PEMAHAMAN DAN SOLUSI MASALAH KEBAKARAN HUTAN DI INDONESIA Penulis: Acep Akbar Editor: Ari Wibowo Pujo Setio Tjuk Sasmito Hadi Desain dan Tata Letak: FORDA PRESS Penerbit: FORDA PRESS, Bogor (Anggota IKAPI) Cetakan Pertama, Oktober 2016 xvi + 292 halaman; 150 x 230 mm ISBN 978-602-6961-08-2 © Hak cipta pada penulis dan penerbit dilindungi undang-undang Diterbitkan untuk:
Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
Perpustakaan Nasional RI., Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Akbar, Acep. Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia / Penulis, Acep Akbar ; Editor: A. Wibowo, P. Setio, T.S. Hadi. -- Cet. 1. -Bogor : Forda Press, 2016. xvi, 292 hlm. : ill. ; 23 cm. ISBN: 978-602-6961-08-2 1. Hutan, Kebakaran, -- Kerusakan Hutan. II. Judul
I. Akbar, A. 634.96
Kebakaran hutan di Indonesia telah menjadi permasalahan nasional yang tak kunjung selesai. Hampir setiap tahun, terutama pada musim kemarau, kebakaran terjadi, baik di lahan mineral maupun di lahan rawa gambut. Bahkan akhir-akhir ini, kebakaran lahan dan hutan yang banyak terjadi di lahan rawa gambut telah menimbulkan berbagai kerugian karena asap yang mengganggu sektor perhubungan dan kesehatan. Asap yang ditimbulkan dari kebakaran lahan gambut sering melintas batas negara, terutama negara tetangga Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam sehingga sering mengundang protes dari negara-negara tersebut. Kebakaran hutan dapat terjadi pada seluruh tipe hutan yaitu hutan pegunungan, hutan dataran rendah, hutan tanaman, hutan rawa gambut, semak/belukar, dan padang rumput. Sementara itu, kebakaran lahan terjadi pada lahan untuk perkebunan dan pertanian masyarakat. Akibat kebakaran, hutan menjadi rusak dan tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya. Kebakaran pada lahan gambut akan menurunkan fungsi lahan gambut sebagai reservoir (penyimpan air). Kebakaran hutan juga memengaruhi fungsi hidroorologis hutan, memusnahkan sebagian flora dan fauna hutan yang merupakan komponen biodiversitas, menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem dan penyerap karbon, serta memengaruhi penghasilan masyarakat setempat. Kebakaran hutan yang besar dan meluas, kini dapat dikategorikan sebagai bencana alam yang bersifat antropogenik (akibat perbuatan manusia) yang disejajarkan dengan bencana sejenis lainnya, seperti bencana epidemi penyakit (contohnya mers, flu burung, dan cikungunya) dan bencana gagal teknologi (contohnya peristiwa lumpur Lapindo). Sementara itu, bencana di dunia secara keseluruhan dapat dikelompokkan ke dalam bencana geologi, bencana hidrometeorologi, dan bencana antropogenik. Menghindari bencana antropogenik sesungguhnya dapat ditempuh melalui perencanaan yang sistematis dan terarah. Agar perencanaan efektif, semua unsur penyebab dan pendukung dari bencana perlu diketahui dan dipahami. Selanjutnya, pengetahuan penyebab dan pendukung bencana dapat dipertimbangkan untuk
|
mendapatkan teknologi yang tepat dalam mencegah terjadinya bencana yang besar. Khusus kebakaran hutan, karakteristik api itu sendiri perlu diketahui agar saat pemadamannya berlangsung efektif dan tanpa berefek negatif. Tulisan ini disusun dari hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan penulis, kajian literatur kebakaran hutan, dan pengalaman dalam menghadapi kebakaran besar. Materi-materi dalam buku ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi semua pihak guna mendukung upaya pengendalian kebakaran hutan, termasuk lahan perkebunan dan masyarakat. Hal ini karena berbagai upaya pengendalian kebakaran hutan belum memberikan hasil yang memuaskan, sekalipun berbagai upaya telah banyak dilakukan. Semua bahasan dalam buku ini bermuara pada tujuan yang ingin disampaikan, yaitu tentang pemahaman dan solusi masalah kebakaran hutan di Indonesia. Tulisan dalam buku ini membahas kebakaran hutan dan lahan dengan ruang lingkup tentang sejarah kebakaran hutan di Indonesia, arti api dan kebakaran hutan, proses terjadinya kebakaran, komponen dalam kebakaran hutan, faktor yang berpengaruh terhadap api kebakaran, parameter yang dapat diukur dari kebakaran, tipe bahan bakar, pola atau bentuk kebakaran, tipe kebakaran, kelas intensitas kebakaran, dampak kebakaran, penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia, faktor-faktor pendukung terjadinya kebakaran, teknologi pengendalian kebakaran, pencegahan kebakaran, pola pemadaman saat terjadi kebakaran, aktivitas pascakebakaran, kelembagaan kebakaran di Indonesia, dan kearifan lokal yang ada di beberapa daerah di Indonesia. Akhirnya, semoga buku ini dapat bermanfaat dalam memberikan sumbangan nyata bagi pencegahan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Penulis
|
Puji syukur senantiasa dipanjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa atas segala rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga buku ini dapat selesai disusun. Shalawat dan salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW beserta sahabat dan kerabatnya, serta pengikut-pengikutnya hingga akhir zaman. Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberi kesempatan, motivasi, bantuan, dan do’a, antara lain kepada: 1. Kepala Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI LHK). 2. Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru. 3. Para peneliti, teknisi litkayasa, dan Kepala Seksi beserta seluruh staf BP2LHK Banjarbaru. 4. Para narasumber dari Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Tengah; Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Tengah; Balai Konservasi Sumber Daya Alam Kalimantan Tengah; Kepala Dewan Adat Dayak; para Demang dan Monter Adat Dayak; Kepala Kantor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Kalimantan Tengah; dan segenap kelompok masyarakat peduli api, baik dalam bentuk Regu Pengendali Kebakaran (RPK), Tim Serbu Api (TSA), Masyarakat Peduli Api (MPA), dan Regu Siaga Api (RSA). 5. Para peneliti bidang kebakaran hutan dan lahan pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan; Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan, dan Perubahan Iklim; BP2LHK Manokwari; BP2LHK Kupang; dan BP2LHK Palembang. 6. Para Pengambil Kebijakan Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. 7. Para editor yang telah memperbaiki dan mengoreksi naskah buku ini agar layak mengisi khasanah ilmu pengetahuan
|
kebakaran hutan, yaitu Ir. Ari Wibowo, M.Sc., Drh. Pujo Setio, M.Si, dan Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. 8. Ibu Winingtyas Wardani, S.Hut., M.T, M.Sc. yang telah mengoreksi naskah agar layak dipublikasi dan Fauziah, S.Hut. yang telah membantu proses penerbitan buku ini. 9. Isteriku, Ni Gusti Ayu Made Ningsih; dan anak-anakku, dr. Edwin Pratama dan drg. Lidia Pratiwi. Akhirnya, penulis yakin dan berdoa, kiranya Allah SWT akan membalas segala amal kebaikan semua pihak yang telah membantu dan mendukung penulisan buku ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat.
Penulis
|
Buku “Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia” ini ditulis sebagai salah satu jawaban atas pertanyaan para pihak yang selama ini sering muncul berhubungan dengan kejadian kebakaran lahan dan hutan yang terjadi hampir setiap tahun. Pertanyaan utama adalah mengapa kebakaran lahan dan hutan terus terjadi, apa penyebab dan faktor pendukungnya. Pertanyaan lainnya adalah bagaimana cara mencegah dan mengatasinya. Kejadian kebakaran tahun 2015 yang lalu telah banyak menarik perhatian karena telah menyebabkan kerusakan hutan dan lahan yang mencapai 2,6 juta ha. Apabila dinilai secara ekonomi, kerugian tersebut mencapai Rp226,4 triliun. Hal yang paling menarik dari kebakaran tersebut adalah sekitar 33% terjadi pada lahan gambut. Kebakaran hutan dan lahan merupakan gangguan terhadap pengelolaan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kebakaran tersebut sangat berdampak terhadap penurunan kualitas lingkungan dan kehidupan masyarakat, antara lain berupa degradasi hutan dan lahan, gangguan aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat, gangguan kesehatan masyarakat, dan peningkatan emisi gas rumah kaca. Kebakaran hutan merupakan penyebab utama degradasi hutan selain akibat perambahan hutan, illegal logging, dan konversi hutan. Degradasi hutan Indonesia menurut catatan FAO pada tahun 2014 mencapai 1,3 juta ha/tahun. Kebakaran memengaruhi ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. Proses ekologi hutan menjadi terganggu, seperti suksesi alam, produksi dan proses dekomposisi bahan organik, siklus hara, siklus hidrologi, dan pembentukan tanah. Selain itu, tata iklim dan fungsi perosotan karbon oleh hutan juga rusak. Kebakaran hutan mengurangi kemampuan fotosintesis vegetasi hutan karena terhalangnya sinar matahari oleh asap sehingga hutan akan kehilangan biomassa dan produksi materi organik. Hilangnya vegetasi akan mengurangi penyerapan karbon dioksida sehingga akan meningkatkan efek rumah kaca. Kebakaran mengakibatkan musnahnya sumber pendapatan masyarakat yang
|
tinggal di sekitar hutan karena hasil hutan bukan kayu dan pertanian/perkebunan mereka ikut terbakar. Bahkan, efek yang paling menghebohkan dari kebakaran hutan dan lahan adalah asap yang sering mengganggu berbagai sektor. Selain menghasilkan CO2 dari pembakaran bahan organik, kebakaran juga menghasilkan koloid asap dan partikel-partikel SO2, NOx, dan CO. Mencermati semakin luasnya kebakaran hutan di Indonesia, sejumlah pemikiran pencegahan harus dilakukan lintas sektoral, terutama mengikutsertakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Oleh karena itu, jasa dan peran masyarakat lokal dalam memelihara hutan dan lingkungan perlu diikuti dengan pembinaan dan pengakuan hak dan eksistensi mereka. Peristiwa kebakaran dapat terus berlanjut setiap tahun yang magnitudonya tergantung pada akumulasi bahan bakar, panjangnya musim kemarau, fenomena El Nino, serta tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat. Kita menyadari bahwa kebakaran hutan dan lahan disebabkan oleh multifaktor yang sangat kompleks, mencakup aspek fisik, sosial ekonomi dan budaya antropologis masyarakat, organisasi dan kelembagaan, serta intensitas pengelolaan hutan dan lahan. Penanganan aspek tersebut secara terintegrasi dan sinergis akan mengurangi, bahkan mengeliminasi peristiwa kebakaran hutan. Apabila kebakaran terus berlanjut, artinya kita belum berhasil menangani berbagai aspek tersebut. Melalui penulisan buku ini, kita berharap dapat mencermati informasi ilmu pengetahuan dan teknologi pengendalian kebakaran sebagai bekal kontribusi pemikiran untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Selain itu, tulisan ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para penentu kebijakan dalam penanggulangan masalah kebakaran hutan dan lahan.
Kepala Balai,
Ir. Tjuk Sasmito Hadi, M.Sc. NIP. 19611026 198903 1 001
|
KATA PENGANTAR ………………..…………………………….………… UCAPAN TERIMA KASIH ………………………………………………… SAMBUTAN KEPALA BALAI LITBANG LHK BANJARBARU … DAFTAR ISI ………………………………..………….………………………. DAFTAR TABEL ………………………….………….………………………. DAFTAR GAMBAR ……………………….………..……………….……….
iii v vii ix xii xiv
I.
PENDAHULUAN ……………………………………….……..…….
1
II.
MEMAHAMI SIFAT API DAN KEBAKARAN HUTAN ... A. Tahapan Proses Terjadinya Api ....................................... B. Penjalaran Panas ................................................................... C. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Api ....... D. Pola atau Bentuk Kebakaran ............................................. E. Intensitas Kebakaran ........................................................... F. Tipe Kebakaran ....................................................................... G. Perilaku Ekstrem Api ........................................................... H. Kelas Intensitas Kebakaran ...............................................
5 15 17 18 30 32 34 38 41
III. SEBAB-SEBAB KEBAKARAN ................................................ A. Penggunaan Api untuk Berladang .................................. B. Penggunaan Api untuk Peremajaan Rumput Pakan Ternak ........................................................................................ C. Penggunaan Api untuk Penggunaan Lahan Perkebunan, Hutan Tanaman, dan Tujuan Kepemilikan ... D. Pembakaran Saat Berburu ................................................ E. Pembakaran Saat Memancing Ikan ................................ F. Pembakaran Sampah Pertanian dan Rumah Tangga G. Pembakaran Mengusir Nyamuk oleh Pencari Kayu Galam .......................................................................................... H. Penyebab Lain Akibat Kelalaian Pengguna Api ........
43 47
IV. FAKTOR PENDUKUNG KEBAKARAN HUTAN ….…….. A. Penguasaan Lahan ................................................................. B. Alokasi Penggunaan Lahan yang Tidak Tepat ........... C. Pertimbangan Ekonomi untuk Mengonversi Hutan
55 55 56 56
48 49 50 51 51 52 52
|
V.
D. Terjadinya Degradasi Hutan dan Lahan ...................... E. Terjadinya Perubahan Karakteristik Kependudukan .......................................................................................... F. Gejala Alam El Nino Penyebab Kemarau Panjang ....
57
DAMPAK KEBAKARAN …………………………………………. A. Dampak Kebakaran terhadap Degradasi Hutan dan Lahan Milik ............................................................................... B. Dampak Kebakaran terhadap Lingkungan ................ C. Dampak Kebakaran terhadap Produktivitas Tanaman .................................................................................... D. Dampak Kebakaran terhadap Kesehatan ................... E. Dampak Kebakaran terhadap Sosial dan Ekonomi ..
69
58 58
70 73 86 87 90
VI. MANAJEMEN KEBAKARAN .................................................... 93 A. Pencegahan .............................................................................. 93 B. Pemadaman .............................................................................. 136 C. Aktivitas Pascakebakaran ................................................. 149 D. Kelembagaan dan Peraturan ............................................ 156 VII. PEMBELAJARAN DARI DAERAH DAN KEARIFAN LOKAL .............................................................................................. 175 A. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Berladang ... 176 B. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Berburu ...... 184 VIII. TEMUAN HASIL RISET ............................................................. A. Pembangunan Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran (Tahun 2003) ........................................ B. Kajian Status (Review) IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan .................................................................. C. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Kalimantan ........................................................... D. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Wilayah Semiarid di Nusa Tenggara Timur (NTT) ............................................................................. E. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Papua …………………………………………………. F. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Riau dan Kalimantan Tengah … G. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Riau dan Kalimantan Tengah …
|
187 187 191 195 197 198 201 206
H. Percobaan Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan pada Wilayah Semiarid di NTT …………………………………………………………………… 207 I. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Kalimantan Selatan …………… 208 J. Penelitian Dampak Pembakaran Terhadap Produktivitas Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah .. 209 IX. SOLUSI PENGENDALIAN ......................................................... A. Pendekatan Klimatologi ...................................................... B. Pendekatan Silvikultur ........................................................ C. Pendekatan Teknis ............................................................... D. Pendekatan Sosial Ekonomi Masyarakat .................... E. Pencegahan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM) ……………………………….……………………………. X.
211 211 212 219 220 223
PENUTUP ....................................................................................... 255
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 265 GLOSARIUM ............................................................................................ 275 PROFIL PENULIS .................................................................................. 291
|
Tabel 1.
Luas tutupan lahan di dalam dan luar kawasan hutan Indonesia (juta ha) …………………………………………………. Tiga faktor kunci yang memengaruhi perilaku api ……. Nilai kalori dan proses penyalaan beberapa jenis kayu hutan Indonesia ……………………….……………………………. Karakteristik penyalaan beberapa jenis kayu hutan Indonesia ………………………………………………………………. Kerusakan hutan yang terjadi pada beberapa selang intensitas kebakaran ……………………………………………… Penyebab kebakaran berdasarkan pengalaman responden/petani di 10 daerah di Indonesia ………….. Kriteria umum baku kerusakan fisik tanah akibat kebakaran …………………………….……………………………….. Kriteria umum baku kerusakan kimia tanah akibat kebakaran ……………………………………………………………… Kriteria umum baku kerusakan biologi tanah akibat kebakaran ……………………………………………………………… Kriteria umum baku kerusakan flora dan fauna akibat kebakaran hutan ……………………………………………………. Konsentrasi PAHs pascakebakaran di Jambi dibandingkan dengan di Jakarta tahun 1997/1998 ………….. Konsentrasi aseton dan isopren dalam udara sekitar areal kebakaran ……………………………………………………. Konsentrasi metil halida di dalam udara areal kebakaran tahun 1997 …………………………………………………… Hubungan antara tingkat indeks kualitas udara dengan tindakan yang diperlukan ………………………….. Sumber-sumber api kebakaran pada Hutan Penelitian Riam Kiwa di Kalimantan Selatan …………………………..
2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
|
2 18 28 29 33 45 74 76 77 79 80 81 81 89 95
16. Data laporan kejadian api atau kebakaran yang memuat perihal utama dan perihal tambahan …………….. 17. Analisis SWOT teknologi pencegahan kebakaran di Indonesia ………………………………………………………………. 18. Peralatan pemadam tangan yang telah dibagikan kepada masyarakat sebagai stimulant ……………………. 19. Desa-desa binaan pengendalian kebakaran oleh CARE di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau ….. 20. Kondisi tegakan hutan tanaman dan tumbuhan bawah umur 7 tahun di KHDTK Riam Kiwa, Kalimantan Selatan ………………………………………………………………….. 21. Perangkat peralatan pengendalian kebakaran hutan di setiap Posko Brigdalkarhut (Manggala Agni Daops) …. 22. Peralatan pemadam kebakaran khusus lahan gambut .. 23. Jenis-jenis pohon hutan yang ditanam pada areal rehabilitasi, termasuk areal pascakebakaran …………… 24. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di empat provinsi 25. Peraturan yang pernah dan/atau masih berlaku, serta terkait dengan pengelolaan kebakaran hutan di Indonesia ……………………………………………………………… 26. Tahapan pembakaran lahan menurut kearifan lokal masyarakat Dayak …………………………………………………. 27. Beberapa sifat kualitatif dimensi pohon hutan tanaman ………………………………………………………………… 28. Kondisi bahan bakar potensial bawah tegakan hutan tanaman umur tujuh tahun dengan persiapan lahan secara mekanis di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan ...... 29. Nilai optimal dari beberapa faktor yang menentukan kualitas kompos ……………………………………………………..
104 125 129 133
135 138 144 151 160
168 178 215
216 248
|
Gambar 1.
2. 3. 4.
5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
13. 14.
15.
Pengurangan luas tutupan hutan Borneo [Kalimantan] akibat deforestasi tahun 1950–2005 dan proyeksi hingga tahun 2020 …………………………………………………. Kondisi Hutan Tidak Rawan (HTR), Hutan Rawan (HR), dan Hutan Sangat Rawan Kebakaran (HSR) ……. Skema faktor-faktor yang memengaruhi kejadian api di lahan gambut ………………………….…………………………. Akumulasi kejadian kebakaran hutan Indonesia berdasarkan data hotspot (titik panas) tahun 1997– 2007 dan 2008–2014 …………………………………………….. Segi tiga api (bahan bakar, oksigen, dan panas) ………. Alang-alang kering sumber potensial bahan bakar ….. Sisa penebangan yang telah kering sumber potensial bahan bakar …………………………………………………………… Potensi berbagai bahan bakar halus di permukaan hutan ……………………………………………………………………. Api bawah permukaan gambut ………………………………. Api permukaan ……………………………………………………… Api tajuk ……………………………………………………………….. Filosofi terjadinya kebakaran hutan di Indonesia ditentukan oleh tingginya muatan bahan bakar, degradasi hutan, dan sumber api lahan ……………..……………. Contoh produk BMKG untuk monitoring fenomena El Nino yang dapat diakses pada website BMKG ………….. Daerah terdampak jika terjadi El Nino lemah-sedang yang dinyatakan dalam persentasi hujan terhadap kondisi normalnya …………………………………………………. Daerah terdampak jika terjadi El Nino kuat yang dinyatakan dalam persentasi hujan terhadap kondisi normalnya …………………………………………………………….
|
2 8 9
12 13 27 27 28 36 36 37
46 61
65
66
16. Sumber-sumber emisi gas rumah kaca di bumi ……….. 17. Dampak kebakaran hutan terhadap emisi gas rumah kaca ……………………………………………………………………… 18. Papan tingkat kerawanan pencemaran udara …………. 19. Kabut asap mengganggu kesehatan ………………………… 20. Teknik pembentukan regu pengendali kebakaran hutan dan lahan di desa dan kampong ……………………. 21. Peta hotspot yang identik dengan kebakaran hutan dan lahan Indonesia tahun 2007 s/d 2014 …………….. 22. Mekanisme perolehan data hotspot dari lapangan …… 23. Sistem Informasi Kebakaran ………………………………….. 24. Peta kerawanan kebakaran Provinsi Kalimantan Tengah ………………………………………………………………….. 25. Sebaran titik panas di Kalimantan Selatan tahun 2010 26. Skema unsur-unsur FMP ………………………………………… 27. Skema aktivitas pembuatan FMP ……………………………. 28. Regu Pos Api Kampung sebagai pencegah dan pemadam dini api …………………………………………………………… 29. Pengelolaan bahan bakar yang dapat dilakukan dalam hutan tanaman ……………………………………………………… 30. Muka air tanah bulanan 1993 s/d 2002 di Kalimantan Tengah …………………………………………………………………. 31. Diagram skematik dinamika kebakaran di lahan gambut tropis ………………………………………………………………. 32. Pakaian pelindung pemadaman kebakaran ………..……. 33. Peralatan pemadaman dengan unit mobil pick-up ……. 34. Teknik pemadaman dengan penyemprot punggung dan kepyok ……………………………………………………………. 35. Teknik pemadaman api pada lahan gambut menggunakan pompa diam ………………………………………………… 36. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah ……………………… 37. Kanopi tajuk Gmelina arborea dapat menekan tumbuhan bawah …………………………………………………………
83 84 91 91 99 113 114 116 119 120 122 123 130 134 137 137 139 141 142 144 164 218
|
38. Strategi pencegahan kebakaran hutan dengan konsep ”3E” ……………………………………………………………………….. 224 39. Model input masyarakat dalam pembuatan keputusan pengelolaan api ……………………………………………………… 228
|
Kebakaran hutan didefinisikan sebagai suatu proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara bebas (wild fire) dengan mengonsumsi bahan bakar alam hutan, meliputi serasah, humus, tanah gambut, rumput, ranting-ranting, gulma, semak, dedaunan dan pohon-pohon segar (Brown & Davis, 1973). Dalam tulisan ini, kebakaran hutan yang dimaksud mencakup kebakaran hutan dan lahan. Pengertian kebakaran hutan dan lahan adalah suatu keadaan yang mana hutan atau lahan dilanda api sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomi dan lingkungan. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan atau lahan merupakan salah satu penyebab kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup, baik berasal dari lokasi maupun dari luar lokasi usaha dan kegiatan. Hutan yang kita miliki merupakan salah satu kekayaan alam, sekaligus kunci kelestarian lingkungan hidup dan modal dasar pembangunan nasional. Selain itu, hutan juga paru-paru dunia sehingga perlu kita kelola secara lestari agar terhindar dari segala kerusakan. Kebakaran merupakan salah satu faktor perusak hutan yang paling cepat dan berdampak negatif. Selain terhadap sumber daya hutan itu sendiri, dampaknya juga telah mengganggu kesehatan manusia, sektor ekonomi, bahkan politik (Heikkilla et al., 1993; Barber, 2000). Pelaksanaan tata guna hutan yang ada dari dahulu hingga era modern saat ini menunjukkan bahwa setiap fungsi hutan telah mengalami deforestasi dan degradasi. Sebagai contoh, hutan Kalimantan yang begitu hijau pada tahun 1950 namun dari tahun ke tahun telah mengalami penyusutan [ditunjukkan oleh warna peta semakin putih] sehingga pada tahun 2020 dapat diprediksi luas tutupan hutan hanya
|
mengandung ±40% dari tutupan vegetasi semula (Gambar 1). Penyebab utama hilangnya vegetasi hutan menjadi nonhutan adalah akibat kebakaran dan penebangan, baik yang dilakukan secara legal maupun ilegal. Secara umum, terdapatnya areal nonhutan di Indonesia sebagian besar adalah akibat deforestasi dan degradasi (Tabel 1).
Gambar 1. Pengurangan luas tutupan hutan Borneo [Kalimantan] akibat deforestasi tahun 1950–2005 dan proyeksi hingga tahun 2020 (Sumber: UNEP/GRID Arendal, 2007) Tabel 1. Luas tutupan lahan di dalam dan luar kawasan hutan Indonesia (juta ha) (Landsat, 2012) Tutupan vegetasi Hutan Nonhutan
Hutan Konser -vasi
HL
HP
HPk
Total lahan hutan
Di luar kawasan hutan
17,2
23,2
40,2
8,3
89,0
9,0
4,8
7,2
17,8
9,5
39,3
50,4
Sumber: Statistik Kehutanan (Dirjen Planologi Kehutanan, 2012) Keterangan: HL (Hutan Lindung), HP (Hutan Produksi), HPk (Hutan Produksi yang dapat dikonversi)
|
Pada awalnya, kebakaran sangat berperan penting dalam menciptakan banyak komunitas vegetasi dan lansekap di dunia. Api telah memengaruhi vegetasi yang tumbuh di dunia. Peristiwa api telah berlangsung lebih tua daripada beberapa vegetasi daratan (Chandler et al., 1983). Sejalan dengan perkembangan waktu, kebakaran kini sering menimbulkan kerusakan yang besar, walaupun dalam kondisi tertentu pembakaran hutan dan lahan dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan. Kebakaran hutan dapat merusak hampir seluruh komponen penyusun hutan sehingga tujuan pengelolaan dan fungsi hutan tidak tercapai. Asap tebal yang sering terjadi akibat kebakaran hutan juga menimbulkan gangguan terhadap kehidupan yang lebih luas. Timbulnya lukaluka pada pohon dan banyaknya pohon yang lemah akibat kebakaran memberikan peluang lebih tinggi kepada penyebab kerusakan lain, terutama hama dan penyakit (Sumardi & Widyastuti, 2007). Berulangnya kasus-kasus kebakaran di Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan bahwa upaya pengendalian kebakaran di Indonesia masih belum memadai. Dari kasuskasus kebakaran yang terjadi, beberapa hal yang perlu diketahui antara lain bagaimana sifat-sifat api, dari mana asal terjadinya kebakaran, bagaimana teknologi yang harus diterapkan untuk penanggulangan dan pencegahan, serta berbagai lembaga apa saja yang harus terlibat dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan, baik dari pemerintah maupun swasta dan masyarakat. Belum terwujudnya sinergi antara semua elemen masyarakat atau lembaga-lembaga, baik pemerintah maupun swasta, telah menyebabkan kekurangpedulian dari berbagai pihak terhadap bahaya kebakaran sehingga dalam melembagakan upaya-upaya pencegahan masih menghadapi berbagai masalah. Kebakaran lebih dianggap sebagai bencana yang bersifat insidentil sehingga kebanyakan pihak tidak membuat suatu perencanaan pengendalian kebakaran secara rutin. Dalam konteks penanggulangan kebakaran hutan dan lahan, manusia hanya dapat melakukan dua hal, yaitu melakukan pencegahan dan memadamkan api secara dini. Kebakaran yang terlanjur besar hanya padam jika bahan bakar telah habis atau khusus di lahan gambut terjadi turunnya hujan minimal dua minggu hampir berturut-turut. Sistem penang-
|
gulangan dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan yang dapat berperan baik sebagai pemicu maupun pencegah telah banyak mengalami keberhasilan di beberapa daerah. Belakangan ini, peristiwa kebakaran hutan dan lahan dimasukkan dalam bencana antropogenik sama dengan bencana wabah penyakit endemik dan bencana kegagalan teknologi (BNPB, 2013). Sementara itu, bencana lain nonantropogenik adalah bencana geologi dan hidrometeorologi.
|
Pada abad ke-15 dan ke-16, Portugis dan Belanda mencatat ada kebakaran besar di hutan alam lahan gambut di Borneo [Kalimantan]. Bukti alamiah berdasarkan pendataan karbon radioaktif dan endapan kayu arang di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa kawasan hutan dataran rendah telah berulang kali terbakar sejak 17.500 tahun yang lalu dalam periode glasial kuarter (Goldamer, 1990). Semula, kebakaran dianggap terjadi secara alami yang berasal dari perburuan dan pertanian di dalam hutan. Manusia pun telah mengenal kebakaran hutan, baik nilai pemanfaatan maupun pengendaliannya, sejak kira-kira 250.000 sampai 500.000 tahun yang lalu. Pada mulanya, orang berusaha menghilangkan pohon-pohon atau tumbuhan dengan tujuan mempermudah usaha, baik untuk berburu binatang liar dan memperoleh bahan pangan maupun untuk kepentingan lain di dalam hutanhutan yang lebat. Pada masa itu, orang telah tahu akan kegunaan api, baik secara sadar maupun secara alamiah. Mereka menggunakan api untuk melakukan penjarangan pohon di dalam hutan, mengurangi bahan bakar di tanah, dan membuat tempat-tempat perlindungan dengan maksud mempercepat tumbuhnya berbagai jenis tanaman. Kebakaran secara alamiah sering terjadi di berbagai bagian bumi sejak ribuan tahun yang lalu yang ditandai pula dengan ciri masing-masing ekosistemnya. Oleh sebab itu, asal usul api atau kebakaran yang memberikan ciri pada suatu ekosistem disebut sebagai “aturan api” (fire regime) (Anonimous, 1992) yang unsur-unsurnya adalah 1) tipe, intensitas, dan frekuensi kebakaran; 2) musim; 3) pola kebakaran; dan 4) besarnya kebakaran. Untuk memahami luasnya cakupan ciriciri kebakaran, enam jenis dari aturan api dapat dikenal untuk ekosistem hutan, yaitu: 1.
Kebakaran secara alamiah tidak ada; jika ada, kebakaran terjadi kecil sekali.
|
2.
Kebakaran ringan yang tidak sering tetapi terjadi berulang dengan interval waktu lebih dari 25 tahun.
3.
Kebakaran besar yang tidak sering tetapi terjadi berulang dengan interval waktu lebih dari 25 tahun.
4.
Kebakaran besar terjadi dengan interval waktu yang pendek dan menyebabkan kerusakan secara berganda pada permukaan lahan hutan, serta berulang dengan interval waktu antara 25 hingga 100 tahun.
5.
Kebakaran yang berulang dalam jangka waktu lama antara 100 hingga 300 tahun dan tentunya menyebabkan kerusakan secara berganda pada permukaan lahan hutan.
6.
Kebakaran hutan yang besar dan berulang dalam jangka waktu amat lama dengan interval waktu lebih dari 300 tahun.
Gabungan dari berbagai aturan api dapat membentuk ciri dari suatu ekosistem. Sebaliknya kejadian yang melanda banyak lokasi dapat merupakan kombinasi dari aturan-aturan tersebut di atas. Aturan api juga bervariasi, baik menurut tipetipe vegetasi maupun fisiografi suatu wilayah di dalam suatu kawasan biogeografi. Contohnya adalah kebakaran hutan di Kalimantan Timur pada tahun 1983, kebakaran ini diduga termasuk dalam aturan api ke-3 atau ke-4. Lamanya waktu rata-rata aturan api membakar suatu kawasan adalah analog dengan rotasi yang dikenal dalam bidang kehutanan. Keadaan ini dapat disebut dengan istilah daur kebakaran (fire cycle) (Anonimous, 1992). Pada kebanyakan ekosistem, kebakaran merupakan suatu proses yang agak bersifat acak. Artinya bahwa beberapa kawasan akan diloncati oleh kebakaran untuk waktu yang sangat lama, sementara daerah lainnya mengalami kebakaran dua kali atau lebih dalam satu rotasi. Api juga merupakan faktor lingkungan yang penting dari berbagai ekosistem daratan. Api dapat merusak, tetapi dapat juga dianggap sebagai alat yang diperlukan untuk pengelolaan suatu kawasan konservasi alam. Api mengakibatkan kerusakan karena panas yang ditimbulkannya. Namun demikian, kebakaran juga dapat merangsang akar untuk mengisap air tanah lebih banyak, merangsang kuncup untuk tumbuh, dan merang-
|
sang pertumbuhan kecambah dari beberapa spesies tumbuhan yang tahan api. Intensitas dan frekuensi kebakaran bervariasi daya pengaruhnya, baik pengaruh yang merugikan maupun yang menguntungkan. Ada beberapa jenis pohon dan perdu yang tahan terhadap kebakaran sebagai hasil adaptasinya terhadap kondisi kekeringan yang periodik. Tanaman demikian dinamakan Xeromorphyl. Akhir-akhir ini, pengunaan api semakin luas sebagai cara untuk mengubah vegetasi; namun sayangnya, manusia modern telah melenyapkan banyak pengertian mengenai peranan dari kebakaran-kebakaran secara alamiah. Terjadinya kemerosotan populasi hidupan liar secara alami di abad ke-19 dan ke-20 ini dianggap sebagai akibat dari kebakaran sehingga perlu dicegah. Secara tradisional, pembakaran hutan telah lama dimanfaatkan, yaitu pada praktik perladangan berpindah (sivting cultivation) oleh masyarakat adat dalam hutan (Evans, 1982). Dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, pembakaran banyak dimasukkan sebagai salah satu pilihan dalam tindakan silvikultur di beberapa negara, walaupun masih banyak dampak negatif akibat pembakaran yang belum dapat diatasi, terutama terhadap kualitas lingkungan hidup. Pembangunan hutan tanaman industri di Indonesia pun pernah memanfaatkan api untuk persiapan pembersihan lahan dari dominasi vegetasi sekunder sebelum penanaman dilakukan (Sumardi & Widyastuti, 2007). Kebakaran alamiah pada beberapa kawasan hutan di daerah beriklim sedang terutama disebabkan oleh pencahayaan atau panas matahari. Namun berbeda halnya pada hutan di daerah tropika, cahaya matahari tidak merupakan penyebab timbulnya kebakaran alami di hutan. Kondisi tersebut disebabkan oleh sering terjadinya hujan lebat disertai badai. Para pengamat yakin bahwa intensitas cahaya relatif kecil di daerah tropika. Oleh karena itu, kebakaran hutan di daerah tropika hampir semuanya disebabkan oleh adanya penyulutan api dalam aktivitas manusia. Namundemikian, sumber api lain yang dapat menimbulkan kebakaran alamiah adalah gunung berapi melalui lahar pijar yang dikeluarkannya.
|
Hutan hujan tropis saat tidak terganggu sangat sulit terbakar. Kebakaran yang terjadi hanya berskala kecil dan bersifat setempat. Namun, saat pengguna api lahan meningkat yang didukung oleh terjadi kekeringan yang parah akibat gejala alam El Nino, ditambah banyaknya penebangan pohon hutan dan adanya bentuk gangguan lain seperti kanalisasi di lahan gambut, sejak itulah hutan hujan tropis Indonesia menjadi sangat rentan terhadap kebakaran besar dan luas (Gambar 2). Menurut para ahli klimatologi, keparahan dan kekerapan terjadinya El Nino akibat dari pemanasan global yang pada dasarnya sebagai hasil kumulatif dari kegiatan manusia yang melepaskan karbon dioksida (CO2) dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer.
HTR
HR
HSR
Gambar 2. Kondisi Hutan Tidak Rawan (HTR), Hutan Rawan (HR), dan Hutan Sangat Rawan Kebakaran (HSR)
Hutan alam sejak mengalami keterbukaan tajuk, semua semak dan belukarnya telah menjadi bahan bakar potensial yang mudah mengalami kekeringan sehingga rawan kebakaran. Hutan tanaman dengan pola tanam monokultur yang umumnya banyak ditumbuhi gulma berupa semak dan alangalang tanpa tindakan pengurangan pertumbuhan gulma telah meningkatkan reaktivitas bahan bakar terhadap api sehingga hutan tersebut rawan terbakar. Di sisi lain, hamparan luas semak belukar dan lahan yang didominasi rumput alang-alang (Imperata cylindrica) telah menjadi lahan tidur dan langganan rutin yang terbakar setiap tahun. Termasuk dalam hal ini adalah lahan gambut yang telah mengalami penganalan (saluran drainase) yang berlebihan ternyata juga telah meningkatkan kerawanan kebakaran karena vegetasi rumput, semak,
|
dan tanah gambut itu sendiri dapat menjadi bahan bakar potensial akibat kekeringan jangka panjang. Kanal pada saat musim kering telah menarik air pada gambut di sekitarnya sehingga tanah gambut dapat mengalami kering tidak balik (irreversible drying) yang sangat rawan jika ada pemicu (triger) api oleh manusia pengguna api. Kebakaran pada lahan gambut ataupun lahan mineral yang terdiri dari hutan alam, hutan tanaman, dan lahan alang-alang lebih ditentukan oleh multifaktor menyangkut manusia, vegetasi, dan iklim. Khusus di lahan gambut, tanah atau edafis adalah bahan bakar potensial di musim kering (Gambar 3).
Gambar 3. Skema faktor-faktor yang memengaruhi kejadian api di lahan gambut
Kejadian kebakaran hutan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir semakin sering dengan cakupan areal terbakar yang luas. Seringnya kejadian kebakaran hutan menjadi indikator belum adanya perencanaan yang terintegrasi dan belum adanya strategi yang tepat untuk menangani masalah tersebut (Haba, 2002). Kebakaran besar pertama yang melanda hutan Indonesia terjadi pada tahun 1983/1984 yang telah
|
membakar dan merusak sekitar 2,4–3,6 juta ha hutan di Kalimantan Timur. Sejak itu, kebakaran semakin sering terjadi, antara lain pada tahun 1987, 1991, 1994, 1997/1998, 2000, 2002, 2005, 2006, 2009, 2012, 2013, 2014, dan 2015. Khusus kebakaran pada tahun 1997, peristiwa ini tercatat sebagai tahun terjadinya kebakaran hutan bagi dunia, terutama bagi negara berkembang di wilayah tropik dan subtropik. World Wide Fund for Nature (WWF) menyebut tahun tersebut sebagai “tahun terperangkapnya dunia oleh kebakaran” (Emil Salim dalam Glover & Jessup, 2002). Kabut asap yang menyertai kebakaran tahun 1997 telah mengejutkan pemerintahan di berbagai negara, organisasi internasional, dan masyarakat pada umumnya. Walaupun para ahli meteorologi telah memperingatkan beberapa bulan sebelum kejadian, para pengambil keputusan (decission maker) ternyata benar-benar tidak siap menghadapi tragedi yang terjadi pada tahun 1997 tersebut. Sementara itu, kebakaran tahun 2015 telah membakar areal seluas 2,6 juta ha (33% terjadi di lahan gambut) dan apabila dinilai secara finansial maka kebakaran dari sejak bulan Juli hingga Oktober 2015 telah menyebabkan kerugian setara Rp226,37 triliun. Saat itu, bencana kebakaran melanda seluruh wilayah provinsi di Indonesia, bahkan negara lain yang meliputi Brasilia, sebagian negara-negara di Asia-Pasifik, Amerika Latin, dan Afrika. Kebakaran ini sebagian besar terjadi akibat aktivitas manusia, utamanya pembukaan lahan dengan metode pembakaran. Selanjutnya, kebakaran beberapa tahun terakhir sebagian besar sering terjadi di lahan gambut sehingga memproduksi asap sangat tebal. Akibat terjadinya asap tebal yang melintasi batas negara inilah yang menstimulir adanya protes negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Kerusakan yang ditimbulkan oleh kebakaran dan asap sangatlah besar. Kehidupan liar, habitat alamiah, dan ekosistem di daerah yang terkena dampak paling buruk telah rusak dan memiliki harapan kecil untuk dapat diperbaiki kembali. Kerugian besar juga dirasakan langsung oleh manusia yang meliputi gangguan kesehatan akibat berbulan-bulan menghisap asap tebal, kerugian akibat penutupan bisnis selama berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan akibat terganggunya transportasi, masuknya udara berasap ke dalam
|
mesin, gangguan jadwal kerja, kerusakan pertanian, perkebunan kayu, dan sumber daya alam lainnya. Karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya dalam jumlah besar dilepaskan ke atmosfer dari pembakaran biomassa. Dari setiap keuntungan jangka pendek yang didapatkan oleh pelaku pembakaran dari sistem bakar yang mereka lakukan [membuka lahan atau memperoleh akses ke sumber daya hutan dengan cara yang cepat dan murah], terdapat biaya yang tidak terhingga yang harus dibayar oleh orang lain dalam bentuk hilangnya pendapatan, gangguan kesehatan tubuh, dan kerusakan lingkungan. Kini kebakaran hutan telah menjadi salah satu ancaman atau gangguan yang cukup gawat terhadap kelestarian hutan, baik secara materi maupun ekologis. Kebakaran hutan di Indonesia juga telah menjadi permasalahan nasional. Dari sejarah kejadian kebakaran hutan dan lahan, beberapa provinsi di Indonesia telah menjadi langganan kebakaran besar hampir setiap tahun, dan yang paling dapat dipastikan adalah meliputi Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Barat (Gambar 4). Kebakaran yang besar dan luas dapat memusnahkan hutan yang telah terbentuk secara alami dalam waktu ratusan, bahkan ribuan tahun. Padahal, apabila hutan sehat atau tidak rusak, berbagai bencana dapat dihindari, seperti banjir, erosi, tanah longsor, dan kekeringan. Dengan demikian, hutan mampu memberikan fungsi hidroorologisnya secara baik. Selain itu, hasil hutan seperti kayu, rotan, damar, kulit, buah-buahan, dan madu dapat dipungut untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Hutan juga merupakan satu-satunya komunitas yang dapat memitigasi emisi gas rumah kaca yang menjadi penyebab pemanasan global dan perubahan iklim.
|
Gambar 4. Akumulasi kejadian kebakaran hutan Indonesia berdasarkan data hotspot (titik panas) tahun 1997–2007 dan 2008–2014 (Sumber: Direktorat Kebakaran Hutan, 2015)
|
Kebakaran diawali dengan adanya api yang merupakan akibat proses fisika dan kimia. Terdapat tiga komponen yang saling berhubungan dalam proses terjadinya api, yaitu bahan bakar, oksigen, dan panas (Gambar 5). Bahan bakar adalah semua bahan organik hidup atau mati yang mana karena sifat fisik dan kimianya sewaktu-waktu dapat terbakar. Oksigen adalah salah satu dari komponen udara yang merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau dan menempati sekitar 21% dari volume udara yang ada di alam ini. Panas merupakan energi yang dihasilkan, baik secara alami seperti energi matahari/kilat/petir/halilintar maupun hasil dari aktivitas manusia melalui penyulutan secara langsung menggunakan korek api [di Indonesia, pemanasan banyak ditimbulkan oleh perlakuan manusia]. Apabila ketiga komponen tersebut telah bersatu dan mengalami proses pemanasan hingga mencapai titik bakar, nyala api akan keluar, termasuk lidah api. Sebaliknya, apabila ketiga faktor penyebab terjadinya api tersebut tidak mencapai suhu titik bakarnya, nyala api tidak akan terjadi.
Oksigen
Panas
Bahan Bakar Gambar 5. Segi tiga api (bahan bakar, oksigen, dan panas)
|
Proses untuk mencapai titik bakar banyak berhubungan dengan aktivitas manusia. Terjadinya titik bakar hampir 99% dipicu oleh adanya penyulutan atau pembakaran awal oleh manusia. Selanjutnya, api yang telah terjadi tersebut (melalui proses konveksi, konduksi, dan radiasi) menghasilkan penyulutan atau pemanasan terhadap bahan bakar lain di sekitarnya sehingga api akan terus menyala selama bahan bakar masih ada. Pembakaran awal inilah yang biasanya dipicu oleh berbagai kegiatan manusia yang tak terkendali, seperti pembakaran ladang untuk bertani, pembakaran peremajaan rumput untuk pakan ternak, pembakaran lahan-lahan tidur pada lahan gambut untuk menunjukkan kepemilikan, dan pembakaran pembuatan akses masuk hutan untuk memperoleh sumber daya dari dalam hutan. Sebab-sebab lain juga dapat memicu terjadinya api awal, contohnya adalah akibat pelanggaran aturan disiplin lingkungan, baik oleh perusahaan maupun masyarakat secara perorangan. Contoh-contoh kasus lainnya yaitu pembakaran pembukaan lahan (land clearing) oleh perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan, pembuangan puntung rokok yang masih menyala oleh masyarakat pada saat bahan bakar sangat kering, pembakaran untuk memasak ikan hasil pancingan, pembakaran untuk mengusir nyamuk oleh pemancing ikan dan pencari kayu galam di saat musim kemarau, dan pembakaran untuk memasak bagi penebang-penebang kayu ilegal di dalam hutan. Pemanasan awal akibat faktor alam dan halilintar di Indonesia pada umumnya tidak mencapai suhu titik bakar suatu bahan bakar karena kadar air bahan bakar yang tinggi (>20%). Sebagai contoh, halilintar di Indonesia pada umumnya terjadi di musim penghujan sehingga pijaran api yang terjadi dari halilintar tidak sempat menghasilkan pembakaran sempurna karena kadar air bahan bakar masih tinggi. Pada daerah nontropis seperti Kanada dan Amerika Serikat, hal tersebut mungkin saja dapat terjadi karena halilintar terjadi pula pada musim kering. Keberadaan api dari batu bara di bawah permukaan tanah seperti di Kalimantan Timur sesungguhnya tidak menyebabkan pembakaran secara langsung, melainkan hanya menghasilkan pemanasan awal dan mengeringkan bahan bakar. Api yang terjadi di Kalimantan Timur
|
umumnya berawal dari penyulutan api perladangan pada saat pembakaran pembukaan lahan yang lalai dan tak terkendali. Api pada dasarnya sangat berguna bagi kehidupan manusia apabila digunakan secara terkendali. Kita dapat melihat bagaimana setiap penduduk menggunakan api untuk berbagai keperluan setiap hari seperti memasak dengan menggunakan bahan bakar gas ataupun bahan bakar lain, seperti minyak tanah dan kayu bakar. Api-api tersebut sangat jarang menghasilkan kebakaran karena setiap pengguna api menyadari bahwa api harus dimatikan setelah selesai memasak. Di sini nampak bahwa kebakaran merupakan peristiwa atau proses pembakaran bahan bakar yang tidak terkendali sehingga dapat mengakibatkan kerugian besar. Kesadaran mematikan api di rumah ini timbul akibat adanya insentif berupa ketakutan pengguna api terhadap habisnya harta benda jika terbakar oleh api liar yang berasal dari api untuk memasak. Dari dasar inilah sesungguhnya pencegahan terjadinya api liar harus menjadi kewajiban dan kesadaran setiap individu masyarakat. A. Tahapan Proses Terjadinya Api Tahapan proses pembakaran diawali dengan timbulnya pemanasan awal yang diikuti dengan proses pembakaran udara dan diakhiri dengan pembakaran arang (Heikkila et al., 1993; Nepstad, 2004; Adinugroho, 2005). 1. Pemanasan Awal (Preheating Phase) Tahap pertama ini diawali dengan penyerapan panas oleh bahan bakar untuk menguapkan kandungan air dan menaikan suhunya hingga mencapai titik bakar. Kira-kira suhu mencapai 120°C, kandungan air dari bahan bakar mulai menguap dan mengering. Sebagian lagi terdestilasi yang mana dalam proses ini; asam-asam, resin, dan cairan lainnya akan menjadi gas bila suhu mencapai sekitar 260°C.
|
2. Pembakaran Udara (Gaseous Combustion Phase) Pada tahap kedua; bahan bakar organik yang telah mengalami pemanasan awal akan terbagi menjadi dua bagian, yaitu gas-gas yang tergolong jenis gas ringan seperti uap resin dan yang lainnya adalah arang. Pada proses ini, ketika destilasi gas-gas terjadi, mulailah berlangsung reaksi pembakaran. Oksidasi dimulai akibat gas-gas telah tersulut. Uap resin yang terjadi [sebelum menguap ke udara bebas] akan terbakar terlebih dahulu oleh panas sehingga menghasilkan bentuk yang disebut lidah api atau nyala api. Apabila yang terbakar batang kayu, lidah api yang terjadi merupakan hasil pembakaran gasgas yang menghasilkan uap air dan asam arang sebagai hasil utamanya. Apabila pembakaran tidak terjadi secara sempurna, sebagian dari zat-zat yang terdestilasi dapat dilihat setelah api padam, baik dalam bentuk cairan maupun padatan. 3. Pembakaran Arang (Charcoal Combustion Phase) Fase terakhir ini dicirikan oleh terbakarnya karbon atau arang yang dihasilkan sebelumnya, yaitu selama fase kedua. Hasil proses ini dapat dilihat adanya abu walaupun prosesnya sendiri tidak dapat dilihat. Fenomena lain yang perlu diketahui adalah adanya panas yang dihasilkan. Panas ini awalnya berasal dari sinar matahari yang diambil tumbuhan pada proses fotosintesis. Panas tersebut diserap oleh bahan bakar yang berdekatan dengan bahan bakar yang terbakar, kemudian terjadi peningkatan suhu hingga mencapai titik bakar dan akibatnya bahan bakar tersebut ikut terbakar. Selanjutnya, panas yang dihasilkan diserap oleh bahan bakar di sebelahnya dan begitu seterusnya. Akibat banyaknya rantai pemberian panas ke segala arah [tergantung arah angin] maka seperti itulah yang terjadi pada peristiwa kebakaran hutan. Proses pembakaran dalam kebakaran hutan merupakan reaksi kimia dari bahan bakar alami (seperti serasah, tumbuhan bawah, daun, ranting, dan kayu) dengan oksigen untuk memproduksi karbon dioksida, air, dan panas. Reaksi kimia ini merupakan kebalikan dari proses fotosintesis yang digambar-
|
kan sebagai berikut (Brown & Davis, 1973; Luke & Mc. Arthur, 1978; Chandler et al., 1983): Glucose + Oksigen C6H12O6 + 6O2
C6H10O5 (selulosa) + 6O2
Energi + Air
Energi + 6H2O
+ CO2
+ 6CO2
6CO2 + 5H2O + Panas
Apabila proses pembakaran ini tidak sempurna, gas-gas yang terbentuk dari bahan bakar akan terkondensasi yang terlihat sebagai asap atau cairan pada bahan bakar. B. Penjalaran Panas Pada dasarnya, proses kebakaran akan berlangsung secara berkesinambungan dan terjadi secara spontan selama bahan bakar dan oksigen tetap tersedia di alam dan menghasilkan panas yang cukup. Berikut ini terdapat tiga peristiwa penjalaran panas. 1. Konveksi Dalam ilmu meteorologi, konveksi adalah proses perambatan panas akibat dari benda-benda yang dipanasi. Apabila udara dipanasi, ia mengembang lalu naik ke atas kemudian diganti oleh udara dingin yang turun ke bawah. Dalam kebakaran hutan, konveksi merupakan proses mengalirnya udara panas dan asap dari bawah ke atas akibat perbedaan suhu dan massa. Proses ini menciptakan kolom atau lajur konveksi di atas api yang di dalamnya termuat udara panas. Aliran panas vertikal ini akan mengeringkan bahan bakar di atasnya di dalam kolom konveksi tersebut yang mengakibatkan terjadinya pengeringan bahan bakar sehingga mudah tersulut. Peristiwa tersebut dapat dilihat ketika terjadi proses perubahan kebakaran permukaan menjadi kebakaran tajuk. Akibat pengaruh angin biasanya membuat aliran udara panas tersebut membelok condong ke arah permukaan tanah. Pada situasi ini, udara panas tersebut akan mentransfer panas ke
|
arah bahan bakar di depan lidah api sehingga pada gilirannya bahan bakar tersebut ikut terbakar. 2. Radiasi Radiasi adalah proses perambatan panas dalam bentuk gelombang elektromagnet tanpa memerlukan medium perambatan. Hal ini pengaruhnya lebih kecil daripada konveksi saat penjalaran api di hutan karena kayu atau dalam bentuk hutan merupakan penghantar panas yang jelek. Besarnya intensitas panas berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. 3. Konduksi Konduksi merupakan salah satu proses perpindahan panas melalui molekul benda ke molekul benda di dekatnya. Pengaruhnya paling kecil jika dibandingkan dengan proses konveksi dan radiasi. Hal ini dapat dimengerti karena kayu merupakan konduktor panas yang sangat jelek sehingga ia mendekati sifat isolator. C. Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Api Terdapat tiga faktor kunci yang memengaruhi perilaku api, yaitu cuaca, topografi, dan bahan bakar (Tabel 2). Tabel 2. Tiga faktor kunci yang memengaruhi perilaku api (Heikkila et al., 1993; Nepstad, 2004) Cuaca Angin Temperatur Kadar air Kelembaban relatif Curah hujan
|
Topografi Kemiringan Aspek Deskripsi lokasi Daerah
Bahan bakar Kadar air Spasi/Jarak Tipe Volume Potensi
1. Cuaca Tiga komponen cuaca yang sangat penting untuk diketahui oleh para pengendali kebakaran, khususnya para regu pemadam kebakaran hutan, yaitu angin, temperatur, dan kadar air (Heikkila et al., 1993). Kadar air yang dimaksud adalah kadar air udara yang meliputi kelembaban relatif dan curah hujan. a. Pengaruh Angin terhadap Kebakaran Angin yang bertiup dekat dengan permukaan bumi biasanya angin yang sering menyulitkan para regu pemadam kebakaran ketika memadamkan kebakaran hutan. Semakin cepat angin bertiup, semakin cepat pula penyebaran api. Mengapa demikian? Hal ini karena angin membawa oksigen baru yang masuk ke dalam kebakaran dan lidah api akan mengeringkan bahan bakar di depannya melalui proses konveksi dan radiasi sehingga terjadi penyalaan baru. Hal yang lebih membahayakan lagi adalah kondisi ini dapat menyebabkan terjadinya api loncat ke arah depan sehingga lebih memperbanyak titiktitik api baru. Rendahnya tekanan dan massa udara saat terjadi kebakaran mengakibatkan kebakaran tersebut menimbulkan aliran udara yang memengaruhi aliran angin setempat. 1) Hembusan Angin Hembusan angin sebagai karakter angin permukaan menyebabkan peningkatan kecepatan angin secara tiba-tiba. Hal ini dapat diakibatkan oleh adanya turbulensi secara mekanis dan terjadinya ketidakseimbangan pemanasan permukaan bumi sehingga berhubungan dengan peristiwa konveksi. Arah hembusan angin dapat berubah-ubah secara cepat. 2) Angin Kencang secara Mendadak Angin ini dapat meningkat kecepatannya secara tiba-tiba. Angin kencang terjadi akibat pengaruh utama pergerakan secara cepat gelombang udara dingin. Angin ribut biasanya disertai petir dan seringkali dapat mengubah arah angin.
|
3) Variasi Ketinggian terhadap Angin Semakin tinggi suatu tempat, semakin berkurang pula halangan terhadap angin. Karakteristik angin juga berubahubah pada tempat tertentu. Kecepatan angin meningkat menurut ketinggian hingga ketinggian kira-kira 1.000 meter. Arah angin juga dapat berbelok akibat adanya penghalang permukaan. 4) Pengaruh Siang dan Malam Hari terhadap Angin Pada siang hari, pemanasan permukaan bumi meningkat sehingga angin cenderung meningkat akibat adanya variasi pemanasan matahari. Variasi tekanan udara sering menyebabkan arah angin membelok. Memanasnya permukaan bumi menghasilkan pusaran angin yang memutarkan udara di bagian yang tinggi. Akibatnya adalah kecepatan dan arah angin permukaan cenderung menyesuaikan dengan angin yang lebih tinggi. Sebaliknya pada malam hari, angin cenderung menurun akibat berkurangnya pemanasan permukaan bumi sehingga mengurangi gerakan pusaran angin dan mencegah bergabungnya dengan angin yang lebih tinggi. 5) Angin Gunung dan Lembah Jenis angin gunung dan lembah mempunyai periodisitas nyata dalam satu hari. Angin permukaan yang bertiup pada siang hari terbagi dalam dua bagian, yaitu angin termal di bagian lereng dan angin lembah. Angin termal pada lereng terjadi akibat dari perbedaan suhu yang intensif antara lereng yang terbuka pada surya dengan lembah kurang terbuka pada ketinggian tertentu. Akibatnya, angin menjadi kencang dan naik ke atas melewati lereng, serta sering menyebabkan terbentuknya awan kumulus di siang hari pada puncak gunung. Hampir bersamaan dengan angin termal yang dimiliki lereng, terdapat pula angin lembah yang bertiup sepanjang lembahlembah besar. Pada siang hari, angin ini bertiup naik ke atas puncak dari lembah (angin lembah). Ia mulai bertiup kira-kira pukul 09.00 hingga terbenam matahari. Setelah itu, angin menurun menuju lembah (angin gunung) dan biasa bertiup pada malam hari.
|
6) Angin Darat dan Angin Laut Daratan lebih cepat menerima panas matahari pada siang hari. Daratan juga menjadi lebih hangat pada siang hari dan lebih dingin pada malam hari. Sebaliknya, permukaan air lebih mampu menahan suhu sehingga permukaan laut suhunya lebih hangat pada malam hari. Akibat perbedaan panas antara daratan dan lautan, udara yang lebih padat dengan tekanan yang lebih tinggi menghasilkan pergerakan udara. Oleh karena peristiwa inilah terjadi angin laut yang bertiup pada siang hari dan angin darat yang bertiup pada malam hari. Angin laut bertiup dari laut menuju daratan, sedangkan angin darat bertiup dari daratan menuju laut. 7) Pengaruh Angin terhadap Kebakaran Perilaku api dipengaruhi secara kuat oleh angin. Jika dibandingkan dengan pengaruh cuaca lainnya maka arah angin paling dominan dalam menentukan arah penjalaran api. Mengapa demikian? Hal ini karena angin memiliki beberapa peranan terhadap api kebakaran. Angin berperan sebagai penyuplai oksigen, pemindahan panas, dan pemindah uap air dari bahan bakar. Tiga pola umum penyebaran api dipengaruhi oleh arah angin, yaitu: a) Pada lokasi tidak ada angin dan datar, laju penjalaran api relatif sama di semua arah. Secara umum api menyebar melingkar dengan pusat nyala awal hampir sama dengan pusat sebaran api yang sedang berlangsung. b) Pada lokasi angin relatif tidak berubah arah, bentuk sebaran memanjang mirip bentuk lonjong (elips). c) Pada lokasi angin berubah-ubah arah, bentuk sebaran api menyudut antara 30–40°. Pola penyebaran api yang dipengaruhi oleh kecepatan angin terdapat tiga bentuk, yaitu pada saat kecepatan angin lemah, sedang, dan kuat. Kecepatan angin lemah menyebabkan penyebaran api membulat; kecepatan angin sedang menyebabkan penyebaran api agak lonjong; dan kecepatan angin kuat
|
menyebabkan penyebaran api memanjang mengikuti arah angin. Walaupun pola angin secara umum menentukan tingkah laku api pada fase awal, perubahan bentuk lapangan dari lokasi juga berpengaruh dominan karena memengaruhi perilaku angin permukaan. Contohnya, angin mendaki terjadi saat kondisi terpanas pada siang hari ketika kandungan air bahan bakar minimal. Secara umum, tiupan angin dimulai pertama kali pada lereng sebelah timur dan biasanya terkuat pada lereng tenggara (apabila matahari berada pada belahan bumi selatan). Pengaruhnya pada perilaku api adalah meningkatnya penjalaran api mendaki bukit. Angin menuruni bukit terjadi pada malam hari saat mencapai suhu terendah (radiasi bumi pada batas minimal), atau biasanya pada 2/3 malam. Pada saat tersebut, kecepatan angin lambat dan kandungan air bahan bakar mencapai puncaknya. Pengaruh nyata terhadap tingkah laku api adalah menurunnya intensitas kebakaran. b. Pengaruh Suhu terhadap Kebakaran Suhu bahan bakar dan suhu udara di sekitarnya adalah salah satu faktor yang menentukan bagaimana api akan menyebar. Suhu secara tidak langsung memengaruhi jalannya kebakaran. Suhu memengaruhi pola penyebaran api atau tingkah laku api melalui pengaruhnya terhadap angin, kandungan air bahan bakar, dan kestabilan atmosfer. c. Pengaruh Kelembaban Relatif terhadap Kebakaran Kelembaban relatif secara langsung memengaruhi penyalaan bahan bakar. Kaitannya dengan faktor-faktor cuaca lainnya, kelembaban relatif mempunyai pengaruh tidak langsung dengan aspek-aspek lain dari tingkah laku api. Dalam hal ini, terdapat pertukaran kandungan air secara terus-menerus antara atmosfer dengan bahan organik mati sebagai bahan bakar. Bahan bakar kering akan menyerap kelembaban udara di sekitarnya dan suatu saat, justeru bahan bakar yang melepaskan air ke udara kering. Selama musim kemarau panjang, kelembaban akan memengaruhi kandungan air vegetasi hidup. Hal ini dapat dibuktikan dengan mengeringnya
|
dedaunan dan jika kondisi kekeringan terjadi secara ekstrim maka tumbuhan akan mati. d. Peran Hujan terhadap Kebakaran Hujan sangat memengaruhi proses pemadaman api. Sebagai contoh, api di lahan gambut yang telah meluas ratusan hektare yang tidak dapat dimatikan oleh alat-alat pemadam mekanis canggih dapat dimatikan oleh adanya hujan alami selama dua minggu hampir berturut-turut dengan rata-rata lama hujan normal 4–5 jam per hari. Secara fisik, hujan merupakan pemutus dari salah satu segi tiga api, yaitu panas. Melalui turunnya hujan, suhu lingkungan kebakaran akan menurun dan tidak akan mencapai suhu titik bakar sehingga api akhirnya mati. Namun, apabila curahan air hujan tidak sebanding dengan intensitas kebakaran (misalnya hanya terjadi hujan gerimis), api kebakaran besar tidak akan padam. Air yang diturunkan melalui hujan sempat diuapkan kembali ke udara sehingga proses penurunan suhu bahan bakar tidak sempat terjadi. Kebakaran permukaan di dalam hutan berkanopi rapat akan lebih sulit terjangkau curahan hujan daripada hutan berkanopi jarang dan sedikit. 2. Topografi a. Pengaruh Topografi terhadap Angin Bentuk topografi dapat mengendalikan arah angin, contohnya angin permukaan akan bertiup melalui lembah sesuai dengan pola isobar [garis yang mempunyai tekanan udara sama]. Lorong akan memengaruhi fase awal kebakaran dengan mengendalikannya ke dalam satu arah penyebaran. Beberapa kasus menjalarnya api pada lereng adalah sebagai berikut: 1) api menjalar ke puncak bukit searah dengan arah angin; 2) api menuruni bukit yang berlawanan dengan arah angin yang menuju ke atas bukit; 3) angin menuruni bukit, sedangkan api melaju ke atas bukit; 4) api menjalar menuruni bukit dan searah dengan arah angin. Angin kadang-kadang cenderung bertiup secara keras atau pelan dengan arah berfluktuasi secara cepat. Gerakan
|
udara yang tidak biasanya ini diketahui sebagai angin pusar. Perubahan-perubahan permukaan bumi menghasilkan angin pusar mekanis dalam aliran udara. Pada kecepatan rendah, aliran udara cenderung mengikuti garis kontur. Tetapi ketika kecepatannya meningkat, aliran udara berbalik-balik di atas bukit, punggung bukit, gedung, pohon-pohon, dan rintangan lainnya sehingga menghasilkan angin puyuh ke semua arah. Angin pusar mekanis ini akan meningkat dengan meningkatnya perubahan kecepatan angin dan ketidakteraturan permukaan bumi. Angin pusar yang dapat meluas lebih tinggi ke atmosfer biasanya disebut angin pusar termal. Angin pusar termal meningkat sesuai dengan peningkatan pemanasan permukaan dan ketidakstabilan suhu. b. Pengaruh Kondisi Vegetasi terhadap Angin Vegetasi dapat memecah angin sehingga memengaruhi tiupan angin pada permukaan tanah. Vegetasi hutan memiliki permukaan kasar sehingga dapat memicu terjadinya angin berpusar. Tajuk sangat efektif dalam menurunkan kecepatan angin. Di dalam tegakan hutan dengan vegetasi bawah yang rapat, angin relatif tetap kecepatannya; sedangkan di atas tajuk, kecepatan angin meningkat. Sebaliknya; di dalam tegakan hutan yang relatif bersih vegetasi bawahnya, angin hanya tertahan kecepatannya di tajuk pohon. Contohnya pada lokasi tertentu yang terbuka, angin memiliki kecepatan 6 km/jam. Apabila angin tersebut memasuki hutan, kecepatannya menjadi 3 km/jam atau setengah kali kecepatan di areal terbuka. Pemanasan permukaan akibat terik matahari akan menambah kompleksitas dari pola aliran udara pada tegakan hutan. c. Pengaruh Kemiringan dan Aspek terhadap Kebakaran Kemiringan menggambarkan keterjalan dari lapangan. Dalam suatu bentang alam, kadang-kadang ditemui kondisi menaik dan menurun. Kondisi ini menjadi hambatan bagi reguregu pemadam dalam memadamkan api kebakaran. Selain itu, kemiringan juga memengaruhi arah api bergerak dan seberapa kecepatannya. Secara umum, api bergerak lebih cepat ke arah bukit daripada menurun ke arah lembah. Alasan-alasan menga-
|
pa api lebih cepat pada permukaan yang menaik adalah sebagai berikut: 1) Pada areal yang mendaki, lidah api akan condong ke atas dan lebih dekat ke arah bahan bakar yang ada di atasnya sehingga menyebabkan cepat kering. Akibatnya, bahan bakar di atas akan cepat tersulut. 2) Angin akan cenderung bertiup ke arah bukit dan mendorong panas sehingga lidah api menjilat bahan bakar baru. 3) Panas yang terkonveksi dan naik ke sepanjang lereng menyebabkan aliran udara dapat merembetkan api. 4) Material-material yang terbakar di atas bukit dapat menggelinding ke bawah yang dapat menyebabkan menyebarnya api dan menimbulkan kebakaran baru. Aspek adalah arah menghadap dari kemiringan suatu tempat. Lereng-lereng di sebelah timur akan mempunyai pengaruh besar pada tingkah laku api. Lereng-lereng tersebut menerima banyak sinar matahari pada siang hari sehingga mengeringkan bahan bakar lebih awal daripada sebelah barat. Konveksi sebagai hasil pemanasan matahari tersebut menghasilkan angin yang lebih kuat, kelembaban relatif rendah, dan kandungan air bahan bakar rendah. Kondisi-kondisi tersebut memudahkan tersulutnya bahan bakar dan mempercepat penyebaran api. d. Pengaruh Ketinggian Tempat Ketinggian tempat juga memengaruhi perilaku api. Biasanya, udara dingin bergerak menuju bukit. Semakin tinggi suatu tempat, udaranya pun semakin dingin. Terjadinya peristiwa inversi suhu dapat mengakibatkan adanya simpanan panas yang terperangkap di tengah celah sehingga bahan bakar menjadi kering dan rawan kebakaran. 3. Bahan Bakar Pengetahuan dasar bahan bakar penting diketahui mengingat bahan bakar merupakan salah satu faktor yang
|
menentukan perilaku api. Pengetahuan bahan bakar yang perlu diketahui adalah potensi bahan bakar, tipe bahan bakar, volume dan jumlah bahan bakar, spasi atau jarak, biokimia bahan bakar, dan kadar air bahan bakar (Uhl & Kauffman, 1990). a. Potensi Bahan Bakar Potensi bahan bakar yang mempengaruhi perilaku dan intensitas kebakaran, yaitu: 1) Berbagai jenis pohon yang mempunyai kepekaan berbeda terhadap penyalaan. Jenis pohon Pinus sp. dan Acacia mangium lebih reaktif daripada pohon Gmelina arborea terhadap kebakaran. 2) Semak-semak berkayu dan anakan pohon tingkat pancang sering menghasilkan api kebakaran yang lebih lama daripada alang-alang. 3) Tumbuhan penutup tanah, seperti alang-alang dan pohon tingkat semai (Gambar 6). 4) Serasah yang belum terdekomposisi. 5) Humus dan gambut. 6) Cabang-cabang pohon dan pohon-pohon mati yang masih tegak berdiri. Semua pohon yang masih tegak berdiri tetapi mati dan mengering harus dianggap sangat berbahaya. Oleh karena kekeringannya, bahan bakar tersebut sangat mudah terbakar dan menghasilkan bunga api yang banyak, serta melepaskan kulitnya yang sedang terbakar. Pada kondisi tersebut, api menyebar cepat dengan intensitas kebakaran yang tinggi. 7) Sisa-sisa penebangan, pemangkasan dan penjarangan (Gambar 7).
|
Gambar 6. Alang-alang kering sumber potensial bahan bakar
Gambar 7. Sisa penebangan yang telah kering sumber potensial bahan bakar
b. Tipe Bahan Bakar Bahan bakar dapat dibedakan berdasarkan berat atau ringannya. Bahan bakar ringan memiliki sifat-sifat, antara lain menyala lebih cepat, menjalar lebih cepat, dan bahan bakar lebih cepat habis. Contoh bahan bakar yang tergolong ringan adalah rumput, alang-alang, semak belukar, dan anakan pohon (Gambar 8). Bahan bakar berat memiliki sifat-sifat, antara lain waktu terbakar relatif lama, menjalar lambat, intensitas api besar, dan membutuhkan waktu lama untuk dipadamkan. Kelompok bahan bakar berat adalah kayu log, tegakan pohon besar, cabang-cabang pohon besar, dan bahan-bahan organik yang telah menggumpal.
|
Gambar 8. Potensi berbagai bahan bakar halus di permukaan hutan
Tabel 3. Nilai kalori dan proses penyalaan beberapa jenis kayu hutan Indonesia Nilai
Nilai Kalori
Tinggi
Pilau (Agathis borneensis) Meranti (Shorea spp) Resak (Vatica rassak) Keruing (Dipterocarpus spp)
Proses penyalaan
Terentang (Carnospermum spp) Ramin (Gonystilus bancanus) Pilau (Agathis borneensis) Mentibu (Dactylocladus stenotachys) Ramin (Gonystilus bancanus) Tabaras (Ilex cymosa BL) Mentibu (Dactylocladus Gerunggang (Cratoxylon stenotachis) arboresen) Kapurnaga (Calophylum sp) Alau (Dacridium spp) Tumih (Combretocarpus Tumih (Combretocarpus rotundatus) rotundatus) Belangiran(Shorea belangeran) Keruing (Dipterocarpus spp) Alau (Dacridium spp) Kapurnaga (Calophylum spp) Tabaras (Ilex Cymosa BL) Meranti (Shorea spp) Gerunggang (Cratoxylon Resak (Vatica rassak) arboresen) Rendah Terentang (Camnosperma spp) Belangiran (Shorea belangeran) Sumber: Usup (2005)
|
Tabel 4. nesia
Karakteristik penyalaan beberapa jenis kayu hutan Indo-
No. Nama Kayu 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Belangeran Rasak Meranti Alau Tabaras Tumih Kapurnaga Keruing Pilau Gerunggang Ramin Mentibu Tarantang
Puncak penguapan air 75 72 77 72 78 71 78 75 80 77 67 82 74
Temperatur (oC) Ignisiasi Puncak (pengapian) proses penyalaan 253 350 259 353 242 339 250 350 258 326 264 357 259 355 260 357 273 356 260 339 265 356 272 356 283 333
Puncak pijar 495 475 481 448 415 454 478 454 480 484 478 -
Sumber: Usup (2005)
c. Volume atau Jumlah Bahan Bakar Banyaknya bahan bakar akan menentukan besar atau kecilnya kebakaran hutan. Apabila bahan bakar ringan melimpah di lantai hutan dan terjadi kebakaran, intensitas kebakaran akan besar. Kondisi tersebut dapat mempercepat proses peralihan tipe kebakaran dari kebakaran permukaan menuju kebakaran tajuk. d. Jarak Antarbahan Bakar Jarak atau spasi antarbahan bakar akan menentukan kecepatan penyebaran api di dalam hutan. Jarak ini lebih ditentukan oleh kerapatan gulma alami bawah tegakan dan jarak antarpohon. Jarak tanaman pada hutan tanaman menentukan keberlangsungan proses pembakaran saat terjadi kebakaran. Tanaman dengan jarak tanam yang jauh akan memperlambat penjalaran api. Sebaliknya, jarak tanam rapat akan mempercepat penjalaran api. Jika dilihat dari letak bahan bakar di dalam hutan maka jarak bahan bakar dibedakan ke dua arah,
|
yaitu jarak horizontal dan jarak vertikal. Jarak vertikal ditentukan oleh strata tajuk pohon yang terbentuk dan kondisi percabangan setiap pohon. Setiap jenis kayu sebagai bahan bakar, memiliki sifat nilai kalori dari proses penyalaan berbeda-beda (Tabel 3). Sebagai contoh, nilai kalori jenis pilau lebih tinggi daripada jenis keruing, meranti, resak, dan ramin (Usup, 2005). e. Kadar Air Bahan Bakar Kadar air memengaruhi penyalaan api, laju proses pembakaran, dan intensitas api. Semakin tinggi kadar air bahan bakar, semakin banyak energi panas yang diperlukan untuk dapat menguapkan air di dalam bahan bakar untuk mencapai titik bakar. Oleh karena itu, bahan bakar berkadar air rendah akan terbakar lebih mudah dan api akan menjalar lebih cepat. Kadar air bahan bakar berubah setiap saat bergantung dari bermacam faktor di sekitarnya yang saling berhubungan. Evapotranspirasi akan menyebabkan kadar air berfluktuasi. Vegetasi hidup mengandung kira-kira 80% air dari beratnya (Gambar 5). Sementara itu, vegetasi mati sangat tergantung faktor lingkungannya, seperti suhu, lama penyinaran matahari, kelembaban udara, curah hujan, kadar air tanah, jenis vegetasi, dan aspek. Menurut Mc Arthur (1966) dalam Wibowo (1997), rumput yang memiliki kadar air <12% sangat rentan kebakaran, sedangkan untuk bahan bakar berupa pohon, kadar air <20% sudah rentan terhadap kebakaran. Pada kasus tertentu, rumput yang berkadar air <30% juga rawan terbakar (Heikkila et al., 1993). Salah satu cara mengklasifikasi tingkat bahaya kebakaran selain kadar air adalah tes daun tunggal. Caranya yaitu dengan menguji pembakaran terhadap daun. Jika daun sangat mudah terbakar maka berarti hutan pun pada saat yang sama mudah terbakar. D. Pola atau Bentuk Kebakaran Bentuk kebakaran pada umumnya mengikuti pola yang tetap yang bergantung pada tipe bahan bakar, topografi, dan kondisi cuaca. Salah satu bagian tepi dari jalaran api kebakaran akan lebih cepat bergerak daripada tepi lainnya. Bermacam-
|
macam bagian dari bentuk api kebakaran meliputi kepala api, ekor api, keliling api, pulau api, kantong api dan api loncat. 1. Kepala Api Pada saat api kebakaran bergerak searah dengan angin, terdapat bagian terdepan searah dengan jalannya api, itulah yang disebut kepala api. Kepala api dapat terjadi hanya satu atau mungkin juga bisa lebih dari satu. Laju tercepat menjalarnya api adalah bagian kepala api disertai intensitas panas yang tinggi. Mengendalikan kepala api adalah bagian tersulit dalam pemadaman api kebakaran. 2. Sisi Api atau Sayap Api Ketika kita menghadap ke arah api menjalar dan angin bertiup ke arah punggung kita maka sisi api adalah berada disebelah kiri dan kanan kita. Api pada sisi kanan dan kiri kita terasa lebih kecil intensitasnya dibandingkan dengan kepala api. Menurut pengalaman, intensitas api meningkat dari arah ekor menuju kepala api. 3. Ekor Api Ekor api adalah bagian yang berlawanan dengan kepala api. Bagian ini biasanya terbakar perlahan-lahan sehingga menjadi bagian termudah untuk dikendalikan atau dipadamkan. 4. Jari-jari Api Bagian dari kepala api yang meluas secara memanjang dan sempit disebut jari-jari api. Jari-jari api terbentuk oleh karena perubahan topografi, bahan bakar, atau angin.
|
5. Keliling api Keliling api adalah bagian terluar dari areal terbakar. Sampai dengan kebakaran dapat dikendalikan, keliling api akan terus berubah-ubah. 6. Pulau Api Pulau api adalah bagian yang tidak terbakar pada areal kebakaran. Pulau ini mungkin terjadi akibat belum terbakarnya bahan bakar pada saat api menjalar. 7. Kantung atau Teluk Api Kantung api adalah bagian dari sisi api yang dalam perkembangannya sebagian tidak terbakar atau terbakarnya lebih lambat dibandingkan dengan bagian lainnya akibat bentukan jari-jari api. Walaupun tidak terbakar, bagian ini cukup berbahaya untuk didekati regu pemadam. 8. Api Loncat Api loncat biasanya berada di luar keliling api. Api loncat terjadi karena bara api yang terbang atau percikan api. Pada umumnya, api loncat ditemukan di depan kepala api atau dekat dengan kepala api. E. Intensitas Kebakaran Intensitas kebakaran merupakan parameter penting yang digunakan untuk menentukan tingkat besarnya kebakaran. Pada dasarnya, intensitas kebakaran merupakan energi panas yang dihasilkan dari suatu kebakaran per unit panjang dari api. Untuk mengetahui intensitas suatu kebakaran, penghitungan dapat menggunakan rumus Byram yang sering disebut “Intensitas Byram“ (Brown & Davis, 1973; Chandler et al.,1983), yaitu:
|
I = 273 (h)2,17 Yang mana: I = Intensitas api/kebakaran (Kw/m) h = Tinggi nyala api (meter) Kandungan panas (H) (cal/g) dihitung menggunakan rumus:
H = I/0,007 WR Variabel ”W” adalah bahan bakar dalam ton/ha dan “R” adalah laju penjalaran api (m/menit), sedangkan panas per unit area (HA) dihitung dengan rumus:
HA = I/R (kJ/m) Intensitas kebakaran berhubungan dengan kerusakan hutan. Semakin tinggi intensitas kebakaran hutan, semakin tinggi juga kerusakan hutan yang dibakarnya. Di sisi lain, intensitas api kebakaran juga berhubungan dengan kemampuan pemadaman dari regu dan alat pemadam yang digunakan. Christensen (1981) menyatakan bahwa selang intensitas kebakaran berhubungan dengan kerusakan hutan (Wibowo, 1997), sebagaimana disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Kerusakan hutan yang terjadi pada beberapa selang intensitas kebakaran No.
Intensitas panas (Kw/m)
1.
20–130
2.
350–500
3.
500–1.700
Kerusakan - Direkomendasikan untuk pembakaran terkendali - Sedikit kerusakan fisik - Sedikit menghanguskan tajuk - Menghilangkan serasah - Batas maksimum pembakaran terkendali - Dapat mematikan tumbuhan bawah - Mengakibatkan kerusakan tajuk tegakan
|
No.
Intensitas panas (Kw/m)
4.
1.700–3.500
5.
3.500–7.000
6.
>7.000
Kerusakan - Kerusakan fisik pada batang dan tajuk tegakan - Terjadi kebakaran tajuk - Mengakibatkan kerusakan tegakan - Mematikan semua tumbuhan bawah dan mengakibatkan tanah terbuka - Kebakaran besar yang tidak terkendali - Mematikan hampir semua tegakan
Sifat api berbeda pada kondisi dan tipe bahan bakar yang berbeda. Sifat api alang-alang dan Chromolaena odorata tergolong api kecil (<3 m). Kecepatan menjalar api permukaan pada lahan gambut bervegetasi pakis dengan volume bobot bahan bakar 12,3 kg/m2 adalah 2,6–5,2 m2/menit dan untuk bobot bahan bakar 15–90 kg/m2 adalah 10–18 m2/menit. Kecepatan menjalar api bawah permukaan gambut antara 50–150 cm/ hari. Kecepatan menjalar api permukaan pada lahan gambut bervegetasi semak belukar 6–10 m2/menit. Pada kondisi bahan bakar sangat kering, kecepatan menjalar api di lahan alangalang adalah 250 m2/menit. Keperluan air untuk pemadaman di tanah mineral sekitar 2 l/m2, sedangkan di lahan gambut memerlukan air sekitar 800 l/m3 F. Tipe Kebakaran Apabila dikelompokkan menurut jenisnya, terdapat tiga tipe kebakaran, yaitu kebakaran bawah (ground or subsurface fire), kebakaran permukaan (surface fire), dan kebakaran tajuk (crown fire). 1. Kebakaran Bawah Kebakaran bawah umumnya terjadi pada lahan bergambut atau berbahan organik. Terjadinya api yang lama di permukaan lahan gambut menyebabkan api tersebut menjalar ke
|
bawah permukaan. Api di bawah permukaan gambut lebih sulit dipadamkan daripada api pada lahan kering. Demikian pula yang terjadi di lahan batu bara. Api batu bara timbul akibat aktivitas manusia yang lalai, baik melalui pembakaran ladang tak terkendali maupun kelalaian membakar dari penduduk pendatang yang lewat melalui kendaraan bermotor atau berjalan kaki. Selanjutnya, api membesar sesuai bahan bakar yang umumnya adalah alang-alang dan semak belukar. Kemudian, bahan bakar permukaan yang terus menyala hingga berminggu-minggu akan membakar lapisan batu bara yang terbuka di permukaan dan meneruskan api tersebut ke dalam lapisan yang lebih dalam. Setelah api masuk ke dalam lapisan batu bara, api dapat menembus hingga ke lapisan batu bara yang sangat dalam. Apabila telah terjadi hal demikian, banyak orang menganggap api berasal dari alam; padahal, api tetap berasal dari kelalaian manusia di atas permukaan tanah. Kejadian kebakaran pada lahan gambut biasanya berawal dari api kecil yang menyebar pada permukaan bervegetasi pakis-pakisan (Neprolepis sp.). Selanjutnya, api yang terjadi dan berlangsung lama (bisa lebih dari tiga hari) akhirnya akan merambat masuk ke dalam lapisan gambut. Kejadian ini hanya terjadi di musim kering yang mana semua bahan gambut dalam kondisi mengering. Seringkali, api terus menyebar sangat luas di dalam lapisan gambut hingga akhirnya sangat sulit dipadamkan. Gambut merupakan bagian tanah yang belum menjadi tanah mineral. Gambut masih merupakan kumpulan dari sisasisa batang, cabang, dan ranting yang belum tuntas mengalami dekomposisi akibat kondisi anaerob (tidak ada udara). Seiring dengan perjalanan waktu, lapisan bahan fosil ini mengalami fluktuasi tingkat kadar airnya. Pada saat musim kemarau panjang, gambut tersebut sangat kering dan jika terjadi api masuk ke lapisan gambut maka dapat dianalogikan seperti masuknya api ke dalam kasur sehingga nyala api tidak nampak kecuali asap. Api yang terpendam di dalam gambut dapat muncul sewaktu-waktu jika pemadaman tidak tuntas (Gambar 9). Indikatornya berupa asap yang mengepul keluar dari permukaan tanah gambut. Lama kelamaan dengan hembusan angin, api permukaan muncul di sekitar pepohonan, selanjutnya akar
|
yang mengering ikut terbakar. Proses pemanasan yang terjadi pada batang menyebabkan batang dan ranting akan mengering. Apabila hembusan angin terjadi pada saat api permukaan menjalar, terjadi proses penyalaan (candling) ke atas pohon melalui ranting-ranting yang rendah. Ranting mati merupakan tangga api menuju tajuk pohon. Apabila keadaan tajuk tegakan cukup rapat, terjadilah kebakaran tajuk (crown fire).
Gambar 9. Api bawah permukaan gambut
Gambar 10. Api permukaan
|
2. Kebakaran Permukaan Kebakaran permukaan (surface fire) membakar bahanbahan yang tersebar pada permukaan lantai hutan, misalnya serasah, cabang dan ranting mati yang gugur, dan tumbuhan bawah (Gambar 10). Dalam kondisi keberadaan oksigen (O2) sangat berlimpah (terlebih dibantu adanya angin), kebakaran permukaan dapat disertai nyala api yang cukup besar berbentuk agak lonjong. Api permukaan bergerak relatif cepat sehingga tidak membakar semua bahan yang ada, terutama humus. Kelembaban yang tinggi pada lapisan humus di bawah serasah kering menyebabkan kebakaran permukaan tidak membakar lapisan humus tersebut. Kebakaran permukaan juga tidak meningkatkan suhu pada lapisan bahan organik dan horizon tanah di bawahnya sehingga organisme renik di dalamnya tidak mati. Kenaikan suhu tinggi hanya terjadi pada bagian nyala api dan itupun tidak bertahan lama pada suatu titik tertentu sehingga tidak mematikan jaringan batang-batang pohon hutan yang besar. Pada pohon-pohon kecil dan perdu, api permukaan dapat mematikan bagian kulit kayu tetapi bagian kayu masih tetap hidup. Tumbuhan dengan kerusakan semacam ini dapat bertunas dan tumbuh kembali setelah kebakaran permukaan berakhir, kecuali kebakaran terjadi berkali-kali. 3. Kebakaran Tajuk Kebakaran tajuk (crown fire) yang terjadi biasanya berasal dari kebakaran permukaan. Kebakaran ini terjadi jika lantai hutan memiliki tumbuhan bawah yang tebal dan kering ditambah banyaknya ranting dan dahan kering yang tidak dipangkas, termasuk kayukayu sisa tebangan
Gambar 11. Api tajuk
|
(Gambar 11). Api permukaan akan membakar bagian-bagian atas hutan sehingga terjadi penyalaan api hingga ke tajuk pohon. Pada jenis tanaman berdaun jarum, kebakaran tajuk terjadi sangat mudah karena kandungan resin yang tinggi pada bagian-bagian pohonnya. Dengan kondisi oksigen melimpah, kebakaran menimbulkan nyala api yang besar dan dengan mudah bergerak dari satu tajuk ke tajuk di dekatnya. Panas yang ditimbulkan oleh nyala api yang besar dapat menurunkan kadar air bahan bakar tumbuhan di dekatnya sehingga menambah kecepatan bagian-bagian tersebut terbakar, kemudian menjadi kebakaran berbentuk elips yang besar. Kebakaran tajuk mematikan pohon-pohon dan semak, serta tumbuhan bawah, termasuk lapisan bahan organik. Hasil berbagai pengamatan menunjukkan bahwa terdapat beberapa gejala yang mengindikasikan api akan membesar dan berbahaya di areal tertentu. Gejala-gejala tersebut, yaitu 1) kecepatan menjalarnya api terus meningkat, 2) laju pelepasan panas yang cepat, 3) kolom asap terbentuk secara cepat, 4) terjadi kebakaran tajuk, dan 5) ditemukan api loncat. G. Perilaku Ekstrem Api 1. Penyebab Api Besar Kebakaran besar ternyata dipicu oleh tiga kondisi sebagai faktor pendukung, yaitu: a. Banyaknya bahan bakar yang cepat terbakar, seperti rumput, semak belukar, atau alang-alang kering. b. Terjadinya perubahan arah dan kecepatan angin secara tiba-tiba. c. Api bergerak ke arah puncak bukit. Indikator terjadinya api ekstrem yang dapat dilihat, yaitu jumlah bahan bakar potensial yang banyak sehingga berhubungan dengan sumber energi, unsur dasar penyalaan api yang menentukan tipe, spasi dan volume bahan bakar. Tingkat kekeringan bahan bakar merupakan faktor dominan
|
yang menentukan mudah atau tidaknya suatu bahan bakar untuk terbakar. Selain itu, kestabilan atmosfer pada siang dan sore hari biasanya menjadi jam-jam yang kritis dan sangat memengaruhi perilaku api. Keadaan angin yang tidak menentu arahnya adalah salah satu ciri perilaku api ekstrem yang membahayakan, yang diikuti terbentuknya angin berpusar, angin naik dan turun, disertai api loncat sebagai hasil dari terbentuknya kolom konveksi. Topografi juga memengaruhi perambatan api saat ke atas yang setara dengan kecepatan angin. Ketika api naik ke tempat yang lebih tinggi maka akan terkena angin dengan berbagai kecepatan. Ketika api mencapai puncak dan diikuti kecepatan angin maksimum, kolom konveksi pun akan terbentuk dengan cepat. 2. Peluang Terjadinya Api Loncat Api loncat biasanya merupakan hasil dari gerakan percikan dan bara api yang terangkat oleh kolom konveksi. Selanjutnya, api terbawa angin dan jatuh pada bahan bakar yang belum terbakar di depan atau di samping kepala api. Kecepatan angin berpengaruh pada jauh-dekatnya api loncat jatuh. Terjadinya api loncat ditentukan oleh ketersediaan dan jenis bahan bakar, jarak bahan bakar menyala yang terangkat, dan tiupan angin. Semakin meningkat intensitas kebakaran, semakin besar kemungkinan terjadinya api loncat. Beberapa karakter api loncat yang sering terjadi saat terjadi kebakaran, yaitu 1) api loncat dapat berasal dari bara api yang terbawa angin dari jarak >400 m; 2) nyala api yang terjadi tidak jarang berjarak 0,75–1 km dari lokasi kebakaran semula. Bahkan pada kebakaran besar, nyala api baru dapat terjadi pada jarak 3–5 km; 3) semakin tinggi kolom konveksi yang terjadi, semakin jauh pula jarak yang dapat dicapai api loncat, dan kecepatan angin naik di dalam kolom konveksi yang tinggi dapat terus menaikkan kolom konveksi; 4) arah api loncat sering tidak sama dengan arah menjalarnya api permukaan dan arah angin yang membawa bara api dapat berbeda dengan arah angin di permukaan.
|
3. Kebakaran Tajuk (Crown fire) Kebakaran tajuk terjadi apabila areal yang terbakar memiliki kondisi sebagai berikut: Kadar air bahan bakar rendah, baik hidup atau mati. Kolom konveksi mulai terlihat dengan kerapatan tajuk >250 pohon/ha. Penutupan tajuk >77%. Jarak antartajuk <5 m. Intensitas api permukaan mulai meninggi. Jarak horizontal dan vertikal bahan bakar memungkinkan untuk terjadinya api tajuk. Angin di atas tajuk relatif berkecepatan tinggi. Lokasi kebakaran terletak pada bukit berlereng cukup terjal. 4. Terjadinya Pusaran Api Pada saat kebakaran hutan, seringkali terjadi pusaran angin yang membawa api dan diikuti cepatnya laju penjalaran api. Sedikitnya, terdapat empat faktor yang dapat menyebabkan pusaran api, yaitu: a. Terjadinya pemanasan pada permukaan akibat lamanya penyinaran matahari. b. Adanya angin kencang. Biasanya, pusaran api dimulai dengan adanya dua angin yang datang dari arah yang berbeda sebagai akibat dari terganggunya aliran udara. Areal yang berpeluang terjadinya kondisi ini yaitu pada daerah bayangan angin di daerah bukit dan lembah. c. Atmosfer yang tidak stabil dengan ciri-ciri terbentuknya awan kumulus, asap yang naik ke ketinggian, dan pusaran angin yang membawa debu. d. Terjadinya panas yang tinggi dari kebakaran menghasilkan ketidakstabilan yang sangat ekstrem.
|
H. Kelas Intensitas Kebakaran Besarnya kebakaran dapat dikelompokkan menurut halhal sebagai berikut: 1. Api Kebakaran Kecil Api yang terjadi memiliki tinggi lidah api <0,5 m. Api seperti ini dapat dipadamkan langsung pada muka dan pinggiran api, atau pada kepala dan sayap api dengan menggunakan peralatan tangan (hand tools). 2. Api Kebakaran Permukaan Rendah Api ini memiliki tinggi lidah api mencapai satu meter. Kombinasi pemadaman antara secara langsung dengan tidak langsung dapat diterapkan sesuai dengan kondisi lapangan. Pemadaman langsung yang dimulai pada bagian tepi atau sayap dan ekor api akan lebih efektif dengan menggunakan peralatan tangan. 3. Api Kebakaran Permukaan Sedang Api ini memiliki tinggi lidah api sudah mencapai dua meter. Biasanya, api pada intensitas sedang sudah mulai menjilat-jilat batang pohon ukuran sapling hingga tiang (pole). Pada kondisi ini, intensitas panas mulai meninggi dan regu pemadam tidak mungkin lagi mendekatinya untuk memadamkan api secara langsung. Pemadaman langsung hanya mungkin dilakukan dengan menunggu api merendah dan pada saat itulah api dipadamkan dengan cepat. Dalam pemadaman secara langsung, biasanya digunakan alat pemadam pompa. Pemadaman tidak langsung adalah dengan cara melokalisasi api menggunakan sekat-sekat bakar dadakan.
|
4. Api Kebakaran Permukaan Tinggi Api kelas ini memiliki tinggi lidah api hampir mencapai tajuk pohon. Sebagian besar api telah membakar rantingranting pohon. Walaupun belum mencapai tajuk, kebakaran ini sudah mematikan pohon-pohon. Pemadaman secara langsung tidak dapat dilakukan dengan peralatan tangan, melainkan harus menggunakan alat pemadam pompa bertekanan tinggi disertai upaya melokalisasi areal terbakar. Pada kondisi tersebut, api hanya akan mati setelah bahan-bakar habis. 5. Api Kebakaran Tajuk Api kebakaran tajuk biasanya sudah membakar tajuk secara keseluruhan. Kebakaran seperti ini sudah tidak bisa dipadamkan lagi, walaupun dengan bantuan pesawat udara dengan bom air (water bombing). Sifat api seperti ini sangat membahayakan karena apa saja yang ada di sekitarnya dapat terbakar. Pada kondisi intensitas kebakaran seperti ini, upaya bakar balaspun sudah tidak berlaku. Kebakaran seperti ini hanya akan padam apabila bahan bakar telah habis.
|
Penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan dapat diartikan sebagai pemicu terjadinya api yang menyebabkan api liar (wildfire) atau kebakaran. Pemicu (triger) terjadinya api adalah akibat proses kimia pembakaran yang sengaja dibuat manusia untuk tujuan tertentu. Biasanya alat yang digunakan untuk memicu api awal adalah korek api, korek gas, obor sulut, dan distorch. Menurut Heikkila et al. (1993), penyebab utama kebakaran di kebanyakan negara termasuk Indonesia, antara lain pembakaran untuk pertanian (seperti perladangan berpindah), peremajaan rumput penggembalaan ternak, pengendalian kutu dan serangga, dan berbagai variasi pembakaran sampah dan puing-puing. Adinugroho (2005) menyebutkan bahwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia umumnya (99,9%) disebabkan oleh manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaiannya. Sisanya (0,1%) disebabkan faktor alam, seperti petir dan lava gunung berapi. Penyebab kebakaran oleh manusia dapat diperinci sebagai berikut: 1) konversi lahan untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain; 2) pembakaran vegetasi yang disengaja tetapi tidak terkendali, seperti pembukaan areal HTI, perkebunan, dan penyiapan lahan oleh masyarakat; 3) aktivitas dalam pemanfaatan sumber daya alam, seperti pembakaran semak belukar untuk akses masuk hutan dan pembuatan api untuk memasak oleh para penebang liar dan pencari ikan di dalam hutan; 4) aktivitas pembakaran sekitar kanal didukung oleh keringnya gambut di sekitar kanal; 5) pembakaran untuk menunjukkan penguasaan lahan oleh masyarakat setelah terambil perusahaan dan bahkan, pembakaran untuk merambah areal hutan. Menurut Sumardi (2007), sebab-sebab timbulnya kebakaran hutan dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu 1) kegiatan manusia, 2) faktor alam, dan 3) sebab lain. Kegiatan manusia yang menjadi penyebab kebakaran terbagi ke dalam delapan macam, yaitu:
|
1. Orang-orang yang sengaja membakar hutan untuk merugikan kehutanan atau menguntungkan pembakar. 2. Petani yang menghasilkan api sisa pembakaran ladangnya di sekitar hutan. 3. Orang-orang perokok yang lewat dengan membuang puntung rokok dan korek api yang masih menyala di sepanjang jalan kaki orang atau mobil. 4. Api yang berasal dari cerobong asap kereta api yang menggunakan bahan bakar batu bara. 5. Peladang berpindah yang lalai setelah melakukan pembukaan lahan. 6. Perburuan yang menggunakan api di areal reboisasi. 7. Orang-orang yang berekreasi atau berkemah dan pembalak kayu yang lalai setelah membuat api untuk kegiatan memasak. 8. Peternak yang membakar vegetasi rumput dengan tujuan memudakan rumput untuk pakan ternak. Wibowo (2003) menyebutkan bahwa penyebab kebakaran oleh faktor manusia jauh lebih dominan daripada akibat faktor alam. Beberapa contoh penyebab kebakaran oleh faktor manusia tersebut terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Di Sumatera Selatan, aktivitas manusia yang biasanya menyebabkan kebakaran adalah aktivitas perladangan dan peremajaan rumput pakan ternak. Di Kalimantan Selatan, kebakaran di areal reboisasi disebabkan oleh api yang merambat dari penyiapan lahan oleh masyarakat untuk perladangan. Di Jawa Timur (KPH Banyuwangi), kebakaran hutan pernah terjadi disebabkan oleh para pencari rotan dan madu yang kegiatannya menggunakan api. Di Jawa Barat, api kebakaran terjadi akibat dari kegiatan pendaki gunung yang lalai menggunakan api. Berbagai aktivitas yang sering dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan dengan menggunakan api, tidak terlepas dari hubungannya dengan mata pencaharian atau kegiatan tambahannya. Kegiatan-kegiatan tersebut meliputi pembukaan ladang untuk bertani secara tradisional, berburu satwa liar
|
di dalam hutan, peremajaan rumput pakan ternak, pembuatan jalan akses menuju hutan, memasak ikan hasil memancing, dan pembakaran memasak sekaligus mengusir nyamuk bagi peramu kayu galam. Pemicu pembakaran lain adalah pembakaran lahan tidur agar tidak menjadi hutan. Beberapa kajian sosioantropologi penyebab kebakaran hutan yang pernah dilakukan di daerah-daerah terpilih (Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara, dan Papua) menunjukkan bahwa pada daerah-daerah kajian tersebut tidak jauh berbeda hasilnya. Urutan frekuensi kejadian kebakaran (1–8) di daerah terpilih adalah akibat kelalaian manusia, seperti disajikan dalam Tabel 6. Tabel 6. Penyebab kebakaran berdasarkan pengalaman responden/petani di 10 daerah di Indonesia Daerah Kalimantan Tengah Kalimantan Timur Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Nusa Tenggara Timur Papua Sumatera Utara Riau Jambi Sumatera Selatan
Persentase responden yang mengetahui penyebab kebakaran (%) Lg Tk Lc Bu Mg Sa Pm Ll 100 40 80 30 70 60 50 20 100
70
80
60
50
40
-
20
100
80
90
50
60
40
30
30
100
80
70
60
40
50
30
20
100
80
60
70
-
-
-
30
100 100
80
70 70
80 60
-
50
-
20 20
100 100 100
70 80 70
80 70 80
60 50 60
50
50 60 40
30
40 40 20
Sumber: Akbar (2007) Keterangan: Lg=ladang, Tk=ternak, Lc=land clearing, Bu=berburu, Mg= memancing ikan, Sa=sampah pertanian & rumah tangga, Pm=pencari kayu galam, Ll=penyebab lain-lain. Angka dalam tabel menunjukkan urutan frekuensi
|
Sebagian besar penyebab-penyebab kebakaran hutan tersebut telah didukung dengan data titik panas (hotspot) yang terlihat setiap tahun. Tabel 6 menunjukkan bahwa semua penyebab kebakaran adalah aktivitas manusia. Hal yang berbeda di setiap daerah adalah profil manusianya, serta intensitas kebakaran yang ditimbulkannya. Tentu saja, apabila pembakaran persiapan berladang (baik berupa pembakaran rumput dan semak belukar maupun pembakaran sisa-sisa panen) dilakukan secara berdisiplin, hal tersebut tidak akan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan yang luas. Akibat tindakan manusia yang tidak bijaksana tersebut, hutan yang hijau dan rimbun dikorbankan untuk memenuhi kebutuhannya secara tidak tepat. Ilustrasi berbagai faktor penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran dapat dilihat dalam Gambar 12.
Gambar 12. Filosofi terjadinya kebakaran hutan di Indonesia ditentukan oleh tingginya muatan bahan bakar, degradasi hutan, dan sumber api lahan
|
A. Pengunaan Api untuk Berladang Salah satu tindakan manusia yang [sebagian pihak menganggapnya] tidak bijaksana yang berhubungan dengan bahaya kebakaran adalah melakukan perladangan secara berpindahpindah. Budaya senang membakar setiap menjelang musim hujan nampaknya sulit dihilangkan. Api seringkali bermunculan mulai dari areal lahan hutan hingga ke pinggir-pinggir jalan untuk tujuan membakar rumput yang sudah rimbun di ladang dan pinggir jalan. Kebiasaan ini telah berlangsung lama. Hal yang lebih ironis lagi, pembakaran telah rutin dilakukan oleh pemilik-pemilik lahan tidur, baik di lahan kering maupun basah, dengan tujuan hanya untuk mencegah lahan menjadi hutan atau menunjukkan kepemilikan. Mereka tidak memikirkan bahwa asap yang ditimbulkan telah membahayakan kesehatan orang lain dan mengganggu transportasi kendaraan. Sebagian masyarakat peladang yang senang bertani berpindah-pindah biasanya mencari areal hutan karena mereka mengganggap tanah-tanah hutan umumnya sangat subur. Pohon-pohon yang ada di hutan tersebut ditebang, lalu dibakar agar lahan tersebut dapat dijadikan ladang. Ternyata setelah hutannya rusak, kesuburan tanah itu cepat sekali menurun. Setelah beberapa kali panen dan hasilnya mulai menurun, ladang ditinggalkannya begitu saja. Mereka pun pindah untuk berladang di tempat lain. Dengan cara yang sama, pembukaan hutan kembali dilakukan untuk dijadikan ladang. Begitulah seterusnya. Tindakan ini menyebabkan tanah menjadi terbuka dan secara tidak disadari, teriknya sinar matahari dan curahan air hujan mengakibatkan kesuburan tanah menurun dengan cepat. Keadaan yang demikian akan memberikan kemudahan bagi alang-alang untuk tumbuh dominan. Sebagaimana telah diketahui, apabila lahan telah didominasi oleh alang-alang, lahan tersebut akan sangat rawan terhadap kebakaran. Kebiasaan membuka ladang dengan cara membakar ternyata telah berlangsung turun-temurun bagi petani ladang di luar Pulau Jawa. Terdapat dua cara pembakaran ladang yang biasa dilakukan oleh peladang, yaitu 1) rumput dan semak dibabat, kemudian dibiarkan hingga kering dan selanjutnya dibakar; 2) ladang ditebas pada bagian tepinya sebagai sekat
|
bakar, selanjutnya rumput dan semak yang hidup dalam kondisi kekeringan langsung dibakar. Hal yang menjadi masalah adalah kondisi ketika selesai pembakaran. Tidak semua peladang memiliki motivasi untuk mengontrol kembali keadaan api pascabakar (moping up). Sebagian besar masyarakat tidak melakukan kontrol setelah pembakaran. Terdapatnya api-api sisa pembakaran sering memicu terjadinya api liar yang masuk ke areal lain yang masih rimbun tetapi berpotensi terbakar. Api-api sisa pembakaran inilah yang sering menjadi penyebab kebakaran yang lebih luas. Api sering masuk ke areal perkebunan, kehutanan, dan lahan-lahan lain yang tidak menjadi target pembakaran. Kegiatan pembakaran ladang ini biasanya dilakukan pada akhir musim kemarau atau sekitar 1–2 bulan sebelum hujan turun. B. Penggunaan Api untuk Peremajaan Rumput Pakan Ternak Dalam usaha peternakan, khususnya peternakan perorangan, peremajaan rumput dengan cara dibakar juga telah menjadi tradisi di berbagai daerah setiap tahun. Rumput dan alang-alang umur satu tahun biasanya telah mencapai klimaks dalam hal tinggi dan kerapatan. Pada kondisi demikian, warna rumput umumnya tidak menarik bagi hewan. Selain itu, kandungan gizi yang menjadi cita rasa bagi hewan ternak sistem lepas sudah tidak merangsangnya. Untuk membuat rumput hijau kembali dan menarik bagi hewan ternak, cara yang paling praktis biasanya dilakukan dengan cara dibakar. Umumnya, pembakaran rumput dan alang-alang tua dilakukan pada saat musim kering. Berbeda dengan pembakaran ladang yang mana untuk melokalisir tempat yang dibakar sering dibuat semacam sekat bakar sehingga nampak batas yang jelas, pembakaran rumput untuk pakan ternak seringkali tidak mengenal batas. Untuk menyediakan pakan tiga ekor sapi saja, para peternak dapat membakar satu hamparan lahan yang luasnya >5 ha. Apalagi jika yang dibakar berupa bukit, luas hamparan pun semakin besar. Pada saat alang-alang kering dibakar tanpa penyekat; tanaman hutan, sisa-sisa hutan alam, dan permu-
|
daan alam hutan yang berupa semak belukar sering habis dilalap api. C. Penggunaan Api untuk Pembukaan Lahan Perkebunan, Hutan Tanaman, dan Tujuan Kepemilikan Sebelum peraturan tentang pelarangan pembukaan lahan dengan cara dibakar diberlakukan, kegiatan pembukaan lahan (land clearing) sering dilakukan, baik oleh perusahaan perkebunan maupun kehutanan. Areal yang akan dijadikan perkebunan besar; seperti perkebunan kelapa sawit, kopi, coklat, karet dan pembangunan hutan tanaman industri; biasanya berupa areal hutan atau lahan yang tidak produktif. Hutan dan lahan yang tidak produktif ini biasanya berupa semak belukar yang masih berisi pohon-pohon hutan. Semua pepohonan ditebang dan dikeringkan, selanjutnya dibakar. Akibat pembakaran yang tidak terkontrol inilah api sisa pembakaran menjalar ke mana saja sejalan dengan adanya bahan bakar dan arah angin berhembus. Akibat pembakaran ini, tidak sedikit areal hutan musnah dilalap api karena intensitas kebakaran yang besar dan tidak mungkin dipadamkan. Adanya peraturan yang melarang melakukan pembakaran untuk pembukaan lahan bagi perusahaan perkebunan dan kehutanan telah mampu menurunkan kejadian kebakaran akibat ulah perusahaan. Di dalam peraturan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa barangsiapa yang melakukan pembakaran dalam persiapan lahan sehingga berakibat pada terjadinya kebakaran hutan maka izin perusahaan akan dicabut. Selain itu, perusahaan diharuskan menjaga keamanan lahannya dari kebakaran, baik yang berasal dari luar areal pengelolaan maupun dari dalam arealnya. Umumnya, kebakaran yang terjadi pada areal perkebunan saat ini adalah api liar yang datang dari luar areal pengelolaan yang tidak sempat dijaga oleh pihak perkebunan. Hal yang lebih menarik adalah banyaknya lahan-lahan tidur, baik di lahan kering maupun gambut, yang sengaja dibakar setiap tahun. Lahan-lahan tidur yang dibiarkan selama setahun biasanya telah tumbuh pohon-pohon tingkat semai hingga tingkat pancang. Selain jenis pohon, pertumbuhan di
|
lahan kering sering pula didominasi oleh rumput dan alangalang yang semuanya berpotensi sebagai bahan bakar. Untuk menunjukkan bahwa lahan ada pemiliknya, lahan tersebut pun dibakar oleh pemiliknya, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu dengan memanfaatkan orang sekitar lahan tidur tersebut untuk membakar. Kegiatan ini hampir bersifat rutin. Pada lahan tidur di daerah bergambut, pembakaran lahan biasanya diawali dengan kegiatan penebasan rumput dan semak belukar galam. Setelah dikeringkan beberapa hari hingga bulan, biomassa hasil tebasan dibakar supaya lahan menjadi bersih atau gundul sehingga terkesan tidak menjadi hutan. Lahan-lahan yang diberlakukan seperti ini biasanya bertujuan untuk menunggu pembeli lahan untuk tujuan penggunaan di luar pertanian, seperti untuk toko, permukiman, dan perkantoran. D. Pembakaran Saat Berburu Lahan yang ditumbuhi rumput dan alang-alang yang bercampur semak belukar biasanya menjadi habitat makan bagi satwa liar herbivora, seperti rusa dan kijang. Satwa liar tersebut dapat mencari makanan berupa rumput-rumput muda atau hanya singgah untuk beristirahat. Upaya para pemburu untuk melokalisir satwa liar menuju perangkapnya dilakukan dengan cara membakar semua rumput di sekitarnya. Dengan demikian satwa seperti kijang dan rusa akan berlari menuju areal yang belum terbakar dan akhirnya masuk perangkap. Api-api sisa pembakaran biasanya tidak tuntas dimatikan sehingga jika tertiup angin pada bahan bakar yang kering maka api akan membesar kembali. Pada kasus lain, saat pembakaran dilakukan, jalur penyekat tidak dibuat sehingga api menjalar tanpa terkontrol. Kebakaran dapat meluas secara cepat manakala kegiatan perburuan dengan api ini dilakukan di areal lereng dalam posisi api menjalar ke atas bukit.
|
E. Pembakaran Saat Memancing Ikan Peristiwa ini sering terjadi di hutan rawa gambut. Pada saat musim kering pada lahan gambut, terdapat banyak kolam dan alur sungai yang terbentuk secara alami. Pada saat musim hujan, hampir seluruh lahan gambut biasanya tergenang. Pada saat inilah ikan-ikan berkembang biak dan menyebar ke seluruh areal berair. Ketika datang musim kemarau, air permukaan lahan gambut berkurang akibat evaporasi. Air hanya tersisa pada kolam, kubangan, dan alur-alur sungai yang mencekung cukup dalam. Di sinilah biasanya ikan terperangkap dan untuk mengambilnya, penduduk setempat banyak yang memancing atau menjaring. Di sela-sela keberhasilan menangkap ikan, ternyata banyak pemancing ikan yang langsung memasak ikan di tempat sekaligus api dan asapnya digunakan untuk mengusir nyamuk. Api sisa pembakaran biasanya tidak terkontrol dan sering muncul kembali menjadi lidah api. Apabila api yang ditinggalkan tadi berlangsung cukup lama, api akan menjalar ke dalam lapisan bawah gambut. Walaupun api gambut menjalar secara lambat (50–150 cm/hari); api dapat terus menjalar, baik secara horizontal maupun vertikal, karena tidak ada yang peduli mematikannya. Akumulasi api-api liar inilah yang menyebabkan kebakaran gambut menjadi sangat luas dan sangat sulit dipadamkan secara tuntas. F. Pembakaran Sampah Pertanian dan Rumah Tangga Bagi masyarakat petani, khususnya di lahan gambut, sampah-sampah pertanian seperti jerami padi dan batangbatang singkong sudah terbiasa dibakar. Mereka telah memahami bahwa pembakaran sampah pascapanen saat musim kering akan menghilangkan keasaman tanah gambut yang akhirnya menyuburkan tanah. Demikian pula dengan sampah rumah tangga yang sengaja dibakar di sekitar rumah, abunya dapat digunakan untuk memupuk lahan pertanian di lahan gambut. Akibat kelalaian para pembakar sampah ini sering menjadi penyebab banyaknya api liar yang memasuki lahan dan hutan gambut. Akibat ulah para pembakar ini pernah terjadi beberapa rumah pada lahan gambut di Kalimantan
|
Selatan hangus terbakar. Kasus yang sama juga banyak terjadi di wilayah Kalimantan lainnya. G. Pembakaran Mengusir Nyamuk oleh Pencari Kayu Galam Mengusir nyamuk dengan cara membakar bahan organik berupa daun dan ranting kayu kering sering terjadi juga di lahan rawa gambut yang vegetasi hutannya didominasi jenis kayu galam (Malaleuca leucodendron). Kayu galam merupakan kayu komersil yang sangat laku di pasaran lokal, khususnya di Kalimantan. Para pencari kayu ini dinamakan “Peramu Galam”. Para peramu kayu galam mempunyai cara tersendiri untuk mengusir nyamuk di lahan rawa, yaitu dengan cara membuat api di sekitar gubuk tempat beristirahat. Apabila pembakaran tersebut dilakukan secara terkendali [api sisa pembakaran dimatikan secara tuntas], api liar tidak mungkin timbul. Hal yang menjadi masalah adalah bara api sisa pembakaran seringkali masih menyala. Akibat keringnya bahan bakar permukaan di lahan gambut, bara api sisa pembakaran telah banyak menghasilkan nyala api kembali. Api permukaan yang sempat berhari-hari menyala di lahan gambut sering menembus ke bawah permukaan gambut dan meluas, yang akhirnya menjalar di bawah permukaan gambut (smoldering) laksana api masuk ke dalam kasur di tempat tidur. H. Penyebab Lain Akibat Kelalaian Pengguna Api Penyebab lainnya yang dapat memicu terjadinya api liar adalah para pengguna api untuk tujuan-tujuan kesenangan dan kenikmatan. Profil manusianya ialah para perokok, pembuat api unggun, dan masyarakat yang senang bermain api (fire maniac) di musim kemarau. Penyebab api seperti ini sulit diprediksi karena aktivitasnya bersifat insidentil. Namun demikian, selama ini, penulis belum pernah memperoleh fakta bahwa akibat pembuangan puntung rokok dari penumpang kendaraan bermotor dapat menghasilkan kebakaran di musim kering. Percobaan dengan melakukan pelemparan empat pun-
|
tung rokok menyala di musim kemarau di lahan alang-alang Riam Kiwa, Kalimantan Selatan, menunjukkan bahwa puntung rokok tersebut tidak menghasilkan nyala api di lahan alangalang. Tetapi, ketika obat nyamuk dinyalakan dan pada bagian ujungnya disimpan pentol korek api, terjadilah kebakaran. Dengan demikian, api liar yang sering terjadi di sepanjang Jalan Trans Kalimantan yang selama ini dianggap berasal dari pengguna jalan atau buangan puntung rokok dari kendaraan bermotor belum dapat dibuktikan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa faktor kesengajaan membakar ternyata lebih memungkinkan menghasilkan kebakaran hutan dan lahan dibandingkan dengan membakar asal-asalan. Kasus-kasus kebakaran seperti ini sering terjadi pada areal-areal hutan tanaman yang tidak terpelihara dari bahan bakar bawah, kemudian ada orang yang usil membuat api sebagai bentuk pelampiasan ketidakpuasan dengan kebijakan perusahaan perkebunan atau hutan tanaman. Faktor kesengajaan juga terlihat dari kenyataan banyaknya pembukaan lahan-lahan tidur di lahan gambut yang dibakar pada musim kemarau dengan tujuan kepemilikan. Fakta tersebut didukung pula dengan terdapatnya kecenderungan hubungan antara tingginya frekuensi titik api dengan banyaknya lahan tidur yang dibakar untuk menunjukkan kepemilikan. Kesengajaan ataupun kelalaian pengguna api dapat pula memicu kebakaran yang disebabkan oleh faktor alam. Walaupun pada awal bahasan bab ini menyebutkan bahwa sekitar 0,1% kebakaran dapat disebabkan faktor alam, sesungguhnya penyebab langsung yang ditimbulkan oleh faktor alam di Indonesia hampir tidak pernah terjadi. Sebagai contoh, jilatan api halilintar di Indonesia hanya terjadi saat musim penghujan yang mana kondisi bahan bakar pada saat tersebut berkadar air tinggi (>20%). Dengan demikian, peluang terjadinya kebakaran secara langsung akibat halilintar sangat kecil. Pada contoh lain adalah adanya lapisan batu bara yang sempat terbakar tahun 1983/1984 di Kalimantan Timur di bawah permukaan tanah. Batu bara yang membara jauh di bawah permukaan tanah hampir tidak pernah menjadi penyebab langsung dari kebakaran, melainkan hanya berperan sebagai pengering bahan bakar yang tidak sampai kepada suhu titik
|
bakar. Kalaupun terjadi kebakaran, hal ini dikarenakan suhu titik bakar sering dicapai akibat pemicu pembakaran ladang di sekitar lahan yang berisi lapisan batu bara. Terdapatnya bahan bakar kering akibat pemanasan permukaan dan lapisan batu bara telah menjadi pendukung penyebaran api-api liar ke dalam hutan dan lahan.
|
Kejadian kebakaran hutan yang selalu berulang menunjukkan adanya gejala pengelolaan hutan yang tidak bijaksana. Gejala tidak optimalnya pengelolaan hutan sesungguhnya telah menjadi faktor pendukung terus berulangnya peristiwa kebakaran hutan. Faktor-faktor tersebut, antara lain penguasaan lahan, alokasi penggunaan lahan, degradasi hutan dan lahan, pertimbangan ekonomi lahan, dan dampak perubahan karakteristik kependudukan. Selain itu, faktor-faktor pendukung alam, seperti musim kemarau panjang akibat terjadinya gejala alam El Nino, rendahnya kesadaran masyarakat dalam mematikan api liar secara dini, dan rendahnya pengetahuan masyarakat sekitar hutan tentang pentingnya hutan dan lingkungan juga telah menjadi faktor pendukung sehingga mudah terjadi kebakaran hutan. A. Penguasaan Lahan Tumpang tindih lahan akibat ketidakjelasan batas-batas antara lahan hutan dan lahan masyarakat atau antara lahan yang satu dan lainnya telah menyebabkan kepemilikan lahan di masyarakat juga menjadi tidak jelas. Faktor ketidakjelasan ini menimbulkan saling melempar tanggung jawab saat terjadi kebakaran. Sebagian besar masyarakat sekitar hutan masih menganut mitos lama yang menganggap hutan sebagai lahan yang tidak ada pemiliknya (tak bertuan). Pandangan inilah yang menyebabkan lemahnya insentif masyarakat untuk mematikan api jika terjadi kebakaran di areal hutan. Klaim lahan sering terjadi terutama di daerah Sumatera, yaitu antara masyarakat lokal dan masyarakat pendatang atau pengusaha dan pemerintah. Rasa tidak memiliki lahan dari masyarakat lokal terhadap perkebunan dan hutan tanaman yang ada di daerahnya telah mengundang konflik-konflik lahan antarpihak, yaitu antara masyarakat dan pengusaha perkebunan atau hutan tanaman industri, serta antara masyarakat dan peme-
|
rintah yang menangani pengelolaan hutan. Meskipun saat ini telah ada aturan bahwa setiap masyarakat dan perusahaan yang memiliki lahan bertanggung jawab atas lahannya agar terhindar dari kebakaran (PP Nomor 4 Tahun 2001), pembakaran lahan oleh masyarakat yang dilakukan di ladangnya sendiri masih terkesan dibebaskan sekalipun mencemari lingkungan. Para pemilik lahan bervegetasi semak belukar merasa bebas membakar vegetasi di lahannya setiap tahun. Penegakan hukum terhadap mereka tidak pernah ada. Sekalipun ada, tindakan yang diambil terhadap mereka hanya berupa peringatan yang tidak berefek jera. Pada beberapa kasus, adanya ketidakpuasan klaim lahan oleh masyarakat yang tanahnya merasa terambil oleh perusahaan telah menimbulkan pelampiasan dendam masyarakat (arsonist) dengan cara membakar areal perkebunan atau areal hutan tanaman industri. B. Alokasi Penggunaan Lahan yang Tidak Tepat Kebijakan alokasi penggunaan lahan yang tidak tepat dan koordinasi yang kurang dengan berbagai pihak, yang disebabkan lemahnya efektivitas sistem hukum dan terjadinya korupsi, telah mengakibatkan timbulnya berbagai konflik lahan di masyarakat. Terserobotnya lahan-lahan tidur masyarakat oleh perusahaan telah menimbulkan konflik antara masyarakat dan perusahaan dan/atau pemerintah. Kebijakan tersebut telah berdampak terhadap penggunaan api sebagai pola alternatif pengalihan lahan di beberapa daerah. Contohnya di daerah Sumatera dan Kalimantan, kadang-kadang dijumpai api yang digunakan perusahaan untuk mengusir masyarakat yang sudah terlebih dahulu mengolah lahan. Sebaliknya, pada suatu saat, pembakaran lahan pun dilakukan masyarakat untuk memperoleh kembali hak-hak mereka. C. Pertimbangan Ekonomi untuk Mengonversi Hutan Terdapatnya keuntungan finansial dari konversi hutan menjadi areal penggunaan nonhutan; seperti perkebunan kopi, karet, dan kelapa sawit; telah menjadi perangsang bagi pihak
|
pengusaha dan pemerintah daerah setempat untuk mengalihfungsikan hutan. Peristiwa alih fungsi ini sering terjadi, terutama pada hutan-hutan yang pernah ditebang. Pada saat melakukan pembersihan lahan (land clearing) yang berupa semak belukar dan biomassa bawah tegakan, mereka melakukan pembakaran lahan tersebut. Peristiwa pembakaran ini sering terjadi, terutama pada waktu peraturan tentang pelarangan pembakaran belum ditegakkan. Kebanyakan pembukaan kawasan hutan menjadi areal konversi tersebut menggunakan api. Kasus seperti ini banyak terjadi di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara. D. Terjadinya Degradasi Hutan dan Lahan Hutan tropis yang kondisinya masih asri (alami) sesungguhnya sulit terbakar. Kondisi hutan tropika basah memiliki karakter berkelembaban tinggi (>90%). Hutan tropis yang belum terganggu hanya sedikit mengandung serasah di lantai hutannya dan itu pun cepat membusuk pada proses mineralisasi sehingga dengan sendirinya menyelamatkannya dari kebakaran hutan. Apabila hutan tersebut terganggu akibat kegiatan penebangan yang tidak mempertimbangkan prinsip kelestarian, hutan menjadi terbuka dan kering. Hal ini dapat mengganggu proses dekomposisi oleh mikroorganisme tanah terhadap serasah di lantai hutan. Terganggunya proses dekomposisi telah mengakibatkan menumpuknya serasah di lantai hutan sehingga berubah menjadi bahan bakar potensial di musim kemarau. Pada saat musim kemarau panjang, kondisi tersebut meningkatkan intensitas presipitasi, yaitu berada di atas 100 mm/bulan. Apalagi bila tidak ada hujan dalam beberapa minggu, vegetasi di hutan akan menggugurkan daunnya. Akumulasi serasah pun menjadi semakin banyak yang berperan sebagai bahan bakar potensial sehingga sering mengakibatkan kebakaran hutan jika ada penyulutnya. Beberapa faktor yang memengaruhi degradasi hutan dan lahan antara lain kegiatan penebangan, baik yang legal maupun ilegal (penebangan liar); pembukaan hutan rawa gambut melalui penebangan jenis-jenis rawa gambut yang disertai dengan pembuatan drainase-drainase; dan kegiatan pengelo-
|
laan lahan yang tidak berkelanjutan. Faktor-faktor tersebut telah mengubah tingkat kerentanan hutan tropis terhadap kebakaran. Hutan yang telah terbuka akan diinvasi dan didominasi oleh jenis alang-alang (Imperata cylindrica) yang sangat rentan terhadap kebakaran. E. Terjadinya Perubahan Karakteristik Kependudukan Terdapatnya pertambahan penduduk di sekitar hutan sebagai hasil migrasi dari satu daerah ke daerah lain atau dari satu pulau ke pulau yang lain ternyata telah memberi kontribusi pada kerentanan hutan terhadap kebakaran. Pertambahan penduduk yang terjadi adalah hasil dari upaya pemerataan penduduk oleh pemerintah melalui transmigrasi dan adanya migrasi spontan, terutama penduduk dari Pulau Jawa yang bermigrasi menuju wilayah Kalimantan dan Sumatera. Pertambahan penduduk di sekitar hutan telah mengakibatkan kebutuhan lahan hutan meningkat tajam, sedangkan lahan yang ada umumnya berupa hutan yang tidak produktif untuk dijadikan lahan pertanian dan permukiman. Lahan yang terbuka pun menjadi semakin luas. Di sinilah banyak terjadi praktik pertanian ladang tebas bakar. Introduksi penduduk yang datang dari Pulau Jawa ke Sumatera dan Kalimantan secara tidak terasa telah mengubah sistem tata nilai budaya penduduk lokal terhadap sumber daya alam dan hutan. F. Gejala Alam El Nino Penyebab Kemarau Panjang Walaupun dapat dikatakan bahwa penyebab rutin dari kebakaran hutan adalah efek samping dari kegiatan manusia pengguna api, faktor iklim dan cuaca harian sangat mendukung mempercepat proses terjadinya api kebakaran. Peristiwa kebakaran dalam skala besar pada tahun 1982/1983 yang melanda kawasan hutan seluas 2,4–3,6 juta ha di Kalimantan Timur tidak terlepas dari terjadinya musim kemarau panjang. Musim kemarau tersebut diakibatkan oleh gejala alam El Nino yang menyebabkan kekeringan di seluruh Asia Tenggara.
|
Demikian pula yang terjadi pada kasus kebakaran berikutnya, yaitu pada tahun 1987, 1991, 1994, 1997/1998, dan 2015. Semua peristiwa kebakaran hutan dan lahan tidak terlepas dari terjadinya faktor gejala alam El Nino yang menyebabkan cuaca harian sangat kering selama berbulan-bulan. Cuaca yang kering telah memengaruhi tingkat kadar air tumbuhan sehingga pohon hutan menjadi mengering akibat proses evapotranspirasi yang tinggi. Begitu penyulut api datang maka api yang terjadi sering dengan sangat cepat melalap habis semua bahan bakar yang ada di sekitar api permulaan. Fenomena El Nino adalah suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya temperatur permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) di Samudera Pasifik sekitar ekuator (equatorial pacific), khususnya di bagian tengah dan timur sekitar pantai Peru (Trenberth, 1997; Wang et al., 2012). Mengingat lautan dan atmosfer adalah dua sistem yang saling terhubung, penyimpangan kondisi laut ini menyebabkan terjadinya penyimpangan pada kondisi atmosfer dan pada akhirnya berakibat pada terjadinya penyimpangan iklim. El Nino adalah sebutan dalam bahasa Spanyol yang artinya “Si Buyung Kecil” (The Little Boy) atau “Anak Kristus” (Christ Child). El Nino adalah nama yang diberikan oleh para nelayan lepas pantai Amerika Selatan pada tahun 1600-an untuk menyebut fenomena menghangatnya air laut di Samudera Pasifik yang tidak lazim pada sekitar bulan Desember atau saat perayaan Natal. Belakangan ini, fenomena tersebut diketahui terjadi sebagai akibat melemahnya angin pasat yang biasanya bersirkulasi di Samudera Pasifik. Kondisi ini menyebabkan air hangat di bagian barat Pasifik tertarik ke timur. Akibat berkurangnya air hangat di barat Pasifik, penguapan (evaporasi) yang dapat membentuk awan positif juga menurun. Sementara itu; Australia, Papua Nugini, dan Indonesia merupakan negara-negara yang berada dalam lingkungan barat Pasifik. Berkurangnya evaporasi menyebabkan atmosfer di kawasan tersebut miskin uap air sehingga curah hujan di kawasan tersebut juga menurun dan terjadilah kekeringan. Pada kondisi iklim normal, temperatur permukaan laut di sekitar Indonesia yang termasuk daerah ekuator Pasifik
|
bagian barat umumnya hangat sehingga proses penguapan mudah terjadi dan awan-awan hujan mudah terbentuk. Tetapi ketika fenomena El Nino terjadi, saat temperatur permukaan laut di ekuator Pasifik bagian tengah dan timur menghangat, justeru perairan sekitar Indonesia umumnya mengalami penurunan temperatur atau menyimpang dari biasanya. Akibatnya, terjadi perubahan dalam peredaran masa udara yang berdampak pada berkurangnya pembentukan awan-awan hujan di Indonesia. Fenomena El Nino diamati dengan menganalisis datadata atmosfer dan kelautan yang terekam melalui weather buoy, yaitu suatu alat perekam data atmosfer dan lautan yang bekerja otomatis dan ditempatkan di samudera. Saat ini, weather buoy yang dipasang oleh lembaga penelitian atmosfer dan kelautan Amerika (National Oceanic and Atmospheric Administration/NOAA) di Samudera Pasifik sejak tahun 1980an sebanyak >50 buah. Dengan alat-alat inilah kita mendapatkan data temperatur permukaan laut sehingga bisa melakukan pemantauan terhadap kemunculan fenomena El Nino. Fenomena El Nino bukanlah kejadian yang terjadi secara tiba-tiba. Proses perubahan temperatur permukaan laut yang biasanya dingin kemudian menghangat bisa memakan waktu dalam hitungan minggu hingga bulan. Karena itu, pengamatan temperatur permukaan laut juga bisa bermanfaat dalam pembuatan prediksi atau prakiraan akan terjadinya El Nino, yaitu dengan menganalisis perubahan temperatur muka laut dari waktu ke waktu. Di Indonesia, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah melakukan pemantauan fenomena El Nino dengan memanfaatkan data dari buoy-buoy tersebut. Pemantauan ini dilakukan dengan membuat peta perkembangan temperatur lautan, baik sebaran spasial (lintang bujur) maupun irisan vertikal yaitu peta temperatur laut untuk beberapa tingkat kedalaman (Gambar 13). Produk-produk analisis ini tersedia di web resmi BMKG.
|
1. Dampak Langsung El Nino Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena El Nino; enam kejadian di antaranya telah berlangsung dengan intensitas kuat, yaitu tahun 1957/1958, 1965/ 1966, 1972/1973, 1982/ 1983, 1987/1988 dan 1997/ 1998. Intensitas El Nino secara numerik ditentukan berdasarkan besarnya nilai penyimpangan temperatur permukaan laut di ekuator Samudra Pasifik bagian tengah. Apabila suhu menghangat lebih dari 1,50C, El Nino dikategorikan kuat. Sebagian besar kejadian El Nino itu mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau pada awal hingga pertengahan musim kemarau, yaitu bulan Mei, Juni, dan Juli. Kasus tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 adalah dua kejadian El Nino terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara global. Kasus ini disebut berdampak global karena pengaruhnya melanda banyak kawasan di dunia. Amerika dan Eropa misalnya, mengalami pening-
Gambar 13. Contoh produk BMKG untuk monitoring fenomena El Nino yang dapat diakses pada website BMKG
|
katan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar; sedangkan Indonesia, India, Australia, dan Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang. Kasus yang masih jelas dalam ingatan kita pernah terjadi pada tahun 1997 adalah bencana kekeringan yang luas di Indonesia. Pada tahun itu, kasus kebakaran hutan di Indonesia menjadi perhatian internasional karena asapnya menyebar ke negara-negara tetangga. Kebakaran hutan yang melanda banyak kawasan di Pulau Sumatera dan Kalimantan saat itu memang bukan disebabkan oleh fenomena El Nino secara langsung. Namun, kondisi cuaca kering dan sedikitnya curah hujan telah membuat api menjadi mudah berkobar dan merambat sangat cepat dan sulit dikendalikan. Di sisi lain, kekeringan dan kemarau panjang juga menyebabkan banyak wilayah sentra pertanian mengalami gagal panen karena distribusi curah hujan yang tidak memenuhi kebutuhan tanaman. Dampak langsung El Nino adalah anjloknya produksi pertanian dan perkebunan, krisis air bersih, kebakaran, dan berhentinya aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Berkurangnya produksi pertanian dapat memicu melambungnya harga-harga bahan makanan, antara lain beras, sayurmayur, dan buah-buahan. Selain bisa menurunkan tingkat kesehatan akibat kurangnya asupan gizi, kelangkaan bahan makanan pokok pada tingkatan ekstrem dapat menimbulkan bencana kelaparan. Ketika sungai, situ (danau), dan sumur menjadi dangkal dan mengering, banyak masyarakat mengalami kesulitan untuk mendapatkan air bersih. Kondisi ini akan mendorong timbulnya wabah penyakit menular karena masyarakat terpaksa mengonsumsi air yang tidak higienis. Berita tentang krisis air pernah muncul pada bulan Agustus 2015 yang menyebutkan bahwa PLTA Cirata (Jawa Barat) terpaksa mengistirahatkan 80% turbinnya akibat debit air Bendungan Cirata menurun tajam. Apabila seluruh turbin PLTA Cirata tersebut berhenti, pasokan listrik Jawa–Bali dapat dipastikan akan berkurang. Kondisi ini akan berdampak pada banyak sektor, khususnya dunia industri.
|
2. Dampak Tidak Langsung El Nino Lahan-lahan pertanian yang menjadi kering dapat berakibat berhentinya usaha pertanian. Keadaan ini dapat menyebabkan tingginya tingkat pengangguran di pedesaan. Pada akhirnya, pengangguran yang tinggi ditambah dengan kondisi harga-harga kebutuhan pokok yang melambung akan berpotensi menimbulkan masalah sosial tersendiri, yaitu urbanisasi akan meningkat, pengemis bertambah, dan angka kriminalitas meningkat pula. Beberapa publikasi ilmiah (Trenberth, 1997; BMKG, 2014) menunjukkan bahwa dampak El Nino terhadap iklim di Indonesia akan terasa kuat jika terjadi bersamaan dengan musim kemarau, dan akan berkurang atau bahkan tidak terasa jika terjadi bersamaan dengan musim penghujan. Dampak El Nino ternyata berbeda-beda pula antara satu tempat dengan tempat lainnya, bergantung pada karakteristik iklim lokal. Oleh karena itu, hal ini menjadi menarik bagi para analis iklim untuk memerhatikan sebaran dampak El Nino dari bulan ke bulan, khususnya pada musim kemarau, dan dari satu lokasi ke lokasi lain berdasarkan catatan kejadian El Nino pada masa lalu. Analisis ini dapat dijadikan acuan dalam menyusun kebijakan terkait dampak El Nino, misalnya saja dalam kebijakan tentang ketahanan pangan. 3. Perbandingan Kejadian El Nino pada Masa Lalu Salah satu rujukan dalam memprediksi El Nino bersumber dari The Earth Institute Columbia University. Sebagai contoh, hasil analisis yang menggunakan data Global Precipitation Climatology Center (GPCC) yang dirilis tahun 2014 menyebutkan bahwa peluang kejadian El Nino mencapai >60%. El Nino tahun 2014 telah terjadi hingga awal tahun 2015. Sebagian ahli memperkirakan bahwa intensitas El Nino dalam kategori lemah, tetapi beberapa ahli lainnya berpendapat akan terjadi El Nino kategori sedang. Namun, hal yang pasti bahwa El Nino tersebut memberikan dampak terjadinya kembali peristiwa kebakaran pada tahun 2014.
|
Analisis terhadap kejadian-kejadian El Nino pada masa lalu dengan menggunakan data curah hujan global yang dihasilkan GPCC menunjukkan bahwa dampak El Nino juga dipengaruhi oleh intensitas (kuat–lemah) dan durasi berlangsungnya El Nino. Semakin kuat dan lamanya El Nino terjadi, semakin kuat dampaknya terhadap iklim di Indonesia, khususnya terhadap curah hujan. Kasus El Nino dengan intensitas lemah–sedang pada bulan Juli–Agustus telah berdampak pada pengurangan curah hujan dengan kisaran 40–80% dibandingkan dengan kondisi normalnya. Kondisi ini terutama dirasakan di sebagian Sumatera, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat (NTB), dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Sebagian lagi terasa di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan sebagian Papua. Sementara pada bulan September hingga Oktober, dampak El Nino terjadi semakin parah ditandai dengan semakin luasnya area yang mengalami pengurangan curah hujan, meliputi seluruh Sumatera (kecuali Aceh), seluruh Jawa, Bali, NTB, NTT, sebagian besar Kalimantan, seluruh Sulawesi, Maluku, dan sebagian besar Papua. Bahkan, curah hujan di daerah NTB, NTT, dan Sulawesi Tenggara bisa berkurang hingga 20–40% dari kondisi normalnya (Gambar 14). Suatau daerah disebut terdampak jika mengalami kondisi hujan di bawah normal saat El Nino terjadi. Kasus El Nino yang diperhitungkan adalah kejadian El Nino sejak tahun 1950. Sementara pada kejadian El Nino kuat, kejadian curah hujan di bawah normal melanda wilayah yang lebih luas. Wilayah-wilayah yang tidak terdampak oleh El Nino lemah– sedang, seperti Sumatera Barat, Bengkulu, dan Kalimantan Barat akan terkena pengaruh El Nino kuat. Bahkan, beberapa wilayah, seperti Sumatera Selatan, Bangka Belitung (Babel), Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Maluku, dan sebagian Papua; curah hujan hanya turun dalam kisaran 10–30% dibandingkan kondisi normalnya, terutama pada bulan September dan Oktober 2014 (Gambar 15).
|
|
Gambar 14. Daerah terdampak jika terjadi El Nino lemah-sedang yang dinyatakan dalam persentasi hujan terhadap kondisi normalnya (Sumber: GPCC, 2014)
|
Gambar 15. Daerah terdampak jika terjadi El Nino kuat yang dinyatakan dalam persentasi hujan terhadap kondisi normalnya (Sumber: GPCC, 2014)
Data pada Gambar 14 dan Gambar 15 menunjukkan bahwa fenomena El Nino berpengaruh kuat terhadap iklim di Indonesia. Berkurangnya curah hujan dan terjadinya kemarau panjang adalah dampak langsung yang bisa memicu masalah lain, terutama pada sektor kehutanan dan pertanian, seperti kebakaran hutan dan lahan, gagal panen, dan menurunnya ketahanan pangan. Oleh karena itu, peta daerah rawan dampak El Nino perlu dibuat hingga pada level kabupaten sehingga kebijakan-kebijakan yang tepat dalam mengantisipasi fenomena El Nino dapat disusun. Ramalan BMKG tahun 2015 menyatakan bahwa fenomena El Nino 2015 di Indonesia akan terus berlangsung hingga awal tahun 2016. Diduga pula bahwa kekeringan di tahun 2015 berpotensi lebih parah dibandingkan dengan tahun 1997. El Nino diprediksi akan menguat mulai Agustus hingga Desember 2015. Kecenderungan penguatan El Nino 2015 ini ditunjukkan oleh kenaikan nilai indeks El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dari 1,6 pada bulan Juni menjadi 2,2 pada Desember 2015.
|
Kebakaran hutan telah memberi dampak terhadap berbagai aspek, seperti terjadinya degradasi hutan dan lahan milik, kerusakan lingkungan, produktivitas tanaman, kesehatan, dan sosial ekonomi masyarakat. Selama ini, nilai kerugian ekologi, ekonomi, sosial, ataupun budaya sebagai dampak kebakaran hutan dan lahan yang hampir terjadi setiap tahun sangat sulit dihitung besarannya. Nilai kerugian tersebut hanya dapat diprediksi besarannya untuk dampak yang langsung diderita masyarakat, seperti kerugian ekonomi. Dampak kerugian ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan pada tahun 1997/1998 diperkirakan sebesar US$9.3 milyar (Gouyon & Simorangkir, 2002). Akibat kebakaran seperti inilah telah menyebabkan negara jiran, seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura sering mengeluh. Secara ekologis dan ekonomis, berulangnya peristiwa kebakaran seharusnya telah dapat menyadarkan semua pengguna api untuk tidak lagi melakukan pembakaran sembarangan. Bahkan, apabila memungkinkan, pengelolaan lahan tidak lagi dilakukan dengan cara pembakaran. Persiapan lahan dengan cara pembakaran sesungguhnya tidak ekonomis dalam jangka panjang karena telah mengakibatkan turunnya produksi hasil pertanian (Akbar, 2007). Turunnya produksi hasil pertanian merupakan dampak dari rusaknya struktur tanah, menguapnya unsur hara sebagai makanan bagi tumbuhan, dan matinya berbagai mikrob yang berperan dalam proses penyuburan tanah. Dampak kebakaran hutan dan lahan banyak ditentukan oleh jenis kegiatan penyiapan melalui pembakaran. Penyiapan lahan, baik untuk penanaman tanaman semusim oleh masyarakat sekitar hutan maupun untuk penanaman hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, pada dasarnya adalah kegiatan pembersihan lapangan dan peningkatan kesuburan tanah sehingga tercipta kondisi lahan yang optimal untuk keperluan penanaman. Kegiatan tersebut dilakukan dengan cara meng-
|
hilangkan tumbuhan berupa semak belukar pada hutan sekunder dan alang-alang yang mengandung biomassa dalam jumlah besar. Biomassa tersebut biasanya dapat berupa kayu, ranting, daun, dan rerumputan. Apabila lahan bersih dari biomassa tersebut, tumbuhan yang ditanam akan terangsang untuk tumbuh subur tanpa adanya gangguan kompetisi gulma. Namun demikian, cara menghilangkan biomassa [baik yang hidup maupun mati] di areal penanaman umumnya dilakukan dengan cara pembakaran. Penebasan dan penguburan biomassa ke dalam tanah tanpa harus mengalami pembakaran masih belum membudaya. Prospek pemanfaatan material vegetasi menjadi produk-produk lain pada lahan masih sangat minim, seperti membuat arang kayu, membuat kompos untuk pupuk, dan membuat bangunan anggelan sebagai penahan erosi. Pada dasarnya, persiapan lahan bertujuan agar lahan menjadi bersih sehingga mendukung keberhasilan pembangunan budi daya tanaman. A. Dampak Kebakaran terhadap Degradasi Hutan dan Lahan Milik Apabila kita melihat potret kebakaran pada masa lalu, peluang kebakaran hutan dan lahan masih berlangsung terus hampir setiap tahun. Teristimewa, peluang akan muncul pada musim kemarau dan adanya fenomena El Nino. Kebakaran hutan alam terbesar pertama yang pernah kita alami adalah pada tahun 1982/1983 di Kalimantan Timur yang telah meluluhlantakkan sekitar 3,6 juta ha hutan dan lahan milik. Sejak itulah, peristiwa kebakaran besar terus terjadi, yaitu pada tahun 1987, 1991, 1994, dan 1997/1998. Kebakaran hutan tahun 1997/1998 menyebabkan lahan terbakar sekitar 9,8 juta ha yang tersebar di Kalimantan, Sumatera, Jawa, Sulawesi, dan Irian Jaya [Papua] (Bapenas, 1999 dalam Barber & Schweithelm, 2000). Setelah tahun 2000 hingga tahun 2005, peristiwa kebakaran hanya bersifat lokal di masing-masing kabupaten dan provinsi dengan skala kerusakan relatif kecil. Pada tahun 2006 dan 2013, masalah kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah dan Riau mencuat lagi ke permukaan yang
|
mengakibatkan terjadinya kiriman asap tebal ke negara tetangga, seperti Singapura dan Malaysia. Kebakaran tahun 2006 di Kalimantan Tengah telah merusak hutan dan lahan seluas 1.865,1 ha, sedangkan kebakaran di Riau tahun 2013 telah merusak 16.500 ha hutan dan lahan. Sebagian besar kebakaran di kedua wilayah tersebut terjadi di lahan gambut. Api liar yang menjalar ke areal-areal berhutan telah banyak mengakibatkan kondisi komunitas hutan menjadi terbuka. Rusaknya vegetasi hutan akibat kebakaran mencerminkan betapa banyak makhluk hidup yang mati akibat kebakaran. Hutan sebagai suatu kesatuan lingkungan hidup hayati dan pembentuk suatu ekosistem yang mantap terbukti berubah akibat kebakaran yang ditandai dengan matinya ribuan satwa dan tumbuhan. Padahal, masing-masing tumbuhan dan satwa memiliki peran yang sangat penting dalam memantapkan ekosistem tersebut. Kemusnahan flora dan fauna diikuti pula terjadinya perubahan faktor-faktor abiotik, seperti berubahnya temperatur dan kelembaban udara harian, serta berubahnya kondisi tanah yang mengarah ke penurunan kesuburan dan kestabilan tanah. Selain itu, areal-areal hutan yang telah mengalami pembakaran biasanya menjadi rentan terhadap kebakaran. Cuaca kering dan adanya hutan terbuka akibat berbagai aktivitas pembukaan lahan telah meningkatkan frekuensi kejadian kebakaran hutan hujan tropika Indonesia. Kebakaran hutan tersebut dapat saja terjadi pada kawasan hutan produksi (areal HPH atau HTI) dan kawasan hutan konservasi jika kondisi vegetasi hutannya telah rusak. Kebakaran lahan juga sering terjadi pada lahan tidur milik masyarakat, perkebunan, areal transmigrasi, dan areal pertanian. Para petani ladang telah menerima dampak negatif dari kebakaran karena lahanlahan milik mereka menjadi tidak produktif dan tanaman budi dayanya habis dilalap api. Hutan yang telah terbakar biasanya mengalami suksesi alam. Apabila perkembangan suksesi tidak terganggu, hutan dapat kembali menjadi hutan sekunder muda. Namun, apabila proses perkembangan suksesi selalu terganggu, hutan dapat mengalami disklimaks (tidak pernah klimaks). Contohnya adalah suksesi yang terjadi pada lahan alang-alang di Riam
|
Kanan, Kalimantan Selatan. Intervensi manusia diperlukan untuk membantu penghutanan kembali (reboisasi) jika perbaikan kerusakan hutan tidak dapat diserahkan kepada alam. Vegetasi hutan berperan sebagai penutup tanah dan lingkungannya dari pengaruh kekeringan oleh sinar matahari dan angin. Akibat kebakaran, lantai hutan yang di atasnya terdapat herba, semak, coppice stumps, seedling, serasah, sapling, dan beberapa jenis pohon juga ikut terbakar. Apabila areal bekas terbakar ditumbuhi vegetasi, regenerasi hutan yang akan muncul pada kondisi lingkungan yang miskin hara umumnya berupa rerumputan dan jenis-jenis tumbuhan yang resistan terhadap api dan/atau kekeringan. Vegetasi hutan yang dapat bertahan hidup terhadap kebakaran hutan yang berulang-ulang di Riam Kanan adalah Vitex sp dan Imperata cylindrica. Sementara itu, kelompok vegetasi yang dapat bertahan untuk daerah lain adalah Relict grovers dan Galery forests (Batchelder & Hirt, 1966). Hasil penelitian Tagawa et al. (1988) di Taman Nasional (TN) Kutai, Kalimantan Timur, menunjukkan bahwa akibat kebakaran pada tahun 1982/1983 telah menghasilkan tingkat kerusakan oleh api cukup bervariasi. Kasus kebakaran hutan di TN Kutai tersebut telah menghasilkan jenis-jenis yang muncul pascakebakaran, yaitu Anthocephalus chinensis, Homalanthus populneus, Glochidion capitatum, Macaranga trichocarpa, M. gigantea, Croton argyratus, Tristania whitiana, Malotus sp., dan lain-lain. Jenis-jenis sekunder ini muncul juga di daerah terbuka dengan sedikit kerusakan oleh api, namun jarang ditemui di hutan yang tidak terganggu. Berbeda dengan yang lain bahwa pengaruh kebakaran terhadap ekosistem yang semula didominasi oleh alang-alang dan kirinyuh (Chromolaena odorata) pada satu tahun setelah terbakar, hanya alang-alang yang kembali mendominasi areal tersebut (Wibowo, 1996). Hal tersebut kemungkinan akibat kebakaran permukaan tidak banyak berpengaruh terhadap rhizome alang-alang yang terdapat di dalam tanah. Kondisi tersebut didukung pula oleh penelitian Akbar (2014) bahwa pembakaran terhadap alangalang dalam berbagai kelas umur tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan kembali alang-alang enam bulan setelah pembakaran. Di sisi lain, alang-alang memiliki sifat intoleran dan
|
dapat tumbuh pada kondisi tanah yang tidak subur sehingga disebut sebagai jenis pionir. B. Dampak Kebakaran terhadap Lingkungan Dampak kebakaran hutan dan lahan terhadap lingkungan hidup adalah terjadinya perubahan yang lebih luas dari sekedar kerusakan hutan, yaitu berupa kerusakan dan pencemaran lingkungan. Apabila kita memerinci dampak negatif kebakaran terhadap lingkungan, aspek-aspeknya meliputi dampak terhadap karakteristik tanah (sifat fisik, kimia, dan biologi), lingkungan hayati, kualitas udara, dan emisi karbon. 1. Dampak terhadap Sifat Fisik Tanah Dampak kebakaran di daerah tropis adalah rusaknya struktur tanah sehingga menurunkan infiltrasi dan perlokasi tanah. Selain itu, hilangnya tumbuhan akibat kebakaran menyebabkan tanah menjadi terbuka. Hal ini menyebabkan energi pukulan air hujan tidak lagi tertahan oleh tajuk pepohonan sehingga ikut menambah rusaknya struktur tanah. Akibatnya, aliran permukaan (run off) meningkat sehingga menyebabkan erosi. Bahan organik dan unsur hara tanah banyak yang hanyut, akhirnya menurunkan kesuburan tanah. Menurut Bastoni & Sianturi (2000), kerusakan tanah yang terjadi akibat kebakaran pada hutan rawa gambut di lokasi kajian (Sumatera Selatan) berupa a) lapisan gambut habis terbakar pada areal bergambut dangkal (<100 cm) sehingga menyebabkan tempat berjangkarnya perakaran pohon habis terbakar, dan b) penurunan tebal lapisan gambut dengan nilai rerata 50 cm pada areal bergambut dalam (>200 cm). Selain itu, kebakaran hutan rawa gambut di lokasi tersebut berlangsung sangat cepat dengan total areal terbakar mencapai 24.655 ha dalam waktu 3 bulan (September–November 1997) dengan dampak negatif sangat serius, yaitu berupa kerusakan tegakan hutan dan kerusakan tanah gambut. Kebakaran dan praktik pertanian tradisional di lahan gambut telah mengakibatkan gambut menjadi lebih matang, terutama di lapisan 0–15 cm; meningkatkan berat volume dan pori mikro;
|
menurunkan porositas total; dan menurunkan daya menyimpan lengas (Kurnain, 2005). Berdasarkan berbagai hasil penelitian terkait dampak kebakaran hutan terhadap kerusakan fisik tanah, terdapat kriteria umum baku tentang dampak kebakaran terhadap fisik tanah. Selanjutnya, kriteria umum baku tersebut sebagaimana disajikan pada Tabel 7. Tabel 7. karan
Kriteria umum baku kerusakan fisik tanah akibat kebaMetode pengukuran
No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi
1.
Struktur tanah
Struktur tanah rusak Infiltrasi air menurun Akar tanaman tidak berkembang Laju erosi tanah meningkat
Pengamatan langsung secara visual
2.
Porositas Tanah (%)
Porositas tanah menurun Infiltrasi air menurun Aliran permukaan meningkat Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang
Perhitungan dari bobot isi dan kadar air kapasitas retensi maksimum
3.
Bobot Isi (gr/cm3)
Pemadatan tanah meningkat Akar tanaman tidak berkembang Ketersediaan udara dan air untuk tanaman berkurang
Ring sample gravimetric
4.
Kadar air tersedia (%)
Kadar air menurun Kapasitas tanah menahan air berkurang Tanaman kekurangan air
Pressure plate gravimetric
|
Metode pengukuran
No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi
5.
Potensi pengembangan dan pengerutan tanah Penetrasi tanah (kg/cm2)
Tanah kehilangan sifat mengembang dan mengerut Laju erosi meningkat
COLE
Penetrasi tanah meningkat Infiltrasi air menurun Akar tanaman tidak berkembang
Penetrometer
Konsistensi tanah
Tanah kehilangan sifat plastisnya Laju erosi meningkat
Piridan tangan
6.
7.
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
2. Dampak terhadap Kimia Tanah Dampak kebakaran terhadap sifat kimia tanah telah disebutkan dalam beberapa hasil penelitian. Hasil studi yang dilakukan Tangketasik (1987) dalam Rusdiyanto (2002) menunjukkan bahwa kebakaran telah mengakibatkan terjadinya penurunan sifat-sifat retensi (penahanan) kelembaban tanah dan kapasitas tukar kation (KTK) pada jenis tanah akrisol dan podsolik di Kalimantan Timur yang mengalami kebakaran. Syarmidi & Aryantha (1997) dalam Rusdiyanto (2002) menyatakan bahwa saat kebakaran hutan telah terjadi, unsur hara tanah akan hilang melalui beberapa cara. Nitrogen menguap di atas suhu 100C, sulfur organik (cystine) terurai di atas suhu 340C, dan fosfat akan terbenam dalam bentuk silikat kompleks sehingga sukar terurai kembali untuk dimanfaatkan oleh tanaman. Hasil penelitian Kurnain (2005) menyimpulkan bahwa kebakaran di hutan rawa gambut telah menurunkan N-total, P-total, dan nisbah N-mineral/N-total, serta meningkatkan nisbah C/N dan “C” humus. Hasil-hasil penelitian tersebut menjadi dasar pengujian penegakan hukum kebakaran yang dituangkan dalam Kriteria Umum Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Nasional sesuai PP Nomor 4
|
Tahun 2001 yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan (Tabel 8). Tabel 8. Kriteria umum baku kerusakan kimia tanah akibat kebakaran Metode Pengukuran
No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi
1.
C organik (%)
Kadar C organik menurun Kesuburan tanah menurun Berpengaruh terhadap sifat fisik tanah
Walkley and Black atau dengan alat CHNS Elementary Analysis
2.
N total (%)
Kadar N total menurun Kesuburan tanah menurun
3.
Amonium (ppm)
Kadar Amonium tersedia turun Kesuburan tanah menurun
Kjeldahl atau dengan alat CHNS Elementary Analysis Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator
4.
Nitrat (ppm)
Kadar nitrat meningkat
5.
P (ppm)
Kadar P tersedia meningkat Keseimbangan unsur hara terganggu
6.
pH
pH naik atau turun Keseimbangan unsur hara terganggu
7.
Daya Hantar Listrik (µS/cm)
Konduktometer Daya hantar listrik meningkat Pertumbuhan akar tanaman terganggu Kadar garam meningkat
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
|
Kjeldahl atau elektroda spesifik atau autoanalisator Spectrofotometer atau autoanalisator pH meter
3. Dampak terhadap Sifat Biologi Tanah Kebakaran hutan dapat membunuh organisme tanah, baik makroorganisme maupun mikroorganisme, yang bermanfaat untuk meningkatkan kesuburan tanah. Makroorganisme tanah yang terbunuh contohnya cacing tanah yang berperan dalam meningkatkan aerasi dan drainase tanah. Mikroorganisme tanah yang terbunuh antara lain mikoriza yang dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara P, Zn, Cu, Ca, Mg, dan Fe bagi tanaman; dan bakteri Rhyzobium yang berperan dalam meningkatkan nitrogen tanah. Segumpal tanah seberat 0,5 kg mengandung sekitar 1 triliun bakteri, 200 juta jamur, 25 juta alga, 15 juta protozoa, cacing, insekta dan makhluk kecil lainnya (Sastrawijaya, 1991). Menurut Alikodra & Schindele (1998) dalam Rusdiyanto (2002), sebagian besar jenis tanah di Kalimantan adalah podsolik merah kuning, latosol, dan litosol dengan solum lapisan tanah yang relatif tipis dan kandungan unsur hara rendah. Kebakaran hutan selain akan menghilangkan lapisan atas tanah (topsoil) yang subur, kebakaran juga akan membunuh mikroorganisme tanah dan dekomposer sehingga proses perombakan menjadi terhenti. Unsur-unsur kerusakan yang akan terjadi pada biologi tanah sebagai akibat kebakaran hutan telah dijadikan standar kerusakan untuk menegakkan hukum kebakaran. Unsur-unsur tersebut disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Kriteria umum baku kerusakan biologi tanah akibat kebakaran No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi
Metode Pengukuran
1.
Karbon mikroorganisme
Karbon mikroorganisme menurun Banyak mikroorganisme mati Reaksi biokimia tanah terganggu
CFT-TOC atau CFE-Walkley and Black (Joergensen, 1995; Vance et al., 1987)
2.
Respirasi
Respirasi menurun Reaksi kimia tanah terganggu
Metode Stoples seperti dalam Joergensen
|
No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi Keragaman mikroorganisme tanah berkurang
3.
Metabolic quotien (qCO2)
Metabolic quotien meningkat Mikroorganisme tanah stres Keragaman mikroorganisme berkurang
4.
Total mikroorganisme (SPK/g)
Total mikroorganisme menurun Keragaman mikroorganisme berkurang
Metode Pengukuran (1995), Jayakirana (1996), dan Vetraete (1981) Perhitungan dari respirasi dan karbon mikroorganisme
Plate counting
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
4. Dampak terhadap Lingkungan Hayati Kebakaran telah memengaruhi ekosistem hutan dan keanekaragaman hayati. Lima proses ekologi di hutan, seperti suksesi alam, produksi bahan organik dan proses dekomposisi, siklus unsur hara, siklus hidrologi, dan proses pembentukan tanah telah terganggu oleh kebakaran hutan. Selain itu, tata iklim dan fungsi perosotan karbon juga dirusak. Kebakaran telah mengurangi kemampuan fotosintesis vegetasi hutan. Hutan akan kehilangan biomassa dan produksi materi organik akibat kebakaran. Terhalangnya sinar matahari oleh asap akan menghambat produksi protein, karbohidrat, dan vitamin akibat terganggunya proses fotosintesis. Hilangnya vegetasi akan mengurangi penyerapan karbon dioksida (CO2) sehingga akan meningkatkan efek rumah kaca. Kriteria umum baku kerusakan flora dan fauna yang berhubungan dengan dampak kebakaran hutan sebagaimana disajikan pada Tabel 10.
|
Tabel 10. Kriteria umum baku kerusakan flora dan fauna akibat kebakaran hutan Metode Pengukuran
No. Parameter
Kerusakan yang Terjadi
1.
Keragaman spesies flora
Perubahan keragaman Pengurangan dan penambahan varietas Kepunahan spesies Ketidakseimbangan ekosistem
Sampling
2.
Populasi flora
Perubahan kepadatan Perubahan populasi Ketidakseimbangan ekosistem
Sampling
3.
Keragaman spesies fauna
Perubahan keragaman Perubahan perilaku Pengurangan dan penambahan varietas Kepunahan spesies Ketidakseimbangan ekosistem
Sampling
4.
Populasi
Perubahan kepadatan Perubahan perilaku Terjadinya perubahan populasi Ketidakseimbangan ekosistem
Sampling
Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2001
5. Dampak terhadap Kualitas Udara Kebakaran hutan dan lahan berdampak secara langsung terhadap atmosfer. Akibat pengaruh iklim global dan iklim lokal, kebakaran hutan telah menimbulkan asap yang cukup lama di atmosfer bawah sehingga berpengaruh terhadap biosfer yang mana terdapat kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan. Kepekatan asap juga telah memperpendek jarak pandang sehingga mengganggu bisnis transportasi dan bisnis lainnya yang berakibat pada kerugian ekonomi. Hasil inves-
|
tigasi tim Environment Management Center (EMC) yang berlokasi di Jakarta dan merupakan proyek kerja sama dengan Japan International Cooperation Agency (JICA) terhadap kandungan kabut asap akibat kebakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera pada November 1997 diketahui: a. Hasil uji pada kandungan lima unsur utama (PM10, SO2, CO, O3, dan NO2) menunjukkan bahwa kadar PM10 [partikel berukuran <10 µm yang dapat menyebabkan asma] berada pada nilai yang tinggi, yaitu 1.600 µg/m3 (nilai maksimum rerata harian). Nilai tersebut 6,15 kali lebih tinggi daripada nilai standar lingkungan di Indonesia (260 µm/m3). b. Hasil analisis 17 unsur Polycyclic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dalam particulate matter (PM) menunjukkan bahwa konsentrasi tiap unsur polusi udara di Jambi adalah 2,7– 65,4 kali (Tabel 11) dari nilai konsentrasi unsur yang sama di Jakarta (Obayashi, 1998). Tabel 11. Konsentrasi PAHs pascakebakaran di Jambi dibandingkan dengan di Jakarta tahun 1997/1998 No.
Partikel
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Fluoranthene Pyrene Triphenylene Benz(a)antracene Chrysene Perylene Benzo(a)pyrene Benzo(b)fluoranthene Benzo(k)fluoranthene Benzo(c)pyrene Indeno(1,2,3-cd)pyrene Benzo(ghi)pyrene Dibenz(a,c)anthracene Dibenz(a,h)anthracene Benzo(b)chrysene Coronene Dibenzo(a,e)pyrene
Konsentrasi sesuai lokasi (µg/m3) Jambi Jakarta 16,7 0,255 21,1 0,396 20,2 0,411 16,8 0,438 41,7 0,910 2,60 0,219 14,7 1,22 15,1 1,62 6,45 0,793 15,3 1,05 11,1 2,24 12,8 1,78 0,428 0,158 0,823 0,120 1,66 0,164 0,914 0121 3,15 -
Perbandingan nilai (kali) 65,4 53.2 49,1 38,4 45,8 11,9 12,0 9,3 8,1 14,6 5,0 7,2 2,7 6,9 10,1 7,6 -
Sumber: Hasil analisis Laboratorium Universitas Shizuoka, Jepang
|
c. Hasil analisis komponen gas ditemukan hal-hal sebagai berikut: 1) reaksi perubahan kimia diduga dipicu oleh udara sekitar, terutama konsentrasi aseton (C3H6O), yang salah satu perubahannya menghasilkan hidrokarbon sangat tinggi; 2) konsentrasi isopren tinggi menyebabkan emisi tumbuhan dan pembakaran biomassa. Isopren sangat reaktif dan menghasilkan oksidan secara efektif ketika berhadapan dengan nitrogen oksida. Data konsentrasi aseton dan isopren di beberapa lokasi investigasi terdapat pada Tabel 12. Sementara, hasil analisis komponen gas di udara terhadap metil halida yang merusak lapisan ozon di areal kebakaran menunjukkan konsentrasi tinggi (Tabel 13). Tabel 12. Konsentrasi aseton dan isopren dalam udara sekitar areal kebakaran No. 1. 2. 3. 4. 5.
Daerah
Tanggal
Aseton (C3H6O)
Isopren (C5H8)
Jambi Jambi Palangkaraya Palangkaraya Jakarta
6 November 1997 7 November 1997 23 November 1997 25 November 1997 25 November 1997
31,293 104,468 108,720 86,930 10,717
2,248 1,677 5,282 4,350 1,674
Sumber: Hasil analisis National Institut for Environment Studies (Obayashi, 1998)
Tabel 13. Konsentrasi metil halida di dalam udara areal kebakaran tahun 1997 No. Daerah 1. 2. 3. 4. 5.
Jambi Jambi Palangkaraya Palangkaraya Jakarta
Tanggal
Metil Metil Chlorida Bromida (CH3C) (CH3Br)
6 November 1997 7,895 7 November 1997 9,962 23 November 1997 7,570 25 November 1997 10,897 25 November 1997 1,180
173 585 387 713 19
Metil Ionida (CH3I) 44 206 398 465 6
Sumber: Hasil Analisis National Institut for Environment Studies (Obayashi, 1998)
|
6. Dampak terhadap Emisi Karbon Pada dasarnya, biomassa kering adalah simpanan karbon organik (selulosa, hemiselulosa, dan lignin) yang jika terjadi kebakaran bereaksi dengan oksigen (O2) akan menghasilkan gas CO2 yang dilepas ke udara (Chandler et al., 1983). Pelepasan CO2 inilah yang dinamakan emisi karbon yang menyebabkan peningkatan gas rumah kaca (GRK). Meningkatnya GRK telah terbukti mengakibatkan pemanasan global (global warming). Pada saat suhu kebakaran telah mencapai 2000C, dekomposisi lignin dan hemiselulosa menjadi cepat yang mana rasio formasi CO dan CO2 meningkat secara linier dengan temperatur (Chandler et al., 1983). Akhir-akhir ini, Indonesia dianggap penghasil emisi GRK terbesar ke-3 di dunia setelah Amerika Serikat dan Cina. Di antara penyebab emisi terbesar di Indonesia selain akibat kegiatan penggunaan lahan dan konversi lahan hutan (Land Use, Land-Use Change and Forestry/LULUCF) adalah dari kebakaran hutan. Sebagai contoh, hasil penelitian dampak kebakaran tahun 1997 telah menghasilkan emisi karbon sebesar 0,81–2,57 gigaton dari kebakaran seluas 507.239,5 ha yang sebagian besar terjadi di lahan gambut (Page, 2002). Sementara itu, pendugaan emisi dari areal terbakar TN Berbak, Jambi, menunjukkan emisi sebesar 7 juta ton karbon (Murdiyarso et al., 2002). Estimasi emisi CO2 yang lain adalah berdasarkan pendekatan model pembentukan biomassa oleh tanaman hutan dalam satu tahun dengan menggunakan perangkat program komputasi visual Fox Pro. Metode tersebut menggambarkan adanya jumlah emisi karbon rerata di Riau dan Sumatera Selatan sebesar 31,7 ton karbon/ha. Pada bagian lain, terdapat pendugaan kandungan karbon hutan tropis sebasar 220 ton karbon/ha sehingga saat terjadi kebakaran semuanya lepas ke atmosfer (Waring & Schlesinger, 1985 dalam Schroeder et al., 1993). Penelitian yang selama ini belum dilakukan sebagai dampak kebakaran adalah daya pemulihan alami stok karbon hutan setelah beberapa tahun hutan terbakar. Pengetahuan daya pulih karbon hutan pascakebakaran sangat penting diketahui untuk menunjukkan bahwa hutan sebagai sumber
|
daya alam terpulihkan (renewable resources) dapat diketahui kemampuan regenerasinya. Di sisi lain, pola-pola pertumbuhan pohon hutan pascakebakaran dalam bentuk model-model persamaan matematika belum banyak diketahui untuk menduga simpanan karbon pada tumbuhan hidup (standing stock). Sistem silvikultur, terutama dalam hal pola peremajaan hutan, akan dapat dipertimbangkan setelah diketahui potensi kekayaan individu dalam jenis pascakebakaran. Permudaan buatan akan diperlukan manakala jumlah individu jenis pohon berkurang setelah kebakaran. Sebaliknya, permudaan buatan tidak diperlukan apabila permudaan alam berlimpah. Kebakaran hutan dan lahan tidak saja menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2), tetapi juga adanya gas metan (CH4) yang dihasilkan secara tidak langsung, yaitu melalui proses dekomposisi. Meningkatnya GRK belakangan ini telah menyebabkan bumi menghadapi masalah efek rumah kaca. Efek rumah kaca merupakan suatu kondisi meningkatnya panas bumi akibat meningkatnya gas-gas di atmosfer, yaitu CO2, CH4, CFC, PFC, N2O, dan lain-lain. Meningkatnya gas-gas tersebut di atmosfer menghasilkan peningkatan suhu bumi antara 4–6,4oC. Karbon dioksida merupakan gas yang terbanyak porsinya dalam GRK (80%) dan berasal dari pembakaran bahan-bahan fosil, seperti minyak bumi dan batu bara, serta kerusakan hutan (Gambar 16).
Gambar 16. Sumber-sumber emisi gas rumah kaca di bumi (Stern, 2007)
|
Kerusakan hutan dapat terjadi akibat konversi hutan menjadi areal nonhutan dan kebakaran hutan. Padahal, satusatunya organisme yang dapat memfiksasi CO 2 dari udara adalah tumbuhan hijau, termasuk tumbuhan hutan melalui proses fotosintesis. Akibat banyaknya gas-gas tersebut, radiasi sinar matahari yang tembus ke permukaan bumi banyak yang tidak dilepaskan kembali ke atmosfer karena terhalang oleh GRK. Dengan demikian, radiasi yang seharusnya keluar dari permukaan bumi ternyata dikembalikan lagi ke bumi sehingga bumi menjadi panas (global warming). Dampak pemanasan bumi akan sangat banyak, namun yang utama adalah mencairnya es di kutub yang dapat mengakibatkan volume air laut meningkat sehingga banyak pulau yang akan tenggelam. Di sisi lain, berbagai penyakit akan banyak timbul dan mengganggu kesehatan manusia.
Gas methan (CH4) dari dekomposisi
Gambar 17. Dampak kebakaran hutan terhadap emisi gas rumah kaca
Nama-nama lengkap senyawa GRK lain yang ikut berkontribusi dalam efek rumah kaca adalah methane (CH4), nitrouse oxide (N2O), hydrofluorocarbon (HFC), perfluorocarbon (PFC), dan sulfurehexafluoride (SF6) (KLH, 2004; Kirsfianti et al., 2009). Kebakaran tahun 1997/1998 dari selu-
|
ruh hutan Indonesia diperkirakan menghasilkan karbon teremisi sebanyak 27,21 ton (karbon organik) atau menghasilkan emisi CO2 sebesar 99,77 ton (Glovers & Yessuf, 1999). Dampak kebakaran hutan terhadap emisi karbon diilustrasikan pada Gambar 17. Akibat meningkatnya gas-gas rumah kaca di atmosfer, konferensi para pihak (Conference of the Parties) yang ke-3 (COP 3) dari United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Kyoto tahun 1997 menyepakati bahwa hutan harus dipertahankan dan yang rusak perlu dihutankan kembali (reboisasi). Konferensi yang dihadiri oleh 160 negara telah menyepakati bahwa tanaman hasil reboisasi dan penghijauan disebut sebagai carbon sink. Berdasarkan hasil pertemuan ini, setiap negara berkembang berkesempatan untuk menjual karbon hutan hasil reboisasinya melalui proyek Aforestation and Reforestation-Clean Development Mecanism (AR-CDM). Untuk itu, komitmen antarbangsa terjadi untuk mereduksi emisi karbon melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan (Kiyoshy et al., 2001). Namun sepanjang masa komitmen tersebut, Indonesia belum berhasil memperoleh dana kompensasi CDM. Padahal, batas kesepakatan AR-CDM telah berakhir pada tahun 2012. Dalam rangka mengantisipasi ketidakberhasilan pelaksanaan komitmen, Indonesia mengusulkan pola baru untuk mengurangi emisi karbon melalui pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Negara-negara industri wajib membayar dana kompensasi aktivitas pengurangan emisi dari penghilangan hutan dan penurunan fungsi hutan. Usul ini dilakukan oleh Indonesia bersama negara-negara berkembang untuk memperoleh dana kompensasi mempertahankan hutan dan penghutanan kembali melalui pola Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) pada acara COP 13 di Bali, Desember 2007. Pertemuan yang dihadiri oleh 189 negara dan 9.000 utusan tersebut memerlukan waktu 10 hari untuk menindaklanjuti hasil COP 3 dan merencanakan kelanjutan pertemuan di Kopenhagen, Denmark. Pada awalnya, komitmen tersebut berisi kesepakatan untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5% dari emisi tahun 1990 hingga tahun 2008. Negaranegara berkembang dapat menjual jasa hutannya kepada
|
negara-negara industri yang tergolong negara Annexe I melalui tiga cara, yaitu Emission Trading (ET), Joint Implementation (JI), dan Clean Development Mecanism (CDM). Pada Protokol Kyoto, cara perolehan bantuan tersebut cukup jelas. Sebaliknya, tanda-tanda yang menunjukkan mekanisme kompensasi REDD pada COP 13 belum jelas. Namun, adanya dana kompensasi pola REDD secara umum telah disepakati konferensi dan negara berkembang yang memiliki hutan yang luas dapat mengusulkan dana kompensasi tersebut kepada negara-negara maju atau negara industri dalam upaya REDD. C. Dampak Kebakaran terhadap Produktivitas Tanaman Pola pembukaan lahan dengan cara dibakar telah memberikan dampak terhadap produktivitas lahan dan tanaman. Pembukaan dan pembersihan lahan dengan dibakar pada pembangunan hutan tanaman industri (HTI) Gmelina arborea menghasilkan gulma dominan alang-alang terbanyak disbandingkan dengan persiapan lahan pola bersih buldoser dan tebang jalur sehingga setelah tanaman tumbuh menjadi sangat rawan kebakaran (Hendromono, 1996). Walaupun demikian, pembukaan lahan pola tebas bakar ternyata diketahui menghasilkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman lebih cepat dibandingkan dengan pola bersih buldoser dan tebang jalur. Data tersebut diperoleh dari percobaan tanaman setelah berumur sembilan bulan di Muara Dua, Inhutani V, Kabupaten Lampung Utara (Hendromono, 1996). Kajian Noor (1997) menyimpulkan bahwa kebakaran dan pertanian/perladangan tebas bakar telah menurunkan produksi panen padi sekitar 40–80% dari hasil panen potensial atau hasilnya hanya mencapai 20–60% gabah kering giling (GKG) dalam kurun waktu 10–15 tahun. Studi ini dilakukan di Desa Banyiur, Desa Babat Raya dan Desa Kolam Kanan di Kalimantan Selatan. Di Desa Babat Raya, kerusakan lahan gambut menjadi lebih parah akibat pembakaran. Sejak tahun 1993 hingga masa tanam tahun 1995, lahan produktif yang menjadi lahan tidur diperkirakan sekitar 216 ha. Data lain juga diperoleh dari petani Desa Kantan di Kalimantan Tengah yang
|
menyebutkan bahwa pada masa tanam 1996 terdapat 400 ha pesawahan tidak dapat lagi ditanami akibat sistem tebas bakar. Berdasarkan data di atas, sebenarnya telah nampak bahwa persiapan lahan pola tebas bakar berakibat buruk bagi petani itu sendiri. Namun, penurunan tersebut sering tidak dihiraukannya. Mereka hanya melihat pola tebas bakar dari sudut kepraktisannya. Data degradasi lahan ini ternyata ditambah lagi dengan dampak negatif lain dari pembakaran, yaitu mendangkalkan lapisan pirit dan hilangnya lapisan atas gambut yang subur. D. Dampak Kebakaran terhadap Kesehatan Dampak asap telah menimbulkan gangguan kesehatan, seperti infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), asma bronchial, bronkitis, pneumonia, serta iritasi mata dan kulit. Hal ini terjadi akibat tingginya kadar debu di udara yang telah melampaui ambang batas. Gangguan asap selama 2–3 bulan telah meningkatkan kasus kejadian ISPA. Sebagai contoh, kebakaran pada tahun 2002 di Kalimantan Tengah telah menyebabkan lebih dari 2.800 orang berobat ke rumah sakit dan puskesmas akibat menderita ISPA. Kabut asap yang menyelimuti kota Jambi bulan September 2006 yang membuat jarak pandang terbatas 200–250 m juga telah menyebabkan timbulnya penderita penyakit ISPA sebanyak 10.000 orang. Penyakit lain yang telah terbukti dapat diakibatkan oleh kebakaran adalah asma bronkial, bronkitis, radang paru-paru, iritasi mata dan kulit (Lamuru, 2002). Kerugian yang diakibatkan kebakaran hutan dan lahan di bidang kesehatan tahun 1997/1998 sebesar US$145 juta (Bapenas, 1999 dalam Barber & Schweithelm, 2000). Dampak pencemaran udara terhadap kesehatan masyarakat tergantung pada jenis atau komposisi kimianya, sifat dampak yang ditimbulkan (sistemis atau nonsistemis), dan proses kejadiannya (akut atau kronis). Selain berisikan molekul-molekul biomassa yang mengalami rearrangement, asap (smoke) juga dapat berupa karbon. Potensi bahaya kesehatan akibat partikel tergantung diameternya. Partikel
|
asap yang sering berbahaya adalah yang berukuran hingga 10 mikron (PM10). Selain trace metals dan karbon, partikel pembakaran kayu diduga pula mengandung kalium yang dikelompokkan sebagai pencemar. Dampak polusi udara akibat kebakaran hutan terhadap kesehatan dapat diklasifikasikan akut dan kronis. Kabut asap dapat menyebabkan iritasi, fibrosis, asfiksia (dada sesak), karsinogenik (menyebabkan kanker), alergi, dan keracunan. Beberapa uraian dampak tersebut, yaitu: 1. Iritasi; senyawa SO2 dan NOx dapat menyebabkan iritasi sistem pernapasan seperti faringitis, tracheitis, dan bronkitis. Kabut asap juga dapat menyebabkan pneumonia asthmatic. 2. Fibrosis; partikel silika dan formaldehyde yang terbentuk dari pembakaran batu bara dan kayu berpotensi merusak sistem mukosa sel dan dapat menyebabkan bronkitis kronis, emfisema, dan pneumoconiosis. 3. Asfiksia; kebakaran hutan akan menghasilkan gas CO2 sebagai polutan yang dapat menyebabkan asfiksia dan hypoxia. 4. Karsinogenik; pembakaran kayu dan batu bara akan menghasilkan gas aromatik hidrokarbon yang dapat menyebabkan kanker. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya penanggulangan bencana kabut asap, antara lain melalui manajemen polusi udara (Nukman, 1998). Monitoring kabut asap akibat kebakaran hutan telah dimulai sejak tahun 1997, terutama setelah maraknya kasus radang paru-paru, pembatalan penerbangan di ibukota provinsi yang terkena kabut asap, dan keluhan dari negara tetangga. Sejak itu, setiap kepala unit kesehatan provinsi diwajibkan memonitor polusi udara dan mengirim laporan ke Pusat setiap minggu. Mereka harus memonitor setidaknya lima parameter udara, yaitu SO2, CO, NOx, O3, dan debu. Sayangnya, tidak semua provinsi memiliki peralatan yang lengkap. Oleh sebab itu, parameter yang menjadi prioritas dilaporkan pada saat itu adalah debu yang nampak tinggi kandungannya sehingga kebanyakan divisi
|
lingkungan pada unit pelayanan kesehatan provinsi hanya melaporkan Total Suspended Particle (TSP). Hubungan antara tingkat indeks kualitas udara dengan tindakan yang diperlukan dapat dilihat dalam Tabel 14. Tabel 14. Hubungan antara tingkat indeks kualitas udara dengan tindakan yang diperlukan Particle Suspended Kategori Index (PSI)
Dampak Kesehatan
Peringatan dan Tindakan
>400
Sangat berbahaya
Mengancam Dilarang keluar kesehatan rumah dan jendela manula, balita, rumah harus ditutup dan wanita Dibolehkan keluar hamil rumah dengan Gejala gangguan kendaraan ber-AC kesehatan mulai Menyiapkan ruang dirasakan bebas polusi
300–339
Berbahaya
Kondisi orang Penderita ISPA sakit membuditempatkan pada ruk mudah lelah ruang bebas polusi Kegiatan perkantoran dapat berlangsung di ruang ber-AC dan bebas polusi Manula, balita dan wanita hamil tinggal di rumah
200–299
Tidak Sehat
Meningkatnya gejala serangan jantung dan ISPA Peningkatan gejala iritasi ISPA (>2 kali dari normal)
Meminimalkan aktivitas di luar rumah Mengurangi aktivitas fisik penderita serangan jantung dan ISPA Menyiapkan ruang penanganan medis bagi penderita ISPA
101–199
Cukup
Gejala iritasi Meningkatnya gejala bagi penderita iritasi
Penggunaan masker ketika beraktivitas di luar ruangan
|
Particle Suspended Kategori Index (PSI)
Dampak Kesehatan
Peringatan dan Tindakan
51–100
Moderat
Tidak ada dampak
Tidak penting
<50
Sehat
Tidak ada dampak
Tidak penting
Sumber: Nukman (1998)
E. Dampak Kebakaran terhadap Sosial dan Ekonomi Gangguan asap kebakaran yang parah terhadap kelancaran transportasi pernah terjadi di Kalimantan Tengah pada tahun 2002 (Gambar 18 dan 19). Gangguan asap kebakaran telah memperpendek kemampuan jarak pandang para pengemudi kendaraan bermotor menjadi 10 m dengan partikel debu yang mencemari udara sudah di atas 1.000 pm (partikulat meter). Padahal, ukuran toleransi kesehatan partikel debu yang mencemari udara maksimal 300 pm. Kondisi tersebut telah melumpuhkan semua kegiatan ekonomi, pelayanan pemerintah, dan sekolah di Kalimantan Tengah. Kebakaran tersebut juga terjadi pada lahan-lahan tidur dan lahan pertanian. Akibat asap yang terjadi, banyak jadwal transportasi darat, air, dan udara dibatalkan. Kebakaran telah menyebabkan hilangnya tumbuh-tumbuhan yang bernilai ekonomi tinggi, meningkatnya kebutuhan biaya pengobatan masyarakat, menurunnya produktivitas industri dan perkantoran, dan anjloknya bisnis pariwisata. Dengan demikian, kebakaran telah menghilangkan mata pencaharian, rasa keamanan, dan keharmonisan masyarakat lokal. Data Bappenas (1999) dalam Barber & Schweithelm (2000) menunjukkan bahwa kerugian akibat kebakaran hutan dan lahan tahun 1997/1998 sebesar US$33 juta pada sektor transportasi dan US$111 juta pada sektor pariwisata.
|
Gambar 18. Papan tingkat kerawanan pencemaran udara (rri.co.id)
Gambar 19. Kabut asap mengganggu kesehatan (kompasiana)
|
A. Pencegahan Keberhasilan pengelolaan kebakaran sangat ditentukan oleh kegiatan pencegahan terjadinya kebakaran yang efektif. Upaya-upaya berbagai kalangan, khususnya pemerintah, dalam menanggulangi bahaya kebakaran di Indonesia telah banyak dilakukan. Pada prinsipnya, upaya penanggulangan kebakaran [termasuk pencegahannya] harus memerhatikan sifat-sifat api dan kebakaran, serta permasalahannya yang saling terkait satu dengan lainnya. Umumnya, api yang terlanjur besar dan luas sangat sulit dikendalikan, apalagi dipadamkan. Api hanya padam jika bahan bakar telah habis atau terjadi penurunan temperatur secara serentak akibat turun hujan. Keberhasilan kegiatan pencegahan kebakaran ditentukan oleh beberapa tahapan aksi. 1. Deteksi Dini Kebakaran Aktivitas pertama yang dilakukan dalam penanggulangan kebakaran adalah melakukan deteksi dini. Aktivitas deteksi dini sangat menentukan keberhasilan pemadaman pada saat api telah terjadi. Deteksi dini memiliki ruang lingkup bagaimana gejala dan tanda peristiwa kebakaran hutan dapat diketahui secara dini. Data dasar sebagai bahan pengambil keputusan dapat diperoleh melalui patroli darat, patroli air, patroli udara, atau menggunakan data satelit. Patroli darat biasanya dilakukan dengan cara mengelilingi areal (hutan atau lahan) menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. Patroli air biasanya dilakukan melalui sungai-sungai yang masih berair di musim kemarau. Patroli udara dilakukan dengan menggunakan pesawat helikopter. Sementara itu, perolehan data satelit dilakukan dengan menggunakan data titik panas (hotspot) melalui perangkat komputer dalam kon-
|
disi online. Deteksi dini akan berjalan baik apabila dilengkapi dengan sistem informasi yang efektif dan cepat. Deteksi dini dapat menentukan pengambilan keputusan kesiapsiagaan penanggulangan kebakaran hutan. Deteksi yang akurat akan membantu tahap pemadaman kebakaran dan tahap penanganan pascakebakaran yang tepat. Pada pelaksanaan di lapangan, keakuratan proses deteksi akan menentukan alokasi dana, kelancaran operasi pemadaman, dan kebutuhan investigasi dalam kasus pelanggaran hukum lingkungan. 2. Analisis Penyebab dan Permasalahan Kebakaran Hutan Analisis permasalahan kebakaran diarahkan pada kegiatan mendeskripsikan secara jelas masalah yang dihadapi agar dapat ditangani menggunakan sumber daya yang tersedia secara paling efisien. Untuk mencegah kebakaran, upaya pertama yang ditempuh adalah mengetahui siapa dan apa yang menyebabkan kebakaran, serta mengapa bisa terjadi kebakaran. Apabila kebakaran yang terjadi terutama disebabkan oleh manusia, kampanye pendidikan dianggap cara yang paling efektif untuk menanganinya. Apabila kebakaran akibat terlalu banyak bahan bakar, manajemen hutan dan bahan bakar merupakan prioritas utama. Kondisi bahan bakar identik dengan vegetasi dan bentuk penggunaan lahan. Oleh karena itu, hal yang harus jelas diketahui adalah bentuk kebakaran atau api apa yang masih dapat biarkan dan apa yang tidak diinginkan. Salah satu contoh analisis terkait penyebab kebakaran telah dilakukan di Kalimantan. Wilayah ini memiliki dua tipe lahan hutan, yaitu lahan kering/mineral dan lahan basah. Kedua tipe lahan tersebut memiliki karakteristik sebagai hutan hujan tropika basah yang didominasi oleh vegetasi dari Famili Dipterocarpaceae. Jenis-jenis dalam famili tersebut yang terdapat di lahan kering, antara lain meranti (Shorea spp.), hopea (Hopea spp.), resak (Vatica spp.), keruing (Dipterocarpus spp.), kapur (Dryobalanops sp.), dan mersawa (Anisoptera spp.). Sementara itu, jenis-jenis di hutan rawa gambut yang umum ditemui adalah gerunggang (Cratoxylum arborescens), perepat (Combretocarpus rotundatus), punak (Tetramerista
|
glabra), ramin (Gonystilus bancanus), pulai (Alstonia pneumatophora), perupuk (Lophopetalum javanicum), sonte (Palaquium letocarpum), meranti rawa (Shorea pauciflora), jelutung (Dyera polyphylla), damar (Agathis bornensis), gelam (Melaleuca leucodendron), belangiran (Shorea belangiran), terentang (Camnosperma auriculatum), dan lain-lain. Komunitas hutan di Kalimantan, baik lahan kering maupun lahan basah, memiliki karakteristik masing-masing dalam risiko terhadap kebakaran. Banyak komunitas hutan di lahan kering telah terdegradasi menjadi semak belukar beralang-alang. Bahkan, jenis alang-alang telah mendominasi pada kebanyakan areal tersebut. Lahan alang-alang sangat mudah terbakar pada musim kering, apalagi jika berdekatan dengan kegiatan perladangan. Sementara itu, karakteristik yang menonjol pada lahan gambut adalah adanya lapisan gambut dan vegetasi pakuan (Neprolevis sp.) yang apabila kering akan mudah terbakar disertai asap tebal akibat pembakaran tidak sempurna. Berbeda dengan api di lahan kering, api gambut umumnya sering masuk ke bawah permukaan tanah. Salah satu contoh penelitian penyebab atau penyulut kebakaran di Kalimantan disajikan pada Tabel 15. Tabel 15. Sumber-sumber api kebakaran pada Hutan Penelitian Riam Kiwa di Kalimantan Selatan No.
Sumber Api
1.
Pembersihan lahan Perladangan Peremajaan rumput ternak Pemancing ikan
2. 3. 4. 5.
Pembakaran sisa panen Penyebab lain
Persentase Kejadian 80%
Dampak
1%
Banyak terjadi api liar masuk ke areal hutan Api sering masuk ke areal hutan tanaman Sering menjadi penyebab api liar Banyak terjadi api liar
6%
Banyak terjadi api liar
10% 3%
Sumber: Hasil pengamatan tahun 2003–2004 (Akbar, 2004)
Selain sumber api, banyak faktor pendukung terjadinya kebakaran di Kalimantan, antara lain 1) musim kemarau pan-
|
jang yang hampir datang setiap dua tahun, 2) kondisi hutan alam ideal yang lembab dengan bahan bakar bawah jarang semakin berkurang, 3) banyaknya lahan kritis yang didominasi alang-alang, 4) belum tertanamnya kesadaran lingkungan dari masyarakat yang berhubungan dengan kebakaran hutan, 5) masih sangat minimnya peralatan pemadam sederhana di tingkat masyarakat desa, dan 6) masih lemahnya koordinasi pencegahan kebakaran di tingkat operasional, seperti di kabupaten/kota, kecamatan, dan desa. Contoh lain analisis terkait penyebab kebakaran dan permasalahannya adalah di Sumatera, sebagaimana hasil seminar tahun 2001. Seminar tersebut membahas upaya mencari tahu akar penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan. Ternyata, kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia masih belum menyentuh akar permasalahan dan strategi penanggulangan kebakaran masih berfokus pada manajemen pemadaman. Padahal, akar penyebab kebakaran hutan dan lahan semakin kompleks, termasuk sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Penegakan hukum pun masih lemah untuk menindak para pelaku pembakaran. Menurut Chandler et al. (1983), keberhasilan pencegahan kebakaran tergantung pada penggunaan tiga “E”, yaitu Educations, Enforcement, dan Engineering. Selanjutnya, kombinasi perencanaan yang baik harus didesain untuk menekankan bahwa sesungguhnya apilah yang menyebabkan kerusakan terparah, sekalipun di dalam areal perlindungan. Motif penggunaan api untuk memperoleh keuntungan ekonomi merupakan penyebab utama terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Sumatera. Hal ini termanifestasikan dalam beberapa cara, antara lain: a. Membakar dianggap cara yang paling mudah dan murah dalam kegiatan persiapan lahan. b. Kegiatan pembalakan kayu yang memicu ketersediaan bahan bakar potensial alami sehingga meningkatkan kerawanan kebakaran di dalam hutan. c. Penggunaan api dijadikan sebagai cara yang paling murah dan efektif dalam solusi konflik sosial, terutama masalah konflik kepemilikan lahan antara berbagai pihak terkait.
|
Sebagai contoh, terdapatnya kerentanan konflik kepemilikan lahan dalam pembangunan HTI dan perkebunan kelapa sawit. Di beberapa lokasi, konflik perebutan lahan tersebut sering memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan di areal tersebut. Berbagai informasi dan fakta yang telah dicontohkan sebelumnya menunjukkan bahwa terdapat banyak hambatan dan kendala dalam pelaksanaan pengamanan kebakaran hutan, antara lain: a. Belum terlaksananya koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi dari seluruh stakeholder. b. Persepsi tentang kebakaran hutan masih belum sama sehingga terkesan bahwa penanganan kebakaran adalah tugas institusi yang menangani kebakaran hutan saja. c. Tugas penanganan kebakaran hutan dianggap sebagai tugas tambahan atau sampingan sehingga masih kurang mendapat perhatian, baik dalam menyediakan fasilitas maupun pendanaan. Indikator tersebut nampak pada institusi pemerintah dan swasta (HTI dan HPH). d. Penyusunan rencana kerja tahunan belum komprehensif; baik terkait jadwal waktu, kegiatan, maupun pengadaan sumber daya manusia untuk mengantisipasi bahaya kebakaran. Padahal, potensi bahaya kebakaran telah diketahui akan terjadi dan harus segera diantisipasi. e. Penanganan kebakaran belum melibatkan masyarakat sekitar hutan, sedangkan pemerintah belum berhasil menanamkan kesadaran masyarakat bahwa pembukaan lahan dengan membakar bermasalah bagi kehidupannya. f. Prosedur tetap (Protap) atau Standard Operational Procedure (SOP) belum dibuat sehingga sering terjadi ketidaktahuan petugas tentang fungsi dan apa yang harus dilakukan saat terjadi kebakaran. g. Sistem informasi kebakaran belum berjalan baik sehingga seringkali terjadi keterlambatan dalam menangani suatu kejadian kebakaran.
|
h. Ketersediaan data, baik mengenai kerawanan maupun aset yang harus diamankan, belum tertangani dengan baik sehingga menghambat penyusunan skala prioritas. i. Tanggung jawab para investor dirasakan belum serius dalam menangani kebakaran, terutama dalam mengamankan areal kerjanya. j. Peralatan pemadam sederhana di tataran desa masih belum ada, kecuali desa-desa binaan. k. Penerapan sanksi hukum belum diterapkan dengan tegas sehingga pelanggar pembakaran masih merasa aman untuk beraksi. l. Budaya masyarakat yang biasa melakukan cara bertani dan beternak dengan pembakaran masih sulit dihentikan, terutama petani ladang di luar Pulau Jawa. m. Sarana dan prasarana, serta pendanaan masih sangat terbatas. n. Sistem monitoring dan evaluasi, serta pengawasan dampak lingkungan (wasdal) masih lemah. Hambatan dan kendala dalam pelaksanaan pengamanan kebakaran hutan membutuhkan solusi penanggulangan yang mampu memberdayakan seluruh sumber daya yang tersedia. Menurut Marbyanto (2004), salah satu cara menanggulangi kebakaran hutan adalah dengan cara Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat (PKBM). Biasanya, banyak masyarakat berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran sehingga mereka sangat potensial untuk melakukan serangan dini (initial attack) dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Pemadaman dini ini sangat penting dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran berskala besar. Tentunya, pemahaman dan prosedur pemadaman dini berbasis masyarakat harus terus dibina oleh lembaga terkait yang mengurus masalah kebakaran hutan dan lahan. Keberadaan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) di empat wilayah provinsi di Sumatera (Sumatera Utara, Riau, Jambi, dan Sumatera Selatan) merupakan salah satu contoh untuk meningkatkan keamanan dari bahaya
|
kebakaran hutan di wilayah tersebut. Sesuai SOP, lembaga ini tidak hanya bertugas melakukan pemadaman api yang telah terjadi, tetapi juga melakukan kegiatan pencegahan terjadinya kebakaran. Strategi latihan dan kunjungan ke desa-desa telah menjadi cara yang paling efektif untuk membangun kesadaran masyarakat dalam menghindari kebakaran dan melakukan pemadaman dini api liar. Mekanisme pembentukan regu-regu api di desa sesungguhnya dapat mengikuti perpaduan antara kearifan lokal dengan teknologi modern (Gambar 20).
Gambar 20. Teknik pembentukan regu pengendali kebakaran hutan dan lahan di desa dan kampung
Kegiatan analisis permasalahan kebakaran telah dilakukan oleh lembaga-lembaga pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah/Provinsi. Dalam hal ini, Brigdalkarhut Provinsi bersama dengan Dinas Kehutanan Provinsi yang tergabung dalam Satuan Koordinasi dan Pelaksana
|
(SATKORLAK) Penanggulangan Bencana berfungsi sebagai Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Pusdalkarhutla) Daerah. Kegiatan analisis tersebut menjadi masukan bagi Pusat Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan (Pusdalopkarhut) [sebelumnya berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam] yang menjadi Pusat Pengendalian Operasi Penanganan Kebakaran Hutan Indonesia (Pusdalops) [tingkat nasional] dan berkedudukan di Jakarta. Pada tingkat operasional, peranan Brigdalkarhut mengakomodir semua masukan permasalahan dari Daerah Operasi Pengendalian Kebakaran Hutan (Daops) di tingkat kabupaten untuk selanjutnya disampaikan ke Pusdalopkarhut. Permasalahan yang timbul sebelumnya didiskusikan terlebih dahulu di tingkat provinsi, walaupun pelaksanaannya tidak secara berkala. Untuk permasalahan yang menuntut peralatan sarana dan prasarana pemadaman, pengelola tingkat provinsi umumnya masih mengandalkan sepenuhnya bantuan Pusat. Atas dasar masukan masalah itulah Pusdalopkarhut mengadakan peralatan, baik menggunakan dana pemerintah pusat maupun melalui kerja sama dengan negara asing. Sejak terjadinya kebakaran hutan dan lahan, khususnya di Kalimantan, perhatian Pemerintah Indonesia dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan telah meningkat. Departemen Kehutanan [kini bernama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan] telah mengeluarkan berbagai peraturan terkait permasalahan kebakaran hutan. Peraturan-peraturan yang telah dibuat oleh Pemerintah Pusat telah ditindaklanjuti pula oleh Pemerintah Daerah, salah satunya dengan dibuatnya Peraturan Daerah (PERDA) mengenai pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Peraturan terbaru terkait pengendalian ini pun kini telah disusun dan mulai diberlakukan sebagai penyesuaian dinamika kejadian kebakaran hutan dan lahan [selanjutnya akan dibahas pada bagian lain dalam buku ini]. Dalam hal pengendalian atau pengelolaan kebakaran hutan di berbagai daerah, pemerintah juga telah menjalin kerja sama dengan lembaga-lembaga luar negeri. Mitra kerja sama tersebut antara lain 1) Pemerintah Jerman melalui Integrated Forest Fire Management Project (IFFMP) dari Gesellschaft fur
|
Technische Zusammennarbeit (GTZ), 2) Uni Eropa melalui South and Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) dan South Sumatera Forest Fire Management Project (EUSSFFMP), dan 3) Jepang (JICA) melalui Forest Fire Prevention Management Project (FFPMP). Kerja sama IFFMP telah dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Timur pada tahun 1994–2004; SCKPFP dilaksanakan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah dan berakhir tahun 2005; FFPMP dilaksanakan di Jambi dan Kalimantan Barat pada tahun 1996–2001 (Phase I) dan 2001–2006 (Phase II); sedangkan EU-SSFFMP dilaksanakan di Sumatera Selatan pada tahun 2003–2008. Berdasarkan permasalahan yang ada, beberapa rencana strategis telah disusun melalui kerja sama luar negeri dalam pengelolaan kebakaran. Rencana strategis tersebut antara lain: a. Pengembangan sumber daya manusia bidang pengelolaan kebakaran hutan dan lahan. b. Pengembangan standarisasi sarana dan prasarana penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. c. Pengembangan sistem operasional pemadaman kebakaran hutan dan lahan. d. Fasilitasi pengembangan organisasi penanggulangan kebakaran hutan dan lahan. e. Penyusunan rencana mobilisasi pemadaman kebakaran hutan dan lahan. f. Pengembangan Incident Command System (ICS). g. Pengembangan konsep dan fasilitasi kegiatan penyuluhan, pelatihan, kampanye, dan penyediaan media kampanye pencegahan kebakaran hutan. h. Pengembangan konsep teknis pencegahan kebakaran. i. Pengembangan konsep pengelolaan kebakaran hutan berbasis masyarakat. j. Pengembangan konsep pendidikan lingkungan.
dalam
memfasilitasi
kegiatan
k. Pemantauan hotspot dengan menggunakan satelit NOAAAVHR.
|
l. Pengembangan sistem peringatan dini (Early Warning System) melalui penentuan indeks tingkat bahaya kebakaran dan tingkat siaga. m. Pengembangan peta rawan kebakaran di setiap wilayah provinsi di Kalimantan. 3. Pendidikan Kebakaran Hutan untuk Masyarakat Kampanye pencegahan kebakaran kepada masyarakat umum dilakukan dengan mengondisikan pada pandangan bahwa kebakaran hutan merupakan ancaman serius terhadap kesejahteraan nasional. Walaupun api hutan jarang menyebabkan bahaya langsung terhadap kepemilikan warga kota yang populasinya terus meningkat akibat urbanisasi, bahaya kebakaran telah menyebabkan gangguan kesehatan dan kerugian ekonomi. Oleh sebab itu, opini publik yang faktual merupakan hal yang penting dalam upaya menurunkan jumlah api dan risiko kebakaran akibat manusia. Pencegahan akan tercapai secara baik jika menggunakan keahlian dalam membuat pengumuman pada media massa, baik media cetak maupun elektronik. Berdasarkan pengalaman beberapa negara, upaya untuk memengaruhi opini publik tentang api hutan dapat dilakukan melalui kreasi dan rekayasa simbol pencegahan kebakaran hutan. Sebagai, contoh, penggunaan simbol atau karakter beruang hutan Smokey (Smokey Bear Forest) di Amerika Serikat (Morrison, 1976). Beruang Smokey dengan topi dan jean cowboy-nya lahir pada tahun 1945 sebagai sebuah karakter poster yang dibuat Dewan Penasehat Iklan Wartime (Wartime Advertising Council) dalam upaya mengurangi jumlah kebakaran hutan. Smokey menjadi suatu figur terkenal dari cerita sejarah penemuannya di New Mexico dan melekat dalam memori publik pada musim semi tahun 1950. Oleh sebab itu, Pemerintah New Mexico memutuskan bahwa sejarah dan gambar beruang muda akan menjadi simbol yang baik untuk pesan pencegahan kebakaran. Kisah tersebut pun diadopsi oleh Dinas Pelayanan Telegram Nasional dan masyarakat di seluruh Amerika Serikat mulai mengirim kartu dan pesan. Selain itu, simbol Smokey juga diadopsi Washington DC dan dipertun-
|
jukkan dengan upacara oleh senator senior dari New Mexico kepada Direktur Kebun Binatang Nasional sebagai hadiah kepada anak-anak sekolah di Amerika. Penggunaan beruang Smokey dengan tujuan utama untuk pencegahan kebakaran hutan memuat pula pesan bahwa ketidakhati-hatian dapat menyebabkan 9 dari 10 api hutan akan muncul sebagai kebakaran, dan hanya anda yang dapat mencegah api hutan. Pesan singkat, langsung, dan esensinya tidak berubah selama 40 tahun tersebut mudah dikenal secara umum dan diingat secara luas oleh semua segmen populasi masyarakat (>90%) di Amerika Serikat pada tahun 1968. Sukses peluncuran karakter beruang Smokey sebagai simbol pencegahan kebakaran hutan diikuti pula oleh beberapa negara di dunia. Simbol dan negara-negara tersebut, antara lain koala (Australia), kelinci (Spanyol), hedgehog (Perancis), srigala (Chile), tikus (Rusia), beaver (Alberta), chipmunk /garofeu (Quebec), kijang/antelope (Mozambique), rusa jantan/stag (Turki), dan beruang Simone (Mexico). Indonesia pun kini telah menggunakan karakter orangutan Sipongi sebagai simbol pemadam kebakaran hutan dan lahan. Sekalipun opini publik menjadi syarat mutlak kunci keberhasilan pencegahan kebakaran; perencana perlu juga mengetahui siapa yang memulai api, di mana mereka memulai, kapan mereka memulai, dan mengapa mereka membuat api. Oleh sebab itu, laporan yang komprehensif dan objektif harus dibuat. Untuk memperoleh data statistik sebagai bahan analisis pencegahan yang komprehensif, laporan harus memerhatikan: a. Penentuan penyebab yang pasti dari setiap kejadian api. Apabila yang dianalisis tidak pasti, hasil analisis tidak akan efektif. b. Standar sistem pelaporan harus objektif atau tidak dimodifikasi dalam jangka waktu lama, misalnya lima tahun. Amerika Serikat memodifikasi laporan yang baku hanya satu kali dalam satu dasawarsa. Sistem laporan yang telah diadopsi Amerika Serikat berasal dari National Fire Protection Association tahun 1981. Sistem laporan setiap kejadian api atau kebakaran memerlukan 24 perihal. Selain itu, terdapat 18
|
perihal tambahan yang disarankan dalam setiap laporan semua lembaga perlindungan api hutan. Tabel 16. Data laporan kejadian api atau kebakaran yang memuat perihal utama dan perihal tambahan A. Hal-Hal Utama Identifikasi Kebakaran 1. Nama Lembaga : 2. Jumlah Kebakaran : Lokasi Kebakaran : 3. Negara (state) : 4. Kabupaten (County) : 5. Garis lintang dan garis bujur (koor- : dinat lokasi) 6. Klas kepemilikan (perorangan, peru- : sahaan, pemerintah) Faktor Penyebab 7. Peralatan yang termasuk mendukung : terjadinya inisiasi untuk memulai api 8. Bentuk panas dalam pemanasan awal : (lidah api, panas permukaan) 9. Bentuk bahan bakar saat api terjadi : (kayu, kertas, rumput kering/hay) 10. Faktor pemanas awal (kondisi alami, : kesalahan mekanis, salah penggunaan) Faktor Demografi 11. Umur orang yang bertanggung : jawab dalam api awal 12. Jenis kelamin orang penyebab : 13. Katagori orang penyebab (pengun: jung, musiman, penduduk tetap) 14. Aktivitas yang terlibat : a. Pekerjaan yang berhubungan dengan pertanian, logging, angkutan b. Rekreasi yang berhubungan dengan perburuan, pejalan kaki, camping c. Penduduk yang berhubungan dengan pembakaran tunggak, sampah pertanian. d. Pembakar rumah, dll. 15. Tanggal dan waktu terjadi inisiasi :
|
16. Tanggal dan waktu pelaporan kepada Lembaga Pemadam Kebakaran 17. Tanggal dan waktu penyerangan awal 18. Areal terbakar berhubungan dengan kawasan (bukan lahan hutan, hutan komersial, hutan nonkomersial) 19. Areal terbakar berhubungan dengan kepemilikan (perorangan, perusahaan, pemerintah) 20. Tipe bahan bakar umum pada areal terbakar (sesuai tipe FDRS) 21. Biaya total pemadaman 22. Kerugian atau kerusakan 23. Lembaga yang bertanggung jawab melaporkan statistik kebakaran 24. Nama orang yang mempersiapkan laporan B. Hal-Hal Tambahan Yang Disarankan 1. Nama Pemilik lahan 2. Hari kejadian api 3. Metode deteksi (patroli udara, patroli darat, menara/tower, oleh penduduk setempat, memondok sementara, menggunakan pesawat atau lainnya) 4. Kelas luasan a. <0,1 ha b. 0,1–3,5 ha c. 3,6–40 ha d. 41–120 ha e. 121–400 ha f. 401–2.000 ha g. >2.000 ha 5. Ukuran api awal saat diserang 6. Kelas kemiringan pada titik asal api a. 0–25% b. 26–40% c. 41–55% d. 56–75% e. >75%. 7. Aspek areal kebakaran 8. Elevasi areal terbakar 9. Sifat topografi di tempat kejadian (puncak bukit, kemiringan >1/3, kemiringan sedang, kemiringan kecil, bawah bukit, datar)
: : : : : : : : : : : :
:
: :
: : :
|
10. Metoda pemadaman awal : a. Pasukan darat dengan pemadam tangan (hand tools) b. Menggunakan tangki atau pompa c. Menggunakan bajak d. Mengunakan buldoser e. Helikopter dengan alat pemadam tangan f. Helikopter dengan tanker g. Pesawat terbang tanker 11. Sifat-sifat api dan pemadaman awal : a. Pembaraan/penyalaan kecil (smoldering) b. Api menyebar/merayap dan ada penyalaan (flame) dan asap (smoke) c. Api menyala dan menyebar (running) d. Api menyebar dan lompat (running atau spotting) e. Api yang memanaskan tajuk (torching) f. Api tajuk (crowning) g. Api tajuk yang melompat (crowning and spotting) h. Api ganas seperti badai susah diprediksi penyebarannya (erratic behavior) 12. Tingkat penyebaran saat penyerang- : an awal (diukur m/menit) 13. Tanggal dan waktu pengendalian : kebakaran 14. Peta areal kebakaran : 15. Tingkatan bentuk pemanasan saat : inisiasi a. Pasti b. Pasti dengan alasan c. Sangat mungkin d. Tidak dapat ditentukan 16. Pengaruh aktivitas yang berkaitan : 17. Nama orang penandatangan laporan : 18. Stasiun cuaca terdekat untuk info ting- : kat bahaya kebakaran
|
Menurut Nickey (1980), upaya pencegahan kebakaran pertama dilakukan pada tahun 1925–1928 di enam kota di Massachusetts. Kampanye pencegahan kebakaran juga biasa dilakukan di Perancis Selatan dan di Eropa bagian Mediterania. Suatu studi yang dilakukan oleh Pemerintah Maine menunjukkan bahwa 97% kebakaran hutan di Maine adalah akibat penduduk resmi dan 85% di selatan USA adalah akibat penduduk dari kota yang sama (Banks & Holt, 1966). Selanjutnya, hasil studi Shea (1930) dalam Bertrand & Baird, (1975) berkesimpulan bahwa: a. Tidak ada kampanye yang berhasil, kecuali melibatkan penduduk lokal. b. Komunikasi face to face dianggap paling efektif untuk mengubah sikap masyarakat. Menurut Burns & Doolittle (1973), kontak langsung dengan orang yang respek dapat mengubah sikap. c. Pembicara terbaik dalam pencegahan kebakaran adalah penduduk setempat. Aturan yang jelas dan pelatihan bagi para petugas untuk menjamin pemahaman dan penerimaan menjadi hal yang sangat penting untuk mengurangi penyebab api dari operasi kehutanan. Merokok harus dilarang dan diawasi secara terus menerus. Pemasak harus mengikuti aturan baku dan tidak ditinggalkan [api puntung rokok jarang terjadi pada kelembaban >25%]. Chain saws dan peralatan portable harus dipelihara dengan suatu aturan standar dan pengisian bahan bakarnya dilakukan di tengah lokasi. Areal penurunan dan pemuatan harus bebas dari reruntuhan bahan bakar. Sisa-sisa kayu harus dibuang dari jalan dan pinggir jalan. Kendaraan offroad harus dirawat dan dicek setiap hari sebelum melakukan perjalanan. Selanjutnya, operasi harus dibatasi atau dihentikan selama periode api sangat rawan. Khusus untuk pemburu hewan liar, bahan publikasi yang ditempelkan di toko-toko olahraga dan tempat distribusi izin perburuan merupakan salah satu cara yang cukup efektif (Folkman, 1963). Pencegahan kebakaran untuk sekolah umum pun telah diprogramkan oleh Pemerintah California.
|
4. Penegakan Hukum Kebakaran (Enforcement) Penegakan hukum merupakan metode yang berpotensi dalam pencegahan kebakaran, yaitu sejak aturan hukum dipublikasikan dan didaftarkan secara baik dan menyeluruh. Hal ini dimaksudkan untuk mendidik khalayak umum tentang keamanan kebakaran, termasuk kepada pelanggar agar mengubah perilaku merusak. Hukum yang menyebutkan bahwa setiap orang harus menjaga keamanan dari api sebenarnya sudah ada sejak abad 15 di Inggris. Lebih lanjut, hal yang penting dalam upaya penegakan hukum adalah adanya peraturan dan sosialisasinya kepada masyarakat, investigasi terhadap pelanggaran, pencarian bukti, penyelenggaraan pengadilan, dan penerapan sanksi hukum terhadap pelanggaran yang berkaitan dengan kebakaran. Dalam hal investigasi, tujuannya adalah memperlihatkan bukti fisik dan kecurigaan kepada pengadilan. Semua catatan investigasi dibuat dalam bentuk lengkap dan tidak diringkas. Investigator harus mencatat tanggal dan waktu alarm, nama dan alamat pelapor, deskripsi dan lokasi kendaraan yang berasal dari arah api. Menurut National Wildfire Coordinating Group (1978), perlengkapan yang harus disediakan ketika investigasi adalah: - Bendera yang digunakan untuk menandai dan melindungi areal asal api. - Pagar lurus sebagai latar untuk membuat skala foto bukti. - Magnet dengan daya tarik 25 kilogram. - Kamera. - Buku catatan, pensil, dan pulpen. - Kertas grafik untuk membuat sketsa. - Pengukur jarak yang terbuat dari baja. - Kompas atau GPS untuk menjamin keaslian sketsa. 5. Rekayasa Teknologi Pencegahan Kebakaran Pendidikan dan penegakan hukum akan efektif dalam hal tindakan pencegahan kebakaran yang disebabkan oleh ketidaktahuan, kelalaian, dan kejahatan. Namun, api yang terjadi
|
sering juga sebagai akibat kecelakaan atau hal tak terduga. Penyebab tersebut hanya dapat dikurangi dengan cara memodifikasi sumber inisiasi (pemanasan awal) atau bahan bakar menjadi sesuatu yang berperan sebagai reseptor pemanasan. Pottharst & Mar (1981) mengembangkan suatu model sistem dengan cara pendekatan rekayasa pada permasalahan penyebab api spesifik yang nampaknya efektif. Model tersebut memerlukan input data pada tingkat operasional yang dihubungkan dengan informasi pemanasan awal api liar. Tindakan terhadap muatan bahan bakar pada periode waktu tertentu sesuai wilayah geografis masing-masing juga menjadi pertimbangan. Selain itu, input data juga menyangkut suatu waktu berkala yang layak untuk mengidentifikasi pengaruh yang mungkin dari variasi implementasi alternatif rekayasa. Salah satu penggunaan model tersebut adalah pengujian keefektifan rem kaki yang sudah diperbaiki dan model pemasangan pembuangan dalam mengurangi jumlah kejadian api pada rel kereta api. Beberapa negara juga sudah membuat model untuk memprediksi keefektifan dari beberapa pendekatan rekayasa untuk mengurangi api akibat kendaraan. Sebagai contoh adalah modifikasi sistem pembuangan asap mesin di California. Tetapi, jika input data penyebab kebakaran tidak banyak, hal ini menyebabkan akurasi model berkurang sehingga membatasi penerapannya. Beberapa solusi rekayasa dalam masalah kebakaran telah dibuktikan sangat sederhana, seperti membalikkan permukaan kertas tutup korek api. Sementara itu, solusi rekayasa yang lainnya dianggap masih cukup rumit. Bahkan, penelitian sepuluh tahunan diperlukan hanya untuk mengembangkan penurunan penyulutan yang efektif untuk gergaji mesin dan peralatan pemompa bensin portable, seperti yang dilakukan U.S. Forest Service (1976). Namun demikian, banyak api hutan yang cukup mudah untuk diidentifikasi, seperti pada areal terbatas tepi jalan raya atau jalan kereta api, sekitar tiang listrik, dan areal perkemahan. Hasil identifikasi tersebut telah memungkinkan untuk merekayasa api dari kendaraan atau peralatan mesin melalui modifikasi bahan bakar.
|
Rekayasa pencegahan kebakaran juga dilakukan melalui pembuatan sekat bakar. Di negara yang memiliki potensi bahan bakar tinggi, penggunaan jalur sekat bakar dalam melindungi kepemilikan benda berharga telah diterapkan cukup lama, bahkan seumur dengan permukiman manusia. Agar upaya lebih efektif, sekat bakar harus terjaga bersih dari benda-benda yang berpotensi terbakar, seperti vegetasi dan sampah. Selama upah buruh murah, sekat bakar dapat dibersihkan dengan tangan dengan frekuensi satu hingga dua kali setahun. Pada daerah yang tenaga buruhnya jarang dan upahnya mahal, cara lain harus dicari agar lingkungan tetap bebas dari bahan bakar potensial. Beberapa cara yang dapat diterapkan dalam memelihara sekat bakar, antara lain: Penggunaan bahan kimia, steriland, dan herbisida jenis hormon. Bahan-bahan ini telah digunakan sejak Perang Dunia II tetapi penggunaan tersebut telah dibatasi akhirakhir ini akibat pertimbangan dampak lingkungan (Brown, 1966; Crafts et al., 1941). Pelaksanaan kegiatan penggembalaan. Cara ini dapat mempertahankan sekat bakar tetap bersih. Apabila terdapat curah hujan di musim kering (summer), sekat bakar masih layak untuk mempertahankan penutupan rumput tahunan (Halls et al., 1960). Pemberian izin sedikit penutupan bangunan dalam sekat bakar, tetapi dapat mempertahankan ketidaknyalaan tumbuhan penutup. Termasuk di dalamnya adalah pembuatan irigasi sebagai salah satu alternatif dalam membersihkan lahan tahunan. Sayangnya, irigasi cukup mahal untuk dipraktikkan, kecuali di sekitar rumah dan camp yang sudah terbangun. Penanaman areal sekat bakar dengan jenis eksotik yang secara alami tahan api atau tidak mudah terbakar. Beberapa tanaman succulent dan jenis yang berkadar garam tinggi seperti Tamarix dan Atriplex telah diuji (Nord & Green, 1977). Namun, penanaman jenis eksotik dapat menyebabkan lahan sangat padat dengan tumbuhan (sifat invasif) sehingga menjadi masalah baru di beberapa tempat. Penerapan desain reduksi bahan bakar (fuelbreak concept) untuk mengurangi biaya pemeliharaan, seperti yang dilaku-
|
kan di Amerika Serikat. Cara yang menarik dari desain ini adalah memodifikasi bahan bakar dan kondisi lingkungan. Pengujian dan operasionalisasi telah dilakukan di beberapa negara di dunia, yaitu dengan meningkatkan kelembaban bahan bakar melalui modifikasi cuaca untuk meningkatkan curah hujan (presipitation) di musim semi (spring) dan musim panas (summer). Salah satu contoh adalah menyemai awan dalam sistem badai winter yang meningkatkan salju dan telah diterima secara praktis dan operasional di banyak negara di utara Hemisphere. Cara menyemai awan (cloud seeding) dalam pencegahan kebakaran ini melibatkan proses peningkatan curah hujan dari awan kumulus. Sayangnya, penggunaan generator dalam proses tersebut tidak efektif. Demikian pula halnya dengan penggunaan pesawat terbang dan sistem aplikasi roket (rocket-applied system) masih dianggap terlalu mahal. Hanya negara di Rusia, aplikasi menyemai awan dijadikan strategi pemadaman api besar. 6. Pemantauan dan Evaluasi Titik Panas (Hotspot) Hotspot merupakan titik panas di permukaan bumi di mana titik-titik tersebut menjadi indikator adanya kebakaran hutan dan lahan (Ratnasari, 2000). Hotspot berupa parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan (Lapan, 2004). Parameter tersebut telah digunakan di Indonesia dan negara-negara lain. Filosofi terjadinya hotspot diterangkan sebagai berikut: Pada kondisi normal, temperatur kecerahan (brightnes temperature) dari pixel citra National Oceanic Atmosferic Administration-Advance Very Hight Resolution (NOAAAVHR) memiliki nilai band 3 (Tb3) selalu lebih kecil dari Tb4. Apabila nilai Tb3 lebih kecil dari Tb4, hal ini berarti terjadi anomali yang diakibatkan adanya sumber panas seperti kebakaran hutan atau dapat juga karena pengaruh kilauan matahari (sun glind). Apabila nilai Tb3 dikurangi Tb4 nilainya >20, pixel tersebut adalah hotspot.
|
Hotspot mengindikasikan lokasi kebakaran vegetasi seperti terlihat pada monitor komputer atau peta yang dicetak atau ketika dicocokkan dengan koordinatnya. Selain hotspot, terdapat istilah titik api sebagai firespot yang oleh banyak kalangan telah diusulkan bahwa sebenarnya banyak titik api tidak mengindikasikan kebakaran (Thoha, 2008). Namun bagi semua pengguna praktis, sebuah hotspot searti dengan firespot (Anderson et al., 1999). Berdasarkan hasil beberapa tahun, sensor NOAA 12 dan NOAA 14 konstan mendekati kebenaran (Thoha, 2008). Kondisi hotspot yang diterjemahkan dari data satelit NOOA-AVHR selama tahun 2007–2014 sebagaimana terdapat pada Gambar 21. Data tersebut menunjukkan bahwa beberapa provinsi yang sering menjadi unggulan penghasil hotspot meliputi Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Sumatera Utara. Hotspot di provinsi lain juga ditemui, tetapi dalam jumlah berada jauh di bawah wilayah provinsi unggulan. Warna merah dalam peta Indonesia merupakan data kumulatif titik panas atau hotspot yang terdeteksi oleh satelit. Akibat kebakaran berulang-ulang di beberapa wilayah provinsi, pemerintah saat itu [dalam hal ini Departemen Kehutanan] telah menganggap lima provinsi yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah sebagai daerah terawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Namun demikian, data bulan Agustus 2006 menunjukkan bahwa dari jumlah hotspot sebanyak 52.599 titik; wilayah Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan masing-masing telah menjadi urutan ke-6 (2.304 titik), ke-7 (628 titik), dan ke-8 (130 titik) setelah Kalimantan Barat (20.031), Kalimantan Tengah (9.854), Riau (8.826). Sumatera Utara (4654) dan Jambi (4.452) sebagai penghasil hotspot.
|
Gambar 21. Peta hotspot yang identik dengan kebakaran hutan dan lahan Indonesia tahun 2007 s/d 2014
Satelit NOAA dibuat dan diluncurkan oleh National Aeronautics and Space Administration (NASA-USA) untuk pemantau iklim dan cuaca karena sensornya dapat membedakan temperatur udara di darat dan laut (Gambar 22). Terdapat tiga satelit yang beroperasi, yaitu NOAA-12, 16, dan 17. Satelit tersebut mengunjungi tempat yang sama dua kali sehari sehingga data cukup aktual (near real time). Sumber hotspot yang dapat diakses di Indonesia antara lain Lembaga Antariksa
|
dan Penerbangan Nasional (LAPAN) dan Forest Fire Prevention Management Project (FFPMP) (MoF-JICA). Pengolahan data satelit oleh JICA yang menggunakan satelit NOAA dan HIMAWARI (GMS) menghasilkan Fire Danger Rating (FDR) dan Fire Risk yang diinformasikan [sebelumnya] oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Dirjen PHKA) Kementerian Kehutanan dalam internet website.
Gambar 22. Mekanisme perolehan data hotspot dari lapangan (Sumber: FFPMP, 2014)
Informasi dari satelit pendeteksi api biasanya masih berupa keterangan lokasi dan arah penyebaran asap. Data citra satelit NOAA merupakan data lapangan yang tertangkap
|
oleh sensor AVHR tentang temperatur permukaan tanah dengan menggunakan gelombang mendekati inframerah. Setiap titik panas menggambarkan satu pixel yang menunjukkan luasan lahan 1,1 X 1,1 km2 dan memiliki suhu minimum 3150K (420C). Mengingat resolusi gambar dari citra satelit (NOAA) sangat kasar, keterangan lokasi sangat dimungkinkan akan mengalami penyimpangan sehingga kurang akurat dalam identifikasi kebakaran hutan. Oleh sebab itu, informasi hotspot yang menjadi dasar dalam sistem peringatan kejadian kebakaran bisa menyesatkan pengambil keputusan apabila kenyataan di lapangan tidak ditemui kejadian kebakaran. Dengan demikian, pemahaman karakteristik data hotspot sangat dibutuhkan oleh berbagai stakeholder. Sistem informasi kebakaran di Kalimantan Timur telah mampu menghasilkan data hotspot menjadi lebih komprehensif karena data tersebut dilengkapi dengan data kepemilikan lahan melalui data SIG (Gambar 23). Data cuaca dan peralatan pemadam digunakan untuk menentukan tingkat bahaya kebakaran (FDRS) dengan indeks kekeringan KeetchByram. Informasi vegetasi diperoleh dari data Lansdsat Thematic Mapper, sedangkan untuk menghitung areal terbakar digunakan data Synthetic Aperture Radar (SAR). Salah satu indeks kekeringan yang dapat digunakan yaitu dengan melakukan perhitungan nilai Keetch Byran Drought Index (KBDI). Metode perhitungan KBDI tergolong sederhana karena hanya diperlukan tiga peubah untuk menghitung nilai tingkat bahaya kebakaran, yaitu a) rata-rata curah hujan tahunan dari stasiun cuaca BMKG setempat, b) temperatur maksimum, dan c) curah hujan harian. Model ini merupakan hasil pengolahan data curah hujan harian (mm), temperatur maksimum harian (C) dan curah hujan tahunan. Data tersebut dimasukkan ke sebuah spreadsheet yang menghitung nilai indeks di dalam perangkat komputer (Nicolas, 1999).
|
|
Gambar 23. Sistem Informasi Kebakaran (Sumber: IFFM, 2004)
Perhitungan nilai indeks kekeringan tersebut dikembangkan oleh Proyek Integrated Forest Fire Management (IFFM) dan telah dijadikan sutu sistem tingkat bahaya kebakaran (Fire Danger Rating Score/FDRS) untuk Kalimantan Timur berdasarkan KBDI. Dalam sistem ini, terdapat tiga tingkat bahaya kebakaran dengan batas teori tertinggi dari indeks adalah 2.000, yaitu 1) kategori rendah jika nilai indeks 0–999 (hijau), 2) kategori sedang jika nilai indeks 1.000–1.499 (kuning), dan 3) kategori tinggi jika nilai indeks 1.500–2.000 (merah). Model ini merupakan hasil pengolahan data curah hujan harian (mm), temperatur maksimum harian (C), dan curah hujan tahunan yang bersumber dari BMKG. Model tersebut sebagaimana tertera di bawah ini. (2.000 – KBDI*) x (0,9676(0,0875 x Tmax + 1,552) – 8,299) x 0,001 KBDI =
1 + 10,88(-0,00175 x Annual Rainfall) + 0,5
Sumber: Nicolas (1999); Adinugroho (2005) Yang mana: KBDI
= Keech-Byram Drought Indexs hari perhitungan KBDI harian mulai dihitung saat nilai KBDI nol, curah hujan seminggu sebelumnya berturut-turut antara 6–8 inchi (150–200 mm) atau jumlah curah hujan seminggu = 239 mm. KBDI* = Keech-Byram Drought Index hari sebelumnya Tmax = Suhu maksimum (0C) Annual Rainfall = Rata-rata curah hujan tahunan (mm)
Untuk kepentingan sistem peringatan dini (early warning system), informasi iklim dari beberapa lembaga dapat diakses melalui internet (Wibowo, 2003), seperti 1) citra satelit untuk mengamati gejala kekeringan dan terjadinya hotspot dengan satelit NOAA yang berubah setiap hari sebanyak dua kali; 2) http://www.bapedal.go.id/udaranet/ merupakan situs dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) dan setiap hari menyajikan data polusi udara untuk beberapa wilayah; 3) http://www.gov.sg/metsin/noaa.html merupakan situs meteo-
|
rologi Singapura yang memonitor dan menyajikan citra satelit GMS-Asean yang telah dimodifikasi, serta memonitor penyebaran asap dan kebakaran hutan untuk wilayah Singapura dan Indonesia setiap hari (peta asap kebakaran hutan); 4) http://bmg.cbn.net.id yang menyajikan data iklim dan cuaca harian yang diberikan oleh BMKG, juga disajikan data prakiraan cuaca termasuk peta perkiraan hujan untuk wilayah Indonesia; 5) http://smd.mega.net.id/iffm/ menyajikan data hotspot setiap hari untuk wilayah Kalimantan dan Sarawak oleh IFFM Project. Penelitian terakhir tentang hal di atas adalah Sistem Peringatan Dini untuk Manajemen Kebakaran di Kalimantan Tengah yang dilakukan oleh International Research Institute for Climate and Society, Earth Institute, Columbia University bekerjasama dengan The Center for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia and the Pacific, Institute Pertanian Bogor, Indonesia (IRI-CS and CCROM-SEAP, 2009). Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor curah hujan berkorelasi dengan jumlah hotspot pada musim kering Juni– November di Kalimantan Tengah sehingga dengan model hubungan tersebut dapat diprediksi tingkat kejadian api yang banyak dan sedikit pada dua bulan ke depan. Data yang diperoleh, pada waktunya dapat diakses secara online pada IRI data library, yaitu di http://iri.columbia.edu/maproom/fire. Selanjutnya, para pemangku kepentingan dapat mengakses indeks curah hujan di Kalimantan Tengah yang diperoleh dari satelit sehingga dapat memanfaatkan hasil prakiraan dari temperatur permukaan laut (Sea Surface Temperature/SST) untuk meramalkan risiko kebakaran 1–2 bulan ke depan. Apabila data kerawanan sudah diperoleh, selanjutnya dapat segera didistribusikan pada areal rawan kebakaran hingga ke tingkat desa. Salah satu contoh peta kerawanan kebakaran adalah yang ada di Kalimantan Tengah (Gambar 24).
|
Gambar 24. Peta kerawanan kebakaran Provinsi Kalimantan Tengah
Upaya pemantauan atau deteksi kejadian kebakaran semakin cepat sejak adanya tiga stasiun bumi penerima satelit NOAA-AVHRR. Ketiga stasiun bumi tersebut, yaitu FFPMP2JICA/PHKA di Jakarta, EU-SSFFMP di Palembang, dan IFFMGTZ di Samarinda. Melalui proses interpretasi citra NOAA secara otomatis dengan menggunakan komputer data, hotspot dapat dihasilkan pada daerah-daerah rawan kebakaran di Indonesia. Dengan diketahui lokasi kebakaran maka tindakan pemadaman dini dapat dilakukan sebelum kebakaran menjadi besar dan sulit dikendalikan (Solihin, 2004). Data hotspot mempunyai dua kegunaan. Pertama, data tersebut dapat digunakan sebagai alat peringatan dini sebelum melakukan tindakan pemadaman. Kedua, data dapat dijadikan bukti otentik bagi pelanggaran pembakaran hutan dan lahan. Data tersebut telah diinterpretasikan secara detil ke dalam peta provinsi, kabupaten, dan kecamatan dengan bantuan GPS. Selanjutnya, data didistribusikan ke setiap DAOPS dan dinas kehutanan kabupaten. Sebagai contoh, hotspot terbanyak yang terpantau tahun 2009 di Kalimantan Selatan berada di Kabu-
|
paten Banjar (Gambar 25), diikuti oleh Kabupaten Tanah Laut, Barito Kuala, dan Hulu Sungai selatan (Dishut Kalsel, 2009).
Keterangan: BJR=Banjar, Bat=Barito Kuala, TAL=Tanah Laut, BJM=Banjarmasin, BBR=Banjarbaru, TAP=Tapin, HSS=Hulu Sungai Selatan, HST=Hulu Sungai Tengah, HSU=Hulu Sungai Utara, BLN=Batu Licin, TBG=Tabalong, TB=Tanah Bumbu, KB=Kotabaru
Gambar 25. Sebaran titik panas di Kalimantan Selatan tahun 2010
7. Aplikasi Hujan Buatan Penerapan hujan buatan dapat bertujuan melakukan pencegahan timbulnya kebakaran hutan dan lahan atau dapat juga dilakukan untuk tujuan pemadaman. Penerapan hujan buatan yang dilakukan untuk pemadaman seringkali tidak efektif terutama untuk kebakaran di lahan gambut. Air hujan yang turun terbatas dan bersifat lokal seringkali tidak dapat mematikan api secara tuntas. Api yang terlanjur masuk ke bawah permukaan tanah gambut sulit dipadamkan oleh air hujan yang terbatas waktu dan luasannya. Hujan buatan yang diterapkan untuk pencegahan kebakaran nampak lebih efektif karena saat api pemicu belum timbul dari perladangan. Kondisi bahan bakar gambut dan vegetasi bawah menjadi lembab sehingga jika ada penyulut maka bahan bakar sulit terbakar. Aplikasi hujan buatan biasanya dikenal dengan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Teknologi hujan buatan merupakan
|
cara penggabungan dan penumbukkan butir-butir awan di dalam awan. Proses tersebut dipercepat dengan menambahkan Cloud Condensation Nuclei (CCN) dalam bentuk garam halus ke dalam awan kumulus (BPPT, 2012). Jumlah garam yang disemprotkan ke permukaan awan kumulus rata-rata 6.000 ton/hari dengan menggunakan tipe pesawat herkules atau sejenisnya. 8. Teknik Peramalan Kerawanan Kebakaran Penelitian lain yang telah dilakukan adalah pembuatan instrumen peramalan untuk menduga kejadian kebakaran dua bulan ke depan berdasarkan model hubungan (trend) curah hujan dengan jumlah hotspot di Kalimantan Tengah. Penelitian tersebut berguna dalam menentukan sistem peringatan dini kebakaran pada musim kering. Penelitian tersebut dilakukan oleh IRI-CS and CCROM-SEAP tahun 2009. Dalam penelitian tersebut, indeks curah hujan diperoleh dari citra satelit, yang merekam data SST. Namun, hasil penelitian tersebut belum dapat diaplikasikan di lapangan (Dishut. Prov. Kalteng, 2009). Perkembangan terakhir ini, output peramalan tersebut baru dalam tahap sosialisasi ke masyarakat. Kelemahannya adalah prediksi kejadian kebakaran berupa nilai peluang yang tidak mudah dimengerti masyarakat dan pengambil kebijakan (IRICS and CCROM-SEAP, 2009; Conrad, 2009). 9. Menyusun Rencana Pengelolaan Kebakaran (Fire Management Plan) Perencanaan pengendalian kebakaran dan pembentukan organisasi pengendalian kebakaran merupakan bagian dari aktivitas pencegahan kebakaran hutan. Perencanaan pengendalian kebakaran idealnya merupakan dokumen tertulis yang memuat strategi pengendalian dan menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan, siapa yang bertanggung jawab untuk melakukan suatu tindakan, di mana tindakan pengendalian harus dilakukan, dan dari mana sumber dana yang dapat digunakan. Perencanaan harus diperbaharui dan disesuaikan secara berkala sesuai dengan tantangan aktual, iklim mikro
|
setiap wilayah perkembangan hutan, dan kemajuan peralatan yang sesuai. Bagi para pemegang hak pengusahaan hutan, baik hutan alam (HPH/IUPHHK) maupun hutan tanaman industri (HPHTI) dan perkebunan, nampaknya masih sangat sedikit yang memiliki perhatian terhadap rencana pengelolaan kebakaran (Fire Management Plan/FMP) secara khusus. Padahal, setiap unit pengelolaan lahan memiliki risiko terhadap kejadian kebakaran. Adanya perencanaan pengendalian kebakaran di dalam suatu perusahaan dapat dijadikan sebagai acuan antisipasi dan pencegahan yang efektif. Hasil penelitian dan pengalaman Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru dalam membuat FMP pada KHDTK Riam Kiwa dan Tumbang Nusa menunjukkan bahwa untuk menyusun FMP unsur-unsur yang diperlukan seperti dilihat dalam Gambar 26.
Keadaan Iklim
FMP HTI
Vegetasi Asal
Lokasi
Topografi
Kondisi Sosek Masyarakat Gambar 26. Skema unsur-unsur FMP
Lokasi pada gambar merupakan keterangan lokasi areal pengawasan dan luas yang akan dibuat FMP. Keterangan lokasi dapat pula dimuat letak berdasarkan garis lintang dan bujur yang diperoleh dengan menggunakan alat Global Positioning System (GPS), serta data penunjang lainnya. Kondisi iklim mengacu pada klasifikasi Schmidt dan Ferguson. Vegetasi asal meliputi jenis dominan dan kerapatannya. Topografi berisi data bentuk lahan areal pengawasan; apakah bergelombang,
|
datar, atau berbukit-bukit. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar areal hutan yaitu berupa jumlah penduduk, jenis mata pencaharian, luas areal garapan masyarakat, dan sebagainya. Selanjutnya, beberapa tahapan aktivitas yang dilakukan secara berurutan untuk melengkapi FMP disajikan dalam Gambar 27.
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Pengukuran dan pemetaan areal Delinasi areal Membuat petak-petak tanaman Inventarisasi vegetasi Membuat daftar peralatan Mengelola muatan bahan bakar Pengukuran dan pemetaan jalan dan sekat bakar Menentukan letak sumber air Menentukan menara pengawas api Membuat kelas kerawanan api Membuat peta risiko kebakaran Mendata peladang Membuat rencana penyuluhan Membuat rencana pencegahan model lain Membuat bagan pengendalian api Mengumpul dan mengoleksi data sekunder Membuat rencana koordinasi kelembagaan
FMP Gambar 27. Skema aktivitas pembuatan FMP
10. Membangkitkan Kesadaran Masyarakat Cara yang ditempuh secara umum dalam upaya pencegahan terjadinya kebakaran hutan adalah melalui pembangunan kesadaran masyarakat pengguna api untuk
|
menggunakan api secara tertib dan memadamkan api liar secara dini. Namun, kegiatan ini masih terbatas pada daerahdaerah tertentu yang masih terjangkau oleh penyuluh dan pelatih yang biasa dilakukan oleh Brigdalkarhut, Dinas Kehutanan, beberapa lembaga sosial masyarakat (LSM), dan lembaga penelitian. Kondisi wilayah yang sangat luas memiliki tantangan jarak jangkau antardaerah yang jauh sehingga menghambat upaya penyuluhan lingkungan. Padahal, upaya membangun kesadaran dan rekayasa budaya harus terusmenerus dan memerlukan insentif yang bermanfaat langsung bagi masyarakat, walaupun tidak selalu berupa uang. Secara normatif, aktivitas dalam pelaksanaan metode pencegahan terjadinya kebakaran meliputi semua tindakan mengurangi kemungkinan terjadinya dan dampak dari kebakaran, sekaligus menghilangkan sumber kebakaran yang tidak diinginkan. Oleh sebab itu, berbagai instansi harus meningkatkan kemampuan menangani kebakaran bersama masyarakat. Bergantung pada bentuk kasusnya, pencegahan dapat mencakup 1) aspek pendidikan dan peningkatan kesadaran melalui pelatihan, kampanye, pameran, dan bentuk kegiatan lain seperti menggunakan buku-buku sekolah, stiker, poster, bahan-bahan publikasi, permainan dan sinetron (Dishut Kalteng, 2005); 2) manajemen bahan bakar melalui pengurangan, peniadaan, atau bentuk-bentuk manipulasi bahan bakar lainnya, serta melakukan pengelolaan hutan berazaskan upaya pelestarian; 3) penegakan hukum berupa pemberlakuan aturan-aturan hukum, sanksi, dan pengawasan yang sesuai dan memadai. Pendidikan tentang bahaya kebakaran dapat juga dilakukan untuk anak-anak sekolah dasar, walaupun hanya dimasukkan sebagai kegiatan ekstrakurikuler, yaitu dengan cara kunjungan anak sekolah ke posko kebakaran, sebagaimana yang dilakukan di Kalimantan Tengah dan Timur. Beberapa teknik pencegahan kebakaran telah diterapkan oleh beberapa pihak, seperti perusahaan, masyarakat pemerhati lingkungan, lembaga penelitian, perguruan tinggi, lembaga sosial masyarakat, dan pelaksana proyek kerja sama luar negeri. Upaya tersebut telah membuahkan hasil berupa penurunan kejadian kebakaran di daerah sasaran. Namun, aktivitas pencegahan ini masih memiliki kelemahan (Tabel 17).
|
Tabel 17. Analisis SWOT teknologi pencegahan kebakaran di Indonesia
Teknologi pencegahan kebakaran
Peluang (opportunity) 1. Ada masyarakat yang peduli tertib lingkungan 2. Ada peningkatan tingkat pendidikan formal 3. Ada bukti otentik hotspot untuk penegakan hukum Ancaman (Threat) 1. Masyarakat sasaran tidak respons tanpa insentif 2. Kampanye tidak menarik 3. Pembakaran ladang tidak terkendali terus berlangsung
Kekuatan (strength) 1. Ada program penyuluhan dan pelatihan di Dishut, BKSDA, Bapedalda 2. Ada kampanye pencegahan BKSDA & LSM 3. Ada payung hukum terhadap pelanggaran Kekuatan–Peluang 1. Terus digalakkan penyuluhan lingkungan 2. Teruskan kampanye yang menarik melalui sekolah-sekolah 3. Sosialisasikan bukti hotspot Kekuatan–Ancaman 1. Rancang insentif yang tepat untuk meningkatkan kesadaran 2. Kembangkan kampanye bersifat hiburan 3. Sosialisasikan sanksi-sanksi terhadap pelanggaran kepada masyarakat peladang
Kelemahan (weakness) 1. Penyuluhan dan pelatihan terbatas 2. Bentuk kampanye kurang bervariasi 3. Peraturan belum sepenuhnya ditegakkan
Kelemahan–Peluang 1. Perluas kelompok sasaran penyuluhan & pelatihan 2. Variasikan metode kampanye melalui sekolah 3. Terapkan hukum dengan dasar data lapangan & hotspot Kelemahan–Ancaman 1. Strategi penyuluhan & pelatihan dikembangkan dengan penyampaian sanksi dari pemerintah dan pahala dari Tuhan sebagai insentif
Penerapan teknologi pencegahan kebakaran nampaknya masih memiliki banyak kelemahan dalam aplikasinya sebagaimana disajikan dalam Tabel 17. Selain masalah tersebut di atas, aturan yang ada selama ini nampaknya belum menjadikan
|
polusi udara sebagai parameter yang dapat dijadikan indikasi pelanggaran. Para peladang dan pemilik lahan tidur masih menganggap bahwa pembakaran yang dilakukan tidak berdampak serius terhadap kesehatan manusia dan hewan di sekitarnya. Dalam PP Nomor 4 Tahun 2001, parameter kerusakannya hanya meliputi sifat fisik, kimia, dan biologi tanah, serta flora dan fauna yang hidup. Sementara itu, pencemaran udara akibat kabut asap belum menjadi kriteria pelanggaran di Indonesia. Hingga saat ini, masyarakat awam masih menganggap bahwa pembakaran ladang tidak mengganggu secara langsung bagi kesehatan manusia dan hewan. a. Pola Kerja Sama Masyarakat Melalui Model PHBM Salah satu contoh pencegahan terjadinya kebakaran pada HTI yang telah cukup berhasil menurunkan terjadinya kebakaran adalah melalui model Pembangunan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Pola ini telah dilakukan oleh PT Finantara Intiga di Kalimantan Barat. Daerah-daerah yang menjadi sasaran pembangunan HTI tersebut yaitu Kabupaten Sanggau, Sintang, dan Sekadau. Dalam model ini, masyarakat sekitar hutan dilibatkan secara langsung dalam aktivitas pembangunan, pemanenan, dan perlindungan hutan sehingga keterkaitan pekerjaan dengan perusahaan hutan tanaman menjadi insentif yang menarik untuk menjaga hutan dari kebakaran. Skema model HTI-pulp terpadu telah dikembangkan sejak tahun 1995 dan sampai saat ini masih berjalan, serta masih diterima oleh masyarakat (Rousykin, 2004). Model kerja sama PHBM tersebut telah dapat dikembangkan cukup fleksibel. Setiap waktu, kerja sama tersebut dievaluasi dan disesuaikan agar dapat mengikuti perkembangan dan dinamika sosal masyarakat. Menurut pengalaman, perubahan hanya dilakukan pada variabel bentuk program dan pola pembinaan masyarakat, yaitu peningkatan jumlah dan besarnya kompensasi insentif lahan, peningkatan persentase pemberian tanaman unggulan setempat dari 5% menjadi 7,5%, dan besarnya royalti yang disesuaikan dengan kondisi saat ini. Model HTI terpadu ini dirancang untuk membangun tanaman HTI dengan jangka waktu kesepakatan selama 45 tahun. Skema kerja samanya memuat aturan main yang
|
menyangkut hak dan kewajiban kedua belah pihak, yaitu perusahaan sebagai pemilik modal dan masyarakat sebagai pemilik atau penguasa lahan. Kompensasi penggunaan lahan pembangunan HTI yang diberikan oleh perusahaan kepada masyarakat antara lain insentif lahan, infrastruktur, pengembangan tanaman kehidupan [dalam hal ini yang digunakan adalah karet unggul (Hevea brasiliensis) seluas 7,5% dari luas tanaman HTI], tanaman jenis lokal seluas 10%, royalti senilai 10% dari keuntungan bersih [saat itu ditetapkan nilainya sebesar Rp1.500/m3 kayu yang dihasilkan setiap akhir daur], dan beberapa kegiatan pembinaan pengembangan masyarakat [dalam bentuk pembinaan intensifikasi pertanian, penguatan kelembagaan, dan lain-lain]. Pelaksanaan PHBM tersebut tidak berarti tanpa masalah. Kecenderungan permasalahan yang muncul dan berkembang setelah daur pertama di beberapa lokasi yang telah dilakukan penebangan adalah penguasaan lahan di dalam areal konsesi. Permasalahan tersebut mengarah kepada penguasaan lahan secara individu. Padahal, konsep skema model HTI terpadu itu sendiri dibangun dengan dasar kerja sama secara kelompok. Namun dari sisi perlindungan hutan, kebakaran hampir tidak pernah terjadi karena adanya rasa memiliki masyarakat terhadap hutan yang cukup tinggi. b. Pola PKBM UPTD-PHKL Dinas Kehutanan di Kalimantan Timur Pola Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat (PKBM) telah dilakukan di Kalimantan Timur, yaitu di Desa Purwajaya (Kabupaten Kutai Kertanegara) dan Desa Ujoh Halang (Kabupaten Kutai Barat). Pengelolaan kebakaran berbasis masyarakat tersebut merupakan suatu jenis pengelolaan kebakaran yang mana masyarakat lokal memiliki peranan secara intensif dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pencegahan, penanggulangan, dan pemanfaatan api. Masyarakat dalam kegiatan pengelolaan kebakaran hutan dan lahan ini dilibatkan sebagai aktor utama. Beberapa pertimbangan yang mendasari metode pengelolaan kebakaran berbasis masyarakat desa adalah sebagai berikut:
|
1) Kebakaran hutan dan lahan di Indonesia lebih banyak disebabkan oleh faktor manusia. Oleh sebab itu, peran serta masyarakat dalam pencegahan kebakaran akan mengurangi risiko munculnya kebakaran hutan dan lahan. 2) Kelompok yang paling dirugikan oleh adanya kebakaran hutan dan lahan pada umumnya adalah masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi kebakaran. Oleh sebab itu, sudah sewajarnya mereka terlibat secara aktif dalam upaya pengelolaan hutan dan lahan. 3) Masyarakat mempunyai potensi sumber daya, baik tenaga maupun natura, yang sangat besar untuk menunjang kegiatan pengelolaan kebakaran. Di sisi lain, sumber daya dari pihak pemerintah atau swasta masih terbatas sehingga sangat memerlukan dukungan dari masyarakat. 4) Masyarakat biasanya banyak berdomisili di daerah-daerah yang berdekatan dengan areal rawan kebakaran sehingga mereka sangat potensial untuk melakukan serangan dini dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Mematikan api secara dini sangat penting untuk mencegah terjadinya api skala besar. 5) Masyarakat di Kalimantan memiliki budaya menggunakan api dalam persiapan lahan pertanian. Oleh sebab itu, sangat sulit untuk memberlakukan pertanian tanpa bakar. Cara yang mungkin adalah dengan melakukan pengaturan agar api tidak menjalar ke areal lain dan berdampak negatif. Tahapan yang dilakukan untuk mengembangkan peran serta masyarakat menurut Marbyanto (2003) adalah sebagai berikut: 1) seleksi desa binaan, 2) sosialisasi program, 3) penumbuhan organisasi di desa, 4) penguatan kapasitas organisasi tingkat desa melalui berbagai pelatihan dan bantuan. Lebih lanjut, penguatan kapasitas tersebut antara lain dalam bentuk pelatihan dasar pengelolaan kebakaran dan sistem informasi kebakaran, pelatihan kelembagaan organisasi tingkat desa, pemberian stimulan bantuan peralatan, penyusunan peraturan desa, penyusunan anggaran biaya, pemberian insentif (penghargaan) dan kerja sama dengan kantor pusat kebakaran lokal atau pihak lain yang terkait. Berbagai peralatan yang telah dibagikan kepada masyarakat melalui
|
keterlibatan beberapa lembaga donor dan LSM sebagaimana disajikan dalam Tabel 18. Tabel 18. Peralatan pemadam tangan yang telah dibagikan kepada masyarakat sebagai stimulan Jenis peralatan
Lembaga Fasilitator
1.
Peralatan tangan
2.
Peralatan tangan
IFFM, Yayasan Tidak Kehati, Haze diketahui Buster, Yayasan Bioma CARE East 37 paket Kalimantan
3.
Peralatan tangan
IFFM dan UPTD 200 set Dalkarhutla
No.
Jumlah
Keterangan Dibagikan ke 16 desa rawan kebakaran di Kab. Kutai Dibagikan ke 12 desa di Kab. Kutai Kertanegara Dibagikan ke desadesa rawan kebakaran
Sumber: Marbyanto (2003) Keterangan: Jenis peralatan tangan antara lain sekop, kapak dua mata, garu, cangkul, pompa punggung, pemukul api, dan helm
Masalah yang timbul dari program PKBM adalah bagaimana lembaga yang dibentuk sebagai koordinator kebakaran di desa mendapat sebagian peran di dalam kepengurusan desa. Dengan terbentuknya lembaga PKBM di tingkat desa maka kesinambungan aktivitas pengelolaan kebakaran sangat diperlukan. Oleh sebab itu, alokasi dana pemerintahan desa sangat diperlukan guna kepentingan operasional. c. Pembentukan Pos Api Kampung oleh BPK Banjarbaru Sejak tahun 1995, Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Banjarbaru telah melakukan uji coba pembangunan Pos Api Kampung (PAK) dengan skala prioritas desa-desa yang berdekatan dengan stasiun-stasiun penelitian di KHDTK yang dikelola BPK Banjarbaru. Pembentukan PAK juga dilakukan di beberapa desa melalui pelaksanaan pelatihan pengendalian kebakaran di tingkat desa. Tidak semua pembangunan PAK disertai dengan pembangunan sarana posko, tetapi sebagian besar sasarannya adalah menumbuhkan kesadaran masya-
|
rakat desa atau kampung untuk peduli terhadap penggunaan api lahan di desanya. Pengetahuan penggunaan alat [terutama alat-alat sederhana], pengetahuan dampak kerugian akibat kebakaran, dan pengetahuan tentang sifat-sifat api hutan dan lahan diajarkan sebagai stimulan penimbul kesadaran. Pada masing-masing desa binaan, Regu PAK dibentuk setara dengan Regu Pengendali Kebakaran (RPK/Damkarhut). Hingga saat ini, sekitar 50 desa dan perusahaan telah memperoleh pelatihan dan penyuluhan dari BPK Banjarbaru. Sebagian besar palaksanaan pelatihan dan sosialisasi pengendalian kebakaran hutan kepada masyarakat dilakukan bekerja sama dengan South Central Kalimantan Production Forest Project (SCKPFP) dan Dinas Kehutanan Kabupaten. Hingga saat ini, lima kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan (Banjar, Tanah Laut, Tabalong, Kotabaru, dan Hulu Sungai Selatan) telah memperoleh pelatihan pengendalian kebakaran berbasis masyarakat. Pelaksanaan pelatihan tersebut disertai pula pemberian alat pemadam sederhana kepada regu terlatih yang terdiri dari 5 unit pemadam pompa punggung “JUFA”, 5 unit kepyok, 2 buah cangkul garu, 2 buah cangkul, 2 buah garu mata pendek, 4 bilah parang, dan 1 set peralatan pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Pelatihan juga telah diperluas ke Provinsi Kalimantan Tengah yang meliputi Kabupaten Kapuas, Kasongan, Barito Utara, Kota Waringin Timur, dan Kota Madya Palangka Raya (Gambar 28).
Gambar 28. Regu Pos Api Kampung sebagai pencegah dan pemadam dini api
|
d. Pembentukan Tim Serbu Api Desa oleh CIMTROP-UNPAR di Kalimantan Tengah Berawal dari perbincangan Rektor Universitas Palangka Raya (UNPAR) dengan Kepala Dinas Kehutanan Kalimantan Tengah bulan Oktober 2002, CIMTROP-UNPAR disarankan mengkoordinir penyelenggaraan workshop tentang kebakaran hutan dan lahan dengan tujuan memperoleh kesepakatan tentang kewajiban dan tanggung jawab bersama dalam mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan di Kalimantan tengah (CIMTROP-UNPAR, 2003). Hasil penyelenggaraan workshop tanggal 14–15 April 2003 telah dipresentasikan 24 makalah dari seluruh kabupaten dan kota di Kalimantan Tengah, ditambah pembicara dari instansi terkait di tingkat provinsi. Di antara 5 program kesepakatan yang diperinci ke dalam 11 masalah, 18 kegiatan, dan 41 strategi untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran hutan dan lahan maka yang dianggap terpenting di dalam hasil kesepakatan tersebut adalah perlunya dibentuk yayasan di tingkat desa untuk menjadi Tim Serbu Api (TSA) (Limin, 2003). Pembentukan TSA tersebut diprioritaskan di wilayah Kota Palangka Raya. Setiap TSA harus dilengkapi dengan fasilitas peralatan, pos/kantor/gudang, dan dana. Jumlah anggota TSA sebanyak 20–30 orang yang berasal dari desa yang sama. Berdasarkan konsep TSA, semua anggota tidak hanya bertugas memadamkan api saat terjadi kebakaran, tetapi mereka dapat melakukan pengamatan perilaku kebakaran, melakukan pemantauan dan patroli terhadap pelaku dan lokasi awal kebakaran, hingga membantu petugas penyidik, serta melakukan penyuluhan selama musim penghujan. Untuk keperluan tersebut, alokasi dana diperlukan di desa atau dari instansi terkait. Anggota TSA juga harus memiliki mata pencaharian lain untuk kehidupannya, seperti berkebun dan beternak. Instansi terkait yang harus menjadi pembina dan fasilitator dalam meningkatkan mata pencaharian anggota TSA adalah dinas kehutanan, dinas pertanian, dinas perkebunan, dinas perikanan, dan dinas peternakan.
|
e. Pembentukan Regu Pengendali Kebakaran Desa di Kalimantan Tengah Kegiatan ini merupakan perluasan aktivitas LSM CARE Internasional Indonesia di Kalimantan Timur yang bekerja sama dengan PEAT-project di Kalimantan Tengah. Sejak tahun 2003, kedua lembaga sosial masyarakat ini telah bergerak dalam upaya pengendalian kebakaran di Kalimantan Tengah. Mereka berperan sebagai fasilitator penanggulangan kebakaran bagi masyarakat pedesaan rawan terhadap kebakaran yang didanai oleh DIPECHO. Dalam aktivitasnya, CARE telah memfasilitasi 25 desa rawan kebakaran di Kabupaten Kuala Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau. Desa-desa yang telah memperoleh binaan dari CARE disajikan dalam Tabel 19. Upaya mitigasi kebakaran dimulai dari yang sederhana berdasarkan potensi dan kemampuan masyarakat setempat. CARE telah memfasilitasi pembuatan bibit tanaman keras yang diminati masyarakat, seperti karet (Hevea braziliensis), petai (Parkia spesiosa), dan buah-buahan lain untuk penanaman lahan tidur milik masyarakat. Setiap satu kepala keluarga diharapkan mampu melakukan pembibitan sendiri untuk menghijaukan satu hektare di lahan masing-masing. Namun demikian, terdapat pula beberapa permasalahan yang dihadapi berdasarkan hasil evaluasi CARE (2003), antara lain: 1) Peta rawan bencana perlu didefinisikan lebih sederhana dan lebih jelas karena banyak materi kurang dipahami peserta. 2) Terdapat beberapa teknik pemadaman umum yang tidak bisa diterapkan di lahan gambut. 3) Penyebab dan dampak kebakaran di lahan gambut tidak bisa diseragamkan karena berbeda antartempat, tergantung tanah dan ketebalan gambut. 4) Peralatan tangan perlu ada perubahan. Beberapa contoh perubahan tersebut antara lain handsprayer yang tidak efektif sebaiknya diganti dengan jet shooter karena air cukup banyak pada saat kejadian pembakaran, alat garu dan swatter perlu penyesuaian bentuk. Selain itu, beberapa penambahan alat perlu dilakukan, seperti gergaji dan sundak untuk mengiris tanah.
|
Tabel 19. Desa-desa binaan pengendalian kebakaran oleh CARE di Kabupaten Kapuas dan Kabupaten Pulang Pisau Kabupaten Kecamatan
Desa/Kelurahan
Kapuas
Tarantang Kalumpang Sei Kapar Panamas Saka Lagun Sei Tatas Palangkai Bunga Mawar Teluk Palinget Dadahup Mampai Basarang Pangkalan Rekan
Pulang Pisau
Mantangai
Topik Materi Pembinaan
- Program pengelolaan bencana - Terminologi bencana Selat - Manajemen benPulau Petak cana - Pengelolaan, strategi pencegahan, dan mitigasi bencana Kapuas Mu- Pengelolaan kearung daan darurat - Penanganan Basarang konflik bencana - Evaluasi dan Kahayan Hilir Anjir Pulang Pisau tindak lanjut Simpur Gohong Jabiren Buntoi Pandih Batu Sanggang Pantik Gadabung Maliku Badirih Gandang Purwodadi
Sumber: CARE International Indonesia (2003)
11. Membangun Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran Salah satu cara yang paling aman untuk mencegah kebakaran pada hutan tanaman adalah dengan cara membangun hutan berisiko kecil kebakaran. Sebesar apapun api yang terjadi di luar areal pengelolaan, api tersebut tidak mampu merembet ke dalam hutan tanaman manakala bahan bakar potensial pada lantai hutan sangat jarang. Pada hutan tanaman yang didominasi jenis bertajuk tipis dan daunnya jarang seperti
|
sengon (Paraserianthes falcataria), vegetasi rumput dan alangalang dapat tumbuh sangat rapat sehingga penyiangan yang dilakukan harus lebih intensif daripada tanaman Gmelina arborea. Apabila hal ini tidak dilakukan, bahan bakar potensial di lantai hutan akan melimpah. Kondisi lantai hutan yang sarat dengan bahan bakar akan menjadi sangat rawan kebakaran sehingga perlu manajemen bahan bakar (Gambar 29). Hasil percobaan pembangunan sekat bakar di lahan alang-alang menunjukkan bahwa sekat bakar ideal adalah minimal empat kali tinggi semak atau alang-alang yang tumbuh di sekitar sekat bakar.
Gambar 29. Pengelolaan bahan bakar yang dapat dilakukan dalam hutan tanaman
Pemilihan jenis pohon yang dikembangkan dalam hutan tanaman, pola tanam, dan pemeliharaannya memengaruhi muatan bahan bakar potensial yang tumbuh di bawah tegakan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemeliharaan
|
setiap tiga bulan menghasilkan ukuran tinggi bahan bakar lantai tegakan terendah pada jenis Acacia mangium, A. crassicarpa, Alstonia scholaris, dan Eucalyptus pellita. Sementara itu, pola tanam dengan tumpangsari pada keempat jenis tersebut berpengaruh nyata terhadap melimpahnya bahan bakar lantai tegakan hutan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa pola tanam tumpangsari menghasilkan bahan bakar potensial sangat jarang akibat adanya pemeliharaan terhadap tanaman tumpangsarinya. Selain itu, beberapa jenis pohon hutan yang ditanam dengan persiapan lahan secara mekanis menghasilkan kondisi rumput lantai hutan bervariasi, dari tidak memiliki tumbuhan bawah hingga didominasi rumput alang-alang dan kirinyu (Tabel 20). Contoh model hutan tanaman berisiko kecil kebakaran yang selama ini dapat dilihat adalah kebun karet (Hevea brasiliensis) yang dibangun perusahaan perkebunan. Kebun karet yang terkelola dengan baik hampir tidak pernah terbakar saat musim kering karena kondisi bahan bakar potensial di lantai hutannya sangat rendah dan jarang. Walaupun intensitas kebakaran dari luar kebun karet sangat tinggi, api tidak masuk ke dalam kebun, kecuali api serasah. Tabel 20. Kondisi tegakan hutan tanaman dan tumbuhan bawah umur 7 tahun di KHDTK Riam Kiwa, Kalimantan Selatan No. Jenis tegakan 1. Gmelina arborea 2. Acacia mangium 3. Paraserianthes falcataria 4. Eucalyptus spp. 5. Peronema canescens 6. Swietenia macrophylla
Kondisi tajuk
Tumbuhan bawah
Lebar dan tebal Lebar dan tebal Lebar tipis
Tidak ada Kirinyu Alang-alang dan kirinyu Alang-alang Alang-alang Tidak ada
Sempit tipis Sempit tipis Sempit dan tebal
Sumber : Akbar (2004)
Aspek-aspek perlindungan hutan tanaman yang sangat penting adalah 1) memiliki bak-bak air permanen yang berisi stok air untuk pemadaman; 2) memiliki peralatan pemadam dari mulai kendaraan pick-up slip-on tank; pompa pemadam
|
statis dan peralatan tangan, baik berupa alat pemadam langsung maupun penunjang pemadaman; 3) menara pengawas api dibuat dengan ketinggian melebihi tinggi tanaman dan lahan (6–9 m) pada posisi lahan tertinggi suatu areal; 4) brigade api yang terampil diperlukan untuk menggunakan alat-alat pemadam kebakaran saat terjadi kebakaran dan dapat bekerja sama dengan masyarakat sekitar hutan. B. Pemadaman Kondisi hutan di Kalimantan umumnya berbukit dan bergelombang sehingga menyebabkan aksesibilitas yang tidak mendukung upaya pemadaman secara menyeluruh dan serentak jika terjadi kebakaran. Areal lahan yang datar berupa lahan gambut dan lebak juga tidak memiliki akses yang memadai untuk kegiatan pemadaman. Apalagi, luas lahan rawa bergambut tersebut mencapai 20% dari luas total Kalimantan [tidak termasuk Brunei Darusalam dan Sabah] (Nugroho et al., 1997; Ismangun et al., 1997). Apabila terjadi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan dengan luasan yang besar dan pemadamannya lama, bukan tidak mungkin akan menghasilkan polusi asap yang membahayakan kehidupan. Sebagai pembanding, kebakaran pada lahan gambut di Sumatera tahun 1999 menghasilkan 60% partikel dan CO2 dari polusi asap yang ada di udara (Ruhyat, 2001). Pemadaman api di lahan gambut yang sudah masuk ke bawah permukaan tanah juga memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Kedalaman air tanah di musim kemarau semakin dalam (Gambar 30) dan tingkat kerusakan tanah gambut mengikuti dinamika kedalaman api gambut (Gambar 31). Kondisi wilayah Kalimantan dengan aksesibilitas yang terbatas menuntut pemilihan teknik dan peralatan yang sesuai dalam upaya pemadaman kebakaran. Pada lahan bergambut dengan akses yang sulit dan persediaan air kurang; peralatan pemadam tangan, seperti alat semprot punggung, kepyok pemukul api, dan kapak dua fungsi akan lebih efektif untuk memadamkan api permukaan. Sebaliknya pada kondisi air cukup, penggunaan pompa pemadam statis bertekanan tinggi dianggap sangat efektif. Untuk api yang terlanjur masuk ke
|
bawah permukaan gambut maka penggunaan pompa bertekanan tinggi yang dilengkapi selang dengan alat stick jarum yang dibuat BPK Banjarbaru dan stick pemadam yang dibuat Brigdalkarhut Provinsi Kalimantan Tengah juga cukup efektif untuk memadamkan api bawah permukaan gambut, walaupun memerlukan waktu cukup lama. Alat pemadam ini lebih efektif jika dilengkapi dengan peralatan pembuat sekat bakar dan alat gali gambut.
Gambar 30. Muka air tanah bulanan 1993 s/d 2002 di Kalimantan Tengah (Takahashi et al., 2003)
Gambar 31. Diagram skematik dinamika kebakaran di lahan gambut tropis (Aswin, 2005)
|
1. Pola Persiapan Melakukan Pemadaman Peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang berulang di beberapa wilayah provinsi di Sumatera dan Kalimantan sering menghasilkan dampak asap yang merugikan. Pemerintah pun telah menetapkan lima provinsi sebagai daerah terawan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Asap kebakaran yang ditimbulkan dari wilayah-wilayah tersebut sering melintas batas Negara, seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Terhadap lima provinsi tersebut telah dibentuk Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan (Brigdalkarhut) sejak tahun 2002. Kemudian, pada tahun 2005, Brigdalkarhut telah ditambah lagi untuk wilayah Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Setiap unit Brigdalkarhut tersebut telah dilengkapi peralatan standar, sebagaimana disajikan dalam Tabel 21. Peralatan perorangan (personal gear) minimal yang perlu dipakai dalam pemadaman perlu pula disediakan (Gambar 32).
Tabel 21. Perangkat peralatan pengendalian kebakaran hutan di setiap posko Brigdalkarhut (Manggala Agni Daops) No. Jenis Peralatan A. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. B. 1. 2. C. 1. 2. 3.
Peralatan Tangan (Handtools) Kapak dua fungsi/kapak cangkul (Pulaski) Kepyok/pemukul api (Fire swatter/flapper) Garu tajam (Fire rake) Garu pacul (Mcleod rake) Sekop (Shovel) Pompa punggung (Backpack pump) Obor sulut tetes (Drip torch) Kikir (Files) Pompa Bertekanan Tinggi(Impulse Gun) Pompa dan tabung impulse gun Pompa angin/kompresor Pompa Air dan kelengkapannya Pompa jinjing (Portable pump) Unit pompa sorong (Slip on unit) Tangki air lipat (Collapsible tank) 1.000 liter
|
Jumlah (unit/set) 4 8 6 3 6 10 1 2 2 1 2 1 1
No. Jenis Peralatan D. E. 1. F. 1. 2. 3. G. 1. 2. 3. 4. 5. H. 1. 2. 3.
Perlengkapan Pribadi (Individual gear) (topi/helm, lampu kepala, kacamata, slayer, sarung tangan, sabuk, peples, sepatu, dan pakaian pelindung) Peralatan Mekanis Gergaji rantai (Chainsaw) Transportasi Mobil pengangkut slip-on unit (Pick up) Mobil pengangkut personil & logistik (Monilog) Sepeda motor patroli Telekomunikasi Radio genggam (Handy talky/HT) Radio mobil (Mobile radio) Megaphone Peluit GPS Logistik dan Medis Tenda Perlengkapan memasak Kotak P3K (First aid box)
Jumlah (unit/set) 15
1 1 1 1 1 4 1 1 5 1 2 1 2
Sumber: Pedoman Pembentukan Brigdalkarhut Ditjen PHKA(2003)
Gambar 32. Pakaian pelindung pemadaman kebakaran
|
Upaya persiapan pemadaman harus sering dilakukan agar penanganan kebakaran tidak terjadi secara mengejutkan dan tanpa persiapan. Kegiatannya meliputi pelatihan dan pengembangan kemampuan staf pengelola dan regu pemadam kebakaran. Aspek lainnya dalam persiapan ini adalah berupa himbauan kepada para pengusaha hutan untuk merawat dan membuat infrastruktur, seperti jalan dan jalur akses, sekat bakar, menara api dan upaya perlindungan rumah atau harta benda. Kegiatan persiapan ini harus ditunjang pula dengan pengadaan dan perawatan alat. Selain itu, aktivitas pemantauan secara terus-menerus terhadap kondisi cuaca, bahan bakar, dan sumber-sumber kebakaran lainnya tetap dilakukan, walaupun pada areal-areal yang terbatas. Dengan demikian, semua jajaran Brigdalkarhut diharapkan memiliki waktu yang cukup untuk memberikan peringatan dini terhadap kemungkinan terjadinya kebakaran sehingga sumber daya yang tersedia dapat digunakan secara efektif. Dalam pelaksanaannya, Brigdalkarhut berkoordinasi dengan Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) di setiap kabupaten. Apel siaga juga dilakukan secara rutin saat awal musim kemarau. Apel siaga dikoordinir oleh Dinas Kehutanan di setiap provinsi bersama satuan koordinator penanggulangan bencana dan pengungsi, yang saat ini dikoordinasikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Brigdalkarhut tingkat provinsi. 2. Pola Pemadaman Saat Terjadi Kebakaran Pemadaman yang dilakukan selama ini adalah dengan cara pemadaman secara langsung, baik pada lahan kering maupun lahan gambut. Teknik pemadaman yang biasa dilakukan pada lahan kering adalah menggunakan unit mobil pick-up yang dilengkapi tangki air dengan kapasitas bervariasi, mulai dari kapasitas 400 liter hingga 1.000 liter, dan pompa bertekanan tinggi slip on unit. Alat penunjang lainnya adalah pompa punggung (backpack) pemadam, kepyok pemukul api, cangkul garu, kapak dua fungsi, gergaji, dan parang. Pada tahun 2006, Brigdalkarhut di Kalimantan Selatan yang baru dilengkapi dengan dua jenis pompa statis bertekanan tinggi. Pompa pemadam Waterous 107 dB buatan USA yang dapat terapung di
|
atas permukaan air berkekuatan 8 horse power (HP) dengan jarak semprot hingga delapan meter. Sementara itu, pompa Waterous 94 dB berukuran lebih besar dengan kekuatan 18 HP dan jarak semprot lebih dari 10 meter. Masing-masing Daops dilengkapi 2 unit waterous 94 dB dan 7 unit waterous 107 dB. a. Teknik Pemadaman dengan Unit Mobil Pick-Up di BPK Banjarbaru Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru telah menghasilkan iptek pengendalian kebakaran dalam kurun waktu 29 tahun, salah satunya adalah teknik pemadaman dengan unit mobil pick-up (Gambar 33). Dalam operasinya, pemadaman model unit pick-up diterapkan pada lahan kering beralangalang. Organisasi pemadaman ini terdiri dari seorang komandan api dibantu dengan regu pacitan atau pompa gendong, serta kepyok pemukul api berjumlah sembilan orang. Selain regu pemadam, metode ini didukung pula oleh Regu Peralatan Tangan (9 orang), Regu Pompa Mesin (9 orang), Regu Unit Pick-up (5 orang), Regu Konsumsi dan P3K (2 orang), dan Regu Transportasi (2 orang). Peralatan yang digunakan terdiri dari pompa ”Honda” tekanan tinggi, pompa ”JUFA”/pacitan, parang, cangkul garu, gergaji tangan, kampak, kepyok, mobil pick-up, slip on tank 100 liter, peralatan P3K, mobil truk angkutan, alat komunikasi HT, selang 1,5” sepanjang 300 m, dan portable water tank 1,000 liter.
Gambar 33. Peralatan pemadaman dengan unit mobil pick-up
|
Teknik pemadaman api kebakaran dengan unit pick-up tersebut cukup efektif untuk areal tanaman hutan seluas 1.500–2.000 ha karena dapat mematikan api kecil hingga sedang di lahan alang-alang. Namun demikian, teknologi tersebut memerlukan sarana jalan minimal selebar enam meter. Kemampuan jarak semprot dapat mencapai delapan meter dari jalan akses atau jalan utama. Untuk jarak sumber api yang lebih jauh, mobil pick-up dapat berperan sebagai penyuplai air bagi regu-regu pacitan atau regu semprot punggung. Sementara itu, stok air temporer dapat menggunakan tangki air portabel (1.000 liter) yang dapat diisi pula oleh kendaraan pick-up. b. Teknik Pemadaman dengan Penyemprot Punggung dan Kepyok Penggunaan kombinasi peralatan seperti pasangan kepyok dengan semprot punggung “JUFA” cukup efektif pula untuk mematikan api berketinggian <3 m di lahan kering (Gambar 34). Alat-alat pemadam ini telah direkayasa oleh BPK Banjarbaru sejak tahun 1991. Melalui pola pemadaman secara berpasangan sebanyak 5 pasang ditambah 1 orang ketua regu dapat mematikan api kebakaran hingga 20 m dalam waktu 5 menit. Sumber air yang digunakan dapat berasal dari sumber alami, unit mobil pick-up, atau bak-bak air buatan yang sudah dibangun sebelumnya. Cara ini cukup efektif di banyak tempat karena pada umumnya kejadian api kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan sering berlokasi di tempat yang tidak terdapat jalan masuk (akses) kendaraan, kecuali berjalan kaki (pasukan infantri). Bahkan, persediaan air pun sering tidak cukup untuk pemadaman. Alat penyemGambar 34. Teknik pemadaman dengan penyemprot prot punggung yang punggung dan kepyok direkayasa oleh BPK
|
Banjarbaru tersebut telah digunakan untuk kepentingan pembentukan pos api kampung di desa atau untuk peralatan pemadam api lahan di perusahaan hutan tanaman industri, perusahaan perkebunan, dan keperluan BPBD. c. Teknik Pemadaman Api pada Lahan Gambut dengan Pompa Diam Berbeda dengan teknik pemadaman api pada lahan kering, teknik pemadaman pada lahan gambut memiliki caracara tersendiri. Adanya prinsip “beda vegetasi, beda bahan bakar” mengharuskan pula beda metode dan peralatan yang digunakan dalam pemadaman kebakaran hutan. Upaya memadamkan api kebakaran pada lahan gambut akan berhadapan dengan bahan bakar gambut yang bersifat higroskopis dan kering tidak balik (irreversibel drying). Api gambut yang awalnya berasal dari api permukaan dapat menjalar ke bawah permukaan tanah. Dalam mematikan api di lahan gambut tersebut, banyak pengalaman dimiliki oleh Brigdalkarhut Kalimantan Tengah dan BPK Banjarbaru. Seperangkat alat yang biasa digunakan disajikan pada Tabel 22. Kondisi peralatan tersebut selalu disiagakan pada saat musim kemarau. Dalam praktiknya, pemadaman kebakaran pada lahan gambut membutuhkan pula seorang Komandan Api (fire boss). Hanya saja, regu yang di bawahnya disesuaikan dengan peralatan yang diperlukan pada lahan gambut. Regu tersebut terdiri dari Regu Pemadam (3 orang), Regu Rintis (2 orang), Regu Pembuat Sumur (3 orang), Regu Selang Pemadam (3 orang), Regu Fog Jet (2 orang), serta Regu Konsumsi dan P3K (2 orang) (Faidil, 2002). Pemadaman api pada lahan gambut juga ditujukan terhadap api bawah permukaan gambut, selain terhadap api permukaan (Gambar 35). Untuk kepentingan dimaksud, pemadaman menggunakan pula alat stik jarum, seperti nozzle protection sleeves. Selain itu, pada kejadian kebakaran yang cukup besar, regu-regu yang menggunakan peralatan dapat dikelompokkan sesuai kondisi kebakaran. Gambaran kerja sama antar regu peralatan dapat dilihat pula dalam Gambar 35.
|
Tabel 22. Peralatan pemadam kebakaran khusus lahan gambut No. Jenis Peralatan 1. Pompa pemadam tekanan tinggi ”Robin EH 17” 2. Selang 1,5 inci 3. Selang 1 inci 4. Fog jet api permukaan 5. Fog jet api bawah (stik jarum) 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13.
Kopling pembagi Kantong air portabel 100 liter Cangkul Garu Cangkul Kapak dua fungsi Parang Gergaji tangan Pompa punggung “JUFA” 15 liter 14. Handy Transciever (HT) 15. Ember 16. Papan
Jumlah Keterangan 2 unit Dilengkapi 2 selang isap 4 m 2 inci 10 rol Panjang 20 m/rol 4 rol Panjang 50 m/rol 2 buah 2 buah Penggunaan dimasukkan ke dalam gambut 2 buah 1 buah 2 buah 2 buah 2 buah 4 buah 1 buah 3 buah 3 buah 2 buah 2 buah
Sumber: Faidil et al. (2002)
Gambar 35. Teknik pemadaman api pada lahan gambut menggunakan pompa diam
|
d. Teknik Pemadaman pada Lahan Gambut dengan Bomtik Prakarsa teknik pemadaman api dengan Bom Plastik (Bomtik) berasal dari Universitas Palangkaraya dengan proyek CIMTROP di Kalimantan Tengah. Bomtik merupakan alat paling sederhana dan praktis, yaitu cukup mengisi air ke dalam plastik untuk dilemparkan ke api yang sedang menyala ketika masih kecil. e. Teknik Pemadaman Tidak Langsung Semua instansi pengelola kebakaran seyogyanya telah mengetahui pelaksanaan pemadaman tidak langsung. Pemadaman tidak langsung artinya memadamkan api kebakaran dengan cara mempercepat habisnya bahan bakar atau memotong jalaran api dengan cara bakar balas (re-burn/re-firing). Strategi ini dilakukan jika sama sekali tidak tersedia peralatan pemadam dan jumlah personil yang sangat sedikit, sedangkan api sudah terlanjur besar. Caranya adalah dengan membakar bahan bakar yang belum terbakar saat kebakaran sedang berlangsung. Dengan pembakaran ke arah berlawanan gerak api, bahan bakar di depannya akan cepat habis sehingga api pun akan segera mati. Api dari dua arah akan bertemu di tengah sehingga tanpa memadamkannya secara langsung, api kebakaran akan padam. Untuk melakukan bakar balas, biasanya dicari areal pinggir sungai atau jalan yang merupakan sekat bakar bagi areal tanaman penting yang harus dilindungi atau diselamatkan. Namun, bakar balas tidak berlaku bagi upaya pemadaman pada lahan rawa gambut karena api dapat merambat ke bawah permukaan tanah gambut. Api yang dibuat justru akan menambah luasnya jalaran api sehingga lebih sulit dipadamkan. Upaya pemadaman adalah semua kegiatan yang dilakukan untuk memadamkan api yang telah terjadi. Berdasarkan berbagai pengalaman, hal yang diyakini bahwa strategi pemadaman kebakaran tidaklah langsung dipadamkan, melainkan api dilokalisir atau dibatasi terlebih dahulu. Cara umum yang sering digunakan adalah dengan cara memotong akses api terhadap bahan bakar baru dengan membuat sekat bakar di bagian pinggir luar areal yang terbakar sehingga penyebaran api dapat dihentikan. Setelah jalur api tersebut selesai dibuat,
|
barulah api di dalam areal yang terbakar dipadamkan. Pada umumnya, kebakaran di Indonesia bermula terjadi di permukaan tanah dengan intensitas rendah. Kebakaran berintensitas rendah akan membuat upaya-upaya pemadaman menjadi relatif lebih mudah. Dalam hal ini, peralatan tangan yang digunakan untuk pembuatan sekat-sekat bakar di pinggir areal terbakar merupakan cara pemadaman kebakaran yang paling cocok. f. Teknik Pemadaman dengan Pesawat Terbang dan Hujan Buatan Penggunaan pesawat terbang untuk melemparkan bombom air dari udara terhadap api kebakaran sering dilakukan di negara-negara Barat. Di Indonesia, penggunaan pesawat terbang (baik dengan helikopter maupun pesawat jet) sangat jarang dilakukan karena selain membutuhkan biaya yang sangat mahal, upaya sering pula tidak efektif dalam mematikan api. Biasanya, regu pesawat hanya bersifat membantu pasukan darat untuk melemahkan api. Penggunaan pesawat BE-200 buatan Rusia pernah dilakukan untuk memadamkan api kebakaran lahan gambut tahun 2006 di Kalimantan. Cara lain yang sering dilakukan saat kebakaran telah meluas adalah dengan membuat hujan buatan. Upaya ini diawali dengan menyemprotkan garam pada bagian-bagian awan positif menggunakan pesawat terbang. Sebagai contoh, pesawat Hercules C-130 pernah digunakan oleh Skuadron Udara Pangkalan Udara Halim Perdana Kusuma untuk memadamkan kebakaran di Kalimantan Barat. Teknologi modifikasi cuaca (TMC) tersebut merupakan salah satu teknologi yang selama ini digunakan untuk memodifikasi hujan buatan melalui proses tumbukan dan penggabungan butir awan. Proses tersebut dipercepat dengan menambahkan cloud condensation nuclei (CCN) dalam bentuk garam halus ke dalam awan kumulus. Setiap hari, HCL yang diperlukan ±6.000 ton pada saat aplikasi hujan buatan (BPPT, 2012). Bahan larutan garam yang sangat halus tersebut disemprotkan ke awan-awan kumulus. Selanjutnya, awan tersebut akan bersatu dan mengalami kejenuhan sehingga jika faktor cuaca mendukung maka terjadilah hujan. Namun, pembuatan hujan buatan
|
sebaliknya malah dapat menimbulkan bahaya kebakaran. Hal ini mengingat masyarakat peladang masih belum mengerti tentang perilaku alam. Adanya hujan buatan justru dapat memicu pembakaran yang lebih serentak. Para petani menganggap bahwa musim hujan akan segera datang sehingga mereka beramai-ramai membakar ladangnya. Seperti kita ketahui bahwa bahan utama hujan buatan adalah adanya awan positif yang belum mencapai kejenuhan sehingga belum menjadi hujan. Celakanya, pada saat awan positif habis, hujan buatan tidak dapat dilakukan lagi, sedangkan pembakaran ladang semakin semarak. Kondisi tersebut dapat lebih memperluas kebakaran hutan dan lahan. g. Peralatan dan Fasilitas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Untuk melaksanakan upaya-upaya pengendalian kebakaran hutan, Brigdalkarhut dilengkapi dan didukung dengan peralatan dan fasilitas, sebagai berikut: 1) Fasilitas peralatan penyuluhan dan penyebarluasan informasi berupa perangkat audio visual, seperti komputer, kamera, radio, TV, tape dan video, recorder dan film projector. Fasilitas dan peralatan tersebut dimiliki oleh setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan. 2) Fasilitas dan peralatan untuk peringatan dan pendeteksian kebakaran, contohnya menara pengamat api yang dilengkapi peralatan pendukung, seperti kompas, range finder (penentu arah dan pengukur jarak), teropong, peta-peta, GPS, dan stasiun penerima dan pengolah data dan informasi citra satelit. Fasilitas tersebut dimiliki oleh setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan, kecuali GPS untuk setiap regu pemadam. 3) Fasilitas dan peralatan untuk pengembangan SDM, seperti Pusat Pendidikan dan Latihan Kebakaran Hutan (Pusdiklatkarhut). Fasilitas ini dibangun sedikitnya sebuah pada tingkat nasional dan dalam skala kecil di setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan untuk latihan harian. 4) Fasilitas penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kebakaran hutan, seperti laboratorium, hutan
|
pendidikan, dan bengkel kerja (workshop). Fasilitas ini dibangun sedikitnya untuk setiap perwakilan kondisi kawasan dan tipe ekosistem hutan, seperti hutan kerangas, hutan gambut, padang alang-alang, dan log over area. 5) Peralatan dikelompokan ke dalam beberapa katagori sesuai jenis dan kegunaannya. 6) Fasilitas penunjang yang tersedia untuk Brigdalkarhut adalah gudang, kantor, garasi, bengkel, tempat menyimpan bahan bakar, tempat mencuci alat, tandon air, sarana olah raga, sarana pelatihan, barak/kamar tidur, dan sarana ibadah. h. Rekayasa Alat Pemadaman Kebakaran oleh BPK Banjarbaru Rekayasa alat pemadam kebakaran hutan telah dilakukan oleh BPK Banjarbaru yang saat ini bernama Balai Litbang Lingkungan Hidup dan Kehutanan Banjarbaru, yaitu: 1) Pompa tangan pacitan untuk memadamkan api permukaan kecil (<3 m). Alat ini ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan kepyok. 2) Kantong air jerigen berkapasitas 20 liter sebagai stok air pompa tangan. 3) Pompa punggung ”JUFA” berkapasitas 15 liter air untuk memadamkan api permukaan kecil. Alat ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan kepyok. 4) Portable water tank 1.000 liter untuk transfer air dan dapat digunakan di atas kendaraan pick-up untuk pemadaman langsung dan suplai air. 5) Stik jarum dari pipa galvanis untuk mematikan api lahan gambut. 6) Kepyok tipe ram ayam untuk penggebuk/pemadam api berbahan bakar alang-alang atau serasah. Alat ini akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan ”JUFA”. 7) Cangkul garu api untuk membersihkan tanah di alang-alang dan membongkar api pada lahan gambut. 8) Garu api untuk membersihkan serasah dalam pembuatan sekat bakar.
|
9)
Garu mata panjang untuk membersihkan hasil tebasan bahan bakar alang-alang dan gulma lain dalam kegiatan pembuatan sekat bakar.
10) Mesin pompa air rekayasa merk “Honda” dan “Robin” untuk mobil berkapasitas 400 liter dan untuk trailer berkapasitas 2.500 liter. 11) Bak air statis dengan pipa belalai berkapasitas 12.500 liter.
C. Aktivitas Pascakebakaran 1. Inventarisasi Areal Terbakar Kegiatan inventarisasi dilakukan terhadap areal-areal terbakar. Data areal terbakar pada kebakaran hutan dan lahan dapat meliputi luas hutan terbakar, luas kebun terbakar, dan jumlah pohon yang cacat dan mati akibat terbakar. Dampak kebakaran yang tidak langsung juga diinventarisasi, seperti data jumlah orang yang menderita penyakit ISPA, jumlah sekolah yang diliburkan akibat asap kebakaran, dan jumlah penerbangan pesawat yang lumpuh akibat bahaya asap yang semuanya dapat menggambarkan kerugian yang ditimbulkan akibat kebakaran. Data tersebut akan menjadi pelajaran dalam pencegahan kebakaran yang akan datang. Pada kasus kebakaran kota, inventarisasi dilakukan terhadap semua bangunan yang terbakar dan barang-barang bernilai ekonomi. Sementara itu, evaluasi kerusakan hutan akibat kebakaran dapat dilakukan dengan menggunakan data citra/digital spot. Data digital spot menyediakan informasi yang berharga tentang kondisi vegetasi setelah kebakaran (IPB, 1999) dan hal ini pernah dilakukan di Kalimantan Timur melalui pemetaan menggunakan Lansat TM (Yamaguchi et al., 1999). 2. Teknik Rehabilitasi Lahan Rehabilitasi lahan pascakebakaran tidak dilakukan secara tersendiri oleh jajaran Brigdalkarhut, melainkan banyak dilaksanakan oleh pelaksana keproyekan lain yang berkaitan
|
dengan rehabilitasi dan reboisasi. Salah satunya adalah pelaksana Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), One men one tree, dan one million trees (OMOT), one billion trees (OBIT), perhutanan sosial, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, dan hutan kemasyarakatan. Untuk areal lahan pertanian, masyarakat biasanya melakukan penanaman kembali secara mandiri. Kegiatan rehabilitasi kawasan hutan didanai oleh dana reboisasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Direktorat Jenderal Bina Pengeloaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (Ditjen BPDASPS) yang mana pelaksanaannya di lapangan dilakukan oleh masyarakat yang dikoordinasikan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai bersama Dinas Kehutanan Kabupaten. Kegiatan yang biasa dilakukan adalah penanaman kembali areal terbakar; baik dengan jenis pohon serbaguna, jenis pohon hutan pionir cepat tumbuh, maupun jenis tanaman musiman dengan cara tumpang sari. Pemilihan jenis dan teknik pengolahan lahan disesuaikan dengan jenis-jenis komersial asli setempat dan bentuk topografi lahan setempat. Secara umum, jenis-jenis yang dikembangkan selain karet dan kelapa sawit adalah jenis-jenis kayu andalan setempat, baik pada lahan rawa maupun lahan kering. Sayangnya, upaya pemulihan kerusakan hutan pada lahan gambut memiliki tingkat kesulitan lebih tinggi dibandingkan dengan lahan kering. Sifat ekosistem rawa gambut yang rapuh (fragile) menyulitkan upaya pengembalian jenis-jenis pohon aslinya akibat gangguan kebakaran. Gangguan yang umum pada penanaman pada rawa gambut adalah berupa genangan air yang sulit diterka. Pada bulan yang sama, kondisi genangan air bisa berbeda sehingga memerlukan pengamatan pasang surut air dalam jangka lama. Genangan air pasang pada lahan gambut dapat mencapai 30 cm selama 1–2 bulan. Selama ini jenis-jenis utama yang ditanam dalam upaya rehabilitasi pada lahan kering dan rawa gambut Kalimantan Tengah dan Selatan disajikan pada Tabel 23. Pola pengolahan tanah pada lahan kering selama ini menggunakan herbisida. Sementara itu, pengolahan pada lahan gambut menerapkan sistem tebas jalur dan tebas total. Pengolahan tanah secara
|
mekanis menggunakan bajak dan garu masih sangat jarang dilakukan untuk rehabilitasi lahan hutan pascakebakaran. Tabel 23. Jenis-jenis pohon hutan yang ditanam pada areal rehabilitasi, termasuk areal pascakebakaran No. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Jenis pohon
Sistem kelola
Cara penyiapan lahan
Jati (Tectona grandis) Mahoni (Swietenia macrophyla) MPTS (Multi purpose trees species) Jelutung (Diera polyphylla) Jabon (Antocepalus cadamba) Meranti (Shorea sp.)
Hutan Rakyat Hutan Rakyat
Herbisida Herbisida
Hutan Rakyat
Herbisida
Hutan Rakyat
Tebas jalur
Hutan Rakyat
Herbisida
Perhutanan sosial Tebas total
Rehabilitasi dalam arti luas adalah mencakup aspekaspek perbaikan, penggantian, atau pemulihan kembali dari aset-aset yang telah rusak oleh api. Rehabilitasi bukan hanya terhadap aset-aset seperti perkebunan, rumah, dan infrastruktur; tetapi juga rehabilitasi atau restorasi dari ekosistemekosistem yang telah dirusak oleh api. Dalam hal ini, termasuk pula pembentukan kembali fungsi, struktur, dan produktivitas ekosistem. Ini semua sesungguhnya merupakan bagian dari pengelolaan hutan secara lestari. Restorasi perlu diarahkan untuk mencegah terjadinya kebakaran-kebakaran pada masa yang akan datang. Areal-areal yang telah terbakar biasanya lebih mudah terbakar lagi pada masa mendatang karena biasanya terakumulasi bahan bakar yang lebih banyak. Bahan bakar tersebut dapat berupa rumput, alang-alang, semak belukar, dan bahan-bahan organik kering sisa-sisa kebakaran hutan. Pembangunan HTI dengan pola PHBM akan menjadi solusi yang tepat dalam upaya rehabilitasi pascakebakaran.
|
3. Upaya Penegakan Hukum Proses hukum bagi pelaku pembakaran sembarangan, baik secara sengaja maupun lalai di wilayah lahan dan hutan, pada umumnya baru sampai pada tahap peringatan kepada pelaku pelanggaran. Sebagai contoh, setiap petani perladangan atau pembakar sampah yang menimbulkan polusi asap telah diperingatkan oleh satgas kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah, khususnya di kiri dan kanan jalan Trans Kalimantan dan sekitar Kota Palangka Raya. Sebagian lokasi pun telah ditandai dengan police line. Selama ini, belum ada pelaku pembakaran hutan dan lahan sebarangan yang diusut sampai ke tingkat pengadilan. Satu hal yang masih menjadi penghambat dalam mengungkap kasus kebakaran di wilayah hutan adalah sulitnya bukti otentik untuk dasar pengusutan. Adanya data hotspot belum menjamin adanya kemudahan menunjuk pelaku pembakaran pada areal terbakar. Data hotspot hanya menunjukkan di mana areal terbakar. Apabila kebakaran telah meluas dan besar di lahan hutan, sangat sulit untuk menentukan siapa pelakunya. Sebagai salah satu indikator pelaku yang mungkin adalah pemilik-pemilik lahan dan rumah sekitar kejadian kebakaran. Pada tahun 2006, pemerintah melalui Kepolisian Daerah (Polda) di wilayah provinsi telah melangkah lebih maju dalam upaya penegakan hukum, walaupun baru tahap menetapkan tersangka pembakar lahan masyarakat dan perkebunan. Contoh-contoh penegakan hukum tersebut antara lain Polda Sumatera Selatan telah menetapkan 14 tersangka pembakar lahan; Polda Kalimantan Barat telah memeriksa 12 perusahaan perkebunan berkaitan dengan kebakaran hutan; Polda Jambi telah menetapkan 12 tersangka pembakar lahan, yaitu di Kabupaten Tanjung Jabung, Tanjung Timur, dan Sarolangun; dan terakhir, Polda Riau telah menetapkan 58 tersangka pembakar lahan. Hasil penetapan para tersangka ini diharapkan akan mengalami proses hukum hingga memberikan sanksi hukum. Kemudian pada tahun 2013, terdapat sebanyak 23 areal konsesi yang terbakar dan pada saat itu, beberapa perusahaan telah dikategorikan sebagai tersangka pembakaran, antara lain PT. Bukit Batu Hutani Alam, PT. Ruas Utama Jaya, dan PT. Sakato Pratama Makmur di Sumatera.
|
Pada beberapa kasus lain saat rawan kebakaran bulan September 2006 hingga tahun 2015, sebagian ladang masyarakat sudah ada yang dipasang police line sebagai tanda adanya pelanggaran pembakaran. Namun demikian, ternyata masih ada pelaku pembakaran untuk membangun perumahan yang cukup luas dan ironisnya pembakaran tersebut diawasi oleh oknum petugas hukum (Taktik, person com., 2006). Kejadian lebih ironis lagi, pembakaran untuk mendirikan rumah dan toko (ruko) yang terjadi di depan Kantor BKSDA Kalimantan Selatan tidak ada yang menegur sama sekali. Demikian pula pembakaran vegetasi di sekitar Kampus Universitas Lambung Mangkurat, nampaknya tidak lagi memperhatikan adanya apel siaga yang dilakukan pada tahun 2006 di Kantor Dinas Kehutanan Provinsi Kalimantan Selatan. 4. Sanksi Hukum bagi Pelanggar Pembakaran Undang-undang (UU) yang diacu dalam menegakkan hukum dan memberikan sanksinya adalah UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan [sebagai revisi UU Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan]. Pada Bab V Bagian Kelima UU Nomor 41 Tahun 1999 menjelaskan tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pasal 47 menyebutkan bahwa mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang disebabkan [salah satunya] oleh kebakaran merupakan usaha perlindungan hutan dan kawasan hutan. Kemudian, Pasal 49 menyebutkan bahwa pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal kerjanya. Sementara itu, Pasal 50 ayat (3) menyebutkan bahwa setiap orang dilarang [dua di antaranya] membakar hutan (huruf d) dan membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran atau kerusakan, serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam kawasan hutan (huruf l). Ketentuan pidana, baik karena sengaja maupun kelalaian, telah diatur dalam Bab XIV dari UU Nomor 41 Tahun 1999, khususnya Pasal 78 ayat (3), (4), (11), (13), dan (14). Sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 50 ayat (3) huruf d
|
adalah ancaman pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp5 milyar bila dilakukan dengan sengaja, dan paling lama lima tahun dan denda paling banyak Rp1,5 milyar bila dilakukan karena kelalaiannya. Sementara itu, sanksi pidana terhadap pelanggaran Pasal 50 ayat (3) huruf l adalah ancaman pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp1 milyar. Pelanggaran terhadap Pasal 50 huruf d dan huruf l termasuk pula sebagai tindak pidana kejahatan. Sanksi pidana tersebut ditambah pula dengan 1/3 dari pidana yang dijatuhkan bila tindak pidana dilakukan oleh dan atau atas nama badan hukum atau badan usaha yang tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Selain sanksi pidana, perbuatan melanggar hukum tersebut juga dikenakan ganti rugi sesuai dengan tingkat kerusakan atau akibat yang ditimbulkan kepada negara untuk biaya rehabilitasi, pemulihan kondisi hutan, atau tindakan lain yang diperlukan; dan dikenakan pula sanksi administratif bagi pemegang izin usaha (Bab XV Pasal 80). Pada kasus kebakaran berada di lahan bukan kawasan hutan, UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebenarnya telah mengatur hal ini. Pasal 69 ayat (1) huruf h dalam undang-undang ini menyatakan bahwa setiap orang dilarang melakukan pembukaan lahan dengan cara membakar. Namun, Pasal (2) menyatakan bahwa ketentuan pembukaan lahan tersebut memerhatikan dengan sunguh-sungguh kearifan lokal di daerah masing-masing. Ketentuan pidana bila dilakukan pelanggaran Pasal 69 ayat (1) huruf h adalah pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama 10 tahun, serta denda dengan paling sedikit Rp3 milyar dan paling banyak Rp10 milyar (Pasal 108). Selain undang-undang yang mengatur ketentuan pelanggaran dan sanksi pidananya terkait kebakaran hutan dan lahan, terdapat pula Peraturan Daerah (Perda) di beberapa wilayah di Indonesia. Contohnya, terdapat Perda Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Kalimantan Tengah. Perda tersebut terdiri dari 11 bab dengan 30 pasal. Bab I Pasal 1 ayat (5) menyatakan bahwa kebakaran hutan adalah suatu keadaan yang mana hutan dilanda api
|
sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan. Pasal ini menyebutkan pula bahwa pembakaran hutan adalah kegiatan pembakaran hutan yang dilakukan untuk tujuan khusus, antara lain pengendalian kebakaran hutan, pembasmian hama dan penyakit, serta pembinaan habitat tumbuhan dan satwa. Bab II Pasal 1 menegaskan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan pembakaran hutan dan atau lahan. Kemudian, Bab II Pasal 2 menyebutkan bahwa untuk hal-hal tertentu yang bersifat khusus, pembakaran hutan dan atau lahan dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Ketentuan pidana dan sanksi dalam Perda ini dinyatakan dalam Bab VIII Pasal 25 yang menegaskan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja melanggar ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2), Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (1), Pasal 10, Pasal 11 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), dan Pasal 22 dapat dipidana kurungan paling lama enam bulan atau denda Rp5 juta. Beberapa peraturan pelaksana atau yang terkait dengan kebakaran hutan juga diterbitkan pada tingkat Gubernur dan atau Bupati/Walikota. Contohnya adalah Keputusan Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 78 Tahun 2005 tentang Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan Provinsi Kalimantan Tengah. Dalam Bab III keputusan ini dinyatakan bahwa penerapan teknik pencegahan kebakaran hutan dan atau lahan meliputi 1) pembangunan jalur hijau buatan; 2) pemantapan jalur hijau alami; 3) pembangunan sekat bakar/ jalur kuning selebar 20–100 m sepanjang punggung bukit dan batas kawasan hutan; 4) pembangunan sekat bakar jalur tanpa vegetasi; 5) pengelolaan bahan bakar dengan cara pembakaran terkendali, penggilasan dengan tong, dan penebasan pohon dan semak belukar untuk dilokalisasi dan dibakar. Sementara itu, contoh lainnya adalah Surat Walikota Palangka Raya tanggal 21 Agustus 2004 tentang Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan di Wilayah Kota Palangka Raya. Surat walikota ini di antaranya menjelaskan bahwa apabila pembakaran terpaksa harus dilakukan; pelaksanaannya diusahakan secara bergiliran (tidak pada hari yang sama), bahan yang dibakar harus sekering mungkin dan minta pimpinan
|
masyarakat setempat, Ketua Rukun Tetangga (RT), Ketua Rukun Warga (RW), atau pemuka masyarakat untuk mengatur giliran pembakaran tersebut. Pembakaran lahan pun harus mendapat izin tertulis. Pemberi izin sebagaimana ayat (1) berdasarkan luas lahan yang diberi izin untuk membakar biomassa, yaitu a) lahan dengan luas 0–0,1 ha oleh ketua RT setempat, b) lahan dengan luas 0,1–0,5 ha oleh lurah setempat, c) lahan dengan luas 0,5–2,5 ha oleh camat setempat, dan d) lahan dengan luas >2,5 ha harus izin dari walikota. Syaratsyarat permintaan izin diatur dengan Surat Keputusan Walikota. Selain peraturan atau ketentuan hukum yang bersifat nasional dan berlaku di seluruh wilayah Indonesia atau bersifat lokal yang berlaku untuk wilayah setempat, terdapat pula ketentuan hukum yang bersifat internasional namun mengikat Indonesia untuk ikut meratifikasinya. Ketentuan tersebut antara lain: a. The geneva convention on the long-Range Transboundary Air Pollution tahun 1979 yang mewajibkan semua negara mencegah pencemaran udara. b. Asean Agreement on the conservation of nature and natural resources tahun 1985. c. Resolusi Singapore tahun 1992. d. Resolusi Bandar Seri Begawan tahun 1994 tentang rencana strategi ASEAN dalam lingkungan hidup. e. Asean cooperation Plan on Transboundary Pollution tahun 1995. D. Kelembagaan dan Peraturan Perkembangan kelembagaan dan peraturan yang terkait dengan dalkarhutla di tingkat Pusat saat ini telah mengacu kepada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Peraturan tersebut mengganti Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.12/MenhutII/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan [tidak berlaku
|
lagi]. Sesuai peraturan yang baru, organisasi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Dalkarhutla) dibentuk berdasarkan Tingkat Pemerintahan (Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota) dan Tingkat Pengelolaan (setiap Unit Pelaksana Teknis/UPT di daerah, Kesatuan Pengelolaan Hutan/KPH, dan pemegang izin yang masing-masing membentuk organisasi Brigdalkarhutla). Selanjutnya, masing-masing tingkat pemerintahan membentuk organisasi Dalkarhutla yang berfungsi koordinatif (dilaksanakan oleh Satuan Tugas/Satgas Pengendali sesuai tingkat pemerintahan dan bersifat ad-hoc) dan organisasi Dalkarhutla yang berfungsi operasional (dilaksanakan sesuai tingkat pemerintahan mulai dari Brigdalkarhutla Pemerintah, Satuan Kerja Dalkarhutla, hingga masing-masing KPH dan/atau pemegang izin). Dengan demikian, organisasi Dalkarhutla Pemerintah [Pusat] memiliki Satgas Pengendali Nasional Penanganan Karhutla [diketuai oleh Menteri LHK] yang dalam menjalankan fungsi koordinatifnya dapat membentuk kesekretariatan yang disebut Posko Krisis Karhutla Nasional; organisasi Dalkarhutla Pemerintah Provinsi memiliki Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Karhutla [diketuai oleh Gubernur] dengan kesekretariatan yang disebut Posko Krisis Karhutla Provinsi; dan organisasi Dalkarhutla Pemerintah Kabupaten/Kota memiliki Satgas Pengendali Kabupaten/Kota Penanganan Karhutla [diketuai oleh Bupati/Walikota] dengan kesekretariatan yang disebut Posko Krisis Karhutla Kabupaten/Kota. Organisasi Dalkarhutla Pemerintah [Pusat] yang berfungsi operasional dilaksanakan oleh Brigdalkarhutla Pemerintah atau disebut Manggala Agni yang terdiri dari Tingkat Pusat (Manggala Agni Pusat), Tingkat Regional (Manggala Agni Regional), dan Tingkat Daerah Operasi (Daops Manggala Agni). Manggala Agni Pusat [dipimpin oleh Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan] dan Manggala Agni Regional [dipimpin oleh Kepala Brigdalkarhula UPT Pusat] bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal Pengendalian Kebakaran Hutan, Kementerian LHK; sedangkan Daops Manggala Agni [dipimpin oleh Kepala Daops] berada di bawah Pembina teknis Manggala Agni Regional dan bertanggung jawab kepada Manggala Agni Pusat. Setiap wilayah kerja Daops Manggala
|
Agni dapat lebih dari satu kabupaten/kota dan dapat membangun lebih dari satu Pondok Kerja atau Posko Lapangan untuk memperlancar operasional di lapangan. Pelaksanaan kebijakan terbaru dalam Dalkarhutla tentunya tidak dapat secara serentak diterapkan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Keberadaan kebijakan dan kelembagaan yang selama ini telah berjalan perlu dilakukan penyesuaian [sepanjang diperlukan] secara bertahap sesuai kondisi masingmasing daerah. Oleh sebab itu, beberapa uraian berikutnya tentang kelembagaan dan peraturan yang terkait karhutla yang telah berjalan selama ini dapat menjadi pembelajaran (lesson learned) sekaligus bahan evaluasi dalam pelaksanaan/penyesuaian kebijakan yang baru. 1. Lembaga Terkait dengan Kebakaran Hutan Terdapat delapan provinsi di Indonesia yang telah dilakukan pembentukan Brigdalkarhut atau yang disebut Manggala Agni. Pada tahun 2002, Brigdalkarhut dibentuk di Provinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Pada tahun 2005, pembentukan Brigdalkarhut yang baru dilakukan di Provinsi Kalimantan Selatan, Sumatera Selatan, dan Sulawesi Selatan. Brigdalkarhut di Kalimantan dibentuk berdasarkan SK Dirjen PHKA Nomor 21/Kpts/DJ-IV/2002 tanggal 13 September 2002. Jumlah Brigdalkarhut di Kalimantan hingga tahun 2005 sebanyak tiga unit di tiga provinsi. Masing-masing unit membawahi beberapa Daerah Operasi (Daops). Sebanyak 11 Daops telah terdapat di Kalimantan, yaitu 5 Daops di Provinsi Kalimantan Barat, 4 Daops di Provinsi Kalimantan Tengah, dan 2 Daops yang baru dibentuk di Provinsi Kalimantan Selatan. Brigdalkarhut di tingkat provinsi dipimpin oleh Kepala BKSDA yang bertanggung jawab langsung kepada Pusdalopskarhut di tingkat kementerian. Ia bertugas memimpin pengendalian kebakaran hutan di provinsi. Sementara itu, Brigdalkarhut tingkat Daops bertanggungjawab kepada Brigdalkarhut tingkat provinsi dan mempunyai tugas memimpin pengendalian kebakaran di daerah operasi (wilayah kabupaten/kota). Setiap Daops dapat memiliki wilayah lebih dari satu kabupaten.
|
Kegiatan koordinasi di daerah sebelumnya dilaksanakan oleh Badan Kesbanglinmas Provinsi dan Kabupaten [kini menjadi Badan Penanggulangan Bencana Daerah/BPBD]. Pada tingkat lapangan, pengendalian kebakaran hutan dan lahan terbagi ke dalam empat kawasan, yaitu hutan lindung, hutan produksi, hutan konservasi, dan lahan yang terdiri dari lahan perusahaan perkebunan dan lahan masyarakat. Walaupun Brigdalkarhut mempunyai tugas pokok pada kawasan hutan konservasi, tetapi pada saat diperlukan, ia melakukan bantuan ke kawasan hutan dan lahan lain di daerah operasinya. Pada kondisi demikian, Brigdalkarhut bergabung di dalam Satuan Koordinasi Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satkorlak PB & P) Provinsi di tingkat provinsi atau Satuan Pelaksana Penanggulangan Bencana dan Pengungsi (Satlak PB & P) Kabupaten di kabupaten. Saat ini, kedua lembaga tersebut berubah nama masing-masing menjadi BPBD Provinsi dan BPBD Kabupaten. Khusus di Provinsi Kalimantan Timur, lembaga yang menangani pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (UPTD-PKHL). Unit ini dibentuk berdasarkan SK Gubernur Provinsi Kalimantan Timur Nomor 16 Tahun 2001. UPTD-PKHL Samarinda mengkoordinasikan dan menyuplai peralatan pemadam kebakaran ke Province Fire Center (PFC) dan 12 Local Fire Center (LFC) yang berada di kabupaten dan kota. Selanjutnya, LPC menyuplai peralatan pemadam kebakaran ke setiap regu di tingkat desa. Saat ini, regu-regu pemadam kebakaran telah terbentuk di 60 desa/ kelurahan yang termasuk ke dalam 10 kabupaten/kota di Kalimantan Timur (Jafarsidik et al., 2004) Pengendalian kebakaran hutan secara nasional dan lintas sektoral termasuk di dalam kegiatan penanggulangan bencana dalam arti luas. Dalam upaya penanggulangan dimaksud, lembaga tertinggi di tingkat nasional yang bertanggungjawab adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebelumnya, lembaga ini bernama Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi (Bakornas PB & P) dan diketuai oleh Wakil Presiden. Lembaga atau instansi yang termasuk di dalam koordinasi Bakornas PB & P
|
adalah Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Negara Lingkungan Hidup, Kementerian Kehutanan, Badan Pengendali Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda), Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kabupaten (Bapedalkab), BMKG, Perguruan Tinggi, Tim Search & Rescue (SAR), Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian Republik Indonsia (TNI/POLRI), LSM, Pengusaha HPH/HTI/Perkebunan, Pemimpin Proyek kerja sama asing, Gubernur, Bupati, Camat, dan Kepala Desa/Lurah. Saat ini, lembaga yang telah berubah nama menjadi BNPB tersebut dipimpin oleh seorang Kepala Badan dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Penelitian Subarudi (2002) menunjukkan bahwa dalam sistem kelembagaan penanganan kebakaran hutan terdapat kesamaan organisasi di empat provinsi, sebagaimana disajikan dalam Tabel 24. Perbedaan yang terjadi dari keberadaan organisasi hanya pada adanya organisasi keproyekan yang dibentuk atas hasil kerja sama Pemerintah Indonesia dengan lembaga donori internasional, seperti Integrated Forest Fire Management (IFFM) dan Pusat Pengelolaan Kebakaran Hutan Kabupaten. Tabel 24. Organisasi yang terlibat dalam kegiatan pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di empat provinsi Nama organisasi No. yang menangani kebakaran hutan 1.
2.
3.
Badan Pengendali Dampak Lingkungan Hidup Daerah (BAPEDALDA) Dinas Kehutanan Provinsi (Subdinas Keamanan dan Penyuluhan) Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah (Pusdalkarhutla)
|
Provinsi Kalimantan Sumatera Riau Timur Selatan
Bengkulu
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Nama organisasi No. yang menangani kebakaran hutan 4. 5. 6. 7.
8.
9.
Integrated Forest Fire Management (IFFM) Dinas Kebakaran Kotamadya Dinas Kehutanan Kabupaten Satuan Pelaksana Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (Satlak dalkarhutla) Satuan Pemadam Kebakaran Hutan Perusahaan (Satdamkarhut) Pusat Pengelolaan Kebakaran Hutan (PPKH) Kabupaten Tenggarong
Provinsi Kalimantan Sumatera Riau Timur Selatan
Bengkulu
X X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
Salah satu contoh pengendalian kebakaran di dalam perusahaan hutan tanaman industri adalah pengendalian kebakaran di PT RAPP. Selama tahun 2003, terjadi kebakaran kecil sebanyak 59 kali dengan total areal 573 ha di seluruh kawasan PT RAPP. Api kebakaran umumnya berasal dari api yang merambat dari lahan masyarakat yang dibakar untuk persiapan lahan pertanian. Setiap kejadian api, alat-alat utama yang digunakan adalah mesin pompa dan buldoser untuk pembuatan sekat bakar jalur kuning. Untuk pengendalian kebakaran hutan, PT RAPP telah membentuk Organisasi Pengendalian Kebakaran pada setiap sektor. Organisasi tersebut dipimpin oleh seorang Fire Commander (Sector manager) yang membawahi Fire & Safety Supervisor, Heavy Equipment Boss, Logistic Boss, dan Personel Boss; yang mana masingmasing boss memimpin regu. Kerawanan hutan terhadap kebakaran ditentukan oleh jenis bahan bakar yang terdiri dari
|
tegakan Acacia crassicarpa, A. mangium, hutan alam, areal konservasi, lahan gambut tanpa tanaman, dan lahan kering tanpa tanaman. Untuk melindungi areal hutan PT RAPP dari bahaya kebakaran, upaya yang ditempuh adalah mengimplementasikan kebijakan pengolahan lahan tanpa bakar, penggunaan sistem kompartemen dalam kegiatan penanaman HTI dengan batas-batas kompartemen berupa jalan dan jalur hijau sebagai sekat bakar, memasang papan himbauan pada tempattempat strategis, memasang papan peringatan yang menunjukkan indeks bahaya kebakaran setiap hari, membentuk unit fire dan safety di setiap sektor sebagai regu pengawas dan pengendali kebakaran hutan, melakukan patroli secara rutin dengan menempatkan personil di lapangan yang dilengkapi dengan kendaraan pemadam kebakaran dan radio komunikasi, membentuk jaringan informasi hotspot untuk mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran hutan, serta mengatur blok tebangan dan blok tanaman dengan pengaturan struktur umur tanaman. Dalam melengkapi upaya pemadaman jika api sudah terjadi, PT RAPP telah menyediakan peralatan berupa truk tangki air, peralatan komunikasi, kendaraan pick-up patroli, buldoser, pompa mini striker dengan selang dan nozzle, back pack pump, peralatan tangan, tangki lipat 1.600 galon, dan personel use (pakaian tahan api, seperti helm, sepatu, masker dan ransel untuk P3K). Tujuan kegiatan pengendalian api adalah untuk mencegah, meminimalisasi, dan mengeliminasi kebakaran hutan dan lahan; memperkecil dampak kebakaran; dan memelihara sumber daya alam dari bahaya kebakaran hutan. Pengaturan kegiatan pengendalian kebakaran dibagi ke dalam unit-unit pengelolaan agar mudah untuk dilaksanakan, sekaligus bertanggung jawab atas areal unit-unit pengelolaan masing-masing. Pembagian tersebut adalah sebagai berikut: Dinas kehutanan bertanggung jawab atas unit pengelolaan hutan lindung dan kawasan hutan lainnya. Balai Konservasi Sumber Daya Alam bertanggung jawab atas pencegahan kebakaran di dalam hutan konservasi dan suaka alam. Pemegang izin HPH/IUPHHK bertanggung jawab atas kebakaran di unit pengelolaan hak pengusahaan hutan.
|
Pemegang izin HPHTI bertanggung jawab atas pengendalian kebakaran dalam unit pengelolaan hutan tanaman industri. Pengelola perkebunan bertanggung jawab atas kebakaran di dalam unit pengelolaan perkebunan. Kantor Kecamatan bertanggung jawab atas kebakaran di dalam unit-unit pengelolaan berskala kecil, seperti ladang masyarakat dan perkebunan inti rakyat. Salah satu alternatif model lembaga pengendalian kebakaran hutan dan lahan yang diusulkan oleh banyak kabupaten melalui dinas kehutanannya di Indonesia adalah berupa Tim Koordinasi Pengendalian Kebakaran Hutan. Alternatif model ini memungkinkan terjadinya peningkatan peran serta Satlak PB & P yang telah ada untuk berkontribusi di dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di wilayah kabupatennya. Dalam bekerjanya, tim koordinasi tersebut dipandu oleh suatu SOP yang bersifat operasional. Alternatif model ini memungkinkan terjadinya keterpaduan di antara seluruh lembaga dan masyarakat yang ada di kecamatan dan desa seluruh indonesia. Kini, berdasarkan kebijakan baru telah dibentuk BNPB untuk tingkat nasional dan BPBD untuk tingkat provinsi dan kabupaten. Walaupun masing-masing lembaga tersebut di atas memiliki tanggung jawab sesuai bidangnya masing-masing di lapangan, pemerintah kabupaten berperan sebagai penanggung jawab pelaksana tugas dan fungsi pengendalian kebakaran hutan di wilayahnya. Pengorganisasian kelembagaan dan aktivitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan tingkat provinsi sebagaimana contoh di Kalimantan Tengah (Gambar 36). Di seluruh wilayah Kalimantan Tengah, khususnya di luar kawasan hutan konservasi, pengendalian kebakaran hutan dan lahan dilakukan berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Tengah Nomor 188.44/187/2009 tanggal 18 Juni 2009.
|
|
Gambar 36. Pengorganisasian pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Provinsi Kalimantan Tengah (Sumber: Pejabat Pos Simpul dan SK Gubernur Kalimantan Tengah)
Secara kelembagaan formal, kegiatan pencegahan kebakaran di tingkat Provinsi Kalimantan Tengah dilakukan dengan melibatkan beberapa instansi dan sebagai penanggung jawabnya adalah Gubernur Kalimantan Tengah. Setiap instansi yang terlibat digabungkan di dalam satu Pos Simpul Komando (POSKO) Terpadu Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Pekarangan. Pembagian tugas dalam Posko Terpadu yaitu Penanggung Jawab dan Pengarah, Tim Inti, dan Koordinator. Sesuai dengan jenis aktivitas dalam pengendalian kebakaran, sebanyak empat koordinator dibentuk untuk kegiatan operasional, yaitu 1) Koordinator Peringatan Dini (Early Warning System); 2) Koordintor Pemadaman Kebakaran Hutan, Lahan, dan Pekarangan; 3) Koordinator Penegakan Hukum; 4) Koordinator Publikasi dan Dokumentasi. Keberadaan peralatan pemadam disentralisasikan pada instansi tertentu yang menjadi koordinator dalam pemadaman kebakaran. Koordinator pemadaman kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah adalah BPBD dan BKSDA yang bertindak pula sebagai Brigdalkarhut atau Manggala Agni. Dalam aktivitasnya, BKSDA dibantu oleh Brigdalkar Dinas Kehutanan, Brigdalkar Biro Umum Sekretariat Daerah (Setda), Brigdalkar Polda Kalimantan Tengah, Brigdalkar Komando Resor Militer (Korem) 102 Panju Panjung, Brigdalkar Dinas Pekerjaan Umum, Brigdalkar Dinas Perkebunan, Brigdalkar Dinas Pertanian dan Peternakan, dan Manggala Agni Daops. Pada perkembangan terakhir, kelembagaan baru dan tugas yang lebih spesifik telah dibentuk oleh Pemerintah. Pembentukan kelembagaan ini diinisiasi oleh terjadinya kebakaran besar tahun 2015 yang hampir seluruh areal hutan rawa gambut mengalami kerusakan, terutama di Sumatera dan Kalimantan. Di antara sekian banyak kebijakan yang diambil pemerintah, kebijakan tersebut adalah membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan. Selain itu, peningkatan pengendalian kebakaran hutan dan lahan di seluruh wilayah Indonesia juga harus dilakukan dengan terbitnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 11 Tahun 2015. Inpres ini ditujukan kepada seluruh pihak, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk melakukan kegiatan pencegahan dan pemadaman
|
kebakaran hutan dan lahan, serta penanganan atau pemulihan pascakebakaran. Pembentukan BRG seyogyanya merupakan tindakan pascakebakaran dalam upaya memulihkan kembali kerusakan yang terjadi di lahan gambut (restorasi). Organisasi BRG berada langsung di bawah Presiden berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 6 Januari 2016. Fokus kegiatan BRG adalah memulihkan ekosistem gambut di tujuh wilayah, yaitu Provinsi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Tentunya sebagai organisasi baru, badan ini telah menentukan langkah-langkah positif untuk merestorasi lahan gambut, yaitu melakukan review tentang status lahan gambut di Indonesia, melakukan harmonisasi kebijakan pengelolaan gambut, sosialisasi tentang kondisi lahan gambut dan badan pengelola restorasinya, menentukan metode tindakan preventif untuk menghindari kerusakan lahan gambut selanjutnya, melakukan pemetaan Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG), melakukan pemulihan lahan gambut dan lain-lain. Saat ini, wilayah yang telah menjadi prioritas untuk pilot project restorasi adalah Kabupaten Pulang Pisau (Kalimantan Tengah), Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), dan Kabupaten Meranti (Riau). Dalam merestorasi lahan gambut, hal yang perlu mendapat perhatian adalah dimensi gambut yang meliputi kedalaman gambut, tingkat kematangan gambut, tipe vegetasi, jenis gambut, budaya masyarakat, dan iklim mikro yang berlaku dalam satu lokasi. Oleh sebab itu, badan ini harus diisi oleh aktivis, akademisi, ahli gambut, masyarakat adat, dan birokrat Pegawai Negeri Sipil yang berpengalaman. Kelembagaan lainnya yang dibentuk adalah Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan. Organisasi dan tata kerja lembaga ini sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.13/MenLHK/Setjen/OTL.0/1/2016. Kelembagaan ini merupakan kekuatan baru dalam menanggulangi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Kelembagaan ini juga akan bermitra dengan Brigdalkarhut sebagai organisasi lama, baik di tingkat provinsi
|
maupun kabupaten. Dengan demikian, Brigdalkarhut dalam operasionalnya akan memiliki mitra tugas yang lebih kuat sehingga diharapkan metode penanggulangannya lebih efektif. 2. Peraturan yang Diacu dalam Pengendalian Kebakaran Hutan Berbagai perangkat peraturan telah ditetapkan dan dijadikan dasar hukum dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Peratuan tersebut meliputi UndangUndang (UU), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres) dan/atau Keputusan Presiden (Keppres) dan/atau Instruksi Presiden (Inpres), Peraturan Menteri (Permen) dan/atau Keputusan Menteri (Kepmen), Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) dan/atau Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen), Peraturan Daerah (Perda), Peraturan Gubernur (Pergub) dan/atau Keputusan Gubernur (Kepgub). Beberapa kementerian yang mengeluarkan peraturan terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan, antara lain Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup [kini keduanya melebur menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan], Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pertanian. Perincian beberapa contoh peraturan yang telah diterbitkan, baik yang pernah berlaku tetapi sekarang tidak digunakan lagi maupun yang masih berlaku hingga saat ini, sebagaimana terdapat dalam Tabel 25. Sementara itu, peraturan pada tingkat kabupaten/kota dan kelembagaan nonkementerian yang tidak disebutkan dalam Tabel 25 juga telah banyak diterbitkan dan digunakan dalam operasionalisasi berbagai kegiatan yang terkait dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Peraturan yang dimaksud tersebut antara lain Perda Kabupaten/Kota, Peraturan Bupati/Walikota, Keputusan Bupati/Walikota, dan Peraturan/Keputusan Kepala BNPB.
|
Tabel 25. Peraturan yang pernah dan/atau masih berlaku, serta terkait dengan pengelolaan kebakaran hutan di Indonesia No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
I.
Undang-Undang (UU)
1.
UU No. 5 Tahun 1990
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya
2.
UU No. 5 Tahun 1994
Pengesahan UNCBD (Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati)
3.
UU No. 6 Tahun 1994
Pengesahan UNFCC (Konvensi Kerangka Kerja PBB Mengenai Perubahan Iklim)
4.
UU No. 41 Tahun 1999
Kehutanan
5.
UU No. 24 Tahun 2007
Penanggulangan Bencana
6.
UU No. 32 Tahun 2009
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
7.
UU No. 39 Tahun 2014
Perkebunan
II.
Peraturan Pemerintah (PP)
1.
PP No. 4 Tahun 2001
2.
PP No. 45 Tahun 2004
3.
PP No. 8 Tahun 2008
Pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
4.
PP No. 21 Tahun 2008
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
5.
PP No. 60 Tahun 2009
6.
PP No. 71 Tahun 2014
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut
Pengendalian Kerusakan dan atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan Perlindungan Hutan
III. Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan Presiden (Keppres), dan Instruksi Presiden (Inpres) 1.
Perpres. No. 85 Tahun 2005
Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
2.
Perpres. No. 3 Tahun 2007
Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
3.
Keppres. No. 8 Tahun 2008
Badan Nasional Penanggulangan Bencana
4.
Inpres. No. 11 Tahun 2015
Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
5.
Perpres. No. 1 Tahun 2016
Badan Restorasi Gambut
IV. Peraturan Menteri (Permen), Keputusan Menteri (Kepmen), dan Keputusan (Kep.) Bersama [Menteri Kehutanan/Menhut; Menteri Lingkungan Hidup/MenLH; Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan/MenLHK; Menteri Dalam Negeri/Mendagri; Menteri Pertanian/Mentan; Menteri Transmigrasi/Mentrans] 1.
Permendagri No. 33 Tahun 2006
2.
PermenLH No. 10 Tahun 2010
3.
Pedoman Umum Mitigasi Bencana
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan Permentan. No. 47/Permentan/ Brigade dan Pedoman Pelaksanaan OT.140/4/2014 Pencegahan, serta Pengendalian Kebakaran Lahan dan Kebun
4.
PermenLHK No. P.77/MenLHKII/2015
5.
PermenLHK No. P.13/MenLHK/ Organisasi dan Tata Kerja Balai Setjen/OTL.0/1/2016 Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan
6.
PermenLHK No. P.32/MenLHK/ Setjen/Kum.1/3/2016 Kep. Bersama Menhut, Mendagri dan Mentrans No. 480/KptsII/1993
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Penanganan Perambah Hutan dan Perladangan Berpindah
8.
Kepmenhut No. 523/Kpts-II/ 1993
Pedoman Perlindungan di Areal Pengusahaan Hutan
9.
Kepmenhut No. 188/Kpts-II/ 1995
Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS) Petunjuk Tentang Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan
7.
10. Kepmenhut No. 260/Kpts-II/ 1995
Tata Cara Penanganan Areal yang Terbakar Dalam Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan pada Hutan Produksi
11. KepmenLH No. Kep.18/MENLH/ Pembentukan Badan Koordinasi 3/1995 Nasional Kebakaran Lahan
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
12. KepmenLH No. 40/MENLH/09/ Pembentukan Tim Koordinasi 1997 Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan 13. Kepmenhut No. 365/Kpts-II/ 1997 14. Kepmenhut No. 97/Kpts-II/ 1998
Maskot Nasional Pengendalian Kebakaran Hutan Prosedur Penanganan Kebakaran Hutan
15. Kepmendagri No. 131 Tahun 2003
Pedoman Penanggulangan Bencana dan Pengungsi di Daerah
V.
Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) dan Keputusan Direktur Jenderal (Kepdirjen) [Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam/PHPA; Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam/PHKA; Pengusahaan Hutan/PH; Perkebunan/Bun.]
1.
Perdirjen. PHKA No. P.24/IVSET/2014
Pedoman Pelaporan Pengendalian Kebakaran Hutan
2.
Kepdirjen PHPA No. 243/Kpts/ DJ-VI/1994
Petunjuk Teknis Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan di Areal Pengusahaan Hutan dan Areal Penggunaan Lainnya
3.
Kepdirjen PHPA No. 244/Kpts/ DJ-VI/1994 Kepdirjen PHPA No. 245/Kpts/ DJ-VI/1994
Petunjuk Teknis Pemadaman Kebakaran Hutan Prosedur Tetap Pemakaian Peralatan Pemadaman Kebakaran Hutan
5.
Kepdirjen PHPA No. 246/Kpts/ DJ-VI/1994
Petunjuk Pembuatan dan Pemasangan Rambu-rambu Kebakaran
6.
Kepdirjen PHPA No. 247/Kpts/ DJ-VI/1994
Petunjuk Standarisasi Sarana Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
7.
Kepdirjen PHPA No. 248/Kpts/ DJ-VI/1994
Prosedur Tetap Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan
8.
Kepdirjen Bun. No. 38/KB.110/ Sk/Dj.Bun/05.95
Petunjuk Teknis Penyiapan Lahan untuk Perkebunan tanpa Pembakaran
4.
9.
Kepdirjen PHPA No. 81/Kpts/ DJ-VI/1995 10. Kepdirjen PHPA No. 46/Kpts/ DJ-VI/1997
Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Petunjuk Teknis Kewaspadaan Diri dan Keselamatan Kerja dalam Pemadaman Kebakaran Hutan
11. Kepdirjen PHPA No. 48/Kpts/ DJ-VI/1997
Petunjuk Teknis Sistem Komando Pengendalian Kebakaran Hutan
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
12. Kepdirjen PHPA No. 152/Kpts/ DJ-VI/1997
Pencabutan SK Dirjen PHPA No.47/Kpts/DJ-VI/1997 tentang Petunjuk Teknis Pembakaran Terkendali
13. Kepdirjen PH No. 222/Kpts/IVBPH/1997
Petunjuk Teknis Penyiapan Lahan untuk Pembangunan Hutan Tanaman Industri Tanpa Pembakaran
14. Kepdirjen PHKA No. 21/Kpts/ DJ-IV/2004
Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia
15. Kepdirjen PHKA No. 22/Kpts/ DJ-IV/2004
Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Utara, Riau, Jambi, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah
16. Kepdirjen PHKA No. SK.113/IV- Pembentukan Brigade PengendaliPKH/2005 an Kebakaran Hutan di Propinsi Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Sulawesi Selatan VI. Peraturan Daerah Provinsi (Perda Prov.) Daerah Tingkat I (Dati I) dan/atau Qanun 1.
Perda Prov. Dati I Sulawesi Selatan No. 2 Tahun 1982
Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan, Pengembalaan Ternak dalam Hutan Negara dan Pemungutan Hasil Hutan
2.
Perda Prov. Dati I Sumatera Utara No. 16 Tahun 1987
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan, Pengembalaan Ternak dalam Hutan Negara dan Pemungutan Hasil Hutan
3.
Perda Prov. Dati I Nusa Tenggara Timur No. 26 Tahun 1988
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan
4.
Perda Prov. Dati I Bengkulu No. 4 Tahun 1990
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan dalam Prov. Dati I Bengkulu
5.
Perda Prov. Dati I Sulawesi Utara No. 5 Tahun 1990 Perda Prov. Dati I Jawa Tengah No. 6 Tahun 1991
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan di Prov. Dati I Jawa Tengah
Perda Prov. Dati I Jawa Timur No. 7 Tahun 1992
Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan
6.
7.
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
8.
Perda Prov. Dati I Jawa Timur No. 5 Tahun 1992
Perlindungan Hutan di Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur
9.
Perda Prov. Dati I Nusa Tenggara Barat No. 14 Tahun 1993
Pengendalian Kebakaran Hutan
10. Perda Prov. Dati I Nusa Tenggara Barat No. 17 Tahun 1993
Pengembalaan Ternak dalam Hutan, Pengambilan Rumput dan Makanan
11. Perda Prov. Dati I Lampung No. 6 Tahun 1998
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan dalam Prov. Dati I Lampung 12. Perda Prov. Kalimantan Tengah Pengendalian Kebakaran Hutan dan No. 5 Tahun 2003 atau Lahan 13. Perda Prov. Riau No. Tahun 2007
Pedoman Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan, dan Lingkungan Hidup
14. Perda Prov. Kalimantan Barat No. 6 Tahun 1998
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Hutan dan Lahan
15. Perda Prov. Kalimantan Selatan No. 1 Tahun 2008
Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan
16. Perda Provinsi Kalimantan Timur No. 5 Tahun 2009
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
17. Qanun Aceh No. 2 Tahun 2011
Pengelolaan Lingkungan Hidup
18. Perda Prov. Jawa Barat No. 1 Tahun 2012
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Penataan Hukum Lingkungan
19. Perda Prov. Jambi No. 2 Tahun 2016
Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
20. Perda Prov. Sumatera Selatan No. 8 Tahun 2016
Pengendalian Kebakaran Hutan dan/atau Lahan
VII. Peraturan Gubernur (Pergub) dan Keputusan Gubernur (Kepgub) 1.
Pergub Sumatera Selatan No. 36 Prosedur Tetap Operasional Tahun 2007 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Sumatera Selatan
2.
Pergub Jawa Timur No. 1 Tahun Sistem Pengendalian Kebakaran 2014 Hutan dan Lahan Pergub Riau No. 11 Tahun 2014 Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Provinsi Riau
3. 4.
Pergub Riau No. 27 Tahun 2014 Prosedur Tetap Pengendalian Bencana Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
5.
Pergub Kalimantan Tengah No. 49 Tahun 2015
6.
Pergub Bengkulu No. 31 Tahun Sistem Pengendalian Kebakaran 2015 Hutan dan Lahan di Provinsi Bengkulu
7.
Pergub Aceh No. 20 Tahun 2016 Pengendalian Kebakaran Hutan
8.
Kepgub Kepala Dati I Jawa Tengah No. 364/1/1987
Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan di Prov. Dati I Jawa Tengah
9.
Kepgub Kepala Dati I Jambi No. 36 Tahun 1993
Pembentukan Pusat Pengendalian (PUSDAL) Kebakaran Hutan di Prov. Dati I Jambi Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
10. Kepgub Kepala Dati I Maluku No. 364.05.521 Tahun 1995
Pencabutan Atas Pergub Kalimantan Tengah No. 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah dan Pergub Kalimantan Tengah No. 15 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Pergub Kalimantan Tengah No. 52 Tahun 2008 tentang Pedoman Pembukaan Lahan dan Pekarangan Bagi Masyarakat di Kalimantan Tengah
11. Kepgub Kepala Dati I Nusa Tenggara Timur No. 37 Tahun 1995
Pembentukan Tim Pengendalian Kebakaran Hutan, Satuan Pelaksana dan Brigade Pemadam Kebakaran Hutan Prov. Dati I NTT
12. Kepgub Kepala Dati I Sumatera Barat No. SK. 364.430.1995
Pembentukan Pusat Pengendalian Hutan/ Satuan Pelaksana dan Brigade Pemadam Kebakaran Prov. Dati I Sumatera Barat
13. Kepgub Kepala Dati I Lampung No. G/457/B.VII/HK/1995
Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan Lampung
14. Kepgub Kepala Daerah Istimewa Pembentukan Pusat Pengendalian Aceh No. 522.1/423/1995 Kebakaran Hutan Daerah Provinsi Daerah Istimewa Aceh 15. Kepgub Kepala Dati I Sumatera Pusat pengendalian (PUSDAL) dan Selatan No. 7 Tahun 1995 Pos Komando Pelaksana (POSKOLAK) Serta Satuan Pelaksana (SATLAK) Usaha Pencegahan Kebakaran Hutan dam Prov. Dati I Sumatera Selatan
|
No. Jenis Peraturan dan Nomor
Isi/Tentang
16. Kepgub Kepala Dati I Jambi No. 182 Tahun 1995
Pembentukan Tim Koordinasi Penyuluhan Terpadu Penanggulangan Gangguan Asap pada Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Daerah Prov. Dati I Jambi 17. Kepgub Kepala Dati I Kaliman- Pusat Pengendalian Kebakaran tan Selatan No. 035 Tahun 1995 Hutan dan Lahan Prov. Dati I Kalimantan Selatan 18. Kepgub Kepala Dati I Jawa Barat Pusat Pengendalian Kebakaran No. 364/SK.1852 Perek/1995 Hutan dan Lahan Prov. Dati I Jawa Barat 19. Kepgub Kepala Dati I Sulawesi Tengah No. SK.188.44/4969/ Dephut
Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran dan Lahan
20. Kepgub Kepala Dati I Sulawesi Tenggara No. 63 Tahun 1996
Pembentukan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Prov. Dati I Sulawesi Tenggara 21. Kepgub Kepala Dati I Bali No. Pembentukan dan Susunan 655 Tahun 1996 Keanggotaan Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Prov. Dati I Bali 22. Kepgub Kepala Dati I Jambi No. Pembentukan Pusat Pengendalian 240 Tahun 1996 Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLA) Prov. Dati I Jambi 23. Kepgub Kepala Dati I Jawa Barat Pembentukan Pusat Pengendalian No. 367/Kep.1163-Binprod/ Kebakaran Hutan dan Lahan 2001 Provinsi Jawa Barat 24. Kepgub Kalimantan Tengah No. 77 Tahun 2005
Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah
25. Kepgub Kalimantan Tengah No. 78 Tahun 2005
Petunjuk Teknis Pengendalian Kebakaran Hutan dan atau Lahan di Provinsi Kalimantan Tengah
26. Kepgub Sumatera Selatan No. 280/KPTS/Hut/2005
Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan (PUSDALKARHUTLAH) Provinsi Kalimantan Tengah
27. Kepgub Kalimantan Tengah No. 188.44/187/2009
Pos Simpul Komando Terpadu Pengendalian Kebakaran Hutan, Lahan dan Pekarangan
28. Kepgub Jawa Timur No. 188/262/KPTS/013/2015
Tim Brigade Pengendali Kebakaran Hutan dan Lahan Prov. Jawa Timur
|
Teknologi pencegahan kebakaran ternyata lebih efektif dibandingkan dengan teknologi penanganan secara kuratif. Teknologi pencegahan ini dapat dilakukan dengan berbagai program kegiatan, kerja sama antarpihak, dan kearifan lokal sesuai daerah masing-masing. Beberapa pengalaman yang telah dipraktikkan di berbagai daerah menjadi pembelajaran yang efektif dalam hal pencegahan kebakaran hutan dan lahan. Selain itu, praktik yang melibatkan masyarakat dan kerja sama antarpihak dalam mengelola kawasan hutan atau lahan diharapkan mampu mengurangi konflik di lapangan. Penerapan model PHBM merupakan salah satu cara terbaik dalam pembangunan HTI dan perkebunan. Dalam model PHBM, kelompok-kelompok masyarakat diikutsertakan dalam setiap proses pembangunan HTI melalui kemitraan yang saling menguntungkan. Model ini memerlukan suatu pola kemitraan yang erat dan bersungguh-sungguh dari kedua belah pihak, terutama perusahaan untuk bisa mengurangi potensi konflik di arealnya. Pengurangan dan pencegahan kasus kebakaran hutan juga pernah dilakukan melalui pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam, seperti di Lampung Barat. Hasil studi kasus di daerah ini menunjukkan bahwa kebakaran hutan banyak disebabkan oleh pembakaran yang dilakukan untuk perluasan kebun kopi di kawasan taman nasional dan hutan lindung. Analisis citra menunjukkan tingginya tingkat konversi hutan menjadi kebun kopi. Tingginya tingkat migrasi dan keuntungan dari kebun kopi merupakan faktor utama terjadinya perambahan hutan. Untuk mengatasi perambahan ini, program hutan kemasyarakatan menjadi salah satu cara meredam masyarakat yang merambah hutan. Dalam pelaksanaan hutan kemasyarakatan, masyarakat dapat dibina menjadi pelestari sumber daya alam, sambil mengambil manfaat hutan tanpa harus membakar. Pola ini didukung pula oleh ICRAF yang bekerja sama dengan WATALA. Mereka telah mengem-
|
bangkan suatu program Sistem Pendukung Negosiasi (SPN) di Kecamatan Sumberjaya, Kabupaten Lampung Barat. Sistem ini diharapkan dapat menjembatani konflik yang sering terjadi antarpihak yang bersengketa dan sekaligus mempromosikan pengelolaan sumber daya alam secara lestari. Selain kerja sama antarpihak, inisiatif dari dalam masyarakat sendiri berupa pengetahuan tradisional dan kearifan lokal dalam mengelola hutan dan lahan juga mendukung upaya pencegahan kebakaran. Kearifan lokal mengelola lahan tersebut ditandai dengan adanya praktik pembakaran terkendali (prescribe burning) dengan beberapa tahapan. Tahapan tersebut adalah tindakan penebasan tumbuhan terlebih dahulu, pengeringan, pengumpulan di bagian tengah ladang, pembuatan ilaran api, dan setelah itu baru dilakukan pembakaran pada ladang. Terkumpulnya bahan bakar di tengah ladang menyebabkan sangat kecil kemungkinan terjadinya api liar. Sebagian peladang juga telah terinovasi dengan budaya pemupukan lahan sehingga pertumbuhan tanaman pangan di dalam ladang menjadi sangat subur dan peladang tidak banyak berpindah. Apabila tradisi ini dilakukan oleh semua pengguna api untuk berladang di semua daerah, bahaya kebakaran hutan dan lahan diperkirakan akan menurun. A. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Berladang Pengetahuan tentang pengendalian kebakaran hutan ternyata telah dimiliki oleh sebagian masyarakat desa, antara lain di pedalaman Kalimantan, Sumatera, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Praktik penggunaan api ini telah berlangsung secara turun-temurun sejak zaman nenek moyangnya. Pengetahuan tradisional dan kearifan lokal yang ada di desa-desa tertentu ini berhubungan dengan penggunaan api untuk berladang sebagai kepentingan hidup manusia untuk memperoleh kebutuhan pangan. Praktik perladangan tebas bakar (slash and burn) dengan teknik pembakaran terkontrol ini masih berlangsung hingga sekarang.
|
1. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Perladangan di Kalimantan Kearifan lokal tentang pengetahuan kebakaran banyak dimiliki masyarakat di beberapa desa di Kalimantan. Di Kalimantan Selatan, kearifan lokal yang telah diketahui di antaranya di Desa Loksado dan Mawangi, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Di Kalimantan Tengah, kearifan lokal ini diketahui terdapat di beberapa desa sekitar eks Pengelolaan Lahan Gambut (PLG) “sejuta hektar” (kawasan Mawas), seperti Desa Mantangai Hilir, Katunjung, Lawang Kajang, Madara, dan Batampang. Desa Loksado didominasi oleh Suku Dayak, sedangkan di Desa Mawangi didominasi oleh Suku Banjar. Kearifan lokal tersebut hanya berlaku di lahan kering. Secara umum, masyarakat Dayak di Desa Loksado dan Mawangi memiliki kesadaran tinggi dalam memanfaatkan api untuk kegiatan penyiapan lahan. Oleh sebab itu, kebakaran pada hutan di daerah tersebut tidak pernah terjadi. Hasil penelitian yang pernah dilakukan di lokasi ini menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat Loksado melakukan perladangan berpindah (91% responden). Walaupun melakukan perladangan berpindah, mereka memiliki tradisi kebersamaan yang kuat yang disebut ”ma ari” atau ”ba arian”. Tradisi tersebut bermakna saling membantu atau membalas bantuan kepada orang lain pada saat kegiatan pembakaran lahan untuk pertanian. Pembakaran dilakukan secara bergotong royong sejumlah 10– 20 orang, dengan tahapan sebagai berikut: 1) menebas vegetasi pada lahan yang akan dibakar 2) membiarkan hasil tebasan selama 1 bulan hingga kering; 3) membuat sekat bakar 3–5 meter di sekeliling lahan, 4) membakar lahan secara bertahap, dan 5) memadamkan api dengan ember, bambu dan pelepah pisang. Pengetahuan lokal tentang cara pembukaan ladang dengan menggunakan api di Kalimantan Tengah dapat dilihat dalam Tabel 26.
|
Tabel 26. Tahapan pembakaran lahan menurut kearifan lokal masyarakat Dayak Tahapan Mantangai Hilir
Katunjung
Desa Lawang Kajang
Madara
Batampang
I.
Mendirik dan Mendirik dan Mendirik dan Tamaruh dan Mandirik dan meneweng meneweng meneweng newen meneweng (1–2 bulan) (1–2 bulan) (1 bulan) (1 bulan) (1 bulan)
II.
Mengeang dirik (10 hari)
Mengekey (10 hari)
Mengekeng upak kayu (30 hari)
Ngekay
Mempakeang
(30 hari)
(30–40 hari)
III.
Menatas Membuat Membuat Rangrangan Menatas batas tana tatas tatas (lebar 2–3 m) (lebar 2–3 m) (lebar 2–3 m) (lebar 1–2 m) (lebar 1–2 m)
IV.
Bakehu tutu tana (dengan korek api)
Menusul tana Menusul hinga belap (dengan (dengan korek api) korek api)
Nutung
Menusul
(dengan korek api)
(dengan korek api)
Napayah Mawi (mencegah api sisa)
Menyimpuk
Menyimpuk
Ipanruk
Menyimpuk
(mencegah api sisa)
(mencegah api sisa)
(mencegah api sisa)
(mencegah api sisa)
V.
VI.
Manugal pare Manugal pare Manugal pare Muaw (padi (padi (padi (padi gunung) gunung) gunung) gunung)
Menugal (padi gunung)
Penelitian lainnya telah dilakukan pula di Kalimantan Tengah yang menunjukkan kearifan lokal dari masyarakat setempat. Wawancara yang dilakukan dengan aparat di Kecamatan Mantangai dan Timpah, serta Dusun Selatan dan Hilir menyatakan bahwa wilayah Hutan Mawas berbatasan dengan 59 desa dan kampung yang dihuni sekitar 15.000 orang penduduk. Desa dan kampong tersebut tersebar di dalam lima kecamatan dan dua wilayah kabupaten. Mayoritas masyarakat adalah suku asli Dayak, sedangkan suku-suku kecil lainnya terdiri dari suku Banjar, Jawa, Bugis, Batak, dan Manado. Keturunan penduduk asli yang tersebar di wilayah ini adalah Dayak kelompok etnis Ngaju, Ma,anyan, dan Luangan. Sekitar 85% keturunan Dayak masih berdiam di sekitar wilayah kelola
|
Borneo Orangutan Survival (BOS) Mawas. Berdasarkan hasil penilaian desa partisipatif yang dilakukan oleh tim peneliti BOS-Mawas tahun 2006, periodisasi sejarah desa dan kependudukan di sekitar wilayah ini dimulai sejak tahun 1600, 1700, dan 1800-an, yaitu telah ada jauh sebelum proyek BOS-Mawas dimulai. Keterangan tokoh-tokoh adat menunjukkan bahwa terbentuknya desa-desa atau pemukiman pada umumnya dimulai dari kedatangan sekelompok orang tertentu dengan tujuan menetap. Secara historis, cikal bakalnya ada yang dimulai dengan kedatangan sekelompok masyarakat peladang yang secara turun-temurun mengajak saudaranya. Pendapat lain menyatakan bahwa penduduk berasal dari keturunan Nyai Indu Runtun yang menjelma menjadi Batu Palan Tuhuk/Patahu. Sementara itu, pendapat terakhir menyatakan bahwa berkembangnya suatu desa atau pemukiman tersebut berawal dari masuknya sekelompok misionaris yang mendirikan sekolah zending (Mosi, pers. com. 2009; Uhing, 2009). Tokoh-tokoh adat dari kelompok masyarakat suku Dayak masih cukup berperan dalam memberi nasehat dan mengatur warga, baik dalam acara-acara ritual keagamaan maupun ritual melakukan aktivitas mata pencaharian. Mereka sekaligus bertindak sebagai tokoh spiritual Kaharingan (agama asli suku Dayak). Tokoh adat umumnya dapat berhubungan dengan arwah para leluhur dan mengetahui kisah-kisah para leluhur sehingga menjadi tokoh yang dipercaya dalam melestarikan adat. Tokoh adat Dayak disebut Demang yang membawahi beberapa Monter Adat. Bukti masih dilakukannya ritual adat adalah terdapatnya situs-situs yang dikeramatkan. Situs-situs ini banyak ditemui di sekitar pinggir-pinggir Sungai Kapuas, Kahayan, dan Barito. Situs tersebut di antaranya berupa tempat yang berisi kainkain kuning sebagai tanda bahwa tempat itu dikeramatkan oleh suku Dayak penganut Kaharingan. Menurut keterangan tokoh adat, kain-kain kuning yang digantungkan pada rumputrumput rasau (Pandanus sp.) di pinggir sungai adalah sebagai pelaksanaan nazar seseorang yang telah berhasil dalam suatu usaha. Tempat keramat yang ditandai kain kuning dianggap sebagai tempat tinggal makhluk halus leluhur dan diketahui
|
setelah para tokoh adat mengalami kesurupan (france) di tempat itu. Saat kesurupan, kepala adat memberikan pesanpesan seseorang leluhur yang disebut Kambe Hay kepada manusia keturunannya. Penganut kepercayaan Kaharingan percaya bahwa di setiap desa ada makhluk halus penguasa. Menurut keterangan tokoh-tokoh adat, upacara adat yang umum dilakukan adalah upacara Tiwah dan Pekanan Batu. Upacara Tiwah adalah upacara mengambil tengkorak dari tempat penyimpanan sementara yang dipindah ke Sandung (sejenis rumah kecil) tanpa dikubur lagi. Upacara Pekanan Batu adalah upacara sehabis panen sebelum hasil panen dimakan. Upacara tersebut merupakan pemberian makan kepada batubatu dan alat-alat panen sebagai tanda terima kasih. Jenis upacara lainnya yang ditemukan di masyarakat Dayak adalah upacara Manyanggar. Upacara ini merupakan ritual permohonan izin kepada para arwah penunggu desa atau kampung untuk diberikan keselamatan dan dijauhkan dari segala kekuatan dan maksud jahat. Kegiatan ini dilaksanakan selama tiga hari dengan puncak acara memotong hewan kerbau sebagai tumbal kepada arwah. Pada masyarakat Dayak penganut Kaharingan, terdapat pula upacara ritual Kaharingan, yaitu pengabdian terakhir kepada yang meninggal dunia yang disebut upacara Wara (upacara kematian). Upacara ini bisa berlangsung selama tujuh hari dan jumlah keluarga yang diwara-kan dapat mencapai 100 kepala keluarga. Selain kepercayaan Kaharingan (65%) di Desa Lawang Kajang, terdapat juga Gereja Bethel Indonesia (GBI), Kristen Protestan, dan Islam. Walaupun mereka berbeda dalam keyakinan, mereka tetap saling menghargai dan tunduk kepada tokoh-tokoh adat setempat yang biasa memimpin dalam upacara adat. Mata pencaharian utama masyarakat sekitar Hutan Mawas adalah usaha perladangan dan menangkap ikan. Pada ladang yang masih subur, mereka terbiasa menanam padi lokal (Oriza sativa). Apabila ladang sudah tidak subur lagi, mereka akan berpindah untuk membuka ladang baru, sedangkan ladang yang lama kemudian ditanami karet (Hevea brasiliensis). Menurut pengalaman mereka, tanah menjadi tidak subur untuk padi setelah 3–4 tahun. Walaupun berladang berpindah, mere-
|
ka bermukim secara tetap karena memiliki rumah di desa-desa dan kampung-kampung. Masyarakat sekitar Hutan Mawas banyak mengenal cara penangkapan ikan dengan sistem beje (kolam perangkap ikan sungai). Berkembangnya beje berawal dari kolam-kolam alami yang terbentuk pada lahan rawa yang rendah. Pada saat air rawa pasang atau banjir, hampir semua lahan tergenang air. Kondisi air pasang ini telah menyebabkan populasi jenis-jenis ikan sungai bertambah dan hidup menyebar ke seluruh air genangan. Ketika air surut, hanya bagian-bagian lahan yang rendah yang masih tergenang dan ikan yang tadinya menyebar, secara perlahan masuk terperangkap ke cekungan-cekungan alami lahan yang masih berair. Cekungan-cekungan itulah yang disebut beje dan masyarakat beramai-ramai menangkap ikan sungai di tempat tersebut. Dengan berjalannya waktu, beje-beje tersebut kini sengaja dibangun dengan cara menggali tanah gambut menjadi kolam-kolam berbentuk balok dengan ukuran lebar permukaan sekitar 1–2 m dan panjang yang bervariasi antara 10–50 m, serta dengan kedalaman rata-rata 2 m. Bejebeje inilah yang membuat masing-masing penduduk memiliki tempat-tempat teritorial penangkapan ikan. Khusus di Desa Batampang, tempat hunian suku Dayak Bakumpay telah ditemukan 63 jenis ikan air tawar yang terperangkap di dalam beje. Terdapatnya variasi jenis ikan dan tantangan yang dihadapi dalam menangkapnya, terdapat pula variasi 21 jenis alat penangkap ikan yang biasa digunakan oleh masyarakat setempat. Panen ikan dari beje biasanya berlangsung antara bulan Juli, Agustus, dan September. Jenis-jenis ikan yang paling bernilai ekonomi adalah ikan haruan, tauman, kakapar, meau, dan lele. Hal yang menarik adalah bahwa jenis-jenis ikan tersebut tahan hidup di air sungai-sungai berwarna hitam. Informasi sejarah keberadaan desa, masyarakat asli yang mendiaminya, dan adat-istiadat yang berlangsung turuntemurun tersebut mencerminkan terdapatnya kearifan lokal. Hal ini sangat berkaitan dengan penguatan strategi pencegahan kebakaran hutan yang berbasis masyarakat. Informasi risalah desa dan profil masyarakatnya di sekitar Hutan Mawas dapat menjadi landasan bahwa sesungguhnya masyarakat Dayak merupakan masyarakat asli yang telah hidup turun-
|
temurun di sekitar kawasan hutan. Mereka memiliki budaya dan kepercayaan bahwa alam perlu dihormati dan dilindungi karena telah memberi kehidupan. Mereka pun senang hidup bermasyarakat dengan sesamanya, mengetahui alam lingkungannya, dan menghargai para leluhurnya. 2. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Perladangan di Sumatera Kearifan lokal dalam mengendalikan api lahan dijumpai pula di Sumatera. Contoh kearifan lokal tersebut terdapat di tiga desa di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Provinsi Sumatera Selatan. Ketiga desa tersebut adalah Desa Lebung Gajah dan Desa Ujung Tanjung di Kecamatan Tulung Serapan, dan Desa Penanggukan Duren di Kecamatan Pampangan. Pengetahuan tradisional ini telah berlangsung turun temurun di lahan kering [bukan lahan rawa lebak atau rawa gambut]. Suku Ogan Komering Ilir mendominasi desa-desa tersebut. Mekanisme pembukaan lahan untuk peremajaan kebun karet atau menanam padi dilakukan secara bertahap. Kegiatan dimulai dengan pemberitahuan kepada kepala desa atau kepala dusun bahwa pembersihan lahan akan dimulai. Selanjutnya, pemilik lahan memberitahu kepada seluruh pemilik lahan atau kebun yang berbatasan dengan lahan yang akan dibakar yang mungkin dapat terkena dampak pembakaran. Nebas dan nebang semak dan rumput pun dimulai untuk kemudian dikeringkan hingga kering benar dengan harapan bahan bakar akan cepat habis bila dibakar. Ngekas atau kekasan adalah ilaran api (sekat bakar) yang dibuat di sekeliling lahan yang akan dibuka atau dibakar dengan lebar yang cukup aman (lebar minimal dua meter). Mereka melakukan nunu atau membakar dan menjaga selama pembakaran agar api tidak merembet keluar dan dilanjutkan dengan munduk atau membakar sisa-sisa potongan kayu yang belum terbakar. Akhirnya, pembakaran lahan selesai dilaksanakan dengan aman terkendali dan tidak merembet ke kebun tetangga, serta tidak menimbulkan kebakaran hutan dan lahan yang tidak diinginkan. Setelah pembakaran selesai, peladang membuat pagar di sekeliling ladangnya guna menjaga dari gangguan babi
|
dan membangun gubuk kerja. Di pintu pagar lading, biasanya dipasang bendera merah putih sebagai tanda bagi sanak keluarga ataupun tetangga yang ingin datang menjenguk atau membantu. Selanjutnya, lahan dibuat lubang tanaman dan ditugal untuk menanam benih padi. 3. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Perladangan di Nusa Tenggara Timur Penelitian tentang kearifan lokal yang terkait dengan pencegahan kebakaran pernah dilakukan di Nusa Tenggara Timur. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya beberapa kearifan lokal, antara lain: a. Pembuatan sako (ilaran api) pada saat pembakaran. Budaya sako ditemukan di Molo Selatan dan Benlutu. b. Aturan adat Naik Banu dan Turun Banu yang dijumpai di Benlutu, Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu semacam aturan adat yang memungkinkan pengolahan lahan dalam waktu yang sama. Dengan demikian, saat pembakaran lahan, masyarakat dapat saling mengontrol. c. Semboyan ”Nama tananya Na Tana, nama lukunya Na luku”. Konsepsi ini mengandung makna perlu adanya penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta sehingga alam tidak rusak dan bermanfaat bagi manusia dan ekosistemnya. Dalam konsepsi ini, tersirat pula penghormatan dan pengakuan terhadap kelompokkelompok adat dan Kasibu yang secara teknis diberi wewenang untuk bertanggungjawab dalam pengelolaan lahan dan hutan. d. Pemahaman ” Tana papadita, wua kalapa puaka” di Sumba Timur yang mengandung makna tanah adalah hasil karya dan pemberian sang ”Marapu”. Atas dasar tersebut, setiap pemanfaatan lahan, baik berupa pembuatan lahan baru maupun pemanfaatan selanjutnya, harus melalui mekanisme upacara adat sebagai sarana meminta izin kepada sang “Marapu” pemilik segala sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, masyarakat berkeyakinan akan menimbulkan malapetaka
|
yang mana salah satu bentuknya berupa penurunan produktivitas lahan. Mekanisme penyiapan atau peremajaan lahan yang menggunakan api juga dilakukan melalui beberapa tahapan. Dalam menggunakan api untuk berladang, mereka membuat dahulu sekat bakar (sako). Setelah itu, tumbuhan yang ada di lantai hutan ditebas dan dikeringkan. Pada saat itu pula, kegiatan bekerja sama dalam pembakaran dilakukan. Pembakaran tersebut dijaga oleh semua warga yang terlibat di dalam kelompok. 4. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Perladangan di Papua Masyarakat Papua yang bercampur dengan suku Buton telah terbiasa dengan pertanian pola tebas bakar. Namun, hasil dari pembakaran lahan tidak sampai membahayakan lahan milik orang lain dan komunitas hutan lainnya. Kondisi tersebut ternyata merupakan hasil pelaksanaan kedisiplinan dalam melakukan pembakaran. Sebelum tumbuhan semak belukar dibakar, peladang terlebih dahulu melakukan penebasan untuk menghindari adanya penjalaran api liar. Bahkan, pagar bambu atau kayu seringkali dibangun untuk menghindari keluarnya api pembakaran menuju hutan atau areal pertanian lain. Lahan memang sengaja dibakar untuk berbagai tujuan, antara lain pembukaan lahan untuk areal transmigrasi, pembersihan lahan garapan pertanian, pengambilan kayu bakar, penangkapan tikus tanah, pengambilan rumput pakan ternak, pembakaran daun-daun kering untuk pupuk, dan bahkan, iseng sebagai tontonan. Suku yang dominan di areal penelitian adalah suku Moi di Klamono (Sorong) dan suku di Wamena. B. Kearifan Lokal Penggunaan Api untuk Berburu Kearifan lokal dalam penggunaan api juga dapat dijumpai pada kegiatan-kegiatan perburuan satwa di beberapa daerah di Indonesia. Pada suku Kanum di Merauke, pembakaran lahan hutan lebih banyak dilakukan untuk berburu rusa
|
(Rusa timorensis), kanguru, soa-soa, dan berbagai jenis ular. Dalam berburu, mereka telah menguasai cara pengelolaan api agar tidak meluas ke areal hutan yang tidak dikehendaki. Di Kalimantan, budaya berburu satwa liar menggunakan api juga berlangsung di beberapa tempat yang umumnya dilakukan oleh suku Banjar dan Dayak. Kondisi vegetasi areal perburuan yang umumnya dianggap cocok untuk menggunakan api adalah hutan yang telah terbuka dan terutama banyak ditumbuhi alang-alang. Sebelum dilakukan pembakaran, areal perburuan [umumnya untuk rusa] telah dirancang agar satwa liar tersebut lari dan masuk ke dalam perangkap yang telah disediakan di bagian tepi areal pembakaran. Sebelumnya, para pemburu telah mengetahui keberadaan musiman satwa liar di areal tertentu. Mereka paham sekali tentang bulan apa, hari apa, dan jam berapa satwa sering berada di tempat perburuan. Apabila waktu berburu telah tiba, beberapa macam perangkap seperti jaring dan tali penjerat segera dipasang di atas permukaan tanah. Selanjutnya, semua vegetasi rumput dan semak akan dibakar habis agar semua satwa liar lari menghindari panasnya api dan akan masuk ke dalam perangkap yang telah dipasang. Jenis satwa rusa umumnya yang diburu untuk dijadikan bahan pangan (lauk pauk) yang bergizi. Apabila hasil buruan cukup banyak, mereka akan menjualnya ke warung-warung atau ke pembeli khusus daging rusa. Daging rusa ini dapat dijual dengan harga lebih tinggi daripada hewan ternak yang umum, seperti ayam dan kambing. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya, beberapa indikator yang menandakan adanya kearifan lokal adalah sebagai berikut: 1. Terdapat kedisiplinan yang tinggi dari peladang untuk melokalisasi pembakaran sehingga api tidak menjalar ke areal yang tidak diinginkan. 2. Telah terbentuk suatu sistem kerja sama masyarakat dalam pelaksanaan pembakaran ladang yang mana pembakaran dilakukan secara bergiliran dan saling mengawasi.
|
3. Telah terbentuk teknik pembakaran terkendali yang dilengkapi dengan pembuatan sekat bakar (ilaran api) untuk menghindari meluasnya api ke luar areal yang dibakar. 4. Tahapan pembakaran yang teratur telah terbentuk, yaitu melalui tahapan penebasan gulma berupa rumput, semak dan pohon; penumpukan bahan bakar ke bagian tengah ladang; pengeringan bahan bakar; pembuatan sekat bakar; dan pembakaran sesuai arah angin. 5. Khusus pada suku Dayak di Desa Loksado, terdapat sistem denda yang telah berlaku di masyarakat dan telah diterapkan kepada penduduk yang diketahui membakar tanpa melapor kepada masyarakat sekitarnya, serta mengakibatkan terbakarnya tanaman orang lain. Besarnya denda adalah Rp50.000 untuk satu pohon karet umur tiga tahun. 6. Peralatan pembakaran ladang yang sering digunakan masyarakat adalah parang, arit, ranting-ranting pohon, pelepah dan batang pisang, ikatan alang-alang, ember berisi air, dan bambu. Bentuk kearifan lokal lain adalah terdapatnya aktivitas masyarakat yang secara tidak disadari tetapi telah menjadi tradisi dapat mengurangi bahan bakar alang-alang. Contoh aktivitas tersebut dapat dijumpai pada masyarakat pedalaman di Papua yang membuat rumah tradisional dari alang-alang atau jenis palma. Tipe rumah tersebut dinamakan honai dan banyak dijumpai pada daerah-daerah yang banyak ditumbuhi alang-alang atau jenis palma seperti aren (Arenga pinnata) dan sagu (Metroxylon sago). Akibat banyaknya pembuatan honai, sebagian besar alang-alang habis digunakan masyarakat Papua di daerahnya.
|
Hasil-hasil riset yang ditulis dalam buku ini diperoleh penulis selama menjadi Koordinator Penelitian Kebakaran Hutan sejak tahun 2003 hingga tahun 2008 di Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan [kini bernama Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi], Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Temuan riset tersebut disajikan secara singat sebagaimana uraian di bawah ini. A. Pembangunan Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran (Tahun 2003) Penelitian yang dilakukan oleh Acep Akbar dan kawankawan pada tahun 2003 di Riam Kiwa ini berhubungan dengan pencegahan kebakaran hutan dengan pendekatan teknik silvikultur. Hasil dari penelitian ini, antara lain: 1. Hutan tanaman seluas dua hektare dengan empat jenis pohon cepat tumbuh yang diujicobakan, yaitu Acacia mangium, A. crassicarpa, Eucalyptus pellita, dan Alstonia scholaris dengan perlakuan pengolahan lahan mekanis dan dua pola tanam, yaitu tumpang sari dan tanpa tumpang sari. 2. Interaksi antara jenis pohon yang ditanam dengan pola tanam berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah tumbuhan alangalang per m2. Kerapatan gulma pada tanaman yang ditanam dengan pola tumpang sari lebih rendah dibandingkan dengan kerapatan gulma pada pola tanam tanpa tumpang sari. Tanaman A. mangium pola tanam tumpang sari dan A. crassicarpa pola tanam tumpang sari menghasilkan kerapatan gulma alang-alang terendah, diikuti E. pellita pola tanam tumpang sari dan A. scholaris pola tanam tumpang sari. Keempat jenis tersebut menghasilkan kerapatan gulma yang tinggi jika tanpa tumpang sari.
|
3. Jenis pohon yang ditanam tanpa tumpang sari berpengaruh sangat nyata terhadap kondisi gulma nonalang-alang bawah tegakan. Tanaman A. scholaris memiliki kerapatan gulma terendah bersama dengan E. pellita dan A. mangium, sedangkan A. crassicarpa memiliki kerapatan gulma nonalang-alang tertinggi. 4. Frekuensi kejadian api pada demplot penelitian tidak ditentukan oleh jarak kejadian api dari camp dan rasio panjang jalan dengan luasan tanaman, tetapi lebih ditentukan oleh adanya perladangan dan hutan alam tempat berburu. 5. Jenis-jenis pohon dan pola tanam yang memberi potensi menurunkan risiko kebakaran adalah A. mangium tumpang sari, A. crassicarpa tumpang sari, E. pellita tumpang sari, A. scholaris tumpang sari, Gmelina arborea, dan Swietenia macrophylla. Semua jenis tegakan tersebut dibangun dengan pengolahan lahan secara mekanis. 6. Sekat bakar jalur kuning lebar enam meter cukup efektif untuk mencegah jalaran api rumput/alang-alang pada tanaman kehutanan umur dua tahun. 7. Pencegahan terjadinya kebakaran hutan tanaman yang paling efektif adalah dengan mengondisikan tumbuhan bawah sejarang mungkin. Hal ini karena vegetasi lantai tegakan hutan tanaman merupakan bahan bakar halus potensial yang apabila kering sangat rentan terhadap kebakaran. Penelitian lanjutan dengan judul yang sama telah dilakukan oleh Acep Akbar dan kawan-kawan tahun 2004. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh jenis dan pola pemeliharaan terhadap kondisi bahan bakar potensial bawah tegakan. Ringkasan hasil penelitian sebagai berikut: 1. Jenis pohon tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah individu alang-alang bawah tegakan per m2. 2. Pola pemeliharaan berpengaruh nyata terhadap jumlah tumbuhan alang-alang per m2 yang mana pemberantasan gulma dengan herbisida round-up 5 liter/ha menghasilkan pertumbuhan kembali (regrowth) berupa jumlah tumbuhan alangalang terendah.
|
3. Jenis pohon yang ditanam dan pola pemeliharaan secara berinteraksi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah biomassa bawah tegakan (gr/m2). Acacia crassicarpa yang dipelihara dengan pemberian herbisida menghasilkan jumlah biomassa terendah (230,75 gr/m2). Hasil ini sama dengan A. mangium diherbisida dan E. pellita diherbisida, yang diikuti A. scholaris diherbisida, A. crassicarpa ditebas total, dan A. scholaris ditebas total. Jumlah biomasa tertinggi didapat dari E. pellita tanpa dipelihara, A. scholaris tanpa dipelihara, A. crassicarpa tanpa dipelihara, dan A. mangium tanpa dipelihara. 4. Jenis pohon yang ditanam dan cara pemeliharaan secara berinteraksi berpengaruh sangat nyata terhadap kadar air bahan bakar potensial bawah tegakan. Acacia crassicarpa tanpa dipelihara menghasilkan kadar air terendah pada musim kemarau dan A. scholaris dipelihara dengan herbisida menghasilkan kadar air bahan bakar potensial bawah tegakan tertinggi. Peneltian berikutnya dilakukan oleh Acep Akbar dengan judul Evaluasi Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran. Penelitian tahun 2005 berlokasi di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan. Ringkasan hasil penelitian tersebut, sebagai berikut: 1. Model hutan tanaman berisiko kecil kebakaran pada dasarnya dapat dibangun dengan memerhatikan aktivitas saat membangun tanaman, ketersediaan sarana prasarana perlindungan hutan, aktivitas pemeliharaan, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan, dan membangun jejaring kerja dalam bentuk sistem kelembagaan yang efektif dan efisien. 2. Karakteristik jenis pohon yang dikembangkan berpengaruh pada rawan atau tidaknya hutan terhadap kebakaran. Jenis pohon yang berdaun lebar, bertajuk tebal dan lebar, serta berserasah lembab, seperti Gmelina arborea, Acacia mangium, A. crassicarpa, dan Swietenia macrophylla memiliki sifat menurunkan risiko kebakaran pada hutan tanaman melalui reduksi bahan bakar potensial bawah tegakan secara alami. 3. Kadar air gulma pada setiap jenis hutan tanaman berfluktuasi seiring pergantian musim bulan basah dan bulan kering. Kadar air tersebut dipengaruhi curah hujan, kelembaban udara, dan suhu. Kadar air gulma semua jenis tegakan menjadi rendah
|
pada bulan Agustus, September, dan Oktober yang berarti tegakan hutan menjadi rawan kebakaran. 4. Pengolahan tanah secara mekanis total bajak, garu, dan rotapator telah memperlama munculnya kembali alang-alang (Imperata cylindrica) hingga tiga bulan. Di sisi lain, pemberantasan gulma dengan herbisida telah memperlama pemunculan (regrowth) alang-alang hingga empat bulan dibandingkan dengan cara tebas total. 5. Pola tanam monokultur disertai tumpang sari (agroforestry) dari jenis Acacia mangium dan A. crassicarpa telah menghasilkan kerapatan gulma alang-alang terendah (4 individu/m2) dibandingkan dengan tanpa tumpang sari (8 individu/m2). Kondisi ini terjadi juga pada jenis Eucalyptus pellita dan Alstonia scholaris. 6. Pemberantasan gulma hutan tanaman yang dilakukan 2 kali/ tahun dengan herbisida dan 4 kali/tahun secara manual dengan tebas total menghasilkan risiko kebakaran rendah dengan indikator rendahnya tinggi gulma dan pendeknya batang hangus akibat terbakar. 7. Panjang sekat bakar 20 meter dengan lebar tiga kali tinggi gulma di sekitarnya dalam bentuk jalan (sekat bakar jalur kuning) telah mempermudah akses antarunit tegakan tanaman, selain sebagai penyekat untuk menghindari kebakaran total. Keberadaan sekat ini memudahkan operasi pemadaman dan patroli pencegahan kebakaran. 8. Sarana prasarana pemadaman mutlak diperlukan untuk perlindungan hutan tanaman. Sarana prasarana tersebut, yaitu sekat bakar, menara api, stok air alami dan buatan, peralatan pemadam dan transportasi, papan peringatan, gudang alat, dan posko komunikasi. 9. Kerja sama masyarakat yang mendukung rendahnya risiko kebakaran pada hutan tanaman adalah PHBM, penyuluhan lingkungan, pemberian alat pemadam sederhana, membentuk Pos Api Kampung (PAK), melaksanakan praktik pemadaman, dan pemberian insentif. 10. Keberadaan Satgas Dalkarhut yang terampil dalam unit pengelolaan hutan tanaman dan mampu menjalin kerja sama
|
dengan lembaga berwenang mengendalikan kebakaran hutan seperti Brigdalkarhut (Manggala Agni) Daops di kabupaten akan lebih dapat mengantisipasi dengan cepat bahaya kebakaran. 11. Semua unsur penyebab kerawanan kebakaran pada hutan sebaiknya dihindari manakala akan membangun hutan tanaman. Langkah yang perlu ditempuh adalah memilih jenis pohon komersial yang menghambat tumbuhnya gulma alang-alang, melakukan persiapan lahan secara mekanis atau kimia (herbisida) disertai pemupukan, memberantas gulma secara teratur, membuat sekat bakar, menyediakan alat pemadam, menjalin kerja sama dengan masyarakat sekitar hutan, membangun menara pengamat api, dan membangun sistem organisasi pengendalian kebakaran internal yang efektif dengan SDM terampil dan memiliki akses dengan lembaga formal pengendali kebakaran hutan dan lahan. B. Kajian Status (Review) IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan Kajian ini dilakukan oleh Jafar Sidik dan kawan-kawan pada tahun 2003 melalui pendekatan studi kasus di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Timur. Kajian ini berhubungan dengan pengendalian kebakaran hutan dan lahan dengan hasil sebagai berikut: 1. Kebijakan Yang menjadi peraturan pokok dalam penanggulangan kebakaran hutan di Kalimantan adalah: a. Peraturan Pemerintah No. 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan/atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berhubungan dengan Kebakaran Hutan dan Lahan. b. Keputusan Presiden No. 14 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Pengungsi. c. Keputusan Menteri Kehutanan No.260/Kpts-11/1995 tentang Petunjuk Usaha Pencegahan dan Pemadaman Kebakaran Hutan.
|
d. Keputusan Menteri Negara KLH No. Kep.07/MenLH/09/1997 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Nasional Pengendalian Kebakaran Lahan. Peraturan dan kelembagaan mengenai pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan dan lahan tersebut ditindaklanjuti oleh peraturan daerah provinsi dan kabupaten/kota. 2. Status Iptek Status iptek dalam pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan yang telah diadopsi di Kalimantan adalah: a. Sistem Deteksi Kebakaran Sistem penilaian tingkat bahaya kebakaran telah dikembangkan atas kerja sama Dephut [kini Kementerian LHK] dengan BMG [kini BMKG]. Sistem ini menggunakan indeks kekeringan Keetch-Byram. b. Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh Deteksi ini dilakukan dengan mengamati hotspot yang terpantau melalui satelit NOAA, pengolahan data satelit menjadi Fire Danger Rating dan Fire Risk. Pengolahan data satelit umumnya masih terkonsentrasi pada lembaga-lembaga asing yang berada di Indonesia, antara lain JICA yang menggunakan satelit NOAA dan HIMAWARI (GMS) yang diinformasikan oleh Dirjen PHKA melalui internet website. c. Evaluasi Kerusakan Hutan Akibat Kebakaran Mengevaluasi kerusakan hutan dengan menggunakan data citra spot. Data digital spot menyediakan informasi yang berharga tentang kondisi vegetasi setelah kebakaran (IPB, 1999) dan pernah dilakukan di Kalimantan Timur melalui pemetaan menggunakan Lansat TM (Yamaguchi et al., 1999). d. Pengelolaan Bahan Bakar dan Pencegahan Kebakaran Pengelolaan bahan bakar dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu 1) menghilangkan bahan bakar, 2) mengurangi bahan bakar, dan 3) memotong dan memblokir bahan bakar.
|
e. Model Desain Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran Hutan tanaman harus didesain dengan pengolahan lahan mekanis atau herbisida (Tanpa Olah Tanah/TOT). Tanaman di lahan alang-alang harus dibuat tajuk menutup dan tebal agar menekan pertumbuhan gulma alang-alang. Hasil uji jenis pada lahan alang-alang di Kalimantan Selatan menunjukkan bahwa Gmelina arborea memiliki penampilan bertajuk tebal dengan daun lebar. Tegakan tanaman campuran Gmelina arborea dan Peronema canescens merupakan tegakan yang memiliki risiko kebakaran kecil karena bahan bakar potensial bawah tegakan sangat jarang setelah berumur di atas dua tahun. f. Kajian Sifat-sifat Api 1) Sifat api berbeda pada kondisi dan tipe bahan bakar yang berbeda. 2) Sifat api alang-alang dan Chromolaena odorata tergolong api kecil (<3 m). 3) Kecepatan menjalar api permukaan pada lahan gambut bervegetasi pakis dengan volume bobot bahan bakar 12,3 kg/m2 adalah 2,6–5,2 m2/menit, dan bobot bahan bakar 15–90 kg/m2 adalah 10–18 m2/menit. 4) Kecepatan menjalar api permukaan pada lahan gambut bervegetasi semak belukar adalah 6–10 m2/menit. 5) Pada kondisi bahan bakar sangat kering, kecepatan menjalar api pada lahan alang-alang adalah 250 m2/menit. 6) Faktor-faktor yang memengaruhi perilaku kebakaran hutan adalah kadar air bahan bakar, kuantitas bahan bakar, ukuran dan susunan bahan bakar, suhu bahan bakar, kelembaban udara dan curah hujan, serta angin dan topografi. g. Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Pemadaman ini dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu pemadaman secara langsung dan pemadaman secara tidak langsung. h. Dampak Kebakaran Hutan Dampak kebakaran hutan terhadap sifat-sifat tanah, yaitu mengubah sifat fisik, kimia, dan biologi tanah.
|
i. Rekayasa Alat Pemadam Kebakaran Hutan Teknologi yang telah dihasilkan berupa perekayasaan alat pemadaman api hutan oleh BPK Banjarbaru, antara lain: 1) Pompa tangan pacitan untuk memadamkan api permukaan kecil (<3 m). Pompa pacitan akan lebih efektif jika dikombinasikan dengan kepyok. 2) Kantong air jerigen berkapasitas 20 liter sebagai stok air pompa tangan. 3) Pompa punggung JUFA untuk memadamkan api permukaan kecil dan lebih efektif jika dikombinasikan dengan kepyok. 4) Portable water tank 1.000 liter untuk transfer air dan dapat digunakan di atas kendaraan pick-up untuk pemadaman langsung dan suplai air. 5) Pompa stik jarum untuk mematikan api lahan gambut. 6) Kepyok tipe ram ayam untuk penggebuk/pemadam api berbahan bakar alang-alang atau serasah dan lebih efektif jika dikombinasikan dengan JUFA. 7) Cangkul garu api untuk membersihkan tanah pada lahan alang-alang serta membongkar api pada lahan gambut. 8) Garu api untuk membersihkan serasah dalam pembuatan sekat bakar. 9) Garu mata panjang untuk membersihkan hasil tebasan bahan bakar alang-alang dan gulma lain dalam kegiatan pembuatan sekat bakar. 10) Mesin pompa air modifikasi untuk mobil berkapasitas 400 liter dan untuk trailer berkapasitas 2.500 liter. 11) Bak air statis berpipa belalai berkapasitas 12.500 liter. Kajian berikutnya terkait Status IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan dilakukan oleh Dana Apriyanto dan kawankawan pada tahun 2005. Kajian ini dilakukan melalui studi kearifan lokal di Desa Mawangi, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan. Hasil yang diperoleh dari kajian tersebut, antara lain: 1. Alasan perlu pendokumentasian peraturan desa adalah 1) perubahan lingkungan akibat pembalakan hutan sejak tahun 1970-an membuat keseimbangan alam terganggu sehingga
|
kerawanan terhadap kebakaran hutan semakin tinggi akibat tajuk terbuka; 2) kerawanan kebakaran semakin tinggi seiring dengan menurunnya ketaatan masyarakat terhadap kearifan lokal yang telah ada; 3) diperlukan kearifan lokal dalam bentuk yang lebih bisa diterima dan diakui pada masa sekarang. 2. Sesuai dengan TAP MPR No. III Tahun 2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, peraturan desa merupakan salah satu sumber hukum di Indonesia. 3. Sesuai dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa Desa sebagai daerah otonomi mempunyai kewenangan dalam menyusun peraturan yang mengatur rumah tangganya. 4. Terdapatnya pengakuan dari TAP MPR No. III Tahun 2000 dan UU No. 22 Tahun 1999 terhadap Peraturan Desa tersebut sebagai sumber hukum yang berarti desa mempunyai kekuatan hukum yang cukup mengikat. 5. Warga Desa Mawangi telah memahami suatu peraturan tidak tertulis tentang perlindungan terhadap bahaya kebakaran hutan dan lahan. 6. Fasilitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan telah mendorong kemauan dan minat masyarakat Desa Mawangi untuk ikut aktif mengendalikan kebakaran. 7. Pendokumentasian kearifan lokal menjadi peraturan desa telah dilakukan dengan lancar karena masyarakat Desa Mawangi telah memahami pentingnya peraturan pengendalian kebakaran hutan. C. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Kalimantan Kajian ini dilakukan oleh Dana Apriyanto dan kawan-kawan pada tahun 2003. Hasil yang diperoleh, sebagai berikut: 1. Secara umum, masyarakat Dayak di Desa Loksado dan Mawangi memiliki kesadaran tinggi dalam memanfaatkan api untuk
|
kegiatan penyiapan lahan. Kebakaran pada hutan di daerah tersebut tidak pernah terjadi. 2. Sebagian besar masyarakat Loksado melakukan perladangan berpindah (91% responden). Namun, perladangan yang dilakukan tersebut menggunakan tradisi kebersamaan yang kuat yang disebut Ma ari atau Ba arian. Tradisi tersebut bermakna saling membantu atau membalas bantuan kepada orang lain pada saat kegiatan pembakaran lahan untuk pertanian. 3. Pembakaran dilakukan secara bergotong-royong sebanyak 10– 20 orang, dengan tahapan sebagai berikut: 1) menebas vegetasi pada lahan yang akan dibakar, 2) membiarkan hasil tebasan selama 1 bulan hingga kering, 3) membuat sekat bakar 3–5 meter di sekeliling lahan, 4) membakar lahan secara bertahap, dan 5) memadamkan api dengan ember, bambu dan pelepah pisang. 4. Terdapat sistem denda yang berlaku di dua desa penelitian jika pembakaran memasuki ladang lain dan sebelumnya pembakar tidak memberitahu pemilik ladang yang terbakar. Besarnya denda adalah Rp50.000/pohon untuk tanaman karet berumur tiga tahun. 5. Pembersihan lahan dengan membakar dianggap cara termudah dan murah oleh masyarakat. 6. Menurut masyarakat, peranan pemerintah terkait masalah pengendalian kebakaran sangat minim, yaitu 87% hanya bersifat himbauan, sedangkan 13% menyatakan tidak ada peranan pemerintah. 7. Seluruh responden (100%) mengharapkan peralatan pompa pemadam (pompa punggung JUFA). 8. Satgas pemadam telah dibentuk di Desa Mawangi, yang beranggotakan masyarakat setempat dan dilatih Dinas Kehutanan. 9. Pada wilayah suku Dayak Kahayan di Desa Jabiren sering terjadi kebakaran akibat kelalaian waktu memancing dan membuat api (88%), kecemburuan sosial (4%), dan klaim lahan (8%). Hal yang sama terjadi juga di Desa Tumbang Nusa.
|
D. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Wilayah Semiarid di Nusa Tenggara Timur (NTT) Kajian ini dilakukan oleh Rachman Kurniadi dan kawankawan pada tahun 2003. Kajian ini telah diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Kebakaran hutan di daerah semiarid telah menghambat pembangunan kehutanan walaupun hanya bersifat lokal. Kebakaran terjadi pada hampir semua kabupaten di Provinsi NTT. 2. Faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan di NTT adalah iklimnya yang kering merata, pada kondisi normal suhu udara antara 24–34 C, musim kemarau yang panjang (8–9 bulan), dan musim hujan yang singkat antara 3–4 bulan yang mana curah hujan antara 800–3.000 mm/tahun. 3. Sebagian besar penduduk memelihara ternak sistem lepas ke dalam kawasan hutan berupa padang rumput. Pola pertanian penduduk masih bersifat ekstensif tradisional dengan aktivitas lain melakukan perburuan satwa liar, sifat senang membakar, dan sifat tidak peduli terhadap lingkungan. 4. Kearifan lokal di lokasi penelitian yang berhubungan dengan pencegahan kebakaran, yaitu: a. Pembuatan sako (ilaran api) pada saat pembakaran. Budaya ini ditemukan di Molo Selatan dan Benlutu. b. Aturan adat Naik banu dan Turun banu yang dijumpai di Benlutu Kabupaten Timor Tengah Selatan, yaitu semacam aturan adat yang memungkinkan pengolahan lahan dalam waktu yang sama. Dengan demikian, masyarakat dapat saling mengontrol saat pembakaran lahan. c. Semboyan ”Nama tananya Na Tana, nama lukunya Na luku” yang mengandung makna perlu adanya penghormatan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta sehingga tidak rusak dan bermanfaat bagi manusia dan ekosistemnya. Dalam konsepsi ini, tersirat juga penghormatan dan pengakuan terhadap kelompok-kelompok adat dan Kabisu (tokoh adat) yang secara teknis diberi wewenang untuk bertanggung jawab dalam pengelolaan lahan dan hutan.
|
d. Konsepsi ”Tana papadita, wua kalapa puaka” di Sumba Timur yang mengandung makna bahwa tanah adalah hasil karya dan pemberian sang Marapu. Atas dasar tersebut, setiap pemanfaatan lahan, baik berupa pembuatan lahan baru maupun pemanfaatan selanjutnya, harus melalui mekanisme upacara adat sebagai sarana meminta izin kepada sang Marapu pemilik segala sesuatu. Jika terjadi pelanggaran, masyarakat berkeyakinan akan menimbulkan malapetaka yang salah satu bentuknya berupa penurunan produktivitas lahan. e. Konsepsi ”Lumunggiya Kaya ini urang, Kawaru diri lodu” di Sumba Timur, yaitu suatu konsepsi yang mengandung makna bahwa pembangunan rumah adat–selain sebagai tempat untuk melaksanakan musyawarah adat–juga merupakan tempat bersemayamnya Marapu. Dalam pembangunan rumah adat, tidak semua jenis kayu bisa dimanfaatkan, tetapi hanya jenis-jenis tertentu yang dipandang memiliki keterkaitan erat dengan budaya masyarakat setempat. Demikian halnya yang berlaku dalam pengambilan kayu untuk rumah pribadi. Para penganut Marapu masih setia melakukan ritual-ritual yang berkaitan dengan keyakinan tersebut. Bagi masyakarat yang bukan penganut Marapu, bentuk penghormatan dilakukan dengan mekanisme meminta izin kepada Kabisu dengan seperangkat atribut adat. Selanjutnya, Kabisu melakukan upacara untuk meminta izin mengambil hasil hutan. E. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Papua Kajian ini dilakukan oleh B.W. Hastanti pada tahun 2003 yang diarahkan untuk mengetahui penggunaan api dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Hasil kajian sebagai berikut: 1. Lahan sengaja dibakar untuk berbagai tujuan, antara lain: a. Pembukaan lahan untuk areal transmigrasi. b. Pembersihan lahan garapan pertanian. c. Pengambilan kayu bakar.
|
d. e. f. g.
Penangkapan tikus tanah. Pengambilan rumput pakan ternak. Pembakaran daun-daun kering untuk pupuk. Iseng sebagai bahan tontonan.
2. Pengelolaan lahan dibedakan menjadi dua cara, yaitu yang berlangsung pada masyarakat transmigrasi dan masyarakat lokal Moi. Pada masyarakat transmigrasi, mereka telah menerapkan pola bertani menetap dan menggunakan pupuk kompos. Jenis utama yang dikembangkan adalah padi dicampur tanaman perkebunan atau tanaman tahunan. Sebaliknya pada masyarakat lokal Moi, pola pertanian masih berladang berpindah tanpa menggunakan pupuk. Jika ladang sudah dianggap kurang subur, mereka berpindah dan jika kembali ke lahan lama akan memerlukan penyiangan. Pada saat itulah mereka melakukan pembakaran. Kajian lanjutan bertema Sosioantropologis Penyebab Kebakaran di Papua dilakukan kembali oleh B.W. Hastanti pada tahun 2004. Fokus kajian tahun 2004 ini untuk mengetahui pola perladangan berpindah dan teknik pengendalian kebakaran menurut kearifan lokal masyarakat. Hasil kajian sebagai berikut: 1. Secara umum, sebagian besar masyarakat Papua melakukan perladangan berpindah sebagai akibat adanya lahan garapan yang sangat luas tetapi jumlah tenaga kerja dan populasi penduduk yang terbatas. Hal lain yang menyebabkan perladangan berpindah adalah rendahnya penguasaan teknologi dan pengetahuan yang dimiliki masyarakat. Hal ini ditandai dengan penggunaan alat pertanian yang sangat sederhana dan rendahnya penggunaan pupuk dan obat-obatan. 2. Pembakaran ladang di Wamena dan Klamono (Sorong) dilakukan secara terkendali. Pertama, vegetasi yang tumbuh ditebas, kemudian dibiarkan kering selama 1 bulan. Selanjutnya, vegetasi yang sudah kering ditumpuk memanjang sesuai arah angin dan akhirnya dibakar. Bagian tepi ladang terlebih dahulu dibersihkan agar api tidak menjalar ke luar ladang yang sedang dibakar. 3. Lama garapan dalam satu tempat ±2 tahun; setelah itu, mereka harus berpindah ke lahan yang masih subur.
|
4. Para peladang di Wamena dan Klamono (Sorong) tidak dapat memilih dan menetapkan sendiri lahan yang akan digarapnya, melainkan harus mendapat izin dari kelompok dan kepala suku. 5. Jenis matoa, durian, rambutan, dan lain-lain biasanya ditanam sebagai tanda kepemilikan lahan. 6. Tingkat kepadatan penduduk dipengaruhi oleh kualitas tanah, curah hujan, topografi, dan nilai-nilai kemasyarakatan. Semakin subur tanah, semakin tinggi pula tingkat kepadatan penduduk yang hidup di daerah tersebut. 7. Tipe hutan yang paling diminati penduduk adalah hutan primer. Namun, akibat telah terbukanya hutan primer, sebagian peladang akhirnya harus berladang di hutan sekunder. 8. Pengetahuan pengenalan tanah subur telah diperoleh berdasarkan pengalaman. Mereka menentukan kesuburan berdasarkan warna dan tekstur tanah. Kajian Sosioantropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Papua dan Maluku kembali dilakukan oleh B.W. Hastanti pada tahun 2005. Kali ini, kajian difokuskan terhadap aspek sosioantropologis penyebab kebakaran di Merauke (Papua) dan Pulau Buru (Maluku). Ringkasan hasil kajian sebagai berikut: 1. Kebiasaan membakar oleh suku Kanum di Merauke dilakukan pada saat berburu rusa (Rusa timorensis), kanguru, soa-soa, biawak, dan jenis ular. Pembakaran dilakukan pada suatu areal yang dianggap tempat bersarangnya satwa buruan dan diharapkan satwa-satwa tersebut dapat dengan mudah dilumpuhkan akibat asap yang ditimbulkan. Asap tersebut mengganggu pernapasan sehingga satwa biasanya lari menghindar. Ketika lari itulah hewan dapat dipanah, ditombak, atau diterkam oleh anjing pemburunya. 2. Cara lain pembakaran dilakukan di padang rumput (savana), yaitu dengan cara membakar kawasan agar pada musim hujan berikutnya, rumput muda cepat tumbuh kembali. Rumput yang tumbuh hijau segar akan merangsang satwa buruan untuk mengonsumsinya. Akhirnya, satwa-satwa liar ini akan terkena perangkap.
|
3. Masyarakat suku Kanum telah memiliki pengetahuan tradisional dalam melakukan pembakaran. Mereka menebas terlebih dahulu pohon-pohon sisa tebangan dan rerumputan. Kemudian, hasil tebasan ditumpuk dan dikumpulkan untuk dikeringkan. Akhirnya, tumpukan tersebut dibakar setelah bagian-bagian tepi areal bersih untuk mencegah api menjalar ke areal lain. Pembakaran pun dilakukan secara bersama-sama dalam kelompok pemburu satwa liar. 4. Pembakaran lahan untuk pembukaan lahan juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Pulau Buru dengan cara berladang berpindah dan pembakaran pada areal tanaman kayu putih. 5. Pembakaran pada lahan hutan kayu putih (Malaleuca leucodendron) bertujuan untuk memperoleh permudaan berupa terubusan pohon yang mengandung kualitas kayu putih lebih baik. 6. Pelaksanaan pembakaran, baik pada ladang maupun hutan kayu putih, dilakukan secara bijaksana. Sebelum pembakaran dilakukan, sekat bakar dibuat terlebih dahulu agar api tidak merembet ke mana-mana. F. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Riau dan Kalimantan Tengah Kajian dilakukan oleh A. Wibowo pada tahun 2003 yang terkait dengan pengendalian kebakaran. Studi kasus dilakukan pada HTI PT Riau Andalan Pulp & Paper (RAPP) di Riau, Sumatera; dan daerah lahan gambut eks PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah, yaitu di daerah antara Kodya Palangka Raya dan Kabupaten Pulang Pisau. Hasil penelitian tersebut adalah sebagai berikut: 1. PT RAPP di Riau a. Selama tahun 2003, areal di seluruh kawasan PT RAPP telah terjadi kebakaran kecil sebanyak 59 kali dengan total luas 573 ha. Api kebakaran umumnya berasal dari api yang merambat dari lahan masyarakat yang dibakar untuk persiapan lahan pertanian.
|
b. Setiap kejadian api, alat-alat utama yang digunakan adalah mesin pompa dan buldoser untuk pembuatan sekat bakar jalur kuning. c. Dalam pengendalian kebakaran hutan, PT RAPP telah membentuk Organisasi Pengendalian Kebakaran pada setiap sektor. Organisasi tersebut dipimpin oleh seorang Fire Commander (Sector Manager) yang membawahi Fire & Safety Superviser, Heavy Equipment Boss, Logistic Boss, dan Personel Boss, yang masing-masing boss memimpin regu. d. Kerawanan hutan terhadap kebakaran ditentukan oleh jenis bahan bakar yang terdiri dari areal tegakan Acacia crassicarpa, areal A. mangium, areal hutan alam, areal konservasi, lahan gambut tanpa tanaman, dan lahan kering tanpa tanaman. e. Upaya yang ditempuh PT RAPP untuk melindungi areal hutan dari bahaya kebakaran, antara lain: 1) Mengimplementasikan kebijakan pengolahan lahan tanpa bakar. 2) Menggunakan sistem kompartemen dalam kegiatan penanaman HTI dengan batas-batas kompartemen berupa jalan dan jalur hijau sebagai sekat bakar. 3) Memasang papan himbauan pada tempat-tempat strategis. 4) Memasang papan peringatan yang menunjukan indeks bahaya kebakaran setiap hari. 5) Membentuk unit fire dan safety di setiap sektor sebagai regu pengawas dan pengendali kebakaran hutan. 6) Melakukan patroli secara rutin dengan menempatkan personil di lapangan yang dilengkapi dengan kendaraan pemadam kebakaran dan radio komunikasi. 7) Membentuk jaringan informasi hotspot untuk mendeteksi secara dini terjadinya kebakaran hutan. 8) Mengatur blok tebangan dan blok tanaman dengan pengaturan struktur umur tanaman. f. Dalam melengkapi upaya pemadaman jika api sudah terjadi, PT RAPP telah menyediakan peralatan berupa truk tangki air, peralatan komunikasi, kendaraan patroli pick-up, buldoser, pompa mini striker dengan selang dan nozzle, back pack pump,
|
peralatan tangan, tangki lipat 1.600 galon, personel use (pakaian tahan api, seperti helm, sepatu, dan masker), dan ransel untuk P3K. 2. Lahan Gambut Eks PLG Sejuta Hektar di Kalimantan Tengah a. Kondisi Lahan Gambut Kondisi lahan gambut umumnya didominasi oleh jenis-jenis pakis, kelakai, hawuk, semak belukar, dan rumput. Tinggi tumbuhan bawah sekitar 2–4 m dan rasio antara tumbuhan hidup dengan mati 100:50. Potensi bahan bakar permukaan sebanyak 15–40 ton/ha. Temperatur udara rerata pada bulan September 2002 sekitar 27–28C dengan kelembaban udara sekitar 72–83%. Musim kemarau berlangsung dari bulan Mei s/d September. b. Kelembagaan 1) 2)
3)
4)
5)
6)
Kalimantan Tengah merupakan salah satu dari lima provinsi yang telah dibentuk Brigdalkarhut (Manggala Agni). Kawasan konservasi merupakan kawasan prioritas utama bagi Brigdalkarhut karena kawasan tersebut merupakan benteng terakhir perlindungan plasma nutfah. Brigdalkarhut juga membantu dalam pemadaman di kawasan hutan lainnya; baik bantuan teknis, sarana, tenaga maupun operasional pemadaman. Brigdalkarhut merupakan sebuah lembaga berskala nasional dengan sistem komando berjenjang tiga tingkat dalam jajaran Dephut [kini Kementerian LHK], yaitu tingkat pusat, provinsi, dan daerah operasional yang bertugas melakukan pengendalian kebakaran hutan. Sistem komando di tingkat pusat disebut Pusdalops DalkarHut yang berada di Dephut [kini Kementerian LHK]. Pusdalops berada di bawah Menteri Kehutanan [kini Menteri LHK] dan dipimpin oleh Dirjen PHKA [kini Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim/PPI]. Pelaksanaan kegiatan operasional dilakukan oleh Direktur Penanggulangan Kebakaran Hutan [kini Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan] yang bertindak sebagai Pelaksana dan Kepala Sekretariat.
|
7)
8)
9)
10)
11)
12)
13)
14)
Secara eksternal dan lintas sektoral, Pusdalops merupakan salah satu subsistem dalam Sistem Penanggulangan Bencana di bawah Bakornas PB & P, yaitu subsistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Dalam kondisi kebakaran yang normal, Pusdalops menyelenggarakan kegiatan pengendalian kebakaran yang meliputi pencegahan, pemadaman, dan penanganan pascakebakaran, khususnya di kawasan hutan. Dalam kondisi darurat bencana kebakaran yang memerlukan koordinasi pemadaman lintas provinsi dan lintas batas negara, Pusdalops akan berperan secara aktif di bawah komando Bakornas PB & P. Pada tingkat provinsi, Brigdalkarhut merupakan salah satu komponen dari sistem pengendalian kebakaran hutan dan lahan bersama-sama dengan komponen-komponen lain yang tergabung dalam Satkorlak PB & P ataupun Pusdalkarhutla. Dalam hal ini, Brigdalkarhut menangani pengendalian kebakaran di kawasan hutan. Apabila diperlukan, sumber daya Brigdalkarhut dapat dimobilisasi ke kawasan lainnya atau di bawah kendali operasi (BKO) brigade atau lembaga penanggulangan kebakaran atau bencana yang lain. Dalam kesatuan garis komando, Brigdalkarhut berkedudukan di BKSDA dan menjadi bagian dari Pusdalops yang berkedudukan di Dirjen PHKA [kini Dirjen PPI]. Brigdalkarhut tidak selalu dibentuk di setiap kabupaten/kota. Wilayah kerja Brigdalkarhut di tingkat lapangan disebut Daops. Namun, Daops tidak mengacu pada wilayah administratif kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, melainkan mengikuti wilayah seksi KSDA yang dapat terdiri dari beberapa kabupaten/kota. Brigdalkarhut terdiri dari kelompok-kelompok personil, yaitu Regu Pemadam Kebakaran (Regu Damkar) yang terdiri dari 15 orang (1 orang kepala regu/Karu, 1 orang logistik, 1 orang pengemudi, dan 12 orang pemadam). Setiap dua regu Damkar terdapat satu mobil tangki air sehingga personilnya ditambah tiga orang yang terdiri dari 1 orang pengemudi, 1 orang operator pompa, dan 1 orang operator selang. Jumlah regu Damkar di Provinsi dan Daops Kalimantan Tengah terdiri dari Brigdalkarhut Provinsi yang memiliki dua
|
Regu Damkar dan Brigdalkarhut Daops yang memiliki dua Regu Damkar. Regu Damkar ini akan dikembangkan hingga mencapai 14 regu. 15) Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) berperan sebagai penyidik atas kasus yang berkaitan dengan kebakaran hutan. Setiap regu Damkar didampingi dua orang PPNS. 16) Staf Administrasi bertugas mengurus masalah administrasi pada Brigdalkarhut. Setiap Brigade, baik ditingkat provinsi maupun Daops, dilayani oleh tiga orang staf administrasi. 17) Anggota Brigdalkarhut pada daerah operasi terdiri dari Polisi Hutan (Polhut) pada jajaran UPT Dirjen PHKA, PPNS pada jajaran UPT Dirjen PHKA, PNS BKSDA, dan masyarakat. c. Peralatan dan Fasilitas Dalam melaksanakan upaya-upaya pencegahan kebakaran hutan, Brigdalkarhut dilengkapi dan didukung dengan peralatan dan fasilitas, antara lain: 1) Peralatan audio visual untuk penyuluhan dan penyebarluasan informasi, seperti komputer, kamera, radio, TV, tape dan video recorder, serta proyektor. Fasilitas dan peralatan tersebut dimiliki oleh setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan. 2) Fasilitas dan peralatan untuk peringatan dan pendeteksian kebakaran, seperti menara pengamat api (disertai peralatan pendukung seperti kompas, range finder, teropong, dan peta), stasiun penerima dan pengolah data/informasi citra satelit, serta GPS. Fasilitas tersebut dimiliki oleh setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan, kecuali GPS dimiliki hingga oleh setiap regu pemadam. 3) Fasilitas dan peralatan untuk pengembangan SDM, seperti Pusdiklatkarhut. Fasilitas ini dibangun sedikitnya sebuah pada tingkat nasional dan dalam skala kecil di setiap Brigdalkarhut pada setiap tingkatan untuk latihan harian. 4) Fasilitas penelitian dan pengembangan iptek kebakaran hutan, seperti laboratorium, hutan pendidikan, dan bengkel kerja (workshop). Fasilitas ini dibangun sedikitnya untuk setiap perwakilan kondisi kawasan dan tipe ekosistem hutan, seperti hutan kerangas, hutan gambut, padang alang-alang, dan log over area.
|
5) Peralatan pemadaman kebakaran hutan yang dimiliki oleh Brigdalkarhut Kalimantan Tengah dikelompokkan ke dalam beberapa katagori. Selain itu, fasilitas penunjang yang tersedia untuk Brigdalkarhut adalah gudang, kantor, garasi, bengkel, tempat menyimpan bahan bakar, tempat mencuci alat, tandon air, sarana olah raga, sarana pelatihan, barak/kamar tidur, dan sarana ibadah. G. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Sumatera Selatan dan Jambi Kajian ini dilakukan oleh Bastoni dan kawan-kawan pada tahun 2003 di Sumatera yang meliputi lima HTI dan satu HPH. Perusahaan tersebut meliputi HTI lahan kering PT Musi Hutan Persada di Sumatera Selatan, HTI lahan kering PT Wanamukti Wisesa di Jambi, HTI lahan basah PT Dyera Hutan Lestari, HTI lahan basah PT Wirakarya Sakti di Jambi, HTI lahan basah PT SBA Wood Industries di Sumatera Selatan, dan HPH lahan basah PT Putraduta Indah Wood di Jambi. Hasil kajian sebagai berikut: 1. Kebakaran sering berawal dari perladangan lahan kering, sonor lahan basah dan penangkapan ikan 2. HTI dan HPH yang diteliti telah mengalami kebakaran dengan luasan berbeda-beda dan yang terluas adalah tahun 1997. 3. Berkurangnya kejadian kebakaran hutan adalah akibat perubahan persepsi masyarakat dari sifat antipati menjadi sifat bekerja sama. 4. Setelah hasil HTI dipanen, uang yang beredar pada masyarakat mencapai 400 milyar rupiah per tahun. 5. Program PHBM dan MHR di PT Musi Hutan Persada adalah model yang dapat dicontoh daerah lain untuk meminimalkan risiko kebakaran hutan. 6. Terdapat organisasi pengendalian kebakaran dengan kegiatan bersifat preventif. Kajian lanjutan yang sama dalam topik besar tentang Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di
|
Sumatera dilakukan pula oleh Bastoni dan kawan-kawan. Hasil kajian pada tahun 2004 tersebut, antara lain: 1. Pada HTI lahan kering PT Musi Hutan Persada telah dikembangkan sekat bakar jalur kuning, namun tidak efektif. 2. Kebakaran tahun 1997 telah memusnahkan 88–90% luasan HTI di lahan basah akibat tidak tepatnya pembuatan drainase. 3. Kebakaran hutan pada HPH Putera Duta Indah Wood sebagian besar akibat pegawai perokok yang tidak disiplin. 4. Terdapatnya insentif berupa kerja sama pemanenan dan penanaman telah menurunkan risiko kebakaran, sekaligus menurunkan kejadian kebakaran pada HTI PT Musi Hutan Persada. H. Percobaan Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan pada Wilayah Semiarid di NTT Penelitian ini telah dilakukan oleh R. Kurniadi dan kawankawan pada tahun 2004. Tujuan penelitian memperoleh teknologi pengendalian kebakaran hutan di daerah semiarid dengan hasil sebagai berikut: 1. Tiga jenis pohon hutan telah dipilih dan dijadikan tanaman sekat bakar jalur hijau untuk mencegah terjadinya kebakaran di Stasiun Penelitian Banamlaat. Jenis-jenis tersebut adalah Gmelina arborea, Pterocarpus indicus, dan Azaderacta indica. 2. Sekat bakar jalur kuning dibangun dengan ukuran lebar 2 m, 4 m, dan 6 m yang masing-masing berulangan tiga kali. Sekat bakar dibuat mengelilingi areal tanaman rehabilitasi berukuran 50x50 m. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa sekat bakar dengan semua ukuran tersebut masih memberi peluang merambatnya api ke lokasi penanaman. Oleh karena itu, sekat bakar harus diperlebar lagi. 3. Pengukuran riap tinggi tumbuhan bawah dilakukan pada sekat bakar 2 m sebanyak 9 plot, sekat bakar 4 m sebanyak 9 plot, dan sekat bakar 6 m sebanyak 6 plot. Tinggi tumbuhan bawah selama tiga bulan adalah 22,7 cm atau pertumbuhannya dalam satu bulan adalah 7,6 cm. Setelah enam bulan, tinggi tumbuhan bawah telah mencapai 45,5 cm sehingga sekat bakar sudah
|
tidak berfungsi lagi. Kesimpulannya, penebasan rumput pada sekat bakar perlu dilakukan minimal setelah enam bulan. I. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Kalimantan Selatan Acep Akbar dan kawan-kawan telah melakukan kajian ini pada tahun 2004. Kajian difokuskan pada sistem pengaturan pembakaran lahan masyarakat di Desa Lobang Baru, Kalimantan Selatan. Tujuannya meminimasi bahan bakar sekitar hutan dengan hasil kajian sebagai berikut: 1. Pembakaran ladang secara teratur dalam aktivitas persiapan lahan untuk bertani telah menurunkan risiko kebakaran hutan. Hal ini ditandai dengan bersihnya bahan bakar (90–100% terbakar) pada ladang sehingga telah menjadi sekat bakar bagi hutan di sekitarnya. 2. Upaya melembagakan sistem pengaturan pembakaran lahan pada masyarakat peladang di tingkat desa membutuhkan insentif berupa uang dan sarana yang berhubungan dengan pembentukan kelompok, sosialisasi tujuan pembentukan kelompok, praktik pembakaran, seragam pembentuk jiwa korsa regu, biaya rapat dan insentif staf desa yang jumlah minimalnya Rp3.950.000. 3. Terdapat kearifan lokal di Desa Lobang Baru (Kalimantan Selatan) berupa tradisi pembakaran ladang terkendali yang dilakukan secara berkelompok dan perorangan. Alat-alat yang digunakan dalam pembakaran meliputi parang, sabit/arit, korek api, ember, batang pisang dan ranting-ranting pohon, serta ikatan alang-alang kering untuk menyalakan api. 4. Terdapat dua cara pembakaran ladang, yaitu 1) kegiatan melalui tahapan pembuatan sekat bakar, pembakaran, penebangan pohon sisa, dan mematikan api sisa; 2) kegiatan meliputi menebas semak, membiarkan tumbuhan kering, membakar, dan mematikan api sisa. 5. Respons masyarakat terhadap pembentukan kelompok sangat baik ditandai 93,5% menyatakan senang, 6,55% menyatakan biasa saja, dan tidak ada yang merasa tidak senang.
|
6. Struktur organisasi yang dapat diterapkan di desa dalam pengendalian kebakaran adalah Kepala Desa bertindak sebagai pembina yang membawahi Kepala Pos Api Kampung (KPAK). Selanjutnya, KPAK membawahi Regu Damkar. 7. Opini masyarakat Desa Lobang Baru tentang pentingnya hutan telah berkembang ke arah positif. Hal ini ditunjukkan dengan hasil 93,5% responden menyatakan penting dengan argumen terbanyak adalah untuk mengatur tata air dan penghasil kayu. 8. Kondisi ladang cukup bervariasi, baik sebelum dan saat pembakaran maupun pascapembakaran. Variasi tersebut ditentukan oleh luas ladang (0,5–3,0 ha), lokasi (datar–miring), tinggi bahan bakar (100–200 m), dan jarak ke hutan (0,01–2 km). J. Penelitian Dampak Pembakaran Terhadap Produktivitas Lahan Rawa Gambut di Kalimantan Tengah Penelitian dilakukan oleh Acep Akbar dan kawan-kawan pada tahun 2007 di Kecamatan Maliku, Kalimantan Tengah, dengan hasil sebagai berikut: 1. Pembakaran lahan untuk persiapan lahan bertani pada lahan gambut umumnya dilakukan melalui tiga cara, yaitu: a. Pada ladang yang baru dibuka, pembakaran dilakukan secara langsung setelah penebasan dan pengeringan, namun tanpa pengumpulan bahan bakar dalam satu tempat. b. Pada ladang yang digarap kedua kalinya, pembakaran dilakukan dengan cara mengumpulkan terlebih dahulu sampah organik hasil tebasan ke satu tempat di dalam ladang dan membakarnya setelah mengering. Pada ladang ini, sebagian kecil petani menggunakan herbisida. c. Cara lainnya adalah seperti membakar sampah organik di sudut ladang. Semua bahan organik hasil tebasan dipotongpotong menjadi bagian-bagian lebih kecil atau dipuntal dan dikumpulkan di sudut ladang, lalu dibakar. 2. Ladang yang mengalami pembakaran setiap pembukaan lahan di areal penelitian mengalami penurunan produktivitas hasil
|
padi. Penurunan tersebut dari nilai rerata 2,75 ton/ha pada lahan baru dibuka menjadi nilai rerata 1,35 ton/ha pada lahan yang mengalami pengolahan hingga umur lebih dari tiga tahun. Namun, penurunan tersebut lebih diakibatkan faktor hama dan penyakit, serta adanya variasi pencangkulan tanah yang berhubungan dengan lapisan pirit (FeS2), daripada oleh faktor kesuburan tanah. 3. Kesuburan tanah di Desa Purwodadi dan Wonoagung, baik secara fisik maupun kimia, tidak dipengaruhi secara nyata oleh bertambahnya umur ladang hingga periode tiga tahun. Faktor lain yang menyebabkan umur ladang tidak berpengaruh adalah akibat adanya amelioran berupa pupuk buatan yang bersifat basa atau adanya pemberian abu hasil pembakaran sampah organik yang bersifat basa. 4. Kondisi ekologi komunitas gulma semakin berubah sejalan dengan bertambahnya umur ladang. Ladang umur tiga bulan dengan ladang berumur lebih tiga tahun memiliki kesamaan komunitas yang rendah, yaitu 47,6% untuk ladang di Purwodadi. Sementara itu, kesamaan komunitas gulma cukup tinggi diperoleh dari ladang di Desa Wonoagung, yaitu 64,0%. Keragaman jenis pada masing-masing ladang semakin meningkat dengan bertambahnya umur ladang. Kisaran indeks keragaman jenis adalah 1,84; 2,08; 1,96; hingga 2,15 (ladang di Purwodadi) dan 2,32; 2,03; 2,61; hingga 2,40 (ladang di Wonoagung). 5. Praktik pembakaran pada lahan gambut merupakan salah satu penyebab penurunan produktivitas lahan dan peningkatan keragaman jenis gulma, walaupun tidak mempengaruhi kesuburan tanah gambut. Oleh sebab itu, praktik pembakaran ladang dalam persiapan lahan sebaiknya dihentikan, kecuali pembakaran sampah organik kering pada sudut ladang secara terkendali dan tidak menghasilkan banyak asap.
|
Alternatif usaha pencegahan dapat ditentukan setelah mengetahui dan memahami penyebab dan pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Penyebab terjadinya kebakaran adalah sumber api (Sumardi, 2007). Walaupun sumber api kebakaran hutan dapat terjadi akibat peristiwa-peristiwa alam, pada kenyataannya, semua kebakaran hutan di Indonesia terjadi sebagai akibat adanya sumber api yang dibuat manusia, utamanya dari kebiasaan melakukan pembukaan lahan pertanian. Aktivitas pembakaran lahan yang lalai sering didukung oleh adanya akumulasi bahan bakar berupa serasah, tumbuhan bawah, atau gulma di dalam hutan; tiupan angin kering yang kencang pada musim kemarau; temperatur tinggi; dan kelembaban udara rendah yang memengaruhi penurunan kadar air bahan bakar. Pada dasarnya, usaha pencegahan kebakaran hutan ditujukan kepada dua hal, yaitu 1) mencegah dan mengurangi terjadinya api liar; 2) mengurangi atau jika mungkin, menghilangkan akumulasi bahan bakar yang dapat menimbulkan kebakaran hutan (Sumardi, 2007). Evan (1982) mengajukan pendekatan pencegahan kebakaran yang dipersiapkan untuk mencegah atau menghindari kerusakan hutan dari kebakaran melalui 1) mencegah api dari luar hutan masuk ke areal hutan, 2) mencegah kebakaran terjadi dalam hutan, dan 3) membatasi penyebaran api apabila telah terjadi. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam pencegahan kebakaran meliputi pendekatan klimatologi, silvikutur, sosial ekonomi, teknik, dan tertib hukum. A. Pendekatan Klimatologi Musim kebakaran hutan sangat erat hubungannya dengan iklim. Pada daerah-daerah hutan yang perbedaan musimnya nyata antara musim hujan dan musim kemarau, hubungan tersebut nampak jelas. Kebakaran hutan selalu terjadi pada musim kemarau. Sebagai contoh, kejadian kebakaran di Kalimantan dan
|
Sumatera biasanya selalu terjadi pada bulan-bulan kering, yaitu antara Juni hingga Oktober. Demikian pula dengan kebakaran hutan jati di Jawa yang selalu terjadi pada bulan Juni hingga Oktober. Pada tahun-tahun yang kadang-kadang musim keringnya singkat atau musim hujannya relatif lama, kebakaran hutan yang terjadi tidak signifikan sehingga tidak mengundang perhatian. Hasil penelitian yang dilakukan di Kalimantan Tengah menunjukkan bahwa kejadian kebakaran selalu berhubungan dengan curah hujan. Oleh karena itu, data curah hujan tahunan dan bulanan telah dijadikan model peramalan musim api di Kalimantan Tengah. Pada saat kebakaran telah terjadi, pengaruh kecepatan angin sangat nyata terhadap kecepatan penjalaran api dalam kebakaran. Pada angin yang kecepatannya rendah, kebakaran hutan relatif sulit meluas dan bila meluas, bentuk perluasannya bundar. Apabila kecepatan angin tinggi, medan kebakaran meluas searah dengan arah angin sehingga medan kebakarannya berbentuk oval atau empat persegi panjang. Berdasarkan pengaruh iklim, semua daerah atau unit pengelolaan hutan harus mencatat dan memantau data curah hujan, suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin. Data ini didokumentasikan untuk membuat peramalan kejadian kebakaran yang akan datang. Berdasarkan data tersebut, bulan-bulan kering akan diketahui di setiap unit pengelolaan hutan, utamanya hutan tanaman. Dengan demikian, persiapan menghadapi kerawanan kebakaran dapat dilakukan, terutama bagi kawasan yang terjamah atau berdekatan dengan kegiatan manusia yang memanfaatkan api. Data iklim inilah yang telah dijadikan dasar untuk menentukan tingkat kerawanan kebakaran dengan teknologi tinggi, seperti hotspot, FDR Keetcht-Byram, indeks Angstrom, Agricultural Rainfall Index (ARI), dan peta kerawanan kebakaran. Semua model dan teknologi tersebut telah dijadikan bahan penetapan kerawanan untuk sistem peringatan dini (Early Warning System). B. Pendekatan Silvikultur Tindakan pencegahan kebakaran termasuk ke dalam tindakan aspek perlindungan hutan antropogenik sehingga menjadi bagian dari tindakan silvikultur. Untuk membangun dan memeli-
|
hara hutan agar mencapai hasil yang optimal tanpa terjadi kebakaran, perhatian utama ditujukan kepada teknik persiapan lahan, pemilihan jenis tanaman, pemeliharaan, pembuatan sekat bakar jalur hijau, pembuatan sekat bakar jalur kuning, dan pemeliharaan jalur isolasi alami. 1. Teknik Persiapan Lahan Tahap pertama dalam pembangunan tanaman kehutanan adalah melakukan persiapan lahan dan pengolahan lahan. Penggunaan api untuk persiapan lahan masih merupakan cara yang paling murah dan mudah. Saat ini, untuk pembakaran berskala luas, telah diterbitkan aturan pelarangan melakukan pembukaan lahan (land clearing) dengan cara membakar. Namun, pembakaran dalam skala kecil (0,5–1 ha) yang dilakukan secara terkendali sesungguhnya masih dapat ditoleransi sepanjang tidak menghasilkan api liar, tidak memproduksi asap, dan dilakukan secara bergiliran. Penggunaan api perlu dikontrol agar tidak meluas ke areal sekitarnya yang tidak diinginkan. Api dapat menyeberang ke areal baru melalui bahan bakar yang bersambung dan melalui api loncat (spot fire). Pembakaran terkontrol (prescribe burning) harus dilakukan pada pagi, sore, dan malam hari ketika angin tidak bertiup kencang, serta dilakukan pada akhir musim kemarau hingga/atau awal musim hujan. Serasah dan semak belukar yang akan dibakar harus dikumpulkan terlebih dahulu pada tempat tertentu di tengah ladang dengan harapan cukup aman dari kemungkinan menyebarnya api ke lokasi yang tidak direncanakan. Akan lebih baik jika bahan hasil tebasan dikumpulkan di sekitar tunggak-tunggak kayu yang masih tertinggal di lapangan. Setelah dikeringkan, pembakaran baru dilakukan. Dengan demikian, tidak akan ada asap tebal yang terbentuk. Selain itu, di dalam areal tanaman yang luas harus dibuatkan jalan patroli yang membagi areal tersebut menjadi blok-blok yang memiliki luas antara 3–5 ha. Jalan akan berfungsi sebagai prasarana pengawasan dan dapat dimanfaatkan pula untuk kegiatan-kegiatan eksploitasi dan perlindungan hutan.
|
2. Pemilihan Jenis dan Pola Tanam Salah satu cara yang paling efektif untuk mencegah kebakaran pada hutan tanaman adalah dengan membangun hutan berisiko kecil kebakaran. Walaupun api cukup besar terjadi di luar areal pengelolaan, ternyata tidak mampu merembet ke dalam hutan tanaman akibat jarangnya bahan bakar potensial pada lantai hutan. Pada jenis yang bertajuk tipis dan daunnya jarang seperti sengon (Paraserianthes falcataria), vegetasi bawah tegakan akan tumbuh sangat banyak sehingga pemeliharaan penyiangan harus lebih intensif daripada tanaman Gmelina (Gmelina arborea.). Kalau tidak, bahan bakar potensial di lantai hutan akan melimpah. Jenis-jenis pohon hutan yang umum telah dikembangkan yaitu Tectona grandis, Acacia mangium, A. crassicarpa, A. aulacocarpa, Gmelina arborea, Eucalyptus pellita, E. urophylla, E. deglupta, Cassia siamea, Swietenia macrophylla, Paraserianthes falcataria, dan Pinus merkusii. Saat ini, beberapa pengusaha telah mulai mengembangkan jenis-jenis pohon lokal cepat tumbuh, seperti jabon (Anthocephalus cadamba), duabanga (Duabanga molucana), dan pulai (Alstonia scholaris). Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti INHUTANI II telah mengembangkan jenis meranti (Shorea spp). Jika dikelompokan, jenis-jenis pohon tersebut memiliki ukuran daun berbeda-beda. Jenis tertentu memiliki daun yang kecil, sedangkan jenis lainnya memiliki daun yang lebar. Besar-kecilnya ukuran daun telah berpengaruh terhadap penetrasi cahaya masuk ke lantai hutan sehingga memengaruhi kondisi temperatur dan kelembaban harian di dalam tegakan hutan tanaman. Posisi duduk daun dari jenis pohon akan memengaruhi pula penetrasi cahaya yang masuk ke lantai hutan. Sebagai contoh, jenis A. crassicarpa dan A. aulacocarpa memiliki posisi daun vertikal sehingga jika dilihat dari atas memiliki lubang-lubang tembus cahaya yang lebih banyak dibandingkan dengan jenis A. mangium dan jenis lainnya yang memiliki letak daun horizontal. Dengan demikian, tegakan hutan kedua jenis tersebut memiliki penetrasi cahaya lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis berposisi daun horizontal. Selain itu, tipis-tebalnya kulit batang sangat memengaruhi ketahanan jenis pohon dari kematian akibat kebakaran. Beberapa sifat kualitatif 13 jenis pohon yang diamati
|
dalam hubungannya dengan kerawanan terhadap kebakaran digambarkan dalam Tabel 27. Tabel 27. Beberapa sifat kualitatif dimensi pohon hutan tanaman No. Nama jenis
Ukuran daun
Kulit batang Tipe tajuk
Kondisi serasah
1.
Tectona grandis
Lebar (>10 cm)
Agak tebal (2–5 mm)
Tebal (>10 cm), akibat gugur daun
2.
Acacia mangium
Sedang (5–10 Tipis cm), letak (<2 mm) horizontal
Tebal, Agak tebal agak lebar (2–5 mm)
3.
Acacia crassicarpa
Sedang, letak vertikal
Tebal, Agak tebal agak lebar
4.
Acacia aulacocarpa
Kecil (<5 cm), Tipis letak vertikal
Tebal, sempit
Agak tebal
5.
Gmelina arborea
Lebar
Tebal (>5 mm)
Tebal, lebar
Tebal, akibat gugur daun
6.
Eucalyptus pellita
Kecil
Tebal
Tipis, sempit
Tipis (<2 mm)
7.
Eucalyptus urophylla
Kecil
Tebal
Tipis, sempit
Tipis
8.
Eucalyptus deglupta
Kecil
Tebal
Tipis, sempit
Tipis
9.
Cassia siamea
Kecil
Tipis
Tipis, lebar
Tipis
Sedang
Tipis
Tebal, sempit
Tipis
11. Paraserianthes Kecil falcataria
Tipis
Tipis, lebar
Tipis
12. Pinus merkusii
Bentuk jarum
Tebal
Tebal, sempit
Tipis
13. Alstonia scholaris
Panjang
Tebal
Tipis, sempit
Jarang
10. Swietenia macrophylla
Tipis
Tebal, lebar
Sumber: Hasil pengukuran lapangan (Akbar et al., 2004)
Hasil percobaan pembangunan hutan tanaman di Riam Kiwa (Kalimantan Selatan) menunjukkan bahwa setiap jenis memiliki karakter berbeda dalam hal kemampuan untuk mereduksi populasi rumput atau alang-alang. Dari hampir seratus jenis
|
yang telah dicoba melalui uji species trial, provenant trial, base population, dan seed production area; beberapa jenis menunjukkan kemampuannya sebagai penghambat pertumbuhan kembali alang-alang di lantai hutan. Variasi kondisi lantai hutan pada beberapa jenis yang telah dikembangkan disajikan dalam Tabel 28. Perbandingan enam jenis tanaman hutan [sendiri-sendiri atau kombinasinya] di Riam Kiwa yang sama-sama dibangun melalui pengolahan lahan secara mekanis telah menunjukkan perbedaan kondisi gulma sebagai bahan bakar potensial. Jenis tanaman hutan Swietenia macrophylla dan Gmelina arborea diketahui lebih aman dari kebakaran dibandingkan dengan jenis lainnya. Tabel 28. Kondisi bahan bakar potensial bawah tegakan hutan tanaman umur tujuh tahun dengan persiapan lahan secara mekanis di Riam Kiwa, Kalimantan Selatan No. Jenis tanaman 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Gmelina arborea Acacia mangium Paraserianthes falcataria Eucalyptus spp. Peronema canescens Swietenia macrophylla G. arborea + P. canescens A. mangium + P. canescens
Kondisi kanopi
Tumbuhan bawah dominan
Lebar dan tebal Tidak ada Lebar dan tebal Cromolaena odorata Lebar tetapi tipis Imperata cylindrica dan Cromolaena odorata Sempit dan tipis Imperata cylindrica Sempit dan tipis Imperata cylindrica Sempit dan tebal Tidak ada Lebar dan tebal Tidak ada Lebar dan tebal
Tidak ada
Sumber: Akbar et al. (2003)
Gmelina arborea, Swietenia macrophylla, campuran G. arborea dengan P. canescens, dan campuran A. mangium dengan P. canescens mampu berperan sebagai penghambat tumbuh kembalinya alang-alang. Beberapa faktor yang menyebabkan sangat minimnya populasi alang-alang pada lantai hutan tanaman antara lain diduga akibat terdapatnya zat alelopati, terjadinya
|
pengurangan penetrasi cahaya matahari ke lantai hutan, dan adanya kompetisi unsur hara di dalam tanah (Akbar, 2004). Tiga pola tanam yang sering dilakukan dalam membangun hutan tanaman, yaitu 1) pola tanam monokultur tanpa agroforestry, 2) pola tanam monokultur dengan agroforestry, dan 3) pola tanam campuran antara tanaman pokok dengan penyerta. Hasil penelitian Akbar (2003) di Riam Kiwa menunjukkan bahwa interaksi jenis pohon yang ditanam dengan pola tanam (tumpang sari dan tidak tumpang sari) berpengaruh sangat nyata terhadap kerapatan individu alang-alang di bawah hutan tanaman. Jenis A. mangium dan A. crassicarpa yang ditanam dengan pola tumpang sari telah menghasilkan kerapatan gulma alang-alang terendah (4 individu/m2), diikuti oleh E. pellita pola tanam tumpang sari dan Alstonia scholaris pola tanam tumpang sari. Keempat jenis tersebut berbeda nyata dengan tanaman yang ditanam tanpa pola tumpang sari (8 individu/m2). Selain itu, jenis pohon yang ditanam secara tersendiri berpengaruh sangat nyata terhadap kondisi gulma nonalang-alang bawah tegakan. Dalam hal ini, Alstonia scholaris, E. pellita, dan A. mangium menghasilkan kerapatan gulma terendah. Sebaliknya, A. crassicarpa memiliki kerapatan gulma nonalang-alang tertinggi. Pola tanam tumpang sari dalam pembangunan hutan tanaman telah menurunkan jumlah alang-alang yang tumbuh sehingga menurunkan risiko kebakaran (Akbar, 2003). Di sisi lain, Gmelina arborea dapat mereduksi muatan alang-alang bawah tegakan (Gambar 37). Sumardi (2007) menyatakan bahwa tumpang sari merupakan sistem pertanaman hutan yang relatif lebih aman dari gangguan kebakaran di hutan jati. Tumpang sari dapat diterapkan untuk umur tanaman pokok hingga [paling lama] lima tahun. Di atas umur lima tahun, ketahanan pohon terhadap kebakaran relatif besar. Untuk tujuan perlindungan secara umum, pola tanaman secara campur (mix-forest) akan lebih menguntungkan. Penanaman hutan secara campur tersebut menghasilkan akumulasi serasah [sebagai salah satu penunjang terjadinya kebakaran] dapat diperkecil dengan catatan faktor-faktor lain seperti curah hujan, suhu, dan organisme renik cukup mendukung (Sumardi, 2007). Pola penanaman hutan secara campur tersebut dimaksudkan untuk membuat struktur mirip dengan keadaan alamnya (natural
|
forest). Pada kondisi demikian, hutan biasanya memiliki bahanbakar potensial yang rendah atau jarang.
Gambar 37. Kanopi tajuk Gmelina arborea dapat menekan tumbuhan bawah
3. Pembuatan Sekat Bakar Jalur Hijau Sekat bakar jalur hijau adalah jalur tanaman dengan lebar sekitar 20–30 meter dan dibuat mengelilingi petak-petak tanaman hutan. Petak tanaman tersebut luasnya bervariasi antara 20–40 ha, tergantung dari keadaan topografinya. Jenis-jenis pohon hutan yang ditanam di dalam sekat bakar memiliki sifat tidak mudah terbakar, pertumbuhannya cepat, dan dapat menekan pertumbuhan gulma, khususnya rumput atau alang-alang. Selain itu, tanaman sekat bakar harus mampu tumbuh kembali setelah terbakar. Jenis-jenis yang telah digunakan sebagai sekat bakar adalah Gmelina arborea, Acacia auriculiformis, A. mangium, Caliandra callothyrsus, Laucaena leucocephala, Macadamia hilderbrandii, Schima wallichii, Vitex pubescens, dan Peltoporum dasirachis (Wibowo, 2003). Sementara, jenis-jenis tanaman yang digunakan sebagai sekat bakar di hutan Jawa antara lain wuni, asam (Tamarindus indica), trengguli (Cassia fistula), ampupu (Eucalyptus alba), dlingsem (Homalium tomentosum), dan klampis (Acacia tomentosa). Beberapa jenis dari hutan alam yang tahan
|
kebakaran berdasarkan kejadian kebakaran di Kalimantan Timur tahun 1982–1983 adalah Eusiderixylon zwageri, Partoce laxiflora, Ochanostachys mantosaceae, Dillenia exelsa, Baccaurea angulata, dan Clestanthus myriantus. Jenis-jenis tersebut memenuhi kriteria tanaman sekat bakar. 4. Pembuatan Sekat Bakar Jalur Kuning Sekat bakar jalur kuning merupakan sekat bakar tanpa ditanami dan selalu terhindar dari tumbuhan bawah yang melimpah. Sekat tersebut dapat berbentuk jalur isolasi pencegah terjadinya kebakaran bagi tanaman muda. Sekat bakar jalur kuning ini dapat dibuat sebagai berikut: a. Sepanjang batas lapangan calon tanaman hutan yang dianggap akan ada bahaya api, pembersihan jalur dilakukan, yaitu dengan lebar 10 m untuk yang berbatasan dengan tanaman muda dan 5–8 meter untuk yang berbatasan dengan tanaman tua. b. Jalur-jalur tersebut harus selesai dibuat sebelum musim kemarau tiba dan dipetakan letaknya untuk mempermudah pengelolaannya. c. Sekat-sekat bakar alami berupa jalan, sungai, anak sungai dan tebing bukit dapat diposisikan sebagai sekat bakar alami yang dapat mencegah adanya api liar yang masuk dari luar areal unit pengelolaan. d. Setiap menghadapi musim kemarau, jalur-jalur alami ini perlu dikurangi bahan bakar potensialnya dengan melakukan pemangkasan dan penebasan sebelum musim kemarau. C. Pendekatan Teknis Pendekatan teknis adalah pendekatan yang tidak langsung berhubungan dengan masalah kebakaran hutan. Fungsi hutan sangat kompleks, baik sebagai sumber daya alam maupun sebagai penopang kehidupan satwa dan lingkungan hidup lainnya. Untuk mendukung fungsi hutan sebagai hidroorologis atau pengendali iklim, pembangunan check-dam atau sumber air yang dapat
|
membantu kebutuhan air terutama pada musim kemarau perlu dilakukan. Apabila memungkinkan, check-dam dibuat berdekatan dengan lapangan kerja masyarakat dan pada tempat yang kekurangan air. Check-dam tidak harus terlalu besar, tetapi tersebar di beberapa tempat sehingga dapat menunjang usaha di bidang pertanian. Dengan selalu tersedianya air, kekeringan dapat dihindari dan kebakaran dapat juga dicegah. Khusus pada areal-areal yang tinggi, bak penampungan air dari tembok beton perlu juga dibangun. Bak tersebut harus selalu terisi air, terutama pada musim kemarau. Pendekatan teknis lainnya adalah membuat peta kerawanan kebakaran di dalam areal unit pengelolaan dan membangun menara pengawas asap. Peta kerawanan kebakaran berfungsi untuk mengetahui seluruh areal yang rawan terbakar. Tandatanda kerawanan kebakaran terutama ditujukan pada areal-areal yang berdekatan dengan ladang penduduk, pemukiman, tempat pemancingan, dan jalan-jalan yang menjadi akses masyarakat ketika masuk ke dalam hutan. Hal ini mengingat bahwa manusia sering menjadi penyulut api, baik yang disengaja maupun yang lalai menghasilkan api liar (wild fire). Keberadaan para penyulut api perlu dihubungkan dengan kondisi bahan bakar di dalam areal unit pengelolaan dan pendukung topografi areal. Pada areal-areal miring, kecepatan api akan lebih tinggi dibandingkan dengan areal datar. Jenis-jenis pohon daun jarum seperti pinus dan agatis perlu dibedakan di dalam peta karena jenis-jenis tanaman seperti ini sangat reaktif apabila ada penyulut dari api liar. D. Pendekatan Sosial Ekonomi Masyarakat Pendekatan sosial ekonomi masyarakat dalam pengelolaan kebakaran adalah melibatkan masyarakat pada aktivitas pencegahan, persiapan pemadaman, respons pemadaman, dan kegiatan pascakebakaran. Pendekatan sosial ekonomi masyarakat bertitik tolak dari tiga asumsi pokok. Asumsi pertama, penjagaan keamanan hutan dapat berhasil bila masyarakat sekitar hutan [yang pada hakekatnya adalah pemilik hutan] dapat ikut berpartisipasi aktif di dalamnya. Seperti diketahui, rasio jumlah petugas yang menguasai wilayah hutan dengan luas yang harus dikuasai sangat rendah (Sumardi & Wydiastuti, 2007). Sebagai
|
contoh, seorang KRPH di Jawa harus menguasai wilayah hutan sekitar 800–3.000 ha, terlebih lagi untuk di luar Jawa yang mana satu Brigdalkarhut Daops harus menguasai 2–3 wilayah kabupaten. Apabila masyarakat tidak ikut berpartisipasi aktif dalam penjagaan keamanan hutan, kelestarian hutan akan terancam. Asumsi kedua, apabila masyarakat memiliki kesadaran terhadap fungsi hutan dan tidak ada faktor lain (eksogen) yang memaksanya, harapan agar masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif untuk menjaga keamanan hutan dari bahaya kebakaran ataupun jenis kerusakan lainnya akan dapat direalisasikan. Asumsi ketiga, masyarakat juga merupakan unsur pembentuk sumber api di dalam hutan yang dapat menyebabkan terjadinya kebakaran hutan. Berdasarkan ketiga asumsi di atas, beberapa langkah pokok yang perlu ditempuh dalam pendekatan sosial ekonomi adalah 1) upaya peningkatan kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan dan kerugian akibat kebakaran, 2) usaha mencegah dan mengurangi terjadinya sumber api liar (wild fire) yang dibuat manusia di dalam hutan, dan 3) memasyarakatkan teknik-teknik pengelolaan penggunaan api di sekitar dan di dalam hutan. Program meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap fungsi hutan perlu terusmenerus digalakkan dengan cara memanfaatkan seluruh sarana komunikasi yang tersedia. Terciptanya kondisi masyarakat yang sadar terhadap fungsi dan manfaat hutan akan lebih dapat diharapkan penekanan gangguan keamanan serendah mungkin, terutama dari kebakaran hutan. Kebakaran hutan terjadi karena adanya sumber api. Apabila sumber api dapat dihilangkan, kebakaran hutan pun tidak akan terjadi. Meskipun demikian, kehadiran sumber api tersebut dapat dikatakan sulit untuk dihilangkan karena sumber api yang berasal dari aktivitas manusia tersebut pada umumnya memang diharapkan manfaatnya. Penggunaan api di dalam hutan tidak selalu disebabkan oleh karena kesadaran masyarakat yang rendah terhadap manfaat hutan atau bahaya api terhadap keamanan hutan, melainkan juga karena keterpaksaan mereka akibat keadaan alam dan kemampuan teknologi ataupun ekonominya dalam mengatasi penggunaan api. Contoh jenis-jenis penggunaan api yang tergolong kategori ini adalah api yang dibuat untuk persiapan lahan pada perladangan berpindah atau api untuk peng-
|
gembalaan dan perburuan. Teknik penyiapan lahan yang menggunakan api dalam perladangan berpindah merupakan teknik yang paling mudah dan murah berdasarkan waktu penyelesaiannya, serta berdasarkan alokasi waktu dan tenaga kerja yang tersedia. Oleh karena itu, cara ini diperkirakan akan terus dilakukan oleh petani ladang. Dalam jangka pendek saat ini, peniadaan pembuatan api di dalam hutan oleh masyarakat sangat sulit dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut, program jangka pendek yang perlu dilakukan terutama oleh Kementerian LHK adalah memanfaatkan teknologi pengelolaan penggunaan api di dalam hutan yang memenuhi persyaratan pengurangan risiko kebakaran hutan. Memasyarakatkan teknik pengelolaan penggunaan api di dalam hutan harus ditempuh dengan memanfaatkan berbagai sarana komunikasi yang tersedia, antara lain melalui media massa (radio atau TV) dan komunikasi langsung melalui program penyuluhan yang lebih menarik dan bervariasi. Di sisi lain, upaya mencari teknik memanfaatkan bahan organik berupa vegetasi yang biasa dibakar pada lahan [termasuk ladang] menjadi bahan yang bernilai komersial sangat diperlukan, seperti untuk bahan pupuk organik dan arang briket. Pemadaman kebakaran secara langsung pada dasarnya diarahkan untuk mengusahakan agar salah satu atau lebih dari komponen kebakaran. Contohnya, bahan bakar yang potensial dapat dikurangi atau dihilangkan dan suhu tinggi dapat diturunkan menggunakan air yang disemprotkan ke tempat kebakaran hutan yang terjadi. Pembuatan ilaran tidak permanen di depan arah pergerakan api dapat pula menjadi pilihan untuk pemadaman kebakaran secara langsung. Pembakaran terkendali yang dimulai dari jalur ilaran dapat dibuat untuk melawan kebakaran yang sedang terjadi. Pembakaran terkendali seperti ini dapat menghilangkan bahan bakar antara jalur ilar yang dibuat dengan tempat kebakaran yang terjadi. Hal yang perlu dicatat bahwa apapun cara yang digunakan untuk memadamkan kebakaran, alat yang digunakan harus tepat dan ditangani oleh personal yang mengetahui fungsi dan cara penggunaannya. Selain itu, pemantauan areal-areal bekas terbakar perlu dilakukan untuk menghindari terulangnya kebakaran.
|
Kebakaran hutan pada umumnya terjadi sangat cepat, kecuali api gambut. Informasi penemuan kebakaran dan gerakan yang cepat dalam pengendaliannya akan mengurangi kerusakan yang terjadi. Penemuan awal kebakaran di lapangan dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya membangun menara pengawas api yang diletakkan pada tempat yang tinggi. Penemuan tersebut harus diikuti pula oleh kemampuan pemberitahuan yang cepat. Kondisi rawan harus segera diinformasikan secara cepat melalui sarana komunikasi modern, misalnya telepon, handphone, radio dua arah, sirine, atau dapat pula menggunakan isyaratisyarat tradisional setempat yang paling tepat seperti alat kentongan. E. Pencegahan Kebakaran Hutan Berbasis Masyarakat (PKBM) Banyak bukti menunjukkan bahwa kebakaran yang terlanjur besar dan luas sangat sulit dipadamkan kecuali bahanbakarnya telah habis (Heikkila et al., 1993). Sementara itu, kebakaran yang telah terlanjur meluas pada lahan gambut hanya dapat padam akibat turunnya hujan selama dua minggu secara berturut-turut (Dishut Kalteng, 2009). Mengingat keberhasilan pengelolaan kebakaran ditentukan oleh keberhasilan dalam melakukan pencegahannya, upaya ini selayaknya menjadi perhatian utama dalam mengelola kebakaran hutan (Chandler et al., 1983; Heikkila et al., 1993). Menurut Moore (2003), banyak negara [terutama negara berkembang] memilih peralatan berat untuk pemadaman api besar dibandingkan dengan melakukan upaya pendidikan kepada masyarakatnya. Akibatnya, kebiasaan masyarakat masih menjadi penyebab meningkatnya jumlah kasus api liar. Padahal, aktivitas pencegahan dinilai menjadi cara paling ekonomis dalam mengurangi kerugian dan kehilangan akibat api (Heikkila et al., 1993; Suratno et al., 2003). Bahkan, cara ini dapat dimulai tanpa menggunakan peralatan yang mahal (Heikkilaet al., 1993). Kebakaran-kebakaran yang tidak diinginkan dapat dikurangi dengan cara mendidik masyarakat secara proaktif (Moore, 2003; FAO, 2006). Cara-cara terbaik yang dapat digunakan untuk pencegahan kebakaran menurut Chandler et al. (1983) adalah
|
menggunakan prinsip segitiga ”E” (Education, Enforcement, dan Engineering), yaitu 1) pendidikan terhadap masyarakat umum, 2) penegakan hukum tentang kebakaran, dan 3) rekayasa teknologi pencegahan kebakaran (Gambar 38). Sebagai contoh, pendidikan peningkatan kesadaran penduduk yang dilakukan pada tahun 2000-an dapat dianggap sukses karena berhasil menunjukkan keampuhannya dalam kegiatan pencegahan, mitigasi, dan program pendidikan di seluruh dunia (Ganz et al., 2001). Peningkatan kesadaran dan partisipasi masyarakat pedesaan dalam pencegahan api liar dan pengelolaan kebakaran telah menjadi tujuan utama kampanye nasional, regional, dan lokal. Berdasarkan pengalaman berbagai kampanye yang dilakukan di seluruh dunia, beberapa aspek berikut seyogyanya dimasukkan ke dalam kampanye pencegahan di desa (Moore, 2003). Aspek tersebut adalah fungsi dan kepentingan lansekap; manfaat ekologis, ekonomi, sosial, dan budaya dari api; peranan api di dalam lansekap; implikasi dihilangkannya api dari fungsi ekologi, tradisional, atau ekonomi di dalam lansekap; risiko kemungkinan api liar; dampak negatif api liar; sosialisasi hukum dan peraturan yang berhubungan dengan kebakaran; penerapan teknik pembakaran terkendali dalam perladangan berpindah dan pertanian; dan kemungkinan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan kebakaran.
EDUCATION Api akibat ketidaktahuan, kelalaian, dan kejahatan
Api akibat kecelakaan, tak terduga, halilintar, gunung berapi, dan batu bara
ENFORCEMENT
ENGINEERING
Gambar 38. Strategi pencegahan kebakaran hutan dengan konsep ”3E” (Chandler et al., 1983)
|
Partisipasi aktif masyarakat dalam pencegahan kebakaran di desa sangat penting dan fasilitator harus memahami budaya lokal (Linchang et al., 2001; Berkat, 2007). Perencana pencegahan juga harus membuka sebanyak mungkin kontribusi dan masukan dari masyarakat. Dokumentasi yang baik disertai isi yang mudah dimengerti merupakan faktor penting dalam rencana pencegahan (Soekartawi, 2005). Menurut Heikkila et al. (1993), tahapan awal dalam perencanaan pencegahan kebakaran adalah mengoleksi data dasar minimal selama lima tahun, antara lain tentang 1) bagaimana dan mengapa kebakaran terjadi; 2) kapan hal itu terjadi (bulan, hari, waktu dalam hari); 3) kapan kejadian sering terjadi terkait hubungannya dengan cuaca, kondisi bahan bakar, dan waktu; 4) berapa banyak api terjadi dari masing-masing penyebab yang berbeda; 5) di mana kasus terjadi. 1. Filosofi PKBM Kebakaran hutan di daerah tropis, khususnya di negaranegara berkembang, tidak terlepas dari faktor manusia sebagai pemicu (Glover & Jessup, 1999). Tradisi pertanian tebas bakar yang dilakukan oleh sebagian masyarakat sejak lebih dari seratus tahun yang lalu menunjukkan adanya peran masyarakat sehingga posisinya dalam pencegahan kebakaran menjadi penting (Moore & Haase, 2002). Oleh sebab itu, konsep pencegahan kebakaran sesungguhnya tidak terlepas dari konsep Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat (PKBM) atau Community Base Fire Management (CBFiM). Konsep PKBM (CBFiM) pertama kali diperkenalkan dalam terminologi kebakaran di Asia Tenggara dan Afrika pada tahun 1990 (Moore, 2003). Praktik pengelolaan tersebut pun pertama dianalisis di Asia Tenggara (Moore, 2002). Api yang timbul secara rutin di daerah ini berasal dari gabungan keadaan yang kompleks, terutama berasal dari konversi lahan. Dalam aplikasi PKBM, akar penyebab kebakaran perlu dikaji terlebih dahulu sebelum kegiatan-kegiatan lain yang menggunakan api dapat dinilai (Tacconi, 2003). Pengelolaan api meliputi aktivitas peringatan dini, deteksi api, mobilitas, dan pemadaman api yang tidak diinginkan (Chandler et al., 1983). Dalam kegiatan itu termasuk juga restorasi dan rehabilitasi areal pascaterbakar (Moore &
|
Haase, 2002). Pemahaman baru tentang peranan api dalam ekosistem di seluruh dunia telah memengaruhi kerangka kebijakan setempat yang mana penggunaan api secara terkendali pada masyarakat lokal dapat diterima karena berperanan penting dalam pengelolaan api lahan (Ganz et al., 2001; Dampha, 2001). Menurut FAO (2006), pengendalian kebakaran berbasis masyarakat merupakan suatu pendekatan manajemen berdasarkan strategi mengikutkan masyarakat lokal dalam teknik penggunaan api secara tepat, pencegahan api liar, persiapan dan pemadaman api liar. Definisi PKBM yang diajukan oleh Ganz et al., (2001) adalah suatu tipe manajemen hutan dan lahan yang mana masyarakat atau penduduk lokal [dengan atau tanpa bekerja sama dengan para pihak] memiliki keterlibatan yang nyata dalam menentukan tujuan dan praktik pencegahan, pengendalian, atau penggunaan api. Pola ini telah terbukti berperan sangat penting dalam pengelolaan kebakaran, khususnya di sebagian besar daerah di dunia. Hal ini dikarenakan api akibat sulutan manusia sering menjadi sumber utama api liar dalam kebakaran dan dampaknya sering mengganggu aktivitas mata pencaharian, kesehatan, dan keamanan masyarakat (Lichang, 2001). Kegiatan masyarakat dalam PKBM meliputi perencanaan dan pengawasan aktivitas, kerja sama pelaksanaan pembakaran terkendali, monitoring api dan pemadamannya, penerapan sanksi, dan pemberian bantuan terhadap individu dalam mengelola api mereka (Karki, 2002). Keberadaan mereka dibentuk di desa-desa dan kampung sebagai regu-regu api yang bersifat volunter. Pengelolaan api yang disepakati harus aman, efektif, dan diterima secara lingkungan dan sosial. Selain itu, masyarakat dapat membantu memadamkan api besar secara sukarela tanpa menjadi beban bagi mereka (Moore & Haase, 2002). Masalah gender di beberapa negara pun telah menjadi pertimbangan partisipasi di dalam PKBM, walaupun peranan perempuan dan laki-laki dapat berbeda dan spesifik. Dalam penerapannya, PKBM dimulai dengan pertemuan antara pemimpin tradisional dengan staf teknis. Mereka berdiskusi tentang kondisi demografi, kemungkinan strategi manajemen dan tahapan yang harus dilakukan untuk mengurangi kecenderungan peningkatan api liar, dan merestorasi areal di mana api digunakan secara berkesinambungan menuju kondisi ramah lingkungan.
|
Data di beberapa negara di Afrika menunjukkan bahwa kegiatan pencegahan lebih banyak dilakukan oleh wanita, sedangkan aktivitas pemadaman dan deteksi menjadi tugas pria (Moore & Haase, 2002). Sebagai contoh, hasil survei di Mozambique menunjukkan bahwa informasi dampak negatif kebakaran terhadap tanaman dan rumah diketahui oleh wanita sekitar 16–17% lebih banyak daripada laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita lebih peduli terhadap pencegahan daripada pemadaman kebakaran. Filosofi penggunaan api juga terkait dengan keterbatasan ekonomi dan sumber pendapatan. Di negara-negara miskin, penggunaan api amat berhubungan dengan kekurangan pilihan ekonomi dan alternatif dalam mata pencaharian. Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali terus menggunakan api dalam aktivitas pertanian, sekalipun mereka tidak memiliki sumber daya untuk menanganinya apabila terjadi api besar akibat dari pembakaran tersebut. 2. Bentuk-bentuk PKBM Menurut Moore (2003), terdapat beberapa contoh bentuk keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan api, antara lain: a. Kebanyakan anggota regu api volunter masyarakat lokal di Finlandia adalah mereka yang memiliki aset investasi dalam kegiatan bertani di hutan (forest farming) atau sebagai pemilikpemilik hutan pribadi. Dengan demikian, mereka benar-benar melindungi hutan mereka. b. Regu api volunter di seluruh Australia berasal dari dan terutama untuk melindungi aset masyarakat. Sebagian besar dari mereka tidak tertarik pada pertanian subsisten (tradisional) di lahan hutan. c. Regu api volunter di Honduras terbentuk lebih banyak untuk menanggulangi tuntutan ancaman hama dan penyakit sehingga pembakaran terkendali merupakan suatu keharusan. d. Pelaksanaan PKBM di Gambia diterapkan dengan cara memberi kewenangan kepada masyarakat lokal untuk mengelola lahan sekeliling hutan milik pemerintah (Ganz et al., 2001). Kelompok-kelompok tersebut bersifat volunter dan bekerja
|
untuk kepentingan mereka sendiri dan mereka mengkhususkan diri pada pengendalian api dalam persiapan tanaman, merespons kebakaran, dan melakukan pencegahan. Inisiatif pengelolaan kebakaran dalam PKBM bisa datang dari internal ataupun eksternal masyarakat. Banyak uji coba yang menghasilkan fakta bahwa meningkatkan dan mendukung PKBM harus dimulai dengan pemahaman penyebab dan fungsi api, serta dampaknya terhadap berbagai pihak, baik di dalam maupun di luar komunitas. Kesamaan pandangan para pihak merupakan hal penting sebelum memutuskan manajemen apa yang tepat atau yang memungkinkan untuk dilaksanakan dengan mempertimbangkan kemampuan teknis dan organisasi yang ada di masyarakat (Moore, 2003). Model-model input komunitas dalam membuat keputusan pengelolaan kebakaran (Moore, 2003) ditampilkan dalam Gambar 39.
Inisiatif datang dari dalam dengan keputusan lokal Sistem sponsor eksternal dengan pembuatan keputusan lokal Model Pengelolaan Api
Sistem sponsor eksternal dengan keterlibatan masyarakat tetapi tidak membuat keputusan lokal
Kerja sama kemitraan dengan pembuatan keputusan lokal Kerjasama kemitraan dengan keputusan lokal dan input secara serius
Sistem eksternal dengan tidak mencoba input dari masyarakat
Gambar 39. Model input masyarakat dalam pembuatan keputusan pengelolaan api (Moore, 2003)
|
3. Kerangka Kebijakan dan Perundang-undangan PKBM Di kebanyakan negara berkembang, masalah kebakaran belum diatur dalam perundang-undangan mereka. Tanggung jawab penanggulangan kebakaran pada lahan publik belum jelas diterangkan; padahal, lahan milik negara selalu berbatasan dengan lahan publik (FAO, 2006). Perundang-undangan kebakaran sering dielaborasi dalam banyak pasal-pasal detil dalam aturan-aturan yang dibuat oleh sejumlah kementerian secara terpisah. Umumnya dalam peraturan itu, api dianggap sebagai hal yang bersifat negatif dan merusak. Pengakuan terhadap penggunaan api untuk sarana mata pencaharian jarang diterima, kecuali di sebagian kecil negara. Sebagai contoh, peraturan menyatakan bahwa penyalaan api sembarangan pada lahan untuk beberapa kasus merupakan suatu perbuatan yang dapat dihukum berdasarkan undang-undang (Moore & Hasse, 2002; FAO, 2006). Namun, perundangan di Malaysia merupakan suatu perkecualian. Dalam undang-undang mereka, pembakaran berhati-hati diperkenankan setelah melalui pemberian izin untuk aktivitas lokal dalam skala kecil, tetapi dilarang bila digunakan untuk skala komersial (Karki, 2002). Aturan yang dibuat harus sesuai dengan tradisi lokal sehingga mudah diterapkan secara sosial kepada masyarakat (FAO, 2006). Hal ini mengingat terdapatnya jutaan masyarakat tradisional di seluruh dunia yang setiap hari melakukan perladangan berpindah sebagai bagian dari aktivitas mata pencaharian penting bagi kehidupan mereka. Pemecahan masalah itu dapat dicapai dengan melibatkan masyarakat lokal dalam peningkatan kesadaran tentang bahaya api, aktivitas pengurangan bahaya, dan pendidikan [PKBM] (Karki, 2002). Oleh karena itu, pengetahuan tradisional dan keterampilan yang telah melekat di masyarakat dapat diterapkan untuk mencegah kebakaran yang merusak dan tidak diinginkan, serta untuk mengembangkan cara penggunaan api yang lebih berguna (Moore, 2003). Peningkatan kesadaran tentang kerugian akibat api dapat digugah dengan mempertimbangkan adanya kepentingan keamanan pangan dan mata pencaharian bagi penduduk lokal. Masyarakat lokal dapat saja tidak mengetahui tentang efek negatif kebakaran terhadap mata pencaharian mereka, seperti yang terjadi di Brazil, India, dan
|
Tanzania yang mana masyarakat menganggap api liar hanya sebagai tradisi gangguan musiman saja (Moore, 2003). Karki (2002) menyatakan bahwa alokasi sumber daya pemerintah biasanya tidak cukup untuk mengelola kebakaran. Pemerintah sering tidak bisa mengawasi atau menegakkan hukum terhadap kebiasaan penggunaan api. Kebiasaan tersebut pun masih diterima sebagai budaya, walaupun banyak masyarakat yang tidak peduli terhadap kejadian api liar. Kondisi ini terus berlangsung selama masyarakat masih banyak melakukan perladangan berpindah karena tidak tersedia sumber penghidupan yang lain. Oleh sebab itu, pemerintah di beberapa negara berupaya mencari solusinya. Sebagai contoh di Namibia, kondisi seperti itu didekati dengan menerbitkan pedoman nasional pengelolaan kebakaran yang menyatakan bahwa kebakaran sebagai tanggung jawab bersama para pihak dalam PKBM, dan merupakan pelaksanaan prinsip partisipasi masyarakat dalam perlindungan hutan (Ganz et al., 2001). 4. Kepemilikan Lahan Pertimbangan selanjutnya adalah tentang klarifikasi kepemilikan lahan di bawah payung hukum dan perundang-undangan. Di dalam upaya PKBM, hak akses formal ataupun informal, dan hak penggunaan lahan diidentifikasi sebagai kunci pendorong bagaimana masyarakat mau berperan aktif dalam pengelolaan kebakaran (Moore, 2003). Dalam berbagai kasus; hak-hak alokasi, akses, dan upaya operasional untuk menjelaskan hak kepemilikan belum terbentuk baik di banyak negara. Akibatnya, aspek-aspek tersebut tidak terlalu dianggap sebagai masalah dan kendala penting untuk penerapan PKBM. Sebenarnya, banyak komponen penting terlibat dalam pengelolaan api, baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat lapangan. Namun, tema yang sama dan berulang terjadi adalah jawaban terhadap pertanyaan mendasar tentang siapa yang seharusnya mengendalikan penggunaan dan mengelola api secara tepat. Lansekap pedesaan di negara berkembang dihuni ratusan juta penduduk, baik penduduk asli maupun penduduk hasil migrasi (FAO, 2003). Mereka berkompetisi satu dengan yang lain dengan bantuan faktor eksternal dan internal untuk memperoleh
|
akses kepada sumber daya alam dan menggunakan api sebagai alat manajemen. Meningkatnya persaingan dalam penguasaan sumber daya tanah, air, dan hutan telah berimplikasi pada pentingnya mengendalikan kebutuhan dan pembatasan peran dan tanggung jawab di dalam pengelolaan api (Moore & Hasse, 2002). 5. Kebakaran dan Pembakaran Api adalah agen pengganggu yang telah dan akan berperan secara terus-menerus dalam ekosistem yang sensitif dan sekaligus adaptif di seluruh dunia (Lawrence, 2001). Di dalam semua ekosistem, manusia telah mengubah regim api alami melalui frekuensi dan intensitasnya. Hampir setiap kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berasal dari kelalaian cara pembakaran oleh manusia. Api di lahan digunakan untuk beberapa keperluan, yaitu pengelolaan dan pemeliharaan lahan pertanian, alat dalam konversi lahan hutan menjadi lahan pertanian, perburuan dan pengelolaan satwa liar, dan keperluan budaya lokal (Jurvelius, 2003). Masyarakat lokal sering disalahkan dalam kejadian api yang bersifat merusak yang biasa disebut kebakaran, sedangkan keuntungan ekologi dari api itu hampir tidak ada orang yang mengindahkannya. Untuk itu, masyarakat lokal seharusnya dilibatkan dalam mengurangi terjadinya api yang tidak diinginkan (Moore, 2003). Di sisi lain, Ganz e tal, (2001) menyatakan bahwa dalam banyak kasus memperkenalkan api dalam pembakaran untuk pencegah kebakaran yang tidak dikehendaki juga penting diketahui sehingga ada pengakuan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan norma budaya sebagai bagian penting dalam ekologi. 6. Pembakaran untuk Bertani Pembakaran dalam aktivitas pertanian secara global nampaknya diterima di banyak negara sebagai keperluan praktik sehari-hari (FAO, 2003). Tetapi, ketika hal itu tidak terkontrol [walau sudah direncanakan] dan api menjadi tidak terkendali, lembaga tidak puas terhadap mereka yang bertanggung jawab terhadap api tersebut. Bagaimanapun, sangat jarang institusi pemerintah yang mengurusi bidang pertanian mau mengklaim
|
pertanggungjawaban bahwa praktik bertanilah yang menjadi penyebab kebakaran tersebut. Padahal, FAO (2003) menduga 80% kebakaran global yang berada di areal hutan berasal dari loncatan api dari areal pertanian. Bahkan, api loncat dari areal pertanian telah menyebabkan 91% kebakaran lahan tidur di Itali dan 95% kebakaran di Portugal pada tahun 2002 (FAO, 2003). Ketika api masuk ke hutan maka tanggung jawab secara otomatis jatuh ke pegawai kehutanan atau pegawai Departemen Api dan Penyelamatan, seperti yang terjadi di Tanzania. Tingginya proporsi api hutan yang disebabkan oleh api loncat dari pembakaran pada lahan pertanian menjadi alasan kuat untuk PKBM menjadi signifikan dalam menekan dampak api yang tidak dikehendaki dan merugikan. Dampak pendekatan PKBM yang positif membuktikan bahwa penggunaan api di masyarakat harus diakui sebagai sumber informasi, keahlian, dan pengalaman yang siap dipakai. Hal ini mengingat bahwa api tidak seluruhnya dapat dipisahkan dari kehidupan penduduk sehari-hari dan lansekap tempat mereka tinggal. Kajian yang menggambarkan cara penggunaan api kecil yang diinginkan dalam mengelola budi daya tanaman, memanen HHBK, berburu, meremajakan rumput, serta mengendalikan hama dan penyakit menunjukkan adanya kebutuhan untuk memisahkan api ini dari pembakaran yang tidak terkendali. Sementara itu, contoh pembakaran liar tak terkendali akibat arson (pembakaran kriminal) banyak terjadi di masyarakat Australia, Eropa, dan Amerika Utara. 7. Kondisi PKBM Saat Ini Dalam tingkatan yang beragam, banyak negara telah mulai mengadopsi strategi pengelolaan kebakaran berbasis masyarakat atau kolaboratif (Ganz et al., 2001). Penekanan terhadap arti berbasis masyarakat tidak hanya pada pelibatan masyarakat, tetapi juga kapabilitas masyarakat. Hal ini telah diakui dan didukung oleh lembaga-lembaga eksternal, seperti pemerintah, NGO, proyek, dan lain-lain. Menurut Ganz et al., (2001), terdapat hubungan penting antara PKBM, penatagunaan hutan, pengelolaan sumber daya alam, dan proses pembangunan komunitas secara keseluruhan.
|
Sebenarnya, PKBM secara fungsional tidak dapat berdiri sendiri (Lichang et al., 2001). Di beberapa negara, kekuatan pengendali di balik pendekatan PKBM adalah hak penggunaan lahan lokal, termasuk hak menggunakan api sebagai alat manajemen (FAO, 2003). Terpeliharanya hak tersebut akan dapat membantu upaya mempertahankan manfaat pembakaran terkendali. Beberapa model pendekatan PKBM tercatat sudah dilakukan pada berbagai lokasi yang jauh dan sulit dijangkau pemerintah karena akses yang sulit, waktu respons yang lambat, dan keterbatasan biaya. Saat ini, kesadaran masyarakat telah meningkat akibat kesadaran tentang perlunya pengamanan sumber pangan dan obat-obatan yang berasal dari hutan. Dalam hal ini, dukungan eksternal seharusnya diarahkan untuk meningkatkan keterampilan penggunaan api yang bermanfaat. Proses dan produk PKBM hasil kerja aktor eksternal saat ini telah dilakukan oleh banyak negara. Berdasarkan pengalaman, terutama di Amerika Latin, Sahara Afrika, dan Asia Tenggara; proses dan aktivitas yang diusulkan untuk perencanaan dan implementasi program pengelolaan kebakaran ramah lingkungan harus disertai pertimbangan teknis dan keterlibatan para pihak (FAO, 2003). Salah satu aktivitas pendukung PKBM adalah melakukan studi dasar untuk mengetahui aspirasi masyarakat lokal di desa, contohnya melalui workshop yang mendiskusikan sejarah desa, penggunaan api, penyebab api liar, dampak api liar, dan sejarah pengelolaan api di masa lalu (FAO, 2003). 8. Penerapan Pencegahan Kebakaran Berbasis Masyarakat Dalam menerapkan strategi pencegahan kebakaran berbasis masyarakat; nilai-nilai kemanusiaan, persepsi, kepercayaan, norma-norma budaya, dan perilaku dianggap sebagai aspek-aspek penting dari nilai ekologi dalam pengelolaan kebakaran (Lichang et al., 2001). Kemampuan masyarakat lokal untuk terlibat mengelola suatu inovasi baru dalam pencegahan kebakaran memerlukan proses dasar yang berlangsung lama, bahkan bertahun-tahun untuk menjadi efektif (Soekartawi, 2005). Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembentukan lembaga pengendali kebakaran dan mengadakan pelatihan.
|
a. Pembentukan Lembaga Pengendali Kebakaran Desa Tahap awal dalam pelaksanaan PKBM adalah melembagakan tanggung jawab dan tugas anggota masyarakat yang secara sukarela berpartisipasi dalam pengendalian api. Kunci pengendalian api adalah deteksi dini, pencegahan, dan pemadaman api yang tidak diinginkan. Selain itu, lembaga ini bertanggung jawab juga pada kegiatan kampanye untuk menyiagakan masyarakat dalam melakukan praktik pembakaran yang aman (Lichang et al., 2001) dan ikut mengelola api dalam tingkat lansekap di luar lahannya, bahkan tidak hanya di desanya (Moore, 2002). Namun, fasilitasi pembentukan organisasi ini tentunya membutuhkan dana. Contohnya, percobaan penerapan PKBM di Indonesia telah dilakukan dengan dana yang bersumber dari lembaga pemerintah yang bekerja sama dengan lembaga internasional dan perusahaan swasta (Care, 2003; Marbyanto, 2003). b. Pelatihan untuk Peningkatan Keterampilan dan Pengetahuan Kebakaran Pelatihan yang disesuaikan dengan tahapan apa dan tentang apa sejalan dengan konsep ”5W+1H” (Why, What, Who, Where, When, and How). Oleh sebab itu, informasi dasar tentang api di masyarakat, gender, dan data dokumen adalah kelengkapan perencanaan dasar pelatihan (FAO, 2006). Asumsinya adalah kebakaran sering terjadi akibat kekurangsadaran masyarakat tentang kerugian akibat api. Pelatihan akan tepat sasaran bila menggunakan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan lokal (FAO, 2006). Masalah yang berhubungan dengan pelatihan kebakaran pun sangat kompleks. Kebutuhan manajemen dalam pengendalian kebakaran yang kompleks ini perlu diakomodasi dalam bahan pelatihan. Belakangan ini, telah tersedia pola pelatihan kebakaran hutan dan lahan untuk lembaga pemerintah, lembaga sosial masyararakat (LSM), penduduk lokal ataupun untuk kelompok lain yang berminat. Masyarakat dilatih untuk mampu menilai dan mengerti peranan komponen dasar dari api (bahan bakar, panas, dan oksigen), serta prinsip perilaku api (Heikkila et al., 1993). Setidaknya, masyarakat harus terampil dalam melakukan pembakaran terkendali.
|
Prinsip pelatihan kebakaran adalah keseimbangan antara teori dan praktik lapangan dalam mengadopsi pengetahuan lokal dan teori umum. Menurut Nicolas (1999), kurikulum pelatihan ini termasuk aktivitas pencegahan; pendidikan lingkungan; masalah kelembagaan; peranan, fungsi, dan tanggung jawab regu pengendali kebakaran; peningkatan kesiagaan; penggunaan dan pemeliharaan alat pemadam sederhana; serta strategi, taktik, dan teknis pemadaman api. Walaupun terdapat kearifan dan pengetahuan lokal penduduk yang berkaitan dengan kemampuan memadamkan api (contohnya menggunakan ranting pohon dan daun pisang), prinsip pemadaman awal dengan menggunakan alat-alat kelengkapan modern diberikan pula dalam pelatihan api; seperti penggunaan sepatu, seragam berhelm, tameng muka (face shield), swatter, dan alat semprot punggung (Jurvelius, 2003; Care, 2003). Pelajaran penggunaan alat diberikan terutama untuk kepentingan mendekati api yang temperaturnya berkisar antara 300–500°C. c. Peningkatan Kesadaran dan Pengetahuan Masyarakat melalui Penyuluhan Seperti telah diketahui, sebagian besar para peladang tradisional telah terbiasa menggunakan api dalam persiapan bercocok tanam. Pada umumnya, lokasi perladangan berada dekat dengan kawasan hutan. Pada saat akhir musim kemarau, seringkali pembakaran dilakukan secara serentak. Dengan demikian, apabila pelaksanaan pembakaran tidak diorganisasikan secara baik, tingkat kerawanan kebakaran hutan akan sangat tinggi. Kondisi ini semakin diperparah dengan masih adanya sebagian masyarakat yang memiliki pola pikir berbeda terhadap keberadaan hutan. Selama ini, sikap masyarakat sekitar hutan terhadap hutan sebagian masih dipengaruhi mitos lama, seperti hutan merupakan tempat tumbuh pepohonan dan satwa yang tidak ada pemiliknya, atau hutan sebagai anugerah Tuhan yang bebas digunakan sehingga dianggap lahan bebas untuk dirambah. Sementara, sebagian kecil masyarakat sangat berkepentingan dengan adanya hutan, misalnya anggapan hutan penting untuk berburu, bersembunyi dari kondisi darurat, atau untuk memanen hasil hutan nonkayu (rotan, damar, gaharu, madu, dan lain-lain). Berdasarkan hal tersebut, penyuluhan menjadi penting untuk mengubah pola pikir masyarakat yang kurang peduli terha-
|
dap keberadaan hutan. Tingginya frekuensi penyuluhan dan keberhasilannya akan menentukan tingkat kerawanan api pada areal perladangan. Bagi kelompok peladang yang sudah memahami pentingnya lingkungan dan menguasai cara-cara pembakaran terkendali, hal ini akan menyebabkan tingkat kerawanan api menjadi rendah hingga sedang. Lebih yakin lagi adalah jika masyarakat sekitar hutan telah tertarik untuk mematikan api yang masuk ke areal hutan ketika api masih kecil. Model pelaksanaan penyuluhan yang dapat diterapkan adalah melalui Latihan dan Kunjungan (Laku), sedangkan metode baru dalam penyampaian informasi yang saat ini tengah dicoba adalah model Participatory Rural Appraisal (PRA). Secara harfiah, PRA diartikan sebagai penilaian pemahaman masyarakat pedesaan secara partisipatif. Tujuan mendasar dari PRA adalah mengembangkan kemampuan masyarakat dalam menganalisis keadaan mereka sendiri, melakukan perencanaan dan mengimplementasikan kegiatan aksi. Prinsip-prinsip PRA tersebut sejalan dengan metode pendidikan orang dewasa atau disebut androgogy yang mana masyarakat sendiri yang diminta pendapatnya dalam menangani api lahan. Sementara, penyuluh lebih berusaha sebagai fasilitator, bukan sebagai guru. Dengan pola ini, kesadaran akan timbul dari mereka sendiri melalui berbagai inisiatif. Selama ini, kegiatan penyuluhan masih bersifat instruksional yang mana suatu teknologi dan informasi hampir seluruhnya berasal dari penyuluh. Cara tersebut tidak tepat lagi di era reformasi ini. Masyarakat tradisional secara turun-temurun sebenarnya memiliki pengetahuan dan pengalaman dalam mengelola lingkungan walaupun sederhana. Khusus pengendalian api lahan, sebagian masyarakat telah terbiasa melakukan pembakaran terkendali (control burning). Tingkat pendidikan yang rendah dari para peladang atau masyarakat sekitar hutan menuntut adanya bahasa yang sederhana. Oleh sebab itu, penyuluh harus menguasai dan mentransfer ke dalam bahasa sederhana terkait pengetahuan-pengetahuan tentang hutan dan kehutanan, serta ilmu lingkungan. Mereka juga harus mengidentifikasi seluruh masalah dan menentukan masalah yang menjadi prioritas untuk diselesaikan. Identifikasi alternatifalternatif pemecahan masalah dilakukan sesuai kemampuan sum-
|
ber daya yang ada. Selanjutnya, pelaksanaan aksi dan tindakan diorganisasikan. Pola penyampaian informasi yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kebakaran hutan adalah sebagai berikut: a. Menyebarkan peraturan perundang-undangan. Hal ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui hal-hal penting dan sanksi-sanksi apabila melakukan pembakaran secara sengaja di dalam areal hutan. Pelaksanaannya dapat melalui kepala desa, ulama, tokoh masyarakat, dan guru-guru sekolah. b. Melakukan tatap muka. Penyuluh atau petugas yang ditunjuk mengadakan kunjungan ke rumah-rumah penduduk atau dengan cara mendatangi tempat-tempat kerja peladang, seperti ladang, sawah, penggembalaan ternak, dan tempat pendulangan emas. c. Mengikuti rembug desa. Di desa biasanya ada pertemuan rutin tahunan yang disebut rembug desa yang membicarakan permasalahan desa. Forum tersebut dapat digunakan untuk menyampaikan masalah bahaya kebakaran hutan dan akibatakibatnya, serta upaya mengatasinya. d. Melakukan pertemuan khusus. Penduduk desa-desa sekitar hutan dapat diundang dalam suatu pertemuan khusus, misalnya di camp, rumah kepala desa, atau rumah tokoh masyarakat. Sebaiknya, pertemuan dilaksanakan pada malam hari atau siang hari pada hari Jum’at. Pertemuan membicarakan tentang pembakaran terkendali dan keharusan melapor bagi para peladang yang mau membakar kepada ketua RT/RW, memberitahukan tentang lay-out pembakaran, peralatan yang digunakan, dan organisasi. e. Menitip pesan di dalam pendidikan formal. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui guru-guru sekolah dasar dan madrasah untuk menanamkan tentang pentingnya hutan dan bahaya kebakaran. f. Menitip pesan di dalam khotbah Jum’at di masjid atau kebaktian di gereja. Penyuluh dapat langsung berperan sebagai khatib atau dilakukan secara tidak langsung.
|
g. Menulis pesan di dalam papan peringatan. Pemasangan papan hanya dapat ditujukan kepada masyarakat yang dapat membaca. Pemasangan papan peringatan ini dapat dianggap sebagai penyuluhan tidak langsung. Materi dibuat semenarik mungkin. h. Memutar film. Biasanya masyarakat lebih tertarik dengan cara ini karena di dalam film tersebut biasanya disampaikan pesan dalam bentuk gambar langsung dengan ceritanya. Melalui film masalah kebakaran dan akibat-akibatnya dapat ditampilkan, tentunya diselingi film hiburan. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah sikap penyuluh terhadap peserta, pelaksanaan pembakaran terkendali, evaluasi hasil penyuluhan, pemberian alat pemadam sederhana, pengamatan aktivitas peladang, pelaksanaan praktik pemadaman secara berkala dan berkesinambungan, pemberian uang insentif bagi pemadam api, pembuatan sekat bakar penyangga dengan ladang, penggarapan ladang dengan bagi hasil, dan kerja sama pembersihan bahan bakar di bawah tegakan hutan. 9. Dukungan Peraturan untuk Pencegahan Kebakaran Berbasis Masyarakat Keberhasilan pencegahan kebakaran berbasis masyarakat membutuhkan dukungan peraturan yang mengakomodasi dan memfasilitasi kegiatan dapat dilaksanakan dengan baik. Peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan Pemerintah telah mengatur hal-hal yang terkait dengan usaha pencegahan kebakaran hutan dan pemberian sanksi bila melanggarnya. Beberapa peraturan tersebut, antara lain UU Nomor 5 Tahun 1990, UU Nomor 5 Tahun 1994, UU Nomor 6 Tahun 1994, UU Nomor 41 Tahun 1999, UU Nomor 24 Tahun 2007, dan UU Nomor 32 Tahun 2009. Peraturan pelaksana lainnya adalah Peraturan Menteri, Perda (Provinsi dan Kabupaten/Kota), Peraturan Gubernur, dan lain-lain. Peraturan yang mendukung upaya pencegahan kebakaran berisi tentang hal-hal mengenai pelestarian dan pendayagunaan berkelanjutan keanekaragaman hayati, peningkatan kepedulian
|
masyarakat, pengembangan teknologi, dan pendanaan. Selain itu, peraturan yang ada juga memuat hal-hal terkait hak dan kewajiban para pihak, termasuk masyarakat dalam mengelola hutan, lahan, dan lingkungan hidup. Khusus peraturan di bidang kehutanan, terdapat penjelasan tentang aspek perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan hutan; upaya pencegahan kebakaran hutan yang merupakan bagian dari usaha perlindungan hutan dan kawasan; serta tanggung jawab dan pelaksanaan wewenang pelaksanaan perlindungan hutan. Selain memuat prinsip-prinsip, hak dan kewajiban, serta tata cara dalam upaya perlindungan hutan dan lingkungan hidup; undang-undang juga memberikan sanksi bila dilakukan pelanggarannya. Sanksi pidana dikenakan kepada perorangan ataupun badan hukum apabila terjadi tindak kejahatan, baik karena unsur kesengajaan maupun kelalaian. Selain sanksi pidana pokok, sanksi pidana tambahan juga dapat dikenakan kepada pengelola kegiatan pembakaran dan sanksi administrasi kepada badan hukum yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam undang-undang. Penjelasan terkait pelanggaran undang-undang dan sanksi yang dijatuhkan sebagaimana telah diuraikan pada Bab VI. 10. Menuju Pembukaan Lahan Tanpa Bakar Penyiapan lahan untuk penanaman pohon hutan, pertanian, atau perkebunan pada dasarnya adalah kegiatan pembersihan lapangan dan pengendalian kesuburan tanah agar tercipta kondisi lahan yang optimal untuk keperluan penanaman. Kegiatan ini biasanya dilakukan oleh sebagian masyarakat, pengusaha perkebunan dan pengusaha hutan tanaman dengan cara pembakaran karena mudah, murah, dan cepat. Tetapi, cara ini menimbulkan banyak kerugian yang nilainya dapat jauh lebih besar daripada keuntungannya. Oleh sebab itu, Keputusan Menteri Kehutanan No. 206/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Pembuatan Hutan Tanaman Industri mengamanahkan pembukaan lahan tanpa pembakaran. Pada tahun yang sama, Dirjen Perkebunan juga mengeluarkan Keputusan No. 38/KB.110/SK/DJ.BUN/ 05/1995 tentang Petunjuk Teknis Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran.
|
Cara penyiapan lahan untuk hutan tanaman ditentukan terutama oleh jenis vegetasi awal dan persyaratan tumbuh jenis yang akan ditanam. Secara umum, kegiatan penyiapan lahan tanpa pembakaran dapat dikelompokkan ke dalam kegiatan persiapan, penebasan dan penebangan, pembersihan lahan, pengolahan lahan, konservasi lahan, dan pencegahan kebakaran. Lokasi areal hutan tanaman pada umumnya adalah kawasan hutan yang tidak produktif sehingga jenis kayu komersial berdiameter besar yang dapat dimanfaatkan untuk kayu pertukangan relatif sedikit. Penghematan biaya penyiapan lahan dapat dilakukan melalui penanganan yang baik dan pemanfaatan kayu sisa menjadi produk yang lebih bernilai. a. Penyiapan Lahan Skala Perusahaan Tanpa Bakar 1) Persiapan Pelaksanaan persiapan dilakukan pada awal musim kemarau. Tujuannya adalah menciptakan prakondisi agar kegiatan penyiapan lahan berjalan dengan lancar. Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan adalah: Pemilihan jenis tanaman pokok, tanaman sela, tanaman unggulan setempat, sekat bakar dan pembibitan. Penatagunaan areal untuk kawasan produksi, konservasi, dan pohon-pohon yang dilindungi. Penataan batas petak dan batas blok tanaman. Pembukaan jaringan jalan untuk mempercepat dan mempermudah penyiapan lahan. Penyiapan sarana dan prasarana, termasuk tenaga kerja, peralatan manual atau mekanis, peta kerja dan rencana penyiapan lahan. 2) Penebasan, Penebangan, dan Pelapukan Cara pembukaan lahan pada hutan sekunder atau semak belukar disesuaikan dengan jenis tanaman pokok yang akan ditanam. Pembukaan lahan sebaiknya dilakukan dengan cara jalur untuk jenis tanaman pokok yang memerlukan naungan pada waktu muda (semitoleran). Sebaliknya, pembukaan lahan dengan pola pembukaan total dilakukan untuk tanaman yang memer-
|
lukan cahaya matahari penuh pada waktu muda (intoleran). Pekerjaan penebasan diawali dengan membabat rintisan, kemudian menebas semak belukar yang batangnya berdiameter <10 cm. Tinggi tunggak diusahakan serendah mungkin, sedangkan batang, cabang, dan ranting dipotong-potong untuk dimanfaatkan. Penebangan dilakukan terhadap pohon yang berdiameter >10 cm Batang, cabang dan ranting dipotong-potong untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku pulp, moulding, kayu gergajian, dan lain-lain. Tinggi tunggak juga disisakan serendah mungkin. Tahapan kegiatan penebasan dan penebangan untuk jenis semitoleran meliputi membabat rintisan, membuat jalur tanam, menebas dalam jalur semak yang batangnya berdiameter kecil, menebang dalam jalur pohon berdiameter besar, serta memotong dan mencincang cabang dan ranting. Tahapan kegiatan penebasan dan penebangan untuk jenis intoleran adalah membabat rintisan, menebas total semak yang batangnya berdiameter kecil, menebang pohon berdiameter besar, serta memotong dan mencincang cabang dan ranting. Penyiapan lahan secara manual atau semimekanis biasanya menyisakan tunggak pohon yang dapat dilapukkan menggunakan jamur pelapuk (biodegradator). Kayu keras sebelum dilapukkan dapat disemprot arborisida triklopir 2,5% dengan dosis setiap tunggak 0,5 liter. Setelah dua minggu, tunggak ditularkan jamur pelapuk jenis Tremetes sp. atau Polyporus sp. Sementara, pelapukan untuk kayu lunak dapat langsung ditularkan dengan jamur Pleurotus astreatus (Hendromono et al., 2007) yang badan buahnya dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan masyarakat. Jamur Tremetes sp. atau Polyporus sp. dapat dibiakkan dalam media serbuk gergaji, dedak kasar, gaplek halus, kapur tohor, kalsium karbonat, urea, dan jagung giling. Media tersebut disterilkan dan ditulari jamur pelapuk. Biakan jamur dimasukkan ke dalam kantong plastik berukuran 2 kg. Setelah biakan jamur berumur 2–3 bulan di dalam kantong plastik, biakan tersebut dapat disisipkan pada takikan tunggak yang akan dilapukkan. Setiap 2 kg jamur dapat digunakan untuk inokulasi empat tunggak pohon. Teknologi pemanfaatan jamur saprofit sebagai aktivator pelapukan limbah lignoselulosa sedang dikembangkan di Pusat Litbang Hasil Hutan, Badan Litbang Kehutanan [sekarang BLI]. Selama ini, isolat-isolat yang telah dapat diaplikasikan dalam pelapukan bahan berlignoselulosa tinggi adalah isolat HHB-352,
|
HHB-204, HHB-350, HHB-371, HHB-346, HHB-348, dan HHB-349 (Hendromono et al., 2007). 3) Pembersihan Lahan Pembersihan lahan disesuaikan dengan vegetasi awal sebelum lahan dibuka, toleransi jenis tanaman pokok, dan kemiringan lahan. Apabila vegetasi awal berupa hutan sekunder atau semak, pembersihan lahan dilakukan secara manual dengan menyingkirkan limbah dari jalur tanam ke jalur konservasi. Hal ini berlaku untuk jenis semitoleran. Pembersihan lahan dapat juga dilakukan menggunakan buldoser dengan cara mendorong limbah yang tidak dimanfaatkan untuk dikumpulkan pada tempat yang tidak ditanami. Pada areal yang kemiringannya >15%, jalur tumpukan limbah dapat dibuat sejajar garis kontur. Apabila vegetasi awal berupa lahan alang-alang dan kemiringannya <15% pembersihan dilakukan dengan merebahkan alang-alang menggunakan traktor atau buldoser. Apabila kemiringan lahan antara 16–20%, pembersihan dilakukan secara jalur. Apabila kemiringan areal >20% yang mana risiko erosi tanah cukup tinggi, penyemprotan menggunakan herbisida dapat dilakukan. Herbisida berbahan aktif glyphosate dapat digunakan untuk memberantas alang-alang, sedangkan herbisida berbahan aktif imazaphyr dapat digunakan untuk memberantas tumbuhan bawah berdaun lebar. Takaran dosis dapat mengikuti anjuran sesuai merek dagang yang digunakan. Larutan herbisida ini disemprotkan dengan menggunakan sprayer ber-nozzle polizet dengan lebar semprotan 1,5 meter. Jenis yang bersifat intoleran hanya cocok untuk lahan bervegetasi alang-alang. Apabila jenis semitoleran akan ditanam di areal tersebut, lahan perlu ditanami tanaman sela yang bersifat cepat tumbuh sekitar 2–3 tahun sebagai penaung sebelum penanaman tanaman pokok. 4) Pengolahan Lahan Pengolahan lahan diperlukan bagi jenis tanaman pokok yang menghendaki tanah gembur atau lahannya akan ditumpangsarikan dengan jenis palawija. Pengolahan lahan dilakukan dengan pembajakan dan penggaruan. Pembajakan dilakukan menggunakan traktor yang dilengkapi alat bajak piringan dengan diameter 70 cm. Kedalaman pembajakan biasanya sekitar 25–30
|
cm. Pembajakan umumnya dilakukan dua kali dengan selisih waktu dua hingga empat minggu agar akar terbongkar kering dan mati. Arah bajakan kedua membentuk sudut 450 dari arah pembajakan pertama. Penggaruan bertujuan menghancurkan bongkahan tanah menjadi butiran yang lebih kecil sehingga membuat aerasi dan drainase yang baik bagi tanaman. Penggaruan dilakukan tiga hingga empat minggu setelah pembajakan. Penggaruan menggunakan traktor yang dilengkapi garu. Areal yang topografinya miring perlu dibuat guludan sejajar garis kontur sebagai upaya konservasi lahan. Semakin miring topografinya, semakin dekat jarak antarguludan. Guludan dapat dibuat dengan cara menggundukkan tanah atau kayu berdiameter batang besar yang tidak dimanfaatkan dan digunakan untuk anggelan. Pada areal tergenang air secara alami, pembuatan sistem drainase diperlukan untuk menghindari genangan. Hal ini sangat penting karena umumnya tanaman tidak tumbuh baik di areal tergenang. 5) Antisipasi Bahaya Kebakaran Kebakaran hutan merupakan ancaman utama bagi keberhasilan pembangunan hutan tanaman. Oleh karena itu, setiap kegiatan pembangunan hutan tanaman harus mempersiapkan sarana/prasarana pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan. Persiapan tersebut meliputi: Pembangunan jaringan jalan untuk transportasi dan kolamkolam penampungan air di beberapa lokasi. Pembuatan sekat-sekat bakar, baik berupa sekat bakar alam maupun jalur bebas bahan bakar. Penyediaan perlengkapan pengendalian kebakaran, baik peralatan tangan maupun peralatan mekanis. Pembuatan tanda-tanda peringatan terhadap bahaya kebakaran hutan. Pembentukan/pembangunan sistem organisasi pemadaman kebakaran dengan jumlah anggota regu yang cukup dan dibekali dengan keterampilan yang memadai. Pelaksanaan patroli secara periodik agar dapat mendeteksi secara dini bila terjadi kebakaran.
|
b. Penyiapan Lahan untuk Perladangan Penyiapan lahan tanpa bakar untuk perladangan masyarakat dilakukan secara manual karena lahan yang diolah biasanya tidak terlalu luas atau <5 ha. 1) Pembuatan Batas Ladang Batas-batas yang jelas perlu dibuat untuk mengetahui batas ladang satu dengan lainnya. Batas tersebut dapat berbentuk sekat bakar jalur hijau atau jalan yang mengelilingi ladang sehingga berfungsi sebagai penyangga api liar yang datang dari luar ladang. Jenis pohon yang dapat ditanam untuk sekat bakar hijau antara lain gamal (Glirisidia sepium), lamtoro (Leucaena leucocephala), atau gmelina (Gmelina arborea). Apabila sekat bakar tersebut digunakan sebagai jalan batas ladang, pemeliharaan perlu dilakukan agar rumput-rumput tidak tumbuh sehingga bersih dari bahan bakar. 2) Penebasan, Penebangan, dan Pembersihan Lahan Penebasan dilakukan pada semak belukar dan padang alang-alang. Bagian tumbuhan berukuran kecil (seperti daun, dahan, dan ranting) dikubur untuk bahan organik yang pada saatnya akan berfungsi sebagai pupuk. Pada lahan bekas kebun karet, kegiatan yang penting dilakukan adalah penebangan dan pemanfaatan kayu dengan menyisakan tunggak yang tingginya diusahakan serendah mungkin. Batang bagian bawah hingga cabang pertama dimanfaatkan untuk kayu gergajian, sedangkan batang di atas cabang pertama dimanfaatkan untuk bahan baku chip/pulp atau papan partikel. Ranting kecil dan daun dapat dicincang dan dilapukkan untuk membuat kompos. Bagian akar dan batang yang tidak sesuai untuk kayu gergajian dapat dijadikan arang kayu bakar. Apabila masih ada tunggak, pelapukan dapat menggunakan jamur jenis Trametes sp. untuk tunggak kayu keras dan Pleurotus sp. untuk tunggak kayu lunak. Selain menghancurkan tunggak, jamur-jamur tersebut dapat pula dikonsumsi. Pencabutan akar tumbuhan atau penghancuran tunggak bertujuan memperluas daerah perakaran di dalam tanah. Tanah yang terbebas dari akar-akar tumbuhan lain akan menghasilkan pertumbuhan yang baik bagi bibit yang ditanam. Untuk tunggak yang masih hidup, penyemprotan herbisida
|
dilakukan terlebih dahulu agar tidak tumbuh terubus atau tunas baru sebelum diberi sediaan jamur pelapuk. Areal penanaman dibersihkan secara manual dari limbah penebangan yang tersisa ke tempat yang tidak ditanami. Penerapan penyiapan lahan tanpa bakar di lahan gambut telah dilakukan di Desa Simpang Tiga Sakti, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan. Penerapan teknik tersebut difasilitasi oleh PT Sebangun Bumi Andalas Wood (Saharjo, 2006). Petani ladang yang biasa melakukan persiapan lahan tebas bakar (slash and burn) telah diubah perilakunya dengan pola persiapan lahan tebas dan semprot herbisida round up dan gramoxon. Dengan demikian, penyiapan lahan pertanian tersebut tidak menggunakan api. Komoditi pertanian yang ditanam adalah padi yang digilir dengan tanaman palawija. Alternatif lain adalah menggunakan batang-batang pakis hasil tebasan menjadi bahan kompos (bokashi). Pembuatan kompos ini mengunakan larutan EM4 untuk mempercepat proses fermentasi dan dekomposisi. Kompos yang dihasilkan dapat dijadikan pupuk organik. Sebagian dari batang-batang pakis dari berbagai jenis (seperti pakis paku, pakis resam, pakis lembiding, dan pakis uban) sebenarnya dapat digunakan untuk bahan pembuatan briket arang. Pembuatan briket arang ini melalui proses pengarangan, penumbukan, penyaringan, dan pencampuran dengan perekat tapioka yang telah dicampur air. Selanjutnya, hasil campuran arang dengan perekat dikempa menggunakan alat, lalu dikeringkan menjadi briket arang (Saharjo, 2006). 11. Pemanfaatan Limbah Organik Mengurangi Minat Membakar Kementerian Kehutanan telah berusaha melakukan pencegahan dan penanggulangan kebakaran lahan dan hutan, antara lain berupa kampanye melalui media elektronik dan cetak, penyuluhan, penyebaran informasi hotspot, pelatihan masyarakat peduli api, dan pelaksanaan pemadaman kebakaran. Namun demikian, kegiatan tersebut masih belum banyak memberikan hasil sesuai yang diharapkan. Kegiatan penyiapan lahan dengan cara membakar sampai saat ini masih sering dilakukan dengan alasan paling murah, mudah, cepat, dan telah menjadi tradisi
|
turun-temurun. Di sisi lain, metode atau alternatif pengolahan lahan cara lain belum diimplementasikan secara optimal. Padahal, implementasi metode alternatif memberikan hasil yang lebih prospektif, ramah lingkungan, dan sesuai dengan kondisi masyarakat setempat agar masyarakat tidak berminat lagi melakukan pembakaran. Salah satu alternatif pencegahan kebakaran dilakukan melalui pemanfaatan limbah bahan organik [hasil pembukaan lahan yang biasanya dibakar] untuk diubah menjadi komoditas bernilai ekonomi. Hal ini sangat penting dan bermanfaat mengingat masih adanya kesenangan masyarakat membakar limbah tebasan pembukaan lahan, baik untuk perladangan maupun penggunaan lainnya. Apabila bahan bakar dapat diolah menjadi sesuatu barang yang lebih bermanfaat, misalnya berupa pupuk organik, arang, atau briket arang, hasilnya bahkan akan memberikan nilai tambah bagi masyarakat dan bersifat ramah lingkungan. Cara tersebut merupakan bagian dari upaya pengolahan lahan tanpa bakar (PLTB) yang perlu disebarluaskan agar dapat dikembangkan dan dilaksanakan oleh masyarakat luas sehingga pembakaran tidak dilakukan lagi. a. Pembuatan Pupuk Organik Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari proses pelapukan dari tumbuhan, hewan, dan kotoran hewan. Pupuk tersebut mengandung unsur hara yang cukup lengkap dan tidak bersifat toksis (racun) pada akar tanaman. Pupuk ini mengandung unsur hara makro dan mikro, serta tidak mengandung bahan kimia buatan (artificial) yang biasanya bersifat meracuni jika bersentuhan langsung dengan akar tanaman. Pupuk organik digolongkan menjadi tiga macam, yaitu pupuk kompos, pupuk hijau, dan pupuk kandang. Pada dasarnya, ketiga jenis pupuk tersebut adalah sama, yaitu sama-sama dibuat dari bahan organik. Perbedaannya hanya pada bahan baku saja. Pupuk hijau bahan dasar utamanya adalah dedaunan hijau yang masih basah. Pupuk kandang bahan dasarnya adalah kotoran hewan atau manusia. Pupuk kompos bahan dasar utamanya adalah serasah atau sampah kering. Pada umumnya, bahan baku dalam pembuatan pupuk organik tidak dipisah-pisahkan berdasarkan asal bahan bakunya, melainkan dilakukan dengan mencampurnya menjadi satu.
|
Kompos merupakan hasil pelapukan dari berbagai bahan yang berasal dari mahluk hidup seperti daun, cabang tanaman, kotoran hewan, dan sampah. Kompos dapat terbentuk dengan sendirinya di alam, tetapi berlangsung lama sekali, bahkan dapat mencapai puluhan tahun atau ribuan tahun. Proses pembuatan kompos dapat dipercepat dengan memberikan aktivator. Akhirakhir ini, kompos lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pupuk kandang. Kandungan hara dalam kompos sangat bervariasi tergantung dari bahan yang dikomposkan, cara pengomposan, dan cara penyimpanannya. Kompos yang baik mempunyai butiran yang lebih halus dan berwarna coklat agak kehitaman. Manfaat kompos bagi tanah adalah 1) menyediakan unsur hara mikro bagi tanaman, 2) menggemburkan tanah, 3) memperbaiki struktur tanah, 4) meningkatkan porositas tanah, 5) meningkatkan daya ikat tanah terhadap air, 6) memudahkan pertumbuhan akar tanaman, 7) menyimpan air lebih lama, dan 8) menjadi alternatif pengganti pupuk kimia karena harganya lebih murah dan ramah lingkungan. Saat ini, proses pengomposan dari berbagai jenis limbah, baik padat maupun cair, telah berkembang pesat. Hal ini karena prosesnya dipandang sebagai alternatif terbaik dalam pemanfaatan limbah. Beberapa faktor yang sangat penting dalam proses pengomposan adalah faktor C/N ratio, kadar air, populasi mikrob, dan porositas campuran. Secara tradisional, pengomposan dapat dilakukan dalam skala kecil yang dilakukan perorangan atau rumah tangga dengan bahan sampah organik atau sampah kebun dengan cara anaerobik. Pengomposan dapat dilakukan pula dengan cara menggali lubang dan mengisinya dengan bahan yang akan dikomposkan dan kemudian menutupnya. Modifikasi dari cara ini dapat dilakukan dengan cara membajak tanah dengan kedalaman yang cukup. Kemudian, sampah-sampah dimasukkan dan ditambah dengan unsur-unsur lain yang menutupi kembali lajur-lajur tumpukan sampah tersebut. Proses ini dapat pula ditambahkan aktivator [untuk mempercepat proses pembusukan] dan urea [sebagai bahan tambahan sumber nitrogen]. Beberapa faktor yang dapat memengaruhi pengomposan dan nilai optimal dari masing-masing faktor disajikan dalam Tabel 29.
|
Tabel 29. Nilai optimal dari beberapa faktor yang menentukan kualitas kompos No. Kategori 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Ukuran partikel bahan Nisbah C/N Kandungan lengas Keasaman (pH) Suhu Aerasi Kehalusan bahan
8.
Ukuran timbunan
9.
Aktivator
Nilai dan kualitas 25–40 mm 20–40 50–60% 5,0–8,0 55–600C untuk 4–5 hari Secara periodik timbunan dibalik Semakin halus, semakin cepat terdekomposisi Panjang bervariasi, tinggi 1,5 m, dan lebar 2,5 m Tahap awal mesofilik (fungsi selulopati, bakteri penghasil asam), suhu meningkat 400C (bakteri termofilik, aktinomisetes, dan fungi). Suhu >700C (bakteri termofilik), suhu udara ambien (bakteri mesofilik dan fungi)
Sumber: Dirjen PHKA (2005)
Pembuatan kompos dapat dilakukan dengan bantuan aktivator ataupun tanpa bantuan aktivator. Jenis-jenis aktivator yang banyak digunakan, antara lain Harmony, Orgadec, Stardec, EM4, Fix-Up plus, dan cacing tanah (casting). 1) Pembuatan Kompos Tanpa Bantuan Aktivator Bahan baku yang sesuai dengan tujuan mengurangi bahan bakar pada lahan dan hutan terdiri dari dedaunan, rerumputan, jenis pakis-pakisan, dan ranting tumbuhan semak. Apabila pada lahan terdapat serbuk gergaji, sampah organik tersebut juga dapat digunakan sebagai bahan dasar pupuk kompos. Material tersebut dapat dicampur dengan kotoran hewan dan dedak (bekatul). Komposisi dapat dibuat dengan mencampur sebanyak 80% dedaunan dan ranting halus hasil tebasan yang telah dihancurkan dengan mesin penghancur, 10% kotoran hewan, dan 10% dedak/ bekatul. Proses pembuatan kompos tanpa bantuan aktivator dilakukan dengan cara sebagai berikut:
|
Pembuatan lubang pada lahan yang telah telah disiapkan dengan ukuran sesuai kebutuhan dan bahan baku yang tersedia. Cara lain adalah dengan membuat kotak kayu ukuran panjangxlebarxtinggi sekitar 4x2X1 m. Kelengkapan lainnya adalah menyediakan atap untuk melindungi kompos dari curahan air hujan. Pemasukan sebagian bahan ke dalam lubang atau kotak pengomposan yang telah dibuat dan meratakannya hingga membentuk satu lapisan. Semua bahan dalam kondisi basah dan kering dapat digunakan. Penambahan pupuk kandang sangat dianjurkan untuk meningkatkan kualitas kompos,. Penutupan lapisan pertama bahan organik tersebut dengan tanah bekas galian hingga rata menutupi lapisan. Kotoran hewan atau bekatul/dedak dapat juga ditambahkan di atas lapisan pertama bahan organik tersebut agar proses pelapukannya lebih cepat dan menambah unsur hara lainnya dalam kompos tersebut. Pemasukan kembali bahan organik di atas lapisan tanah pertama dan kotoran hewan atau dedak/bekatul, lalu meratakannya. Selanjutnya, penimbunan kembali dengan tanah dan kotoran hewan atau dedak di atas lapisan sebelumnya. Hal seperti ini diakukan berulang-ulang hingga semua bahan organik masuk ke dalam lubang. Pelapisan yang terakhir adalah menutupnya dengan tanah. Proses ini dibiarkan dan ditunggu sekitar 12 minggu hingga bahan organik tersebut akan menjadi kompos dan siap dipakai untuk pupuk. 2) Pembuatan Kompos dengan Bantuan Aktivator EM4 Bahan baku yang digunakan adalah bahan organik dari tumbuhan yang biasa dibakar saat persiapan lahan di ladang atau pembakaran lahan tidur. Bahan tersebut dapat berupa dedaunan, serasah, dan ranting-ranting kecil. Bahan organik ini jika digunakan untuk pembuatan kompos akan mengurangi risiko terjadinya kebakaran lahan dan hutan. Adapun bahan-bahan pendukungnya yang dapat dicampurkan adalah pupuk kandang dan dedak/ bekatul. Bahan dasar dari kompos ini adalah 80% bagian yang terdiri dari campuran dari dedaunan pakis, rumput, dan semak,
|
serta dapat juga berupa serbuk gergaji atau sampah organik; 10% bagian berupa kotoran hewan, 10% bagian berupa dedak/ bekatul. Bahan organik ditambah EM4 100 ml (cc), molase/gula 25 gram, dan air. Proses pembuatan kompos dengan bantuan aktivator dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pembuatan lubang pada lahan yang telah disiapkan dengan ukuran yang sesuai dengan kebutuhan dan tersedianya bahan. Cara lain adalah dengan membuat kotak kayu ukuran panjangxlebarxtinggi sekitar 4x2X1 m. Pembuatan larutan fermentasi EM4 dengan perbandingan EM4:molase:air = 1:1:1.000 ml. Larutan ini diaduk rata dan didiamkan selama semalam (24 jam) untuk diaktifkan. Pembuatan bokashi starter yang terdiri dari dedak dan sekam dengan perbandingan 9:1. Larutan fermentasi EM4 yang telah didiamkan satu malam disiramkan ke dalam bokashi starter, lalu diaduk hingga tercampur merata. Selanjutnya, bokashi starter dimasukkan ke dalam karung dan ditutup rapat, serta difermentasikan selama 2–3 hari. Pencampuran bokashi starter [setelah fermentasi selama 2–3 hari] dengan serasah daun atau bahan organik yang akan dikomposkan hingga merata. Hasil pengadukan campuran tersebut memiliki kelembaban sekitar 30%. Cara mengetahui tercapainya nilai kelembaban ini adalah apabila dikepal, air tidak keluar dari adonan dan bila dilepas maka adonan akan mekar. Apabila masih kurang air, penambahan air dapat dilakukan. Penumpukan atau penggundukan adukan tersebut di atas tanah atau kotak dengan ketinggian 2–25 cm, lalu ditutup selama 4–5 hari. Temperatur tumpukan tersebut dipertahankan pada kisaran 40–500C. Apabila temperatur melebihi 500C, tumpukan tersebut dibuka. Penempatan adonan tersebut sebaiknya tidak terkena panas dan hujan langsung, serta diletakkan pada tanah yang disemen atau beralas plastik sehingga kering.
|
b. Pembuatan Arang dan Briket Arang Arang merupakan sisa (residu) dari proses pirolisis (penguraian oleh panas) atau proses karbonisasi kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya. Proses karbonisasi tidak lain adalah proses pemisahan komponen karbon dari kayu atau bahan berlignoselulosa lainnya akibat perlakuan panas. Peristiwa ini terjadi pada proses pemanasan kayu, baik secara langsung maupun tidak langsung dalam cobongan, retrot, kiln, dan tanur tanpa atau dengan udara terbatas (FAO, 1983). Arang berupa bahan padat yang berpori-pori dan merupakan hasil pembakaran dari bahan yang mengandung unsur karbon. Sebagian besar dari pori-porinya masih tertutup oleh hidrokarbon, ter, dan senyawa organik lain yang komponennya terdiri dari abu, air, nitrogen, dan sulfur (Hendra, 1999). Sementara itu, pengertian briket arang adalah arang yang telah diubah bentuk, ukuran, dan kerapatannya menjadi produk yang lebih praktis dalam penggunaannya sebagai bahan bakar. 1) Pembuatan Arang dari Kayu Secara umum, terdapat dua cara pembuatan arang. Pertama, membuat jobongan sementara atau dengan jobongan tetap. Jobongan sementara dapat dibuat dengan cara membuat lubang di dalam tanah. Jobongan tetap dapat dibuat berupa dapur tetap yang dapat dipakai berulang kali. Dinding dapur dapat dibuat dengan menggunakan batu bata atau logam. Dalam pembuatan arang, beberapa faktor yang memengaruhi kualitas arang, yaitu 1) bahan baku arang dengan variabel jenis dan ukuran, 2) proses pengarangan, 3) waktu pemrosesan, dan 4) tinggi atau rendahnya suhu pada waktu pembuatan arang. Bahan baku utama arang terdiri dari kayu-kayu kecil atau tunggak bekas penebangan dan penebasan vegetasi dari lahan ladang. Pengunaan bahan ini secara otomatis akan menghabiskan atau mengurangi bahan bakar yang pada akhirnya menghindari terjadinya pembakaran tak terkendali dan kebakaran akibat api liar (wild fire). Bahan tambahan lainnya adalah kayu juga, tetapi fungsinya sebagai umpan api. Sementara itu, peralatan utama terdiri dari 1) tungku (kiln) yang dapat dibuat dari drum, lubang di tanah, atau tungku tetap yang dibuat dari besi atau batu bata;
|
dan 2) parang dan gergaji sebagai alat menebas dan memotong kayu untuk bahan baku arang dan kayu umpan api. Tahapan pembuatan arang dengan jobongan sementara dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Pembuatan lubang berbentuk setengah bola dengan diameter sekitar 1 m atau sesuai dengan banyaknya bahan bakar dengan kedalaman sekitar 0,5–0,75 m. Pemotongan kayu bahan arang dengan gergaji atau parang sepanjang ≤1 m. Penyiapan kayu umpan yang cukup kering sehingga mudah dibakar. Kayu umpan ini disusun terlebih dahulu pada bagian dasar lubang dan menempatkannya sebagai kayu galangan. Peletakan potongan kayu bahan arang di atas kayu galangan dasar dengan arah melintang di dalam lubang pengarangan. Penumpukan potongan kayu bahan arang ditahan dengan kayu galangan samping sehingga masih ada aliran udara di antara kayu galangan untuk menyalakan api pada umpan. Penumpukan kayu bahan arang diusahakan rapat agar lapisan tanah penutup tidak turun sebelum waktunya. Apabila tanah penutup turun sebelum waktunya, kebocoran dapat terjadi sehingga udara akan masuk. Hal ini dapat menyebabkan kayu bahan arang tersebut habis terbakar menjadi abu (tidak menjadi arang). Penimbunan kayu bahan arang dengan dedaunan basah setebal ±10 cm, kemudian ditutup dengan tanah yang basah atau lembab di atas daun penutup tersebut setebal ±20 cm. Lapisan tanah ini harus dapat bergerak turun sesuai tahap pengarangan. Penyalaan api pada kayu umpan hingga suhu jobongan cukup panas dan pengarangan dapat berjalan dengan baik. Kemudian, lubang udara yang melalui kayu galangan tersebut ditutup rapat-rapat. Pengamatan dan penjagaan dilakukan agar jangan terjadi kebocoran sehingga bahan arang terbakar manjadi abu. Proses ini berlangsung sekitar 2–3 hari dan diperkirakan kayu bahan arang telah berubah menjadi arang. Selanjutnya, pembongkaran jobongan dilakukan. Sebelum mengangkat arang tersebut, penyiraman dengan air dilakukan terlebih dahulu arang hingga tidak ada bara yang tersisa.
|
2) Pembuatan Arang dari Pakis Bahan baku ini dapat terdiri dari pakis dan semak/perdu lainnya. Peralatan yang digunakan antara lain 1) tungku (kiln) yang dapat dibuat dari drum, lubang tanah, atau tungku tetap yang dibuat dari besi atau batu bata; 2) pipa paralon berdiameter 10 cm sepanjang satu meter; 3) colokan bambu; () parang atau gergaji untuk menebas/memotong bahan baku. Tahapan pembuatan arang dari pakis dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Penebasan pakis dan semak lainnya, lalu pengeringan secara alami hingga mencapai kadar air keseimbangan. Penempatan pipa paralon dengan arah tegak lurus di tengahtengah tungku. Pemasukan pakis dan semak yang sudah dikeringkan ke dalam tungku diselang-seling dengan bahan yang agak basah hingga ¾ bagian penuh sambil terus dipadatkan. Pencabutan pipa paralon secara perlahan sehingga membentuk lubang pada pusat tungku (drum) tersebut. Pemasukan umpan bakar (kain bekas yang diberi minyak tanah) di bawah dasar drum. Penyalaan umpan tersebut dan penutupan tungku. Pada saat pembakaran, lubang udara pada drum bagian bawah dibuka. Sebaliknya, lubang udara lainnya ditutup rapat dengan menggunakan asbes dan tanah gambut. Penutupan lubang bagian bawah jika sudah terjadi bara di bagian bawah drum, sedangkan lubang di atasnya dibuka. Demikian seterusnya hingga lubang yang terakhir. Proses pengarangan dapat dianggap selesai bila asap yang keluar dari cerobong sudah tipis dan berwarna kebiru-biruan. Proses pengarangan ini memakan waktu 4–6 jam, selanjutnya penutupan cerobong asap tersebut rapat-rapat Tungku drum dibiarkan menjadi dingin. Setelah dingin, pembukaan drum dapat dilakukan dan arangnya dapat diambil.
|
3) Pembuatan Briket Arang Kualitas briket arang dipengaruhi oleh kualitas serbuk arang, ukuran serbuk arang, keseragaman ukuran serbuk arang, jenis perekat, dan tinggi-rendahnya tekanan pada saat pengempaan atau pembuatan briket. Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan briket arang meliputi arang dan perekat. Sementara itu, peralatan yang digunakan adalah satu unit mesin kempa briket, lumpang, alu, saringan (ayakan) berukuran 40 mesh dan 60 mesh, nampan plastik, kompor minyak tanah, panci, pengaduk, kuas, timbangan, dan oven. Tahapan pembuatan briket arang dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Penyiapan perekat, yaitu: - menimbang tapioka sebanyak 7,5 gram; - merebus air sebanyak 90 ml di atas kompor; - mencampurkan tapioka dengan air sedikit demi sedikit sehingga merata sempurna dan perekat siap dipakai. Pencetakan briket, yaitu: - mumbuk arang di atas dengan lumpang dan alu hingga berbentuk serbuk; - menyaring serbuk secara bertahap, mulai ayakan 60 mesh hingga ayakan 40 mesh; - mengeringkan serbuk yang lolos ayakan 40 mesh dalam oven bersuhu 1050C selama 6 jam (hingga beratnya tetap); - mencampurkan serbuk arang yang sudah kering dengan perekat dan mengaduknya hingga rata; - memasukkan campuran serbuk arang dengan perekat ke dalam mesin pencetak briket arang; - menutup cetakan rapat-rapat dan melakukan pengempaan dengan sistem hidrolik pada tekanan ±9 ton; - menunggu proses pengempaan dalam waktu ±1 menit; - mengeringkan briket arang yang sedah dicetak dengan menggunakan oven pada suhu 60 0C selama 24 jam atau dijemur di bawah terik matahari hingga kering; - mengemas briket arang tersebut ke dalam kantong plastik dan memberikan label.
|
Kebakaran hutan merupakan proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara liar dengan mengonsumsi bahan bakar alam hutan, seperti serasah, humus, tanah gambut, gulma, semak, rumput, dedaunan, ranting-ranting, dan pepohonan segar. Hasil penelitian dan pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pemicu api awal berhubungan erat dengan pengguna api untuk pembakaran untuk penyiapan lahan tanaman, pemanfaatan sumber daya alam, pembersihan lahan tidur, dan penguasaan lahan. Faktor pendukung terjadinya kebakaran hutan dan lahan adalah bahan bakar berlimpah, gejala alam El-Nino, penguasaan lahan terlalu luas, alokasi penggunaan lahan tidak tepat, degradasi hutan, perubahan karakteristik kependudukan, dan sistem kelembagaan. Kebakaran merupakan faktor ekologi potensial yang memengaruhi hampir seluruh ekosistem daratan yang frekuensinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun dengan faktor penyebab dan pendukung yang hampir sama. Pengaruh api terhadap ekosistem ditentukan oleh frekuensi, intensitas, tipe kebakaran yang terjadi, dan kondisi lingkungan yang ada. Api yang terjadi di dalam hutan dapat menimbulkan kerusakan yang besar, walaupun dalam kondisi tertentu pembakaran hutan dapat memberikan manfaat dalam pengelolaan hutan. Kebakaran hutan banyak merusak hampir seluruh komponen penyusun hutan sehingga tujuan pengelolaan dan fungsi hutan tidak tercapai. Asap tebal yang terjadi akibat kebakaran hutan juga menimbulkan gangguan terhadap kehidupan yang lebih luas, bahkan dapat menurunkan martabat negara. Secara tradisional, pembakaran hutan telah lama dimanfaatkan sebagai praktik perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat adat dalam hutan. Dalam sejarahnya, persiapan lahan dengan cara pembakaran di Indonesia pernah dimasukkan sebagai salah satu pilihan dalam tindakan silvikultur, terutama dalam pembangunan hutan tanaman industri pada era 1990-an. Beberapa negara juga masih menggunakan cara pembakaran
|
secara terkendali sebagai tindakan menghilangkan bahan bakar saat menghadapi musim kemarau di dalam hutan. Kini, kebakaran hutan dan lahan harus dipandang sebagai ancaman serius terhadap keberlanjutan pembangunan karena secara signifikan telah menyebabkan kerugian ekonomis, ekologis, sosial budaya, dan politik regional. Selain itu, kebakaran juga telah mengakibatkan penurunan keanekaragaman hayati, peningkatan jumlah lahan kritis, peningkatan polusi udara, dan peningkatan emisi karbon. Sehubungan dengan itu, penanggulangan kebakaran hutan selayaknya ditetapkan sebagai salah satu kebijakan prioritas pemerintah Indonesia yang dalam hal ini merupakan tugas pokok Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Strategi pengendalian kebakaran hutan dan lahan layaknya harus meliputi strategi kegiatan pencegahan kebakaran, pemadaman kebakaran, dan tindakan pascakebakaran. Aktivitas pencegahan kebakaran dapat lebih diarahkan kepada peningkatan sistem informasi kebakaran, pendekatan sosial ekonomi masyarakat, dan pendekatan pengelolaan hutan dan lahan yang berisiko kecil kebakaran. Dalam kegiatan pemadaman, beberapa aktivitas yang dapat ditingkatkan antara lain penggalangan sumber daya manusia, identifikasi dan pemetaan sumber air, perencanaan ketersediaan dana, pengadaan sarana dan prasarana pendukung, penentuan daerah bebas asap untuk upaya evakuasi bencana asap, pemantapan regu pemadam kebakaran hutan dan lahan, dan penerapan SOP pemadaman kebakaran. Sementara itu, tindakan pascakebakaran hutan dan lahan yang perlu ditingkatkan meliputi evaluasi dampak kebakaran terhadap berbagai aspek kehidupan, upaya penegakan hukum sesuai aturan yang berlaku, dan upaya pemulihan kembali (rehabilitasi) areal terkena dampak, terutama hutan yang terdegradasi dan evakuasi masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan akibat kebakaran. Upaya evakuasi masyarakat tentunya diikuti dengan upaya pemulihan kesehatan bagi masyarakat hingga normal atau sehat kembali. Kesadaran dan kemauan kuat dari berbagai pihak, seperti pemerintah, pengusaha dan masyarakat (baik individu maupun kelompok) pada berbagai tingkatan untuk berpartisipasi secara aktif dalam upaya pengendalian kebakaran hutan. Untuk mendukung partisipasi aktif masyarakat, jaminan adanya hak dan akses masyarakat terhadap sumber daya hutan sangat diperlukan. Bagi
|
perusahaan; peraturan yang jelas, transparan, dan adil juga diperlukan. Perusahaan yang menaati peraturan secara baik perlu mendapat penghargaan dalam bentuk perlindungan dan jaminan hak berusaha yang jelas. Bagi aparat pemerintahan, terdapatnya insentif dan fasilitas yang memadai sangat diperlukan agar dapat melaksanakan tugas dengan baik. Sistem informasi kebakaran tentang kemungkinan peluang terjadinya kebakaran harus terdistribusi dengan baik kepada para pihak terkait. Distribusi informasi hingga ke tingkat lapangan merupakan salah satu komponen keberhasilan tindakan pencegahan kebakaran. Beberapa sistem yang dapat dikembangkan untuk peringatan kemungkinan terjadinya kebakaran, antara lain: 1. Sistem Peringatan Dini (Eurly Warning System) yang datanya menggunakan KBDI dengan output interpretasi tingkat kekeringan. Apabila nilai KBDI adalah 0–100, artinya tingkat kekeringan/kerawanan rendah. Apabila nilai KBDI adalah 1.001– 1.500, artinya tingkat kekeringan/kerawanan sedang. Apabila nilai KBDI adalah 1.501–2.000, artinya tingkat kekeringan/ kerawanan tinggi. 2. Sistem Peringkat Bahaya Kebakaran berupa output peta tentang kemudahan terjadinya kebakaran, tingkat kesulitan pengendalian api, dan kondisi kekeringan di wilayah Indonesia. Ketiga peta tersebut dapat diakses melalui internet pada situs www.haze-online.or.id. Peringkat bahaya kebakaran digunakan dalam memantau kemungkinan terjadinya kebakaran, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk keperluan pencegahan dan persiapan pemadaman. 3. Sistem pemantauan titik panas sebagai aplikasi penginderaan jauh dengan menggunakan satelit. Data titik panas dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tentang kemungkinan terjadinya kebakaran, walaupun di lapangan masih perlu dianalisis dan dicek kebenarannya (ground truthing). Kegiatan pencegahan yang dilakukan secara maksimal akan menghasilkan pengendalian kebakaran yang efektif. Setiap unit pengelolaan hutan harus menerapkan manajemen kebakaran hutan yang tahapan aktivitasnya dapat disusun dalam rencana pengelolaan kebakaran (fire manajement plan). Berbagai aturan
|
dan informasi yang mengatur pengendalian kebakaran dan manajemen kebakaran telah tersedia untuk dilaksanakan, namun implementasi dari kebijakan dan aturan nampaknya masih perlu betul-betul direalisasikan. Selama ini, upaya penegakan hukum kebakaran masih lemah sehingga para pembakar lahan yang lalai masih tetap melakukan pembakaran di saat musim rawan kebakaran. Kegiatan pencegahan perlu terus dilakukan, baik oleh pemerintah maupun perusahaan dan masyarakat, agar setiap saat para pihak senantiasa siaga dalam mengantisipasi kejadian kebakaran. Pada dasarnya, manusia hanya mampu melakukan pencegahan dan pemadaman dini dari kebakaran. Untuk itu, kesadaran masyarakat dalam melakukan pemadaman dini ketika api masih kecil perlu dimotivasi. Di sisi lain, penindakan secara tegas sesuai aturan yang berlaku harus diterapkan kepada para pembakar lahan yang tidak melakukan pembakaran secara terkendali. Hal ini mengingat kebakaran yang terlanjur luas dan besar telah terbukti tidak dapat dipadamkan, sekalipun menggunakan teknologi tinggi. Sosialisasi lebih intensif tentang berbagai peraturan kebakaran hutan dan lahan yang telah dikeluarkan perlu dilakukan kepada semua pihak, baik dalam hal peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemadaman maupun dalam hal aktivitas pascakebakaran. Dengan pengetahuan sanksi hukum yang ada, masyarakat diharapkan akan berhati-hati dalam menggunakan api di lahan dan hutan. Hukum perlu ditegakkan secara tegas sesuai peraturan yang berlaku terhadap pelanggaran pembakaran, baik di kawasan hutan maupun di lahan masyarakat dan pekarangan rumah. Khusus terhadap perusahaan hutan tanaman industri dan perkebunan, uji kepatuhan dalam menurunkan risiko kebakaran perlu diterapkan, terutama dalam meminimasi bahan bakar bawah tegakan tanaman pada musim kemarau. Koordinasi antarinstitusi perlu ditingkatkan sesuai aturan yang ada disertai SOP yang memuat instansi apa dan harus berbuat apa pada saat pencegahan, pemadaman dan tindakan pascakebakaran hutan dan lahan dilakukan. Masing-masing lembaga pemerintah seyogyanya berperan dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan sesuai dengan sektor yang menjadi tanggung jawabnya. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan memerlukan partisipasi berbagai sektor dengan leading sector
|
BNPB, BPBD, dan Kementerian LHK. Selain itu, setiap unit pengelolaan hutan perlu mendapat pembinaan yang lebih intensif tentang kewajibannya dalam mencegah terjadinya kebakaran dan pengendalian kebakaran pada areal kelolanya. Kementerian LHK yang selama ini telah memiliki organisasi Brigdalkarhut yang disebut Manggala Agni (Galaag) seyogyanya menyusun strategi baru dalam hal pembinaan kepada setiap unit pengelolaan hutan dan masyarakat sekitar hutan. Berdasarkan pengalaman dan fakta di lapangan, kebakaran yang terjadi selama ini adalah akibat aktivitas manusia, terutama akibat pembakaran vegetasi anakan pohon, semak, dan rumput dengan tujuan pembersihan lahan. Oleh sebab itu, terobosan teknologi pemanfaatan bahan organik [hasil pembersihan lahan yang biasa dibakar] menjadi produk yang bernilai ekonomi tinggi mutlak diperlukan. Untuk jenis-jenis rumput dan semak, bahanbahan ini dapat digunakan sebagai bahan pupuk organik bermutu tinggi, seperti bokashi yang kaya unsur hara. Sisa-sisa kayu tebangan yang berukuran kecil dapat dimanfaatkan untuk bahan pembuatan arang dan briket arang yang cukup mahal harganya. Produk-produk tersebut harus menjadi komoditas yang layak dijual sehingga dapat meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Pemanfaatan pengetahuan dan kearifan tradisional juga harus dikembangkan. Sebagai contoh pada lahan gambut, pemanfaatan beje (kolam ikan di lahan gambut) dan parit yang dapat berperan sebagai sekat bakar dan akses pemadaman perlu ditingkatkan. Beje telah menjadi cerminan budaya untuk memerangkap dan mancari ikan secara alami bagi masyarakat Dayak yang bermukim di sekitar sungai dan rawa gambut pasang surut. Berawal dari memerangkap ikan di dalam beje-beje alami, masyarakat di desa-desa yang terbiasa mengalami musim banjir atau pasang surut kini telah banyak membangun beje berukuran lebar minimal dua meter dan panjang mencapai 50–100 m. Dari dalam beje inilah, masyarakat dapat memanen ikan yang terperangkap secara alami saat terjadi perubahan musim, dari banjir menjadi surut. Beje yang panjang dapat pula difungsikan sebagai jalan akses dan sekat bakar di lahan gambut. Upaya pemadaman dini kebakaran hutan dan lahan membutuhkan pula aksesibilitas yang memadai, baik untuk mobilitas
|
petugas maupun peralatan yang digunakan. Ketersediaan jalan patroli dan jalan akses untuk melakukan pemadaman dini sangat diperlukan, terutama pada lahan gambut. Seringkali, ketika pemadaman dilakukan, para pemadam harus menggotong dan menggendong mesin pompa dari satu tempat ke tempat lain hingga beberapa kilometer sehingga sangat menguras tenaga. Upaya pemadaman dan deteksi asap akan lebih cepat dan efektif bila dalam memindahkan alat mesin pompa pemadam menggunakan sepeda motor. Sementara itu, tenaga manusia pada saat siaga respons pemadaman harus lebih dikonsentrasikan kepada aspek pemadaman api secara langsung. Kebakaran akan dapat dikendalikan secara efektif bila upaya pencegahan dilakukan secara maksimal. Apabila penegakan hukum terhadap pembakar masih lemah, peraturan tentang keharusan meminimasi bahan bakar saat musim kering bagi semua unit pengelolaan hutan dan perusahaan lainnya harus diadakan. Apabila, bahan bakar di setiap areal unit pengelolaan hutan menjadi pendek dan sedikit pada saat kemarau, peraturan tersebut akan lebih menjamin kebakaran besar tidak akan terjadi. Hal ini memerhatikan terdapatnya komponen segi tiga api (bahan bakar, oksigen, dan panas) yang menghasilkan api sehingga pengurangan dan penghilangan bahan bakar bawah tegakan hutan dan perkebunan akan lebih menjamin hutan dan lahan tidak terbakar. Jadwal waktu kegiatan pengurangan bahan bakar bawah tegakan sebaiknya dilakukan menjelang musim kemarau. Mengingat kebakaran hutan dan lahan lebih disebabkan oleh aktivitas manusia, pendekatan kepada masyarakat di sekitar hutan dan kebun merupakan kegiatan yang harus dilakukan. Hal ini bertujuan mengurangi tekanan masyarakat terhadap hutan dan kemungkinan terjadinya kebakaran. Semua program pembangunan kehutanan yang melibatkan masyarakat sekitar hutan perlu terus ditingkatkan. Program tersebut antara lain PHBM, HKm, HTR, HR, dan hutan desa. Bentuk pendekatan kepada masyarakat yang khusus dalam mencegah terjadinya kebakaran dapat berupa program pencegahan kebakaran berbasis masyarakat. Dalam program tersebut tercantum 1) pembentukan kelompok-kelompok sukarela masyarakat, seperti Masyarat Peduli Api (MPA), Regu Pengendali Kebakaran (RPK), Pos Api Kampung (PAK), Kelompok Masyarakat Peduli Kebakaran
|
(KMPK), Tim Serbu Api (TSA), dan Regu Siaga Api (RSA); 2) kegiatan fasilitasi regu-regu tersebut dengan peralatan pemadam kebakaran hutan dan lahan sederhana namun efektif; 3) jadwal pelatihan pengendalian kebakaran secara rutin kepada masyarakat setiap menjelang musim kemarau; 4) pemberian insentif ketika aksi pemadaman dilakukan di setiap desa atau kampung. Penugasan dan penempatan seorang Community Fasilitator (CF) dan penyuluh kehutanan dan pertanian di setiap desa diperlukan untuk menjamin keberlanjutan kegiatan pencegahan kebakaran berbasis masyarakat. Petugas-petugas tersebut dapat berperan sebagai pembaharu (inovator), pemberi motivasi (motivator), dan pemediasi bantuan (fasilitator) antara kelompok atau regu pengendali kebakaran desa dengan lembaga-lembaga kebakaran, baik milik pemerintah maupun swasta. Seorang CF harus berpendidikan minimal Strata I (S1). Selain itu, terdapatnya kegiatan kuliah kerja nyata (KKN) tematik di perguruan tinggi perlu dilanjutkan dan ditingkatkan setiap tahun dengan prioritas sasaran adalah wilayah-wilayah provinsi rawan kebakaran hutan dan lahan. Penguatan dasar-dasar ilmiah dari tindakan-tindakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang dilakukan membutuhkan kegiatan penelitian dalam bidang kebakaran hutan dan lahan. Oleh sebab itu, kegiatan penelitian ini perlu terus ditingkatkan. Kegiatan penelitian yang menghasilkan bukti-bukti ilmiah tersebut meliputi: 1. Kunci memperoleh pola, aktor, dan pengendali utama kebakaran hutan dan lahan yang meliputi kebijakan dan langkah menghadapi kebakaran, penegakan hukum, perkembangan dan pola kebakaran di Indonesia, aktor kebakaran di berbagai lapisan masyarakat, tipologi biofisik lokal, dan konteks sosial dari lansekap lahan gambut [seperti di Sumatera dan Kalimantan dalam hubungannya dengan pemegang izin usaha skala kecil, hutan tanaman industri, dan kebun kelapa sawit]. 2. Kondisi yang memungkinkan untuk memerangi dan mengurangi kebakaran yang meliputi reformasi kebijakan dan kelembagaan untuk meningkatkan efektifitas pencegahan kebakaran, strategi pengelolaan lahan hutan agar menjadi bagian dari aksi mitigasi perubahan iklim, pengelolaan ideal lahan skala luas
|
perusahaan, solusi jangka panjang untuk mencegah asap dan kebakaran dari perspektif politik ekonomi, pendekatan lansekap, sistem insentif dan disinsentif, celah dan kekurangan dalam menentukan pilihan kebijakan lokal dan nasional dalam mengelola lahan, dan kontribusi kepemilikan lahan (tenurial) dan pengusaha kecil dalam kebakaran hutan dan lahan. 3. Pembelajaran pascakebakaran dan pilihan manajemen pencegahan yang meliputi solusi teknologi dalam mengelola permukaan air tanah di lahan gambut, manajemen kolaboratif tentang permukaan air tanah gambut, pengelolaan air permukaan dalam perusahaan hutan tanaman untuk mengurangi bahaya api, pendekatan berbasis masyarakat dalam pencegahan kebakaran, pilihan manajemen tanah untuk membangun pertanian berkelanjutan, pilihan manajemen lansekap agar dapat diterapkan untuk petani, pilihan pengelolaan lahan melalui pengembangan agroforestry dan paludikultur di lahan gambut, pilihan pembiayaan dan solusi ekonomi, rantai nilai agroforestry dan penerapannya di lahan gambut. Sebagai catatan, paludikultur adalah suatu model pemanfaatan berkelanjutan pada lahan gambut yang terdegradasi dengan mempromosikan pemanfaatan jangka panjang, memulihkan fungsi gambut yang rusak, dan meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap banjir, kebakaran, dan bencana lainnya. Kolaborasi atau kemitraan antarinstitusi, baik yang sudah lama maupun baru terbentuk, perlu dilakukan dan ditingkatkan dalam upaya pencegahan dan penanganan pascakebakaran. Sebagai contoh, terbentuknya Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan pada tahun 2015 diharapkan dapat bermitra dengan instansi yang telah ada untuk mempercepat pemulihan kerusakan lahan gambut, terutama akibat kebakaran tahun 2015. Program kerja institusi tersebut seyogyanya mengarah kepada upayaupaya mencegah terjadinya kebakaran di lahan gambut pada tahun-tahun mendatang, membantu kesiapan pemerintah dan seluruh pemegang konsesi di lapangan dalam mencegah terjadinya kebakaran di wilayah mereka, menurunkan emisi gas rumah kaca dari lahan gambut sesuai komitmen Indonesia kepada masyarakat internasional, mencegah berkurang dan hilangnya
|
produktivitas lahan gambut akibat subsiden dan banjir, menghilangkan ancaman terhadap keanekaragaman hayati di lahan gambut, dan mengkaji keselarasan kebijakan lahan gambut untuk memastikan adanya regulasi yang memfasilitasi pembangunan berkelanjutan.
|
Akbar, A., D. Aprianto, E. Priyanto & J.E. Leo. 2003. Pembangunan Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru.No.3 Ed.4.2003. Akbar, A., I. Anwar, E. Priyanto & J.E. Leo. 2004. Pembangunan Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru.No.5 Ed.5.2004 Akbar, A., S. Faidil, I. Anwar & E. Priyanto. 2004. Pembangunan Model Hutan Tanaman Berisiko Kecil Kebakaran. Prosiding Seminar Ilmiah Hasil-hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman-IBT. Revitalisasi Pembangunan Hutan Tanaman di Kalimantan. Banjarbaru. Hal. 117–130 (212). Akbar, A., S. Rahayu, I. Anwar & Junaidi. 2004. Kajian Teknologi dan Kelembagaan dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan. Sistem Pengaturan Pembakaran Lahan Masyarakat Untuk Minimasi Bahan Bakar. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian timur. Banjarbaru. No.6. Ed.6.2004. Akbar, A., I. Anwar, E. Priyanto & J.E. Leo. 2005. Penentuan Frekuensi Penyiangan untuk Menurunkan Risiko Kebakaran pada Hutan Tanaman. Laporan Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. no. 2, Ed 2.2005 Akbar, A., S. Faidil, E. Priyanto & J.E. Leo. 2005. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. No.7 Ed 7.2005 Akbar, A. & E. Priyanto. 2007. Dampak Pembakaran Terkendali terhadap Produktivitas Lahan Rawa Gambut. Laporan Hasil
|
Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru.No. 3, Ed.3.2007. Akbar, A. 2014. Pengaruh Umur Buluh Terhadap Pertumbuhan Kembali Alang-alang (Imperata cylindrica) Pasca Pembakaran Untuk Tanaman Nyawai (Ficus variegata). Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru Kalimantan Selatan. No.2, Ed.2.2014. Alihamsyah, T. & N. Izzuddin. 2003. Lahan Rawa Pasang Surut Pendukung Ketahanan Pangan dan Sumber Pertumbuhan Agribisnis. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjarbaru. Apriyanto, D., S. Rahayu, Y. Ham, I. Anwar & Junaidi. 2003. Kajian Sosio Anthropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Kalimantan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. No.4, Ed. 4. 2003 Aswin, U. 2005. Fire Characteristic of Tropical Peat in Central Kalimantan Indonesia. A Desertation Submited for Decree of Doctor of Philosophy. Division of Geoscience Graduate School of Environmental Earth Science. Hokkaido University. Japan. Barber, C.V. & J. Schweithelm. 2000. Trial by Fire. Forest Fire and Forestry Policy in Indonesia’s Era of Crisis and Reform, World Resources Institute (Forest Frontiers Initiative) kerjasama dengan WWF-Indonesia dan Telapak Indonesia Foundation. Bastoni & A. Sianturi. 2000. Dampak Kebakaran Hutan Rawa Gambut terhadap Tanah dan Tegakan Hutan serta Implikasinya dalam Rehabilitasi Areal Hutan Bekas Terbakar. Seminar Pengelolaan Hutan Rawa Gambut dan Ekspose Hasil Penelitian di Hutan Lahan Basah. Balai Teknologi Reboisasi Banjarbaru. Banjarbaru. Bastoni, M. Rahmat, B. Winarno, M. Suparman & F.W. Sari. 2003 Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat. Palembang.
|
Bastoni, A.T.L. Silalahi, S. Islam & Agus B.H. 2004. Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Barat. Palembang. Batchelder, R.B. & H.F. Hirt. 1996. Fire in Tropical Forest and Grasslands. United State Army Matick. Laboratory Technical Report: 47–67. ES. BNPB. 2013. IRBI (Indeks Risiko Bencana Indonesia). Direktorat Pengurangan Risiko Bencana. Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan. Bogor. Brown, A.A. & K.P. Davis. 1973. Forest Fire Control and Use. Mc. Grow Hill and Book Co. New York. CARE International Indonesia. 2003. Pengendalian Kebakaran Lahan dan Hutan di Tingkat Desa. Draf Laporan. Palangkaraya Chandler, G.P., P. Cheney, L. Thomas, Trabaud & D. Williams. 1983. Fire in Forestry. Forest Fire Management and Organisation.A Wiley-Intersciense Publication. John Wiley & Sons. New York. CIMTROP-UNPAR 2003. Strategi dan Rencana Aksi Terpadu Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran Lahan dan Hutan di Kalimantan Tengah. Prosiding Pengendalian Kebakaran. UNPAR, Palangkaraya. Deddy, A. 2001. Pemantauan dan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan. Prosiding Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. ICRAF. Penerbit: CV Dewi Srijaya. Bogor. Dephut. 2004. Statistik Kehutanan Indonesia. Sekretariat Jenderal Departemen Kehutanan. Jakarta. Dinas Kehutanan NTT. 1995. Laporan Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kupang. Dirjen PHPA. 1994. Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Prosiding Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor.
|
Dishut Kalsel, 2004. Hotspot, Distribusi Peta dan Koordinat Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2004. Banjarbaru. Dishut Kalsel. 2005. Hotspot, Distribusi Peta dan Koordinat Propinsi Kalimantan Selatan Tahun 2005. Banjarbaru. Dishut Kalteng. 2005. Kegiatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Laporan Dinas Kehutanan Kalteng tahun 2005. Palangkaraya. Ditjen PHKA. 2003. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2001 tentang Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan atau Lahan. Jakarta. Ditjen PHKA. 2003. Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor 21 & 22/Kpts/DJ-IV/2002 tentang Pedoman Pembentukan Brigade Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Jakarta. Faidil, S., R. Setyawati, I. Anwar & Junaidi. 2002 Teknik Pemadaman Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut. Prosiding Gelar Teknologi Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. BP2HT-IBT, Banjarbaru. Hal.18–27 (111). Faidil, S., R. Setyawati, I. Anwar & Junaidi. 2005. Kajian Status IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. No.8, Ed 8.2005 Glover, D. & T. Jessup. 1999. Indonesia’s Fires and Haze. The Cost of Catastrophe. Institute of Southeast Asian Studies. Singapore. Gouyon, A. & D. Simorangkir. 2002. The Economic of Fire Use in Agricultura and Forestry: A Preliminary Review for Indonesia. Project Fire Fight South East Asia 2002. Jakarta. Hastanti, B.W. 2003. Kajian Sosioanthropologis Penyebab Kebakaran Hutan: Kajian Sosioanthropologis Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan pada Masyarakat Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari. Hastanti, B.W. 2004 Kajian Sosioanthropologis Penyebab Kebakaran Hutan: Teknik dan Kelembagaan Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan yang Berasal
|
dari Kearifan Tradisional Masyarakat di Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari. Hastanti, B.W. 2005. Kajian Sosioanthropologis Penyebab Kebakaran Hutan: Kajian Sosioanthropologis Pengelolaan dan Pemanfaatan Lahan pada Masyarakat Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Papua dan Maluku. Manokwari. Heikkila, T.V., R. Gronovist & M. Jurvelius. 1993. Handbook on Forest Fire Control. A guide for trainers. Finnida. Helsinki. Hendromono. 1996. Alternatif Pembukaan Lahan Tanpa Pembakaran Untuk hutan Tanaman Gmelina arborea Roxb. Buletin Penelitian Hutan, No. 600/1996. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Hendromono, A. Wibowo, Ign. Purwanto & Durahim. 2001. Penyiapan Lahan Tanpa Bakar untuk Tanaman Mahoni di Areal yang Didominasi Alang-alang. Buletin Penelitian Hutan, No. 629/2001. Pusat litbang Hutan dan konservasi Alam. Bogor. Ismangun, M. Soekardi, H.W. Basuni, Suparto & A. Mulyani. 1997. Tanah dan Potensi Lahan untuk Pertanian di Pulau Kalimantan. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya lahan untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Puslit Tanah dan Agroklimat. Bogor. Kelti PSDA. 2004. Kajian Status IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan. Bahan Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Kalimantan. Samarinda. Kurnain, A. 2005. Dampak Kegiatan Pertanian dan Kebakaran Atas Watak Gambut Ombrogen. Disertasi, Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Kurniadi, R. 2003. Kajian Sosio-Anthropologis Penyebab Kebakaran Hutan di Wilayah Semi Arid. Laporan Hasil Penelitian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kebakaran Hutan. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Kupang. Kurniadi, R. 2004. Kajian Teknologi dan Kelembagaan Pengendalian Kabakaran Hutan di Wilayah Semi Arid. Laporan
|
Hasil Penelitian. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang. Limin, S. 2003. Strategi Mencegah Kebakaran Hutan di Kalimantan Tengah. Kalteng Pos. Ed. April 2003. Palangkaraya. Lamuru, R. 2002. Kebakaran Hutan. Potret Buruk Politik Konversi Hutan di Indonesia. http://www.sawitwatch.or.id/ts4 th2html. Luke, R.H. & A.G. Mc Arthur. 1978. Busfires in Australia. CSIRO Div. of Forest Research. AGPS. Canberra. Mackinnon, K., G. Hatta, H. Hakimah & A. Mangali. 2000. Ekologi Kalimantan. Penerbit Prenhallindo. Jakarta. Marbyanto, E. 2003. Pengembangan Program Pengelolaan Kebakaran Berbasis Masyarakat. Pengalaman Proyek IFFM di Kalimantan Timur. Prosiding Workshop. Kerjasama SCKPFP-EU dan Pemda Banjar. Martapura. Nepstad, D.C. & Co-authors. 2004. Amazon drought and its implications for forest flammability and tree growth. A basin-wide analysis. Global change Biol., 10: 7074–707. Nepstad, D.C. & Co-authors. 2001. Rood paving, fire regime feedbacks, and the future of Amazon forests. For. Ecol. Mauge., 154: 359–407. Ngatiman, B. Chandra, M. Iriansyah, F.N. Rahimahyuni. 2006. dalam S.A. Siran & Nina J. (Eds.). Kebakaran, Penyebab Degradasi Hutan di Indonesia. Badan Litbang Kehutanan, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kalimantan. Samarinda. 89 Hal. Nicolas, M.V.J. 1999. Fire Management in the Logging Concessions and Plantation Forest of Indonesia. Proceedings Impacts of Fire and Human Activities on Forest Ecosystems in the Tropics. Tropical Forest Research Center. Mulawarman University and Japan International Cooperation Agency. Samarinda. Hal 163–175 (630). Noor. 1997. Degradasi dan Agroekonomi Petani di Lahan Gambut. Warta Pertanian, Ed. 175/Des/1997.
|
Nugroho. K., H.D.J. Herry & I.P.G. Widjaya. 1997. Delinasi Tipologi Lahan Untuk Penentuan Pola Pemanfaatan Sumberdaya Lahan Rawa Pasang Surut, Lebak dan Pantai di Kalimantan. Prosiding Temu Konsultasi Sumberdaya Lahan untuk Pembangunan Wilayah Kalimantan. Puslit Tanah dan Agroklimat. Bogor. Obayashi, S. 1998. Haze Pollution and Its Effect. International Cross Sectoral Forum on Forest Firest Fire Management In South East Asia. 7–8 December. 1998, Jakarta. Rousykin, H. 2004. Resolusi Konflik Sosial dan Lahan Melalui HTI Pola PHBM di PT Finnantara Intiga Propinsi Kalimantan Barat. Prosiding Seminar Ilmiah Revitalisasi Pembangunan Hutan Tanaman di Kalimantan. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru Hal.34–48. 212. Ruchiat, Y. & Y. Suyanto. 2001. Karakteristik Sosial Ekonomi di Areal Rawa dalam Kaitannya dengan Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. CIFOR dan ICRAF. Bogor. Rusdiyanto, E. 2002. Upaya Menangani Permasalahan Lingkungan akibat Kebakaran Hutan (Tinjauan dari Aspek Kesuburan Tanah). http://www.ut.ac.id/ol-supp/FMIPA/LING1112/ kebakaran.htm. Sastrawijaya. 1991. Pencemaran Lingkungan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. Setijono, D. 2001. Kebijakan Pengendalian Kebakaran Hutan dann lahan di Indonesia: PP No. 4/2001. Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. CIFOR dan ICRAF. Bogor. Show, S.B. & B. Clarke. 1953. Forest Fire Control. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Sidik, J., S. Rahayu, I. Anwar & Junaidi. 2003. Kajian Status IPTEK Penanggulangan Kebakaran Hutan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru.
|
Solihin. 2004. Hot Spot Tidak Selalu Titik Kebakaran. SFFM. Newsletters Hotspot. Palembang. Subarudi. 2002. Sistem Kelembagaan Pencegahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. Jurnal Sosial Ekonomi, Vol. 3 No.1. Puslitbang Sosekbud. Hut. Bogor. Sumardi & S.M. Widyastuti. 2007. Dasar-Dasar Pelindungan Hutan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Suyanto, S., R.P. Purnama, D. Setiono & G. Aplegat. 2001. Kebijakan Pengelolaan Sumber daya alam dan aktivitas social ekonomi masyarakat dalam kaitannya dengan penyebab dan dampak kebakaran hutan dan lahan di Sumatera. Prosiding Seminar Sehari Akar Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan di Sumatera. CIFOR dan ICRAF. Bogor. Tacconi, L. 2003 Fires in Indonesia, Causes, Costs and Policy Implications. Center For International Forestry Research (CIFOR). Bogor. Indonesia. Tagawa, H., E. Suzuki, N. Wirawan, Y. Miyagi & P. Oka. 1988. Change of Vegetation in Kutai National Park, East Kalimantan. In Tagawa, H. & N. Wirawan (Eds.). Occasional Paper No.14 (1988). Kagoshima University. Research Center For The South Pasific: 12–21. Thoha, A.S. 2008. Penggunaan Data Hot Spot Untuk Monitoring Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia. DEPHUT-Fakultas Pertanian USU. Medan. Tampubolon, A., T.S. Hadi, A. Akbar, D. Rachmanadi & Norliani. 2002. Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Terpadu. Prosiding Gelar Teknologi, Balai Litbang Hutan Tanaman Indonesia Bagian Timur. Banjarbaru. Tinambunan, Dj., H. Alrasjid, A. Wibowo, Hendromono & P. Triyono. 1998. Pedoman Teknis Penyiapan Lahan untuk Hutan Tanaman Industri Tanpa Pembakaran. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. Trenberth, K.E. 1997. The definition of El Nino. National Center for Atmospheric Reseacrh. Bull. Amer. Met. Soc., 78: 2771–2777. Aswin, U. 2005. Fire Characterisitc of Tropical Peat in Central Kalimantan Indonesia. A Desertation Submited For Decree of
|
Doctor of Philosophy. Division of Geosciense Graduate School of Environmental Eart Science. Hokkaido University, Japan. Wang, C., C. Deser, Jin, Y.Y., P. D. Nezio & A. Clement. 2012. El Nino and Southern Oscillation (ENSO): A. Review. NOAA Atlantic Oceanographic and Meteorological Laboratory. Miami. Florida. A chapter for Spinger Book: Coral Reefs of the Eastern Pacific. Wibowo, A. 2003. Permasalahan dan Pengendalian Kebakaran Hutan di Indonesia. Review Hasil Litbang. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Wibowo, A. 1996. Pengamatan Kerawanan Kebakaran Hutan dan Upaya Pengendaliannya di Kawasan HTI PT Wirakarya Sakti. Jambi. Buletin Penelitian Hutan, 601: 1–14. Wibowo A. 1997. Memahami Perilaku Kebakaran Hutan. Duta Rimba, Ed. 205–206/XX/Juli–Agustus 1997. Perum Perhutani. Jakarta.
|
Adaptor: alat penggandeng selang untuk menghubungkan telapak selang yang berukuran nominal sama, tetapi memiliki ujung dan diameter berbeda. Adiabatik (adiabatic): tanpa menambah atau kehilangan panas. Advection: transfer sifat atmosfer oleh pergerakan horizontal udara (umumnya digunakan sebagai acuan dasar dalam udara penghangat dan pendingin). Agribisnis perkebunan: suatu pendekatan usaha yang bersifat konsisten; mulai dari subsistem produksi, pengolahan, pemasaran, hingga jasa penunjang. Air ground detection: sistem deteksi yang mengombinasikan cakupan areal kunci yang pasti menggunakan detektor permukaan tanah dengan patroli udara. Alarm: beberapa sinyal yang dapat didengar atau dilihat dan menandakan adanya suatu kebakaran atau respons/aksi darurat yang diperlukan terhadap bagian dari api. ALDS (Automatic Lightning Detection System): sistem elektronik yang mendeteksi halilintar dari awan ke permukaan tanah melalui penghentian arus listrik dan memplot lokasi mereka. Aerosol: partikel padat yang ada di udara (dapat pula disebut abu atau partikulat) atau tetesan cair; aerosol dapat berbentuk garam dan karbon; suatu bentuk sediaan berupa obat [seperti pentamidin] yang diubah menjadi kabut semprotan. Angin biasa (general wind): udara bebas atau angin besar yang disebabkan oleh adanya perbedaan tekanan udara. Angin lokal (local wind): angin yang dekat dengan api dan merupakan kebalikan dari angin yang disebabkan oleh Fronts. Api besar (large fire): api yang membakar lebih dari satu areal, misalnya 100 ha atau 300 acres.
|
Api gambut (peat fire): api dalam gambut (ground fire) yang biasanya memiliki sifat penyalaan sedikit, tetapi menghasilkan asap banyak dan dapat menyebabkan reignite menjadi api perukakaan gambut. Api kecil/merayap: tinggi lidah api <0,5 m yang dapat dipadamkan langsung pada muka dan pinggiran api; pemadaman akan lebih efektif menggunakan hand tools (perlengkapan tangan). Api lahan gambut (peatland fire): kebakaran di atas permukaan lahan gambut yang dapat menyebar secara bebas mengikuti bahan bakar dan dapat menembus ke dalam tanah gambut (smoldering). Api liar (wild fire): api yang menyebabkan kebakaran yang tidak direncanakan; biasanya, api ini memerlukan tindakan pemadaman. Api menyala/terbakar (flaming fire): nyala api sebagai gas hasil akhir reaksi pembakaran yang memancarkan energi panas; warna dari nyala api tergantung dari bahan yang terbakar. Api membara (glowing fire): warna bara api pada permukaan benda yang berhubungan dengan temperaturnya. Api loncat (spot fire): nyala api yang terjadi akibat loncatan api dari areal terjadinya kebakaran. Arah kardinal (cardinal directions): arah utara, selatan, timur, atau barat yang selalu digunakan dalam memberikan arah dan informasi tentang lahan dan udara dalam menerangkan kebakaran (contoh: sebelah barat atau sebelah timur, tidak sebelah kiri atau sebelah kanan). Areal pengelolaan api (fire management area): satu atau lebih bidang lahan yang dijadikan wilayah tujuan pengelolaan kebakaran. Areal telah terbakar: areal bekas kebakaran yang mana api telah padam. Atmometer: alat yang dilengkapi sebuah alat ukur evapotranspirasi melalui pengukuran kehilangan air dari permukaan evaporasi buatan.
|
Aspek (aspect): arah menghadapnya sebuah lereng yang berhubungan dengan penyinaran matahari. Azimut (azimuth): sudut horizontal atau hubungan sebuah titik yang diukur searah jarum jam dari arah utara; azimut ditambah 1800 diistilahkan “back azimuth”. Backburn: pembakaran yang dilakukan secara terkendali melawan arah angin [di Australia sama dengan “backing fire”]. Bahan bakar (fuel): semua bahan organik, baik hidup maupun mati, yang terdapat di dalam tanah (misal gambut) dan/atau di permukaan tanah atau di atas tanah (tajuk) yang bersumber dari hutan dan lahan. Bahan bakar berat (heavy fuels): bahan bakar berdiameter besar (seperti cabang, kayu, dan dahan kayu besar) yang memanas dan terbakar lebih lambat daripada bahan bakar ringan. Bahan bakar halus (fine fuels): bahan bakar (seperti daun, rumput, paku-pakuan, lumut kering, dan tatalan [serpihan kayu]) yang dapat segera terbakar dan termakan api secara cepat dalam keadaan kering; bahan ini disebut juga flash fuel (bahan bakar cepat terbakar). Bahan bakar bertingkat (ladder fuels): bahan bakar yang secara vertikal menyebabkan berkesinambungannya bahan bakar antara stratum tajuk. Api mempunyai kemampuan untuk naik dari bahan bakar permukaan melalui proses konveksi ke tajuk dengan relatif mudah. Bahan bakar mati (dead fuels): bahan bakar yang berjaringan mati yang mana kadar air hampir seluruhnya diatur oleh kelembaban relatif atmosfer, temparatur udara, dan sinar radiasi. Bahan bakar seragam (uniform fuels): meliputi semua bahan bakar yang tersebar merata pada areal yang sedang dievaluasi. Areal yang ditutupi oleh bahan bakar yang berhubungan satu dengan lainnya akan memberikan peluang kepada api untuk menyebar. Bahaya kebakaran (fire danger): resultante yang sering dinyatakan dengan indeks, yaitu dari variabel konstan yang me-
|
mengaruhi permulaan, penjalaran, dan kesulitan mengontrol api, serta kerugian yang akan dialami. Bakar pembersihan: pembakaran bahan bakar yang disengaja di dalam garis kontrol untuk memantapkan garis tersebut. Garis kontrol yang dibuat belum lengkap bila masih ada bahan bakar. Beje: kolam perangkap ikan yang berasal dari luapan air sungai atau rawa di sekitarnya pada lahan gambut di pedalaman Kalimantan (suku Dayak). Beje alami umumnya berbentuk oval yang terletak pada cekungan-cekungan lahan gambut, sedangkan beje buatan manusia umumnya berbentuk persegi panjang. Masyarakat pedalaman dapat memperoleh ikan secara berlimpah dari beje-beje yang hasilnya sebagian dimakan dan sebagian lagi diperjualbelikan. Bencana antropogenik: bencana yang ditimbulkan akibat aktivitas manusia yang terdiri dari bencana penyakit epidemi (contoh penyakit mers, flu burung, cikungunya), gagal teknologi (contoh peristiwa lumpur Lapindo), dan kebakaran [namun di dalam UU No. 24/2007, kebakaran tidak disebut bencana dan hanya muncul di penjelasan]. Blow up: api sangat besar dan hutan menjadi lautan api; tingkah laku api ekstrem yang tidak dapat dipadamkan dengan segala upaya. Brush fire: suatu api kebakaran dari vegetasi yang didominasi pertumbuhan semak dan belukar. Burning out: membuat api untuk menghabiskan kelompok bahan bakar yang belum terbakar di dalam garis keliling api. Deteksi dini: upaya untuk mendapatkan keterangan secara dini adanya kebakaran hutan melalui penerapan teknologi sederhana dan teknologi canggih; deteksi dini merupakan pula deteksi darat (patroli darat, pengamatan menara, dan penjagaan di daerah rawan). Daerah dapat terbakar (flammable range): suatu batas konsentrasi campuran antara uap bahan bakar dengan udara yang dapat yang dapat terbakar (menyala) bila dikenai sumber panas.
|
Daerah kebakaran: suatu daerah yang diancam bahaya kebakaran yang berjarak 50 m dari titik api kebakaran terakhir. Daerah bahaya kebakaran: suatu daerah yang berjarak 25 m dari titik api kebakaran terakhir. Efek rumah kaca (green house effect): proses masuknya radiasi matahari dan terjebaknya radiasi di dalam atmosfer akibat gas rumah kaca sehingga menaikkan suhu permukaan bumi. Pada proporsi tertentu, efek rumah kaca tidak buruk karena membuat temperatur rerata permukaan bumi menjadi 150C sehingga memberi kesempatan adanya kehidupan di muka bumi. Tanpa adanya efek rumah kaca sama sekali, temperatur rerata permukaan bumi diperkirakan sekitar -180C. El Nino: fenomena alam yang dicirikan dengan memanasnya temperatur laut secara tidak wajar di daerah Pasifik khatulistiwa yang pada umumnya terjadi dalam interval waktu 4 atau 5 tahun sekali. Emisi karbon (carbon emission): senyawa karbon yang dilepaskan ke udara atau atmosfer yang berasal dari proses pembakaran dan dekomposisi. Biasanya, emisi karbon dihitung dalam satuan ton/ha CHO (karbon organik) dan dapat dikalikan 3,67 untuk menjadi jumlah emisi CO2. Faktor emisi (emission factor): jumlah polusi yang dilepaskan ke atmosfer per satuan berat bahan bakar kering yang terbakar saat penyalaan (dihitung dangan satuan kg/ton). Forest Fire Prevention Management Project (FFPMP): proyek kerja sama antara Departemen Kehutanan dengan JICA (Jepang) yang menyediakan data hotspot. Fire Fighter: orang yang mempunyai tugas dan fungsi memadamkan api kebakaran. Fire Guard: istilah umum untuk pemadam api, patroli, pengamatan, pengawal pencegahan, atau orang lain yang secara langsung bekerja untuk pencegahan kebakaran, deteksi dini, dan pemadaman. Fire hazard: kompleks bahan bakar yang dibatasi oleh volume, jenis kondisi, pengaturan, dan lokasi yang menentukan tingkat kemudahan menyala dan kesulitan pemadaman api.
|
Fire retardant: bahan material apapun (kecuali air) yang secara kimia atau fisika dapat mengurangi penyalaan bahan bakar dan memperlambat kecepatan menyala bahan bakar (sebagai contoh: suatu cairan yang menyatu yang semprotkan, baik dari udara maupun dari darat, dalam pengedalian api kebakaran). Front: suatu daerah peralihan antara dua massa udara yang berbeda kerapatannya [faktor yang kurang penting di daerah tropis]. Gambut (peat): jenis tanah yang terdiri atas timbunan bahanbahan organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang sedang dan/atau sudah mengalami proses dekomposisi. Gas rumah kaca/GRK (green house gas): gas-gas yang berpengaruh, baik secara langsung maupun tidak langsung, pada efek rumah kaca, seperti karbon dioksida (CO2), metan (CH4), dinitrogen oksida (N2O), chlorofluorocarbon (CFC), hydrofluorocarbon (HFC), karbon monoksida (CO), nitrogen oksida (NOx), dan gas-gas nonmetan yang mudah menguap (volatil). Hasil pekebunan: semua barang dan jasa yang berasal dari perkebunan yang terdiri dari produk utama, produk turunan, produk sampingan, produk ikutan, dan produk lainnya. Heliport: satu tempat mendarat permanen atau semipermanen untuk satu atau lebih helikopter yang dapat tembus ke jalan darat yang mana bahan bakar, perbaikan, dan pengiriman bantuan menjadi tersedia. Hotspot: titik panas di permukaan bumi yang mana titik-titik tersebut merupakan indikasi adanya kebakaran hutan dan lahan; parameter yang diturunkan dari data satelit dan diindikasikan sebagai lokasi kebakaran hutan dan lahan. Ilaran api (fire line): bagian dari garis kontrol yang digali hingga lapisan permukaan tanah; sering juga disebut finetrail. Illegal logging: penebangan kayu yang dilakukan secara liar, tanpa terkendali, dan tidak bertanggung jawab. Indeks kerawanan kebakaran (fire danger index): suatu angka relatif yang mengindikasikan bahaya kebakaran hutan yang ditentukan dari kondisi pembakaran dan variabel bahaya api.
|
Intensitas: laju energi panas yang dilepaskan per unit panjang dari fire front (muka/lidah api); intensitas adalah hasil dari nyala, jumlah bahan bakar yang terbakar, satuan luas pada muka api, dan laju perjalanan api; intensitas dihitung dalam British Thermal Unit (BTU) per detik per foot muka/lidah api. Inversi (inversion): peningkatan dengan bertambahnya ketinggian [bertolak belakang dengan hukum alam secara umum, yaitu turunnya suhu dengan bertambahnya ketinggian tempat]. Isobar: sebuah garis di dalam peta cuaca yang menghubungkan titik-titik yang bertekanan udara sama. Jari-jari api: bagian nyala api yang tidak searah dengan arah api utama. Kadar air bahan bakar: jumlah kandungan air di dalam bahan bakar yang dinyatakan dalam persentase berat air terhadap berat kotor bahan bakar yang dikeringkan pada 1000C. Kanopi (canopy): lapisan tajuk-tajuk pohon atau vegetasi tertinggi (hidup atau mati), mulai dari ketinggian 6,1 m (20 feet). Karakteristik: ciri-ciri atau sifat-sifat pembeda yang digunakan untuk mengenali sesuatu. Kelembaban relatif: perbandingan antara jumlah uap air yang sebenarnya di udara terhadap jumlah uap air jenuh di udara pada suhu tertentu. Kelembaban bahan bakar (fuel moisture content): kandungan air bahan bakar yang dinyatakan dengan persen (%) dari berat kering oven partikel bahan bakar. Kering tidak balik (irreversible drying): gejala atau kondisi yang mana bahan bakar gambut mengalami pengeringan berlebihan sehingga struktur atu sifat gambut mengalami kerusakan dan berubah seperti arang yang tidak dapat menahan air dan menyerap hara. Kebakaran: suatu bencana, malapetaka, atau musibah yang ditimbulkan oleh api yang tidak diharapkan, sukar dikuasai, dan merugikan. Kebakaran bawah (ground fire): kebakaran yang membakar bahan organik di bawah permukaan tanah yang pada umumnya
|
berupa serasah/humus dan gambut yang kering; peristiwanya biasanya diawali dengan kebakaran di permukaan yang kemudian menyebar secara perlahan ke seluruh bagian bawah lapisan permukaan (tanah) dan sangat sulit dikendalikan. Kebakaran hutan: proses pembakaran bahan organik yang menyebar secara liar dengan mengonsumsi bahan bakar alam hutan, seperti serasah, humus, tanah gambut, rumput, gulma, semak, dedaunan, ranting, dan pepohonan segar. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla): suatu peristiwa kebakaran, baik alami maupun oleh perbuatan manusia, yang ditandai dengan mejalarnya api secara bebas dan mengonsumsi bahan bakar hutan dan lahan yang dilaluinya. Kebakaran permukaan rendah: kebakaran yang memiliki tinggi api mencapai satu meter. Api ini dapat dipadamkan secara langsung ataupun tidak langsung, dan dapat diterapkan sesuai kondisi lapangan. Pemadaman langsung pada muka dan pinggir api akan lebih efektif jika menggunakan hand tools (perlengkapan tangan). Kebakaran permukaan sedang: kebakaran yang memiliki tinggi api sekitar dua meter dan mulai menjilat-jilat batang pohon ukuran sapling hingga tiang (pole). Intensitas panas kebakaran ini mulai meninggi sehingga regu pemadam tidak mungkin lagi mendekatinya untuk memadamkan secara langsung. Kebakaran permukaan tinggi: kebakaran yang memiliki tinggi lidah api hampir mencapai tajuk pohon dan telah membakar ranting-ranting pohon; disebut juga sebagai kebakaran tajuk pasif karena belum sempurna membakar tajuk. Biasanya, segala upaya dikerahkan untuk mengendalikan kebakaran ini. Kebakaran tajuk (crown fire atau kebakaran permukaan ekstrem: kebakaran yang meluas dari satu puncak pohon ke puncak pohon lain atau dari pucuk semak belukar. Knot: satuan kecepatan angin (1 knot setara dengan 1,86 km/jam).
|
Kekompakan (compactness): ruang di antara partikel-pertikel bahan bakar. Hal ini penting terutama di lapisan permukaan bahan bakar yang mana jumlah perputaran udara akan memengaruhi laju pengeringan dan laju penyalaan. Kekontinyuan: penyebaran partikel-partikel bahan bakar atau luasnya hamparan bahan bakar yang memengaruhi kemampuan api untuk tetap menyala dan menyebar. Hal ini berlaku untuk semua jenis bahan bakar, baik yang di atas maupun di bawah permukaan tanah. Kemitraan usaha perkebunan: kerja sama penyediaan sarana produksi, pelaksanaan produksi, pengolahan dan pemasaran, transportasi, operasional, kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya. Kepala api: nyala api utama. Ketersediaan bahan bakar (available fuel): bahan bakar yang akan terbakar selama berlangsungnya kebakaran pada kondisi kebakaran tertentu. Konveksi: proses dalam meteorologi (ilmu cuaca); pergerakan atmosfer umumnya secara vertikal [terminologi yang biasanya dipakai untuk mengungkapkan pergerakan udara yang mengalir ke atas]. Lereng (slope): kelerengan suatu lahan yang diukur dengan persentase kelerengan (perbedaan ketinggian dibagi dengan jarak datar). Laju penjalaran api (rate of spread): kemampuan relatif dari api dalam penjalaran secara horizontal. Laju dapat diukur dari penjalaran ke depan, dari pertambahan panjang keliling api, dan lain-lain [unit ukuran dalam chains/hour; 1 chain = 20 m]. Lidar: model foto yang beresolusi sangat detil, sangat akurat di lahan datar, mendeteksi di atas permukaan tanah. Alat ini pernah digunakan di KFCP pada April 2010 dengan luasan 700.000 ha dan akurasi 20 cm. Mekanismenya: alat dibawa oleh pesawat helikopter, kemudian sinyal akan menyala akibat pantulan cahaya, dan dari pergerakan cahaya itulah alat ini dapat menentukan luas area terdeteksi.
|
Mopping up/Mop-up: membuat kondisi api aman setelah pembakaran terkontrol, yaitu dengan cara mematikan api dan memindahkan bahan bakar ke tempat aman di garis kontrol, menebang sisa sobekan, dan memaritkan sisa kayu gelondongan agar tidak menggelinding. Musim api (fire season): waktu dalam tahun yang mana kebakaran terjadi, menyebar, dan menghancurkan nilai hutan sehingga cukup menjamin untuk mengatur pengendalian api. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI): hubungannya dengan kebakaran adalah representasi dari bahan-bakar, baik dari sisi tingkat kehijauan maupun serasah. Oksigen: gas yang mendukung proses pembakaran [udara bebas mengandung 21% oksigen]. Panas: tingkatan energi suatu bahan untuk terbakar pada suhu bakarnya. Parit/saluran: saluran yang dibuat masyarakat untuk menghubungkan sungai dengan hutan rawa gambut guna mengeluarkan kayu hasil tebangan. Selain yang dibuat masyarakat, terdapat juga yang secara resmi dibangun oleh pemerintah sebagai saluran irigasi (contohnya pada kawasan eks Proyek Lahan Gambut di Kalimantan Tengah). Pelaku usaha perkebunan: pekebun dan perusahaan perkebunan yang mengelola usaha perkebunan. Pemadaman: berbagai tindakan untuk memadamkan api liar. Pemadaman kebakaran hutan dan lahan: semua usaha, tindakan, atau kegiatan yang dilakukan untuk menghilangkan atau memadamkan api yang membakar hutan dan lahan. Pemadaman awal (initial attack/first attack): aksi permulaan yang diambil untuk memadamkan api, baik yang terjadi di tanah maupun di udara. Pemadaman langsung (direct attack): cara pemadaman yang ditujukan langsung dari arah sisi dengan pembasahan, pendinginan, pengibasan, penyemprotan dengan bahan kimia, atau pemisahan api dengan bahan bakar yang belum terbakar secara mekanis.
|
Pemadaman tidak langsung (indirect attack): suatu metode pemadaman yang mana garis kontrol ditempatkan di sepanjang sekat bakar alami, bagian topografi yang memungkinkan untuk dijadikan sekat bakar alami (patahan, jurang, punggung bukit, dan lain-lain), atau pada jarak yang cukup jauh dari api dan membuat bakar balik atau bakar pembersihan (burn out). Pembakaran: pengoksidasian cepat yang diikuti oleh peristiwa api, bara, atau nyala api. Pembakaran terkendali (prescribed burning): penggunaan api secara terkendali pada bahan bakar lahan dalam kondisi lingkungan khusus dan diyakini telah dikuasai, serta diyakini menghasilkan intensitas panas dan kecepatan menyebarnya diperlukan untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya. Pencegahan kebakaran hutan dan lahan: semua usaha, tindakan, atau kegiatan yang dilakukan untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Pengembangan api (flash over): suatu tahap pengembangan api pada ruangan tertutup yang mana pada saat itu, kecepatan penjalaran api meningkat hingga seluruh ruangan menyala hebat. Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (dalkarhutla): semua usaha yang mencakup kegiatan-kegiatan pencegahan, pemadaman, dan tindakan pascakebakaran hutan dan lahan. Pengendalian Kebakaran Berbasis Masyarakat/PKBM (community base fire management): suatu pola pengendalian kebakaran yang mengandalkan peran serta masyarakat sekitar hutan sehingga masyarakat terlibat langsung dalam pencegahan, pemadaman, dan penanganan pascakebakaran. Secara manajemen, pelaksana lembaga formal bermitra dengan masyarakat; mulai dari perencanaan, pengorganisasian, implementasi, dan pengawasan dari ketiga unsur pengelolaan kebakaran. Penghalang (barrier): rintangan/halangan terhadap penyebaran api, terutama pada suatu kawasan atau jalur yang tanpa bahan bakar; macam-macam hambatan menjalarnya api;
|
sebagai contoh, suatu areal atau jalur yang tidak terdapat sama sekali bahan mudah terbakar. Peran serta/partisipasi masyarakat: proses pemberdayaan masyarakat berupa keterlibatan aktif masyarakat untuk mendukung suatu kegiatan. Keterlibatan tersebut mencakup perencanaan, penganalisaan, dan pengimplementasian kegiatan. Periode keternyalaan (combustion period): waktu keseluruhan yang dibutuhkan oleh suatu komponen bahan bakar tertentu untuk benar-benar habis terbakar. Perkebunan: segala kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan/atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai, serta mengolah dan memasarkan barang dan jasa hasil tanaman tersebut dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan, dan manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha perkebunan dan masyarakat. Pohon mati (snag): pohon mati yang masih berdiri atau bagian pohon mati yang [paling tidak] daun-daun dan rantingranting kecil sudah gugur; sering disebut stub jika kurang dari enam meter. Pulau api: areal yang tidak terbakar di tengah areal terjadinya kebakaran. Punggung api: areal bekas terjadinya kebakaran. Regu Pengendali Kebakaran (RPK) Desa: regu masyarakat peduli kebakaran hutan dan lahan di desa atau kampung yang dapat tumbuh dengan sendirinya; pembentukannya berasal dari kearifan lokal atau difasilitasi pemerintah, sedangkan segala keputusannya bersifat partisipatif. Regu tersebut dapat menjadi inovator bagi masyarakat di sekitarnya dalam hal pencegahan terjadinya kebakaran dan respons pemadaman. Rencana pengelolaan api (fire management plan): suatu pernyataan untuk areal tertentu tentang kebijakan pengaturan pengelolaan api dan aksi-aksi terkendali; wujudnya dapat berbentuk peta, gambar, tabel, dan data statistik.
|
Risiko kebakaran (fire risk): suatu nilai hasil perkalian dari bahaya kebakaran (fire hazard) dengan kerentanan (vulnerability) dibagi kapasitas (capacity) atau kemampuan dari suatu daerah dalam mengatasi kebakaran; potensi terjadinya api sebagai pengaruh alam dan agen-agen penyebab. Rotasi api (fire rotation/return period): interval yang diharapkan antarkejadian kebakaran dalam suatu ekosistem (dihitung dengan cara membagi luas total area ekotipe dengan rata-rata areal terbakar tahunan). Ruang konveksi (convection column): ruang vertikal sebagai hasil dari panas yang terdiri dari asap, gas, dan serpihan-serpihan karena api. Sabuk termal (thermal belt): kawasan pegunungan/berbukit-bukit yang mempunyai variasi suhu harian terkecil dan mempunyai suhu rerata tertinggi dan kelembaban relatif terkecil. Sayap api (flanks of fire): bagian dari keliling api yang kira-kira sejajar dengan arah menjalarnya api. Sekat bakar (fire break): sekat yang berguna untuk memisahkan, menghentikan, dan mengendalikan penyebaran api, atau mendukung keberadaan ilaran pengendali api yang dibuat untuk memadamkan kebakaran hutan. Sekat bakar dapat berupa sekat alami (seperti jurang, sungai, dan tanah kosong) atau dibuat oleh manusia (seperti jalan dan waduk). Sekat bakar partisipatif: sekat bakar yang dalam proses pembuatannya melibatkan partisipasi masyarakat dan menghasilkan dua manfaat, yaitu sebagai upaya pencegahan kebakaran dan memberikan manfaat ekonomi bagi kehidupan masyarakat di sekitarnya (misalnya parit-parit yang dibendung/ disekat dan kolam beje yang berfungsi sebagai sekat bakar dan sebagai kolam ikan). Sekat pemutus umpan api (fuel break): sekat yang berguna untuk memisahkan satu jenis umpan api/bahan bakar dengan umpan api/bahan bakar lainnya. Serangan udara (air attack): penggunaan secara langsung pesawat udara dalam memadamkan api liar.
|
Serpihan (slash): ranting, kulit kayu, pucuk, tunggak, dan lain-lain dari sisa tegakan yang tertinggal di atas permukaan tanah pembalakan atau penjarangan. Sisi api: bagian tepi areal kebakaran. Sistem Informasi Geografis (SIG): sistem yang dapat dipadukan dengan data hotspot untuk mengetahui posisi titik panas di permukaan bumi. Slip-on tanker: sebuah tanki air, selang, pompa pemadam, dan mesin yang digabungkan ke dalam suatu kumpulan yang dapat diselipkan ke dasar truk atau trailer. Small grant: pemberian bantuan dana hibah dalam skala kecil tanpa agunan kepada kelompok masyarakat lokal untuk mengembangkan usaha menetap yang tidak merusak lingkungan. Dengan kompensasi dan hibah tersebut, kelompok masyarakat diwajibkan untuk melakukan perlindungan terhadap kawasan hutan dan lahan yang belum terbakar dan merehabilitasi kawasan hutan dan lahan yang sudah terdegradasi. Smoldering fire: api kebakaran yang berlangsung tanpa terlihat menyala atau menjalar secara terbuka (contohnya, api di dalam lapisan gambut). Stabilitas atmosfer (atmospheric stability): suatu tingkat yang mana atmosfer tahan terhadap gerakan memutar dan vertikal. Strategi: rencana menyeluruh dari aktivitas mematikan kebakaran yang memberi acuan pada penanganan secara efisien dari segi biaya, personil, dan peralatan disesuaikan dengan nilai ancaman, sifat api, batasan legal, dan tujuan yang dibangun untuk pengelolaan riset dan menghasilkan keputusan terhadap tujuan taktis dari sumber daya manusia dan alat untuk garis komando di dalam fungsi pemadaman kebakaran. Suhu bakar (ignition temperature): suhu terendah dari suatu bahan yang mana proses pembakaran tetap berlangsung, walaupun sumber api telah disingkirkan.
|
Suhu penyalaan sendiri (auto ignition temperature): suhu suatu zat dapat menyala dengan sendirinya tanpa adanya sumber panas dari luar. Susunan vertikal (vertical arrangement): ketinggian relatif bahan bakar di atas permukaan tanah yang saling berhubungan secara vertical sehingga mengakibatkan api dapat mencapai ketinggian bahan bakar di atasnya. Taktik (tactics): penentuan kepastian di mana dan bagaimana membangun garis kontrol dan langkah pemadaman lainnya yang diperlukan untuk memadamkan api; cara pencapaian tujuan dalam tingkat operasional pelaksanaan dalam rentang waktu pendek. Tanki udara (airtanker): pesawat yang dilengkapi sayap yang dipasang tangki dan peralatan untuk menyemburkan air atau zat kimia penghambat terhadap api. Teknik tanpa pembakaran (zero burning): metode pembersihan lahan tanpa bakar, yaitu dengan cara melakukan penebangan tegakan pohon pada lahan atau hutan sekunder atau pada tanaman perkebunan yang sudah tua. Sebagai contoh, kelapa sawit yang diberi perlakuan pencabikan (shredded) terhadap bagian-bagian tanaman tersebut menjadi potongan-potongan yang kecil (serpihan), lalu ditimbun dan ditinggalkan di tempat supaya membusuk atau terurai secara alami. Teluk api: areal di antara jari-jari api dan api utama. Temperatur absolut (absolute temperature): temperatur yang diukur dengan skala Kelvin yang independen dari sifat-sifat termodinamika dari zat-zat yang sedang bekerja. Satuannya adalah derajat Kelvin (0K) [00C = 273,160K]. Tingkat emisi (emission rate): massa suatu polutan tertentu yang dilepaskan ke atmosfer/udara per bahan bakar kering yang dibakar dalam satuan waktu. Titik bakar (fire point): suhu terendah suatu zat/bahan untuk cukup mengeluarkan uap dan terbakar (menyala terus) jika diberi sumber panas. Tindakan pascakebakaran hutan dan lahan: semua usaha, tindakan, atau kegiatan yang dilakukan setelah kejadian
|
kebakaran untuk menginvestigasi kejadian kebakaran sehingga dapat diketahui dampaknya dan pelakunya untuk selanjutnya dilakukan tindakan hokum, serta upaya untuk memperbaiki hutan dan lahan bekas kebakaran dengan rehabilitasi. Topografi: gambaran permukaan bumi yang meliputi relief dan posisi alaminya, serta ciri-ciri yang dibentuk oleh manusia. Usaha perkebunan: usaha yang menghasilkan barang dan/atau jasa perkebunan. Ukuran dan bentuk (size and shape) bahan bakar: sifat-sifat bahan bakar yang memengaruhi waktu bertahannya kelembaban bahan bakar (fuel moisture time lag); hal ini merupakan jumlah panas yang dibutuhkan untuk menyalakan dan mempertahankan nyala dan waktu habis terbakarnya bahan bakar. Size and shape diukur dengan perbandingan antara luas permukaan dan volume. Volume bahan bakar: berat bahan bakar per unit area.
|
Acep Akbar lahir di Bogor, Jawa Barat, pada tanggal 24 Agustus 1959 sebagai anak ketiga dari tujuh bersaudara pasangan Moch. Itjang (Alm.) dan Cacih Juarsih (Almh.). Penulis menikah dengan Ni Gusti Ayu Made Ningsih (anak ke delapan dari pasangan I Gusti Putu Cakra [Alm.] dan I Gusti Nyoman Sekar [Almh.]) pada tahun 1985 dan dikaruniai dua anak, yaitu dr. Edwin Pratama dan drg. Lidia Pratiwi. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Negeri Cigudeg pada tahun 1971, selanjutnya masuk ke SMP Pasundan Cigudeg dan lulus tahun 1974. Pendidikan lanjutan atas ditempuh di SMAN 1 Bogor Fillial III Leuwiliang dan lulus tahun 1979/1980. Pada tahun 1989, penulis menyelesaikan pendidikan Program S1 pada Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA), Unversitas Pakuan Bogor, Jawa Barat. Penulis menyelesaikan S2 Magister Pertanian (MP) bidang studi Agronomi pada Program Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat (UNLAM) Banjarbaru, Kalimantan Selatan, pada tahun 2002. Selanjutnya, pendidikan S3 dimulai sejak tahun 2008 pada Program Studi Ilmu Kehutanan (PSIK) [minat Silvikultur/Budi Daya] di Fakultas Kehutanan, Universitas Gajah Mada (UGM), Yogyakarta dan gelar Doktor Ilmu Kehutanan diraih pada tahun 2012. Karier pekerjaan formal dimulai pada tahun 1983 yaitu menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan di Bogor sebagai tenaga administrasi. Karier Peneliti dimulai pada tahun 1990 sebagai Calon Peneliti bidang silvikultur pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan di Bogor yang tergabung di dalam Kelompok Peneliti Pembinaan Hutan (Silvikultur). Pada tahun 1991, penulis mendapat tugas menjadi Nursery Counterpart Proyek ATA-267 kerja sama Indonesia-Finlandia (FINNIDA) di Banjarbaru Kalimantan Selatan. Sejak itu pula penulis dialihtugaskan menjadi Peneliti di Balai
|
Teknologi Reboisasi Banjarbaru yang saat ini bernama Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru. Progres jabatan penulis sebagai peneliti terus berlanjut, yaitu Asisten Peneliti Madya (1994), Ajun Peneliti Muda (1995), Ajun Peneliti Madya (1998), Peneliti Muda (2000), Peneliti Madya (2003), Ahli Peneliti Muda (2005), dan Peneliti Utama (2008). Pangkat dan golongan terakhir dalam jenjang karier PNS hingga saat ini adalah sebagai Pembina Utama (IV/e) sejak bulan Agustus 2014. Selama menjadi peneliti, penulis pernah ditugaskan sebagai Ketua Kelompok Peneliti Perlindungan Hutan dan Pengelolaan Lingkungan (Kelti PHPL) sejak tahun 2004 hingga tahun 2011 dan pernah menjadi Koordinator Penelitian Kebakaran Hutan di Badan Litbang Kehutanan tahun 2003–2008.
|