Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
PROGRAM PEMBIBITAN ITIK MA DI BPTU PELAIHARI KALIMANTAN SELATAN: SELEKSI PADA POPULASI BIBIT INDUK ITIK ALABIO (Breeding Program of Ma Ducks in Bptu Pelaihari: Selection of Alabio Parent Stocks) A.R. SETIOKO1, T. SUSANTI1, L.H. PRASETYO1 dan SUPRIYADI2 1Balai Penelitian Ternak, PO Box 221, Bogor 16002 2 BPTU Pelaihari Kalimantan Selatan
ABSTRACT A breeding program for producing MA ducks (crossbred between Mojosari and Alabio ducks) is being conducted at the BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) Pelaihari. A selection program is being applied to a population of Alabio ducks as female line of the parent stocks with the aim of improving egg productivity. Four hundreds female Alabio ducks were used as the foundation stocks (P0) for the selection, and kept in litter cages of 25 heads each. The selection criterion was the first 2-month egg production per cage, with the highest 30% being selected. The selected females were then mated to males at random in order to produce 400 female F1 progeny. Observations were taken on monthly egg production, as % duck-day. Results showed that the average 2-month egg production of the P0 was 41.28% and of the F1 was 71.72%. Therefore, the selection response was 30.44%. Based on this positive selection response, it can be concluded that the selection process being carried out by BPTU is on the right track. Key Words: Alabio Ducks, Selection ABSTRAK Program pembibitan itik MA (perkawinan silang antara itik jantan Mojosari dengan betina Alabio) sedang dilakukan di BPTU (Balai Pembibitan Ternak Unggul) dengan seleksi sebagai salah satu kegiatannya. Seleksi dilakukan pada populasi itik Alabio sebagai bibit induk dengan tujuan untuk meningkatkan produksi telur itik Alabio sehingga diharapkan keturunannya akan berproduksi tinggi pula. Sebanyak 400 ekor itik Alabio betina sebagai generasi awal atau populasi awal (P0) dipelihara dalam kandang petak dengan jumlah masing-masing petak adalah 25 ekor. Sistem seleksi dilakukan terhadap populasi awal (P0) untuk membentuk populasi terseleksi (G0). Kriteria seleksi adalah produksi telur 2 bulan tertinggi diantara petak dengan intensitas seleksi adalah 30%. Itik dalam populasi terseleksi (G0) dikawinkan dengan jantan Alabio untuk menghasilkan populasi itik Alabio generasi pertama (F1) sekitar 400 ekor betina. Respon seleksi dihitung dari selisih antara produksi telur 2 bulan populasi P0 dengan populasi F1. Peubah yang diamati adalah produksi telur per bulan yang dinyatakan dalam persen duck-day. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rataan produksi telur selama 2 bulan pada generasi awal (P0) adalah 41,28 % dan pada generasi pertama (F1) adalah 71,72 % sehingga respon seleksinya adalah 30,44 %. Berdasarkan nilai respon seleksi yang positif tersebut dapat disimpulkan bahwa program pembibitan itik di BPTU Pelaihari termasuk berhasil. Kata Kunci: Itik Alabio, Seleksi
PENDAHULUAN Diantara komoditas peternakan yang telah berkembang di Indonesia, itik petelur mempunyai peranan yang cukup besar baik dalam memenuhi kebutuhan telur konsumsi maupun sebagai alternatif sumber pendapatan
bagi petani/peternak. Akhir-akhir ini minat untuk beternak itik dengan sistem pemeliharaan intensif semakin meningkat. Hal ini disebabkan semakin sulitnya lahan pangonan akibat persawahan yang semakin intensif. Dengan tiga kali panen per tahun, maka jarak antara panen dan pengolahan
763
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
menjadi semakin pendek dan kesempatan itik digembala di sawah lepas panen menjadi singkat (SETIOKO, 1997). Pemeliharaan itik secara intensif menuntut efisiensi produksi yang tinggi agar layak secara ekonomis. Untuk itu dua aspek utama yang perlu mendapat perhatian serius adalah kualitas bibit dan pakan, disamping aspek-aspek lain yang ikut mendukung. Bibit itik lokal yang diperoleh dari peternak pembibit yang umunya ada di pedesaan ternyata mempunyai tingkat produktivitas yang rendah dan sangat bervariasi. SETIOKO et al. (1985) memperoleh bahwa hanya sekitar 20% dari itik Tegal mampu berproduksi diatas 65%, dan bahkan separuhnya hanya bertelur kurang dari 20%. Hal ini menunjukkan perlunya upaya perbaikan genetis terhadap mutu bibit itik lokal untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi produksi. Upaya meningkatkan produktivitas itik lokal melalui perbaikan genetis sedang dilakukan di Balai Penelitian Ternak CiawiBogor. Produk teknologi yang dihasilkan Balitnak adalah itik MA (persilangan antara itik jantan Mojosari dengan itik betina Alabio). PRASETYO dan SUSANTI (2000) melaporkan bahwa persilangan antara itik Mojosari dan Alabio menunjukkan tingkat heterosis sebesar 11,69% untuk produksi telur 3 bulan, sedangkan KETAREN et al. (2000) melaporkan bahwa itik persilangan tersebut menghasilkan rataan produksi telur setahun sebesar 69,4% dan FCR 4,1. Hal ini mengindikasikan bahwa itik MA memiliki rataan produksi telur yang lebih baik dibandingkan itik-itik lokal yang ada di Indonesia dan berpotensi untuk dikembangkan sebagai bibit niaga. Sebagai suatu produk teknologi itik MA perlu disebarkan dan dikembangkan untuk mendukung peternakan itik yang intensif dan komersial. Salah satu wilayah penyebaran dan pengembangan itik MA adalah Balai Pembibitan Ternak Unggul (BPTU) Pelaihari Kalimantan Selatan yaitu suatu unit pelaksana teknis (UPT) di bawah Direktorat Jenderal Peternakan yang memiliki tugas pokok dan fungsi melaksanakan pembibitan itik untuk menghasilkan bibit unggul. Untuk itu perlu dikembangkan suatu program pembibitan yang sesuai dengan kondisi di Pelaihari agar dapat menghasilkan bibit induk dan bibit niaga itik MA yang cukup baik. Pengembangan sistem
764
produksi bibit niaga itik MA di BPTU Pelaihari diharapkan dapat memberikan jaminan ketersediaan dan kualitas bibit untuk peternak daerah setempat. Salah satu program pemuliaan yang dilakukan dalam sistem pembibitan itik MA di BPTU Pelaihari adalah seleksi pada itik Alabio sebagai salah satu galur tetua dari itik MA. Tujuan seleksi adalah terbentuknya galur induk Alabio dengan tingkat produksi tinggi sebagai penghasil bibit niaga itik MA. Sehingga diharapkan itik MA sebagai keturunannya akan berproduksi tinggi pula. Penulisan makalah ini adalah untuk membahas respon seleksi dan koefisien variasi produksi telur itik Alabio dalam suatu sistem pembibitan di BPTU Pelaihari. MATERI DAN METODE Materi yang digunakan dalam seleksi ini adalah populasi itik alabio dalam dua generasi yaitu populasi awal disebut P0 dan generasi pertama yang disebut populasi F1. Jumlah P0 bibit induk itik Alabio adalah 400 ekor betina, kemudian diseleksi dengan intensitas 30% untuk mendapatkan populasi terseleksi atau G0 sebanyak 120 ekor betina. Populasi terseleksi tersebut kemudian dikawinkan dengan itik Alabio jantan dengan perbandingan 1 jantan : 5 betina untuk menghasilkan bibit murni generasi F1 dengan jumlah sekitar 400 ekor betina. Itik dipelihara dalam kandang panggung yang terdiri atas petak-petak, masing-masing berisi 25 ekor. Seleksi berdasarkan pada produksi telur tertinggi per kelompok selama 2 bulan. Jumlah pakan yang diberikan disesuaikan dengan umur itik. Adapun komposisi campuran pakan adalah sebagai berikut: itik umur 1 hari sampai 1 bulan = 100% BR1 itik umur 1 bulan sampai 1,5 bulan = 75% BR1 + 25% dedak + mineral itik umur 1,5 bulan sampai 2 bulan = 50% BR1 + 50% dedak + mineral itik umur 2 bulan sampai 5,5 bulan = 25% BR1 + 75% dedak + mineral Pakan yang diberikan untuk itik sedang berproduksi berbeda konsentratnya dengan itik
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
pada masa pertumbuhan. Konsentrat untuk itik masa produksi adalah konsentrat layer khusus super 36 produksi PT Japfa Comfeed Indonesia. Komposisi campuran pakan untuk itik petelur adalah 62,7% dedak, 33,3% konsentrat, 2,0% dinamix-LC (multivitamin premix) dan 2,0% padi; dengan jumlah pemberikan pakan sekitar 160 gram per ekor per hari. Pengamatan dilakukan terhadap produksi telur harian yang dinyatakan dalam persen duck-day pada dua generasi itik Alabio tersebut. Respon atau kemajuan seleksi dihitung berdasarkan petunjuk MARTOJO (1990). Adapun rumusnya adalah sebagai berikut: Respon seleksi = Rataan produksi telur generasi F1 - Rataan produksi telur generasi P0 Selain respon seleksi, dihitung pula koefisien variasi produksi telur untuk mengevaluasi tingkat keragaman produksi telur tersebut dalam satu populasi. MARTOJO (1990) mengungkapkan bahwa koefisien variasi merupakan standar yang digunakan sebagai tolok ukur dalam mengevaluasi keragaman untuk berbagai sifat kuantitatif yang terdapat dalam suatu populasi atau kelompok yang dikenakan perlakuan seleksi. Adapun rumus untuk menghitung koefisien variasi sebagai berikut: Koefisien variasi = Simpangan baku produksi telur x 100% Rataan produksi telur
rataan produksi telur itik Alabio generasi pertama (F1) selalu lebih tinggi daripada generasi awal (P0). Hasil pengamatan yang hampir sama diperoleh ROHAENI et al. (2003) yang melaporkan bahwa program seleksi mengakibatkan produksi telur itik Alabio pada keturunan pertama lebih tinggi daripada indukinduknya pada bulan ke-2, 3, 4 dan 5. Hal ini suatu indikasi bahwa program seleksi yang dilakukan di BPTU Pelaihari dapat meningkatkan produksi telur selama 6 bulan meskipun seleksi dilakukan pada induk-induk P0 untuk menghasilkan F1 tersebut berdasarkan catatan produksi telur selama 2 bulan. Tabel 1. Rataan produksi telur itik Alabio generasi awal (P0) dan generasi pertama (F1) selama 6 bulan pengamatan di BPTU Pelaihari Produksi telur itik Alabio (% duck-day) Masa produksi
Generasi awal (P0)
Generasi pertama (F1)
Minggu 1–4
49,03a
51,18a
Minggu 5–8
b
41,14
71,90a
Minggu 9–12
34,77b
67,62a
b
62,31a
Minggu 17–20
b
33,51
56,98a
Minggu 21–24
33,59b
48,84a
b
59,81a
Minggu 13–16
Rataan minggu 1–24
41,14
38,86
HASIL DAN PEMBAHASAN
Huruf berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Hasil pengamatan selama 6 bulan terhadap produksi telur itik Alabio generasi awal (P0) dan generasi pertama (F1) tercantum pada Tabel 1. Pada Tabel 1 tampak bahwa rataan produksi telur itik Alabio generasi pertama (F1) adalah 51,18% dan generasi awal (P0) adalah 49,03%. Secara statistik nilai rataan produksi telur pada bulan pertama (minggu 1– 4) kedua generasi tersebut tidak berbeda nyata atau sama. Perbedaan produksi telur itik Alabio antara dua generasi tersebut mulai tampak pada bulan kedua (minggu 5–8) sampai akhir pengamatan yaitu bulan keenam (minggu 21–24), dengan
Seleksi terhadap populasi itik Alabio di BPTU Pelaihari ini berdasarkan catatan produksi telur 2 bulan sehingga respon seleksinya adalah selisih antara produksi telur 2 bulan generasi awal dengan generasi pertama. Berdasarkan Tabel 1 tampak bahwa respon seleksi produksi telur 2 bulan itik Alabio adalah 30,76% duck-day. Hasil pengamatan ini sejalan dengan SUBIHARTA et. al. (2001) yang melaporkan bahwa produksi telur itik Tegal selama 3 bulan meningkat sebesar 9,79% pada dua generasi sebagai akibat dari seleksi. Begitu pula hasil pengamatan PRASETYO et al. (2002) yang menyatakan bahwa program seleksi pada induk
765
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
itik Alabio dapat meningkatkan produksi telur keturunan pertamanya sebesar 23,84 butir selama 6 bulan atau naik 34,06% dari rataan produksi telur induknya. Respon seleksi produksi telur itik Alabio dalam penelitian ini menunjukkan angka positif cukup tinggi. Hal ini mungkin karena keragaman produksi telur yang masih tinggi pada populasi awal itik Alabio, baik keragaman genetik maupun keragaman fenotipiknya sehingga seleksi masih efektif dilakukan. Begitu pula dengan rataan produksi telur itik Alabio selama 6 bulan pengamatan menunjukkan hasil yang lebih baik pada populasi F1 dibandingkan dengan populasi P0. Kenaikan produksi telur selama 6 bulan pengamatan cukup tinggi yaitu sebesar 20,95%. Ini berarti bahwa seleksi pada populasi induk dengan kriteria seleksi catatan produksi telur 2 bulan dapat meningkatkan produksi telur 6 bulan pada generasi anaknya. Seyogyanya program pemuliaan melalui seleksi tidak hanya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas pada sifat-sifat ekonomis namun harus pula dapat menurunkan tingkat keragamannya. Dalam sistem pembibitan di BPTU Pelaihari tampaknya produktivitas itik Alabio dalam dua generasi sudah meningkat namun keragamannya belum menunjukkan penurunan. Nilai koefisien variasi produksi telur yang dihitung hanya pada populasi itik Alabio generasi pertama. Besarnya koefisien variasi produksi telur itik Alabio selama 6 bulan pengamatan pada generasi pertama tercantum pada Tabel 2. Tabel 2. Koefisien variasi produksi telur itik Alabio generasi pertama selama 6 bulan pengamatan di BPTU Pelaihari Masa produksi
Koefisien variasi produksi telur (%)
Minggu 1–4
53,63
Minggu 1–8
22,41
Minggu 1–12
24,86
Minggu 1–16
25,13
Minggu 1–20
27,03
Minggu 1–24
34,48
Rataan 1–24
31,26
766
Pada Tabel 2 tampak bahwa koefisein variasi produksi telur itik Alabio masih tinggi yaitu berkisar antara 22,41% sampai 53,63%. (1990) menyatakan bahwa MARTOJO sebaiknya koefisien variasi suatu sifat produksi pada suatu populasi tidak lebih dari 5% untuk menyatakan bahwa populasi tersebut telah mantap karena produksinya yang telah seragam. Tingginya tingkat koefisien variasi produksi telur itik Alabio di BPTU Pelaihari ini menunjukkan bahwa itik Alabio yang dipelihara sebagai bibit induk belum stabil walaupun tingkat produksinya cukup baik. Hal ini berarti bahwa keturunannya belum dijamin akan menunjukkan hasil produksi yang konsisten sekalipun dengan sistem pemeliharaan yang sama karena tingkat produksi yang diperoleh belum stabil. Oleh karena itu, masih diperlukan program pemuliaan terutama program seleksi pada populasi itik Alabio tersebut agar terbentuk bibit induk yang mantap sebagai penghasil keturunan yang mantap pula. KESIMPULAN DAN SARAN Seleksi induk itik Alabio generasi awal dengan kriteria produksi telur 2 bulan dapat meningkatkan produksi telur sebesar 30,76% pada generasi keturunan pertamanya. Produksi telur itik Alabio selama 6 bulan pengamatan menunjukkan kenaikan pada generasi pertama dibandingkan dengan generasi awal. Ini berarti bahwa seleksi pada populasi induk berdasarkan catatan produksi telur 2 bulan dapat meningkatkan produksi telur 6 bulan pada generasi anaknya. Koefisien variasi produksi telur itik Alabio masih tinggi yaitu berkisar antara 22,41% sampai 53,63% yang berarti bahwa program seleksi masih diperlukan pada populasi itik Alabio tersebut. DAFTAR PUSTAKA KETAREN, P.P, L.H. PRASETYO dan T. MURTISARI. 2000. Karakter produksi telur pada itik silang Mojosari X Alabio. Pros. Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Puslitbang Peternakan, Bogor. hlm. 286-291.
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005
MARTOJO, H. 1990. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor.
SETIOKO, A.R. 1997. Recent Study on Traditional System of duck layer flock management in Indonesia. Proc. 11th European Symposium on waterfowl. Nantes, Franch. September 8–10, 1997. pp. 491–498.
PRASETYO, L.H., B. BRAHMANTIYO dan M. PURBA. 2002. Seleksi dalam galur pada bibit induk itik lokal. Kumpulan Hasil-hasil penelitian APBN Tahun Anggaran 2001. Buku II Non Ruminansia. Balai Penelitian Ternak, Ciawi, Bogor. hlm. 80–86.
SETIOKO, A.R., A.J. EVANS dan Y.C. RAHARJO.1985. Productivity of herded ducks in West Java. Agricultural Systems 16: 1–5.
PRASETYO, L.H. dan T. SUSANTI. 2000. Persilangan timbal balik antara itik Alabio dan Mojosari: periode awal bertelur. JITV 5(4): 210–214. ROHAENI, E.S., A.R. SETIOKO dan ISTIANA. 2003. Pembuatan populasi dasar ternak itik Alabio sebagai upaya seleksi pada kegiatan SPAKU itik di Hulu Sungai Utara. Pros. penerapan teknologi spesifik lokasi dalam mendukung pengembangan sumberdaya pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. hlm. 319–324.
SUBIHARTA, L.H. PRASETYO, Y.C. RAHARDJO, S. PRAWIRODIGDO, D. PRAMONO dan HARTONO. 2001. Program Village Breeding pada itik Tegal untuk peningkatan produksi telur: seleksi itik Tegal generasi pertama dan kedua. Pros. Lokakarya Unggas Air. Pengembangan Agribisnis Unggas Air Sebagai Peluang Usaha Baru. Kerjasama Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Balai Penelitian Ternak dan Yayasan Kehati. Bogor. hlm. 79–86.
767