Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
Site Report Tim Kerelawanan Waktu : 8 – 17 Juni 2009 Lokasi : Surabaya A. Gambaran Umum Lokasi 1. Kelurahan Karangpoh, Kecamatan Tandes Kelurahan Karang Poh terdiri atas 4 RW dan 22 RT. Keempat RW ini terbagi ke dalam zoning pengelompokan penduduk sebagai berikut: -
-
RW 1 disebut lokasi kampung lama, yakni lingkungan yang dihuni oleh penduduk asli (cikal bakal) Kelurahan Karangpoh. Di RW inilah kegiatan P2KP PNPM banyak dilaksanakan, karena memang RW 1 merupakan kantong kemiskinan di Kelurahan Karangpoh. RW 2 masyarakat campuran, yakni lingkungan dimana penduduk asli dan pendatang berbaur. Lingkungan RW 2 juga dikenal sebagai daerah perumahan. RW 3 dan 4 adalah wilayah yang dikembangkan oleh developer. Kedua RW ini adalah RW dengan kelompok masyarakat menengah ke atas dan didominasi oleh etnis Tionghoa. Warga kost-kostan, banyak terdapat di RT 7 RW 1. Dari Gang 1 hingga Gang 3 di lingkungan RT 7 RW 1 ini, penduduk asli diperkirakan hanya sekitar 17 KK, selebihnya warga kost-kostan. Rumah kost-kostan yang rata-rata terdiri dari bangunan 2 lantai dan setidaknya 24 kamar.
Jumlah penduduk + 4.000 jiwa dan 163 KK diantaranya adalah masyarakat miskin (menurut data BLT). Kelurahan Karangpoh terkesan “adem ayem” dan tenang. Tidak tampak ada gejolak atau perbedaan yang mencolok dalam interaksi masyarakatnya, meskipun stratifikasi sosial antar RW cukup menonjol. Kondisi hidup yang guyub juga tampak kental terutama di wilayah-wilayah kelompok masyarakat menengah kebawah. Bahkan di lingkungan yang didominasi warga pendatang (kost-kostan), mereka tampak membaur dan saling membantu satu sama lain. Satu-satunya lokasi yang dikatanya warga sering terjadi konflik adalah di tempat kost-kostan khusus warga “NTT/Flores”. Di antara para penghuni kostnya, sering terjadi pertikaian hingga melibatkan tokoh setempat (Ketua RT). Namun untuk melaksanakan kegiatan sosial, baik warga asli maupun pendatang, cancut tali wandha (terlibat bersama-sama). 2. Kelurahan Kandangan, Kecamatan Benowo Kelurahan Kandangan merupakan kelurahan yang memiliki rentang geografis yang sangat luas. Luas wilayah berdasarkan penggunaan lahan pertanian 122, 128 Ha, permukiman 64,05 Ha, dan yang paling dominan adalah lahan perikanan darat/tambak seluas 159,604,6 Ha. Total penduduk Kelurahan Kandangan mencapai 12.647 jiwa. Kelurahan ini terdiri dari 7 RW dan 39 RT dengan rincian sebagai berikut: -
RW 1 terdiri dari 9 RT, 1
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
-
RW RW RW RW RW RW
2 3 4 5 6 7
terdiri terdiri terdiri terdiri terdiri terdiri
dari dari dari dari dari dari
6 7 4 5 5 5
RT, RT, RT, RT, RT, dan RT.
Jika dipetakan dalam zoning lingkungan, Kelurahan Kandangan terbagi dalam lima kategori warga, yakni: a. Kategori warga asli, yaitu warga yang sudah sejak lama menempati wilayah ini, umumnya bermukim di sekitar sisi tepi Jl. Tengger Raya. Warga asli merupakan warga etnis campuran antara Jawa (Jawa Timur) dan Madura. Tingkat ekonomi rata-rata warga asli adalah ekonomi menengah dengan mata pencaharian sebagai petani penggarap, peternak kambing, dan pedagang di pasar. b. Kategori warga perumahan, yaitu warga yang tinggal di perumahanperumahan yang dikembangkan oleh developer di wilayah ini. Tingkat ekonomi warga perumahan pada umumnya mapan jika dibandingkan kategori warga lainnya di Kelurahan Kandangan. c. Kategori Warga kaplingan, adalah warga pendatang yang menempati tanah-tanah kaplingan atau petak-petak kaplingan dengan berbagai kondisi dan permasalahan tanah. d. Kategori warga kost-kostan adalah warga pendatang yang tidak memiliki KTP Kandangan dan mereka bisa keluar - masuk Kelurahan Kandangan kapan pun mereka suka. Sehingga dalam kegiatan kerelawanan PNPM, warga kost-kostan ini tidak dilibatkan dan atau tidak mau terlibat. e. Kategori warga seberang Jl. Tengger Raya adalah gabungan antara warga pendatang dengan warga asli yang sudah berbaur. Menempati wilayah yang bisa dikatakan “keluar” kesatuan kelurahan kandangan. Di lingkungan ini tidak pernah ada kegiatan dan sosialisasi PNPM. Meskipun lokasi wilayah ini tidak jauh dari kantor kelurahan, namun aksesibilitas masyarakat terhadap program PNPM sangat rendah, disebabkan oleh keberadaan BKM yang didominasi warga perumahan. B. Pertanyaan Penelitian 1. Siapa sajakah yang menjadi relawan dan apakah jenis kemampuan, kapasitas, dan komitmen yang mereka bawa ke proyek?
Karakteristik relawan di Kelurahan Karangpoh: -
Usia > 48 tahun Tokoh di masyarakat Mantan pejabat Ekonomi mapan Panggilan hati Tidak mengharapkan reward materi
Relawan perempuan:
2
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
-
Aktif berorganisasi sejak muda Anak tokoh Mendukung tugas suami Social cohessiveness dalam kegiatan sosial lain
Pada dasarnya Kelurahan Kandangan sama dengan Karangpoh, ada ekslusifitas di tubuh BKM. Fokus kegiatan P2KP ada di zone perumahan, sehingga kerelawanan juga tidak tersebar. Usia bagi relawan tidak berpengaruh, tapi pada umumnya sudah menikah. Kesan yang ditangkap tim studi, BKM hadir mewakili masyarakat, sehingga ketika dana turun kegiatan dilaksanakan di lingkungan “pengurus BKM” sendiri. Motivasi bagi para relawan di Kelurahan Karangpoh seolah berbanding lurus dengan usia dan kesalehan individual. Mereka mengistilahkan kegiatan P2KP sebagai “ladang amal” bagi investasi akherat. Sehingga keterlibatan sebagai relawan dianggap sebagai panggilan hati dan tanggungjawab moral mereka dalam menjalankan “hablum minnanass”. Relawan adalah mengabdi (hablum minnanass). Dalam hidup ini, selain hablum minnallah, kita juga harus menjaga hubungan dengan sesama. (Seperti dituturkan oleh H. Nawawi, 8 Juni 2009 pukul 20.00 – 22.15)
Agak berbeda yang terjadi di Kelurahan Kandangan. Warga Kandangan adalah masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan nrimo (memelihara kerbau di kandang), sehingga tidak aktif. Bahkan bagi warga Kaplingan, relawan dipilih dan dianggap jembatan oleh warga. “Aku ini jembatan, tiap hari diinjak, tapi lama-lama bisa roboh jembatannya. Setiap bertemu masyarakat saling menegur, tapi pengaruhnya ke isteri dan anak-anak, masyarakat cenderung buang muka.” Sedangkan di lingkungan kost-kostan adalah warga yang gak mau tahu dan gak mau direpotkan. Ketika tim studi masuk ke wilayah ini, mereka segera menutup pintu dan jika ditanya mencoba menghindar dengan mengatakan dirinya sebagai pendatang. Maka tidak mengherankan jika kelurahan ini dikategorikan sebagai low level untuk kerelawanannya.
2. Sejauhmana relawan merepresentasikan kepentingan mayoritas masyarakat pada umumnya dan kelompok miskin pada khususnya?
Di Kelurahan Karangpoh, nampak kepedulian bagi warga yang benar-benar membutuhkan terjadi. Prioritasi kegiatan tampak tepat pada sasarannya. Meskipun sekretariat BKM dan pengurus BKM banyak berada di RW 2, namun wilayah sasaran tetap lebih berfokus di RW 1 sebagai kantong kemiskinan di Kelurahan Karangpoh. Pembangunan jalan setapak (pavlingisasi) terasa benar manfaatnya bagi masyarakat, terutama bagi
3
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
mereka yang memiliki usaha kecil dan pedagang kaki lima (menggunakan gerobak dorong). Sebagai contoh, di wilayah yang justeru dominan warga kost-kostan, RT 7 RW 1, pavlingisasi jalan diberikan di jalan akses menuju pasar. Jalan yang sebelumnya buntu dan becek, sekarang menjadi bagus dan memiliki akses langsung ke pasar. Sehingga jalan ini kemudian menjadi jalan utama bagi warga, terutama yang berdagang di pasar dan tidak harus mencari jalan memutar lagi. Di samping itu, kondisi jalan yang dulunya banjir, sempit dan becek, kini menjadi bersih dan bisa dilalui kendara bermotor. Hal ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai manfaat yang luar biasa dan mampu meningkatkan akses ekonomi mereka. Rasa syukur warga ditunjukkan dengan menggelar syukuran bersama. Kegiatan kerelawanan juga dipahami warga tidak hanya dari sisi anggota BKM, tapi buat mereka anggota BKM adalah penggerak. Warga juga dengan suka rela turut bergotong royong pada waktu pelaksanaan kegiatan. Bagi warga kost-kostan, masyarakat Karangpoh diakui sebagai masyarakat yang baik, sehingga mereka sangat betah tinggal di kost, bahkan ada yang hingga puluhan tahun. Karena itu, meskipun mereka tidak terlibat dalam proses perencanaanya, mereka turut serta beramai-ramai melaksanakan kegiatan. Hal ini terjadi, selain memang keterbatasan waktu warga kost sebagai karyawan pabrik dan menghargai warga asli. Berbeda dengan Karangpoh, bagi warga Kelurahan Kandangan, manfaat kegiatan P2KP PNPM hanya diketahui dan dirasakan oleh sebagian warga saja. Ada satu lokasi yang sama sekali tidak tersentuh oleh program, bahkan pada tahap sosialisasinya pun, masyarakat tidak mengetahui, yakni lingkungang di seberang Jl. Tengger Raya. Ekslusifisme BKM mendorong pelaksanaan kegiatan terfokus di lingkungan masing-masing anggota BKM, yang notabene banyak berasal dari warga perumahan. 3. Bagaimana peran relawan lokal dalam siklus P2KP dapat disesuaikan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang meningkat dari kegiatan bersama berbagai pelaku (pemerintah, pihak swasta, masyarakat sipil)?
Untuk kategori masyarakat di Kota Surabaya, sebagian dari mereka berpendidikan tinggi dan punya akses yang baik terhadap berbagai sumber. Sebagai contoh di Kelurahan Karangpoh, ketika pertama kali mendapat informasi tentang rencana pelaksanaan P2KP, diantara warga langsung mencari informasi ke Dinas Pekerjaan Umum. Setelah itu baru mereka yakin kebenaran program yang ditawarkan dan kemudian mau mengikuti perjalanan siklus. “Awalnya saat pergantian RW dari yang lama, Pak Minun ke RW yang baru, hla disitu saya mendengar slentingan kalo nanti ada duit anu ini proyek P2KP, itu saya belum ngerti. Terus saya kejar2 informasi yang intinya ada bantuan untuk kegiatan lingkungan, sosial, dan ekonomi. Jadi saya juga penasaran. Terus saya kontak ke PU, bener ada gak? Bener, ambil!”
4
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
(Seperti dituturkan oleh Pak Suwarno, 8 Juni 2009, pada waktu FGD BKM Kelurahan Karangpoh)
Demikian halnya dengan di Kandangan. Warga/relawan terutama yang terpilih menjadi anggota BKM adalah orang-orang pandai, rata-rata tokoh masyarakat. Dengan ketokohannyat tersebut, mereka memiliki kapasitas untuk meminta peran serta warga kaya. BKM Kandangan berhasil merangkul orang-orang kaya untuk ikut berswadaya. Hal itu terjadi karena anggota BKM adalah Ketua RW dan Ketua RT, secara langsung/secara eksplisit kekuatan sebagai RT/RW digunakan untuk merangkul kelompok kaya. “Kalau mereka mengacuhkan kita, kita juga mengacuhkan mereka jika mereka mengurus surat2.”
akan
4. Apa kebutuhan peningkatan kapasitas diantara relawan lokal untuk melaksanakan peran-peran baru tersebut?
Bagi masyarakat di Kota Surabaya, baik Kelurahan Karangpoh maupun Kandangan, kebutuhan pelatihan dirasakan benar manfaatnya. Hanya saja, pelatihan-pelatihan yang pernah dilaksanakan, tidak ada tindak lanjutnya. Bahkan relawan yang dulu sudah terlatih, seolah tidak ada gunakan setelah mereka tidak lagi terlibat di BKM. Bagus bagi Kelurahan Karangpoh, relawan terdaftar dan terlatih dilibatkan dalam KSM-KSM secara bergilir, supaya yang belum terlibat, yang putus asa pasca pembangunan BKM, mau terlibat lagi. “Relawan yang tidak terpakai tadi, banyak sekali terserap di KSM. Kalau gak salah di UPL saja ada 4 KSM. Banyak sekali relawan yang tertampung di situ. Di UPS ada 11 KSM: montir, menjahit, memasak, kosmetik, komputer, dll.” Sayangnya tindak lanjut peningkatan sumberdaya manusia setelah ada pelatihan, tidak ada. Menurut penuturan beberapa anggota BKM, tidak ada pembinaan lebih lanjut, padahal mereka memiliki kebutuhan untuk itu. Karena proses administrasi dinilai lebih rumit dibandingkan proses pelaksanaan kegiatannya. 5. Dapatkah pelatihan tambahan khusus dan upaya peningkatan kapastias untuk relawan memperdalam kesenjangan pemberdayaan di dalam masyarakat sebagaimana mereka menjadi sebuah elit baru (elit berdaya yang baru)? Dan bagaimana hal ini dapat diatasi?
Bukan persoalan baru lagi jika BKM muncul sebagai elit baru di masyarakat. Di Kelurahan Kandangan, ekslusifisme ini makin tampak dengan terfokusnya kegiatan di lingkungan para anggota BKM sendiri. Sehingga bagi masyarakat yang pasif, yang takut-takut jika tidak diundang, sama sekali tidak ada proses pembelajaran. Bahkan ketika ditemui tim studi, sebagian mereka mengatakan tidak tahu sama sekali tentang kegiatan PNPM dan mereka juga tidak pernah mendapatkan sosialisasi. Berbeda ketika ditanyakan di sekitar tempat tinggal anggota BKM yang melaksanakan kegiatan infrastruktur maupun sosial, mereka mengenal 5
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
BKMnya tetapi mereka juga hanya terlibat sebatas pada waktu gotong royong. Kelurahan Karangpoh bukan memunculkan elit baru, akan tetapi memperkuat elit yang sudah ada. Keberadaan anggota BKM yang pada umumnya adalah tokoh masyarakat, memang memiliki nilai positif, yakni lebih mudah menggerakkan masyarakat. Usia senja para anggota BKM menjadikan mereka berorientasi pada amalan dan investasi akherat, sehingga konsep kerelawanan benar dimaknai sebagai sesuatu yang tanpa pamrih. Akan tetapi, feodalisme yang tinggi menjadi sangat kental. Nyaris tidak ada anggota BKM yang muda, rata-rata 48 tahun ke atas atau pensiunan. Mereka orang-orang pandai dan punya kedudukan di masyarakat, baik sebagai tokoh agama maupun tokoh yang disegani lainnya. Kesalehan tindakan bagi kalangan “sepuh” ini ditularkan dengan mekanisme degradasi usia juga. Proses regenerasi dilakukan dengan jarak usia terdekat dari mereka. Karena rentang usia yang jauh, biasanya juga timbul keseganan dalam berkomunikasi. Sementara itu, kalangan “sepuh” tadi juga sulit mempercayai kelompok anak-anak muda. Hal ini dipicu oleh kondisi umum pergaulan anak muda di Karangpoh yang cenderung bebas dan kental dengan budaya mabuk-mabukan. 6. Faktor-faktor mana saja yang mempengaruhi keberlanjutan kerelawanan lokal di lingkungan perkotaan?
Meskipun kondisi di Surabaya jauh lebih kondusif dibandingkan dengan kota lain sebelumnya, namun dikatakan oleh pihak KMW Jawa Timur bahwa belum ada konsep pemberdayaan yang membangun kesadaran komunitas, yang ada hanyalah instrumen-instrumen proyek di masyarakat. Relawan dipahami hanya sebagai baju ketika melaksanakan kegiatan P2KP. Sehingga perlu pemahaman substansi program yang benar di setiap level pelaku P2KP. Pelatihan bisa diberikan dalam rangka “cuci otak” supaya masyarakat menyadari bahwa program adalah kebutuhan masyarakat. Masyarakat memahami bahwa kemiskinan itu masalah bagi masyarakat, bukan bagi program. Namun sayangnya pasca pelatihan dasar, relawan sendiri tidak punya media untuk berbagi pengalaman. Relawan juga seringkali dituntut terlibat secara kontinu. Hal ini pasti akan sulit terjadi. Karena kerelawanan itu akan muncul dengan pola yang tidak konstan. Kerelawanan sangat tergantung pada ketersediaan waktu dan dorongan hati orang-orang yang terlibat. Tentu saja setiap orang akan mengedepankan persoalan ekonomi keluarganya terlebih dahulu, sehingga perlu juga disadari bahwa untuk menjamin keberlanjutan kerelawanan, bukan diukur dari jumlah relawan yang ada. Akan tetapi perlu disadari benar bahwa relawan itu selalu ada di masyarakat, hanya saja tidak harus selalu di daftar. C. Hambatan Studi Proses pelaksanaan studi di Surabaya sangat menarik bagi tim studi. Sejak hari pertama datang di lapangan, tim sudah bisa bertemu dan melakukan
6
Kajian Relawan Laporan lapangan-3: Surabaya
FGD dengan BKM pada malam harinya. Tim juga tidak mengalami kesulitan dalam menemui informan, baik di masyarakat maupun di pemerintahan kelurahan. Meskipun rentang kendali antara Kelurahan Karangpoh dan Kandangan cukup jauh, akan tetapi hal ini juga tidak menjadikan tim kesulitan untuk membagi waktu. Pemanfaatan waktu pada malam hari, sangat efektif dalam rangka menjaring informasi dari masyarakat yang sebagian besar disibukkan oleh pekerjaan pada siang harinya.
7