KONTRAK MUDHARABAH , PERMASALAHAN DAN ALTERNATIF SOLUSI Sofyan Rizal, M.Si.*
A. Pendahuluan Islam sangat menganjurkan pemeluknya untuk berusaha, termasuk melakukan kegiatan-kegiatan bisnis. Dalam kegiatan bisnis, seseorang dapat merencanakan suatu dengan sebaik-baiknya agar dapat menghasilkan sesuatu yang diharapkan, namun tidak ada seorangpun yang dapat memastikan hasilnya seratus persen. Suatu usaha, walaupun direncanakan dengan sebaik-baiknya, namun tetap mempunyai resiko untuk gagal. Faktor ketidakpastian adalah faktor yang given, sudah menjadi sunnatullah, sebagaimana Allah SWT bersabda : #sŒ$¨Β Ó§øtΡ “Í‘ô‰s? $tΒuρ ( ÏΘ%tnö‘F{$# ’Îû $tΒ ÞΟn=÷ètƒuρ y]ø‹tóø9$# Ú^Íi”t∴ãƒuρ Ïπtã$¡¡9$# ãΝù=Ïæ …çνy‰ΨÏã ©!$# ¨βÎ) ∩⊂⊆∪ 7Î6yz íΟŠÎ=tæ ©!$# ¨βÎ) 4 ßNθßϑs? <Úö‘r& Äd“r'Î/ 6§øtΡ “Í‘ô‰s? $tΒuρ ( #Y‰xî Ü=Å¡ò6s? 34. Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang hari Kiamat; dan Dia-lah yang menurunkan hujan, dan mengetahui apa yang ada dalam rahim. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui (dengan pasti) apa yang akan diusahakannya besok. dan tiada seorangpun yang dapat mengetahui di bumi mana Dia akan mati. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. Konsep tolong menolong, taawun, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Keadilan merupakan aspek mendasar dalam perekonomian Islam (Antonio, 2001). Penetapan suatu hasil usaha didepan dalam suatu kegiatan usaha dianggap sebagai sesuatu hal yang dapat memberatkan salah satu pihak yang berusaha, sehingga melanggar aspek keadilan.
Hal ini karena prinsip ketidaktentuan usaha sehingga hasil yang didapat bisa sangat bervariasi, dari mulai untung sampai rugi. Sebagai contoh, bunga adalah suatu hasil yang ditetapkan didepan, sebelum usaha, sehingga bunga seperti memastikan usaha pasti mendatangkan keuntungan, dan bisa jadi memberatkan salah satu pihak. Penerapan konsep sharing sesungguhnya mempunyai manfaat yang sangat besar, namun penerapan konsep sharing mempunyai beberapa kelemahan . Agar optimal, penerapan konsep sharing harus dilakukan dengan pengetahuan yang memadai agar mekasinisme sharing yang memiliki tujuan yang baik ini tidak disalahgunakan pihak yang semata-mata ingin mengambil keuntungan.
B. Sharing dan Permasalahannya. a. Preferensi Muslim dan Pilihan Tipe Kontrak Pemilihan kontrak bagi muslim ditentukan oleh minimal dua faktor penentu, yaitu ekspektasi keuntungan yang diharapkan (tinggi) dan sesuai dengan syariah. Berbeda dari preferensi non muslim yang hanya berdasarkan keuntungan semata, preferensi muslim dalam memilih tipe kontrak harus sesuai dengan konsep maslahat yang
sesuai dengan syariah. Kontrak yang walaupun
mendatangkan keuntungan yang sangat besar, namun jika tidak sesuai dengan sayriah , tidak dapat diterima. Kontrak dengan bunga yang tinggi misalnya, memang mendatangkan keuntungan yang besar, namun tidak sesuai dengan syariah, maka kontrak itu ditolak. Sharing, merupakan suatu kontrak usaha yang dianjurkan dalam Islam Konsep syariah sangat menganjurkan tolong menolong dalam menghadapi ketidakpastian dalam dunia usaha. Anjuran Islam tersebut ditambah lagi dengan petunjuk yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas transaksi kontrak. Anjuran tersebut misalnya perintah untuk berbuat jujur (Sidiq). Konsep kejujuran akan mendorong
transparansi dalam berkontrak. Transaparansi dapat melahirkan
kontrak usaha yang bermutu dan berkualitas. Islam juga mempunyai konsep penghargaan terhadap waktu dan dorongan untuk bekerja keras didunia. Penghargaan terhadap waktu dan bekerja keras adalah syarat untuk keberhasilan
suatu usaha. Islam juga mewajibkan amanah terhadap sesuatu yang dipercayakan orang kepada kita. Konsep amanah adalah konsep yang sangat diperlukan dalam sebuah kontrak usaha, apalagi sharing. Ketiga konsep Islam tesebut tentu sangat mendorong terjadinya kontrak yang berkulitas dalam sharing. Pembahasan konsep sharing secara empiris maupun teoritis sebenarnya telah banyak dilakukan oleh para ekonom. Hal ini karena sharing memang dilakukan oleh berbagai macam masyarakat. Dari beberapa pembahasan, muncul beberapa permasalahan yang menjadikan sharing tidak optimal. Masalah yang menyebabkan tidak optimalnya sharing antara lain adalah level informasi yang berbeda yang dialami oleh pihak yang melakukan kontrak sharing, dan preferensi masing-masing individu pelaku sharing tersebut. Pembahasan dibawah ini berusaha menjelaskan permasalahan yang terjadi dalam sharing tersebut :
a.1 Preferensi Individu Bagi individu, pemilihan jenis kontrak termasuk sharing, ssungguhnya ditentukan oleh faktor utama sejauh mana jenis usaha tersebut dapat memberikan ekspectasi pendapatan yang tinggi . Dalam prinsip ekonomi , manusia yang rasional adalah manusia yang berfikir margin yang didapat dan prinsip opportunity cost (Mankiw, 2001). Seseorang lebih suka mendapatkan lebih banyak daripada mendapatkan lebih sedikit. Namun dalam Islam, tentu saja terdapat perbedaan dari segi preferensi. Seorang Muslim tidak hanya sekedar mengejar hasil yang banyak atau keuntungan tanpa mempertimbangkan faktor etika dan moral. Faktor moral, halal dan haram, etika adalah hal yang juga sangat dipertimbangkan dalam preferensi individu. Kontrak sharing, pada prinsipnya memberikan keleluasaan bagi pengusaha (Fund User) untuk menentukan level optimal usaha yang dilakukannya. Pada kondisi seperti itu maka preferensi individu dari masing-masing pihak akan menentukan kontrak sharing. Dengan kata lain, seorang shahibul mal ingin keuntungan yang besar, seorang mudharib pun menginginkan keuntungan yang besar pula .
a.2 Asymmetric Information Kondisi tersebut adalah kondisi tersebut akan sangat ideal bila masingmasing pihak mendapatkan informasi yang lengkap dan berimbang (Symmetric Information). Pada keadaan ini, pilihan sharing adalah pilihan yang sangat ideal. Dalam prakteknya, sangat kecil kemungkinan didapatkan kondisi ideal, dimana informasi yang didapat simetrik. Ketidak jelasan atau ketidak seimbangan dalam informasi ini yang terjadi pada saat kontrak akan meningkatkan absolut risk aversion . Sebagai contoh misalnya, seorang shahibul mal ingin memberikan pinjaman kepada mudharib. Karena kurangnya informasi mengenai harapan tingkat return (expected return) dari suatu usaha, maka shahibul mal akan bertindak risk averse (menghindari resiko). Tindakan ini wajar sebagai perilaku melindungi investasinya. Tindakan risk averse ini
akan mempengaruhi rp,
sehingga sharing berjalan tidak optimal. Kondisi asymmetric information dalam sharing ini dapat terjadi karena dua hal yaitu : 1. Sulit untuk melihat level usaha dari mudharib 2. Terbatasnya informasi mengenai produktivitas suatu usaha
Terbatasnya informasi mengenai produktifitas suatu usaha juga menjadi suatu permasalahan dalam optimalisasi sharing. Dalam usaha, mudharib seringkali mempunyai informasi yang lebih banyak daripada shahibul mal. Shahibul mal, walaupun memiliki data, namun biasanya tidak seakurat dan serinci mudharib sebagai pelaku usaha. Hal seperti ini bisa menyebabkan mudharib memiliki keuntungan informasi yang tidak dipunyai oleh shahibul mal, dan dapat digunakan dalam melakukan bargaining ketika menjalankan kotrak sharing. Sebagai contoh misalnya, industri rumah makan, atau restoran. Mudharib tahu bahwa margin keuntungan rata-rata untuk restoran misalnya 50%. Shahibul mal tidak tahu hal seperti ini, karena awam dalam bisnis tersebut. Ketika mudahrib melakukan bargaining sharing dengan shahibul mal, ia sudah dibekali dengan informasi mengenai expected return, sedangkan shahibul mal tidak. Hal ini
memungkin kan shahibul mal kemudian mengenakan kontrak sharing yang jauh lebih rendah dari yang sebenarnya dapat dihasilkan. Akibat dari berbagai macam kendala dalam sharing tadi, maka muncullah berbagai alternatif variasi kontrak sharing. Variasi kontrak tersebut merupakan suatu antisipasi dari keadaaan-keadaan sharing dari yang ideal sampai yang tidak ideal. Variasi tersebut antara lain :
Tipe
Tipe
Source
Kontrak
Kontrak
uncertainty
Pure Shring Profit Kontrak
and P + PS
loss based
Pure Shring Revenue
of
Revenue
Level risk
Yes
Very High
and cost P+PS
Revenue
Yes
High
and Prev + RS
Revenue
No
Low
No
Low
Kontrak
Based
Hibrid
Profit
Between
loss based
and cost RS> 0
Sharing And Fixed Contract Hibrid
Revenue
Between
Based
Sharing
P rev + RS
RS>0
And Fixed Contract Fixed
Pm + M
ruturn contract
(Muljawan, Bank Syariah, Filosofi dan Operasi, 2001)
of
No
C. Sharing dan Mudharabah a. Pengertian Sistem bagi hasil merupakan sistem di mana dilakukannya perjanjian atau ikatan bersama di dalam melakukan kegiatan usaha. Di dalam usaha tersebut diperjanjikan adanya pembagian hasil atas keuntungan yang akan di dapat antara kedua belah pihak atau lebih. Bagi hasil dalam sistem perbankan syari’ah merupakan ciri khusus yang ditawarkan kapada masyarakat, dan di dalam aturan syari’ah yang berkaitan dengan pembagian hasil usaha harus ditentukan terlebih dahulu pada awal terjadinya kontrak (akad). Besarnya penentuan porsi bagi hasil antara kedua belah pihak ditentukan sesuai kesepakatan bersama, dan harus terjadi dengan adanya kerelaan (An-Tarodhin) di masing-masing pihak tanpa adanya unsur paksaan. Mekanisme perhitungan bagi hasil yang diterapkan di dalam perbankan syari’ah terdiri dari dua sistem, yaitu: a. Profit Sharing b. Revenue Sharing
a.1Pengertian Profit Sharing Profit sharing menurut etimologi Indonesia adalah bagi keuntungan. Dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Profit secara istilah adalah perbedaan yang timbul ketika total pendapatan (total revenue) suatu perusahaan lebih besar dari biaya total (total cost). Di dalam istilah lain profit sharing adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada hasil bersih dari total pendapatan setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Pada perbankan syariah istilah yang sering dipakai adalah profit and loss sharing, di mana hal ini dapat diartikan sebagai pembagian antara untung dan rugi dari pendapatan yang diterima atas hasil usaha yang telah dilakukan. Sistem profit and loss sharing dalam pelaksanaannya merupakan bentuk dari perjanjian kerjasama antara pemodal (Investor) dan pengelola modal (enterpreneur) dalam menjalankan kegiatan usaha ekonomi, dimana di antara
keduanya akan terikat kontrak bahwa di dalam usaha tersebut jika mendapat keuntungan akan dibagi kedua pihak sesuai nisbah kesepakatan di awal perjanjian, dan begitu pula bila usaha mengalami kerugian akan ditanggung bersama sesuai porsi masing-masing. Kerugian bagi pemodal tidak mendapatkan kembali modal investasinya secara utuh ataupun keseluruhan, dan bagi pengelola modal tidak mendapatkan upah/hasil dari jerih payahnya atas kerja yang telah dilakukannya. Keuntungan yang didapat dari hasil usaha tersebut akan dilakukan pembagian setelah dilakukan perhitungan terlebih dahulu atas biaya-biaya yang telah dikeluarkan selama proses usaha. Keuntungan usaha dalam dunia bisnis bisa negatif, artinya usaha merugi, positif berarti ada angka lebih sisa dari pendapatan dikurangi biaya-biaya, dan nol artinya antara pendapatan dan biaya menjadi balance. Keuntungan yang dibagikan adalah keuntungan bersih (net profit) yang merupakan lebihan dari selisih atas pengurangan total cost terhadap total revenue. a.2 Pengertian Revenue Sharing Revenue Sharing berasal dari bahasa Inggris yang terdiri dari dua kata yaitu, revenue yang berarti; hasil, penghasilan, pendapatan. Sharing adalah bentuk kata kerja dari share yang berarti bagi atau bagian. Revenue sharing berarti pembagian hasil, penghasilan atau pendapatan. Revenue (pendapatan) dalam kamus ekonomi adalah hasil uang yang diterima oleh suatu perusahaan dari penjualan barang-barang (goods) dan jasa-jasa (services) yang dihasilkannya dari pendapatan penjualan (sales revenue). Dalam arti lain revenue merupakan besaran yang mengacu pada perkalian antara jumlah out put yang dihasilkan dari kagiatan produksi dikalikan dengan harga barang atau jasa dari suatu produksi tersebut. Di dalam revenue terdapat unsur-unsur yang terdiri dari total biaya (total cost) dan laba (profit). Laba bersih (net profit) merupakan laba kotor (gross profit) dikurangi biaya distribusi penjualan, administrasi dan keuangan. Berdasarkan devinisi di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa arti revenue pada prinsip ekonomi dapat diartikan sebagai total penerimaan dari hasil usaha dalam kegiatan produksi, yang merupakan jumlah dari total pengeluaran atas
barang ataupun jasa dikalikan dengan harga barang tersebut. Unsur yang terdapat di dalam revenue meliputi total harga pokok penjualan ditambah dengan total selisih dari hasil pendapatan penjualan tersebut. Tentunya di dalamnya meliputi modal (capital) ditambah dengan keuntungannya (profit). Berbeda dengan revenue di dalam arti perbankan. Yang dimaksud dengan revenue bagi bank adalah jumlah dari penghasilan bunga bank yang diterima dari penyaluran dananya atau jasa atas pinjaman maupun titipan yang diberikan oleh bank. Revenue pada perbankan Syari'ah adalah hasil yang diterima oleh bank dari penyaluran dana (investasi) ke dalam bentuk aktiva produktif, yaitu penempatan dana bank pada pihak lain. Hal ini merupakan selisih atau angka lebih dari aktiva produktif dengan hasil penerimaan bank. Perbankan Syari'ah memperkenalkan sistem pada masyarakat dengan istilah Revenue Sharing, yaitu sistem bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana tanpa dikurangi dengan biaya pengelolaan dana. Lebih jelasnya Revenue sharing dalam arti perbankan adalah perhitungan bagi hasil didasarkan kepada total seluruh pendapatan yang diterima sebelum dikurangi dengan biaya-biaya yang telah dikeluarkan untuk memperoleh pendapatan tersebut. Sistem revenue sharing berlaku pada pendapatan bank yang akan dibagikan dihitung berdasarkan pendapatan kotor (gross sales), yang digunakan dalam menghitung bagi hasil untuk produk pendanaan bank.
b.Jenis-jenis Akad Bagi Hasil Bentuk-bentuk kontrak kerjasama bagi hasil dalam perbankan syariah secara umum dapat dilakukan dalam empat akad, yaitu Musyarakah, Mudharabah, Muzara’ah dan Musaqah. Namun, pada penerapannya prinsip yang digunakan pada sistem bagi hasil, pada umumnya bank syariah menggunakan kontrak kerjasama pada akad Musyarakah dan Mudharabah. 1. Musyarakah (Joint Venture Profit & Loss Sharing) Adalah mencampurkan salah satu dari macam harta dengan harta lainnya sehingga tidak dapat dibedakan di antara keduanya. Dalam pengertian lain
musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Penerapan yang dilakukan Bank Syariah, musyarakah adalah suatu kerjasama antara bank dan nasabah dan bank setuju untuk membiayai usaha atau proyek secara bersama-sama dengan nasabah sebagai inisiator proyek dengan suatu jumlah berdasarkan prosentase tertentu dari jumlah total biaya proyek dengan dasar pembagian keuntungan dari hasil yang diperoleh dari usaha atau proyek tersebut berdasarkan prosentase bagi-hasil yang telah ditetapkan terlebih dahulu. 2. Mudharabah (Trustee Profit Sharing) Adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. i. Kontrak mudharabah dalam pelaksanaannya pada Bank Syariah mendapat
nasabah
bertindak
pembiayaan
sebagai
usaha
atas
mudharib modal
yang
kontrak
mudharabah. Mudharib menerima dukungan dana dari bank, yang dengan dana tersebut mudharib dapat mulai menjalankan usaha dengan membelanjakan dalam bentuk barang dagangan untuk dijual kepada pembeli, dengan tujuan agar memperoleh keuntungan (profit). ii. Filosofi dasar dari mudharabah adalah untuk menyatukan capital dengan labour (Skill dan enterpreneur) yang selama ini senantiasa terpisah dalam sistem konvensional. Dalam mudharabah akan tampak jelas sifat dan semangat kebersamaan dan keadilan, Hal ini terbukti melalui kebersamaan dalam menanggung resiko kerugian yang
dialami proyek dan membagikan keuntungan pada waktu ekonomi sedang booming. (Perwataatmaja, 1999)
Mudharabah lebih cocok dalam perbankan Islam dibandingkan dengan syirkah. Syirkah hanya cocok unjtuk bank apabila bank tersebut berfungsi sebagai bank partisipan yang aktiv dalam menjalankan bisnis. Bagi bank, hal tersebut tidak praktis dan merupakan tindakan pemborosan, selain melanggar peraturan perbankan. Mudharabah bukan hanya cocok dengan bak syariah , namun fungsi pokok perbankan adalah memberikan modal kepada individu atau kelompok yang ingin berusaha, dan ini adalah mudharabah (rahman 436).
D. Mudharabah dan Bank Syariah Secara teknis, mudharabah adalah akad kerja sama usaha antra dua pihak,dimana pihak pertama
(shahibul mal) menyediakan modal, sedangkan
pihak lainnya menjadi pengelola. Karena sifatnya itulah mudharabah lebih praktis untuk dijalankan pada perbankan Islam dibandingkan dengan syirkah. Sesungguhnya, mudharabah sendiri dibagi menjadi dua, yaitu Mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Mudharabah mutlaqah adalah jenis mudharabah yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Sedangkan mudharabah muqayyadah adalah mudharabah yang diikat oleh waktu, jenis usaha ataupun tempat usaha. Aplikasi mudharabah dalam perbankan syariah dapat berupa : Pada sisi penghimpunan dana : •
Tabungan berjangka, dimaksudkan untuk tujuan umum, yang dapat dipakai untuk usaha apa saja yang tidak melanggar syariat. Misalnya deposito biasa.
•
Deposito spesial, dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk usaha tertentu saja.
Pada sisi pembiayaan : •
Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja untuk perdagangan, industri atau jasa
•
Investasi khusus, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul mal.
Manfaat Mudharabah : •
Bank akan menikmati peningkatan hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat
•
Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap , tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank sehingga bank tidak mengalami negative spread.
•
Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow sehingga tidak memberatkan nasabah.
•
Bank akan lebih selektif dan hati-hati mencari usaha yang bukan hanya sesuai dengan syariah, namun juga mempunyai prospek yang baik
E. Permasalahan Mudharabah Walaupun mudharabah dikatakan sebagai sesuatu yang ideal untuk perbankan Islam, dan mempunyai banyak keuntungan dan ” lebih baik” dibandingkan dengan siatem lainnya, namun ternyata mudharabah dalam kenyataaannya belum menjadi skema pembiayaan yang utama pada bank syariah. Berdasarkan data dari Internatioanl Assosiation of Islamic Bank (1996), skema mudharabah hanya diapakai sebesar 20% secara rata-rata pada bank Islam seluruh dunia. Islamic Development bank juga hanya memakai mudharabah pada sedikit poyeknya yang kecil. Kondisi perbankan syariah dalam menjalankan Mudharaba juga tidak terlihat baik. Berdasar statistik perbankan syariah pada Bank Indonesia, akad murabahah sekitar 70 persen dari total kredit. Di BRI, hampir 96 persen pembiayaan masih murabahah. Sementara di BSM, pembiayaan mudharabah mencapai 12 persen. (Republika, 19 Juli 2004). Beberapa permasalahan yang dihadapai sehingga mudharabah menjadi kurang berkembang, diidentifikasikan natara lain sebagai berikut : •
Pertama, kontrak profit loss sharing dikaitkan dengan agency problems manakala seorang pengusaha tidak mempunyai insentif untuk memberikan
usaha tetapi mempunyai insentif untuk melaporkan profit yang lebih rendah dibandingkan dengan pembiayaan pribadi dari manager. Argumen ini berdasarkan ide bahwa pihak-pihak pada transaksi bisnis akan melalaikan jika mereka dikompensasi kurang dari kontribusi marginal pada proses produksi, dan manakala ini terjadi pada kasus profit loss sharing, kaum kapitalis ragu-ragu untuk berinvestasi berdasarkan basis profit loss sharing. Sebagai contoh A meminjam uang pada bank syariah AZ kemudian ia melaporkan keuntungannya pada laporan laba rugi yang usahanya lebih rendah. Sehingga, tingkat profit-loss sharing yang diberikan
kepada
bank
lebih
rendah.
Kedua, kontrak profit loss sharing membutuhkan jaminan agar dapat berfungsi secara efisien. Sedikitnya jaminan hak property pada kontrak profit loss sharing menyebabkan kegagalan adopsi karena tidak ada aturan yang melandasi. Pada praktiknya di Indonesia, jaminan hak property atas profit-loss
sharing
belum
diatur
dengan
tegas
dan
jelas.
Ketiga, perbankan Islam menawarkan risiko yang lebih kecil dari pembiayaan
dibandingkan dengan perbankan konvensional. Hal ini
berdasarkan konsep mudharabah dan musharakah yang dianutnya. Tetapi seringkali pelaksanaannya manajemen asset dari mudharabah dan musharakah tidak sesuai ketentuan yang berlaku. Idealnya, dana pada perbankan syariah disalurkan melalui kegiatan investasi pada asset riil. Tetapi pada kenyataannya di Indonesia, pengelolaan asset pada perbankan syariah masih terpusat pada Sertifikat Wadiah Bank Indonesia.
Keempat, batasan peran investor pada manajemen dan dikotomi struktur keuangan dari kontrak profit loss sharing menimbulkan ketidak partisipasian. Mereka tidak berbagi kontrak berdasarkan partisipasi pengambilan keputusan. Disatu sisi terlihat hanya pihak manajemen yang mengelola
dana
sedangkan
investor
hanya
menikmati
hasilnya.
Kelima, pembiayaan ekuitas tidak tepat bagi pembiayaan proyek jangka pendek manakala dihadapkan pada tingkat risiko yang tinggi (efek diversifikasi waktu pada ekuitas). Pada kasus di Indonesia, dimana banyak pengelolaan dana perbankan syariah yang disalurkan melalui sertifikat wadiah bank Indonesia, menimbulkan risiko yang tinggi jika pembiayaan tersebut berjangka pendek dan lebih berisiko lagi jika bank syariah menyalurkan
pengelolaan
dana
melalui
Jakarta
Islamic
Index.
(Humayon A. Dar and John R. Presley, 2001)
Pada dataran teknis, kelemahan itu bisa jadi memang terjadi pada bank yang menerapkan mudharabah sehingga bank menjadi kurang serius menggarap mudharabah. Namun, jika ditelaah lebih lanjut, sesungguhnya kelemahan yang terjadi pada konsep mudharabah itu bisa dilihat dengan sebab sebagaimana kelemahan sharing yaitu preferensi dan asymmetric information. sebagai berikut Kelemahan yang pertama misalnya, terjadi karena adanya moral hazard dari pelaku usaha (Mudharib) yang cenderung untuk memaksimalkan keuntungan, sehingga return yang akan didapat oleh bank sebagai shahibul mal menjadi berkurang. Salah satu penyebab dari keengganan bank menerapkan mudharabah adalah faktor resikonya yang tinggi dan alasan kehati-hatian (Prudential). Faktor resiko yang tinggi menyebabkan pihak shahibul mal akan meminta jaminan. Masalah resiko yang besar sebenarnya lagi-lagi terpulang dari informasi yang kurang lengkap atau preferensi dari pihak yang terlibat. Resiko biasanya diakibatkan oleh dua hal, yaitu resiko yang sudah menjadi sunnatullah dalam berusaha dan resiko moral hazard pelaku usaha (mudharib). Resiko yang menjadi sunantullah walau tidak dapat dipastikan , namun dapat diantisipasi dengan perencanaan usaha yang baik. Namun jika resiko itu adalah moral hazard dari pelaku usaha, maka hal itu tentu menjadi masalah lain. Sebab lain
adalah
informasi yang tidak transparant yang disampaikan oleh mudharib kepada shahibul mal, sehingga informasi menjadi tidak berimbang. permasalahan tersebut adalah permasalahan yang terjadi pada sharing, yaitu tidak terjadinya informasi
yang berimbang antara shahibul mal dan mudharib (Asymmertik Information). Sebab lainnya adalah kinerja dari bank sayariah sendiri. Ini menyangkut preferensi dari pihak shahibul mal.(Bank)
F. Solusi Potensi masalah yang timbul dalam pelaksanaan mudharabah agar dapat mengatasi kelemahannya dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu (Muljawan, 2001) :
1. Peningkatan kualitas preferensi Mudharib dalam menerima amanah dan shahibul mal 2. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak seperti penyusunan kontrak yang lebih terperinci dan pemakaian benchmarking 3. Penerapan standar akuntansi yang memadai
Tiga hal tersebut dijabarkan dibawah ini : a. Preferensi individu dalam melakukan kontrak mudharabah yang akan meningkatkan kualitas transaksi sehingga menyebabkan kontrak mudharabah menjadi optimal antara lain : •
Transparansi dalam berkontrak
•
Konsep penghargaan terhadap waktu , kerjakeras dan produktifitas
•
Amanah dalam mengelola modal yang diberikan
Pada mudharabah, apabila syarat tersebut diatas dapat dijalankan oleh individu, maka dapat dikatakan bahwa kontrak mudharabah tersebut dapat dikatakan menghasilkan kualtias yang terbaik. Peningkatan preferensi individu dalam konsep utility akan mengakibatkan perubahan pada proses pengembilan keputusan dalam usaha. Kualitas preferensi individu seharusnya dalam Islam menjadi suatu hal yang diunggulkan. Konsep etik moral dalam Islam, adalah konsep bagaimana suatu individu dapat berbuat sebaik mungkin dan dapat mendatangkan maslahat sebanyak mungkin. Peningkatan kualitas preferensi dapat dilakukan dengan melakukan strategic alliance dengan semua pihak yang dapat
berperan dalam menjaga nilai-nilai moral, antara lain, lembaga pendidikan ekonomi Islam, sebagai penyuplai para pelaku ekonomi yang memiliki preferensi yang baik, para ulama dan tokoh agama, lembaga pendidikan agama, dan organisasi masyarakat yang berperan dalam meningkatkan moral masyarakat. Konsep peningkatan preferensi individu ini adalah konsep bersama yang saling terkait, tidak hanya tugas bank saja, namun ini adalah tugas dari seluruh masyarakat muslim yang peduli. b. Peningkatan kualitas transparansi dalam kontrak mudharabah. Akses terhadap informasi yang berimbang dapat menurunkan intensitas moral hazard serta adverse selection dalam presos penentuan transaksi yang optimal.
Pembuatan kontrak yang terperinci sehingg mendorong transparansi
informasi dapat menjadi satu solusi. Hal
lain yang penting adalah adanya
benchmarking pada semua sektor usaha. Bench marking memudahkan semua pihak untuk menyetujui kontrak lebih fair. Sebagai contoh , bila talah tersedia benchmarking untuk usaha penjualan buku, misalnya
rata-rata margin
keuntungan sebesar 20%, Maka benchmarkiong ini dapat menjadi acuan bagi kedua belah pihak yang berkontrak, sebagai acuan ekspected return. c. Salah satu syarat yang cukup menentukan keberhasilan penerapan konsep mudharabah dalam masyarakat secara luas adalah sistem akuntansi yang selain sesuai dengan konsep syariah juga harus dapat menentukan level resiko dari transaksi. Sistem aakuntansi dan keuangan yang baik dan mendorong konsep syariah akan menjadi salah satu mekanisme kontrol yang baik dalam menghasilkan kontrak mudharabah.
G. Kesimpulan Dari pembahasan diatas kita dapat menyimpulkan hal-hal sebagai berikut : 1. Sharing adalah sesuatu yang sangat dianjurkan dalam Islam agar kita dapat saling membantu dalam menanggung resiko usaha tentu yang sesuai dengan syariah
2. Permasalahan kontrak sharing yang optimal adalah permasalahan preferensi dari masing-masing pihak yang terlibat, dan permasalahan Asymmetric information. 3. Kontrak Sharing dapat optimal jika preferensi masing-masing pihak yang terlibat mencapai titik pareto optimum, dan informasi yang didapat masing-masing pihak berimbang. 4. Nilai-nilai yang terkandung dalam Islam dapat menjadi satu keunggulan preferensi individu muslim. 5. Mudharabah yang termasuk
salah satu jenis sharing, yang saat ini
memiliki banyak kendala dalam perkembangannya sehingga shahibul mal/bank enggan memakai skema kontrak ini. 6. Solusi yang diajukan dalam sharing, dapat menjadi solusi pula untuk mengoptimalkan kontrak mudharabah agar optimal.
*) Penulis adalah kandidat doktor pada UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
DAFTAR PUSTAKA Antonio, M. Syafii .2001. Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek. Gema Insani Press. Jakarta Humayon A. Dar and John R. Presley. 2001.Lack of Profit Loss Sharing in Islamic Banking: Management and Control Imbalances ..Loughborough University Mankiw, Gregory, . 2001. Principle of Economic. Harcourt Inc. Orlando Muljawan, Dadang. 2001. Bank Syariah, Filosofi dan Operasi. Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia Perwataatmadja, Karnaen. 1999. Apa dan Bagaimana Bank Islam .Dana Bakti Primayasa , Jogjakarta Rahman, Afzalur.1995. Doktrin Ekonomi Islam. Dana Bakti Wakaf. Jogjakarta Sukirno, Sadono . 2002. PengantarTteori Mikroekonomi . RajaGrafindo Perkasa. Jakarta, Siddiqi, M. Nejatullah. 1996. Kemitraan Usaha dan Bagi Hasil dalam Hukum Islam. Dana Bakti Primayasa, Jogjakarta. Republika - Senin, 19 Juli 2004 http://www.ekonomisyariah.org/