SEMINAR HERITAGE IPLBI 2017 | KASUS STUDI
Re-Kriteria Konsep Pelestarian Kawasan Pusaka Perkotaan dalam Konteks Pascabencana di Banda Aceh Zya Dyena Meutia
[email protected] Perencanaan Wilayah dan kota, SAPPK, Institut Teknologi bandung.
Abstrak Perencanaan pelestarian berbasis kawasan (area-based conservation) selama ini hanya mempertimbangkan kawasan kota tua dan kurangnya kejelasan dalam hal kriteria penentuan kawasan heritage, padahal pendekatan ini diperlukan sebagai cara untuk menjaga aset kota yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pembentukan kualitas (bagian) kota secara keseluruhan khususnya dalam konteks pascabencana. Selain itu arahan perencanaan, sebagai bagian dari mekanisme pengendalian, dan dukungan partisipasi luas dari komunitas dan stakeholders menjadi konsekuensi yang harus ditindaklanjuti. Tulisan ini bertujuan merumuskan konsep perencanaan pelestarian dalam re-kriteria penetapan kawasan pusaka pascabencana di Banda Aceh. Paper ini juga meneliti, bagaimana kawasan-kawasan di Banda Aceh yang terkena dampak tsunami seperti kawasan Kapal PLTD Apung dan kawasan Masjid Uleu Lheu yang memiliki relasi dan peran kota (bersejarah) terkait dengan potensi sebagai wadah/penyimpan tanda-tanda peradaban, nilai-nilai kesejarahan dan kolektif memori yang bisa ditetapkan sebagai kriteria kawasan pusaka meskipun usianya belum mencapai 50 tahun seperti yang disyaratkan dalam UU Cagar Budaya di Indonesia. Metodologi yang dilakukan pada paper ini adalah menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan cara triangulasi yang mengumpulkan sejumlah data khususnya pada kajian literature review. Studi ini menghasilkan suatu konsep pelestarian kawasan pusaka perkotaan yang muncul pascabencana harus menjadi perhatian bersama untuk dapat dilestarikan sebagai pembangunan kesadaran. Kata Kunci: re-kriteria, pelestarian berbasis kawasan, pascabencana, kolektif memori
Pendahuluan Di dalam konteks pelestarian kota-kota bersejarah, penetapan kawasan pusaka di dalam sebuah kota adalah sangat penting. Oleh karena itu kajian pemahaman kawasan pusaka di dalam kota oleh masyarakat sangat perlu di lakukan terlebih dahulu sebelum dilakukan pelestarian (Martokusumo, 2010). Pelestarian dan pembangunan kota-kota bersejarah bukan merupakan hambatan terhadap kemajuan zaman, tetapi justru dapat mewujudkan lingkungan kota yang lebih harmonis antara kawasan pusaka yang lama dengan kawasan pusaka yang baru. Kota-kota bersejarah merupakan bukti warisan dari nenek moyang kita, namun bagaimanapun juga kota-kota bersejarah di Indonesia masih belum dapat diterima oleh semua pihak terutama masyarakatnya dari apresiasi terhadap kawasan pusaka. Pusaka dilihat dalam suatu kawasan perkotaan untuk dilakukan pelestarian. Paper ini mengkaji pemahaman mengenai kawasan pusaka dari sudut pandang konsep perencanaan pelestarian terhadap kawasan pusaka “baru” yang muncul pascabencana. Debat dalam konsep definisi pusaka dapat dibagi menjadi dua kelompok utama, antara lain yaitu pemahaman definisi pusaka di dunia barat (Eropa, Amerika) yang lebih menekankan kepada benda teraga (tangible) dan material fisik sehingga dikatakan sebagai sebuah kawasan pusaka jika memiliki objek, bangunan, monumen dan situs teraga serta harus memiliki usia yang lebih dari 50 tahun, 75 tahun, bahkan lebih dari 100 tahun keberadaannya dan tetap terjaga keasliannya (Morris, 1877 ; Ruskin, 1989 ; Feilden, 2003). Berbeda dengan pemahaman dunia Barat tentang otentisitas yang Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 351
Re-Kriteria Konsep Pelestarian Kawasan Pusaka Perkotaan dalam Konteks Pascabencana di Banda Aceh
lebih menekankan pada ranah material/fisik, Larkham (1996) menjelaskan bahwa otentisitas, khususnya pemahaman di dunia Timur, tidak sekedar berada pada tataran material objek (fabric). Konsep authenticity (keaslian) justru dipahami pada aspek kelestarian dari tradisi dan teknik membangun, serta pada kelestarian fungsi/pemakaian yang menjamin kelangsungan/keberadaan artefak tersebut (Jokilehto, 1999). Pendlebury (2009) dan Orbașli (2008) mencontohkan dengan kasus kawasan kuil Shinto di Jepang. Penghancuran dan rekonstruksi kawasan kelompok bangunan bermaterial kayu yang terjadwal dinilai 20 tahun sekali, sebagaimana tersirat di dalam Dokumen Nara (1994), sebagai sebuah upaya pelestarian tradisi membangun yang tidak melulu kepada budaya material (tangible), serta mengilustrasikan siklus kehidupan yang sesungguhnya yang sarat makna (intangible). Hal ini dapat diinterpretasikan bahwa di dunia timur, usia dan keaslian bangunan tidak menjadi kriteria ideal dalam menetapkan sebuah kawasan pusaka. Kritik lain yang dikemukakan oleh beberapa peneliti yaitu bahwasanya pusaka itu bukanlah benda tangible maupun intangible seperti yang dimaknai oleh dunia barat dan dunia timur. Pusaka diartikan sebagai proses budaya, tindakan dari komunikasi, atau tindakan yang menghubungkan masa lalu dimana kita bisa bernegosiasi dengan nilai-nilai sosial kita, identitas budaya dan individu, serta kolektif memori (Laurajane Smith (2006), Bella Dicks (2000), David harvey (2001), Denis Byrne (2009) dan John Urry (1996)). Melalui karya mereka, mereka mengubah pemahaman pusaka sebagai sesuatu yang dipahami sebagai “verb” (Harvey 2001), yaitu tindakan melakukan heritage sehingga muncullah produk pusaka teraga maupun tak teraga. Mereka mengkritisi bahwa pemahaman pusaka hanya sebagai fisik (tangible) yang melepaskan ikatan masa lalu dari masa sekarang dan ketidakberdayaan masa sekarang untuk menulis masa lalu melalui fisik dan emosional dalam penggunaan pusaka (Smith, 2006). Kritik pada studi heritage meminta kita untuk mengikutsertakan ide dan pemahaman dunia timur mengenai kriteria kawasan pusaka (Winter 2013). Objek dan Persoalan Berdasarkan beberapa debat yang telah disampaikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman dan pemaknaan kawasan pusaka sangat terkait dengan konsep pelestarian khususnya terhadap kawasan pusaka baru yang muncul karena bencana dimana menurut teori dari paradigma dunia timur bahwa kawasan yang memiliki nilai kesejarahan walaupun usianya relatif baru merupakan kawasan pusaka dan menurut teori paradigma barat kawasan berusia dibawah 50 tahun bukanlah kawasan pusaka. Dalam konteks perencanaan, masyarakat berhak menilai sebuah kawasan untuk ditetapkan sebagai pusaka untuk kesejahteraan mereka di masa depan, bukan hanya ahli yang memiliki otoritas atau kewenangan dalam menentukan pusaka seperti tertuang dalam AHD (Authorized Heritage Discourse) UNESCO (Smith, 2006). Oleh karenanya, hingga saat ini pemahaman akan kawasan yang baru muncul pascabencana kurang dianggap penting dan hanya sebagai monumen biasa yang belum mendapatkan tempat dalam pelestarian dan bagaimana publik menilai bahwa kawasan tersebut layak dikatakan pusaka dan diperlakukan sama seperti kawasan pusaka lama yang seharusnya dilestarikan, dilindungi dan dimanfaatkan? Dalam konteks Indonesia pemahaman pusaka dalam dua dekade terakhir ini tidak hanya bertumpu pada artefak tunggal namun telah meluas pada pemahaman pusaka sebagai suatu saujana (cultural landscape) yang luas bahkan bisa lintas batas dan wilayah dan menyangkut persoalan pusaka alam dan budaya (Adhisakti,2008). Pada Tahun Pusaka Indonesia 2003, Jaringan Pelestarian Pusaka Indonesia (JPPI) bekerjasama dengan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) Indonesia dan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia mendeklarasikan Piagam Pelestarian Pusaka Indonesia 2003. Menurut Adhisakti (2008), piagam ini merupakan yang pertama kali dimiliki Indonesia dalam menyepakati etika dan moral pelestarian pusaka. Namun persoalannya adalah Indonesia sebagai negara rawan bencana kerapkali menyisakan kawasan-kawasan baru yang menurut teori-teori tentang definisi pusaka ditetapkan sebagai kawasan pusaka tidak perlu menunggu waktu 50 tahun karena mengandung nilai-nilai kesejarahan. Lalu pertanyaannya adalah bagaimana konsep pelestarian terhadap kawasan pusaka “baru” tersebut? B 352 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Zya Dyena Meutia
Objek yang menjadi contoh dalam paper ini adalah pusaka perkotaan yang muncul pascabencana Gempa dan tsunami 2004 silam seperti gambar-gambar dibawah ini. Artefak dan kawasan yang muncul pascabencana ini sudah selayaknya menjadi pusaka perkotaan sebagai penciri peradaban yang harus dilestarikan sebagai pembangunan kesadaran agar dimasa depan masyarakat lebih aware terhadap bencana dan menjadi masyarakat yang tangguh.
Gambar 1. Monumen Kapal PLTD Apung dan Kapal Boat lampulo yang terdampar di permukiman penduduk akibat Bencana Tsunami 2004 silam Sumber : http://www.maritimeworld.web.id
Gambar 2. Kawasan Masjid Uleu Lheu yang menjadi saksi satu-satunya bangunan yang selamat dikawasan Uleu Lheu berada di kawasan tepi pantai Sumber : http://www.atjehcyber.net
Gambar-gambar diatas menjadi objek persoalan penelitian bahwa ini merupakan pusaka perkotaan yang menjadi aset penting bagi nilai-nilai memorial, kesejarahan dan pembangunan kesadaran publik. Selama ini pusaka terfokus pada rentang waktu yang panjang dan pada kawasan kota lama, padahal berdasarkan debat teoritik para ahli, artefak dan kawasan yang muncul pascabencana merupakan pusaka perkotaan yang harus dilestarikan. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 353
Re-Kriteria Konsep Pelestarian Kawasan Pusaka Perkotaan dalam Konteks Pascabencana di Banda Aceh
Metodologi Penelitian Guba (1990) mendefinisikan paradigma sebagai perangkat asumsi dan keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam memahami sesuatu. Demikian halnya dengan paradigma pemaknaan pusaka dari definisi yang mengalami perkembangan dinamis, seiring dengan berjalannnya waktu dan perubahan jaman, memungkinkan terjadinya pergeseran paradigma baik dari aspek procedural, substantif, peran aktor maupun kelembagaan. Pendekatan metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif adalah proses pencarian pemahaman yang didasarkan pada tradisi penyelidikan dengan menggunakan metode tersendiri yang mengungkap masalah sosial budayal (Creswell, 1998). Lebih lanjut, menurut Widodo, T dan Suheri, T 2015), peneliti harus membangun sebuah kompleksitas, menggambarkan keseluruhan, menganalisa kata-kata, melaporkan pandangan-pandangan informan secara mendetail dan mengadakan studi dalam setting yang alami. Konsekuensinya penggunaan pendekatan kualitatif harus didasarkan atas data empirik dari lapangan yang dikumpulkan, divalidasi, dianalisa dan disintesakan dalam bentuk teori sebagai teori yang pada akhirnya dapat diterima. Pengumpulan dan interpretasi data yang mengarah kepada argumen dan deskripsi dipaparkankan secara metodologi berdasarkan sebuah pendekatan penelitian triangulasi yang dikembangkan oleh Norman Denzin (1978) dimana pendekatan penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis pengaturan pengumpulan data dan juga untuk memilih metode secara fleksibel menurut material khusus yang menggambarkan setiap pertanyaan penelitian atau untuk menerapkan beberapa metode pada data yang sama agar memperoleh manfaat beragam yang lebih luas atau rekonfirmasi dari hasil analisis. Metode triangulasi ini berdasarkan analisis isi teks (cf. Krippendorff, 2004), analisis material budaya (cf. Hodder, 1994, p 398), dan etnometodologi (cf. Holstein & Gubrium, 1994, p. 264) terhadap fenomenologi dan analisis semiotik dari pemaknaan budaya. Pembahasan Dari tinjauan literatur dan persolan objek penelitian dapat disampaikan materialitas adalah sementara dalam budaya Asia tenggara (Karlström 2005; Byrne 2012). Smith (2006) juga menemukan bahwa pusaka tidak semestinya hanya sebagai situs teraga atau sebuah kawasan fisik bersejarah saja karena ada nilai-nilai yang berasosiasi didalamnya, ada performa budaya yang juga fokus terhadap memorial, peringatan, genius loci, jiwa sebuah tempat dan identitas. Sehingga dalam konteks pascabencana ada pusaka perkotaan yang baru muncul yang seharusnya juga dilestarikan langsung oleh generasi yang merasakan tragedi tsunami dan dapat diwariskan kepada generasi selanjutnya baik secara storytelling, tulisan maupun artefak atau kawasan sebagai bukti visual yang mengingatkan kejadian besar pada masa lalu. Penetapan kriteria pada sebuah kawasan pusaka perkotaan selama ini berfokus pada kawasan kota lama dan terpaku pada materialitas fisik yang menjadi acuan dari sebuah kawasan. Paper ini ingin mengungkap bahwa pemahaman pusaka perkotaan tidak hanya pada aspek tangible namun juga apek intangible. Dalam konteks pascabencana kedua aspek ini menjadi sangat penting untuk diwariskan kepada generasi selanjutnya bahkan menjadi pelajaran langsung pada generasi sekarang. Aspek tangible berupa material fisik kawasan, artefak, monumen yang menjadi bukti visual dapat membantu publik mengingat dan komemorasi akan kejadian besar yang menimpa pada masa lampau sekalipun belum mencapai usia 50 tahun. Sedangkan aspek intangible menjadi sesuatu yang selalu diingat sebagai kolektif memori publik akan kejadian besar tersebut dan dapat diceritakan ulang kepada generasi selanjutnya melalui ingatan dan bayangan akan masa lalu. Kesimpulan Tulisan ini bertujuan merumuskan konsep perencanaan pelestarian dalam re-kriteria penetapan kawasan pusaka pascabencana di Banda Aceh. Paper ini juga meneliti, bagaimana kawasan-kawasan di Banda Aceh yang terkena dampak tsunami seperti kawasan Kapal PLTD Apung dan kawasan B 354 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017
Zya Dyena Meutia
Masjid Uleu Lheu yang memiliki relasi dan peran kota (bersejarah) terkait dengan potensi sebagai wadah/penyimpan tanda-tanda peradaban, nilai-nilai kesejarahan dan kolektif memori yang bisa ditetapkan sebagai kriteria kawasan pusaka meskipun usianya belum mencapai 50 tahun seperti yang disyaratkan dalam UU Cagar Budaya di Indonesia. Perencanaan pelestarian berbasis kawasan (area-based conservation) mutlak diperlukan pada kawasan pusaka pascabencana sebagai cara untuk menjaga aset kota yang memiliki kontribusi signifikan terhadap pembentukan kualitas (bagian) kota secara keseluruhan khususnya dalam konteks pascabencana. Selain itu arahan perencanaan, sebagai bagian dari mekanisme pengendalian, dan dukungan partisipasi luas dari komunitas dan stakeholders menjadi konsekuensi yang harus ditindaklanjuti. Studi ini menghasilkan suatu konsep pelestarian kawasan pusaka perkotaan yang muncul pascabencana harus menjadi perhatian bersama untuk dapat dilestarikan sebagai pembangunan kesadaran melalui aspek tangible dan aspek intangible. Daftar Pustaka Adishakti, L. T. 1(997). A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historic-tourist City Based on Urban Space Heritage Conception. Kyoto : Doctoral Thesis, University of Kyoto Byrne, D. (1991). “Western Hegemony in Archaeological Heritage Management.” History and Anthropology 5: 269–276. Creswell,J.W. (1998). Qualitative Inquiry and research design : Choosing among five traditions. London : SAGE. Daly, P., & Y. Rahmayati. (2012). “Cultural Heritage and Community Recovery in Post-tsunami Aceh.” In From the Ground up: Perspective on Post-tsunami and Post-conflict Aceh, edited by P. Daly, R. M. Feener, and A. Reid, 57–78. Singapore: ISEAS Publishing. Dicks, B. (2000). Heritage, Place, and Community. Cardiff: University of Wales Press. Denzin, Norman K. (1978). The research act: a theoretical introduction to sociological methods. New York: McGraw-Hill. Feilden, B. M. ([1982] 2003.) Conservation of Historic Buildings. Oxford: Architectural Press. Graham, B., G. J. Ashworth, and J. E. Tunbridge. (2000). A Geography of Heritage. New York: Oxford. Guba, E. (1990). The Paradigm Dialog. Newbury Park Sage. Harvey, D. (2001). “Heritage Pasts and Heritage Presents: Temporality, Meaning and the Scope of Heritage Studies.” International Journal of Heritage Studies 7 (4): 319–338. Hodder, Ian. (1994). The interpretation of documents and material culture. In Norman K. Denzin, et al. (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 393-402). Thousand Oaks: Sage. Holstein, James A., & Gubrium, Jaber F. (1994). Phenomenology, ethnomethodology and interpretive practice. In Norman K. Denzin, et al. (Eds.), Handbook of qualitative research (pp. 262-272). Thousand Oaks: Sage. ICCROM. (2005). “Cultural Heritage in Postwar Recovery.” Paper presented at the ICCROM Forum, Rome, Italy. Jokilehto, J. (1999). A History of Architectural Conservation. Oxford: Butterworth Heinemann. Krippendorff, Klaus. (2004). Content analysis: an introduction to its methodology. Thousand Oaks: Sage Publications. Labadi, S. (2007). “Representations of the Nation and Cultural Diversity in Discourses on World Heritage.” Journal of Social Archaeology 7 (2): 147–170. Larkham, P.J. (1996). Conservation and The City. London : Routledge Martokusumo, W. (2011). Contesting The Past : between Authenticity and Urban Conservation. Asean Journal on Hospitality and Tourism. Vol.10, 1, July, hal.63-76 Meskell, L. (2002). “The Intersections of Identity and Politics in Archaeology.” Annual Review of Anthropology 31 (1): 279–301. Mahdi, S. (2012). “Factors Determining the Movements of Internally Displaced Persons (IDPs) in Aceh.” In From the Ground up: Perspective on Post-tsunami and Post-conflict, edited by P. Daly, R. M. Feener, and A. Reid, 132–155. Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. Morris, A. (1877). Manifesto of The Society for the Protection of Ancient Buildings, London : Society for the Protection of Ancient Buildings. Orbasli, A. (2008). Architectural Conservation. Oxford: Blackwell. Read, P. (1996). Returning to Nothing: The Meaning of Lost Places. Cambridge: Cambridge University Press. Spelman, E. V. (2008). “Repair and the Scaffold of Memory.” In What is a City?: Rethinking the Urban after Hurricane Katrina, edited by P. Steinberg and R. Shields, 140–154. Athens: University of Georgia Press. Smith, L., and E. Waterton. (2009). Heritage, Communities and Archaeology: Duckworth Debates in Archaeology. London: Gerald Duckworth and Co. Smith, L. (2006). Uses of Heritage. New York: Routledge. Ruskin, J. (1899). Seven Lamps of Architecture, London : George Allen. Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017 | B 355
Re-Kriteria Konsep Pelestarian Kawasan Pusaka Perkotaan dalam Konteks Pascabencana di Banda Aceh Taylor, K. (2004). “Cultural Heritage Management: A Possible Role for Charters and Principles in Asia.” International Journal of Heritage Studies 10 (5): 417–433. Taylor, K. (2011). “Some Thoughts on the Historic Urban Landscape Paradigm as an Approach to Urban Conservation.” Paper presented at the Urbanology Forum: Protection of Urban Cultural Landscape Heritage, Hangzhou China, September 23–24. Urry, John. (1996). “How Societies Remember the past.” In Theorising Museums, edited by S. Macdonald and G. Fyfe, 45–65. Oxford: Blackwell. UNESCO. (1994). The Nara Document on Authenticity. Widodo, T dan Suheri, T (2015). Teori Perencanaan : Memahami Pemikiran Teoritis Perencanaan. INSIDE Publisher.
B 356 | Prosiding Seminar Heritage IPLBI 2017