PEREKONOMIAN INDONESIA; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
PEREKONOMIAN INDONESIA; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Awan Santosa, SE., MSc
PEREKONOMIAN INDONESIA; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Oleh : Awan Santosa, SE., MSc
Edisi Pertama Cetakan Pertama, 2013
Hak Cipta 2013 pada penulis, Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
Ruko Jambusari No. 7A Yogyakarta 55283 Telp. : 0274-889836; 0274-889398 Fax. : 0274-889057 E-mail :
[email protected]
Santosa; Awan PEREKONOMIAN INDONESIA; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi/Awan Santosa - Edisi Pertama – Yogyakarta; Graha Ilmu, 2013 xvi + 232, 1 Jil. : 26 cm. ISBN:
978-979-756-
1. Perekonomian Indonesia;......
I. Judul
BAB ..... KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayahNya sehingga penulis dapat mempersiapkan naskah buku teks ini untuk diusulkan ke Direktorat Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Buku berjudul “Perekonomian Indonesia: Masalah, Potensi, dan Alternatif Solusi ini disusun sebagai sumbangsih pemikiran penulis untuk turut memecahkan berbagai permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi perekonomian Indonesia. Permasalahan mendasar bangsa baik berupa kemiskinan, ketimpangan, dan ketergantungan merupakan beberapa permasalahan pokok yang menjadi perhatian utama buku ini. Tentu saja dengan segenap potensi dan kekayaan sumber daya yang kita miliki, buku ini juga berupaya membangun optimisme untuk segera bangkit menjadi bangsa yang maju, besar, dan berdaulat. Buku ini mencoba memberikan berbagai pandangan penulis perihal berbagai arah dan metode pencapaian tujuan mulia tersebut. Buku ini secara khusus didedikasikan bagi mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia baik yang secara formal sedang mempelajari perekonomian Indonesia maupun yang terpanggil untuk turut serta dalam menggali setiap bentuk solusi bagi kemanjuan perekonomian bangsa. Di samping itu, buku ini diharapkan dapat menjadi rujukan bagi dalam upaya mengembangkan pendidikan ekonomi berbasis ke-Indonesia-an. Buku ini disusun dengan struktur dan sistematika hadap masalah, diawali dengan paparan perihal berbagai permasalahan di sektor kunci perekonomian Indonesia dan diakhiri dengan berbagai alternatif solusi ke depannya. Pada setiap bagian (bab) disusun pula dengan pendekatan di atas. Diharapkan sistematika dan isi buku ini mampu membangun cara (pikir) kritis-konstruktif yang dapat didayagunakan sebagai energy kemanjuan bangsa.
vi
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Penyusun berharap pengguna buku ini dapat tergerak untuk senantiasa mengikuti perkembangan terbaru perihal dinamika perekonomian Indonesia. Dengan basis pemikiran dalam buku ini penyusun juga menunggu setiap bentuk kontribusi pemikiran dan solusi dari pembaca atas berbagai pandangan dan permasalahan yang diuraikan dalam buku ini. Semoga bermanfaat.
Yogyakarta,
Awan Santosa
BAB ..... DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
v
DAFTAR ISI
vii
DAFTAR BAGAN
xi
DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I
BAB II
BAB III
xiii xv
SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
1
Sejarah Pra-Kolonialisme Sistem Monopoli VOC Sistem Tanam Paksa Sistem Ekonomi Kapitalis-Liberal Era Pendudukan Jepang Cita-Cita Ekonomi Merdeka Subversi Neokolonial
1 2 3 3 5 5 9
PERMASALAHAN POKOK PEREKONOMIAN INDONESIA
11
Permasalahan Mendasar Perekonomian Indonesia Akar Penyebab Permasalahan Permasalahan Kontemporer
12 13 15
PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM
19
Struktur Penguasaan Sumber Daya Alam Akar Penyebab Dominasi SDA Indonesia Alternatif Jalan Keluar Studi Artikel Ilmiah: Dimensi Kerakyatan Subsidi BBM Studi Gagasan: Nasionalisasi Migas Studi Kasus: Kontroversi Pasir Besi Kulon Progo Studi Kasus: Model Ketahanan Pangan Kabupaten Nganjuk Studi Kasus: Model Perkebunan Kelapa Sawit Kalimantan Tengah
19 20 22 22 30 33 57 64
viii
BAB IV
BAB V
BAB VI
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
PERTANIAN, PANGAN, DAN PERKEBUNAN
37
Kondisi dan Permasalahan Pertanian Transformasi Mode Pertanian Indonesia Liberalisasi Pertanian Indonesia Mengembalikan Kedaulatan Pertanian Indonesia Studi Artikel Ilmiah: Korporatokrasi dan Perlawanan Petani Sawit Studi Kasus: Ketimpangan Struktur Pertanian Imogiri
37 40 40 42 42 48
PERDAGANGAN INDONESIA
71
Kondisi dan Permasalahan Perdagangan Akar Penyebab Ketimpangan Struktur Pasar Alternatif Jalan Keluar Studi Gagasan: Pasar Tradisional dan Kemandirian Bangsa Studi Kasus: Pasar Tradisional DIY Terancam Studi Konsepsi: Model Pasar Mandiri Studi Konsepsi: Sekolah Pasar
71 74 77 78 80 86 95
PERBANKAN DAN KEUANGAN MIKRO Sejarah, Kondisi, dan Permasalahan Bank dan Pemerataan Pembangunan Studi Kasus: Pemberdayaan Perbankan Kutai Barat Studi Kasus: Keuangan Mikro Kulon Progo
BAB VII
PERKOPERASIAN INDONESIA Kondisi dan Permasalahan Koperasi Akar Penyebab Permasalahan Koperasi Alternatif Jalan Keluar Studi Kasus: Model Pengembangan Ko-operasi di Penajam Studi Gagasan; Pendirian Bursa Koperasi Indonesia
BAB VIII
101 103 105 107 115 116 117 118 126
PENGELOLAAN BUMN DAN BUMD Kondisi dan Permasalan: Privatisasi BUMN Alternatif Selain Privatisasi Arti Strategis Demokratisasi BUMN Kondisi dan Permasalahan: Privatisasi BUMD Pola Demokratisasi BUMD Arti Strategis Demokratisasi BUMD Prasyarat Demokratisasi BUMD Studi Kasus: Pengembangan Usaha PDAM Kabupaten Madiun
131 132 133 133 134 135 135 136
Daftar Isi
BAB IX
ix
PENGELOLAAN PERUSAHAAN SWASTA Pelajaran dari Grameen Bank Faktor Objektif Pola Kepemilikan Saham oleh Karyawan (ESOP) Faktor Subjektif Pola ESOP Misi, Aksi, dan Potensi Pola ESOP Studi Kasus: Penerapan Pola ESOP di DIY
BAB X
INDEKS DEMOKRASI EKONOMI INDONESIA Urgensi Demokrasi Ekonomi Landasan Legal – Formal Demokrasi Ekonomi Studi Literatur Pendukung Demokrasi Ekonomi Hasil Studi Formulasi Indeks Demokrasi Ekonomi Studi Kasus: Pengukuran IDEI di Kab. Penajam Paser Utara
BAB XI
205 207
EKONOMI PERDESAAN BERBASIS PENGETAHUAN Kondisi dan Permasalahan Iptek Desa Alternatif Pendidikan Tinggi Desa Studi Gagasan: Pembangunan Manusia Papua
BAB XIV
185 187
KEWIRAUSAHAAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA Kondisi dan Permasalahan Kewirausahaan Wirausaha Sosial dan Kemandirian
BAB XIII
157 160 162 166 179
MODEL INKUBATOR DESA EKONOMI KERAKYATAN Kondisi dan Permasalahan Umum Studi Kasus: Model Inkubator Ekora di Desa Nglanggeran
BAB XII
145 146 147 147 148
211 212 214
ILMU DAN PENDIDIKAN EKONOMI INDONESIA Permasalahan Ilmu Pendidikan, dan Perekonomian Pembaruan Mindset, Ilmu, dan Pendidikan Ekonomi Studi Gagasan: Social Entreprenur University
217 220 222
DAFTAR PUSTAKA
227
GLOSSARRIUM
233 -oo0oo-
x
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB I DAFTAR BAGAN
Bagan 4.1
Pola Pemasaran Produk Pangan Ketela Olahan di Sawahan
62
Bagan 4.2
Disain Outlet Pasar Pangan Olahan
63
Bagan 4.3
Disain Tela-mart dan Porang-mart di Nganjuk
63
Bagan 4.4
Model Perkebunan Kerakyatan (A)
69
Bagan 4.5
Model Perkebunan Kerakyatan (B)
70
xii
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB I DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Produksi Komoditi Eksploitasi di Indonesia
Gambar 7.1
Model Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan SDA
119
Gambar 7.2
Model Kemitraan Koperasi di Dalam dan Lintas Kecamatan
120
Gambar 7.3
Model Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan Komoditi Agribisnis di Kecamatan Babulu
Gambar 7.4
124
Sub Model: Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Perikanan di Kecamatan Waru
Gambar 7.6
122
Model Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Agro-Peternakan di Kecamatan Sepaku
Gambar 7.5
4
125
Model Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Ekowisata di Kecamatan Penajam
126
Gambar 7.7
Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta
129
Gambar 8.1
Frekuensi Konsumsi per-kelompok responden
137
Gambar 8.2
Pangsa AMDK di Madiun
137
Gambar 8.3
Setuju/Tidak Setuju PDAM membuat AMDK?
137
Gambar 8.4
Frekuensi Membeli AMDK
138
Gambar 8.5
Bentuk kemasan yang dikonsumsi berdasar wilayah
138
Gambar 9.1
Tabel Persepsi Responden terhadap Tingkat Upah
149
Gambar 9.2
Tabel Cara Pengambilan Keputusan
150
Gambar 9.3
Cara Pengambilan Keputusan Pola
150
Gambar 9.4
Ketepatan Kebijakan Perusahaan
151
Gambar 9.5
Respon Umum Karyawan terhadap Pola PS dan ESOP
152
Gambar 9.6
Persepsi Manfaat Penerapan Pola PS dan ESOP
152
xiv
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Gambar 9.7
Tingkat Kepuasan Perihal Partisipasi Karyawan dalam Pola
153
Gambar 10.1
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi (DP)
167
Gambar 10.2
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi
168
Gambar 10.3
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material
169
Gambar 10.4
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual 170
Gambar 10.5
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional
Gambar 10.6
171
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran I (Sebelum Revisi)
Gambar 10.7
175
Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran 2 (Sesudah Revisi)
176
Gambar 11.1
Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan di Desa Nglanggeran
188
Gambar 11.2
Pengembangan Ekowisata Berbasis Koperasi Pemuda
191
Gambar 11.3
Sumber Pemenuhan Karbohidrat
193
Gambar 11.4
Re-subtitusi Produk
194
Gambar 11.5
Pengembangan Ekora Trading Berbasis Koperasi Perempuan
195
Gambar 11.6
Pengembangan Ekota Farming Berbasis Koperasi Tani
202
-oo0oo-
BAB I DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Surplus Eksploitasi Komoditi Indonesia
4
Tabel 1.2 Surplus Perusahaan Swasta Besar Kolonial
5
Tabel 2.1 Matrik Peta Permasalahan Ekonomi Indonesia
16
Tabel 4.1 Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian di Indonesia
38
Tabel 4.2 Alih Fungsi Lahan Sawah di Indonesia
38
Tabel 4.3 Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Indonesia
39
Tabel 5.1 Regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan
81
Tabel 5.2 Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional Tabel 5.3 Aspek pelaku untuk mengembangkan modal material
83 84
Tabel 5.4 Beberapa model pengembangan pasar
85
Tabel 5.5 Indikasi Pasar Mandiri di Propinsi DIY
88
Tabel 5.6 Daftar Pasar yang dikelola Koperasi Pasar Tani Thames Valley
93
Tabel 5.7 Kurikulum Sekolah Pasar
97
Tabel 5.8 Struktur pengelola Sekolah Pasar sekurang-kurangnya terdiri atas
98
Tabel 8.1 Gap Harga AMDK Berlaku dan Harga Diharapkan
139
Tabel 8.2 Struktur dan peta konsumen produk AMDK di Kabupaten Madiun
140
Tabel 8.3 Struktur industri AMDK di Kabupaten Madiun
141
Tabel 8.4 Data makro daerah Kabupaten Madiun
142
Tabel 9.1 Keberadaan Pola PS dan ESOP pada 27 Perusahaan Responden
149
Tabel 9.2 SWOT Kondisi Pendukung/Penghambat Realisasi PS dan ESOP
153
Tabel 9.3 Strategi Kebijaksanaan Terhadap Aspek-aspek Perdesaan
130
Tabel 10.1 Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
171
Tabel 10.2 Nilai Skor Aplikasi Metode Delphi Putaran II
174
Tabel 10.3 Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia Putaran II (Revisi)
176
xvi
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Tabel 10.4 Analisis Indeks Demokrasi Ekonomi (Ekonomi Kerakyatan) Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2010
179
Tabel 10.5 Analisis Variabel dan Implikasi Kebijakan
-oo0oo-
181
BAB I SEJARAH PEREKONOMIAN INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian pembuka ini akan khusus dibahas perihal sejarah perekonomian Indonesia. Pembahasan difokuskan pada kajian terhadap fase-fase sejarah dan mode kolonialisme ekonomi Indonesia yang melibatkan beberapa pelaku berbeda. Dipaparkan pula cita-cita kemerdekaan ekonomi para pendiri bangsa, serta berbagai upaya sistematis untuk terus melanggengkan kolonialisme ekonomi, termasuk setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c.
d.
Memahami sejarah perekonomian Indonesia dan kaitannya dengan situasi perekonomian Indonesia kekinian Memahami berbagai mode dan bentuk penjajahan ekonomi dalam setiap fase sejarahnya dan perkembangannya saat ini. Memiliki cara pikir (mindset) kebangsaan, kemandirian, dan tidak melupakan sejarah (jas merah) sebagai modalitas sosial dalam melanjutkan pewujudkan cita-cita kemerdekaan ekonomi para pendiri bangsa. Menggunakan pendekatan historis dalam mengkaji dinamika perekonomian Indonesia kontemporer di berbagai bidang strategisnya.
SEJARAH PRA‐KOLONIALISME Profesor Arysio seorang geolog nuklir dari Brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dan vulkanologi-nya selama 30 tahun untuk menemukan sebuh tempat yang dikenal sebagai Atlantis, tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat itu tidak lain dan tidak bukan adalah bumi yang saat ini kita pijak dan diami, yaitu Indonesia. Penemuan ini diperkuat Openheimer dalam yang menyebut Indonesia sebagai “eden from east”, surga dari timur, karena kemajuan dan keelokannya yang luar biasa.
2
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Jauh sebelum bangsa Eropa dan Amerika berlayar mengarungi samudera Pasifik dan Atlantik disebutkan bahwa nenek moyang kita, bangsa Indonesia, sudah menempuh perjalanan berat dan hebat sampai ke Afrika. Hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai situs peninggalan di beberapa wilayah di Jawa Timur dan Jawa Tengah, di mana terdapat kemiripan dengan situs-situs yang terdapat di negaranegara tersebut. Pada fase selanjutnya kita mengenal masa kejayaan kerajaan Sriwijaya, Samudera Pasai, dan Majapahit yang sudah berhubungan dagang dengan banyak bangsa lain di berbagai belahan dunia. Persinggungan sosial, ekonomi, agama, dan budaya dengan para pedagang Arab yang membawakan pula ajaran agama Islam telah turut memajukan kegiatan di sektor perniagaan dan pelayaran. Pasar-pasar sebagai tempat berdagang dan syiar mulai bermunculan menjadi tempat pertukaran antarpenduduk yang umumnya bermukim di wilayah pesisir pantai. Perkembanganya kemudian mendorong berkembangnya Kesultanan dan Kesunanan yang menjadi kekuatan politik baru di Pulau Jawa, Sumatera, dan Maluku. Sebuah perubahan politik ekonomi terjadi ketika pada tahun-tahun berikutnya datang para petualang dan pedagang besar dari Spanyol, Portugis, dan Belanda. Dengan kekuatan politik, bisnis, dan militernya mereka menguasai perekonomian nusantara, melalui monopoli perdagangan dan penguasaan komoditi, pasar, dan tenaga kerja Indonesia. Dimulailah era baru kolonialisme ekonomi yang meliputi hampir seluruh wilayah nusantara. Dalam kurun waktu panjang kolonialisme ekonomi mengalami berbagai perubahan mode (sistem), yang selalu disertai dengan perlawanan tiada henti oleh para pahlawan bangsa. Sejarah ekonomi bangsa Indonesia pasca kejayaan kerajaan nusantara tersebut kemudian lekat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi oleh bangsa lain. Keluar dari hisapan kongsi dagang monopolis VOC, ekonomi rakyat Indonesia dijerat sistem tanam paksa (cultuurstelsel-1830) yang diterapkan pemerintah Hindia Belanda untuk memenuhi kebutuhan komoditi mereka (Eropa). 40 tahun kemudian (1870), giliran perusahaan swasta Belanda (asing) yang menguasai perkebunan kita melalui pemaksaan sistem kapitalis-liberal. Indonesia diperlakukan sebagai ondernaming besar dan penyedia buruh murah bagi pasar luar negeri. Ekonomi rakyat (pribumi) tetap sebagai korban keserakahan kolonialis hingga merdeka tahun 1945. Paparan fase-fase kolonialisme Indonesia disampaikan Profesor Mubyarto terbagi dalam tiga fase; sistem monopoli VOC, sistem tanam paksa, dan sistem kapitalis-liberal.
SISTEM MONOPOLI VOC Profesor Mubyarto menyebutkan bahwa pada 200 tahun pertama masa kolonialisme (1600 – 1800), persatuan Pedagang Belanda (VOC) menerapkan sistem monopoli (monopsoni) dalam membeli komoditi-komoditi perdagangan seperti rempah-rempah (lada dan pala, cengkeh, kopi dan gula), sehingga harganya tertekan karena ditetapkan sepihak oleh VOC. Meskpun VOC bukan pemerintah penjajah Belanda, tetapi petani Indonesia merasa VOC mempunyai kekuasaan dan daya-paksa seperti pemerintah karena VOC juga mempunyai aparat “pemerintahan”, bahkan memiliki tentara. Itulah sebabnya Companie rdiucapkan orang Indonesia sebagai kumpeni yang tidak lain berarti “tentara” yang dapat memaksa-maksa petani menyerahkan komoditi perdagangannya yang “dipaksa beli” oleh VOC
Sejarah Perekonomian di Indonesia
3
Selanjutnya setelah VOC bubar (bangkrut tahun 1799), pemerintah penjajah Belanda tidak segera menemukan cara-cara tepat untuk mengekploitasi Indonesia, bahkan pemerintah ini terhenti sementara (1811-1816) karena penguasaan atas Indonesia diambil alih oleh Inggris pada saat Belanda di duduki Jerman, dan pemerintah Belanda mengungsi ke Inggris. Letnan Gubernur Thomas Robert Raffles memperkenalkan sistem sewa tanah untuk mengefisienkan tanah jajahan. Sistem sewa tanah ini tidak segera diambil alih pemerintah penjajah Belanda setelah Indonesia (Hindia Belanda ) diserahkan kembali kepada Belanda.
SISTEM TANAM PAKSA Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut karena terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro 1825-1830), dan Perang Paderi di Sumatera Barat (1821-1837), Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Culture Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan yang besar. Sistem tanam paksa ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman tertentu dan sekaligus menjualnya pada harga yang ditetapkan kepada pemerintah. Maka tidak ada perkembangan yang bebas dari sistem pasar. Selain itu kehidupan rakyat kecil (ekonomi rakyat) makin berat karena penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 73 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak. Produksi pangan rakyat merosot dan timbul kelaparan di berbagai tempat di jawa. Tanam Paksa adalah sistem ekonomi yang merupakan noda hitam bagi sejarah penjajahan Belanda di Indonesia, meskipun bagi pemerintah Belanda dianggap berhasil karena memberikan sumbangan besar bagi kas pemerintah. Selama sistem tanam paksa kas pemerintah jajahan Belanda mengalami surplus (batig slot). Sistem tanam paksa yang kejam ini setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda di hapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi diluar Jawa masih terus berlangsung sampai 1915.
SISTEM EKONOMI KAPITALIS LIBERAL Sistem ekonomi ke-3 dan terakhir pada jaman penjajahan yang berlangsung sampai Indonesia merdeka adalah sistem ekonomi kapitalis liberal, yang pelaku penentu utamanya bukan lagi pemerintah tetapi pengusaha swasta, sedangkan pemerintah sekedar sebagai penjaga dan pengawas melalui peraturan-peraturan per-undang-undangan. Undang-undang pertama yang menandai sistem baru ini adalah UU Agraria tahun 1870, yang memperbolehkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta menyewa lahan-lahan yang luas untuk jangka waktu sampai 75-99 tahun, untuk ditanami tanaman keras seperti karet, teh, kopi, kelapa sawit, atau untuk tanaman semusim seperti tebu dan tembakau. Tabel-tabel di bawah menggambarkan produksi gula, minyak, karet, kopi, tembakau, kopra, dan komoditi lainnya yang dieksploitasi oleh pihak colonial dari kurun waktu tahun 1870 sampai dengan 1940.
4
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Gambar 1.1 Produksi Komoditi Eksploitasi di Indonesia Tabel 1.1 Surplus Eksploitasi Komoditi Indonesia 1840-1844
1845-1849
Coffee
40 278
24 549
Sugar
8 218
4 136
Indigo,
7 836
7 726
647
1 725
39 341
35 057
Pepper, Tea Total net profits
Pada saat tanaman-tanaman perdagangan ini mulai dikembangkan, di beberapa daerah rakyat sudah lebih dulu menanaminya, sehingga terjadi persaingan antara perkebunan-perkebunan besar dengan perkebunan-perkebunan rakyat. Dalam persaingan antara dua sub-sistem perkebunan inilah mulai muncul masalah peranan yang tepat dan adil dari pemerintah. Di satu pihak pemerintah ingin agar perusahaanperusahaan besar memperoleh untung besar sehingga pemerintah mendapat bagian keuntungan berupa pajak-pajak perseroan atau pajak pendapatan dari staf dan karyawan. Tetapi di pihak lain penduduk pribumi yaitu pekebun-pekebun kecil (perkebunan rakyat) yang sebelumya sudah mengembangkan tanaman-tanaman ini “tidak boleh dirugikan” terutama dalam pemasaran hasilnya. Terutama dalam produksi dan pemasaran karet persaingan segera timbul, dan pemerintah yang tentunya berkepentingan meningkatkan kemakmuran rakyat tidak boleh membiarkan merosotnya kemakmuran rakyat ini, sehingga harus terus menerus mengawasi hubungan antara keduanya. Misalnya pada saat harga karet jatuh pada awal tahun 1920-an ada usulan pembatasan produksi karet
Sejarah Perekonomian di Indonesia
5
(Stevensen Restriction Scheme) dari pemerintah penjajahan Inggris di Malaya yang tidak disambut baik oleh pemerintah Hindia Belanda. Perkebunan karet rakyat memiliki daya tahan jauh lebih kuat menghadapi krisis ketimbang perusahaan-perusahaan perkebunan besar. Tabel di bawah menggambarkan penerimaan perusahaan swasta besar kolonialis yang mengeksploitasi dan menjual berbagai komoditi ekspor ke pasaran Eropa dari tahun 1831-1870. Tabel 1.2 Surplus Perusahaan Swasta Besar Kolonial 1831/40
1841/50
1851/60
1861/70
Gross revenues of sale of colonial products
227.0
473.9
652.7
641.8
Costs of transport etc (NHM)
88.0
165.4
138.7
114.7
Sum of expenses
59.2
175.1
275.3
276.6
Total net profits*
150.6
215.6
289.4
276.7
ERA PENDUDUKAN JEPANG Pada zaman pendudukan Jepang dan awal kemerdekaan, ekonomi rakyat makin berkembang dengan pemasaran dalam negeri yang makin luas ditambah pasar luar negeri yang ditinggalkan perkebunan-perkebunan besar yang mulai mundur. Dan dalam hal komoditi tebu di Jawa tanaman tebu rakyat mulai berperanan besar menyumbang pada produksi gula merah (gula mangkok) baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor. Pada tahun 1975 pemerintah yang mulai pusing mengelola industri gula di Jawa membuat putusan mengagetkan dengan Inpres No. 9/1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) yang melarang pabrik-pabrik gula (pemerintah maupun swasta ) menyewa lahan milik petani. Semua tanah sawah dan tanah kering harus ditanami tebu rakyat karena tanaman rakyat dianggap lebih unggul khususnya secara ekonomis dibanding tanaman perkebunan besar/pabrik, dan yang paling penting pemerintah ingin menghilangkan konflik-konflik yang selalu terjadi antara pabrik-pabrik gula dan rakyat pemilik tanah. Kebijaksanaan TRI ini gagal total karena mengabaikan kenyataan pemilikan tanah rakyat yang sudah sangat sempit, yang mempunyai pilihan (alternatif) untuk di tanami padi. Karena tebu sebagai bahan baku untuk gula harganya ditetapkan pemerintah, sedangkan untuk padi tidak, maka di mana pun petani memilih menanam padi. Akibatnya tujuan untuk menaikkan produksi dan produktivitas tebu tidak tercapai (produksi gula merosot), dan Inpress TRI ini dicabut pada tahun 1998 setelah sangat terlambat, dan membuat kerusakan besar pada industri gula di Jawa. Dewasa ini industri gula di Jawa termasuk salah satu industri yang paling sakit di Indonesia.
CITA‐CITA EKONOMI MERDEKA Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang. Struktur ekonomi terkait dengan kekuasaan dan kemampuan ekonomi-politik sehingga mereka yang masuk dalam kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya
6
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar: 1) Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka. 2) Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini. 3) Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis. Dalam pandangan para founding fathers, terutama Soekarno-Hatta, merdeka berarti merdeka secara politik dan ekonomi. Untuk itu, pasca kemerdekaan perlu adanya reformasi sosial, yaitu suatu agenda nasional untuk mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosial-ekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut. “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960). Hal itu antara lain disebabkan oleh kesadaran Bung Hatta bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong-pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932). Agenda reformasi sosial berupa demokratisasi ekonomi untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia telah dirumuskan sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam filosofi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya pasal 33. Muhammad Hatta merumuskannya
Sejarah Perekonomian di Indonesia
7
dalam sebuah konsep tentang Sistem Ekonomi Indonesia, yaitu Sistem Ekonomi Kerakyatan. Dalam Sistem Ekonomi Kerakyatan, semua aktivitas ekonomi harus disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep Sistem Ekonomi Kerakyatan inilah yang kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional. Pilar Sistem Ekonomi Indonesia yang sejalan dengan agenda reformasi sosial dan kemudian dituangkan dalam UUD 1945 pasal 33 tersebut meliputi: 1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. 2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3) Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasarkan pasal tersebut, tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, “produksi untuk semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh).
8
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anakanak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia. Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat sepertihalnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia. Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional. Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan anggotaanggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berdasar cita-cita konstitusional tersebut maka dapat dipahami perlunya peran negara yang kuat untuk menyusun (mengatur) perekonomian (tatanan, bangun usaha, dan wadah ekonomi) nasional dan dihindarkannya perekonomian nasional yang (kembali) dikuasai bangsa dan korporasi asing (kekuatan pasar bebas). Negara perlu mengarahkan agar bangun usaha ekonomi yang tumbuh berkembang adalah bangun usaha yang bertumpu pada usaha bersama (kolektivitas) dan berasas kekeluargaan (kebersamaan) seperti-halnya koperasi, dan bukannya (kembali) bertumpu pada asas perorangan (individual-korporasi) dan persaingan bebas (kapitalistik-liberal). Berpijak pada dasar hukum itu pula maka negara berperan vital dalam menguasai dan mengelola cabang (faktor-faktor) produksi dan aset strategis nasional yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang pengelolaannya dilakukan melalui keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Peranan swasta dimungkinkan sebatas pada aktivitas ekonomi yang faktor produksinya tidak berkaitan dengan hajat hidup orang banyak. Hal ini karena sesuai amanat konstitusi (penjelasan Pasal 33) bahwa jika tampuk produksi jatuh ke tangan orang perorang, maka rakyat yang banyak akan ditindasinya. Persis akan terjadi kembali seperti pada era sistem ekonomi kolonial di mana ekonomi rakyat ditindasi pemerintah dan korporasi asing (kolonial).
Sejarah Perekonomian di Indonesia
9
SUBVERSI NEOKOLONIAL Proklamasi kemerdekaan RI dan disusunnya Undang-Undang Dasar 1945 tidak serta merta menyurutkan pihak colonial Belanda dan sekutunya untuk tetap berkuasa di bumi Indonesia. Di tengah upaya untuk menyiapkan negara yang baru saja didirikan, pihak colonial tersebut tidak henti-hentinya berusaha melakukan upaya subversi dan penggagalan terhadap cita-cita kemerdekaan Indonesia. Dengan bantuan sekutu yang dipimpin oleh Amerika dan Inggris, maka berbagai upaya subversive telah ditempuh oleh pihak colonial Belanda dan perusahaan multinasional lain yang sudah puluhan tahun menguasai kekayaan alam Indonesia. Dr. Revrisond Baswir menyebutkan sekurang-kurangnya terdapat sepuluh agenda (bentuk) subversi pihak colonial untuk menjegal pelaksanaan agenda pemerdekaan ekonomi Indonesia dan penyelenggaraan ekonomi kerakyatan. Secara ringkas, subversi-subversi yang dilakukan tersebut diuraikan sebagai berikut. Pertama, terjadinya agresi I dan II pada 1947 dan 1948. Tujuan utamanya adalah untuk mencegah berdirinya NKRI yang berdaulat dalam bidang politik, mandiri dalam bidang ekonomi, dan berkepribadian dlam bidang kebudayaan. Kedua, dipaksanya bangsa Indonesia untuk memenuhi tiga syarat ekonomi guna memperoleh pengakuan kedaulatan dalam forum Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949. Ketiga syarat ekonomi itu adalah: (1) bersedia menerima warisan utang Hindia Belanda sebesar 4,3 milliar gulden; (2) bersedia mematuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF); dan (3) bersedia mempertahankan keberadaan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Indonesia. Ketiga, dilakukannya berbagai tindakan adu domba menyusul dilakukannya tindakan pembatalan KMB secara sepihak oleh pemerintah Indonesia pada 1956 dan dilakukannya nasionalisasi perusahaanperusahaan Belanda pada 1957. Tindakan-tindakan itu antara lain terungkap pada meletusnya peristiwa PRRI/Permesta pada 1958. Keempat, diselundupkannya sejumlah sarjana dan mahasiswa ekonomi Indonesia ke Amerika Serikat untuk mempelajari ilmu ekonomi yang bercorak liberal-kapitalistik sejak 1957. Para ekonom yang kemudian dikenal sebagai Mafia Berkeley ini sengaja dipersiapkan untuk mengambil alih kendali pengelolaan perekonomian Indonesia pasca penggulingan Soekarno pada 1966, yaitu untuk memutar balik haluan perekonomian Indonesia sesuai dengan kepentingan pihak kolonial. Kelima, dilakukannya sandiwara politik untuk menggulingkan pemerintahan Soekarno pada 30 September 1965, yaitu pasca terbitnya UU No. 16/1965 pada Agustus 1965, yang secara tegas menolak segala bentuk keterlibatan modal asing di Indonesia. Keenam, dipaksanya Soekarno untuk menandatangani empat UU sebelum ia secara formal dilengserkan dari kekuasaanya. Keempat UU itu adalah: (1) UU No. 7/1966 tentang penyelesaian masalah utang-piutang antara pemerintah Indonesia dan pemerintah Belanda; (2) UU No. 8/1966 tentang pendaftaran Indonesia sebagai anggota ADB; (3) UU No. 9/1966 tentang pendaftaran kembali Indonesia sebagai anggota IMF dan Bank Dunia; dan (4) UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA).
10
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Ketujuh, dibangunnya sebuah pemerintahan kontra-revolusioner di Indonesia sejak 1967. Melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Soeharto ini, para ekonom “Mafia Berkeley” yang sejak jauh-jauh hari telah dipersiapkan oleh AS, secara sistematis berusaha membelokkan haluan perekonomian Indonesia, yaitu dari ekonomi kerakyatan menuju ekonomi pasar neoliberal. Tindakan pembelokan orientasi tersebut didukung sepenuhnya oleh Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, USAID, dan Asian Development Bank (ADB) dengan cara mengucurkan utang luar negeri. Kedelapan, dilakukannya proses liberalisasi besar-besaran sejak 1983, yaitu melalui serangkaian kebijakan yang dikemas dalam paket deregulasi dan debirokratisasi. Sebagaimana diketahui, muara deregulasi dan debirokratisasi ini adalah pada terjadinya krisis moneter maha dahsyat pada 1997/98. Kesembilan, dipaksannya Soeharto untuk menandatangani nota kesepahaman yang memerintahkan pelaksanaan agenda-agenda ekonomi neoliberal oleh IMF pada 1998, yaitu sebelum ia secara resmi dipaksa untuk mengakhiri kekuasannya melalui sebuah gerakan politik yang dikenal sebagai gerakan reformasi. Perlu diketahui, dalam sejarah perekonomian Inggris, gerakan reformasi serupa dimotori antara lain oleh David Hume, Adam Smith, David Ricardo, Thomas R. Malthus, dan John S. Mill (Giersch,1961). Kesepuluh, dilakukannya amandemen terhadap Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan landasan konstitusional sistem ekonomi kerakyatan pada 2002. Upaya amandemen ini semula dimaksudkan untuk mengganti Pasal 33 UUD 1945 seluruhnya. Tetapi melalui perdebatan yang cukup sengit, ayat 1, 2, dan 3, berhasil dipertahankan. Walaupun demikian, kalimat penting yang terdapat dalam penjelasan Pasal 33 UUD 1945, yang berbunyi, “Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi,” turut menguap bersama hilangnya penjelasan pasal tersebut.
-oo0oo-
BAB II PERMASALAHAN POKOK PEREKONOMIAN INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian awal ini akan dibahas perihal berbagai permasalahan mendasar perekonomian Indonesia kontemporer yang bersifat sistemik dan struktural. Permasalahan diuraikan secara naratif dengan alur dan kerangka pikir ke-Indonesiaan, serta dilengkapi data-data pendukung yang aktual. Setelah mempelajari bagian ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b.
c. d.
Menganalisis dan memaparkan berbagai permasalahan mendasar yang dihadapi oleh perekonomian Indonesia Memahami akar penyebab berbagai permasalahan tersebut dan keterkaitannya dengan berbagai pelaku ekonomi baik di dalam maupun di luar negeri, serta kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dan DPR. Memiliki cara pikir (mindset) kritis-konstruktif dalam menghadapi dan memecahkan berbagai permasalahan perekonomian Indonesia. Memberikan berbagai alternatif solusi yang masuk akal dan operasional sesuai dengan akar masalah dan potensi sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia.
PERMASALAHAN MENDASAR PEREKONOMIAN INDONESIA Berdasarkan data statistik dunia seperti ditulis oleh Krisnamurthi (2009), Indonesia dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia adalah penghasil pertanian terbesar keenam dunia dengan nilai keluaran sekitar 60 miliar dollar Amerika Serikat (2007). Indonesia adalah produsen biji-bijian pangan (sereal) terbesar kelima dan produsen buah-buahan terbesar kesepuluh di dunia. Indonesia juga produsen beras nomor tiga di dunia setelah China dan India meskipun juga merupakan konsumen terbesar ketiga juga setelah China dan India. Selain itu Indonesia adalah produsen minyak sawit mentah (CPO) terbesar dunia, nomor tiga untuk karet dan kakao, nomor empat untuk kopi, dan nomor enam untuk teh.
12
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Demikian begitu besarnya bangsa Indonesia yang sudah dikaruniai kelimpahan kekayaan alam yang luar biasa telah turut memberikan kemakmuran bagi dunia. Bahkan bukan hanya itu, Profesor Arysio seorang geolog nuklir dari Brasil dalam riset oceanografi, etnografi, geologi, dan vulkanologi-nya selama 30 tahun untuk menemukan sebuh tempat yang dikenal sebagai Atlantis, tempat asal mula peradaban dunia, berkesimpulan bahwa tempat itu tidak lain dan tidak bukan adalah bumi yang saat ini kita pijak dan diami, yaitu Indonesia. Namun, ditengah kebesaran dalam jumlah dan angka-angka Indonesia tersebut, kiranya sungguh prihatin mencermati situasi perekonomian bangsa kita saat ini, khususnya keadaan masyarakat desa 65 tahun setelah merdeka. Pertama, ekonomi Indonesia masih menjadi pemasok bahan mentah sepertihalnya migas, batubara, emas, CPO, kakao, susu, dan berbagai produk mentah lainnya bagi pihak luar negeri. Semua kekayaan tersebut berada di desa, tetapi dari total 31 juta penduduk miskin kita saat ini sebagian besarnya berada di desa. Kedua, ekonomi Indonesia masih menjadi pasaran bagi pabrik atau perusahaan pertanian, susu, air minum, dan otomotif dari luar negeri. Hampir semua sumber daya (bahan baku) produk tersebut ada di desa, tetapi desa pun masih menjadi pasaran produk perusahaan luar desa (luar negeri). Bangsa kita makin hanya menjadi bangsa pasar, sungguhpun kita masih memiliki banyak pasar (tradisional). Bangsa kita lebih banyak membeli, ketimbang membuat dan mengkreasi. Ironis ketika saat ini urusan di kamar mandi dan dapur pun kita pasrahkan pada pemodal yang berada nun jauh di Den Hag, New York, ataupun Paris. Padahal kita tahu bahwa sebuah bangsa tanpa kecukupan industrialis dan wirausahawan, maka kegiatan ekonominya justru lebih memperbesar usaha dan memperbanyak pekerjaan bagi bangsa luar. Dan akhirnya pun nasib terus saja memaksa saudara kita di Sumenep, Makasar, Tegal, Pasuruan, dan kota-kota lainnya berebut zakat di antrian, terpuruk di jalan tol, jembatan layang, bantaran sungai, dan berbagai area kumuh kota-kota besar. Ketiga, ekonomi Indonesia masih menjadi tempat pemutar kelebihan modal pihak luar negeri, baik melalui pasar modal, pasar uang, maupun utang luar negeri. Sampai saat ini total utang luar negeri kita telah mencapai lebih dari Rp. 600 Trilyun, sehingga total utang kita mencapai sebesar Rp. 1.300 Trilyun, dan terus bertambah jumlahnya dari tahun ke tahun. Pembangunan desa melalui skim PNPM dan sebagainya pun terus dibiayai dengan membengkaknya utang luar negeri dan ketergantungan finansial pada pihak luar negeri. Pada saat yang sama hampir 70% perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sudah dimiliki pemodal dari luar negeri. Pun lebih dari 85% kontrak-kontrak karya pertambangan masih dipegang oleh kontraktor dari luar negeri. Keempat, bangsa kita masih mengalami ketergantungan yang parah dalam hal penyusunan UndangUndang yang terkait dengan pengelolaan ekonomi nasional sepertihalnya UU BUMN, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, dan sebagainya pada pihak luar negeri. UU tersebut member keleluasaan bagi pihak luar negeri untuk mengelola kekayaan alam di Indonesia, dan prakteknya telah lama makin memerosotkan keberdikarian dan kooperasi rakyat di pelosok-pelosok desa.
Masalah Pokok Perekonomian Indonesia
13
Dan kelima, bangsa kita pun masih menjadi pemasok tenaga kerja yang diupah murah bagi perusahaan dan atau pihak-pihak lain di luar negeri. Sebagian besar dari mereka, terutama Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang seringkali menjadi korban eksploitasi, marjinalisasi, dan penyiksaan baik di Malaysia, Arab Saudi, dan negara lainnya, adalah berasal dari desa, seperti yang dialami saudara kita Sumiati dan yang lainnya. Padahal negara dengan jumlah penduduk lebih besar dari bangsa kita tidak mengirimkan tenaga kerja tidak terampilnya ke luar negeri. Bukankah tidak ada Tenaga Kerja India, meskipun penduduknya dua kali lipat dibanding kita. Pun tidak ada juga Tenaga Kerja China dengan penduduknya yang lebih dari semilyar jumlahnya. Situasi ini kiranya menunjukkan betapa kita masih mengingkari atau bahkan mengkhianati cita-cita kemerdekaan dan konstitusi, yang tentu saja adalah pertanda bahwa kita belum menjadi bangsa yang pandai bersyukur. Belumnya kita menjadi tuan di negeri sendiri, belumnya kita sanggup berdiri di atas kaki sendiri, dan belum lebih bermartabat serta penuh percaya dirinya kita sebagai sebuah bangsa adalah pertanda jelas itu. Antara cita-cita dan realita, antara konstitusi dan yang terjadi, hari ini sungguh masih jauh panggang daripada api.
AKAR PENYEBAB PERMASALAHAN Pergantian rezim pasca Pemilu di Indonesia tidak pernah diikuti dengan perubahan Tim Ekonomi yang sekedar penerus Mafia Berkeley yang menganut jalan ekonomi neoliberal. Di awal jalan, kebijakan yang ditempuh rezim pemerintahan condong pada jalan Konsensus Washington, yaitu penerapan deregulasi, liberalisasi, privatisasi, dan penghapusan subsidi.Pilihan jalan liberalisasi dilakukan pada hampir semua sektor vital ekonomi nasional. Setelah liberalisasi keuangan dan perdagangan, liberalisasi pertanian dilakukan dengan membuka kran impor beras seluas-luasnya. Akibatnya bukan saja petani lokal yang terpukul, tetapi ketergantungan pangan kepada pihak luar dan korporasi asing yang bergerak di sektor pertanian pun juga kian besar. Tidak cukup hanya itu, liberalisasi migas pun dipaksakan melalui penyerahan harga BBM pada mekanisme pasar (pengurangan subsidi), keleluasaan ekspansi korporasi migas asing, dan kenaikan harga BBM sebagai klimaksnya. Tak pelak, sektor riil mengalami kemunduran dan terparah dialami industri dan pertanian rakyat. Pesta jaringan modal internasional kiranya makin lengkap dengan dilanjutkannya skema penggadaian aset-aset strategis dan penjualan (privatisasi) perusahaan nasional (BUMN). Tak kurang dilepasnya ladang migas Cepu oleh pemerintah makin memerosotkan derajat kebangsaan ekonomi kita. Proses ini terus berjalan, dan diharapkan akan terus berjalan di masa yang akan datang. Oleh karenanya, jalan deregulasi-lah yang juga dilanjutkan hingga rezim SBY-JK. Keleluasaan ekspansi modal internasional untuk menguasai kekayaan Indonesia tidak cukup dilegalisasi melalui UU Sumber Daya Air dan UU Migas, tetapi juga disempurnakan dengan UU Penanaman Modal yang disahkan Maret 2007 yang lalu. Di arus jalan neoliberal ini pulalah bangsa kita tidak mampu berbuat banyak dalam membuat alternatif kebijakan utang luar negeri. Pemerintah membuat terobosan dengan membubarkan CGI, tetapi tidak cukup konsisten untuk menahan agar bangsa kita tidak lagi berutang ke luar negeri. Debt
14
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Outstanding pemerintah justru naik dari 74,66 milyar US Dollar (2002) menjadi 81,23 milyar US Dollar (triwulan III 2007). Belum lagi obligasi (SUN) yang rajin dijual setiap tahunnya ke pasar internasional. Alhasil pendarahan APBN terus berlangsung karena seperempatnya digunakan hanya untuk membayar cicilan bunga dan pokok utang luar negeri. Hal ini aneh mengingat tersedianya banyak modal domestik di Indonesia. Pada tahun 2006 total dana simpanan seluruh Bank Umum di Indonesia sebesar Rp. 1.199 trilyun. Sementara yang disalurkan sebagai kredit baru sebesar Rp. 723,72 trilyun (60,3%). Jumlah simpanan bentuk SBI bank umum. per Desember 2006 sebesar Rp 343,455 triliun, meningkat pada Februari 2007 menjadi Rp. 364,11 triliun (28,6% dari total simpanan). Jumlah simpanan BPD se-Indonesia pada tahun 2007 sebesar Rp. 129,63 trlyun, yang sebesar 34,52 trilyun disimpan dalam SBI Bank Indonesia (26,6%) (Koran Sindo, 2007). Dana murni Pemda di instrumen Bank Indonesia sendiri sekitar Rp. 43 trilyun (ibid). Di tengah jalan, stabilitas ekonomi makro kiranya belum mewujud pada kemandirian dan kedaulatan ekonomi nasional. Alih-alih itu, jalan ekonomi neoliberal yang ditempuh melalui deregulasi, liberalisasi, dan privatisasi selama ini kian mengarahkan kondisi (struktur) perekonomian Indonesia ke dalam proses “asingisasi”. Demikian kegelisahan bersama kita. Jalan ekonomi neoliberal yang diterapkkan hingga rezim pemerintahan saat ini telah tidak dapat dibedakan secara jelas dengan jalan ekonomi kolonial (neokolonialisme). Jalan ekonomi neoliberal yang senantiasa ditempuh pemerintah telah mengembalikan hegemoni modal internasional yang telah coba dirubuhkan oleh Bapak Pendiri Bangsa. Kuatnya arus de-nasionalisasi ekonomi selama ini telah membentuk kembali susunan ekonomi Indonesia di bawah dominasi korporasi asing (pemodal internasional) yang kini menguasai 85,4% konsesi pertambangan migas, 70% kepemilikan saham di Bursa Efek Jakarta, dan lebih dari separuh (50%) kepemilikan perbankan di Indonesia (Forum rektor Indonesia, 2007). Menyedihkan memang. 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia masih dikuasai oleh korporasi asing, yang juga menduduki 10 besar produsen migas di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Sementara itu, delapan di antara 10 besar produsen gas di tanah air pun dikuasai asing. Total E&P Indonesie menempati peringkat pertama dengan total produksi gas mencapai 2.513 juta kaki kubik per hari dan Pertamina diperingkat kedua dengan total produksi 948,9 mmscfd (Investor Daily, 2007). Di sisi lain, jalan ekonomi neoliberal SBY-JK telah kian menjauh dari perwujudan demokrasi ekonomi. Ketimpangan struktural ekonomi Indonesia justru kian melebar. Pelaku ekonomi rakyat (UMKM) Indonesia yang pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%) hanya menikmati 37,6% ”kue produksi nasional”, sedangkan minoritas pelaku usaha besar (0,1%) justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Hasil produksi yang dinikmati usaha besar (korporasi) ini naik 3,6% dibanding tahun 2003 yang sebesar 43,1%. Data perbankan menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di
Masalah Pokok Perekonomian Indonesia
15
atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007). Sementara itu, dalam konteks makro-daerah, sentralisasi fiskal tetap berlangsung di tengah pelaksanaan otonomi daerah dan masih besarnya derajat ketimpangan ekonomi antardaerah. Hal ini ditunjukkan dengan Rasio PAD terhadap APBD di Kabupaten/Kota 5 tahun setelah Otonomi Daerah (2006) yang sebesar 6,80%, justru turun dari sebesar 10,31% pada tahun 1999/2000 (Kuncoro, 2008). Ketergantungan fiskal daerah kepada pemerintah pusat terjadi bersamaan dengan sentralisasi ekonomi (perbankan, media, korporasi) di pusat bisnis dan kekuasaan (Baswir, 2007). Apakah hasil pilihan jalan tersebut membawa kesejahteraan dan kedaulatan rakyat Indonesia? Bukankah tidak maju sebuah bangsa sebelum menghapus betul sifat kolonial yang ada dalam tubuh ekonomi-politiknya?
PERMASALAHAN KONTEMPORER Di ujung jalan, telah terjadi kemerosotan kesejahteraan rakyat, meluasnya ketimpangan, kehancuran lingkungan, dan degradasi moral (nilai sosial) yang menunjukkan kepada kita bagaimana dahsyatnya daya rusak ekonomi neoliberal yang telah menguras kekayaan SDA yang melimpah ruah di Indonesia. Jalan ekonomi neoliberal telah meningkatkan kemiskinan dari sebesar 16,7 % di tahun 2004 menjadi 17,75% pada tahun 2006. Tingkat pengangguran pun juga meningkat dari sebesar 9,86% pada tahun 2004 menjadi 10,84% pada tahun 2005. Pada saat yang sama ketimpangan pendapatan pun meningkat yang diindikasikan dengan rasio gini yang sebesar 0,28 pada tahun 2002 menjadi sebesar 0,34 pada tahun 2005. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama. Hingga akhir 2008, jumlah pengangguran pun masih sekitar 9 juta jiwa atau 9%, sedangkan angka kemiskinan masih bertengger sekitar 34,2 juta orang atau 15,4%, jauh dari target yang ditetapkan Pemerintah. Sebuah paradoks di negeri yang sangat kaya SDA! Sementara itu, Nilai Tukar Petani sekarang merupakan yang terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada saat yang sama kesejahteraan buruh industri juga merosot, di mana upah riel buruh industri juga tumbuh negatif selama satu tahun terakhir. Kemerosotan sektor riil nampak pada merosotnya Indek Produksi Padat Karya, seperti tekstil sebesar 11%, pakaian jadi sebesar 13%, dan barang dari logam sebesar 10% (Forum Rektor Indonesia, 2007). Kehancuran lingkungan hidup yang memakan korban jiwa terus berlansung akibat over-eksploitasi terindikasikan dengan berbagai bencana (seperti banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan), pencemaran air, sungai, dan udara. Ketidakberdayaan pemerintahan SBY-JK untuk mengelola lingkungan terkait dengan liberalisasi SDA di mana banyak aset-aset SDA yang dikuasai oleh modal asing dan domestik melalui kontrak-kontrak karya. Hal ini belum termasuk kehancuran moral, akhlak, dan kohesi sosial bangsa Indonesia karena ketertundukan pada spirit materialisme dan individualisme yang diusung ekonomi neoliberal. Mal-mal dan tempat hiburan malam berkembang sebagai upaya untuk menguasai pasar (konsumen) yang harus dilucuti atribut kearifan lokal, nasionalisme, dan keber-agamaan-nya. Angka-angka statistik kiranya tidak akan menggambarkan kepedihan nasib rakyat miskin yang merasakan kian susahnya hidup saat ini. Visualisasi kepedihan ini berupa busung lapar, gizi buruk, kaum
16
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
miskin tak bertempat tinggal, stress massal, sekolah rusak, dan seabreg masalah sosial ekonomi lain di alam Indonesia yang sudah 62 tahun merdeka. Sebuah paradoks luar biasa di negeri kaya SDA ini yang (masih) harus mengalami nasib yang menyedihkan berupa krisis minyak tanah, krisis listrik, krisis pangan, krisis modal, dan berbagai harga kebutuhan pokok (migor, susu, dan kedelai) yang makin membumbung tinggi. Biaya hidup terus meningkat dan untuk banyak rumah tangga (miskin) menjadi makin tak terjangkau lagi. Berbagai permasalahan perekonomian Indonesia tersebut disarikan dalam sebuah matrik yang dirumuskan oleh Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM (2007) sebagai berikut: Tabel 2.1 Matrik Peta Permasalahan Ekonomi Indonesia LEVEL
Paradigmatik
Sistemik
Praksis
Internasonal/ Global
Hegemoni Neoliberalisme, Positivisme, ajaran ekonomi Neoklasik (fundamentalisme pasar)
Kapitalisme global (neoimperialisme) berakibat ketimpangan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan
Dominasi AS, MNC, Bank Dunia, IMF, dan World Economic Forum Benturan kepentingan dalam perundingan global (WTO)
Nasional
Dominasi pemikiran Mafia Barkeley (growth-oriented, ikut arus utama (neolib dan fundamentalis pasar) Ilmu dan Pendidikan ekonomi bercorak Neoklasik
Sistem Kapitalis-Neoliberal berakibat marjinalisasi peran negara dan rakyat (koperasi), dominasi peran korporat (korporatokrasi) Akibatnya adalah DebtTrap.ketimpangan,kemiskin an, dan pengangguran
Gencarnya liberalisasi, privatisasi (BUMN dan aset SDA strategis), dan terjadinya amandemen konstitusi (UUD’45) Utang LN yang membebani APBN Kebijakan yang bias saran lembaga (ekonom) neolib
Lokal (Daerah/Desa)
Paradigma perencana (pemimpin) daerah yang terlalu progrowth dan pro-modal besar (asing) Dominasi ajaran ekonomi Neoklasik (fundamentalisme pasar) di Fakultas Ekonomi di Indonesia
Desentralisasi tanpa diikuti demokratisasi ekonomi Eksploitasi daerah oleh pusat (modal asing) Konsentrasi penguasaan faktor-faktor produksi berakibat kemiskinan struktural Belum ada rumusan terukur penyelenggaraan ekonomi kerakyatan
Konflik agraria Penggusuran pasar tradisional dan PKL Korupsi APBD Gencarnya pendirian Mal Kerusakan ekologis dan diabaikannya tata guna lahan Belum cukup saluran bagi pengajaran ekonomi kerakyatan di Fakultas Ekonomi di Indonesia Ijin pertambangan oleh bupati
Masalah Pokok Perekonomian Indonesia
17
Tabel 2.1 Lanjutan LEVEL Sektoral
Paradigmatik
Sistemik
Praksis
Neoliberalisme & neokolonialisme dalam bidang pendidikan, sektor pertanian, pengelolaan migas dan SDA non migas. sektor jasa (pelayanan) publik, dan sektor ketenagakerjaan
Penetrasi modal internasional yang mendominasi sistem pendidikan, pertanian, pengelolaan migas dan SDA, jasa, dan ketengakerjaan di Indonesia. Belum dilakukannya reformasi agraria (ketimpangan penguasaan lahan/tanah) Makin mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan Marjinalisasi kesejahtaraan petani dan buruh kecil
Impor produk2 pertanian Dominasi asing makin kuat setelah munculnya UU SDA, UU Migas (privatisasi air dan migas), UU BUMN, UU PM, UU BHP, UU Ketenagalistrikan dsb
-oo0oo-
Masuknya pendidikan sebagai komoditi (GATS) Privatisasi BUMN, pendidikan, dan PHK buruh
18
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB III PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini akan khusus dibahas perihal mode pengelolaan sumber daya alam yang sampai saat ini masih menopang perekonomian Indonesia melalui sumbangannya yang dominan dalam APBN dan APBD. Melihat beragamnya jenis kekayaan alam yang ada di Indonesia, maka bagian ini akan memberikan gambaran mode pengelolaan minyak dan gas, yang disertai dengan studi gagasan penulis perihal alternatif pengelolaan SDA yang mandiri dan berkeadilan, serta studi kasus pengelolaan kekayaan alam di daerah. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memahami contoh mode pengelolaan SDA -minyak dan gas- yang sesuai dengan amanat konstitusi dan yang menjadi realitet dalam perekonomian Indonesia Menganalisis dan memaparkan berbagai alternatif yang konstitusional dalam pengelolaan SDA Indonesia ke depan Memiliki cara pikir (mindset) kebangsaan dan kemandirian sebagai modalitas sosial dalam memanfaatkan kekayaan SDA bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat Memahami akar penyebab berbagai konflik yang menyertai pengelolaan SDA dan memberikan alternatif solusi terbaik secara ekologis, sosial, dan ekonomi.
STRUKTUR PENGUASAAN SUMBER DAYA ALAM Pemahaman terhadap struktur penguasaan sumber daya alam dapat dilakukan dengan contoh kasus pada struktur produksi minyak Indonesia. Sebagian besar kontrol migas Indonesia hari ini berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007).
20
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Penguasaan minyak oleh korporasi asing ini telah melemahkan kontrol negara terhadap alokasi produksi, biaya produksi, cost recovery, dan tingkat harga minyak. Akibatnya pemenuhan kebutuhan domestik yang sekiranya dapat menstabilkan harga domestik tidak lagi menjadi utama. Indonesia memang mengimpor BBM sebesar 302,599 barel/hari pada tahun 2007. Tetapi pada saat yang sama minyak kita pun dijual ke luar negeri sebanyak 348.314 barel/hari (ESDM, 2008). Sementara itu, biaya produksi minyak di Indonesia membengkak hingga 9 dollar AS per barrel. Padahal di Malaysia hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel dan di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel. Di samping itu, cost recovery menjadi kian meningkat dan hampir mencapai 30% pada tahun 2007. Kontrol minyak oleh pasar (korporasi?) pada akhirnya diwujudkan melalui “pemaksaan” penentuan harga minyak internasional di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia (Kwik, 2007). Akibatnya harga minyak tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara yang berdaulat. Harga diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga kini keuntungannya telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 Trilyun (http://www.voanews.com/, 3 April 2008). Kolonisasi ini kian dikukuhkan melalui kepatuhan (keterpaksaan?) menteri-menteri ekonom neoliberal rezim pemerintahan dalam menjalankan agendaagenda Konsensus Washington. Naiknya harga BBM merupakan implikasi dilakukannya liberalisasi, privatisasi, pengahapusan subsidi, dan deregulasi migas yang menjadi pilar agenda tersebut. Jalan ekonomi neoliberal inilah yang memaksa diperkecilnya peran Pemerintah dan Pertamina, berubahnya BBM dari barang publik ke barang privat, dilepasnya harga BBM ke mekanisme pasar (penghapusan subsidi), dan masuknya korporat swasta dalam bisnis migas hingga sektor hilir. Menyusul kenaikan harga BBM, beberapa pemodal asing mulai menancapkan kukunya dalam bisnis eceran BBM di Indonesia. Sejauh ini, jaringan SPBU mereka masih terbatas dalam wilayah Jabodetabek. Tetapi dalam jangka panjang, mereka jelas ingin mengepakkan sayapnya ke seluruh penjuru Indonesia. Bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008).
AKAR PENYEBAB DOMINASI SDA INDONESIA Tanpa melakukan koreksi struktur dan jalan ekonomi tersebut, maka kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah akan cenderung tidak pro-rakyat. Hal inilah yang rupanya tidak diakui oleh pemerintahan yang dalam upayanya meyakinkan tiadanya pilihan selain menaikkan harga BBM menyampaikan alasan-alasan yang tidak disertai dengan data dan fakta yang lengkap (terbuka). Mengapa? Pertama, alasan bahwa tanpa menaikkan BBM maka APBN akan “jebol” terkesan mengada-ada. Kenaikan harga minyak internasional selain menambah pengeluaran untuk pembelian impor BBM
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
21
sebenarnya juga menambah penerimaan negara dari ekspor dan pajak dari minyak. Data APBN-P 2008 menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak dunia selain menambah besaran “subsidi” BBM dari Rp. 45,8 T menjadi Rp. 126,8 T (naik Rp. 81 T) juga menambah PPH migas dari Rp. 41.6 T menjadi Rp. 53,6 T, pajak ekspor dari Rp. 4,0 T menjadi Rp. 11,1 T, dan Penerimaan Minyak Bumi dari Rp. 84,3T menjadi sebesar Rp. 149 T. Total perkiraan kenaikan penerimaan negara adalah sebesar Rp. 84 T. Ini yang tidak pernah dijelaskan pemerintah. Kedua, alasan bahwa subsidi BBM lebih banyak dinikmati orang-orang kaya sehingga perlu dihapus cenderung dicari-cari. Pelaku usaha transportasi rakyat, industri kecil, dan nelayan juga merupakan konsumen terbesar BBM. Dalam struktur ekonomi yang timpang dan kolonialistik seperti di atas memang hampir semua layanan publik sepertihalnya jalan tol, jasa kepolisian, dan belanja publik lainnya akan lebih banyak dinikmati orang-orang kaya, bahkan termasuk keberadaan pemerintah itu sendiri. Apakah pemerintah dengan begitu perlu dihapuskan? Dalam logika barang publik maka akses didapat dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Lagi pula, mengapa pemerintah tidak menghapus subsidi ke bank-bank yang jelas-jelas milik orang kaya yang dibayar sebesar Rp.40 T/tahun melalui oblikasi rekap? Ketiga, alasan bahwa harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita. Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008). Keempat, alasan bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid). Kelima, alasan bahwa pemerintah tidak memiliki opsi lain dalam “menyelamatkan APBN” selain menaikkan harga BBM pun terlalu lemah. Tersedia berbagai opsi untuk itu sepertihalnya penghapusan utang haram rezim korup dan diktator (odious debt) yang telah menguras seperempat APBN, pencabutan pembayaran bunga obligasi rekap, penetapan pajak progresif, dan penyelamatan aset-aset (SDA) negara yang dicuri. Keenam, alasan bahwa dampak negatif kenaikan harga BBM dapat dieliminasi dan melalui penyaluran BLT sungguh terlalu naif. Belajar dari tahun 2005, BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain
22
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah.
ALTERNATIF JALAN KELUAR Berpijak pada pemikiran di atas maka tidak pada tempatnya mengakhiri pengkritisan kebijakan BBM ketika melihat bahwa hakekat dari kebijakan tersebut adalah kegagalan pemerintah menjalankan amanat konstitusi (Pasal 33 UUD 1945) akibat paksaan struktur, jalan, dan pemikiran ekonomi kolonialistik di Indonesia. Oleh karenanya, segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan jalan ekonomi nasional ke jalan konstitusi, di mana kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Di samping itu, tingkat harga migas dapat ditentukan oleh pemerintah secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini. Kita perlu mendesak pemerintah untuk menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan kontrak-kontrak kerja sama (KKKS) lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS asing. Pemerintah harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesarbesar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan Pertamina dan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumbersumber energi nasional. Saatnya mengakhiri sindrom kompradorisme dan mental inlander bangsa dengan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama bangkit. Bangkit tidak lain adalah memperjuangkan tegaknya konstitusi dan mengakhiri neokolonialisme ekonomi Indonesia. Studi Artikel Ilmiah
DIMENSI KERAKYATAN DALAM SUBSIDI BBM 1 Awan Santosa 2 Subsidi BBM selama ini dianggap sebagai akar penyebab dari berbagai permasalahan keuangan dan energi Indonesia. Pada tahun ini subsidi BBM yang sebesar Rp. 95,9 triliun dinilai sudah sangat membebani anggaran negara. Beban makin membesar ketika sampai bulan Maret 2011 harga minyak 1
diterbitkan di Jurnal Kementerian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) RI
2
Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Staf Pengajar di Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
23
mentah dunia melonjak menjadi lebih dari US $ 100/barel. Seperti diketahui sejak tahun 2008 Indonesia harus mengimpor minyak mentah sebanyak 247 ribu buph dan BBM sebesar 424 ribu bph. Impor BBM tersebut saat ini sudah meliputi 30% dari kebutuhan BBM dalam negeri. Kenaikan penerimaan karena Indonesia juga mengekspor minyak mentah sebesar 399 ribu bph dikalkulasikan tetap lebih kecil dibanding kenaikan besaran subdisi akibat lonjakan harga tersebut. Menteri Keuangan memperkirakan beban tambahan subsidi karena lonjakan harga sebesar Rp 7 trilyun, ketika konsumsi BBM bersubsidi mencapai 42 juta kilo liter, melebihi kuota BBM bersubsidi sebanyak 38,5 juta kilo liter. Subsidi BBM juga dianggap turut mendorong peningkatan konsumsi BBM yang pada tahun ini sudah mencapai 1.3 juta bph. Oleh karena itu, subsidi BBM juga dijadikan alasan yang tidak sejalan dengan kebijakan pemerintah untuk mendorong konservasi energi dan pengembangan energi alternatif terbarukan. Aspek “ketidakadilan” dalam penyaluran subsidi BBM pun dijadikan sebagai dasar pembenaran. Menteri ESDM mengungkapkan bahwa sekitar 25% dari kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan tertinggi menerima alokasi subsidi sebesar 77%. Sementara 25% kelompok rumah tangga dengan penghasilan per bulan terendah hanya menerima subsidi sekitar 15%. Berbagai “daftar hitam” subsidi BBM tersebut menjadi rujukan bagi upaya untuk menyesuaikan harga BBM sesuai dengan “harga keekonomian”. Sepintas tidak terlihat lagi alternatif jalan selain pengurangan (penghapusan) subsidi BBM seperti yang sedang diupayakan pemerintah. Seolah pula semua yang dijadikan pijakan kebijakan pemerintah tersebut adalah sudah di jalur yang benar. Pada akhirnya akademisi perguruan tinggi hanya sekedar diminta masukan perihal opsi teknikal pengurangan subsidi seperti apa yang layak dijalankan. Pada kenyataannya, dengan asumsi harga minyak sebesar US $ 80 per barel maka penerimaan negara adalah sebesar Rp. 205,5 trilyun dan subsidi BBM tercatat Rp. 136,6 trilyun. Sementara dengan kenaikan harga minyak internasional menjadi sebesar US $ 100 per barel maka penerimaan menjadi Rp. 256,9 trilyun dan subsidi sebesar Rp. 206,4 trilyun (Reforminer Institute, 2011). Dengan begitu, istilah “subsidi BBM” adalah karena sisi penerimaan dan sisi pengeluran BBM pemerintah dikalkulasi secara terpisah. Paper ini akan memberikan alternatif pandangan dan masukan bagi pemerintah perihal subsidi dan harga BBM, pengelolaan energi/sumber daya alam, serta pengelolaan anggaran dan perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Paparan dan analisis dalam paper ini merujuk pada perspektif ekonomi kerakyatan, seperti yang telah diamanatkan para pendiri bangsa dalam Pasal 33 ayat (1), (2). Dan (3) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 ayat (1) sebelum amandemen menyebutkan secara eksplisit perihal demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), yaitu sistem ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Penghapusannya dalam UUD pasca amandemen bukan berarti dihapuskannya pula substansi ekonomi kerakyatan. Bahkan paper ini akan menguraikan pula keterkaitan antara penghapusan frasa tersebut dengan agenda penghapusan berbagai subsidi, termasuk subsidi BBM.
24
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
KEPEMILIKAN FAKTOR PRODUKSI Dimensi dasar dalam ekonomi kerakyatan adalah aspek kepemilikan dan kontrol faktor produksi, termasuk di dalamnya terhadap energi dan sumber daya alam. Ketimpangan, ketidakadilan, ketergantungan, kerusakan alam, dan kemelaratan umumnya adalah permasalahan struktural yang berkaitan dengan terjadinya dominasi, monopoli, dan konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang. Minyak dan gas sebagai barang publik (common property) maka idealnya berlaku kepemilikan bersama (common ownership), sehingga setiap orang memiliki aksesi terhadap sumber daya tersebut (Shadr, 2007 dan Baidhawy, 2007). Para pendiri bangsa pun memiliki paham demikian. Dalam Pasal 33 ayat (2) disebutkan jelas bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Sementara pada ayat (3) disebutkan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Lebih lanjut pendiri bangsa sudah memberi peringatan dalam bagian penjelasan Pasal 33, di mana “kalau tidak, tampuk produksi jatuh ke tangan orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya. Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh di tangan orangseorang”. Demikian, permasalahan menjadi makin nyata ketika substansi frasa penjelasan ini tidak lagi mendapat tempat di UUD, UU, dan berbagai peraturan di bawahnya saat ini. Selepas diabaikannya ruh pemikiran pendiri bangsa tersebut maka saat ini kita menghadapi era di mana setiap orang berlomba-lomba untuk berkuasa atas sesuatu yang sebenarnya menjadi milik bersama. Dominasi dengan merebut dan menguasai, yang sering diperkenalkan dengan istilah rumit “privatisasi” dan “liberalisasi” sejak puluhan tahun belakangan ini telah berakibat pada konsentrasi faktor produksi pada segelintir orang, kebanyakan dari luar negeri. Ketimpangan antara orang banyak dan kepemilikan bersama dengan segelintir elit dan kepemilikan pribadi menjadi telah kian nyata. Sebagian besar kontrol migas Indonesia berada di tangan segelintir korporasi asing, yang menguasai 85,4% dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas di Indonesia, sekaligus menduduki 10 besar produsen minyak di Indonesia. Chevron Pacific (AS) berada di urutan pertama diikuti Conoco Phillips (AS), Total Indonesie (Prancis), China National Offshore Oil Corporation (Tiongkok), Petrochina (Tiongkok), Korea Development Company (Korea Selatan), dan Chevron Company (Petro Energy, 2007). Dari total produksi minyak mentah sebanyak 976 ribu bph, 88,21% dihasilkan oleh segelintir KKKS, dan Pertamina sebagai perwakilan dari 230 juta warga bangsa hanya menghasilkan 11,79%-nya. Penguasaan produksi ini berdampak pada alokasi produksi yang akan di bahas pada bagian tersendiri. Sejauh yang teramati di lapangan maka struktur produksi ini telah menjelma menjadi “negara dalam negara”. Dominasi segelintir orang atas tampuk produksi nyatanya bukan terlihat pada sektor migas semata. Di sektor perbankan, menunjukkan bahwa per Juli 2007, 1.380 trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Rekening bernilai di atas 100 juta dengan total nilai 85% Dana Pihak Ketiga (DPK) hanya terdiri dari sekitar 1,5% rekening. Bahkan yang bernilai di atas 1 milyar hanya terdiri dari 0,14% rekening, yang menguasai lebih dari 50% DPK (Rizki, 2007).
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
25
Konsentrasi ekonomi nasional oleh segelintir orang ditunjukkan dengan data BPS (2010) di mana usaha besar yang hanya meliputi 0,01% pelaku usaha dan 2,70% tenaga kerja menguasai sebesar 43,47% dari total produksi nasional. Sementara usaha mikro yang menghidupi 98,88% pelaku usaha serta menyediakan 91,03% lapangan kerja hanya menguasai 33,03% total produksi tersebut. Situasi ini adalah juga refleksi atas konsentrasi penguasaan 67% perusahaan di BEI oleh segelintir pelaku pasar luar negeri, yang juga menguasai sumber-sumber air, areal pekebunan besar, perdagangan, perbankan, saprodi pertanian, dan aneka bahan mineral tambang di Indonesia. Penguasaan tampuk produksi strategis oleh orang-seorang ini memungkinkan akumulasi kekayaan oleh segelintir orang, sementara kebanyakan yang lainnya tertinggal dalam kesusahan. Derajat ketimpangan meningkat, di mana indeks gini tahun 1999 yang sebesar 0,31 menjadi sebesar 0,37 pada tahun 2009. Pada tahun yang sama BPS merilis bahwa 40% penduduk dengan pendapatan terendah hanya menikmati 21,22% total pendapatan, sedangkan 20% penduduk dengan pendapatan tertinggi menikmati 41,24% total pendapatan. Sudah begitu, taraf kesejahteraan sebagian warga bangsa masih berada di titik yang sungguh memprihatinkan. BPS mengungkapkan bahwa penduduk Indonesia dengan tingkat pendapatan di bawah Rp. 7000,- per orang per hari pada tahun 2010 adalah sebanyak 31,02 juta atau 13,33% dari penduduk keseluruhan. Dengan ukuran kemiskinan Bank Dunia maka nilai tersebut akan menjadi hampir 3 kali lipatnya. Ketimpangan struktur penguasaan faktor produksi akan selalu berimplikasi pada ketimpangan akses konsumsi. Akan selalu terjadi orang kaya yang mendominasi konsumsi terhadap barang-barang dan jasa publik, baik bandara, jalan tol, kepolisian, perbankan, anggaran negara, bahkan termasuk keberadaan pemerintahan itu sendiri. Tanpa merunut pada akar ketimpangan akibat penguasaan tampuk produksi kolektif oleh orang-seorang ini maka berbagai treatment konsumsi BBM terhadap masyarakat tidak selalu dapat dibenarkan.
PRODUKSI DAN ALOKASI Dimensi berikutnya dalam perspektif ekonomi kerakyatan adalah menyangkut produksi dan alokasi. Kepemilikan dan kontrol atas migas Indonesia oleh orang-seorang mayoritas dari luar negeri telah menimbulkan ketergantungan produksi dan alokasi hasil-hasil produksi migas. Optimalisasi sumber daya dan kebutuhan masyarakat dalam negeri dengan mode ketergantungan tersebut tentu tidak lagi menjadi prioritasi. Tersedianya kapital, teknologi, dan ahli-ahli migas dalam negeri dengan begitu tidak mampu didayagunakan secara optimal. Produksi minyak dengan berbagai kepentingan dialokasikan 40%-nya untuk pasar luar negeri. Demikian halnya 47,8% produksi gas juga dialokasikan ke pasar luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena di Indonesia migas bagian negara dijual pihak ketiga (trader) di Singapura, di mana biaya produksinya pun juga ditentukan berdasar Mean of Plat Singapore (MOPS) dan biaya distribusi serta marjin alpha. Oleh karenanya, sampai saat ini berapa sebenarnya biaya produksi BBM per liternya masih sepenuhnya terang dan jelas.
26
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Pada tahun 2010 pemerintah menetapkan cost recovery sebesar US $ 12 milyar atau setara dengan Rp. 108 trilyun, yang ditambah dengan perkiraan biaya produksi Pertamina maka rata-rata biaya produksi total per tahun adalah Rp. 120 trilyun (Kurtubi, 2010). Di sisi lain, penerimaan migas pada APBN 2010 adalah sebesar Rp. 201 trilyun, sehingga beban anggaran pemerintah kiranya terkait dengan kepemilikan, kontrol, produksi, dan alokasi oleh orang-seorang (korporasi) luar negeri. Ketergantungan produksi pada korporasi juga telah melemahkan upaya untuk mengembangkan kilang pengolahan BBM dalam negeri. Ironis bahwa sebagian minyak Indonesia justru diolah di kilang BBM Singapura. Data pada 2009 menunjukkan, Pertamina perlu mengimpor BBM berupa 8,8 juta kiloliter premium, 6,3 juta kiloliter solar. Setiap tahun sejak 2005 hingga 2009, angka konsumsi BBM masing-masing 216,21, 218,02, 202,91 dan 256,67 juta barel dan impor BBM masing-masing 120,16, 113,54, 111,06 dan 100,02 juta barel (Batubara, 2011). Dominasi korporasi migas di sektor hulu (upstream) kini mulai diperluas pada sektor hilir (downstream), di mana Sheel, Petronas, dan Total sudah membuka usaha eceran BBM dengan mendirikan 68 SPBU di beberapa kota besar. Korporasi swasta yang berorientasi laba maksimum pemiliknya yang orang-seorang tentu tidak akan sanggup bersaing dengan harga BBM Pertamina yang dimiliki oleh 230 juta warga bangsa. Oleh karenanya, “subsidi BBM” dianggap sebagai batu sandungan bagi kepentingan ekspansi mereka dan harus dihapuskan sesuai saran ADB, Bank Dunia, dan USAID. Harga yang disebut sebagai “harga keekonomian” dengan begitu menurut mereka adalah harga minyak internasional, yang ditentukan para pialang minyak di New York Merchantile Exchange. Padahal hampir tidak ada minyak Indonesia yang diperdagangkan di sana, bahkan volume transaksi di pasar minyak tersebut hanya meliputi 30% transaksi minyak dunia. Harga tersebut tidak lagi di bawah kendali akal sehat dan negara berdaulat, dan bukan dengan mempertimbangkan biaya produksi, distribusi, dan marjin keuntungan yang wajar. Harga spekulatif diciptakan untuk memaksakan keuntungan maksimum bagi korporasi minyak, yang hingga telah mencapai US$ 123 milyar atau setara dengan Rp 1.131 trilyun (voanews.com/, 3 April 2008). Sesuai dengan konstetasi tersebut, maka bagi perusahaan multinasional, harga BBM bersubsidi adalah musuh besar yang harus secepatnya disingkirkan. Sebagai perusahaan multinasional, mereka menjual BBM sesuai dengan standar harga internasional. Jika Pertamina masih tetap menjual BBM dengan harga bersubsidi, bagaimana mungkin mereka dapat memperluas jaringan SPBU-nya? (Baswir, 2008). Di sisi lain, politik alokasi juga menyangkut bagaimana hasil produksi dan penjualan migas tersebut didistribusikan. Sebagai instrument alokatif langsung dalam hal ini adalah APBN. Politik alokasi pararel dengan corak kepemilikan dan kontrol produksi, sehingga lebih memberi manfaat besar bagi orang-seorang (korporat) migas. Berbeda dengan minyak di Alaska yang dimiliki bersama dan dikelola pemerintah, maka setiap tahun warga Alaska mendapat transfer “deviden” dari Alaska Petrolium Fund (APF) sebesar US $ 1,507 per orang untuk 600.000 warganya. Pemerintah Norwegia yang mengelola minyak juga menyalurkan “deviden” kepada pemiliknya yang adalah semua warga Norwegia sebesar US $ 1,333 per orang melalui Norway State Petrolium Fund
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
27
(NSPF). Selain ditransfer langsung dana tersebut juga digunakan untuk mengembangkan energi alternatif. Kedua hal ini tentu berbeda dengan Indonesia, di mana transfer langsung terkait BBM adalah melalui Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada sebagian warga secara tidak permanen. BLT tidak ada kaitannya dengan pengurangan kemiskinan karena BLT sekedar diupayakan untuk meredam resistensi rakyat miskin. Selain nilai tambah ekonominya yang tidak lagi signifikan (kalah dengan makin beratnya ongkos hidup), nilai tambah sosial-kulturalnya sama sekali tidak berasa. Lagi-lagi rakyat miskin dipaksa “mengemis-ngemis” sekedar untuk mengharap belas kasihan Pemerintah. Beban sesungguhnya APBN adalah seperempatnya (Rp. 250 trlyun) yang setiap tahun harus dialokasikan untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang luar negeri. Termasuk di dalamnya biaya “subsidi” bagi pemilik bank yang memperoleh dana obligasi rekap perbankan. Demikian pula, biaya pemborosan belanja pemerintah dan kebocoran pajak dan korupsi besar-besaran oleh beberapa pejabat tinggi.
KONSUMSI Dimensi terakhir dalam perspektif ekonomi kerakyatan adalah menyangkut konsumsi BBM. Dalam logika barang publik maka akses konsumsi diperoleh dengan biaya sama karena yang membedakan adalah besaran pajak (progresif) yang harus dibayar orang-orang kaya dalam jumlah makin besar. Bukankah tidak jadi soal ketika orang-orang kaya yang berusaha keras lalu membayar pajak ke negara lebih besar? Persoalannya sekali lagi terletak pada korporat migas yang sudah tak sabar ingin menangguk keuntungan dari bisnis eceran BBM, ketika harga BBM akan dilepas ke pasar. Ini berarti akses akan ditentukan oleh daya beli (banyak sedikitnya modal). BBM tidak lagi dianggap barang publik, tetapi menjadi barang privat, padahal tetap menguasai hajat hidup orang banyak. Dengan begitu subsidi terhadap barang privat, seperti halnya BBM dipersepsikan, akan selalu dianggap salah sasaran. Bukan masalah jika orang rakyat kecil tak lagi mampu beli BBM. Yang penting, orang-orang kaya tidak lagi menikmati “subsidi” BBM. Inilah logika yang sepintas masuk akal. Tapi, orang-orang kaya tetap menikmati “lebih” karena modal dan kekuasaan alamiah yang mereka miliki. Mereka tetap menikmati jasa pelayanan kepolisian, jalan raya, dan belanja publik dari pemerintah lainnya dengan “harga” yang sama. Di negara maju pun pendidikan dasar digratiskan, tanpa melihat apakah siswa itu kaya atau miskin (bahkan rata-rata warga negaranya sudah sangat kaya). “Privatisasi” BBM memang sejalan dengan privatisasi di sektor (barang) publik lain di negara kita seperti air, kelistrikan, dan pendidikan yang sedang dituntaskan pemerintah. Sektor (barang) tersebut tidak lagi dianggap sebagai sumber daya (aset) strategis) nasional yang menguasai hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai dan diatur oleh negara. Tidak lagi terpikir bahwa sektor-sektor tersebut pun terkait erat dengan kedaulatan dan ketahanan nasional bangsa kita. Satu hal yang tak bisa dimengerti adalah kaitan antara liberalisasi dan konservasi energi. Pembukaan SPBU baru tentu justru berpotensi menguras cadangan minyak nasional Dan jelas hal itu akan memicu pola konsumsi BBM yang makin berlebihan. Lalu slogan gerakan hemat energi nasional kiranya tidak lagi menjadi perhatian. Sama halnya dengan upaya pengembangan dan penggunaan energi
28
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
alternatif yang tidak sungguh-sungguh. Korporat migas tentu lebih suka menggarap pasar migas yang lebih menggiurkan. Kalau energi alternatif sudah digarap pemerintah, sudah besar pasarnya, barulah mereka akan ikut ambil bagian dalam perburuan labanya. Tingginya subsidi BBM karena harga bensin premium di Indonesia terlalu murah dibanding negara lain pun terkesan menutup-nutupi fakta. Harga bensin di Venezuela hanya Rp 460/liter, di Saudi Arabia Rp 1.104/liter, di Nigeria Rp 920/liter, di Iran Rp 828/liter, di Mesir Rp 2.300/liter, dan di Malaysia Rp 4.876/liter. Rata-rata pendapatan per kapita di negara-negara tersebut lebih tinggi dari kita. Sebagai contoh Malaysia sekitar 4 kali lipat dari negara kita. Sementara itu, AS dan Cina yang importer minyak terbesar dan ketiga di dunia tetapi harga minyak di AS cuma Rp 8.464/liter sementara Cina Rp 5.888/liter.. Padahal penduduk kedua negara lebih besar dari Indonesia (Cina penduduknya 1,3 milyar). Indonesia meski premium cuma Rp 4.500 (yang akan dinaikkan jadi Rp 6.000/liter) namun harga Pertamax mencapai Rp 8.700/liter. Lebih tinggi dari harga di AS. Padahal UMR di Indonesia cuma US$ 95/bulan sementara di AS US$ 980/bulan (nizaminz, 2008). Pemikiran bahwa harga BBM yang terlalu murah telah memicu pemborosan konsumsi BBM di Indonesia terlalu dipaksakan. Data statistik menunjukkan untuk konsumsi minyak per kapita di Indonesia menempati urutan 116 di bawah negara Afrika seperti Namibia dan Botswana dengan 1,7 barrel per tahun (0,7 liter per hari). Untuk jumlah keseluruhan, Indonesia yang jumlah penduduknya terbesar ke 4 di dunia hanya menempati peringkat 17. (ibid). Seperti telah diuraikan di bagian awal, corak konsumsi BBM dalam negeri sangat dipengaruhi oleh corak kepemilikan, kontrol, dan produksi migas. Pada dasarnya produsen orang-seorang (korporat) menjadikan masyarakat sebagai pasar, sedangkan semestinya pemerintah bertindak untuk melayani hajat hidup orang banyak. Dua hal yang mengandung kontradiksi mendasar. Demikian, maksimisasi keuntungan produsen sekaligus pengecer BBM dengan melakukan ekspansi pembukaan SPBU baru di berbagai wilayah di Indonesia tentu menjadi dorongan bagi peningkatan konsumsi BBM. Hal ini tidak sejalan dengan usaha penghematan BBM dan pengembangan sumber energi alternatif non BBM. Oleh karenanya sekali lagi treatment di sisi konsumsi masyarakat tanpa ada koreksi di sisi struktur produksi, alokasi, dan harga yang liberal tersebut tentu kembali hanya akan merugikan negara dan masyarakat luas.
SOLUSI SISTEMIK EKONOMI KERAKYATAN Demikian dimensi kerakyatan dalam memandang permasalahan subsidi BBM. Dalam perspektif ekonomi kerakyatan maka tentu tidak diinginkan adanya pemborosan energi dan keuangan negara. Namun menimpakan dua hal tersebut pada pola konsumsi masyarakat tidaklah tepat. Koreksinya melalui pengurangan subsidi BBM tidak akan mampu memberi solusi mendasar dan permanen. Pengurangan subsidi BBM saat ini hanya akan mengukuhkan dominasi produksi dan memuluskan upaya dominasi korporat atas pasar BBM dalam negeri. Kementerian ESDM menyebutkan bahwa pembatasan BBM bersubdisi akan meningkatkan impor Pertamax sebesar 1.144%, dari 340 ribu kilo liter menjadi sebesar 4,23 juta kilo liter, meskipun impor premium akan turun dari 12,58 juta kilo liter menjadi 8,69 juta kilo liter.
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
29
Namun karena harga Pertamax yang lebih mahal maka konsumsi masyarakat kurang mampulah yang akan terkoreksi. Dengan ketersediaan premium yang makin terbatas dan permintaan tetap maka kenaikan harga seperti yang diinginkan pengecer BBM kiranya tidak dapat dielakkan. Dengan begitu pemerintah akan selalu dihadapkan pada masalah yang selalu berputar karena tidak diselesaikan sampai ke pangkalnya. Oleh karena itu, solusi permasalahan tersebut dalam dimensi ekonomi kerakyatan semestinya meliputi usaha koreksi mendasar dan menyeluruh atas tiga elemen dalam dimensi ekonomi kerakyatan seperti diuraikan di awal. Solusi akan meliputi bagaimana koreksi kepemilikan dan kontrol migas, produksi dan alokasi migas, dan konsumsi migas seperti yang telah diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Pertama, solusi kepemilikan dan kontrol migas Sesuai dengan pemikiran bahwa “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”, maka pengusahaan migas Indonesia semestinya dilakukan oleh negara, melalui Pertamina sebagai badan usaha milik bersama. Pertamina yang dimiliki secara kolektif oleh bangsa Indonesia memiliki kewenangan untuk mengelola kapital, teknologi, dan ahli-ahli yang diperlukan dalam produksi, distribusi, dan penjualan BBM. Perusahaan swasta hanya diperbolehkan menjadi sub-kontraktor Pertamina, yang juga memegang kendali atas alokasi produk (BBM). Solusi ini memerlukan amandemen UU Migas yang menjadi instrumen liberalisasi yang memungkinkan terjadinya dominasi dan kontrol migas atas orang-seorang (korporat) terutama dari luar negeri. Implikasinya adalah BP Migas tidak diperlukan lagi, karena Pertamina yang semestinya bertindak sebagai negosiator dengan para sub-kontraktor migas dalam kapasitasnya sebagai perusahaan negara. Segenap elemen bangsa kini perlu menempuh langkah-langkah yang lebih progresif untuk mengembalikan kontrol negara atas migas dan aset-aset strategis bangsa yang lain, akan menjadi kunci penting bagi tegaknya kembali kedaulatan ekonomi nasional dan kesejahteraan rakyat. Kembalinya kontrol migas oleh negara akan memungkinkan alokasi produksi migas untuk kebutuhan domestik ketimbang luar negeri. Pemerintah perlu menjalankan agenda nasionalisasi migas, yang diantaranya dapat dilakukan melalui penegasan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk memutus ketergantungan terhadap korporasi migas asing, penghentian perpanjangan KKKS lama, dan negosiasi ulang dengan pemegang KKKS dominan dari luar negeri. Solusi ini diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara dari produksi migas, sehingga dapat memperkuat kapasitas fiskal pemerintah dalam menjalankan berbagai kebijakan pemberdayaan masyarakat. Solusi ini diharapkan juga akan menghilangkan ketergantungan migas (energi) Indonesia pada orang-seorang (korporat) dan pedagang minyak dari luar negeri. Kedua, solusi produksi dan alokasi migas Pemerintah dan Pertamina harus segera memobilisasi sumber daya baik modal, teknologi, institusi, dan SDM (pakar) nasional untuk mengelola migas Indonesia sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat. Pelibatan BUMD perlu lebih diperluas untuk turut mengelola ladang-ladang migas Indonesia dan melaksanakan agenda konservasi dan diversifikasi sumber-sumber energi nasional.
30
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Di samping itu, tingkat harga migas semestinya ditentukan oleh pemerintah dan Pertamina secara wajar sebagai bagian dari Public Service Obligation (PSO), ketimbang sebagai upaya maksimisasi profit melalui pemaksaan sistem pasar bebas (free-market mechanism) migas seperti yang berlaku saat ini. Alokasi migas sebesar-besar untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Solusi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi Pertamina dan menekan harga BBM pada tingkat yang wajar disesuaikan dengan biaya produksi dan distribusi riilnya, serta marjin keuntungan yang layak guna pengembangan usaha Pertamina dalam melayani masyarakat sebagai pemiliknya. Ketiga, solusi konsumsi migas Bauran energi nasional masih didominasi oleh konsumsi BBM yaitu sebesar 48%, diikuti batu bara 30%, gas bumi 19%, air 2%, dan panas bumi 1%. Pemenuhan kebutuhan konsumsi BBM dilakukan dengan meningkatkan kapasitas produksi dan pengolahan BBM Pertamina. Dalam hal ini juga diperlukan penambahan kilang-kilang pengolahan baru untuk mengurangi ketergantungan impor BBM. Penghematan konsumsi BBM dapat ditempuh dengan pembatasan pendirian SPBU baru dengan melihat faktor lokasi dan kebutuhan masyarakat. Diversifikasi konsumsi BBM dilakukan dengan mengotimalkan pengembangan sumber energi alternatif di antaranya gas bumi, coal bed methane, panas bumi, air, dan tenaga matahari. Solusi ini diharapkan dapat menekan pemborosan konsumsi BBM dan stagnasi dalam pengembangan sumber energi alternatif seperti yang terjadi saat ini. Diharapkan bauran energi lebih proporsional sesuai dengan potensi sumber daya energy yang terdapat di Indonesia, di mana rasia pemanfaatan panas bumi baru sebesar 4%, batu bara 20%, gas bumi, 51%, minyak bumi 14%, Demikian pengeluaran pemerintah atau yang lebih sering disebut dengan subsidi BBM adalah implikasi dari pola kepemilikan dan kontrol migas, yang berpengaruh terhadap pola produksi, alokasi, dan konsumsi BBM. Pengeluaran pemerintah tersebut dapat dibenarkan sejauh meliputi ketiga dimensi kerakyatan, sebagai manifestasi dari produksi oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Besar kecilnya pengeluaran BBM akan bergantung pada sejauh mana kontrol negara atas ketiga dimensi tersebut. Solusi ekonomi kerakyatan dalam paper ini diharapkan mampu memecahkan hingga ke akar persoalan.
STUDI GAGASAN: NASIONALISASI MIGAS (ditulis oleh Awan Santosa, dimuat di Harian Kontan, 13 Nopember 2008) Nasionalisasi perusahaan migas asing sampai hari ini masih menjadi wacana perdebatan nasional. Diilhami tindakan pemerintah Amerika Latin, khususnya Venezuela dan Bolivia, para pakar, pengusaha migas, dan politisi kita angkat bicara perihal kemungkinan penerapannya di Indonesia. Namun nasionalisasi sampai saat ini tetap saja tak lebih sekedar mimpi di siang bolong. Mengapa? Tengoklah prasyarat utama nasionalisasi, baik dari kilasan sejarah maupun yang terjadi di kedua negara contoh tersebut. Paling tidak terdapat dua prasyarat mendasar nasionalisasi, yaitu kemauan politik pimpinan nasional (presiden/DPR) dan kemauan politik massa-rakyat secara nasional. Adanya dua
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
31
prasyarat ini akan menjadi modal utama nasionalisasi, walau tetap belum akan menjamin tindakan itu berhasil dilakukan. Bapak pendiri bangsa sudah mencanangkan nasionalisasi sejak disahkannya UUD 1945. Pasal 33 UUD 1945 ayat 2 dan 3 yang masih berlaku sampai saat ini menegaskan bahwa “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara” dan “bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”. Nasionalisasi dengan begitu diposisikan pendiri bangsa sebagai bagian dari upaya penyelenggaraan demokrasi ekonomi untuk mengoreksi struktur ekonomi warisan kolonial. Hanya saja belum genap berumur 5 tahun, ide nasionalisasi telah ”ditelikung” melalui kesepakatan hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Di situ, disebutkan Indonesia boleh saja merdeka, asal tidak ”mengusik dan mengancam” keberadaan perusahaan asing. Tak menyerah, Soekarno mengumumkan program nasionalisasi mulai medio ’50-an. Apa yang terjadi? Seperti yang (kelak) juga menimpa Allende–Presiden Chile- (1973), justru Soekarno yang jatuh. Orde Baru muncul membawa mimpi baru de-nasionalisasi yang akhirnya menggelar karpet merah kembalinya dominasi modal asing di Indonesia. Nasionalisasi di Venezuela dan Bolivia tak lepas dari peran Presiden Chaves dan Morales beserta kabinet ekonominya. Bagaimana dengan kemungkinan peran pimpinan nasional (SBY-JK) dan kabinet ekonomi kita? Alih-alih itu, kiranya mereka justru tengah bermimpi dengan keberhasilan agenda denasionalisasi, melalui privatisasi aset strategis dan BUMN, untuk mensejahterakan rakyat. Alih-alih mengoreksi struktur dominasi perusahaan asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% kepemilikan saham perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal, pimpinan nasional kita justru melegitimasi dan melegalisasi itu semua. Pimpinan nasional kita bahkan baru saja ”sukses besar” mengesahkan UU Penanaman Modal, yang salah satu klausulnya berisi komitmen untuk tidak melakukan nasionalisasi. Pernyataan Wapres yang buru-buru menampik nasionalisasi dengan berbagai alasan menunjukkan posisi pimpinan nasional kita. Lalu bagaimana halnya dengan kemauan politik massa-rakyat kita? Perkara ini masing-masing kita yang tahu, walaupun sepertinya masih jauh panggang daripada api. Isu nasionalisasi masih menjadi barang mewah yang seakan tak terjangkau rakyat kecil. Kenyataan lain adalah isu penggadaian kedaulatan ekonomi nasional melalui privatisasi belum mendapat respon yang memadai dari masyarakat luas. Rakyat kecil masih berkutat dengan pendapatan pas-pasan, sulit mencari pekerjaan, dan ongkos hidup yang makin mahal. Mereka tak sempat (di)sadar(kan) bahwa hal itu bertalian erat dengan struktur ekonomi timpang berupa dominasi kapital asing yang merupakan warisan sistem ekonomi kolonial. Lebih banyak sumber daya yang dihisap keluar (net transfer) dan alat produksi yang tidak lagi kita kuasai adalah penyebab riil kemiskinan dan pengangguran. Beruntung kita punya segelintir pakar dan politisi yang masih percaya kemungkinan nasionalisasi. Secara yuridis-formal dan ekonomi-keuangan kiranya nasionalisasi memang masuk akal. UU Penanaman
32
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Modal masih patut dipertanyakan kesesuaiannya dengan isi Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3. Ingat, Pemerintah dan DPR dinyatakan melanggar konstitusi oleh MK ketika mengesahkan UU Ketenagalistrikan, sebagian isi UU Migas, kenaikan harga BBM (2005), dan terakhir anggaran pendidikan dalam APBN 2007. Proporsi hasil migas yang dinikmati rakyat (negara) pun akan tidak memadai karena produksi yang dibawah kendali perusahaan asing menyebabkan kontrol biaya dan output produksi sulit dilakukan. Padahal patokan yang dipakai dalam kontrak bagi hasil adalah laba operasi, bukannya total penerimaan. Sehingga meski pemerintah mendapat bagian 85% namun nilainya akan menjadi kecil karena besarnya biaya operasional yang menjadi hak perusahaan asing. Kontrol teknologi dan kapital finansial oleh perusahaan migas membuat negara ini tidak pernah siap (disiapkan) untuk mengambil alih penguasaannya. Sungguh ironis negara 210 juta jiwa yang telah 62 tahun merdeka ini masih saja ”kalah bersaing” dengan segelintir orang pemilik modal domestik dan internasional. Tiba saatnya kita menguasai teknologi dan kapital pun, namun pada saat itu kita baru sadar bahwa tambang migas kita sudah terkuras dan hanya tinggal sisa. Begitulah, sejarah nasionalisasi adalah sejarah pertarungan kekuasaan dan kepentingan, ekonomipolitik. Mengubah relasi kekuasaan tidaklah semudah memahamkan perlunya nasionalisasi. Nasionalisasi adalah prasyarat kembalinya kedaulatan bangsa dalam mengatur perekonomian. Negara akan leluasa mengelola produksi dan distribusi migas yang dapat juga dikelola oleh perusahaan asing untuk kepentingan nasional (rakyat banyak). Penerimaan negara dan partisipasi produksi (kesejahteraan) rakyat dengan begitu niscaya meningkat. Mengingat dominasi asing mengoyak martabat dan kedaulatan bangsa, maka ”banting stir” haluan ekonomi harus dilakukan. Dan dalam keadaan pimpinan nasional belum berkemauan politik, maka perubahan mestilah dilakukan dari bawah. Massa-rakyat yang kesadaran dan kemauannya sudah muncul itulah yang akan mendorong pemerintah dan DPR untuk berkemauan seperti mereka. Jelas disini, bukan heroisme, melainkan demokratisasi (kedaulatan rakyat)-lah yang diperjuangkan. Massa rakyat dapat mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat undang-undang nasionalisasi perusahaan migas asing. Undang-undang ini akan menjadi alat re-negosiasi perihal kontrak-kontrak karya dengan perusahaan tersebut. Intinya adalah bagaimana peruntukan migas Indonesia sebesar-besar untuk kedaulatan negara dan kemakmuran rakyat Indonesia, yang masih diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Tak ada yang tahu mampu bertahankah nasionalisasi ’ala Chavez dan Moralez di tengah berbagai skenario yang berupaya meruntuhkan pengaruh mereka. Pun jika nasionalisasi dirancang di Indonesia, jelas upaya menghalanginya tidak akan kalah gencarnya. Bagaimana rakyat kian sadar akan segala resiko dan bersiap menghadapi dan memperjuangkannya akan menentukan nasibnya ke depan. Masih sekedar mimpi atau akan benar-benar menjadi kenyataan? Wallahu’alam.
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
33
STUDI KASUS: KONTROVERSI PASIR BESI KULON PROGO (ditulis oleh Awan Santosa, dimuat di Harian Bernas, 2008) Kulon Progo go international! Demikian pernyataan seorang pejabat Kulon Progo pada sebuah diskusi bertajuk Penambangan Pasir Besi baru-baru ini. Kiranya pejabat tadi lupa bahwa go internationalnya Indonesia, termasuk Kulon Progo, sudah berlangsung sejak 4 abad yang lalu. Yaitu ketika kongsi dagang VOC datang dan memonopoli perkebunan di Indonesia, menjualnya ke pasaran Eropa, sambil mengeksploitasi buruh pribumi. Seiring kemajuan teknologi, bukan hanya lahan perkebunan yang menarik hati kongsi dagang luar negeri. Sejak 40 tahun yang lalu mereka pun sudah menikmati hasil tambang yang luar biasa melimpahnya di negeri ini. Modusnya sampai hari ini pun tetap ‘ala VOC, yaitu kuasai, keruk, dan jual ke luar negeri. Walhasil, habisnya kekayaan kita tak serta merta menghapus kemiskinan dan pengangguran yang makin membludak. Pun tak juga mengakhiri krisis minyak goreng (CPO) dan minyak tanah (BBM) yang membuat rakyat terus saja mengantri. 62 tahun pasca proklamasi negeri ini masih saja miskin eksperimen bagaimana mengelola tambang secara demokratis. Seolah kita masih hidup di alam VOC, dimana kita miskin teknologi, langka kapital, dan tidak punya ahli. Lahan tambang tetap saja menjadi ”rebutan” kongsi dagang besar luar negeri. Perspektif itulah yang dapat menelaah rencana penambangan pasir besi di Kulon Progo. Potensi pasir besi sebanyak 240 juta ton –setara 50% kebutuhan baja nasional- pada lahan pantai sepanjang 25 km jelas menjanjikan keuntungan luar biasa bagi perusahaan tambang luar negeri. Hal inilah yang kiranya menarik pemodal luar negeri masuk dengan menggandeng (digandeng?) mitra lokal-strategisnya. Amdal dan studi kelayakan pun segera dilakukan. Reaksi penolakan dari Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP) hanya dianggap ”wajar di alam demokrasi” yang solusinya adalah cukup dengan mendialogkan antara masyarakat, pemodal (calon penambang), dan Pemkab Kulon Progo. Tokh dukungan juga telah muncul dari sekelompok masyarakat ”pro-investasi” yang menamakan diri ”Gladiator”.
TANGGUNG JAWAB NEGARA Demokrasi prosedural telah menjebak kita untuk sekedar melihat masalah pada dimensi pengambilan keputusan. Substansi ”demokrasi” tereduksi ketika kapital (investor swasta-luar negeri) dapat masuk ke wilayah publik yang berkaitan dengan hajat hidup orang banyak dan berperan besar dalam mengatur dan mengubah kehidupan warga. Direbutnya wilayah publik oleh swasta justru mengarahkan sistem ekonomi-politik pada bentuk-bentuk plutokrasi atau korporatokrasi. Dalam hal ini bapak pendiri bangsa sebenarnya sudah membuat “warning” di Pasal 33 UUD 1945 di mana “tampuk produksi jangan sampai jatuh ke tangan orang-seorang, karena rakyat yang banyak akan ditindasinya” (lihat Penjelasan UUD 1945 sebelum amandemen). Sebagian teksnya utamanya bahkan masih utuh sampai sekarang, yaitu; ”Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat”.
34
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Dengan demikian, menyerahkan domain negara pada kontrol swasta (apalagi asing) bisa jadi merupakan bentuk pelarian tanggung jawab pemerintah atas amanat konstitusi. Bukan tidak mungkin ini menjadi pertanda ketertundukan (negara) pada ideologi pasar bebas (neoliberalisme) yang memang ditentang oleh gerakan rakyat di seantero dunia. Lebih menyedihkan jika tindakan ini justru dibawah pengaruh kekuasaan di luar amanat rakyat yang mesti dipatuhinya. Indikasinya adalah Pemkab Kulon Progo yang justru turut meminggirkan dimensi persoalan sebatas pada layak tidaknya penambangan dari sisi ekologis dan bisnis. Jika studi Amdal dan Kelayakan sudah oke, maka diasumsikan proyek harus dijalankan. Persoalan pun digeser lagi sekedar pada perlunya sosialisasi dan komunikasi intensif ke warga lahan pesisir, yang sebagian besar memang hanya berstatus sebagai pemakai lahan PA. Pemkab kiranya merasa benar jika pengabaian tanggung jawab konstitusional ini berbuah penerimaan pajak, royalti, comdev, regional development, biaya reklamasi dan kompensasi ke warga. Padahal potensi penerimaan (kesejahteraan) yang jauh lebih besar dapat diraih jika saja tanggung jawab konstitusional tersebut ditunaikan. Potensi inilah yang jika sungguh-sungguh diberdayakan lebih mungkin dapat mengurangi pengangguran dan kemiskinan penduduk Kulon Progo ketimbang dana-dana setoran ke APBD/APBN yang tidak sebanding dengan nilai produksi (keuntungan) yang dihasilkan. Tanpa melangkahi hasil uji Amdal dan Kelayakan yang masih berlangsung, marilah kita berasumsi hasil keduanya adalah positif. Demikian pula, tanpa menafikan aspirasi penolakan warga, coba kita bayangkan bahwa setelah melalui tahap perencanaan demokratis yang melibatkan warga secara penuh dan tidak terburu-buru, warga akhirnya setuju. Maka Pemkab Kulon Progo dapat bertindak selayaknya negara (pemerintah) yang bertanggung jawab.
EKSPERIMEN PENGELOLAAN TAMBANG Pemkab Kulon Progo dapat ber-eksperimen dalam mengelola tambang secara demokratis. Pada awalnya, Pemkab bersama-sama dengan DPRD dan elemen warga dapat menilai kebutuhan penambangan pasir besi dan pendirian pabrik bajanya. Kebutuhan ini dapat berupa kebutuhan kapital (investasi), teknologi, lembaga, maupun kepakaran (tenaga ahli). Untuk itu marilah berhitung. Nilai investasi PT Indomine untuk membangun pabrik dan mengembangkan tambang besi diperkirakan (hanya) sekitar Rp. 1,8 trilyun (Investor Daily, 4 Juli 2007). Jika kapital (tabungan masyarakat) di perbankan DIY yang belum tersalur (40%) tidak dapat dipakai, marilah melihat melimpahnya kapital domestik lain yang dimiliki oleh publik (pemerintah). Nilai investasi tersebut kiranya tidak terlalu besar dibanding ”dana nganggur” milik publik (Pemda dan BPD) di SBI yang total sebesar Rp. 146 trilyun. Jika hasil pasir besi (bahan baku baja) Kulon Progo jelas akan dibeli PT Krakatau Steel yang sangat kekurangan pasokan dari dalam negeri, apa yang kiranya merintangi Pemda-Pemda dan BPD untuk berinvestasi di tambang pasir besi Kulon Progo? Misalkan Kulon Progo belum punya BUMD yang kapabel dalam mengelola pertambangan, kiranya program ini dapat disinergikan dengan (banyak) BUMN yang berbasis tambang, atau bahkan PT Krakatau Steel itu sendiri.
Pengelolaa Sumber Daya Alam Indonesia
35
Perkara teknologi dan pakar tambang pasir besi kiranya tidak terlalu sulit dicari di seantero republik tambang ini. Jika masih kurang dapat saja diambil dari luar dengan catatan kontrol penuh tetap berada pada pemerintah (Pemkab Kulon Progo). Perhimpunan warga sekitar tambang pasir besi harus terlibat pula dalam investasi, teknologi, dan tenaga kerja, dengan instrumen khusus yang dapat diatur bersama dengan pemerintah daerah. Instrumen ini dapat dijadikan satu paket dengan kompensasi warga yang arahannya agar mereka terlibat penuh dalam kontrol pengelolaan tambang yang dapat berimplikasi pada distribusi kesejahteraan yang adil dan merata. Demikian, pengelolaan tambang secara demokratis ini adalah manifestasi esensi Pasal 33 UUD 1945, yang sekaligus akan menjadi bukti kapabilitas negara (Pemda) dalam menyejahterakan rakyatnya. Mari senantiasa mengenang pengelolaan tambang oleh korporasi (asing) di Papua, Riau, Kaltim, Aceh, dan daerah lainnya yang (ternyata) menyisakan problem kemiskinan (sistemik) bagi penduduk sekitar sampai sekarang. Semoga.
-oo0oo-
36
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB IV PERTANIAN, PANGAN DAN PERKEBUNAN INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini akan dipaparkan berbagai kondisi faktual dan permasalahan spesifik yang dihadapi sektor pertanian, pangan, dan perkebunan Indonesia. Ketiga bidang ini adalah sektor perekonomian yang menghidupi mayoritas pelaku ekonomi Indonesia, utamanya petani kecil. Selain kajian makro, bagian ini lebih menitikberatkan pada hasil-hasil kajian lapangan yang penulis lakukan untuk sektor pertanian umum di Imogiri, Bantul, sektor olahan pangan di Kabupaten Nganjuk, dan perkebunan kelapa sawit di Propinsi Kalimantan Tengah. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. a. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan yang dihadapi sektor pertanian sebagai sektor basis tempat mayoritas pelaku ekonomi Indonesia berada. Menganalisis dan memaparkan sebab-sebab timbulnya berbagai permasalahan tersebut dan memberikan alternatif solusi untuk membangun pertanian Indonesia ke depan. Memiliki cara pikir (mindset) untuk bertumpu pada kekuatan sendiri dengan mengoptimalkan segenap potensi pertanian yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Memberikan berbagai usulan dalam pengembangan kedaulatan pangan dan pengelolaan perkebunan besar yang mampu meningkatkan taraf kesejahteraan dan kemandirian petani Indonesia
KONDISI DAN PERMASALAHAN PERTANIAN INDONESIA Dinamika perkembangan pertanian Indonesia menunjukkan kecenderungan yang cukup memprihatinkan. Dalam kurun waktu tahun 2001-2003 sebanyak 610.596 ha sawah (termasuk yang produktif) berganti menjadi kawasan pemukiman dan kegiatan lain. Meski lahan pertanian menyempit, jumlah petani justru meningkat dari 20,8 juta (tahun 1993) menjadi 25,4 juta (Sensus Pertanian 2003). Rata-rata kepemilikan lahan petani mengalami penurunan drastis, yaitu tinggal kurang dari 0,25 ha per jiwa (Ismawan, 2005).
38
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 4.1 Distribusi Kepemilikan Lahan Pertanian di Indonesia 1983
1993
2003
Kelompok Luas (ha)
Usaha Tani (%)
Rata-rata Luas (ha)
Usaha Tani (%)
Rata-rata Luas (ha)
Usaha Tani (%)
Kelompok Luas (ha)
< 0.5
40.8
0.26
48.5
0.17
55.1
< 0.5
0.5 – 1.99
44.9
0.94
39.6
0.90
33.3
0.5 – 1.99
2.0 – 4.99
11.9
2.72
10.6
3.23
6.4
2.0 – 2.99
≥5
2.4
8.11
1.3
11.90
5.2
≥3
Sumber: BPS, “Sensus Pertanian Indonesia 1983, 1993, dan 2003”.
Kondisi makin mengkhawatirkan karena tingkat pendapatan petani yang tidak berubah secara signifikan. Pendapatan semusim (padi) hanyalah antara Rp.325.000,00- Rp.543.000,00 atau hanya Rp.81.250,00 – Rp.135.000,00 per bulan. Dalam suatu studi ditemukan bahwa 80 persen pendapatan rumah tangga petani kecil berasal dari kegiatan di luar sektor pertanian (non-farm), misalnya kuli bangunan, ojek, tukang becak, membuka warung, sektor informal, dan lain-lainnya. Dalam kategori ini, sebenarnya dapat dikatakan tidak ada lagi “masyarakat petani”, yakni mereka yang bekerja di sektor pertanian dan kebutuhan hidupnya dicukupi dari kegiatan itu. Tabel 4.2 Alih Fungsi Lahan Sawah di Indonesia Lahan Baku Sawah 1999
Pengurangan Lahan Sawah
Penambahan Lahan Sawah
Net Konversi
% Terhadap Lahan Baku Sawah
(ha)
(ha)
(ha)
(ha)
(%)
2,173,117
235,384
59,650
-175,734
-0.89
597,873
13,789
8,057
-5,732
-0.96
1,066,011
105,030
30,860
-74,170
-6.96
893,974
35,803
20,237
-15,566
-1.74
n.a.
6,005
2,476
-3,529
n.a.
Luar Jawa
4,730,975
396,010
121,278
-274,732
-5.81
Jawa
3,375,381
167,150
18,024
-149,126
-4.42
Indonesia
8,106,356
563,159
139,302
-423,857
-5.23
Pulau
Sumatera Bali dan NTT Kalimantan Sulawesi Maluku & Papua
Sumber: Profil Sektor Pertanian Indonesia 2003 (BPS) dan Wafda (2005).
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
39
Situasi diperburuk dengan terancamnya ekologis (lingkungan) yang menjadi basis produksi pertanian. Rusaknya sistem ekologis itu ditandai dengan merosotnya tingkat kesuburan tanah antara lain karena massifnya penggunaan bahan an-organik dalam pupuk dan obat pembasmi hama. Departemen Kimpraswil menyatakan bahwa 1,5 juta ha lahan irigasi yang menjadi tumpuan penyediaan air bagi tanaman pertanian telah rusak. Hal ini mengakibatkan kekeringan yang meluas di beberapa wilayah pertanian. Pada saat yang sama, hewan-hewan alami seperti burung, ikan, dan berbagai jenis binatang lain, jumlahnya makin menurun dan banyak yang mendekati kepunahan. Hal ini sebagian disebabkan kegiatan eksplorasi dan industrialisasi yang merambah di wilayah-wilayah perhutanan. Sementara, jumlah dan jenis tanaman, baik tanaman pangan, hias, maupun pelindung pun makin merosot (ibid, 2005). Hartini (2009) menyebut permasalahn struktural yang dihadapi oleh pertanian Indonesia Sektor Pertanian masih menampung mayoritas tenaga kerja Indonesia (44,4% pada tahun 2006), sebagai berikut: 1) Kepemilikan lahan sempit, besarnya jumlah petani gurem 2) Tingkat pendidikan petani rendah (sebagian besar SD dan tidak tamat SD) 3) Mayoritas miskin, keterbatasan modal (Jumlah penduduk miskin tahun 2007 sebesar 37,17 juta, dimana 70% nya ada di pedesaan) 4) Akses informasi dan pasar terbatas 5) Ancaman perdagangan bebas (imperialisme negara-negara maju terhadap negara berkembang) 6) Penguasaan industri input dan pengolahan oleh perusahaan2 besar dan asing 7) Sumberdaya energi belum diutamakan untuk pengembangan industri dalam negeri Tabel 4.3 Serapan Tenaga Kerja Sektor Pertanian Indonesia Agriculture
Year
Mn. Workers
2000
Manufacture
Share
Mn. Workers
40.68
45.2%
2001
39.74
2002
Others
Share
Mn. Workers
11.64
13.0%
43.8%
12.09
40.63
44.4%
2003
43.04
2004
Total Employment
Share
Mn. Workers
Share
37.52
41.8%
89.84
100%
13.3%
38.98
42.9%
90.81
100%
12.11
13.2%
38.90
42.4%
91.65
100%
46.4%
11.50
12.4%
38.27
41.2%
92.81
100%
40.61
43.3%
11.07
11.8%
42.04
44.9%
93.72
100%
2005
41.56
44.0%
11.80
12.5%
41.09
43.5%
94.45
100%
2006
41.23
43.3%
11.73
12.3%
42.35
44.4%
95.32
100%
40
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
TRANSFORMASI MODE PERTANIAN INDONESIA Fenomena di atas tidak terlepas dari konteks sejarah transformasi ekonomi-politik pertanian di Indonesia sejak era kolonial hingga era liberalisasi dewasa ini. Struktur pertanian yang menempatkan mayoritas petani kecil tetap miskin di lapis paling bawah disubordinasi oleh pelaku ekonomi besar merupakan warisan sistem dan struktur ekonomi kolonial 1 . Secara garis besar fase-fase penting perkembangan kondisi, sistem, dan struktur pertanian Indonesia adalah sebagai berikut. a.
b.
c.
d.
e.
Petani dan pertanian rakyat begitu terpuruk pasca monopoli kongsi dagang VOC yang kemudian makin dihisap lagi setelah pemerintah kolonial menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel). Petani dipaksa menanam komoditi yang dibutuhkan pasaran Eropa. Sistem kapitalis-liberal yang berlaku sesudahnya pun hanya menjadikan Indonesia sebagai ondernaming besar sekaligus sumber buruh murah bagi perusahaan-perusahaan swasta Belanda. Perkebunan-perkebunan besar mereka kuasai dan lagi-lagi produksinya ditujukan untuk memenuhi pasar luar negeri. Pertanian rakyat tetap saja diperas dan makin kehilangan dayanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memakmurkan petani. Reformasi agraria melalui UU Pokok Agraria 1960 yang mengatur redistribusi tanah dan UU Perjanjian Bagi Hasil (1964) yang mengubah pola bagi hasil untuk mengoreksi struktur pertanian kolonial justru makin kehilangan vitalitasnya, terlebih di era Orde Baru yang berorientasi mengejar pertumbuhan ekonomi tinggi (dan menganut developmentalisme). Revolusi Hijau yang mengimbas ke Indonesia ditandai dengan pengunaan bibit-bibit baru dan teknologi (biologis dan kimiawi) pemberantasan hama dari luar negeri Indonesia memang mampu melakukan swasembada beras pada tahun 1984. Namun, revolusi hijau ternyata lebih menguntungkan petani bertanah luas. Produksi naik, tetapi pendapatan turun akibat mahalnya input pertanian, misalnya pupuk. Term of trade petani pun turun dan distribusi pendapatan makin timpang. Liberalisasi pertanian yang disyaratkan IMF dan WTO kini ditandai oleh bebas masuknya produkproduk pertanian (pangan) seperti beras, gula, daging, ayam, jagung, dan buah-buahan yang memukul petani dalam negeri. Liberalisasi ini menguntungkan korporat besar yang menguasai input pertanian (benih, pupuk, dan obat-obatan) dan perdagangan (pasar) internasional. Kesejahteraan petani dalam negeri tidak meningkat secara signifikan.
LIBERALISASI PERTANIAN INDONESIA Liberalisasi sektor pertanian diawali dengan masuknya Indonesia ke dalam Perjanjian Pertanian (Agriculture on Agreement/AoA) di tahun 1995 dan diterimanya Letter of Intent (loI) IMF di tahun 1997. Liberalisasi pertanian secara sederhana diwujudkan dengan menyerahkan sistem pertanian (dan nasib petani) kepada mekanisme pasar (bebas), yang kemudian berlaku liberalisme pertarungan bebas (free fight liberalism). Beberapa ketentuan yang diatur dalam AoA adalah sebagai berikut (Setiawan, 2003: 73):
1
Pola eksploitasi terhadap petani miskin Indonesia sampai hari ini digambarkan dalam bagan terlampir (Arief, 2000).
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
1.
2.
3.
41
Pengurangan dukungan domestik; pengurangan total atas subsidi domestik yang dianggap “mendistorsi perdagangan” berkisar pada 20 persen dari ukuran dukungan agregat dari acuan tahun 1986-1988. Pengurangan subsidi ekspor; jumlah subsidi ekspor akan dikurangi sebesar 21 persen dari tiap produk sesuai rata-rata tahun 1986-1990, pengeluaran anggaran subsidi ekspor dikurangi 36 persen selama 6 tahun. Perluasan akses pasar; seluruh hambatan impor akan dikonversikan ke tarif dan dikurangi hingga 36 persen selama 6 tahun (negara maju) dan 24 persen selama 10 tahun (negara berkembang).
Liberalisasi pertanian telah merugikan pertanian Indonesia. Misalnya, liberalisasi perberasan yang dilakukan IMF telah berdampak buruk pada kebijakan perberasan, yaitu (ibid: 69): 1.
2. 3.
Subsidi pupuk dicabut pada tanggal 2 Desember 1998, diikuti dengan liberalisasi pupuk yang sebelumnya dimonopoli PUSRI. Akibatnya biaya produksi melonjak, sehingga harga dasar gabah dinaikkan dari Rp. 1000/kg menjadi Rp. 1400-Rp 1500/kg tergantung wilayahnya. Monopoli impor beras oleh Bulog dicabut akhir tahun 1999, sehingga kini impor terbuka bagi siapa saja dan tidak terkontrol lagi. Bea masuk komoditas pangan dipatok maksimum 5 persen. Bagi beras, walaupun monopoli impor oleh Bulog dicabut, bea masuk tetap 0 persen. Akibatnya arus impor beras, gula, bahkan bawang merah yang deras makin memukul petani Indonesia.
Liberalisasi pertanian merupakan ekses penerapan pasar (perdagangan) bebas. Pasar bebas pertanian sendiri sebenarnya mempunyai “cacat” baik dalam tataran filosofi-teoretis, maupun tataran empiris-aplikatifnya. Secara teoretis, pasar bebas pertanian hanya akan menguntungkan (menyejahterakan) kedua belah pihak apabila dua asumsi utamanya terpenuhi, yaitu tingkat kemajuan ekonomi dan teknologi antar kedua negara seimbang, dan modal tidak dapat bergerak lintas negara. Kenyataannya, asumsi ini tidak terpenuhi karena kekuatan ekonomi antarnegara sangatlah timpang dan modal bebas bergerak ke manapun. Sepintas mungkin terjadi perdagangan antarnegara, tetapi bisa jadi yang berdagang sebenarnya adalah korporat asing (di dalam negeri) dengan korporat di luar negeri, sehingga kesejahteraan masyarakat tidak berubah secara signifikan. Hal ini makin meyakinkan bahwa liberalisasi (pasar bebas) pertanian adalah kepentingan korporat dan negara maju. Liberalisasi pertanian digunakan untuk memperluas dan menguasai pasar komoditi pertanian di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Liberalisasi pertanian adalah bagian dari neo-imperialisme terhadap perekonomian Indonesia. Fakta empirik membuktikan bahwa Amerika dan negara-negara Eropa (Inggris) yang paling gencar mempropagandakan perdagangan bebas justru adalah negara-negara yang protektif terhadap pertanian mereka. Setiap petani di negara maju tersebut (termasuk Jepang) mendapat subsidi dari pemerintah setempat agar produknya mampu bersaing dan menguasai pasar luar negeri. Bahkan seekor sapi di Inggris memperoleh subsidi sebesar 2 US$ per hari agar mempunyai daya saing yang tinggi karena dapat dijual dengan harga yang relatif murah.
42
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Total dukungan Uni Eropa terhadap pertanian mereka adalah senilai US$ 35,5 milyar per tahun, sedangkan dukungan AS berjumlah sekitar US$ 85 milyar per tahunnya. Proteksi yang dilakukan negara maju tidak lagi berupa tarif dan kebijakan sejenisnya, melainkan sudah mengarah pada proteksi yang terkait dengan kemajuan teknologi. Biasanya mereka mensyaratkan kriteria-kriteria tertentu bagi masuknya komoditi dari negara sedang berkembang yang sulit mereka penuhi, seperti halnya standar lingkungan, pekerja, dan standar mutu lainnya.
MENGEMBALIKAN KEDAULATAN PERTANIAN INDONESIA Perlawanan terhadap agenda neo-imperialisme pertanian Indonesia selain dilakukan dengan memperjuangkan terealisasinya reformasi agraria, penghentian liberalisasi pertanian, juga perlu ditempuh dengan mengembalikan kedaulatan pertanian (pangan) Indonesia, yang di ranah praksis setidaknya dapat dilakukan melalui: 1.
2.
3. 3.
Pewujudan swasembada beras untuk menghindari impor beras di pasar dunia. Untuk itu Indonesia harus terus-menerus memberikan perangsang pada petani produsen beras dalam negeri agar terus bergairah meningkatkan produksi, melalui berbagai subsidi sarana produksi termasuk subsidi kredit usaha tani. Subsidi pertanian seperti yang diterapkan di negara-negara maju tidak boleh dianggap merupakan kebijakan yang keliru di Indonesia. Kebijakan peningkatan produksi komoditi-komoditi pertanian palawija yang selama ini relatif terlantar sangat dianjurkan sehingga Indonesia tidak “terpaksa” lagi mengimpor komoditi pertanian tersebut dalam jumlah besar, khususnya dalam mendukung perkembangan industri peternakan. Pembaruan kebijakan usaha tani tebu dan industri gula yang bersifat menyeluruh dan “nasionalistik” yang tidak dapat dipisahkan dari kebijakan harga dasar padi/beras. Revitalisasi kebijakan harga dasar padi sekaligus dalam kaitannya dengan harga-harga gula, jagung, kedelai, dan harga tertinggi bagi sarana produksi pupuk dan obat-obatan (pestisida dan insektisida). Tuntutan yang keliru agar pertanian Indonesia meningkatkan daya saing dengan mengikuti hukumhukum persaingan internasional, yang “mengharamkan subsidi”, harus dilawan dengan segala kekuatan oleh pakar-pakar kita (Mubyarto, 2000).
Studi Artikel Ilmiah
KORPORATOKRASI DAN PERLAWANAN PETANI KELAPA SAWIT Awan Santosa, S.E, M.Sc 2 Korporatokrasi Kelapa Sawit Pengambil-alihan sumber daya secara manipulatif maupun paksa oleh segelintir elit perusahaan swasta bukanlah hal baru di Indonesia. Sekurang-kurangnya kehadiran VOC pada 416 tahun yang lalu menjadi tonggak bermulanya kolonisasi oleh perusahaan luar negeri, yang belakangan disebut sebagai
2
Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Mercu Buana Yogyakarta dan Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
43
korporatokrasi 3 . Respon pribumi dalam hal ini dilakukan oleh tiga kelompok masyarakat, yaitu mereka yang menyediakan diri sebagai kaki tangan, mereka yang secara terpaksa menerima keadaan, dan mereka yang secara aktif melakukan perlawanan. Pergerakan kelompok terakhir telah memunculkan pergolakan di berbagai wilayah, oleh karenanya mereka disebut kaum penghasut dan ekstrimis oleh perusahaan kolonial. Berbagai upaya dilakukan untuk menumpas perlawanan sambil terus memperluas areal jajahan. Sebagai bagian tak terpisahkan, maka eksploitasi massa rakyat pribumi Indonesia pun dilakukan sehingga berakibat pada penderitaan, kemiskinan, dan kesengsaraan 4 . Pada saat ini mode ekspansi, pengambil-alihan, dan konsentrasi penguasaan lahan kembali terjadi. Sekali lagi dilakukan oleh perusahaan baik di dalam maupun dari luar negeri. Dalam hal ini, ekspansi termasif dan konsentrasi terburuk dapat dilihat di sektor pertambangan dan perkebunan, terutama perkebunan kepala sawit 5 . Dua sektor inilah yang menjadi representasi korporatokrasi yang kini berkuasa di atas regulasi, kebijakan, dan perikehidupan massa rakyat pribumi Indonesia. Dalam pada itu, Walhi dan Jatam menyebutkan bahwa 35% daratan Indonesia dikuasai oleh 1.194 kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara 6 . Sementara BPN (2007) menyebutkan bahwa hampir 70% aset nasional hanya dikuasai oleh 0,02% penduduk, dan lebih dari 505 dari aset itu merupakan tanah pertanian. Data BPS (2010) pun menunjukkan bahwa 46,67% PDB Indonesia dikuasai oleh hanya 0,1% unit usaha besar di Indonesia 7 . Studi KPPU (2007) memberi gambaran nyata korporatokrasi, di mana 52,73% total lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai oleh perusahaan swasta besar. 25,27% di antaranya dikuasai hanya oleh 5 perusahaan, yaitu Raja Garuda Mas, Wilmar Group, Guthrie Group, Sinar Mas, dan Astra Agro Lestari. Demikian pula 75% kapasitas produksi pengolahan TBS terkonsentrasi pada perusahaan swasta besar dan negara 8 . Sementara di tingkat regional Walhi Kalteng menyebutkan bahwa perijinan untuk perkebunan sawit di Kalteng hingga tahun 2008 berjumlah 323 buah dan sudah menguasai sekitar 4 juta hektar dan kebanyakan adalah perusahaan asing dan perusahaan monopoli seperti Wilmar, Musimas, Sinarmas dan Astra. Situasi ini serupa dengan data Save Our Borneo yang menyebut terdapat areal seluas 1.290.515 ha 3
Istilah ini dipopulerkan kembali oleh John Perkins dalam bukunya “Confession of an Economic Hitman” yang memaparkan pengakuannya dalam project pengembangan imperium global AS di Indonesia dan negara-negara Amerika Latin 4
Samir Amin (2003) mengurai tiga karakter intrinsik kapitalisme global, yaitu akumulasi kapital, eksploitasi, dan ekspansi pasar. Dalam pandangannya imperialisme adalah keniscayaan dari berkembangnya kapitalisme. 5
Sepertihalnya 85,4% lading-ladang migas Indonesia yang sudah dikuasai oleh kontraktor asing
6
dalam Khalisah Khalid (2009), “Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi”
7
dalam Awan Santosa (2010), “Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi”
8
Studi ini juga menemukan adanya hambatan (restriksi) pasar usaha pengolahan TBS, serta kemitraan perkebunan sawit menunjukkan unequal bargaining power.
44
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
lahan perkebunan kelapa sawit dikuasai pemodal Malaysia di seluruh Kalimantan 9 . Sepertihalnya di era kolonial, proses akumulasi kapital dan ekspansi yang membentuk korporatokrasi tersebut selalu tak terpisahkan dengan pola-pola eksploitasi, baik terhadap hutan, tanah, air, petani kecil, buruh, perempuan, dan masyarakat adat. Demikian pula, ia selalu menjumpai tiga kelompok respon seperti diuraikan di muka. Dalam situasi tersebut maka yang terjadi bukanlah konflik, melainkan perlawanan yang melibatkan para petani kelompok terakhir. Oleh karenanya, berbagai manipulasi, tipu daya, dan represi secara sistematis terhadap mereka terus dilakukan. Para aparat lokal dan massa rakyat pribumi di kebun sawit terus dipecah belah agar mudah dikuasai. Berbagai pola perkebunan baru senantiasa didesakkan, bukan untuk mengubah keadaan, melainkan untuk memperlemah resistensi dan perlawanan. Bagi mereka korporatokrasi harus terus ditegakkan, dengan merekrut sebanyak mungkin kaki tangan, menyuap agar masyarakat diam, menjerat dengan berbagai skim utang, dan melibas segala bentuk elemen perlawanan. Keadaan ini mendapat penjelasan dari data Sawit Watch yang menyebutkan bahwa telah terjadi 2.357 kasus kriminalisasi petani sepanjang tahun 2007-2010. Catatan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyebut di tahun 2010 saja terdapat 129 petani ditangkap terkait dengan perlawanan terhadap 9 perusahaan besar dalam 504 kasus sengketa lahan 10 . Di tingkat regional, 35% dari 2,8 juta ha lahan sawit di riau berkonflik, di mana 50,51% dikuasai 356 ribu KK, sisanya dikuasai perusahaan swasta yang 50%nya berasal dari Malaysia Sebagai gambaran di lapangan adalah kasus yang dialami petani asal Kelurahan Senyerang , Tanjab Barat yang meninggal dunia akibat penembakan oleh oknum Brimob yang diindikasikan dibayar oleh PT WSK, PT RHM dan PT LPPPI milik Sinarmas Group pada 11 November 2010 lalu. Massa petani setempat menuntut dikembalikannya lahan 41.779 Ha di 5 Kabupaten di Propinsi Jambi yang telah diambilalih perusahaan 11 . Hal serupa juga terjadi di PT. MAI (Mazuma Agro Indo) dan PT. Torganda di Kabupaten Rokan Hulu yang telah mengokupasi ladang-ladang masyarakat. Kedua perusahaan tersebut mengusir paksa masyarakat dan membakar rumah-rumah penduduk pada tahun 2010. Sementara itu, seorang ibu meninggal dunia setelah ditembak polisi karena berjuang untuk memperoleh keadilan dari PT. TBS 12 .
9
Seperti dilaporkan Pustek UGM-Sawit Watch dalam studi “Pekebun Mandiri dalam Industri Sawit Indonesia (2010)” 10
Menurut Abetnego (Sawit Watch) hal ini disebabkan oleh implementasi represif dari Pasal 21 dan Pasal 47 Undang-Undang (UU) 18/2004 tentang perkebunan (diunduh dari mediaindonesia.com, 26 April 2011)
2011
11
Siaran Pers Persatuan Petani Jambi 2 Mei 2011
12
Dipaparkan Noor Chasanan dalam “Petani Kelapa Sawit Termarjinalkan”,dalam Jakartapress.com, 6 April
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
45
DAMPAK KORPORATOKRASI, AKAR PERLAWANAN Korporatokrasi yang harus ditegakkan dengan eksploitasi tersebut telah membawa kerusakan sosial, moral, ekonomi, dan ekologis pada masyarakat adat. Atas dasar kerusakan inilah sesungguhnya benih-benih perlawanan dan pergolakan di banyak kebun sawit bermunculan. Petani sawit makin tidak percaya lagi dengan janji-janji manis perusahaan, dan mereka makin sadar hakekat serta dampak korporatokrasi dan kolonisasi yang melemahkan dan mengambil alih perikehidupan mereka. Dalam hal ini berbagai hasil riset kontemporer juga menjadi rujukan. Kajian yang dilakukan Meri Orth di Kalimantan Tengah (2007) memberi gambaran dampak perkebunan sawit terhadap kedaulatan pangan komunitas lokal. Beberapa dampak hasil temuan kajian ini adalah; berkurangnya hutan sebagai sumber produksi pangan, merosotnya luas lahan produksi pangan karena konversi, menurunnya kesuburan tanah dan ketersediaan air, menurunnya persentase petani yang membudidayakan tanaman pangan (padi), meningkatnya jumlah penduduk yang mendapat bantuan Raskin, meningkatnya pengeluaran untuk membeli pangan, dan menurunnya jenis dan jumlah pangan yang dikonsumsi 13 . Sementara itu, dampak negatif ekspansi perkebunan sawit di Nusantara dalam kajian Aditjondro (2011) setidaknya meliputi sedikitnya lima bidang, yaitu (a) penyerobotan tanah penduduk; (b) tergusurnya plasma nuftah dan budaya-budaya lokal; (c) persaingan dengan sumber-sumber pangan lokal; (d) pengurasan air tanah; (e) pemanasan global karena pelepasan gas-gas rumah kaca; khususnya gas karbon mono-oksida; (e) eksploitasi buruh, khususnya buruh perempuan 14 . Riset lapangan Sawit Watch, Friends of the Earth, dan LifeMosaic di Kalimantan Barat menghasilkan temuan yang serupa. Sejumlah 139 responden dari empat desa diwawancarai tentang dampak ekonomi dari konversi lahan mereka menjadi perkebunan kelapa sawit. Sekitar 49 persen menyatakan bahwa kondisi kehidupan mereka sekarang lebih buruk dibanding sebelum adanya perkebunan, 37 persen menyatakan bahwa hidup mereka lebih baik dibanding sebelumnya dan 12 persen menyatakan bahwa hidup mereka sama seperti sebelumnya (sekitar satu persen ragu ragu). Sekitar 78 persen menyatakan bahwa kondisi lebih buruk disebabkan oleh pengambil alihan lahan mereka oleh perkebunan kelapa sawit, 47 persen diantaranya menyatakan bahwa hal tersebut dikarenakan berkurangnya luasan hutan, dan sebanyak 13 persen menyatakan hal tersebut terjadi karena banjir lebih banyak terjadi sekarang. Di Ngabang, lebih dari 90 persen petani tidak bisa melunasi hutang mereka. Dari 4,000 keluarga, hanya 100 keluarga yang bisa melunasi hutang mereka [2.5 persen]. Keluarga lain tidak
13
Dalam Meri Orth (2007), “Subsistence Foods to Export Goods: The impact of an oil palm plantation on local food sovereignty North Barito, Central Kalimantan, Indonesia”, dikutip juga oleh Witoro dalam bakumsu.or.id 14
Menurutnya ekspansi yang begitu menggebu-gebu, terdorong oleh kekuatan politik para pebisnis yang menikmati kekebalan politik yang begitu tinggi, berkat kedekatan para kapitalis dengan penguasa politik, atau lewat ketumpangtindihan sebagian kapitalis kelapa sawit dengan partai-partai politik yang termasuk elit yang berkuasa di Indonesia.
46
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
pernah bisa melunasi hutang mereka karena pohon kelapa sawit mereka tidak produktif lagi 15 . Korporatokrasi sawit telah menyebabkan hilangnya barang dan jasa dari ekosistem, termasuk di sumberdaya alam milik bersama. Penggundulan hutan membuat musnahnya sumberdaya hutan seperti buah-buahan, sayuran, daging buruan, obat-obatan, bahan bangunan dan atap, kayu bakar dan bahan untuk membuat kerajinan tradisional. Plot agroforestri masyarakat juga bisa ikut hilang, pun masyarakat menanggung dampak eksternalitas lainnya seperti kebakaran, banjir, dan hilangnya akses ke air bersih. Dalam pada itu pula, studi Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM dan Sawit Watch menemukan ketergantungan petani sawit terhadap korporasi besar, baik dalam hal sarana produksi (modal, benih, pupuk, dan pestisida), maupun dalam pasar penjualan dan penentuan harga TBS. Korporatokrasi telah melemahkan dan mematikan kemampuan, pengetahuan, insiatif produksi, dan industri massa rakyat pribumi. Ia menghalangi usaha para pekebun sawit untuk mandiri, dan mengembangan perkebunan berbasis demokrasi ekonomi 16 . Demikian okupasi perikehidupan, eksploitasi, dan marjinalisasi petani kelapa sawit merupakan kondisi objektif terjadinya pergolakan dan perlawanan. Kondisi subjektif yang belum mendukung dilihat dari skala dan bentuk perlawanan yang masih terbatas dan sporadis adalah keberhasilan korporatokrasi dengan politik belah bambunya. Kiranya memang telah banyak yang disejahterakan korporatokrasi sawit, tetapi dengan begitu banyak massa rakyat yang menjadi korbannya. Lemahnya petani sawit menjadi material penyubur korporatokrasi dengan berbagai konflik sebagai ekses buruknya 17 . Korporatokrasi yang mengkonsentrasikan kekuasaan pada segelintir elit telah memanipulasi demokrasi politik dan menghancurkan demokrasi ekonomi. Ialah yang turut merekrut dan membesarkan para pemangku kekuasaan, sehingga mereka tidak akan mengoreksi apalagi membongkar tatanannya. Bahkan berbagai produk regulasi dan kebijakan perkebunan sawit dan pengelolaan sumber daya nasional telah diciptakan untuk melegalisasi dan melanggengkannya. Korporatokrasi telah menjadi sumber kekuasaan, setelah kemampuannya menundukkan konstitusi (Undang-Undang Dasar) 18 .
SIMPULAN DAN REKOMENDASI Banyaknya pertentangan antara perusahaan swasta besar (asing) dengan petani kelapa sawit di Indonesia tidak dapat disebut sebagai fenomena konflik, dengan merunut akar historis, sosiologis, dan ekonomi-politiknya. Ia lebih tepat disebut sebagai perlawanan rakyat terhadap para kapitalis domestik 15
Disarikan dari Laporan Penelitian mereka berjudul “Hilangnya Tempat Berpijak: Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap HAM di Indonesia (2008)” 16
Ibid Pustek UGM-Sawit Watch (2010)
17
Korporatokrasi dan lemahnya massa rakyat saling berkaitan dengan konflik sebagai eksesnya, sehingga perlu pemecahan sistematis terhadap kedua akar permasalahan tersebut 18
Telah berulangkali terbukti UU yang dibuat Pemerintah dan DPR dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 setelah diajukan judicial review-nya ke Mahkamah Konstitusi seperti UU Ketenagalistrikan dan sebagian pasal di UU Migas dan UU Penanaman Modal
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
47
dan asing yang melakukan praktek-praktek kolonisasi dan eksploitasi sehingga melemahkan gerakan rakyat petani. Adapun kriminalisasi, penangkapan, penembakan, dan berbagai bentuk represi lain terhadap petani sawit hanyalah respon alamiah mereka seperti mengulang sejarah di era gelap kolonialisme. Perlawanan dan konflik petani sawit tidak akan berakhir selama kondisi objektif tersebut belum berubah, bahkan dapat meluas seiring dengan pembangunan kesadaran dan kekuatan di kalangan massa rakyat di kebun sawit. Namun, perlawanan dapat surut manakala terjadi fragmentasi akibat dipecahbelahnya barisan petani. Rusaknya barisan petani sawit dapat terjadi karena ancaman dan represi, maupun karena terbujuk kemakmuran pribadi/kelompok dengan menjadi bagian dari golongan penikmat korporatokrasi. Korporatokrasi telah menjadi penyokong kekuasaan politik dan pemerintahan di tingkat lokal, nasional, dan internasional. Atas dasar itu keberadaannya menjadi legal karena regulasi yang diperlukan untuk terus menguasai perkebunan sawit, bahkan kekayaan Indonesia yang lain seperti halnya minyak, gas, batubara, emas, hutan tropis, air, dan BUMN telah disediakan 19 . Oleh karenanya, harapan revolusi dan demokratisasi perkebunan sawit ada di pundak massa rakyat tani, melalui kerja-kerja penguatan kemandirian dan perlawanan di kebun-kebun sawit dan di parlemen lokal-nasional. Konsentrasi kekuasaan sebagai sifat intrinsik korporatokrasi hanya dapat dihadapi melalui pembangunan kekuatan organisasi massa petani sawit sepertihalnya Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS). Kekuatan pemandiri yang perlu terus dibangun meliputi kekuatan institusional, kekuatan intelektual, dan kekuatan material. Massa rakyat petani yang kuat dan mandiri dalam ketiga hal tersebut tentunya tidak akan memberi keleluasaan para kapitalis dan kolonialis untuk melakukan manipulasi dan tindasan. Berbagai perundingan mode perkebunan sawit hanya baik dilakukan di atas kemandirian dan kekuatan yang setimbang. Selengkapnya pembangunan kekuatan basis kemandirian pekebun rakyat dapat direkomendasikan sebagai berikut. Pertama, kekuatan institusional dibangun dengan senantiasa merapikan pengelolaan internal organisasi dan kooperasi serta merekrut sebanyak mungkin anggota-anggota baru petani sawit yang militan. Organisasi diarahkan untuk mengembangkan kooperasi pekebun sawit rakyat mandiri yang juga mengelola tanaman diversifikasi berbasis agro ekologi 20 . Organisasi juga dibangun melalui perluasan jejaring dengan organisasi massa rakyat yang sehaluan. Kedua, kekuatan intelektual dibangun organisasi petani sawit dengan terus menjalankan agenda pendidikan penyadaran massa rakyat pada wilayan normatif dan material. Kesadaran normatif dalam bentuk pemahaman terhadap cita-cita agama, adat istiadat, dan konstitusi dalam pengelolaan perkebunan. Kesadaran material dalam bentuk pemahaman terhadap situasi keterhisapan, ketergantungan, dan
19
Berbagai UU yang melandasi korporatokrasi diantaranya adalah UU Migas, UU Sumber Daya Air, UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU BUMN, UU Minerba, dan UU Pelayaran 20
Lihat Witoro, “Petani Miskin Menjinakkan Raksasa Sawit Melalui Koperasi Pertanian Agroekologi”, dalam bakumsu.or.id, 4 April 2011
48
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
keterjajahan diperkuat sebagai kondisi objektif urgensi revolusi dan demokratisasi sistem perkebunan. Dalam hal ini, organisasi petani sawit perlu berjejaring dengan NGO dan perguruan tinggi yang sehaluan. Ketiga, kekuatan material dapat dibangun melalui advokasi reforma agraria, perubahan UU Perkebunan dan UU produk korporatokrasi lainnya, serta pemberlakuan regulasi pembatasan lahan. Di samping itu penguatan modal finansial dapat diperjuangkan melalui advokasi alokasi APBD untuk skim kredit perkebunan rakyat, yang juga dapat disinergikan dengan keberadaan Koperasi Simpan Pinjam setempat, BPD, maupun lembaga keuangan lokal lainnya. Sementara penguatan teknologi dan sarana produksi yang diperlukan dalam budidaya sawit dan tanaman diversifikasi lain secara mandiri dapat diperoleh melalui kerjasama dengan BPPT dan Perguruan Tinggi. Demikian, dalam sejarahnya penjajahan dan penghisapan hanya dapat dihentikan melalui pembangunan kesadaran, kebersatuan, keswadayaan, dan kekuatan massa rakyat di seluruh penjuru negeri. Pun korporatokrasi sebagai manifes dua sifat buruk keadaan sosial-ekonomi tersebut akan tumbang dan terpatahkan ketika mereka berbenturan dengan barisan massa rakyat Indonesia yang kuat, mandiri, dan tidak mudah tercerai berai. Studi Kasus:
KETIMPANGAN STRUKTUR PERTANIAN DI IMOGIRI Kondisi di mana petani tidak dapat menjangkau pasar (konsumen) secara langsung merupakan fenomena umum yang dijumpai pada usaha pertanian, termasuk di Kecamatan Imogiri, Bantul. Padahal tingkat permintaan masyarakat terhadap komoditi hasil-hasil pertanian terbilang tinggi. Hal ini sesuai karakteristik produk yang merupakan kebutuhan dasar, sehingga keberadaan area pasar tidak terlalu bermasalah. Kebutuhan petani oleh karenanya adalah berupa akses pasar yang memungkinkan bagi mereka untuk keluar dari sistem pemasaran yang dikendalikan oleh tengkulak. Pada bagian selanjutnya dipaparkan struktur pemasaran pada masing-masing komoditi pertanian. 1.
Padi
Sebagai gambaran awal adalah struktur pemasaran padi yang sebagian besar juga dikuasai oleh jaringan tengkulak. Padi yang ditanam di semua wilayah Kecamatan Imogiri hampir separuhnya (49,26%) dipasarkan ke konsumen lokal melalui tengkulak. Hanya 39% hasil panen padi yang langsung dijual kepada pembeli, sementara peranan koperasi dalam distribusi padi hanya sebesar 8,12%. Dominasi jaringan tengkulak terbesar terdapat pada struktur pemasaran padi di Desa Girirejo, yaitu sebesar 87,5%, sedangkan peranan tengkulak di Desan Kebon Agung sama sekali tidak ada karena 100% hasil padi petani sudah langsung dijual kepada pembeli.
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
49
Struktur Pemasaran Padi
Tengkulak 49,26 Lgsg Pembeli 39,05 Koperasi 8,12 Gilingan 3,03 Lainnya 21,25
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Pangsa pasar padi Imogiri yang sudah tersedia dan dipasok secara berkelanjutan oleh petani Imogiri tidak menjadi jaminan bagi peningkatan kesejahteraan petani padi. Hal ini sesuai temuan empirik di atas, di mana marjin keuntungan sebagian besar justru masuk ke agen pemasaran (tengkulak) yang relatif menguasai pasar dengan lebih baik. 2.
Kacang Tanah
Kondisi serupa juga berlangsung dalam struktur pemasaran komoditi kacang tanah yang sebagian besar dibudidayakan di Desa Girirejo. Peranan tengkulak dalam sistem pemasaran kacang tanah bahkan mencapai hingga 83,3%, jauh lebih besar di banding baru terdapatnya16,7% petani kacang tanah yang mampu menjual sendiri produknya kepada pembeli secara langsung. Kondisi ini menyiratkan potensi tambahan penerimaan yang sangat tinggi apabila ketergantungan pada jaring pemasaran tengkulak dapat dihilangkan. Struktur Pemasaran Kacang Tanah
Tengkulak 83,3
Lgsg Pembeli 16,7
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
3.
Bawang Merah
Struktur pemasaran komoditi bawang merah bahkan menjadi arena perburuan marjin yang sangat besar bagi tengkulak yang sudah menguasai 97,25% pemasaran bawang merah yang sebagian besar dibudidayakan oleh petani Desa Girirejo dan Desa Selopamioro. Baru terdapat 2,75% petani yang mampu memasarkan hasil panennya langsung kepada pembeli di sekitar Kecamatan Imogiri. Bahkan pada konteks pemasaran bawang merah di Girirejo sepenuhnya (100%) dijalankan oleh tengkulak. Untuk mengoptimalkan potensi tambahan penerimaan dari penjualan bawang merah maka dibutuhkan upaya perombakan struktur pemasaran yang tidak berpihak pada petani bawang merah tersebut.
50
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Struktur Pemasaran Bawang Merah
Tengkulak 97,25 Lsng Pembeli 2,75
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
4.
Tembakau
Komoditi tembakau telah dibudidayakan oleh petani di Desa Selopamioro selama bertahun-tahun. Sungguhpun begitu, struktur pemasaran yang terbangun masih serupa dengan komoditi yang lain, di mana terdapat peranan tengkulak yang cukup dominan. Baru terdapat 30,4% petani yang mampu menjual sendiri tembakaunya langsung kepada pembeli dan 4,3% petani yang menjual tembakau melalui kombinasi kedua pola penjualan tersebut. Permintaan pasar terhadap komoditi tembakau dari Selopamioro cenderung fluktuatif dan untuk tahun-tahun terakhir cenderung menurun. Oleh karenanya, selain muncul kebutuhan adanya restrukturisasi pola pemasaran, perlu juga dilakukan perluasan pasar. Struktur Pemasaran Tembakau Tengkulak 63 Lgsg Pembeli 30,4 Dua-duanya 4,3
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
5.
Jagung
Kondisi serupa juga dialami oleh petani yang membudidayakan tanaman jagung. Rata-rata komoditi jagung dijual kepada konsumen juga melalui tengkulak, yaitu sebesar 63%, sedangkan selebihnya dapat langsung menjualnya sendiri kepada konsumen (30,4%).
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
51
Struktur Pemasaran Jagung Tengkulak 63 Lgsg Pembeli 30,4 Dua-duanya 4,3
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Komoditi lain yang struktur pemasarannya relatif steril dari dominasi peranan tengkulak adalah cabe rawit (Desa Selopamioro) dan mete (Desa Wukirsari). Pada kedua komoditi ini mayoritas petani dapat langsung menjuual hasil panennya ke pasar atau langsung kepada pembeli (konsumen akhir). Sungguhpun begitu, secara umum struktur pemasaran komoditi pertanian di Imogiri masih sangat bergantung pada peranan tengkulak. Secara agregat dapat ditunjukkan melalui tabel di bawah, di mana pangsa pasar terbesar tengkulak terdapat pada sistem pemasaran komoditi bawang merah, sedangkan porsi terendah terdapat pada komoditi padi. Demikian halnya, petani padi relatif lebih mampu menjangkau konsumen (pembeli) secara langsung atau melalui koperasi, gilingan, dan pola pemasaran lain (bervariasi) di banding pada komoditi lain. Struktur Pemasaran Per Komoditi Pertanian 120 100
padi
80
kacang tanah
60
tembakau
40
bawang merah
20
jagung
la in ny a
gi lin ga n
te ng ku la lg k sg pe m be li ko pe ra si
0
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Secara agregat struktur pemasaran komoditi pertanian di Kecamatan Imogiri didominasi oleh peranan tengkulak, yaitu sebesar 71%, selebihnya 23% petani sudah mampu menjual hasil panennya secara langsung ke pembeli, hanya 0,6% yang menjualnya melalui koperasi, 1,6% melalui gilingan, dan variasi pola pemasaran lainnya sebesar 5,8%. Keadaan ini mengimplikasikan kebutuhan adanya restrukturisasi pasar agar sebesar-besar mendatangkan kesejahteraan kepada petani kecil di Imogiri. Pasar potensial yang sudah tersedia perlu digarap secara mandiri oleh petani bersama dengan organisasi tani
52
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
dan pemerintah lokal. Struktur Pemasaran Pertanian tengkulak 71% lgsg pembeli 23% koperasi 0,6% gilingan 1,6% lainnya 5,8%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
6.
Penentuan Harga Komoditi Pertanian
Dominasi peranan tengkulak ini pada akhirnya terbukti berimplikasi pada peranan mereka dalam menentukan harga komoditi pertanian. Hal ini mengingat tengkulak memiliki kemampuan untuk menjangkau kedua pihak, baik petani maupun pasar (konsumen akhir). Oleh karena itu, harga dapat ditetapkan untuk memperoleh marjin keuntungan yang maksimal dari penguasaan mereka atasa jaringan distribusi tersebut. Sebagai gambaran adalah penentuan harga padi yang dibudidayakan oleh petani di setiap kecamatan. Penentuan harga mayoritas dipersepsikan dilakukan oleh pasar, yaitu sebesar 62%. Hal ini perlu dicermati mengingat struktur pasar yang ditandai besarnya peranan agen pemasaran (tengkulak) seperti diuraikan di awal. Harga pasar pada umumnya sangat dipengaruhi oleh kekuatan terbesar di dalam pasar tersebut. Terlebih terdapat 31,9% pola penentuan harga yang secara langsung dilakukan oleh tengkulak yang pada tata niaga padi. Keberdayaan petani padi di Imogiri dalam hal ini ditunjukkan dengan kemampuan menentukan harga sendiri sebesar 22,4%.
Penentu Harga Padi 80 60 40 20 0 Tengkulak 31,9%
Sendiri 22,4%
Pasar 62,0%
Lainnya 9,9%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Keadaan di mana terdapat porsi peranan tengkulak yang lebih besar dijumpai dalam penentuan harga sayuran. Penentuan harga pada komoditi sayuran ini ditentukan secara berimbang antara tengkulak (50%) dan pasar (50%). Walaupun di sini terdapat potensi bias karena tengkulak bisa jadi merupakan
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
53
kekuatan terbesar dalam struktur pasar sayuran, sehingga memliki pengaruh terhadap keputusan pasar.
Penentu Harga Sayuran 100% 80% 60% 40% 20% 0% Tengkulak 50%
Pasar 50%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Kondisi lebih rentan ditemui dalam penentuan harga komoditi palawija yang juga mayoritas dipengaruhi oleh tengkulak. Petani palawija menyatakan bahwa harga komoditi mereka harganya 75% ditentukan oleh tengkulak, sedangkan selebihnya (25%) baru ditentukan oleh pasar. Penentu Harga Palawija
100 50 0 Tengkulak 75%
Pasar 25%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Kondisi paling ekstrim dijumpai dalam penentuan harga komoditi bawang merah yang 100% dipersepsikan petani ditentukan hanya oleh tengkulak. Hal ini menunjukkan ketergantungan petani bawang merah yang sangat besar terhadap keputusan tengkulak. Keadaan ini pula yang potensial memerosotkan nilai keuntungan dan kesejahteraan rill petani. Penentu Harga Bawang Merah
100 Tengkulak 100%
50 0 1
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
54
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Data agregat menunjukkan besarnya peranan tengkulak dalam menentukan harga komoditi pertanian di kecamatan Imogiri. Komposisi porsi penentuan harga komoditi pertanian adalah 64,2% ditentukan oleh tengkulak, 27,2% oleh pasar, 1,2% oleh petani, dan 7% ditentukan oleh cara dan pihak lain. Kemampuan tengkulak yang sangat besar dalam menentukan harga ini mencerminkan sistem ekonomi yang tidak demokratis yang berujung pada stagnasi kesejahteraan petani kecil. Kondisi ini pula yang mendorong merosotnya daya beli masyarakat (konsumen) akibat permainan harga yang tidak mampu mereka antisipasi sepenuhnya. Penentu Harga Komoditi Pertanian
Tengkulak 64,2% Sendiri 1,25% Pasar 27,2% Lainnya 7%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
7.
Orientasi Produksi Pertanian
Perbedaan kedalaman ketergantungan terhadap sistem pemasaran tengkulak pada berbagai jenis komoditi pertanian dapat dijelaskan melihat perbedaan orientasi produksi tiap-tiap komoditi tersebut. Pada komoditi yang tidak semata-mata berorientasi pasar (konsumen) maka tingkat ketergantungan terhadap jaring pemasaran tengkulak relatif lebih kecil. Misalnya saja pada komoditi padi karena sebagian masih diproduksi pada level subsistensi (35,6%) dan baru dijual sebagian ke pasar (57,4%). Hanya 6,6% petani padi di Imogiri yang menjual semua hasil panennya ke pasar. Orientasi Produksi Padi 60 40 20 0 Konsumsi Sendiri Dijual Sebagian 35,6% 57,4%
Dijual Semua 6,6%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Hal ini berbeda dengan komoditi palawija dan bawang merah yang sudah berorientasi pasar, di mana semua hasil panen (100%) sudah dijual ke pasar (konsumen). Keadaan ini menumbuhkan peluang secara alamiah untuk tumbuh dan berkembangnya sistem-sistem perantaraan seperti yang dilakukan oleh tengkulak. Oleh karena itu hal ini kiranya dapat menjelaskan mengapa pada kedua komoditi Ini derajat ketergantungan pasar terhadap tengkulak menjadi besar. Kedua komoditi ini relatif lebih rentan terhadap fluktuasi harga dan perubahan pangsa pasar.
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
55
Orientasi Produksi Palawija dan Bawang Merah
100 Dijual Semua 100%
50 0 1
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
8.
Infrastruktur Pemasaran
Kelancaran distribusi hasil pertanian di Kecamatan Imogiri ditunjang dengan ketersediaan infrastuktur pemasaran yaitu pasar regional 2 buah, toko 66 buah, warung 135 buah, kaki lima 33 buah, minimarket 2 buah, dan supermarket 2 buah. Hanya saja khusus untuk komoditi pertanian yang umumnya berumur pendek belum sepenuhnya dapat memanfaatkan ketersediaan infrastruktur pemasaran tersebut. Infrastruktur yang lebih dibutuhkan untuk menjangkau pasar adalah keberadaan lembaga-lembaga pemasaran yang dibentuk sendiri oleh kelompok tani, misalnya koperasi maupun bentukan pemerintah daerah. Jumlah Sarana Perdagangan Pasar Regional 2 Toko 66 Warung 135 Kaki lima 33 Mini market 2 Supermarket 2
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
9.
Pemasaran Hasil Peternakan
Selain melakukan budidaya tanaman pertanian, sebagian petani Imogiri juga mengembangkan usaha peternakan berupa ternak domba, kambing, dan sapi. Berbagai pola sudah dilakukan untuk menjual hasil ternak mereka ke pasar (konsumen). Pada umumnya peternak Imogiri menjual hasil ternak mereka langsung ke pasar hewan yang ada di sekitar wilayah mereka. Sebagian menjual ternak melalui perantara (blantik) dan ada juga yang langsung menjual ke pembeli (orang-perorang). Sebagai gambaran, hasil ternak domba di Desa Girirejo dan Desa Karangtengah secara agregat separuhnya (50%) dijual langsung ke pasar hewan setempat, 25% dijual langsung ke pembeli perorangan, dan 25% dijual melalui perantara (blantik). Secara parsial untuk penjualan domba di Girirejo 50% melalui pasar hewan, 50% langsung ke pembeli, dan tidak ada yang menjualnya melalui blantik. Sementara di Desa Karangtengah hasil ternak domba dijual ke pasar hewan 50% dan melalui blantik juga 50%.
56
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Tempat Penjualan Domba Pasar Hewan 50% Lgsg Pembeli 25% Blantik 25%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Penjualan ternak kambing juga mengikuti pola yang serupa, di mana proporsi penjualan melalui pasar hewan sudah mencapai 72,2% dan selebihnya (27,8%) dijual melalui blantik. Khusus di Desa Girirejo penjualan kambing seluruhnya dilakukan melalui pasar hewan, sedangkan di Desa Karangtengah justru sebagian besar dijual melalui blantik (83,33%), sisanya (16,67%) dijual melalui pasar hewan. Kondisi yang bertolak belakang ini mengindikasikan keberdayaan peternak di Desa Girirejo lebih tinggi dibanding peternak di Desa Karangtengah. Seperti yang terjadi pada sistem pemasaran pertanian yang tergantung pada tengkulak, ketergantungan yang besar pada blantik akan mengurangi tingkat keuntungan potensial yang dapat diperoleh peternak. Tempat Penjualan Kambing
Pasar Hewan 72,2% Blantik 27,8%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
Kondisi serupa juga dijumpai dalam sistem penjualan ternak sapi. Secara agregat proporsi penjualan sapi melalui pasar hewan sebesar 66,6% sudah melampui proporsi yang dijual melalui blantik sebesar 33,4%. Hanya saja pada tingkatan mikro, peternak sapi di Desa Girirejo kembali menunjukkan keberdayaannya di mana penjualan melalui pasar hewan di desa ini sudah mencapai 66,67%, sedangkan yang melalui blantik sebesar 33,3%. Tetapi untuk kasus penjualan sapi di Desa Karangtengah sepenuhnya (100%) dilakukan melalui perantaraan blantik. Ketidakmampuan peternak sapi di Desa Karangtengah untuk mengakses pasar secara langsung ini akan berdampak pada perkembangan budidaya sapi yang tidak optimal dan stagnasi kesejahteraan peternak.
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
57
Tempat Penjualan Sapi
Pasar Hewan 66,6% Blantik 33,4%
Sumber: diolah dari hasil Survey Sibermas 2007
10. Simpulan Berdasarkan gambaran umum sistem pemasaran komoditi pertanian dan peternakan di Kecamatan Imogiri di atas, maka dapat ditemukan beberapa kondisi dan permasalahan aktual-struktural terkait dengan kebutuhan petani/peternak untuk dapat mengakses pasar sebagai berikut: 1) Pasar bagi komoditi pertanian dan peternakan tersedia cukup besar baik dalam ruang lingkup lokal maupun di luar Imogiri karena sifat produk yang merupakan kebutuhan dasar. 2) Kebutuhan petani/peternak justru terletak pada perlunya restrukturisasi pemasaran yang lebih mendatangkan manfaat (kesejahteraan) bagi petani dengan mengikis ketergantungan kepada tengkulak atau blantik, baru setelah itu mendorong perluasan pasar. 3) Keberadaan organisasi tani baik dalam bentuk Kelompok Tani maupun Koperasi belum sepenuhnya memiliki keberdayaan dalam mempermudah akses pasar bagi petani, sehingga perlu diberdayakan lagi. 4) Pemerintah setempat belum sepenuhnya mampu memfasilitasi petani untuk menguasai akses pasar, sehingga peranannya dalam fasilitasi pemasaran perlu dioptimalkan lagi. 5) Organisasi petani perlu mengefektifkan forum berbagi pengalaman berharga (lesson-learned sharing) tentang keberhasilan beserta strategi satu wilayah atau satu kelompok tani/ternak untuk memutus ketergantungan pada tengkulak (blantik). 6) Perlu dikembangkan pola-pola distribusi informasi dan pola sinergi (kemitraan) antarmultistakeholder, khususnya antara petani (produsen) dan buruh (konsumen), yang efektif sebagai media pembersatuan kekuatan ekonomi rakyat dan peningkatan jangkauan petani ke pasar secara langsung. Studi Kasus:
MODEL KETAHANAN PANGAN DI KABUPETN NGANJUK Dalam bagian analisis sistem ekonomi akan dikaji perihal kepemilikan (distribusi) faktor produksi, proses produksi, dan paska produksi (distribusi dan konsumsi) dengan unit analisis kaum perempuan peserta pelatihan aplikasi teknologi pangan alternative di Kabupaten Nganjuk dari beberapa desa sentra ketela dan wawancara dengan beberapa narasumber desa.
58
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
1.
Analisis Faktor Produksi Kajian penting yang perlu dicermati sebelum memasuki tahapan proses produksi adalah profil produsen dan hubungannya dengan akses (penguasaan) terhadap faktor produksi. Hal ini berguna untuk menjawab persoalan mengapa industri pangan alternatif berbahan lokal (ketela) belum berkembang pesat di Kabupaten Nganjuk. Salah satu alat analisis yang cukup akurat dalam membedah persoalan penguasaan terhadap faktor produksi ini dirumuskan oleh Baswir (2005), yang membaginya ke dalam tiga macam: faktor produksi material, intelektual, dan institusional. Alat analisis ini relevan digunakan untuk memahami profil calon pelaku industri pangan alternatif berbahan lokal di Kabupaten Nganjuk, kaitannya dengan penguasaan faktor produksi. a. Faktor Produksi Intelektual Modalitas penting keterlibatan dalam proses produksi pangan alternatif berbahan baku ketela adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang memadai. Hal ini erat kaitannya dengan akses produsen (kaum perempuan-responden) terhadap pendidikan baik formal maupun informal (semisal pelatihan, kursus, dan penyuluhan). Sudah jamak adanya bahwa persoalan kualitas SDM produsen dipengaruhi oleh rendahnya tingkat pendidikan, yang dalam konteks kaum perempuan responden masih banyak yang berlatar belakang pendidikan SD (15 orang/50%). Sungguh pun demikian, beberapa responden adalah lulusan SMA/SMK/SMEA (10 orang/33,3%), sehingga belum berkembangnya industri pangan alternatif berbasis ketela di Kabupaten Nganjuk memunculkan persoalan tersendiri. Modalitas intelektual sebagai dasar pengembangan sebenarnya tersedia, namun penggarapannya yang kiranya tidak memadai. Hal ini dikuatkan dengan kenyataan bahwa mayoritas responden menyatakan bahwa baru pertama kali (sekali) mengikuti pelatihan aplikasi teknologi pengolahan pangan berbahan baku ketela. Sungguh ironis mengingat usia mereka yang rata-rata sudah di atas 30 tahun. Cara pemerintah mendidik dan mencerdaskan kehidupan bangsa dalam hal ini kiranya patut dipertanyakan lagi.
Sumber: hasil survey diolah (2009)
Dari 30 responden, sebanyak 21 orang (67%) menyatakan baru sekali mendapatkan pelatihan sejenis, sedangkan 9 responden (33%) tidak memberikan jawaban. Ini adalah fenomena kemandegan pendidikan non formal (aplikasi teknologi tepat guna), yang menjadi pekerjaan pertama sebelum proses produksi dan industrialisasi pangan berbahan ketela dilakukan. Jika tidak
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
59
maka hasil produksi yang dinikmati para produsen akan membawa corak yang timpang dan tidak berkeadilan.
Sumber: hasil survey diolah (2009)
b. Faktor Produksi Material Bagian yang tidak kalah penting dalam menunjang proses produksi adalah penguasaan (akses) terhadap faktor produksi material, sepertihalnya tanah (lahan), teknologi, dan permodalan. Persoalan klasik yang dihadapi petani dan masyarakat desa adalah sempitnya lahan pertanian, yang juga dihadapi oleh responden kaum perempuan di Kabupaten Nganjuk. Sungguh pun demikian, kenyataan lain yang patut dicermati adalah variasi luas kepemilikan lahan yang ternyata cukup besar. Kategori luasan memiliki rentang yang cukup lebar, yaitu mulai dari responden yang tidak memiliki lahan, 28m, 32m, 100m, 150m, 200m, 250m (paling banyak), 500m, 600m, dan tidak menjawab (10 orang/33,3%). Demikian, maka perlakuan terhadap kegiatan produksi patut memperhitungkan diversitas (keragaman) ini, sehingga setiap orang akan mendapat manfaat setara dari usaha yang sama. Dalam konteks produksi pangan olahan berbahan dasar ketela, maka luasan kepemilikan lahan ketela menjadi penting sebagai jaminan ketersediaan pasokan bagi pengembangan usaha selanjutnya. Dalam hal ini, luasan lahan ketela pun bervariasi, meskipun tidak sebanyak dalam penguasaan lahan keseluruhan. Pemilikan lahan ketela responden terbagi dalam kategori mereka yang tidak punya lahan, 100m, 250m (paling banyak), 300m, 500m, dan sebagian tidak menjawab. Dalam hal penguasaan alat-alat produksi (teknologi) pengolahan ketela terdapat banyak kesamaan diantara responden yang menyatakan memiliki alat-alat berupa panci & wajan (paling banyak), dandang, soblok, kompor, pisau, oven & blender (1 orang). Hal ini merupakan modalitas yang berharga dalam upaya aplikasi teknologi pengolahan pangan alternatif berbahan ketela yang dapat diupayakan dalam format industri rumah tangga (home industry) yang satu sama lain saling terkoneksi. Koneksitas ini dalam bagian selanjutnya akan diuraikan, terutama dalam hal pemasaran (akses pasar) yang dapat dilakukan secara kolektif melalui badan usaha koperasi. Faktor produksi yang tidak kalah pentingnya adalah permodalan. Dalam hal ini tidak terdapat variasi persepsi yang signifikan di antaranya responden di lokasi penelitian. Semua responden yang menjawab menyatakan bahwa sumber permodalan yang dapat mereka
60
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi manfaatkan adalah berasal dari koperasi, PNPM, dan arisan desa, sementara sebanyak 8 responden tidak memberikan jawaban. Modalitas kapital ini penting mengingat keefektfannya dalam membantu ekonomi rakyat dalam mengembangkan usahanya. c. Faktor Produksi Institusional Faktor produksi yang ketiga ini adalah berupa kelembagaan produksi, distribusi, dan konsumsi yang dapat menunjang pengembangan usaha pangan olahan berbahan dasar ketela. Usaha ekonomi rakyat yang terkelola dan terlembaga dengan baik merupakan modalitas dalam memecahkan berbagai persoalan yang terjadi di tiga wilayah ekonomi tersebut. Dalam konteks lokasi penelitian, komunitas formal yang selama ini menghimpun kegiatan sosial-ekonomi responden adalah PKK (paling banyak), kader posyandu, ormas (Fatayat), dan PNPM. Berbagai kelembagaan yang sudah ada tersebut memang masih erat kaitannya (orientasinya) pada kegiatan sosial-kemasyarakatan. Hal ini sejalan dengan kenyataan belum berkembangnya industri rumah tangga berbasis ketela olahan yang sudah lama menjadi potensi pertanian di Kabupaten Nganjuk. Ketiadaan organisasi yang secara intrinsik mampu menjadi wadah kemandirian, kebersamaan, dan keberdayaan kaum perempuan tani inilah yang menjadi salah satu kendalanya. Kaum perempuan tani desa belum memiliki alat perjuangan kesejahteraan yang memungkinkan tergalinya semua potensi yang ada di desa dan terpecahkannya berbagai persoalan ekonomi muncul.
2.
Analisis Proses Produksi Melihat belum meratanya kepemilikan faktor produksi di atas, maka implikasinya akan adalah tidak semua orang akan terlibat dalam proses (kegiatan) produksi. Dalam konteks lokasi penelitian, hal ini terlihat dari sebaran kegiatan produksi (pekerjaan) di mana mayoritas responden kaum perempuan desa adalah ibu rumah tangga dan petani. Sungguh pun memasuki area produksi (bekerja) bukan merupakan kewajiban kaum perempuan yang sudah berkeluarga, namun partisipasi mereka dalam memanfaatkan semua potensi alam yang tersedia sangat diperlukan. Corak produksi yang sesuai untuk keadaan ini pada umumnya adalah industri rumah tangga, yaitu mengolah hasil-hasil pertanian (ketela) di rumah dengan teknologi dan alat produksi yang tersedia.
Sumber: Hasil survey diolah, 2009
Kaum perempuan di lokasi penelitian dan Kabupaten Nganjuk pada umumnya dapat menjadi produsen (supplier) pangan olahan yang dikerjakan di rumah masing-masing. Agar muncul
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
61
kebersamaan, kebersatuan, dan kemandirian sebagai modalitas berkembangnya usaha ekonomi rakyat, maka di antara mereka dapat terhimpun (terhubung) dalam satu wadah koperasi yang menjalankan fungsi sebagai tempat pemasaran bersama, sekaligus tempat pembelian bahan-bahan produksi secara bersama-sama pula. 3.
Analisis Paska Produksi Kelangkaan dalam penguasaan faktor produksi pada akhirnya menyebabkan ketertinggalan (kemandegan) dalam proses produksi. Pada sebagian responden di lokasi penelitian hal ini berimplikasi pada kemandegan atau kelambatan dalam perbaikan kesejahteraan (peningkatan pendapatan). Dalam hal ini kenyataan adanya variasi yang cukup lebar di antara tingkat pendapatan responden menunjukkan bahwa ketimpangan faktor produksi telah mewujud dalam ketimpangan konsumsi (pendapatan). Pendapatan responden terentang lebar mulai dari Rp 50.000, Rp 200.000 (paling banyak), Rp. 300.000, Rp. 800.000, Rp. 2.000.000, dan tidak menjawab (10 orang). Variasi ini selain menggambarkan terjadinya fragmentasi yang terkait dengan kepemilikan faktor produksi, juga menunjukkan kesejahteraan yang belum memadai akibat potensi lokal yang belum sepenuhnya dikembangkan. Hal ini juga dapat dilihat dari terdapatnya responden yang menerima skim Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang oleh karena dikategorikan sebagai keluarga miskin.
Sumber: Hasil survey diolah, 2009
4.
Analisis Pasar Keberadaan pasar baik di lingkup lokal, desa, kecamatan, daerah, nasional, maupun pasar internasional, yang dapat dijangkau dengan beragam model pemasaran, akan menentukan pengembangan usaha pangan olahan di Kabupaten Nganjuk. Dalam persepsi responden penelitian, pasar dari produk pangan olahan adalah masyarakat sekitar dan warung-warung yang ada, meskipun sebagian responden tidak memberikan jawaban (11 orang). Dalam pandangan mereka, lembaga setempat yang dapat menjadi pemasar produk pangan olahan adalah PKK desa, warung, pasar, dan masyarakat setempat. Adapun outlet pasar setempat yang sudah ada di antaranya adalah warung, toko, pasar, tidak menjawab (14 orang). Selama ini pemasaran produk pangan olahan yang ada dilakukan secara perorangan oleh produsen maupun pedagang baik melalui pasar kecamatan (Berbek), pasar daerah (Nganjuk), maupun langsung ke pasar di daerah lain (Jombang, Kediri). Alur pemasaran produk pangan berbahan ketela di Sawahan misalnya dapat disajikan dalam bagan berikut ini:
62
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Produsen
Pasar Sawahan Pasar Berbek Pasar Nganjuk
Madiun
Kediri
Jombang Bagan 4.1 Pola Pemasaran Produk Pangan Ketela Olahan di Sawahan Produsen atau pedagang pangan olahan berbahan ketela dari Kecamatan Sawahan memasarkan produknya secara perorangan melalui berbagai jalur, di antaranya melalui Pasar Sawahan, Pasar Berbek, Pasar Nganjuk, atau langsung ke luar daerah sepertihalnya ke Madiun, Kediri, dan Jombang. Dengan demikian dapat diketahui beberapa alternatif pasar yang dapat dikaitkan dengan upaya peningkatan akses terhadapnya, termasuk di antaranya melalui keberadaan outlet bersama produsen pangan olahan dari tiaptiap kecamatan. Dalam konsep bauran pemasaran (marketing mix) keberadaan outlet ini menjawab kebutuhan tempat (place), yang perlu diperkuat lagi dengan dilakukannya promosi (promotion) dan penentuan harga (price) yang ideal. Pada awalnya outlet bersama dapat didirikan di pasar strategis, yang potensial menjadi titik hubung (connecting plot) antarpasar, sepertihalnya di Pasar Sawahan atau di Pasar Nganjuk. Outlet dapat berupa etalase (ruang) khusus permanen ataupun gerai portable. Dalam perkembangan selanjutnya, outlet ini dapat didisain juga untuk tempat pemasaran di pasar luar daerah. Dalam hal ini, maka perlu ada pengorganisasian produsen melalui keberadaan koperasi yang diharapkan dapat menjadi perencana, pengelola, dan pengembang outlet bersama tersebut. Disain outlet pasar bersama yang diinisiasi melalui koperasi tersebut dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
63
OUTLET PASAR (TRADING HOUSE)
Koperasi
IRT
IRT
IRT
IRT
Bagan 4.2 Disain Outlet Pasar Pangan Olahan Koperasi yang dapat berupa koperasi wanita, koperasi ketela, atau model koperasi yang relevan sesuai basisnya menghimpun produsen-produsen pangan olahan yang umumnya termasuk dalam kategori industri rumah tangga. Koperasi selain memberikan pemberdayaan dalam hal produksi, tetapi fungsi sentralnya adalah juga sebagai lembaga pemasaran atau pengelola outlet pasar (trading house) yang akan dikembangkan. Produksi dapat dilakukan terpisah di rumah masing-masing anggota untuk kemudian dipasarkan secara kolektif melalui outlet yang dikelola bersama melalui koperasi. Dalam perkembangannya, outlet pasar permanen dapat didisain lebih atraktif dengan konsep yang lebih modern dan humanis, sepertihalnya outlet perdagangan yang saat ini merajalela di banyak tempat (Indomaret, alfamaret, K, dsb). Patut dicoba juga memadukan konsep minimarket sederhana (kelontong) dengan warung kopi (angkringan), di mana di outlet tersebut tidak saja tersedia beragam pangan alternatif berbahan baku ketela atau porang tetapi juga beragam minuman panas dan dingin yang khas Nganjuk, dan dapat dinikmati di tempat. Untuk itu diperlukan medium berupa beberapa set kursi dan meja payung. Konsep ini mungkin dapat dilekatkan ke perhatian masyarakat luas dengan sebutan “Tela-mart” dan “Porang-mart”, dengan model seperti terlihat dalam bagan di bawah ini: Traning desk
Koperasi
Tela /porang etalase
Etalase minuman khas
Bagan 4.3 Disain Tela-mart dan Porang-mart di Nganjuk
64
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Outlet pasar permanen ini dapat mengintegrasikan kebutuhan adanya meeting pot (tempat bertemu) fungsionaris koperasi, anggota, dan konsumen, outlet info pelatihan yang dapat diberikan oleh berbagai pihak kepada koperasi atau sebaliknya dari pegiat koperasi kepada masyarakat luas, terkait dengan inovasi usaha berbasis koperasi dan sebagainya. Yang utama adalah tersedianya etalase bagi produkproduk pangan olahan berbahan baku ketela dan porang, serta berbagai jenis minuman khas dari kabupaten Nganjuk atau minuman popular yang digemari masyarakat Nganjuk. Pada bagian depan (halaman) outlet permanen tersebut disediakan beberapa set kursi dan meja-payung sebagai tempat menikmati berbagai produk yang disediakan. Format akses pasar yang dapat juga dikembangkan di Kabupaten Nganjuk untuk memasarkan produk pangan berbahan ketela dan porang adalah model outlet portable, yaitu gerai yang dapat dipindah tempat dan dapat diplotkan di depan minimarket atau lokal yang ada di Pasar Nganjuk. Outlet portable ini khusus melayani pembelian berbagai produk pangan olahan berbahan ketela dan porang yang dihasilkan oleh anggota koperasi. Dimungkinkan untuk membuat beberapa outlet portable ini sesuai dengan lokasi dan kapasitas produksi yang tersedia. Outlet ini dikelola oleh satu orang dengan konsep bagi hasil antara pengelola (penjaga) dengan koperasi. Model ini diharapkan dapat menjadi pemantik berkembangnya trend baru masyarakat Nganjuk untuk mengkonsumsi aneka pangan olahan berbahan baku lokal sepertihalnya ketela dan porang. Trend baru yang ini diharapkan dapat berkembang lebih lanjut menjadi budaya (pola konsumsi) baru yang akan menjadi cikal bakal ketahanan dan kedaulatan pangan di Kabupaten Nganjuk. Outlet portable ini dapat diinisiasi di berbagai tempat di Nganjuk maupun kabupaten sekitar dengan pengelolaan pada koperasi dan mengadopsi pola bagi hasil. Akses pasar selanjutnya dapat ditingkatkan melalui promosi yang atraktif sehingga dapat menarik perhatian masyarakat Nganjuk dan daerah lain untuk membeli produk pangan olahan berbahan ketela/porang mereka. Promosi yang tidak konvensional perlu dipikirkan bersama, semisal melalui karnaval tela-mart/porang-mart dari outlet portable, tela-mart goes to school, lomba disain logo dan outlet portable tela-mart, dan berbagai promo lain yang melibatkan peranserta masyarakat luas, sehingga telamart betul-betul melekat dalam ingatan masyarakat Nganjuk. Studi Kasus:
KEBIJAKAN DAN MODEL PERKEBUNAN SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH a.
Kebijakan Kontra Revolusi
Perkebunan kelapa sawit di Kalimantan tumbuh di tengah-tengah konflik dan fragmentasi sosialekonomi yang kian meluas. Konflik utamanya terjadi karena perebutan (perampasan) aset produktif (tanah/lahan) yang menjadi tampuk produksi utama masyarakat adat di Kalimantan. Pengambil-alihan tanah/lahan, baik secara legal maupun illegal pada akhirnya mengubah struktur, mode, dan relasi produksi di antara pelaku ekonomi setempat. Patut disayangkan, perubahan tersebut kian menjauhkan bangunan ekonomi yang terbentuk dengan cita-cita pendiri bangsa. Tentu kita tidak lupa bahwa terjadinya tranformasi struktur/sistem kolonial menjadi nasional- adalah alasan dan tujuan bangsa ini merdeka. Kini cita-cita tersebut kiranya menjadi jauh panggang daripada api.
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
65
Data-data statistik menjelaskan kenyataan tersebut. Perijinan untuk perkebunan sawit di Kalteng hingga tahun 2008 berjumlah 323 buah dan sudah menguasai sekitar 4.051.416,35 hektar dan kebanyakan adalah perusahaan asing dan perusahaan monopoli seperti Wilmar, Musimas, Sinarmas dan Astra. Sementara ijin konsensi di sektor kehutanan yang terdiri dari ijin HPH/IUPHHK, HTI, IPK dan IPHHK dengan jumlah 759 ijin konsensi juga sudah menguasai wilayah Kalimantan Tengah seluas 4.932.145,49 yang sudah dipastikan menggusur wilayah kelola masyarakat Dayak yang bergantung dari sumberdaya hutan (Walhi Kalteng, 2009). Di samping itu, ijin pertambangan (KK, PKP2B, KP, Ijin Pertambangan Rakyat Daerah dan Ijin Pertambangan Daerah) hingga tahun 2007 mencapai 563 ijin dengan luasan mencapai 3.310.490.44 ha. Kawasan ijin tersebut hanya dimiliki oleh segelintir orang saja yang paling mengerikan adalah wilayah penting yang merupakan kawasan resapan air sudah dikuasai oleh perusahaan multinasioanal seperti BHP. Biliton, PT. Indomuro Kencana, dan Asmin Koalindo yang terindikasi masuk di kawasan hutan lindung. Demikian, total wilayah dataran Kalteng yang luasnya 15,356,800 hektar, 80 % wilayahnya sudah diberikan dan dikuasi oleh investasi dan pihak asing sementara sisanya untuk kawasan konservasi yaitu hutan lindung dan taman nasional. Sementara, Save Our Borneo mencatat sampai 2006 di seluruh Kalimantan setidaknya terdapat areal seluas 1.290.515 ha lahan perkebunan kelapa sawit dikuasi pemodal Malaysia. Di Kaltim seluas 246.550 ha dimiliki oleh 10 group dengan 11 anak perusahaan PBS-nya, di Kalteng 469.983 dikuasi oleh 36 PBS dari 7 group. Di Kalbar 472.072 ha dikuasi oleh 29 PBS dari 10 group, sedang di Kalsel ada 101.910 ha lahan dikuasai oleh 22 PBS dari 2 group Malaysia. Dari semua yang ada di Kalimantan, setidaknya ada 18 group Malaysia yang beroperasi. Pemerintah pusat dan daerah- yang idealnya berperan dalam melakukan redistribusi asset produktif kepada masyarakat Kalimantan dengan demikiran telah berlaku yang sebaliknya. Mereka telah diarahkan kian menjadi massa pribumi yang tak bertanah, tak bermodal, tak berkeahlian, dan tak terorganisasi dengan baik. Pada akhirnya mereka pun sekedar menjadi buruh (kuli) di tempat leluhur mereka sendiri. Amanat konstititusi yang menyuratkan bahwa mereka lah yang hendaknya memimpin dan menilik kegiatan produksi daerah lagi-lagi tak lebih dari sekedar retorika tanpa isi. Berbagai kebijakan pemerintah daerah di Kalteng cenderung diskriminatif karena lebih mendorong ekspansi perkebunan sawit berbasis pemodal (korporasi) besar memperjelas situasi ini. Misalnya saja, WALHI Kalimantan Tengah dan Save Our Borneo mencatat bahwa sebanyak 346.188 ha areal hutan yang sesungguhnya tidak pantas dan belum boleh diberikan ijin untuk perkebunan kelapa sawit, sudah diberikan oleh Bupati Kabupaten Seruyan. Pada tahun 2005, setidaknya 7 diantara ijin-ijin tersebut telah dijual kepada PPB Oilpalm-Malaysia [yang akan merger dengan Wilmar dan Cargill-USA]. Nilai penjualan sejumlah 8 perusahaan itu adalah sekitar 4.28 M dari luas 141.680 ha. Ini betulbetul nyata praktik broker penjual perijinan saja dan sangat mengkhianati nilai-nilai kebangsaan. Ada sinyalemen kuat bahwa perusahaan-perusahaan yang diberikan ijin ini dimiliki oleh famili dan kerabat dari pejabat tertinggi kabupaten, sehingga dapat dikatakan bahwa sangat kental aroma KKN-nya (SOB, 2009)
66
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Ekspansi perusahaan perkebunan sawit tidak saja telah mengambil-alih lahan dan kehidupan masyarakat adat Kalimantan, tetapi juga merampas potensi kekayaan hutan dan ekosistem di dalamnya. Sebagai contoh, di Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah telah diberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit di kawasan berhutan sekitar 350.000 hektare, jika 1 hektare terdapat 30 meter kubik saja kayu komersial maka akan ada pembantaian [clear cutting] terhadap 10,5 juta kubik kayu komersial. At least bila setiap kubiknya dipungut US $ 16, maka Negara telah kehilangan sebesar US $168 juta atau sekitar Rp. 1,5 trilyun. b.
Kebijakan Kontra Ekologi
Dalam pada itu, permintaan ijin baru bagi pelepasan hutan seluas 346.188 ha oleh Bupati Seruyan telah mengabaikan ketahanan ekologis daerah. Kabupaten Seruyan dengan luasan 1,6 juta hektare yang posisinya berada sepanjang DAS Seruyan, sampai saat ini telah memberikan ijin lokasi perkebunan kelapa sawit seluas 478.277 hektare, padahal luasan kawasan hutan disana hanya sekitar 600 ribu ha saja, sehingga bila diberikan ijin sesuai permintaan Bupati, maka akibatnya luasan kawasan hutan penyangga DAS Seruyan dan luas kawasan hutan Seruyan hanya tersisa sekitar 256.230 hektare, ini artinya tidak memenuhi strandard yang harus tersedia kawasan hutan minimal 30 %. Berdasarkan peta rencana konversi hutan dimaksud maka dari 23 perusahaan dengan luas hutan [HP dan HPT] yang akan dikonversi seluas 346.188 ha yang diajukan ijin pelepasannya, berada pada kawasan-kawasn yang sangat penting bagi fungsi resapan dan peredam air dari bagian hulu DAS Seruyan, kesemuanya berada pada kawasan hilir yang sangat potensial untuk menjadi fungsi peredam banjir. Di sisi lain kawasan-kawasan dimaksud juga merupakan akwasan dengan kondisi bervariasi antara dataran rendah dan rawa gambut yang sangat bermanfaat sebagai sumber supply air guna mencegah intrusi air laut kepedalaman. Apabila kawasan tersebut di konversi, maka kemampuannya untuk menjadi pencegah intrusi air laut kepedalaman akan hilang dan akan menjadikan DAS Seruyan menjadi disfungsi intrusi. Akibat ekologi dan sosial yang akan ditimbulkannya akan sangat besar dikemudian hari. Apalagi kawasan yang dimintakan ijin pelepasan tersebut berada sangat dekat dengan pesisir pantai atau bahkan membelah sungai-sungai Seruyan, Sungai Kelua, Sungai Pukun, Sungai Sigintung Dalam, Sungai Baung dan beberapa sungai kecil lainnya yang sangat penting bagi kehidupan masyarakat lokal. Yang juga sangat krusial adalah 5 diantara konsesi-konsesi tersebut berada pada koridor Taman Nasional Tanjung Puting, yang mestinya tetap dipertahankan sebagai hutan guna untuk penunjang dan peyangga bagi Taman Nasional Tanjung Puting. Bahkan ironisnya, pembukaan perkebunan tersebut nantinya akan juga mengkonversi TNTP seluas ± 35.000 ha. Padahal konversi hutan lindung atau Taman Nasional untuk budidaya perkebunan sangat tidak dimungkinkan dan melangar UU NO. 41 thn 99 tentang Kehutanan di mana kawasan hutan lindung sebenarnya tidak dapat dikonversi kecuali atas seiijin DPR dan untuk keperluan strategis (SOB, 2009). Di samping itu, dampak lain perkebunan sawit yang juga harus dipikirkan adalah pencemaran pestisida dan herbisida. Apabila perkebunan sawit memerlukan 5 liter herbisida atau pestisida setiap hektarnya, maka bila rencana pembangunan sawit 1 juta hektar dijalankan, paling tidak tanah Kalimantan
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
67
Tengah akan disiram sebanyak 5 juta liter racun yang akan mengalir ke sungai-sungai di Kalimantan Tengah dan akan dikonsumsi penduduk. Kebun sawit sesungguhnya tidak ditanam secara tumpang sari dan harus membabat secara total tanaman asal, dengan demikian akan terjadi monokulturisasi tumbuhan di areal yang sangat luas. Di samping itu juga akibat rusaknya habitat hidup binatang pemangsa semacam elang dan ular, maka tikus dan belalang kembara akan merajalela yang sampai saat sekarang belum dapat tertanggulangi dan sangat merugikan (ibid). c.
Kebijakan Kontra Legislasi
Perluasan perkebunan sawit di Kalimantan pun telah dilakukan dengan tidak mengindahkan aturan yang berlaku. Dalam hal ini sebagai contohnya adalah adanya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 2 Tahun 2007 tentang Percepatan dan Revitalisasi Pengembangan Lahan Gambut (PLG). Dalam Inpres itu disebutkan bahwa kawasan perkebunan sawit hanya boleh 10 ribu hektare dan karet 7.500 hektare. Namun saat ini sudah ada 23 perizinan kelapa sawit dan karet seluas 369.400 hektare (ha) di kawasan tersebut. Juga, ada 13 izin usaha pertambangan dengan total luasan 41.536 ha (kelebihan 351.900 ha) (Satriadi, 2008). Seperti diketahui, di kawasan eks PLG khususnya dalam wilayah Kabupaten Kapuas saja terdapat beberapa PBS yang mengantongi izin perkebunan sawit dengan total luasan areal lebih dari 100 ribu hektare. Jumlah ini melebihi kuota yang ditentukan presiden, karena mengacu Inpres nomor 2/2007 tersebut, peruntukkan bagi perkebunan sawit hanya 10 ribu hektare dan karet 7.500 hektare. Di samping itu, tak jarang produk hukum yang dikeluarkan sebagai upaya legalisasi ekspansi perkebunan sawit di Kalimantan dibuat dengan mengabaikan produk hokum di atasnya yang lebih dahulu ada. Hal ini terlihat dalam kajian Sawit Watch terhadap Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/ PL.110/2/2009 tentang pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit yang akan menyebabkan perampasan hutan gambut dan lahan gambut milik masyarakat lokal dan masyarakat adat di seluruh nusantara dan berpotensi meningkatkan pemanasan global dan perubahan iklim akibat emisi karbon yang terpapas oksigen lepas ke udara dari pembukaan lahan gambut. Pasal 4 ayat 1 menyatakan: Perusahaan perkebunan kelapa sawit yang memanfaatkan lahan gambut sebelum Peraturan ini ditetapkan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan (IUP) atau Surat Pendaftaran Usaha Perkebunan (SPUP) dinyatakan masih tetap berlaku sampai dengan Hak Guna Usaha (HGU) atau hak lainnya berakhir. Menurut Sawit Watch, pertimbangan peraturan menteri tersebut secara hukum tidak sesuai dan secara substansi bertentangan dengan aturan hukum lainnya diantaranya:
UU No.26/2007 tentang Tata Ruang Nasional mewajibkan pemerintah pemerintah untuk melakukan kajian, evaluasi dan pelaksanaan tata ruang nasional; UU No.39/1999 tentang Hak Asasi Manusia mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan dan memenuhi hak-hak rakyat; UU No.29/1999 tentang ratifikasi konvensi internasional tentang pengapusan segala bentuk diskriminasi rasial (CERD); Inpres No.2/2007 tentang percepatan revitalisasi dan rehabilitasi lahan gambut di Kalimantan Tengah;
68
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Lebih jauh lagi, dalam konteks revisi RTRW Propinsi Kalteng yang diajukan Pemprop, Walhi dan SOB menyinyalir hal itu sebagai upaya legalisasi praktik-praktik inskonsistensi dan melawan hukum yang telah dilakukan oleh beberapa pejabat pemerintah selama ini, terutama oleh beberapa Bupati yang dengan sporadik memberikan ijin lokasi untuk perkebunan kelapa sawit dan insdustri ekstraktif [tambang] di areal-areal yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Untuk melakukan proses "pencucian dosa" tersebut, maka jalan paling sederhana adalah merubah peruntukan ruang sesuai dengan apa yang diinginkannya. Karena jika tidak, maka bukan tidak mungkin praktik-praktik "penjualan lahan" ini pada saatnya akan bermasalah dengan hukum.
MODEL PERKEBUNAN ALTERNATIF Analisis dalam studi ini lebih menitikberatkan pada aplikasi model perkebunan kerakyatan yang dapat menempatkan pekebun mandiri sawit yang terorganisir sebagai aktor penting dalam tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Dengan begitu perlahan tapi pasti sistem ekonomi perkebunan sawit bergerak dari corak feodal-kapitalistik menjadi sistem ekonomi kerakyatan. Operasionalisasi sistem ini setidaknya tergambar melalui dua model, yaitu model perkebunan kerakyatan berbasis peranan negara/BUMN (model A) dan model perkebunan kerakyatan berbasis koperasi rakyat (model B). (1). Model Perkebunan Kerakyatan A Model pertama ini terap dalam kondisi peranan perkebunan Negara (PTPN) yang masih cukup besar dalam pengelolaan lahan kelapa sawit. Dalam rangka pengembangan perkebunan kerakyatan, maka sudah saatnya PTPN melepas peranannya dalam penguasaan dan pengolahan kebun (lahan) untuk kemudian diredistribusikan kepada pekebun sawit rakyat yang tidak memiliki tanah (lahan) dan terorganisasi dalam sebuah serikat ekonomi (koperasi rakyat). Relasi dengan PTPN dilakukan melalui dua jalur, yaitu jalur penyediaan sarana produksi, jalur pembelian dan pengolahan hasil TBS pekebun mandiri. PTPN dapat bermitra dengan BUMN perbankan, BUMD, dan Dinas Pemerintah terkait (melalui dukungan APBD) untuk memasok sarana produksi perkebunan seperti halnya modal, pupuk, benih, pembasmi hama, dan sarana lain kepada koperasi pekebun mandiri. PTPN juga menyediakan pabrik pengolahan dengan kapasitas disesuaikan pasokan untuk menampung hasil panen TBS petani. Pembayaran TBS diperhitungkan juga dengan angsuran kredit yang diperoleh koperasi sebagai modal awal operasional. Persoalan harga ditentukan sesuai kesepakatan bersama antara PTPN, Koperasi, Dinas Perkebunan, dan juga mempertimbangkan situasi pasar. Dalam model ini perlahan tapi pasti koperasi pekebun mandiri diarahkan untuk dapat terlibat dalam pemilikan dan pengelolaan mills dan pabrik di tingkat lokal. Pada awalnya mills dan pabrik tersebut masih dimiliki dan dikelola 100% oleh PTPN, untuk kemudian diarahkan menjadi terbagi dua (50:50) dengan koperasi, dan pada akhirnya mayoritas dapat dimiliki dan dikelola secara mandiri oleh koperasi. Skim yang mungkin untuk pola ini di antaranya melalui kombinasi pola subsidi kepemilikan dan angsuran penyertaan. Dalam hal ini PTPN bertanggungjawab untuk meningkatkan kapasitas koperasi dalam membudidayakan kelapa sawit dan tanaman diversifikasinya, serta kecakapan manajerial dan teknis dalam pengelolaan mills dan pabrik lokal. Selengkapnya model ini digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Pertanian, Pangan dan Perkebunan Indonesia
69
Bagan 4.4 Model Perkebunan Kerakyatan A Dalam rangka membangun industri nasional maka di antara PTPN dan Koperasi perlu bersepakat untuk makin mengutamakan kebutuhan pasar di dalam negeri. Untuk itu, pabrik lokal di atas juga diarahkan untuk dapat mengolah TBS sawit menjadi berbagai produk yang dibutuhkan masyarakat luas sepertihalnya minyak goreng. PTPN dibantu Lembaga Pemerintah terkait dengan begitu perlu memperkenalkan dan melatih aplikasi teknologi pengolahan sawit kepada koperasi rakyat tersebut. Apabila kebutuhan dalam negeri (lokal) dirasa sudah terpenuhi maka hasil sawit olahan dapat dijual ke luar negeri dengan harga yang dapat dikontrol dan ditentukan juga dari dalam negeri. (2) Model Perkebunan Kerakyatan B Model ini terap dalam kondisi di mana pekebun mandiri mengusahakan tanah-tanah mereka sendiri untuk ditanami kelapa sawit dan komoditi alternatifnya dan relatif di luar jangkauan PTPN. Pekebun rakyat yang kemudian dapat disebut dengan pekebun mandiri idealnya menghimpun diri dalam wadah koperasi sawit yang menjalankan misi penguasaan terhadap semua lini dalam aktivitas produksi dan penjualan sawit. Mulai dari hulu sampai hilir menjadi sasaran penguasaan koperasi yang untuk maksud itu dapat bermitra strategis dengan berbagai Lembaga Pemerintah, Masyarakat, dan Swasta. Demi penguasaan di lini hulu, yaitu sarana produksi seperti halnya modal, pupuk, pembasmi hama, teknologi, teknik budidaya, dan peralatan produksi lainnya, koperasi dapat bermitra dengan satu atau lebih lembaga terkait. Misalnya terkait dengan kebutuhan modal maka koperasi dapat mengarahkan kemitraan dengan Bank Pembangunan Daerah, Koperasi Simpan Pinjam (KSP) setempat, dan lembaga
70
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
keuangan publik lainnya dengan dukungan APBD yang dapat mengakomodasi karakteristik usaha pekebun mandiri kelapa sawit. Dalam kaitan dengan ketersediaan pupuk dan sarana produksi lainnya koperasi dapat bermitra strategis dengan BUMN maupun Dinas Pertanian. Penguasaan di lini tengah, yaitu pengolahan (mills) dan pabrik lokal mandiri dilakukan melalui kemitraan pembiayaan dan pelatihan teknis-manajerial dengan BUMN, BUMD, Koperasi Simpan Pinjam yang dapat pula dibiayai dengan skim APBD. Dalam hal ini dimungkinkan juga kemitraan menyeluruh yang meliputi lini hulu, tengah, dan hilir oleh satu lembaga (badan usaha) pemerintah. Pola yang dapat ditempuh oleh koperasi pekebun mandiri dan pihak mitra adalah pola penyertaan (investasi) maupun pola pinjaman bagi hasil. Gambaran model ini ditunjukkan dalam bagan di bawah ini:
Bagan 4.5 Model Perkebunan Kerakyatan (B) Penguasaan lini hilir, yaitu pasar yang terkait juga dengan informasi dan mekanisme penentuan harga merupakan lanjutan dari pola kemitraan di lini tengah. Dalam hal ini koperasi melalui pabrik lokal yang mereka miliki didampingi untuk dapat menerapkan berbagai teknologi pengolahan sawit ke dalam berbagai bentuk barang siap konsumsi seperti halnya minyak goreng. Koperasi memiliki daya tawar harga yang kuat dengan pasokan yang diutamakan untuk memenuhi kebutuhan lokal (di dalam negeri). Baru jika struktur pasar di dalam negeri dirasa cukup kuat kelebihan pasokan dapat diekspor untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional.
-oo0oo-
BAB V PERDAGANGAN INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini akan dibahas potensi, kondisi, dan permasalahan sektor perdagangan yang menjadi penyerap lapangan kerja terbesar kedua setelah sektor pertanian. Paparan didasarkan pada kondisi makro dan dilengkapi dengan hasil penelitian perihal kebijakan dan model pengembangan pasar tradisional di Propinsi DIY. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan yang dihadapi sektor perdagangan di Indonesia. Menganalisis dan menjelaskan akar penyebab permasalahan sektor perdagangan tersebut serta memberikan alternatif solusi pemecahannya. Memaparkan berbagai kebijakan dan model pengembangan pasar tradisional di Indonesia. Memiliki cara pikir (mindset) untuk mencintai dan memajukan pasar tradisional dan perdagangan rakyat di Indonesia
KONDISI DAN PERMASALAHAN PERDAGANGAN Tidak dapat dipungkiri kemajuan peradaban telah membawa banyak perubahan, termasuk terjadinya pergeseran nilai di dalam masyarakat. Tentu patut dipilahkan berbagai kemajuan yang membangun peradaban dengan perubahan yang justru menjadi ancaman bagi penjagaan nilai-nilai sosial yang bersifat universal. Demikian halnya, massifnya ekspansi ritel modern, khususnya minimarket berjejaring, perlu diletakkan dalam kerangka berpikir tersebut. Dalam banyak kasus baik di berbagai daerah, meluasnya jejaring ritel modern potensial mengancam nilai-nilai sosial yang tumbuh berkembang di dalam masyarakat. Saat ini 28 ritel modern utama yang meliputi usaha minimarket, supermarket, dan hypermarket menguasai 31% pangsa pasar ritel dengan total omset sekitar Rp. 70,5 trilyun, yang berarti sebuah perusahaan rata-rata menikmati Rp. 2,5 Trilyun omset ritel. Padahal omset total ritel modern
72
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
terkonsentrasi untuk minimarket 83,8% pada Indomaret dan Alfamaret, untuk supermarket 75% pada Hero, Carrefour, Superindo, Foodmart, Yogya, dan Ramayana, sedangkan untuk hypermarket terkonsentrasi 48,7% pada Carrefour, 22% pada Hypermart, 17,7% pada Giant, 9,5% pada Makro, dan 1,9% pada Indogrosir. Hal ini bertolak belakang dengan ritel tradisional yang memiliki total omset sebesar Rp. 156,9 trilyun namun dibagi kepada sebanyak 17,1 juta pelaku usaha (pedagang) yang berkecimpung di dalamnya, dan 70%-nya masuk kategori usaha/pekerja informal. Dengan demikian satu usaha pedagang tradisional rata-rata hanya menikmati omset sebesar Rp. 9,1 juta per tahun atau Rp. 764,6 ribu per bulan. Ekspansi ritel modern dewasa ini menyiratkan pengejawantahan nilai-nilai kebebasan ekonomi untuk bersaing saling mematikan (free fight liberalism) yang dapat merusak nilai kebersamaan dan kekeluargaan. Kian memudarnya kedua nilai tersebut akan memperparah ketimpangan sosial-ekonomi di dalam masyarakat yang menyimpan potensi konflik dan kerusakan sosial di masa depan. Nilai-nilai kekeluargaan dan kebersamaan berganti kapitalisme ketika pola belanja masyarakat justru menjadi mesin uang yang makin melipatgandakan kekayaan segelintir elit pemilik ritel modern. Pemodal besar dari dalam dan luar negeri yang leluasa mendominasi produksi dan perdagangan kian merapuhkan sendi-sendi demokrasi ekonomi tersebut. Dalam situasi ini maka nasib dan hajat hidup orang banyak kian digantungkan pada segelitir elit oligopolis pemilik modal baik di Jakarta, New York, Paris, Rotterdam, dan potensi terjadinya eksploitasi, net transfer, dan krisis lebih mungkin terjadi. Demikian, dominasi ritel modern dewasa ini merupakan bagian dari potret besar liberalisasi ekonomi yang sejak 10 tahun terakhir menjadi kemudi kebijakan pertanian, perbankan, perindustrian, pendidikan, termasuk pula perdagangan. Oleh karenanya, perlindungan dan penjagaan terhadap nilai-nilai kebersamaan dan kekeluargaan bukan sekedar dalam lingkup pasar tradisional melainkan meliputi segenap sendi-sendi kehidupan sosial ekonomi bangsa Indonesia. Tentu ini merupakan pekerjaan sistemik yang berdimensi nasional, bahkan internasional. Penguasaan modal, baik berupa modal material, intelektual, maupun institusional merupakan prasyarat kemajuan sosial ekonomi sebuah bangsa. Kedua modal terakhir merupakan kategori modal yang selama ini tidak sepenuhnya diperhatikan. Oleh karenanya penguasaan pelaku ekonomi rakyat, termasuk didalamnya pelaku pasar tradisional di DIY, terhadap kedua modal tersebut cukup memprihatinkan. Padahal kedua modal tersebut, yang dalam istilah lain disebut sebagai modal sosial, merupakan pemicu produktivitas dan kreativitas yang menjadi saripati kemajuan. Massifnya ekspansi ritel modern merupakan salah satu indikasi stagnasi sosial jika dilihat dari jenis dan asal produk yang diperdagangkan. Ritel modern selama ini lebih merupakan etalasi distribusi pabrikan besar yang juga dikuasai oleh pemodal besar, termasuk sebagian besar yang berasal (dimiliki) pihak luar. Sungguh pun mampu mendatangkan omset ratusan trilyun per tahun, ritel-ritel modern tersebut menurut Profesor Zuhal, mantan Menristek Kabinet Reformasi, lebih merupakan fenomena “bubble economy”. Ia tidak dapat digunakan mengukur produktivitas, inovasi, kemajuan, dan kesejahteraan umum sebuah bangsa melihat kondisinya yang sekarang.
Perdagangan indonesia
73
Ia menyatakan bahwa kegiatan bubble economy, seperti menjamurnya mal-mal megah, pasar swalayan, hypermarket, rumah makan cepat saji hingga ke desa-desa, hanya akan menumbuhkan budaya konsumtif yang pada gilirannya melemahkan modal sosial kita. Campur tangan jika bukan intervensipemerintah karenanya amat diperlukan guna menumbuhkan prakarsa individu / UKM berjiwa entrepreneurship, suatu kebijakan perekonomian rakyat yang dapat mendukung budaya produktif dengan membasiskan diri pada ilmu pengetahuan dan teknologi (Zuhal, 2010: 42). Sepintas penetrasi ritel modern menawarkan kenyamanan, kepraktisan, dan kemurahan harga, tetapi ia pula yang potensial mengukuhkan ketergantungan, stagnasi inovasi produksi, akibat terkikisnya modal sosial tersebut. Oleh karenanya pemerintah di negara maju (negara produsen) sepertihalnya Inggris, Jepang, dan Korea Selatan sangat membatasi ekspansi ritel modern luar negeri yang dapat melemahkan budaya produksi karena surutnya modal sosial. Di negara-negara tersebut ada pembatasan penguasaan asing di sektor ritel dengan penguasaan pangsa pasar hanya 1 hingga 3 persen. Sedangkan Indonesia, penguasaan ritel asing dan perusahaan skala besar justru mencapai di atas 13 persen sehingga tidak ada perlakukan yang adil bagi pedagang kecil (Saparini, 2010). Demikian, dominasi ritel modern bermodal besar dan berasal dari luar (luar daerah dan luar negeri) adalah fenomena negara berkembang (tertinggal) yang dihinggapi sindrom sebagai “bangsa kuli” atau “bangsa pasar”. Ia bukanlah fenomena negara-negara maju (negara produsen), yang sarat dengan perlindungan terhadap modal sosial karena tidak menginginkan produksi dan pasarnya dikuasai oleh pihak luar. Imperasi konstitusional akan selalu menuntut pemenuhan dan pertanggungjawaban. Sungguhpun sampai saat ini Pemerintah belum mengesahkan Undang-Undang Perdagangan, dan juga Undang-Undang Perindustrian yang baru, situasi hari ini dimana oligopolies korporasi besar, baik sebagai produsen maupun ritel, begitu dominan kembali mengingatkan imperasi tersebut. Dalam pada itu, keberadaan UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat kiranya tidak cukup mampu memberikan kontribusi bagi usaha demokratisasi ekonomi secara signifikan. Regulasi perdagangan yang ada seringkali justru sekedar meninimalisir dampak dari ketelanjuran. Ia kemudian hanya menjadi stempel legalisasi dari keadaan yang sudah terjadi. Pun seperti itu regulasi tentang pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern diadakan. Seperti apa struktur perdagangan ideal, serta arah dan model pemberdayaan pasar tradisional tidak pernah jelas dan tegas diutarakan. Perpres 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern pun jauh dari fungsi“law as a social engineering”. Tentu bukan kontruksi sosial di mana perdagangan didominasi segelintir elit korporasi seperti saat sekarang yang kita citakan. Dalam konteks ini, visi Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) jelas bahwa perdagangan hendaknya dipimpin dan dikontrol oleh jutaan rakyat pedagang. Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dengan demikian adalah mengatur bagaimana pelaksanaan visi tersebut melalui UU, PP, dan Peraturan Daerah. Bahwa yang terjadi saat ini sebaliknya
74
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
kiranya menyiratkan regulasi kita masih mengadopsi “hukum rimba” dengan visinya “survival for the fittest”. Siapa yang kuat dialah yang bertahan dan menang, kemudian siapa yang menang boleh menguasai semuanya (the winner take all). Tanggung jawab pemerintah tersebut kian direduksi sekedar menjaga supaya pedagang pasar tetap bertahan (survive), bukan lagi sebagai pemain utama seperti yang diamanahkan.
AKAR PENYEBAB KETIMPANGAN STRUKTUR PASAR Penjahahan baru (neokolonialisme) terhadap ekonomi Indonesia, yang sudah disinyalir Bung Karno pada pidatonya di Konperensi Asia Afrika (KAA) tahun 1955, merupakan proses yang masih (terus) berlangsung hingga hari ini. Fakta-fakta dan analisis pendukung tesis ini dapat kita temukan dengan melacak perjalanan historis perekonomian Indonesia pasca naiknya rezim Orde Baru pada tahun 1966. Pelacakan ini akan berguna untuk menjelaskan hakekat (latar belakang) berbagai fenomena ekonomi aktual, termasuk kaitannya dengan tumbuh-suburnya mal di kota-kota besar di Indonesia. Penetrasi modal internasional, yang menandai fase baru penjajahan ekonomi Indonesia dimulai sejak liberalisasi ekonomi tahun 1967. Kita dapat merujuk tulisan John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, yang dalam bukunya The New Rulers of The World (Verso, 2002) mengulas fakta dibalik peristiwa ekonomi-politik tersebut. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa (Swiss) pada tahun 1967 yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu kemudian berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia oleh jaringan modal internasional. Freeport mendapat bagian gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa menerima bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Penetrasi melalui penguasaan faktor-faktor produksi strategis nasional itu, kemudian dikukuhkan melalui penetrasi finansial dalam bentuk utang luar negeri yang dimulai tahun 70-an. Dalam hal ini, kita perlu merujuk John Perkins yang dalam bukunya Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), menulis “pengakuan dosa” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS). Dalam kurun waktu 1971-1980, tim Perkins telah “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS. Perkins yang berpredikat sebagai “perusak ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), mengemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang luar negeri yang diberi akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” ekonomi Indonesia agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyekproyek raksasa yang menjebak Indonesia dalam perangkap utang ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka, seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya.
Perdagangan indonesia
75
Penjajahan ekonomi bermode dominasi modal asing dan jeratan utang luar negeri telah menampakkan wajah penderitaan rakyat akibat ketidakadilan ekonomi dan eksploitasi yang luar biasa. Sritua Arief (2000) mengungkap bahwa pada setiap US $ 1 invstasi asing, net tranfer revenue yang disedot ke luar negeri adalah sepuluh kali lipatnya (US 10$). Mubyarto (2005) pun mensinyalir bahwa rasio konsumsi per kapita dengan PDRB per kapita menunjukkan fakta adanya “derajat penghisapan” ekonomi Indonesia sebesar 57%. Artinya, hanya 43% nilai PDRB yang dinikmati rakyat di daerah, selebihnya “dihisap” ke kota-kota besar termasuk dibawa ke luar negeri. Di saat yang sama, pembayaran utang luar negeri sebesar RP 140 trilyun per tahun telah menguras sepertiga anggaran belanja negara. Ekonomi Indonesia pun tetap menyisakan utang luar negeri sebesar US$ 80 milyar, yang juga harus dibayar dengan ketertundukan untuk melaksanakan agenda-agenda ekonomi-poltiitk negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia Penetrasi dan kontrol oleh modal internasional mudah dilakukan melalui meluasnya penerapan liberalisasi ekonomi di berbagai bidang. Mengaca pada sejarah kepentingan modal internasional di atas, kiranya dapat dipahami bahwa liberalisasi ekonomi yang sudah, sedang atau akan terjadi (seperti dalam aspek nilai tukar, rezim devisa, perdagangan, pertanian, dan sebentar lagi pendidikan) adalah bagian dari strategi untuk mengokohkan hegemoni kekuasaaan (kepentingan) mereka. Dan menjadi jelas bahwa amandemen pasal 33 UUD’45, privatisasi BUMN (Indosat, Semen Gresik, dan Telkomsel), privatisasi pengelolaan sumber daya air, dan liberalisasi migas (kenaikan harga BBM dan beroperasinya korporat migas di sektor hilir) tidak lain adalah cerita lanjutan dari episode yang tema besarnya tetap sama, ialah : penjajahan ekonomi Indonesia. Nah, kiranya jelas kemudian diskursus pro-kontra pendirian mal tidak dapat dilepaskan dari analisis relasi kuasa nasional-global tersebut. Negara yang secara struktural ekonominya terjajah tidak akan pernah optimal dalam berpihak untuk memberdayakan ekonomi rakyatnya. Tanpa mal sekalipun, keberadaan ekonomi rakyat termasuk pedagang kecil yang beroperasi di pasar tradisional (pasar tradisional), akan makin terpinggirkan oleh sistem dan struktur ekonomi yang timpang dan bias pemodal besar. Menjamurnya mal hanyalah cerita lanjutan dari terjadinya proses penguasaan (pembentukan) mode ekonomi nasional yang pro-modal internasional. Pertanyaannya adalah, apa kepentingan ekonomi-politik modal internasional (kapitalisme global) dibalik tumbuh-suburnya mal di Indonesia?. Samir Amin (2003) mengurai tiga karakteristik yang inheren dan eksis dalam diri kapitalisme, yaitu akumulasi kapital, eksploitasi, dan ekspansi pasar. Naluri intrinsik kapitalisme global adalah menguasai faktor-faktor produksi (aset-aset strategis) dan memupuk rente ekonomi, yang dilakukan melalui ekploitasi faktor-faktor produksi (SDA dan tenaga kerja). Setelah itu, ia pun harus mampu menguasai pasar yang terkait dengan sistem alokasi dan permintaan barang dan jasa yang diproduksi. Hanya dengan itu maka mereka bisa survive dan bereproduksi. Dengan demikian, agenda utama kapitalisme global adalah memastikan mode produksi (mode of production), mode alokasi (mode of allocation), dan mode konsumsi (mode of consumption) di setiap negara di dunia tercipta untuk melayani kepentingan dan melanggengkan kekuasaan mereka. Proses (gejala) itulah yang terjadi dalam perekonomian Indonesia pasca kolonialisme. Setelah berhasil menguasai dan mengeksploitasi tambang, hutan, perkebunan, dan faktor-faktor produksi strategis nasional lainnya untuk memenuhi kebutuhan pasar internasional (negara asal), maka kini mereka makin
76
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
agresif untuk menguasai pasar barang dan jasa domestik melalui disain kebijakan ekonomi global yang memudahkan ekspansi pasar mereka. Dalam kontek inilah maka mereka memerlukan “outlet pemasaran” yang berfungsi sebagai media penetrasi pasar dan mesin pencipta (budaya) konsumsi yang mewujud dalam bentuk-bentuk mal atau hypermarket. Untuk memuluskan langkah mereka, kolaborasi dengan modal domestik dan penguasa lokal pun dilakukan. Manipulasi kesadaran (hegemoni) dilakukan dengan menyebarluaskan impian indah untuk terus mempertinggi pertumbuhan ekonomi daerah. Masyarakat diyakinkan hanya dengan cara inilah penduduk dapat bekerja, peluang bisnis (pemasaran produk) makin terbuka, dan kebutuhan mereka dapat terpenuhi. Dan teori usang trickle down-effect-pun dibangkitkan kembali. Dengan mode-mode seperti ini rakyat dianggap hanya berhak sekedar untuk menikmati efek rembesan ke bawah pembangunan (aktivitas bisnis besar), itupun kalau ada. Cita-cita demokrasi ekonomi pun makin menjauh dari kenyataan. Lapangan kerja yang tercipta melalui investasi skala besar (asing) tidaklah sebanding dengan return (net transfer) yang mereka dapatkan dan ekses dektruktif yang ditimbulkan. BKPM melaporkan dari 70% modal asing/lokal hanya mampu menyerap 10-16% angkatan kerja yang ada (Ningsih, 2005). ILO pun memaparkan bahwa 65% penduduk Indonesia bergiat di sektor informal, sedangkan 35% saja yang bekerja di sektor formal. Hal ini diperkuat temuan Sri-Edi Swasono yang menyebutkan kontribusi (share) kegiatan ekonomi rakyat terhadap penciptaan lapangan kerja adalah sebesar 99,4%. Demikian, tepat kiranya pembangunan mal-mal akan meningkatkan pengangguran karena matinya pasar tradisional (Baswir, 2005). Alih-alih menciptakan kesempatan kerja secara signifikan, mal-mal ini justru makin memarginalisasi peranan rakyat sekedar sebagai “kelas pekerja ” alias melakukan “neokulinasi”. Demikian, logika utama (main-idea) yang mendasari pembangunan mal adalah perlunya ekspansi pasar untuk mendukung ekspansi kapital yang telah dilakukan melalui instrumen pasar modal dan pasar uang (valas). Kekuasaan modal internasional (plus domestik) akan langgeng manakala mereka berhasil menguasai (mengontrol) setiap sendi-sendi perekonomian nasional. Mulai dari sektor hulu hingga sektor hilit, dari faktor-faktor produksi, distribusi, hingga konsumsi masyarakat, dan akhirnya mereka mampu menciptakan mode of production dan mode of consumption dalam kerangka sistem ekonomi kapitalisliberal. Dalam kerangka inilah pemberdayaan ekonomi rakyat (pasar tradisional) makin kehilangan urgensi dan relevansinya. Pelibatan pelaku ekonomi rakyat (produsen dan pedagang kecil) dalam aktivitas bisnis mal diperlukan sekedar untuk melegitimasi (mengukuhkan) mode ekonomi yang ada dan mengeliminasi resistensi mereka. Ekonomi rakyat tetap hanya ditempatkan sebagai sub-sistem dari sistem besar kapitalisme-global dengan daya tawar dan term of trade yang makin melemah. Pada titik inilah maka demokrasi ekonomi telah berubah menjadi korporatokrasi. Tampuk produksi beralih kontrolnya dari negara ke korporat, sama sekali bukan ke rakyat banyak (masyarakat), yang mengakibatkan pola produksi dan konsumsi nasional makin dibentuk oleh kekuatan modal internasional, sehingga tidak lagi menerima prioritas (pengutamaan) kepentingan nasional. Mal lebih melayani kelompot bermodal (orang kaya), sehingga makin memupus terbangunnya sociocoherence dan sociosolidarity. Tumbuhnya mal di bawah hegemoni kapitalisme global inilah yang menggiring bangsa kita untuk sekedar menjadi bangsa konsumen (menikmati produk murah-sesaat) atau paling banter menjadi “bangsa
Perdagangan indonesia
77
makelar” (menjual produk asing-impor). Kita pun alpa untuk membangun industri nasional dan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dan sumber daya lokal. Bangsa ini hanya diposisikan sebagai faktor produksi (buruh) dan pasar bagi produk mereka. Makin menyedihkan ketika ungkapan Dr Helfferich bahwa bangsa Indonesia hanya akan menjadi bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain kembali terbukti. Dalam perspektif inilah maka hegemoni kapitalisme-global, di mana ekspansi mal merupakan unsur intrinsiknya, melakukan penjajahan ekonomi, yang di berwujud neokulinisasi.
ALTERNATIF JALAN KELUAR Berpijak pada kerangka pemikiran di atas, menjadi jelas bahwa diskursus tentang mal bukan sekedar terkait persaingan antara pasar tradisional dengan pasar modern. Diskursus mal merefleksikan dialektik (pola hubungan) antaraktor-aktor ekonomi (modal internasional-negara-modal domestikekonomi rakyat) dalam relasi kuasa dan struktur ekonomi-politik yang timpang. Yang kuat dan kaya-lah yang selau (lebih) diuntungkan. Oleh karena itu, gugatan terhadap ekspansi pasar supermall mestinya tidak berhenti pada tataran dampak buruk yang tidak sebanding dengan manfaat yang dirasakan masyarakat daerah, baik berupa polusi, kemacetan, budaya konsumerisme, hedonisme, penggusuran, dan sebagainya. Gugatan juga harus dilakukan terhadap struktur ekonomi-potitik global yang melahirkan pola-pola neokolonialisme melalui berbagai media yang lebih kasat mata dan canggih (sophisticated). Tanpa itu, gugatan yang ada tidak akan mampu mengubah keadaan. Oleh karena itu, keluar dari telikungan kapitalisme-global dan mode penjahahan ekonomi Indonesia mestinya menjadi agenda ekonomi-politik yang menjadi prioritas nasional. Artinya, bagaimana memerdekakan ekonomi nasional dari jerat jaringan modal internasional (jerat utang luar negeri dan dominasi modal asing) itulah yang perlu diprioritaskan. Dalam kontek inilah maka agenda demokrasi ekonomi, mewujudkan kedaulatan dan keberdayaan rakyat secara ekonomi, menjadi sebuah keniscayaan. Dalam lingkup spesifik pola distribusi, hal itu dapat dilakukan dengan memberdayakan pasar tradisional. Pasar tradisional perlu diberdayakan sebagai upaya strategis untuk membangun mode distribusi yang berpijak pada kekuatan kolektif entrepeneurship berbasis ekonomi rakyat. Pasar tradisional perlu direvitalisasi untuk memperkokoh kontrol pelaku ekonomi rakyat terhadap distribusi barang dan jasa yang mereka hasilkan dan mereformasi struktur distribusi yang dikuasai modal besar selama ini. Keberadaan pasar tradisional tidak saja harus dilindungi, tetapi juga harus dibangun dan dikembangkan dengan mempertimbangkan faktor lokasi, pangsa pasar, disain fisik, tata letak (setting), ragam dan kualitas produk yang dijual, fasilitas, dan keberadaan infrastruktur penunjang aktivitas ekonomi rakyat lainnya. Peranan pemerintah (pusat dan daerah) adalah dengan menciptakan regulasi yang berorientasi untuk melindungi aktivitas pasar tradisional, bukannya yang berorientasi liberalisasi (korporatokrasi). Di Jepang toko-toko kecil bisa berkembang karena dilindungi pemerintah. Di San Fransisco, mal besar (Wall-Mart dan K-Mart) tidak boleh di pusat-pusat kota. Di sana ada forum perkotaaan yang mendesak peemrintah kota untuk tidak membangun mal di pusat kota (Sugiana, 2005). Minimal dengan upayaupaya ini (paradigma dan kebijakan) ekonomi pemerintah dapat terbebas dari hegemoni modal internasional.
78
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Pada akhirnya, keberadaan pasar tradisional yang representatif dapat memicu gairah produksi pelaku ekonomi rakyat dan gairah masyarakat untuk berkunjung dan membelanjakan uangnya di situ. Melalui cara-cara produksi dan distribusi dari bawah (bottom-up) inilah maka kesesejahteraan dan martabat (harga diri) rakyat dapat terangkat, dan memungkinkan bangsa kita terbebas dari cengkeraman penjahahan ekonomi dan neokulinisasi oleh jaringan modal internasional. Studi Gagasan : 1
PASAR TRADISIONAL DAN KEMANDIRIAN BANGSA Awan Santosa 2 Pasar, Kemandirian, dan Kemajuan Pasar adalah tempat “syi’ar”, bersuara, atau berkumandang. Lazimnya tentu diutamakan apa isi pesan atau suara-nya, meski tidak boleh pula mengabaikan siapa dan bagaimana menyampaikannya. Begitulah pasar tradisional pun diibaratkan. Seperti apa isi pasarnya adalah sepenting siapa pelaku di dalamnya dan bagaimana bangunannya diperlihatkan. Pasar tradisional mengandung syi’ar kreativitas dan kemandirian rakyat tatkala ia berisi aneka produk olahan yang tidak pernah putus diperbarukan. Ia menjadi tempat menjual beras dan sayur organik, sabun herbal dari minyak kelapa, pasta gigi dari ekstrak sirih, sampo dari merang, beras organik, es krim ketela, aneka coklat olahan, dan berbagai komoditi lain yang mampu dihasilkan rakyat secara mandiri sesuai potensi alam sekitar. Pasar akan menyuarakan kebersamaan ekonomi ketika barang-barang tersebut dihasilkan oleh serikat rakyat, kooperasi, dan berbagai usaha kolektif yang tumbuh berkembang di desa sekitar. Dan sejatinya dua pesan itulah khitah pasar tradisional, sebagai gerbong pemaju dan pembaruan desa dan masyarakat sekitar. Pasar tradisional tidak semestinya “statis” seperti sekarang. Jumlahnya untuk DIY memang bertambah dari 192 pada tahun 2004 menjadi 284 pasar pada tahun 2008. Bangunannya pun telah sebagian diremajakan, plang namanya diperbesar, tetapi isinya kurang membawa nuansa inovasi dan perubahan. Dalam konsep Jawa kondisi ini kiranya sesuai dengan adagium klasik bahwa “pasar ilang kumandange”. Sepertipula jenis pasar lain, ia makin setia menjadi pensyiar bisnis perusahaan transnasional yang telah merenggut pengetahuan tradisonal rakyat yang dulu lama berakar. Ironis ketika saat ini urusan di kamar mandi dan dapur pun kita pasrahkan pada pemodal yang berada nun jauh di Den Hag, New York, 1
Di sampaikan dalam Diskusi “Formulasi Kebijakan Perlindungan dan Model Pengembangan Pasar Tradisional” kerjasama LOS DIY-Pustek UGM di Bank BPD DIY, 21 Desember 2010 2
Dosen negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta, Peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Ketua Bidang Diklat Mubyarto Institute, dan Pendiri Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra), ph: 08161691650, web: www.ekonomikerakyatan.com, email:
[email protected]
Perdagangan indonesia
79
ataupun Paris. Dan sekali lagi itu bukan hanya terjadi di mal, hypermarket, minimarket, tetapi juga di pasar tradisional Persaingan dengan ritel modern kian tidak seimbang karena produk yang dijual relatif serupa. Akibatnya, sebagian omset pasar tradisional turun drastis 30-60%, pun tak sedikit yang terpaksa harus ditutup. Situasi yang kiranya paradoksal, ketika di sisi pasokan survey BPS (2006) menemukan bahwa masalah utama pelaku UMKM di DIY adalah sulitnya pemasaran (34%). Pun masih banyak UMKM utamanya yang di daerah perdesaan terjerat tengkulak dan oligopsonis penguasa pasar.
VISI, MISI, DAN REGULASI PASAR Sudah jamak kiranya banyak regulasi yang sekedar meninimalisir dampak dari ketelanjuran. Ia kemudian hanya menjadi stempel legalisasi dari keadaan yang sudah terjadi. Pun seperti itu regulasi tentang pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern diadakan. Seperti apa struktur perdagangan ideal, serta arah dan model pemberdayaan pasar tradisional tidak pernah jelas dan tegas diutarakan. Perpres 112 tahun 2007 tentang penataan dan pembinaan pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan toko modern pun jauh dari fungsi“law as a social engineering”. Tentu bukan kontruksi sosial di mana perdagangan didominasi segelintir elit korporasi seperti saat sekarang yang kita citakan. Dalam konteks ini, visi Pasal 33 UUD 1945 ayat (1) jelas bahwa perdagangan hendaknya dipimpin dan dikontrol oleh jutaan rakyat pedagang. Tanggung jawab pemerintah pusat dan daerah dengan demikian adalah mengatur bagaimana pelaksanaan visi tersebut melalui UU, PP, dan Peraturan Daerah. Bahwa yang terjadi saat ini sebaliknya kiranya menyiratkan regulasi kita masih mengadopsi “hukum rimba” dengan visinya “survival for the fittest”. Siapa yang kuat dialah yang bertahan dan menang, kemudian siapa yang menang boleh menguasai semuanya (the winner take all). Lalu bagaimana regulasi bisa berarti tanpa visi? Kini bahkan tanggung jawab pemerintah tersebut kian direduksi sekedar menjaga supaya pedagang rakyat tetap bertahan (survive), bukan lagi sebagai pemain utama seperti yang diamanahkan. Alih-alih memposisikan pasar tradisional sebagai agen kemandirian rakyat, pun alat perjuangan untuk kembali menjadikan Indonesia sebagai bangsa besar.
BANGSA KULI, BANGSA PASAR, DAN BANGSA BESAR Pada akhirnya bangsa kita tetap tertinggal sungguhpun telah ratusan (ribuan?) fakultas teknik, MIPA, ekonomi dan ahli-ahlinya yang kita miliki. Ekonomi kita terus menjadi pasar setia produk-produk olahan dari industri luar negeri. Kita biarkan masyarakat kita, bahkan sampai yang di pelosok-pelosok desa- menjadi pasar bagi pabrik-pabrik perusahaan luar negeri. Penetrasi ritel modern yang kian massif hingga di daerah perdesaan telah mengarahkan tatanan pasar yang kian didominasi elit pemodal besar. Dan bahkan telah ratusan (ribuan?) fakultas hukum dan ahli-ahlinya lama yang kita miliki, namun Undang-Undang Ekonomi kita hingga saat ini pun masih selalu dibuat, dipesan, dan diatur-atur oleh pihak luar negeri. Regulasi kita masih menjadi pasar yang memikat bagi pemesan-pemesan bermodal dan berkuasa besar dari luar negeri tersebut.
80
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Pada saat yang sama, perusahaan negara (BUMN) hanya sanggup kita juali. Koperasi dan perusahaan rakyat masih kita perlakukan bak anak tiri. Pasar modal 67%-nya didominasi perusahaan luar negeri. Pun, jurus andalan ekonom kita selalu adalah “gali lobang tutup lobang” melalui pembuatan utang dalam dan luar negeri. Kita pun terus menjadi pasar bagi kreditur pemburu rente dari luar negeri. Demikian, kita makin hanya menjadi “bangsa pasar”, sungguhpun kita masih memiliki 52 juta UMKM dan ribuan pasar (tradisional). Kita lebih banyak membeli, ketimbang membuat dan mengkreasi. Padahal, pasar tanpa kecukupan industrialis dan wirausahawan desa hanya akan memperbesar usaha dan memperbanyak pekerjaan bagi bangsa luar. Dan akhirnya pun nasib terus saja memaksa saudara kita berebut zakat di antrian, terpuruk di kota-kota besar, dan teraniaya di negeri orang. Sekarang semestinyalah kita sadar bahwa yang perlu direvitalisasi, ditata ulang bukan sekedar bangunan fisik pasar. Tetapi ia adalah perasaan sebagai bangsa besar, yang mampu mengkreasi daripada sekedar menikmati, dengan terus berusaha untuk berdiri di atas kaki sendiri. Hal ini tentu melampaui pemikiran undang-undang. Karena ia adalah ruh (jiwa) yang membangunkan impian seluruh eleman anak bangsa, untuk segera berhenti sekedar menjadi kuli atau pasar di negeri sendiri. Seandainya ritel dan pusat perbelanjaan modern lebih merupakan kepanjangan tangan segelintir perusahaan transnasional, maka pasar tradisional tidak boleh mengambil posisi yang serupa, Semestinyalah pasar tradisional menjadi agen pemandirian dan pemajuan 10 juta pedagang kecil dan ekonomi-nya rakyat, desa, dan bangsa Indonesia. Pasar tradisional jika begitu adalah pilihan bagi siapapun yang menginginkan kita kembali menjadi bangsa besar. Oleh karena itu, seharusnyalah kita dirikan kembali pasar kita, dengan menghidupkan kembali pengetahuan tradisional masyarakat desa, dengan segenap kelimpahan karunia alam dan teknologi yang ada. Bukan dengan mengharap-harap bantuan dan perhatian pemodal besar, tidak pula sekedar dengan begitu banyak peraturan. Pasar tradisional ataupun pasar rakyat akan jaya jika kita semua mau berubah dengan tidak lagi sekedar menjadi “bangsa pasar”. Studi Kasus:
PASAR TRADISIONAL DIY TERANCAM Studi yang dilakukan Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan bekerjasama dengan Lembaga Ombudsman Swasta (LOS) Propinsi DIY menghasilkan beberapa temuan penting terkait dengan kian masifnya penetrasi dan ekspansi pusat perbelanjaan dan toko modern akhir-akhir ini. Secara umum fenomena penetrasi pemodal kuat dalam bisnis retail telah menyebabkan terdesaknya pedagang pasar tradisional atau pebisnis retail lokal di antaranya dalam bentuk menurunya omset penjualan. Penelitian ini menemukan penurunan rata-rata sebesar –5,9%, namun penurunan yang lebih besar dialami oleh kelompok pedagang dengan aset antara Rp 5-15 juta, Rp 15-25 juta, dan di atas Rp 25 juta, yang masingmasing mengalami penurunan sebesar –14,6%, –11%, dan – 20,5%. Berdasarkan kewilayahan, penurunan omset tertinggi dialami oleh pedagang di kota Yogyakarta dan kabupaten Sleman, masing-masing sebesar – 25,5% dan – 22,9%.
Perdagangan indonesia
81
Penelitian ini juga menemukan bahwa pedagang pasar yang paling terkena dampak adalah mereka yang pasokan dagangannya berasal dari industri/pabrikan dan lokasinya berdekatan dengan toko modern. Sementara pedagang yang lebih banyak menjual barang mentah atau produk pertanian atau industri desa cenderung tidak separah kelompok di atas. Penelitian ini mengungkap bahwa pedagang pasar tradisional yang menjual produk pabrikan sebesar 34%, produk pabrikan dan produk desa sebesar 18%, produk impor 3%, dan produk desa sebesar 45%. Penetrasi pasar modern secara makro ekonomi tidak saja mengancam pelaku pasar tradisional, tetapi juga pelaku ekonomi pada sektor-sektor lain. Penelitian berjudul “Studi Formulasi Kebijakan Perlindungan dan Model Pengembangan Pasar Tradisional di DIY” ini juga mengungkapkan permasalahan di level makro terkait dengan masalah struktur perdagangan nasional maupun daerah. Saat ini kondisinya makin mengarah kepada pola monopoli atau oligopoli sebagai dampak dari pengaruh globalisasi ekonomi (pasar bebas). Oleh karena itu, pada level makro maupun mikro perlu dilakukan upaya serius untuk menjaga agar pelaku pasar tradisional tidak makin terpinggirkan. Sayangnya, regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan (Perpres No 112/2007 dan Permendag No 53/2008) tidak memiliki kecukupan material dan substansial dalam memberi arah dan model perlindungan dan pengembangan sistem nilai, modal sosial, dan pelaku pasar tradisional. Semangatnya justru lebih mengarah pada persaingan bebas (free fight liberalism). Isi kedua regulasi tersebut lebih mengakomodasi ketelanjuran tatanan perdagangan saat ini di mana telah terjadi dominasi peritel besar daripada memenuhi semangat dan imperasi konstitusional yang terdapat dalam Pasal-Pasal Sosial-Ekonomi Undang-Undang Dasar 1945. Draft RUU Perdagangan yang sedang dibahas Pemerintah dan DPR saat ini juga lebih mencerminkan ketertundukan pada kenyataan faktual daripada cita-cita yang ideal (law as a tool of social enginering). Regulasi tersebut hanya melahirkan kebijakan residual, yang menjadikan pelaku pasar tradisional tetap akan sebagai obyek proyek dan pemain pinggiran. Tabel 5.1. Regulasi pada tingkat nasional terkait perdagangan
No
Aspek Kebijakan Perlindungan
Kebijakan Pusat (Perpres 112/2007 & Permendag 53/2008
Kebijakan Daerah (Perda Bantul 2010: A, Perwal Yogya 2010: B Raperda Sleman ’11: C Raperda Kulonprogo: D)
Kebijakan yang diharapkan
1
Jumlah (kuota) toko modern
Tidak ada batasan (kuota)
A: tidak ada batasan (di Perbub dibatasi 135 buah) B: 52 buah
Ada pembatasan, 1 kecamatan maksimal 1 minimarket jejaring
2
Lokasi dan Jarak (zonasi) toko modern dengan pasar tradisional
Di luar jalan dan kawasan pelayanan lingkungan, jarak disesuaikan RTRW Kab/Kota
Zonasi: A: 3000m B: 1000m C: 500m D: 400m
RTRW memuat zonasi perdagangan yang tegas dan jelas, zonasi minimal1000m
82
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 5.1. Lanjutan
No
Aspek Kebijakan Perlindungan
Kebijakan Pusat (Perpres 112/2007 & Permendag 53/2008
Kebijakan Daerah (Perda Bantul 2010: A, Perwal Yogya 2010: B Raperda Sleman ’11: C Raperda Kulonprogo: D)
Kebijakan yang diharapkan
3
Jam buka toko modern
Tidak ada batasan
A, B, C: tidak ada batasan, D: minimarket baru buka mulai jam 10
Regulasi jam buka toko modern
4
Produk yang dijual
Toko modern mengutamakan produk UMKM nasional selama memenuhi standar
Tidak ada aturan jelas
Regulasi pasar tradisional memprioritaskan produk lokal (desa), nasional, dan herbal (natural)
5
Perijinan toko modern
Tidak dibatasi, diatur dalam peraturan lain, diserahkan Kab/Kota
A, B: 5 tahun
Setelah ijin habis disesuaikan aturan baru
6
Kepemilikan dan penilikan toko modern
Kepemilikan tidak dibatasi, pemilik diutamakan berdomisili di lokasi toko modern minimarket
A, B: kuota dan zonasi tidak berlaku bagi toko modern milik penduduk lokal
Keberpihakan bagi pengusaha lokal agar tidak banyak net transfer ke luar daerah
7
Hubungan pedagang besar dan pedagang mikro-kecil (pembagian pangsa pasar)
Tidak diatur, yang ada hubungan kemitraan toko modern dengan pemasok (trading terms,hubungan menjadi free fight
A,B: Tidak ada pengaturan jelas
Konsep berbagi pangsa pasar (market share) manifest usaha bersama asas kekeluargaan
8
Pembinaan pasar tradisional
Normatif: pendanaan, kompetensi, akses tempat, kemitraan bagi pedagang, pengelolaan pasar oleh koperasi
A: diserahkan SKPD
Arah dan kebijakan pemberdayaan yang jelas dan inovatif di dalam regulasi
Perdagangan indonesia
83
Meskipun demikian, kekaburan semangat, arah, dan model perlindungan dan pengembangan perdagangan rakyat, telah memberi ruang lebar bagi eksistensi regulasi daerah. Dalam konteks perlindungan, maka beberapa regulasi daerah yang sudah ada maupun sedang dirancang di Propinsi DIY sudah menunjukkan semangat dan ketegasan aspek/model perlindungan bagi pelaku pasar tradisional. Namun bagaimana perlindungan terhadap sistem nilai dan modal sosial, serta arah, aspek, dan model pengembangan pasar tradisional masih belum jelas dan sangat ditentukan oleh tafsir dan orientasi pemangku kebijakan daerah. Kebijakan perlindungan ditujukan untuk melindungi sistem nilai (kebersamaan dan kekeluargaan), modal sosial (budaya produksi), dan seluruh elemen pelaku pasar tradisional di Propinsi DIY meliputi pedagang, pemasok, pengecer, pekerja informal, dan konsumen. Sesuai dengan UUD 1945 maka perlindungan pelaku pasar tradisional mencakup perlindungan terhadap elemen material, intelektual, dan institusional mereka. Perlindungan ketiga dimensi dan elemen tersebut semestinya meliputi berbagai aspek komprehensif mencakup pembatasan (kuota) jumlah toko modern, penetapan lokasi dan jarak (zonasi), pembatasan jam buka toko modern, pembagian produk yang dijual, pengaturan perijinan, penyebaran kepemilikan dan penilikan toko modern, penyeimbangan hubungan antara pedagang besar, menengah, dan kecil (pembagian pangsa pasar), dan penegasan arah dan pola pembinaan pasar tradisional. Berdasarkan analisis bauran pemasaran, maka strategi yang harus ditempuh dalam pengembangan pasar tradisional mencakup beberapa hal, yakni: penguatan organisasi pelaku pasar untuk mengembangkan SDM pelaku pasar, kemitraan produsen lokal dengan koperasi pasar untuk pengembangan produk lokal, pembelian kolektif melalui koperasi pasar untuk memperbaiki harga bagi produsen dan pedagang kecil, penataan (setting) pasar dan revitalisasi kios zona depan untuk memaksimalkan fungsi tempat pasar, menggerakkan kecintaan publik sejak dini melalui berbagai promosi di media public, melakukan berbagai inovasi bisnis untuk mengoptimalkan layanan kepada pelanggan. Tabel 5.2. Strategi dalam Pengembangan Pasar Tradisional No
Aspek Pengembangan Pasar
Kondisi dan Problematika
Alternatif Pemecahan
1
Sumber daya manusia (People)
Pelaku ratusan ribu orang, mindset pasrah, dominasi usia lanjut, pendidikan terbatas, dukungan pengembangan SDM kurang, politisasi (pembodohan), kelembagaan lemah
Penguatan organisasi pelaku pasar tradisional, pembaruan mindset melalui pelatihan intensif, kemitraan dengan perguruan tinggi, regenerasi kepemimpinan, rintisan pusdiklat di pasar
2
Produk (Product)
Buaran pabrikan, low quality, inovasi lokal terbatas
Kemitraan produsen lokal (koperasi desa) dan koperasi pasar tradisional
3
Harga (Price)
Dapat lebih mahal dari supermarket, fluktuatif
Pembelian kolektif melalui koperasi pasar, kerjasama dengan pemasok lokal
84
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 5.2. Lanjutan
No
Aspek Pengembangan Pasar
Kondisi dan Problematika
Alternatif Pemecahan
4
Tempat (Place)
Lokasi baru sepi, lay-out pasar tidak tepat, berhadapan dengan minimarket
Revitalisasi kios zona depan, kerjasama dengan bisnis kuliner modern (waralaba)
5
Promosi (Promotion)
Even terbatas, promosi minim, edukasi konsumen kurang, jejaring lemah, kunjungan sekolah kurang
Menggencarkan promosi cinta pasar tradisional melalui berbagai media publik.
6
Pelayanan (Services)
Ala kadarnya, tidak terlalu dipentingkan karena dasarnya interaksi sosial (kekeluargaan dan kepercayaan)
Inovasi layanan sehingga kian menarik banyak pelanggan
Sedangkan pada aspek pelaku, perlu upaya serius untuk mengembangkan modal material (inovasi bangunan, lay-out dan setting, dan produk yang dijual di pasar tradisional), modal intelektual (inovasi cara bisnis, pemasaran “nilai sosial” (social marketing), dan pencitraan (branding) pasar tradisional, dan institusional (inovasi membership, usaha kolektif, resource map, dan jaringan (networking) organisasi pelaku pasar tradisional). Secara khusus pengembangn koperasi pasar dapat dilakukan melalui perluasan basis keanggotaan, diversifikasi usaha, perluasan kemitraan, dan pendidikan anggota secara intensif. Tabel 5.3 Aspek pelaku untuk mengembangkan modal material No
1
Aspek Penguatan Pelaku Pasar Tradisional
Material (bangunan fisik pasar, saranaprasarana, dan modal)
Model yang sudah ada
Dana bergulir 850jt bagi pedagang Bantul Renovasi bangunan fisik pasar
2
Intelektual (keahlian, inovasi usaha, kemampuan SDM)
Pelatihan dan pembinaan temporer dari Dinas Pasar
3
Institusional (Kelembagaan dan manajemen)
Pembinaan koppas
Model yang diharapkan
Menjadikan pasar tradisional sebagai tempat “rekreasi” Mengembangkan isi (produk) pasar tradisional Membangun tempat edukasi konsumen di pasar Memberi ruang usaha bagi “bisnis modern (olahan pangan dsb) Fasilitasi bagi pekerja informal Improvisasi (inovasi) cara berdagang Menjual “nilai sosial” pasar tradisional Membangun persepsi (image/branding) konsumen Lembaga fasilitasi “kulakan” bersama Melibatkan konsumen, pemasok, pengecer, dan pekerja informal dalam kepemilikan lembaga (koppas) Pemetaan sumber-sumber barang (pasokan) Membangun jejaring
Perdagangan indonesia
85
Studi yang berlangsung pada akhir tahun dan awal 2011 ini juga menawarkan beberapa model pengembangan di antaranya adalah Model Pasar Mandiri, Model Perpaduan Pasar Barang, Pasar Jasa, dan Pasar Even Regional, Model Perpaduan Pasar Tradisional dan Klaster Pasar Khusus, Model Perpaduan Pasar Desa, Pasar Khusus, dan Pasar Even Lokal, Model Koridor Ekonomi (Shopping-belt) Pasar Khusus Wisata, dan Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy). Tabel 5.4 Beberapa model pengembangan pasar No
Elemen Pasar
Indikasi dan Problem Ketidakmandirian Pasar
Indikasi dan Solusi Model Pasar Mandiri
1
Struktur perdagangan
Dominasi dan ketergantungan pada oligopsonis pasar memperlemah pemasok dari desa dan pedagang kecil di pasar tradisional
Kemitraan pedagang kecil dengan pemasok lokal (desa) dengan mode pembelian kolektif
2
Produk
Dominasi dan ketergantungan pada produk pabrikan dari luar desa (luar daerah/luar negeri), maraknya iklan pabrikan luar negeri
Dominasi produksi lokal (desa), pasar sebagai etalasi desa dan bebas dari iklan pabrikan luar negeri
3
Kelembagaan
Dominasi pemerintah, parpol, partikelir, dan lemah atau lambatnya pergerakan organisasi ekonomi rakyat (koperasi)
Peran vital koperasi pasar yang keanggotaannya terbuka agar dapat mempersatukan stakeholder pasar (pedagang, pemasok, pengecer, konsumen, dan pekerja informal)
4
Pengelolaan
Dominasi pengelolaan pasar dan partisinya (parkir, sampah, mushola, TPA, dsb) oleh pemerintah, parpol, dan partikelir Termasuk pengelolaan kebersihan dan kerindangan dikelola oleh Dinas Pasar
Pengelolaan pasar kemitraan antara pemerintah dan koperasi pasar, pengelolaan fasilitas pasar oleh koperasi pasar, pasar menghasilkan energi alternatif (biogas sampah). Kemitraan kehutanan dengan perguruan tinggi (ada area hijau; 1 pedagang 1 pohon)
5
Mode transaksi dan layanan
Tawar menawar dengan informasi yang tidak simetris dan patokan harga tidak jelas, konsumen membutuhkan mode transaksi dan layanan baru
Peningkatan “status” dari sekedar pelanggan menjadi anggota (membership) melalui keikutsertaan konsumen dalam koperasi pasar sehingga transaksi lebih terbuka dan adil (dirintis “member card”)
6
Informasi dan pengetahuan
Dominasi informasi dan pengetahuan oleh elit regulator pasar
Pasar tersedia media informasi (misal tentang Perda Pasar) dan peningkatan pengetahuan (keahlian) kemitraan perguruan tinggi dengan koperasi pasar
86
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Studi Konsepsi: 3
MODEL PASAR MANDIRI Awan Santosa Filosofi Pasar Mandiri Pasar adalah tempat “syi’ar”. Lazimnya tentu diutamakan apa isi pesan atau suaranya, meski tidak boleh pula mengabaikan siapa dan bagaimana menyampaikannya. Begitulah pasar tradisional pun diibaratkan. Seperti apa isi pasarnya adalah sepenting siapa pelaku di dalamnya dan bagaimana bangunannya diperlihatkan. Pasar tradisional mengandung syi’ar kreativitas dan kemandirian rakyat tatkala ia berisi aneka produk olahan yang tidak pernah putus diperbarukan. Ia menjadi tempat menjual beras dan sayur organik, sabun herbal dari minyak kelapa, pasta gigi dari ekstrak sirih, sampo dari merang, beras organik, es krim ketela, aneka coklat olahan, dan berbagai komoditi lain yang mampu dihasilkan rakyat secara mandiri sesuai potensi alam sekitar. Pasar akan menyuarakan kebersamaan ekonomi ketika barang-barang tersebut dihasilkan oleh serikat rakyat, kooperasi, dan berbagai usaha kolektif yang tumbuh berkembang di desa sekitar. Dan sejatinya dua pesan itulah khitah pasar tradisional, sebagai gerbong pemaju dan pembaruan desa dan masyarakat sekitar. Pasar tradisional tidak semestinya “statis” seperti sekarang. Jumlahnya untuk DIY memang bertambah dari 192 pada tahun 2004 menjadi 284 pasar pada tahun 2008. Bangunannya pun telah sebagian diremajakan, plang namanya diperbesar, tetapi isinya kurang membawa nuansa inovasi dan perubahan. Dalam konsep Jawa kondisi ini kiranya sesuai dengan adagium klasik bahwa “pasar ilang kumandange”. Seperti pula jenis pasar lain, ia makin setia menjadi pensyiar bisnis perusahaan transnasional yang telah merenggut pengetahuan tradisonal rakyat yang dulu lama berakar. Ironis ketika saat ini urusan di kamar mandi dan dapur pun kita pasrahkan pada pemodal yang berada nun jauh di Den Hag, New York, ataupun Paris. Dan sekali lagi itu bukan hanya terjadi di mal, hypermarket, minimarket, tetapi juga di pasar tradisional Persaingan dengan ritel modern kian tidak seimbang karena produk yang dijual relatif serupa. Akibatnya, sebagian omset pasar tradisional turun drastis 30-60%, pun tak sedikit yang terpaksa harus ditutup. Situasi yang kiranya paradoksal, ketika di sisi pasokan survey BPS (2006) menemukan bahwa masalah utama pelaku UMKM di DIY adalah sulitnya pemasaran (34%). Pun masih banyak UMKM utamanya yang di daerah perdesaan terjerat tengkulak dan oligopsonis penguasa pasar. Demikian, kita makin hanya menjadi “bangsa pasar”, sungguhpun kita masih memiliki 52 juta UMKM dan ribuan pasar (tradisional). Kita lebih banyak membeli, ketimbang membuat dan mengkreasi. Padahal, pasar tanpa kecukupan industrialis dan wirausahawan desa hanya akan memperbesar usaha dan memperbanyak pekerjaan bagi bangsa luar. Dan akhirnya pun nasib terus saja memaksa saudara kita berebut zakat di antrian, terpuruk di kota-kota besar, dan teraniaya di negeri orang. 3
Diterbitkan oleh Lembaga Ombudsman Swasta Propinsi DIY (2011)
Perdagangan indonesia
87
Sekarang semestinyalah kita sadar bahwa yang perlu direvitalisasi, ditata ulang bukan sekedar bangunan fisik pasar. Tetapi ia adalah perasaan sebagai bangsa besar, yang mampu mengkreasi daripada sekedar menikmati, dengan terus berusaha untuk berdiri di atas kaki sendiri. Hal ini tentu melampaui pemikiran undang-undang. Karena ia adalah ruh (jiwa) yang membangunkan impian seluruh eleman anak bangsa, untuk segera berhenti sekedar menjadi kuli atau pasar di negeri sendiri. Seandainya ritel dan pusat perbelanjaan modern lebih merupakan kepanjangan tangan segelintir perusahaan transnasional, maka pasar tradisional tidak boleh mengambil posisi yang serupa, Semestinyalah pasar tradisional menjadi agen pemandirian dan pemajuan 10 juta pedagang kecil dan ekonomi-nya rakyat, desa, dan bangsa Indonesia. Pasar tradisional jika begitu adalah pilihan bagi siapapun yang menginginkan kita kembali menjadi bangsa besar. Oleh karena itu, seharusnyalah kita dirikan kembali pasar kita, dengan menghidupkan kembali pengetahuan tradisional masyarakat desa, dengan segenap kelimpahan karunia alam dan teknologi yang ada. Bukan dengan mengharap-harap bantuan dan perhatian pemodal besar, tidak pula sekedar dengan begitu banyak peraturan. Pasar tradisional ataupun pasar rakyat akan jaya jika kita semua mau berubah dengan tidak lagi sekedar menjadi “bangsa pasar”. Studi lapangan Pustek UGM-LOS DIY di 15 pasar tradisional menemukan bahwa sebagian barang yang dijual di adalah buatan pabrikan besar yang berkantor pusat di Jakarta dan Surabaya. Terutama barang-barang kebutuhan sehari-hari sepertihalnya minyak goreng, kecap, saus, sabun, shampo, dan berbagai jenis produk lainnya banyak dipasok oleh pabrikan besar milik luar negeri. Produk-produk yang dipasok dari usaha desa umumnya berupa bahan mentah, sehingga nilai tambahnya masih belum optimal, Pengembangan pasar tradisional mash belum sejalan dengan inovasi produk lokal desa yang jumlahnya juga memang masih terbatas. Persoalan lain adalah kualitas beberapa produk lokal yang dijual di pasar tradisional rendah karena orientasi harga murah. Memang ini situasi di mana pasar tradisional umumnya menjadi pasar bagi pedagang kecil dan konsumen menengah bawah. Mencermati hal ini, semestinya pengembangan sentrasentra produksi di perdesaan terpadu (integral) dengan pengembangan pasar tradisional. Pasar tradisional dengan begitu akan menjadi etalase (showroom) bagi produksi desa. Hal ini dapat diawali dengan merintis model kemitraan antara sentra industri (koperasi produksi) dengan koperasi pasar. Dengan dasar pemikiran inilah perlunya dikembangkan model Pasar Mandiri sebagai arah pemajuan pasar tradisional di Indonesia.
SISTEM DAN INDIKASI PASAR MANDIRI Pasar Mandiri seperti uraian di awal berkaitan dengan persoalan minimnya taraf dan perkembangan kesejahteraan pelaku pasar di Propinsi DIY erat kaitannya dengan rentannya pelaku pasar pada perubahan eksternal sebagai akibat dari ketergantungan yang masih cukup besar. Kerentanan dan ketidakmandirian tersebut meliputi berbagai elemen pasar seperti halnya struktur perdagangan, produk, kelembagaan, pengelolaan, mode transaksi dan layanan, serta informasi dan pengetahuan.
88
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Indikasi dan problematika ketidakmandirian pasar, serta indikator model pasar mandiri di Propinsi DIY dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 5.5 Indikasi Pasar Mandiri di Propinsi DIY No
Elemen Pasar
Indikasi dan Problem Ketidakmandirian Pasar
Indikasi dan Solusi Pasar Mandiri
1
Struktur perdagangan
Dominasi dan ketergantungan pada oligopsonis pasar memperlemah pemasok dari desa dan pedagang kecil di pasar tradisional
Kemitraan pedagang kecil dengan pemasok lokal (desa) dengan mode pembelian kolektif
2
Produk
Dominasi dan ketergantungan pada produk pabrikan dari luar desa (luar daerah/luar negeri), maraknya iklan pabrikan luar negeri
Dominasi produksi lokal (desa), pasar sebagai etalasi desa dan bebas dari iklan pabrikan luar negeri. Produk terakreditasi oleh koperasi pasar (asal dan kualitasnya)
3
Kelembagaan
Dominasi pemerintah, parpol, partikelir, dan lemah atau lambatnya pergerakan organisasi ekonomi rakyat (koperasi)
Peran vital koperasi pasar yang keanggotaannya terbuka agar dapat mempersatukan stakeholder pasar (pedagang, pemasok, pengecer, konsumen, dan pekerja informal)
4
Pengelolaan
Dominasi pengelolaan pasar dan partisinya (parkir, sampah, mushola, TPA, dsb) oleh pemerintah, parpol, dan partikelir Termasuk pengelolaan kebersihan dan kerindangan dikelola oleh Dinas Pasar
Pengelolaan pasar kemitraan antara pemerintah dan koperasi pasar, pengelolaan fasilitas pasar oleh koperasi pasar, pasar menghasilkan energi alternatif (biogas sampah). Kemitraan kehutanan dengan perguruan tinggi (ada area hijau; 1 pedagang 1 pohon)
5
Mode transaksi dan layanan
Tawar menawar dengan informasi yang tidak simetris dan patokan harga tidak jelas, konsumen membutuhkan mode transaksi dan layanan baru
Peningkatan “status” dari sekedar pelanggan menjadi anggota (membership) melalui keikutsertaan konsumen dalam koperasi pasar sehingga transaksi lebih terbuka dan adil (dirintis “member card”)
6
Ilmu pengetahuan dan informasi
Dominasi informasi dan pengetahuan oleh elit regulator pasar
Pasar tersedia media informasi (misal tentang Perda Pasar) dan peningkatan pengetahuan (keahlian) kemitraan perguruan tinggi dengan koperasi pasar
Sumber: survey, wawancara, dan FGD (diolah)
Perdagangan indonesia
89
OPERASIONALISASI PASAR MANDIRI Sesuai dengan indikasi model di atas maka operasionalisasi Pasar Mandiri meliputi sekurangkurangnya enam aspek sebagai berikut:
a.
Struktur Perdagangan
Struktur perdagangan yang timpang dapat dikoreksi melalui revitalisasi koperasi pasar, yang salah satu fungsinya adalah mengelola hubungan kerjasama antara pedagang pasar tradisional dan para pemasok di perdesaan. Perlu dirintis pemberlakuan kontrak dan pembelian kolektif, yang sekaligus digunakan untuk mengantisipasi fluktuasi harga yang dapat merugikan baik pemasok desa maupun pedagang pasar. Dengan cara ini juga dapat dibatasi membanjirnya produk-produk pertanian impor dan buatan pabrikan besar di pasar tradisional akibat diberlakukannya liberalisasi pertanian. Pemerintah melalui Disperidagkop dan Dinas Pasar dapat memfasilitasi proses kemitraan tersebut. Hal ini adalah manifes intervensi negara dalam menata struktur perekonomian, bukan dengan membiarkannya berjalan sesuai mekanisme pasar bebas (liberal). Pembaruan struktur perdagangan juga dapat dilakukan melalui perluasaan (pembukaan) keanggotaan koperasi pasar bagi pemasok produk dari perdesaan. Pada prinsipnya Dinas Pasar, Disperindagkop, dan Dinas Pertanian perlu bahu-membahu agar para produsen (petani) desa memiliki akses langsung ke pasar tradisional, begitupun sebaliknya. Pemerintah perlu memetakan dan diatasi berbagai hambatan terkait aksesi pasar tersebut. Sekiranya hambatannya adalah sarana transportasi dan modal, maka berbagai instrumen permodalan dan transportasi yang ada perlu dimobilisasi untuk fasiliasti tersebut. Dalam Pasar Mandiri maka sarana produksi diarahkan untuk mengembangkan aset bersama (common asset), yaitu usaha yang dikelola dan dikoordinasikan secara kolektif melalui koperasi pasar. Bukan lagi memenuhi kebutuhan pedagang perorangan.
b.
Produk
Pengarus utamaan produk dalam negeri (khususnya perdesaan) dapat dilakukan melalui kampanye dan pendidikan. Koperasi Pasar bekerjasama dengan Dinas Pasar, Disperindagkop, dan lembaga mitra perlu mengkampanyekan urgensi pengutamaan produk dalam negeri (lokal), khususnya produk yang diusahakan masyarakat perdesaan sekitar. Pemerintah dan pengelola pasar harus memiliki tekad, keberanian, dan kesungguhan untuk mengurangi dan mengikis ketergantungan terhadap korporasi transnasional. Iklan-iklan mereka yang hari ini banyak menghiasi pasar-pasar tradisional sudah saatnya dihentikan. Pendidikan dan penyadaran internal dilakukan kepada para pedagang dan konsumen agar memilih menjual dan membeli produk-produk dalam negeri. Hal ini menjadi satu bagian yang khusus diusahakan pula melalui format Sekolah Pasar. Dalam hal ini Dinas Pasar dan Disperidagkop perlu memobilisasi database dan produk pertanian dan industri desa agar tersedia di pasar tradisional. Berbagai pameran (expo) untuk mempromosikan produk UMKM lokal semestinya juga diselenggarakan di pasar tradisional. Hal ini agar pasar ikut berkembang dan produk lokal pun dapat tersosialisasikan ke masyarakat sekitar.
90
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Pemerintah perlu mendorong pula gerakan produk organik masuk pasar. Produk olahan limbah (sampah) pasar dapat juga dikembangkan sepertihalnya untuk biogas, listrik, briket, dan berbagai sumber energi alternatif lainnya. Untuk menjamin asal dan kualitas produk yang diperdagangkan maka Koperasi Pasar dapat melakukan akreditasi sederhana bagi seluruh produk anggota, yang meliputi aspek keamanan, kehalalan, kesehatan, dan aspek lainnya yang diperlukan bagi pemajuan produk pasar.
c.
Kelembagaan
Pasar Mandiri juga bertumpu pada keberdayaan kelembagaan rakyat sepertihalnya koperasi pasar. Agar berdaya maka koperasi pasar perlu dikembangkan sesuai khittah konsepsi koperasi sejati. Untuk itu Disperindagkop perlu mendorong pemberlakuan prinsip keterbukaan keanggotaan dalam koperasi pasar. Persatuan stakeholder pasar tradisional sepertihalnya pedagang, pemasok, pengecer, buruh, kosumen, dan parapihak lain, yang terhimpun dalam wadah koperasi pasar merupakan prasyarat keberdayaan koperasi pasar. Di samping itu, pemerintah bekerjasama dengan pengurus koperasi pasar perlu senantiasa mengembangkan kapasitas kelembagaan koperasi pasar, agar tidak sekedar beroperasi di sektor keuangan mikro. Kelembagaan terlebut meliputi keberadaan perangkat nilai, sistem, sumber daya, dan visi misi yang menggerakkan seluruh anggota yang terlibat dalam koperasi pasar. Keberadaan koperasi pasar tradisional perlu sering-sering dikampanyekan melalui berbagai saluran dan ruang publik, termasuk di dalamnya iklan di Bus Trans Jogja.
d.
Pengelolaan
Pasar Mandiri ditopang oleh perluasan keterlibatan koperasi pasar dalam pengelolaan pasar tradisional, bermitra dengan Dinas Pasar dan Disperindagkop. Keterlibatan pengelolaan koperasi pasar ini dapat meliputi berbagai aspek tata kelola pasar sepertihalnya: a)
Pengelolaan fasilitas pasar sepertihalnya toilet, mushola, parkir, sampah, sarana kebersihan, dan sarana lainnya yang selama ini belum terkelola dengan baik, atau dikelola oleh pemerintah dan atau perorangan (swasta). b) Pengelolan energi alternatif yang dihasilkan dari limbah/sampah pasar semisal diolah menjadi biogas dan briket, yang digunakan untuk bahan bakar atau penerangan di kantor koperasi pasar atau area umum. c) Pengelolaan sarana penghijauan (pertamanan) pasar, semisal kerjasama dengan Dinas dan atau Fakultas Kehutanan perguruan tinggi. Dalam hal ini koperasi pasar dan dinas dapat menyediakan area hijau. Bekerjasama dengan kedua instansi tersebut dapat diluncurkan gerakan penamanan 1 pedagang 1 pohon pada tiap-tiap pasar tradisional. d) Pembayaran retribusi pedagang pasar, yang disertai dengan pengawalan sarana dan sumber informasi yang terkait dengan kebijakan alokasi anggaran pemerintah ke pasar tradisional.
e.
Mode Transaksi dan Layanan
Pasar Mandiri bertumpu pada perbaikan layanan konsumen (pelanggan) dengan mempraktekkan kejujuran, keterbukaan, dan keadilan dalam transaksi dagang. Sistem tawar menawar dilakukan dengan
Perdagangan indonesia
91
tingkat pengambilan keuntungan (marjin) yang wajar dan disepakati secara kekeluargaan. Untuk itulah urgensi pelibatan konsumen dalam keanggotaan (membership) koperasi pasar, demi memperkuat kebersamaan (ukhuwah) para pelaku pasar tradisional. Dalam upaya menjunjung tinggi semangat tersebut maka dapat dirintis penggunaan kartu anggota (membercard) dalam transaksi dagang di pasar tradisional. Dinas Pasar, Disperidagkop, dan lemabaga mitra dapat mendukung koperasi pasar dalam mensosialisasikan konsep baru ini disertai dengan rekruitmen keanggotaan secara terbuka, disertai pemaparan arti penting dan manfaat bagi konsumen untuk bergabung dalam keanggotaan koperasi pasar. Dengan semangat kebersamaan ini pula maka pada waktu-waktu tertentu para pedagang pasar akan mengenakan baju seragam (batik/surjan) penciri khas pasar tradisional tersebut. Aspek kebersihan, kerindangan, dan kesehatan sangat diperhatikan dalam konsepsi Pasar Mandiri. Pasar Mandiri akan memberlakukan zona senyum dan jujur untuk menambah zona bersih yang sudah dikembangkan di banyak pasar tradisional saat ini. Pola transaksi dan layanan mengedepankan kebersihan hati dan kesalehan nurani, sehingga dapat melapangkan jalan bagi turunnya rejeki. Pemahaman yang menjadi brand Pasar Mandiri ini akan melengkapi kampanye “pasar resik rejekine apik” yang sudah dilakukan di berbagai pasar tradisional. Pentingnya etika bisnis (dagang) inilah yang menjadi salah satu muatan penting dalam Sekolah Pasar yang menjadi salah satu unsur intrinsik dalam Pasar Mandiri.
f.
Ilmu Pengetahuan dan Informasi
Pasar Mandiri memiliki sarana untuk mengembangkan modal intelektual (modal manusia dan modal sosial) bagi para pegiat pasar tradisional, yang dikonsepsikan dalam paparan buku ini sebagai Sekolah Pasar. Sebagai bagian yang tidak terpisahkan maka di setiap Pasar Mandiri wajib menyediakan Media Pasar sebagai sarana up-dating informasi peraturan dan kebijakan terkait pengelolaan pasar tradisional. Media Pasar juga menjadi sarana menyebarluaskan artikel, berita, dan sumber-sumber pengetahuan dan informasi lain terkait dinamika dan pengembangan pasar tradisional. Media pasar ini akan dikelola sekaligus oleh pengelola Sekolah Pasar sebagai bagian dari Koperasi Pasar. Pasar Mandiri juga harus terkoneksi dengan jaringan internet. Program yang perlu digarap dengan fasilitasi Dinas Pasar dan instansi terkait lainnya adalah ‘”Internet Masuk Pasar”. Sekurang-kurangnya komputer pengurus koperasi pasar harus terkoneksi dengan jaringan internet, yang sangat bermanfaat untuk memantau perkembangan informasi harga, kebijakan pemerintah, dan sarana membangun jaringan bisnis dengan koperasi pasar lain di Propinsi DIY dan dalam lingkup yang lebih luas (nasional). Pendidikan teknologi informasi bagi pengelola tentu menjadi kebutuhan. TI ini akan difungsikan sebagai instrumen (tools) aplikasi Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta. Pasar Mandiri dapat di-branding sesuai nama pasarnya lama diberi imbuhan “pm” (pasar mandiri) pada bagian atasnya, seperti pada contoh berikut: PasarKrangganpm Brand ini diperlukan untuk mendorong proses internalisasi nilai-nilai, semangat, kriteria, dan orientasi (visi-misi) yang akan diwujudkan dalam konsep Pasar Mandiri. Brand juga menjadi bagian dari inovasi dan pembaruan pasar tradisional agar lebih menarik bagi para konsumen di perkotaan.
92
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Rating Pasar Mandiri
Pasar Mandiri diharapkan dapat memperkokoh penguasaan pelaku pasar atas ketiga jenis modal (intelektual, instituaional, dan material) sebagai prasyarat kemandirian. Model ini sepertihalnya model desa mandiri dapat dinisiasi dengan pola pentahapan. Terkait hal tersebut maka dapat pemberlakuan “rating kemandirian pasar tradisional” di Propinsi DIY sebagai indikator pentahapan menuju model pasar mandiri yang ideal. Rating ini dapat diberlakukan terhadap semua jenis pasar baik pasar desa, kecamatan, maupun pasar kabupaten, termasuk di dalamnya adalah pasar khusus. Pasar yang memiliki rating kemandirian paling tinggi maka selanjutnya dapat dijadikan model (benchmark) Pasar Mandiri. Penentuan rating Pasar Mandiri dapat dilakukan dengan membentuk Tim (Kelompok Kerja) Pasar Mandiri yang terdiri atas perwakilan Dinas Pasar, Disperindagkop, Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia, Perguruan Tinggi, LSM, dan lembaga relevan lainnya. Kriteria rating didasarkan pada beberapa aspek Pasar Mandiri dalam paparan ini dengan perincian yang disepakati bersama dalam Pokja. Rating Pasar Mandiri dikeluarkan sekurang-kurangnya 2-3 tahun sekali. Laporan disertai evaluasi kemajuan dan rekomendasi pengembangan untuk 2-3 tahun ke depan. Studi Kasus Koperasi “Pasar Mandiri” di Inggris Model Pasar Mandiri yang dikelola secara kooperatif di tingkat lokal dan regional sudah lama berkembang di beberapa negara maju di Inggris. Bahkan di negara yang dikenal begitu kapitalis-liberal dan individualis tersebut pun koperasi pasar berkembang pesat. Begitupun kemauan untuk melindungi produk dan pasar lokal nampak nyata dalam pengorganisasian pasar-pasar mereka. Tidak boleh terjadi dominasi pasar baik oleh supermarket maupun produk-produk luar negeri. Bagian ini memaparkan studi banding pengelolaan pasar mandiri oleh koperasi pasar (pemasaran) di kedua negara tersebut sebagai pelajaran berharga dalam upaya pengembangan pasar mandiri berbasis koperasi pasar di Indonesia. Melalui paparan ini dapat dipahami pula bagaimana koperasi akan berkembang di atas konsistensinya pada prinsip-prinsip dasar, bukan sebaliknya. Koperasi Thames Valley, Inggris Koperasi Pasar Tani Thames Valley dikembangkan di Inggris untuk mengelola dan memasarkan pasar tani agar petani dan produsen kecil lainnya dapat menjual secara langsung produknya kepada konsumen. Koperasi ini mulai beroperasi di area Thames Valley pada tahun 1999 dan saat ini sudah berkembang hingga meliputi 16 kota lainnya. Koperasi ini ditujukan untuk mendukung petani dan produsen lokal dengan orientasi jangan sampai ada tengkulak (middleman) yang terlibat, dan profit jangan diberikan kepada pemilik-pemilik supermarket. Thames Valley mulai berbadan hukum koperasi pada tahun 2003. Aktivitas koperasi didasarkan pada partisipasi anggota, di mana semua produsen adalah pemilik suara, sehingga dapat turut mengawal pengeloaan koperasi. Koperasi Thames Valley mengelola 19 koperasi pasar tani di berbagai lokasi. Adapun keanggotaan koperasi pasar terbuka bagi seluruh produsen lokal dengan ketentuan sebagai berikut: 1.
Pasar tani hanya menjual produk lokal, di mana dalam peraturan keanggotaan disebutkan bahwa lokal didefinisikan sebagai produsen yang domisilinya berjarak antara 30-50 mil dari setiap pasar tani.
Perdagangan indonesia 2.
3.
4. 5.
93
Pemilik kios (los) hanya diperbolehkan bagi mereka yang menjual produk lokal yang mereka tanam, semaikan, tangkap, angkut, dan proses sendiri. Mereka diharuskan memiliki jaminan keamanan dan kesehatan produk yang dijual, yang ditunjukkan dengan label dari dinas pemerintah berwenang. Untuk produk olahan yang dipanggang, diacar, diseduh, dan dikemas dan berbagai proses pengolahan lainnya, maka produk tersebut harus sekurang-kurangnya 10% dan idealnya 25% berbahan baku lokal. Kios harus dikelola oleh staf produsen, yang merupakan anggota keluarga atau siapapun yang secara langsung terlibat dalam pembuatan produk yang dijual. Semua pedagang dalam pasar tani adalah anggota koperasi. Untuk menjamin asal muasal dan kualitas semua produk yang dijual di pasar tani Thames Valley maka semua anggota potensial diakreditasi sebelum mereka dapat berjualan di pasar tani. Tabel 5.6 Daftar Pasar yang dikelola Koperasi Pasar Tani Thames Valley Abingdon
3rd Friday of the month
08:30 - 13:30
Market Place Abingdon on Thames
Ascot
3rd Sunday of the month
09:30 - 13:00
Car Park 3 Ascot High Street Ascot
Banbury
1st Friday of the month
08:30 - 13:30
Cornhill Marketplace Banbury
Beaconsfield
4th Saturday of the month
09:00 - 12:30
Windsor End The Old Town Beaconsfield
Bicester
2nd Thursday of the month
08:30 - 13:30
Sheep Street
Charlbury
2nd Saturday Quarterly: Mar, Jun, Sep, Dec
09:00 - 13:00
The Playing Close Charlbury
Chipping Norton
3rd Saturday of the month
08:30 - 13:30
Chipping Norton Oxfordshire
Didcot
2nd Saturday of the month
08:30 - 13:30
The Orchard Centre Didcot
09:00 - 13:00
High Street Hungerford Berkshire
Hungerford
4th Sunday of the month
94
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 5.6 Lanjutan Little Chalfont
2nd Saturday in the month
09:00 - 13:00
Village Hall Car Park Cokes Lane Little Chalfont
Newbury 1
1st Sunday of the month
09:00 - 13:00
Market Place
Newbury 2
3rd Sunday of the month
09:00 - 13:00
Market Place
Purley-on-Thames
2nd Saturday of the month
08:30 - 12:30
Big Barn Beech Road Purley-on-Thames Berkshire
Reading 1
1st Saturday of the month
08:30 - 12:00
The Cattle Market Gt Knollys Street
Reading 2
3rd Saturday of the month
08:30 - 12:00
Market Place Gt Knolly's Street
Windsor
1st Saturday of the month
09:00 - 13:00
St Leonard's Road Windsor
Witney
3rd Wednesday of the month 08:30 - 13:30
Market Place Witney
Struktur organisasi dalam Koperasi Pasar Tani Thames Valley terdiri atas ketua/anggota dewan, sekretaris, bendahara, sekretaris keanggotaan, direktur, divisi keamanan dan kesehatan, manajer pasar senior, dan manajer kantor. Para pengurus koperasi tersebut adalah para produsen pertanian lokal yang masing-masing memiliki unit-unit bisnis berbasis pertanian yang berbeda sepertihalnya bisnis perikanan, pangan olahan, pertamanan, perkayuan, tanaman herbal, dan berbagai jenis lainnya. Koperasi Thames Valley sangat aktif dalam mempromosikan perekrutan anggota baru, yang sejalan dengan prinsip dasar koperasi “keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela”. Promosi keanggotaan dilakukan melalui berbagai media sosial baik secara langsung (even) maupun melalui media online (web, e-mail, dan facebook). Kiranya mereka sadar bahwa cara menghadapi para tengkulak dan pemodal besar adalah melalui kebersatuan di antara para produsen dan pedagang kecil di tingkat lokal. Sebagai gambaran sistematika perekrutan dan keanggotaan di koperasi Thames Valley sebagai berikut: 1. 2. 3.
Calon anggota dapat menghubungi pengurus untuk mendiskusikan lokasi pasar mana yang akan dijadikan pilihan berjualan. Melengkapi dan mengumpulkan form aplikasi awal Akreditasi, dilakukan dengan kunjungan lapang pengurus koperasi untuk mengecek proses produksi dan asal bahan baku yang digunakan. Berbagai kelengkapan dokumen jaminan keamanan dan
Perdagangan indonesia
4.
5.
95
kebersihan pangan dari otoritas pemerintah terkait akan diperiksa. Pada tahap ini calon anggota dibebani biaya sebesar 50 poundsterling (Rp. 750.000). Aplikasi dikirim ke dewan direksi untuk mendapat persetujuan. Setelah diterima maka setiap anggota akan membayar iuran anggota tahunan sebesar 60 pundsterling (Rp. 900.000) dan setiap anggota diwajibkan membayar 1 poundsterling (Rp. 15.000) untuk share di koperasi. Dengan begitu seluruh anggota adalah pemilik dan pengamil keputusan dalam koperasi pasar. Seluruh pedagang dibebani fee perolehan kios sebesar 27,50 pundsterling (Rp. 412.500) pada setiap kios pasar yang mereka tempati.
Demikian Pasar Mandiri diharapkan menjadi pengejawantahan ekonomi kerakyatan dalam konteks perdagangan Indonesia. Dalam konsepsi ekonomi kerakyatan maka ke depan sektor perdagangan Indonesia semestinya dikerjakan oleh semua, untuk semua, dan di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat (pedagang kecil atau perdagangan rakyat). Bukan didominasi segelintir elit korporasi (multinasional) seperti sekarang. Semoga. Studi Konsepsi
SEKOLAH PASAR Awan Santosa Problematika Sisi-sisi kemanusiaan pedagang kiranya banyak dilupakan orang. Padahal kalaulah usaha tergantung pada pengusahanya, maka perhatian terhadap manusia pedagang sangatlah penting. Manusia akan menjadi modal utama dalam usaha, termasuk di dalamnya usaha pedagang di pasar tradisional. Kenyataan rupanya berkata lain. Para pedagang lebih sering mengeluhkan usahanya bermasalah dengan modal finansial. Akibatnya pasar tradisional dikepung berjibun lembaga keuangan baik bank maupun non bank. Dalam hal ini pasar pun telah menjadi “pasar” bagi perusahaan keuangan. Sungguhpun ia diperlukan tapi pemujaannya yang berlebihan justru telah mengabaikan modal manusia dan modal sosial yang semestinya diutamakan. Bangunan dibenahi, modal dikucurkan, dan selesailah kewajiban. Demikian kiranya anggapan pemangku kebijakan. Urusan manusia dianggap sebagai urusan sosial dan kembali ke pribadi masing-masing. Maka dibentuklah paguyuban, kelompok, dan koperasi, yang lagi-lagi bergiat dalam kegiatan simpan pinjam. Tidak banyak diadakan majelis ilmu, pelatihan, dan kegiatan pembangunan manusia lain. Walhasil tidak banyak pula ilmu dan teknologi perdagangan baru yang dikuasai. Akhirnya, keadaan pun makin berat ketika terjadi pengambilalihan pangsa oleh pasar modern jejaring multinasional. Padahal teori ekonomi modern telah lama memasukkan variabel modal manusia sebagai determinan penting kinerja usaha. Sementara kita masih menganut teori ortodoks era 1700-an yang telah lama diperbarukan. Sayangnya teori-teori ekonomi ortodok ini pun masih menjadi ajaran utama di berbagai jenjang sekolah di Indonesia, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Akibatnya generasi muda makin abai dengan pasar tradisional dan lebih suka berbelanja di pusat perbelanjaan modern (mal).
96
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Maka sesuai temuan riset pasar tradisional di DIY beberapa waktu lalu, kami menggagas perlunya revolusi teoritik, paradigmatik, dan operasional. Sudah saatnya pasar memiliki orientasi dan tempat pembangunan manusia, yang kami sebut saat ini dengan Sekolah Pasar. Sekolah Pasar menjadi strategis dalam konteks Yogyakarta yang dikenal luas sebagai kota pendidikan, jasa, dan perdagangan. Pendidikan harus dikenyam oleh semua lapisan. Oleh karenanya ia akan menjadi model pendidikan alternatif bagi kelompok ekonomi marjinal, termasuk yang bergiat di pasar-pasar tradisional. Sekolah Pasar adalah model pendidikan kolaboratif bagi Yogyakarta yang berbasis pendidikan dan perdagangan.
TUJUAN DAN SASARAN Sekolah Pasar menjadi media pengembangan agama, ilmu pengetahuan, dan teknologi bagi pelaku pasar tradisional. Ia membuka diri baik bagi pedagang, pemasok, pengecer, konsumen, dan siapapun yang menaruh kepedulian. Ia adalah wahana belajar bersama, bertukar pikiran, serta tempat persemaian gagasan inovasi dan pemajuan pasar tradisional ke depan. Ialah yang akan mengejawantahkan amanah Nabi Muhammad bahwa setiap manusia wajib menuntut ilmu sejak dari buaian sampai ke liang lahat. Sekolah Pasar juga akan menjadi media rintisan pembersatuan ekonomi parapelaku pasar tradisional, yang kiranya kini masih tercerai berai. Ia akan menjadi perekat dan perapat barisan pegiat industri desa, koperasi sejati, dan pasar tradisional. Hanya dengan kebersatuan inilah maka mereka sanggup menghadapi setiap tantangan dan perubahan. Ia menjadi embrio bagi realisasi visi misi pasar tradisional ke depan. Secara khusus ia dapat pula dijadikan instrument inovasi Pendidikan Dasar dan Menengah para anggota dan pengurus koperasi pasar. Pun ia adalah bagian dari usaha revitalisasi koperasi pasar. Sekolah Pasar pun akan menjadi think-thank dan medium persemaian konsep Pasar Mandiri, untuk mengembalikan khittah pasar sebagai pemasar produk desa. Berangsur-angur perlu dikurangi ketergantungan pasar terhadap pasokan produk pabrikan. Demikian halnya ia menjadi pemikir rintisan Bursa Koperasi Pasar sebagai media interkoneksi antarkoperasi pasar tradisional di DIY, baik secara langsung maupun virtual. Sekolah Pasar juga akan menjadi media pendidikan untuk menanamkan kecintaan kepada anakanak, remaja, dan mahasiswa terhadap produk-produk lokal dan pasar tradisional. Ia akan menjadi media media pengkaderan, pewarisan, dan persemaian nilai-nilai kebersamaan dan kemandirian ekonomi yang perlu dimiliki generasi muda calon pemimpin bangsa di masa yang akan datang.
JENJANG. DAN JANGKA WAKTU Sekolah Pasar merupakan integrasi dua tingkatan pendidikan dan pelatihan, yaitu tingkat dasar (basic) dan menengah (intermediate). Bagi yang sudah menempuh dua tingkatan tersebut maka dapat dikirimkan ke berbagai diklat di luar pasar untuk tingkatan ahli (advance). Pengiriman dapat dilakukan ke kelas-kelas di Perguruan Tinggi, diklat pemerintah, dan berbagai seminar, konferensi, workshop, dan inhouse training lainnya.
Perdagangan indonesia
97
Sekolah Pasar dilangsungkan selama 3 bulan pada setiap tingkatan, dengan frekuensi 2-3 kali sebulan, dan berdurasi 1,5 jam setiap sesi-nya. Dengan begitu, setiap tahun Sekolah Pasar dapat menyelenggarakan dua angkatan. Dalam rangka penyegaran dan pembaruan maka bagi mereka yang sudah menempuh pendidikan tingkat dasar dan menengah akan diadakan pengajian/seminar reguler, pelatihan tematik, atau workhshop per 2 bulan setiap tahunnya. Peserta dinyatakan lulus Sekolah Pasar sesuai dengan tingkatan yang diikutinya dan mendapatkan sertifikat kelulusan dari pengelola. Semua pengurus koperasi pasar dan organisasi lain yang terkait pasar tradisional memiliki semestinya sertifikat kelulusan Sekolah Pasar tersebut. Selanjutnya Sekolah Pasar akan menyelenggarakan program-program pendidikan sepanjang hayat yang disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan lingkungan.
KURIKULUM & JADWAL Sekolah Pasar bertumpu pada pembangunan manusia pedagang. Oleh karenanya ia berusaha memenuhi kebutuhan substantif manusia, yaitu pengembangan nilai-nilai, pola pikir, dan ilmu pengetahuan baru. Substansi kurikulum juga disesuaikan dengan konteks kebutuhan dan masalah spesifik yang dihadapi pelaku pasar tradisional. Dalam perkembangannya inovasi dan kontekstualisasi kurikulum akan selalu dilakukan. Disain kurikulum Sekolah Pasar dirancang sebagai berikut: Tabel 5.7 Kurikulum Sekolah Pasar Pertemuan
Tingkat Dasar
Tingkat Menengah
1
Pembukaan: Strategi Pengembangan Pasar Tradisional
Kebijakan Perdagangan dan Anggaran Pemerintah
2
Kewirausahaan & Kemandirian Pasar
Pengembangan Industri Desa (DesaMart)
3
Etika Bisnis, Transaksi, dan Pelayanan
Pengelolaan Lingkungan, Kesehatan, & Energi Alternatif
4
Prinsip. Manajemen & Bisnis Koperasi Pasar
Perencanaan Pasar Mandiri
5
Strategi Pemasaran dan Kemitraan
Perencanaan Bursa Koperasi Pasar
6
Pengelolaan Keuangan & Permodalan
Manajemen Sekolah Pasar
7
Pembukuan Praktis
Penutup: Pasar, Kesejahteraan, & Kemandirian Bangsa
Kurikulum tersebut tentunya dibawakan dengan penyesuaian pada kondisi sosial pelaku pasar tradisional setempat. Oleh karenanya kurikulum tersebut sebelumnya akan dibahas terlebih dahulu dengan para pengurus Paguyuban dan Koperasi Pasar. Diharapkan masukan-masukan kontekstual dapat memperkaya dan membumikan struktur dan muatan-muatan dalam kurikulum yang dirancang.
98
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
METODE PEMBELAJARAN DAN TENAGA PENGAJAR Pembelajaran yang dikembangkan dalam Sekolah Pasar adalah metode pembelaran konstruktif bagi orang dewasa, yang dikemas secara populer, menarik, dan atraktif. Pembelajaran dilakukan dengan kombinasi model klasikal, diskusi interaktif, observasi lapangan, simulasi, tutorial dan berbagai variasi model lainnya yang diusahakan agar peserta tidak mengalami kebosanan. Pembelajaran berangkat dari modalitas sosial yang sudah dimiliki oleh para pelaku pasar tradisional. Pembelajaran menggunakan pendekatan hadap-masalah dan bukan sekedar transfer ilmu pengetahuan. Metode ini diarahkan untuk membangun dan memperbarui bukan saja kapasitas pengetahuan, tetapi juga jiwa dan hati para pegiat pasar tradisional. Sekali lagi hal ini karena Sekolah Pasar merupakan alat untuk membangun keasadarn, karakter, dan mindset manusia, dalam rangka turut mencerdaskan kehidupan bangsa. Ia tentu bukan sekedar meningkatkan kapasitas otak pesertanya. Tenaga pengajar Sekolah Pasar adalah siapapun yang bersedia membagi ilmunya bagi kemajuan pasar tradisional. Mereka dapat berasal dari akademisi (dosen, mahasiswa, dan peneliti), aktivis LSM, teknokrat, pegiat koperasi pasar, termasuk dari berbagai unsur di dalam pasar tradisional itu sendiri. Rekruitmen pengajar dilakukan melalui mobilisasi terbuka di berbagai media sosial (online). Sebagai perintis awal adalah tenaga pengajar dari DesaMart, Pusat Studi Kewirausahaan UMB Jogja, Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM, Mubyarto Institute, dan LOS DIY. Sebagai bagian dari elemen Sekolah Pasar maka pada saat yang bersamaan dapat dikembangkan Klinik Pasar, sebagai media konsultasi lanjutan bagi para pelaku usaha pasar tradisional. Tenaga pengajar akan menjadi konsultan dalam klinik tersebut sesuai bidang keahliannya dan dengan jadwal praktek ditetapkan semisal seminggu sekali secara bergantian, atau disesuaikan dengan jadwal kelas Sekolah Pasar.
MANAJEMEN DAN KEPENGURUSAN Sekolah Pasar dikelola dengan model kemitraan antara Koperasi Pasar dengan instansi pemerintah (Dinas Pasar) dan atau lembaga nirlaba yang concern dalam pengembangan ekonomi kerakyatan di pasar tradisional. DesaMart insya Allah siap untuk merintis beroperasinya Sekolah Pasar di Jogjakarta. Koperasi pasar sebagai induk Sekolah Pasar akan menyiapkan kelas dan merekrut calon pesertanya, serta calon pengajar dari dalam lingkungan pasar. Sementara lembaga mitra akan menyiapkan rancangan kurikulum, tenaga pengajar, dan materi-materi yang diperlukan dalam pelaksanaan pembelajaran. Tabel 5.8 Struktur pengelola Sekolah Pasar sekurang-kurangnya terdiri atas: No 1
Struktur Majelis Sekolah Pasar
Komposisi Terdiri atas sekurangkurangnya 3 orang dari dalam dan atau luar pasar (DesaMart, Pustek UGM, PSKw-UMBY, LOS-DIY, atau Mubyarto Institute)
Tugas Pokok dan Fungsi Mengarahkan dan memberi panduan bagi pengelola Sekolah Pasar agar sejalan (sesuai) dengan latar belakang dan tujuan pendiriannya, serta melakukan monitoring dan evaluasi (penilaian) keberhasilan Sekolah Pasar.
Perdagangan indonesia
99 Tabel 5.8 Lanjutan
No
Struktur
Komposisi
Tugas Pokok dan Fungsi
2
Kepala Sekolah Pasar
Diutamakan berasal dari pengurus Koperasi Pasar (tetapi dapat juga pada awalnya/ tahun pertama berasal dari luar pasar)
Mengelola dan menjalankan seluruh program dan kegiatan Sekolah Pasar.
3
Sekretaris Sekolah Pasar
Pengurus atau anggota Koperasi Pasar
Membantu Kepala Sekolah Pasar dalam menjalankan kegiatan Sekolah Pasar dalam hal administrasi dan berbagai kelengkapan pendukung lainnya.
4
Bidang Akademik
Pada awalnya dari lembaga mitra, selanjutnya dari pengurus Koperasi pasar
Menyiapkan usulan disain kurikulum, merekrut tenaga pengajar, dan mengatur proses pembelajaran
5
Bidang Operasional Kelas
Pengurus atau anggota Koperasi Pasar
Menyiapkan berbagai kebutuhan operasional baik sarana maupun prasarana dalam perkuliahan.
6
Bidang Pembiayaan
Pengurus atau anggota Koperasi Pasar dan lembaga mitra
Menyusun kebutuhan anggaran dan menggali sumber pendanaan dari dalam pasar dan pendanaan pendukung dari lembaga dan atau pihak-pihak yang sejalan pemikiran dan mendukung program Sekolah Pasar di Indonesia
7
Bidang Rekruitmen dan SDM
Pengurus atau anggota Koperasi Pasar
Melakukan berbagai macam sosialisasi untuk merekrut calon peserta Sekolah Pasar dari pegiat pasar tardisional, serta mengelola SDM peserta Sekolah Pasar.
Pada rintisan awalnya Sekolah Pasar dikelola secara sederhana sesuai kondisi dan potensi yang ada. Pada fase awal ini masih dimungkinkan struktur kepengelolaan yang melibatkan parapihak di luar pasar sepertihalnya mahasiswa, tenaga pengajar, dan relawan DesaMart. Namun selanjutnya diusahakan seluruh pengelola Sekolah Pasar berasal dari pelaku di dalam pasar tradisional, dengan tetap menjalin kemitraan dengan para perintisnya di awal.
PEMBIAYAAN Sekolah Pasar diselenggarakan secara gratis kepada seluruh pegiat pasar tradisional. Adapun pembiayaan operasionalisasi dan pengembangan Sekolah Pasar selanjutnya akan dilakukan dengan berbagai alternatif:
100
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Dana APBD Kabupaten/Kota setempat dan atau dana APBN khususnya dari pos Kementerian Perdagangan dan atau Kementerian Pendidikan Nasional Swadaya masyarakat pasar tradisional, donatur, dan sumbangan sukarela dari peserta program yang berhasil menjalankan usahanya dengan lebih baik. Kemitraan dengan perguruan tinggi yang mengelola dana-dana pengabdian masyarakat dari berbagai sumber utamanya dari Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti). Kerjasama dengan BUMN yang mengelola program Corporate Social Responsibility (CSR) Bina Lingkungan dan sejenisnya. Fee bagi hasil dari jasa konsultasi dan pendampingan yang dilakukan oleh pengelola Sekolah Pasar. Donasi dan penggalangan dana dari masyarakat luas se-Indonesia. Berbagai sumber lainnya yang tidak mengikat dan tidak bertentangan dengan jatidiri, visi, dan misi Sekolah Pasar dalam membangun kemajuan dan keberdikarian pasar tradisional di Indonesia.
Demikian, konsep dasar Sekolah Pasar ini akan menjadi embrio rintisan bagi pengembangan pasar tradisional ke arah model Pasar Mandiri, yang terkoneksi antara satu pasar dengan pasar lainnya melalui rintisan model Bursa Koperasi Pasar. Konsep ini hanya menjadi panduan, yang dalam operasinya perlu menyesuaikan kondisi dan kebutuhan spesifik (khas) pasar tradisional. Yang terpenting adalah segera dimulai jalan apa adanya. Insya Allah seperti halnya pepatah “pohon besar selalu berawal dari benih yang kecil”. Dengan tekad dan kesungguhan maka mimpi ini akan terwujud menjadi kenyataan. AminYRA .
-oo0oo-
BAB VI PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO
Tujuan Instruksional Pada bagian ini akan digambarkan kondisi dan permasalahan fundamental yang berlaku di sektor perbankan di Indonesia. Diuraikan pula bagaimana jalan keluar alternatif untuk mendayagunakan perbankan bagi kesejahteraan rakyat, khususnya melalui pengembangan keuangan mikro. Sebagai ilustrasi disampaikan hasil studi kasus pengembangan keuangan mikro di Kabupaten Kulon Progo, DIY. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan actual sektor perbankan dan keuangan mikro di Indonesia. Menganalisis sebab-sebab permasalahan dan memberikan alternative solusi pemecahannya. Memiliki cara pikir (mindset) kritis-konstruktif menyikapi berbagai femonema yang berkembang dalam sektor perbankan. Memberikan usulan model-model pengembangan keuangan mikro di Indonesia.
SEJARAH, KONDISI, DAN PERMASALAHAN Bank-bank nasional pasca krismon 1997/98 praktis hidup dengan subsidi. Nilainya pun sungguh fantastis, BLBI sebesar Rp 145 trilyun, program penjaminan (blanket quarantee) sebesar Rp 74 trilyun, dan yang paling spektakuler karena membebani APBN kita sampai hari ini adalah obligasi rekapitalisasi (OR) dan bunganya yang masing-masing sebesar Rp 430 trilyun dan Rp 600 trilyun! Tiap tahun pemerintah harus membayar bunga OR setidaknya Rp 60-70 trilyun. Pemerintah telah “tersandera” karena memberikan “privelege” kepada pelaku-pelaku ekonomi (konglomerat) perbankan yang dianggap memiliki “kartu As” hancur-pulihnya ekonomi nasional. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal pemodal besar (perbankan) dianggap sebagai sokoguru perekonomian nasional, sehingga dalam kondisi krisis harus diselamatkan, at any cost! Dan aktor di balik penggelontoran subsidi ini adalah IMF, yang menjadikannya syarat pencairan bantuan senilai US $ 9 milyar.
102
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Tetapi kebijakan tersebut sudah telanjur dibuat. Lagi pula suara-suara kritis yang menawarkan alternatif pengelolaan OR tidak pernah digubris. Namun alangkah lucunya ketika pemerintah kemudian berupaya mencabut subsidi BBM dan pupuk (ZA dan SP-36). Padahal nilai subsidi kedua komoditi ini jauh di bawah subsidi OR. Subsidi BBM turun dari Rp 41,3 trilyun pada tahun 2001 mejadi Rp 30,3 trilyun di tahun 2002 dan Rp 13,5 trilyun pada tahun 2003. Di sisi lain subsidi non BBM (mestinya plus kompensasi BBM) justru turun dari sebesar Rp 12,6 pada tahun 2002 menjadi hanya sebesar Rp 11,7 pada tahun 2003. Bahkan subsidi terhadap kedua jenis pupuk tersebut hanyalah sebesar Rp 400 milyar! Apa artinya? Jelas bahwa pemberlakukan atau pencabutan kebijakan subsidi (proteksi) tidak dibuat berdasar nalar teoritis (keilmuan), melainkan atas dasar kepentingan semata. Dalam sistem ekonomi kapitalis-liberal kepentingan pihak yang kuatlah yang akan selalu dimenangkan! Liberalisasi atau pasar bebas memang hanya omong kosong yang prakteknya tergantung kepentingan. Kini kiranya makin sulit mengganggu gugat ratusan trlyun subsidi ke perbankan. Namun yang harus terus digugat adalah “kesadaran subsidi” dari para pengelola bank-bank rekap. Bahwa ada unsur “uang rakyat” yang sangat besar (bahkan dominan) dalam operasional bisnis mereka, bahkan sangat berpengaruh dalam menentukan laba/rugi bank mereka. Patut dicatat bahwa empat tahun pasca rekapitalisasi bank-bank tersebut nilai labanya disebabkan karena bunga obligasi yang diterima dari setoran pemerintah. Total bunga OR yang diterima 10 bank rekap papan atas per 31 Desember 2002 adalah sebesar Rp 36,1 trilyun, sedangkan laba yang dicetak adalah sebesar Rp 17,8 trilyun, sehingga secara “riil” bank-bank tersebut merugi sebesar Rp 18,4 trilyun (Kwik Kian Gie, 2003). Logikanya perbankan tidak seharusnya bertumpu lagi pada agenda-agenda liberalisasi keuangan/perbankan (pilar sistem ekonomi kapitalis-liberal) karena adanya ‘kontradiksi in terminis” (politik subsidi/proteksi) tersebut. Bangsa ini memiliki pengalaman yang buruk perihal moral pelaku perbankan yang tidak bertanggungjawab. Jangankan memiliki “kesadaran disubsidi”, mereka sama sekali tak tahu diuntung, bahkan berusaha mengambil untung di tengah defisit keuangan pemerintah. Dana BLBI yang disimpangkan (mark-up, manipulasi, dan kolusi) jumlahnya sangat menyakitkan rakyat, yaitu diindikasikan sebesar Rp 138 trilyun atau 96% dari total bantuan (Baswir, 2004). Setelah itu pemerintah justru membebaskan mereka (Release and Discharge) dengan pengembalian dana yang tidak signifikan. Mereka benar-benar homo economicus yang motivasinya meraup untung sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan moral dan etika. Rasionalitas keserakahan inilah yang membentuk perilaku bankir-bankir jahat di Indonesia. Subsidi yang diterima dari pemerintah (uang rakyat) bukannya digunakan sebesar-besar untuk penyaluran kredit ke ekonomi rakyat, melainkan justru diamankan dan diakumulasikan melalui instrumen Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Mereka menerapkan “aji mumpung” (moral hazard) untuk mendapatkan marjin setinggi-tingginya agar dapat menurunkan laba kumulatif yang negatif pasca krisis (Rochadi, 2004). Patut dicatat bahwa net interest margin (NIM) perbankan di Indonesia (sekitar 8,5%) merupakan salah satu yang tertinggi di dunia, bahkan NIM di Malaysia tidak lebih dari satu persen. Berdasar kajian Biro Riset InfoBank keuntungan perbankan nasional tahun 2004 merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara. Di lantai bursa, saham perbankan terus diburu karena mampu memberikan gain sebesar 60% per tahun (Kompas, 29-10-2004). Jelas bahwa subsidi ke perbankan telah dinikmati
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
103
oleh investor (pemilik modal) di bank-bank tersebut tanpa perlu bekerja esktra keras. Bambang Sudibyo (2002) menyebut bahwa perekonomian berjalan karena riba, yaitu bunga obligasi senilai Rp 5 trilyun/bulan dan bunga SBI sekitar 12,6%/tahun. Kesadaran disubsidi telah dikalahkan oleh image perbankan yang identik dengan “kemewahan”. Berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk menyelenggarakan acara-acara (pesta), bantuan-bantuan, undian berhadiah milyaran, dan yang jelas menggaji top manajemen dengan nilai yang sangat tinggi. Sementara itu, pimpinan-pimpinan bank bertingkah dan masih sombong seolah-olah telah mampu membukukan laba spektakuler atas jerih payah mereka sendiri (Kwik Kian Gie, 2003). Apakah memang tidak terpikirkan bahwa subsidi yang mereka terima diikuti dengan pengorbanan pada bidang-bidang lain (termasuk pertahanan nasional), sekaligus menghambat alokasi subsidi kepada penduduk miskin secara langsung dan memadai? Mereka ini harus sabar menunggu sekedar untuk memastikan diperolehnya alokasi dana 8,5 trilyun, yang itu pun belum tentu tepat sasaran kepada mereka. Sungguh tidak mencerminkan rasa keadilan. Perilaku bankir-bankir jahat tak ubahnya seperti “vampir” yang terus menerus menyedot darah dan tubuh perekonomian Indonesia (Faisal Basri, 2003).
BANK DAN PEMERATAAN PEMBANGUNAN Peran bank secara konvensional adalah sebagai perantara keuangan (financial intermediatory), lalu lintas pembayaran, dan sebagai alat (instrumen) kebijakan moneter. Dalam kontek bank pasca krisis (tersubsidi) di Indonesia mestinya peranan bank lebih dari sekedar peran konvensinal tersebut. Peranan perbankan tidak cukup sekedar sebagai agen pembangunan (agent of development), melainkan harus mampu menjadi agen pemerataan pembangunan (agent of development equity) atau agen redistribusi pendapatan/kekayaan/aset (agent of income/asset/wealth redistribution). Hal ini masuk akal mengingat peluang pembangunan di bidang, wilayah, dan kelompok sasaran tertentu (rakyat miskin/ekonomi rakyat) telah terpinggirkan karena alokasi sumber daya keuangan kepada sektor perbankan, yang turut melanggengkan ketimpangan struktural terutama antara si kaya dan si miskin, antarsektor ekonomi, bahkan antardaerah di Indonesia. Sayangnya, fungsi bank sebagai perantara keuangan pun belum dijalankan secara maksimal. Meskipun tiap tahun nilai Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan selalu mengalami kenaikan (2000 : 33,2%, 2001 : 38,0%, 2002 : 43,2%, 2003 : 48,3%, 2004 : 55,3%, dan 2010: 60%), namun tetap saja nilanya di bawah LDR bank di Singapura dan Malaysia yang masing-masing sebesar 80% dan 100%. Pulihnya kepercayaan terhadap perbankan justru terus mendorong kelebihan likuiditas (excess reserve) yang terdiri dari Sertifikat Bank Indonesia dan suratsurat berharga, dengan nilai mencapai Rp 460,9 trilyun atau sekitar 52% dari total dana pihak ketiga yang berjumlah sekitar Rp 800 trilyun (Rochadi, 2004). Turunnya suku bunga deposito tidak serta merta diikuti penurunan suku bunga kredit, sehingga bank-bank menikmati spread (marjin keuntungan) yang sangat besar. Pihak bank beralasan bahwa pada tahun 2003 saja ada beberapa debitor yang belum menarik komitmen kredit yang sudah disetujui bank sebesar Rp 102,9 trilyun. Nilai kredit yang besar mengindikasikan bahwa debitor tersebut pastilah perusahaan kelas kakap yang masih dapat menunggu dan melihat situasi perekonomian. Berbeda dengan pelaku ekonomi rakyat yang jika mengajukan kredit pastilah dalam kondisi yang benar-benar
104
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
membutuhkan. Data ini makin menunjukkan pentingnya perhatian bank terhadap pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro) ketimbang kepada pengusaha besar yang terbukti lebih berisiko. Komitmen perbankan untuk mengembangkan microcredit hendaknya tidak berhenti di tataran jargon semata. Sistem intermediasi perbankan mengandung berbagai kontradiksi. Masyarakat harus percaya sepenuhnya terhadap perbankan, sedangkan bank menerapkan yang sebaliknya, sama sekali tidak mempercayai masyarakat, khususnya pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin). Watak bisnis adalah keberanian (kemauan) menanggung resiko, yang pasti ada dalam setiap kegiatan usaha, sedangkan bank berbisnis tanpa mau mengambil resiko, sungguh ironis. Padahal, fakta menunjukkan bahwa pihak yang seringkali tidak bertanggungjawab (tidak layak dipercaya) adalah internal bank itu sendiri. Ingatlah kembali insider lending bank pra-krisis, kejahatan BLBI, L/C fiktif, pembobolan BNI, BRI, Bank Asiatic, Bank Dagang Bali, Bank Global, dan terakhir Bank Persyarikatan Indonesia. Apakah itu melunturkan kepercayaan masyarakat? Ketidakpercayaan bank terhadap kemampuan ekonomi rakyat dikukuhkan secara sistematis melalui pembuatan aturan-aturan yang meyulitkan akses mereka terhadap bank (agunan, prosedural, suku bunga tinggi). Ini merupakan cerminan ketidakpercayaan diri mereka sendiri, selain juga iktikad untuk terus membohongi diri. Bank-bank paham betul bahwa kredit macet bukan bersumber dari pelaku ekonomi rakyat, yang aksesnya saja sudah disumbat. Mereka terus saja tidak mengakui bahwa tidak ada data-data valid yang menunjukkan budaya ngemplang pelaku ekonomi rakyat. Kenyataan ini adalah bukti adanya kontradiksi dan diskriminasi perbankan yang memang menjadi ciri perbankan kapitalis-liberal, yang berdasar pada mekanisme pasar. Dalam hal ini termasuk penentuan suku bunga kredit mikro yang disamakan dengan suku bunga pasar. Seperti diuraikan di awal, pasar bekerja sesuai kepentingan kekuatan ekonomi, bukannya atas dasar pertimbangan teoritik yang dapat dipertanggungjawabkan. Kekuatan inilah yang menentukan kapan dan kapada siapa mekanisme pasar diberlakukan, demikian sebaliknya. Sistem perbankan saat ini sulit diharapkan membuat bank-bank memerankan diri sebagai agen pemerataan pembangunan. Bahkan dapat berfungsi sebaliknya, bank hanyalah “sahabat bagi orang kaya” (Mubyarto, 2004), yaitu deposan-deposan dan debitur konglomerat yang memang menguasai pasar, sehingga makin mengukuhkan ketimpangan pembangunan di Indonesia. Sistem perbankan cenderung “menyedot” sumber daya keuangan daerah ke pusat-pusat ekonomi dan bisnis di Jakarta. Bank-bank di daerah pada umumnya difungsikan sebagai cabang dari bank pusat, sehingga tidak cukup tanggap terhadap kebutuhan-kebutuhan pembangunan di tingkat lokal. Pembangunan ekonomi dalam pola ini makin memperlebar jurang ketimpangan antardaerah, antar sektor ekonomi, dan antarpelaku ekonomi. Aliran uang akan diikuti oleh aliran manusia. Demikian yang terjadi pada maraknya urbanisasi ke kota-kota besar (termasuk memilih bekerja ke luar negeri) yang menimbulkan komplikasi masalah sosial-politik. Uang yang dikelola bank lokal tidaklah memadai untuk membiayai pembangunan lokal (perdesaan) karena sebagian besar telah dikirim ke ibu kota propinsi atau ke Jakarta untuk membiayai investasi pengusaha besar dan disimpan dalam bentuk SBI. Sebuah paradok ketika terjadi antrean pengajuan modal ke bank-bank lokal atau ke lembagalembaga keuangan non bank, sementara dana Rp 460,9 trilyun menumpuk di SBI dan surat berharga lainnya. Fungsi bank sebagai agen pemerataan pembangunan hanya dapat dioptimalkan jika pola aliran
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
105
uang ke pusat-pusat bisnis ini dihentikan melalui pengembangan bank-bank lokal (bank unit, bukan cabang). Bank lokal memiliki informasi dalam tataran lokal dan lebih dapat berperan sebagai subjek yang mengarahkan tujuan-tujuan pembangunan (Stigltz, 2004). Studi Kasus:
PERBANKAN DI KUTAI BARAT, KALIMANTAN TIMUR Memberdayakan ekonomi rakyat di daerah terpencil Kutai Barat ternyata merupakan perjuangan berat bagi siapapun. Bahkan mereka yang percaya perbankan merupakan “agent of development” yang berperan kunci dalam memberdayakan ekonomi rakyat bisa “kecele” menyaksikan kenyataan pahit sulitnya bank bermitra akrab dengan pelaku-pelaku ekonomi rakyat yang miskin, baik di wilayah Ulu Riam di Mahakam Ulu, di kampung-kampung pegunungan, maupun di dataran rendah sepanjang Sungai Mahakam. Meskipun Pemda Kabupaten Kutai Barat sudah menunjuk Bank BPD Melak menyalurkan dana UMKM kepada usaha-usaha kecil “ekonomi rakyat” sebesar Rp 7,5 milyar dari dana APBD, tokh penerima dana-dana DPM (Dinas Pemberdayaan masyarakat) ini masih belum merasakan adanya perhatian dan perlakuan khusus terhadap mereka sebagai pihak-pihak yang berhak menerima perlakuan “istimewa” karena kemiskinannya. Yulius Seran (37 th) adalah seorang penyandang cacat yang setiap hari menunggu dagangan “ruparupa” di pinggir jalan dekat Linggang Bigung. Ia “marah” ketika permintaan pinjaman Rp. 15 juta hanya diberi Rp. 7 juta padahal yang Rp. 8 juta sudah dijanjikan pada seorang teman yang sanggup membuatkan sepeda motor khusus agar ia dapat menggunakannya untuk berbelanja ke Melak sebulan sekali. Meskipun belakangan diketahui Yulius Seran seorang yang jujur dan patuh mengangsur kreditnya setiap bulan, tokh Bank BPD tidak tergerak meluluskan sisa kredit yang dimintanya. Rupanya meminjamkan kredit kepada seorang miskin seperti Yulius Seran belum cukup meyakinkan pejabat bank “sebagai jalan melancarkan jalan baginya masuk surga”.
BANK ADALAH MITRA ORANG KAYA Sejak 3 tahun terakhir (2001-2003) jumlah dana masyarakat yang disimpan di 2 bank di Melak (BRI dan BPD) meningkat rata-rata 12,0% pertahun, yaitu dari Rp. 214,2 milyar (2001) menjadi Rp. 256,0 milyar (2002) dan Rp. 272,4 milyar (2003). Yang menarik persentase kenaikan dana pihak ke-3 yang disimpan di bank-bank ini sama sekali tidak diikuti kenaikan yang sepadan dalam jumlah kredit yang diberikan kepada pengusaha-pengusaha di Melak. LDR (Loan Deposit Ratio) meskipun cenderung naik tetapi hanya sebesar berturut-turut 2,2% (2001), 10,8% (2002), dan 13,8% (2003) dan sampai dengan September 2004 adalah 32,1%. Rupanya kalau tidak ada kredit “UMKM” yang disalurkan dari dana APBD Pemda kabupaten, tidak ada tandatanda perbankan “bersemangat” menyalurkan kredit kepada pengusaha-pengusaha di Melak, lebih-lebih kepada usaha-usaha kecil ekonomi rakyat.
106
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Memang ironis. Di satu pihak usaha-usaha kecil lari ke “rentenir” dengan membayar bunga tinggi, tetapi di pihak lain orang-orang kaya menyimpan uang mereka di bank dalam bentuk deposito dengan menerima bunga “menarik”. Para pelepas uang dan deposan menikmati pendapatan bunga tinggi, dan sebaliknya orang miskin harus membayar bunga tinggi kepada orang-orang kaya. Jika ekonomi rakyat dapat diberdayakan melalui kredit lunak sehingga kesejahteraannya meningkat, mengapa Pemda tidak terdorong untuk mengambil langka-langkah demikian dalam GSM (Gerakan Sendawar Makmur) dengan menyalurkan kredit mikro sebanyak mungkin kepada usaha-usaha ekonomi rakyat yang membutuhkannya. Ternyata kunci penyebabnya terletak pada diberlakukannya sistem ekonomi kapitalis yang telah dipilih oleh pemerintah pusat.
ALTERNATIF JALAN KELUAR Dalam sistem ekonomi kapitalis segala upaya dilakukan untuk melindungi kepentingan para pemodal/pemilik uang, yang dengan memberikan jaminan rasa aman pada para pemilik modal ini. Maka ada lembaga penjaminan kredit, dan dalam kaitan penyaluran kredit UMKM ada lembaga KKMB (Konsultan Keuangan Mitra Bank), yang dibiayai oleh sebagian bunga kredit yang dibayar penerima kredit (debitor). Mengapa tidak ada Konsultan Keuangan Mitra Ekonomi Rakyat (KKMER) meskipun jelas ekonomi rakyat inilah yang paling membutuhkan jasa konsultan, bukan justru bank yang sebenarnya tidak memerlukan konsultan keuangan itu. Kalau perangsang dan perlindungan kepada para pemilik modal dalam sistem ekonomi kapitalis ini belum dianggap cukup, Bank Indonesia sudah sejak lama mengeluarkan SBI (Sertifikat Bank Indonesia) yang menjanjikan bunga menarik kepada dunia perbankan untuk menyimpan dana-dana yang dihimpunnya dari daerah-daerah di seluruh Indonesia. Penetapan tingkat bunga yang menarik selalu dijadikan alasan mudah bagi dunia perbankan untuk tidak menyalurkan dananya sebagai kredit kepada dunia usaha. Bunga SBI ini pernah mencapai 17,5% pertahun yang tentu saja menjadi alasan sangat kuat bagi setiap bank untuk mengirimkan dana-dana pihak ke-3 yang dihimpun di bank-bank di daerah-daerah di seluruh Indonesia untuk dikirim ke Jakarta. Inilah faktor penyebab rendahnya nilai LDR (Loan Deposit Ratio) di setiap daerah, sehingga ketika banyak daerah-daerah miskin/tertinggal berteriak mengharapkan kredit yang murah dan mudah, tokh dana-dana perbankan yang terhimpun di daerah-daerah seperti itu justru dikirim ke kantor pusat bank yang bersangkutan. Bank-bank yang lebih banyak mengirim dana-dana dari daerah-daerah ke kantor pusat selalu mudah menerangkan perilaku keliru ini karena “kesulitan menemukenali” proyek-proyek ekonomi dan bisnis yang bankable yang dapat didanai, padahal yang benar bank-bank ini memang merasa lebih aman menggunakan dana-dana yang dihimpun dengan dibelikan SBI. Jelas kiranya dari analisis ini bahwa perbankan di Indonesia tidak lain daripada lembaga pencari/pengejar untung, dan sama sekali bukan agent of development. Jika bank-bank kita lebih banyak merupakan perusahaan yang menomorsatukan pendapatan bunga, agar dapat membayar jasa bunga deposito yang menarik kepada deposan, bahkan termasuk tambahan hadiah-hadiah menarik seperti mobil dan rumah-rumah mewah, maka amat sulit menjadikan bank sebagai penggerak kegiatan ekonomi rakyat.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
107
Akibatnya bank juga tidak mungkin berperan sebagai lembaga yang mendukung upaya-upaya besar pemberantasan kemiskinan. Kasus “kecil” perilaku perbankan di Kabupaten Kutai Barat dengan kemiskinan 42% tahun 20032004 menarik dijadikan contoh betapa besar hambatan yang dihadapi dalam program-program pemberantasan kemiskinan. Jika suatu daerah miskin sebagian warga masyarakatnya sudah berhasil “menjadi kaya” sehingga mampu menyimpan dana-dana yang dikumpulkannya di bank setempat, kiranya masuk akal bagi perbankan untuk memanfaatkan dana-dana tersebut bagi pemberdayaan ekonomi rakyat dan yang pada gilirannya mampu memberantas kemiskinan. Proses tolong-menolong antar pemilik modal dan ekonomi rakyat yang membutuhkan modal ini dalam era otonomi daerah seharusnya berkembang dengan baik dan bergairah. Tetapi mengapa hal ini tidak terjadi? Dari analisis tersebut bisa dibuktikan bahwa alasan pokoknya adalah karena sistem ekonomi kapitalis-liberal/neoliberal sudah dijadikan pegangan pokok pemerintah pusat/ daerah yang diterapkan di mana-mana di seluruh Indonesia. Dalam sistem ekonomi kapitalis, para pemilik modal (kapitalis) merupakan pihak yang paling dipuja dan dihormati, yang kepentingannya paling dilindungi. Dari sinilah berkembang kepercayaan perlunya penciptaan iklim merangsang agar para pemodal (investor) asing bersedia datang ke Indonesia atau ke daerah-daerah tertentu untuk menanamkan modalnya. Sebenarnya segera dapat dikenali satu kontradiksi. Jika suatu daerah berusaha menarik investor, yaitu mereka yang memiliki modal, mengapa modal yang terhimpun di bank dari orang-orang kaya setempat malah dikirim keluar daerah, dan justru tidak diputarkan atau ditanamkan dalam usaha-usaha setempat. Fenomena kontradiktif ini sampai kapan pun tetap tidak akan berubah, kecuali jika kita berani mengubah sistem ekonomi kita dari sistem ekonomi kapitalis menjadi sistem ekonomi Pancasila. Dalam sistem ekonomi Pancasila kebijakan perbankan tidak diarahkan untuk melindungi para pemilik modal secara berlebihan tetapi harus diubah menjadi upaya total pemberdayaan ekonomi rakyat dengan ukuran hasil akhir makin terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Studi Kasus:
KEUANGAN MIKRO KULON PROGO Krisis moneter 1997/1998 telah membuka kesadaran masyarakat Indonesia akan rapuhnya tatanan/sistem keuangan yang setelah liberalisasi keuangan (Pakto 1988) didominasi oleh banyak bank dalam skala besar. Terjadinya krisis juga membuat masyarakat paham bahwa perbankan nasional lebih banyak melayani pengusaha skala besar (konglomerat), yang sayangnya tidak bertanggung jawab dan berlindung di balik fasilitas (kemudahan) dari pemerintah. Bermula dari kegagalan sistem keuangan konvensional (yang liberal) tersebut saat ini mulai banyak dikembangkan pemikiran dan praktek lembaga keuangan mikro (LKM). LKM sudah memiliki akar sejarah yang cukup panjang di Indonesia. Beragam model perkumpulan arisan (simpan pinjam) yang dikembangkan di banyak daerah perdesaan merupakan contoh bahwa masyarakat kita sudah lekat dengan tradisi keuangan mikro.
108
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Di sektor formal, keberadaan kredit skala kecil (kredit usaha perdesaan) yang dikembangkan BRI juga merupakan salah satu bentuk keuangan mikro yang melayani nasabah pengusaha kecil (miskin). Keuangan mikro juga telah lama dikembangkan melalui pengguliran dana dalam skema program penanggulangan kemiskinan, seperti IDT yang dilaksanakan mulai 1993/1994 selama tiga tahun. Program Takesra/Kukesra dilaksanakan pada tahun berikutnya di desa-desa non-IDT. Sampai saat ini pun program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, P2KP, P4K, PDMDKE, dan program lainnya tetap dikembangkan melalui pendekatan keuangan mikro yang telah mengakar dalam tradisi sosial-ekonomi masyarakat. Kebijakan pemerintah yang lebih bias kepada usaha besar telah meminggirkan keuangan mikro, sehingga titik balik reformasi 1998 merupakan berkah bagi kebangkitan keuangan mikro di Indonesia. Keuangan mikro memang selalu diidentikkan dengan upaya mengembangkan usaha mikro yang sekaligus juga merupakan cara menanggulangai kemiskinan penduduk. Namun begitu, pada saat ini tidak mudah untuk mengenali keterkaitan langsung antara keuangan mikro dengan upaya-upaya menanggulangi kemiskinan melalui program-program yang dikembangkan. Salah satu masalah mendasar adalah sering tidak tepatnya alokasi dana kepada sasaran orang miskin yang telah ditentukan. Alasan kehati-hatian, mengurangi resiko, dan efisiensi dana sering dijadikan dalih untuk menggeser orientasi alokasi dana ke orang yang dinilai lebih layak (mampu mengembalikan), lebih membutuhkan, dan lebih dapat dipercaya, walaupun dapat ditunjukkan sebenarnya bahwa penduduk miskin tidak memiliki “tradisi ngemplang”, seperti halnya tradisi yang justru ditumbuh-suburkan oleh pengusaha besar (konglomerat) di Indonesia. Kriteria miskin (yang memang beragam) tidak lagi dipegang sebagai dasar penentuan skala prioritas penyaluran sumber daya keuangan dan pemberdayaan penduduk miskin. Kendala moral memang dihadapi tidak saja oleh pengelola keuangan yang berkecimpung dalam aktivitas sosial-ekonomi masyarakat yang memegang prinsip “sithik eding” atau “dum-dil” (dibagi rata), namun juga oleh banyaknya “orang mampu” di perdesaan yang tidak cukup peka terhadap masalah kemiskinan. Di sisi lain, dalam aspek legal-formal, batasan mengenai skala usaha juga turut “mengkondisikan” terciptanya ruang-ruang pergeseran makna keuangan mikro dari tujuan/upaya penanggulangan kemiskinan. Walaupun “pengakuan” terhadap usaha mikro (ekonomi rakyat) telah mulai muncul namun pemberlakuan kriteria nilai omzet atau modal usaha mikro masih juga bias kepada “pengusaha besar” sehingga berpotensi menumbuhkan “predator-predator” yang siap berebut “kue pinjaman” berbunga murah, prosedur mudah, dan persyaratan ringan. Dalam PP No 5/1995 dan UU No 9/1995 misalnya, usaha kecil didefinisikan sebagai usaha dengan kategori omset maksimal 1 milyar, yang berarti usaha yang beromset Rp. 999 juta pun (nilai yang sangat besar dalam pandangan petani di perdesaan) dapat menikmati fasilitas kredit untuk usaha kecil dengan jumlah yang cukup besar (maksimum Rp 400 juta). Terlebih lagi kriteria BPPN yang mengkategorikan usaha kecil dengan maksimum kredit Rp 10 milyar. Departemen Koperasi dan PKM sendiri mematok kredit untuk usaha kecil maksimal Rp 5 milyar, sedangkan Bank Mandiri menggunakan nilai omset sebesar Rp 360 milyar sebagai patokan .
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
109
Dalam berbagai tulisan di media juga disebutkan bahwa pengusaha kerajinan dengan pendapatan antara satu hingga dua juta rupiah per bulan diklasifikasi juga sebagai pengusaha mikro. Lalu bagaimana dengan banyaknya penduduk perdesaan (khususnya di Kulonprogo) yang memiliki pendapatan maksimal Rp 500.000 per bulan, atau bahkan 25,1 persen penduduk Kulon Progo yang pendapatannya di bawah garis kemiskinan kabupaten senilai Rp 105.404,-? Tidakkah usaha 112.246 orang (penduduk miskin di Kulon Progo) kemudian dapat disebut sebagai usaha “super-mikro”? Bagaimana upaya penanggulangan kemiskinan dapat dikatakan berhasil apabila mereka yang diperhatikan dan diberdayakan bukanlah termasuk penduduk yang benar-benar miskin. Sejauh ini belum ada data-data akurat dari berbagai pengelola program sejauh mana penduduk miskin telah berkurang, kesejahteraannya telah membaik, atau pendapatan mereka telah meningkat setelah dikembangkannya program-program bermodel keuangan mikro di wilayah perdesaan atau perkotaan. Masalah lain yang dihadapi penduduk miskin adalah ketidakpercayaan akan kemampuan mereka sendiri untuk memanfaatkan sumber-sumber keuangan mikro yang telah disediakan. Di samping kearifan untuk tidak berkeinginan tergantung pada “utang” dari pihak luar, kenyataan ini sebetulnya juga menggambarkan betapa sistem keuangan mikro melalui program penanggulangan kemiskinan menjadi kurang relevan, kurang akrab, atau pendekatan yang mengiringi program tersebut kurang sesuai dengan ciri-ciri penduduk miskin. Pada kenyataannya mereka tetap memerlukan sumber pembiayaan, yang dipenuhi dengan meminjam saudara/tetangga, rumah-rumah gadai, atau perkumpulan arisan. Selain itu mereka pun tetap merasa “kekurangan dana”, berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dasar baik sehari-hari maupun insidental, misalnya untuk membayar sekolah anak, berobat, “sumbangan”, dan lain-lainnya. Secara tegas dinyatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang berhak untuk memanfaatkan sumber daya keuangan. Keadaan ini memberi pelajaran bahwa keuangan mikro tidak cukup hanya dikembangkan dengan pendekatan profesional (apalagi berorientasi pada pemupukan aset/omset), melainkan dengan pendekatan sosio-antropologis berbasis pada pemihakan dan perhatian tulus kepada penduduk miskin.
KEUANGAN MIKRO : BANKING FOR THE POOR ‘ALA KULON PROGO Komitmen pemerintah kabupaten Kulon Progo untuk mengembangkan lembaga keuangan mikro merupakan wujud dari “pengakuan” terhadap kekuatan, peran, dan potensi ekonomi rakyat di kabupaten yang berpenduduk 446.843 jiwa itu. Kebijakan untuk mengalokasikan dana cadangan APBD sebesar Rp 22 milyar, yang populer disebut Dana Cadangan Pemberdayaan Desa (DCPD), merupakan langkah awal pemihakan terhadap pelaku ekonomi mayoritas penduduk di wilayah perdesaan tersebut. Dalam kontek ekonomi-politik, pengembangan keuangan mikro dapat dimaknai sebagai salah satu metode “redistribusi pendapatan” dan model investasi ekonomi rakyat. Sudah sepantasnya bila anggaran daerah dialokasikan utamanya kepada upaya peningkatan kesejahteraan penduduk miskin, melalui pengalokasian dana ke seluruh desa di Kabupaten Kulon Progo. Politik anggaran ini diperlukan untuk mengimbangi tatanan/sistem keuangan yang masih belum sepenuhnya memihak pada penduduk miskin. Sebagai ilustrasi, data Bank Pasar Wates tahun 2002 menunjukkan bahwa dari total simpanan masyarakat di bank tersebut sebesar Rp 24,94 milyar, hanya sebesar Rp 8,40 milyar (atau senilai 33,7%)
110
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
yang disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat. Walaupun ada kenaikan besar dibanding alokasi kredit tahun 2001 yang hanya Rp 1,98 milyar, namun belum dapat dipastikan berapa persen yang dinikmati oleh pengusaha mikro karena pembagian kredit adalah sebesar Rp 1,25 milyar untuk pedagang, dan Rp 7,1 milyar untuk lainnya . Sementara data BRI menunjukkan bahwa nilai tabungan masyarakat di BRI Wates sebesar Rp 107 milyar hanya sebesar Rp 32,68 milyar (atau senilai 30,3%) yang disalurkan dalam bentuk Kredit Usaha Perdesaan (Kupedes). Nilai ini masih jauh lebih kecil dibanding rasio Kupedes dan total simpanan di BRI Gunungkidul (Wonosari) sebesar 61,3%. Sedangkan perbandingan nilai Kupedes dengan nilai Simpedes di BRI Kulon Progo hanya sebesar 36,37%, dengan nilai Simpedes dan Kupedes masing-masing adalah sebesar Rp 89,84 milyar dan Rp 32,68 milyar. Keadaan ini mungkin menjadi salah satu pendorong dikembangkannya lembaga keuangan mikro di Kabupaten Kulon Progo, seperti halnya Kredit Makarya yang baru saja digulirkan BPD Kulon Progo. Di sisi lain pengembangan lembaga keuangan mikro dapat dijadikan media bagi pengembangan model investasi ekonomi rakyat kabupaten Kulon Progo. Penduduk Kabupaten Kulon Progo sebagian besar tinggal di wilayah perdesaan dengan mata pencaharian pokok bertani. Sampai tahun 2002 PDRB Kulon Progo masih didominasi oleh sektor pertanian dengan nilai sumbangannya sebesar 38,42% dari total PDRB sebesar Rp 1.113,42 milyar (harga berlaku, 2002) . Investasi ekonomi rakyat di sektor pertanian perlu dikembangkan melalui penguatan modal dari berbagai sumber-sumber keuangan mikro karena sektor ini menjadi tumpuan ekonomi daerah yang menghidupi mayoritas penduduk dan lebih dapat dipercaya memajukan perekonomian yang dapat mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial. Pengembangan keuangan mikro diperlukan untuk membangun kekuatan ekonomi daerah Kulon Progo yang berbasis sumber daya lokal, kemandirian, dan keberlanjutan. Untuk itu dapat dipelajari kemungkinan pengembangan tiga model lembaga keuangan mikro yang lazim diterapkan di negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Model pertama adalah banking of the poor, yang mengupayakan pendanaan keuangan mikro dari anggota dan disalurkan ke anggota kelompok itu sendiri. Model ini telah dikembangkan dengan baik di beberapa desa di Kulon Progo melalui kelompokkelompok arisan simpan pinjam, IDT, dan Bandus, walaupun masa programnya sudah berakhir namun program-program tersebut masih dikembangkan masyarakat secara swadaya sampai sekarang. Model kedua adalah banking with the poor, dimana bank berusaha menyesuaikan kriteria perbankan dengan kelompok jika perlu disertai perantara seperti Lembaga Pendamping Usaha Mikro (LPUM). Model ini telah lama dikembangkan oleh banyak LSM seperti Bina Swadaya di beberapa wilayah di Indonesia. Sedangkan model ketiga adalah banking for the poor, yang melakukan penghimpunan dana dari pihak ketiga baik pemerintah, lembaga donor, yayasan, dan lain-lain untuk disalurkan kepada penduduk miskin (pelaku usaha mikro) . Pada awalnya program-program penanggulangsn kemiskinan seperti IDT, Takesra/Kukesra, dan PPK menggunakan model ini dengan menyalurkan dana dari APBN atau dari lembaga lain. Model ini yang pada awalnya juga akan dikembangkan oleh pemerintah Kabupaten Kulon Progo melalui alokasi dana APBD yang dipopulerkan dengan istilah “dana abadi: untuk pemberdayaan penduduk Kulon Progo.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
111
Masalah yang timbul adalah bagaimana menempatkan lembaga keuangan mikro yang baru di tengah maraknya model keuangan mikro utamanya dari program penanggulangan kemiskinan seperti PPK, IDT, atau program lain. Walaupun berbagai program tersebut memiliki lingkup berbeda dan keterbatasan yang dihadapi, namun memang perlu ada spesifikasi yang dapat dijadikan “positioning” bagi lembaga keuangan mikro yang akan dibentuk. Jangan sampai keberadaan LKM baru justru menjadi sumber masalah baru di masyarakat perdesaan, termasuk kekhawatiran akan tumbuhnya budaya “gali lobang tutup lobang” dalam berhutang karena banyaknya sumber keuangan yang dapat dijangkau. Selain itu tidak diperhatikannya pola-pola tradisional masyarakat dalam pengelolaan keuangan justru dapat menjauhkan keuangan mikro dari tujuan melayani penduduk miskin di perdesaan. Di Kulon Progo sendiri terdapat berbagai pola/sistem perguliran dana yang berbeda satu sama lain, baik menyangkut pola angsuran (bulanan/ musiman), maupun dalam hal penentuan alokasi (pemanfaatan) jasa/bunga pinjaman.
KEMISKINAN, EKONOMI KERAKYATAN DAN KEUANGAN MIKRO Penerapan ekonomi kerakyatan (demokrasi ekonomi) sebagai suatu sistem ekonomi yang memihak ekonomi rakyat dipercaya dapat dijadikan metode untuk menanggulangi kemiskinan. Dalam demokrasi ekonomi penduduk miskin diberi kesempatan untuk ikut berperan dalam setiap kegiatan atau program ekonomi, baik dalam proses perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Masalah yang biasanya muncul adalah timbulnya “gejala ketidakpercayaan” terhadap kemampuan penduduk miskin yang akhirnya menghambat upaya pemberdayaan terhadap mereka. Keadaan ini sebenarnya merupakan akibat dari tarik ulur kepentingan yang disebabkan juga oleh ketidakpercayaan di setiap level birokrasi pemerintahan. “gejala ketidakpercayaan” ini merupakan sisasisa warisan sistem politik-ekonomi sentralisme-otoriter Orde Baru yang dikembangkan atas dasar paradigma top-down. Pemerintah pusat tidak “sepenuh hati” percaya kepada kapasitas pemerintah kabupaten, yang juga menjadi “tidak percaya sepenuh hati” kepada level pemerintahan dibawahnya, baik tingkat kecamatan maupun desa dan dusun. Ujung-ujungnya adalah ketidakpercayaan setiap level pemerintahan tersebut terhadap kemampuan penduduk miskin di perdesaan untuk mengelola sumber daya baik sumberdaya alam maupun keuangan. Kenyataan ini mempengaruhi pertimbangan dalam penentuan lingkup pengelolaan lembaga keuangan mikro yang akan didirikan di Kabupaten Kulon Progo. Jika demokrasi ekonomi dipercaya dapat menjadi pilar pengembangan ekonomi rakyat maka berkaitan dengan lingkup pengelolaan keuangan mikro perlu diperhatikan beberapa acuan/kriteria dasar yang menjadi ciri penerapan demokrasi ekonomi. Pertama : kepercayaan kepada penduduk miskin, bahwa mereka mampu untuk tidak saja memanfaatkan sumber keuangan mikro namun juga sanggup untuk mengelolanya. Fakta-fakta menunjukkan bahwa penduduk miskin di beberapa perdesaan Kulon Progo sampai saat ini masih aktif mengelola dana IDT, Bandus, dan arisan simpan pinjam dengan nilai modal mencapi lima hingga tujuh juta rupiah, tanpa ada persoalan-persoalan (kemacetan) yang berarti. Berbagai masalah berkaitan dengan pengembalian pinjaman lebih disebabkan karena kinerja dan moralitas pengurus yang buruk, serta tidak sungguh-sungguhnya pengelola program dalam memberdayakan penduduk miskin.
112
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Kedua : akses yang luas kepada penduduk miskin untuk memanfaatkan sumber keuangan mikro yang tersedia. Masalah yang dihadapi penduduk miskin (termasuk di Kulon Progo) adalah relatif panjangnya prosedur dan jauhnya pusat layanan keuangan mikro sehingga sebagian mereka tidak dapat menjangkau manfaat dana tersebut. Mobilitas penduduk perdesaan yang mayoritas bekerja sebagai petani tradisional (semi-subsisten) relatif rendah sehingga pendekatan yang mungkin diterapkan adalah “pola jemput bola”, sebuah pendekatan yang sudah lazim dikembangkan oleh masyarakat perdesaan sendiri. Beragam sumber keuangan mikro ternyata bukan jaminan mudahnya akses bagi usaha mikro atau usaha “super-mikro” jika sistem atau polanya tidak didasarkan pada prinsip kedekatan layanan, prioritas penduduk miskin, dan penyesuaian terhadap tradisi sosial-ekonomi masyarakat perdesaan. Ketiga : kesempatan bagi penduduk perdesaan untuk melakukan pengawasan (kontrol) terhadap pengelolaan dan pencapaian tujuan lembaga keuangan mikro. Paradigma lama menitikberatkan pengawasan secara top-down, yaitu pengawasan dari level pemerintahan teratas hingga ke level yang paling bawah. Hal ini mendasari adanya pandangan bahwa lingkup pengelolaan keuangan mikro sebaiknya pada level yang memudahkan pengawasan oleh pemerintah kabupaten sehingga kinerja keuangan mikro dapat terus dipantau dan dievaluasi. Namun hal itu mengakibatkan minimnya kesempatan masyarakat perdesaan untuk ikut mengawasi pengelolaan keuangan mikro karena daya jangkau mereka yang menjadi terbatas. Pengalaman menunjukkan bahwa lemahnya kontrol masyarakat menjadi sebab utama terjadinya berbagai penyimpangan dalam penyaluran dan pengelolaan kredit mikro di perdesaan. Keempat : pengelolaan keuangan mikro dijiwai oleh semangat pemberdayaan untuk mencapai tujuan pemerataan, keadilan, dan efisiensi. Pemberdayaan penduduk miskin di perdesaan perlu dilakukan sehingga mereka dapat mengaktualisasikan peran dan potensi mereka dalam mengelola lembaga keuangan mikro. Penduduk miskin di perdesaan dapat diberdayakan melalui pelatihan dan pendampingan dengan tujuan agar mereka tidak saja dapat memanfaatkan namun juga mampu mengelola keuangan mikro. Tujuan pemerataan dan keadilan hanya dapat tercapai apabila ada kemauan (dan pemihakan) yang kuat untuk menjadikan penduduk miskin di perdesaan sebagai pelaku utama dan prioritas dalam pengambilan kebijakan. Beberapa nilai dasar demokrasi ekonomi tersebut merupakan pertimbangan utama dalam penentuan lingkup pengelolaan dan pola operasional lembaga keuangan mikro di Kulon Progo. Selama ini masih banyak anggapan dan pemahaman umum yang keliru tentang hakikat kemiskinan di seluruh dunia yaitu bahwa mereka menjadi miskin karena hambatan-hambatan budaya, kurang berusaha, agama yang tidak mendukung, tak bersemangat, atau hidup bermalas-malas. Anggapananggapan ini semuanya keliru. Yang benar, mereka yang dianggap dan nampak miskin itu sebenarnya adalah pekerja keras yang mampu menggunakan segala cara untuk bertahan hidup. Itulah cara-cara berekonomi dari rakyat, itulah ekonomi rakyat. Ekonomi rakyat adalah cara-cara rakyat memecahkan masalah ekonominya (solution), dan keliru sekali jika justru fakta dan cara-cara kerja mereka itu dianggap sebagai “masalah” dan “beban” ekonomi bangsa.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Mikro
113
Jika keuangan mikro dikembangkan untuk memberdayakan penduduk miskin maka pemerintah kabupaten perlu belajar dari mereka, dalam mengelola modal sosial yang mereka miliki. Pelaku ekonomi rakyat (usaha mikro penduduk miskin) di Kabupaten Kulon Progo memiliki modal sosial yang mendukung pengembangan keuangan mikro, yaitu berupa rasa tanggung jawab yang tinggi, solidaritas dan kegotongroyongan yang kental, serta tradisi sejarah yang panjang dalam mengembangkan sumber keuangan di perdesaan. Usaha mikro yang masih bertahan dan bahkan berkembang saat ini menunjukkan bahwa penduduk miskin memiliki pengalaman dan strategi sendiri dalam menghadapi setiap masalah hidup (survival strategy). Di samping itu, tingkat kesadaran yang tinggi akan pentingnya pendidikan bagi anak-anak mendorong masyarakat perdesaan di Kulon Progo untuk senantiasa mengupayakan cara guna memenuhi kebutuhan akan masa depan anak-anak mereka. Keuangan mikro harus dikembangkan dengan rasa empati terhadap keadaan dan semangat hidup penduduk miskin di Kulon Progo, dengan keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu jalan bagi upaya menanggulangi kemiskinan mereka. Tidak berlebihan jika Prof. Muhammad Yunus (pendiri Grammen Bank di Banglades) menggelorakan idealisme melalui ungkapannya : “suatu hari nanti anak cucu kita akan pergi ke musium dan belajar tentang kemiskinan dari sana”.
-oo0oo-
114
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB VII PERKOPERASIAN INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini akan dipaparkan kondisi dan permasalahan yang dihadapi perkoperasian Indonesia yang diharapkan oleh Para Pendiri Bangsa dapat menjadi sokoguru perekonomian Indonesia. Uraikan akan mengkombinasikan konteks makro nasional, dengan didukung hasil penelitian penulis perihal pengembangan ko-operasi di kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim, serta studi gagasan pengembangan Bursa Koperasi Indonesia. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan mendasar yang dihadapi perkoperasian Indonesia. Menganalisis dan menjelaskan sebab-sebab permasalahan dan memberikan alternative solusi bagi pengembangan perkoperasian Indonesia ke depan. Memiliki cara pikir (mindset) kebersamaan, kemandirian, dan peduli terhadap gerakan koperasi Indonesia Memberikan usulan inovatif bagi pemberdayaan koperasi Indonesia.
KONDISI DAN PERMASALAHAN KOPERASI Koperasi Indonesia hari ini selayaknya kebanyakan mushola di hotel berbintang, yang selalu terpojok di sudut-sudut ruang jauh dari pandangan. Selain terlalu minimnya kisah sukses bertaraf nasional, mungkin juga karena yang ada justru rapot merah dan selusin masalah yang selalu mencuat ke permukaan. Lihatlah misalnya betapa malang nasib ratusan KUD di Propinsi DIY yang “gulung tikar” karena ditinggal “bantuan pemerintah”. Pun, 25% dari .1.900 koperasi yang ada di Propinsi ini tinggallah “papan nama”-nya saja. Statistik nasional kiranya belum bercerita indah tentang koperasi. UMKM Indonesia pada tahun 2006 berjumlah 48,9 juta (99,9%), yang jika satu UMKM menghidupi 4 orang maka 198,8 juta orang
116
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Indonesia hidup dari UMKM! Hal ini kontras dengan jumlah anggota koperasi yang saat ini baru mencapai 29 juta orang. Ironis lagi melihat usaha kecil tersebut yang hanya menyumbang (menikmati) 37,6% ”kue produksi nasional” dibanding minoritas usaha besar (0,1%) yang menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama (naik 3,6% dibanding tahun 2003). Dapat diperkirakan yang disumbang (dinikmati) anggota koperasi Indonesia jauh lebih kecil lagi. SHU nasional koperasi pun baru sekitar Rp. 2,1 trilyun yang misalnya saja dibagi rata sebanyak jumlah anggota maka masing-masing hanya akan mendapat Rp 80.157,- per tahun!. Omzet koperasi nasional pada tahun yang sama juga baru sebesar Rp. 37,6 trilyun atau sebesar Rp. 1,4 juta per anggota per tahun. Lalu, atas sebab alamiahkah masih jauhnya keadaan koperasi dari cita-cita konstitusi; tersebut? Kiranya bukan, karena ekonomi Indonesia memang tidak berkembang secara alamiah, bahkan sampai hari ini. Bagaimana bisa?
AKAR PENYEBAB PERMASALAHAN KOPERASI Koperasi diperjuangkan para Pendiri Bangsa untuk mengoreksi ketimpangan struktural warisan sistem ekonomi kolonial di masa lalu. Pada waktu itu ekonomi rakyat (pribumi) berada di bawah hisapan kaum perantara (Timur Asing) dan Bangsa Eropa. Oleh karenanya, mereka yakin bahwa tegaknya sistem ekonomi nasional (sesuai Pasal 33 UUD 1945) adalah prasyarat tumbuh-kembangnya gerakan koperasi Indonesia. Kini kita menyaksikan betapa masih kukuhnya ketimpangan struktur ekonomi Indonesia hari ini. Lebih menyedihkan lagi karena lapisan atas ekonomi kita masih dikuasai ”penguasa lama”. Kenapa? Sekedar tahu saja, 70% kapitalisasi di Pasar Modal (BEJ) dikuasai oleh pemodal asing. Bukan hanya itu, korporasi asing pun sudah menguasai 85% pengelolaan migas Indonesia. Neokolonialisme ini seolah disempurnakan dengan dikuasainya lebih dari separuh perbankan di Indonesia (FRI, 2007). Keputusan yang menyangkut hajat hidup orang banyak kian ditentukan oleh orang-perorang (asing lagi). Tidak cukup tersedia lagi kebebasan untuk merancang masa depan sendiri. Kekuatan persamaan, kebersamaan, dan persaudaran manusia pun justru kian dikebiri. Dan ini adalah pukulan telak bagi gerakan koperasi! . Koperasi tidak mungkin tumbuh subur di atas lahan gersang akibat neokolonialisme. Lihatlah koperasi yang maju pesat di negara lain; seperti di Belanda, Italia, Norwegia, Swedia, Denmark, Spanyol, Inggris, dan masih banyak lagi di negara berbasis koperasi. Adakah ekonomi mereka tergantung pada bangsa lain? Adakah SDA mereka masih banyak dikuasai pemodal asing? Adakah mereka menelan mentah-mentah paham globalisme ekonomi (pasar bebas)? Jawabannya jelas: tidak! Kini siapa yang dapat diharapkan memikul kembali panji-panji demokrasi ekonomi yang diamanatkan konstitusi? Pemerintah dan DPR, alih-alih mengoreksi ketimpangan struktural ini, mereka justru telah menyediakan stempel bagi tegaknya hegemoni korporatokrasi (asing). Tahun lalu mereka mengesahkan Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman Modal yang makin memberi keleluasaan bagi pemodal asing untuk mengeruk kekayaan Indonesia. Rasanya ini adalah puncak prestasi (kemenangan) paham individualisme yang sampai kapanpun akan menjadi lawan koperasi.. Hingga kini pun pemerintah terus setia mengerjakan proyek privatisasi BUMN dan aset strategis nasional (air, migas, dan hutan) dan liberalisasi (perdagangan, pertanian, dan pendidikan). Bukankah itu
Perkoperasian Indonesia
117
semua hal yang sangat tidak boleh terjadi dalam alam pemikiran demokrasi ekonomi? Bagaimana dengan pegiat koperasi? Rasanya tidak perlu banyak komentar, kecuali atas kenyataan bahwa kebanyakan mereka ”mendiamkan” proses de-nasionalisasi dan korporatokrasi ini terjadi. Di bawah struktur ekonomi dan pemikiran warisan kolonial tersebut koperasi tidak dapat berkembang sewajarnya. Koperasi pun belum sepenuhnya mampu sekedar menandingi kapitalis kecil sekelas tengkulak, pengijon, dan rentenir yang masih menghantui rakyat kecil di banyak pelosok negeri. Kenapa? Lihatlah kebersatuan yang masih lemah di antara koperasi Indonesia. Koperasi terjebak pada fungsionalisme, di mana yang justru dikembangkan adalah koperasi karyawan, koperasi pegawai negeri, koperasi tentara, ataupun koperasi mahasiswa. Kelas-kelas ekonomi ini membangun sekat-sekat di antara mereka. Koperasi seperti ini jelas tidak akan pernah besar dan mampu menandingi kekuasaan (modal) korporasi. Terlalu banyak pemodal besar yang berpura-pura berkoperasi. Mereka membuat koperasi angkutan, koperasi taksi, dan koperasi lainnya yang lebih cocok disebut sebagai ”persekutuan majikan”. Koperasi Indonesia tidak akan berkembang di atas penyimpangan prinsip dan kepuran-puraan ini. Koperasi harus didasarkan pada basis yang jelas; entah itu secara sektoral maupun spasial. Lihatlah koperasi di negaranegara tadi. Bukankah di sana semua pelaku ekonomi yang terkait dalam mata rantai produksi, distribusi, dan konsumsi suatu komoditi terhimpun dalam koperasi? Bukankah di negara tersebut koperasi yang maju adalah koperasi susu, koperasi karet, koperasi listrik, koperasi kopi, koperasi kayu lapis, koperasi bunga, dan koperasi berbasis komoditi lainnya?. Misalnya juga lihatlah majunya koperasi berbasis wilayah (cooperative-regional) seperti wilayah berbasis koperasi dan industri manufaktu kecil di Emilia Rogmana, Italia atau koperasi wilayah yang berhasil mengintegrasikan sektor industri, pertanian, dan keuangan di Mondragon, Spanyol. Koperasi di Bologna, Emilia Rogmana mampu menguasai 85% distribusi jasa sosial di pusat kota, menguasai 45% PDRB, dan menghasilkan PDRB perkapita tertinggi di Italia. Di wilayah tersebut duapertiga penduduknya menjadi anggota koperasi, keputusan kredit dibuat di daerah, dan didukung University of Bologna yang berspesialisasi dalam Civil Economy and Cooperatives. Memang butuh kemauan besar dari pegiat koperasi, utamanya dari kalangan intelektual, untuk tidak terjebak pada eksklusifisme kelas (elitisme). Mereka, dan melalui gerakan koperasi, dapat mulai merajut kembali jaringan kebersamaan dan kebersatuan ekonomi.
ALTERNATIF JALAN KELUAR Upaya memperluas peran koperasi di masa depan perlu dibangun dari dua arah (atas dan bawah) secara simultan. Dari bawah dapat dilakukan dengan mengembangkan model daerah koperasi (cooperative-region). Daerah koperasi dibangun berdasarkan model kerjasama antarkoperasi dalam satu siklus ekonomi yang saling berkaitan di daerah tertentu (Kabupaten/Propinsi). Dalam hal ini misalnya dapat diambil koperasi tani (koperasi produksi) dan koperasi buruh (koperasi konsumsi) sebagai basis dan model awal, Di antara kedua koperasi tersebut dihubungkan dengan sebuah MoU, misalnya yang mengatur tentang pembelian beras, sayuran, dan buah-buahan.
118
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Berpijak dari pola-pola relasi demokratis antarkoperasi ini maka dapat dipetakan pola hubungan lain yang mungkin dalam satu daerah (wilayah), termasuk misalnya mengintegrasikannya dengan koperasi simpan pinjam ataupun lembaga keuangan yang lain. Peningkatan daya kerjasama (cooperativeness) ini diharapkan mampu meningkatkan peran koperasi dalam penguasaan produksi, distribusi, dan kepemilikan faktor-faktor produksi di daerah tersebut. Supaya terbangun kesamaan persepsi dan tujuan maka agenda ini kiranya dapat dirumuskan dengan indikator kinerja yang lebih terukur ke dalam suatu visi tertentu, misalnya: ”Indonesia In-Cooperative 2030”. Sebagai langkah lanjutan dapat dibangun juga kerjasama antardaerah koperasi atau antara daerah koperasi tertentu dengan daerah koperasi di luar negeri (Sister Cooperative City) seperti dengan Propinsi Emilia Romagna atau Mondragon. Hal ini tentu perlu didukung upaya-upaya sistematis untuk melawan neokolonialisme dan menegakkan sistem ekonomi yang nasionalistik, demokratis, dan berkeadilan sosial di tingkatan makro (nasional). Masa koperasi berjuang kiranya masih akan panjang. Mulailah dari impian seperti apa keberdayaan koperasi Indonesia pada tahun 2030 dan mari wujudkan dalam perjuangan nyata. Studi Kasus Hasil Penelitian:
MODEL PENGEMBANGAN KO‐OPERASI DI KABUPATEN PENAJAM, KALTIM 1.
Strategi Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan SDA: Kemitraan BUMN, BUMD, dan BUMDes
Kekayaan SDA dapat bermanfaat secara optimal bagi seluruh warga masyarakat di PPU apabila pihak daerah dapat terlibat dalam produksi dan pengelolaanya, bukan sekedar mendapat royalty, bagi hasil, atau program community development dari investor (perusahaan swasta) yang menggarapnya. Hal ini pun sesuai amanat konstitusi (Pasal 33 ayat 2 dan 3) di mana cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara. Dalam hal ini negera tentunya bukan sekedar Pemerintah Pusat, melainkan juga Pemerintah Daerah dan juga sampai ke Pemerintah Desa. Kabupaten PPU yang kaya akan kandungan minyak, gas, batubara, emas, dan hutan sudah sepantasnya mempunyai badan usaha (BUMD) yang kuat dan tangguh, yang jika bermitra dengan BUMN dan juga mengikutsertakan partisipasi desa akan menjadi pilar pembangun daerah PPU ke depan. Kemitraan antara BUMN, BUMD, dan BUMDes ini dapat memecahkan persoalan keterbatasan modal, teknologi, tenaga ahli, SDM, dan dukungan masyarakat luas dalam pengelolaan SDA secara mandiri (berdaulat). Tidak perlu lagi tergantung pada perusahaan tambang swasta domestik dan asing karena semua faktor produksi yang diperlukan pada dasarnya tersedia baik di dalam daerah PPU, Kaltim, maupun di lingkup Indonesia. Disain model aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan SDA selengkapnya dapat dilihat dalam bagan di bawah ini:
Perkoperasian Indonesia
Teknologi, Modal, Ahli
119
BUMN
Modal, SDM, Lahan
Pertamina, PLN, Antam, Bank Migas, Emas, Hutan, batubara,
SDA BUMD
BUMDes
Kegiatan Pendukung, SDM, Lahan
Gambar 7.1 Model Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan SDA Secara teknis-operasional pola kemitraan antarbadan usaha Negara ini dapat diterapkan, meskipun sangat tergantung pada faktor kemauan dan keberanian politik dari pucuk pimpinan nasional dan daerah. Sudah 64 tahun merdeka maka sepantasnyalah bangsa kita mampu mengelola SDA secara mandiri dan tidak tergantung pada kekuatan dari luar negeri. Yang diperlukan adalah langkah permulaan (pioneer) yang dalam hal ini Kabupaten PPU dapat melakukannya dengan menggunakan model yang ada. Tentu saja ini merupakan rencana besar daerah, dan bahkan rencana besar nasional, maka Pemerintah Daerah PPU dapat mulai menjajagi kemungkinan ini dengan melalukan pembicaraan serius dengan Pertamina, Aneka Tambang, Pemdes lokasi tambang/hutan. BNI/BRI/Mandiri, Bank Kaltim, dan bank setempat lainnya. Untuk merealisasikan strategi ini maka dapat ditempuh beberapa langkah sebagai berikut: 1). Moratorium (penghentian) pemberian ijin pelepasan tambang atau hutan baru bagi perusahaan swasta 2). Menyusun Rencana Bisnis berdasar peta potensi yang ada dan mengkonsultasikannya kepada publik (masyarakat desa) secara luas untuk memperoleh dukungan dan partisipasi ketika rencana tersebut disetujui dan dijalankan. 3). Melakukan penjajagan kerjasama dengan BUMN sepertihalnya Pertamina, PLN, Aneka Tambang, dan Perbankan Nasional, Bank Kaltim, serta BUMD daerah tetangga. Jika memungkinkan ini dapat menjadi Rencana Bisnis Kawasan (Kaltim), sehingga untuk lingkup Kaltim cukup dibentuk satu BUMD. 4). Berkomitmen untuk tidak lagi memperpanjang ijin (kontrak) perusahaan tambang/hutan swasta yang telah usai HGU (ijin operasional usahanya). 5). Melakukan negosiasi dengan perusahaan swasta untuk dapat meningkatkan partisipasi daerah dan masyarakat dalam proses produksi dan pengelolaan pertambangan/kehutanan. 6). Menyiapkan ujicoba aplikasi model ini dalam skala usaha (areal) kecil) dan dengan moitoring dan evaluasi yang baik diharapkan dapat segera direplikasi untuk lingkup yang lebih luas.
120
2.
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Strategi Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan Perusahaan:
Kemitraan Koperasi Produksi, Keuangan, dan Pasar (Perdagangan) Tanpa perlu menunggu realisasi penataan kembali pengelolaan SDA di atas, maka perusahaan ekonomi rakyat, yang terhimpin dalam koperasi, dapat berperan penting dalam mendorong aplikasi ekonomi kerakyatan di PPU. Dalam studi kasus koperasi di beberapa desa (kecamatan) di PPU terlihat bahwa belum terbangun kemitraan yang solid di antara koperasi dengan jenis yang berbeda. Tiap-tiap koperasi masih jalan sendiri-sendiri, sehingga jalan dengan apa adanya (tidak mampu besar) dan tidak mampu menandingi kekuatan perusahaan swasta besar yang ada. Aplikasi ekonomi kerakyatan di PPU dengan begitu dapat dimulai juga dengan membangun kemitraan di antara koperasi produksi (sepertihalnya koperasi pertanian, perikanan, peternakan, KUD), dengan koperasi simpan pinjam (KSP, BMT), dan koperasi perdagangan (koperasi pasar, serba usaha, KPN, dan koperasi berbasis sekolah). Selengkapnya alur dan model kemitraan dapat dilihat di dalam bagan berikut ini:
Kop. Pertanian, Kop. Perikanan,
PASAR (PERDAGANGAN)
Kop. Perdagangan, Kop. Pasar, KSU, KPN,
Sekolah
SEKRA PRODUKSI
KEUANGAN
KSP, BMT,
Gambar 72 Model Kemitraan Koperasi di Dalam dan Lintas Kecamatan Kemitraan bertumpu pada tiga aspek kegiatan ekonomi dasar, yaitu produksi, distribusi, dan keuangan. Kebutuhan kredit koperasi produksi dapat diambilkan dari koperasi simpan pinjam, demikian sebaliknya kebutuhan penambahan nasabah KSP diambilkan dari anggota koperasi produksi. Kebutuhan kredit juga dapat berupa kredit pemasaran dan perdagangan yang dalam hal ini dapat dikerjasamakan dengan anggota koperasi perdagangan (pasar). Untuk merealisasikan pola kemitraan ini maka terlebih dahulu perlu dibentuk semacam Tim Bersama (Tim Koordinasi), yang kami sebut dengan Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra) yang merupakan perwakilan dari ketiga jenis koperasi dengan tugas untuk mengkoordinasikan kegiatan
Perkoperasian Indonesia
121
ekonomi dan kebutuhan tiap-tiap jenis koperasi dan mengatur pola-pola kerjasama produksi, penjualan, dan pembiayaan melalui penyiapan dokumen-dokumen tertulis (MoU). Pola kemitraan ketiga jenis koperasi ini dapat diterapkan dalam satu wilayah kecamatan maupun antar (lintas) kecamatan, disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan yang berkembang. Realisasi strategi ini dapat dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut: 1). Mengumpulkan fungsionaris koperasi di satu lingkup kecamatan dan sekitarnya yang mewakili dari ketiga jenis koperasi tersebut untuk berdiskusi tentang rencana kemitraan dan rencana usaha bersama. 2). Membentuk pengurus Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra) yang mewakili dari ketiga jenis koperasi, yang selanjutnya pengurus ini akan menyusun rencana kerja bersama dan pola kemitraan yang akan diterapkan. 3). Mengadakan pelatihan bagi pengurus Sekra tentang bagaimana model-model usaha bersama koperasi, tata kelola organisasi, dan manajemen jaringan. 4). Melakukan pertemuan, monitoring , dan evaluasi berkala terhadap rencana dan hasil-hasil kerja bersama di dalam pola kemitraan Sekra.
3.
Strategi Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan Sektor Usaha Rakyat
Strategi aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengelolaan sektor usaha rakyat disesuaiakn dengan karakteristik wilayah (kecamatan) beserta potensi usaha masing-masing. Sebagai contoh model dapat disampaikan strategi untuk yiap-tiap kecamatan di PPU sebagai berikut: a.
Pola Kemitraan Produksi dan Pemasaran Agribisnis di Kecamatan Babulu Kecamatan Babulu merupakan sentra penghasil tanaman palawija (jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah) di Kabupaten PPU. Oleh karena itu aplikasi ekonomi kerakyatan dapat ditumpukan pada pengembangan sektor agribisnis yang melibatkan mayoritas petani di Kecamatan tersebut. Model aplikasi diarahkan pada bagaimana membangun kemitraan diantara parapihak di sektor agribisnis, mulai dari aspek pembiayaan, penanaman, pengolahan, industrialisasi, sampai dengan pemasaran baik di dalam maupun luar kecamatan dan daerah PPU. Model ini terbagi ke dalam tiga elemen inti, yang meliputi: 1). Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra) Agribisnis Sekra Agribisnis ini dapat berupa Sekra yang sama dengan yang sudah muncul dalam bahasan awal perihal kemitraan koperasi atau merupakan konsep (disain) baru sekiranya diperlukan dalam konteks di Kecamatan Babulu. Sekra merupakan disain (lembaga) penghubung antara aspek produksi (budidaya dan pengolahan) palawija dengan aspek pembiayaan (permodalan/keuangan), dan aspek pemasaran, yang tidak selalu dapat dikerjakan di dalam satu kelembagaan. Sekra secara kelembagaan dikelola oleh beberapa orang yang merupakan perwakilan dari ketiga aspek penting dalam mata rantai agribisnis tersebut. Sekra bertugas untuk mengawal dan memastikan bahwa agribisnis yang dikembangkan tetap bertumpu pada prinsip-prinsip dan konsep ekonomi kerakyatan. 2). Sentra Agroindustri Pada Kecamatan Babulu perlu disiapkan berbagai kebutuhan (sarana-prasarana) yang mengarah pada pengembangan industri berbasis komoditas pertanian. Berbagai hasil tanaman pangan (palawija)
122
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi sebagian (besar) dapat diolah terlebih dahulu menggunakan berbagai teknologi pangan, sehingga dapat meningkatkan nilai tambah yang diterima oleh petani di Kecamatan Babulu. Pemerintah Daerah dapat membantu menyiapkan pabrik-pabrik mini pengolahan aneka palawija tersebut, disertai dengan pelatihan dan pendampingan teknis pemanfaatan teknologi tersebut. Sentra ini dikelola oleh Sekra Kecamatan Babulu.
3). Klinik Agrofinance Sebagai pendukung bagi kelangsungan proses produksi tanaman palawija maka diantara berbagai lembaga keuangan yang beroperasi di Kecamatan Babulu dapat memposisikan dan menghimpun diri sebagai lembaga keuangan pertanian. Dengen keberadaan klinik agrofinance yang dapat terdiri dari KSP, BPD, BRI, dan Bank Ibadurahman ini maka diharapkan petani tidak kesulitan lagi dalam memenuhi kebutuhan saprotan mereka. 4). Terminal Agribisnis Guna mendekatkan hasil produksi (olahan) pertanian pada konsumen (pasar) maka dapat dibangun disain Terminal Agribisnis, yang dapat berlokasi di Kecamatan Babulu, Pusat Kota Penajam Paser Utara, maupun juga di Balikpapan. Terminal Agribisnis ini akan menampung semua hasil produksi dari sentra agroindustri kecamatan Babulu. Terminal Agribisnis ini dikelola oleh Sekra Kecamatan Babulu bekerjasama dengan Sekra Kabupaten PPU dan Dinas (instansi) terkait. Selengkapnya model pengembangan agribisnis berbasis ekonomi kerakyatan ini dapat dilihat di bagan berikut ini:
TERMINAL AGRIBISNIS
Pasar, Outlet, Supermar ket, dll
Balikpa pan
SEKRA Agribisnis
KLINIK AGROFI NANCE
SENTRA AGROIN DUSTRI
Komoditi/ Palawija
Pangan Olahan
KSP, BPD, BRI, Ibadurahman
Gambar 7.3 Model Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengelolaan Komoditi Agribisnis di Kecamatan Babulu
Perkoperasian Indonesia
123
Sebagai penunjang pengembangan Terminal Agribisnis maka pemasaran hasil produksi sentra agroindustri dapat dilakukan melalui pasar-pasar setempat, warung (outlet), supermarket lokal, dan sebagian dapat langsung dijual ke Balikpapan. Pemasaran dapat pula dikerjasamakan dengan nasabah (pedagang) lembaga keuangan yang tergabung dalam klinik agrofinance. Langkah-langkah yang perlu ditempuh untuk merealisasikan model ini adalah sebagai berikut: 1). Mengumpulkan parapihak terkait dengan sosialisasi rencana pengembangan agribisnis berbasis ekonomi kerakyatan di Kecamatan Babulu, khususnya dari lembaga produksi (kelompok/koperasi tani) dan lembaga keuangan setempat. 2). Membentuk Sekra Agribisnis yang merupakan perwakilan dari lembaga-lembaga terkait yang akan bertugas mengkoordinasi penyiapan dan pengembangan sentra agroindustri dan klinik agrofinance di Kecamatan Babulu, yang sebelumnya dibekali pelatihan konsep dan aplikasi ekonomi kerakyatan. 3). Menggalakkan pelatihan pengolahan tanaman pangan dengan memanfaatkan teknologi yang ada dan mengembangkan industri rumah tangga (kecil), sebagai modalitas dalam pengembangan sentra agroindustri. 4). Membentuk dan mensosialisasikan Klinik Agrofinance yang akan melayani kredit saprotan dan kredit pemasaran bagi petani Babulu yang dikoordinir oleh Sekra Agribisnis. 5). Menyiapkan, membangun, dan mensosialisasikan Terminal Agribisnis yang dikelola oleh Sekra sebagai pasar (outlet) menampung hasil produksi sentra agroindustri yang diperlukan oleh masyarakat PPU. 6). Operasionalisasi model pada komoditi-komoditi spesifik sepertihalnya jagung, ubi kayu, kelapa, kelapa sawit, dan berbagai komoditi lainnya.
b.
Pola Kemitraan Dalam Pengembangan Agro-Peternakan Di Kecamatan Sepaku
Kecamatan Sepaku merupakan wilayah pusat budidaya peternakan sapi potong di PPU yang juga bergiat di bidang pertanian tanaman pangan, dan menjadi sentra perkebunan (karet) dan rempah-rempah (lada). Dalam hal ini model akan dikhususkan pada pengembangan keterkaitan antara sektor peternakan (sapi potong) dan sektor agrobisnis (agroindustri) di Kecamatan Sepaku. Oleh karena posisinya sebagai sentra ternak sapi potong, maka keberadaan Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra) akan berbasis peternakan. Sekra Peternakan Sepaku ini akan mengembangkan kemitraan antara lembaga-lembaga pegiat agroindustri dengan lembaga keuangan dan lembaga perdagangan (pasar), baik di dalam maupun luar Kecamatan Sepaku. Oleh karenanya Sekra merupakan perwakilan dari Koperasi Ternak, KTNA, Koperasi Simpan Pinjam, Perbankan Lokal, dan Koperasi Perdagangan (Koppas). Wujud kemitraan adalah dalam hal hormonisasi antara input dan luaran kegiatan ekonomi semisal, luaran ternak sapi potong berupa pupuk kandang sebagai input bagi budidaya agribisnis dan agroindustri. Sebaliknya luaran budidaya pertanian tersebut berupa limbah tanaman akan menjadi input berupa pakan bagi sektor peternakan sapi potong. Berdasar pola ini maka dapat dikembangkan industri pupuk organik dan industri pakan ternak yang akan menopang kegiatan masing-masing sektor, lembaga, dan pelaku ekonomi rakyatnya. Keberadaan lembaga keuangan sebagai bagian dari pola kemitraan di dalam Sekra diperlukan untuk mendukung
124
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
pembiayaan bagi rencana pengembangan kedua industri tersebut dan keperluan budidaya (saprodi) dan pemasaran di kedua sektor. Selengkapnya model ini dapat dilihan di bagan berikut ini: PASAR Industri Pakan
Kop. Ternak & KTNA, KSP, Koppas
Industri Pupuk
SEKRA Peternakan
AGROIN DUSTRI
LEMBAGA KEUANGAN
Gambar 7.4 Model Aplikasi Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Agro-Peternakan di Kecamatan Sepaku Penjualan hasil ternak dilakukan melalui pasar hewan setempat dan disalurkan juga melalui kerjasama dengan koperasi pasar (perdagangan), KSU, Koperasi Karyawan, dan KPN di luar wilayah Kecamatan Sepaku. Pemasaran ini juga di bawah koordinasi Sekra Peternakan Sepaku. Langkah-langkah dalam mengembangkan Pola Kemitraan dalam pengembangan agro-peternakan di Kecamatan Sepaku selengkapnya adalah sebagai berikut: 1). Mempertemukan parapihak terkait dalam pengembangan agro-peternakan di Kecamatan Sepaku, khususnya kelembagaan produksi, keuangan, dan perdagangan yang ada untuk mendisain Pola Kemitraan dalam usaha mereka dan perencanaan pembentukan Sekra Peternakan Sepaku. 2). Pembentukan Sekra Peternakan Sepaku dan mempersiapkan pengembangan industri (pabrik mini) pupuk organik dan pakan ternak berikut rencana budidaya ternak dan pemasarannya. 3). Penyelenggaraan pelatihan teknik pembuatan pupuk organik (dari kotoran sapi) dan pembuatan pakan ternak dari limbah tanaman (jagung, jerami) dan pelatihan konsep dan aplikasi ekonomi kerakyatan bagi pengurus Sekra. a.
Pola Kemitraan Dalam Pengembangan Perikanan di Kecamatan Waru Kecamatan Waru merupakan salah satu sentra perikanan laut di Kabupaten PPU. Oleh karenanya, aplikasi ekonomi kerakyatan dapat dimulai dari pengembangan pola kemitraan dalam pengembangan sektor perikanan tersebut. Sebagai elemen inti dalam aplikasi ekonomi kerakyatan melalui keberadaan Sekra Perikanan Waru ini adalah koperasi nelayan (aspek produksi/budidaya), koperasi simpan pinjam (aspek permodalan), dan koperasi pasar, KSU, Kopkar, dan KPN (aspek distribusi dan konsumsi). Selain menjual ikan laut segar melalui TPI yang dapat dikelola oleh Sekra Perikanan ini, diharapkan nelayan dapat menguasai teknologi pengolahan ikan sehingga dapat dipasarkan secara lebih
Perkoperasian Indonesia
125
luas dan waktu lebih panjang. Untuk menampung hasil ikan olahan nelayan ini maka Sekra dapat merancang beberapa outlet distribusi baik di dalam Kecamatan Waru, di pusat Kota Penajam, maupun di Kota Balikpapan. Selengkapnya model aplikasi ekonomi kerakyatan di sektor perikanan ini dapat dilihat dalam bagan di bawah ini: PASAR
Kop. Pasar, KSU, KPN, Outlet
Kop. Nelayan KSP, BPD, BRI
SEKRA Perikanan
Budidaya & Pengolahan
LEMBAGA KEUANGAN
Gambar 7.5 Sub Model: Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Perikanan di Kecamatan Waru Langkah-langkah yang perlu ditempuh dalam mewujudkan pola ini adalah sebagai berikut: 1). Pertemuan parapihak sektor perikanan di Kecamatan Waru, khususnya Koperasi Nelayan, KSP, perbankan lokal, koperasi serba usaha, KPN, dan koperasi Pasar guna merancang model aplikasi ekonomi kerakyatan di sektor perikanan melalui disain Sekra Perikanan. 2). Pembentukan Sekra Perikanan yang mewakili ketiga pihak yang akan bermitra dengan tugas melakukan koordinasi aplikasi ekonomi kerakyatan mulai dari budidaya, pengolahan, sampai dengan pemasaran. 3). Memberikan pelatihan bagi pengurus Sekra dalam konsep, aplikasi, dan tata kelola ekonomi kerakyatan di sektor perikanan dan pelatihan bagi koperasi nelayan dalam hal pengembangan usaha, penjualan, teknik pengolahan ikan, dan manajemen. 4). Menyiapkan dan membangun (mencari mitra) beberapa outlet untuk menampung hasil olahan dari ikan laut nelayan di dalam dan luar kecamatan.
c.
Pola Kemitraan dalam Pengembangan Ekowisata di Kecamatan Penajam
Kecamatan Penajam merupakan salah satu pusat wisata alam (pantai) yang sudah sering dikunjungi wisatawan di Kabupaten PPU. Kecamatan ini secara khusus dapat dijadikan sebagai model aplikasi ekonomi kerakyatan di sektor ekowisata yang melibatkan masyarakat Penajam secara luas. Kegiatan usaha ekowisata ini dapat melibatkan berbagai lembaga sosial-ekonomi, khususnya koperasi yang ada sepertihalnya KUD, KSU, Koperasi Pertanian, Koperasi Perindustrian, dan tentu saja Koperasi Nelayan. Berbagai elemen inti ini dapat mengembangkan ekowisata dengan dukungan penyediaan berbagai pangan lokal, kerajinan khas, dan atraksi budaya setempat. Berbagai usaha pendukung inilah yang diharapkan dapat terus berkembang dan menjadi alternatif sumber penghidupan bagi masyarakat daerah
126
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
wisata di Kecamatan Penajam. Selengkapnya model aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengembangan ekowisata dapat dilihat dalam bagan di bawah ini: BUDAYA PPU
Pasar (Dalam/Luar Daerah)
SEKR Ekowisata PANGAN LOKAL PPU
KERAJINAN KHAS PPU
KUD, KSP, KSU, Kop. Pertanian, Kop. Perindustrian, Kop. Nelayan
Gambar 7.6 Model Ekonomi Kerakyatan Dalam Pengembangan Ekowisata di Kecamatan Penajam Sebagai perekat dari berbagai elemen tersebut maka diperlukan keberadaan Sekra Ekowisata yang juga bertugas untuk mengkoordinasi dan mengelola berbagai kegiatan usaha yang terkait dengan pengembangan ekowisata berbasis ekonomi kerakyatan. Pengelola Sekra merupakan perwakilan dari tiaptiap koperasi yang terkait dengan usaha ekowisata. Langkah-langkah dalam mengembangkan ekowisata ini adalah sebagai berikut: 1). Mempertemukan dan menjalin kesepakatan antarpihak (koperasi) yang terkait dalam pengembangan ekowisata di Kecamatan Penajam dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata melalui Sekra Ekowisata. 2). Membentuk Sekra Ekowisata dan menyusun rencana usaha pengembangan ekowisata, baik dalam hal penyediaan aneka pangan lokal, kerajinan, dan budaya setempat, termasuk dalam hal pembiayaan dan pemasarannya. 3). Menyelanggarakan pelatihan aplikasi ekonomi kerakyatan dalam pengembangan ekowisata bagi pengurus Sekra dan pelatihan pengolahan pangan, pembuatan aneka kerajinan bagi anggota koperasi yang terlibat di daerah ekowisata. 4). Memasarkan objek wisata melalui berbagai media yang dapat diakses Sekra Ekowisata baik kepada calon konsumen dalam Penajam maupun dari luar daerah. Studi Gagasan:
PENDIRIAN BURSA KOPERASI INDONESIA Open lecture Ekonomi Kerakyatan saya di Universitas Mercu Buana Yogyakarta mulai menampakkan sinar terangnya. Salah satu mahasiswa mengirimkan komentar yang sungguh sejalan dengan yang saya pikirkan selama ini tentang "Bursa Ko-operasi". Sepanjang perjalanan riset saya
Perkoperasian Indonesia
127
memang fenomena yang menonjol adalah terjadinya kontradiksi di antara organisasi ekonomi rakyat itu sendiri. Sebuah koperasi rakyat di Putat, Gunungkidul berhasil menghimpun kapital demikian besarnya (aset mencapai 7 milyar) tapi stagnan dalam inovasi bisnisnya, sementara begitu banyak koperasi kecil di desa sekitar penuh dengan mimpi-mimpi dan solusi bisnis tetapi miskin dalam penguasaan kapitalnya. Bahkan di antara mereka hanya terpaut jarak 3 km ataupun 15 menit perjalanan yang begitu terjangkau. Tetapi sungguh jarak kemajuan dan kesadaran demikian menganga lebarnya. Banyak koperasi zonder kooperasi. Pemerintah, perbankan, dan LSM dalam dan luar negeri kiranya masih abai dengan situasi ini. Walhasil berbagai program pembangunan dan pemberdayaan selalu identik dengan penetrasi modal (utang) baru dari luar teritori dan kelembagaan yang sudah sarat dengan sumber daya tersebut. Akibatnya kemudian, kebersatuan ekonomi di antara organisasi rakyat terus lemah, ketergantungan finansial masih besar, kepasrahan atas pengaruh luar yang kuat, dan rakyat banyak terus saja membiayai kemakmuran yang dikecap oleh elit-elit korporasi di kota besar. Hari ini hampir susah dijumpai satu desa yang bebas dari skim generik Pemerintah Pusat dan Bank Dunia melalui utang-utang lunaknya di berbagai program yang ada. Padahal sudah sejak lama desa dan kota-kota di sekitarnya penuh dengan para cerdik pandai, teknologi tepat guna, innovator, kapital, dan konsep-konsep yang sesuai dengan kearifan lokal. Padahal, bingkai NKRI bukan berarti selalu tergantung pada apa yang datang dari Jakarta, apalagi yang diprakarsai oleh segelintir elit di luar negeri. Lebih dari itu NKRI harus dibangun dengan kemauan kuat untuk berdiri di atas kaki sendiri. Kini jelas muasal dari ketertinggalan ekonomi rakyat dan koperasi yaitu lemahnya keterhubungan dan redupnya kesadaran yang memperlambat penguasaan atas pengetahuan dan teknologi. Di sinilah relevansi konsep Bursa Ko-operasi Yogyakarta (Buky), sebagai alat persatuan di antara koperasi sejati (koperasi rakyat) yang berjuang untuk kemandirian ekonomi. Bursa ini akan menjadi lalu lintas modal, keahlian, pendidikan, dan kemitraan di antara mereka. Pada akhirnya mereka mampu duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi dengan berbagai kekuatan dan kepentingan manapun, sehingga tidak lagi lemah dan tereksploitasi. Berdirinya bursa sebagai alternatif Bursa Efek Indonesia ini pada setiap wilayah hendaknya buah dari kesadaran koperasi rakyat, sehingga inisiasi dan pengelolaannya dilakukan secara kolektif dengan melibatkan berbagai jenis koperasi rakyat yang ada. Terminologi koperasi rakyat disini saya gunakan untuk membedakan dengan koperasi semu yang tak lebih dari “persekutuan majikan”, yang berkembang pesat akhir-akhir ini. Manajemen operasional bursa dapat diserahkan kepada para professional aktivis yang sungguh-sungguh menaruh hati bagi kedigdayaan koperasi Indonesia. Pada awalnya bursa ini dapat didirikan di Yogyakarta dengan fasilitasi perguruan tinggi, Dekopinda, dan organisasi independen pengemban amanat ekonomi konstitusi sepertihalnya Mubyarto Institute dan Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sekra). Berbagai elemen fasilitator awal inilah yang akan memikul tugas mulia untuk menjadi konektor di antara koperasi rakyat yang selanjutnya akan menjadi tulang punggung maju mundurnya Bursa Ko-operasi Yogyakarta.
128
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Sebagai pilot project dapat diawali dengan perintisan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta (Bukopy). Hal ini sejalan dengan temuan studi di mana muasal dari ketertinggalan koperasi pasar di Propinsi DIY adalah lemahnya keterhubungan antarkoperasi pasar yang memperlambat penguasaan atas kapital, pengetahuan, dan teknologi. Bukopy akan menjadi media pertukaran (lalu lintas) keanggotaan, modal, keahlian, pendidikan/pelatihan, dan informasi antarkoperasi pasar di Propinsi DIY. Ia akan menjadi media mempererat persatuan, kerjasama, dan solidaritas (tolong-menolong) dan media pendorong kemajuan (progresivitas) lembaga, usaha, dan anggota koperasi pasar. Mekanisme kerja Bukopy dapat digambarkan sebagai berikut: 1. 2. 3.
4.
5.
Rekruitmen calon pengelola dan relawan (volunteer) Bukopy yang akan memobilisasi kemanfaatan Bursa baik melalui media virtual (online) maupun manual (interaksi langsung). Pengiriman penawaran (offering) kepada seluruh koperasi dan pra-koperasi di Yogyakarta untuk menjadi pengguna (user) Bukopy beserta syarat dan ketentuannya. Pembuatan server atau sistem informasi (program/software) untuk mensirkulasikan potensi dan kebutuhan koperasi yang sudah terdaftar (listed) di Bukopy yang dapat terhubung (online) dengan jaringan komputer koperasi user dan dapat di akses juga secara manual. Pengumpulan, pelengkapan, dan pemuatan content database koperasi yang sudah listing di Bukopy yang memuat potensi dan kebutuhan keanggotaan, modal, keahlian, dan rencana kemitraan (kerjasama). Manajemen media virtual dan manual, serta perluasan kegunaan Bukopy bagi sebanyak mungkin koperasi pasar di Propinsi DIY.
Koperasi pasar yang akan memanfaatkan jasa dan menjadi anggota (listing) di Bukopy harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1. 2.
3.
Berkomitmen untuk memperkuat solidaritas, saling menolong, dan bekerjasama di antara sesama koperasi pasar untuk mengangkat harkat dan martabat bersama pelaku pasar tradisional. Bersedia mengirimkan dan meng-update informasi umum kondisi koperasi khususnya dalam hal potensi (kelebihan) keuangan/permodalan, penguasaan keahlian (Ipteks), dan potensi kemitraan usaha. Bersedia menyisihkan sebagian laba yang ditimbulkan dari kegiatan (transaksi) melalui Bukopy untuk mendukung operasionalisasi dan peningkatan layanan Bursa
Dalam perkembangan selanjutnya Bukopy ini dapat mentransformasi dirinya untuk juga melayani koperasi rakyat yang lain di Propinsi DIY. Disain model ini dapat diilustrasikan dalam gambar di bawah ini:
Perkoperasian Indonesia
129
Koppas
A Koppas
Koppas
A
B Bukopy
Koppas
Koppas
E
C Koppas
D
Gambar 7.7 Model Pengembangan Bursa Koperasi Pasar Yogyakarta
-oo0oo-
130
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB VIII PENGELOLAAN BUMN DAN BUMD
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan berbagai kondisi dan permasalahan dalam pengelolaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang menjadi pilar perekonomian Indonesia. Dipaparkan juga perihal demokratisasi BUMN/BUMD dan berbagai model pengembangan BUMN/BUMD yang dilengkapi dengan hasil penelitian penulisan tentang pengembangan usaha PDAM Kabupaten Madiun. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan mendasar yang dihadapi BUMN/BUMD di Indonesia. Menganalisis dan menjelaskan sebab-sebab permasalahan dan memberikan alternatif solusi bagi demokratisasi dan pengembangan BUMN/BUMD Indonesia ke depan. Memiliki cara pikir (mindset) kritis-konstruktif dan kebangsaan untuk turut menjaga BUMN/BUMD sebagai aset strategis bangsa. Memberikan usulan inovatif bagi demokratisasi dan pengembangan BUMN/BUMD di Indonesia.
KONDISI DAN PERMASALAHAN: PRIVATISASI BUMN Dalam pemahaman pemerintah selama ini, seperti yang tertuang dalam UU BUMN, privatisasi berarti menjual BUMN, utamanya melalui penawaran perdana (IPO) di pasar modal maupun stategic sales (SS) kepada investor swasta. Pemerintah berargumen bahwa privatisasi perlu dilakukan untuk menutup defisit anggaran. Beragam teori ekonomi lain kemudian dijadikan pelengkap rasionalisasi. Privatisasi dipercaya sebagai jalan menghilangkan intervensi politik (birokrasi negara) terhadap BUMN. Privatisasi juga dianggap cara yang paling ampuh untuk menyehatkan dan meningkatkan kinerja (efisiensi) BUMN. Kisah privatisasi di negara lain pun sering dijadikan rujukan.
132
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Dua fakta dapat memperjelas ujung-pangkal privatisasi. Pertama, privatisasi BUMN Indonesia – dan di negara lain- berpangkal pada agenda Konsensus Washington yang dimotori IMF dan Bank Dunia. Persis misalnya privatisasi di Bangladesh, Ghana, Gambia, dan Jamaica yang disponsori oleh USAID (Patriadi, 2003). Kedua, privatisasi BUMN Indonesia berujung pada asingisasi. PT Indosat dan PT Telkomsel sebagian (besar) sahamnya dikuasai STTC dan Singtel, keduanya adalah BUMN milik Pemerintah Singapura. Privatisasi pararel dengan liberalisasi ekonomi yang berujung pada dominasi modal asing terhadap 80% pengelolaan migas, 50% penguasaan perbankan, dan 70% kepemilikan saham di pasar modal Indonesia. Berdasar ujung-pangkal di atas kiranya lebih mudah memahami privatisasi sebagai upaya sistematis untuk mengambil-alih ekonomi Indonesia. Privatisasi BUMN (juga aset strategis nasional seperti air dan migas) hakekatnya adalah rampokisasi (Baswir, 2006). Dalam spektrum yang lebih luas, privatisasi adalah salah satu bentuk imperialisme baru (Petras & Veltmeyer, 2001), yang lebih mengabdi pada maksimalisasi nilai saham untuk kepentingan pemilik asing (Stiglitz, 2002). Privatisasi terhadap BUMN yang sehat, prospektif, dan bisnisnya terkait dengan hajat orang banyak (layanan publik) di Indonesia selama ini telah memuluskan penyedotan surplus ekonomi (net-transfer) kepada pihak luar Oleh karenanya, kegagalan pemerintah dalam pengelolaan ekonomi (BUMN) seperti yang ditudingkan selama ini semestinya dimaknai tiga hal: Pertama, kegagalan karena warisan struktur ekonomi kolonial-sentralistik yang mendorong inefisiensi dan eksploitasi BUMN. Kedua, kegagalan karena marjinalisasi peran negara pasca liberalisasi yang bertolakbelakang dengan amanat Pasal 33 UUD 1945. Dan ketiga, kegagalan karena pengabaian terhadap solusi-solusi alternatif-kerakyatan dalam membangun BUMN berbasis daya dukung domestik yang tersedia.
ALTERNATIF SELAIN PRIVATISASI Solusi terhadap persoalan BUMN dengan begitu tidak mungkin bersifat parsial. Terlebih menyerahkan kuasa BUMN pada korporasi (asing) tentu bukanlah pilihan bijak Logika dasar yang menggerakkan korporasi adalah akumulasi (konsentrasi) kapital, bukannya tanggung jawab sosial. Hukum positif pun sudah mengatur demikian. Program sosial dilakukan demi tujuan dasar tersebut, sehingga proporsinya jauh lebih kecil dan tidak signifikan dibanding nilai faktor produksi yang dieksploitasi dan surplus ekonomi yang telah dibawa keluar. Oleh karena itu, sudah saatnya pemerintah menimbang dilakukannya demokratisasi BUMN, bukannya privatisasi, sebagai solusi berbagai persoalan yang dihadapi BUMN dan perekonomian nasional. Demokratisasi BUMN yang sejalan amanat demokrasi ekonomi Pasal 33 UUD 1945 diwujudkan melalui perluasan (transformasi) kepemilikan dan kontrol BUMN yang tidak secara langsung terkait dengan hajat hidup rakyat banyak oleh rakyat Indonesia. Transformasi ini dilakukan melalui sistem perencanaan demokratis yang melibatkan pemerintah dan stakeholder BUMN domestik dan bukan mengabdi pada mekanisme pasar (bebas) lewat listing di pasar modal. Demokratisasi BUMN dapat dilakukan melalui pola redistribusi saham terencana kepada serikat pekerja, konsumen, Pemerintah Daerah, BUMD, koperasi, dan pelaku ekonomi rakyat Indonesia lainnya. Pola ini, walau terbatas pemberian (pembelian) saham pada pekerja, telah diterapkan misalnya di Georgia, Lithuania, Maldova, dan Rusia, dengan perbaikan kinerja BUMN yang signifikan. Di Georgia
Pengelolaan BUMN dan BUMD
133
misalnya, kepemilikan saham pemerintah dipertahankan sebesar 65% pada 900 BUMN. Para pekerja diberikan saham sebesar 5% secara gratis; 3% ditawarkan dengan potongan 20% dan sekitar 28% dipasarkan kepada manajer dan pekerja melalui lelang (Patriadi, 2003).
ARTI STRATEGIS DEMOKRATISASI BUMN Pola tersebut setidaknya memiliki tiga arti strategis. Pertama, pola ini akan mengintegrasikan sektor moneter dan sektor riil melalui mobilisasi sumber keuangan domestik yang tersedia. Perbankan dapat menyediakan kapital bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMN domestik lainnya. Saat ini LDR perbankan nasional baru sebesar 60% dan sekitar Rp. 250-300 trilyun dana bank pun hanya diendapkan di SBI. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi keuangan domestik, peningkatan modal perusahaan, dan penghindaran dari ketergantungan modal asing. Kedua, pola ini selain akan memacu kinerja pekerja BUMN, sekaligus dapat memastikan bahwa perbaikan kinerja BUMN tersebut adalah cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat luas sebagai pemilik dan pengendali BUMN. Hal ini berbeda pada BUMN pasca privatisasi (asingisasi) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di luar negeri. Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMN. Tidak akan ada lagi istilah BUMN sebagai ”sapi perah” kelompok politik tertentu. BUMN akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis. Serikat pekerja dan multistakeholder BUMN domestik pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana prospek demokratisasi BUMN di Indonesia? Alih-alih memikirkan alternatif tersebut, pemerintah dan DPR justru gencar menyediakan produk hukum yang memuluskan jalan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional. Hal itu tercermin dalam UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian yang baru saja disahkan. Prospek demokratisasi BUMN nampaknya masih suram karena sampai saat ini yang lebih mungkin justru pelepasan satu per satu aset publik terkonsentrasi ke tangan segelintir pemodal besar (asing). Memang tak mudah meyakinkan pemerintah dan DPR perlunya demokratisasi, dan bukan privatisasi BUMN. Terlebih isu privatisasi yang menilik hakekatnya di awal bukan lagi domain teoritik dan akademis, melainkan domain kekuasaan dan politik ekonomi. Setiap upaya merombak struktur kekuasaan, terlebih yang melibatkan relasi domestik-internasional, pastilah berhadapan dengan reaksi pemangkunya. Tetapi bagaimanapun kita harus berani dan optimis, karena disitulah kemerdekaan dan kedaulatan kita sebagai bangsa dinilai. Wallahu’alam.
KONDISI DAN PERMASALAHAN; PRIVATISASI BUMD RUU BUMD masih dibahas pemerintah dan DPR. Walau begitu, revisi UU No 5 Tahun 1962 tersebut kiranya akan pararel dengan semangat liberalisasi dan privatisasi yang diusung Undang-Undang
134
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
sebelumnya. Perluasan peran korporasi swasta (asing) seperti yang nampak dalam UU Sumber Daya Air, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian kemungkinan menjadi solusi revitalisasi peran BUMD bagi kemajuan ekonomi daerah. Privatisasi BUMD, seperti yang sudah dilakukan terhadap BUMN, bukan sekedar kekhawatiran semu belaka, Paling tidak kita dapat belajar dari kasus privatisasi PDAM DKI Jaya, yang kini mayoritas sahamnya dikuasai oleh korporasi asing (RWE Thames dan Ondeo Suez). Kondisi obyektif yang dapat saja menjadi rasionalisasi privatisasi adalah rendahnya kinerja BUMD akibat intervensi birokrasi (Pemda) yang berlebihan dan kelangkaan pembiayaan (terjebak utang). Ilustrasi yang paling mudah masih seputar PDAM. Dari 293 PDAM di Indonesia, hanya 29 yang berada dalam kondisi sehat. Sisanya dalam keadaan menanggung utang sebesar Rp.4 triliun kepada pemerintah. Jumlah itu semakin melonjak pada 2004, utang seluruh PDAM mencapai Rp.5,3 triliun (KAI, 2007). Berbagai masalah tersebut dinilai akan menghambat kinerja PDAM yang pada akhirnya akan memperpuruk layanan publik. Belum lagi bicara harga dan kualitas layanan PDAM yang sering dikeluhkan masyarakat, tentu akan menjadi amunisi bagi perlunya pelibatan luas korporasi di sektor publik. Namun. ceritanya akan lain jika pemerintah dan DPR belajar dari kenaikan tarif air sebagai dampak nyata privatisasi PDAM Jaya. Water charge, yaitu imbalan yang diminta swasta, selalu lebih tinggi dari tarif air yang dibayar warga. Selisih yang terus terjadi tiap bulan dihitung sebagai utang yang hanya akan terbayar dengan menaikkan tarif. JIka PAM Jaya/Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengakhiri kontrak, mereka harus membayar kepada swasta seluruh investasi yang (diklaim) telah ditanam di Indonesia dan keuntungan (prospektif) dari separuh sisa masa kontrak yang nilainya sering disebut-sebut Rp 450 miliar (Ardhianie, 2005).
POLA DEMOKRATISASI BUMD Kiranya makin jelas relevansi amanat Pasal 33 UUD 1945. Tampuk produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak seharusnya dikuasai orang-perorang (swasta). Contoh di atas, dan banyak contoh lain, menyiratkan bahwa dibalik tuntutan peran korporasi bersemayam naluri instrinsik untuk sebesar-besar mengeruk keuntungan dan mengakumulasi kapital. Terlebih, jika itu adalah korporasi asing, maka naluri intrinsiknya adalah menguasai faktor produksi nasional dan menyedot surplus perusahaan untuk di bawa keluar. Lantas, bagaimana alternatif pengelolaan BUMD, di tengah berbagai persoalan yang melilit BUMD, selain bertumpu pada peran besar korporasi swasta? Jawabannya kembali dapat kita temukan dalam Pasal 33 UUD 1945. Semestinya ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Pengelolaan BUMD oleh karenanya mestilah berpegang pada prinsip ”produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Oleh karenanya, alih-alih melakukan privatisasi, yang patut dilakukan pemerintah sesuai amanat konstitusi dan nalar teoritik (pengalaman empirik) tersebut adalah demokratisasi BUMD. Demokratisasi BUMD dilakukan melalui perluasan kepemilikan, kontrol, dan pengambilan keputusan BUMD oleh rakyat banyak. Salah satu pola yang mungkin ditempuh adalah perluasan kepemilikan saham BUMD (yang berbentuk perseroan), yang selama ini dipegang sepenuhnya oleh
Pengelolaan BUMN dan BUMD
135
Pemda, kepada serikat pekerja, konsumen, koperasi, dan pelaku ekonomi lokal lain yang usahanya terkait dengan BUMD. Pemerintah daerah dan DPRD berperan dalam proses perencanaan dan pengawalan transformasi kepemilikan dan kontrol ini dengan melibatkan stakeholder BUMD domestik tersebut.
ARTI STRATEGIS DEMOKRATISASI BUMD Pola tersebut akan memiliki setidaknya tiga arti strategis. Pertama, pola ini mengintegrasikan sektor perbankan dengan pembiayaan sektor riil (BUMD) di daerah. Perbankan daerah dapat menyediakan kapital tambahan bagi pembelian saham terencana oleh pekerja dan stakeholder BUMD domestik lainnya. Rasio kredit-tabungan (LDR) bank-bank di daearah yang baru sebesar 60%, bahkan di daerah-daerah tertentu masih di bawah 30%, menunjukkan belum optimalnya peranan perbankan bagi pembangunan daerah. Oleh karenanya, tiga hal akan tercapai sekaligus: optimalisasi potensi modal domestik, modal tidak tersedot keluar daerah, dan terhindar dari ketergantungan pada modal asing. Kedua, pola ini akan memperbaiki kinerja BUMD sekaligus memastikannya menjadi cerminan langsung peningkatan kontrol (partisipasi) publik dan kesejahteraan pekerja, konsumen, serta masyarakat daerah sebagai pemilik dan pengendali BUMD. Kinerja BUMD akan meningkat seiring dengan peningkatan partisipasi (kontrol) publik. Hal ini berbeda pada BUMD yang dikuasai korporasi (asing) yang hanya akan menunjukkan ”kinerja semu” karena penikmat sejatinya terbesarnya adalah para akumulator (pemilik) modal di dalam dan luar negeri. Ketiga, pola ini dengan sendirinya membatasi ruang gerak intervensi politik dalam pengelolaan BUMD. BUMD akan dikelola tidak saja secara transparan dan akuntabel, tetapi juga secara demokratis (partisipatif). Serikat pekerja dan multistakeholder BUMD lokal pun akan memiliki posisi tawar yang lebih kuat dalam menghalangi setiap bentuk eksploitasi yang secara langsung akan merugikan mereka. Kini bagaimana peluang penyelenggaraan demokratisasi BUMD di Indonesia?
PRASYARAT DEMOKRATISASI BUMD Realisasi demokratisasi BUMD tergantung pada terpenuhinya beberapa prasyarat objektif dan subjektifnya. Pertama, revisi UU BUMD dan UU Perseroan Terbatas (PT) yang tengah berlangsung menyediakan payung hukum bagi demokratisasi BUMD. Kedua, manajemen dan serikat pekerja BUMD yang berbentuk PT memiliki komitmen untuk memperjuangkannya. Ketiga, perubahan status badan hukum dari Perusda (PD) ke PT yang difasilitasi Pemda dan DPRD dilakukan untuk mendorong demokratisasi, bukannya privatisasi BUMD. Keempat, masyarakat dan organisasi sosial-ekonomi daerah sadar bahaya privatisasi dan manfaat demokratisasi, sehingga berpartisipasi baik secara politik maupun finansial. Kelima, tersedia dukungan (skema) pendanaan dari perbankan daerah. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat daerah menentukan pilihan. Tetap melanggengkan relasi timpang antara daerah dan Jakarta, antara ekonomi lokal dan investor asing, dan antara pekerja dan pemilik kapital, ataukah merombaknya secara mendasar. Relasi produksi dan alokasi yang etis, humanis, demokratis, nasionalistik, dan berkeadilan sosial itulah yang menjadi impian demokratisasi ekonomi, yang salah satunya dilakukan melalui demokratisasi BUMD. Wallahu’alam.
136
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Studi Kasus Hasil Penelitian:
PENGEMBANGAN USAHA PDAM KAB. MADIUN PDAM Kabupaten Madiun yang merupakan salah satu BUMD melayani kebutuhan air bersih yang bersifat pelayanan, penghasil jasa dan kemanfaatan umum. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk, perubahan lingkungan hayati, dan perkembangan industri, kebutuhan terhadap air minum merupakan salah satu isu penting yang harus mendapatkan perhatian secara serius. PDAM dengan sumber daya yang dimilikinya saat ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan air minum dalam kemasan (AMDK) yang sehat dan berkualitas sehingga mampu bersaing di pasar. Apabila menganalisis pasar AMDK secara makro, prospek bisnis produk ini masih sangat menjanjikan. Berdasar data yang dikeluarkan oleh Asosiasi Perusahaan AMDK (Aspadin), permintaan terhadap produk ini masih terus mengalami peningkatan. Tren ini diperkirakan masih akan terus berkembang sejalan dengan meningkatkan kebutuhan, perubahan gaya hidup, semakin sulitnya memperoleh air layak minum dan faktor-faktor lain. Data pada tingkat nasional diprediksikan bahwa pada triwulan I 2010 permintaan untuk kemasan gelas akan mencapai 3 miliar unit per bulan. Ini berarti meningkat dibanding periode yang sama pada 2009 yang mencapai 2,25 miliar unit per bulan. Masih prospektifnya bisnis AMDK ini juga ditunjukkan oleh tingginya jumlah investor yang berinvestasi dalam industri ini. Data dari Aspadin menunjukkan selama tahun 2008 terdapat lebih dari 50 investor dan calon investor yang berinvestasi di industri AMDK. Dilihat dari segi penyebaran, investor lebih tertari untuk berinvestasi di luar Jawa. Namun demikian bukan berarti bahwa investasi di Jawa tidak menguntungkan. Fakta-fakta di atas merupakan fakta-fakta makro yang perlu dikaji secara mendalam apabila akan diterapkan dalam suatu perusahaan yang spesifik di area tertentu. Oleh karenanya perlu kajian pemasaran yang mendalam mengenai kelayakan suatu usaha secara spesifik, terukur, dan ilmiah. Disamping itu, diperlukan juga pembahasan mengenai kondisi makro pasar terutama yang terkait dengan persaingan. Hal ini diperlukan mengingat persaingan usaha makin kompetitif menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma pemasaran. Masalahnya adalah bahwa keseluruhan perubahan kondisi diatas mengakibatkan konsumen kian selektif dan bersikap kritis terhadap semua produk yang ditawarkan oleh produsen. Diferensiasi pada tingkat produk makin sulit untuk dilakukan. Persaingan ditingkat produk begitu ketat mempersempit ruang gerak inovasi produk untuk melakukan diferensiasi. Demikian halnya bagi para calon pemain baru di industri ini termasuk juga oleh PDAM Kabupaten Madiun yang akan meluncurkan produk AMDK. Kajian ini akan membahas kelayakan pasar AMDK yang diproduksi oleh PDAM Kabupaten Madiun.
Analisis Struktur Pasar Produk AMDK a.
Struktur Konsumsi Bila ditelusuri lebih jauh kelompok mana yang paling sering membeli atau mengkonsumsi AMDK maka kelompok dinas dan instansi dan kelompok toko/kios semua respondennya menyatakan paling sering mengkonsumsi AMDK dengan skore 100%. Sedangkan kelompok responden yang berasal dari lingkungan sarana kesehatan, pendidikan, dan depot rumah makan yang menyatakan sering membeli atau
Pengelolaan BUMN dan BUMD
137
mengkonsumsi AMDK sebesar masing-masing sebesar 96,2%, 96,9%, dan 93,8%. Sedangkan kelompok rumah tangga menduduki posisi terendah yakni sebesar 84,5%.
Gambar 8.1. Frekuensi Konsumsi per-kelompok responden b.
Struktur Produksi (Industri) Produk yang dikonsumsi masyarakat Madiun didominasi oleh satu Perusahaan yakni PT Tirta Investama, yang menguasai pangsa sebesar 85.3%. Produk yang dijual produsen ini bermerk “Aqua”, dari berbagai jenis baik botol, gelas, maupun galon. Selain PT Tirta Investama, hampir semua produsen hanya memiliki pangsa pasar jauh di bawahnya dengan kisaran antara 0.4% hingga 5.4%,
Gambar 8.2. Pangsa AMDK di Madiun Ketika responden ditanyakan bagaimana pendapat mereka apabila PDAM Madiun memproduksi AMDK sebagaimana yang ada di pasaran, sebagian besar menjawab setuju atau sebanyak 77,8%, menjawab biasa atau wajar saja sebesar 9,5%, menjawab tidak setuju 9,8%, dan tidak menjawab 2,9%.
Gambar 8.3. Setuju/Tidak Setuju PDAM membuat AMDK?
138 c.
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Analisis Peluang Pasar Persepsi tentang Kebutuhan konsumsi AMDK
Terdapat dua pertanyaan penting untuk melihat sejauhmana masyarakat Madiun dalam mengkonsumsi air minum dalam kemasan saat ini, yakni apakah mereka sering mengkonsumsi AMDK dan seberapa besar mereka beli. Hampir seluruh responden (94%) menyatakan bahwa mereka sering membeli/mengkonsumsi AMDK. Hanya 2% yang menyatakan jarang atau tidak sering, sedangkan 4% menyatakan tidak pernah membeli. Hal ini menunjukkan bahwa AMDK telah menjadi kebutuhan sebagian besar masyarakat Madiun, sebagaimana terlihat dalam gambar dan table berikut.
Gambar 8.4. Frekuensi Membeli AMDK Data hasil survey di atas menunjukkan kelayakan dan peluang pasar yang cukup terbuka bagi produk AMDK buatan PDAM Kabupaten Madiun. Terlebih hasil survey juga menemukan bahwa sebanyak 77,8% responden menyatakan persetujuan dan dukungannya atas rencana usaha AMDK PDAM tersebut, sedangkan yang tidak setuju sebanyak 9,8%, dan 9,5% menyatakan bahwa rencana tersebut biasa saja. Di Kecamatan Jiwan 100% responden menyatakan persetujuan dan dukungannya, sementara di Kecamatan Madiun justru hanya 27,1% yang setuju dan mendukung. d.
Analisis Bauran Pemasaran (Marketing Mix) Produk (Product)
AMDK yang beredar di pasaran umumnya berbentuk gelas, botol dengan beberapa ukuran (besar dan kecil), dan bentuk galon yang dapat diisi ulang. Responden sebagian besar menyatakan mengonsumsi AMDK yang berbentuk galon yang dapat diisi ulang, yakni sebesar 35.4%, disusul yang berbentuk gelas sebanyak 28.8%, dan yang terakhir berbentuk botol sebesar 25.9%.
Gambar 8.5. Bentuk kemasan yang dikonsumsi berdasar wilayah
Pengelolaan BUMN dan BUMD
139
Harga (Price) Analisis Gap Harga Berdasar analisis terhadap harga AMDK yang berlaku saat ini dan harga yang diharapkan konsumen responden maka dapat dilakukan analisis gap (kesenjangan) harga tersebut. Dalam tabel di bawah ini ditemukan bahwa terdapat variasi gap yang cukup besar antara berbagai produk kemasan yang ada, baik untuk gap antara harga berlaku dan harga diharapkan termurah, harga termahal, maupun harga rata-rata (umumnya). Gap terendah adalah untuk harga termurah kemasan galon sebesar 37,5%, harga termahal kemasan gelas sebesar 4%, dan harga umum (rata-rata) kemasan gelas sebesar 16,1%. Tabel 8.1 Gap Harga AMDK Berlaku dan Harga Diharapkan Kategori
Existing Price (Rp)
Expected Price (Rp)
Gap
Average Gap
Harga Termurah Kemasan Gelas
11.000/dos
5.000/dos
54,5%
Kemasan Botol
2.500/botol besar
1.500/botol besar
40,0%
Kemasan Galon
8.000/galon
5.000/galon
37,5%
Kemasan Gelas
20.000/dos
19.200/dos
4,0%
Kemasan Botol
3.500/botol besar
3.000/botol
14,28%
Kemasan Galon
18.000/galon
10.000/galon
44,4%
Kemasan Gelas
15.500/dos
13.000/dos
16,1%
24,8%
Kemasan Botol
3000/botol besar
2.000/botol besar
33,3%
29.1%
Kemasan Galon
10.500/galon
7.500/galon
28,5%
36,8%
Harga Termahal
Harga Rata-rata (umum)
Sumber: Data primer (diolah)
Tempat (Place) Berdasarkan perbandingan antara tempat pemasaran AMDK saat ini dan yang diharapkan oleh konsumen responden maka dapat ditemukan terdapat beberapa tempat (place) yang dapat dikembangkan sebagai media penetrasi pasar, yaitu: Apotek, Grosir, Pesan antar via telpon. Sementara tempat pemasaran yang tidak diharapkan oleh konsumen responden walaupun sudah ada saat ini adalah depo isi ulang (khusus kemasan galon). Promosi (Promotion) Persepsi konsumen responden terhadap hal-hal yang paling menarik dari bahasa (isi pesan) promosi dengan pola dan media di atas adalah sebagai berikut:
140
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Air segar pegunungan, dikemas kreatif, sehat, berkualitas, merk/brand terjamin, praktis dan mudah, standar rasa terjamin, membantu kesulitan air rumah tangga, kualitas pengolahan dan pengemas, higienis, jaminan mutu, slogan, banyak diminati masyarakat, air jernih, disahkan Menkes, visualisasi iklan, icon yang tepat, mengandung mineral, ada diskon, bintang iklan yang dikenal masyarakat, harga murah terjangkau, sales meyakinkan, responsive terhadap pengaduan, dapat dikonsumsi semua umur, siaran mudah diingat, nama dan logo mudah diingat, produk mudah dikenal masyarakat.
Kesimpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil survey pasar, wawancara mendalam, dan studi data sekunder makro ekonomi daerah Kabupaten Madiun maka dapat disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut:
Kesimpulan a.
Struktur Pasar 1. Struktur konsumsi cenderung tersebar pada berbagai kelompok dan wilayah dengan kecenderungan aliran produk ke Kecamatan Madiun dan Kecamatan Jiwan. Struktur dan peta konsumen produk AMDK di Kabupaten Madiun selengkapnya adalah sebagai berikut: Tabel 8.2 Struktur dan peta konsumen produk AMDK di Kabupaten Madiun Konsumen Terbanyak
Kecamatan/Kelompok Responden
Proporsi (pangsa)
Kelompok toko/kios (ritel)
Kecamatan Madiun
88,2%
Depot/rumah makan
Kecamatan Dolopo
31,6%
Sarana pendidikan
Kecamatan Jiwan dan Kecamatan Mejayan
87,5%
Dinas/instansi
Kecamatan Madiun
75,0%
Rumah tangga
Kecamatan Jiwan
83,3%
Sarana kesehatan
Kecamatan Madiun
100%
Keseluruhan Wilayah
Kecamatan Jiwan
61,5%
Keseluruhan kelompok responden
Sarana kesehatan
83,7%
2. Struktur produksi (industri) AMDK di Kabupateh Madiun mendekati pasar monopoli. Produsen yang menguasai pangsa pasar terbanyak adalah PT. Tirta Investama dengan produk bermerk Aqua sebesar 85,3%. Selengkapnya struktur industri AMDK di Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:
Pengelolaan BUMN dan BUMD
141
Tabel 8.3 Struktur industri AMDK di Kabupaten Madiun No
Perusahaan (Industri)
Pangsa Pasar
1
PT. Tirta Investama
85,3%
2
PT. Atlantik Binaraya
5,4%
3
PT. Cokro Supertirta
3,6%
4
PT. Sariguna Primatirta
2,7%
5
CV. Aquades Group
1,8%
6
PT. Es Mineral Sumber Abadi
0,4%
7
Nagatirta Abadi
0,4%
8
Perum Jasa Tirta
0,4%
3. Pemasaran produk AMDK melibatkan mata rantai distribusi yang panjang, sehingga kekuatan pasar (market force) produk AMDK ditentukan juga oleh jaringan distributor (pemasaran) tersebut.
b. Kelayakan, Peluang, dan Daya Serap Pasar 4. Mayoritas responden survey (94%) menyatakan bahwa mereka sering membeli/mengkonsumsi produk AMDK. 5. Mayoritas responden (77,8%) menyatakan persetujuan dan dukungannya atas rencana usaha produk AMDK oleh PDAM Kabupaten Madiun. 6. Seluruh responden kunci menyatakan dukungan kelayakan dan peluang pasar yang besar bagi usaha produk AMDK Kabupaten Madiun. Beberapa fakta yang menjadi dasar pertimbangan adalah: a. Perubahan perilaku sosial dalam tradisi hajatan masyarakat luas yang sudah terbiasa menggunakan produk AMDK segala (asal) merk, sekali acara dapat hingga perlu 75-100 dos b. 80% produk minuman yang dibeli konsumen adalah AMDK dan terdapat 18 ritel lokal yang dapat menjadi mitra pasar c. Potensi jumlah anggota koperasi yang menjadi pasar potensial sebanyak 102.684 orang d. Omset salah satu perusahaan sub-distrobutor (star outlet) untuk kemasan gelas 300-400 box/hari (2000 box/minggu) dengan trend volume yang masih terus meningkat. e. Pegawai pemerintahan (PNS) di Komplek Pendopo Kabupaten sekitar 10 ribu orang, yang setiap hari selalu ada acara yang memerlukan produk AMDK f. Terdapat 206 pemerintahan desa dan banyak dinas-dinas pemerintahan yang sering menyelenggarakan rapat. g. Perbub untuk penggunaan produk makanan lokal sudah ada, sehingga untuk minuman (AMDK) pun sangat dimungkinkan 7. Data makro daerah Kabupaten Madiun menunjukkan kelayakan dan peluang pasar yang besar sebagai berikut:
142
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 8.4 Data makro daerah Kabupaten Madiun No
Kategori Pasar Potensial
Jumlah
Taksiran Pangsa Pasar
Jumlah Pasar Potensial
1
Penduduk Kabupaten Madiun (rumah tangga)
770.440 orang
5%
38.500 orang
2
PNS Kabupaten Madiun
9.988 orang
60%
5.992 orang
3
Murid Sekolah Menengah (SMP, SMA, dan SMK)
37.074 orang
20%
6.741 orang
4
Karyawan di industri (perusahaan) formal
5.485 orang
30%
1.645 orang
5
Karyawan di industri (perusahaan) informal
37.612 orang
10%
3.761 orang
6
Pelanggan air bersih PDAM
22.226 orang
30%
6.667 orang
7
Anggota koperasi aktif
112.478 orang
10%
11.247 orang
Perkiraan Jumlah
74.553 orang (9,67% jumlah penduduk)
8. Berdasar fakta-fakta dan data-data di atas maka rencana usaha produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun memiliki kelayakan dan peluang pasar yang cukup besar. Dengan asumsi setiap orang mengkonsumsi produk AMDK kemasan gelas 1 buah/minggu maka produksi yang layak dapat dimulai dari 10.650 gelas/hari atau 221 box/hari
c.
Bauran Pemasaran 9. Produk; a. Hasil survey menemukan sebagian besar menyatakan mengonsumsi AMDK yang berbentuk galon yang dapat diisi ulang, yakni sebesar 35.4%, disusul yang berbentuk gelas sebanyak 28.8%, dan yang terakhir berbentuk botol sebesar 25.9%. b. Namun berdasarkan pertimbangan serapan pasar dari pelaku pemasaran produk yang dibuat untuk pemula sebaiknya adalah dalam kemasan gelas. 10. Harga; a. Mayoritas responden, yaitu sebanyak 76,6%, menilai bahwa harga AMDK tergolong dalam kategori sedang dan hanya sebanyak 5,6% konsumen responden yang menilai bahwa harga AMDK yang berlaku sekarang tergolong mahal. b. Terjadi disparitas harga antarwilayah yang mengindikasikan bahwa harga dapat mempengaruhi preferensi konsumen dalam membeli AMDK, terkecuali untuk produk yang sudah mendominasi pasar.
Pengelolaan BUMN dan BUMD
143
c. Gap rata-rata untuk harga AMDK kemasan gelas adalah sebesar 24,8%, gap rata-rata kemasan botol sebesar 29,1%, dan gap rata-rata kemasan galon sebesar 36,8%. Temuan ini mengindikasikan bahwa kemasan galon paling sensitif dari segi harga, di mana dipersepsikan harga kemasan galon tersebut adalah paling tidak sesuai dengan harapan (terlalu mahal) oleh konsumen responden. d. Responden dan pemasar mengharapkan harga AMDK yang nantinya akan diproduksi PDAM Kabupaten Madiun hendaknya di bawah harga produk sejenis. 11. Tempat; a. Produk AMDK pada umumnya dijual tersebar di warung, kios, toko, agen (distributor), depo isi ulang (khusus galon), supplier, pasar, dan supermarket. b. Berdasarkan perbandingan antara tempat pemasaran AMDK saat ini dan yang diharapkan oleh responden maka dapat ditemukan terdapat beberapa tempat lain (place) yang dapat dikembangkan sebagai media penetrasi pasar, yaitu: Apotek, Grosir, dan Pesan antar via telpon. 12. Promosi; a. Pola dan media promosi produk AMDK dari PDAM Kabupaten Madiun yang diharapkan oleh responden adalah sebagai berikut: Dikenalkan secara langsung dari rumah ke rumah (word of mouth), Iklan di TV, Sosialisasi melalui kegiatan masyarakat, Membagikan sampel gratis, Kerjasama dengan instansi (lembaga), Iklan di Koran, Sosialisasi pemahaman air higienis, Promosi ke kantor-kantor, Iklan di radio, Promosi harga yang murah, Kerjasama dengan desa, Diantar ke toko-toko, Mengadakan even promosi, Pasang spanduk, Pembuatan brosur, Melakukan demo produk, Didistribusikan melalui koperasi, Menampilkan asal sumber air, Kemasan yang meyakinkan, Sosialisasi dilampirkan dalam kuitansi PDAM, Menjadi sponsor event, dan Melalui salesman b. Pola dan media promosi yang diharapkan konsumen responden dan saat ini belum banyak dikerjakan oleh perusahaan AMDK yang ada dapat menjadi pilihan strategis bagi pola dan media promosi produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun. Pola-pola tersebut seperti pada bagian yang dicetak miring dalam item pola promosi di atas.
d.
Segmentasi, Target, dan Positioning Pasar 13. Berdasarkan survey, wawancara, dan data sekunder makro daerah Kabupaten Madiun maka segmen dan target pasar utama produk AMDK Kabupaten Madiun adalah sarana umum (kesehatan dan pendidikan), lingkungan pemerintahan, rumah tangga pelanggan air bersih PDAM di pemukiman padat, anggota koperasi, dan jaringan pemasaran lokal. 14. Positioning produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun adalah sebagai brand (ikon) produk minuman kemasan lokal yang berteknologi tinggi, sehat, dan ramah lingkungan, serta akan mengangkat kesejahteraan dan kebanggaan masyarakat Kabupaten Madiun. 15. Strategi penetrasi pasar adalah dengan komitmen bersama yang dimulai dari aparatur pemerintah daerah, menjadikan pemimpin-pemimpin daerah sebagai contoh (panutan) pemakaian produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun, serta memanfaatkan jaringan pemasaran lokal yang sudah ada
144
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi sepertihalnya koperasi pegawai negeri, koperasi serba usaha, ritel lokal, star outlet, dan usaha kolektif di perdesaan.
Saran (Rekomendasi) 1.
2.
Rencana pembuatan usaha produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun dapat segera direalisasikan dengan perencanaan matang dan melibatkan parapihak terkait dan sosialisasi yang luas di kalangan masyarakat. Produk yang dapat dibuat pertama kali adalah dalam kemasan gelas dengan jumlah produksi dapat dimulai dari sebanyak 10.650 gelas/hari atau 221 box/hari dengan target pasar awal sebagai berikut: Tabel 8.6 Rencana pembuatan usaha produk AMDK PDAM Kabupaten Madiun Target pasar
Lokasi
Kelompok toko/kios (ritel) lokal baik perorangan maupun koperasi
Seluruh kecamatan terutama Kecamatan Madiun
Depot/rumah makan
Seluruh kecamatan terutama Kecamatan Dolopo
Sarana pendidikan
Seluruh kecamatan terutama Kecamatan Jiwan dan Kecamatan Mejayan
Dinas/instansi
Lingkungan Pemkab, seluruh kecamatan dan desa
Rumah tangga pelanggan air bersih
Seluruh kecamatan, terutama Kecamatan Jiwan
Sarana kesehatan
Seluruh kecamatan terutama Kecamatan Madiun
Karyawan Perusahaan swasta
Seluruh kecamatan yang terdapat perusahaannya
Anggota koperasi
Seluruh kecamatan terutama yang koperasinya paling aktif dan terdapat KSU (pemasaran) -oo0oo-
BAB IX PENGELOLAAN PERUSAHAAN SWASTA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dibahas perihal kondisi dan permasalahan pengelolaan perusahaan swasta di Indonesia. Bahasan akan ditekankan pada pola demokratisasi perusahaan di Indonesia melalui model kepemilikan saham oleh karyawan. Paparan dilengkapi dengan hasil penelitian penulis tentang penerapan Pola Kepemilikan Saham oleh Karyawan di Propinsi D.I. Yogyakarta. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan mendasar yang dihadapi dalam pengelolaan perusahaan swasta Indonesia. Menganalisis dan menjelaskan sebab-sebab permasalahan dan memberikan alternative solusi bagi pengembangan pengelolaan perusahaan swasta Indonesia ke depan. Memiliki cara pikir (mindset) kebersamaan, kemandirian, dan peduli terhadap pengelolaan perusahaan swasta Indonesia Memberikan usulan inovatif bagi pengelolaan perusahaan swasta Indonesia.
PELAJARAN DARI GRAMEEN BANK Sungguh luar biasa perjuangan Muhammad Yunus melalui Grameen Bank. Tidak hanya menjadikan kaum perempuan miskin sebagai nasabah, pada saat yang sama mereka sekaligus dijadikan sebagai pemilik bank tersebut. 93% saham Grameen Bank dikuasai perempuan miskin yang merupakan nasabah terbesarnya. Kepemilikan saham inilah yang telah menempatkan beberapa perempuan miskin yang buta huruf sebagai komisaris di Grameen Bank. Bukan itu saja. Grameen Bank memiliki GrameenPhone, sebuah perusahaan patungan antara Telenor dari Norwegia dan Grameen Telecom. Saat ini Telenor memiliki 62% saham perusahaan, sedangkan Grameen Telecom memiliki 38%-nya. Dalam pidato penerimaan Nobel-nya di Oslo, Yunus menyampaikan visi untuk pada akhirnya menjadikan mayoritas kepemilikan GrameenPhone kepada kaum
146
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
perempuan miskin anggota Grameen Bank. Grameen Bank dengan begitu tidak sekedar mengusung revolusi kredit mikro melainkan revolusi mode produksi. Mode produksi perusahaan umumnya berwujud relasi dikotomik antara buruh (konsumen) dengan pemilik modal. Keadaan perusahaan di negeri kita pun tidak jauh dari sifat demikian. Koperasi, dengan relasi produksi demokratisnya, masih menjadi perusahaan marjinal yang peranannya kian dikerdilkan. Perusahaan yang mempraktekkan relasi produksi serupa melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership program/ESOP) atau konsumen, seperti pada pola Grameen Bank di atas, pun seolah masih seperti buih di lautan, tidak signifikan. Contoh minimalis misalnya dijumpai pada sebagian ESOP BRI, Bank Mandiri, Telkom, dan Adhi Karya. Padahal tersedia berbagai faktor objektif yang semestinya mendukung praktik produksi yang demokratis tersebut.
KONDISI DAN PERMASALAHAN: FAKTOR OBJEKTIF ESOP Faktor obyektif tersebut di antaranya adalah: Pertama, kita memiliki Pasal 33 UUD 1945 ayat 1 yang mengamanatkan ”perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Pasal ini jelas bervisi menolak dikotomi pekerja dan pemilik modal dalam relasi produksi di tempat kerja. Usaha bersama bermakna pelibatan pekerja dalam pengambilan keputusan dan kontrol secara kolektif di perusahaan. Hal ini terwujud jika pekerja mempunyai kesempatan untuk ikut memiliki perusahaan. UU No 21/2000 tentang Serikat Pekerja pun telah mengamanatkan bahwa salah satu fungsi Serikat Pekerja adalah sebagai wakil pekerja dalam memperjuangkan kepemilikan saham dalam perusahaan. Kedua, relasi dikotomis tersebut telah menghasilkan struktur alokasi yang timpang. Bagian yang diterima pekerja (upah dan tunjangan lain) dari nilai output industri di Indonesia relatif kecil dan dari tahun 1986 ke 2004 makin menurun. Misalnya saja bagian pekerja di industri bahan makanan turun dari 8% menjadi hanya 1%, industri kayu dari 14% menjadi 2%, dan di industri kertas dari 20% menjadi 4%. Bagian tertinggi diterima pekerja industri galian. Itu pun hanya 17% (Hudiyanto, 2007). Kondisi ini menjadi salah satu sebab kemiskinan pekerja Indonesia yang diperparah dengan merosotnya nilai upah riil pada tahun-tahun terakhir. Ketiga, terjadinya perluasan dominasi asing terhadap kepemilikan perusahaan di Indonesia. Sebanyak 70% saham di Pasar Modal, termasuk di dalamnya 50% lebih saham perbankan, telah dikuasai pemodal asing. Kondisi ini akan berimplikasi pada penyedotan surplus perusahaan keluar negeri (net transfer), melemahnya posisi tawar pekerja, dan ketergantungan terhadap modal asing. Pada saat yang sama relasi produksi makin timpang dan tidak demokratis. Pengambilan keputusan dan kontrol perusahaan makin di luar jangkauan partisipasi pekerja karena dilakukan oleh pemilik modal yang berada jauh di luar negeri. Keempat, rendahnya produktivitas pekerja Indonesia saat ini dituding sebagai sebab menurunnya kinerja perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Tak banyak yang mengaitkannya dengan terjadinya marjinalisasi pekerja dalam relasi produksi dan alokasi seperti tercermin di atas. Peningkatan motivasi produksi dan efisiensi perusahaan selama ini cenderung dilakukan melalui cara-cara represif (ahumanis) seperti sistem kerja kontrak, outsourcing, dan (wacana) sistem upah fleksibel, yang berpotensi mengingkari hak-hak sosial-ekonomi pekerja.
Pengelolaan Perusahaan Swasta
147
Kelima, arus baru demokratisasi perusahaan telah lama bergulir. Makin banyak perusahaan di dunia yang sadar perlunya revolusi mode produksi. Perubahan relasi produksi sama sekali bukanlah hal yang utopis. Kepemilikan saham oleh pekerja sudah lama diatur khusus dalam Undang-Undang dan lazim dipraktikkan oleh perusahaan di negara-negara maju seperti AS, Eropa Barat dan Eropa Timur. Bahkan di negara-negara tersebut sudah banyak perusahaan yang 50%-100% sahamnya dikuasai oleh pekerja. Kinerja perusahaan tersebut membaik dengan signifikan, yang otomatis mencerminkan peningkatan kesejahteraan pekerja selaku pemilik perusahaan.
FAKTOR SUBJEKTIF REALISASI ESOP Menilik tersedianya berbagai faktor obyektif yang mendukung, tetapi mengapa konsep saham untuk pekerja (ESOP) apalagi untuk kaum miskin- seolah masih menjadi barang mewah di negeri kita? Mengapa beberapa faktor objektif yang seharusnya dapat menjadi faktor pendukung justru menghambat demokratisasi di tempat kerja? Jawabannya sedikit banyak dapat ditemukan melalui telaah faktor subjektif yang ada. Alih-alih mendukung, faktor subjektif yang ada lebih banyak mengarah pada skeptisme dan pengabaian arti pentingnya demokratisasi perusahaan melalui ESOP di Indonesia. Pemerintah dan DPR belum menampakkan keberpihakan (komitmen) nyata. Justru produk hukum dan kebijakan yang kurang sejalan dengan agenda tersebutlah yang dibuat. Misalnya saja, liberalisasi ekonomi dan privatisasi (kontra-demokratisasi) yang diminta Bank Dunia, IMF, dan korporasi transnasional telah dipenuhi melalui pembuatan UU Sumber Daya Air, UU Migas, UU BUMN, UU Penanaman Modal, dan UU Perkeretaapian. UU yang relevan semisal UU Perseroan Terbatas dan UU Pasar Modal pun kiranya tidak mengarah pada ESOP dan demokratisasi perusahaan. Kemudian pemerintah makin gencar melakukan privatisasi BUMN dan aset strategis nasional yang praktiknya selama ini menyebabkan konsentrasi kepemilikan perusahaan pada pemodal besar (asing). Komitmen pemegang saham umumnya baru sebatas pemberian saham kepada beberapa lapis atas manajemen perusahaan. Pada sisi pekerja pun kiranya masih muncul kegamangan terhadap perjuangan ESOP. Saham untuk pekerja seolah masih berupa mimpi karena tuntutan mereka akan upah yang layak pun masih jauh panggang dari api. Banyak pekerja yang berpikir ”masih untung dapat pekerjaan di saat jutaan orang masih menganggur”. Terlebih tekanan pemilik perusahaan makin mengancam kelangsungan pekerjaan mereka melalui pemberlakuan sistem kontrak, outsourcing, dan rencana sistem upah fleksibel. Kepemilikan saham seolah masih dianggap barang mewah, tak terjangkau oleh pekerja Indonesia.
MISI, AKSI, DAN POTENSI ESOP Berangkat dari faktor objektif dan masalah subjektif di atas, kiranya yang dibutuhkan saat ini adalah kerja keras untuk menyadarkan perlunya perluasan kepemilkan saham oleh pekerja (ESOP). Kesadaran kolektif perlu dibangun untuk meyakinkan publik bahwa kepemilikan saham oleh pekerja mengandung setidaknya lima peran (misi) strategis. Pertama, realisasi amanat konstitusi utamanya Pasal 33 UUD 1945. Kedua, cara untuk merombak ketimpangan relasi (struktur) produksi dan alokasi dalam perusahaan. Ketiga, upaya untuk mempertahankan perusahaan dari pengambil-alihan oleh korporasi (investor) luar negeri. Keempat, cara optimalisasi sumber keuangan (permodalan) domestik. Kelima,
148
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
sebagai solusi bagi peningkatan motivasi, tanggungjawab, dan produktivitas pekerja dan perusahaan secara keseluruhan. Stakeholder perusahaan perlu diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola transformasi kepemilikan saham oleh pekerja yang sangat mungkin diterapkan. Di samping itu, juga tersedia cukup potensi (sumber finansial) untuk merealisasikannya. Alternatif pelepasan saham kepada pekerja di antaranya adalah berupa pemberian gratis, pembelian langsung, hak opsi saham, dan pola khas lainnya. Khusus dalam bentuk (pola) pembelian saham, mekanisme pembayarannya dapat saja melalui lembaga yang ditunjuk pekerja (Trustee), potong gaji langsung, intermediasi perbankan, atau mekanisme lain yang disepakati bersama. Sumber dana potensial dalam negeri misalnya berasal dari dana Jamsostek (49 trilyun/deposito), dana pensiun (74 trilyun), dan dana pihak ketiga (tabungan) perbankan yang baru tersalur baru 60%-nya. Total dana bank yang belum tersalur kepada masyarakat sekitar Rp 400 trilyun, yang Rp. 250 trilyun-nya ”diendapkan” dalam SBI. Jika sebagian saja sumber dana ini diatur untuk membiayai perluasan kepemilikan saham oleh pekerja maka hasilnya akan luar biasa. Bukan sekedar kesejahteraan pekerja yang akan meningkat, namun juga harkat dan martabat sebagai manusia dan bangsa yang akan terangkat. Degan begitu, mimpi untuk menjadikan bangsa Indonesia bukan sekedar sebagai bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa pun akan menjadi nyata. Semoga. Studi Kasus Hasil Penelitian:
PENERAPAN POLA ESOP DI PROPINSI DIY 1.
2.
3.
4.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi realitas kondisi penerapan demokrasi ekonomi di tempat kerja melalui pelaksanaan pola pembagian keuntungan (Profit-Sharing) dan kepemilikan saham oleh pekerja (Employee-Share Ownership Plan) untuk meningkatkan partisipasi pekerja, bagaimana manfaat nyata penerapannya, serta berbagai potensi dan kendala penerapan pola ProfitSharing dan Employee-Share Ownership Plan pada perusahaan di Propinsi DIY. Metode pengumpulan data dilakukan melalui Survey Literatur, Studi Data Sekunder, Preliminary Seminar, Survey Seleksi (Screening Survey/SS), Survey Pendalaman (manajemen, serikat pekerja, dan pekerja), Focus Group Discussion (FGD), dan Seminar akhir. Populasi dalam penelitian ini mencakup seluruh perusahaan berbentuk badan hukum baik di sektor publik maupun sektor privat (swasta) di semua sektor yang memiliki serikat pekerja dan jumlah pekerja minimal 30 orang dalam lingkup Propinsi DIY. Sampel adalah 27 perusahaan yang memenuhi kriteria populasi di atas yang berasal dari perusahaan-perusahaan di Kabupaten/Kota di Propinsi DIY. Pengambilan sampel pada survey seleksi dilakukan dengan metode purposive sampling di mana pengelompokannya didasarkan basis wilayah operasional. Sedangkan pada survey pendalaman pengambilan sampel menggunakan metode convenience sampling. Alat analisis data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Analisis Statistik Deskriptif dan Analisis SWOT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendahnya tingkat penyelenggaraan demokrasi ekonomi di tempat kerja dalam wujud penerapan pola PS dan ESOP pada perusahaan responden yang bergerak di berbagai sektor yang berbeda di Proponsi DIY. Hanya terdapat 15 perusahaan (55,56%) responden
Pengelolaan Perusahaan Swasta
5.
149
yang menyatakan memiliki pola Profit-Sharing. Sebanyak 8 perusahaan (29,6%) hanya memiliki skema PS dengan pola pembagian keuntungan berbentuk uang cash (bonus dll) untuk seluruh pekerja. Sementara terdapat 6 perusahaaan (22,2%) yang menerapkan PS dengan pola pembagian keuntungan berbentuk uang cash (bonus dll) untuk pekerja tertentu. Dari data yang tersedia terdapat 1 perusahaan responden yang memiliki lebih dari satu pola. Belum dikembangkannya pola-pola PS dan ESOP sebagai instrumen demokratisasi ekonomi di tempat kerja juga tampak dari terdapatnya 12 perusahaan responden (44,44%) yang sama sekali tidak menerapkan kedua pola tersebut. Hal ini makin dikukuhkan dengan pernyataan perusahaan responden yang mayoritas tidak berkeinginan menerapkan kedua pola tersebut, yaitu sebanyak 21 perusahaan (77,78%). Sementara 6 perusahaan (22,22%) masih berencana menerapkannya dalam operasional perusahaan mereka. Tabel 9.1 Keberadaan Pola PS dan ESOP pada 27 Perusahaan Responden Keterangan
Jumlah Persentase (%)
6.
Jumlah Pekerja
E
F
G
Tidak Ada Pola
0
0
0
0
12
6
21
0
0
0
0
44.44
22.22
77.78
Ada Pola
<50
> 50
A
B
C
B&C D
14
13
8
5
1
1
51.85
48.15
29.63
18.52
3.70
3.70
Rencana Pola Punya
Tidak
Persepsi responden terhadap tingkat upah yang berlaku di perusahaan cenderung beragam. Dalam rentang skala 1-5, dimana nilai 1 berarti upah serendah mungkin dan nilai 5 berarti upah diatas ratarata dan kesejahteraan, diperoleh data bahwa 4 responden (19 %) merasa upahnya masuk dalam skala 5. 6 responden (28,2%) memilih skala 4, 10 (48 %) responden berada dalam skala 3, dan terdapat 1 responden (4,8.%) yang menyatakan diri upah dalam skala 2. 5 4
Skala
3
Jumlah Responden
2 1 0
5
10
15
Gambar 9.1 Tabel Persepsi Responden terhadap Tingkat Upah 7.
Data pada tabel 4.2 menggambarkan adanya struktur upah yang cenderung kurang layak (kurang dari wajar/cukup), dimana 52,8% responden yang memilih di taraf menengah-bawah (skala 2 dan 3) yang beranggapan bahwa tingkat upah yang diterimanya cenderung biasa saja (wajar) sedangkan sebagian responden lain beranggapan tingkat upah masih terbilang layak yaitu sejumlah 47,2 % responden dimana mereka cenderung memilih pada taraf berat atas (skala 4 dan 5) yang beranggapan bahwa tingkat upah yang diterimanya ke arah upah yang layak karena diatas rata-rata dan kesejahteraan.
150 8.
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Dalam hal upah dan gaji misalnya, 10 responden ( 40% ) menyatakan bahwa pengambilan keputusannya hanya dilakukan oleh manajemen tanpa konsultasi dan negosiasi dengan pekerja. Mayoritas responden beranggapan bahwa keputusan yang terkait dengan keamanan dan kesehatan, disiplin, pengenalan teknologi baru, kerja shift/lembur, investasi di bidang baru, dan banyaknya keuntungan yang dibagi lebih banyak ditentukan oleh keputusan manajemen. Corak pengambilan keputusan perusahaan responden secara umum masih lebih banyak ditentukan oleh pihak manajemen (manajemen heavy). Hal ini menunjukkan internalisasi pola PS dan ESOP sebagai instrumen demokratisasi ekonomi (industrial) yang belum optimal karena belum dapat dimanifestasikan sepenuhnya dalam kerangka sistem pengambilan keputusan umum perusahaan. Hanya Manajemen, 7%
Hanya Manajemen, 13%
Hanya Manajemen, 9%
Hanya Manajemen, 14%
Hanya Manajemen, 11%
Hanya Manajemen, 9%
Hanya Manajemen, 13%
Hanya Manajemen, 13%
Hanya Manajemen, 11%
Gambar 9.2. Tabel Cara Pengambilan Keputusan Kondisi sama juga terjadi dalam hal pengambilan keputusan terkait dengan penerapan pola-pola PS dan ESOP. Dalam hal ini peranan manajemen masih sangat dominan terutama terkait dengan penetapan tipe pola yang dipilih. Sebanyak 21 responden (91,32%) beranggapan bahwa tipe pola yang dipilih hanya ditetapkan oleh pihak manajemen, tidak ada responden (0%) yang berpandangan bahwa keputusan tersebut diambil manajemen setelah berkonsultasi dengan pekerja, dan 2 responden menyatakan bahwa keputusan hanya diambil oleh pihak manajemen dengan negosiasi. Pandangan serupa juga berlaku pada penetapan keputusan lainnya. 25 21 20 Jumlah
9.
17
16
13
15 10
7 5
5
2
2 0
1
6 1
0 Tipe pola yang dipilih
Aturan yang memenuhi syarat
Tingkat modal
aturan yang memenuhi syarat
Penetapan Keputusan
Gambar 9.3 Cara Pengambilan Keputusan Pola
Pengelolaan Perusahaan Swasta
151
Jumlah
10. Salah satu indikasi lain yang terkait dengan pengambilan keputusan adalah respon (persepsi) karyawan terhadap ketepatan kebijakan yang mungkin akan diterapkan perusahaan. Berdasarkan pernyataan responden terkait dengan persepsi mereka terhadap tepat tidaknya beberapa kebijakan yang mungkin diambil perusahaan dapat diketahui bahwa skor tingkat ketepatan kebijakan yang diukur dari 6 bentuk kebijakan adalah sebesar 116 ( 84,67 %) di mana sebagian besar kebijakan perusahaan dinilai sangat tepat. 25 20 15 10 5 0
23
22
19
19
17
16 7 0
0
0
0
0
Menurut loy alitas kary aw an mendorong kary aw an agar
2
1
3
1
1
1
0
0
1
2
0
2
Memperingatkan bahw a
menginformasikan kepada
Mau menerima jika
melibatkan kary aw an dalam
sebagai balasan atas
memaksimalkan tenaga
w ew enang perusahaan
kary aw an atau perw akilan
sebagian kary aw an
kerjasama dengan
jesejahteraan y ang
mereka
kepada pekerja hany a pada
mereka tentang tujuny aan
tergabung dalam persatuan
manajemen untuk
jam kerja saja
dasar perusahaan dan
pekerja sehingga
meny usun tujuan
manajemen tiap hariny a
mendorong taw ar menaw a
perusahaan secara
bersama tentang aturan
keseluruhan
diberikan
dasar perusahaan
Kebijakan Sangat Tepat
Sama sekali tidak tepat
Tidak dapat diterapkan
Tidak tahu
Gambar 9.4. Ketepatan Kebijakan Perusahaan 11. Di sisi lain, terdapat 14 responden (10,22%) yang menyatakan bahwa kebijakan perusahaan sama sekali tidak tepat dan 2 responden ( 1,02 %) menyatakan bahwa kebijakan-kebijakan tersebut tidak dapat diterapkan. Sementara 5 responden ( 3,65 %) menyatakan tidak tahu menahu (tidak punya persepsi) terkait dengan tepat tidaknya kebijakan perusahaan. Kebijakan yang paling banyak dinilai sangat tepat adalah tuntutan loyalitas sebagai balasan kesejahteraan pekerja, kebijakan terkait dengan penerimaan keterlibatan pekerja ke dalam Serikat Pekerja, dan peringatan bahwa wewenang perusahaan kepada pekerja hanya sebatas jam kerja. 12. Secara umum tanggapan responden berimbang antara yang menganggap bahwa keberadaan pola PS dan ESOP lumayan menguntungkan dan mereka yang cenderung skeptis menanggapi pola tersebut. Hal ini ditunjukkan dengan 3 responden menyatakan pola tersebut sangat menguntungkan (10%), 8 responden (26,6%) yang menganggap bahwa pola tersebut lumayan menguntungkan, sementara 13 responden (43,3%) menganggap biasa saja, dan 4 responden (13,3%) bahkan berpandangan bahwa pola tersebut tidak terlalu menguntungkan. 2 Responden menyatakan tidak tahu menahu terhadap keberadaan pola tersebut (6,66%). Variasi respon ini menunjukkan bahwa manfaat pola belum dirasakan secara merata yang terkait dengan perbedaan kadar keterlibatan dan kualitas pemahaman pekerja terhadap pola tersebut.
152
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
14
13
10
8
8 6
4
4
3
2
Sangat menguntungkan
Lumayan menguntungkan
Biasa saja
0
Sama sekali tidak menguntungkan
0
Tidak terlalu menguntungkan
2
Tidak tahu/tidak memilih
Jumlah
12
Respon Karyawan
Gambar 9.5 Respon Umum Karyawan terhadap Pola PS dan ESOP
Jum lah
13. Manfaat yang dipersepsikan responden dari penerapan pola PS dan ESOP ditinjau dari aspek karyawan tertarik untuk meningkatkan keuntungan perusahaan dan kesuksesan perusahaan, peningkatan komitmen, dan karyawan dianggap penting bagi keuntungan perusahaan cukup tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan tingkat kemanfaatan (SS dan S) pola yang sebesar 215 (senilai 85,86%). Sementara tingkat keraguan manfaat (R) pola sebesar 6 ( senilai 7,66%) dan tingkat ketidak manfaatan (TS dan STS) pola berdasar indikator-indikator di atas adalah sebesar 8 (senilai 7%). 30 25 20 15 10 5 0
SS
Kary aw an lebih Meningkatkan
Meningkatkan
Membuat
Menekan
Memberikan
Kary aw an
Meningkatkan
Meningkatkan
memperhatikan
produktiv itas
merasa menjadi
tuntutan
efisiensi pajak
penting bagi
pemahaman ttg
kesadaran
keuntungan
bagian dari
kenaikan upah
keuntungan
masalah
kerjasama
perusahaan
perusahaan
perusahaan
keuangan y ang
manajemen
dihadapi
dengan pekerja
S
R
TS
komitmen
STS
Manfaat
perusahaan
Gambar 9.6 Persepsi Manfaat Penerapan Pola PS dan ESOP 14. Manfaat yang dipersepsikan paling banyak dirasakan responden adalah karyawan tertarik untuk meningkatkan keuntungan perusahaan dan kesuksesan perusahaan, dimana 89,28% responden menyatakan kesepahamannya. Disamping itu, sebanyak 85,71% responden menyatakan bahwa pola tersebut meningkatkan kesadaran karyawan akan komitmen pada perusahaan. Selanjutnya, 60% responden berpandangan kedua pola bermanfaat dalam menyadarkan bahwa karyawan penting bagi keuntungan perusahaan. Sementara itu, ketidaksepahaman tertinggi terkait dengan manfaat pola untuk memberikan efisiensi pajak sebagai reward kepada karyawan dan perusahaan, yaitu sebanyak 13,04%.
Pengelolaan Perusahaan Swasta
153
15. Mayoritas responden menyatakan puas dengan tingkat kepuasan lumayan 54,6% dan tingkat kepuasan sedang sebesar (tidak terlalu puas) 18,2%. Sementara 13,6% responden masih ragu dalam menentukan persepsinya antara puas dan tidak puas ( tingkat kepuasan biasa ) dan 13,6% responden menyatakan sangat puas dengan penerapan kedua pola tersebut. 12 12 10 8 6 4 4
3
3
2 0
0
0 Sangat Puas
Lumayan Bukan Puas Puas juga bukan tidak puas
Tidak terlalu puas
Sama Tidak sekali tahu/tidak tidak puas memilih
Res pon Karyaw an
Gambar 9.7 Tingkat Kepuasan Perihal Partisipasi Karyawan dalam Pola 16. Kondisi (objektif-subjektif) berupa kekuatan/kelemahan dan peluang/ancaman realisasi pola PS dan ESOP pada perusahaan di DIY sebagai berikut: Tabel 9.2 SWOT Kondisi Pendukung/Penghambat Realisasi PS dan ESOP Kekuatan (Internal)
Kelemahan (Internal)
1. Kesadaran kolektif pekerja untuk berorganisasi 2. Semangat pemberdayaan serikat pekerja 3. Komitmen manajemen untuk mensejahterakan karyawan 4. Motivasi produktivitas pekerja menjadi kunci kemajuan perusahaan. 5. Peningkatan keterdidikan pekerja
1. Perjanjian kerja sama tidak ditaati secara konsekuen oleh perusahaan 2. Pemecatan terlalu mudah 3. Ketertutupan pemilik/manajemen perusahaan, terutama dalam hal keuangan perusahaan. 4. Tidak berdayanya serikat pekerja dalam negosiasi upah 5. Kesenjangan antara staf dan non-staf dalam perusahaan 6. Sikap mental sebagian buruh yang pasif (nrimo) 7. Potensi perpecahan Serikat Pekerja 8. Pelunakan perjuangan buruh
154
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 9.2 Lanjutan
Peluang (eksternal)
Ancaman (Eksternal)
1. Perkembangan demokratisasi ekonomi di tingkat nasional dan global 2. Masih tersedianya perangkat konstitusi prodemokrasi ekonomi (Pasal 33 UUD 1945) 3. Dukungan perjuangan dari elemen-elemen intelektual (akademisi) 4. UU Pers dapat menjadi contoh realisasi pola ESOP 5. Kemajuan pola ESOP makin meluas hingga ke negara-negara Asia
1. Belum tersedia aturan tentang pola ESOP 2. Pelarian modal ke luar negeri (capital-flight) 3. Sistem upah fleksibel 4. Penutupan perusahaan 5. Akuisisi perusahaan oleh pihak asing 6. Kebijakan negara (legislasi/UU) yang tidak pro-buruh (neoliberalisasi) 7. Perlindungan pekerja masih buruk (outsourcing dan PHK)
17. Berdasarkan pembahasan data yang digali melalui dua tahapan survei, yaitu survei seleksi (screening survei) dan survei pendalaman (indepth survey), dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut: 1). Pola-pola pembagian keuntungan (profit-sharing/PS) dan kepemilikan saham oleh pekerja (employee-share ownership plan/ESOP) sebagai instrumen demokratisasi ekonomi di tempat kerja belum banyak dikembangkan perusahaan di DIY. 2). Aspek masukan (kondisi internal) perusahaan responden dapat menjadi faktor pendukung penerapan pola PS dan ESOP. Kondisi ini juga didukung pemahaman responden bahwa keberadaan pola PS dan ESOP sangat diperlukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan karya wan. 3). Corak pengambilan keputusan umum perusahaan resonden masih lebih banyak ditentukan oleh pihak manajemen (management heavy). Hal ini menunjukkan internalisasi pola PS dan ESOP sebagai instrumen demokratisasi ekonomi (industrial) yang belum optimal karena belum dapat dimanifestasikan sepenuhnya dalam kerangka sistem pengambilan keputusan umum perusahaan. 4). Peranan manajemen terkait dengan penetapan tipe pola PS yang dipilih dan tingkat modal juga masih dipersepsikan dominan. 5). Kebijakan yang akan diambil perusahaan responden tergolong akomodatif dan dapat diterima oleh pekerja. 6). Manfaat pola belum dirasakan secara merata dengan variasi yang cukup beragam. Hal ini terkait dengan perbedaan kadar keterlibatan dan kualitas pemahaman pekerja terhadap pola tersebut. 7). Manfaat yang paling banyak dipersepsikan responden dari penerapan pola PS dan ESOP ditinjau dari aspek karyawan tertarik untuk meningkatkan keuntungan perusahaan dan kesuksesan perusahaan, peningkatan komitmen, dan karyawan dianggap penting bagi keuntungan perusahaan cukup tinggi. 8). Tingkat kepuasan perihal partisipasi pekerja dalam pola berada dalam kategori sedang. 9). Masih terlalu banyak kendala baik internal maupun eksternal yang menghambat perluasan pola PS dan ESOP di Propinsi DIY maupun di Indonesia pada umumnya. Kendala yang paling dirasakan menghambat adalah belum tersedianya payung hukum bagi realisasi pola PS dan ESOP secara lebih terukur, kebijakan negara yang tidak pro-buruh, dan ketertutupan
Pengelolaan Perusahaan Swasta
155
pemilik/manajemen perusahaan, khususnya terkait dengan struktur produksi dan keuangan perusahaan. 18. Berdasar kesimpulan tersebut disampaikan saran sebagai berikut: 1) Perusahaan di DIY perlu lebih serius mengkaji pola-pola demokratisasi ekonomi di tempat kerja, di antaranya melalui penerapan pola profit sharing dan kepemilikan saham oleh pekerja dalam upaya meningkatkan kesejahteraan pekerja. 2) Perusahaan di DIY perlu lebih meningkatkan pemahaman pekerja terhadap kondisi perusahaan dan penerapan pola PS dan ESOP yang diterapkan melalui media-media sosialisasi, komunikasi, dan inf ormasi yang efektif. 3) Perusahaan responden dapat memanfaatkan diterapkan pola PS dan ESOP untuk membangun citra positif di mata publik sebagai perusahaan yang demokratis dan memenuhi hak-hak pekerja. 4) Kesadaran kolektif perlu dibangun untuk meyakinkan publik di DIY dan Indonesia pada umumnya bahwa kepemilikan saham oleh pekerja mengandung setidaknya lima peran (misi) strategis. Pertama, realisasi amanat konstitusi utamanya Pasal 33 UUD 1945. Kedua, cara untuk merombak ketimpangan relasi (struktur) produksi dan alokasi dalam perusahaan. Ketiga, upaya untuk mempertahankan perusahaan dari pengambil-alihan oleh korporasi (investor) luar negeri. Keempat, cara optimalisasi sumber keuangan (permodalan) domestik. Kelima, sebagai solusi bagi peningkatan motivasi, tanggungjawab, dan produktivitas pekerja dan perusahaan secara keseluruhan. 5) Stakeholder perusahaan di DIY perlu diyakinkan bahwa terdapat berbagai pola transformasi kepemilikan saham oleh pekerja yang sangat mungkin diterapkan. Di samping itu, juga tersedia cukup potensi (sumber finansial) untuk merealisasikannya.
-oo0oo-
156
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB X INDEKS DEMOKRASI EKONOMI INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan alat ukur derajat penerapan demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) sebagai imperasi konstitusi bagi penyelenggaraan perekonomian Indonesia. Indeks Demokrasi Ekonomi yang diformulasikan penulis dan para pakar ekonomi Indonesia ini diharapkan dapat menjadi arah dan panduan bagi pengelolaan ekonomi Indonesia. Sebagai gambaran dipaparkan juga hasil penelitian pengukuran alat ini oleh penulis di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kaltim. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d. e. f.
Memaparkan kondisi dan permasalahan structural dan sistem perekonomian Indonesia dalam perspektif demokrasi ekonomi Memaparkan metode pengukuran penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia Mengukur keterapan demokrasi ekonomi dalam pengelolaan perekonomian suatu daerah di Indonesia Menganalisis struktur, sistem, dan kebijakan perekonomian melalui aplikasi pengukuran Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia Memberikan rekomendasi alternative kebijakan dan program dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi Indonesia Memili cara pikir (mindset) analitis-konstruktif, demokratis, dan peduli pada persoalan keadilan sosial
URGENSI DEMOKRASI EKONOMI Konsep demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan sudah lama dipikirkan dan dikembangkan secara khusus oleh pakar ekonomi di dalam maupun di luar negeri dengan berbagai varian pengertian dan ciri-cirinya (Douglas (1920), Carnoy (1980), Dahl (1985), Poole (1987), dan Smith (2000)). Konsep ini
158
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
bahkan sudah dipikirkan ekonom Indonesia, khususnya M. Hatta, sejak tahun 1930 yang kemudian dirumuskan ke dalam konstitusi (Pasal 33 UUD 1945). Konsep ini terus dikembangkan oleh ekonomekonom Indonesia dengan berbagai ragam terminologi (Mubyarto (1980), Swasono (1987), Arief (2000), dan Baswir (2002). Demokrasi ekonomi di Indonesia dipandang para pendiri bangsa sebagai cara untuk memerdekakan ekonomi bangsa. Demokrasi ekonomi merupakan bagian dari agenda reformasi sosial, yaitu mengganti sistem ekonomi kolonial dengan sistem ekonomi nasional, guna menghapus pola hubungan ekonomi yang timpang, eksploitatif dan sub-ordinatif terhadap ekonomi rakyat Indonesia dan mengubah struktur sosialekonomi warisan kolonial yang jauh dari nilai-nilai keadilan sosial tersebut. Sistem ekonomi kolonial mewariskan struktur ekonomi yang sangat timpang di mana kelompok atas meskipun jumlahnya sedikit namun menguasai dan menikmati banyak surplus perekonomian nasional. Hal yang berkebalikan menimpa kelompok ekonomi bawah yang jumlahnya mayoritas namun menguasai dan menikmati hasil produksi dalam taraf yang sangat minimal. Gambaran riil perihal struktur ekonomi dapat diilustrasikan melalui hasil observasi Hatta yang memetakan struktur ekonomi Indonesia pada masa kolonial Belanda ke dalam tiga golongan besar: 1. 2.
3.
Golongan Atas, yang terdiri dari bangsa Eropa (khususnya Belanda) yang menguasai dan menikmati hasil penjualan komoditi pertanian dan perkebunan di negeri jajahan mereka. Golongan menengah, yang 90% terdiri dari kaum perantara perdagangan, khususnya dari etnis Tionghoa (China), yang mendistrubsikan hasil-hasil produksi masyarakat jajahan ke perusahaan besar dan ekonomi luaran. Dalam kelompok ini terdapat 10% bangsa Indonesia yang mampu menguasai dan menikmati hasil perekonomian karena mempunyai kekuasaan (jabatan) tertentu (elit), itu pun berada di posisi paling bawah pada lapisan ini. Golongan bawah, yang terdiri dari massa rakyat pribumi yang bergerak pada perekonomian rakyat, yang tidak mampu menguasai dan menikmati hasil-hasil produksi mereka karena berada dalam sistem ekonomi kolonialis.
Hatta memandang bahwa perbaikan kondisi ekonomi rakyat tidak mungkin hanya disandarkan pada proklamasi kemerdekaan. Perjuangan untuk memperbaiki kondisi ekonomi rakyat harus terus dilanjutkan dengan mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Karno, yang dimaksud dengan struktur ekonomi nasional adalah sebuah struktur perekonomian yang ditandai oleh meningkatnya peran serta rakyat Indonesia dalam penguasaan modal atau faktor-faktor produksi di tanah air. “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi sosial, melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia” (Hatta, 1960). Reformasi sosial hanya dimungkinkan melalui demokratisasi ekonomi, di mana kolektivitas (kekeluargaan dan kebersamaan) menjadi dasar pola produksi dan distribusi (mode ekonomi). Sebagaimana ditulis Hatta, “Di atas sendi yang ketiga (cita-cita tolong-menolong—pen.) dapat didirikan tonggak demokrasi ekonomi. Tidak lagi orang seorang atau satu golongan kecil yang mesti menguasai
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
159
penghidupan orang banyak seperti sekarang, melainkan keperluan dan kemauan rakyat yang banyak harus menjadi pedoman perusahaan dan penghasilan. Sebab itu, segala tangkai penghasilan besar yang mengenai penghidupan rakyat harus berdasar pada milik bersama dan terletak di bawah penjagaan rakyat dengan perantaraan Badan-badan perwakilannya” (Hatta, 1932). Demokrasi ekonomi dirumuskan para pendiri bangsa, terutama Hatta, sebagai cita-cita konstitusional yang termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945. Dalam demokrasi ekonomi, semua aktivitas ekonomi idealnya disatukan dalam organisasi koperasi sebagai bangun usaha yang sesuai dengan asas kekeluargaan. Hanya dalam asas kekeluargaan dapat diwujudkan prinsip demokrasi ekonomi, yaitu produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, sedangkan pengelolaannya dipimpin dan diawasi oleh anggota masyarakat sendiri. Konsep demokrasi ekonomi kemudian dituangkan dalam UUD 1945 sebagai dasar sistem perekonomian nasional. Pasca krisis moneter 1997/1998 konsep demokrasi ekonomi dijadikan sebagai alternatif solusi melalui pembuatan TAP MPR No. VI/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada saat ini pun, seiring pelaksanaan otonomi daerah (Otda) banyak daerah secara eksplisit menyatakan demokrasi ekonomi sebagai bagian dalam visi, misi, dan strategi pembangunannya. Kenyataan ini menunjukkan makin pentingnya orientasi pembangunan pada kemakmuran masyarakat dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang menjadi tujuan demokrasi ekonomi (Mubyarto, 1997). Namun perkembangan pemikiran ke arah demokrasi ekonomi ini tidak diikuti perkembangan bangunan konsep, teori, dan operasionalisasi demokrasi ekonomi. Sampai saat ini belum ada suatu indikator yang menjadi ukuran penyelenggaraan demokrasi ekonomi baik di dalam maupun luar negeri. Demokrasi ekonomi masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, dan politis. Belum tersedianya model dan alat ukur ini menjadikan agenda-agenda pembangunan daerah yang berbasis demokrasi ekonomi terlalu abstrak dan tidak memiliki arah yang jelas. Kondisi ini tidak terlepas dari bias konseptual di mana pemahaman publik terhadap demokrasi terdistorsi hanya sebatas demokrasi pada dimensi politik (demokrasi politik). Kondisi yang merupakan fenomena global ini mendorong ketimpangan perkembangan konsepsi demokrasi di dunia, terutama di negara-negara bekas jajahan seperti halnya Indonesia. Saat ini terdapat setidaknya delapan Indeks Demokrasi Politik yang mengukur kebebasan politik, pemilu, partisipasi rakyat, dan fungsi lembaga negara (Ericcson & Lane, 2002). Baru tataran demokrasi politik inilah yang dikorelasikan dengan indikator sosial-ekonomi seperti pertumbuhan dan pembangunan manusia. Korelasi tersebut dapat ditemukan pada berbagai model yang dikembangkan berdasar studi empiris di negara-negara tertentu. Model “Virtuous Triangle” melihat bahwa pembangunan manusia akan menjadi jalan bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi dan demokrasi yang selanjutnya akan berkorelasi positif satu sama lain (UNSFIR dalam Kuncoro, 2004). Selain itu terdapat model “Cruel Choice plus Trickle Down” yang meletakkan pertumbuhan ekonomi sebagai prasyarat munculnya demokrasi dan pembangunan manusia. Adapun model pertumbuhan endogen dan demokrasi versi Balla melihat posisi pembangunan manusia sebagai variabel paling penting dalam menunjang terjadinya pertumbuhan ekonomi yang akan menjadi prasyarat bagi berkembangnya demokrasi. Model yang agak berbeda dikembangkan oleh Balla,
160
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
di mana demokrasi justru menjadi pilar kunci bagi terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya akan menghasilkan perbaikan kualitas pembangunan manusia di suatu negara. Sementara itu, indikator spesifik yang sudah ada justru tersedia untuk mengukur liberalisasi ekonomi dunia, yaitu Index of Economic Freedom (The Heritage Foundation, 1980). Indeks ini mengukur derajat kebebasan ekonomi yang berorientasi pada kemakmuran individual melalui kebebasan dalam bisnis, fiskal, moneter, perdagangan, investasi, keuangan, pemerintahan, korupsi, HAKI, dan kebebasan buruh. Indeks ini sudah menjadi variabel bebas yang dikorelasikan dengan GDP perkapita, pengangguran, dan inflasi. Ketiadaan model dan ukuran operasional demokrasi ekonomi menjadi masalah di tengah munculnya fenomena ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi di Indonesia saat ini. Rasio gini Indonesia meningkat dari 0,29 pada tahun 2002 menjadi 0,35 pada tahun 2006. Kue nasional yang dinikmati oleh kelompok 40% penduduk termiskin justru turun dari 20,92 tahun 2002 menjadi 19,2 pada tahun 2006. Ironisnya, yang dinikmati oleh 20% kelompok terkaya naik dari 44,7% menjadi 45,7% pada tahun yang sama (Kuncoro, 2007). Pada saat yang sama nilai High Net Worth Individual (HNWI) Indonesia adalah sebesar 16%, padahal di Asia-Pasifik 8,6% dan rata-rata 8,3%. Sementara per Juli 2007, 1.380 Trilyun dana pihak ketiga di bank 80%-nya dikuasai 1,82% pemegang rekening (Kuncoro, 2007). Per 2006, UMKM yang sebesar 99,9% dari total pelaku usaha di Indonesia hanya menikmati 37,6% ”kue nasional”, sedangkan usaha besar yang hanya 0,1%-nya justru menikmati 46,7%-nya pada tahun yang sama. Nilai ini naik sebesar 3,6% dibanding tahun 2003 (KNKUKM, 2007).
LANDASAN LEGAL‐FORMAL DEMOKRASI EKONOMI Literatur dokumen legal utama yang menjadi landasan penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia adalah Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945, yang sebelum perubahan keempat pada tahun 2002 berisi 3 ayat sebagai berikut: 1. 2. 3.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa dalam Pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran perorang. Oleh sebab itu, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Bangun usaha yang sesuai dengan prinsip tersebut adalah koperasi. Perekonomian berdasar atas demokrasi ekonomi; kemakmuran bagi semua orang. Sebab itu cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Kalau tidak, tampuk produksi akan jatuh ke orang-seorang yang berkuasa dan rakyat yang banyak ditindasinya.
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
161
Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak, boleh ada di tangan orang-seorang. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi adalah pokok-pokok kemakmuran rakyat. Sebab itu harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Berdasar kutipan penjelasan tersebut maka isi (substansi) demokrasi ekonomi dapat dipetakan menjadi tiga bagian, yaitu “produksi oleh semua”, “produksi untuk semua”, dan “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat”. Perwujudan substansi demokrasi ekonomi tersebut dapat ditemukan pada bagian lain dalam UUD 1945. Konsep “produksi oleh semua” dirumuskan dalam Pasal 27 ayat (2) yang berbunyi “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Ayat ini mengindikasikan penekanan demokrasi ekonomi pada masalah pengangguran dan peningkatan kesejahteraan sosial tenaga kerja (buruh). Konsep “produksi untuk semua” dipertegas dalam pasal 34 yang berbunyi “fakir miskin dan anakanak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Pasal ini mengindikasikan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi juga menekankan perhatian pada pola alokasi dan konsumsi, utamanya yang terkait dengan peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Politik alokasi dilakukan oleh negara melalui instrument belanja publik yang harus mampu memberikan jaminan sosial bagi penduduk miskin dan kelompok rentan (vulnerable) lain seperti halnya anak-anak terlantar di Indonesia. Konsep “produksi di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat” dapat diwujudkan melalui keberdayaan rakyat banyak yang terhimpun dalam serikat-serikat ekonomi. Pasal 28 yang berbunyi “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang” member arahan bagi kebersatuan ekonomi rakyat tersebut. Pasal ini mengindikasikan perlunya keberdayaan wadah-wadah perjuangan ekonomi rakyat sepertihalnya koperasi dan serikat pekerja dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia. Peranan anggota-anggota masyarakat dalam penguasaan dan kontrol perekonomian hanya dimungkinkan melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat didorong melalui pendidikan. Pasal 31 yang berbunyi “setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan” mengindikasikan pentingnya akses pendidikan, yang juga perlu didukung akses terhadap kesehatan, yang wajib disediakan oleh negara dalam rangka penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Angota-anggota masyarakat yang terdidik dan sehat akan mampu berpengaruh besar dalam perekonomian nasional. Penguasaan dan kontrol anggota-anggota masyarakat terhadap faktor produksi diformulasikan melalui peranan negara yang vital dalam perekonomian, yang tercantum dalam ayat 2 dan 3 pasal 33 UUD 1945. Dalam rangka demokrasi ekonomi maka negara yang merupakan perwujudan anggotaanggota masyarakat menguasai dan memegang kontrol pengelolaan atas cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Literatur legal lain yang berisi muatan spesifik perihal demokrasi ekonomi adalah Ketetapan MPR No XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Dalam TAP MPR ini disebutkan bahwa demokrasi ekonomi diselenggarakan melalui dukungan pengembangan (keberpihakan) yang jelas dan tegas pemerintah kepada pelaku ekonomi rakyat (usaha kecil, menengah, dan koperasi) tanpa mengabaikan peranan usaha besar dan BUMN. Wujud dukungan (keberpihakan) tersebut adalah
162
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
peningkatan akses mereka terhadap SDA, tanah (lahan), dan sumber dana (modal). Di samping itu, demokrasi ekonomi bagi pekerja diselenggarakan melalui kesempatan pekerja untuk memiliki saham perusahaan.
STUDI LITERATUR PENDUKUNG DEMOKRASI EKONOMI Hatta dalam bukunya Bebarapa Fasal Ekonomi (1950) menguraikan penerapan demokrasi ekonomi yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945 ke dalam beberapa aspek berdasarkan analisisnya pada situasi ekonomi-politik Indonesia pada masa itu. Menurut Hatta dasar perekonomian yang sesuai dengan cita-cita tolong menolong adalah koperasi, yang hendaknya dimulai susunannya di desa karena masyarakat Indonesia pusatnya di desa. Terkait dengan kondisi agrarisnya maka menurut Hatta faktor produksi terutama adalah tanah yang hendaknya dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa. Persoalan yang juga dinilai penting dalam memajukan demokrasi ekonomi menurut Hatta adalah bagaimana memperbarui tenaga produktif rakyat yang akan menjadi tulang punggung produksi nasional. Pembaruan ini dilakukan melalui pemusatan perhatian pembangunan ekonomi kepada peningkatan akses rakyat terhadap makanan berkualitas melalui kebijakan upah yang dapat mempertinggi daya beli rakyat. Di samping itu, perhatian terhadap tempat kediaman dan kesehatan tenaga produktif rakyat juga menjadi indikasi penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Hatta juga memandang arti pentingnya keberadaan Bank Industri Rumah yang menyediakan kapital bagi ekonomi rakyat dan penyediaan pendidikan yang dapat meningkatkan kecakapan tenaga produktif rakyat. Sukarno dalam artikelnya di harian Fikiran Ra’Jat (1932) berjudul Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi memaparkan demokrasi ekonomi sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari demokrasi politik. Sosio-demokrasi yang dipikirkan Sukarno bukan sekedar menempatkan kedaulatan rakyat secara politik yang dimanifestasikan dalam pemilihan umum, melainkan juga kedaulatan rakyat secara ekonomi, yang dimanifestasikan dengan kecilnya ketimpangan sosial-ekonomi, tidak terjadinya eksploitasi ekonomi, dan tidak adanya segelintir elit ekonomi (borjuasi) yang menguasai begitu banyak sumber daya ekonomi. Swasono sebagai editor buku Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi (1985) menyimpulkan bahwa penyelenggaraan demokrasi ekonomi di Indonesia dilakukan melalui pengembangan organisasi koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional dan penerapan bangun usaha (jiwa) koperasi oleh seluruh bentuk pengelolaan perusahaan yang ada. Dalam demokrasi ekonomi koperasi dapat pula melakukan penyertaan dalam perusahaan, sehingga dapat turut serta dalam pengambilan kebijakan di dalam perusahaan. Dalam artikel lepas yang terhimpun dalam buku tersebut pengasosiasian demokrasi ekonomi dengan bangun usaha koperasi (kooperasi) masih dominan. Hal ini terlihat dalam pemikiran Hatta, Damanik, Sudjanadi, Emil Salim, Wahju Sukotjo, Swasono, Mubyarto, dan Dawam Rahardjo yang memusatkan perhatian pada pemberdayaan koperasi dalam pelaksanaan demokrasi ekonomi di Indonesia. Dalam bukunya berjudul Kerakyatan, Demokrasi Ekonomi, dan Kesejahteraan Sosial (2008), Swasono memandang bahwa demokrasi ekonomi Indonesia sudah ditegaskan dalam Pasal 33 UUD 1945 ayat 1-3 beserta Penjelasannya. Demokrasi ekonomi menurut Swasono bercita-cita mewujudkan keadilan
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
163
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan menyandang pemihakan terhadap yang lemah, miskin, dan terbelakang untuk mendapatkan perhatian dan perlakuan khusus kearah pemberdayaan. Dalam kaitan dengan butir-butir yang dicakup oleh pengertian demokrasi ekonomi dalam Penjelasan Pasal 33 UUD 1945, Swasono menekankan pentingnya keberadaan usaha bersama ekonomi yang diberi wujud dalam pemilikan bersama dan tanggung jawab bersama. Swasono mengajukan prinsip dasar kebersamaan Triple-Co, yaitu Co-ownership (ikut dalam memiliki saham), Co-determination (ikut menilik dan menentukan kebijakan usaha), dan Co-responsibility (ikut bertanggungjawab dalam menyelamatkan usaha bersama). Ketiga prinsip ini sudah inheren di dalam badan usaha koperasi dan yang menurut Swasono dapat diterapkan dalam badan usaha non-koperasi melalui pola kepemilikan saham perusahaan oleh pekerja, masyarakat, dan koperasi. Mubyarto dalam bukunya Ekonomi Kerakyatan dan Ekonomi Rakyat,Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi (1997) menempatkan demokrasi ekonomi sebagai cara perwujudan ekonomi kekeluargaan atau cara perwujudan ekonomi Pancasila. Demokrasi ekonomi yang terkandung dalam pasal 33 UUD 1945 merupakan perwujudan dari Sila Kerakyatanan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. Mubyarto berpandangan bahwa demokrasi ekonomi merupakan cara untuk meningkatkan pemerataan atau mengurangi ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial melalui pemanfaatan seluruh tenaga kerja secara optimal (berkurangnya pengangguran). Dalam pada itu menurut Mubyarto demokrasi ekonomi terwujud melalui desentralisasi ekonomi dan otonomi daerah, di mana pengambilan putusan-putusan ekonomi dapat lebih banyak dilakukan di daerah. Pajak-pajak seyogyanya makin banyak yang dilimpahkan penarikan dan penggunaannya ke daerah-daerah. Hal ini sejalan dengan konsepsi demokrasi ekonomi yang juga diartikan Mubyarto sebagai cara-cara pengambilan putusan-putusan ekonomi yang melibatkan seluruh pihak yang terkait dan putusan tersebut adalah untuk kemanfaatan seluruh pihak yang bersangkutan. Dalam hal ini sejalan dengan pandangannya tentang koperasi sebagai sokoguru perekonomian nasional yang menjadi salah satu ciri penerapan demokrasi ekonomi di Indonesia. Sritua Arief dalam bukunya berjudul Ekonomi Kerakyatan Indonesia Mengenang Bung Hatta (2002) mengulas demokrasi ekonomi Indonesia dengan penekanan pada keadilan dalam aspek produksi dan alokasi hasil produksi (penerimaan). Sritua menilai demokrasi ekonomi baru terwujud melalui keadilan dalam pemberian kompensasi terhadap buruh, petani, pengusaha kecil, dan konsumen (masyarakat), yang dimungkinkan jika tidak terjadi eksploitasi ekonomi yang dilakukan oleh para pemburu rente. Demokrasi ekonomi juga dimaknai Sritua sebagai penyertaan rakyat banyak dalam proses pembangunan, yang dalam konteks perdesaan maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah penataan kepemilikan tanah dan bagi hasil yang adil. Di daerah perkotaan, demokrasi ekonomi dilakukan melalui kebijakan perizinan, kebijakan kredit, dan pemberian kesempatan. Dalam pada itu, koperasi juga tetap dipandang Sritua sebagai organisasi ekonomi rakyat yang jika berdaya maka akan mampu mendorong kearah perwujudan demokrasi ekonomi Indonesia. Arief Budiman dalam artikelnya di buku Sosok Demokrasi Ekonomi Indonesia (1993) mengartikan demokrasi ekonomi sebagai sebuah sistem di mana rakyat berperan serta secara substansial dalam
164
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
menentukan proses produksi dan distribusi. Menurut Arief kalau sebuah masyarakat melaksanakan demokrasi ekonomi, maka diperkirakan masyarakat tersebut akan menjadi measyarakat egalitarian, di mana semua warga berperan aktif dalam proses produksi (ikut menentukan apa yang akan diproduksi dan seberapa banyak), dan memperoleh hasil-hasil produksi tersebut secara relatif merata. Sebaliknya bila di dalam masyarakat tidak terdapat demokrasi ekonomi, maka proses produksi hanya ditentukan oleh sekelompok elit, dan hasil-hasil produksi tersebut tidak didistribuskan secara merata. Para elit yang menguasai proses produksi dan distribusi akan memperoleh penghasilan yang jauh lebih besar ketimbang rakyat banyak yang tidak ikut campur (atau hanya terlibat pasif saja, misalnya menjadi bagian dari alat produksi) dalam kedua proses tersebut. Keadaan ekonomi yang dapat menjadi indikasi penerapan demokrasi ekonomi menurut Arief adalah tingkat pengangguran, proporsi pendapatan penduduk miskin, proporsi upah buruh di perusahaan, Didik J. Rachbini dalam bukunya Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi (2001) menyarikan empat substansi demokrasi ekonomi yang bertumpu pada semangat dan pemikiran para pendiri bangsa. Pertama, perlakuan yang adil dan dukungan pengembangan kepada pengusaha ekonomi lemah, terutama dalam hal akses ke seumber daya alam dan sumber dana. Kedua, keadilan dalam pengelolaan pertanahan dan sumber daya alam, khususnya dalam mendukung pengembangan usaha kecil dan koperasi. Ketiga, demokratisasi untuk kesejahteraan pekerja melalui dukungan untuk berserikat dan memperoleh hak kepemilikan saham di perusahaan. Keempat, akses seluasnya usaha kecil dan koperasi terhadap sumber daya keuangan dengan mereformasi perbankan agar tidak sekedar menjadi kasir konglomerat dan pengusaha besar. Revrisond Baswir dalam artikelnya berjudul Ekonomi Kerakyatan (2005) berpandangan bahwa demokrasi ekonomi berdasarkan pada penjelasan Pasal 33 UUD 1945 dalam garis besarnya mencakup tiga hal sebagai berikut. Pertama, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam proses pembentukan produksi nasional. Kedua, partisipasi seluruh anggota masyarakat dalam turut menikmati hasil produksi nasional. Dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, negara wajib menyelenggarakan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin dan anak-anak terlantar di Indonesia. Ketiga, kegiatan pembentukan produksi dan pembagian hasil produksi nasional itu harus berlangsung di bawah pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Sebagai konsekuensi logisnya, negara wajib untuk secara terus menerus mengupayakan terjadinya peningkatkan kepemilikan ketiga jenis modal tersebut secara relatif merata di tengah-tengah masyarakat. Sehubungan dengan modal material, misalnya, negara tidak hanya wajib mengakui dan melindungi hak kepemilikan setiap anggota masyarakat. Negara juga wajib memastikan bahwa semua anggota masyarakat turut memiliki modal material. Jika ada di antara anggota masyarakat yang sama sekali tidak memiliki modal material, dalam arti terlanjur terperosok menjadi fakir miskin atau anak-anak terlantar, maka negara wajib memelihara mereka. Sehubungan dengan modal intelektual, negara wajib menyelenggarakan pendidikan nasional secara cuma-cuma. Artinya, dalam rangka ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, penyelenggaraan pendidikan berkaitan secara langsung dengan tujuan pendirian negara untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan tidak boleh dikomersialkan. Negara memang tidak perlu melarang jika ada pihak
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
165
swasta yang menyelenggarakan pendidikan, tetapi hal itu sama sekali tidak menghilangkan kewajiban negara untuk menanggung biaya pokok penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anggota masyarakat yang membutuhkannya. Sementara itu, sehubungan dengan modal institusional, negara wajib melindungi kemerdekaan setiap anggota masyarakat untuk berserikat, berkumpul, dan menyatakan pendapat. Thoby Mutis dalam bukunya berjudul Cakrawala Demokrasi Ekonomi (2002) memaparkan beberapa parameter makro yang dapat digunakan untuk menilai perwujudan demokrasi ekonomi sesuai amanat Pasal 33 UUD 1945. Parameter tersebut adalah kontribusi koperasi terhadap PDRB, pangsa pasar produk koperasi, volume permodalan (omset) koperasi, kekuatan struktur jaringan koperasi, dan demokartisasi akses informasi. Secara umum Mutis berpandangan bahwa parameter demokrasi ekonomi hendaknya dijabarkan dari konsepsi yang ada di dalam Pasal 33 UUD 1945 sebagai normative economy yang menjadi visi bagi pengelolaan ekonomi Indonesia. Robert Dahl dalam bukunya berjudul A Preface to Economic Democracy yang sudah diterjemahkan Setiawan Abadi dengan judul Demokrasi Ekonomi: Sebuah Pengantar (1992) menguraikan tiga substansi demokrasi ekonomi. Pertama, Dahl menekankan penyelenggaraan demokrasi ekonomi di perusahaan (tempat kerja) melalui pengelolaan perusahaan yang dimiliki secara kolektif secara demokratis oleh semua orang yang bekerja di dalamnya. Setiap orang yang dipekerjakan dalam perusahaan berhak atas satu dan hanya satu suara. Perusahaan seperti ini disebut Dahl sebagai Perusahaan Swapraja (SelfGoverning Enterprises). Kedua, penerapan kebijakan alokasi yang partisipatoris (participatory allocation policy). Dalam hal ini kompensasi yang diterima oleh seluruh anggota (pemilik) perusahaan ditentukan dengan cara melibatkan semua orang (pekerja) dalam pengambilan keputusan. Ketiga, menyangkut sistem kepemilikan dalam perusahaan swapraja, yang dapat merupakan variasi dari beberapa alternatif, yaitu kepemilikan individual, kepemilikan kooperatif, kepemilikan negara, dan kepemilikan sosial. Martin Carnoy dalam bukunya berjudul Economic Democracy: The Challenge of The 1980s (1980) menganalisis lima aspek dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi. Pertama, perlunya kepemilikan bersama (public ownership) atas cabang-cabang produksi dan sumber daya yang dikategorikan sebagai kepemilikan umum, yang dalam hal ini pengelolaannya dikuasakan kepada negara (melalui Badan Usaha Milik Negara). Kedua, perlunya kontrol demokratis terhadap investasi, sehingga tidak terjadi spekulasi dan konsentrasi modal yang dapat mendistrosi perekonomian nasional secara keseluruhan. Ketiga, demokratisasi di tempat kerja, yaitu dengan melibatkan pekerja dalam pemilikan, pengawasan, dan pengambilan keputusan dalam perusahaan, yang umumnya diterapkan melalui pola kepemilikan saham oleh pekerja (employee share ownership plan=ESOP) dan pembentukan koperasi produsen. Keempat, pengembangan teknologi yang demokratis, yaitu dengan melibatkan peranserta masyarakat luas dan teknologi yang dikembangkan adalah teknologi yang dibutuhkan juga oleh masyarakat luas (teknologi tepat guna). Kelima, kontrol terhadap perusahaan agar tidak menjadi monopolis dan memunculkan konsentrasi kekayaan (aset) yang dapat memperlebar ketimpangan ekonomi dan sosial. Carnoy memandang bahwa dalam demokrasi ekonomi peraturan-peraturan permainan pasar akan berubah; di mana akan lebih banyak pemain (koperasi, perusahaan-perusahaan milik karyawan,
166
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
perusahaan-perusahaan milik masyarakat, dan perusahaan-perusahaan negara). Hubungan antarpemain tersebut akan lebih seimbang di mana tangan tersembunyi hanya bekerja apabila produsen dan konsumen relatif setara dalam pengetahuan dan kekuasaan. Michael Poole dalam bukunya berjudul The Origin of Economic Democracy (1986: 1) mengartikan demokrasi ekonomi sebagai partisipasi pekerja dalam kepemilikan sebuah perusahaan dan pembagian dari penghargaan (reward). Sedangkan demokrasi industrial merupakan bentuk partisipasi pekerja dalam pengambilan keputusan dan keterlibatan pekerja dalam proses pengawasan jalannya perusahaan. David Schweickart dalam artikelnya yang berjudul Economic Democracy: Worthy Socialism That Would Really Work (1992) mengidentikkan demokrasi ekonomi sebagai bentuk sosialisme pasar dengan tiga pilar institusinya, yaitu : a. b. c.
Manajemen perusahaan oleh pekerja (worker self-management) Pembagian barang dan jasa melalui sistem pasar Kontrol sosial terhadap investasi modal
Tujuan mendasar dari ketiga core institusi ini adalah untuk melakukan demokratisasi di tempat kerja melalui pembagian modal (capital) dan bagi hasil (profit) kepada pekerja.
HASIL STUDI FORMULASI INDEKS DEMOKRASI EKONOMI Sesuai rencana aplikasi Metode Delphi dalam penelitian ini maka distribusi instrumen penelitian kepada para-ahli dilakukan sebanyak dua kali (dua putaran). 10 ahli yang menjadi responden Delphi dalam penelitian ini selengkapnya adalah: 1. 2. 3. 4.
Prof. Dr. San Afri Awang, MSc (Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan (PUSTEK) UGM) Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, MEc (ekonom, Rektor UII, dan Staf Ahli PUSTEK UGM) Drs. Revrisond Baswir, MBA (ekonom dan mantan Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM) Dr. Noer Sutrisno, MEc (ekonom IPB, dan Sekretaris Menteri Perumahan Rakyat Republik Indonesia) 5. Dr. Fahmi Radhi, MBA (ekonom, Direktur Program Diploma Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, dan Staf Ahli PUSTEK UGM). 6. Ichsanudin Noorsy, SH, MSc (ekonom, Tim Indonesia Bangkit (TIB), dan Staf Ahli PUSTEK UGM) 7. Dr. Muhammad Fadhil Hasan, MEc (ekonom, dosen IPB, dan Staf Ahli INDEF) 8. Henry Saragih (Ketua Serikat Petani Indonesia (SPI) dan Sekjen La Via Campesina) 9. Dr. Ahmad Erani Yustika, MEc (ekonom, dosen Universitas Brawijaya, dan Peneliti INDEF) 10. Drs. Hudiyanto (ekonom, dosen UMY, dan Peneliti PUSTEK UGM) Selengkapnya hasil penilaian ahli terhadap instrumen penelitian yang berupa rancangan (hipotetik) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia diuraikan di bawah ini:
a. Temuan Aplikasi Metode Delphi Putaran I Pada distribusi instrumen penelitian putaran I dapat diketahui penilaian para-ahli terhadap 22 variabel penyusun Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia. Secara keseluruhan para-ahli menerima
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
167
susunan umum Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang terdiri dari Dimensi Demokrasi Produksi, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi, dan Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi beserta kriteria pada setiap dimensi tersebut. Selengkapnya penilaian para-ahli terhadap masing-masing variabel dalam dimensi dan kriteria tersebut dapat dilihat di bawah Ini: 1). Variabel Dimensi Demokrasi Produksi (DP) = X Pada dimensi demokrasi produksi variabel Tingkat Pengangguran Terbuka (X1) terdapat 4 (40%) ahli (Delphi) yang menilai pada range 7 (maksimum), 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 3 Delphi (30%) menilai pada range 5, dan 1 Delphi (10%) yang menilai pada range 1 (minimum). Nilai Skor Variabel Tingkat Pengangguran Terbuka Rata-Rata adalah sebesar 0,812, di atas Batas Minimum Persetujuan sebesar 0,712. Pada variabel Tingkat Pengangguran Terselubung (X2) terdapat 5 Delphi (50%) yang menilai dalam range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) menilai pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Tingkat Pengangguran Terselubung Rata-Rata adalah sebesar 0,771, masih sedikit di atas batas minimum persetujuan. Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan adalah sebesar 0,800, di atas batas minimum persetujuan.
Gambar 10.1 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi (DP) 2). Variabel Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) = Y Pada dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi Variabel Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap Total Belanja (Y1) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap Total Belanja Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,900, di atas batas minimum persetujuan. Pada dimensi Variabel Proporsi Pendapatan 40% Kelompok Terbawah Terhadap Total Pendapatan (Y2) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7 dan 2 Delphi (2%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Pendapatan 40% Kelompok Terbawah Terhadap Total Pendapatan adalah sebesar 0,971, jauh di atas batas minimum persetujuan.
168
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Alokasi dan Konsumsi (DAK)
Gambar 10.2 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi 3). Variabel Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)= Z Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk faktor produksi, yaitu faktor produksi material, intelektual, dan institusional. Selengkapnya pembahasan terhadap masing-masing bentuk faktor produksi tersebut adalah sebagai berikut: a.
Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material Variabel Proporsi APBD terhadap PDRB (Z1) terdapat 3 Delphi (30%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi APBD terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi PAD terhadap APBD (Z2) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi PAD terhadap APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,785, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Pembiayaan Domestik terhadap APBD (Z3) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%). Nilai Skor Variabel Proporsi Proporsi Pembiayaan Domestik terhadap APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi APBD terhadap Total Omzet Hasil Eksploitasi SDA di Daerah (Z4) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 3 Delphi (30%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi APBD terhadap Total Omzet Hasil Eksploitasi SDA di Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Kredit Konsumsi Perkapita (Z5) terdapat 2 Delphi (20%) yang menilai pada range 7, 3 Delphi (30%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5, dan 2 Delphi (20%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Kredit Konsumsi Perkapita Rata-Rata adalah sebesar 0,700, atau di bawah batas minimum persetujuan.
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
169
Pada Variabel Proporsi Investasi Domestik Terhadap Total Investasi (Z6) di Daerah terdapat 5 Delphi (50%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 3 Delphi (30%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Investasi Domestik Terhadap Total Investasi di Daerah Rata-Rata adalah sebesar 0,857, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap PDRB (Z7) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 1. Nilai Skor Variabel Proporsi Investasi Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,871, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Kredit terhadap Tabungan (Z8) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7 dan 6 Delphi (30%) menilai pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi Kredit terhadap Tabungan Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan (Tanah) (Z9) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan (Tanah) Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan.
Gambar 10.3 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material b.
Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual Variabel Proporsi Belanja Pendidikan dalam APBD (Z10) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7 dan 4 Delphi (40%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Pendidikan dalam APBD RataRata adalah sebesar 0,967, jauh di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Belanja Kesehatan dalam APBD (Z11) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7 dan 4 Delphi (40%) menilai pada range 6. Nilai Skor Variabel Proporsi Belanja Kesehatan dalam APBD Rata-Rata adalah sebesar 0,943, jauh di atas batas minimum persetujuan.
170
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Pada Variabel Proporsi (Tingkat) Partisipasi Sekolah (Z12) terdapat 8 Delphi (80%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 1 Delphi (10%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi (Tingkat) Partisipasi Sekolah Rata-Rata adalah sebesar 0,943, jauh di atas batas minimum persetujuan.
Gambar 10.4 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Intelektual c.
Variabel Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional Pada Sub-Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional Variabel Proporsi Anggota Koperasi dari Total Jumlah Penduduk (Z13) terdapat 4 Delphi (40%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Anggota Koperasi dari Total Jumlah Penduduk Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Volume Usaha Koperasi terhadap PDRB (Z14) terdapat 3 Delphi (30%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, dan 4 Delphi (40%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Volume Usaha Koperasi terhadap PDRB Rata-Rata adalah sebesar 0,814, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Perusahaan Yang Memiliki Serikat Pekerja (Z15) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2 Delphi (20%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi Perusahaan Yang Memiliki Serikat Pekerja Rata-Rata adalah sebesar 0,828, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Anggota Serikat Pekerja terhadap Jumlah Pekerja Total (Z16) terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 2 Delphi (20%) menilai pada range 6, 1 Delphi (10%) pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 4. Nilai Skor Variabel Proporsi Anggota Serikat Pekerja terhadap Jumlah Pekerja Total Rata-Rata adalah sebesar 0,900, di atas batas minimum persetujuan. Pada Variabel Proporsi Perusahaan Yang Menerapkan Pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja (Z17) terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 6, dan 2
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
171
Delphi (20%) pada range 5. Nilai Skor Variabel Proporsi Perusahaan Yang Menerapkan Pola Kepemilikan Saham oleh Pekerja Rata-Rata adalah sebesar 0,928, jauh di atas batas minimum persetujuan.
Gambar 10.5. Penilaian Ahli Terhadap Variabel Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Institusional Secara keseluruhan aplikasi Metode Delphi Putaran I menghasilkan 21 variabel yang nilai skor rataratanya di atas batas minimum persetujuan. Hanya terdapat 1 variabel dalam Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi Material, yaitu Variabel Proporsi Konsumsi Perkapita terhadap Konsumsi Perkapita yang dinilai para-ahli (Nilai Skor Variabel Rata-Rata) di bawah batas minimum persetujuan. Nilai Skor Dimensi Rata-Rata untuk Dimensi Demokrasi Produksi adalah sebesar 0,794, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsums sebesar 0,953, dan Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi sebesar 0,861. Tabel 10.1 Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
Batas Minimum Persetujuan*
Nilai Skor Variabel Rata-Rata**
X
Demokrasi Produksi (DP)
0,714
0,794
1
Tk. Pengangguran Terbuka
0,714
0,812
2
Tk. Pengangguran Terselubung
0,714
0,771
3
Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
0,714
0,800
Y
Demokrasi Alokasi (DA)
0,714
0,935
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0,714
0,900
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40%
0,714
0,971
Terbawah/Total Pendapatan
172
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 10.1 Lanjutan
No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) Demokrasi Penguasaan Faktor
Batas Minimum Persetujuan*
Nilai Skor Variabel Rata-Rata**
0,714
0,861
Produksi (DPFP) Z-a
Faktor Produksi Material
1
Rasio APBD/PDRB
0,714
0,814
2
Rasio PAD/APBD
0,714
0,785
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
0,714
0,828
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
0,714
0,814
5
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi
0,714
0,700
6
Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
0,714
0,857
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0,714
0,871
8
Rasio Kredit/Tabungan
0,714
0,828
9
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan
0,714
0,828
Z-b
Faktor Produksi Intelektual
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
0,714
0,967
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
0,714
0,943
12
Rasio Partisipasi Sekolah
0,714
0,943
Z-c
Faktor Produksi Institusional
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk
0,714
0,828
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0,714
0,814
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
0,714
0,828
16
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
0,714
0,900
17
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP
0,714
0,928
* : Batas Minimum Persetujuan = Range Persetujuan Minimum (50) / Range Persetujuan Maksimum (70) ** : Nilai Skor Variabel / Nilai Skor Maksimum (70)
Secara keseluruhan aplikasi Metode Delphi pada putaran I telah menghasilkan hipotetik susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia sesuai dengan hipotetik susunannya dalam instrumen penelitian. Susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia tersebut adalah sebagai berikut:
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
173
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) = Demokrasi Produksi (DP) + Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) + Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP) atau, IDEI = DP + DAK + DPFP di mana,
DP = X1 + X2 + X3 DAP = Y1 + Y2 DPFP = Z1 + ,…Z17 Hipotetik bobot masing-masing dimensi dapat didasarkan pada penilaian para-ahli yang menghasilkan Nilai Skor Dimensi Rata-Rata, yaitu Dimensi Demokrasi Produksi sebesar 0,794, Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi sebesar 0,935, dan Dimensi Penguasaan Faktor Produksi sebesar 0,861. Formula hipotetik putaran I Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia dengan adalah sebagai berikut:
IDEI = (0,79)DP + (0,93)DAK + (0,86)DPFP
2). Temuan Aplikasi Delphi Putaran 2 Sesuai dengan karakteristik Metode Delphi, yaitu iterasi dan umpan balik yang terkelola, maka responden Delphi diberi kesempatan untuk mengubah atau memperbaiki jawabannya. Hal ini dilakukan setelah responden Delphi memperoleh informasi perihal hasil analisis data sementara yang menunjukkan penilaian umum para-ahli responden Delphi. Hasil analisis data putaran I tersebut selanjutnya digunakan sebagai instrumen penelitian pada aplikasi Metode Delphi putaran II. Distribusi instrumen putaran II menghasilkan temuan yang secara umum memperkuat temuan putaran sebelumnya, di mana hanya 1 responden Delphi yang mengubah jawabannya secara positif pada 1 buah variabel. Perubahan ini dilakukan pada variabel Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan, dari yang semula dinilai pada range 4 kemudian diubah menjadi dinilai pada range 7 (maksimum). Sementara itu jawaban semua responden Delphi pada seluruh variabel yang lain pada putaran I tidak mengalami perubahan. Sementara itu penilaian para-ahli terhadap Bobot Dimensi yang dihasilkan dari Nilai Skor Dimensi Rata-Rata menunjukkan kecenderungan penerimaan para-ahli responden Delphi terhadap nilai bobot yang diajukan. Hal ini ditunjukkan dengan nilai (tingkat) persetujuan terhadap semua Bobot Dimensi yang sebesar 80%, sedangkan nilai (tingkat) ketidaksetujuan hanya sebesar 6,66%. Tingkat ketidaksetujuan pada Dimensi Demokrasi Produksi dan Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi adalah sama-sama sebesar 3,33%. Tidak terdapat ketidaksetujuan dari para-ahli responden Delphi pada Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi. Dalam pada itu nilai (tingkat) abstain (keraguan) adalah sebesar 13,34%.
174
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 10.2 Nilai Skor Aplikasi Metode Delphi Putaran II
No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
Perubahan Jawaban* (%) YA
TIDAK
X
Demokrasi Produksi (DP)
1
Tk. Pengangguran Terbuka
0
100
2
Tk. Pengangguran Terselubung
0
100
3
Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
10
90
Y
Demokrasi Alokasi (DA)
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0
100
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40%
0
100
Penilaian Tentang Bobot Dimensi** (%) SETUJU TIDAK SETUJU
80
10
80
10
80
0
Terbawah/Total Pendapatan Z
Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)
Z-a
Faktor Produksi Material
1
Rasio APBD/PDRB
0
100
2
Rasio PAD/APBD
0
100
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
0
100
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
0
100
5
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi
0
100
6
Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
0
100
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0
100
8
Rasio Kredit/Tabungan
0
100
9
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan
0
100
Z-b
Faktor Produksi Intelektual
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
0
100
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
0
100
12
Rasio Partisipasi Sekolah
0
100
Z-c
Faktor Produksi Institusional
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk
0
100
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0
100
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
0
100
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
175 Tabel 9.2 Lanjutan
No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
Perubahan Jawaban* (%) YA
TIDAK
6
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
0
100
17
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP
0
100
5,88
94,12
Nilai Rata-Rata
Penilaian Tentang Bobot Dimensi** (%) SETUJU TIDAK SETUJU
80,00
6,66
* : Jawaban TIDAK merupakan persetujuan final terhadap kesesuaian variabel sebagai elemen Indeks ** : Bobot dimensi sesuai rerata nilai elemen variabel penyusun dimensi, yaitu Demokrasi Produksi = 0,79, Demokrasi Alokasi = 0,93 dan Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi = 0,86
Satu-satunya perubahan jawaban yang dilakukan oleh responden Delphi selanjutnya mengubah Nilai Skor Variabel Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan. Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) aplikasi Metode Delphi Putaran I terdapat 6 Delphi (60%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, 1 Delphi (10%) pada range 4, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan pada Putaran I adalah sebesar 0,800, di atas batas minimum persetujuan.
Gambar 10.6 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran I (Sebelum Revisi) Pada variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan (X3) aplikasi Metode Delphi Putaran II terdapat 7 Delphi (70%) yang menilai pada range 7, 1 Delphi (10%) menilai pada range 5, dan 1 Delphi (10%) menilai pada range 3. Nilai Skor Variabel Rasio Upah Buruh Terhadap Omset Perusahaan pada aplikasi Metode Delphi Putaran II (revisi jawaban) naik menjadi sebesar 0,814 dan tetap di atas batas minimum persetujuan.
176
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Gambar 10.7 Penilaian Ahli Terhadap Variabel Dimensi Demokrasi Produksi Pada Putaran 2 (Sesudah Revisi) Perubahan jawaban 1 Delphi terhadap 1 variabel (Proporsi Upah Buruh terhadap Total Omzet Perusahaan) pada putaran II juga mengubah Nilai Skor Dimensi Demokrasi Produksi dari sebelumnya sebesar 0,794 menjadi sebesar 0,799. Sementara itu, Nilai Skor Dimensi Rata-Rata dan Nilai Skor Variabel Rata-Rata lainnya tidak mengalami perubahan. Nilai perubahan yang tidak mengubah nilai desimal pertama ini kurang signifikan, sehingga penentuan Bobot Dimensi Demokrasi Produksi tetap signifikan untuk menggunakan penilaian para-ahli pada putaran II yang untuk dimensi tersebut tingkat persetujuannya sudah mencapai 80% dan tingkat ketidaksetujuannya hanya 3,3%. Tabel 10. 3 Nilai Skor Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia Putaran II (Revisi)
No
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI)
X
Demokrasi Produksi (DP)
0,714
0,799*
1
Tk. Pengangguran Terbuka
0,714
0,812
2
Tk. Pengangguran Terselubung
0,714
0,771
3
Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
0,714
0,814**
Y
Demokrasi Alokasi (DA)
0,714
0,935
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0,714
0,900
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40%
0,714
0,971
Terbawah/Total Pendapatan
Batas Minimum Persetujuan
Nilai Skor Variabel Rata-Rata
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
177 Tabel 10. 3 Lanjutan
No Z
Dimensi/Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) Demokrasi Penguasaan Faktor
Batas Minimum Persetujuan
Nilai Skor Variabel Rata-Rata
0,714
0,861
Produksi (DPFP) Z-a
Faktor Produksi Material
1
Rasio APBD/PDRB
0,714
0,814
2
Rasio PAD/APBD
0,714
0,785
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
0,714
0,828
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
0,714
0,814
5
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi
0,714
0,700
6
Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
0,714
0,857
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0,714
0,871
8
Rasio Kredit/Tabungan
0,714
0,828
9
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan
0,714
0,828
Z-b
Faktor Produksi Intelektual
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
0,714
0,967
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
0,714
0,943
12
Rasio Partisipasi Sekolah
0,714
0,943
Z-c
Faktor Produksi Institusional
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk
0,714
0,828
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0,714
0,814
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
0,714
0,828
16
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
0,714
0,900
17
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP
0,714
0,928
* : Nilai Skor Revisi dari sebelumnya sebesar 0,794 **: Nilai Skor Revisi dari sebelumnya sebesar 0,800
Secara keseluruhan hasil distribusi instrumen penelitian aplikasi Metode Delphi Putaran II memperkuat temuan Dimensi, Kriteria, dan Indikator (Variabel) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia pada aplikasi Metode Delphi Putaran I. Perubahan jawaban pada 1 Variabel oleh 1 Delphi tidak signifikan dan juga meningkatkan nilai skor variabel diubah yang memperkuat temuan sebelumnya. Oleh karena itu hasil temuan aplikasi Metode Delphi pada Putaran I dapat digunakan sebagai dasar penetapan Variabel
178
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
dan Susunan Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang sudah diformulasikan secara hipotetik pada analisis hasil temuan aplikasi Metode Delphi pada putaran I. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan hasil temuan dan analisis penilaian ahli dalam aplikasi Metode Delphi Putaran I dan II maka dapat dirumuskan kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut: Simpulan 1). Variabel yang dinilai sesuai oleh para-ahli dan mencapai nilai skor di atas batas minimum persetujuan, sehingga dapat dijadikan sebagai unsur penyusun Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) adalah sebanyak 21 variabel yang terbagi dalam 3 Dimensi, yaitu: A. Dimensi Demokrasi Produksi (DP) = X 1. Tingkat Pengangguran Terbuka (X1) 2. Tingkat Pengangguran Terselubung (X2) 3. Rasio Upah Buruh Terhadap Total Omzet Perusahaan (X3) B. Dimensi Demokrasi Alokasi dan Konsumsi (DAK) = Y 1. Proporsi Belanja Jaminan Sosial Bagi Penduduk Miskin Terhadap APBD (Y1) 2. Rasio Pendapatan Kelompok 40% Terbawah Terhadap Total Pendapatan (Y2) C. Dimensi Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP) = Z 1. Rasio APBD Terhadap PDRB (Z1) 2. Rasio PAD Terhadap APBD (Z2) 3. Rasio Pembiayaan Domestik Terhadap APBD (Z3) 4. Rasio APBD Terhadap Total Omzet Hasil Eksplotasi SDA (Z4) 5. Rasio Investasi Domestik Terhadap Total Investasi (Z5) 6. Rasio Investasi UMKM Terhadap PDRB (Z6) 7. Rasio Kredit Terhadap Tabungan (Z7) 8. Rata-Rata Luas Kepemilikan Lahan (Z8) 9. Rasio Belanja Pendidikan Terhadap APBD (Z9) 10. Rasio Belanja Kesehatan Terhadap APBD (Z10) 11. Tingkat Partisipasi Sekolah (Z11) 12. Rasio Anggota Koperasi Terhadap Total Jumlah Penduduk (Z12) 13. Rasio Volume Usaha Koperasi Terhadap PDRB (Z13) 14. Rasio Perusahaan Memiliki Serikat Pekerja (Z14) 15. Rasio Anggota Serikat Pekerja Terhadap Total Jumlah Pekerja (Z15) 16. Rasio Perusahaan Yang Memiliki Pola Kepemilikan Saham Oleh Pekerja (Z16) 2). Susunan (formula) umum Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia (IDEI) yang disetujui oleh para-ahli adalah: DP = X1 + X2 + X3 (i) DAP = Y1 + Y2
(ii)
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
179
DPFP = Z1 + ,…Z16
(iii)
IDEI = DP + DAK + DPFP
(iv)
3). Susunan (formula) Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia yang mempertimbangkan pembobotan nilai skor yang disetujui oleh para-ahli adalah: IDEI = (0,79)DP + (0,93)DAK + (0,86)DPFP (v) Studi Kasus Hasil Penelitian:
PENGUKURAN INDEKS DEMOKRASI EKONOMI DI KABUPATEN PENAJAM, KALTIM Analisis makro ekonomi daerah dilakukan dengan penekanan pada aktivitas ekonomi di sektor riil yang dapat dipengaruhi oleh kebijakan fiskal pemerintah daerah. Analisis ini dilakukan dengan mengukur sejauhmana perekonomian daerah Kabupaten PPU telah berkembang sejalan dengan yang konsepsi ekonomi kerakyatan, yang merupakan amanah konstitusi dalam pengelolaan ekonomi, sekaligus basis dan visi pembangunan Kabupaten PPU Derajat ekonomi kerakyatan dapat diukur menggunakan alat Indeks Demokrasi Ekonomi (IDE) yang terdiri dari 3 dimensi dan 22 variabel penyusun. Dalam konteks PPU tidak semua variabel dapat diukur menggunakan data statistik (sekunder) yang memang belum tersedia. Oleh karena itu, dalam analisis ini baru dapat diukur 15 variabel yang mewakili pengukuran derajat ekonomi kerakyatan di Kabupaten PPU. Berdasarkan pengukuran menggunakan IDE maka dapat ditaksir nilai aplikasi ekonomi kerakyatan di Kabupaten PPU yang sebesar 0,286 (28,6%), yang berarti masih perlu upaya keras untuk sungguhsungguh mengembangkan ekonomi kerakyatan di Kabupaten PPU. Pengukuran selengkapnya dapat dilihat dalam tabel di bawah ini: Tabel 10. 4 Analisis Indeks Demokrasi Ekonomi (Ekonomi Kerakyatan) Kabupaten Penajam Paser Utara Tahun 2010 No
Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi
Nilai Data
Skor
2,1%
0,97
X
Demokrasi Produksi (DP)
1
Tk. Pengangguran Terbuka
2
Tk. Pengangguran Terselubung
3
Rasio Upah Buruh/Omzet Perusahaan
Y
Demokrasi Alokasi (DA)
1
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin
0,9%
0,09
2
Rasio Pendapatan Kelompok 40% Terbawah*
34,2%
0,66
Z
Demokrasi Penguasaan Faktor Produksi (DPFP)
180
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 10. 4 Lanjutan No
Z-a
Variabel Indeks Demokrasi Ekonomi
Nilai Data
Skor
Faktor Produksi Material
1
Rasio APBD/PDRB
23,4%
0,23
2
Rasio PAD/APBD
5,1%
0,05
3
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD
100%
1
4
Rasio APBD/Total Omzet SDA
55,8%
5
Rasio Konsumsi/Kredit Konsumsi
6
Rasio Investasi Domestik/Total Investasi
7
Rasio Investasi UMKM/PDRB
0,6%
0,06
8
Rasio Kredit/Tabungan
7,2%
0,07
9
Rata2 Luas Kepemilikan Lahan (> 2ha)
4,8%
0,48
Z-b
Faktor Produksi Intelektual
10
Rasio Belanja Pendidikan/APBD
10,1%
0,10
11
Rasio Belanja Kesehatan/APBD
2,6%
0,02
12
Rasio Partisipasi Sekolah
48,3%
0,52
Z-c
Faktor Produksi Institusional
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk
2,5%
0,02
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB
0,2%
0,02
15
Rasio Perusahaan Memiliki SP
16
Rasio Anggota SP/Jumlah Pekerja
17
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP
0%
0
Jumlah Rata-Rata Skor
0,286
TKah Tangga Miskin/Rumah Tangga Total, Ket: * = proxy dengan data proporsi rumah tangga miskin, tanda bold berarti data tidak tersedia, nilai skor diambilkan dari nilai positif setiap variabel dengan range antara 0-1, di mana skor terbaik (maksimum) adalah 1.
Berdasar pengukuran IDE di atas maka dapat dianalisis lebih mendalam pada tiap-tiap variabel untuk bahan penyusunan strategi dan kebijakan ekonomi daerah yang berorientasi pada keberdayaan dan kesejahteraan masyarakat PPU sebagai berikut:
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
181
Tabel 10.5 Analisis Variabel dan Implikasi Kebijakan Variabel (Perhitungan)
Analisis
1
Tingkat Pengangguran Terbuka (jumlah pencari kerja dibandingkan jumlah angkatan kerja, data BPS)
1. 97% masyarakat PPU sudah terlibat dalam kegiatan perekonomian. 2. Tidak ditemukan data tingkat pengangguran terselubung, yang dalam lingkup nasional sebesar 3 x lipat dari pengangguran terbuka
1. Perhatian pada kelayakan upah, kerja, keberdayaan pekerja, dan produktivitas.
2
Porsi Belanja bg Penduduk Miskin (Nilai belanja penduduk miskin dibandingkan nilai APBD keseluruhan, data APBD 2009)
1. Alokasi APBD 2009 yang langsung ke sasaran penduduk miskin baru sekitar Rp 5 milyar (0,9%) untuk 5 pos kegiatan 2. Realisasi APBD 2009 untuk kegiatan bersasaran penduduk miskin sangat rendah (rumah Gakin: 1,8%, layanan kesehatan: 46,4%, dan layanan di RSUD: 21,1%) 3. Penduduk miskin tidak serta merta mampu menyerap program yang tidak bersasaran langsung ke meraka.
1. Disain program/terobosan lokal untuk fokus pada sasaran penduduk miskin (15-16%) 2. Aplikasi pro-poor budgeting dengan rasio alokasi APBD minimal separuh dari tingkat kemiskinan (7,5-8%) 3. Alokasi untuk jaminan sosial, permodalan (material, intelektual, dan institusional) bagi penduduk miskin.
3
Proporsi Rumah Tangga Miskin (RTM) (jumlah rumah tangga miskin dibandingkan jumlh rumah tangga keseluruhan, data BPS)
1. Proporsi RTM masih cukup tinggi, yaitu 34,2%, yang belum dapat turut menikmati pembangunan PPU masih banyak. 2. Karakteristik rumah tangga yang miskin tetapi secara ekonomi aktif (produktif).
1. Disain role model Kredit Rumah Tangga Miskin Produktif, dengan referensi Grameen Bank, Bangladesh. 2. Technical assistance khusus bagi lembaga (usaha) produksi, keungan, dan pemasaran RTM
4
Rasio APBD/PDRB (Nilai APBD 2009 dibandingkan nilai PDRB PPU 2009, data APBD dan PDRB 2009)
1. Rasio APBD 2009 yang sebesar Rp. 570 milyar terhadap PDRB sebesar Rp. 2,1 trilyun adalah 23,4%. 2. Kapasitas fiskal pemerintah daerah PPU hanya sebesar 23,4%, sedangkan bagian lainnya oleh non pemerintah (perusahaan: 41%, ekonomi rakyat: 36%)
1. Sinkronisasi peran ekonomi pemerintah daerah dengan ekonomi rakyat PPU, melalui kemitraan produksi, keuangan, dan pemasaran 2. Disan kebijakan yang langsung berdampak pada sektor rill seperti penguatan kelembagaan dan kapasitas ekonomi rakyat.
No
Implikasi Kebijakan
182
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 10.5 Lanjutan
No
Variabel (Perhitungan)
Analisis
Implikasi Kebijakan
5
Rasio PAD/APBD (Nilai PAD 2009 dibandingkan nilai APBD 2009, data BPS 2009)
1. Rasio PAD yang sebesar Rp. 29,1 milyar terhadap APBD 2009 adalah 5,1% 2. Kewenangan politik anggaran pemerintah daerah adalah sebesar 5,1%, sedangkan 90%nya ditentukan pusat melalui bagi hasil pajak/bukan pajak 3. Kondisi ini rawan intervensi dan tekanan dari (oknum) pemerintah pusat
1. Revitalisasi peran BUMD dan BUMDes dalam mengelola sektor primer (SDA) penyumbang APBD terbesar 2. Mempertimbangkan tax and revenue sharing, di mana pemungutan pajak bernilai besar sebagian menjadi kewenangan pemerintah daerah.
6
Rasio Pembiayaan Domestik/APBD (Nilai pinjaman daerah dibandingkan nilai APBD 2009, data APBD)
1. Rasio yang 100% menunjukkan pemda PPU tidak menggunakan obligasi (surat utang) daerah sebagai sumber penerimaan dalam APBD.
1. Harus selalu dihindari pembiayaan APBD menggunakan sumber dari luar negeri/swasta (obligasi daerah)
7
Rasio APBD/Total Omzet SDA (Nilai APBD 2009 dibandingkan dengan PDRB dari pertambangan migas dan batubara 2009, data APBD dan PDRB 2009)
1. Omset SDA dilihat dari nilai pertambangan dalam PDRB sebesar Rp 1,02 trlyun, sehingga APBD PPU adalah 55,8% dari omset tersebut. 2. Posisi daerah lemah di hadapan perusahaan tambang swasta besar, dan peluang jika dikelola mandiri maka share-nya akan lebih besar lagi.
1. Pemerintah daerah perlu serius menyiapkan role model BUMD yang dapat bermitra dengan BUMN dan koperasi rakyat untuk mengelola SDA/tambang secara mandiri, amanah, dan professional. 2. Bersama pemerintah pusat berangsur pasti melepaskan ketergantungan pada kontraktor swasta (luar negeri).
8
Rasio Investasi UMKM/PDRB (nilai investasi UMKM dibandingkan nilai PDRB 2009, data BPS 2009)
1. Investasi UKM yang sebesar Rp. 6,6 milyar hanya sebesar 0,6% dari PDRB senilai Rp 2 T. 2. Peran UKM dalam struktur ekonomi PPU masih sub-ordinan (marjinal) karena tidak linkage dengan usaha di sektor primer (pertambangan).
1. Role model dan pengembangan linkage UKM dengan industri primer (pertambangan). 2. Linkage UKM dengan belanja pemerintah daerah, semisal dengan prioritasi belanja APBD ke UKM lokal (SK Bupati).
Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
183 Tabel 10.5 Lanjutan
No
Variabel (Perhitungan)
Analisis
Implikasi Kebijakan
9
Rasio Kredit/Tabungan (nilai pinjaman dari perbankan di PPU dibandingkan dengan nilai simpanan/tabungan pihak ketiga, data BPS 2009)
1. Rasio kredit 2009 sebesar Rp. 41,6 milyar terhadap dana pihak ketiga sebesar Rp. 573,4 milyar hanya sebesar 7,2%. 2. Mis-utilisasi sumber keuangan yang justru banyak disedot ke luar daerah dan dimanfaatkan perusahaan besar.
1. Perluasan linkage program antara Bank Kaltim, BRI, dan Ibadurahman dengan KSP, LPD, dan lembaga keuangan rakyat lainnya. 2. Kemitraan antara lembaga keuangan formal dan organisasi ekonomi rakyat (tani, ternak, dan nelayan) dengan enjaminan/fasilitasi pemerintah daerah
10
Rata-rata luas kepemilikan lahan (> 2 ha) (jumlah penduduk yang memiliki lahan di atas 2 ha dibandingkan dengan jumlah penduduk keseluruhan, data survey Pustek UGM 2009)
1. Berdasar survey Pustek UGM 2009 ditemukan bahwa penduduk yang memiliki lahan di atas 2 ha adalah sebanyak 4,8%
1. Reforma agraria (redistribusi lahan) bagi petani penggarap sehingga dapat lebih mengoptimalkan lahan-lahan tidur dan kritis yang ada
11
Rasio Belanja Pendidikan/APBD (nilai belanja modal dinas pendidikan dibandingkan nilai APBD 2009 keseluruhan, data APBD 2009)
1. Rasio belanja modal bidang pendidikan sebesar Rp. 58 milyar terhadap APBD 2009 adalah 10,1%, yang merupakan realisasi APBD senilai 68,8%. 2. Dana-dana pendidikan belum dikelola optimal. 3. Secara keseluruhan rasio belanja modal (publik) terhadap APBD adalah sebesar 68,7%.
1. Dinas perlu membuat terobosan untuk optimalisasi sumber daya pendidikan, semisal kemitraan dengan dinas peternakan, lingkungan hidup, perindagkop untuk tujuan pembelajaran dan layanan bagi siswa. 2. Belanja modal pendidikan idealnya 20% dari total APBD.
12
Rasio Belanja Kesehatan/APBD (Nilai belanja barang dan jasa dan modal dinas kesehatan dan RSUD dibandingkan nilai APBD keseluruhan 2009, data APBD 2009)
1. Rasio belanja kesehatan yang sebesar Rp. 23 milyar terhadap APBD 2009 adalah 2,6%. 2. Alokasi anggaran kesehatan masih belum memadai. Di mana masih banyak RTM, terdapat kasus gizi buruk dan pencemaran lingkungan.
1. Belanja kesehatan idealnya minimal 5% dari APBD untuk layanan preventif dan peningkatan kualitas SDM, termasuk jaminan kesehatan menyeluruh.
184
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Tabel 10.5 Lanjutan No
Variabel (Perhitungan)
Analisis
Implikasi Kebijakan
13
Rasio Anggota Koperasi/Jumlah Penduduk (jumlah anggota koperasi aktif dibandingkan jumlah penduduk keseluruhan PPU, data BPS 2009)
1. Jumlah anggota koperasi sebanyak 3330 orang baru 2,5% dari total penduduk sebanyak 133.859 orang. 2. Peran koperasi baik secara kualitas maupun kuantitas masih sangat terbatas, dengan posisi sub-ordinan (marjinal) dalam struktur perekonomian daerah.
1. Mobilisasi kesadaran berkoperasi dan sosialisasi manfaat sosialekonomi berkoperasi secara luas, dengan berbagai media. 2. Kemitraan disperindakop, koperasi rakyat, dan sekolah untuk perluasan basis keanggotaan, layanan, dan usaha koperasi
14
Rasio Volume Usaha Koperasi/PDRB (nilai omset usaha yang ditaksir berdasarkan nilai aset koperasi dibandingkan nilai PDRB keseluruhan, data BPS dan PDRB 2009)
1. Volume usaha (omset) koperasi yang diperkirakan sebesar Rp. 5 milyat adalah 0,2% dari PDRB, yang makin menguatkan bahwa koperasi belum berperan utama dalam perekonomian. 2. Transaksi ekonomi lebih banyak dilakukan dengan perusahaan swasta (perorangan) 3. Ketimpangan struktural terbesar terjadi pada sektor pertanian yang meliputi 41,2% tenaga kerja hanya menikmati 17,6% PDRB, sedangkan 41,8% nya dinikmati sektor pertambangan yang hanya meliputi sedikit tenaga kerja.
1. Kemitraan koperasi rakyat dengan pemerintah daerah (SK Bupati) dalam pembelian barang/jasa dari koperasi. 2. Role model kemitraan koperasi dalam mata rantai usaha sektor primer pertambangan, dengan BUMN atau BUMD. 3. Disain outlet pasar sentra koperasi daerah 4. Role model dan pengembangan koperasi produksi dan koperasi pemasaran rakyat yang dapat diunggulkan daerah
15
Rasio Perusahaan Memiliki ESOP (jumlah perusahaan yang menerapkan pola ESOP dibandingkan jumlah perusahaan keseluruhan, data BPS tahun 2009 dan survey Pustek 2009-2010)
1. Belum ditemukan perusahaan yang menerapkan pola kepemilikan saham oleh karyawan (employee share ownership plan/ESOP)
1. Mulai penyadaran hak-hak pekerja, termasuk dalam kontribusi dan kepemilikannya terhadap perusahaan.
-oo0oo-
BAB XI MODEL INKUBATOR DESA EKONOMI KERAKYATAN
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan model aplikasi demokrasi ekonomi di tingkat desa. Pengelolaan ekonomi desa dengan perspektif demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan) dilakukan dengan mengembangkan incubator, yang dilengkapi dengan hasil penelitian tindakan penulis dan tim untuk mengembangkan model incubator ekonomi kerakyatan di desa miskin sekitar hutan, Desa Nglanggeran, Kabupaten Gunungkidul, Propinsi DIY. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d. e. f.
Memaparkan kondisi dan permasalahan struktural dan sistemik dalam perekonomian desa-desa di Indonesia. Memaparkan model aplikasi penyelenggaraan demokrasi ekonomi di tingkat lokal (desa) di Indonesia Mengukur keterapan demokrasi ekonomi dalam pengelolaan perekonomian suatu desa di Indonesia Menganalisis struktur, sistem, dan kebijakan perekonomian yang berimpilkasi pada perekonomian desa Memberikan rekomendasi alternative kebijakan dan program dalam penyelenggaraan demokrasi ekonomi di tingkat lokal (desa) di Indonesia Memili cara pikir (mindset) analitis-konstruktif, demokratis, dan peduli pada persoalan perdesaan
KONDISI DAN PERMASALAHAN Perkembangan pemikiran ke arah ekonomi kerakyatan ini selama ini belum diikuti perkembangan bangunan model operasionalisasi (penerapan kongkret) sistem ekonomi kerakyatan di lapangan. Sampai saat ini belum ada suatu model ideal yang menjadi ukuran penyelenggaraan ekonomi kerakyatan di tingkat lokal (desa). Ekonomi kerakyatan masih sebatas konsep yang besifat filosofis, normatif, subjektif, intuitif, dan politis. Belum tersedianya model operasional di tingkat basis ini menjadikan agenda-agenda
186
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
pembangunan daerah (desa/lokal) yang berbasis ekonomi kerakyatan masih terlalu abstrak, parsial, dan tidak memiliki arah yang jelas. Sementara itu, model demokrasi ekonomi berpendekatan mikro-spasial yang sudah berkembang baik di luar negeri baru sebatas model dalam skala regional (Kabupaten/Kota/Propinsi). Misalnya saja daerah berbasis koperasi pekerja (produksi) besar di Mondragon, Spanyol atau daerah berbasis puluhan ribu koperasi dan industri (perusahaan kecil) di Emilia Romagna, Italia. Selain itu, model yang seringkali dikembangkan dalam pemberdayaan sektoral-kewilayahan adalah model kluster dengan titik berat pada konsentrasi industri secara spasial. Belum banyak berkembang model-model implementasi ekonomi kerakyatan secara sistemik dan komprehensif (integratif) yang meletakkan locusnya pada susunan masyarakat di tingkat terkecil sepertihalnya desa. Ketiadaan model operasional ekonomi kerakyatan di tingkat lokal (desa) menjadi masalah di tengah masih kukuhnya ketimpangan dan ketidakadilan sosial-ekonomi mulai dari tingkat lokal sampai dengan nasional di Indonesia dewasa ini. Struktur ekonomi lokal (desa) masih banyak yang didominasi kelompok perantara (tengkulak dan rentenir), elit desa, elit pemerintahan di atasnya, ataupun perusahaan besar. Masalah utama yang masih dihadapi petani desa adalah ketidakadilan dalam kepemilikan dan penguasaan sumber-sumber agraria yang notabene milik rakyat, serta perampasan hak-hak hidup petani. Sebanyak 70% dari jumlah petani hanya menguasai dan memiliki tanah pertanian yang sangat sempit dan tidak mempunyai tanah (buruh tani). Dalam konteks desa-desa miskin di sekitar hutan, maka ketiadaan model tersebut membawa impiklasi yang lebih mengkhawatirkan. Munculnya proyek-proyek kehutanan dalam kerangka ”kepentingan nasional” dan ”global” cenderung berakibat pada masih diletakkannya masyarakat desa miskin di sekitar hutan hanya sebagai obyek dari pengelolaan hutan, dengan posisi marginal. Bahkan masyarakat seringkali cenderung menjadi tergantung pada issue issue nasional, yang sering bersifat temporer. Dampak finansial bagi penerima program sering tidak diikuti dengan dampak positif secara ekonomi dan sosial, bahkan berpotensi menimbulkan ketergantungan. Seringkali terjadi bagian penduduk miskin pun justeru cenderung sedikit dibandingkan dengan bagian segelintir orang yang mempunyai kekuasaan. Persoalan dari program kehutanan adalah tidak terkelolanya dana masyarakat itu secara optimal. Dana yang diterima dari sistem bagi hasil produksi yang diberikan Perum Perhutani yang jumlahnya ratusan juta di desa, cenderung tidak digunakan untuk menyelesaikan persoalan ekonomi desa secara fokus melainkan cenderung digunakan secara individul dan salah sasaran. Oleh karenanya maka program kehutanan masyarakat tidak cukup hanya pada diberikannya hak dan wewenang pengelolaan hutan (negara, Perhutani, industri) pada masyarakat setempat, serta diberikannya dana dalam persentase tertentu kepada individu dan kelompok melainkan pada bagaimana membangun sistem ekonomi di mana masyarakat dapat mengelola dana tersebut secara optimal dalam kegiatan pemberdayaan masyarakat. Sementara itu pemberdayaan dalam pengelolaan hutan pun masih cenderung berkaitan dengan advokasi hak atas tanah dan hak ikut mengelola. Belum banyak dilakukan identifikasi atas aset (finansial, ekonomi, sosial) yang sebenarnya dimiliki oleh penduduk sehingga bisa digunakan secara mandiri. Pemanfaatan dan penggalian dana secara optimal bisa dilakukan dengan mengurangi negatif inflow dana dalam suatu komunitas di desa miskin sekitar hutan.
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
187
Sampai saat ini belum terdapat model pemberdayaan ekonomi masyarakat desa di sekitar hutan yang komprehensif, meliputi ranah produksi, distribusi, dan pengelolaan faktor-faktor produksi, dan berbasis pada keswadayaan dan interkoneksi pelaku ekonomi antar desa yang dapat terhimpun ke dalam suatu masyarakat yang berjejaring (networking society). Ketiadaan model operasional sistem ekonomi kerakyatan ini berakibat pada berbagai upaya pemberdayaan masyarakat di desa –termasuk juga yang berada di wilayah sekitar hutan- di Indonesia berlangsung secara parsial, tidak sistematis, dan saling tumpang-tindih, Kondisi ini telah mengurangi efektifitas berbagai program tersebut dalam membangun sistem (tatanan) ekonomi yang dapat memposisikan masyarakat desa sebagai pelaku utama dalam kegiatan ekonomi di perdesaan. Akibatkan tatanan ekonomi desa yang akan makin timpang karena terus terjebak pada sistem kapitalisme global, di mana yang menjadi rujukan bukannya konstitusi melainkan kepentingan korporasi. Studi Kasus Hasil Penelitian Aksi (Action Research):
MODEL INKUBATOR EKONOMI KERAKYATAN DI DESA NGLANGGERAN, GUNUNGKIDUL Bagian ini akan memaparkan Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan yang relevan sebagai rujukan dalam mengembangkan ekonomi berbasis kemandirian dan usaha bersama di Desa Nglanggeran, Kecamatan Patuk, Gunungkidul, yang selanjutnya dapat disebut sebagai Desa Ekonomi Kerakyatan (Desa Ekora).
A.1.
Model Operasional
Pada kenyataannya, Model inkubator ekonomi kerakyatan (ekora) yang menggambarkan praktek usaha bersama ekonomi desa sangat dipengaruhi oleh kompleksitas dan fragmentasi antarelemen basis dan sektor usahanya. Dalam konteks Desa Nglanggeran, maka basis tersebut adalah kelompok tani, perempuan, dan kaum muda desa. Ketiga elemen basis inilah yang akan menjadi aktor utama aplikasi model. Adapun sektor yang menjadi tumpuan masing-masing meliputi usaha tani dan hutan untuk kelompok tani, perdagangan dan keuangan untuk perempuan, dan ekowisata untuk kaum muda desa. Oleh karena itu, model ini bertumpu pada kukuhnya pilar kelembagaan koperasi tani, koperasi perempuan, dan koperasi pemuda sesuai dengan bidang garap (sektor usaha) yang terdiversifikasi. Interkoneksi di antara ketiga koperasi desa tersebut dirajut melalui keberadaan Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sentra Ekora) yang secara kolektif (integral) melayani dan mengartikulasikan kepentingan ketiga koperasi pilar tersebut. Sentra Ekora sekurang-kurangnya memiliki empat misi, yaitu sebagai trading house (saprodi, sembako, dan hasil produksi lokal), penyedia kredit mikro (microfinance), pusat pelatihan (training centre), dan media promosi wisata (tourism promo). Selengkapnya ragaan model ditunjukkan dalam gambar di bawah ini:
188
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan di Desa Nglanggeran
Gambar 11.1 Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan di Desa Nglanggeran Sentra Ekora diwujudkan melalui keberadaan bangunan fisik (gedung) yang mampu mencakup empat misi di atas, yang dapat memanfaatkan tanah kas desa Nglanggeran dengan dukungan pembiayaan dari Pemerintah Daerah. Pengelola Sentra Ekora adalah representasi dari ketiga koperasi desa Nglanggeran dengan pendampingan dari Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM. Tugas utama pengelola adalah merajut interkoneksi di antara ketiga koperasi baik secara ideologis maupun operasional. Sementara itu, hubungan dengan lembaga ekonomi di luar desa dilakukan melalui keberadaan Outlet Ekora dan Mitra Ekora. Outlet Ekora berfungsi sebagai display dan unit pemasar produk Sentra Ekora di luar desa yang dapat bertempat di beberapa lokasi strategis di Kota Yogyakarta, Kabupaten Bantul, maupun Kabupaten Sleman. Adapun Mitra Ekora adalah lembaga-lembaga di luar desa yang dapat menjalin aliansi strategis dengan Sentra Ekora, sepertihalnya Koperasi Simpan Pinjam, Pemerintah Daerah, BUMN, BUMD, Lembaga Konsumen, Serikat Karyawan, dan Perguruan Tinggi. Secara khusus unsur-unsur yang akan terdapat (dikembangkan) di dalam Model Inkubator Ekonomi Kerakyatan di Desa Nglanggeran adalah sebagai berikut: 1). Koperasi Tani (Ekora Farming) Koperasi ini menghimpun kelompok tani yang mayoritas adalah bapak-bapak dan terdapat di setiap dusun dan lembaga-lembaga sosial-ekonomi penunjangnya sepertihalnya Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam (UED-SP). Koperasi bergerak dalam bidang budidaya pertanian, peternakan, perkebunan, dan kehutanan, dengan konsep pertanian terpadu (integrated farming) dan berbasis organik. Beberapa komoditas yang dikembangkan meliputi padi, jagung, ketela, kayu, dan buahbuahan, serta budidaya sapi dan kambing.
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
189
2). Koperasi Wanita (Ekora Trading & Microfinance) Koperasi ini akan menghimpun ibu-ibu yang selama ini aktif di perkumpulan arisan, PPK, dan Dasawisma pada tiap-tiap RT/Dusun. Koperasi akan bergerak di bidang pengolahan dan penjualan makanan berbahan baku lokal (ketela, pisang, rambutan, dan kelapa) dengan segmen pasar di dalam desa (sepertihalnya sekolah (SD), acara pertemuan, dan warung) dan di luar desa (pasar dan pesanan). Koperasi juga akan mengelola dana simpan pinjam anggota dan berbagai dana bergulir lain yang ada di desa sebagai sumber kredit mikro (microfinance) bagi usaha koperasi dan anggotanya. 3). Koperasi Pemuda (Ekora Tourism) Koperasi ini akan menghimpin kaum muda desa yang selama ini sudah aktif di dalam kegiatan Karang Taruna. Koperasi akan secara khusus mengembangkan ekowisata Gunung Nglanggeran dengan dukungan ketersediaan produk-produk makanan olahan berbahan baku lokal (kakao dan jagung) dan produk kerajinan (handcraft) berbahan dasar kayu yang banyak terdapat di Desa Nglanggeran. 4). Sentra Ekonomi Kerakyatan (Sentra Ekora/Sekra) Sekra akan menjadi representasi, media interkoneksi, dan titik temu (melting-pot) bagi ketiga koperasi di atas. Sekra yang akan diwujudkan melalui bangunan fisik akan dimiliki dan dikelola bersama oleh ketiga koperasi dengan pengelola yang ditunjuk dari perwakilan ketiganya. Sekurangkurangnya empat unit usaha (layanan) Sekra adalah sebagai berikut: (a). Nglanggeran-mart (Trading House) Nglanggeran-mart merupakan unit usaha Sekra yang melayani jual-beli produk dan kebutuhan ketiga koperasi dan anggotanya. Beberapa layanan yang dapat disediakan adalah penjualan kolektif berbagai produk hasil pertanian, makanan olahan, dan kerajinan lokal, serta pembelian kolektif sembako dan sarana produksi pertanian. (b). Simpan Pinjam (Microfinance) Simpan pinjam melayani tabungan dan permintaan kredit permodalan bagi koperasi dan anggotanya, yang dapat berupa channeling dengan Koperasi Simpan Pinjam yang sudah ada di sekitar desa sepertihalnya KSP Marsudi Mulyo yang sebagian warga desa Nglanggeran telah menjadi anggotanya. Aset KSP yang sudah mencapai Rp 7 Milyar merupakan peluang luar biasa bagi permodalan dan kemajuan usaha Sekra dan koperasinya. (c). Nglanggeran Tour (Tourism Promo) Nglanggeran Tour merupakan media promosi wisata Gunung Nglanggeran yang juga dapat menyediakan paket perjalanan wisata ke Gunung Nglanggeran dan beberapa obyek wisata di Kabupaten Gunungkidul (paket dari gunung sampai pantai selatan). (d). Pusat Pelatihan dan Inovasi Nglanggeran (Innovation and Training Center) Pusat pelatihan dan inovasi ini akan menjadi media inovasi penggunaan teknologi baru dan tempat dilakukannya pendidikan dan pelatihan aplikasi ekonomi kerakyatan bagi pengurus dan anggota koperasi baik yang diadakan internal Sekra maupun pelatihan dari luar desa. Tempat ini juga dimungkinkan untuk penyelengaraan training mini (kapasitas 20 orang) oleh lembaga di luar Sekra dengan catatan materi training tidak bertentangan dengan visi dan misi Sekra.
190
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Training dapat dijadikan satu paket dengan perjalanan wisata Gunung Nglanggeran dan penjualan gift (oleh-oleh) dari Nglanggeran-mart. 5). Outlet Ekora Outlet Ekora merupakan penghubung antara Sekra dengan segmen pasar di luar desa. Outlet ini dapat merupakan patungan antara Sekra dan pihak lain yang sejalan dengan visi dan misi usaha Sekra dan menggunakan pola bagi hasil. Berbagai produk olahan makanan dan kerajinan dari koperasi di dalam Sekra, serta potensi ekowisata Gunung Nglanggeran dapat dipasarkan melalui outlet yang dapat berupa outlet fisik maupun cyber (website) ini. Outlet dapat dirintis misalnya di Taman Pintar (Kota Yogyakarta) atau Taman Kuliner (Kabupaten Sleman) dan selanjutnya dapat dikembangkan dengan model serupa di kota-kota lain di Indonesia. 6). Mitra Ekora Mitra ekora adalah jaringan kerja Sekra yang meliputi berbagai lembaga baik yang terdapat di dalam maupun luar Kabupaten. Jaringan ini akan meliputi jaringan pendanaan (investasi/permodalan) semisal dengan KSP Marsudi Mulyo atau Dinas Koperasi, jaringan pengembangan Iptek dengan BPPT dan Pustek UGM, jaringan sarana produksi dengan BUMN (PT PLN, PT Angkasa Pura, BRI, PT Telkom, dan Pertamina) dan BUMD (BPD, PDAM), dan jaringan pemasaran dengan Koperasi Karyawan (Pegawai) di perkotaan.
A.2.
Strategi Inkubasi Ekonomi Kerakyatan
Bagian ini akan memaparkan strategi pengembangan inkubator ekonomi kerakyatan di Desa Nglanggeran. Strategi umum (grand strategy) yang ditempuh adalah memperkuat kelembagaan usaha bersama pada tiga elemen basis yang dikaitkan dengan sektor usaha inti (core business). Koperasi menjadi pilihan karena karakteristik ekonomi kerakyatan yang sudah melekat di dalamnya, yaitu kepemilikan, tanggungjawab, dan pengambilan keputusan bersama. Komponen kelembagaan yang akan dikembangkan sesuai dengan model inkubator (grand design) ekonomi kerakyatan di Desa Nglanggeran adalah koperasi pemuda dengan usaha inti ekowisata, koperasi wanita dengan usaha inti trading dan microfinance, dan koperasi tani dengan usaha inti pertanian, kehutanan, dan peternakan terpadu-berkelanjutan.
A.
Pengembangan Ekowisata Berbasis Koperasi Pemuda
Potensi ekowisata Gunung Nglanggeran dan areal hutan yang terdapat di sekitarnya masih terbuka luas untuk dikembangkan. Modalitas sosial yang sudah tersedia adalah keberadaan kelembagaan Karang Taruna yang selama ini sudah mengelola ekowisata tersebut. Oleh karenanya, pengembangan diarahkan pada penguatan kapasitas kelembagaan Karang Taruna dalam menyediakan daya dukung yang diperlukan dalam mengoptmalkan layanan ekowisata. Untuk tujuan inkubasi ekonomi kerakyatan maka Karang Taruna perlu dikembangkan menjadi koperasi pemuda Nglanggeran. Strategi pengembangan ekowisata berbasis koperasi pemuda sebagai salah satu sub-model inkubator ekonomi kerakyatan di Desa Nglanggeran selengkapnya digambarkan dalam bagan di bawah ini:
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
191
Pengembangan Ekowisata Berbasis Koperasi Pemuda
Gambar 11.2 Pengembangan Ekowisata Berbasis Koperasi Pemuda Potensi alam penunjang ekowisata yang sudah tersedia di Desa Nglanggeran adalah kayu hutan dan bahan pangan, yaitu kakao, ubi, jagung, rambutan, pisang, dan durian. Selama ini potensi tersebut justru dikembangkan di luar desa Nglanggeran, semisal kayu oleh Desa Bobung, yang masih satu kecamatan, untuk bahan baku pembuatan kerajinan topeng. Di samping itu, berbagai bahan makanan yang ada juga belum diolah menjadi makanan khas ekowisata Desa Nglanggeran. Oleh karenanya, pengembangan kelembagaan karang taruna ke dalam bangun usaha koperasi pemuda diarahkan untuk mengusahakan penyediaan daya dukung ekowisata tersebut. Penguatan kapasitas karang taruna sebagai aktor penggerak inkubasi ekonomi kerakyatan di Desa Nglanggeran selengkapnya dapat dilakukan dengan beberapa strategi sebagai berikut: 1). Pelembagaan dan Penguatan Tata Kelola Koperasi Transformasi bangun organisasi dari karang taruna menjadi koperasi pemuda tanpa meninggalkan fungsi sosial organisasi yang sudah dijalankan. Hal ini diperlukan agar kerja-kerja organisasi pemuda menjadi lebih sistematis dan terarah, sehingga dapat memberikan manfaat lebih bagi seluruh anggotanya. Koperasi ini diperkuat oleh pengurus-pengurus dan anggota yang diharapkan dapat makin meningkatkan kecakapan tata kelola (manajerial) lembaga dan usahanya. Penguatan kapasitas dilakukan dalam hal tata kelola administrasi-keuangan, program, keanggotaan, dan jaringan koperasi. Hal ini perlu diikuti dengan peningkatan kesadaran berkoperasi ber-ekonomi kerakyatan di desa, serta perekrutan anggota-anggota baru koperasi yang berasal dari pemuda-pemudi di Desa Nglanggeran. 2). Penguasaan Teknologi Pangan dan Kerajinan Koperasi pemuda akan menjalankan salah satu misinya untuk mengembangkan ekonomi kerakyatan melalui penguasaan ketrampilan aplikasi teknologi pangan berbasis potensi desa. Pengenalan terhadap teknik pengolahan kakao, ubi, jagung, dan aneka buah-buahan kepada koperasi pemuda diharapkan dapat mengoptimalkan pengembangan ekowoisata di Desa Nglanggeran. Berbagai makanan olahan dari bahan dasar yang terdapat di desa tersebut –dengan pengemasan yang baik- diharapkan dapat menjadi salah satu daya tarik dan ciri khas ekowisata di Desa Nglanggeran.
192
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Di samping itu, potensi kayu hutan yang banyak terdapat di desa juga dapat diolah menjadi aneka mebel dan kerajinan tangan (handcraft) melalui sentuhan ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh kerananya, penguasaan koperasi pemuda terhadap teknologi kerajinan industri berbahan dasar kayu hutan menjadi sangat diperlukan. Dengan begitu, hasil kerajinan tersebut dapat menjadi salah satu ikon pendukung ekowisata Gunung Nglanggeran. Kayu tidak lagi dijual dalam bentuk mentah ke luar desa, sehingga nilai tambah yang diperoleh warga desa Nglanggeran menjadi makin besar. 3). Penguasaan Teknologi Informasi dan Pemasaran Ekowisata Gunung Nglanggeran akan lebih berkembang jika makin dikenal luas oleh banyak orang. Oleh karena itu, diperlukan sentuhan teknologi informasi yang memungkinan penyebarluasan daya tarik ekowisata tersebut dengan biaya yang murah dan memiliki jangkauan yang sangat luas, bahkan hingga ke mancanegara. Penguasaan atas teknologi internet (website) dalam hal ini menjadi urgen, sehingga koperasi pemuda dapat memasarkan ekowisata dan berbagai daya dukungnya tersebut secara on-line (e-promotion). Koperasi pemuda dapat membuat website dan menyiapkan pengelola-pengelolanya yang akan terus ditingkatkan kemapuan teknologi informasinya. Di samping itu, ekowisata dapat dikembangkan melalui penguasaan koperasi terhadap teknologi pemasaran, baik dalam hal segmenting, targetting, dan potitioning (STP) maupun branding ekowisata di Desa Nglanggeran.
B.
Pengembangan Perdagangan dan Keuangan Mikro Berbasis Koperasi Perempuan
Sub model kedua dapat dikembangkan melalui dorongan peran koperasi perempuan yang diarahkan untuk bergerak di bidang perdagangan dan keuangan mikro. Keberadaan potensi pangan dan organisasi sosial berbasis perempuan sepertihalnya kelompok PKK, arisan, dan dasawisma, serta antusiasme mereka yang sangat tinggi dalam meningkatkan taraf hidup dapat menjadi modalitas dalam pengembangan koperasi tersebut. Berdasarkan pemaparan di bagian sebelumnya, dapat ditarik beberapa permasalahan dalam mode konsumsi di Desa Nglanggran yakni, pertama, ketergantungan terhadap satu macam produk tertentu dalam pemenuhan kebutuhan sumber karbohidrat. Kedua, terjadi pergantian atau peralihan produk lokal dengan produk buatan luar (perusahaan makanan olahan). Ketiga, terdapat pihak perantara sebagai bagian dari mata rantai pemenuhan kebutuhan. Keempat, tidak terdapat organisasi atau lembaga konsumen sebagai wadah pemenuhan kebutuhan sehingga mengakibatkan sifat individualistik dalam memenuhi kebutuhan. Keempat permasalahan tersebut muncul bukan disebabkan faktor alamiah namun merupakan permasalahan struktural yang terjadi diseluruh wilayah Indonesia. Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk merombak permasalahan struktural yang bisa dimulai dari desa antara lain adalah: 1). Mengurangi ketergantungan terhadap satu macam komoditas pangan sumber karbohidrat. Desa Nglanggran secara geografis memang sulit untuk melakukan produksi padi secara kontinu. Warga desa hanya dapat menanam padi sebanyak satu kali dalam satu tahun. Kondisi ini berbeda dengan beberapa wilayah lain yang mampu melakukan penanaman sebanyak dua atau tiga kali dalam satu tahun. Dengan sendirinya hasil produksi padi tidak akan mampu mencukupi kebutuhan warga.
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
193
Pada saat yang sama Desa Nglanggran mampu memiliki hasil panen yang melimpah untuk komoditas ketela pohon. Padi dan ketela pohon memiliki fungsi yang sama sebagai sumber karbohidrat. Namun, sejalan dengan revolusi hijau maka terjadilah penyeragaman konsumsi karbohidrat. Makanan lokal seperti tiwul yang berbahan ketela pohon digantikan oleh nasi. Pendidikan dan pelatihan yang bersifat paradigmatik dan teknis sangat dibutuhkan untuk menggali dan mengolah sumber pangan alternatif sebagai substitusi padi. Gambar Sumber Pemenuhan Karbohidrat
Kondisi saat ini
Kondisi Harapan
Padi
Padi
Ketela Pohon
Jagung
Gambar 11.3 Sumber Pemenuhan Karbohidrat 2). Melakukan re-substitusi produk-produk luar dengan produk-produk lokal. Makanan dan minuman produksi perusahaan-perusahaan besar secara pasti menggusur makanan dan minuman produksi lokal. Keuntungan para pelaku ekonomi lokal direbut oleh perusahaan besar. Bahan pangan non pokok terbanyak yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah konsumsi makanan ringan atau snack oleh anak sekolah. Sebagian besar siswa di SD desa Nglanggeran membeli makanan ringan atau snack pada penjual yang berada di depan sekolah. Hal ini dikarenakan SD di desa Nglanggeran belum memiliki koperasi atau kantin sekolah. Variasi jajanan yang dikonsumsi yang paling diminati adalah makanan ringan yang terbuat dari tepung terigu seperti crackers, biscuit, dan lain sebagainya. Biscuit crackers pada umumnya dibuat dengan bahan dasar tepung terigu jenis hard dengan kandungan protein 11,13% dari 100 g bahan. Harga tepung terigu terus meningkat karena biji gandum masih tergantung dari luar negeri (import). Hal ini sebenarnya menunjukkan ketergantungan kita pada luar negeri. Oleh sebab itu, perlu dicarikan alternatif bahan yang dapat mengurangi ketergantungan terhadap tepung terigu dan juga untuk meningkatkan kandungan gizi pada biscuit crackers. Salah satunya dengan mengganti sebagian bahan dasar (sebagai substitusi) dengan bahan lain yaitu tempe kedelai yang mengandung 43,31% protein dari berat kering (Driyani, 2007). Selain
194
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
itu, sebagai alternative pengurangan ketergantungan terhadap produk luar, perlu didirikan kantin sekolah yang merupakan salah satu bentuk usaha koperasi yang dikelola ibu-ibu. Kantin tersebut menjajakan makanan olahan dengan bahan baku yang mudah ditemui di desa Nglanggeran namun tetap menarik hati anak-anak. Gambar Re-substitusi Produk
Kondisi saat ini
Kondisi peralihan
Kondisi harapan
Produk olahan perusahaan besar Produk olahan warga desa Produk olahan perusahaan besar
Produk olahan warga desa Produk olahan mitra desa Produk olahan mitra
Gambar 11.4 Re-subtitusi Produk Dalam FGD bersama kelompok perempuan Desa Nglanggeran sudah terbangun konsensus untuk segera menindaklanjuti rencana usaha bersama, yang berbasis optimalisasi potensi lokal melalui kegiatan perdagangan. Dalam pada itu, koperasi perempuan dapat menginisiasi keberadaan Nglanggeran-mart, sebagai unit usaha bagisan dari Sekra yang dapat menjual berbagai aneka produk makanan olahan berbahan baku lokal dan berbagai hasil produksi pertanian setempat. Di samping itu, Nglanggeran-mart juga dapat menjadi unit grosir bahan kebutuhan sehari-hari bagi pedagang-pedagang lokal, sekaligus media pembelian sarana produksi pertanian yang (sementara) belum dapat dihasilkan sendiri oleh petani Desa Nglanggeran. Target pasar usaha makanan olahan koperasi perempuan adalah beberapa sekolah yang terdapat di wilayah Desa Nglanggeran; diusahakan juga koperasi dapat memiliki outlet di dalam sekolah. Di samping itu, pasar lokal yang dapat dikelola adalah berbagai kegiatan rutin (even) yang diadakan oleh organisasi sosial-ekonomi di Desa Nglanggeran yang asupan logistiknya dapat didatangkan dari produksi makanan olahan koperasi perempuan di Nglanggeran-mart. Pasar selanjutnya adalah konsumen di luar desa yang dapat dijangkau melalui Outlet Ekora dan Mitra Ekora yang dikelola di dalam Sekra. Selengkapnya submodel ini dapat dilihat di dalam bagan berikut ini:
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
195
Pengembangan Ekora Trading Berbasis Koperasi Perempuan
Gambar 11.5 Pengembangan Ekora Trading Berbasis Koperasi Perempuan Permodalan unit usaha perdagangan ini diperkuat dengan pengembangan keuangan mikro, yang dapat bermitra dengan lembaga keuangan setempat sepertihalnya KSP Marsudi Mulyo dan UED-SP. Selanjutnya koperasi perempuan dapat pula mengelola berbagai skim simpanan dan pinjaman bagi anggota koperasi. Penguatan kapasitas kelompok perempuan (pra-koperasi) sebagai aktor penggerak inkubasi ekonomi kerakyatan di Desa Nglanggeran selengkapnya dapat dilakukan dengan beberapa strategi sebagai berikut:
1).
Pelembagaan dan Penguatan Tata Kelola Koperasi Perempuan
Sebagai langkah awal sesuai keinginan kelompok perempuan di Desa Nglanggeran, maka perlu ditempuh langkah-langkah menuju ke arah pembentukan koperasi perempuan di Desa Nglanggeran. Hal ini diperlukan juga agar berbagai kegiatan usaha perempuan di Desa Nglanggeran dapat dilakukan secara sistematis dan terarah sesuai dengan visi-misi yang dicanangkan dalam pembentukan koperasi sebagai bagian dari Sentra Ekonomi Kerakyatan Desa Nglanggeran. Pada awalnya perlu dilakukan pelatihan koperasi yang akan menjadi modalitas pengurus dan anggota dalam meningkatkan kapasitas tata kelola koperasi, baik dalam hal manajemen, keuangan, sumber daya manusia, dan analisis (inovasi) usaha. Rekruitmen anggota koperasi dapat berjalan seiring dengan upaya memperkuat kesadaran kaum perempuan desa akan arti pentingnya koperasi.
196
2).
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Penguasaan Teknologi Pengolahan Bahan Makanan
Sesuai dengan bisnis intinya untuk mengolah dan menjual produk makanan berbahan baku lokal, maka penguasaan keahlian (ilmu pengetahuan) dan teknologi yang diperlukan dalam usaha tersebut sangat diperlukan. Beberapa teknologi yang perlu dikuasai koperasi perempuan di antaranya adalah teknologi pengolahan ubi kayu, jagung, pisang, rambutan, kakao, yang diharapkan dapat menjadi makanan olahan khas Desa Nglanggeran dengan nilai tambah yang lebih tinggi.
3)
Penguasaan Teknologi Perdagangan
Seiring dengan kemampuan produksi yang makin meningkat, maka secara simultan koperasi perempuan perlu meningkatkan keahlian dalam memasarkan hasil-hasil produksinya dengan memanfaatkan berbagai model yang dikembangkan di dalam Sekra sepertihalnya Outlet Ekora, Mitra Ekora, dan pasar (konsumen) secara langsung. Berbagai skim perdagangan sepertihalnya skim bagi hasil perlu dipahami dan dapat dijadikan sebagai alternatif model pemasaran. Di samping itu, penguasaan terhadap informasi produk yang diperdagangkan di pasar patut menjadi agenda koperasi perempuan yang juga difungsikan sebagai media pembelian bersama barang-barang kebutuhan sehari-hari yang masih harus didatangkan dari luar desa.
4).
Penguasaan Sistem Keuangan Mikro (Simpan-Pinjam)
Pengembangan keuangan mikro bermanfaat sebagai sumber permodalan bagi usaha bersama yang akan dikembangkan. Oleh karena itu, koperasi perempuan perlu meningkatkan penguasaan terhadap seluk beluk tata kelola keuangan mikro sebagai modalitas dalam pengelolaan keuangan mikro dalam koperasi. Tahap-tahap yang perlu dilakukan dalam pembentukan Koperasi Perempuan: 1) Pembentukan Koperasi Perempuan a. Pembentukan Panitia Pendirian Koperasi Panitia Pendirian Koperasi Perempuan terdiri atas perwakilan dari kelompok perempuan yang ada di Desa Nglanggeran seperti PKK Dusun. b. Rapat Pembentukan Koperasi Perempuan Menurut Pedoman Tata Cara Pendirian Koperasi (Depkop-UKM, 1999) rapat pembentukan koperasi dihadiri oleh sekurang-kurangnya 20 (dua puluh) orang untuk Koperasi Primer. Rapat pembentukan dipimpin oleh seorang/beberapa orang pendiri atau kuasa pendiri, yaitu orang yang diberi kuasa dan sekaligus ditunjuk oleh pendiri untuk pertama kalinya sebagai Pengurus Koperasi untuk memproses pengajuan permintaan pengesahan akta pendiri koperasi dan menandatangani anggaran dasar koperasi. Dalam rapat pembentukan perlu dibahas mengenai: (1) Kenggotaan, usaha yang akan dijalankan. (2) Modal sendiri, (2) Kepengurusan dan pengelolaan usaha serta (3) Penyusunan anggaran dasar/anggaran rumah tangga (AD/ART). Anggaran dasar harus memuat sekurang-kurangnya : daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta bidang usahnya, ketentuan mengenai keanggotaan, rapat anggota,
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
197
pengelolaan, permodalan, jangka waktu berdiri, pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) dan ketentuan mengenai sanksi. c. Pengurusan Ijin Administratif (1) Pengajuan Permintaan Pengesahaan Pendirian Para pendiri Koperasi Perempuan Nglanggeran mengajukan permintaan pengesahan sacara tertulis kepada Pejabat yang berwenang, yaitu Kepala Kantor/Kepala Dinas Koperasi, Pengusaha Kecil dan Menengah Kabupaten Gunung Kidul karena Koperasi Perempuan Nglanggeran memiliki anggota yang berdomisili di wilayah Kabupaten Gunung Kidul. (2) Penelitian Anggaran Dasar Koperasi oleh Pejabat yang Berwenang Setelah mengajukan permintaan pengesahaan pendirian maka pendiri Koperasi Wanita harus menunggu penelitian pejabat yang berwenang terhadap materi anggaran yang diajukan, terutama mengenai kenaggotaan, permodalan, kepengurusan, dan bidang usaha yang dijalankan Koperasi Wanita Nglanggeran harus layak secara ekonomi. (3) Pengesahaan Akta Pendirian Koperasi Perempuan Nglanggeran Apabila pejabat berpendapat bahwa anggaran dasar memenuhi syarat, maka Akta Pendirian Koperasi Perempuan Nglanggeran akan disahkan. 2) Pelatihan Koperasi bagi Anggota dan Calon Anggota Koperasi 3) Pelatihan Manajemen/Tata Kelola Koperasi bagi Manajer a) Pelatihan Pengelolaan Manajerial Koperasi b) Pelatihan Pengelolaan Administrasi dan Keuangan Koperasi c) Pelatihan Pengelolaan Sumber Daya Manusia Koperasi 4) Pelatihan Teknologi Pengolahan Bahan Pangan a) Pelatihan Pengolahan Ubi Kayu Ubi kayu yang merupakan hasil pertanian yang banyak dihasilkan di desa Nglanggeran, belum diproduksi sebagai komoditi unggulan yang dapat dipasarkan hingga ke luar daerah maupun sebagai bahan pengganti beras. Ubi kayu dapat diolah menjadi kripik ubi berbagai rasa, patillo, emping ubi, dan lain sebagainya. Pelatihan pengolahan ubi kayu perlu diberikan kepada anggota koperasi agar mereka dapat memproduksinya secara bersama-sama. b) Pelatihan Pengolahan Jagung Jagung ditanam setiap musim sehingga selalu tersedia sepanjang tahun. Jika jagung telah ditanam atau diusahakan masyarakat Nglanggeran, ini berarti jagung mampu memberi peluang berusaha, dapat dilakukan dan diterima oleh masyarakat Nglanggeran sehingga berdampak pada penyerapan tenaga kerja serta pengembangan industri-industri kecil dan menengah. Jagung juga dapat menjadi sumber pangan alternative pengganti beras. Hal tersebut dikarenakan keterbatasan sumberdaya terutama lahan kering yang menjadi permasalahan pada produksi beras yang terjadi di Desa Nglangeran, relatif tidak terjadi pada jagung. Disisi lain secara kandungan gizi jagung memiliki komposisi zat-zat makanan yang lebih komplet daripada beras. Selain sebagai sumber utama karbohidrat, juga mengandung zat gizi lain seperti: Energi (150,00kal), Protein (1,600g), Lemak (0,60g), Karbohidrat (11,40g), Kalsium (2,00mg), Fosfor (47,00mg), Serat (0,40g), Besi (0,30mg), Vit A (30,00 RE), Vit B1 (0.07mg), Vit B2 (0,04mg), Vit C (3,00mg), Niacin (60mg), dengan kandungan karbohidrat 74,26 g per 100g porsi edible
198
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
menghasilkan total energi 365 Kcal (USDA, 2008) yang sangat berpotensi sebagai alternatif makanan pokok. Diversifikasi makanan pokok dengan jagung sebagai alternatif selain beras, harus diikuti dengan perancangan olahan jagung untuk meningkatkan penerimaan konsumen. Produk olahan yang sekiranya dapat mencakup beberapa aspek diatas adalah beras jagung.Pemanfaatan jagung sebagai bahan baku industri akan memberi nilai tambah bagi usahatani komoditas tersebut. Penanganan dan pengolahan hasil pertanian memang penting untuk meningkatkan nilai tambah, terutama pada saat produksi melimpah dan harga produk rendah, juga untuk produk yang rusak atau bermutu rendah. Jagung dapat diolah menjadi berbagai produk olahan. Salah satu hasil olahan jagung yang cukup digemari adalah tortilla atau kerupuk jagung. Kecenderungan konsumen yang lebih menyukai produk makanan ringan yang praktis dan siap santap seperti kerupuk jagung ini nampaknya memberikan harapan baru bahwa diversifikasi jagung menjadi kerupuk jagung dapat diterima oleh masyarakat indonesia. Proses pengolahan produk ini cukup sederhana sehingga berpotensi membuka peluang usaha sebagai industri rumah tangga. Mutu produk olahan yang baik dapat meningkatkan nilai jual dan memperluas pasar. Pengolahan kerupuk jagung dilakukan dengan 3 tahap (pembuatan tepung jagung, pembuatan nasi jagung, dan pembuatan kerupuk jagung). Selain krupuk jagung sebenarnya masih banyak produk hasil olahan jagung seperti sup jagung, talam jagung manis, popcorn jagung, barbeque jagung mentega, cantik manis jagung, mini pizza jagung, pie ragout jagung, kue lumpur jagung, puding jagung manis, custard jagung, roti donat isi salad jagung, cup cake jagung, dadar gulung kumbu jagung, klappertaart jagung, marning jagung, dodol jagung, kroket jagung, bakwan jagung udang, es jagung manis, pudak jagung durian, corn cake bread, sosis jagung, souffle jagung, galantin jagung, frittata jagung, bubur jagung pandan, amparan tatak jagung. corn cookies, cream soup jagung, abug jagung mutiara dan corn smoothie with orange.
c)
Untuk dapat menghasilkan produk olahan jagung yang beraneka ragam ini, anggota Koperasi Perempuan Desa Nglanggeran perlu mendapatkan pelatihan yang memadai dari instansi terkait. Pelatihan Pengolahan Pisang (1) Pengolahan Kulit Pisang menjadi Minyak Tanah Kulit pisang dapat digunakan menjadi minyak tanah, yang disebut dengan bioetanol. Bioetanol merupakan pengganti minyak tanah yang saat ini semakin langka di Indonesia. Bioetanol ini memiliki banyak kelebihan bila dibandingkan dengan minyak tanah. Kompor bioetanol dapat digunakan tanpa menggunakan sumbu. Nyala apinya pun biru seperti kompor gas sehingga lebih cepat dan efisien dalam memasak. 100 cc bioetanol dapat digunakan memasak selama 40 menit. Artinya dengan satu liter bioetanol saja, konsumen bisa memasak hingga empat jam. (http://ruanghati.com/2009/09/07/harga-minya-gorengmahal-nggak-usah-pusing-bisa-pakai-kulit-pisang/) (2) Pengolahan Cuka Kulit Pisang Kulit pisang dapat diproduksi menjadi cuka kulit pisang. Mula-mula kumpulkan kulit pisang sebanyak 100 kg dan lakukan proses produksi selama 4-5 minggu. Kebutuhan
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
199
bahan-bahan lain mencakup: 20 kg gula pasir, 120 gr ammonium sulfit (NH4)2S03, 0,5 kg ragi roti (Saccharomyces cerevisiae) dan 25 liter induk cuka (Acetobacter aceti). Cara rnembuatnya, kulit pisang dipotong-potong atau dicacah, lalu direbus dengan air sebanyak 150 liter. Saring dengan kain dalam stoples. Berdasarkan uji lapangan, bahan awal kulit pisang yang direbus itu akan menghasilkan cairan kulit pisang kira-kira 135 liter, bagian yang hilang 7,5 kg, dan sisa bahan padat sekitar 112,5 kg. Setelah disaring ke stoples, cairan kulit pisang ini perlu ditambah ammonium sulfit dan gula pasir. Langkah berikut, didinginkan dan tambahkan ragi roti. Biarkan fermentasi berlangsung satu minggu. Hasilnya disaring lagi. Dari 135 liter cairan kulit pisang setelah difermentasi dan disaring menjadi 130 liter larutan beralkohol, dan lima liter produk yang tidak terpakai. Pada larutan beralkohol itu ditambahkan induk cuka, dan biarkan fermentasi berlangsung selama tiga minggu. Selanjutnya, hasil fermentasi larutan beralkohol dididihkan. Nah, dalam kondisi masih panas, cuka pisang dimasukkan ke dalam botol plastik. Lalu segera ditutup dan disimpan dalam temperatur kamar. Biasanya pemasaran cuka pisang dikemas dalam plastik berukuran 40 ml, 60 ml, atau 80 ml. Jika dihitung, dari 100 kg kulit pisang akan diperoleh sekitar 120 liter cuka pisang. (http://onlinebuku.com/2009/01/29/pemanfaatanlimbah-dari-tanaman-pisang/) (3) Pengolahan Nata dari Kulit Pisang Proses pembuatan nata kulit pisang yang pertama adalah mengerok kulit bagian dalam buah pisang. Hasil kerokan itu kemudian diblender dan dicampur air bersih dengan perbandingan 1 : 2, lalu disaring guna mendapatkan air perasan. Setelah itu ditambahkan asam cuka biasa dengan ukuran 4-5 persen dari volume air perasan. Jika menggunakan asam cuka absolut maka cukup 0,8 persen. Ditambahkan juga pupuk ZA sebanyak 0,8 persen dari larutan, dan gula pasir sebanyak 10 persen. Bahan-bahan tersebut dicampurkan untuk kemudian dipanaskan sampai mendidih. Setelah mendidih lalu dituangkan dalam cetakan-cetakan. Dengan ketinggian cairan adonan lebih kurang 2-3 cm di setiap cetakan. Setelah dingin, dimasukkan bakteri Acetobacter xylinum-yang bisa dibeli dalam bentuk cairan-sebanyak 10 persen dari campuran. Sebelum memasukkan bakteri, adonan harus benar-benar dingin, sebab kalau masih panas bakteri akan mati. Setelah itu, cetakan ditutup dengan kertas koran. Ini supaya udara tetap bisa masuk melalui pori-pori kertas. Setelah dua minggu, cetakan baru boleh dibuka. Adonan pun akan berubah menjadi berbentuk gel. Nata lalu diiris-iris, dicuci, dan diperas sampai kering. Untuk selanjutnya direbus lagi dengan air lebih kurang dua kali rebusan. Ini berfungsi untuk menghilangkan aroma asam cuka. Setelah selesai, nata bisa dicampur dengan sirop atau gula sesuai selera. Campuran rasa diperlukan karena nata berasa tawar. Nata dari kulit pisang pun siap disajikan untuk minuman, maupun makanan kecil lain. (http://onlinebuku.com/2009/01/29/pemanfaatanlimbah-dari-tanaman-pisang/) (4) Pengolahan Roti dari Kulit Pisang Kulit pisang diolah menjadi tepung kulit pisang, kemudian diolah menjadi berbagai macam makanan olahan, seperti roti maupun cake. (http://onlinebuku.com/2009/01/29/pemanfaatan-limbah-dari-tanaman-pisang/)
200
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
(5) Pengolahan Dendeng Jantung Pisang Untuk membuat dendeng jantung pisang perlu disiapkan sejumlah bahan, meliputi empat buah jantung pisang, satu sendok makan ketumbar, 50 gr ikan teri, 10 siung bawang merah, dan empat siung bawang putih. Sedangkan kebutuhan peralatan terdiri atas pisau, kukusan, penumbuk, dan tampah. Cara membuatnya, ambil jantung pisang yang masih segar. Buang kelopak bagian luar hingga tampak kelopak dalamnya berwarna putih kemerah-merahan. Jantung pisang tersebut direbus sampai lunak. Lalu ditumbuk sampai halus. Selanjutnya, bumbu-bumbu ditumbuk lalu dimasak dalam wajan. Setelah itu, tumbukan jantung pisang dimasukkan ke dalam wajan berisi bumbu. Diaduk-aduk sampai merata, lalu tambahkan gula merah. Jika sudah masak, silakan diangkat dan segera dicetak di atas tampah. Jadilah dendeng jantung pisang yang telah dicetak. Dendeng tersebut dijemur selama 2-3 hari hingga kering. Lantas, digoreng hingga masak, dan akhirnya dikemas dalam kantong plastik. (http://onlinebuku.com/ 2009/01/29/pemanfaatan-limbah-dari-tanaman-pisang/) (6) Pengolahan Keripik Bonggol Pisang Kebutuhan bahan untuk membuat keripik bonggol pisang terdiri atas bonggol pisang, natrium bisulfit, garam, bawang merah, bawang putih, minyak goreng, merica, dan air. Sedangkan piranti yang mesti disiapkan adalah pisau, baskom, wajan, ember, kompor, talenan, dan alat penunjang lainnya. Cara membuatnya, ambil bonggol pisang, lalu kupas kulit luarnya, dan dicuci dengan air bersih. Bonggol diiris menjadi irisan-irisan tipis sekitar 0,5 cm. Irisan bonggol direndam dalam larutan natrium bisulfit satu persen selama 2-3 menit (Pedomannya: 1 gram natrium bisulfit dicairkan ke dalam 1 liter air). Setelah direndam, irisan bonggol ditiriskan. Selanjutnya, bumbu-bumbu ditumbuk sampai halus, lalu dimasukkan ke dalam baskom dan tambahkan sedikit air. Rendam irisan bonggol dalam baskom yang berisi bumbu, lalu diaduk sampai rata, dan biarkan sekitar 5-10 menit agar bumbunya meresap. Irisan bonggol yang telah dibumbui itu digoreng, sambil dibolakbalik hingga kematangan merata. Angkat dan tiriskan. Akhirnya, jadilah keripik bonggol pisang yang dikemas dalam kantong plastik. (http://onlinebuku.com/ 2009/01/29/pemanfaatan-limbah-dari-tanaman-pisang/) (7) Pengolahan Batang Pisang sebagai Bahan Dasar Kertas Daur Ulang Batang pisang juga dapat di olah menjadi kertas, yaitu setelah mengalami proses pengeringan dan pengolahan lebih lanjut. proses pembuatan kertas dari bahan batang pisang pertama-tama yang harus dilakukan adalah, batang pisang tadi dipotong kecil-kecil dengan ukuran berkisar 25 cm, lalu di jemur di bawah terik matahari hingga kering. Setelah batang pisang tadi kering proses berikutnya adalah dengan cara direbus sampai menjadi lunak, namun pada saat proses perebusan sebaiknya di tambah dengan formalin atau kostik soda maksudnya adalah di samping untuk mempercepat proses pelunaan juga untuk menghilangkan getah-getah yang masih menempel pada batang pisang tadi, pada proses berikutnya batang pisang yang sudah lunak tadi disaring dan dibersihkan dari zatzat kimia tadi baru kemudian di buat bubur (pulp) dengan cara di blender. Baru kemudian dicetak menjadi lembaran-lembaran kertas. (http://onlinebuku.com/2009/01/29/pemanfaatan-limbah-dari-tanaman-pisang/)
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
d)
e)
201
Pelatihan Pengolahan Rambutan (1) Pengolahan Biji Rambutan Biji rambutan biasanya dapat dijadikan makanan ringan berupa emping (Komala, 2004). Dengan dibuatnya tepung dari biji rambutan, maka diversifikasi makanan olahan dari bahan tepung biji rambutan semakin beragam. Biji rambutan diolah menjadi tepung. Tepung sendiri dapat diolah menjadi makanan seperti bubur, dodol, roti, kue, keripik ataupun produk lainnya.. (2) Pengolahan Buah Rambutan Kering Buah rambutan dapat dikeringkan menjadi kripik buah rambutan kering. (3) Pengolahan Minyak Bioetanol dari Biji Rambutan Biji rambutan dapat diolah menjadi bioetanol, yang merupakan pengganti dari minyak tanah. Pelatihan Pengolahan Kakao (1) Pengolahan Biji Kakao Pengolahan hasil kakao memiliki prospek serta nilai juang yang tinggi, dengan memanfaatkan produk alternative yang mampu mengantisipasi aspek akan kehilangan/ penurunan hasil produksi/panen buah/biji kakao. Secara skematis tahap diversifikasi produk olahan biji kakao menjadi produk, terbagi menjadi 3 bentuk (www.agribisnis.net) : 1. Pulpa (Es Juice, Nata de cocoa), 2. Pasta, dan Lemak 3. Bubuk coklat 4. Lemak (2) Pengolahan Kulit Kakao Kulit kakao merupakan limbah pengolahan biji kakao. Kulit ini biasanya dibuang sebagai sampah. Sebenarnya limbah ini masih dapat diolah untuk menghasilkan pektin yang masih harus diimpor sampai saat ini (www.agribisnis.net). Bahan yang dibutuhkan untuk memproduksi pectin antara lain (1) Kulit kakao, (2) Larutan natrium bisulfit 1000 ppm, (3) Larutan HCI 1%, (4) Etanol 95%. Selainm itu dibutuhkan beberapa peralatan, yaitu (a) Pengering. Alat ini digunakan untuk pektin basah. Berbagai tife alat pengering dapat digunakan untuk keperluan tersebut. (b) Penggiling. Alat ini digunakan untuk pektin kering. Alat penggiling yang dapat digunakan adalah hammer mill. Untuk usaha rumahtangga dapat digunakan blender. (c) Panci tahan karat. Alat ini digunakan untuk merendam bubur kulit kakao pada suhu hangat dan pH rendah. (d) Kain saring. Alat ini digunakan untuk menyaring bubur kulit kakao yang mengandung ekstrak pektin. (e) Wadah pengentalan. Wadah ini digunakan untuk mengentalkan filtra pektin. Wadah berupa panci atau kotak bermulut lebar.
202
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
5) Pelatihan Teknologi Perdagangan a. Pelatihan Pemasaran dan Perdagangan Pelaksanaan Nglanggeran Mart selain sebagai showroom produk hasil desa juga merupakan koperasi konsumsi terutama bagi penduduk Nglanggeran dan sekitarnya. Mekanisme kegiatan koperasi ini mencontoh proses kegiatan koperasi konsumsi Han di Jepang yang berbentuk klub belanja. Agar pelaksanaan perdagangan barang konsumsi anggota dapat berjalan dengan lancar maka manajer atau anggota yang bertugas perlu mendapatkan pelatihan mengenai alur kegiatan klub belanja Nglanggeran-Mart. Alur kegiatan dalam klub belanja Nglanggeran Mart ini adalah (Gopar, ….): (1) Pada tahap awal berdirinya, anggota yang bertugas (member on duty) mengumpulkan pesanan barang, mengkombinasi, menghitung harga, dan mengumpulkan uang belanja dari seluruh anggota koperasi perempuan Nglanggeran (2) Nglanggeran Mart membuat rekening pra-bayar untuk setiap anggota (3) Anggota yang bertugas hanya perlu mengumpulakn pesanan anggota, yang sebelumnya dibuat berdasarkan catalog yang dibuat oleh Nglanggeran-Mart dan menyerahkan kepada pegawai Nglanggeran-Mart yang bertugas untuk itu (4) Pesanan yang terkumpul dimasukkan ke dalam pesanan per orang dan dibayar melalui rekening pra bayar masing-masing anggota (5) Anggota menerima resi rekening yang telah dikurangi dengan biaya belanja (6) Barang pesanan langsung dikirim ke rumah anggota dari gudang tanpa harus dipajang terlebih dahulu
C.
Pengembangan Pertanian Terpadu Berbasis Ko-operasi Tani
Potensi pertanian dan kehutanan di Desa Nglanggeran yang cukup besar membutuhkan pengelolaan yang memadai. Dalam hal ini beragam lembaga (organisasi) tani dan hutan yang sudah ada di tingkat desa juga merupakan modalitas sosial dalam mengoptimalkan potensi tersebut. Sinergi (kooperasi) di antara berbagai kelompok usaha tani dalam mengelola pertanian terpadu (integrated farming) yang makin diarahkan untuk berbasis organik akan menentukan kemajuan usaha pertanian di Desa Nglanggeran. Selengkapnya model sub-inkubator berbasis ko-operasi tani dapat diliha dalam bagan di bawah ini:
Gambar 11.6. Pengembangan Ekota Farming Berbasis Koperasi Tani
Model Inkubator Desa Ekonomi Kerakyatan
203
Pengembangan pertanian organik di Desa Nglanggeran dapat digiatkan melalui intensifikasi budidaya ternak sapi, kambing, dan kelinci, yang kotorannya dapat diolah untuk menjadi pupuk berbagai jenis tanaman. Budidaya pertanian dilakukan secara multikultur; yaitu padi, jagung, sayuran, ketela, kakao, dan berbagai jenis buah-buahan, yang dengan dukungan teknologi pengolahan dapat diarahkan menjadi cikal-bakal agroindustri di Desa Nglanggeran. Dalam pada itu, pemasaran dilakukan secara kolektif melalui Sekra yang membawahi Nglanggeran-mart dan beberapa outlet dan mitra yang berada di luar desa. Ko-operasi tani diwujudkan melalui keberadaan koperasi petani atau fungsionaris (pengurus) Kelompok Kerja (Pokja) Pertanian Rakyat di dalam Sekra yang bertugas melakukan koordinasi agendaagenda Ekora Farming dan pemberdayaan petani, termasuk juga petani kecil, buruh tani, dan petani penggarap, yang menjadi anggota kelompok tani di Desa Nglanggeran. Beberapa langkah strategis yang perlu ditempuh dalam memperkuat kapasitas kelembagaan dan ko-operasi tani di Desa Nglanggeran adalah sebagai berikut: 1). Penguasaan permodalan/keuangan; melalui pengeloaan kredit mikro didalam UED-SP dan kemitraan dengan KSP Marsudi Mulyo untuk mengembangkan rencana usaha pertanian terpadu dan agroindustri Desa Nglanggeran. 2). Penguasaan teknologi; yaitu teknologi yang terkait dengan budidaya pertanian organik, pengolahan hasil pertanian (pangan), dan pengolahan hasil hutan (kayu) menjadi barang kerajinan, mebel, dan lainnya. 3). Penguasaan kecakapan manajerial; dalam hal pengelolaan lembaga usaha bersama (kooperasi), tata kelola keuangan, dan tata kelola (inovasi) usaha.
-oo0oo-
204
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB XII KEWIRAUSAHAAN DAN KEMANDIRIAN BANGSA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan perspektif, kondisi, dan permasalahan kewirausahaan bangsa yang menjadi salah satu modalitas sosial pembangunan perekonomian Indonesia. Dipahami bahwa keberadaan wirausahawan merupakan penopang inovasi dan kemandirian bangsa. Bahasan akan dilengkapi dengan beberapa contoh nyata praktek kewirausahaan yang berorientasi bagi kemandirian dan kemakmuran bangsa. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d.
Memaparkan kondisi dan permasalahan yang mendorong perlunya pengembangan kewirausahaan bangsa Indonesia Memahami berbagai permasalahan dalam pengembangan kewirausahaan dan memberikan alternatif solusi bagi pembangunan kewirausahaan bangsa Memiliki cara pikir (mindset) mandiri, inovatif, dan kreatif sebagai modalitas jiwa kewirausahaan generasi muda Memiliki kemauan, rencana, dan praktek-praktek terkait kewirausahaan dan kemandirian bangsa
KONDISI DAN PERMASALAHAN KEWIRAUSAHAAN Ketergantungan telah menjadi persoalan mendasar yang menghambat kemajuan bangsa Indonesia. Padahal pada saat yang sama kita telah lama memiliki ratusan (bahkan ribuan) fakultas teknik dan ahliahli berkemampuan tinggi. Lalu sampai kapan kita serahkan minyak, gas, batubara, emas, dan aneka kekayaan tambang lainnya untuk dikelola kontraktor dari luar negeri? Sedang kita cukup puas sekedar menerima royalti ataupun berpikir tak apalah menjadi kuli asal digaji tinggi? Sampai kapan kita justru memakmurkan dan membesarkan industri pertambangan luar negeri?
206
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Kita pun sudah lama punya ribuan fakultas ekonomi dan ahli-ahli ekonomi, manajemen, dan keuangannya. Lalu sampai kapan kita biarkan masyarakat kita, bahkan sampai yang di pelosok-pelosok desa- terus menerus menjadi pasar bagi pabrik-pabrik dan perusahaan dari luar negeri? Sehingga untuk urusan masak, mandi, keramas, dan gosok gigi pun seolah tidak ada pilihan selain perusahaan luar negeri. Perusahaan negara hanya sanggup kita jual dengan harga murah, seperti yang baru saja terjadi pada Krakatau Steel. Koperasi masih kita jadikan bak anak tiri. Pasar modal pun didominasi perusahaan luar negeri. Pun, jurus andalan ekonom kita selalu adalah utang luar negeri. Kemana perginya ahli-ahli berpendidikan tinggi itu? Sampai kapan kita sanggup begini? Dan bahkan ratusan (ribuan) fakultas hukum dan ahli-ahlinya nya telah lama kita miliki. Lalu kenapa selalu Undang-Undang Ekonomi kita selalu dibuat, dipesan, dan diatur-atur oleh pihak luar negeri? Sampai kapan kita terus-terusan menanggung rugi akibat ini. Kerusakan berakibat bencana lingkungan, sosial, moral, kemiskinan, ketimpangan, bukankah cerminan dari aturan dan kebijakan yang penuh ketidakadilan ini? Pendidikan kita tak kunjung mampu merombak pola relasi yang timpang antara desa dan kota. Desa dengan segala kekayaannya masih menjadi pemasok yang setia bagi kemakmuran masyarakat kota dengan kontraprestasi yang tidak sepantasnya. Telah begitu banyak hutan dan kebun yang ditumbuhkan, pun tak terhitung lagi jutaan ton aneka mineral dan tambang yang dikeruk dari desa, sementara mayoritas penduduk miskin masih tertinggal di desa, dan marjinalisasi terus terjadi di sana. Sungguh negeri ini masih dipenuhi jiwa-jiwa kerdil yang justru menguasai tampuk ekonomi dan politik pemerintahan. Bumi pertiwi dikuasai jiwa-jiwa yang silau dengan kemewahan dan gemerlapnya dunia yang ditawarkan oleh kekuasaan yang koruptif. Pengurasan dan dominasi berlangsung dan kita asyik menikmati candu teori dan ajaran yang mereka sebarkan. Kita pun menjadi merasa tidak perlu melawannya, bahkan bilamana perlu menjadi pemeluk dan pengikutnya yang paling setia. Mari kita simak pidato Soekarno pada 17 Agustus 1954 yang lalu: “Self-reliance, not mendicancy, usaha sendiri jangan mengemis. Itulah semboyan yang tepat bagi bangsa yang telah merdeka. Berjuta-juta modal asing mungkin mau bekerjasama atau berusaha di Indonesia. Beratus-ratus tenaga luar negeri mungkin mau mencurahkan tenaganya di sini bersama kita. Tetapi unsur luar negeri itu tidak mungkin membuat tanah air kita makmur dan sejahtera-gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerja raharja, jikalau bangsa Indonesia sendiri hanya menjadi penonton dan penikmat saja dari hasil-hasil yang digali oleh modal dan orang lain. Kemerdekaan barulah kemerdekaan sejati jikalau dengan kemerdekaan itu kita bisa menemukan kepribadian kita sendiri”. Mengapa pendidikan tinggi seolah-olah tidak cukup perkasa untuk menjadi ujung tombak bagi setiap upaya mewujudkan kemandirian bangsa? Lalu bagaimana sebaiknya perguruan tinggi mengembalikan khitahnya sebagai pencerah bagi putra-putri bangsa, sehingga dapat maju, mandiri, dan berdiri di garda terdepan dalam segenap upaya mengangkat harkat, martabat, dan kesejahteraan bangsa?
Kewirausahaan dan Kemandirian Bangsa
207
WIRAUSAHA SOSIAL DAN KEMANDIRIAN Salah satu kealpaan perguruan tinggi akibat terbius pasar bebas (kapitalisme global) saat ini adalah terlantarnya lulusan di pasar kerja. Pendidikan selama ini didisain untuk memenuhi kebutuhan pasar (market-oriented). Sayangnya pasar disini lebih sering diidentikkan dengan perusahaan besar (asing), yang justru kebutuhan tenaga kerjanya sangat terbatas. Akibatnya lulusan perguruan tinggi berbondongbondong masuk ke bursa pasar kerja, dan sudah pasti mayoritas akan terpaksa ke luar. Yang berhasil masuk pun tidak akan mampu berbuat banyak di tengah sistem kerja dan upah yang menghimpit mereka. Beberapa perguruan tinggi sudah mendidik mahasiswanya berwirausaha untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Sayangnya, di tengah hisapan korporasi (global) atas perekonomian nasional (lokal) seperti cerita di awal, mereka tetap berada di deretan pelaku ekonomi marjinal. Etos bisnis yang mereka miliki tidak mampu membentur kekuasaan modal dan akses yang telanjur timpang. Bisnis pun identik dengan dagang, tanpa pandang itu produk siapa, dari mana, dan siapa yang lebih diuntungkan dari ke-agenan-mereka. Keterpurukan telah dialami oleh lulusan pendidikan produk kapitalisme global. Kini, mengapa justru tidak kita rancang suatu pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan solusi bagi permasalahan rakyat (masyarakat) banyak? Mengapa tidak kita tumpukan pendidikan kita pada optimalisasi basis potensi (produksi) yang melimpah di sekitar kita sendiri? Inilah pertanyaan besar yang melahirkan jawaban tegas perlu dibangunnya kewirausahaan sosial di Indonesia. Wirausahawan sosial adalah mereka yang mampu memadukan ide-ide kreatif dan progresif dalam memberdayakan masyarakat dengan prinsip kemandirian bagi keberlanjutan hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menciptakan bisnis sosial (social-business); yaitu bisnis yang tidak berorientasi pada pengejaran keuntungan pribadi, melainkan kesejahteraan bersama. Wirausahawan sosial adalah mereka yang tidak menganggap bisnis sekedar sebagai usaha dagang, melainkan sebuah bentuk pengabdian, perjuangan, dan bahkan perlawanan. Karakter wirausahawan sosial adalah mereka yang selalu menciptakan peluang (OPPORTUNITY) dan ide baru di tengah masalah-masalah sosial (masyarakat), fokus pada pelaksanaan ide (EXECUTION), dan mampu membangkitkan energi (ENERGY) semua orang yang terlibat dalam tim. Sedangkan ciri wirausahawan sosial adalah idenya berguna, dapat dilaksanakan, dan mudah dimengerti orang awam (simple), semangatnya dapat membangkitkan banyak orang, aktivitasnya diikuti oleh para penggerak perubahan (pimpinan) lokal, dan senantiasa menciptakan solusi untuk memecahkan masalah-masalah sosial aktual dan mengerjakannya sekaligus Peter Drucker mengatakan bahwa para inovator ini adalah “seseorang yang mengambil alih masalah”. Schumpeter menyebut mereka “penghancur kreatif”, karena mampu menghancurkan hambatan sistem yang ada secara kreatif. Mereka mampu membangkitkan semangat masyarakat yang sudah lesu dan meningkatkan daya kerja mereka. Kisah sukses wirausahawan sosial misalnya adalah sosok Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian, yang dengan gigih melawan kemiskinan di Bangladesh melalui kredit mikro untuk perempuan. Inovasi dan solusi yang unik merupakan gerakan roh, ketika kemiskinan dan ketidakberdayaan mendera kehidupan masyarakat.
208
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Cerita menarik ditulis oleh Prof. Prahallad (The Fortune at the Bottom of the Pyramid, 2004), mengenai Jaipur Foot. Di India terdapat 5,5 juta orang yang diamputasi dan angka itu bertambah tiap tahunnya sekitar 25 ribu orang. Mayoritas mereka adalah orang miskin dan tidak mampu membayar pelayanan medis. Ketika industri prosthesis (anggota tubuh buatan) begitu rumit dan mahal, Jaipur Food menemukan teknologi yang sesuai dengan gaya hidup orang miskin. Jika biaya sebuah kaki buatan di AS senilai US$ 8 ribu, Sementara kaki buatan Jaipur Foot senilai US$ 30. Inovasi ini secara nyata mampu menolong orang miskin cacat untuk tetap produktif bekerja (Indriyo, 2008). Sosok-sosok mereka di Indonesia misalnya saja aktivis perempuan yang mengembangkan teknologi mikro-hidro di desa-desa terpencil di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, programmer mesin pencari (search-engine) lokal di Semarang yang digratiskan, pendamping pertanian organik di Gunungkidul, dan penyelenggara sekolah berbasis komunitas lokal (adat) di Jambi dan Nusa Tenggara Barat. Tri Mumpuni dengan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA) telah membantu desa di Indonesia untuk menyadari potensi sumber tenaga listrik yang dapat diandalkan, dengan menciptakan insentif ekonomi dan program pendanaan untuk membuka kunci tenaga hidro. Kunci dari program listrik pedesaan ini terletak pada sistem yang berbasis komunitas. Kepemilikan komunitas terhadap sistem memungkinkan keberlangsungan pengadaan listrik di desa sekaligus menstimulasi kegiatan ekonomi yang menciptakan lapangan kerja dan memfasilitasi kegiatan sosial lainnya. Mampu menghubungkan sistem non-jaringan berbasis komunitas dengan jaringan perusahaan listrik Negara (PLN). Masyarakat desa Sukunan, di Godean Sleman telah mengembangkan pengolahan sampah terpadu, yang menghasilkan pupuk organik, kerajinan, dan berbagai produk lainnya. Bahkan mereka telah mulai mencoba membuat produk pembalut wanita alternatif dengan konsep minimum waste management, yang diberi nama Sukuno, yang diharapkan ke depan dapat menjadi alternatif dari produk pabrikan selama ini lebih mendominasi pasar. Begitu banyak lagi wirausahawan sosial yang kreatif telah mampu mengubah potensi dan persoalan menjadi peluang kemandirian begitu nyata di sekitar kita. Sebut saja Singgih Susilo Kartono di Wonosobo yang dengan sebatang sengon yang biasa dijadikan kayu dihargai Rp 10 ribu, menjadi bernilai ratusan dollar Amerika setelah diolah di bengkel kerja milik itu. Sebuah radio kayu dijual dengan harga US$ 250300 atau Rp 2,3-2,8 juta di Amerika dan Eropa. Mohamad Fasiol di Jawa Timur mengubah kulit jagung juga bisa menjadi bahan baku pengganti plastik. menggunakannya sebagai bahan baku dalam pembuatan gelas dan botol. Selain kualitasnya tak kalah dengan bahan plastik, gelas atau botol bekas itu bisa diserap tanah dan menjadi pupuk. Syauqi Naji yang berada di Cibinong, Jawa Barat, pemilik Rumah Susu Kambing telah mengembangkan sabun dari susu kambing Setiap bulan, Syauqi menerima permintaan sabun susu kambing hingga 1.440 batang. Dengan harga jual sabun susu kambing Rp 10.000 per batang untuk ukuran 90 gram, Syauqi meraup omzet sekitar Rp 15 juta per bulan. Shinta Pertiwi, mahasiswi Strata 2 (S-2) Jurusan Teknik Kimia Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, bersama dua rekannya berhasil mengolah daun Indigofera menjadi zat pewarna kain tekstil khusus berwarna biru. Mereka telah menjual pewarna yang diberi nama Gama Indigo Natural Dye tersebut dengan harga Rp 700.000 per kg. Sehingga, dengan harga jual sebesar ini, dalam sebulan tiga
Kewirausahaan dan Kemandirian Bangsa
209
sekawan itu meraup omzet Rp 70 juta. Warsinah yeng membuka usaha pembuatan nata de cassava setiap hari bisa menjual nata de cassava dengan omzet Rp 150.000 per hari atau sekitar Rp 4,5 juta sebulan. Sebuah penghasilan yang sangat lumayan untuk ukuran taraf hidup di Pundong, Bantul. Sementara dari usaha tapiokanya, Warsinah setiap hari bisa memproduksi 40 kilogram tepung tapioka. Dalam sebulan, ia bisa meraup omzet penjualan tepung tapiokanya sebesar Rp 6 juta. Harga jual tepungnya sendiri Rp 5.000 per kg. Sholeh BH Kurdi, pemilik CV Promindo Utama, sudah memproduksi puree buah sejak tahun 2004. Promindo Utama adalah salah satu binaan pengusaha Departemen Pertanian. Promindo juga menjadi pilot project produsen puree di Jawa Barat.. Sholeh tak hanya membuat puree dari Mangga. Dia juga memproduksi puree jambu biji, sirsak, stroberi, lemon, dan puree nanas. Dia menjual hampir semua produknya dengan harga Rp 15.000 per liter. Cuma harga puree mangga gedong gincu dan stroberi yang berbeda, yakni Rp 20.000 per liter dan Rp 18.000 seliter. Promindo membuat puree berdasar pesanan yang masuk. Tiap bulan, Sholeh menjual tiga sampai lima ton puree. Artinya, Sholeh kira-kira meraup omzet minimal Rp 45 juta per bulan. Syammahfuz Chazali, mahasiswa jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian UGM berhasil menyulap kotoran sapi yang dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama "tlethong" ini sebagai bahan campuran pembuatan keramik yang jauh lebih baik dibanding dengan bahan campuran yang digunakan selama ini. "Ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi per tahun di Indonesia yang belum dimanfaatkan padahal jauh lebih baik sebagai campuran di banding pasir karena mengandung isolate 9,6 persen hingga mempunyai daya ikat yang jauh lebih kuat, dalam pembuatan keramik. Potensi ekonomi dari kotoran sapi ini cukup tinggi. Karena berdasarkan data yang ada di Indonesia ada sekitar 5,9 juta ton kotoran sapi kering pertahun yang kebanyakan hanya dibuang tanpa dimanfaatkan. Harga yang ditawarkan Syammahfuz dan timnya juga cukup murah yakni hanya Rp 1.000 perkilogram. Harga ini jauh lebih murah di banding jika menggunakan pasir. Demikianlah luar biasanya usaha dan karya putra-putri bangsa kita. Sungguh pun begitu, keberadaan mereka memang belum cukup mampu mengubah struktur sosial-ekonomi yang masih terbangun di tengah kuasa pemodal besar, baik domestik maupun internasional. Masih terlampau banyak masyarakat perdesaan yang harus diberdayakan dan masalah ekonomi rakyat yang patut dipecahkan. Pun banyak kebutuhan (hak) sosial-ekonomi dasar yang yang belum juga dipenuhi dan potensi sumber daya lokal yang menunggu didayagunakan. Wirausawan sosial yang kreatif dan peduli adalah harapan bagi bangsa ini. Upaya para wirausahawan sosial dengan segala keterbatasannya ternyata mampu memberikan suatu hasil nyata bagi perubahan kehidupan masyarakat ke arah yang lebih baik. Jika bangsa ini memiliki lebih banyak lagi wirausahawan sosial, kehidupan yang lebih baik mungkin akan bisa lebih cepat terwujud. Mereka adalah para inovator. Mereka bermodal kemandirian, kreativitas, serta kemauan yang keras untuk melakukan transformasi di dalam masyarakat. Kita membutuhkan orang-orang kreatif yang tidak hanya sekedar meminta, menuntut dan mengamuk, tetapi yang mampu menciptakan peluang-peluang baru bagi masyarakat. -oo0oo-
210
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB XIII EKONOMI PERDESAAN BERBASIS PENGETAHUAN
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan sebuah gagasan penulis dalam mengembangan ekonomi perdesaan Indonesia berbasis ilmu pengetahuan (knwoldege based rural economy). Paparan akan dilengkapi dengan ilustrasi disain model pengembangan ilmu pengetahuan di perdesaan yang dikenalkan penulis dengan konsep “Perguruan Tinggi Desa (PTDes)”. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d. e.
Memaparkan kondisi dan permasalahan dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi di desa Memaparkan model pengembangan training house di perdesaan untuk mewujudkan ekonomi perdesaaan yang berbasis pengetahuan. Memberikan solusi atas berbagai permasalahan dalam pengusaan IPTEK di perdesaaan Memaparkan disain model Perguruan Tinggi Desa di Indonesia Memiliki cara pikir (mindset) konstruktif dan berorientasi pada kemandirian dan kesejahteraan desa
KONDISI DAN PERMASALAHAN IPTEK DESA Perjalanan riset saya di desa-desa Indonesia menemukan masalah mendasar berupa lemahnya penguasaan rakyat desa atas ilmu pengetahuan dan teknologi. Masalah ini telah lama berimplikasi pada kelambatan inovasi bisnis, kecilnya nilai tambah ekonomi, dan ketergantungan desa pada perantara dari luar desa, pun termasuk perguruan tinggi dan LSM. Keberdikarian dan keahlian orang desa yang dahulu pernah mewujud telah memudar dan berganti oleh dominasi korporasi swasta besar dari luar desa. Ribuan fakultas di perguruan tinggi se-Indonesia kiranya belum sepenuhnya mampu menjawab akar persoalan ekonomi rakyat desa tersebut. Sedikitnya kisah sukses desa mandiri seakan menjadi pertanda pendidikan tinggi kita yang belum sepenuhnya berorientasi pada keberdikarian desa. Alih-alih
212
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
itu, jiwa keberdikarian perguruan tinggi justru masih menjadi tanda tanya manakala terjadi penetrasi institusional Bank Dunia dan Pemerintah AS di beberapa perguruan tinggi kita. Banyak anak-anak muda desa yang telah dididik di perguruan tinggi kita tetapi sebagai besar justru menjadi lupa dengan jatidiri dan tugas mulianya untuk kembali membangun desa. Sebagian mereka bahkan lebih bangga berdasi meski hanya untuk sekedar menjadi buruh korporasi dari luar negeri. Pun sebagian lagi telanjur tercerabut dari akar mereka di desa, namun tak juga mendapat tempat di pasar tenaga kerja, sehingga menambah panjang deret pengangguran terdidik di negeri ini. Pendidikan kita tak kunjung mampu merombak pola relasi yang timpang antara desa dan kota. Desa dengan segala kekayaannya masih menjadi pemasok yang setia bagi kemakmuran masyarakat kota dengan kontraprestasi yang tidak sepantasnya. Telah begitu banyak hutan dan kebun yang ditumbuhkan, pun tak terhitung lagi jutaan ton aneka mineral dan tambang yang dikeruk dari desa, sementara mayoritas penduduk miskin masih tertinggal di desa, dan marjinalisasi terus terjadi di sana. Melihat berbagai situasi ini kiranya kita perlu berhitung ulang atas peran perguruan tinggi atas kemajuan desa. Pola relasi yang selama ini terbangun di mana prakarsa transfer iptek selalu datang dari luar desa perlu ditinjau ulang dengan semangat tranformasi kuasa pengetahuan oleh rakyat desa. Efektifitas proses tersebut sangat ditentukan oleh keberhasilan penguasaan metodologi pengembangan iptek oleh mereka, di mana mereka lah yang akan merancang tata kelola pengetahuan dan pembangunan di wilayah desa.
ALTERNATIF PENDIDIKAN TINGGI DESA Berlatar belakang itulah saya membayangkan model pendidikan alternatif yang saya sebut dengan “Perguruan Tinggi Desa (PTDes)”, yang selanjutnya dapat diberi nama secara khusus semisal Sekolah Tinggi Sriharjo (Sriharjo College), Argosari Cllege, dan sebagainya. Dalam PTDes maka rancang bangun pendidikan yang berbasis kemakmuran dan keberdikarian desa dilakukan secara kolektif oleh masyarakat desa. Pun semua keahlian yang diperlukan untuk membangun desa disedikan oleh PTDes yang akan mendisain kurikulum, merekrut tenaga pengajar dari dalam dan luar desa, serta menyelenggarakan bermacam pendidikan dan pelatihan aplikasi iptek yang diperlukan seluruh warga desa. PTDes ini kiranya sejalan dengan perluasan peran desa yang menjadi semangat RUU Desa yang akan segera disahkan oleh Pemerintah dan DPR. PTDes inilah yang akan merebut kuasa iptek yang selama ini didominasi oleh elit-elit akademisi di pusat kota bahkan di luar negara. Ialah juga akan mampu melahirkan tenaga-tenaga ahli produktif desa yang memiliki keahlian spesifik semisal di bidang teknik, usaha, sosial-politik, hukum, dan kesehatan untuk diabdikan sepenuhnya bagi kemajuan dan keberdikarian masyarakat desa. Tugas mulia mereka adalah memobilisasi penggunaan potensi sumber daya domestik desa dengan penguasaan iptek mereka. PTDes akan menjadi media revolusi kebudayaan (kesadaran) dan persemaian keahlian warga desa, semisal dalam inovasi energi berbasis tenaga surya, mikro-hidro, sampah, dan kotoran ternak. Pun ia akan menjadi inkubator pemikiran dan perencanaan tumbuh kembangnya bisnis koperasi, ekonomi rakyat desa,
Ekonomi Perdesaan Berbasis Pengetahuan
213
trading house, klinik kesehatan, keuangan mikro, wisata desa, industri rumah tangga dan industri desa, serta berbagai inovasi berbasis iptek lainnya. Model seperti ini telah berhasil dilakukan di India oleh Bunker Roy dengan Bare-foot College-nya yang sudah membuat warga desa mampu menguasai energi berbasis tenaga surya. Bare-foot college juga telah mendidik warga desa untuk memiliki keahlian professional seperti halnya teknisi, guru, akuntan, dan sebagainya, seperti yang biasa dilakukan lembaga pendidikan formal di kota-kota besar. Lebih dari itu Roy telah mengenalkan model Sekolah Malam (Night School) bagi anak-anak desa yang karena keterbatasan keluarga harus bekerja di siang hari. PTDes yang dimiliki dan dikelola secara kolektif oleh masyarakat desa akan menjadi konsultan bagi rencana pembangunan desa dan berbagai program (project) yang masuk ke desa, ialah yang akan membantu mengarahkan proses transformasi desa melalui rancang bangun pemajuan dan pemandirian desa selama kurun waktu 5-10 tahun depan. Pada akhirnya melalui PTDes lah masyarakat desa sanggup dengan penuh wibawa mengucapkan selamat tinggal pada Bank Dunia. Cukup sudah utang-utang lunak yang harus dikompensasi mahal dengan terkurasnya kekayaan alam Indonesia. Pada awalnya disain PTDes dirancang sesederhana mungkin dengan mempertimbangkan kapasitas sumber daya desa. Pendanaan dapat dilakukan melalui dukungan APBDes, dana pemerintah, perguruan tinggi, dan LSM nasional. Dalam pelaksanaan programnya maka PTDes dapat berkerjama dengan berbagai perguruan tinggi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), BPPT, Dinas Pendidikan, dan LSM, tentu dengan perencaan kolektif yang didasarkan pada kebutuhan dan rencana kerja PTDes. Dalam pada itu, sesuai dengan tuntutan perubahan peran perguruan tinggi di atas, maka tugas mulia kita adalah melembagakan pendidikan alternatif tersebut melalui fasilitasi pendirian PTDes. Perguruan tinggi lah yang akan mengajari calon-calon pengelola PTDes bagaimana mendisain kurikulum, metode pembelajaran, rekruitmen ahli, dan proses penyelenggaran pendidikan dan pelatihan sampai pada kebutuhan-kebutuhan detail dan operasional. Saya sangat memimpikan keberadaan PTDes ini dan akan berupaya sekuat tenaga untuk merealisasikannya. Sampai saat ini saya banyak daerah dan kota yang saya datangi untuk berbicara tentang ekonomi kerakyatan dan keberdikarian ekonomi desa. Sayangnya kebanyakan undangan tersebut berasal dari pemerintah daerah, perguruan tinggi, dan LSM, bahkan mungkin tak pernah sekali pun yang berasal dari organisasi rakyat desa, mereka yang selama ini rajin dan rutin kita diskusikan. Sungguh Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum mereka mengubahnya sendiri. PTDes yang memberi kesempatan dan kemampuan masyarakat desa untuk mengelola pengetahuan secara mandiri adalah salah satu alternatif untuk itu. Sungguh saya sangat memimpikan kelak banyak undangan mengajar, seminar, pelatihan, dan diskusi dari organisasi rakyat desa seperti PTDes. Pada saat itulah pertanda sinar kebangkitan kembali rakyat desa Indonesia mulai terpancar dan harapan mereka untuk menjadi tuan di desa sendiri akan segera menjadi kenyataan. Semoga.
214
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi Ilustrasi Kurikulum PTDes Trimester I:
Trimester II:
Kuliah Pembuka: Mimpi Keberdikarian Ekonomi Desa 1. Pengelolaan Koperasi (Wajib) 2. Pertanian Organik Terpadu 3. Pengolahan Hasil Pertanian Pangan 1 4. Pembukuan Praktis 5. Pengelolaan Badan Usaha Milik Desa
1. Kewirausahaan Murni dan Sosial (Wajib) 2. Pengelolaan APBDes 3. Pembuatan Trading House Desa 4. Pengelolaan Lembaga Keuangan Mikro Desa 5. Pembuatan Energi Alternatif 1
Trimester III:
Trimester IV:
1. Pengelolaan Ekowisata Desa 2. Pengembangan Kerajinan dan Industri Rumah Tangga 3. Pembuatan Alat Mandi Berbahan Lokal 4. Pembuatan Energi Alternatif 2 (Wajib) 5. Studi Kelayakan Usaha
1. Manajemen Pemasaran Terapan 2. Pengenalan Teknologi Informasi 3. Pengelolaan Utang (Wajib) 4. Metode Evaluasi Program Masuk Desa 5. Perencanaan Pembangunan Desa
Trimester V:
Trimester VI:
1. Pola Layanan Kesehatan Masyarakat 2. Pembuatan Rencana Bisnis (Wajib) 3. Pola Kemitraan (Kerja Sama) Usaha 4. Manajemen Keuangan Terapan 5. Analisis Ekonomi dan Perencanaan Daerah
Tentatif sesuai rumusan (disaain) bersama pasca 1,5 tahun pertama. Kuliah Penutup: Realisasi Keberdikarian Ekonomi Desa
Studi Gagasan:
PEMBANGUNAN MANUSIA PAPUA Awan Santosa 1 Bertepatan dengan kericuhan yang memakan korban di Timika dan Abepura, saya bersama tim dari UGM sedang melakukan kajian di Kabupaten Yalimo, Papua. Seminggu berpindah dari Yalimo, Wamena, dan Jayapura telah meyakinkan kembali adanya “salah arah” dalam model, pendekatan, dan politik pembangunan Papua, bahkan juga Indonesia.
1
Dosen Negeri dpk di Universitas Mercu Buana Yogyakarta
Ekonomi Perdesaan Berbasis Pengetahuan
215
Pembangunan di Papua terbukti tidak berarti pembangunan Papua. Pesatnya pembangunan prasarana fisik tanpa kejelasan arah dan konsepsi pembangunan manusia telah meninggalkan sebagian masyarakat Papua dalam keterpinggiran. Akibatnya bukan mereka-lah yang menikmati prasarana jalan, trasportasi, telekomunikasi, informasi, pusat bisnis, dan berbagai fasilitas fisik yang terus dibangun di Papua. Pada akhirnya meskipun kaya dengan bio-diversity dan potensi sumber daya alam lainnya, masyarakat pelosok-pelosok kampung Papua justru menjadi pasar bagi produk korporasi besar dari luar Papua, bahkan luar negeri. Kurangnya kecakapan produktif untuk memanfaatkan dan mengolah potensi lokal Papua kian menyebabkan ketergantungan pada produk luar, yang harus dibeli dengan harga mahal. Massifnya ekploitasi sumber daya alam Papua tidak saja merusak lingkungan dan sistem nilai sosial-budaya, tetapi juga terus menyebabkan ketergantungan fiskal, baik melalui DAU, DAK, maupun otonomi khusus. Pada akhirnya, puluhan trilyun alokasi dana-dana instan per tahun dari hasil ekstraksi tambang tersebut tidak serta merta menjadi solusi bagi pembangunan Papua. Kian terbukti sudah, prasarana fisik, aset, dan modal finansial yang besar tidak bisa didahulukan daripada pembangunan manusia. Pendidikan bagi anak-anak Papua kiranya sudah dipentingkan baik oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah di Papua. Tapi ketidaksabaran untuk membangun prasarana fisik, dengan terus saja mengeruk aneka tambang, memperluas areal perkebunan besar, dan menangguk keuntungan bisnis darinya memunculkan pertanyaan besar ke depan. Apa yang masih tersisa bagi generasi pemilik masa depan Papua? Kondisi tersebut menunjukkan urgensi untuk berpaling pada model pembangunan Papua yang berpusat manusia. Dengan penekanan pada kolektifitas masyarakat Papua, maka hal tersebut sejalan dengan konsepsi ekonomi kerakyatan. Dalam sistem ekonomi kerakyatan, rakyat Papua berperan sentral dalam kegiatan produksi, perniagaan, dan penguasaan faktor-faktor produksi. Pemerintah pun berperan vital dalam memastikan pengelolaan segenap sumber daya Papua untuk diarahkan pada tujuan tersebut. Dalam konteks sosio-ekologis Papua, maka ekonomi kerakyatan dapat dijalankan melalui pengembangan lokalitas, kemandirian dan kreativitas, serta pembangunan manusia. Sebagai prasyaratnya adalah harus dilakukan moratorium pemberian ijin baru eksploitasi tambang, hutan, dan pembukaan areal perkebunan besar. Pemerintah tidak perlu memperpanjang kontrak-kontrak perusahaan swasta besar yang sudah habis masa berlakunya. Sebagai gantinya, pembangunan Papua bertumpu pada pengembangan lokalitas produksi sesuai dengan potensi Papua. Mayoritas penduduk Papua bergiat di sektor pertanian, sehingga pengembangan pertanian rakyat berbasis keluarga dan industri pertanian olahan pangan, tanaman herbal, ikan, buahbuahan, hasil hutan, dan berbagai produk olahan tani lainnya semestinya menjadi prioritas utama. Mode lokalitas perniagaan dapat didisain melalui pengembangan pasar tradisional, pasar tani, dan pembukaan akses jalan, jembatan, dan sarana transportasi antar-kampung dan antar-distrik di Papua. Sementara lokalitas keuangan dapat dioperasikan melalui pendirian koperasi rakyat dan warung-warung produk lokal. Dengan sirkulasi uang di tingkat lokal tersebut, maka berbagai investasi lokal pun dapat terbiayai secara swadaya.
216
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Keterisolasian wilayah yang berakibat pada minimnya prasarana dasar sepertihalnya listrik, air bersih, dan telekomunikasi menjadi tantangan bagi peningkatan kemandirian dan kreativitas masyarakat Papua. Sejalan dengan lokalitas pembangunan, maka pemecahannya dapat memanfaatkan potensi lokal yang tersedia. Oleh karena itu, perlu gerakan bersama membangun kampung mandiri energi (semisal solar-cell dan mikrohidro), pangan, dan obat-obatan berbahan baku lokal Papua. Lokalitas pembangunan Papua dalam kerangka ekonomi kerakyatan berorientasi konservasi ekologis, sistem nilai, pengetahuan tradisional, dan kearifan lokal. Oleh karenanya, produk kemajuannya akan memunculkan gaya hidup (life-style) masyarakat yang tentu saja berbeda dengan masyarakat “modern” kekinian yang serba material, liberal, dan dalam banyak hal merusak sosio-kultur dan ekosistem. Berbagai aras pemajuan tersebut perlu didorong melalui berbagai model pengembangan sumber daya manusia. Tentu saja diselaraskan dengan upaya pengembangan pengetahuan tradisional yang sudah dimiliki masyarakat Papua. Selain penekanannya pada pendidikan formal bagi anak-anak calon masa depan Papua, pendidikan (ketrampilan) non formal bagi orang dewasa perlu dikembangkan pula. Model “Sekolah Kampung” dapat dikembangkan bersama dengan para sarjana/pendidik yang peduli Papua dari berbagai wilayah di Indonesia. Model ini ditujukan untuk meningkatkan kemampuan produksi, pengolahan, perniagaan, dan pengelolaan usaha bagi masyarakat Papua. Ia menjadi modalitas bagi rintisan embrio lokalitas dan kemandirian ekonomi Papua ke depan. Demikian, implementasi ekonomi kerakyatan melalui penguatan lokalitas, kemandirian, dan pengembangan sumber daya manusia dapat menjadi model pembangunan alternative menuju masyarakat Papua sejahtera. Semoga
-oo0oo-
BAB XIV ILMU DAN PENDIDIKAN EKONOMI INDONESIA
Tujuan Instruksional Pada bagian ini dipaparkan keterkaitan antara perekonomian Indonesia dengan pengembangan keilmuan dan pendidikan ekonomi yang bercorak dan berorientasi ke-Indonesia-an. Ilmu dan pendidikan ekonomi yang dikembangkan sangat berpengaruh terhadap mode penyelenggaraan perekonomian Indonesia, sehingga perlu mendapat perhatian generasi muda sebagai pewaris masa depan bangsa. Dalam bagian ini juga dilengkapi dengan studi gagasan penulis untuk mengembangan “Social Entrepreneur University” di Indonesia. Setelah mempelajari bab ini mahasiswa diharapkan mampu: a. b. c. d. e.
Memahami bagaimana keterkaitan antara perkembangan dan penggunaan ilmu ekonomi di Indonesia dengan perkembangan perekonomian Indonesia. Memahami keterkaitan pendidikan ekonomi, cara pikir bangsa, dan perekonomian Indonesia Memahami kondisi dan permasalahan dalam pengembangan ilmu dan pendidikan ekonomi keIndonesia-an dan memberikan alternative solusi bagi pemecahannya ke depan. Memiliki cara pikir (mindset) konstruktif, berorientasi pada kemajuan ilmu dan pendidikan ekonomi ke-Indonesiaan Memberikan kontribusi usulan model-model pengembangan pendidikan ekonomi alternatif.
PERMASALAHAN ILMU, PENDIDIKAN, DAN PEREKONOMIAN Untuk memahami kaitan antara ilmu dan pendidikan ekonomi Indonesia dengan perkembangan perekonomian Indonesia dewasa ini dapat belajar dari dua buku yang ditulis tentang Indonesia. Buku pertama yang terbit tahun 2002 ditulis oleh John Pilger, jurnalis Australia yang tinggal di Inggris, dengan judul The New Rulers of The World (Verso, 2002). Buku yang dikutip Kwik Kian Gie dalam Kongres Indonesia Raya tahun 2004 ini di antaranya mengulas fakta dibalik dimulainya liberalisasi ekonomi Indonesia sejak tahun 1967. Pilger yang merujuk analisis dokumen historis Jeffrey Winters dan Brad
218
Perekomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Sampson mengungkap latar belakang diadakannya Konperensi Jenewa 1967 (awal Orde Baru) yang disponsori oleh Time-Life Corporation. Konperensi yang disebutnya sebagai “pertemuan merancang pengambilalihan Indonesia” itu diikuti oleh korporat raksasa Barat dan ekonom-ekonom top Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Berkeley Mafia”. Konperensi 3 hari itu berbuah “kaplingisasi” kekayaan alam di Indonesia. Freeport mendapat gunung tembaga di Papua Barat, Konsorsium Eropa menguasai nikel di Papua Barat, Alcoa mendapat bagian terbesar bouksit di Indonesia, dan kelompok perusahaan Amerika, Jepang, dan Perancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatera, Papua Barat, dan Kalimantan. Buku kedua, yang terbit dua tahun sesudahnya, ditulis oleh John Perkins dengan judul Confessions of an Economic Hit Man (Berret-Koehler, 2004), tidak kalah menghebohkan. Perkins menulis “pengakuan dosanya” sebagai mantan “agen” ekonomi Pemerintah (AS) yang dalam kurun waktu 19711980 ikut “menjerumuskan” beberapa negara Asia dan Amerika Selatan seperti Panama, Equador, Colombia, Iran, termasuk Indonesia (sebagai “korban pertamanya”), dalam kubangan (jebakan) utang luar negeri dan ketergantungan politik-ekonomi kepada korporat dan pemerintah AS. Perkins yang berpredikat sebagai “pemukul ekonomi” atau “Economic Hit Man” (EHM), megemban dua misi, yaitu memastikan bahwa utang LN yang diberikan akan digunakan untuk membiayai proyek-proyek konstruksi raksasa milik perusahaan konsultan Perkins dan korporat-korporat AS, dan kemudian “membangkrutkan” negara pengutang agar selamanya tunduk pada kreditor. Proyekproyek raksasa ini didisain untuk memenuhi kepentingan-kepentingan ekonomi-politik mereka seperti tersedianya pangkalan militer, suara di PBB, akses atas minyak, dan akses terhadap sumber daya alam lainnya. Perkins memaparkan bahwa korporatokrasi yang dikembangkan melalui misi-misi EHM lebih berbahaya dari sekedar suatu konspirasi. Sistem ini tidak dikendalikan oleh segelintir kecil orang, melainkan oleh konsep yang sudah diterima layaknya kitab suci, bahwa setiap pertumbuhan ekonomi pasti bermanfaat bagi setiap manusia. Makin tinggi pertumbuhan ekonomi, makin besar pula manfaat yang diperoleh. Korporat, bank, dan pemerintah, sebagai agen korporatokrasi, menggunakan kekuasaan dan modal mereka untuk memastikan bahwa sekolah, bisnis, dan media, selalu mendukung konsep yang salah ini. Mereka menggiring kita untuk percaya bahwa kebudayaan global AS adalah mesin dahsyat yang membutuhkan peningkatan konsumsi (bahan bakar dan pemeliharaan), termasuk meningkatnya biaya hidup yang harus dipenuhi berapapun besarnya. Dalam kasus Indonesia, EHM menjalankan kepentingan korporat dan pemerintah AS dengan dalih menjaga Indonesia dari pengaruh komunis yang masih eksis di Vietnam, Laos, dan Kamboja (19711975). EHM meyakinkan bahwa pembangunan sistem perlistrikan terpadu di Jawa merupakan kunci mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia. Perkins, sebagai “ekonom”, bertugas untuk memperkirakan kenaikan pertumbuhan ekonomi dengan perkiraan kuantitaif-matematis, yang kemudian menjadi legitimasi bagi Indonesia untuk memperoleh utang luar negeri. Utang diberikan dengan syarat proyek dikerjakan oleh konsultan dan korporat yang diajukan oleh tim EHM, setelah nilai utang digelembungkan (mark-up) dari nilai riil proyeknya. Dengan cara ini, industri minyak dan perusahaan-perusahaan kaitannya (pelabuhan, pipa, dan konstruksi) makin tergantung pada sistem perlistrikan yang disediakan oleh tim EHM. Fakta selanjutnya kita tahu bahwa
Ilmu & Pendidikan Ekonomi Indonesia
219
Indonesia disebut sebagai salah satu keajaiban pertumbuhan ekonomi Asia (East Asian economic miracle), yang ironisnya makin terjebak utang (debt-trap), berpredikat negara terkorup, sehingga kebijakan ekonomi-politiknya banyak tergantung pada negara-negara (lembaga) asing seperti CGI, IMF, dan Bank Dunia. Kedua buku itu telah menginspirasi dua hal. Pertama, sangat tepat untuk menjawab skeptisisme ekonom neoklasik perihal neoliberalisme, setidaknya yang diwakili oleh ekonom LPEM UI, Chatib Basri dan M. Ikhsan (Gatra, April 2005), dan kedua, menjawab pertanyaan mengapa kita perlu mengembangkan dan menyebarluaskan ideologi, sistem, dan ilmu ekonomi Pancasila. Perlu diketahui bahwa Ekonomi Pancasila dikembangkan Prof. Mubyarto dkk sebagai alternatif terhadap ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) yang menjadi mainstream dalam pendidikan ekonomi kita. Di samping itu ekonomi Pancasila juga diposisikan untuk membendung berkembangnya ideologi dan sistem ekonomi kapitalis-neoliberal di Indonesia. Lalu, apa hubungan buku Pilger dan Perkins dengan Chatib Basri dan M. Ikhsan? Kaitannya akan nampak jika kita membaca pernyataan kedua ekonom ini dalam majalah Gatra edisi no 23 tahun XI (hal. 136). Mereka sama-sama mengelak disebut sebagai penganut paham neoliberalisme. Chatib Basri menyatakan bahwa ia “tidak mempunyai ideologi”, karena ia bertumpu pada kebijakan yang masuk akal tanpa basis ideologi, termasuk kepercayaannya pada peran negara dalam mensubsidi sektor pendidikan dan kesehatan. Sementara Ikhsan menyatakan bahwa neoliberalisme “hanya ada dalam angan-angan”, karena masyarakat Indonesia masih gandrung pada teori konspirasi. Pikiran adanya intervensi asing, termasuk oleh IMF dan lembaga donor, dianggapnya sebagai pengaruh teori konspirasi. Dalam acara Diskusi Kenaikan BBM (SCTV) kedua ekonom ini memang mengungkapkan hal yang sama untuk menanggapi kritik-kritik Revrisond Baswir dari PUSTEP-UGM perihal kepentingan asing (agen neolib) dalam liberalisasi pasar migas di Indonesia. Sebagai ekonom yang sarannya sangat didengar pemerintah, saya harap mereka sudah membaca kedua buku tersebut. Jika memang iya, dan mereka masih tidak mau mengakui adanya intervensi asing di Indonesia dengan menuduh pikiran yang berbeda sebagai akibat teori konspirasi, salahkah jika banyak orang menilai mereka sebagai penganut neoliberalisme? Sejarah ekonomi bangsa yang sarat dengan eksploitasi dan sub-ordinasi asing sejak zaman VOC, tanam paksa, perkebunan-perkebunan kapitalisliberal, kapitalis negara Orde Baru, Krismon 97, hingga datangnya IMF dengan LoI dan Program Penyesuaian Struktural, seharusnya mudah menjadi pelajaran “pahit” bahwa yang terjadi bukan sekedar konspirasi, melainkan hegemoni dan (neo) imperialisme. Perspektif sejarah mengajarkan bahwa evolusi peradaban manusia, yang ditandai dengan kemajuan ekonomi, tidak serta merta diikuti evolusi kesadaran moral, politik, dan sosial-budaya, bahkan seringkali berlaku sebaliknya. Ekonom neolib yang juga seorang fundamentalis pasar cenderung mengabaikan (menyisihkan) analisis moral, politik, sosial, dan budaya (kelembagaan) dalam analisis ekonomi mereka yang makin positivistik, teknis, dan kuantitatif. Pengingkaran terhadap dianutnya ideologi tertentu adalah wujud dari ideologi itu sendiri. Itulah ideologinya market fundamentalis yang bertolakbelakang dengan ideologi Ekonomi Pancasila. Ekonom memerlukan ideologi agar ia tidak ahistoris dan gagap dalam merancang masa depan bangsanya. Hal ini karena ideologi merupakan refleksi atau respon terhadap kondisi kesejarahan yang
220
Perekomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
kemudian menjadi gagasan tentang masa depan. Sebagai contoh, nasionalisme lahir melawan penjajahan, demokrasi lahir dari dominasi dan otoritarianisme, dan sosialisme lahir dari penghisapan dan penindasan (Dawam Rahardjo, 2005). Keengganan ekonom neolib untuk mengaitkan ekonomi dengan ideologi bangsa (Pancasila) dalam perspektif ini dapat dipahami sebagai penolakan mereka untuk belajar dari sejarah bangsa sendiri, dan tidak ingin merancang masa depan bangsa secara mandiri. Mereka makin terpukau pada globalisme ajaran pasar bebas, sehingga tidak mewaspadai globalisasi ekonomi yang dikendalikan oleh korporat dan pemerintah negara maju.
PEMBARUAN MINDSET, ILMU, DAN PENDIDIKAN EKONOMI Pelajaran lain dari buku Pilger dan Perkins, dan tentu saja menilik cara berpikir ekonomi kedua ekonom UI tersebut adalah, bahwa kita harus melakukan “revolusi mindset” melalui pengembangan ilmu ekonomi Ekonomi Pancasila. Mayoritas ekonom dan teknokrat sementara ini masih skeptis terhadap keberadaan (eksistensi) dan urgensi Ekonomi Pancasila sebagai alternatif ekonomi konvensional. Padahal, gugatan terhadap ilmu tersebut sudah dilakukan melalui tulisan-tulisan (buku-buku) pemikir utama Ekonomi Pancasila yaitu Prof. Mubyarto, Prof. Sri-Edi Swasono, dan Prof. Dawam Rahardjo sejak tahun 80-an. Gugatan senada telah dilontarkan pakar-pakar ekonomi dunia seperti Paul Ormerod (The Death of Economics), Steve Keen (Debunking Economics), Stiglitz (The Roaring Nineties), Paul Ekins (Real-Life Economics), Nelson (Economics as Religion), dan dapat pula dirujuk pada pemikiran Gunnar Myrdal, Heilbroner, Amartya Sen, T.M. Lunati, A. Etzioni, Umer Capra, Ted Trainer, dan L.C. Thurow, dan ilmuwan atau aktivis dunia lainnya. Buku Pilger dan Perkins menunjukkan betapa pentingnya pendekatan multidisiplin yang merupakan pendekatan yang secara konsisten diterapkan ajaran Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila menganalisis fenomena dan masalah ekonomi tidak sekedar dari kajian ekonomi an sich, melainkan mengaitkannya dengan analisis sejarah, politik, filsafat moral/etika, sosiologi, dan antropologi, yang terang-terangan diabaikan dalam pendekatan ekonomi neoklasik-Barat. Masalah-masalah struktural ekonomi berupa ketimpangan, eksploitasi, dan sub-ordinasi terhadap pelaku ekonomi rakyat (kaum miskin) hanya bisa dilihat apabila pendekatan (kacamata) yang digunakan adalah kacamata ekonomihistoris, ekonomi politik, ekonomi sosiologi, dan ekonomi antropologi. Sayangnya pendekatan ekonomi kelembagaan yang multidipliner ini telah diabaikan dalam pendidikan ekonomi kita. Pendekatan multidisiplin dan transdisiplin dimungkinkan jika ilmu ekonomi tidak sekedar mengasumsikan manusia sebagai homo economicus, melainkan juga sebagai homo socius dan homo ethicus. Dengan begitu, analisis ekonomi tidak seharusnya dipusatkan kepada individu yang selalu mengejar kepentingan pribadi (self-interest), berorientasi keuntungan pribadi (profit orientation), dan selalu bersaing bebas (free-competition). Sebagai homo ethicus dan homo socius, manusia memiliki pertimbangan moral/etika (agama) dan sosial yang mendorongnya untuk tidak mau dikendalikan pasar yang materialistis, melainkan mengutamakan kepentingan bersama dalam suatu tatanan masyarakat yang berasas kekeluargaan (brotherhood) dan kebersamaan (mutualism). Kesejahteraan sosial tidak dapat dianggap sebagai
Ilmu & Pendidikan Ekonomi Indonesia
221
manifestasi kesejahteraan individu yang masing-masing mengejar kepentingan mereka sendiri (Swasono, 2005). Itulah asumsi dasar yang dibangun dalam ilmu ekonomi Pancasila. Pendekatan dan asumsi di atas dibangun atas keyakinan bahwa ilmu ekonomi tidaklah bebas nilai (value-free), melainkan justru sarat nilai (value-ladden-istilah Gunnar Myrdal). Sistem dan ilmu ekonomi sangat terkait dengan ideologi, sejarah, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya (kelembagaan) masyarakat di mana sistem dan ilmu itu dikembangkan. Oleh karena itu dominasi paradigma positivistik yang menganggap kebenaran, relevansi, dan manfaat ilmu ekonomi konvensional (neoklasik-Barat) bersifat universal harus ditolak. Positivisme hanya mengarahkan pendidikan ekonomi kita untuk semata-mata berorientasi Barat (Amerika), yang memiliki sejarah, ideologi, sistem nilai, dan sistem sosial-budaya, yang jelas berbeda dengan Indonesia. Oleh karena itu, sistem dan Ilmu ekonomi Indonesia harus digali dan dikembangkan berpijak pada realitas ekonomi (real-life economy) masyarakat Indonesia sendiri pula. Berdasar itulah ekonomi Pancasila dikembangkan melalui penelitian-penelitian lapangan tentang ekonomi rakyat Indonesia. Untuk itu, pola pendidikan yang mendukung pengembangan ilmu ekonomi Pancasila adalah pendidikan yang menghadapkan peserta didik pada masalah-masalah ekonomi riil yang dihadapi rakyat Indonesia. Pola pendidikan seperti ini dikenal sebagai pendidikan hadap masalah (problem-posing education), yang merupakan alternatif bagi pola pendidikan yang hanya mendorong peserta didik untuk menghapal sebanyak mungkin materi untuk diujikan di akhir semester, yang disebut sebagai pendidikan gaya bank (banking education). Problem-posing education dilakukan dengan mengajak peserta didik untuk melakukan kajian (kunjungan) lapangan ke pelaku ekonomi rakyat seintensif mungkin. Mereka dapat juga diajak berdiskusi dan mengkritisi isu-isu ekonomi aktual (lokal dan nasional), terutama masalah-masalah yang dihadapi pelaku ekonomi rakyat, untuk bersama-sama mencari cara-cara pemecahannya. Terakhir, buku Pilger dan Perkins, serta mindset dua ekonom UI di atas, makin menunjukkan kegunaan (nilai manfaat) pengembangan Ekonomi Pancasila. Pendidikan ekonomi berbasis ilmu ekonomi konvensional (Barat) mendorong tumbuh-kembangnya mindset kapitalis-neoliberal, yang sejalan dengan cita-cita sistem kapitalis-neoliberal yaitu terbentuknya masyarakat berkelimpahan barang dan jasa (affluent society). Pendidikan ekonomi konvensional tidak mampu mendobrak ketimpangan (ketidakdilan) struktural, kemiskinan struktural, kerusakan alam (lingkungan), meluasnya degradasi moral, dan merenggangnya kohesivitas sosial. Pendidikan seperti ini tidak mampu melihat faktor-faktor di luar ekonomi (politik, sosial, budaya) dan fakta-fakta politik-ideologis yang mengabaikan nalar teoritik-keilmuan, yang sangat berpengaruh dalam kebijakan ekonomi. Akibat lebih pahit berbentuk pikiran kita yang makin terjajah (terhegemoni) dan ekonomi kita yang tereksploitasi (rekolonialisasi) oleh kekuatan korporatokrasi imperium global (Mubyarto, 2005). Ekonomi Pancasila dikembangkan untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang terwujud dalam tatanan masyarakat adil dan makmur. Tujuan ini tidak akan sekedar menjadi utopia manakala landasan sistem dan ilmu Ekonomi Pancasila yaitu ekonomika etik (bukan
222
Perekomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
materialistik), humanistik (anti eksploitasi dan sub-ordinasi), nasionalistik (bukan pasar bebas), dan kerakyatan (demokrasi ekonomi) digunakan dalam pengembangan sistem dan pendidikan ekonomi di Indonesia. Ini membutuhkan revolusi mindset bangsa yang sejauh ini makin kagum pada kemajuan fisikmaterial ekonomi Barat, yang ditopang oleh nilai-nilai hedonisme dan individualisme. Pendidikan Ekonomi Pancasila berupaya membangun mindset pendidik dan peserta didik yang peka terhadap isu-isu (masalah) ketuhanan (agama, moral, dan etika), kemanusiaan, kebangsaan, kerakyatan, dan keadilan. Kepekaan ini membuat kita memiliki gagasan-gagasan sendiri tentang masa depan ekonomi bangsa. Larut dan takluk pada imperium global hanya membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidiri dan tak ubahnya seperti “kuli di negeri sendiri”. Inilah perjuangan panjang yang berpegang tidak saja pada semangat dunia yang lain adalah mungkin (another world is possible), melainkan juga ilmu ekonomi yang lain adalah mungkin (another economics is possible). Dalam bahasa lain, pendidikan ekonomi alternatif adalah tak terelakkan. Itulah pendidikan Ekonomi Pancasila. Studi Gagasan:
SOCIAL ENTREPRENEUR UNVERSITY PTS di Indonesia tengah berjuang keluar dari krisis penerimaan mahasiswa baru. Sebentar lagi, krisis baru yang lebih dahsyat mungkin akan segera menerpa. Selain kontroversi BHP, pasca pengesahan UU Penanaman Modal pemerintah mengeluarkan Perpres No 77/2007 yang intinya memasukkan pendidikan ke dalam salah satu sektor yang dapat diusahakan (sampai 49%) oleh investor (korporat) pendidikan asing. Pendidikan akan diperlakukan tak ubahnya sektor bisnis lain yang diusahakan demi tujuan komersial. Pendidikan yang merupakan tanggung jawab negara akan digeser secara resmi menjadi lahan usaha bagi korporasi (global) bermodal besar. Pemodal pendidikan ini kiranya lebih memilih berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi yang sudah mapan dan dalam waktu pandek dapat menjadi tambang keuntungan. Mungkin pendidikan kita akan bernasib sama dengan sektor perkebunan dan pertambangan yang sejak lama menjadi lahan jarahan korporasi global. Padahal, apakah dengan berkuasanya korporasi global di kedua sektor itu masyarakat kian makmur? Alih-alih demikian, kini saja masyarakat justru menjadi korban dengan mahalnya harga minyak goreng dan kian langkanya pasokan minyak tanah, Korporasi global hanya berupaya mengeruk bahan mentah, seperti halnya minyak sawit dan minyak bumi, untuk kemudian mereka jual di pasaran internasional. Kebutuhan domestik (masyarakat lokal) sudah tentu dinomorduakan. Sesuai logika pasar bebas (kapitalisme global), maka mereka yang berdaya beli tinggi atau yang mampu mendatangkan keuntungan terbesarlah yang akan dilayani. Demikian, dengan itu logika pendidikan kita akan dibangun (diliberalisasikan). Liberalisasi adalah satu isi paket Konsensus Washington (1989), di samping privatisasi, deregulasi, dan penghapusan subsidi, yang tujuan intinya adalah memperlemah peran negara. Paket yang menjadi arus global ini merupakan model baru bagi kendali korporasi global (negara maju) atas perekonomian negara dunia ketiga (berkembang) sepertihalnya Indonesia, Dus, arus besar ini kiranya kelanjutan dari proses 3,5 abad neokolonialisme Indonesia.
Ilmu & Pendidikan Ekonomi Indonesia
223
Menilik latar belakang itu, relevankan kita bertanya; mampukah kita bertahan? Mampukah kita bertahan di tengah proses penjarahan dan pengambil-alihan diam-diam (silent take-over) aset nasional, salah satunya adalah aset pendidikan nasional kita? Tentu kita tidak dapat sekedar diam dan bertahan, melainkan perlu melawan dan bersiap menghadapi liberalisasi pendidikan, yang merupakan bagian dari skenario kapitalisme global.
MEMBANGUN MINDSET PENDIDIKAN TINGGI Salah satu kealpaan Perguruan Tinggi akibat terbius pasar bebas (kapitalisme global) saat ini adalah terlantarnya lulusan di pasar kerja. Pendidikan selama ini didisain untuk memenuhi kebutuhan pasar (market-oriented). Sayangnya pasar di sini lebih sering diidentikkan dengan perusahaan besar (asing), yang justru kebutuhan tenaga kerjanya sangat terbatas. Akibatnya lulusan Perguruan Tinggi berjejalan masuk ke bursa pasar kerja, dan sudah pasti mayoritas akan terdepak ke luar. Yang berhasil masuk pun tidak akan mampu berbuat banyak di tengah sistem kerja dan upah yang merugikan mereka. Beberapa PTS sudah mendidik mahasiswanya berwirausaha untuk menciptakan lapangan kerja sendiri. Sayangnya, di tengah hisapan korporasi (global) atas perekonomian nasional (lokal) seperti cerita di awal, mereka tetap berada di deretan pelaku ekonomi marjinal. Etos bisnis yang mereka miliki tidak mampu membentur kekuasaan modal dan akses yang telanjur timpang. Bisnis pun identik dengan dagang, tanpa pandang itu produk siapa, dari mana, dan siapa yang lebih diuntungkan dari ke-agenan-mereka. Keterpurukan telah dialami oleh lulusan pendidikan produk kapitalisme global. Kini, mengapa justru tidak kita rancang suatu pendidikan yang berbasis pada kebutuhan dan solusi bagi permasalahan rakyat (masyarakat) banyak? Mengapa tidak kita tumpukan pendidikan kita pada optimalisasi basis potensi (produksi) yang melimpah di sekitar kita sendiri? Jawaban pertanyaan ini, sekaligus bentuk perlawanan riil terhadap liberalisasi pendidikan, dan merupakan gagasan bagi Perguruan Tinggi yang kiranya perlu didisain menjadi ”Universitas Wirausahawan Sosial” (Social-Entrepreneur/Sociopreneur UniversitySEU) Wirausahawan sosial adalah mereka yang mampu memadukan ide-ide progresif dalam memberdayakan masyarakat dengan prinsip kemandirian bagi keberlanjutan hidupnya. Mereka adalah orang-orang yang mampu menciptakan bisnis sosial (social-business); yaitu bisnis yang tidak berorientasi pada pengejaran keuntungan pribadi, melainkan kesejahteraan bersama. Wirausahawan sosial adalah mereka yang tidak menganggap bisnis sekedar sebagai usaha dagang, melainkan sebuah bentuk pengabdian, perjuangan, dan bahkan perlawanan. Kisah sukses wirausahawan sosial misalnya adalah sosok Muhammad Yunus, pemenang nobel perdamaian, yang dengan gigih melawan kemiskinan di Bangladesh melalui kredit mikro untuk perempuan. Sosok-sosok mereka di Indonesia misalnya saja aktivis perempuan yang mengembangkan teknologi mikro-hidro di desa-desa terpencil, programmer mesin pencari (search engine) lokal yang digratiskan, pendamping pertanian organik, dan penyelenggara sekolah berbasis komunitas lokal (adat). Meski begitu, keberadaan mereka belum cukup mampu mengubah struktur sosial yang masih terbangun di tengah kuasa modal domestik dan internasional. Terlampau banyak masyarakat perdesaan yang harus diberdayakan dan masalah ekonomi rakyat yang patut dipecahkan. Pun banyak kebutuhan
224
Perekomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
(hak) sosial-ekonomi dasar yang yang belum juga dipenuhi dan potensi sumber daya lokal yang menunggu didayagunakan. Sebuah ironi ketika berbagai komoditi vitas pertanian seperti beras, jagung, kedelai, garam, ketela, daging, dan susu, harus diimpor, sementara 10 juta orang Indonesia tetap saja menjadi penganggur terbuka. Di sinilah Perguruan Tinggi, yang dapat menjadikan SEU sebagai benchmark-nya, akan mulai berperan. Lalu bagaimana mencapai positioning universitas seperti itu?
MENUJU SOCIAL‐ENTREPRENEUR UNIVERSITY Pencitraan dan aktualisasi Perguruan Tinggi sebagai SEU membutuhkan kajian mendalam dan persiapan matang. Hal ini mempertimbangkan kondisi internal kampus beserta segenap potensi dan persoalan yang ada. Konsep SEU tentu harus berpijak pada disiplin (basis) keilmuan yang telah berkembang di Perguruan Tinggi, meski tidak menutup peluang inovasi disiplin baru. Dikotomi disiplin eksak-non eksak (sosial) perlu diagregasikan karena tokh keduanya perlu mendidik mahasiswa progresifinovatif yang ilmu dan kecakapannya akan diabdikan pada kepentingan dan kebutuhan rakyat banyak. Tanpa menafikan perlunya solusi jangka pendek dalam menyelamatkan Perguruan Tinggi, terealisasinya SEU akan tercermin pada berlakunya beberapa prasyarat (kondisi) subjektif dan objektif yang dapat dipenuhinya. Prasyarat subjektif menyangkut keberadaan segenap elemen civitas akademika beserta berbagai cara pikir (perspektif)-nya dan prasyarat objektif terkait dengan sistem pendidikan yang berlangsung di Perguruan Tinggi saat ini, yang keduanya akan menjadi pilar aktualisasi konsep SEU. Kondisi subjektif aktualisasi SEU adalah ketika terdapat pemahaman bersama (common sense) bahwa di balik krisis yang melanda Perguruan Tinggi dan PTS lain di negeri ini tersirat kegagalan pasar bebas (liberalisasi pendidikan), yang (sayangnya) justru akan digiatkan kembali oleh pemerintah melalui Perpres Penanaman Modal Tahun 2007. Jika dulu mindset dan muatan (materi/kurikulum) pendidikan kita yang dikuasai, sebentar lagi pengelolaan pendidikan kita juga akan (dapat) dikuasi kekuatan pasar (korporat global). Banggakah kita jika (kembali) bekerja untuk kepentingan pihak asing? Kesadaran ini akan membawa civitas akademika, utamanya staf pendidik Perguruan Tinggi, untuk melakukan revolusi paradigmatik; kembali melakukan kerja-kerja pikir dan praksis keilmuan untuk kepentingan rakyat banyak (nasional). Dosen Perguruan Tinggi perlu mengkreasi karakter (nature) baru yang bukan sekedar sebagai sosok pengajar, melainkan sosok peneliti, progammer, pejuang, trainer, dan pelaku bisnis sosial, yang aktivitasnya bersentuhan langsung dengan nasib rakyat banyak. Kesadaran inilah yang dapat disemaikan pada setiap peserta didiknya, sehingga dapat terbangun pola relasi guru-kader bervisi intelektual-progresif yang mampu membaca kebutuhan dan memecahkan persoalan-persoalan riil yang dihadapi masyarakat luas di bidang masing-masing. Konsep SEU ini akan lebih sesuai dengan latar belakang (input) sebagian mahasiswa Perguruan Tinggi yang kurang menonjol(kan) dari sisi akademis, tetapi memiliki bakat kecakapan sosial (social-skill) yang compatible. Pada saat yang sama, kondisi obyektif aktualisasi SEU adalah ketika perubahan mindset tadi diimplementasikan ke dalam kurikulum, muatan ajar, sistem perkuliahan, buku acuan, dan metode penilaian masing-masing dosen di Perguruan Tinggi. Konsep SEU berlaku ketika kurikulum didasarkan pada pencapaian output mahasiswa sebagai calon wirausahawan sosial.
Ilmu & Pendidikan Ekonomi Indonesia
225
Tentu saja struktur kurikulum termasuk materi (muatan) ajarnya perlu lebih disesuaikan pada dinamika persoalan dan kebutuhan aktual yang berkembang di kalangan rakyat kebanyakan. Muatan ajar dapat berupa kombinasi antara transformasi nilai (ideologis) kebangsaan dan kerakyatan dan pelatihan kecakapan praktis kewirausahaan sosial (bisnis sosial). Sistem perkuliahan tidak dapat lagi mengadopsi gaya bank, di mana yang terjadi hanyalah transfer (deposit) materi kepada mahasiswa. Selain klasikal, kuliah dapat didisain dengan penekanan pada kuliah lapangan. Mahasiswa, bersama dosen, melakukan eksporasi kebutuhan dan masalah sosial-kerakyatan sesuai bidang (basis) keilmuan yang ada. Di sela-sela itu, dosen dapat mendatangkan narasumber yang telah bergiat dalam aktivitas kewirausahaan sosial di bidangnya. Buku yang dijadikan acuan utama pun sebaiknya buku-buku teori dan praksis yang bercerita pengalaman aktual di tingkat lokal, khususnya yang berdimensi pemberdayaan masyarakat. Di samping itu, kondisi obyektif yang perlu dipenuhi adalah dukungan dari segenap elemen organisasi (unit kerja) PTS, termasuk difungsikannya berbagai unit-unit strategis seperti Lembaga Penelitian (P3M), Direktorat Marketing, dan Press sebagai unit penggerak kerja sama kemitraan, riset, promosi, dan sosialisasi terkait dengan transformasi Perguruan Tinggi menuju predikatnya sebagai SocialEntrepreneur University. Banyak pihak yang dapat dijadikan mitra strategis dalam perencanaan, inisiasi, dan aktualisasi positioning Perguruan Tinggi ini. Misalnya saja keberadaan Prof. Sri-Edi Swasono yang juga seorang pakar kewirausahaan sosial, atau juga keberadaan kelompok masyarakat (desa) binaan dan unsur pemerintah daerah yang selama ini sudah berinteraksi dengan civitas akademika Perguruan Tinggi secara intensif. Beberapa ide dan aksi (parsial) yang telah dilakukan sebagian unit kerja (fakultas dan program studi) dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat selama ini pun dapat dijadikan modal sosial (socialcapital) bagi terealisasinya konsep SEU secara utuh dan menyeluruh. Setelah dapat teridentifikasi dan tersusunnya gambaran riil kebutuhan, potensi, serta indikator kompetensi wirausaha sosial sesuai bidang masing-masing, maka tahap selanjutnya adalah menginisasi program-program khusus dalam rangka pengembangnnya di kalangan internal kampus. Misalnya saja, program Pelatihan Kewirausahaan Sosial atau Pelatihan Bisnis Sosial, baik yang ditujukan untuk staf pengajar, karyawan, mahasiswa, maupun pihak-pihak lain peduli.. Inisiasi Perguruan Tinggi menuju Social-Entrepreneur University akan seperti bola salju yang terus menggelinding kian membesar yang akan mendorong masuk berbondong-bondongnya calon mahasiswa baru. Pada akhirnya ia akan mampu menjadi tiang penyangga keberlanjutan finansial Perguruan Tinggi ke depan dan dapat menjadi sistem yang ampuh untuk melawan setiap bentuk kapitalisme pendidikan. Semoga.
-oo0oo-
226
Perekomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB ..... DAFTAR PUSTAKA
______, 2008, Mafia Berkeley, Pustaka Pelajar, Yogyakarta _______, 2010, Bahaya Neoliberalisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
______, 2004, Ekonomi Pasar Populis, Aditya Media, Yogyakarta ______, 2004, Menggugat Sistem Pendidikan Nasional: Refleksi Pendidikan Akhir Tahun 2004, Aditya Media, Yogyakarta ______, 2005, Pusat Studi Non-Disipliner: Reformasi Pengajaran Ilmu-ilmu Sosial-Humaniora di Universitas Gadjah Mada, Aditya Media, Yogyakarta ______, 2005, Satu Abad Sumpah Pemuda: Visi Indonesia 2028, Aditya Media, Yogyakarta ______,(ed), 2004, Pancasila, UGM, dan Jati Diri Bangsa, PUSTEP-UGM, Yogyakarta (akan terbit) ______, 2004, Ekonomi Pancasila: Evaluasi Dua Tahun PUSTEP-UGM, Aditya Media, Yogyakarta ______, 2004, Neoliberalisme dan Krisis Ilmu Ekonomi, Yogyakarta, PUSTEP & Aditya Media. ______, 2004, Revolusi Menuju Sistem Ekonomi Pancasila, PUSTEP-UGM, Yogyakarta 23, Volume 10, April 2005 Aditjondro, George Junus, 2011, “Sesudah cemara, haminjon, kelapa, pinang, Bagot, dan sagu tergusur oleh sang tamu dari afrika, yang menyemprotkan bermilyar-milyar ton gas karbon mono-oksida ke udara”, makalah yang disampaikan dalam Konferensi Alternatif Peringatan 100 Tahun Sawit di Indonesia, Medan, Sumatera Utara, 26-29 Maret 2011 Aly, Bachtiar, Indradi Kusuma, Prasetyadji, 2002, Menuju Indonesia yang Demokratis, Adil & Pluralis, Forum Kesatuan Komunikasi Bangsa, Jakarta Amin, Samir, 2003, World Poverty, Pauperization, and Capital Accumulation, paper dalam monthly.org volume 55 Oktober 2003
228
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Archer, Robin, Economic Democracy: The Politics of Feasible Socialism, Clarendon Press Arief, Sritua, 2006, Negeri Terjajah, Yogyakarta, Resist Book Baswir, Amerikanisasi BBM, dalam Awan Santosa, Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, 2009, UMBY-Sekra, Yogyakarta Baswir, Revrisond, 2010, Manifesto Ekonomi Kerakyatan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Batubara, Marwan, 2011, Mendesak Pembangunan Kilang BBM Booth, Anne, 1998, The Indonesian Economy in the Nineteenth and Twentieth Centuries: A History of Missed Opportunities, London, Macmillan. BPS, 2010, Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia Brookings, Robert S, 1929, Economic Democracy: America's Answer to Socialism and Communism; a Collection of Articles, Addresses and Papers, The Macmillan company Bruyn, Severyn T., 2000, A Civil Economy: Transforming the Market in the 21st Century, Michigan, University of Michigan Press. Carnoy, Martin and Derek S., 1980, Economic Democracy: The Challenge of 1980s, New York, M.E. Sharpe. Chartier, Cary, 2001, Civil Right and Economic Democracy Chasanah, Noor, “Petani Kelapa Sawit Termarjinalkan”, dalam Jakartapress.com, 6 April 2011 Colchester, Marcus dkk, 2006, Tanah Yang Dijanjikan: Minyak Sawit dan Pembebasan Tanah di Indonesia, Forest Peoples Programme, Perkumpulan Sawit Watch, HuMA dan the World Agroforestry Centre Cumbers, Andre, 2007, Economic Democracy and Public Ownership, Glasgow, University of Glasgow Dahl, Robert A, 1985, Demokrasi Ekonomi: Sebuah Pengantar, diterjemahkan oleh Akhmad Setiawan, Jakarta, Yayasan Obor. Darto, Mansuetus, 2010, paper ISPO : Menjadikan Kebijakan yang Jahat dan Korup untuk Mencapai Sustainable Palm Oil Data Pokok APBN 2005-2011 Data Strategis BPS tahun 2010 Devune, Pat, 1995, Demokrasi dan Perencanaan Ekonomi, Yogyakarta, Tiara Wacana Dick, Howard, et, al, 2002, The Emergence of A National Economy: An Economic History of Indonesia 1800-2000, Honolulu, Allen & Unwin Hawaii Press. Eisy, M. Ridlo, 1990, “Perjuangan Nasional Perbaikan Nasib Rakyat”, Kebangkitan Nasional, PB PWI. Forest Peoples Programme dan Sawit Watch, Wajah Masa Depan? Pembangunan minyak sawit dan
Daftar Pustaka
229
International Finance Corporation. Komentar dari organisasi internasional dan masyarakat adat, petani dan organisasi non pemerintah Indonesia terhadap naskah konsultasi, 'Kerangka Kerja Kelompok Bank Dunia dan Strategi IFC untuk Keterlibatan dalam Sektor Minyak Sawit’, Bogor, Februari 2011 Forum Rektor Indonesia, 2007, Sistem Ekonomi yang Berkeadilan Sosial, (naskah akademik), Makassar, FRI. Fotopoulos, Takis, Ch. 14: Economic Democracy, dalam The Multidimentional Crisis and Inclusive Democracy, di akses di internet pada tanggal 12/9/2007 jam 07.46 WIB. Fowler Jr., F. (1993). Survey research methods. Thousand Oaks, USA: Sage Publications. Fukuyama, Francis, 1995, Trust, New York, Simon & Schuster Inc., Free Press Paperbacks. Grossman, Gregory, 2004, Sistem-Sistem Ekonomi, Jakarta, Bumi Aksara Hartzok, Alanna, 2004, Citizen Dividends And Oil Resource Rents: A Focus on Alaska, Norway and Nigeria, dalam http://www.earthrights.net/docs/oilrent.html Heilborner, & Milberg, 1998, The Making of Economic Society, London, Prentice Hall Hines, Collins, 2005, Mengganti Globalisasi Ekonomi Menjadi Lokalisasi Demokrasi, Insist Press, Yogyakarta Huntington, Samuel P., 1997, The Clash of civilization and The Remaking of World Order, India, Penguin Books. Indonesia Energy Statistic 2010 Indonesian Energy Outlook 2009 Kekic, Laza, 2007, The Economist Intelegence Unit’s Index of Democracy, EIU Report 2007 Kementerian ESDM, Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 Kementerian Keuangan Reublik Indonesia, 2011, Nota Keuangan RAPBN 2011 Khalid, Khalisah, 2009, paper Orkestrasi Gerakan Hijau dan Pesta Korporatokrasi Koesnadi Hardjosoemantri dkk, 2004, Program Aksi Meluruskan Reformasi, UGM, Yogyakarta Komaidi, Harga Minyak dan Ruang Gerak APBN 2011, dimuat dalam Harian Media Indonesia, 1 April 2011 Kompasiana.com, Kolonisasi Baru: Perkebunan Kelapa Sawit, 2 Mei 2011 KPPU Republik Indonesia, 2007, Evaluasi Kebijakan Perkebunan Kelapa Sawit, Jakarta Kriegman, Orion, 1998, The Potential for Economic Democracy n America Kuncoro, Mudrajad, 2004, Otonomi dan Pembangunan Daerah, Erlangga, Jakarta Mediaindonesia.com, 26 April 2011, “2.357 Kasus Kriminalisasi Petani Sawit akibat UU Perkebunan”
230
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Mubyarto and Daniel W. Bromley, 2002, A Development Alternative for Indonesia, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press. Mubyarto, 1997, Ekonomi Rakyat, Program IDT, dan Demokrasi Ekonomi Indonesia, Aditya Media, Yogyakarta Mubyarto, 2004, Teknokrat dan Ekonomi Pancasila, PUSTEP-UGM, Yogyakarta Mubyarto, Capres/Cawapres dan Ekonomi Rakyat, dalam Jurnal Ekonomi Rakyat, Bogor, Yayasan Agro Ekonomika (YAE). Mutis, Thoby, 2002, Cakrawala Demokrasi Ekonomi, Tiara Wacana, Yogyakarta Neraca Gas Indonesia 2007-2015 Nugroho, Hanan, Apakah Persoalannya Pada Subsidi BBM?, dimuat dalam Perencanaan Pembangunan Edisi 02, Tahun X, 2005 Nyerere, Julius K., 1990, The Challenge to The South: The Report of The South Commission, Oxford, Oxford University Press. Orth, Meri, 2007, “Subsistence Foods to Export Goods: The impact of an oil palm plantation on local food sovereignty North Barito, Central Kalimantan, Indonesia” PadangKini.com, 129 Petani Sawit Ditangkap Sepanjang 2010, upload 16 December 2010 Peraturan Pemerintah No 79 tahun 2010 tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan dan Perlakuan Pajak Penghasilan di Bidang Usaha Hulu MInyak dan Gas Bumi Perkins, John, 2004, Confessions of an Economic Hit Man, San Francisco, Berrett-Koehler Publishers Inc. Perkins, John, 2004, Confessions of an Economic Hit Man, San Francisco, Berrett-Koehler Publishers Inc. Poole, Michael, 1987, The Origin of Economic Democracy, Routledge, London Pusat Pendidikan dan Studi Kebansentralan, 2002, Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia, BI, Jakarta Pustek UGM dan Sawit Watch, 2010. Pekebun Mandiri dalam Industri Sawit Indonesia”, Bogor Rachbini, Didik J, 2001, Politik Ekonomi Baru Menuju Demokrasi Ekonomi, Grasindo, Jakarta Rakhmanto, Pri Agung, Subsidized Fuel Pricing, dimuat dalam Indonesia Finance Today, March 30th 2011 Rencana Strategis Kementerian ESDM 2010-2014 Retnonowati Abdulgani-Knapp, 2003, A Fading Dream: The Story of Roeslan Abdulgani and Indonesia, Utopia Press Pte Ltd, Singapura
Daftar Pustaka
231
Santosa, Awan, 2009, Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, UMBY dan Sekra, Yogyakarta Santosa, Awan, 2010, Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep, dan Aplikasi, Sekra-UMB Jogja, Yogyakarta Sarbini Sumawinata, 2004, Politik Ekonomi Kerakyatan, Gramedia, Jakarta Sawit Watch, Friends of the Earth, dan LifeMosaic, 2008, “Hilangnya Tempat Berpijak: Dampak Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit terhadap HAM di Indonesia”, Bogor Selo Soemardjan, 1962, Social Changes in Yogyakarta, Ithaca, Cornell University Press. Siaran Pers Persatuan Petani Jambi, Pemerintah Harus Bertanggung Jawab atas: Hilangnya Tanah Rakyat Jambi di Kabupaten yang Dirampas PT Wirakarya Sakti dan PT RHM (Sinar Mas), 2 Mei 2011 Situmorang, Johny W dkk, Prototipe Model Pemeringkatan Koperasi Berdasarkan MDP, dalam Infokop No 28 Tahun XXII, 2006
Smith, J.W., 2000, Economic Democracy: Political Struggle in Twenty-first Centuries, New York, M.E. Sharpe. Sofian Effendi, 2004, Revitalisasi Jati Diri UGM menghadapi Perubahan Global, Pidato Dies Natalis ke55, 20 Desember 2004, UGM, Yogyakarta Sumber online: Svante, Erricson & Jan-Eric Lane, 2002, Demokratisasi Pertumbuhan, RajaGarfindo, Jakarta Swasono, Sri Edi, 1987, Sistem Ekonomi dan Demokrasi Ekonomi, UI Press, Jakarta Tempo Interaktif, Rabu, 02 Desember 2009 | 13:12 WIB The Heritage Foundation, Index of Econmic Freedom 2007 Undang-Undang No 30 Tahun 2007 tentang Energi Wahyudi, Agus, Moralitas, Keadilan, dan Peran Negara: Masalah Pengalihan Subsidi BBM, dimuat dalam Majalah FLAMMA, Institute for Research and Empowerment (IRE), Yogyakarta, Edisi Wertheim, W.F., 1961, Indonesian Economics: The Concept of Dualism in Theory and Policy, The Hague, W. Van Hoeve Publishers. Wibowo, I., Francis Wahono, 2003, Neoliberalisme, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta. Wikipedia, 2007, Economic Democracy, diakses di internet tanggal 12/8/2007 Williams, 2002, Bologna and Emilia Romagna: A Model of Economic Democracy, diakses di internet tanggal 12/8/07 jam 09.49 WIB. Witoro, Petani Miskin Menjinakkan Raksasa Sawit Melalui Koperasi Pertanian Agroekologi, dalam bakumsu.or.id, 4 April 2011
232
Perekonomian Indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
www.ekonomikerakyatan.com www.elsam.or.id www.sawitwatch.or.id www.walhi.or.id Yusuf, Arief Anshory, Adilkah Subsidi BBM?, dalam harian Pikiran Rakyat 27 Mei 2008
BAB ..... GLOSARIUM
ADB
: Asian Development Bank
AoA
: Agricultural on Agreement
APBDes
: Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa
Bukopy
: Bursa Koperasi Yogyakarta
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
BUMD
: Badan Usaha Milik Daerah
BPPN
: Badan Penyelamatan Perbankan Nasional
CGI
: Consultative Group on Indonesia
CPO
: Crude Palm Oil
DEN
: Dewan Ekonomi Nasional
Debt outstanding
: Jumlah (posisi) utang luar negeri suatu negara
Deregulasi
: Pembaruan berbagai regulasi (Undang-Undang) yang dapat lebih memperluas peranan sektor swasta besar dalam sektor-sektor strategis perekonomian suatu negara
Ekonomi Kerakyatan
: Sistem ekonomi di mana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan dan atau penilikan anggota-anggota masyarakat
Ekonomi Neoklasik
: Ajaran ekonomi yang memandang pentingnya peranan individu dan sektor swasta dalam mekanisme pasar
234
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
Ekonomi Neoliberal
: Sistem ekonomi yang bertumpu pada peranan sektor swasta dalam mengelola berbagai sektor ekonomi strategis nasional
Ekonomi Kolonial
: Sistem ekonomi yang pengelolaannya dilakukan sebagian besar oleh pihak-pihak dari luar negeri
ESOP
: Employee Share Ownership Plan, skema kepemilikan saham oleh pekerja
FTA
: Free Trade Agreement
GDP
: Gross Domestic Product
HAKI
: Hak Atas Kekayaan Intelektual
HPH
: Hak Penguasaan Hutan
IDEI
: Indeks Demokrasi Ekonomi Indonesia
IMF
: International Monetary Fund
Individualisme
: Paham yang mengedepankan kepentingan dan kebebasan individual
Jamsostek
: Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Kapitalisme
: Paham ekonomi yang memandang lebih pada faktor modal material
Keuangan mikro
: Sistem dan model pembiayaan usaha dalam skala mikro bagi pelaku usaha mikro-kecil
KMB
: Konferensi Meja Bundar
Koppas
: Koperasi Pasar
Kospin
: Koperasi Simpan Pinjam
LDR
: Loan to Deposit Rati
Liberalisasi
: Kebijakan ekonomi untuk membuka semua sektor perekonomian bagi perluasan peran sektor swasta besar
Listing
: Pendaftaran perusahaan di Pasar Modal
NPL
: Non Performing Loan
Nasionalisasi
: Pengambilalihan kepemilikan dan control pengelolaan aset dan atau perusahaan strategis oleh negara
Obligasi
: Surat utang
PAD
: Pendapatan Asli Daerah
Pekebun mandiri
: Pekebun rakyat yang tidak terlibat dalam berbagai skim kemitraan dengan pihak ketiga
Glosarium
235
Perkebunan rakyat
: Perkebunan yang diusahakan oleh mayoritas rakyat petani
PNPM
: Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Privatisasi
: Pengalihan kepemilikan dan kontrol aset dan perusahaan publik kepada pelaku usaha swasta besar
PDRB
: Produk Domestik Regional Bruto
PTDes
: Perguruan Tinggi Desa
Rasio Gini
: Alat analisis untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan dalam masyarakat
Reforma agraria
: Redistribusi kepemilikan lahan bagi buruh tani (petani penggarap) dan petani berlahan sangat sempit
Sekra
: Sentra Ekonomi Kerakyatan
SBI
: Sertifikat Bank Indonesia
ToT
: Term of Tradings
UED-SP
: Usaha Ekonomi Desa Simpan Pinjam
UMKM
: Usaha Mikro Kecil Menengah
UNESCAP
: United Nation for Economic and Social in Asia Pacific
WTO
: World Trade Organization
236
Perekonomian indonesia; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi
BAB ..... SINOPSIS
PEREKONOMIAN INDONESIA: MASALAH, POTENSI, DAN ALTERNATIF SOLUSI Buku ini merupakan hasil pemikiran penulis untuk memecahkan berbagai permasalahan bangsa, baik berupa kemiskinan, ketimpangan, dan ketergantungan ekonomi. Berbekal segenap potensi dan kekayaan sumber daya yang dimiliki, buku ini berupaya membangun optimisme bangsa Indonesia untuk segera bangkit menjadi bangsa yang maju, besar, dan berdaulat. Buku ini memberikan berbagai pandangan penulis perihal arah dan jalan pencapaian tujuan mulia tersebut. Buku teks ini tidak biasa karena penulisannya didasarkan pada hasil studi lapangan penulis di berbagai daerah dan pelosok di Indonesia. Pun buku ini bukan sekedar terdiri dari tulisan di lembarlembar kertas pada setiap halamannya, tetapi meliputi berbagai ikhtiar pergerakan kongkret penulis dalam turut mewarnai arah dan sejarah perekonomian Indonesia ke depannya. Buku ini didedikasikan bagi mahasiswa di seluruh perguruan tinggi di Indonesia, baik yang secara formal sedang mempelajari perekonomian Indonesia maupun yang terpanggil untuk turut serta menggali setiap bentuk solusi bagi kemajuan bangsa. Buku ini juga diharapkan menjadi rujukan bagi pengembangan pendidikan ekonomi kerakyatan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.
-oo0oo-
202
Perekonomian Indonesia ; Masalah, Potensi & Alternatif Solusi