IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK FACADE BANGUNAN UNTUK PELESTARIAN KAWASAN PUSAKA DI KETANDAN, YOGYAKARTA Titi Handayani Teknik Arsitektur, Akademi Teknik YKPN Yogyakarta, Jl. Gagak Rimang no.1, Balapan, Yogyakarta e-mail:
[email protected]
Abstract: The history of Yogyakarta has been formed by various cultures. In Ketandan - a Chinese housing district - there are many buildings with special characteristics that are necessary to be conserved as a part of the city’s history. Unfortunately, there are some changes in the facade that change the uniqueness of this district. Therefore, this research has an aim to identify the characteristics of the facade in Ketandan in order to develop design guidelines to conserve this district. The elements of the facade should be identified, such as roofs, “lijstplanks”, walls, doors, windows, openings, and the ornaments. The result shows that there are two types of roof that are “pelana” roof with gables and “limasan” roof, both using clay tiles. Corrugated zinc, asbestos, or fibreglass are used for the over hanged or the additional roof. Many houses use big planks for signage. Consequently, it covered the beauty of facades. Some buildings look better by using 20 cm planks, and some others put ornamented planks. Most of the first floors are dominated by folded doors along the facades. Some old houses still use wooden doors with two openings (“kupu tarung”) which are put symetrically. The arrangement is a door in the middle and two windows at the left and the right sides. Most of windows and doors were painted in green and white or yellow. In the next future, the design guidelines should be set up by considering these characteristics, so that the development of Ketandan district can be controlled and the uniqueness can be conserved. Key words: the characteristics, facade, design guidelines, conservation Abstrak: Sejarah perjalanan kota Yogyakarta dibentuk oleh budaya yang beragam. Di Ketandan, yang merupakan kawasan permukiman Tionghwa, masih terdapat beberapa bangunan dengan karakteristik khas yang menjadi saksi sejarah perjalanan kota Yogyakarta dan perlu dilestarikan. Namun, disayangkan, saat ini banyak perubahan yang terjadi pada “facade” bangunan, sehingga berdampak besar pada perubahan karakter kawasan Ketandan. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik “facade” untuk menyusun arahan rancangan (“design guidelines”) pelestarian kawasan Ketandan. Unsur “facade” tersebut meliputi atap, “lijstplank”, dinding, pintu, jendela, lubang ventilasi, dan ornamen bangunan. Hasil penelitian ini menemukan adanya dua jenis atap, yaitu atap pelana berbentuk “gable” (gunungan jenis langgam Arsitektur Cina) dan atap limasan. Bahan penutup atap bangunan yang utama adalah genteng tanah liat. Atap teritis menggunakan beberapa jenis bahan, seperti seng, asbes, atau “fiberglass”. Banyak bangunan yang memasang “lijstplank” sangat lebar sekaligus sebagai papan nama usaha sehingga menutup “facade”. Beberapa bangunan yang “lijstplank”-nya tidak terlalu lebar (sekitar 20 cm), nampak lebih harmonis, dan beberapa bangunan yang lain menggunakan “lijstplank” berornamen. Sebagian besar “facade” lantai satu bangunan di Ketandan didominasi oleh pintu lipat sepanjang “facade” bangunan. Pintu lama berupa pintu lipat dari panil kayu. Hanya beberapa bangunan yang memiliki model pintu dan jendela dengan dua daun (kupu tarung) dengan pola tata letak yang simetris, yaitu pintu di tengah dan jendela di sebelah kanan dan kiri. Pada umumnya, pintu dan jendela dicat dengan warna hijau dan putih/kuning. Sebagian besar bangunan menggunakan model ventilasi dengan jeruji besi. Karakteristik ini akan menjadi acuan dalam penyusunan “design guidelines” pembangunan kawasan Ketandan di masa datang. Kata kunci: karakteristik, “facade” bangunan, arahan rancangan, pelestarian
55
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Di Yogyakarta, keberadaan kawasan Pecinan dapat dirunut sejak awal abad ke-19. Di Ketandan, ciri pemukiman Pecinan sampai sekarang masih dapat dikenali, terutama pada bagian selatan yang berbatasan dengan Pasar Beringharjo. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, banyak perubahan telah terjadi. Perubahan tersebut tentu berdampak pada karakter asli kawasan Pecinan di Ketandan yang berangsur-angsur pudar. Kawasan tersebut kemudian tumbuh menjadi kawasan yang seragam atau sama dengan kawasan-kawasan perdagangan lain di berbagai tempat di Indonesia. Apabila tidak ditangani secara khusus, maka perkembangan dan perubahan fisik yang sangat cepat di kawasan Ketandan ini akan mengakibatkan hilangnya keunikan kawasan dan pada akhirnya akan berdampak pula pada terputusnya sebagian mata rantai sejarah kota. Oleh karena itu, langkah penyelamatan perlu segera diambil dengan membuat design guidelines yang akan menjadi arahan rancangan dalam pengembangan bangunan di Ketandan. Arahan tersebut akan berisi hal-hal yang sebaiknya dilakukan dan hal-hal yang sebaiknya tidak dilakukan. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik facade bangunan sebagai pembentuk karakter kawasan. Dari penelitian ini diharapkan akan diketahui ciriciri elemen facade, yaitu atap, lijstplank, dinding, pintu, jendela, lubang ventilasi, dan ornamen atau dekorasi bangunan. Ciri-ciri inilah yang diharapkan dapat bermanfaat sebagai masukan bagi penyusunan arahan rancangan (design guidelines) oleh pemerintah setempat. METODE PENELITIAN Yang dimaksud dengan kawasan Ketandan adalah daerah yang memiliki batas delineasi sebagai berikut: batas timur adalah Jalan Mayor Suryotomo, batas selatan adalah Jalan Lor Pasar, batas barat adalah Jalan Ahmad Yani, dan batas utara adalah Jalan Suryatmajan. Di dalam kawasan Ketandan terdapat dua jalan yang berpotongan membujur ke utara dan selatan yang membagi kawasan menjadi empat. Penelitian ini 56
hanya diutamakan pada bangunan-bangunan yang berada pada penggal jalan Ketandan Lor dan jalan Ketandan Kidul yang membujur ke utara dan selatan. Pertimbangannya adalah karena pada kedua jalan tersebut terdapat konsentrasi bangunan yang relatif belum banyak berubah. Pengamatan dilakukan untuk merekam data fisik bangunan, terutama selubung depan atau facade bangunan, yaitu atap, lijstplank, dinding, pintu, jendela, lubang ventilasi, ornamen dan detail bangunan lainnya. Analisis dilakukan pada gambar facade bangunan, terkait dengan unsur desain facade bangunan, yaitu: geometri, simetri, dan irama. PELESTARIAN BANGUNAN LINGKUNGAN BERSEJARAH
DAN
Pengertian dan Ruang Lingkup Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Adanya pemahaman yang mendasar dan universal mengenai pelestarian, apabila dikaitkan dengan pemahaman yang berkembang di Indonesia, menunjukkan perubahan yang sangat berarti. Pengertian pelestarian pada awalnya ditekankan pada bangunan tunggal atau benda-benda seni, tetapi kini telah berkembang ke lingkungan yang lebih luas seperti kawasan sampai dengan kota bersejarah dengan berbagai komponennya (skala ruang, pemandangan, suasana, dan lain sebagainya). Pada dasarnya, konsepsi pelestarian adalah upaya untuk menjaga kesinambungan yang menerima perubahan dan/atau pembangunan (berbeda dengan preservasi yang lebih diartikan sebagai pengawetan). Hal ini bertujuan untuk tetap memelihara identitas dan sumber daya lingkungan untuk memenuhi kebutuhan modern dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Perubahan dalam pelestarian tentulah bukan perubahan radikal, tetapi perubahan yang dilakukan secara alami dan selektif. Kegiatan pelestarian dapat berupa pembangunan atau pengembangan melalui upaya-upaya restorasi, replikasi, rekonstruk-
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
si, revitalisasi, dan adaptive reuse (penggunaan aset lama untuk fungsi baru), serta infill design (pembangunan baru di tengah konteks kawasan lama). Selain itu perlu dipahami pula bahwa pelestarian merupakan upaya untuk mengelola perubahan dan untuk menciptakan pusaka masa mendatang (Adishakti, L. T., 2000). Arahan Rancangan untuk Pelestarian Bangunan dan Lingkungan Bersejarah (Design Guidelines) Upaya konservasi atau pelestarian harus dilakukan agar dapat mengakomodasi perencanaan untuk pertumbuhan dan kesinambungan proses evolusi sebuah lingkungan bersejarah. Untuk itu, perlu mempersiapkan suatu aturan yang dapat mengendalikan pertumbuhan, sehingga terjadi kesinambungan antara bangunan lama dengan yang baru. Keseimbangan tersebut dapat tercapai dengan mencermati unsur-unsur arsitektural yang secara signifikan dapat membentuk karakter sebuah bangunan dan kawasan. Hal tersebut dapat dijadikan pertimbangan sebagai acuan untuk pengembangan dan pertumbuhan bangunan dan lingkungan di masa datang. Penelusuran karakteristik dapat dilakukan melalui kategorisasi dengan prinsip-prinsip tipologi (Adishakti, 1990). Ada beberapa pendekatan terkait dengan persoalan tipologi. Menurut Alan Colguhoun (1989), tipologi dalam arsitektur menekankan pada idealisme dan ideologi sudut pandang karena seleksi dari tipe mensyaratkan prinsip-prinsip yang akan dikembangkan atau dievaluasi. Di lain pihak, seleksi tipe akan mendukung investigasi dalam sejarah arsitektur dan desain urban yang tidak perlu dilakukan secara kronologis, tetapi lebih menekankan pada nilai generalisasi yang menerus (Crowe, 1984). Tipologi menunjuk pada suatu studi tipe elemen-elemen kota maupun arsitektur. Dalam hal ini, tipe berarti sesuatu yang bukan imitasi atau copy, tetapi lebih sebagai prinsip dari model (Rossi, 1984). Menurut Crowe (1984), ada dua pendekatan dalam studi tipe elemen, yaitu ‘acuity’ atau persepsi visual yang menekankan pada pesan yang
diterima dari desain, serta ekspresi visual yang menekankan pada pesan yang akan diberikan. Peran Bagian Muka Bangunan dalam Membentuk Karakter Bangunan dan Lingkungan Sejak jaman Vitruvius para arsitek sudah mencoba mengembangkan kaitan terukur antara susunan (order) dengan struktur facade. Hal ini diupayakan agar tercapai keindahan secara absolut. Pada jaman Renaissance, usaha ini dilakukan berdasarkan hukum-hukum proporsi. Permainan dalam mengolah facade dapat dilakukan dengan membuat kedalaman serta perbedaan antara gelap dan terang. Kondisi struktur juga memberikan pengaruh yang sangat besar. Selain itu, efek fungsi atau perkembangan waktu menjadi penentu komposisi facade (Adishakti, 1990). Rob Krier di dalam bukunya yang berjudul Architectural Composition (1983) menyebutkan bahwa facade merupakan elemen paling utama untuk mengkomunikasikan fungsi dan signifikansi bangunan. Kata facade berasal dari bahasa Latin “facies”, yang berarti penampilan atau tampak bangunan, dipahami sebagai wajah bangunan yang menghadap ke jalan dan berhubungan dengan umum. Komposisi facade biasanya terdiri dari komponen atap, pintu, jendela, ventilasi, sunscreen, lijstplang, ornamen, dan detail bangunan lainnya. Komposisi facade perlu mempertimbangkan persyaratan fungsional yang dirancang secara harmonis melalui proporsi yang baik dari struktur vertikal dan horisontal, bahan, warna, dan elemen dekoratif. Krier menjelaskan bahwa facade menggambarkan situasi budaya pada saat bangunan dibuat. Facade juga mengungkapkan ornamentasi dan dekorasi. Sebuah facade memberi gambaran tentang penghuni sebuah bangunan dan memberi identitas kolektif sebuah komunitas yang merupakan representasi dari suatu kelompok masyarakat. Lebih lanjut Krier (1983) menyatakan perlunya diamati berbagai elemen facade yang membedakan antara unsur baru dengan yang lama serta patokan-patokan yang justru dapat menghubungkan antara yang baru dengan
57
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
yang lama tersebut. Oleh karena itu, perlu dilihat keterkaitan elemen facade dengan bahasa yang digunakan dari waktu ke waktu. Keterkaitan antara facade lama dan baru mencerminkan komunikasi atau perbincangan antara kondisi saat lalu dan saat ini. Murtaugh (1982) dalam Shirvani (1985) menggambarkan arahan (guidelines) untuk kawasan maupun bangunan. Kriteria kawasan atau district meliputi tujuh faktor, yaitu lokasi (location), rancangan (design), lingkungan (setting), pertukangan (workmanship), perasaan (feeling), dan pertalian antara kejadian bersejarah dan kualitas estetis (association). Lokasi (location) mempertimbangkan asosiasi “bangunan, tapak, obyek, dan ruang” dalam susunan yang diterima secara tradisional. Rancangan (design) sesuai atau relevan dengan komponen estetika detail arsitektur, seperti skala, ornamen, proporsi, ketinggian, tekstur, bahan bangunan, dan irama. Lingkungan (setting) menangkap nuansa kawasan melalui batas kawasan atau focal points di dalamnya. Bahan bangunan (building material), termasuk warna dan jenis, dikaitkan dengan daerah setempat (lokalitas). Pertukangan (workmanship), yaitu upaya estetis yang memberi karakteristik pada kawasan. Asosiasi mempertimbangkan kejadian-kejadian bersejarah dan kualitas estetik yang terwujud dalam kawasan pusaka. ANALISIS HASIL Konteks Sejarah Di Yogyakarta, keberadaan kawasan Pecinan dapat dirunut sejak awal abad ke-19. Namun, sebenarnya jauh sebelum itu, Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Sri Sultan Hamengku Buwana I telah menandatangani persetujuan dengan seorang pemimpin komunitas Tiong Hwa (Kapten Cina). Persetujuan itu berisi pemberian tanah dari Sultan Ngayogyakarta Hadiningrat kepada komunitas Tiong Hwa dan pemberian tugas bagi mereka sebagai ’tanda’ atau penarik pajak, atau dalam istilah bahasa Jawa disebut dengan abdi dalem pamicisan. Tanah yang diberikan oleh Sultan awalnya adalah di daerah Kranggan. Ketika 58
kondisi ekonomi masyarakat Tiong Hwa berangsur meningkat, banyak rumah toko didirikan di sepanjang sumbu kota Yogyakarta, yaitu di jalan Malioboro. Selain itu, banyak permukiman yang dibangun di sekitar daerah yang dekat dengan Kraton yang kemudian disebut dengan daerah Pecinan, termasuk di daerah Ketandan yang terletak di sisi utara Pasar Beringharjo. Pada tahun 1812, Tan Jing Sin, yaitu pemimpin ketiga dari komunitas Tiong Hwa yang mempunyai hubungan cukup dekat dengan Sultan, mendapatkan gelar kebangsawanan sebagai Raden Tumenggung Secadiningrat (Adishakti, 1997). Konteks Arsitektur Arsitektur rumah tinggal atau rumah toko Cina di berbagai tempat, baik di Indonesia maupun di berbagai tempat di dunia, apabila diteliti lebih jauh mempunyai beberapa persamaan meskipun ada juga perbedaan-perbedaan antara satu dan lain tempat. Salah satu ciri menonjol adalah bentuk atap pelana dan denah yang memanjang ke belakang dengan air well atau inner court, yaitu taman atau ruang terbuka di tengah-tengah rumah yang berfungsi untuk sirkulasi udara. Di Indonesia kawasan permukiman yang sekaligus merupakan kawasan perdagangan komunitas Tiong Hwa disebut dengan Pecinan, sedangkan di berbagai negara lain disebut China Town dengan ciri deretan shop houses (rumah toko atau lazim disebut ruko). Ciri pemukiman Pecinan di Ketandan sampai sekarang masih dapat dikenali, terutama pada bagian selatan yang berbatasan dengan Pasar Beringharjo. Secara garis besar, ada dua tipe bangunan, yakni tidak bertingkat dan bertingkat. Tipe bertingkat dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni berteras dan tidak berteras. Pada rumah bertingkat dengan teras, biasanya terdapat dua jendela yang menghadap jalan. Selain itu, ciri lainnya dapat dilihat pada bentuk atapnya yang khas, yaitu model pelana. Biasanya di bagian puncak atau bubungan dan perbatasan atap atau tepinya diberi susunan bata berpoles. Ciri lainnya adalah pintu utama rumah yang selalu besar, berjumlah dua, dan terbuka ke dalam dengan engsel-engsel yang berukuran
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
besar. Pada rumah toko biasanya menggunakan pintu papan kayu berjajar. Beberapa tahun terakhir ini, yaitu sekitar 200 tahun setelah terbentuknya kawasan Pecinan di Ketandan, banyak perubahan yang telah terjadi. Beberapa gejala umum yang terlihat pada kawasan tersebut, antara lain adalah dibongkarnya satu persil atau beberapa persil bangunan lama untuk digantikan dengan bangunan baru yang bermassa besar dengan arsitektur yang sama sekali berbeda dengan yang lama; perubahan sebagian dari bangunan lama; dan penambahan jumlah lantai bangunan. Gejala-gejala tersebut di atas tentu berdampak pada karakter asli kawasan Pecinan di Ketandan yang berangsur-angsur menjadi pudar. Kawasan tersebut kemudian tumbuh menjadi kawasan yang seragam atau sama dengan kawasan-kawasan perdagangan lain di berbagai tempat di Indonesia. Perkembangan atau perubahan fisik yang sangat cepat di kawasan Ketandan ini apabila tidak ditangani secara khusus akan mengakibatkan hilangnya keunikan kawasan dan pada akhirnya akan berdampak pula pada terputusnya sebagian mata rantai sejarah kota. Karakteristik Bangunan Bangunan-bangunan di Kawasan Ketandan, terutama di jalan Ketandan Lor dan Kidul, pada umumnya menggunakan struktur dinding pemikul (bearing wall) dengan balok kayu sebagai konstruksi lantai atas dan atap. Dinding bangunan menerus ke atas, sedikit melewati atap yang berbentuk pelana. Bentuk atap inilah yang memberi ciri atau karakteristik kawasan Ketandan dan kawasan Pecinan di berbagai kota lainnya. Gaya Arsitektur Dari penelitian yang lalu, bangunanbangunan di kawasan Ketandan dapat dikategorikan menjadi tiga langgam atau gaya arsitektur, yaitu: arsitektur Pecinan, arsitektur Pecinan-Indis, dan arsitektur Modern (Bappeda Kota Yogyakarta, 2006). Berikut ini adalah ciri-ciri dari ketiganya:
Arsitektur Pecinan Arsitektur Pecinan adalah bangunan bergaya arsitektur Cina yang berakulturasi dengan gaya arsitektur Yogyakarta. Saat ini di Ketandan masih ada beberapa bangunan yang berarsitektur Pecinan, baik yang sudah maupun yang belum direnovasi. Ciri yang sangat menonjol antara lain adalah atap pelana dengan bubungan atap sejajar jalan di depan bangunan dengan akhiran dinding yang menonjol dan diselesaikan dengan list di kanan kiri atap; pintu dan jendela dari kayu dengan komposisi simetris; ventilasi berpola tumbuhan atau ventilasi berjeruji besi berpola garis-garis; konsol besi berpola daun atau lengkung; balkon dengan ornamen tertentu (seperti roster, kayu); dan lijstplank berpola lengkung. Arsitektur Pecinan-Indis Gaya arsitektur Pecinan-Indis adalah akulturasi antara gaya arsitektur Pecinan dengan gaya arsitektur Indis (arsitektur kolonial Belanda). Tipe yang banyak terdapat di Jl. A. Yani ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bentuk atap limasan; perpanjangan dinding facade di depan atap atau di depan talang atap; tiang bulat dengan pola garisgaris; fasade di depan atap bagian depan berbentuk segitiga atau kotak; konsol beton pola garis, dan dinding tebal dengan ukuran lebar satu bata + 30 cm. Arsitektur Modern Yang dimaksud dengan arsitektur Modern adalah arsitektur yang tidak mengikuti ekspresi gaya arsitektur Pecinan maupun Indis, tetapi mengikuti gaya yang populer pada masa kini. Jumlah bangunan dengan arsitektur modern saat ini cukup banyak. Tipe ini dahulu adalah bangunan bergaya arsitektur Pecinan namun sudah mengalami renovasi atau perubahan pada bentuk bangunan serta jenis dan warna bahan penutup atapnya. Biasanya tipe bangunan ini sudah tidak dihuni oleh pemilik aslinya.
59
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Gambar 1. Arsitektur Pecinan. Bubungan atap pelana sejajar jalan, dengan akhiran dinding menonjol, diselesaikan dengan list di kanan kiri atap. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006
Gambar 2. Arsitektur Pecinan. Konsol besi pola lengkung dan ventilasi jeruji besi. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006
Gambar 3. Arsitektur Pecinan. Balkon berpagar kayu, dengan ornamen geometris. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006
Gambar 4a dan 4b. Arsitektur Pecinan-Indis. Dinding depan bangunan diperpanjang ke atas menutupi atap sebagai unsur dekorasi bangunan. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010
Gambar 5. Arsitektur Modern. Bangunan modern di Jl. Malioboro ini didirikan dengan membongkar tiga lot bangunan lama gaya arsitektur Pecinan. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006
60
Gambar 6. Arsitektur Modern. Bangunan modern di Jl. Malioboro ini sudah tidak menyisakan sedikit pun karakter asli bangunan arsitektur Pecinan. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
“Facade” Bangunan Khusus untuk bagian muka bangunan, penelitian difokuskan pada penggal Jalan Ketandan Lor dan Jalan Ketandan Kidul. Hal ini dilakukan karena pada kedua penggal jalan itu jumlah bangunan yang relatif tidak mengalami banyak perubahan masih cukup banyak. Unsur Desain “Facade” Menurut Clark (1988), pembentuk desain facade bangunan terdiri atas beberapa unsur seperti geometri, simetri, dan irama.
Gambar 7. Arsitektur Pecinan. Geometri facade terbentuk dari dua bagian: atap bangunan trapesium dan badan bangunan empat persegi panjang. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
- Geometri
Geometri -- baik geometri bidang ataupun geometri volume -- adalah suatu gagasan formatif dalam arsitektur yang menentukan bentuk arsitektur (Lihat Gambar 7, 8, dan 9). - Simetri
Simetri adalah gagasan formatif dalam arsitektur yang mengarahkan desain melalui keseimbangan di antara komponen-komponen bangunan (Lihat Gambar 10, 11, 12 dan 13).
Gambar 8. Arsitektur Pecinan (satu lantai). Geometri facade berbentuk empat persegi panjang pada atap dan badan bangunan. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010
Gambar 10a dan 10b. Arsitektur Pecinan. Dua contoh bangunan satu lantai yang banyak terdapat di Ketandan. Atap pelana dan selubung depan berupa pintu lipat kayu atau besi. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 9. Arsitektur Pecinan (dua lantai). Geometri facade berbentuk empat persegi panjang pada atap dan badan bangunan. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010
Gambar 11a dan 11b. Arsitektur Pecinan. Dua contoh bangunan satu lantai dengan atap limas dan selubung depan berupa pintu lipat kayu atau besi. Tipe ini jumlahnya sedikit. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
61
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Gambar 12a dan 12b. Arsitektur Pecinan. Dua contoh bangunan dua lantai. Komposisi facade simetris, satu bidang jendela di lantai2 dan pintu lipat di lantai 1. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 13a dan 13b. Arsitektur Pecinan. Dua contoh bangunan dua lantai. Komposisi facade simetris: dua bidang jendela di lantai 2 dan pintu lipat di lantai 1. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
- Irama (“Rhythm”)
Irama (rhythm) adalah gagasan formatif dalam arsitektur yang menunjukkan pengulangan kom-ponen bangunan, baik dalam skala besar maupun skala kecil.
ngunan juga amat ditentukan oleh atapnya. Penyebutan gaya arsitektur juga didasarkan pada tipe, skala, dan proporsi atap.
Gambar 14 a, 14b, dan 14c. Tiga contoh bangunan dua lantai. Irama nampak pada pengulangan jendela pada lantai dua (bentuk dan ukuran sama). Pintu lipat menutup seluruh facade lantai satu. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Irama secara tegas dibentuk oleh garis-garis vertikal komponen bangunan seperti kolom, pintu, jendela, atau ornamen. Komponen Desain Bagian Muka Komponen desain atap terdiri atas atap, lijstplank, dinding dan kolom, pintu, jendela dan ventilasi, serta ornamentasi dan detail arsitektur. Atap
Atap adalah bagian yang penting dalam memberikan karakter khusus pada bangunan. Ekspresi, skala, serta proporsi ba-
62
Ada dua temuan karakteristik atap bangunan di Ketandan. Temuan yang pertama adalah tipe arsitektur Pecinan identik dengan atap pelana dengan gunungan yang menonjol dan ujung-ujungnya berbentuk khusus. Penutup atap menggunakan genteng vlaam atau genteng plenthong dengan warna asli (tidak dicat). Temuan yang kedua adalah tipe arsitektur Pecinan-Indis (kolonial) identik dengan atap limasan dengan kemiringan 30–45 derajat, tidak menggunakan cukit, dan dinding menerus ke atas pada facade depan sampai menutupi bagian
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
atap. Penutup atap pada umumnya menggunakan genteng kodhok.
satu pasang pintu kaca membuka ke arah dalam.
Gambar 15 dan 16 memperlihatkan hasil pengamatan yang dilakukan di Jalan Ketandan Lor dan Jalan Ketandan Kidul yang menunjukkan bahwa ada dua tipe atap, yaitu tipe atap asli, yaitu atap pelana dan tipe atap yang sudah berubah.
Jendela
“Lijstplank” Arsitektur Pecinan yang sudah berumur lebih dari 50 tahun biasanya menggunakan lijstplank yang disesuaikan dengan bahan atap/konsol/teritis dan tanpa ornamen. Pada Gambar 17, 18, dan 19 menunjukkan bahwa atap genteng menggunakan lijstplank papan kayu atau seng, sedangkan konsol beton pada balkon menggunakan lisplang beton.
Lijstplank pada tipe arsitektur PecinanIndis biasanya berupa plat beton dengan detil profil garis-garis sekaligus berfungsi sebagai bagian muka bangunan. Selain itu, ada bangunan dengan lijstplank dari papan kayu berprofil. Pintu
Kebanyakan rumah di Ketandan juga berfungsi sebagai tempat usaha atau toko. Karena itu, sepanjang facade depan bangunan ditutup dengan pintu lipat berupa panil kayu yang dapat dibuka seluruhnya . Ada pula rumah-rumah dengan sepasang pintu dengan dua daun yang terletak persis di tengah facade bangunan atau dua pasang pintu dengan dua daun, satu pasang pintu panil kayu membuka ke arah luar dan
Gambar 15. Bentuk atap asli. Sumber: Bappeda Kota Yogyakarta, 2006.
Gambar 22 menunjukkan beberapa rumah yang memiliki jendela yang terdiri atas dua pasang, yaitu satu pasang jendela panil kayu membuka ke luar dan satu pasang membuka ke dalam. Teralis dipasang untuk keamanan. Lubang Ventilasi
Beberapa tipe ventilasi yang dijumpai adalah ventilasi yang berada di atas pintu; berupa pelubangan pada bidang dinding; dan berupa roster berpola pada bidang dinding. Ada juga bukaan yang berupa lubang angin pada dinding dari batu bata. Ornamentasi dan Detil Arsitektur
Bangunan lama dengan gaya arsitektur Pecinan di Ketandan biasanya memiliki ornamen pada atap, dinding, dan konsol. Pada ujung-ujung puncak atap terdapat ornamen yang merupakan stilasi kepala naga atau lengkung, dan ada juga yang mempunyai ornamen garis atau kotak-kotak yang terletak sepanjang bubungan atap. Ornamen berupa roster dijumpai pada bagian dinding. Konsol sebagai penyangga atap teritis terbuat dari bahan besi atau kayu berukir juga merupakan ornamen bangunan yang cukup menonjol. Pada bagian atas pintu atau jendela juga banyak dijumpai lubang ventilasi dengan bentuk ornamen yang indah. Ornamen pada facade bangunan Pecinan-Indis biasanya terdapat pada lubang angin atau roster, dinding, atau lijstplank.
Gambar 16. Bentuk atap berubah total. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2011.
63
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Gambar 17. Rumah Pecinan dengan lijstplank seng yang diberi finishing cat. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 18. Rumah Pecinan dengan lijstplank kayu yang diberi finishing cat. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 20. Rumah dengan sepasang pintu, yang memiliki dua daun,yang terletak persis di tengah bagian muka bangunan. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 19. Bentuk-bentuk lijstplank pada bangunan Pecinan-Indis. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 21. Rumah-rumah yang juga berfungsi sebagai tempat usaha atau toko sepanjang bagian muka depan ditutup pintu lipat yang dapat dibuka seluruhnya. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 22a, 22b, dan 22c. Rumah dengan jendela panil kayu dan teralis besi. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
64
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
Gambar 23. Lubang ventilasi berupa krepyak dan roster pada facade. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 24. Lubang ventilasi berupa jeruji besi di atas rolling door. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 25. Detail ornamen pada pagar balkon
Gambar 26. Detail ornamen pada bubungan atap
Gambar 28. Kolom bulat Gambar 29. Lubang ventilasi sebagai unsur dekorasi pada berupa roster sebagai unsur facade bangunan. dekorasi facade. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Bagian Muka Bangunan (“Facade”) sebagai Pembentuk Karakter Kawasan Karakter kawasan Ketandan terbentuk oleh facade masing-masing bangunan. Sebagai kawasan hunian dan perdagangan, fungsi bangunan-bangunan di kawasan ini merupakan rumah tinggal, rumah toko, dan toko. Hampir semua bangunan di Ketandan tidak memiliki halaman depan. Facade lantai satu pada hampir semua bangunan di Ketandan terbentuk oleh pintu lipat yang dapat dibuka seluruhnya pada waktu kegiatan perdagangan berlangsung. Variasi komposisi facade baru terlihat pada bagian lantai dua.
Gambar 27. Detail ornamen berupa konsol kayu
Gambar 30. Konsol besi sebagai unsur dekorasi facade.
Ciri khusus yang nampak pada facade adalah atap pelana yang sejajar dengan jalan di depannya. Oleh karena itu, munculnya bentuk atap baru yang berbeda dari atap asli tersebut akan merusak karakter kawasan. Gambar-gambar di bawah ini menunjukkan facade bangunan di Jl. Ketandan Kidul dan Ketandan Lor. Facade bangunan yang diberi batas segi empat adalah facade yang sudah berubah dari facade asli arsitektur Pecinan. Unsur facade yang terlihat berbeda dengan bentuk aslinya adalah atap bangunan dan bentuk pintu, jendela, dan balkon pada lantai dua.
65
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
Gambar 30 (atas, tengah, bawah). Rumah-rumah yang berada dalam segi empat adalah rumahrumah dengan arsitektur “modern” (bukan Pecinan atau Pecinan-Indis). Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010
66
Handayani, T., Identifikasi Karakteristik “Facade” Bangunan untuk Pelestarian Kawasan Pusaka di Ketandan, Yogyakarta
SIMPULAN Simpulan Berikut ini adalah karakteristik facade yang ditemukan dan dapat menjadi acuan dalam pembuatan rekomendasi arahan rancangan dalam pembangunan di kawasan Ketandan:
Hanya beberapa bangunan yang memiliki model pintu dan jendela dengan dua daun (kupu tarung) dengan pola tata letak simetris, yaitu pintu di bagian tengah dan jendela di sisi kanan dan kiri. Pada umumnya, pintu jendela dicat dengan warna hijau dan putih/kuning. Sebagian besar bangunan menggunakan model ventilasi dengan jeruji besi.
Atap Ada dua tipe atap, yaitu atap kampung dengan gable (gunungan jenis langgam Arsitektur Cina) dan atap limasan. Atap datar bukanlah karakteristik bangunan di Ketandan. Bahan penutup atap bangunan yang utama adalah genteng tanah liat. Atap teritis menggunakan beberapa jenis bahan, seperti seng, asbes, atau fibreglass. Lijstplank Kecenderungan yang nampak di Ketandan adalah pemakaian lijstplank yang sangat lebar sekaligus sebagai papan nama usaha. Hal ini berdampak kurang baik karena akan merusak wajah atau facade bangunan. Beberapa bangunan yang lijstplank-nya tidak terlalu lebar (sekitar 20 cm), tampak lebih harmonis. Ada beberapa bangunan yang cukup harmonis menggunakan lijstplank berornamen. Pintu-Jendela-Lubang Ventilasi Sebagian besar facade lantai satu bangunan di Ketandan didominasi oleh pintu lipat sepanjang facade bangunan. Pintu lama biasanya berupa pintu lipat dari panil kayu.
Saran Guna menjaga keunikan karakter kawasan Ketandan, maka kota Yogyakarta perlu menetapkan kawasan Ketandan sebagai kawasan pusaka yang dilindungi dengan peraturan-peraturan khusus. Dengan demikian, perkembangan fisiknya dapat terkendali dan diharapkan akan berdampak pula pada perkembangan non-fisik, yaitu tetap terjaganya nilai-nilai budaya yang ada. Oleh karena itu, langkah penyelamatan perlu segera diambil dengan membuat design guidelines yang akan menjadi arahan rancangan dalam pengembangan bangunan di Ketandan, terutama bagian facade bangunan karena bagian inilah yang sangat jelas menunjukkan keunikan kawasan. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah implementasi dari design guidelines dan pengontrolan yang ketat. Aturan yang telah disusun tidak akan berarti apabila tidak ada pengawasan dan sanksi dalam penerapannya. Demikian pula insentif perlu diberikan bagi pihak-pihak yang menaati aturan tersebut.
Gambar 32a dan 32 b. Bangunan Pecinan di Malioboro yang direnovasi dengan tetap mempertahankan karakteristik aslinya Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010.
Gambar 33. Bangunan Pecinan di Malioboro yang seluruh facade-nya tertutup papan nama. Sumber: Survei Lapangan, Penulis, 2010
67
Jurnal Arsitektur KOMPOSISI, Volume 9, Nomor 1, April 2011
DAFTAR RUJUKAN Adishakti, L. T. 1997. A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historictourist City Based on Urban Space Heritage Conservation. Tesis Master. University of Kyoto. Clark, R. H. et. al. 1986. Precedent in Architecture. Terjemahan oleh Aries K. Onggodiputro. Bandung: Intermatra, Krier, R. 1988. Architectural Composition. Terjemahan oleh Ir. Effendi Setiadarma M. B. S. Jakarta: Penerbit Erlangga.
68
Sasongko, Y. 1992. Pemukiman Cina di Ketandan Yogyakarta Abad XVIII – XIX (Kajian terhadap Aspek Ekonomi, Sosial, dan Keamanan). Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Shirvani, H. 1985. The Urban Design Process. New York: Van Nostrand Reinhold Company. Bappeda Kota Yogyakarta. 2006. Pekerjaan Kajian dan Inventarisasi Kawasan Pusaka di Yogyakarta. Yogyakarta: Bappeda.