ISSN: 2088-1177
Pemimpin Umum/Penanggung Jawab H. Dandan Irawan Ketua Penyunting H. Dandan Irawan Wakil Ketua Penyunting …… Penyunting Pelaksana …. …. …. …. Redaksi Ahli H. Ery Supriyadi Deddy Supriyadi Ami Purnamawati Nurhayat Indra H. Wawan Lulus Setiawan H. Shofwan Azhar Solihin Heri Nugraha Pelaksana Tata Usaha Dedeh Kurniasari Dani Handiana Maman Rachman Adang Cahya Alamat Redaksi : Kampus Ikopin Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung – Sumedang KM 20,5 Bandung 40600 Telp : (022) 7798179, 7796033, Fax. (022) 7796033 Website : www.ikopin.ac.id email :
[email protected]
1
ISSN: 2088-1177
KATA PENGANTAR
J
2
urnal Koperasi dan UMKM ini menyajikan tulisan baik hasil penelitian di lapangan, maupun studi kepustakaan. Hasil penelitian yakni kajian tentang …………………
DAFTAR ISI
POTENSI USAHA KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH DI DAERAH TERISOLIR DAN TERTINGGAL Dandan Irawan _____________________________________________ 4 PENGEMBANGAN KOPERASI DI PONDOK PESANTREN Indra Fahmi _______________________________________________ 27 PENGGUNAAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS KOPERASI UNTUK MENUNJANG PEMBANGUNAN DAERAH : RELEVANSI DAN URGENSINYA Ery Supriyadi R Dadan Hamdani ___________________________________________ 41 FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEBERHASILAN PEMBIAYAAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KOPERASI (Studi di Jawa Barat) Nurhayat Indra ____________________________________________ 58 THE EMERGING OF MODERN CONSUMER COOPERATIVE IN NUSA TENGGARA TIMUR - INDONESIA Ami Purnamawati H. Shofwan Azhar _________________________________________ 77 ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DI JATINANGOR Deddy Supriyadi Ucu Nurwati _______________________________________________ 84 KIAT-KIAT MENCEGAH TIMBULNYA KREDIT BERMASALAH DI MIKRO BANKING Heri Nugraha _____________________________________________ 101 TELAAH TERHADAP SUBSTANSI PP 9 TAHUN 1995 DALAM UPAYA MENCIPTAKAN KESETARAAN DAN KEMITRAAN KOPERASI PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM DENGAN PELAKU EKONOMI LAINNYA Yuanita Indriani ___________________________________________ 113 3
POTENSI USAHA KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH DI DAERAH TERISOLIR DAN TERTINGGAL
Oleh : Dandan Irawan Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Produksi dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Ikopin Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 Email :
[email protected] [email protected] ABSTRACT Pengembangan usaha KUKM (Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah) sentra di daerah terisolir dan tertinggal, merupakan upaya pemerintah yang terencana dan strategis untuk mengubah suatu daerah dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang berkualitas, agar tidak berbeda jauh dengan daerah lainnya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan keamanan. Disamping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten, sedangkan Pemerintah Pusat berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan pada daerah terisolir dan daerah tertinggal. Keywords : Potensi Usaha, Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah (KUKM) dan Daerah Terisolir dan Tertinggal
4
LATAR BELAKANG Pembangunan ekonomi yang hanya menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, ternyata menimbulkan permasalahan baik dari aspek ekonomi maupun aspek lainnya seperti sosial politik dan keamanan. Kesenjangan ekonomi dan sosial semakin melebar, sebab fondasi perekonomian Indonesia hanya ditopang oleh sekelompok pelaku ekonomi dengan skala besar, yang juga memperoleh fasilitas besar dari pemerintah. Padahal apabila secara jujur diakui, terlihat bahwa kokohnya perekonomian, sangat didukung oleh pelaku usaha yang berada dalam skala kecil dan menengah. Koperasi, usaha kecil dan menengah (KUKM) merupakan usaha kecil skala mikro merupakan bagian terbesar dari pelaku bisnis di Indonesia. Karenanya, upaya pemberdayaan terhadap kelompok ini menjadi bagian penting dari agenda pembangunan nasional. Sejalan dengan semangat ekonomi kerakyatan, pemerintah telah melaksanakan berbagai program yang diarahkan untuk memberdayakan KUKM. Salah satu program yang dilaksanakan adalah pemetaan potensi usaha yang dimiliki setiap wilayah di tanah air, yang diharapkan dapat berdampak positif pada percepatan penumbuhan ekonomi masyarakat, khususnya di daerah terisolir dan tertinggal. Perubahan lingkungan bisnis yang sangat dinamis, menyadarkan stakeholders KUKM untuk selalu mengupayakan penciptaan iklim usaha yang baik secara terus menerus. Perkembangan dunia usaha yang cepat telah menjadi suatu agenda penting dalam kabinet Persatuan Nasional dewasa ini. Pengembangan potensi daya saing (Competitive Advantage) berimplikasi pada pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu wilayah yang cukup pesat, namun demikian, sejalan pembangunan dan perkembangan wilayah, masih banyak persoalan yang belum terselesaikan secara baik dan membutuhkan perhatian dan penanganan yang serius, di antaranya ialah mengenai (1) Jumlah keluarga miskin, (2) tingkat pengangguran, (3) Iklim investasi yang belum kondusif, (4) Kinerja koperasi yang masih rendah dan belum dapat berperan nyata berkontribusi pada perekonomian kota, (5) Kinerja dan daya saing KUKM yang relatif rendah, (6) Pelaksanaan belum berorientasi pada sektor unggulan, (7) Keterbatasan 5
dukungan sarana dan prasarana fasilitas kegiatan ekonomi dan utilitas di daerah terisolir dan tertinggal. Kebijakan ekonomi dan otonomi daerah sebagai sebuah peluang bagi pengembangan ekonomi kota, selayaknya mampu mengintegrasikan suatu kegiatan pada kemajuan dengan tetap mengembangkan faktor kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun kebutuhan pengembangan lembaga dan usaha, khususnya kebijakan yang mampu mendorong KUKM dan masyarakat pengusaha agar mengantisipasi tentuan pasar dan perubahan global yang tengah terjadi. Disamping itu, dibutuhkan pula kebijakan yang mendorong dan memungkinkan terciptanya usaha yang menyediakan kelengkapan layanan suatu kegiatan, menangkap peluang bisnis dalam skala lokal, regional, maupun internasional. Proses penyajian informasi dan teknologi secara tepat ditujukan agar produk riset dan teknologi dapat digunakan dan bernilai manfaat terhadap proses pengembangan ekonomi dan menggali potensi usaha. Untuk memperlancar kegiatan dan kondisi pelaku bisnis KUKM yang kreatif dan inovatif mensyaratkan adanya dukungan riset, dan transfer teknologi, pemahaman manajemen, dan kewirausahaan, yang tentunya perlu disediakan rangkaian sistem dan media kerjasama yang menjembatani keberadaan dan perkembangan riset, teknologi, manajemen, dan kewirausahaan bagi pertumbuhan dan perkembangan perilaku dan kelembagaan usaha KUKM itu sendiri, terutama sekali berkait dengan kinerja usaha dan keberlanjutan bidang usaha. Di sisi lain, ilmu dan teknologi berkembang cepat dengan berbagai dinamika dan variasinya, dengan demikian perlu upaya pemberian pemahaman dan pengidentifikasian iptek kepada para pelaku bisnis KUKM agar mampu mengantisipasi perubahan yang terjadi agar berdaya dan bernilai guna. Pelaksanaan riset atau kajian pada berbagai fungsi bisnis yang dijalani KUKM, khususnya di daerah terisolir dan tertinggal, akan sangat mendukung dalam kegiatan usaha yang diikuti pula dengan nilai positif dalam transaksi dan respon pasar. Keseluruhan aspek di atas diharapkan dapat memunculkan sektor-sektor ekonomi unggulan bagi KUKM. Identifikasi terhadap sektor unggulan yang akan dikembangkan, dapat dilakukan dengan pendekatan dan kriteria sebagai berikut : 1. 2. 6
Meningkatkan pertumbuhan PDRB, di suatu daerah (dapat dilihat dari laju pertumbuhan dan kontribusi sektor). Meningkatkan kesejahteraan penduduk.
3.
Memiliki potensi pasar yang prospektif, baik pasar lokal, regional, maupun pasar internasional. 4. Efisiensi investasi, yaitu dengan investasi yang kecil dapat menghasilkan output yang sebesar-besarnya. 5. Memiliki skala ekonomi yang besar sehingga produktif untuk dikembangkan. 6. Mempunyai kontribusi sektor yang besar terhadap kegiatan ekonomi pada kawasan tersebut. 7. Menyerap tenaga kerja dalam jumlah relatif besar. 8. Memiliki dampak ekonomi maupun spasial yang besar dalam mendorong pengembangan wilayah. 9. Ketersediaan sumberdaya alam, potensi sumberdaya manusia, dan prasarana dan sarana yang cukup memadai untuk pengembangan usaha tersebut. 10. Memiliki batasan/limitasi yang relatif kecil terhadap masalahmasalah seperti berikut : - Pembiayaan - Implementasi - Kelembagaan - Teknologi. Suatu leading industry (sektor unggulan) mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a.
Relatif baru, dinamik dan mempunyai tingkat teknologi maju yang menginjeksikan iklim “gandrung pertumbuhan” ke dalam suatu daerah
b.
Permintaan terhadap produknya mempunyai elastisitas pendapatan yang tinggi, dimana produk biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
c.
Mempunyai kaitan-kaitan antar industri yang kuat dengan sektorsektor lainnya (kaitan-kaitan ini dapat berbentuk kaitan ke depan (forward linkages), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio penjualan hasil industri antara yang tinggi terhadap penjualan total, atau berbentuk kaitan ke belakang (backward linkages), dalam hal ini industri tersebut mempunyai rasio (dari industri-industri lainnya ) yang tinggi terhadap input total.
Pengembangan usaha KUKM sentra di daerah terisolir dan tertinggal, merupakan upaya pemerintah yang terencana dan strategis untuk mengubah suatu daerah dengan berbagai permasalahan sosial ekonomi dan keterbatasan fisik, menjadi daerah yang maju dengan komunitas yang berkualitas, agar tidak 7
berbeda jauh dengan daerah lainnya. Pembangunan daerah tertinggal tidak hanya meliputi aspek ekonomi, tetapi juga aspek sosial, budaya dan keamanan. Disamping itu kesejahteraan kelompok masyarakat yang hidup di daerah tertinggal memerlukan perhatian dan keberpihakan yang besar dari pemerintah. Pada hakekatnya pembangunan daerah merupakan kewenangan dari pemerintah daerah, baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten, sedangkan Pemerintah Pusat berfungsi sebagai motivator dan fasilitator dalam percepatan pembangunan pada daerah terisolir dan daerah tertinggal. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah, pemerintah daerah mempunyai kewenangan yang lebih luas dalam menentukan kebijakan dan program pembangunan yang terbaik bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan daerah masing-masing. Latar belakang demografi, geografis, ketersediaan infrastruktur dan budaya yang tidak sama, serta kapasitas sumber daya yang berbeda, memiliki konsekuensi adanya keberagaman kinerja daerah dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan. Perbedaan kinerja selanjutnya akan menyebabkan ketimpangan pembangunan antar wilayah, meningkatnya tuntutan daerah, dan kemungkinan disintegrasi bangsa. Ketimpangan pembangunan antar wilayah dapat dilihat dari perbedaan tingkat kesejahteraan dan perkembangan ekonomi antar wilayah. Data BPS tahun 2004 mengenai penguasaan PDRB (Pendapatan Domestik Regional Bruto) seluruh provinsi dan lajur pertumbuhan PDRB antar provinsi menunjukkan bahwa Provinsi di Jawa dan Bali menguasai sekitar 61,0 persen dari seluruh PDRB, sedangkan provinsi di Sumatra menguasai sekitar 22,2 persen, provinsi di Kalimantan menguasai 9,3 persen, Sulawesi menguasai 4,2 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua hanya 3,3 persen. Selain itu, laju pertumbuhan PDRB provinsi di Jawa dan Bali pada tahun 2004 sebesar 10,71 persen, provinsi di Sumatra sebesar 7,78 persen, provinsi di Kalimantan 5,72 persen, provinsi di Sulawesi sebesar 11,22 persen, dan provinsi di Nusa Tenggara, Maluku dan Papua sebesar 4,34 persen. Kecenderungan persebaran penguasaan PDRB dan laju pertumbuhan yang tidak sama akan menyebabkan semakin timpangnya pembangunan antar wilayah. Ketimpangan pembangunan antar wilayah juga ditandai dengan rendahnya aksesibilitas pelayanan sarana dan prasarana ekonomi dan sosial terutama masyarakat di perdesaan, wilayah terpencil, perbatasan serta wilayah tertinggal. Ketimpangan antara kawasan perkotaan 8
dan perdesaan ditunjukkan oleh rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat desa, tertinggalnya pembangunan kawasan perdesaan dibanding dengan perkotaan, dan tingginya ketergantungan kawasan perdesaan terhadap kawasan perkotaan. Hal ini disebabkan oleh minimnya akses pada permodalan, lapangan kerja, informasi, teknologi pendukung, dan pemasaran hasil-hasil produksi di perdesaan. Ketimpangan desa-kota juga disebabkan oleh urbanisasi dan proses aglomerasi yang berlangsung sangat cepat. Saat ini, terdapat 14 kota metropolitan di Indonesia yang sebagian besar (11 kota) terletak di Jawa. Masalah lainnya adalah menurunnya luas rata-rata penguasaan tanah per rumah tangga pertanian, yang berdampak pada menurunnya produktivitas pertanian dan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat perdesaan. Rata-rata penguasaan tanah di Jawa diperkirakan hanya mencapai 0,2 hektar per rumah tangga pertanian. Pembangunan wilayah terisolir pada tahun 2005 telah mencapai hasil antara lain tersusunnya konsep kebijakan, strategi nasional pembangunan daerah tertinggal yang berisi uraian definisi dan batasan, konsep kebijakan dan program prioritas bagi percepatan pembangunan di daerah tertinggal; teridentifikasikannya 199 kabupaten tertinggal untuk jangka perencanaan 2006–2009; terbentuknya kerjasama antara Kementerian PDT, Bappenas, dan Bank Dunia dalam pengembangan daerah tertinggal; tersusunnya kebijakan pengembangan infrastruktur perdesaan daerah tertinggal; tersusunnya kebijakan penyerasian pembangunan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil; tersusunnya kajian pembinaan masyarakat pedalaman dan pemberdayaan komunitas adat terpencil; dilaksanakannya pengembangan wilayah tertinggal di beberapa provinsi dengan pendekatan penyediaan sarana dan prasarana dasar; dilaksanakannya pengembangan wilayah tertinggal di beberapa permukiman transmigrasi lama melalui skim pengembangan permukiman transmigrasi; tersedianya data dan informasi tentang kabupaten dan wilayah tertinggal; serta terjalinnya jaringan komunikasi antara pemerintah pusat, provinsi, daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pengembangan wilayah tertinggal. Program Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal diantaranya ialah meningkatnya ketersediaan air bersih di 20 lokasi daerah tertinggal; meningkatnya pelayanan kesehatan dan pendidikan di wilayah pulau-pulau terpencil; tersusunnya strategi daerah (STRADA) pembangunan daerah tertinggal; tersusunnya naskah akademis Rancangan Undang-Undang tentang Pola 9
Pembangunan Daerah Tertinggal; serta tersusun dan terpetakannya potensi daerah tertinggal dalam rangka pengembangan kawasan produksi dan investasi di daerah tertinggal. Pembangunan wilayah perbatasan dan terisolir akan didukung dengan pembangunan wilayah strategis dan cepat tumbuh, melalui kawasan andalan, kawasan transmigrasi, dan Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET). Kawasan tersebut berfungsi sebagai pusat-pusat pertumbuhan bagi wilayah tertinggal dan perbatasan di sekitarnya.
KETERBELAKANGAN DAERAH Dalam era globalisasi, perkembangan ekonomi di Indonesia sulit melepaskan diri dari perkembangan ekonomi di negara-negara lain, terutama negara maju. Keadaan ini akan memungkinkan perkembangan ekonomi kita tercemari oleh perkembangan ekonomi negara-negara lain, sehingga dapat memberikan dampak negatif maupun adanya eksploitasi. Satu hal penting yang perlu dilakukan agar dapat terhindar dari pencemaran, dampak negatif dan eksploitasi tersebut adalah menciptakan strategi pembangunan yang mampu menemukan ataupun menghasilkan produk unggulan yang proses kelahiran dan perkembangannya tidak mudah didikte oleh negara lain. Produk unggulan itu tidak harus berupa hasil industri dengan teknologi canggih atau dengan investasi tinggi, tetapi bisa berupa ”produk lokal” dengan daya saing handal. Di samping itu, produk unggulan tidak harus lain daripada yang lain, tetapi bisa berupa common product dengan berbagai keunikan. Dengan kata lain produk unggulan itu tidak harus berskala tinggi, tetapi bisa juga berada di daerah. Pemberdayaan atau pembangunan daerah seyogyanya diupayakan menjadi prioritas penting dalam pembangunan kita di masa datang. Menurut Usman (2003). Upaya demikian sekurangkurangnya perlu memperhatikan tiga hal penting, yaitu: (1) bentuk kontribusi riil dari daerah yang diharapkan oleh pemerintah pusat dalam proses pembangunan dasar; (2) aspirasi masyarakat daerah sendiri, terutama yang terefleksi pada prioritas program-program pembangunan daerah; dan (3) keterkaitan program antar daerah dalam tata perekonomian dan politik. Bentuk kontribusi riil dari daerah bagi kepentingan pembangunan pada skala mikro bisa berbeda-beda, karena masing10
masing daerah menyimpan kekuatan tersendiri yang berbeda-beda pula. Secara ekonomis misalnya, ada daerah yang dapat menjadi lumbung beras atau sebagai salah satu penyangga stock pangan. Ada pula daerah yang potensial menjadi tujuan wisata yang mampu memberi stimulan kenaikan devisa dan sekaligussebagai andalan pendapatan negara selain minyak bumi. Selain itu, juga ada daerah yang memiliki potensi sebagai sentra industri, sekaligus menjadi pusat arus perdagangan. Selanjutnya, masing-masing perlu diberi kesempatan menumbuhkembangkan kepengintan dan cita-citanya sendiri. Kalaupun ada kepentingan nasional di suatu daerah, misalnya sebagai andalan utama pengambangan pariwisata, daerah harus diberi peluang untuk mencanangkan tujuan dan sasaran pembangunannya sendiri. Suatu daerah dapat saja mencanangkan cita-cita untuk menjadi salah satu kekuatan ekonomi tertentu dalam tata ekonomi nasional melalui program-program pembangunannya. Namun demikian, pencanangan cita-cita tertentu semacam itu seharusnya dikaitkan antara lain dengan latar belakang historis, letak geografis, dan potensi perkembangannya sehubungan dengan faktor-faktor penunjang yang dimilikinya. Dari uraian tersebut, tampak bahwa pembangunan daerah bukanlah semata-mata duplikasi dari pembangunan nasional. Pembangunan daerah juga bukan hanya merupakan bentuk yang lebih kecil dari rencana pembangunan nasional. Pembangunan daerah mempunyai watak atau ciri tersendiri, serta memiliki pola dan spirit yang sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimiliki (Usman, 2003). Jadi bukan sekedar serpihan dari sistem pembangunan nasional. Sebagai suatu sub-sistem, pembangunan daerah memiliki kebulatan tersendiri, yang bersifat fungsional bagi keseluruhan sistem pembangunan nasional. Untuk menilai ketertinggalan daerah, pada dasarnya ada 2 tahap, yaitu (1) Ketertinggalan Generik dan (2) Ketertinggalan Khusus. Baik menilai Ketertinggalan Generik maupun Khusus, semuanya harus menggunakan acuan, apakah itu Acuan Mutlak atau Acuan Relatif. Yang dimaksud Acuan Mutlak seperti definisi kemiskinan oleh MDGs bahwa orang miskin itu punya penghasilan di bawah $ 2 perhari, sedangkan Acuan Relatif adalah dengan menggunakan rata-rata. Yang di bawah rata-rata dianggap berada di bawah. Maksudnya apabila pendapatan di bawah rata-rata nasional, maka dianggap tertinggal, demikian seterusnya.
11
Pembahasan masalah keterbelakangan (underdevelopment) mencakup masalah kemiskinan dan kesenjangan. Kemiskinan adalah sebuah kondisi kehilangan (depreciation) terhadap sumbersumber pemenuh kebutuhan dasar berupa pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Mereka yang berkategori miskin, hidupnya serba kekurangan. Sedangkan kesenjangan adalah sebuah kondisi dimana di dalamnya terjadi ketimpangan akses pada sumber-sumber ekonomi daripada kelompok lain yang tergolong lemah. Kelompok kuat melakukan monopoli sehingga kelompok lemah berada dalam posisi dormant. Di dalam masyarakat, dapat ditemukan dua macam keadaan (Usman, 2003): (terdapat kemiskinan sekaligus kesenjangan, atau (2) tidak terdapat kemiskinan tetapi boleh saja masih ada kesenjangan. Upaya menanggulangi kemiskinan sangat kompleks dan rumit, dan upaya menanggulangi kemiskinan sekaligus kesenjangan jauh lebih kompleks dan lebih rumit lagi. Hal ini berarti bahwa upaya mengatasi keterbelakangan itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Ketidakberdayaan dan keterbelakangan itu sebenarnya merupakan produk dari situasi yang kompleks pula. Situasi yang kompleks itu merupakan akumulasi dan interelasi dari berbagai macam faktor seperti: latar belakang historis (kolonialisme dan eksploitasi pada zaman penjajahan), masalah produktivitas dan ketenagakerjaan, ketergantungan pada sektor pertanian, keterbatasan akses pada input produksi serta kondisi struktur kondisi masyarakat desa itu sendiri. Dengan demikian, penjelasan tentang akar keterbelakangan melibatkan analisisi dalam dimensi kultural sekaligus struktural. Penjelasan itu menyangkut nilai-nilai sosial sekaligus bentuk interaksi sosial yang berkembang dalam masyarakat, dan karenanya bersifat multi dimensi. Pemerintah di negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, telah mencanangkan berbagai macam program pembangunan pedesaan. Program-program pembangunan pedesaan antara lain terkemas dalam apa yang disebut dengan istilah: (1) pembangunan pertanian (agricultural development), (2) industrialisasi pedesaan (rural development), (3) pembangunan masyarakat desa terpadu (integrated rural development), serta (4) strategi pusat pertumbuhan (growth centre strategy) (Misra, R.P. dalam Usman, 2003).Masing-masing program tersebut mempunyai spesifikasi penekanan sendiri-sendiri yang agak berbeda satu sama lain, meskipun secara umum mempunyai muara yang sama, yaitu 12
sebuah upaya mengentaskan atau menanggulangi kemiskinan di pedesaan. Salah satu upaya pemerintah dalam menanggulangi kemiskinan di pedesaan adalah melalui program Inpres Desa Tertinggal ( Inpres No 5/1993). Sasaran program ini adalah desa-desa miskin. Program ini dalam implementasinya tidak berdiri sendiri tetapi diupayakan agar terpadu baik dengan program-program sektoral maupun regional yang kegiatannya mencakup desa-desa miskin tersebut. Program IDT pada hakekatnya merupakan bagian terpenting dari gerakan national untuk menanggulangi kemiskinan sekaligus sebagai bagian dari strategi mengembangkan ekonomi rakyat. Melalui program ini diharapkan terjadi proses pemberdayaan masyarakat, serta perubahan struktur social yang kondusif bagi peningkatan kapasitas masyarakat. Aktivitasnya dilakukan melalui: peningkatan kualitas sumber daya manusia, pengembangan permodalan, penguatan peluang kerja dan berusaha, serta ”penguatan kelembagaan kelompok miskin”. Pemahaman mengenai situasi dan kondisi sasaran baik potensi maupun tantangannya, amat mendukung bagi efektifitas aktivitas dalam rangka pemberdayaan masyarakat di daerah tertinggal tersebut.
PENGEMBANGAN EKONOMI MASYARAKAT DI DAERAH Dalam menghadapi dampak krisis ekonomi (baik dampak ekonomi maupun sosial budaya) terbukti bahwa sektor ekonomi yang memiliki daya lenting cukup tinggi adalah sektor-sektor usaha mikro, kecil dan menengah, serta usaha informal. Oleh sebab itu, pemulihan ekonomi yang paling realistis untuk dilakukan harus dimulai dari sektor-sektor tersebut. Strategi ini dapat digunakan sekaligus sebagai alat untuk memperkuat peran serta masyarakat dalam pembangunan ekonomi nasional dan pengembangan masyarakat di daerah. Berangkat dari permasalahan tersebut, diperlukan pemecahan yang menyeluruh dan konsepsional. Depdagri, Deperindag, Departemen Eksplorasi Laut dan Ke laut, serta Bappenas (2000), menyususn salah satu konsep model untuk pemulihan ekonomi dan pemecahan masalah dimaksud yakni melalui Pengembangan Ekonomi Masyarakat di Daerah (PEMD). Untuk pengembangan ekonomi masyarakat di daerah aspek yang perlu dipecahkan bukan hanya aspek ekonomi saja melainkan juga aspek pemerintahan dan aspek masyarakat. Sebab baik buruknya ekonomi masyarakat di 13
daerah dipengaruhi oleh kemampuan pemerintah dalam mengolah sumber daya alam, sumber daya manusia, serta aspek ekonomi itu sendiri. Tujuan yang akan dicapai Proyek Pengembangan Ekonomi Masyarakat Daerah (PEMD) ialah untuk memulihkan kegiatan ekonomi rakyat yang mundur akibat krisis ekonomi dan sekaligus untuk mengembangkan sistem ekonomi kerakyatan dalam rangka memperkuat ekonomi nasional, melalui pemberdayaan masyarakat dalam bidang politik, ekonomi, dan social budaya. Adapun tujuan khususnya yakni, 1) Untuk memperkuat masyarakat dalam aspek permodalan melalui lembaga keuangan bank yang ada 2) Untuk memperkuat kualitas sumberdaya tenaga kerja di pedesaan 3) Untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan mantap dan berbasis pada kegiatan ekonomi rakyat 4) Untuk memperkuat akses masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam 5) Untuk mendorong percepatan industrialisasi di pedesaan 6) Untuk membangun system ekonomi kerakyatan yang efisien, tangguh dan berdaya saing tinggi 7) Untuk mewujudkan otonomi daerah berdasarkan prinsip-prinsip good governance 8) Untuk mendorong pemerataan pendapatan pemerataan kesempatan berusaha, dan kesempatan kerja bagi masyarakat
masyarakat, pemerataan
Terdapat enam strategi yang dapat dilakukan dalam rangka penguatan ekonomi masyarakat di daerah, yaitu, a. Penguatan tiga pilar Perekonomian yang kokoh dapat dibangun kalau ada kepemerintahan yang baik, yang dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, diimbangi dengan masyarakat yang melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya pula, serta adanya kegiatan ekonomi secara jujur dan fair
14
b. Mekanisme pasar Pengupayaan semaksimal mungkin untuk mengikuti mekanisme pasar, baik dalam hal penguatan akses pelaku ekonomi rakyat dalam memperoleh modal maupun dalam penguatan akses di pasar barang dan pasar input c. Demand driven Penyiapan tenaga kerja dan penumbuhan menyesuaikan dengan kebutuhan atau permintaan
usaha
harus
d. Keunggulan komparatif dan kompetitif Dengan pendekatan ini produk barang dan jasa dapat bersaing di pasar local, regional, dan internasional e. Kemitraan Dalam rangka memperkuat ekonomi rakyat yang efisien dan berdaya saing, harus ada kemitraan antara usaha ekonomi besar dan ekonomi rakyat f.
Skla ekonomi
Dalam mendesign sistem produksi di semua sektor harus mempertimbangkan skala ekonomi agar efisiensi dapat dibangun
PENDEKATAN PENETAPAN POTENSI USAHA Terdapat banyak cara atau kejadian untuk menciptakan potensi menjadi suatu peluang usaha, yang penting dalam penciptaannya, sepenuhnya berpangkal dari pelaku itu sendiri. Untuk itu diperlukan komitmen kuat dari individu yang terlibat bahwa ada dorongan yang kuat untuk mengubah potensi menjadi suatu peluang usaha. Adapun beberapa tahapan yang dapat dilakukan dalam menciptakan peluang usaha, yaitu, a.
Menciptakan gagasan
b.
Melakukan seleksi atas gagasan
c.
Menetapkan peluang usaha
Menciptakan Gagasan Dengan memperhatikan potensi yang ada, proses penciptaan produk dimulai dengan penggalian gagasan, dengan memperhatikan 15
secara cermat lingkungan yang ada di hadapan kita, kemudian memperhatikan sasaran yang ingin diraih. Secara sederhana penciptaan peluang usaha dapat dilakukan dengan mengidentifikasi berbagai potensi yang ada, kemudian tulis sebanyak-banyaknya dalam lembaran kertas. Metode ini akan lebih baik jika dilakukan secara berkelompok dengan metode brainstorming (sumbang saran). Untuk wilayah desa dapat dilakukan secara rinci dalam sebuah tabel, sebagai berikut :
No.
Kelurahan/ Kampung
Potensi
Lokasi (RT/RW)
1. 2. . . . Semakin banyak potensi yang teridentifikasi, akan semakin banyak alternatif peluang usaha yang dapat kita lakukan. Hal ini akan semakin membuka cakrawala berfikir kita, bahwa potensi di sekitar kita luar biasa banyaknya. Tujuan brainstorming ini ialah kuantitas, sehingga tidak perlu dikomentari, sebab mungkin dari metode ini akan muncul ide-ide gila, yang justru dapat memberikan suatu gagasan terhadap penentuan jenis usaha secara brilian. Perlu diketahui bahwa dalam barainstorming ini, sebaiknya kita melepaskan atribut yang melekat dalam diri kita (jabatan, pangkat, golongan, strata sosial dsb), sebab salah satu prasyarat metode ini ialah tanpa penghalang apa pun, apabila dilakukan secara berkelompok. Melakukan Seleksi Atas Gagasan Sasaran penciptaan gagasan produk ialah mendapatkan sebanyak mungkin gagasan peluang usaha, sedangkan dalam penyaringan produk, kita mencoba mengurangi jumlah gagasan tersebut berdasarkan fungsi produk dan pertimbangan biaya, menjadi jumlah yang ‘optimal’ produk/usaha yang paling mungkin dilakukan saat ini. Dalam selesksi produk ini, sudah mulai memperhatikan kemampuan yang ada dalam diri kita dengan 16
memperhatikan secara cermat pasar sasaran. Terdapat metode yang sangat sederhana untuk menseleksi produk ini, yaitu menggunakan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat) atau analisis KEKEPAN (Kekuatan, Kelemahan. Peluang/Kesempatan, Ancaman). Analisis SWOT terbagi atas 2 bagian, yaitu aspek internal (Kekuatan dan Kelemahan), yaitu aspek di mana kita yang paling mengetahui kondisi kita yang sesungguhnya dan aspek eksternal (Peluang dan Ancaman), yaitu aspek di mana kendali bukan berasal dari kita, tetapi dari lingkungan eksternal. Dalam analisis SWOT juga terdapat unsur pendorong positif, yaitu kekuatan dan peluang dan unsur negatif ialah kelemahan dan ancaman. Untuk kekuatan kita harus mempertahankan dan terus meningkatkan, untuk kelemahan kita harus mengatasi dan meminimalkan. Adapun untuk peluang kita harus dapat mengoptimalkan dan mengambil keuntungan, untuk ancaman kita harus mengantisipasi dengan seksama. Menetapkan peluang usaha Analisis SWOT ialah analisis secara kualitatif, sedangkan secara kuantitatif untuk mengetahui produk ‘terpilih’ yang akan kita usahakan saat ini, dapat dilakukan dengan menggunakan Micro Screening. Dari lima produk yang telah di-SWOT-kan, tentunya tidak mungkin ke lima produk tersebut dijalankan sekaligus, oleh sebab itu perlu ada pemilihan jenis usaha, agar benar-benar terpilih satu usaha yang paling dimungkinkan untuk dilaksanakan oleh kita saat ini Untuk melakukan penyaringan produk, kita dapat melakukannya dengan menggunakan Micro Screening, yang merupakan bentuk penyaringan produk secara kuantitatif, sehingga angka yang terbesar merupakan komoditi produk yang terpilih atau yang paling siap untuk dilaksanakan. Unsur penilaian dalam micro screening (terlampir) meliputi : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Kemudahan pasar Ketersediaan Bahan baku Kemudahan Teknologi Ketrampilan/Kecakapan Modal dsb
Masing-masing unsur tersebut di atas disusun dalam suatu tabel dengan diberikan peringkat sesuai dengan kadar informasi 17
yang dimiliki dan prioritas dari pelaku usaha, dapat dilihat dalam tabel Micro Screening sebagai berikut, Tabel Micro Screening
No.
Skor :
Jenis Usaha
Aspek Pasar
Aspek Skills
Aspek Bahan Baku
Aspek Modal
Aspek Tekno logi
Jumlah
5 = Baik Sekali 4 = Baik 3 = Cukup 2 = Kurang Baik 1 = Buruk
Dari tabel di atas ditetapkan bahwa nilai terbesar, merupakan potensi usaha yang bisa diubah menjadi peluang usaha yang menguntungkan Analisis peluang Pasar Kegunaan analisis peluang pasar ditujukan bagi kepentingan pihak internal dan eksternal dari sisi aspek pemasaran. Hal yang harus diperhatikan ialah, a. Permintaan produk, meliputi (1) Jumlah Permintaan Terhadap Produk, (2) Sasaran Pembeli (konsumen), (3) Jumlah konsumen, (4) Jumlah kebutuhan dan (5) Total Kebutuhan pertahun dan (6) proyeksi permintaan beberapa tahun ke depan Penawaran/Pesaing b. Pesaing meliputi (1) produk sejenis, (2) nama perusahaan pesaing, (3) kapasitas pesaing c.
Penetapan rencana penjualan dan pangsa pasar
d. Strategi Pemasaran meliputi (1) Produk (mutu, ukuran, kemasan, dll), (2) Harga (harga satuan, syarat pembayaran, potongan, dll), (3) Jalur distribusi dan (4) Promosi. e. Analisis Pesaing.
18
Mengukur Permintaan Permintaan menekankan tentang kebutuhan yang belum sepenuhnya terpenuhi atau kemungkinan sudah terpenuhi namun kurang memuaskan. Misalnya, masyarakat di wilayah pedesaan banyak yang pergi ke kota untuk belanja pakaian. Artinya, golongan masyarakat tersebut membutuhkan pakaian sesuai dengan selera mereka yang tidak dapat diperoleh di desa atau mungkin dapat diperoleh di desa, tetapi harganya terlalu mahal. Jadi, di desa ini terdapat peluang usaha untuk menyediakan pakaian kebutuhan masyarakat desa. Melalui pendekatan permintaan Anda dapat mengetahui jumlah permintaan terhadap produk/jasa yang meliputi : a. Sasaran pembeli/konsumen b. Jumlah konsumen c. Jumlah kebutuhan d. Total kebutuhan pertahun Kemudian dengan data-data tersebut Anda dapat membuat proyeksi permintaan, misalnya selama 3 bulan atau 3 tahun mendatang. Mengukur Penawaran Pendekatan penawaran berawal dari kemampuan wirausaha dalam membuat suatu produk dengan memperhatikan produk sejenis dari pesaing, kemudian dianalisis apakah konsumen berminat kemudian membeli produk yang kita buat.
Mengukur dan Menilai Peluang Pasar Langkah-langkah yang harus Anda perhatikan untuk menentukan ada atau tidak adanya peluang pasar adalah sebagai berikut, a. Ukur berapa permintaan b. Ukur berapa banyak permintaan yang sudah dilayani oleh produk sejenis dan pesaing c.
Apabila kebutuhan permintaan yang tidak sepenuhnya dipenuhi oleh pesaing, maka peluang pasar masih terbuka/ tersedia
d. Putuskan dari peluang yang masih terbuka tersebut, berapa banyak yang akan dipenuhi oleh produk kita, sehingga nanti dapat dihitung serapan pangsa pasar. 19
Analisis Pesaing Analisis pesaing ini perlu dilakukan untuk mengukur apakah tingkat persaingan tinggi atau rendah. Jika persaingan tinggi, berarti peluang pasar rendah, selanjutnya harus membandingkan keunggulan pesaing, dilihat dari strategi produk, strategi harga, strategi jaringan distribusi, dan strategi promosi. Apakah lebih unggul ? Bagaimana tingkat teknologinya ? Jika pesaing lebih unggul, berarti bisnis yang akan dirintis atau dikembangkan akan lemah dalam persaingan. Untuk memenangkan persaingan, tentu saja bisnis tersebut harus lebih unggul daripada pesaing.
POTENSI USAHA KOPERASI DAN USAHA KECIL MENENGAH SEBAGAI PENGGERAK EKONOMI KERAKYATAN Koperasi dan usaha kecil menengah merupakan sektor usaha yang telah teruji dalam menghadapi terpaan krisis moneter yang merembet menjadi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Memang banyak juga jenis sektor usaha ini yang mengalami kebangkrutan, namun ada juga yang mampu bertahan dan bahkan dapat berkembang. Jenis usaha yang mampu berkembang dan bertahan adalah usaha yang menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah dengan prospek pasar yang baik, di dalam atau di luar negeri serta mampu memiliki saya saing kompetitif dan komparatif. Melihat kondisi tersebut, kajian potensi usaha KUKM di daerah terpencil dan tertinggal merupakan langkah awal yang patut dilakukan dalam rangka pengembangan KUKM sesuai dengan potensi wilayah dan potensi usahanya, yang merupakan alternatif pilihan terbaik dalam rangka memberdayakan masyarakat yang berorientasi pada ekonomi kerakyatan. Berkembangnya KUKM dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja yang secara langsung maupun tidak langsung mengurangi tingkat pengangguran dan kemiskinan di daerah yang bersangkutan. Memang, selain adanya kelebihan yang ada pada KUKM, banyak juga kelemahan yang harus diperbaiki. Pengembangan potensi usaha KUKM menempuh kebijakan yang pelaksanaannya akan didukung bersama oleh semua pihak/ instansi terkait, serta tersusun dari komponen-komponen kebijakan yang universal, yaitu : a. Menggariskan prioritas sektoral pengembangan KUKM melalui pemilihan jenis-jenis industri yang dijadikan fokus 20
pengembangan untuk dijadikan acuan prioritas bagi aparat pembina secara terpadu/lintas instansi, baik di pusat maupun di daerah, di mana pilihan jenis industri dan komoditi yang akan dikembangkan disesuaikan dengan kecocokan potensi dan prospek tumbuh di daerah pengembangan yang bersangkutan. b. Melakukan kegiatan pemberdayaan agar para pelaku KUKM : Mempunyai wawasan dan jiwa wirausaha yang ulet, patriotik (cinta produk dalam negeri), dan profesional. Mampu mengidentifikasi, mengembangkan memanfaatkan peluang usaha.
ataupun
Mampu mendayagunakan sumberdaya produktif dan mengakses pasar (lokal, dalam negeri maupun ekspor). Mempunyai kemampuan manajemen usaha, keahlian dan ketrampilan teknis/teknologi. Mampu membangun daya-saing (berwawasan efisiensi, produktivitas dan mutu, proaktif-kreatif-inovatif). Pemberdayaan terhadap institusi yang berkaitan dengan pengembangan KUKM juga dilakukan agar mereka: a. Mempunyai komitmen kuat untuk memajukan KUKM yang diwujudkan dalam bentuk pemberian perhatian, alokasi sumberdaya/dana, upaya dan waktu yang lebih banyak. b. Mempunyai wawasan konseptual untuk membuat program pengembangan KUKM yang berdayaguna dan berhasil guna. c.
Bersikap konsisten dalam semangat keterpaduan untuk secara bersama mendukung/melaksanakan program pengembangan KUKM sesuai dengan peran, fungsi dan tugas masing-masing.
Pemberdayaan potensi usaha KUKM ialah upaya membangun daya dengan mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan dan mempertahankannya. Pemberdayaan juga memberikan kesempatan, dukungan yang lebih besar kepada pengembangan ekonomi rakyat yang mencakup Koperasi dan UKM. Keberdayaan KUKM berarti KUKM sebagai lembaga dan pelaku usaha memungkinkan KUKM untuk bertahan dan dinamis dalam 21
mengembangkan diri serta mencapai kemajuan yang sangat berarti bagi dirinya dan lingkungannya. Memberdayakan KUKM berarti upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat KUKM dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan, ketertinggalan; dimana KUKM menjadi mampu dan mandiri. Pemberdayaan usaha tersebut dilatarbelakangi oleh beberapa faktor di antaranya : a. Dimensi rasional b. Dimensi moral c. Pendekatan pembangunan d. Bantuan material dan bantuan keterampilan teknis dan manajerial e. Teknologi luar dan lokal f. Keefektifan lembaga g. Pola ROI h. Sektor produktif dan tidak produktif i. Akses terhadap sumber dana
Berikut ini ialah bagan menyeluruh yang menggambarkan potensi usaha KUKM :
22
Adapun pendekatan yang dapat menjadi stimulus dalam meningkatkan potensi usaha pada KUKM diantaranya ialah, 1)
Penciptaan iklim usaha yang sehat yang mendukung tumbuh dan berkembangnya perkoperasian dan UKM pada tingkat Kota, propinsi dan nasional
2)
Peningkatan kapasitas pelaku dan badan usaha Koperasi dan UKM dalam membangun usahanya
3)
Pengembangan kelembagaan Koperasi dan UKM di tingkat kelurahan dan kecamatan
4)
Perlindungan dan keberpihakan kepada Koperasi dan UKM dalam menciptakan kemitraan.
5)
Restrukturisasi kinerja ekonomi Koperasi dan UKM :
6)
Sistem perpajakan yang adil bagi Koperasi dan UKM
7)
Penyehatan perbankan dalam layanan usaha Koperasi dan UKM
8)
Pengembangan bidang usaha andalan Koperasi dan UKM yang memiliki daya saing ekspor
9)
Pengembangan komoditas unggulan daerah
10) Peningkatan kapasitas pelaku bisnis Koperasi dan UKM 11) Penataan kelembagaan Koperasi dan UKM 12) Pemantapan Satuan Kerja Layanan Koperasi dan UKM bagi kinerja ekonomi kota 13) Sinkronisasi program sektoral mengenai perkoperasian dan UKM 14) Keterlibatan secara proaktif keputusan daerah dan antar daerah mengenai Koperasi dan UKM bagi pengembangan ekonomi kota 15) Bantuan operasional pembinaan bagi peningkatan kemampuan SDM Koperasi dan UKM maupun aparatur pemerintah daerah 16)
Pembangunan dan penyediaan mendukung Koperasi dan UKM
infrastruktur
yang
17) Monitoring dan evaluasi dampak kegiatan pembinaan.
23
18) Mengembangkan iklim usaha yang lebih mendorong, melindungi dan memberikan keleluasaan lebih besar kepada para pebisnis KUKM untuk tumbuh berkembang maju. Komponen iklim usaha yang bersifat teknis utamanya adalah : 19) Kepastian hukum dan kejelasan/kesederhanaan ketentuan peraturan perundang-undangan yang kondusif dan tidak membebani ekonomi. 20) Tersedia cukupnya prasarana dan sarana penunjang kegiatan ekonomi (investasi publik maupun swasta). 21) Sistem insentif yang secara efektif dapat merangsang kegairahan ekonomi melalui KUKM. 22) Kebijakan makro ekonomi yang menunjang, khususnya dari segi ketersediaan dan kemudahan akses permodalan, suku bunga yang relatif rendah, kestabilan nilai tukar valuta asing, dsb. 23) Bantuan teknik dan subsidi pemerintah untuk program prioritas. 24)
Citra aparat governance).
pembina/fasilitator
yang
bersih
(good
25) Meningkatkan pemberian layanan prima (fasilitasi) kepada pelaku KUKM, baik layanan administratif (perijinan/ pencatatan/legalisasi/ketetapan fasilitas/rekomendasi, informasi kebijakan, dsb), maupun layanan bisnis berupa informasi bisnis yang diperlukan (pasar, peluang usaha, teknologi, permodalan, mitra-usaha, dsb.) maupun sistem dan sarana penunjang yang dapat mendinamisasi dan memajukan daya-saingnya (utamanya dengan mensosialisasikan penggunaan teknologi informasi yang mutakhir). 26) Selalu mengembangkan program yang inovatif, realistik dan membumi (menyentuh kepentingan pelaku pasar di sektor riil), mampu menjawab masalah aktual yang dihadapi sesuai kondisi nyata obyek binaan di lapangan.
24
KESIMPULAN Dari uraian tulisan di atas, penulis menyiompulkan bahwa dalam rangka penguatan ekonomi di daerah tertinggal dan terisolir, maka harus dilakukan strategi : a. Penguatan perekonomian yang kokoh dapat dibangun kalau ada kepemerintahan yang baik, yang dapat melaksanakan fungsi sebagaimana mestinya, diimbangi dengan masyarakat yang melaksanakan kewajiban sebagaimana mestinya pula, serta adanya kegiatan ekonomi secara jujur dan fair b. Mekanisme pasar berupa pengupayaan semaksimal mungkin untuk mengikuti mekanisme pasar, baik dalam hal penguatan akses pelaku ekonomi rakyat dalam memperoleh modal maupun dalam penguatan akses di pasar barang dan pasar input c.
Demand driven dalam kaitan dengan penyiapan tenaga kerja dan penumbuhan usaha harus menyesuaikan dengan kebutuhan atau permintaan
d. Keunggulan komparatif dan kompetitif dengan pendekatan bahwa produk barang dan jasa dapat bersaing di pasar lokal, regional, dan internasional e. Kemitraan sebagai upaya memperkuat ekonomi rakyat yang efisien dan berdaya saing, harus ada kemitraan antara usaha ekonomi besar dan ekonomi rakyat f.
Peningkatan skala ekonomi dalam upaya merancang sistem produksi di semua sektor harus mempertimbangkan skala ekonomi agar efisiensi dapat dibangun
25
DAFTAR PUSTAKA
Arifin Sitio dan Halomoan Tamba 2005. Koperasi Teori dan Praktek. Erlangga. Buchari Alma. 2003. Kewirausahaan, Alfabeta Bandung Freddy Rangkuti. 1999. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, PT Gramedia GTZ. 1990. Competency-Based Economies Through Formation of Enterpreneur, CEFE Hardjana HP. 2001. Membantu Desa tertinggal. Analisa Jakarta Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal. 2010. Membangun Daerah Tertinggal, Percepatan Menuju Kesetaraan Rambat Lupiyoadi. 2006. Pemasaran Jasa, Salemba Empat, 2006 Revrisond Baswir. 2000. Koperasi Indonesia, BPFE Yogyakarta. Sumodiningreat, Gunawan. 1996 Memberdayakan Masayarakat : Kumpulan Makalah Tentang Inpres Desa tertinggal. CSIS
26
PENGEMBANGAN KOPERASI DI PONDOK PESANTREN
Oleh : Indra Fahmi Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Produksi Ikopin dan Wakil Rektor II Bidang Kerjasama dan Usaha Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 Email :
[email protected] ABSTRACT Pada umumnya kondisi aktivitas Koperasi di pondok pesantren (Ponpes ) belum sebagaimana yang diharapkan (belum optimal), hal tersebut dikarenakan pengetahuan, keterampilan maupun sikap dalam mengelola koperasi belum dimiliki sebagaimana seharusnya. Padahal keberadaan koperasi di Ponpes dapat diarahkan menjadi ujung tombak pemberdayaan potensi ekonomi pondok pesantren guna menggerakkan sektor riil di pondok pesantren dan media pembelajaran untuk menjadi seorang wirausaha. Kegiatan usaha koperasi pada pondok pesantren pada mulanya hanya merupakan aktivitas penunjang proses pembelajaran, namun bila dicermati ternyata menjadi peluang bisnis besar bagi kegiatan usaha yang dapat memberikan profit bagi lembaga pendidikan, mengingat pasar kegiatan usaha koperasi lembaga pendidikan sudah jelas yaitu stakeholder Lembaga Pendidikan (guru, siswa, orang tua murid, masyarakat sekitar, dan lain-lain). Berbagai jenis layanan bisnis yang dapat ditangani antara lain berbagai fasilitas belajar para siswa/santri, penyediaan sandang, papan, pangan, kebutuhan sekunder, tersier dan lain-lain. Keywords : Koperasi dan Pondok Pesantren
27
LATAR BELAKANG
Salah satu permasalahan serius yang masih dihadapi oleh pemerintah Indonesia dewasa ini dalam pembangunan, ialah tingginya jumlah penduduk yang tidak terserap pada sektor kerja formal, disamping masalah krisis energi dan krisis pangan yang secara keseluruhan dapat mengancam kesinambungan dari pembangunan ekonomi kita. Kehadiran lembaga pendidikan formal (pendidikan umum dan pendidikan kejuruan) yang diharapkan mampu mencetak sumberdaya manusia unggul yang memiliki kompetensi hard skills dan soft skills yang siap bekerja pada berbagai sektor lapangan pekerjaan belum sepenuhnya terwujud. Beberapa kalangan menilai bahwa sistem pendidikan kita baru mampu menghasilkan lulusan yang hanya mampu bekerja sebagai pegawai baik pegawai pemerintah maupun pegawai pada perusahaan swasta. Hal yang lebih parah, ketika sektor pemerintahan dan perusahaan tidak mampu menyerap tenaga kerja lulusan pendidikan formal, jutaan dari mereka akhirnya menganggur yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin membengkak. Dalam beberapa tahun terakhir ini pemerintah sangat serius untuk mengintroduksi pendidikan pada jalur pendidikan formal (pendidikan umum dan kejuruan) dan pendidikan luar sekolah (program life skills), khususnya di Pondok pesantren, diorientasikan agar para lulusan sekolah formal dan pendidikan luar sekolah mampu mandiri pada berbagai sektor ekonomi yang terbuka sangat luas. Upaya ini diharapkan masalah pengangguran secara berangsur-angsur akan dapat terkurangi. Dilihat dari jenis pendidikannya pemuda yang berada pada wilayah pedesaan tersebut dapat dikategorikan lulusan dari sekolah umum (SD, SMP, dan SMA) dan sekolah umum berbasis agama (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) yang biasanya di bawah naungan pondok pesantren (Ponpes ). Sebagai contoh, dewasa ini tercatat sebanyak 16.004 pondok pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,4 juta orang. Dari jumlah pondok pesantren tersebut sebanyak 3.589 diantaranya menyelenggarakan pendidikan umum madrasah aliyah/sederajat dengan jumlah siswa (juga santri) 520.342 orang. Dari jumlah siswa/santri yang lulus dari pendidikan madrasah aliyah tersebut hanya kurang lebih 20% yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (program diploma dan universitas), sedangkan sebagian besar sisanya sekitar 80% terjun ke masyarakat dengan daya saing yang rendah 28
sehingga sulit mengakses kesempatan untuk bekerja termasuk didalamnya kesempatan untuk berwirausaha. Atas dasar kondisi ini maka pemerintah dengan sekuat tenaga untuk membekali para santri yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan pendidikan keterampilan yang diselenggarakan oleh Lembaga Tempat Praktek pendidikan Keterampilan Usaha yang dibangun pada lingkungan Pondok pesantren. Disadari bahwa pada umumnya kondisi aktivitas Koperasi di pondok pesantren belum sebagaimana yang diharapkan (belum optimal), hal tersebut dikarenakan pengetahuan, keterampilan maupun sikap dalam mengelola koperasi belum dimiliki sebagaimana seharusnya. Padahal keberadaan koperasi di Ponpes dapat diarahkan menjadi ujung tombak pemberdayaan potensi ekonomi pondok pesantren guna menggerakkan sektor riil di pondok pesantren dan media pembelajaran untuk menjadi seorang wirausaha. Kegiatan usaha koperasi pada pondok pesantren pada mulanya hanya merupakan aktivitas penunjang proses pembelajaran, namun bila dicermati ternyata menjadi peluang bisnis besar bagi kegiatan usaha yang dapat memberikan profit bagi lembaga pendidikan, mengingat pasar kegiatan usaha koperasi lembaga pendidikan sudah jelas yaitu stakeholder Lembaga Pendidikan (guru, siswa, orang tua murid, masyarakat sekitar, dan lain-lain). Berbagai jenis layanan bisnis yang dapat ditangani antara lain berbagai fasilitas belajar para siswa/santri, penyediaan sandang, papan, pangan, kebutuhan sekunder, tersier dan lain-lain. Pada saat ini belum banyak pondok pesantren yang memanfaatkan peluang tersebut dikarenakan berbagai keterbatasan, khususnya keterbatasan SDM berkaitan dengan jiwa kewirausahaan. Beberapa kendala lain yang menyebabkan kualitas koperasi pada pondok pesantren belum optimal antara lain: a. Sebagian besar pondok pesantren menafsirkan bahwa keberadaan Koperasi pada umumnya hanya sekedar ada (merupakan program pemerintah, bukan merupakan kebutuhan); b. Merupakan pesaing bagi usaha milik para stakeholder/pengurus yayasan; c.
Para pengelola koperasi pondok pesantren (Koppontren ) tidak memiliki kepekaan bisnis (jiwa kewirausahaan);
29
d. Belum terbangunnya sistem partisipasi anggota sebagai pemilik dan pengguna koperasi yang membesarkan Koppontren (azas one man one vote sukar diterapkan) e. Belum banyaknya kader-kader koperasi di kalangan siswa, hal ini dikarenakan masih rendahnya minat siswa yang terjun menekuni dunia koperasi. Namun tidak sedikit Koppontren yang dikelola secara profesional dan memberikan manfaat ekonomi bagi stakeholder pondok pesantren seperti; mampu menopang biaya operasional pondok pesantren, berkembang beraneka ragam usaha, mulai dari koperasi simpan pinjam (pola syariah), usaha toko besi, baju muslim, kantin, pertanian industri minuman, bengkel, mini market, perkebunan, industri kerajinan, wartel dan lain-lain. Koperasi yang dikelola secara profesional tersebut pada umumnya dimiliki pondok pesantren yang dikelola secara modern. Diharapkan upaya-upaya pengembangan profesionalisme pengelolaan Koppontren , selalu mengacu pada potensi dan karakter lembaga pendidikan, masyarakat serta wilayahnya.
PERANAN KOPERASI PADA PONDOK PESANTREN Data Kementerian Negara Koperasi dan UKM RI (2007) mengelompokkan jumlah pemuda Indonesia berdasarkan tingkat pendidikan adalah sebagai berikut. Pemuda yang hanya tamat Sekolah Dasar (SD) sebanyak 13, 7 juta orang atau sebesar 34,4 %, tamat SMP sebanyak 15,7 juta orang atau 39,5 %, tamat SLTA 9,96 juta orang atau 24,9 %, dan lulusan program Diploma dan perguruan tinggi 0,477 juta orang atau 1,2 %. Mereka tersebar pada 70.661 desa yang ada di seluruh pelosok Tanah air. Dilihat dari jenis pendidikannya pemuda yang berada pada wilayah pedesaan tersebut dapat dikategorikan lulusan dari sekolah umum (SD, SMP, dan SMA) dan sekolah umum berbasis agama (Ibtidaiyah, Tsanawiyah, dan Aliyah) yang biasanya di bawah naungan pondok pesantren. Sebagai contoh, dewasa ini tercatat sebanyak 16.004 pondok pesantren dengan jumlah santri mencapai 3,4 juta orang. Dari jumlah pondok pesantren tersebut sebanyak 3.589 diantaranya menyelenggarakan pendidikan umum madrasah aliyah/sederajat dengan jumlah siswa (juga santri) 520.342 orang. Dari jumlah siswa/santri yang lulus dari pendidikan madrasah aliyah tersebut hanya kurang lebih 20% yang dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (program diploma dan 30
universitas), sedangkan sebagian besar sisanya sekitar 80% terjun ke masyarakat dengan daya saing yang rendah sehingga sulit mengakses kesempatan untuk bekerja termasuk di dalamnya kesempatan untuk berwirausaha. Atas dasar kondisi ini maka pemerintah dengan sekuat tenaga untuk membekali para santri yang tidak dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan pendidikan keterampilan yang diselenggarakan yang dibangun pada lingkungan pondok pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai ciri khusus dibandingkan dengan pendidikan formal lainnya. Model pendidikan Pesantren sebagaimana dikemukakan Departemen Agama (1981), Dhofier (1982); Prasodjo (1974); Saridjo (1980); Artifin (1993) : “Pendidikan di Pesantren adalah pendidikan sepanjang waktu dengan sistem non klasikal, yang kemudian dikenal dengan nama bandongan atau sorogan dan wetonan”. Djaelani (1984) mendifinisikan bahwa “Pondok Pesantren adalah keseluruhan lingkungan masyarakat tempat para santri itu mukim dan menuntut ilmu, disebut Pesantren”. Ziemek (1986) mengatakan bahwa: “Pesantren secara etimologi berasal dari kata pe-santri-an berarti tempat para santri. Santri atau murid secara umum sangat berbedabeda untuk mendapatkan pelajaran dari pimpinan atau pemangku pesantren (Kiyai) dan dari para guru luar yaitu Ulama atau Ustadz. Pendidikan dan pengajaran di pondok pesantren adalah pendidikan sepanjang waktu dengan Kiyai sebagai tokoh sentral. Model pendidikan tidak terikat dengan aturan formal seperti kurikulum, guru maupun waktu belajar mengajar. Kebe-basan sesuai dengan kebutuhan para santri itu yang diterapkan. Sehingga selain memiliki kekhususan, pondok pesantren punya kebebasan menentukan tujuan dan sikap. Menurut pendapat Arifin (1993) beberapa karakteristik pesantren secara umum adalah: Pondok pesantren tidak menggunakan batasan umur bagi para santri. Tidak menerapkan batas waktu pendidikan, karena sistem pendidikan di pesantren bersifat pendidikan seumur hidup (long life education). Siswa dalam pesantren tidak diklasifikasikan dalam jenjang menurut kelompok usia, sehingga masyarakat yang ingin belajar bisa menjadi santri atau siswa. Santri boleh bermukim di pesantren sampai kapanpun atau bermukim disitu selamanya, dan jika dikehendaki dapat pindah untuk mencari guru ke tempat lain atau pulang ke tempat asal bila telah cukup dan mampu mengembangkan diri sendiri. Untuk santri yang 31
berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren yang lain disebut santri kelana. Pesantren tidak mempunyai aturan administrasi (tata usaha) yang tetap sehingga seseorang dapat bermukim di pesantren tanpa mengaji jika ia mau asal ia memperoleh nafkah sendiri dan tidak menimbulkan masalah dari tingkah laku-nya. Sedang menurut Geertz, orang mengaji berdasar kecepatannya masing-masing, belajar sebanyak-banyaknya atau sekedarnya menurut kebutuhan mereka. Seiring dengan perkembangan pendidikan dan kebutuhan masyarakat menan-tang hidup, pesantren sebagai lembaga pendidikan non klasikal diberbagai tempat akhirnya merubah dirinya dengan mem-buat model pendidikan klasikal walaupun masih juga ada pendidikan model weton atau sorokan (non klasikal); biasanya di rumah Kiyai atau di masjid atau musholla. Untuk menghasilkan santri atau sumber daya manusia yang berkualitas pada lulusan pesantren, Lokakarya Intensifikasi Pengembangan Pondok Pesantren Departemen Agama (1978) merekomendasikan untuk karakteristik kualitas santri sebagai berikut:
a. Mampu menjadi teladan dan pendidik (murobbi) di lingkungan keluarga, pondok pesantrennya sendiri dan masya-rakat luas.
b. Percaya pada diri sendiri (optimistik), memiliki wawasan yang berorientasi masa depan serta tanggap dan mampu menghadapi segala problematika hidup dan kehidupan yang sedang berlangsung saat ini maupun masa depan nanti.
c. Mampu menjadi motor perkembangan di segala bidang dan secara inklusif memiliki sikap responsif dan selektif terhadap ideide inovatif dan ide-ide modernis yang sedang berkembang.
d. Memiliki sifat dan sikap serta watak kepribadian yang bersedia untuk selalu menjalankan perintah Allah swt dan menjauhi Larangan-Nya secara riil.
PENGEMBANGAN KINERJA KELEMBAGAAN DAN ORGANISASI KOPERASI DI PONDOK PESANTREN Kebijakan pemberdayaan koperasi diarahkan untuk mendukung upaya-upaya penanggulangan kemiskinan dan kesenjangan, penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, serta 32
revitalisasi pertanian dan pondok pesantren. Dalam kerangka itu, pengembangan koperasi diarahkan agar memberikan kontribusi yang signifikan terhadap penciptaan kesempatan kerja, peningkatan ekspor dan peningkatan daya saing dan diupayakan agar dapat memberikan kontribusi dalam peningkatan pendapatan masyarakat berpendapatan rendah, khususnya di sektor pertanian dan pondok pesantren. Dalam upaya tersebut perlu penyediaan dukungan dan kemudahan untuk pengembangan usaha ekonomi anggota yang produktif. Pengembangan usaha skala mikro tersebut diarahkan untuk meningkatkan kapasitas usaha dan keterampilan pengelolaan usaha, serta sekaligus meningkatkan kepastian dan perlindungan usahanya, sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing. Pemberdayaan koperasi juga diarahkan untuk mendukung penciptaan kesempatan kerja dan peningkatan ekspor, antara lain melalui peningkatan kepastian berusaha dan kepastian hukum, pengembangan sistem insentif untuk menumbuhkan wirausaha baru berbasis teknologi dan/atau berorientasi ekspor, serta peningkatan akses dan perluasan pasar ekspor bagi produk-produk koperasi. Untuk itu perlu diberi kemudahan dalam formalisasi dan perijinan usaha, antara lain dengan mengembangkan pola pelayanan satu atap untuk memperlancar proses dan mengurangi biaya perijinan. Di samping itu dikembangkan budaya usaha dan kewirausahaan, terutama di kalangan angkatan kerja muda, melalui pelatihan, bimbingan konsultasi dan penyuluhan, serta kemitraan usaha. Koperasi di pondok pesantren merupakan pelaku ekonomi mayoritas di sektor pertanian dan pondok pesantren adalah salah satu komponen dalam sistem pembangunan pertanian. Oleh karena itu, kebijakan pemberdayaan koperasi harus sejalan dengan dan mendukung kebijakan pembangunan di pondok pesantren. Untuk itu, koperasi di pondok pesantren diberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya dan dijamin kepastian usahanya dengan memperhatikan kaidah efisiensi ekonomi, serta diperluas aksesnya kepada sumberdaya produktif agar mampu memanfaatkan kesempatan usaha dan potensi sumberdaya lokal yang tersedia untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha agribisnis serta mengembangkan ragam produk unggulannya. Upaya ini didukung dengan peningkatan kapasitas kelembagaan dan kualitas layanan lembaga keuangan lokal menjadi alternatif sumber pembiayaan bagi sektor pertanian dan pondok pesantren. Di samping itu, agar lembaga pembiayaan untuk sektor pertanian dan 33
pondok pesantren menjadi lebih kuat dan tangguh, jaringan antar LKM dan antara LKM dan Bank juga perlu dikembangkan. Berdasarkan asumsi, bahwa pengembangan usaha memerlukan modal finansial, maka mestinya perlu dilakukan penghimpunan modal yang bisa dilakukan oleh koperasi. Namun, sebuah rencana produksi yang akan dilakukan oleh sekelompok orang yang bergabung dalam koperasi di pondok pesantren dapat memperoleh pinjaman modal dari lembaga keuangan non koperasi, meskipun bagi anggota pemula untuk mendapatkan pinjaman awal mensyaratkan pengalaman sukses selama dua tahun. Untuk itu koperasi harus berperan dalam menghimpun modal sendiri. Berhasilnya suatu kegiatan usaha pada umumnya selalu didahului oleh suatu studi perencanaan usaha yang cermat. Terdapat beberapa keuntungan apabila kegiatan usaha dimulai dengan perencanaan yang baik, diantaranya (1) Memunculkan kegiatan yang teratur dan sistematis, sebab perencanaan memberikan pedoman bagi pelaksanaan suatu kegiatan, (2) Dapat memperkirakan potensi dan prospek yang bersifat tangible maupun intangible, (3) Memberikan metode yang tepat dan sistematis dalam menghadapi kendala-kendala yang sifatnya spesifik, (4) Memberikan kesempatan yang terbaik dari berbagai alternatif serta menyusun kombinasi dari sumber daya yang tersedia, (5) Menjadi dasar dalam melakukan pengawasan dan evaluasi, (6) Memberikan kesempatan dalam menyusun skala prioritas dan (7) Menuntun dalam penggunaan alokasi sumberdaya secara lebih efisien dan efektif. Dengan perencanaan usaha, diharapkan menjadi suatu sarana untuk mencapai keberhasilan usaha secara berkesinambungan. Untuk mencapai hal tersebut, diperlukan suatu metode yang paling baik, agar kegiatan usaha dapat berkembang dengan baik. Salah satu upaya yang dapat dilakukan ialah dengan menyusun suatu penyusunan kelayakan usaha dalam bentuk suatu proposal. Pemberdayaan koperasi kususnya koperasi pesantren, merupakan langkah yang strategis dalam meningkatkan dan memperkuat dasar kehidupan perekonomian di pondok pesantren. Untuk itu diperlukan bentuk pemberdayaan yang terencana, sistematis. Peningkatan kualitas koperasi pesantren untuk berkembang secara sehat sesuai dengan jati dirinya dan membangun efisiensi kolektif bagi angotanya, maka akan memberikan dampak yang sangat baik dilihat dari potensi yang ada. Tindakan nyata yang dapat dilakukan ialah ketika orang perorang yang menjadi anggota koperasi memperoleh manfaat yang 34
lebih dibandingkan dengan manfaat di non koperasi. Secara sederhana di pondok pesantren manfaat yang layak untuk dirasakan antara lain : a. Kemudahan memperoleh sarana produksi pertanian seperti pupuk, benih, dan pestisida dengan mudah apabila dibutuhkan dan harganya lebih murah jika anggota secara sendiri-sendiri harus pergi ke pasar atau membeli di kios bukan koperasi. b. Memperoleh kredit dengan prosedur dan persyaratan yang lebih ringan jika dibandingkan dengan harus mengambil kredit kepada lembaga perbankan, rentenir atau tukang ijon. c.
Saat panen tiba, anggota dapat menjual hasilnya kepada koperasi dengan harga yang lebih baik dari tengkulak.
d. Kebutuhan sehari-hari seperti barang-barang konsumsi untuk kebutuhan sehari-hari seperti beras, minyak goreng, gula, sabun, lauk-pauk, bahkan sandang dari koperasi dengan harga relatif lebih murah dari harga pasar dengan cara pembayaran dapat diangsur dipenuhi dengan harga yang sama dengan harga pasar e. Memperoleh kebutuhan pokok (Pangan dan sandang) serta kebutuhan sekunder (seperti barang-barang elektronik dan kendaraan ) dari koperasi dengan harga miring dan dapat diangsur dengan cara yang lumrah yaitu pemotongan gaji tiap bulan. f.
Memperoleh kredit atau pinjaman untuk berbagai keperluan mendesak yang tidak dapat diatasi dari tabungan keluarga dengan persyaratan, prosedur yang ringan dan cepat.
g. Lebih jauh lagi ingin menempatkan koperasi sebagai lembaga yang dapat mengatasi pengangguran dan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat. Langkah awal yang harus ditempuh ialah bahwa koperasi di pondok pesantren harus dimulai dengan menerapkan kelembagaan yang baik, dan diawali dengan mengangkat pengurus yang amanah. Pengurus merupakan kelengkapan organisasi koperasi yang memperoleh mandat dari Anggota dalam Rapat Anggota untuk menjalankan kegiatan organisasi koperasi. Dalam melaksanakan mandat yang telah diberikan oleh Anggota, Pengurus diharapkan dapat menangkap saran dan aspirasi Anggota yang berkaitan dengan upaya perkuatan organisasi koperasi dan peningkatan kualitas pelayanan kebutuhan Anggota yang telah disepakati. 35
Untuk itu landasan kerja Pengurus sebaiknya memperhatikan beberapa hal yang bersifat fundamental/mendasar dalam memposisikan dirinya dalam koperasi, yaitu : a. Pengurus adalah perwakilan Anggota yang diberi mandat oleh Rapat Anggota untuk menjalankan organisasi koperasi. b. Pengurus menjalankan mengelola koperasi. c.
fungsi
Pengurus bertanggungjawab Anggota.
manajemen
usaha
dalam
pada Anggota dalam
Rapat
d. Pengurus berkewajiban untuk menyusun Rencana Strategis, Program Kerja dan Peraturan Organisasi yang bersifat Operasional. e. Dalam menjalankan tanggung jawabnya Pengurus dapat mengangkat Manajer/Pengelola untuk melaksanakan operasional pelayanan pada Anggota sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Pengurus. f.
Pengurus harus dapat menterjemahkan kebutuhan ekonomi Anggota ke dalam peraturan organisasi, rencana strategis, program kerja dan pelaksanaan operasional pelayanan koperasi.
g. Dalam pelaksanaannya, Pengurus dituntut untuk dapat bekerja secara kreatif dan inovatif, sehingga pelayanan yang dilakukan pada Anggota dapat memberikan nilai tambah bagi Anggota (baik berupa manfaat ekonomi maupun manfaat non ekonomi). Dalam kondisi yang nyata kondisi koperasi di pondok pesantren sering dihadapkan dengan sulitnya mencari sumberdaya manusia koperasi yang memenuhi kualifikasi, namun demikian untuk suatu upaya pengembangan koperasi, maka harus dipilih pengurus yang kompeten dengan karakteristik utama : 1. Memahami tentang sistem nilai yang berlaku di pondok pesantren 2. Berpengalaman, 3. Sensitivitas yang tinggi terhadap lingkungan, 4. Berpikir paripurna 5. Berpikir ke depan 6. Kreatif, 36
7. Berani menanggung resiko (berani mencoba, dengan penuh perhitungan), 8. Mempunyai komitmen yang kuat dalam memajukan koperasi. 9. Jujur, 10. Cerdas Untuk itu pengurus koperasi harus memahami alasan atau motif menjadi anggota koperasi atau berkoperasi, pada dasarnya dapat digolongkan karena motif ekonomi dan motif non ekonomi. Adapun motif ekonomi terdiri atas (1) memperoleh sarana produksi murah, (2) memperoleh pinjaman dengan syarat ringan, (3) memperoleh kebutuhan sehari-hari dengan harga murah, (4) memasarkan hasil produksi pertanian atau kerajinan agar memperoleh harga bagus dan stabil, (5) memperoleh bagian SHU di akhir tahun; Sedangkan motif non ekonomi terdiri atas (1) memperoleh banyak teman, (2) merasa aman, (3) bersosialisasi, (4) ingin menjadi pengurus, (5) ikut-ikutan teman dan (6) disuruh Kyai. Selanjutnya pengurus yang telah mendapat mandat dari Rapat Anggota untuk menyusun RAPBK (Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Koperasi), maka pengurus harus dapat merealisasikannya dengan baik. Secara umum RAPBK merupakan bagian dari fungsi manajemen dan dalam perencanaan yang baik terdapat manfaat yang dapat digunakan dalam pengembangan koperasi di pondok pesantren, yaitu : a. Mengarahkan organisasi kepada tujuan yang telah ditetapkan; b. Membantu manajemen untuk menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan; c.
Membantu manajemen dalam kristalisasi persesuaian pada masalah-masalah utama;
d. Memudahkan koordinasi organisasi;
diantara berbagai
bagian dalam
e. Membuat tujuan lebih khusus, terperinci dan lebih mudah dipahami; f.
Meminimumkan pekerjaan yang tidak pasti dan menghemat waktu, usaha dan dana.
37
Terakhir harus ada kesesuaian antara program (sebagai output pelayanan) sebagai kegiatan usaha yang dipilih atau ditentukan oleh manajemen seperti penyediaan sarana produksi, penjualan barang konsumsi, serta penyediaan fasilitas perkreditan dengan kebutuhan anggota yang terus berkembang. Dalam hal ini secara konsisten para anggota harus menggunakan pelayanan yang telah diputuskan bersama. Dengan demikian pihak-pihak yang merupakan bagian dari koperasi secara keseluruhan, harus berada di luar organisasi internal koperasi, yang sesuai dengan Undang-Undang koperasi No. 25 Tahun 1992 Hal yang harus diperhatikan dalam organisasi koperasi ialah fase pertumbuhan organisasi koperasi, dengan tahapan fase-fase sebagai berikut : a. Fase Pertama Situasi dan kondisi organisasi ataupun perilaku organisasi mencerminkan keadaan yang tidak terstruktur. Organisasi pada fase ini disebut fase kelas bawah/ Klasifikasi ini tidak sematamata didasarkan pada banyaknya modal, tenaga kerja, sumber daya lain melainkan kesederhanaan lain sistem pengelolaannya. b. Fase Kedua Situasi dan kondisi organisasi ataupun perilaku organisasi mencerminkan keadaan yang tersentralisasi sehingga dalam berbagai hal operasional organisasi berdasarkan “Komando satu orang” (one man commando). c. Fase Ketiga Situasi dan kondisi organisasi ataupun perilaku organisasi mencerminkan keadaan yang tidak mampu lagi bertahan secara personal manajemen. Hal ini akibat konsekuensi logis dari makin berkembangnya unsur-unsur organisasi baik secara kuantitatif maupun kualitatif oleh sebab itu harus mengembangkan perilaku ke arah Organizational Management. d. Fase Keempat Situasi dan kondisi organisasi atau perilaku organisasi mencerminkan keadaan yang semakin membengkak dalam berbagai hal.
38
e. Fase Kelima Situasi dan kondisi organisasi ataupun perilaku organisasi yang semakin variatif, sehingga kelembagaan merupakan sesuatu yang amat penting. Segala sesuatu didasarkan pada Integrated System.
KESIMPULAN Dari tulisan di atas, penulis menyimpulkan sebagai berikut : a. Pondok pesantren dapat memiliki koperasi yang menjadi pendorong kegiatan ekonomi. b. Koppontren yang dikelola secara profesional dapat memberikan manfaat ekonomi bagi stakeholder pondok pesantren seperti; mampu menopang biaya operasional pondok pesantren dan mengembangkan beraneka ragam usaha. c.
Untuk pengembangan koperasi pondok pesantren harus ada ketegasan yang jelas mengenai hak dan kewajiban antara santri, ustadz dan kyai dalam pondok pesantren dan hak dan kewaijaban antara santri, ustadz dan kyai dalam penanganan koperasi pondok pesantren
d.
Upaya lain yang harus ditempuh dalam pengembangan koperasi pondok pesantren ialah pengembangan kualitas SDM pesantren (anggota dan perangkat koperasi), perbaikan kinerja organisasi dan manajemen dan pemilihan usaha yang tepat.
39
DAFTAR PUSTAKA
A Malik M Thaha Tuanaya. 2007. Modernisasi Pesantren. Balai Penelitian dan pengemvbangan Agama Departemen Agama Jakarta Arifin Sitio dan Halomoan Tamba (2005). Koperasi Teori dan Praktek. Erlangga, 2005 Djohanpuro, Bramantyo, MBA, PhD. Restrukturisasi Perusahaan Berbasis Nilai. Strategi Menuju Keunggulan Bersaing. Jakarta: Penerbit PPM, 2004 Edilius & Sudarsono. Koperasi Dalam Teori & Praktek. Rineka Cipta Folke Dubell (1994). Pembangunan Koperasi. IKOPIN Press GTZ, 1990, Competency-Based Economies Through Formation of Enterpreneur, CEFE Hannel, Alfred (1987) Organisasi Koperasi, Pokok-pokok Pikiran Mengenai Organisasi Koperasi dari Kebijakan Pengembangan di Negara-negara Berkembang, Unpad Bandung Murray Gordon o’ hanley. 2005. Pesantren dan Dunia Pemikiran Santri, problematika Penelitain Yang Dihadapi Orang Asing. Fisip UMY Prasodjo, Sudjoko dkk., Profil Pesantren: Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falak dan Delapan Pesantren Lain di Bogor, LP3ES, Jakarta, 1982. Revrisond Baswir, Koperasi Indonesia, BPFE Yogyakarta, 2000 Saripudin, Didin, Abdul Razaq Ahmad,2008, Masyarakat dan Pendidikan: Perspektif Sosiologi, Yayasan Istana Abdul Aziz, Sutra Pu, Selangor, Malaysia.
40
PENGGUNAAN TEKNOLOGI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS KOPERASI UNTUK MENUNJANG PEMBANGUNAN DAERAH : RELEVANSI DAN URGENSINYA Oleh Ery Supriyadi R Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Komunikasi Bisnis dan Penyuluhan Ikopin dan Kepala Pusat Pembinaan Koperasi LPPM Ikopin Email :
[email protected] dan Dadan Hamdani Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Pemasaran Ikopin Email :
[email protected] Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600
ABSTRAK Informasi pengembangan koperasi tidaklah sebatas pada penyediaan data tekstual (finansial, akuntansi, usaha, dan anggota koperasi), tetapi juga aspek keruangannya (lokasi, jaringan, node). Kegiatan pengumpulan data digital dan penganalisaan data geografi Sistem Informasi Geografis (SIG) Koperasi bersifat aktif-dinamis bagi pengambilan keputusan, terutama bagi kegiatan pemberdayaan koperasi sebagai bagian pengembangan ekonomi daerah. Penggunaan teknologi SIG koperasi bermanfaat untuk mendukung penetapan kebijakan pemerintah di antaranya mencakup evaluasi pola pelayanan masyarakat, formulasi keuangan daerah, tata laksana dan pemantauan bantuan sosial, menetapkan skim pembiayaan, dan penguatan sumberdaya bagi pengembangan koperasi. Data geografis perkoperasian yang tersedia selayaknya dapat diakses dengan mudah oleh berbagai instansi dan lembaga maupun masyarakat agar keberadaannya dapat semakin optimal. Kata Kunci : Sistem, Informasi, Geografis, Data, Digital, Koperasi, Daerah 41
INTRODUKSI Perencanaan pembangunan daerah memerlukan data yang aktual dan akurat bagi proses pemetaan potensi, pemahaman kondisi nyata, maupun kendala yang dihadapinya. Data dan proses pendataan menjadi sangat penting dan kritis agar data yang tersaji dan hasil pengolahannya memiliki keabsahan yang tinggi bagi perumusan maupun implementasi kebijakan yang akan dilaksanakan atau sebagai evaluasi kinerja kegiatan yang telah dilakukan. Data merupakan kebutuhan dasar bagi penetapan suatu keputusan, sehingga data valid mengandung kebermaknaan dan menjadi informasi yang sangat berharga bagi pengambilan keputusan. Data dan proses pendataan yang valid akan memberikan makna informasi yang berkualitas, yaitu informasi yang relevan yang menunjang kegiatan organisasi, akurasi bagi pengolahan data lebih lanjut, kepastian yang tinggi, keberlanjutan kebijakan dan pengambilan keputusan yang taktis maupun strategis. Percepatan ekonomi daerah memerlukan tersedianya data koperasi, usaha skala mikro, kecil, dan menengah di berbagai sektor dan wilayah. Data ini diperlukan untuk memperkaya pangkalan data Koperasi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (KUMKM) di daerah baik pada tingkat kabupaten/kota maupun provinsi. Misalnya, di provinsi Jawa Barat sampai tahun 2009 tercatat kurang lebih 22.000 koperasi (koperasi primer dan sekunder, koperasi fungsional, koperasi perdesaan dan perkotaan) tersebar di 26 kabupaten dan kota di Jawa Barat. Data yang ada sebatas menjelaskan keberadaan koperasi secara tekstual/non-spasial (jumlah koperasi, volume dan jenis usaha, keanggotaan, domisili), namun kondisi data bersifat statis dan belum memadai untuk kepentingan evaluasi pembangunan. Data statis dan tekstual semata seringkali tidak dapat secara valid digunakan bagi pengambilan keputusan pembangunan ekonomi daerah dalam jangka menengah dan panjang. Kalaupun digunakan berdampak pada ketidakefektifan program pembangunan daerah ataupun tumpang tindihnya program, sehingga munculnya ketidakefektifan kegiatan pengembangan ekonomi daerah. Terlebih lagi data spasial yang sangat dibutuhkan bagi formulasi dan analisis pengembangan koperasi belum tersedia, sehingga seringkali menghambat formulasi program dan kebijakannya, penetapan lokasi dan sebarannya, penguatan kelembagaan usaha dan skim pembiayaan koperasi, maupun pengembangan ekonomi daerah. 42
Pada dasarnya, pengumpulan data profil koperasi, produk unggulan, aspek pemasaran, permodalan diharapkan menjadi akselerator data dan informasi yang valid membantu proses perancangan program dan kebijakan bagi upaya pertumbuhan ekonomi lokal (perdesaan dan perkotaan) dalam jangka pendek maupun panjang. Pendataan koperasi ini tidak hanya merupakan satu proses mendata, mengumpulkan, mentabulasi, mengklasifikasikan, atau merekapitulasikan data sebagai informasi koperasi, tetapi juga merupakan gambaran kompetensi lokal yang utuh terhadap keberadaan KUMKM di daerah. Pendataan koperasi menggunakan SIG menjadi visualisasi dan pemetaan kompetensi pengembangan ekonomi lokal (PEL) Jawa Barat. Penganalisisan yang aktif dan dinamis dalam bentuk pemodelan dan visualisasi dari basis data koperasi akan sangat menunjang penyusunan program pembangunan daerah, pemanfaatan skim pembiayaan, maupun kebijakan perkoperasian di daerah RELEVANSI SIG DAN PEMBANGUNAN Keberadaan data dan pendataan koperasi sangat strategis, karena secara statistik koperasi berpotensi sangat tinggi dalam menyerap tenaga kerja dan menunjang pertumbuhan ekonomi. Pendataan yang sahih dan reliabilitas yang tinggi sangat berguna bagi pemetaan awal Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL), penyusunan program PEL, umpan balik bagi para aparatur pemerintah daerah (kabupaten, kota, dan provinsi), gerakan koperasi, pelaku bisnis lokal, dan masyarakat dalam menyusun kegiatan pembangunan dan usaha. Tentunya pendataan dan sistem informasi PEL yang memadai berkontribusi positif bagi ketersediaan informasi pembangunan yang valid maupun kinerja perekonomian daerah. Dengan demikian, pendataan koperasi menjadi salah satu alat bantu mengukur kinerja koperasi, instrumen merumuskan program, dan menjadi perangkat kebijakan koperasi dalam lingkup kabupaten, kota, dan provinsi. Dengan memperhatikan realitas dan urgensi sistem informasi, pemberdayaan koperasi, dan pengembangan ekonomi daerah, maka terdapat dua hal yang memerlukan perhatian, yaitu (1) pentingnya menciptakan sistem manajemen basis data dan pendataan yang mendukung ketersediaan data/informasi perkoperasian yang berkualitas dan; (2) bagaimana proses 43
penggalian informasi perkoperasian bagi penyediaan data/informasi yang berkualitas tersaji secara spasial maupun non spasial, sehingga dapat menunjang formulasi program dan kebijakan pemberdayaan koperasi. Tulisan ini mencoba menjajagi alternatif menyelesaikan kedua masalah ini dengan menempatkan konsep Sistem Informasi Geografis dan penggalian informasi koperasi sebagai kerangka dasar dalam menyediakan data dan informasi koperasi yang berkualitas.
SIG KOPERASI SEBUAH PENDEKATAN DAN INSTRUMEN Sistem adalah seperangkat bagian-bagian yang saling berkaitan erat satu dengan lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Sistem terdiri dari beberapa subsistem, yang menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem. Sistem mempunyai karakteristik yaitu memiliki komponen, terdapat batas, mempunyai masukan (input) dan keluaran (output), terdapat pengolahan sistem dan lingkungan luar sistem, serta sasaran yang jelas. Informasi merupakan hasil pengolahan data sebagai bahan pengambilan keputusan, sehingga sistem informasi merupakan rangkaian unsur-unsur sistem yang terkait satu dengan lainnya secara terstruktur menghasilkan kesatuan informasi yang utuh yang dapat disimpan, diolah dan dianalisis sebagai bahan bagi pengambilan keputusan. Sistem Informasi merupakan pendekatan terorganisasi untuk mengumpulkan, memasukkan, memproses data, serta mengendalikan dan menghasilkan informasi yang berbasis proses komputer ataupun manual untuk mencapai sasaran dan tujuan organisasi. Penyediaan data dan informasi dibutuhkan suatu organisasi bergantung pada kebutuhan pengambil keputusan dan prosedur yang berlaku pada organisasi tersebut. Struktur dan cara kerja sistem informasi juga berbeda-beda tergantung pada jenis keperluan atau macam permintaan yang harus dipenuhi bagi atau dalam suatu organisasi dan kegiatan. Sistem Informasi bidang perkoperasian yang tersedia selama ini terbatas bagi kepentingan internal badan usaha koperasi, bersifat statis, bahkan cenderung berorientasi pada laporan keuangan semata. Arifin (2007) menyajikan sistem informasi koperasi dalam suatu rancang bangun sistem informasi akuntansi, laporan keuangan, dan keanggotaan pada suatu koperasi fungsional. 44
Sementara itu, SIG Koperasi sebagai instrumen komprehensif yang menyajikan sistem informasi koperasi secara tekstual dan spasial belum tersedia. Dalam kamus wikipedia dinyatakan bahwa Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System disingkat GIS) adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelola, dan menampilkan informasi spasial (keruangan). SIG berisi informasi yang mempunyai hubungan geometric yang dapat dihitung, diukur, dan disajikan dalam sistem koordinat, yaitu berupa data digital yang terdiri dari data spasial dan data atribut. Pengelolaan dan analisis data berdasarkan lokasi geografis atau sistem koordinat merupakan kunci utama SIG. Data yang digunakan dan dianalisa dalam suatu SIG berbentuk data peta (spasial) yang terhubung langsung dengan data tabular. Ketika membuat suatu tema atau lapisan tertentu, maka secara otomatis lapisan ini memiliki data tabular yang berisi informasi tentang bentuk datanya (titik, garis atau polygon) yang berada dalam lapisan tersebut . SIG juga merupakan sebuah alat bantu manajemen berupa informasi berbasis komputer yang berkait erat dengan sistem pemetaan dan analisis terhadap segala kejadian yang terjadi di muka bumi. Teknologi SIG mengintegrasikan operasi pengolahan data berbasis manajemen basis data. Operasi ini berisi langkahlangkah pengambilan data berdasarkan kebutuhan dan melakukan analisis statistik dengan memvisualisasikannya secara khas, di antaranya mengenai analisis geografis berupa gambar peta. Salah satu keunggulan penggunaannya adalah SIG mampu menyajikan analisis yang relatif banyak, tidak semata menampilkan data. SIG menggabungkan kemampuan, tampilan, sajian sistem informasi secara tematis, dan sistem pemetaan yang tersusun rapi, dan disertai dengan analisis lokasi geografis dan informasi-informasi khas yang terkait terhadap lokasi. SIG juga bersifat dinamis mengikuti arus perkembangan, sehingga peta yang dibuat pada aplikasi bersifat berkesinambungan. Peta yang dihasilkan tidak terbatas untuk keperluan saat pembuatan dilakukan, tetapi memungkinkan dilakukan peremajaan terhadap informasi yang terkait pada peta secara mudah, dan secara otomatis peta tersebut 45
akan segera menunjukkan adanya perubahan informasi. Teknologi SIG bekerja dalam waktu singkat, sehingga memberi nilai efisien pada perlakuan, perubahan, atau kinerja data dan informasi. SIG memungkinkan untuk membuat tampilan peta, menggunakannya untuk keperluan presentasi, menganalisis informasi dengan cara pandang baru, serta mengungkap hubungan keterkaitan tersembunyi, terpola, serta kecenderungan yang terjadi. Sistem Informasi Geografis (SIG) merupakan sistem berbasis komputer yang didesain untuk mengumpulkan, mengelola, dan menampilkan informasi spasial (keruangan). SIG saat ini juga digunakan untuk bagi ilmu kesehatan, ilmu ekonomi, ilmu lingkungan, beberapa di antaranya untuk perencanaan ruang wilayah, fasilitas kota, pengelolaan sumber daya alam, perwilayahan layanan perbankan, jaringan telekomunikasi, jaringan listrik, juga untuk manajemen transportasi. Selain untuk tujuan penyajian penataan ruang, penggunaan SIG dilakukan pada berbagai bidang pembangunan, di antaranya Guntara (2009) menjelaskan SIG sebagai alat bantu memonitor otonomi daerah, Barus (2000) mengaplikasikan SIG dalam pembangunan pesisir dan kelautan, Diknas (2000) menggunakan SIG untuk mengidentifikasi lokasi sekolah dasar dan menengah. Suroso, dkk (2004) mengembankan SIG untuk kepentingan pengelolaan kelapa sawit. Hal yang sama dilakukan Piarsa (2007) menekankan rancangan bangun SIG pada inventarisasi ruas jalan dan jembatan di suatu wilayah. Sedangkan Wirosoedarmo, dkk (2007), Sukojo dan Susilowati (2003), dan Triyo dan Wahyudi menekankan pada penggunaan dan aplikasi SIG bagi analisis lingkungan fisik lahan dan industri. Wirosoedarmo, dkk (2007) mengaplikasikan SIG pada penentuan lahan kritis di wilayah aliran sungai, Sukojo dan Susilowati(2003) menerapkan SIG untuk analisis penggunaan lahan. Sistem Informasi Geografis bekerja berdasarkan integrasi komponen, yaitu: perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software), data, manusia, dan metode. Perangkat keras yang digunakan dalam SIG adalah Personal Computer (PC), mouse, digitizer, printer, plotter, dan scanner. Perangkat lunaknya berupa perangkat yang mampu melakukan fungsi-fungsi penyimpanan data, analisis, dan menampilkan informasi geografik, untuk melakukan input dan transformasi data geografis, menyusun manajemen basis
46
data, serta mendukung query geografis, analisis, dan visualisasi dari data geografis dan tekstual. Berdasarkan sumbernya, data untuk keperluan GIS berasal dari data citra satelit, data lapangan, survei, peta dasar, peta tematik, data sosial ekonomi dan Geo Position Stationer (GPS). Data dari berbagai sumber ini diolah dengan bantuan software tertentu melalui proses rancangan dan operasi sistem sesuai dengan kebutuhannya , sehingga menghasilkan produk data dan informasi yang berguna dapat berupa peta konvensional dan peta digital sesuai keperluan penggunanya. Dengan demikian penggunaan SIG Koperasi sangat berkait dengan keterlibatan dan keaktifan pengguna (Dinas KUMKM, Pemda, Dekopinda, dll) ikut memformulasikan kebutuhan dan keefektifan hasil SIG yang akan dimanfaatkan oleh pengguna itu sendiri, user friendly. Sebagai suatu sistem informasi, SIG Koperasi seharusnya berisi unsur sistem dan informasi mengenai keadaan perkoperasian secara tekstual/non spasial (sistem informasi keanggotaan, keuangan, akuntansi, manajerial) pada suatu lokasi/wilayah tertentu. Sebagai informasi geografis, maka SIG Koperasi mengandung pengertian informasi mengenai tempat, posisi dimana koperasi itu berada, dan atribut-atribut yang terdapat di permukaan bumi yang menjelaskan letak atau diketahuinya keberadaan suatu koperasi. Dengan demikian SIG Koperasi pada dasarnya merupakan representasi dari sistem informasi yang menyimpan, mengolah, dan menganalisis mengenai perkoperasian secara spasial maupun non spasial. SIG Koperasi yang dimaksud adalah sistem komputer yang mengelola penyimpanan, pengolahan, dan penganalisisan data dan informasi koperasi secara spasial (keruangan) dan tekstual sekaligus sebagai data dan informasi koperasi, visualisasi kinerja koperasi, peta koperasi, dan sebagai bahan pengambilan keputusan. Dengan tersedianya SIG koperasi mengkombinasikan data spasial dan tekstual, akan memberikan identifikasi yang detail dan akurat mengenai keadaan dan keberadaan koperasi di daerah secara dinamis, sehingga mempermudah akses informasi bagi instansi daerah dalam memonitor dan evaluasi kegiatan pembangunannya yang pada akhirnya memperbaiki program pembangunan daerah lebih optimal, strategis, maupun operasional.
47
KETERKAITAN SIG DAN PENGEMBANGAN EKONOMI DAERAH Pembangunan pada masa otonomi daerah saat kini dan di masa depan pada akhirnya akan bergantung kepada kemampuan daerah itu sendiri mengelola sumber daya. Adanya penerapan otonomi pemerintahan daerah menempatkan posisi setiap daerah bertanggungjawab untuk dapat mengembangkan daerahnya sesuai dengan potensi dan rencana yang dipunyai. Sejalan dengan itu, sikap para pengambil keputusan pun pada saat ini dituntut untuk lebih terbuka (transparan) sehingga masyarakat dapat mengetahui keputusan dan latar belakang dari kebijakan yang ditetapkan. SIG sebagai instrumen tidak hanya sebatas untuk kepentingan penggunaan analisis fisik lingkungan semata, tetapi juga semakin dibutuhkan bagi bidang lainnya, di antaranya adalah koperasi dan pengembangan ekonomi daerah. Brigss (1999) menyatakan bahwa pemanfaatan SIG mengalami perubahan dengan pergeseran kepentingan dari komponen penyimpanan/pengelolaan data, pengolahan/analisis, dan penyajian informasinya. Dalam pelaksanaan otonomi daerah, daerah harus menggali dan mengembangkan potensi sumber daya secara optimal pada daerahnya demi sebesar-besarnya kemakmuran masyarakat. Langkah awal yang harus dilakukan adalah dengan menginventarisasi keberadaan segala sumber daya yang tersedia. Salah satu caranya ialah dengan membangun suatu pusat basis data sumber daya alam dalam media komputer yang terintegrasi dengan SIG. SIG harus tersusun dengan baik dimana semua data daerah, baik data spasial maupun data tekstual, disimpan dan dikelola sehingga untuk memperoleh informasi dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Data perkoperasian yang terkumpul dalam SIG idealnya menjadi aset sebagaimana unsur bangunan, mesin-mesin, atau barang-barang inventaris lainnya yang dimiliki oleh institusi/OPD. Keberadaan SIG memungkinkan berbagai pengambilan keputusan pada banyak permasalahan yang memerlukan informasi (data), yang sampai saat ini ternyata belum tersedia dan belum dapat diperoleh dengan mudah, terlebih lagi data perkoperasian yang dinamis. Ketersediaan SIG ini pada akhirnya mendudukkan informasi akan menjadi komoditas strategis yang banyak dicari dan diminati orang.
48
Layanan informasi dan data semakin lama semakin banyak dibutuhkan oleh berbagai pihak. Kebutuhan untuk jenis pelayanan informasi dan sifat penyajiannya sangat ditentukan oleh kebutuhan para pemakai (users requirement), bukan oleh pemberi/penyedia data. Muhally (1996) menyatakan bahwa pelayanan atau informasi yang disediakan untuk kebutuhan yang berbeda harus dapat disediakan dalam waktu yang singkat dan dengan biaya yang relatif murah. SIG Koperasi sedapat mungkin tersaji dengan sistem multimedia yang relatif memadai untuk mengantisipasi kebutuhan pengelolaan dan jaringan usaha koperasi bagi pengelola koperasi, aktivis koperasi, maupun pemerintah. Di sektor pemerintah (public sector) indikator kesuksesan implementasi SIG akan terletak pada kualitas pelayanan penggunaan SIG pada masyarakat atau komunikasi dengan pengguna. Jika SIG koperasi tersedia diharapkan memberi kemudahan komunikasi layanan publik dalam perkoperasian. Komunikasi produk SIG koperasi ini lebih menekankan kepada pelayanan guna memberikan informasi secara mudah dan cepat yang dibutuhkan masyarakat. Misalnya: menunjukkan rangkaian perijinan, tata cara pendirian koperasi, informasi kepemilikan tanah, lokasi koperasi, lokasi anggota koperasi, wilayah layanan/kerja koperasi, kinerja usaha dan lain sebagainya. Dengan SIG yang baik maka pelayanan informasi akan didapat secara mudah dan cepat. Pada sistem informasi yang ideal, penampilan data harus disesuaikan dengan tingkatan/level dari pemakai (level of users). Tampilan SIG Koperasi memiliki perbedaan untuk tingkatan jabatan berdasarkan kewenangannya, misalnya pejabat suatu dinas di level kabupaten berbeda dengan provinsi, karena informasi yang diinginkan berbeda tingkatan dinas di kabupaten/kota dengan provinsi. Pada tingkat kabupaten/kota, informasi berlebih rinci, walaupun terbuka kemungkinan untuk memberikan informasi yang lebih terperinci bagi tingkatan pengguna yang levelnya lebih atas. Tentunya hal ini akan terlihat pada struktur data yang disusun dan sistematisasi komponen sistemnya. Misalkan jika aplikasinya bersifat multiguna, maka data dan informasi yang selayaknya harus diketahui masyarakat umum, seluruh data yang ada pada SIG dapat dibuat dan disusun dalam bentuk sistem jaringan dan 49
memungkinkan untuk dapat disebarluaskan. Dengan demikian memungkinkan masyarakat umum dapat mengakses data/informasi yang tersedia dan menyimpan sesuai keperluan masyarakat. Pendataan perlu didorong melalui partisipasi aktif dan tanggung jawab berbagai pihak terhadap penyediaan data, penganalisisan, dan penyajian data koperasi bagi pembangunan di daerah. Untuk itu, keaktifan aparat kabupaten/kota dan provinsi, pelibatan masyarakat, dan segenap pemangku kepentingan yang terkait dengan koperasi merupakan langkah strategis untuk membangun SIG koperasi sebagaimana dimaksud di atas. Berdasarkan ketentuan yang ada pada UU RI No. 24/1992 dan UU RI 26 tahun 2007 tentang penataan ruang menyebutkan bahwa untuk keperluan penataan ruang di daerah diperlukan data dasar topografis dengan skala 1:250.000 untuk level Propinsi, skala 1:50.000 untuk level Kota/Kabupaten. Selanjutnya data dasar dengan skala 1:250.000 diperlukan untuk tinjauan menyeluruh (overview) dan data dasar dengan skala 1:50.000 diperlukan untuk perencanaan semi-detail (semi detail planning). Untuk keperluan pemetaan, sebagian besar daerah masih belum memiliki peta yang memadai (belum terpetakan). Kalaupun ada peta dan data tekstual yang dimiliki masih dalam bentuk peta cetak dan data tabular, sehingga perlu dikonversikan terlebih dahulu ke dalam bentuk digital. Untuk mengumpulkan dan mengkonversi data tersebut ke sistem digital sudah tentu diperlukan biaya, sumber daya manusia (SDM), dan waktu yang tidak sedikit (time consuming). Unsur yang paling penting dan mendasar dalam membangun dan mengembangkan SIG adalah mendesain basis data yang baik. Semua proses yang dilakukan pada Sistem Informasi Geografis tergantung kepada basis data yang disimpan secara terstruktur. (Barus, 2000; Muhally , 1996; Piarsa, 2004; Suroso, 2004). Agar pendataan koperasi dapat lebih efektif, maka prinsip ketersediaan data, kekinian dan relevansi informasi sebagai sumberdaya harus dipahami dan dijadikan landasan dalam melaksanakan penggalian informasi. Data/informasi mengenai 50
koperasi bukan dianggap sebagai produk sampingan dari pemrosesan pendataan, tetapi harus dipandang sebagai sumberdaya dan aset yang sangat berharga. Validitas data dan adanya validasi pendataannya memungkinkan pengolahan dan pengambilan keputusan yang tepat dalam upaya pembinaan, pengembangan, dan pemberdayaan koperasi pada masa mendatang. Secara normatif, data/informasi koperasi perlu dilihat secara utuh dalam satu kesatuan keragaan dari KUMKM secara individu, sektor, maupun perilaku kelompok usahanya. Adapun beberapa jenis data koperasi yang perlu diidentifikasi adalah data umum, keusahaan koperasi, keuangan koperasi, keorganisasian dan keanggotaan, data profil koperasi , serta informasi kesehatan organisasi dan usaha koperasi. Beberapa data menyangkut kegiatan keusahaan diantaranya mengenai jumlah dan jenis produk, nilai produksi, ketenagakerjaan, nilai transaksi anggota, jenis dan jangkauan pelayanan bagi anggota, sarana prasarana pada proses transaksi pasar, jejaring usaha koperasi, lokasi dan tujuan pasar, sebaran lokasi anggota. Selanjutnya juga disusun sistem keuangan koperasi sebagai sub sistem non spasial yang terintegrasi atau menjadi bagian dalam SIG koperasi. Data yang valid dan informasi koperasi berkualitas berfungsi sebagai bahan pertimbangan formulasi program pengembangan koperasi dalam jangka menengah dan jangka panjang. Penggunaan SIG ini menjadi masukan dan bahan pertimbangkan bagi forum lokal (Musrenbangda tingkat kecamatan, kabupaten/kota, atau propinsi) dalam penyusunan anggaran pembangunan daerah (RAPBD) ataupun kegiatan-kegiatan pengembangan koperasi. Data dan informasi koperasi yang berkualitas akan menjadikan strategi pengembangan ekonomi lokal lebih tertata, terencana secara efektif dan menjadi instrumen penting dalam menggerakkan roda perekonomian lokal sekaligus indikator kunci keberhasilan kegiatan perekonomian daerah.
51
Pembangunan Daerah Skim Pembiyaan Pembangunan Sistem Informasi Koperasi Profil Koperasi
Data spasial, Peta Dasar
Evaluasi Kinerja
Basis Data •Peta admnistrrasi • Pete landuse • Peta Industri • Peta koperasi • Peta Titik pantau • • Data atribut koperasi • Kenggotaan koperasi • Kecamatan/Desa • Jenis Koperasi
Deliniasi
Peta Spasial Koperasi
Peta spasial
Overlay
OPD Sektoral Di Daerah Bappeda
Aplikasi Dinas KUMKM Provinsi/ Kabupaten/Kota
SIG Koperasi
Data/Informasi Koperasi Share Koperasi Dalam Ekonomi Daerah Informasi Digital Koperasi
Gambar 1. Pemanfaatan SIG Koperasi Untuk Menunjang Pembangunan Daerah DESAIN DAN TAHAPAN PENGEMBANGAN SIG KOPERASI Pengembangan SIG Koperasi dimulai dari tingkat sistem, analisis, perancangan, implementasi (pemrograman/coding), pengujian (testing) dan diakhiri dengan pengoperasian dan pemeliharaan. Secara konseptual terdapat beberapa aktivitas dilakukan dalam menyusun SIG Koperasi. Pertama, membuat rekayasa sistem, yaitu mengidentifikasi bagian dari sistem yang lebih besar; dimulai dari pengumpulan kebutuhan-kebutuhan elemenelemen sistem yang terkait dengan sistem, informasi, geografis mengenai koperasi. Hal ini menjadi sangat penting karena perangkat lunak akan berkomunikasi dengan perangkat keras, data spasial dan atribut koperasi, pengguna sistem, dan perangkat lunak pendukung lainnya lainnya. Pada tahap ini memfokuskan diri pada masalah koleksi kebutuhan pengguna (Dinas Koperasi, Pemda, Dekopinda/wil, Bappeda) pada tingkatan sistem dengan
52
mendefinisikan konsep sistem beserta interfaces menghubungkannya, hasilnya berupa spesifikasi sistem.
yang
Kedua adalah melakukan analisis, yaitu pengumpulan kebutuhan elemen-elemen di tingkat perangkat lunak (software requirements analysis). Analisis ini menerapkan domain data atau informasi, fungsi, proses, atau prosedur yang diperlukan beserta unjuk kerjanya, dan interfaces. Hasil akhir tahap ini adalah spesifikasi kebutuhan perangkat lunak. Langkah berikutnya adalah menyusun perancangan, program aplikasi memiliki empat atribut: struktur data, arsitektur, prosedur rinci, dan karakteristik interfaces, sehingga pada tahap perancangannya, kebutuhan-kebutuhan atau spesifikasi perangkat lunak SIG Koperasi ditransformasikan ke dalam bentuk arsitektur perangkat lunak dengan karakteristik yang mudah dimengerti dan mudah diterapkan. Pemograman, tahap ini sering disebut juga sebagai tahap implementasi perangkat lunak atau coding. Dengan kata lain, pada tahap ini dilakukan implementasi hasil rancangan ke dalam barisbaris kode program yang dapat dimengerti oleh mesin (komputer). Pada tahapan ini harus terkait dengan perancangan dan tujuan SIG Koperasi yang dibuat. Tahap terakhir adalah pengujian perangkat lunak dan operasi sistem. Pengujian di tingkat perangkat lunak berfokus pada masalah-masalah logika internal, fungsi eksternal, potensi masalah yang mungkin terjadi, dan pemeriksaan hasil mengecek kesesuaian sistem dengan kebutuhan pengguna. Secara operasional, tahapan pendekatan sistem pemanfaatan SIG Koperasi disusun sebagai berikut. Pertama adalah tahapan analisis sistem yang mencakup Investigasi sistem terhadap kebutuhan, dan pemecahan masalah berdasarkan kebutuhan OPD (need assessment) mengenai perkoperasian Kelayakan sistem bagi OPD Kabupaten/Kota/Provinsi Pengembangan sistem dan kinerja APBD bidang perkoperasian Perkembangan Koperasi o Pertumbuhan jumlah koperasi dan keanggotaan Keanggotaan koperasi Jenis usaha dan tipe koperasi
o Pertumbuhan usaha, volume usaha, dan SHU o Sumbangan dan efek koperasi o Jenis dan jumlah skim pembiayaan koperasi Dana bergulir Kredit program & komersial Bantuan Sosial o Jenis kegiatan pemberdayaan koperasi o Keuangan dan Akuntansi koperasi Selanjutnya tahapan rancangan sistem yang mencakup Teknik permodelan berorientasi proses, data, dan informasi Context Diagram dan Data Flow Diagram Sistem Informasi Geografis Koperasi Struktur basis data atribut koperasi pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota ditentukan berdasarkan kebutuhan informasi untuk kegiatan operasional koperasi, pola pemberdayaan koperasi, skim pembiayaan, dan kinerja keuangan daerah yang terkait dengan koperasi. Basis data atribut koperasi dirancang untuk menyimpan data sistem informasi yang berhubungan dengan kebutuhan informasi pengguna yang terdiri dari OPD Provinsi dan bidang layanan koperasi, perekonomian pemerintah kabupaten dan kota, OPD kabupaten-kota bidang layanan koperasi. Struktur basis data spasial (terdiri dari lapisan sesuai dengan karakteristik lokasi koperasi). Model data dalam perancangan struktur data spasial dan non spasial menggunakan model relasional berupa pengelompokkan data dalam struktur data yang digambarkan dalam bentuk ERD (Entity Relationship Diagram) disesuaikan dengan kebutuhan data perkoperasian sebagaimana hasil analisis sistem Ketiga adalah tahapan aplikasi sistem, meliputi Aplikasi SIG Koperasi sebagai prototipe dirancang dalam lingkungan teknologi PC Network berbasis windows. Prototipe SIG koperasi mengintegrasikan data spasial dan data kegiatan OPD tingkat provinsi, kabupaten dan kota. 54
Prototipe SIG Koperasi dapat menggunakan Arcview/Arc GIS dan bahasa pemrograman Bordland/Delphy yang beroperasi pada sistem Window 2000/2003/2007. Prototipe SIG Koperasi terdapat menu-menu untuk memproses data menjadi informasi keuangan, akuntansi, kinerja pembiayaan, keuangan daerah, lokasi atau wilayah kerja koperasi. Tahapan terakhir adalah tahapan evaluasi keefektifan sistem. Pada tahap ini dilakukan evaluasi kelebihan dan kelemahan sistem, yaitu menilai performansi sistem dari sisi pengguna (user). Evaluasi SIG Koperasi sebagai sebuah sistem dilakukan melalui pengujian sistem awal, pengujian lanjutan, pelatihan penggunaan sistem, termasuk di dalam mengenai operasi sistem menyangkut teknik penyimpan data dan informasi perkoperasian, spesifikasi sistem, serta kemampuannya terhadap sistem pendukung pengambilan keputusan bagi pembangunan ekonomi daerah, kinerja koperasi dalam perkembangan ekonomi, keuangan daerah, dan pemberdayaan masyarakat.
PENUTUP Pada masa datang, pengembangan koperasi memerlukan data yang valid dan cepat dalam bentuk data tekstual maupun digital, sehingga SIG Koperasi menjadi kebutuhan dan akan diminta oleh berbagai pihak yang berkepentingan. SIG Koperasi memanfaatkan teknologi sistem informasi geografis bagi penyediaan data/informasi koperasi yang berkualitas di daerah. SIG Koperasi pada akan memberikan efektivitas yang tinggi dalam pemanfaatan teknologi bagi mengembangkan usaha dan organisasi koperasi, serta menunjang mengefektifkan upaya formulasi program pemberdayaan koperasi dan kinerja pertumbuhan ekonomi daerah dalam jangka pendek maupun panjang. Dalam iklim otonomi daerah, pemanfaatan sistem ini perlu didukung oleh iklim kondusif agar tercipta SIG koperasi dengan sistem interperabilitas yang optimal, yaitu keterbukaan organisasi
dalam mengumpulkan, mengelola, menganalisis, dan menampilkan data, serta bertanggung jawab atas keabsahan pendataan dalam aplikasi SIG Koperasi. SIG Koperasi akan memberi manfaat bagi gerakan koperasi, badan usaha koperasi, jaringan usaha koperasi, jaringan dan interaksi pasar, para pelaku pasar, pemerintah (pusat dan daerah), konsumen/pelanggan, anggota koperasi, dan lembaga lainnya. Bagi pemerintah, SIG Koperasi akan mempermudah dalam memformulasikan, mengimplementasikan, dan melakukan monitoring dan evaluasi pengembangan koperasi secara nasional dan daerah atau secara sektoral dan wilayah. Bagi gerakan koperasi, SIG akan mempermudah ketersediaan data dan informasi perkoperasian yang bersifat dinamis yang mampu menunjang akses produksi, pemasaran, manajemen koperasi sehingga tercapainya peningkatan kinerja usaha dan organisasi koperasi secara profesional, bernilai tambah, dan memenuhi kebutuhan masyarakat.
56
DAFTAR PUSTAKA
Barus, Baba., dan U.S. Wiradisastra. 2000. Sistem Informasi Geografi; Sarana Manajemen Sumberdaya. Laboratorium Pengindraan Jauh dan Kartografi Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor Briggs, Ron, (1999), POEC 5319 Introduction To http://www.utdallas.edu/ ~briggs/poec 6381/.lecture.
GIS,
Deliar, Albertus dan Ery Supriyadi R. 2000. Pengembangan Perkebunan Teh dengan Memanfaatkan Teknologi Sistem Informasi Geografis. Lembaga Tulisan ITB. Bandung. DKP. 2008. Urgensi RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulaupulau Kecil. Artikel on-line Dinas Kelautan dan Perikanan Hakim, D. Muhally, (1996), Laporan Akhir Ahli Basis Data, Proyek LREP II, Bakosurtanal, Cibinong – Bogor. Irawan, Sumarto, Hakim, D. Muhally, Albertus Deliar , (1999), Teknologi SIG Masa depan, Perkembangan dan Pemanfaatannya untuk Menunjang Pembangunan Daerah. Makalah Seminar dan Pameran ‘Teknologi SIG dan Sistem Manajemen Elektronik dalam Menyongsong Millennium ke-3’, Jakarta. 1 September 1999. Longley, P. dan G. Clarke, (1995), “GIS for Business and Service Planning”, Geoinformation International, Cambridge. Prahasta, Eddy. 2002. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Bandung : Informatika. Sidharta, L. 1996. Analisis dan Desain Sistem Informasi Bisnis. PT Elxe Media Komputindo. Jakarta. Suroso, Arif Imam dan kawan-kawan. 2004. Pengembangan Sistem Informasi Geografis untuk Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Manajemen & Agribisnis, Vol. 1. No.1 Maret 2004. : 33-41. UCGIS, (1998), Research Priorities for Geographic Information Science, http://www.ucgis.org, 16 pp.
FAKTOR DETERMINAN TERHADAP KEBERHASILAN PEMBIAYAAN PERUMAHAN SWADAYA MELALUI KOPERASI (Studi di Jawa Barat) Oleh: Nurhayat Indra Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Perbankan, Kepala Pusat Pendidikan dan Keterampilan Ikopin Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 e-mail :
[email protected] ABSTRAK Masalah perumahan dan permukiman, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) dapat dikurangi dengan cara melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dengan melibatkan Lembaga Keuangan Mikro termasuk koperasi. Secara factual, saat ini terdapat beberapa koperasi yang dinilai berhasil dalam mengelola skim pembiayaan melalui KPRS/KPRS mikro bersubsidi bagi MBR Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui faktor-faktor yang menentukan terhadap skim pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi, (2) mengetahui sejauh mana efektivitas pola pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan analisis domain dan eksponensial. Penelitian ini dilakukan di KSP Primadana Sejahtera sebagai satu satunya koperasi di Jawa Barat yang memperoleh penghargaan dari Kemenpera atas keberhasilan dalam pembiayaan perumahan swadaya dengan menerbitkan KPRS/KPRS mikro bersubsidi. Hasil dari penelitian diperoleh kesimpulan bahwa faktor-faktor yang menentukan keberhasilan skim pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi adalah sebagai berikut: (1) Faktor eksternal: manajemen skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi dari Kemenpera ke koperasi yang dievaluasi dan dianalisis dari tahapan proses sosialisasi, rekruitasi, verifikasi, pencarian dana, pembangunan/perbaikan rumah, dan pengendalian dilakukan belum optimal; Kekurang optimalan ini membuka peluang terjadinya praktik sindikasi yang justru menegasikan situasi maupun kegiatan 58
pembiayaan perumahan swadaya dengan skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi salah sasaran, (2) Faktor internal: manajemen skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi di koperasi dilihat dari tahapan proses sosialisasi, rekruitasi, verifikasi, pengajuan ke Kemenpera, pencairan dana, pembangunan dan perbaikan rumah, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan MBR debitur, dilakukan secara terstruktur dengan melakukan terobosan inovatif dan dikomunikasikan secara jelas dan efektif; Tingkat kesehatan koperasi dilihat dari aspek permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas pada periode tiga tahun terakhir masuk kategori sehat; kompetensi SDM manajemen koperasi dilihat dari 10 komponen kualitas kewirausahaan, yaitu Pencarian peluang, Kegigihan dan ketekunan, Ketaatan kepada kontrak kerja, Tuntunan terhadap kualitas dan efisiensi, Pengambilan risiko, Penetapan tujuan, Pencarian Informasi, Perencanaan yang sistematis dan monitoring, Persuasi dan penciptaan jaringan kerja, dan Kepercayaan diri termasuk kategori tinggi, (3) Skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi masih belum efektif dalam proses, substansi SOP dan dampak bagi MBR, koperasi dan lingkungan. Kata Kunci : Perumahan, swadaya, skim, subsidi, pembiayaan, MBR, koperasi
PENDAHULUAN Pembangunan kualitas manusia untuk dapat menjangkau perumahan dan permukiman yang layak dewasa ini ditandai dengan bertambahnya kebutuhan perumahan sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, terutama di kawasan perkotaan. Kebutuhan perumahan hingga tahun 2020 diperkirakan mencapai lebih dari 30 juta unit atau rata-rata mencapai 1,2 juta unit pertahun. Selain masalah kuantitas tersebut, masalah perumahan dan permukiman, terutama bagi masyarakat berpendapatan rendah (MBR) adalah: (1) Terbatasnya kemampuan penyediaan prasarana dan sarana perumahan; (2) Meningkatnya luasan kawasan kumuh; (3) Belum mantapnya kelembagaan penyelenggaraan pembangunan perumahan dan permukiman; (4) Meningkatnya jumlah rumah tangga yang belum memiliki rumah; (5) Terjadinya kesenjangan dalam pembiayaan perumahan; (6) Masih rendahnya efisiensi dalam pembangunan perumahan; serta (7) Pembiayaan perumahan yang terbatas dan pola subsidi yang memungkinkan terjadinya salah sasaran. Dalam jangka panjang, pemenuhan perumahan beserta prasarana dan sarana pendukungnya diarahkan pada penyelenggaraan pembangunan perumahan yang berkelanjutan, memadai, layak, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta didukung oleh prasarana dan sarana permukiman yang mencukupi dan berkualitas yang dikelola secara profesional, kredibel, mandiri, dan efisien. Salah satu tantangan yang dihadapi untuk memenuhi kebutuhan hunian bagi masyarakat dan mewujudkan kota tanpa permukiman kumuh, adalah melakukan penguatan swadaya masyarakat dalam pembangunan rumah melalui pemberian fasilitas kredit mikro perumahan, fasilitasi untuk pemberdayaan masyarakat, dan bantuan teknis kepada kelompok masyarakat yang berswadaya dalam pembangunan rumah. Program pemberdayaan komunitas perumahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas perumahan melalui penguatan lembaga komunitas dalam rangka pemberdayaan sosial kemasyarakatan agar tercipta masyarakat yang produktif secara ekonomi dan berkemampuan mewujudkan terciptanya lingkungan permukiman yang sehat, harmonis, dan berkelanjutan, menjadi sangat strategis. Dalam hal ini, fasilitasi dan stimulasi pembangunan perumahan swadaya yang berbasis pemberdayaan masyarakat perlu terus ditingkatkan. Fasilitasi dan pemberdayaan masyarakat ini terutama dalam penyediaan lahan, 60
sumber pembiayaan, prasarana dan sarana lingkungan melalui pembangunan perumahan yang bertumpu pada masyarakat secara swadaya baik sendiri-sendiri maupun berkelompok. Untuk mendukung pembangunan perumahan swadaya oleh MBR, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan rakyat meluncurkan skim bantuan perumahan swadaya baik untuk pembangunan rumah baru maupun perbaikan rumah yang sudah ada melalui fasilitas Kredit Pemilikan Rumah Sederhana (KPRS) dan Kredit Pemilikan Rumah Sederhana Mikro bersubsidi pola konvensional dan KPRS/KPRS mikro bersubsidi. Skim ini disalurkan melalui Koperasikoperasi yang memenuhi syarat yang tersebar di berbagai propinsi di Indonesia. Hal ini dikarenakan jumlah koperasi yang terjun di sektor perumahan masih kecil padahal potensi koperasi untuk masuk pada sector pembiayaan perumahan sangat besar. Pelibatan koperasi baik pola konvensional maupun koperasi pola syariah dari tahun ke tahun menunjukkan peran yang semakin besar. Koperasi dilibatkan sebagai mitra kerja Kemenpera dalam menyalurkan KPRS/KPRS mikro bersubsidi sebagai bentuk stimulus fiscal dari pemerintah untuk mempercepat pembangunan perumahan swadaya di Indonesia bersama-sama dengan lembaga keuangan bank dan non bank lainnya. Koperasi mulai dilibatkan dalam program pembangunan perumahan swadaya bersubsidi mulai tahun 2006, yaitu sebanyak 4 (empat) unit koperasi konvensional dan 20 (dua puluh) unit koperasi syariah (BMT) dan meningkat sangat nyata pada tahun 2008 jumlahnya sudah menjadi 59 unit koperasi konvensional dan 170 unit koperasi syariah. Jumlah tersebut masih sangat kecil sekali jika dibandingkan dengan potensi jumlah koperasi yang ada di Indonesia yang sudah mencapai lebih dari 140 ribu unit koperasi (Rully Indrawan, 2008) Untuk mendukung upaya pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi MBR melalui koperasi dengan skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi sudah barang tentu sangat ditentukan oleh kemampuan Pemerintah Pusat untuk menyediakan anggaran subsidi, dana pendamping berupa role sharing dari pemerintah daerah, dan kemampuan koperasi dalam menyediakan pinjaman/pembiayaan perumahan bagi MBR anggota maupun calon anggota. Dari sekian banyak koperasi mitra kerja Kemenpera di tengah sorotan publik yang minor, terdapat beberapa diantaranya dinilai sukses dan telah dianugerahi penghargaan Adiupaya Puritama oleh Kemenpera dalam mengelola fasilitas subsidi perumahan KPRS/KPRS mikro dan penerbitkan kredit/pembiayaan perumahan bagi MBR anggota dan non anggota di wilayah kerja
koperasi. Indikator keberhasilan yang dapat diamati antara lain tepat sasaran dan tepat pemanfaatan dari subsidi yang diberikan oleh Menpera, tepat pengembalian kredit/pembiayaan yang diberikan oleh koperasi, tingkat penurunan jumlah dari kawasan pemukiman yang kumuh, peningkatan kemampuan keuangan koperasi peserta program yang ditunjukkan oleh semakin baiknya struktur finansial koperasi, dan dampak penambahan jumlah anggota MBR yang mampu untuk membangun atau memperbaiki rumah dari kredit/pembiayaan koperasi. Untuk menumbuh kembangkan semakin banyak jumlah koperasi yang berpartisipasi aktif dalam program pembiayaan perumahan swadaya bagi MBR, dibutuhkan penelitian dan kajian yang mendalam terhadap faktor-faktor yang menentukan (determinant factor) keberhasilan koperasi di lapangan dalam pembiayaan perumahan swadaya. Hasil dari penelitian dan kajian ini diharapkan dapat mengembangkan model kebijakan pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi di masa mendatang dengan jangkauan yang lebih luas. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan fenomena diatas maka masalah penelitian dirumuskan: (1) faktor-faktor apa saja yang menentukan keberhasilan pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi, dan (2) sejauh mana efektivitas skim pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi. Tujuan studi ini adalah mengetahui faktor-faktor yang menentukan keberhasilan pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi dan mengetahui efektivitas skim pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi.
LANDASAN TEORITIS Perumahan Swadaya Perumahan swadaya adalah rumah atau perumahan yang dibangun atas upaya dan prakarsa masyarakat baik sendiri-sendiri maupun berkelompok (Endang Widayanti Martono, 2008). Konsep ini mempertegas bahwa kebijakan pemerintah dalam menyediakan rumah sebagai tempat tinggal diserahkan kepada kekuatan swadaya masyarakat. Menurut data BPS Tahun 2004, bahwa sebanyak 68% kebutuhan akan perumahan di Indonesia dipenuhi secara swadaya 62
oleh masyarakat melalui bermacam cara, yaitu: Membangun sendiri, membeli rumah baru dari pengembang atau perorangan, membeli bekas, menabung untuk membangun atau membeli rumah. Menurut sumber dari Menpera, saat ini jumlah atau porsi pembangunan/ penyediaan perumahan swadaya oleh masyarakat sudah mencapai 80%. Konsep perumahan dan permukiman swadaya ini merupakan sebuah agenda besar yang melibatkan banyak sektor di dalamnya, beberapa komponen yang merupakan tulang punggung dari program ini adalah: 1) Kelompok masyarakat sasaran Kelompok masyarakat sasaran adalah masyarakat yang tidak mempunyai akses pada sumberdaya strategis perumahan atau akses pada komponenkomponen produksi perumahan. Kelompok tersebut adalah kelompok masyarakat miskin, yang selama ini pengadaan perumahannya mensyaratkan subsidi dari pemerintah. Kelompok ini harus mampu mengorganisir dirinya baik atas prakarsa dari masyarakat sendiri maupun dengan bantuan pihak luar, untuk mengelola pembangunan perumahannya, sehingga subsidi yang diberikan pihak luar akan lebih tepat sasaran dan tidak disalahgunakan. Pola pembangunan perumahan swadaya ini merupakan pola pembangunan yang partisipatif yang menggalang kerjasama dan sumber daya, baik dari sektor publik, sektor swasta, maupun dari komunitas sendiri. 2) Konsultan Pembangunan sebagai pendamping kelompok masyarakat Tujuan pendampingan oleh konsultan pembangunan adalah: merumuskan persoalan sendiri, mengambil sikap dan tindakan dalam menentukan masa depannya mengorganisasi diri (individu) menjadi kelompok terorganisasi sehingga mampu menggalang potensi kelompok agar dapat mengakses sumber daya kunci diluar kelompok (seperti dana dan teknologi) menyelenggarakan pembangunan perumahan swadaya secara lebih efektif dan efisien (mencakup teknologi, dana dan manajemen)
3) Dinas/instansi di lingkungan pemerintah daerah Pemerintah Kota/Kabupaten perlu melakukan analisis terhadap kinerja manajemen dan birokrasinya untuk meningkatkan kemampuan SDM, organisasi dari institusi terkait, termasuk didalamnya kerjasama lintas institusi dan disiplin, khususnya dalam penyelenggaraan pembangunan perumahan swadaya. Bahkan apabila diperlukan, pemerintah perlu melakukan penataan, penyempurnaan (restrukturisasi) atau pengembangan baru kelembagaan pemerintah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan kemampuan pembangunan perumahan oleh masyarakat. (Dinas Perumahan) 4) Para pihak terkait dan kelompok-kelompok peduli Pemerintah daerah perlu mengambil prakarsa (pro-aktif) untuk memobilisasi para pelaku, para pihak terkait (stakeholders) agar bersamasama dapat mempergunakan sumberdaya yang dimiliki untuk memampukan pola pembangunan perumahan dan permukiman secara swadaya.
Beberapa strategi yang mungkin dilakukan dalam pelaksanaan konsep perumahan dan permukiman swadaya ini diantaranya adalah: 1) Mendorong prakarsa mandiri masyarakat yang terbimbing, dengan partisipasi penuh dan bertanggung jawab, sehingga terarah dan sesuai dengan rencana maupun ketentuanketentuan pembangunan. 2) Memfasilitasi berbagai upaya dan prakarsa masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok dalam pembangunan dan perbaikan perumahan / permukiman mereka. 3) Membangun berbagai jaringan sumberdaya strategis yang dapat diakses oleh masyarakat miskin untuk membangun perumahan dan permukimannya secara swadaya 4) Meningkatkan kemampuan kelembagaan di masyarakat dan pemerintah daerah dengan terus melakukan berbagai investasi yang dapat menunjang kegiatan operasional, pembinaan, pengaturan dan pengendalian bagi pola pembangunan perumahan secara swadaya yang dilakukan oleh berbagai pelaku pembangunan sehingga diperoleh kinerja pembangunan yang optimal. 64
Kebijakan Pembiayaan Perumahan Swadaya Rully Indrawan (2008) menjelaskan bahwa system dan pola pembiayaan perumahan swadaya bagi MBR dapat bersumber dari Lembaga perbankan, lembaga Keuangan Non Bank, Lembaga Keuangan Mikro di dalamnya termasuk Koperasi, Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan dana CSR dari BUMS. Di satu sisi pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Perumahan Rakyat sudah memiliki skim bantuan pembiayaan pembangunan perumahan yang dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) skim yaitu skim pembiayaan perumahan formal, perumahan swadaya, dan skim pembiayaan Rusunami. Skim pembiayaan perumahan formal untuk pemilikan rumah, Pemerintah menyediakan fasilitas kredit/pembiayaan KPR bersubsidi konvensional dan KPR Syariah Bersubsidi. Skim pembiayaan untuk pemilikan sarusuna Rusunami juga pemerintah memberikan fasilitas KPR Sarusuna bersubsidi dan KPR Sarusuna syariah bersubsidi. Sedangkan skim pembiayaan untuk perumahan swadaya pembangunan rumah baru atau perbaikan rumah bagi kelompok MBR adalah KPRS/KPRS mikro bersubsidi konvensional dan KPRS/KPRS mikro syariah bersubsidi. Realisasi penerbitan KPRSH bersubsidi berdasarkan jenis pelaksanaan program perumahan formal secara akumulasi dari tahun 2004 sampai dengan Oktober 2008 berjumlah 425.221 unit, sedangkan untuk perumahan swadaya dalam periode yang sama berjumlah 65.083 unit. Konsep Koperasi Menurut UU No. 25 tahun 1992, koperasi didefinisikan sebagai ” badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip-prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”. Pengertian ini disusun tidak hanya berdasar pada konsep koperasi sebagai organisasi ekonomi dan sosial tetapi secara lengkap telah mencerminkan normanorma dan kaidah-kaidah yang berlaku bagi bangsa Indonesia. Norma dan kaidah tersebut dalam UU tersebut lebih tegas dijabarkan dalam fungsi dan peran koperasi Indonesia sebagai: 1. Alat untuk membangun dan mengembangkan potensi dan kemampuan ekonomi anggota pada khususnya dan
masyarakat pada umumnya untuk kesejahteraan ekonomi dan sosialnya. 2. Alat untuk masyarakat.
mempertinggi
kehidupan
meningkatkan manusia
dan
3. Alat untuk memperkokoh perekonomian rakyat sebagai dasar kekuatan dan ketahanan perekonomian nasional, dan 4. alat untuk mewujudkan dan mengembangkan perekonomian nasional yang merupakan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi.
International Cooperative Alliance (ICA) mendefinisikan koperasi ”cooperative is an autonomous association of persons united voluntarily to meet their common economic, social, and cultural needs and aspiration through a jointlyowned and democratically-controlled enterprise yang artinya bahwa koperasi adalah asosiasi yang bersifat otonom dengan keanggotaan bersifat terbuka dan sukarela untuk meningkatkan kebutuhan ekonomi, social dan budaya melalui usaha bersama saling membantu dan mengontrol usahanya secara demokratis. Menurut definisi ini ada beberapa prinsip koperasi yang dominant seperti asosiasi otonom, keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, prinsip control secara demokratis dan partisipasi anggota secara ekonomi. Menurut International Labor Organization (ILO), melalui rekomendasi No. 127, koperasi didefinisikan sebagai perkumpulan orang, yang bergabung secara sukarela untuk mewujudkan tujuan bersama, melalui pembentukan suatu organisasi yang diawasi secara demokratis, dengan memberi kontribusi yang sama sebanyak jumlah yang diperlukan, turut serta menanggung risiko yang layak, untuk memperoleh kemanfaatan dari kegiatan usaha, dimana para anggota berperan serta secara aktif. Beberapa konsep, pengertian dan definisi koperasi yang telah diuraikan diatas dapat mengantarkan kepada suatu konsep sebagai organisasi ekonomi yang menjalankan bisnis atau kegiatan usaha yang dimodali, dikelola, dikendalikan dan dipergunakan secara bersama untuk meningkatkan kesejahteraan anggotanya yang sebenarnya secara ilmiah telah dikemukakan oleh Muenkner, Hanel dan Muller pada tahun 66
19976 dari sudut pandang koperasi sebagai sistem sosioekonomi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: 1. Adanya sekelompok orang yang menjalin hubungan antar sesamanya atas dasar sekurang-kurangnya satu kebutuhan atau kepentingan yang sama (cooperative group). 2. Adanya dorongan dan motivasi untuk mengorganisasikan diri dalam kelompok guna memenuhi kebutuhan ekonomi melalui usaha bersama atas dasar swadaya dan saling tolong menolong (self help). 3. Adanya perusahaan yang didirikan dan dikelola secara bersama-sama (cooperative enterprises) 4. Tugas perusahaan tersebut adalah memberikan pelayanan kepada anggotanya dengan jalan menawarkan barang atau jasa yang dibutuhkan anggota dalam kegiatan ekonominya (member promotion).
METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan sampel ditetapkan secara purposif pada KSP Primadana Sejahtera, Karawang sebagai koperasi terbaik dari Jawa Barat yang dinilai berhasil dalam menyalurkan skim subsidi KPRS pembangunan perumahan swadaya. Analisis data menggunakan analisis domain dan eksponensial dengan analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Kebijakan KPRS/KPRS Mikro Bersubsidi Analisis telaah kebijakan difokuskan pada Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor: 05/PERMEN/M/2007 Tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman dengan dukungan fasilitas subsidi perumahan melalui KPRS/KPRS mikro bersubsidi dan SOP turunannya.
Temuan hasil telaah kebijakan Pembiayaan Perumahan Swadaya 1. Landasan hukum kebijakan pengadaan perumahan dan permukiman swadaya dengan fasilitas KPRS/KPRS Mikro bersubsidi bagi golongan MBR yang diterbitkan dalam bentuk Peraturan Menteri dan turunannya sudah cukup kuat. Kelemahan yang ditemukan adalah sangat cepatnya terjadinya penyempurnaan Peraturan-peraturan yang berkaitan dengan kebijakan tersebut akan menyulitkan dalam proses sosialisasi dan berpotensi terjadinya mispersepsi dalam implementasinya, 2. Petunjuk teknis yang dituangkan dalam SOP juga dilihat dari sisi manajemen publik sudah baik, memberikan prosedur dan mekanisme kerja yang jelas dengan transparansi dan akuntabilitas publik yang jelas. 3. Substansi dari SOP masih terdapat celah-celah untuk dapat disempurnakan kembali terutama mengenai pagu tingkat bunga, persyaratan kompetensi pengelola LKP, tingkat kesehatan LKP, serta skim subsidi dan kredit yaitu tabungan-pinjaman-subsidi bagi kelompok sasaran MBR. Analisis kebijakan pembangunan koperasi perumahan Menurut A. Hanel (1984) secara umum pembangunan koperasi mengikuti tiga tahapan atau fase, yaitu: (1) Tahap ofisialisasi, (2) Deofisialisasi, dan (3) Tahap otonomi. Tahap ofisialisasi dicirikan dengan tingginya campur tangan pemerintah dalam melakukan inisiasi dan berbagai dukungan fasilitas (manajemen, permodalan, regulasi, pasar, sarana dan pra sarana, SDM, dll) kepada koperasi. Pada tahap deofisialisasi pemerintah secara bertahap mengurangi campur tangannya dengan mengurangi secara gradual dukungan berbagai fasilitas kepada koperasi. Sedangkan tahap otonomi adalah tahap dimana koperasi diharapkan mampu bersaing secara sehat dalam kerangka ekonomi pasar, atau yang lebih dikenal menurut Ropke (1995) pada tahap ini pembangunan koperasi menggunakan pendekatan kelembagaan komparatif. Pada tahap otonomi Pemerintah lebih berperan sebagai regulator, dinamisator, dan fasilitator. Bantuan dan fasilitas yang diberikan sangat selektif manakala terjadi persaingan yang tidak sehat di pasar. Dalam renstra Pembangunan koperasi untuk tahun 2010 sampai 2014, Pemerintah dalam hal ini Kementerian Negara Koperasi dan UKM strategi yang dilakukan adalah membenahi 68
sistem hukum dan perundang-undangannya untuk mendorong dan memberikan ruang gerak koperasi sesuai dengan semangat globalisasi, penguatan kapasitas SDM, perkuatan usaha dan pengembangan jaringan agar koperasi masuk dalam seluruh sektor ekonomi (termasuk di dalamnya sektor perumahan, sektor pariwisata, dan sektor lainnya yang selama ini belum diperankan oleh koperasi), dan fasilitasi dengan perkuatan permodalan. Meskipun dari kebijakan pembangunan koperasi yang ada belum menyebutkan secara eksplisit dan spesifik tentang pembangunan koperasi perumahan. Road map pembangunan koperasi di Indonesia didominasi pada pembangunan koperasi pedesaan dan pertanian (KUD), Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi pengrajin tahu tempe (Kopti), Koperasi Pegawai (KPRI), Koperasi pondok pesantren (Kopontren), Koperasi mahasiswa (Kopma), Koperasi wanita (Kopwan), Koperasi pemuda (Kopindo), dan lain sebagainya. Rintisan koperasi perumahan nasional (Kopenas) pernah dilakukan pada era tahun 1980 dan ternyata sampai sekarang tidak berkembang dan cenderung mengalami kegagalan.
Analisis Keberhasilan Koperasi Dimensi-dimensi ukuran keberhasilan tersebut diatas oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat dikelompokkan ke dalam 3 dimensi yaitu : (1) Komitmen koperasi sebagai Lembaga Penyedia Kredit (LPK) terhadap program, (2) Kinerja keuangan, dan (3) Pelayanan koperasi kepada MBR. Dari masing-masing dimensi selanjutnya diturunkan ke dalam indikator kriteria penilaian yang secara rinci dijelaskan pada tabel di bawah. Kriteria ini telah dipergunakan oleh Kementerian Negara Perumahan Rakyat dalam menilai tingkat keberhasilan penyaluran subsidi perumahan oleh koperasi yang menjadi mitra kerjasama. Hasil evaluasi kinerja keberhasilan koperasi sampel dengan menggunakan dimensi dan indikator diatas diperoleh hasil total nilai skor terbobot sebesar 565 berarti jika dibandingkan dengan kategori kinerja keberhasilan koperasi dalam melaksanakan pembiayaan perumahan swadaya dengan fasilitas KPRS/KPRS mikro bersubsidi dari Kementerian Negara Perumahan Rakyat, KS Primadana Sejahtera masuk dalam kategori baik. Oleh karena itu sangatlah wajar jika koperasi ini memperoleh penghargaan Adiupaya Puritama dari Kemenpera pada tahun 2008. Penghargaan ini merupakan penghargaan pencapaian kinerja terbaik dalam melaksanakan program subsidi perumahan swadaya.
Analisis faktor determinan-Faktor Eksternal Program pembiayaan perumahan swadaya dengan fasilitas subsidi KPRS/KPRS mikro melalui koperasi dapat dipahami sebagai suatu sistem dengan tahapan proses sebagai berikut. Proses Pelaksanaan Program Perumahan Swadaya Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Gambar 1. Bagan Proses Kegiatan Penyaluran Subsidi Perumahan Swadaya Temuan hasil penelitian terhadap kondisi faktor eksternal skim subsidi pembiayaan KPRS/KPRS mikro bersubsidi di koperasi sampel dideskripsikan pada tabel berikut.
70
Tabel 1. Analisis Faktor Determinan-Faktor Internal
Faktor Eksternal TahapanProses 1. Sosialisasi Media, Kelompok Sasaran, Frekuensi, Substansi
KualitasdanTemuan • Perubahanaturandanpetunjuk teknisyangcepat, menyulitkanimplementasi • Pada tahap awal, sosialisasi dari Kemenpera ke Lembaga Keuangan Non Bank (LKNB)termasukkoperasi masihbelumdilakukansecara optimal.
2.Rekrutasi LPK/ KoperasiMitra
• Kurang mementingkankelayakankesehatanlembaga • RekruitasiLPKterindikasimengerjar target/ambisius • Pada periode 2006-2007relatif kurang selektif. Ditemukan adasindikasi pihak ketiga yang memanfaatkankesempatandari kebijakan.
3.Verifikasi
• Pada periode 2006-2007, belum dilakukan secara optimal dimanfaatkan oleh pihak-pihaktertentuyang mencari keuntungan. • Pelaksanaan verifikasi periode 2006-2007 dirasakan masih lemah/kurang, terfokus pada aspek dokumen administratif, sedangkan aspek lapangan/fisik terbatas • Kondisi saat ini (2009)sudahsemakinketat. • Pada periode 2006-2007 prosesnya relatif cepat jika dibandingkan dengan periode2008-2009. • Pemantauan dari pihak Kemenpera dan Departemen keuangan pada saat pencairansubsidikekoperasi danMBR masihlemah, • Kurangnya pendampingan sehinggasubsidi berpeluang salah sasaran dan atau tidaktepatpemanfaatan
MoU,PKO
Administratif Lapangan/Fisik
4.Pencairan Dana
Subsidi
Terminasi, Langsung, Tidak Langsung, Pemantauan
• Padaperiode2006-2007,pengendalianpascapencairansubsidi kurang optimal, • Kondisi pengendaliansaatini sudahrelatifbaik. Monitoring Evaluasi Tindakan /Penanganan
5.Pengendalian
Analisis faktor internal difokuskan pada tiga dimensi, yaitu (1) Manajemen pengelolaan subsidi di koperasi, (2) Kesehatan koperasi, dan (3) kompetensi kewirausahaan manajemen koperasi yang hasilnya adalah sebagai berikut.
1) Manajemen pengelolaan subsidi
Sosialisasi dilakukandengan inovatif “ programbedah rumah” dari Kemenpera pengganti istilah subsidi Rekrutasi MBR sangat selektif dan tidak ambisius
Manaje men Subsidi
Verifikasi dan analisis kredit terhadap MBR calon debitur ketat Pengajuan ke Kemenpera efektif dan komunikatif Pencairan subsidi ke MBR ada terobosan inovatif Pembangunan/perbaikan rumah dilakukan dengan terobosan inovatif Monitoring dan evaluasi dilakukan proaktif, rutin, dan berkala Pembinaan MBR debitur dengan pendekatan nonformal dan formal , hubungan interpersonal yang aprehensif (ramah, dekat, kekeluargaan) , pemanfaatan subsidi tepat sasaran dan tepat penggunaan.
2) Kesehatan Koperasi
72
HASIL PENILAIAN KESEHATAN I. NILAI KESEHATAN ASPEK YANG DINILAI
PERMODALAN
KOMPONEN
1 RASIO MODAL SENDIRI TERHADAPTOTALASSET 2
KUALITATIF AKTIVA 1 PRODUKTIF 2 3 MANAJEMEN
1 2 3 4 5
RENTABILITAS
1 2 3
LIKUIDITAS
RASIO MODAL SENDIRI TERHADAPPINJAMAN DIBERIKAN YANG BERESIKO RASIO VOLUME PINJAMAN PADAANGGOTA TERHADAP TOTALPINJAMAN DIBERIKAN RASIO PINJAMAN BERMASALAH TERHADAP PINJAMAN DIBERIKAN RASIO CADANGAN RESIKO TERHADAP RESIKO PINJAMAN BERMASALAH PERMODALAN KUALITAS AKTIVA PRODUKTIF MANAJEMEN RENTABILITAS LIKUIDITAS RASIO SHU SEBELUMPAJAK TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL RASIO SHU SEBELUMPAJAK TERHADAP TOTAL ASSET RASIO BEBAN OPERASIONAL TERHADAP PENDAPATAN OPERASIONAL RASIO PINJAMAN YANG DIBERIKAN TERHADAP DANA YANG DITERIMA JUMLAH
Tahun 1 Tahun 2 Tahun 3 SCORE
10
10
10
10
10
10
10
10
10
7.35
5.78
9.95
0 3 4 4 4 4
0 1 4 4 5 4
10 3 3 4 3 3
5
5
5
4.65
2.38
2.64
5
10
5
10 10 10 81 81.16 88.59 SEHAT SEHAT SEHAT
Dari tabel diatas diperoleh informasi bahwa dalam periode tiga tahun terakhir kondisi kesehatan koperasi sampel adalah pada kategori sehat dengan rata-rata skor di atas nilai 81 dan ada kecenderungan skor kesehatan koperasi dengan kualitas yang semakin baik.
3) Kompetensi Kewirausahaan Manajemen Koperasi
KUALITAS KEWIRAUSAHAAN PRIBADI PENGELOLA KOPERASI No
Indikator
SKOR
MANAGER SKOR BENDAHARA
SKOR KETUA
SKOR SEKRETARIS
Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Skor Awal Koreksi Akhir Awal Koreksi Akhir Awal Koreksi Akhir Awal Koreksi Akhir 15 0 15 16 0 16 18 0 18 18 0 18
1
Pencarian peluang
2
Kegigihan dan ketekunan
15
0
15
18
0
18
20
0
20
23
0
23
3
0
15
18
0
18
20
0
20
20
0
20
0
17
16
0
16
19
0
19
19
0
19
5
Ketaatan kepada kontrak 15 kerja Tuntunanterhadapkualitas 17 dan efisiensi Pengambilanrisiko 14
0
14
16
0
16
19
0
19
17
0
17
6
Penetapan tujuan
18
0
18
21
0
21
19
0
19
23
0
23
7
Pencarian Informasi
17
0
17
21
0
21
19
0
19
19
0
19
8
Perencanaan yang systematis dan monitoring Persuasi dan penciptaan jaringankerja
4
9
10
Kepercayaan diri
Total skor dikoreksi
yang
20
0
20
20
0
20
21
0
21
22
0
22
14
0
14
16
0
16
18
0
18
19
0
19
15
0
15
18
0
18
18
0
18
17
0
17
telah 160
180
191
197
Dari tabel diatas ditemukan bahwa skor kualitas kewirausahaan pribadi dari pihak manajemen koperasi berkisar antara 160 sampai 197 masuk dalam kategori tinggi. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pihak manajemen koperasi sampel rata-rata memiliki potensi jiwa kewirausahaan yang baik yang mendorong kemungkinan untuk melakukan terobosan inovasi dalam peningkatan kegiatan produktif di koperasinya. PENUTUP Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa faktor-faktor yang menentukan keberhasilan skim pembiayaan perumahan swadaya melalui koperasi adalah sebagai berikut:
74
Faktor eksternal Manajemen skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi dari Kemenpera ke koperasi yang dievaluasi dan dianalisis dari tahapan proses sosialisasi, rekruitasi, verifikasi, pencarian dana, pembangunan/ perbaikan rumah, dan pengendalian dilakukan belum optimal. Kekurang optimalan ini membuka peluang terjadinya praktik sindikasi yang justru menegasikan situasi maupun kegiatan pembiayaan perumahan swadaya dengan skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi salah sasaran Faktor internal Manajemen skim KPRS/KPRS mikro bersubsidi yang dilakukan koperasi dilihat dari tahapan proses sosialisasi, rekrutasi, verifikasi, pengajuan ke Kemenpera, pencairan dana, pembangunan dan perbaikan rumah, monitoring dan evaluasi, serta pembinaan MBR debitur, dilakukan secara terstruktur dengan melakukan terobosan inovatif dan dikomunikasikan secara jelas dan efektif. Tingkat kesehatan koperasi dilihat dari aspek permodalan, kualitas aktiva produktif, manajemen, rentabilitas, dan likuiditas pada periode tiga tahun terakhir masuk kategori sehat. Kompetensi SDM manajemen koperasi dilihat dari 10 komponen kualitas kewirausahaan, yaitu Pencarian peluang, Kegigihan dan ketekunan, Ketaatan kepada kontrak kerja, Tuntunan terhadap kualitas dan efisiensi, Pengambilan risiko, Penetapan tujuan, Pencarian Informasi, Perencanaan yang sistematis dan monitoring, Persuasi dan penciptaan jaringan kerja, dan Kepercayaan diri termasuk kategori tinggi Keefektifan skim Subsidi Poses belum efektif pada tahapan tertentu terutama pada subsistem Kemenpera ke koperasi (faktor eksternal) Substansi dari SOP masih terdapat celah-celah untuk dapat disempurnakan kembali terutama mengenai pagu tingkat bunga, persyaratan kompetensi pengelola koperasi/LPK, tingkat kesehatan koperasi, skim komposisi-tabungan-pinjaman-subsidi. Dampak bagi MBR, Koperasi dan lingkungan belum memperhatikan manfaat ekonomi langsung (MEL) dan manfaat ekonomi tidak langsung (METL)
DAFTAR PUSTAKA Hanel , Alfred. 1994. Dual or Double Nature of Cooperative. Dalam International Handbook of Cooperative Organizations. Vandenhoeck & Ruprecht. Gottingen Indrawan, Rully, 2008. Sistem Pembiayaan Perumahan Swadaya. Makalah disampaikan pada diskusi Temu Akademisi Pembangunan Perumahan di Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Jakarta. Ropke, Jochen, 1985. The Economic Theory of Cooperative Enterprises in Developing Countries. With Special Reference to Indonesia. Marburg. Widayati Martono, Endang, 2008. Aspek Pemberdayaan Dalam Proses Penyelenggaraan Pembangunan Perumahan Swadaya. Makalah disampaikan pada diskusi Temu Akademisi Pembangunan Perumahan di Kementerian Negara Perumahan Rakyat, Jakarta.
76
THE EMERGING OF MODERN CONSUMER COOPERATIVE IN NUSA TENGGARA TIMUR - INDONESIA Ami Purnamawati Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Pemasaran dan Kepala Pusat Pemberdayaan Perempuan LPPM Ikopin H. Shofwan Azhar Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Pemasaran dan Kepala Pusat Pengelolaan Asset Kampus ABSTRACT A cooperative is an organization whose members become the owners as well as the customers of its business. It provides some services for members’ benefits. Basically cooperative provides the services due to the members’ needs, though there is also possibility to develop business unit in other aspects for associate members or society. Today, business competition is getting tighter and tighter, and cooperatives are among other business agents. They have to survive in achieving their objectives especially in increasing and improving member’s promotion. Though the main objective of cooperative is not the profit, the business management should also become the first priority to concern. The board of directors or managers have to be creative, and innovative. In short they must have the entrepreneurial spirit. This essay is derived from the result of observation, questionnaire and interview toward the two cooperatives in Nusa Tenggara Timur and their board of directors as well as their members. The result shows that the creating and developing of modern consumer cooperative is one alternative to gain the cooperative’s objective. The traditional retail outlet could be changed into the modern one. Members as the captive market demand the changes of services. They concern not only products but also other services. In Nusa Tenggara Timur, there are some cooperatives whose retail units become the modern ones. It is called coop mart.
This is able to influence not only the cooperative performance but also the government policy. Key words: competition, member promotion, service, captive market, coop mart
78
INTRODUCTION A consumer cooperative is a business owned and operated by members of cooperatives. This business is oriented toward service rather than profit. One of the forms of consumer cooperative is retail outlet. In some countries the cooperative is known as retail co-ops. As a service oriented business, a cooperative provides the quality goods and services at the lowest cost to the consumers or owners rather than to sell the products at the highest price. The cooperative concerns to the willing of consumer to pay the products they buy in their stores Cooperatives depend on their members in organizing and running their business. Members through Member Assembly have the highest authority to decide the cooperative policy. In another word member’s participation is the key factor. Member participation determines the cooperative success; in the other hand the participation itself is determined by the services performed. Both participation and cooperative performance are not seperatable in running cooperatives. Cooperatives in Indonesia are facing some problems, such as the awareness of cooperative members, the capable human resources, and the limited access toward market and capital. The problems cause the main objective of cooperative is hard to achive. As human resources are the main actors of cooperatives; therefore cooperatives need to have the creative and innovative human resources to improve their performance. Mostly Indonesia cooperatives run the store unit business as the effort to fulfill members’ needs. Most of the store units of cooperative is run by traditional management. They still have not applied store business operation such managing profit and loss, facility management, safety and security, loss prevention and banking, nor product management (ordering, receiving, price change, handling damaged product and returns). They are lack of knowledge about retail management. Cooperative is service oriented, it does not mean that cooperative is not allowed to pursue the profit as long as the members agree. The profit would be for their own benefits. They have not only the direct economic benefit but also the indirect one,
that is the cooperative surplus. In that case the modern management in running the store units is necessarily due to it can direct the management to ensure quality customer service and to boost margin, to improve customer satisfaction and to reduce operating costs. In the tight competition, Indonesia government concerns about the development of consumer cooperative especially for Waserda (store unit). The traditional management could be changed into the modern one. The government through the ministry of cooperative and small medium enterprises designs the Smes’co Mart Program. The program could be an ideal program. It can change the traditional cooperative image and paradigm become the modern ones. It develops the integrative and strong business networkings among cooperatives and small-medium enterprises. The most important it is enable the cooperatives to have a higher competitive power. Therefore it can support the SMS’s product marketing.
COOP MART IN NUSA TENGGARA TIMUR Nusa Tenggara Timur along with other other provinces in Indonesia i.e. Nangro Aceh Darussalam and Nusa Tengara Barat has the opportunity from SCC (Swedish Coopertative Centre). Since 2005 until 2010 SIDA cooperated with Lapenkopnas developed the selected provinces in developing their cooperatives through some training programs. They have the aim to reduce poverty. One of the impacts of the training is the emerging of coop mart. In Nusa Tenggara Timur, coop mart is relevance because of some reasons, there is no modern retails, the interest of members, the ability of coop mart to full fill members’ needs, government supports and the effective standardized operational procedure of coop mart. The governments of NTT province supports the program. There is no resistance toward the programs. Through interview with some stakeholders especially cooperative board of directors, head of Dekopinwil and others, the program encourages the provincial government to build the coop mart in every regency.
80
Now days the governor and major or regent of NTT have the agreement and commitment to support the cooperatives which are ready to build coop mart by budget supporting. Each provincial and district governments provide around Rp 200,000,000.00. The pilot project of coop mart is able to interfere the local economics policy. The strong support from the government is one of the important factors. However some cooperative boards argue that still the initiation should be bottom up for the cooperative development. The cooperative readiness supported by the capability and concern of their human resources is the key. The cooperative members feel proud and satisfied in carrying out transactions in coop mart. They feel that there is a better loyalty after the business unit transferred to coop mart. The establishment of coop mart improve the trust and it increases the numbers of suppliers. The members also get the price benefit. It is achieved by cheaper price if members fulfill their necessities in coop mart then the members have direct economic benefit. On the other side, surplus benefit can be achieved from highly member participation in using cooperative service particularly at coop mart. However there are some members’ expectations toward coop mart: 1. Coop mart must complete the members’ needs as this could make the members are loyal toward cooperative 2. The product quality and quantity provided must be maintained or improved and increased for they will make the customers satisfied and the cooperatives have good image. 3. The payment method is also important to consider. Buying on credit would be helpful and make the members feel easier in fulfilling their daily needs. The coop mart also gives three benefit aspects: 1. innovation improvement in the level of cooperative enterprise and members economics, 2. non economic benefit from the group, and
3. increasing productivity in the level of members economics In the level of cooperative, the aspect of innovation improvement can be indicated by the ability of the cooperative in running modern retail. Both shop performance and operating system have been improved. Members income, particularly real income is increased due to the members get more goods if they buy from the cooperative. It is as the result of the effectivity of economic scale through joint buying among the members (group). It means that coopmart is able to provide competitive price that is a cheaper price. The main aim of developing cooperative is members promotion. Cooperative has the main task to increase members’ welfare. Due to the welfare concept is wide, the operationalisation of this concept must become simpler and easier therefore members and the society could get the point of welfare. In term of economics, level of welfare can be indicated by the level of income. Both nominal and real income will affect the welfare. Nominal income is a unit of money related to certain currency and real income is a unit of goods and services that are able to pursued by spending nominal income. When the nominal income is increased, ones will be able to buy more goods or services. It means their welfare is increased. The real income can be increased when the price of goods and services is decreased while the nominal one is constant. The more increasing one’s income the more increased the welfare is. Basically, the principle of increasing income in the cooperative related to the concept of economies of scale is to achieve the economic scale. This means that coopmart has direct economic and indirect economic benefits. In this case direct economic benefit derives from cheaper price compare to the other shops, while the indirect economic one is from surplus the members get at annual general assembly. This situation will also be able to improve good cooperative’s image. The establishment of coop mart has given a strong influence for the cooperative development. In Nusa Tenggara Timur there are some concerns of the governor. He has fully supported coop mart since 2009 and it has been regulated in 2010 that each coop mart will get Rp 200 million for 60 m2. He also has asked the regents and mayors (21persons altogether) to allocate the budget in helping the establishment of coop mart and it is hoped that there will be one coop mart for each region. For the 2011 work program, the local government in Nusa Tenggara Timur through the cooperative official 82
has set the target to make joint buying activity in all coop mart networks work well. CONCLUSION The creative and innovative board members of cooperative are able to apply the concept of modern retail. It is aimed to encourage members’ promotion. The Implementation process is able to build the awareness of the stakeholders of the cooperative related to the necessary to run modern retail as coop mart and to implement joint buying The successful coop marts have convinced the local government in Nusa Tenggara Timur and they make the establishment of coop as the entry point in developing cooperatives around the regions. The local government and the cooperative movement are optimistic that the success of coop mart can lead Nusa Tenggara Timur to be the cooperative province in Indonesia. .
ANALISIS PENGEMBANGAN EKONOMI KREATIF DI JATINANGOR Oleh: Deddy Supriyadi Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Pemasaran Ikopin dan Kepala Pusat Pengembangan Usaha Kecil Menengah LPPM Ikopin Email :
[email protected] dan Ucu Nurwati Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Pemasaran dan Kepala Laboratorium Ikopin http://ucunurwati61.wordpress.com Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 ABSTRAK Kawasan Jatinangor direncanakan untuk dipilih sebagai pilot project Pengembangan Ekonomi Kreatif oleh Pemda Sumedang. Hal ini dilakukan karena di kawasan ini dianggap memiliki potensi ekonomi kreatif yang cukup besar. Dengan diberikan sentuhan kreativitas dan inovasi diharapkan UMKM di kawasan ini dapat berkembang menjadi usaha ekonomi kreatif yang memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, berdaya saing, serta memiliki kekhasan kasundaan. Dari kajian yang telah dilakukan terhadap keberadaan Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor, baik faktor internal, maupun eksternal ada pada kategori sedang, Hal ini menunjukkan bahwa usaha ekonomi kreatif di kawasan Jatinangor memiliki peluang untuk bertahan, bahkan berkembang. Untuk mengembangkan ekonomi kreatif di Kawasan Jatinangor perlu adanya sinergi antara pemerintah, pengusaha dan perguruan tinggi. Pendekatan yang dilakukan intinya pendekatan klaster industri yang mendorong adanya keterkaitan antara industri, kolaborasi dan kemitraan yang sinergis dengan seluruh stakeholder. Kata Kunci : Ekonomi kreatif, Analisis SWOT, Klaster industri kreatif 84
PENDAHULUAN Kabupaten Sumedang, khususnya Jatinangor memiliki Potensi usaha ekonomi kreatif yang cukup besar untuk dikembangkan. Potensi usaha ekonomi kreatif Sumedang saat ini antara lain: usaha kerajinan, makanan olahan, mebel, sanggar kesenian, hotel, restoran/rumah makan dan upacara adat. Usaha-usaha tersebut perlu dikembangkan dengan memberikan sentuhan kreatif dan inovatif, sehingga dapat memberikan nilai tambah yang lebih tinggi, lebih menarik dan berdaya saing, serta memiliki kekhasan kasundaan. Untuk menjawab tantangan dan memanfaatkan peluang yang ada Pemerintah Daerah Kabupaten Sumedang mencanangkan Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif. Melalui program ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing ekonomi Kabupaten Sumedang di kancah regional, nasional maupun internasional. Selain itu Kabupaten Sumedang ke depan diharapkan akan dikenal sebagai salah satu puseur ekonomi kreatif berbasis budaya Sunda. Untuk Pengembangan Ekonomi Kreatif di Sumedang ini sebagai pilot project akan dimulai dari Kawasan Jatinangor dengan usaha unggulannya kerajinan rakyat. Hal ini dipilih dengan beberapa pertimbangan antara lain disamping pada kawasan ini terdapat pelaku UMKM yang relatif cukup banyak. Kawasan ini juga memiliki beberapa keunggulan antara lain: Lokasinya yang dekat Kota Bandung, diharapkan Kawasan Jatinangor dapat menyerap limpahan wisatawan yang berkunjung ke Bandung yang saat ini terus meningkat. Bandung juga dikenal sebagai Kota Kreatif, dimana industri kreatif di kota ini berkembang sangat pesat dibanding dengan daerah/kota-kota lain di Indonesia, aura industri kreatif Kota Bandung diharapkan akan memancar sampai ke Jatinangor. Dengan kata lain Jatinangor berada dalam lingkungan yang kreatif, dimana faktor lingkungan ini biasanya akan menjadi faktor pendorong untuk menjadi kreatif. Kawasan Jatinangor juga merupakan Kawasan Pendidikan Tinggi (saat ini telah terdapat 4 perguruan tinggi besar, yaitu STPDN, Ikopin, Unpad dan STIA) ke depan ITB pun akan hadir di kawasan ini. Kehadiran perguruan tinggi ini telah meramaikan dan meningkatkan perekonomian, khususnya di Kecamatan Jatinangor. Kondisi ini wajar terjadi, mengingat meningkatnya jumlah penduduk pasti akan diikuti dengan meningkatnya jumlah kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan. Selain itu kehadiran perguruan tinggi di kawasan ini diharapkan akan menjadi pendorong perkembangan ekonomi kreatif, oleh karena perguruan tinggi merupakan pusat
pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya yang perannya sangat dibutuhkan untuk pengembangan usaha ekonomi kreatif, karena ekonomi kreatif itu sendiri hakekatnya adalah ekonomi yang berbasis pada ide/gagasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Adapun usaha kerajinan rakyat diambil sebagai fokus dari pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif di Jatinangor, karena usaha ini dianggap sebagai usaha unggulan Kawasan Jatinangor yang potensial untuk dikembangkan, namun faktanya sampai saat ini masih banyak menghadapi beberapa permasalahan yang harus diatasi. Agar upaya untuk mengembangkan usaha ekonomi kreatif di Jatinangor ini dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efisien, maka perlu dilakukan suatu pengkajian antara lain untuk mengetahui secara lebih mendalam potensi/kekuatan dan permasalahan/ hambatan yang ada sebagai masukan untuk pengambilan keputusan dan pelaksanaannya.
TUJUAN Tujuan kajian ini untuk mengetahui potensi dan permasalahan UMKM di Kecamatan Jatinangor serta merumuskan model pengembangannya untuk mewujudkan usaha ekonomi kreatif yang unggul.
Metode Kajian Metode yang digunakan dalam pengkajian ini pertama adalah Desk Research dengan melakukan telaah literatur, aturan, kebijakan dan hasil studi yang relevan dengan topik pengkajian ini. Kedua untuk memperoleh gambaran mengenai profil UMKM kerajinan di Jatinangor serta pola-pola dan praktik-praktik kerjasama usaha, dilakukan survey dengan terjun langsung ke lapangan melakukan observasi dan wawancara dengan para pelaku UMKM kerajinan dan pihak-pihak yang terkait. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis secara deskriptif antara lain dengan menggunakan Analisis SWOT.
86
TINJAUAN PUSTAKA 1.
Konsep Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif
Konsep ekonomi kreatif pertama kali muncul dan dikenal ketika John Hawkins menulis buku Creative Economy: How People Make Money from Ideas. John Hawkins (2001) mendefinisikan ekonomi kreatif sebagai kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas, budaya, warisan budaya dan lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Sebelumnya Robert Lucas (pemenang nobel bidang ekonomi), menyatakan bahwa kekuatan yang menggerakkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari tingkat produktivitas klaster orang-orang bertalenta dan orang-orang kreatif atau manusia-manusia yang mengendalikan ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Konsep ekonomi kreatif kemudian dikembangkan oleh Richard Florida (2001) dari Amerika, yang mengemukakan antara lain, bahwa: tempat-tempat dan kota-kota yang dapat menciptakan produk-produk baru yang inovatif tercepat akan menjadi pemenang kompetisi di era ekonomi ini. Bisnis itu sendiri pada dasarnya merupakan kegiatan kreatif yang dalam setiap langkahnya memerlukan kreatifitas. Kewirausahaan adalah untuk semua orang yang didukung dengan ide-ide yang kreatif. Sedangkan usaha kreatif adalah seni untuk mengubah pengakuan menjadi penghasilan, dan ilmu untuk mengubah kekayaan intelektual menjadi sumber pendapatan (David Parish, 2009). Industri kreatif ada dalam ekonomi kreatif, UK DCMS task force 1998 mendefinisikan industri kreatif sebagai berikut : Creatives industries which have their origin in individual creativity, skill and talent and which have a potential for wealth and job creation through the generation and exploitation of intellectual property and content.
Berdasarkan definisi tersebut kemudian diklasifikasikan 15 subsektor yang dinilai merupakan bagian dari industri kreatif di Negara barat, yaitu: 1) penelitian dan pengembangan; 2) penerbitan; 3) perangkat lunak; 4) televisi dan radio; 5) desain; 6) music; 7) film; 8) permainan; 9) jasa periklanan; 10) arsitektur; 11) seni pertunjukkan; 12) kerajinan; 13) video game; 14) fesyen dan 15) seni rupa.
Dalam perkembangan selanjutnya, interpretasi terhadap lingkup industri kreatif tidak secara mutlak mengacu kepada 15 sub sektor tersebut, kebanyakan negara-negara di dunia mengkontekstualkan lagi sesuai dengan kondisi dan prioritas negaranya masing-masing. Di Indonesia juga pada dasarnya menggunakan acuan yang sama, Industri kreatif di Indonesia menurut Mauled Moelyono (2010) dapat didefinisikan sebagai industri yang dalam operasionalnya sangat dominan mensinergikan pemanfaatan kreativitas, keterampilan dan bakat individu dan kelompok melalui penciptaan dan pemanfaatan daya kreasi dan daya inovasi. Adapun ekonomi kreatif pada dasarnya segala kegiatan ekonomi yang menjadikan kreativitas (kekayaan intelektual), budaya dan warisan budaya maupun lingkungan sebagai tumpuan masa depan. Dengan demikian industri kreatif merupakan bagian dari ekonomi kreatif. Berdasarkan pengertian di atas maka sebenarnya jenis industri kreatif di Jatinangor cukup banyak, bahkan secara lebih luas lagi usaha-usaha yang ada di Jatinangor dengan sentuhan kreativitas, inovasi, seni budaya dan teknologi dapat berkembang usahanya menjadi usaha-usaha yang kreatif, yang dapat meningkat nilai tambah dan daya saingnya.
2.
Peran dan Prospek Ekonomi Kreatif
Ekonomi Kreatif menjadi sangat penting bagi perekonomian saat ini dan di masa mendatang. Di beberapa negara, ekonomi kreatif memainkan peran signifikan. Di Inggris, industri ini tumbuh rata-rata 9% per tahun, dan jauh di atas rata-rata pertumbuhan ekonomi negara itu yang 2%-3%. Sumbangannya terhadap pendapatan nasional mencapai 8,2% atau US$ 12,6 miliar dan merupakan sumber kedua terbesar setelah sektor finansial. Ini melampaui pendapatan dari industri manufaktur serta migas. Di Korea Selatan, industri kreatif sejak 2005 menyumbang lebih besar daripada manufaktur. Di Singapura ekonomi kreatif menyumbang 5% terhadap PDB atau US$ 5,2 miliar. Di Indonesia, ekonomi kreatif cukup berperan dalam pembangunan ekonomi nasional. Menurut data Departemen Perdagangan, industri kreatif pada 2006 menyumbang Rp 104,4 triliun, atau rata-rata 4,75% terhadap PDB nasional selama 20022006. Jumlah ini melebihi sumbangan sektor listrik, gas dan air bersih. Tiga subsektor yang memberikan kontribusi paling besar 88
nasional adalah fashion (30%), kerajinan (23%) dan periklanan (18%). Selain itu, sektor ini mampu menyerap 4,5 juta tenaga kerja dengan tingkat pertumbuhan sebesar 17,6% pada 2006. Ini jauh melebihi tingkat pertumbuhan tenaga kerja nasional yang hanya sebesar 0,54%. Namun, ia baru memberikan kontribusi ekspor sebesar 7%, padahal di negara-negara lain, seperti Korsel, Inggris dan Singapura, rata-rata di atas 30%. Industri kreatif menjadi sangat penting bagi perekonomian saat ini dan di masa mendatang. Pangsa pasar yang dijanjikan untuk industri kreatif masih terbuka lebar dan memiliki kecenderungan meningkat. Dalam konteks kepuasan, semakin lama manusia semakin menyukai barang-barang yang tidak hanya mampu memuaskan kebutuhan fungsional saja, namun juga mencari produk yang bisa memberikan dirinya suatu identitas dan membuat dirinya lebih dihargai oleh orang-orang di sekitarnya. Konsumen yang semakin kritis, pada akhirnya akan membuat konsumen yang semakin selektif terhadap barang-barang yang akan dikonsumsinya. Konsumen kurang tergerak membeli barang-barang generik, sebaliknya konsumen sangat antusias membeli barang-barang yang unik dan dapat membuat bangga yang memakainya.
Pendekatan Pengembangan Sentra-Klaster
Industri
Kreatif dengan
Pola
Dalam pengembangan industri kreatif terdapat lima pilar yang perlu terus diperkuat, yaitu 1) industri; 2) teknologi; 3) Resources ;4) Institution; 5) Financial Intermediary. Dalam pengembangan industri kreatif ini juga diperlukan sinergi tiga kutub, yaitu : Academic, Business & Government (ABG). Jika ketiga aktor ini telah memiliki pemahaman yang sama dan bersinergi diharapkan dapat dihasilkan inovasi yang memiliki potensi ekonomi yang dapat diwujudkan dalam produk-produk kreatif yang bernilai ekonomis. Adapun pendekatannya dapat digunakan antara lain dengan pendekatan sentra-klaster. Sentra adalah pusat kegiatan di kawasan / lokasi tertentu dimana terdapat UMKM yang menggunakan bahan baku / sarana yang sama / sejenis serta memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi klaster. Sedangkan Klaster adalah pusat kegiatan UMKM pada sentra yang telah berkembang, ditandai dengan munculnya pengusaha-pengusaha yang lebih maju, terjadi proses spesialisasi
produksi pada masing-masing UMKM dan kegiatan ekonominya saling terkait dan mendukung. Pola pengembangan satuan usaha berbasis klaster adalah suatu pengembangan investasi bagi kelompok usaha mikro, kecil, menengah berbasis klaster komoditas atau industri yang mengoptimalkan hubungan antar pengusaha dalam perluasan kesempatan kerja, pemanfaatan sumberdaya lokal, dan pemasaran. Usaha ini mengkaitkan antara input - proses - output dan pasar secara terangkai yang berbasis pada satu jenis komoditas (klaster komoditas) atau pada kelompok industri (klaster industri).
HASIL DAN PEMBAHASAN
a.
Analisis SWOT Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor
Analisis SWOT terhadap Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor dilakukan dengan cara melakukan scanning atau evaluasi terhadap faktor strategis internal dan eksternal. Yang dimaksud faktor internal adalah faktor-faktor strategis yang ada pada usaha ekonomi kreatif di kawasan Jatinangor dan sekitarnya, sedangkan faktor eksternal adalah faktor strategis di luar kawasan Jatinangor dan sekitarnya yang diidentifikasi dapat memberikan pengaruh baik positif (memberikan peluang maupun negatif (memberikan ancaman/hambatan). Berdasarkan evaluasi terhadap faktor-faktor strategis internal tersebut diperoleh gambaran mengenai kekuatan dan kelemahan yang dimiliki oleh Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor, sedangkan dari hasil analisis terhadap faktor eksternal diperoleh mengenai gambaran peluang dan ancaman potensial yang dihadapi Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor. Sejauhmana kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman tersebut lebih jelasnya dapat dilihat pada Matriks IFE dan EFE serta Matriks Internal-Eksternal di bawah ini:
90
Tabel Matriks IFE Usaha Ekonomi Kreatif Jatinangor Faktor Strategis
Bobot
Rating
Skor
Jumlah perajin/ketersedia an tenaga kerja
0,10
4
0,40
Produk kerajinan dapat dibuat di rumah-rumah penduduk dimaklunkan. Di Pamulihan dan Rancakalong terdapat +/- 5.000 perajin
Keterampilan teknis perajin
0,15
3
0,45
Para perajin dapat membuat produk lebih baik dari yang ditirunya
Pengalaman
0,05
3
0.15
Kerajinan sudah berlangsung turun temurun cukup lama
Saung Budaya Sumedang
0,05
3
0,15
Potensi untuk dijadikan show window
Kawasan perguruan tinggi
0,05
3
0,15
Program LPPM dapat disinergikan untuk Pusaka
Berbatasan dengan Bandung
0,10
3
0,30
Wisatawan yang ke Bandung diharapkan sampai ke Sumedang
Tidak ada kekhasan Sumedang
0,06
2
0,12
Tidak sejalan dengan visi Pusaka & Sumedang Puseur Budaya Sunda
Ketersediaan bahan baku
0,12
2
0,24
Kadang-kadang bahan baku langka
Kecukupan modal
0,10
2
0,20
Modal usaha para perajin lemah, sementara permintaan kadang berfluktuasi. Terdesak oleh kebutuhan barang dijual murah.
Manajemen usaha
0,07
2
0,14
Manajemen Usaha lemah
Umumnya produk yang ditawarkan produk sekunder & kurang fungsional
0,05
3
0,15
Produk-produk yang ditawarkan umumnya untuk hiasan dan souvenir wisata
Kelembagaan
0,10
1
0,10
Belum ada organisasi perajin
Internal
Keterangan
Kekuatan
Kelemahan
2,55
Tabel Matriks EFE Usaha Ekonomi Kreatif Jatinangor Faktor Strategis Eksternal Peluang Permintaan dari daerah wisata (Bali & Yogya) Permintaan dari eksportir/importer Pinjaman murah CSR
Bobot
Rating
Skor
Keterangan
0,12
3
0,26
Permintaan dari Yogya dan Bali sejauh ini masih terus ada
0,10
2
0,20
0,06
2
0,12
Program pemerintah Potensi obyek wisata Sumedang Undang-Undang RI no 20 th 2008, tentang UMKM Program penelitian dan pengabdian masyarakat Ancaman Kelangkaan bahan baku Situasi Indonesia kurang kondusif
0,06
2
0,12
0,10
2
0,20
0,03
2
0,06
0,03
2
0.06
Permintaan untuk pasar ekspor sejauh ini masih ada Setiap BUMN dan Usaha Besar harus menyisihkan dananya untuk CSR, al: berupa pinjaman usaha untuk UMK Banyak program pemerintah untuk pemberdayaan UMK Banyak potensi wisata yang belum dikelola dengan baik UU UMKM memberikan peluang kepada UMKM untuk berkembang Program LPPM dapat menjadi peluang untuk peningkatan SDM dan teknologi UMK
0,12
3
0,36
0,10
3
0,30
Persaingan global dalam industri wisata
0,05
4
0,20
Persaingan lokal dalam produk souvenir Belum berkembangnya tempat-tempat wisata di Sumedang
0,05
4
0,20
0,06
2
0,12
Infrastruktur ke tempat wisata belum memadai Daya beli masyarakat rendah
0,06
2
0,12
0,06
3
0,18
Bahan baku kadang-kadang tidak ada saat dibutuhkan Situasi Negara kurang kondusif mengurangi wisatawan yang dating Wisatawan punya pilihan berwisata. Jika di Negara lain lebih menarik mereka akan dating ke Negara lain Banyak pilihan produk souvenir tidak hanya dari Jatinangor Jika Sumedang jadi tujuan wisata diharapkan produkproduk kerajinan Jatinangor akan dapat dipasarkan di Sumedang Perlu perbaikan infrastruktur Tidak ada alokasi untuk produk sekunder
2,50
92
Gambar : Matriks Internal – Eksternal Usaha Ekonomi Kreatif Jatinangor Berdasarkan matriks di atas diketahui bahwa kekuatan potensial Usaha Ekonomi kreatif Jatinangor dan sekitarnya, adalah jumlah perajin yang cukup banyak, keterampilan teknis yang cukup baik dan lokasinya yang berbatasan dengan Bandung. Selain itu kawasan Jatinangor sebagai kawasan perguruan tinggi juga dianggap sebagai salah satu kekuatan meskipun bobotnya jauh lebih kecil dibandingkan misalnya dengan keterampilan teknis dan jumlah perajin. Potensi kekuatan berikutnya adalah Saung Budaya Sumedang yang belum dimanfaatkan secara optimal. Selain menunjukkan potensi kekuatan, masih ada beberapa kelemahan, antara lain (1) produk yang ditawarkan adalah produkproduk sekunder dan kurang fungsional, sehingga dalam keadaan daya beli masyarakat rendah maka pembelian terhadap produkproduk tersebut akan turun, karena pasar akan mengutamakan pemenuhan kebutuhan yang lebih pokok. (2) Sumedang belum menjadi tujuan wisata yang utama seperti misalnya Bali, Yogya ataupun Bandung, sehingga kunjungan wisatawan ke Sumedang masih relatif rendah. Sementara produk-produk kerajinan Jatinangor juga umumnya merupakan produk-produk souvenir yang merupakan bagian dari paket wisata, sehingga pasar potensialnya adalah
daerah-daerah wisata, seperti Bali dan Yogya juga ekspor ke manca Negara. Dengan belum berkembangnya Sumedang sebagai tujuan wisata, maka daerah Jatinangor hanya cocok menjadi sentra produksi, sedangkan untuk pemasaran harus keluar Jatinangor, (3) Masih dari aspek produk, model atau motif kerajinan Jatinangor pada umumnya meniru dari daerah-daerah lain, seperti Asmat, Dayak ataupun Aborijin dan Afrika, sangat kurang yang diangkat dari Budaya Sumedang atau Sunda. Dengan demikian tidak ada kekhasan Sumedang, dan brand Sumedangnya pun tidak muncul. (3) Kelemahan selanjutnya, adalah tidak adanya wadah bagi para perajin untuk mereka bersinergi melakukan tindakan bersama dalam mengatasi berbagai permasalahan usaha sehingga lebih efektif dan efisien. Wadah bagi para perajin juga diperlukan untuk meningkatkan posisi tawar mereka dalam menghadapi pihak-pihak eksternal. Dari berbagai faktor kekuatan dan kelemahan internal di atas, secara keseluruhan skor kondisi internal Kawasan Usaha Ekonomi Kreatif Jatinangor adalah 2,55 (sedang), berarti kekuatannya sedikit masih lebih tinggi dibandingkan dengan kelemahannya. Dari aspek eksternal dapat dilihat dari matrik EFE di atas bahwa antara lain menunjukkan, bahwa permintaan dari daerahdaerah wisata, khususnya dari Bali dan Yogya serta permintaan dari eksportir/importir masih cukup menarik. Selain peluang pasar terdapat juga peluang pembiayaan (kredit murah) dari CSR BUMN/perusahaan swasta besar. Juga peluang untuk meningkatkan teknologi, manajerial dan technical skill melalui program pelatihan, pendampingan yang dilakukan oleh pemerintah, CSR BUMN/Swasta dan perguruan tinggi melalui kegiatan penelitian dan pengabdian masyarakat. Jadi pada umumnya peluang yang dimiliki para pengusaha dan pengrajin yang ada di Kecamatan Jatinangor untuk meningkatkan produksi dan pemasarannya masih terbuka. Selanjutnya untuk ancaman terutama kelangkaan bahan baku, persaingan dan kondisi negara yang tidak kondusif dapat mengakibatkan kurangnya turis yang datang ke Indonesia. Secara keseluruhan untuk faktor strategis eksternal ini skornya adalah 2,50 (sedang). Ini menunjukkan bahwa peluang masih ada walaupun diimbangi oleh hambatan/ancaman. Peluang yang ditawarkan para agen atau bandar yang mau menampung hasil produksi para pengusaha dan pengrajin ini tampaknya cukup menarik. Namun demikian, bila dikaji lebih dalam, khususnya bagi pengrajin (home industri) atau usaha kecil posisinya sangat lemah, sebab harga, jenis produk, corak, maupun warna 94
ditentukan oleh agen atau bandar. Demikian juga kekhasan atau keunikan yang dimiliki produk pengusaha atau pengrajin Jatinangor menjadi tidak akan dikenal, karena agen memberikan merek sendiri pada hasil produksi para pengusaha / pengrajin tersebut. Jadi pelaku usaha kecil dan home industri, ibaratnya hanya berperan sebagai buruh yang diupah oleh agen atau bandar. Posisi tawar para perajin ini sangat rendah, hal ini karena adanya kelemahan dari para perajin sendiri, seperti kelemahan dalam modal dan kelemahan untuk dapat mencari alternatif pasar yang lain.
b. Model Pengembangan Ekonomi Kreatif Jatinangor Karakteristik Model Untuk dapat memperbaiki kelemahan, memanfaatkan peluang dan mengatasi ancamannya dengan kekuatan yang dimiliki maka perlu disusun model pengembangan usaha ekonomi kreatif yang efektif. Model yang dikembangkan sebaiknya memiliki karakteristik sebagai berikut: • Berbasis Kreativitas, Budaya dan Teknologi. Jenis usaha yang akan dikembangkan adalah usaha yang mengedepankan kreativitas tinggi, berbasis budaya dan teknologi baik dalam proses produksi, pengemasan maupun pemasaran. • Adanya Sinergitas Antar Program. Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif tidak berdiri sendiri tetapi sinergi dengan program yang sudah ada. Bahkan lebih bersifat memberikan penguatan terhadap program dan potensi yang sudah ada • Adanya Pengayaan Seni Budaya. Memberikan penguatan pentingnya pelarutan nilai-nilai Sunda yang relevan dalam berwirausaha, serta mengkolaborasikan praktek usaha dengan seni dan tradisi • Penguatan Kapasitas. Diarahkan pada peningkatan kapasitas para pelaku usaha (SDM), baik menyangkut kapasitas manajerial maupun teknis produksi dan pengolahan, desain dan teknologi serta pemasaran, • Permodalan Ditopang Mekanisme Perbankan dan CSR. Penyaluran permodalan sepenuhnya mengikuti prosedur dan mekanisme perbankan, serta dengan mendayagunakan potensi CSR
• Stimulatif dan Kompetitif. Ada bantuan yang sifatnya stimulatif untuk perbaikan infrastruktur serta penyediaan sarana dan prasarana usaha. Serta ada insentif bagi pelaku usaha maupun komunitas usaha yang dapat memperlihatkan prestasi usaha optimal • Pendekatan Klaster. Jenis usaha yang dikembangkan diprioritaskan pada usaha satu jenis atau usaha turunan/pengembangan lainnya dalam sebuah kawasan tertentu.
Pendekatan Pendekatan yang digunakan untuk pengembangan ekonomi kreatif di Jatinangor ini pada dasarnya pendekatan klaster. Dalam klaster ini anggotanya terdiri dari UMKM produsen produk kerajinan, Usaha Besar (Eksportir/Distributor/Retail), pemasok bahan baku dan bahan penolong, lembaga keuangan, CSR BUMN/Usaha Besar Swasta, Perguruan Tinggi/Lembaga Riset, BDS-P dan Budayawan. Jaringan klaster dapat melibatkan beberapa desa, kecamatan, daerah, provinsi atau negara. Dengan kecanggihan teknologi informasi dan transportasi sekarang ini, masalah kedekatan jarak menjadi tidak penting lagi. Untuk lebih jelasnya stakeholders dan saling keterkaitan antar stakeholders dapat digambarkan berikut di bawah ini:
Gambar . Pengembangan Klaster Industri Kreatif 96
Proses dan Pembagian Peran Proses pengembangan ekonomi kreatif ini antara lain meliputi: komitmen dan program pengembangan usaha ekonomi kreatif oleh Pemda Sumedang, pembentukan BDS-P, seleksi pengusaha ekonomi kreatif potensial sebagai pelopor pengembangan usaha ekonomi kreatif, penguatan UMKM potensial sesuai kebutuhan dan infrastruktur klaster yang diperlukan (dapat meliputi : social & cultural engineering, management engineering, technical engineering, economic engineering, civil engineering). Adapun pembagian peran untuk setiap stakeholder dalam penguatan UMKM adalah sebagai berikut pada table di bawah ini: Tabel : Pembagian Peran Dalam Rekayasa Penguatan UMKM Ekonomi Kreatif No.
Stakeholder (Pemeran)
Jenis Kegiatan
1
Pemda, Budayawan/ Seniman/Perguruan Tinggi
Diseminasi nilai-nilai budaya Sunda, Pengembangan even seni dan budaya
2
BDS, Perguruan Tinggi, BUMN
Penguatan kapasitas manajerial (Pelatihan, pendampingan, dll)
3
BDS, Perguruan Tinggi, Pemda, Pengusaha
Penguatan teknis Usaha, penguatan akses bahan baku, akses pasar, teknologi dan informasi
4
Pemda, BI, Perbankan, BDS
Intermediasi Perbankan dan kebijakan ekonomi yang kondusif
5
Pemda, Pengusaha, BUMN
Penyediaan/perbaikan infrastruktur industri kreatif
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan Mengacu pada hasil dan pembahasan mengenai pengembangan ekonomi kreatif, dapat disimpulkan sebagai berikut ; 1) Produk-produk kerajinan di Kecamatan Jatinangor, merupakan produk seni yang berfungsi sebagai hiasan atau sebagai souvenir orang-orang yang berwisata ke suatu daerah. Oleh karena Jatinangor dan Sumedang belum menjadi tujuan wisata
yang utama maka wisatawan yang datang ke Sumedang masih relatif sedikit, sehingga pembelian langsung oleh konsumen akhir untuk produk-produk kerajinan relatif masih kecil. Maka dengan demikian produk-produk kerajinan Jatinangor ini lebih banyak dijual di Bali, Yogya atau untuk pasar ekspor, sedangkan di Jatinangor hanya berfungsi sebagai tempat produksi untuk memenuhi pesanan para pedagang dari luar Jatinangor, seperti Bali dan Yogya. 2) Hasil analisis SWOT yang dilakukan terhadap keberadaan Usaha Ekonomi Kreatif di Kawasan Jatinangor, menunjukkan skor keseluruhan faktor internal adalah 2,55 dan faktor eksternal 2,50 jadi baik faktor internal maupun eksternal ada pada kategori sedang, yaitu pada Internal-External matrix ada pada posisi kuadran V. Hal ini menunjukkan bahwa usaha ekonomi kreatif di kawasan Jatinangor memiliki peluang untuk bertahan, bahkan berkembang.
Rekomendasi Sehubungan dengan hal di atas maka perlu dilakukan upaya-upaya sebagai berikut : 1) Pengembangan Usaha Ekonomi Kreatif dikembangkan dengan model klaster industri kreatif. Dalam klaster tersebut terdapat keterkaitan antara industri inti (industri kerajinan) dengan industri pendukungnya, yaitu industri penyedia input dan industri jasa termasuk industri wisata yang menyerap atau memasarkan hasil industri inti. Selanjutnya harus dikembangkan pola-pola kemitraan yang sinergis, yaitu : pola subkontrak, pola dagang, dan pola inti plasma. Di dalam klaster ini pula dikembangkan kolaborasi antara pariwisata, seni budaya dan kerajinan. Ruang lingkup wilayah klaster bisa mencakup daerah-daerah lain di Sumedang, bahkan di luar Sumedang seperti Yogya dan Bali. 2) Perlunya kerjasama yang sinergis dan pembagian peran sesuai dengan kewenangan dan kompetensi masing-masing. 3) Pemerintah menjalankan program pengembangan iklim usaha yang kondusif secara konsisten dan konsekuen, membangun infrastruktur dan mempromosikan industri kreatif. 4) Perlu dibangun gapura atau bangunan bentuk lainnya sebagai ciri Kawasan Usaha Ekonomi Kreatif Jatinangor. 98
5) Saung Budaya Sumedang dapat dipertimbangkan untuk dijadikan outlet, pusat informasi dan promosi produk-produk kerajinan Jatinangor sekaligus sebagai kantor BDS. Ke depan bahkan bukan hanya produk kerajinan Jatinangor saja, tapi untuk seluruh produk-produk UMKM bidang ekonomi kreatif Sumedang dapat ditampilkan/dipasarkan di sini. Tempat ini juga sekaligus dapat dikembangkan sebagai taman mini (miniaturnya Daerah Sunda), tempat eksposnya budaya Sunda, yang meliputi seni budaya, makanan tradisional, pakaian tradisional, upacara adat, dan berbagai aspek kehidupan orang Sunda. Sehingga saung budaya sekaligus akan menjadi tujuan wisata budaya dan pendidikan Kasundaan. Untuk mencapai visi tersebut lokasi yang ada sekarang perlu diperluas dan ditata kembali. 6) Pilihan lokasi yang lain untuk outlet Pusaka dapat dipertimbangkan adalah Rest Area di jalur Tol Cisumdawu yang akan dibangun. Konsepnya adalah Rest Area, namun produkproduk yang ditampilkan pada rest area tersebut adalah produkproduk UMK Kreatif Sumedang. Bentuk bangunan, interior, peralatan, penataan taman, pakaian dan asesoris petugas, tata cara pelayanan dan berbagai hal yang ada di rest area tersebut diupayakan harus mencerminkan Budaya Sunda. Pada rest area ini pun dapat ditampilkan misalnya pertunjukan Seni Budaya Sunda. 7) Perbankan dan lembaga pembiayaan lainnya serta CSR BUMN, mendukung melalui penyediaan skim pembiayaan yang cocok untuk UMK Bidang ekonomi kreatif. 8) Perguruan tinggi, cendekiawan dan budayawan mendukung dalam pengembangan teknologi, inovasi, pendidikan dan pendampingan. Inovasi tersebut antara lain untuk pengembangan model/desain yang diharapkan dapat digali dari Budaya Sunda, sehingga dapat dikembangkan ciri khas atau brand image “kasumedangan atau kasundaan” dengan tetap mempertimbangkan aspek pemasaran. 9) Pengelolaan pelaksanaan program-program peningkatan SDM UMKM bidang usaha ekonomi dan peningkatan akses ke jaringan usaha melalui pelatihan dan pendampingan dapat dilakukan oleh BDS.
DAFTAR PUSTAKA
Drucker, P, 1995. The Discipline of Innovation, Harvard Business Review, November-December. Freddy Rangkuti, 2000, Analisis SWOT; Teknik Membedah Kasus Bisnis. Gramedia Pustaka Utama Hill Elizabeth Marguerite. 2003, The Development of an Instrument to Measure Intrapreneurship; Entrepreneurship Within the Corporate Setting. Rhodes University Husein Umar, 2010, Strategic Management in Action, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Jhon Hawkins. 2001, The Creative Economy, How People Make Money From Idea. Penguin Books Mauled Maelyana, 2010. Menggerakkan Ekonomi Kreatif antara Tuntutan dan Kebutuhan. PT. Rajagrafinda Persada, Jakarta Porter, E. Michael. 1980. Competitive Strategy. New York; The Free Press Semiloka Pemerintahan Wirausaha. 2006 Suliyanto. 2005, Metode Riset Bisnis. Penerbit Andi Undang-undang Perkoperasian dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Republik Indonesia, 2008. Fokus Media, Bandung Zimmerer, W. Thomas, M. Scarborough. 2005, Essential of Entrepreneurship and Small Business Management, Gramedia Jakarta.
100
KIAT-KIAT MENCEGAH TIMBULNYA KREDIT BERMASALAH DI MIKRO BANKING Oleh : Heri Nugraha Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Produksi dan Kepala Balai Konsultasi dan Pengembangan Kredit KUKM Email :
[email protected] Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 ABSTRAK Setiap bank harus berusaha keras untuk mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah. Hal itu dapat mereka lakukan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit yang sehat. Penerapan asas manajemen kredit yang sehat itu mencakup penyusunan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit, analisis kredit yang profesional, meningkatkan mutu sumber daya manusia, pengawasan mutu kredit, penanganan kredit bermasalah secara profesional, penyusunan dokumen dan administrasi kredit yang sehat. Agar dapat dikategorikan sehat, kebijaksanaan pokok penyaluran kredit minimum harus mencakup ketentuan tentang organisasi perkreditan, kebijaksanaan persetujuan kredit, pemberian kredit kepada debitur yang terkait dengan bank dan kriteria kredit berisiko. Kebijaksanaan kredit yang sehat tidak dapat berjalan efektif tanpa didukung oleh tenaga kerja yang andal. Oleh karena itu, di samping menyusun kebijaksanaan kredit yang sehat, agar dapat mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah, bank wajib menyelenggarakan program pengembangan sumber daya manusia secara terus menerus. Di samping itu, mereka harus mampu menerapkan program pengawasan kredit yang efektif, serta mempunyai dokumen dan administrasi kredit yang andal. Kata kunci : Manajemen, Kredit, Bank
PENDAHULUAN Dalam kenyataan bisnis perbankan sehari-hari, kasus kredit bermasalah tidak dapat dihindari secara mutlak, namun setiap bank harus tetap berusaha untuk mencegah terulangnya kasus itu. Setiap karyawan bank yang jabatannya berkaitan dengan kegiatan perkreditan harus menyadari besarnya tanggung jawab untuk menekan sekecil mungkin risiko munculnya kasus kredit bermasalah. Dengan perkataan lain, walaupun kegiatan perkreditan memiliki sasaran untuk mengoptimalkan pendapatan bank, namun juga harus dapat mengendalikan dan meminimalkan risiko terjadinya kasus kredit bermasalah. Upaya mengendalikan dan meminimalkan resiko timbulnya kredit bermasalah dapat dilaksanakan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit yang sehat yang mencerminkan secara tegas penerapan prinsip kehati-hatian (H. Moh. Tjoekam, 1999 :13). Pokok-pokok penerapan asas manajemen kredit yang sehat dimaksud dapat dijelaskan sebagai berikut:
KEBIJAKAN POKOK PENYALURAN KREDIT YANG SEHAT Kebijaksanaan pokok penyaluran kredit setiap bank harus dinyatakan secara tertulis. Dengan demikian, setiap pejabat yang berkaitan dengan penyaluran kredit, mempunyai pedoman yang dapat dipergunakan sebagai pegangan dalam melaksanakan tugasnya. Kebijaksanaan pokok perkreditan tersebut harus jelas sehingga mudah dimengerti, ringkas tetapi padat dan memberi peluang untuk ditinjau kembali sesuai dengan perkembangan situasi dan kondisi bisnis. Walaupun kebijaksanaan kredit tiap bank tidak sama dengan bank yang lain, namun ketentuan utama yang dapat menjamin kesehatan mutu kredit, harus dimasukan dalam kebijaksanaan tersebut. Ketentuan utama tersebut adalah sebagai berikut: 1. Organisasi Perkreditan Agar dapat menerapkan asas manajemen kredit yang sehat, bank harus mempunyai organisasi yang sehat pula. Oleh karena itu, dalam kebijaksanaan penyaluran kredit, wajib dicantumkan hal-hal yang bersangkutan dengan organisasi perkreditan. Tugas pokok, wewenang dan tanggung jawab dari dewan komisaris, dewan direksi dan karyawan lain yang berkaitan 102
dengan penyaluran kredit, harus dinyatakan dengan tegas dan jelas. Untuk membantu dewan direksi dalam pengambilan keputusan pemberian kredit dengan jumlah tertentu, pengawasan perkembangan mutu kredit, penanganan kredit bermasalah maupun dalam menentukan langkah penanganannya, bank dapat membentuk komite kredit. Apabila bank menetapkan untuk membentuk komite kredit, dalam kebijaksanaan pokok perkreditan bank yang bersangkutan perlu dicantumkan ketentuan tentang jumlah anggota komite, siapa yang menjadi anggota komite, posisi komite kredit dalam bagan organisasi bank, serta tugas pokok, wewenang dan tanggung jawabnya. 2. Kebijaksanaan Persetujuan dan Pencairan Kredit Persetujuan pemberian kredit dapat dikatakan sehat bilamana diberikan berdasarkan hasil dari penilaian total atas permintaan kredit dan atas diri debitur. Yang dimaksud dengan penilaian total adalah penilaian atas kelayakan permintaan kredit yang sedang diajukan dan mutu kredit yang pernah diberikan kepada calon debitur. Dengan demikian, apabila calon debitur pernah atau sedang menikmati fasilitas kredit dari bank kreditur, maka fokus penelitian analisis kredit tidak terbatas hanya pada kelayakan permintaan kredit yang sedang diajukan, melainkan juga pada prestasi calon debitur dalam memenuhi isi perjanjian kredit pada masa yang lalu. Apabila calon debitur adalah anggota dari satu kelompok perusahaan tertentu, ada kemungkinan anggota yang lain dari kelompok perusahaan tersebut pernah atau sedang menikmati pemberian kredit dari bank yang bersangkutan. Dalam keadaan seperti itu, sebelum memutuskan untuk menyetujui pemberian kredit baru, bank juga wajib meneliti kesehatan pelaksanaan perjanjian kredit debitur lama, yang merupakan anggota kelompok perusahaan itu. Demikian pula hal ini berlaku jika calon debitur tersebut merupakan anggota keluarga yang pernah menikmati kredit dari bank. Dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit yang sehat, di dalamnya juga dinyatakan secara tertulis perihal jenjang batasbatas wewenang para pejabat bank yang terkait, dalam memberikan persetujuan pemberian kredit kepada calon debitur. Sudah barang tentu jenjang batas wewenang tersebut di atas ditentukan berdasarkan bahan pertimbangan atau kriteria tertentu.
Sebagai catatan dapat dinyatakan bahwa oleh jenjang apapun persetujuan pemberian kredit itu diberikan, pengambilan keputusan dalam menyetujui pemberian kredit harus dapat dipertanggungjawabkan kepada bank. Disamping ketentuan tentang persetujuan pemberian kredit, dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit wajib dicantumkan juga ketentuan tentang persetujuan pencairan kredit yang telah disetujui untuk diberikan kepada debitur. Pada dasamya bank, baru dapat menyetujui debitur menarik kredit yang telah disediakan, apabila debitur dapat memenuhi syarat-syarat tentang pencairan kredit yang telah disepakati dalam perjanjian kredit. Di samping itu, kebanyakan bank akan menyetujui debitur mencairkan kredit, apabila berbagai macam aspek yuridis yang dapat melindungi bank (misalnya pengikatan atas harta yang dijaminkan) telah dipenuhi. 3. Batas Maksimum Pemberian Kredit Debitur bank dapat dibedakan menjadi dua golongan, yaitu debitur biasa dan debitur yang mempunyai kaitan khusus dengan bank. Debitur biasa dapat dibagi lagi menjadi debitur mikro, kecil, menengah dan besar. Sedangkan debitur yang terkait adalah debitur yang mempunyai hubungan khusus dengan bank. Untuk menghindari terjadinya konsentrasi kredit pada satu atau golongan debitur sehingga dapat terjadi konsentrasi risiko kredit pada para debitur tersebut, jumlah Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) yang dapat diberikan kepada satu atau sekelompok debitur harus dibatasi. Pengaturan BMPK kepada debitur tadi harus dinyatakan dengan tertulis, tegas dan jelas dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit. BMPK yang dapat diberikan oleh bank kepada debitur biasa dan debitur yang terkait dengan bank tadi diatur dalam pasal 11 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998. 4. Kriteria Tentang Kredit Berisiko Tinggi Untuk mencegah timbulnya kasus kredit bermasalah bank harus berusaha keras untuk menghindari kredit yang berisiko tinggi. Agar para pejabat bank mempunyai pegangan tentang kredit yang harus dihindari, dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit bank harus mencantumkan dengan jelas kriteria kredit 104
yang dikategorikan sebagai kredit berisiko tinggi. Sebagai pedoman umum dapat diutarakan bahwa suatu kredit dapat dikategorikan berisiko tinggi bilamana termasuk dalam salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut: a. calon debitur akan mempergunakan kredit yang mereka minta untuk tujuan spekulasi, misalnya membeli tanah dengan harapan akan memperoleh capital gain di kemudian hari; b. calon debitur tidak dapat memberikan data dan informasi pokok tentang perusahaan, bidang usaha dan kondisi keuangannya; c. calon debitur akan mempergunakan kredit yang diminta untuk mendanai bidang usaha atau proyek yang memerlukan keahlian khusus yang tidak dikuasai bank; d. calon debitur akan mempergunakan kredit yang diminta untuk melunasi kredit bermasalah pada bank lain; ANALISIS KREDIT BERMASALAH
SEBAGAI
PENANGKAL
KREDIT
Untuk memperoleh keyakinan bahwa calon debitur mampu dan mau melunasi kreditnya, sebelum melakukan persetujuan pemberian kredit bank harus telah melakukan analisis kredit, baik secara kualitatif maupun kuantitatif atas data usaha perusahaan dan calon debitur. Analisis atas data usaha perusahaan dan calon debitur dilakukan dengan menggunakan 5C principles, 7P principles, 3R principles, dan study kelayakan (H. Moh. Tjoekam 1999 : 94-). Ketiga prinsip ini memiliki persamaan, hanya saja yang terdapat dalam prinsip 3R diperinci oleh 5C, dan yang terdapat dalam 5C diperinci lebih lanjut dalam prinsip 7P, disamping itu prinsip 7P selain lebih terinci juga jangkauan analisisnya lebih luas. Sasaran terakhir penerapan kedua prinsip diatas adalah diperolehnya informasi mengenai itikad baik (willingness to pay) dan kemampuan membayar (ability to pay) calon debitur untuk melunasi pinjaman pokok kredit beserta bunganya (Dahlan Siamat 1995 : 99), sehingga pihak bank memperoleh keyakinan terlebih dahulu bahwa kredit yang akan disalurkan benar-benar akan kembali sesuai dengan yang diperjanjikan (Kasmir 2000 : 91-95) a. Prinsip 5C : Charakter, Capacity, Capital, Collateral, Condition b. Prinsip 7P : Personality, Party, Perpose, Prospect, Payment, Profitability, Protection c. Prinsip 3R : Returns, Repayment, Risk Bearing Ability
STUDI KELAYAKAN KREDIT Analisis kredit dapat pula dilakukan dengan analisis study kelayakan, terutama untuk kredit dalam jumlah yang relatif besar. Adapun analisis kredit dengan study kelayakan meliputi hal-hal sebagai berikut:
a. Aspek Hukum b. Aspek Pasar dan Pemasaran c. Aspek Keuangan d. Aspek operasi/teknis e. Aspek manajemen f. Aspek ekonomi/sosial g. Aspek AMDAL PRINSIP LAINNYA Selain prinsip-prinsip diatas, beberapa prinsip lain dalam analisis kredit yang berhubungan dengan debitur adalah sebagai berikut: a. Prinsip Matching b. Prinsip Kesamaan Valuta c. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Modal d. Prinsip Perbandingan antara Pinjaman dengan Aset Rasio Rendah Sedang Tinggi
Prosentase 6 – 20 20 – 40 di atas 40
(Munir Fuady 1996 : 27 – 28) Seberapa dalam penelitian terhadap prinsip-prinsip pemberian dan aspek-aspek study kelayakan kredit tersebut, baik secara sendirisendiri maupun secara keseluruhan, akan ditentukan oleh jumlah kredit yang akan diberikan, jangka waktu kredit, jenis dan jumlah nilai jaminan kredit yang akan disediakan oleh calon debitur, reputasi calon debitur dan perusahaannya di masyarakat dan hubungan calon debitur dengan bank (Siswanto Sutoyo 1997 : 69 - 70). Apabila kredit 106
yang akan diberikan dalam jumlah yang besar, jangka waktu lama, jenis dan jumlah jaminan kredit yang disediakan calon debitur terbatas, reputasi calon debitur dan perusahaannya tidak atau kurang dikenal masyarakat dan hubungan bank dengan debitur baru akan terjadi, semakin semakin besar risiko yang akan ditanggung oleh bank, dengan demikian semakin mendalam analisis kredit akan dilakukan. MENINGKATKAN MUTU SUMBER DAYA MANUSIA Penerapan kebijaksanaan penyaluran kredit yang sehat, tidak akan berhasil seperti yang diharapkan apabila pengetahuan, keterampilan dan pengalaman para pejabat bank yang bersangkutan dalam penyaluran kredit sangat minim. Bagi perusahaan yang bergerak di bidang jasa seperti bank, sumber daya manusia merupakan aset operasional perusahaan seperti halnya dengan mesin dan peralatan bagi perusahaan industri manufaktur. Mesin dan peralatan industri manufaktur menghasilkan produk barang seperti kulkas, buku, mobil dan lainnya. Sedangkan sumber daya manusia industri perbankan menghasilkan produk jasa seperti kredit, tabungan dan deposito serta produk jasa bank lain. Seberapa besar kuantitas dan kualitas kredit, tabungan dan deposito serta produk bank lain yang dihasilkan akan dipengaruhi oleh tinggi rendahnya mutu sumber daya manusia bank. Dari uraian singkat di atas, tampak bahwa setiap bank mempunyai kewajiban untuk meningkatkan mutu sumber daya manusianya agar produk yang dihasilkan bank bukan hanya kuantitasnya saja yang meningkat melainkan juga kualitasnya. Peningkatan mutu sumber daya manusia perbankan, antara lain dengan menyelenggarakan program pelatihan (training) secara berkesinambungan dan diberikan secara bertingkat, yaitu tingkat pengenalan, tingkat penyegaran atau lanjutan sampai tingkat yang paling tinggi. Pada tingkat pengenalan diberikan misalnya kepada account officer baru, sedangkan pelatihan tingkat lanjutan diberikan kepada para staf lama yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit. Sedangkan untuk para pejabat diberikan pelatihan dengan tingkat yang lebih tinggi lagi. Demikian seterusnya, semakin tinggi jabatan seseorang semakin tinggi pula tingkat pelatihan yang diberikan. Sedangkan bentuk program pelatihan lanjutan lainnya, baik yang bersangkutan dengan peserta, materi pelatihan, tempat
maupun frekuensi penyelenggaraannya, disusun sesuai dengan kebutuhan masing-masing bank. Untuk itu, sebelum menyelenggarakan program pelatihan, seyogyanya bank yang bersangkutan melakukan training needs survey, yaitu penelitian tentang pengetahuan perbankan dan perkreditan yang oleh sebagian besar eksekutif dan staf bank dirasakan kurang, dan karenanya perlu ditingkatkan. Training needs survey dapat dilakukan oleh bank sendiri, atau mengundang konsultan pendidikan perbankan untuk melakukannya. PENGAWASAN KREDIT Setidaknya ada dua tujuan utama pengawasan kredit. Pertama, pengawasan yang bertujuan mencegah sedini mungkin timbulnya praktek pemberian kredit yang tidak sehat oleh pejabat dan staf bank. Karena dalam sebagian besar kasus, praktek pemberian kredit yang tidak sehat adalah hasil kolusi antara debitur dengan para pejabat atau staf bank. Suatu bank yang dikelola secara profesional akan berusaha menjauhkan diri dari sikap berprasangka buruk terhadap karyawannya, namun mau tidak mau semua pejabat dan staf bank yang tugasnya berkaitan dengan penyaluran kredit akan menjadi salah satu obyek utama pengawasan kredit. Kedua, bertujuan menjaga agar mutu kredit yang diberikan tidak merosot sehingga dapat merugikan bank. Dengan demikian obyek utama kedua pengawasan kredit adalah para debitur, termasuk debitur yang terkait dengan bank dan debitur besar. Semakin besar jumlah kredit yang diberikan kepada debitur atau sekelompok debitur, harus semakin intensif pengawasan kredit dilakukan. Ruang lingkup program pengawasan kredit tersebut di atas, minimal harus mencakup hal-hal yang berikut: 1) Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan perbankan yang berlaku. 2) Pemantauan terhadap perkembangan mutu kredit yang telah diberikan melalui pemantauan terhadap perkembangan kegiatan usaha debitur. 3) Pemantauan tersebut dilakukan baik secara langsung dengan peninjauan di lapangan maupun secara tidak 108
langsung, yaitu dengan mempelajari laporan kegiatan usaha dan kondisi keuangan yang disampaikan oleh debitur secara periodik kepada bank. 4) Pengawasan terhadap setiap kredit yang akan diberikan kepada debitur yang terkait dengan bank dan debitur besar tertentu. Apakah pemberian kredit tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang digariskan dalam kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan ketentuan yang digariskan oleh ketentuan perbankan. 5) Memantau gejala awal kredit bermasalah dari para debitur yang kemampuan dan kemauannya melunasi kredit mulai diragukan. 6) Mengevaluasi apakah penilaian terhadap tingkat kolektibilitas kredit yang telah disalurkan telah sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh bank sentral. 7) Pembinaan terhadap debitur bermasalah yang masih ada harapan untuk diselamatkan. 8) Memantau pelaksanaan dokumentasi dan administrasi kredit yang telah disalurkan, dan perkembangan cadangan penghapusan kredit. Untuk menunjang keberhasilan program pengawasan kredit, bank harus mempunyai sistem pengendalian intern yang cukup memadai. Sistem pengendalian intern kredit tersebut harus dapat diterapkan dalam semua tahap proses penyaluran kredit, mulai dari saat permintaan kredit diajukan oleh debitur sampai saat kredit dibayar lunas. Sistem pengendalian intern harus memberikan peluang kepada bank untuk melakukan pengawasan ganda, terutama pada tahap-tahap penyaluran kredit yang mengandung kerawanan penyalahgunaan oleh semua pihak yang terkait dalam pemberian kredit. Sistem pengendalian intern juga harus memberikan kemungkinan bank untuk mendeteksi sedini mungkin terjadinya pelanggaran atas kebijaksanaan pokok penyaluran kredit dan prosedur pelaksanaan pemberian kredit. Perlu juga dipahami bahwa pengawasan adalah fungsi manajemen yang terpisah dari fungsi manajemen operasional. Fungsi pengawasan dan operasional tidak dapat dirangkap oleh satu orang atau satu bagian. Penggabungan kedua fungsi manajemen yang berbeda itu akan menimbulkan kerancuan dan memberi peluang bagi para pejabat yang tidak kuat imannya untuk melakukan tindak kolusi dan korupsi. Oleh karena itu, merupakan prinsip yang
tak dapat ditawar bahwa kedua fungsi manajemen tersebut harus dipegang oleh pejabat atau bagian yang berbeda. Dalam kaitannya dengan penerapan prinsip ini dalam organisasi bank, dewan direksi wajib mengangkat pejabat tertentu atau membentuk bagian tersendiri yang secara khusus diserahi tugas dan tanggung jawab pengawasan kredit. Akan tetapi, walaupun pejabat atau bagian pengawasan tersebut secara organisatoris mempunyai tugas dan tanggung jawab yang terpisah dari bagian operasional, dalam melakukan tugasnya harus tetap memelihara kerja sama yang serasi dengan bagian kredit dan pemasaran serta para stafnya. Secara periodik, bagian pengawasan kredit menyampaikan laporan tentang mutu kredit yang disalurkan secara keseluruhan kepada dewan direksi. Apabila terjadi penurunan mutu portofolio kredit-kredit tertentu, bagian pengawasan harus menyampaikan sebab-sebab terjadinya penurunan mutu portofolio kredit tersebut, serta mengajukan saran tentang tindakan apa yang harus diambil oleh dewan direksi. Apabila terdapat gejala tentang adanya pemberian kredit yang menyimpang dari ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit atau ketentuan perbankan yang berlaku, bagian pengawasan kredit juga harus berani menyampaikan pendapatnya. bahkan setiap saat terjadi penyimpangan atau pelanggaran atas ketentuan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit atau ketentuan perbankan yang berlaku oleh pejabat dan staf bank, bagian pengawasan kredit harus melaporkannya kepada dewan direksi. Selanjutnya, secara periodik bagian ini menyampaikan laporan tentang jumlah tunggakan bunga dari para debitur bermasalah dan dalam laporan tersebut, bagian pengawasan kredit wajib mencantumkan saran perbaikan atau tindakan korektif yang perlu diambil oleh dewan direksi.
DOKUMENTASI DAN ADMINISTRASI KREDIT YANG SEHAT Dokumen dan administrasi kredit merupakan salah satu bahan masukan penting bagi bank untuk melakukan pengawasan kredit. Oleh karena itu, agar bank dapat melakukan pengawasan kredit secara efektif mereka harus mengelola dokumentasi dan administrasi kredit yang sehat Disamping harus memiliki satu arsip dokumen kredit yang lengkap dan absah, setiap portofolio kredit harus diadministrasikan secara benar, tertib, lengkap dan akurat, sehingga disamping dapat 110
dipergunakan sebagai bahan masukan dalam pengambilan keputusan yang bersangkutan dengan debitur dan kredit, juga mengandung unsur pengendalian intern. Seperti halnya bagian pengawasan kredit, agar dapat berjalan secara efektif, kegiatan dokumentasi dan administrasi kredit harus dikerjakan oleh satu unit atau bagian tersendiri.
KESIMPULAN Setiap bank harus berusaha keras untuk mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah. Hal itu dapat mereka lakukan dengan jalan menerapkan asas manajemen kredit yang sehat. Penerapan asas manajemen kredit yang sehat itu mencakup penyusunan kebijaksanaan pokok penyaluran kredit, analisis kredit yang profesional, meningkatkan mutu sumber daya manusia, pengawasan mutu kredit, penanganan kredit bermasalah secara profesional, penyusunan dokumen dan administrasi kredit yang sehat. Agar dapat dikategorikan sehat, kebijaksanaan pokok penyaluran kredit minimum harus mencakup ketentuan tentang organisasi perkreditan, kebijaksanaan persetujuan kredit, pemberian kredit kepada debitur yang terkait dengan bank dan kriteria kredit berisiko. Kebijaksanaan kredit yang sehat tidak dapat berjalan efektif tanpa didukung oleh tenaga kerja yang andal. Oleh karena itu, di samping menyusun kebijaksanaan kredit yang sehat, agar dapat mencegah terulangnya kasus kredit bermasalah, bank wajib menyelenggarakan program pengembangan sumber daya manusia secara terus menerus. Di samping itu, mereka harus mampu menerapkan program pengawasan kredit yang efektif, serta mempunyai dokumen dan administrasi kredit yang andal.
DAFTAR PUSTAKA
Dahlan Siamat, Manajemen Bank Umum, Intermedia, Jakarta 1995 Edy Putra The Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta 1989 Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit; Suatu Tinjauan Yuridis, Djambatan, Jakarta 1995 H. Moh. Tjoekam, Perkreditan Bisnis Inti Bank Komersial, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta 1999 Kasmir, Manajemen Perbankan, Raja Grafindo, Jakarta 2000. Lukman Dendawijaya, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta 2000 M. Bahsan, Penilaian Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Rejeki Agung, Jakarta 2002 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Citra Aditya Bakti, Bandung 1996 Siswanto Sutoyo, Menangani Kredit Bermasalah, Gramedia Jakarta 1997 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UndangUndang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta 2002
112
TELAAH TERHADAP SUBSTANSI PP 9 TAHUN 1995 DALAM UPAYA MENCIPTAKAN KESETARAAN DAN KEMITRAAN KOPERASI PENYELENGGARA KEGIATAN USAHA SIMPAN PINJAM DENGAN PELAKU EKONOMI LAINNYA Oleh : Yuanita Indriani Dosen Institut Manajemen Koperasi Indonesia pada Program Studi Manajemen Konsentrasi Manajemen Sumber Daya Manusia Email :
[email protected] Kampus Ikopin, Kawasan Pendidikan Tinggi Jatinangor Jalan Raya Bandung Sumedang KM 20,5 Jawa Barat 40600 ABSTRAK Kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi telah diselenggarakan dengan sangat luas dan mengalami kemajuan yang sangat pesat, namun pada kenyataannya kebijakan yang memayungi keberadaan koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam belum menjamin kesetaraan Koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya, sehingga kemitraan koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya tidak berjalan optimal. Untuk itu diperlukan penyempurnaan terhadap Peraturan Pemerintah nomor 9 tahun 1995 yang mengatur kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi. KATA KUNCI PP 9 tahun 1995; Koperasi Simpan Pinjam (KSP); Unit Simpan Pinjam (USP) Koperasi Kesetaraan; Kemitraan.
LATAR BELAKANG Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian, mengamanatkan bahwa kedudukan koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat, dan dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dan USP Koperasi dan Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam lainnya (Koperasi Kredit, KJKS dan UJKS) ditempatkan sebagai sarana penyedia dan pelayanan kebutuhan dana bagi anggotanya, calon anggota, koperasi lain dan anggotanya. KSP dan USP Koperasi telah berkembang dengan pesat, hingga saat ini jumlahnya mencapai lebih dari 36.315 unit KSP dan USP Koperasi dengan total pemberian pinjaman sebesar Rp 4,2 triliun, yang melayani sekitar 1.208.108 anggota. Jumlah tersebut masih relatif kecil jika dibandingkan dengan pangsa pasar usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang berjumlah sekitar 42,5 juta atau mencapai 99 % dari total entitas usaha yang ada di Indonesia. Data ini menunjukkan bahwa KSP dan USP Koperasi sebagai lembaga keuangan mikro memiliki potensi yang sangat besar untuk terus dikembangkan sebagai lembaga intermediasi di sektor keuangan bagi anggotanya. Perkembangan KSP dan USP Koperasi yang begitu pesat serta perubahan lingkungan bisnis di sektor keuangan memunculkan dinamika dan permasalahan yang makin kompleks. Kondisi ini menuntut proses pembinaan dan pengawasan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah sesuai dengan distribusi kewajiban, wewenang serta tanggung jawabnya kearah yang lebih inovatif dan efektif. Pasca otonomi daerah (Dengan diberlakukannya UU No 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah) telah memberikan peranan dan kewenangan yang lebih besar kepada Pemerintah Daerah dalam pola pembinaan, pengawasan dan pengendalian KSP/USP Koperasi di daerahnya. Pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM hanya memiliki kewenangan sebagai regulator untuk merumuskan kebijakan yang diturunkan dalam bentuk peraturan yang berlaku secara nasional yang mampu 114
mengakomodasi berbagai kebutuhan pembinaan dan pengawasan KSP/USP koperasi agar menjadi lebih baik dan efektif. Demikian halnya dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan pada Bank, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2008 Tentang UMKM, Undang-Undang Nomor 39 Tentang Kementerian Negara dan Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 Tentang LKM, Rancangan Undang-Undang Perkoperasian, yang terbit setelah diberlakukannya berbagai ketentuan yang mengatur kegiatan simpan pinjam melalui koperasi, tidak lagi relevan dengan perundang-undangan yang baru, sehingga peraturan tertinggi yang mengatur kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 tahun 1995 perlu ditelaah efektivitasnya. Di lain pihak, dalam kehidupan ekonomi seperti sekarang ini Koperasi (termasuk di dalamnya koperasi yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam) seharusnya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat, agar koperasi dapat memberikan kemudahan pelayanan kepada anggota, non anggota atau masyarakat lainnya. Koperasi harus memiliki kesetaraan dengan pelaku ekonomi lainnya agar mampu bermitra dengan berbagai pihak. Untuk itu diperlukan upaya untuk menyetarakan koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya melalui penyempurnaan berbagai kebijakan yang mengatur kegiatan usaha koperasi, dan untuk memudahkan pembahasan, dilakukan pembatasan kajian pada Koperasi Penyelenggara Kegiatan Usaha Simpan Pinjam. Dan kebijakan yang mengatur kegiatan operasional simpan pinjam pada koperasi adalah PP nomor 9/1995, sehingga cakupan telaahan dibatasi pada PP 9/1995. Alasan yang melatarbelakangi pentingnya telaah terhadap substansi PP No.9 Tahun 1995, secara rinci dapat dilihat dari uraian berikut : 1. Saat ini sebagian besar kebutuhan permodalan pengusaha mikro belum terlayani oleh lembaga keuangan baik lembaga perbankan maupun lembaga keuangan bukan bank. 2. Masyarakat yang tidak terlayani pinjaman dari perbankan juga mengalami kesulitan untuk mengakses koperasi yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam, dan pada umumnya
akan beralih kepada rentenir. Hal ini tidak sesuai dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian; 3. Fakta lapangan menunjukkan bahwa KSP/USP Koperasi disamping melayani anggota juga melayani masyarakat/non anggota, berkembang dengan pesat, hal ini perlu pengakuan secara hukum, sehingga semua pihak yang terlibat akan merasa nyaman dan tidak melanggar aturan. 4. PP No 9 Tahun 1995 belum memberikan peluang bagi KSP/USP Koperasi untuk memberikan pinjaman kepada pengusaha mikro atau masyarakat yang bukan anggota atau belum mampu menjadi anggota;
Inventarisasi dan Elaborasi terhadap Kebijakan yang Terkait PP Nomor 9 tahun 1995 Informasi yang diperoleh dari hasil studi pustaka mengenai Undang-Undang yang terkait dengan PP No.9 Tahun 1995 secara grafis dapat dilihat pada Gambar 1.
UUD 1945
UU NO.12/2008 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
UU NO.24 Tahun 2004 TENTANG LPS PERBANKAN
RUU NO. 34/2007 TENTANG LKM
UU NO. 20/2008 TENTANG UMKM
UU NO.39/2008 TENTANG KEMENTRIAN NEGARA
PENYEMPURNAAN PP No. 9 /1995
Elaborasi terhadap berbagai Undang-Undang yang terkait dengan telaah terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1992 tentang kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi secara rinci dapat dilihat pada uraian berikut :
116
1. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 adalah landasan Idiil Perkoperasian di Indonesia, termasuk didalamnya adalah Koperasi yang menyelenggarakan kegiatan usaha simpan pinjam yang lebih dikenal dengan nama Koperasi Simpan Pinjam, BMT berbadan Hukum Koperasi, Koperasi Kredit dan koperasi yang melakukan kegiatan pembiayaan dengan menggunakan prinsip syariah. Karena Undang-Undang Dasar merupakan landasan Idiil koperasi Indonesia, maka segala kebijakan dan aturan yang terkait dengan kegiatan usaha simpan pinjam melalui koperasi tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Pasal yang terkait dengan perkoperasian khususnya Pasal 33 ayat (1) yang menyatakan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya penjelasan Pasal 33 antara lain menyatakan bahwa kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang dan bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah Koperasi. Penjelasan Pasal 33 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Dengan memperhatikan kedudukan koperasi seperti tersebut di atas, maka peran koperasi sangatlah penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat serta dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Dalam kehidupan ekonomi seperti itu koperasi seharusnya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat. Konsekuensi yang timbul dari UUD 1945 sebagai landasan idiil Perkoperasian Indonesia pada telaah PP 9/1995 adalah sebagai berikut : 1) Koperasi ditempatkan dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional sekaligus sebagai bagian integral dari tata perekonomian nasional.
2) Koperasi memiliki peran yang sangat penting dalam menumbuhkan dan mengembangkan potensi ekonomi rakyat. 3) Koperasi adalah wadah dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. 4) Koperasi memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat. Uraian di atas menunjukkan bahwa Peraturan Pemerintah nomor 9/1995 harus dapat mewujudkan amanat yang terkandung dalam Pasal 33 UUD 1945. Peraturan yang mengatur kegiatan usaha simpan pinjam pada koperasi harus dapat menjamin kegiatan usaha koperasi yang sesuai dengan kondisi koperasi yang diharapkan, sebagai berikut : 1. Koperasi merupakan wadah bagi masyarakat untuk menolong dirinya sendiri dalam mewujudkan kehidupan demokrasi ekonomi yang mempunyai ciri-ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Sehingga Peraturan Pemerintah yang mengatur kegiatan usaha simpan pinjam melalui koperasi harus dapat menciptakan hal-hal sebagai berikut : Harus merupakan wadah masyarakat untuk dapat menolong dirinya sendiri melalui suatu kegiatan ekonomi yang memiliki ciri demokratis, kebersamaan, kekeluargaan dan keterbukaan. Konsekuensi dari hal tersebut di atas yang terkait dengan penyempurnaan PP 9/1995 adalah pengaturan yang menyangkut hal-hal sebagai berikut: 1. Pembentukan, penggabungan dan pembubaran koperasi yang berorientasi pada kebutuhan pengembangan ekonomi anggota dan masyarakat. 2. Pengelola koperasi harus memahami maksud, tujuan dan nilai dasar pembentukan, penggabungan 118
dan/atau pembubaran koperasi, yang seluruhnya harus berorientasi pada kepentingan peningkatan kualitas ekonomi anggota dan masyarakat. 3. Pengelolaan koperasi (termasuk didalamnya pengelolaan mengenai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga) harus memiliki standar yang dapat dijadikan acuan untuk melakukan kegiatan monitoring dan evaluasi, sebagai konsekuensi dari implementasi keterbukaan dan demokrasi ekonomi anggota. Koperasi harus dapat meningkatkan kinerja usahanya, yang ditunjukkan oleh laju penyaluran pinjaman yang sebanding dengan laju pertumbuhan simpanan sukarela anggota pada koperasi, konsekuensi yang timbul sebagai dampak dari hal ini adalah kebijakan yang mengatur kegiatan simpan pinjam oleh koperasi harus dapat mewadahi hal-hal sebagai berikut : 1. Kegiatan usaha yang berorientasi untuk menolong diri sendiri anggota dan mengembangkan ekonomi masyarakat, sebagai konsekuensi dari tuntutan peran koperasi bagi anggota dan masyarakat. 2. Kepastian dan jaminan bagi koperasi untuk melakukan kegiatan usaha simpan pinjam, dalam rangka menjaga rasa aman anggota untuk terus mengembangkan usaha koperasi, sehingga memiliki kemampuan berlebih untuk dapat melayani masyarakat non anggota. Konsekuensi dari peningkatan peran serta anggota untuk mengembangkan koperasinya, melalui kegiatan simpan pinjam maka pada penyempurnaan PP nomor 9 tahun 1995 perlu ditegaskan mengenai kebijakan yang mengatur laju penyaluran pinjaman yang sejalan dengan kebijakan yang mengatur dan memacu laju simpanan. Memfungsikan koperasi sebagai penggerak ekonomi rakyat.
Amanat yang terkandung dalam UUD 1945 adalah memfungsikan koperasi sebagai soko guru perekonomian dan penggerak ekonomi rakyat, konsekuensi yang terkandung adalah bahwa kebijakan yang mengatur kegiatan simpan pinjam melalui koperasi harus memberi peluang kepada koperasi untuk berkiprah dalam memajukan ekonomi rakyat, untuk itu kebijakan yang mengatur kegiatan simpan pinjam oleh koperasi harus: 1. Memberikan kejelasan dalam memposisikan koperasi didalam perekonomian nasional. 2. Memberikan jaminan keamanan bagi pelaku, baik pengelola, anggota maupun masyarakat dalam melaksanakan kegiatan usaha simpan pinjam melalui koperasi. 3. Mendorong perkembangan usaha koperasi di masyarakat dalam rangka meningkatkan ekonomi rakyat. 4. Mendorong laju perkembangan dan peran koperasi di masyarakat dalam rangka meningkatkan ekonomi rakyat. Untuk itu kebijakan harus dapat menciptakan peningkatan laju perkembangan usaha koperasi di masyarakat dalam rangka meningkatkan perekonomian masyarakat, yaitu: 1) Lintas Departemen : Dapat menjamin keamanan usaha simpan pinjam melalui koperasi, memposisikan koperasi yang melakukan kegiatan usaha simpan pinjam dalam perekonomian nasional. 2) Internal koperasi : menjamin keamanan simpanan anggota, menjamin pinjaman anggota pada koperasi, menjamin pelaksanaan usaha simpan pinjam dapat terselenggara dengan baik dan benar, menjamin kegiatan koperasi terselenggara dengan baik, menjamin kerjasama antar koperasi dapat terselenggara dengan baik dan tertib. 120
2. Undang-Undang Perkoperasian
Nomor
25
Tahun
1992
Tentang
Merupakan turunan dari Undang-Undang Dasar 1945; Penjelasan Pasal 33 menempatkan koperasi baik dalam kedudukan sebagai sokoguru perekonomian nasional maupun sebagai bagian integral tata perekonomian nasional. Maksud penyusunan UU Nomor 25/1992 adalah untuk memperjelas dan mempertegas jatidiri, tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan dan permodalan koperasi, sehingga dapat lebih menjamin terwujudnya kehidupan koperasi sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945. Koperasi seharusnya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kehidupan ekonomi rakyat, sejalan dengan itu dalam Undang-Undang ini ditanamkan pemikiran ke arah pengembangan pengelolaan koperasi secara profesional. 3. Undang-Undang Nomor Pemerintahan Daerah
12
Tahun
2008
Tentang
Perubahan paradigma pemerintahan yang semula sentralisasi menjadi desentralisasi, menyebabkan terjadinya perubahan hubungan dan pola kerja antara pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM dengan Pemerintah Daerah, yang membawa dampak pada perubahan peran dan fungsi Pemerintah Pusat dan Daerah dalam melakukan pembinaan kepada Koperasi, termasuk di dalamnya adalah Koperasi yang menjalankan usaha Simpan Pinjam. 4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS Perbankan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS Perbankan, memberikan inspirasi dan ilustrasi bagi telaah terhadap PP 9 tahun 1995 bahwa agar laju simpanan anggota pada koperasi dapat terlaksana dengan baik dan anggota sebagai penyimpan memiliki keyakinan dan rasa
aman terhadap uang simpanannya, maka dianggap perlu dilakukan program penjaminan atas simpanan anggota pada koperasinya. 5. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 Tentang UMKM Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 Tentang UMKM menegaskan mengenai kedudukan koperasi dalam tatanan perekonomian Indonesia, dalam hal ini cakupan UU Nomor 20/2004 tidak mengatur koperasi, termasuk di dalamnya koperasi yang menyelenggarakan simpan pinjam dan/atau pembiayaan. Kondisi tersebut menunjukkan indikasi bahwa UU Nomor 20/2004 memberikan peluang kepada Koperasi untuk dapat melayani UMKM dari aspek pembiayaan. 6. Undang-Undang Nomor Kementerian Negara
39
Tahun
2008
Tentang
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 menegaskan bahwa tugas dan fungsi Kementerian negara termasuk di dalamnya adalah Kementerian Negara Koperasi dan UMKM hanya berada pada ranah kebijakan dan fungsinya adalah melaksanakan koordinasi kebijakan dan sinkronisasi program yang terkait dengan bidang Koperasi dan UMKM, serta penetapan kebijakan di bidangnya. Beberapa hal yang terkait dengan diberlakukannya UU No 39/2008 ini diantaranya adalah masalah pengesahan akta pendirian KSP/USP Koperasi, masalah pembukaan jaringan pelayanan KSP/USP Koperasi, masalah pembinaan KSP/USP Koperasi dan masalah penilaian kesehatan KSP/USP Koperasi. 7. Rancangan Undang-Undang Perkoperasian Nomenclature jenis koperasi (Ps 77) terdiri atas : 1. Koperasi Konsumen 2. Koperasi Produsen 3. Koperasi Simpan Pinjam 4. Koperasi Jasa. Terjadi pemisahan antara KSP (menggunakan sistem konvensional) dengan Koperasi yang menjalankan 122
usaha pembiayaan ekonomi syariah.
dengan
menggunakan
prinsip
Terdapat Bab yang secara khusus mengatur mengenai tata kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Dalam hal KSP telah mampu melayani kebutuhan anggota dan masih mempunyai kelebihan dana, maka koperasi yang bersangkutan dapat memberikan pelayanan kepada non-anggota. KSP dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan wajib menetapkan non anggota yang dilayani menjadi anggota koperasi, sesuai dengan ketentuan dalam AD. Optimalisasi fungsi dan peran koperasi sekunder, dalam hal : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Simpan pinjam antar KSP anggota. Manajemen resiko. Konsultasi manajemen simpan pinjam. Pendidikan dan pelatihan. Standarisasi akuntansi dan pemeriksaan. Pengadaan sarana usaha untuk anggota. Pemberian bimbingan dan konsultasi.
Koperasi sekunder SP dilarang memberikan pinjaman kepada perseorangan. KSP dan USP dilarang melakukan investasi pada sektor riil. KSP membentuk lembaga stabilisasi yang bertujuan untuk : 1. Membenahi KSP yang mengalami keuangan tetapi masih bisa ditolong.
kesulitan
2. Melaksanakan program monitoring, pendidikan, teknis dan konsultasi untuk mencegah resiko kesulitan keuangan. 3. Pembinaan, pemeriksaan, dan pengawasan terhadap usaha simpan pinjam oleh koperasi dilakukan oleh Menteri.
4. Menteri menetapkan ketentuan tentang kesehatan usaha simpan pinjam oleh koperasi dengan memperhatikan aspek permodalan, kualitas aset, kualitas manajemen, rentabilitas, likuiditas, dan solvabilitas serta aspek lain yang berhubungan dengan simpan pinjam koperasi. Konsekuensi terhadap telaah PP 9/1995 adalah bahwa jika RUU Perkoperasian dijadikan acuan, maka pada akhirnya PP 9/1995 perlu disempurnakan agar dapat memayungi Koperasi Simpan Pinjam dan Koperasi Jasa termasuk di dalamnya adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS). RUU memberikan indikasi dimana dalam kondisi Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam memiliki kapasitas lebih, dan anggotanya telah terpenuhi kebutuhannya, maka koperasi yang bersangkutan dapat melayani masyarakat non-anggota. Demikian halnya untuk menghindari hal yang tidak diharapkan, penyempurnaan PP 9/1995 perlu menegaskan jangka waktu status calon anggota pada Koperasi penyelenggara kegiatan simpan pinjam, dan perlu ditegaskan bahwa Koperasi penyelenggara kegiatan simpan pinjam tidak diperkenankan untuk menghimpun dana masyarakat; penghimpunan dana pada koperasi lebih diarahkan pada pemupukan simpanan sukarela anggotanya, dan untuk memacu laju simpanan sukarela anggota, dianggap perlu bagi pemerintah untuk menjamin simpanan anggota pada koperasinya. 8. Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Lembaga Keuangan Mikro RUU Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Lembaga Keuangan Mikro telah memberikan gambaran yang jelas bahwa koperasi yang menyelenggarakan kegiatan simpan pinjam dan/atau pembiayaan tidak termasuk kedalam LKM yang di atur dalam UU No. 34/2007. Hal ini akan lebih memudahkan proses penyempurnaan PP 9/1995 karena posisi koperasi dalam tatanan perekonomian nasional telah diketahui dengan pasti.
124
RUMUSAN MASALAH DAN KENDALA PENYEMPURNAAN PP NO. 9 TAHUN 1995
SERTA
POTENSI
Perumusan masalah dan kendala serta potensi penyempurnaan PP 9/1995 dilakukan berdasarkan elaborasi dari berbagai tahapan pekerjaan yang telah dilakukan sebelumnya. Secara grafis masukan terhadap proses penyempurnaan PP 9/1995 dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Input Penyempurnaan PP 9/1995 Hasil rumusan masalah, kendala dan potensi penyempurnaan PP 9/1995 secara rinci dapat dilihat pada uraian berikut : Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Simpan Pinjam oleh Koperasi bertujuan untuk mengatur dan memberikan panduan kepada koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan Pinjam Koperasi dalam menjalankan kegiatan usahanya, sehingga kegiatan usaha simpan pinjam yang dijalankan oleh koperasi dapat berjalan dan berkembang dengan jelas, teratur, tangguh dan mandiri. Sejalan dengan perkembangan dan dinamika yang terjadi di masyarakat yang didukung oleh munculnya berbagai perundang-
undangan pasca dikeluarkannya PP 9/1995, telah membawa dampak pada implementasi PP 9/1995. Perkembangan dan kondisi yang ada menunjukkan indikasi bahwa terdapat pasal-pasal dalam PP 9/1995 yang tidak dapat diimplementasikan dengan optimal, diantaranya adalah pasal yang mengatur mengenai pembinaan dan penilaian kesehatan, jumlah unit KSP dan USP Koperasi yang harus dibina dan dinilai kesehatannya tidak sebanding dengan SDM yang tersedia, baik dari sisi jumlah maupun kapasitas. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat anggapan bahwa Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan dengan pelaku ekonomi lainnya dalam tatanan kehidupan dan perekonomian nasional, sehingga sulit untuk menjalin kemitraan dengan pihak lain. Data pada Kementerian Koperasi dan UKM RI menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 10 propinsi yang masih belum dapat melaksanakan penilaian kesehatan, dan dari seluruh KSP dan USP Koperasi, baru sebanyak 16,30 persen yang telah dinilai kesehatannya. Kondisi ini menunjukkan indikasi perlunya alternatif sistem pembinaan dan penilaian kesehatan yang dapat diimplementasikan dengan baik dan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara, berdampak pada mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap kegiatan usaha Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS dan RUU Nomor 34 Tahun 2007 Tentang LKM, telah memberikan inspirasi dan ilustrasi dan batasan yang lebih jelas mengenai kedudukan KSP/USP Koperasi dalam perekonomian nasional, selain juga memberikan inspirasi agar supaya KSP/USP Koperasi dapat berkembang dan sejajar dengan pelaku ekonomi lain, KSP/USP Koperasi memerlukan perangkat aturan yang dapat memberikan kepastian dan jaminan keamanan usaha yang lebih jelas dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 126
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 Tentang UMKM telah memberi arahan untuk lebih memberikan dukungan perkuatan dan pengembangan kepada KSP/USP Koperasi agar memiliki kesiapan dapat berperan aktif dalam melakukan perkuatan kepada UMKM melalui kegiatan pembiayaan. RUU Perkoperasian diantaranya telah memberikan gambaran arah kebijakan pengembangan KSP/USP Koperasi pada masa mendatang ke arah optimalisasi fungsi dan peran koperasi sekunder untuk mendukung pengembangan jaringan usaha dan pembinaan serta pengawasan KSP/USP Koperasi dalam rangka mewujudkan kemandirian koperasi. Penyempurnaan PP 9/1995 diharapkan akan sesuai dengan paradigma baru yang memberikan semangat reformasi dan partisipasi pemerintah daerah dalam melakukan pembinaan, pengawasan dan penilaian kesehatan terhadap KSP/USP Koperasi, agar dapat tumbuh dan berkembang sebagai lembaga keuangan yang tangguh, professional dan sesuai dengan perkembangan dinamika masyarakat serta dapat dipercaya, baik oleh anggotanya maupun masyarakat umum. Dalam kehidupan ekonomi seperti sekarang ini KSP/USP Koperasi seharusnya memiliki ruang gerak dan kesempatan usaha yang luas yang menyangkut kepentingan kehidupan ekonomi rakyat, melalui kegiatan pelayanan kepada anggota, dan masyarakat lainnya. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Koperasi dan UKM menganggap perlu untuk melakukan penyempurnaan terhadap substansi yang diatur dalam PP 9/1995, agar dapat memberikan arah dan pedoman bagi terselenggaranya kegiatan usaha KSP/USP Koperasi, sehingga sejalan dengan maksud dan tujuan pendiriannya, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan di lapangan, memiliki landasan hukum yang jelas, dan dapat memberikan jaminan keamanan berusaha, serta memberikan jaminan keamanan bagi anggotanya dan memberikan dukungan agar KSP/USP Koperasi dapat bersaing dengan pelaku ekonomi lainnya.
PERMASALAHAN DALAM IMPLEMENTASI PP 9/1995 Dalam implementasinya, PP 9/1995 juga mengandung permasalahan yang memerlukan penyempurnaan agar Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga keuangan alternatif bagi KUKM, selain juga dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai lembaga yang profesional dan menerapkan jatidiri koperasi dalam melaksanakan kegiatan operasional usahanya. Diantara permasalahan yang muncul dalam implementasi PP 9/1995 adalah: Ketentuan dalam Bab II pasal 2 yang menerangkan bahwa kegiatan usaha simpan pinjam hanya dilaksanakan oleh koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam. Hal ini tidak mewadahi kegiatan simpan yang pada kenyataannya saat ini juga dilakukan oleh koperasi lain, seperti Koperasi Kredit, KJKS serta BMT yang berbadan hukum koperasi. Pengesahan Akta Pendirian KSP/USP Koperasi berlaku sebagai izin usaha, sebagaimana disebutkan pada pasal 3, instansi yang berwenang memberi pengesahan akta pendirian badan usaha, dengan diberlakukannya UU Nomor 32 tahun 2004 mengakibatkan penetapan kebijakan yang beragam pada masing-masing daerah, yang justru cenderung mempermudah pendirian KSP/USP Koperasi, yang mengakibatkan banyak bermunculan KSP/USP Koperasi yang melakukan kegiatan usaha simpan pinjam tetapi tidak sejalan dengan jatidiri koperasi dan disalahgunakan oleh pemilik modal untuk menjalankan praktek bisnis keuangan dengan motif untuk memperkaya diri dan kelompoknya. Ketentuan mengenai permodalan koperasi yang memungkinkan koperasi menambahkan modal penyertaan sebagaimana disebutkan pada pasal 16 ayat (1), membawa implikasi bahwa pada prakteknya jumlah modal penyertaan pada koperasi jauh lebih besar dibandingkan dengan modal sendiri koperasi. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa koperasi dimanfaatkan oleh sekelompok orang tertentu untuk melakukan praktek bisnis di bidang keuangan melalui badan hukum koperasi. Pasal 21 PP 9 tahun 1995 menerangkan bahwa Rapat Anggota menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum pemberian pinjaman baik kepada anggota, calon anggota, koperasi lain dan 128
atau anggotanya, namun pada kenyataannya banyak koperasi simpan pinjam yang melakukan penyaluran dana dalam persentase yang jauh lebih besar kepada calon anggota dibandingkan kepada anggotanya. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa jumlah anggota pada koperasi yang bersangkutan relatif tetap, namun perkembangan jumlah calon anggota yang dilayani berkembang dengan sangat pesat, karena pada kenyataannya anggota koperasi yang bersangkutan sangat terbatas, maka pasal ini dapat dengan mudah dipenuhi, dengan kata lain koperasi yang bersangkutan tidak melanggar ketentuan yang ada. Terdapat anggapan di masyarakat yang menunjukkan bahwa menyimpan uang pada koperasi tidak seaman menyimpan uang pada lembaga perbankan, hal ini terjadi karena simpanan pada koperasi tidak dijamin oleh pemerintah sebagaimana berlaku pada lembaga perbankan melalui Lembaga Penjamin Simpanan Perbankan. Hal ini sebagai salah satu penyebab laju simpanan anggota pada koperasi relatif lamban. Pembinaan pada KSP/USP Koperasi diberlakukan sama dengan Koperasi non-KSP yang mencakup pembinaan kelembagaan, usaha dan keuangan. Hal ini berdampak pada klasifikasi KSP/USP Koperasi ke dalam Kategori A, B, C dan kategori koperasi yang tidak terklasifikasikan. Di lain pihak KSP/USP Koperasi juga harus memenuhi kriteria kesehatan koperasi.
REKOMENDASI PENYEMPURNAAN PP 9/1995 Dalam rangka mengupayakan kesetaraan Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam dengan pelaku ekonomi lainnya, diperlukan penyempurnaan terhadap kebijakan yang mengatur kegiatan usaha simpan pinjam oleh koperasi sebagai berikut : Saat ini UU No 25 sedang direvisi, oleh karena itu penyempurnaan PP 9/1995 harus tetap mengacu pada UU yang berlaku dan mengantisipasi substansi revisinya. Dalam rangka memberikan kepastian hukum bagi koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam selain KSP/USP Koperasi, perlu ditambahkan ketentuan yang menyatakan
pengakuan terhadap keberadaan koperasi yang melakukan usaha simpan pinjam selain KSP/USP Koperasi, seperti koperasi kredit, Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). Untuk memperoleh pengesahan akta pendirian koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam, perlu ditambahkan ketentuan yang menegaskan bahwa untuk melakukan usaha simpan pinjam melalui koperasi perlu dilakukan studi kelayakan usaha simpan pinjam yang akan dilakukan oleh pemrakarsa pendirian koperasi yang bersangkutan yang dilengkapi dengan persyaratan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk lebih meningkatkan kepercayaan anggota pada koperasinya, dan memacu laju pertumbuhan simpanan anggota pada koperasi, perlu ditambahkan ketentuan yang mengatur tentang keberadaan lembaga penjamin bagi simpanan pada KSP/ USP Koperasi, hal ini ditujukan untuk memberikan jaminan keamanan bagi anggota selaku penyimpan pada lembaga. Untuk mewujudkan kesetaraan koperasi dengan pelaku ekonomi lainnya diperlukan standar yang dapat dijadikan acuan bagi anggota dan masyarakat dalam menilai kinerja sebuah koperasi, termasuk di dalamnya adalah koperasi penyelenggara kegiatan simpan pinjam. Untuk itu keberadaan lembaga yang menggantikan fungsi dan peran Kementerian Koperasi dan UKM dalam pembinaan, pengembangan, pengawasan dan pengendalian serta penilaian kesehatan Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam perlu ditegaskan dalam penyempurnaan PP 9/1995, demikian halnya dengan berbagai standar kinerja yang dapat digunakan sebagai indikator keragaan masing-masing Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam. Penyempurnaan Peraturan Pemerintah ini perlu didukung oleh penyempurnaan berbagai Keputusan Menteri Koperasi dan UKM yang terkait dengan pengaturan usaha simpan pinjam oleh koperasi, untuk kemudian ditingkatkan menjadi Peraturan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah yang menjabarkan Peraturan Pemerintah ini lebih lanjut. 130
Untuk menghindari penyimpangan dari pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi, ketentuan mengenai calon anggota yang boleh memanfaatkan pelayanan simpan pinjam pada Koperasi, harus dipertegas dengan ketentuan batas waktu pelayanan KSP/USP Koperasi untuk calon anggota koperasi. Demikian halnya dengan ketegasan dalam menetapkan larangan penghimpunan dana masyarakat oleh koperasi. Ketentuan yang mengatur mengenai pembinaan Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam sebaiknya dilakukan melalui pendekatan penilaian kesehatan Koperasi, untuk menghindari standar ganda pemberian klasifikasi bagi Koperasi penyelenggara kegiatan usaha simpan pinjam. Mengacu pada kondisi yang ada, keberadaan Penyuluh Koperasi Lapangan sangat diperlukan dalam rangka meningkatkan efektivitas pembinaan dan pengawasan, oleh karena itu penyempurnaan PP 9/1995 perlu mempertegas keberadaan penyuluh Koperasi Lapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Balitbang Depkop RI, 1992, Nilai-Nilai dan Prinsip-Prinsip Dasar Koperasi Menghadapi Tantangan Globalisasi. Infokop No. 11, Jakarta. Hanel, Alfred, 1994, Dual or Double Nature of Cooperatives (dalam International Handbook of Cooperative organizations); Vandenhoeck & Ruprecht, Gottingen. Hanel, Alfred, 1989, Organisasi Koperasi, Universitas Padjadjaran Bandung. Herman Soewardi, 1997, Filsafat Koperasi atau Cooperativism, UPT Penerbitan Ikopin, Bandung. ICA, 2001, Jatidiri Koperasi(Prinsip-Prinsip Koperasi untuk Abad ke21, LSP2I, Jakarta Munkner,H,Hans, 1997, Masa Depan Koperasi, Dewan Koperasi Indonesia Jakarta Ramudi Arifin, 2001, Manfaat Harga Koperasi, Ikopin Press, Bandung Rusidi, 2002, Bunga Rampai 20 Pokok-Pokok Pemikiran tentang Pembangunan Koperasi, UPT Penerbitan Ikopin, Bandung. Sonny Sumarsono, 2003, Manajemen Koperasi, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta. ----------, 1998, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. ----------, 2001, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992 Tentang Perkoperasian.
----------, 2009, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintahan Daerah 132
----------, 2007, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 Tentang LPS Perbankan ----------, 2007, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2004 Tentang UMKM ----------, 2009, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara ----------, 2008, Rancangan Undang-Undang Perkoperasian ----------, 2008, Rancangan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2007 Tentang Lembaga Keuangan Mikro ---------, 2004, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1995 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Simpan Pinjam oleh Koperasi.
PETUNJUK BAGI PENULIS Redaksi menerima artikel dengan ketentuan sebagai berikut : 1. Artikel belum pernah dipublikasikan oleh media cetak lain. 2. Artikel berupa hasil penelitian (laboratorium, lapangan, kepustakaan), gagasan konseptual, kajian dan aplikasi teori, dan ulasan buku. 3. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris, diketik dengan spasi 1,5 pada kertas A4, dengan jumlah halaman 10-20 di luar daftar pustaka dan tabel. 4. Semua artikel ditulis dalam bentuk esai dan berisi : a. abstrak (50-75 kata) dalam bahasa Inggris; b. kata-kata kunci (3-5 kata); c.
identitas penulis (tanpa gelar akademik) dan Afiliasi lembaga;
d. pendahuluan (tanpa subbab) yang memuat latar belakang masalah, sedikit tinjauan pustaka, dan masalah/tujuan, serta kerangka pemikiran teoritik; e. pembahasan yang disajikan dalam subbab-subbab; f.
kesimpulan; dan
g. daftar rujukan 5. Pustaka yang diacu harus dipakai dan masuk dalam teks artikel. 6. Daftar pustaka ditulis dengan tatacara seperti contoh berikut, ditulis secara alfabetis, dan kronologis. Nashr, Syyed Hossein. 2005. Ideals and Realities of Islam, London : George Allen and Unwim Ltd. Umar, Nasaruddin, Stereotipe Perempuan dalam Pemahaman Al-Qur’an, Jurnal Harkat. Vol. 2 No. 1 Oktober 2000.
134