Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
1
TIM KAJIAN RENCANA TINDAK UNTUK MEWUJUDKAN REFORMASI BIROKRASI (SK. Deputi Bidang Polhankam Bappenas No. 001/D-2/03/2004)
Tenaga Ahli: 1. Prof. Dr. Mustopadidjaja AR, MPIA 2. Prof. Dr. Miftah Toha, MPA
Pengarah Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan : 1. I Dewa Putu Rai, SIP, MM
Tim Perumus Rekomendasi Kebijakan : 2. Dr. Ir. Bima Haria Wibisana, MSIS. 3. Drs. Bustang, MSi. 4. Agus Sudrajat, S.Sos, MA 5. Drs. Sandjaja Sarwohadi, MPM 6. Drs. Dadang Solihin, MA 7. Ir. Ikak G. MSP
Focus Group of Discussion : 1. Dr. Ir. Yahya R. Hidayat, MSc 2. Ir. Sumardiayanto, MA 3. Drs. Bogat W. MA 4. Kurniawan Ariandi, SIP, M.Com 5. Dra. Rd. Siliwanti, MPIA
Tim Teknis : 1. Firda Hidayati, S.Sos, MPA 2. Irfan, SH. MH. 3. Dia Firdaus, SE
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas kelancaran daan terlaksananya kajian ini dengan baik. Ucapan terima kasih kami tujukan kepada yang terhormat Bapak Prof. Dr. Mustopadidjaja, AR, MPIA dan Bapak Prof. Dr. Miftah Thoha, MPA, masing-masing sebagai tenaga ahli yang telah banyak memberikan masukan substansi selama kajian ini dilaksanankan. Demikian pula ucapan terima kasih kepada Bapak Prof. Bintaro Tjokroamidjojo, MA; Prof. Dr. Maswadi rauf MA; dan Dr. J, Kristiadi, masing-masing sebagai nara sumber dalam acara seminar “Rencana Tindak Reformasi Birokrasi” dalam rangka mendapatkan masukan yang lebih komprehensif untuk memperkaya kajian ini. Birokrasi yang Handal dan mamapu bekerja dengan Baik, merupakan harapan bagi seluruh bangsa Indonesia. harapan tersebut, merupakan salah satu tuntunan gerakan reformasi birokrasi tahun 1998, agar birokrasi menjadi tempat layanan masyarakat yang cepat, murah, tidak diskriminatif dan transparan. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Direktorat Aparatur Negara dalam tahun anggaran 2004 melakukan suatu kajian mengenai “Rencana Tindak Reformasi Birokrasi” yang diharapkan menjadi salah satu landasan berpikir terhadap upaya penyusunan dan pembenahan birokrasi kini dan di masa mendatang. Demikian, semoga kajian “Rencana Tindak Reformasi Birokrasi” dapat menjadi salah satu bahan acuan dalam menyusun “Kebijakan Nasional Reformasi Birokrasi” yang lebih komprehensif di masa mendatang.
Wassalamu’ Alaikum Wr. Wb.
Jakarta, maret 2005
Direktur Aparatur Negara
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
iii
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR......................................................................................... BAB I
BAB II
PENDAHULUAN ........................................................................
1
1. Latar Belakang ………………………………………..
1
2. Permasalahan Birokrasi ………………………………
2
3. Tujuan Penulisan ……………………………………..
7
4. Ruang Lingkup Kegiatan ……………………………..
8
5. Metodologi …………………………………………..
8
GAMBARAN UMUM BIROKRASI DI INDONESIA …………
9
1. Faktor Internal ……………………………………….
9
2. Faktor Eksternal ……………………………………..
18
BAB III ISU STRATEGIS REFORMASI BIROKRASI ……………. …
33
1. Pemerintahan Yang Bersih ..........................................
34
2. Aktualisasi prinsip-prinsip Good Governance .............
42
3. Kompetensi SDM Aparatur .........................................
45
4. Pelayanan Publik .........................................................
51
5. Desentralisasi Kewenangan .........................................
61
BAB IV RENCANA TINDAK ...................................................................
68
1. Pemerintahan Yang Bersih ..........................................
69
2. Aktualisasi prinsip-prinsip Good Governance .............
71
3. Kompetensi SDM Aparatur .........................................
72
4. Pelayanan Publik ........................................................
75
5. Desentralisasi Kewenangan .........................................
77
MATRIK RENCANA TINDAK ..................................................................
79
BAB V
PENUTUP ....................................................................................
93
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
95
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
iv
Pendahuluan
BAB I PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG PERMASALAHAN
Birokrasi, dunia usaha, dan masyarakat merupakan tiga pilar utama dalam upaya mewujudkan pelaksanaan kepemerintahan yang baik (good Governance). Birokrasi sebagai organisasi formal memiliki kedudukan dan cara kerja yang terikat dengan peraturan, memiliki kompetensi sesuai jabatan dan pekerjaan, memiliki semangat pelayanan public, pemisahan yang tegas antara milik organisasi dan individu, serta sumber daya organisasi yang tidak bebas dari pengawasan eksternal. Oleh karena itu, birokrasi yang konsisten seperti itu, dan dapat bekerja dengan baik dan bersih dalam mengemban perjuangan mewujudkan keseluruhan cita-cita dan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yang merupakan harapan seluruh bangsa Indonesia. Dalam konteks pemahaman seperti ini, maka eksistensi birokrasi yang dapat diandalkan memiliki implikasi pada peluang yang lebih besar dalam mengemban misi perjuangan bangsa mencapai tujuan bernegara sesuai dengan amanat UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan mewujudkan keadilan sosial”. Pengertian ini dimaksudkan bahwa birokrasi harus dipahami dalam konteks peran dan kemampuannya dalam menunjang tugas tugas pemerintahan, baik dalam merespon berbagai permasalahan maupun dalam memberikan pelayanan terhadap masyarakat dan warga dunia. Dengan demikian birokrasi yang mampu merespon dinamika global secara positif, berpeluang akan mampu memfasilitasi kepercayaan dunia internasional untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu tujuan investasi. Implikasinya investasi yang tertuju pada negara Indonesia secara langsung akan memberikan efek dinamis yang baik bagi perekonomian Indonesia. Kondisi dan dinamika global ini sesungguhnya merupakan peluang sekaligus ancaman bagi keberadaan birokrasi di satu sisi dan berimplikasi terhadap eksistensi Indonesia sebagai sebuah bangsa di sisi lainnya. Artinya ketidakmampuan birokrasi merespon dinamika global berimplikasi pada daya saing Indonesia di tingkat internasional. Daya saing yang rendah berpotensi mengucilkan Indonesia dari dinamika dan persaingan dalam pergaulan dunia.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
Pendahuluan
Selama hampir 60 tahun kemerdekaan bangsa Indonesia, birokrasi telah berperan besar dalam perjalanan hidup dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya-upaya pembaharuan dalam manajemen pemerintahan terus dilakukan untuk meningkatkan kinerja birokrasi. Selama masa Orde Baru birokrasi di Indonesia juga memiliki andil besar dalam proses pembangunan. Pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi, dan distribusi pada dasarnya telah ditopang oleh birokrasi. Namun demikian, pentingnya peran birokrasi di Indonesia ternyata tidak serta merta menunjukkan suatu potret birokrasi yang baik. Persepsi masyarakat masih memperlihatkan bahwa citra dan kinerja birokrasi masih harus lebih ditingkatkan. Masyarakat secara umum enggan untuk berurusan dengan birokrasi. Birokrasi lebih banyak berkonotasi dengan citra negatif seperti rendahnya kualitas pelayanan publik; berperilaku korup, kolutif, dan nepotis (KKN); memiliki kecenderungan untuk memusatkan kewenangan; masih rendahnya profesionalisme; dan tidak terdapatnya budaya dan etika yang baik. Citra negatif dalam birokrasi tersebut, menurut Toha (2002), masih tertanam bahkan setelah lima tahun reformasi 1998 bergulir. Perbaikan birokrasi yang dicanangkan permerintah selama ini belum berjalan secara optimal. Berbagai upaya perbaikan memang telah diupayakan, namun belum dapat menciptakan sistem birokrasi yang mantap dan membawa konsekuensi terlaksananya agenda reformasi secara cepat dan tepat. Bahkan banyak pihak menilai bahwa kondisi birokrasi pemerintah telah menjadi semakin mengkuatirkan. Pada 3 tahun terakhir ini, perbaikan birokrasi belum juga menunjukkan gejala perbaikan-perbaikan yang positif. Bahkan sebaliknya, kelembagaan birokrasi semakin transparan dalam melakukan korupsi dan akuntabilitas publik menjadi pertanyaan besar. 2.
PERMASALAHAN BIROKRASI
Berbagai permasalahan di lingkungan birokrasi dewasa ini berkaitan dengan citra dan kinerja birokrasi yang belum dapat memenuhi keinginan masyarakat banyak. Beberapa diantaranya akan diuraikan secara lebih rinci dalam analisis di bawah ini. Tingginya Tingkat Penyalahgunaan Kewenangan dalam Bentuk KKN Upaya pemberantasan KKN merupakan salah satu tuntutan penting pada awal reformasi. Namun prevalensi KKN semakin meningkat dan menjadi permasalahan di seluruh lini pemerintahan dari pusat hingga daerah. Tuntutan akan peningkatan Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
2
Pendahuluan
profesionalisme sumber daya manusia aparatur negara yang berdaya guna, produktif dan bebas KKN serta sistem yang transparan, akuntabel dan partisipatif masih memerlukan solusi tersendiri. Ini berkaitan dengan semakin buruknya citra dan kinerja birokrasi dan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan. KKN telah menjadi extraordinary state of affairs di Indonesia Laporan terakhir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) dari 133 negara, Indonesia berada di urutan ke-122 dari 133 negara terkorup. Rendahnya Kualitas Pelayanan Publik Rendahnya kualitas pelayanan publik merupakan salah satu sorotan yang diarahkan kepada birokrasi pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Perbaikan pelayanan publik di era reformasi merupakan harapan seluruh masyarakat, namun dalam perjalanan reformasi yang memasuki tahun ke enam, ternyata tidak mengalami perubahan yang signifikan. Berbagai tanggapan masyarakat justru cenderung menunjukkan bahwa berbagai jenis pelayanan publik mengalami kemunduran yang utamanya ditandai dengan banyaknya penyimpangan dalam layanan publik tersebut. Sistem dan prosedur pelayanan yang berbelit-belit, dan sumber daya manusia yang lamban dalam memberikan pelayanan juga merupakan aspek layanan publik yang banyak disoroti. Belum Berjalannya Desentralisasi Kewenangan Secara Efektif Indonesia saat ini dihadapkan oleh berbagai tantangan yang muncul sebagai akibat dari perkembangan global, regional, nasional dan lokal pada hampir seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Dari sisi manajemen pemerintahan, penerapan desentralisasi dan otonomi daerah merupakan intrumen utama untuk mencapai suatu negara yang mampu menghadapi tantangan-tatangan tersebut. Di samping itu, penerapan desentralisasi kewenangan dan otonomi daerah juga merupakan prasyarat dalam rangka mewujudkan demokrasi dan pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat. Namun dalam pelaksanaannya selama ini, dalam kebijakan otonomi dearah masih terdapat beberapa kelemahan, seperti: (a) Otonomi daerah hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka; (b) Perhatian dalam otonomi daerah hanya pada masalah pengalihan kewenangan dari Pusat ke Daerah, tetapi mengabaikan esensi dan tujuan kebijakan tersebut; (3) Otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
3
Pendahuluan
dan prakarsa masyarakat di daerah sesuai tuntutan alam demokrasi; dan (4) Konsep dasarnya yang mengandung prinsip-prinsip federalisme. Seperti dijelaskan sebelumnya, aparatur negara memiliki peran yang sangat menentukan mengenai berjalan tidaknya agenda reformasi. Mengingat reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu melakukan reformasi di lingkungan birokrasi pemerintah, tidak berlebihan kiranya kalau menempatkan reformasi birokrasi pemerintah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional 2005-2009. Reformasi birokrasi memerlukan proses, tahapan waktu, kesinambungan dan ketertiban sebagai kesatuan komponen yang saling terkait dan berinteraksi dengan tujuan untuk mewujudkan tujuan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi bertujuan untuk mewujudkan aparatur negara yang amanah dan mampu mendukung pembangunan nasional serta menjawab kebutuhan dinamika bangsa berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam upaya untuk mewujudkan tujuan tersebut di atas, reformasi birokrasi ke depan perlu diarahkan pada upaya-upaya untuk; (i) menuntaskan penanggulangan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN dengan menerapan prinsip-prinsip tata pemerintahan yang baik (good governance); (ii) meningkatkan kualitas penyelenggaraan administrasi negara; dan (iii) meningkatkan kualitas pelayanan publik terutama pelayanan dasar untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Untuk mewujudkan birokrasi sebagaimana disebutkan di atas tidaklah mudah. Hal ini memerlukan suatu telaahan yang mendalam terhadap permasalahan dan penyebab yang menjadi isu strategis reformasi birokrasi. Di samping itu, perlu upaya yang lebih komprehensif untuk menemukenali dan menentukan alternatif kebijakan yang bagaimana yang harus diambil. Dalam kaitan dengan permasalahan tersebut ada beberapa isu strategis dalam pembenahan birokrasi yaitu berkaitan dengan masalah-masalah: (a) Pemerintahan yang bersih (clean government); (b) Aktualisasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (Good Governance); (c) Kompetensi Sumber daya manusia Aparatur; (d) Pelayanan publik ; (e) Desentralisasi kewenangan. Pemerintahan yang tidak bersih yang dicirikan dengan penyalahgunaan kewenangan dalam bentuk KKN, berimplikasi terhadap ekonomi, sosial, dan daya saing nasional. Tingginya tingkat penyalahgunaan kewenganan ini diakibatkan oleh masih rendahnya
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
4
Pendahuluan sistem pengawasan, rendahnya etika dan moral para birokrat, dan tidak adanya komitmen para pemimpin bangsa untuk menciptakan birokrasi yang bersih. Berbagai bentuk korupsi seperti suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, pilih kasih, penyalahgunaan wewenang/jabatan, nepotisme, komisi, sumbangan ilegal, dan lain sebagainya telah menggerogoti kehidupan birokrasi dewasa ini. Tindakan-tindakan tersebut memiliki daya rusak yang dahsyat yang telah merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Berbagai bentuk penyimpangan ini pada awalnya mungkin saja dilakukan dengan terpaksa agar dapat bertahan hidup, namun hal tersebut kemudian menjadi kebiasaan dan sekaligus merupakan penyakit yang tidak dapat “sangat sulit disembuhkan” disembuhkan bahkan menjadi kronis. Hal ini akan menjadi ancaman yang pada saatnya nanti akan menghancurkan bangsa dan negara ini. Di sisi lain, gaung perubahan paradigma dengan mengedepankan profesionalisme dan pelayanan masih belum bisa diterapkan secara optimal. Faktanya adalah bahwa esensi dari prinsip-prinsip Good Governance belum dipahami sebagai bagian dari amanah yang harus dilaksanakan dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa, sehingga dalam pelaksanaannya seringkali hanya menjadi jargon. Indikasinya dapat dilihat dari belum berimbangnya interaksi di antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha (swasta). Di sisi lain pola patron-client masih menguat dan dapat dilihat pada setiap jajaran pemerintah yang secara langsung memberikan pelayanan kepada masyarakat. Belum teraktualisasikannya tata kepemerintahan yang baik juga dipengaruhi oleh masih rendahnya kompetensi SDM aparatur. Rendahnya Kompetensi ditandai dengan masih rendahnya komitmen dan integritas, rendahnya kemampuan atas tugas dan tanggung jawabnya, dan lemahnya inisiatif dan inovatif. Kondisi ini juga dipengaruhi oleh buruknya sistem rekruitmen pegawai yang ditandai dengan tidak adanya perencanaan pegawai yang matang yang berakibat pada tidak relevansinya antara kompetensi seseorang yang diseleksi dengan jabatan yang dibutuhkan. Dengan demikian, kondisi birokrasi di masa depan masih cukup memprihatinkan. Kondisi yang memprihatinkan ini juga utamanya karena hampir 50 persen PNS belum produktif, efisien, dan efektif sehingga harapan akan “terbangunnya kultur birokrasi pemerintah” yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Hal ini juga akibat dari masih rendahnya kualitas SDM Aparatur yang ditandai dengan masih tingginya (73 persen) jumlah PNS yang berpendidikan SD, SLTP, SLTA, DI, DII, dan DIII. Masih tingginya
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
5
Pendahuluan jumlah PNS yang berpendidikan non sarjana berimplikasi pada rendahnya kemampuan PNS tersebut dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai abdi dan pelayanan masyarakat. Dalam bidang pelayanan publik, dihadapkan pada permasalahan bagaimana kualitas pelayanan publik yang cenderung berbelit-belit, lambat, mahal, tertutup, dan diskriminatif, serta berbudaya bukan melayani melainkan dilayani. Di samping itu rendahnya partisipasi masyarakat dalam menggerakkan fungsi-fungsi pelayanan, dan belum adanya standar tolok ukur terhadap optimalisasi pelayanan publik oleh aparatur kepada masyarakat. Gejala korupsi dengan berbagai bentuk seperti suap, penggelapan, pemalsuan, pemerasan, pilih kasih, penyalahgunaan wewenang/jabatan, nepotisme, komisi, sumbangan ilegal, internal trading telah menggerogoti kehidupan birokrasi dewasa ini. Walaupun mungkin pada awalnya penyalahgunaan dilakukan dengan terpaksa untuk dapat bertahan hidup, berbagai bentuk KKN tersebut memiliki daya rusak yang dahsyat yang dapat mengganggu sendi kehidupan serta menghancurkan tatanan semua aspek berbangsa dan bernegara saat ini. Desentralisasi merupakan isu strategis lainnya yang menjadi perhatian dalam reformasi birokrasi. Desentralisasi adalah sebuah bentuk pemindahan tanggung jawab, wewenang dan sumber-sumber daya (dana, personil, dll) dari pemerintah pusat ke tingkat pemerintahan di bawahnya. Dasar dari inisiatif ini adalah bahwa proses desentralisasi dapat memindahkan proses pengambilan keputusan ke tingkat pemerintahan yang lebih dekat dengan masyarakat. Karena merekalah yang akan merasakan langsung pengaruh program pelayanan yang dirancang, dan kemudian dilaksanakan oleh pemerintah. Prinsip dasar dari inisiatif diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU 33 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, adalah untuk memindahkan proses pengambilan keputusan ke tempat yang lebih dekat dengan masyarakat, yaitu kepada mereka yang merasakan efek langsung dari program dan perencanaan serta pelaksanaan pelayanan yang dilakukan oleh pemerintah. Namun demikian, pelimpahan kewenangan sebagai implikasi dari UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, yang kemudian diganti dengan UU Nomor 32 dan 33 Tahun 2004 ini, belum sepenuhnya diserahkan ke daerah. Pusat cenderung masih menarik ulur beberapa
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
6
kewenangannya karena dianggap bahwa daerah belum mampu menangani sebagian kewenangan seperti antara lain: kewenangan dalam pemberian perijinan, sistem perpajakan dan perkreditan, dan hal-hal lain yang berkaitan dalam rangka mengatur rumah tangganya masing-masing sehingga mengakibatkan belum efektif dan efisiensinya pelayanan publik di daerah. Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi, berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup etika dan budaya kerja, masih banyak pemimpin dan aparatur negara yang mengabaikan norma-norma, etika dan aturan birokrasi yang baik. Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan kewenangan sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan, sehingga harapan akan suatu kultur birokrasi pemerintah yang profesional dan akuntabel belum dapat tercapai. Fenomena seperti ini menunjukkan keadaan yang sangat memperihatinkan mengingat dewasa ini terdapat tantangan lokal, regional maupun global yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin tingginya persaingan ekonomi antar negara. Untuk itu, pemerintah harus berupaya secara sungguh-sungguh untuk merubah sisisisi negatif dalam birokrasinya, sehingga ke depan mampu merespon dan beradaptasi dengan tantangan global yang semakin rumit dan kompleks. Berbagai fenomena di atas, hanya dapat diatasi dengan melakukan reformasi birokrasi secara tegas, jelas dan efektif. Kesadaran ini berasumsi bahwa reformasi politik yang yang sedang berlangsung belum akan memperoleh hasil yang optimal, manakala reformasi birokrasi belum dijalankan. Sehubungan dengan hal tersebut sedikitnya terdapat tiga hal mendasar yang digunakan sebagai pendekatan dalam rencana tindak reformasi birokrasi yang harus dilakukan, yakni: (a) Kelembagaan; (b) Manajemen; dan (c) Sumber daya Manusia Aparatur. 3.
TUJUAN PENULISAN Tujuan dari penulisan Rencana Tindak Reformasi Birokrasi ini adalah untuk: a. Memberikan gambaran akurat tentang permasalahan di lingkungan birokrasi yang terkait dengan kelembagaan, manajemen dan sumber daya manusia aparatur. b. Memberikan alternatif rekomendasi kebijakan mengenai reformasi birokrasi. c. Memberikan usulan rencana tindak reformasi birokrasi yang mungkin dilakukan untuk jangka waktu 2005-2009.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
7
4.
RUANG LINGKUP KEGIATAN Ruang lingkup kegiatan ini meliputi: a. Melakukan pengumpulan data, yang berkaitan berkaitan dengan permasalahan birokrasi; b. Melakukan analisis dan pendalaman terhadap reformasi birokrasi; c. Melakukan seminar/presentasi terhadap hasil kajian reformasi birokrasi; dan d. Menyusun rencana tindak.
5.
METODOLOGI Metodologi yang digunakan adalah Strategic Planning Framework yang meliputi: a. Pengidentifikasian arah dan tujuan masa depan (Analisa VMGO). b. Pengkajian lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap birokrasi (Analisa SWOT). c. Pengidentifikasian isu-isu strategis yang krusial (Analisa CSF). d. Penyusunan langkah-langkah implementasi kebijakan (Action Plan).
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
8
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
BAB II GAMBARAN UMUM BIROKRASI DI INDONESIA Birokrasi tetap menjadi salah satu problem terbesar yang dihadapi bangsa-bangsa di Asia, meskipun upaya-upaya untuk melakukan reformasi birokrasi dalam konteks yang lebih luas telah berlangsung. Tidak dapat dipungkiri pula bahwa di negara-negara Asia yang paling parah terpukul oleh krisis finansial tahun 1997 itu lebih disebabkan oleh kecenderungan birokrasi yang buruk. Hasil penelitian oleh lembaga think-tank Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2002, Indonesia termasuk negara yang terpuruk dalam birokrasinya, dan sampai saat ini belum mengalami perubahan yang cukup signifikan. Laporan terakhir World Economic Forum (WEF) tahun 2004 ini tentang Global Competitiveness Ranking (GCR) menempatkan Indonesia berada di urutan ke 69 dari 104 negara yang diamati. Salah satu aspek penilaian adalah birokrasi pemerintah (kelembagaan pemerintah) yang mengindikasikan sejauhmana lembaga pemerintah memberikan kemampuan pelayanan yang baik berorientasi pada pelanggan, minimnya korupsi, berorientasi pada kerangka hukum yang jelas. Banyak alasan yang dapat dikemukakan untuk menjelaskan kondisi keterpurukan birokrasi di Indonesia yang kemudian dikelompokkan ke dalam dua bagian. Pertama, bahwa birokrasi sebagai sebuah organisasi memiliki faktor-faktor internal yang dapat menjadi determinan dinamika kehidupan Birokrasi. Kedua adalah faktor-faktor eksternal yang merupakan lingkungan strategis dimana birokrasi terlaksana. 2.1.
FAKTOR INTERNAL Peran birokrasi memiliki kedudukan dan fungsi yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tidak dapat digantikan fungsinya oleh lembaga-lembaga negara lainnya dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kondisi Indonesia yang masih dihadapkan berbagai permasalahan ekonomi, sosial dan politik yang serba komplek dan rumit, birokrasi masih tetap diyakini sebagai mesin utama untuk memutar roda kegiatan di berbagai sektor pembangunan.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, maka peranan birokrasi di dalam suatu masyarakat yang senantiasa mengadakan perubahan-perubahan ke arah pembaharuan menjadi sangat vital. Namun demikian, birokrasi akan menjadi alat pembaharu, jika mesin-mesin penggerak lainnya memiliki
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
9
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
kemauan dan kemampuan untuk melakukan prinsip-prinsip good governance dengan baik. Oleh karena itu, masyarakat akan dapat memahami dan merasakan peran dan fungsi birokrasi yang sesungguhnya pada saat mendapatkan pelayanan. Di samping itu, masyarakat yang memahami dengan baik akan peran dan fungsi birokrasi akan menjadi kekuatan yang baik dalam melakukan perubahan secara efisien, namun juga bisa terjadi sebaliknya menjadi kelemahan dan bahkan penghambat dalam melakukan perubahan. Di masa reformasi banyak yang optimis bahwa kinerja birokrasi di Indonesia akan semakin membaik. Hal ini diperkuat oleh adanya perubahan mendasar dalam administrasi publik dalam arti administrasi pemerintahan. Sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 22 Tahun 1999 (telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah), pemerintah hanya mengelola enam bidang saja, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, fiskal dan agama, dan beberapa bidang lainnya. Konsekuensinya tentu memberikan perubahan kelembagaan yang sangat berarti dalam konteks desentralisasi yang tentunya membawa implikasi baru dalam manajemen publik dimana domain pemerintah berada di relasikan dengan kondisi geografis dan demografis. Sistem pemerintahan yang desentralisasi yang digulirkan sejak era reformasi merupakan angin segar dalam pelaksanaan birokrasi, terutama di daerah. Daerah dengan kewenangan dan tanggungjawab yang diembannya dapat merancang dan melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat sesuai dengan kondisi geografis dan demografisnya. Hal ini juga mendorong bangkitnya prakarsa dan kreaktivitas pemerintah daerah bersama-sama dengan masyarakat dan swasta untuk menciptakan kerjasama yang harmonis dalam rangka membangun pelayanan yang baik. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan desentralisasi pemerintahan di era reformasi ini timbul penafsiran yang beragam dan bahkan kebablasan, sehingga terkesan menciptakan penguasa-penguasa dan raja-raja kecil di daerah. Artinya dalam pelaksanaannya ada kecenderungan sebagian pemerintah daerah menafsirkan bahwa mereka memiliki kekuasaan yang sangat tinggi dalam mengurus rumah tangganya tanpa memperhatikan hubungan koordinasi dengan pemerintah pusat. Demikian pula tidak dapat dipungkiri, banyaknya posisi/jabatan di birokrasi di isi oleh orangorang yang tidak memiliki kemampuan dan ketrampilan yang sesuai dengan pekerjaannya. Hal tersebut, terjadi karena lebih mengutamakan pada pengangkatan pada posisi di dalam jabatan struktural, yang lebih diutamakan karena ruang pangkat golongan, atau karena senioritas, bukan karena kompetensinya.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
10
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Kondisi ini masih tetap berlangsung pada era reformasi, baik di tingkat aparatur pemerintah pusat maupun daerah. Akibatnya dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya sering menyimpang atau terjadi penyalah gunaan kekuasaan yang pada akhirnya mendorong tumbuh suburnya praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) dalam mengisi suatu jabatan terntentu. Birokrasi yang demikian, tentunya bukan menjadi harapan masyarakat, yang dibuktikan dengan upaya-upaya serius dari pemerintah untuk melakukan memberantasan tergadap segala bentuk KKN yang terus menerus dengan diupayakan melalui kegiatan penjegahan dan penindakan. Untuk mengatasi hal tersebut, kemudian pemerintah telah membuat regulasi sebagai payung hukum dalam upaya memberantas korupsi. Berbagai kebijakan pemerintah antara lain meliputi Tap MPR RI No. XI/MPR/1999 dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, serta UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberatasan Tindak Pidana Korupsi dan Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1999 tentang Komisi Pemeriksaan Kekayaan Negara, demikian pula dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berbagai kebijakan tersebut, menunjukkan keseriusan dan tekat pemerintah secara bersungguh-sungguh mewujudkan penyelenggaran pemerintah yang bersih. Praktek-praktek KKN yang tumbuh subur sejak pemeritahan Orde Baru sampai dengan ”orde reformasi” telah menimbulkan berbagai masalah dalam pengelolaan kepemerintahan yang baik. Permasalahan tersebut , antara lain SDM aparatur yang kurang berkualitas dan birokrasi yang semakin gemuk dan kurang efisien. Hal ini dapat kita jumpai diberbagai departemen yang memiliki pegawai yang tidak berimbang antara jumlah pegawai dengan pekerjaan yang harus dikerjakan dan tidak sesuainya antara jenis pekerjaan dengan kemampuan dan ketrampilan pegawai. SDM aparatur saat ini seringkali dikonotasikan dengan SDM yang memiliki tingkat profesionalitas yang relatif rendah. Kondisi semacam ini dapat dilihat pada beberapa indikator berikut; kemampuan pelayanan yang tidak optimal, sebagian besar waktu tidak digunakan secara produktif, dan belum optimalnya peran-peran dalam menemukan terobosan menjalankan tugas sebagaimana diamanatkan. Perlu dicermati adalah dimensi profesionalitas yang terkait dengan seberapa besar sosok aparatur mampu melaksanakan standar kinerja yang telah ditetapkan. Berbagai karakteristik sebagai bentuk dari tanggapan masyarakat terhadap atribut SDM organisasi pemerintah, diidentifikasi dengan ciri-ciri sebagai berikut: (i)
Masih rendahnya tingkat reliability, assurance, tangibility, emphaty, dan responsiveness dalam bentuk pelayanan yang diselenggarakan oleh aparatur
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
11
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
(ii)
Adanya perasaan tidak bangga bekerja pada organisasi bersangkutan (pemerintah), sehingga berkecenderungan tidak atau belum memiliki daya ikat emosional yang terlalu tinggi dengan organisasi
Demikian pula beberapa faktor yang memberikan pengaruh terhadap kondisi rendahnya kemampuan melaksanakan standar kinerja birokrasi sebagaimana diharapkan, adalah: •
Masih belum jelasnya standar kinerja yang dapat diukur untuk menentukan mutu output yang dihasilkan aparatur. Hal tersebut terkait dengan asumsi bahwa seberapapun kualitas dari output kegiatan yang dilaksanakan tidak akan memberikan perubahan terhadap penghargaan kepada aparatur yang bersangkutan. Kondisi ini terkait dengan motivasi. Selanjutnya motivasi dalam hal ini dapat dilihat dari dua hal yakni, kebutuhan terhadap sanksi baik reward maupun punishment. Konsep sanksi yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan adalah salah satu faktor determinan kinerja yang tidak optimal dari aparatur SDM.
•
Pengawasan sebagai bagian dari proses interaksi pembelajaran sekaligus memberikan wahana dijalankannya sistem sanksi, penghargaan tidak atau belum berjalan sebagaimana diharapkan. Konsep pengawasan yang dijalankan saat ini masih merupakan ritual administratif yang tidak memilik banyak manfaat dalam pengembangan SDM Aparatur.
•
Kecenderungan lemahnya kompetensi terkait dengan penggunaan teknologi informasi menuju e-government merupakan salah satu satu tantangan dan kebutuhan. Dan kondisi ini terkait dengan paradigma pragmatis dimana pendidikan dan pemberdayaan SDM masih dipandang belum memberikan kontribusi pada peningkatan kinerja organisasi.
•
Hubungan dan komunikasi yang kurang terbuka diantara aparatur. Hal ini masih terkait dengan kondisi distrust (Fukuyama, 1999) yang ada sehingga memberikan fasilitasi komunikasi diagonal, dan rendahnya gagasan untuk pengembangan karena hubungan masih dilihat dalam konteks “siapa” yang berbicara dan bukan “apa” yang dibicarakannya.
•
Masih besarnya pejabat publik yang diberikan amanah memangku jabatan tertentu berkecenderungan untuk memperkaya diri sendiri (PERC, 2000). Indikasinya adalah kecenderungan untuk memajukan usaha bisnisnya melalui pemanfaatan jabatan yang dimilikinya
•
Program pendidikan dan pelatihan di lingkungan birokrasi, yang terkadang dilaksanakan sendiri oleh kelembagaan bersangkutan tidak kompetitif terkait dengan kebutuhan kompetensi yang diharapkan dari pelatihan; di samping adanya penentuan pelatihan tanpa melalui metode
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
12
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia •
analisis diskrepansi kompetensi kerja yang baik (Padmowihardjo, 2004). Implikasinya adalah pelatihan dilaksanakan untuk formalitas saja.
Rendahnya kualitas SDM aparatur, tercermin dari kondisi: kesejahteraan pegawai, rekruitmen dan pembinaan karir, budaya kerja, dan profesionalisme sumberdaya aparatur yang belum sepenuhnya mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan aparatur negara. Kesejahteraan pegawai di republik ini diakui banyak pihak relatif masih belum layak. Sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan prestasi kerja. Sistem penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai dengan tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi. Saat ini PNS pada tingkat struktural yang sama, pegawai yang memiliki produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif, dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Sistem penggajian yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang produktif dan yang rajing. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap kesempatan melakukan tindakan yang tidak 'jujur', asal dilakukan dengan hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat 'dipertanggungjawabkan secara semu kepada badan pengawas sudah menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat ini. Alasan yang digunakan adalah tidak mungkin bagi pegawai negeri untuk dapat memenuhi standar kehidupan yang layak sesuai dengan ”amanat Undang-Undang 43 Tahun 1999” tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian” dalam pasal 7 Ayat 1, 2, dan 3. Belum lagi jika dicermati mengenai sistem rekrutmen dan sistem pembinaan karir selama ini telah memberikan kontribusi terhadap rendahnya kompetensi dan motivasi pegawai negeri dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Beberapa fakta di dalam pemerintahan menunjukkan bahwa rekrutmen pegawai dilakukan tidak secara terbuka misalnya melalui media massa atau media lainnya yang memiliki akses luas kepada masyarakat. Tindakan KKN telah mendominasi mekanisme penerimaan pegawai di hampir seluruh lembaga pemerintahan termasuk TNI dan Polri. Terdapat bukti pula bahwa pegawai yang masuk melalui mekanisme KKN, tidak menunjukkan kinerja yang diharapkan. Ketidaksesuaian kualifikasi yang dibutuhkan, rendahnya kapabilitas, motivasi, serta tidak adanya kreativitas merupakan keluhan yang sering disampaikan masyarakat terhadap pegawai negeri. Demikian pula, maraknya laporan dari berbagai daerah tentang suap untuk lolos seleksi CPNS telah mendorong lemahnya kepecayaan masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Pembinaan karir yang diharapkan menjadi wadah penggodokan serta seleksi selanjutnya bagi pegawai negeri juga tidak dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap peningkatan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
13
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
kualitas kinerja pegawai negeri. Banyak pengalaman menunjukkan untuk ikut pendidikan dan latihan kepemimpinan, para calon harus membayar sejumlah biaya tertentu hingga bisa mendapat promosi untuk menduduki jabatan yang lebih tinggi. Ini mencerminkan tidak diterapkannya sistem dan mekanisme pembinaan karir pegawai negeri dengan sasaran dan arah yang jelas serta mekanisme yang disepakati bersama. Meningkatnya jenjang karir seharusnya berkorelasi positif dengan meningkatnya kualitas, kapabilitas dan kompetensi pegawai, termasuk di bidang manajerial. Hal ini secara normatif telah tertuang pada Pasa17, pasal 17a PP 13 tahun 2002 tentang Perubahan atas PP 100 tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil dalam Jabatan Struktural dan pasal 6, pasal 7 dan pasal 9 PP 12 tahun 2002 tentang perubahan atas PP 99 tahun 2000 tentang Kenaikan Pangkat Pegawai Negeri Sipil. Meskipun regulasi tersebut tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kualitas, kapabilitas dan motivasi pegawai dalam menjalankan tugas dan fungsinya sebagai pelayan msyarakat. Selain itu, mentalitas dan budaya kekuasaan masih merupakan karakter sebagian besar aparat birokrasi pada masa reformasi. Kultur kekuasaan yang telah terbentuk semenjak masa kerajaan ternyata masih sulit untuk dilepaskan dari perilaku aparat atau pejabat birokrasi. Kultur seperti itu telah menyebabkan perilaku pejabat birokrasi menjadi bersikap acuh dan arogan terhadap masyarakat (Bagir:2002). Perilaku-perilaku tersebut telah menyebabkan antara lain budaya kerja yang tidak disiplin, tidak tepat waktu, menunda-nunda pekerjaan, tidak ada kerjasama dan koordinasi dengan rekan kerja.Perilaku birokrasi yang demikian dapat ditemui pada saat pengurusan pembuatan surat perizinan, yang tidak tepat waktu akibat penundaan suatu pekerjaan, di samping kurang adanya kerjasama dengan diantara pegawai kerja untuk menyelesaikan surat perizinan sesuai waktunya. Demikian pula keprihatinan yang ditujukan atas budaya kerja dan praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) di lingkungan birokrasi yang terus berlangsung tanpa ada gejala pengendalian yang ketat. Selain itu gejala menunda pelayanan ketimbang melanjutkan pelayanan jika pimpinan tidak hadir merupakan gejala tersendiri, betapa keadaan birokrasi dalam memberikan pelayanan publik sangat rendah. Lebih lanjut gejala tersebut dapat dilihat pada Tabel I berikut ini.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
14
Tabel I Inisiatif Pelayanan Birokrasi Saat Pimpinan Tidak Ada
Jenis Tindakan
Sumatra Barat (%)
D.I. Aceh (%)
Sulawesi Selatan (%)
Penundaan Pelayanan
37,3
43,1
49,7
Bantuan rekan kerja
15,3
27,4
10,7
Inisiatif sendiri
47,4
29,5
39,6
Total
100
100
100
N= 287
N= 325
N=300
N= 912 PSKK-UGM : 2002
Namun demikian, pemerintah sebenarnya telah dan terus mengupayakan peningkatkan kualitas SDM aparat birokrasi. Berbagai pendidikan dan pelatihan (Diklat) baik diklat gelar , non gelar, maupun diklat jangka pendek, jangka panjang di luar dan dalam negeri, terbuka kesempatan kepada seluruh birokrat yang memiliki keinginan mengikuti pendidikan dan pelatihan. Kesempatan ini sangat baik terutama bagi mereka yang tingkat pendidikannya SLTA ke bawah untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi minimal sarjana. Demikian juga aparat yang memiliki tingkat pendidikan sarjana dan master diberi kesempatan yang sama untuk melanjutkan pendidikan program master dan doktor. Di sisi lain bahwa birokrasi masih tambun yang berimplikasi pada kurang efisien dan efektifnya dalam melaksanakan tugasnya. Di samping itu, sumberdaya manusia aparatur dalam menjalankan birokrasi masih banyak diisi oleh sumberdaya manusia aparatur yang kurang kompeten pada bidangnya serta mental dan niat baik untuk mewujudkan birokrasi yang bermartabat masih rendah. Kondisi yang demikian, masih membutuhkan penataan ulang kelembagaan agar menjadi instrumen pemerintahan yang bersih, kredibel, efektif dan efisien dalam menjalankan fungsi dan perannya sebagai pelayan masyarakat. Kemudian di era reformasi, kelembagaan birokrasi cenderung masih tambun di samping prilaku arogansi yang dimiliki aparat saat berhadapan dengan masyarakat sebagai pemegang kedaulatan. Hal tersebut terkait dengan rendahnya kesadaran aparatur bahwa kekuasaan/ kedaulatan berasal dari rakyat dengan birokrasi hanya sebagai pelaksana dari amanat saja. Demikian juga di tingkat pemerintahan daerah. Sebagai konsekuensi Undang-Undang Nomor. 22 tahun 1999, kemudian di ubah dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah menyebabkan adanya pemekaran, pelebaran dan pembentukan PEMDA baru yang pada gilirannya memiliki pengaruh terhadap peningkatan jumlah anggaran pemerintah untuk membiayai operasional lembaga-lembaga tersebut dan penambahan jumlah penjabat. Implikasinya adalah semakin
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
15
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
membengkaknya birokrasi. di mana era reformasi struktur jabatan ”khususnya jabatan struktural” semakin banyak. Sementara itu, yang membuat birokrasi sangat lemah kinerjanya adalah mekanismenya yang sangat hirarkis. Ini terlihat dari budaya kerja bahwa setiap pekerjaan/urusan harus menunggu petunjuk, perintah dan persetujuan dari atasan. Akibatnya kreativitas, inisiatif dan sikap kemandirian para birokrat kurang berkembang. Perubahan struktur politik di era reformasi juga mengakibatkan lemahnya dukungan politik terhadap birokrasi. Perubahan struktur kepemimpinan ternyata tidak serta merta menjadikan kinerja birokrasi menjadi baik dan bahkan cenderung sebaliknya. Sebagai contoh, aparat birokrasi yang sejak semula tidak memiliki netralitas politik kemudian menjadi semacam penghambat dari dalam terhadap kinerja birokrasi di bawah kepemimpinan yang baru. Peran-peran dominan dan bersifat monopoli oleh pemerintah di bidang pelayanan publik, ternyata belum banyak mengalami perubahan dalam kaitannya dengan peningkatan kemampuan yang optimal dalam melakukan pelayanan. Hal ini dibuktikan dengan masih dirasakannya infleksibilitas dan unresponsiveness dari organisasi pemerintah dalam menawarkan dan memberikan pelayanan kepada pelanggan. Hal tersebut terkait dengan belum banyak kelembagaan pemerintah yang didesain sedemikian rupa sehingga mampu merespon dinamika masyarakat informasi yang terus berkembang. Artinya perspektif tata aturan suatu pemerintah yang kaku harus mulai dipikirkan dan dipertimbangkan perubahan kearah bondaryless organizations. Kecenderungan orientasi birokrasi hanya kepada Negara “kepada penguasa saja” dan mengabaikan pengabdiannya kepada masyarakat telah memberikan andil ketidakseimbangan peran ketiga aktor baik pemerintah sendiri, masyarakat, dan sektor swasta. Kondisi yang tidak berimbang ini memfasilitasi munculnya pemerintah dengan perilaku kurang bisa bersaing, hal ini disebabkan pemegang monopoli tertentu pada administrasi publik tidak memberikan peluang untuk merespon terhadap kritik. Demikian juga orientasi kepada pelanggan internal yang berlebihan, memberikan kecenderungan yang kurang sehat dimana agak sulit masyarakat memberikan kritik. Gejala tersebut dapat dilihat dengan adanya kecenderungan pertumbuhan organisasi dengan struktur yang semakin gemuk, sebaliknya oprasionalisasi dari setiap unitnya dari organisasi tersebut semakin mengecil. Di samping itu, tidak netralnya birokrasi PNS” selama ini merupakan salah satu akar permasalahan birokrasi pemerintah Indonesia yang menghambat kinerja birokrasi dalam merespon
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
16
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
agenda dan tantangan pembangunan. Masih banyak pengangkatan jabatan eselon I berbagai kementerian, departemen, dan BUMN yang harus disesuaikan dengan nafas politik menterinya. Hal ini menyebabkan tak terhindarkannya proses kooptasi dan intervensi partai politik terhadap birokrasi. Hal tersebut merupakan dampak dari semakin meresapnya sikap, perilaku, sistem dan opini warisan pada era sebelumnya yang tidak bisa menghindari kepentingan kelompok atau golongan tertentu dalam mempertahankan kekuasaan. Meskipun diakui bahwa 3.622.491 PNS masih banyak yang memiliki niat kuat untuk mewakili kepentingan masyarakat pada umumnya. Namun faktor eksternal khususnya partai politik senantiasa tarik menarik untuk merebut hati birokrasi sehingga ada juga PNS yang terpengaruh untuk menjadi anggota dari partai-partai tertetu walaupun itu tidak diperbolehkan menurut aturan main yang terlihat cukup jelas misalnya Pasa13 Undang-Undang nomor 43 tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, secara tegas sudah mengamanatkan netralitas birokrasi terhadap semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif, dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu untuk menjamin agar PNS tetap netral maka setiap PNS dilarang untuk menjadi anggota dan/atau pengurus dari pada salah satu parai politik. Hal tersebut sesuai dalam Pasal 3 ayat 2 dan ayat 3. Akibat tidak dipatuhinya masalah netralitas pegawai negeri yang terdapat dalam berbagai ketentuan di atas membuat rakyat semakin jauh dari pelayanan birokrasi yang berkualitas. Rakyat hanya menjadi objek untuk memenangkan pemilu dan mengantarkan elit pimpinannya menjadi pimpinan negara dan pemerintah. Setelah memenangkan pemilu, partai politik tersebut melupakan kepentingan rakyat dengan memperkaya diri sendiri. Hal itu menunjukkan sangat lemahnya akuntabilitas dan pertanggungjawaban kepada publik. Dengan kata lain, sikap dan perilaku demokratis masih jauh dari yang diharapkan. Selain itu, masih belum tegasnya pengaturan soal boleh atau tidaknya seorang PNS non aktif, saat menjadi pejabat negara, untuk kembali berstatus PNS setelah selesai statusnya sebagai pejabat negara. Ini terkait dengan posisi PNS yang menduduki jabatan struktural yang diduduki setelah menjadi mantan pejabat negara yang kembali berstatus PNS. Dalam bidang pelayanan publik, upaya-upaya telah dilakukan dengan menetapkan standar pelayanan publik, dengan harapan pelayanan yang cepat, tepat, murah dan transparan dapat terwujud. Namun upaya tersebut belum banyak dinikmati masyarakat. Hal tersebut terkait dengan pelaksanaan sistem dan prosedur pelayanan yang kurang efektif, berbelit-belit, lamban, tidak merespon kepentingan pelanggan, dan lain-lain adalah sederetan atribut negatif yang ditimpakan kepada birokrasi. Indikasi tersebut merupakan cerminan bahwa kondisi birokrasi dewasa ini dalam
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
17
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
memberikan pelayanan kepada masyarakat masih belum masyarakat.
sesuai dengan harapan dan keinginan
Latar belakang pemahaman politik yang berbeda dan kepentingan sektoral yang berbeda pula pada birokrat juga memberikan andil dalam merepresentasikan kecenderungan perilaku yang kurang harmoni di antara kelembagaan pemerintah. Kemampuan berkoordinasi dan fokus pada kegiatan untuk maju bersama sukar dilakukan. Aktivitas organisasi terjadi atas hubungan antar peranan. Masing-masing individu yang ada dalam organisasi memiliki peranan, karena peranan akan melekat pada individu-individu atau posisi-posisi yang ada dalam organisasi. Proses koordinasi bertujuan mengurangi salah pengertian dan konflik antara orang-orang yang melakukan berbagai kegiatan, sehingga dapat dipastikan bahwa semua anggota bergerak ke arah tujuan yang sama. Koordinasi harus dilakukan antar anggota, sehingga di antara anggota dapat saling mengerti dan memahami tentang tujuan yang ingin dicapai dalam pelaksanaan tugas guna mencapai tujuan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam koordinasi antara lain adalah adanya kesatuan tindakan, adanya pemusatan tindakan, dan adanya pedoman dalam pelaksanaan koordinasi. Selain koordinasi, komunikasi juga merupakan bagian penting. Komunikasi menunjukkan proses penyampaian pesan dari sumber kepada penerima. Oleh karena itu, komunikasi akan berhasil dengan baik apabila pesan yang disampaikan dapat dimengerti oleh si penerima pesan dan sesuai apa yang dimaksudkan oleh sumber. Besarnya kekuatan hubungan yang bersifat formal yang dicerminkan dalam komunikasi antara staf yang di bawah dengan yang di atasnya yang masih didominasi oleh perasaan “ewuh-pakewuh”. Kondisi ini juga dipengaruhi masih rendahnya penggunaan alat komunikasi bermedia dalam komunikasi antara staf pada bagian bawah dengan atasnya (Sumardjo, 1999). 2.2.
FAKTOR EKSTERNAL
Birokrasi sebagai organisasi pada prakteknya tidak berada dalam ruang hampa. Sebagai organisasi birokrasi dipengaruhi lingkungan yang terdiri dari faktor-faktor atau komponen-komponen yang secara langsung maupun tidak langsung menentukan kinerja birokrasi. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah lingkungan dalam pemerintahan dalam hal ini terkait dengan sistem politik yang ada, dinamika masyarakat yang dilayaninya, maupun lingkungan global sebagai interaksi antar negara. Beberapa faktor pada umumnya bukan merupakan faktor-faktor yang berdiri sendiri, akan tetapi lebih sering faktor-faktor ini saling kait-mengait dalam mempengaruhi dinamika birokrasi. Fakta bahwa birokrasi sangat dipengaruhi oleh lingkungan eksternalnya, dapat dilihat dari perkembangan pelaksanaan birokrasi. Sebagai sebuah organisasi yang pada awalnya didesain untuk
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
18
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
mampu melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan aturan dan hirarki yang sangat ketat, saat ini mulai mengalami beberapa modifikasi dari pemikiran awal. Saat ini justru pemerintahan yang dianggap terlalu “birokratis” dianggap tidak efektif. Pergeseran dan pemikiran kembali birokrasi yang saat ini berlangsung tidak terlepas dari berubahnya kondisi dinamis hubungan antara negara, adopsi demokrasi, dan meningkatnya gelombang teknologi informatika. Birokrasi di Indonesia, dapat dipahami dinamikanya dalam kontek keterkaitan dan saling mempengaruhi faktor-faktor yang dapat dikategorikan sebagai lingkungan eksternal. Lingkungan eksternal yang mempengaruhi birokrasi Indonesia dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama adalah lingkungan global dimana dinamikanya sangat ditentukan oleh interaksi antar negara, cara pandang, serta gelombang IT yang semakin meningkat. Kedua adalah lingkungan yang merupakan kondisi dinamika sistem politik dan pemerintahan Indonesia, interaksi masyarakat Indonesia sebagai bangsa, dan dinamika interaksi antara peran-peran pemerintah masyarakat dan swasta. Namun pembagian lingkungan eksternal birokrasi semacam ini tidak serta merta membagi lingkungan eksternal yang berpengaruh terhadap birokrasi berdiri sendiri dan terlepas satu dengan yang lain, tetapi pemahaman lingkungan eksternal ini tetap dalam pengertian saling ada ketarkaitan satu dengan yang lainnya. Karena faktanya dimensi lingkungan global amat mempengaruhi dinamika pemerintahan termasuk birokrasi suatu negara. Dalam konteks pemikiran semacam itu, lingkungan eksternal memiliki beberapa potensi terhadap birokrasi di Indonesia. Di satu sisi adalah terdapat peluang lingkungan eksternal mampu memberikan fasilitasi dan stimulasi terhadap semakin meningkatnya kinerja birokrasi. Di sisi lainnya lingkungan eksternal berpotensi menjadi ancaman bagi keberadaan birokrasi. Kondisi yang terakhir ini amat mungkin terjadi apabila biokrasi di Indonesia tidak mampu merespon atau mengantisipasi lingkungan eksternal secara tepat. Lingkungan eksternal strategis yang dapat menjadi peluang memicu peningkatan kinerja birokrasi adalah adanya gelombang demoktarisasi yang menjadi mainstream pandangan global. Kondisi menguatnya demokratisasi dapat dilihat dari perkembangan dramatis ketika Uni Sovyet sebagai salah satu blok kekuatan besar dunia runtuh dan berakhirnya perang dingin. Kondisi yang demikian berimplikasi pada semakin besar daya terima global, khususnya dinegara-negara dunia ketiga terhadap implementasi demokrasi dalam kehidupan bernegara. Salah satu indikator yang paling dirasakan dari proses demokratisasi global tersebut, adalah meningkatnya tuntutan akan penerapan prinsip-prinsip ”Good Governance”oleh masyarakat dunia terhadap pelaksanaan pemerintahan. Demokrasi kemudian menjadi salah satu nilai justifikasi yang menentukan daya terima masyarakat dunia terhadap suatu pemerintahan. Implikasinya setiap pemerintahan dituntut
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
19
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
kemampuannya untuk menerapkan prinsip-prinsip demokratisasi dalam melayani masyarakat sekaligus warga dunia. Artinya setiap negara dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam melakukan pelayanan kepada pelanggannya baik internal maupun pelanggan eksternal dengan lebih terbuka, transparan, akuntabel, dan berdimensi dalam kerangka hukum yang kuat. Implikasi dari meluasnya pandangan dunia mengenai demokratisasi yang menjadi idiologi global, tidak terkecuali Indonesia. Arus pandangan global tersebut juga telah berpengaruh besar yang pada akhirnya mengubah seluruh tatatanan pemerintahan dengan terjadinya gerakan reformasi pada tahun 1998. Gerakan reformasi tersebut, menuntut pengelolaan pemerintahan sesuai dengan prinsipprinsip Good Governance, yang antara lain transparansi, akuntabilitas, taat hukum, demokratisasi, partisipasi, desentralisasi, dan keterbukaan. Dewasa ini, tidak dapat disangkal akses masyarakat terhadap perolehan informasi, mengalami kemajuan yang cukup berarti dan relatif lebih mudah bila dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum era reformasi. Demikian halnya, di era sebelum reformasi, kegiatan yang bersifat publik, menjadi monopoli pemerintah, namun pada di era reformasi kegiatan-kegiatan publik, sebagian telah diberikan dan dikelola langsung kepada swasta. Implikasi dari kondisi yang semakin terbukanya pengelolaan kepemerintahan berimplikasi pada semakin mulai menguatnya peranserta masyarakat dalam pengelolaan pembangunan termasuk dalam melakukan pengawasan terhadap jalannya pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan dan pembangunan. Di sisi lain dengan semakin tingginya peranserta masyarakat berimplikasi pada semakin menguatnya peran-peran sipil dalam pengelolaan pembangunan. Dikaitkan dengan keseimbangan tiga pilar dari prinsip Good Governanve yang meliputi keseimbangan peran pemerintah, masyarakat dan dunia usaha memberikan suatu kondisi yang baik, bagi tumbuhnya rasa kebersamaan dalam penyelenggaraan negara. Keberlangsungan penerapan pemerintahan yang baik, dengan sendirinya akan memberikan suatu kondisi yang dinamis di dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, serta evaluasi kerja, sehingga memberikan peluang bagi terciptanya kinerja aparatur pemerintahan sesuai harapan dan tuntutan masyarakat. Pemikiran tersebut di atas dengan asumsi bahwa kalau peran pemerintah yang kuat, akan mendorong penerapan secara konsistensi terhadap seluruh peraturan perundang-undangan, kemudian kalau asumsinya peran masyarakat yang menguat mendorong terfasilitasinya pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Demikian halnya kalau peran dunia usaha semakin kuat, akan mendorong menguatnya ekonomi masyarakat. Oleh karena itu kalau ketiga pilar tersebut dilakukan penguatan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
20
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
secara terintegrasi, akuntabel.
maka
akan melahirkan suatu pemerintahan yang kokoh, kuat, bersih dan
Salah satu pemikiran yang mengatakan bahwa menguatnya peran masyarakat, merupakan salah satu indikasi kehidupan demokrasi mulai bersemai dan tumbuh (Fukuyama, 2000). Hal terkait dengan peran masyarakat yang merupakan penyeimbang daripada peran-peran yang dilakukan oleh pemerintah dan dunia usaha. Namun demikian kondisi ini amat dipengaruhi sejauhmana keseimbangan selain peran pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, juga dibutuhkan saling keterkaitan dari ketiganya. Kondisi ini mengandung pengertian bahwa pemerintah sebagai pelaksana amanah kekuasaan yang diberikan oleh rakyat, diharapkan mampu menjadi dinamisator, sehingga rakyat mempunyai kewenangan dalam memberikan kontribusi dan mengawasi terhadap apa yang menjadi keputusan. Dengan demikian peluang dan kesempatan ikut dalam pembuatan keputusan (involvement ot the citizen in decision making) benar-benar dijamin sebagai suatu hak seluruh warga tanpa kecuali. Selain itu kesadaran dan upaya memberikan peluang yang lebih besar terhadap peran-peran masyarakat, di dalam era reformasi telah mulai kelihatan hasilnya. Kondisi ini dapat dilihat dari peran-peran Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang sudah menjadi bagian aktif dalam proses pembangunan. Peran-peran pemberdayaan masyarakat yang dilakukan LSM telah mengantarkan proses pembelajaran yang cukup bermanfaat bagi masyarakat. Dalam satu sisi masyarakat semakin sadar akan haknya sebagai warga negara, di sisi lain pemerintah juga semakin menyadari akan arti penting melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang pada hakekatnya menyangkut kepentingan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian pembangunan berorientasi masyarakat memberikan ruang bagi masayarakat untuk menemukenali masalahnya sendiri untuk kemudian dicarikan pemecahannya, dengan fasilitasi dari pemerintah. Jadi peran fasilitasi untuk memberdayakan masyarakat memberikan suatu iklim yang kondusif, sehingga birokrasi perlu terus berbenah diri dalam memperbaiki kenerjanya terkait dengan kemampuan bagaimana melakukan birokrasi proses fasilitasi tersebut dapat dijalankan dan dioptimalkan. Pemikiran ini menghantarkan pada kehidupan yang melaksanakan aktivitas edemocracy, panel warga, focus group, referendum, dan bentuk lainnya sebagai bagian urgen bagi pemerintah untuk terus meningkatkan kemampuannya, yang berarti mendekatkan hasil kinerja dengan harapan dan kebutuhan yang menjadi khalayaknya. Implikasi lain mulai menguatnya demokratisasi di Indonesia adalah semakin menguatnya tuntutan untuk memperoleh pelayanan publik yang lebih baik dari birokrasi. Keadaan ini banyak dilatarbelakngi oleh kesadaran terhadap hak-hak sebagai konsumen yang telah melakukan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
21
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
kewajibannya dalam hal ini membayar pajak. Kesadaran terhadap hak diartikulasikan dalam bentuk tuntutan perbaikan pelayanan yang diselenggarakan oleh pemerintah, yang diharapkan terdapat pelayanan publik yang “ faster, cheaper, better…”. Aktifitas pelayanan yang berorientasi pelanggan dalam arti sebenarnya dengan demikian menjadikan birokrasi tidak boleh lagi berorientasi hanya kepada pelanggan internal, yakni pemerintah. Karena dalam pengertian pelanggan maka pelanggan sesungguhnya adalah pelanggan eksternal dalam hal ini masyarakat luas. Kemampuan memberikan pelayanan yang lebih baik akan dapat dilakukan apabila pemerintah mampu untuk menilai secara seksama, apakah sebenarnya kebutuhan para pelanggannya. Dalam konteks pelayanan ini, upaya memberikan pelayanan yang lebih baik oleh pemerintah salah satunya dengan melakukan desentralisasi sebagaimana diamanatkan dalam UU No 32 dan No 33 tahun 2004. Dengan demikian desentralisasi merupakan salah satu jawaban untuk mendekatkan dan mengefektifkan pelayanan kepada pelanggan. Asumsinya pemerintah daerah yang kemudian memiliki kewenangan, memiliki pelanggan sendiri-sendiri dengan karakteristik yang berbeda-beda. Desentralisasi yang memberikan kewenangan lebih besar kepada pemerintah daerah merupakan peluang yang menguntungkan dilihat dari perspektif upaya mengoptimalkan dan upaya membuat pelayanan lebih tepat sasaran dan berdaya guna. Prinsip dasar yang terkandung dari kedua UU tersebut adalah keinginan untuk meningkatkan pelayanan yang lebih tepat, lebih baik, lebih responsif dalam kepada masyarakat. Asumsinya adalah pemerintah daerah yang paling mengetahui masalah dan kebutuhan masyarakatnya. Dengan demikian, sesungguhnya birokrasi Indonesia saat ini, reformulasi kembali paradigma pengelolan pelayanan. Reorientasi dimaksudkan bahwa tuntutan pelayanan secara menyeluruh tidak lagi dilakukan secara terpusat, tetapi telah dapat dilaksanakan oleh pemerintah Daerah. Kemampuan menangkap momentum ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi birokrasi di Indonesia. Selain demokratisasi keadaan dunia saat ini berbeda jauh dengan dunia sebelumnya ketika era teknologi informasi (TI) belum hadir, dunia saat ini seperti sebuah desa global dengan sekat-sekat geografis dan kewilayahan semakin kabur sebagai akibat perkembangan TI yang begitu pesat. Gelombang kecepatan teknologi informasi telah menghantarkan perubahan-perubahan yang sangat cepat. Teknologi informasi juga telah merubah perkembangan global yang jauh berbeda dibanding sebelum era informatika lahir. Kejadian apapun mengenai suatu pemerintahan di belahan bumi manapun dapat disaksikan pada saat yang sama di belahan bumi lainnya. Era teknologi informasi yang semakin cepat telah memberikan suatu implikasi bahwa informasi menjadi sesuatu yang sangat penting. Gelombang atau fase menguatnya teknologi informasi telah memberikan ruang hidup
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
22
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
tersendiri bagi birokrasi yang belum pernah terbayangkan sebelumnya. Teknologi informasi telah menghantarkan kehidupan dunia yang semakin tidak ada batasnya. Suatu gagasan atau ide yang berasal dari tempat lain akan sangat mudah diketahui, didialogkan, dan apabila bermanfaat pastilah akan diadopsi. Budaya dari belahan dunia manapun mudah untuk diketahui. Informasi yang cepat diterima akan menimbulkan pemaknaan atas informasi. Apabila suatu informasi berkenaan dengan pemerintahan dan pelaksanaan birokrasi di suatu negara dinilai baik, maka akan memunculkan efek image yang baik terhadap pemerintahan tersebut. Dan kondisi seperti ini mendatangkan implikasi lebih luas berkenaan dengan persepsi terhadap bangsa, kualitas pemerintahan, stabilitas politik, dan banyak aspek lainnya. Pada gilirannya informasi yang diterima oleh warga dunia akan berimplikasi pada sejauh mana warga dunia merespon untuk menanamkan investasi, sejauhmana rasa keamanan dapat tumbuh dan sejauhmana suatu pemerintahan dipercaya oleh warga dunia. Pada perkembangan selanjutnya tuntutan kinerja birokrasi kemudian diukur dengan indikatorindikator yang sama dengan kinerja birokrasi di tempat lain. Dengan demikian TI telah mengahantarkan semakin diterimanya produk massal berupa gagasan oleh penduduk dunia. Tersedianya TI dalam mendukung metode dan mekanisme kerja: e-government, e-procurement, ebusiness, e-audit atau tesedianya TI dalam mendukung kerangka hukum dan kebijakan: semisal cyberlaw, telecourt. Terkait dengan kondisi seperti ini, maka birokrasi Indonesia memiliki peluang untuk mampu mendongkrak kinerja pemerintah dengan memanfaatkan teknologi yang semakin berkembang. Teknologi informasi mampu dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya menyerap informasi dari pelanggan (masyarakat) secara cepat dan murah. Pengetahuan yang tepat terhadap harapan dan kebutuhan pelanggan pada dasarnya diharapkan dapat memberikan implikasi kemauan meningkatkan kompetensi, kemampuan untuk menggali potensi dan cara baru guna meningkatkan daya saing atau melakukan aliansi strategis (innovator entrepreneual bureaucracy) seiring dengan tuntutan perkembangan teknologi yang semakin cepat. Selain gelombang demokratisasi dan era teknologi informasi, maka faktor global yang dapat menjadi peluang dan tantangan bagi birokrasi di Indonesia adalah semakin terintegrasinya ekonomi regional dan dunia yang mewujud dalam kelembagaan mengatur ekonomi bersama seperti AFTA, APEC, WTO. Dalam kesepakatan dan teritegrasinya perekonomian dunia terkandung pesan singkat baik bahwa kemampuan beradaptasi dan berkompetisi dalam memuaskan pelanggan (masyarakat) dimanapun menjadi standar dan nilai yang amat vital. Artinya pemerintah di setiap negara dituntut untuk memperbaiki kinerjanya sehingga mampu memberikan standar pelayanan yang berimplikasi pada kemampuan bersaing dengan negara lain yang pada gilirannya merupakan upaya
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
23
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
mempertahankan eksistensi diri bangsa dan negara, dan upaya merealisasikan cita-cita bangsa yakni meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Kemampuan bersaing suatu negara dalam konteks ini dipengaruhi oleh seberapa cerdas suatu pemerintah mampu mengelaborasi potensinya untuk meningkatkan kemampuannya dan seberapa kompeten birokrasi mampu merespon dan melaksanakan fungsinya dikaitkan dengan tuntutan kualitas yang semakin deras. Kemampuan birokrasi dalam merespon dan beradaptasi dengan dinamika lingkungan seperti ini akan berpengaruh terhadap “daya jual” suatu negara sehingga negara atau warga negara lainnya tertarik berinvestasi. Dan kondisi ini mampu memberikan dinamika yang lebih besar dalam memutar roda perekonomian negara tersebut. Terintegrasi ekonomi dunia dapat dikatakan berpotensi menjadi peluang bagi pemerintahan Indonesia untuk meningkatkan kualitas pelayanan sehingga Indonesia melalui fasilitasi birokrasi menjadi salah satu negara yang diperhitungkan sebagai tempat investasi yang dapat dipercaya. Karena ekonomi yang terintegrasi menggunakan indikator-indikator yang sama dalam melihat dan menilai pemerintahan suatu negara. Artinya standar minimal pelayanan oleh birokrasi di Indonesia harus mampu meyakinkan para investor bahwa Indonesia layak ditempatkan sebagai tujuan investasi. Apa yang telah diuraikan sebelumnya pada dasarnya adalah potensi-potensi positif implikasiimplikasi perubahan dan dinamika global yang berpengaruh terhadap dinamika di Indonesia yang dapat dijadikan dasar perlunya meningkatkan kinerja birokrasi. Peluang-peluang tersebut akan memberikan fasilitasi dan stimulasi sehingga birokrasi memiliki momentum untuk meningkatkan kinerjanya. Namun demikian perlu disadari bahwa lingkungan eksternal juga memiliki suatu kondisi yang dapat mengancam eksistensi birokrasi di Indonesia. Eksistensi dalam pengertian ini adalah bagaimana peran birokrasi tetap aktual, mampu merespon perkembangan dan dapat diterima oleh pelanggannya. Dalam kutipan panjang dari The Communist Manifesto, John Micklethwait dan Adrian Wooldridge mengutip pandangan Marx dan Engels justru dalam konteks argumentasi tentang keniscayaan globalisasi. Menurut mereka, nabi sosialisme tersebut sesungguhnya telah meramalkan globalisasi ekonomi yang tak tercegahkan dan punya dampak luas sekali, yang tak sepenuhnya dapat dihadapi oleh negara-negara yang tidak siap untuk itu. Mereka berpendapat, ada paradoks dari globalisasi berupa kuatnya dan tak tertahankannya proses globalisasi di satu pihak, dan di pihak lain adanya kerawanan (fragility). Menurut mereka, paradoks inilah yang menjadi tantangan terbesar dalam abad baru ini (Syahrir, 2001). Globalisasi telah menghilangkan batas geografis bangsa-bangsa di dunia. Gagasan-gagasan dasar penyelenggaraan pemerintahan semakin hari menunjukkan kecenderungan mengerucut pada
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
24
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
gagasan upaya melayani pelanggan internasional sebaik mungkin. Dalam konteks inilah birokrasi Indonesia berada. Birokrasi Indonesia bersaing dengan birokrasi negara lain. Ini terkait dengan persoalan keunggulan-komparatif kita di mata para penanaman modal internasional. Beberapa pengusaha/pemodal yang telah membatalkan untuk menanamkan modalnya di Indonesia, karena alasan klasik yaitu biaya-sampingan yang relatif sangat tinggi untuk membuka usaha di Indonesia, di samping itu juga berkaitan pengurusan izin yang bertele-tele di lingkungan birokrasi, serta tidak adanya jaminan keamanan dalam mengelola usaha. Demikian pula, masih terbangunnya asumsi di kalangan birokrasi yang dilayani bukannya melayani. Ini terkait dengan kecenderungan birokrasi menjadi monopoli terhadap produk layanan. Di era reformasi birokrasi harus mampu berkompetisi dengan perdagangan internasional. Kalau birokrasi yang berbelit-belit, akan berimplikasi pada produk dagangan Indonesia di pasar internasional lebih mahal dibanding barang serupa dari negara lain akibat biaya yang tidak tertuga yang membengkak. Ekonomi biaya tinggi, yang antara lain diakibatkan oleh cara kerja birokrasi yang tidak profesional, menjadikan daya-saing kita lemah. Akibatnya kegiatan produksi dan industri pada umumnya menurun. Banyak tenaga kerja kemudian menganggur, atau terpaksa menyelundup ke Malaysia dan menjual harga diri di Arab Saudi untuk mencari penghidupan (Wibawa, 1998). Dengan memahami fenomena globalisasi akan memberikan kesadaran bahwa kinerja birokrasi kita senantiasa dipantau oleh orang lain. Maka ketika birokrasi Indonesia belum menunjukkan kinerja yang optimal berdasarkan lembaga-lembaga pemantau Internasional, maka yang terjadi adalah investasi ke Indonesia tidak bergerak, karena investor berprinsip wait and see. Dengan demikian, pemahaman globalisasi tidak sekedar kondisi keterkaitan antar negara, lebih jauh dari itu adalah pencitraan yang tercipta dari kinerja Birokrasi Indonesia yang berdampak terhadap perekonomian Indonesia, yang pada perkembangan selanjutnya berdampak pada kesejahteraan bangsa Indonesia. Atas kondisi ini maka Niall Ferguson mencoba menjelaskan betapa birokrasi yang memungut pajak, parlemen atau lembaga demokrasi, utang nasional dan Bank Sentral, terkait satu sama lain dan bila lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi secara baik, maka akan diperoleh masalah yang cukup serius dari sisi bagaimana suatu sistem demokrasi berlaku (Syahrir, 2001). Pernyataan atas kondisi birokrasi yang kurang baik sebagaimana diungkapkan di atas, memberikan pengertian bahwa Birokrasi akan berdampak kepada pencitraan Indonesia di luar dan memberikan kontribusi yang kurang optimal dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah dalam memberikan pelayanan publik, regulasi, proteksi maupun distribusi. Bila kita lihat birokrasi dewasa ini, memang sulit untuk bersikap optimistis dalam membangun kinerja yang lebih baik dalam memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Sebagai illustrasi
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
25
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
bahwa birokrasi yang ada sekarang dapat efektif menjadi institusi tugas dan fungsi memungut pajak dari masyarakat, bilamana birokrasi itu sendiri tidak memiliki kemampuan dan kejujuran sesuai yang dibutuhkan dalam melaksanakan tugasnya. Demikian halnya bagaimana mungkin birokrasi sebagai organisasi yang melaksanakan dan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi dan distribusi, kalau kemampuan untuk melaksanakan masih jauh dari harapan masyarakat. Sehingga harapan dari keseluruhan fungsi-fungsi tersebut belum mampu mencerminkan yang lebih baik sampai di era reformasi dewasa ini. Birokrasi sebagai mesin dari pemerintah, pada dasarnya memproduksi barang baik dalam bentuk benda maupun jasa untuk kepentingan seluruh warga tanpa kecuali. Namun birokrasi yang memonopoli memproduksi barang untuk kebutuhan dan kepentingan publik, kecenderungan mengalami kesulitan pada proses produk dan layanan sampai kepada masyarakat. Apabila ketidakmerataan dan ketidakadilan ini terus-menerus, maka pelayanan yang berpihak pada golongan tertentu saja, ini akan memunculkan potensi yang bersifat berbahaya, kecemburuan dan disitegritas dalam kehidupan berbangsa. Potensi ini antara lain terjadinya disintegrasi bangsa, perbedaan yang lebar antara yang kaya dan miskin dalam konteks pelayanan, peningkatan ekonomi yang lamban, dan pada tahapan tertentu dapat meledak dan merugikan bangsa Indonesia secara keseluruhan. Kecenderungan birokrasi ”yang berpihak” kepada salah satu segmen pelanggan, misalnya pada golongan yang memiliki uang atau yang mampu membayar berpotensi untuk merusak citra birokrasi secara institusional dan bisa berimplikasi luar terhadap keutuhan bangsa. Selain itu akan semakin meruncingkan secara psikologis perbedaan orang kaya dan kalangan miskin (the have little). Di samping harapan birokrasi sebagai institusi yang netral sesuai amanah UU Nomor 43 Tahun 1999, relatif belum dilaksanakan secara utuh. Itu dapat dilihat bagaimana oknum tertentu yang senantisa mendekatkan diri atau berafiliasi pada partai politik tertentu untuk mendapatkan suatu jabatan tertentu. Di samping itu aparat birokrasi masih melakukan aktivitas ekonomi baik pada waktu jam kerja maupun sesudah jam kerja, yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya. Hal lain yang perlu dicermati dalam perilaku birokrasi kita adalah netralitas terhadap pemimpin terpilih. Terdapat kecenderungan bahwa birokrasi umumnya cenderung melakukan afiliasi politik terhadap pemerintah berkuasa. Gejala ini berdampak negatif terhadap suportifitas pelayanan kepada seluruh lapisan masyarakat. Oleh karena itu, salah satu pertimbangan penting yaitu perlunya memperkuat netralitas birokrasi, adalah untuk menjaga kemampuan melayani pelanggan internal maupun eksternal tanpa diskriminatif. Karena apabila tidak demikian maka sesungguhnya reformasi
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
26
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
politik yang sedang dijalankan akan menemui batu sandungan ketika birokrasi belum mampu menempatkan dirinya dalam koridor netralitas. Pada saatnya lemahnya kemampuan untuk bersikap netral akan menyebabkan terjadinya stagnasi Reformasi. Pemerintah Indonesia dalam perkembangannya telah berusaha merespon dinamika lingkungan, dengan memberikan kewenangan lebih besar kepada daerah untuk menyelenggarakan pengelolaan daerahnya. Implementasi UU No. 32 dan 33 tahun 2004 telah mengisyaratkan komitmen pemerintah dalam menyikapi dinamika masyarakat. Namun dalam implementasinya otonomi daerah masih memunculkan fenomena-fenomena yang sebenarnya tidak diharapkan. Fenomena yang dimaksud adalah kurangnya keterkaitan kegiatan antar wilayah, munculnya daerah-daerah miskin baru karena kompetisi yang tinggi antar wilayah, meningkatnya keinginan untuk meningkatkan pembanguna di daerahnya sendiri tanpa memperdulikan daerah lain, potensi peningkatan disparitas antar-daerah karena perbedaan sumberdaya yang dimiliki, dan kecenderungan konflik pengelolaan SDA antar daerah dan antara daerah dengan pusat. Terdapat banyak alasan yang berusaha memberikan argumen terhadap kondisi ini. Namun bila di kelompokkan maka alasan munculnya fenomena yang cenderung dapat dikategorikan negatif tersebut adalah: •
Cukup lamanya berada dalam kondisi sistem pemerintahan yang sentralistik telah memberikan nuansa yang kuat munculnya distrust antar daerah.
•
Birokrasi yang merupakan organisasi yang memberikan pelayanan sejak lama telah dikenal sebagai organisasi yang mengabdi kepada penguasa, sehingga orientasi pelayanan di daerah pun masih memiliki nuansa yang kuat mengabdi kepada penguasa daerah
•
Kerangka pemikiran otonomi belum dimaknai secara benar. Pemikiran yang menguat adalah bahwa otonomi daerah adalah upaya untuk mengelola daerah dengan sumberdaya sendiri untuk kesejahteraan masayarakatnya sendiri. Dalam konteks pengertian ini terdapat pemahaman yang cenderung memaknai otonomi dengan bekerja secara sendirian. Semestinya otonomi adalah upaya untuk memaksimalkan peran daerah dalam memenuhi kebutuhan masyarakat untuk menjadi lebih sejahtera dengan jalan memampukan masyarakat, menjalin sinergi, dan mengkonstruksi aktivitas yang dapat memberikan kontribusi yang menguntungkan pada daerah-daerah yang saling bersinergi.
Kondisi semacam ini merupakan fenomena yang harus dihadapi oleh birokrasi di Indonesia. Dengan demikian tantangan terbesar birokrasi adalah bagaimana birokrasi mampu menjalankan kinerja yang mampu mempererat daerah dalam bingkai NKRI.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
27
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Pemahaman terpenting dari paparan kondisi birokrasi Indonesia adalah bahwa bergeraknya roda reformasi politik, akan sulit mencapai hasil maksimal seandainya belum dibarengi dengan reformasi birokrasi. Bila reformasi politik merupakan upaya meletakkan prinsip-prinsip demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, maka reformasi birokrasi merupakan upaya untuk mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi dalam konteks pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah yang penting yaitu pelayanan publik, regulasi, distribusi dan proteksi. Banyak masalah yang melingkupi birokrasi di Indonesia, baik secara internal maupun eksternal di mana birokrasi berada. Kajian ini diarahkan untuk mengoptimalkan kekuatan–kekuatan birokrasi dan meminimalkan atau bahkan meredusir kelemahan-kelemahan yang ada untuk menangkap peluang dan mengantisipasi tantangan dan ancaman yang semakin hari semakin bertambah dan semakin kompleks. Apabila dicermati maka pada dasarnya terdapat beberapa hal penting yang sesungguhnya merupakan kekuatan-kekuatan birokrasi di Indonesia. Dan apabila kekuatan ini dapat dimanfaatkan, pastilah berpotensi menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan birokrasi sebagaimana diharapkan. Kekuatan-kekuatan tersebut yaitu bahwa birokrasi ditinjau secara kelembagaan telah memiliki perangkat yang memadai. Yang dimaksud perangkat disini adalah keberadaan organisasi yang jelas, SDM yang cukup besar untuk mengawaki birokrasi disamping adanya kecenderungan peningkatan keterampilan karena adanya sistem pelatihan yang berjalan cukup baik, dan sebenarnya juga terdapat sistem manajemen yang mampu mengoperasionalkan sekaligus pola pengawasan fungsi-fungsi pemerintah yang menghasilkan pelayanan kepada masyarakat. Selain adanya sistem pengawasan internal yang relatif cukup baik, terdapat kondisi atau iklim kehidupan demokratis yang semakin meningkat yang dapat ditunjukkan dengan semakin menguatnya peran pers sebagai salah satu instrumen penting dalam kehidupan demokrasi. Ditambah lagi implmentasi otonomi daerah merupakan harapan baru yang memberikan ruang gerak birokrasi untuk lebih mendekatkan pelayanan kepada masayarakat dan lebih akurat mengenali kebutuhan masyarakat. Di samping kondisi-kondisi yang bersifat positif tersebut, harus diakui terdapat beberapa kelemahan yang masih melekat pada birokrasi Indonesia yang secara umum dapat disebutkan antara lain masih belum kuatnya posisi birokrasi terkait dengan relasinya terhadap pemerintah berkuasa. Dalam hal ini terdapat kecenderungan bahwa birokrasi masih belum mampu membuat orientasi yang berimbang antara pelayanan terhadap pelanggan internal dengan pelanggan eksternal, berturut-turut hal ini adalah pelanggan negara sendiri dan pelanggan masyarakat. Jadi masih terdapat kecenderungan birokrasi mengabdi kepada kepentingan pemerintah berkuasa. Kondisi seperti inipun terjadi di daerah.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
28
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Dalam konteks lokal terdapat beberapa pemahaman umum bahwa implementasi otonomi daerah ternyata masih dimaknakan secara tidak tepat, sehingga terjadi proses seakan-akan “pengaplingan wilayah” sebagai implementasi pemahaman otonomi yang bersifat kewilayahan. Kemandirian belum dimaknakan sebagai peluang sinergi dan membentuk networking antardaerah, tetapi justru terdapat kecenderungan meningkatkan persaingan yang ujung-ujungnya kurang bermanfaat kepada masyarakat. Terdapat beberapa kasus misalnya seperti bangunan fisik kantor pemerintah yang demikian megah, sementara pihak lain masyarakat daerah bersangkutan belum sejahtera. Di samping kelemahan seperti ini terdapat kenyataan bahwa dalam implementasinya sistem manajemen yang sudah tersedia dalam biokrasi belum berjalan sebagaimana diharapkan. Artinya pengelolaannya masih belum berjalan on the right track. Kondisi-kondisi ini memunculkan menyuburnya penyimpangan pelaksanaan, koordinasi yang belum berjalan antar lembaga, dan masih lemahnya merit sistem aparatur di kalangan pelaksana birokrasi. Demikian pula, dapat kita lihat dari kenyataan semakin diakuinya pandangan sinis, bahwa bila bekerja sebagai PNS, maka antara seseorang yang berprestasi atau tidak berprestasi tidak terdapat perbedaan disebabkan reward-nya sama saja. Apabila kondisi ini terjadi terus menerus, maka bukan tidak mungkin reformasi politik yang saat ini terus bergulir dan sedang berproses, tidak akan mencapai hasil maksimal, dan pada perkembangan selanjutnya terjadi stagnasi reformasi. Kondisi semacam ini bukan tidak mungkin mengingat proses reformasi politik yang berlangsung, tanpa secara simultan disertai dengan reformasi birokrasi akan semakin membuat masyarakat tidak puas. Pada perkembangan selanjutnya masyarakat akan apatis terhadap perkembangan reformasi yang sedang berjalan. Pada faktanya terdapat tantangan dan ancaman yang besar bila birokrasi tidak segera dibenahi. Rakyat yang semakin sadar dan tahu politik, kehidupan dunia pers yang semakin meningkat, sudah pasti akan memunculkan tuntutan-tuntutan pelayanan yang semakin besar dan meningkat dari segi kualitas maupun kuantitasnya. Fakta yang lain adalah semakin terintegrasinya dunia dalam kelembagaan-kelembagaan ekonomi bersama, pandangan dunia yang semakin meningkat (menjadi mainstream) terhadap perspektif kehidupan demokratis, yang memiliki konsekuensi hanya pemerintah dan birokrasi yang credibel, akuntabel, transparan, dan terbuka, dan memiliki kerangka hukum yang jelas yang akan eksis dan diminati warga dunia untuk memutar roda ekonomi melalui investasi. Pemahaman terhadap kekuatan dan kelemahan birokrasi dengan lingkungan strategis eksternal yang dapat mengancam birokrasi sendiri dan keseluruhan pemerintahan yang melayani rakyat
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
29
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Indonesia, memberikan pemaknaan lain bahwa masih terdapat peluang yang sangat berpotensi mengangkat birokrasi untuk lebih berperan optimal sebagaimana diharapkan dan diamahkan. Dengan kesadaran kekuatan dan kelemahan serta tantangan yang dihadapi, sebenarnya birokrasi memiliki peluang meningkatkan kinerja justru dalam konteks semakin derasnya tuntutan perbaikan, semakin meningkatnya partisipasi masyarakat dan kesadaran politik, serta standar yang jelas dari dunia Internasional mengenai kinerja birokrasi yang baik. Dari paparan diatas dapat dicermati bahwa secara keseluruhan terdapat faktor-faktor yang bisa mendorong timbulnya pembaharuan aparatur negara/pemerintah terkait dengan birokrasi sebagai sistem (Thoha, 2004) yaitu: Adanya kebutuhan melakukan perubahan dan pembaharuan Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis nasional Memahami perubahan yang terjadi di lingkungan strategis global Memahami perubahan yang terjadi dalam paradigma manajemen pemerintahan Dengan demikian terdapat beberapa pemikiran terkait dengan pembenahan birokrasi yang mempertimbangkan lingkungan strategis internal dan eksternal serta birokrasi, yakni: Pertama, seiring dengan berjalannya reformasi politik, maka reformasi birokrasi dapat segera diupayakan dengan menguatkan kembali kemampuan untuk berperilaku kredibel, akuntabel, transparan, keterbukaan, dan kerangka hukum yang jelas sehingga menjadi ruh sekaligus jasad dari birokrasi Indonesia. Artinya perlu diupayakan secara sungguh-sungguh agar kinerja birokrasi berkompetensi menjadi pemerintahan yang baik dan bersih, yang mampu memberikan ruang sehingga terjadi perimbangan peran antara pemerintah di satu sisi, dengan peran swasta dan masyarakat di sisi lainnya. Kedua, Selaras dengan semakin menguatnya tuntutan terhadap penerapan dan aktualisasi tata kepemerintahan yang baik, maka harus diupayakan suatu upaya sungguh-sungguh dan terencana dalam rangka menginternalisasikan prinsip-prinsip good governance (GG) sebagai nilai dalam keseluruhan pelaksanaan birokrasi. Artinya harus terdapat suatu sistem yang menjamin agar GG tidak hanya sekedar paradigma, akan tetapi merupakan nilai yang teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari, utamanya tercermin dalam kerangka keseimbangan peran pemerintah, masyarakat, dan swasta.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
30
Gambaran Umum Birokrasi di Indonesia
Keadaan ini memerlukan daya dukung lingkungan (sistem dan kelembagaan) dan kemampuan aparatur SDM. Ketiga, Dorongan kebutuhan untuk perubahan dalam rangka merespon dinamika lingkungan lokal dan global yang semakin kompleks dan penuh persaingan memerlukan dukungan kompetensi dari SDM aparatur. Keberhasilan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintah akan sangat ditentukan seberapa kompeten SDM aparatur dalam memegang jabatannya (Jobs). Implikasinya diperlukan suatu upaya untuk menjamin agar terjadi proses pembelajaran yang berkesinambungan dan peningkatan diri terus-menerus dan upaya terencana untuk mengidentifikasi kesenjangan kinerja dan merespon dengan solusi yang tepat dan efektif. Keempat, kesadaran terhadap implementasi fungsi-fungsi penting pemerintah pada dasarnya mengerucut pada pelayanan publik yang optimal. Artinya harus diupayakan dengan sungguh-sungguh agar birokrasi memiliki kompetensi orientasi pelanggan internal dan eksternal yang jelas dan berimbang. Sehingga tidak dikenal lagi birokrasi yang melayani dirinya sendiri atau hanya melayani Pemerintah, birokrasi yang tidak memiliki ukuran dasar (bottom line) untuk dinilai kinerjanya, dan tidak dikenal lagi birokrasi yang mewujud sebagai agen yang berpotensi memunculkan polarisasi karena perbedaan pemberian pelayanan terhadap kelompok masyarakat berpunya (the have) dengan kelompok masayarakat yang kurang beruntung (the have not atau the have little). Kelima, Pelaksanaan desentralisasi yang pada ujungnya adalah memeratakan kesejahteraan dan keadilan serta semakin mendekatkan pelayanan kepada masyarakat dengan upaya desentralisasi melalui otonomi harus tetap menjaga kesatuan dalam bingkai NKRI yang mewujud pada otonomi masyarakat dan bukan pada otonomi wilayah. Artinya harus diupayakan dengan sungguh-sungguh pemerintah daerah yang mampu menjalin sinergi (networking) dengan pemerintah daerah lain, dan juga pemerintah pusat untuk mengupayakan orientasi pelayanan yang tepat terhadap masyarakat. Dengan demikian tidak dikenali lagi birokrasi pemerintah daerah yang menjalankan fungsi-fungsi dengan hanya bersandar pada sentimen kedaerahan yang berujung pada egoisme daerah dan menjebak birokrasi untuk hanya melayani kepentingan pemerintah daerah, tetapi melupakan substansi dan esensi fungsi pemerintah yang melayani masayarakat. Kelima pemikiran di atas pada dasarnya adalah upaya-upaya yang perlu dipikirkan dalam membenahi birokrasi, terkait dengan interaksi ligkungan strategis internal birokrasi dan lingkungan eksternal birokrasi Indonesia yang harus dihadapi. Konsekuensinya pemikiran-pemikiran ini perlu dipertajam sehingga dapat memberikan arah yang jelas bagaimana upaya membenahi birokrasi yang lebih sistemis, terstruktur, dan menukik pada akar masalah birokrasi. Diharapkan pendalaman
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
31
terhadap pemikiran ini menghantarkan pada penjabaran yang lebih jelas terhadap faktor-faktor atau determinan-determinan yang melingkupi masalah birokrasi.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
32
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
BAB III ISU STRATEGIS REFORMASI BIROKRASI
Pemahaman terhadap kata “birokrasi” dalam masyarakat umumnya mengarah kepada suatu pemaknaan dengan konotasi yang negatif. Walaupun pengertian awal dari birokrasi sebenarnya adalah merujuk pada proses dan ketatalaksanaan untuk mengatur urusan-urusan publik dengan segala maksud untuk memudahkan, memperlancar proses (birokrasi weberian), namun pada saat ini konotasi birokrasi memiliki stigma yang tidak baik. Kata birokrasi sering diasosiasikan dengan perilaku pemerintah yang merujuk pada inefisiensi, kelambanan, berbelit-belit, dan nada miring lainnya. Bila ditelaah lebih jauh pemaknaan dengan diskripsi dari sekumpulan karakter tidak baik yang menunjukkan betapa frustrasinya masyarakat ketika berhubungan dengan organisasi publik yang terlalu “birokratis”. Kondisi seperti ini kemudian memunculkan kerancuan hubungan antara pemerintah dengan rakyat yang dilayaninya. Dalam pemerintah dengan rakyat dalam kehidupan berbangsa, maka semua level yang dianggap pemerintah (government) pada hakikatnya memperoleh mandat dari rakyat sebagai pemegang kedaulatan. Artinya pemerintah dalam hal ini memperoleh sebagian kekuasaan dari rakyat untuk melaksanakan proses fasilitasi atas kebutuhan rakyat yang bervariasi, beragam keinginan, dan beragam status sosial budaya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Birokrasi yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan dapat dilihat dari dampak yang ditimbulkan dari input, proses, dan output dari pelaksanaan konsep administrasi publik. Dalam konteks ini maka pemahaman terhadap birokrasi yang belum optimal menjalankan fungsinya dapat dipahami pada aspek kelembagaan, manajemen, dan sumberdaya manusia aparatur yang mengawaki birokrasi. Selanjutnya sebagaimana telah dijabarkan dalam uraian sebelumnya maka pemahaman terhadap birokrasi dalam kerangka untuk membenahi birokrasi harus dilihat secara seksama pada faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan birokrasi sebagai organisasi, dan faktor-faktor peluang dan ancaman di mana birokrasi tersebut berada. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya kalau menempatkan birokrasi pemerintah menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional 2005-2009, karena keberhasilan pembangunan lainnya sangat tergantung pada kinerja birokrasi. Dengan demikian reformasi bidang lainnya tidak akan berjalan dengan baik tanpa terlebih dahulu ada mereformasi birokrasi pemerintah. Untuk itu, sudah sepatutnyalah pemerintahan terlebih dahulu melakukan reformasi di lingkungan birokrasi pemerintah agar birokrasi mampu melaksanakan tugas-tugasnya secara lebih efisien dan efektif. Tujuan dari
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
33
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
mereformasi birokrasi ini adalah untuk menciptakan suatu kepemerintahan yang baik dengan didukung oleh aparatur pemerintahan yang handal, profesional, inovatif, efektif dan kreatif. Sejak reformasi bergulir, masyarakat mengharapkan untuk dapat memiliki birokrasi yang mampu melaksanakan tugas-tugas kepemerintahan dan pembangunan yang sebaik-baiknya dan mampu bersaing di era globalisasi. Dengan demikian, birokrasi diharapkan dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, dan secara berkesinambungan akan dapat mencapai tujuan dan sasaran pembangunan nasional sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi. Namun, untuk mewujudkan birokrasi seperti di atas tidaklah mudah, hal ini memerlukan telaahan mendalam terhadap permasalahan dan penyebab yang menjadi isu Strategis Reformasi Birokrasi; di samping perlu menemukenali permasalahan utamanya, dan menentukan alternatif kebijakan bagaimana yang harus diambil. Dalam konteks ini maka kajian difokuskan pada isu strategis mengupayakan (a) pemerintahan yang lebih bersih, (b) aktualisasi tata kepemerintahan yang lebih baik (good governance), (c) kompetensi SDM aparatur yang semakin meningkat, (d) pelayanan publik yang lebih optimal dan berorientasi pada pelanggan, dan (e) pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah berjalan sesuai dengan tujuannya yaitu memberdayakan potensi daerahnya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah yang bersih (Clean government) Perkembangan dan upaya memperbaharui pemerintah telah banyak dilakukan, sehingga muncul konsep-konsep yang berupaya untuk memperbaki konsep-konsep organisasi birokratis yang pernah digagas oleh Max Weber. Tantangan perubahan jaman, dengan perkembangan teknologi informasi berdampak kepada pola komunikasi yang jauh dari gambaran sebelumnya, yang menjadikan dunia seakan tanpa batas (borderless). Pelanggan-pelanggan eksternal suatu organisasi (pemerintah) tidak lagi dipengaruhi oleh batas kewilayahan geografis, akan tetapi lebih banyak kepada kesamaan visi dan misi dan sejauh mana pemerintah mampu memenuhi kebutuhan dan harapan pelanggan. Perubahan dan perjalanan suatu negara pada saat ini sudah banyak dipengaruhi oleh sejauhmana kemampuan merespon cara pandang dunia, misalnya sejauhmana tingkat implementasi demokrasi dalam penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, akan banyak dipengaruhi oleh aktivitas warga dunia yang memiliki kesamaan pandang. Dengan demikian pada akhirnya kemampuan suatu pemerintah merespon dinamika lingkungannya amat mempengaruhi eksistensi dan daya survive pemerintah bersangkutan .
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
34
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Tidak dapat dipungkiri bahwa birokrasi Indonesia masih berkutat dengan keadaan yang tidak menyenangkan. Bentuk-bentuk penyimpangan kerap kali menjadi indikator bahwa pemerintahan belum sepenuhnya bersih (merujuk pada pemahaman tata kepemerintahan yang baik dan bersih). Salah satu bentuk penyimpangan (yang sudah mengakar?) adalah korupsi, kolusi dan nepotisme atau sering disebut dengan KKN. Laporan terkahir di penghujung tahun 2003 mengukuhkan Indonesia di urutan ke-6 sebagai negara terkorup didunia. Berdasarkan hasil survei Transparency International (TI) dari 133 negara, Indonesia berada di urutan ke-122 dari 133 negara terkorup. Peringkat Indonesia yang sangat parah disebabkan karena korupsi telah menjamur hampir di semua lapisan masyarakat. Artinya aktivitas korupsi dilakukan oleh pemerintah, swasta,maupun masyarakat luas, mulai dari level aparatur tertinggi sampai level terendah, kelompok terpelajar maupun berpendidikan rendah. Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2003, mencapai 1,9 dari rentang angka 0 – 10, sebagaimana ditunjukkan tabel berikut. Tabel 2. Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia 1998 – 2003 TAHUN
IPK
URUTAN
1998
2,0
80 dari 85 negara
1999
1,7
96 dari 98 negara
2000
1,7
85 dari 90 negara
2001
1,9
88 dari 91 negara
2002
1,9
96 dari 122 negara
2003
1,9
122 dari 133 negara
Sumber: Transparacy International (TI) Indonesia (2003) Tingginya angka korupsi memang sangat memprihatinkan dan merupakan informasi bagi bangsa lain akan betapa korupnya bangsa ini. Memang tidaklah mudah memberantas atau paling tidak mengurangi kejahatan korupsi. Apalagi kalau korupsi telah mendarah daging atau telah berurat berakar (entrenched corruption) dalam kehidupan masyarakat sebuah bangsa, yang merembes, terorganisir, dan mengalir melalui ruas-ruas monopoli (Johnston dan Alan Doig, 1999). Tak pelak, perlahan namun pasti akan mengubur sebuah bangsa menuju jurang kemiskinan yang paling dalam dan menjadi bangsa yang tidak bermartabat atau bangsa dan negara yang berdaya saing rendah (Nur Cholis majid, 2003). Dengan pemahaman ini maka sebenarnya terdapat fakta bahwa kinerja birokrasi pemerintahan dinilai sangat buruk.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
35
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Dinamika korupsi merupakan gabungan Monopoly power dan Discretion dikurangi dengan accountability, formulanya dapat di tuliskan C = M + D – A ( Corrupution = Monopoly power + Discretion – Accountability), (Klitgard, 1996). Korupsi terjadi bila terjadi monopoli atas barang atau jasa tertentu, dan memiliki kebijakan untuk menerima atau menolak, serta diikuti akuntabilitas yang samar-samar atau bahkan tidak ada. Dari konsep ini maka rendahnya akuntabilatas akan mendorong peluang terjadinya maladministrasi dalam hal ini korupsi. Terlihat juga bahwa kelembagaan yang memiliki peran atas monopoli jasa atau pelayanan tertentu akan mendorong terjadinya maladministrasi bila tidak diawasi dengan baik secara berkala. Lebih jauh konsep Klitgard ini memberikan gambaran, bahwa ketidakseimbangan peran dan konstelasi dari ketiga komponen yakni pemerintahan, masyarakat dan dunia usaha (swasta) akan memfasilitasi dominasi peran oleh pelaku tertentu. Selain aspek akuntabilitas beberapa ahli mensinyalir bahwa kekuatan kepemimpinan memiliki faktor penting dalam konteks tumbuh atau malah meredupnya korupsi dalam kelembagaan tertentu. Dalam aspek organisasi umumnya disebabkan oleh keteladanan kepemimpinan yang lemah, kultur organisasi kurang benar, akuntabilitas kurang memadai, kelemahan manajemen, manajemen cenderung menutupi korupsi di dalam organisasinya. Sementara itu, korupsi yang terus hidup dan relatif stabil ini banyak disebabkan dan dipengaruhi oleh lemahnya kompetisi politik, lambatnya pertumbuhan ekonomi serta belum terciptanya masyarakat madani (civil society). Pada sisi lain, sebenarnya dalam masyarakat madani terdapat praktek-praktek penghargaan terhadap keberagaman, fasilitasi perbedaan yang akan memperkuat sistem demokratis dan lahirnya pemerintahan yang demokratis, (Johnston dan Alan doig, 1999). Pemerintahan yang demokratis menjalankan tata kepemerintahan yang terbuka terhadap kritik dan kontrol dari rakyatnya. Moral disagreement dijunjung tinggi tanpa ada rasa dendam dan dilaksanakan secara terbuka (Thoha, 2003). Pada faktanya suatu pemerintahan yang kurang representatif dan legitimate karena sulitnya pemilihan dan keterpilihan tidak berdasar sistem demokratis yang benar. Konsekuensinya adalah sulitnya mencapai akuntabilitas administasi dan pemerintah yang peka terhadap tuntutan masyarakat sehingga memunculkan ketidakbebasan aliran informasi, pembagian kekuasaan yang tidak jelas, ketidakefektifan auditing internal maupun eksternal, tingginya praktek KKN, rendahnya kompeten SDM aparatur, dan kebijakan yang tidak realistis. Perlu disadari bahwa salah satu sebab munculnya maladministrasi adalah masih dianggap panjangnya rantai birokrasi dalam pelaksanaan fungsi pemerintah terutama pelayanan publik. Untuk menyiasati kondisi ini maka korupsi dalam bentuk suap-menyuap menjadi rumus umum untuk
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
36
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
memperpendek jalur birokrasi. Persoalannya walaupun terdapat kondisi pemotongan “alur” birokrasi karena ada pelicin sesungguhnya kondisi ini tetap bagian yang merugikan karena mamiliki andil pada high cost yang harus ditanggung oleh masyarakat. Dengan demikian, korupsi jelas-jelas telah merusak sebuah kehidupan ekonomi masyarakat. Walaupun faktanya pada batas tertentu korupsi dapat memperpendek jalur birokrasi yang rumit dan panjang, tapi dapat dipastikan bahwa biaya barang yang diproduksi dan pelayanan menjadi lebih mahal, meningkatkan investasi yang tidak produktif, berkontribusi terhadap menurunnya standart kualitas pada proses pembangunan baik fisik maupun non fisik yang mengakibatkan meningkatnya peluang berhutang (indebtedness) dan pemiskinan (inpoverishment) (Stapenhurst dan Shahrzad, 1999). Selanjutnya penggunaan uang sebagai ukuran dalam transaksi publik (baca: pelayanan publik) akan memperdalam jurang dan fragmentasi sosial antara si kaya dan si miskin, karena sulitnya akses yang rendah bagi si miskin karena tidak memperoleh pelayanan layak karena tidak memiliki “alat transaksi” (baca: uang suap). Implikasi dari kondisi ini adalah munculnya rasa ketidakpuasan, apatisme masyarakat, pemerintah yang tidak peka, serta tumpul dalam penyelesaian pemenuhan kebutuhan masyarakat. Padahal pelaksanaan administrasi publik senantiasa diselenggarakan dalam koridor orientasi untuk memenuhi kebuhan pelanggan. Dengan demikian sejauhmana keberhasilan proses dan prosedur penyelenggaraan fungsi pemerintah pada hakikatnya terukur dari sejauhmana kebutuhan dan harapan dari pelangganya terpenuhi. Dalam konteks ini adalah pelanggan eksternal yakni masyarakat (civil society). Suatu tatanan di mana kentalnya semangat nepotisme seringkali memberikan kondisi di mana praktek menafikan (baca: ketidakpercayaan) terhadap keberadaan individu lain yang secara sosial budaya berbeda dari individu lainnya. Sejalan dengan hal itu, di dalam masyarakat itu sendiri telah terjadi kekentalan semangat etnisisme dan melemahnya kepercayaan (trust) di antara anggota masyarakat itu sendiri (Fukuyama, 2000). Dalam batas-batas tertentu apabila modal sosial (social capital) kian melemah, sebuah bangsa berada pada titik nadir kebangkrutan. Banyak kasus dimana korupsi yang menggurita menyebabkan chaos, sebuah pintu emergency akibat ketidakpuasan dan mengakibatkan bergantinya regime melalui proses kekerasan. Dalam perspektif lain, GONE theory yang dikemukakan oleh Jack Bologne menjelaskan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kecurangan meliputi Greeds (Keserakahan), Opportunities (Kesempatan), Needs (Kebutuhan), dan Exposures (pengungkapan). Faktor-faktor Greeds dan Needs berkaitan dengan individu pelaku (actor) kecurangan, sedangkan Opportunities
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
37
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
dan berhubungan dengan korban perbuatan kecurangan (Victim). Berdasarkan teori ini maka korupsi dapat terjadi apabila terdapat keadaan G-O-N-E yang kondusif untuk korupsi. Pendekatan kedua, dilihat dari faktor Internal dan eksternal, yang umum dikenal dalam bidang kepolisian dengan formula N + K = C, (Niat + Kesempatan = Criminal). Pendekatan ini menjelaskan bahwa suatu perbuatan kriminal (termasuk korupsi) yang dilakukan oleh pelaku dapat terjadi karena adanya niat dari diri pelaku dan karena adanya kesempatan untuk melakukannya. Konteks SDM dalam pendekatan kedua teori diatas terkait dengan keberadaan SDM aparatur yang sudah ada dalam kelembagaan pemerintahan. Artinya dengan memahami bahwa KKN terus merajalela, maka harus diupayakan suatu sistem pengobatan yang layak dan yang tepat bagi SDM aparatur pemerintahan. Konsep Carrot and stick dalam upaya menanggulangi KKN merupakan upaya rasional dengan meningkatkan kecukupan pada satu sisi, dan menegaskan sanksi berupa hukuman apabila pelanggaran terjadi. Pemikiran ini relevan dengan konsep pemenuhan kebutuhan manusia di satu sisi, kejelasan baku kinerja dengan implementasi sanksi dan penghargaan pada sisi yang lain untuk meningkatkan kompetensi seseorang (Gie, 2003). Pada tataran pencegahan memang sangat dibutuhkan SDM yang benar-benar memiliki suatu kompetensi layak yang dibutuhkan pada bidang tertentu, sehingga mampu melaksanakan tugas yang dibebankan kepadanya. Syarat kompetensi diharapkan memberikan saringan bagi individu yang layak untuk menempati posisi yang sesuai. Dengan melihat faktor-faktor determinan dalam upaya membersihkan KKN sebagai wujud clean governance, maka Kepemimpinan menjadi satu faktor yang amat penting dan urgen. Hal ini dilatarbelakangi asumsi, kepemimpinan yang kuat (dalam arti tegas), bersih, dan visioner mampu menerapkan prinsip-prinsip pelayanan yang berkualitas kepada masyarakat, meningkatkan otonomi manajerial, transparansi, akuntabilitas publik, dan menciptakan pengelolaan manajerial yang bersih dan bebas dari KKN. Pemberantasan KKN memang pelik dan rumit untuk dilaksanakan bila tidak ada kemauan kuat dari semua pihak atau stakeholders yang terkait. Kerumitan ini tercermin bahwa “pemberantasan korupsi tersebut diibaratkan lingkaran setan. Ada yang mengetahui telah terjadi kebocoran keuangan negara tetapi tidak rela melaporkannya kepada penegak hukum. Ada yang tahu tetapi berlagak tidak tahu atau tidak mau tahu. Ada juga yang tahu tetapi tidak mampu. Ada yang mampu tetapi tidak boleh. Ada yang boleh tetapi tidak berani. Ada yang berani tetapi tidak punya kuasa. Ada yang punya kuasa tetapi tidak mau. Sebaliknya ada pula yang punya kuasa, punya kemauan dan keberanian tetapi tidak tahu” (Ismail Saleh, SH 1988).
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
38
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Pada dasarnya Indonesia telah berupaya untuk melakukan komitmen dan implementasi pelaksanaan bebas dan bersih dari Korupsi, kolusi, dan Nepotisme tersebut. Dan perangkat hukum dan perundang-undangan dalam rangka bersih dan bebas KKN sebagai mana tersebut dalam tabel 3 di bawah ini, antara lain: Tabel 3. Perangkat Hukum dan Perundangan Dalam Rangka Bersih dan Bebas KKN 1.
UU Nomor 24 Prp Tahun 1968 tentang pengusutan dan pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi
2.
UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
3.
Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN
4.
Tap MPR Nomor VIII/MPR/2001 Pemberantasan dan Pencegahan KKN
5.
UU Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
6.
PP Nomor 65 tahun 1999 tentang Tata cara Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
7.
PP Nomor 66 tahun 1999 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan serta Pemberhentian anggota Komisi Pemeriksa
8.
PP Nomor 67 tahun 1999 tentang Tata cara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
9.
PP Nomor 68 tahun 1999 tentang Tata cara Pelaksanaan Peranserta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara
10.
PP Nomor 19 tahun 2000 tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
11.
Kepres Nomor 127 tahun 1999 tetang Pembentukan Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara
12.
UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
13.
UU Nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
14.
UU Nomor 30 tahun 2002 tetang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
tentang
Rrekomendasi
Arah
Kebijakan
Aturan dan perundangan dalam konteks ini digunakan untuk memfasilitasi proses-proses pengurangan terhadap bentuk-bentuk penyimpangan. Diharapkan dalam aturan-aturan yang ada
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
39
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
terdapat proses-proses pembinaan sehingga berimplikasi munculnya pencegahan. Selanjutnya aturanaturan yang jelas sebagai instrumen yang dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan penyelidikan terhadap adanya dugaan penyimpangan. Kejelasan aturan diharapkan dapat memfasilitasi pelaksanaan sanksi yang tegas bagi pihak-pihak yang melakukan penyimpangan. Sebagaimana telah disampaikan di depan bahwa instrumen aturan dan perundangan yang berupaya untuk memonitor sehingga memperlemah bahkan mengeliminasi bibit-bibit KKN sebenarnya sudah dilakukan. Persoalannya efektifitas instrumen dan perangkat hukum, belum memiliki kemampuan yang optimal dalam menanggulangi praktek-praktek KKN. Terdapat nuansa ketidakseimbangan yang kental dalam kondisi ini di mana pemerintah sebagai suatu komponen masih dirasakan lebih tinggi kedudukannya dibandingkan komponen swasta, dan masayarakat. Ketidakseimbangan antar komponen sebagai ciri tata kepemerintahan yang baik akan memperlemah daya kontrol antar komponen yang satu dengan yang lain. Dengan demikian perimbangan kekuasaan antar ketiga komponen akan memfasilitasi terjadinya check and balance. Bila kondisi ini dapat tercipta maka sesungguhnya mekanisme check and balance akan berjalan baik pada tataran internal pemegang kekuasaan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pelayanan publik, antara pemerintah dan masyarakat, serta antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun demikian perlu disadari bahwa kondisi ideal sebagaimana yang diharapkan harus terus diperjuangkan. Seringkali pelaksanaan maladministrasi sebagai bentuk manifestasi bad governance belum disadari secara utuh. Kondisi ini, umumnya disebabkan oleh beberapa sebab antara lain: nilai yang kondusif bagi KKN, masyarakat kurang menyadari terhadap kerugian berakibat pada masyarakat sendiri, masyarakat kurang menyadari akan keterlibatan dalam KKN, masyarakat kurang menyadari terhadap aktivitas pencegahan dan pemberantasan KKN butuh dukungan masyarakat, penyalah artian pengertian-pengertian dalam budaya bangsa yang tidak tepat. Memahami kompleksnya faktor-faktor determinan yang mempengaruhi tegaknya good governance dan clean government, tidak bisa tidak maka peran masyarakat dalam pengawasan sangat dibutuhkan. Pada tahap awal upaya-upaya untuk memberikan dukungan terhadap individu-individu bersih dan konsisten yang berjumlah sedikit dalam organisasi harus mulai dilakukan. Di sisi lain maka upaya mendorong proses akuntabilitas, transparansi, keterbukaan, dan penguatan kerangka hukum menjadi bagian yang tidak terelakkan. Pada akhirnya modal kesaling kepercayaan akan memberikan penguatan untuk melaksanakan kontrol secara bersama, sehingga keseimbangan peran antara pemerintah, masyarakat, dan swasta dapat diwujudkan.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
40
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Sejauh ini padanan good governance dan clean government sudah sering kita dengar. Keduanya memiliki makna tata kepemerintahan yang baik dan pemerintah yang bersih merujuk pada suatu sistem penyelenggraan pemerintahan yang komit terhadap nilai dan prinsip kepastian hukum, partisipasi, tranparansi, sensitivitas, professionalitas, efisiensi, efektivitas, desentralisasi, dan daya saing. Keberhasilan mewujudkan keduanya, hanya dapat dicapai melalui keterlibatan pemerintah, masyarakat dan dunia usaha yang memiliki kompetensi, komitmen dan konsistensi serta memiliki peran yang seimbang (check and balaces) dengan memelihara nilai-nilai kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu, penerapan good governance (GG) tidak dapat dilepaskan dari peran-peran baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha (swasta). Perimbangan antar ketiganya tersebut akan memberikan suatu kondisi keseimbangan yang menghidupkan proses demokrasi di Indonesia. Bila ditarik pada pengertian bahwa kepemerintahan didefinisikan sebagai penggunaan kewenangan secara politis yang dipraktekkan dalam rangka mengontrol dan mengelola sumberdaya sebesar-besar untuk kepentingan masyarakat atau warganya melalui proses pembangunan ekonomi maupun sosial, maka pemerintah memiliki kewenangan untuk pengaturan struktur dan kelembagaan, proses pembuatan keputusan, perumusan kebijakan, kapasitas implementasi, pengaliran informasi, aktivitas kepemimpinan, serta upaya-upaya penertiban kehidupan berbangsa dan bernegara (Alan Doig, 1999). Clean governance (CG) terkait erat dengan akuntabilitas administrasi publik dalam menjalankan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya. Apakah dalam menjalankan tugas, fungsi, dan wewenang yang diberikan kepadanya, mereka tidak melakukan tindakan yang menyimpang dari etika administrasi publik. Dengan demikian etika administrasi publik akan memberikan suatu peran standarisasi baik dan buruk. Untuk menemukan pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung kepada hal-hal berikut ini (Thoha, 2004): •
Pelaku-pelaku dari pemerintahan, dalam hal ini sangat ditentukan oleh kualitas sumberdaya aparaturnya
•
Kelembagaan yang dipergunakakan mengaktualisasaikan kinerjanya
•
Perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintahan itu harus diberlakukan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
oleh
pelaku-pelaku
pemerintahan
untuk
41
Isu Strategis Reformasi Birokrasi •
Kepemimpinan dalam birokrasi publik yang berkahlak (visionary), demokratis dan responsif.
Aktualisasi Prinsip-Prinsip Good Governance Laporan terbaru dari Forum Ekonomi Dunia (WEF, 2004) tentang global competitiveness ranking (GCR) menempatkan Indonesia berada di urutan ke 69 dari 104 negara yang diamati. Peringkat ini lebih baik dari tahun sebelumnya, yang mana Indonesia pada tahun 2003 menempati urutan ke 72. Walaupun urutan ini membaik akan tetapi secara umum posisi yang membaik ini terutama hanya unggul atas negara yang tercabik-cabik perang seperti Srilanka (73), dan filiphina (76), serta Bangladesh (102) atau negara-negara Afrika yang berada di urutan terbawah. Penyusunan GCR didasarkan pada tiga pilar yakni lingkungan ekonomi makro, keberadaan lembaga pemerintah, dan kemajuan teknologi. Tiga faktor ini kemudian dinilai untuk menjelaskan seberapa jauh kemajuan sebuah negara dibandingkan dengan negara lain. Dalam konteks ini akan berpengaruh terhadap kemampuannya bersaing dengan negara lainnya. Kondisi ranking Indonesia berdasar GCR dari WEF tahun 2004 ini menunjukkan seberapa jauh sebenarnya peran-peran pemerintah, masyarakat dan swasta mampu bersinergi untuk mendinamisir keseimbangan peran. Artinya peran-peran yang seimbang baik yang dimainkan oleh pemerintah, masyarakat, dan swasta akan memberikan dukungan terhadap kondisi perbaikan Indonesia. Penerapan good governance (GG) atau tata kepemerintahan yang baik, tidak dapat dilepaskan dari peran-peran pemerintah, peran masyarakat sipil, dan peran swasta. Perimbangan antar ketiga peran tersebut akan memberikan suatu kondisi keseimbangan yang menghidupkan proses demokrasi di Indonesia. Nampak jelas kebutuhan bagi dilaksanakannya deregulasi dan debirokratisasi untuk memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya peran-peran yang optimal dari ketiga domain tersebut. Dengan demikian maka penerapan GG tidak dapat dilepaskan dari SDM dari ketiga domain baik pemerintah, masyarakat, maupun swasta. Ini berarti seberapa jauh kepahaman, kesadaran, kemauan, dan kemampuan para pelaksana akan memberikan pengaruh terhadap penerapan GG. Bila dilihat dari SDM aparatur pemerintah (pelaksana birokrasi) terdapat kelemahan yang cukup mencolok yakni adanya budaya aparatur yang belum mendukung terhadap upaya menerapkan dan mengaktualisasikan GG. Salah satu budaya yang juga merupakan bagian dari pewarisan pemerintah kolonial adalah adanya budaya birokrat yang ingin dilayani. Dalam konteks ini maka para aparatur birokrasi yang seharusnya melayani justru memiliki paradigma minta dilayani. Sehingga dalam kondisi ini terdapat pihak yang superior yakni birokrat, dan masyarakat yang inferior. Kondisi ini lazim disebut sebagai pola patron-client.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
42
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Pola patron-client ini telah mengakar dan menggejala hampir di keseluruhan level pemerintahan baik di tingkat pemerintah pusat, maupun di tingkat pemerintah daerah. Kondisi ini banyak dilatarbelakangi oleh pewarisan dan proses pembelajaran yang efektif utamanya ketika masa sentralisasi di jaman orde baru demikian kuat. Proses pembelajaran dari para pemimpin birokrasi di level yang lebih tinggi memperoleh peneguhan ketika kondisi hirarkis organisasi pemerintah demikian kuat, sehingga yang terjadi adalah internalisasi nilai bahwa para pelaksana sistem birokrasi adalah orang yang berhak dilayani oleh masyarakat yang meminta pelayanan kepadanya. Di samping itu, kondisi politik di Indonesia yang mulai berubah sejak digaungkannya reformasi politik dan munculnya orde reformasi, nyatanya belum sepenuhnya memberikan pengaruh signifikan dalam proses pergeseran/perubahan paradigma pemerintah sebagai pelayan dan sekaligus fasilitator. Gaung perubahan paradigma “sikap melayani” pada aparatur pemerintah, belum terinternalisasi secara substansial, dan menunjukkan gejala belum berubahnya paradigma tersebut terutama bila dilihat secara aktual dan faktual pelayanan publik. Indikasinya adalah masih begitu banyaknya keluhan masyarakat yang mempersoalkan demikian sulitnya berurusan dengan birokrasi, dan terdapat kecenderungan birokrasi berpihak kepada golongan masyarakat kaya. Harus disadari bahwa lemahnya penerapan dan aktualisasi prinsip-prinsip GG banyak dipengaruhi oleh keadaan, yang mana pada dasarnya SDM birokrasi belum sepenuhnya memahami apa sebenarnya GG. Pemahaman bahwa GG adalah merupakan suatu syarat mutlak untuk memperbaiki kinerja pemerintah memang sudah dipahami. Namun GG dalam konteks proses dan bagaimana mengaktualisasikannya masih banyak yang belum memahami secara utuh. Salah satu indikasinya antara lain adalah aspek transparansi yang merupakan salah satu dari prinsip GG yang telah diterapkan yaitu antara lain dengan membuka dan memfasilitasi keluhan masyarakat, memberikan informasi yang dibutuhkan masyarakat, akan tetapi dalam prakteknya bagaimana mengolah informasi dan digunakan untuk sebesar-besar menjadi pertimbangan yang berorientasi pelanggan masih belum diimplementasikan. Jadi dalam hal ini aspek transparansi hanya dipahami dalam konteks keterbukaan saja, sedangkan aspek transparansi sebagai proses komunikasi dan memperoleh feedback belum dipahami secara tepat. Sehingga dengan demikian komunikasi konvergen yang diharapkan terjadi karena adanya aspek transparansi belum optimal terwujud. Kondisi di atas mencerminkan masih lemahnya SDM aparatur dalam mengaktualisasikan GG. Namun demikian perlu dipahami pengembangan SDM harus dilakukan secara simultan dan merupakan sinergi dengan pengembangan organisasi. Pengembangan organisasi dalam hal ini diarahkan pada organisasi yang memberikan ruang untuk belajar. Dengan demikian organisasi dan peningkatan individu dalam proses pembelajaran harus mencerminkan:
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
43
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
(i)
Sebuah kemampuan organisasi untuk menerima dan mengadaptasi sebagai sebuah sistem pembelajaran. Dalam konteks ini maka organisasi memfasilitasi pemahaman terhadap aturan baru, iklim baru, dll
(ii)
Sebuah kapasitas untuk mempelajari keahlian interpersonal yang baru, semacam komunikasi, mendorong komunikasi yang terbuka, dan penggunaan informasi secara tepat
(iii)
Memunculkan sebuah iklim kelembagaan yang efektif
(iv)
Memantapkan lingkungan yang memfasilitasi dan memberdayakan individu untuk mampu bertanggung jawab, produktif dan kreatif.
Dalam pengembangan SDM terkait dengan penerapan dan aktualisasi GG, maka dapat dilakukan pada pemberdayaan individu dan pemberdayaan kelompok. Pemberdayaan individu meliputi proses peningkatan kompetensi. Dalam hal ini perlu bertitik tolak dari konsep perbedaan atau kesenjangan performansi (Performance discrepancies) dimaknai sebagai selisih atau perbedaan antara apa dan bagaimana seharusnya seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What should be) dengan apa dan bagaimana yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What is). Dengan demikian suatu kebutuhan atas peningkatan pemberdayaan terkait dengan aktualisasi GG pada dasarnya bersumber dari perbedaan atau kesenjangan antara what should be dengan What is dalam melakasanakan pekerjaannya sesuai posisi. Perbedaan ini pada dasarnya dapat dibedakan menjadi: (i)
lemah atau kurang baiknya seseorang dalam melaksanakan jabatan yang disandangnya saat ini
(ii)
Adanya suatu tambahan tugas spesifik dalam jabatan yang sama, sehingga merupakan pengetahuan, sikap, dan mungkin keterampilan yang baru
(iii)
Adanya perubahan jabatan yang berbeda (sama sekali) dengan jabatan yang aada atau dipegang seseorang dengan sebelumnya
Dengan demikian maka upaya mengaktualisasikan GG harus benar-benar dilakukan dengan mengedepankan apa sebenarnya kebutuhan pemeberdayaan SDM aparatur. Pemberdayaan kemudian dapat diarahkan pada kognitif, afeksi, dan psikomotor dengan materi GG ditambah dengan memberian iklim yang kondusif sehingga SDM aparatur memiliki keinginan dan kemampuan untuk belajar. Selanjutnya terdapat kesadaran untuk mengimplementasikan dalam tugas kesehariannya.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
44
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Selain kelemahan-kelemahan yang disebabkan oleh faktor SDM, maka sesungguhnya faktor teknologi dan sistem informasi juga memberikan pengaruh bagi belum optimalnya aktualisasi GG. Hasil GCR WEF tahun 2004 yang menempatkan Indonesia masih belum banyak fasilitasi teknologi dan sistem informasi yang mendukung daya saingnya. Kondisi TI di Indonesia yang masih belum optimal lebih banyak dipengaruhi oleh rendahnya atau masih terdapat kesenjangan SDM pemerintah dalam mengaplikasikan TI dalam pelayanan-pelayanan publik. Selain itu belum adanya upaya yang terencana untuk mengantisipasi era TI sebagai bentuk kemampuan pemerintah untuk melayani masyarakatnya. Kesadaran terhadap TI masih dikonotasikan dengan biaya mahal dan sulit menjalankan atau mengoperasikannya. Dalam masa-masa dimana informasi menjadi sangat penting dan sangat berpengaruh, lemahnya penerapan dan penguasaan TI oleh pemerintah tentu bukan kondisi yang menggembirakan. Apabila kondisi ini berlanjut bukan tidak mungkin Indonesia tidak mampu bersaing dengan negara lain, atau bahkan tergilas oleh negara lain yang lebih maju TI-nya karena lebih banyak menguasai informasi. Dengan kesadaran bahwa aktualisasi GG belum optimal, maka penting kiranya mengedepankan proses peningkatan kemampuan SDM dan daya dukung lingkungan organisasi (kelembagaan) dan TI. Dalam konteks ini maka peningkatan kemampan SDM aparatur harus merupakan upaya sungguh-sungguh dan terencana dalam memberikan kesadaran, lalu menjadi tertarik, kemudian terjadi proses evaluasi, selanjutnya dengan sadar mencoba, dan pada akhirnya terdapat kesadaran yang jernih bahwa GG memang diperlukan dalam pelaksanaan tugas sehari-hari. Kesadaran pribadi diharapkan pada fase lanjut menjadi kesadaran kolektif dari birokrasi secara keseluruhan dalam mengaktualisasikan GG. Implementasi GG pada dasarnya memerlukan suatu kerjasama selain kebutuhan sama-sama kerja antar semua lembaga. Dalam konteks ini maka upaya koordinasi yang kuat menjadi suatu kebutuhan yang tidak dapat ditawar. Implikasinya maka diperlukan suatu komunikasi yang efektif antar lembaga sehingga terjadi saling pengertian yang baik atau mutual understanding dalam pelaksanaan GG. Perwujudan mutual understanding yang dibangun oleh komunikasi yang efektif sesungguhnya menjadi awal bagi perwujudan sinergi dan jaringan kelembagaan yang saling memberdayakan (enabling networking). Kompetensi SDM Aparatur Salah satu upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan yang baik terhadap masyarakat adalah dengan diterbitkannya UU No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. UU ini merupakan konsekuesi dari penerapan pemerintahan desentralistik yang salah satu tujuannya adalah
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
45
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
adanya pembagian dan distribusi kewenangan antara pusat dan daerah agar terwujud pelayanan secara efektif, akuntabel, terjangkau dan transparan. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan aparat birokrasi yang memiliki kompetensi terhadap jabatan/posisi atau pekerjaannya. Banyak pihak mengakui bahwa proses rekruitmen yang dijalankan masih belum menunjukkan pengaruh kinerja aparat yang bersangkutan. Artinya seleksi terhadap calon aparatur untuk menempati suatu jabatan tertentu belum secara optimal didasarkan pada analisis kebutuhan dan jabatan yang tepat. Implikasinya banyak aparatur yang memiliki latar belakang pendidikan (kompetensi) tertentu akan tetapi tidak berada pada posisi yang relevan dengan kompetensinya. Tidak dapat dipungkiri, bahwa saat ini banyak posisi/jabatan di birokrasi diisi oleh orang-orang yang tidak memiliki kompentesi yang sesuai dengan pekerjaannya. Kompentesi yang harus dimiliki oleh seorang aparat birokrasi sekarang dan yang akan datang agar dapat memberikan pelayanan secara profesional paling tidak harus memiliki kompetensi dengan karakter sebagai berikut:
Memiliki pengetahuan dan ketrampilan serta wawasan yang luas terhadap pekerjaannya. Kita harus mengakui bahwa sikap dan perilaku seseorang sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor di dalam lingkungan hidupnya, termasuk lingkungan yang dapat memperluas wawasan pengetahuan dan ketrampilannya, yang dapat meningkatkan kemampuan diri dalam beradaptasi dengan lingkungan kerja barunya. Sehubungan dengan pelaksanaan pelayanan yang baik, minimal yang harus ada pada diri seseorang, yang berkaitan dengan pengetahuan dan ketrampilannya adalah: memiliki ketrampilan yang sesuai dengan bidang tugasnya, memiliki pengetahuan yang sesuai dengan bidang tugasnya, memiliki daya kreativitas yang baik, memahami cara-cara berkomunikasi yang baik, memahami pengetahuan dasar hubungan interpersonal dan psikologi sosial, memahami cara memposisikan diri dalam berbagai situasi sehingga muda beradaptasi, dan mampu mengendalikan emosi.
Dalam melakukan pelayanan yang baik, seorang pelayan harus memiliki kemampuan berkomunikasi dengan baik terhadap yang dilayaninya. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan komunikasi dengan orang lain, yaitu: (1) komunikator dan komunikan harus sama-sama berpola pikir positif yang didasarkan pada pola pikir yang sehat dan logis, (2) komunikator dan komunikan harus mampu menempatkan diri pada kondisi yang tepat pada saat melakukan komunikasi atau komunikator harus mampu menempatkan komunikan pada posisi yang bebas dan manusiawi, (3) komunikator harus mampu menampilkan sikap yang santun dan memberikan kesempatan terhadap komunikan untuk
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
46
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
memahami isi pesan sampai dengan memberikan umpan balik, dan (4) kemampuan memilih dan menggunakan bahasan yang sederhana dan gampang dimengerti oleh komunikan.
Kemampuan untuk menjalin hubungan interpersonal juga merupakan hal penting dalam mewujudkan pelayanan yang baik. Hubungan interpersonal (personal relationship) dapat diartikan sebagai hubungan dengan orang lain yang ada disekeliling kita dengan cara-cara yang baik. Kaitannya dengan kegiatan pelayanan, hubungan interpersonal dapat diartikan sebagai hubungan baik dengan pelanggan internal dan eksternal. Pemberian pelayanan yang baik terhadap pelanggan (masyarakat) akan lebih mudah bila antara pelayan dan yang dilayani mempu membina hubungan yang baik, artinya setiap masyarakat yang membutuhkan pelayanan harus diperlakukan sama. Hal ini sangat penting karena selama ini, masyarakat sering mengeluhkan terhadap perbedaan pelayan yang dilakukan oleh oknum aparatur. Misalnya perlakuan pelayanan terhadap orang kaya dan orang miskin, fakta menunjukan bahwa orang miskin selalu di nomor duakan.
Memiliki pengetahuan dasar psikologi sosial. Hal ini dimaksudkan agar seorang pelayan memiliki pengetahuan tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, dasar pengetahuan pembentukan sikap dan perubahan, serta pengetahuan tentang individu dan kelompok. Dengan mengetahui perilaku dan sikap individu dan kelompok masyarakat diharapkan seorang pelayan akan dapat memberikan respon yang tepat. Perlu diingat bahwa banyak keragaman perilaku manusia, ada yang langsung terbuka untuk menerima, ada yang perlu waktu untuk mempertimbangkan dan ada pula yang langsung menolak. Selain itu, kekecawaan dan bahkan penolakan terhadap layanan yang diterima oleh pelanggan/komsumen juga sangat erat kaitannya dengan sikap seseorang. Seseorang terdorong untuk menerima apabila dia senang, merasa dihormati dan dihargai dan akan kecewa dan menolak apabila terjadi sebaliknya.
Memiliki kecerdasan emosional yang stabil. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk mengorganisasi dan mengendalikan emosinya secara efektif, baik dalam keadaan senang maupun susah. Pengorganisasi dan pengendalian emosional dalam hidup bermasyarakat sangat penting. Kadang orang tidak sadar bahwa kekecewaan atau permasalahan di rumah terbawah di tempat kerjannya dan sebaliknya kekecewaan dan permasalahan di tempat kerjanya terbawah sampai ke rumah. Orang semacam ini hampir dapat dipastikan akan akan memberikan pelayanan terhadap pelanggan/ komsumennya kurang baik.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
47
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Kondisi di atas merupakan kondisi ideal yang diharapkan ada dan menjadi melekat pada aparat yang memiliki jabatan (Jobs) tertentu. Kalaupun tidak maka standar minimal kompetensi adalah pada orientasi tugas dari pekerjaan yang diembannya, jadi dalam hal ini pada standar komptensi kerja. Namun demikian harus disadari faktanya kondisi SDM aparatur birokrasi masih belum optimal sebagaimana diharapkan. Rendahnya inisiatif, kurangnya wawasan, minimnya penguasaan teknologi informasi merupakan karakter umum SDM aparatur birokrasi. Lebih jauh sebenarnya bila dicermati maka permasalahan masih rendahnya kompetensi SDM aparatur birokrasi dapat dilihat dari beberapa aspek: (i)
Masih terdapat stigma di masyarakat bahwa persyaratan kompetensi tertentu untuk menduduki suatu jabatan (Jobs) di birokrasi tidaklah diperlukan secara ketat, karena diakui uang atau suap yang besar lebih banyak merupakan faktor penentu bagi seseorang untuk berkarir atau bekerja dalam lingkungan birokrasi.
(ii)
Belum jelasnya penetapan kinerja secara detail dengan standar kompetensi kerja yang jelas sehingga memberikan peluang bagi seseorang yang sebenarnya belum memiliki kompetensi yang relevan dapat masuk pada posisi atau jabatan tertentu
(iii)
Disinyalir oleh banyak pihak bahwa kebutuhan atas penerimaan pegawai belum didasarkan pada kebutuhan nyata yang dihubungkan dengan tugas pokok suatu organisasi, sehingga cenderunga rekruitmen pegawai semata-mata hanya menambah besar kuantitas aparat tetapi belum berkorelasi dengan kualitas
(iv)
Lemahnya pengawasan dalam rekruitmen pegawai semakin memperburuk kondisi kompetensi calon pegawai yang diterima dan menyuburkan praktek-praktek KKN.
Rendahnya kompetensi seperti di paparkan diatas harus dipahami dalam kerangka kompleksitas dan keterkaitan antara individu, lingkungan kerja, dan fasilitasi kebijakan dan pengawasan yang mempengaruhi kinerja. Dengan memahami ini maka orientasi peningkatan kompetensi untuk menunjang pencapaian kinerja harus didasarkan pada empat dinamika sistem yang akan diberi perlakuan sehingga terjadi perubahan kompetensi. Dinamika sistem yang dimaksudkan adalah: (1)
Sistem Kepribadian individu. Setiap orang memiliki pengetahuan, sikap, dan keterampilan tertentu yang akan menentukan bagaimana individu tersebut bertindak. Respon seseorang
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
48
Isu Strategis Reformasi Birokrasi (2)
terhadap suatu stimuli permasalahan akan berbeda, disebabkan perbedaan unsur-unsur perilaku tersebut.
(3)
Sistem kelompok. Setiap bagian dalam kelompok akan berinteraksi secara khas. Pemimpin dengan anggota, struktur kelompok dll, membentuk dinamika sistem tertentu
(4)
Sistem organisasi. Sama seperti kelompok, maka organisasi terdiri dari beberapa bagian yang saling berinteraksi secara internal, maupun interaksi eksternal organisasi dengan lingkungannya.
(5)
Sistem masyarakat (komunitas). Interaksi yang terbentuk dalam komunitas lebih kepada antar bagian meliputi individu, sub kelompok, pertetanggaan yang umumnya bisa memiliki heterogenitas dari berbagai aspek seperti kesenangan, kecenderungan, dll.
Dengan demikian dalam peningkatan kompetensi SDM aparatur tetap dalam kerangka bahwa setiap individu memiliki potensi, individu berhubungan dengan kelompok, maupun organisasi serta lingkungannya. Sehingga dalam pengembangannya asumsi-asumsi berikut ini harus diperhatikan: a.
b.
c.
Secara Individu:
Setiap orang ingin berkembang dan matang
Pekerja pada dasarnya memiliki daya yang terkadang belum tergunakan dalam bekerja
Banyak pekerja yang berharap peluang untuk berkontribusi
Secara Kelompok
Kelompok-kelompok dan team adalah entitas kritis dalam keberhasiolan organisasi
Kelompok-kelompok memiliki pengaruyh yang kuat pada perilaku individu
Peran-peran kompleks dimainkan dalam kelompok membutuhkan pengembangan keahlian
Aspek Organisasi
Pengawasan yang eksesif, kebijakan, dan peraturan diperlukan untuk memfasilitasi proses pembelajaran
Konflik dapat difungsionalkan jika dapat disalurkan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
49
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Tujuan individu dan organisasi dapat disesuaikan
Secara umum peran SDM aparatur birokrasi adalah pelayanan terhadap publik. Dalam banyak hal terdapat kesulitan dan kerumitan tersendiri untuk mengukur mutu pelayanan sebagai sebuah jasa pengantaran produk dan/ atau jasa pelayanan yang berdiri sendiri dibandingkan dengan suatu produksi produk tertentu. Kondisi ini disebabkan (Zeithaml, dkk: 1990):
Pelayanan bersifat tidak teraba (intangible), lebih didasarkan pada ukuran performansi dan pengalaman
Pelayanan dengan melibatkan banyak orang (pihak) tentu bersifat sangat heterogen, berdampak pada kemungkinan perbedaan tingkat pelayanan antar orang/pihak
Pelayanan tidak dapat dipisahkan dengan produksi dan konsumsi, sehingga proses ini mencakup bagian panjang sampai sebuah produk diterima oleh pelanggan Selanjutnya memperhatikan karakteristik pelayanan, maka perlu diperhatikan mutu pelayanan:
1)
Definisi mutu pelayanan menurut pelanggan adalah kesenjanagan antara harapan pelanggan dan persepsinya.
2)
Faktor-faktor yang mempengaruhi harapan para pelanggan:
3)
komunikasi dari mulut ke mulut atas suatau mutu pelayanan
kebutuhan-kebutuhan personal pelanggan
pengalaman-pengalaman masa yang lalu terkait dengan suatu mutu pelayanan
komunikasi eksternal (komunikasi yang dilakukan oleh penyedia jasa atas jasanya)
Dimensi-dimensi mutu pelayanan, yaitu: penampakan (tangibles), kepercayaan (reliability), Ketanggapan (responsiveness), Kompetensi (competence), Kesopanan (courtesy), kredibilitas (credibility), Keamanan (security), kemudahan mengakses (acces), komunikasi (communication), dan pemahaman (understanding) pelanggan.
Dalam pengembangan SDM terkait dengan kompetensi atas jabatannya dan kemampuan merespon dinamika lingkungan yang semakin kompleks, maka upaya –upaya terencana harus bertitik tolak dari konsep perbedaan atau kesenjangan performansi (Performance discrepancies) dimaknai sebagai selisih atau perbedaan antara apa dan bagaimana seharusnya seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What should be) dengan dan apa dan bagaimana yang dilakukan seseorang dalam melaksanakan jabatannya (What is). Sehubungan dengan hal ini maka penetapan suatu kinerja
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
50
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
kemudian dilanjtkan dengan penetapan suatu standar kompetensi kerja mutlak perlu dilaksanakan. Dengan penetapan Standar ini maka analisis jabatan dan identifikasi kesenjangan atau diskrepansi kompetensi kerja dapat dilakukan. Implikasinya solusi yang lebih efektif dapat dilakukan. Pelayanan Publik Salah satu aspek selain pemerintahan yang belum bersih, belum teraktualisasinya tata kepemrintahan yang baik, yang sangat mempengaruhi kinerja birokrasi, maka pelayanan publik yang tidak baik juga dinilai sebagai salah satu indikator buruknya birokrasi di Indonesia. Pelayanan publik seringkali menjadi ukuran paling mudah dipahami sejauhmana kinerja pemerintah dalam melaksanakan fungsi-fungsinya. Pelayanan publik adalah salah satu fungsi penting pemerintah selain regulasi, proteksi, dan distribusi. Pelayanan publik merupakan proses sekaligus output yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintah dijalankan. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan keinginan sejauh mungkin untuk menghindari dan bersentuhan dengan birokrasi pemerintah apabila menghadapi urusan. Fenomena “high cost” ketika berhubungan dengan birokrasi pemerintah menjadi suatu keniscayaan yang terpaksa diterima. Kondisi-kondisi seperti ini sebagian besar ditemui pada keseluruhan level organisasi publik yang memberikan pelayanan. Kondisi ini menandakan keidakpuasan terhadap kinerja pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan terhadap publik dinilai masih jauh dari optimal. Pemahaman terhadap fakta lemahnya birokrasi dilihat dari sejauhmana kemampuan mengaktualisasikan fungsi-fungsi pemerintah, yang berujung pada sejauhmana pelayanan publik dapat dijalankan. Artinya sejauhmana pemerintah mampu dan dapat berprilaku transparan, akuntabel, demokratis akan berdampak pada sejauhmana pelayanan publik yang akan dan sudah dilakukan. Pelaksanaan otonomi daerah yang telah digulirkan oleh pemerintah melalui UU No. 22 Tahun 1999 sesungguhnya dapat dilihat sebagai upaya pemerintah untuk lebih meningkatkan pelayanan. Serangkaian pokok aturan dalam penyelenggaraan pelayanan publik oleh pemerintah daerah dinyatakan dalam beberapa pasal UU 22 Tahun 1999. dalam Pasal 7 UU 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa peranan Pemerintah Daerah dalam pelayanan publik mencakup seluruh bidang pemerintahan kecuali bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain. Selanjutnya dalam Pasal 11 UU 22 tahun 1999 menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kebupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi dan tenaga kerja. Masih terkait dengan pasal-pasal tersebut, dalam pasal 9 UU 22 Tahun 1999 mengemukakan bahwa kewenangan provinsi
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
51
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
sebagai daerah otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota serta kewenangan bidang tertentu lainnya. Selanjutnya, dalam konteks desentralisasi, pelayanan publik seharusnya menjadi lebih responsif terhadap kepentingan publik, di mana paradigma pelayanan publik beralih dari pelayanan yang sifatnya sentralistik ke pelayanan yang lebih memberikan fokus pada pengelolaan yang berorientasi kepuasan pelanggan (customer-driven government) dengan ciri-ciri: (a) lebih memfokuskan diri pada fungsi pengaturan melalui berbagai kebijakan yang memfasilitasi berkembangnya kondisi kondusif bagi kegiatan pelayanan kepada masyarakat, (b) lebih memfokuskan diri pada pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki yang tinggi terhadap fasilitas-fasilitas pelayanan yang telah dibangun bersama, (c) menerapkan sistem kompetisi dalam hal penyediaan pelayanan publik tertentu sehingga masyarakat memperoleh pelayanan yang berkualitas, (d) terfokus pada pencapaian visi, misi, tujuan dan sasaran yang berorientasi pada hasil (outcomes) sesuai dengan masukan yang digunakan, (e) lebih mengutamakan apa yang diinginkan oleh masyarakat, (f) pada hal tertentu pemerintah juga berperan untuk memperoleh pendapat dari masyarakat dari pelayanan yang dilaksanakan, (g) lebih mengutamakan antisipasi terhadap permasalahan pelayanan, (h) lebih mengutamakan desetralisasi dalam pelaksanaan pelayanan, dan (i) menerapkan sistem pasar dalam memberikan pelayanan. Namun dilain pihak, pelayanan publik juga memiliki beberapa sifat antara lain: (1) memiliki dasar hukum yang jelas dalam penyelenggaraannya, (2) memiliki wide stakeholders, (3) memiliki tujuan sosial, (4) dituntut untuk akuntabel kepada publik, (5) memiliki complex and debated performance indicators, serta (6) seringkali menjadi sasaran isu politik (Mohamad, 2003). Upaya-upaya yang telah ditempuh oleh pemerintah nampaknya belum optimal. Salah satu indikator yang dapat dilihat dari fenomena ini adalah pada fungsi pelayanan publik. Pelayanan publik yang banyak dikenal dengan sifat birokratis dan banyak mendapat keluhan dari masyarakat masih belum memperhatikan kepentingan masyarakat penggunanya. Pengelola pelayanan publik cenderung lebih bersifat direktif yang hanya memperhatikan/mengutamakan kepentingan pimpinan/ organisasinya saja. Masyarakat sebagai pengguna seperti tidak memiliki kemampuan apapun untuk berkreasi, suka tidak suak, mau tidak mau, mereka harus tunduk kepada pengelolanya. Seharusnya, pelayanan public sikelola dengan paradigma yang bersifat supportif dimana lebih memfokuskan diri kepada kepentingan masyarakatnya, pengelola pelayanan harus mampu bersikap menjadi pelayan yang sadar untuk melayani dan bukan dilayani. Secara umum stakeholders menilai bahwa kualitas pelayanan publik mengalami perbaikan setelah diberlakukannya otonomi daerah. Namun, hasil survey yang dilakukan UGM pada tahun 2002
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
52
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
menyimpulkan bahwa dilihat dari sisi efisiensi dan efektivitas, responsivitas, kesamaan perlakuan dan besar kecilnya rente birokrasi masih jauh dari yang diharapkan. Beberapa kajian juga membuktikan bahwa kualitas dan mutu pelayanan publik masih rendah. Hal ini seperti terlihat dari beberapa sumber, antara lain (1) World Investment Report 2003 Indeks Foreigan Direct Investment periode 1999 – 2001; dari 140 negara, Indonesia urutan ke-138. (2) Human Development Report 2002, UNDP, dari 173 negara, Indonesia berada urutan ke-110 di bawah Fhilipina, Cina dan Vietnam; (3) Country Risk (Marvin Zonish & Assciate) dari 185 negara, Indonesia urutan ke – 150 di bawah kita Afganistan, Burundi dan Somalia; (4) Kepala Perwakilan Bank Dunia (Andrew Steer) 8 Juni 2004: (a) Tingkat penggunaan listrik, Indonesia pada urutan terakhir dari 12 negara Asia; (b) Pelanggan telepon selular kita urutan ke-9 (12 negara); (c) Akses sanitasi urutan ke-7; (d) Akses jalan urutan ke-8; (e) Air bersih urutan ke-7 (air bersih menjangkau 16% total populasi); dan (5) World Development Report 2004, akses rakyat terhadap pelayanan publik masih rendah (pendidikan, kesehatan, air bersih). Dengan melihat hasil-hasil kajian dari berbagai lembaga tersebut di atas, dapat disimpulkan betapa rendahnya kualitas pelayanan di Indonesia, padahal, tuntutan kualitas dan kuantitas jasa layanan publik oleh pengguna (user) semakin meningkat, di pihak operator pelayanan publik menghadapi kendala dalam menyajikan jasa layanan publik. Pengguna telah membayar jasa layanan publik. Di pihak lain kualitas dan kuantitas yang diinginkan belum terpenuhi. Transparansi Akuntabilitas dalam pelayanan publik diperlukan untuk mengatasi kesenjangan pihak-pihak yang terkait dalam pelayanan publik; untuk itu, dituntut pula regulator yang mampu mengalokasikan sumber daya yang ada sehingga terjadi keseimbangan pihak-pihak yang terkait dalam layanan publik. Di luar pengguna jasa pelayanan publik (non user) perlu diperhatikan kepentingannya, khususnya tuntutan lingkungan stratejik. Berkaitan dengan hal-hal tersebut, hingga saat ini pelayanan publik masih memiliki berbagai kelemahan antara lain (Mohamad, 2003): •
Kurang responsif. Kondisi ini terjadi pada hampir semua tingkatan unsur pelayanan, mulai pada tingkatan petugas pelayanan (front line) sampai dengan tingkatan penanggungjawab instansi. Respon terhadap berbagai keluhan, aspirasi, maupun harapan masyarakat seringkali lambat atau bahkan diabaikan sama sekali.
•
Kurang informatif. Berbagai informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat, lambat atau bahkan tidak sampai kepada masyarakat.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
53
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
•
Kurang accessible. Berbagai unit pelaksana pelayanan terletak jauh dari jangkauan masyarakat, sehingga menyulitkan bagi mereka yang memerlukan pelayanan tersebut.
•
Kurang koordinasi. Berbagai unit pelayanan yang terkait satu dengan lainnya sangat kurang berkoordinasi. Akibatnya, sering terjadi tumpang tindih ataupun pertentangan kebijakan antara satu instansi pelayanan dengan instansi pelayanan lain yang terkait.
•
Birokratis. Pelayanan (khususnya pelayanan perijinan) pada umumnya dilakukan dengan melalui proses yang terdiri dari berbagai level, sehingga menyebabkan penyelesaian pelayanan yang terlalu lama. Dalam kaitan dengan penyelesaian masalah pelayanan, kemungkinan staf pelayanan (front line staff) untuk dapat menyelesaikan masalah sangat kecil, dan dilain pihak kemungkinan masyarakat untuk bertemu dengan penanggungjawab pelayanan, dalam rangka menyelesaikan masalah yang terjadi ketika pelayanan diberikan, juga sangat sulit. Akibatnya, berbagai masalah pelayanan memerlukan waktu yang lama untuk diselesaikan.
•
Kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat. Pada umumnya aparat pelayanan kurang memiliki kemauan untuk mendengar keluhan/saran/aspirasi dari masyarakat. Akibatnya, pelayanan dilaksanakan dengan apa adanya, tanpa ada perbaikan dari waktu ke waktu.
•
Inefisien. Berbagai persyaratan yang diperlukan (khususnya dalam pelayanan perijinan) seringkali tidak relevan dengan pelayanan yang diberikan
Sementara itu, dari sisi kelembagaan, kelemahan utama terletak pada disain organisasi yang tidak dirancang khusus dalam rangka pemberian pelayanan kepada masyarakat, penuh dengan hirarki yang membuat pelayanan menjadi berbelit-belit (birokratis), dan tidak terkoordinasi. Kecenderungan untuk melaksanakan dua fungsi sekaligus, fungsi pengaturan dan fungsi penyelenggaraan, masih sangat kental dilakukan oleh pemerintah, yang juga menyebabkan pelayanan publik menjadi tidak efisien (Mohamad, 2003). Berbagai pelayanan publik yang disediakan oleh pemerintah tersebut masih menimbulkan persoalan. Kelemahan mendasar antara lain: pertama, adalah kelemahan yang berasal dari sulitnya menentukan atau mengukur output maupun kualitas dari pelayanan yang diberikan oleh pemerintah. Kedua, pelayanan pemerintah tidak mengenal “bottom line” artinya seburuk apapun kinerjanya, pelayanan pemerintah tidak mengenal istilah bangkrut. Ketiga, berbeda dengan mekanisme pasar yang memiliki kelemahan dalam memecahkan masalah eksternalities, organisasi pelayanan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
54
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
pemerintah menghadapi masalah berupa internalities. Artinya, organisasi pemerintah sangat sulit mencegah pengaruh nilai-nilai dan kepentingan para birokrat dari kepentingan umum masyarakat yang seharusnya dilayaninya. Sementara itu, karakteristik pelayanan pemerintah sebagian besar adalah bersifat monopoli sehingga tidak memiliki pesaing di pasaran. Hal ini menjadikan lemahnya perhatian pengelola pelayanan publik akan penyediaan pelayanan yang berkualitas. Lebih buruk lagi kondisi ini menjadikan sebagian pengelola pelayanan memanfaatkan untuk mengambil keuntungan pribadi, dan cenderung mempersulit prosedur pelayanannya. Akibat permasalahan tersebut, citra buruk pada pengelolaan pelayanan publik masih melekat sampai saat ini sehingga tidak ada kepercayaan masyarakat pada pengelola pelayanan. Kenyataan ini merupakan tantangan yang harus segera diatasi terlebih pada era persaingan bebas pada saat ini. Profesionalitas dalam pengelolaan pelayanan publik dan pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintah harus diwujudkan. Sikap tidak profesional ini selain dikarenakan salah satu karakteristik dari pelayanan publik yang tidak memiliki persaingan ini, sesungguhnya juga disebabkan beberapa faktor di bawah ini (Parasuraman dkk;1990): 1.
Role conflict Permasalahan ini muncul ini dikarenakan pegawai menghadapi persoalan antara mengutamakan kepuasan kepada pelanggan internal (pimpinan organisasi) ataukah mengutamakan kepuasan pelanggan eksternalnya (masyarakat) dari setiap pekerjaan yang mereka lakukan. Selai itu beban pekerjaan yang terlalu besar juga dapat menimbulkan memunculkan permasalahan ini.
2.
Role ambiguity Role ambiguity terjadi dikarenakan ketidaktahuan pegawai akan apa yang menjadi harapan pimpinan akan pelayanan yang disediakan dan bagaimana cara memenuhi harapan tersebut. Hal ini terjadi dikarenakan mereka tidak memiliki ketrampilan yang cukup serta tidak mendapatkan pelatihan yang berkaitan dengan permasalahan yang mereka hadapi. 3.
Poor employee job fit Dalam suatu organisasi pemerintah seringkali dijumpai ketidak sesuaian antara kemampuan yang dimiliki pegawai dengan pekerjaan yang harus dilakukan. Hal tersebut berakibat mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. 4.
Poor technology job-fit
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
55
Isu Strategis Reformasi Birokrasi Kinerja pegawai sangat dipengaruhi oleh peralatan maupun tehnologi yang mereka pergunakan dalam memberikan pelayanan. Terlalu minim peralatan serta tehnologi yang dipergunakan akan berakibat pelayanan yang diberikan tidak dapat sesuai dengan yang diharapkan. Kondisi ini yang juga memberikan kesan pada masyarakat bahwa pelayanan yang disediakan pemerintah cenderung lamban dan terkadang dijumpai banyak kesalahan. 5.
Inappropriate supervisory control system Tidak adanya sistem evaluasi dan penghargaan dalam instansi pemerintah. Kecenderungannya organisasi melihat kinerja pegawai melalui hasil kerja mereka, dimana output control system sering kali tidak sesuai dengan tujuan dari pelayanan melainkan didasarkan pada tujuan lain dari organisasi.
6.
Lack of perceived control Permasalahan ini muncul diakibatkan ketidakmampu-an pegawai dalam menyelesaikan permasalahan yang muncul dalam proses pemberian pelayanan yang disebabkan wewenang yang tidak mereka miliki sehingga mereka juga tidak terlatih untuk mengatasi permasalahan yang muncul dengan lebih baik. 7.
Lack of team work Tidak adanya kerjasama antara pegawai dan pimpinan organisasi dalam memberikan pelayanan akan berakibat buruk terhadap kinerja yang dihasilkan. Permasalahan juga bisa diakibatkan kurang adanya dukungan pegawai lain (back office) terdapat customer contact personel. Pada faktanya terdapat kecenderungan sistem dan prosedur pelayanan yang dilakukan aparatur negara masih berbelit-belit, tidak transparan, kurang informatif, tidak akomodatif dan kurang konsisten, sehingga tidak menjamin adanya kepastian hukum. Dengan kondisi demikian, Sitorus menyatakan bahwa seluruh jajaran aparatur pemerintah perlu memiliki komitmen kuat untuk membenahi seluruh aspek pelayanan publik, baik melalui perubahan sikap dan perilaku maupun melalui penataan sistem pelayanan yang lebih efektif dan efisien. Dengan begitu, katanya, aparatur pemerintah dapat benar-benar memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, "yang pada gilirannya akan mendorong munculnya kreativitas di segala bidang." Salah satu yang perlu dilakukan aparat, tambah Sitorus, adalah memberikan perhatian yang lebih besar kepada masyarakat yang tidak puas terhadap kualitas layanan yang diberikan aparatur pemerintah. Selain itu pengelolaan pegawai yang tepat atau sesuai dengan kompetensi yang diniliki juga menjadi keharusan bagi organisasi penyedia pelayanan publik. Bahkan citra buruk yang masih melekat pada sebagian besar pelayanan publik di Indonesia salah satunya dikarenakan masih kurang profesionalnya petugas pada organisasi pelayanan. Kenyataan ini menyadarkan kita semua akan perlunya memberikan perhatian yang khusus pada para pegawai khususnya yang bertugas langsung dalam penyediaan pelayanan publik.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
56
Isu Strategis Reformasi Birokrasi Lemahnya kontrol publik memiliki dampak yang sangat luas terutama pada usaha reformasi birokrasi pemerintahan. Korupsi berkembang subur di birokrasi, terutama yang menjadi ujung tombak pelayanan mendasar kebutuhan publik seperti pendidikan, kesehatan, air minum, dan listrik. Dengan pelayanan yang buruk, publik harus membayar mahal. Kekuasaan politik tidak memiliki prioritas untuk membuat perubahan di birokrasi dan memperbaiki pelayanan kebutuhan dasar yang menjadi hak rakyat. Birokrasi justru menjadi mesin keuangan politik bagi kekuatan oligharki yang berkuasa. Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik, koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum. Permasalahan pengawasan publik selama ini menjadi agenda penting, namun sering diabaikan oleh para pengambil kebijakan. Partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelayanan publik juga merupakan bagian yang tidak bisa dipisahkan dari persoalan tersebut. Memberikan cara, strategi, dan penyadaran tentang pengawasan terhadap pelayanan publik sangat relevan. Pelayanan publik masih sarat dengan korupsi. Berpijak dari kondisi-kondisi ini maka perhatian yang serius harus dilakukan pemerintah dalam rangka melaksanakan fungsi pelayanan publik. Sejauh ini upaya-upaya nyata telah dilakukan pemerintah melalui berbagai instrumen kebijakan. Dalam rangka efektivitas pelaksanaan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 Tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sebuah Peraturan Pemerintah dengan Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah yang isinya mengatur lebih lanjut mengenai kriteria, susunan dan struktur organisasi perangkat daerah. Dengan diterbitkannya PP No. 8 tahun 2003, dinas-dinas atau organisasi yang disusun oleh pemerintah daerah diharapkan lebih dapat memberikan pelayanan publik yang memuaskan bagi penggunanya. Karena intinya adalah dengan diberikannya otonomi daerah dan terbitnya PP yang mengatur perangkat organisasi daerah bertujuan untuk mensejahterakan masyarakat dan menyediakan pelayanan publik. Dalam rangka mendukung upaya peningkatan kualitas pelayanan publik tersebut, Kementerian PAN mewajibkan bagi instansi pelayanan masyarakat untuk mempublikasikan jenis pelayanan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
57
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
tertentu yang diberikan, jangka waktu dan biaya yang dibutuhkan kepada masyarakat. Hal ini dilakukan melalui surat Keputusan MENPAN Nomor KEP/25/M.PAN/2/2004 tentang Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat Unit Pelayanan Instansi Pemerintah, dan melalu surat Keputusan MENPAN Nomor KEP/26/M.PAN/2/2004 tentang Petujunk Teknis Transparansi dan Akuntabilitas Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Berkaitan dengan kedua Keputusan Menpan terseut telah dilakaukan sosialisasi pada berbagai instansi baik di pusat maupun di daerah. Kemudian, Lembaga Administrasi Negara juga telah menerbitkan sebuah Buku Penyusunan Standar Pelayanan Publik. Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk dapat dijadikan referensi bagi penyelenggara pelayanan publik, baik secara personal maupun secara institusional dalam penyusunan stadar pelayanan publik. Di samping itu, masyarakat pengguna pelayanan dapat juga memanfaatkannya sebagai acuan tentang bagaimana bersama-sama pihal penyelenggara menciptakan suatu pelayanan publik yang berkualitas. Buku tersebut juga dapat dimanfaatkan bagi para akademisi di perguruan tinggi, baik mahasiswa maupun civitas akademia lainnya, dalam mempelajari dan menyusun berbagai estándar pelayanan. Lebih jauh lagi buku tersebut diharapkan pula dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum dalam rangka upaya pemerintah meningkatkan pelayanan publik. Di samping hal-hal tersebut, berbagai usaha telah dilakukan oleh pemerintah antara lain ditunjukan dengan terbitnya berbagai kebijakan seperti: Inpres No. 5 Tahun 1984 tentang Pedoman Penyederhanaan dan Pengendalian Perijinan di Bidang Usaha, yang kemudian dilanjutkan dengan Surat Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. 81 Tahun 1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum. Pada tahun 1995 pemerintah kembali menerbitkan Inpres No. 1 Tahun 1995 tentang Perbaikan dan Peningkatan Mutu Pelayanan Aparatur Pemerintah Kepada Masyarakat. Selanjutnya, upaya penekanan terhadap upaya peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat lebih ditekankan lagi melalui Surat Edaran Menko Wasbangpan No. 56/Wasbangpan/6/98 tentang Langkah-langkah Nyata Memperbaiki Pelayanan Masyarakat. Instruksi Mendagri No. 20/1996; Surat Edaran Menkowasbangpan No. 56/MK. Wasbangpan/6/98; Surat Menkowasbangpan No. 145/MK. Waspan/3 /1999; hingga Surat Edaran Mendagri No. 503/125/PUOD/1999, yang kesemuanya itu bermuara pada peningkatan kualitas pelayanan. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN) telah merevisi Kep Men PAN No. 81/1993 tentang Pedoman Tatalaksana Pelayanan Umum melalui Kep Men PAN No. 63/KEP/M.PAN/7/2003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik sebagai upaya lebih lanjut terhadap perbaikan pelayanan publik. Di dalam Kep Men PAN tersebut memuat asasasas pelayanan publik seperti transparansi; akuntabilitas; kondisional; partisipatif; kesamaan hak serta
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
58
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
keseimbangan hak dan kewajiban. Sedangkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pelayanan publik seperti yang termuat dalam kebijakan tersebut adalah kesederhanaan; kejelasan; kepastian waktu; akurasi; keamanan; tanggung jawab; kelengkapan sarana dan prasarana; kemudahan akses; kedisiplinan, kesopanan dan keramahan; dan kenyamanan. Upaya peningkatan kualitas pelayanan melalui berbagai kebijakan di bidang pelayanan sampai saat ini masih terus dilaksanakan oleh pemerintah dengan di canangkannya Bulan Peningkatan Pelayanan Publik yang dimulai pada tanggal 2 September sampai dengan Nopember 2003. Bahkan pada Tahun 2004 akan dicanangkan sebagai tahun Pelayanan Publik. Namun, peraturan perundangundangan yang ada tampaknya belum mampu membawa perubahan yang signifikan padahal tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih baik tersebut semakin tinggi. Keinginan pemerintah akan penyediaan pelayanan yang bekualitas bagi masyarakat nampaknya masih belum terwujud meskipun berbagi upaya telah dilakukan. Hal substansial yang harus dipahami dalam konteks Reformasi pelayanan publik adalah bahwa upaya-upaya nyata ini haruslah dimulai dari aspek yang paling mendasar, yaitu: reformasi pola pikir (paradigma) penyelenggaraan pelayanan publik. Reformasi paradigma pelayanan publik ini adalah penggeseran pola penyelenggaraan pelayanan publik dari yang semula berorientasi pemerintah sebagai penyedia menjadi pelayanan yang berorientasi kepada kebutuhan masyarakat sebagai pengguna. Dengan begitu, tak ada pintu masuk alternatif untuk memulai perbaikan pelayanan publik selain sesegera mungkin mendengarkan suara publik itu sendiri. Inilah yang akan menjadi jalan bagi peningkatan partisipasi masyarakat di bidang pelayanan publik. Dalam era demokratisasi dan desentralisasi saat ini, seluruh perangkat birokrasi, perlu menyadari bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang" (Mustopadidjaja, 2003). Pemberian pelayanan yang berkualitas merupakan cerminan dari praktek professional yang menjadi senjata ampuh dalam bersaing meraih dan mempertahankan pasar. Pelayanan yang berkualitas akan melibatkan seluruh komponen organisasi secara terintegrasi melaksanakan tanggung jawab dan peranannya dalam memberikan pelayanan. Kualitas pelayanan mencakup tata cara, perilaku dan juga penguasaan pengetahuan tentang produk dari penyelenggara layanan, sehingga penyampaian informasi dan pemberian fasilitas/jasa palayanan kepada pelanggan dapat secara
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
59
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
optimal memenuhi kebutuhan yang diharapkan pelanggan, sehingga pelanggan akan merasa puas dan perusahaan akan mendapatkan manfaatnya. Untuk itu, upaya perbaikan kualitas pelayanan perlu mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Upaya tersebut dapat dilakukan melalui berbagai cara dan strategi pelayanan publik pada setiap unit organisasi pelayanan. Cara dan strategi pelayanan tersebut mengarah pada pelaksanan secara lebih operasional dan implementatif sebagai suatu solusi perbaikan kualitas pelayanan publik. Di samping cara ini juga merupakan upaya untuk mempertemukan harapan masyarakat dan harapan penyedia pelayanan dalam mempertanggung jawabkan akuntabilitasnya kepada masyarakat selaku pemberi mandat. Agar pelayanan publik ini dapat dilakukan dengan baik, pelayanan publik akan dapat memberikan kinerja yang lebih baik jika dikelola oleh masyarakat itu sendiri atau dengan cara privatisasi (Ricardi S. Adnan, 2003). Privatisasi telah dianggap obat mujarab yang bersifat generik. Manjur untuk menyembuhkan segala penyakit. Studi-studi Bank Dunia acap kali mampu menunjukkan pokok perkara dengan amat jelas. Tetapi dari pengalaman selama ini, solusi yang ditawarkan cenderung menyederhanakan masalah. Jika diekstrapolasi dengan rentetan kebijakan yang telah direkomendasikan, mungkin saja Bank Dunia akan merekomendasi untuk memprivatisasi birokrasi di Indonesia. Logikanya sederhana karena birokrasi gagal menyediakan layanan publik, maka serahkan saja pada swasta untuk mengelola layanan publik. Hal ini ternyata telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan jalan menswastakan beberapa perusahaan milik negara yang pada masa lalu merupakan tugas dan kewenangan pemerintah semata. Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat sangat membutuhkan pelayanan publik baik karena peraturan ataupun karena kebutuhan, tetapi masyarakat itu sendiri belum sepenuhnya mampu melakukan dan memenuhi kebutuhannya. Untuk itu, kebutuhan dan keberadaan organisasi pemerintahan dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat masih sangat penting bagi masyarakat, terutama dalam menjamin kepentingan masyarakat dengan menyediakan pelayanan publik yang tidak disediakan oleh organisasi swasta dengan baik, profesional, akuntabel dan transparan. Untuk itu organisasi pemerintah diperlukan untuk menjamin kepentingan publik dan mempertangung-jawabkannya. Berikut adalah asumsi-asumsi penting yang harus dipenuhi. Pertama, investasi dan perdagangan sebagai realisasi dari pemulihan ekonomi tidak akan pernah tercapai jika tidak ada dukungan birokrasi yang menyediakan layanan publik yang memadai. Kedua, pelayanan publik tidak bisa serta-merta diserahkan kepada swasta. Karena ternyata persoalannya bukan pada aktor ekonomi, entah birokrasi pemerintah atau swasta, tetapi pada tata cara pengelolaan baik pada tataran
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
60
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Untuk itu, birokrasi harus segera direformasi agar kualitas pelayanan publik dapat ditingkatkan. Salah satu langkah strategis dalam upaya meningkatkan pelayanan publik adalah melalui kebijakan pemberian otonomi. Desentralisasi Kewenangan Terwujudnya masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera sebagaimana yang diamanatkan oleh para founding father dalam Pembukaan UUD 1945 hanya dapat diraih apabila pemerintah Indonesia benar-benar dapat menyelenggarakan pemerintahan negara ini secara arief, adil dan bijaksana yang utamanya menerapkan demokrasi di segala aspek kehidupan masyarakat. Namun, kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah bahwa kondisi demokrasi bila dikaitkan dengan realita dalam kehidupan bangsa ini, masih banyak ketimpangan dan kesenjangan sosial. Untuk itu, demokrasi akan sulit terwujud apabila masih terdapat ketimpangan dan kesenjangan sosial masih sangat tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut dan untuk mencapai suatu negara yang demokratis diperlukan berbagai syarat. Syarat utama terwujudnya pemerintahan yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat adalah dengan penerapan desentralisasi dan otonomi daerah. Desentralisasi merupakan amanat konstitusi yang harus dilaksanakan; untuk itu, diperlukan suatu pembagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah agar penyelenggaraan pemerintah menjadi lebih efisien dan efektif. Penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif, dan pembangunan yang terarah pada perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat di seluruh wilayah tanah air mensyaratkan berkembangnya otonomi. Otonomi Daerah (OTODA) mengimperasikan hak, kewajiban, dan tanggung jawab ataupun kewenangan daerah untuk mengurus “rumah tangga (pemerintahan dan pembangunan)” daerah dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan otonomi; yaitu utamanya (1) meningkatkan kapabilitas dan kesejahteraaan rakyat daerah, (2) meningkatkan prakarsa, kreativitas, dan peranserta masyarakat, dan (3) menjaga keserasian hubungan antar daerah dan antara Pusat dan Daerah (Mustopadidjaja, 2002). Kebijakan otonomi daerah, sebenarnya telah diletakkan dasar-dasarnya jauh sebelum terjadinya gelombang reformasi yang terjadi pada pertengahan 1998 lalu, yaitu dalam UUD 1945. Dan sesungguhnya penyelenggaraan otonomi daerah tersebut menekankan pentingnya prinsip-prinsip demokrasi, peningkatan peranserta masyarakat, dan pemerataan keadilan dengan memperhitungkan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
61
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
berbagai aspek yang berkenaan dengan potensi dan keanekaragaman antar daerah. Namun, perumusan kebijakan otonomi daerah pada saat itu masih bersifat setengah-setengah dan dilakukan tahap demi tahap yang sangat lamban. Setelah terjadinya reformasi yang disertai pula oleh gemlobang tuntutan ketidakpuasan masyarakat di berbagai daerah mengenai pola hubungan antara pusat dan daerah yang dirasakan tidak adil, maka tidak ada jalan lain bagi kita kecuali mempercepat pelaksanaan kebijakan otonomi daerah itu, dan bahkan dengan skala yang sangat luas yang diletakkan di atas landasan konstitusional dan operasional yang lebih radikal. Sehubungan dengan hal itu, pelaksanaan otonomi daerah ini dianggap sangat penting, karena tantangan perkembangan lokal, nasional, regional, dan internasional di berbagai bidang ekonomi, politik dan kebudayaan terus meningkat dan mengharuskan diselenggarakannya otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. Pelaksanaan otonomi daerah itu diwujudkan dengan pengaturan, pembagian, dan pemanfaatan sumberdaya masing-masing serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, sesuai prinsip-prinsip demokrasi, peranserta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta potensi dan keanekaragaman antar daerah. Kemudian dalam rangka menjawab tuntutan masyarakat akan pentingnya otonomi daerah di negara kita, kebijakan nasional mengenai otonomi daerah dan pemerintahan daerah ini, telah dituangkan dalam bentuk UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dilengkapi oleh UU No.25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Dengan ditetapkannya kedua UU ini, maka UU yang mengatur materi yang sama yang ada sebelumnya dan dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan, dinyatakan tidak berlaku lagi. UndangUndang yang dinyatakan tidak berlaku lagi itu adalah UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 No. 38 dan Tambahan Lembaran Negara Tahun 1974 No.3037), UU No.5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa (LN Tahun 1979 No. 56 dan TLN Tahun 1979 No.3153), dan UU No.32 Tahun 1956 tentang Perimbangan Keuangan antara Negara dengan Daerah-daerah yang Berhak Mengurus Rumah Tangganya Sendiri (LN Tahun 1956 No.77 dan TLN Tahun 1956 No.1442). Kemudian untuk memperkuat kebijakan otonomi daerah itu, dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2000 telah pula ditetapkan Ketetapan MPR No.IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah yang antara lain merekomendasikan bahwa prinsip otonomi daerah itu harus dilaksanakan dengan menekankan pentingnya kemandirian dan keprakarsaan dari daerah-daerah-daerah otonom untuk menyelenggarakan otonomi daerah tanpa harus terlebih dulu menunggu petunjuk dan pengaturan dari pemerintahan pusat. Bahkan, kebijakan nasional otonomi daerah ini telah dikukuhkan pula dalam materi perubahan Pasal 18 UUD 1945. Dalam rangka itu,
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
62
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
selanjutnya berbagai Peraturan Pemerintah (PP) lainnya yang mendukung pelaksanaan UndangUndang Nomor 22 dan 25 Tahun 1999 tersebut diterbitkan, seperti PP No. 25, 84, 104, 105, 106 dan 107 yang mengamanatkan bahwa sebagian besar kewenangan pemerintah pusat telah diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten dan kota. Dalam keseluruhan perangkat perundang-undangan yang mengatur kebijkan otonomi daerah itu, dapat ditemukan beberapa prinsip dasar yang dapat dijadikan paradigma pemikiran dalam menelaah mengenai berbagai kemungkinan yang akan terjadi di daerah, terutama dalam hubungannya dengan kegiatan investasi dan upaya mendorong tumbuhnya roda kegiatan ekonomi dalam masyarakat di daerah-daerah. Dalam hal ini, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan mendesentralisasikan kewenangankewenangan yang selama ini tersentralisasi di tangan pemerintah pusat. Dalam proses desentralisasi itu, kekuasaan pemerintah pusat dialihkan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah sebagaimana mestinya, sehingga terwujud pergeseran kekuasaan dari pusat ke daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka diidealkan bahwa sejak diterapkannya kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan akan bergerak sebaliknya, yaitu dari pusat ke daerah. Kebijakan otonomi dan desentralisasi kewenangan ini dinilai sangat penting terutama untuk menjamin agar proses integrasi nasional dapat dipelihara dengan sebaik-baiknya. Karena dalam sistem yang berlaku sebelumnya, sangat dirasakan oleh daerah-daerah besarnya jurang ketidakadilan struktural yang tercipta dalam hubungan antara pusat dan daerah-daerah. Untuk menjamin agar perasaan diperlakukan tidak adil yang muncul di berbagai daerah seluruh Indonesia tidak makin meluas dan terus meningkat yang pada gilirannya akan sangat membahayakan integrasi nasional, maka kebijakan otonomi daerah ini dinilai mutlak harus diterapkan dalam waktu yang secepatcepatnya sesuai dengan tingkat kesiapan daerah sendiri. Dengan demikian, kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi kewenangan tidak hanya menyangkut pengalihan kewenangan dari atas ke bawah, tetapi pada pokoknya juga perlu diwujudkan atas dasar keprakarsaan dari bawah untuk mendorong tumbuhnya kemandirian pemerintahan daerah sendiri sebagai faktor yang menentukan keberhasilan kebijakan otonomi daerah itu. Dalam kultur masyarakat kita yang paternalistik, kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah itu tidak akan berhasil apabila tidak dibarengi dengan upaya sadar untuk membangun keprakarsaan dan kemandirian daerah sendiri.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
63
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
Namun demikian, otonomi daerah kadang-kadang hanya dipahami sebagai kebijakan yang bersifat institutional belaka yang hanya dikaitkan dengan fungsi-fungsi kekuasaan organ pemerintahan. Oleh karena itu, yang menjadi perhatian hanyalah soal pengalihan kewenangan pemerintahan dari tingkat pusat ke tingkat daerah, tetapi esensi kebijakan otonomi daerah itu sebenarnya berkaitan pula dengan gelombang demokratisasi yang berkembang luas dalam kehidupan nasional bangsa kita dewasa ini. Pada tingkat suprastruktur kenegaraan maupun dalam rangka restrukturisasi manajemen pemerintahan, kebijakan otonomi daerah itu dikembangkan seiring dengan agenda dekonsentrasi kewenangan. Jika kebijakan desentralisasi merupakan konsep pembagian kewenangan secara vertikal, maka kebijakan dekonsentrasi pada pokoknya merupakan kebijakan pembagian kewenangan birokrasi pemerintahan secara horizontal. Kedua-duanya bersifat membatasi kekuasaan dan berperan sangat penting dalam rangka menciptakan iklim kekuasaan yang makin demokratis dan berdasar atas hukum. Oleh karena itu, kebijakan otonomi daerah itu tidak hanya perlu dilihat kaitannya dengan agenda pengalihan kewenangan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, tetapi juga menyangkut pengalihan kewenangan dari pemerintahan ke masyarakat. Inilah yang perlu diperhatikan sebagai esensi pokok dari kebijakan otonomi daerah itu dalam arti yang sesungguhnya. Otonomi daerah berarti otonomi masyarakat di daerah-daerah yang diharapkan dapat terus tumbuh dan berkembang keprakarsaan dan kemandiriannya dalam iklim demokrasi dewasa ini. Namun demikian, kebijakan otonomi daerah tidak dibarengi dengan peningkatan kemandirian dan keprakarsaan masyarakat di daerah-daerah sesuai tuntutan alam demokrasi, praktek-praktek kekuasaan yang menindas seperti yang dialami dalam sistem lama yang tersentralisasi, tetap muncul dalam hubungan antara pemerintahan di daerah dengan masyarakatnya. Bahkan ada kehawatiran bahwa sistem otonomi pemerintahan daerah saat ini justru dapat menimbulkan otoritarianisme pemerintahan lokal di seluruh Indonesia. Para pejabat daerah yang sebelumnya tidak memiliki banyak kewenangan dalam waktu singkat tiba-tiba mendapatkan kekuasaan dan kesempatan yang sangat besar yang dalam waktu singkat belum tentu dapat dikendalikan sebagaimana mestinya. Namun demikian, keberadaan UU Nomor 22 dan 25 tahun 1999, pada prinsipnya pemerintah telah berupaya memperbaharui dirinya dengan menyeimbangkan peran-peran yang dapat dimainkan antara pusat dan daerah otonom kabupaten/kota di Indonesia. Desentralisasi menjadi progres report penting dalam perkembangan tata pemerintahan di Indonesia. Namun demikian sebagaimana banyak di sinyalir oleh para ahli, ternyata upaya-upaya yang telah dilaksanakan belum memberikan suatu result yang menggembirakan dilihat dari
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
64
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
implementasi birokrasi di Indonesia. Indikator-indikator sebagaimana disebutkan di atas seperti kelambanan, malpraktek pelayanan publik, ketidakseimbangan peran masih banyak di keluhkan oleh masyarakat. Sesungguhnya dengan diimplementasikannya UU No 22 dan No 25 1999 itu, pemerintah telah menunjukan komitmennya dalam upaya meningkatkan pelayanan terhadap masayarakat. Dalam UU tersebut kewenangan-kewenangan itu terbaca jelas di dalam beberapa pasal dalam UU No 22/1999. Seperti yang tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2): "Bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertanahan, koperasi, dan tenaga kerja." Dengan pasal itu, kita melihat luasnya kewenangan yang didapat oleh pemerintah daerah. Pemerintah daerah sudah dapat menjadi garis depan yang melayani masyarakat dan dapat mengurusi hal-hal yang selama ini secara tidak langsung dimiliki oleh pemerintah pusat. Dengan demikian, dengan adanya desentralisasi, pemerintah daerah mau tidak mau harus mampu melaksanakan berbagai kewenangan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah pusat, seiring dengan pelayanan yang harus disediakan. Konseksuensinya, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mampu memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, dalam arti lebih berorientasi kepada aspirasi masyarakat, lebih efisien, efektif, manusiawi dan bertanggung jawab. Dengan kata lain pelaksanaan otonomi daerah adalah juga upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan (Mohamad, 2003). Dalam rangka mengisi pelaksanaan Undang-undang tersebut, pemerintah daerah diharapkan lebih mengutamakan penyampaian pelayanan kepada masyarakat secara lebih baik dan memperhatikan upaya peningkatan kinerja pelayanan yang diberikan kepada masyarakatnya. Pelaksanaan otonomi daerah mempunyai banyak alasan untuk diselenggarakan. Artinya, terdapat pendelegasian wewenang yang cukup besar dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, terutama pemerintah kabupaten dan kota. Dari sini diharapkan aparat birokrasi daerah dapat mendeteksi langsung persoalan-persoalan di masyarakat dan dapat melayani langsung kebutuhan masyarakat tanpa harus menunggu rantai birokrasi yang panjang dari Jakarta. Pemerintah diberikan kewenangan yang luas untuk langsung melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini selaras dengan tujuan desentralisasi bahwa kualitas pelayanan publik harus benar-benar menjunjung nilai-nilai demokrasi dan kemandirian yang berakar pada masyarakat setempat. Oleh karenanya pemerintah daerah diharapkan dapat memahami dan memberikan perhatian pada bidang pelayanan apa saja yang mendapat prioritas, bagaimana cara menentukan prioritas, bagaimana cara
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
65
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
melaksanakan pelayanan tersebut secara efisien dan efektif sesuai dengan sumber daya yang ada di daerah serta bagaimana mengukur kinerja pelayanan publik yang telah diberikan. Pelayanan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan para pelanggan, dan sasaran dari manajemen pelayanan adalah kepuasan. Meskipun sasaran itu sederhana, namun pencapaiannya memerlukan sesungguhan dan syarat-syarat yang seringkali tidak mudak untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap organisasi penyedia jasa pelayanan haruslah memperhatikan kualitas pelayanannya. Hanya dengan pemberian pelayanan yang berkualitaslah, kepuasan pelanggan dapat diwujudkan. Di samping itu, masalah lain yang timbul dalam rangka pelaksanaan UU mengenai Otonomi daerah ini, beranjak dari rumusan pengertian otonomi tersebut bahwa otonomi daerah secara ringkas adalah daerah yang menyelenggarakan pemerintahan sendiri, atau daerah yang memiliki pemerintahan sendiri yang berdaulat atau independen. Dalam konteks Indonesia pengertian independen atau bebas atau berdaulat inilah barangkali yang tidak diinginkan, karena akan berkonotasi adanya negara didalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tidak sesuai dengan Undang Undang Dasar 1945. Otonomi dicurigai memiliki 'cacat alami' yang senantiasa mengancam kesatuan (Bagir Manan dalam Mustopadidjaja, 2002). Hal itu terjadi karena kurangnya pemahaman yang tepat, atau karena pengalaman masa lalu yang diwarnai berbagai peristiwa pemberontakan yang mengarah kepada disintegrasi nasional. Untuk itu, harus dipahami bersama bahwa otonomi daerah di Indonesia pada dasarnya bersifat administratif, yaitu kebebasan untuk menyelenggarakan administrasi pemerintahan sendiri yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia (SANKRI). Dengan demikian dalam konteks Indonesia, pengertian Otonomi Daerah menunjukkan hubungan keterikatan antara daerah yang memiliki hak untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri dengan kesatuan yang lebih besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Bukan berarti daerah otonom yang merdeka dan berdiri sendiri bebas dari ikatan dengan NKRI (Mustopadidjaja, 2002). Penerapan demokrasi di Indonesia selama kurun waktu lima tahun belakang, dapat dikatakan bahwa proses demokratisasi hasil Pemilu 1999, telah berjalan pada jalur dan arah yang benar. Hal ini ditandai dengan sikap antusias masyarakat dalam berpolitik yang cukup tinggi. Di samping berbagai kemajuan politik lainnya yang ditandai dengan keberadaan institusi-institusi baru demokrasi yang pelaksanaan perannya memberikan optimisme terhadap penguaan proses demokrasi, yaitu pertama, keberadaan Mahkamah Konstitusi yang walapun sempat diragukan kapasitas dan kredibilitasnya, ternyata mampu mengeluarkan keputusan yang menjadi hak-hak azasi warganegara di depan hukum dan konstitusi. Kedua, penyelenggaraan pemilihan umum yang dilaksanakan oleh lembaga
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
66
Isu Strategis Reformasi Birokrasi
independen Komisi Pemilihan Umum (KPU), dengan pemerintah hanya bertindak sebagai fasilitator, merupakan suatu perkembangan positif yang perlu dipeliraha dalam menjada kebebasan dan keadilan proses pemilu yang demokratis. Ketika fungsi-fungsi penting pemerintah seperti pelayanan publik, regulasi, proteksi, dan distribusi tidak berjalan optimal, maka kondisi ini dapat dilihat dari beberapa perspektif. Pertama, nilai, misi, tujuan yang ditetapkan, kapasitas, dan kewenangan yang ada belum secara optimal dapat dijalankan sebagaimana diharapkan. Jadi dalam hal ini amat terkait dengan kompetensi pemerintah dalam mengimplementasikan fungsi-fungsi yang diembannya. Perspektif kedua, pemerintah memiliki kecenderungan inkonsistensi dalam pelaksanaan wewenang dan kekuasaan sebagaimana diamanahkan. Artinya ketidakoptimalan peran yang ditunjukkan dengan perwujudan birokrasi pemerintah lebih disebabkan karena kecenderungan menyalahi atau menyelewengkan amanah kekuasaan yang telah diberikan oleh rakyat. Baik perspektif pertama dan kedua bermuara pada pandangan tidak optimalnya fungsi-fungsi pemerintah sebagai pemangku kepentingan yang telah diamanahkan. Pada perkembangan selanjutnya hal ini menyebabkan adanya kondisi ketidakseimbangan peran yang dimainkan oleh pemerintah, rakyat, dan sektor bisnis. Ketidakseimbangan yang ada saat ini menunjukkan secara psikologis pamaknaan peran pemerintah lebih besar dibanding masyarakat dan sektor bisnis. Peran yang tidak seimbang menyebabkan kondisi-kondisi frustasi dan apatisme dari kalangan masyarakat. Implikasinya akan sangat sulit kemudian mengharapkan mampu menggerakkan masyarakat untuk berperan lebih jauh dalam pembangunan, sedangkan masyarakat sudah sampai pada tahapan apatisme terhadap pemerintah. Lebih jauh ketidakseimbangan peran yang terjadi terus menerus, akan menimbulkan ketidakpuasan yang dapat memicu kekacauan karena benturan “kepentingan” pemerintah dan masyarakat tidak dapat dipertemukan. Dan kondisi terakhir ini sudah banyak contohnya di negara lain, dan bahkan kita sendiri, bangsa Indonesia telah mengalami masa-masa sulit terjadinya kekacauan akibat benturan-benturan ini di tahun 1997.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
67
Rencana Tindak
BAB IV RENCANA TINDAK
Melalui pelaksanaan fungsi-fungsi kepemerintahan, birokrasi memiliki arti dan peran penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Pentingnya birokrasi terletak pada pengaruhnya terhadap efektifitas pelaksanaan tugas pemerintahan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa bernegara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut dilakukannya melalui pelaksanaan pengelolaan kebijakan dan pelayanan masyarakat secara professional dan senantiasa terarah pada meningkanya kesejahteraan, kemandirian, daya saing, kemajuan perekonomian seluruh rakyat, serta terpeliharanya kedaulatan dan keutuhan wilayah negara bangsa. Dalam hubungan itu, konsep dan prakarsa reformasi birokrasi tidak terlepas dari pertimbangan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi, dinamika, dan kinerja birokrasi, meliputi baik faktor-faktor internal birokrasi maupun faktor-faktor lingkungan strategis, termasuk pemahaman mengenai posisi dan peran birokrasi dalam sistem administrasi negara kita. Keseluruhan faktor tersebut perlu dipertimbangkan dalam menentukan “format birokrasi” yang dikehendaki dan berkemampuan merespon tantangan lingkungan strategis yang semakin kompleks dan meningkat. Dengan menggunakan pendekatan manajemen strategis, rencana reformasi birokrasi bertolak dari berbagai fenomena yang dinilai menjadi kelemahan birokrasi yang telah diuraikan pada bab-bab sebelumnya untuk selanjutnya dicarikan solusinya. Solusi tersebut terarah pada pengurangan kelemahan sehingga terwujud birokrasi yang mampu menangkap peluang-peluang dan merespon tantangan yang merupakan tuntutan masyarakat dan dinamika global. Terdapat lima isu strategis terkait dengan reformasi birokrasi yang perlu ditindaklanjuti secara cermat dalam rencana tindak, yaitu pemerintahan yang bersih, aktualisasi prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, kompetensi SDM aparatur, pelayanan publik, dan desentralisasi kewenangan. Rencana tindak dalam konteks ini adalah rencana yang ingin diimplementasikan sehingga birokrasi didorong ke arah birokrasi yang lebih baik yang mampu merespon dinamika lingkungan strategis. Rencana tindak ini diharapkan akan dapat secara bertahap memperbaiki sosok dan kinerja birokrasi.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
68
Rencana Tindak
1.
Pemerintahan yang Bersih
Berbagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (Clean Government) telah banyak dilakukan oleh pemerintahan Indonesia. Hal tersebut antara lain terlihat dengan diterbitkannya berbagai peraturan perundang-undangan yang terarah pada terciptanya pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Sejalan dengan hal itu, pemerintah juga berupaya untuk terus meningkatkan peran masyarakat dalam mengawasi jalannya pemerintahan, antara lain dengan menyediakan sarana dan prasarana yang dapat dijadikan tempat bagi perbaikan kinerja melalui penyediaan kotak-kotak pengaduan. Namun, pemerintahan yang bersih pada kenyataannya sangat sulit diwujudkan mengingat masih banyaknya kelemahan-kelemahan yang bertalian dengan birokrasi, seperti antara lain lemahnya penegakan hukum, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan peraturan, standar pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik yang belum jelas dan tidak transparan, adanya duplikasi aturan dan kewenangan lembaga-lembaga pengawasan internal, lemahnya tindak lanjut hasil-hasil pengawasan termasuk partisipasi masyarakat dalam pengawasan, serta masih adanya sikap kurang menghargai profesionalisme. Lebih lanjut Tabel 4. Matriks Rencana Tindak Dengan Issu Strategic Clean Government, yang memuat identifikasi kelemahan-kelemahan dalam mengupayakan terciptanya pemerintahan yang bersih dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Bertolak dari identifikasi kelemahan-klemahan dalam mewujudkan clean government tersebut, rencana tindak berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut adalah sbb: Pertama, untuk mengatasi kelemahan law enforcement, secara kelembagaan dibentuk komisikomisi yang bertugas melakukan pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja lembaga-lembaga penegak hukum yang dilakukan secara bertahap, konsisten dan berkelanjutan; serta didukung oleh sistem yang mantap dan dapat menemukenali akar permasalahannya. Langkah ini sangat penting artinya dalam mewujudkan tujuan yang diharapkan secara mantap. Belum optimalnya pelaksanaan pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja di masa lalu antara lain disebabkan belum dikalukannya “pemantauan, pengawasan dan evaluasi kinerja secara terkoordinasi, sistemik, terus menerus, dan menyentuh akar permasalahnya. Dalam penegakan hukum, kompentesi dan integritas aparatur belum secara optimal mendukung, demikian pula sistem kerja internal lembaga. Oleh karena itu, dalam upaya penegakan hukum perlu adanya usaha perbaikan terhadap sistem kerja internal dan hubungan tata kerja antara lembaga penegak hukum dan lembaga pengawasan. Selain itu, upaya ini dapat berhasil jika dikuti oleh peningkatan pengetahuan, ketrampilan, serta perilaku dan sikap aparat
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
69
Rencana Tindak
penegak hukum yang mumpuni, untuk dapat merespon berbagai permasalahan yang dihapi secara tepat dan efektif. Kedua, ketidakjelasan dan ketidaklengkapan peraturan merupakan celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu. Kaitannya dengan hal ini maka perlu adanya tindakan yang nyata dalam melakukan review terhadap peraturan yang memungkinkan adanya celah hukum yang dapat dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk melakukan KKN dan memperbaiki substasi peraturan perundang-undangan tersebut, terutama yang memungkinkan terjadinya multi interprestasi (ambiguitas). Selanjutnya perbaikan atas peraturan yang ada memerlukan suatu dukungan sistem pelaksanaan sosialisasi dan diseminasi, sehingga peraturan yang ada dapat terdistribusi dan terlembagakan. Ketiga, untuk menghindari adanya duplikasi aturan dan kewenangan lembaga-lembaga pengawasan internal perlu adanya tindakan perbaikan aparatur pengawasan internal; meliputi : hubungan kelembagaan, sistem dan proses kerja internal, aplikasi standar akuntasi pemerintahan yang sesuai dengan standar internasional, pengem-bangan e-audit, sertifikasi pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan dan pemeriksaan; serta peningkatan disiplin, kompetensi dan kesejahtraan para penegak hukum. Keempat, standar pengelolaan pelayanan publik belum jelas dan pelaksana-annya tidak trasparan. Dalam hubungan itu, adanya standar opersional pelayanan (SOP) sangat penting untuk memperbaiki citra dan mengukur kinerja lembaga pelayanan. Untuk itu diperlukan tindakan konkrit yang mempertegas institusi yang bertanggungjawab untuk (a) menyusun norma, standar, dan prosedur pengelolaan pelayanan publik, (b) memperkuat fungsi dan kewenangan unit yang mengelola informasi, mereview, menganalisa, merumuskan dan menetapkan indikator kinerja, (c) mensosialisasikan SOP pengelolaan pelayanan dan indikator kinerja pada lembaga-lembaga terkait; dan (d) melakukan pemantauan dan penilaian atas capaian kinerja (lembaga independen). Semua itu dapat dilakukan dengan baik jika diikuti upaya peningkatan kompetensi SDM dan penerapan reward and punishment yang konsisten dan berkelanjutan. Kelima, lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan tugas pemerintahan. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap sistem pengawasan dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, sehingga perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat terutama dengan meng-hidupkan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang memiliki fungsi pengawasan, memperkuat pemahaman dan menumbuhkan rasa tanggungjawab masyarakat dalam penyenggaraan pemerintahan disertai penyediaan fasilitas yang menunjang proses pembelajaran mengenai civic education.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
70
Rencana Tindak
Keenam, profesionalitas belum dihargai secara layak, kesenjangannya jika dibandingkan dengan sektor swasta masih jauh. Oleh karena itu pemerintah perlu mengadakan regulasi standar kinerja profesional individu dan institusi, memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan profesionalitas, melakukan review sistem dan proses pengelolaan kebijakan remunerasi, menyusun dan menerapkan sistem remunerasi yang sesuai dengan standar hidup yang layak serta penegakan reward and punishment. 2.
Aktualisasi Prinsip-Prinsip Good Governance
Isu strategis kedua yang memerlukan penanganan adalah bagaimana mengaktualisasikan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Mengak-tualisasikan nilai-nilai dan prinsipprinsip yang terkandung dalam good governance (GG) masih belum terwujud secara nyata dalam pengelolaan pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan secara berkeseimbangan. GG dipahami juga mengandung makna adanya keseimbangan peran antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha (swasta) dalam penyelenggaraan negara. Keseimbangan peran akan memungkinkan terjadinya kesetaraan, tidak ada dominasi antara satu atas lainnya. Dengan demikian tidak ada pihak yang merasa lebih tinggi perannya, karena semua pihak memahami bahwa masingmasing mempunyai posisi dan peran yang vital dalam upaya mencapai cita-cita dan tujuan bersama. Dorongan ke arah terwujudnya GG sudah banyak dilakukan oleh pemerintah. Namun ibarat sebuah kampanye, banyak diretorikakan akan tetapi banyak pula pihak mengakui nilai-nilai GG belum benar-benar teraktualisasikan. Sehingga GG kemudian menjadi fenomena yang dikenal tapi belum dibumikan; nilai dan prinsip yang terkandung di dalamnya belum diterapkan secara efektip. Beberapa kendala yang diakui sebagai kelemahan dalam mengaktualisasikan GG antara lain adalah lemahnya pemahaman dan kemampuan menerapkan prinsip-prinsip GG, lemahnya komitmen 3 pilar GG (masih sebatas retorika), dan dalam upaya melaksanakan GG belum didukung sistem informasi yang memadai. Tabel 5, Matriks Rencana Tindak dengan Isu strategik Aktualisasi Good Governance menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam mengaktualisasikan tata kepemerintahan yang baik dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Solusi atas berbagai kelemahan tersebut harus dilakukan secara simultan. Rencana tindak ke depan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan dalam mewujudkan GG selanjutnya, antara lain adalah sbb. Pertama, untuk mengatasi lemahnya pemahaman dan kemampuan menerapkan prinsispprinsip GG perlu upaya menginternalisasikan nilai dan prinsip-prinsip GG dalam manajemen setiap
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
71
Rencana Tindak
lembaga, diawali dengan pembakuan konsep (termasuk indikator operasional GG), modul dan proses pembelajaran, mekanisme penerapannya pada setiap lembaga, dan pelaksanaan penilaian dan pengendalian terhadap pelaksanaan GG. Kedua, lemahnya komitmen ketiga pilar GG (pemerintah, swasta, dan masyarakat) sangat mempengaruhi kualitas implementasi dan aktualisasi prinsip-prinsip GG dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mengatasai permasa-lahan ini, tindakan yang perlu dilakukan adalah memberdayakan lembaga yang mengaplikasikan prinsip-prinsip GG, mengembangkan aplikasi prinsip-prinsip GG dalam manejeman pemerintahan di pusat dan daerah disertai kegiatan sosialisasi dan diseminasi prinsip-prinsip GG kepada seluruh stakeholders. Dalam hubungan ini, upaya membangun konsensus dalam dan antara pemerintah, swasta, dan masyarakat sebagai pilar GG menjadi amat urgen. Ketiga, belum adanya dukungan sistem informasi yang memadai dalam mengaplikasikan prinsip-prinsip GG. Sistem informasi dalam era globalisasi dan keterbukaan saat ini sangatlah penting bagi penyelengaraan pemerintahan untuk dikenali, dimengerti, dipahami dan dimilki kemahiran dalam pemanfaatannya. Berkaitan dengan hal ini maka pemerintah perlu melakukan terobosan untuk membangun sistem informasi pada setiap lembaga secara terintergrasi, membangun pola kemitraan dengan pihak swasta dibidang informasi, menyusun SOP pada setiap lembaga dalam pemanfaatan Sistem Informasi (SI) untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip GG. Dalam konteks ini pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya informasi dapat dilakukan melalui out sourching dengan memanfaatkan kerjasama dengan pihak swasta yang kompeten. Upaya-upaya ini amat membutuhkan fasilitasi bagi peningkatan kompetensi aparatur khususnya di bidang TI, sekaligus disertai perubahan sistem insentif dalam pengembangan TI. 3.
Kompetensi SDM Aparatur
Sumber daya manusia aparatur merupakan sumber daya birokrasi yang sangat penting. Kelembagaan birokrasi yang baik hanya bisa berjalan baik kalau diisi dan dijalankan oleh sumber daya manusia yang memiliki komitmen dan kompetensi yang memadai dalam mengemban tugas jabatan dan pekerjaan kepemerintahannya, disertai perilaku dan sikap yang konsisten dengan misi keberadaannya dalam “memberikan pelayanan kepada masyarakat”. Oleh karena itu, di masa datang para birokrat diharapkan memiliki kompetensi bukan saja berupa pengetahuan dan keterampilan serta wawasan yang luas terhadap pekerjaannya, tetapi juga berupa pengetahuan dasar psikologi sosial, kecerdasan emosional yang stabil, serta kemampuan berkomunikasi dengan baik dan dalam menjalin hubungan interpersonal.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
72
Rencana Tindak
Pada kenyataannya, dalam menjalankan tugasnya, banyak pihak mengeluhkan bahwa pejabat terkait kurang mampu menjalankan tugasnya. Sumber penyebab kondisi ini antara lain berupa standar kualifikasi dan mekanisme rekruitmen pegawai belum mantap, pembinaan karir yang tidak jelas, ketidaksesuaian antara kemampuan/ ketrampilan SDM dengan tugas yang diemban, disiplin yang rendah, uraian tugas dan kewenangan yang belum jelas, sistem reward and punishment yang belum mantap konsep dan pelaksanaannya, penegakan hukum yang lemah dan infrastruktur pendukung yang belum memadai. Semua ini menggambarkan menejemen SDM yang belum mantap mulai dari rekruitmen sampai dengan pesiun. Selain itu beberapa penyebab lainnya antara lain adalah belum adanya standar baku kinerja yang jelas, lemahnya sistem pengawasan dan penilaian, dan masih kentalnya praktek KKN dalam penerimaan dan pembinaan pegawai maupun dalam pengangkatan untuk menduduki jabatan tertentu. Kondisi ini masih tetap berlangsung pada era reformasi saat ini, baik di tingkat pusat maupun daerah. Selanjutnya dalam Tabel 6 Matriks Rencana Tindak dengan Strategik Kompetensi SDM, yang menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam meningkatkan kompetensi SDM aparatur dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Kondisi tersebut perlu penanganan yang tepat dan berdasarkan rencana tindak yang jelas, berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahankelemahan pokok yang dihadapi, antara lain sbb: Pertama, sistem rekruitmen dan pembinaan karir yang tidak jelas akan membuka kran praktek KKN dalam penerimaan pegawai, mengakibatkan pegawai yang diterima tidak cukup memenuhi persyaratan kompetensi yang diharapkan, dan menimbulkan kerancuan dalam pembinaan selanjutnya. Oleh karena itu ke depan agar kita memperoleh SDM aparatur yang memiliki integritas dan kompetensi yang diharapkan, harus menetapkan standar kualifikasi dan mekanisme penerimaan dan pembinaan pegawai yang komprehensif, jelas dan mantap, melakukan pengawasan terhadap pelaksanaannya secara rasional, sistemik dan lugas. Kedua, ketidak sesuaian antara kemampuan/ketrampilan SDM dengan tugas yang diemban sangat mempengaruhi kualitas kinerja aparatur dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat. Untuk mengatasi permasalahan ini maka pemerintah perlu meninjau kembali persyaratan setiap pekerjaan dan jabatan negeri, menetapkan standar kompetensi pekerjaan dan jabatan pegawai negeri, menetapkan standar pendidikan dan pelatihan aparatur untuk setiap jenis pekerjaan dan jenjang jabatan, membuat persyaratan dan mekanisme pengangkatan dalam jabatan secara transparan dan akuntabel, menyusun sistem relokasi pegawai ke instansi dan tempat lain secara jelas dan dilakukan secara kosisten.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
73
Rencana Tindak
Ketiga, disiplin SDM aparatur yang masih rendah merupakan cerminan masih buruknya birokrasi pemerintahan. Untuk mengatasi permasalahan ini diperlukan adanya perubahan perilaku yang mendasar, melalui revitalisasi pembinaan kepegawaian dan proses pembelajaran yang membangun komitmen dan kompetensi yang kuat dalam mengemban tugas sebagai Pegawai Republik, disertai pengembangan sistem rewards and punishment yang tepat dan efektip agar terbangun semangat, kemampuan, dan kemauan untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya secara sebaik-baiknya. Keempat, menajemen SDM yang belum mantap mulai dari rekruitmen sampai dengan pesiun merupakan salah satu indikator bahwa kualitas dan kompetensi aparatur masih rendah. Hal ini disebabkan oleh belum adanya perencanaan yang mantap dalam mengelolah pegawai secara rasional dan layak, pola seleksi yang belum kompetitif, terbuka dan memenuhi prinsip kesadilan dan belum adanya konsistensi terhadap perencanaan dan sistem penghargaan dan sangsi terhadap para aparatur yang berprestasi dan yang melakukan penyewengawan dan pelanggaran terhadap aturan kepegawaian. Kelima, uraian tugas dan kewenangan yang tidak jelas akan menimbulkan ketidakpastian di kalangan aparatur dalam melaksanakan tugas dan tanggung-jawabnya dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Oleh karena itu, perlu upaya penetapan batas kewenangan antar jenjang jabatan dan antar jabatan tertentu, menyusun jod description dan kewenangan setiap jabatan secara jelas, melakukan pembimbingan teknis dan manajerial secara bertahap dan berkelanjutan. Keenam, penerapan sistem reward and punishment yang tidak jelas akan menyebabkan rendahnya kualitas kinerja aparatur dan menggambarkan rendahnya kompetensi SDM. Untuk mendorong penerapan sistem reward and punishment perlu upaya peninjauan kembali peraturan perundang-undangan yang mengatur sistem sistem reward and punishment, menata kembali sistem diklat, menyusun atau menyumpurnakan sistem reward and punishment, menyusun kriteria mengenai sistem merit and sistem karir, menetapkan standar akreditasi sistem Diklat jabatan dan diikuti kegiatan sosialisasi peraturan dan perundang-undangan melalui berbagai Diklat dan seminar. Ketujuh, penegakan dan pelaksanaan hukum dan perundang-undangan yang masih lemah akan mempengaruhi kewibawaan dan ketaatan aparat terhadap hukum dan perundang-undangan yang menjadi aturan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjwabnya. Oleh karena itu perlu adanya upaya pemrosesan sacara hukum terhadap penyalagunaan kewenangan, penyusunan kembali tentang etika birokrasi dan budaya kerja secara jelas, menciptakan suatu mekanisme yang efektif dalam mengaplikasikan hukum dan perundang-undangan, dan menciptakan SDM yang memiliki komitmen terhadap tujuan bernegara dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur pancasila dan UUD 1945.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
74
Rencana Tindak
Kedelapan, lemahnya infrastruktur pendukung pelaksanaan birokrasi juga akan berpengaruhi terhadap kelancaran dan kualitas kinerja aparatur. Sehingga kedepan perlu penyediaan sarana dan prasarana pendukung, menyusun SOP dalam rangka pemanfaatan infrastruktur pendukung dan meningkatkan kualitas dan ketrampilan SDM aparatur. 4.
Pelayanan Publik
Pelayanan publik dapat dipandang sebagai proses sekaligus kinerja yang menunjukkan bagaimana fungsi pemerintahan dijalankan birokrasi. Proses, karena pelayanan publik merupakan aktivitas dengan berbagai input sarana, prasarana, SDM, dan mekanisme kemudian berinteraksi secara internal dan eksternal membentuk proses. Proses tersebut selanjutnya menghasilkan kinerja (berupa output, outcome, dan impact) pelayanan publik. Dalam hubungan ini, kualitas proses sangat berpengaruh terhadap kinerja tersebut. Ketidakpuasan terhadap kinerja pelayanan publik dapat dilihat dari keengganan masyarakat berhubungan dengan birokrasi pemerintah atau dengan kata lain adanya kesan untuk sejauh mungkin menghindari birokrasi pemerintah. Fenomena “high cost”, kurang responsif, kurang informatif, kurang accessible, kurang koordinasi, kurang mau mendengar keluhan/saran/aspirasi masyarakat, inefisiensi dan birokratis, merupakan kondisi pelayanan publik yang dirasakan oleh masyarakat selama ini. Fenomena pelayanan publik tersebut disebabkan antara lain oleh masih banyaknya fungsi dan peran kelembagaan yang tumpang tindih, pemerintahan yang dirasakan masih sentralistik, kurangnya infrastruktur e-Government, masih menguatnya budaya dilayani bukan melayani, transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas; serta sistem insentif, penghargaan dan sanksi belum memadai. Tabel 7 Matriks Rencana Tindak dengan Isu Strategik Pelayanan Publik, yang menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam meningkatkan pelayanan publik dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Kelemahan-kelemahan yang melekat pada pelayanan publik meliputi aspek kelembagaan, ketatalaksanaan, dan SDM. Rencana tindak ke depan berisikan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan tersebut. Pertama, untuk mengatasi tumpang tindihnya fungsi dan peran kelembagaan perlu dilakukan reformulasi kelembagaan yang ada dengan pembenahan struktur penjabaran stugas dan fungsi yang jelas dan tidak tumpang tindih, peninjauan kembali peraturan perundang-undangan mengenai memberikan pelayanan publik yang tumpang tindih, menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik, dan menempatkan orang yang tepat pada jabatan/pekerjaan yang tepat, meningkatkann komitmen dan kompetensi pelayanan.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
75
Rencana Tindak
Kedua, untuk mencegah berulangnya pemerintahan yang sentralistik perlu dilakukan di samping penataan struktur organisasi pemerintah pusat dan daerah, juga sistem hubungan yang menunjukan kesetaraan tanggung jawab antara pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah dalam mengelola tugas pelayanan, mempercepat sosialisasi dan internalisasi budaya otonomi dalam rangka implementasi UU OTDA yang baru secara tuntas, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang lebih merata dalam pelayanan. Ketiga, lemahnya aplikasi e-Government diatasi dengan membangun tata kelola pelayanan berbasis e-Government, mempercepat penyusunan peraturan perudang-undangan yang bertalian dgn e-Government, dan menyiapkan SDM yang memiliki kompetensi e-Government. Keempat, masih menguatnya sikap dan perilaku dilayani bukan melayani merupakan penyakit birokrasi yang akut. Hal ini dapat dirubah dengan melakukan dan membangun pola pikir aparatur yang berorientasi pada pelayanan, membangun kemitraan antara pemerintah dan masyarakat dalam penyelenmggaraan pelayanan publik, mengurangi peran lembaga pemerintah untuk hal-hal yang sudah dapat dilakukan masyarakat, membangun organisasi pemerintah berdasarkan pada kepercayaan, dan mengembangkan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan. Kelima, standar pelayanan yang meliputi tingkat biaya, prosedur pelayanan, dan jangka waktu pelayanan yang belum jelas. Hal ini perlu ditangani dengan jalan mendorong terciptanya lembaga pelayanan publik yang standar dan terukur, dengan membangun sistem standarisasi pelayanan publik mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan, kemudian dituangkan dalam SOP yang transparan sebagai pedoman bagi setiap lembaga pelayanan, dalam upaya mendorong dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan, dan meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Keenam, sistem insentif yang lemah perlu diperbaiki dengan lebih menekankan keseimbangan “kualifikasi, kinerja, dan penghargaan”, merubah peraturan perun-dang-undangan tentang sistem remunerasi yang menjamin terpemenuhinya standar hidup layak dan kesejahtraan PNS, serta berorientasi pada “kelayakan kualifikasi dan kinerja pegawai dengan penghasilan yang diterima”. Ketujuh, penghargaan dan sanksi belum memadai. Hal ini perlu diperbaiki dengan membangun sistem penilaian kinerja dan pengawasan yang berorientasi pada pemberian penghargaan dan sanksi pada individu pada setiap institusi pemerintah, dan didukung dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan tentang pemberian penghargaan dan sanksi yang tepat.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
76
Rencana Tindak
5.
Desentralisasi Kewenangan
Sistem pemerintahan desentralistik bertujuan untuk menciptaan pemerintahan yang efektif, responsif, dan partisipatif, di mana urusan-urusan pemerintahan dibagi dan didistribusikan kepada daerah. Output yang ingin dicapai dengan strategi ini adalah agar masyarakat lokal dapat terlayani dengan baik oleh pemerintah daerah. Jadi, secara ideal normatif sesungguhnya konsep desentralisasi (otonomi daerah) pada dasarnya merupakan upaya pencerahan untuk memberdayakan pemerintah daerah beserta masyarakatnya. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa implementasi densentralisasi kewenangan seperti yang tertuan pada UU 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keungan Daerah dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan Pemerintahan Daerah lainnya, ternyata hanya mampu memberikan harapan secara konseptual normatif, tetapi tidak pada tataran implementatif. Konsep yang demikian bagus, dalam aplikasinya belum secara optimal terlaksana secara baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: rendahnya kapasitas aparatur daerah, lambannya penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi), belum tuntasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah dan antar daerah, masih belum optimal aspek keserasian dan keterpaduan regulasi/kebijakan antara pusat dan daerah, serta kebijakan pusat (sektor) yang tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi, dan belum secara optimal dipahami pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah yang didasarkan pada Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI) sebagai guiding principle. Tabel 8 Matriks Rencana Tindak dengan Issu stategik Desentralisasi Kewenangan, yang menunjukkan identifikasi terhadap kelemahan-kelemahan dalam implementasi desentralisasi dan upaya-upaya untuk mengatasinya. Upaya menangani kelemahan ini harus didasarkan pada kenyataan bahwa desentralisasi merupakan kebijakan yang lebih menjanjikan keadilan, demokrasi, kemajuan kemanusiaan dan kesejahteraan; sudah ada, konstitusional, dan harus dilaksanakan secara konsisten. Rencana tindak ke depan berisikan berbagai upaya yang dapat dilakukan selanjutnya untuk mengurangi atau menghilangkan kelemahan-kelemahan yang dihadapi. Pertama, rendahnya kapasitas aparatur daerah dapat diatasi dengan memperkuat lembaga yang ada sesuai dengan peraturan tentang hak dan kewajiban daerah dalam mengelola pemerintahan dan pembangunan daerah, meningkatkan kompetensi SDM melalui outsourcing bagi supporting office, perbaikan sistem remunerasi, perbaikan sistem rekrutmen dan sistem karier, serta peningkatan pendidikan dan pelatihan.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
77
Rencana Tindak
Kedua, lambannya penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi) dapat dilakukan dengan restrukturisasi kelembagaan di pusat, relokasi SDM pusat yang berlebih ke daerah yang memerlukan, termasuk pensiun dini, mutasi, dan rotasi. Ketiga, belum tuntasnya pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, dan antar daerah harus ditangani secara serius dimasa yang akan datang dengan meningkatkan kapasitas daerah, optimasi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, dan memantapkan koordinasi Pusat–Daerah. Keempat, tiadanya keserasian dan keterpaduan regulasi/kebijakan antar pusat dan daerah (perda bermasalah); serta kebijakan pusat (sektor) yang tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi. Hal ini perlu diatasi dengan peningkatan koordinasi Pusat–Daerah, mereview berbagai peraturan terkait di tingkat pusat, menyusun program legislasi daerah, penetapan SOP penyusunan regulasi daerah dan pusat, dan peningkatan kemampuan SDM dalam policy making dan legal drafting. Kelima, perlu didasarkan pada SANKRI sebagai guiding principle dalam pengelolaan p emerintahan pusat dan daerah, oleh karena itu perlu adanya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang SANKRI sebagai landasan untuk membangun komitmen dan kompetensi dasar dalam bernegara. Dalam konteks ini kesadaran untuk mensejahterakan masyarakat lokal harus dimaknai dalam konteks meningkatkan ketahanan nasional dalam bingkai NKRI serta peningkatan jaringan yang saling memberdayakan (enabling networking).
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
78
Tabel 4
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Clean Government RENCANA TINDAK ISU Strategik Pemerintahan yang bersih (Clean Government)
ISU Pendukung Law Enforcement yang lemah
Kelembagaan
Ketatalaksanaan
• Membentuk komisi yang memantau kinerja lembaga penegak hukum
• Memperbaiki sistem kerja internal lembagalembaga penegak hukum • Memperbaiki hubungan tata kerja antar lembaga penegak hukum dan pengawasan
• Meningkatkan kapasitas (pengetahuan, sikap, keterampilan) aparat penegak hukum dalam merespon kuantitas dan kualitas kriminalitas (white colar crime)
• Melakukan review terhadap peraturan seluruh peraturan terkait dengan KKN • Memperbaiki substansi peraturanperaturan yang memungkinkan terjadinya multi interpretasi/ ambiguitas
• Disiminasi dan Sosialisasi
Ketidakjelasan dan ketidaklengakapan peraturan (pemanfaatan celah hukum)
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
SDM
INDIKATOR KINERJA (Jangka Menengah)
Instansi Penanggungjawab
• Banyaknya hasil pemantauan yang akurat terhadap kinerja lembaga penegak hukum • Banyaknya hasil pemantauan yang direspon dan ditindaklanjuti • Banyaknya kasus KKN yang diselesaikan dengan tuntas • Tingkat efektifitas penyelesaian suatu perkara/ kasus KKN • Banyaknya kasus KKN yang diselesaikan dengan tuntas • Tingkat efektifitas penyelesaian suatu perkara/ kasus KKN
Departemen Kehakiman dan HAM (Koordinator); Kepolisian; Kejaksaan, Mahkamah Agung; KPK, BPK; BPKP
Departemen Kehakiman dan HAM (Koordinator); Kepolisian; Kejaksaan, Mahkamah Agung; KPK, BPK; BPKP
79
Adanya duplikasi aturan dan kewenangan lembaga-lembaga pengawasan internal (BPKP, Itjen, Depdagri, Bawasda) Tidakefektifnya pelaksanaan)
• Melakukan review kewenangan dan fungsi masingmasing Lembaga pengawasan internal • Memperbaiki struktur fungsi lembagalembaga pengawasan internal
• Memperbaiki sistem kerja internal lembagalembaga pengawasan • Memantapkan standar akuntansi pemerintah sesuai dengan standar internasional • Mengembangk an e-audit
• Mengadakan sertifikasi sistem, proses dan produk pendidikan dan pelatihan di bidang pengawasan dan auditing
• Kejelasan pembagian tugas, fungsi dan kewenangan lembagalembaga pengawasan internal • Terbangunnya sistem yang berstandar internasional • Diterapkannya e-audit secara selektif • Meningkatnya kualitas SDM aparatur pengawasan dan kinerja pengawasan baik kualitatif maupun kuantitatif
Departemen Kehakiman dan HAM (Koordinator); Kepolisian; Kejaksaan, Mahkamah Agung; KPK, BPK; BPKP
Tidakefektifnya pelaksanaan fungsi lembaga-lembaga penegak hukum (Adanya ketidakjelasan, dan duplikasi kewenangan, lemahnya pembinaan profesionalisme)
• Melakukan review kewenangan dan fungsi lembagalembaga penegak hukum • Memperbaiki struktur fungsi lembagalembaga penegak hukum
• Mengadakan sertifikasi sistem, proses dan produk pendidikan dan pelatihan di bidang penegakan hukum • Meningkatkan disiplin, kompetensi dan kesejahteraan aparatur penegak hukum
• Mempertega s institusi yang bertanggungj
• Kejelasan pembagian tugas, fungsi dan kewenangan lembagalembaga penegak hukum • Meningkatnya kualitas SDM aparatur penegak hukum • Meningkatnya kinerja aparatur penegak hukum khususnya dalam penyelesaian perkara/kasus KKN dan penerapan hukum tindak pidana korupsi secara efektif • Tersedianya SOP yang jelas, mudah dipahami dan dilaksanakan • Terciptanya keserasian
Departemen Kehakiman dan HAM (Koordinator); Kepolisian; Kejaksaan, Mahkamah Agung; KPK, BPK; BPKP
Standar pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik
• Memperbaiki hubungan tata kerja antar lembaga penegak hukum • Memperbaiki substansi peraturanperaturan yang multi interpretasi/ ambiguitas • Pengendalian mutu proses penegakan hukum • Mereview terhadap SOP lembagalembaga
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
• Diseminasi dan Sosialisasi SOP dan indikator kinerja lembaga
Menpan (Koordinator); seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan
80
yang belum jelas dan tidak transparan (SOP dan berorientasi pada pencapaian tujuan bernegara dan kepentingan publik)
awab untuk menyusun norma, standar, dan prosedur dalam pengelolaan kebijakan publik • Memperkuat fungsi dan kewenangan unit yang mengelola informasi
penyelenggara negara dan pemerintahan Memperbaiki dan merumuskan kembali SOP. Menetapkan indikator kinerja (input, proses, output, outcome) masing-masing lembaga. Memperkuat sistem dan manajeman informasi pada setiap lembaga informasi yang ada Menetapkan aturan mengenai klasifikasi informasi yang wajib, dapat atau tidak dapat disampaikan kepada publik
• Peningkatan kompetensi SDM • Penerapan reward and punishment
• Menetapkan pedoman untuk mengakomodas ikan aspirasi masyarakat
• Memperkuat pemahaman dan tanggungjawab masyarakat dalam proses penyelenggaraan pemerintahan
•
•
•
•
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan
• Memberdaya kan lembagalembaga kemasyaraka tan (sipil) yang
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
•
•
• •
dan keterpaduan kebijakan publik Tersedianya indikator kinerja (input, proses, output, outcome) yang jelas dan terukur Terbitnya laporan akuntabilitas kinerja yang dapat diakses oleh publik Meningkatnya kompetensi SDM Tersedianya informasi kebijakan publik yang terpercaya, mutakhir, serta mudah dijangkau
• Meningkatnya partisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan pemerintahan (masukan yang berkualitas dari
seluruh lembaga penyelenggara negara dan pemerintahan
81
memiliki fungsi pengawasan
Profesionalitas tidak dihargai secara layak (misalnya remunerasi belum sesuai standar sektor swasta dengan tingkat produktivitas)
• Regulasi standar kinerja profesional individu dan institusi • Memperkuat kelembagaan kepegawaian dalam pembinaan profesionalit as
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
(civic education) • Memfasilitasi learning process mengenai civic education • Melakukan review sistem dan proses pengelolaan kebijakan remunerasi • Menyusun dan menerapkan sistem remunerasi sesuai dengan standar kelayakan (kinerja, biaya hidup dan saving).
• Menegakkan reward and punishment
masyarakat untuk penyusunan, perbaikan implementasi, dan evaluasi kinerja) • Meningkatnya kinerja lembaga dan SDM aparatur • Remunerasi yang mengakomodasi standar kelayakan (Y=C+S).
Menpan dan BKN (Koordinator)
82
Tabel. 5 Matriks Rencana Tindak dengan Isu Stratejik Aktualisasi Good Governance (GG)
RENCANA TINDAK ISU Strategik Aktualisasi prinsip-prinsip GG
ISU Pendukung
Kelembagaan
Ketatalaksanaan
Lemahnya pemahaman dan kemampuan mengaktualisasika n prinsip-prinsip GG
• Menginternal isasi kan nilai-nilai GG dalam proses kebijakan pada setiap lembaga
• Menyusun konsep, mekanisme, dan indikator operasional GG • Melakukan kendali mutu terhadap pelaksanaan GG
•
Lemahnya komitmen 3 pilar GG (masih sebatas retorika)
• Memberdaya kan lembaga untuk mengaplikasi kan prinsipprinsip GG
•
• Sosialisasi dan diseminasi prinsip GG kepada seluruh stakeholdernya • Membangun konsensus dalam dan antar tiga pilar GG
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
Mengembang kan aplikasi prinsip-prinsip GG dalam manajemen pemerintahan di pusat dan daerah
SDM
•
Sosialisasi dan diseminasi GG Meningkatkan learning process
INDIKATOR KINERJA (Jangka Menengah)
Instansi Penanggungjawab
• Terinternalisasikannya nilai-nilai GG dalam proses kebijakan pada setiap lembaga • Tersedianya konsep, mekanisme, dan indikator operasional GG • Diterapkannya kendali mutu terhadap pelaksanaan GG • Meningkatnya pemahaman, komitmen, dan kompetensi SDM dalam menerapkan GG
Menpan (Koordinator)
• Meningkatnya kapasitas lembaga dalam mewujudkan prinsip GG • Teraplikasikannya prinsip GG dalam manajemen pemerintahan di pusat dan daerah • Tersosialisasikannya prinsip GG kepada seluruh stakeholder • Terbangunnya konsensus dalam dan
83
antar tiga pilar GG Belum didukung Sistem Informasi yang memadai;
• Membangun sistem informasi pada setiap lembaga yang terintegrasi • Membangun kemitraan dengan pihak swasta di bidang sistem informasi
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
•
Menyusun SOP pada setiap lembaga dalam rangka pemanfaatan SI untuk mendukung penerapan prinsip GG • Mengadakan sistem insentif untuk pengembangan sistem informasi
• Meningkatan kapasitas SDM aparatur di bidang sistem informasi • Memanfaatkan sumber daya luar (outsourcing) untuk mengelola dan mengembangkan SI
• Terbangunnya sistem informasi (banyaknya lembaga yang telah membangun dan menerapkan sistem informasi) • Tersusunnya SOP dalam rangka pemanfaatan sistem informasi untuk mendukung penerapan prinsip GG • Meningkatnya kapasitas dan kualitas SDM aparatur di bidang sistem informasi
Menegkominfo (Koordinator)
84
Tabel 6.
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Kompetensi SDM
RENCANA TINDAK ISU Strategik Kompentesi SDM Aparatur
ISU Pendukung Quality at Entry
Kelembagaan • Penetapan syarat dan standar perekrutan pegawai
Ketatalaksanaan •
•
Ketidaksesuain antara kemampuan/ ketrampilan SDM dengan tugas yang diembannya;
• Penetapan standar kompetensi jabatan • Penetapan standar Diklat untuk setiap jabatan
Merevie w dan menyusu n SOP Rekruitm en pegawai baru Pengawa san terhadap pelaksan aan SOP rekruitm en
• Penyusunan SOP relokasi pegawai • Penyusunan SOP Diklat
SDM
INDIKATOR KINERJA (Jangka Menengah)
Perekrutan SDM yang kompetensinya sesuai dengan kebutuhan
• • • •
• Relokasi pegawai ke tempat lain; • Diklat; • Merekrut pegawai baru.
Terpenuhinya SDM yang sesuai antara beban kerja dan kemampuan yang dimiliki
Tingkat Pendidikan Nilai TPA Nilai TOEFL Nilai ujian masuk
Instansi Penanggungjawab MENPAN, BKN, OTOBAPPENAS, DEPDAGRI, BADIKLAT DAERAH
MENPAN, BKN, DEPDAGRI, BADIKLAT DAERAH
MENPAN,
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
85
Kedisiplinan;
• Memaksimal kan fungsi inspektorat, dan Bawasda
Manajemen SDM (yang belum mantap) (dari proses rekruitmen s.d. pension);
• Pengawasan dan bimbingan; • Pembinaan Moral
Jumlah pelanggaran peraturan
KEJAKSAAN, POLRI, BPKP, BPK, BKN, ITJEN DEPDAGRI
•
•
MENPAN, LAN, BKN, BAPPENAS, DEPKEU, DEPDAGRI
•
•
Uraian tugas dan kewenangan yang tidak jelas
Sistem penghargaan dan sanksi yang tidak jelas (a) Merit and
• • Penetapan batas kewenangan antar jenjang jabatan dan antara jabatan tertentu • Meninjau kembali peraturan perundangundangan
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
Perencanaan pegawai yang rasional dan layak; Pola seleksi yang kompetitif, terbuka dan adil; Konsistensi terhadap penerapan sistem penghargaan dan sanksi
•
• • •
Tersedianya dokumen review SDM; Tersedianya dokumen perencanaan SDM yang bersifat nasional dan lokal Tersusunnya rencana kebutuhan pegawai; Tertatanya pola seleksi yang lebih baik; Terlaksananya penerapan sistem penghargaan dan sanksi
Penyusunan job description (uraian tugas) dan kewenangannya secara jelas
Bimbingan teknis dan manajerial
Tersusunnya uraian tugas yang lebih baik untuk setiap jabatan.
MENPAN, BKN, LAN, DEPDAGRI
• Perbaikan sistem penghargaan; • Penyusunan/ penyempurnaan
Sosialisasi peraturan perundangudanganan melalui berbagai diklat dan seminar
• Tersusunnya mekanisme sistem penghargaan; • Tersusunnya mekanisme sistem
MENPAN, BKN, LAN, KEJAKSANAAN AGUNG, DEPDAGRI
86
carier system; (b) Diklat.
Law enforcement
Infrastruktur pendukung yang masih lemah
yang mengatur sistem penghargaan, sanksi, merit dan karier. • Menata kembali sistem diklat jabatan • • Pemrosesan secara hukum terhadap penyalahgun aan kewenangan; • Penyusunan etika birokrasi dan budaya kerja; • • Penyediaan sarana dan prasarana pendukung;
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
sistem sanksi; • Penyusunan kriteria mengenai sistem merit and sistem karir • Penetapan standar akreditasi sistem diklat jabatan
sanksi; • Tersusunnya peraturan perundangan-undangan yang mengatur sistem merit dan sistem karir berdasarkan prestasi. • Meningkatnya kualitas SDM aparatur negara.
Menciptakan suatu mekanisme yang efektif dalam mengaplikasikan peraturan perundangan
Menciptakan SDM yang memiliki komitmen terhadap tujuan bernegara dgn menjunjung tinggi nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD 1945
• Meningkatnya jumlah pelanggaran hukum yang diproses secara hukum; • Tersusunnya kode etik birokrasi.
KEJAKSANAAN, POLRI, MENPAN, BKN, LAN, DEPDAGRI
Menyusun SOP dalam rangka pemanfaatan infrastruktur pendukung
Peningkatan kualitas dan ketrampilan SDM
Tersedianya infrastruktur yang mendukung penyelenggaaan negara dan pembangunan
MENPAN, BKN, BAPPENAS, DEPKEU
87
Tabel 7.
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Pelayanan Publik RENCANA TINDAK ISU Strategik Pelayanan Publik
ISU Pendukung Masih banyak tumpang tindihnya fungsi dan peran Kelembagaan
Pemerint ahan yang sentralistik
INDIKATOR KINERJA (Jangka Menengah)
Instansi Penanggungjawab
Kelembagaan
Ketatalaksanaan
SDM
• Reformulasi tugas & fungsi serta struktur kelembagaan yang ada (meninjau kembali peraturan Perundangan yang tumpang tindih dalam memberikan pelayanan publik) • Menata kembali struktur organisasi pemerintah pusat dan daerah. • Membangun hubungan kesetaraan antara pemerintah pusat dan daerah dan antar
• Menata kembali sistem dan prosedur pelayanan publik yang diberikan oleh instansi pemerintah .
• Menempatkan orang yang tepat pada jabatan yang tepat.
• Berkurangnya peraturan perundang-undangan yang tumpang tindih terhadap fungsi dan peran kelembagaan. • Tersusunnya sistem pelayanan yang efektif yang didukung oleh SDM aparatur yang profesional
• • • • •
Sekneg Mendagri Menpan Depart. lain Pemda
• Mempercepat sosialisasi dan implementasi UU OTDA yang baru secara tuntas
• Meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM yang lebih merata dalam pelayanan
• Implementasi sistem pemerintahan yang desentralistik. • Kualitas dan kuantitas SDM yang lebih merata dalam pelayanan
• • •
Mendagri Menpan Pemda
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
88
Kurangn ya infrastruktur e-Government
Budaya dilayani bukan melayani
pemerintah daerah • Membangun infrastruktur kelembagaan berbasis eGovernment
• Membangun kemitraan antara pemerintah dan organisasi masyarakat dalam rangka pelayanan publik. • Mengurangi peran lembaga pemerintah yang berorintasi serba negara. • Membangun organisasi pemerintah
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
• Mempercepat penyusunan peraturan perudangundangan yang berorientasi eGovernment
• Menciptakan sistem yang berorientasi pada kepuasan pelanggan
• Menyiapkan SDM yang berkompentensi dan berbudaya e-Government
• Membangun pola pikir aparatur yang pro aktif dalam pelayanan
• Semua lembaga pemerintahan telah memiliki web site. • Terpenuhinya infrastruktur kelembagaan berbasis eGovernment. • Implementasi undangundang yang berorientasi eGovernment • Tersedianya SDM yang berkompen-tensi dan berbudaya eGovernment • Berkurangnya keluhan masyarakat berkaitan dengan pelayanan pemerintah
• • • •
Menegkominfo Menpan Depart.lain Pemda
• Mendagri • Menpan • Pemda
89
berdasarkan pada kepercayaan Standar pelayanan yang meliputi transparansi biaya dan prosedur pelayanan yang belum jelas
• Mendorong terciptanya lembaga pelayanan publik yang standar dan terukur
• Membangun sistem standarisasi mulai dari input, proses dan output dalam pelayanan publik • Pembuatan SOP dalam upaya mendorong transparansi, dan prosedur yang lebih baik dalam pelayanan.
• Meningkatkan kepedulian aparatur dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat
Sistem insentif yang lemah
• Membangun lembaga berbasis kinerja
• Tersusunnya peraturan perundangundangan tentang sistem remunerasi yang memenuhi standar hidup layak
• Meningkatkan • Peraturan Perundangkesejahtraan PNS undangan tentang dan meningkatkan sistem remunerasi yang gaji yang layak memenuhi standar hidup layak. • Terpenuhinya kebutuhan PNS yang layak, dari remunerasi yang diterima.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
Adanya pelayanan yang cepat, tepat dan biaya yang terjangkau serta transparan
• Mendagri • Menpan • Pemda
• Mendagri • Menpan • Menkeu • Pemda
90
Tabel 8.
Matriks Rencana Tindak dengan Issu Stratejik Desentralisasi Kewenangan. RENCANA TINDAK ISU Strategik Desentralisasi kewenangan
ISU Pendukung
Kelembagaan
Rendahnya kapasitas aparatur daerah
• Outsourcing bagi supporting office • perbaikan sistem remunerasi • Memperkuat lembaga yang ada • Implementasi peraturan tentang hak dan kewajiban daerah dalam mengelola aparatur daerah
Lambannya penyesuaian kelembagaan pusat (resistensi);
Restrukturisasi kelembagaan di pusat
Belum tuntasnya
• Meningkatka
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
Ketatalaksanaan
SDM Meningkatkan kompetensi SDM melalui: • perbaikan sistem rekrutmen dan sistem karier • pelatihan dan pendidikan, • profesionalitas
Penyusunan sistem dan standar pelatihan
• Penataan SDM pusat yang berlebih ke daerah yang memerlukan termasuk pensiunan dini, mutasi, pelatihan, dan pembekalan
INDIKATOR KINERJA (Jangka Menengah)
Instansi Penanggungjawab
Meningkatnya kompetensi SDM
Depdagri dan Seluruh Badan Diklat Prop, Kab/Kota
• Adanya Peraturan Presiden tentang kelembagaan di pusat • Boundary less organization • Tidak terlalu hierarkis • Pengambilan keputusan yang lebih cepat dan sederhana • Meningkatnya porsi
Menpan, dan seluruh Sekretariat Daerah
Depkeu, MenpanN,
91
pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan daerah, dan antar daerah;
n kapasitas fiskal daerah • Optimasi pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah • Koordinasi Pusat – Daerah
•
• •
•
Tiadanya keserasian dan keterpaduan regulasi/ kebijakan antar pusat dan daerah (perda bermasalah); serta kebijakan pusat (sektor) yang tidak sejalan dengan kebijakan desentralisasi
Peningkatan koordinasi Pusat -Daerah
Perlu didasarkan pada SANKRI sebagai guiding principle dalam pengelolaan pemerintahan pusat dan daerah
SANKRI sebagai landasan untuk membangun komitmen dalam bernegara
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
• Me-review berbagai peraturan terkait di tingkat pusat • Menyusun program legislasi daerah • Penetapan SOP penyusunan regulasi daerah dan pusat
Peningkatan kemampuan SDM dalam legal planning dan legal drafting
•
• •
dana perimbangan dalam APBN Menurunnya kesenjangan pembangunan antar daerah Efektifnya pemerintahan di pusat dan daerah Berkurangnya struktur kelembagaan pusat yang kewenangannya sudah diserahkan ke daerah Berkurangnya kewenangan yang tumpang tindih Tersusunnya program legislasi daerah (Prolegda) Adanya SOP (dapat berbentuk PP, Perda, Keppres) Kualitas SDM perencana kebijakan meningkat Berkurangnya konflik antar peraturan perundang-undangan
Terciptanya keserasian dan keterpaduan dalam perumusan kebijakan publik
Depdagri, dan Bappenas serta Dep/Lembaga
Depdagri,Bappenas, Pemda
LAN, Depkeh, Depdagri
92
Penutup
BAB V PENUTUP
Reformasi birokrasi pada dasarnya merupakan upaya perubahan yang dilakukan secara sadar, untuk memposisikan diri (birokrasi) kembali, dalam rangka menyesuaikan diri dengan dinamika lingkungan yang dinamis. Upaya tersebut, dikakukan untuk melaksanakan peran dan fungsi secara tepat dan konsisten, guna menghasilkan manfaat sebagaimana diamanatkan konstitusi. Kesadaran diri untuk melakukan upaya perubahan ke arah yang lebih baik, merupakan cerminan dari sebuah kebutuhan. Kebutuhan tersebut, bertitik tolak dari fakta adanya peran birokrasi saat ini yang masih jauh dari harapan. Realitas ini, sesungguhnya juga menunjukkan kesadaran bahwa terdapat kesenjangan antara apa sebenarnya diharapkan dengan fakta aktual mengenai peran birokrasi dewasa ini. Berbagai predikat negatif ditujukan terhadap birokrasi pemerintah dalam melaksanakan tugastugas pemerintahan dan pembangunan dewasa ini. Predikat negatif ini, terkait dengan penyakit birokrasi “korupsi kolusi dan nepotisme” (KKN), dan rendahnya kinerjanya yang dapat diukur dengan lambatnya dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat. Kondisi demikian, berakibat pada tingkat kredibilitas birokrasi yang makin merosok, dan bahkan timbul ketidakpercayaan dan skeptis dari masyarakat terhadap kinerja birokrasi. Di samping itu, berbagai publikasi hasil kajian ilmiah yang dilakukan oleh beberapa lembaga independen internasional, senantiasa menempatkan Indonesia pada urutan terbawah dalam pelayanan publik. Indikasi tersebut merupakan salah satu indikator negatif akan rendahnya kinerja birokrasi pemerintah dewasa ini. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, kajian rencana tindak reformasi birokrasi ini, merupakan salah satu upaya untuk merespon kondisi birokrasi saat ini dan tuntutan perbaikan knerjanya. Respon ini pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi tiga hal besar yakni: Pertama; upaya mengkaji faktor-faktor yang turut mempengaruhi masih rendahnya kinerja birokrasi; kedua adalah memformulasikan ikhtiar-ikhtiar “rencana tindak” yang dapat dilakukan untuk merubah kondisi birokrasi saat ini menuju birokrasi yang professional, efisien dan efektif serta andal dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan; dan ketiga dapat menjadi salah satu landasan gerak dalam penyusunan kebijakan nasional mengenai “Rencana Aksi” percepatan pelaksanaan reformasi birokrasi.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
93
Penutup
Ikhtiar-ikhtiar tersebut didasarkan pada 5 (lima) hal yang dianggap strategis dalam konteks reformasi birokrasi saat ini, yaitu:
Peningkatan komitmen bersama dalam mendorong peningkatan kinerja birokrasi dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang baik dan bersih, dengan tetap menjaga perimbangan peran antara pemerintah, swasta dan masyarakat.
Peningkatan upaya penguatan aktualisasi dan implementasi good governance pada seluruh pemerintahan di pusat dan daerah dalam melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan dan pembangunan.
Peningkatan kinerja dengan terus-menerus meningkatkan kompetensi dan kesejahteraan SDM aparatur dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Peningkatan sinergi (networking) antar pemerintah pusat, antara pemerintah pusat dan daerah dan antar pemerintah daerah sendiri dalam melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan.
Peningkatan kapasitas birokrasi dalam merespon aspirasi yang berkembang di masyarakat dan tuntutan terhadap perbaikan pelayanan publik.
Reformasi birokrasi bukanlah pekerjaan yang mudah dan dapat dilaksanakan dalam waktu singkat. Reformasi birokrasi akan berhasil bila terdapat komitmen aparatur yang kuat dan diikuti dengan tindakan nyata untuk merubah perilaku dan budaya birokrasi. Oleh karena itu, perlunya mengutamakan peningkatan kesadaran dan tanggung jawab profesional seluruh aparat birokrasi, melalui peningkatan kompetensi dan kesejahteraan PNS. Di samping itu, penataan kelembagaan dan manajemen, serta sistem dan pelaksanaan pengawasan aparatur negara secara bersamaan juga musti diperbaiki. Untuk melaksanakan komitmen tersebut juga tidak terlepas dengan dukungan, kerjasama dan pengawasan dari masyarakat sebagai salah satu pilar dari penerapan good governance. Karena tanpa dukungan dari masyarakat, mustahil untuk melaksanakan reformasi birokrasi. .
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
94
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Suprijadi: Kebijakan Peningkatan Kompetensi Aparatur Dalam Pelayanan Publik, Disampaikan pada Peserta Diklatpim Tingkat II Angkatan XIII Kls.A dan B, Tanggal 19 Juli 2004. di Jakarta.
BPKP: Strategi Pemberantasan Korupsi Nasional. Pembangunan, 1999. Jakarta
Badan Pengawasan Keuangan dan
BAPPENAS: Kajian Pembangunan Penyelenggaraan Negara. 2003. Jakarta:
Panjang
Jangka
(PJP)
2025
Sub
Bidang
Dwidjowijoto R.N; Komunikasi Pemerintahan: Sebuah Agenda bagi Pemimpin Pemerintahan Indonesia. Elex Media Komputindo. 2004. Jakarta.
Dan Nimmo: Komunikasi Politik Komunikator, Pesan dan Media. Remaja Rosdakarya. 2000. Bandung: Fukuyama F: The Great Disruption Human Nature and The Reconstitution of Social Order. Simon & Schuster. 2000. New york. Inu Kencana Syafiie: Birokrasi Pemerintahan Indonesia; Mandar Maju, 2004. Jakarta. Ismail Mohamad, Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi , Disampaikan dalam acara Seminar “Pelayanan Publik Dalam Era Desentralisasi” yang diselenggarakan oleh Bappenas, pada tanggal 18 Desember 2003, di Kantor Bappenas, Jakarta Pusat. Johnston M, Alan Doig: Different Views on Good Government and Sustainable Anticorruption Strategies dalam Stapenhurst S, Shahr J.K. 1999. Curbing Corruption: Toward a Model for Building National Integrity. The World Bank. 1999. Washington DC. Kwik Kian Gie : Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, 2000. Jakarta. Kansil C.S.T., Arifin F.X.S., Kansil C.S.T. Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Perca. 2003. Jakarta.
Lippit R., Watson J, Westley B. 1958. The Planned Change. Harcourt, Brace &World. 1958. New York.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
95
Daftar Pustaka
LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku I Prinsip Prinsip Penyelenggaraan Negara.: Lembaga Administrasi Negara. 2003. Jakarta.
LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku II Dalam Perspektif Perkembangan Sejarah Jilid 1 Dari Prakemerdekaan hingga 1965. Lembaga Administrasi Negara, 2003. Jakarta.
LAN: Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI): Buku II Dalam Perspektif Perkembangan Sejarah Jilid 2 Dari 1966 hingga 2004. Lembaga Administrasi Negara, 2003. Jakarta.
Mifthah Thoha:Birokrasi Politik di Indonesia, Rajawali Press. 2004. Jakarta. Muksin: Upaya Meretas Jalan Hidup Berbangsa tanpa Korupsi: Kajian Pembangunan Masyarakat (Community Development). Tidak dipublikasikan 2004. Bogor. Mustopadidjaja, Sistem Perencanaan, Keserasian Kebijakan Dan Dinamika Pelaksanaan Otonomi Daerah, Disampaikan pada Lokakarya “Dinamika PerencanaanPembangunan danKeuangan Daerah”Kerjasama Bappeprov. Jawa Timur dengan Pusdiklat SPIMNAS Bidang TMKP,Lembaga Administrasi Negara, 1 Agustus 2002. Surabaya.
_____________, Kompetensi Aparatur Dalam Memikul Tanggung Jawab Otonomi Daerah Dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia, Ceramah Perdana Pada Program Magister Manajemen Pembangunan Daerah, Kerjasama STIA-LAN, Pemerintah Prov. Kaltim, dan Universitas Mulawarman, 15 Januari, 2002. Samarinda. ____________, Sistem Dan Dinamika Kebijakan Publik Dalam Perspektif Otonomi Daerah Dan Peningkatan Daya Saing, 2002. Bandung. Osborne D, Plastrik P. Memangkas Birokrasi Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha: Terjemahan. PPM. 2000 Jakarta. Padmowiharjo P: Manajemen Pelatihan. Tidak dipublikasikan 2004, Jakarta. Pope J: Strategi Memberantas Korupsi Elemen Sistem Integritas Nasional. Yayasan Obor Indonesia. 2003. Jakarta. Widodo J. Good Governance Telaah dari Akuntabilitas dan Kontrol Birokrasi Pada Era Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Insan Cendekia. 2001. Jakarta.
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
96
Daftar Pustaka Shelton K (Editor). In Search of Quality: Terjemahan. Gramedia. 1997. Jakarta. Sitorus: Kementerian PAN Canangkan Bulan Pelayanan Publik, 2003. Jakarta. Smither R.D., Houston J.M., McIntire S.D: Organization Development Strategies for Changing Environment. Harper and Collins Publisher. 1996. New York Syahrir. Tantangan Indonesia Ke Depan: Dari Korban Cyberkompas.com [11 Agustus 2004], 2001. Jakarta.
Menjadi
Pelaku.
http://www.
Stapenhurst S, Shahrzad S: Introduction An Overview of The Cost s of Cooruption and Strategies to deal With it dalam Stapenhurst S, Shahr J.K. 1999. Curbing Corruption: Toward a Model for Building National Integrity. The World Bank.1999. Washington DC. Zeithaml V.A: Delivering Quality Service Balancing Customer Perception and Experience. The Free Press. 1990. New York:
Rencana Tindak Reformasi Birokrasi
97