BioSMART Volume 7, Nomor 2 Halaman: 110-114
ISSN: 1411-321X Oktober 2005
Pengaruh Komposisi Makrofauna Tanah terhadap Dekomposisi Bahan Organik Tanaman dan Pertumbuhan Jagung (Zea mays L.) The influence of soil macrofauna composition on decomposition of crop organic matter and growth of corn (Zea mays L.) HASANATUL IFTITAH♥, SUGIYARTO, WIRYANTO Jurusan Biologi FMIPA Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta 57126 Diterima: 4 Pebruari 2005. Disetujui: 1 Juli 2005.
ABSTRACT The aims of the research were to know the influence of soil macrofauna composition on decomposition of crop organic matter and the growth of corn (Z. mays L). This research arranged on a Complete Random Design (CRD), with 9 treatments, i.e.: O (without litter and soil macrofauna), K (litter without soil macrofauna), C (Megascolex sp.), L (Narceus sp.), U (Phyllophaga spp.), CL (Megascolex sp. and Narceus sp.), CU (Megascolex sp. and Phyllophaga spp.), LU (Narceus sp. and Phyllophaga spp.), and CLU (Megascolex sp., Narceus sp., and Phyllophaga spp.) in triplicate. The results showed that different soil macrofauna composition influence the decomposition of crop organic matter; the best treatment was combination of Megascolex sp. and Narceus sp. The corn growth was influenced by composition of soil macrofauna; there was higher growth on the treatment of without soil macrofauna and combination of Megascolex sp., Narceus sp dan Phyllophaga spp. There were negative correlation between growth of corn and C:N ratio. Key words: composition, soil macrofauna, crop organic matter, corn
PENDAHULUAN Bahan organik tanaman berperan penting dalam menciptakan kesuburan tanah karena berbagai macam bahan organik tanaman pada akhirnya mengalami proses dekomposisi dan menjadi bagian dari bahan organik tanah. Secara fisika bahan organik berperan dalam meningkatkan kemampuan menahan air, agregasi tanah, dan warna tanah menjadi coklat hingga hitam. Secara kimia, selain memberikan kontribusi terhadap ketersediaan hara sebagai hasil mineralisasi, bahan organik berpengaruh terhadap peningkatan daya jerap dan kapasitas tukar kation (Hakim dkk., 1986).Dalam sistem wanatani sisa tanaman atau pangkasan pohon leguminosae yang dikembalikan ke tanah dapat berfungsi sebagai sumber N bagi tanaman dan untuk mempertahankan atau memperbaiki kandungan bahan organik tanah (Handayanto, 1996). Laju dekomposisi bahan organik sisa tanaman dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kandungan bahan organik, kondisi lingkungan dan organisme dekomposer. Organisme dekomposer menunjukkan peran penting dalam proses penghancuran serta katabolisme (Tian, 1992). Aktivitas organisme tanah bervariasi, mulai dari sebagian besar penghancuran sisa tumbuhan oleh insekta dan cacing tanah sampai dekomposisi total sisa ♥ Alamat Alamat korespondensi: korespondensi: Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta 57126 Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191. Tel. & Fax.: +62-271-663375. +62-368-21273. e-mail:
[email protected],
[email protected] [email protected]
tumbuhan oleh organime yang lebih kecil seperti bakteri, fungi, dan actinomycetes. Keberadaan makrofauna tanah yang berperan sebagai dekomposer diduga berhubungan erat dengan kandungan bahan organik tanaman. Komposisi kimia bahan organik tanaman yang berbeda menyebabkan laju dekomposisi yang berbeda pula. Hal ini disebabkan, antara lain oleh perbedaan tingkat kesukaan dekomposer terhadap bahan organik tanaman dalam menguraikannya (Tian, 1992). BAHAN DAN METODE Bahan dan alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi berbagai jenis makrofauna tanah (cacing tanah (Megascolex sp.), luwing (Narceus sp.), uret/lundi putih (Phyllophaga spp.)), tanah regosol, jagung (Z. mays L.), seresah daun Lamtoro (Leucaena sp.), dan kemikalia (Se, H2SO4, NaOH 30%, K2Cr2O7, H3PO4, larutan fero, metanol 50%, Reagen Follin-Denis, Na2CO3 , larutan absorban 760 nm, asam borat). Alat-alat penelitian meliputi: pot plastik, kain kasa, saringan tanah, timbangan analitik, termometer tanah, pH-meter, mistar, oven, gelas ukur, tabung destilasi, digestion block, erlenmeyer, dan spektrofotometer. Cara kerja Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari-Mei 2003, di Laboratorium Rumah Kaca Fakultas Pertanian UNS Surakarta. Penelitian dilakukan dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 9 perlakuan dalam 3 ulangan. 2005 Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta
IFTITAH dkk. – Makrofauna tanah pada serasah Zea mays L.
Perlakuan yang diberikan adalah O (tanpa seresah maupun makrofauna tanah), K (tanpa makrofauna tanah), C (cacing tanah), L (luwing/kaki seribu), U (uret/lundi putih), CL (cacing tanah + luwing), CU (cacing tanah + uret), LU (luwing + uret), CLU (cacing tanah + luwing + uret), masing-masing dengan total individu 12 per pot perlakuan. Tanah yang digunakan adalah jenis regosol yang didapatkan dari daerah Colomadu, Karanganyar, dimana tanah tersebut ditimbang masing-masing seberat 5 kg, dan dimasukkan ke dalam pot setinggi ¾ tinggi pot sambil diaduk-aduk. Pada tahap dekomposisi bahan organik tanaman, makrofauna tanah yang sudah dikoleksi dimasukkan ke dalam masing-masing pot sesuai perlakuan. Lapisan atas tanah ditutupi seresah daun lamtoro (Leucaena sp.) yang telah dijemur selama 2 hari seberat 25 gram. Pot-pot percobaan ditempatkan pada tempat yang mendapat cukup sinar matahari. Tahap dekomposisi bahan organik tanaman ini dilaksanakan selama 20 hari. Setelah itu pot yang telah diisi makrofauna dan seresah daun lamtoro ditanami jagung sejumlah satu batang per pot.. Parameter kualitas bahan organik tanaman diukur pada hari ke-0 dan 20 meliputi kandungan N-total (dengan metode Micro-Kjeldahl), C-organik (dengan metode Walkey & Wach) dan polifenol (dengan metode FollinDennis).Kandungan bahan organik tanah diukur dengan metode gravimetri dengan menggunakan rumus sebagai berikut: Bahan organik tanah = 1,725(0,458b − 0,4) x100 BTK
b= BTK-BTB BTK = Berat total kering sebelum dibakar BTB = Berat total setelah dibakar (Suin, 1997) Berat basah sisa seresah ditimbang pada hari ke-20 tahap dekomposisi bahan organik tanaman (saat akan menanam jagung), hari ke-50, 80, dan ke-110. Variabel pertumbuhan tanamn jagung yang diamati meliputi: tinggi tanaman, jumlah daun, dan berat kering tanaman. Pengukuran tinggi tanaman dan jumlah daun dimulai saat tanaman berumur 4 minggu, dilanjutkan dengan pengukuran tiap 15 hari sekali, diakhiri saat tanaman dipanen (untuk tinggi tanaman dan jumlah daun). Pengukuran luas daun menggunakan metode gravimetri (Sitompul dan Guritno, 1995). Pengukuran berat kering tanaman dilakukan saat tanaman dipanen. Analisis data Untuk analisis perbandingan antar perlakuan dilakukan Analisis Variansi (ANAVA) dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncant (DMRT) pada taraf uji 5%. Untuk mengetahui hubungan antara kandungan bahan organik tanah dengan pertumbuhan jagung (Z. mays L.) dilakukan analisis korelasi dengan bantuan program SPSS. HASIL DAN PEMBAHASAN Dekomposisi seresah daun lamtoro Dari penelitian yang telah dilakukan diketahui kandungan C-organik, N-total, dan polifenol serta rasio
111
C:N pada tiap perlakuan menunjukkan adanya variasi (Tabel 1). Perbedaan proses dekomposisi seresah daun lamtoro pada perbedaan perlakuan komposisi makrofauna tanah lebih jelas terlihat pada pengamatan pengurangan berat seresah selama 110 hari (Gambar 1). Kadar C, N, dan polifenol secara umum mengalami peningkatan, sedangkan rasio C:N secara umum mengalami penurunan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seresah daun lamtoro mengalami proses dekomposisi. Proses tersebut menunjukkan perbedaan pada perlakuan komposisi makrofauna tanah yang berbeda. Hal ini mengindikasikan adanya peran makrofauna tanah dalam proses tersebut. Tabel 1. Kandungan C, N, polifenol dari seresah daun Lamtoro (Leucaena sp). pada hari ke-0 dan 20 dengan berbagai perlakuan komposisi makrofauna tanah Waktu Pengukuran (Hari ke-) 0 20 PerlaCN- PolifeCN- Polifekuan org. total nol C:N org. total nol (%) (%) (%) (%) (%) (%) O K 29,30 2,65 0,08 11,06 21,41 2,57 0,54 C 29,30 2,65 0,08 11,06 27,33 3,50 0,63 L 29,30 2,65 0,08 11,06 29,83 2,56 0,67 U 29,30 2,65 0,08 11,06 31,11 3,43 0,58 CL 29,30 2,65 0,08 11,06 24,31 3,28 0,47 CU 29,30 2,65 0,08 11,06 33,22 2,87 0,33 LU 29,30 2,65 0,08 11,06 33,97 2,69 0,56 CLU 29,30 2,65 0,08 11,06 24,89 3,59 0,28 Keterangan: O: tanpa seresah dan makrofauna tanah; K: makrofauna tanah; C: cacing; L: luwing; U: uret;
C:N 8,33 7,81 11,65 9,07 7,41 11,57 12,28 6,93 tanpa
Selain dipengaruhi oleh komposisi organisme dekomposer, proses dekomposisi juga tergantung dari komposisi kimia bahan organik tersebut. Karbon (C) merupakan sumber energi yang penting, baik secara langsung maupun tidak langsung bagi hampir semua organisme tanah untuk beraktivitas. Aktivitas biologi tanah ini sangat menentukan laju dekomposisi bahan organik, dan sebaliknya aktivitas biologi dan keberadaan biota tanah juga ditentukan oleh jumlah C-organik yang disumbangkan ke dalam tanah (Priyadarshini, 1999). Sutedjo dkk. (1991) menyatakan bahwa tanaman dengan kandungan N yang tinggi akan cepat didekomposisi dan melepaskan N, sedangkan tanaman dengan kandungan N yang rendah akan lebih lambat didekomposisi dan melepaskan N-nya akan lambat juga. Kandungan N harus lebih besar dari nilai kritis yang dapat menyebabkan terhambatnya mineralisasi N; berkisar 1,5%-2,5%, sedang nilai kritis C: N adalah 25-30. Senyawa-senyawa polifenol dalam seresah daun lamtoro mengurangi kecepatan dekomposisi dan pelepasan hara seresah. Polifenol dapat membentuk kompleks dengan protein yang lebih tahan terhadap serangan organisme perombak dan juga mampu mengikat enzim organisme dekomposer. Bahan organik dengan kandungan rasio C:N rendah dan polifenol rendah akan cepat terdekomposisi (Priyadarshini, 1999). Keberadaan makrofauna tanah nampak memacu kecepatan perombakan bahan organik
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 110-114
Bahan organik tanah Bahan organik tanah berasal dari hasil penambahan terus menerus sisa tanaman, baik secara alami maupun yang sengaja ditambahkan sebagai upaya pengembalian bahan organik ke dalam tanah. Bahan organik terutama yang telah menjadi humus, dengan rasio C:N < 20 dan kadar karbon 57% mampu menyerap air 2-4 kali lipat dari bobotnya (Handayanto, 1998). Dari Gambar 2 terlihat bahwa kandungan C-organik tertinggi selama perlakuan dekomposisi (awal-hari ke-20) terdapat pada perlakuan CU (cacing + uret). Hal ini dapat diartikan bahwa karbon yang terurai lebih banyak dan dekomposisi berjalan lebih cepat. Pada perlakuan CU, cacing menghasilkan kast (kotoran) yang juga mengandung bahan organik tinggi, sehingga dimungkinkan pada saat mengambil sampel tanah, bagian yang terambil mengandung lebih banyak kast. Kandungan C-organik terkecil selama 20 hari tahap dekomposisi dijumpai pada perlakuan O (tanpa makrofauna tanah dan seresah). Pada perlakuan O tidak ditambahkan seresah maupun makrofauna tanah sehingga kandungan C-organik tanah yang diukur nilainya tidak berbeda jauh dengan pengukuran awal karena tidak ada masukan bahan organik ke dalamnya. Dari Gambar 3 terlihat bahwa kandungan N tanah tertinggi selama 20 hari masa dekomposisi adalah pada perlakuan U (uret) sebesar 0,48%. Nilai N terkecil dijumpai pada perlakuan O (tanpa makrofauna tanah dan seresah) sebesar 0,24%. Pada pengukuran berikutnya (hari ke-80), kandungan N terbesar justru dijumpai pada perlakuan C (cacing) sebesar 0,58% dan terkecil pada perlakuan L (luwing) sebesar 0,19%. Selain disebabkan oleh tingginya aktivitas kedua makrofauna tanah tersebut, tingginya nilai N pada pengukuran hari ke-80, dapat juga disebabkan oleh adanya penambahan N yang berasal dari kotoran makrofauna tanah yang tertinggal dan melekat pada tanah.
30
BERAT SISA SERESAH (g)
25 20 15 10 5 0 O
K
C
hari ke-0
hari ke-20
L
U PERLAKUAN
hari ke-50
CL
hari ke-80
CU
LU
CLU
hari ke-110
Gambar 1. Pengurangan berat sisa seresah pada hari ke-0, 20, 50, 80 dan 110 dengan berbagai perlakuan komposisi makrofauna tanah.
C-organik (%)
5 4 3 2 1 0 O
K
C
L
U
CL
CU
LU
CLU
PERLAKUAN Hari ke-0
Hari ke-20
Hari ke-50
Hari ke-80
Hari ke-110
Gambar 2. Kandungan C-organik tanah pada pengamatan hari ke-0, 20, 50, 80 dan 110 dengan berbagai perlakuan komposisi makrofauna tanah.
0.7 0.6
N-total (%)
tanaman berupa seresah daun lamtoro. Pengurangan seresah yang paling kecil selama 110 hari terlihat pada perlakuan K (tanpa makrofauna tanah). Pada perlakuan K, proses dekomposisi terjadi tanpa bantuan makrofauna tanah, melainkan hanya dilakukan oleh mikroorganisme tanah, sehingga pengurangannya kecil sekali. Perlakuan L (luwing) dan CL (cacing tanah + luwing) menunjukkan pengurangan berat seresah yang terbesar. Hal ini menunjukkan aktivitas kedua jenis makrofauna tanah tersebut efektif dalam mempercepat proses dekomposisi. Luwing dan cacing sebagai pengurai perintis memotongmotong jaringan tanaman sehingga dapat memperluas permukaan jaringan untuk kolonisasi mikrobia (Foth, 1994), merangsang aktivitas mikroorganisme dalam melapukkan sisa tanaman menjadi partikel yang lebih kecil (Handayanto, 1998). Luwing tidak hanya banyak berperan terhadap bahan organik, tetapi juga kotoran mereka sangat mempengaruhi struktur horison tempat kegiatan mereka (Buckman dan Brady, 1982). Penelitian lain menunjukkan bahwa cacing tanah maupun luwing menunjukkan preferensi yang tinggi terhadap seresah daun sengon yang mempunyai karakter mirip dengan daun lamtoro (Sugiyarto, 2004).
0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
O
K
C
L
U
CL
CU
LU
C LU
PERLAKU AN H ari ke-0
H ari ke-20
H ari ke-50
H ari ke-80
H ari ke-110
Gambar 3. Kandungan N-total tanah pada pengamatan hari ke-0, 20, 50, 80 dan 110 dengan berbagai perlakuan komposisi makrofauna tanah.
20
RASIO C:N
112
15 10 5 0 O
K
C
L
U
CL
CU
LU
CLU
PERLAKUAN Hari ke-0
Hari ke-20
Hari ke-50
Hari ke-80
Hari ke-110
Gambar 4. Rasio C:N tanah pada pengamatan hari ke-0, 20, 50, 80 dan 110 pada berbagai perlakuan komposisi makrofauna tanah.
Dari Gambar 4 terlihat bahwa rasio C:N terendah selama masa dekomposisi (awal-hari ke-20) terjadi pada perlakuan L (luwing), dan rasio C:N tertinggi terdapat pada
IFTITAH dkk. – Makrofauna tanah pada serasah Zea mays L.
perlakuan LU (luwing + uret). Rasio C:N yang tinggi menunjukkan kandungan C yang terurai relatif sedikit dan sebagian besar masih terikat dalam bentuk C-organik. Sebaliknya, rasio C:N rendah berarti sebagian bahan organik telah terurai menjadi unsur-unsur yang tersedia bagi tanaman, dan rasio C:N yang kecil atau sempit berarti tanah tersebut relatif kaya akan nitrogen (Foth, 1994). Pertumbuhan jagung Dari analisis ragam (Tabel 2) terlihat bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada tiap-tiap perlakuan. Nilai yang paling tinggi terdapat pada perlakuan K (seresah tanpa makrofauna tanah), hal ini disebabkan karena pada perlakuan tersebut proses dekomposisi terjadi tanpa bantuan makrofauna tanah, sehingga berjalan lambat. Hal ini justru menyebabkan pelepasan hara terjadi dalam waktu yang panjang sehingga cadangan hara masih cukup sampai tanaman dipanen. Sebaliknya secara umum variabelvariabel pertumbuhan tanaman jagung pada perlakuan O (tanpa seresah maupun makrofauna tanah) adalah jauh lebih kecil jika dibanding perlakuan lainnya. Pada perlakuan ini berarti tidak ada pasokan hara tambahan, sehingga tingkat kesuburannya rendah. Sebagai akibatnya pertumbuhan jagung terhambat. Tabel 2. Hasil pengukuran parameter pertumbuhan jagung (Z. mays L.). Perlakuan
O K C L U CL CU LU CLU
Tinggi tanaman (cm)
157,89a 189,28c 184,72c 175,61bc 166,72ab 184,72c 183,28c 186,61c 173,22bc
Jumlah daun
Total luas daun (cm2 )
15,44a 16,67b 16,72 b 16,67 b 16,39 b 17,00 b 16,50 b 16,44 b 16,83 b
327,02a 355,44a 383,19a 402,95a 338,96a 365,14a 351,10a 386,49a 377,06a
Berat kering (g)
86,50a 130,57a 112,83a 112,20a 107,83a 118,83a 118,20a 112,97a 130,13a
Keterangan: O: tanpa seresah dan makrofauna tanah, K: tanpa makrofauna tanah; C:cacing tanah; L:luwing; U:uret; Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT taraf 5%.
Berat kering tanaman merupakan parameter pertumbuhan yang dapat menunjukkan hasil aktivitas metabolisme secara menyeluruh (Sitompul dan Guritno, 1995). Dari Tabel 2 terlihat bahwa komposisi makrofauna tanah dan pemberian seresah dalam pertumbuhan jagung tidak memberikan pengaruh yang nyata. Berat kering terkecil dijumpai pada perlakuan O (tanpa seresah), dan berat kering terbesar dijumpai pada perlakuan K (seresah tanpa makrofauna tanah) dan perlakuan CLU (kombinasi cacing tanah + luwing + uret). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian seresah dan makrofauna tanah berpengaruh positif terhadap pertumbuhan tanaman jagung. Pemberian seresah dapat mengurangi kehilangan air tanah akibat proses penguapan oleh sinar matahari sehingga kelembapan tanah dapat dipertahankan lebih lama
113
dan air dalam tanah lebih tersedia. Dengan ketersediaan air tersebut maka proses fotosintesis dapat berjalan baik (Rosman dalam Daryati, 2002). Goldsworthy dan Fisher (1992) menyatakan bahwa ± 90% berat kering merupakan hasil fotosintesis. Selain itu dalam proses dekomposisi bahan organik dapat melepaskan unsur-unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman serta merubah kondisi fisikakimia tanah sehingga lebih mendukung proses-proses metabolisme di dalam tubuh tanaman. Dengan meningkatnya keragaman makrofauna tanah ternyata juga mampu meningkatkan pertumbuhan tanaman jagung. Baik cacing tanah maupun luwing/kaki seribu mampu berperan sebagai dekomposer dari bahan organik yang tersedia, sedangkan uret/lundi putih selain berperan sebagai dekomposer juga bisa berperan sebagai hama tanaman jagung. Oleh sebab itu keberadaan lundi putih pada populasi tinggi justru menurunkan berat kering tanaman, sedangkan pada populasi rendah tidak menunjukkan pengaruh negatif. Hubungan kandungan bahan organik tanah dengan pertumbuhan jagung Hasil analisis korelasi antara kandungan C, N, dan rasio C/N dengan beberapa variabel pertumbuhan jagung (Tabel 3) menunjukkan bahwa pertumbuhan jagung dipengaruhi oleh kandungan bahan organik tanah, terutama kandungan N dan rasio C/N. Semakin meningkat kandungan N tanah dan semakin menurun rasio C/N maka pertumbuhan tanaman jagung semakin baik. Tabel 3. Nilai korelasi kandungan C, N dan rasio C:N tanah dengan parameter pertumbuhan jagung (Z. mays L.). Parameter pertumbuhan Tinggi Jumlah Total luas Berat tanaman daun daun kering C -0,098 -0,084 -0,049 -0,431 N 0,013 0,548 0,696* 0,350 * * Rasio C:N -0,549 -0,703 -0,674 -0,751* Keterangan: * signifikan pada taraf 5%; C: Karbon; N: Nitrogen;
Jagung akan sangat responsif apabila tumbuh pada media yang baik dalam arti tingkat kesuburan tanahnya baik, kandungan air tanah optimum/memadai, dan hara tanaman yang tersedia cukup banyak. Jumlah hara yang diserap pada stadia pertumbuhan permulaan masa pembenihan adalah rendah dan akan meningkat secara cepat apabila laju akumulasi berat kering bertambah (Effendi dan Sulistiati, 1991). Hara yang lebih banyak diserap jagung selain fosfor dan kalium adalah hara nitrogen (N). Nitrogen diserap akar tanaman dalam bentuk nitrat dan dalam bentuk garam amonium. Sebelum tanaman berbunga, tanaman sudah mengambil kira-kira 25% dari seluruh nitrogen yang dibutuhkan. Tanaman jagung yang kekurangan unsur nitrogen akan memperlihatkan pertumbuhan kerdil dan daun menjadi hijau kekuningkuningan (Effendi dan Sulistiati, 1991).
114
B i o S M A R T Vol. 7, No. 2, Oktober 2005, hal. 110-114
KESIMPULAN Proses dekomposisi bahan organik tanaman berupa seresah daun lamtoro dipengaruhi oleh komposisi makrofauna tanah; kombinasi cacing tanah dengan luwing menunjukkan pengaruh terbesar. Komposisi makrofauna tanah berpengaruh terhadap pertumbuhan jagung. Ada kecenderungan bahwa pada ketersediaan bahan organik yang terbatas pertumbuhan jagung lebih baik pada perlakuan tanpa makrofauna tanah atau kombinasi makrofauna tanah dengan keragaman yang tinggi. Pertumbuhan jagung berhubungan erat dengan kandungan nitrogen (N) dan rasio C/N tanh; semakin meningkat kandungan N dan semakin menurun rasio C/N maka pertumbuhan jagung semakin baik. DAFTAR PUSTAKA Buckman, H. O. dan N.C. Brady. 1982. Ilmu Tanah. Penerjemah: Soegiman. Jakarta: Penerbit PT Bhratara Karya Aksara. Daryati, H. 2002. Pertumbuhan dan Kandungan Gula Reduksi Ganyong Merah (Canna edulis Ker.) Akibat Pemberian Mulsa Serbuk Serabut Kelapa dan Ketersediaan Air Yang Berbeda. [Skripsi]. Surakarta: FMIPA UNS.
Effendi, S. dan N. Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta: CV. Yasaguna. Foth, H.D. 1994. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerjemah: Soemarto, S.A. Jakarta: Penerbit Gelora Aksara Pratama. Goldsworthy, P.R. dan N.M Fisher. 1992. Fisiologi Tanaman Budidaya Tropik. Penerjemah: Tohari. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hakim, N.M., Y. Nyakpa, A.M. Lubis, dan S.G. Nugroho, M.A. Dika, Go B.H., and H.H. Bailey. 1986. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. Lampung: Universitas Lampung. Handayanto, E. 1996. Interaksi kualitas campuran sisa tanaman dan pengaruhnya terhadap mineralisasi sisa tanaman. Agrivita 19 (2): 4350. Handayanto, E. 1998. Pengelolaan Kesuburan Tanah. Malang: Penerbit Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Priyadarshini, R. 1999. Estimasi Modal C (C-stock). Masukan Bahan Organik. dan Hubungannya dengan Populasi Cacing Tanah Pada Sistem Wanatani. [Tesis]. Malang: Program Pascasarjana Universitas Brawijaya. Sitompul, S.M. dan B. Guritno. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Suin, N.M. 1997. Ekologi Hewan Tanah. Jakarta: Bumi Aksara. Sugiyarto. 2004. Keanekaragaman Makroinvertebrata Tanah dan Produktivitas Tanaman Sela pada Sistem Agroforestri Berbasis Sengon. (Disertasi). Malang: Universitas Brawijaya. Sutedjo, M.M., A.G. Kartasapoetra, dan R.D.S. Sastroatmodjo. 1991. Mikrobiologi Tanah. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Tian, G. 1992. Biologi Effect of Plant Residues with Contrasting Chemical Composition on Plant and Soil Under Humid Tropical Conditions. London: Kluwer Academic Publisher.