. 1984. Mempelajari Penyimpanan Tape Ubi Kayu (Manihot sp) Sebagai Bahan Mentah Untuk Industri. Skripsi. Fateta. IPB. Bogor. Juliano, B. O. 1967. Chemistry of The Rice Grain Cereal Chemistry. Saturday Seminar, UPLB, Philippines. Juliano, B. O. 1972. The Rice Grain Caryopsis and its Composition. Di dalam D. F. Houston (ed). Rice chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemist, Inc. Minnesota. Kirk, R. E. dan D. F. Othmer. 1954. Encyclopedia of Chemical Technology. Vol 3. The Interscience Encyclopedia, Inc., Connecticut, New York. Ko, S. D. 1972. Tape Fermentation. Appl. Microbiology, 23 (5) : 976 – 978. Ko, S. D. 1982. Indigenous Fermented Foods. Di dalam Rose, A. H. (ed)., Economic Microbiology vol. 7 Fermented Foods. Academic Press. London. Kozaki, M. 1979. Microorganism in Fermented Foods Processing in Tropical Asia Proc. Inter. Symp. On Mic. Aspect of Food Storage, Process and Fermentation in Tropical Asia. FTDC-IPB, Bogor. Legowo, B. 1984. Pengaruh Penyosohan Beras Ketan Putih (Oryza sativa glutinosa), Lama Fermentasi dan Suhu Pemasakan Terhadap Mutu Brem Padat. Skripsi. Fateta. Bogor. Merican, Z. dan Yeoh, Q. L. 1989. Tapai Processing in Malaysia : A Technology in Transition. Di dalam Steinkraus, K H. (ed). Industrialization of Indigenous Fermented Foods. Marcel Dekker, New York.
Nuraini, Y. 1980. Mempelajari Faktor-faktor Kimiawi Yang Berpengaruh Terhadap Nilai Organoleptik Tape Ketan, Berdasarkan Jenis Ketan, Wadah dan Lama Fermentasi. Skripsi. Fateta, IPB, Bogor. Paine, F A. 1977. The Packaging Media. Blackle and Sons LTD. Scotland. Pawitan, D. 1986. Mempelajari daya tahan berbagai jenis plastik terhadap radiasi UV. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Rachman, A. 1989. Tehnologi Fermentasi. Arcan. Bandung. Rahayu, W. P. dan Suliantari. 1990. Teknologi Fermentasi Biji-bijian dan Umbiumbian. Pusat Antar Universitas. IPB, Bogor. Robertson, G.L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel Dekker Inc., New York. Rose, A. H. 1977. Alcoholic Beverages. Academic Press. London. Saono, J. K. D. 1981. Microflora of Ragi : its composition and as a source of industrial yeasts. Di dalam Proceeding of ASCA Technical Seminar. Medan. Soerdarmo, K. 1973. Ilmu Gizi. PT Dian Rakyat, Jakarta. Soedarsono, J. 1972. Some Note on Ragi Tape for Tape Fermentation. Ilmu Pertanian I (16) : 235-241. Steinkraus, K. H. 1983. Handbook of Indigenous Fermented Foods. MarcelDekker. New York. Syarief, R. 1989. Teknologi Pengemasan Bahan.Laboratorium Rekayasa Proses Pangan PAU. IPB, Bogor Syarief, R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Pusat Antar Universitas-Gizi Institut Pertanian Bogor. Arcan, Jakarta. Widowati. 1993. Studi tentang Pengaruh Jenis Plastik dan Teknik Pengemasan Terhadap Umur Simpan Roti Tawar. Skripsi. FATETA. IPB. Bogor. Will, R. H., T. H. Lee, D. Graham, W. B. Mc Glasson and E. G. Hall. 1981. Postharfest, An Introduction to The Physiology and Handling of Fruit and Vegetable. New South Wales University Press Ltd. Winarno, F. G. dan S. Fardiaz. 1973. Dasar Teknologi Pangan. Fatemata, IPB. Bogor.
Winarno, F. G. dan B. S. Laksmi. 1974. Dasar Pengawetan, Sanitasi, dan Keracunan. Departemen Teknologi Hasil Pertanian. FATEMETA. IPB, Bogor. Winarno, F. G. 1980. Enzim Pangan. Gramedia, Jakarta. Winarno, F. G., dan M. Aman. 1981. Penyimpanan Buah-buahan, Sayur-sayuran, dan Bunga-bungaan. Alih Bahasa. Jurusan Tehnologi Industri. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Winarno, F.G. dan B.S.L. Jenie. 1983. Kerusakan Bahan Pangan dan Cara Pencegahannya. Ghalia Indonesia, Jakarta. Winarno, F. G. dan S. Fardiaz. 1984. Biofermentasi dan Biosintesis Protein. Angkasa. Bandung. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan Dan Gizi. PT Gramedia, Jakarta. Wirakartakusumah, M.A., K. Abdullah, dan A.M Syarif. 1992. Sifat Fisik Bahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Pendidikan Tinggi. PAU, Bogor. Wood, B. J. B. 1998. Microbiology of Fermented Foods. 2nd Edition. Blackie Academic and Professional. London. http://lc.bppt.go.id/ladang_bambu/upload/kemasan.pdf
Lampiran 1. Perhitungan nilai transmission rate masing-masing kemasan Diket : * Kemasan I Ukuran wadah Bobot Ketebalan
: p = 13,2 cm; l = 12 cm; t = 9 cm : wadah = 28,4 g tutup = 32,8 g : wadah = 1,78; 1,69; 1,65; 1,25; 1,56 = 1,59 mm tutup = 1,24; 1,44; 1,46; 1,56; 1,27 = 1,39 mm
* Kemasan II Ukuran kemasan : diameter bawah = 13,5 cm diameter atas&tutup = 18,5 cm tinggi = 8,5 cm Bobot : wadah = 115,8 g tutup = 50,5 g Ketebalan : wadah = 0,25; 0,211; 0,213; 0,211; 0,28 = 0,233 mm tutup = 1.68; 1,68; 1,60; 1,59; 1,64 = 1,64 mm * Kemasan III Ukuran kemasan : Bagian atas wadah : p = 18,5 cm; l = 11,5 cm t = 10,7 cm Bagian bawah wadah : p = 17,5 cm; l = 10,5 cm Ketebalan : wadah = 1,275; 1,26; 1,28; 1,165; 1,1 = 1,22 mm tutup = 1,22; 1,24; 1,25; 1,33; 1,28 = 1,26 mm Bobot : wadah = 89,0 g tutup = 33,2 g * Kemasan IV Ukuran kemasan : p = 27 cm; l = 13,8 cm; t = 9 cm Ketebalan : wadah = 2,325; 2,33; 2,315; 2,15; 2,75 = 2,37 mm tutup = 1,55; 1,58; 1,53; 1,525; 1,54 = 1,54 mm Bobot : wadah = 193,7 g tutup = 69,3 g Koefisien permeabilitas P (cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1) polimer terhadap gas dan air Polimer
Permean O2 Polipropilen CO2 H2O O2 Polietilen CO2 H2O Sumber : Piringer dan Baner (2000)
T˚C 30 30 30 25 25 25
P x 10-13 1,7 6,9 51,0 5,18 21 93
Faktor konversi untuk beberapa satuan terhadap koefisien permeabilitas [cm3] [cm] [cm2] [s] [cm Hg]
[cm3] [cm] [cm2] [s] [Pa]
[cm3] [cm] [m2] [hari] [atm]
1
7,5 . 10-4
6,57 . 1010
[cm3] [mm] [cm2] [s] [cm Hg]
10-1
7,5 . 10-5
6,57 . 109
[cm3] [cm] [cm2] [s] [atm]
1,32 . 10-2
9,87 . 10-6
8,64 . 108
[cm3] [mil] [cm2] [hari] [atm]
3,87 . 10-14
2,90 . 10-17
2,54 . 10-3
[in3] [mil] [100in2] [hari] [atm]
9,82 . 10-12
7,37 . 10-15
6,45 . 10-1
[cm3] [cm] [m ] [hari] [atm]
1,52 . 10-11
1,14 . 10-14
1
[cm3] [cm] [m2] [hari] [bar]
1,54 . 10-11
1,16 . 10-14
1,01
[cm3] [cm] [cm2] [s] [Pa]
1,33 . 103
1
8,75 . 1013
Into From [cm3] [cm] [cm2] [s] [cm Hg]
2
Dit : a. Gramatur b. Densitas c. O2TR d. CO2TR e. WVTR Jawab : * Kemasan I Luas wadah = [ 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (p x t) ] = [ 2 (13,2 x 12) + 2 (12 x 9) + 2 ( 13,2 x 9) ] = (316,8 + 216 + 237,6) = 770,4 cm2
* Kemasan II Luas lingkaran atas = π R2 = 3,14 x 9,252 = 268,67 cm2 Luas lingkaran bawah = π r2 = 3,14 x 6,752 = 143,07 cm2 Luas selimut = ½ ( atas + bawah ) x t = ½ ( 2πR + 2πr) x t = ½ [ (2 x 3,14 x 9,25) + (2 x 3,14 x 6,75) ] x 8,5 = ½ (58,09 + 42,39) x 8,5 = 427,04 cm2
Luas wadah = Luas lingkaran atas + Luas selimut + Luas lingkaran bawah = 268,67 + 427,04 + 143,07 = 838,78 cm2 Luas tutup
= πr2 = 3,14 x 9,252 = 268,67 cm2
* Kemasan III Luas atas = p x l = 18,5 x 11,5 = 212,75 cm2 Luas bawah = p x l = 17,5 x 10,5 = 183,75 cm2 Luas selimut = ½ ( atas + bawah ) x t = ½ [ (2 x p x l) atas + (2 x p x l) bawah ] x t = ½ [ (2 x 18,5 x 11,5) + ( 2 x 17,5 x 10,5) ] x 10,7 = ½ (425,5 + 367,5) x 10,7 = 4242,55 cm2 Luas wadah = Luas lingkaran atas + Luas selimut + Luas lingkaran bawah = 212,75 + 4242,55 + 183,75 = 4639,05 cm2 Luas tutup
= p x l = 18,5 x 11,5 = 212,75 cm2
* Kemasan IV Luas wadah = [ 2 (p x l) + 2 (l x t) + 2 (p x t) ] = [ 2 ( 27 x 13,8) + 2 ( 13,8 x 9) + 2 ( 27 x 9) ] = (745,2 + 248,4 + 486) = 1479,6 cm2 Luas tutup = p x l = 27 x 13,8 = 372,6 cm2
bobot contoh (g) 10000 cm2 a. Gramatur (g/m ) = x luas contoh (cm2) 1 m2 2
10000 cm2
28,4 g Kemasan I : Gramatur wadah =
x
770,4 cm2
10000 cm2
115,8 g Kemasan II : Gramatur wadah =
Gramatur tutup =
1 m2
= 368,64 g/m2
2
x
2
838,78 cm
1m
50,5 g
10000 cm2 2
268,67 cm
x
2
1m
= 1380,58 g/m2
= 1879,63 g/m2
10000 cm2
89,0 g Kemasan III : Gramatur wadah =
x
2
2
4639,05 cm
1m
33,2 g
10000 cm2
Gramatur tutup =
x
212,75 cm2
1 m2 10000 cm2
193,7 g Kemasan IV : Gramatur wadah =
1479,6 cm2
x
10000 cm2
69,2 g Gramatur tutup =
1 m2
2
x
372,6 cm
2
= 191,85 g/m2
= 1560,52 g/m2
= 1309,14 g/m2
= 1857,22 g/m2
1m
gramatur (g/m2) b. Densitas = tebal plastik (m) x 1000 368,64 g/m2
= 231,85 kg/m3
Kemasan I : Densitas wadah = 0,00159 m x 1000 1380,58 g/m2
Kemasan II : Densitas wadah =
= 5925,24 kg/m3 0,000233 m x 1000 1879,63 g/m2
Densitas tutup =
= 1146,12 kg/m3
0,00164 m x 1000 161,85 g/m2 Kemasan III : Densitas wadah =
= 157,25 kg/m3
0,00122 m x 1000 1560,52 g/m2
= 1238,51 kg/m3
Densitas tutup = 0,00126 m x 1000 1309,14 g/m2
= 552,38 kg/m3
Kemasan IV : Densitas wadah = 0,00237 m x 1000 1857,22 g/m2 Densitas tutup = 0,00154 m x 1000
= 1205,99 kg/m3
3. Oxygen Transmission Rate (O2TR) PPP
= 1,7 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 3
-2
-1
m2
-1
= 14,875 cm cm m hari atm x -3
2
-1
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
-1
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
10000 cm2
= 1,4875 x 10 cm hari atm PPE = 5,18 x 10
-13
3
-2 -1
-1
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
cm cm cm s Pa x 2
= 45,325 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x = 4,5325 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m
10000 cm2
Asumsi : tekanan O2 dalam udara = 21% ∆P
3
O2TR (cm /hari) = Ai x Ji = Ai x P x
d
Kemasan II : O2TR wadah = 838,78 cm2 x 1,4875 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x 3
0,21 atm – 0 0,0233 cm
= 11,25 cm /hari O2TR tutup = 268,67 cm2 x 4,5325 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x
0,21 atm – 0 0,164 cm
= 1,56 cm3/hari
Total O2TR kemasan II = 11,25 cm3/hari + 1,56 cm3/hari = 12,81 cm3/hari Kemasan III : 2
-3
2
-1
-1
0,21 atm – 0
O2TR wadah = 4639,05 cm x 1,4875 x 10 cm hari atm x 3
0,122 cm
= 11,88 cm /hari 2
-3
2
-1
-1
O2TR tutup = 212,75 cm x 1,4875 x 10 cm hari atm x 3
0,21 atm – 0 0,126 cm
= 0,53 cm /hari Total O2TR kemasan III = 11,88 cm3/hari + 0,53 cm3/hari = 12,41 cm3/hari
Kemasan IV : O2TR wadah = 1479,6 cm2 x 1,4875 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1x = 1,95 cm3/hari 2
-3
2
-1
-1
0,21 atm – 0 0,237 cm
0,21 atm – 0
O2TR tutup = 372,6 cm x 4,5325 x 10 cm hari atm x 3
0,154 cm
= 2,30 cm /hari Total O2TR kemasan IV = 1,95 cm3/hari + 2,30 cm3/hari = 4,25 cm3/hari 4. Carbon Dioxyde Transmission Rate (CO2TR) PPP
= 6,9 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 3
-2
-1
m2
-1
= 60,375 cm cm m hari atm x = 6,0375 x 10-3 cm2 hari-1 atm-1 PPE = 21 x 10
-13
3
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
-2 -1
10000 cm2 8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1
-1
cm cm cm s Pa x 2
3
-2
-1
2
-1
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
m
-1
= 183,75 cm cm m hari atm x -2
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
-1
10000 cm2
= 1,8375 x 10 cm hari atm
Asumsi : tekanan CO2 dalam udara = 21% CO2TR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px
∆P d
Kemasan II : CO2TR wadah = 838,78 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 45,64 cm3/hari
0,0233 cm CO2TR tutup = 268,67 cm2 x 1,8375 x 10-2 cm2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x 0,164 cm
= 6,32 cm3/hari
Total CO2TR kemasan II = 45,64 cm3/hari + 6,32 cm3/hari = 51,96 cm3/hari Kemasan III : CO2TR wadah = 4639,05 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 48,21 cm3/hari
0,122 cm CO2TR tutup = 212,75 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 = 2,14 cm3/hari 0,126 cm
x
Total CO2TR kemasan III = 48,21 cm3/hari + 2,14 cm3/hari = 50,35 cm3/hari Kemasan IV : CO2TR wadah = 1479,6 cm2 x 6,0375 x 10-3 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 7,92 cm3/hari
0,237 cm CO2TR tutup = 372,6 cm2 x 1,8375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0
= 9,34 cm3/hari
x 0,154 cm
CO2TR kemasan large = 7,92 cm3/hari + 9,34 cm3/hari = 17,26 cm3/hari
5. Water Vapor Transmission Rate (WVTR) PPP
= 51 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x 3
-2
-1
-1
= 446,25 cm cm m hari atm x
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 m2
1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
10000 cm2
= 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 PPE = 93 x 10-13 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1 x
8,75 x 1013 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 1 cm3 cm cm-2 s-1 Pa-1
= 813,75 cm3 cm m-2 hari-1 atm-1 x -2
2
-1
-1
m2 10000 cm2
= 8,1375 x 10 cm hari atm
Asumsi : tekanan H2O dalam udara = 21% WVTR (cm3/hari) = Ai x Ji = Ai x Px
∆P d
Kemasan II : WVTR wadah = 838,78 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 337,36 cm3/hari
0,0233 cm WVTR tutup = 268,67 cm2 x 8,1375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 = 27,99 cm3/hari 0,164 cm
x
Total WVTR kemasan II = 337,36 cm3/hari + 27,99 cm3/hari = 365,35 cm3/hari
Kemasan III : WVTR wadah = 4639,05 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 x
0,21 atm – 0 = 356,34 cm3/hari 0,122 cm
WVTR tutup = 212,75 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 15,82 cm3/hari
0,126 cm Total WVTR kemasan III = 356,34 cm3/hari + 15,82 cm3/hari = 372,16 cm3/hari
Kemasan IV : WVTR wadah = 1479,6 cm2 x 4,4625 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x
= 58,51 cm3/hari
0,237 cm WVTR tutup = 372,6 cm2 x 8,1375 x 10-2 cm3 cm cm-2 hari-1 atm-1 0,21 atm – 0 x = 41,35 cm3/hari 0,154 cm WVTR kemasan large = 58,51 cm3/hari + 41,35 cm3/hari = 99,86 cm3/hari
Lampiran 2. Prosedur pengujian 1. Analisa Proksimat 1. Kadar Air (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dan ditaruh dalam cawan alumunium/porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 100 - 105oC selama 3 – 5 jam. Setelah itu sampel dan cawan alumunium/porselen diangkat dan didinginkan dalam desikator hingga suhu ruang. Timbang bobot akhirnya dan ulangi pekerjaan ini hingga bobot akhir konstan. bobot awal sampel (g) – bobot akhir sampel (g) Kadar Air (%) =
x 100% bobot awal sampel (g)
2. Kadar Abu (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dan ditaruh dalam cawan porselen yang telah diketahui bobot keringnya. Sebelum diabukan, sampel terlebih dahulu dipanaskan diatas pemanas destruksi hingga terbentuk arang dan tidak berasap lagi. Selanjutnya sampel diabukan dalam tanur listrik pada suhu 550oC hingga terbentuk warna abu - abu. Setelah itu sampel didinginkan dalam desikator. Timbang bobot akhirnya dan ulangi pekerjaan ini hingga bobot akhir konstan. B-C Kadar abu (%) =
x 100% A
3. Kadar Protein (Metode Semi Mikro Kjeldahl) (AOAC, 1995) Sebanyak 0,1 gram bahan dicampur dengan 1 gram katalis (dibuat dengan mencampurkan 1 gram CuSO4 dan 1,2 gram Na2SO4) dan 2,5 ml H2SO4 pekat dididihkan sampai jernih dalam labu Kjeldahl, kemudian didinginkan. Setelah itu diencerkan sampai dengan 100 ml, diambil sebanyak 5 ml untuk dimasukkan ke alat destilasi ditambah 15 ml NaOH 50% dan didestilasi. Hasil destilat ditampung dalam 25 ml HCl 0,02 N dan ditambah 2 tetes indikator Mengsel (campuran metil merah 0,02% dalam alkohol dan metil biru 0,02% dalam alkohol dengan perbandingan 2:1).
Selanjutnya dititrasi dengan NaOH 0,02 N sampai berwarna abu-abu. Dilakukan juga terhadap blanko. ml NaOH blanko – ml NaOH contoh x N NaOH x 14,007 %N =
x 100% gram contoh
%protein = %total N × faktor konversi Bahan Uji
Faktor Konversi
Bir, sirup, biji-bijian, ragi, makanan ternak, buah-buahan, teh, malt, anggur
6,25
Beras
5,95
Roti, gandum, makaroni, bakmi
5,70
Kacang tanah
5,46
Kedelai
5,75
Kenari
5,18
Susu kental manis
6,38
4. Kadar Lemak Kasar Metode Soxhlet (AOAC,1995) Sampel sebanyak 2 – 5 gram ditimbang dengan seksama kemudian dimasukkan dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas, dengan selongsong kertas yang telah dikeringkan dan diketahui berat keringnya. Kemudian sumbat selongsong kertas yang berisi contoh dengan kapas. Setelah itu keringkan selongsong kertas berisi contoh dalam oven ± 800C selama ± 1 jam. Sesudah kering dimasukkan ke dalam alat ekstraksi Soxhlet yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan sudah diketahui beratnya kemudian ditambahkan pelarut heksan secukupnya. Proses dilanjutkan dengan refluks selama ± 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke labu lemak berwarna jernih. Selanjutnya pelarut disulingkan dan ekstrak lemak dikeringkan dalam oven pada suhu 105 °C. Dinginkan dan timbang kemudian ulangi hingga bobotnya tetap. A- C Kadar Lemak(%) =
x 100% B
A = bobot contoh B = bobot lemak sebelum ekstraksi C = bobot labu lemak sesudah ekstraksi 5. Kadar Karbohidrat Total (By Difference) Kadar karbohidrat total dihitung dengan rumus sebagai berikut : Kadar Karbohidrat (%) = 100 % - (A + B + C + D) Dimana :
A = Kadar Air B = Kadar Abu C = Kadar Protein D = Kadar Lemak
6. Kadar Gula Sampel diperas dengan menggunakan kain diatas prisma untuk diukur berapa kadar gula yang terkandung dalam sampel tersebut pada refraktometer. Lalu lihat nilainya pada tempat yang terang, nilai yang dibaca yaitu diantara warna kuning dan hitam. 7. Kadar Total Asam Bahan ditimbang sebanyak 10 gram dihaluskan dalam mortar lalu dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml, kemudian diencerkan hingga tanda tera dengan menambahkan air destilat. Selanjutnya didiamkan 30 menit dan disaring dengan kapas. Filtrat yang diperoleh sebanyak 25 ml dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N dengan indikator PP hingga timbul warna merah muda pada akhir titrasi. Perhitungan total asam tertitrasi dilakukan dengan menggunakan rumus : VxNxP Total Asam =
x 100 B
Dimana: V = volume NaOH 0.1 N yang terpakai (liter) N = normalitas NaOH setelah distandarisasi P = pengenceran B = berat bahan
8. Kadar Alkohol Sebanyak 10 gr contoh ditimbang dan kemudian dilarutkan dalam air sampai 100 ml. Campuran diletakkan di dalam erlenmeyer 100 ml. Campuran digoyang-goyangkan dan kemudian didestilasi. Destilat ditampung dalam gelas ukur 100 ml, sampai volume 80 ml. Volume destilat diencerkan sampai 100 ml. Suhu destilat didinginkan sampai mendekati 160C. Alat hidrometer (alkohol meter) dicelupkan secara pelahan-lahan, jangan sampai menyentuh dinding gelas, kemudian dilepaskan. Setelah keadaan setimbang, kadar alkohol dibaca pada skala hidrometer, kemudian dikonversi dengan tabel konversi suhu. Kadar alkohol contoh diperoleh dari perkalian kadar alkohol terukur dengan faktor pengenceran. 9. pH Kalibrasi pH meter dengan larutan buffer pH (lakukan setiap saat akan melakukan pengukuran). Celupkan elektroda yang telah dibersihkan dengan air suling ke dalam contoh yang akan diperiksa (konsentrasi larutan pati 10 % bk). Sesuaikan suhu dari contoh. Catat dan baca harga pH pada skala pH meter yang ditunjukkan jarum. 10. Uji Organoleptik Uji organoleptik yang digunakan dalam analisis tape ketan adalah uji mutu hedonik yang menyangkut penilaian seseorang akan mutu fisik produk yang biasa dinilai dengan panca indera. Dalam uji organoleptik ini digunakan sepuluh orang panelis semi terlatih yang diminta tanggapan pribadinya tentang mutu sampel tape ketan yang diuji. Tanggapan ini dituliskan dalam kuesioner untuk uji organoleptik. Parameter yang diuji secara organoleptik dari tape ketan adalah rasa, aroma, tekstur, dan penerimaan umum. Pada pengujian ini digunakan garis skalar dengan 10 titik. Untuk rasa, mulai dari sangat asam (1) sampai sangat manis (10). Untuk aroma, mulai dari aroma tape menyengat (sangat asam) (1) sampai aroma tape (asam) (10). Untuk tekstur, mulai dari sangat
kering (1) sampai lembek (10). Untuk penerimaan umum, mulai dari sangat tidak suka (1) sampai sangat suka (10). Panelis memberikan tanda silang (X) pada garis skalar, lalu dikonversikan ke numerik dengan alat penggaris. Data numerik kemudian dianalisis.
Lampiran 3. Form pengujian organoleptik
Bahan : Tape Ketan
Tanggal Pengamatan :
Petunjuk : Berilah tanda silang (X) pada garis sesuai dengan respon yang ditimbulkan untuk
masing-masing parameter dengan keterangan nilai sebagai berikut :
162
Rasa
:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Asam Tekstur
:
1
Manis 2
3
4
5
6
7
8
9
2
3
4
5
6
7
8
9
Sangat kering Aroma
:
1
1
10
Lembek
Asam Penerimaan umum :
10
10
Tape 2
3
4
5
6
7
8
Sangat tidak suka
9
10
Sangat suka
216
Rasa
:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Asam Tekstur
:
1
Manis 2
3
4
5
6
7
8
9
2
3
4
5
6
7
8
9
Sangat kering Aroma
:
1
1
10
Lembek
Asam Penerimaan umum :
10
10
Tape 2
3
4
5
6
7
8
Sangat tidak suka
9
10
Sangat suka
261
Rasa
:
1
2
3
4
5
6
7
8
9
2
3
4
5
6
7
8
9
Asam Tekstur
:
1
Manis
Sangat kering Aroma
:
1
1
10
Lembek 2
3
4
5
6
7
8
9
Asam Penerimaan umum :
10
10
Tape 2
Sangat tidak suka
3
4
5
6
7
8
9
10
Sangat suka 84
Lampiran 4. Hasil analisis organoleptik tape ketan selama penyimpanan
Organoleptik
Rasa
Tekstur
Aroma
Penerimaan Umum
85
Perlakuan
Pengamatan (Hari) 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kemasan I
8.0
7.2
7.8
7.5
6.5
6.7
5.9
6.5
6.6
6.1
5.5
6.4
5.4
6.2
Kemasan III
7.8
7.1
7.4
7.0
6.6
6.5
6.3
6.5
6.6
5.8
5.6
6.2
5.0
5.5
Kemasan IV
7.5
7.1
7.6
7.0
6.8
6.5
6.1
6.4
6.5
5.9
6.1
5.9
5.2
5.8
Kemasan I
7.9
7.4
7.5
7.1
6.9
6.8
6.5
6.7
6.5
5.9
5.5
6.3
5.6
5.4
Kemasan III
8.2
7.2
7.8
6.9
6.4
6.8
6.5
6.3
6.2
5.8
5.3
5.8
5.3
5.1
Kemasan IV
8.0
7.0
7.6
7.1
7.0
6.9
6.8
6.6
7.0
6.7
6.3
6.1
5.5
5.7
Kemasan I
8.2
7.2
7.8
6.9
6.4
6.8
6.5
6.3
6.2
5.8
5.3
5.8
5.3
5.1
Kemasan III
8.1
7.2
7.9
7.4
6.6
6.5
6.0
6.5
6.3
6.1
5.5
6.0
5.2
5.2
Kemasan IV
8.2
7.2
7.7
7.1
6.5
6.7
6.3
6.3
6.1
6.2
5.6
5.8
5.1
5.3
Kemasan I
8.1
7.2
7.9
7.4
6.6
6.5
6.0
6.5
6.3
6.1
5.5
6.0
5.2
5.2
Kemasan III
7.5
7.1
7.6
7.0
6.8
6.5
6.1
6.4
6.5
5.9
6.1
5.9
5.2
5.8
Kemasan IV
7.6
7.2
7.7
7.2
6.8
6.7
6.2
6.5
6.3
6.1
6.1
5.8
5.0
5.5
Lampiran 5. Hasil nilai korelasi, slope dan intercept pembuatan tape ketan
Analisis
Perlakuan
Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Derajat Keasaman (pH) Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Total Asam Tertitrasi Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Kadar Gula Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III
2
R
y = ax+b a
b
0.9413 0.9314 0.9344
-0.0298 5.8731 -0.0313 5.9691 -0.0324 5.9607
0.9177 0.9189 0.9063
-0.0298 5.9447 -0.0283 5.8822 -0.0351 6.0076
0.9134 0.9043 0.9022
-0.0343 6.1673 -0.0177 5.5280 -0.0244 5.8358
0.9135 0.9002 0.9070
0.5778 5.8667 0.6311 3.9644 0.7133 4.6578
0.9121 0.9302 0.9448
0.6378 4.6933 0.6933 6.4711 0.7111 4.8000
0.9896 0.9145 0.9527
0.5711 1.2267 0.6289 7.0400 0.7133 3.3244
0.8709 0.8553 0.8504
0.5551 0.7283 0.5109 0.5725 0.5254 0.3913
0.9311 0.9200 0.9200
0.3306 2.5645 0.2975 2.5269 0.2975 2.5269
0.8772 0.8490 0.8457
0.5362 0.9638 0.5297 0.3370 0.5399 0.2101
86
Lampiran 6. Skema Embden Meyerhoff-Parnas Pathway
ATP ADP Glukosa
ATP ADP
Glukosa 6-P
Fruktosa-6-P
Fruktosa-1,6-Di-P
NADH+H+ NAD+ 1,3-Di-Asam Gliserat
Gliseraldehid-3-P
DihidroksiasetonFosfat
ATP ADP 3-P-Asam Gliserat
2-P-Asam Gliserat
Fenol-Asam-Piruvat CO2
+
NAD Etanol
+
NADH+H
Asam Piruvat
Asetaldehida
Keterangan : ATP = Adenosin Trifosfat ADP = Adenin Difosfat NAD = Nikotinamida Adenin Dinukleotida NADP = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Fosfat NADPH = Nikotinamida Adenin Dinukleotida Tereduksi
87
Lampiran 7. Hasil Organoleptik Pembuatan Tape Ketan Organoleptik Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma Tekstur Rasa Aroma
88
Jam 0
6
12
18
24
30
36
42
48
K II, 90% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis++ Tape Lembek+++ Manis++ Tape Lembek++++ Manis+++ Tape
K II, 75% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis++ Tape Lembek+++ Manis++ Tape Lembek++++ Manis+++ Tape
K II, 60% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis+ Tape Lembek+++ Manis++ Tape Lembek++++ Manis++ Tape
Wadah + Volume K I, 90% K I, 75% Kenyal Kenyal Ketan Ketan Ketan Ketan Kenyal Kenyal Ketan Ketan Ketan Ketan Lembek Lembek Manis Manis Tape Tape Lembek+ Lembek+ Manis+ Manis+ Tape Tape Lembek++ Lembek++ Manis+ Manis+ Tape Tape Lembek++ Lembek++ Manis++ Manis++ Tape Tape Lembek+++ Lembek+++ Manis++ Manis++ Tape Tape Lembek++++ Lembek++++ Manis++++ Manis+++ Tape Tape Lembek+++++ Lembek+++++ Manis+++++ Manis++++ Tape Tape
K I, 60% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek+ Manis Tape Lembek++ Manis+ Tape Lembek++ Manis+ Tape Lembek+++ Manis++ Tape Lembek++++ Manis++ Tape Lembek++++ Manis+++ Tape
K III, 90% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis++ Tape Lembek+++ Manis++ Tape
K III, 75% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis++ Tape Lembek+++ Manis++ Tape
K III, 60% Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Kenyal Ketan Ketan Lembek Manis Tape Lembek Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek+ Manis+ Tape Lembek++ Manis++ Tape Lembek+++ Manis++ Tape
Lampiran 8. Hasil nilai korelasi, slope, dan intercept selama panyimpanan
Analisis
Kadar Gula
Total Asam Tertitrasi
Derajat Keasaman (pH)
Perlakuan
y = ax+b R2
a
b
Kemasan I
0.9067
1.4024
1.4329
Kemasan III
0.8769
0.5671
-0.9848
Kemasan IV
0.8082
1.4085
0.9680
Kemasan I
0.9116
1.6378
44.9022
Kemasan III
0.9100
1.1951
49.3617
Kemasan IV
0.9128
1.5008
45.5944
Kemasan I
0.9107
-0.0077
5.0960
Kemasan III
0.8617
-0.0388
5.2257
Kemasan IV
0.7863
-0.0313
5.1863
89
Lampiran 9. Data hasil analisis pada pembuatan tape ketan Analisis
Kadar Gula (derajat brix)
Total Asam (%)
Derajat Keasaman (pH)
90
Perlakuan Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 90% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 75% Kemasan I Kemasan II Kemasan III Volume 60% Kemasan I Kemasan II Kemasan III
Waktu Fermentasi (Jam) 24 30
0
6
12
18
36
42
48
0 0 0
10 10 10
11 10 10
11 10 10
12 11 11
12 12 12
13 12 12
15 13 13
35.3 33 34
0 0 0
10 10 10
11 10 10
11 10 10
12 11 11
12 12 12
13 12 12
15 13 13
34 34 33
0 0 0
10 10 10
11 10 10
11 10 10
12 11 11
12 12 12
13 12 12
15 13 13
34 34.3 35
3.2 3.2 11.2
4 5.6 6.4
16 8 10.4
16.8 12.8 13.6
25.6 27.2 19.2
28.8 28 26.4
27.2 29.6 30.4
25.6 32 45.6
30.4 25.6 32.8
3.2 11.2 3.2
5.6 6.4 5.6
8 12.8 14.4
18.4 16.8 20
27.2 24 20.8
28 24.8 32
30.4 38.4 31.2
32 40 38.4
27.2 33.6 31.2
3.2 11.2 3.2
4 12 4.8
6.4 6.4 11.2
12 18.4 15.2
15.2 20 24.8
16.8 28 27.2
22.4 31.2 28.8
24 40 38.4
30.4 32 30.4
6.21 6.21 6.21
5.67 5.79 5.95
5.42 5.72 5.48
5.09 5.1 5.07
5.03 5.07 4.99
4.88 4.88 4.84
4.79 4.76 4.76
4.73 4.64 4.7
4.6 4.79 4.65
6.21 6.21 6.53
5.7 5.71 5.78
5.8 5.52 5.32
5.05 5.13 5.08
5.03 5.02 4.95
4.9 4.9 4.95
4.88 4.78 4.63
4.79 4.72 4.66
4.71 4.83 4.59
6.21 6.21 6.21
6.17 5.74 5.73
6.07 5.24 5.33
5.2 5.17 5.14
4.99 5.13 4.91
4.95 4.96 4.85
4.91 4.94 4.87
4.8 4.8 4.73
4.79 4.84 4.77
Lampiran 10. Data hasil analisis selama penyimpanan tape ketan
Analisis
Kadar Gula
Total Asam
Perlakuan
Penyimpanan (Hari) 0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
Kemasan I
0.0
10.0
20.0
10.0
10.0
10.0
10.0
10.0
10.0
0.0
0.0
0.0
2.0
10.0
30.0
Kemasan III
0.0
0.0
5.5
5.0
6.0
5.0
8.0
5.5
0.0
1.0
0.0
0.0
2.0
1.0
10.0
Kemasan IV
0.0
0.0
17.00 10.00
12.0
10.0
11.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
0.0
10.0
28.0
Kemasan I
11.2
49.6
53.6
46.4
53.1
54.0
51.3
63.0
90.0
63.0
64.8
60.3
64.8
52.8
60.0
Kemasan III
11.2
52.0
53.6
49.6
53.1
52.2
51.3
52.2
61.2
60.3
63.0
59.4
66.6
50.4
64.0
Kemasan IV
11.2
48.0
52.0
44.8
53.1
53.1
52.2
51.3
69.3
61.2
66.6
63.0
63.0
52.0
63.2
Kemasan I
5.03
5.07
5.08
5.07
5.06
5.08
5.03
4.99
4.88
5.00
4.86
4.99
5.03
5.00
5.03
Kemasan III
5.33
4.93
4.93
4.93
4.93
4.94
4.94
4.91
4.83
4.92
4.85
4.92
4.95
4.96
4.97
Kemasan IV
5.33
4.92
4.91
4.94
4.94
4.94
4.93
4.91
4.83
4.91
4.88
4.92
4.95
4.93
4.96
Derajat Keasaman (pH)
90