PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERILAKU KESEHATAN MEDIS PADA KELUARGA PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIPASUNG Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi
Disusun oleh: I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni 129114136
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN MOTTO
The most beautiful things In the world cannot be seen or touched They are felt with the heart. Now here is my secret, it’s very simply: you can only see things clearly with your heart. What is essential is invisible to the eye. -
Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince
iv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
All men have stars, but they are not the same things for different people. For some, who are travelers, the stars are guides. For others they are no more than little lights in the sky. For others, who are scholars, they are problems… But all these stars are silent. You – You alone will have stars as no one else has them. -
Antoine de Saint – Exupery, The Little Prince
v
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Everything can be taken from a man but one thing; the last of the human freedoms — to choose one's attitude in any given set of circumstances, to choose one's own way." -
Victor Frankl – Man’s Searching Meaning
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini saya persembahkan untuk Tuhan yang Maha Penyayang.
Untuk Ibu, Ayah, Kakak dan seluruh kelurga dan sahabat yang mendukung saya untuk menyelesaikan karya ini.
Untuk seluruh masyarakat dunia yang menginspirasi dan mendorong saya untuk menyelesaikan karya ini. Semoga karya ini bermanfaat.
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERILAKU KESEHATAN MEDIS PADA KELUARGA PENDERITA SKIZOFRENIA YANG DIPASUNG I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk melihat perilaku kesehatan medis yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia selama ini dan melihat faktor-faktor apa yang akhirnya melatarbelakangi keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan mengambil keputusan memasung pasien. Wawancara semi terstruktur dilaksanakan terhadap tiga keluarga penderita skizofrenia yang dipasung, satu narasumber dari pihak rumah sakit. Pendekatan penelitian dilakukan dengan desain studi kasus. Analisis data dilakukan dengan metode analisis isi kualitatif (AIK), menggunakan pendekatan deduktif, yakni analisis isi terarah. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a) pengetahuan yang cenderung kurang ilmiah mengenai penyebab skizofrenia b) persepsi yang negatif tentang keparahan dan manfaat penggunaan pengobatan medis, c) pengalaman negatif saat melakukan pengobatan medis dan saat tanpa pemasungan, dan d) pengalaman positif selama pasien dipasung. Kata Kunci
: Perilaku Kesehatan, Pemasungan, Skizofrenia
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HEALTH MEDICAL BEHAVIOR OF FAMILY LIVING A PERSON WITH SCHIZOPRENIC PATIENT IN PASUNG: PHYSICAL RESTRAINT I Dewa Ayu Komang Putri Anggreni
ABSTRACK This research was intended to observe health medical behavior that was treated by person with a schizophrenia patient’s family all this time and to look at what factors that influence the family quit using medical treatment and decided to physical restraint the patient. Semi-structured interviews were held to three physical restrained schizophrenia patient’s family, one source from hospital side. Research approach with study case research design. Data was analyzed using Qualitative Content Analysis (QCA), using deductive approach, which is directional content analysis. This research result showed the patient’s family that quit using medical treatment was affected by: a) knowledge that tends to be less scientific about schizophrenia disease causes b) negative perception about severe condition and medical treatment benefit, c) negative experience when using medical treatment and without physical restrains, and d) positive experience when patient was physical restrained. Keyword
: medical behavior, physical restrained, schizophrenia
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
1. Sang Pencipta dari Negeri Awan, yang telah mengijinkan, mendukung dan bekerjasama dengan penulis untuk melaksanakan penelitian ini. Terimakasih untuk Inspirasinya. 2. Ibu, Bapak, Kakak, yang membiarkan penulis untuk mengambil konsekuensi terhadap pilihannya. Terimakasih sudah mengijinkan penulis untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. 3. Dr. Tjipto Susana, sosok yang mengajarkan bahwa melakukan kesalahan adalah sesuatu yang wajar dan menjadikan pembelajaran untuk menjadi lebih baik. Terimakasih sudah menjadi role model untuk penulis. 4. Pangeran kecil, sahabat imajinatif yang selalu mengajarkan penulis untuk menikmati dan menemani setiap proses dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Sahabat Cabe’s, manusia di belakang layar yang menjadi alarm pengingat untuk tidak pernah menyerah. Terimakasih untuk hari-hari yang berwarna yang telah kalian tawarkan dan bagikan untuk hidup penulis. 6. Ovi dan Inel, duo manusia (deep conversation) yang selalu menjadi teman untuk membagi isi pikiran-pikiran gila si penulis, ditambah beberapa bumbu teoritis yang alhasil membuat kebiasaan over thinking penulis menjadi berkurang. Terimakasih untuk waktu yang kalian habiskan bersama penulis.
xii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7. Arin dan Tasya, duo room mate di Wirata yang selalu ikut menjadi team horayy-horayy dan penyemangat untuk penulis. Terimakasih untuk semangat yang kalian tularkan. 8. Untuk Banda Neira, John Mayer, Gabrielle Aplin, Monita Tahalea, Tulus, Raisa dan banyak lagi yang memenuhi playlist skripsi penulis. Musik kalian berhasil membuat penulis menyelesaikan tugas akhir. Terimakasih untuk aransemen dan lirik yang mempengaruhi hidup penulis. 9.
Chezmoi, X map satu-satunya yang hampir setiap hari penulis datangi untuk mengerjakan skripsi (sampai setiap keluar dari chezmoi, gak pernah disuruh datang kembali karena udah bosen liat penulis). Terimakasih untuk kue-kue yang benar-benar membuat mood penulis jadi berseri-seri setiap makan kuenya.
10. Untuk semua orang yang sudah memberikan warna dan pengaruh di hidup penulis, yang tak bisa disebutkan satu persatu, penulis amat sangat berterimakasih. 11. Terimakasih
untuk
Kamu.
Silakan
……………… Terimakasih sudah mewarnai hidupku.
xiii
tulis
nama
Kamu
sendiri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Penulis meminta maaf atas segala kekurangan dan kelalauian yang telah diperbuat, baik kata, maupun tulisan. Penulis menerima semua kritik dan saran yang bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini.
Yogyakarta, 12 Desember 2016 Penulis
xiv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL..................................................................................................... i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ............................................ ii HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................................... iii HALAMAN MOTTO ................................................................................................. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................................ vii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .............................................. viii ABSTRAK .................................................................................................................. ix ABSTRACT ................................................................................................................... x HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ............................... xi KATA PENGANTAR ............................................................................................... xii DAFTAR ISI ............................................................................................................. xv BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah .......................................................................................... 11 C. Tujuan Penelitian ........................................................................................... 12 D. Manfaat Penelitian ......................................................................................... 12 1. Manfaat Teoritis ....................................................................................... 13 2. Manfaat Praktis ........................................................................................ 13 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 14 A. Skizofrenia 1. Definisi Gangguan Skizofrenia ................................................................ 14 2. Gejala Skizofrenia .................................................................................... 15 3. Kriteria Diagnostik untuk Skizofrenia ..................................................... 21 4. Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR ................................................ 21 5. Etologi Skizofrenia................................................................................... 23 B. Perilaku Kesehatan ......................................................................................... 30 C. Pelayanan Kesehatan ...................................................................................... 36 D. Keluarga ......................................................................................................... 38 xv
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
E. Pemasungan ................................................................................................... 40 F. Perilaku Kesehatan Keluarga pada Penderita Skizofrenia ............................. 41 G. Kekhasan Studi Kasus ................................................................................... 42 BAB III. METODE PENELITIAN............................................................................ 46 A. Jenis dan Desain Penelitian ............................................................................ 46 B. Fokus Penelitian ............................................................................................. 47 C. Partisipan Penelitian ....................................................................................... 47 1. Karakteristik Subjek Penelitian ................................................................ 48 2. Jumlah Subjek Penelitian ......................................................................... 49 3. Lokasi Pengambilan Data ........................................................................ 49 D. Instrumen Penelitian....................................................................................... 49 E. Prosedur Pengumpulan Data .......................................................................... 51 F. Metode Analisis Data ..................................................................................... 52 G. Kredibilitas Penelitian .................................................................................... 53 BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 54 A. Pelaksanaan Penelitian ................................................................................... 54 B. Profil Narasumber 1. Narasumber pertama ................................................................................ 56 2. Narasumber kedua .................................................................................... 57 3. Narasumber ketiga ................................................................................... 58 C. Hasil Penelitian .............................................................................................. 60 1. Faktor Predisposisi ................................................................................... 60 2. Faktor Pendukung .................................................................................... 69 3. Faktor Penguat ......................................................................................... 72 D. Dinamika Perilaku Kesehatan dalam Pemasungan ........................................ 77 BAB V. PENUTUP .................................................................................................... 85 A. Kesimpulan .................................................................................................... 85 B. Keterbatasan Penelitian .................................................................................. 86 C. Saran .............................................................................................................. 87 1. Bagi Peneliti Selanjutnya ......................................................................... 87 2. Bagi Praktisi Psikologi ............................................................................. 88 xvi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa .................................................................. 88 4. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung ........................................ 89
xvii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Skizofrenia adalah gangguan mental yang cukup luas dialami di Indonesia, di mana sekitar 99% pasien di RS Jiwa di Indonesia adalah penderita skizofrenia. Hal ini ditemukan oleh dr. Danardi Sosrosumihardjo, Spp. KJ dari kedokteran Jiwa FKUI/RSCM (Republika, 2000). Selain itu, prognosis
untuk
penderita
skizofrenia
pada
umumnya
kurang
mengembirakan. Sekitar 25% pasien dapat pulih dari episode awal dan fungsinya dapat kembali pada tingkat premorbid (sebelum muncul gangguan tersebut). Sekitar 25% tidak akan pernah pulih dan perjalanan penyakitnya cenderung memburuk. Sekitar 50% berada di antaranya, ditandai dengan kekambuhan periodik dan ketidakmampuan berfungsi dengan efektif kecuali untuk waktu yang singkat (Arif, 2006). Hal tersebut membuat skizofrenia menjadi salah satu gangguan mental yang sangat berat. Bila tidak segera ditangani, gangguan ini akan sangat cepat mengganggu proses perkembangan kepribadian pasien, sehingga mengakibatkan kerentanan yang berat dan berujung pada kerusakan pada kepribadian individu (Arif, 2006). Skizofrenia tidak hanya menimbulkan penderitaan bagi pasien, tapi juga bagi orang-orang terdekatnya. Biasanya keluarga adalah orang yang paling terkena dampak kehadirnya pasien skizofrenia. Selain dikarenakan biaya perawatan yang tinggi, hampir 70% penderita adalah pasien di RSJ
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
secara menahun. Akibatnya, kehadiran penderita cenderung dirasakan sebagai beban keluarga (Arif, 2006). Pilihan keluarga untuk merawat dan tinggal bersama pasien skizofrenia akan menimbulkan permasalahan yang akan dialami oleh seluruh anggota keluarga. Perubahan yang dapat memicu munculnya stress pada keluarga antara lain gejala skizofrenia yang mengganggu, perubahan rutinitas dan aktivitas seluruh anggota keluarga sehari-hari, ketegangan hubungan keluarga dengan lingkungan sosial, kehilangan dukungan sosial, berkurangnya waktu luang dan kondisi keuangan yang memburuk (Stengard dalam Wardhani, 2013). Dampak-dampak yang dialami keluarga ini cenderung membuat anggota keluarga menjauhkan diri dari penderita skizofrenia dan cenderung menolak pasien skizofrenia (Koolaee & Eternadi, 2009). Penelitian Wardhani (2013) menjelaskan bahwa perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia yang menolakan berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan merantai kaki, mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada di rumah, dan keluarga menolak untuk menjenguk ke rumah sakit jiwa. Kita ketahui, akibat dari perilaku keluarga yang cenderung menjauhkan diri dari pasien skizofrenia akan memperburuk kondisi pasien. Tetapi tidak jarang beberapa keluarga menyerah untuk menghadapi penderita skizofrenia, sehingga cenderung menjauhinya, dan beberapa di antaranya memilih untuk memasung pasien skizofrenia. Menurut survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Memasung pasien skizofrenia berarti keluarga melakukan segala tindakan pengikatan dan pengekangan fisik yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang (Minas & Diarti, 2008 dalam Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi, 2013). Pemasungan menjadi salah satu bentuk perilaku keluarga untuk menangani
penderita
skizofrenia,
padahal
pemasungan
jelas
akan
memperparah penderitaan pasien skizofrenia. Dampak negatifnya, yaitu penderita mengalami trauma, dendam kepada keluarga, merasa dibuang, rendah diri, dan putus asa. Hal ini akan memunculkan depresi dan gejala bunuh diri pada korban pemasungan (Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi, 2013). Hasil penelitian dari Divisi Psikiatri Komunitas Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia-Rumah
Sakit
Cipto
Mangunkusumo,
Jakarta,
mengenai dampak pemasungan menunjukan bahwa dalam kurun waktu 20062007 terdapat 15 kasus pemasungan penderita skizofrenia di Samosir, Sumatera Utara, dan Bireuen, Aceh. Pemasungan tersebut membuat kaki dan tangan korban mengecil. Setelah diperiksa dengan saksama, otot dari pinggul sampai kaki mengecil karena lama tidak digunakan. Dampak ini dijumpai pada penderita yang sudah dipasung selama sepuluh tahun (Minas dan Diatri, 2008) Berdasarkan penjelasan di atas, sudah pasti pemasungan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena dipandang tidak manusiawi, dan menambah siksaan fisik dan psikis. Pemasungan sangat bertolak belakang dengan Undang-undang yang telah dibuat, yakni dalam Pasal 42 Undang-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan: “Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”. Pada tahun 2010, pemerintah berusaha mengatasi masalah pemasungan tersebut dengan mencanangkan program Indonesia Bebas Pasung. Program tersebut berjalan cukup baik. Terjadi penurunan jumlah pemasungan di Indonesia. Pada tahun 2010 Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data penderita psikotik yang di pasung sebanyak 383 kasus, 238 pengalami pembebasan, dan 145 masih tetap di pasung. Pada tahun 2011 ditemukan 1139 kasus, 990 bebas pasung dan 149 masih tetap di pasung. Pada tahun 2012 ditemukan 880 kasus, 524 bebas pasung dan 356 masih tetap pasung. Pada tahun ini 2013 ditemukan 799 kasus, sebanyak 456 bebas pasung dan 343 masih di pasung (https://www.kemsos.go.id, 2013). Upaya
pemerintah
mengatasi
masalah
pemasungan
dengan
mencanangkan Indonesia Bebas Pasung sudah cukup baik karena berdasarkan penelitian yang dilakukan Fitrikasari dan Hediati (2011) didapatkan hasil bahwa pengobatan yang dilakukan dapat meningkatkan penilaian fungsi pribadi dan sosial, tetapi hal ini tidak menutup kemungkinan berulangnya kasus pemasungan setelah pasien kembali ke keluarganya atau terjadinya kasus pemasungan yang baru, apabila keluarga masih punya kecenderungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
untuk melakukan tindakan pemasungan, termasuk pada pasien yang sudah mendapatkan pengobatan. Berikut ini adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan dengan permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan yang diceritakan oleh seorang psikiater yang berkecimpung dalam Suryani Institute for Mental Health, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Seorang psikiater mendapatkan informasi ini, ketika ia melakukan kegiatan penanganan pasien skizofrenia yang dipasung: ”Beberapa orangtua terkadang sangat antusias dengan kedatangan para psikiater dan perawat yang datang ke rumahrumah penderita yang dipasung untuk memberikan pengobatan, bahkan beberapa diantara mereka meminta agar pengobatan tersebut dilakukan dengan rutin agar anak mereka bisa pulih kembali. Namun ketika psikiater melakukan pendekatan dengan orang tua untuk melepas pasung, beberapa diantara orangtua menunjukan sikap penolakan dan cenderung mengalihkan pembicaraan “ Tidak hanya itu, salah satu team Suryani Institute for Mental Health ikut menambahkan lagi komentarnya mengenai permasalahan program pemerintah tersebut : “Masalahnya
tidak
hanya
membebaskan
pasien
skizofrenia saja, tapi ada penanganan jangka panjang yang tidak pernah orang bayangkan. Kebanyakan orang berpikir seperti
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
menangani sakit flu, setelah panas hilang pasien akan berfungsi kembali dengan sendirinya” Berdasarkan pemaparan di atas, serta hasil wawancara singkat yang dilakukan, penulis melihat bahwa pemerintah sudah mencoba menangani permasalahan pemasungan yang terjadi di Indonesia, dengan cara memberi bantuan pengobatan kepada penderita skizofrenia yang dipasung. Namun, tidak semua penanganan tersebut berjalan dengan lancar. Beberapa keluarga memilih untuk tetap memasung anaknya dan tidak mau melepas pasien dan membawa pasien berobat kembali kerumah sakit, walaupun pemerintah sudah mengeluarkan jaminan kesehatan berupa pemberian fasilitas dan pengobatan gratis melalui program bebas pasung. Saat ini muncul pertanyaaan mengenai bagaimana pemanfaatan jaminan kesehatan medis tersebut oleh keluarga yang mendapat pengobatan medis, terutama keluarga yang berhenti melakukan pengobatan medis dan tetap
melakukan
perilaku
memasung,
padahal
pemerintah
sudah
mengeluarkan dana untuk meluncurkan program pengobatan gratis tersebut. Apakah pemerintah kurang memberi fasilitas yang memadai kepada keluarga, sehingga keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan masih tetap memasung anaknya? Apa yang melatarbelakangi perilaku tersebut sehingga keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap memasung? Menurut Lewin (1954) dalam Notoadmodjo (2010), perilaku keluarga dalam mengambil keputusan untuk pengobatan keluarganya dipengaruhi oleh kepercayaan keluarga terhadap fasilitas kesehatan. Upaya atau tindakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
seseorang untuk memanfaatkan sarana dan prasarana kesehatan yang tersedia yang sering dipaparkan dalam bentuk perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan adalah respon seseorang terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi
sehat-sakit
(kesehatan)
seperti
lingkungan,
makanan,
minuman, dan pelayanan kesehatan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang diamati maupun yang tidak dapat diamati yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan masyarakat adalah sebuah hasil dari interaksi yang kompleks
dan
holistik
oleh
individu
dengan
lingkungan
yang
mempengaruhinya beserta pelayanan kesehatan yang ada. Sehingga perilaku kesehatan
itu
sangat
dinamis
dan
mengikuti
aspek-aspek
yang
mempengaruhinya. Menurut Lawrence Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010 menjelaskan bahwa perilaku kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECED: Predisposing, Enabling, dan Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan dalam menganalisis atau mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede dapat diuraikan melalui 3 faktor, yakni faktorfaktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain, sikap yang menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
kepercayaan berdasarkan keyakinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu terhadap penyakit tersebut oleh keluarga pasien. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam sumber-sumber daya yang mencakup fasilitas, biaya, waktu, tenaga, jarak tempuh, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, ketersedian alat transportasi yang mempengaruhi keluarga untuk menggunakan pengobatan medis. Faktor-faktor pendorong atau penguat (renforcing factors), merupakan faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau insentif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan terhadap perilaku keluarga pasien. Munculnya fenomena pemasungan ini sebagai hasil dari perilaku kesehatan masyarakat dalam bentuk tanpa melakukan pengobatan, membuat penulis tertarik untuk melihat secara lebih dalam mengenai perilaku kesehatan yang terfokus pada pengobatan medis yang dilakukan oleh keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang dipasung. Perilaku kesehatan medis mengkaji aktivitas dan respon keluarga berkaitan dengan upaya pemeliharaan atau peningkatan kesehatan dengan cara melihat pengalaman yang dirasakan selama proses pengobatan atau penyembuhan menggunakan pengobatan medis hingga keluarga mengambil keputusan untuk berhenti melakukan pengobatan dan memilih untuk melakukan pemasungan. Respon keluarga terhadap perilaku kesehatan medis dapat ditinjau dari beberapa faktor, yaitu predisposing factor, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung. Faktor-faktor tersebut akan dijadikan acuan bagi penulis dalam menganalisis atau diagnosis perilaku kesehatan medis dari keluarga sehingga dapat dilakukan evaluasi dan dapat memberikan intervensi yang sesuai. Diharapkan hasil penelitian bisa membantu pemerintah dan pemberi layanan kesehatan untuk memperbaiki program yang sudah dibentuk selama ini, dengan melihat
faktor-faktor
yang berpengaruh
dalam proses
pengambilan keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan medis. Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi pendekatan yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan medis masyarakatnya yang masih tetap memasung anaknya. Dalam penelitian ini penulis akan melakukan penelitian terhadap anggota keluarga yang memiliki anak atau saudara yang menderita gangguan skizofrenia yang masih dipasung dan pernah mendapatkan penanganan dari tim rumah sakit jiwa. Peneliti memilih anggota keluarga sebagai subjek karena perilaku kesehatan pada pasien skizofrenia merupakan perilaku yang dikondisikan oleh anggota keluarga pasien dan tidak dijalani, ataupun dirasakan sendiri oleh pasien. Sejauh ini belum ada penelitian yang membahas mengenai gambaran perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita gangguan skizofrenia yang dipasung. Penelitian mengenai perilaku kesehatan selama ini juga lebih banyak membicarakan tentang perilaku kesehatan pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
penderita penyakit yang tergolong berat dan berstadium lanjut. Nugroho (2011) ingin melihat faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan tuberkolosis
paru
di
BP4
Tegal,
dan
disimpulkan
faktor
yang
melatarbelakangi drop out adalah lama pengobatan melewati tahap intensif sehingga gejala hilang dan pasien merasa sembuh, pembiayaan pengobatan tidak secara cuma-cuma, pasien tidak mengetahui tentang tahapan pengobatan, tidak adanya pengawasan menelan obat, adanya kesulitan transportasi menuju BP4, adanya efek samping obat, ketidaktahuan tentang komplikasi penyakit. Chusairi (2004) melakukan penelitian terhadap penderita kanker stadium akhir di poli perawatan paliatif, dan menghasilkan simpulan bahwa gambaran perilaku kesehatan pada pasien poli perawatan paliatif mempunyai karakteristik sebagai berikut: (1) Penyakit yang berada pada tahap terminal membuat mereka memutuskan cara pengobatan medis maupun non-medis untuk memperingan beban sakit baik disease maupun illnessnya (2) Para pasien poli perawatan paliatif sudah tidak banyak diminta untuk memutuskan sendiri cara pengobatannya, namun pendapat keluarga dan other person or significant person lebih berperan dalam pengambilan keputusan health seeking behavior-nya (3) Pertimbangan faktor internal seperti personal reference, kepercayaan dorongan spiritual dan sikap tetap memberikan kontribusi
positif dalam
health seeking
behavior
(4)
Pertimbangan faktor eksternal seperti kondisi keuangan, budaya, waktu dan fasilitas juga merupakan sesuatu hal yang tidak pernah diabaikan dalam health seeking behavior. Beberapa peneliti juga sempat membahas mengenai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
perilaku keluarga terhadap pasien skizofrenia. Salah satunya yaitu penelitian dari Wardhani (2013) yang melihat proses penerimaan keluarga terhadap pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap. Hasil penelitian menunjukan bahwa hanya satu dari tiga keluarga pasien yang mau menerima secara penuh pasien skizofrenia. Hal tersebut dipengaruhi oleh permasalahan yang dihadapi ketiga keluarga yaitu: 1) Pemahaman dan informasi terkait gangguan jiwa, 2) Cara merawat pasien, 3) Penilaian lingkungan terhadap keluarga, 4) Penilaian keluarga terhadap pasien. Penulis sudah mencari jurnal online maupun jurnal cetak, namun sejauh ini penulis hanya sedikit menemukan jurnal atau hasil penelitian yang mengkaitkan pemasungan dengan perilaku kesehatan. Lestari, Choiriyyah, Mathafi (2014) melakukan penelitian untuk melihat kecenderungan atau sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung, dan menghasilkan kesimpulan bahwa 50% keluarga penderita gangguan jiwa yang datang ke poliklinik RSJ mempunyai sikap kurang mendukung terhadap tindakan pasung karena alasan kasihan, menyiksa, dengan dipasung penderita tidak bisa sembuh, bisa melukai, dan tidak bisa bergerak bebas. Sedangkan keluarga yang mempunyai kecenderungan untuk memasung merasa bahwa pasung baik dilakukan jika pasien mengamuk, jika kondisi ekonomi tidak ada, dan bersifat sementara untuk mengendalikan emosi pasien. Sehingga tidak mengamuk, membahayakan, dan mengganggu orang lain. Minas dan Diatri (2008) menjelaskan bahwa sedikit aktivis dan organisasi yang tertarik untuk meneliti penomena pemasungan, hal tersebut karena akses yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
terjangkau. Diharapkan jika penelitian berfokus pada perilaku kesehatan medis pasien, hasil ini dapat menambahkan informasi mengenai dinamika perilaku yang dilakukan keluarga selama menggunakan pengobatan medis dan faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis dan tetap memasung pasien skizofrenia secara lebih mendalam, yang ditinjau dari faktor predisposing, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung. B. Rumusan Masalah Berdasarkan paparan latar belakang, maka ditemukan dua pertanyaan yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu: 1. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi perilaku kesehatan yang ditinjau dari faktor predisposing, enabling, dan reinforcing causes in educational diagnoses and evaluation pada keluarga yang memiliki anak penderita skizofrenia yang di pasung? 2. Bagaimana perilaku kesehatan medis dan dinamika perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anak menderita gangguan skizofrenia yang dipasung? C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah melihat gambaran dari perilaku kesehatan medis pada keluarga yang memiliki anggota keluarga penderita skizofrenia yang dipasung, pengalaman dan proses yang jelas selama melakukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
pengobatan medis, serta mengetahui alasan keluarga dalam pengambilan keputusan akhir untuk memasung. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber literatur terkait dengan tema pemasungan dan perilaku kesehatan medis. Selain itu, terkait dengan faktor minimnya penelitian mengenai kasus pemasungan, penulis berharap penelitian ini bisa menjadi tambahan informasi jika nantinya penelitian berikutnya ingin mengembangkan topik serupa. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Praktisi Psikologis Diharapkan hasil dari penelitian mampu memberikan gambaran permasalahan-permasalahan pada pasien skizofrenia yang ada di lapangan, sehingga harapannya para praktisi psikologis bisa memberikan penanganan yang sesuai dengan permasalahan yang terjadi di lapangan. b. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa Diharapkan hasil tersebut dapat membantu pihak rumah sakit untuk memperbaiki program yang sudah dibentuk selama ini, dengan melihat faktor-faktor yang berpengaruh dalam proses pengambilan keputusan masyarakat mengenai penggunaan dari fasilitas kesehatan. Sehingga layanan kesehatan bisa menentukan strategi pendekatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
yang lebih tepat dalam upaya mengubah perilaku kesehatan masyarakatnya yang masih tetap memasung pasien. c. Bagi Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung Diharapkan hasil penelitian bisa memberikan informasi dan gambaran kepada keluarga, bahwa perilaku pemasungan tidak baik untuk dilakukan kepada pasien skizofrenia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bagian ini, penulis pertama-tama akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan penyakit skizofrenia, gejala-gejala, kategorisasi jenis skizofrenia dan etiologinya. Kemudian, penulis akan menjelaskan apa yang dimaksud dengan perilaku kesehatan medis, khususnya faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan medis. Selanjutnya, pembahasan akan menerangkan mengenai definisi pemasungan dan jenis-jenisnya. Pada bagian terakhir, penulis akan menyampaikan kerangka konsep penelitian ini.
A. Skizofrenia 1. Definisi Gangguan Skizofrenia Bleuler dalam Semiun (2006) menjelaskan bahwa skizofrenia diartikan sebagai “kepribadian terbelah”. Schizophrenia berasal dari bahasa Yunani dan terdiri dari dua kata, yakni schistos = terbelah dan phren = otak. Dengan demikian, skizofrenia berarti otak terbelah atau kepribadian terbelah. World Health Organitation (2013) menjelaskan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental parah yang secara tipikal muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal. Gangguan ini ditandai dengan distorsi persepsi dan pikiran, serta emosi yang tidak sesuai. Gangguan ini juga meliputi fungsi-fungsi dasar yang pada orang normal, memberikan perasaan individualis, keunikan, dan pengarahan diri. Perilakunya benar-
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
benar terganggu selama tahap munculnya gangguan, yang mengarah pada konsekuensi sosial yang tidak menyenangkan, kepercayaan salah yang sangat kuat dan tanpa realita. White mengatakan bahwa ciri yang sangat membedakan skizofrenia dari psikosis-psikosis lain ialah sikap aneh terhadap kenyataan, kurangnya perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan menjadi sekunder dibandingkan perhatiannya terhadap hal-hal lainnya (White, 1948 dalam Semiun, 2006) Berdasarkan beberapa pengertian skizofrenia yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa skizofrenia adalah gangguan mental parah yang cenderung muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal. Gangguan ini ditandai dengan distorsi persepsi dan pikiran, serta emosi yang tidak sesuai. Perilakunya benar-benar terganggu selama tahap munculnya gangguan. Ditandai dengan sikap aneh terhadap kenyataan, kurangnya perhatian untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan, perhatian untuk
menyesuaikan
diri
dengan
kenyataan
menjadi
sekunder
dibandingkan perhatiannya terhadap hal-hal lainnya. 2. Gejala-Gejala Skizofrenia Gejala-gejala skizofrenia terbagi atas tiga katagori, yaitu gejala positif, negatif, dan disorganisasi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
a. Gejala positif Gejala positif mencakup hal-hal yang berlebihan dan distorsi, seperti halusinasi dan delusi atau waham. Gejala ini, sebagian tersebarnya menjadi ciri suatu episode akut skizofrenia. 1) Delusi atau dikenal juga dengan istilah waham, yaitu keyakinan yang berlawanan dengan kenyataan, beberapa yang mendekati delusi juga dianggap sebagai gejala-gejala positif yang umum pada skizofrenia (Schneider, 1959 dalam Davison, 2006). Gambaran delusi di bawah ini dikutip dari Mellor, 1970 dalam Davison, 2006: a) Pasien yakin bahwa pikiran yang bukan berasal dari dirinya dimasukkan ke dalam pikirannya oleh suatu sumber ekternal. b) Pasien
yakin
bahwa
pikiran
mereka
disiarkan
dan
ditransmisikan sehingga orang lain mengetahui apa yang mereka pikiran. c) Pasien berpikir bahwa pikiran mereka telah dicuri, secara tibatiba dan tanpa terduga, oleh suatu kekuatan eksternal. d) Beberapa pasien yakin bahwa perasaan atau perilaku mereka dikendalikan oleh suatu kekuatan ekstenal. 2) Halusinasi yaitu keadaan dimana penderita yang berhalusinasi mengungkapkan pengalamannya tentang kenyataan secara salah dan sama sekali tidak tepat, mendengar, mencium, atau melihat segala sesuatu yang sebenarnya tidak ada (Yustinus, 2006). Tipe–
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
tipe halusinasi antara lain (dikutip dari Mellor, 1970 dalam Davison, 2006): a) Beberapa pasien skizofrenia menuturkan bahwa mereka mendengarkan pikiram mereka diucapkan oleh suara lain. b)
Beberapa pasien mengklaim bahwa mereka mendengar suarasuara yang saling bedebat.
c)
Beberapa pasien mendengar suara-suara yang mengomentari perilaku mereka.
b. Gejala negatif Gejala negatif skizofrenia mencakup berbagai defisit behavioral, seperti avolition, alogia, anhedonia, afek datar, dan asosialitas. Gejala-gejala ini cenderung bertahan melampaui suatu episode akut dan memiliki efek parah terhadap kehidupan para pasien skizofrenia. Gejala ini juga penting secara prognostik, banyaknya gejala negatif merupakan prediktor kuat terhadap kualitas hidup yang rendah (a.l., ketidakmampuan bekerja, hanya memiliki sedikit teman) dua tahun setelah dirawat dirumah sakit (Ho, 1998 dalam Davison, 2006). 1) Avolition Apati atau avolation merupakan kondisi kurangnya energi dan ketiadaan minat atau ketidakmampuan untuk tekun melakukan apa yang biasanya merupakan aktivitas rutin.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
2) Alogia Merupakan suatu gangguan pikiran negatif, alogia dapat terwujud dalam beberapa bentuk. Seperti miskin isi percakapan, jumlah percakapan yang memadai, namun hanya mengandung sedikit informasi dan cenderung membingungkan serta diulang-ulang. 3) Anhedonia Ketidakmampuan
untuk
merasakan
kesenangan
disebut
anhedonia. Ini tercermin dalam kurangnya minat dalam berbagai aktivitas rekreasional, gagal untuk mengembangkan hubungan dekat dengan orang lain, dan kurangnya minat dalam hubungan seks. Pasien sadar akan gejala-gejala ini dan menuturkan bahwa apa yang biasanya dianggap aktivitas yang menyenangkan tidaklah demikian bagi mereka. 4) Afek Datar Pada pasien yang memiliki afek datar hampir tidak ada stimulus yang dapat memunculkan respons emosional. Pasien menatap dengan pandangan kosong, otot-otot wajah kendur, dan mata mereka tidak hidup. Ketika diajak bicara, pasien menjawab dengan suara datar dan tanpa nada. Afek datar terjadi pada 66 persen dari suatu sampel besar pasien skizofrenia (Sartorius, 1974 dalam Davison, 2006)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
5) Asosialitas Beberapa pasien mengalami ketidakmampuan parah dalam hubungan sosial, yang disebut asodialitas. Mereka hanya memiliki sedikit teman, keterampilan sosial yang rendah, dan sangat kurang berminat berkumpul bersama orang lain. Manifestasi skizofrenia ini sering kali merupakan yang pertama kali mucul, berawal dari masa kanak-kanak sebelum timbulnya gejala-gejala yang lebih psikotik. c. Gejala Disorganisasi Gejala disorganisasi mencakup disorganisasi pembicaraan dan perilaku aneh (bizarre). 1)
Disorganisasi Pembicaraan juga dikenal sebagai ganguan berpikir formal, dan merujuk pada masalah dalam mengorganisasikan berbagai pemikiran dan dalam berbicara sehingga pendengar dapat memahaminya. Pembicaraan juga menjadi terganggu karena suatu hal yang disebut asosiasi longgar, atau keluar jalur (derailment), dalam hal ini pasien dapat lebih berhasil dalam berkomunikasi dengan seorang pendengar namun mengalami kesulitan untuk tetap pada satu topik. Ia tampak seolah terbawa oleh aliran asosiasi yang muncul dalam pikiran yang berasal dari suatu pemikiran sebelumnya. Para pasien memberikan deskripsi atau kondisi tersebut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
2) Perilaku aneh terwujud dalam banyak bentuk. Pasien dapat meledak dalam kemarahan atau konfrontasi singkat yang tidak dapat dimengerti, memakai pakaian yang tidak biasa, bertingkah laku seperti anak-anak atau dengan gaya yang konyol, menyimpan makanan, mengumpulkan sampah, atau melakukan perilaku seksual yang tidak pantas seperti melakukan manstrubasi di depan umum. Mereka tampak kehilangan kemampuan untuk mengatur perilaku mereka dan menyesuaikan dengan berbagai standar masyarakat. Mereka juga menampilkan kesulitan melakukan tugas-tugas sehari-hari dalam hidup. d. Gejala Lain Beberapa gejala lain skizofrenia yang tidak cukup tepat untuk digolongkan ke dalam ketiga lategori yang telah disampaikan. Dua gejala penting dalam kelompok ini adalah katatonik dan afek yang tidak sesuai : 1) Katatonik Beberapa abnormalitas motorik menjadi ciri katatonia. Para pasien dapat melakukan suatu gerakan berulang kali, mengunakan urutan yang aneh dan kompleks antara gerakan jari, tangan, dan lengan, yang sering kali tampaknya memiliki tujuan tertentu. Beberapa pasien
menunjukan
peningkatan
yang
tidak
biasa
pada
keseluruhan kadar aktivitas, termasuk sangat ringan, menggerakan anggota badan secara liar, dan pengeluaran energi yang sangat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
besar seperti yang terjadi pada mania. Di ujung lain spectrum ini adalah imobilitas katatonik : pasien menunjukan berbagai postur yang tidak biasa dan tetap dalam posisi demikian untuk waktu yang sangat lama. 2) Afek yang tidak sesuai Beberapa penderita skizofrenia memiliki afek yang tidak sesuai. Respon-respon emosional individu semacam ini berada di luar konteks, pasien dapat tertawa ketika mendengar kabar bahwa ibunya baru meninggal atau marah ketika ditanya dengan pertanyaan sederhana. Para pasien tersebut dengan cepat berubah dari satu kondisi emosional ke kondisi emosional lain tanpa alasan yang jelas. Meskipun gejala ini cukup jarang terjadi, namun bila benar-benar terjadi, gejala ini memiliki kepentingan diagnostik yang besar karena relatif spesifik bagi skizofrenia. 3. Kriteria diagnostik untuk skizofrenia Berawal dari DSM-III dan berlanjut dalam DSM-IV dan DSM-IVTR, konsep skizofrenia mengalami perubahan besar dari definisi terdahulu yaitu: a. Characteristic sympthoms : terdapat dua atau lebih gejala-gejala berikut ini dengan porsi waktu yang signifikan selama sekurangkurangnya satu bulan:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
1. Waham 2. Halusinasi 3. Disorganisasi bicara 4. Disorganisasi perilaku 5. Gejala-gejala negatif b. Social/occupational dysfungtion: keberfungsian sosial dan pekerjaan menurun sejak timbulnya gangguan. c. Duration: gejala gangguan terjadi sekurang-kurangnya enam bulan, sekurang-kurangnya satu bulan untuk gejala-gejala pada poin pertama. Selebihnya gejala-gejala negatif atau gejala lain pada poin pertama dalam bentuk ringan. d. Para pasien mengalami gejala-gejala gangguan mood secara spesifik dipisahan. Skizofrenia tipe skizoafektif, sekarang dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencakup gangguan gabungan gejala-gejala skizofrenia dan gangguan mood. e. DSM-IV-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi sekurangkurangnya enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut harus mencakup satu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya satu bulan, ditandai dengan adanya minimal dua gejala. Sisa waktu yang diperlukan bagi diagnosis dapat terjadi sebelum atau sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang terjadi pada fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial, kendala dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak sesuai, kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti, gangguan dalam kebersihan dan kerapian, keyakinan yang aneh atau pikiran magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar. f. Beberapa gangguan pada DSM-II dianggap bentuk ringan skizofrenia, sekarang didiagnosis sebagai gangguan kepribadian. Contohnya, gangguan kepribadian skizotipal. 4. Kategori sizofrenia dalam DSM-IV-TR a. Paranoid Type Semiun (2006) menjelaskan bahwa penderita skizofrenia paranoid memperlihatkan ide-ide referensi dan pengaruh, serta delusi dikejarkejar (delusion of persecution) dan kadang-kadang delusi kemegahan (delusion of grandeur. Gangguan ini berkembang agak lambat dan mungkin muncul sedikit dibandingkan reaksi-reaksi skizofrenia lainnya. Ciri khas penderita paranoid adalah murung, mudah tersinggung, dan curiga. b. Disorganized Type Bentuk hebefrenik skizofrenia yang dikemukakan oleh Kraeplin disebut skizofrenia disorganisasi dalam DSMM-IV-TR. Cara bicara mereka mengalami disorganisasi dan sulit dipahami oleh pendengar. Pasien dapat bicara secara tidak runtut, menggabungkan kata-kata yang terdengar sama dan bahkan menciptakan kata-kata baru, sering kali disertai kekonyolan atau tawa. Ia dapat memiliki afek datar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
atau terus-menerus mengalami perubahan emosi yang dapat meledak menjadi tawa atau tangis yang tidak dapat dipahami. Perilaku pasien secara umum tidak terorganisir dan tidak bertujuan. Pasien kadang kala mengalami kemunduran sampai ke titik yang tidak pantas, buang air besar sembarangan, dan benar-benar mengabaikan penampilan (Davison, 2006). c. Catatonic Type Skizofrenia katatonik cenderung bertingkah laku yang tidak masuk akal dan selalu terjadi berulang-ulang, seperti misalnya berjalan mondar-mandir tidak henti-henti, selain itu cenderung terus mengulang kata-kata yang sama. Meskipun tingkah lakunya menunjukan pengunduran diri dari kenyataan, tetapi kemungkinan untuk sembuh jauh lebih besar dibandingkan dengan tipe-tipe skizofrenia yang lain (Semiun, 2006). Dalam reaksi katatonik, penderita berubah-ubah sikap antara keadaan stupor (seperti terbius) dan keadaan gempar serta meledak-ledak. Dalam keadaan stupor, penderita kehilangan segala semangatnya, tetap tidak bergerak selama berjam-jam, berhari-hari, atau bahkan pada kejadiankejadian tertentu bias lebih lama lagi. Ia tidak makan dan tidak menunjukan usaha untuk menunjukan usaha ingin mengendalikan buang air besar atau buang air kecil. Suatu hal yang mengherankan bahwa meskipun ia tampaknya stupor, tetapi ia bisa mengetahui semua yang terjadi di sekitarnya dan kadang-kadang dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
memberikan bukti yang jelas atas apa yang diketahuinya. Kadangkadang negativisme bisa berubah menjadi sikap mudah dipengaruhi dan penderita akan menirukan tingkah laku orang lain dan mengulang secara mekanik kata-kata orang lain atau menjalankan perintah orang lain secara otomatis. Selain itu, pada tahap cerea flexibility, yaitu badan menjadi beku seperti lilin. Ia menderita katalepsi, seperti berada dalam keadaan trance, seluruh badannya menjadi kaku, atau bahkan tidak bias dibengkokkan. Jika ia mengambil posisi tertentu maka ia bertingkah laku demikian bisa sampai berjam-jam atau bahkan berhari-hari. Dari keadaan stupor, penderita beralih kepada keadaan gempar dan meledak-ledak, dan munculnya secara tiba-tiba tanpa adanya peringatan. Ia seperti berada di bawah beban kegiatan yang berat. Ia berbicara gempar dan meledak-ledak tanpa sebab dan tanpa tujuan. Ia bias melakukan tingkah laku seksual yang tidak terkendali, atau perbuatan agresif yang ditunjukan kepada dirinya sendiri, atau terhadap orang-orang lain yang ada disekitarnya. d. Undifferentiated Type Skizofrenia yang tidak terperinci atau undifferentiated type merupakan tipe yang tidak memiliki satu atau lebih dari semua kriteria yang dikemukakan. Skizofrenia yang tidak terperinci tidak memenuhi kriteria umum untuk didiagnosa skizofrenia, tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
katatonik, atau tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia (Maslim, 1998 dalam Semiun 2006). e. Residual Type Orang-orang yang mengalami gangguan skizofrenia residual adalah orang-orang uang sekurang-kurangnya memiliki riwayat episode psikotik yang jelas pada masa lampau dan sekarang memperlihatkan beberapa tanda skizofrenia, seperti emosi yang tumpul, menarik diri dari masyarakat, bertingkah laku eksentrik, atau mengalami gangguan pikiran, tetapi gejala-gejala ini pada umumnya tidak begitu kuat. Selanjutnya, gejala-gejala seperti delusi dan halusinasi mulai terjadi dan hanya samar-samar (Holmes, 1991 dalam Semiun, 2006). Untuk
didiagnosisi
sebagai
skizofrenia
residual
harus
memenuhi semua persyaratan sebagai berikut: (1) gejala negatif dari skizofrenia yang menonjol, misalnya psikomotor lambat, aktivitas menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan tidak ada inisiatif, kuantitas atau isi pembicaraan miskin, modulasi suara, posisi tubuh, serta perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk; (2) Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas pada masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia; (3) Sedikitnya sudah melampaui kurun waktu satu tahun dimana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham (keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata, serta dibangun atas unsur-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
unsur yang tidak berdasarkan logika, curiga) dan halusinasi sangat berkurang (minimal) dan timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia, serta (4) Tidak terdapat dementia atau penyakit atau gangguan otak organik yang lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut (Maslim, 1998 dalam Semiun, 2006). 5. Etiologi Skizofrenia a. Data genetik Sejumlah literatur yang meyakinkan mengindikasi bahwa suatu predisposisi bagi skizofrenia diturunkan secara genetik. Metode keluarga, kembar, dan adopsi digunakan dalam penelitian dan menyimpulkan bahwa skizofrenia diturunkan secara genetik. Selain itu para pasien yang memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga mengalami banyak gejala negatif dibandingkan para pasien yang tidak memiliki riwayat skizofrenia dalam keluarga (Malaspina, 2000 dalam Davison, 2006), menunjukan bahwa gejala-gejala negatif dapat mengandung komponen genetik yang lebih kuat. Dengan demikian, data yang diperoleh melalui metode keluarga mendukung bahwa suatu predisposisi terhadap skizofrenia dapat menurun secara genetik. Meskipun demikian, berbagai studi yang lebih mutakhir terhadap anakanak yang orangtuanya menderita skizofrenia yang dibesarkan oleh orangtua asuh dan orangtua adopsi, ditambah pemantauan terhadap para kerabat anak-anak adopsi yang menderita skizofrenia, hampir
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menghilangkan potensi pengaruh lingkungan yang membingungkan. Faktor-faktor genetik hanya dapat menjadi pemberi predisposisi terhadap skizofrenia. Diperlukan beberapa jenis stress untuk membuat predisposisi menjadi patologi yang dapat diamati. b. Faktor Biokimia Peran faktor-faktor genetik dalam skizofrenia menunjukan bahwa faktor-faktor biokimia perlu diteliti karena melalui kimia tubuh dan proses-proses biologis membuat faktor keturunan tersebut dapat berpengaruh. Penelitian saat ini mengkaji beberapa neurotransmitter yang berbeda, seperti norepinefrin dalam serotonin, dan salah satu faktor yang paling mempengaruhi yaitu, dopamin. Pada awalnya para peneliti berasumsi bahwa skizofrenia disebabkan oleh kelebihan dopamin. Namun, seiring dilakukannya berbagai studi lain, asumsi ini tidak mendapat dukungan, karena jumlah dopamin tidak ditemukan dalam jumlah yang besar pada penderita skizofrenia (Bowers, 1947 dalam Davison, 2006). c. Otak Analisis pasca kematian pada otak pasien skizofrenia merupakan salah satu sumber bukti. Berbagai studi mengungkapkan adanya abnormalitas pada beberapa daerah otak pasien skizofrenia, meskipun abnormalitas spesifik yang dilaporkan bervariasi antar studi, dan terdapat banyak temuan yang saling bertentangan. Temuan yang paling konsisten adalah pelebaran rongga otak yang berimplikasi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
hilangnya beberapa sel otak. Beberapa temuan lain yang cukup konsisten
mengindikasikan
abnormalitas
struktur
pada
daerah
subkortikal temporalimbik, seperti hipokampus dan basal ganglia, dan pada korteks prefrontalis dan temporal (Dwork, 1997; Heckers, 1997; dalam Davison, 2006). Rongga otak yang lebar pada pasien skizofrenia berkorelasi
dengan
neuropsikologis,
kinerja
penyesuaian
yang yang
lemah buruk
dalam
berbagai
sebelum
tes
timbulnya
gangguan, dan respon yang buruk dalam terapi pengobatan (Andresen dkk., 1982; Weinberge dkk., 1980; dalam Davison, 2006) d. Stres Psikologis Stress psikologi berperan penting dengan cara berinteraksi dengan kerentanan
biologis
untuk
menimbulkan
penyakit
ini.
Data
menunjukan bahwa sebagaimana pada banyak gangguan yang telah dibahas, peningkatan stress kehidupan meningkatkan kemungkinan kekambuhan (Hirsch dkk., 1996; Ventura dkk., 1989; dalam Davison, 2006). Para individu yang menderita skizofrenia tampak sangat reaktif terhadap berbagai stressor yang kita hadapi dalam kehidupan seharihari
B. Perilaku Kesehatan Medis Notoadmodjo (2007) menjelaskan bahwa perilaku kesehatan medis merupakan suatu respon dari seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan, penggunaan pelayanan kesehatan medis, pola hidup, maupun lingkungan sekitar yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
mempengaruhinya. Perilaku kesehatan medis adalah seluruh aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati (observable) maupun yang tidak dapat diamati (unobservable) yang berkaitan dengan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan medis. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup mencegah atau melindungi diri dari penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan ke rumah sakit. Oleh sebab itu perilaku kesehatan medis ini pada garis besarnya dikelompokan menjadi dua, yakni: 1. Perilaku orang yang sehat agar tetap sehat dan meningkat. Oleh sebab itu perilaku ini disebut perilaku sehat yang mencakup perilaku-perilaku dalam mencegah atau menghindari penyakit dan meningkatkan kesehatan. 2. Perilaku orang yang sakit atau telah terkena masalah kesehatan, untuk memperoleh penyembuhan atau pemecahan masalah kesehatan. Perilaku ini mencakup tindakan-tindakan yang diambil seseorang bila sakit atau terkena masalah kesehatan untuk memperoleh kesembuhan atau terlepas dari masalah kesehatan. Tempat pencarian kesehatan ini adalah tempat atau fasilitas pelayanan kesehatan modern atau profesional. Lawrence Green (1981) dalam Notoatmodjo (2010) mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan melalui teori PRECEDE dan PROCEED. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yaitu faktor perilaku (behavior causes) dan faktor diluar perilaku (non behavior causes), selanjutnya faktor perilaku dan di luar perilaku tersebut dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yang dirangkum dalam akronim PRECEDE: Predisposing, Enabling, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. Precede ini adalah merupakan arahan dalam menganalisis, mendiagnosis dan evaluasi perilaku untuk intervensi pendidikan (promosi) kesehatan. Precede merupakan fase analisis dan diagnosa masalah. Sedangkan setelah diperoleh analisis dan diagnosa yang jelas, selanjutnya akan dilakukan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi yang dirangkum dalam akronim PROCEED: Policy, Regulatory, Organizational Construct in Educational and Environmental
Development
yang
merupakan
arahan
dalam
perencanaan,
inplementasi, dan evaluasi pendidikan kesehatan. Apabila Preceed merupakan fase diagnosis masalah, maka Proceed adalah perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi promosi kesehatan. Peneliti akan berfokus pada proses diagnosa terhadap perilaku kesehatan medis pada keluarga. Sehingga peneliti mencoba melihat dari teori Precede model, yang diuraikan dari 3 faktor, yakni: 1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam : a. Pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung jawab individu terhadap penyakit tersebut b. Pengalaman tentang pengobatan yang sama sebelumnya termasuk efek samping dari obat tersebut c. Persepsi mengenai sehat dan sakit, tingkat keparahan. 2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam: a. Jarak tempuh ke tempat pelayanan kesehatan (dokter, bidan, apotek) b. Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
c. Ketersedian alat transportasi yang dapat dimanfaatkan untuk menuju ke tempat pelayanan kesehatan 3.
Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factor) adalah faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau insentif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan.
Disimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, tradisi. Disamping itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku. Selanjutnya, peneliti akan berfokus pada dinamika kesehatan medis yang dilakukan oleh keluarga pasien. Dinamika dari perilaku kesehatan medis akan menekankan mengenai respon seseorang yang berkaitan dengan masalah kesehatan dan respon terhadap penggunaan pelayanan kesehatan atau yang disebut dengan perilaku kesehatan. Perilaku kesehatan atau respon terhadap penyakit cenderung berbentuk aktivitas atau kegiatan seseorang yang berkaitan dengan peningkatan atau pemeliharaan kesehatan medis pasien. Perilaku kesehatan medis disini akan dikelompokkan menjadi dua, yaitu perilaku pencarian kesembuhan atau pemecahan masalah menggunakan pengobatan medis dan perilaku tidak mengobati atau tidak mencari pengobatan medis. Perilaku kesehatan atau respon tersebut akan dikaitkan dengan faktor-faktor yang membentuk respon perilaku tersebut, sehingga diperoleh dinamika kesehatannya. Perilaku kesehatan pada penelitian ini dilakukan oleh keluarga pasien. Hal tersebut dikarenakan perilaku kesehatan yang terjadi pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
pasien skizofrenia cukup berbeda dari pasien-pasien yang terkena penyakit, yang pada umumnya merasakan gejala dari sakit yang diderita. Pasien skizofrenia cenderung tidak merasakan sakit atau merasakan sesuatu dalam tubuhnya, sehingga tidak mampu secara mandiri untuk mengambil keputusan dalam mencari pengobatan. Sehingga hasil penelitian ini lebih melihat bagaimana perilaku kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien dalam merespon sakit yang diderita oleh pasien, karena perilaku kesehatan pasien merupakan perilaku yang dikondisikan oleh keluarg . C. Pelayanan Kesehatan Departemen kesehatan (2009) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan merupakan setiap upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersamaan dalam suatu organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perorangan, keluarga, kelompok, ataupun masyarakat. Sesuai dengan batasan seperti di atas, mudah dipahami bahwa bentuk dan jenis pelayanan kesehatan yang ditemukan banyak macamnya Azwar (1996) menjelaskan bahwa pemanfaatan pelayanan kesehatan merupakan penggunaan fasilitas pelayanan yang disediakan baik dalam bentuk rawat jalan, rawat inap, kunjungan rumah oleh petugas kesehatan ataupun bentuk kegiatan lain dari pemanfaatan pelayanan tersebut yang didasarkan pada ketersediaan dan kesinambungan pelayanan, penerimaan masyarakat dan kewajaran, mudah dicapai oleh masyarakat, terjangkau serta bermutu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Azwar (1996) juga menjelaskan bahwa suatu pelayanan kesehatan harus memiliki berbagai persyaratan pokok yang memberi pengaruh kepada masyarakat dalam menentukan pilihannya terhadap penggunaan jasa pelayanan kesehatan. Beberapa diantaranya persyaratan pokok pelayanan kesehatan:
1.
Ketersediaan Fasilitas Pelayanan yang baik adalah pelayanan kesehatan yang tersedia di masyarakat (acceptable) serta berkesinambungan (sustainable). Artinya semua jenis pelayanan
kesehatan
yang
dibutuhkan
masyarakat
ditemukan
serta
keberadaanya dalam masyarakat adalah ada pada setiap saat dibutuhkan 2. Kewajaran dan Penerimaan Masyarakat Pelayanan kesehatan yang baik adalah bersifat wajar (appropriate) dan dapat diterima (acceptable) oleh masyarakat. Artinya pelayanan kesehatan tersebut dapat mengatasi masalah kesehatan yang dihadapi, tidak bertentangan dengan adat istiadat, kebudayaan, keyakinan, dan kepercayaan masyarakat, serta bersifat tidak wajar, bukanlah suatu keadaan pelayanan kesehatan yang baik. 3. Mudah Dicapai oleh Masyarakat Pengertian dicapai yang dimaksud disini terutama dari letak sudut lokasi mudah dijangkau oleh masyarakat, sehingga distribusi sarana kesehatan menjadi sangat penting. Jangkauan fasilitas membantu untuk menentukan permintaan
yang
efektif.
Bila
fasilitas
mudah
dijangkau
dengan
menggunakan alat transportasi yang tersedia maka fasilitas ini akan banyak dipergunakan. Tingkat penggunaan di masa lalu dan kecenderungan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
merupakan indikator terbaik untuk perubahan jangka panjang dan pendek dari permintaan pada masa akan datang. 4. Terjangkau Pelayanan kesehatan yang baik adalah pelayanan yang terjangkau (affordable) oleh masyarakat, dimana diupayakan biaya pelayanan tersebut sesuai dengan kemampuan ekonomi masyarakat. Pelayanan kesehatan yang mahal hanya mungkin dinikmati oleh sebagian masyarakat saja. 5. Mutu Mutu (kualitas) yaitu menunjukan tingkat kesempurnaaan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan dan menunjukan kesembuhan penyakit secara keamanan tindakan yang dapat memuaskan para pemakai jasa pelayanan yang sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
D. Keluarga Murdock dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan keluarga adalah anggota yang terdiri dari lelaki dewasa, dan perempuan dewasa dengan kesepakatan berhubungan seksual dan bisa mempunyai anak. Mereka juga tinggal dalam satu rumah. Selain itu, Wilk dan Netting (1984), Hamel (1984) dan Carter (1984) dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelasakan bahwa keluarga adalah pengelompokan kerabat yang tak harus tinggal satu tempat. Kondisi ini amat mungkin terjadi dalam era modern saat ini, yang tingkat mobilitas tinggi dan letak kantor dengan rumah amat jauh, sehingga sebuah keluarga bisa terpecah selama hari kerja dan berkumpul kembali di akhir pekan. Selain itu, Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
terdapat dua bentuk keluarga:
yaitu 1) keluarga batih/ inti (nuclear family)
merupakan bentuk umum dari sebuah keluarga. Bentuk ini terlihat dari komposisinya yang paling dasar, yakni ada ayah, ibu, dan anak yang semuanya sedarah.2) keluarga besar (extended family), yaitu keluarga yang merujuk pada keluarga inti dengan penambahan anggota keluarga selain anak, semisal paman, bibi, serta orangtua dari pasangan suami istri (pasutri). Murdock (1947), Georgas (2006) dalam Silalahi dan Meinarno
(2010)
menjelaskan bahwa keluarga memiliki dua fungsi dasar, yakni sebagai
1)
Pendukung dalam seksualitas, dimana secara alamiah tubuh manusia sebagai salah satu mamalia primate memiliki kemampuan menghasilkan hormon-hormon seks. Bagi manusia yang memiliki seperangkat aturan sosial menjadikan seks sebagai area yang privat dan dikendalikan oleh masyarakat. Bentuk pengendalian itulah yang dinamakan pernikahan yang menjadi dasar terbentuknya keluarga. Selanjutnya keluarga berfungsi untuk 2) memelihara anak. Menurut Mead (1936), Georgas (2006) Koentjaraningrat (1991) Roopnarine (2005) dalam Silalahi dan Meinarno (2010) menjelaskan bahwa memelihara anak jika dalam konteks sederhana adalah hanya berkisar pada pemeliharaan fisik, seperti memberikan makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik, dan sebagiannya. Akan tetapi ada fungsi lain, yaitu membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat. Untuk itu, proses pemeliharaan anak juga mengandung sosialisasi dan enkulturasi pada anak, secara khusus ditekankan oleh ibu, tetapi bisa juga pihak lain seperti nenek, bibi, dan kakak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Berdasarkan beberapa informasi yang diperoleh mengenai pengertian dan fungsi dari keluarga, dapat disimpulkan bahwa keluarga merupakan pengelompokan kerabat yang cenderung tinggal dalam satu rumah, yang cenderung memiliki fungsi untuk saling membantu dalam pemberian informasi, pemeliharaan fisik, seperti memberikan makan, menjaganya dari gangguan luar yang berupa fisik, dan sebagiannya. Fungsi lain keluarga, yaitu membentuk karakter dan perilaku anak untuk bisa hidup di kalangan yang lebih luas, yakni masyarakat.
E. Pemasungan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia pasung adalah alat untuk menghukum orang, berbentuk kayu apit atau kayu berlubang, dipasangkan pada kaki, tangan, atau leher; sedangkan memasung artinya (1) membelenggu seseorang dengan pasung; memasang pasung (2) memasukkan ke dalam kurungan (penjara); (3) membatasi (menghambat) ruang gerak. Berdasarkan pengertian tersebut tentu saja pemasungan itu merampas kebebasan seseorang dengan perlakuan yang tidak manusiawi sehingga melanggar hak asasi manusia. Menurut Suharto (2014), pasung merupakan suatu tindakan memasang sebuah balok kayu pada tangan dan/atau kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan. Pemasungan bisa diartikan sebagai segala tindakan yang dapat mengakibatkan kehilangan kebebasan seseorang akibat tindakan pengikatan dan pengekangan fisik walaupun telah ada larangan terhadap pemasungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
Di Indonesia, kata pasung mengacu kepada pengekangan fisik atau pengurungan terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya (Broch, 2001, dalam Minas & Diatri, 2008) Berdasarkan beberapa pengertian pemasungan yang telah diuraikan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemasungan adalah tindakan untuk menghukum orang terhadap pelaku kejahatan, orang-orang dengan gangguan jiwa dan yang melakukan tindak kekerasan yang dianggap berbahaya, dengan cara memasang sebuah balok kayu pada tangan dan kaki seseorang, diikat atau dirantai, diasingkan pada suatu tempat tersendiri di dalam rumah ataupun di hutan, sehingga cenderung membatasi atau menghambat ruang gerak.
F. Perilaku Kesehatan Medis Keluarga Pada Penderita Skizofrenia Menurut penelitian Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013), skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang cenderung menahun dan butuh pengobatan yang bertahap. Dalam hal ini keluarga menjadi satu-satunya sumber pendukung bagi perawatan pasien gangguan skizofrenia ketika berada di tengah masyarakat (Maldonado, Urizar, & Kavanagh, 2005; Thompson, 2007; dalam Wuryaningsih, Yani, dan Helena, 2013). Menurut penelitian Wardhani (2013) perilaku kesehatan keluarga yang memiliki penerimaan yang baik terhadap pasien skizofrenia ditunjukan
melalui
kepasrahan,
kepedulian
dan
menyerahkan
penanganan
pengobatan sepenuhnya kepada rumah sakit, maupun pihak-pihak yang bersedia membantu keluarga dalam mengatasi skizofrenia. Hal ini didukung penelitian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Soekarta (2004) dalam Wuryaningsih, Yani, dan Helena (2013) yang menjelaskan bahwa keluarga berupaya menyediakan waktu untuk berkomunikasi, sering berbincang-bincang, bercanda, mengadakan rekreasi bersama dapat meringankan beban psikologis. Keluarga berkomitmen dalam memberikan dukungan dan mendampingi pasien untuk patuh dalam pengobatan. Namun disisi lain, tidak jarang beberapa keluarga terkadang menganggap kehadiran penderita dirasakan sebagai beban keluarga (Arif, 2006). Menurut penelitian Drapalsky, et al (2008) menjelaskan bahwa keluarga sering merasa kewalahan dan terbebani merawat pasien dengan gangguan jiwa berat yang memiliki risiko perilaku kekerasan. Sekitar 36 % keluarga merasa terstigma karena memiliki pasien gangguan jiwa di rumahnya dan 8% di antaranya enggan mencari bantuan pelayanan kesehatan akibat stigma negatif dari lingkungan. Menurut penelitian Wardhani (2013) bentuk perilaku penolakan kesehatan keluarga terhadap pasien skizofrenia berupa keluarga tidak mencari informasi, merawat dengan merantai kaki, mengasingkan dan berperilaku kasar selama penderita skizofrenia berada dirumah, dan keluarga menolak untuk menjenguk ke rumah sakit jiwa. Pada tahap marah perilaku keluarga berupa perkataan yang kurang menyenakan keluarga kepada orang lain, pergi meniggalkan pasien skizofrenia dirumah sakit.
G. Keunikan kasus perilaku kesehatan medis yang mengambil keputusan untuk memasung pasien di Bali. Hasil penelitian Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menjelaskan bahwa penderita gangguan jiwa berat bisa kembali ke masyarakat, bekerja dan hidup normal
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
sebagaimana masyarakat pada umumnya. Hanya saja, proses pemulihan tersebut tidak selalu berjalan lurus dan lancar, kadang ada proses naik turunnya. Agar proses pemulihan berjalan dengan baik, diperlukan dukungan dari berbagai pihak, utamanya dukungan dari keluarga (atau orang dekat), tenaga kesehatan, kawan sesama penderita gangguan jiwa dan masyarakat sekitar. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menambahkan bahwa keluarga adalah orang-orang yang sangat dekat dengan pasien dan dianggap paling banyak tahu kondisi pasien serta dianggap paling banyak memberi pengaruh pada pasien. Sehingga keluarga sangat penting artinya dalam perawatan dan penyembuhan pasien. Berikut adalah hasil cerita singkat yang dijumpai penulis berkaitan dengan penanganan pasien skizofrenia di salah satu seminar bersama caregiver pasien skizofrenia pada tanggal 20 Juni, 2015: “Saya sebagai seorang ayah sekaligus caregiver merasa sangat berperan dalam kesembuhan anak saya. Saya merasa bahwa kuat atau lemahnya saya sebagai caregiver, dan kuat lemahnya dukungan sosial terhadap anak saya menjadi pengaruh terhadap kesembuhan anak saya. Semakin kuat saya dan keluarga memberikan dukungan kepada anak saya, saya merasa perubahan yang lebih positif pada anak saya. Saya pernah menyerah menghadapi anak saya, dengan tidak
menghiraukannya.
Tidak
mengingatkan
untuk
meminum obat lagi. Namun hal tersebut membuat penyakit anak saya semakin sering kambuh, saat itu saya merasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
bahwa dukungan sosial sangat mempengaruhi kesembuhan anak saya” Hal tersebut menunjukan bahwa pasien skizofrenia bisa beraktivitas kembali, namun membutuhkan penanganan yang khusus. Namun tidak jarang beberapa penderita skizofrenia tidak mendapatkan dukungan yang memadai. Salah satunya adalah pemasungan. Kasus pemasungan sangat banyak terjadi di Indonesia. Menurut survei Kementerian Sosial pada 2008, dari sekitar 650 ribu penderita gangguan jiwa berat di Indonesia, sedikitnya 30 ribu dipasung. Lestari, Choiriyyah, dan Mathafi (2013) menjelaskan bahwa pemasungan berarti tanpa penanganan. Dalam kondisi tanpa penanganan dan dipasung jelas akan memperparah penderitaan pasien skizofrenia. Penulis juga memperoleh informasi dari cerita singkat yang berkaitan dengan permasalahan mengenai pemasungan di provinsi Bali. Permasalahan yang diceritakan oleh seorang pengurus Badan Kesehatan Masyarakat di Rumah Sakit Jiwa Bangli, pada tanggal 14 Agustus, 2015. Informasi ini didapatkan ketika ia melakukan kegiatan penanganan pasien skizofrenia yang dipasung: ”Saya dan teman-teman sudah menginformasikan bahwa anak mereka butuh perawatan dan pengobatan, kami juga menjelaskan terdapat bantuan dana gratis untuk anaknya yang menderita gangguan jiwa, saya mengatakan bahwa anaknya bisa dirawat dirumah sakit dengan gratis selama tiga bulan untuk penanganan awal, namun keluarga masih tetap menolak dan membiarkan anaknya dipasung. Karena
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
penolakan yang mereka lakukan akhirnya membuat kami selalu turun kelapangan setiap dua bulan sekali untuk pemerikasaan kesehatan pada anaknya” Kasus tersebut menjadikan perilaku kesehatan medis keluarga penting untuk diteliti karena terdapat perilaku kesehatan yang berbeda pada keluarga yang memiliki gangguan skizofrenia yang mengalami pemasungan. Dua kasus tersebut menjelaskan bahwa keluarga telah mengetahui bahwa penderita skizofrenia membutuhkan bantuan kesehatan dan pengobatan, namun beberapa keluarga memilih untuk berhenti menggunakan pengobatan dan tetap memasung penderita skizofrenia. Padahal kita ketahui bahwa pada umumnya bila seseorang menderita penyakit seharusnya mendapatkan pengobatan. World Health Organitation (2002), juga menegaskan bahwa perawatan kesehatan yang dapat diberikan keluarga pada pasien yaitu mendampingi pasien melakukan pengobatan, memberikan dorongan yang positif, dan konsisten dalam merawat pasien. Namun berbeda dengan kasus pemasungan yang terjadi. Keluarga telah mendapatkan informasi bahwa anaknya sakit dan membutuhkan pengobatan, namun keluarga tetap melakukan pemasungan. Penulis berasumsi bahwa terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab keluarga tidak melanjutkan pengobatan medis dan memasung pasien. Notoatmojo (2013) menjelaskan bahwa perilaku seseorang dalam menangani penyakit dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pengetahuan, kepercayaan, sikap, sarana dan prasarana, pengaruh yang diberikan oleh orang-orang dan budaya. Sehingga dengan mengetahui proses selama perilaku kesehatan medis berlangsung pada keluarga pasien dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
membantu mengetahui bagaimana persepsi keluarga terhadap sakit yang diderita oleh pasien. Hal tersebut diharapkan akan membantu melihat cara pandang keluarga terhadap penyakit yang diderita oleh pasien dan cara keluarga mengatasi penyakit, melalui jenis pengobatan yang dipilih. Selain itu, dengan melihat proses yang dilakukan selama melakukan pengobatan medis, besar harapan penelitian ini akan mengetahui hal-hal yang membentuk perilaku keluarga dalam mengambil keputusan untuk memasung. Sehingga bisa membantu mengantisipasi perilaku pemasunganpemasungan yang akan terjadi pada penderita skizofrenia lainnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Desain Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Poerwandari (2015) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif merupakan studi interpretif yang tujuannya lebih kepada suatu usaha untuk menangkap esensi, mengeksplorasi, dan menjelaskan suatu masalah secara mendalam dari sudut pandang peneliti. Creswell (2013) menambahkan bahwa penelitian kualitatif berusaha untuk mendeskripsikan dan menginterpretasi tujuan dan maksud dari suatu fenomena ataupun pengalaman personal yang dialami oleh subjek penelitian. Penelitian ini menggunakan analisis isi kualitatif (AIK), yaitu penafsiran secara subjektif dari isi data yang berupa teks dengan proses klasifikasi sistematik berupa coding dan pengidentifikasian berbagai tema dan pola. Selanjutnya jenis penelitian yang digunakan adalah case study research atau penelitian studi kasus. Creswell (2013) menjelaskan bahwa studi kasus merupakan pendekatan kualitatif yang penelitiannya
bertujuan
untuk
mengeskplorasi
kehidupan
nyata,
melalui
pengumpulan data yang detail dan mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi atau sumber informasi majemuk, dan melaporkan deskripsi kasus dan tema kasus tersebut. Metode studi kasus juga menyediakan ide dan hipotesis yang baru dan kesempatan untuk mempelajari fenomena yang langka. Beberapa peristiwa tampaknya secara alamiah jarang terjadi, sehingga kita dapat mendeskripsikannya
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
hanya melalui studi yang intensif terhadap kasus tersebut (Shaughnessy, Zechmeister, & Zechmeister, 2012). Pendekatan studi kasus sangat tepat digunakan pada penelitian ini karena perilaku pemasungan pada penderita skizofrenia merupakan perilaku yang melanggar Hak Asasi Manusia (HAM), dipandang tidak manusiawi, dan menambah siksaan fisik dan psikis, namun perilaku tersebut tetap dilakukan oleh beberapa keluarga yang memiliki anak skizofrenia. Hal tersebut menjadikan kasus ini sangat unik karena keluarga mengetahui bahwa perilaku pemasungan tidak baik untuk dilakukan, dan keluarga sudah mengetahui bahwa pasien harus diberikan penanganan medis, tetapi keluarga tetap menolak mencari pengobatan. Harapannya peneliti mampu memfokuskan pada sejumlah kecil masalah penting atau analisis tema, dan memahami kompleksitas kasus tersebut melalui sudut pandang perilaku kesehatan medis pada keluarga, sehingga penggunaan strategi kualitatif case study research mampu mengumpulkan data secara detail mengenai kasus pemasungan tersebut dan hasil analisis kasus pada penelitian ini bisa dijadikan pembelajaran terhadap kasuskasus pemasungan lainnya.
B. Fokus Penelitian Creswell (2013) menjelaskan bahwa dalam merencanakan studi kasus, peneliti sebaiknya mengembangkan matriks pengumpulan data, hal tersebut dikarenakan banyaknya informasi yang dapat dikumpulkan tentang kasus tersebut. Sehingga peneliti perlu menyusun batasan yang jelas untuk kasusnya. Sehingga fokus pada penelitian ini adalah batasan penelitian.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Adapaun dua batasan pada penelitian ini adalah : 1. Melihat dinamika perilaku kesehatan selama menggunakan pengobatan medis hingga berhenti pada keluarga yang memiliki anak skizofrenia yang dipasung. 2. Melihat faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan keluarga yang berhenti menggunakan pengobatan medis dan memilih untuk memasung penderita skizofrenia. Diharapkan dengan dibuatnya batasan penelitian ini, peneliti bisa memperoleh data sesuai dengan ruang lingkup yang jelas dan tidak keluar dari tujuan utama.
C. Partisipan Penelitian 1. Karakteristik Subjek Penelitian Karakteristik subjek pada penelitian ini adalah keluarga yang memiliki anggota keluarga (pasien) menderita skizofrenia, yang berhenti menggunakan pengobatan medis dan dipasung. Perilaku memasung yang dimaksud dalam penelitian ini adalah membelenggu pasien dengan memasang sebuah balok kayu pada tangan atau kaki pasien, memasukan ke dalam kurungan, membatasi ruangan gerak pasien. Pada penelitian ini, peneliti memilih keluarga sebagai narasumber penelitian dengan alasan karena proses pemasungan yang dilakukan keluarga adalah bentuk perilaku kesehatan yang dikondisikan oleh keluarga, bukan keinginan penderita skizofrenia untuk dipasung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
2. Jumlah Subjek Penelitian Partisipan dalam penelitian ini berjumlah tiga keluarga. Hal tersebut dikarenakan sejauh ini, subjek baru menemukan tiga keluarga yang memiliki karakteristik yang telah peneliti tentukan sebelumnya. Selain itu, dipengaruhi juga dengan keterbatasan responden yang bersedia untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Peneliti memilih tiga keluarga yang pernah menggunakan pengobatan medis dan berhenti dan memilih untuk memasung anaknya sampai saat ini. 3. Lokasi Pengambilan Data Lokasi pengambilan data adalah di daerah Bali. Alasan peneliti menggunakan lokasi ini sebagai pengambilan data, sebab penulis cenderung lebih mudah menemukan responden, lebih mudah melakukan pendekatan terhadap keluarga, dan selain itu jumlah pemasungan yang tercatat cukup tinggi di Bali.
D. Instrumen Penelitian Data dari fenomena tersebut didapatkan dari wawancara mendalam semi terstruktur secara personal dengan keluarga penderita skizofrenia yang dipasung. Wawancara akan dilakukan dengan mengikuti alur cerita dari partisipan. Wawancara semi terstruktur digunakan untuk mendapatkan data secara personal. Pertanyaan yang akan ditanyakan kepada partisipan adalah mengenai proses dari pengambilan keputusan dalam memilih jenis pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
apa yang digunakan, hingga respon dan pengalaman keluarga terhadap jenis pengobatan yang telah digunakan. Pertanyaan ini diharapkan menjadi sumber awal informasi untuk memperoleh respon keluarga terhadap penyakit skizofrenia yang diderita oleh pasien, sehingga peneliti memahami bagaimana penyakit tersebut dipersepsikan oleh keluarga dan mengetahui bagaimana usaha keluarga untuk menangani pasien. Selain itu, peneliti mencoba mencari tahu mengenai
pengalaman-pengalaman
keluarga
selama
merawat
pasien
skizofrenia selama melakukan pengobatan medis dan melihat bagaimana keluarga mencari cara untuk mendapatkan kesembuhan dari sakit yang diderita oleh anaknya, pertanyaan tersebut diharapkan mampu memaksimalkan datadata mengenai proses pengobatan yang dilakukan oleh keluarga pasien. Peneliti juga ingin menanyakan mengenai faktor-faktor yang membentuk perilaku kesehatan keluarga, seperti faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung jawab individu terhadap penyakit tersebut. Faktor pemungkin (enabling factors), yang terwujud dalam jarak tempuh, ketersediaan sarana pelayanan kesehatan, ketersedian alat transportasi. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors), yaitu faktor sesudah perilaku yang memberikan reward atau intensif berkelanjutan bagi perilaku dan berkontribusi bagi persistensi atau pengulangan. Pertanyaan ini ingin mengetahui hal-hal apa saja yang mempengaruhi keluarga untuk mengakhiri pengobatan medis dan memilih untuk memasung pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
E. Prosedur Pengumpulan Data 1. Peneliti mencari dan menentukan partisipan yang memiliki anak mengalami pemasungan dan bersedia membagikan informasi kepada peneliti secara personal. 2. Pembahasan dan penandatanganan informed consent. Informed consent berisi identitas peneliti, tujuan penelitian, partisipan penelitian, metode pengambilan data, hak dan kewajiban partisipan, metode penyimpanan data, kerahasiaan data, tanggung jawab penelitian, dan penanggung jawab penelitian.
Peneliti
juga
membicarakan
bahwa
partisipan
berhak
membicarakan apapun yang diinginkan sebanyak atau sesedikit yang partisipan inginkan sejauh partisipan merasa nyaman. Partisipan juga berhak menghentikan wawancara bila merasa tidak menginginkan lagi atau merasa tidak nyaman. 3. Peneliti menggunakan teknik semi structured interview. Dalam teknik ini peneliti memiliki gambaran faktor-faktor yang akan dikaji secara lebih mendalam. Peneliti telah membuat panduan wawancara sebagai acuan. Dimana wawancara dimulai dari aspek yang bersifat umum dan diarahkan menjurus ke aspek pengalaman yang bersifat khusus. 4. Melakukan member checking agar frase-frase yang diolah maknanya, yang diperoleh dari wawancara, tidak meleset dari pemaknaan personal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
F. Metode Analisis Data Analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilih-milihnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesiskan, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain (Bogdan, Biklen, dalam Moleong, 2010). Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini adalah: 1. Pada tahapan pertama data mentah yang diperoleh dari hasil rekaman akan diubah menjadi bentuk transkrip verbatim. Data mentah akan ditajamkan, dalam artian data-data yang kurang relevan atau dipandang tidak terkait akan dihilangkan. Hal tersebut akan membantu untuk menemukan tematema umum yang diberikan pada proses kategorisasi. Pada penelitian ini, peneliti mencoba untuk menajamkan data-data yang terkait dengan proses dari pengambilan keputusan dalam memilih jenis pengobatan apa yang digunakan, pengalaman keluarga terhadap jenis pengobatan, pengalaman keluarga selama merawat pasien skizofrenia, bagaimana keluarga mencari cara untuk mendapatkan kesembuhan dari sakit yang diderita oleh anaknya, serta faktor-faktor yang membentuk perilaku kesehatan keluarga. 2. Setelah data yang relevan ditemukan, data akan disusun sedemikian rupa. Peneliti akan melakukan penomeran pada baris-baris transkrip tersebut. Kemudian mengidentifikasi permasalahan dalam masing-masing kasus, kemudian mencari tema umum yang mendahului kasus tersebut. Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada beberapa kasus yang menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
permasalahan utama, seperti respon keluarga terhadap jenis pengobatan yang digunakan dan permasalahan yang dihadapi selama merawat pasien. Hasil identifikasi permasalahan tersebut diharapkan mampu menemukan tema-tema umum yang berkaitan dengan proses penanganan kesehatan medis pasien dan faktor-faktor yang melatarbelakangi keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis dan memasung pasien. 3. Analisis data dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan. Pada tahapan ini penulis mencoba mencari maksud dan arti yang mungkin tidak nampak jelas pada data dan mencoba mencari pola tertentu dari wawancarawawancara yang dilakukan dengan narasumber lainnya. Selain itu, peneliti mencoba mengidentifikasi maksud dari tema-tema yang kurang jelas, dengan cara membandingkan beberapa teori dan jurnal-jurnal terkait dengan hasil penelitian. Sehingga besar harapan peneliti akan menghasilkan daftar tema, yang berguna untuk mendeskripsikan permasalahan atau kasus yang muncul dari hasil penelitian. 4. Selanjutnya, setelah ditemukan tema yang jelas, peneliti mencoba menghubungkan tema-tema tersebut sehingga menemukan sebuah dinamika perilaku. Pada penelitian ini, peneliti mencoba menghubungkan respon perilaku yang dilakukan oleh keluarga selama menangani pasien skizofenia dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut bisa terbentuk, agar terlihat dinamika perilaku kesehatan yang jelas terhadap keluarga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
G. Kredibilitas Penelitian Untuk meningkatkan kredibilitas maka perlu dilakukan peningkatan reliabilitas dan validitas. Reliabilitas dalam penelitian kualitatif adalah konsistensi
data.
Untuk
melihat
konsistensi
data,
peneliti
biasanya
menggunakan dua atau lebih sumber data sebagai acuan, misalnya interview, interview significant other, dan data pelengkap lain juga digunakan untuk memperkuat data (Newman, 2014). Pada penelitian kali ini, penulis menggunakan interview semi terstruktur sebagai sumber data utama. Data ini nantinya akan diperkuat dengan wawancara dengan significant other dalam keluarga tersebut dan wawancara dengan pihak rumah sakit yang menangani pasien-pasien pasung sebagai data pendukung penelitian dan membantu memperoleh kejenuhan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pelaksanaan Penelitian Pengumpulan data penelitian ini dilaksanakan dengan cara wawancara. Sebelum wawancara dilaksanakan, peneliti telah beberapa kali berhubungan dan berbicara dengan partisipan. Wawancara pertama dilaksanakan untuk menjelaskan detil gambaran penelitian dan penandatanganan informed consent. Tabel 1 Pelaksanaan Wawancara Waktu 12 Juli 2016
Kegiatan
Tempat
Penandatanganan informed consent Rumah Narasumber, Bali Narasumber I.
13 Juli 2016
Penandatanganan informed consent Rumah Narasumber, Bali Narasumber III.
14 Juli 2016
Penandatanganan informed consent Rumah Narasumber, Bali Narasumber III.
15 Juli 2016
Wawancara pertama Narasumber I
Rumah Narasumber, Bali
16 Juli 2016
Wawancara pertama Narasumber II Rumah Narasumber, Bali
20 Juli 2016
Wawancara pertama Narasumber
Rumah Narasumber, Bali
III 25 Juli 2016
Wawancara kedua Narasumber II
Rumah Narasumber, Bali
25 Juli 2016
Wawancara kedua Narasumber I
Rumah Narasumber, Bali
55
Catatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
Waktu
Kegiatan
Tempat
27 Juli 2016
Wawancara Kedua Narasumber III
Rumah Narasumber, Bali
29 Juli 2016
Wawancara Puskesmas Ubud
Puskesmas Ubud, Bali
8 Agst 2016
Wawancara Pertama RSJ Bangli
Rumah Sakit Jiwa Bangli
2 November
Wawancara ketiga narasumber III
Rumah Narasumber, Bali
Catatan
Member checking
3 November
Wawancara ketiga narasumber II
Rumah Narasumber, Bali
Member checking
5 November
Wawancara ketiga narasumber I
Rumah Narasumber, Bali
Menambahkan data yang kurang dan member checking
*)
tempat tidak disertakan dengan rinci, untuk menjaga kerahasiaan partisipan
Ketika wawancara pertama dilaksanakan, partisipan menandatangani informed consent. Peneliti memberikan informasi dalam informed consent yang berkaitan dengan tujuan, prosedur, tanggung jawab penelitian, dan kerahasiaan data. Peneliti juga menekankan hak partisipan untuk berhenti kapanpun partisipan inginkan, untuk menjawab hanya pertanyaan yang ingin ia jawab, dan memperhatikan kenyamanan partisipan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
B. Profil Narasumber 1. Narasumber pertama Narasumber pertama dengan inisial A adalah seorang pria berusia 48 tahun, bekerja sebagai pegawai negeri sipil. A adalah anak pertama dari 4 bersaudara. Adik bungsu A adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. A merupakan kakak sulung yang paling dekat dengan pasien karena semenjak ayah pasien meninggal dan ibu pasien sakit, A adalah anak yang bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan mengurus pasien. A bercerita dengan sangat terperinci dan sangat jelas mengenai riwayat pengobatan adiknya. Walaupun beberapa kali A sempat menanyakan Ibu dan adik pasien mengenai beberapa detail peristiwa yang pasien lupa. A sudah menikah dan mempunyai dua orang anak. Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga A kurang lebih dimulai semenjak tahun 1996, saat pasien berusia 18 tahun, dan saat itu A berusia 28 tahun. Pengobatan yang dilakukan A dan keluarga sangat bervariatif, mulai dari datang ke tempat pengobatan tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya pada tahun 2004 keluarga memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan yang dilakukan terhadap pasien adalah memasang sebuah balok kayu pada tangan dan kaki pasien. A menambahkan bahwa dalam keluarganya bukan hanya adiknya yang mengalami gangguan skizofrenia, tapi juga ibu subjek dan beberapa saudara sepupu lainnya. A memaparkan keluhan awal terhadap pasien yaitu mata pasien memerah dan mengamuk. Keluarga sempat dua hingga tiga kali membawa pasien kerumah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
sakit namun tidak memberikan kesembuhan pada pasien. Berdasarkan data yang diperoleh di puskesmas setempat, pasien didiagnosa menderita gangguan skizofrenia hebefrenik. Data tersebut diperoleh dari buku saku puskesmas. Namun peneliti kurang mampu membuktikan dengan data, karena hasil rekamedis pasien hilang. 2. Narasumber kedua Narasumber kedua dengan inisial I adalah seorang wanita berusia 35 tahun, bekerja sebagai buruh swasta. I adalah anak pertama dari 2 bersaudara. Adik bungsu I adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. I merupakan kakak sulung yang memenuhi kebutuhan keluarga dan pengobatan pasien selama ini, karena ibu dan ayah I sudah tidak bekerja. I menceritakan riwayat pengobatan adiknya didampingi oleh ibunya, karena I merasa lupa dengan beberapa detail peristiwa dan pengobatan yang dijalani oleh pasien. I kini sudah menikah dan mempunyai satu orang anak. I sempat merasa adik I akan membahayakan anaknya bila ia tidak dipasung. Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga I kurang lebih dimulai semenjak tahun 2000, saat pasien berusia 12 tahun, dan saat itu I berusia 19 tahun. Pengobatan yang dilakukan I dan keluarga sama dengan pengobatan yang dilakukan oleh narasumber A, yaitu mulai dari datang ke tempat pengobatan tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya pada tahun 2008 keluarga memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan yang dilakukan terhadap pasien adalah mengurung pasien di dalam ruangan, dengan memborgol kedua tangan pasien. I menambahkan bahwa dalam keluarganya bukan hanya adiknya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
yang mengalami gangguan jiwa, tapi ibu subjek juga terkadang mengalami gejala yang sama. I memaparkan keluhan awal terhadap pasien adalah kejang-kejang, berbicara tidak nyambung dan sering berkeluyuran. Berdasarkan hasil rekamedis, pasien didiagnosa menderita gangguan skizofrenia hebefrenik. Hal tersebut ditunjukan dari hasil observasi yang menunjukan bahwa pasien memiliki halusinasi pendengaran dan positif memiliki hyperphobia. Selain itu, berdasarkan riwayat pengobatan pasien sudah 6 kali keluar masuk rumah sakit jiwa dan pasien terakhir kali dirawat di RSJ kurang lebih 8 tahun yang lalu. 3. Narasumber ketiga Narasumber ketiga dengan inisial T adalah seorang wanita berusia 30 tahun, bekerja sebagai buruh swasta. T adalah anak kedua dari 2 bersaudara. Kakak T adalah pasien pasung yang menderita skizofrenia. T merupakan adik yang memenuhi kebutuhan keluarga dan pengobatan pasien selama ini, karena ibu T sudah meninggal dan ayah T sudah tidak bekerja. T menceritakan riwayat pengobatan adiknya didampingi oleh ayahnya, karena T merasa lupa dengan beberapa detail peristiwa dan pengobatan yang dijalani oleh pasien. T hingga kini belum menikah lantaran sibuk merawat ayah dan kakaknya. Selain itu T juga sempat mengeluh tidak ada yang mau menikahi T karena keluarga T memiliki riwayat gangguan skizofrenia. Perilaku kesehatan yang dilakukan keluarga T kurang lebih dimulai semenjak tahun 2004, saat pasien berusia 25 tahun, dan saat itu T berusia 18 tahun. Pengobatan yang dilakukan T dan keluarga sama dengan pengobatan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
yang dilakukan oleh narasumber A dan I, yaitu mulai dari datang ke tempat pengobatan tradisional, pengobatan medis, hingga akhirnya pada tahun 2009 keluarga memilih untuk memasung pasien. Bentuk pemasungan yang dilakukan terhadap pasien adalah memasang sebuah balok kayu pada tangan dan kaki pasien. Pasien pertama kali dibawa ke rumah sakit jiwa dengan keluhan pasien sering mengamuk dirumah. Pasien membawa parang dan memotong semua pohon sepanjang jalan di gang rumahnya, sehingga membuat takut warga sekitar. Awalnya pasien hanya mengeluh sakit kepala, namun lama-kelamaan pasien mulai sering berbicara sendiri, tidak pernah mau mandi, sesekali marah dan mengamuk. Berdasarkan hasil rekamedis, pasien didiagnosa menderita penyakit skizofrenia hebefrenik. Pasien mengalami halusinasi, yaitu ia sering mengatakan melihat roh ibunya yang sudah meninggal. Selain itu, pasien juga mengalami defisit perawatan diri, kesulitan dalam berkomunikasi, pasien tidak menyadari orang-orang yang ada disekitarnya, emosinya kurang stabil, dan sulit diarahkan. Selain itu berdasarkan riwayat pengobatan, pasien sudah 7 hingga 8 kali keluar masuk rumah sakit jiwa dan pasien terakhir kali dirawat di RSJ kurang lebih 6 tahun yang lalu. C. HASIL PENELITIAN 1. Perilaku Kesehatan Medis Perilaku kesehatan yang terjadi pada pasien skizofrenia cukup berbeda dari pasien-pasien yang terkena penyakit, yang pada umumnya merasakan gejala dari sakit yang diderita. Pasien skizofrenia cenderung tidak merasakan sakit atau
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
merasakan sesuatu dalam tubuhnya, sehingga tidak mampu secara mandiri untuk mengambil keputusan dalam mencari pengobatan. Sehingga hasil penelitian ini lebih melihat bagaimana perilaku kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien dalam merespon sakit yang diderita oleh pasien, karena perilaku kesehatan pasien merupakan perilaku yang dikondisikan oleh keluarga. Pada bagian perilaku kesehatan ini berisi pembahasan temuan peneliti, terkait respon keluarga pasien skizofrenia terhadap permasalahan kesehatan yang diderita pasien melalui penggunaan pelayanan kesehatan medis berupa seluruh aktivitas atau kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan atau peningkatan kesehatan medis. Respon pertama keluarga ketika melihat salah satu keluarganya sakit adalah membawa kerumah sakit, terlepas dari keluarga tau atau tidak tau mengenai pengobatan medis, keluarga tetap membawa pasien skizofrenia berobat kerumah sakit jiwa. Pasien sempat dirawat inap beberapa bulan dan dipulangkan saat kondisi sudah membaik. Perilaku kesehatan keluarga untuk berobat kerumah sakit terjadi beberapa kali, hal tersebut dikarenakan kondisi penderita yang sering kambuh. Data rekamedis pasien tercatat bahwa pasien II sudah pernah sebanyak 6 kali keluar masuk rumah sakit jiwa, sedangkan subjek III 7 hingga 8 kali keluar masuk rumah sakit jiwa. Namun pengobatan medis yang dilakukan oleh keluarga tidak berjalan lancar, sehingga ketiga pasien berhenti menggunakan pengobatan medis. Pasien dipulangkan dan ditangani tanpa pengobatan oleh keluarga. Perilaku tersebut tidak memberikan kesembuhan dan justru memperparah penyakit pasien. Permasalahan tersebut menjadi beban untuk keluarga, karena sulitnya merawat pasien dengan penyakit skizofrenia. Sehingga keluarga pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
akhirnya mengambil keputusan untuk memasung pasien sebagai perilaku penanganan terhadap pasien skizofrenia. 2. Faktor – Faktor dari Perilaku Kesehatan Medis Bagian ini akan membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi keluarga dalam merespon penyakit yang diderita oleh pasien skizofrenia. Peneliti mencoba menganalisis melalui 3 faktor utama pembentuk perilaku kesehatan dari teori Lawrence Green (1981) dalam Notoatmodjo (2010), yang dirangkum dalam akronim PRECEDE: Predisposing, Enabeling, dan Reinforcing Causes in Educational Diagnoses and Evaluation. a. Faktor Predisposisi atau Predisposing Factors Faktor predisposisi melihat kecenderungan individu untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang terwujud dalam: 1) Pengetahuan, sikap, kepercayaan, mengenai penyakit dan tanggung jawab individu terhadap penyakit tersebut, 2) pengalaman tentang pengobatan yang sama sebelumnya termasuk efek samping dari obat tersebut, 3) persepsi mengenai sehat dan sakit, tingkat keparahan. 1) Pengetahuan Tentang Penyebab Skizofrenia Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, tiga narasumber menjawab penyebab pasien menderita skizofrenia lebih mengarah pada faktor-faktor yang bersifat non ilmiah yang berasal dari faktor ekstenal dan internal. Faktor internal penyebab penyakit skizofrenia adalah keturunan dan karma buruk di kehidupan sebelumnya. Sedangkan faktor eksternal yang menjadi penyebab penyakit
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
skizofrenia adalah ilmu hitam dari orang lain dan jiwa pasien dikendalikan oleh makhluk lain. Jawaban responden cenderung bervariatif, hal tersebut dipengaruhi pula dengan faktor budaya di Bali yang sangat meyakini hal-hal yang bersifat mistik dan kurang bisa digeneralisasi
dengan
budaya
lain.
Informasi
tersebut
dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
“Badan halusnya dulu perbuatannya gak baik. Dia suka membunuh dulunya dikehidupan sebelumnya. Dia harus terima itu karmanya dikehidupan sekarang. Itu dosa yang paling besar yaitu orang sakit jiwa. Dia lupa ingatan, jiwanya sudah dimana-mana, rohnya sudah kemana barangkali, gitu menurut kitab suci” (Reponden I)
“Semua bilang anak saya sakit dicari liak (sebutan untuk setan di Bali). Sudah berapa banyak tempat berobat saya datangi, saya dengar, semua bilang dia seperti itu. Dia diambil liak (sebutan untuk setan di Bali). Saya gak bohong” (Reponden II)
“Ada yang iri warisan gitu dengan keluarga, kayak sekarang, dimana aja kita bisa diguna-guna. Dia aja
dapat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
anak pria satu-satunya mau gimana, kita anak cewek pasti dikira akan keluar, makanya dia diguna-guna.” (Reponden III) Hasil
wawancara
diatas
menunjukan
pengetahuan
narasumber
mengenai
penyebab
rendahnya penyakit
skizofrenia pada keluarga pasien. Hal tersebut cenderung akan mempengaruhi perilaku kesehatan keluarga dalam menentukan jenis pengobatan yang dipilih. 2) Persepsi tentang Keparahan Penyakit dan Manfaat Penggunaan Pengobatan Berdasarkan
penelitian,
seluruh
narasumber
memiliki
keyakinan bahwa skizofrenia merupakan penyakit yang sulit untuk sembuh total dan bahkan tidak bisa disembuhkan. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : “Saya kalo ngeliat orang gitu, jarang ada yang sembuh total” (Reponden I)
“Agak diam gitu dia, terus kan saya tau yang gitu gak bisa sembuh total, nah kalo kumat harus dibawa kesana lagi (Reponden II)”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
“Tetep aja dia sakit, gak sembuh. Sudah terlalu keras santetnya, sudah masuk ke urat-uratnya sudah gak bisa, sudah masuk ke organ tubuhnya itu,” (Reponden III) Selain itu, responden I terlihat sangat pasrah menghadapi penyakit yang diderita oleh pasien skizofrenia, dan meyakini bahwa pasien tidak akan bisa sembuh kembali. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : “Udah gak bisa sembuh. Pernah saya persembahkan jiwanya dia ke pura dalam (Ritual kepercayaan untuk mencabut nyawa manusia di Bali), daripada kesakitan, mending dipersembahkan saja jiwanya ke pura saja. Tidak mau juga, kalo mau cepet beres, biasanya kalo cepet dipersembahkan jiwanya akan cepat meninggal, biar dicabutlah nyawanya, tapi tidak bisa. Tapi kasian juga dia hidup tapi sakit.” Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa salah satu predisposisi keluarga menghentikan pengobatannya dan memilih memasung pasien karena keluarga memiliki persepsi bahwa pasien tidak mungkin bisa sembuh. Selain persepsi keluarga terhadap keparahan penyakit pasien, didukung pula dengan persepsi keluarga mengenai manfaat penggunaan pengobatan yang dilihat dari hasil evaluasi keluarga terhadap penggunaan pengobatan medis. Hampir seluruh responden menjawab bahwa pengobatan medis tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
menyembuhkan pasien tetapi hanya menenangkan dan membuat pasien beristirahat. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut: “Saya mau juga dia di Bangli (rumah sakit jiwa), tapi nanti juga lagi dua bulan dibalikan, kambuh. Gitu aja terus, saya jadi malas. Datang dari situ tanpa sesuatu yang pasti. Disitu capek juga ngurus, disini juga bingung” (Reponden I)
“Obatnya gak berfungsi, hanya meredam aja, biar dia bisa tidur. Tapi gak menyembuhkan” (Reponden II) “Saya dulu berusaha bawa kemana aja, tetangganya yang nyuruh ke dokter, ke balian kami coba, tapi tetap kayak gitu.” (Reponden III) 3) Pengalaman Buruk Menggunakan Pengobatan Medis Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ketiga narasumber menceritakan memiliki pengalaman kurang baik dengan rumah sakit jiwa setempat. Subjek II dan III cenderung mengeluh dengan kebijakan baru yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu pasien harus dipulangkan dari rumah sakit jiwa bila pasien telah dirawat selama tiga bulan, terlepas pasien sembuh ataupun tidak. Namun bila pasien kambuh kembali, keluarga diperbolehkan membawa pasien kembali
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
kerumah sakit. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
“Kan saya nanyak juga “Ini kalo gak sembuh kok sudah dikembalikan?” Terus mereka bilang “Biar ada data, nanti kalo lagi gitu dibawa lagi”. Kan jadi saya bingung, lagi saya ngurus nanti, udah sih gratis, tapi nanti jangka satu minggu lagi saya bawa kesana, kan ngurus dia aja jadinya terus ya.” (Subjek II)
“Kalo sudah tiga bulan dipulangkan anaknya, mau sembuh atau tidak anak tetap dipulangkan, saya juga tidak mengerti sekarang dengan dokter disana. Dulu anak saya satu tahun disana dia gak dipulangkan sama rumah sakit.” (Subjek III)
Kebijakan baru tersebut juga dibenarkan oleh pihak rumah sakit jiwa. Salah satu narasumber dari RSJ menjelaskan bahwa pasien tidak diperbolehkan dirawat dirumah sakit lebih dari tiga bulan, karena aturan baru yang dibentuk oleh BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial). Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
“Itu aturan BPJS, Tiga bulan saja pasien ditanggung oleh BPJS. Sehingga pasien harus dipulangkan terlebih dahulu, biarpun hanya satu hari, harus pulang dulu. Sehat atau tidak, pasien tidak ditanggung selama kurun waktu itu (setelah 3 bulan). Sehingga dia harus pulang sebentar, lalu dibawa lagi kesini tidak apa-apa, begitu.”
Hal tersebut menjadi salah satu permasalahan dari narasumber II dan III karena merasa kelelahan harus membawa ke RSJ saat pasien kambuh. Hal tersebut dapat dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : “Bolak-balik bangli terus, dikembalikan, biar ada pembukuan disana, pembukuan kalo dia sembuh. Kalo lagi seminggunya sakit, baru bawa kesana. Kan capek ngurusnya. ” (Subjek II) “Dibawa pulang dalam waktu 3 bulan mau sembuh atau enggak, harus pulang. Nanti kalo gimana lagi dibawa kesana. Kalo nanti dia sudah pulang kita bawa kesana susah juga, gak ada yang bawa kesana,lagi bawa kesana lagi pulang.” (Subjek III) Selain itu, subjek III juga mengeluh dengan kebijakan baru yang berlaku dirumah sakit jiwa, yaitu keluarga tidak dijinkan membeli obat tanpa mengajak pasien ke rumah sakit. Hal tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
dirasa mempersulit keluarga karena jarak rumah pasien dan rumah sakit sangat jauh. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut: “Saya sempat kesana buat nyari obat tapi tidak ngajak anak, terus gak dikasi, kan rugi saya kesana sudah jauhjauh tapi tidak diikasi obat. nyari kesana gak ngajak pasien gak di kasi obat” (Subjek III) Permasalahan
tersebut
sempat membuat
partisipan
III
memberhentikan obat pada pasien, dan membiarkan pasien tanpa pengobatan. “Pulang dari rumah sakit terus saya kasi obat, lalu setelah saya cari obat dan tidak dikasi membeli kesana tanpa pasien, terus berhenti minum obat, kumat lagi dia” (Subjek III) Peraturan baru tersebut dibenarkan oleh pihak rumah sakit jiwa, hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber: “Terbentur aturan BPJS, dimana kita tidak boleh turun ke lapangan, pasien harus datang ke Puskesmas dulu, itu aturan jenjang rujukannya ke puskesmas dulu. Kalo tidak ada obat di Puskesmas, ke rumah sakit dulu yang tingkat dua, kalo rumah sakit gak ada, baru ke tingkat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
III, RSJ. Sehingga pasien harus kesini, pasien gak boleh gak ikut, harus ikut” Hal tersebut mempersulit pasien karena pasien tidak bisa membeli obat kerumah sakit jiwa tanpa mengajak pasien. Sedangkan pelayanan kesehatan di tingkat I (Puskesmas) dan tingkat II (Rumah Sakit) tidak menyediakan obat gangguan jiwa. Hal tersebut juga dijelaskan oleh narasumber dari pihak rumah sakit jiwa sebagai permasalahan utama pengobatan pasien gangguan jiwa di Bali. “Problem kalo ada aturan seperti itu (keluarga harus membawa pasien kerumah sakit untuk membeli obat) puskesmas tidak menyediakan obat. Aturan ada, tapi infrastruktur tidak dipersiapkan, itulah kendalanya sehingga banyak pasien yang meningkat, termasuk pasung yang meningkat. Gangguan jiwa yang kumat juga meningkat.” (Narasumber RSJ) Namun hal tersebut tidak dirasakan oleh narasumber I karena kebijakan tersebut belum dibentuk saat keluarga membawa pasien kerumah sakit. Keluarga memiliki pengalaman kurang baik yang berbeda dengan narasumber II dan III. Narasumber I menjelaskan bahwa pasien mendapatkan perlakuan yang kurang baik di rumah sakit. berikut:
Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
“Pemerintah gak tanggung jawab, taruh di bangli dia pulang sendiri. Pulang sendiri? Iya, berkelahi sama temennya, bocor kepalanya. Dipukul bata, dirumah sakit bangli. Jadi dia pulang numpang bemo” (Narasumber I) Hal tersebut membuat keluarga trauma untuk membawa pasien kembali kerumah sakit karena takut pasien akan diperlakukan kurang baik, sehingga keluarga memilih untuk memasung pasien. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber: “Udah pernah kok dibawa ke Bangli (rumah sakit jiwa), buktinya gitu, kan trauma. Dulu rajin dia kesini, dikasi obat satu-satu, akhirnya kita sempet ke puskesmas gitu, dikasi vitamin b12, sama obat satu saya lupa, saya sempat ambil dulu. Di pasung akhirnya. Sempet disuruh lepas, kan gak boleh di pasung itu, disuruh dibawa ke bangli,saya gak mau, takut mati nanti anak orang ini, akhirnya gak.” 4) Pengalaman Buruk Sebelum Pasien Dipasung Berdasarkan hasil wawancara, semua narasumber mengaku memiliki beberapa pengalaman buruk dengan pasien sebelum dipasung. Seluruh narasumber mengeluhkan pasien skizofrenia membahayakan, meresahkan, dan merugikan orang lain. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
“Dulu pernah lari dia ke kuburan, jabe Pura (sebutan untuk bagian depan Pura), di Kediri, naik motor. Kesana pakai celana aja, tidak pakai baju, kayak bertapa. Datang banjar(warga), kesana semua mau dikroyok, akhirnya dia kena denda karena berperilaku buruk di dalam tempat suci, akhirnya kena denda 75ribu.” (Narasumber I)
“Dulu sebelum saya nikah, kan rumah sepi, dia kan bebas, terus dia narik neneknya yang sakit dari kamar, terus sampai meninggal. ditarik dia sampai meninggal, gak ada yang melihat waktu itu, dia langsung meninggal. Sedang ada acara di desa, jadi rumah sepi. Keras dia. Terus meninggal, nah setelah itu langsung dipasung” (Narasumber II)
Sehingga dapat diasumsikan bahwa pengalaman buruk dengan pasien menjadi salah satu predisposisi keluarga untuk memasung pasien. Karena keluarga merasa khawatir dengan perilaku pasien. b. Faktor Pendukung atau Enabling Factor Enabling factors adalah kemampuan dan sumber daya yang diperlukan yang memungkinkan terjadinya perilaku kesehatan. Enabling
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
factors terdiri dari kemudahan mencapai fasilitas kesehatan (biaya transportasi, ketersediaan transportasi, jarak tempat tinggal). 1) Jarak Tempuh Menuju Pelayanan Kesehatan Berdasarkan hasil penelitian, ketiga narasumber mengeluh dengan jarak yang ditempuh dari rumah pasien menuju rumah sakit. Keluarga merasa kesulitan harus membeli obat dan mengantar pasien dengan jarak tempuh yang jauh. Hal tersebut, dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber: “Obat itu kan hanya beredar di rumah sakit ya. kalo gitu kurang terjangkau kami kalo harus ke bangli (rumah sakit jiwa), rutin gitu.(Narasumber I) Keluarga mengeluhkan jarak tempuh menuju rumah sakit yang dirasa akan menghabiskan tenaga dan tidak memberikan perubahan baik pada pasien. “Iya biarkan saja, jauh sekali rumah sakit bangli. Jugaan seginiaan juga. Sudah delapan kali kesana. Mau disana dia tetap sakit kayak gini, dirumah juga sama sakit kayak gini” (Narasumber II) 2) Biaya Pengobatan Berdasarkan
penelitian
yang
telah
dilakukan,
seluruh
narasumber mengaku menghabiskan banyak biaya untuk administrasi pengobatan pasien. Ketiga narasumber menceritakan bahwa salah satu penghambatan
pasien
melaksanakan
pengobatan
adalah
biaya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
pengobatan. Narasumber I mengatakan bahwa biaya pengobatan pasien cenderung mahal. Harga satu obat pasien adalah Rp.75.000,sedangkan pasien harus minum obat 3 kali dalam sehari, sehingga menghabiskan Rp. 225.000,-. Hal tersebut dirasa berat dengan keluarga, karena keluarga tidak bisa memanfaatkan akses jaminan kesehatan gratis dengan Askes atau Jamkesmas pada obat-obat yang akan dibeli. Hal tersebut dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber : “Sehari 3 butir. Itu uang dulu. 75rb satu butir, banyak sekali habis uang. Makanya dulu sampai rumah habis. Dulu 250 per hari, konsumsi berapa bulan, gimana itu, tanah sudah habis. Bapak dulu rasa sayangnya tinggi. Sekarang mungkin udah mahal banget” (Subjek I) “ Kalian ada jaminan kesehatan gitu? Ada dulu ASKES, obat itu gak bisa dibeli pake askes, obat itu harus dibeli cash.” (Subjek I) Selain itu narasumber II dan III juga mengeluhkan permasalahan biaya pengobatan pasien. Keluarga menghabiskan banyak biaya untuk merawat pasien. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber: “Situasi dulu saya gak punya apa. Ini rumah aja baru semua, semua gak punya. Ngurus dia aja, sawah semua habis buat ngurus Tana (orang gila) aja. Semua
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
habis, dulu ada tanah sekarang gak ada apa. belom lagi bayar dibanjar, sekarang gak ada apa. Dulu 35juta uang tanah habis. Capek terus, gak bisa ngurus lagi gimana lagi.” Sehingga dapat dikatakan bahwa biaya yang dihabiskan oleh keluarga menjadi salah satu faktor pendukung keluarga untuk memasung pasien.
c. Faktor Penguat atau Reinforcing Factor Faktor penguat adalah konsekuensi dari tindakan yang menentukan apakah pelaku mendapat umpan balik positif atau negatif dan didukung secara sosial sesudah umpan balik terjadi. Faktor penguat dengan demikian meliputi dukungan sosial, pengaruh rekan sebaya, dan saran dan umpan balik oleh penyedia layanan kesehatan. 1) Social Support untuk Memasung Berdasarkan wawancara terhadap narasumber, hampir semua narasumber memutuskan untuk memasung pasien atas dorongan dan saran dari orang-orang disekitarnya. Narasumber I memasung disarankan oleh dukun yang mengobati pasien, narasumber II dan III memasung disarankan oleh kepala desa diwilayah setempat. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
“ Terus kata Balian (dukun) yang di Pejeng (nama daerah) bilang lebih baik dipasung. Takutnya kalau enggak membunuh, takutnya dia dibunuh. Baliannya bilang gitu? Iya balian. Ngeliat kasus juga, orang sakit jiwa membunuh kan gak bisa. Terus habis dikasitau balian itu bagaimana?
Iya, langsung.”
(Narasumber I)
“Kumat dia, main dia ke rumah guru-guru itu, kan takut jadinya, wanita kan takut dia, usulin terus sama gurunya itu ke kepala desa, kepala desa ke saya, terus mencarikan bantuan terus (bantuan dana untuk membuat temoat pasung).”(Narasumber III)
Sehingga dapat dikatakan bahwa besarnya pengaruh dukungan sosial akan mempengaruhi keluarga untuk mengambil keputusan memasung. 2) Bantuan untuk Pasien Pasung Berdasarkan hasil penelitian, ketiga narasumber sempat mendapatkan bantuan saat pasien dipasung. Pasien I sempat memperoleh
sumbangan
sembako
saat
pasien
dipasung.
Sedangkan subjek II dan III mendapat bantuan sembako dan dana kurang lebih sebesar RP.12.000.000- dari pemerintah untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
membuat ruangan pasung, yang disalurkan melalui kepala desa setempat.
Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan
narasumber : “Nah dulu akhirnya ada pengecekan dan katanya tempatnya (ruangan pasung) terlalu kecil, akhirnya dikasi sumbangan dana dari pemerintah, Cuma diusulkan oleh klian (kepala desa). Sumbangannya 12 juta langsung jadi, cuma diminta kartu keluarga langsung jadi” (Narasumber II)
“Oh pas buat tempat pasung itu bagaimana? Iya dapat bantuan sedikit. 16 juta kira-kira, tapi gak cukup juga. Oh siapa yang membantu untuk memperoleh dana? Saya yang minta ke kepala desa setempat dan kepala desa yang melanjutkan mengajukan bantuan ke pemerintah”(Narasumber III) Selain bantuan dana dari pemerintah, keluarga juga mendapatkan bantuan sembako dari teman yang mengunjungi rumah pasien. Hal ini dibuktikan oleh hasil wawancara dengan narasumber : “Ada
biasanya
banyak
mahasiswa-
mahasiswa
biasanya cowok-cowok waktu ini berlima, dapat dah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
dia nengok Tana (nama pasien) diberi beras, mie, dikasi sembako, amplop” (Subjek II) “Terus
pak
candra
(teman
yang
diceritakan
narasumber) sering kasi? iya sering dia kesini ngasi, pribadi. Dikasi mie, dikasiani saya” (Subjek III)
Bantuan tersebut dirasa bermanfaat oleh narasumber II dan III, dan mereka berharap pemerintah terus memberikan bantuan kepada keluarga. Hal tersebut didukung oleh wawancara narasumber III yang ingin mengajukan surat permintaan dana untuk membantu pasien skizofrenia yang dipasung.
“Gimana ya, pemerintah kasilah bantuan dana untuk ini, baru saja ya mengusulkan lagi, semoga dikasi dana lah gitu, sudah cacat gini. Kemaren sudah difoto sama kepala desanya, semoga turunlah dananya”
Namun berbeda dengan narasumber I. Ia merasa bahwa bantuan dari pemerintah hanya pernah sekali diterima oleh keluarga, selain itu keluarga tidak berharap mendapat bantuan kembali dari pemerintah karena tidak ingin berfokus kembali dengan pasien skizofrenia. Hal tersebut didukung oleh hasil wawancara dengan narasumber:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
“Oh berarti sempat dapat bantuan ya, iya bahan, material. Sekali itu saja. Puskesmasnya yang ngasik. Entah pergawai puskesmas yang kesini atau saya yang kesana. Saya udah gak berharap lagi sekarang, sudah cukup ngurus begini”
3) Dampak Positif dari Pemasungan untuk keluarga dan pasien. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ketiga narasumber menceritakan bahwa pemasungan memberikan dampak yang positif pada
keluarga
dan
lingkungan
sekitar.
Pemasungan
dirasa
memberikan banyak perubahan positif pada keluarga pasien, diantaranya adalah pasien tidak mengamuk, berkeliaran dan meresahkan warga lagi dijalan. Hal tersebut dibuktikan dari kutipan wawancara sebagai berikut : “Dulu kami pikir menjauhkan itu, biar kami juga punya lingkungan yang sehat. Sekarang tenanglah kita disini, dulu teriak-teriak dia disini” (Subjek I)
“Selama ibunya ibu meninggal langsung dipasung, kan diem dia dirumah jadi lebih baik lah. Kan gak ngamuk dia jadinya. Kalo dulu kan lari kemana mana, kan lari dia sampe kepura dalam, tiga pura sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
dimasukin dia, kan harus dibayar dengan banten.” (Subjek II) Sehingga dapat dikatakan bahwa keluarga memperoleh dampak yang positif selama melakukan perilaku pemasungan sehingga keluarga enggan untuk melepas pasung pasien dan memperkuat perilaku keluarga untuk memasung. 3. Dinamika Perilaku Kesehatan Medis Pada bagian dinamika perilaku kesehatan, peneliti mencoba menjelaskan mengenai respon yang dilakukan keluarga untuk menangani penyakit pasien skizofrenia dan mengkaitkan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku tersebut dan beberapa teori yang menguatkan hasil penelitian. Respon awal ketiga narasumber pada penelitian ini yaitu merasa kebingungan melihat perubahan tingkah pada pasien skizofrenia. Pasien skizofrenia menunjukan gejala yang hampir sama, yaitu mengamuk, mata memerah, dan sering berbicara sendiri.
Keluarga mencoba melakukan
penanganan dengan berobat kerumah sakit. Namun disisi lain, keluarga merasa bahwa penyakit pasien disebabkan oleh faktor lain, yaitu keturunan, ilmu hitam, dan
karma
dikehidupan
sebelumnya.
Pengetahuan
tersebut
cenderung
mempengaruhi keluarga dalam mempertimbangkan treatment dan jenis pengobatan apa yang akan diberikan oleh keluarga. Pengetahuan ketiga narasumber mengenai penyebab skizofrenia yang cenderung kurang ilmiah membuat keluarga juga mencoba melakukan penanganan dengan bantuan pengobatan non medis, seperti dukun.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
Selama menggunakan pengobatan medis dan nonmedis, keluarga meyakini penyakit skizofrenia sebagai penyakit yang parah dan sulit untuk disembuhkan. Persepsi tersebut didukung pula dengan hasil evaluasi yang dilakukan oleh keluarga terhadap manfaat penggunaan pengobatan medis. Keluarga sudah berupaya untuk membawa pasien ke rumah sakit, namun keluarga merasa pasien tidak memperoleh kesembuhan dan akan kambuh setelah dibawa pulang kerumah. Selain itu, ketiga narasumber memiliki banyak pengalaman negatif selama menggunaan pelayanan kesehatan medis. Dua narasumber cenderung mengeluh dengan kebijakan baru yang berlaku dirumah sakit jiwa, sedangkan satunya lagi mengeluh dengan penanganan buruk yang diberikan kepada pasien. Wawan dan Dewi (2011) menjelaskan bahwa pengalaman pribadi cenderung akan dijadikan sebagai dasar pembentukan sikap seseorang. Hal tersebut didukung pula dengan analisa dari WHO (dalam Notoatmodjo, 1993) yang menjelaskan bahwa sikap menggambarkan suka atau tidak sukanya seseorang terhadap objek. Sikap sering diperoleh dari pengalaman sendiri atau dari orang lain. Sikap membuat orang mendekati atau menjauhi orang lain atau objek lain. Sehingga, penggunaan pelayanan kesehatan yang tidak sesuai dengan harapan keluarga, serta ditambah pengalaman yang kurang baik selama menggunakan pelayanan kesehatan, akhirnya keluarga memilih untuk berhenti menggunakan pengobatan medis. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Zeithnial, Parasuraman, & Berr (1990) yang menunjukan bahwa persepsi pasien terhadap manfaat pelayanan dipengaruhi oleh harapan terhadap pelayanan yang diinginkan. Harapan ini dibentuk oleh apa yang konsumen
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
dengar dari konsumen lain, kebutuhan pasien, pengalaman masa lalu dan pengaruh komunitas ekstenal. Pelayanan yang diterima dari harapan yang ada mempengaruhi penggunaan terhadap pelayanan kesehatan. Perilaku keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis di dukung pula dengan beberapa faktor lain yang berasal dari sumber daya yang dimiliki keluarga. Hasil penelitian menunjukan bahwa keluarga pasien skizofrenia menggunakan kendaraan bermotor untuk membawa pasien menuju tempat pengobatan, dan jarak yang ditempuh dari tempat tinggal menuju rumah sakit jiwa dirasa jauh oleh keluarga. Selain itu, keluarga sudah sangat banyak menghabiskan biaya pengobatan untuk pasien dan kini tidak tersedia lagi biaya untuk membawa pasien berobat. Hal tersebut menunjukan bahwa keluarga tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk membawa pasien berobat. Hal tersebut didukung oleh penelitian Anis dalam Siswantoro (2010) yaitu tidak tersedianya alat transportasi menuju tempat berobat dan tidak tersedianya biaya untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang jauh dari rumah tempat tinggal penderita dapat menjadi hambatan untuk terjadinya perilaku kepatuhan pengobatan penderita. Seseorang yang tidak memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada, mungkin bukan hanya karena dia tidak tahu akan bahaya penyakitnya atau karena tidak percaya pada pelayanan kesehatan, tetapi karena rumahnya jauh, sedangkan sarana transportasi umum untuk menuju Puskesmas atau pelayanan kesehatan sulit dan mahal. Selain itu, Daulima dalam Widiastutik, Winarni, dan Lestari (2016) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
masalah ketersediaan ekonomi menjadi beban tersendiri bagi keluarga dan penderita gangguan jiwa. Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa beberapa faktor predisposisi
berpengaruh
terhadap
perilaku
keluarga
untuk
berhenti
menggunakan pengobatan medis. Variabel dari faktor predisposisi yang terdiri dari pengetahuan, persepsi, dan sikap yang cenderung negatif terhadap penyakit pasien dan penggunaan jasa kesehatan, menjadi pencetus perilaku keluarga untuk mengambil keputusan berhenti menggunakan pengobatan medis. Selain itu, enabeling factor juga menjadi faktor pendukung keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis. Biaya pengobatan, jenis transportasi yang digunakan, jarak tempat tinggal dengan rumah sakit menjadi alasan lain keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan. Azwar (dalam Siswantoro, 2012) menjelaskan bahwa pelayanan kesehatan yang baik salah satunya adalah mudah dicapai (accessible), pengertian di sini adalah terutama dari sudut lokasi. Pengaturan distribusi dan sarana kesehatan menjadi sangat penting. Pelayanan kesehatan yang terlalu terkonsentrasi di daerah perkotaan saja dan sementara itu tidak ditemukan di daerah pedesaan, bukanlah pelayanan kesehatan yang baik. Setelah kepulangan pasien dari rumah sakit dan dirawat dirumah tanpa obat, pasien dirasakan menjadi beban keluarga, karena perilaku pasien yang sangat meresahkan dan membahayakan keluarga dan warga sekitar. Keluarga akhirnya mendapatkan dukungan dan saran dari beberapa tokoh dilingkungan sekitar untuk memasung pasien. Dukungan untuk memasung pada pasien II dan III berasal dari kepala desa setempat dan pasien I berasal dari salah satu dukun
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
atau orang pintar yang mengobati pasien. Hal tersebut menunjukan bahwa lingkungan memiliki peran yang sangat besar dalam proses pengambilan keputusan keluarga. Ditambah juga dukungan dari pemerintah melalui kepala desa setempa yang memberikan bantuan dana kurang lebih sebesar Rp. 12.000.000-, untuk membuat ruangan pasung bagi pasien II dan III. Hal tersebut menjadi faktor penguat keluarga untuk memasung pasien skizofrenia. selain itu, pemasungan dirasa memberikan dampak yang positif pada keluarga dan lingkungan sekitar, karena pasien tidak mengamuk, berkeliaran dan meresahkan warga lagi dijalan. Hal tersebut merupakan umpan balik yang positif bagi keluarga pasien, sehingga cenderung akan memperkuat perilaku keluarga untuk tetap memasung pasien. Selain itu, dampak positif dari pemasungan adalah keluarga pada pasien II dan III memperoleh bantuan sembako dari warga dan pemerintah setempat. Dari uraian tersebut dapat diasumsikan bahwa beberapa reinforcing factor yang berpengaruh secara signifikan bagi keluarga untuk memperkuat perilaku pemasungan dan tidak ingin melanjutkan penggunaan pengobatan medis. Saran dari masyaratakat untuk memasung ditambah dengan bantuan dana dari pemerintah untuk membuat ruangan yang layak untuk memasung, membuat keluarga memperkuat untuk melakukan perilaku pemasungan. Selain itu, bantuan sembako dari pemerintah dan warga untuk penderita pasung cenderung menjadi penguatan positif bagi keluarga untuk mempertahankan perilaku tersebut dan enggan untuk melepas pasung dan membawa pasien berobat kembali.
Hal
tersebut didukung pula dengan teori dari Abraham Maslow dalam hiraki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
kebutuhannya yang menyatakan bahwa individu akan memprioritaskan kebutuhan dasarnya (kebutuhan untuk makan dan minum) sebagai kebutuhan yang terpenting terlebih dahulu, sebelum kebutuhan-kebutuhan lainnya bisa terpenuhi. (Geller, 1982; Neher,1991;Williams & Page, 1989 dalam Hufman, Vernoy, & Vernoy, 2000). Selain itu, Abraham Maslow juga menjelaskan, apabila kebutuhan-kebutuhan dasar seseorang tidak terpenuhi, maka hal tersebut akan mempengaruhi perilakunya, dan cenderung mengorbankan hal-hal penting lainnya untuk memenuhi kebutuhan tersebut. (Hufman, Vernoy, & Vernoy, 2000). Sehingga, pengaruh bantuan sembako dari pemerintah dan warga menjadi penting untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar pada keluarga, sehingga bisa membentuk dan memperkuat perilaku pemasungan pada pasien. Penjelasan diatas menunjukan bahwa penelitian mengenai perilaku kesehatan yang dilakukan oleh keluarga pasien skizofrenia ini sesuai dengan teori Precede Model (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010) yang menyimpulkan bahwa perilaku seseorang atau masyarakat tentang kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, sikap, kepercayaan, dan sebagiannya dari orang atau masyarakat yang bersangkutan. Di samping itu, ketersediaan fasilitas, sikap, dan perilaku para petugas kesehatan terhadap kesehatan juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku pada pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, dapat diambil beberapa kesimpulan dari penelitian yang bertujuan untuk memahami perilaku kesehatan sebagai berikut : 1. Respon keluarga dalam menanggapi penyakit skizofrenia pasien diawali dengan membawa pasien berobat kerumah sakit jiwa. Namun pengobatan medis yang dilakukan oleh keluarga tidak berjalan lancar, sehingga ketiga pasien berhenti menggunakan pengobatan medis. Pasien dipulangkan dan ditangani tanpa pengobatan oleh keluarga, namun justru memperparah penyakit pasien. Sehingga akhirnya mengambil keputusan akhir untuk memasung pasien sebagai bentuk perilaku penanganan terhadap pasien skizofrenia. 2. Keluarga berhenti menggunakan pengobatan medis dipengaruhi oleh: a) pengetahuan keluarga mengenai penyebab penyakit skizofrenia yang bersifat non ilmiah, b) Keyakinan keluarga terhadap penyakit skizofrenia yang sulit untuk sembuh total, dan akhirnya membentuk persepsi yang negatif terhadap pengobatan yang akan dijalani, c) ditambah dengan hasil evaluasi keluarga terhadap pengobatan medis yang merasa bahwa pengobatan medis tidak berdampak pada pasien, sehingga membentuk persepsi yang semakin negatif terhadap penggunaan pengobatan medis, d) selain itu ketiga responden juga mengaku memiliki pengalaman yang
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
kurang baik dalam menggunakan pengobatan medis. Hal tersebut akan membentuk konsep yang negatif mengenai penggunaan pelayanan kesehatan medis pada keluarga. Selain itu, e) jarak tempuh menuju rumah sakit yang cukup jauh, f) tidak adanya biaya untuk pengobatan pasien, g) sarana transportasi yang tidak memadai, juga menjadi pendukung keluarga untuk berhenti menggunakan pengobatan medis. 3. Ketiga narasumber pada akhirnnya mengambil keputusan untuk memasung karena a) memiliki pengalaman buruk seperti membahayakan, merugikan, dan meresahkan keluarga dan warga sekitar saat merawat pasien, b) selain itu keputusan keluarga untuk memasung diperkuat oleh saran dari orang-orang yang dianggap penting dilingkungan terdekat keluarga. 4. Dari uraian hasil penelitian, ketiga narasumber menjelaskan tidak mau untuk melepas pasung pasien dan membawa ke rumah sakit kembali. Selain dikarenakan faktor-faktor yang disampaikan pada kesimpulan diatas, dipengaruhi juga dengan dampak dari perilaku memasung yang cenderung menguntungkan keluarga pasien, yaitu: a) pasien tidak berkeliaran dan jarang mengamuk setelah dipasung, b) responden II dan III merasa terbantu dengan pertolongan yang diterima pasca pasien dipasung. Selain bantuan dana yang diterima untuk membuat ruangan pemasungan,
keluarga
pemerintah dan warga.
juga
memperoleh
bantuan
sembako
dari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
B. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki keterbatasan, khususnya dalam pencarian partisipan sebelum mengambil data. Peneliti awalnya ingin mewawancarai salah satu orangtua pasien, karena merasa orangtua adalah narasumber yang terdekat yang mengasuh dan mengurus pasien selama ini. Namun penulis menemukan kesulitan untuk mewawancarai orangtua pasien karena usia orangtua pasien yang sudah tua. Sehingga penulis memilih saudara terdekat pasien untuk menjadi narasumber. Hal tersebut dirasa menjadi kekurangan penelitian karena informasi yang penulis peroleh menjadi kurang terperinci. Namun diakhir wawancara penulis berusaha melakukan kroscek hasil wawancara dengan orangtua pasien.
C. Saran 1. Bagi Penelitian Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya, sebaiknya dilakukan penelitian lanjutan mengenai evaluasi terhadap pelayanan kesehatan jiwa di puskesmas dan rumah sakit jiwa di Bali, sehingga mampu mengetahui permasalahan yang terjadi pada pelayanan kesehatan jiwa. 2. Bagi Praktisi Psikologi Pendampingan untuk keluarga yang memiliki anak menderita skizofrenia perlu untuk dilakukan. Hal itu akan meningkatkan edukasi keluarga mengenai penyebab dan penanganan yang baik untuk merawat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
pasien, sehingga bisa mengurangi perilaku kesehatan yang buruk, seperti memasung atau tidak merawat pasien 3. Bagi Pihak Rumah Sakit Jiwa Karena banyaknya keluhan yang dirasakan oleh keluarga pasien, diharapkan pihak rumah sakit untuk 1) melakukan evaluasi terhadap program yang selama ini sudah dijalani, agar pengobatan yang diberikan bisa lebih diterima dengan baik oleh pihak pasien dan keluarga, 2) merancang dan membuat program psikoedukasi mengenai penyebab penyakit dan penanganan yang baik untuk pasien gangguan jiwa, 3) menyediakan tenaga ahli di beberapa puskesmas ataupun rumah sakit untuk membantu mempermudah pasien melakukan penanganan awal terhadap penyakit kejiwaan, selain itu tersedianya tenaga ahli disetiap puskesmas akan mempermudah suplay obat ke puskesmas dan rumah sakit setempat. 4. Bagi Para Keluarga yang Memiliki Anak Dipasung Keluarga diharapkan memberikan penanganan yang lebih baik untuk merawat pasien skizofrenia dan berhenti memasung pasien.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
American Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and statistical manual of mental disorders fourth edition text revision. In DSM-IV-TR. Arlington: American Psychiatric Association. Arif, I. S. (2006). Memahami dinamika keluarga pasien skizofrenia . Bandung: Refika Aditama. Azwar,R.A. (1996). Menuju pelayanan kesehatan yang lebih bermutu. Jakarta: Ikatan Dokter Indonesia. Chusairi, A. (2004). Health seeking behavior para pasien poli perawatan palitatif studi eksploratif terhadap lima pasien poli perawatan palitatif rsud dr. soetomo surabaya. Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, 11-12. Creswell, J. (2013). Research Design : Pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed edisi ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Davison, G. C. (2006). Psikologi abnormal. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Departemen Kesehatan. (2009). Menuju masyarakat sehat yang mandiri dan berkeadilan. Diakses dari www.depkes.go.id/resources/download/laporan/.../kinerja-kemenkes-20092011.pdf pada tanggal 19 Oktober 2016. Dewi, & Wawan. (2011). Teori dan pengukuran : pengetahuan, sikap, dan perilaku manusia. Yogyakarta: Nuha Medika. Drapalski, A., Marshall, T., Seybolt, D., Medoff, D., Leith, J., & Dixon, L. (2008). Unmet needs of families of adults with mental illness and preferences regarding family services. Psychiatric Services,657. Glanz, K., Rimer, B. K., & Viswanath. (2002). Health behavior and health education: Theory, Research, adn Practice (3rd ed.). ((Eds), Ed.) San Francisco: Jossey-Bass. Hariyanti, T., Harsono, & Prabandari, Y. S. (2015). Health seeking behaviour pada pasien stroke. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 28(3), 242-246. Huffman, K., Vernoy, J., Vernoy, M., & Vernoy, M. W. (2000). Psychology in action, 5th Edition. Hoboken New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Koolaee, A. K., & Eternadi, A. (2009). The outcome of two family interventions for the mothers of schizophrenia patients in iran. International Journal of Social Psychiatry, 56(6), 634646. Kementrian Sosial. (2013). Indonesia bebas pasung: pencapaian program. Diunduh dari http://sehat-jiwa.kemkes.go.id/detailkegiatandirektorat/7. pada tanggal 19 Oktober 2016 Lawrence, G. (1980). Health education planning a diagnnostic approach. Journal of Nutrition Education and Behavior. doi:http://dx.doi.org/10.1016/S0022-3182(86)80109-1 Lestari, P., Choiriyyah, Z., & Mathafi. (2014). Kecenderungan atau sikap keluarga penderita gangguan jiwa terhadap tindakan pasung (studi kasus di rsj gondho hutomo semarang). Jurnal Keperawatan Jiwa, 2(1), 14-23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems, 2(8). Moleong, J. (2010). Metode penelitian kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya. Newman, L. (2000). Social reasearch method : qualitative and quantitative approaches. Needham Heights: Allyn & Bacon. Notoatmodjo, P. D. (2010). Ilmu perilaku kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, R. A. (2011). Studi kualitatif : faktor yang melatarbelakangi drop out pengobatan tuberkulosis paru. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 90. Poerwandari, K. (2005). Pendekatan kualitatif untuk penelitian perilaku manusia. Jakarta: LPSP3 Universitas Indonesia. Republika (2000, 18 Maret). Pasien skizofrenia bisa sembuh. Diakses http://www.republika.co.id/cetak/ read/172854. pada tanggal 10 Oktober 2016
dari
Semiun, Y. (2006). Kesehatan mental 2. Yogyakarta: Kanisius. Setiadi. (2006). Konsep dan proses keperawatan keluarga (1 ed.). Yogyakarta: Graha Ilmu. Shaughnessy, J. J., Zechmeister, E. B., & Zechmeister, J. S. (2012). Metode penelitian dalam psikologi, Edisi 9. Jakarta: Salemba Empat. Silalahi, K., & Meinarno, E. (2010). Keluarga indonesia: aspek dan dinamika zaman. Jakarta: Rajawali Pers. Siswantoro, T. (2012). Analisis pengaruh predisposing, enabling dan reinforcing factors terhadap kepatuhan pengobatan tb paru di kabupaten bojonegoro. Jurnal administrasi dan kebijakan kesehatan. 10(3).152-158. Suharto, B. (2014). Budaya pasung dan dampak yuridis sosiologis (studi tentang upaya pelepasan pasung dan pencegahan tindakan pemasungan di kabupaten wonogiri). Indonesian Journal on Medical Science, 1(2).8-9 Sulianti, A. (2014). Tinjauan psikologi kesehatan pada penderita penyakit kaki gajah kronis di kabupaten badung. Jurnal Ilmiah Psikologi, 1(2), 186-203. Wardhani, R. S. (2013). Penerimaan keluarga pasien skizofrenia yang menjalani rawat inap. (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, 7-9. World Health Organization. (1988). Schizophrenia information for families. Department of Child and Adolescent Health and Development. Genava, Switzerland: WHO. World Health Organization. (2002). The world health report. Reducing Risks, Promoting Healthy Life. Genava, Switzerland:WHO. Widiastutik, W., Winarni, I., & Lestari, R. (2016). Dinamika resilience keluarga penderita skizofrenia dengan kekambuhan. The Indonesian Journal of Health Science, 144.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Wuryaningsih, E. W., Yani, A., & Helena , N. (2013). Studi fenomenologi : pengalaman keluarga mencegah kekambuhan perilaku kekerasan pasien pasca hospitalisasi rsj. Jurnal Keperawatan Jiwa,182-184. Zeithaml, V. A., Parasuraman, A., & Berr, L. L. (1990). Delivering quality service: balancing customer perceptions and expectations. New York: The Free Press, 24.