BAB 2 PELESTARIAN BANGUNAN PUSAKA
Dugaan kemungkinan terjadinya bencana kerusakan bangunan pusaka yang bertambah besar pada abad ke-19 menyebabkan dilakukannya upaya yang sungguh-sungguh untuk melestarikan bangunan tua dan pusaka di Eropa dan Amerika. Konsep konservasi bangunan pusaka dicetuskan sejak William Morris mendirikan Lembaga Pelestarian Bangunan Kuno (Society For The Protection of Ancient Buildings) pada tahun 1877 (Dobby: 1978). Ancient Monument Act yang dibuat pada tahun 1882 merupakan peraturan dan undang-undang yang pertama kali melandasi kebijakan dan pengawasan dalam bidang konservasi untuk melindungi lingkungan dan bangunan pusaka (Dobby: 1978). Sebelumnya, pelestarian merupakan suatu kebiasaan (preservation as an ethic) yang dilakukan secara rutin dan meliputi pekerjaan merawat dan memperbaiki bangunan. Dalam
kongres
The
European
Architectural
Heritage
yang
diselenggarakan oleh negara-negara Eropa pada tahun 1975 yang dijadikan sebagai Architectural Heritage Year telah menghasilkan “Deklarasi Amsterdam” dan membuat kesepakatan bahwa warisan-warisan arsitektur di Eropa adalah milik bersama masyarakat Eropa yang menjadi bagian integral dari warisan budaya dunia. Untuk itu diperlukan adanya suatu kerjasama antar negara guna menyelamatkan warisan arsitektur tersebut (Lubis: 1990). Pada awalnya, konsep pelestarian ini berupa konservasi, yaitu pengawetan benda-benda, monumen dan sejarah (lazim dikenal dengan preservasi). Perkembangan lingkungan perkotaan yang memiliki nilai sejarah serta kelangkaan menjadi dasar bagi suatu tindakan konservasi. Konservasi sebenarnya merupakan upaya preservasi, namun tetap memperhatikan dan memanfaatkan suatu tempat untuk
menampung
serta
mewadahi
kegiatan
baru.
Dengan
demikian,
kelangsungan tempat bersangkutan dapat dibiayai sendiri dari pendapatan kegiatan baru (Pontoh: 1992).
12
13
2.1.
Pengertian Pelestarian Pengertian pelestarian dibutuhkan untuk memperjelas gambaran tindakan
pelstarian yang dilakukan. Beberapa pengertian pelestarian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: •
Danisworo (1995:5-6), menggunakan istilah konservasi untuk pelestarian, yaitu upaya untuk melestarikan, melindungi, serta memanfaatkan sumber daya suatu tempat seperti gedung-gedung tua yang memiliki arti sejarah atau budaya, kawasan dengan kehidupan budaya dan tradisi yang mempunyai arti, kawasan dengan kepadatan penduduk yang ideal, cagar budaya, hutan lindung, dan sebagainya. Konservasi dengan demikian sebenarnya merupakan pula upaya preservasi, dengan tetap memanfaatkan kegunaan dari suatu tempat untuk menampung/memberi wadah bagi kegiatan yang sama seperti kegiatan asalnya atau bagi kegiatan yang sama sekali baru sehingga dapat membiayai sendiri kelangsungan eksisitensinya. Dengan kata lain, konservasi suatu tempat merupakan suatu proses daur ulang dari sumber daya tempat tersebut.
•
Budiharjo (1994:22), berpendapat bahwa upaya preservasi mengandung arti mempertahankan peninggalan arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan semula. Karena sifat preservasi yang statis, upaya pelestarian merupakan pula pendekatan konservasi yang dinamis, tidak hanya mencakup bangunannya saja tetapi juga lingkungan (conservation area) dan bahkan kota bersejarah (historic towns). Dengan pendekatan konservasi, berbagai kegiatan dapat dilakukan, mulai dari inventarisasi bangunan bersejarah, kolonial maupun tradisional, upaya pemugaran (restorasi), rehabilitasi, rekonstruksi, sampai dengan revitalisasi yaitu memberikan nafas kehidupan baru.
•
Fitch (1982), menggunakan istilah preservasi, yaitu suatu usaha untuk memelihara artefak dalam kondisi fisik yang sama ketika diterima oleh agen pemelihara, tidak ada penambahan atau pengurangan dari nilai estetisnya.
14
Berdasarkan pengertian-pengertian yang didapat mengenai pelestarian, maka dalam studi dapat disimpulkan bahwa pelestarian merupakan suatu upaya untuk memelihara, mengamankan, melindungi, memanfaatkan dan mengelola suatu peninggalan pusaka baik berupa artefak, bangunan, maupun suatu kawasan sesuai dengan keadaannya dan mengoptimalkan peninggalan tersebut, sehingga dapat memberi ingatan pada masa lalu tapi tetap memperkaya masa kini.
2.2
Tujuan Pelestarian Tujuan pelestarian merupakan arahan bagi pelaksanaan pelestarian, dan
berkaitan dengan target dan manfaat yang ingin dicapai dari pelestarian itu sendiri. Seperti yang diungkapkan Budihardjo (dalam Pontoh dan Koeswhoro, 1991: VII-15), tujuan pelestarian itu dapat mencakup: 1. Mengembalikan wajah obyek konservasi 2. Memanfaatkan obyek pelestarian untuk menunjang kehidupan masa kini 3. Mengarahkan perkembangan masa kini yang diselaraskan dengan perencanaan
masa lalu yang tercermin dalam obyek pelestarian 4. Menampilkan sejarah pertumbuhan lingkungan kota dalam wujud fisik tiga
dimensi
Di samping itu, menurut Attoe (Catanese & Snyder, 1992: 436-437) tujuan baru yang dikembangkan dalam perlindungan yaitu: 1. Mempertahankan kualitas lingkungan yang dilindungi tidak hanya karena bersejarah tetapi karena konstruksi, desain dan perencanannya yang baik (banyak peninggalan lingkungan perkotaan abad delapan belas dan sembilan belas yang secara kualitatif lebih baik daripada lingkungan perkotaan abad dua puluh). 2. Terus mencari arti baru tentang perlindungan yang tidak tergantung pada bantuan sukarela dan subsidi pemerintah. Sementara saatnya mungkin akan datang dimana dukungan dari pihak lain telah tersedia, usaha-usaha perlindungan bersifat segera akan bergantung pada kerja sama dengan
15
developer swasta dan pada usaha yang terus menerus untuk membuktikan bahwa perlindungan pemeliharaan benda bersejarah akan memberikan hasil. 3. Mempertahankan dan memperbaiki lingkungan yang mempunyai ciri dan kualitas tanpa mengubahnya sama sekali. Dengan kata lain, banyak pemeliharaan dan pemugaran tidak akan pernah terjadi tanpa gentrifikasi, dan tanpa gentrifikasi tersebut ciri dan kualitas lingkungannya mungkin mengalami perusakan.
2.3
Manfaat Pelestarian Manfaat pelestarian perlu diketahui agar tindakan pelestarian memiliki
tujuan yang jelas dan dapat mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan pelestarian. Usaha-usaha pelestarian dapat memberikan manfaat ekonomi, sosial, dan budaya (Jacob: 1992). Menurut Budihardjo (1995: 8), manfaat upaya pelestarian yaitu: 1. Pelestarian
memperkaya
pengalaman
visual,
menyalurkan
hasrat
berkesinambungan, memberi kaitan berarti dengan masa lalu, serta memberi pilihan untuk tinggal dan bekerja di samping lingkungan modern; 2. Pada saat perubahan dan pertumbuhan terjadi secara cepat seperti saat ini, kelestarian lingkungan lama akan memberi suasana permanen yang menyegarkan; 3. Pelestarian memberi keamanan psikologis bagi seseorang untuk dapat melihat, menyentuh dan merasakan bukti-bukti fisik sejarah; 4. Kelestarian mewariskan arsitektur, menyediakan catatan historis tentang masa lalu dan melambangkan keterbatasan masa hidup manusia; 5. Kelestarian lingkungan lama adalah salah satu aset komersil terbesar dalam kegiatan wisata internasional; 6. Dengan dilestarikannya warisan yang berharga dalam keadaan baik maka generasi yang akan datang dapat belajar dari warisan-warisan tersebut dan menghargainya sebagimana yang dilakukan pendahulunya.
16
Fitch
(1982)
menyatakan
bahwa
pelestarian
bangunan-bangunan
bersejarah bermanfaat dengan pertimbangan sebagai berikut: •
Kesan yang muncul dari bangunan tersebut merupakan bukti visual atas semua yang terjadi sepanjang waktu. Bukti fisik ini dapat melacak penambahan, pengurangan, pengrusakan yang dapat dijadikan sumber sejarah utama;
•
Integritas arsitektonis atau estetis bangunan dalam ekspresi formal. Hal ini akan memperlihatkan apakah tampilan bangunan tersebut menguat atau malah melemah dibandingkan kondisi aslinya;
•
Perkembangan pembangunan artefak sepanjang waktu, sebagai respon terhadap intervensi kegiatan atau individu yang bernilai historis.
2.4
Metode dan Teknik Pelestarian Dalam pelestarian diperlukan suatu metode dan teknik yang tepat agar
tindakan yang dilakukan tetap dapat mempertahankan obyek pelestarian. Menurut Attoe (dalam Catanese & Snyder, 1992) terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk memelihara bangunan pusaka, cara tersebut antara lain melalui: 1. Perlindungan yang sah, metode ini menggunakan hukum dan peraturan untuk mengendalikan apa yang terjadi terhadap hak miliki sejarah, misalnya: -
Pendaftaran bangunan pusaka yang sah
-
Perjanjian yang bersifat membatasi: batasan-batasan untuk mengendalikan penggunaan, perbaikan, dan/atau penjualan bangunan pusaka
-
Pedoman perancangan, untuk menghindari pembangunan konstruksi baru yang tidak sesuai dalam kawasan bangunan pusaka, dikeluarkan pedoman perancangan yang mengendalikan fungsi, bahan bangunan, tata informasi, garis sempadan, proporsi, dan gaya arsitektonis
-
Penentuan wilayah: penentuan sebuah kawasan sebagai kawasan pusaka berikut pembatasan pembangunan dan penggunaan yang diperbolehkan terhadap bangunan pusaka di dalamnya, misalnya pembangunan yang dilakukan hanya boleh mengubah interior bangunan atau penggunaan bangunan harus sesuai dengan fungsi semula
17
-
Hak milik: dengan pemilikan langsung oleh orang-orang yang peduli pada pelestarian bangunan pusaka
2. Hukuman, undang-undang/peraturan juga merupakan pelengkap sebagai alat pencegahan bagi pengabaian atau perusakan kekayaan pusaka. -
denda atau hukuman penjara: pemilik yang mengabaikan bangunannya, dapat dikenai denda atau hukuman penjara atau keduanya
-
biaya pembongkaran tidak terduga: biasanya pembongkaran dapat dianggap sebagai biaya konstruksi, untuk bangunan pusaka dilakukan pengecualian.
3. Pinjaman, tersedianya pinjaman dapat menambah peluang bagi perlindungan karena dalam banyak kasus nilai hak milik akan bertambah melalui rehabilitasi dan perbaikan. Pertambahan nilai berarti mengimbangi biaya pinjaman. -
pembebasan pajak untuk bangunan pusaka yang disumbangkan kepada organisasi pelestarian
-
bantuan dana pelestarian
4. Subsidi, pembiayaan pemerintah untuk tindakan pemeliharaan di Amerika Serikat lebih sering dilakukan secara tidak langsung, seperti: -
kredit pajak bagi penanaman modal untuk rehabilitasi
-
penurunan harga yang dipercepat dalam pengitungan pajak
-
pembebasan pajak untuk bangunan pusaka yang disumbangkan kepada organisasi pelestarian
-
bantuan dana pelestarian
5. Penggunaan kembali adaptif, bangunan-bangunan pusaka yang sudah tidak berfungsi dapat digunakan lagi dengan fungsi baru yang sesuai. 6. Penjualan hak-hak pembangunan, dalam konteks nilai lahan perkotaan yang tinggi, bangunan pusaka seringkali dibongkar untuk mengeksploitasi nilai lahan tempat bangunan pusaka berdiri. Untuk menghindari perusakan, hak-hak pembangunan dapat dijual atau dipindahkan ke lokasi lain dalam suatu daerah tertentu.
18
Untuk mendukung metode pelestarian terdapat beberapa teknik pelestarian yang dapat dilakukan untuk memelihara bangunan pusaka. Terdapat beberapa pendapat dari para pakar dan institusi, antara lain: Fitch (1982), Attoe (dalam Catanese & Snyder: 1992), Danisworo (1991), URA (1993), dan US Department of Interior (1989) mengenai teknik-teknik pelestarian (dalam Rachmiyati, 2006: 27-28). Berikut ini teknik pelestarian hasil gabungan dari sumber-sumber tersebut: 1. Konservasi: semua kegiatan pemeliharaan atau tempat guna mempertahankan nilai budayanya, dengan tetap memanfaatkannya untuk mewadahi kegiatan yang sama dengan aslinya atau untuk kegiatan yang sama sekali baru untuk membiayai sendiri kelangsungan keberadaannya. Konservasi mencakup pemeliharaan sesuai kondisi setempat. 2. Preservasi: upaya melindungi bangunan, artefak, monumen, dan lingkungan dalam kondisi fisik yang sama pada saat ditemukan, tanpa ada penambahan maupun pengurangan terhadapnya. 3. Konsolidasi: menggambarkan campur tangan fisik pada material/bahan dari bangunan untuk menjamin kelangsungan integritas struktur bangunan (melindungi dari kerusakan fisik secara alamiah maupun akibat perbuatan manusia). 4. Restorasi: upaya mengembalikan kondisi fisik bangunan seperti semula dengan membuang elemen tambahan serta memasang kembali elemen asli yang telah hilang tanpa menggunakan bahan baru. 5. Rekonstitusi: campur tangan yang lebih radikal dari konsolidasi maupun restorasi, bangunan hanya dapat diselamatkan dengan cara merakitnya kembali per bagian, baik di lokasi semula (in situ) ataupun pada lokasi baru. 6. Rehabilitasi: mengembalikan kondisi bangunan rusak atau menurun sehingga berfungsi lagi seperti semula dengan tetap menjaga sejarah dan kesan khasnya. 7. Renovasi: upaya mengubah sebagian atau seluruh interior bangunan, sehubungan dengan perlunya adaptasi bangunan bersangkutan dengan fungsi baru. 8. Penggunaan adaptif: segala upaya dalam mengubah suatu tempat agar dapat digunakan untuk fungsi baru yang sesuai, dengan mengadaptasikan bangunan
19
tersebut dengan kebutuhan fungsi yang baru. Campur tangan ini biasanya sangat mempengaruhi interior bangunan. 9. Rekonstruksi: upaya mengembalikan atau membangun kembali penampilan orisinal suatu kawasan atau bangunan sesuai informasi kesejarahan yang diketahui, dengan menggunakan bahan baru ataupun lama. Campur tangan ini merupakan bentuk yang paling radikal dan beresiko secara budaya, karena walaupun semua data yang diperlukan untuk merekonstruksi suatu bangunan tersedia, tetap melibatkan hipotesis subyektif dari pelaku rekonstruksi, yang kemungkinan besar tidak sesuai dengan keadaan di masa lalu. 10. Replikasi: upaya untuk membuat duplikat dari artefak yang masih ada. Secara fisik replikasi mungkin lebih akurat dari rekonstruksi karena prototipe yang ditiru masih ada. Upaya replikasi perlu dilakukan untuk situasi tertentu, misalnya dalam keadaan dimana benda yang asli harus dipindahkan untuk situasi tertentu, misalnya dalam keadaan dimana benda yang asli harus dipindahkan
untuk
dilindungi
dari
bahaya
lingkungan
yang
dapat
mempercepat kerusakannya, diperlukan replikasi untuk menggantikan benda atau bangunan aslinya di lokasi semula. 11. Proteksi: mempertahankan atau menjaga kondisi fisik bangunan dari kerusakan, kehilangan, serangan, atau melindunginya dari bahaya dan kerusakan. 12. Stabilisasi: suatu tindakan atau proses untuk membangun kembali kestabilan struktur
bangunan
yang
tidak
aman
atau
merusak
dengan
tetap
mempertahankan bentuk aslinya.
2.5
Contoh Kegiatan Pelestarian dalam Aturan Perundang-undangan Dari Luar Negeri Untuk menjaga kelestarian suatu bangunan pusaka, terdapat beberapa
aturan perundang-undangan yang mengatur pembatasan kegiatan atau pekerjaan apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan terhadap bangunan pusaka. Pengaturan jenis-jenis pekerjaan yang diperbolehkan terhadap bangunan pusaka dalam aturan perundang-undangan di berbagai negara antara lain adalah:
20
1. Perancis (Daifuku (1972) dalam Dewita (1997)) -
Modifikasi atau pekerjaan apapun yang dapat mempengaruhi atau struktur monumen harus dengan perijinan terlebih dahulu dari kementrian yang bersangkutan atau dari The Historic Monument Architectural Service.
-
Perbaikan (reparasi) monumen yang dimiliki oleh perorangan dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan dari pemiliknya terlebih dahulu, namun bila persetujuan yang ditunggu tidak keluar bisa dipaksakan.
-
Berdasarkan Law 62-902 (1962) tentang kawasan pusaka dan persyaratan pelestarian modern, jenis-jenis kegiatan yang akan menggunakan bangunan-bangunan kuno yang ada di kawasan tersebut ditentukan, dan pembangunan baru harus dilakukan sedemikian rupa agar tidak mengubah gaya bangunan yang sudah ada di kawasan tersebut.
2. Amerika Serikat -
Seattle, Washington (Roddewig: 1989) Dalam
pasal
8(a)
undang-undangnya
menyebutkan
bahwa
tidak
diperbolehkan untuk melakukan perubahan, penghancuran, pembangunan, maupun segala perubahan material yang dapat mempengaruhi penampilan suatu landmark atau kawasan pusaka tanpa persetujuan dari badan pelestarian yang berwenang. -
Liberty, Missouri (Preservation of Structures or Areas of Historic or Architectural Significance Ordinance, City of Liberty, Missouri, pasal J: 1983) Dalam undang-undang pelestarian ditetapkan bahwa untuk melakukan pekerjaan yang dapat mempengaruhi penampilan luar dari suatu landmark atau properti yang ada dalam kawasan pusaka seperti konstruksi, perubahan, pemindahan, dan penghancuran terlebih dahulu harus mendapatkan ijin yang dikeluarkan oleh Komisi Pelestarian.
3. Singapura (Longman (1991) dalam Dewita (1997)) Pekerjaan apapun tidak diperbolehkan dilakukan dalam kawasan pelestarian tanpa ijin tertulis dari badan yang berwenang (Planning Act Cap. 232 Revised
21
Edition, pasal 13(1): 1990). Pekerjaan yang dimaksud disini selanjutnya dijelaskan lagi dalam pasal 14 sebagai semua dekorasi, pengecetan, renovasi atau pembangunan yang dapat mempengaruhi karakter atau penampilan, baik eksternal maupun internal dari bangunan maupun properti yang ada dalam kawasan pelestarian.
Dari Dalam Negeri Dalam UU Cagar Budaya No. 5 Tahun 1992 terdapat pembatasan kegiatan pelestarian: yaitu pengaturan kegiatan yang diperbolehkan untuk menjaga kelestarian bangunan pusaka, sebagai berikut: •
Setiap orang dilarang merusak benda cagar budaya (bangunan pusaka) serta lingkungannya (pasal 15 ayat 1). Dalam PP No.10/1993 Ps.29(2) dijelaskan mengenai kegiatan yang merusak benda cagar budaya, yaitu mengurangi, menambah, mengubah, memindahkan dan mencemari bangunan pusaka.
•
Tanpa ijin pemerintah setiap orang dilarang untuk (pasal 15 ayat 2): -
Memindahkan benda cagar budaya dari daerah satu ke daerah lainnya
-
Mengambil atau memindahkan benda cagar budaya sebagian/ seluruhnya kecuali dalam keadaan darurat
•
-
Mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda cagar budaya
-
Memisahkan sebagian benda cagar budaya dari kesatuannya
Pemanfaatan benda cagar budaya: Pemanfaatan benda cagar budaya dibatasi hanya untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan, serta tidak boleh bertentangan dengan upaya perlindungan benda cagar budaya dan tidak boleh semata-mata untuk mencari keuntungan pribadi dan/atau golongan (pasal 19).
22
2.6
Arahan Upaya Pelestarian Bangunan Pusaka Arahan upaya pelestarian diatur atas: fisik bangunan, fungsi bangunan, dan
perawatan bangunan. 1. Fisik Bangunan Berdasarkan Kepmendikbud No.063/U/1995 Pasal 12 ayat (3&4), bahwa: −
Pelaksanaan pemugaran harus memperhatikan prinsip pemugaran meliputi keaslian
bentuk,
bahan,
pengerjaan,
dan
tata
letak
dengan
mempertahankan nilai sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. −
Berdasarkan penilaian yang telah dilakukan, pada benda cagar budaya tersebut dapat dilakukan restorasi atau rekonstruksi atau rehabilitasi atau konsolidasi atau konservasi sesuai dengan tingkat kerusakannya.
−
Dalam melakukan pemugaran, tanpa ijin pemerintah dilarang mengubah bentuk dan/atau warna.
−
Pelaksanaan pemugaran benda cagar budaya dapat dilakukan oleh pemilik dan/atau yang menguasainya dengan biaya sendiri setelah mendapat ijin.
2. Fungsi Bangunan
Fungsi bangunan mengacu pada UUCB No. 5 Tahun 1992, yaitu untuk kepentingan agama, sosial, pariwisata, ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Pemanfaatan seperti yang disebutkan, dilakukan dengan tetap memperhatikan fungsi sosial dan kelestarian benda cagar budaya.
Penggunaan kembali yang adaptif (Ross, 1991: 166; Fitch, 1982; Catenese & Snyder, 1992; Danisworo, 1991). −
Fungsi yang diberikan kepada bangunan pusaka harus fleksibel, tidak hanya terkait dengan fungsi semula. Fungsi bisnis sangat dimungkinkan, karena keuntungan dapat dipakai untuk biaya merawat bangunan.
−
Fungsi yang dapat menjamin bangunan pusaka sebagai identitas sehingga fungsi tersebut dapat berbeda dengan fungsi terdahulu, dan juga fungsi yang dapat memberikan pendapatan untuk pemeliharaan bangunan tersebut.
Fungsi
yang
diberikan
sebaiknya
menonjolkan keberadaan bangunan dan produktif.
adalah
fungsi
yang
23
−
Fungsi bangunan pusaka sebaiknya mengikuti fungsi yang ada sekarang.
Untuk memutuskan fungsi apakah yang pantas untuk sebuah bangunan yang dilestarikan, ada empat pertimbangan mendasar (Ross, 1991: 166): a. Apakah pemanfaatan sekarang dari bangunan tersebut masih dapat dilakukan dengan atau tanpa modifikasi terhadap strukturnya? b. Apakah struktur bangunan cukup kuat? Jika tidak, bagian apakah yang rapuh dan pemanfaatan apakah yang cocok untuk keadaannya itu? c. Fungsi lain apakah yang sesuai dengan bangunan tersebut? Hal ini dapat
dilakukan
dengan
menanyakan
pendapat
dari
pakar
bangunan/arsitek mengenai fungsi apa yang dapat diterapkan dengan fisik atau struktur bangunan yang semula d. Dana-dana apa sajakah yang tersedia
3. Perawatan Bangunan
Berdasarkan Kepmendikbud No.063/U/1995 Pasal 11 ayat (1) dan Peraturan Pemerintah Pasal 29 ayat (1,2), bahwa perawatan dilakukan dengan: 1. Melakukan perawatan sehari-hari dengan menjaga kebersihan atau dengan pengawetan benda cagar budaya untuk mencegah pelapukan seperti pengecetan. 2. Melakukan perbaikan atas kerusakan dan bentuk (struktur) dapat tetap dipertahankan. Pencegahan terjadinya perusakan, merupakan langkah yang penting untuk mencegah terjadinya kerusakan bangunan yang lebih parah. 3. Memperhatikan faktor bahan bangunan, kondisi keterawatan, dan nilai yang dikandungnya apabila menempatkan pada ruangan terbuka 4. Dalam melakukan perawatan, dilarang melakukan kegiatan yang dapat merusak benda cagar budaya seperti: menambah, mengurangi, mengubah, memindahkan, dan mencemari benda cagar budaya atau mengurangi, mencemari, dan/atau mengubah fungsi situs
24
2.7
Penilaian Keefektifan Pelestarian Bangunan Pusaka
Pelestarian Fisik Bangunan Pelestarian
mempunyai
arti
bahwa
mempertahankan
peninggalan
arsitektur dan lingkungan tradisional/kuno persis seperti keadaan semula (Budiharjo, 1994:22). Selain itu, pelestarian juga berarti usaha untuk memelihara artefak dalam kondisi fisik yang sama ketika diterima oleh agen pemelihara, tidak ada penambahan atau pengurangan dari nilai estetisnya (Fitch, 1982). Maka, ciri utama pelestarian dalam pelestarian bangunan bersejarah adalah pelestarian fisik bangunan dengan mempertahankan fisik dan kondisi asli bangunan seperti keadaan semula, tidak ada penambahan atau pengurangan. Dalam pelestarian fisik bangunan pusaka terdapat beberapa komponen bangunan yang harus dikendalikan, yaitu gaya arsitektur, fasade, dan ornamen. Gaya arsitektur merupakan pola arsitektural yang digunakan pada bangunan yang terbagi
berdasarkan
masa
berkembangnya
dan
pola-pola/bentuk-bentuk
arsitektural yang digunakan dalam gaya tersebut. Fasade merupakan bagian yang dapat memperlihatkan ekspresi dari suatu bangunan, yang biasanya berkesan masif jika terdiri dari bidang-bidang dengan material berkesan berat, bidang yang dicerminkan oleh dinding-dinding yang berkesan ringan atau penggunaan kaca/transparan dan garis yang diwakili oleh ekspresi dari kolom bangunan. Ornamen merupakan pola-pola yang digunakan sebagai elemen estetis bangunan, biasanya bermotif geometrsi, flora, fauna, tergantung dari gaya arsitektur yang digunakan pada bangunan tersebut (Nurmala, 2003: 100-101). Indikatornya adalah pada ketiga elemen fisik bangunan tersebut akan dilihat apakah belum mengalami perubahan (masih dalam keadaan asli) atau telah mengalami perubahan. Penilaian yang dilakukan adalah jika pada suatu bangunan memiliki ketiga elemen fisik yang tidak banyak mengalami perubahan, maka keefektifan pelestarian fisik bangunan tersebut dinilai tinggi. Jika suatu bangunan memiliki dua elemen fisik yang tidak banyak mengalami perubahan, maka keefektifan pelestarian fisik bangunan tersebut dinilai sedang. Dan jika bangunan hanya memiliki satu elemen fisik yang masih dalam keadaan asli, maka keefektifan pelestarian fisik bangunan tersebut dinilai rendah.
25
Pelestarian Fungsi Bangunan Berdasarkan Kepmendikbud No.062/U/1995 Pasal 10 ayat (1&4), bahwa:
pemanfaatan benda cagar budaya dan/atau situs hanya diberikan untuk kepentingan: agama, sosial, pariwisata, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan/atau kebudayaan; dan pemanfaatan benda cagar budaya dapat dilakukan dengan memperoleh ijin. Penilaian keefektifan pelestarian fungsi bangunan pusaka dilakukan dengan melihat apakah bangunan tersebut tidak mengalami perubahan fungsi atau mengalami perubahan fungsi. Jika fungsi bangunan tetap, yaitu bangunan tidak mengalami perubahan fungsi (fungsi sekarang sama dengan fungsi semula), maka keefektifan pelestarian fungsi bangunan tersebut dinilai tinggi. Jika fungsi bangunan berubah dan fungsi sekarang masih sesuai dengan lingkungan sekitar bangunan, maka keefektifan pelestarian fungsi bangunan tersebut dinilai sedang. Dan jika fungsi bangunan berubah tetapi fungsi saat ini tidak sesuai dengan lingkungan sekitar bangunan, maka keefektifan pelestarian fungsi bangunan tersebut dinilai rendah.
Perawatan Bangunan Kondisi bangunan tua/pusaka yang sudah lama, tentunya mengakibatkan
konstruksinya yang rapuh akibat usia. Untuk itu perlu diperhatikan pemeliharaan bangunan tua/pusaka agar tidak terjadi sesuatu yang membahayakan keselamatan penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitar bangunan tua/pusaka tersebut berada. Perawatan bangunan dilihat dari tingkat kerusakan bangunan dan kebersihan bangunan. Penilaian keefektifan dalam perawatan bangunan adalah: -
Tinggi: bangunan yang kondisinya terawat, dimana dilakukan perawatan sehari-hari dengan menjaga kebersihan bangunan, dan belum terdapat kerusakan yang berarti pada elemen bangunan.
-
Sedang: kondisi bangunan kurang terawat, dimana kebersihan bangunan cukup terjaga, dan terdapat kerusakan pada elemen bangunan, tetapi masih bisa diperbaiki.
26
-
Rendah: bangunan yang kondisinya tidak terawat, dimana pada bangunan dan sekitar bangunan tidak terjaga kebersihan, selain itu terdapat kerusakan pada bagian bangunan.