PENGANTAR Wanita Afganistan. Sebuah lembar surat kabar agak lusuh. Ada beberapa foto yang dipajang apik. Aku tergerak oleh salah satunya. Sebuah foto dari para gadis Afganistan yang duduk di bangku sekolah. Tampak serius mengerjakan tugastugas kuliah. Oh ... untuk pertama kalinya selama kurang lebih enam tahun, aku melihat wajah gadis-gadis Afganistan. Mereka bersinar-sinar. Aku penuh kekaguman, mengamatinya. Rezim Taliban, dengan segala alasan suci yang diambil dari Kitab Sucinya, telah mengurung wanita dalam suatu cara yang sulit dipahami. Aku tidak mau jatuh dalam diskusi dan perdebatan interpretasi mengenai Kitab Suci. Tetapi, satu-dua pertanyaan bermunculan: bolehkah manusia mengharuskan sesamanya untuk tidak boleh ini, tidak boleh itu? Dalam suatu cara yang begitu mutlak dan telak? Juga bahkan apabila itu didasarkan pada Kitab Suci? Ada pula informasi. Para wanita Afganistan selama ini tidak boleh sekolah. Tidak boleh dirawat oleh dokter laki-laki bila sang wanita itu sakit. Tidak boleh melepas burkha (penutup tubuh) di tempat umum. Dengan kata lain, tidak boleh tampil wajar, apa adanya. Tidak boleh dibonceng, bahkan oleh sang suami. Tidak boleh mendengarkan musik dan melihat film. Yang terakhir ini berlaku juga untuk kaum laki-laki. Dan, tidak boleh entah apa lagi. Setiap agama memiliki peraturan. Benar. Tetapi peraturan agama tidak pernah boleh menindas manusia. Peraturan tidak pernah untuk peraturan. Atau lebih tepat, manusia bukan untuk peraturan. Tetapi peraturan untuk manusia. Peraturan bisa mengatur sejauh manusia bisa dan mungkin menaatinya secara manusiawi. Manusia itu dari kodratnya bebas. Dari kodratnya artinya dari sejak awal penciptaannya. Oleh Tuhan. Manusia itu bebas. Para wanita Afganistan bebas. Kaum laki-lakinya juga. Pun kita semua, tak terkecuali, bebas. Dalam kebebasan, manusia tampil sebagai pribadi yang bertanggung jawab. Tuhan menciptakan manusia bebas agar dirinya bertanggung jawab. Agar manusia mampu mengekspresikan dirinya, pikirannya, kemauannya, tindakannya, dan keseluruhan hidupnya menurut kebebasannya untuk menampilkan ketaatan iman. Ketaatan iman itu personal. Bukan massal. Karena Tuhan personal, artinya berkomunikasi secara pribadi dan mendalam, Dia juga menghendaki relasi personal. Dan, ke-personal-an manusia hanya mungkin, apabila dia memiliki kebebasan. Studia Philosophica et Theologica edisi ini mengajukan pertama-tama diskusi filosofis etis tentang kebebasan wanita. Sebuah tema yang penting dalam filsafat sosial. Di samping itu, Studia juga mengetengahkan artikel-artikel teologis-filosofis tentang Yesus sebagai Pusat Hidup, jiwa manusia (dalam Tertulianus, seorang teolog sekaligus filosof patristik), sejarah Gereja, konsep nasionalisme, dan pluralitas dalam teologi Islam. Selamat membaca. Ketua penyunting
i
Studia Philosophica et Theologica ISSN 1412-0674 Vol. 3 No. 1 Maret 2003 Hal. 1 - 78 DAFTAR ISI Pengantar ...................................................................................................................
i
ARTIKEL Kebebasan Perempuan Dalam Wacana Etika Sosial Achmad Charris Zubair.................................................................................
1-16
Yesus Pusat Hidupku M. Fidelis Sigmaringen..................................................................................
17-30
Jiwa Menurut Tertulianus: Suatu Polemik Filosofis Edison R.L. Tinambunan ...............................................................................
31-44
Merancang Sejarah Gereja Yang Solider Rafael Isharianto ...........................................................................................
45-54
Rethinking Nationalism Robertus Wijanarko .......................................................................................
55-65
Gagasan Teologi Pandangan Islam Terhadap Pluralitas Masyarakat Bangsa Imam Ghazali Said ........................................................................................
66-71
TELAAH BUKU Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara Frans Nay R. ..................................................................................................
72-74
Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas F.X. Kurniawan Dwi M.U..............................................................................
75-77
Biodata Kontributor ....................................................................................................
78
ii
KEBEBASAN PEREMPUAN DALAM WACANA ETIKA SOSIAL*
Achmad Charris Zubair Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Abstract: Every human being is born free. The human freedom flows from his/her natural existence. In society it is not always that the natural freedom of woman is recognized. The article searches carefully the philosophical ethics of women’s freedom. It asserts that the problem of women’s freedom is not really in the philosophical but rather the social point of view. The arguments put forward are based especially on philosphical and theological perspectives of Islamic world. Keywords: kebebasan, perempuan, etika sosial, feminisme-maskulinisme.
Pada dasarnya, penciptaan manusia dan juga makhluk lain, berdasarkan jenis kelamin laki-laki dan perempuan merupakan rahasia Allah.1 Sehingga di sini, kita perlu menegaskan kembali bahwa dalam jenis kelamin yang secara prinsip benar dalam kemakhlukan adalah laki-laki dan perempuan. Bukan di antara perempuan dan laki-laki, seperti banci atau waria. Gejala yang terjadi sekarang di mana banci, waria, homoseksualisme, lesbianisme, ingin diakui sebagai sesuatu yang “normal” dan “wajar” perlu diluruskan kembali, sebagai penyimpangan dan penyakit, harus ada upaya penyembuhan. Walaupun sekarang juga mulai muncul pandangan yang mengatakan bahwa homoseksualisme atau lesbianisme, sebagai bentuk deviasi karena mengingkari secara sadar kebutuhan akan relasi dengan jenis kelamin berbeda dikatakan sebagai bukan deviasi atau penyimpangan melainkan orientasi seksual. Manusia secara jasmani diciptakan dengan alat dan jenis kelamin yang berbeda. Seharusnya akan menumbuhkan konsekuensi rohani yakni kepribadian yang berbeda pula. Kelaki-lakian dan keperempuanan tidak sekedar perbedaan jasmani melainkan pula mental spiritual, perbedaan kadar otonomi dan tentu saja perbedaan kadar tanggung jawabnya. Sehingga, diperhitungkan pula bagaimana lakilaki dan perempuan memberikan tanggapan terhadap alam dan dunianya atau
*
1
Disampaikan pada Konferensi HIDESI 2003 dan merupakan ringkasan hasil penelitian yang dibiayai melalui Bagian Proyek Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia (Kajian Wanita) UGM dengan nomor kontrak: 020/LIT/BPPK-SDM/IV/2002. Hai sekalian manusia, bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertaqwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu (An Nisaa’ : 1).
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
1
menghayati hubungannya dengan Tuhan itu sendiri. Laki-laki dan perempuan bukan berlawanan tetap berpasangan dalam rangka menunjang tugas kemanusiaan itu sendiri. Sangat menarik apa yang diungkapkan oleh Purwa Hadiwardoyo dalam bukunya Moral dan Masalahnya, kita hidup sebagai laki-laki atau perempuan, sejak dalam kandungan sampai kematian. Maksud utama penciptaan laki-laki dan perempuan agar mereka hidup bahagia karena saling melengkapi, saling tertarik lalu mau bekerja sama untuk membina kehidupan. Seks yang diwujudkan secara jasmani dengan alat kelamin merupakan anugerah Tuhan yang membuat hidup ini membahagiakan. Seks dan seksualitas diciptakan oleh Tuhan dengan kemampuan dan keterarahan kodrati yang jelas.2 Mengacu pada pandangan di atas, maka secara kodrati tidak ada yang perlu digugat atau “diperjuangkan” oleh perempuan atau bahkan juga oleh laki-laki dalam meniti tugas-tugas kemanusiaannya. Perbedaan laki-laki dan perempuan, yang karena itu melahirkan karakteristik tugas laki-laki dan perempuan, tidak perlu diperdebatkan. Sebab jenis kelamin kita ini, dengan segala konsekuensinya, secara prinsipil telah permanen dan tidak bisa diubah-ubah semau kita. Sehingga kalau perempuan mempunyai organ reproduksi yang memungkinkan kehamilan, melahirkan, menyusui dan karena itu secara kodrati perempuan lebih tepat mengasuh anak daripada lakilaki, laki-laki tidak perlu iri hati. Demikian pula sebaliknya kalau laki-laki, karena tidak “terbebani” tugas-tugas reproduksi, maka ia terkesan lebih “bebas”, perempuan tidak perlu merasa tersaingi perannya. Agama (Islam) secara jelas mengatur bahwa laki-laki adalah pemimpin (qawwamun3 ) perempuan dalam kehidupan rumah tangga.4 Tentu saja konsekuensi dari peran kepemimpinan adalah sejauh mana ia mampu berbuat adil. Perlu dicatat pula bahwa aturan agama tersebut merupakan prinsip dasar realitas yang bersifat umum, sehingga kalau kita melihat realitas kasus individual maka tidak sedikit pula perempuan yang melebihi laki-laki dalam ilmu, amal, bahkan dalam mencari nafkah.
2 3
4
2
Hadiwardoyo, 1990, p. 42-4. Para musafir memberi penjelasan beragam tentang kata qawwamun. Al Thabari menegaskan bahwa qawwamun adalah penanggung jawab (ahl al-qiyam). Ibn Abbas mengartikan sebagai pihak yang memiliki kewenangan (musallathum) untuk mendidik perempuan. Al-Zamakhsyari menekankan bahwa kata itu berarti laki-laki harus melaksanakan amar ma’ruf nahy al-munkar. Muhammad Asad mengartikan sebagai menjaga sepenuhnya, karena qawwamun adalah bentuk intensif dari qa’im. Abdullah Yusuf Ali menterjemahkan sebgai pelindung. Lih., Syafrudin, 1994 : 5. Kaum laki-laki adalah qawwamun (pemimpin) bagi perempuan, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian lain, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri saat (suami) tidak hadir oleh karena Allah telah memelihara mereka. Perempuan-perempuan yang kamu kawatiri nusyusnya (pelanggaran kewajiban suami isteri), nasihatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi Mahabesar (An Nisaa’ 34).
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Tekanan dari upaya pembebasan perempuan sejak dulu hingga sekarang mengalami perubahan dan perkembangan. Dulu ketika poligami masih terbuka, terutama tertuju kepada persoalan persamaan hak dalam konteks peran perempuan sebagai isteri dan atau ibu, di antara isteri-isteri yang lain. Sekarang dalam jaman pembangunan ini, berkisar pada persoalan integrasi peran perempuan sepenuhnya sebagai sumber daya manusia dalam kegiatan pembangunan. Dalam konteks global, karena pengaruh dari paham-paham yang berkembang di dunia, perempuan cenderung untuk menyamakan hak dan kewajiban dalam seluruh bidang kehidupan, nyaris tidak membedakan realitas kodrati sebagaimana yang telah disebutkan dalam uraian di depan. Allah mempunyai rencana Mahabesar dan rahasia, dengan menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, laki-laki dan perempuan. Usaha untuk menangkap makna rencana tersebut, mendudukan kembali pasangan tersebut sesuai dengan maksud Allah dalam penciptaan, merupakan tolok ukur dari kegiatan apa saja yang mencoba mempersoalkan peran manusia baik laki-laki maupun perempuan.
1.
Etika Sosial Etika adalah ilmu yang membahas tentang moralitas atau tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas. Etika merupakan ilmu yang menyelidiki tingkah laku moral.5 Moralitas merupakan dimensi nyata dalam kehidupan manusia, baik pada perseorangan maupun sosial. Bahkan kita juga dapat mengatakan bahwa moralitas hanya terdapat pada manusia dan tidak ada pada makhluk lain. Bertens lebih lanjut menulis, bahwa banyak filsuf berpendapat bahwa manusia adalah binatang plus: Binatang dengan ditambah satu perbedaan khas yakni rasio, bakat untuk menggunakan bahasa atau lebih luas untuk menggunakan simbol, kesanggupan untuk tertawa, membikin alat dan sebagainya. Mungkin semua ciri ini dapat diterima sebagai sifat-sifat khas manusiawi, namun sekurang-kurangnya harus ditambah satu lagi, yakni kesadaran moral. Moralitas merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada makhluk di bawah tingkat manusiawi.6 Baik-buruk, benar-salah memang bersifat universal namun keuniversalan nilai dan norma dalam hidup manusia pada implementasinya tidak dapat dilepaskan dari konteks historis kultural manusia. Dalam konteks wacana gender, pada dasarnya secara universal tidak ada nilai dan norma moral yang meragukan kebaikan dan kebenaran martabat manusia pada umumnya. Namun secara kultural harus diakui terdapat pandangan yang mengembangkan kebenaran dan kebaikan berdasarkan jenis kelamin tertentu, yang jelas diskriminatif. Dalam etika sosial ada gagasan bahwa semua manusia memiliki hak-hak fundamental yang bersifat egaliter dan universal. Tetapi ternyata dalam dunia manusia juga dikembangkan satu pandangan bahwa ada manusia kelas rendah seperti
5 6
Bertens, 1999 : 15. Ibid., p. 13
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
3
perempuan, anak-anak, orang berkulit hitam, dan orang yang sakit jiwa, yang cenderung diperlakukan seolah-olah tidak memiliki hak yang sama dengan yang lainnya. Bahkan, Jenny Teichman menulis realitas yang mengejutkan, Declaration of Independent Amerika merupakan pembelaan yang mengharukan akan hakhak kodrati, namun dari beberapa penandatangannya adalah pemilik budak-budak. Lebih lanjut mereka dan pengganti-penggantinya menolak, selama 150 tahun, untuk memberikan kepada kaum perempuan hak-hak legal yang sama dengan kaum laki-laki. Keadilan harus ditegakkan atas dasar kaidah bahwa semua orang memiliki hak-hak dasar dan kodrati yang sama. Setiap orang harus diartikan setiap makhluk manusia. Perbedaan antara makhluk manusiawi dengan yang lain bersifat kodrati dan rekayasa. Tetapi perbedaan antara taraf-taraf inteligensi, antara mempunyai ingatan yang koheren atau tidak, antara waras dan tidak waras adalah soal derajat bukan soal jenis. Lebih buruk lagi perbedaan-perbedaan ini mempunyai dimensi sosial, karena didefinisikan menurut cara yang merefleksikan fakta kebudayaan dan biologis.7
2.
Laki-Laki Dan Perempuan Farid Wajidi menulis, dengan mengutip pandangan Rifaat Hasan, bahwa ajaran agama yang dianut banyak orang dan sangat diyakini kebenarannya oleh para penganutnya, sering kali memang cenderung “memenangkan” laki-laki. Pandangan agama yang meremehkan perempuan berkembang dan menjadi pandangan yang dominan disebabkan ajaran agama tersebut dirumuskan dan ditransmisikan dalam struktur masyarakat patriarkal, di samping karena seluruh teks keagamaan pada masa formatif agama-agama ditulis oleh para ulama yang berjenis kelamin laki-laki.8 Rifaat lebih lanjut menerangkan bahwa struktur masyarakat patriarkal ini menyimpan tiga asumsi dasar. Pertama, manusia pertama adalah laki-laki dan perempuan diciptakan darinya dan perempuan adalah makhluk sekunder. Kedua, walaupun perempuan adalah makhluk kedua dalam proses penciptaan, ia adalah makhluk pertama dalam perbuatan dosa, dialah yang menggoda Adam sehingga akhirnya terusir dari surga. Ketiga, perempuan bukan saja dari laki-laki tetapi juga untuk laki-laki. Asumsi ketiga ini berimplikasikan pada munculnya anggapan bahwa perempuan tidak mempunyai hak untuk mendefinisikan status, hak dan martabatnya; kecuali apa yang telah disediakan kaum laki-laki untuknya. Kehadiran perempuan di dunia ini bersifat instrumental bagi kepentingan laki-laki dan bukan fundamental.9 Pada dasarnya tuntunan atas kebebasan manusia dapat muncul ketika terjadi ketidakadilan, atau ketika ada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil. Muncul
7 8 9
4
Teichman, 1998, p. 43-4. Dlm., Fauzie Ridjal, dkk. (ed.), 1993 : 13. Ibid. Loc.Cit.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
isu-isu emansipasi perempuan, tuntutan atas kemitrasejajaran laki-laki perempuan, juga didasarkan atas terjadinya, baik subjektif maupun objektif, ketidakadilan. Ketidakadilan yang dirasakan kaum perempuan termanifestasi dalam hal:10 Pertama, adanya perbedaan sistem imbalan dan penghormatan atas pekerjaan berdasarkan perbedaan laki-laki perempuan. Pekerjaan laki-laki akan digaji lebih besar daripada pekerjaan perempuan, kendatipun jenis dan beban pekerjaannya sama. Pekerjaan perempuan seperti perawat, sekretaris, dinilai lebih rendah dibandingkan pekerjaan laki-laki. Pekerjaan sebagai ibu rumah tangga, bahkan nyaris menjadi perbudakan terselubung. Maggie Humm, dalam bukunya Ensiklopedia Feminisme menulis: Pendapatan laki-laki dibayarkan dengan asumsi bahwa lakilaki adalah satu-satunya atau pendukung utama ekonomi keluarga.11 Menurut Heidi Hartman, upah keluarga adalah landasan dari pembagian kerja secara seksual yang sekarang ini, karena istilah ini didasarkan pada gagasan bahwa perempuan tidak diharapkan memberikan sumbangan ekonomi untuk keluarga dan bahwa prioritas perempuan adalah untuk tanggung jawab domestik. Realitasnya hanya sedikit perempuan yang mirip dengan mitos ini. Kedua, terjadinya subordinasi pada perempuan. Dalam rumah tangga, masyarakat, dan negara banyak kebijakan yang mengabaikan kaum perempuan. Perempuan tidak boleh sekolah tinggi, tidak boleh memimpin partai, tidak dipercaya untuk memberikan kesaksian, bahkan tidak mendapat warisan yang memadai, dan itu dilakukan pula dengan alasan agama. Maggie Humm menulis bahwa, perempuan merupakan gambaran sentral dari semua struktur dominasi interpersonal, namun feminis memilih lokasi dan penyebab subordinasi yang berbeda.12 Kira-kira dalam urutan yang kronologis, teori feminis kontemporer mulai dengan pernyataan Simone de Beauvoir bahwa karena laki-laki memandang perempuan sangat berbeda secara mendasar dibandingkan dia melihat dirinya sendiri, maka perempuan direduksi ke status kelas kedua dan oleh karenanya berada dalam status subordinasi. Kate Millet mengatakan, subordinasi perempuan karena perempuan merupakan kelas jenis kelamin yang tergantung di bawah dominasi patriarkal. Shulamith Firestone meletakan subordinasi perempuan dalam keterbatasan perempuan dalam reproduksi dan kelahiran anak. Feminis lain memandang kontrol laki-laki atas seksualitas dan dominasi laki-laki atas alam menjadikan perempuan tersubordinasi. Namun nampaknya proyek feminisme adalah mengakhiri subordinasi perempuan, Jean Baker Miller menawarkan kemungkinan dengan menyatakan bahwa subordinasi perempuan telah mengembangkan keahlian khusus, kerja sama dan kepekaan, yang dapat menjadi titik awal psikologis untuk menciptakan masyarakat baru. Ketiga, Terjadinya stereotype terhadap jenis kelamin tertentu sehingga menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan. Misalnya karena ada keyakinan
10 11 12
Lih., Fakih, 1996, p. 6-7. Maggie Humm, Ensiklopedia Feminisme, terjemahan oleh, Mundi Rahayu, Pustaka Baru, Yogyakarta, 2002, p. 148. Ibid., p. 459-60.
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
5
masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama maka setiap pekerjaan perempuan dinilai sekedar ‘tambahan’ dan oleh karena itu boleh dibayar rendah. Maggie Humm menuliskan bahwa: Penjelasan feminis mengenai stereotype ini diberikan oleh Inge Boverman dan koleganya, yang karya-karyanya telah banyak dikutip Konggres Amerika. Mereka menyimpulkan bahwa pemikiran penstereotipan mengenai jenis kelamin yang berkaitan dengan ciri pribadi sangat luas cakupannya, sifat-sifat yang baik cenderung diletakan pada laki-laki sehingga laki-laki mampu membentuk kelompok yang lebih unggul, sementara ciri perempuan membentuk kelompok yang hangat ekspresif. Stereotip ini ditemukan di sekolah, bacaan anakanak, gaya bahasa, dan pekerjaan.13 Keempat, kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik seperti perkosaan, pemukulan, sampai ke bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan, dilakukan karena laki-laki merasa lebih kuat daripada perempuan. Bahkan kalau ada pemerkosaan yang disalahkan justru perempuannya, mengapa ia keluar malam, mengapa ia memakai rok mini, dan sebagainya, kendatipun banyak pula pemerkosaan justru bukan karena unsur kecantikan tetapi dominasi kekuasaan laki-laki, sehingga banyak anak-anak yang secara seksual belum menarik justru menjadi korban pemerkosaan. Konstruksi sosial genderlah yang menurut A. Nunuk Prasetyo melahirkan berbagai bentuk kekerasan seks seperti: Pelecehan seksual, pemerkosaan dan incest. Perilaku suami memaksakan kehendaknya dalam hubungan seks dengan isterinya, pemukulan isteri oleh suami, penganiayaan, pembunuhan. Perilaku melecehkan dengan meremehkan, intimidasi, manipulasi, mengeluarkan kata-kata tidak senonoh. Pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan yang tidak adil. Pranata ekonomi yang mengklaim perempuan tidak produktif. Pranata agama sangat diskriminatif terhadap perempuan, perempuan dilecehkan dalam kemampuannya memimpin umat. Pranata hidup bermasyarakat, perempuan dilecehkan dalam pengambilan keputusan, sehingga perempuan selalu dalam posisi melaksanakan keputusan.14 Kelima, keyakinan bahwa peran gender perempuan adalah mengelola rumah tangga, maka banyak perempuan menanggung beban kerja lebih banyak dan lama. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi perempuan yang juga bekerja, sebab ia merasa bersalah kalau tidak mampu menyelesaikan urusan rumah tangga, sementara laki-laki merasa urusan rumah tangga berada di luar tanggung jawabnya. Nunuk Prasetyo Muniarti menulis, bahwa ideologi gender sebagai pandangan hidup manusia telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, termasuk kehidupan beragama. Melalui budaya masyarakat dikonstruksikan secara gender seperti: pembagian kerja. Perempuan kerja feminin, ringan, teliti, rapi, dan sebagainya; lakilaki maskulin, kasar, keras, dan sebagainya. Stereotip, perempuan diberi label feminim, laki-laki diberi label maskulin. Ruang lingkup kegiatan perempuan domestik,
13 14
6
Maggie Humm, Op.Cit., p. 458. 1995 : 12.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
laki-laki publik. Fungsi perempuan reproduktif, laki-laki produktif. Laki-laki pencari nafkah utama, perempuan pencari nafkah tambahan.15 Jelas di sini persoalah ketidakadilan, dan hal itu amat berkaitan dengan masalah otonomi, kemandirian manusia dalam mengambil keputusan-keputusan tindakannya. Ketidakadilan terjadi karena salah satu pihak merasa kuat dan berkuasa merampas hak untuk mengambil keputusan secara otonom pihak lain. Sehingga persoalan mendasar yang segera harus dipecahkan sebenarnya adalah memberikan keluasan dan kesempatan otonomi bagi semua manusia dalam pengambilan keputusan tindakannya.
3.
Transformasi Sosial Budaya Pembebasan Perempuan Penulis dalam hal ini lebih menekankan dalam wacana etika sosial yang memperluas kadar otonomi perempuan sebagai manusia, daripada mempersoalkan apakah perempuan harus tampil ke depan atau cukup di belakang saja. Akar persoalan yang diperlakukan tidak adil terhadap perempuan justru semakin memuncak dan berbahaya kalau perempuan tidak menyadari bahwa pihaknya telah diperlakukan tidak adil oleh laki-laki. Dilecehkan oleh laki-laki, tetapi tidak merasa karena hati dan kesadarannya telah tergiur dengan jebakan materi. Bahkan, dalam arti tertentu “merasa bangga” dengan keputusan tindakannya. Tidak sedikit perempuanperempuan muda yang merasa “bangga” ketika ia bisa tampil dalam publikasi lakilaki dengan mempertontonkan paha dan dadanya. Tidak sedikit perempuanperempuan yang kendatipun tidak rela terpaksa menjadi tenaga kerja di pabrikpabrik, di industri-industri, di pasar-pasar, di kantor-kantor, bahkan menjadi tenaga kerja di luar negeri, sehingga sering kali menjadi korban pelecehan laki-laki, karena di rumahnya terdapat laki-laki “konyol”, “pemalas”, yang tidak mau memeras keringat untuk keluarganya. Dari luar perempuan-perempuan tersebut nampak hebat sebagai perempuan karier, bahkan ada teman saya yang aktif dalam kegiatan sosial, ia dikenal sebagai pekerja sosial teladan, tetapi dorongan untuk itu didasarkan atas pelampiasan karena suaminya ketahuan memiliki pacar gelap (Wil). Dorongan untuk tampil ke depan yang didasarkan atas keterdesakan ekonomi, keterdesakan selera pasar, emosi, jelas tidak mengacu pada otonomi perempuan selaku manusia. Pada dasarnya ini merupakan bentuk-bentuk perbudakan perempuan yang sangat berbahaya karena justru tidak disadari oleh yang bersangkutan. Bandingkan semua itu dengan seorang ibu rumah tangga yang secara iklas menuaikan tugasnya. Anak-anaknya semua berhasil dalam hidupnya, ia memilih secara otonom peran dan fungsinya. Suaminya bertanggung jawab dari segi ekonomi maupun sosial, sehingga ia mencurahkan seluruh hidupnya untuk urusan rumah tangganya. Ia tidak terkenal di masyarakat luas, ia hanya dikenal di lubuk hati paling
15
A. Nunuk Prasetyo, dlm., Suparman Marzuki, dkk. (ed.), 1995, p. 11.
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
7
dalam suami dan anak-anaknya. Ia bukan tipe perempuan karier, tetapi jelas ia lebih memiliki otonomi sebagai manusia dibandingkan dengan yang dicontohkan di atas. Persoalan menjadi lain ketika seorang perempuan tampil berdasarkan dorongan ingin mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, bukan karena tekanan yang lain. Beberapa hal yang harus kita lakukan dalam rangka transformasi sosial budaya, adalah sebagai berikut: Pertama, melakukan transformasi sosial budaya yang berani menggugat hegemoni laki-laki. Sejauh mana peran perempuan sejajar atau belum sejajar dengan laki-laki dalam otonomi pilihan keputusan tindakan. Sebagai perempuan, baik mengurusi rumah tangga (domestik), organisasi maupun karier, sejauh mana perempuan bukan subordinasi laki-laki dalam arti yang luas. Kedua, kalau perempuan ingin setara dengan laki-laki, bukan dalam arti kodrati, diperlukan kemauan dan kemampuan untuk mengambil alih kualitas kelaki-lakian agar mampu bersaing secara sehat dengan laki-laki. Untuk mendukung ini jelas diperlukan restrukturisasi sistem kamasyarakatan dalam arti luas.
4.
Otonomi Perempuan Dalam Wacana Teologis Menurut Ghazali Anwar,16 persoalan-persoalan yang didiskusikan oleh para feminis muslim kontemporer adalah berbagai hukum yang oleh para fuqaha klasik diklaim sebagai hukum yang berlandaskan ayat-ayat Al Qur’an. Seperti status personal, termasuk poligami, hukuman fisik oleh suami terhadap isteri, perceraian sepihak di luar hukum oleh suami, mas kawin, hak memelihara anak, tunjangan anak, hukum waris, tata cara berpakaian, dan akses perempuan ke ruang-ruang publik. Juga persoalan kepmimpinan dalam ibadat. Tanggapan atas persoalan tersebut dapat digolongkan menjadi: Pertama, tanggapan apologis, memisahkan antara tak dapat dipungkirinya andanya perbedaan kebutuhan dan keinginan laki-laki dengan perempuan yang dipahami dan dilayani oleh ayat-ayat Al Qur’an dengan praktek umum dalam berbagai komunitas muslim yang melayani atau tidak memenuhi seluruh hak bagi perempuan sebagaimana telah tersurat dalam Qur’an dan Hadis. Argumen bahwa kebutuhan dan keinginan laki-laki dan perempuan berbeda, barang kali bagi kebanyakan feminis terasa sebagai cara untuk mempertahankan lembaga-lembaga dan strukturstruktur yang bersifat seksis. Namun mereka juga bersi keras bahwa Qur’an telah memberikan hak-hak perempuan tanpa disadari oleh perempuan itu sendiri. Bahwa laki-laki telah merampas hak-hak itu dari perempuan atau perempuan sendiri menyerahkan hak-haknya kepada laki-laki adalah akibat ketidakpahaman mereka terhadap Qur’an. Metode yang dipakai adalah metode filologi dan kontekstual. Penekanannya pada upaya mendidik perempuan tentang makna dan tafsiran atas ayat-ayat Qur’an. Yang jelas tanggapan ini tidak mengancam komunitas muslim yang konservatif dan merupakan bentuk “aman” dari feminisme Islam.
16
8
Lih., Wacana Feminis Teologis, Zakiyudin Baidhawy, ed., Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1997, p. 3-6.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Kedua, tanggapan reformis, bagi para reformis masalah utama adalah perbedaan antara teks-teks otoritatif dengan penafsirannya. Kaum reformis lebih memiliki kesadaran akan keterlibatan mereka dalam menafsirkan teks, serta dapat menggugat atau mempertanyakan tafsiran-tafsiran tradisional yang sudah ada. Ketiga, tanggapan transformasionis, dimaksudkan untuk memperbarui tradisi secara menyeluruh, selagi masih berada dalam kerangka kerja Islami yang dirumuskan secara tradisional, digunakan berbagai strategi hermeneutis untuk menciptakan ruang penafsiran dan untuk mempertemukan berbagai pertentangan yang muncul, hal-hal yang membingungkan atau ketegangan yang timbul. Keempat, tanggapan rasionalis, beberapa feminis Muslim seperti Rifaat Hasan dari Pakistan menyatakan bahwa karena Allah Mahaadil dan Mahapengasih, maka firmanNya hanya bisa ditafsirkan dalam istilah yang selaras dengan kualitas keilahian tersebut. Feminis yang lain seperti Fazrul Rahman juga menggunakan tanggapan rasionalis ini untuk menulis artikel-artikel hukum yang berkaitan dengan perempuan dengan cara pandangannya yang liberal. Kelima, tanggapan rejeksionis, Tasleema Nasreen dari Bangladesh menyatakan adanya kebutuhan untuk merevisi atau menolak sebagian ayat Qur’an yang dianggapnya misoginis atau membenci perempuan atau seksis. Gejala ini mengisyaratkan adanya perkembangan dan perubahan sikap umat Muslim terhadap konsep wahyu. Menurut Chatsumarn Kabilsingh,17 Budhisme bukan saja bebas dari perbedaan kasta melainkan juga bebas dari perbedaan gender. 18 Sang Budha mulanya ragu untuk menerima Ratu maha Pajapati, bibi dan sekaligus ibu tirinya untuk menjadi anggota ordonya, namun kemudian ia setuju menerima sang ratu dengan dasar bahwa perempuan memiliki potensi yang setara dengan laki-laki untuk mencapai pencerahan atau penyelamatan spiritual. Ia membandingkan dengan Brahmanisme yang hanya mengijinkan perempuan bisa tercerahkan melalui usahanya sendiri. Dengan diperkenalkannya feminisme, para perempuan Budha belajar untuk menemukan kekuatan untuk kembali ke naskah-naskah suci sebagai sumber otoritas. Mereka menemukan kekuatan dalam menempatkan Dharma ke dalam praksis, sehingga secara spiritual mereka menemukan keseimbangan. Namun ada perkembangan baru dari agama Budha yang sudah terpengaruh ajaran Konfusianisme bahwa perempuan tidak bisa dan tidak boleh menjadi, Brahman, pencipta, dewa tertinggi. Sakra Deranam Indra, Dewa pelindung kaum Budha. Mera, setan penghancur kehidupan dan kemauan manusia. Raja dan empat penjuru dan Budha. Dengan begitu perempuan tidak dapat diselamatkan. Walaupun ajaran ini bertentangan dengan ajaran Budha yang sejati, tak pelak juga mempengaruhi status otonomi perempuan. Nunuk Prasetyo Muniarti menegaskan bahwa tradisi Hindu tidak mengakui bahwa kehidupan religius hanya bersumber pada Kitab Suci saja, tetapi ada pula
17 18
Ibid., p. 17-25. Fauzie Ridjal, dkk. (ed.), 1993, p. 7.
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
9
ajaran-ajaran yang diperoleh dari tradisi lain dan praktek ritus. Perempuan dilihat sebagai pemberi keberuntungan, sebab mereka haid, menjadi isteri (memelihara hidup) dan melahirkan. Membawa keberuntungan dalam tradisi Hindu diartikan sebagai kekuatan yang membawa keberuntungan dan keadilan. Perempuan ideal adalah sati, yaitu perempuan yang bersuami. Ia menolong suami untuk mencapai tujuan hidup manusia yaitu dharma (kewajiban), artha (kesuburan dan kekayaan), serta kama (kenikmatan seks). Selain itu perempuan yang menikah dipandang menolong suaminya membayar hutang. Sejak lahir laki-laki mempunyai hutang kepada para guru, dewa-dewa dan para leluhur. Suami didampingi isterinya membayar hutang melalui penampilan domestik dan publik yang betul. Dengan fungsi tersebut perempuan justru tidak pernah mandiri, sebab sebagai perempuan ideal mereka dibebani tanggung jawab yang berat. Maka, dalam tradisi Hindu yang mendapat peneguhan dari agama, isteri mengikuti suaminya meninggal dunia melalui bakar diri. Kesetiaan yang berat sebelah ini tentu saja sangat mudah membantu pihak yang harus setia berada di pihak inferior.19 Menurut Adele Reinhartz,20 cara pandang teologis yang telah dihidupkan oleh perempuan mesti ditanggapi serius oleh Gereja. Teologi dari sudut pandang perempuan yang tengah berjuang mengandung renungan-renungan penting untuk dipahami. Selama ini bahasa-bahasa dalam upacara keagamaan serta bahasa dalam menamai Tuhan telah secara serius dibatasi tanpa mengikutsertakan pengalamanpengalaman perempuan. A. Nunuk Prasetyo Muniarti menegaskan, agama Kristiani dalam memandang perempuan berangkat dari cerita Hawa yang dianggap sebagai ibu dari semua manusia. Tradisi dan kepercayaan umum memandang Hawa sebagai perempuan lebih rendah dari Adam, yang laki-laki, dalam hal fisik, moral, intelektual, dan spiritual. Ajaran ini ditegaskan oleh para nabi agama Yahudi dan para bapa Gereja. Asal-muasal Hawa dari tulang rusuk laki-laki merupakan pembenaran status inferior kaum perempuan. Status ini menegaskan bahwa perempuan diciptakan dari laki-laki. Berdasarkan materi yang sudah tertulis dalam Kitab Suci, sebab hirarkhi gereja sudah dikuasai oleh laki-laki.21
5.
Wacana Maskulinisme Dan Feminisme Maskulinitas abstrak menurut Nancy Hartsock merupakan model konseptualisai yang menekankan dualitas eksklusif secara bersama. Dia menyatakan bahwa konsep ini bertanggung jawab atas dualisme hirarkhis dalam institusi sosial yang memperkuat dominasi gender. Maskulinitas tidak dikonstruksi pada basis identitas real laki-laki dan perempuan namun pada perbedaan ideal yang ada secara esensial dalam perbedaan kultural antara man dan other.22
19 20 21 22
10
Ibid., p. 5-6. Ibid., p. 41-55. Fauzie Ridjal, dkk. (ed.), Op.Cit., p. 8. Maggie Humm, Op.Cit., p. 158.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Jenny Teichman23 menulis bahwa maskulinisme tradisional mempunyai sejumlah praduga menyangkut kodrat laki-laki dan kodrat perempuan dan menyangkut peran sosial masing-masing. Feminisme merupakan reaksi terhadap maskulinisme. Oleh karena biasanya perempuan tidak mempunyai suara untuk dikatakan dalam penciptaan hukum, maka kegiatan yang dikatakan dengan feminisme hingga dewasa ini biasanya dibatasi pada kepengarangan, propaganda, serta peri laku saja. Sikap-sikap yang khas feminis terhadap laki-laki berkisar secara ambivalen antara rasa takut dan benci hingga toleransi penuh afeksi. Hingga paruh kedua abad kedua puluh, filsafat dan ilmu tentang seks cenderung mendukung sikap-sikap maskulin tradisional. Para pemikir secara tipikal mengandaikan tanpa mempersoalkannya bahwa pengertian-pengertian konvensional mengenai perilaku yang kodrati dan tidak kodrati, normal dan abnormal, laki-laki dan perempuan pada umumnya benar. Salah satu pesan penting ialah bahwa perempuan kurang mampu dibanding dengan lakilaki dalam segala hal kecuali dua bidang. Perempuan baik dalam merawat anakanak, orang tua dan orang sakit dan mereka cocok untuk mengatur rumah, untuk membantu dan menghibur laki-laki. Laki-laki baik dalam semua hal lainnya seperti filsafat, seni, ilmu, politik dan sebagainya. Kaum feminis sering dituduh suka melebih-lebihkan, mudah histeris, sumber dosa-dosa dan kejahatan yang sama. Walaupun kalau diperhatikan, tampak bahwa hal suka membesar-besarkan dan histeria tersebut bukan monopoli perempuan. Sejarah pemikiran laki-laki mengenai kodrat perempuan memperlihatkan gagasan aneh. Aristoteles misalnya berpandangan bahwa darah menstruasi adalah cairan yang gagal menjadi benih. Gagasan ini diperlukan untuk mendukung teorinya bahwa perempuan adalah kelompok orang yang gagal, sebagaimana adanya untuk menjadi laki-laki. Bahkan menurut Nasrudin Umar24 disebutkan, menstrual taboo adalah basis dari peradaban manusia dan fondasi bagi kelanggeng dan budaya patriarkhi. Dengan mendapat legitimasi dari agama-agama besar dunia, maka menstrual taboo bukan sebatas mitos tetapi harus diterima sebagai bagian dari kepercayaan agama dan melampaui jangkauan sains. Bahkan dalam kitab Talmud apa yang kemudian dianggap sebagai tugas kodrati perempuan adalah merupakan refleksi dari kutukan Tuhan. Dengan kata lain perempuan adalah makhluk yang patut untuk selalu bermasalah secara alam. Di antaranya adalah, perempuan akan mengalami siklus menstruasi yang sebelumnya tidak pernah dialami oleh Hawa, perempuan yang pertama kali mengalami persetubuhan akan merasa sakit, perempuan akan mengalami penderitaan dalam mengasuh dan memelihara anak-anak, perempuan akan merasa malu terhadap tubuhnya sendiri, perempuan akan tidak leluasa bergerak ketika kandungan menus, perempuan akan merasa sakit bila melahirkan, perempuan tidak boleh mengawini lebih dari satu laki-laki, perempuan akan merasa hubungan lebih lama sementara suaminya tidak kuat lagi, perempuan sangat berhasrat melakukan hubungan seksual dengan laki-laki tetapi berat mengatakannya, wanita lebih suka tinggal di rumah.
23
Jenny Teichman, Etika Sosial, (terj. Oleh A. Sudiardja), Kanisius, Yogyakarta, 1998.
24. Dikutip dari buku Suparman Marzuki dkk (ed.), Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1995, h. xv
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
11
Kedudukan rendah kaum perempuan juga tampak dalam cerita kehidupan rakyat kebanyakan. Contohnya adalah reaksi orang tua terhadap kelahiran bayi lakilaki dan bayi perempuan. Dalam masyarakat tradisional Cina, dan masyarakat Inuit serta masyarakat Islam lama, kelahiran seorang anak laki-laki diterima dengan baik, dengan gembira, sedangkan kelahiran anak perempuan disambut dengan kecewa. Di Fiji kaum perempuan tidak boleh duduk di bagian depan kendaraan karena bagian depan mempunyai kedudukan yang tinggi. Jika kendaraan itu berupa lori atau truk, perempuan harus berdiri atau duduk di lantai, di bagian belakang, bersama dengan barang yang diangkut. Persoalan menyangkut kodrati dan yang bukan kodrati Teichman menegaskan bahwa tidak semua perbedaan yang ada di antara manusia bersifat kodrati, sebagian bersifat sosial. Akan tetapi, orang yang tidak reflektif tidak selalu mudah membedakan antara yang kodrati dan yang diciptakan secara sosial. Sistem kasta Hindu, misalnya tampak bagi orang non-Hindu sebagai rekayasa sosial, meskipun demikian tampaknya memperlihatkan daya untuk menjadi hukum kodrat yang tak terelakkan. Kaum Hindu mengikuti hukum moral mereka, yakni hukum kasta sebagai hukum kodrat. Dalam banyak pemikiran dewasa ini, setidaknya mereka yang bukan feminis perempuan dianggap lebih lembut hatinya daripada lakilaki. Mereka dipercaya mempunyai kemampuan intuitif yang khusus yang memungkinkan mereka memahami psikologi manusia dan kepribadian individual. Para perempuan dianggap baik dengan sesama. Laki-laki dianggap kurang emosional daripada perempuan, namun sekaligus dianggap lebih dikuasai oleh nafsu seks mereka. Laki-laki dianggap lebih berani, lebih mampu menangani hal yang penuh bahaya, dan trampil dengan mesin. Mereka dianggap mempunyai bakat alam untuk memikirkan yang abstrak dan bakat untuk memahami persoalan politik dan ekonomi. Sebagian masyakarat merasa bahwa seni, syair dan musik menjadi bagian laki-laki sementara tari terutama menjadi bagian perempuan. Dalam komunitas lain penciptaan seni, syair, fiksi dan musik semuanya dipandang sebagai pekerjaan banci yang harus dihindari laki-laki sejati. Implikasi simbol dan norma yang mendasari kurang lebih sama di mana-mana. Secara umum laki-laki itu baik, kuat, penuh kesadaran, pandai sementara perempuan kurang baik, kurang sadar, kurang kuat dan tidak terlalu pandai. Hubungan simbolik diciptakan di antara dikotomi baik buruk yang sejajar dengan sikap-sikap rasial. Dalam negara-negara di mana orangorang berkulit terang dan berkulit gelap hidup bersama, orang yang berkulit gelap selalu mempunyai kedudukan yang lebih rendah. Tidak ada rasionalitas dalam hal ini. Melainkan fakta yang mencerminkan kenyataan bahwa jauh terpendam di otak manusiawinya itu ada sejenis sifat tak berakal budi hampir umum. Bahkan dalam catatan sejarah Arab sebelum kedatangan Islam, praktik mengubur hidup-hidup bayi perempuan lazim terjadi. Kendatipun ada alasan kultural yang tidak dapat dibantah, yakni betapa sulitnya bagi bangsa pengembara di padang pasir, sehingga memelihara anak perempuan dipandang lebih menyulitkan daripada anak laki-laki. Namun tradisi semacam itu menunjukkan bahwa sejak lama terjadi ketiadaan rasionalitas manusia dalam menyikapi realitas kehidupannya.
12
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
6.
REFLEKSI PENUTUP Dalam hidup manusia, kebebasan merupakan kualitas tinggi yang didambakan setiap manusia. Tuhan pun memberikan kebebasan bagi manusia seluas-luasnya yang terkait dengan tanggung jawab yang harus dipikul manusia. Setiap keputusan tindakan tak dapat dituntut tanggung jawabnya kalau tidak ada kebebasan dalam pengambilan keputusan tersebut. Konsep pahala, ganjaran dan siksa serta hukuman yang ada pada setiap keyakinan teologis tak akan bermakna tanpa adanya kebebasan manusia. Binatang mempunyai “kelebihan” dibandingkan dengan makhluk lain. Kelebihan tersebut adalah naluri yang sangat didukung oleh kemampuan fisik binatang tersebut dalam rangka kelangsungan hidupnya. Organ tubuh (seekor) rusa misalnya telah menyesuaikannya untuk hidup di padang rumput, dan organ (seekor) kera telah mencocokkannya untuk hidup di antara pohon-pohon. Meskipun gerak binatang jauh lebih tidak terikat dibandingkan tumbuh-tumbuhan, tetapi sesungguhnya binatang juga merupakan makhluk yang hidup dalam simbiosis kuat dengan alam. Binatang membutuhkan dan mengharapkan hal-hal sangat tertentu dari alam, seperti lingkungan, makanan, perlindungan, kebersamaan dengan jenisnya, dan mencari secara aktif untuk memperolehnya dan untuk meloloskan diri dari ancaman. Kedudukannya terhadap lingkungannya bersifat stabil, terikat dan tidak bebas; binatang tidak pernah memiliki pilihan hidup.25 Sehingga, binatang akan punah apabila habitatnya rusak. Manusia memang secara prinsipial juga memiliki pengetahuan naluriah. Tetapi untuk mempertahankan mengada dan kelangsungan hidupnya, baik secara pribadi maupun sosial, manusia tidak cukup hanya mengandalkan pengetahuan naluriahnya yang cenderung bersifat natural spontan. Di samping itu nalurinya juga tidak sepenuhnya didukung oleh kemampuan fisik yang tepat sebagaimana pada binatang, dan oleh karena itu tidak pernah ada manusia yang “siap jalan” dalam hubungannya dengan alam yang “siap pakai”.26 Meskipun demikian, manusia memiliki kekuatan non-fisik yang terpadu berupa kemampuan rasional, imajinasi, hati nurani dan keyakinan terhadap kebenaran, sehingga manusia mampu membangun alam sesuai dengan kebutuhannya. Karena itu manusia tidak stabil dan memiliki pilihan hidup yang beragam. Di mana akhirnya keyakinan terhadap moralitas, pengetahuan tentang baik-buruk, benar-salah pilihan hidupnya menjadi sangat menentukan. Berbicara soal moralitas cukup pelik. Sebab moralitas bukan sekedar tugas pemberian nasihat yang hanya menyentuh dan berupa himbauan yang bersifat teoretis serta tidak sampai pada upaya pemecahan masalah konkret. Etika sebagai sistem pengkajian terhadap moral pun bukan sekedar bertugas menyusun sederetan daftar perbuatan baik yang harus dikerjakan serta perbuatan buruk yang harus ditinggalkan. Etika justru memiliki sifat dasar kritis, yang mempertanyakan hak berlakunya
25. Kleden 1987:142-143 26. Bakker dan Charris 1990:23
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
13
norma. Hak seseorang, masyarakat, lembaga, untuk memberlakukan norma yang harus ditaati oleh orang lain, sehingga orang lain tersebut wajib taat terhadap norma tersebut. Dengan kata lain etika dapat mengantar orang mampu bersikap rasio dan kritis untuk membentuk pendapatnya sendiri dan bertindak sesuai dengan keyakinan dan kebebasan sehingga ia dapat sungguh-sungguh mempertanggungjawabkan pendapat serta pilihan tindakannya. Suatu persoalan menjadi persoalan moral dan bukan sekedar persoalan teknis atau intelektual semata-mata, apabila keputusan yang (bakal) diambil menyangkut beberapa nilai yang langsung dikaitkan dengan moral serta tolok ukur apa yang dipakai. Manusia memiliki kebebasan yang berwujud di dalam dan berupa kebebasan berkehendak dan kebebasan menentukan pilihan tindakan. Kebebasan merupakan kualitas atau sikap pribadi yang tidak tergantung pada dan ditentukan semata-mata oleh keadaan luar dirinya. Kebebasan mengandung pengertian, kemampuan menentukan dirinya dan kedewasaan, serta keseluruhan kondisi yang memungkinkan manusia untuk melaksanakan hidupnya, sehingga ia mampu bertanggung jawab. Besar kecilnya tanggung jawab sebanding dengan besar kecilnya kebebasan yang dimilikinya. Sebagai catatan, dalam kenyataan hidup ada faktor-faktor yang mempengaruhi kebebasan dan merupakan faktor yang berada di luar jangkauan kemampuan manusia. Sesuatu yang sudah merupakan “built in” yakni: (1) faktor subjektif berupa kondisi dalam diri, fisik atau nonfisik yang pada gilirannya akan terwujud dan membentuk kemampuan. Serta faktor yang dapat direkayasa manusia, sehingga ada tuntutan moral. (2) faktor objektif berupa kondisi luar diri yaitu tempat, waktu maupun suasana lingkungan yang pada gilirannya akan terwujud dan membentuk faktor kemungkinan dan kesempatan. Menjadi perempuan atau laki-laki bukan kehendak kita, dan merupakan faktor subjektif manusia yang tidak bertolak atau merupakan keniscayaan. Faktor objektif merupakan pengembangan yang dapat dilakukan manusia untuk mengoptimalkan faktor subjektif manusia. Tugas moral sosial pada dasarnya adalah bagaimana mengembangkan dan membuka ruang seluas-luasnya faktor objektif yang dapat berupa norma sosio-kultural agar faktor subjektif yang merupakan keniscayaan manusia dapat berkembang sesuai fitrah sebenarnya. Dalam hal ini ukuran kebenaran, martabat manusia, tanpa menulis jenis kelamin, ras asal keturunan, bahkan agama, sehingga manusia berkembang moralitasnya serta dapat tercipta keadilan sesungguhnya. Penyair mistik Isalam Jalaludin Rumi menulis sebagai berikut27 Sesungghnya tak pernah sang kekasih mencari tanpa dicari oleh kekasihnya Apabila kilat cinta telah menyambar hati ini ketahuilah bahwa cinta Allah bertambah besar dalam hatimu pastilah Allah menaruh cinta atasmu
27. Dikutip dari Fromm 1987:43
14
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Tak ada bunyi tepuk tangan hanya satu tangan tanpa tangan yang lain Kebijaksanaan ilahi adalah takdir dan ketetapan yang membuat kita saling mencinta satu sama lain Karena takdir itu, setiap bagian dunia ini ditemukan dengan jodohnya Dalam pandangan orang bijak: langit mengirimkannya apabila kita kehilangan kesegaran dan embun langit memperbaharuinya langit berkeliling, bagaikan seorang suami mencari nafkah ke sana ke mari demi istrinya dan bumi sibuk dengan urusan rumah tangganya: melahirkan dan menyusui apa yang dilahirkannya Anggaplah bumi dan langit sebagai yang terkurniai dengan kecerdasan, karena mereka melakukan pekerjaan makhluk yang memiliki kecerdasan andaikan pasangan ini tidak mengecap kenikmatan dari satu sama lain, mengapa mereka melangkah bersama bagaikan sepasang kekasih Tanpa bumi, bagaimana bunga dan pohon bisa mulai berkembang? Kalau begitu apa yang dihasilkan oleh air dan kehangatan langit? Sebagaimana Allah memberikan keinginan kepada laki-laki dan wanita sampai akhir sehingga dunia akan terpelihara oleh kesatuan mereka Demikian juga ia menanamkan ke dalam setiap bagian keberadaan nafsu terhadap bagian-bagian lain siang dan malam bermusuhan kelihatanNya: namun keduanya memiliki satu tujuan masing-masing saling mencintai demi menyempurnakan karya mereka bersama Tanpa malam, manusia tidak akan menerima penghasilan sehingga tidak ada yang dipakai waktu siang Pria dan wanita biarlah berbeda. Bagaimana kutub pria dan wanita merupakan dasar kreativitas manusia. Tak perlu dipersamakan secara ambisius, tetapi dipertautkan dalam rangka saling mengisi, saling melengkapi demi mengabdi pada tujuan Maha Agung Sang Pencipta.
BIBLIOGRAFI Al-Gaffar, Abdul Rasul Hassan, 1984, Wanita Islam dan gaya Hidup Modern, (terj. Bahrudin Fanani), Mizan, Bandung
Achmad Charris Zubair, Kebebasan Perempuan
15
Aron, Raymod, 1993, Kebebasan dan Martabat Manusia, (terj. Rahayu S Hidayat, Ari A. Harapan, Edlina H. Edin, K Kajat Hartoyo) Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Baidhawy, Zakiyuddin (ed), 1997, Wacana Teologi Feminis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bakker, Anton dan Ahmad Charris Zubair, 1990, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta Bertens, K, 1999, etika, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Fakih, Mansour, 1996, “Posisi Kaum Perempuan Dalam Islam”, Makalah dalam Seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Keislaman Dalam Muhammadiyah, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan LPPI UMY, 23 Juni 1996 Fromm, Errich, 1987, Seni Mencinta, Puataka Sinar Harapan, Jakarta Hadiwardojo, Purwa, 1990, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta Humm, Maggie, 2000, Ensiklopedia Feminisme, (terj. Mundi Rahayu), Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta Kartono, Kartini, 1992, Psikologi Wanita, Mandar Maju, Bandung Marzuki, Ratna, dan Eko Prasetyo, AromaAlmina Martha (ed.) 1995, Pelecehan Seksual, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta Megawangi, Ratna, 1996, “Perkembangan Teori Feminisme Masa Kini dan Mendatang Serta Kaitannya dengan Pemikiran Keislaman”, Makalah dalam seminar Nasional Pengembangan Pemikiran Keislaman Dalam Muhammadiyah, Majelis Tarjih PP Muhammadiyah dan LPPI UMY, 23 Juni 1996 Menteri Negara UPW 1996, “Ceramah Pembukaan” Seminar Nasional Meningkatkan kemitrasejajaran Perempuan-Pria dalam PJPII, PPKPS UGM dan Lit UII, 27 Juni 1996 Ridjal, Fauzi, dan Lusi Margiyani, Agus Fahri Hussein (ed), 1993, Dinamika Gerakan Perempuan di Indonesia, Tiara Wacana, Yogyakarta Syafrudin, Didin, 1994, “Argumen Supremasi Atas Perempuan”, Ulumul Qour’an, edisi Khusus, no.5 dan6, h. 4-10 Teichan, Jenny, Etika Sosial, (terj. A. Sudiarja SJ), Kanisius, Yogyakarta Usman, Sunjoto, 1996, “Kemitrasejajaran Perempuan-Pria dalam Perspektif Sosial”. Dalam Seminar Nasional Meningkatkan kemitraasejajaran Perempuan-Pria dalam PJPII, PPKPS UGM dan Lit UII, 27 Juni 1996 Wilcox, Lynn, 2001, Wanita dan Al Qour’an, (terj. DICTIA), Pustaka Hidayah, Bandung
16
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
YESUS PUSAT HIDUPKU
M. Fidelis Sigmaringen Universitas Negeri, Malang Abstract: Every humankind living life, in the Christianity’s insight, has been believing as an gratitude vocational, no matter what its form has being lived. My prieshood, to be said, however, is a special spiritual life vocational, because of its elan-vial within. Every one that has been entering any order of mistics, the so called ordo or congregation, so that included my prieshood, was to live based on any spiritual of life. I have placed God in my hole life as an very ultimate centre. I, in turn, have become man of God and man for others, as is Jesus modelling that heve been given. But the great crucial of big request is how far, that Jesus has become not only for my very ultimate prieshood life centre but also just for my everything ultimately? Could I endure last forever as man of fidelty? How am I able to make to socialize my Jesus’ prieshood life centre for my parish whereas I am going to be envoyed? Keywords: Yesus, pusat hidup, komitmen.
Kehidupan ini begitu tersia-siakan untuk tidak dihayati sepenuhnya. Para filosof dan agamawan bersusah payah memaparkan paradigma mereka masingmasing bertalian dengan keniscayaan manusia memaknai kehidupannya. Berbagai ketersediaan diri dalam ketulusan pengorbanan merupakan syarat bagi pemaknaan kehidupan ini, begitu inti roh paradigma mereka itu. Yesus menawarkan wawasan baru dalam pemaknaan dan penghayatan hidup imamatku. Penegasan seseorang dalam menempatkan pribadi tertentu sebagai pusat segala-galanya dalam hidupnya bukan tanpa resiko selanjutnya. Relasi personal yang bersifat transaksional diperlukan agar pemusatan tersebut memiliki kontribusi optimal. Yesus telah sedang menerima kebebasan diriku terhadap jawaban pemusatan akan relasi personal yang kuhayati sebagai seorang imamNya. Hidup imamatku dengan pemusatan Yesus bukan merupakan panggilan hidup khusus dalam jabatan tetapi dalam pengabdian total tanpa reserve. Pemaknaan hidup dalam kemasan pengabdian total tanpa reseve telah ditampilhayatkan oleh Yesus, yang menjelajahi kawasan Palestina pada rentang waktu abad pertama. Yesus pusat hidupku, sebagai seorang imam Lazaris, menantang kriaku dalam hidup nyata sehari-hari, untuk berkanjang menginvestasi talentaku bersama umat dan demi umat. Yesus pusat hidupku, dalam penghayatan hidup imamatku menurut komitmen tidak bedanya dengan berbagai komitmen yang juga ditegaskan oleh pilihan bentuk kehidupan lain. Tetapi, sekaligus juga suatu komitmen yang berbeda bukan dalam kualitas namun dalam intensitas: Kaulku Yesus historis telah memberi contoh penegasan komitmen tersebut. Manusia untuk Allah. Manusia pendoa. Manusia M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
17
bagi sesamanya. Manusia yang setia pada komitmennya. Demikian antisipasi imamatku.
1.
Historisitas Yesus Historis Yesus pusat hidupku. Tiga kata tersebut menjadi bermakna bagiku ketika dirangkai dengan actus-casus-focus-locus. Rangkaian tersebut resiprokalistik antara Yesus dan seorang seperti aku hic et nunc. Tindakan penyelamatan yang dilakukan Yesus ada dalam dan bersama tindakanku sebagai actus. Permasalahan kehidupan aktual-konkret yang dialami Yesus ada dalam dan bersama halku sebagai casus. Elan-vital keprihatinan yang menggerakan hati Yesus terhadap “wong alit” ada dalam dan bersama elan-vital yang menggerakan hatiku sebagai focus. Tempat berpijak karya mesioner Yesus ada dalam dan bersama tempat berpijakku berkarya sebagai locus. Yesus yang demikian itu secara kontekstual ialah Yesus historis adanya. Yesus historis tidak meniadakan Yesus tremendous. Yesus yang demikian itu adalah Dia sebagai inkarnasi misteri ilahiah dalam keterbatasan dan ketertangkapan antropologis. Dalam keterbatasan dan ketertangkapan antropologis itu Yesus memiliki prerogatif historisitas sebagaimana manusia pada umumnya. Yesus inkarnatif adalah Allah memasuki dunia, Allah Menjadi Daging (AMD). Allah yang menyejarah, atas perkenanNya sendiri mengikatkan Diri dengan keterbatasan persona, ruang dan waktu. Dalam inkarnasiNya itu Yesus memiliki spiritualitas dari kehadiran yang berpengaruh. Hal ini mengimplikasikan suatu penghargaan yang positif terhadap dunia dan segala permasalahannya, suatu bentuk sekularisasi, untuk menyucikannya dan menyelamatkannya. Yesus inkarnatif itu juga adalah Dia yang radikal (France, 1975). Penelitian ilmiah eksegetif menemukan hal-hal penting dalam diri Yesus yang menyatu dengan sifat radikal dalam menghayati visiNya bersama keseluruhan misiNya. Dia mengalami pertikaian, konfrontasi, dan penghukuman dengan disponibelitas mutlak. Bukti radikalisasi pelayanan Yesus terrekam oleh waktu yang diasumsikan sekitar tahun 30 yakni sejak Proklamasi Yordan dan kotbah perdanaNya di Galilea. Kotbah Yesus di bukit dalam kedelapan sabda bahagia (Mat. 5:3-10) menunjukan radikalisasi Yesus yang memberikan Undang-undang DasarNya sekaligus inspirasi kaul-kaul hidup bakti. Kesaksian para penginjil merekam di mana tempat Yesus berkarya pada tiga perjalanan yang dilakukanNya selama sekitar tiga tahun, yakni (1) memasuki kawasan Fenisia; (2) perjalanan dekat Kaisarea Filipi di lereng gunung Hermon; (3) menyeberangi sungai Yordan ke tempat aktivitas Yohanes yang mulamula. Kitab-kitab Injil sebagai sejarah, biografi Yesus, dan sumber untuk studi tentang Yesus historis memang bukan tanpa problematis keilmiahan. Sementara itu terdapat kesaksian di luar kitab-kitab Injil tentang Yesus historis. Tacitus menyebut pelaksanaan hukuman mati terhadap Yesus atas perintah Pilatus. Yosefus mungkin
18
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
sekali membenarkan pelaksanaan hukuman mati pada kayu salib atas Yesus di bawah Pilatus, atas hasutan orang Yahudi, dan mencap Dia sebagai seorang pekerja dan mujizat dan guru. Tradisi Yahudi dalam Talmud menyatakan bahwa Yesus yang dihukum mati oleh para pemimpin Yahudi pada malam Paskah ialah seorang tukang sihir dan penipu. Surat Mara bar Seraphion dari Siria menyebutkan hukuman mati dilakukan oleh orang-orang Yahudi terhadap raja bijaksana mereka beberapa waktu sebelum Yerusalem dihancurkan pada tahun 70. Pemberitaan tentang kematian Yesus versi Injil Yohanes dinyatakan bertepatan dengan saat domba-domba Paskah disembelih, yakni sore hari sebelum perjamuan Paskah biasa (Yoh. 18:28; 19:14) adalah sesuai dengan Talmud Babel (Sanherdin 43a) yang merincikan Yesus yang dihukumgantungkan pada malam Paskah. Dieja lebih jauh maka hal itu menunjuk bahwa perhitungan tarikh modern sekitar tahun 33, menengarai hari Jumat (momen penyaliban dan penguburan) terjadi pada tengah hari dan matahari terbenam, merujuk tarikh Yahudi pada nisan 14 dan nisan 15 tentang domba-domba disembelih dan perjamuan Paskah. Yesus historis yang radikal nampak dalam ujaran ajaran-ajaranNya (Crossan, 1994). Apa yang secara nyata Yesus ajarkan menunjuk Yesus yang esensial. Senada dengan France (1975) maka Crossan (1994) menegaskan bahwa He’s dangerous, let’s oppose him. He’s criminal, let’s execute him. He’s diven, let’s follow him. A historical account must be able to explain all of those different responses or it is inadequate to what happened.... the essential Jesus means not the canonical but the historical Jesus. I wil not simply go through the four New Testamen gospels, pick out the best known sayings of Jesus, and retranslate them. I present instead those sayings that, in my best historical judgement, are orginal with Jesus.1 Yesus historis yang radikal sekaligus menunjuk historisitasNya. Refleksi filosofis atas historisitas Yesus menunjuk bahwa Yesus menyadari terperangkap bingkai historis. Yesus memahami arti hidup sebagai manusia. Yesus memaknai hidupNya justru dalam historisitasNya. Implikasi historisitas dalam diri Yesus meliputi hal-hal berikut: Pertama, Yesus inkarnatif ialah Roh yang diinkarnasi, Roh yang menjelma dalam materi. Yesus ialah Dia Roh Allah yang berkenan mejelma dalam keterbatasan materi. Yesus inkarnatif ialah Dia yang rela dibudayakan dan membudayakan lingkungan jamanNya. Kedua, Yesus dalam kebebasan Allah yang disituasikan ialah Dia yang bergerak senantiasa mengatasi diriNya. Ketiga, Yesus mengikatkan diri dalam temporalitas, bereksistensi dijalankan dalam waktu. Yesus bereksistensi dalam suatu struktur temporal ialah Dia yang menghayati waktu antropologis. Keempat, Yesus beraktivitas intersubjektivitas. Yesus hidup dan berkarya bersama dengan manusia lain. Yesus merealisasikan diriNya dan menghumanisasikan dunia bersama dengan orang lain. Yesus hidup sebagai manusia maka Dia hidup sebagai ahliwaris yakni memanfaatkan karya dan pemikiran banyak sekali
1
Crossan, 1994 : 2.
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
19
orang dari masa silam. Yesus ialah Dia manusia historis karena selalu meneruskan kehadiranNya justru bagi umat manusia seluruhnya. Historisitas Yesus historis bukan Dia seperti saya sendiri inginkan atau saya ciptakan sendiri tetapi ialah Dia seperti apa adanya, ialah Dia manusia yang memberikan diriNya ditangkap keempat fenomena tersebut. Historisitas Yesus menunjuk bahwa Yesus sekaligus sebagai objek dan subjek sejarah. Keduanya, secara resiprokalistik sekaligus sebagai objek dan subjek sejarah, tidak dapat dipisahkan tetapi hanya dipilahkan. Historisitas Yesus historis ialah Dia sekaligus tremondous justru karena dalam kebangkitanNya dari alam maut. Paduan resiprokalis historisitas Yesus historis dalam Yesus yang dibangkitkan dari alam maut oleh Allah, menunjuk sola fides, demi tuntutan misteri ilahi bagi manusia yang meyakini historisitas Yesus historis. Historisitas Yesus historis dan Yesus tremendous tidak dapat dipisahkan tetapi hanya dipilahkan. Paduan historisitas Yesus historis dan Yesus tremendous ditengarai elan-vital man of God, man of prayer, man for others. Kesaksian para penginjil bagi elan-vital man of God pada Yesus terekam dalam concernNya atas Kerajaan Allah. Concern tersebut nampak dalam ujaranNya “truly, truly I say to you, unless one is born anew, he cannot see the kingdom of God” (Jn. 3:3); “and he sent them out to preach the kingdom of God to heal” (Lk. 9:2). “And Jesus looked around and said to his disciples ‘how hard it will be for those who have riches to enter the kingdom of God’” (Mark. 10:23); “but seek first his kingdom and his righteousness, and all this things shall be yours as well” (Mt. 6:33). Elan-vital man of prayer pada Yesus disaksikan oleh penginjil bertalian dengan semangat berkanjang dalam doa. Concern tersebut menampak misalnya dalam ujaran-ujaranNya. “And after he has dismissed the crowds, he went up on the mountain by himself to pray. When evening came, he was there alone” (Mt. 14:23). “And in the morning, a great while before day, he rose and went out to a lonely place, and there he prayed” (Mark. 1:35). “Now, when all the poeple baptized, and when Jesus also had been baptized and was praying, the heaven was opened” (Lk. 3:21). I am praying for them, I am not praying for the world but for those whom thou hast given me, for they are thine” (Jn. 17:9). Elan-vital man for others pada Yesus disaksikan oleh penginjil bertalian dengan keberpihakanNya terhadap yang tidak berdaya dan pendosa, mereka yang secara segregatif ialah “wong cilik”. Cocern tersebut nampak misalnya dalam ujaran-ujaranNya. Tindakan di sekitar pengampunan dosa dan penyembuhan yang dilakukan oleh Yesus merujuk elan-vital man for others itu. “And he said to them ‘go and tell that fox, ‘behold, I cast out demons and perform cures today and tomorrow, and the third day I finish my course’ (Lk. 13:32). “The official said him, ‘Sir, come down before my child dies’ (Jn. 4:49); “and that repetance and forgiveness of sins should be preched in his name to all nations, beginning from Jerusalem” (Lk. 24:47). Elan-vital Yesus yang membuat Dia concern tersebut bersesuaian dengan visi Yeremia tentang anawim (mereka yang tidak bernama), visi Paulus dalam sejum-
20
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
lah suratnya tentang metanoia (pertobatan total) dan surat Paulus tentang sanctire (ikut belarasa). Ketiga elan-vital yang menjadikan Yesus concern sekaligus menunjukan sifat radikal Yesus, termanifestasikan dalam elan-vital yang membuat Dia concern dengan karya Allah, melalui doa-doaNya, dan perhatianNya, serta tindakanNya. Meminjam analisis Michel Foucault, bagi sifat radikal kenabian Yesus, maka hal itu menunjuk semangat parrhesia yakni kemerdekaan berbicara, keterbukaan mengungkapkan sesuatu, berbicara dengan penuh keyakinan, berbicara secara terbuka dan polos (Beoang, 1997). Posisi Yesus dalam elanvital parrhesia ialah penegas kebenaran profetis yang besifat eskatologis sekaligus suatu destiny.
2.
Kemutlakan-dasar Yesus-Pusat Yesus (historis sekaligus tremendous) mendapat pengurapan Allah selaku Imam dalam Roh Kudus. Pada gilirannya pengejawantahan imamat Yesus dalam Gereja menampak dalam diri seorang imam. Direktorium tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam (1994) memaparkan jati diri imam (dimensi Kristologis) dan spirirtualitas imam (bersama Kristus dalam Doa). Seseorang karena tahbisan sakramental (ikatan ontologis) melalui kewenangan Gereja, mengambil bagian intrinsik imamat Yesus, memiliki imamat ministerial atau imamat sebagai karunia seperti dinyatakan dalam Kanon 1008 (Codex Iuris Canonici, 1991). Maka, jati diri imam (dimensi Kristologis) dalam diri seorang imam langsung bersumber pada sakramen yang secara ontologis menyerupakan imam dengan Kristus Sang Imam, Guru, Pengudus dan Gembala UmatNya. Dalam arti itu maka jati diri imam berupa sesuatu yang baru dibandingkan dengan jati diri keimamatan (imamat umum) semua orang Kristiani, yang lewat Sakramen Baptis ikut serta secara keseluruhan dalam satu-satunya imamat Kristus, dan dipanggil untuk memberi kesaksian tentang Kristus di seluruh dunia. Keunikan ciri jati diri seorang imam menunjuk bahwa hidupnya merupakan suatu misteri yang sepenuhnya dicangkokan pada misteri Kristus dan Gereja secara baru dan istimewah, yang melibatkannya sepenuhnya dalam kegiatan pastoral. Bersama Kristus dalam doa (spiritualitas imam) bagi seorang imam menunjuk hal-hal (1) prioritas hidup rohani, (2) upaya-upaya penyegaran hidup rohani, (3) mengikuti Kristus dalam doa, (4) mengikuti teladan Gereja dalam doa, (5) doa sebagai persekutuan. Keterpilihan panggilan imamat demi pembaktian hidup memang melulu terletak pada inisiatif-inspiratif Yesus. Pada galibnya, Jesus is the man for others’, the one in whom Love has completely taken over, the one who is uterly open to, and united with, the Ground of his being. And this ‘life for others, through participation in the being of God’ is trancendence. For at this point, of love to uttermost’, we en-
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
21
counter God, the ultimate ‘depth’ of our being, the unconditional in the conditioned.2 Yesus memulai lebih dahulu dengan inisiatif-inspiratif dalam setiap panggilanNya, melulu karena pertimbangan cintaNya demi kebahagiaan sesama. Dasar terdalam setiap panggilan Allah dalam rencana misteri ilahiNya terhadap manusia, memang ada di dalam Yesus yang menyatu dengan Allah. Perikop Injil menegaskan keradikalan Yesus terhadap keterpanggilan pilihan seseorang, yang hanya dalam sapaan pribadi Yesus. “Bukankah Aku sendiri yang telah memilih” (Yoh. 6:70). “Aku tahu siapakah yang telah Kupilih” (Yoh. 13:18). “Bukan kamu memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu” (Yoh. 15:16); “bukan untuk memanggil orang benar” (Lk. 5:32); “banyak yang dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” (Mt. 22:14). Sementara itu jawaban seseorang atas sentuhan panggilan tersebut, dengan demikian seharusnya menunjuk bahwa seseorang tersebut menentukan dasarnya, pusatnya yang terdalam terletak dalam pribadi Yesus. Hal yang sama tetapi secara unik, istimewa dan baru berlaku juga bagi keterbacaan panggilan imamat seseorang. Demikian juga hal yang sama kuyakini bagi imamatku. Kemutlakan-dasarYesus-pusat dengan demikian memang merupakan bagian integral bagi kehidupan seorang imam. Dieja lebih jauh hal itu menegaskan bahwa tiada dasar memusat atau pusat mendasar lainnya di samping Yesus bagi kehidupan otentik seorang imam. Otentisitas keunikan, keistimewahan dan kebaruan hidup seorang imam menunjuk adanya kepemilikan suatu spiritualitas imamat. Pengalaman para ahli spiritual hidup bakti menengarai bahwa berbagai temuan riset di bidang humaniora dan social sciences pada dekade-dekade terakhir ini merekomendasikan betapa kontribusi bacaan rohani, doa, meditasi, dan kontemplasi menopang optimalisasi penghayatan hidup imamat seseorang, yang membangun tradisi spiritualitas hidup imamat. William, Parker, and Johns (1957) lewat temuan riset eksperimen dan teknikteknik dalam terapi doa, menyatakan bahwa kontribusi doa adalah mengubah hidup seseorang setiap waktu, di mana saja, dan untuk setiap usia. Lebih jauh dikatakannya bahwa “if prayer has any provable power... our experiments proved the power lay with God.... Prayer was the bridge.... Who knows where we would be today if spiritual research had gone hand in hand with the other researches over two thousnds years?”.3 Schuller (1985) memberikan sugesti bertalian dengan prinsipprinsip doa, yang terdiri atas enam langkah. Dengan keenam langkah menuju doa itu diantisipasi jawaban dari Allah. Goldsmith (1978) dalam karyanya menempatkan Kristus di antara porsi meditasi dan doa. Lebih jauh dikatakannya bahwa We are reminded... that the great Power necessary to dispel the erroneous conditions wich surruound us, must be sought within ourself.... There
2 3
22
Robinson, 1963 : 76. William, Parker, and Johns, 1957, pp. xvi-xvii.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
is a “Peace, be still” within our own consciousness wich will still every strom in our experience... life us above the strife and weariness of human existence. Our part is to recognice its presence within ourselves... This universal power of Truth, Life, and Love is ours... It abides at the center of every individual , saint or sinner, awaiting only our recognition.4 Sementara itu Rahner (1986) mewariskan spiritualitas doa dengan menegaskan bahwa prayer is thus a mainfold witness of faith expressing itself through speach.5 Bagi Rahner doa merupakan suatu kemampuan yang diharapkan seseorang, lewat signifikansi pengalaman, baik suka maupun duka, yang mengantisipasi jalan menuju tanah pengharapan yang tidak terhingga, di mana Tuhan bersemayam. Pada tempat yang lain, Rahner (1976) dalam seri karya tentang doa dan kebiasaan, mengingatkan isu krusial bertalian dengan integritas intelektual dan iman Kristiani. Isu tersebut merujuk bahan bacaan rohani dan atau meditasi,dengan mengingat dua hal pokok, yakni di satu pihak integritas intelektual dan komitmen spiritual, di lain pihak integritas intelektual dan refleksi teoretis. Bertalian dengan bahan bacaan rohani dan doa tersebut, Freemeser (1985) masih menyarankan temuannya yang berisi wawasan tentang Yesus sebagai Sang Penyembuh, yakni jalan penyembuhan dari dalam melalui Yesus.
3.
Sejarah Penyembuhan Refleksi biblis teologis menyadarkan seseorang bahwa tiada hari tanpa mujizat baik pada ranah biasa maupun luar biasa (Mt. 17:20; Mrk. 9:21; Lk. 1:37). Dasar teologisnya terletak pada mistik cinta ilahi (1Yoh. 4:19). Salah satu mujizat terbesar dalam kehidupan seseorang adalah sejarah penyelamatannya. Sejak kelahirannya di dunia berlanjut dengan proses bereksistensinya, seseorang telah sedang mengalami proses panjang sejarah penyelamatannya (Mzm. 136 dan 145). Keharusan-mutlak Yesus-Pusat pada galibnya menunjuk sejarah penyelamatanku dalam pencangkokan pada Yesus. Keterbacaan panggilanku sebagai seorang imam, sebagai yang dipilih di antara manusia, merupakan fenomena bahwa Allah masih melakukan karya-karya agungNya (McKenna & Libersat, 1987). Penggabungan diriku ke dalam Lazarist merupakan bagian integral dari proses panjang sejarah penyelamatanku, di mana Yesus kutegaskan dengan penuh keyakinan sebagai pusatnya. Proses panjang sejarah penyelamatanku memang bersifat membelum retrogresif. Keimamatanku hingga dewasa ini telah sedang menapaki proses panjang catur - I yakni imitasi, identifikasi, idealisasi, dan integrasi dalam kepribadian Yesus sebagai jawabanku yang sadar atas keterpilihanku bahwa Dia kujadikan pusat mendasar dan memusat segala gerak hidupku.
4 5
Goldsmith, 1987, pp.3-4. Rahner, 1986, p. xi.
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
23
Ellison (ed. 1983), memaparkan keberkaitan antara Kristianitas, psikologi, dan harga diri seseorang dalam menapaki proses panjang sejarah penyelamatannya, untuk menggapai kediriannya yang optimum lebih baik. Dalam pandangan psikologi analitis baru, hakekat harga diriku erat bertalian dengan deskripsi diri, refleksi diri, konsep diri, dan sikap diri, merujuk pada evaluasi diri, sebagai dampak pengalaman relasi diriku baik internal maupun eksternal, yang terekam lewat dinamika temporal. Pandangan teologis biblis tentang hakekat harga diriku menunjuk bahwa sejak semula telah diterangkan oleh Allah ketika aku diciptakan yakni “semuanya adalah amat baik adanya” (Kej. 1:31). Sementara itu Zabur, 8:4-5 menyenandungkan betapa kemahaagungan Allah yang masih mencintaiku betapa pun aku ini setelah kejatuhanku. Pada gilirannya misteri karya cinta Allah dalam tindakan penyelamatan Yesus bagi diriku termeteraikan dalam darah manusia Yesus yang tiada terperikan mahalnya (Rom. 5:6,8,10). Dasar psikologis dan teologis ini membantu penyadaran sejarah penyelamatanku hingga kini menghayati tugas pengabdian imamatku di antara umat.
4.
Komitmen Imamatku Mekanisme penyadaran diriku atas keterpanggilanku sebagai (calon) imam Lazaris pada gilirannya harus ditempatposisikan dalam kerangka bahwa Allah telah lebih dulu mencinta dan memanggil setiap manusia menurut rencana kekal cintaNya. Dikatakan bahwa “in de christelijke trouw neemt de Geest van Jesus het inisiatief: Hij is het die iemands levensplan richting geeft. Hij is de plicht van het individu en van de gemeenschappen in elke situatie trouw te zijn.... De Geest van de Heer roept ons voortdurend tot een nieuwe begin”.6 Panggilan Allah pada setiap manusia memang menampilkan berbagai bentuk penghayatan hidup, namun memiliki dasar terdalam yang sama yakni bahwa Yesus pusat hidupku. Dikatakan juga bahwa “de oorsprong het centrum en de dynamiek van het leven van de Broeder is Christus. Daarom zal uiteindelijk in het contact met Hem zjn trouw tot rijpheid komen”.7 Penempatposisian tersebut memerlukan komitmenku yang tandas. Seseorang disebut komit sejauh dia melakukan, melaksanakan, berbuat, berjanji. Dalam suatu komit terkandung suatu kewajiban diri. Seseorang disebut komitmen sejauh dia memiliki janji, kewajiban, tanggung jawab, keterikatan. Dalam suatu komitmen terkandung perjanjian/keterikatan untuk melakukan sesutu, kontrak. Memedomani Anjuran Apostolik tentang Hidup Bakti (1996) maka hidup imamatku kubaktikan berdasarkan pada kesadaranku akan anugerah agung hidup bakti
6 7
24
Omer, cs., 1991: 56. Ibid., p. 55.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
dalam ketiga aspeknya yakni pentakdisan, persekutuan, dan perutusan. Ketiga aspek tersebut kusadari sepenuhnya menyiratkan akan adanya kewajiban diri dan keterikatan untuk melakukan sesuatu. Pilihanku pada Lazaris memang mengantisipasi integralitas visi dan misi Gereja dengan Congregasi Misi mengingat, “de Stichters waren zeer zeker mensen van hun tijd.... Elke religieuze stichting was riskant en moeilijk.... De manier waarop de Regels geformuleerd zijn, op basis van de ervaring opgedaan in het leven samen met de eerste gezellen...”.8 Vinsensius de Paul, pendiri Kongregasi Misi/CM (Lazarist), dalam Konstitusi FBHK bagian spiritual pasal 68, diletakan sebagai pelindung perutusan. Lebih jauh pasal 68 menegaskan bahwa Spiritualitasnya dapat menjadi sumber inspirasi kita. Baginya mengikuti Kristus terutama berarti menanggapi sabda Kitab Suci.... Vinsentius menghimbau para pengikutnya agar memilih si miskin sebagai bagian warisan mereka, dan menganggap sebagai suatu kehormatan untuk menjadi pelayan-pelayan kaum miskin dan dengan demikian melayani Kristus. Ia mendorong mereka untuk berusaha memiliki sifat-sifat yang diperlukan untuk melaksanakan tugas perutusan mereka dengan baik. Vinsensius de Paul bagi FBHK dalam milenium ketiga ini menjiwai pembaharuan hidup bakti. Di Surabaya, kota semi metropolit dengan segala konsekuensinya itu, didirikan komunitas ke-13 dengan pelindungnya Vinsensius de Paul yang diberkati oleh Uskup Surabaya, Mgr. Johanes Hadiwikarta, Pr. Pada milenium ketiga ini juga Vinsensius de Paul telah menyemangati lima frater yunior Indonesia untuk bermisi ke Kenya. Dua orang frater perintis telah menerima salib perutusan dari Mgr. H.J.S. Pandoyoputro, O.Carm. Mereka akan berkarya di tengah-tengah anak-anak cacat fisik dan kelak masih disusul sejumlah karya pendampingan bagi “wong cilik” yakni anak-anak jalanan. Nampaknya segi spiritualitas-hati, warisan kepekaan/kecerdasan emosional Vinsensius, ternyata lebih dominan daripada segi spiritualitas-pikir. Konstitusi CM Nomor 5 secara jelas menandaskan bahwa Yesus Kristus itu pedoman bagi karya misi. Dieja lebih jauh hal itu menandaskan bahwa Yesus menjadi pusat hidup dan kegiatan Kongegasi9. Untuk itu setiap anggota akan berupaya dengan sekuat tenaga dalam mengenakan Roh Kristus sendiri.10 Orang kecil atau “wong cilik” yang menjadikan Vinsensius de Paul concern, dalam sejarah Gereja nampak selalu aktual. Hampir dua dekade yang lalu, Sidang Pleno Masri (1984) menengarai paradigma orang kecil sebagai yang mengalami aneka bentuk pemiskinan secara materil dan kultural. Pada umumnya mereka hidup di bawah taraf kewajaran manusiawi, tidak berdaya menghadapi tata susunan dan sistem masyarakat, sungguh kecil diam tidak bersuara bahkan tidak memiliki saran 8 9 10
Ibid., p. 57. SV. XII. 130 R.C. 1, 3
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
25
untuk menyuarakan diri mereka. Tetapi, paradigma orang kecil tersebut juga bertalian dengan mereka yang mengalami proses pemiskinan rohani meskipun secara materil mereka berlimpah dengan kekayaan. Kemiskinan rohani menampak dalam tiada dihargainya nilai-nilai hidup manusia yang luhur, seperti hidup, cinta pada sesama, keadilan, kesempatan merata dan terbuka untuk memperbaiki hidup. Dewasa ini menampak dengan jelas keluarga yang pecah, bersemangat materialistis, tidak bahagia, anak-anak miskin kasih sayang, orang miskin pengetahuan agama, pegangan moral makin kabur. Koptari (1987) menyatakan adanya spiritualitas pelayanan – spiritualitas sosial yakni dalam wujud keterlibatanku pada kehidupan masyarakat yang bersama dengan berbagai pihak mengupayakan terjadinya perubahan-perubahan hidup dan tata susunan sosial yang lebih adil berdasarkan cinta kasih dengan preferensi pada “wong cilik”. Proses panjang sejarah penyelamatanku sebagai (calon) imam Lazaris kini menampak semakin signifikan. Komitmenku sebagai (calon) imam Lazaris memang bukan tanpa pemenuhan klausul yang dipersyaratkan oleh Kodifikasi Gerejani dan spiritualitas CM. Dua hal penting mendatang adalah (1) sembilan orang frater direncanakan mengikuti Retret Umat dalam mempersiapkan diri untuk menghantar umat keuskupan Banjarmasin dalam memotivasi mereka agar Yesus menjadi pusat hidup mereka; (2) tujuh orang frater akan mempersiapkan diri menegaskan pilihan Lazaris dalam kaul kekal mereka. Kedua hal penting mendatang tersebut kiranya menantang diriku dalam suatu jawaban yang definitif. Refleksi diri, melalui keempat butir di atas, dalam tema Yesus Pusat Hidupku, mengahantar diriku pada jawaban yang definitif itu. Jalan panjang masih terpampang di depan yang nyaris bukan tanpa permasalahan. Kusadari bahwa imam bermasalah merupakan fenomena krusial yang niscaya nyaris tidak terelakan adanya. Program ONGOING FORMATION kiranya bukan sekedar rangkaian tiga buah kata penjiwa tanpa pemaknaan. Sesansi non scholae, sed vitae discimus seharusnya menampak dalam diriku bertalian dengan cinta akan studi, budaya baca, kemampuan terus memperkembangkan diri dan pribadi sebagai imam, serta mampu membaca tanda-tanda jaman. Maka tantanganku sebagai seorang imam hic et nunct, kiranya tidak ringan. Imam seharusnya mengikuti perkembangan Gereja dengan ilmunya, perkembangan teologi secara luas, dan ilmu-ilmu kemanusiaan serta kemasyarakatan. Imam seharusnya jadi dan tetap tampil sebagai budayawan utuh dengan kegenapan rasa, peka dan kritis dalam evaluasi dan tanggapannya. Maka seorang imam diantisipasi agar sehat, segar dan asli, jiwa serta semangatnya, kreatif dalam kepemimpinannya, dan insipratif perkataan dan penampilannya, perlu terus membina kerohanian.11 Concern citra imamat di Indonesia yang akan datang ialah “citra imam sebagai pemuka umat yang memiliki kepribadian teguh mengumat serta 11
26
Soenarjo, 1987, p. 58-59.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
memasyarakat seraya secara khusus melayani matra rohani Kristiani dengan berbobot”.12 Aspek mengumat dan memasyarakat, menunjuk bahwa imam menjunjung tinggi nilai-niali pastoral relasional agar mampu mengajak orang lain peka akan lingkungannya hingga memiliki solidaritas tinggi, siaga untuk hidup sederhana, dan menjadi pejuang yang gigih demi penegakan keadilan. Aspek kerohanian menujuk bahwa imam perlu menjunjung tinggi nilai-nilai kepekaan rohani sebagai gembala dan nabi, yang memancarkan kedalaman hidup, menjadi manusia rohani, agar mampu mengajak orang lain untuk menjangkau Allah yang transenden. Aspek bobot menunjuk bahwa imam perlu menjunjung tinggi nilai-nilai keunggulan pribadi dan perilaku agar ingin tahu tanpa henti, memiliki disiplin belajar tidak habishabisnya, serta ketrampilan mengkomunikasikan semangat yang kena pada situasi dan kondisi yang melingkupinya. Komitmen imamatku sebagai seorang Lazaris, menyimak paparan di atas, ialah imam yang good and smart. Antisipasi imam yang baik dan cerdas memang bukan tanpa upaya yang teratur. Kini secara luas tersedia berbagai sarana untuk pemeriksaan diri berbentuk tes bertalian dengan kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spiritual, kecerdasan mental dan kepribadian. Bentuk-bentuk tes tersebut memang tidak definitif tetapi sekedar sebagai penyegar diri. Imam yang good and smart sungguh-sungguh memerlukan penginvestasian diri secara sistematis. Good and smart bagi seorang imam seharusnya merupakan upaya membangun tradisi kualitas diri. Sementara itu tema Yesus pusat Hidupku pada gilirannya seharusnya kusosialisasikan pada umat di mana saya berkarya. Syarat pencapaian tujuan pensosialisasian tersebut adalah bahwa saya sendiri telah sedang berproses retrogresif dalam memiliki elan-vital tersebut yakni Yesus Pusat Hidupku. Saya mendisiplinkan diri dalam program ONGING FORMATION, dalam menginvestasikan diri, agar saya mampu menjadikan Yesus Pusat Hidup Umat, di mana saya akan berkarya... Brena (1988) membantu upaya menempatkan Yesus Pusat Hidup Umat, lewat paradigmanya, yakni apa yang disebutnya sebagai spiritualitas awam. Paradigma tersebut menunjuk suatu “keintiman dengan Allah dan pertumbuhan pribadi secara suci di dalam dan melalui pengalaman-pengalaman manusiawi mereka sehari-hari yang paling umum”.13 Letak posisi Yesus adalah pada sifat spiritualitas awam itu yakni sebagai spiritualitas situasi, artinya mengikuti Kristus dalam situasi awam konkret. Dieja lebih jauh hal ini merujuk bahwa umat selalu mereposisi dan merevitalisasi Yesus Pusat Hidup. Sejumlah tengarai spiritualitas awam pada gilirannya merupakan bagian dari komitmen imamatku, man of fidelty, untuk kusosialisasikan pada umat, yang telah sedang terlibat hidup global, dalam upaya mereposisi dan merevitalisasi Yesus Pusat Hidup. Sejumlah tengarai tersebut adalah (1) berakar dalam kehidupan; (2) inkarnasi; (3) kebajikan seksualitas; (4) orang garis depan; (5) komitmen kuat; (6) ketidakamanan; (7) berorientasi terutama pada
12 13
Mardiatmadja, 1987 : 60. Brena, 1988 : 25.
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
27
“wong alit”; (8) keintiman dengan Allah; (9) nilai-nilai manusiawi; (11) bersifat komunitas; (12) menuntun ke kepenuhan hidup; (13) bersifat Gerejawi, biblikal, liturgikal, apostolik, Kristus sentris; (14) seperti imam. Komitmen imamatku memang mengantisipasi sesuatu yang jauh ke depan bagi kelangsungan hidup Gereja Yesus hic et nunct. Idealisasi umat menjadikan Yesus Pusat Hidupnya memerlukan refleksi imamatku secara pastoralis dan teologis. Kondisi objektif kehidupan umat secara multi dimensional (ekonomi, hukum kultural, pendidikan sosial) dewasa ini cenderung mengenaskan adanya (Ripple, 1987). Kondisi yang demikian itu menuntut pelayanan pastoral demi terproseskannya kematangan Kristiani pada umat (Jacobs, 1988). Mungkin memang diperlukan studi kelayakan di bidang pelayanan pastoral: Suatu pertanyaan integritas dan kiatkiat penemuannya baik personal maupun komunal (Campbell, 1986). Semua itu mengantisipasi pertanyaan retoris Kung (1987) dalam kebertahanan Kristianitas seseorang bertalian dengan tiga hal yakni komitmen Kristianitas dalam masyarakat yang mengalami disorientasi, upaya bertekun dalam berbagai tekanan, dan ketiadaterbagikannya Kristus. Sementara itu Schall (1994) dengan tajam mempermasalahkan eksistensi Katolisisme dalam perjalanan sejarahnya. Dalam kedua paparannya dia menyatakan, di satu pihak betapa kelemahan apologia Katolik: The apologist has no ‘alibi’ no excuse if the faith or inteligence he explains or justifies is not that of the revelation itself. Too often we hear preached fundamentally ‘this world’, not Catholicism... No doubt it is true, in conclucion, that certain forms of ‘faith and justice’ theories have come to be preached in the name of Catholicism. This is not eternal life.14 Di lain pihak dia menegaskan adanya revolusi dalam Katolisisme sehingga masih eksis sampai dengan kini: To return to the initial question, does Catholicism ‘still believe in something’ or is it ‘beginning to doubt everything’? The shortest answer is ‘yes, there are those who doubt everything; yes, Catholicism still believe in something’. We do worry about ‘the human machinery of a perfect and supernatural revelation’. But when we finally examine the content of this perfect and supernatural revelation, even when we do so with... who when asked near the end of this life why he believed in Catholicism, responded, with some exasperation, ‘what else is there’?15 5.
Discourse (Personal or Emmaus) Having read those above short simple thought, how far am I able to draw my priesthood could be within any real condition that has being lived sed
14 15
28
Schall, 1994, pp. 128-9. Ibid., pp. 258-59.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
fidelis usque ad mortem? So far I have being formed, within my hard study, for continually building personal investment tradition, how is Jesus in my concern? How far do I take place Jesus as my priesthood life ultimate centre? Do I am to prepare for facing any problem infront of anticipation, during my socialize that Jesus’ – Ultimate-Centre for the parish whereas I am going to be envoyed?
BIBLIOGRAFI A Reader’s Guide to the Holy Bible, 1972, Nashville: Thomas Nelson Inc. Beoang, K.B., 1997, Michel Foucault: Parrhesia Dan Persoalan Mengenai Etika, Jakarta: Obor. Brena, J.S., 1988, Lay Spirituality Today, terjemahan ke dlm., Spiritualitas Awam Jaman Sekarang, oleh Jacobus Tarigan (1990), Jakarta: KKA KWI. Campbell, A.V., 1986, Rediscovering Pastoral Care, London: Darton, Longman & Todd. Contituties Congregatie van de Fraters van O.L. Vroum van het H. Hart, 1997, Zutphen: Kaninklijke Wohrmann bv. Crossan, J.D., 19994, The Essential Jesus: What Jesus Really Tought, San Francisco: Harper. Ellison, C.W. (ed.), 1983, Your Better Self: Christianity, Psychology, and Self Esteem, Sao paulo: Harper & Row. France, R.T. , 1975, Jesus The Radical: A Portrait of the Man They Crucified, terjemahan ke dalam, Yesus Sang Radikal: Potret Manusia Yang Disalibkan, oleh P.G. Katoppo (1996), Jakarta: BPK Gunung Mulia. Freemesser, G.F., 1985, Learning to Live From Within: A Glimpse of Jesus as Healer, Denville: Dimension Books, Inc. Goldsmith, J. S., 1987, The Infinite Way, California: DeVorss & Co. Jacobs, M., 1988, Towards The Fullness of Christ, London: Darton, Longman & Todd. Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici), 1991, Jakarta: Obor Koptari, 1987, Spiritualitas Pelayanan: Religius Melayani Kerajaan Allah. Kung, H., 1987, Why I Am Still a Christian, Edinburg: T&T Clark LTD. Mardiatmadja, B.S., 1987, “Rangkuman Diskusi Umum Mengenai Pendidikan Seminari”, dlm., Pendidikan Imam Dalam Masyarakat Indonesia Modern, Jakarta: Yayasan Gembala Utama. McKenna, B., & Libersat, H., 1987, Miracles Do Happen, terjemahan ke dlm., Mukjizat-Mukjizat di Zaman Modern, oleh I. Suharyo, Pr. (1995), Yogyakarta: Kanisius.
M. Fidelis Sigmaringen, Yesus Pusat Hidupku
29
Omer, B., 1991, Broeder in Instituten voor Lekereligieuzen, Rome: U.S.G. Parker, W. R., & Johns, E., 1957, Prayer Can Change Your Life, Englewood Cliffs: Prentice-Hall, Inc. Paulus II, Y., 1994, Directory onyhe Ministry And Life of Priest, terjemahan ke dlm., Direktorium Tentang Pelayanan dan Hidup Para Imam, oleh R. Hardawirjana, SJ. (1996), Jakarta: Dokpen KWI. Pernyataan Sidang Pleno Masri September 1984, Melayani Orang Kecil. Rahner, K., 1976, Prayer And Practice: Belief Today, London: Sheed & Ward. Rahner, K., 1984, Prayers of A Lifetime, Edinburg: T & T Clark LTD. Ripple, P., 1987, Growing Strong at Broken Places, Indiana: Ave Maria Press. Robinson, J.A.T., 1963, Honest to God, London: SCM Press Ltd. Schall, J.V., 1994, Does Catholicism Still Exist?, New York: Alba House. Schuller, R.H., 1985, Positive Prayers for Power-Filled Living, Auckland: Bantam Books. Soenarjo, A., 1987, “Sumbang Saran II Pendidikan Imam Untuk Abad 21”, dlm., Pendidikan Imam Dalam Masyarakat Indonesia Modern, Jakarta Yayasan Gembala Utama.
30
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
JIWA MENURUT TERTULIANUS: SUATU POLEMIK FILOSOFIS
Edison R.L. Tinambunan, O.Carm. STFT Widya Sasana, Malang Abstract: Tertulian is the Latin father of the church who eradiated many writings; and “de Anima” is one of his important writing, which treats about soul. In this writing, Tertulian wrote his polemic with Platonism and Stoicism philosophy. Both philosophies have advantage and disadvantage. Tertulian as a philosopher and believer profits these philosophies of advantage and disadvantage in his polemic about soul with the philosophers. At the end of his polemic, he concludes that the both philosophies could be a great help for the teaching of soul, but also be a seed of heresy. Keywords: jiwa, Tertulianus, nasib jiwa, keabadian jiwa.
Kita tidak memiliki banyak informasi akan riwayat hidup Tertulianus. Ia dilahirkan di Cartago dengan tahun yang tidak pasti. Walau sebagian ahli menyetujui bahwa ia lahir pada tahun 160,1 Paolo Siniscalco memilih untuk tidak menentukan tahun karena alasan di atas.2 Ia berasal dari keluarga perwira Romawi yang pada waktu itu bertugas di Cartago. Ia adalah orang yang suka belajar yang ditunjukannya dengan menekuni hukum, retorika, literatur klasik, filsafat, dan mengetahui dengan fasih bahasa Yunani; bahasa Latin tentu saja tidak perlu dipertanyakan. Kita tidak tahu alasan mengapa ia menjadi Kristen; mungkin terpesona akan sikap orang Kristen yang sangat gigih mempertahankan iman mereka dalam penganiayaan.3 Berdasarkan informasi riwayat hidup yang dimiliki, ia tergolong orang yang suka “bertobat” karena ia bertobat dari paganisme ke Kristen, kemudian ia pindah ke montanisme4 dan akhirnya, sebelum akhir hidupnya pada tahun 220, ia keluar dari
1
2 3 4
Johannes Quasten, Patrologia, Vol. 1, Traduzione Nello Beghin, Casale Monferrato, Marietti, 1992, hlm. 493. Bdk., G. Bosio, E. dal Covolo, M. Maritano, Introduzione ai Padri della Chiesa, (Secoli II e III), Torino, Società Editrice Internazionale, 1991, hlm. 80. Hubertus Robert Drobner, Patrologia, Presentazione di Angelo Di Berardino, Casale Monferrato, Piemme, 1998, hlm. 221. Robert D. Sider, “Tertulian”, dlm., Encyclopedia of Early Christianity, New York & London, Garland Publishing & a Member of the Taylor and Francis Group, 1998. hlm. 1108. Paolo Siniscalco, “Tertuliano”, dlm. Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, diretta da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994. hlm. 3414. Johannes Quasten, Patrologia, hlm. 494. Montano adalah orang yang mengaku diri sebagai pembawa suara Roh Kudus yang telah dijanjikan di dalam Injil Yohanes 14: 26; 16: 7. Ia mendapat penampakan sekitar tahun 155-160 di Frigia; bdk., B. Aland, “MontanoMontanisme”, dlm. Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, hlm. 2299-2301.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
31
aliran ini dan mendirikan sekte yang dipimpinnya sendiri. Sekte ini bertahan hanya sampai pada zaman Agustinus. Tertulianus adalah salah satu bapa Gereja Latin yang penting, karena ia adalah promotor penulis-penulis Latin yang sampai pada zamannya masih didominasi para penulis Yunani. Ia juga membela iman dengan gigih selama ia menjadi penganut Kristus. Hal ini diungkapkannya dalam tulisan-tulisan5 yang semuanya bersifat polemik dengan kaum eretik, pagan, Yahudi dan para filsuf. Ia tergolong orang yang tidak suka menuliskan tentang dirinya dalam tulisan-tulisannya. Untuk memperolehnya, kita harus mencari dari tulisan para bapa Gereja yang lain. Salah satu informasi yang sangat berharga mengenai Tertulianus diperoleh dari buku Hironimus yang berisi tentang Sejarah Gereja, yang menyebutkan bahwa Tertulianus adalah seorang imam.6 Tertulianus menulis De Anima sekitar tahun 210-213; karya ini adalah suatu polemik dengan Platonisme, seperti: Marcionisme dan Valentinisme mengenai jiwa.7 Ia membagi karya ini menjadi tiga bagian: Eksistensi jiwa, keunggulan teori Stoisisme akan jiwa, dan nasib jiwa. Tujuan Tertulianus menulis buku ini adalah untuk menempatkan ajaran Kristen yang benar untuk menghadapi eresia mengenai jiwa. Sumber utama Tertulianus adalah filsafat Platonisme, filsafat Stoisisme, dan tulisannya sendiri, secara khusus De Testimonio Animae yang ditulis sebelumnya, pada tahun 197.8
1.
Eksistensi Jiwa Tertulianus membuka buku De Anima dengan menampilkan eksistensi jiwa yang telah dikemasnya dalam karya yang ditulis sebelumnya dengan judul De Testimonio Animae. Dalam polemiknya tentang jiwa, Tertulianus menempatkan peran filsafat untuk menerangkan argumennya akan jiwa. Ia menampilkan Sokrates yang
5
Karya Tertulianus adalah: Ad Nationes, Apologeticum, De Testimonio Animae, Ad Scapulum, Adversus Iudaeos, De Praescriptione Haereticorum, Adversus Marcionem, Adversus Hermogenem, Adversus Valentinianos, De Baptesimo, Antiscorpionico, De Carne Christi, De Resurrezione Carnis, Adversus Praxean, De Anima, Ad Martyras, De Spectaculis, De Cultu Feminarum, De Habitu Muliebri, De Oratione, De Patientia, De Paenitentia, Ad Uxorem, De Exhortatione Castitatis, De Monogamia, De Virginibus Velandis, De Corona, De Idolatria, De Ieiunio Adversus Psychicos, De Pudicitia, dan De Pallio.
6
Hironimus, De Viris Illustribus, 53.
7
Marcionisme dan Valentinisme adalah eresia gnostisisme yang dipengaruhi Platonisme.
8
De Testimonio Animae berisikan eksistensi jiwa dalam manusia; Tuhan berkomunikasi dengan manusia lewat jiwa (17, 4-6). Tuhan memberikan ajarannya kepada manusia melalui jiwa; oleh sebab itu jangan cari ajaran Tuhan pada ajaran-ajaran para filsuf, karena sudah terdapat dalam diri sendiri. Johannes Quasten, Patrologia, hlm. 508-510. Bdk., G. Bosio, E. dal Covolo, M. Maritano, Introduzione ai Padri della Chiesa, hlm. 109-110; H. R. Drobner, Patrologia, hlm. 227-228.
32
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
dijatuhi hukuman mati. Sesudah mati, bagaimana dengan jiwanya?9 Apakah jiwa ikut mati bersama dengan tubuh? Ke mana jiwa pergi? Para filsuf memiliki berbagai pendapat. Tertulianus menghimbau para pendengarnya untuk berhati-hati pada ajaran para filsuf ini, karena banyak di antara mereka keliru.10 Bagi Tertulianus, filsafat Stoa bisa membantu untuk menjelaskan tentang jiwa11 dan pengetahuan medis, yang pada waktu itu adalah “saudara” filsafat, bertujuan untuk merawat tubuh dan juga memiliki pengetahuan akan jiwa.12 Platonisme berpendapat bahwa jiwa tidak diciptakan.13 Bagi Platonisme, jiwa adalah “pre-eksistensi”; itu berarti bahwa Platonisme tidak mengenal penciptaan jiwa.14 Sedangkan menurut Tertulianus, jiwa diciptakan (creatio ex nihilo)15 bersamaan dengan tubuh. Ia mengutip teori Zenone dan Cleante yang mengatakan bahwa jiwa diciptakan bersamaan dengan tubuh, artinya bahwa jiwa diciptakan dari yang tidak ada menjadi ada,16 bukan turun dari Tuhan.17 Ermogenes, yang adalah
9
10
11
12 13 14
15 16
17
De Anima, 1, 2, (CCL 2, hlm. 781): “Etiam in carcere Socratis de animae statu uelitatum est, nescio iam hoc primum, an oportuno in tempore magistri, etsi nihil de loco interest”. Bdk., Plato, Phedo 63C-69C; Plato, Complete Works, Edited with Introduction and Notes by John M. Cooper, Indianapolis/Cambridge, Hackett Publishing Company, 1997, hlm. 55-60. Semua kutipan mengenai Plato diambil dari edisi ini. De Anima, 3, 1, (CCL 2, hlm. 785): “Nihil omnino cum philosophis super anima quoque experiremur, patriarchis, ut ita dixerim, haereticorum, siquidem et ab apostolo iam tunc philosophia concussio ueritatis prouidebatur”. De Anima, 5, 2, (CCL 2, hlm. 786): “Sed etiam Stoicos allego, qui spiritum praedicantes animam paene nobiscum, qua proxima inter se flatus et spiritus, tamen corpus animam facile persuadebunt.” Tertulianus mengikuti aliran Stoisisme untuk berpolemik dengan Platonisme; sedangkan Platonisme sendiri melihat bahwa Stoisisme adalah lawan berfilsafat. Bdk., Plotino, Enneadi, 6, 6, 25-30, A cura di Giuseppe Faggin, Milano, Bompiani, 2000, hlm. 1003-1015. Penulis menggunakan teks Plotino bersumber pada edisi ini. De Anima, 2, 6, (CCL 2, hlm. 784): “Sed et medicinam inspexi, sororem, ut aiunt, philosophiae, sibi quoque hoc negotium uindicantem”. Plato, Phedo, 76d-77a, hlm. 67; 87a-88b, hlm. 75-76; 92d-e, hlm. 80. Bdk., Plotino, Enneadi, 6, 4, 10, hlm. 1143. De Anima, 4, 1, (CCL 2, hlm. 786): “Hoc Plato excludit innatam et infectam animam volens”. De Anima, 9, 2, (CCL 2, hlm. 792): “... sed animam immortalem, igitur indissolubilem, qua immortalem, et ineffigiatam, qua indissolubilem, ceterum compositiciam et structilem, si effigiatam, tamquam alio eam modo effigians intellectualibus formis, pulchram iustitia et disciplinis philosophiae, deformem uero contrariis artibus”. Lih., H. A. Wolfson, The Philosphy of the Church Fathers, Faith, Trinuty, Incarnation, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, 1976, hlm. 264. De Anima, 4, 1, (CCL 2, hlm. 786): “Et natam autem docemus et factam ex initii constitutione.” Teori ini juga diikuti oleh Crissipus yang dikutip Tertulianus dalam buku yang sama de Anima, 5, 6, (CCL 2, hlm. 787): “Sed et Chrysippus manum ei porrigit constituens corporalia ab incorporalibus derelinqui omnino non posse.” Zenone dan Cleante adalah tokoh sekolah filsafat Stoisisme. Untuk teks filsafat Stoicisme, penulis menggunakan sumber: Stoici Antichi, a cura di Margherita Isnardi Parente, Vol. 1& 2, Torino, Unione Tipografico-Editrice Torinese, 1989. De Anima, 3, 4, (CCL 2, hlm. 785): Teori Ermogenes berbunyi: “Vna iam congressione decisa aduersus Hermogenien, ut praefati sumus, quia animam ex dei flatu, non ex materia uindicamus.” Tertulianus telah berkata pada awal bukunya de Anima bahwa dia mau menolak teori Ermogenes tentang asal usul jiwa; lihat 1, 1, (CCL 2, hlm. 781): “De solo censu animae congressus Hermogeni, quatenus et istum ex materiae potius suggestu quam ex dei flatu constitisse praesumpsit.” Plato, Phedo, 95c-d, hlm. 83. Bdk. Plotino, Enneadi, 6, 4, 15, hlm. 1141-1142.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
33
penganut medio Platonisme,18 mengatakan bahwa jiwa berasal dari nafas Tuhan19 dan bukan suatu materi. Tentu saja Tertulianus, dengan teori creatio ex nihilo, menentang Ermogenes;20 dan mengatakan bahwa nafas adalah materi,21 karena memiliki bentuk yang analogal dengan warna transparan. Sehubungan dengan ini Paulus bisa memberi masukan dengan mengatakan bahwa di dalam tubuh ditemukan jiwa yang memiliki telinga dan mata untuk mendengarkan dan untuk melihat Tuhan;22 itu berarti bahwa jiwa memiliki indra seperti yang dimiliki tubuh. Tertulianus, untuk melengkapi pendapatnya tentang jiwa, mengutip Soranus yang mengatakan bahwa jiwa disokong oleh tubuh;23 artinya aktivitas tubuh juga mempengaruhi jiwa. Soranus memberi contoh kapal yang sedang berlayar di laut. Laut adalah materi untuk menopang kapal yang juga adalah materi.24 Demikian juga dengan jiwa yang ditopang oleh tubuh yang keduanya adalah materi. Tertulianus, untuk mendukung pendapat Soranus ini, menambahkan contoh matahari yang memiliki energi untuk menyinari dan membakar yang tidak lain adalah juga materi, walaupun energi itu tidak kelihatan. Demikian juga dengan jiwa yang tidak kelihatan itu memiliki energi,25 karena energi ini menggerakan tubuh. Kemudian dalam Kitab Suci26 ditunjukan bahwa ada hukuman Tuhan bagi jiwa, yang dengan sendirinya menunjukan aspek materi jiwa, karena ia menanggung penderitaan di neraka.
18
Termin Medio Platonisme (abad I - III) dan Neo Paltonisme digunakan pada zaman para bapa Gereja, karena filsafat Platonisme bekembang dan digunakan untuk pembentukan kultur. Para bapa Gereja juga banyak tergantung dari pemikiran filsafat ini; bdk., Salvatore Lilla, Introduzione al Medio Platonismo, Roma, Istituto Patristico “Augustinianum”, 1992, hlm. 5. 19 Untuk membedakan iman “tuhan” Platonisme dan Tertulianus maka “tuhan” (dimulai dengan huruf kecil) adalah iman platonisme dan “Tuhan” (diawali dengan huruf besar) adalah iman Tertulianus. 20 E. Prinzivalli, Ermogene, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, Diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, hlm. 1202: “Ermogenes è un eretico cristiano (fine II, inizio III sec.). Ermogenes dimostra di essere influenzato dalla filosofia greca quando afferma l’eternità e la preesistenza della materia da cui Dio plasma, ordinando, il mondo. Il male quindi non deriva da Dio, ma dalla materia increata.” 21 De Anima, 9, 6, (CCL 2, hlm. 793). 22 2 Kor. 12: 2-4. 23 De Anima, 6, 6, (CCL 2, hlm. 789): “Sed nec hic gradus stabit etiam Sorano methodicae medicinae instructissimo auctore respondente animam corporalibus quoque ali, denique deficientem a cibo plerumque fulciri.” 24 De Anima, 8, 3, (CCL 2, hlm. 791): “Quid enim, inquit Soranus, si mare negent corpus, quia extra mare immobilis et grauis nauis efficitur? Quanto ergo ualidius corpus animae, quod tanti postea ponderis corpus leuissima mobilitate circumfert!” 25 De Anima, 8, 5, (CCL 2, hlm. 791): “Sol enim corpus, siquidem ignis; ..... Tantundem et animae corpus inuisibile carni, si forte, spiritui uero uisibile est”. 26 De Anima, 7, 1, (CCL 2, hlm. 790): Tertulianus mengutip Lukas 16: 23-24: “Orang kaya itu juga mati, lalu dikubur. Dan sementara ia mederita sengsara di dalam maut ia memandang ke atas, dan dari jauh dilihatnya Abraham, dan Lazarus duduk di pangkuannya. Lalu ia berseru, katanya: Bapa Abraham, kasihanilah aku. Suruhlah Lazarus, supaya ia mencelupkan ujung jarinya ke dalam air dan menyejukkan lidahku, sebab aku sangat kesakitan dalam nyala api ini”.
34
Vol. 3 No. 1, Oktober 2003
Sebenarnya Tertulianus telah menyebutkan pemikirannya ini dalam bukunya yang berjudul Adversus Hermogenem yang ditulis sekitar tahun 200.27 Menurut Ermogenes, jiwa berasal dari roh atau hembusan Tuhan. Dalam buku de Anima Tertulianus menolak pendapat Ermogenes ini dengan mengatakan bahwa jiwa diciptakan, kemudian Roh Tuhan menguduskannya melalui baptisan.28 Dalam menolak argumen Ermogenes, Tertulianus mengatakan: “Hidup adalah bernafas, dan bernafas adalah hidup.”29 Keduanya tidak dapat dipisahkan. Akan tetapi keduanya dibedakan dalam fungsi.30 Hal ini dikatakan Tertulianus untuk menolak pendapat Ermogenes yang mengatakan bahwa nafas adalah Tuhan atau identik dengan Tuhan31 yang menjadi jiwa manusia. Tertulianus dengan tegas mempertahankan pendapatnya dengan mengatakan bahwa bernafas adalah aktivitas hidup.32 Untuk itu ia mengutip lagi Kitab Yesaya: “Sebab bukan untuk selama-lamanya Aku hendak berbantah, dan bukan untuk seterusnya Aku hendak murka, supaya semangat mereka jangan lemah lesu dihadapanKu, padahal Akulah yang membuat nafas kehidupan.”33 Platonisme bertekun pada pendapat bahwa jiwa berasal dari tuhan atau turun dari tuhan. Oleh sebab itu, jiwa pada dasarnya abadi, tidak materi, karena identik dengan asalnya yang adalah abadi, tidak materi.34 Teori Platonisme ini memiliki kelemahan: “Kapan jiwa dimasukan ke dalam tubuh?” Pengikut Platonisme mengalami kesulitan untuk memberi jawaban, karena dalam diri manusia ada pre-eksistensi dan creatio ex nihilo. Konsekuensi teori Platonisme ialah bahwa ada saat tubuh tidak memiliki jiwa, karena jiwa yang kekal disisipkan pada tubuh creatio ex nihilo. Posisi jiwa di dalam tubuh juga menjadi persoalan, karena ia disisipkan ke dalamnya dan tubuh menjadi semacam penjara bagi jiwa dan ia selalu berusaha untuk membebaskan diri.35
27 28
29 30 31 32 33 34
35
Adversus Hermogenem, 32, 1 – 33, 2, (CCL 1, hlm. 424-425). De Anima, 11, 3, (CCL 2, hlm. 797): “... id est flatus, populo in terra incedenti, id est in carne carnaliter agenti, postea spiritus eis qui terram calcant, id est opera carnis subigunt, quia et apostolus non primum quod spirituale, sed quod animale, postea spirituale”. Tertulianus mengambil referensi pada 1 Kor. 15, 46. De Anima, 10, 7, (CCL 2, hlm. 795): “At enim uiuere spirare est et spirare uiuere est. Ergo totum hoc et spirare et uiuere eius est cuius et uiuere, id est animae”. De Anima, 10, 9, (CCL 2, hlm. 796): “Sed licet et duo (uiuere et spirare) esse concreta. Sed distinguunt substantias opera”. De Anima, 11, 1, (CCL 2, hlm. 796). De Anima, 11, 1, (CCL 2, hlm. 796). Yes. 57 : 16. Jiwa yang seperti ini dengan sendirinya memiliki atribut: Ilahi, sempurna, abadi, tidak kelihatan, mahatinggi, universal, tidak tersentuh, tidak terpikirkan, tidak memiliki tubuh, tidak dapat rusak. De Anima, 24, 1, (CCL 2, hlm. 816): “Innatam eam facit, quod et solum armare potuissem ad testimonium plenae diuinitatis; adicit immortalem, incorruptibilem, incorporalem, quia hoc et deum credidit, inuisibilem, ineffigiabilem, uniformem, principalem, rationalem, intellectualem.” Plato, Phedo, 84a-b, hlm. 73. De Anima, 23, 1, (CCL 2, hlm. 815): “Quidam de caelis deuenisse se credunt tanta persuasione quanta et illuc indubitate regressuros repromittunt.” Plato, Phedo, 66d-67b, hlm. 58; 81c-e, hlm. 71; 82d-e, hlm. 72. Bdk., Plotino, Enneadi, 6, 4, 5, hlm. 1123.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
35
Penganut Platonisme, tidak memiliki pemikiran yang sama tentang persoalan ini. Perbedaan ini tergantung dari aliran sekolah Platonisme. Misalnya, Saturninus, murid Menander, mengatakan bahwa malaikatlah pencipta manusia; dan sesudah penciptaannya, tubuh sangat lemah dan tidak menentu; oleh sebab itu diperlukan kekuatan dari tuhan, yaitu jiwa, untuk mendorong dan menghidupkan tubuh. Kemudian Carpocrates mengatakan bahwa manusia memperoleh kekuatan dari tuhan mulai dari masa kecil, sama seperti yang dialami Kristus untuk memerintah dunia.36 Apelle, murid Marciones menyatakan bahwa tuhan adalah pencipta, tetapi ia menciptakannya dengan perantaraan para malaikat; kemudian melalui malaikat itu, yang disebut dengan Demiurgo, menciptakan dunia bawah. Menurut Marciones, Yesus tidak memiliki tubuh yang sebenarnya, tetapi hanya roh. Apelle diutus tuhan untuk melengkapi pekerjaan Demiurgo. Tertulianus, yang memiliki iman akan Kristus, tentu menolak pendapat ini; dengan kata lain, jiwa adalah creatio ex nihilo. Sehubungan dengan itu, ia juga menolak pendapat Platonisme mengenai atribut jiwa yang identik dengan Tuhan, karena dalam kenyataan bahwa ada jiwa yang bodoh, dapat berdosa, dan mati,37 yang jelas bertentangan dengan atribut Tuhan. Maka untuk mengoreksi semua pendapat itu, Tertulianus mengatakan bahwa jiwa adalah creatio ex nihilo, diciptakan dan memiliki kemungkinan untuk membuatnya intellijen melalui pelatihan.38 Kemudian Tertulianus bertanya: “Kapan jiwa diciptakan? Di mana diciptakan? Bagaimana jiwa diciptakan?”39 Tertulianus mendasarkan pendapatnya pada Kitab Suci,40 yang menunjukan kehidupan di dalam rahim. Ketika Elisabet menerima salam Maria, kandungannya pun melonjak kegirangan.41 Di tempat lain Tuhan berkata kepada Yeremia bahwa Ia telah mengenalnya dari sejak rahim ibunya dan sebelum kelahirannya, Ia telah menguduskannya.42 Melalui kutipan ini, Tertulianus mau mengatakan bahwa tubuh dan jiwa diciptakan bersama-sama pada saat dikandung;43 dengan demikian keduanya hidup bersatu dan telah menjadi
36
37
38
39 40 41 42 43
36
De Anima, 23, 2, (CCL 2, hlm. 815): “Sed et Carpocrates tantundem sibi de superioribus uindicat, ut discipuli eius animas suas iam et Christo, nedum apostolis, et peraequent et cum uolunt praeferant, quas perinde de sublimi uirtute conceperint despectrices mundipotentium principatuum”. De Anima, 24, 2, (CCL 2, hlm. 816): “Nos autem, qui nihil deo adpendimus, hoc ipso animam longe infra deum expendimus, quod natam eam agnoscimus ac per hoc dilutioris diuinitatis et exilioris felicitatis, ut flatum, non ut spiritum; et si immortalem, ut hoc diuinitatis, tamen possibilem, ut hoc natiuitatis, ideoque et a primordio exorbitationes capacem et inde etiam obliuionis affinem”. De Anima, 24, 2, (CCL 2, hlm. 816): “Nemo ergo concedet naturalem scientiam naturalium excidere; artium excidet, studiorum; excidet doctrinarum, disciplinarum; excidet fortasse et ingeniorum et affectum, quae naturae uidentur, non tamen sunt”. De Anima, 25, 1, (CCL 2, hlm. 818-819): “Iam nunc regrediar ad causam huius excessus, uti reddam, quomodo animae ex una redundent, quando et ubi et qua ratione sumantur”. Bdk., De Anima, 26, 1-5, (CCL 2, hlm. 821-822). Luk. 1: 41. Yer. 1: 5. De Anima., 27, 1, (CCL 2, hlm. 822-823): “Immo simul ambas et concipi et confici, perfici dicimus, sicut et promi, nec ullum interuenire momentum in conceptu quo locus ordinetur”.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
manusia yang utuh sejak saat itu.44 Di tempat lain pada buku yang sama, (bab 3638), Tertulianus mengatakan lebih jelas bahwa penciptaan jiwa dan tubuh sudah sejak pertemuan sperma dan indung telur. Dua hakekat bertemu dan pada saat pertemuan, bukan dua hakekat lagi, melainkan satu untuk membentuk tubuh-jiwa manusia;45 kesatuan ini tidak terpisahkan dan diciptakan bersamaan.46 Dalam hubungannya dengan Perintah Tuhan yang diterima Musa, yaitu “dilarang membunuh,” Tertulianus mengatakan bahwa pertemuan antara sperma dengan indung telur, adalah titik awal hidup jiwa-tubuh; oleh sebab itu abortus tidak diperkenankan sejak saat itu.47 Bagi Tertulianus, jiwa memiliki kekuasaan untuk memerintah kegiatankegiatan tubuh;48 dan bahwa manusia hanya memiliki satu hakekat. Seandainya akal budi memiliki hakekat tersendiri, maka akan terjadi kekacauan dalam diri manusia. Oleh sebab itu, akal budi adalah sarana (agen) jiwa; akal budi bukan berada di luar hakekat jiwa.49 Alasan jiwa lebih superior atau pemimpin di dalam tubuh, karena Tuhan berhubungan dengan manusia melaluinya. Untuk menjelaskan hubungan ketiganya (jiwa, akal budi dan tubuh), Tertulianus mengambil contoh instrumen organ yang menghasilkan kombinasi suara, walau kumpulan dari berbagai nada.50 Ketiganya bersatu di dalam hakekat yang sama, hanya tugas yang berbeda.
44
De Anima, 27, 3, (CCL 2, hlm. 823): “Porro uitam a conceptu agnoscimus, quia animam a conceptu uindicamus; exinde enim uita, quo anima”. Bdk., H. A. Wolfson, The Philosophy of the Church Fathers, (1976), hlm. 453.
45
De Anima, 36, 2, (CCL 2, hlm. 838): “Anima in utero seminata pariter cum carne pariter cum ipsa sortitur et sexum, ita pariter, ut in causa sexus neutra substantia teneatur. Si enim in seminibus utriusque substantiae aliquam intercapedinem eorum conceptus admitteret, ut aut caro aut anima prior seminaretur, esset etiam sexus proprietatem alteri substantiae adscribere per temporalem intercapedinem seminum, ut aut caro animae aut anima carni insculperet sexum”. De Anima, 36, 4, (CCL 2, hlm. 839): “Vtriusque autem substantiae indiscreta semina et unita suffusio eorum communem subeunt generis euentum, qua lineas duxerit quaecumque illa est rationaturae”.
46
De Anima, 27, 4, (CCL 2, hlm. 823): “Immo si tempora seminum diuidentur, et materiae diuersae habebuntur ex distinta temporum. Nam etsi duas species confitebimur seminis, corporalem et animalem, indiscretas tamen uindicamus et hoc modo contemporales eiusdemque momenti”.
47
De Anima., 37, 2, (CCL 2, hlm. 839): “Ex eo igitur fetus in utero homo, a quo forma completa est”.
48
De Anima, 13, 1, (CCL 2, hlm. 799).
49
Pada argumen ini, Tertulianus menolak teori Democritus yang membedakan dua hakekat (jiwa dan akal budi) di dalam manusia: De Anima, 12, 6, (CCL 2, hlm. 798-799: “Democritus obtinebit differentiam tollens et queretur, quomodo unum utrumque, ex duarum substatiarum confusione, ab ex unius dispositione. Nos autem animum ita dicimus animae concretum, non ut substantia alium, sed ut substantiae officium”.
50
De Anima, 14, 4, (CCL 2, hlm. 800): “Specta portentosissimam Archimedis munificentiam, organum hydraulicum dico, tot membra, tot partes, tot compagines, tot itinera uocum, tot compendia sonorum, tot commercia modorum, tot acies tibiarum, et una moles erunt omnia. Sic et Spiritus, qui illic de tormento aquae anhelat, non ideo separabitur in partes, quia per partes administratur, substantia quidem solidus, opera uero diuisus”.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
37
2.
Bina Lanjut Apakah ada jiwa irasional? Tertulianus tidak menyangkal bahwa ada jiwa irasional; bukan berarti bahwa Tuhan menciptakan jiwa seperti itu, tetapi jiwa irasional terjadi sesudah penciptaan.51 Jika kita mengikuti teori Platonisme yang berpendapat bahwa jiwa datang dari tuhan, maka jiwa irasional adalah juga bagian tuhan.52 Itu berarti bahwa tuhan adalah juga irasional. Mengapa ada jiwa irasional? Dalam perkembangan, jiwa kadang mengalami hambatan; akibatnya ada jiwa irasional. Tertulianus mengambil contoh dosa asal. Tuhan menciptakan Adam dan Hawa dengan jiwa rasional, akan tetapi dalam perjalanan hidup mereka, ular membuat jiwa mereka irasional. Jiwa irasional ditandai dengan dosa dan hawa nafsu.53 Agar tidak jatuh pada jiwa irasional, setiap orang memerlukan usaha agar tidak jatuh ke dalam dosa dan nafsu yang terkontrol. Jiwa irasional juga karena kurang pelatihan. Contoh, perumpamaan lima gadis bijaksana dan lima gadis bodoh.54 Kelima gadis bodoh memiliki jiwa yang irasional/ bodoh, yang cenderung mengarah pada perbuatan jahat atau dosa, karena kurang pelatihan.55 Jiwa pada dasarnya rasional, tetapi harus dibentuk mulai dari kecil untuk menjadi jiwa yang bijaksana. Tertulianus menganalogalkannya dengan semai pohon yang tumbuh yang lama-kelamaan, berkat pemeliharaan dan pupuk yang baik, menjadi pohon yang besar dan menghasilkan buah.56 Perkembangan semacam ini sudah tampak dalam hidup bayi yang sudah tahu membedakan ibunya dan orang lain.57 Hal yang perlu diketahui bahwa jiwa berkembang mulai dari penciptaan.58 Kelihatannya, Tertulianus mengikuti teori Seneca yang mengatakan bahwa “tuhan” telah menaburkan semai beni di dalam diri setiap manusia menurut umur yang mengarahkan manusia.59
51 52
53
54 55 56
57 58 59
38
De Anima, 16, 1, (CCL 2, hlm. 802): “Naturale enim rationale credendum est, quod animae a primordio sit ingenitum, a rationali uidelicet auctore”. De Anima, 16, 2, (CCL 2, hlm. 802-803): “Ceterum cum idem Plato solum rationale dicat, ut in anima dei ipsius, si nos etiam inrationale naturae adscribimus, quam a deo anima nostra sortita est, aeque inrationale de deo erit”. De Anima, 16, 2, (CCL 2, hlm. 803): “Sed enim a diabolo immissio delicti, inrationale autem omne delictum.” 16, 5, (CCL 2, hlm. 803): “Igitur apud nos non semper ex inrationali censenda sunt indignatiuum et concupiscentiuum, quae certi sumus in domino rationaliter decucurrisse”. Mat. 25: 1-13. De Anima., 18, 6, (CCL 2, hlm. 808). De Anima, 19, 3, (CCL 2, hlm. 810): “Et si ad arbores prouocamur, amplectemur exempum, siquidem et illis necdum arbusculis, sed stipitibus adhuc surculis etiamnunc, simul de scrobibus oriuntur, inest propria uis animae”. De Anima, 19, 7, (CCL 2, hlm. 811). De Anima, 20, 1, (CCL 2, hlm. 811): “Et hic itaque concludimus omnia naturalia animae ut substantiua eius ipsi inesse et cum ipsa procedere atque proficere, ex quo ipsa censetur”. De Anima, 20, 1, (CCL 2, hlm. 811): “Sicut et Seneca saepe noster:
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Selama perjalanan hidupnya di dunia, jiwa juga memiliki pengalaman yang dialami tubuh, seperti: sedih, capek dll., karena keduanya tidak terpisahkan dan hanya memiliki satu hakekat. Bagi Tertulianus, baptisan perlu sesudah kelahiran di dunia,60 karena melaluinya, jiwa menerima kekudusan karena dibebaskan dari dosa asal. Kekudusan ini sangat diperlukan untuk perkembangan dan keselamatannya.61 Berdasarkan pemikiran Tertulianus ini, kita bisa melihat bahwa sesudah peciptaannya, jiwa memerlukan pembentukan untuk menjadikan jiwa yang intelijen, agar ia bisa membedakan sikap-sikap yang perlu untuk keselamatannya. Sikap pada mimpi. Lalu bagaimana jiwa jika tubuh sedang tidur? Apakah jiwa juga ikut tidur? Jika bermimpi, apakah jiwa juga melakukan yang sama? Pertanyaan ini muncul karena beberapa filsuf berusaha untuk menjelaskan keadaan jiwa pada saat tubuh tidur dan bermimpi.62 Seorang pagan yang bernama Ermotimus, mengatakan bahwa jiwa meninggalkan tubuh pada saat bermimpi.63 Tertulianus menanggapi bahwa jiwa selalu aktif, tidak pernah tidur dan bermimpi. Hanya tubuh yang tidur dan bermimpi, karena memiliki kodrat untuk tidur dan bermimpi. Ia butuh istirahat agar bisa mendapat kesegaran untuk melaksanakan aktivitasnya,64 dan perlu untuk kesehatan. Selanjutnya Tertulianus mengatakan bahwa saat tubuh tidur atau tidak, saat bermimpi atau tidak, jiwa tetap selalu memandang Tuhan penciptanya.65 Tertulianus, dalam bukunya De Anima mengutip banyak nama para filsuf yang memberikan pendapat tentang mimpi.66 Pada kesempatan ini, penulis hanya memberikan empat nama pertama. Epicurius mengatakan bahwa mimpi adalah fana. Di tempat lain, Omerus berpendapat bahwa mimpi memiliki dua aspek, yaitu kebenaran dan khayal. Aristoteles memberi gagasan agak sama dengan Omerus, bahwa kebanyakan mimpi tidak benar, tetapi kadang-kadang juga memberikan makna. Sementara itu Telmessus menyatakan bahwa mimpi tidak memiliki nilai sa-
60 61 62
63 64
65 66
Bdk., De Anima, 38, 1 - 41, 4, (CCL 2, hlm. 840-844). De Anima, 41, 4, (CCL 2, hlm. 844): “Proinde cum ad fidem peruenit reformata per secundum natiuitatem ex aqua et superna uirtute, detracto corruptionis pristinae aulaeo totam lucem suam conspicit”. De Anima, 43, 2, (CCL 2, hlm. 845): “Stoici somnum resolutionem sensualis uigoris affirmant, Epicurei deminutionem spiritus animalis, Anaxagoras cum Xenophane defetiscentiam, Empedocles et Parmenides refrigerationem, Strato segregationem consati spiritus, Democritus indigentiam spiritus, Aristoteles marcorem circumcordialis caloris”. De Anima, 44, 1, (CCL 2, hlm. 848): “Ceterum de Hermotimo. Anima, ut aiunt, in somno carebat, quasi per occasionem uacaturi hominis proficiscente de corpore”. De Anima, 43, 5, (CCL 2, hlm. 846): “Superest, si forte, cum stoicis resolutionem sensualis uigoris somnum determinemus, quia corporis solius quietem procuret, non et animae. Animam enim ut semper mobilem et semper exercitam nunquam succidere quieti, alienae scilicet a statu immortalitatis; nihil enim immortale finem operis sui admittit, somnus autem finis est operis”. De Anima, 43, 6, (CCL 2, hlm. 846): “Apud nos autem id poterit audiri quod dei contemplatio suggerit, auctoris omnium de quibus quaeritur”. De Anima, 46, 1-13, (CCL 2, hlm. 850-853).
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
39
ma sekali. Pada akhir bab 46, buku De Anima, Tertulianus menegaskan bahwa mimpi bisa dibagi berdasarkan asalnya: Pertama, mimpi bisa datang dari setan yang kelihatannya membawa hal-hal baik, akan tetapi sebenarnya membawa kefanaan dan kegelapan.67 Kedua, mimpi bisa berasal dari Tuhan. Kita mengenal beberapa orang dalam Kitab Suci yang bertemu dengan Tuhan melalui mimpi. Dan yang ketiga, bukan berasal dari setan maupun dari Tuhan, melainkan dari estase dan pikiran.68 Tertulianus menaruh perhatian pada mimpi, bukan karena ia mau menafsir mimpi, tetapi mau menanggapi pemikiran dan argumen para filsuf, serta untuk mengajak orang Kristen bagaimana harus bersikap terhadap mimpi.
3.
Nasib Jiwa Tertulianus juga berbicara tentang nasib jiwa sesudah kematian tubuh. Pemikiran ini penting untuk hidup Kristen terlebih-lebih mengenai ajaran keselamatan.69 Hidup di dunia akan berakhir dengan kematian yang bisa mendatangkan hidup baru bagi jiwa,70 yaitu kehidupan abadi yang didahului dengan pengadilan Tuhan.71 Agar jiwa bisa memenangkan pengadilan itu, ia harus intelijen. Tertulianus terang-terangan menolak teori Pitagoras, tentang reinkarnasi,72 yang kemudian diikuti oleh Empedocles, yang mengatakan bahwa manusia, sesudah kematian, akan memiliki kemungkinan untuk menjadi binatang. Dasar Tertulianus menolak pendapat ini ialah bahwa kodrat jiwa tidak bisa diubah menjadi kodrat binatang atau ke ko-
67
68
69
70
71
72
40
De Anima, 47, 1, (CCL 2, hlm. 853): “Definimus enim a daemoniis plurimum incuti somnia, etsi interdum uera et gratiosa, sed, de qua industria diximus, affectantia atque captantia, quanto magis uana et frustratoria et turbida et ludibriosa et immunda”. De Anima, 47, 4, (CCL 2, hlm. 853): “Ea autem, quae neque a deo neque a daemonio neque ab anima uidebuntur accidere, et praeter opinionem et praeter interpretationem et praeter enarrationem facultatis, ipsi proprie ecstasi et rationi eius separabuntur”. Dalam argumen ini, Tertulianus melihat bahwa teori Platonisme memberikan titik terang; bdk., De Anima, 28, 1, (CCL 2, hlm. 824). Alasannya, pada Platonisme ada kehidupan kekal sesudah kematian tubuh; bdk., Plato, Phedo, 100b-d, hlm. 86; 107a-108a, hlm. 92; 114c-115a, hlm. 97. Itu berarti bahwa Tertulianus beralih dari aliran Stoisisme ke Platonisme. De Anima, 30, 1, (CCL 2, hlm. 826-827): “Quid autem ad cetera respondebimus? Primo enim, si ex mortuis uiui, sicut mortui ex uiuis, unus omnino et idem numerus semper haesisset omnium hominum, ille scilicet numerus qui primus uitam introisset. Priores enim mortuis uiui, dehinc mortui ex uiuis et rursus ex mortui uiui. Et dum hoc semper ex iisdem, ita totidem semper, qui ex iisdem. Nam neque plures aut pauciores exissent quam redirent”. De Anima, 33, 11, (CCL 2, hlm. 834): “Deus itaque iudicabit plenius, quia extremius, per sententiam aeternam tam supplicii quam refrigerii nec in bestias, sed in sua corpora reuertentibus animabus, et hoc semel et in eum diem quem solus pater nouit”. De Anima, 30, 5, (CCL 2, hlm. 828): “Igitur quae hoc modo intercidisset, si uiui ex mortis fierent, quando non intercidit, non erit credendum uiuos ex mortuis fieri”.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
drat yang lain; jiwa tidak bisa beralih dari kodratnya sendiri.73 Carpocrates mendasarkan argumennya pada peristiwa transfigurasi; pada waktu Yesus dan muridmuridnya turun dari gunung, mereka bertanya kepada Yesus: “Mengapa para ahli Taurat berkata bahwa Elia harus datang lebih dahulu?” Jawab Yesus: “Memang Elia akan datang dan memulihkan segala sesuatu dan aku berkata kepadamu: Elia sudah datang, tetapi orang tidak mengenal dia, dan memperlakukannya menurut kehendak mereka.”74 Menurut Carpocrates, orang-orang Israel tidak mengenal “Elia”, karena ia telah berubah pada kodrat lain. Dengan kata lain Yesus adalah reinkarnasi Elia. Tertulianus, pada bagian akhir bukunya De Anima, berbicara tentang kematian75 untuk menunjukan hubungan kematian dengan hidup. Memang semua filsuf setuju akan realitas kematian. Yesus juga mati; para martir juga tidak luput dari yang satu ini; demikian juga dengan para nabi. Tetapi problemnya adalah sesudah kematian: “Apakah yang akan terjadi dengan jiwa dan apakah yang akan terjadi dengan tubuh sesudah kematian?” Tertulianus menegaskan bahwa kematian adalah perpisahan tubuh dengan jiwa. Pemikiran seperti ini juga ditemukan dalam Platonisme, yaitu jiwa keluar dari tubuh, penjara, tetapi dengan syarat, tubuh harus dimakamkan; kalau tidak maka jiwa tidak terpisah darinya.76 Sebagian filsuf berpendapat bahwa tubuh tidak bisa dikremasi, karena tubuh akan diubah menjadi abu, dengan demikian jiwa tidak bisa keluar dari penjaranya. Tertulianus tentu menolak pendapat para filsuf ini. Kebenaran adalah bahwa kematian adalah kodrat tubuh yang tidak bisa diatur.77 Manusia bisa merencanakan, tetapi bukan terhadap kodrat. Jiwa tidak bisa dibagi menjadi partikel; dan kematian sendiri tidak bisa dipisahkan dari kodrat tubuh.78 Bagaimana tubuh mati, tidak menjadi soal, apakah dikremasi atau dimakamkan atau dimakan ikan. Yang jelas kematian selalu berarti perpisahan jiwa dari tubuh. Ke mana jiwa pergi? Dalam hal ini, Tertulianus mengikuti Platonisme, tetapi mengubah rumusan dengan mengatakan bahwa, jiwa bukan kembali ke Tuhan (menyangkut eksistensi jiwa yang dipertentangkan sebelumnya) melainkan pergi kepada Tuhan, penciptanya. Tertulianus menolak pandangan Stoisisme yang berpendapat bahwa sesudah kematian, jiwa pergi ke bulan untuk reinkarnasi. Ia menambahkan bahwa sebelum jiwa pergi ke pada penciptanya, ia terlebih dahulu
73
74 75 76 77 78
De Anima, 32, 7, (CCL 2, hlm. 831): “Et ideo adicio: si nulla ratione capax est huiusmodi translationis in animalia nec modulis corporum nec ceteris naturae suae legibus adaequantia, numquid ergo demutabitur secundum qualitates generum et vitam eorum contrarium humanae vitae”. Mat. 17: 10-12. Bdk., De Anima, 50, 1 – 58, 9, (CCL 2, hlm.855-869). Bdk,. Republic, 10, 611b-612b, hlm. 1215-1216. De Anima, 51, 8, (CCL 2, hlm. 858): “Certe undeunde sunt ista, signis potuis et ostentis deputanda, naturam facere non possunt”. De Anima, 51, 5, (CCL 2, hlm. 857): “Ceterum anima indiuisibilis, ut immortalis, etiam mortem indiuisibilem exigit credi, non quasi immortali, sed quasi indiuisibili animae indiuisibiliter accidentem”.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
41
pergi ke ade yang dibagi menjadi dua bagian, satu tempat untuk jiwa-jiwa yang terlatih, intelijen, dan yang lain tempat jiwa yang bodoh, tidak intelijen.79 Ade tempat jiwa intelijen juga tempat para martir dan orang beriman. Tuhan akan memanggil jiwa-jiwa ini ke surga dari tempat ini pada hari kedatangannya. Yesus juga pergi ke ade ini sesudah kematiannya. Dengan demikian ade ini adalah tempat jiwa-jiwa yang sedang menantikan kebangkitan mereka.80
Kesimpulan Tertulianus sadar bahwa untuk membuat suatu polemik, ia harus menguasai pemikiran, ajaran, latar belakang dari lawan-lawannya. Hal ini dibuktikannya dengan menguasai kedua aliran filsafat, Platonisme dan Stoisisme, yang saat itu menjadi dasar pemikiran. Sebagai orang beriman, berfilsafat berarti mengambil unsur-unsur penting dari setiap aliran, apakah itu ajaran atau metode, untuk menjelaskan dan memberikan ajaran iman, dan sekaligus juga suatu pembelaan (apologi) iman dari ajaranajaran para filsuf atau yang mengaku diri sebagai filsuf yang tidak sesuai dengan ajaran iman. Baik Platonisme maupun Stoisisme, sama-sama memiliki keunggulan dan kelemahan ajaran tentang jiwa. Dalam hubungannya dengan iman Kristen, keunggulan dari masing-masing aliran filsafat ini memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi umat Kristen saat itu. Bagi kita saat ini, ajaran Tertulianus tentang jiwa biasa-biasa saja, tidak ada yang baru. Alasannya, karena kita telah menerima kemasan ajaran tentang jiwa sesuai dengan iman kita. Akan tetapi, beberapa pertanyaan mendasar berikut akan membuat kita menekuni ajaran-ajaran para bapa Gereja, seperti: “Kapan ajaran ini mulai muncul? Mengapa ajaran ini timbul? Siapa pencetus ajaran ini? Dan apa itu jiwa?”, dan sebagainya. Jika dihubungkan dengan masalah kristologi, “apakah Kristus memiliki jiwa?” Tidak mustahil bahwa banyak kesulitan akan dihadapi untuk memberikan penjelasan; atau bahkan muncul eresia baru tentang jiwa. Kemasan ajaran yang kita terima, telah ditekuni para bapa Gereja untuk merumuskannya, karena sejak abad keempat, masalah jiwa menjadi polemik yang sangat hangat dan Tertulianus telah memberikan titik terang kepada generasi berikutnya sampai pada saat kita sekarang ini. Tertulianus sadar bahwa filsafat (Platonisme dan Stoisisme) bisa memperkaya iman dan itu telah dilihatnya. Tetapi filsafat, melalui para filsufnya, malah
79 80
42
De Anima, 56, 8, (CCL 2, hlm. 865): “Alterum ergo constituas, compello, aut bonos aut malos inferos: si malos placet, etiam praecipitari illunc animae pessimae debent”. De Anima, 56, 5-6, (CCL 2, hlm. 864): “Nostri autem illud quoque recogitent, corpora eadem recepturas in resurrectione animas in quibus discesserunt. Idem ergo separabuntur et corporum modi et eadem aetatis, quae corporum modos faciunt”.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
sering menjadi lawan yang telah dibuktikan Tertulianus dalam polemik tentang jiwa; sehingga ia sampai pada tuduhan bahwa Platonisme, secara khusus gnostisisme dan Valentinianisme81 adalah provokator eresia;82 tentu saja eresia tentang jiwa.
BIBLIOGRAFI 1.
Sumber Utama Tertulianus De Anima, 1, 2, (CCL 2). De Testimonio Animae, (CCL 1). Adversus Hermogenesm, (CCL 1). Ante-Nicene Fathers, (Vol. 3 & 4), (Kumpulan karya Tertulianus), Edinburgh, Michigan, T & T Clark, Grand Rapids, 1993.
2.
Sumber Utama Lain Hironimus De Viris Illustribus Plato Complete Works, Edited with Introduction and Notes by John M. Cooper, Indianapolis/Cambridge, Hackett Publishing Company, 1997. Tutte le opere, Roma, Newton, 1997. Plotino Enneadi, Traduzione, introduzione, note e bibliografia di Giuseppe Faggin, Milano, Bompiani, 2000. Stoa Stoici Antichi, (Vol. 1 & 2), a cura di Margherita Isnardi Parente, Torino, UTET, 1989.
3.
Sumber Lain Aland, B. Montano-Montanisme, di Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994. Bosio, G., dal Covolo, E., Maritano, M. Introduzione ai Padri della Chiesa, (Secoli II e III), Torino, Società Editrice Internazionale, 1991.
81 82
Bdk., De Anima, 18, 1-13, (CCL 2, hlm. 806-809). De Anima, 23, 5, (CCL 2, hlm. 815): “Doleo bona fide Platom omnium haeriticorum condimentarium factum”.
Edison R.L. Tinambunan, Jiwa Menurut Tertulianus
43
Drobner, H.R. Patrologia, Presentazione di Angelo Di Berardino, Casale Monferrato, Piemme, 1998. Lilla, S. Introduzione al Medio Platonismo, Roma, Istituto Patristico “Augustinianum”, 1992. Prinzivalli, E. Ermogene, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, Diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994. Quasten, J. Patrologia, Vol. 1, Traduzione Nello Beghin, Casale, Marietti, 1992, hlm. 508-510. Sider, R. D. “Tertulian”, dlm., Encyclopedia of Early Christianity, New York & London, Garland Publishing & a Member of the Taylor and Francis Group, 1998. Siniscalco, P. Tertuliano, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, diretta da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994. Wolfson, A. H., The Philosphy of the Church Fathers, Faith, Trinuty, Incarnation, Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, 1976.
44
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
MERANCANG SEJARAH GEREJA YANG SOLIDER
Rafael Isharianto STFT Widya Sasana, Malang Abstract: The effect of the Dutch colonialism in Indonesia can still be observed in the historiography on the Indonesian Churches. It is partly due to the fact that the colonialism was closely related to christian missions. After the proclamation of the Indonesian Independence, the progress of the Indonesian nationalism has influenced the way of the historians to chart the history of Indonesian, as well as that of the Catholic Church, in the light of this conception. In this article, we will reflect on the meaning of the historical truth by taking into consideration some ideas in the political theology in so far as these can be observed in the reflections of J.B. Metz. And in so doing, we intend to learn how to prevent ourselves from proclaiming that we have the historical truth. Keywords: sejarah, Gereja, kolonialisme, penderitaan, nasionalisme, mémoire, solidaritas.
Kedatangan Gereja-gereja kristen, termasuk Gereja Katolik, di Indonesia, sebagaimana terekam dalam historiografi misi, bersinggungan dengan fakta kolonialisme yang dilakukan oleh kekuasaan Barat Kristen. Dalam arti tertentu, realitas kolonialisme historis ini dapat menjadi sebuah cacat yang bisa mengungkit luka dan pengalaman buruk bagi Gereja-gereja di Indonesia. Trauma yang dipicu oleh kolonialisme historis ini belum sepenuhnya lenyap dari bawah sadar bangsa Indonesia. Kelihatan bahwa warisan historis ini menjadi suatu beban yang ditanggung oleh orang kristen Indonesia dewasa ini. Bagi kita kaum Kristiani, fakta bahwa, dalam suatu periode tertentu dalam sejarah Gereja Indonesia, dominasi bangsa Belanda di Indonesia dan sejarah misi pernah begitu bersinggungan merupakan pengalaman yang tidak membanggakan. Namun, kita tidak bisa menyangkalnya. Untuk bisa melihat dan menerima « kebenaran » berkenaan dengan realitas historis tersebut, maka, dalam refleksi ini, kita akan mencoba menjawab persoalan historiograf seputar penulisan sejarah Gereja Indonesia dalam visi nasionalis yang tetap terbuka terhadap warisan historis di atas tanpa kompleks rasa bersalah. Hal ini berarti kita mau berusaha menilai ‘kebenaran sejarah’ tentang Gereja dalam masa kolonialisme dengan kritis, tanpa jatuh dalam tendensi anakronik. Dengan demikian, renungan kita ini bertujuan membangun suatu sikap solider dengan para pelaku sejarah sebagai pewaris sejarah Gereja kita saat ini. Kita hendak
Rafael Isharianto, Merancang Sejarah Gereja Yang Solider
45
belajar solider dengan mereka semua yang sudah mati, sebab para pewaris tersebut biasanya merupakan pribadi-pribadi yang dengan amat mudah bisa kita adili berdasarkan tendensi ideologis tertentu. Pendek kata, kita mau belajar solider dengan para protagonis yang telah berkiprah dalam sejarah misi, dengan segala keunggulan dan keterbatasan mereka. Maka, sangat pentinglah untuk dicatat bahwa sejauh diresapi oleh sikap solider secara historis ini, segala upaya untuk melihat kebenaran historis mendapatkan jaminannya. Selain itu, tujuan lain refleksi historis-teologis ini adalah untuk membantu kita melihat dan memahami Gereja pribumi yang mewarisi sejarah penginjilan yang terajut dengan fakta kolonialisasi.
1.
Kebenaran historis dan nasionalisme Gereja Indonesia Kalau orang bertanya tentang hakikat ‘kebenaran historis’, kita harus menjawab bahwa ‘kebenaran historis’ sebetulnya tidak ada jika ‘kebenaran’ dimengerti sebagai ‘kebenaran material’. Fakta sejarah, sebagaimana ditandaskan Seignobos, merupakan materi yang dibayangkan, bukan sebagaimana ditangkap oleh pengamatan inderawi.1 Yang ada hanyalah operasi mental dalam kepala sejarawan untuk menjelaskan suatu fakta di masa lampau. Oleh karena itu, sejarah bersifat subyektif. Dengan demikian, sangat sia-sia bagi sejarawan untuk berpretensi obyektif, netral dan tidak memihak. Demikian pula halnya dengan historiografi Gereja Indonesia. Penulisan sejarah Gereja Indonesia, meski didorong untuk mewariskan apa yang benar, juga tidak luput dari tendensi subyektif ini. Namun sekurang-kurangnya, kita bisa berpandangan positif bahwa para sejarawan tersebut mencoba menyodorkan apa yang mungkin (probable) benar menurutnya. Pada bagian ini kita akan secara khusus mencoba mendalami persoalan seputar penulisan sejarah Gereja Indonesia. Yang menjadi fokus bagian ini adalah sosok Gereja sebagaimana ditampilkan dalam model penulisan sejarah yang bercorak pandang nasionalis. Tetapi sebelumnya perlu kita sepakati bahwa nasionalisme dalam renungan kita ini mengacu kepada ideologi yang mengidentikkan negara atau bangsa dengan rakyat sedemikian rupa, sehingga kesetiaan setiap individu mengatasi kepentingan individu dan kelompok. Sejarah dan Ingatan. Kita berhadapan dengan penggunaan kata “ingatan” atau “kenangan”; kedua kata benda ini merupakan penjabaran dari kata mémoire.
1
46
« Alors se pose la question préalable à toute étude historique. Comment peut-on connaître un fait réel qui n’existe plus ? Est historique tout fait qu’on ne peut plus observer directement parce qu’il a cessé d’exister. Il n’y a pas de caractère historique inhérent aux faits, il n’y a historique que la façon de les connaître. L’histoire n’est pas une science, elle n’est qu’une procédé de connaissance. […] Toute connaissance historique étant indirecte, l’histoire est essentiellement une science de raisonnement. Sa méthode est une méthode indirecte, par raisonnement. » Dikutip oleh Antoine Prost, Douze leçons sur l’histoire, Paris : Éditions du Seuil, « Points-Histoire », 1996, p. 69.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Kata kerja “mengingat” dalam perspektif historis tidaklah sekedar menunjuk kepada aktivitas menyimpan/merekam berbagai informasi atau pada fungsi otak dengan maksud memperoleh, menyimpan dan mengenali kembali informasi historis yang sudah direkam. Lebih dari itu semua, “ingatan” berarti juga warisan mental, keseluruhan kenang-kenangan yang menjiwai segala representasi ingatan tersebut, yang memberi inspirasi bagi seluruh perilaku individu-individu, serta yang menjamin kohesi individu-individu tersebut dalam suatu kelompok atau masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa berpaling kepada Herodotus yang telah berupaya menyimpan “ingatan” akan fakta historis dan sepak terjang orang-orang Yunani. Oleh karena itu, baginya, sejarah memiliki fungsi sosial, yakni menciptakan kelangsungan antargenerasi sambil tetap memungkinkan suatu keterbukaan untuk memahami masa sekarang. Adapun interaksi antara sejarah dan ingatan terstruktur menurut dua prinsip dasar. Yang pertama adalah pengumpulan ingatan. Di sini, ingatan para pelaku dan saksi sejarah suatu peristiwa historis menjadi salah satu sumber bagi para sejarawan. Yang kedua berkenaan dengan penyusunan ingatan historis. Para sejarawan tidak lagi puas dengan hanya menggunakan ingatan kolektif sebagai sumber riset. Mereka berusaha menyusun kembali ingatan tersebut. Sejarah Indonesia dalam perspektif nasionalis. Kebangkitan bangsabangsa Asia-Afrika telah memacu kelahiran nasionalisme di Indonesia. Pengaruhnya terasa juga dalam penulisan sejarah Indonesia. Untuk menggantikan paham kolonial yang mendominasi penulisan sejarah Indonesia sampai kemerdekaan Indonesia dimunculkanlah visi nasionalis. Dengan demikian, visi nasionalis merupakan terjemahan dari leburnya sejarah dalam « ingatan » nasional. Menurut visi ini, sejarah Indonesia dapat dibagi dalam 3 babak: sebelum, selama dan sesudah kolonisasi Belanda.2 Sebagai suatu penulisan yang menekankan pentingnya bangsa-negara (nation-state) sebagai unsur kohesi fundamental dalam pembentukan identitas Indonesia, visi nasionalis mengidentikkan negara atau bangsa dengan rakyat Indonesia, sekurang-kurangnya menurut prinsip-prinsip etnologis dan kultural. Karena munculnya merupakan reaksi atas kolonialisme yang memecah belah kesatuan dan persatuan nusantara, visi nasionalis bermaksud membangun kembali gambaran utuh tentang Indonesia. Perhatian visi ini dicurahkan kepada kesatuan teritorial, bahkan kesatuan dan hubungan Indonesia dengan bangsa-bangsa sekitarnya,3 administratif maupun moral. Kembali ke persoalan pembabakan waktu, periode sejarah Indonesia dimulai dengan kejayaan kerajaan Hindu-Jawa (kerajaan Majapahit pada abad XIV-XV), disusul dengan masa kolonialisme dan periode Republik.
2
3
Pandangan Denys Lombard yang dikutip Moh. Ali Fadillah, « Etnisitas dan Nasionalisme Indonesia: Perspektif Arkeologi » dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Eds.), Panggung Sejarah. Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999, p. 121. Noel Teodoro, “Persatuan Nusantara: Renungan tentang Kawasan Melayu-Indonesia dan Filipina Sebagai Lapangan Penelitian Sejarah” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Eds.), Op. Cit., p. 151.
Rafael Isharianto, Merancang Sejarah Gereja Yang Solider
47
Gereja Katolik di Indonesia dalam visi nasionalis. Bagaimanakah figur Gereja di Indonesia dalam perspektif historis nasionalis? Jelaslah bahwa tema nasionalisme terasa mendominasi. Mengenai masa kolonialisme, dimensi nasional dan religius kebudayaan Indonesia ditampilkan sebagai dua unsur yang bercampur. Islam sebagai agama dominan menjadi suatu identitas politis yang ditempatkan berhadapan dengan kekuatan Eropa Kristen. Gereja diidentikkan secara eksklusif dengan para pendatang Eropa (Belanda). Hal ini menjadi lebih signifikan bila kita melihat adanya campur tangan kuasa politis dalam kebijakan internal Gereja menyangkut penyebaran agama Kristen di Indonesia dalam periode tersebut. Aktivitas misi di daerah jajahan merupakan aktivitas orang Belanda bagi orang-orang seiman di kalangan penduduk Eropa. Kecuali di Flores dan Timor, karya pendidikan dan kesehatan semula diarahkan hanya bagi para imigran Eropa. Karena kegiatan-kegiatan tersebut mengarahkan sasarannya pada orang Eropa di wilayah jajahan, penguasa politis merasa berkewajiban mengatur. Alasan untuk mengatur kegiatan misioner di daerah jajahan ini antara lain juga dilandasi kepentingan komersial. Seperti dapat kita mengerti, kompeni sangat mementingkan masalah perdagangan. Atas dasar kepentingan ini, sebenarnya kompeni lebih banyak menghambat penyebaran iman daripada mendorongnya. Pihak penguasa politis kawatir kalau-kalau kegiatan misi akan mempersulit hubungan komersial mereka. Karena itu diperlukan suatu strategi untuk menghindari hal buruk di atas. Salah satu strategi ini terjelma dalam bentuk peraturan. Sebuah contoh yang jelas dari peraturan ini adalah persoalan kepemilikan « radicaal », yaitu surat keterangan berwenang melakukan dinas sipil di Hindia. Campur tangan kuasa politis ini ternyata sempat memicu konflik antara Gereja dan Negara. Salah satu konflik yang muncul antara Negara dan Gereja berkisar pada politik netralitas yang dicanangkan pemerintah untuk menanggapi kebangkitan « fanatisme » Islam.4 Kendati fakta di atas, misi dan zending dipandang sebagai pendukung kolonialisme Belanda di Indonesia, khususnya sesudah tahun 1850.5 Di mata populasi terjajah, kegiatan penyebaran agama Kristen ini merupakan suatu kekuatan yang mengancam. Memang ini merupakan salah satu faktor yang masih menghantui secara laten psikologi beberapa kalangan umat Islam. Dengan demikian, tidak mengherankan bila figur Gereja di Indonesia masih dikaitkan sebagai agama kolonialis Belanda. Hal ini cukup beralasan lebih-lebih bila kita membuka lembaran sejarah kolonialisme di mana beberapa kalangan Kristen pribumi telah diintegrasikan dalam sistem politis dan ekonomis yang dibangun pemerintahan Belanda. Adapun contoh lain, sehubungan dengan praktik diskriminatif pemerintah penjajah, yang bisa dikemukakan di sini adalah tanggung jawab pemerintah di bidang pendidikan bagi populasi pribumi yang beragama Kristen.6 Secara otomatis, model integrasi kolonialis 4 5 6
48
Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia, terj. dari bahasa Belanda [Katholieken en de Indonesische Revolutie, 1983] oleh Nicolette P. Ratih dan Tim Perwakilan KITLV, Jakarta: Grasindo, 1999, pp. 4. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993, p. 5. Cf. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas & Grasindo, 1995, p. 190.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
semacam ini tidak memungkinkan orang-orang yang tidak terpelajar untuk merasa diperlakukan secara diskriminatif. Sesudah kemerdekaan Indonesia, nasionalisme tetap merupakan tema penulisan sejarah Gereja Katolik di Indonesia. Sebagai bangsa yang masih muda, Indonesia merasa perlu memperkokoh identitas dirinya sebagai nation-state. Maka, kita bisa jumpai publikasi buku-buku sejarah yang berkutat dengan persoalan Gereja Katolik dan nasionalisme. Beberapa publikasi bisa disebut di sini. Denys Lombard mencatat bahwa sesudah kemerdekaan, Gereja (Katolik dan Protestan) menjadi « pembendung yang efektif terhadap ateisme »,7 suatu yang selaras dengan cita-cita kohesi nasional berdasarkan prinsip agamis. Sementara itu, Muskens menampilkan Gereja Katolik sebagai « partner » dalam pembangunan bangsa.8 Catatan kecil. Setelah uraian di atas, sekarang kita bisa mencoba memberikan suatu komentar pendek tentang sejarah Gereja Indonesia. Kita menangkap bahwa sejarah Gereja Indonesia ditulis dalam perspektif/visi nasionalis. Namun kita diperingatkan oleh Seignobos dan Langlois akan bahaya dari suatu historiografi yang, dengan pendasaran ilmiah dan positif, bermaksud membangun suatu kenangan kolektif nasional. Sejarah hendaknya tetap setia pada jalurnya, yakni menunjukkan apa yang benar. Oleh sebab itu, penulisan sejarah yang bernada patriotik secara berlebihan perlu selalu diwaspadai sebab historiografi semacam ini menghalangi kita melihat kebenaran historis secara holistik. « On renonce aussi à employer l’histoire pour exalter le patriotisme ou le loyalisme comme en Allemagne; on sent ce qu’il y aurait d’illogique à tirer d’une même science des applications opposées suivant les pays ou les partis ; ce serait inviter chaque peuple à mutiler, sinon à altérer, l’histoire dans le sens de ses préférences. On comprend que la valeur de toute science consiste en ce qu’elle est vraie, et on ne demande plus à l’histoire que la vérité. »9
2.
Solidaritas historis dalam teologi J.B. Metz Iman Kristiani harus berbicara, juga pada masa kini, tentang sejarah kebebasan. Itulah yang menjadi keprihatinan J.B. Metz. Murid dari teolog Karl Rahner ini kemudian mencoba menyusun suatu program teologis yang bertujuan mengarahkan teologi kepada persoalan-persoalan dunia. Dengan “teologi politik”, dia memaksudkan suatu cara baru ber-« teologi praktis » dalam konteks masyarakat moderen.
7
8 9
Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2: Jaringan Asia, diterj. dari edisi bahasa Perancis [Le Carrefour javanais. Essai d’histoire globale. II : Les réseaux asiatiques, Paris : École des Hautes Études en Sciences Sociales, 1990], Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996, p. 352. Dr. M.P.M. Muskens, Partner in National Building. The Catholic Church in Indonesia, Aachen: Missio Aktuell Verlag, 1979. Cf. J. Leduc, V. Marcos-Alvarez, J. Le Pellec, Construire l’histoire, 1998, p. 11.
Rafael Isharianto, Merancang Sejarah Gereja Yang Solider
49
Adapun, masyarakat moderen adalah masyarakat yang mewarisi tradisi filosofis Pencerahan dan revolusi Marxistis. Dalam konteks ini, emansipasi merupakan ciri penanda masyarakat moderen. Refleksi J.B. Metz tetap relevan sejauh kapitalisme dimengerti sebagai « sejarah para pemenang » menurut prinsip-prinsip hukum alam à la Darwin. Saat ini dunia sedang gelisah menghadapi ancaman kolonialisme kultural dan ekonomis dimana kapitalisme secara global menjadi monster tanpa tandingan. Kredibilitas iman kristiani dipertaruhkan berhadapan dengan sistem kapitalistis yang membabibuta, dan yang hanya menjanjikan kemenangan hanya kepada mereka yang kuat dan berhasil. Kredibilitas Iman Kristiani. Iman Kristiani tidak mengenal dua realitas terpisah, yaitu antara realitas yang manusiawi dan yang ilahi, oleh karena dogma Inkarnasi Kristus. Marcel Gauchet menegaskan bahwa « De par leur union mystique en Christ, l’humain et le divin se disjoignent et se différencient définitivement, comme se défait en son principe l’intrication hiérarchique du séjour terrestre et du règne céleste ».10 Dengan dinamisme dogma Inkarnasi ini terjadilah suatu pembalikan yang memungkinkan orang untuk beralih dari logika superioritas Allah kepada logika keberlainan (alterité). Oleh sebab itu, dengan mengimani Yesus yang « menjadi daging », iman Kristiani melihat Allah yang manjadi jantung dunia, suatu keyakinan yang tidak akan sejalan dengan kerangka berpikir yang bercorak eskapisme (lari dari dunia) dan monoteisme yang kaku (kepatuhan total kepada yang ilahi). Konsekuensi logisnya ialah bahwa iman Kristiani tidak dapat ditempatkan sebagai urusan “pribadi” belaka. Kata “pribadi” harus dimengerti dalam arti positif. Artinya, iman Kristiani adalah iman yang terbuka terhadap masalah dunia ini. Karena itu, tidak dapat dibayangkan adanya suatu teologi kristiani yang tertutup hanya pada dirinya sendiri, dan memutuskan hubungan antara agama dan masyarakat, antara eksistensi religius dan eksistensi sosial. Bila teologi terbuka terhadap dunia, dengan sendirinya teologi yang demikian memungkinkan iman kristiani « pantas dipercaya » (credible). Kategori Kenangan dan Pengkisahan. Untuk mengembangkan suatu sintesis antara teori dan praksis, teologi politis menyodorkan kategori-kategori yang berpotensi untuk mengubah masayarakat dan sejarah. Tiga kategori dasar itu ialah kenangan, pengkisahan dan solidaritas. Pada bagian ini, kami akan menyajikan sekilas pandang gagasan J.B. Metz tentang kenangan dan pengkisahan. Sebagai sebuah kategori dalam teologi politik, apa yang disebut sebagai ‘kenangan’ selalu mengacu kepada isi kenangan Kristiani (Erinnerung) yang diejawantahkan demi mewujudkan penebusan dan penggenapan manusia. Sebagai sebuah kategori yang dipertaruhkan dengan tujuan membuat iman Kristiani ini kredibel 10
50
Marcel Gauchet, Le Désenchantement du monde, Paris : Gallimard, 1985, p. 97.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
dalam konteks masyarakat sekular, kenangan tidak pernah mengacu kepada suatu nostalgia atau romantisme, atau suatu operasi mental yang hanya sekedar membangkitkan pengalaman masa lampau dengan maksud berdamai dengan masa lampau tersebut. Metz menggunakan terminologi ‘kenangan’ yang berbahaya (gefährliche Erinnerung) oleh karena kenangan tersebut menggugat kondisi aktual dalam terang puncak penebusan Kristus. ‘Kenangan’ ini membangkitkan pengharapan yang terlena, membuka cakrawala masa mendatang dan mendorong praksis Gereja.11 Kenangan akan penderitaanYesus yang menderita, wafat dan dimakamkan, hadir kembali dalam anamnesis ekaristis. Kategori kedua adalah Erzählung, pengkisahan. Jika Gereja merupakan suatu komunitas yang mengenang, Gereja adalah juga komunitas yang bercerita, bisa berkisah dan bisa merasakan. Gereja tidak bisa hanya berargumentasi. Berkisah berarti terlibat dalam sejarah penderitaan, sementara dalam berargumentasi, orang bertolak dari suatu persoalan, konsep-konsep abstrak, sistem. Kategori pengkisahan (dalam aksi) tidak puas dengan model teologi yang abstrak. “Allah Abraham, Ishak dan Yakub” adalah Allah yang terlibat, yang sepak terjangnya bisa dikisahkan dan dialami secara nyata oleh umat yang ditebus-Nya. Solidaritas historis « ke belakang » sebagai ortopraksis. Bagi Metz, sifat dari solidaritas historis yang dapat membentuk dan mengubah sejarah dan masyarakat yaitu mistik dan politis. Solidaritas historis semacam ini berkarakter mistik karena solidaritas ini muncul/lahir dari kenangan akan kisah Yesus Kristus. Solidaritas juga merupakan suatu praksis, suatu komitmen dalam sejarah dan masyarakat. Komitmen yang menyejarah menjadi tanda kriteria dari otentisitas suatu aksi solider. Sebagai salah satu kategori yang berfungsi praksis, yaitu membentuk dan mengubah kesadaran sejarah dan masyarakat, solidaritas historis bersifat politis. Manusia yang solider adalah insan yang memiliki komitmen untuk tetap bertindak mengupayakan agar manusia tetap merupakan insan, subyek, pribadi yang bertanggung jawab di hadapan Allah. Oleh sebab itu, manusia solider yaitu dia yang mengakui martabat setiap manusia, bukan hanya dalam diskursus, melainkan juga dalam praksis. Solidaritas mistiko-politis ini bersifat tanpa pamrih dan tidak dibangun di atas dasar kompetensi atau prinsip timbal-balik masuk akal. Aksi solider tidak terstruktur menurut kontrak kepentingan; jadi, di sini, orang memiliki risiko kehilangan. Karena itu, solidaritas ini memiliki dua arah: “ke depan” dan “ke belakang”. Setiap orang yang menempuh jalan solider, sebagai jalan “mengikuti Kristus”
11
« On pense ici au souvenir qui presse le présent et le met en cause, parce qu’il fait souvenir vers un avenir non encore éprouvé. Un tel souvenir fait éclater le joug de la conscience dominante. Il réclame des conflits encore inouïs, refoulés jusqu’à aujourd’hui, et des espérances hors de prix. Contre la mentalité dominante, il se fait le porte-parole d’expérience faites naguère, et il déracine ainsi les évidences du présent. » J.-B. METZ, La foi dans l’histoire et dans la société, terj. dari edisi bahasa Jerman [Glaube in Geschichte und Gesellschaft. Mainz : Matthias-Grünewald Verlag, 1977] oleh Paul Corset dan Jean-Louis Schlegel Paris : Cerf, 1979, pp. 225-226.
Rafael Isharianto, Merancang Sejarah Gereja Yang Solider
51
menunjukkan sikap solider bukan hanya kepada mereka yang menang, yang berjasa, yang mencatat sejarah, melainkan juga menampilkan sikap solider terhadap mereka semua yang telah mati, yakni para korban dari sejarah penderitaan manusia. Metz menegaskan bahwa tanpa kenangan akan dan solidaritas dengan manusia yang menderita dalam sejarah penderitaan manusia, solidaritas “ke depan,” kepada generasi mendatang, hanya akan menciptakan suatu sejarah ekslusif yang dimonopoli oleh mereka yang paling kuat, paling cerdas, paling pantas diingat menurut kriteria Darwinisme.12 Mereka yang mau menghayati solidaritas historis yang terarah kepada para korban sistem ekonomi dan politik akan menolak prinsip determinis hukum alam semacam ini. Dengan kisah turunnya Kristus ke tempat penantian, mau ditandaskan dalam pengakuan iman Kristiani bahwa sejarah penebusan oleh Kristus itu bersifat khas. Kristus solider dengan mereka yang mati bungkam dalam sejarah para pemenang. Solidaritas mistico-politis ini memiliki juga karakter universal, artinya tanpa kecenderungan mengutamakan kelompok-kelompok tertentu, karena keterarahannya kepada mereka semua yang menjadi “kelinci percobaan” dalam laboratorium pembangunan suatu proyek kemajuan. Sejarah mencatat bahwa pembangunan masyarakat kerap kali “melahap” rakyat kecil sebagai korban yang biasanya lenyap dari penulisan sejarah. Gereja bisa dikatakan solider sejauh Gereja bisa memenuhi panggilannya untuk merakyat.13 Kesimpulan. Kiranya, untuk mendapatkan suatu ‘kebenaran historis’, sejarawan tidak boleh terperangkap dalam penulisan sejarah yang mengagungkan para pemenang. Solidaritas mistiko-politis tidak bermaksud mengulangi kecenderungan di mana, seperti kita bisa catat misalnya, sejarawan Marxis mengagungkan mitologi keberhasilan revolusi kaum proletar atau kaum nasionalis menyajikan kisah heroik triumfalis dari perjuangan populasi tertindas melawan kekuatan kolonial. Kedua contoh model sejarah bercorak propaganda ini tidak mungkin memperlihatkan kegagalan kaum yang hendak mereka perjuangkan. Solidaritas mistiko-politis mengajak menulis lembaran sejarah yang seimbang. Kebenaran sejarah tidak dapat diredusir pada mitos heroik pelaku-pelaku yang ditampilkan sebagai penakluk tangguh. Sejarah harus mengingat, menceritakan dan solider terhadap para korban yang tak bersuara. Kategori solidaritas dalam refleksi Metz membongkar pretensi-pretensi historis yang, dengan bersandar pada metodologi ilmiah-positif dan pada instrumen teknis (yang berkaitan dengan pilihan dokumen-dokumen), hendak merumuskan kompleksitas sejarah secara agak simplistis sebagaimana halnya dapat kita temukan dalam pandangan Ranke (“me-
12
13
52
“A son tour, l’histoire abstraite de la liberté n’est qu’une histoire des succès, une histoire des vainqueurs. L’histoire qui avait un sens de liberté est une catégorie réservée aux vainqueurs, aux gens arrivés: vae victis! Mais ce slogan n’est pas un principe qui donne sens à l’histoire de la liberté, c’est la définition exacte du darwinisme dans l’histoire de la nature. Ainsi, cette histoire abstraite de la liberté ne fait-elle en fin de compte rien d’autre que de copier l’histoire de la nature.” J.B. Metz, Ibid., p. 152. J.B. Metz, Ibid., p. 259.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
nunjukkan secara murni dan sederhana terjadi pengalaman masa lampau”, wie es eigentlich gewesen) atau Michelet (“résurrection de la vie intégrale”) atau R.G. Collingwood (“re-enactment of the past”).
3.
Memahami hubungan resiprok antara nasionalisme dan solidaritas historis Bagaimana seharusnya belajar dari sejarah? Bagaimana harus mengenang? Dengan mengikuti jalan yang sudah dirintis J.B. Metz, dapatlah kita sampaikan beberapa butir sumbangan pikiran sederhana dalam hubungannya dengan persoalan seputar nasionalisme dan solidaritas mistiko-politis. Kemustahilan merekonstruksi sejarah Gereja pada zaman kolonisasi melulu dalam perspektif nation-state. Sejarah kolonisasi adalah sejarah penderitaan. Agar dapat mengerti sejarah penderitaan ini, metodologi yang mengabdi perspektif nasionalistis dan patriotik sangat tidak memadai untuk melihat “yang benar” secara historis. Hanya mereka yang solider dapat menyajikan suatu sejarah mengenai Gereja Indonesia dalam masa kolonial (sejarah penderitaan) secara proporsional. Solidaritas historis merupakan sarana untuk terbuka dan menerima pengalaman masa lampau. Menggunakan pendekatan sempit nasionalistis dan patriotik yang bertujuan mendukung kohesi dan nilai-nilai Indonesia akan membuat kita mengalami kesulitan berdamai dan menerima kebenaran masa lampau. Padahal penulisan sejarah sebagai fungsi sosial hendak membebaskan manusia dari prasangka tentang masa lampaunya.14 Pendek kata, hendaknya nasionalisme dan patriotisme tidak memisahkan dan mengasingkan kita dari solidaritas dengan pihak « lawan » yang kalah. Dengan demikian, solidaritas ini sungguh-sungguh menyatukan kemanusiaan yang terpecahbelah oleh kolonialisme, peperangan dan eksploitasi. Keterbatasan penulisan sejarah berdasarkan perspektif masa kini. Telah ditandaskan bahwa solidaritas historis yang bersifat mistik dan politik mengajak kita untuk mewujudkan solidaritas “ke depan”, artinya, solider dengan mereka yang akan datang. Penegasan ini mengindikasikan bahwa saat sekarang bukanlah saat yang tepat untuk mengerti secara final “kebenaran sejarah” dari Gereja pada masa kolonisasi. Kita perlu menaruh dalam tanda kurung apa yang dipandang sebagai ‘kepastian historis’ versi saat sekarang. Hal ini disebabkan karena saat sekarang masih diwarnai oleh krisis, trauma, pengkhianatan, kecurigaan, keterpurukan.
14
Pandangan yang diyakini disampaikan pertama kali oleh Goethe. Cf. Henri Irénée Marrou, “Le métier d’historien” dalam Charles Samaran (dir.), L’Histoire et ses méthodes, Paris : Gallimard, « Encyclopédie de la Pléiade », 1961, p. 1478
Rafael Isharianto, Merancang Sejarah Gereja Yang Solider
53
Penutup Akhirnya kita bisa mengatakan bahwa dalam penulisan sejarah, khususnya sejarah Gereja (Katolik) Indonesia, kategori solidaritas historis yang dikemukakan oleh J.B. Metz bisa membantu kita untuk menemukan kebenaran sejarah tanpa memutlakkan pendekatan yang bersifat murni historis, atau bahkan jatuh dalam historisisme, dalam arti negatif terminologi tersebut. Dengan bersikap solider, kita akan dibebaskan dari kecenderungan subyektif dalam menuliskan sejarah Gereja Indonesia dan dari kecenderungan untuk menulis sejarah secara anakronik. Karena itu, penekanan pada perspektif nasionalis dan kolonialis dalam penulisan sejarah Gereja tidak akan relevan lagi. Dengan kata lain, berpangkal pada solidaritas historis ini, kebenaran sejarah dapat sungguh-sungguh diterima, sebab penulisan sejarah tersebut terarah kepada penebusan manusia.
BIBLIOGRAFI Antoine Prost, Douze leçons sur l’histoire, Paris : Éditions du Seuil, « PointsHistoire », 1996. Charles Samaran (dir.), L’Histoire et ses méthodes, Paris : Gallimard, « Encyclopédie de la Pléiade », 1961. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Jilid 2: Jaringan Asia, diterj. dari edisi bahasa Perancis [Le Carrefour javanais. Essai d’histoire globale. II : Les réseaux asiatiques, Paris : École des Hautes Études en Sciences Sociales, 1990], Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1996. Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary (Eds.), Panggung Sejarah. Persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999. Jan Bank, Katolik di Masa Revolusi Indonesia, terj. dari bahasa Belanda [Katholieken en de Indonesische Revolutie, 1983] oleh Nicolette P. Ratih dan Tim Perwakilan KITLV, Jakarta: Grasindo, 1999. J.B. METZ, La foi dans l’histoire et dans la société, terj. dari edisi bahasa Jerman [Glaube in Geschichte und Gesellschaft. Mainz : Matthias-Grünewald Verlag, 1977] oleh Paul Corset dan Jean-Louis Schlegel Paris : Cerf, 1979. J. Leduc, V. Marcos-Alvarez, J. Le Pellec, Construire l’histoire, 1998. Marcel Gauchet, Le Désenchantement du monde, Paris : Gallimard, 1985. M.P.M. Muskens, Partner in National Building. The Catholic Church in Indonesia, Aachen : Missio Aktuell Verlag, 1979. Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, buku I: Akar-akar Kebangsaan Indonesia, Jakarta: Kompas & Grasindo, 1995. Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : Sejarah Pergerakan Nasional. Dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme, Jilid 2, Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 1993. 54
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
RETHINKING NATIONALISM
Robertus Wijanarko De Paul University, Chicago USA Abstrak: Maraknya globalisasi menyembulkan pertanyaan “masihkah perlu nasionalisme?” Sebuah pertanyaan yang bukan dimaksudkan untuk menggugat, melainkan untuk mengkonsep ulang makna nasionalisme. Artikel ini menyimak ulang nasionalisme dalam terang ide Benedict Anderson yang memandang “nation” sebagai “imagined political community”. Aktualitasnya untuk Indonesia diulas mengingat Indonesia juga sedang bergolak dalam merajut kembali integritasnya sebagai bangsa. Keywords: nation, nationalism, Indonesian nationalism, imagined community.
Separatist movements and local conflicts in Indonesia, which happened on the verge of globalization era, are not caused merely by domestic conflict of interest and the need of identity of ethnic and other smaller groups. Rather they related to the issues that, as happened in any other parts of the world, are a consequence of the wave of globalization, namely: promotion of human rights, western liberal democracy, and economic liberalization. Not only does globalization, by undermining territorial, geographical, and juridical borders, challenge the sense of nation-ness or national identity at the material and visible level, it also dissolves nationalism as a uniting spirit or ideology, what Benedict Anderson calls “imagined community”, the spirit that provided the sense of identity, unity, and locality. Since nationalism provided the sense of unity, solidarity, and identity, which enabled Indonesia to expel the colonialists and provide the spirit of integration, excess of globalization upon Indonesian implies the need to reframe the formation of collective subjectivities of nationalism. The issue at stake is, therefore, the need to rethink relevance and sustainability of nationalism in the face of globalization. Can we rethink nationalism, which in fact emerged in time of and as a product of colonization as the ambivalence and problematic discourse, that may, on one hand, preserves the sense of national identity, but, on the other hand, bring Indonesian to be more accommodative and responsive to transnational issues such as promotion human rights, environment movement, or anti war movement? Can we reconfigure or re-enflame the spirit of nationness in the country of multiple religious, ethnic, and cultural legacies in a new perspective, as what Homi K. states as an internal liminal space, so that it can protect Indonesia from the wave
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
55
of globalization? This paper will rethink the relevance of nationalism of Indonesia in the era of globalization, to elucidate the idea of nationalism as an internal liminal space, and most important, to identify the ways to implement this idea in the context of Indonesia. I will divide this paper into three stages. First, I will observe the emergence of nationalism of Indonesia. Second, I will investigate the challenges of nationalism in the face of Globalization. And finally third, I will explore the possibility of applying Homi K. Bhabha’s proposal of a new perspective of nationalism and identify its implementations.
1.
Nationalism as Mimicry and Ambivalence Discourse In order to understand what Indonesian nationalism means and how it creates Indonesian identity, we need to explore how nationalism has come into Indonesian historical being. I will use Benedict Anderson’s study as the frame to explore Indonesian nationalism. As one of the leading Indonesianists, Benedict Anderson has devoted much of his times to anthropologically explore history of Indonesia politics. In his famous books, Imagined Communities1 and Language of Power: Exploring Political Cultures in Indonesia,2 he gives a special attention to the history of Indonesian nationalism. These two books will synthesize my exploration on the history of Indonesian nationalism. Benedict Anderson defines nation as an imagined political community; imagined as both inherently limited and sovereign. It is imagined because the members of even the smallest nation will never know most of their fellow-members, meet them, or even hear them, yet in minds of each lives the image of their communion. It is imagined as limited because even the largest of them, encompassing perhaps a billion living human beings, has finite, yet elastic, boundaries, beyond which lie other nations. It is imagined as sovereign because the concept was born in an age in which enlightenment and revolution were destroying the legitimacy of the divinely-ordained, hierarchical dynastic realm. It is imagined as a community, because, regardless of the actual inequality and exploitation that may prevail in each, the nation is always conceived as a deep, horizontal comradeship (Imagined, 6-7). With this anthropological perspective Anderson next explores the emergence of nationalism, including the sense of nationhood in Indonesia. Without undermining the role of common memory of oppression and suffering for the emergence of sense of national identity, Anderson argues that the indiffer-
1
Benedict Anderson, Imagined Communities (New York: Verso, 1991)
2
Benedict Anderson, Language of Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca: Cornell University Press, 1990)
56
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
ent attitudes of inlanders,3 as the beginning of the sense of identity, ended when these inlanders, especially the young native intelligentsias,4 get access to Dutch. It is this bilingualism that opened the horizon that eventually caused them to question their identity. In regards to the important role of bilingualism for the Indonesian young intelligentsias Anderson states: It is no less generally recognized that the intelligentsias’ vanguard role derived from their bilingual literacy, or rather literacy and bilingualism. Bilingualism meant access, through the European language-of-state, to modern Western culture in the broad sense, and, in particular, to the models of nationalism, nation-ness, and nation state produced elsewhere in the course of the nineteenth century (Imagined, 116). Despite the young nationalist intelligentsias, the young Javanese officials, working under their Dutch superiors, were exposed to a new vocabulary of politics as well.5 It is through the literacy and bilingual that these young generations, both the intelligentsias and young officials, have a contact with the ideas of national identity, sovereign, Socialism, Marxism, Democracy, Nationalism, nation-state and event experiences to administer the state. Bilingualism ended indifference and also allowed the young Intellectuals and Javanese officials to say that “we” are different from “you” and can be like “you”. Indeed, despite paving the contact with international ideas, bilingualism also brings the realization of identity. The realization of identity implies the need to be critical and to challenge any identity imposed by the colonizer. It is bilingualism, Anderson states, which opened the way to a critical conception of colonial society (including the colonial assumptions that determined what the colonized identity is) as a whole and a vision of a future society after disappearance of the colonial regime (Language, 136). Bilingualism, hence, can be considered as the beginning of enlightenment of the inlanders.6
3
4
5
6
Anderson notes that whatever mother-tongue the colonized spoke, they were irremediably called inlanders, a word which, like the English ‘natives’ and the French ‘indigenes,’ always carried an unintentionally paradoxical semantic load. Inlanders refer to both inferior and belong there (just as the Dutch, being ‘native’ of Holland, belong there) (Imagined, 122). These young intellectuals were trained in Dutch schools, whether in Batavia (Jakarta) or Netherlands. Those who stayed in Netherlands build the networking with others students in Paris. They had access to the European political ideas such as Rousseau’s concept of the people’s sovereignty, Marxism, and Ernest Renan’s ideas of nationalism. These young intellectuals of “Netherlands circles” even had connection and got support from their friends of socialist democrat in Netherlands, which eventually support their struggle for the Indonesian revolution and independence. See Coen Holtzappel, Nationalism and Cultural Identity (In Images Of Malay-Indonesian Identity, ed. by Hithcock and King), (New York: Oxford University Press, 1997), 74-75. While Dutch schools, contact with Dutch socialist and Communist writing affected the vision of the young nationalist intelligentsias regarding the concept of nation or nation state, the experience of being officials of the imperial administration gave experiences to the young Javanese officials to administer the office. Anderson shows the crucial role of bilingualism for the inlanders by stating “the role of Dutch was of crucial importance, since it provided the necessary means for communicating West European and Russian Marxist theories on colonialism and imperialism to a potential revolutionary elite in Indonesia” (Language, 136).
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
57
It was not until around 1928 that Dutch became the language of the inner circle of nationalist intelligentsias and Javanese officials. Not only did Dutch become the necessary means for comprehending and communicating Western ideas, it also functioned as the means for exchanging their experiences, opinions, new realizations and idealism each other. This process strengthened the realization of the need for identity which, in turn, was concretized by the foundation of political parties. The first Indonesian nationalist modern organization, established in 1908, was Budi Utomo (High Endeavor).7 Although dedicated mainly to the cultural advancement and not to the establishment of an independent nation-state, Budi Utomo is considered as the first modern organization that was established on the basis of modern-western structure of organization. “Its structural novelty,” Anderson states, “seemed to mark a clear break with the past” and “Budi Utomo,” Anderson continues by quoting Van Niel, “appears on the Indonesian scene as an organization based upon a free and conscious united effort by individuals” (Language, 244). The formation in 1908 of Budi Utomo is often taken as the beginning of organized nationalism. After Budi Utomo there were numerous social political organizations pushed for Indonesian independence such as Indische Partij (Indies Party), Sarekat Islam (Islamic Union), Indische Social-Democratsche Vereniging (ISDV, Indies Social Democratic Organization, and Partai Komunis Indonesia (PKI, Indonesian Communist Party). Although these nationalist organizations faced the suppression from the colonial power their memberships constantly increased (Democracy, 94-95). Common experiences of suffering, the need for resistance to the colonizer and for inscribing identity, the united spirit of longing for independence, and the ideal of the future self-determination, on one hand, and the fact of the ethnic, geographic, religious, and class plurality, on the other hand, produced the need for socio-cultural-political frame to accommodate and organize those elements. Realizing this need and having been exposed to the western-modern ideas and having been informed of the national movement of the neighbor countries for independence, Indonesian intellectuals adopted the concept of western nationalism as the socio-culturalpolitical frame for the struggle for independence.8 These young intelligentsias believed that the idea of nationalism can be used to unite, cloth, carry, and even enforce the realization of identity and the need for independence. The monumental event, which signified the crystallization of the driving force for independence and the realization of nationalism as a suitable socio-cultural-political strategy for independence,
7
8
58
Until now the establishment of Budi Utomo (May 20) is celebrated as the day of national rise. Budi Utomo had its conservative and liberal elements that corresponded to the class background of its members and leaders. Many of them were intellectuals trained in Dutch schools which eventually came to dominate the organization. See Syed Farid Alatas, Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia (New York: St. Martin’s Press, 1997), 95. The famous definition of nationalism is suggested by Ernest Renan. He states, “A nation is a soul, spiritual principle. Two things, which in truth are but one, constitute this soul or spiritual principle. One lies in the past, one in the present. One is the possession in common of a rich legacy of memories; the other is presentday consent, the desire to live together, the will to perpetuate the value of the heritage that one has received in an undivided form.” See Homi K. Bhabha, Nation and Narration (New York: Routledge, 2002), 19.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
was the first congress of the Indonesian youth on 28 October 1928, when the articulation of their commitment inscribed in Sumpah Pemuda (The Oath of the young Indonesian). Sumpah Pemuda consists of the creed of United Indonesia, of one nation, which is the Indonesian nation, and one language, which is Indonesian (Bahasa Indonesia). 9 There are several reasons, I argue, that caused these young intellectual adopting concept of nationalism as the social-political-cultural strategy for Independence. First, the idea of western nationalism, as it was adopted by other Asian and African colonial countries, was considered as the vehicle that provided the resistance to the colonizer’s (Dutch) rule and cohesive instrument for the ethnic diversity. Second, the future orientation of nationalism can provide the frame to fulfill the need for producing identity. Third, the concept of nationalism can restructure the tradition of patterns of authority in order to create Indonesia as a modern state. Fourth, by adopting the western concept of nationalism as a strategy for independence the nationalists Indonesian mimicked the strategy of the Dutch to liberate themselves from the French colony that they celebrated, even in the colonial land of Indonesia (Imagined, 117). By mimicking the Dutch, who were using nationalism as a means to sustain the spirit of national identity, the young native intellectuals created a vehicle, that, first, united the Indonesian in the struggle for Independence under one umbrella, and, second, that made the Dutch hesitate to frontally attack the Indonesian independent movement.10 It is obvious that nationalist Indonesians adopted western concept of nationalism as mimic discourse, as, following Bhabha’s phrases, a means to achieve the desire for a reformed, recognized Others, as a subject of a difference that is almost the same but not quit. Indonesian nationalism as a form of mimicry emerged as the representation of a difference that is itself a process of disavowal.11 Indeed, it is a western nationalism that that was adopted by the young Intelligentsias, the group that trained in Dutch Schools and exposed to the socialist democrat writings, to be a means of struggle for independence. The western spirit of the Indonesian nationalism can be found in one of the official speeches of Sukarno, who is one of the revolution leaders that eventually became the first president of Indonesia, which he delivered before the Committee of the Independence Preparation:
9
10
11
Concerning the decision to choose Indonesia as a national language Benedict Anderson gives very important notes, “The vehicle of comprehension was therefore necessarily Dutch; the vehicle of attack was subsequently to be Indonesian (revolutionary Malay). Paradoxically enough, the spread of Indonesian as a national language was only possible once Dutch had become the inner language of the intelligentsia: Only then could Indonesia be developed to receive the new thinking, and then to diffuse it more widely within colonial society.” (Language, 136-137). Anderson states that “rather than simply absorb and adapt Dutch partially, to reinforce Javanese traditions, the younger intelligentsia, drawn mainly into the profession, was to build on the older generation’s experience and advance to the radical absorption of Dutch as a “whole” – including the metropolitan spectrum of Dutch culture- and consequently, in the long run, to destroy Dutch colonial power from within” (my emphasis) (Language, 135-136). Homi K. Bhabha, The Location of Culture (New York: Routledge, 2002), 86.
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
59
Nationalism! To be a nation! It was no later than the year 1882 that Ernest Renan published his idea of concept of “nationhood”. “Nationhood”, according to this author is a spirit of life, an intellectual principle arising from two things: firstly, the people in former times had to be together to face what came, secondly, the people now must have the will, the wish to live and be one. Not race, nor language, nor religion, nor similarity of needs, nor the borders of the land make that nation…. (Nationalism, 74).12 As a social-cultural-political strategy nationalism emerged in the time of transition. It came into existence when, on one side, the longing for independence, self determination, common memory of suffering, and the need for identity met, on the other side, the common will to build in future the sovereign state and to produce identity, as it offered by idea of nationalism. Indonesian nationalism emerged at the time, when, on one hand, the young intelligentsias wanted to challenge and break the nation identity as imposed by the colonizer (Netherlands Indies), and, on the other hand, started to think and construct a new identity for the social-cultural-political representation. As the form of mimicry, social, cultural, and political strategy for Independence and production of identity, emerged at the time of transition, Indonesian nationalism carries on, in its deepest feature, ambivalent elements. Indonesian nationalism, as mimicry, using Bhabha’s terms, emerged as a system of cultural signification, as the representation of social life (Nation, 1-2). It emerges as the representation of a difference that is itself a process of disavowal (the Location, 86). Indonesian nationalism, emerged at the time of transition, therefore, embraced its ambivalence. Bhabha agrees with Anderson concerning the ambivalence of nationalism when he quotes Anderson: The country of the Enlightenment, of rationalist secularism, brought with it its own modern darkness…Few things were (are) suited to this end better than the idea of nation. If nation states are widely considered to be ‘new’ and ‘historical’, the nation states to which they give political expression always loom out of an immemorial past and…glide into a limitless future. What I am proposing is that Nationalism has to be understood, by aligning it not with selfconsciously held political ideologies, but with large cultural systems that preceded it, out of which –as well as against which- it came into being (Nation, 1).
2.
Nationalism and Its Problems Adoption of western nationalism as political strategy is problematic even since at the beginning. Several major problems occur as a result of the adoption of western nationalism are: first, although mimicry may be a bilateral process and a
12
60
See Ernest Renan’s definition of nationalism as it is republished in Nation and Narration. See Homi K.Bhabha, Nation and Narration (New York: Routledge, 12002), 19.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
strategic vehicle of the struggle for independence, the preponderance of European’s socio-cultural-political perspective inevitably created an imbalanced set of relationship colonizers and the colonized and eventually obstructed the ‘Indonesianization’ of western nationalism. European nationalism, as indicated in Ernest Renan’s definition, presumes the existence of the democratic-egalitarian culture, social context, and even socio-political institutions. Commitment and the will to produce a new national identity, instead of imposed identity, required a new horizon, which is that the identity is a production or construction. Because “Netherlands Indies peoples” had been accustomed to live in the feudalistic culture, social stratification, that even profoundly perpetuated by the colonization of the Dutch, and socio-political institutions, obstructed the process of construction national or cultural identity. This obstruction of the liberalization from the colonial feudalistic culture and structure of socio-political institutions and the production of national identity shows the inability of the native intelligentsias to understand and take into account the real context of the peoples of Indonesia. This phenomenon supports what occurred in the revolution history of Algeria, as Fanon identified, that the native intellectuals forgot that their own psyche and their selves are conveniently sheltered behind a colonizer’s culture which has given proof of its existence and which was uncontested.13 Second, the introduction of western nationalism occurred when Javanese administrators had been accustomed to the mechanism and ethical rule of the existing political and governmental administration, which designed to serve the colonial government. Although the awareness of the need for the independence and selfdetermination emerged, Javanese administrators were not able to recreate a new political and governmental administration until independence. Neither do the young intelligentsias, who were more familiar with the philosophical or ideological issues, relate to the ideas of nation. The incapability of creating new political and governmental administration was not primarily caused by the fact that they were under control of the Dutch administrator, but by the fact that these young administrators used to live according to the assumptions and mentality of the colonized. The colonial assumptions and mentality, in fact, was rooted deeply in the colonial mentality. What they do were only continuing and perpetuating the colonial mentality and assumptions. The true new identity, therefore, can never be produced in such an atmosphere. 14 Third, the adoption of nationalism as a means of integration and as a spirit of struggle for independence and self-determination is also problematic because In-
13 14
See Frantz Fanon, The Wretched of The Earth (New York: Grove Press, 1683), 209. Perpetuation of colonial assumptions and mentality, to some extent, is caused by the process of acculturation between Dutch and Javanese administrators. Anderson mentions several examples: first, the Dutch obsession with detail, rule and rank, categorization and classification, accorded well with the Javanese priyayi (aristocrat) love of fussy protocol and elaborate hierarchies. Second, the Dutch moral emphasis of Ethical rule, concern for what was conceived to be the good of the ruled, echoed older Javanese idea about the duties of the ruling class. These phenomena indicate that the Javanese administrator lived according to the older Javanese assumptions and mentality that they believed in accordance with the Dutch work ethics (Language, 134-135).
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
61
donesia consists of diverse religious, ethnic, and cultural elements which inevitably require unique identity. Also, as a country of seventy thousand archipelagos, many different ethnics and groups have their own nuances of history and different degree of integration to the center (the capital). Also, Indonesia needs a cohesive and integrative means to create the national identity and better future. In response to these difficulties the Indonesian leaders started to bring into the public rhetoric the issues related to the need to build a national culture and identity. A serious problem emerged when any social and political institutions, such as institution of education and political apparatus, were mobilized to introduce this need for national culture and identity without offering prescription of what the essence of national culture and identity are, what its content and element are, and how it is created. The need for national culture and identity then became merely empty slogans. The need for cohesive and integrative spirit of unity and identity is performed by power and repression of political machine that, in turn, produced a steeply-ascending pyramid of social and political structure.15 The notion of nationalism, therefore, refers to the discipline of social polity and the repressive social and political machinery, rather than to the representation of social life (Nation, 2). Moreover, the need for national culture and identity, which provide the system of values, is superficially fulfilled by the accumulation ( and homogenization) of traditional material cultures, in which Javanese culture and values became dominance, and ethnic and religious traditions, in which Islamic religion became main stream. The lack of innovation in the process of implantation (Indonesianization) of western nationalism in Indonesia perpetuated colonial culture and atmosphere in the sovereign country of Indonesia. People still are imprisoned by the shadow of the colonial assumptions and mentality.16 Although political structure is claimed to be designed on the basis of democratic constitution, political culture and decision are still determined by feudalistic mentality and procedures. Since the Indonesian leaders are unable to architect new national culture and identity, social discipline is performed by power control, backed by the military. The national culture is associated more with the dominant culture of Java and Islam, which, in turn, suppresses the cultures of minorities, modern innovation and creativity, and undermines the openness to the international culture in the name of “national identity”. In such an atmosphere that the emergence of globalization, which carries the issues of human promotion, democracy and local identity, created complicated problems.
15
See William Liddle, Leadreship and Culture in Indonesian Politics (Sydney: Asian Studies Association, 1996), 18-19.
16
It is interesting to mention that even the imagined geographical identity, the length or the limit of Indonesian territory is adopted from the colonial maps that constructed for the Dutch’s sake (Imagined, 163-206).
62
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
3.
Reframing Nationalism The continuous separatist movements emerged as a consequence of the need of autonomy and identity, the absence of the juridical and economic structure and infrastructure that can accommodate the wave of international liberal trades and multi other level interactions, and the absence of national culture that provides the system of values and the sense of identity in the midst of globalization indicate that the crisis of nationalism in Indonesia has become a crisis of the existence of the nation. This crisis, nevertheless, does not imply that Indonesia will leave nationalism as its socio-cultural-political strategy and find new strategies to fulfill the need for identity, sovereignty, and unity instead. Facing the crisis of nationalism, I argue, is not about a matter of ‘take or leave it.’ Nationalism still appears as the discipline of social polity and the repressive social machinery, ever became a spirit that energized the Indonesian to expel the colonizers and provided the sense of sovereignty. The issue at stake, therefore, is how to redefine or reframe nationalism so that it can be the means of the representation of social life that can produce an accommodative national culture and identity in the verge of globalization. That is to say, as Bhabha proposes, the idea of nationalism which enables us to see boundaries not as simply the space between one nation and another, oneself and another, but to see the boundaries also as always facing inward, as kind of internal liminal space.17 Bhabha’s proposal to review or reread the notion as a mental space, which enables people to rewrite their ‘nationness’, depart from his account on culture. Bhabha argues that beyond cultures there exists an Idea that generated by the minds of thinking and learning humans. This Idea of culture motivates peoples to create culture. For Bhabha, therefore, culture is more than artifact or any material symbols or forms of representation. It is an Idea or spirit that motivates people to create culture. Departing from such an idealistic concept of culture Bhabha suggests that nationalism shall be perceived as the internal mental spirit (life) that provides the room for the people to create, inscribe, and produce the sense of national identity (Race 27-28 and Nation, 35-38). Bhabha suggests that critical theory has the potential to help reread a very potent myth of the national past, which was determinant in the construction of a homogeneous society. It also helps rewrite the nation, to alter the material realities as well as the symbolic context of nationness. In the context of globalization or transnational culture, Bhabha believes, the awareness of the internal liminal space can save the nations to conserve their identity (Race 27-29). Furthermore, despite arguing the importance of the critical theory for reframing the nationness or nationalism, Bhabha also suggests that the composition or literacy can be used to produce or inscribe idenity. Literacy is one of the instruments for narrating the nation (Race 28).
17
Gary A. Olson and Lynn Worsham (ed.), Race, Rhetoric, and The Postcolonial (Albany, NY: State University of New York Press, 1999), 28.
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
63
Referring to Bahabha’s thoughts on culture and national culture and identity, and taking into consideration of his suggestion of the role of literacy, how do we then apply these suggestions in the reconstruction of Indonesian nationalism? Among other possibilities I suggest two areas of concern to reconstruct Indonesian nationalism in the context of globalization: first, since literacy is only the ‘culture’ of the educated elites and not of the ordinary peoples, it seems to me that, the verbal ‘cultural forms or expressions’ will be more powerful and effective to be the means of representations. These verbal forms of representation have a long and deep root in the lives of peoples of almost all ethnic groups in Indonesia. It is not by composition or writing but by verbal performances or entertainments as forms of representation that the Indonesians challenge the fixed and imposed identity or the forms of relation, and start to negotiate and inscribe their new identity.18 This strategy implies the need to conceive the national culture and identity, not merely as accumulation of the subcultures or the ethnic cultures, but as the plural and various representation of difference. That is to say that the reconstruction of national culture and identity is not performed by repression, homogenization, or imposition of the dominant culture, identity or political ideology, instead, it is exercised by creating a creative atmosphere that provide free room for peoples to express and create any forms of representation and to be more accommodative to the global culture. This new strategy of national formation challenges the binary division of social life, as it started since the time of colonization; the binary division that has always been Bhabha’s area of concern.19 Second, institutions of education, which spreads out unto the most remote area, I believe, still play a crucial role in the process of liberation of the peoples from the colonial mentality and assumptions. The new perspective of culture, of national culture and of national identity must be the horizon of system, policy, and contents of education. Education, in such a perspective, shall be the means of liberalization; the liberalization from the colonial mentality and assumptions that has colonized the soul of Indonesians. Only through the process of liberalization of mentality, assumptions, and souls, that the Indonesians can create the new national identity and culture. This is the new step to reframe the idea and spirit of new nationalism.
BIBLIOGRAPHY Alatas, Syed Farid, Democracy and Authoritarianism in Indonesia and Malaysia, New York, NY: St. Martin’s Press inc., 1997.
18
19
64
Laurie J. Sears, for example, investigate the role of wayang (puppet shadow theatre), poetry, and gamelan (music ensemble),as the means of identity representations and even as a means of criticism to the ruling power. See Laurie J. Sears, Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales (Durham: Duke University Press, 1996), IX-XVIII. Michael Hardt and Antonio Negri state, “One of the primary and constant objects of Bhabha’s attack are binary divisions”. See Michael Hardt and Antonio Negri, Empire (Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2002), 143.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Anderson, Benedict, Imagined Communities, New York, NY: Verso, 1991. Anderson, Benedict, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Ithaca, NY: Cornell University Press, 1990. Bhabha K., Homi (ed.), Nation and Narration, New York, NY: Routledge, 2002. Bhabha K., Homi, The Location of Culture, New York, NY: Routledge, 2002. Fanon, Frantz, The Wretched of the Earth (trans. by Constance Farrington), New York, NY: Grove Press, 1963. Grant, Bruce, Indonesia, Melbourne: Melbourne University Press, 1996. Hardt, Michael Cs, Empire, Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press, 2002. Holtzappel, Coen, Nationalism and Cultural Identity (In Images of Malay-Indonesian identity, ed. by Hithcock and King) (New York: Oxford University Press, 1997. Olson, Gary A. Cs (ed.), Race, Rhetoric, and the Postcolonial, New York, NY: State University of New York Press, 1999. Rutherford, Danilyn, Reading the Land of the Foreigners, Princeton, NJ: Princeton University Press, 2003. Sears, Laurie J., Shadows of Empire: Colonial Discourse and Javanese Tales, Durham: Duke University Press, 1996.
Robertus Wijanarko, Rethinking Nationalism
65
GAGASAN TEOLOGI ISLAM TERHADAP PLURALITAS MASYARAKAT BANGSA
Imam Ghazali Said Pesantren Mahasiswa AN-NUR, Wonocolo Surabaya Abstract: Plurality is a challenge. Though Islam is normatively a tolerant religion, the concept of plurality needs to be discussed in the Islamic world. The article draws theologically plurality in the Islamic perspectives. It shows that in the Quran what we call plurality is theologically inserted. The Indonesian Moslems promote plurality in their lives and tolerant witness to other people of the different religions. Keywords: pluralitas, Muslim, non-Muslim, al-Quran, bangsa.
1.
Nation State dan hubungan Muslim-non Muslim Menjelang bangsa ini menemukan identitasnya, sebagai suatu bangsa, muncul beberapa pertanyaan teologis terhadap nilai perjuangan yang mereka lakukan. Apakah “nation state” Yang menjadi tujuan perjuangan itu sesuai dengan perjuangan (jihad) dalam Islam? Apakah mereka yang gugur dalam perang kemerdekaan dapat dianggap sebagai syuhada’? Setelah nation state itu terbentuk dengan nama Indonesia, dua pertanyaan itu berlanjut; apakah mempertahankan eksistensi nation state Indonesia itu identik dengan perjuangan Islam? Jika jawabannya identik, semua kegiatan kaum muslimin yang mengarah pada penghancuran eksistensi nation state harus dianggap sebagai pengkhianatan terhadap ajaran Islam. Tetapi, jika sebaliknya, tentu jawabannya sudah dapat kita duga. Sebagai mayoritas, kaum muslimin sejak perumusan dasar konstitusi, “sudah siap” dan rela hidup melampaui sekat etnis, budaya dan agama. Untuk menjaga keharmonisan, para pemeluk agama dan kelompok etnik dituntut mampu menghadapi realitas kebhinekaan (pluralism). Konsep pluralisme ini sudah menjadi filosofi ketatanegaraan masyarakat internasional sekarang sekalipun setiap negara menggunakan istilah yang berbeda-beda. India menggunakan istilah Compasite Society, AS: Melting Pot Society, Kanada: Multy Culturalism Community dan Indonesia mempunyai Bhineka Tunggal Ika. Semua idiom tersebut, sebenarnya mengacu pada satu makna “pengakuan” terhadap eksistensi pluralism. Konsep pluralism ini secara eksplisit terdapat dalam al-Quran dan al-Hadis. Pluralisme dalam Islam menjadi dasar dari penciptaan alam semesta. Karena itu, watak dasar alam semesta tidak berpotensi melahirkan konflik (the source of con-
66
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
flict/mashdar al-shira’), tetapi berpotensi membentuk suatu keseimbangan (equalibrum:al-tawazum). Karena itu, Islam memberikan solusi, bahwa syarat bagi tercipta keharmonisan adalah adanya kesediaan masing-masing pihak untuk “mengakui” komponen-komponen yang secara alamiah berbeda. Uraian di atas menggambarkan bahwa Islam mengakui keabsahan konsep unity in diversity (al-ithihad fi al-tanawwu’), termasuk dalam soal akidah dan teologi. Pemahaman demikian, menjadi dasar doktrin teologi Islam, bahwa seorang Muslim tidak punya jaminan absolut untuk dapat menerima keselamatan dan pengampunan (taubah, salvation) di hari kemudian, betapa pun tinggi derajat keimannannya. Doktrin seperti ini sangat diperlukan untuk menghindari arogansi teologis masyarakat Muslim, yang dalam realitasnya harus hidup dalam lingkungan plural. Doktrin ini sudah menjadi asas teologi Islam sejak abad VII M, dan Gereja Katolik pada tahun1960-an mengadopsi teologi ini yakni ketika Konsili Vatikan II menetapkan pemberian salvation pada komunitas non Kristiani (extra Ecclesian Nulla Salusa). Dengan realitas dan pengakuan terhadap pluralisme, berarti Islam telah memberi karakter positif kepada komunitas non Muslim. Bahkan pada era klasik terhadap fakta adanya dialog teologi yang dikembangkan oleh para cendekiawan Kristen di tengah-tengah komunitas Islam. Dialog teologis seperti ini dapat terjadi karena penguasa Muslim menjamin “kebebasan akademik” terhadap para cendekiawan untuk menyampaikan teologinya secara ilmiah. Dari sekian teolog Nasrani, nama Timothi Patriach, dari gereja Nestorian, Abu Qurra” Bishop dari Gereja Melkite dan Abu ‘Ammar, cendekiawan Nestorian dari Basrah, memiliki “manuskrip” yang dapat kita baca sampai hari ini. Teologi kaum Nasrani itu ditanggapi oleh para cendekiawan Muslim di antaranya yang terkenal adalah al-Syahrastani, al-Baghdadi dan Ibnu Hazm. Meksipun realitas historis kaum Muslim sangat toleran terhadap non Muslim, Islam sangat membenci convertion (murtad). Sikap ini tidak hanya alasan teologis, tetapi juga karena faktor sosiologis. Murtad dianggap dapat membuat sesorang mengalami “depresi mental”, karena ia harus menjungkirbalikan kepercayaan dan kebiasaan yang dibentuk dalam tradisi agama tertentu untuk diubah mengikuti kepercayaan dan tradisi agama baru, yang mungkin banyak bertentangan. Sudah menjadi konsensus sejarawan, bahwa masa abad VII-XVIII M, penguasa muslim (khalifah) tidak pernah bersikap arogan dan berlaku tiran terhadap rakyatnya yang non muslim. Bukti terbaik dari sikap toleran itu adalah tindakan penyelamatan khalifah Turki Ustmani terhadap komunitas Yahudi Savardik Spanyol yang dilanda perang pembasmian etnik dari kaum Kristen Spanyol sesuai reconquista.
2.
Teologi Islam tentang Pluralitas Bangsa Kaum muslimin sebagai mayoritas di tengah-tengah masyarakat bangsa multi agama, multi etnik dan multi ideologi, seharusnya mampu menghayati ajaran Islam yang mendorong tercipta saling pengertian di antara sesama pemeluk agama. Dengan
Imam Ghazali Said, Pandangan Islam Terhadap Pluralitas
67
demikian al-Quran dan sejarah nabi dapat menjadi landasan tercipta persatuan dan perekat bagi bangsa yang sedang menghadapi tantangan. Karena itulah penulis mencoba memahami al-Quran dan sejarah nabi yang secara fungsional dapat menjadi pengikat bagi persatuan dan kesatuan kita. Pada dasarnya Islam menempatkan “manusia” pada poros pelaku (subjek) sekaligus sasaran (obyek) interaksi; baik antarpersonal, komunitas, maupun antarbangsa dan seterusnya. Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengungkap strata hubungan dan interaksi yang ideal menurut pandangan Islam. Level ideal hubungan tersebut setidak-tidaknya dibagi menjadi empat. Pertama, persaudaraan antarmanusia (al-ukhuwah al-Isaniyah). Kita tahu bahwa misi ajaran Islam itu adalah tetap terlaksananya nilai-nilai dasar kemanusiaan dalam kehidupan dunia ini. Allah secara tegas menyatakan dalam al-Quran: “Aku mengutusmu (Muhamad), itu hanya sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta”. (QS. Al-Anbiya’: 102). Ungkapan “wahai manusia”, dalam al Quran sangat banyak kita temui. Dari sini, saya memahami bahwa semua tindakan Rasulullah yang terkait dengan perang suci (jihad, holy war)itu bertujuan untuk merealisasikan dan menegakkan nilai dasar kemanusiaan. Dan di antara tujuan penegakan “Hukum Islam” yang paling tinggi adalah untuk menjaga kepentingan manusia (mashalih alibad). Kedua, pengakuan terhadap eksistensi semua agama. Untuk memperkuat misi kemanusiaan di atas, al-Quran secara implisit dan eksplisit mengakui dan melindungi keberadaan agama-agama di luar Islam. Hal ini termaktub dalam al-Quran, “Andaikan Allah tidak menolak (tindak kekerasan) antarsuatu kelompok manusia dengan kelompok lain niscaya gereja-gereja, sinagoge-sinagoge (rumah ibadah umat Yahudi), rumah ibadah apa pun (shalawat) dan masjid-masjid, yang dalam semua rumah ibadah diatas, nama Allah banyak disebut, itu akan dihancurkan.” (QS. Al-Hajj: 40) Ayat ini secara tegas menyatakan keberadaan agama-agama di luar Islam. Secara implisit, ayat di atas menyatakan bahwa esensi semua agama itu kembali pada Allah. Mungkin yang berbeda hanyalah sebutan “Tuhan” pada setiap agama. Islam menyebut Allah, Kristen menyebut Allah, Yahudi menyebut Yahwe dan seterusnya. Dalam perspektif perenial, semua agama memang dapat dikatakan mengacu pada pengakuan; bahwa ada kekuatan “Maha Dahsyat dan Maha Kuasa di luar kemampuan manusia dan alam semesta ini”. Demikian juga dengan Islam, dalam kaitan dengan keberadaan agama lain, Islam tetap menempatkan agama lain dalam kerangka realitas sosial untuk menjaga hak-hak ‘kebebasan’ manusia untuk mengikuti dan meyakini suatu agama. Ini sekaligus mengakui adanya pluralisme agama yang menjadi penuntun hidup manusia. Allah pernah menegur Nabi Muhamad - yang mungkin waktu itu “sangat bersemangat” untuk mengislamkan seluruh manusia dengan firmannya: “Apakah anda akan memaksa manusia, sampai mereka menjadi mukmin semua?” (QS. Yunus:99). Realitas plural inilah, menurut setiap individu dan kelompok yang berbeda, mengakui eksistensi individu dan kelompok lain. Dan, 68
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
eksistensi yang diakui Islam bukan dalam kerangka teologis dan ritual. Sebab dalam masalah terakhir al-Quran menegaskan:”Wahai orang-orang kafir, tak mungkin aku melakukan ibadah seperti anda beribadah. Sebaliknya anda juga tak mungkin beribadah seperti aku beribadah, dan aku tetap tidak akan beribadah terhadap “Tuhan” anda sembah, andapun tetap tidak akan beribadah terhadap Tuhan yang aku sembah. Bagimu agamamu dan bagiku agamaku” (QS. AlKafirun: 19). Ketiga, hubungan baik dengan ahl al-kitab. Dalam studi perbandingan agama, ada dua kategori besar dalam memperhatikan model agama. Pertama, agama samawi, yakni agama yang sumber ajarannya berasal dari wahyu Allah melalui manusia pilihan, yang kemudian dikenal dengan nabi. Kedua, Agama ardhi, yakni agama yang ajarannya bukan berasal dari wahyu Allah. Agama samawi yang tetap eksis dan diyakini punya transmisi ketauhidan dari nabi Ibrahim (Abraham) sampai sekarang adalah Yahudi, Nasrani dan Islam. Namun, tidak tertutup kemungkinan adanya agama samawi di luar tiga agama samawi di atas. Sebab Allah sendiri menyatakan firmanNya: “Kami telah mengutus beberapa orang Rasul sebelum anda (Muhamad); sebagaian dari mereka kami ceritakan padamu dan sebagaian yang lain tidak kami ceritakan” (QS. Al-Mukmin: 78). Dengan demikian kaum muslimin yakin masih ada agama samawi lain di luar tiga agama di atas. Hal ini mestinya tidak menjadi persoalan jika masing-masing penganut agama dapat memahami dan mengerti peran masing-masing. Dua agama Yahudi dan Nasrani itu disebut Ahl al-Kitab. Dalam kaitan dengan eksistensi agama samawi di atas Islam memandang ada keterkaitan teologis, sebab kaum muslimin wajib beriman kepada Nabi Musa dan kitab Taurat, serta nabi Isa dan Kitab Injil (Nasrani). Bahkan kaum muslimin kedua Nabi ini termasuk Ulu al-’Azm min al-Rusul (Rasul yang paling tabah menghadapi ujian). Dalam realitas interaksi sosial, Islam mempunyai “ajaran khusus” terhadap ahl-alkitab. Panduan solidaritas itu, terutama dengan Nasrani harus selalu dikembangkan oleh kaum muslimin. Hal ini tergambar dalam firman Allah, “Bangsa Romawi telah dikalahkan, di negeri yang terdekat, dan setelah kalah, mereka akan keluar sebagai pemenang, dalam beberapa tahun lagi; sebelum dan sesudah kejadian itu menjadi hak otoritas Allah. Ketika menang itulah kaum muslimin bergembira.(QS. Al-Rum: 2-4) Yang dimaksud dengan negeri terdekat adalah Syiria, Palestina dan Israel sekarang. Ketika al-Quran diturunkan pada abad ke VI M, Romawi yang beragama Nasrani dikalahkan oleh Persia yang beragama Zoroaster (Majusi), kemudian selang waktu 10 tahun Romawi menang. Ayat di atas secara implisit menganjurkan kaum muslimin solider terhadap bangsa Romawi yang beragama Nasrani. Dalam hal makanan dan perkawinan, Allah berfirman, “Makanan orang-orang ahl al-kitab itu halal bagi kalian (kaum muslimin), dan makanan anda halal bagi mereka, dan (dihalalkan mengawini) wanita-wanita mukmin ahl al-kitab”. (QS. Al-Maidah :5)
Imam Ghazali Said, Pandangan Islam Terhadap Pluralitas
69
Ayat inilah yang menjadi landasan, mengapa kita temukan seorang muslim mengawini wanita ahl al-kitab (Yahudi dan Nasrani) seperti yang terjadi pada Yasser Arafat dengan Zuba Thawil (Nasrani). Memang harus diakui bahwa ajaran Islam tidak memperkenankan wanita muslim kawin dengan pria ahl al-kitab. Dalam perspektif hubungan antarelite, antara Islam dan tokoh agama lain, alQuran membenarkan, “Sungguh Anda (Muhamad) akan mendapatkan orang-orang Yahudi dan orang-orang Musyrik itu paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman. Dan sungguh Anda akan mendapatkan persahabatan orang-orang yang paling dekat persahabatan dan cinta kasih mereka dengan kaum beriman adalah mereka yang berkata: kami ini Nasrani. Yang demikian itu karena diantara mereka terdapat pendetapendeta (Qissisin) dan pastur-pastur (ruhban) juga karena mereka tidak sombong”. (QS. Al-Maidah : 82) Ayat terakhir inilah yang mungkin menjadi faktor pendorong tokoh-tokoh Islam untuk berhubungan “dari hati ke hati” dengan para elite Nasrani, seperti yang secara intens dilakukan KH. Abdurrahman Wahid sejak beliau menjadi Presiden dan Dr. Said Agiel Siraj. Keempat, Islam dan paham kebangsaan. Harus diakui bahwa pengertian kebangsaan dalam pengertian modern yang berujung pada pembentukan negara bangsa (nation state), adalah produk Barat yang dalam kurun lebih dari tiga abad menjajah kaum muslimin. Jadi wajarlah jika ideologi kebangsaan ini menjadi masalah yang kontroversial di kalangan kaum muslimin. Suatu kelompok - terutama yang terdidik secara Barat - dapat menerima ideologi kebangsaan, dengan argumen, paham tidak mengancam eksistensi akidah, iman dan esensi ajaran sosial Islam. Biasanya mereka mengajukan firman Allah berikut ini sebagai legitimasi: “Kami menciptakan Anda dari jenis laki-laki dan perempuan, kemudian kami menjadikan Anda beberapa bangsa (Syu’ub) dan beberapa suku (qabait) agar anda saling mengenal” (QS. Al-Hujurat : 13). Kelompok yang pro paham kebangsaan ini juga berhujjah dengan Piagam Madinah. Ketika itu Rasul mendirikan tatanan masyarakat (negara?) di Madinah yang plural, dalam arti didukung oleh beberapa komponen dengan latar belakang historis, budaya, etnik, warna kulit dan agama yang berbeda. Tetapi mereka hidup dengan damai di Madinah dengan supremasi hukum yang kuat, tanpa ada diskriminasi. Sementara kelompok yang kontra paham kebangsaan mengajukan argumen, bahwa paham kebangsaan ini tak dapat dipisahkan dengan paham sekularisme dan demokrasi. Padahal Islam - menurut mereka - adalah ajaran universal, anti sekularisme, dan hanya mengandung unsur-unsur demokrasi. Oleh karena itu menurut mereka - tidak mungkin Islam secara utuh menerima ideologi kebangsaan. Tapi dalam perjalanan waktu, dua kelompok ini saling berinteraksi, yang kemudian sampai pada kesimpulan, bahwa bagi kelompok pertama, Islam harus diperjuangkan dalam konteks penyebaran nilai-nilai kemanusiaan dalam bingkai negara bangsa. Sementara kelompok kedua, Islam harus diperjuangkan dalam bentuk for70
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
mal dalam negara bangsa, tanpa mengabaikan solidaritas dengan dunia Islam di luar negara bangsa itu. Akhirnya, memang kaum muslimin harus realistis memperjuangkan “agama” tanpa harus mengorbankan persatuan dan kesatuan yang selama ini relatif telah tercipta.
BIBLIOGRAFI Coward, Harold, Pluralisme: Tantangan bagi Agama-Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1989 Hidayat, Komaruddin, dan Muhamad Wahyudi Nafis, Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial, Jakarta: Gramedia, 2003 Noer Zaman, Ali, (ed.), Agama Untuk Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000 Rachman, Budhy Munawar, (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1995
Imam Ghazali Said, Pandangan Islam Terhadap Pluralitas
71
Telaah Buku Judul Buku Penulis Penerbit Tebal
: : : :
Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara Saing Silalahi, MA. Gramedia, 2001 xviii + 376 halaman
Membangun jembatan antara politik dan etika sebetulnya bersumber pada gagasan fundamental tentang tujuan negara. Tujuan negara, menurut perspektif filosofis dapat diringkaskan dalam tiga pandangan. Pertama, negara bertujuan supaya di dalamnya semua warga negara dapat mencapai well being dan happiness (Aristoteles); kedua, negara bertujuan agar kekuasaan negara menjadi milik penguasa (Machiavelli); dan ketiga, negara bertujuan untuk menciptakan keadilan (Hobbes). Ketiga pandangan di atas memiliki dasar pemikiran dalam uraian di bawah ini. Pandangan pertama ditemukan dalam pemikiran Aristoteles. Sudah sejak zaman Yunani Kuno, Aristoteles terutama, perkara-perkara politik telah merupakan bagian dari urusan etika, sebab etika bagi filosof ini merupakan bagian dari political science yang mempelajari kebahagiaan, happiness. Kebahagiaan sendiri tidak pernah dapat dicapai kecuali di dalam polis atau negara kota. Polis karena itu menjadi keterarahan tunggal hidup manusia untuk mencapai hidup baik, well being.1 Inilah dasar pemikiran yang mendasari pandangan pertama bahwa antara politik dan etika terdapat jembatan yang menghubungkan dan jembatan itu adalah happiness. Pandangan kedua ditemukan dalam diri Machiavelli “Sang Penguasa”. Bagi dia, politik dan etika adalah dua dunia yang terpisah, dipisahkan oleh jurang yang sangat lebar. Politik menurut dia adalah soal mempertahankan kekuasaan sehingga pertanyaan tentang kekuasaan yang baik, dalam arti etis maupun moral, sama-sekali bersifat sekunder.2 Negara Machiavelli karena itu adalah negara kekuasaan atau Machstaat; dan jurang yang sangat membahayakan baik bagi penguasa dan warga negara adalah jurang kekuasaan. Realisme Machiavelli dilanjutkan oleh Thomas Hobbes yang mendasari pandangan ketiga di atas. Meskipun demikian, negara Leviathan merupakan penyangkalan terhadap negara kekuasaan Machiavelli, selain juga merupakan penyangkalan terhadap negara kota, polis. Jika dalam Aristoteles antara politik dan etika (Polis) dihubungkan oleh jembatan kebahagiaan (the happiness bridge); dan bila antara politik dan etika pada Machiavelli dipisahkan oleh jurang kekuasaan (the gulf of power) yang sangat lebar; menurut Hobbes, etika mengandaikan kehidupan politik. Bagi Hobbes persoalan-persoalan etis, paham tentang baik atau
1 2
72
Ethics, 1094a26-b6, 1152b1-3; Politics, Book vii. The Prince, ch., xv.
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
buruk, adil atau curang (tidak adil) hanya dapat ditemukan dalam negara. Keadilan, kata Hobbes, berawal dengan kekuasaan sipil atau civil power,3 atau bahwa ketidakadilan terhadap sesama manusia menyertakan paham tentang hukum sipil.4 Inilah tiga pandangan tentang relasi antara politik dan etika itu. Tujuan negara seperti yang dicetuskan oleh Aristoteles juga Thomas Hobbes (poin pertama dan ketiga), telah dikumandangkan pula oleh UUD 1945. Dari preambule, tujuan negara terbaca jelas. Dalam perspektif The Founding Fathers, bahwa negara merupakan sarana bagi individu untuk mengusahakan hidup baik dan mencapai kebahagiaan, tidak luput dari pandangan mereka. Soekarno, presiden pertama RI, dalam pidato politiknya tanggal 1 Juni 1945 (p. 68-76), menegaskan bahwa kemerdekaan, jadi mendirikan negara, berarti membangun jembatan emas. Dengan jembatan emas hendak dikatakan bahwa terdapat hubungan istimewah antara penguasa dan warga negara, suatu relasi etis asimetris atau tanpa pamrih. Apa yang diandaikan dari konsep jembatan emas adalah gagasan tentang politik dan etika bahwa antara dua dunia itu tidak ada pemisahan. Lebih dari sekedar sarana, negara dalam pandangan Soekarno bertugas untuk mengusahakan hidup baik dan kebahagiaan; yang buta huruf dijadikan melek, yang bodoh dijadikan pintar, yang nomaden diberi tempat tinggal tetap, yang sengsara dijadikan sejahtera (p. 70-1). Pandangan tentang politik dan etika perspektif Soekarno ini berakar pada philosophische groundslag atau dasar filosofis dalam apa yang disebut zoon politikon, bahwa manusia sedari sononya (kodrati) terarah kepada hidup bersama. Anggapan ini nampak tegas dalam pikiran tentang jiwa UUD 1945, yakni asas kekeluargaan atau gotong-royong itu (p. 243). Gotong-royong, suatu pandangan yang sangat Aristotelian ini, tidak terutama memaksudkan satu model kerja sama timbal-balik, melainkan terutama menegaskan bahwa, sedari sononya (natural) manusia adalah zoon politikon, terarah kepada kebersamaan dalam negara. Maka, negara Indonesia merdeka adalah negara semua buat semua dan bukan semua untuk satu (p. 72). Membangun jembatan antara politik dan etika perspektif the Founding Fathers tidak berhenti pada konsep tentang jembatan emas. Perdebatan di antara mereka seputar isu droits de l’homme et du citoyen atau the rights of the citizen (p. 243-69), seolah merepresentasikan paham individualisme dalam asas kekeluargaan atau gotong-royong. Penerimaan konsep tentang hak asasi manusia atau HAM ke dalam UUD 19455 atas anjuran Bung Hatta (p. 267-9), tanpa perlu dipandang sebagai penerimaan asas ganda, merupakan upaya memperdamaikan pertentangan mengenai keraguan akan keterarahan negara pada kekuasaan semata dan menjadi negara Machstaat, dengan kata lain merupakan upaya untuk membangun politik yang etis.
3. 4. 5.
Leviathan, xiii, 13, xv, 2-3. De Cive, i, 10. Lih., G.A. Setiardja, 1993.
Telaah Buku
73
Jika dalam konsep tentang jembatan emas politik dianggap mengandaikan paham tentang etika supaya politik jangan dianggap sebagai “dunia kotor” yang mengabaikan etika, penerimaan konsep HAM ke dalam UUD 1945 yang memiliki dasar pada individualisme mengandaikan bahwa, keadilan terhadap setiap warga negara (dan soal-soal etis) menyertakan paham tentang hukum dan kekuasaan sipil (politik). Apa yang hendak dinyatakan dari konsep di atas adalah bahwa keadilan bukan merupakan milik dan kepunyaan. Keadilan, seperti dinyatakan oleh Morton A. Kaplan, adalah regulative goal toward wich we strive.6 Bahwa keadilan merupakan tujuan regulatif, ini berarti ia (keadilan), bukanlah kenyataan empiris yang sudah ada dan dapat diamati dalam kehidupan setiap hari. Keadilan lebih merupakan suatu kategori normatif yang bersifat preskriptif dan bukan kategori empiris yang bersifat deskriptif. Keadilan adalah suatu kategori das sollen dan bukan kategori das sein. Sebagai satu kategori normatif yang preskriptif, keadilan karena itu merupakan tanggung jawab penguasa (pemerintah) untuk mewujudkannya. Memakai paradigma Soekarno tadi, negara adalah suatu ada sebagai semua buat semua. Akhirnya, membangun politik yang etis, sepertinya orang perlu bercermin pada konsep dan gagasan para Founding Fathers, menerima asas kekeluargaan di satu sisi, sekaligus mengadopsi keunggulan gagasan individualisme di pihak lain. Asas kekeluargaan atau gotong-royong berguna untuk mengarahkan negara sebagai sarana dan objek dalam mana semua warga negara dapat mencetuskan hidup baik (well being) sehingga dapat mencapai kebahagiaan (happiness) lahiriah di dunia. Sementara, individualisme penting untuk memastikan supaya hak-hak warga negara atau HAM lebih terjamin. Membangun politik yang etis karena itu haruslah merupakan suatu political modus vivendi untuk mencapai tujuan negara seperti yang dicita-citakan oleh para Founding Fathers kita, dalam rangka perrealisasian kondisi masyarakat, masyarakat politik Indonesia yang adil, makmur, dan beradab, menurut idealisme UUD 1945 itu.
Frans Nay R.
6.
74
1976 : 181
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Telaah Buku Judul Buku Penulis Penerbit Tebal
: : : :
Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas E. Sumaryono Kanisius, Yogyakarta, 2002 304 halaman
Menjelang berakhirnya masa pemerintahan yang dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1999, masyarakat mendapat beberapa “hadiah” berupa rancangan undangundang yang kontroversial. RUU itu antara lain: RUU tentang sumber daya air, rancangan revisi UU Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), RUU anti pornografi, dan RUU Hukum Terapan Peradilan Agama bidang perkawinan. (Kompas, Senin 6 Oktober 2003). Tanggapan masyarakat atas beberapa RUU itu beragam. Ada yang menerima dan ada yang menentangnya. Masyarakat yang menentang pengesahan RUU itu meminta pemerintah merevisi, karena RUU itu dinilai tidak adil. RUU itu hanya menguntungkan sebagian kelompok masyarakat saja, tidak mendatangkan kesejahteraan untuk seluruh warga masyarakat. Inilah salah satu keprihatinan yang muncul terhadap RUU yang dibuat oleh lembaga pembuat undangundang di negeri ini. Tulisan E. Sumaryono mengenai Etika dan Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas mengingatkan kita akan tugas pemerintah untuk mengusahakan kesejahteraan seluruh rakyat melalui hukum-hukum positifnya yang adil dan bijaksana. Ia menegaskan bahwa bukan hanya hukum positif yang penting, tetapi juga hukum kodrat harus diperhatikan. Hukum yang diberlakukan dalam masyarakat harus sejalan atau tidak bertentangan dengan hukum kodrat. Pada bagian awal penulis memaparkan pengertian hukum kodrat. Hukum kodrat merupakan perwujudan kebijaksanaan atau rencana abadi Tuhan, berkenaan dengan penciptaan alam semesta dengan segala isinya, khususnya dilihat dari segi ciptaan. Hukum kodrat mengungkapkan partisipasi ciptaan-ciptaan dalam hukum abadi, tetapi cara partisipasi ciptaan-ciptaan berbeda, karena cara ada mereka berbeda. Makhluk yang tidak berakal budi berpartisipasi secara pasif dalam hukum abadi. Makhluk itu ditentukan dalam gerak, hidup, dan kelakuan oleh struktur fisikkimia, kecondongan-kecondongan dan insting-instingnya berhadapan dengan rangsangan-rangsangan dari luar. Ia niscaya membawa diri menurut faktor-faktor itu. Ia identik dengan kodratnya. Partisipasi dalam hukum abadi seperti ini disebut partisipasi pasif. Mereka diatur dan diukur oleh hukum. Hal ini berbeda dengan manusia, sebagai makhluk rohani mempunyai pengertian dan kebebasan. Ia tidak secara buta tunduk terhadap faktor-faktor alamiah, melainkan dapat mengambil sikap terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun dalam batas-batas kemampuan alamiah, namun manusia dapat menentukan sendiri sikap terhadap semua faktor alamiah dan kekuatan di luar dirinya, dan ia dapat menentukan bagaimana ia bertindak. Partisipasi aktif ciptaan rasional dalam hukum abadi, membuat hukum ini ditemukan dalam diri
Telaah Buku
75
mereka sebagai itu yang mengatur dan mengukur apa yang dilakukan. Inilah yang disebut dengan hukum kodrat. Hukum kodrat bagi manusia tidak bekerja dengan otomatis, tetapi berwujud hukum dalam arti yang sesungguhnya, yaitu sebagai maklumat normatif yang wajib ditaati, tetapi dapat juga dilalaikan. Maka, baru bagi manusia kodrat merupakan hukum. Hukum kodrat bagi manusia bukanlah hukum satu kekuatan buta yang memaksa. Aquinas mengatakan: “Hukum kodrat tidak lain adalah partisipasi makhluk yang berakal budi dalam hukum abadi.” (S.T. Ia IIae, q.94, a.5). Hukum kodrat tidak lain adalah hukum akal budi, dan karena itu hanya bagi makhluk yang berakal budi. Pada prinsipnya, hukum kodrat telah ditemukan dalam hukum abadi dan baru kemudian ditemukan dalam pertimbangan kodrati manusia dengan akal budinya. Dengan demikian, manusia hanya bisa tunduk kepada kodrat sejauh manusia ikut ambil bagian di dalam hukum abadi melalui refleksi akal budinya. Dari kodratnya manusia diberi kemampuan berpikir, bertindak menurut hukum kodrat, tidak lain bertindak dengan menggunakan akal budinya, termasuk dengan menanggapi secara rasional semua kecenderungan kodrati yang lainnya. Manusia yang bertindak menurut hukum kodrat berarti melaksanakan apa yang dikehendaki Allah. Inilah makna dari hubungan hukum kodrat dan hukum abadi. Penulis juga memaparkan hubungan hukum kodrat dengan hukum positif. Hukum kodrat mempunyai kepastian hukum yang lemah. Dalam masyarakat sipil, dibutuhkan hukum hukum yang lebih positif sifatnya, yang lebih konkrit dan terbakukan sehingga dapat menjadi rujukan baik dalam menilai perilaku manusia maupun dalam menjatuhkan sanksi. Hukum kodrat hanyalah serangkaian norma moral abstrak yang tidak tertulis dan karena itu sulit dijadikan pegangan konkrit. Demikian pula, hukum kodrat tidak memberikan aturan praktis, khususnya mengenai sanksi bagi pelanggar, sehingga kepastiannya sulit dijamin. Karena itu, akal budi manusia harus membangun hukum positif dari prinsip-prinsip umum hukum kodrat. Hukum positif harus sesuai dengan hukum kodrat. Hukum positif yang diberlakukan dalam masyarakat harus merupakan penjabaran dari hukum kodrat yang berlaku universal. Hukum positif haruslah berakar, mencerminkan, dan mengungkapkan kemauan manusia baik secara pribadi maupun secara bersama tentang bagaimana hidup mereka perlu dijalani dan bagaimana manusia harus diatur secara masuk akal. Hukum positif mempunyai kekuatan bukan dalam hubungan dengan kekuatan fisik, tetapi kekuatan memerintah dan melarang secara legal dan secara moral. Tak seorangpun bisa meloloskan diri dari hukum ini, karena hukum positif itu selaras dengan right reason, yang dimaksudkan untuk mengajar kesejahteraan umum. Aquinas menegaskan bahwa hukum positif itu secara moral harus adil. Ini berarti, pertama, hukum merupakan tatanan akal budi. Kedua, hukum itu dimaksudkan untuk kesejahteraan umum bagi semua yang berada di bawah hukum itu. Ketiga, hukum harus dibuat oleh lembaga yang berwenang, yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan umum. Jadi, tidak boleh semua manusia membuat hukumnya sendiri. Keempat, hukum positif itu harus dipromulgasikan, diberlakukan secara merata bagi semua orang.
76
Vol. 3 No. 1, Maret 2003
Menurut Aquinas, hukum tidak adil bila membebani warga negara, bukan untuk kesejahteraan umum, tetapi untuk memuaskan ambisi pembuat hukum itu sendiri. Hukum juga tidak adil bila beban-beban dipaksakan dengan cara yang tidak wajar. Terhadap hukum tidak adil seperti ini Aquinas menegaskan: “Hukum seperti ini adalah suatu tindakan kekerasan daripada suatu hukum... hukum ini tidak mengikat kesadaran kecuali kalau ketaatan kepada mereka diperlukan untuk menghindari skandal atau kekacauan politik.” (S.T., Ia IIae, q.96, a.4). Orang yang tetap memaksakan hukum yang tidak adil adalah seorang tiran, dan peraturan yang ia buat tidak wajib dilakukan karena salah. Buku yang ditulis E. Sumaryono ini memberi sumbangan besar bagi negeri ini yang terbelit oleh masalah hukum. Negara Indonesia adalah negara hukum, akan tetapi pelaksanaan hukum berulangkali dilanggar dan tidak selalu konsisten dan tuntas dijalankan. Berulang kali kita mendengar kasus-kasus kejahatan seperti pembunuhan, korupsi, pelanggaran HAM, dsb., tidak diselesaikan secara tuntas dan transparan. Akibatnya hukum kehilangan daya gunanya. Pemerintah juga sering kali memaksakan RUU yang dinilai kontroversial menjadi undang-undang, meskipun ada pihak yang menentang, yang menilai RUU itu tidak membawa kesejahteraan umum sehingga tidak layak untuk dijadikan undang-undang. Aquinas menegaskan bahwa hukum yang positif yang diberlakukan dalam masyarakat supaya tidak sewenang-wenang harus diresapi oleh hukum kodrat, diuji kebenarannya berdasarkan hukum kodarat. Karena itu, suatu penetapan negara yang tidak berdasarkan hukum kodrat, yang bertentangan dengan norma-norma moral dasar, adalah tidak sah. Tindakan di luar batas-batas hukum kodrat tidak lebih dari suatu pemaksaan belaka dan tidak mempunyai daya ikat.
F.X.Kurniawan Dwi M.U.
Telaah Buku
77
BIODATA KONTRIBUTOR
Achmad Charris Zubair Sarjana filsafat dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta; dosen filsafat di Fakultas filsafat UGM, wakil dekan bidang kemahasiswaan, Ketua Dewan Kebudayaan Yogyakarta, Ketua Dewan Pusat Studi Dokumentasi dan Pengembangan Budaya Kotagede, Yogyakarta. Edison Tinambunan Licensiatus dalam teologi patristik (patrologi) dan doktor dalam teologi spiritual dari Institut Theresianum, Roma; dosen matakuliah patrologi dan teologi kontekstual di STFT Widya Sasana, Malang. Fidelis Sigmaringen Master filsafat sejarah dari Universitas Negeri Surakarta; mengajar sekaligus menjadi peneliti di Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang. Fransiscus Nai Sarjana filsafat dari STFT Widya Sasana, Malang. Imam Ghazali Said Pimpinan pondok pesantren mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya. Kurniawan Dwi M.U. Mahasiswa program S-2 dari STFT Widya Sasana, Malang. Rafael Isharianto Licensiatus Teologi spesialisasi Sejarah Gereja dari Institute Catholique de Paris; mengajar matakuliah sejarah Gereja di STFT Widya Sasana, Malang. Robert Wijanarka Alumnus STFT Widya Sasana Malang, kandidat doktor filsafat di De Paul University Chicago, USA.
78
Vol. 3 No. 1, Maret 2003