PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN
Oleh : VENTY APRIANIE F34104049
2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Venty Aprianie. F34104049. Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays L.) Terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin. Dibawah bimbingan Liesbetini Hartoto dan Ani Suryani. RINGKASAN Jagung merupakan komoditas pertanian yang banyak ditanam di Indonesia. Sejauh ini pemanfaatannya masih terbatas pada biji, yang digunakan sebagai bahan pangan maupun pakan. Hasil samping yang berupa tongkol jagung pada pemanfaatan jagung umumnya masih sangat besar yaitu mencapai 46% untuk setiap varietas (Sapoetra, 1994), sehingga mulai dikembangkan pemanfaatan tongkol jagung agar menjadi produk yang lebih bernilai. Salah satu produk yang dihasilkan dari pemanfaatan tongkol jagung yaitu xilosa, sebagai bahan baku pembuatan xilitol yang bisa dimanfaatkan untuk pemanis pada permen maupun pasta gigi. Jagung merupakan komoditas pertanian yang cukup rentan terhadap serangan kapang, sehingga diperlukan penanganan selama masa penyimpanan. Salah satu kapang yang sering dijumpai mencemari jagung adalah Aspergillus flavus yang mampu menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin berbahaya bagi kesehatan karena bersifat karsinogen bagi manusia ataupun hewan yang mengkonsumsinya. Cemaran aflatoksin dalam kadar rendah (< 20 ppb) dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal, sedangkan dalam kadar tinggi ( ≥ 20 ppb), jika masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan bisa mengakibatkan kematian. Kadar maksimal aflatoksin yang diperbolehkan untuk dikonsumsi menurut Food and Drug Administration, USA adalah lebih kecil dari 20 ppb. Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan kadar air dan cara penyimpanan tongkol jagung terbaik, yang dapat menghambat pertumbuhan Aspergillus flavus dan pembentukan aflatoksin. Kadar air yang digunakan adalah 11%, 15% dan 19%, sedangkan cara penyimpanan yang digunakan adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan dan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Lama penyimpanan selama 30 hari dengan tiga waktu analisis, yaitu pada hari ke-0, 15 dan 30. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah tongkol jagung varietas BISMA. Penelitian terdiri dari dua tahap, yaitu penyiapan bahan baku dan penelitian utama. Penyiapan bahan baku terdiri dari karakterisasi bahan baku (tongkol jagung) dan pengaturan kadar air tongkol jagung. Karakterisasi tongkol jagung terdiri dari analisis kadar karbohidrat (by different), kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar, kadar abu dan kadar air, sedangkan pengaturan kadar air dilakukan dengan membasahkan atau mengeringkan tongkol jagung sampai diperoleh kadar air sekitar 11%, 15% dan 19%. Pada penelitian utama, dilakukan analisis terhadap kadar air selama penyimpanan, pertumbuhan populasi Aspergillus flavus dan kadar aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA. Metode analisis statistik yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dua dan tiga faktor. RAL dua faktor digunakan untuk menganalisis data kadar air tongkol jagung, sedangkan RAL tiga faktor digunakan untuk menganalisis data populasi pertumbuhan A. flavus.
Dari hasil analisis proksimat, dapat diketahui bahwa tongkol jagung memiliki kadar air sebesar 11.80±0.06%, sedangkan kandungan bahan lainnya berdasarkan bobot kering, menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki kadar karbohidrat (by diff) yang cukup tinggi yaitu sebesar 95.65±0.01%, kadar protein 1.62±0.07%, kadar lemak 1.14±0.04%., kadar abu 1.59±0.10% dan kadar serat kasar 34.02±0.09%. Kadar air tongkol jagung selama penyimpanan mengalami penurunan dengan persentase penurunan tertinggi terjadi pada tongkol jagung berkadar air 19% dan penyimpanan dengan cara dihamparkan yaitu sebesar 17.55%, sedangkan persentase penurunan kadar air terkecil terjadi pada penyimpanan tongkol jagung berkadar air 11% dan penyimpanan dengan dikemas menggunakan karung goni yaitu sebesar 4.84%. Analisis populasi A. flavus menunjukkan bahwa tongkol jagung berkadar air 11% dari masing-masing cara penyimpanan memiliki jumlah populasi paling sedikit, sedangkan populasi terbesar ditemukan pada tongkol jagung dengan kadar air 19% dari masing-masing cara penyimpanan. Sementara analisis kadar aflatoksin pada berbagai tingkat kadar air dan cara penyimpanan dengan menggunakan metode ELISA, menunjukkan tidak terdeteksi adanya aflatoksin pada tongkol jagung. Hal ini dapat disebabkan karena beberapa faktor, yaitu A. flavus yang tumbuh pada tongkol jagung berasal dari galur yang tidak menghasilkan toksin, aflatoksin yang dihasilkan bukan dari jenis B1 atau aflatoksin yang dihasilkan awalnya dari jenis B1 tetapi telah berubah menjadi aflatoksin B2, konsentrasi aflatoksin kurang dari 0.1 ppb sehingga tidak terdeteksi dengan menggunakan metode ELISA, dan terdapat jenis kapang lain (Aspergillus niger) yang tumbuh bersama dengan A. flavus, sehingga menghambat produksi aflatoksin oleh A. flavus.
Venty Aprianie. F34104049. The Influence of Water Content and Storage Method of Corncob (Zea mays L.) to Aspergillus flavus Growth and Aflatoxin Formation. Under supervision by Liesbetini Hartoto and Ani Suryani. ABSTRACT Corn is one of agricultural commodity that has been cultivated in high quantity in Indonesia. Until now, the utilization of corn has been limited to the seed, which used as feeds and foods. It caused by product, in the form of corncob has been reach 46% from all corn varieties (Sapoetra, 1994), so it has been started to expand the using of corncob to be a more useful product. One alternative of the corncob utilization is xilosa, as the raw material in xilitol production. Xilitol has been used on candy and sweetener product. Corn is agricultural commodity which susceptible to fungal infection, so it was need right condition during storage. A. flavus is one of mold that often contaminate corn. This fungy can produce aflatoxin, a toxin which was dangerous for human and animals health, if they eat the product which contaminated of aflatoxin. In low concentrations (not more than 20 ppb), aflatoxin cause liver and kidney cancer, while in high concentration (20 ppb or more), aflatoxin can cause death. Maximum aflatoxin concentration that was permitted to be consumed according to Food and Drug Administration, USA was no more than 20 ppb. The goal of this research were to get the best water content and the right storage method which can inhibite A. flavus growth and aflatoxin formation. Water content that applied in this research were 11%, 15% and 19%, while the storage method that used were ruged and packed use gunny sack. The duration of storage was 30 days with three times sampling, that were 0 day, 15 day and 30 day. The corn variety that used was Bisma. This research consist of two steps. First was preparation of raw material that include corncob characterizations and conditioning of water content. Corncob characterizations consist of carbohydrate, protein, fat, crude fiber, ash and water content, while conditioning of water content was done with moisting and drying the corncob to get the water content at 11%, 15% and 19%. In main research the measured parameters were water content, A. flavus population and aflatoxin concentration. The analyze of statistic method that used in this research were Completely Randomize Design with two factors and Completely Randomize Design with three factors. Completely Randomize Design with two factors was used to analyze water content data, while Completely Randomize Design with three factors was used to analyze A. flavus population data. The results of corncob characterizations were : water content 11.80±0.06%, ash content 1.59±0.010%, protein content 1.62±0.07%, crude fiber content 34.02±0.09, carbohydrate (by diff.) 95.65±0.01 and fat content 1.14±0.04%. In main research, the corncob water content was decrease during storage. The highest decrease of water content was occured on the storage with ruged method and 19% water content, while the lowest decrease was occured on the corncob which was packed use gunny sack and 11% water content. The storage method that gave the lowest population of A. flavus was the corncob which was packed use gunny sack and 11% water content. From each
storage method, the lowest population of A. flavus was obtained on 11% water content and the highest population was obtained on 19% water content. Aflatoxin analyze from all water contents and storage methods showed that no aflatoxin was detected with ELISA method. It was happened because A. flavus which growth on the corncob was species that not produce aflatoxin, the aflatoxin that produce by A. flavus was lower than 0.1 ppb, so it cannot be read by ELISA method because ELISA method just can read if the aflatoxin concentration was higher than 0,1 ppb, from the beginning, aflatoxin that was produced was B1 but it has been change to aflatoxin B2 in a natural process, so ELISA cannot read the result because ELISA method only can read aflatoxin B1, and the last there were another fungy (A. niger) that life together with A. flavus on AFPA media which cause A. flavus cannot produce aflatoxin.
PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays, L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Tekologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : VENTY APRIANIE F34104049
2009 DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH KADAR AIR DAN METODE PENYIMPANAN TONGKOL JAGUNG (Zea mays L.) TERHADAP PERTUMBUHAN Aspergillus flavus DAN PEMBENTUKAN AFLATOKSIN
Oleh Venty Aprianie F34104049
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknologi Pertanian Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Disetujui, Bogor, Januari 2009
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS
Dr. Ir. Ani Suryani, DEA.
Dosen Pembimbing Skripsi I
Dosen Pembimbing Skripsi II
PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang berjudul “Pengaruh Kadar Air dan Metode Penyimpanan Tongkol Jagung (Zea mays L.) Terhadap Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing, kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya.
Bogor, 28 Januari 2009 Yang membuat pernyataan
Venty Aprianie F34104049
RIWAYAT PENULIS
Penulis bernama Venty Aprianie, dilahirkan di Batang pada tanggal 17 April 1986. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di SD Tegalsari II selama 6 tahun, yaitu dari tahun 1992 sampai tahun 1998. Kemudian penulis melanjutkan Pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP N 3 Batang selama 3 tahun, yaitu dari tahun 1998 sampai 2001. Penulis menempuh Pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA N 1 Batang selama 3 tahun, yaitu dari tahun 2001 sampai 2004. Pada tahun 2004 penulis diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan. Penulis tercatat sebagai pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (BEM TPB) periode 2004/2005 sebagai wakil bendahara dan pengurus Dewan Keluarga Masjid AL-Hurriyah sebagai staf divisi ekonomi pada periode yang sama. Pada tahun 2005 penulis menjabat sebagai Sekretaris Departemen Pengabdian Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) periode 2005/2006 dan pengurus Ikatan Mahasiswa Pekalongan Batang (IMAPEKA) sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa. Pada tahun berikutnya penulis tercatat sebagai Bendahara Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Teknologi Pertanian (BEM FATETA) periode 2006/2007. Pada tahun 2007 penulis tercatat sebagai pengurus Forum Bina Islami sebagai staf Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa periode 2007/2008. Dalam bidang akademis, penulis tercatat sebagai Asisten Pendidikan Agama Islam pada Semester 6. Kemudian pada Semester 7, penulis menjadi asisten praktikum Teknologi Pengemasan dan Penyimpanan dan Teknologi Bioproses. Pada Semester 8 penulis tercatat sebagai asisten praktikum Peralatan Industri. Penulis melaksanakan Praktek Lapang pada tahun 2007 dengan Judul “Mempelajari Aspek Teknologi Proses Produksi Monosodium Glutamat di PT. Indonesia Miki Industries Batang-Jawa Tengah”.
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan kesabaran, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor dengan judul “Pengaruh Kadar Air dan Metode
Penyimpanan
Tongkol
Jagung
(Zea
mays,
L.)
Terhadap
Pertumbuhan Aspergillus flavus dan Pembentukan Aflatoksin”. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1. Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MS. selaku pembimbing akademik I yang telah dengan begitu sabar memberikan pengarahan, saran, kritik, informasi dan petunjuk dalam menyelesaikan skripsi ini dan selama penulis menempuh pendidikan di Departemen Teknologi Industri Pertanian, FATETA, IPB. 2. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA. selaku pembimbing akademik II yang dengan penuh kesabaran memberikan pengarahan, informasi, saran dan petunjuk dalam penyelesaian skripsi ini. 3. Ayah dan Ibu tercinta atas do’a dan air mata dalam sujud-sujud panjang tahajud dan dalam setiap langkah. Kata tidak akan pernah cukup untuk mengungkapkan rasa terima kasih dan cinta ini. 4. Mas Soso dan keluarga kecilnya yang sedang menanti kelahiran putra kedua, adik dari Alifian. Semoga menambah keceriaan dan rasa syukur. 5. Mbak Arum dan Mas Andhi yang sedang menanti kelahiran jundi pertama, terima kasih atas dukungan dan do’a-do’anya. 6. Mbak Wanti atas do’a dan dukungannya selama ini. Senang rasanya saat keterbukaan itu tercipta. Hidup ini tidak selamanya sulit. Selalulah berusaha Mbak! 7. PT. Lautan Luas yang telah berkenan membiayai penelitian penulis 8. Seluruh dosen yang telah membimbing penulis selama menempuh pendidikan pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB
ii
9. Seluruh karyawan Departemen Teknologi Industri Pertanian Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah banyak membantu 10. Teman-teman di Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian IPB yang telah memberikan banyak pelajaran selama 4 tahun bersama 11. Afifah crew (Nova, Aria, Choir, Ratna, Ika dan Cucu) yang telah memberi banyak pelajaran hidup dan keceriaan. Maafkan kalau aku tidak selalu memberi perhatian 12. Eli atas jasa ojeknya. Terima kasih banyak saudaraku. 13. Teman-teman seperjuangan di IPB khususnya FATETA yang telah berusaha bersama untuk menciptakan kondisi yang lebih baik. Jangan pernah berhenti dan menyerah dengan keadaan! 14. Teman-teman SMA N 1 BATANG yang telah banyak menyumbang do’a dan dukungan. Jarak tidak akan pernah menjadi penghalang untuk persahabatan dan persaudaraan kita 15. Seluruh pihak yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan skripsi ini. Terimakasih semuanya...! Tentunya skripsi ini belum sempurna, tetapi penulis berharap semoga dapat bermanfaat bagi yang menyusun maupun yang membaca.
Bogor, Januari 2009
Penulis
iii
DAFTAR ISI
Halaman RIWAYAT PENULIS .......................................................................
i
KATA PENGANTAR ......................................................................
ii
DAFTAR TABEL.............................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ........................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................
viii
BAB I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ...............................................
1
B. TUJUAN ...................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA A. JAGUNG …...............................................................
3
B. TONGKOL JAGUNG................................................
5
C. PENYIMPANAN JAGUNG …..................................
6
D. Aspergillus flavus ........... ..........................................
7
E. AFLATOKSIN ........................................................
10
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN.................................................
17
1. Alat........................................................................
17
2. Bahan....................................................................
17
B. METODE PENELITIAN............................................
17
1. Analisis Proksimat dan Penyiapan Bahan Baku.....
17
2. Penelitian Utama....................................................
17
C. RANCANGAN PERCOBAAN...................................
19
D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN.....................
21
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. ANALISIS PROKSIMAT...........................................
22
B. ANALISIS PERUBAHAN KADAR AIR....................
24
iv
C. ANALISIS PERTUMBUHAN Aspergillus flavus.......
29
1. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan.........................
30
2. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni........................................................... D. ANALISIS AFLATOKSIN.........................................
33 37
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ...........................................................
42
B. SARAN .....................................................................
43
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. ............
44
LAMPIRAN..........................................................................................
50
v
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Karakteristik Varietas Jagung Komposit Unggul.................
4
Tabel 2. Komposisi Kimia Tongkol Jagung ………………………..
5
Tabel 3. Konsentrasi Maksimal Aflatoksin pada Bahan Pangan dan Akibat yang Ditimbulkan……………………………...
13
Tabel 4. Konsentrasi Aflatoksin yang Diperbolehkan pada Berbagai Penggunaan…………………………………........
14
Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Tongkol Jagung………………….
22
Tabel 6. Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung Selama Penyimpanan……………………………………………….
25
Tabel 7. Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan ......................................
30
Tabel 8. Hasil Analisis Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni………………………………………………..
34
Tabel 9. Peta Plat Mikro Analisis Aflatoksin………………………..
56
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 1.
Jagung Tanpa Kelobot…………………………………..
3
Gambar 2.
Tongkol Jagung………………………………………….
5
Gambar 3.
Struktur Kimia Aflatoksin B1 dan M1 ………………….
12
Gambar 4.
Struktur Kimia Aflatoksin G1 …………………………..
13
Gambar 5.
Diagram Alir Metode Penelitian………………………...
19
Gambar 6.
Grafik Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung selama Penyimpanan……………………………………………
28
Grafik Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan..……..........
31
Gambar 8. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke-15 dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan ………………….,……………………….
32
Gambar 9. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA Tanpa Kompetitor pada Kadar Air 11% dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan Pengamatan Hari ke-15........
33
Gambar 10. Grafik Populasi Aspergillus flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas Menggunakan Karung Goni…………………………………………….
34
Gambar 11. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke 15 dan Penyimpanan dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni pada...
35
Gambar 12. Diagram Alir Proses Produksi Xilitol…………………..
38
Gambar 7.
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1.
Metode Analisis Proksimat…………………...............
51
Lampiran 2.
Dokumentasi Cara Penyimpanan Tongkol Jagung.......
53
Lampiran 3.
Metode Analisis Hasil Penelitian…………………......
54
Lampiran 4.
Hasil Analisis Perubahan Kadar Air…………..............
58
Lampiran 5
Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 11%.....................................................
59
Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 15%.....................................................
60
Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 19%.....................................................
62
Komposisi Media AFPA, Cara Pembuatan dan Sterilisasi…………………………………………
64
Data Hasil Isolasi Aspergillus flavus………………….
65
Lampiran 10. Data Hasil Analisis populasi A. flavus, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan terhadap Pertumbuhan A. flavus...................................................
66
Lampiran 11. Dokumentasi Hasil Isolasi A. flavus pada Media AFPA
69
Lampiran 12. Plat Mikro Pengujian Aflatoksin menggunakan Metode ELISA........... ..................................... .............
70
Lampiran 13. Hasil Analisis Aflatoksin………………………………
71
Lampiran 6.
Lampiran 7.
Lampiran 8. Lampiran 9.
viii
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Jagung merupakan salah satu komoditas pertanian yang cukup banyak ditanam di Indonesia. Sejauh ini pemanfaatan jagung dalam jumlah besar masih terbatas pada penggunaan biji jagung sebagai bahan pangan seperti sayur, jagung rebus dan popcorn dan sebagai pakan ternak, sehingga jumlah bahan buangan (limbah padat) yang berupa tongkol jagung masih sangat besar, yaitu rata-rata 46% untuk setiap varietas dalam sekali panen (Sapoetra, 1994). Persentase tongkol jagung yang cukup besar dan pemanfaatannya yang belum optimal ini mendorong para pakar untuk mendapatkan alternatif pemanfaatan limbah tongkol jagung menjadi produk yang prospektif. Salah satu produk yang dapat dihasilkan dari pemanfaatan tongkol jagung yaitu xilosa yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan xilitol yang bisa dimanfaatkan untuk pemanis pada permen maupun pasta gigi. Dalam rangka pemanfaatan tongkol jagung sebagai bahan baku pembuatan xilitol, maka diperlukan juga penanganan bahan baku tongkol jagung selama masa penyimpanan, mengingat jagung memiliki resiko yang sangat tinggi untuk terserang kapang. Hal ini disebabkan karena jagung termasuk juga tongkol jagung mengandung beberapa nutrisi seperti karbohidrat, protein, lemak dan serat yang berpotensi digunakan oleh kapang sebagai media pertumbuhan. Salah satu jenis kapang yang sering ditemukan pada jagung adalah Aspergillus flavus yang memproduksi aflatoksin dan bersifat karsinogen bagi manusia ataupun hewan yang mengkonsumsinya (Somantri, 2005). Jagung di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin yang cukup tinggi. Aflatoksin adalah racun yang dihasilkan kapang Aspergillus sp. Zat ini berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan. Cemaran Aspergillus flavus pada jagung umumnya terjadi sejak tanaman masih berada di kebun, karena kapang ini merupakan jenis kapang yang secara alami terdapat pada tanah. Bagian tanaman jagung yang umumnya lebih dahulu diserang oleh kapang adalah akar, kemudian batang, daun, buah jagung dan selanjutnya
1
merambat ke bagian yang lebih dalam. Beberapa kondisi yang mendorong pertumbuhan A. flavus adalah kadar air dan kelembaban yang cukup tinggi serta kondisi atmosfer. A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada kadar air 13-18%, suhu sekitar 30oC dan RH ≥ 95% (Onions et al., 1981 di dalam Corry, et al., 1986). Aflatoksin dalam kadar tinggi (di atas 20 ppb) jika masuk ke dalam tubuh manusia atau hewan bisa mengakibatkan kematian. Sementara kontaminasi aflatoksin dalam kadar rendah (di bawah 20 ppb) dalam jangka panjang bisa menyebabkan kanker hati atau kanker ginjal (Anonim. 2000). Aflatoksin merupakan salah satu contoh mikotoksin yang mempunyai daya racun yang sangat tinggi. Menurut hasil penelitian pada Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan Amerika Serikat, aflatoksin dapat dihasilkan pada banyak jenis substrat, antara lain beras, jagung, gandum serta biji-bijian lainnya terutama kacang-kacangan, yang tersimpan dalam kondisi yang kurang memenuhi syarat (Suriawiria, 2004). Berdasarkan beberapa resiko diatas, maka perlu dilakukan penanganan pascapanen yang mampu mendukung ketahanan tongkol jagung terhadap pencemaran A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Salah satunya adalah dengan menentukan kondisi penyimpanan yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin, seperti pengaturan kadar air dan metode penyimpanan tongkol jagung.
B. TUJUAN Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mendapatkan kadar air dan cara penyimpanan tongkol jagung terbaik, sehingga dapat mengurangi pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Kadar air yang digunakan adalah 11 %, 15 % dan 19 %, sedangkan cara penyimpanan yang digunakan adalah dengan cara dihamparkan dan dengan cara dikemas menggunakan karung goni dengan lama penyimpanan selama 30 hari.
2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. JAGUNG Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman bijibijian dari keluarga rumput-rumputan (Graminae) (Warisno, 1998). Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman palawija utama di Indonesia yang kegunaannya relatif luas, terutama sebagai bahan pangan dan pakan ternak. Jagung sebagai tanaman pangan menduduki urutan kedua setelah padi (AAK, 1993). Gambar jagung dapat dilihat pada Gambar 1. Taksonomi tanaman jagung adalah sebagai berikut (Anonim, 2005). Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan berbiji)
Sub Divisi : Angiospermae (berbiji tertutup) Kelas
: Monocotyledone (berkeping satu)
Ordo
: Graminae
Famili
: Graminaceae
Genus
: Zea
Spesies
: Zea mays L.
Gambar 1. Jagung Tanpa Kelobot (http://indonetwork.net) Produksi jagung di Indonesia pada tahun 2007 mencapai 13.29 juta ton. Dibandingkan dengan produksi tahun 2006, terjadi kenaikan sebanyak 1.68 juta ton atau sekitar 14.45%. Sementara produksinya pada tahun 2008 diprediksi mencapai 14.85 juta ton. Jumlah ini naik sebanyak 1.57 juta ton atau sebesar 11.79% dibandingkan produksi jagung tahun 2007. Secara umum, kenaikan produksi itu terjadi karena peningkatan luas panen dan peningkatan produktivitas. Rata-rata produksi jagung setiap tahun mengalami
3
kenaikan 0.69% dari 34.5 kuintal per ha menjadi 34.8 kuintal per ha (BPS, 2008) Varietas jagung komposit unggulan yang banyak ditanam di Indonesia antara lain Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning, dan Srikandi Putih. Jagung komposit adalah varietas jagung hasil persilangan dari beberapa varietas. Jagung komposit terutama dari varietas Lamuru, Sukmaraga, Bisma, Srikandi Kuning, dan Srikandi Putih memiliki potensi hasil tinggi (7-8 ton/ha), hampir menyamai hasil varietas jagung hibrida, toleran terhadap kekeringan, tahan kondisi asam, rata-rata mempunyai kadar protein yang tinggi, dan dapat ditanam dari benih tanaman sebelumnya tanpa menurunkan hasil panen (BPTP, 2008). Sementara itu kriteria yang ditentukan petani terhadap varietas unggulan yaitu meliputi tongkol besar yang mengindikasikan potensi hasil tinggi, posisi tongkol rendah akan lebih tahan terhadap kerebahan akibat angin kencang seperti angin puting beliung, penutupan kelobot yang baik akan lebih aman dari kontaminasi hama gudang dan cendawan yang dapat memproduksi aflatoksin, mampu disimpan dalam waktu lama, dan warna biji jernih (diduga memiliki nilai beta karoten tinggi) (BPTP, 2008). Karakteristik varietas unggul jagung komposit yang dihasilkan oleh Badan Litbang Pertanian disajikan pada Tabel 1. ` Tabel 1. Karakteristik Varietas Jagung Komposit Unggul Varietas
Hasil Potensi Rata-rata Hasil (ton/ha) (ton/ha) BISMA 5.7 7.5 Lamuru 5.6 7.6 Sukmaraga 6.0 8.5 Srikandi Kuning-1 5.4 7.9 Srikandi Putih-1 5.9 8.1 Anoman (putih) 5.0 7.0 Sumber : http://www.puslittan.bogor.net.
Umur Panen (hari) 90 95 105 110 110 102
Keunggulan Spesifik
Tahan kekeringan Tahan kekeringan Tahan keasaman Protein bermutu tinggi Protein bermutu tinggi Rasa enak
4
B. TONGKOL JAGUNG Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-12 cm (Effendi dan Sulistiati, 1991). Menurut Koswara (1991), jagung mengandung kurang lebih 30% tongkol jagung dan sisanya adalah biji dan kulit. Menurut Maynard dan Loosli (1993), tongkol jagung terdiri dari serat kasar 35.5%, protein 2.5%, kalsium 0.12%, fosfor 0.04% dan zat-zat lain sisanya 38.16%. Tongkol jagung dapat dilihat pada Gambar 2, sedangkan komposisi kimia tongkol jagung disajikan pada Tabel 2.
Gambar 2. Tongkol Jagung Tabel 2. Komposisi Kimia Tongkol Jagung Komposisi Karbohidrat • Glukan • Xilan • Arabinan • Galaktan • Lignin Abu Protein Lemak kasar Gugus asetil Bahan lain (by different) Asam Uronat a : Parajo et al. (2003) b : White dan Johnson (2003)
a (% bk)
b (% bk)
34.40 ± 0.40 31.30 ± 0.30 3.01 ± 0.07 18.80 ± 0.10
39.40 28.40 3.60 1.10 7.00
1.30 ± 0.03 4.30 ± 0.09 3.08 ± 0.01 0.46 3.36 ± 0.09
1.70 3.20 0.70 -
Kandungan protein dan karbohidrat dalam bentuk monosakarida, disakarida atau polisakarida yang terdapat pada tongkol jagung merupakan nutrisi yang cukup potensial untuk pertumbuhan A. flavus karena A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada substrat yang cukup mengandung sukrosa,
5
glukosa, ribosa, xilosa dan gliserol serta protein, baik organik maupun anorganik (Diener dan Davist, 1969).
C. PENYIMPANAN JAGUNG Produk pertanian yang akan disimpan, terutama biji-bijian sebaiknya dikeringkan sampai dengan kadar air yang sesuai untuk penyimpanan. Di negara-negara beriklim sedang, kadar air penyimpanan biji-bijian yang ideal adalah di bawah 13% untuk penyimpanan lebih dari 9 bulan, sedangkan untuk penyimpanan yang singkat kadar air dapat mencapai 14%. Sementara untuk negara-negara beriklim tropis dengan suhu dan kelembaban yang tinggi, kadar air ideal untuk penyimpanan biji-bijian berkisar antara 7 - 9% terutama untuk komoditi yang disimpan lebih dari tiga bulan. Produk sebaiknya disimpan di gudang penyimpanan dengan sirkulasi udara yang baik. Jika memungkinkan, suhu dan kelembaban diukur secara rutin selama periode penyimpanan. Kenaikan suhu 2-3°C dapat menunjukkan adanya infeksi kapang atau serangga. Untuk produk yang dikemas, sebaiknya digunakan kemasan yang memiliki pori-pori untuk sirkulasi udara dan diletakkan dengan menggunakan alas papan (Maryam, 2006). Laju respirasi setelah panen pada produk buah dan sayuran tergantung pada kelembaban, suhu dan tingkat kerusakan (perlukaan saat panen) (Watson dan Ramstad, 1994). Sebagai bahan yang kandungan karbohidratnya cukup tinggi, jagung sangat mudah terserang mikroba, sehingga setelah dipanen jagung sebaiknya segera dikupas kulitnya dan dijemur sampai cukup kering. Setelah cukup kering, segera dipipil dan dipisahkan antara biji jagung dan tongkolnya. Tongkol jagung kemudian dijemur lagi sampai kering konstan (kadar air kurang lebih 12%) agar dapat disimpan dalam jangka waktu lama (Suprapto, 1998). Sampai saat ini sebagian besar pengeringan jagung dilakukan dengan cara penjemuran. Baik dengan kulit, tanpa kulit atau dalam bentuk pipilan. Pengeringan tongkol jagung dengan memanfaatkan sinar matahari dilakukan kurang lebih 7-8 hari agar diperoleh kadar air 9%-11% (Prabowo, 2007).
6
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi ketahanan tongkol jagung selama penyimpanan yaitu meliputi aktivitas air (aw) dan kadar air bahan, suhu, substrat (komposisi nutrisi bahan), ketersediaan oksigen, nitrogen dan karbon dioksida, kerusakan mekanis dan interaksi dengan serangga, jumlah spora yang menginfeksi dan lama waktu penyimpanan (Miller dan Trenholm, 1994). Cara penyimpanan bahan sebelum dilakukan proses pengolahan lebih lanjut dapat dilakukan dengan atau tanpa pengemasan. Penyimpanan tanpa pengemasan yaitu penyimpanan dimana bahan dibiarkan kontak langsung dengan udara terbuka. Sementara penyimpanan dengan pengemasan yaitu penyimpanan yang dilakukan dengan terlebih dahulu mengemas bahan menggunakan bahan kemasan, yang akan lebih baik jika disesuaikan dengan karakter bahan yang dikemas. Pada pengemasan bahan yang tidak dimaksudkan untuk membuat atmosfer termodifikasi, hal yang diutamakan adalah menghindari kondisi beracun dan kondensasi uap air di dalam kemasan (Robertson, 1993). Pengemasan bahan selama masa penyimpanan ditujukan untuk melindungi bahan dari perubahan kondisi lingkungan penyimpanan yaitu kelembaban dan suhu. Kemasan yang baik dapat menciptakan ekosistem ruang penyimpanan yang baik, sehingga bahan bisa disimpan lebih lama. Penyimpanan bahan pada ruang penyimpanan terbuka akan menyebabkan bahan cepat mengalami kemunduran atau daya simpannya menjadi lebih singkat karena pengaruh fluktuasi lingkungan seperti suhu dan kelembaban. Selain itu dalam ruang penyimpanan terbuka, bahan berhubungan langsung dengan lingkungan luar yang mungkin dapat mencemari bahan, baik berupa pencemar mikro seperti mikroba maupun pencemar makro seperti serangga (Robi’in, 2007).
D. Aspergillus flavus Selama masa tanam di kebun ataupun penyimpanan, jagung rentan terhadap serangan kapang dan hama. Mikroba yang sering dijumpai terdapat pada tanaman jagung antara lain Aspergillus spp., Fusarium spp., dan
7
Penicillium spp. Infeksi awal terjadi pada fase penanaman di lapang, kemudian terbawa oleh benih ke tempat-tempat penyimpanan (Schutless et al.,
2002).
Mikroba
patogen
tersebut
kemudian
berkembang
dan
memproduksi mikotoksin, sehingga bahan menjadi rusak dan bermutu rendah. Di daerah beriklim tropis, suhu, curah hujan dan kelembaban yang tinggi serta media penyimpanan yang tidak memadai, sangat mendukung perkembangan mikroba tersebut. Secara umum, pengertian mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang seperti Aspergillus spp., Fusarium spp., dan Penicillium spp. adalah hasil metabolisme sekunder yang bersifat toksik. Bath dan Miller (1991) melaporkan bahwa mikotoksin yang paling banyak dan sering ditemui pada jagung adalah A. flavus. Toksin yang dihasilkanpun paling berbahaya dan banyak mencemari produk-produk pertanian di berbagai negara. Di Indonesia, aflatoksin juga merupakan mikotoksin yang dominan mencemari produk pertanian, terutama jagung dan kacang tanah (Bachri, 2001). A. flavus merupakan salah satu spesies kapang atau fungi yang termasuk ke dalam divisi Tallophyta, sub-divisi Deuteromycotina, kelas fungi Imperfecti, ordo Moniliales, famili Moniliaceae dan genus Aspergillus (Frazier dan Westhoff, 1987). A. flavus merupakan kapang saprofit yang umumnya mengkontaminasi berbagai jenis bahan makanan yang disimpan. Sifat morfologis A. flavus yaitu bersepta, miselia bercabang biasanya tidak berwarna, konidiophor muncul dari kaki sel, sterigmata sederhana atau kompleks dan berwarna atau tidak berwarna, konidia berbentuk rantai berwarna hijau, coklat atau hitam (Smith dan Pateman, 1977). Menurut Bhatnagar et al. (2000) di dalam Robinson et al. (2002), A. flavus memiliki hifa berseptum dan miselium bercabang, koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan yang dapat tumbuh pada suhu 12-48 oC dengan aw minimal 0.8, sedangkan suhu optimal untuk pertumbuhannya adalah 25-42oC. Pertumbuhan kapang dan perkecambahan konidia ideal pada aw lebih rendah dari 0.9 dan akan terhambat jika aw kurang dari 0.75.
8
A. flavus merupakan kapang yang hidup di tanah dan merupakan kapang
gudang,
sehingga
apabila
kondisi
lingkungannya
cukup
menguntungkan, maka perkembangan dan pertumbuhannya akan sangat cepat (Betina, 1989). Cemaran A. flavus dapat terjadi saat jagung masih ditanam di kebun ataupun saat disimpan. Cemaran di kebun disebabkan karena kapang A. flavus merupakan jenis kapang yang terdapat secara alami pada tanah. Kontaminasi serangga juga dapat mempercepat cemaran A. flavus dan aflatoksin (Sumner, 2003). Menurut Sauer (1986), A. flavus tidak akan tumbuh pada kelembaban udara relatif di bawah 85% dan kadar air di bawah 16%. Aw minimum yang dibutuhkan A. flavus untuk tumbuh adalah 0.80 (Richard et al., 1982). Sedangkan menurut Christensen et al. (1974) di dalam Christensen (1980), A. flavus tumbuh optimal pada aw 0.85. Nilai ini jika disetarakan dengan kadar air kesetimbangan optimum pada penyimpanan tongkol jagung adalah sekitar 18-18.5%. Menurut Hesseltine (1976), A. flavus tumbuh pada kadar air 13-18%, sedangkan menurut Diener dan Davist (1969), kelembaban relatif yang aman untuk penyimpanan biji-bijian adalah 70%, karena hanya sedikit kapang yang dapat tumbuh. A. flavus adalah kapang mesofit yang membutuhkan RH minimal 80-90% untuk pertumbuhannya. RH minimum untuk pertumbuhan dan germinasi spora adalah 80% dan RH minimal 85% untuk sporulasi. Sebagai kapang mesofilik, A. flavus mempunyai suhu pertumbuhan minimum 6-8oC, optimum 36-38oC dan maksimum 44-46oC. Suhu pertumbuhan minimum dan maksimum ini dipengaruhi oleh faktor lain seperti konsentrasi oksigen, kadar air, nutrien dan lain-lain (Diener dan Davist, 1969). Umumnya penurunan konsentrasi oksigen dapat menurunkan produksi aflatoksin karena A. flavus sebagai kapang penghasil aflatoksin bersifat aerobik obligat, tetapi rendahnya kandungan oksigen tidak menyebabkan kematian pada miselia dan spora (Hesseltine, 1976). Pertumbuhan A. flavus selain dipengaruhi oleh lingkungan seperti kadar air, oksigen, unsur makro (karbon, nitrogen, fosfor, kalium dan
9
magnesium) dan unsur mikro (besi, seng, tembaga, mangan dan molibdenum), juga dipengaruhi oleh cahaya, temperatur, kelembaban dan keberadaan kapang lain. Temperatur yang optimal untuk pertumbuhan A. flavus sekitar 30oC dan RH ≥ 95% (Onions et al., 1981 di dalam Corry et al., 1986). Menurut Sumner (2003), kadar air biji yang optimal untuk pertumbuhan dan perkembangan A. flavus adalah 18% dengan interval optimum antara 13-20%. Cemaran A. flavus pada tongkol jagung dapat dilihat pada penampakan hifa dari kapang ini yang menunjukkan warna hijau abuabu atau hijau kekuningan.
E. AFLATOKSIN Aflatoksin merupakan salah satu jenis mikotoksin yang banyak menimbulkan masalah terutama pada manusia dan ternak. Aflatoksin terutama dihasilkan oleh kapang A. flavus dan A. parasiticus (Goldblatt, 1969). Produksi aflatoksin oleh A. flavus dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal tergantung dari galur A. flavus (toksigenik dan non-toksigenik). Sedangkan faktor eksternal disebabkan oleh beberapa kondisi lingkungan, antara lain : 1. Aw dan Kadar Air Pada aw 0.90 produksi aflatoksin mencapai nilai tertinggi dan pertumbuhan A. flavus lebih baik dibandingkan kompetitornya yaitu Fusarium graminearum, Penicillium viridicatum, dan Aspergillus niger dan akan mengalami penurunan seiring dengan peningkatan aw, yaitu sampai dengan aw 0.98. (Lacey et al., 1992). 2. Suhu Produksi aflatoksin tergantung dari pertumbuhan A. flavus. Umumnya A. flavus mampu tumbuh dengan baik pada suhu 25-42 oC dan pada suhu itu pula aflatoksin bisa dihasilkan (Bhatnagar et al., 2000 di dalam Robinson et. al., 2002).
10
3. Substrat Beberapa bahan kimia yang mampu mendorong produksi aflatoksin oleh A. flavus antara lain glukosa, sukrosa, ribosa, xilosa dan gliserol sebagai sumber karbon, protein dalam bentuk organik misalnya aspartat, glisin, glutamin dan glutamat maupun non-organik sebagai sumber nitrogen dan unsur mikro seperti magnesium, besi, dan seng. Secara umum kandungan lemak, protein dan trace elemen, asam amino dan asam lemak pada suatu bahan, mampu mendorong produksi aflatoksin oleh A. flavus (Diener dan Davist, 1969). 4. Kondisi Atmosfer Landers et al. (1967) melaporkan bahwa pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh A. flavus terjadi pada kadar O2 1% dan N2 99% juga pada O2 1%, N2 79 % dan CO2 20%, tetapi akan terhambat pada kadar O2 1%, N2 19%, dan CO2 80%. Kondisi ini memperlihatkan bahwa pertumbuhan dan produksi aflatoksin oleh kapang lebih sensitif pada kadar CO2 yang tinggi dibandingkan kadar N2 yang tinggi dan O2 yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi gas di atmosfer lebih mempengaruhi produksi toksin daripada pertumbuhan kapang (Paster dan Bullerman, 1988). 5. Interaksi Mikrobial Mislivec et al. (1988) melaporkan bahwa ketika A. parasiticus atau A. ochraceus tumbuh bersama sama A. flavus, hal ini tidak mempengaruhi produksi aflatoksin, tetapi jika A. flavus tumbuh bersama-sama A. niger atau Trichoderma viride Pers., ia tidak akan memproduksi aflatoksin (Wicklow et al., 1980). 6. Kerusakan Mekanik dan Infeksi Serangga Kerusakan yang terjadi pada saat panen, seperti perlukaan atau memar dapat memudahkan mikroba untuk menginfeksi bahan. Pada kadar air yang cukup tinggi dan terdapat infeksi serangga bersama dengan A. flavus, nitrogen hasil buangan serangga akan menyediakan sumber nitrogen dan karbon yang potensial untuk pertumbuhan mikroba (Sinha, 1969). Meskipun demikian, hubungan antara infeksi serangga dan
11
pertumbuhan mikroba belum bisa diprediksi secara pasti. Ada beberapa serangga yang menghambat pertumbuhan kapang, tetapi ada juga yang meningkatkan pertumbuhan kapang (Dunkel, 1988). 7. Waktu Umumnya pada hari ke-5 setelah masa inkubasi, terdapat sedikit toksin yang dihasilkan oleh kapang. Produksi toksin mulai banyak ditemukan pada hari ke-7 setelah pertumbuhan A. flavus. Kemudian meningkat pada hari ke-30, namun tidak ditemukan adanya waktu yang menunjukkan produksi toksin berada pada nilai yang tetap (Madhyasta et al., 1990). Menurut Dollear (1969) di dalam Goldblatt (1974), aflatoksin murni bersifat tidak larut dalam air dan hidrokarbon petroleum, tetapi larut dalam pelarut polar seperti metanol, etanol, kloroform dan benzena. Saat ini dikenal empat golongan utama aflatoksin, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Penggolongan ini didasarkan pada penampakannya pada sinar UV, yaitu B untuk blue (biru) dan G untuk green (hijau) (Siregar, 1986). Di samping keempat jenis aflatoksin di atas, masih ada beberapa golongan aflatoksin lain seperti M1 dan M2 yang tidak terlalu sering dijumpai. Penggolongan aflatoksin jenis M didasarkan pada pendeteksian senyawa ini di dalam susu sapi (M untuk milk) (Betina, 1989). Steyn (1991) dan Miller (1959) menyatakan bahwa aflatoksin B2 merupakan turunan dihidroaflatoksin B1, sedangkan aflatoksin G2 merupakan turunan dihidroaflatoksin G1. Menurut Goldblatt (1969), aflatoksin M1 adalah 4-hidroksiaflatoksin B1 dan aflatoksin M2 adalah 4-hidroksiaflatoksin B2. Struktur kimia aflatoksin B1 dan M1 disajikan pada Gambar 3, sedangkan struktur kimia aflatoksin G1 disajikan pada Gambar 4.
Gambar 3. Struktur Kimia Aflatoksin B1 dan M1 (Anonim, 2007)
12
Gambar 4. Struktur Kimia Aflatoksin G1 (Anonim, 2007) Aflatoksin merupakan senyawa organik beracun yang sering mencemari produk pangan dan pakan. Keberadaannya pada berbagai produk pangan dan pakan tidak hanya menurunkan mutu produk, tetapi juga dapat mengakibatkan kematian pada konsumen. Kontaminasi aflatoksin di negara maju sering terjadi pada masa prapanen, sedangkan di negara berkembang, kontaminasi aflatoksin sering terjadi selama masa penyimpanan (Miller, 1959). Pengaruh
toksik
yang
ditimbulkan
oleh
aflatoksin
disebut
aflaktoksikosis (Goldblatt, 1969). Selain bersifat toksigenik, aflatoksin juga bersifat karsinogenik. Karsinogenisitas aflatoksin pada ternak dan manusia disebabkan oleh pembentukan metabolit 2,2-epoksida yang mampu merusak reseptor sel hati (Heathcothe dan Hibbert 1969). Aflatoksin dapat mengakibatkan radang hati, kelesuan, hepatitis dan kematian (Siregar, 1986). Menurut Pitt dan Hocking (1997), aflatoksin yang paling berbahaya adalah dari jenis B1. Konsentrasi maksimal aflatoksin pada bahan pangan dan akibat yang ditimbulkan disajikan pada Tabel 3, sedangkan konsentrasi aflatoksin yang diperbolehkan pada berbagai penggunaan disajikan pada Tabel 4. Tabel 3. Konsentrasi Maksimal Aflatoksin pada Bahan Pangan dan Akibat yang Ditimbulkan Konsentrasi Aflatoksin (ppb) 20 50 100 200-400 >400 Sumber : www.ipm.iastate.edu
Efek yang Ditimbulkan Level maksimal cemaran untuk manusia Level maksimal cemaran untuk hewan Pertumbuhan lambat pada usia muda Pertumbuhan lambat pada usia tua Kerusakan hati dan kanker
13
Tabel 4. Konsentrasi Aflatoksin yang Diperbolehkan pada Berbagai Penggunaan Penggunaan Susu (perusahaan susu) Jagung yang belum pasti pengolahannya Jagung untuk hewan muda Jagung untuk pakan ternak lembu Jagung untuk pakan sapi, babi, dan unggas dewasa Jagung untuk pakan babi sebelum dipotong Jagung untuk pakan lembu sebelum dipotong Sumber : www. pubs.caes.uga.edu
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Tidak dideteksi <20 <20 <20 <100 <200 <300
Aflatoksin tidak bisa dihilangkan secara alami dari bahan yang telah terkontaminasi, tetapi ada beberapa bahan yang telah diketahui dapat mengurangi konsentrasi aflatoksin pada produk pertanian, antara lain : 1. Asam Asam kuat mampu mengubah aflatoksin menjadi bentuk hemiasetal melalui proses hidrolisis. Konversi oleh asam dari aflatoksin B1 dan aflatoksin G1 menjadi aflatoksin B2 dan aflatoksin G2 juga sekaligus mengurangi efek toksin yang ditimbulkan. Meskipun efek toksin dari bentuk aflatoksin B2 dan aflatoksin G2 lebih ringan, tetapi bentuk ini lebih sulit untuk didegradasi lebih lanjut oleh asam. Laju pembentukan aflatoksin B1 menjadi aflatoksin B2 dan aflatoksin G1 menjadi aflatoksin G2 meningkat apabila terdapat penurunan pH dan peningkatan suhu, tetapi tidak
semua
asam
mampu
mengurangi
kontaminasi
aflatoksin.
Penambahan asam sitrat pada komoditas susu yang mengandung aflatoksin M1, tidak mampu mengurangi konsentrasi aflatoksin. Beberapa jenis asam yang telah diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin pada suatu komoditas adalah asam klorida, antranilat, benzoat, borat, oksalat dan propionat dengan konsentrasi 5N, asam salisilat, sulfamat, sulfosalisilat pada konsentrasi 3N rata-rata mampu mengurangi kadar aflatoksin sampai 1 ppm pada suhu 25oC, RH 90% dan kadar air bahan 25% dalam waktu 72 jam.
14
2. Basa Pengurangan kadar aflatoksin dengan perlakuan basa, dilakukan dengan mengggunakan bahan organik maupun nonorganik. Alkali menyebabkan cincin lakton pada aflatoksin B1 terhidrolisis. Kondisi ini hanya bersifat sementara karena cincin lakton mampu menutup kembali jika berada dalam kondisi asam, sehingga akan terbentuk kembali aflatoksin B1. Beberapa jenis basa yang sudah diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin adalah kalsium hidroksida 2%, NaOH 3% dan kombinasi antara kalsium hidroksida 2% yang diikuti dengan metilamin 0,5%. Perlakuan kombinasi antara kalsium hidroksida 2% yang diikuti dengan metilamin 0.5% mampu mereduksi aflatoksin dan menghambat pembentukan kembali menjadi aflatoksin B1. 3. Bisulfit Bisulfit merupakan bahan kimia yang memiliki daya aktif yang cukup tinggi dan umum digunakan pada beberapa bahan makanan dan sayuran karena mampu menghambat dan mengurangi reaksi enzimatis maupun non enzimatis pada pencoklatan produk pertanian, pertumbuhan sebagian besar jenis mikroba, dan berfungsi sebagai antioksidan. Bisulfit juga diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin. Baik dalam bentuk bisulfit maupun dalam bentuk persenyawaan, misalnya natrium bisulfit. Dalam bentuk natrium bisulfit, reduksi aflatoksin terjadi karena natrium bisulfit bereaksi dengan ikatan 8,9 cincin furan dari aflatoksin, sehingga menyebabkan aflatoksin bersifat larut dalam air. Aflatoksin B1 mampu tereduksi seluruhnya jika direndam dalam natrium bisulfit 10% selama 72 jam dan diikuti dengan penyaringan, pengeringan, dan inkubasi pada suhu 50oC selama 21 hari. Perlakuan menggunakan bisulfit 1% yang diikuti dengan hidrogen peroksida 0.2% selama 72 jam pada suhu 25oC mampu mereduksi jumlah aflatoksin B1 yang lebih banyak dibandingkan jika reduksi dilakukan dengan hanya menggunakan bisulfit. 4. Hipoklorit Hipoklorit yang umum digunakan untuk mengurangi kadar aflatoksin adalah senyawa natrium hipoklorit. Natrium hipoklorit mampu
15
mengurangi kadar aflatoksin melalui proses oksidasi, yang menyebabkan gugus OH radikal keluar (dilepaskan). 5. Amonium Beberapa jenis amonium yang telah diketahui mampu mengurangi kadar aflatoksin adalah amonia 2% pada suhu 45oC, selama 60 menit pada tekanan 55 psi., amonium hidroksida 1.5% pada kadar air 20% selama 5 hari juga mampu mengurangi kadar aflatoksin sampai di bawah 20 ppb tanpa pembentukan kembali aflatoksin menjadi bentuk awal (aflatoksin B1). 6. Ozonisasi Ozonisasi termasuk proses oksidasi. Dengan cara ini, biaya yang dikeluarkan lebih rendah dibandingkan beberapa perlakuan menggunakan bahan kimia yang telah disebutkan di atas. Proses ozonisasi umum dilakukan pada kadar kelembaban 30% dan suhu 100oC selama 2 jam. Pengurangan kadar aflatoksin B1 dengan cara ini, menyebabkan terbentuknya aflatoksin B2 sebanyak 9%. Sejauh ini, beberapa alternatif metode untuk mengurangi kadar aflatoksin tergolong mahal dan memerlukan banyak sarana maupun prasarana, sehingga cukup sulit untuk diterapkan dalam skala besar. Cara yang mungkin paling murah dan mudah adalah dengan menyimpan bahan pada kondisi yang mampu untuk menghambat aflatoksin, misalnya dengan mengatur kadar air bahan sampai di bawah batas minimal kadar air yang diperlukan untuk pertumbuhan kapang, mengatur kondisi atmosfer di sekitar bahan yang disimpan, misalnya dengan pengemasan bahan menggunakan bahan kemasan yang sesuai dengan karakter bahan, menjaga sanitasi dan kebersihan tempat penyimpanan produk (Abbas, 2005).
16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. ALAT DAN BAHAN 1.
Alat Peralatan yang digunakan pada penelitian ini antara lain oven, inkubator, timbangan analitik, shaker, desikator, jarum ose, pemanas api bunsen, cawan petri, cawan porselin, cawan alumunium, labu erlenmeyer, labu ukur, pipet, gelas ukur, tabung reaksi, gelas piala dan peralatan analisis aflatoksin dengan menggunakan metode ELISA.
2. Bahan Bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain tongkol jagung varietas Bisma, bahan pengemas berupa karung goni, media AFPA (Aspergillus flavus dan Parasiticus Agar) yang terdiri dari pepton, ekstrak khamir, feri amonium sitrat, kloramfenikol, agar-agar bacto, dikloran dan akuades, metanol 80% dan bahan untuk analisis aflatoksin menggunakan metode ELISA yang terdapat di Balai Besar Penelitian Veteriner, Bogor.
B. METODE PENELITIAN 1.
Analisis Proksimat dan Penyiapan Bahan Baku Analisis proksimat dilakukan untuk mengetahui kondisi dan komposisi awal bahan. Analisis proksimat yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar serat kasar, kadar protein dan kadar lemak. Metode analisis proksimat disajikan pada Lampiran 1. Sementara penyiapan bahan baku dilakukan untuk mengatur kadar air tongkol jagung dengan cara dibasahkan sampai diperoleh kadar air tongkol pada kisaran 11%, 15% dan 19%.
2. Penelitian Utama Bahan baku berupa tongkol jagung varietas Bisma dengan kadar air 11% (A1), 15% (A2) dan 19% (A3) ditimbang sebanyak 60 gram. Tongkol yang telah ditimbang kemudian disimpan dengan cara
17
dihamparkan (B1) dan dikemas menggunakan karung goni (B2). Perlakuan penyimpanan tongkol jagung adalah sebagai berikut : 1. A1B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 11% penyimpanan dengan cara dihamparkan 2. A1B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 11% penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni 3. A2B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 15% penyimpanan dengan cara dihamparkan 4. A2B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 15% penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni 5. A3B1 : tongkol jagung Bisma kadar air 19% penyimpanan dengan cara dihamparkan 6. A3B2 : tongkol jagung Bisma kadar air 19% penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni Seluruh sampel kemudian disimpan di dalam ruangan yang memiliki suhu ruang, yaitu antara 25-27oC. Dokumentasi cara penyimpanan tongkol jagung disajikan pada Lampiran 2. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap sampel. Analisis
dilakukan pada awal
penyimpanan (hari ke-0) kemudian selanjutnya dilakukan pada hari ke15 dan 30. Analisis yang dilakukan meliputi analisis kadar air, populasi A. flavus, dan konsentrasi aflatoksin. Metode analisis hasil penelitian disajikan pada Lampiran 3. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 5.
18
Tongkol jagung
Analisis proksimat
Pengaturan kadar air tongkol jagung menjadi 11, 15 dan 19%
Penimbangan dari setiap kadar air masing-masing 60 g (2 ulangan)
Penyimpanan
kadar air 11% kemasan karung goni
kadar air 15% kemasan karung goni
kadar air 19% kemasan karung goni
kadar air 11% dihamparkan
kadar air 15% dihamparkan
kadar air 19% dihamparkan
Penyimpanan 1 bulan
Analisis kadar air, populasi Aspergillus flavus dan aflatoksin pada hari ke-0,15 dan 30
Gambar 5. Diagram Alir Penelitian
C. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini ada dua macam, yaitu : 1. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan dua faktor, yaitu lama penyimpanan (α) dan cara penyimpanan. (β). Masing-masing lama penyimpanan dengan tiga taraf waktu analisis (0 hari, 15 hari dan 30 hari) dan cara penyimpanan dengan dua taraf (dihamparkan dan dikemas menggunakan karung goni). RAL dengan dua faktor digunakan pada analisis data perubahan kadar air tongkol jagung. Rumus matematika untuk RAL dengan dua faktor yaitu :
Yijk = µ + αi + βj + αβij + εijk Keterangan :
Yijk : variabel respon percobaan karena pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i dan pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j
19
µ : rataan umum αi
: pengaruh
lama penyimpanan pada taraf ke-i
βj : pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j αβij : pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara penyimpanan pada taraf ke-j
εijk : pengaruh acak lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara penyimpanan pada taraf ke-j dan pada ulangan ke-k 2. Rancangan acak lengkap (RAL) dengan tiga faktor, yaitu lama penyimpanan (α), cara penyimpanan (β) dan kadar air (γ). Masing-masing lama penyimpanan dengan tiga taraf waktu analisis (0 hari, 15 hari dan 30 hari), cara penyimpanan dengan dua taraf (dihamparkan dan dikemas menggunakan karung goni) dan kadar air dengan tiga taraf (11%, !5% dan 19%). RAL dengan tiga faktor digunakan pada analisis data populasi A. flavus. Rumus matematika untuk RAL yaitu :
Yijkℓ = µ + αi + βj + γk + αβij + αγik + βγjk + αβγijk + εℓ(ijk)
Keterangan :
Yijkℓ
:
variabel respon percobaan karena pengaruh lama penyimpanan pada taraf ke-i, pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air pada taraf ke-k
µ
: pengaruh rata-rata yang sebenarnya
αi
: pengaruh
βj
: pengaruh cara penyimpanan pada taraf ke-j
γk
: pengaruh
αβij
: pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan cara
lama penyimpanan pada taraf ke-i
kadar air pada taraf ke-k
penyimpanan pada taraf ke-j
αγik
: pengaruh
interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i dan kadar air
pada taraf ke-k
20
βγjk
:
pengaruh interaksi cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air pada taraf ke-k
αβγijk
:
pengaruh interaksi lama penyimpanan pada taraf ke-i, cara penyimpanan pada taraf ke-j dan kadar air pada taraf ke-k
εℓ(ijk) : pengaruh acak lama penyimpanan ke-i, cara penyimpanan ke-j dan kadar air ke-k pada ulangan ke-l (Sudjana, 1991).
D. WAKTU DAN TEMPAT PENELITIAN Penelitian dilakukan selama kurang lebih 7 bulan dari bulan Maret sampai September 2008 dan dilaksanakan di Laboratorium Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Balai Besar Veteriner Cimanggu Bogor dan SEAMEO BIOTROP Tajur Bogor.
21
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. ANALISIS PROKSIMAT Analisis proksimat tongkol jagung dilakukan untuk mengetahui kondisi dan komposisi kimia awal bahan. Analisis yang dilakukan meliputi kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, kadar serat kasar dan karbohidrat (by different). Hasil analisis proksimat disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Hasil Analisis Proksimat Tongkol Jagung Analisis Kadar Air Kadar Abu (% bk) Kadar Protein (% bk) Kadar Lemak (% bk) Karbohidrat by diff. (% bk) • Kadar Serat Kasar (% bk) • Lain-lain (% bk)
Ulangan 1 11.84 1.66 1.57 1.11 95.66 34.08 65.92
Ulangan 2 11.76 1.52 1.67 1.17 95.64 33.96 66.04
Nilai 11.80±0.06 1.59±0.10 1.62±0.07 1.14±0.04 95.65±0.01 34.02±0.09 65.98±0.09
Analisis kadar air dilakukan untuk mengetahui kandungan awal air pada bahan. Kadar air merupakan salah satu faktor yang paling mempengaruhi daya simpan bahan selama menunggu untuk dilakukan proses pengolahan. Pengukuran kadar air awal ini juga bertujuan untuk mengetahui perlakuan yang akan dilakukan selanjutnya pada tahap penyiapan bahan baku, apakah perlu dilakukan pengeringan atau pembasahan. Dari hasil analisis, dapat dilihat bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar air sebesar 11.80±0.06%. Hal ini menunjukkan bahwa tongkol jagung cenderung memiliki kadar air yang rendah, sehingga akan lebih tahan saat disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama. Ketahanan pada kadar air rendah ini terutama terhadap cemaran mikroba (kapang, bakteri, dan khamir). Menurut Cuero et al. (1988), pada suhu antara 25-27oC dan aw antara 0.90-0.98 mikroba mampu tumbuh pada bahan dengan kadar air 13-18%. Kadar abu menunjukkan besarnya kandungan bahan anorganik dan unsur mineral dalam suatu bahan. Berdasarkan hasil analisis, tongkol jagung Bisma memiliki kadar abu sebesar 1.59±0.10%. Kadar abu yang terkandung
22
pada bahan dipengaruhi oleh kandungan tanah tempat penanaman jagung, sehingga unsur mineral yang diserap oleh tanaman akan mempengaruhi banyaknya kadar abu yang terukur pada analisis. Selain dari kandungan tanah, kadar abu juga bisa dipengaruhi oleh jenis pupuk yang digunakan. Analisis terhadap kadar lemak menunjukkan bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar lemak sebesar 1.14±0.04%. Lemak merupakan zat ekstraktif yang larut dalam pelarut organik seperti eter, aseton, dan lainlain (Fengel dan Wegener, 1995). Lemak terdiri dari unsur C, H dan O yang mempunyai sifat tidak larut dalam air, tetapi larut dalam bahan organik misalnya eter, petroleum eter, spiritus, heksan, dan kloroform. Lemak bukan merupakan sumber energi utama, tetapi dapat dimanfaatkan oleh mikroba sebagai sumber energi cadangan. Apabila dibandingkan dengan protein dan karbohidrat, lemak lebih banyak mengandung unsur C dan H, tetapi kandungan unsur oksigennya rendah. Perbedaan lemak dan karbohidrat terutama terletak pada tingginya kandungan C dan H dibandingkan dengan oksigen dalam molekulnya, sehingga nilai energi lemak lebih tinggi dibandingkan dengan karbohidrat, karena pada lemak Iebih banyak unsur C dan H yang dapat dibakar menjadi CO2 dan H2O (Darmasih, 1997). Protein merupakan salah satu komponen yang dianalisis dalam penelitian ini karena protein dapat dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen bagi pertumbuhan mikroba yang mungkin mengkontaminasi tongkol jagung, baik pada saat masih ditanam maupun setelah dipanen. Menurut Abbas (2005), keberadaan protein sebagai sumber nitrogen dapat menjadi faktor yang cukup mempengaruhi biosintesis aflatoksin. Beberapa jenis asam amino yang dapat mendukung pembentukan aflatoksin diantaranya adalah glutamat, aspartat, asparagin, alanin, metionin, histidin, dan prolin. Dari hasil analisis diketahui bahwa tongkol jagung varietas Bisma memiliki kadar protein sebesar 1.62±0.07%. Analisis serat kasar dilakukan untuk mengetahui kandungan serat pada bahan. Dari hasil analisis, diketahui bahwa kadar serat tongkol jagung adalah sebesar 34.02±0.09%. Serat pada tongkol jagung terdiri dari selulosa. hemiselulosa dan lignin. Selulosa dan hemiselulosa merupakan golongan
23
karbohidrat dan merupakan golongan gula, sehingga bisa dimanfaatkan sebagai sumber karbon (C) oleh A. flavus untuk tumbuh dan berkembang biak meskipun tidak umum digunakan sebagai bahan untuk mendukung pertumbuhan mikroba secara komersial, karena serat tersebut sulit dan hampir tidak bisa dicerna oleh enzim pencernaan (Anonim, 2008). Analisis karbohidrat (by different) menunjukkan bahwa tongkol jagung
varietas
Bisma
memiliki
kandungan
karbohidrat
sebesar
95.65±0.01%. Kandungan karbohidrat yang cukup tinggi ini menunjukkan bahwa tongkol jagung memiliki peluang yang cukup besar sebagai sumber karbon (C) bagi pertumbuhan mikroba. Ketersediaan sumber karbon yang cukup ini juga akan menunjang pembentukan aflatoksin, karena karbohidrat dapat dengan mudah dipecah menjadi bentuk yang lebih sederhana yaitu berupa gula sederhana dibandingkan dengan serat atau lemak. Mateles dan Adye (1965) melaporkan bahwa ada 17 jenis karbon yang digunakan oleh A. flavus untuk memproduksi aflatoksin yang diantaranya bisa diperoleh dari sukrosa, fruktosa, glukosa, xilosa, ribosa dan gliserol.
B. ANALISIS PERUBAHAN KADAR AIR Analisis terhadap perubahan kadar air bahan dilakukan untuk mengetahui kecenderungan penurunan atau peningkatan kadar air tongkol jagung selama masa penyimpanan 30 hari pada suhu ruang (25-27oC). selain itu juga untuk mengetahui besarnya nilai dan persentase perubahan kadar air tongkol jagung selama masa penyimpanan. Perubahan kadar air ini juga berhubungan dengan pertumbuhan A. flavus dan mikroba lainnya. Semakin tinggi kadar air pada bahan maka akan semakin banyak A. flavus dan mikroba lain yang dapat mengkontaminasi bahan, sehingga bahan akan mudah mengalami kerusakan. Perubahan kadar air tongkol jagung varietas Bisma selama penyimpanan disajikan pada Tabel 6 dan Gambar 6. Data hasil analisis perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan 30 hari secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.
24
Tabel 6. Perubahan Kadar Air Tongkol Jagung Selama Penyimpanan No
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Kadar Air Awal (%)
Cara Penyimpanan
11 11 15 15 19 19
Dihamparkan Dikemas Karung goni Dihamparkan Dikemas Karung goni Dihamparkan Dikemas Karung goni
Perubahan Kadar Air Selama Penyimpanan 0 hari 11.37 11.37 15.32 15.32 19.14 19.14
15 hari 10.90 10.95 13.81 14.53 17.78 18.82
30 hari 10.38 10.82 13.28 14.17 15.78 17.30
Persen Penurunan 8.71 4.84 13.32 7.51 17.55 9.61
Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air awal tongkol jagung 11% menunjukkan bahwa lama penyimpanan, cara penyimpanan dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada tingkat kadar air awal 11% disajikan pada Lampiran 5. Uji
lanjut
Duncan
menunjukkan
bahwa
semua
taraf
lama
penyimpanan (0 hari, 15 hari dan 30 hari) berbeda nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Sementara interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan tongkol jagung yang berpengaruh nyata hanya pada lama penyimpanan 30 hari dan penyimpanan dengan cara dihamparkan. Cara penyimpanan yang memberikan penurunan kadar air paling besar adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan. Berdasarkan hasil analisis terhadap perubahan kadar air tongkol jagung dapat diketahui bahwa pada seluruh perlakuan kadar air dan cara penyimpanan, tongkol jagung cenderung mengalami penurunan kadar air selama penyimpanan dalam jangka waktu 30 hari. Kadar air awal tongkol jagung yang disimpan dengan cara dihamparkan adalah 11.37% dan mengalami penurunan menjadi 10.90% pada penyimpanan selama 15 hari kemudian turun menjadi 10.38% setelah disimpan selama 30 hari dengan penurunan kadar air sebesar 8.71%. Sedangkan pada tongkol jagung yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni, kadar air tongkol jagung turun dari 11.37% pada awal penyimpanan menjadi 10.95% setelah
25
disimpan selama 15 hari kemudian turun menjadi 10.82% setelah penyimpanan selama 30 hari dengan persentase penurunan kadar air sebesar 4.84%. Tongkol jagung yang telah disimpan selama 30 hari, menunjukkan bahwa pada tingkat kadar air awal sebesar 11%, penyimpanan dengan cara dihamparkan memberikan nilai penurunan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan tongkol jagung yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Hal ini disebabkan karena pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, kecepatan penguapan kandungan air pada tongkol jagung berlangsung lebih cepat. Kondisi terbuka yang langsung berhubungan dengan udara luar mengakibatkan uap air yang dilepaskan oleh tongkol jagung langsung terbawa oleh udara luar. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air awal tongkol jagung 15% menunjukkan bahwa lama penyimpanan, cara penyimpanan dan interaksi antara keduanya berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada tingkat kadar air awal 15% disajikan pada Lampiran 6. Uji
lanjut
Duncan
menunjukkan
bahwa
semua
taraf
lama
penyimpanan (0 hari, 15 hari dan 30 hari) berbeda nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Sementara interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan tongkol jagung yang berpengaruh nyata adalah pada lama penyimpanan 20 hari penyimpanan dengan cara dihamparkan, lama penyimpanan 20 hari penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni, lama penyimpanan 30 hari penyimpanan dengan cara dihamparkan dan lama penyimpanan 30 hari penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Cara penyimpanan yang memberikan penurunan kadar air paling besar adalah penyimpanan dengan cara dihamparkan. Penyimpanan tongkol jagung pada kadar air awal 15%, menunjukkan bahwa penurunan kadar air tongkol jagung pada penyimpanan dengan cara
26
dihamparkan lebih besar dibandingkan tongkol jagung yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, kadar air awal tongkol jagung turun dari 15.32% menjadi 13.81% pada hari ke-15 dan turun menjadi 13.28% pada hari ke-30 atau dengan kata lain mengalami penurunan kadar air sebesar 13.32%. Pada penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni, kadar air tongkol jagung turun dari 15.32% pada awal penyimpanan menjadi 14.53% pada hari ke-15 dan turun lagi menjadi 14.17% pada hari ke-30 dengan penurunan kadar air sebesar 7.51%. Hasil analisis ragam (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air awal tongkol jagung 19% menunjukkan bahwa hanya lama penyimpanan yang berpengaruh nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Sementara cara penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap penurunan kadar air tongkol jagung. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap perubahan kadar air tongkol jagung pada tingkat kadar air awal 19% disajikan pada Lampiran 7. Uji
lanjut
Duncan
menunjukkan
bahwa
semua
taraf
lama
penyimpanan (0 hari, 15 hari dan 30 hari) berbeda nyata terhadap perubahan kadar air tongkol jagung selama penyimpanan. Cara penyimpanan yang memberikan penurunan kadar air paling besar yaitu penyimpanan dengan cara dihamparkan. Pada tingkat kadar air 19%, penyimpanan tongkol jagung dengan cara dihamparkan mengalami penurunan kadar air yang lebih tinggi dibandingkan penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, kadar air bahan turun dari 19.14% menjadi 17.82% pada hari ke-15 dan turun lagi menjadi 15.78% pada hari ke-30 dengan penurunan kadar air sebesar 17.55%. Pada penyimpanan tongkol jagung dengan cara dikemas menggunakan karung goni, kadar air awal tongkol jagung dari 19.14% turun menjadi 18.82% pada hari ke-15 dan turun lagi menjadi 17.30% pada hari ke-30 atau dengan kata lain mengalami penurunan kadar air sebesar 9.61%.
27
Gambar 6.
Grafik Perubahan Penyimpanan
Kadar
Air
Tongkol
Jagung
selama
Secara umum, kadar air tongkol jagung mengalami penurunan selama masa penyimpanan (Gambar 6). Hal ini disebabkan karena bahan masih mengalami proses respirasi. Kandungan air pada bahan pertanian setelah dipanen akan hilang karena proses evaporasi dan respirasi. Respirasi merupakan proses pembongkaran bahan organik yang tersimpan (karbohidrat, protein, lemak) menjadi bahan sederhana dan menghasilkan produk akhir berupa energi (Santoso dan Bambang, 1995). Pada suhu yang cukup tinggi yaitu sekitar 25-27oC, penguapan kadar air bahan akan berlangsung cukup cepat. Hal ini akan mendorong bahan mengeluarkan air bebas yang dikandung untuk mempertahankan kelembaban dan mencegah kehilangan air yang lebih besar. Kecenderungan
penurunan
kadar
air
tongkol
jagung
selama
penyimpanan, relatif lebih tinggi terjadi pada tongkol jagung yang disimpan dengan cara dihamparkan, disebabkan karena pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, terjadi kontak langsung antara bahan yang disimpan (tongkol jagung) dengan kondisi atmosfer, sehingga kondisi lingkungan bisa mempengaruhi bahan secara langsung. Tongkol jagung bersifat tidak higroskopis,
sehingga
kecepatannya
menguapkan
air
lebih
besar
dibandingkan kemampuannya menyerap air dari lingkungan. Hal ini
28
menyebabkan uap air yang dihasilkan dari proses respirasi atau evaporasi akan mudah menguap. Sementara penyimpanan tongkol jagung dengan cara dikemas menggunakan karung goni menyebabkan interaksi bahan dengan atmosfer udara lingkungan secara langsung tidak terjadi. Hal ini menyebabkan bahan tidak cepat menguapkan air yang terkandung di dalamnya karena akan tertahan oleh bahan kemasan. Dengan pengemasan, pengaruh lingkungan luar juga bisa diminimalkan, terutama faktor luar dalam skala besar (makro) misalnya seperti kontaminasi serangga dan hewan pengerat.
C. ANALISIS PERTUMBUHAN Aspergillus flavus Penentuan jumlah koloni A. flavus dilakukan untuk mengetahui banyaknya cemaran kapang pada tongkol jagung. Komposisi media AFPA, cara pembuatan dan sterilisasi yang digunakan untuk isolasi A. flavus pada analisis pertumbuhan A. flavus disajikan pada Lampiran 8. Salah satu jenis kapang yang sering ditemukan mencemari tanaman jagung adalah A. flavus yang mampu menghasilkan aflatoksin. Aflatoksin merupakan toksin yang dihasilkan oleh beberapa jenis kapang dari genus Aspergillus (Goldblatt, 1969). Selain memproduksi aflatoksin B1, A. flavus juga mampu menghasilkan aflatoksin B2, dan asam siklopiazonat (Pitt dan Hocking, 1997). Data hasil analisis populasi A. flavus secara lengkap disajikan pada Lampiran 9. Hasil analisis keragaman ANOVA terhadap populasi A. flavus menunjukkan bahwa kadar air, lama penyimpanan, interaksi lama penyimpanan dengan cara penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan dengan kadar air berpengaruh nyata terhadap populasi A. flavus. Data hasil penelitian, analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap populasi A. flavus disajikan pada Lampiran 10. Uji lanjut Duncan pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) terhadap kadar air menunjukkan hanya taraf kadar air 19% yang memberikan pengaruh berbeda nyata, sedangkan pada tingkat kadar air yang lain (11% dan 15%) tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap populasi A. flavus.
29
Lama penyimpanan yang memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap populasi A. flavus yaitu pada penyimpanan 0 hari (pada awal penyimpanan). Interaksi antara lama penyimpanan dan cara penyimpanan yang memberikan hasil yang berbeda nyata yaitu pada lama penyimpanan 0 hari (pada awal penyimpanan) dan penyimpanan dengan cara dihamparkan serta lama penyimpanan 15 hari dan penyimpanan dengan cara dihamparkan. Interaksi yang memberikan hasil berbeda nyata antara lama penyimpanan dengan kadar air yaitu pada lama penyimpanan 0 hari (pada awal penyimpanan) dan kadar air 19%. Sementara cara penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan, cara penyimpanan dan kadar air tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap populasi A. flavus. 1. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan Penyimpanan tongkol jagung dengan cara dihamparkan dilakukan dengan menghamparkan tongkol jagung pada lantai penyimpanan tanpa dilapisi alas. Hasil analisis populasi A. flavus pada penyimpanan dengan cara dihamparkan disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Tabel 7. Populasi A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hari Pengamatan 0 0 0 15 15 15 30 30 30
Kadar air Tongkol Jagung (%) 11 15 19 11 15 19 11 15 19
Populasi A. flavus (koloni/g bobot basah) 0.95 x 103±0.71 x 103 15.50 x 103±0.28 x 103 79.85 x 103±32.73 x 103 5.17 x 103±0.71 x 103 20.00 x 103±9.43 x 103 26.67 x 103±4.72 x 103 10.00 x 103±9.43 x 103 7.00 x 103±5.66 x 103 6.00 x 103±1.89 x 103
30
Gambar 7. Grafik Populasi A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan Populasi A. flavus pada kadar air 11% pada penyimpanan dengan cara dihamparkan lebih rendah dibandingkan pada kadar air 15% dan 19% (Gambar 7).
Dari hasil analisis dapat diketahui bahwa pada tongkol
jagung dengan kadar air 11%, populasi A. flavus mengalami kenaikan pada akhir masa penyimpanan. Hal ini bisa terjadi karena sedikit sekali mikroba yang mampu tumbuh pada kadar air yang sangat rendah (di bawah 13%), sehingga karena tidak terdapat kompetitor maka A. flavus mampu tumbuh dan berkembang biak dengan memanfaatkan nutrisi pada bahan secara optimal. A. flavus mampu tumbuh pada tongkol jagung karena kontaminasi dimungkinkan sudah terjadi sejak bahan masih dalam masa tanam dan panen. Menurut Hesseltine (1976), A. flavus selain mencemari bahan pada saat disimpan, juga mencemari bahan pada saat masih ditanam, karena kapang ini termasuk kapang tanah. Hal ini menyebabkan A. flavus mampu beradaptasi dengan lebih baik dengan substrat (tongkol jagung) dibandingkan dengan mikroba lain. Sementara pada kadar air 15% dan 19%, populasi A. flavus mengalami penurunan pada akhir masa penyimpanan. Hal ini bisa terjadi karena pada kadar air 15% dan 19%, hampir semua jenis mikroba mampu tumbuh
dengan
baik.
Pada
kondisi
penyimpanan
dengan
cara
dihamparkan, keadaaan lingkungannya terbuka, sehingga memungkinkan terjadi pencemaran oleh mikroba lain yang dapat menimbulkan kompetisi antar mikroba pencemar. Kompetisi ini menyebabkan mikroba yang tidak
31
mampu berkompetisi akan mengalami kekalahan dan populasinya menurun seiring dengan berkurangnya nutrisi yang terdapat pada substrat (tongkol jagung). Keberadaaan mikroba lain pada lokasi yang sama dengan A. flavus menyebabkan A. flavus tidak mampu tumbuh dengan baik karena banyaknya mikroba yang tumbuh menyebabkan semakin banyak CO2 yang dihasilkan dari proses respirasi dan metabolisme. Kondisi anaerob ini menyebabkan A. flavus tidak bisa tumbuh dan berkembang biak dengan baik karena A. flavus termasuk kapang aerobik obligat (membutuhkan cukup banyak oksigen untuk tumbuh dan berkembang biak) (Hesseltine, 1976). Beberapa kapang yang dapat menghambat pertumbuhan A. flavus adalah Neurospora sitophila (Edi, 1988), Rhizopus spp. (Faraj et al., 1993), Aspergilllus oryzae, Aspergillus niger, Aspergillus flavus non toksigen, dan Aspergillus tamarii. Aspergillus niger merupakan kapang yang paling berpengaruh dalam menghambat produksi aflatoksin karena kapang jenis ini mampu menghambat produksi aflatoksin sampai 80% (Dharmaputra, 2003). Adanya pertumbuhan mikroba lain selain A. flavus pada pengamatan populasi A. flavus hari ke-15 pada kadar air 15% dan 19% pada penyimpanan dengan cara dihamparkan ditunjukkan Gambar 8, sedangkan pertumbuhan A. flavus tanpa kompetitor dari mikroba lain disajikan pada Gambar 9.
a. Koloni A. flavus dan mikroba lain pada kadar air 15%
b. Koloni A. flavus dan mikroba lain pada kadar air 19%
Gambar 8. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke-15 dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan
32
Gambar 9. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA tanpa Kompetitor pada Kadar Air 11% dan Penyimpanan dengan Cara Dihamparkan pada Pengamatan Hari ke-15 Koloni A. flavus dari hasil pengamatan ditunjukkan dengan penampakan oranye pada media AFPA (Aspergillus flavus and Paraciticus Agar). Pada Gambar 8. selain terdapat koloni berwarna oranye, dapat diketahui terdapat juga koloni berwarna hitam atau hijau gelap kehitaman. Hal ini menunjukkan adanya mikroba lain yang tumbuh pada tongkol jagung. Menurut Putra (2007), koloni berwarna hijau gelap kehitaman yang tumbuh bersama A. flavus pada media AFPA adalah Aspergillus niger. Hasil pengamatan ini menunjukkan adanya kompetisi antara A. flavus dengan mikroba lain yang terdapat pada tongkol jagung yang menyebabkan berkurangnya koloni mikroba yang kalah dalam persaingan untuk
memperoleh
nutrisi
yang
dibutuhkan
untuk
mendukung
pertumbuhannya. Selain itu juga karena kondisi anaerob di sekitar substrat tidak mendukung untuk tumbuh dan berkembangnya A. flavus, sehingga populasinya mengalami penurunan. Selain A. niger, terdapat beberapa kapang lain yang mampu menghambat pertumbuhan A. flavus diantaranya N. sitophila (Edi, 1988), Rhizopus spp. (Faraj et al., 1993), A. oryzae, A. flavus non toksigenik, dan A. tamarii (Dharmaputra, 2003). 2. Pertumbuhan A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni Penyimpanan tongkol jagung dengan cara dikemas menggunakan karung goni dilakukan dengan tujuan untuk melindungi bahan dari pengaruh luar secara langsung. Hasil analisis populasi A. flavus pada penyimpanan tongkol jagung dengan cara dikemas menggunakan karung goni disajikan pada Tabel 8 dan Gambar 10.
33
Tabel 8. Populasi A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hari Pengamatan 0 0 0 15 15 15 30 30 30
Gambar 10.
Kadar air Tongkol Jagung (%) 11 15 19 11 15 19 11 15 19
Populasi A. flavus (koloni/g bobot basah) 0.95 x 103±0.71 x 103 15.50 x 103±0.28 x 103 79.85 x 103±32.73 x 103 3.00 x 103±1.89 x 103 4.00 x 103±0.94 x 103 2.33 x 103±1.41 x 103 8.50 x 103±1.18 x 103 20.00 x 103±14.14 x 103 35.00 x 103±2.36 x 103
Grafik Populasi A. flavus pada Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni
Populasi A. flavus pada penyimpanan tongkol jagung dengan cara dikemas menggunakan karung goni pada kadar air 11% memiliki kecenderungan yang sama dengan penyimpanan tongkol jagung dengan cara dihamparkan, yaitu mengalami kenaikan selama masa penyimpanan. Hal ini disebabkan karena pada kadar air 11%, umumnya mikroba tidak mampu tumbuh dengan baik. Sementara A. flavus mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik karena termasuk dalam jenis kapang yang mampu tumbuh pada kondisi ekstrim, sehingga karena tidak terdapat kompetitor, maka A. flavus dapat memanfaatkan nutrisi yang terdapat pada tongkol seperti karbohidrat sebagai sumber karbon dan protein sebagai sumber nitrogen dengan optimal.
34
Pada kadar air 15% dan 19%, populasi A. flavus mengalami penurunan pada hari ke-15 dan mengalami peningkatan pada hari ke-30. Penurunan populasi A. flavus pada kadar air 15% dan 19% pada hari ke-15 disebabkan terdapat kompetisi antar mikroba yang mencemari bahan (tongkol jagung). Kondisi ini menyebabkan populasi A. flavus mengalami penurunan karena keterbatasan nutrisi dan kondisi anaerob yang kurang mendukung untuk pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Keberadaan mikroba lain yang tumbuh bersama dengan A. flavus pada tongkol jagung yang disimpan dengan menggunakan kemasan karung goni dapat dilihat pada Gambar 11.
a. Koloni A. flavus dan mikroba lain pada kadar air 15%
b. Koloni A. flavus dan mikroba lain pada kadar air 19%
Gambar 11. Pertumbuhan A. flavus pada Media AFPA pada Pengamatan Hari ke-15 dan Penyimpanan dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni Pengamatan pada hari ke-30, menunjukkan bahwa populasi A. flavus mengalami peningkatan. Hal ini disebabkan karena penyimpanan bahan dengan cara mengemasnya dalam suatu bahan kemasan, akan mampu menahan pengeluaran energi panas hasil respirasi yang dihasilkan oleh mikroba dari dalam lingkungan kemasan ke lingkungan di luar bahan kemasan. Energi hasil respirasi yang tertahan oleh bahan kemasan akan berubah menjadi panas dan uap air yang akan terakumulasi selama penyimpanan. Setelah beberapa hari, kondisi di dalam karung goni lebih lembab dibandingkan udara luar. Kelembaban yang lebih tinggi dari kondisi di luar bahan kemasan juga disebabkan karena penurunan kadar air bahan dalam kemasan karung goni cenderung lebih sedikit, sehingga A. flavus mampu tumbuh dan berkembang biak dengan baik. Kenaikan populasi A. flavus juga didorong oleh ditemukannya larva serangga saat
35
dilakukan pengamatan populasi A. flavus pada penyimpanan menggunakan karung goni pada hari ke-30 dari masing-masing tingkat kadar air. Keberadaan larva serangga ini mampu menyediakan sumber nitrogen dari sisa metabolisme untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan A. flavus yang telah berkurang sebelumnya. Jenis serangga yang mencemari tanaman tergantung kondisi tanah dan iklim tempat jagung ditanam. Umumnya serangga yang sering menginfeksi tanaman jagung pada daerah tropis adalah dari jenis Diabrotica. Larva serangga dari jenis Diabrotica berwarna putih sampai putih kekuningan (Barry, 1986 di dalam Zuber, et al., 1987). Warna larva putih kekuningan ini seperti yang ditemukan pada tongkol jagung saat dilakukan analisis pertumbuhan populasi A. flavus. A. flavus mampu tumbuh lebih baik pada kadar air 19% dibandingkan pada kadar air 11% dan 15% karena semakin tinggi kadar air maka kelembaban juga akan semakin tinggi, sehingga kondisi ini semakin mendukung pertumbuhan dan perkembangbiakannya. Sementara semakin lama waktu penyimpanan, semakin sedikit nutrisi yang tersedia pada substrat (tongkol jagung), sehingga semakin sedikit A. flavus yang mampu tumbuh, sehingga populasi A. flavus pada hari ke-30 (akhir masa penyimpanan) semakin berkurang jika dibandingkan pada pengamatan hari ke-0 dan hari ke15. Jika dilihat berdasarkan masing-masing cara penyimpanan, dapat diketahui bahwa populasi A. flavus pada kadar air 11% relatif lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah populasi A. flavus pada kadar air bahan 15% dan 19% dengan jumlah populasi tertinggi dari seluruh tingkat kadar air adalah pada kadar air 19%. Misalnya pada penyimpanan dengan cara dihamparkan, pada hari ke-15, populasi A. flavus pada kadar air 10.90% adalah sebesar 5.17 x 103±0.71 x 103, pada kadar air 13.81% sebesar 20.00 x 103±9.43 x 103 dan pada kadar air 17.82% populasinya sebanyak 26.67 x 103±4.72 x 103. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi kadar air, maka semakin tinggi juga jumlah populasi A. flavus. Hal ini disebabkan karena A. flavus mampu tunbuh dengan baik (optimal) pada kadar air antara 13-18% (Lillehoj dan Elling, 1983).
36
Berdasarkan cara penyimpanan, tongkol jagung yang disimpan dengan cara dihamparkan memberikan nilai populasi A. flavus yang lebih besar pada hari ke-15 dari seluruh tingkat kadar air (11%, 15% dan 19%). Begitu juga pada hari ke-30 dan kadar air 11%, penyimpanan dengan cara dihamparkan memberikan nilai populasi yang lebih besar dibandingkan penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Hal ini terjadi karena pada awal penyimpanan dengan cara dihamparkan, kondisi eksternal lebih potensial untuk pertumbuhan A. flavus, yaitu meliputi kadar air bahan (antara 11-19%), kondisi atmosfer (gas yang terdapat di udara), suhu (antara 2527oC) dan RH (0.92). Hasil pengamatan pada hari ke-30, kadar air 15% dan 19%, dan penyimpanan dengan cara dihamparkan memberikan nilai populasi A. flavus yang lebih kecil dibandingkan pada penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Hal ini disebabkan karena semakin banyaknya populasi mikroba kompetitor dan semakin berkurangnya nutrisi yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup A. flavus. Dokumentasi hasil isolasi A. flavus pada media AFPA disajikan pada Lampiran 11.
D. ANALISIS AFLATOKSIN Selama proses produksi tongkol jagung menjadi xilitol, ada beberapa proses yang dilakukan, yaitu ekstraksi xilan, hidrolisis, hidrogenasi, penyaringan dan dekolorisasi, penguapan dan kristalisasi, serta separasi dan pemurnian. Diagram alir proses produksi xilitol dari tongkol jagung disajikan pada Gambar 12.
37
Tongkol jagung
Ekstraksi xilan Hidrolisis
xilosa Hidrogenasi Penyaringan dan dekolorisasi Penguapan dan kristalisasi Separasi dan pemurnian
Gula xilitol
Gambar 12. Diagram Alir Proses Produksi Xilitol (Richana dan Suarni, 2007) Ekstraksi xilan dilakukan dengan merendam tongkol jagung dalam NaOCl 1% selama 5 jam kemudian dicuci dan dikeringkan dan selanjutnya direndam menggunakan NaOH 15% selama 24 jam, kemudian difiltrasi dan dilakukan pengasaman menggunakan HCl atau H2SO4 (Widyani, 2002). Bahan kimia yang digunakan pada proses ekstraksi xilan, baik asam maupun basa, belum terbukti mampu mengurangi kadar aflatoksin, karena tidak semua jenis asam dan basa dapat digunakan untuk mengurangi kadar aflatoksin. Jenis asam dan basa yang telah dibuktikan mampu mengurangi kadar aflatoksin yaitu asam salisilat, sulfamat dan sulfosalisilat dengan konsentrasi 3N, kalsium hidroksida dan NaOH dengan pemanasan pada 100oC selama 4 menit (Abbas, 2005). Xilan yang telah terekstrak kemudian dihidrolisis untuk mendapatkan xilosa. Proses hidrolisis dilakukan di dalam otoklaf dengan menggunakan asam baik HCl maupun H2SO4 dengan konsentrasi tidak lebih dari 1% kemudian dinetralkan menggunakan Na2CO3 dan ditambah arang aktif
38
kemudian dipanaskan pada suhu 85-90oC dan disaring (Arifin, 1990). Pada tahap ini, pemanasan menggunakan otoklaf sebenarnya mampu untuk mengurangi kadar
aflatoksin. Hanya saja harus dilakukan dengan
menambahkan NaOH 3% (Abbas, 2005), sedangkan umumnya pada proses ini yang digunakan adalah asam, sehingga kadar aflatoksin cenderung tidak mengalami penurunan. Pengurangan kadar aflatoksin pada suatu bahan tidak bisa dilakukan hanya dengan satu perlakuan, tetapi harus dilakukan dengan mengkombinasikan beberapa faktor, seperti suhu pemanasan, bahan kimia yang digunakan, waktu dan kelembaban. Tahap berikutnya adalah hidrogenasi xilosa menjadi xilitol. Pada tahap ini dilakukan penyaringan dan dekolorisasi, penguapan dan kristalisasi serta separasi dan pemurnian. Penyaringan dan dekolorisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan saringan dan karbon aktif. Kristalisasi umumnya dilakukan dengan memanaskan bahan sampai titik jenuh kemudian dilakukan pendinginan cepat agar terbentuk kristal, sedangkan separasi biasanya dilakukan dengan cara mengeringkan bahan kemudian dipisahkan menurut ukuran yang dikehendaki. Pada proses ini juga tidak dimungkinkan adanya pengurangan kadar aflatoksin pada bahan, karena bahan yang digunakan dan proses yang dilakukan pada tahap tersebut belum terbukti mampu mengurangi kadar aflatoksin. Beberapa proses yang dilakukan untuk memproduksi xilitol, menunjukkan bahwa kadar aflatoksin pada bahan relatif tidak akan berkurang, sehingga proses pencegahan yang diawali dari penanganan bahan baku perlu dilakukan untuk menghambat pertumbuhan kapang terutama A. flavus dan produksi aflatoksin. Analisis aflatoksin dilakukan untuk mengetahui besarnya kandungan aflatoksin pada tongkol jagung. Aflatoksin yang paling sering dijumpai dan paling besar efek toksinnya adalah dari jenis B1. Selain memproduksi aflatoksin B1, A. flavus juga mampu menghasilkan aflatoksin B2 dan asam siklopiazonat (Pitt dan Hocking, 1997). Pada penelitian ini, metode yang digunakan untuk menganalisis kandungan aflatoksin pada tongkol jagung adalah dengan menggunakan metode ELISA (Enzym Linked Immunosorbent
39
Assays). Peta plat mikro yang digunakan untuk menghitung konsentrasi aflatoksin menggunakan metode ELISA disajikan pada Lampiran 12. Ada beberapa faktor yang mendorong A. flavus untuk menghasilkan aflatoksin yaitu potensi genetik kapang dan persyaratan lingkungan (substrat, kelembaban, suhu dan pH) serta lamanya kontak antara kapang dengan substrat. Secara umum, kondisi di lingkungan penyimpanan, yaitu meliputi suhu antara 25-27oC, RH 92% dan komposisi gas di atmosfer yang diasumsikan sama dengan komposisi gas di ruang penyimpanan, yaitu kadar O2 0-7%, CO2 0.01-0.1% dan nitrogen 78% serta komposisi substrat (kandungan karbohidrat dan protein) cukup potensial untuk pembentukan aflatoksin oleh A. flavus, meskipun tidak berada pada kondisi yang optimal. Kondisi optimal untuk pembentukan aflatoksin adalah pada kadar O2 1% dan N2 99% juga pada kadar O2 1%, N2 79 % dan CO2 20% (Paster dan Bullerman, 1988). Berdasarkan hasil analisis aflatoksin yang disajikan pada Lampiran 13, tidak terdeteksi adanya aflatoksin pada tongkol jagung pada berbagai tingkat kadar air (11%, 15% dan 19%) dan cara penyimpanan (dihamparkan dan dikemas menggunakan karung goni), meskipun ditemukan adanya populasi A. flavus. Hal ini bisa terjadi karena beberapa sebab. Pertama, A. flavus yang terdeteksi pada analisis jumlah populasi A. flavus pada tongkol jagung adalah dari galur yang tidak berpotensi untuk menghasilkan toksin. Tidak semua galur dari A. flavus dapat menghasilkan aflatoksin. Banyak dari galur A. flavus yang tidak menghasilkan aflatoksin (non-aflatoksigenik) (Diener dan Davis, 1969). Aflatoksin hanya dihasilkan oleh galur tertentu dari A. flavus Link ax Fries (Heathcote, 1984). Kedua, A. flavus menghasilkan aflatoksin tetapi bukan dari jenis aflatoksin B1. Metode ELISA hanya bisa digunakan untuk mendeteksi keberadaan aflatoksin B1, sehingga dengan menggunakan metode ini, keberadaan aflatoksin dari jenis selain B1 tidak terdeteksi. Jenis aflatoksin selain B1 yaitu aflatoksin B2, G1, G2, M1 dan M2 (Siregar, 1986). Ketiga, aflatoksin yang dihasilkan pada awalnya adalah dari jenis B1 namun jenis aflatoksin ini dapat dikonversi menjadi aflatoksin B2. Menurut
40
Heathcote dan Hibbert (1969), aflatoksin B2 merupakan dihidroderivatif dari aflatoksin B1 melalui hidrogenasi katalitik. Konfigurasi absolut aflatoksin B2 mengikuti fakta bahwa aflatoksin B2 diperoleh dari reduksi aflatoksin B1. Keempat, dari hasil pengamatan terhadap kapang yang tumbuh, dapat dilihat bahwa selain terdapat koloni A. flavus, terdapat juga koloni lain yang berwarna hitam dan diidentifikasi sebagai A. niger (Putra, 2007). Adanya A. niger juga menyebabkan aflatoksin tidak diproduksi oleh A. flavus. Hal ini seperti yang diterangkan oleh Wicklow et al. (1983), yaitu jika A. flavus tumbuh bersama-sama A. niger atau Trichoderma viride Pers., A. flavus tidak akan memproduksi aflatoksin. Hal ini dikarenakan keberadaan A. niger akan menyebabkan terjadinya proses fermentasi yang menyebabkan pH substrat turun menjadi 2,6-3,0 (Wicklow, 1983). Sementara persyaratan pH untuk pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin adalah antara 4,5-6,5 (Miller dan Trenholm, 1994) Kelima, A. flavus yang dianalisis menghasilkan aflatoksin B1, tetapi karena konsentrasinya kurang dari 0.1 ppb, sehingga nilai tersebut tidak bisa dibaca dengan menggunakan metode ELISA. Batas minimal kadar aflatoksin yang bisa dibaca dengan menggunakan metode ELISA adalah 0.1 ppb. Batas minimal skala pembacaan nilai aflatoksin menggunakan metode ELISA ini masih bisa diterima karena batas minimal 0.1 ppb masih berada dalam skala normal aflatoksin yang diperbolehkan ada pada bahan yang akan diolah menjadi produk lebih lanjut. Menurut FDA (Food And Drug Administration), batas maksimal kadar aflatoksin yang diperbolehkan ada pada suatu bahan yang akan diolah lebih lanjut, maksimal sebesar 20 ppb (Steve dan Michael, 2003). Berdasarkan
beberapa
sebab
tidak
terdeteksinya
aflatoksin
menggunakan metode ELISA sebagaimana yang telah disebutkan diatas, terdapat dua faktor utama yang paling berpengaruh terhadap ketidakberadaan aflatoksin pada tongkol jagung yaitu karena A. flavus yang tumbuh pada tongkol jagung adalah dari galur yang tidak berpotensi menghasilkan aflatoksin atau konsentrasi aflatoksin yang dihasilkan kurang dari 0.1 ppb, sehingga tidak terdeteksi saat diuji menggunakan metode ELISA.
41
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Dari hasil analisis proksimat, dapat diketahui bahwa tongkol jagung cukup berpotensi sebagai substrat pertumbuhan A. flavus karena tongkol jagung mengandung beberapa nutrisi seperti protein sebagai sumber nitrogen, karbohidrat dan lemak sebagai sumber karbon dan beberapa nutrisi lain seperti serat, dan mineral. Selama penyimpanan dalam jangka waktu 30 hari, tongkol jagung cenderung mengalami penurunan kadar air. Penyimpanan tongkol jagung dengan cara dihamparkan mengalami penurunan kadar air yang lebih besar dibandingkan penyimpanan dengan cara dikemas menggunakan karung goni. Sementara pada masing-masing tingkat kadar air, tongkol jagung yang disimpan pada kadar air awal 11% mengalami penurunan yang lebih kecil dibanding penyimpanan tongkol jagung pada kadar air awal 15% dan 19%. Penurunan kadar air terkecil terjadi pada penyimpanan menggunakan karung goni pada kadar air 11%. Perlakuan terbaik yang memberikan pertumbuhan A. flavus paling rendah adalah tongkol jagung berkadar air 11% yang disimpan dengan cara dikemas menggunakan karung goni selama 15 hari. Secara umum, semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi populasi A. flavus yang tumbuh. Hasil analisis aflatoksin menunjukkan bahwa kandungan aflatoksin B1 pada tongkol jagung tidak terdeteksi. Hal ini bisa disebabkan karena beberapa hal antara lain A. flavus yang tumbuh bukan merupakan galur yang menghasilkan toksin, aflatoksin yang dihasilkan bukan jenis B1, aflatoksin yang dihasilkan pada awalnya adalah jenis B1, tetapi kemudian mengalami proses dehidroderivatif menjadi aflatoksin B2, konsentrasi aflatoksin yang dihasilkan kurang dari 0.1 ppb, atau bisa juga karena terdapat pertumbuhan A. niger bersama-sama dengan A. flavus, sehingga menyebabkan A. flavus tidak menghasilkan aflatoksin.
42
B. SARAN Untuk menghindari atau minimal menjaga agar populasi Aspergillus flavus yang mencemari jagung saat masih dalam masa tanam tidak meningkat, maka sebaiknya tongkol jagung yang akan diproses segera dilakukan pengeringan untuk menurunkan kadar air sampai berada pada kisaran 9-11%. Selama penyimpanan, tongkol jagung sebaiknya dikemas menggunakan bahan yang mampu menghindari cemaran dari luar dan mengurangi kontak langsung dengan lingkungan, tetapi tidak menghambat proses sirkulasi udara dari luar ke dalam bahan kemasan. Selain itu juga perlu diukur dan dilakukan pengaturan terhadap kadar oksigen, nitrogen dan karbondioksida di tempat penyimpanan tongkol jagung untuk menciptakan kondisi atmosfer yang benar-benar efektif dalam rangka mengurangi pertumbuhan A. flavus dan produksi aflatoksin. Berdasarkan hasil analisis A. flavus dan aflatoksin yang diperoleh, sebaiknya dilakukan analisis lebih lanjut tentang galur A. flavus yang tumbuh pada tongkol jagung. Apakah merupakan galur yang berpotensi menghasilkan toksin atau tidak, agar diketahui penyebab tidak terdeteksinya aflatoksin menggunakan metode ELISA. Sebaiknya juga dilakukan analisis lebih lanjut dengan menggunakan metode yang lain tentang ada atau tidaknya jenis aflatoksin yang lain seperti B2, G1, G2 M1 dan M2 mengingat aflatoksin dari jenis yang lain juga memiliki daya toksin yang cukup tinggi.
43
DAFTAR PUSTAKA AAK. 1993. Teknik Bercocok Tanam Jagung. Kanisius, Yogyakarta. Abbas, H. K. 2005. Aflatoxin and Food Savety. Taylor & Francis Group. LLC., London. Anonim. 2000. Tinggi, Aflatoksin pada Jagung. http://kompas.com/kompascetak/0011/28/iptek/ting10.htm. [29 Januari 2008]. Anonim. 2002. Aflatoksin Contamination. United State Department of Agricultura-Agriculturai Research Service. USA. http://www.nal.usda. gov [26 Januari 2008]. Anonim. 2005. Jagung (Zea mays L). http://id.wikipedia.org/wiki/Jagung. [30 Agustus 2008]. Anonim. 2007. Foodborne Pathogenic Microorganisms and Natural Toxins Handbook. http://www.cfsan.fda.gov/~mow/aflatoxin.html. [26 Januari 2008]. Anonim. 2008. Manfaaat Serat Makanan Untuk Kesehatan Kita. http://nusaindah. tripot.com. [27 Desember 2008]. AOAC. 1971. Official Method of Analysis of Assosiation Official Agriculture Chemist, Washington DC. AOAC. 1995. Official Method of Analysis of Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC. Arifin, H. M. 1990. Hidrolisis Jerami Padi Menggunakan Asam dan Enzim dengan Perlakuan Awal Asam Sulfat sebagai Pelarut. [Skripsi[. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Badan Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP). 2008. Teknologi Produksi Jagung Melalui Pendekatan Pengelolaan Sumber Daya Dan Tanaman Terpadu (PTT). http://www.puslittan.bogor.net. [30 Agustus 2008]. Badan Pusat Statistik (BPS). 2008. Produksi Jagung. (http://www.bps.go.id). [12 November 2008]. Bachri, S. 2001. Mewaspadai Cemaran Mikotoksin pada Bahan Pangan, Pakan, dan Produk Ternak di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 20(2) : 55-64. Baht, R. V. dan J. D. Miller. 1991. Mycotoxins and Food Supply. Food Nutrition and Agriculture 1 : 27-31.
44
Barry, D. 1986. Insect of Maize and Their Association with Aflatoksin Contamination. Page 201-211. Di dalam M. S. Zuber, E. B. Lillehoj dan B. L Renfro (eds). Aflatoxin in Maize. A Proceedings of the workshop. CIMMYT, El Batan. Betina, V. 1989. Mycotoxins, Chemical, Biological, and Environmental Aspects. Elsevier, Amsterdam. Bhatnagar D., T. E. Cleveland, dan G. A. Payne. 2000. Aspergillus flavus. Di dalam : Robinson KK, Batt CA, Patel PA, editor. Encyclopedia of Food Microbiology vol. 3. Academic Press, New York. Blaney, B. J., C. J. Moore, dan A. L. Tyler. 1984. Mycotoxin and Fungal Damage in Maize Harcested During 1982. J. Agric. 15 : 463-471, Queensland. Christensen, C. M. dan H. H. Kaufmann. 1974 Microflora di dalam Christensen, C. M. Storage of Cereal Grain and Their Products. AACP Monograph Series Volume 5 : 158-183. St. Paul, Minnesota. Cuero, R., J. F. Smith dan J. Lacey. 1988. Mycotoxin formation by Aspergillus flavus and Fusarium graminearum in Irradiated. Maize Grains in the Presence of Other Fungi. J. Food Prot. 51 : 452-456. Darmasih, 1997. Penetapan Kadar Lemak Kasar dalam Makanan Ternak NonRuminansia dengan Metode Kering. http://peternakan.litbang.deptan. go.id/user/ptek97-24.pdf. [29 Desember 2008]. Dharmaputra, O. S. 2003. Antagonistic Effect of Three Fungal Isolates to Aflatoxin-Producing Aspergillus flavus. Biotropia No. 21. Hlm 19-26. Diener. U. L. dan M. D. Davist. 1969. Aflatoxin Formation by Aspergillus flavus. Academic Press, New York. Dollear, K. G. 1969. Detoxification of Aflatoksin in Foods and Feeds. Di dalam L. A. Goldblat (ed.). Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. Academic Press, New York. Dunkel, F. V. 1988.The Relationship of Insects to The Deterioration of Stored Grain by Fungi. Int. J. Food. Microbiol. 7 : 227-244. Edi. 1988. Perubahan Kandungan Aflatoksin Selama Tahap-Tahap Fermentasi Oncom [Skripsi]. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Effendi, S. dan Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. CV. Yasaguna, Jakarta. Faraj, K., J. E. Smith dan G. Harran. 1993. Aflatoxin Biodegradation : Effect of Temperature and Microbes. Mycol. Res 98 : 1388=1392.
45
Fengel, D. dan Wegener, 1995. Wood : Chemistry, Ultrastructure, Reaction. Terjemahan S. Hardjono. UGM Press, Yogyakarta. Frazier, W. C. dan D. C. Westhoff. 1978. Food Mycrobiology. McGrow-Hill Book Co., New York. Goldblatt, L. A. 1969. Aflatoxin Scientific Background, Control and Implication. Academic Press, New York. Heathcote, J. G. dan J. R. Hibbert. 1969. Aflatoxin : Chemical and Biological Aspect. Elsevier Sci. Publ., Amsterdam. Heathcote, J. G. 1984. Aflatoxins and Related Toxins. Elsevier, Amsterdam. Hesseltine, C. W. 1976. Condition Leading to Mycotoxin Contamination of Foods and Feeds. American Chemical Society’s Press, Washington. Koswara, J. 1991. Budidaya Jagung. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Lacey, J., N. Ramakrishna, dan J. Smith. 1992. Interaction between Water Activity, Temperature and Different Species on Colonization of Grain and Mycotoxin Formation. University of Manitoba, Canada. Landers, E. E., N. D. Davis, dan U. L. Diener. 1967. Influence of Atmospheric Gases on Aflatoxin Production by Aspergillus flavus in peanuts. Phytopathology 57 : 1086-1090. Lillehoj, E.B. dan F. Elling, 1983. Environmental Conditions that Facilitate Ochratoxin Contamination of Agricultural Commodities. Acta Agric. Scand 32 : 113-128. Madhyastha, S. M., R. R. Marquardi, A. A. Problich, G. Platford, dan D. Abramson 1990. Effects of Different Cereal and Oilseed on the growth and Production of Toxins by Aspergillus glutaceus and Penicillium verrucosum. J. Agric. Food Chem 38:1505-1510. Maryam, R. 2006. Pengendalian Terpadu Konlaminasi Mikotoksin. http:// peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/wartazoa/wazo161-3.pdf.[27 Desember 2008]. Mateles, R. I. dan J. C. Adye. 1965. Production of Aflatoxin in Submerged Culture. Appl. Microbial, 13 : 208-221. Maynard, L. A. dan J. K. Loosli, 1993. Animal Nutrition. Seventh Edition. Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
46
Miller, O. C. 1959. Use of The Dinitrosalicylic Acid Reagent for The Determination of Reducing Sugar. Analitycal Chemists 31: 189-198. Miller, J. D. dan H. L. Trenholm. 1994. Mycotoxin in Grain, Compound Other Than Aflatoxin. Eagan Press. St. Paul, Minnesota. Mislivec, P. B., M. W. Trucksess, dan L. Stoloff. 1988. Effects of Other Toxigenic Mold Species on Aflatoxin Production by Apergillus flavus in Sterile Broth Shake Culture. J. Food Prot. 51:440-451. Onions, A. H. S. 1981. Mycotoxigenic Fungi. Di dalam J. B. L. Corry, D. Roberts dan F. A. Skinner (eds.). Isolation and Identification Methods for Food Poisoning Organism. Academic Press, New York. Parajo, J. C., G. Garotte, J. M. Cruz dan H. Dominguez. 2003. Production of Xyloligosaccharides by Autohydrolysis of Lignocellulosic Materials. Trends in Food Science and Technology Vol. 15 : 115-120. Paster, N. dan L. B. Bullerman. 1988. Mold Spoilage and Mycotoxin formation in grains as Controlled By Physical Means. Int. J. Food Microbiol. 7:257265. Pitt, J. I. dan A. D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spoilage. Academic Press, Sydney. Prabowo, A. Y. 2007. Budidaya Jagung. http://teknis-budidaya.blogspot.com/ 2007/10/budidaya-jagung.html. [22 Oktober 2008]. Putra, S. H. 2007. Analisis Aspergillus flavus pada Berbagai Tingkat Distribusi Jagung sebagai Bahan Baku Pangan Studi Kasus Bogor dan Boyolali. [Skripsi]. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Richana, N. dan Suarni. 2007. Teknologi Pengolahan Jagung http://www.google. co.id/proses+produksi+xilitol+dari+tongkol+jagung&btnG. [18 Desember 2008]. Richard, D., H. Bizot, dan J. L. Multon. 1982. Activita de I’eau. Facteur Essentiel of de I’evolution Microbioloque de Aliments, Volume 2 : 3-17. Robertson, G. L. 1993. Food Packaging : Principles and Practice. Marcel Dekker Inc., New York. Robertson, A. 2005. Risk of Aflatoxin Contamination Increases With Hot and Dry Growing Conditions. http://www.ipm.iastate.edu/ipm/icm/2005/919/aflatoxin.html. [28 Januari 2008].
47
Robi’in. 2007. Perbedaan Bahan Kemasan Dan Periode Simpan Dan Pengaruhnya Terhadap Kadar Air Jagung Dalam Ruang Simpan Terbuka. Buletin Teknik Pertanian Vol. 12 No.1. Santoso, B. B. dan S. P. Bambang. 1995. Fisiologi dan Teknologi Pasca Panen Hortikultura. Aus. AID. Sapoetra, K. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta, Jakarta. Sauer, D. B. 1986. Condition that Affect Growth of Aspergilllus flavus and Production of Aflatoxin in Stored Maize. Page 41-50. in proceedings of the workshop. El Batan. Schutless, F., K. F. Cardwell, dan S. Gounou. 2002. The effect of endhophytic Fusarium verticilliodes on investasion of two maize variety by lepidoptera stemborer and coleoptera grain feeders. The American Phytophatologycal Society. Sinha, R. N., H. A. H. Wallace, dan F. S. Chebib. 1989. Principal Component Analysis of Interrelations among Fungi, mites, ang Insects in Grain bulk Ecosystem. Ecology 50:536-547. Siregar, H. B. 1986. Detoksifikasi Aflatoksin dalam Pakan Ternak dengan Menambahkan Zat Pengikat Polivinylpyrrolidone. Akademi Kimia Analisis, Bogor. Smith, J. E. dan J. A. Pateman. 1977. Genetics and Physiology of Aspergillus. Academia Press, New York. Somantri, A. S. 2005. System Analysis of Postharvest Handling and Shelflife Prediction of Maize. http://www:pascapanen.litbang.deptan.go.id/kondisi penyimpanan jagung untuk menghambat aflatoksin. [29 Januari 2008]. Steve, M. dan P. C. Michael. 2003, Sampling and Analyzing Feed for Fungal (Mold) Toxins (Mycotoxins). University of Nebraska, Nebraska. Steyn, P. S. 1991. The Biosynthesis of Mycotoxins. A study Secondary Metabolism. Academic Press, New York. Sudjana. 1991. Desain dan Analisis Eksperimen. Edisi ketiga. Tarsito, Bandung. Sumner, P. E. 2003. Reducing Aflatoxin in Corn During Harvest and Storage. University of Georgia College of Agricultural and Environmental Sciences, New York. . 2003. Reducing Aflatoxin in Corn During Harvest and Storage. [26 Januari http://pubs.caes.uga.edu/caespubs/pubs/PDF/B1231.pdf. 2008].
48
Suprapto, 1998. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya, Jakarta. Suriawiria, U. 2004. Mikotoksin Pada Makanan Penyebab Kanker Paling Ganas.http://www.pikiranrakyat.com/cetak/0104/15/cakrawala/pelangi.ht m. [26 Januari 2008]. Warisno. 1998. Budidaya Jagung Hibrida. Gramedia, Jakarta. Watson, S. A. dan E. Ramstad, 1994. Corn : Chemistry and Technology. American Association of Cereal Chemistry Inc. St. Paul, Minnesota. White, P. J. dan L. A. Johnson 2003. Corn : Chemistry and Technology. 2th edition. American Association of Cereal Chemistry, New York. Wicklow, D. T., C. W. Hesseltine, O. L. Shotwell, dan G. L. Adams. 1980. Interference Competition And Aflatoxin Levels in Corn. Phytopathology 78:68-74. Wicklow, D. T. dan B. W. Horn. 1983. Factors influencing the inhibition of aflatoxin production in corn by Aspergillus niger. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/6418365. [12 November 2008]. Widyani, I. G. A. 2002. Ekstraksi Xilan dari Tongkol Jagung dan Kulit Ari Kedelai. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor.
49
50
Lampiran 1. Metode Analisis Proksimat 1. Kadar Air (AOAC, 1971) Cawan aluminium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105 oC selama 1-2 jam. Cawan aluminium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang menghilang sebagai kadar air. Kadar Air (%)
=
(W1 – W2) W1
x
100%
2. Kadar Abu (AOAC, 1971) Sebanyak 2 g contoh ditimbang dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya (A), kemudian diarangkan dengan menggunakan pemanas sampai tidak mengeluarkan asap lagi. Cawan porselin berisi contoh (B) yang sudah diarangkan kemudian dimasukkan ke dalam tanur bersuhu 600 oC selama 2 jam untuk mengubah arang menjadi abu (C). Cawan porselin berisi abu didinginkan dalam desikator dan ditimbang hingga bobot tetap. Kadar Abu (%)
=
(C –A) B
x 100 %
3. Kadar Serat Kasar (AOAC, 1971) Sebanyak 2 g contoh dimasukkan ke dalam erlenmeyer 500 ml dan ditambahkan 100 ml H2SO4 0.325 N. Kemudian dihidrolisis dalam otoklaf selama 15 menit pada suhu 105 oC dan didinginkan serta ditambahkan NaOH 1.25 N sebanyak 50 ml. Kemudian dihidrolisis kembali dalam otoklaf selama 15 menit. Contoh disaring dengan kertas saring yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Kertas saring kemudian dicuci berturut-turut dengan air panas, 25 ml H2SO4 0.325 N, air panas kemudian aceton atau alkohol 25 ml. Kertas saring tersebut dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC selama 1 jam dan dilanjutkan sampai bobotnya tetap. Kadar serat (%)
=
a – b x 100 % c
51
Keterangan : a = bobot residu serat dalam kertas saring (g) b = bobot kertas saring kering (g) c = bobot bahan awal (g) 4. Kadar Protein (AOAC, 1971) Sebanyak 0.1 gram contoh ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl lalu ditambahkan 2.5 ml H2SO4 pekat, i gram katalis (CuSO4 dan Na2SO4) dan beberapa butir batu didih. Larutan didestruksi sampai menghasilkan warna hijau jernih kemudian didinginkan. Larutan hasil destruksi dipindahkan ke alat destilasi dan ditambahkan 15 ml NaOH 50%. Labu erlenmeyer yang berisi 25 ml HCl 0.02 N dan 2-4 tetes indikator mengsel (campuran metil merah 0.02 % dalam alkohol (2:1)) diletakkan di bawah kondensor. Ujung tabung kondensor harus terendam dalam HCl. Destilasi dilakukan sampai volume larutan di dalam erlenmeyer mencapai 2 kali volume awal. Ujung kondensor dibilas dengan akuades dan hasil bilasannya ditampung dalam erlenmeyer. Larutan hasil bilasan yang terdapat dalam erlenmeyer dititrasi menggunakan NaOH 0.02 N sampai diperoleh perubahan warna dari hijau menjadi ungu. Setelah itu dilakukan juga penetapan blangko. Kadar protein kasar = (a - b) x N x 14.007 x 6.25 x 100 % W Keterangan : A = ml NaOH untuk titrasi blangko B = ml NaOH untuk titrasi contoh N = normalitas NaOH W = bobot contoh (gram) 5. Kadar Lemak (AOAC, 1971) Sebanyak 2 gram contoh bebas air dibungkus dengan kertas saring dan diekstraksi dengan pelarut heksan dalam soxlet selama 6 jam. Labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dan pelarut diuapkan dengan cara dianginanginkan dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105 oC. Contoh kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang konstan. Kadar lemak = bobot lemak x 100 % bobot contoh
52
Lampiran 2. Dokumentasi Cara Penyimpanan Tongkol Jagung
Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dihamparkan
BISMA 11%
BISMA 15%
BISMA 19%
Penyimpanan Tongkol Jagung dengan Cara Dikemas menggunakan Karung Goni
53
Lampiran 3. Metode Analisis Hasil Penelitian 1. Kadar Air (AOAC, 1971) Cawan alumunium yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya diisi sebanyak 2 g sampel lalu ditimbang (W1) kemudian dimasukkan ke dalam oven suhu 105oC selama 1-2 jam. Cawan alumunium dan sampel yang telah dikeringkan dimasukkan ke dalam desikator kemudian ditimbang. Ulangi pemanasan sampel sampai dicapai bobot konstan (W2). Sisa contoh dihitung sebagai total padatan dan air yang menghilang sebagai kadar air. Kadar air (%) = W1 – W2 x 100% W1
2. Identifikasi dan Penentuan Total Aspergillus flavus (Pitt dan Hocking, 1997) Isolasi Aspergillus flavus dilakukan dengan metode pengenceran berderet dan dilanjutkan dengan metode cawan tuang. Sebanyak 25 gram sampel yang telah digiling sampai diperoleh partikel dengan ukuran kurang lebih 50 mesh. Contoh yang telah digiling dimasukkan ke dalam labu ukur 250 ml kemudian ditambahkan akuades steril sampai volumenya mencapai 250 ml. Dengan demikian diperoleh suspensi dengan pengenceran 1:10. labu ukur yang berisi suspensi kemudian digoyang menggunakan tangan dan selanjutnya suspensi dipindahkan ke dalam labu erlenmeyer volume 500 ml, selanjutnya dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit. Sebanyak 10 ml suspensi tersebut dipipet dan ditempatkan di dalam labu erlenmeyer 250 ml. Kemudian ditambahkan 90 ml akuades steril dan dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 150 rpm selama 2 menit sehingga diperoleh pengenceran 1:100. dengan cara yang sama dibuat pengenceran 1:1.000. Sebanyak 1 ml suspensi sampel dari setiap pengenceran dipindahkan kedalam cawan petri (diameter 9 cm) kemudian dituangkan 12 ml media AFPA yang suhunya ±45oC. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (±28oC) selama 4 hari. Dengan setiap pengenceran dibuat di dalam tiga cawan petri. Koloni A. flavus pada media AFPA ditunjukkan oleh warna oranye-kuning terang di dalam cawan petri.
54
Populasi cendawan per gram sampel ditentukan dengan menggunakan rumus : Populasi cendawan/g (bobot basah) sampel = 1 .Z X.Y Keterangan : X = Volume suspensi sampel yang dipindahkan ke setiap cawan petri (1 ml) Y = Pengenceran yang memberikan koloni cendawan terpisah Z = Rata-rata jumlah koloni Aspergillus flavus dari tiga eawan petri 3. Analisis Aflatoksin (Blaney et al., 1984) 1). Ekstraksi Sampel Sebanyak 75 ml larutan metanol 80% ditambahkan ke dalam 25 gram sampel tongkol jagung yang telah digiling hingga berukuran 50 mesh. Kemudian dikocok menggunakan shaker dengan kecepatan 200 rpm selama 15 menit. Larutan jernih ekstrak akan diperoleh setelah campuran didiamkan selama 1 jam. 2). Persiapan Kurva Standar Aflatoksin Sebanyak 34.5 μl larutan stok aflatoksin 5.8 ppm di dalam metanol dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1965.5 μl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 100 ppb. Kemudian dari larutan standar aflatoksin 100 ppb diambil sebanyak 499.5 μl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1000.5 μl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 33.3 ppb. Selanjutnya dari larutan standar aflatoksin 33.3 ppb diambil sebanyak 500 μl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1000 μl
metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin
dengan konsentrasi 11.1 ppb. Sebanyak 500 larutan standar aflatoksin 11.1 ppb diambil dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1000 μl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 3.7 ppb.
55
Kemudian dari larutan standar aflatoksin 3.7 ppb diambil sebanyak 486.5 μl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1013.5 μl metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin dengan konsentrasi 1.2 ppb. Selanjutnya dari larutan standar aflatoksin 1.2 ppb diambil sebanyak 500 μl dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 1000 μl
metanol 80% sehingga diperoleh larutan standar aflatoksin
dengan konsentrasi 0.4 ppb. 3). Persiapan Plat Mikro Antibodi Sebanyak 42,3 μl stok murni antibodi (ANNA #6 Rab α Aflatoksin B1 2.6 mg/ml) dilarutkan ke dalam 11 ml larutan salutan (bufer karbonat), setelah itu dikocok perlahan dan ditambahkan 200 μl larutan perekat (blocking solution) berupa 0.5% kasein di dalam phosphat buffer saline ke dalam masing-masing sumur. Setelah itu diinkubasi selama satu jam pada suhu ruang kemudian dicuci tiga kali dengan menggunakan akuades. 4). Cara Kerja Pengujian Sebelum memulai analisis, terlebih dahulu dibuat peta plat mikro yang mencakup blangko, kontrol, standar dan sampel. Peta plat mikro dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Peta Plat Mikro Analisis Aflatoksin Metode ELISA Blangko
Blangko
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
100 ppb
100 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
33,3
33,3
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
ppb
ppb
11,1
11,1
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
ppb
ppb
3,7 ppb
3,7 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
1,2 ppb
1,2 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
0,4 ppb
0,4 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
kontrol
kontrol
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Pada plat pencampuran (plat tanpa antibodi), 150 μl larutan enzim konjugat dimasukkan ke dalam masing-masing sumur kecuali pada sumur blangko ditambahkan 150 μl pengencer (1% fish hydrosate). Ke dalam 56
sumur blangko dan kontrol dimasukkan 50 μl metanol 80%. Sedangkan ke dalam sumur standar dan sampel dimasukkan masing-masing 50 μl standar ataupun sampel seperti yang terlihat pada peta plat mikro. Setelah itu campuran dibuat homogen dengan cara menggoyangkan plat mikro secara perlahan pada permukaan yang rata. Dengan menggunakan 8-channel multi pipette, 50 μl campuran di dalam plat pencampuran dipindahkan ke dalam plat yang telah berisi antibodi dan dibiarkan selama 5 menit. Setelah itu plat dicuci tiga kali dengan menggunakan akuades dan dikeringkan di atas kertas tissu. Sebanyak 100 μl larutan substrat dimasukkan ke dalam masing-masing sumur dengan menggunakan 8-channel multi pipette. Setelah itu dibiarkan selama 10 menit pada suhu kamar kemudian reaksi dihentikan dengan penambahan 50 μl larutan H2SO4 1.25 M. Absorbansi warna kuning yang terbentuk dibaca menggunakan ELISA reader pada panjang gelombang 450 nm. 5). Penghitungan Konsentrasi Aflatoksin Nilai absorbansi yang diperoleh digunakan untuk menghitung persentase inhibisi standar dan sampel. Persentase inhibisi standar dan sampel dihitung menggunakan program excell dengan rumus sebagai berikut :
% inhibisi standar/sampel = 1 - A standar /sampel– A blangko x 100 A kontrol – A blangko
Persentase inhibisi standar yang telah diperoleh kemudian diplotkan dengan konsentrasi standar aflatoksin untuk memperoleh kurva kalibrasi standar. Dalam hal ini persentase inhibisi sebagai sumbu y dan konsentrasi aflatoksin sebagai sumbu x. Kurva kalibrasi diperoleh dengan menggunakan bantuan program excell. Kemudian untuk mengetahui konsentrasi aflatoksin sampel, digunakan rumus baku konsentrasi berdasar b/v. Penghitungan konsentrasi aflatoksin sampel juga menggunakan bantuan program excell. Konsentrasi aflatoksin yang diperoleh kemudian dikalikan dengan faktor pengenceran sehingga konsentrasi aflatoksin sampel yang sebenarnya dapat diketahui.
57
Lampiran 4. Komposisi Media AFPA, Cara Pembuatan dan Sterilisasi (Pitt dan Hocking, 1997).
Komposisi media AFPA : Pepton Ekstrak khamir
10 g 20 g
Feri amonium sitrat 0.5 g Kloramfenikol
100 mg
Agar-agar bacto
15 g
Dikloran
2 mg (1 ml dalam 0.2% etanol)
Akuades
1000 ml
Cara Pembuatan Media AFPA : Semua bahan yang digunakan dimasukkan ke dalam gelas piala kemudian dipanaskan pada penangas air sambil diaduk sampai didapat larutan bening. Selanjutnya media disterilkan menggunakan otoklaf.
Cara Sterilisasi Menggunakan otoklaf : Air dituangkan secukupnya ke dalam tubuh otoklaf kemudian tabung berisi media AFPA, cawan petri dan tip serta peralatan lain yang perlu disterilkan dimasukkan ke dalam tubuh otoklaf. Otoklaf kemudian ditutup dan klep pengaman dibuka serta pamanas dipasang. Bila uap air mulai keluar dengan deras (terdengar bunyi mendesis), klep pengaman ditutup sehingga tekanan sterilisasi otoklaf naik. Tekanan otoklaf dipertahankan pada nilai yang diinginkan. Sterilisasi dilakukan selama 15-20 menit. Kemudian pemanas dimatikan dan ditunggu sampai tekanan menjadi nol dan suhu jauh di bawah 100oC. Tutup otoklaf kemudian dibuka dan bahan yang disterilkan diambil kemudian air yang tersisa dibuang dan otoklaf dikeringkan (Pitt dan Hocking, 1997).
. Media AFPA 58
Lampiran 5. Hasil Analisis Perubahan Kadar Air Hasil Pengukuran Kadar Air Tongkol Jagung Bisma pada Hari ke-0 No. Ulangan 1. 2. 3.. 4. 5. 6.
1 2 1 2 1 2
Berat awal (g) 5.0094 5.0040 5.0152 5.0073 5.0094 5.0068
Berat Akhir (g) 4.4356 4.4371 4.2424 4.2562 4.0511 4.0480
Kadar air (%) 11.40 11.33 15.41 15.22 19.13 19.15
Nilai (%) 11.37±0.04 15,32±0.13 19.14±0.01
Hasil Pengukuran Kadar Air Tongkol Jagung Bisma pada Hari ke--15 No,
Cara Penyimpanan
Ulangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Berat awal (g) 5.0038 5.0060 5.0033 5.0078 5.0085 5.0025 5.0089 5.0005 5.0063 5.0013 5.0070 5.0054
Berat Akhir (g) 4.4569 4.4573 4.2803 4.2767 4.0894 4.0850 4.4451 4.4554 4.3094 4.3166 4.0635 4.0654
Kadar Air (%) 10.90 10.90 13.92 13.69 17.95 17.68 10.93 10.96 14.45 14.60 18.84 18.80
Nilai (%) 10.90±0 13.81±0.17 17.82±0.18 10.95±0.03 14.53±0.11 18.82±0.03
Hasil Pengukuran Kadar Air Tongkol Jagung Bisma pada Hari ke-30 No . 1. 2. 3.. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Cara Penyimpanan
Ulangan
Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Berat awal (g) 5.0021 5.0059 5.0039 5.0066 5.0036 5.0063 5.0039 5.0038 5.0030 5.0049 5.0040 5.0009
Berat Akhir (g) 4.4764 4.4928 4.3404 4.3408 4.2205 4.2097 4.4685 4.4569 4.2896 4.3003 4.2203 4.1333
Kadar air (%) 10.51 10.25 13.26 13.30 15.65 15.91 10.70 10.93 14.26 14.08 17.26 17.34
Nilai (%) 10.38±0.18 13.28±0.03 15.78±0.18 10.82±0.16 14.17±0.13 17.30±0.06
59
Lampiran 6. Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 11% 1. Tabel Perubahan Kadar Air 11% selama Penyimpanan Cara Waktu penyimpanan Penyimpanan Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hamparan 11.40 10.90 10.51 11.33 10.90 10.25 Karung goni 11.40 10.93 10.70 11.33 10.96 10.93 2. Tabel ANOVA α = 0,05 Sumber Variasi JK Lama Penyimpanan (A) 1.187 Cara Penyimpanan (B) 0.077 Interaksi lama penyimpanan 0.114 dengan cara penyimpanan (A*B) Error 0.066 Total 1.4444 Keterangan : * = Berpengaruh nyata
dk 2 1 2
RJK 0.594 0.077 0.057
F 54.298 7.024 5.234
F0,05 5.99* 5.14* 5.14*
6 11
0.011 -
-
-
3. Uji lanjut Duncan : a. Lama Penyimpanan Tongkol Jagung Perlakuan Penyimpanan 0 hari (awal penyimpanan) Penyimpanan15 hari Penyimpanan 30 hari Keterangan :
N
Rata-Rata
4 4 4
11.3650 10.9225 10.5975
Kelompok Duncan A B C
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata b. Cara Penyimpanan tidak bisa dilakukan uji Duncan karena hanya terdapat dua taraf. Dari hasil pengamatan yang diperoleh, dapat diketahui bahwa cara penyimpanan yang memberikan penurunan paling besar adalah cara penyimpanan dengan hamparan.
60
c. Interaksi Lama Penyimpanan dan Cara Penyimpanan Perlakuan
N
Rata-Rata
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 Keterangan :
2 2 2 2 2 2
11.3650 11.3650 10.9000 10.9450 10.3800 10.8150
Kelompok Duncan A A B B C B
Keterangan : • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Keterangan : A1 = Lama Penyimpanan 0 hari A2 = Lama penyimpanan 15 hari A3 = Lama penyimpanan 30 hari B1 = Cara Penyimpanan Hamparan B2 = Cara penyimpanan Karung goni
61
Lampiran 7. Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 15% 1. Tabel Perubahan Kadar Air 15% selama Penyimpanan Cara Waktu penyimpanan Penyimpanan Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hamparan 15.41 13.92 13.26 15.22 13.69 13.30 Karung goni 15.41 14.45 14.26 15.22 14.60 14.08 2. Tabel ANOVA α = 0,05 Sumber Variasi JK Lama Penyimpanan (A) 5.392 Cara Penyimpanan (B) 0.864 Interaksi lama penyimpanan 0.446 dengan cara penyimpanan (A*B) Error 0.091 Total 6.793 Keterangan : * = Berpengaruh nyata
dk 2 1 2
RJK F F0,05 2.696 178.159 5.99* 0.864 57.095 5.14* 0.223 14.751 5.14*
6 11
0.015 -
-
-
3. Uji lanjut Duncan a. Lama Penyimpanan Tongkol Jagung Perlakuan Penyimpanan 0 hari (awal penyimpanan) Penyimpanan15 hari Penyimpanan 30 hari Keterangan :
N 4 4 4
Rata-Rata 15.3150 14.1650 13.7250
Kelompok Duncan A B C
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata b. Cara Penyimpanan tidak bisa dilakukan uji Duncan karena hanya terdapat dua taraf. Dari hasil pengamatan yang diperoleh, dapat diketahui bahwa cara penyimpanan yang memberikan penurunan paling besar adalah cara penyimpanan dengan hamparan.
62
c. Interaksi Lama Penyimpanan dan Cara Penyimpanan Perlakuan
N
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 Keterangan :
2 2 2 2 2 2
Rata-Rata 15.3150 15.3150 13.8050 14.5250 13.2800 14.1700
Kelompok Duncan A A B C D E
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Keterangan : A1 = Lama Penyimpanan 0 hari A2 = Lama penyimpanan 15 hari A3 = Lama penyimpanan 30 hari B1 = Cara Penyimpanan Hamparan B2 = Cara penyimpanan Karung goni
63
Lampiran 8. Data Hasil Analisis Perubahan Kadar Air, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan pada Kadar Air 19% 1. Tabel Perubahan Kadar Air 19% selama Penyimpanan Cara Waktu penyimpanan Penyimpanan Hari ke-0 Hari ke-15 Hari ke-30 Hamparan 19.13 17.95 17.65 19.15 17.68 17.91 Karung goni 19.13 18.23 17.66 19.15 18.34 17.95 2. Tabel ANOVA α = 0,05 Sumber Variasi JK Lama Penyimpanan (A) 4.094 Cara Penyimpanan (B) 0.082 Interaksi lama penyimpanan 0.140 dengan cara penyimpanan (A*B) Error 0.119 Total 4.435 Keterangan : * = Berpengaruh nyata
dk 2 1 2
RJK F F0,05 2.047 103.416 5.99* 0.082 4.127 5.14 0.070 3.533 5.14
6 11
0.020 -
-
-
3. Uji lanjut Duncan : a. Lama Penyimpanan Tongkol Jagung Perlakuan Penyimpanan 0 hari (awal penyimpanan) Penyimpanan15 hari Penyimpanan 30 hari Keterangan :
N
Rata-Rata
4 4 4
19.1400 18.0500 17.7925
Kelompok Duncan A B C
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata b. Cara Penyimpanan tidak bisa dilakukan uji Duncan karena hanya terdapat dua taraf. Dari hasil pengamatan yang diperoleh, dapat diketahui bahwa cara penyimpanan yang memberikan penurunan paling besar adalah cara penyimpanan dengan hamparan.
64
Lampiran 9. Data Hasil Isolasi Aspergillus flavus Hasil Isolasi Aspergillus flavus pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-0 No. Kadar Air 1. 11% 2. 11% 3. 15% 4. 15% 5. 19% 6. 19%
Ulangan 1 2 1 2 1 2
Konsentrasi A.flavus (koloni/g bobot basah) 1.0 X 104 0.9 x 104 1.57 x 104 1.53 x 104 1.03 x 105 0.567 x 105
Hasil Isolasi Aspergillus flavus pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-15 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Kadar Air 11% 11% 15% 15% 19% 19% 11% 11% 15% 15% 19% 19%
Cara Penyimpanan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
Ulangan Konsentrasi A. flavus (koloni/g bobot basah) 1 4.667 X 103 2 5.667 x 103 1 2.667 x 104 2 1.333 x 104 1 3.000 x 104 2 2.333 x 104 1 1.667X 103 2 4.333 x 103 1 3.333 x 103 2 4.667 x 103 1 1.333 x 103 2 3.333 x 103
Hasil Isolasi Aspergillus flavus pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-30 No. Kadar Air 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
11% 11% 15% 15% 19% 19% 11% 11% 15% 15% 19% 19%
Cara Penyimpanan
Ulangan
Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Konsentrasi A. flavus (koloni/g bobot basah) 16.667 X 103 3.333 x 103 3.000 x 103 11.000 x 103 7.333 x 103 4.667 x 103 7.667X 103 9.333 x 103 3.000 x 104 1.000 x 104 3.333 x 104 3.667 x 104
65
Lampiran 10. Hasil Analisis populasi Aspergillus flavus, Analisis Ragam (ANOVA) dan Uji Lanjut Duncan terhadap Pertumbuhan A. flavus 1. Tabel Populasi Aspergillus flavus Kadar Air 11% 15% 19%
Hari ke-0 Hamparan Karong Goni 10.000 10.000 9.000 9.000 15.700 15.700 15.300 15.300 103.000 103.000 56.700 56.700
Hari ke-15 Hamparan Karong Goni 4.667 1.667 5.667 4.333 26.667 3.333 13.333 4.667 30.000 1.333 23.333 3.333
Hari ke-30 Hamparan Karong Goni 16.667 7.667 3.333 9.333 3.000 30.000 11.000 10.000 7.333 33.333 4.333 36.667
2. Tabel ANOVA α = 0,05 Sumber Variasi JK dk RJK F P-value Lama Penyimpanan (A) 4212774448 2 2106387224 14.609 0.000* Cara Penyimpanan (B) 373524.694 1 373524.694 0.003 0.960 Kadar Air (C) 6321383060 2 3160691530 21.922 0.000* Interaksi lama penyimpanan 1152992272 2 576496135.9 3.998 0.037* dengan cara penyimpanan (A*B) Interaksi lama Penyimpanan 6337355848 4 1584338962 10.989 0.000* dengan Kadar Air (A*C) Interaksi Cara Penyimpanan 14896345.7 2 7448172.861 0.052 0.950 dengan Kadar Air (B*C) Interaksi Lama 706516858 4 176629214.5 1.225 0.335 Penyimpanan, cara penyimpanan dan Kadar Air (A*B*C) Error 2592259113 18 144181061.8 Total 21338551470 35 Keterangan : * = Berpengaruh nyata 3. Uji lanjut Duncan : a. Lama Penyimpanan Tongkol Jagung Perlakuan
N
Penyimpanan 0 hari (awal penyimpanan) Penyimpanan15 hari Penyimpanan 30 hari
12 12 12
Rata-Rata 34950.00 10194.42 14388.83
Kelompok Duncan A B B
66
Keterangan : • Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata b. Kadar Air Tongkol Jagung Perlakuan Kadar Air 11% Kadar Air 15% Kadar Air 19% Keterangan :
N
Rata-Rata
12 12 12
7611.17 13666.37 38255.42
Kelompok Duncan B B A
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata c. Interaksi Lama Penyimpanan dan Kadar Air Perlakuan
N
Rata-Rata
A1C1 A1C2 A1C3 A2C1 A2C2 A2C3 A3C1 A3C2 A3C3 Keterangan :
2 2 2 2 2 2 2 2 2
19000 31000 159700 7000 11000 8166 18500 27000 40833
Kelompok Duncan B B A B B B B B B
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Keterangan : A1 = Lama Penyimpanan 0 hari
B1 = Cara Penyimpanan Hamparan
A2 = Lama penyimpanan 15 hari
B2 = Cara penyimpanan Karung goni
A3 = Lama penyimpanan 30 hari
67
d. Interaksi Lama Penyimpanan dan Cara Penyimpanan Perlakuan
N
Rata-Rata
A1B1 A1B2 A2B1 A2B2 A3B1 A3B2 Keterangan :
2 2 2 2 2 2
128700.00 81000.00 51833.50 9333.00 22833.00 63500.00
Kelompok Duncan A B C D D BC
• Huruf pengelompokan Duncan yang sama menunjukkan faktor tidak berbeda nyata • Huruf pengelompokan Duncan yang tidak sama menunjukkan faktor berbeda nyata Keterangan : A1 = Lama Penyimpanan 0 hari A2 = Lama penyimpanan 15 hari A3 = Lama penyimpanan 30 hari C1 = Kadar air 11% C2 = Kadar air 15% C3 = Kadar air 19%
68
Lampiran 11. Dokumentasi Hasil Isolasi A. flavus pada Media AFPA
Aspergillus flavus H-0 tampak bawah
Aspergillus flavus H-0 tampak atas
Aspergillus flavus H-15
Aspergillus flavus H-15
tampak bawah
tampak atas
Aspergillus flavus H-30
Aspergillus flavus H-30
tampak bawah
tampak atas
69
Lampiran 12. Plat Mikro Pengujian Aflatoksin menggunakan Metode ELISA
Urutan Peta plat mikro : Blangko
Blangko
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
100 ppb
100 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
33,3
33,3
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
ppb
ppb
11,1
11,1
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
ppb
ppb
3,7 ppb
3,7 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
1,2 ppb
1,2 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
0,4 ppb
0,4 ppb
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
kontrol
kontrol
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Sampel
Semakin banyak analit (sampel yang mengandung aflatoksin) yang berikatan dengan antibodi, maka semakin sedikit enzim yang berikatan dengan antibodi, sehingga semakin rendah intensitas warna yang terbentuk. Hasil pengujian aflatoksin pada peta plat mikro memperlihatkan bahwa intensitas warna yang terbentuk pada sumur sampel lebih kuat dibandingkan sumur standar. Hal ini menunjukkan konsentrasi analit (sampel yang mengandung aflatoksin) lebih rendah dari standar (100 ppb, 33.3 ppb, 11.1 ppb, 3.7 ppb, 1.2 ppb dan 0.4 ppb).
70
Lampiran 13. Hasil Analisis Aflatoksin Hasil Analisis Aflatoksin pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-0 No.
Kadar Air
Ulangan
1. 2. 3. 4. 5. 6.
11% 11% 15% 15% 19% 19%
1 2 1 2 1 2
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Hasil Analisis Aflatoksin pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-15 No.
Cara Penyimpanan
Kadar Air
Ulangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
11% 11% 15% 15% 19% 19% 11% 11% 15% 15% 19% 19%
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
Hasil Analisis Aflatoksin pada Tongkol Jagung Bisma Hari ke-30 No.
Cara Penyimpanan
Kadar Air
Ulangan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dihamparkan Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni Dikemas karung goni
11% 11% 15% 15% 19% 19% 11% 11% 15% 15% 19% 19%
1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2
Konsentrasi Aflatoksin (ppb) Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi Tidak terdeteksi
71