ISSN : 2085 – 3793
Ferilia Adiesti Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela Pola Asuh Makan Oleh Ibu Bekerja Dengan Status Gizi Siswa Di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani Efektifitas Group Discussion Therapy Dalam Menurunkan Stres Remaja Di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar dan Nanik Setijowati Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Abdul Muhith Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Ike Prafita Sari Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Model Asuhan Keperawatan Metode Tim Dengan Implementasinya Di Ruang Bedah Flamboyan RSUD. Dr. Soetomo Surabaya
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Jurnal Kesehatan
VOL 8
No. 2
Hlm. Mojokerto 1 - 79 September 2016
ISSN 2085 - 3793
MEDICA MAJAPAHIT JURNAL ILMIAH KESEHATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN MAJAPAHIT MOJOKERTO Diterbitkan oleh Bagian Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto sebagai terbitan berkala yang terbit pada bulan Maret dan September menyajikan informasi dan analisis masalahmasalah kesehatan. Kajian ini bersifat ilmiah sebagai hasil pikiran yang empiric dan teoritis. Untuk itu redaksi bersedia menerima karya ilmiah hasil penelitian, atau artikel termasuk ide-ide pengembangan di bidang kesehatan yang dihasilkan oleh dosendosen dan mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Mojokerto. Redaksi berhak menyuntik, menyingkat dan memperbaiki karangan sejauh tidak mengubah isinya. Dilarang memperbanyak, mengutip dan menerjemahkan isi dalam jurnal ini tanpa seijin redaksi. Pelindung Ketua Yayasan Kesejahteraan Warga Kesehatan (YKWK) Penasehat Ketua Stikes Majapahit Pemimpin Redaksi Henry Sudiyanto, S.Kp., M.Kes. Penyunting Dr. Abdul Muhith, S.Kep., Ns. Arief Fardiansyah, ST., M.Kes. Anwar Kholil, S.Pd. M.Pd. Redaksi Pelaksana Dwi Helynarti, S.Si., S.KM., M.Kes. Tata Usaha/ Sirkulasi/ Iklan Siti Khalimah, SE. Alamat Redaksi: Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Jl. Raya Jabon – Gayaman KM. 2 Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Telp. (0321) 329915 Fax. (0321) 331736
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
Pengantar Redaksi Program Indonesia sehat dengan sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan finansial dan pemerataan pelayanan kesehatan merupakan pembangunan kesehatan pada periode 2015-2019. Berkaitan dengan hal tersebut, pada jurnal volume 8 no 2 tahun 2016 ini mengangkat beberapa topik yang berkaitan dengan arah kebijakan tersebut. Artikel pertama yang ditulis oleh Ferilia Adiesti dengan judul faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini, Faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini adalah latar belakang budaya setempat yang beranggapan bahwa ASI saja tidak cukup. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Mulai diberi PASI padahal usia bayi masih dibawah 6 bulan. Artikel kedua oleh Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela tentang pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto, menyatakan bahwa Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh makan yang benar bisa diwujudkan dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada pola makan anak. Artikel ketiga adalah efektifitas group discussion therapy dalam menurunkan stres remaja di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto oleh Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani. Memasuki lingkungan baru di pondok pesantren bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pondok Pesantren. Kegagalan dalam beradaptasi dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja yang dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Artikel keempat oleh Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar dan Nanik Setijowati dengan judul Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung, menyatakan bahwa Henti jantung merupakan kondisi kegawatdaruratan dari jantung yang sering terjadi. Pada korban dengan henti jantung kemampuan untuk bertahan akan berkurang 7-10% setiap menitnya. Penatalaksanaan yang dikenal sebagai chain of survival adalah kesatuan yang digunakan
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
untuk mengoptimalkan harapan hidup pasien out of hospital cardiac arrest (OHCA). Penggunaan ambulan sangat menguntungkan untuk mengurangi angka mortalitas pasien OHCA karena memberikan pelayanan cepat dan merujuk ke rumah sakit yang tepat, serta mengurangi waktu respon. Artikel kelima dengan judul Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto oleh Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. , mengangkat permasalahan tentang Peningkatan jumlah kasus kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya yang berbanding lurus dengan peningkatan masalah transportasi di Indonesia. Kota Mojokerto adalah salah satu kota dengan moblitias yang tinggi. Jumlah kecelakaan yang tercatat selama Januari hingga Februari 2016 terjadi 133 kasus kecelakaan dengan 37 korban meninggal dunia, seorang menderita luka berat, 142 korban mengalami luka ringan. Model pencegahan kecelakaan lalu lintas yang digagas oleh William Haddon Jr. memberikan gambaran bahwa pencegahan kecelakaan lalu lintas dapat dibagi menjadi 3 sekuens waktu dan 3 faktor penyebab yang digabungkan menjadi sebuah matriks, yang dikenal sebagai Haddon’s matriks. Abdul Muhith dengan artikelnya yang berjudul hubungan kondisi rumah sehat dengan frekuensi sesak pada penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik melakukan penelitian dengan dasar bahwa di Indonesia tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis paru di Indonesia merupakan ke-3 terbanyak di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10% dari total jumlah pasien tuberkulosis paru didunia. Jurnal ini ditutup dengan artikel ketujuh oleh Ike Prafita Sari tentang hubungan pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode tim dengan implementasinya di Ruang Bedah Flamboyan RSUD. Dr. Soetomo Surabaya. Perkembangan dan perubahan model asuhan keperawatan di Rumah Sakit di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pengetahuan perawat merupakan salah satu faktor utama keberhasilan menjalankan model asuhan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang profesional. Redaksi,
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
DAFTAR ISI Faktor – Faktor Yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini Ferilia Adiesti ........................................................................................ 1 Politekinik Kesehatan Majapahit Mojokerto Pola Asuh Makan Oleh Ibu Bekerja Dengan Status Gizi Siswa Di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto Asih Media Yuniarti dan Cut Intan Pamela ..................................... 9 Dosen Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit Efektifitas Group Discussion Therapy Dalam Menurunkan Stres Remaja Di MTS Pesantren Al-Amin Mojokerto Nurul Mawaddah dan Elvin Titiani ................................................... 21 Dosen Keperawatan Jiwa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Hubungan Moda Transportasi Dengan Waktu Tanggap/Response Time Pada Pasien Henti Jantung Di Luar Rumah Sakit Yang Dirujuk Ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung Anndy Prastya, Respati Suryanto Drajat, Ali Haedar dan Nanik Setijowati ........................................................................... 31 Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Program Studi Kedokteran Spesialis Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Program Studi Public Health Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
Analisis Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas Di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Mukhammad H. Saputra, Hari Basuki N. dan Chatarina U. W. .... 47 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit Departemen Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Abdul Muhith ....................................................................................... 59 Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Hubungan Pengetahuan Perawat Tentang Model Asuhan Keperawatan Metode Tim Dengan Implementasinya Di Ruang Bedah Flamboyan RSUD. Dr. Soetomo Surabaya Ike Prafita Sari...................................................................................... 59 Dosen Program Studi Ners Stikes Majapahit
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
FAKTOR – FAKTOR YANG MELATARBELAKANGI PEMBERIAN PASI DINI FACTORS WHICH BACHGROUND LACTATION SUBSTITUTE GIVEN EARLY Ferilia Adiesti Politekinik Kesehatan Majapahit Mojokerto Korespondensi:
[email protected] Abstract The improvement of lactation substitute usage (mother lactation substitution - PASI) for infant age less than 6 months old will be declining lactation involved. Limited knowledge, social economic and cultural social which supporting that mother's lactation is not enough for babies satisfied the baby rely on lactation substitute given early. This research aims to recognize any factors which background lactation substitute given early. Type of this research is descriptive, by using questionnaire instrument. Sample in this research are all mother who have babies 0-6 months old who give lactation substitute in Polindes Dlanggu area, Dlanggu district, Mojokerto regency as much as 20 respondents. Technique used was total sampling. Collecting data done on October 30th until November 13th, 2010. Data analysis used in descriptive analysis by calculating frequency and describing in frequency distribution table form. The result of the research indicting that background of the factor of lactation substitute given early, are bad knowledge are about 13 respondents (65%), economy social level as high as 20 respondents (100%), and bad culture social are 13 respondents (65%). Knowledge is most important domain that formed behavior poor knowledge about lactation substitute, high level social economy and working mothers status boosted mothers to give lactation substitute early. Culture social influenced toward mother's behavior who consider her crying baby are unsatisfied baby then make mother to give early lactation substitution. A mother shall improve her knowledge time for giving lactation precisely and exactly, or health workers shall give information or consultation about exclusive lactation and lactation substitute exactly then could sustained lactation involved. Keywords : lactation substitute, early, mother lactating
1
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
A. PENDAHULUAN Masalah pemberian air susu ibu (ASI) masih memprihatinkan. Di Indonesia terutama di daerah perkotaan seperti Jakarta, Makasar, Surabaya, Semarang terlihat adanya penurunan dalam pemberian ASI. Pemberian ASI di daerah perkotaan berkisar 40% dikhawatirkan kejadian ini akan meluas kedaerah pedesaan (Syarif, 2008). Dari laporan Kabupaten/ Kota diketahui cakupan ASI Eksklusif di Jawa Timur tahun 2008 sebesar 44,52% meningkat dibandingkan tahun 2007 (40,77%). Namun cakupan tersebut masih jauh dari target Indonesia sehat 2010 yaitu sebesar 80%. ASI merupakan makanan terbaik bagi bayi yang dapat mencegah kematian bayi baru lahir hingga 22 persen (Roesli, 2010). WHO menganjurkan agar selama usia 0-6 bulan bayi hanya diberi ASI sebagai menu utama dan satu-satunya.) Pemberian susu formula juga sudah menjadi tren. Hal ini terbukti di Indonesia tahun 2008 bayi yang diberi susu formula pada usia dibawah 2 tahun sebesar 13% (Hatta, 2008). Hasil penelitian Efendi pada 1997 didapatkan pemberian susu botol setelah umur 2 bulan sebesar 15,8% sedangkan pada bayi umur 1 bulan sebesar 33,3%. Menurut Survey Demogrfi Kesehatan Indonesia (SDKI, 2007) cakupan ASI eksklusif menurun dari 39,5% pada tahun 2002 menjadi 32,3% pada tahun 2007 sedangkan penggunaan susu formula justru meningkat dari 16,7% pada tahun 2002 menjadi 27,9% pada tahun 2007 (Mexitalia, 2009). Akibat yang timbul karena pemakaian susu formula terlalu dini antara lain infeksi saluran pencernaan, infeksi saluran pernafasan, resiko alergi, serangan asma, menurunkan perkembangan kognitif, obesitas, penyakit jantung, pembuluh darah, diabetes, kanker pada anak, penyakit menahun, infeksi telinga tengah serta beresiko sampai dengan kematian, terutama pada bayi yang sama sekali tidak diberikan ASI sejak lahir (Roesli, 2008). Beberapa faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini antara lain yaitu : Faktor ibu (pengetahuan, faktor sosial budaya, sosial ekonomi) Faktor bayi yaitu ketidakmampuan bayi menghisap ASI (Syarif, 2008). Faktor petugas kesehatan yaitu kurangnya pelayanan konseling laktasi, petugas kesehatan belum mendukung program pemberian ASI (Hatta, 2008). Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini.
2
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah deskriptif yaitu menggambarkan atau mengidentifikasi secara sistematis mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini. Variabel penelitian meliputi : pengetahuan, sosial ekonomi dan sosial budaya. Populasi semua ibu yang memiliki bayi usia 0 - 6 bulan yang memberikan PASI dini berjumlah 20 orang, teknik sampling total sampling. Lokasi penelitian di Polindes Dlanggu Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto tanggal 30 Oktober – 13 Nopember 2010. Instrumen yang digunakan kuisioner tentang pengetahuan, sosial budaya dan sosial ekonomi. Analisis dengan distribusi frekuensi. C. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden Pengetahuan Tentang PASI No. 1. 2. 3. 4.
Berdasarkan
Tingkat
Jumlah Frekuensi (f) Persentase (%) 0 0 1 5 13 65 6 30 20 100
Pengetahuan Sangat baik Baik Tidak baik Sangat tidak baik Total
Dari tabel 1 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai pengetahuan tentang PASI tidak baik Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Ekonomi Jumlah No. Sosial Ekonomi Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Tinggi (> Rp. 641.000) 20 100 2. Rendah (< Rp. 641.000) 0 0 Total 20 100 Dari tabel 2 menunjukkan bahwa semua responden mempunyai penghasilan yang tinggi (>Rp. 641.000,-).
3
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Sosial Budaya Jumlah No. Sosial Budaya Frekuensi (f) Persentase (%) 1. Sangat baik 0 0 2. Baik 7 35 3. Tidak baik 13 65 4. Sangat tidak baik 0 0 Total 20 100 Dari tabel 3 menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden mempunyai sosial budaya tidak baik sedangkan sisanya baik. D. PEMBAHASAN 1. Tingkat Pengetahuan yang Melatarbelakangi Pemberian PASI dini Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa ibu yang memiliki pengetahuan tidak baik sebanyak 13 orang (65%). Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa responden tidak mengetahui tentang ASI eksklusif, keistimewaan ASI, cara menyimpan ASI peras, usia pemberian PASI, tujuan dan dampak pemberian PASI, sedangkan yang sudah diketahui oleh ibu tentang definisi ASI dan PASI. Menurut Notoatmodjo (2003) pengetahuan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima informasi dan semakin luas pula pengetahuannya, semakin bertambah usia seseorang akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya, sehingga pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik, pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi di masa lalu, majunya teknologi akan tersedia bermacam-macam media masa yang dapat mempengaruhi pengetahuan masyarakat tentang inovasi baru, kebiasaan dan tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang dilakukan baik atau buruk sehingga akan menambah pengetahuan seseorang dan status ekonomi seseorang akan menentukan persediaannya suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial ekonomi ini akan
4
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
2.
mempengaruhi pengetahuan. . Rendahnya pengetahuan ibu disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan responden, tentang ASI eksklusif dan keistimewaanya, dampak PASI dini, kurang aktifnya untuk mencari informasi, adanya kepercayaan terhadap mitos, pengalaman responden yang belum cukup, lingkungan responden berada dipedesaan Faktor lain yang mempengaruhi pengetahuan adalah letak atau posisi tempat tinggal. Pengetahuan seseorang akan lebih baik jika berada diperkotaan dari pada dipedesaan. Karena diperkotaan mudah mendapatkan informasi. Berdasarkan hasil penelitian karena daerahnya masih daerah pedesaan, berupa pegunungan, jangkauan transportasi untuk Puskesmas ± 7 km, sarana transportasi yang masih sulit, berupa jalan makadam, frekwensi kunjungan petugas Puskesmas 1 kali dalam satu bulan, sumber informasinya terbatas. Hal itu sesuai pendapat Hurlock (2002) bahwa pengetahuan penduduk pedesaan lebih rendah dibandingkan penduduk perkotaan. Sosial Ekonomi yang Melatarbelakangi Pemberian PASI dini Berdasarkan hasil penelitian, keadaan sosial ekonomi responden dikategorikan tinggi yaitu sebanyak 20 ibu (100%), antara Rp. 700.000,- - Rp.1.700.000,-. Keadaan sosial ekonomi yang mayoritas tinggi ini disebabkan karena ibu yang ikut menunjang penghasilan keluarga dengan cara bekerja. Sebagian besar responden 15 ibu (75%) bekerja menjadi buruh sehingga menuntut responden untuk lebih banyak diluar rumah, maka cenderung memiliki waktu yang sedikit untuk menyusui bayinya akibat kesibukan bekerja. Menurut Sugini Syarif (2008) ibu yang mempunyai sosial ekonomi yang tinggi cenderung memberikan PASI sejak dini pada bayi sedangkan ibu yang mempunyai sosial ekonomi rendah mempunyai peluang 4,6 kali untuk memberikan ASI dibanding ibu dengan sosial ekonomi tinggi. Karena pada ibu yang bekerja kesempatan untuk memberikan ASI menjadi berkurang hal ini yang menyebabkan pemberian PASI dini dilakukan. Ibu yang bekerja selalu menjaga penampilannya dan ini sesuai yang disampaikan oleh Rosita (2008) adanya mitos bahwa menyusui dapat membuat payudara kendur dan tidak bagus lagi sehingga berpengaruh pada penampilan seseorang. Hal tersebut juga mendorong pemberian PASI dini pada bayi. Karena sebagian besar ibu yang memberikan PASI dini adalah ibu yang bekerja. Sehingga apabila ibu
5
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
3.
E. 1.
bekerja maka ibu akan selalu menjaga penampilannya akibatnya tidak akan memberikan ASI eksklusif pada bayi. Sehingga PASI terlalu dini diberikan untuk mengganti ASI eksklusif. Dengan demikian bertambahnya pendapatan keluarga atau status ekonomi yang tinggi serta lapangan pekerjaan bagi perempuan mendorong ibu untuk memberikan PASI dini. Sosial Budaya yang Melatarbelakangi Pemberian PASI Dini Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sosial budaya ibu tidak baik sebanyak 13 ibu (65%). Menurut ibu jika bayi sudah sering menangis ketika sedang diberi ASI, maka itulah saatnya bayi sudah harus diberikan makanan tambahan dengan tujuan sebagai penenang agar bayi tidak menangis dan tumbuh menjadi besar, dan beranggapan bahwa anaknya tidak cukup kenyang dan rewel bila diberi ASI saja. Hal ini sesuai dengan pendapat (Roesli, 2008), bahwa faktor yang melatarbelakangi pemberian PASI dini adalah latar belakang budaya setempat yang beranggapan bahwa ASI saja tidak cukup. Alasan ini merupakan alasan utama para ibu untuk tidak memberikan ASI eksklusif. Mulai diberi PASI padahal usia bayi masih dibawah 6 bulan. Dari hasil penelitian sebagian besar responden memiliki anak yang berjenis kelamin laki-laki sebesar 14 (70%). Jenis kelamin dari bayi juga dapat dijadikan tolak ukur dimana ibu banyak beranggapan bahwa bayi laki-laki lebih banyak menyusu dari pada bayi perempuan karena bayi laki-laki lebih banyak kebutuhannya daripada perempuan dan banyak ibu yang memberikan susu formula dengan alasan bayinya belum kenyang dan perlu tambahan susu formula. (Rosita, 2008). Proporsi responden yang memiliki bayi lakilaki lebih besar, sehingga persepsi sebagian besar responden bahwa jenis kelamin bayi laki-laki perlu untuk memberikan tambahan PASI (susu formula). Hal ini melatarbelakangi pemberian PASI dini di wilayah Polindes Krosok Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Sesuai dengan hasil penelitian dan pembahasan dari penelitian yang didapat di Wilayah Polindes Krosok Kecamatan Sendang Kabupaten Tulungagung mengenai faktor-faktor yang
6
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
2.
melatarbelakangi pemberian PASI dini yaitu faktor pengetahuan, sosial ekonomi dan sosial budaya didapatkan kesimpulan sebagai berikut : a. Bahwa lebih 50% ibu yang memberikan PASI dini mempunyai pengetahuan yang tidak baik tentang PASI. b. Bahwa semua ibu yang memberikan PASI dini mempunyai sosial ekonomi yang tinggi. c. Sebagian besar ibu yang memberikan PASI dini mempunyai sosial budaya yang tidak baik. Saran a. Bagi Tempat Penelitian, diharapkan dapat meningkatkan pelayanan konseling dan menggalakkan program ASI eksklusif melalui peran serta keluarga sehingga dapat meningkatkan pemberian ASI. b. Bagi Institusi Pendidikan, hendaknya memikirkan atau melakukan kajian yang inovatif untuk meningkatkan pencapaian target ASI eksklusif di masyarakat misalnya menciptakan cara yang efektif untuk memberikan ASI eksklusif bagi ibu yang bekerja. c. Bagi Responden, diharapkan aktif mengikuti penyuluhan, untuk meningkatkan pengetahuan ibu tentang waktu pemberian PASI yang benar dan tepat serta resiko pemberian PASI dini sehingga tidak memberikan PASI dini pada bayinya. d. Bagi peneliti selanjutnya, selanjutnya hendaknya meneliti tentang faktor karakteristik ibu dan lingkungan yang mempengaruhi pemberian PASI dini pada bayi e. Diharapkan setiap tenaga kesehatan (Bidan) memberikan penyuluhan atau informasi tentang ASI eksklusif, keistimewaan ASI, cara menyimpan ASI peras, usia berapa PASI boleh diberikan, tujuan dan dampak pemberian PASI yang disertai dengan brosur-brosur agar mereka lebih mengerti sehingga dapat menunjang cakupan ASI
DAFTAR PUSTAKA Akib, Arwin. (2008). Research Bayi Awal Kehidupan. From www.Icomers.com Hatta, Mutiah. (2008). Research Air Susu Ibu Penting. From www.gizi.com Hidayat, Aziz Alimul. (2007). Metode Penelitian Kebidanan Teknis Analisis Data. Jakarta. Salemba Medica
7
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Huliana, Mellyna. (2004). Perawatan Ibu Pasca Melahirkan. Jakarta. Puspa Swara. Hurlock (2002).Faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan, Retrieved. At 30 Oktober 2010. Kelly, Paula. (2002). Bayi Anda Tahun Pertama. Jakarta. Arcan. Notoadmodjo, S. (2003). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta. PT. Rineka Cipta. Notoadmodjo. (2005). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta. PT. Rineka Cipta . Roesli, Utami. (2005). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta. Trubus Agriwidiya. Roesli, Utami. (2008). Inisiasi Menyusui Dini Plus ASI Eksklusif. Jakarta Pustaka budaya Roesli, Utami. (2010). Pentingnya ASI Untuk Bayi. Majalah IBI Surabaya Solihin. (2005). Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Jakarta. FKUI. Tobing, (2004). Research Langkah-langkah Mendukung Pemberian ASI, Retrieved et September 2010 www.Bascom world.com . (2010). Retrieved et 17 Oktober 2010 www.canbyz.com. (2010). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengetahuan. Retrieved et 30 Oktober 2010 www.UMK.com. Perda Jatim (2010). Retrieved. At September www.world press.com. (2010). Serba-serbi Penyimpanan ASI Peras. Retrieved at Oktober www.world press.com (2010). Polindes. Retrieved at 16 Oktober 2010.
8
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
POLA ASUH MAKAN OLEH IBU BEKERJA DENGAN STATUS GIZI SISWA DI SDN NGRAME KECAMATAN PUNGGING KABUPATEN MOJOKERTO Asih Media Yuniarti1 dan Cut Intan Pamela2 1) Dosen Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit korespondensi :
[email protected] 2) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit korespondensi :
[email protected] Abstrak Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam bidang gizi yaitu gizi kurang dan gizi lebih. Secara nasional prevalensi status gizi pada anak umur 5-12 tahun pada kategori normal 70%. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan pola asuh makan oleh ibu yang bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Penelitian ini merupakan study Analitik, dengan rancang bangun cross sectional. Lokasi penelitian ini di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto dan dilakukan mulai bulan April hingga Agustus 2016. Sampel penelitian berjumlah 31 siswa dan diambil dengan teknik Proportionate Stratified Random Sampling. Data pola asuh makan diambil dengan menggunakan kuesioner sedangkan status gizi didapatkan dengan melakukan pengukuran berat badan dan tinggi badan kemudian disesuaikan dengan usia. Data dianalisis menggunakan uji Rank Spearman. Hasil penelitian didapatkan bahwa bahwa 57,9% dari 19 anak yang mendapat pola asuh makan cukup baik memiliki status gizi normal, nilai probabilitas = 0,032 (Rs = 0,386 ; P < 0,05), sehingga H1 diterima yang artinya terdapat hubungan antara pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame. Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh makan yang benar bisa diwujudkan dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada pola makan anak. Kata Kunci : Pola asuh makan, status gizi, gizi anak.
9
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 Abstract
Indonesia still faces major challenges in the field of nutrition, namely malnutrition and over nutrition. Nationally, the prevalence of nutritional status in children aged 5-12 years in the category of normal 70%. The purpose of this study was to determine the relationship of parenting style of child-feeding by worked mothers with nutritional status of students in SDN Ngrame Pungging District of Mojokerto. This research was an analytical study with cross sectional design. The location of this study in SDN Ngrame Pungging District of Mojokerto and carried out from April to August 2016. The samples was include 31 students and taken with Proportionate Stratified Random Sampling technique. Data were taken using a questionnaire to parenting stlye of child-feeding while nutritional status was obtained by measuring the weight and height then adjusted for age. Data was analyze with Rank Spearman test. The results showed that 57,9% of 19 respondents who have a good parenting style of child-feeding had normal nutritional status, obtained probability value = 0,032 (Rs = 0,386 ; P < 0,05) so that H1 is accepted, which means there was a relationship between parenting style of child-feeding by worked mother with child nutritional status of students at SDN Ngrame. A good diet will affect children's nutrition, the role of parents is very important in regulating the diet of children and organize parenting. Correct diet parenting can be reached by gave attention to dietary pattern. Keyword : Parenting style of child-feeding, Nutrional Status, children’s nutritions A. PENDAHULUAN Indonesia masih menghadapi tantangan besar dalam bidang gizi yaitu gizi kurang dan gizi lebih, status gizi anak sekolah dasar merupakan gambaran apa yang dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama. Masalah gizi dapat berupa masalah gizi makro dan masalah gizi mikro. Salah satu kelompok masyarakat yang memerlukan perhatian dalam konsumsi makanan dan zat gizi adalah anak usia sekolah (Limpeleh, 2014). Anak yang berusia sekolah (6-12 tahun) jika mendapatkan asupan gizi yang baik akan mengalami tumbuh kembang yang optimal. Sebaliknya anak-anak yang mengalami kecacatan permanen akibat tidak mendapatkan asupan gizi yang memadai seharusnya bisa dicegah (Soetjiningsih, 2012).
10
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Taras (2005) dalam Pahlevi (2011) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan pada masa sekolah akan mengalami proses percepatan pada umur 10-12 tahun, dimana pertambahan berat badan per tahunnya sampai 2,5kg. Status gizi anak sekolah diukur berdasarkan umur (U), berat badan (BB), dan tinggi badan (TB). Berdasarkan standar baku antropometri WHO 2007 untuk anak umur 5-18 tahun, status gizi ditentukan berdasarkan nilai Zscore TB/U dan IMT/U (Riskesdas, 2013). Status gizi merupakan keadaan tubuh sebagai akibat dari konsumsi makanan dan penggunaan zat-zat gizi (Almatsier, 2013). Status gizi sangat dipengaruhi oleh pola makan seseorang. Pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Pola makan pada anak usia sekolah dasar tidak bisa lepas dari peran ibu dalam melakukan pola asuh makan (Mustika, 2015). Menurut Jelliffe dalam Alatas (2011) faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi terdiri dari penyebab langsung yaitu asupan makanan serta penyakit infeksi yang mungkin diderita, dan tidak langsung yaitu pola pengasuhan anak, ketahanan pangan keluarga serta pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan. Pola pengasuhan berhubungan dengan status gizi anak adalah pola asuh makan. Menurut data Riskesdas tahun 2013, secara nasional prevalensi status gizi pada anak umur 5-12 tahun pada kurus menurut (IMT/U) sebesar 11,2%, terdiri dari 4% sangat kurus dan 7,2% kurus. Prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun secara nasional adalah 30,7 persen (12,3% sangat pendek dan 18,4% pendek). Sedangkan di Jawa timur prevalensi kurus menurut (IMT/U) pada anak umur 5-12 tahun adalah <11,2% yang terdiri dari kurus <7,2% dan sangat kurus <4%, dan prevalensi pendek pada anak umur 5-12 tahun adalah <30,7 persen yang terdiri dari <12,3% sangat pendek dan <18,4% pendek. Sebuah studi anak pada dua generasi mengatakan bahwa saat ini pada anak cenderung terjadi peningkatan hampir 50% menjadi obesitas apabila ibunya bekerja. Ibu yang tidak bekerja relatif akan memiliki waktu yang lebih banyak untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Ibu yang tidak bekerja dapat mengatur pola makan anak-anak mereka, sehingga anak-anak mendapat makanan yang sehat dan bergizi. (Sari, 2011).
11
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
SDN Ngrame bertempat di jalan raya Mojosari-Krian, Kecamatan Pungging, Kabupaten Mojokerto. Daerah ini merupakan wilayah industri, pekerjaan masyarakat sekitar yaitu sebagai pekerja pabrik. Perempuan yang bekerja di pabrik memiliki waktu yang terbatas untuk keluarganya terutama untuk memperhatikan anak-anaknya dalam menyediakan makanan. Berdasar studi pendahuluan yang dilakukan pada 07 Mei 2016 terhadap 10 siswa yang ibunya bekerja terdapat 2 siswa mengalami gizi kurang bila dilihat secara fisik. Berdasarkan hasil studi pendahuluan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN Penelitian merupakan penelitian analitik dengan pendekatan cross sectional, yaitu suatu penelitian untuk mempelajari dinamika kolerasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2012). Penelitian ini dilaksanakan di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto pada bulan April - Agustus 2016. Populasinya seluruh siswa kelas 4, 5, dan 6 SDN Ngrame yang ibunya bekerja di perusahaan sebanyak 34 anak. Teknik pengambilan sampel yang digunakan proportionate stratified random sampling dengan besar sampel 31 anak. Variabel Independen dalam penelitian ini adalah pola asuh makan ibu bekerja sedangkan variabel dependennya adalah status gizi siswa. Hipotesis pada penelitian ini adalah Ada hubungan antara pola asuh makan oleh ibu yang bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Data pola asuh makan pada ibu bekerja diperoleh melalui kuisioner sedangkan untuk mengetahui status gizi siswa dilakukan cara melakukan pengukuran langsung terhadap berat badan (BB) dan tinggi badan (TB) yang kemudian disesuaikan dengan usia. Analisis data yang digunakan uji Spearman Rank.
12
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
C. HASIL PENELITIAN 1. Data Umum Tabel 1. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden Karakteristik n % Total (%) Kelas a. 4 9 29 31 b. 5 13 42 (100) c. 6 9 29 Jenis Kelamin a. Laki-Laki 15 48,4 31 b. Perempuan 16 51,6 (100) Pengasuh di Rumah a. Ada 21 67,8 31 b. Tidak Ada 10 32,2 (100) Pendidikan Ibu a. SD 2 6,5 31 b. SMP 14 45,2 (100) c. SMA 15 48,4 2.
Data Khusus Tabel 2. Distribusi Frekuensi Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dan Status Gizi pada Siswa di SDN Ngrame Kriteria n % Total (%) Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja a. Baik 15 16,1 31 b. Cukup 19 61,3 (100) c. Kurang 7 22,6 Status Gizi Siswa a. Normal 17 54,8 31 b. Perempuan 11 38,7 (100) c. Kurus 2 6,5
13
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 3. Tabulasi Silang Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dengan Status Gizi Siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto Pola Asuh Status Gizi Total Makan Oleh Normal Gemuk Kurus Ibu Bekerja n % n % n % n % Baik 4 80 1 20 0 0 5 100 Cukup baik 11 57,9 8 42,1 0 0 19 100 Kurang baik 2 28,6 3 42,8 2 28,6 7 100 P value = 0,032 < α = 0,05 D. PEMBAHASAN 1. Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapat pola asuh makan yang cukup baik oleh ibu bekerja. Penelitian McIntosh dan Bauer (2006) dalam Mustika (2015), menunjukkan bahwa ibu yang tidak bekerja lebih mampu untuk mengatur pola makan anak mereka, sehingga anak-anak mendapat makanan yang sehat dan bergizi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mustika (2015), juga menunjukkan bahwa pola asuh makan ibu yang tidak bekerja lebih baik dari pola asuh makan oleh ibu bekerja. Namun demikian, untuk dapat berinteraksi dengan anak, tidak dilihat dari berapa lama waktu yang dimiliki ibu, akan tetapi lebih pada kualitas waktunya. Pola asuh pemberian makan adalah praktik pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua atau pengasuh kepada anaknya berkaitan dengan pemberian makanan dengan tujuan memenuhi kebutuhan gizi kelangsungan hidup, bertumbuh dan berkembang (Emiralda, 2006). Salah satu hambatan ibu bekerja adalah hambatan sosial yang menyatakan kesulitan dalam membagi waktu untuk keluarga (Handayani dan Artini, 2009). Ibu yang bekerja akan memiliki keterbatasan waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya karena sebagian besar waktunya dihabiskan di luar rumah sehingga dapat mempengaruhi pola asuh makan pada anak mereka. Hasil wawancara berdasar lembar kuesioner menunjukkan bahwa sebagian besar responden mendapat nilai baik pada poin
14
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
2.
pernyataan yang berkaitan dengan pemberian makanan oleh ibu mereka, hal ini dikarenakan ibu mereka tetap menyediakan dan menyusun menu makanan sendiri di rumah sebelum berangkat bekerja, hanya saja kurang dalam melakukan pengawasan mengenai apa yang dikonsumsi oleh anak ketika ibu mereka tidak di rumah. Status Gizi pada Siswa Tabel 2 menunjukkan bahwa sebagian besar responden dalam penelitian ini memiliki status gizi normal. Status gizi adalah keadaan kesehatan tubuh seseorang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan dan penggunaan zat gizi makanan. Status ini merupakan tanda-tanda atau penampilan seseorang akibat keseimbangan antara pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi (Sunarti, 2004 dalam Alatas 2011). Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zatzat gizi (Muliadi, 2007 dalam Noviyanti, 2016). Status gizi optimal adalah suatu keadaan dimana terdapat keseimbangan antara asupan dengan kebutuhan zat gizi yang digunakan untuk aktivitas sehari-hari (Soekirman, 2000 dalam Mustika 2015). Responden dalam penelitian ini sebagian besar responden yaitu 67,8% (21 anak) tinggal bersama pengasuh (nenek) ketika ibu mereka bekerja di luar rumah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar anak yang tinggal dengan pengasuh memiliki status gizi normal. Hasil ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Suharsa (2014) yang menyatakan bahwa status gizi anak oleh ibu bekerja terdapat peluang 2 kalil lebih besar untuk berstatus gizi lebih. Status pekerjaan ibu dapat mempengaruhi perilaku makan pada anak, Ibu bekerja sebagian waktunya akan tersita, sehingga perannya dalam melakukan pengawasan dapat digantikan oleh orang lain, hal tersebut dapat mempengaruhi terhadap status gizi anak. Pendidikan ibu juga berkaitan status gizi anak dalam penelitian ini, sebagian besar responden yang memiliki ibu dengan pendidikan terakhir SMP status gizinya adalah gemuk. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Mustika (2015) terkait pola asuh makan antara ibu bekerja dan tidak bekerja dan faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar, yang menyatakan bahwa pendidikan ibu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak usia sekolah dasar. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian Galani (2014)
15
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
3.
yang menyatakan bahwa pendidikan ibu memiliki pengaruh terhadap status gizi anak. Hasil ini dapat dibuktikan dari hasil wawancara pada poin penyataan pemberian makanan hampir setengah responden oleh ibu yang memiliki pendidikan SMA dalam waktu tertentu ibu mereka membuatkan makanan tambahan seperti bubur kacang hijau, kolak pisang, dll. Suhardjo (1986) dalam Mustika (2015) status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti pendidikan ibu, pengetahuan gizi ibu, pendapatan keluarga, pekerjaan ayah, status pekerjaan ibu, besar keluarga. Pendidikan ibu merupakan modal utama dalam menunjang ekonomi keluarga, penyusunan makan keluarga dan perawatan kesehatan anak. Himawan (2006) dalam Mustika (2015), menyatakan bahwa ibu yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah dalam menerima berbagai informasi gizi dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, hal ini akan menambah wawasan pengetahuan ibu tentang gizi. Ibu dengan pengetahuan gizi yang baik dan pengalaman yang lebih banyak dalam menyediakan makanan akan memiliki cara yang bervariasi dalam menyajikan makanan bagi anaknya, sehingga konsumsi makanan yang diperlukan keluarga lebih terjamin dan kesehatan keluarga menjadi lebih baik (Mardiana, 2006 dalam Mustika 2015). Pendidikan yang dimiliki ibu merupakan bekal yang baik untuk pemenuhan gizi dalam keluarga. Pengetahuan mengenai gizi yang baik dapat mendorong ibu lebih memperhatikan asupan makanan yang dikonsumsi, sehingga secara tidak langsung dapat mempengaruhi status gizi anak. Pemahaman mengenai gizi dapat mendorong ibu lebih bervariasi dalam menyediakan makanan. Penelitian ini menunjukkan berdasar hasil wawancara sebagian besar responden mengkonsumsi makanan yang berbeda tiap harinya dengan menu yang bervariasi, dan juga tidak jarang ibu mereka menyediakan makanan jajanan dan buahbuahan di rumah. Hubungan Pola Asuh Makan oleh Ibu Bekerja dengan Status Gizi pada Siswa Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa sebagian besar siswa yang mendapat pola asuh makan cukup baik memiliki status gizi normal. Hasil uji korelasi spearman menunjukkan bahwa pola asuh makan berhubungan positif dan signifikan dengan status gizi siswa
16
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
(r = 0,386 ; P < 0,05). Kondisi ini bermakna bahwa semakin baik skor pola asuh makan maka semakin baik pula status gizi siswa. Hasil ini sejalan dengan penelitian Cica Yulia (2008) terkait pola asuh makan dan kesehatan yang di berikan oleh para wanita pemetik teh di kebun Malabar, yang menyatakan bahwa pola asuh makan berhubungan positif dengan status gizi anak. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kumala (2013), bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara pola pemberian makan dengan status gizi anak. Moehji (2003) dalam Leliana (2008) menyebutkan ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi atau memperburuk keadaan gizi pada anak usia sekolah dasar. Faktor yang pertama yaitu pada usia ini anak sudah dapat memilih dan menentukan makanan yang disukai atau tidak, dalam hal ini seringkali anak memilih makanan yang salah, terlebih jika orangtua tidak memberi petunjuk atau bimbingan pada anak. Faktor yang kedua adalah kebiasaan anak untuk jajan. Jika jajanan yang dibeli merupakan makanan yang bersih dan bergizi tentulah tidak menjadi masalah. Namun pada kenyataannya jajanan yang mereka beli merupakan makanan yang disukai saja. Makanan yang manis dan gurih menjadi pilihan anak-anak seusia ini pada umumnya. Faktor terakhir yang dapat memperburuk keadaan gizi anak adalah malas makan di rumah dengan alasan sudah terlalu lelah bermain di sekolah. Sekarang banyak dijumpai anak yang jarang makan bersama keluarga dikarenakan orang tua yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya masing-masing sehingga waktu makan bersama keluarga tidak rutin dilaksanakan. Akibatnya status gizi anaknya tidak terkontrol dengan baik (Khomsan, 2010). Pola makan yang baik akan mempengaruhi gizi anak, peran orang tua sangat penting dalam mengatur pola makan anak serta mengatur pola asuh. Pola asuh yang benar bisa ditempuh dengan memberikan perhatian yang penuh kasih sayang pada anak, memberinya waktu yang cukup untuk menikmati kebersamaan dengan seluruh anggota keluarga. Dampak dari pola asuh makan yang salah adalah anak menjadi manja, gizi buruk, anak tidak bisa menentukan makanan yang terbaik untuk dirinya, dan terganggunya perkembangan anak.
17
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Sesuai dengan penelitian yang pernah dilakukan bahwa pola asuh makan yang salah mengakibatkan anak mempunyai perilaku makan yang salah (Georgy, 2010 dalam Astuti 2014). Orang tua yang salah dalam memberikan pola asuh yang baik akan mengakibatkan anak obesitas (Hughes, 2008 Astuti 2014). Orang tua yang memberikan pola asuh makan yang salah maka akan menyebabkan gizi kurang pada anak (Astuti, 2014). Soekirman dalam Mustika (2015) menyatakan bahwa ibu yang bekerja tidak dapat mengatur pola makan anak, membiarkan anak mereka makan makanan yang tidak sehat, sehingga akan berpengaruh terhadap kesehatan anak-anak mereka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar responden yang memiliki status gizi gemuk dan kurus disebabkan karena mendapat pola asuh makan yang cukup baik dan kurang baik. Hasil ini bila dilihat berdasarkan hasil wawancara dapat diketahui bahwa sebagian besar ibu mereka tidak mengontrol makanan apa saja yang mereka konsumsi. Ibu mereka menghidangkan menu makanan di rumah, namun tidak mengawasi dan memantau makanan apa saja yang mereka konsumsi karena keterbatasan waktu yang dimiliki ibu. Hampir seluruh responden disediakan sarapan pagi dan dibawakan bekal oleh ibu mereka, namun ibu juga memberikan uang saku dengan memberikan kebebasan sepenuhnya kepada anak terkait apa yang mereka beli di sekolah. Secara tidak langsung hal ini dapat mempengaruhi status gizi anak. E. 1.
2.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pola asuh makan oleh ibu bekerja pada siswa di SDN Ngrame sebagian besar adalah cukup baik dan sebagian besar berstatus gizi normal. Terdapat hubungan antara pola asuh makan oleh ibu bekerja dengan status gizi pada siswa di SDN Ngrame Kecamatan Pungging Kabupaten Mojokerto. Saran Pihak sekolah diharapkan rutin memantau perkembangan status gizi siswa sesuai dengan usia mereka melalui kegiatan Upaya Kesehatan Sekolah (UKS), menghimbau kepada siswa untuk selalu sarapan pagi di rumah sebelum berangkat sekolah. Diharapkan kepada
18
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
orang tua terutama pada ibu bekerja agar tetap bisa memperhatikan perilaku makan anak lebih selektif dalam memberikan uang saku dan memantau apa saja yang dibeli oleh anak. DAFTAR PUSTAKA Almatsier S. (2013). Penilaian Status Gizi Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Alatas, S. S (2009). Status Gizi Anak Usia Sekolah 97-12 Tahun) dan Hubungannya dengan Tingkat Asupan Kalsium Harian di Yayasan Kampungkids Pejaten Jakarta Selatan Tahun 2009. Universitas Indonesia. Astuti, W. T. (2014). Hubungan Pola Asuh Pemberian Makan dan Perilaku Makan Anak dengan Kejadian Obesitas pada Anak Prasekolah Di Kota Magelang. Tesis. Uneversitas Gadjah Mada. Khomsan, A. (2010). Teknik pengukuran pengetahuan gizi. Bogor: Institut Pertanian Bogor Kumala, M. (2013). Hubungan Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi Anak Usia Toddler (1-3 Tahun) di Posyandu Kelurahan Sidomulyo Godean Sleman. Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Aisyiyah. Limpeleh, F. V. (2015). Hubungan Antara Asupan Energi Dengan Status Gizi Anak Usia Sekolah Di Kompleks Pasar 45 Kota Manado. fkm.unsrat.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/JURNAL-FITRI1.pdf. Leiliana, Ito. (2008). Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konsumsi Suplemen Makanan pada Anak Sekolah kelas IV dan V SD Islam Al-Husna Bekasi Selatan Tahun 2008. Skripsi. FKM UI. Mustika, T. D. (2015). Pola Asuh Makan Antara Ibu Bekerja dan Tidak Bekerja dan Faktor yang Mempengaruhi Status Gizi Anak Usia Sekolah Dasar (Kasus Di Desa Tingkis, Kecamatan Singgahan, Kabupaten Tuban).e-journal Volume 4, No 1, Tahun 2015, Edisi Yudisium Maret hal 162-166. Notoadmodjo, S. (2012). Metodologi Pneleitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Noviyanti, dkk. (2016). Hubungan Status Gizi Terhadap Usia Menarche Siswi Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Kismoyoso Ngemplak Boyolali. “KOSALA” JIK. Vol. 4 No. 1 Maret 2016.
19
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Pahlevi, A. E. (2012). “Determinan Status Gizi pada Siswa Sekolah Dasar”. Jurnal Kesehatan Masyarakat. KEMAS 7 (2) (2012) 122-126. http://journal.unnes.ac.id/index.php/kemas diakses pada 27 April 2016 Riskesdas. (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI. Soetjiningsih. (2012). Tumbuh Kembang Anak. Jakarta : EGC. Suharsa dan Sahnaz. (2014). Status Gizi Lebih dan Faktor-faktor lain yang Berhubungan pada Siswa Sekolah Dasar Islam Tirtayasa Kelas IV dan V di Kota Serang Tahun 2014. Universitas Mathlaul Anwar.
20
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
EFEKTIFITAS GROUP DISCUSSION THERAPY DALAM MENURUNKAN STRES REMAJA DI MTS PESANTREN AL – AMIN MOJOKERTO Nurul Mawaddah1 dan Elvin Titiani2 1) Dosen Keperawatan Jiwa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit 2) Mahasiswa Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Abstrak Memasuki lingkungan baru di pondok pesantren bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di Sekolah Pondok Pesantren. Kegagalan dalam beradaptasi dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian remaja yang dapat memicu timbulnya perilaku negatif. Pemberian Group Discussion Therapy digunakan untuk menurunkan stres dengan memberi pemahaman tentang masalah yang dihadapi remaja melalui kegiatan kelompok untuk membantu pemecahan masalah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas group discussion therapy terhadap stres remaja di MTs. Pesantren Al – Amin Mojokerto. Desain penelitian menggunakan quasi eksperimental prepost test with control group. Teknik pengambilan sampel menggunakan Simple Random Sampling dengan jumlah sampel 22 remaja yang mengalami stress yang terdiri dari 11 remaja diberikan group discussion therapy sebanyak 3 sesi dengan durasi 90 menit setiap sesinya dan 11 remaja sebagai kontrol. Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah Perceived Scale Stress. Pengambilan data dilakukan sebelum dan sesudah pemberian terapi kemudian membandingkan hasil antara kedua kelompok. Hasil analisis statistik menunjukkan penurunan skor stres pada kelompok remaja yang mendapatkan group discussion therapy lebih tinggi secara bermakna (p-value < 0,05) dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kata Kunci : Stres, remaja, group discussion therapy
21
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 Abstract
Entering the new environment at the boarding school for adolescents can become a stimulus that causes a variety of problems, one of which is stress. This makes the adolescents should be able to adapt in order to survive and be able to complete his education at the School boarding school. Failure to adapt could affect the development of adolescent personality that can lead to negative behaviors. Giving Discussion Group Therapy is used to reduce stress by giving an understanding of the issues facing youth through group activities to help solving the problem. This study aims to determine the effectiveness of therapy group discussion on adolescents stress in MTs. Pesantren Al - Amin Mojokerto. Quasi experimental study design using prepost test with control group. The sampling technique was proportionate stratified random sampling and found the number of respondents 22 adolescents who experience stress consisted of 11 adolescents are given as many as three focus group therapy sessions with a duration of 90 minutes per session and 11 adolescents as a control. The instrument used in this study is the Perceived Stress Scale. Data were collected before and after therapy and then compare the results between the two groups. Statistical analysis showed a decrease in stress scores in the group of adolescents who received therapy focus group was significantly higher (p-value <0.05) compared with the control group. Keywords : Group discussion therapy, stress, adolescents. A. PENDAHULUAN Sekolah pondok pesantren merupakan salah satu jenis pondok pesantren modern yang menggabungkan pengajaran agama dengan pengetahuan umum dan menggunakan sistem pengajaran modern dengan jadwal yang teratur. Kewajiban untuk tinggal di pondok pesantren menuntut remaja santri untuk menyesuaikan diri terhadap segala aktivitas, budaya dan kebiasaan yang ada di lingkungan pesantren. Memasuki lingkungan baru bagi remaja dapat menjadi sebuah stimulus yang menyebabkan munculnya berbagai permasalahan pada masa awal sekolah, salah satunya adalah stres. Hal ini membuat remaja santri harus mampu menyesuaikan diri agar dapat bertahan dan dapat menyelesaikan pendidikannya di lingkungan Pondok Pesantren.
22
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Stres merupakan gangguan pada tubuh dan pikiran yang di sebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan, baik di pengaruhi oleh lingkungan maupun penampilan individu di dalam lingkungan (Lestari, 2015). Menurut Hawari (2009) stres dapat disebabkan karena faktor biologis, faktor psikologis dan faktor lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal individu. Stres yang terjadi pada remaja santri di lingkungan pesantren dapat disebabkan karena latar belakang yang berbeda, baik daerah asal, ekonomi, bahasa, serta tingkatan umur terutama santri yang berusia remaja. Lingkungan ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan lingkungan yang ditemui santri sebelumnya. (Pritaningrum & Hendriani, 2013). Keadaan di asrama dengan peraturan dan kondisi yang berbeda dengan di rumah dapat menjadi sumber tekanan (stressor) sehingga dapat menyebabkan stres. Akibat buruk stres adalah kelelahan hingga mengakibatkan turunnya produktivitas dalam belajar maupun aktivitas pribadi (Pritaningrum & Hendriani, 2013). Santri baru di Pondok Pesantren Al –Amin Mojokerto sebagian besar masih berada pada tahap remaja awal yang menempuh pendidikan di MTs. Pesantren Al –Amin Mojokerto. Pengurus sekolah pesantren ini menjelaskan bahwa masih banyak santri yang mengalami masalah dalam penyesuaian diri terutama pada tahun pertama, sehingga hampir setiap tahun selalu ada santri yang keluar sebelum lulus atau tetap bertahan dalam kondisi terpaksa sehingga santri menunjukkan perilaku negatif dan prestasi akademik yang rendah. Hal ini sesuai dengan hasil studi Yuniar dkk. (2005) yang menunjukkan bahwa setiap tahunnya 5-10% dari santri baru di Pondok Pesantren Modern mengalami masalah dalam melakukan proses penyesuaian diri, seperti tidak mampu mengikuti pelajaran, tidak bisa tinggal di asrama karena tidak bisa hidup terpisah dengan orang tua, melakukan tindakan-tindakan yang melanggar aturan pondok dan sebagainya. Group Discussion Therapy (GDT) merupakan salah satu intervensi dalam menejemen stres yang dapat diberikan pada remaja santri dengan tujuan untuk meningkatkan koping individu melalui pendekatan kelompok. Group Discussion Therapy ini dikembangkan dari konsep teori Group Therapy dan Stress Management (Chinaveh, 2013). Group therapy adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi dalam pemecahan masalah interpersonal (Yosep, 2014) serta
23
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
untuk mendapatkan dukungan dari teman sebaya (Muhith, 2015). Hasil studi yang dilakukan oleh Prawitasari (2009) menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres santri di pondok pesantren. Selain itu studi yang dilakukan oleh Chinaveh (2013) menunjukkan bahwa intervensi Stress Management yang dilakukan secara kelompok dapat menurunkan level stres dan meningkatkan respon koping remaja di Iranian. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas pemberian Group Discussion Therapy terhadap stres remaja santri di MTs. Pesantren Al-Amin Mojokerto. B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan desain quasi eksperimental dengan pendekatan pre-post test with control group. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah remaja santri di MTs. Pesantren Al Amin Mojokerto kelas 7 dengan kriteria bertempat tinggal di pondok dan mendapatkan skor stres PSS diatas 30 (≥ 60%) yaitu diperoleh sebanyak 22 remaja. Sampel diambil dengan teknik Simple Random Sampling yang dibagi menjadi 2 kelompok, 11 remaja sebagai kelompok intervensi dan 11 remaja sebagai kelompok kontrol. Instrumen yang digunakan untuk mengukur stres remaja santri menggunakan kuesioner yang merupakan modifikasi dari instrumen Perceived Stress Scale (PSS) oleh Smith et al. (2014) dan telah dilakukan uji validitas menggunakan Korelasi Pearson Product Moment dengan r hasil lebih besar dari r tabel (0,632) serta uji reliabilitas dengan menggunakan Chronbach’s Alfa sebesar 0,857. Kelompok intervensi diberikan Group Discussion Therapy sebanyak 3 sesi yang meliputi : sesi pertama Introduction dan Assesment, sesi kedua discussion of stress managemet, dan sesi ketiga Evaluation dan Feedback group discussion therapy. Setiap sesi dilakukan 1 kali pertemuan setiap minggu selama 60-90 menit setiap sesinya. Sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan Group Discussion Therapy. Dua minggu setelah pelaksanaan terapi dilakukan post-test dengan menggunakan kuesioner PSS kemudian peneliti membandingkan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol berdasarkan nilai pre test dan post test yang telah diperoleh.
24
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
C. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian ini ditampilkan dalam bentuk analisa univariat yang digunakan untuk menganalisis variabel-variabel yang ada secara deskriptif serta analisa bivariat yang digunakan untuk mengetahui efektifitas pemberian Group Discussion Therapy pada stres remaja santri baik pada kelompok intervensi maupun kelompo kontrol, dengan terlebih dahulu melakukan uji normalitas data masing-masing variabel dan diperoleh sebaran data normal dengan nilai Shaphiro Wilk > 0,05 (ρ > α). Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan analisis statistik yang akan diuraikan pada tabel. Hipotesis 1 : ada perbedaan skor stres pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum dan sesudah diberikan SST. Tabel 1. Analisis Skor Stres Remaja Santri Sebelum dan Sesudah diberikan GDT pada kelompok kontrol dan kelompok intervensi Mean p Variabel Test Mean t Difference value Stres kontrol Pre 35,5 0,1 0,3 0,756 Post 35,6 Stres intervensi Pre 35,2 4,6 5,4 0,0001 Post 30,5 Hasil analisis statistik dengan uji dependen sample t-test diperoleh pada kelompok intervensi nilai ρ value < α maka Ho ditolak. Secara statistik menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna skor stres pada kelompok intervensi sesudah diberikan GDT. Sedangkan pada kelompok kontrol didapatkan ρ value > α maka Ho diterima. Secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna skor stres pada kelompok kontrol. Hipotesis 2 : ada perbedaan perubahan skor stres remaja santri antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
25
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 2. Analisis Perbedaan Perubahan skor stres remaja santri pada Kelompok Kontrol dan Kelompok Intervensi Sesudah Diberikan GDT Variabel Jenis N Mean Mean p Kelompok Difference value Stres Remaja Kontrol 1 35,6 5,1 0,042 1 Intervensi 1 30,5 1 Berdasarkan hasil analisis statistik dengan uji independent sample T-Test diperoleh nilai p = 0,042. Karena nilai p < 0,05 maka secara statistik terdapat perbedaan yang signifikan pada skor stres remaja antara yang diberikan group discussion therapy dengan yang tidak diberikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa group discussion therapy dapat menurunkan skor stres pada remaja santri. D. PEMBAHASAN Hasil analisis statistik untuk kelompok kontrol menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan skor stres remaja sebelum dan sesudah diberikan GDT. Hal ini ditunjukkan secara bermakna berdasarkan uji statistik, yaitu dengan nilai p sebesar 0,756 berada di atas nilai alpha (α = 0,05). Sedangkan pada kelompok intervensi terdapat penurunan skor stres antara sebelum dan sesudah diberikan GDT. Hal ini ditunjukkan dengan uji statistik dengan nilai p sebesar 0,000 (α < 0,05). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara skor stres sebelum dan sesudah pemberian terapi group discussion therapy. Selain itu juga didapatkan hasil bahwa terdapat perbedaan skor stres antara kelompok kontrol dna kelompok intervensi dengan nilai p sebesar 0,042 (α < 0,05). Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk menurunkan skor stres pada remaja santri dibutuhkan intervensi atau terapi khusus sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan remaja tahap awal. Dalam penelitian ini peneliti memberikan group discussion therapy pada remaja. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Prawitasari (2009) bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan stres santri di pondok pesantren. hal ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan
26
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
oleh Rohma (2006) yang menunjukkan bahwa diskusi kelompok dapat menurunkan tingkat stres pada mahasiswa. Stres merupakan reaksi subjektif yang negatif sebagai hasil penilaian individu terhadap kejadian yang menegangkan dan tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya (Hasan, 2008). Perubahan lingkungan akan membuat para santri mengalami perubahan dan penyesuaian terhadap lingkungan baru yang ditempatinya, sehingga akan dapat mengalami berbagai permasalahan yang pada akhirnya akan membuat mereka stres. Pada umumnya permasalahan yang muncul berawal dari lingkungan fisik dan lingkungan sosial di tempat baru. Dari hasil wawancara dengan beberapa santri baru didapatkan bahwa permasalahan yang sering dirasakan adalah hambatan penyesuaian diri, kesulitan bergaul, sulit berkomunikasi dengan teman, maupun dengan lingkungan tempat tinggal. Selain itu beberapa santri mengungkapkan permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan sosial yaitu mulai dari permasalahan dengan teman, tetangga, dan masyarakat disekitar pondok pesantren dikarenakan mereka harus bergaul dengan orang lain yang berbeda adat istiadat dilingkungan tempat tinggalnya. Disamping itu juga terdapat beberapa santri yang mengalami permasalahan dengan peraturan dari pondok pesantren yang harus ditaati, sehingga membuat mereka merasa berbeda dengan kondisi yang dialami sebelum mengikuti kegiatan di pondok pesantren. Adanya pengaruh yang signifikan dapat disebabkan karena dengan pemberian Group discussion therapy dapat menurunkan stres remaja dengan menciptakan pengalaman yang menyenangkan dalam berinteraksi. Intervensi ini diberikan dengan tujuan untuk mengubah perilaku negatif dengan perilaku positif dengan cara mengkaji perasaan, sikap dan cara berfikir individu tersebut dengan bantuan kelompok. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain untuk menemukan cara menyelesaikan masalah. Kelompok juga merupakan laboratorium tempat mencoba dan menemukan hubungan interpersonal yang baik, serta mengembangkan perilaku yang adaptif. Anggota kelompok merasa dimiliki, diakui, dan dihargai eksistensinya oleh anggota kelompok yang lain (Keliat & Akemat, 2010). Selain itu Peran teman sebaya bagi remaja santri juga sangat berpengaruh dalam memberikan dukungan sosial bagi sesamanya. Hal ini sesuai dengan hasil studi Handono & Bashori (2013) menunjukkan adanya ada hubungan negatif antara penyesuaian diri dan dukungan sosial dengan
27
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
stres lingkungan. Semakin tinggi penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin rendah stres lingkungan dan semakin rendah penyesuaian diri dan dukungan sosial maka semakin tinggi stres lingkungan. Pemberian group discussion therapy pada kelompok intervensi ini dilaksanakan melalui empat tahapan dalam proses setiap sesi terapi yang dilakukan, yakni 1) Modelling, yaitu terapis melakukan demonstrasi tindakan terhadap keterampilan yang akan dilakukan, 2) Role Playing, yaitu tahap bermain peran dimana remaja mendapat kesempatan untuk memerankan kemampuan yang telah dilakukan yang sering dialami sesuai topik yang diperankan oleh terapis, 3) Performence feedback, yaitu tahap pemberian umpan balik yang diberikan segera setelah remaja mencoba memerankan seberapa baik menjalankan latihan, serta 4) Transfer Training, yakni tahap pemindahan keterampilan yang diperoleh remaja ke dalam praktik sehari-hari (Stuart, 2013). Selain itu, waktu pelaksanaan kegiatan post test yang dilakukan 2 minggu setelah kegiatan terapi juga menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi hasil secara signifikan. Dalam penelitian ini post test dilaksanakan 2 minggu setelah sesi terakhir. Tujuannya untuk mengendapkan informasi yang telah diterima sehingga dapat menjadi persepsi baru pada remaja bagaimana cara mengatasi stres yang telah diajarkan dalam terapi dan juga supaya responden tidak menggunakan jawaban pada saat pre test. Hal ini sesuai dengan pendapat Notoatmodjo (2010) bahwa jarak waktu antara tes yang pertama dan tes yang kedua sebaiknya antara 15 sampai dengan 20 hari. Program group discussion therapy pada penelitian ini mengacu pada konsep stress management yang dikembangkan dari hasil studi Chinaveh (2013) dengan menggunakan pendekatan group therapy. Hasil studi ini menunjukkan bahwa intervensi Stress Management yang dilakukan secara kelompok dapat menurunkan level stres dan meningkatkan respon koping remaja di Iranian. Program ini terdiri dari 3 sesi yaitu 1) Sesi pertama Introduction dan Assesment. 2) Sesi kedua Discussion of Stress Management yaitu mendiskusikan cara mengatasi masalah stres yang dihadapi remaja di pondok pesantren dengan menggunakan manajemen stres. Program menejemen stres dalam sesi ini berupa pemberian latihan relaksasi (nafas dalam dan relaksasi otot progresif) dan juga latihan keterampilan koqnitif (restrukturisasi koqnitif atau menilai masalah secara positif) yang
28
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
merupakan salah satu intervensi dalam menejemen stres yang dikembangkan oleh Chinaveh (2013). Sesi ketiga : evaluation dan feedback. Pada sesi ini terapis mengevaluasi perasaan remaja setelah menyelesaikan setiap sesi, mengevaluasi kemampuan yang telah dicapai oleh remaja dan memberi tindak lanjut terkait keterampilan yang harus dilatih. E. 1.
2.
PENUTUP Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian group discussion therapy dapat menurunkan skore stres pada remaja santri dibandingkan yang tidak diberikan group discussion therapy. Hasil ini dibuktikan dengan adanya penurunan skor stres sebelum dan sesudah pemberian group discussion therapy pada kelompok intervensi. Saran Untuk hasil yang maksimal agar koping remaja menjadi efektif dan adaptif, dukungan dari lingkungan pesantren dan keluarga sangat diperlukan untuk memotivasi responden dalam menerapkan ketrampilan-ketrampilan tersebut. Selain itu pengurus pesantren dapat membantu santri agar mampu menyesuaikan diri dengan baik di lingkungan pesantren untuk meningkatkan kesehatan jiwa santri, antara lain dengan memfasilitasi dalam kegiatan kelompok tentang masalah-masalah yang dialami selama berada dipesantren serta memberikan program kegiatan yang bertahap. Pada peneliti selanjutnya dapat dilakukan penelitian pada tingkat individu maupun kombinasi terapi dengan keluarga.
DAFTAR PUSTAKA Chinaveh, M. (2013). The Effectiveness of Multiple Stress Management Intervention on the Level of Stress, and Coping Responses Among Iranian Students. Social and Behavioral Sciences, 84, 593 – 600. Handono, O. T., & Bashori., K. (2013). Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dan Dukungan Sosial Terhadap Stres Lingkungan Pada Santri Baru. Jurnal Fakultas Psikologi, 1(2). Pages 79-89. Hasan, A.B. (2008). Pengantar Psikologi Kesehatan Islami. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada Hawari, D. (2009). Manajemen Stres Cemas dan Depresi. Jakarta : FK Universitas. Indonesia.
29
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Keliat, BA dan Akemat. (2010). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa. Jakarta: EGC. Lestari. (2015). Kumpulan teori untuk kajian pustaka penelitian kesehatan,Yogyakarta : Nuha medika Notoatmodjo, S. (2010). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Muhith, A. (2015). pendidikan keperawatan jiwa teori dan aplikasi, Yogyakarta: Andi. Prawitasari Faridah. (2009). Pengaruh diskusi kelompok untuk menurunkan stress Pada santri di pondok pesantren. Fakultas Psikologi Universitas Gajah Mada Pustaka. Pritaningrum, M., & Hendriani, W. (2013). Penyesuaian Diri Remaja yang Tinggal di Pondok Pesantren Modern Nurul Izzah Gresik Pada Tahun Pertama. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 2(3). Pages 141-150. Stuart, G. W. (2013). Principles and practice of Psychiatric Nursing. (10th ed). St. Louis: Mosby Year Book Smith, Rosenberg Dan Haight, (2014). An Assesment of thr psychotemetric properties of the perceived stress scale-10 (PSS10) with business dan accounting students. Vol.13 No1 pages 29-59. Yosep, I. & Sutini, T. (2014). buku ajar keperawatan jiwa dan advance mental health nursing 6th ed., Bandung: Refika Aditama. Yuniar, M., Abidin, Z. & Astuti, T.P. (2005). Penyesuaian Diri Santri Putri TerhadapKehidupan Pesantren: Studi Kualitatif pada Madrasah Takhasusiah Pondok Pesantren Modern Islam Assalam Surakarta. Jurnal Psikologi Undip, 2, 10-17.
30
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
HUBUNGAN MODA TRANSPORTASI DENGAN WAKTU TANGGAP/RESPONSE TIME PADA PASIEN HENTI JANTUNG DI LUAR RUMAH SAKIT YANG DIRUJUK KE IGD RSUD Dr. ISKAK TULUNGAGUNG Anndy Prastya1, Respati Suryanto Drajat2, Ali Haedar3, Nanik Setijowati4 1) Program Studi Magister Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 2), 3) Program Studi Kedokteran Spesialis Emergensi Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya 4) Program Studi Public Health Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya Abstrak Latar belakang: Henti jantung merupakan kondisi kegawatdaruratan dari jantung yang sering terjadi. Pada korban dengan henti jantung kemampuan untuk bertahan akan berkurang 7-10% setiap menitnya. Penatalaksanaan yang dikenal sebagai chain of survival adalah kesatuan yang digunakan untuk mengoptimalkan harapan hidup pasien out of hospital cardiac arrest (OHCA). Penggunaan ambulan sangat menguntungkan untuk mengurangi angka mortalitas pasien OHCA karena memberikan pelayanan cepat dan merujuk ke rumah sakit yang tepat, serta mengurangi waktu respon. Tujuan penelitian ini untuk menganalisa hubungan moda transportasi dengan waktu tanggap/response time pada klien OHCA di lingkup layanan Tulungagung Emergency Medical Services (TEMS) IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung. Metode penelitian: Penelitian ini menggunakan desain analitik observasional dengan pendekatan cross-sectional. Penelitian ini menggunakan teknik sampling consecutive sebanyak 30 responden dengan menginklusikan semua pasien yang henti jantung secara tiba-tiba di luar rumah sakit yang sampai rumah sakit yang belum dinyatakan meninggal/DOA. Penelitian ini mengunakan kuisioner OHCA PAROS. Data dianalisa dengan menggunakan uji spreaman rank dengan α = 0,05. Hasil penelitian: Sebanyak 15 pasien OHCA dirujuk dengan menggunakan moda transportasi non ambulans, 8 pasien dirujuk dengan ambulans non EMS dan 7 pasien menggunakan ambulans EMS. Waktu tanggap pada 19 pasien OHCA tidak teridentifikasi, 7 pasien memiliki
31
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
waktu tanggap ≤ 20 menit dan 4 pasien memiliki waktu tanggap > 20 menit. Dari pengujian statistik didapatkan ada hubungan antara moda transportasi dengan waktu tanggap/response time dengan nilai p = 0,000 < α = 0,05. Kesimpulan: Keberadaan TEMS belum mendukung penguatan chain of survival pasien OHCA dengan bukti rendahnya angka panggilan darurat untuk pasien henti jantung, sedikitnya penggunaan ambulans EMS dan upaya CPR prehospital yang dilakukan dan tidak adanya upaya pemberian defibrilasi dan obat emergensi prehospital. Sehingga penting dilakukan penyebarluasan informasi keberadaan dan fungsi atau peranan TEMS sebagai layanan panggilan darurat medis khususnya bagi pasien henti jantung kepada masyarakat. Kata Kunci: Henti jantung diluar rumah sakit (OHCA), response time, moda transportasi Abstract Background: Cardiac arrest was an emergency condition of the heart that often occurs. In cardiac arrest victims with the ability to survive will be reduced by 7-10% per minute. Management as known as the chain of survival was the unity that is used to optimize the client's life expectancy out of hospital cardiac arrest (OHCA). The used of ambulances was very beneficial to reducing mortality OCHA clients because it provides quick service and refer to the appropriate hospital, as well as reduce response time. The purpose of this study was to analyze the relationship of modal of transport with response time on OHCA patien in the Tulungagung Emergency Medical Services (TEMS) Emergency departemen of Dr. Iskak Tulungagung general hospital. Methode: This study used an observational analytic design with crosssectional approach. This study used a consecutive sampling of 30 respondents included all patients of cardiac arrest suddenly in outside hospital until the hospital has not been declared dead / DOA. This study used a questionnaire OCHA PAROS. Data were analyzed using spreaman rank test with α = 0.05. Results: A total of 15 patients with OHCA referenced using non ambulance transport modes, 8 patients used non EMS ambulance and 7 patients used EMS ambulance. Response time at 19 OHCA patients were unidentified, 7 patients had a response time less than 20 minutes and 4 patients had a
32
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
response time more than 20 minutes. From statistical tests found that there were association between transport modes with response time by p = 0.000 < α = 0.05. Conclussions: TEMS existence has not strengthened the chain of survival OHCA patients with evidence of low number of emergency calls for cardiac arrest patients, at least the use of ambulances and EMS Prehospital performed CPR efforts and the absence of efforts to provide defibrillation and Prehospital emergency medicine. So important to the dissemination of information on the existence and function or role TEMS as a medical emergency call service, especially for patients with cardiac arrest to the public. Keywords: out of hospital cardiac arrest (OHCA), response time, transport modes A. PENDAHULUAN Henti jantung merupakan kondisi kegawatdaruratan dari penyakit jantung yang sering terjadi. Journal of Circulation yang dikeluarkan oleh American Heart Association (AHA) mengeluarkan statistik terbaru bersumber dari hasil Konsorsium Jantung Epistry dan Pedoman Resusitasi menunjukkan angka kejadian henti jantung masih tinggi di seluruh negara di dunia. Sebesar 359,400 kejadian henti jantung yang terjadi di luar rumah sakit pada tahun 2013 di Amerika. Sedangkan pada tahun 2012, didapatkan angka 382.800 kejadian henti jantung di luar rumah sakit. Kejadian OHCA di beberapa negara yang tergabung dalam Asia-Pasifik salah satunya Indonesia dalam tiga tahun terakhir yakni sebanyak 60.000 kasus (Hock, Pin, & Alhoda, 2014). Sedangkan jumlah prevalensi penderita henti jantung di Indonesia tiap tahunnya belum didapatkan data yang jelas, namun diperkirakan sekitar 10 ribu warga, yang berarti 30 orang per hari. Kejadian terbanyak dialami oleh penderita jantung koroner (Kemenkes, 2013). Dari data studi pendahuluan yang dilakukan pada tanggal 7 April 2016 didapatkan bahwa dalam periode 1 Januari sampai dengan 4 April 2016 sejumlah 23 pasien mengalami henti jantung di luar rumah sakit yang sampai dibawa ke IGD RSUD DR. Iskak Tulungagung. Out of Hospital Cardiac arrest (OHCA) didefinisikan sebagai terhentinya aktivitas mekanik jantung yang dikonfirmasi oleh tidak adanya tanda-tanda sirkulasi yang terjadi di luar rumah sakit (Proclemer et al., 2012). Pada korban dengan henti jantung kemampuan untuk bertahan akan
33
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
berkurang 7-10% setiap menitnya, sedangkan kembalinya sirkulasi spontan dalam jangka waktu kurang dari 20 menit setelah kolaps memiliki asosiasi positif terhadap angka survival pasien OHCA (Wibrandt et al., 2015). Insiden henti jantung yang cukup tinggi inilah yang mendasari pentingnya pengetahuan tentang penatalaksanaan awal pasien henti jantung dengan penerapan Basic Life Support (BLS). Penatalaksanaan yang meliputi pengenalan dan akses segera ke pelayanan gawat darurat, segera lakukan CPR, segera defibrilasi dan segera perawatan lebih lanjut adalah kesatuan yang digunakan untuk mengoptimalkan harapan hidup pasien (Lenjani et al., 2014). Faktor pertama yang menjadi penentu keberhasilan resusitasi pada pasien henti jantung adalah adanya pengenalan yang cepat dan segera menghubungi ambulan gawat darurat 119 (EMS). Perkembangan EMS, defibrilator portabel, keterampilan advance life support (ALS) petugas prehospital telah membawa perubahan tatanan layanan intra hospital kepada prehospital (Keeffe, 2006). Penggunaan ambulan sangat menguntungkan untuk mengurangi angka mortalitas pasien henti jantung di luar rumah sakit. Pertama ambulan memberikan pelayanan cepat untuk memberikan penangan lanjut untuk henti jantung, kedua dengan menggunakan ambulan akan merujuk ke rumah sakit yang tepat, ketiga dengan ambulan akan mengurangi waktu respon pada pasien henti jantung (Razzak & Kellermann, 2002). Indonesia sampai saat ini belum memiliki EMS terpadu. Pelayanan prarumah sakit di Indonesia yang hanya berupa transportasi ambulan. Sistem ini di lapangan ternyata belum memiliki integrasi dengan bagian pelayanan kesehatan lainnya dan masih memiliki banyak kekurangan sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Beberapa tantangan diantaranya adalah budaya penerimaan masyarakat, wilayah geografis yang luas, kepadatan lalu-lintas, keterbatasan jumlah ambulan bahkan banyak sekali pasien menggunakan transportasi umum atau kendaraan pribadi untuk sampai ke rumah sakit. Selain itu keterbatasan jumlah tenaga paramedis yang tersedia juga merupakan tantangan tersendiri dalam upaya pengembangan sistem layanan prehospital (Pitt & Pusponegoro, 2005). Saat ini sistem ambulan darurat 119 hanya tersedia di beberapa kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Palembang, Makasar, Denpasar dan Malang (Pitt & Pusponegoro, 2005). Di Tulungagung, pada November 2015 lalu telah diresmikan program pelayanan pra rumah sakit yang dinamai Tulungagung Emergency Medical Service (TEMS). Dimana layanan
34
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
tersebut terintegrasi dengan Kepolisian, Kodim, pemadam kebakaran, penanggulangan bencana alam, dan tenaga medis. Layanan ini juga dibekali GPS yang akan dengan otomatis mendeteksi lokasi keberadaan dari korban Tujuan didirikannya TEMS adalah sebagai upaya untuk mempersingkat respons time pada kasus-kasus emergensi diantaranya adalah pada pasien henti jantung (Wasono, 2016). Pan-Asian Resuscitation Outcomes Study (PAROS) didirikan tahun 2009 sebagai penelitian Internasional, multicenter, prospektif dari kejadian henti jantung di luar rumah sakit seAsia-Pasifik yang meliputi 89 juta jiwa di 9 negara. Tujuannya untuk menyusun kuisioner dan untuk menghasilkan panduan sistem Emergency Medical Services (EMS) di Asia, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pelayanan darurat pra-rumah sakit, dan akhirnya untuk meningkatkan kelangsungan hidup OHCA (Ong et al., 2011). Saat ini Indonesia sudah memulai menggunakan kuisioner OHCA PAROS yang dimulai dari lingkup Rumah sakit Se-Kota Malang. Dari kuesioner OHCA PAROS yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, terdapat pertanyaan mengenai elemen prarumah sakit dan rumah sakit (Supriadi, 2016). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan moda transportasi dengan waktu tanggap/response time pada pasien henti jantung diluar rumah sakit yang dirujuk ke IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung. B.
METODE PENELITIAN Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross sectional untuk mengkaji hubungan moda transportasi, dengan respons time. Penelitian ini dilakukan di fasilitas IGD RS Dr. Iskak Tulungagung berlangsung selama bulan 13 Juni sampai dengan 8 Agustus 2016. Pengambilan sample dengan menggunakan metode consecutive sampling sebanyak minimal 30 responden dengan kriteria inklusi yang ditetapkan adalah : 1. Pasien yang henti jantung secara tiba-tiba di luar rumah sakit. 2. Pasien yang terdaftar dengan diagnosa cardiac respiratory arrest oleh dokter saat masuk di IGD. 3. Pasien OHCA yang dibawa sampai ke IGD rumah sakit yang belum dinyatakan meninggal/DOA. 4. Pasien OHCA yang sempat dilakukan resusitasi di rumah sakit.
35
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Penelitian ini menggunakan kuesioner OHCA PAROS. Data Primer diperoleh dari keterangan petugas EMS, keluarga pasien atau pengantar dalam hal ini bisa jadi petugas kesehatan yang mengetahui kejadian diambil dengan kuesioner yang diisi oleh peneliti sendiri dan perawat yang berada di triase primer sebagai enumerator. Untuk mematuhi etika penelitian, pengambilan data baru dilakukan setelah proses resusitasi dinyatakan selesai oleh dokter yang bertanggung jawab. C. HASIL PENELITIAN Selama periode penelitian, didapatkan data jumlah panggilan yang diterima oleh TEMS sebanyak dengan rata-rata 9 sampai dengan 12 per harinya. Dari jumlah panggilan tersebut yang dapat dikategorikan dalam situasi true emergency sejumlah 2-4 kasus. Sebagian besar kasus yang diterima dikategorikan sebagai kasus trauma. Sejumlah 13 panggilan diidentifikasi sebagai kasus henti jantung diluar rumah sakit setelah pasien datang di red zone IGD RSUD Dr. Iskak Tulungagung. Dari 13 panggilan tersebut, 3 panggilan diinisiasi oleh orang awam. Sedangkan 10 diantaranya diinisiasi oleh petugas ambulans swasta sebagai laporan rujukan pasien. Selama periode penelitian keseluruhan didapatkan 34 pasien OHCA, namun dalam proses pengambilan sampel hanya ada 30 pasien OHCA yang sesuai dengan skema pengumpulan data dibawah ini. 316 Pasien kolaps diterima oleh petugas triase primer 34 pasien didiagnosa henti jantung 3 keluarga/ perujuk menolak menjadi responden
1 pasien ≤ 18 tahun
30 OHCA sesuai kriteria menjadi responden 7 pasien OHCA dibawa dengan Ambulans EMS
8 pasien OHCA dibawa dengan Ambulans non EMS
15 pasien OHCA dibawa dengan non Ambulans
Gambar 1. Skema pengumpulan data
36
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 1. Karakteristik Perujuk/Pengirim pasien OHCA Karakteristik Hasil Frekuensi (f) Presentase (%) ≤ 18 3 10 Usia (tahun) 19 s/d 55 25 83,3 ≥ 56 2 6,7 Tenaga kesehatan 15 50 Pekerjaan Non tenaga kesehatan 15 50 Berdasarkan tabel 1 terlihat bahwa sebagian besar partisipan/ perujuk pasien OHCA (83,3%) memiliki usia 19 sampai dengan 55 tahun. Sedangkan berdasarkan berdasarkan jenis pekerjaan terlihat bahwa setengah partisipan/perujuk pasien OHCA (50%) bekerja sebagai tenaga kesehatan sedangkan sisanya bukan sebagai tenaga kesehatan. Tabel 2. Karakteristik pasien OHCA Karakteristik Hasil Laki-laki Jenis Perempuan Kelamin ≤ 55 Usia (tahun) 56 s/d 75 ≥ 76
Frekuensi (f) Presentase (%) 17 56,7 13 53,3 4 13,3 5 16,7 21 70
Dari tabel 2 menggambarkan juga bahwa lebih dari setengah pasien OHCA (56,7%) berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan dari keseluruhan pasien OHCA, sebagian besar (70%) berusia lebih dari 76 tahun. Tabel 3 Analisis univariat variabel penelitian Variabel Hasil Frekuensi (f) Presentase (%) Ambulans EMS 7 23,3 Moda Ambulans non EMS 8 26,7 Transportasi Non ambulans 15 50 Tidak teridentifikasi 19 60 Waktu ≤ 20 menit 7 23,3 tanggap/ 4 16,7 response time > 20 menit Berdasarkan tabel 3 diatas dapat dijelaskan bahwa setengah dari jumlah responden (50%) dirujuk dengan menggunakan moda transportasi
37
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
non ambulans berupa mobil pribadi atau kendaraan umum. Sedangkan dari data waktu tanggap/response time sebagian besar (60%) tidak bisa teridentifikasi.
Waktu tanggap/ response time
Tidak teridentifikasi ≤ 20 menit > 20 menit
0 7 0
4 0 4
p value
Non ambulans
Variabel Dependen
Ambulans non EMS
Ambulans EMS
Tabel 4. Analisis bivariat variabel penelitian Moda Transportasi
15 0 0
0,000
Dari data penelitian tentang waktu tanggap/response time pasien henti jantung lebih banyak yang tidak teridentifikasi menggunakan moda transportasi non ambulans. Dari hasil pengujian hubungan antara moda transportasi dengan waktu tanggap/response time dengan menggunakan uji korelasi spearman didapatkan ada hubungan antara moda transportasi dengan waktu tanggap/response time dengan nilai p = 0,000 < α = 0,05. D. PEMBAHASAN Sebagian besar partisipan/perujuk pasien OHCA (83,3%) memiliki usia 19 sampai dengan 55 tahun. CPR awal yang diberikan oleh bystander terlatih akan meningkatkan peran yang efektif dalam menyelamatkan pasien pada periode emas. Jadi membekali mereka dengan pengetahuan CPR dan keterampilan akan memberdayakan mereka untuk bertindak pada saat dibutuhkan dan meningkatkan hasil dalam penatalaksanaan resusitasi (Mani, Danasekaran, & Annadurai, 2014). Penelitian Fosbøl et al., (2014) menyatakan bahwa rendahnya upaya CPR oleh masyarakat awam dipengaruhi oleh ras kulit hitam, kelompok usia yang lebih tua dan rata-rata pendapatan yang rendah. Sedangkan berdasarkan berdasarkan jenis pekerjaan terlihat bahwa setengah partisipan/perujuk pasien OHCA (50%) bekerja sebagai tenaga kesehatan sedangkan sisanya bukan sebagai tenaga kesehatan. CPR dini
38
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
dapat meningkatkan kemungkinan bertahan hidup, namun CPR sering tidak diberikan sampai kedatangan petugas profesional (Berg et al., 2010). Hal tersebut menjelaskan bahwa kesempatan untuk melakukan CPR prehospital akan lebih tinggi pada OHCA yang ditemukan oleh petugas kesehatan yang terlatih. Data karakteristik pasien OHCA menggambarkan bahwa lebih dari setengah pasien OHCA (56,7%) berjenis kelamin laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki kemungkinan untuk henti jantung lebih besar daripada perempuan. Kim et al., (2010) menyatakan insidensi henti jantung pada laki-laki 3 kali lebih banyak daripada perempuan. Sedangkan dari kelompok usia keseluruhan pasien OHCA, sebagian besar (70%) berusia lebih dari 76 tahun. Data penelitian menunjukkan bahwa setengah dari jumlah responden (50%) dirujuk dengan menggunakan moda transportasi non ambulans berupa mobil pribadi atau kendaraan umum. Hal tersebut hampir sama dengan penelitian yang dilakukan (Silvalila, Dradjat, & Haedar, 2014), bahwa sebanyak 63,4% pasien yang datang ke IGD RSSA tidak menggunakan ambulans sebagai alat transportasi menuju rumah sakit. Umumnya, mereka datang dengan kendaraan umum, kendaraan pribadi, atau kendaraan sewaan. Sebagian besar responden yang mewakili pasienpasien yang datang sendiri (tidak menggunakan ambulans) mengatakan bahwa bagi mereka tidak terpikirkan untuk menggunakan ambulans sebagai alat transportasi ke rumah sakit. Responden lainnya mengatakan bahwa kondisi pasien tidak parah sehingga tidak merasa perlu untuk menggunakan ambulans. Faktor biaya juga menjadi pertimbangan untuk tidak menggunakan ambulans. Dari data waktu tanggap/response time sebagian besar (60%) tidak bisa teridentifikasi. Sebagian besar waktu tanggap tidak bisa teridentifikasi karena responden tidak melakukan panggilan darurat sebelum mengirim pasien OHCA. Banyaknya bystander pasien OHCA yang belum melakukan pangilan menggambarkan bahwa chain of survival telah terputus mulai dari rantai pertama yakni pengenalan dini dan akses segera (early recognition and early access). bertambah cepatnya 1 menit respon time dapat dicapai dengan kewaspadaan masyarakat luas dan sistem ‘dispatch’ yang efektif. Akses yang lebih cepat dapat diperkuat dengan pendidikan publik, terlebih lagi untuk mereka yang kemungkinan besar akan menyaksikan adanya henti jantung, dan dengan menerapkan komunikasi gawat darurat yang efisien.
39
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Partisipan pada sebuah kelas pembelajaran CPR belajar bagaimana mengenali gejala awal dari henti jantung, dan bagaimana dengan cepat untuk menghubungi EMS ketika seseorang pingsan. Sedangkan mereka yang tidak terinformasi kurang dapat mengenali gejala yang terjadi seperti adanya nyeri dada dan gangguan pernafasan. Ketika korban pingsan, mereka yang tidak terinformasi akan memerlukan waktu yang cukup lama sebelum memanggil ambulan. Bahkan mereka kadang memanggil terlebih dahulu tetangga, kenalan, atau dokter pribadi mereka sebelum memanggil layanan gawat darurat. Akses yang lebih awal memastikan waktu yang berharga pada pasien henti jantung tidak terbuang percuma (Cummins et al., 1991). Boyce et al., (2015) menyatakan kematian akan terjadi bila otak tidak mendapat oksigen hingga 5 menit setelah henti jantung. Sedangkan TEMS memberikan target waktu tanggap (ketika pertama kali melakukan panggilan sampai dengan sampai di IGD adalah 20 menit dengan harapan selama perjalanan pasien henti jantung dilakukan upaya CPR. Meminimalkan interval antara panggilan dengan respon dapat meningkatkan survival. Peningkatan jumlah ambulans bisa menurunkan interval panggilan dan respon di daerah yang jarang penduduknya tetapi mungkin tidak praktis karena biaya dan kebutuhan untuk penghematan biaya (Yasunaga et al., 2011). Dari hasil pengujian hubungan antara moda transportasi dengan waktu tanggap/response time dengan menggunakan uji korelasi spearman didapatkan ada hubungan antara moda transportasi dengan waktu tanggap/response time dengan nilai p = 0,000. Penelitian lain yang mendukung bahwa keberadaan EMS dengan fasilitas ambulans EMS dapat menurunkan keterlambatan respon dan penatalaksanaan situasi gawat darurat disampaikan oleh Mathews et al., (2011) bahwa pasien dengan STEMI (ST Elevation Miocard Infarction) yang ditransport dengan menggunakan ambulans EMS dapat lebih cepat sampai di fasilitas rumah sakit yang tepat daripada yang ditransport secara pribadi. Hanya saja TEMS di kabupaten Tulungagung masih terdapat keterbatasan jumlah ambulans gawat darurat yang memenuhi standar kebutuhan resusitasi OHCA, sehingga untuk proses transport pasien OHCA terkadang masih mengandalkan ambulans puskesmas yang terdekat dengan lokasi korban. Sedangkan untuk ambulans puskesmas belum sepenuhnya memenuhi standar kebutuhan resusitasi.
40
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 E.
KESIMPULAN DAN SARAN Ketika berhadapan dengan kondisi kegawatdaruratan di bidang medis yang membutuhkan bantuan medis segera seperti kasus pasien henti jantung diluar rumah sakit (OHCA) maka dibutuhkan moda transportasi yang menunjang untuk melakukan upaya resusitasi selama proses pengiriman pasien. Sedangkan keberadaan TEMS belum sepenuhnya mendukung penguatan chain of survival pada pasien henti jantung diluar rumah sakit (OHCA) dengan bukti masih rendahnya angka panggilan darurat untuk pasien henti jantung. DAFTAR PUSTAKA Berg, R. a, Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M. F., … Swor, R. a. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122 (18 Suppl 3), S685–705. http://doi.org/ 10.1161/CIRCULATIONAHA.110.970939 Boyce, L. W., Vliet Vlieland, T. P. M., Bosch, J., Wolterbeek, R., Volker, G., van Exel, H. J., … Goossens, P. H. (2015). High survival rate of 43% in out-of-hospital cardiac arrest patients in an optimised chain of survival. Netherlands Heart Journal : Monthly Journal of the Netherlands Society of Cardiology and the Netherlands Heart Foundation, 23(1), 20–5. http://doi.org/10.1007/s12471-014-0617-x Cummins, R., Chamberlain, D. A., Abramson, N. S., Allen, M., Baskett, P. J., Becker, L., … Thies, W. H. (1991). AHA Medical / Scientific Statement Special Report Recommended Guidelines for Uniform Reporting of Data From Out-of-Hospital Cardiac Arrest : The Utstein Style A Statement for Health Professionals From a Task Force of the American Heart Association , the E. Circulation, 84(2). Fosbøl, E. L., Dupre, M. E., Strauss, B., Swanson, D. R., Myers, B., McNally, B. F., … Granger, C. B. (2014). Association of neighborhood characteristics with incidence of out-of-hospital cardiac arrest and rates of bystander-initiated CPR Implications for community-based education intervention - Resuscitation. Resuscitation, 85(11). http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/ j.resuscitation.2014.08.013
41
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Fukuda, T., Ohashi-Fukuda, N., Matsubara, T., Gunshin, M., Kondo, Y., & Yahagi, N. (2016). Effect of prehospital epinephrine on out-ofhospital cardiac arrest: a report from the national out-of-hospital cardiac arrest data registry in Japan, 2011--2012. European Journal of Clinical Pharmacology, 1–10. http://doi.org/10.1007/s00228016-2093-2 Hasegawa, M., Abe, T., Nagata, T., Onozuka, D., & Hagihara, A. (2015). The number of prehospital defibrillation shocks and 1-month survival in patients with out-of-hospital cardiac arrest. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 23, 34. http://doi.org/10.1186/s13049-015-0112-4 Herlitz, J., Holmberg, S., Engdahl, J., Svensson, L., & Young, M. (2004). Can we define patients with no chance of survival after out- ofhospital cardiac arrest ?¨, 1114–1119. http://doi.org/10.1136/hrt.2003.029348 Hock, M. O. E., Pin, P. P., & Alhoda, M. (2014). Pan-Asian Network Promotes Regional Cardiac Arrest Research. Emergency Physician International Journal. Keeffe, C. O. (2006). THE COSTS AND BENEFITS OF CHANGING AMBULANCE SERVICE RESPONSE TIME PERFORMANCE STANDARDS, (May). Kemenkes. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kim, N.-H., Yun, K. H., & Oh, S. K. (2010). Sudden Cardiac Death. Journal of the Korean Medical Association, 53(3), 214. http://doi.org/10.5124/jkma.2010.53.3.214 Lenjani, B., Baftiu, N., Pallaska, K., Hyseni, K., Gashi, N., Karemani, N., … Elshani, B. (2014). Cardiac arrest – cardiopulmonary resuscitation. Journal of Acute Disease, 3(1), 31–35. http://doi.org/10.1016/S2221-6189(14)60007-X Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V. K., … Donnino, M. W. (2015). Part 7: Adult Advanced Cardiovascular Life Support. Circulation, 132(18 suppl 2), S444– S464. http://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000261 Mani, G., Danasekaran, R., & Annadurai, K. (2014). Bystander cardiopulmonary resuscitation : Equipping communities to save lives. Program Health Science, 4(2), 190–194.
42
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Mathews, R., Peterson, E. D., Li, S., Roe, M. T., Glickman, S. W., Wiviott, S. D., … Wang, T. Y. (2011). Use of emergency medical service transport among patients with ST-segment-elevation myocardial infarction: findings from the National Cardiovascular Data Registry Acute Coronary Treatment Intervention Outcomes Network Registry-Get With The Guidelines. Circulation, 124(2), 154–63. http://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.002345 Ong, M. E. H., Shin, S. Do, Tanaka, H., Ma, M. H.-M., Khruekarnchana, P., Hisamuddin, N., … Khan, M. N. (2011). Pan-Asian Resuscitation Outcomes Study (PAROS): rationale, methodology, and implementation. Academic Emergency Medicine : Official Journal of the Society for Academic Emergency Medicine, 18(8), 890–7. http://doi.org/10.1111/j.1553-2712.2011.01132.x. Berg, R. a, Hemphill, R., Abella, B. S., Aufderheide, T. P., Cave, D. M., Hazinski, M. F., … Swor, R. a. (2010). Part 5: adult basic life support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation, 122(18 Suppl 3), S685–705. http://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.970939 Boyce, L. W., Vliet Vlieland, T. P. M., Bosch, J., Wolterbeek, R., Volker, G., van Exel, H. J., … Goossens, P. H. (2015). High survival rate of 43% in out-of-hospital cardiac arrest patients in an optimised chain of survival. Netherlands Heart Journal : Monthly Journal of the Netherlands Society of Cardiology and the Netherlands Heart Foundation, 23(1), 20–5. http://doi.org/10.1007/s12471-014-0617-x Cummins, R., Chamberlain, D. A., Abramson, N. S., Allen, M., Baskett, P. J., Becker, L., … Thies, W. H. (1991). AHA Medical / Scientific Statement Special Report Recommended Guidelines for Uniform Reporting of Data From Out-of-Hospital Cardiac Arrest : The Utstein Style A Statement for Health Professionals From a Task Force of the American Heart Association , the E. Circulation, 84(2). Fosbøl, E. L., Dupre, M. E., Strauss, B., Swanson, D. R., Myers, B., McNally, B. F., … Granger, C. B. (2014). Association of neighborhood characteristics with incidence of out-of-hospital cardiac arrest and rates of bystander-initiated CPR Implications for community-based education intervention - Resuscitation.
43
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Resuscitation, 85(11). http://doi.org/http://dx.doi.org/10.1016/ j.resuscitation.2014.08.013 Fukuda, T., Ohashi-Fukuda, N., Matsubara, T., Gunshin, M., Kondo, Y., & Yahagi, N. (2016). Effect of prehospital epinephrine on out-ofhospital cardiac arrest: a report from the national out-of-hospital cardiac arrest data registry in Japan, 2011--2012. European Journal of Clinical Pharmacology, 1–10. http://doi.org/10.1007/s00228016-2093-2 Hasegawa, M., Abe, T., Nagata, T., Onozuka, D., & Hagihara, A. (2015). The number of prehospital defibrillation shocks and 1-month survival in patients with out-of-hospital cardiac arrest. Scandinavian Journal of Trauma, Resuscitation and Emergency Medicine, 23, 34. http://doi.org/10.1186/s13049-015-0112-4 Herlitz, J., Holmberg, S., Engdahl, J., Svensson, L., & Young, M. (2004). Can we define patients with no chance of survival after out- ofhospital cardiac arrest ?¨,1114–1119. http://doi.org/10.1136/ hrt.2003.029348 Hock, M. O. E., Pin, P. P., & Alhoda, M. (2014). Pan-Asian Network Promotes Regional Cardiac Arrest Research. Emergency Physician International Journal. Keeffe, C. O. (2006). THE COSTS AND BENEFITS OF CHANGING AMBULANCE SERVICE RESPONSE TIME PERFORMANCE STANDARDS, (May). Kemenkes. (2013). Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kim, N.-H., Yun, K. H., & Oh, S. K. (2010). Sudden Cardiac Death. Journal of the Korean Medical Association, 53(3), 214. http://doi.org/10.5124/jkma.2010.53.3.214 Lenjani, B., Baftiu, N., Pallaska, K., Hyseni, K., Gashi, N., Karemani, N., … Elshani, B. (2014). Cardiac arrest – cardiopulmonary resuscitation. Journal of Acute Disease, 3(1), 31–35. http://doi.org/10.1016/S2221-6189(14)60007-X Link, M. S., Berkow, L. C., Kudenchuk, P. J., Halperin, H. R., Hess, E. P., Moitra, V. K., … Donnino, M. W. (2015). Part 7: Adult Advanced Cardiovascular Life Support. Circulation, 132(18 suppl 2), S444– S464. http://doi.org/10.1161/CIR.0000000000000261
44
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Mani, G., Danasekaran, R., & Annadurai, K. (2014). Bystander cardiopulmonary resuscitation : Equipping communities to save lives. Program Health Science, 4(2), 190–194. Mathews, R., Peterson, E. D., Li, S., Roe, M. T., Glickman, S. W., Wiviott, S. D., … Wang, T. Y. (2011). Use of emergency medical service transport among patients with ST-segment-elevation myocardial infarction: findings from the National Cardiovascular Data Registry Acute Coronary Treatment Intervention Outcomes Network Registry-Get With The Guidelines. Circulation, 124(2), 154–63. http://doi.org/10.1161/CIRCULATIONAHA.110.002345 Ong, M. E. H., Shin, S. Do, Tanaka, H., Ma, M. H.-M., Khruekarnchana, P., Hisamuddin, N., … Khan, M. N. (2011). Pan-Asian Resuscitation Outcomes Study (PAROS): rationale, methodology, and implementation. Academic Emergency Medicine : Official Journal of the Society for Academic Emergency Medicine, 18(8), 890–7. http://doi.org/10.1111/j.1553-2712.2011.01132.x Pitt, E., & Pusponegoro, a. (2005). Prehospital care in Indonesia. Emergency Medicine Journal : EMJ, 22(2), 144–7. http://doi.org/10.1136/emj.2003.007757 Proclemer, A., Dobreanu, D., Pison, L., Lip, G. Y. H., Svendsen, J. H., & Lundqvist, C. B. (2012). Current practice in out-of-hospital cardiac arrest management: a European heart rhythm association EP network survey. Europace : European Pacing, Arrhythmias, and Cardiac Electrophysiology : Journal of the Working Groups on Cardiac Pacing, Arrhythmias, and Cardiac Cellular Electrophysiology of the European Society of Cardiology, 14(8), 1195–8. http://doi.org/10.1093/europace/eus232 Razzak, J. A., & Kellermann, A. L. (2002). Emergency medical care in developing countries : is it worthwhile ? Bulletin of the World Health Organization, 80(01). Silvalila, M., Dradjat, R. S., & Haedar, A. (2014). Faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam memilih kendaraan untuk transportasi medis. Universitas Brawijaya. Supriadi, A., Dradjat, R. S., Haedar, A., & Setijowati, N. (2016). Faktorfaktor pra rumah sakit yang mempengaruhi kembalinya sirkulasi spontan pada pasien henti jantung di luar rumah sakit di Kota Malang. Universitas Brawijaya.
45
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Wasono, H. T. (2016). Tiru Amerika, RS Tulungagung Dipuji Menkes, Kenapa? TEMPO.CO. Wibrandt, I., Norsted, K., Schmidt, H., & Schierbeck, J. (2015). Predictors for outcome among cardiac arrest patients: the importance of initial cardiac arrest rhythm versus time to return of spontaneous circulation, a retrospective cohort study. BMC Emergency Medicine, 15, 3. http://doi.org/10.1186/s12873-015-0028-3 Yasunaga, H., Miyata, H., Horiguchi, H., Tanabe, S., Akahane, M., Ogawa, T., … Imamura, T. (2011). Population density, call-response interval, and survival of out-of-hospital cardiac arrest. International Journal of Health Geographics, 10(1), 26. http://doi.org/10.1186/1476-072X-10-26.
46
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
ANALISIS SISTEM INFORMASI FAKTOR RISIKO KECELAKAAN LALU LINTAS DI DINAS KESEHATAN KOTA MOJOKERTO Mukhammad H. Saputra1, Hari Basuki N.2 dan Chatarina U. W.3 1) Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Stikes Majapahit 2) Departemen Biostatistika Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga 3) Departemen Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Korespondensi :
[email protected] Abstrak Peningkatan jumlah kasus kecelakaan lalu lintas setiap tahunnya berbanding lurus dengan peningkatan masalah transportasi di Indonesia. Kota Mojokerto adalah salah satu kota dengan moblitias yang tinggi. Jumlah kecelakaan yang tercatat selama Januari hingga Februari 2016 terjadi 133 kasus kecelakaan dengan 37 korban meninggal dunia, seorang menderita luka berat, 142 korban mengalami luka ringan. Model pencegahan kecelakaan lalu lintas yang digagas oleh William Haddon Jr. memberikan gambaran bahwa pencegahan kecelakaan lalu lintas dapat dibagi menjadi 3 sekuens waktu dan 3 faktor penyebab yang digabungkan menjadi sebuah matriks, yang dikenal sebagai Haddon’s matriks. Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan analisis terkait sistem informasi faktor risiko yang sedang berjalan di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. Penelitian ini merupakan observational research, dimana peneliti menganalisis sistem informasi faktor risiko yang sedang berjalan saat ini. Penelitian dilakukan di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto mulai bulan Februari hingga Juli 2016. Data dikumpulkan dengan studi dokumen dan wawancara mendalam kepada informan. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, bahwa di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto tidak ditemukan sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas, dimana yang ada adalah kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus kecelakaan lalu lintas. Pengembangan sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas seharusnya dapat menjawab segala tantangan yang muncul dari masalah sistem informasi yang ada di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. Kata Kunci : Sistem informasi, kecelakaan lalu lintas, faktor risiko 47
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
A. PENDAHULUAN Keamanan jalan raya telah menjadi masalah yang sangat serius di hampir seluruh negara – negara di dunia. Peningkatan kepadatan jalan raya semakin meningkatkan jumlah kecelakaan di jalan raya yang mengakibatkan banyak kerugian materi, cidera, dan kematian (Stodola, 2008). Menurut teori Haddon, cedera dipengaruhi oleh faktor manusia (host), penyebab (agent) dan lingkungan (environment), yang terbagi dalam tiga fase dalam kejadian kecelakaan, pra kecelakaan, saat kecelakaan dan pasca kecelakaan. Faktor yang paling dominan adalah faktor manusia (host), dimana lebih dari 80% angka kejadian disebabkan oleh faktor manusia (Sahabudin et al., 2011). Karakteristik manusia sebagai host yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan antara lain : usia, pengalaman berkendara, dan perilaku minum – minuman beralkohol (Indriani & Indawati, 2006). Usia menjadi salah faktor yang mempengaruhi kecelakaan, sesuai dengan hasil analisis data yang dilakukan oleh Direktorat Jendral Perhubungan Darat menunjukkan bahwa pengemudi berusia 16 – 30 tahun adalah penyebab terbesar kecelakaan lalu lintas (Riandini et al., 2015). Perbedaan jenis kelamin dapat memberikan pengaruh dalam berkendara. Laki – laki dan perempuan memiliki perilaku yang berbeda dalam berkendara (Permanawati et al.,2010). Laki – laki lebih banyak beraktifitas di luar rumah untuk bekerja sehingga mempunyai risiko lebih tinggi mengalami cedera akibat kecelakaan lalu lintas (Riyadina & Permana, 2009). Jenis pekerjaan tertentu memiliki risiko untuk mengalami kecelakaan lebih besar daripada yang lain, pegawai swasta memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami kecelakaan dibandingkan dengan jenis pekerjaan yang lain. Hal ini dapat terjadi karena pegawai swasta umumnya memiliki mobilitas dan jam kerja yang tinggi sehingga dalam berkendara kadang-kadang dalam kondisi mengantuk atau untuk mempercepat waktu perjalanan agar cepat sampai tujuan (Permanawati et al.,2010). Jenis cedera yang dialami oleh korban memberikan gambaran akan seberapa besar dampak yang dimiliki oleh korban, dari sudut pandang beban ekonomis hal tersebut merupakan faktor yang berpengaruh terhadap produktifitas dan kualitas hidup korban pasca kejadian (Riyadina & Subik, 2007). Konsumi alkohol dan obat – obatan (pada korban kecelakaan jumlahnya masih sedikit, namun alkohol dalam tubuh akan menyebabkan penekanan pada sistem syaraf sehingga dapat mempengaruhi pusat pengendalian diri serta perubahan dalam menilai sesuatu atau dapat mengakibatkan ketidak mampuan untuk mengkoordinasikan visual scanning dan kemampuan 48
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
psikomotor, hal ini dapat menjadi faktor risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas. Penggunaan obat – obat tertentu (atau bahkan obat yang direkomendasi dokter) juga berpotensi menghilangkan kemampuan kontrol otak. Sehingga selain kesadaran hilang atau berkurang, kemampuan refleks juga merosot drastis (Riandini et al., 2015). Penggunaan helm / sabuk pengaman pada pengendara dapat mengurangi risiko cedera kepala, data dari WHO menyatakan bahwa pengendara sepeda motor yang menggunakan Helm yang aman dapat menurunkan risiko kematian hingga hampir 70% (WHO, 2015). Data di Polda Jawa Timur, triwulan terakhir menunjukkan terjadi hingga 5141 kecelakaan, dengan 1340 korban meninggal, 360 korban luka berat, dan 6621 korban mengalami luka ringan dengan kerugian lebih dari 7 milyar rupiah. Data dari Polres Mojokerto pada periode Januari – Februari 2016 terjadi 133 kasus kecelakaan lalu lintas dengan 37 korban meninggal dunia, 1 korban luka berat dan 142 korban luka ringan dengan total kerugian Rp. 83. 650.000,00. Perubahan Struktur Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) dalam tubuh Kementerian Kesehatan yang diatur dalam Permenkes No. 64 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementrian Kesehatan Kesehatan yang meniadakan subdit Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan dibawah Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang selama menaungi kegiatan surveilans Gakce, secara tidak langsung menyebabkan sistem surveilans yang selama ini dijalankan serta merta dihentikan karena tidak ada unit / bagian yang menerima laporan dari pencatatan dan pelaporan yang dilakukan pada tingkat puskesmas atau rumah sakit. Sistem informasi faktor risiko kecelakaan merupakan sistem yang diharapkan dapat menjadi solusi komprehensif yang digunakan dalam manajemen keamanan di jalan (Holder et al, 2004). Data yang dihasilkan sistem informasi dapat digunakan untuk kepentingan analisis dan dapat memberikan gambaran dari trend jalan keselamatan berkendara di jalan raya. Analisis jumlah absolut atau jumlah relatif kejadian kecelakaan lalu lintas dan konsekuensi yang muncul akibat dari kejadian tersebut dari waktu ke waktu merupakan bentuk evaluasi yang paling umum untuk melihat kecenderungan keselamatan berkendara di jalan raya oleh masyarakat (Stodola, 2008).
49
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 B.
METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah penelitian Observasional. Penelitian ini melakukan pengamatan terhadap sistem informasi yang sedang berjalan. Lokasi dan waktu Penelitian adalah di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, pada bulan Februari hingga Juli 2016. Unit penelitian dalam penelitian ini adalah Bidang Surveilans di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. Sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas akan melibatkan beberapa unit penelitian yang akan saling berinteraksi. Informan pada penelitian ini adalah : Kepala P2 DKK Mojokerto, petugas pelaporan di Puskesmas, petugas rekam medis di Rumah Sakit, dan perawat jaga di IGD / UGD Puskesmas dan Rumah Sakit. C. HASIL 1. Deskripsi Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan lalu lintas di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto berdasarkan Komponen Input, Proses, dan Output Indentifikasi sistem informasi Faktor resiko kecelakaan lalu lintas di dinas kesehatan kota Mojokerto diuraikan berdasarkan komponen sistem (input, proses, dan output) sebagai berikut : a. Input 1) Data Data yang digunakan dalam sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto adalah data jumlah korban kecelakaan yang tercatat dan terlaporkan setiap bulan ke dinas kesehatan dimana data jumlah kecelakaan yang tersedia ini tidak dibedakan dengan pelaporan lainnya, tetapi disatukan dengan pelaporan kasus penyakit lain yang ada di pelaporan rawat jalan maupun rawat inap di puskesmas dan rumah sakit. Data korban secara spesifik tersimpan dalam rekam medik pasien dan tidak dilaporkan pada dinas kesehatan. Data jumlah korban / pasien kecelakaan yang dilaporkan kepada dinas kesehatan bersumber dari pencatatan yang dilakukan baik puskesmas maupun rumah sakit dan dilaporkan melalui Laporan kunjungan perawatan dimana data ini hasil dari pencatatan rekam medik di Unit Gawat Darurat yang ada di Puskesmas atau rumah sakit. Data faktor risiko kecelakaan 50
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
2)
3)
b.
lalu lintas tidak ada karena memang tidak ada format khsusus untuk pengumpulannya. Sumber Daya Manusia Jumlah petugas yang terkait dengan proses pencatatan korban kasus kecelakaan adalah perawat yang berjaga di UGD, petugas Rekam Medik dan petugas yang melaporkan ke Dinas Kesehatan. Jumlah perawat yang menangani kasus kecelakaan dalam setiap shift ada 2-3 orang perawat jaga. Petugas rekam medis belum ada di puskesmas, yang bertugas di sana adalah petugas loket yang juga diperbantukan untuk mengelola rekam medik. Sedangkan di rumah sakit sudah ada unit rekam medis tersendiri. Di Dinas Kesehatan, petugas surveilans berjumlah 2 orang yang dikepalai oleh kepala bidang Sarana
Sistem pencatatan dan pelaporan kecelakaan faktor risiko kecelakaan di puskesmas dan rumah sakit tidak terdapat format pencatatan khusus pada korban kecelakaan lalu lintas. Form yang tersedia di UGD adalah form rekam medis untuk pasien yang datang di UGD secara umum. Sistem pencatatan dan pelaporan di didukung oleh sistem informasi rumah sakit (SIMRS) atau SIMPUS yang sudah terintegrasi dengan Dinas Kesehatan. 4) Metode Tidak ditemukan SOP terkait sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, yang ada adalah SOP terkait pencatatan dan pelaporan pasien yang masuk di ruang perawatan di UGD. Korban KLL yang datang akan dicatat menggunakan form pencatatan saat korban datang ke UGD. Proses 1) Pengumpulan data Pengumpulan data kasus kecelakaan dan faktor risiko kecelakaan lalu lintas tidak dilakukan di dinas kesehatan, adapun pengumpulan data yang dilakukan adalah pengumpulan data terkait data rekam medis pasien yang masuk di ruang UGD Puskesmas maupun rumah sakit. Data 51
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
c.
tersebut direkap oleh perawat ke dalam SIMPUS / SIMRS yang pelaporan nya langsung dapat di akses oleh bagian yang melaporkan ke Dinas Kesehatan. 2) Kompilasi data Proses kompilasi data kasus kecelakaan maupun faktor risiko kecelakaan di dinas kesehatan tidak dijalankan. Data yang dikompilasi adalah data pasien rawat jalan maupun rawat inap di puskesmas dan rumah sakit. 3) Pengolahan dan Analisa Data Pengolahan dan Analisa data faktor risiko kecelakaan lalu lintas tidak dilakukan oleh puskesmas, adapun data yang diolah adalah data hasil pengumpulan rekap yang dilaporkan oleh perawat di UGD. 4) Interpretasi Data Bentuk data yang diinterpretasi adalah data jumlah kesakitan terbanyak berdasarkan jumlah kunjungan yang tercatat di rekam medis. Interpretasi jumlah kunjungan pasien rawat jalan di UGD dimana salah satunya adalah kasus KLL yang terjadi di Kota Mojokerto. Data faktor risiko kecelakaan tidak dilakukan interpretasi data Output 1) Informasi Epidemiologi Bentuk data yang diinterpretasi adalah data jumlah kesakitan terbanyak di puskesmas berdasarkan jumlah kunjungan yang tercatat di rekam medis puskesmas. Interpretasi jumlah kunjungan pasien rawat jalan di UGD dimana salah satunya adalah kasus KLL yang terjadi di Kota Mojokerto. Data faktor risiko kecelakaan tidak dilakukan interpretasi data 2) Diseminasi Informasi Penyebar luasan informasi sebagai hasil pengolahan dan analisa data dilakukan oleh dinas kesehatan setiap bulan. Namun, diseminasi tersebut tidak terkait secara khusus dengan faktor risiko kecelakaan lalu lintas.
52
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
D. PEMBAHASAN 1. Sistem Informasi Faktor Risiko Kecelakaan Lalu Lintas di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto Program pencatatan dan pelaporan merupakan kegiatan wajib dalam lingkungan dinas kesehatan, tidak terkecuali di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. Pencatatan dan pelaporan kasus kecelakaan dilakukan oleh dinas kesehatan dengan data yang berasal dari pukesmas dan rumah sakit yang ada di wilayah Dinas Kesehatan Kota Mojokerto. Pencatatan dan pelaporan kasus kecelakaan yang dilakukan oleh DKK Mojokerto yang sedang berjalaan saat ini hanya mencatat data jumlah kasus kecelakaan dan tidak dilakukan pencatatan dan pelaporan faktor risiko kecelakaan lalu lintas, sehingga sistem informasi faktor risiko kecelakaan belum terdapat di DKK Mojokerto. Deskripsi sistem pada sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto dilakukan berdasarkan komponen input, proses dan output. Pada komponen input jenis data faktor risiko kecelakaan yang tersedia adalah data usia, jenis kelamin, jenis pekerjaan korban, sedangkan data faktor risiko lainnya tidak tersedia. Sumber data pencatatan dan pelaporan yang sedang berjalan adalah hasil pencatatan rekam medik terkait data laporan kunjungan pasien rawat jalan di UGD Puskesmas dan IGD RS. Sumber daya manusia dalam sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas, dari segi kuantitas dan kualitas tidak terdapat tenaga yang mencatat dan melaporkan data faktor risiko kecelakaan. Selama ini yang sedang berjalan, kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus kecelakaan dilakukan oleh petugas rekam medis. Komponen proses pada sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas meliputi kegiatan pengumpulan data, kompilasi, pengolahan dan analisis data , interpretasi data tidak ditemukan kegiatan yang dikhususkan pada sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas. Kegiatan pada komponen proses yang sedang berjalan saat ini adalah untuk kegiatan pencatatan dan pelaporan kasus KLL yang masuk di ruang gawat darurat puskesmas maupun rumah sakit (Dirjen PP&PL, 2008). Komponen output pada sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas yang sedang berjalan saat ini menghasilkan laporan jumlah kasus kecelakaan. Namun untuk faktor risiko yang 53
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
lainnya belum dapat ditemukan dalam output sistem yang sedang berjalan. Berdasarkan analisis sistem pada program pencatatan dan pelaporan KLL di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, diidentifikasi beberapa masalah pada komponen input, proses, dan output. Pada komponen input, karena sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas belum dilakukan maka jenis data yang dibutuhkan tidak semuanya dapat diidentifikasi. Selain itu untuk petugas pelaporan dan pencatatan tidak terdapat petugas khusus untuk pencatatan dan pelaporan faktor risiko kecelakaan lalu lintas. Form pengumpulan data juga menjadi masalah karena tidak ada sama sekali form untuk mengumpulkan data faktor risiko kecelakaan lalu lintas. Termasuk SOP pengumpulan data faktor risiko kecelakaan lalu lintas juga tidak ada. Masalah komponen proses dalam sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas adalah tidak dilakukannya pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data. Hal ini dikarenakan tidak ada form khusus untuk mengumpulkan data faktor risiko dan SOP untuk mengatur itu juga tidak ada, sehingga data faktor risiko kecelakaan lalu lintas yang seharusnya dapat dikumpulkan kemudian dilakukan pengolahan dan analisis data lalu interpretasi data tidak dilakukan. Pada komponen output, selain diseminasi informasi secara internal yakni berupa pelaporan tiap bulan pada level yang lebih tinggi, juga secara horizontal pada masyarakat secara umum dan pada instansi terkait secara khusus. Umpan balik juga diperlukan setidaknya untuk memberikan masukan kepada pemegang program dan komponen sistem di bawahnya (Dirjen PP&PL, 2008). Pada sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas informasi faktor risiko tidak ada, setidaknya dari sistem pencatatan dan pelaporan yang berjalan, dilakukan hanya pelaporan secara vertical namun tidak dengan model diseminasi horizontal. Begitu juga dengan umpan balik, menurut salah satu informan di rumah sakit tidak pernah dilakukan umpan balik atas kinerja dari rekam medis yang mengumpulkan data dan mengolah data. Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2013 tentang Program dekade aksi keselamatan jalan terdapat lima pilar sebagai dasar program pelaksanaan program tersebut. Pilar pertama, yaitu manajemen 54
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
kesehatan dan keselamatan jalan, kegiatan pada pilar pertama dikoordinasikan oleh Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional.. Pilar kedua yaitu jalan yang berkeselamatan, dimana Menteri Pekerjaan Umum bertanggung jawab untuk menyediakan infrastruktur jalan yang lebih berkeselamatan dengan melakukan perbaikan mulai tahap perencanaan, desain, konstruksi dan operasional jalan. Pilar Ketiga yaitu Kendaraan yang berkeselamatan, dimana Menteri Perhubungan yang bertanggung jawab untuk memastikan bahwa setiap kendaraan yang digunakan di jalan telah memenuhi standar keselamatan. Pilar empat yaitu Perilaku pengguna jalan yang berkeselamatan, pada pilar ini Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang bertanggung jawab untuk memperbaiki perilaku pengguna jalan melalui pendidikan keselamatan berlalu lintas, meningkatkan kualitas sistem uji surat izin mengemudi dan penegakan hukum di jalan serta mengembangkan sistem pendataan kecelakaan lalu lintas. Pilar lima yaitu penanganan pra dan pasca kecelakaan, dimana Menteri Kesehatan untuk Pilar lima, yang bertanggung jawab meningkatkan penanganan pra kecelakaan meliputi promosi dan peningkatan kesehatan pengemudi pada keadaan/situasi khusus dan penanganan pasca kecelakaan dengan Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Berdasarkan Instruksi Presiden di atas, maka perlu dilakukan suatu pengembangan sistem informasi terkait faktor risiko kecelakaan lalu lintas, dimana tujuan dari pengembangan sistem ini adalah dalam rangka promosi dan peningkatan kesehatan pada pengemudi. Penyebarluasan informasi yang dapat diakses oleh keseluruhan masyarakat menjadi salah satu fokus dalam pengembangan sistem informasi faktor risiko. Informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas yang selama ini tidak tersedia, sudah seharusnya mulai dikumpulkan. Program – program pencegahan dan promosi kecelakaan lalu lintas yang selama ini berjalan akan berjalan lebih berhasil dalam pelaksanaannya jika ditunjang dengan ketersediaan informasi yang adekuat terkait faktor risiko yang menyebabkan kejadian kecelakaan lalu lintas bagi pengguna jalan. Program pencatatan dan pelaporan faktor risiko kecelakaan sebenarnya sudah dapat dilakukan dengan baik, namun hal ini belum dapat dilakukan karena belum ada aturan untuk hal tersebut, oleh karena itu dinas kesehatan perlu untuk membuat aturan tertulis terkait sistem informasi faktor risiko 55
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
kecelakaan lalu lintas sehingga setiap fasilitas kesehatan di wilayah Dinas Kesehatan Kota Mojokerto bersama – sama mengumpulkan data faktor risiko kecelakaan lalu lintas. Berdasarkan analisis sistem pada program pencatatan dan pelaporan KLL di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto, diidentifikasi beberapa masalah pada komponen input, proses, dan output, seperti pada tabel 1 berikut: Tabel 1. Masalah sistem informasi yang sedang berjalan Komponen Sistem Masalah 1 Input a Data Tidak ditemukan data dan sumber data terkait faktor risiko kecelakaan di DKK Mojokerto b SDM Tidak ada petugas khusus yang menangani pencatatan dan pelaporan farktor risiko kecelakaan lalu lintas c Sarana Format pelaporan tidak ditemukan beserta buku panduan. d Metode Tidak terdapat SOP terkait pencatatan dan pelaporan faktor risiko kecelakaan. 2 Proses a Pengumpulan Data fr. KLL tidak dikumpulkan secara khusus. b Kompilasi Tidak ada kompilasi data pada data faktor risiko korban kecelakaan. c Pengolahan & Tidak ditemukan pengolahan atau analisis data analisis data terkait faktor risiko kecelakaan lalu lintas. d Interpretasi data Tidak terdapat hasil interpretasi berupa data faktor risiko kecelakaan lalu lintas 3 Output a Informasi yang Tidak ada informasi mengenai faktor risiko dihasilkan kecelakaan lalu lintas b Deisminasi Penyebarluasan informasi mengenai informasi informasi dan faktor risiko kecelakaan sebagai hasil umpan balik pencatatan dan pelaporan faktor risiko kecelakaan belum ada di DKK Mojokerto.
56
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Berdasarkan tabel di atas, maka dapat disimpulkan perlu adanya pengembangan sistem informasi faktor risiko keeclakaan lalu lintas yang memuat informasi terkait faktor risiko kecelakaan lalu lintas berdasarkan data dari hasil pencetatan dan pelaporan korban kecelakaan lalu lintas di RS maupun Puskesmas. Program penganggulangan penyakit tidak menular yang sedang berjalan di Kementrian Kesehatan salah satunya adalah surveilans penyakit tidak menular dimana salah satu data yang dikumpulkan adalah data tentang kecelakaan. Hal ini menjadikan hasil pengembangan sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas nantinya dapat diintegrasikan dalam surveilanspenyakit tidak menular. Kegiatan pemeriksaan pengemudi angkutan umum (supir bus, lyn, taxi) di terminal – terminal beberapa menjelang hari raya Lebaran juga kegiatan yang rutin dilakukan oleh dinas kesehatan setiap tahun sekali. Pemeriksaan ini dengan tujuan untuk menekan kecelakaan yang terjadi selama musim mudik lebaran. Faktor risiko yang diperiksa antaralain: tekanan darah, gula darah, alkohol pernafasan, dan amphetamine urine. Kegiatan ini nantinya juga akan dapat diintegrasikan dengan sistem informasi yang akan dikembangkan, dimana nantinya pemeriksaan ini menjadi data dasar untuk identifikasi faktor risiko sebelum terjadinya kecelakaan lalu lintas pada pengendara / pengemudi angkutan massal. E. 1.
PENUTUP Simpulan Sistem informasi faktor risiko kecelakaan lalu lintas saat ini di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto tidak ditemukan sistem informasi, yang ada adalah sistem pencatatan dan pelaporan kasus kecelakaan lalu lintas, meliputi komponen input, proses dan output. Berdasarkan hasil analisis kebutuhan data dan informasi, ditambahkan : data ID Kasus KLL, ID Korban KLL, ID Instansi, data usia korban KLL, data jenis kelamin korban KLL, data jenis pekerjaan korban KLL, data jenis cedera korban KLL, data konsumsi alkohol, data konsumsi obat, data penggunaan helm/safety belt, data jumlah korban KLL, dan data jumlah korban KLL MD.
57
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 2.
Saran Perlu dikembangkan sebuah sistem informasi faktor risiko kecelakaan di Dinas Kesehatan Kota Mojokerto sebagai langkah kongkrit dinas kesehatan dalam melihat kasus kecelakaan yang terjadi sebagai masalah kesehatan.
DAFTAR PUSTAKA Departemen Perhubungan. (2006) Penyusunan Rencana Umum Keselamatan Transportasi Darat. Holder Y, Peden M, Krug E, (2004) Injury surveillance guidelines. Geneva: World Health Organization. Indriani, D. & Indawati, R., (2006). Model Hubungan dan Estimasi Kecelakaan Lalu lintas. Berita Kedokteran Masyarakat, 22(3), pp.100–106. Jogiyanto. H.M, (2009). Sistem Teknologi Informasi. Andi Offset. Yogyakarta. Permanawati, Tyas, Harnen S., Achmad W., (2010) Model Peluang Kecelakaan Sepeda Motor Berdasarkan Karakteristik Pengendara. Jurnal Rekayasa Sipil. 4(3), pp 185 – 194. Riyadina, W. & Permana, M., (2009) Pola dan Determinan Sosiodemografi Cedera Akibat Kecelakaan Lalu Lintas di Indonesia. Health Sciences Indonesia, 2(1), pp.34–40 Riyadina, W. & I. P. Subik, (2007) Profil Keparahan Cedera Pada Korban Kecelakaan di Instalasi Gawat Darurat RSUP Fatmawati. Universa Medicina. 26(2), pp 64-72 Riandini, I. L., Rika S., & Amel Y., (2015) Gambaran Luka Korban Kecelakaan Lalu Lintas yang dilakukan Pemeriksaan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 4(2), pp 502 – 508. Republik Indonesia, (2009) Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Stodola, J., (2008) Traffic Accidents Information System And Risk Crash Evaluation. Reliability & Risk Analysis: Theory & Applications (R&RATA), 1, pp.78–85. WHO, (2015) Global Status Report on Safety Road 2015. Geneva : World Health Organization.
58
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
HUBUNGAN KONDISI RUMAH SEHAT DENGAN FREKUENSI SESAK PADA PENDERITA TUBERKULOSIS PARU DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS UJUNGPANGKAH KABUPATEN GRESIK Abdul Muhith Dosen Program Studi S1 Ilmu Keperawatan Stikes Majapahit Korespondensi :
[email protected] Abstrak Di Indonesia tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis paru di Indonesia merupakan ke -3 terbanyak di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10 % dari total jumlah pasien tuberkulosis paru didunia. Tujuan penelitian adalah menganalisis hubungan kondisi rumah sehat dengan frekuensi sesak pada penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Desain penelitian ini adalah analitik korelasional dengan pendekatan Cross Sectional.Variabel Bebas adalah Kondisi Rumah Sehat yang terdiri dari: Kepadatan Hunian, Ventilasi, Jenis Lantai, Pencahayaan, Suhu, dan Kelembaban, sedangkan Variabel Tergantung adalah Frekuensi sesak pada Pasien Tuberkulosis Paru. Sampel yang digunakan sebanyak 76 orang. Analisis data menggunakan chi-square. Hasil analisis disimpulkan bahwa bahwa kondisi rumah sehat yang berhubungan dengan frekuensi sesak pada pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik adalah faktor kepadatan hunian (p= 0,031), ventilasi (p= 0,046), Jenis lantai (p= 0,025), pencahayaan (p= 0,004), dan suhu (p= 0,015), sedangkan faktor yang tidak mempunyai hubungan dengan frekuensi sesak adalah faktor kelembaban (p= 0,053). Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Ujung Pangkah Kabupaten Gresik perlu mengupayakan kesehatan lingkungan perumahan dengan memodifikasi desain rumah agar sistem sirkulasi udara atau ventilasi dapat memenuhi syarat kesehatan sehingga memperkecil untuk terjadinya kejadian tuberkulosis paru Kata kunci: Rumah sehat, Tuberkulosis, Frekuensi sesak
59
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 Abstract
In Indonesia, pulmonary tuberculosis is a major public health problem. The number of patients with pulmonary tuberculosis in Indonesia is to -3 in the world after India and China, the number of patients approximately 10% of the total number of patients with pulmonary tuberculosis in the world. The purpose of this research is to analyze the relationship healthy housing conditions with frequency in patients with pulmonary tuberculosis tightness in Puskesmas Ujungpangkah Gresik. This study design is analytic cross sectional correlational approach. Variables are Healthy Homes condition consisting of: Density Residential, Ventilation, Floor type, lighting, temperature, and humidity, while Variable Frequency Depending was packed on Tuberculosis Patients. The sample used by 76 people. Data analysis using chi-square. The results of the analysis concluded that that healthy housing conditions related to the frequency of spasms in patients with tuberculosis in Puskesmas Ujungpangkah Gresik was a factor of population density (p = 0.031), ventilation (p = 0.046), floor type (p = 0.025), lighting ( p = 0.004), and temperature (p = 0.015), while factors not related to the frequency of tightness is the humidity factor (p = 0.053). For the people who reside in Puskesmas Ujungpangkah Gresik needs to seek housing environmental health by modifying the design of the house so that air circulation or ventilation systems can qualify for the health and potentially reduce the incidence of pulmonary tuberculosis Keywords: Healthy home, Tuberculosis, Frequency tightness A. PENDAHULUAN Tuberkulosis paru adalah merupakan penyakit menular yang menjadi masalah kesehatan di dunia karena Mycobacterium tuberculosis telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Di Indonesia tuberkulosis paru merupakan masalah utama kesehatan masyarakat. Jumlah pasien tuberkulosis paru di Indonesia merupakan ke -3 terbanyak di dunia setelah India dan China dengan jumlah pasien sekitar 10 % dari total jumlah pasien tuberkulosis paru didunia. Insiden kasus tuberkulosis paru BTA Positif sekitar 110 per 100.000 penduduk. Di Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik angka kejadian tuberkulosis paru dua tahun terakhir menunjukkan penambahan penderita tuberkulosis paru positif dari tahun 2014 sebanyak 60
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
88 kasus, menjadi 93 kasus pada bulan Januari sampai dengan Oktober 2015. Penyebab terjadinya penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia. Bakteri Mycobacterium tuberculosis seperti halnya bakteri lain pada umumnya akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80 % volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri patogen termasuk tuberkulosis. Menurut Blum dalam Notoadmojo (2013), faktor-faktor yang mempengaruhi derajat kesehatan antara lain adalah faktor lingkungan, prilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang memberikan pengaruh besar terhadap status kesehatan penghuninya. Lingkungan rumah merupakan salah satu faktor yang berperan dalam penyebaran kuman tuberkulosis. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1 – 2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga berminggu-minggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah. (Notoatmodjo, 2007) . Rumah adalah sebagai tempat tinggal yang memenuhi ketetapan atau ketentuan teknis kesehatan yang wajib dipenuhi dalam rangka melindungi penghuni rumah dari bahaya atau gangguan kesehatan, sehingga memungkinkan penghuni memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan berisiko menjadi sumber penularan berbagai jenis penyakit. Oleh karena itu, Standar arsitektur bangunan perumahan umum pada dasarnya ditujukan untuk menyediakan rumah tinggal yang cukup baik dalam bentuk desain, letak dan luas ruangan serta fasilitas lainnya agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga atau dapat memenuhi persyaratan rumah tinggal yang sehat. Rumah atau tempat tinggal yang tidak memenuhi syarat kesehatan dapat mendukung terjadinya penyakit dan berbagai gangguan kesehatan seperti infeksi saluran pernapasan, penularan penyakit tuberkulosis infeksi pada kulit, infeksi akibat infestasi tikus dan kecelakaan mental (Chandra, 2007).
61
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kondisi rumah sehat dengan frekuensi sesak pada penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujung Pangkah Kabupaten Gresik tahun 2015. B.
METODE PENELITIAN Desain penelitian ini adalah analitik korelasional dengan menggunakan pendekatan Cross Sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien TB yang terekam di Puskesmas Ujungpangkah Kebupaten Gresik dari bulan Januari sampai dengan Nopember 2015 sejumlah 93 orang. Teknik sampling yang digunakan adalah Simple Random Sampling (Sugiyono, 2013). Besarnya sampel dihitung menggunakan formula n = Jadi besarnya sampel adalah 76 orang (Nursalam, 2014). Tempat penelitian ditetapkan di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kebupaten Gresik. Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember 2015. Analisis Data menggunakan: 1) Univariat Analisis yang bertujuan untuk mendeskripsikan semua variabel (karakteristik rumah dan frekuensi sesak) yang di sajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi, 2) Bivariat Menjelaskan dan menganalisa dua variabel (variabel independent yaitu karakteristik rumah, dan variabel dependent yaitu frekuensi sesak pasien tuberkulosis paru) Untuk membuktikan ada atau tidaknya hubungan di gunakan uji chi-square (X2). Tabel 1. Definisi Operasional Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Frekuensi sesak pada Pasien Tuberkulosis Paru Di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kebupaten Gresik. Definisi Variabel Skor Alat ukur Skala Data Operasional Kepadatan Kepadatan Kriteria : Lembar Nominal hunian hunian adalah 1. Tidak baik : observasi/ (X1) perbandingan ± 8 m2 >2 orang Checklist t jumlah 2. Baik : penghuni ± 8 m2 =2 orang dengan luas ruangan. 62
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 Variabel Ventilasi (X2)
Definisi Operasional Ventilasi adalah persentase antara lubang ventilasi tetap dan lubang ventilasi tidak tetap dari luas lantai yaitu 10% dari luas ruangan.
Skor
Kriteria : 1. Tidak baik : tidak ada atau luas lubang ventilasi tetap kurang dari 10% dari luas lantai. 2. Baik : luas lubang ventilasi tetap dan tidak tetap 10% dari luas lantai. Jenis lantai Jenis lantai Kriteria : (X3) yang baik 1. Tidak baik : yang adalah lantai terbuat lantai kedap dari tanah dan air dan mudah papan/anyaman dibersihkan bambu dekat. dengan tanah plesteran yang retak dan berdebu. 2. Baik : lantai diplester/ ubin/keramik Pencahayaan Pencahayaan Kriteria : (X4) rumah adalah 1. Tidak Baik : banyaknya Pencahayaan < cahaya matahari 60 Lux yang jatuh pada 2. Baik : luas permukaan. Pencahayaan ≥ 60 Lux 63
Alat ukur Skala Data Lembar Nominal observasi/ Checklist t
Lembar Nominal observasi/ Checklist t
Lembar Nominal observasi/ Checklist t
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 Variabel Suhu (X5)
Definisi Skor Operasional Suhu adalah Kriteria : ukuran panas 1. Tidak baik : dinginnya suhu >300C ruangan yang 2. Baik : dinyatakan Suhu 18-300C dalam besaran yang tercantum di Thermometer.
Kelembaban Kelembaban (X6) adalah persentase air yang banyak diudara pada suatu ruangan berdasarkan hygrometer/ humidity. (Y): Frekuensi sesak pada Pasien Tuberkulosis
Kriteria : 1. Tidak baik : Kelembaban > 70% 2. Baik : Kelembaban = 40-70%
Jumlah rata-rata Kriteria : munculnya 1. Jarang : gejala sesak Frekuensi < 2 nafas pada kali penderita 2. Sering : tuberkulosis Frekuensi ≥ 2 paru dalam satu kali bulan
64
Alat ukur Skala Data Lembar Nominal observasi/ Checklist t
Lembar Nominal observasi/ Checklist t
Lembar Nominal observasi/ Checklist t
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
C. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kepadatan Hunian di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015. No. Kepadatan Hunian Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 47 61,8 2. Baik 29 38,2 Jumlah 76 100 Tabel 2. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Ventilasi di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015. No. Ventilasi Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 40 52,6 2. Baik 36 47,4 Jumlah 76 100 Tabel 3. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Jenis lantai di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015 No. Jenis lantai Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 29 38,2 2. Baik 47 61,8 Jumlah 76 100 Tabel 4. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Pencahayaan di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015 No. Pencahayaan Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 49 64,5 2. Baik 27 35,5 Jumlah 76 100
65
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 5. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Suhu di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015 No. Suhu Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 34 44,7 2. Baik 42 55,3 Jumlah 76 100 Tabel 6. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Kelembaban di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015 No. Kelembaban Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Tidak Baik 37 48,7 2. Baik 39 51,3 Jumlah 76 100 Tabel 7. Distribusi Frekuensi Responden berdasarkan Frekuensi Sesak di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Tahun 2015 No. Frekuensi Sesak Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Jarang 47 61,8 2. Sering 29 38,2 Jumlah 76 100 Tabel 8. Hasil analisis Regresi Logistik Hubungan Kondisi Rumah Sehat Dengan Prekuensi Sesak Pada Pasien Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik No Variabel β p value P Keterangan 1 Kepadatan -2.788 0,031 p<0,05 Signifikan Hunian 2 Ventilasi -2.566 0,046 p<0,05 Signifikan 3 Jenis lantai -3.689 0,025 p<0,05 Signifikan 4 Pencahayaan -5.146 0,004 p<0,05 Signifikan 5 Suhu -3.423 0,015 p<0,05 Signifikan 6 Kelembaban 0,240 0,053 p>0,05 Tidak Signifikan 66
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
D. PEMBAHASAN 1. Kondisi Rumah Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Kepadatan Hunian dirumahpada pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik sebagian besar dalam kategori Tidak Baik yaitu sebanyak 47 orang (61,8%). Kepadatan hunian berkaitan dengan luas luas lantai rumah yang harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. hal ini dilakukan untuk memperkecil kontak penularan penyakit tuberkulosis paru kepada anggota keluarga. Sebab semakin padat jumlah penghuni maka semakin cepat penularan terjadi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keberadaan Ventilasi dirumahpasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresikdiketahui bahwa sebagian besar dalam kategori Tidak Baik yaitu sebanyak 40 orang (76,6%). Luas penghawaan atau ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai.Kondisi ventilasi sangat mempengaruhi sirkulasi udara dan mengencerkan kuman tuberkulosis paru yang terbawa keluar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keberadaan Jenis lantai dirumahpasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik diketahui bahwa sebagian besar dalam kategori Baik yaitu sebanyak 47 orang (61,8%). Selain itu faktor prilaku penghuni dalam membersihkan lingkungan rumah yang salah satunya adalah lantai juga sangat mempengaruhi penyebab penyakit tuberkulosis paru. Jenis lantai yang terbuat dari tanah merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mycobacterium tuberculosis.Jenis lantai yang tidak baik bisa saja menjadi penyebab tidak langsung penyebab penyakit tuberkulosis paru, kondisi ekonomi lemah misalnya adalah salah satu faktor keluarga untuk tidak memplester lantai rumah mereka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keberadaan Pencahayaan dirumahpasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik diketahui bahwa lebih dari separuhnyadalam kategori Tidak Baik yaitu sebanyak 49 orang (64,5%). Artinya bahwa sebagian besar responden pencahayaan di rumahnya kurang memenuhi persyaratan rumah sehat. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh ada atau tidaknya ventilasi ataupun jendela sehingga memungkinkan cahaya matahari masuk kedalam rumah untuk 67
Vol 8. No. 2, September 2016
2.
3.
MEDICA MAJAPAHIT
membunuh kuman tuberkulosis.Pencahayaan alam dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat menerangi seluruh ruangan minimal intensitasnya 60 lux dan tidak menyilaukan mata. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan keberadaan Suhu dirumahpasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik bahwa lebih dari separuh dalam kategori Baik yaitu sebanyak 55 orang (55,3%). Faktor pemicu yang dapat meningkatkan suhu didalam rumah yaitu, sistem sirkulasi udara dan kepadatan hunian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Kelembaban dirumah pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresikdiketahui bahwa lebih dari separuhnya dalam kategori Baik yaitu sebanyak 39 orang (51,3%). Faktor yang menyebabkan tingginya kelembaban di rumah reponden, misalnya jenis lantai, jenis dinding, pencahayaan, dan ventilasi. Frekuensi Sesak Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan Frekuensi Sesak sebagian besar responden dalam kategori Jarang yaitu sebanyak 47 orang (61,8%). Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh infeksi kuman (basil). Salah satu gejala klinis tuberkulosis paru adalah terjadinya sesak napas; dijumpai jika proses penyakit sudah lanjut dan terdapat kerusakan paru yang cukup luas. Hubungan antara Kepadatan Hunian dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = -2.788 dan p = 0,031(p<0,05), maka dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Kepadatan Hunian dengan Frekuensi Sesak pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Ukuran luas ruangan suatu erat kaitannya dengan kejadian tuberkulosis paru. Disamping itu asosiasi pencegahan tuberkulosis paru Bradbury mendapat kesimpulan secara statistik bahwa kejadian tuberkulosis paru paling paling besar diakibatkan oleh keadaan rumah yang tidak memenuhi syarat pada luas ruangannya. Menurut Soemirat (2010) luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni didalamnya, artinya luas lantai bangunan 68
Vol 8. No. 2, September 2016
4.
MEDICA MAJAPAHIT
rumah tersebut harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak sehat sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila salah satu anggota keluarga penyakit infeksi, akan mudah menular kepada anggota keluarga lain. Kepadatan penghuni sangat mempengaruhi penularan penyakit tuberkulosis paru. Karena penyakit tuberkulosis paru adalah salah satu penyakit menular yang dapat dipindahkan melalui udara. Semakin padat penghuni maka akan semakin cepat penularan terjadi. Jika rumah tidak padat penghuni maka sirkulasi udara menjadi lancar sehingga pasien dan anggota keluarga yang lain bisa menjaga penularan tuberkulosis paru. Kepadatan penghuni juga dapat berdampak pada munculnya gejala klinis penderita TB Paru yaitu munculnya sesak nafas. Hubungan antara Ventilasi dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = -2.566 dan p = 0,046(p<0,05), maka dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Ventilasi dengan Frekuensi Sesak pada pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Menurut Achmadi (2010) ventilasi bermanfaat bagi sirkulasi pergantian udara dalam rumah serta mengurangi kelembaban didalam ruangan. Salah satunya yang mempengaruhi kelembaban adalah keringat manusia, semakin banyak manusia dalam satu ruangan maka semakin tinggi kelembaban ruangan tersebut. Ventilasi mempengaruhi proses dilusi udara, juga dengan kata lain mengencerkan konsentrasi kuman tuberkulosis dan kuman lain, terbawa keluar dan mati terkena sinar ultraviolet. Menurut Azwar (2009) ventilasi berfungsi untuk membebaskan udara dari bakteri-bakteri terutama tuberkulosis. Luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangnya proses pertukaran udara dan sinar matahari ke dalam rumah akibatnya kuman tuberkulosis yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥ 10% luas lantai rumah. Dari hasil dan beberapa penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa ventilasi mempunyai pengaruh besar terhadap frekuensi sesak nafas pada penderita tuberkulosis paru. Karena ada atau tidaknya ventilasi 69
Vol 8. No. 2, September 2016
5.
6.
MEDICA MAJAPAHIT
mempengaruhi faktor lain yang menjadi pemicu kuman tuberkulosis tumbuh dan berkembangbiak dengan baik. Hubungan antara Jenis lantai dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = -3.689 dan p = 0,025(p<0,05), maka dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Jenis lantai dengan Frekuensi Sesak pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Menurut Achmadi (2010) secara hipotesis jenis lantai tanah memiliki peran terhadap kejadian tuberkulosis paru melalui kelembaban dalam ruangan. Lantai tanah cenderung menimbulkan kelembaban, dengan demikian viabilitas kuman tuberkulosis di lingkungan juga sangat dipengaruhi. Jenis lantai yang terbuat dari tanah ketika kuman tuberkulosis berada di tanah, akan sulit untuk dibersihkan dan juga sulit meminimalisir kelembaban didalam ruangan yang berasal dari tanah. Hubungan antara Pencahayaan dengan Frekuensi Sesak Pada PenderitaTuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = -5.146dan p = 0,004(p<0,05), maka dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Pencahayaan dengan Frekuensi Sesak pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang lembab, gelap tanpa sinar matahari selama bertahun-tahun. Dan akan mati bila terkena sinar matahari, sabun lisol, karbol, dan panas api. (Atmosukarto 2008). Menurut Azwar (2007) cahaya matahari selain berguna untuk menerangi ruang juga mempunyai daya untuk membunuh bakteri. Hal ini dibuktikan oleh Robert Koch (1843-1910), dari hasil penelitiannya Robert Koch menyimpulkan sinar matahari dapat dimanfaatkan untuk pencegahan penyakit tuberkulosis paru, dengan mengusahakan masuknya sinar matahari. Cahaya matahari merupakan komponen penting bagi perkembangan kuman tuberkulosis, karena sinar matahari mengandung sinar UV yang dapat membuh kuman tuberkulosis. Semakin banyak cahaya matahari yang 70
Vol 8. No. 2, September 2016
7.
8.
MEDICA MAJAPAHIT
masuk kedalam rumah maka semakin kecil kesempatan kuman tersebut untuk hidup dan berkembangbiak, sehingga semakin kecil juga peluang munculnya sesak pada penderita Tuberkulosis. Hubungan antara Suhu dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = -3.423 dan p = 0,015(p<0,05), maka dapat disimpulkanbahwa terdapat hubungan yang bermakna antara Suhu dengan Frekuensi Sesak pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Menurut Goul dan Brooker dalam Nurhidayah (2007) bakteri mycobacterium tuberculosis memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri mesofilik yang tumbuh subur dalam rentang 25-400C, akan tetapi akan tumbuh secara optimal pada suhu 31-370C. Kuman tuberkulosis dapat hidup selama 1-2 jam bahkan sampai beberapa hari hingga bermingguminggu tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik, kelembaban, suhu rumah dan kepadatan penghuni rumah (Notoatmodjo, 2007). Hubungan antara Kelembaban dengan Frekuensi Sesak Pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik Berdasarkan hasil analisis regresi logistik diperoleh hasil bahwa dengan nilai beta (β) = 0,240dan p = 0,053(p>0,05), maka dapat disimpulkanbahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Kelembaban dengan Frekuensi Sesak pada Penderita Tuberkulosis Paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik. Menurut Achmadi (2010) kelembaban merupakan sarana yang baik untuk pertumbuhan bakteri termasuk tuberkulosis. Notoadmojo (2007) juga mengemukakan kuman tuberkulosis hidup pada lingkungan dengan kelembaban yang tinggi. Air membentuk lebih dari 80% volume sel bakteri dan merupakan hal essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel bakteri. Pada penelitian ini kelembaban rumah tidak berpengaruh secara langsung terhadap frekuensi sesak pada penderita tuberkulosis paru di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik, hal in idapat disebabkan 71
Vol 8. No. 2, September 2016
E. 1.
2.
MEDICA MAJAPAHIT
karena kondisi kelembaban yang ada sebagian besar dalam kategori baik. PENUTUP Simpulan Kesimpulan yang dapat ditarik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Kondisi rumah sehat yang berhubungan dengan frekuensi sesak pada pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik adalah faktor kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, pencahayaan, dan suhu. b. Kondisi rumah sehat yang tidak berhubungan dengan frekuensi sesak pada pasien Tuberkulosis di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik adalah faktor kelembaban. Saran Saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah : a. Bagi masyarakat yang bertempat tinggal di Wilayah Kerja Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresik perlu mengupayakan kesehatan lingkungan perumahan dengan memodifikasi desain rumah agar sistem sirkulasi udara atau ventilasi dapat memenuhi syarat kesehatan sehingga memperkecil untuk terjadinya kejadian tuberkulosis paru b. Bagi Puskesmas Ujungpangkah Kabupaten Gresikdiharapkan agar lebih meningkatkan pelayanan serta penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan pengobatan penyakit tuberkulosis paru yang merupakan penyakit berbasis lingkungan. c. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan agar meneliti variabel– variabel lain yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru serta melakukan penelitian yang lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA Amin,. M, 2006. Pengantar Ilmu Penyakit Paru. Airlangga University Press: Jakarta. Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi. Jakarta: Rhineka Cipta. Atmosukarto dan Sri Soewasti. 2008. Pengaruh Lingkungan Pemukiman dalam Penyebaran Tuberkulosis. Jakarta: Media Litbang Kesehatan Azwar,. A, 2009. Pengantar Kesehatan Lingkungan, PT. Rineka Cipta. Jakarta. 72
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Chandra,. B, 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Buku Kedokteran EGC: Jakarta. Kusnoputranto, Haryoto.2008. Kesehatan Lingkungan. FKM UI. Jakarta. Misnadiarly,. 2006. Mengenal, Menanggulangi TBC Paru, Ekstra Paru, Anak dan Pada Kehamilan. Pustaka Popolar Obor. :Jakarta. Notoadmodjo, S. 2007. Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi. Jakarta : Rineka Cipta Notoadmodjo, S. 2010. Pendidikan dan Prilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta Notoatmodjo,. S, 2007. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip Dasar. Jakarta: Rineka Cipta: Nurhidayah,. I , 2007. Makalah Hubungan antara Karaktristik Lingkungan Rumah Dengan kejadian Tuberkulosis (TB) Pada Anak Di Kecamatan Paseh Kabupaten Sumedang. Nursalam. 2014. Konsep Dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika. Sugiyono. 2013. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta.
73
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
HUBUNGAN PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG MODEL ASUHAN KEPERAWATAN METODE TIM DENGAN IMPLEMENTASINYA DI RUANG BEDAH FLAMBOYAN RSUD DR SOETOMO SURABAYA Ike Prafita Sari Dosen Program Studi Ners Stikes Majapahit Korespondensi :
[email protected] Abstrak Perkembangan dan perubahan model asuhan keperawatan di Rumah Sakit di Indonesia saat ini mengalami perkembangan yang signifikan. Pengetahuan perawat merupakan salah satu faktor utama keberhasilan menjalankan model asuhan keperawatan yang hasil akhirnya diharapkan dapat meningkatkan mutu pelayanan keperawatan yang profesional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode tim. Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional dengan jenis cross sectional.. Teknik pengambilan sampel menggunakan Total Sampling dengan 25 responden. Diketahui bahwa pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode Tim berpengetahuan cukup 92% (23 orang) dengan hasil implementasi perawat cukup sebanyak 76%(19 orang). Hasil analisis statistik menunjukkan hubungan yang sangat signifikan antara pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan tim dengan pelaksanaan implementasinya (p value < 0,05). Kata Kunci : Pengetahuan Perawat, MAKP Tim, Implementasi MAKP Tim. A. PENDAHULUAN Pelayanan kesehatan menjadi fokus tuntutan masyarakat pada umunya, baik pemerintah maupun swasta. Melihat fenomena tersebut mutu pelayanan kesehatan menjadi alasan pertama bagi pasien dan keluarga dalam memilih Rumah Sakit. Selain itu perkembangan ilmu dan teknologi kesehatan saat ini menuntut perawat dapat memberikan pelayanan kesehatan yang optimal dan salah satu upayanya adalah dengan mengembangkan Model Asuhan Keperawatan Profesional (MAKP) (Assaf, 2009). Sejalan dengan perkembangan dan perubahan pelayanan kesehatan 74
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
yang terjadi di Indonesia, maka Model Asuhan Keperawatan harus mengarah pada suatu praktik keperawatan profesional. Model yang diterapkan sekarang di Rumah Sakit adalah keperawatan Tim, Primer Atau Modifikasi Primer (Nursalam, 2014). Menurut Mclaugin, Thomas, dan Barterm (Assaf, 2009) sebelum penggunaan ke-3 metode tersebut, metode fungsional yang menjadi pilihan utama pada saat perang dunia kedua. Metode fungsional dilaksanakan oleh keperawatan saat itu karena masih terbatasnya jumlah dan kemampuan perawat, maka setiap perawat hanya melaksanakan 1-2 jenis intervensi. Dari pengembangan kelemahan/ kekurangan metode fungsional maka pilihan yang akan digunakan adalah MAKP Tim. Metode ini menggunakan tim yang terdiri dari anggota yang berbeda-beda dalam memberikan asuhan keperawatan terhadap sekelompok pasien. Fakta dilapangan Saat ini yang paling banyak digunakan di Rumah Sakit adalah model keperawatan TIM (Sitorus, 2007). Kentungan dari model TIM adalah memungkinkan pelayanan keperawatan yang menyeluruh, mendukung pelaksanaan proses keperawatan, memungkinkan komunikasi antar tim sehingga konflik mudah diatasi dan memberi kepuasan kepada anggota tim (Rusdi, 2008). Pengetahuan perawat merupakan domain yang sangat penting dalam mempengaruhi tindakan/perilaku perawat dalam memberikan pelayanan kepada pasien. Pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan dengan metode tim juga sangat diperlukan demi terlaksananya asuhan keperawatan yang optimal (Nursalam, 2014). Kurangnya pengetahuan perawat tentang MAKP Tim dikarenakan adanya tingkat pendidikan perawat yang tidak sama, ini semua dapat diatasi dengan berbagai cara yaitu memberikan sosialisasi pada perawat tentang MAKP, meningkatkan kualifikasi pendidikan perawat yang secara otomatis dapat meningkatkan SDM dan kualitas perawat sehingga mutu dan pelayanan asuhan keperawatan dapat berjalan dengan baik, karena pengetahuan merupakan dominan yang penting dalam mempengaruhi tindakan atau perilaku perawat (Rusdi, 2008). Berdasarkan hal tersebut perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode Tim dengan implementasinya.
75
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016 B.
METODE PENELITIAN Desain penelitian yang digunakan adalah analitik korelasional dengan jenis cross sectional. Sampel yang digunakan adalah perawat di Ruang Bedah Flamboyan RSUD Dr Soetomo Surabaya sebanyak 25 responden. Sampel diambil dengan teknik Total Sampling. Instrumen yang digunakan untuk mengukur pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode Tim adalah kuesioner yang berisi 20 pertanyaan yang telah diuji validitas reabilitas. Instrumen yang digunakan untuk mengukur implementasi model keperawatan Tim adalah lembar observasi yang akan mengobservasi Kepala Ruangan, Ketua Tim, dan Perawat Pelaksana. Pelaksanaan observasi ini dilakukan selama 1 bulan secara acak baik pagi, siang, malam yang dibantu oleh perawat ruangan dengan menggunakan lembar observasi. C. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian yang diperoleh adalah sebagai berikut: Tabel 1. Distribusi frekuensi pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode tim No. Pengetahuan Responden Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Baik 1 4 2. Cukup 23 92 3. Kurang 1 4 Total 25 100 Tabel 2. Distribusi frekuensi implementasi model keperawatan tim. No. Implementasi Frekuensi (f) Presentase (%) 1. Baik 2 4 2. Cukup 19 76 3. Kurang 4 16 Total 25 25
76
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Tabel 3. Hubungan antara pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan metode tim dengan implementasinya No. Variabel Rs Sig. (2-tailed) 1. Hubungan antara pengetahuan perawat 0,578 0,002 tentang model asuhan keperawatan metode tim dengan implementasinya D. PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 1 menunjukkan bahwa mayoritas 92% (23 orang) memiliki pengetahuan cukup tentang model asuhan keperawatan metode tim. Sedangkan tabel 2. Menunjukkan bahwa sebagian besar responden 76% (19 Orang) dinilai implementasinya cukup tentang model asuhan keperawatan metode tim. Dari hasil analisis deskriptif yang dilakukan dengan uji korelasi spearmen rank (rho) didapatkan p=0,002 sehingga p< 0,05 yang berarti Ho ditolak yaitu ada hubungan antara pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatan dengan implementasinya di Ruang Bedah Flamboyan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain penting untuk menentukan tindakan seseorang (over behavior) karena dari pengalaman dan penelitian membuktikan bahwa perilaku didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2008). Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan ada dua faktor yaitu faktor internal meliputi : usia, intelegensi, pendidikan, pengalaman. Faktor eksternal meliputi : informasi, lingkunagn dan sosial budaya. Pengetahuan sangat berkaitan erat dengan pendidikan, karena pengetahuan dipengaruhi oleh pendidikan formal. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin baik pula tingkat pengetahuannya. Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang dalam memotivasi untuk siap berperan serta dalam membangun kesehatan. Sebaliknya pendidikan yang kurang akan menghambat perkembangan sikap seseorang, sehingga wajar jika responden memiliki pengetahuan yang sebagian besar masuk kategori cukup tentang model asuhan keperawatan dengan tim. Sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau obyek. Komponen pokok sikap yaitu kepercayaan, ide, dan konsep pada suatu obyek, kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu obyek, kecenderungan, untuk bertindak (Tend to behave) (Notoatmodjo, 2008). Menurut Notoatmodjo (2008) dari segi biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktifitas organism (mahluk 77
Vol 8. No. 2, September 2016
MEDICA MAJAPAHIT
hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar. Model asuhan keperawatan profesional (MAKP) merupakan sistem (struktur proses dan nilai-nilai profesional) yang memungkinkan perawat profesional mengatur pemberian asuhan keperawatan tersebut (Hottar dan Wood, 1996 dalam Nursalam 2014). Pelaksanaan model keperawatan tim dikatakan efektif apabila tanggung jawab dari masing-masing peran (kepala ruangan, ketua tim, dan perawat pelaksana) dilaksanakan dengan benar. E. 1.
2.
PENUTUP Simpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengetahuan perawat tentang model asuhan keperawatn profesional sangat berhubungan dengan implementasinya. Hasil ini dibuktikan dengan nilai p value < 0,05 yang artinya pelaksanaan model asuhan keperawatan tim sangat berhubungan dengan beberapa faktor salah satunya adalah pengetahuan perawat dalam penerapan model asuhan keperawatan tim, karena perawat sebagai domain penting pelaksana asuhan keperawatan diruangan. Saran Untuk hasil yang maksimal dalam pemberian pelayanan keperawatan yang universal di harapkan semua perawat harus memahami tentang model asuhan keperawatan model tim serta harus mempunyai motivasi untuk melakukan perubahan dalam rangka peningkatan mutu pelayanan keparawatan. Selain itu dalam penerapan model asuhan keperawatan profesional banyak sekali faktor yang mempengaruhi salah satunya adalah manajer Rumah sakit. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan dasar referensi bagi peneliti selanjutnya agar meneliti faktor lain yang mempengaruhi penerapan model asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA Al-Assaf, A.F. 2009. Mutu Pelayanan Kesehatan Perspektif Internasional. Jakarta : EGC Notoatmodjo, Sukidjo. 2008. Ilmu Kesehatan Masyarakat “Prinsip-prinsip Dasar” Cetakan kedua. Jakarta: PT Rineka Cipta. 78
MEDICA MAJAPAHIT
Vol 8. No. 2, September 2016
Nursalam. 2014. Manajemen Keperawatan. Salemba Medika : Jakarta Nursalam. 2010. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika Rusdi, I. 2008. Model Pemberian Asuhan Keperawatan (nursing care delivery models), diakses 20 Oktober 2015, Sitorus, R. 2007. Implementasi MAKP di Rumah Sakit. Jakarta:EGC Somantri, I. Konsep Model Asuhan Keperawatan Profesional, FIKUNPAD, diakses pada 02 November 2015.
79
PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL Format 1. Artikel diketik dengan dengan spasi ganda pada kertas A4 (210x297). 2. Panjang artikel maksimum 7.000 kata dengan huruf Courier atau Times New Roman font 11 atau sebanyak 15 – 20 halaman. 3. Margin atas, bawah, samping kanan, dan samping kiri sekurang kurangnya 1 inchi. 4. Setiap tabel dan gambar diberi nomor urut, judul yang sesuai dengan isi tabel atau gambar serta sumber kutipan. 5. Kutipan dalam teks menyebutkan nama belakang (akhir) penulis, tahun, dan nomor halaman jika dipandang perlu, contoh : a. Satu sumber kutipan dengan satu penulis (Maziyah, 2005), jika disertai dengan halaman (Maziyah, 2005:19). b. Satu sumber kutipan dengan dua penulis (Tiagarajan dan Semmel, 1981). c. Satu sumber kutipan dengan lebih dari dua penulis (Anderson dkk, 1982). d. Dua sumber kutipan dengan penulis yang sama (Anderson, 1988, 1989), jika tahun publikasi sama (Anderson, 1988a, 1988b). e. Sumber kutipan dari satu institusi sebaiknya menyebutkan singkatan atau akronim yang bersangkutan (BPN, 2007:BPS, 2008). Penyerahan Artikel Artikel diserahkan dalam bentuk compact disk (CD) dan dua eksemplar yang tercetak, kepada Kantor P2M Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Majapahit Jl. Raya Jabon – Gayaman KM. 2 Gayaman Kecamatan Mojoanyar Kabupaten Mojokerto Telp. (0321) 329915 Fax. (0321) 331736