PENGANTAR Sebuah salib “aneh” pernah mempesona saya. Salib itu berupa sebuah silang dari “skop” dan “garu” (alat-alat untuk bertani). Yesus nampak kurus kering, tinggal tulang dan kulit. Tertunduk lesu. Wajahnya tidak kelihatan, tertutup oleh topi. Mirip topi yang kerap dipakai oleh seorang petani. Sebuah lukisan penderitaan yang sangat “powerful,” yang pernah saya lihat. Ini sebuah realitas. Kenyataan yang mengungkapkan sebuah pesan sangat kuat. Penderitaan. Salib. Bukan salib sebagai tanda penghinaan. Melainkan, salib sebuah penderitaan karena “skop” dan “garu.” Atau, salib oleh sendok dan garpu. Yesus disalibkan oleh perkara-perkara hidup: soal makan. Dia mati karena perjuangan meraih sesuap nasi. Atau, dia dipermalukan oleh perkara-perkara keadilan kerja. Penderitaan Kristus dikontekskan pada ruang lingkup hidup manusia modern dewasa ini, pesan duka dan deritanya begitu menyentuh secara mendalam. Pertanyaan “siapakah Allahku?” hanya menemukan jawabnya pada kesadaran akan pengalaman realitas hidup yang konkret. Allah adalah dia yang disalib oleh sendok dan garpu. Betapa hal ini tidak boleh terjadi. Lukisan ini mengatakan desakan kuat bahwa sistem kerja, sistem upah kerja, sistem pembagian rejeki, sistem hidup itu sendiri haruslah diubah. Ketika Yesus kurus kering di atas salib, Ia tampak mengerikan. Disalibkan sudah barang tentu menjadi derita tambahan yang tak terperikan sakitnya. Salib itu hendak melukiskan Kristus yang hadir dalam derita orang-orang tertindas. Sebuah lukisan yang mengundang mata untuk menyimak detil-detil kengeriannya. Tulangbelulang yang kelihatan merupakan pesan yang menyibakkan ketidak-wajaran. Ketika orang tertindas, miskin, terbelenggu, dihinakan, disalibkan, tidak ada representasi yang “powerful” tentang penderitaan Yesus kecuali lukisan salib semacam itu. Studia edisi kali ini mengawali artikel-artikel filosofis teologisnya dengan sebuah studi tentang kisah penderitaan Kristus. Jelas bukan sekedar kisah masa lampau. Melainkan kisah saat ini. Dalam kisah duka cita manusia-manusia zaman ini. Di samping itu, Studia mengetengahkan pula elaborasi sejarah Gereja, patrologi, filsafat budaya, filsafat sains, perkara kejahatan perang, dan peristiwa duka 11 September. Selamat merefleksikan dan mendalaminya.
Ketua penyunting
i
Studia Philosophica et Theologica ISSN 1412-0674 Vol. 2 No. 2 Oktober 2002 Hal. 89 - 178 DAFTAR ISI Pengantar ...................................................................................................................
i
Kisah Kesengsaraan Tuhan Kita Yesus Kristus Menurut Yohanes Berthold Anton Pareira .................................................................................
89-99
Ide dan Praksis Toleransi Pengalaman Eropa Pasca-Reformasi Martin Luther Eddy Kristiyanto............................................................................................ 100-117 Patrologi: Sebuah Pengantar Edison R.L. Tinambunan ............................................................................... 118-128 Agama dan Kebudayaan dalam Prespektif Filsafat Hermeneutis Donatus Sermada Kelen ................................................................................ 129-139 Dilema Determinisme Manusia: Sebah Perjalanan Reflektif Sains Surjani Wonorahardjo ................................................................................... 140-151 September 11, Or Quid Sit Homo? Paul W. McNellis ........................................................................................... 152-158 Kejahatan-Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional Antonius Janga .............................................................................................. 159-176 Index .......................................................................................................................
177
Biodata Kontributor ....................................................................................................
178
ii
KISAH KESENGSARAAN TUHAN KITA YESUS KRISTUS MENURUT YOHANES
Berthold Anton Pareira STFT Widya Sasana, Malang Abstract: This is a reading on the theology of the Passion of our Lord Jesus Christ according to John. It is a narrative theology and therefore must be listened by the believing communities as narrative. Jesus is the Lord of His Passion. His is doing the will of the Father. He is King of the Truth rejected by the Jews. His death is the birth of a new community and the source of its life. The author concludes his study with a short reflection on this great theology of the Passion for the Church. Keywords: cerita, misteri kesengsaraan, kebenaran, raja, salib, percaya.
Kisah Kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus mungkin merupakan bagian injil yang paling pertama diceritakan dan ditulis. Hal ini menunjukkan bahwa misteri kesengsaraan menduduki tempat yang sangat istimewa dalam kesadaran Gereja perdana. Misteri Yesus harus dimengerti dari kebangkitan-Nya, tetapi yang pertama harus diceritakan ialah kesengsaraan-Nya.
1. MISTERI KESENGSARAAN YESUS SEBAGAI CERITA Para penginjil menyampaikan misteri kesengsaraaan Tuhan kita Yesus Kristus dalam bentuk cerita. Tak ada uraian, tak ada penjelasan. Yang ada hanya cerita. Iman kita tentang misteri kesengsaraan ini adalah suatu cerita dan iman ini harus diteruskan dalam bentuk cerita. Kisah kesengsaraan ini ditulis untuk dibacakan dan bukan untuk dibaca. Bahasanya menunjukkan hal itu. Ini berarti kisah ini harus didengarkan dan dibacakan dalam suatu jemaat. Pendengarnya adalah Gereja dan penafsirnya adalah pula seluruh jemaat dan bukan terbatas pada orang perseorangan. Cerita ini ditulis bagi jemaat untuk membangun imannya. Iman akan apa? Iman akan misteri kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus, tetapi semuanya itu tidak dikatakan secara langsung. Kita hanya diminta untuk mendengarkan dan melihat kisah ini dan kemudian menemukan maknanya bagi hidup kita. Kisah-kisah ini haruslah pula didengarkan sebagai cermin bagi hidup Gereja. Kisah Kesengsaraan bukanlah laporan tentang apa yang benar-benar terjadi, melainkan tafsiran iman dari peristiwa-peristiwa tersebut. Kita tidak butuh laporan.
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
89
Yang kita butuhkan ialah melihat makna peristiwa-peristiwa itu dalam iman. Akan tetapi, kita butuh pula cerita (bukan laporan!) supaya kita tahu menemukan kehidupan dan pengalaman hidup iman kita sendiri. Kebenaran iman disampaikan dalam bentuk cerita dan kerap dengan menggunakan bahasa dan gambaran PL. Bagi mereka PL sudah berbicara tentang Yesus meskipun hanya dalam gambaran. Karena kisah ini ditulis dalam iman, maka harus pula didengar dalam iman. Barang siapa yang mendengarkan kisah ini sebagai laporan atas peristiwa yang terjadi di masa lampau, dia tidak akan menangkap maknanya1 . Setiap penginjil mempunyai cara bercerita sendiri-sendiri. Memang ada persamaan cukup besar antara keempat kisah itu2 , tetapi perbedaannya juga kadangkadang tidaklah kecil dan terdapat bahkan di antara ketiga injil yang disebut sinoptik. Yang cukup berbeda ialah kisah kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus menurut Yohanes. Kisah ini dibacakan setiap hari Jumat Agung, sedangkan ketiga kisah yang lainnya dibacakan pada hari Minggu Palma masing-masing menurut tahunnya. Kisah kesengsaraan ditulis bukan untuk memberikan nasihat dan bukan pula untuk membangkitkan perasaan kesalehan atau iba terhadap penderitaan Yesus. Para penginjil hanya bercerita dan tidak jarang membangkitkan pertanyaan. Ada hal yang tidak dikatakan. Penulisnya sepertinya mengundang kita untuk duduk dan berbicara bersama-sama dan mencari jawabannya. Kita perlu membagi pengertian dan pengalaman kita.
2.
PENANGKAPAN YESUS: Kisah kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus dimulai dengan penangkapanNya di Kebun Zaitun. Mulai dari peristiwa ini urutan cerita keempat injil sama. Penangkapan Yesus terjadi di malam hari (18:1-11) dan dilakukan atas perintah para pemimpin agama Yahudi. Pelaksana adalah sepasukan prajurit dan penjaga bait Allah yang dipandu oleh Yudas3 , seorang murid-Nya sendiri. Kegaduhan penangkapan sama sekali tidak ada dan tak ada sedikitpun kesan bahwa Yesus gelisah atau takut. Sebaliknya! Yesus tampil menemui, menyapa mereka dan secara tak terduga menyatakan kuasa-Nya. Penjahat-penjahat yang datang untuk menyerang dan memakan daging-Nya, tergelincir dan jatuh tersungkur ke tanah (bdk Mzm 27:2)4 .
1
2
3 4
90
Secara analog kita dapat membandingkannya dengan salah pengertian dari sekian banyak orang dalam injil Yohanes terhadap kata-kata Yesus karena mereka mengertinya secara harfiah atau duniawi (sebagaimana dengan bagus disinggung oleh John Shelby Spong, 186-189. Persamaannya mulai dengan peristiwa penangkapan Yesus. Menyusul para penginjil menceritakan pemeriksaan oleh para pemuka Yahudi, lalu pengadilan oleh Pilatus, penyaliban dan wafat Yesus serta akhirnya pemakaman-Nya (bdk A.Vanhoye, 15-18). Bahwa Yudas Iskariot benar-benar terlibat dalam peristiwa penangkapan ini diakui oleh semua penafsir, tetapi tentang keikutsertaan para prajurit Roma masih dipertanyakan (bdk John P.Meier, dlm NJBC 79:52). Makna salib dan kemenangan Yesus dilukiskan dengan bahasa PL (bdk Ignace de la Potterie, 34-37).
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Mereka tidak berkuasa sedikitpun atas diri-Nya. Mereka harus tahu bahwa salib yang akan diterima-Nya adalah tanda kasih-Nya kepada Bapa. Dia harus melakukan segala sesuatu yang diperintahkan Bapa kepada-Nya (14:30-31). Itulah arti dari kesengsaraan Kristus yang dimulai dengan penangkapan-Nya di kebun Getsemani. Setiap pendengar harus memahami peristiwa ini dalam arti itu. Penangkapan Yesus di kebun Zaitun adalah tanda perjuangan yang tidak henti-hentinya dengan kekuasaan jahat5 . Dalam dunia kamu akan menderita penganiayaan, tetapi “kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia.”(16:33). Tidak seorangpun dari murid-Nya akan mati binasa karena Dia telah memelihara mereka (17:12): “Jika Aku yang kamu cari, biarkanlah mereka ini pergi.”(18:7). Hanya orang yang tidak mempunyai mata dan telinga akan bertindak seperti Petrus (18:10). Dia tidak memahami rencana Allah. Dia tidak memahami cinta.
3. YESUS DI HADAPAN HANAS: PENYANGKALAN PETRUS Sebagai seorang penjahat Yesus dibawa dalam keadaan terbelenggu kepada Hanas (18:12-27). Dua orang murid-Nya mengikuti gerombolan itu. Maksud para pemimpin agama Yahudi jelas yakni membunuh Yesus. Keputusan itu sudah diambil dalam suatu sidang resmi. Mereka ingin mengajukan Yesus kepada penguasa Roma dan menyingkirkan Dia. Kehadiran-Nya sangat membahayakan situasi politik. Lebih baik Dia mati daripada seluruh bangsa binasa. Keselamatan bangsa menjadi taruhannya6 Yesus ditanyai tentang soal murid-murid-Nya dan ajaran-Nya. Yesus hanya menjawab hal yang kedua yakni soal ajaran-Nya. Bagi penginjil pertanyaan ini tidak masuk akal7 . Apakah karena ajaran-Nya itu Yesus harus ditangkap? Dia selalu berbicara di depan umum dan ajaran-Nya adalah bagi siapa saja yang mau mendengarkannya. Ajaran-Nya adalah bagi dunia karena selama dalam dunia ini Dia adalah terang dunia (9:5). Tak ada yang rahasia. Setiap orang dapat menjadi saksi dari pengajaran-Nya. Setiap orang dapat menguji apakah pengajaran-Nya membahayakan keselamatan bangsa atau tidak. Para pemimpin agama Yahudi mau membunuh Yesus hanya karena firman-Nya tidak mendapat tempat dalam hati mereka (8:37). Apakah ada orang yang bisa membuktikan bahwa Dia berbuat dosa? (8:46) Lalu bagaimana tentang murid-murid-Nya? Biarlah mereka berbicara untuk dirinya sendiri. Mereka sudah dewasa. Akan tetapi, apa yang terjadi? Petrus, seorang 5 6
7
Yudas adalah wakil dari kekuasaan jahat. Dia dikuasai Iblis (6:70; 13:2,27 dan bdk Pheme Perkins, dlm NJBC 61:165). Menurut hemat saya dimensi politis kematian Yesus paling kuat dikemukakan oleh injil Yohanes. Akan tetapi, dia juga langsung menegaskan bahwa kematian Yesus bukan melulu persoalan politik, melainkan teologis (11:45-53). Maksud pertanyaan Hanas mungkin untuk menjebak Yesus dan menyatakan Dia sebagai nabi palsu (bdk Pheme Perkins, art.cit., dlm NJBC 61:212.
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
91
murid-Nya yang paling dekat dengan Dia secara dingin menyangkal bahwa dia adalah murid-Nya. Dia telah berani mengikuti jalan salib gurunya secara sembunyi-sembunyi, tetapi ketika dipanggil oleh seorang murid yang lain supaya keluar dari ‘persembunyiannya’ dan jangan tetap berdiri di situ sebagai murid yang anonim, dia tidak sanggup. Dia tidak berani tampil dalam lingkungan yang lain8 dan mengambil risiko berbicara secara terbuka seperti gurunya. Dia takut ditampar seperti gurunya dan ditolak. Seketika itu juga berkokoklah ayam. Binatang yang tidak berakal budi ini memberi tanda dan peringatan.
4. DIADILI DAN DISERAHKAN OLEH PILATUS Babak ketiga jalan salib Yesus ialah pengadilan dan hukuman mati oleh Pilatus. Inilah babak utama dan ceritanya juga cukup panjang. Seluruhnya terdiri atas tujuh adegan9 . Ketika hari masih pagi Yesus dibawa ke istana gubernur (18:28-32).Tuduhan perlu diajukan dan harus jelas, tetapi orang Yahudi tidak memiliki tuduhan yang jelas. Yang dikatakan hanya bahwa Yesus seorang penjahat. Pilatus menolak tuduhan ini karena terlalu umum. Tak ada alasan baginya untuk memeriksa. Oleh karena itu, dia mengembalikan Yesus kepada orang-orang Yahudi supaya menyelesaikannya sendiri. Orang Yahudi tidak kehilangan akal. Perkara Yesus tidak dapat mereka selesaikan sendiri karena mereka tidak dapat menghukum mati seorangpun. Jalan salib adalah keputusan Yesus sendiri. Pilatus memanggil Yesus dan langsung menanyakan suatu soal yang secara politis sangat sensitif yakni apakah Yesus menganggap dirinya raja (18:33-38a). Ini jelas soal politik dan Pilatus sebagai seorang pejabat kekaisaran pasti tidak akan bersikap acuh tak acuh. Siapa saja yang mau menjadi raja dalam wilayah kekaisaran Roma pasti akan dihukum mati. Orang itu akan disalibkan karena dianggap sebagai pemberontak.Yesus tahu kedudukan perkaranya dan soal ini harus jelas bagi kekuasaan Roma dan bagi jemaat. Pilatus tidak perlu marah kalau Yesus minta kejelasan ini. Kalau tuduhannya itu berasal dari orang Yahudi Yesus akan memberi penjelasan dan memang betul. Dia memang raja, tetapi bukan dari dunia ini. Dia tidak punya kekuasaan politik dan juga tidak mencarinya. Dia punya kekuasaan yang lain kalau itu memang mau disebut kekuasaan. Dia adalah raja yang memberi kesaksian tentang kebenaran. Dia dilahirkan untuk memberi kesaksian tentang apa yang berasal dari atas karena Dia “datang ke dalam dunia ini”. Dia berasal dari atas. Dia 8 9
92
Padahalnya ketika masih berada dalam lingkungan sendiri beraninya luar biasa (13:36-38). Berdasarkan keluar masuknya Pilatus dalam istana (bdk Igance de la Potterie, op.cit., 57-61). Ketujuh adegan itu ialah tuduhan dan dialog Pilatus dengan orang Yahudi (18:28-32), Yesus diinterogasi oleh Pilatus (18:3338a), tawaran amnesti (18:38b-40), Yesus disesah dan diolok-olok sebagai raja (19:1-3), Yesus diperlihatkan kepada orang Yahudi sebagai raja (19:4-7), pertanyaan Pilatus tentang asal usul Yesus (19:8-12), Yesus diserahkan kepada para imam-imam kepala (19:13-16a).
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
datang untuk memberi kesaksian tentang Bapa dan bahwa Dia berasal dari Bapa (1:17-18)10 . Barang siapa percaya, dia hidup dalam kebenaran. Luar biasa pernyataan ini dan hal ini disampaikan di depan pengadilan, di hadapan seorang wakil penguasa dunia. Penguasa ini tentu saja tidak dapat mengerti kata-kata ini dan menganggapnya sebagai omongan orang gila. Kisah dilanjutkan dengan adegan tawaran amnesti (18:38b-40) tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir dan merenung. Pilatus keluar dan mendapatkan orang-orang Yahudi. Apa kesimpulannya? Dia tidak mendapatkan kesalahan apapun pada Yesus yang secara hukum dan politik dapat membuat-Nya dihukum mati. Dia dapat dibebaskan. Akan tetapi, Pilatus melanjutkan pebicaraannya dengan suatu tawaran yang sangat mengejutkan. Maukah orang-orang Yahudi supaya dia memberikan amnesti kepada Yesus yang disebutnya “raja orang Yahudi”? Mengapa Pilatus berbicara tentang amnesti padahalnya Yesus telah dinyatakan tidak bersalah? Apa maksud Pilatus? Mengapa dia menyebut Yesus dengan gelar “raja orang Yahudi” padahalnya jelas-jelas dia tidak mengerti kata-kata Yesus? Politik orang-orang politik kerap tidak kita pahami. Permainan mereka ialah antara kekuasaan dan massa. Tawaran Pilatus langsung dijawab massa dengan teriakan menolak Yesus. Mereka lebih suka memilih seorang yang pernah berjuang melawan penjajahan Roma daripada Yesus yang mereka anggap membahayakan keselamatan bangsa. Barabas yang berjuang dengan kekerasan lebih mudah diterima daripada Yesus. Reaksi Pilatus atas permintaan orang Yahudi itu ialah menyuruh prajuritprajuritnya menyesah Yesus (19:1-3). Ini biasa dilakukan terhadap seorang hukuman, tetapi Yesus belum dinyatakan bersalah. Bagaimanapun juga prajurit-prajurit yang mendengar jalannya perkara itu langsung mempermainkan Yesus sebagai seorang raja. Mereka tidak dapat mengerti kalau orang semacam ini mau menjadi raja dan melawan Roma lagi. Hukuman yang setimpal baginya ialah menghormati-Nya sebagai raja, lalu kemudian menampar-Nya11 . Akan tetapi, mahkotanya tidak boleh betulan. Paling cocok duri. Penderitaan fisik seorang hukuman biasanya bergantung pada kehebatan fantasi para prajurit. Adegan penghormatan Yesus sebagai raja ini rupanya menjadi pusat seluruh babak ini. Ceritanya ugahari dan tanpa ada maksud untuk membangkitkan rasa iba. Maksud Pilatus menyesah Yesus rupanya untuk membebaskan atau lebih tepat melepaskan diri dari tekanan orang Yahudi yang mau menghukum Yesus. Hal itu tampak dari adegan kelima yang terkenal ini (19:4-7). Pilatus keluar dan menyatakan sekali lagi bahwa dia tidak mendapatkan kesalahan apapun pada Yesus. Kemudian dia menyuruh Yesus yang telah disesah dengan bermahkota duri dan berjubah ungu keluar dan memperlihatkan-Nya kepada orang banyak sambil berkata: “Lihatlah orang itu!” Hendaknya orang Yahudi memandang penghinaan yang telah 10
Ignace de la Potterie, op.cit., 69-70, melihat teks di atas sebagai kunci untuk mengerti gagasan ‘kebenaran’ dalam injil Yohanes. 11 Inilah tamparan tangan yang kedua, tetapi di sini bisa saja terjadi berulang-ulang sebanyak prajurit yang ada.
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
93
diderita-Nya, merasa puas dan kemudian bersedia menarik kembali tuntutannya. Bukankah orang ini sama sekali tidak berbahaya? Lalu apa jawaban orang Yahudi? Mereka sama sekali tidak puas dengan penghinaan yang telah diberikan kepada Yesus. Bukan itu yang mereka minta. Yang mereka minta ialah salib. Yesus harus disalibkan. Penyesahan dan penghinaan tidak cukup. Pilatus rupanya terkejut dengan jawaban ini, tetapi sekaligus tidak mau mengambil risiko bertindak tidak sesuai dengan hukum. Dari sebab itu, sebagaimana yang terjadi pada awal pengadilan ini dia sekali lagi mengembalikan Yesus kepada orang Yahudi dan biarlah mereka yang menyalibkan-Nya. Dia tidak mau dan tidak dapat menyalibkan orang yang tak bersalah. Orang-orang Yahudi yang merasa tersudut tiba-tiba saja memberikan tuduhan keagamaan yang sama sekali tidak berlaku bagi penjajah Roma. Kekuasaan untuk menjatuhkan hukuman mati memang telah diambil alih oleh Roma. Akan tetapi, mengapa tiba-tiba saja mereka mengajukan suatu tuduhan religius yakni bahwa Yesus menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah? Apa yang dimengerti oleh orang-orang Yahudi? Dari tadi Pilatus memang sedang takut dan bingung menghadapi tekanan orang-orang Yahudi. Akan tetapi, ketika mendengar sebutan ‘Anak Allah’, dia makin takut. Dia tidak mengerti arti kata-kata atau sebutan itu12 . Pilatus lalu masuk lagi ke dalam istana dan mengajak berbicara dengan Yesus (19:8-12). Dia ingin mengenal lebih jauh siapakah Yesus ini sebenarnya atau dari mana asal-Nya13 .Yesus diam dan tidak memberi jawab kepada-Nya. Dia tidak dapat memberi jawaban kepada orang yang tidak memahami kebenaran atau mendengar suara-Nya (18:37-38a). Pilatus marah karena merasa dihina. Dia langsung menggertak Yesus dengan menyatakan kekuasaan-Nya. Memang ada hukum, tetapi dia berkuasa bertindak di luar hukum: “Tidakkah Engkau tahu bahwa aku berkuasa untuk membebaskan Engkau dan berkuasa juga untuk menyalibkan Engkau?” Kekuasaan-Nya tidak perlu dipertanggungjawabkan. Pernyataan ini perlu dijawab: “Engkau tidak mempunyai kuasa apa pun terhadap Aku, jikalau kuasa itu tidak diberikan kepadamu dari atas.” Pilatus tidak mempunyai kuasa mutlak tanpa tanggungjawab. Masih ada yang berada di atasnya yang memberi kuasa itu kepadanya. Kuasa itu harus dipertanggungjawabkan dan tidak dapat dilaksanakan dengan tidak semena-mena. Jika dia bertindak sewenang-wenang terhadap Yesus, dia berdosa. Akan tetapi, lebih besar dosa orang yang menyerahkan Yesus kepadanya. ‘Orang’ itu ialah para imam kepala dan Yudas14 . Pilatus yang tadinya merasa dirinya berkuasa penuh menjadi sadar. Dia berusaha keras untuk membebaskan Yesus, tetapi tekanan massa menjadi lebih kuat lagi. Tekanan yang terakhir ialah tuduhan bahwa Yesus menganggap dirinya raja.
12 13 14
94
Bagi orang Yahudi sebutan ‘Anak Allah’ mempunyai kiranya arti mesianis, tetapi tidak tertutup kemungkinan penginjil memasukkan pengertian kristen di sini. Persoalan tentang identitas atau asal usul Yesus merupakan salah satu pertanyaan sentral dalam injil Yohanes (7:27-28; 8:14; 9:29-30). bdk 18:30, 35 (imam-imam kepala) dan Yudas (12:4; 13:11,21) di mana digunakan kata ‘menyerahkan’.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Baru sekarang tuduhan itu diberikan. Pilatus harus memenuhi tuntutan mereka kalau dia tetap mau diterima oleh kaisar dan mempertahankan kedudukannya. Dia tidak boleh membebaskan orang yang melawan kaisar. Tidak gampang menangkap perasaan Pilatus mendengar tuduhan yang tidak terbukti ini. Bukankah dari tadi dia berusaha membebaskan Yesus? Tiba-tiba saja Pilatus menyuruh membawa Yesus keluar dan mempersilakan-Nya duduk di kursi pengadilan15 . (19:13-16a). Hari kira-kira jam dua belas siang16 . Yesus duduk di kursi pengadilan dan Pilatus menyatakan-Nya sebagai raja orang Yahudi. Reaksi orang-orang Yahudi sekali lagi sengit seperti ketika Yesus diperlihatkan kepada mereka untuk pertama kalinya. Bersama-sama mereka berteriak menolak Yesus dan minta supaya Dia disalibkan. Pilatus belum menyerah dan sekali lagi menggugah perasaan kebangsaan mereka17 . Imam-imam kepala tidak dapat menerima katakata Pilatus ini. Yesus bukan raja mereka, tetapi kaisar. Dia tidak memberi keuntungan apa-apa kepada mereka baik kehormatan maupun kekayaan. Dia hanya menjadi duri dalam daging. Lebih baik Dia mati daripada kedudukan mereka terancam dan keselamatan bangsa ini dalam bahaya. Pilatus menyerah. Dia “menyerahkan Yesus kepada mereka untuk disalibkan”. Dia menyerahkan-Nya kembali kepada orang Yahudi. Kedudukannya selamat. Dia tidak perlu dilaporkan kepada kaisar bahwa dia telah membiarkan seorang ‘pemberontak’ tanpa hukuman. Dia tetap sahabat kaisar. Yesus dihukum mati tanpa ada pernyataan bahwa Dia bersalah. Penguasa dunia ini memang tidak berkuasa sedikitpun atas diri-Nya. Mereka harus tahu bahwa Dia mengasihi Bapa dan bahwa Dia melakukan segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Nya (bdk 14:30-31).
5. PENYALIBAN DAN KEMATIAN YESUS Para imam kepala menerima Yesus, tetapi tidak seorangpun yang membebankan salib itu pada-Nya (19:16b-22). Yesuslah yang pergi ke luar ke Golgota sambil memikul salib-Nya. Di situ mereka menyalibkan Dia. Yohanes tidak mengenal ‘jalan salib’ ke Golgota. Dia langung berbicara tentang penyaliban Yesus. Siapasiapa yang disalibkan bersama dengan Yesus tidak disebut, tetapi Yesus ada di tengahtengah. Identitas dan alasan penyaliban kedua orang itu tetap menjadi rahasia bagi pendengar. Menarik bahwa Yohanes tidak menyebut mereka ‘penjahat’. Hal ini patut diperhatikan karena injil ini mempunyai ciri menggunakan lambang. Pusat perhatian ada pada Yesus yang berada di tengah-tengah orang-orang yang tersalib 15 16 17
Dari sudut bahasa terjemahan ini mungkin (bdk Ignace de la Potterie, op.cit., 83). Kemungkinan besar penginjil di sini lebih berteologi daripada melaporkan suatu peristiwa. Dengan demikian pengadilan ini berjalan cepat sekali. Pertemuan Yesus dengan perempuan dari Samaria juga kira-kira pada jam dua belas siang. bdk 18:39.
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
95
Sesuai dengan tuduhan orang Yahudi Pilatus menyuruh orang menuliskan identitas dan alasan penyaliban-Nya sebagai berikut: “Yesus orang Nazaret, raja orang Yahudi”. Yang sangat istimewa ialah tulisan itu dibuat dalam tiga bahasa yang terkenal waktu itu. Seluruh dunia harus mengetahui alasan penyaliban ini. Imamimam kepala terkejut dengan tulisan itu dan menyampaikan protes kepada Pilatus, tetapi tidak digubris. Baru sekarang mereka sadar akan penghinaan yang harus mereka tanggung karena dosa-dosanya sendiri( bdk 19:11). Para prajurit yang dilibatkan dalam penangkapan Yesus (18:3,12) dan yang telah mempermainkan-Nya sebagai raja (19:1-3) bertindak sebagai pelaksana penyaliban (19:23-24). Jumlahnya empat orang. Pakaiannya diambil, lalu dipotong dan dibagi-bagi masing-masing mendapat sepotong. Jubah-Nya juga diambil, tetapi karena tenunannya utuh tanpa jahitan, mereka merasa sayang untuk dibagi. Jubah itu diundi. Dia mati sebagai orang benar yang diperlakukan secara tidak semena-mena (Mzm 22:19).Yesus disalibkan telanjang bulat sebagai orang yang terhina. Hal itu memang sangat biasa dilakukan waktu itu terhadap orang-orang yang disalibkan. Tak ada ampun bagi penjahat dan Yesus disalibkan di tengah-tengah mereka. Mata pendengar kemudian diarahkan kepada sejumlah murid yang berdiri dekat salib Yesus (19:25-27). Secara sangat menyolok berdiri dekat salib itu empat perempuan yang disebut dengan namanya18 . Ibu-Nya disebut paling dulu. Mereka hanya disebut ‘berdiri dekat salib’, sedang yang melihat ialah Yesus. Dia melihat ibuNya dan murid yang dikasihi-Nya berdiri di samping ibu-Nya. Murid itu diandaikan19 berada di situ. Hal melihat disebut hanya sebagai keterangan, sedang yang terpenting ialah perkataan-Nya. Kata-kata Yesus singkat, padat dan bagaimanapun harus diakui sangat mengejutkan. Kepada ibu-Nya Yesus memerintahkan supaya menerima murid yang dikasihi-Nya itu sebagai anaknya, sedang kepada murid-Nya itu dia memerintahkan supaya menerima ibu-Nya sebagai ibunya sendiri. Penginjil langsung menjelaskan bahwa sejak saat itu murid itu menerima Maria menjadi ibunya. Tidak dapat disangkal bahwa seluruh adegan ini adalah suatu teologi20 besar tentang buah salib Yesus. Persoalannya luas dan karena itu, tidak perlu dibicarakan di sini. Maria menjadi ibu kita di bawah salib dan kita menjadi anak-anaknya juga di bawah salib21 . Adegan penyerahan timbal balik itu merupakan tindakan terakhir Yesus sebelum wafat-Nya dan Yesus sadar akan hal itu (19:28-30). Dia menerima kematian-Nya dengan penuh kesadaran. Demikian keterangan penginjil. Tibalah saatnya Yesus menyampaikan keluhan-Nya yang terakhir. Dia haus. Orang benar ini pernah sangat haus dan inilah kehausan-Nya yang terakhir. Dia haus untuk 18 19 20 21
96
Mungkin empat perempuan (termasuk ibu-Nya). Dari cara mengatakannya. Jangan ditanyakan tentang kesejarahannya. Yang mau disampaikan ialah kebenaran keselamatan tentang salib Yesus. bdk awal doa St.Edit Stein yang berjudul ‘Iuxta crucem tecum stare’ (Jumat Agung,15 April 1938): “Pada hari ini aku berdiri bersama engkau di bawah salib, dan merasakan lebih kuat lagi daripada yang kurasakan sebelumnya, bahwa engkau menjadi ibu kami di bawah salib” (Mount Carmel 50,1 (2002),64).
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
melaksanakan kehendak Bapa-Nya dan haus untuk memberikan air kehidupan kepada manusia22 , tetapi sebagaimana biasanya manusia tidak mengerti kehausanNya itu. Mereka memberi Dia minum anggur asam untuk meringankan penderitaanNya. Akan tetapi, Yesus meminumnya dan berkata: “Sudah selesai.” Saatnya untuk pergi dari dunia ini kepada Bapa telah tiba dan Ia mengasihi murid-murid-Nya sampai pada kesudahannya (18:1). Yesus lalu menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan roh-Nya. Kematian-Nya adalah penyerahan roh-Nya bagi kehidupan dunia. Yesus menyerahkan nyawa-Nya pada hari persiapan Sabat yang adalah hari besar orang Yahudi (19:31-37). Hari itu adalah hari pantang penyaliban. Tulangtulang orang yang disalibkan harus lekas-lekas dipatahkan supaya mereka lekas mati dan mayat-mayatnya diturunkan dari salib. Atas permintaan para pemuka Yahudi Pilatus memerintahkan supaya para prajurit menjalankan tugasnya23 . Mereka mematahkan kaki kedua orang yang disalibkan bersama-sama dengan Yesus, tetapi ketika mereka sampai kepada-Nya, mereka mendapatkan bahwa Dia sudah mati. Untuk menguji kematian-Nya salah seorang prajurit itu menikam lambungNya dengan tombak “dan segera keluar darah dan air”. Dia memang mati (=darah) sebagai orang yang disingkirkan, tetapi dari dalam diri-Nya keluar kehidupan (=air)24 . Dia telah menyerahkan kehidupan-Nya supaya orang lain dapat hidup. Penginjil telah melihat semuanya ini dan dia berharap agar para pendengar juga melihatnya dengan “memandang Dia yang telah mereka tikam.”
6. PEMAKAMAN YESUS Pemakaman Yesus dilakukan oleh dua orang murid Yesus sendiri (19:3842). Keduanya laki-laki dan keduanya menjadi murid secara sembunyi-sembunyi karena takut dikucilkan oleh para penguasa Yahudi. Mereka lebih menyukai kehormatan manusia daripada kehormatan Allah (12:43). Selagi Yesus hidup mereka belum sampai pada tingkat keberanian pengemis buta yang disembuhkan itu25 , tetapi pada saat terakhir ini mereka tidak mau lagi menjadi murid secara sembunyi-sembunyi. Apapun risikonya, mereka harus menghadap penguasa. Mereka tidak mau mayat Yesus dibiarkan begitu saja atau dimakamkan secara massal. Tentu saja dengan membayar sejumlah uang. Dengan penuh kehormatan kedua murid itu lalu memakamkan Yesus sesuai dengan adat kebiasaan orang Yahudi.
22 23 24 25
Menurut hemat saya kedua hal ini terdapat dalam cerita tentang percakapan-Nya dengan perempuan dari Samaria itu (4: 4-42). Tentang air kehidupan, bdk 7 37-39. Inilah pemunculan mereka yang ketiga dalam kisah ini. Masih ada perbedaan pendapat tentang teologi ay.34 yakni tentang darah dan air yang keluar dari lambung Yesus yang ditikam. bdk Yoh 9.
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
97
Tempat Yesus disalibkan itu dekat suatu kebun dan dalam kebun itu ada kubur baru. Karena waktunya mendesak26 , Yusuf dari Arimatea dan Nikodemus menggunakan saja kubur baru itu dan meletakkan mayat Yesus di situ. Kesan bahwa kubur itu bersifat darurat tidak dapat dielakkan.
7. PENUTUP Kita telah mendengarkan suatu renungan naratif tentang kisah Kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus menurut Yohanes. Kisah ini bukan suatu laporan fakta, melainkan suatu teologi dan teologi ini berbentuk cerita. Ini berarti bahwa cerita ini masih terus hidup sampai hari ini. Gereja yang mendengarkan cerita ini, tetapi tidak melihat hidupnya dan hidup yang nyata ini belum mendengarkannya dengan baik. Kehidupan manusia, dunia dan iman terlukis dengan cukup jelas dalam kisah ini. Kita harus belajar melihatnya dan harus melihat bahwa Yesus disalibkan bersama dua orang lain. Dia berada tengah-tengah. Gambaran ini tidak pernah boleh kita lupakan atau bahkan hilangkan. Kisah kesengsaraan Tuhan kita Yesus Kristus bukan saja kita dengarkan dan renungkan, melainkan kita rayakan pula. Setiap tahun kita rayakan secara agung dan mulia dalam Trihari Suci dan setiap hari kita kenangkan dalam perayaan Ekaristi. Sayang sekali, bahwa dimensi memoria passionis sangat kerap tidak tampak dalam perayaan kita. Dampaknya untuk penghayatan pasti ada. Orang lupa bahwa kekristenan tanpa salib, kekristenan tanpa perhatian kepada orang yang menderita dalam segala bentuknya khususnya mereka yang diperlakukan secara tak adil tidak mungkin ada. Gereja tidak takut percaya pada salib karena dia percaya bahwa kemenangan Yesus ialah karena salib-Nya. Injil yang memberitakan Yesus yang bangkit tanpa salib tak dapat dipercaya. Tomas rasul yang meragukan semuanya itu telah dibenarkan oleh Yesus sendiri yang menampakkan diri-Nya pula kepadanya sebagai yang tersalib, tetapi sekaligus dengan peringatan: “Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya!” (20:29). Berbahagialah mereka yang tidak melihat kemuliaan Yesus sekarang, tetapi tetap percaya pada salib-Nya.
BIBLIOGRAFI Meier, John P., “Jesus,” dlm NJBC (=Brown-Fitzmyer-Murphy (eds.), The New Jerome Biblical Commentary (Englewood Cliffs: Prentice Hall, 1990) 26
98
Mayat orang yang dihukum mati tidak boleh dibiarkan tergantung pada tiang, tetapi harus dikuburkan pada hari itu juga, “sebab seorang yang digantung terkutuk oleh Allah” (21:23). Tanah tidak boleh menjadi najis karena kehadiran mayat yang tergantung itu.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Perkins Pheme, “The Gospel according to John,” dlm NJBC 61 de la Potterie, Ignace, The Hour of Jesus (New York: Alba House, 1997) Spong John Shelby, Rescuing the Bible from Fundamentalism (San Fransisco: Harper,1991) Stein, Edit, “Juxta crucem tecum stare,” Mount Carmel 50:1(2002),64. Vanhoye, A., De Narrationibus Passionis Christi in Evangeliis Synopticis (Roma: PIB, 1970)
Berthold Anton Pareira, Kisah Kesengsaraan Tuhan
99
IDE DAN PRAKSIS TOLERANSI Pengalaman Eropa Pasca-Reformasi Martin Luther
Eddy Kristiyanto STF Driyarkara, Jakarta Abstract: One of theses that would be presented here in this article is within the historiography of the modern era of religious tolerance the Protestant Reformation era has always been considered of paramount important for the developments which led to the achievement of a liberal and tolerant society. The history shows, however, that the first century of the Reformation was followed by the intolerence, and some nations like Germany, France, England put into practice the political, economic interets which corelatted with religious belief. The break-up of the near monolithic structure of medieval Western Christianity for the first time presented contemporary lay and ecclesiastical rulers with the practical problem of how to deal with religious plurality. The aspects of religious toleration, such as freedom of conscience and freedom of worship, are something new. This article presents the efforts of Western Christians to give the solution. Keywords: Reformasi, Gereja, Edikt Nantes, Koeksistensi Damai, Revokasi Edikt Nantes, Akta Toleransi, Perdamaian Westfalen, The Test Act
Toleration is a quality that most members of modern liberal societies prize - until they have to put up with something truly intolerable (Philip Benedict) Indonesia, yang pernah dipimpin oleh “The Smiling General”1 , menghangatkan wacana tentang SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) pada dekade terakhir ini. Hal itu dikarenakan antara lain oleh maraknya konflik horisontal, yang diberitakan telah disulut oleh orang atau sekelompok orang yang bekerja secara sistematik dan terorganisasi dengan menggunakan isu SARA. Konflik tersebut terlalu sering mengobjekkan orang-orang yang dikategorikan di bawah nama “mereka” dan “bukan orang kita” menjadi korban dan tumbal. Seakan-akan sudah merupakan keniscayaan, jika konflik semacam itu muncul, lalu dinding-dinding dikotori dengan ungkapan 100% Pribumi, Milik Kristen, Islam Murni, dlsb. Dalam arti tertentu, ungkapan-ungkapan ini merupakan suatu manifestasi intoleransi. Saksi-saksi bisu tentang semua ini masih hidup di Pasuruan, Surabaya, Tasikmalaya, Rengasdengklok,
1
100
Sebutan yang diciptakan O.G. Roeder untuk orang nomor satu dalam periode Orde Baru, O.G. Roeder, The Smiling General. President Soeharto of Indonesia, Djakarta: Gunung Agung Ltd., 1969.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Jalan Ketapang, Kupang, Sambas, Maluku, Ambon, Mataram, Makasar, Poso, dan lain sebagainya. Ada tidaknya sikap intoleran – demikian juga sikap toleran – dalam konteks situasi Indonesia sangat kompleks. Sebab sikap-sikap tersebut berhubungan langsung dan tidak langsung dengan latar belakang kepribadian, keyakinan pribadi, pendidikan, sistem politik, keadaan ekonomi, psikologi dan alam budaya. Dan lagi, setiap “pandangan hidup” yang berhubungan dengan sunsur-unsur tersebut pastilah juga berhubungan dengan keyakinan dasariah hidup manusia, seperti keselamatan, martabat manusia, alam semesta, iman, moral, demokratisasi, Allah, sesama, hak-hak asasi manusia, lingkungan hidup, dlsb. Mengingat keyakinan dasariah penganut agama dapat disuburkan dan diasah oleh kenangan (memory) akan pengalaman masa lampau, maka fokus karangan ini adalah mencari jawaban atas soal: “Bagaimana gagasan dasariah dan praksis toleransi dan intoleransi di Eropa Barat setelah kesatuan agama tidak lagi terwujud dengan munculnya Reformasi Protestan?” Pengalaman (Kristen) Eropa Barat dapat menjadi salah satu bahan komparasi dengan ide-ide tentang toleransi dan intoleransi yang barangkali masih hidup dan berkembang di Indonesia dewasa ini. Untuk itulah secara terinci berikut ini akan dijawab persoalan tersebut dengan melakukan sightseeing sambil mengacu pada peristiwa, terutama yang terjadi di Eropa pada era modern (sejak Reformasi Protestan), yang melahirkan prinsip-prinsip dan pelaksanaan gagasan toleransi dan intoleransi. Selain itu, studi ini mengindahkan pendekatan-pendekatan hermeneuse historis, seraya memperhatikan data historis dan mengedepankan interpretasi atasnya sesuai dengan prinsip historiografi, yakni konvergensi sumber. Pada akhir studi ini dipresentasikan dengan pemandangan singkat tentang sikap Gereja Katolik Roma saat itu atas ide dan praksis toleransi-intoleransi.
1. GENESIS IDE TOLERANSI Apa yang kita maksudkan, jika kita berbicara tentang toleransi sebagai suatu fenomen historis? Gagasan modern tentang toleransi itu secara hakiki bersifat permisif, membolehkan segala sesuatu yang berbeda menyangkut iman dan gaya hidup demi hidup bersama tanpa merugikan warga sipil atau keadaan ekonomi. Paham ini mengimplikasikan netralitas sikap, atau sekurang-kurangnya tiadanya perseteruan terselubung yang seringkali kontraproduktif. Selain itu, paham itu juga melampaui kepercayaan religius, di antara hal-hal lain, gaya hidup, ras, perbedaan usia dan kultural. Mengapa demikian? Hal itu dikarenakan oleh sifat kodrati setiap kepercayaan senantiasa mengandung kecenderungan eksklusif dan tertutup, personal dan pilihan pribadi. Kadang-kadang, toleransi diartikulasikan dalam terminologi kepercayaan religius, tetapi terkadang menyangkut pula perbedaan etnik dan kultural. Menurut Bob Sribner dalam hal kepercayaan religius, toleransi dalam konteks historis pokok pembicaraan kita bersangkut-paut dengan 3 (tiga) paham yang saling berhubungan:
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
101
Claims to freedom of conscience, as advanced by Luther at the Diet of Worms, but also understood by all those of a humanisterasmian orientation; separation of secular and spiritual authority inherent in Luther’s Two Kingdom’s doctrine (but also inherent in the medieval – and erasmian – distinction between those offences subject to ecclesiasical censure and those punishable by civil law); love of neighbour and patience with weaker brethren – an essentially erasmian notion, but one share by many of the early reformers.2 Pembicaraan perihal toleransi khususnya di zaman kontemporer ini dapat dirincikan dalam dua bagian.3 Pertama menyangkut prinsip-prinsip dan kaitan toleransi dengan intoleransi, misalnya alasan-alasan yang sering dikemukakan sebagai pendukung dan penghambat. Di sini dibicarakan argumen pro dan argumen kontra terhadap toleransi. Kedua, wujud nyata atau praktik toleransi dan intoleransi sebagai sesuatu yang berbeda dengan gagasan pro dan kontra terhadap toleransi. Tidak bermanfaat membantah kebenaran historis berikut ini, bahwasanya gerakan pembaruan keagamaan yang dirintis Martin Luther dan kawan-kawannya, yang lebih populer disebut dengan istilah Reformasi Protestantisme, telah menyebabkan keterpecahan agama di Eropa Barat dari satu agama [baca: Gereja] Katolik Roma menjadi dua agama bahkan lebih. Masalah baru muncul dari padanya, yakni bagaimanakah mewujudkan koeksistensi damai dalam keanekaragaman agama itu? Tegasnya, bagaimana menepis keluar masyarakat yang ekslusif-dogmatis yang diinspirasikan oleh monopoli gerejawi dan agamawi? Dalam kenyataannya, lahirnya Protestantisme mendesak munculnya gagasan sekaligus masalah toleransi. Dalam sejarahnya, toleransi tampil sebagai pemenang setelah melalui perjuangan yang lama di dalam kesulitan-kesulitan mahabesar yang berhubungan dengan usaha dan kesalahan teoretis-praktis. Selama kurun waktu yang relatif lama gagasan dan praktik toleransi dipandang oleh pihak Katolik [dan Protestan] sebagai tindak kriminal serta pelecehan terhadap kebenaran, cintakasih, masyarakat dan Negara. Dapat dibayangkan bagaimana situasi Geneva di bawah Yohanes Kalvin, London di bawah Raja Henry VIII dan Roma di bawah Paus Pius V. Bagi mereka, yakni para pendukung tokoh-tokoh tersebut, toleransi menjadi sebuah anathema (laknat). Sebab masing-masing melihat dari dan demi kepentingan diri mereka sendiri. Ketertutupan terhadap pihak lain di satu pihak, dan keprihatinan akan keesaan Gereja Kristus di lain pihak, saling berhadapan tanpa sempat menggerakkan daya rekonsiliasi yang sehat dan penuh hormat. Berikut ini akan kita lihat pandangan banyak orang Katolik (dan Protestan), termasuk para pemuka/pemimpin jemaat, terhadap toleransi, terutama pada awal zaman modern, yakni ketika kesatuan agama di Eropa merupakan ilusi, dan pluralitas agama merupakan keniscayaan; sementara itu banyak orang tidak siap dan tidak
2 3
102
Bob Scribner, “Preconditions of tolerance and intolerance in sixteenth-century Germany,” in O.P. Grell – B. Scribner, (eds.), Tolerance and Intolerance ..., p. 34. Tolerance and Intolerance ..., menginspirasikan refleksi historis ini.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
disiapkan untuk menerima dan mengakui seraya menghormati perbedaan pandangan dan ketidaksamaan keyakinan. Keanekaan pandangan dan opini atau heterodoksi masih dipandang sebagai gagasan makar yang perlu dieliminasi sedini mungkin.
1.1. Toleransi: Tindak Kriminal Terhadap Kebenaran Orang-orang yang toleran sering kali diartikan identik dengan orang yang bersikap indiferen atau relativisme. Dan setiap indiferentisme4 tidak diperkuat oleh bukti-bukti objektif, sehingga halnya sedikit banyak bercorak subjektif. Selain itu, banyak orang yang membela mati-matian ajaran yang benar dengan tidak membiarkan hidup ajaran yang tidak benar: heretik [bidaah]. Sebab mereka ini bertentangan dengan ajaran Kristus, amanat Kitab Suci. Kebenaran Kristus itu sifatnya tunggal, mutlak dan abadi. Amanat Kitab Suci itu jelas dan tidak mendua. Jika sifat ajaran Kristus itu demikian, maka sikap merelatifkan ajaran dengan sikap toleran itu diidentikkan dengan tindak kriminal. Tentu saja, para penyembah berhala dan penghojat, misalnya, tidak dapat ditolerir. Karena mereka ini bertentangan dengan ajaran Kristus dan Alkitab.
1.2. Toleransi: Tindak Kriminal Terhadap Cintakasih Sikap toleran dipandang sebagai aksi kriminal melawan cintakasih. Hal ini dikarenakan toleransi itu ibarat membiarkan pintu terbuka bagi aneka ragam kesalahan. Siapa yang toleran berarti tidak menyadari dan tidak berupaya untuk menentang bahaya yang sedang mengancam, membiarkan diri terbuka di hadapan kenyataan yang menyebabkan kematian kekal jiwa-jiwa. Kalvin pernah menegaskan, bahwa kemanusiaan mereka yang ingin menyelamatkan bidaah itu lebih kejam. Sebab ia membiarkan srigala memangsa habis domba gembalaannya. Bahkan tidak jarang orang mengungkapkan kecemasan ini: jika ada kebebasan beragama dan beribadat, maka hal itu akan diikuti oleh munculnya pelbagai macam sekte dan aliran keagamaan, yang bukannya mengupayakan keutuhan, persatuan, saling menghormati. Akhir dari semua ini adalah konflik, yang saling menyingkirkan, yang tentu saja melanggar cinta kasih.
4
Indiferentisme merupakan suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama [bahkan aliran kepercayaan pun] di dunia ini sama baiknya [kalau demikian juga sama buruknya!]. Ini berarti bahwa semua agama itu sama saja. Praktisnya, ajaran dan penganut agama tertentu tidak mengatakan kualitas kemanusiaan, misalnya ajaran dan penganut agama Islam secara objektif lebih baik daripada ajaran dan penganut agama Protestan. Demikian pula sebaliknya! Oleh karena itu, orang tidak perlu mempersoalkan agama mana yang dipeluk seseorang. Indiferentisme pada prinsipnya kontradiktoris. Mengapa? Sebab fakta memperlihatkan bahwa agama yang satu berbeda dengan agama yang lain. Lebih dari sekedar perbedaan, ada hal-hal prinsipal yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain. Misalnya, ajaran agama Islam tentang Yesus yang historis dan injili bukan hanya berbeda, tetapi bahkan bertentangan dengan ajaran agama Katolik Roma.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
103
1.3. Toleransi: Tindak Kriminal Terhadap Masyarakat dan Negara Ada anggapan, jika kemajemukan agama (seperti di Indonesia pada zaman Orde Baru ada 5 agama resmi yang diakui pemerintah) diizinkan, maka kesatuan dan persatuan bangsa serta Negara diganggu-gugat. Bahkan dikatakan, jika tidak ada kesepakatan dalam iman dan masalah-masalah berkenaan dengan Tuhan, maka mustahil ada kesepakatan dalam masalah-masalah profan dan politik. Dalam traktat Perdamaian Augsburg, 1555, misalnya ditegaskan, “Setiap pangeran memiliki hak dan kekuasaan untuk melindungi agama lama dalam wilayahnya, kota-kotanya, dan komunitas-komunitasnya. Sebab ubi unus dominus, ibi una sit religio.” (Artinya, di mana ada satu tuan, di sana ada satu agama). Penegasan ini disetujui baik oleh pihak Katolik maupun pihak Protestan, kendati ada pelbagai reaksi menentangnya.5 Sebaliknya, perlu pula dinyatakan adanya sejumlah alasan yang mendukung toleransi. Pertama-tama, minimalisme dogmatis. Pada awal Reformasi Protestan, ketika belum begitu jelas perbedaan mendalam mengenai dogma dari kedua belah pihak, Erasmus van Rotterdam mengedepankan anggapan yang menarik. Kesatuan religius dapat dipulihkan kembali dengan jalan kesepakatan tentang beberapa hal substansial. Bagi Erasmus, hal-hal yang dapat didiskusikan kembali, misalnya primat paus, asal-usul ilahi pengakuan dosa, dlsb.6 Dalam konteks ini yang dipersoalkan adalah aspek moral, dan bukan aspek dogma. Diskursus Erasmus diperlebar oleh Sebastian Châteillon yang mengatakan bahwa kristianisme seyogyanya lebih menitik-beratkan pada kejernihan kualitas hidup daripada ketepatan [rumusan] doktrin. Diibaratkannya, Kristus itu seorang raja yang bepergian untuk suatu waktu yang tidak ditentukan. Ia mengingatkan kepada para bawahan-Nya untuk menentukan sendiri kapan Diri-Nya kembali. Sang Raja tidak berkenan memastikan kapan saatnya tiba, di mana Dia bakal mengenakan pakaian putih. Para bawahannya yang mengisi waktu dengan mendiskusikan hal-hal doktriner itu serupa dengan orang yang tidak menyiapkan pakaian putih. Mereka ini membuangbuang waktu dengan bertengkar mengenai perjalanan Sang Raja dan saat kapan Dia akan kembali. Bidaah atau heretik semata-mata adalah divergensi pandangan, di mana tidak mungkin dicapai suatu kepastian. Sebab Tuhan, yang juga telah mewahyukan dengan jelas apa yang diperlukan untuk keselamatan, ingin membiarkan orang dalam suasana kegelapan. Lebih lanjut, semua hal yang berkenaan dengan iman, misalnya dogma Trinitas, penebusan Kristus, baptis dan sebagainya, dapat jadi bermanfaat, akan tetapi tidak [mutlak] perlu untuk keselamatan. Tidak perlu orang bersusah-payah mencari manakah Gereja yang sejati. Sejalan dengan itu, Negara tidak berhak untuk menerapkan proses hukum terhadap para bidaah.
5 6
104
Joseph Lortz, Die Reformation in Deutschland. ..., S. 213 ss. Lihat C. Augustijn, Erasmo da Rotterdam. ..., pp. 163-182.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
2. KOEKSISTENSI DAMAI DENGAN PRINSIP MINUS MALUM Pada paroan kedua abad XVI meletus perang agama yang berkesinambungan antara Huguenots (Kalvinis) dan Katolik di Perancis. Tidak sedikit korban yang jatuh dari kedua pihak. Maka diusahakan pelbagai cara untuk mencegah Henry dari wangsa Borbon, seorang Kalvinis, naik takhta. Sebab, jika Henry sampai menjadi raja Perancis ini berarti suatu kemenangan Kalvinis di seluruh Perancis. Selain itu, Perang 30 Tahun [1618-1648] yang melibatkan Perancis, Jerman dan Swedia berdampak yang sangat besar.7 Perang 30 Tahun yang meletus di daratan Jerman telah memporakporandakan perekonomian dan masyarakat Jerman: jumlah penduduknya menyusut tajam dari 20 juta menjadi 6 juta; Augsburg pada mulanya dihuni oleh 80.000 jiwa, sekarang hanya oleh 20.000 jiwa. Jerman kekurangan segala-galanya. Ini semua diderita Jerman atas nama agama! Di tengah situasi yang serba buruk tersebut, manakah yang paling baik? Orang sederhana kiranya akan mengatakan dengan penuh keyakinan prinsip minus malum (yang kurang buruk di antara yang buruk): “Lebih baik kita mengusahakan hidup bersama dengan damai, daripada kita membela mati-matian agama kita dengan membunuh para pemeluk agama lain. Padahal kita tidak pernah diselamatkan oleh agama kita. Bukankah yang menyelamatkan kita hanyalah Dia yang menciptakan, memelihara dan mencintai serta menghendaki kehidupan?”
3. MEMISAHKAN KESATUAN AGAMA DAN POLITIK Jika kesepakatan di bidang doktriner (menyangkut ajaran konfesional) tidak dapat tercapai, tidak mungkinkah ditemukan suatu dasar pemahaman, misalnya berhubungan dengan politik demi kepentingan Negara dan hidup bermasyarakat? Usulan semacam itu dimajukan pertama kali oleh Thomas More († 1535) dalam satir sosial berjudul Utopia, tahun 1516.8 Di sini pengarang dengan nada ironis dan bercengkerama memerikan suatu cerita tentang seorang teman dari Amerigo Vespucci yang membuatkan baginya sebuah negara yang mengagumkan, Utopia. Pendiri Negara yang bernama Utopo telah memaklumkan kebebasan beribadat dan propaganda, sambil membuktikan bahwa perjuangan keagamaan yang ada di Negeri itu hingga kedatangannya telah mempermudah penaklukan Negeri.9 Sebenarnya Thomas More tidak bermaksud menyuguhkan sebuah satire, melainkan suatu cita-cita, yang nantinya disangkal dalam karya-karya, seperti misalnya Debèllacion of Salem
7 8 9
Lihat C.V. Wedgwood, The Thirty Years War. Lihat Thomas More, Utopia, Translated with an Introduction by Paul Turner, London: Penguin Books, 31968. Lihat “Prolegomena”, in G.M. Logan, The Meaning of More’s “Utopia”, Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1983, pp. 3-18.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
105
and Bysance, 1533; Apologie, 1533. Teori itu diafirmasikan di Perancis (pada belahan kedua abad XVI). Di negeri Perancis ada suatu kelompok yang dekat dengan Catharina de Medici, yang telah menyampaikan kritik (kesiangan) terhadap prinsip tradisional Une foi, une loi, un roi (artinya, satu iman, satu undang-undang, satu raja). Kelompok ini menunjuk pada distingsi antara tatanan politik-temporal dengan tatanan spiritualreligius. Distingsi itu juga diperjelas dengan menggarisbawahi perbedaan mencolok antara Negara dan Gereja seraya memperjelas diversitas hakiki antara kesatuan politik dengan kesatuan religius. Kedua entitas ini mempunyai dasar yang berbeda. Oleh karena itu, hubungan antara agama tradisional dengan dinasti dan nasion ditolak. Setelah colloquium di Poissy (1571) mengalami kegagalan, maka semakin jelaslah bahwa setiap bentuk rekonsiliasi bidang dogmatik tidak mungkin terjadi. Hal inilah yang antara lain diungkapkan oleh Jean Bodin (… 1596) dalam karyanya yang berjudul Colloquium heptaplomeres (Pembicaraan Bersama Tujuh Orang)10 dan De la République. Dengan demikian, dimulailah segala bentuk pengakuan hukum sipil dan politik orang-orang non-Katolik. Sebab “kedaulatan” bagi Bodin dimaksudkan kekuasaan absolut dan abadi yang dimiliki setiap bentuk Negara. Kedaulatan ini menjadi eksplisit terutama dalam penetapan undang-undang pada para “bawahan”nya tanpa persetujuan mereka terlebih dahulu. Absolutisme Bodin ini tentu mengandung keterbatasan objektif dalam norma-norma etis, seperti keadilan, dalam hukum kodrat dan hukum ilahi. Meski demikian semua keterbatasan ini sekaligus merupakan kekuatannya. Kedaulatan yang tidak menghormati undang-undang ini bukan lagi kedaulatan, melainkan tirani. Pengakuan ini kemudian diterapkan di sejumlah Negara, misalnya di Perancis,11 Polandia, Savoia, Bohemia. Dalam tataran filosofis masalah toleransi juga digarap oleh Benediktus Spinoza dalam karyanya Tractatus theologico-politicus12 , dan terutama oleh John Locke dalam bukunya Epistula de tolerantia, 1685.13 Karya terakhir ini berkaitan dengan
10
11 12
13
106
Buku ini bertemakan toleransi religius dan menggambarkan pertemuan yang terjadi di Venezia antara 7 (tujuh) orang dari agama yang berbeda, yakni Katolik, Lutheran, Kalvinis, Yahudi, Islam, Tak Beragama dan seorang pemeluk agama alami. Tesis utama buku Bodin ini, bahwasanya ada dasar alami yang secara umum terdapat pada semua agama. Atas dasar yang umum ini kiranya mungkin terjadi suatu kesepakatan umum, tanpa mengorbankan perbedaan-perbedaan (atau juga unsur plus-nya) dari semua agama. Oleh karena itu, Bodin sampai pada kesimpulan bahwa dasar alami implisit dalam agama-agama yang berbeda, itulah yang menyatukan secara lebih kokoh daripada yang memecah belah. Cfr. G. Reale – D. Antiseri, Il pensiero occidentale ...., II: 99. Vide J. Garrisson, L’Édit de Nantes et sa révocation. Karya ini, yang diterbitkan dalam tahun 1670 sebagai karya anonim dan dengan indikasi tempat cetak yang palsu, memancing polemik. Bagi Spinoza, para pemeluk agama-agama hidup kurang lebih dengan cara yang sama. Untuk mengetahui iman mereka (Kristen atau Islam atau Yahudi) cukuplah mengamati sikap dan pakaian mereka, cukuplah mengetahui apakah ia hadir di rumah ibadat ini atau itu; cukuplah melihat ia mendukung pendangan ini atau berjanji dengan kata-kata pemimpin itu. Selebihnya semua orang beragama itu sama saja. Lihat Trattato teologico-politico, a cura di R. Cantoni – F. Fergnani, Torino: UTET, 1972. Dikutip oleh G. Reale – D. Antiseri, Il pensiero occidentale ...., II: 324. Berseberangan dengan Hobbes, bagi Locke Negara tidak harus memasukkan diri dalam masalah-masalah
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
penghapusan Edikt Nantes.14 Sebenarnya, Negara tidak mempunyai sarana untuk mengenali manakah kriteria kebenaran agama yang padanya banyak anggota masyarakat mempercayainya. Semua agama yang tidak mempraktikkan ritus-ritus amoral harus ditolerir dengan dua kekecualian, yakni ateis15 dan mereka yang tergantung pada prinsip asing. John Locke, yang dikenal juga sebagai “penginjil doktrin Whig”16 dengan demikian mendukung bahwa Negara secara mutlak harus tidak mencemaskan diri dengan keselamatan jiwa-jiwa. Hal ini sama saja dengan memperlebar (secara logis) hak masyarakat umum yang kemudian ditelorkan dalam teori hak-hak kodrati. Tetapi karya Roger Williams, seorang pastor yang beremigrasi ke Amerika Utara, yang berjudul The Bloudy Tenet of Persecution for Cause of Conscience, London 1644, acapkali dinilai sebagai sebuah karya yang sangat skandalistis. It is the will of command of God, that since the coming of his Son, the Lord Jesus, a permission of the most Paganish, Jewish, Turkish or Antichristian consciences and worships, be granted to all men in all Nations and Countries: and they are onely to be fought gainst with that Sword which is only (in Soule matters) able to conquer, to wit, the Sword of God’s Spirit, the Word of God.17 Nampak jelas, bahwa R. Williams mendukung tesis pemisahan radikal antara Negara dan Gereja sebagai satu-satunya obat mujarab bagi penganiayaanpenganiayaan yang dilakukan oleh agama.
4. UNSUR-UNSUR FUNDAMENTAL TOLERANSI Sejak tahun 1685 raja Perancis, Louis XIV, berusaha dengan pelbagai cara untuk mempertobatkan orang-orang Perancis yang telah menjadi pengikut Kalvin
14
15 16 17
keagamaan. Dan karena iman bukanlah sesuatu yang dapat dipaksakan, maka iman perlu dihormati dan toleransi menjadi mutlak perlu. Toleransi terhadap mereka yang berbeda agama itu sejalan dengan Injil dan akal budi. Sikap itu bagaikan membawa orang-orang buta pada terang benderang. G. Reale – D. Antiseri, Il pensiero occidentale ...., II: 391. John Locke dalam karyanya itu mengumpulkan sejumlah alasan klasik untuk mendukung gagasan tentang toleransi seperti misalnya hormat akan suara hati. Ditegaskannya, “…. Si quis heterodoxos ita convertat ad fidem, ut cogat ea profiteri quae non credunt … illum … velle Ecclesiam christianam, quis est qui potest credere?” Dikutip dari G. Martina, La chiesa … II: 119. Selain alasan itu, ia juga menyebutkan bahwa toleransi itu merupakan kebiasaan khas kristianisme, tetapi yang paling mendasar adalah inkompetensi Negara dalam masalah-masalah keagamaan, mempertahankan kebebasan, integritas tubuh, hak milik termasuk di dalamnya keselamatan jiwa. Lihat pula “introduction” setebal 42 hlm., dalam Epistola de Tolerantia. A letter on Toleration. English Translation with an Introduction and Notes by J.W. Gough, Oxford: Oxford University Press, 1968. Sebab para ateis mengacaukan dasar-dasar utama kehidupan sosial. Lihat B. Williams, The Whig Supremacy...., p. 3. Tekanan berasal dari pengarang buku, The Bloudy Tenet, of Persecution, for Cause of Conscience, Discussed, in A Conference Between Truth and Peace, London 1644, dikutip langsung dari N. Carlin, “Toleration for Catholics in the Puritan revolution”, in O.P. Grell – B. Scribner, (ed.), Tolerance and Intolerance ..., p. 219.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
107
agar memeluk kepercayaan Katolik. Untuk mencapai tujuan ini ia memutuskan mengirim pasukan kerajaan ke wilayah-wilayah yang penduduknya mayoritas Kalvinis. Kasus yang paling mencolok terjadi atas diri Pierre de Garrisson, 6 September 1685. Ia adalah seorang Kalvinis yang menyatakan secara resmi menyeberang ke agama Katolik demi membebaskan diri sendiri dan keluarganya dari ancaman, kecelakaan dan kehancuran. Dalam sebuah pernyataan rahasia, yang diredaksikan dengan sangat teliti dan dengan cara pengungkapan yang sangat jelas, ia menegaskan perihal kebenaran imannya yang Kalvinis. Seorang raja Polandia yang beragama Katolik, Stefanus Báthori pada akhir abad XVI, menegaskan, “Sayalah raja dari rakyat saya, bukan dari suara hati.” Ketiga hal inilah dikhususkan bagi Allah: Dia menciptakan dari ketiadaan; Dia mengetahui masa depan; dan Dia memerintah atas sekalian suara hati. Di hadapan segala pernyataan dan kebijakan politik keagamaan itu kita dapat mengajukan pertanyaan berikut ini: Manakah sikap Gereja?
5. REALISASI IDE TOLERANSI Sejarah perjalanan sikap toleran tidaklah serba sederhana dan mudah. Terkadang ada sejumlah pemikiran dan kebijakan yang relatif maju, tetapi pada waktu yang sama, di tempat lain terdapat praktik-praktik yang dilatarbelakangi oleh alam pikiran yang justru memperlihatkan langkah-langkah mundur. Berikut ini akan kita lihat beberapa tahap hakiki dari langkah-langkah mundur tersebut.
5.1. Konflik Bermotif Agama dan Politik Pembunuhan massal pada pesta Santo Bartolomeus, 23-24 Agustus 1572: ribuan pengikut Kalvin [Huguenots] dianiaya dan dibunuh di Paris dan di sejumlah kota di Perancis [termasuk di antaranya adalah pemimpin mereka, Gaspar de Coligny, 1519-1572] atas amanat Catherine de Medici. 18 Mereka menjadi korban keganasan warga sipil yang mengaku penganut Katolik, bukan korban tindak kekerasan serdadu Perancis saat itu. Warga sipil Katolik tersebut mau mempertahankan kesatuan iman. Hidup manusia tidak berharga, iman dihayati secara fanatik dan picik, menentang setiap bentuk toleransi, tindak kekerasan merupakan cara yang lazim dari pihak pemerintah tirani. Orang-orang Protestan Perancis ini pada mulanya menanamkan kekuatan pada barisan tentara/pasukan yang tangguh. Mereka juga mempunyai basis komunitas politik di empat kota Perancis yang sangat kuat, misalnya di La Rochelle [pantai 18
108
Baca M.P. Holt, The French Wars of Religion ...; J.H. Elliott, Europe Divided ...; R.S. Dunn, The Age of Religious Wars.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Samudera Atlantik], La Charité di Loire, Cognac di Charente dan Montauban di Tarn. Perang sipil ini kemudian memperjelas, bahwa pihak Protestan secara berangsur-angsur kalah. Itulah sebabnya gerakan Protestan di Negeri Perancis menjadi sangat lemah. Hal yang kiranya lebih menarik adalah kebijakan politik yang dianut oleh Takhta Suci. Paus Pius V, 28 Maret 1569, mendesak Catherine de Medici, penguasa Perancis, untuk menumpas habis musuh-musuh Gereja Katolik secara mematikan. Di Belanda ada gejolak, karena Spanyol berusaha mempertahankan hegemoni di sana, sementara itu penduduk Belanda menentangnya.19 Paus Pius V, yang mengetahui situasi itu hanya melalui sumber tunggal, yakni Spanyol, beranggapan bahwa cara yang terbaik adalah mempertahankan aspek religius dan mengakhiri kemelut itu dengan kemenangan agama Katolik atas aspirasi nasional.20 Dengan peristiwa tersebut secara tersamar terulang kembali kesalahan politis Paus Bonifatius VIII di hadapan suatu realitas yang baru sama sekali, yakni Negara nasional. Belanda sudah menyatakan sendiri sebagai Negara yang berdaulat dalam tahun 1609 dan secara definitif pada tahun 1648. Gereja mengesankan bersekutu dengan penguasa asing di negeri Belanda.
5.2. Edik Nantes, 159821 Raja Henry IV, 13 April 1598, mempromulgasikan Edikt Nantes: minoritas pengikut Kalvin, yang disebut Huguenots, diizinkan untuk mempraktikkan tuntutan dan ajaran agama mereka kecuali di beberapa kota tertentu. Mereka juga memperoleh kesamaan hak dan kewajiban sipil serta politik. Paus Klemens VIII menilai langkah politik-keagamaan raja Perancis ini sebagai suatu kekalahan pihak Katolik dan kemenangan pihak Protestan. Di Perancis orang-orang Protestan Perancis menikmati suasana umum yang lebih baik dan terjamin dibandingkan suasana orang-orang Katolik di Inggris. Lain halnya di Polandia yang dikenal sebagai “surga bagi para bidaah”. Polandia merupakan kasus unik: mayoritas penduduk beragama Katolik. Para pemimpin negeri ini mempunyai hubungan yang sangat baik dan hangat dengan Takhta Suci. Mereka melaksanakan restorasi Katolik, tetapi bersamaan dengan itu mengizinkan kebebasan beribadat. Dengan sengaja Polandia menolak setiap bentuk penggunaan kekerasan demi mendukung agama Katolik. Raja Sigismundus Augustus [1548-1572] memperkenalkan toleransi tersebut kepada para penerusnya, Stefanus Báthory dan Sigismundus III. Mereka ini kemudian menetapkan Pakta toleransi dalam ketetapan
19 20
21
Baca G. Parker, The Dutch Revolt .... Baca sebuah studi yang sangat lengkap dan berbobot P. Geyl, The Netherlands in the Seventeenth Century .... Cfr. etiam, A. Pettegree, “The Politics of toleration in the Free Netherlands, 1572-1620”, in O.P. Grell – B. Scribner, (eds.), Tolerance and Intolerance ..., pp. 182-198. Lih. J. Garrisson, L’Édit de Nantes.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
109
yuridis. Austria dengan Litterae Majestatis, 9 Juli 1609, memberlakukan kebebasan beragama di Bohemia, Moravia dan Selesia.
5.3. Perdamaian Westfalen [1648]22 Perdamaian ini disepakati di Münster antara kaisar Jerman dan pihak Perancis; dan di Osnabrück antara kaisar Jerman dan pihak Swedia yang Protestan. Dalam traktat Münster disepakati: persamaan hak antara orang Katolik, Luteran [pengikut Pengakuan Iman Augusta] dan reformati/Kalvinis. Kemudian, pangeran tidak dapat lagi memaksakan agamanya kepada rakyat/bawahannya. Selain itu, diizinkan pula kultus domestik bagi para non-konformis. Perdamaian ini, tentu saja, menempatkan orang-orang Katolik setara secara sosial dan yuridis dengan para Lutheran dan Kalvinis. Karena itulah Paus Innocentius X memprotesnya dengan bulla Zelus domus Dei. Maksudnya tidak lain adalah supaya hak Gereja Katolik Roma tidak dikurangi oleh mereka yang mencari keuntungan di luar kemuliaan Allah. Bulla tersebut terasa sangat keras dan tidak irit dalam kecaman. Tak satu negara Katolik pun yang bersusah-payah menghiraukan protes ini. Sri Paus dipaksa menerima secara bertahap situasi aktual di lapangan.
5.4. Langkah-langkah Mundur Di bawah kepemimpinan wangsa Tudor,23 Stuart dan Cromwell, Inggris menempuh politik intoleransi. Negeri ini boleh dipandang paling intoleran dalam hal agama. Henry VIII terus-menerus melakukan teror dan penganiayaan terhadap orang Katolik dan Lutheran. Ketika Inggris di bawah Elizabeth, orang Katolik dituduh sebagai pengkhianat bangsa dan negara. 1672, Charles II mengizinkan orang Katolik untuk mempraktikkan kebebasan beragama. Tetapi izin ini hanya berlangsung selama setahun. Karena parlemen berhasil melumpuhkan kebijakan raja. Menurut konstitusi Inggris: raja tidak dapat memungut pajak [lagi] tanpa persetujuan parlemen. Parlemen memanfaatkan situasi ini, mengingat negara sedang membutuhkan biaya untuk mencukupi kebutuhan logistik pasukan Inggris yang berperang melawan Belanda. Mau tidak mau harus dirancang sebuah perundingan antara raja dan parlemen. Raja kemudian menarik kembali izin yang sudah diberikan kepada orang Katolik. Selain itu, semua pegawai negeri bersumpah demi menégasi transubstansiasi. Mereka ini juga diwajibkan untuk berpartisipasi dalam kultus ekaristi seturut ritus Gereja Inggris. Inilah yang disebut The Test Act, 1673.
22 23
110
Baca C.V. Wedgwood, The Thirty Years War ..., pp. 463-526. Vide Ch. Morris, The Tudors.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Dalam periode yang sama Louis XIV24 di Perancis menarik kembali Edikt Nantes [18 Oktober 1685].25 Ketentuan baru ini berakibat penghancuran gedunggedung ibadat Kalvinis, penutupan semua sekolah Protestan, larangan terhadap setiap rapat yang dimaksudkan untuk beribadat, mewajibkan semua keluarga Kalvinis untuk membaptiskan anak-anak mereka secara Katolik, melarang Kalvinis untuk meninggalkan negeri Perancis. Sangatlah jelas, bahwa agama Katolik Roma harus menjadi tuan di negeri Perancis, dan negara memfasilitasi berkuasa agama Katolik, hal mana terlihat dalam rumusan Edikt Nantes artikel 3 dan 18 Ordonnons que la religion catholique, apostolique et romaine sera rimase et établie en tous lieux et en droits de notre royaume et pays de notre obéissance où l’exercise d’icelle a été intermise, pour y être paisiblement et librement exercée sans aucun trouble ou empêchement; [....] et que tous ceux qui durant les troubles se sont emparés des églises, maisons, biens et revenus appartenant aux ecclésiastiques, et qui les détiennent et occupent, leur en délaissent l’entière possession et paisible jouissance, en tels droits, libertés et sûretés qu’ils avaient auparavant qu’ils en fussent dessaisis. Défendons aussi à tous nos sujets, de quelque qualité et condition qu’ils soient, d’enlever par force ou induction, contre le gré de leurs parents, les enfants de ladite religion, pour les faire baptiser ou confirmer en l’Église catholique, apostolique et romaine ....26 Agar orang Kalvinis bertobat ke dalam agama Katolik, mereka harus menempuh “wajib militer” dan kemudian ditugaskan di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Katolik. Mengesankan, bahwa Louis XIV adalah pelaku setia rezim totaliter dengan kekuasaan mutlak. Anggapannya pun sangat naif: kesatuan agama merupakan dasar yang paling kokoh bagi kesatuan politis. Oleh karena itu, Edikt Nantes dipandang sebagai hambatan yang perlu disingkirkan. Raja Louis juga bermaksud untuk memperlihatkan kepada Paus Innocentius XI, bahwa dirinya adalah pembela setia dari Gereja Katolik. Kendati pada dasarnya Innocentius XI tidak begitu menaruh rasa hormat kepada “Raja Matahari” ini, tetapi ia akhirnya juga memuji langkah Louis XIV dan menjamin baginya berkat surgawi dengan perantaraan Gereja Kristus; dan Perancis layak disebut “Puteri Setia Gereja”. Akibat negatif penarikan Edikt Nantes adalah 200.000 Kalvinis [kendati segala bentuk larangan] meninggalkan Perancis. Mereka ini pergi dengan membawa serta seluruh keahlian mereka terutama di bidang perekonomian. Mereka yang tinggal di Perancis seringkali dianiaya. Tegasnya, pencabutan Edikt Nantes memperlemah kesatuan Negara; dan Gereja Katolik di Perancis menggoreskan sejarah kelam.
24 25 26
Baca V. Cronin, Louis XIV. Lihat E. Labrousse, La révocation de l’Edit de Nantes. “Kami menetapkan bahwa Katolik, agama Roma dan Apostolik, akan direstorasi dan ditetapkan kembali di semua tempat dan wilayah kerajaan dan negara kami demi kekuasaan kami, di mana ...Corps Diplomatique, ed. by J. Dumont, Amsterdam, 1726, V, 245-250 dikutip oleh J. Garrisson, L’Édit de Nantes ..., pp. 21-22.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
111
5.5. Revolusi Inggris dan Toleransi Tahun 1687 James II, saudara dan pengganti Charles II, menarik kembali The Test Act dan mengizinkan kebebasan beragama bagi orang Non-Anglikan. Segera sesudah James III [d’Orange] naik takhta ditetapkanlah sekali lagi inferioritas yuridis orang-orang Katolik, melarang mereka ini untuk melakukan ibadat keagamaan. Orang Katolik juga dilarang menerima warisan. 5.6. Revolusi Kemerdekaan Amerika Serikat Deklarasi Kemerdekaan, 4 Juli 1776, yang diredaksikan oleh Thomas Jefferson, mengungkapkan kesadaran yang sudah lama diperjuangkan oleh John Locke dan J.-J. Rousseau. Dalam preambul Deklarasi ditegaskan kesamaan hak semua orang, termasuk di antaranya yang utama adalah kehidupan, kebebasan, usaha mencapai kegembiraan. Kebebasan beragama tidak dipandang sebagai suatu kebutuhan yang diberikan oleh lingkungan masyarakat atau negara, melainkan suatu hak yang melekat pada diri setiap orang.27 Kendati di beberapa negara bagian seperti New Jersey, New York, New Hampshire Konstitusi menegaskan bahwa Konstitusi mempertahankan sikap intoleran; akan tetapi Konstitusi Federal, 1787, artikel 6 menyatakan bahwa negara tidak mengenal setiap bentuk diskriminasi berkenaan dengan kepentingan-kepentingan umum. Revolusi Amerika Serikat melahirkan kemerdekaan warga negara di hadapan keyakinan agama. Di sini Negara tidak mengatur para warganya harus beragama atau tidak beragama. Keyakinan agama adalah urusan pribadi atau perorangan; Negara tidak berwenang dalam masalah-masalah doktriner dan keagamaan; kebebasan merupakan dasar yang mutlak perlu bagi agama. Inilah warisan abadi Revolusi Amerika Serikat. 5.7. Kartu Identitas Toleransi dari Yosef II [1781] Pengaruh Enlightenment sangat jelas dalam undang-undang yang ditetapkan oleh Kaisar Joseph II, tidak lama setelah ia naik takhta. Kaisar Joseph II memang pernah mempromulgasikan The Act of Toleration (Toleranzpatent), dan para sejarawan memandangnya sebagai momentum berakhirnya kurun waktu absolutisme konfesional.28 Toleranzpatent ini dimaksudkan untuk mendiskriminasi terhadap para penganut agama Protestan (namun kurang memperhatikan sikap diskriminatif terhadap 27 28
112
Bdk. Deklarasi hak-hak manusia yang ditetapkan di Virginia, 12 Juni 1776. Cfr. etiam Konstitusi Pennsylvania, 28 September 1776. Lihat Jaroslav Pánek, “The question of tolerance in Bohemia and Moravia in the age of the Reformation,” in O.P. Grell – B. Scribner, (eds.), Tolerance and Intolerance ..., p. 242. Toleransi apapun berhadapan dengan non-Katolik tidak dapat terpikirkan: dinyatakan seteru Gereja Katolik dan Negara, mereka itu menempatkan diri mereka sendiri sebagai yang teraniaya baik sebagai heretik maupun kriminal politik.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
para pemeluk agama Katolik Ortodoks, Yunani). Promulgasi ini mempunyai sasaran yang berbeda. Bagi Kaisar ukuran-ukuran yang diambil terhadap diskriminasi pertama-tama langkah maju ekualitas menyeluruh. Demi alasan itu, maka dia menginginkan agar kelompok minoritas dilindungi: apakah dia menghormati mereka, sebagaimana dia lakukan terhadap orang Protestan ataukah meremehkan mereka sebagaimana ia melakukannya terhadap orang-orang Yahudi.29 Meskipun begitu, Kaisar Joseph II ingin mengangkat standar mereka dengan mengikuti Maklumat Toleransi. Sebab baginya, kesamaan di depan hukum yang dinyatakan dan dipaksakan oleh pemerintah yang absolut bukanlah soal sentimen (perasaan), melainkan tentang rasionalisme utilitarian.30 Agar bertahan pada katolisisme sebagai agama yang dominan, maka di depan hukum baik orang Katolik maupun non-Katolik diperlakukan sama. Tetapi perlakuan ini dijamin kalau orang memiliki kartu identitas. Selain itu, ditetapkan pula kebebasan dalam pelaksanaan kultus pribadi, pembatasan terhadap aktivitas pendidikan bagi kaum Lutheran, Kalvinis dan Ortodoks. Berlakunya kartu identitas ini baru ditarik kembali pada akhir hidupnya.
6. SIKAP RESMI GEREJA Mungkin baik dalam konteks ini, jika dipilah terlebih dahulu arti Gereja. Masing-masing unsur berikut ini bersikap tidak sama satu dengan lainnya: awam, teolog (klerus yang mempunyai latar belakang pendidikan “akademik”), hierarki setempat, dan Kuria Roma. Pada umumnya awam Katolik bersikap mendukung pelaksanaan toleransi, dan menentang pemaduan antara kesatuan religius dan politik. Sementara para teolog dan hierarki setempat pada umumnya mengharapkan diterapkannya kebebasan beragama. Sedangkan Kuria Roma tampak belum akrab dengan gagasan (apalagi praksis) tentang toleransi. Roma mendorong raja Perancis untuk memulai perang terbuka terhadap Huguenots; Edikt Nantes dipandangnya sebagai kegagalan katolisisme, perdamaian Westfalia [1648] dikecam dengan pedas, dan Revokasi Edikt Nantes disambut dengan sukacita. Dalam konteks ini, Kuria Roma hanya melihat satu aspek dari toleransi, yakni perkosaan terhadap hukumhukum kebenaran. Dengan demikian, kebenaran disejajarkan dengan kesalahan, dan kemenangan indiferentisme. Singkatnya, Kuria Roma tidak pernah melihat aspek positif dari toleransi. Kita perlu melihat kompleksitas masalah dalam kaitannya dengan bahaya kebebasan beragama; tanggungjawab berat Takhta Suci atas kesatuan agama dan faktor mentalitas zaman itu. Selain itu, perlu pula dipahami bahwa pembelaan terhadap sebuah kebenaran absolut, suatu kekayaan rohani yang diwahyukan merupakan kecemasan utama yang menyita perhatian Roma. Kuria Roma tetap setia pada prinsip
29 30
Lihat studi representatif dalam bidang ini Elisabeth Kovács (hrsg.), Katholische Aufklärung ung Josephinismus. Bdk. Robert A. Kam, A History of the Habsburg Empire ..., p. 186.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
113
tidak memaksa seorang pun yang tidak dibaptis untuk memeluk iman Katolik. Dalam konteks peristiwa historis abad ke-17 dan ke-18 orang belum sanggup mempelajari dengan tepat masalah toleransi dan intoleransi. Robertus Bellarminus yang hidup pada akhir abad XVI sangat setia pada pemikiran tomistis dan mendukung hukuman mati bagi para bidaah. Molinos [1687], misalnya, karena ajarannya dinilai sesat, maka dia divonis hukuman seumur hidup. Seorang rubiah diproses hukum lantaran melakukan simulasi berkenaan dengan fenomen adikodrati [mungkin ia memperoleh visiun dan menjadi “orang pintar”]. Di Napoli beberapa ahli matematika diseret ke meja hijau karena dituduh ateis [1697] dan terpaksa dijatuhi tahanan rumah. Proses inkuisisi yang terakhir terjadi di Spanyol, 26 Juli 1826 terhadap seorang guru, Gaetanus Ripoll, seorang deistis yang tidak pernah mau bertobat. Peristiwa ini terjadi 14 abad setelah hukuman mati terhadap heretik, Priscillianus, yang juga terjadi di Spanyol.31 Data berikut ini cukup signifikan untuk melihat bagaimana praksis orangorang yang menyebut diri mereka Kristen Protestan yang semula menuntut toleransi, tetapi de facto tidak toleran terhadap anggota kelompok Kristen Protestan sendiri yang dinilai melawan dan berseberangan dengan ketentuan umum. Mereka ini juga disebut “bidaah” dan dieksekusi dalam Eropa Reformasi (perkiraan tahunan):32 Wilayah
1520-1529
1530-1554
1555-1565
1566-1599
Jerman
38
13
2
0.7
Swis
4
2
1
0.1
1.2
20
40
(2.7)
Perancis**
1
12
(20)
0.5
Inggris + Skotlandia
2
1.6
30
0.1
Spanyol (Inkuisisi)
0
0.5
12
2.0
Italia (Sicilia)
0
0.6
3
2.2
Belanda*
*
**
31
32
114
Tidak termasuk tahun 1567-1574 yang dipandang sebagai “Konsili Berdarah” karena mengeksekusi sejumlah orang yang terlibat dalam ikonoklasme, pemberontakan, penghasutan dan ajaran sesat. Tidak termasuk tahun 1560-1564, yang melenyapkan 200 orang karena melakukan pemberontakan atau penghasutan; selama berlangsung Perang Agama yang pertama, 3 anggota parlemen dijatuhi hukum seumur hidup.
Dan setelah dipelajari secara cermat ajaran Priscillianus itu ternyata ortodoks. Lihat C.V. Manzanares, Dizionario sintetico di patristica, Città del Vaticano: Libreria Editrice Vaticana, 1995, hlm. 152-153. Vide etiam, Eddy Kristiyanto, Sahabat-sahabat Tuhan. Asal usul dan Perkembangan Awal Tarekat Hidup Bakti, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001, Catatan no. 7, hlm. 143. Diambil dari William Monter, “Heresy executions in Reformation Europe, 1520-1565,” in O.P. Grell – B. Scribner, (eds.), Tolerance and Intolerance ..., p. 49.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
7. PENUTUP Dengan pecahnya Perang 30 tahun dan Perdamaian Westfalia, 1648, Eropa semakin menyadari bahwa kini sudah tidak mungkin lagi menciptakan sebuah Eropa dengan satu agama yang sama. Seturut tata geografis, seakan semua wilayah ditentukan dengan sangat baik: Eropa Utara dihuni oleh Reformis; Tengah oleh Protestan; Selatan oleh Katolik. Tetapi yang lebih menarik daripada sekedar faktor geografis tersebut ialah diversitas keyakinan agama tersebut menyuburkan kesadaran akan kebenaran pada semua orang saleh. Penghayatan dan ungkapan keagamaan menjadi lebih jernih. Perpindahan dari pemahaman akan agama yang alami dan rasional dapat mudah dimengerti. Toleransi agama menuntut suatu dialog yang mendasar, hormat pada kesadaran pribadi dan tidak dipaksakan. Kesadaran ini berdasarkan iman-kepercayaan, yang menentang semua bentuk kemunafikan. Semua pelaku dialog yang penuh hormat itu berkeyakinan, bahwa mereka adalah putera dan puteri dari ibu yang sama, yakni agama alami, yang adalah paling kuno, tetapi juga bawaan setiap orang dan merupakan dasar setiap agama, sebagaimana telah ditafsirkan oleh Hugo Grotius dan Herbert de Cherbury. Jelas, bahwa Reformasi keagamaan yang dirintis oleh Martin Luther bukanlah satu-satunya alasan toleransi religius. Reformasi Protestan sendiri, dalam kenyataannya, tidak toleran terhadap gerakan-gerakan dan pribadi-pribadi tertentu yang melancarkan reformasi dalam Reformasi. Dengan kata lain, reformasi itu hadir sebagai perpecahan dalam gerakan gagasan-gagasan. Tetapi terhadap kenyataan itu segera perlu dicatat, bahwa tidak mungkin lagi menciptakan suatu budaya yang bercorak uniform -di bawah kesatuan kultur gerejawi seperti dalam Abad Pertengahan- kekuatan-kekuatan baru, negara-negara sedang membentuk diri dengan berangkat dari kekhasan mereka sendiri dan berdasar pada cita-cita serta kebebasan sebagai suatu bangsa. Selain itu, toleransi secara hakiki merupakan salah satu akibat positif dan wajar dari Protestantisme yang dirintis oleh Martin Luther dan kawan-kawan. Sebab Reformasi itu setelah sekian waktu lamanya akhirnya membuka mata dan hati para pengambil keputusan politik-keagamaan; dan eksistensi toleransi merupakan keniscayaan.33 Dengan kata-kata lain, toleransi merupakan konsekuensi langsung, logis dan tak terelakkan dari praktik religius sekaligus keterbukaan pada perubahan zaman dan tuntutannya. Akan tetapi kemudian para ahli ilmu sejarah dan politik keagamaan menangkap seluruh proses toleransi dan intoleransi dalam sembilan manifestasi yang muncul selama abad XVI: ada kebebasan dalam berkepercayaan, tetapi hanya secara privat (tidak publik); ada kebebasan beragama secara pasif; kesetaraan religius sesekali diterima sebagai suatu kompromi yang dipaksakan (licenced coexistence); toleransi hanya diperuntukkan bagi para penguasa (mengingat prinsip cuius regio, eius religio); toleransi dapat diterima sebagai sebuah strategi sementara,
33
Untuk pendalaman topik ini dapat dimanfaatkan John D’Arcy May, Pluralism and the Religions. The Theological and Political Dimensions, London: Cassell, 1998.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
115
karena eksistensi kelompok-kelompok yang menentangnya tidak diizinkan; di sanasini muncul toleransi dalam forma latitudinarianisme pastoral; toleransi muncul karena sejumlah sumber yang memperlihatkan terjadinya kesepakatan yang lebih luas; muncul toleransi pada dasar-dasar ekonomis dan tentang rasionalitas praktis.34 Sering kali terjadi, bahwasanya pertimbangan-pertimbangan politik ikut mempengaruhi, bahkan menentukan kebijakan toleransi dan intoleransi antarpenganut agama. Agak disayangkan, bahwa ajaran resmi tentang toleransi dalam Gereja Katolik Roma baru muncul ke permukaan pada abad XX. Dengan demikian, kepingankepingan ide tentang toleransi masih membutuhkan beberapa abad – dan ini berarti hanya setelah korban semakin banyak berjatuhan – untuk sampai akhirnya ditelorkan dalam Konsili Vatikan II (1962-1965) dengan dekrit Nostra Aetate. Dan ini pun tidak berjalan mulus, karena masih ada pemimpin-pemimpin agama Kristen yang mengklaim sejumlah kebenaran Kristen yang absolut dengan mengekslusikan kebenaran-kebenaran agama-agama lain. Dan ada satu fenomen menarik yang patut dicatat pada akhir karya ini: Sebelum ketetapan konsili tersebut Gereja selalu meminta kepada negara-negara untuk melindungi kebebasan beragama (Gereja), jika orangorang Katolik di situ merupakan minoritas; tetapi Gereja tidak menyuarakan toleransi terhadap kepercayaan lain ketika orang-orang Katolik itu mayoritas.
BIBLIOGRAFI Augustijn, C. Erasmo da Rotterdam. La vita e l’opera. Brescia: Morcelliana, 1989 (terj.). Cronin, V. Louis XIV. London: Collins Harvill, 1990. D’Arcy May, J. Pluralism and the Religions. The Theological and Political Dimensions. London: Cassell, 1998 Dunn, R.S. The Age of Religious Wars, 1559-1715. New York-London: W.W. Norton & Company, 1979. Eddy Kristiyanto, Sahabat-sahabat Tuhan. Asal usul dan Perkembangan Awal Tarekat Hidup Bakti, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2001. Elliott, J.H. Europe Divided 1559-1598. London: Fontana Press, 15 1990. Garrisson, J. L’Édit de Nantes et sa révocation. Histoire d’une intolérance. Paris: Éditions du Seuil, 1985. Geyl, P. The Netherlands in the Seventeenth Century 1609-1648. London: Cassel, 1989. Grell, O.P. - B. Scribner, eds. Tolerance and Intolerance in the European Reformation. Cambridge: Cambridge University Press, 1996.
34
116
B. Scribner, “Preconditions of tolerance and intolerance in sixteenth-century Germany”, in O.P. Grell – B. Scribner, (eds.), Tolerance and Intolerance ..., pp. 35-38.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Hepburn, A.C. ed. Minorities in History. London: Edward Arnold Ltd., 1978. Holt, M.P. The French Wars of Religion, 1562-1629. Cambridge: Cambridge University Press, 1995. Kam, Robert A. A History of the Habsburg Empire 1526-1918. Berkeley – Los Angeles – London: University of California, 1980. Kovács, E. Hrsg. Katholische Aufklärung und Josephinismus. Wien: Verlag für Geschichte und Politik, 1979. Labrousse, E. La révocation de l’Edit de Nantes. Une foi, une loi, un roi? SaintAmand: Éditions Payot, 1990. Locke, J. Epistola de Tolerantia. A Letter on Toleration. English Translation with an Introduction and Notes by J.W. Gough, Oxford: Oxford University Press, 1968. Logan, G.M. The Meaning of More’s “Utopia”. Princeton, New Jersey: Princeton University Press, 1983. Lortz, J. Die Reformation in Deutschland. Freiburg – Basel – Wien: Herder, 1982. Martina, G. La chiesa nell’età dell’assolutismo, del liberalismo, del totalitarismo. II, Brescia: Morcelliana, 61986. Morris, C. The Tudors. Glasgow: Fontana – Collins, 221990. Parker, G. The Dutch Revolt. London etc.: Penguin Books, 71990. Reale, G. – D. Antiseri. Il pensiero occidentale dalle origini ad oggi. Corso di filosofia per i licei classici e scientifici. Vol. 2 (Dall’Umanesimo a Kant). Brescia: Editrice la Scuola, 111990. Roeder, O.G. The Smiling General. President Soeharto of Indonesia. Djakarta: Gunung Agung Ltd., 1969. Wedgwood, C.V. The Thirty Years War. London-New York: Routledge, 41989. Williams, B. The Whig Supremacy. Oxford History of England. Vol. X. Oxford: Oxford University Press, 1952.
Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi
117
PATROLOGI: SEBUAH PENGANTAR
Edison R.L. Tinambunan STFT Widya Sasana, Malang Abstract: This article deals with “Patrology”, the theological science concerned with the writings of the Fathers of the Church. It wishes to draw some introductory elements of what we should know to delve patrology. As it is introduction, the author put forward key elements to the readers, such as knowledge of who the Fathers were, their characters, the meaning of “patrology” and “patristics”, and the importance of studying the writings of the Fathers. In spite of introduction this articles is theologically tracing some interesting things for every one who wants to know patrology. Keywords: patrologi, patristik, “Bapa-bapa Gereja”, tradisi kristen.
Patrologi berasal dari kata “pater” yang artinya bapa. Patrologi adalah sebuah ilmu yang mempelajari para bapa Gereja. Tulisan ini ingin memperkenalkan ilmu ini yang praktis masih asing dikalangan awam, kecuali jika telah memiliki pendidikan teologi atau pernah mempelajari teologi.
1. SIAPA ITU BAPA GEREJA? Termin Bapa telah digunakan pada Perjanjian Lama (Tradisi Yahudi) yang mengarah pada berbagai arti. Bapa adalah orang yang memimpin keluarga. Bapa juga mengarah pada Patriach yaitu Bapa dari para Bapa atau Bapa yang dihormati (disegani, dipertuan, kepala suku?); contohnya Abraham, Isak, Yacob. Abraham dinamai sebagai bapa dari segala bangsa (Kej 17: 4).1 “Bapa” juga mengarah pada nenek moyang, yang membawa bangsa Israel keluar dari Mesir. “Bapa” digunakan untuk mengungkapkan kehormatan atau “dipertuan”; contohnya, orang Israel menghormati orang-orang farisi dengan sebutan “Bapa” yang memelihara tradisi dari nenek moyang mereka. Penghormatan ini juga diberikan kepada para imam2 yang memiliki kewajiban untuk mengajar agama dan liturgi. Penghormatan yang sama juga diberikan kepada ahli-ahli taurat yang mempelajari dan mengajar Taurat dan 1
2
118
Schrenk, Quell, Patér, in Theological Dictionary of the New Testament, V, edited by Gerhard Friedrich, Translator and Editor Geoffrey W. Bromiely, Michigan, Grand Rapids, 1993, p. 976. Cf. E. Bellini, I Padri nella tradizione cristiana, a cura di Luigi Saibene, Milano, Jaca Book, 1982, p. 21. Bandingkan dengan sebutan “Romo” di Jawa yang mengarah pada pengertian yang sama.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Hukum.3 Akhirnya “Bapa” juga diarahkan kepada Tuhan, yang artinya “Tuan/yang dipertuan”, (Mal 1: 6).4 Dalam tradisi Helenistik, predikat “Bapa” diberikan kepada guru yang mengajar fisafat (Pitagoraci e Cinici) yang memiliki tendensi pengertian yang sama dengan tradisi Israel.5 Paulus menyebut dirinya sendiri sebagai “Bapa” yang artinya pewarta Kabar Gembira, (1 Kor. 4: 14-15; Gal. 4: 19; Fil. 10). Kemudian pada jaman sesudah para rasul, kristiani menamai mereka (para rasul) dengan para “Bapa”,6 karena mereka memberikan kesaksian hidup7 dan menjadikan mereka sebagai contoh dalam iman dan kebenaran.8 Policarpus, dalam suratnya kepada orang Filippi, menyebut uskup sebagai “Bapa”;9 kemudian dalam Sejarah Gereja yang ditulis oleh Eusebeus, ditemukan juga “Bapa” yang menunjuk kepada para Imam.10 Ciprianus menyebut para uskup Alexandria dengan para “Bapa”.11 Sedang Ireneus lebih suka menggarisbawahi kewajiban atau fungsi “Bapa”, yaitu pemimpin atau pembimbing komunitas; dia juga menyebut para rasul sebagai “Bapa” yang mempunyai kewajiban untuk mengajar melalui kesaksian hidup.12 Clemen, Alexander dari Jerusalem dan Yustinus mengartikan “Bapa” sebagai guru13 yang tentunya dipengaruhi oleh tradisi helenistik dan yahudi. Kemudian, Yohannes Krisostomus menyebut imam juga dengan “Bapa”.14 Akhirnya Palladius, dalam bukunya yang berjudul Sejarah Lausica, memanggil para rahib dengan “Bapa”.15 Pada abad ke empat, penggunaan “Bapa” lebih jelas berkat berbagai tulisan Basilius dari Cesarea yang menegaskan bahwa para uskup yang telah berpartisipasi pada konsili Neicea adalah para “Bapa”; mereka telah merumuskan Iman Kepercayaan;16 Gregorius Nazianzus juga mengatakan yang sama.17 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
E. Schürer, A History of the Jewish People in the Time of Jesus Christ, I, translated by Sophia Taylor and Peter Christie, Edinburgh, T & T Clark, 1995, pp. 313-315. Schrenk, Quell, Theological Dictionary of the New Testament, pp. 977-979. A. Hamman, Padre, Padri della Chiesa, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristine, II, diretto da Angelo di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, p. 2562. 1 Clemen, 62, 2, (SC 167, p. 200). 1 Clemen, 30, 7, (SC 167, pp. 148-150). 1 Clemen, 60, 4, (SC 167, p. 198). Policarpus, Epistula, 12, 2, (SC 10, p. 220). Eusebeus, H. E., 5, 4, 2, (SC 262, p. 262). Sebutan “Bapa” menunjuk kepada Ireneus yang waktu itu masih imam. Siprianus, Epistula., 30, 8, (CCL 3, p. 150). Eusebeus, H. E., 7, 7, 4, ( SC 215, p. 174). Ireneus, A. H., 4, 41, 2, (SC 100, pp. 984-6). Klemen, Stromateis., 1, 1, 2, 1, (SC 30, p. 44) e 1, 1, 1, 3, (SC 30, pp. 44-5). (Giustino): Dial., 2, 2; 3, 7; 35, 6, (PG 6, 328-800). Johannes Krisostomos, In Illud: Paulus Vocatus, 4, 1, (SC 300, pp. 182-4). Palladius, H. Laus., 17, (PG 34, col. 995). Basilius Cesarea, Ep., 140, 2, (PG 32, col. 588B-589A). Gregorius Nazianzus, Or., 35, 1, (PG 36, col. 257A-B). Konsep yang sama ditemukan pada konsili: Constantinopel (The Synodical Letter, in Nicene and Post-Nicene Fathers of the Christian Church, II, vol. XIV (The Seven Ecumenical Councils), Edinburgh, T & T Clark, 1991, p. 189. Efeso (Labbe e Cossart, Concilia, III, col. 462) e Calcedone (Labbe e Cossart), IV, col. 338.
Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar
119
Agustinus dalam polemiknya dengan Donatis dan Palagian,18 lebih suka menekankan aspek otoritas “Bapa”19 untuk memimpin Gereja. Vincentius dari Lerin menyatakan bahwa istilah “Bapa” lebih cocok kepada mereka yang mengajar dan berpegang teguh pada iman dan dalam persekutuan dengan Gereja secara kudus, bijaksana dan mereka berani mati untuk Kristus dan mengorbankan hidup kepadanya.20
2. DAFTAR PARA BAPA GEREJA Berbagai sumber memberikan pengertian “Bapa” lebih luas, bahkan beberapa orang memberikan daftar para “Bapa”, seperti Eusebius dari Cesarea dalam bukunya Sejarah Gereja; kemudian Hironimus mengikuti jejak Eusebius dengan bukunya De Viris Illustribus,21 yang sebenarnya hanya menambahkan beberapa bapa Gereja yang telah ditulis Eusebius. Sekitar tahun 480 Jennadius, seorang imam dari Marsiglia, menerbitkan sebuah buku dengan judul yang sama dengan Hironimus dan mengikuti daftar yang ditulis olehnya, hanya menambahkan beberapa “Bapa”.22 Pada tahun 615-618, Isidorus dari Seviglia juga menerbitkan buku De Viris Illustribus yang menyajikan kesinambungan para penulis sebelumnya dan menambahkan para teolog Spanyol.23 Muridnya, Ildefonsus dari Toledo, meneruskan sang guru untuk mencatat daftar para bapa Gereja juga dengan buku yang berjudul De Viris Illutribus (667); praktis hanya menambahkan 14 “Bapa” yang lain, yang semuanya berasal dari Spanyol, kecuali Gregorius Agung.24 Di Gereja Timur, buku Hironimus, De Viris Illustribus sangat populer berkat jasa Sofronius yang menterjemahkan ke dalam bahasa Yunani.25 Di Timur juga ada Myriobiblon (Perpustakaan) yang ditulis oleh Fotius, memuat berbagai infomasi dari sekitar 280 penulis dan tulisan baik itu dari orang kafir maupun kristen yang berisikan riwayat hidup, tempat dan kritik teks.26 18
19 20
21 22 23 24 25 26
120
Donatisme adalah skisma yang terdapat di Afrika Utara pada zaman Agustinus dimana sekelompok orang yang dipimpin oleh Donatus mau memisahkan diri dari Gereja. Sedangkan Pelagianisme adalah eresi yang dipimpin oleh Pelagianus dan Celesto yang menekankan peranan rahmat dan kebebasan; tidak mengakui dosa asal dengan kosekuensi, mereka tidak mengakui penebusan Kristus dan pembaptisan yang bertujuan sebagai penghapus dosa asal. Cf. Agustinus, De Bapt., 4, 5, 7, (CSEL 51, pp. 228-230). Agustinus mencantumkan juga Jirolamo yang bukan seorang uskup, cf. Contra Iulian., 1, 24, 34, (CSEL 60, p. 33). Vincentius Lerin, Commonitorium, 28, 6, (CCL 64, p. 187): “Sed eorum dumtaxat patrum sententiae conferendae sunt, qui in fide et communione catholica sancte sapienter constanter uiuentes docentes et permanentes, uel mori in Christo fideliter uel occidi pro Christo feliciter meruerunt.”; cf. 2, 5, (CCL 64, p. 24); 3, 4, (CCL 64, p. 25); 29, 6, (CCL 64, p. 190); 33, 2, (CCL 64, p. 194). PL 23, col. PL 58, col. 1059-1120. J. Quasten, Patrologia, I, Westminster, Maryland, Christian Classics, 1992, pp. 2-3. PL 58, col. 1081-1106; cf. J. Quasten, Patrologia, p. 3. PL 96, col. 195-206. PG 23, col. 602-720. PG 103, 104.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
3. KARAKTER Melalui berbagai sumber ini, bisa dikatakan bahwa sosok para “Bapa” adalah pengikut para rasul yang mencakup uskup, imam, diakon, rahib dan martir. Lalu bagaimana dengan awam dan para janda? Jasa Vincentius dari Lerin membuka suatu gambaran lebih tepat tentang “Bapa”, yang mengatakan bahwa para “Bapa” harus berada dalam persekutuan dengan Gereja, ditandai dengan iman akan Kristus dan guru dalam iman melalui ajaran-ajaran dan kesaksian hidup yang selalu berhubungan dengan Kitab Suci dan Regula Fidei. Dengan rumusan “Bapa” mengarah bukan hanya kepada golongan hirarkis saja atau para rahib, tetapi kepada semua pengikut Kristus. Tetapi rumusan saja belum cukup, perlu juga menunjukkan karakter dari para “Bapa” ini: 1. Ortodox: mengikuti doktrin yang benar dalam persekutuan dengan Gereja. 2. Kudus dalam Hidup: hidup sesuai dengan Injil dan keselarasan antara ajaran dan contoh hidup. 3. Pengakuan Gereja: pengetahuan pribadi dan ajaran dari pihak Gereja, walaupun tidak secara resmi.27 Pengakuan dari Gereja ini ditunjukkan dengan pengutipan teks-teks baik itu secara langsung maupun secara tidak langsung (pemikiran dikutip oleh orang lain). 4. Purba/Kuno: Menurut para patrolog karakter ini dibagi sebagai berikut: Untuk Gereja Timur sampai dengan Johannes Damascenus (749); untuk Barat sampai dengan Isodorus dari Seviglia (636) yang lazim diterima secara umum.28 Tetapi beberapa berpendapat bahwa akhir dari periode para “Bapa” sampai dengan tahun 1050, tahun yang menyedihkan karena perpisahan Gereja Timur dan Barat.29 Hironimus menegaskan bahwa para “Bapa” adalah juga penulis gerejani,30 karena beberapa penulis kristiani purba bukan gerejani, misalnya penulis apokrif dan tulisan eretik yang berusaha untuk memisahkan diri dari kesatuan Gereja, atau mengajarkan ajaran yang tidak ortodox yang di luar Regula Iman (Regula Fidei). Maka istilah yang tepat untuk mereka ini adalah “Bapa Gereja”. Beberapa para “Bapa Gereja” adalah juga Doktor, yang sebenarnya bukan karakter dari Bapa Gereja, karena istilah ini tidak memiliki karakter purba/kuno. Memang tidak bisa disangkal bahwa beberapa dari “Bapa Gereja” adalah doktor, karena Gereja mau mengagungkan dan menghormati nilai kepribadian mereka yang berjuang gigih untuk iman dan doktrin Gereja. Oleh sebab itu, Paus Bonifasius VIII
27 28 29 30
H. E. Drobner, Patrologia, p. 49. J. Quasten , Patrologia, p. 1, dice che comprende per l’Occindente tutti gli autori cristiani fino a Gregorio Magno (morto nel 604) o Isodoro di Siviglia (morto nel 636). G. Bosio, E. dal Covolo, M. Maritano, Introduzione ai Padri DellaChiesa Secoli I e II, Torino, Società Editrice Internationale, 1995, pp. 3-4. Jirolamo, Vir. Ill., prol. 2, (PL 23, col. 625-6), Ep., 112, 3, (CSEL 54, pp. 369-370): ecclesiastici scriptores.
Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar
121
menggunakan istilah ini pertama sekali pada tahun 1295 yang ditujukan kepada: “Bapa Gereja” Barat (Latin): Ambrosius, Agustinus, Hironimus dan Gregorius Agung; kemudian Paus Pius V, dalam buku ibadat hariannya pada tahun 1568, juga memberikan gelar Doktor kepada para “Bapa Gereja” Timur: Atanasius, Basilius Agung, Gregorius Nazianzus dan Johannes Crisostomus. Mulai dari saat itu para “Bapa Gereja” ini dihormati sebagai Doktor Gereja di Barat dan Timur.31
4. PATROLOGI Kosep Patrologi dirumuskan pertama sekali oleh seorang lutheran, Johannes Gerhard yang meninggal pada tahun 1637, sebagai judul karyanya Patrologia sive de Primitivae Ecclesiae Christianae Doctorum Vita ac Lucubrationibus (Patrologia sebenarnya mencari hidup dan karya dari Doktor Gereja Kristen purba),32 yang diterbitkan di Jena pada tahun 1653. Sebenarnya dia hanya melanjutkan karya dari berbagai penulis sebelumnya yang telah dimulai oleh Eusebius yang telah disebutkan sebelumya. Bagi kita sekarang, yang penting adalah termin “Patrologia”. “Patrologia” bisa dikatakan suatu study sejarah, hidup dan tulisan dari penulis purba/kuno yang mencakup semua penulis Gereja, baik itu ortodox maupun eretik; dengan demikian perlu mengetahui literatur kristen purba/kuno dan situasi pada saat itu, dengan semua metode belajar dan aspek lain yang perlu untuk mengetahui literatur ini lebih mendalam.33
5. PATRISTIK Patristik mengarah kepada jaman para “Bapa Gereja”, semua yang berkaitan dengan jaman itu: tulisan, pemikiran teologi dari kristen Purba/kuno;34 dengan kata lain patristik adalah pembedaan teologi, sebagaimana pada abad XVII, para teolog lutheran dan katolik membedakan teologi: teologi Kitab Suci, teologi Patristik, teologi Skolastik dan teologi Spekulatif.35 Tetapi sekarang lebih berpusat pada studi, ide
31 32
33
34 35
122
H. E. Drobner, Patrologia, p. 49. H. R. Drobner, Patrologia, p. 50. Cf. J. Quasten, Patrologia, p. 1. G. Bosio, E. dal Covolo, M. Maritano, Introduzione ai Padri DellaChiesa Secoli I e II,, p. 4. A. Hamman, Patrologia, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, Casale Monferrato, Marietti, 1994, col. 2709. H. R. Drobner, Patrologia, p. 51. A. Hamman, Patrologia, p. 2709. Cf. J. Quasten, Patrologia, p. 1. P. Siniscalco, Patristica, Patrologia e Letteratura cristiana antica ieri e oggi, in Augustinianum, 20, 1980, p. 391. H. R. Drobner, Patrologia, p. 51. Menurut P. Siniscalco, Patristica, Patrologia e Letteratura cristiana antica ieri e oggi, p. 386, pada tahun 1730.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
dan doktrin para “Bapa Gereja”; suatu teologi yang banyak berhubungan dengan dogma, sejarah dalam kesatuan dengan Gereja.36 Bahkan saat ini, semua disiplin pengajaran Gereja selalu cenderung untuk mengamati pendapat para “Bapa Gereja”.37 Dengan demikian menunjukkan betapa pentingnya mempelajari Patrologi pada saat ini.
6. PENTINGNYA BELAJAR PATROLOGI Patrologi adalah penting karena karya mereka masih sangat aktual dalam perjalanan Gereja sampai pada saat ini. Untuk menunjukkan urgensi ini, Paus Yohannes Paulus II menegaskan bahwa sari hidup para “Bapa Gereja” masih tampak sampai saat ini seperti struktur Gereja, kegembiraan dan kegelisahan perjalanan Gereja dan kehidupan sehari-hari mereka.38 Mereka adalah saksi tradisi hidup yang menerima,39 menyampaikan40 memberikan kepada generasi berikutnya berdasarkan apa yang mereka terima.41 Isi tradisi adalah: Tradisi Israel,42 Tradisi Kristen (yang diperoleh dari Kristus melalui para rasul),43 sikap Kristiani yang ditandai dengan doa,44 ekaristi menjadi regula/cara hidup.45 Bahkan beberapa dari mereka menerima tradisi hidup itu langsung dari Rasul dan Kristiani.46 Dengan demikian Tradisi adalah menjadi “deposito” yaitu menjadi tabungan/sumber segala aspek hidup kristiani dan menjadi tempat konsultasi.47 Tradisi ini didokumenkan pertama kali yang disebut dengan Didache.48
36
37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48
A. Hamman, Patrologia, p. 2709. Cf. E. dal Covolo, Sulla Natura degli studi patristici e i loro obiettivi, in salesianum, 53, 1991, p. 8. Dogma tidak menampilkan semua situasi bagaimana dogma itu dirumuskan, atau kenapa dogma itu dipromulgasikan. Berkat belajar teologi para Bapa Gereja, kita bisa mengetahuinya, dan kadang-kadang kita bisa “berterimakasih” akan eresia, sehingga Gereja berinisiatif merumuskan dogma. F. Bergamelli, Il Metodo nello studio dei Padri, in Salesianum, 53, 1991, p. 22. Lett. Apost., Patres Ecclesiae, 2 Gennaio 1980: AAS 72, (1980), p. 5. Mk. 7: 4; 1Kor. 15: 1, 3; Gal. 1: 9, 12; 1Tes. 2: 13. Tim 28: 19-20; Mk. 7: 13; Lk. 1: 1-2; Kis. 6: 14; 16: 4; 1Kor. 11: 2, 23-24; 15: 3. Kis. 6: 14; 2Tes 2: 15. Mt. 15: 2, 3, 6; Mk. 7: 3-4, 5, 8-9, 13; Gal. 1: 14; Kis. 6: 14. 1Kor. 15: 1, 3; Gal. 1: 9, 12; 1Tes. 2: 15. 1Kor 11: 4; 2Tes 3: 6; Kis. 16: 4. 1Kor. 11: 23-25: berupa doktrin ekaristi, tradisi sebagai cara hidup (formula), Tradisi sebagai regula, missi apostolik, keilahian Tradisi yang berasal dari Rasul yang mereka peroleh langsung dari Kristus. 1Kor. 11: 23; 15: 3; Gal. 1: 11-12; 2Tim. 2: 2. Gal. 1: 8-9; 1Tim. 6: 20; 2Tim. 1: 14. Sesudah Didachè para Bapa Gereja selalu mengkonsultasikan ajaran-ajaran mereka dengan Tradisi yang dibantu dengan dokumen tertulis ini, misalnya: Clemen Roma, Ep. 7, 2; 13, 1; 19, 2; 42, 1-2; 44, 1-3. Policarpus, Ep. 7, 2; Ireneus, A. H. 1, 10, 1-2; 1, 10, 42-48; 2, 9, 1; 3, 3, 2-4; 3, 4, 1; 4, 26, 2; 4, 28, 2; 4, 33, 8. Tertulianus, De Praescriptione 7, 12-13; 9, 3-6; 13, 1-5. Dalam tulisan-tulisan para Bapa Gereja ini dapat dikatakan bahwa tradisi ini adalah Regula Fidei yang berarti Regula itu adalah menjadi regula/aturan yang dibutuhkan untuk iman/kristiani.
Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar
123
Para “Bapa Gereja” memiliki tempat pertama sesudah para Rasul untuk memberikan kesaksian Tradisi Kristen,49 dan berlangsung dari jaman ke jaman sampai pada jaman kita. Kesaksian mereka akan Tradisi berasal dari sumber atau dekat dengan sumber Tradisi itu. Mereka melaksanakan Tradisi ini dalam hidup seharihari, bahkan mereka berani mati untuk memperjuangkannya. Kemudian mereka mengajarkan Tradisi ini kepada pengikut mereka.50 Mereka menyatakan iman mereka dan hidup menurut Regula Fidei dan regula ini dijadikan kontrol untuk cara hidup.51 Dengan demikian untuk mengetahui Tradisi yang benar, langkah yang tepat adalah melihat kembali hidup komunitas kristiani zaman para rasul dan sesudahnya dan mengambil nilai iman untuk diaktualkan dalam hidup sekarang ini. Para “Bapa Gereja” mencari metode untuk menjelaskan Kitab Suci, secara khusus hubungan antara Perjanjian Baru dengan Perjanjian Lama. Kunci penjelasan mereka berpusat pada Yesus. Metode para “Bapa Gereja” adalah Allegory dan Lettery/harafiah. Metode Allegory yang menjadi kekhasan sekolah Alexandria dengan tokoh Panteno, Klemen, Origenes, Eracla, Dionisius, Teongnotus, Pierius dan Didimus Buta. Sedangkan Sekolah Antiokia mengakui diri dengan kekhasan Lettery yang dipromotori oleh: Diodorus dari Tarsus, Teodorus dari Mopsuesta, Yohannes Crisostomus, Teodoretus dari Cirus. Kemudian Barat mengkombinasikan kedua metode ini. Para “Bapa Gereja” mengetaui baik sekali Kitab Suci dan mereka hidup menurut buku ini; mereka mengutip begitu saja Kitab Suci secara mudah dan mengalir dalam tulisan-tulisan mereka. Dengan kedua metode ini, mereka memperdalam Kitab Suci, oleh sebab itu Paus Pius XII menegaskan bahwa penafsiran mereka adalah suatu intuisi yang lembut mengenai hal-hal ilahi untuk direnungkan, terlebih-lebih keunggulan mereka dalam mendalami Sabda Tuhan.52 Para “Bapa Gereja” adalah tempat pertama dalam inkulturasi iman, karena dalam aktivitas kehidupan sehari-hari, mereka menghadapi filsafat yang berusaha untuk menyangkal iman mereka. Melalui metode filsafat itu sendiri, mereka memberikan pertanggungjawaban posisi iman kristen dan dengan sendirinya mereka mengerti lebih dalam iman mereka melalui pertolongan dan latar belakang filsafat.53 Selain itu, mereka juga menggunakan filsafat untuk mempertahankan (apologi) keotentikan atau ortodox: iman, trinitas, kristologi, ecclesiologi, antropologi, escatologi dari para filsuf dan bahkan dari para eretik. Metode apologi mereka selalu aktual dalam perjalanan Gereja untuk mempertahankan dan membela iman di setiap zaman.54 Misalnya Agustinus menulis apologi untuk mempertahankan doktrin kristiani dari ajaran-ajaran yang lebih sesat sekalipun, seperti Akademis.55 Oleh sebab itu sejak
49 50 51 52 53 54 55
124
Cf. Congregatio de Institutione Catholica, Instructio Inspectis dierum de patrum ecclesiae studio in sacerdotali instituzione, in Enchiridion Vaticanum, 11, Bologna, Edizione Dehoniane, 1995, p. 1809, no. 18. Cf. Agustinus, Contra Iul., 2, 16, 24, (CSEL 60, pp. 96-7). Cf. Vincentius Lerin, Commonitorium, 2, 1, (CCL 64, p. 148). Lett. Enc., Divino Afflant Spiritu, 30 Settembre 1943, AAS 35, (1943), p. 312. Conc. Vat. II, Ad Gentes, no. 22. O. Pasquato, Studi patristici e discipline storiche, in Salesianum, 53, 1991, p. 47. Agustinus, Retract., 1, 1, 4, (NBA 2, p. 16). Academik adalah kelompok para filsuf yang berusaha menyerang kristen pada zaman Agustinus di Kartagine, Afrika utara.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
dari awal, Gereja mempelajari untuk mengekspresikan Kristus, dengan menggunakan berbagai konsep dan bahasa yang berbeda; juga mereka mencari illustrasi untuk tujuan itu dengan menggunakan kebijaksanaan filsafat, bahkan mengadopsinya bila hal itu dianggap perlu bagi kepentingan kehidupan kristiani dan juga untuk esigensi bagi yang terpelajar.56 Aktivitas liturgi yang paling kuno ditemukan dalam buku Didachè (doktrin), yaitu liturgi baptis,57 puasa dan doa,58 doa ekaristi.59 Pada abad pertama sampai abad ke dua, aktivitas liturgi dirayakan di rumah-rumah keluarga. Sedangkan perayaan ekaristi dikemukakan secara tertulis oleh Justinus dan Hippolitus. Para wanita juga berpartisipasi dalam perayaan ini. Di dalam perayaan ini, Kitab Suci dibaca versi Septuaginta, sedangkan Perjanjian Baru masih dalam proses pembentukan kanon. Pada periode ini, abad I – II, masih belum ada katekumenat, yang sebenarnya muncul pada awal abal ke tiga. Kalau ada orang yang mau menjadi kristen, orang tersebut dibawa ke komunitas dengan seorang wali baptis, wanita atau laki-laki, diajar karitas terhadap para janda, yatim piatu; diajar untuk berdoa, kemudian dibaptis dengan rumus: Dalam nama Bapa, dan Putera dan Roh Kudus. Pada waktu ini, sudah ada kebiasaan untuk membaptis bayi dari keluarga kristen. Aktivitas pastoral lebih banyak dilaksanakan oleh para awam dengan kesaksian hidup sehari-hari; kalau mereka dalam perjalanan, mereka menceritakan iman mereka kepada teman seperjalanan, memberikan kesaksian iman dan tidak jarang banyak orang yang mau menjadi kristen, terutama para golongan rendah/budak.60 Semua ini hanya sekedar untuk menunjukkan betapa perlunya mempelajari Patrologi pada jaman kita sekarang ini. Sebagaimana pada jaman mereka, demikian juga dengan jaman kita, pembedaan nilai-nilai dari praktek hidup memiliki peranan penting, dalam hubungannya dengan assimilasi dan pemurnian yang dibutuhkan untuk mempertahankan identitas dan mengarah untuk menampilkan panorama untuk kehidupan saat ini; kekayaan iman kepada manusia zaman sekarang ini, harus diberikan sekarang dan di sini.61
7. PENUTUP Untuk menutup tema ini, kita dengarkan pernyataan dua paus yang telah mengemukakan perlunya belajar para “Bapa Gereja”. Belajar para “Bapa Gereja”
56 57 58 59 60 61
Cf. Con. Vat. II, Gaudium et Spes, no. 44. Didachè, 7, 1-4, (SC 248, pp. 170-2). Didachè, 8, 1-2, (SC 248, pp. 172-4). Didachè, 9, 1-5, (SC 248, pp. 174-8). Tutto questo viene preso dal libro di A. G. Hamman, La Vita Quotidiana dei Primi Cristiani, Traduzione di Adriana Crespi, Biblioteca Universale Rizzoli, 1996, pp. 42-229. Cf. Paolo VI, Lett. Enc., Ecclesiam suam, 6 Agosto 1964: AAS 56, (1964), pp. 627-628.
Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar
125
adalah sangat besar manfaatnya kepada semua, terlebih-lebih mereka yang memiliki keinginan akan perkembangan teologi, pastoral, spritualitas.62 Banyak diantara para “Bapa Gereja” yang sesungguhnya menjadi dasar keotentikan pembaharuan.63 Pemikiran Patristik adalah Kristosentrik,64 adalah contoh bagi teologi yang hidup dan berkembang, matang untuk menghadapi masalah pelayanan pastoral,65 contoh paling baik dalam berkatekese,66 sumber untuk pengetahuan Kitab Suci dan Tradisi,67 dan memberikan contoh identitas kristen yang sebenarnya.68
BIBLIOGRAFI Sumber Utama: Agustinus: De Baptesimo, (CSEL 51). Contra Iulianum, (CSEL 60). Didaché, (SC 248). Eusebius Cesarea: Historia Ecclesiae, (SC 215, 262, Fotius: Myriobiblon, (PG 103-4). Gregorius Nazianzus: Orationes, (PG 36). Ildefonsus Toledo: De Viris Illustribus, (PL 96). Ireneus Lione: Adversus Haereses, (SC 100). Isidorus Seviglia: De Viris Illustribus, (PL 58). Jirolamo: De Viris Illustribus, (PL 23).
62 63 64 65 66 67 68
126
Cf. E. dal Covolo, I Padri della Chiesa maestri di formazione sacerdotale, in Salesianum, 53, 1991, p. 143. Paolo VI, Lett. A sua Em.za il Card. Michele Pellegrino per il centenario di J. P. Migne, 10 Maggio 1975, AAS 67, (1975), p. 471. Giovanni Paolo II, kepada para professor dan alumni Institut Patristik “Augustinianum”, 8 maggio 1982, AAS 74, (1982), p. 798. Paolo VI, saat peresmian Institut Patristik “Augustinianum”, 4 Mei, 1970, AAS 62, (1970), p. 425. Giovanni Paolo II, Adhortatio Apostolica, Catechesi tradendae, 16 Oktober 1979, AAS (1979), p. 1287, n. 12. Giovanni Paolo II, kepada para professor dan alumni Institut Patristik “Augustinianum”, 8 Mei 1982, AAS 74, (1982), p. 796. Giovanni Paolo II, kepada para professor dan alumni Institut Patristik “Augustinianum”, p. 797.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Johannes Krisostomus: De Laudibus S. Pauli, (SC 300). Justinus: Dialogi, (PG 6). Klemen Alsexander: Stromateis, (SC 30). Klemen Roma: Clementis Epistola ad Corinthios, (SC 167). Palladius: Historia Lausica, (PG 34) Policarpus: Martyrium Polycarpi, (SC 10). Vincentius Lerin: Commonitorum, (CCL 64). Siprianus: Epistola, (CCL 3). Dokumen Ai professori ed alunni dell’Istituto Patristico “Augustinianum”, AAS 74 (1982). De patrum ecclesiae studio in sacerdotali instituzione, AAS 82 (1990). Divino Affant Spiritu, AAS 35 (1943). Ecclesiam Suam, AAS 56 (1964). Lett. A sua Em.za il Card. Michele Pellegrino per il centinario di J. P. Migne, AAS 67 (1982). L’inagurazione dell’Istituto Patristico “Augustinianum”, AAS 62 (1970). Patres Ecclesiae, AAS 72 (1980). Sumber Lain Bellini E., I Padri nella Tradizione cristiana, a cura di Luigi Saibene, Milano, Jaca Book, 1982. Bergamelli F., Il Metodo nello Studio dei Padri, in Salesianum, 53, 1991, pp. 1943 Bosio G., dal Covolo. E., Maritano. M., Introduzione ai Padri della Chiesa, (Secoli I e II), Torino, Sicietà Editrice Internazionale, 1995. dal Covolo E., Triacca, A. M., Lo Studio dei Padri della Chiesa oggi, in Biblioteca di Scienze Religiose, 96, Roma, 1991. __________., I Padri della Chiesa maestri di formazione sacerdotale, in Salesianum, 55, 1993, pp. 133-46. Drobner H. R., Lo Studio dei Padri della Chiesa oggi, in Salesianum, 53, 1991, pp. 1-148, 219-72.
Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar
127
___________., Patrologia, Casale Monferrato, 1998. Hamman A., Padre, Padri della Chiesa, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, II, diretto da A. di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, pp. 2562s. ___________ Patrologia, Patristica, in Dizionario Patristico e di Antichità Cristiane, II, diretto da A. di Berardino, Casale Monferrato, Marietti, 1994, pp. 2708-18. Metzger B. M., The Canon of the New Testament, Its Origin, Development, and Significance, Oxford, Clarendon Press, 1997. Pasquato O., Studi patristici e discipline storiche, in Salesianum, 53, 1991, pp. 45-88. Schrenk, Quell, Patér, in Theological Dictionary of the New Testament, V, edited by Gerhard Friedrich, translator and editor Geoffrey W. Bromiely, Michigan, Grand Rapids, 1993. Schürer E, A History of the Jewish People in the Time of Jesus Christ, I, translated by Sophia Taylor and Peter Christie, Edinburgh, T & T Clark, 1995. Siniscalco P., Patristica, Patrologia, in Augustinianum, 20, 1980, pp. 383-400. Triacca A.M., L’uso dei “loci” patristici nei documenti del concilio Vaticano II: un caso emblematico e problematico, in Salesianum, 53, 1991, pp. 219272. Quasten J., Patrology, I (The beginnings of Patristic Literature, From the Apostles Creed to Irenaeus), Westminister, Maryland, Christian Classics, 1992. Traduzione in Italiano, Casale Monferrato, Marietti, 1992.
128
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
AGAMA DAN KEBUDAYAAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT HERMENEUTIS
Donatus Sermada Kelen STFT Widya Sasana, Malang Abstract: The article contains a philosophical approach adopted by the author in his effort to apply this method to understand and to interprete the meaning of “Religion and Culture“. The philosophical approach the author would like to focuse on is the hermeneutical philosophy. The author describes first the general view of the hermeneutical philosophy in the light of the historical development, especially the ideas of some important philosophers who were dealing systematically with the hermeneutics, and then the author tries to apply the hermeneutics to the field of religion and of culture in the separated way. The last part of the article is concentrated on the theme of how to understand and to interprete the meaning of religion and culture unseparatedly. Keywords: hermeneutik, agama, budaya
Hermeneutik berarti seni menafsir (ars interpretandi).1 Dalam perkembangan sejarah hermeneutik hingga kini, kegiatan menafsir menjadi satu sistem filsafat yang memusatkan perhatian pada usaha untuk menafsir makna dari sesuatu, agar makna sesuatu itu dipahami dan dimengerti. Untuk tema ini yang diangkat dari kuliah perdana penulis pada tahun 1999, makna sesuatu yang mau ditafsir itu menyentuh bidang “Agama dan Kebudayaan“.
1. Filsafat Hermeneutis selayang pandang Zaman Yunani kuno sudah mengenal kegiatan hermeneutis ini. Pada masa Platon dikenal “hermeneutike techne“ (teknik menafsir), yaitu satu teknik untuk menyampaikan pesan seseorang kepada pendengar-pendengar baru, dan teknik ini dijalankan oleh utusan yang menjadi pengantara antara pemberi pesan dan orangorang yang mau menerima pesan itu.2 Sejak zaman Renaisanse (abad 14) sampai pertengahan abad 18 seni “menafsir“ dikembangkan secara sistematis dan berpusat pada tiga bidang kegiatan akademis: Hermeneutik filologis, yaitu teknik untuk menafsir teks-teks klasik seperti teks-teks Yunani dan Latin; Hermeneutik teologis, yaitu teknik
1 2
Salamun, Kurt (Hrsg.): Hermeneutik. In: Was ist Philosophie? Tübingen: J.C.B. Mohr, 1992, hlm. 81. Grabner-Haider, Anton: Kritische Religionsphilosophie. Köln: Verlag Styria, 1993, hlm. 214.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
129
untuk menafsir Kitab Suci ; Hermeneutik yuristis, yaitu teknik untuk menafsir kitabkitab hukum. Titik tolak utama yang melatar belakangi kegiatan menafsir ini ialah problemproblem tertentu yang belum dapat dipecahkan dengan istilah teknis “aporia“, yaitu problem atau teka-teki yang memiliki arti, tapi membutuhkan pemecahannya.3 Kegiatan hermeneutik terarah kepada usaha untuk memecahkan persoalan yang penuh teka-teki itu, supaya persoalan itu dan arti-arti yang terkandung di dalamnya dapat “dimengerti“. Karena bahasa merupakan tempat terlaksananya kegiatan hermeneutis, maka perlu dipertanyakan lebih lanjut: karakter bahasa macam mana yang membutuhkan kegiatan seperti itu. Apakah bahasa yang memiliki satu arti atau banyak arti, apakah kata yang mewakili cuma satu arti atau banyak arti? Kegiatan hermeneutis harus berpautan dengan kata atau bahasa yang memiliki banyak arti (polysemi) seperti yang dideretkan dalam kamus. Tugas hermeneutik adalah untuk menetapkan arti atau pesan tertentu yang termuat dalam kata yang memiliki banyak arti itu. Dengan munculnya tokoh Friedrich Schleiermacher (1768-1834), seorang Theolog protestan asal Jerman, terbuka satu babak baru untuk pengembangan kegiatan hermeneutis. Ia berhasil mengembangkan satu teknik umum yang disebutnya “seni mengerti“ (Kunst des Verstehens atau Kunstlehre).4 Ia antara lain membedakan teknik penafsiran gramatis yang bertolak dari struktur gramatis dari kalimat (obyektif) dan teknis penafsiran subyektif yang bergantung kepada maksud si subyek. Ideal dari Hermeneutik Schleiermacher sebetulnya terletak dalam teknik untuk merekonstruksikan arti dan pesan dari kata-kata yang diucapkan atau yang ditulis dengan cara menempatkan pendengar atau pembaca kembali ke dalam diri si pembicara atau si penulis. Metode penafsiran Schleiermacher dikembangkan lagi oleh Wilhem Dilthey (1833-1911).5 Makna dari sesuatu yang disampaikan subyek bergantung penuh pada konteks sejarah, latar belakang budaya, lingkungan hidup dari subyek-subyek yang berinteraksi. Karena itu bukan hanya soal bahasa, tetapi “hidup“ itu sendiri merupakan tempat atau locus dari kegiatan hermeneutis. Hal ini sesuai dengan gagasan dasar filsafat Dilthey yang berpusat pada apa yang disebutnya “filsafat kehidupan“ (Lebensphilosophie) yang melibatkan keseluruhan historisitas kehidupan yang kaya dan kompleks baik kehidupan individual maupun kehidupan sosial. Dengan titik tolak hermeneutis yang lebih luas itu, Dilthey memberi sumbangan terhadap usaha pembedaan antara metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan alam dan metode yang dipakai dalam ilmu pengetahuan budaya (Geisteswissenschaft). Metode ilmu pengetahuan alam adalah metode “menjelaskan“ (erklären) sebab akibat kejadian menurut hukum alam, sedangkan metode ilmu pengetahuan budaya adalah metode
3 4 5
130
Ricoeur, Paul: Hermeneutics & The Human Sciences. Cambridge: University Press, 1993, hlm. 43-44. Ibid. hlm. 45-48. Ibid. hlm. 48-49.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
“mengerti“ makna dan pesan dengan cara menemukan relasi-relasi makna dalam konteks keseluruhan hidup dari subyek-subyek yang berinteraksi. Kelemahan metode hermeneutik Dilthey disikapi oleh filsuf-filsuf yang lebih kemudian seperti Husserl, Heidegger, George Gadamer dan Paul Ricoeur. Persoalan Hermeneutik Dilthey ialah bahwa untuk mengerti suatu pesan atau makna, kita selalu bereferensi kepada pengetahuan dan pengertian tentang konteks keseluruhan hidup dari subyek-subyek yang berinteraksi. Ternyata di dalam realitas kehidupan itu terdapat situasi-situasi eksistensial yang memiliki unsur-unsur pra-pengertian atau pra-pengetahuan.6 Heidegger (1889-1976) dalam “Sein un Zeit“ (Ada dan Waktu) menggarisbawahi makna ontologis dari manusia sebagai Dasein, yang dikonstitusikan oleh keberadaannya dalam dunia (In-der-Welt-Sein). Hermeneutik bukanlah satu refleksi tentang pengetahuan, tetapi satu ekplikasi dari dasar ontologis manusia itu, satu modus dari realitas keberadaan manusia (sebagai Dasein) yang hic et nunc atau yang konkrit sekarang ini dan di sini.7 Di dalam sejarah Hermeneutik terdapat kerangka perkembangan yang jelas. Hermeneutik yang bermula dengan kegiatan menafsir makna dari bidang-bidang tertentu secara tepisah berkembang menjadi satu pedoman umum penafsiran. Pedoman umum itu serentak menjadi satu filsafat yang bertumpu pada “hidup“ itu sendiri sebagai bidang kegiatan hermeneutis. Karena penafsiran seperti itu mengandaikan pengetahuan, yaitu “bagaimana kita mengetahui“ keseluruhan hidup dari subyek-subyek yang berinteraksi, maka di bawah pengaruh Heidegger tekhnik penafsiran harus berorientasi pada pertanyaan “apa modus dari ‘Ada’“ dari Dasein manusia yang dapat mengantisipasi pengertian dan pengetahuan.
2. Makna agama dalam perspektif filsafat hermeneutis Kerangka pemahaman hermeneutis seperti yang dilukiskan pada bab terdahulu kita terapkan untuk menafsir dan memahami bidang agama. Berbicara tentang makna agama dalam perspektif filsafat hermeneutis berarti berbicara tentang seni menafsir makna agama. Maka salah satu aporia yang terdapat dalam agama ialah teka-teki yang menyangkut “hakekat“ agama itu sendiri. Apa hakekat agama? Dan apakah hakekat semua agama itu sama? Persoalan ini tentu menyentuh juga persoalan dalam filsafat Ketuhanan, yaitu bahwa apakah hakekat atau yang menjadi inti dari semua agama itu adalah Tuhan atau nama-nama yang serupa dengannya seperti Yang Mutlak, Yang Mahakuasa, atau alam kosong, dsb. Untuk menjawabi pertanyaan itu, kita membataskan diri pada tiga titik tolak hermeneutis: filologis, ilmu pengetahuan budaya (Geisteswissenschaft) dan eksistensial (modus keberadaannya yang real).
6 7
Ibid. hlm. 53. Ibid. hlm. 54-59.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
131
Titik tolak hermeneutis yang bersifat filologis: Apa makna sebenarnya yang termuat dalam kata asing “religion“? Studi bahasa dan sejarah agama menunjukkan tulisan-tulisan Cicero (10643 v.Chr.) yang menggunakan kata “religio“ untuk satu pengertian yang lain dari pada penafsiran pemikir-pemikir kristen. Religio adalah “pemerhatian yang teliti terhadap apa yang termasuk dalam kultus para dewa“.8 Ia mengasalkan kata itu dari kata kerja “re+legere” (religere) yang berarti membaca kembali, memperhatikan secara teliti. Hakekat agama tidak selamanya “Allah“ seperti dalam konsep kristen, tetapi “semua yang termasuk dalam kultus para dewa“, dan “religio“ lalu berarti usaha untuk memperhatikan atau membaca semua itu secara teliti. Sejak zaman kekristenan hakekat itu dimengerti secara teologis dan kristiani sejalan dengan usaha sistematisasi iman kristiani melalui satu disiplin baru, yaitu Teologi. Hakekat agama adalah Allah sendiri, dan kata bahasa Latin “Religio“ dimengerti sebagai berasal dari “re+ligare“ (mengikat kembali) atau “re+eligere“ (memilih kembali); jadi “religio“ adalah usaha untuk mengikat kembali hubungan manusia dengan Allah atau untuk memilih kembali Allah sebagai tujuan hidup.9 Kita lompat kepada konteks Indonesia yang menterjemahkan kata “religion“ dengan kata “agama“. Kata “agama“ merupakan hasil tempaan tradisi Hindu, khususnya tradisi Hindu Syiwa yang masuk Indonesia. Kata “agama“ dalam bahasa Sansekerta merupakan bentuk partisipium presens dari akar kata kerja “gam“ yang berarti “pergi“, dan bila ditambah prefiks “â“, ia menjadi “âgam“ yang berarti datang, tiba, mendekati. Dalam bentuk partisipium presens “âgama“ , kata “âgama“ lalu berarti “sedang datang, sedang mendekati.“10 Pada tradisi awal zaman Veda (4000 seb.M.) dan zaman Upanisad (ca. 1500-500 seb.M) kata itu sering dipakai untuk kelompok murid-murid yang datang untuk belajar ajaran-ajaran suci, duduk di hadapan guru sambil mendengar atau membaca teks-teks suci. Kata itu lalu mendapat makna baru, yaitu kompendium ajaran atau Kitab Suci dari berbagai macam aliran Hinduisme seperti pengikut Wisnu, pengikut Syiwa, pengikut Sakti yang melihat doktrin-doktrin mereka sebagai punya atoritas sama dengan doktrin-doktrin Veda. Dalam perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan aliran Syiwa yang semakin pesat, term agama secara khusus adalah Kitab Suci penganut Syiwa, yang meliputi jnana (pengetahuan), konsenstrasi (yoga), ritus-ritus (kriya) dan aturan harian (carya).11 Berdasarkan kepustakaan Hindu-Jawa, yang menunjukkan bahwa agama Hindu Syiwa bercampur Tantra masuk pertama dan menyebar di Jawa pada awal abad Masehi, maka bisa dimengerti bahwa term agama yang bermaknakan Hindu
8
9 10 11
132
“Die Religion ist die sorgfälltige Beachtung alles dessen, was zum Kult der Götter gehört“. Lanczkowski, Günter: Einführung in die Religionswissenschaft. Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1991, hlm. 21. Ibid. hlm. 21. Monier Monier-Williams Sir: A Sankrit-English Dictionary. Delhi: Motilal, 1990.hlm. 129. Klostermaier, Klaus K: A Survey of Hinduism. New York: State University of New York Press, 1994, hlm. 6970.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Syiwa menyebar luas dan tidak diganti dengan kata Arab “dîn“ yang berarti juga agama, ketika islam berkembang pesat di bumi Indonesia.12 Dengan demikian kita melihat bahwa term “religion“ dan “agama“ berasal dari tradisi yang berbeda dan memiliki variasi makna. Kita tidak bisa menetapkan makna dan hakekatnya dalam pemahaman dan pengertian yang seragam, apalagi mengartikannya secara teologis. Hermeneutik yang mengacu pada Ilmu Pengetahuan Budaya (Geisteswissenschaft). Sejalan dengan perkembangan pemikiran filsafiah sesudah abad pertengahan, ketika menghembusnya angin pencerahan, maka makna “Religion“ tidak dicari di luar manusia. Untuk mengerti dan memahami hakekatnya, orang harus kembali kepada manusia yang menghayatinya. Dilthey yang memperluas lagi konsep Schleiermacher menekankan keseluruhan historisitas dari manusia yang menghayati agama dan keterkaitan eksistensi agama yang satu dengan eksistensi agama yang lain. Dengan demikian untuk mengerti salah satu agama di bumi Indonesia misalnya, orang tidak hanya mengerti agama yang bersangkutan dengan bertolak dari konteks agama itu sendiri, tetapi juga mengertinya dengan bertolak dari agama-agama lain yang ada berdampingan dengannya dan yang memiliki konsepsi tertentu terhadap agama itu dalam interaksi antar-agama. Mengapa? Dalam konteks sejarah budaya sudah ada persenyawaan yang begitu mendalam antara agama-agama. Kita mengambil contoh seperti yang telah disinyalir oleh Dr. Kraemer, ketika beliau meneliti kepustakaan Jawa yang berisikan ajaran-ajaran Islam. Meskipun secara eksplisit kepustakaan itu memuat ajaran Islam, tetapi menurut beliau hasil pengolahan terhadapnya memperlihatkan persenyawaan antara agama Hindu-Syiwa-Buddha dengan kepercayaan asli Jawa, dan persenyawaan antara Islam dan kepercayaan Jawa yang telah bercampur itu.13 Persenyawaan yang mendalam itu menyebabkan tidak adanya ruang untuk mempersoalkan ortodoksi ajaran di antara agama-agama yang ada di bumi ini. Tidak ada kebutuhan secukupnya untuk membuat defenisi yang tajam dan kriteria yang jelas tentang konsep istilah itu. Dan persenyawaan itu berlangsung sampai sekarang, meskipun ada interpretasi resmi sesuai dengan UUD’ 45 dan Pancasila untuk menetapkan agama resmi yang diakui di bumi Indonesia. Hermeneutik yang mengacu pada penafsiran aktual yang eksistensial. Inspirasi filsafat Heidegger, Gadamer dan Paul Ricoeur membawa satu perobahan radikal dalam cara “mengerti“ agama. Makna agama, misalnya seperti yang termuat dalam Pancasila dan UUD’45, harus selalu ditafsir secara baru sesuai dengan modus keberadaannya yang konkret. Argumentasinya ialah bahwa manusia yang menghayati agama berbeda dari masa ke masa. Subyek-subyek sejarah bersifat partikular dan tak terulang; mereka memiliki modus keberadaan yang khas dan konkrit. Modus keberadaan konkrit macam mana yang dimiliki oleh pelaku atau penganut agamaagama di bumi Indonesia? Kenyataan menunjukkan bahwa para penganut agamaagama ini hanya berada berdampingan satu sama lain, tapi tidak ada “daya perekat“
12 13
Hadiwijono, Harun, Dr.: Konsepsi tentang manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Percetakan Kintamani Offset, 1983, hlm. 25. Hadiwijono, Harun: Kebatinan Jawa dalam abad ke IX. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984, hlm. 7.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
133
yang mengkonsolidasikan kekuatan-kekuatan agama. Keberadaan mereka hanya disatukan di bawah payung politis dengan nama RI dan ideologi Pancasila dan UUD’45 tanpa ada koherensi batiniah-rohaniah yang menjelma dalam kekuatan bersama yang mengimbangi kesewenangan kekuatan politis. Satu tafsiran aktual di masa reformasi ini, ketika banyak kerusuhan berdarah yang dipicu melalui sentimen agama, dapat kita rumuskan dalam bahasa Komaruddin Hidayat: “Jika kita sepakat untuk membangun rumah tangga Indonesia modern, dengan luas wilayah dan pluralitas etnis dan agama seperti yang ada selama ini, maka kita harus sepakat untuk menggunakan paradigma yang sama, bahwa Republik Indonesia adalah rumah kita yang harus dijaga bersama-bersama.“14 Seluruh keberadaan yang real itu diibaratkan dengan bangunan rumah besar; masing-masing pemeluk agama menempati dan menata kamarnya, namun setiap agama mempunyai kewajiban etis, yaitu menopang seluruh bangunan itu, dan kewajiban ini hendaknya menjelma dalam satu forum yang mempunyai “satu suara“untuk bertindak.
3. Hermeneutik dalam konteks antar budaya Dalam bagian ini kita menonjolkan pluralitas budaya sebagai latar belakang kegiatan hermeneutis kita. Pluralitas budaya adalah satu fakta yang telah disingkapkan dalam penelitian-penelitian ilmu empiris. Baik di dalam diri seseorang, maupun di dalam diri kelompok atau masyarakat tertentu tidak ada lagi apa yang disebut sebagai kebudayaan asli dan murni milik masyarakat tertentu. Dari konteks inilah kita berbicara tentang pluralitas budaya. Pertanyaan untuk kegiatan hermeneutis kita ialah bahwa apakah ada titik pijak teoretis yang menjadi milik bersama, apabila kita mau merefleksikan kenyataan faktis itu? Jawaban terhadap pertanyaan ini ditemukan dalam ungkapan kunci yang disebut “filsafat antar budaya dalam kaitan dengan Hermeneutik“ ( interkulturelle Philosophie mit ihrer Hermeneutik ). Kita menjelaskan dulu makna “filsafat antar budaya.“15 Filsafat antar budaya bukan satu alat bantuan untuk memberikan pedoman tertentu dalam dialog antar budaya. Filsafat antar budaya adalah satu disiplin filosofis yang berusaha untuk merefleksikan pertemuan antara kebudayaan, dan dari hasil sistematisasi itu mungkin dapat ditemukan dasar dan bentuk universal yang dapat mentransendir (mengkultivir) baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan yang lain dalam kontak budaya itu. Obyek dari filsafat antar budaya adalah interkulturalitas itu sendiri yang diartikan sebagai sikap, pandangan hidup dan pemahaman filosofis dari kebudayaankebudayaan yang mengalami kontak pertemuan satu sama lain dalam kurun waktu
14 15
134
Hidayat, Komaruddin, Dr.: Reposisi Peran Agama. Dalam: Kompas, Selasa 27 April 1999, hlm. 4-5. Mall, R. A.: Begriff, Methode und Hermeneutik der Interkulturellen Philosophie. In: Philosophische Grundlagen der Interkulturalität. Mall, R.A./ Lohmar, D. ( Hrsg.). Amsterdam: Editions Rodopi, 1993, hlm. 1-27.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
tertentu (zeitlich), pada tempat tertentu (orthaft) dan bersifat partikular, tapi hasil refleksinya sedapat mungkin universal, tidak bergantung pada waktu tertentu (zeitlos) dan tidak bergantung pada tempat tertentu (ortlos). Obyek ini hanya dapat disistematisir melalui distansi kritis dari subyek-subyek yang berefleksi baik terhadap kebudayaannya sendiri maupun terhadap kebudayaan lain (cf. refleksi kritis Sindhunata tentang kebudayaan Jawa dan Non-Jawa). Untuk mewujudkan tugas filsafat antar budaya itu, perlulah filsafat antar budaya senantiasa dikaitkan dengan Hermeneutik. Maksudnya, keduanya senantiasa terarah kepada dan sejalan dengan kebenaran yang universal, kebenaran yang juga dimengerti secara universal. Di sinilah letak titik pijak dan titik acuan teoretis yang menjadi milik bersama: kebenaran humanis-universal yang mampu mentransendir budaya-budaya dalam pertemuan mereka. Karena itu hermeneutik yang tepat dalam filsafat antarbudaya harus memiliki arah: secara maksimal dan optimal mengerti tradisi dan budaya sendiri, mengerti tradisi dan budaya lain dan mengerti fakta pertemuan kebudayaan sebagai milik bersama. Tugas filsafat antar budaya yang berkaitan dengan Hermeneutik itu coba kita aplikasikan dalam konteks artikel Sindhunata “De-jawanisasi Politik Indonesia“.16 Sindhunata mengemukakan satu fenomen budaya pada bangsa kita paling kurang sesudah kemerdekaan, bahwa jawanisasi politik Indonesia sangat kentara sejak dari penyusunan UUD’45 yang berbau kejawen, dari konsep negara yang berpaham jawa sampai kepada ungkapan-ungkapan hirarkis dalam tata krama politik seperti memakai “Bapak, ibu, dari pada “saudara atau saudari, bung“ dll, dan dampak negatif dari jawanisasi betul terasa dalam kehidupan berbangsa pada ORLA DAN ORBA. Salah satu jalan keluar yang diusulkannya untuk membendung dominasi kultural jawanisasi terhadap budaya Non-Jawa ialah apa yang disebutnya “dejawanisasi politik Indonesia“ yang tercipta melalui perwujudan oposisi kultural yang datang dari kelompok Non-Jawa. Polarisasi antara Jawa dan Non-Jawa lalu menjadi kerangka acuan untuk berpikir dan mengambil langkah. Memang ada kenyataan itu bahwa ada fenomen jawanisasi politik Indonesia, malah bukan hanya dalam bidang politik, dalam bidang kehidupan harian pun sikap kejawa-jawaan sangat tampak. Pada hemat saya itu satu perkembangan yang sangat natural dalam pertemuan budaya bahwa ada satu yang lebih dominan dan unggul. Persoalannya: bagaimana menyikapinya? Menurut satu teori sosial budaya, setiap budaya memiliki struktur dengan 3 unsur universal: budaya implisit (satu pola tanggapan, cara berpikir dan tindakan yang berakar sangat dalam pada lapisan masyarakat tanpa refleksi. Pola itu merupakan satu kode bersama, ump. watak nasional, ikatan-ikatan primordial yang merujuk kepada kehidupan suku dsb.); eksplikasi budaya atau budaya harian (tercermin dalam praktek hidup harian) dan budaya eksplisit (jasa dan hasil kerja dari sekelompok elite-budaya yang telah mengkristalisir kehidupan budaya). Mereka ini representan dari budaya harian, dan
16
Sindhunata: De-Jawanisasi Politik Indonesia. Dalam: Kompas, Kamis 22 Juli 1999, hlm. 4-5, dan Kompas, Jumat 23 Juli 1999, hlm. 4-5.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
135
dihasilkan melalui pendidikan ).17 Untuk Indonesia, budaya eksplisit yang terwujud dalam tingkah laku kelompok elite-budaya baik di kalangan kelompok Jawa maupun di kalangan Non-Jawa, baik di kalangan elite-politik maupun di kalangan cendekiawan sampai saat ini tertempa secara mendalam dalam budaya Jawa seperti pendidikan di universitas-universitas di Jawa. Kalau kita memakai strategi “oposisi kultural“ dari kelompok Non-Jawa untuk membendung jawanisasi, maka maka strategi itu tidak mempan. Melawan siapa kelompok elite-budaya Non-Jawa yang sudah terjawanisir itu? Bila kita kembali kepada titik pijak teoretis yang menjadi milik bersama, maka strategi bersama baik kelompok Jawa maupun Non-Jawa mengacu pada pembangungan kemanusiaan yang universal yang mengatasi budaya manapun, kemanusiaan universal yang tercermin dalam kebenaran-kebenaran humanis universal. Di sana letak kekuatan yang mentransendir dan yang memanusiakan budaya mana pun. Dengan mengacu ke arah inilah satu filsafat antar budaya dan Hermeneutik yang tepat dapat berfungsi.
4. Menafsir agama dan kebudayaan dalam satu kesatuan Kita mengadopsikan metode hermeneutik Husserl ( 1859-1938) dan menjabarkan metode itu pada hasil penelitian filosofis Cornelius van Peursen. Dengan kesadaran yang bersifat “intensional“ atau terbuka (“Sadar akan.....“ ) manusia menemukan diri dalam proses historis yang menurut Husserl adalah cara-cara manusia untuk menghadapi satu realitas, cara-cara bagaimana manusia membentuk persepsi, membuat penafsiran dan menciptakan teori tentang realitas itu. Demikianlah halnya juga agama dan kebudayaan. Manusia membentuk persepsi tentangnya menurut titik pijaknya. Manusia senantiasa berada dalam proses evaluasi, merobah persepsi dan menggantikan penafsiran, bila ia beralih kepada titik pijak yang baru. Ia senantiasa berada dalam ketegangan antara fakta-fakta yang membelenggu dan keterbukaan kritis dari kesadarannya untuk membebaskan diri dari fakta-fakta yang membelenggu itu; dalam bahasa filsafat, manusia berada dalam ketegangan antara immanensi dan transendensi. Cornelis Anthonie van Peursen, seorang filsuf Belanda, menjabarkan proses evaluasi itu ke dalam tiga stadium atau fase perkembangan budaya, yang di dalam setiap fasenya penafsiran terhadap makna agama dan kebudayaan memiliki karakter yang baik dan buruk.18 Kita lebih memperhatikan fase ketiga. Fase pertama disebut fase interpretasi mitis. Dalam alam pikiran mitis, manusia mengerti diri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dunia yang penuh gaib. Dalam diagram, manusia sebagai subyek digambarkan dengan sebuah lingkaran kecil yang berada dalam lingkaran besar makrokosmos.19 Kebudayaan dan agama
17 18 19
136
Stagl, Justin: Eine Widerlegung des Kulturellen Relativismus. In: Soziale Welt. Matthes, Joachim (Hrsg.). Göttingen: Verlag Otto Schwartz, 1992, hlm. 145-164. Peursen, Van C.A. Dr. Prof.: Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbitan Kanisius, 1976, hlm. 34 dst. Ibid. hlm. 38.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
tidak dimengerti secara terpisah, tetapi merupakan hasil bersama dari praktek-praktek yang manusia jalankan untuk menerima keharusan eksistensialnya. Pada satu pihak manusia mampu menjinakkan resapan daya magis dari seluruh kegiatan kosmos melalui mithos-mithos dan ritus-ritus, dan pada pihak lain, manusia memanipulir daya-daya dari luar dengan kekuatan magis. Fase kedua adalah tahap interpretasi ontologis. Interpretasi ontologis berarti memahami segala sesuatu menurut wujud atau hakekatnya. Dalam diagram, manusia digambarkan dengan sebuah lingkaran kecil yang bersifat tertutup dan berhadapan dengan lingkaran besar makrokosmos yang bersifat tertutup pula.20 Pertanyaan yang paling pokok untuk menghantar orang kepada interpretasi ontologis adalah “Apa itu“: apa itu agama, apa itu kebudayaan, apa itu dunia, apa itu Tuhan, apa itu manusia, dan lain-lain. Dengan posisi seperti ini, manusia sebagai subyek membuat jarak dengan dunia sekitarnya, mengamatinya secara teliti dan mensistematisirnya menurut hukum sebab akibat. Kebudayaan dimengerti sebagai usaha untuk mengatur dan menaklukkan alam. Agama merupakan hasil permenungannya tentang dunia ilahi. Bahayanya ialah bahwa nilai-nilai kemanusiaan dilihat secara terpisah; nilai-nilai agama tidak punya hubungan dengan nilai-nilai budaya. Bahaya ini disebut “substantialisme“, yaitu sikap yang sungguh-sungguh mau menempatkan barang-barang secara terpisah.21 Sistem-sistem ajaran dalam agama terutama sistem dogmatis, dimengerti sebagai satu sistem tertutup dan baku, dan ke arahnya manusia menyesuaikan pola tingkah laku keagamaannya. Tahap ketiga adalah tahap interpretasi fungsional yang merupakan ciri khas kebudayaan modern. Subyek tidak lagi berdiri terpisah secara tertutup; ia berdiri berhadapan dengan obyek secara terbuka. Manusia digambarkan dalam bentuk satu lingkaran yang terbuka dengan arah panah yang berhadapan dengan arah panah dari lingkaran makrokosmos yang juga bersifat terbuka.22 Subyek membangun relasi dengan obyek dan menjadi berarti, ketika dia membuka diri dan membentuk jalinan dengan obyek. Pertanyaan utama adalah “apa arti sesuatu itu untuk saya, apa makna agama dan kebudayaan untuk hidup saya yang konkrit.“ Kebudayaan dalam tahap ini bukan menitikberatkan bentuk kata benda “kebudayaan“, tapi satu kata kerja “berkebudayaan“, dalam arti “caranya seorang manusia mengekspresikan diri, caranya ia mencari relasi-relasi tepat terhadap dunia di sekitarnya“. Begitu juga agama, bukan bentuk kata benda “agama“, tapi kata kerja “beragama“, yaitu mempraktekkan agama dan menemukan arti agama untuk hidup konkrit. Pada tahap fungsional, pertanyaan terpenting untuk teologi: Bagaimana Tuhan dialami dalam hidup konkrit. Bahaya dari tahap ini ialah bahwa untuk mencapai sesuatu yang berarti dan menguntungkan hidup sendiri, orang memutlakkan cara-cara berbuat sesuatu. Bahaya ini disebut “operasionalisme“.23 Bidang kehidupan tertentu dijadikan medan operasi
20 21 22 23
Ibid. hlm. 63. Ibid. hlm.75-84. Ibid. hlm. 87. Ibid. hlm. 109-117.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
137
atau medan permainan, sedangkan sebab yang menggerakkan dan tujuan yang mau dicapai terdapat di luar bidang yang dijadikan medan operasi itu. Paham operasionalisme sangat kuat menjelma dalam bahasa yang sering dipakai “rekayasa“. Dalam paham operasionalisme ini titik tolak hermeneutis yang tepat bukan ditemukan dalam fakta-fakta yang bergulir pada bidang tertentu, tetapi harus dicari di luar bidang kehidupan yang dijadikan medan operasi. Masalah pokok yang belum bisa diatasi ialah bahwa bagaimana orang bisa membuktikan sebab dan tujuan dari operasi itu, karena keduanya selalu tidak diketahui secara pasti; keduanya dirahasiakan. Manusia modern belum mengatasi bahaya kebudayaan fungsional ini, dan rupanya dibutuhkan satu tahap pembebasan yang memperlihatkan satu hermeneutik yang baru (tekhnik penafsiran yang baru) untuk keluar dari belenggu tahap ketiga.
Penutup Filsafat hermeneutis menawarkan satu pendekatan terhadap makna keseluruhan hidup manusia. Ia mengimbangi, bahkan mengeritik pendekatan ilmuilmu eksata dalam matematik dan pengetahuan alam. Ia beroperasi menurut “proses pemahaman“ sejalan dengan semangat humanistis yang tidak mau dibelenggu oleh mentalitas matematis, komputer, data, statistik dan yang serupa. Karena itu ia turut memajukan dan menyingkapkan nilai-nilai kemanusiaan dalam kebudayaan, agama, ilmu-ilmu humaniora, kesenian, etika dan moral dsb.
BIBLIOGRAFI Grabner-Haider, Anton: Kritische Religionsphilosophie. Köln: Verlag Styria, 1993. Hadiwijono, Harun, Dr.: Konsepsi tentang Manusia dalam Kebatinan Jawa. Jakarta: Percetakan Kintamani Offset, 1983. _________, Kebatinan Jawa dalam Abad 19. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1984. Hidayat, Komaruddin: Reposisi Peran Agama. Dalam: Kompas, Selasa 27 April 1999. Klostermaier, Klaus K.: A Survey of Hinduism. New York: State University of New York Press, 1994. Lanczkowski, Günter: Einführung in die Religionswissenschaft. Darmstadt: Wissenschaftliche Buchgesellschaft, 1991. Mall, R. A.: Begriff, Methode und Hermeneutik der interkulturellen Philosophie. In: Philosophische Grundlagen der Interkulturalität. Mall, R.A. / Lohmar, D. (Hrsg.). Amsterdam: Editions Rodopi, B.U., 1993. Monier Monier-Williams Sir: A Sankrit-English Dictionary. Dehli: Motilal, 1990. Peursen, Van C. A. Dr. Prof.: Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Penerbitan Kanisius, 1976.
138
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Ricouer, Paul: Hermeneutics & Human Sciences. Cambridge: University Press, 1993. Salamun, Kurt (Hrsg.): Hermeneutik. Dalam: Was ist Philosophie? UTB für Wissenschaft, Tübingen: Mohr, 1992. Sindhunata: De-Jawanisasi Politik Indonesia. Dalam: Kompas, Kamis 22 Juli 1999 dan Kompas, Jumat 23 Juli 1999. Stagl, Justin: Eine Widerlegung des kulturellen Relativismus. In: Soziale Welt. Mattes, Joachim (Hrsg.). Göttingen: Verlag OttoSchwartz & Co, 1992.
Donatus Sermada Kelen, Agama dan Kebudayaan
139
DILEMA DETERMINISME MANUSIA: Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
Surjani Wonorahardjo Universitas Negeri, Malang Abstract: The development of science and technology cannot be excluded from the human thinking in modern world. One of the major problem which echo comes and goes along the time is the what so called "dilemma of determinism", which is also associated inclusively to the problem of God's existence. Natural science brings a deep implication in thinking leading to determinism of human being as a part of the nature and moves together with the natural processes, that flows according to the natural laws without human decision. But modern science which development is accelerated by the combination of concepts in physics, chemistry and computer, explains that the previous natural laws do not apply in micro systems and the quantum mechanics takes over to rule the behavior of elementary particles in atomic scale. Then modern concepts in science aroused: chaos, complexity, dissipative structure, fractal, which speak about irregularity, unpredictability, then a causality of things that rooted deeply from the microscale dynamics, are expected to be one way out which provides a "chance" which in turn still offers a place for human freedom. Keywords: determinisme, chaos, chance, kehendak bebas.
Sains dan teknologi yang bernuansa empiris-eksperimentalis dapat dikatakan berperan sangat penting dalam kehidupan manusia modern. Usaha manusia untuk mengatasi permasalahan hidup melahirkan teknologi yang semakin maju dan tidak terikuti jejaknya. Pada umumnya kita menggunakan hasil akhir dan produk teknologi tanpa melihat proses perkembangan sains sampai kepada teknologi. Namun beberapa ilmuwan yang berkecimpung dalam usaha penelitian dan pengembangan sains murni harus tenggelam dan bergulat dalam konsep-konsep yang malang melintang serta saling kait mengait ini. Dari sinilah sering timbul refleksi mendalam yang masuk ke wilayah mendasar eksistensi manusia, yang memang menjadi pusat pembahasan filsafat. Sains yang memiliki kekayaan karena metode empirisnya, memberi corak yang berbeda dengan kerja rasio murni maupun refleksi dari pengalaman yang tidak dikondisikan. Tidak heran banyak yang beranggapan bahwa sains adalah satu-satunya pengetahuan yang obyektif, menyangkut alam namun dan bahkan tentang seluruh kenyataan. Di lain pihak, pertanyaan-pertanyaan filsafati lebih sering dikerjakan dari sudut pandang teologis-religius dari agama-agama. Konsep-konsep hasil temuan sains sering menggoyang tatanan mapan agama-agama, walaupun beberapa ilmuwan seperti Albert Einstein, Niels Bohr bahkan A.N. Whitehead telah menyatakan secara eksplisit bahwa 140
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
pengetahuan dan sains tidak dapat dipisahkan dari keyakinan ketuhanan, dan juga religiositas. Ini merupakan pendapat kontra dari banyak ilmuwan dan teolog yang putus asa dan menganjurkan dikotomi dari sains dan agama yang harus dibahas dalam dua domain yang terpisah dan menggunakan dua bahasa yang berbeda. Seperti kita ketahui bersama sains murni (pure science) mempelajari struktur dari materi dalam skala besar maupun kecil dan perubahan energi yang menyertainya. Sejak jaman Yunani kuno, Demokritos dan Leukippos serta Epikurus, sudah merenungkan inti penyusun materi yang mereka namakan atomos itu. Dalam perkembangannya, teori atom berubah karena ada macam-macam model atom dan kombinasi atom-atom serta cara kombinasinya, apalagi setelah ditemukannya partikelpartikel dasar dalam atom. Semua itu dilukiskan dalam deskripsi yang semakin lama semakin detil dan dalam bentuk aturan-aturan. Dalam skala makro (skala atom adalah skala mikro), telah dirumuskan aturan-aturan perubahan materi. Newton membuka jalan terhadap terciptanya hukum-hukum alam. Dari gambaran kepatuhan perubahan materi terhadap hukum alam inilah lahir masalah besar: apakah semua yang ada di alam ini, termasuk manusia yang tubuhnya terdiri dari materi ini juga sebenarnya mematuhi hukum alam? Seberapa jauhkan peranan jiwa terhadap manusia yang menjalani hidup dan hukum alam? Atau, apakah sebenarnya jiwa itu? Apakah jiwa itu bagian dari alam juga? Adakah tindakan jiwa manusia yang melanggar hukum alam, sedang badan manusia mematuhinya? Bagian apa dan di mana dalam sejarah proses alam, yang menerima keputusan dan kehendak manusia? Bagaimana ilmuwan sains mempunyai tempat untuk berkehendak bebas dan memberi penjelasan dengan bahas sains juga? Inilah "dilema determinisme" yang juga sudah direnungkan oleh filsuf Epikurus pada jamannya. Apakah manusia mempunyai kuasa dalam menentukan sendiri hidupnya atau, karena terikat dengan tubuh materialnya, hanya sekedar menjalani dan ikut dalam alur proses-psoses spontan alami yang sesuai dengan hukum alam seperti lahir, hidup, mati secara otomatis tanpa kemampuan untuk melakukan perubahan menurut kehendak manusia sendiri? Tulisan ini ingin menelusuri masalah ini lebih jauh dan berusaha menarik perhatian pembaca kepada penemuan-penemuan terakhir dalam kegiatan sains multidimensi (setidak-tidaknya gabungan fisika, kimia, matematika, dan komputer) yang memberi horizon baru dalam cara pandang yang mengarah kepada pemecahan dilema determinisme ini, dalam bahasa sains. Sebetulnya topik ini adalah hasil dialog dari para ilmuwan di sektor ini selama dua-tiga dekade terakhir, yang senantiasa mencoba membuat pemahaman baru antara alam dan manusia. Usaha ini belum maksimal, dalam arti untuk mengintegrasikan semua konsep alam, jejak Tuhan, kedirian manusia ke dalam satu konsep besar atau persamaan besar universal (grand equation) yang sudah menjadi utopi ke depan para ilmuwan sepanjang sejarah manusia, adalah masih jauh dari jangkauan. Penjelasan yang sudah ada masih senantiasa bersifat kontekstual, spatio temporal. Saat ini, hanya dalam dimensi waktu, problem ini dapat dipikirkan, karena berkaitan dengan prediksi ke depan. Indeterminism harus berarti unpredictable yang harus menampakkan wujud nyata dalam konteks laboratorium dan layar komputer, bukan sekedar dalam ratio para filsuf dan teolog. Setidak-tidaknya insight ini melegakan banyak pihak.
Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
141
1. DILEMA DETERMINISME Adalah Epikurus, yang telah menyuarakan dilema determinisme dengan begitu intensif. Sebagai pengikut Demokritos, Epikurus percaya bahwa semua materi di dunia terdiri dari atom dan ruang kosong. Lebih jauh lagi disimpulkan bahwa atom jatuh ke dalam ruang kosong dengan kecepatan yang sama dengan dalam lajur-lajur paralel. Bagaimana mungkin atom-atom ini nanti bisa bersentuhan, bertabrakan, atau bergabung dengan atom-atom lain karena kenyataannya semua materi di atas bumi ini terdiri dari gabungan beberapa macam atom dengan kombinasi-kombinasi tertentu yang sulit ditebak. Padahal, menurut dia, nasib manusia dan intelektual dari alam tak dapat dipisahkan. Jadi, apakah makna dari kebebasan manusia dalam dunia deterministik atom? Sebenarnya Epikurus sudah menemukan alternatif solusi untuk gerak deterministik atomnya. Namanya clinamen (inklinasi), suatu proses yang terjadi pada suatu saat dan suatu tempat tertentu sewaktu atom jatuh di dalam ruang kosong dengan jalur paralel, dimana atom ini menyimpang sedikit dari jalurnya, sehingga dapat dikatakan atom ini berubah arah [Prigogine, 1997], untuk bergabung dengan atom-atom lain membentuk apa saja yang ada di bumi. Perubahan arah ini tidak ada mekanismenya, sehingga sering dikatakan sebagai suatu tambahan dari luar, suatu elemen sebarang untuk sekedar memasukkan unsur indeterminasi kepada sistem yang terdeterminasi. Gambaran sederhana ini ternyata mewarnai pemikiran barat dua milenium kemudian. Ilmuwan Albert Einstein juga sangat yakin akan scientific determinism, walaupun dianggap clinamen ini didasarkan pada kebetulan belaka. Dunia ini (termasuk manusianya) adalah sebuah automaton, bergerak otomatis sesuai hukumhukum alam, dan segala kegiatan dan interaksi manusia, merupakan hasil dari clinamen ini, yang merupakan bagian dari alam. Kemampuan manusia untuk berpikir sangat tergantung dari kekuatan dan kombinasi sel-sel otaknya, yang kerjanya sama dan alami. Pengaruh lingkungan, pendidikan, masa lalu, yang juga dibatasi oleh alam sekaligus membatasi gerak bebas manusia. Apa dan bagaimana clinamen ini bekerja masih merupakan misteri selama berabad-abad, namun clinamen harus ada dan dibutuhkan untuk menjelaskan bergabungnya atom-atom. Pertanyaan mendasar yang harus dijawab adalah: bagaimana clinamen ini terjadi, dan mengapa terjadi. Inilah yang sebetulnya sekarang sibuk diteliti oleh para ahli fisika modern, tentu dengan pemahaman baru akan material atomis, diuraikan dan dicari implikasi serta refleksinya. Di lain pihak, agama-agama menawarkan Tuhan yang mencipta dan mengatur alam raya, manusia sebagai ciptaan adalah pribadi-pribadi yang dicintai sekaligus dikuasai Tuhan, dalam hal ini determinasi berasal dari Tuhan. Kadang digambarkan Tuhan sebagai dalang yang memainkan wayangnya, dan manusia serta alam adalah bagian dari lakon yang sedang dimainkan. Kalaupun ada kehendak bebas, inipun bagian dari permainan megah Tuhan dan harus selalu terarah kepada Tuhan. Maka manusia digerakkan oleh Tuhan, dan inipun, tidak dapat disangkal lagi, adalah suatu bentuk determinisme. Di dalam cara pandang sains modern seperti menurut Einstein, manusia dikuasai oleh hukum-hukum alam, atau Tuhan menjelma dalam kesatuan 142
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
dengan alam, seperti yang juga dipikirkan Spinoza (Deus sive natura), tokoh yang sangat mewarnai perjalanan filosofis Einstein sebagai ilmuwan alam yang merenungi makna temuan-temuannya. Bahkan juga dikisahkan karya penciptaan secara berbeda (Teori Dentuman Besar, teori evolusi Darwin), yang akhirnya kembali alam dan hukum-hukumnya, Tuhan tidak disebut-sebut campur tangannya selain (kadangkadang) dianggap sebagai awal saja. Di tengah alam yang deterministik dan sebagai ciptaan Allah dalam agamaagama besar, manusia mencari-cari jati diri dan peran sertanya dalam menentukan hidup serta masa depannya sendiri. Manusia meletakkan kreativitas dan keputusan pribadinya dalam satu tempat khusus yang sedang dicari lokasinya dalam sains modern yang nyata-nyata merajai alam pikir manusia jaman ini. Singkatnya, bagaimana mendialogkan dan mengintegrasikan Tuhan, alam, dan manusia dalam satu konsep universal, adalah tugas manusia jaman kini.
2. REFLEKSI DARI FISIKA KLASIK DAN MEKANIKA KUANTUM Sir Isaac Newton (1642-1727) yang hidup di jaman kejayaan aliran empirisme di Inggris yang dimotori Hobbes dan Locke, merumuskan teorinya mengenai hukumhukum alam yang bertahan sangat kokoh sampai 300 tahun. Menurut Newton, alam semesta hanya terdiri dari tiga realitas: materi-ruang-waktu. Ruang dan waktu adalah mutlak, sedang materi berubah-ubah sebagaimana perpisahan, penggabungan, pergerakan dan ini terjadi pada peristiwa-peristiwa fisika maupun kimia. Hukumhukum fisika dan kimia mengatur perubahan materi dalam ruang dan waktu . Konsepkonsep Newton membawa kemajuan amat pesat di bidang kimia fisika yang langsung memberi jalan kepada penemuan-penemuan penting dan menghasilkan teknologi (listrik, sumber-sumber energi, mesin-mesin), dan juga memberi ilham kepada hukumhukum lain termasuk filsafat, yaitu dipercayanya materi sebagai satu-satunya realitas yang nyata. Materi yang bergerak menurut hukum-hukum fisika yang begitu mekanistis dan teratur. Se-otomatis air yang mengalir ke tempat yang lebih rendah dengan spontanitas yang tak dapat diganggu gugat lagi. Penemuan-penemuan lebih jauh membuktikan bahwa pikiran manusia yang berasal dari materi (sel-sel otak), juga diatur oleh hukum alam yang mengatur perubahan-perubahan molekuler di otak kita. Bahkan emosi, kemarahan, keharuan, kesedihan, kegembiraan, gairah bekerja, bahkan cinta dan gairah seksual kini dapat dijelaskan dengan pergerakan sel-sel otak dan reaksi-reaksi biokimiawi dalam otak. Reaksi-reaksi biokimia antara lain dipicu oleh senyawa-senyawa lain yang disekresi otomatis sebagai respon terhadap penglihatan atau pendengaran, sentuhan, bahkan ekstraksi makanan, akan menghasilkan senyawa-senyawa khusus lain yang mendorong respon terhadap stimuli dari luar, misalnya emosi, kemarahan, dan dorongan bertindak. Kalaupun manusia berbeda satu sama lain, inipun diyakini sebagai hasil dari kompleksitas kombinasi macam-macam baik pengalaman, memori, respon terhadap stimulus, dan lain-lain. Tidak lagi diyakini karena manusia menentukan sendiri
Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
143
tindakan-tindakannya namun semuanya sebagai akibat ribuan macam proses di alam tubuh manusia. Dari penemuan-penemuan ini ada beberapa implikasi penting dalam bingkai filsafat: manusia adalah "automaton" yaitu mesin rumit yang terdiri dari sekian banyak komponen yang masing-masing bergerak dan berubah seturut hukumnya, sesuai urutan waktunya. Ini persis seperti kegelisahan yang dialami Epikurus di jaman Yunani. Bahkan Einstein dengan yakin berpendapat, bahwa segala sesuatu yang terjadi di bumi ini ada sebabnya (secara mekanis), dan kalaupun kita tidak mengakuinya, itu semata-mata karena kita tidak mengetahuinya saat ini dengan kemampuan yang ada pada kita. Lebih jauh lagi, yang tidak bisa ada adalah konsep keindahan, karena kreativitas adalah ilusi semata, hanya imaginasi seniman yang tidak tahu kalau semuanya memang harus begitu. Tidak ada yang lahir spontan karena kehendak manusia karena semuanya adalah bagian dari skema stimulus-respon yang berjalan otomatis. Ini mengingatkan kita pada pernyataan-pernyataan Zeno dari Elea di jaman Parmenides dengan paradoks-paradoksnya. Semua gerakan yang tampak pada kita adalah semu, kreativitas adalah semu. Jika semuanya tunduk kepada hukum alam, maka semua yang akan terjadi dapat diprediksi sejak sekarang asal hubungan materi satu dan lain dapat diketahui. Bukan lahir seperti puisi dari tangan penyair atau kuas berwarna di tangan pelukis yang tiba-tiba bisa menjadi spektakuler tanpa diketahui sebelumnya. Tidak ada musik indah yang tercipta spontan dari hati nurani musikus karena kehendak musikus tersebut, tapi dorongan itu timbul sebagai hasil olah emosi dan logika yang merespon sesuatu dari alam dan lingkungannya. Kalau suasana terciptanya musik indah diulang sama persis, dapat diharapkan proses yang sama akan terjadi. Termasuk di sini instinginsting takut akan kematian, mencari kepuasan, seks, yang pada dasarnya menjadi penggerak utama manusia, dapat dengan cukup mudah diprediksi sebelumnya. Singkatnya tak ada kebebasan manusia untuk menentukan masa depannya menurut kehendak manusia sendiri karena semuanya merupakan produk dari perubahan-perubahan material dalam diri manusia dan dalam lingkungannya. Dalam kondisi inilah problem ketuhanan muncul karena kehadiran Allah harus dieliminasi dalam proses-proses perubahan materi yang sudah dapat terjadi dengan sendirinya ini. Allah hanya diperlukan sebagai awal, lalu semuanya dapat berjalan otomatis sendiri tanpa bantuan Allah lagi, dan dengan demikian "tujuan akhir" dari prosesproses ini juga harus dieliminir. Newton yang pada dasarnya religius cuma mengatakan: Allah mengatur hukum-hukum alam, pergerakan planet-planet. Manusia bagian dari alam itu. Titik. Waktu itu juga sudah timbul anggapan bahwa Allah memang ada dan Dia diperlukan sebagai tempat pelarian manusia yang ketakutan di tengah keganasan alam [Soetomo, 1995]. Mekanika klasik Newton membicarakan fenomena-fenomena dalam dunia makro, dunia yang membicarakan masa, dan ruang serta pengaruh lingkungan luar seperti tekanan, dan kemudian temperatur. Perjalanan waktu membawa manusia untuk akhirnya berpikir secara lebih fundamental, ke dalam dunia mikro, dunia atomatom yang menyusun materi. Dibandingkan dengan dunia makro Newton, materi-
144
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
ruang-waktu yang dibahas di sini sangat kecil, namun tidak dapat diabaikan. Di sinilah teori-teori Newton menemukan kesulitan besar. Bahwa dalam atom terjadi mekanisme pengaturan gerak yang sangat rumit yang tidak lagi mematuhi gerakgerik materi menurut Newton. Dan terminologi "energi" di sini mulai memerlukan tempat yang sangat penting, dan juga dimensi "waktu" masuk ke dalam perhitungan dengan cara yang berbeda dari kelompok terminologi Newton. Sebetulnya kehadiran mekanika kuantum yang dicetuskan awalnya oleh Max Planck, dilanjutkan Niels Bohr, dan dilanjutkan ramai-ramai dari berbagai perspektif oleh Louis de Broglie, Erwin Schrödinger, dan Werner Heisenberg adalah sangat spektakuler, disebut sebagai revolusi sains oleh Thomas Samuel Kuhn, yang merupakan paradigma baru dalam sains. Awalnya mereka mengamati paradoksparadoks dalam fenomena-fenomena atomik yang berhubungan dengan sifat ganda: kadang-kadang terlihat seperti partikel, kadang-kadang tampak sebagai gelombang. Secara bertahap para ahli menuruti intuisi intelektual dan "masuk ke dalam roh teori kuantum" (seperti kata Heisenberg) dan menciptakan suasana, sebelum mengembangkan rumusan matematisnya yang eksak. Partikel materi yang harus dipikirkan sebagai gelombang diperkenalkan de Broglie sudah mengusik konsep materi dari Newton, dan paradoks akan semakin tajam kalau kita berpikir dengan cara klasik Newton. Dari proses-proses rumit inilah tersusun kerangka baru yang jauh lebih abstrak dimana kuantitas fisik digantikan oleh struktur matematis yang disebut "matriks". Mekanika matriks adalah gambaran rasional dari masa yang bergerak dengan pola yang lebih kompleks, dan rumusan yang juga rumit. Persamaan Schrödinger yang terkenal itu menghubungkan energi sistem dengan fungsi gelombang, adalah pencapaian luar biasa dalam dunia ilmu fisika yang melengkapi penjelasan gerak partikel sebagai gelombang dalam dua bahasa matematis yang berbeda. Prinsip kebolehjadian Heisenberg menjadi begitu penting dalam menjelaskan letak elektron yang bergerak mengelilingi inti atom dalam bentuk intensitas kemungkinan tidak dapat dipastikan persis letaknya. Dari segala sesuatu yang tadinya pasti, ternyata masih harus ada "kebolehjadian", kadang diterjemahkan juga dengan "ketidakpastian" (uncertainty). Sifat-sifat partikel terkecil tidak dapat ditetapkan lepas dari berbagai pilihan dan tindakan peneliti atau pengamat yang harus memasukkan parameter yang dikehendaki untuk mendapatkan penyelesaiannya. Jadi, di sini ada kemajuan, yaitu manusia yang bisa hadir sebagai partisipator, bukan sekedar pengamat seperti dalam fisika Newton. Jadi di sini ada faktor "kesadaran" yang diikutsertakan [Soetomo, 1995]. Dengan masuknya pengamat sebagai subyek, masuk juga unsur "pikiran" dan "kehendak" dalam proses berjalannya ilmu pengetahuan. Dan walaupun dapat dipastikan bahwa banyak pengalaman manusia adalah hasil tidak langsung dari kegiatan biologis di otak, tetapi ini diluar intelek dan kehendak itu sendiri, karena kehendak bukan entitas material. Alam atom yang demikian "absurd" inilah yang sebetulnya membuka pemikiran manusia ke domain yang lebih besar dari dunia atomik. Seperti yang telah kita ketahui bersama, lahirnya Mekanika Kuantum meredupkan bayang-bayang fisika klasik ala Newton. Namun sayangnya hukumhukum dasar mekanika kuantum juga mengandung makna deterministik dan simetri waktu tetap ada dalam persamaan Schrödinger. Persamaan ini mengandung muatan
Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
145
determinisme dari faktor operator Laplace-nya. Jika kondisi awal diberikan, semua yang terjadi berikutnya sudah dideterminasi paling tidak dalam suatu jangkauan tertentu dari ketepatannya.
4. REFLEKSI DARI DINAMIKA CHAOS, KOMPLEKSITAS, FLUKTUASI, SELFORGANIZATION Mulai tahun 80-90-an hingga kini, para ilmuwan mulai melirik kepada prosesproses yang melibatkan fluktuasi dan ketidakstabilan, yang sudah terlihat polanya hampir di semua bidang ilmu: kosmologi, geologi, biologi, fisika, kimia bahkan ilmuilmu sosial yang dianalisa menurut metoda ilmu-ilmu alam. Tercetuslah istilah chaos dan fraktal di tengah usaha untuk memahami ketidakstabilan ini oleh Benoit Mandelbrot, seorang matematikawan Perancis yang menulis buku terkenal The Fractal Geometry of Nature, sebagai hasil usaha dia dalam memetakan fluktuasi dan ketidakstabilan di alam. Yang dibutuhkan sekarang adalah formulasi baru hukumhukum fisika, yang akhirnya antara lain dapat memecahkan dilema determinisme Epikurus dan untuk itu diperlukan suatu alasan bagi indeterminasi (necessity), yang bukan hanya kebetulan semata dan ini harus berakar pada dinamika internal dari sistem. Di sinilah faktor kesempatan dan kemungkinan (chance and probability) memainkan peranan sangat penting. Sebetulnya pemikiran ke arah ini sudah dimulai dari awal abad ini, dengan dirumuskannya kembali hukum termodinamika kedua dimana kenaikan entropi adalah suatu gejala yang tidak dapat dibendung dalam prosesproses spontan yang ada di alam. Sistem chaos dapat direpresentasikan dengan fraktal, yang memetakan pola ketidakteraturan suatu sistem. Terminologi ketidakteraturan ini sama dengan yang dibahas dalam hukum thermodinamika kedua mengenai entropi. Salah satu gambar fraktal yang paling terkenal adalah diagram Mandelbrot yang sangat indah, yang dihasilkan dari program komputernya dan diiterasi berkali-kali. Gambar ini terdiri dari paduan grafik dalam skala kecil yang berulang polanya dalam skala yang lebih besar. Bagian yang lebih kecil lagi terbuat dari persamaan matematika yang sama. Dikatakan bahwa tiap tepi kurva-kurva dari gambar ini adalah daerah transisi perbatasan menuju chaos yang dimulai dari perubahan dengan nilai yang sudah ditentukan. Dan di alam ditemukan pola serupa jika kita mengamati pola daundaunan misalnya, atau bahkan pohon dengan dahan-dahan, dahan dengan rantingranting, dan seterusnya. Ada pola yang diikuti dalam perbesaran skala. Dalam chaos ada juga interplay antara kesempatan dan kebutuhan (chance and necessity). Dalam hal ini chance akan menyebabkan evolusi di kemudian hari dan ini diyakini oleh Jacques Monod dalam buku Chance and Necessity [Peacocke dalam Chaos and Complexity, 1995]. Monod memikirkan konsekuensi-konsekuensi dari adanya mutasi genetik yang keluar dari sekian juta kemungkinan di alam raya. Namun dikatakan dalam ilmu-ilmu biologi, kesempatan dan kebutuhan ini menyangkut organisasi diri dari makhluk hidup yang juga tergantung pada harmoni. Karena itu
146
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
dalam ilmu biologi, determinasi bukanlah suatu problem lagi, karena tidak ada pertumbuhan yang benar-benar direncanakan atau melalui Kausalnexus maupun kepenuhan finalitas [dtv-Atlas Philosophie, 2001]. Dalam chaos, tingkah laku yang tidak dapat diprediksi dapat timbul dari sistem yang sebenarnya mematuhi hukum-hukum deterministik, sebagai konsekuensi dari kepekaan sistem terhadap variasi dari keadaan awal dan terhadap variabelvariabel dari luar [Dictionary of Physics, 1991]. Namun, hukum-hukum deterministik tidak dapat lagi melakukan prediksi kondisi sistem di masa depan, karena semuanya tergantung pada kemampuan untuk menetapkan kumpulan parameter-parameter dengan sangat tepat pada waktu yang sudah ditentukan dengan sangat tepat pula. Simulasi dengan komputer sangat membantu untuk memetakan dan menirukan kerja sistem dalam mengembangkan chaos. Salah satu contoh dari sistem chaos ini adalah efek kupu-kupu (the butterfly effect) dimana dipostulatkan bahwa kepak sayap kupu-kupu di Brazil, misalnya, dapat menyebabkan badai dan tornado yang tidak terduga jauh di masa depan di Amerika Utara, sebagai akibat dari sensitifitas dari dinamika meteorologi. Banyak contoh lain untuk sistem-sistem chaotic ini misalnya beberapa reaksi osilasi dalam kimia, osilasi dalam sirkuit listrik, kekacauan dalam pasar bebas, dan lain-lain. Perhitungan sangat rumit untuk sepotong waktu yang ditentukan dengan amat pasti bisa ikut memperkirakan hasil akhir dari perubahan sangat kecil dari keadaan awal. Apakah yang sebenarnya melatarbelakangi terjadinya chaos? Selain Monod ada beberapa teoritikus membicarakan termodinamika. Beberapa grup riset, antara lain yang dimotori oleh Ilya Prigogine di Brussell dan Austin, mencoba menjelaskannya dari dinamika non-linear yang secara makroskopik memang terkandung dalam tiap sistem dalam skala mikronya. Gejala yang dahulu tidak terduga sebelum masa jaya mekanika kuantum ini ternyata bisa menjelaskan ketidaklinearan arah suatu proses, yang pada gilirannya nanti akan membuktikan perubahan besar, mutasi dalam genetika. Jika Newton membicarakan sistem besar bermasa, yang sebenarnya tersusun atas atom-atom yang tidak se-reguler diduga, maka tidak heran dinamika internal ini akan menghasilkan anomali-anomali jika sampai pada skala makronya. Inilah yang sering diamati dari turbulens dalam fluida, reaksi-reaksi kimia yang berosilasi, sampai pada fluktuasi chaotic di bursa komoditi atau perubahan cuaca yang tiba-tiba dan luput dari prediksi semula. Jika semula dalam termodinamika dikatakan bahwa kestabilan terjadi kalau sistem mengalami kesetimbangan, dalam hal chaos yang diperhitungkan adalah sistem jauh dari kesetimbangan (far from equillibrium), yang disebabkan oleh fluktuasi internal di skala mikronya, yang mempunyai cara tersendiri untuk mencapai kesetimbangannya. Fluktuasi ini adalah kekayaan setiap sistem yang telah dijelaskan dengan indah dalam mekanika kuantum. Cara-cara menyeimbangkan diri ini sering disebut dengan organisasi diri (self-organization) yang ternyata hasilnya bisa menyimpang sama sekali dari gejala biasa. Bagaimana sistem jauh dari kesetimbangan ini bertahan adalah tergantung pada sensitifitas sifat-sifat mikroskopiknya, tergantung pada struktur dasarnya serta cara mempertahankan eksistensinya sehingga seimbang (biasa dibahasakan sebagai equillibrium). Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
147
Struktur setimbang semacam ini sering disebut sebagai struktur disipatif yang memuat koherensi dan organisasi di wilayah non-keseimbangan. Kestabilan didapat dari pertukaran energi dengan lingkungan di sekitarnya. Wujud nyata dari cara mencapai keadaan keseimbangan ini adalah bifurkasi, perpecahan jalan sistem menjadi dua arah yang berbeda dan menyimpang satu sama lain. Kestabilan baru akan diperoleh setelah titik bifurkasi, dan perubahan ini tidak harus simetris. Di sinilah unsur unpredictability berakar. Apakah dahulu sistem-sistem semacam ini ada? Ada, namun tidak sering dibicarakan dan luput dari perhatian. Dahulu para ahli sibuk merumuskan hukumhukum universal dari proses-proses regular dan tidak menaruh perhatian kepada anomali-anomali. Sekarang setelah peristiwa-peristiwa regular selesai didefinisikan, kelompok anomali dan non linear mulai muncul di permukaan, dan banyak masalahmasalah yang tidak terpecahkan dahulu, sekarang menemukan jawabannya. Kemajuan apakah yang dibawa oleh konsep chaos dalam perkembangan filsafat sains dari konsep-konsep sebelumnya? Kita bisa mulai dari istilah yang lebih tepat: deterministic chaos, deterministik namun tidak dapat diprediksi sebelumnya, karena walaupun jelas apa saja penyebab chaos, namun apa yang terjadi tidak dapat diprediksi sebelumnya berdasarkan keadaan yang sudah diamati. Dengan demikian, istilah determinisme ini mendapat makna baru dari yang sudah-sudah, yaitu dimana segala fenomena yang terjadi di alam termasuk pada manusia dengan segenap atribut eksistensinya adalah ditentukan oleh proses-proses lainnya termasuk konsekuensi dari keputusan manusia sendiri yang diambil dengan kehendak bebas, the free choises ada di mana-mana. Istilah determinisme semacam ini mengeluarkan (meng-excludekan) kemungkinan untuk diprediksi pada tiap proses. Jadi deterministic but unpredictable. Dan sistem semacam ini menyisakan tempat untuk kreativitas, organisasi diri, dan cara hidup baru yang lebih besar ketergantungannya pada kehendak bebas individuil. Terhadap pertanyaan: apakah alam ini sebuah mesin? Sekarang manusia bisa menjawab: tidak, dengan lebih yakin, karena konsep indeterminisme yang terkandung dalam mekanika kuantum, akan berpengaruh kepada dinamika setiap sistem, baik yang bersifat chaos atau yang reguler, pada skala mikro. Namun pada skala makro, kebolehjadian dalam kuantum berpadu dengan efek chaos akan meningkatkan sifat tidak dapat ditebak dari alam raya. Strange attractor, penarik yang aneh, adalah jalan dari perubahan-perubahan, karena tiap situasi dimungkinkan mempunyai chance untuk bertemu dengan suatu parameter, penarik yang aneh ini, yang bisa merubah arah semula. Maka, dapat disimpulkan, inilah yang menyebabkan clinamen-nya Epikurus dahulu, yang memungkinkan atom berpadu dengan atom-atom lain dan membentuk material lain yang sama sekali baru. Masuknya insight dari teori chaos ke dalam wilayah teologi sebetulnya sudah dilakukan sejak lama. Buku Chaos and Complexity, Scientific Perspection on Divine Action memuat analisis lumayan mendalam dari refleksi-refleksi teologis mengenai chaos di dunia dan hubungannya dengan eksistensi Tuhan juga, dari tokoh-tokoh teologi yang memperhatikan sains modern. Buku ini memuat hasil konperensi "Our
148
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
knowledge of God and Nature: Physics, Philosophy, and Theology" yang diselenggarakan di Castel Gandolfo, September 1987 oleh observatorium Vatican [Russel et.al, ed. 1995]. Dalam buku ini dinyatakan secara implisit bahwa Tuhan juga menghendaki chaos terjadi untuk berkarya bersama manusia di dunia. Teori apa lagi yang dapat keluar di masa depan untuk menyempurnakan teori chaos ini adalah tugas masa depan. Adalah tugas teolog-ilmuwan untuk saling mendialogkan pemikiran-pemikirannya dan merumuskannya untuk masa depan, karena manusia akan berpikir dan bercermin pada alam di masa depan lebih daripada masa sekarang.
5. A VERY NARROW PATH, BETWEEN ... Mungkin sekarang masih sering timbul pertanyaan fundamental: bagaimana mungkin sesuatu yang deterministik, ternyata unpredictable? Nicolis dan Prigogine (1998) menulis: Complexity has been connected to the ability to switch between different modes of behavior as the experimental conditions are varied. The resulting flexibility and adaptibility in turn introduce the notion of choise amongs the various possibilities offered . It has been stressed that choise is mediated by dynamics of fluctuations and that is requires the intervension of their antagonistic manifestations: short scale randomness, and long range order.... Suatu proses tidak dapat ditebak seluruhnya karena pasti ada intervensi dari pihak-pihak lain dalam proses ini, dan pihak-pihak lain inipun membawa faktorfaktor lain yang juga tidak dapat diketahui saat itu. Kesimpulan ini didapat dari usaha Prigogine dan riset grupnya membawa pikiran kita dari implikasi dunia fisika being (termasuk diantaranya fisika Newton, dan dasar-dasar mekanika kuantum) ke arah implikasi fisika becoming (untuk menyebut termodinamika baru, self-organization, fluktuasi non kesetimbangan) [Prigogine, 1980]. Dan di sini ada "a very narrow path", jalan sangat sempit antara dunia yang diatur oleh hukum-hukum determinisme, dimana tidak ada tempat untuk kebaruan dan kreativitas, dan dunia yang diatur oleh Tuhan yang bermain dadu (pinjam istilah yang diambil dari ungkapan Einstein: God doesn't play with dice, karena dia seorang determinis) dimana segalanya terlihat absurd, acausal dan tidak komprehensif. Maka kreativitas dan kehendak bebas manusia tidak bisa tidak berada di celah yang sangat sempit ini. Mungkin kita bisa membayangkan suasanya resital piano, sang pianis telah berada di depan piano, sekian lembar partitur lengkap sudah tersedia, penonton menanti dengan berdebar-debar saat sang pianis ini mengangkat tangan dan menyentuh tuts piano, menghantar melodi indah ciptaan kreativitas dia di udara saat itu di tempat itu. Bahwa semua sudah tersedia di sana, namun perlu suatu kehendak, keputusan dan tindakan bebas untuk memulainya.
Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
149
6. PENUTUP Ada catatan dari Karl Popper yang harus kita cermati bersama, mengenai reduksionisme, yang memang erat berkaitan dengan problem determinisme ini di bawah bab: the essential incompleteness of all science [Popper, 1998]. Manusia selalu bertindak terlalu cepat dalam menarik implikasi. Pada dasarnya ilmu pengetahuan alam berusaha menjelaskan fenomena alam, tapi selalu tidak pernah cukup, dan kita bisa lupakan metodologi untuk mereduksi suatu realitas. Sebenarnya manusia tidak bisa mengetahui segala-sesuatu sampai detil untuk menyimpulkan sesuatu di alam, termasuk dalam hal pembahasan mengenai kreativitas, misalnya, atau kompleksitas, atau gerak alami, dan sebagainya, apalagi mengenai manusia. Popper lebih berani menyebut alam sebagai semesta raya yang terbuka, an open universe, tanpa harus mengandaikan kenaikan entropi menurut hukum thermodinamika kedua, yang awalnya memang dipikirkan untuk suatu sistem tertutup. Dan sudah barang tentu kita tidak dapat melihat dunia ini sebagai suatu sistem tertutup. Popper juga sedikit memberi catatan akan interpretasi Prigogine, bahwa mencoba mencari letak kreativitas manusia di alam tidak harus dipertentangkan dengan hukumhukum fisik. Para ilmuwan alam selama ini telah berusaha mencari peran kreativitas dan kehendak bebasnya di alur proses-proses alam, dan jalan kreativitas ini dibangun sambung menyambung dari konsep-ke konsep. Teori kuantum tidak akan lahir tanpa "kreativitas" Newton, dan teori-teori fractal-chaos yang non linear yang kita tekuni sekarang ini juga tidak akan lahir tanpa bantuan mekanika kuantum, tanpa mengurangi makna peranan Mandelbrot. Memang ini sedikit berbeda skalanya dengan kreativitas spontan Beethoven yang menciptakan melodi "Für Elize" misalnya, yang tercipta spontan sebagai reaksi dan kontemplasi dia karena menyadari keberadaan manusia yang bernama Elize dalam hidupnya, misalnya. Atau macam-macam keajaiban yang bisa kita temui di mana saja: seorang pengemis yang terhimpit tekanan ekonomi bisa memilih jalan bersyukur atas anugerah hidup hari ini, melewati titik bifurkasi yang nyata-nyata mengurangi ketegangan dan ketidakstabilan pikirannya. Maka tiap kegiatan di celah sempit inilah yang akan melahirkan fenomenafenomena penting yang membawa perubahan. Bagi seorang penyair adalah lahirnya puisi besar yang sanggup merubah alam pikir orang banyak, bagi musisi sebuah karya agung yang sanggup bertahan di benak pemirsa berabad-abad, seperti kegalauan Chopin pada saat simfoni-simfoni amat indah lahir dari jemari dan hatinuraninya, gemanya terasa sampai detik ini. Melodi Chopin yang merupakan lukisan lengkap chaos dalam situasi jiwa sang komponis dalam penderitaan dan kesepiannya, dimana chaos ini merupakan situasi yang terbalut dalam struktur yang indah dari kehendak bawah sadar dia untuk mengorganisasi kembali potonganpotongan kepedihan dan kebahagiaan, menjadi rangkaian melodi yang luar biasa indah. Hasil dari proses self-organization yang sensitif dan tulus. Kreativitas ini membawa nuansa spontanitas yang otentik. Atau bahkan dari kecemasan Heidegger yang merasa "terlempar" ke dunia persis di celah sempit tersebut, lahir berbagai crucial point, dimana ada kesempatan memilih dan bertindak. 150
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Akhirnya, dapatkah chaos yang irreversibel ini menjawab pertanyaan mengenai determinisme? Belum seutuhnya, namun sudah pada tahap melegakan. Banyak perkembangan yang akan terjadi di dekade-dekade mendatang sudah sangat sulit diprediksi, karena memang itulah hakekatnya kehadiran chaos, dimana kehendak bebas dan kreativitas benar-benar berperan, dan Tuhan berjalan bersama manusia dalam proses yang sama. Bukankah ini juga salah satu makna dari perjalanan mencari kebenaran yang disinggung Bapa Suci Johanes Paulus II dalam Ensiklik Fides et Ratio? Bahwa lewat alampun, Tuhan adalah Tuhan yang membebaskan, memberi kemungkinan dari potensi yang sudah ada untuk mengaktualisasi dirinya, bukan sekedar diaktualisasikan. Seperti cinta yang membebaskan, cinta yang sama yang menggerakkan bulan dan bintang dalam Divina Comedia-nya Dante.
BIBLIOGRAFI Briggs, J., Peat, F. David, Die Entdeckung Des Chaos, Eine Reise Durch Die Chaos-Theorie, Deutscher Taschenbuch Verlag: München, 1997. Hall, Nina (ed.), The New Scientists Guide to Chaos, Penguin Group: London, 1992. Illingworth, Valerie (ed.), The Penguin Dictionary of Physics, Penguin Group: London, 1991. Kunzmann, P., Burkard, F-P., Wiedmann, F., dtv-Atlas Philosophie, Deutscher Taschenbucher Verlag: München, 2001. Nicolis, G., Prigogine, I., Exploring Complexity, WH Freeman and Co.: New York 1998. Popper, Karl R., The Open Universe, An Argument for Indeterminism, Routledge: London, 1988. Prigogine, Ilya, Die Gesetze des Chaos, Insel Verlag: Frankfurt/Main, 1995. Prigogine, Ilya, From Being to Becoming, Time and Complexity in The Physical Sciences, W.H. Freeman and Company: San Fransisco, 1980. Prigogine, Ilya, The End of Certainty, Time, Chaos, and The Laws of Nature, The Free Press: New York, 1997. Russel, R.J., Murphy, N., Peacocke A.R., Chaos and Complexity, Scientific Perspestives on Divine Action, Vatican Observatory Publications dan The Center for Theology and The Natural Sciences: Vatican City-Berkeley, 1995. Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1995. Torretti, Roberto, The Philosophy of Physics, Cambridge University Press: Cambridge, 1999.
Surjani Wonorahardjo, Sebuah Perjalanan Reflektif Sains
151
SEPTEMBER 11, OR QUID SIT HOMO?
Paul W. McNellis Boston College, Boston, USA Abstrak: Artikel ini memiliki nuansa “eulogia”. Tetapi, bukan kata-kata yang mengharukan yang diajukan. Melainkan, sebuah refleksi kritis atas peradaban manusia yang didominasi oleh fenomen “11 September”, sebuah fenomen dehumanisasi. Peristiwa 11 September merupakan peristiwa beruntun runtuhnya bangunan-bangunan World Trade Center di New York, Pentagon, dan pembajakan pesawat oleh para teroris. Tulisan ini menyimak peristiwa itu dalam suatu cara pandang filosofis yang mengatasi fakta runtuhnya aneka bangunan plus sekalian dengan korban manusia yang tak terbilang jumlahnya. Tulisan ini memandang peristiwa itu sebagai suatu deklarasi “dehumanisasi.” Maka, pertanyaan dasarnya ialah quid sit homo? Siapakah manusia? Refleksi tentang manusia juga dapat dilansir dari terminologi “perang”. Manusia ternyata bukan hanya cinta damai, melainkan juga “self-destructive”. Diperlukan kesadaran-kesadaran yang humanis dari keterpurukan hidup manusia sendiri. Keywords: 11 September, quid sit homo, war-time, man.
Our country is at war. Do we in the academy have any responsibility to address this fact? As teachers of philosophy we claim we love wisdom. Do we have any duty or desire to seek it in this situation? Do we have any special duty to each other and to our students to try to better understand what we are in the midst of? In his essay “Learning in War-Time,” C.S. Lewis points out that war is not an utterly unique situation.1 Rather, war presents, in a way we cannot ignore, a reality about every day life: we are mortal. One hundred percent of us will die, and of this we can be one hundred percent certain. Lewis goes on to say that “the only reason why cancer at sixty or paralysis at seventy-five do not bother us is that we forget them. War makes death real to us, and that would have been regarded as one of its blessings by most of the great Christians of the past. They thought it good for us to be always aware of our mortality.”2 Lewis’ essay was delivered as a sermon to students at Oxford in 1939. The students, safe in school, apparently felt some pangs of conscience knowing that so many their own age would soon be dying in Britain’s
1 2
152
C.S. Lewis, “Learning in War-Time,” in The Weight of Glory and Other Addresses, (San Francisco: Harper Collins, 2001), pp. 47-63. Ibid., p. 62.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
armed forces. For these students the questions were: Why study in wartime? Why not join the army? When your country is under attack, surely that is the more urgent task? If they were not asking such questions, Lewis was suggesting they should be. Today, though we lack a declaration of congress, we are de facto at war, and whatever questions the students of our day face, “Should I enlist in the Army?” is not one of them. There has been no increase in military enlistments. Thanks to an allvolunteer army most citizens now regard soldiers as their paid employees. What was once seen as “military service” is now seen as “a job” to which everyone ought to have equal opportunity but to which no one has a duty. Nor are we threatened in the same way as was Britain in 1939. Lewis spoke of the very survival of Europe. None of our leaders today suggests we face a similar danger. Although American soldiers have died in Afghanistan, the only price most citizens will pay during our “war-time” will be annoyance and inconvenience during airport security checks. For most of us, this war will not make “death real to us” any more than Bosnia or Kosovo did. That war in our day can be approached with such calm detachment is in itself disturbing. But that is not the issue I wish to raise here. Rather, I suggest there is another question Lewis posed to the students at Oxford that we should confront. Lewis’ deeper question was, given what a Christian knows about what is at stake in a human life, why should we ever, under any circumstances, do anything other than work out our eternal salvation? Never mind study. Why does the human animal secretly write novels in prison, compose poetry in the trenches, or make jokes on the scaffold? The real question for Lewis was, “How can you be so frivolous and selfish as to think about anything but the salvation of human souls?”3 In our own case, more prosaically, why study philosophy? Given our vocation as priests, why aren’t we all engaged in theology or scriptural studies? Or, for that matter, why aren’t we on our knees every waking moment, since any moment could be our last? We should not answer this question too quickly. Who among us is truly free of the lure of professional success? Are we not often more moved by the praise of our own deeds than by praise of Him who makes all our action possible? As teachers we each have our own story as to why and how we ended up teaching philosophy. But surely when we are at our best, we are trying to hand on to our students something we have received from the best of our own teachers. In my own case some of those best teachers were Jesuits. They were living examples of lives moved by the awe and wonder of contemplating what it means to be a human being. Their lives proved their conviction that because the intellect is a gift of God, thinking well is a Christian activity—indeed, an obligation of gratitude. Perhaps the most useful thing we can do as philosophers is not to try to be too useful. There is a danger in this suggestion, for it could serve as a warrant for incompetence. But this is hardly the greatest danger. Our students are so bombarded by arguments for what they should “do” to make their lives “useful,” that they have
3
Ibid., p. 50.
Paul W. McNellis, September 11, Or Quid Sit Homo?
153
little time and even less encouragement to attempt to understand what or who they “are.”4 Among the practical responses to September 11 now found on campus are new course offerings in Islamic studies, world religions, and conflict resolution. Christian students, before they can with any assurance identify the Sermon on the Mount as belonging to the New, rather than the Old, Testament, will now be required to read the Qur’an. They are being told to have empathy for “the other” before they have even begun to understand themselves. This is less education than it is emotive therapy. Rather than enumerating our differences in a value-free, non-judgmental, view from nowhere, why not try to understand what we have in common as human beings? And why not let the greatest minds from the past have a voice? The classical philosophic question has always been, What is man—Quid sit homo? This is a theoretical, contemplative question. Such “what” questions refer to nature. Our postmodern world, however, tells us there is no fixed human nature, and failing to see this merely demonstrates that one is still a prisoner in the cave of foundationalism. Because we are free, self-actualizing potencies, we can’t know what or who we are until we have fulfilled our “life plan.” History, as a product of human willing, has now replaced nature as the key to understanding ourselves.5 History is the realm of human freedom; nature, mere necessity. But September 11 calls much of this into question. It is difficult to even describe “what” happened without also raising questions about human nature. Plato sought justice first in the city because justice in the soul is too small to see clearly. Or rather, we are often too small to look honestly at our cramped souls. Therefore, Plato starts with opinions about the city, which all of us, whether virtuous or vicious, do have. Looking at just one city, on one day, provides us an opportunity to view human nature at both its best and worst. What happened in New York on September 11 was not, in the language of insurance companies, an “act of God.” No, it was a result of human will. Perverted human will, yes, but nonetheless the human will of someone made in the image and likeness of God. Animals kill with violence. Only human beings can kill with cold, calculating cruelty. It is precisely because we are made in the image and likeness of God that we are capable of more than mere moral mistakes: we are capable of evil. But that same day this same city also showed human beings at their best. Though heroism may be revealed in a day, it is formed through the cumulative, daily decisions of a lifetime. Firemen entered the World Trade Center on September 11 because they do dangerous work every day. It was not firefighter “values” on display that day; it was virtue. Two unknown men carry a women in a wheelchair down forty flights of stairs. Those who know they are about to die telephone those who will survive them to leave a final expression of love. Passengers on a flight over Penn-
4 5
154
The “who” and the “what” are used deliberately. It is a question of nature and person. For an excellent discussion of these issues see Peter Augustine Lawler, Postmodernism Rightly Understood: The Return to Realism in American Thought (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1999).
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
sylvania risk all to save fellow citizens they have never met. Does fashionable postmoderniism, or “pomo,” have anything to say that can help us understand this? Does the free subject behind his veil of ignorance have anything to say that is even mildly interesting, let alone helpful? Is it not true that an Aristotle or an Aquinas gives us far more insight into “what” happened than any explication, no matter how nuanced, of the theories of Lawrence Kohlberg, Stanley Fish, Richard Rorty, or John Rawls? Do any of these thinkers have anything useful to say when it comes to facing death? If, as Plato says, philosophy prepares us to die well, then many of September 11th’s heroes were living a more philosophic life than they were aware of. Trying to understand the nature of the good human life is not a new task for philosophy. Philosophy always finds itself in the midst of a milieu that says, “The unexamined life is worth living.” The pleasing life will always have more advocates than the good life. Thus the most “helpful” thing we can do for our students is to free them from the tyranny of prevailing opinion, be it Catholic or secular. And this is unlikely to be a possibility for the student unless it has first occurred in the teacher. Any honest search for truth will contribute to this liberation. This is so because insight—understanding itself—is ultimately free. We can seek insight, we can provide conditions favorable to its occurrence, but we can neither control nor prohibit it. Insight comes when we least expect it and often when we’d rather not have it. This basic fact about human beings—that the most divine part of us is the most free—is what has always made philosophy dangerous to the community in which it occurs, from Socrates to our day.6 I encountered an example of this some years ago while teaching in Vietnam. The Jesuit superior told me that there were only two subjects the communist government really feared: history and philosophy. History would teach students to remember, and philosophy would teach them to think.7 Both activities were dangerous for the government in power.8 There is a sense in which the Vietnamese church, hunted, persecuted, constantly in danger of arrest, is actually in a healthier state than are we in the United States. The Vietnamese have no illusions about who their allies and enemies are. They know who wishes them well or ill. We no longer do. How many American Catholics have convinced themselves that the Christian faith has no better friend than American democracy? Furthermore, as we prepare for a wider war in the Middle-East we hear and read ever more often that the “solution” is less religion. We are told in a variety of ways that the western liberal democratic separation of church and state, making all matters of religion merely private concerns, is the answer. The Muslim world seems not to agree. There was a time when Christians, too, rejected this “solution.” 6 7 8
See Ernest Fortin, “On the Political Mode of Philosophy,” chp.1, in Dissent and Philosophy in the Middle Ages: Dante and His Precursors, translated by Marc LePain (Lanham, Md.: Lexington Books, 2002), pp. 7-22. Lewis, Learning in War-Time, pp. 58-9, also mentions the special role of philosophy and history. See also Jane Kramer, The Politics of Memory: Looking for Germany in the New Germany (New York: Random House, 1996), and Catherine Merridale, Night of Stone: Death and Memory in Russia (London: Granta Books, 2000).
Paul W. McNellis, September 11, Or Quid Sit Homo?
155
It has been noted that the Muslim world has yet to work out a livable solution to the “theological-political” problem. This may be true. How will the Muslim world deal with the competing claims of faith and reason, the common good of the political order and the response of religious obedience in faith? But might there also be some danger in assuming that the way the Western democracies have supposedly solved these problems is correct, salutary, and beyond any criticism? If the modern, western, liberal, secular democracy is the best of all orders, why is it that not one of these governments can now offer reasons why their citizens should risk their lives to insure its survival? The leaders of the western democracies are no less astute at determining what serves their survival than is the communist gerontocracy of Vietnam. The one thing they dare not ask of their citizens is genuine sacrifice for the good of their own political order. They can offer no account of the good life their citizens would consider worth dying for. Does this sound like a healthy political order? Putting aside for the moment the question of whether our society is truly postmodern—or perhaps in some ways even post-Christian—we can take a closer look at the modern political project, for it was a program. The modern project sought a liberation not from sin, but from the necessity of nature. Modern natural science would achieve this. The modern political project was to be based on the sovereignty not of God, but of the individual will: no one could be obliged unless he had first consented to be commanded. In other words, we command ourselves. This eventually became the regime justified by the interlocking theories of the state of nature, social contract, and natural rights, a system that now seems so self-evidently true that many Christians can not even imagine an alternative. It was not always so. From at least the time of Socrates it has been recognized that religion is what most unites us, but can also become what most divides us. The modern solution historically went from empire to Christian empire, from national monarch to the nation state. The tension between throne and altar was supposedly resolved by making the claims of the throne public, and those of altar private.9 But the tension between throne and altar is one that runs through the heart and soul of each citizen, and thus is ultimately intolerable. The modern nation state’s separation of church and state seemed to resolve the tension, but never to the satisfaction of the church. The church had to make a compromise with modern democracy and the sovereignty of the individual will. The church may be forced to live with, but cannot accept as ultimately true, the claim that faith is merely private. But neither could the church adequately govern in the political realm. After a battle of nearly four centuries between the church and the modern nation state, it is clear that the modern liberal democratic state has won, though the victory was not really acknowledged by the church until the Second
9
156
For a more detailed discussion see Pierre Manent, “Christianity and Democracy: Some Remarks on the Political History of Religion, or, on the Religious History of Modern Politics,” in Modern Liberty and Its Discontents: Pierre Manent, edited and translated by Daniel Mahoney and Paul Seaton (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1998), and Ernest Fortin, “The Regime of Separatism: Theoretical Considerations on the Separation of Church ans State,” in Human Rights, Virtue, and the Common Good, vol. 3 of Ernest L. Fortin: Collected Essays (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1996), pp. 1-18.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Vatican Council. It is worth hearing at length one of the most perceptive contemporary thinkers on this problem. Pierre Manent says of the post-conciliar church, that It no longer presents itself as the most necessary and most salutary government, doing its best in a political situation contrary to the good of souls. It becomes simply the critic of all governments, including that which was for centuries the government of the church. It becomes the “collective beautiful soul,” presenting itself to men as “the bearer of ideals and values.” An “ideal” or “value,” in contrast to law, cannot be commanded but is left solely to the free initiative and “creativity” of each individual—because man is the “creator of values.” The church escapes from the discomfort of its political situation by substantially transforming the character of its message. For the past generation, the churches propose “Christian values,” which, unlike the old Decalogue and also unlike democratic law, are impossible either to obey or to disobey. The church repeats, in a more emphatic way, what democracy says about itself. Under the rubric of “values,” it is hopeless to make “the gospel message” listened to, or at least heard, except by engaging in humanitarian and egalitarian overbidding.10 Or, to put it another way, the United States Conference of Catholic Bishops (USCCB) is seen as a lobbying group because it acts like one. Its main task is neither teaching nor governance; it merely engages in the “humanitarian and egalitarian overbidding” to which Manent refers. Is there any doubt that for some time now the American Catholic Church has had administration rather than governance? The modern nation state so thoroughly won its battle with the church that it even took on the attributes of the church. Modern political terms are largely secularized theological terms—none more so than the concept of sovereignty. While the modern nation state may have won, it is also exhausted by its victory. It can no longer give a convincing account of itself, and hence can demand ever less of its citizens. Pierre Manent, however, sees in this state of affairs a new opportunity. Thus, the political submission of the church to democracy is, perhaps, finally, a fortunate one. The church will-nilly conformed herself to all of democracy’s demands. Democracy no longer, in good faith, has any essential approach to make against the church. From now on it can hear the question the church poses, the question it alone poses, the question Quid sit homo—What is man? But democracy neither wants to nor can respond to this question in any manner or form. On democracy’s side of the scale, we are left with political sovereignty and dialectical impotence. On the church’s side, we are left with political submission and dialectical advantage.11
10 11
Manent, Ibid., p. 114. Ibid., p. 115.
Paul W. McNellis, September 11, Or Quid Sit Homo?
157
The dialectical advantage to which Manent refers is not rhetorical advantage. Rather it concerns an answer to a question posed by a restless heart, the question about who we are, in relation to all that is. The only adequate answer will come from God, but it will not be recognized as an answer unless philosophy has first raised the question in a way we can understand.
BIBLIOGRAPHY Catherine Merridale, Night of Stone: Death and Memory in Russia (London: Granta Books, 2000). C.S. Lewis, “Learning in War-Time,” in The Weight of Glory and Other Addresses, (San Francisco: Harper Collins, 2001) Ernest Fortin, “The Regime of Separatism: Theoretical Considerations on the Separation of Church and State,” in Human Rights, Virtue, and the Common Good, vol. 3 of Ernest L. Fortin: Collected Essays (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1996) _______, “On the Political Mode of Philosophy,” chp.1, in Dissent and Philosophy in the Middle Ages: Dante and His Precursors, translated by Marc LePain (Lanham, Md.: Lexington Books, 2002) Jane Kramer, The Politics of Memory: Looking for Germany in the New Germany (New York: Random House, 1996) Peter Augustine Lawler, Postmodernism Rightly Understood: The Return to Realism in American Thought (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1999). Pierre Manent, “Christianity and Democracy: Some Remarks on the Political History of Religion, or, on the Religious History of Modern Politics,” in Modern Liberty and Its Discontents: Pierre Manent, edited and translated by Daniel Mahoney and Paul Seaton (Lanham, Md.: Rowman and Littlefield, 1998)
158
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
KEJAHATAN-KEJAHATAN PERANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL
Antonius Janga STFT Widya Sasana, Malang Abstract: This article deals philosophically with the war crimes against humanity in the international law. The study focuses on the understanding of what we mean by the war crime and its historical development. The war crimes presuppose the list of the unlawful materials or cruel actions by which we mean violation against humanity. The author offers analysis of war crimes from the perspective of the international law or international convention concerning war. He suggests that the knowledge of what may be called “war crimes” is indispensable, as our time is at war (actually war on Iraq by the Allies). In addition, in a war-time the law enforcement seems to be in vain as well. The author tries to impose the indisputable human treatment toward those who are involved in war. The people should be respected humanly regardless of war-time. Keywords: kejahatan perang, kejahatan kemanusiaan, hukum internasional, hukum kodrat,
Orang berkata bahwa di saat perang hukum-hukum membisu. Kebisuan hukum-hukum itu berkembang ke suatu pola dan prinsip hidup yang lebih kompetitif: dalam perang dan asmara, segala sesuatu sah-sah saja; ada kebohongan dalam asmara, ada kebiadaban dalam perang1 . Kebiadaan itu terjadi tatkala orang tak mempedulikan lagi hukum-hukum dan tata peristiadatan berperang. Tema yang diangkat dalam tulisan ini adalah Kejahatan-kejahatan Perang dalam Hukum Internasional. Yang hendak disoroti adalah pengertian tentang kejahatan perang dan perkembangan singkat dari konsep tersebut dalam tatanan Hukum Internasional, serta materi-materi yang dikategorikan sebagai kejahatan itu. Dengan demikian orang dapat menilai apakah seseorang adalah pelaku kejatan perang atau bukan, tanpa harus mendengarkan vonis yang dijatuhkan oleh tribunal tertentu. Akan disoroti pula pandangan Gaudium et Spes berkaitan dengan perang dan kejahatan-kejahatannya, sebagaimana dimaksudkan oleh Hukum Internasional.
1
Bdk. M. Walzer, Guerre giuste e ingiuste: Un discorso morale con esemplificazioni storiche, Liguori Editore, Napoli 1990, hlm. 15.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
159
1. PENGERTIAN Istilah kejahatan perang digunakan secara populer dalam pembicaraan masa kini. Tentu saja hal tersebut mengacu kepada kejahatan-kejahatan peperangan2 , namun makna yang sesungguhnya tidaklah sekadar berkaitan dengan berbagai korban peperangan atau kengerian-kengerian yang didatangkannya. Ia haruslah dipahami dalam sebuah daerah permainan bahasa tertentu, terutama dalam Hukum Internasional, yang memberikan makna khusus dan garis-garis batasannya3 . Definisi kejahatan perang dijumpai dalam artikel. 6 dari Statuta Tribunal Internasional Neuremberg tahun 1945 yang terlampir dalam Persetujuan London, 8 Agustus 19454 . Dokumen ini mengkategorikan kejahatan perang sebagai salah satu dari tiga kejahatan internasional, selain kejahatan melawan damai dan kejahatan terhadap kemanusiaan5 . Kejahatan-kejahatan melawan perdamaian ialah perencanaan, persiapan, pembukaan dan penerusan sebuah perang agresi atau perang yang melawan berbagai persetujuan atau perjanjian internasional, atau ambil bagian dalam salah satu tindakan tersebut. Kejahatan-kejahatan perang adalah ialah pelanggaran terhadap hukumhukum atau kebiasaan-kebiasaan berperang. Pelanggaran-pelanggaran itu meliputi, antara lain, pembunuhan yang dikehendaki, penganiayaan, deportasi perlakuan yang tidak manusiawi terhadap yang terluka maupun sakit, tawanan perang dan warga sipil; berbagai tindakan kekerasan lainnya yang tergolong dalam pelanggaran berat sebagaimana dimaksudkan oleh Hukum Internasional. Kejahatan terhadap kemanusiaan ialah pembunuhan yang dikehendaki, tindakan pemusnahan suatu suku bangsa, deportasi serta berbagai tindakan yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan terhadap penduduk sipil baik sebelum maupun selama peperangan, penindasan karena alasan politik, ras dan keagamaan, dll. Sistem pembagian atas tiga kategori di atas dilakukan juga oleh Tribunal Militer untuk Timur Jauh yang ditandatangani di Tokyo pada 19 Januari 1946. Menyangkut gagasan kejahatan-kejahatan perang, Tribunal tersebut menggarisbawahi: “Kejahatan-kejahatan perang adalah kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan konvensi-konvensi tentang peperangan. Yakni pelanggaran atas hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan berperang”6 . 2
3 4
5
6
160
Bdk. L. CONDORELLI, “Il sistema della repressione dei crimini di guerra nelle Convenzioni di Ginevra del 1949 e nel Primo Protocollo Addizionale del 1977” dalam P.L. ZANARDI dan G. VENTURINI, Crimini di guerra e competenza delle giurisdizioni nazionali, Guffrè, Milano 1998, hlm. 25. Bdk. S.R. RATNER, “Crimini di guerra: categorie” dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra: Quello che tutti dovrebbero sapere, Contrasto Internazionale, Roma, 1999, hlm. 117. Bdk. Y. DINSTEIN, “The distinctions between war crimes and crimes against peace” dalam Y. DINSTEIN dan M. TABORY, War Crimes in International Law, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague / Boston / London 1996, hlm. 1. Lihat artikel 6; teks diambil dari P. VERRI, Diritto per la pace, diritto nella guerra, Edizioni speciali della “Rassegna dell’Arma dei Carabinieri”, Roma 1980, p. 610. Teks-teks yang dikutip dalam tulisan ini, baik langsung maupun tidak, merupakan terjemahan kami. Piagam Tribunal Militer untuk Timur Jauh, art. 5b. Teks, lihat P. VERRI, Diritto per la pace…, hlm. 620.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
Ada berbagai upaya dari para ahli Hukum Internazional untuk menjelaskan makna dari kejahatan-kejahatan perang itu. Menurut Beneddetto Conforti, kejahatan-kejahatan perang adalah pelanggaran-pelanggaran berat terhadap normanorma internasional dari hukum perang, terutama norma-norma yang bermaksud menjadikan sebuah perang lebih manusiawi7. Conforti tidak menunjukkan secara eksplisit hukum-hukum atau kebiasaan-kebiasaan yang mana. Ini berbeda dengan L.C. Green, yang secara khusus mengacu kepada hukum-hukum atau kebiasaankebiasaan berperang yang dijumpai dalam Konvensi Den Haag IV tahun 1907 tentang hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang darat, Deklarasi Petersburg tahun 1868, Konvensi-konvensi Jenewa tahun 1949, dan Protokol-protokol Jenewa tahun 19778 .
2. PERKEMBANGAN HISTORIS Kejahatan-kejahatan perang tidak lain adalah sebuah akibat langsung dari diabaikannya ius ad bellum dan ius in bello, dan hal tersebut tidak terpisahkan dari sejarah peperangan itu sendiri9 , terutama berkaitan dengan saat-saat menentukan sekitar diadakannya pembicaraan tentang peperangan, dan mempengaruhi karakteristik dari perundangan dan kebiasaaan berperang10 . Pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan berperang pun telah ada sejak zaman purba.11 Hukum dan kebiasaan berperang yang kita miliki saat sekarang berakar dalam kebudayaan purba dan kebudayaan modern, dan menampilkan diri sebagai salah satu tema utama dari Hukum Internasional12 . Bahkan, menurut Timothy L.H. McCormack, untuk melihat gagasan-gagasan tentang kejahatan perang, orang perlu melihat kontribusi dari berbagai budaya dan tradisi keagamaan13 . 2.1. Zaman Purba Christopher Greenwood dari Magdalene College, Cambridge menunjukkan beberapa point penting tentang hukum dan tata berperang di zaman purba. Suku 7 8 9 10 11 12 13
Bdk. B. CONFORTI, Diritto Internazionale, Editoriale Scientifica, Napoli 1999, hlm. 205. Bdk. L.C. GREEN, Essays on the Modern Law of War, Transnational Publishers, New York 1984, hlm. 215. Bdk. C.J. GREENWOOD, “Historical development and legal basis” dalam D. FLECK (editor), The handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts, Oxford University Press, Oxford 1995, hlm. 12. Bdk. R. BIERZANEK, “War crimes: history and definition”, dalam M.C. BASSIOUNI dan M.P. NANDA, International criminal law, Charles C. Thomas, Spingfiel, Illinois 1973, hlm. 559. Bdk. D.A. WELLS, War crimes and laws of war, University Press of America Lenham / New York / London 1984, hlm. 1. Bdk. S.R. RATNER dan J.S. ABRAMS, Accountability for human rights atrocities in International Law beyond the Nuremberg Legacy, Clarendon Press, Oxford 1997, hlm. 78. Bdk. T.L.H. MCCORMACK, “From Sun Tzu to the Sixth Committee: The evolution of International Criminal Law Regime”, dalam T.L.H MCCORMACK dan G.J. SIMPSON, The Law of Crimes: National and International Approaches, Kluwer Law International, The Hague / London / Boston 1997, hlm. 31-32.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
161
bangsa Sumeri beranggapan bahwa perang merupakan suatu keadaan yang diatur oleh hukum yang antara lain hendak menjamin kekebalan rakyatnya dari ancaman kekuatan musuh. Perang dimulai dengan sebuah pernyataan perang dan diakhiri dengan sebuah perjanjian damai14 . Kitab Hamurabi menggarisbawahi perlindungan orang-orang lemah dari penindasan orang yang kuat, dan memerintahkan agar para tawanan dibebaskan dengan membayar uang tebusan15 . Budaya Persia pada abad ketujuh sebelum Masehi menekankan suatu perlakuan yang manusiawi terhadap musuh, misalnya dengan merawat mereka seperti layaknya merawat serdadu sendiri16 . Gagasan yang lebih sistematis tentang hukum-hukum perang dan pelanggaranpelanggarannya dijumpai sekurang-kurangnya pada abad ke enam sebelum Masehi, yakni di zaman Sun Tzu. Dalam karyanya digarisbawahi prinsip-prinsip untuk melindungi para serdadu yang kalah dan memperlakukan mereka secara manusiawi, prinsip proporsionalitas dalam penggunaan kekuatan senjata, serta prinsip tanggung jawab seorang pemimpin17 . Sementara itu dalam kebudayaan Yunani pada abad ke empat sebelum Masehi telah dijumpai gagasan tentang pentingnya kesetiaan kepada sumpah untuk mematuhi prinsip-prinsip perang, dan siapa yang melanggar hukumhukum itu akan dipandang sebagai orang yang bersumpah palsu18 . Dalam budaya hindu pada sekitar tahun 200 sebelum Masehi dijumpai suatu tahap yang lebih maju, yakni tentang bagaimana menghadapi kejahatan-kejahatan perang, sebagaimana diungkapkan dalam Manu Smriti 19 .Teks tersebut mengungkapkan tiga prinsip penting dalam hukum perang. Pertama, soal larangan untuk menggunakan senjata-senjata tertentu. Kedua, menghargai serdadu-serdadu musuh yang telah meletakkan senjata dan tak dapat bertempur lagi. Ketiga, larangan untuk membunuh orang-orang yang tidak berpartisipasi dalam peperangan. 2.2. Pendekatan Eropa dalam Abad Pertengahan Pada abad pertengahan, konsep perangan dan hukum-hukumnya dipengaruhi oleh berbagai pandangan teologis dan filosofis. Biasanya para ahli mengacu kepada pemikiran Santo Agustinus tentang perang adil. Meskipun perang diizinkan dan dibenarkan atas dasar alasan yang benar, haruslah tetap dilindungi dalam peperangan kaum perempuan, orang-orang tua, anak-anak dan yatim piatu20 . Dalam perang
14 15 16 17 18 19
20
162
Bdk. C.J. GREENWOOD, “Historical…”, hlm. 12. Bdk. C.J. GREENWOOD, Ibid., hlm. 12. Bdk. Ibid., hlm. 13. Bdk. T.L.H. MCCORMACK, “From Sun Tzu…”, hlm. 33-35. Bdk. R. BIERZANEK, “War Crimes…”, hlm. 559. Bdk. T.L.H. MCCORMACK, “From Sun Tzu…”, hlm. 35; lihat juga C.J. GREENWOOD, “Historical Development…”, hlm. 13. Bagi Ratner, Manu Smriti ini secara bertahap membuka jalan bagi Hukum Romawi dan Eropa tentang perang. Bdk. S.R. RATNER, “Crimini di guerra…”, hlm. 117. Bdk. C.J. GREENWOOD, “Historical development…”, hlm. 14.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
yang adil itu tidak diizinkan tindak pencurian, pembantaian besar-besaran, penajisan tempat-tempat ibadat, dan pembasmian musuh21 . Gagasan -gagasan Agustinus ini kemudian dikembangkan oleh Santo Tomas dari Aquinas yang sangat menggarisbawahi tiga elemen penting dari hukum perang masa kini, yakni soal autoritas, alasan dan maksud yang benar22 . Francesco dari Vittoria menempatkan soal perang atas dasar “hukum kodrat”. Dia menegaskan lagi kriteria tentang larangan membunuh secara sengaja orangorang tak bersalah dan orang-orang yang tak terlibat dalam pertempuran: “Anakanak, kaum perempuan dan para petani dan semua penduduk yang cinta damai tak boleh diserang bahkan dalam perang melawan orang-orang Turki, sekalipun dapat diperkirakan bahwa anak-anak itu, setelah bertumbuh, akan memerangi orangorang kristiani”23 . Perkembangan hukum perang pada abad pertengahan ditandai pula dengan doktrin tentang tanggungjawab pribadi atas pelanggaran terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan berperang. Para penyokong teori hukum kodrat menegaskan bahwa meskipun hukum kodrat dan hukum para bangsa tak melarang perang atas dasar prinsip legitimasi, tidaklah dapat diterima berbagai koflik yang melanggar hak-hak orang lain. Oleh karena itu, Hugo Grotius menegaskan bahwa komunitas bertanggungjawab atas tindakan-tindakan dan kelalaian-kelalaian dan diwajibkan untuk menghukum para kriminal atau mematuhi berbagai permintaan untuk ekstradisi mereka24 . 2.3. Tradisi Den-Haag Sekitar akhir abad ke sembilan belas dan awal dari abad ke duapuluh komunitas internasional telah memiliki teks tertulis tentang hukum-hukum perang yakni berupa Hukum Den-Haag, yang merupakan buah dari konferensi-konferensi diplomatik tentang berbagai persoalan seputar pengaturan perang25 . Dalam Hukum Internasional, Den-Haag berkembang sebagai suatu tradisi tentang hukum-hukum perang yang diaplikasikan selama peperangan. Hukum atau peraturan Den-Haag terdiri atas dua. Yang ditandatangani pada 29 Juli 1899 memuat tiga deklarasi. Sementara itu Den-Haag tahun 1907 memuat tiga belas konvensi, namun para ahli menggarisbawahi pentingnya konvensi keempat tentang perang darat. Teks tersebut memuat – antara lain - tentang larangan untuk membunuh atau melukai secara curang orang-orang yang menjadi anggota dari
21 22 23 24 25
Bdk. C. MELLON, I Cristiani di fronte alla guerra e alla pace, Queriniana, Brescia1986, hlm. 105-108. Bdk. M. TOSCHI, “La Svolta di Costantino”, dalam V. SALVODI, Mai più la guerra. Per una teologia della pace, Edizione La Meridiana, Molfetta 1998, hlm. 141-142. C. MELLON, I Cristiani di fronte alla guerra…, hlm. 112. Bdk. R. BIERZANEK, “War Crimes…”, hlm. 560. Bdk. S.T. RATNER dan J.S. ABRAMS, Accountability for human rights atrocies…, hlm. 79.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
163
pasukan musuh, larangan untuk membunuh dan melukai musuh yang tak mempunyai lagi sarana-sarana untuk membela diri; larangan untuk menggunakan senjata yang mengakibatkan kerugian besar-besaran; larangan untuk membinasakan hak milik orang yang berada di luar keperluan perang26 . Justru hukum-hukum Den-Haag 1907 inilah yang menjadi bahan acuan untuk Tribunal Neuremberg untuk mengadili penjahat-penjahat perang yang dipercayakan kepada pengadilannya, dan Tribunal Tokyo untuk mengadili penjahat-penjahat perang di Timur Jauh27 . 2.4 Tradisi Jenewa Apabila Tradisi Den-Haag diidentikkan dengan hukum perang, tradisi Jenewa dikenal dengan hukum kemanusiaan, yang berada di bawah bendera palang merah yang didirikan oleh Hendry Dunant. Pengalaman yang mengerakkan Dunant ialah peperangan di Solforino pada tahun 1859, ketika 40.000 serdadu Austria, Prancis dan Italia telah menjadi korban28 . Itu terjadi karena kurangnya upaya-upaya sistematis untuk memberikan bantuan kepada mereka yang ambil bagian di medan pertempuran, bahkan para tenaga medis itu sendiri tidak dilindungi dari perbagai serangan dan penangkapan. Dengan demikian dapatlah dimengerti bahwa Konvensi-konvensi Jenewa memiliki sasaran dan medan cakupan demi keperluan kemanusiaan. Adapun yang terkenal dari tradisi Jenewa adalah Konvensi 1949, yang berisikan refleksi-refleksi yang semakin matang terhadap pengalaman peperangan. Konvensi ini telah merangkum warisan-warisan sebelumnya dan memberikan penekanan yang sangat kuat berkaitan dengan persoalan penduduk sipil (bagian ke empat). Antonio Massieno menegaskan bahwa bagian ini bertitik tolak dari pengalaman Perang Dunia II, tatkala penduduk sipil tak bersenjata, orang-orang sakit, anak-anak, kaum perempuan, orang-orang tua, telah menjadi korban penyerangan yang tak pandang bulu, tanpa pembedaan antara sipil dan petempur legitim dan jatuh ke tangan musuh, menjadi sasaran pembunuhan, pembantaian, deportasi, kerja paksa, dan berbagai tindakan lainnya yang tak berperikemanusiaan29 . Apabila Konvensi Jenewa 1949 dicermati, tampak bahwa sesungguhnya beberapa gagasan tentang perilaku-perilaku yang bertentangan dengan norma-norma perang itu telah ditampilkan juga dalam Konvensi Den-Haag 1899 dan 1907. Hal tersebut menunjukkan suatu perkembangan dari Hukum Internasional itu sendiri untuk
26
27
28 29
164
Sebuah komisi yang dibentuk oleh Konferensi Paris tahun 1919 menyajikan tiga puluh dua pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan berperang yang terjadi selama Perang Dunia pertama. Sebagian besar dari kejahatan tersebut telah dijumpai dalam hukum Den Haag 1907. Bdk. R. Bierzanek, “War Crimes: history an definition…”, hlm. 563-564. Bdk. G.I.A.D DRAPER, “The Modern Pattern of War Criminality”, dalam Y. DINSTEIN dan M. TABORY, War Crimes in International Law…, hlm. 148-149; lihat JUGA D.A. WELLS, War Crimes and Laws of War…, hlm. 46-47. Bdk. D.A. WELLS, An Enciclopedia of war and ethics, Greenwood Press, London 1996, hlm. 157. Bdk. A. MESSINEO, “Diritto Umanitario e diritti umani” dalam Civiltà Catolica II/1971, hlm. 135-136.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
memadukan ide-ide tradisi Den-Haag dengan tradisi Jenewa, dimana kaum sipil dimasukkan dalam kategori baru pertempuran, dan memadukan prinsip proporsionalitas dengan argumen tentang kepentingan militer30 . Meskipun masing-masing dari keempat konvensi Jenewa 1949 mempunyai kekhasaanya, konvensi-konvensi itu menyajikan juga tentang pelanggaranpelanggaran berat. Sebagian dari materi-materi itu dijumpai dalam kategori kejahatankejahatan perang dan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang telah ditampilkan oleh Tribunal Neuremberg tahun 194531 . 2.5 Dua Tradisi dari Hukum yang Sama Pembahasan tentang kejahatan–kejahatan perang sebagai pelanggaran atas hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan berperang yang menampilkan dua tradisi yakni Den-Haag (tradisi hukum perang) dan Jenewa (tradisi hukum kemanusiaan), menimbulkan pertanyaan: apakah keduanya memang sungguh terpisah, atau adakah dikotomi antara keduanya dalam melihat persoalan perang? Haruslah digarisbawahi bahwa latar belakang dari kedua hukum itu ialah pengalaman–pengalaman yang mengerikan tentang peperangan. Sementara Jenewa menghadapinya dengan sejumlah konvensi yang didasarkan atas prinsip kemanusiaan, Den- Haag menghadapinya dengan menghasilkan sejumlah keputusan tentang berbagai perilaku yang dibolehkan dan tak diperbolehkan dalam berperang. Namun keduanya merupakan suatu hukum yang sama. Studi yang dilakukan oleh Natalino Ronzitti menunjukkan bahwa kedua kelompok hukum di atas justru menyatu dalam Protokol Jenewa tahun 1977, terutama Protokol I tentang perlindungan terhadap korban-korban dari konflik senjata internasional32 . Dalam konteks ini, baik hukum-hukum perang maupun hukum-hukum kemanusiaan dapat berfungsi bersama untuk melihat materi-materi kejahatan perang. Sehingga lahirlah anggapan bahwa lingkup dari hukum-hukum Den-Haag maupun hukum-hukum Jenewa adalah demi nilai-nilai kemanusiaan, yakni mengurangi kekejaman-kekejaman yang diakibatkan oleh peperangan, sebagai tanggapan terhadap tuntutan perkembangan moralitas bangsa manusia yang mendesak untuk mengurangi hingga pada titik seminim mungkin penderitaan, pengrusakan dan pembinasaan yang tidak perlu33 . Oleh karena itu, artikel 85 dari Protokol I menyajikan pelanggaranpelanggaran berat – dengan demikian adalah kejahatan perang – atas tiga kategori34 .
30 31 32 33 34
Bdk. E. CHADWICK, Self determination, terrorism, and International Law of armed conflict, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague / Boston / London, 1996, hlm. 75. Konvensi Jenewa I, art. 50; Konvensi II, art. 51; Konvensi III, art. 130; Konvensi IV, art. 147. Bdk. N. RONZITTI, Diritto Internazionale dei conflitti armati…, hlm. 102-103. Bdk. P. VERRI, Appunti di Diritto Bellico, Edizioni speciali della “Rassegna dell’Arma dei Carabinieri”, Roma 1982, hlm. 4. Teks lengkap dalam edisi Italia dijumpai dalam P. VERRI, Diritto per la pace …, hlm. 477-478.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
165
Pertama, apabila sebuah pelanggaran berat dilakukan kepada para tawanan perang, melawan orang-orang yang luka, orang-orang sakit dan orang yang karam. Kedua, apabila dilakukan dengan sengaja dan mengakibatkan kematian atau kerugian yang besar terhadap integritas fisik atau kesehatan, penyerangan terhadap warga sipil, atau orang yang tak ambil bagian dalam pertempuran. Ketiga, deportasi atau pemindahan penduduk sipil yang dilakukan oleh pihak yang berkuasa, berbagai keterlambatan yang tak beralasan dalam pemulangan tawanan perang atau warga sipil, praktek apartheid atau berbagai tindakan yang tak berperikemanusiaan, serta penyerangan ke tempat-tempat yang dilindungi.
3. INTER-RELASI ANTARA KEJAHATAN PERANG DAN KEJAHATAN TERHADAP KEMANUSIAAN Tribunal Nurimberg dan tribunal Tokyo selalu membahas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan secara bersamaan. Bahkan Tribunal untuk kejahatan-kejahatan perang di Ex Yugoslavia secara jelas mengacu kepada sistem pembahasan kedua tribunal itu35 Gagasan kejahatan perang dalam perspektif kemanusiaan dijumpai baik dalam tradisi hukum-hukum perang maupun hukum-hukum kemanusiaan. Keduanya berjalan bersama. M. Scherif Bassiouni menggarisbawahi bahwa asal-usul dari kejahatan melawan kemanusiaan dijumpai justru dalam peraturan tentang konflik bersenjata atau peperangan36 . Justru dalam peraturan itulah dapat dijelaskan sebuah inter-relasi antara kejakatan-kejahatan perang dengan kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan-kejahatan perang itu lebih sempit dibandingkan dengan kejahatankejahatan terhadap kemanusiaan37. Kejahatan perang itu berkaitan dengan pelanggaran terhadap hukum-hukum dan kebiasaan-kebiasaan perang selama berlangsungnya perang atau konflik senjata. Sementara kejahatan terhadap kemanusiaan dapat terjadi sebelum atau selama berlangsungnya perang atau konflik senjata. Materi kejahatan-kejahatan perang ialah beberapa dari materi kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan38. Bagi keduanya berlaku prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia, yang berkaitan dengannya, dan yang diukur olehnya39.
35 36 37 38 39
166
Teks lengkap dari Tribunal untuk Ex Yugoslavia, ditemukan dalam Y. DINSTEIN dan M. TABORY, War Crimes in International Law…, hlm. 407-421. Materi yang berkaitan dengan tema ialah art. 2-5. Bdk. M.C. BASSIOUNI, , Crimes against humanity in International Criminal Law, Kluwer Law International, The Hague / London / Bostor 1999, hlm. 41-49. Bdk. M.C. BASSIOUNI, Crimes against humanity…, hlm. 60-82. Lihat catatan nomor …. Dalam karya ini. Bdk. H.S. LEVIE, “Violations of human rights in time of war as war crimes”, dalam Y. Dinstein dan M. Tabory, War crimes in Internatioal Law…, hlm. 123-139.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
4. DELAPAN KEJAHATAN PERANG TERHADAP PRIBADI MANUSIA Dalam Hukum Internasional, teks-teks yang berkaitan dengan kejahatan perang terhadap pribadi manusia sangatlah kaya. Baik hukum-hukum yang membahas peperangan atau konflik senjata internasional maupun konflik senjata berskala nasional, menampilkan daftar pelanggaran-pelanggaran berat yang merupakan materi kejahatan perang. Untuk perang yang berskala internasional, digunakanlah Konvensikonvensi Jenewa 1949 dan Protokol I 1977. Sedangkan pelanggaran-pelanggaran berat yang berkaitan dengan perang atau konflik senjata nasional, digunakanlah artikel 3 dari Konvensi-konvensi Jenewa 1949 dan Protokol II 1977. Tentu tak dapat diabaikan begitu saja Konvensi Den-Haag, sebab bersamaan dengan Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokolnya, menyajikan tentang materi-materi kejahatan perang40 . Untuk memperoleh suatu gambaran yang menyeluruh tentang kejahatankejahatan perang terhadap pribadi manusia, dapatlah disajikan artikel 147 dari Konvensi Jenewa IV 1949: “Pelanggaran-pelanggaran berat yang ditunjukkan oleh artikel sebelumnya adalah yang termasuk satu atau lainnya dari perilaku berikut, apabila dilakukan terhadap pribadi manusia...: pembunuhan yang dihekendaki, penganiayaan atau perlakuan-perlakuan yang tidak berperikemanusiaan, termasuk eksperimeneksperimen biologis, perbuatan yang secara sengaja mengakibatkan penderitaanpenderitaan berat atau cacat fisik atau kesehatan, deportasi atau pemindahan ilegal, penahanan-penahanan ilegal, perbuatan yang memaksa seorang yang dilindungi untuk berbakti bagi kekuatan-kekuatan bersenjata dari pihak musuh, atau perbuatan yang merenggut yang bersangkutan dari haknya untuk diadili menurut peraturan yang benar dan adil, ... penangkapan untuk penyanderaan...”41 . 4.1 Pembunuhan yang Dikehendaki atau Disengaja Perang diidentikkan dengan pembunuhan, namun hanyalah tindak pembunuhan yang disengaja yang dianggap oleh Hukum Internasional sebagai kejahatan perang. Korban yang ditimbulkannya selalu jauh melebihi apa yang bisa dihitung, dan hal tersebut menjadi sebuah pengalaman tragis yang sangat memilukan bagi bangsa manusia42 .
40
41 42
Salah satu model penggunaan bersama dari ketiga hukum itu ialah penyidikan yang dilakukan oleh PBB terhadap berbagai kejahatan perang yang terjadi di Ex Yogoslavia. Penggunaannya untuk perang itu sangat aktual, karena perang itu sendiri mempunyai karakter nasional dan internasional sekaligus. Bdk. M.C. BASSIOUNI, Indagine sui crimini di guerra nell’ex Jugoslavia. L’operato dalla Commissione degli Esperti del Consiglio di Sicurezza e il suo rapporto finale, Giuffrè, Milano 1997, hlm. 25-26. P. VERRI, Diritto per la pace…, hlm. 426, Bdk. AMNESTY INTERNATIONAL, Bosnia Erzegovina: Rapporto sulle violazioni dei diritti umani, Edizioni Sonda, Milano 1993, hlm. 39-47.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
167
Keempat Konvensi Jenewa menampilkan tema ini secara gamblang. Konvensi Jeneva I dalam artikel 50 melarang penerapan perilaku yang demikian kepada orangorang yang terluka dan sakit dalam perang darat. Orang luka dan sakit itu sendiri dengan sangat jelas ditunjukkan oleh Protokol I Jenewa 1977, yakni orang-orang, baik militer maupun sipil yang berada dalam situasi bahaya, baik karena trauma, penyakit atau kelemahan lainnya, baik fisik maupun mental, yang membutuhkan perawatan medis dan yang menarik diri dari pertempuran. Termasuk dalam kategori ini ialah ibu-ibu yang baru melahirkan, bayi-bayi dan orang-orang lain yang membutuhkan pelayanan medis secepatnya, seperti orang-orang cacat dan ibu-ibu yang sedang hamil43. Orang-orang yang disebutkan itu dipandang sebagai orangorang lemah dan tak berdaya44. Apabila mereka yang dikategorikan lemah ini tetap terlibat dalam pertempuran, mereka tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan45. Kategori di atas diperluas apabila dikaitkan dengan Konvensi II Jenewa 1949 tentang perbaikan kondisi orang terluka, sakit dan karam dalam perang laut. Artikel 8 Protokol I 1977 secara ringkas menunjukkan siapa saja yang dikategorikan sebagai orang karam, yakni baik militer maupun sipil yang berada dalam bahaya baik di laut maupun jenis air lainnya, akibat malapetaka yang menimpa sarana transportasi mereka dan yang menarik diri dari berbagai aktivitas pertempuran. Orang yang berada dalam situasi yang demikian tak lagi mempunyai kemampuan untuk berpartisipasi dalam pertempuran, bahkan mereka tak mampu lagi untuk membela diri sepantasnya terhadap berbagai ancaman. Orang yang demikian mempunyai hak untuk diperlakukan seperti orang terluka dan sakit dalam perang darat, yang berarti pula dibebaskan dari berbagai tindak pembunuhan sengaja46. Konvensi Jenewa I dan Konvensi Jenewa II menggarisbawahi larangan pembunuhan terhadap para petugas keagamaan dan tenaga medis. Para petugas tersebut hadir di medan perang demi kepentingan orang terluka, sakit dan karam, oleh karena itu mereka berhak mendapatkan perlakuan yang setimpal dengan baktibakti mereka47 . Apabila mereka menjadi korban pembunuhan yang disengaja oleh pihak-pihak yang bertikai, tindak tersebut dianggap sebagai kejahatan perang48. Para tawanan perang pun tak boleh dijadikan korban pembunuhan. Itu ditegaskan oleh Konvensi III Jenewa. Dalam kondisinya sebagai tertawan, mereka kehilangan kebebasannya49 , tetapi status mereka sebagai pribadi tetap ada. Bahkan 43 44 45 46 47 48 49
168
Bdk. P. VERRI, Diritto per la pace…, hlm. 440. Bdk. M. FRIGESSI DI RATTALMA, Nazione Unite e danni derivanti dalla guerra del Golfo, Giuffrè, Milano 1995, hlm. 276-277. Bdk. W. RABUS, “Protection of the wounded, sick, and shipwrecked”, dalam D. Fleck, The Handbook of Humanitarian Law…, hlm. 294. Bdk. W. RABUS, “Protection of wounded, sick, and shipwrecked…”, hlm. 295. Bdk. Konvensi I, art. 6-7; Konvensi II, art. 5-8; Protokol I, art. 8 c-d. Bdk. W. RABUS, “Protection of wounded…”, hlm. 371, 308-309. Bdk. H.W. ELLIOTT, “Prigionieri di guerra: campi di detenzione”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 280-281.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
dalam situasi tertawan, mereka harus mendapatkan perlindungan yang lebih besar, mengingat ancaman nyata keselamatan hidupnya50. Konvensi IV Jenewa dalam artikel 147 mengganggap sebagai suatu kejahatan perang apabila dilakukannya pembunuhan yang disengaja terhadap kaum sipil. Tindakan tersebut bertentangan dengan prinsip utama perang yang tak boleh diarahkan kepada warga sipil51 . Warga sipil yang tidak ambil bagian dalam pertempuran dan tak melaksanakan satu pun karya berkarakter militer, tak boleh dibunuh. Dengan demikian menjadi jelas bahwa Konvensi-konvensi Jenewa menganggap sebagai pelanggaran berat pembunuhan terhadap orang terluka, sakit dan karam, para petugas kesehatan dan petugas keagamaan, serta penduduk sipil. Larangan pembunuhan terhadap mereka itu bersifat mutlak52 . 4.2 Penganiayaan dan Perlakuan yang Tidak Berkeperikemanusiaan Penggunaan penganiayaan dan perlakuan yang tak berperikemanusiaan lainnya dalam perang itu dilarang53 . Konvensi Den-Haag IV 1907 tak menggunakan istilahistilah tersebut54 . Istilah tersebut secara eksplisit baru dijumpai dalam Konvensikonvensi Jenewa 1949 dan Protokol-protokolnya, misalnya dalam Konvensi Jenewa I, art. 12 dan 50. Penyiksaan dan tindakan tak berperikemanusiaan lainnya dapat terjadi baik secara fisik maupun mental55 . Konvensi Jenewa IV membahas tema penyiksaan dalam kaitan dengan tema perlindungan terhadap penduduk sipil selama perang berlangsung. Konvensi ini menggunakan istilah “tindak kekerasan” dalam kadar yang sama dengan intimidasi56 . Hal ini menjadikan persoalan semakin kompleks, karena intimidasi yang bertujuan mendapatkan informasi untuk kemenangan itu akhirnya berbaur dengan tindakantindakan yang tak berperikemanusiaan. Diantara tindakan-tindakan yang tak berperikemanusiaan itu disebutkan eksperimen biologis. Eksperimen biologis sesungguhnya menjadi perangkap bagi umat manusia karena bagaikan sebuah jaringan produksi kematian manusia dan kejahatan perang57 . Penggunaannya dipandang sebagai kejahatan perang karena bertentangan dengan salah satu prinsip dasar berperang, yakni tidak merusak hidup manusia dan kesehatan-
50 51 52 53 54 55 56 57
Bdk. N. RONZITTI, Diritto Internazionale…, hlm.143-144. Bdk. H.P. GASSER, “Protection of the civilian population“, dalam D. FLECK, The Handbook of Humanitarian Law…, hlm. 212. Bdk. K. SCHORK, “Hors de Combat”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 195-196. Bdk. N. POPE, “Tortura”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 364-365. Lihat juga S.R. RATNER dan J.S. ABRAMS, Accountability for human rights atrocities…, hlm. 110-113. Lihat art. 4 dan art. 44. Bdk. M. FRIGESSI DI RATTALMA, Nazione Unite …, hlm. 281. Bdk. Art. 27. Bdk. H. Harris, “Esperimenti Biologici”, dalam R. Gutman dan D. Rieff, Crimini di guerra…, hlm. 143-145.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
169
nya. Penggunaan manusia untuk eksperimen biologis merupakan sebuah kejahatan perang yang mendahului kejahatan-kejahatan yang diakibatkan oleh perang kimia dan perang biologi. 4.3. Perbuatan yang Secara Sadar Mengakibatkan Penderitaan Berat dan Merusak Integritas Fisik dan Kesehatan Bersama dua tema terdahulu, ketiganya merupakan butir-butir utama yang ada dalam keempat Konvensi Jenewa. Protokol Pertama Jenewa dalam artikel 4 menggarisbawahi bahwa setiap perbuatan atau kelalaian yang menyebabkan bahaya yang besar terhadap kesehatan dan integritas fisik dan psikis adalah pelanggaran berat58 . Masuk dalam kategori ini ialah pengudungan, pengambilan organ tubuh untuk eksperimen di bidang medis, dan pengambilan bagian tubuh untuk pencangkokan, yang tentunya mengakibatkan cacat bagi orang-orang yang seharusnya dilindungi59 . Lebih lanjut, Hans-Peter Gasser menunjukkan bahwa penggunaan senjata yang sulit dikontrol, - sementara mengetahui akibat besar yang akan didatangkannya – merupakan juga kejahatan perang60 . 4.4. Memaksa seorang Tawanan Perang untuk Melakukan Pelayanan demi Kekuatan Musuh Konvensi Jenewa III menggarisbawahi bahwa memaksa seorang tawanan perang untuk melakukan pelayanan militer pada kekuatan musuh merupakan sebuah pelanggaran berat, dan karenanya, adalah kejahatan perang. Pernyataan tersebut berada dalam suatu konteks global tentang tawanan perang. Beberapa analisa menunjukkan bahwa setiap pembicaraan tentang tawanan perang mencakup tiga motif utama yang harus diperhitungkan, yakni persoalan etis, persoalan militer dan politik61. Artikel 49 dari Konvensi Jenewa III memberikan peluang kepada pihak penahan untuk mempekerjakan para tawanan perang tetapi untuk jenis-jenis pekerjaan yang tidak berkaitan dengan persenjataan62 . Pihak penahan tak boleh juga mempekerjakan tawanan perang pada bidang-bidang yang merusak kesehatan dan yang membahayakan63. Memaksa seorang tawanan perang untuk mengabdi kepada kekuatan bersenjata musuh merupakan sebuah kejahatan karena dengan demikian memaksa-
58 59 60 61 62 63
170
Lihat P. VERRI, Diritto per la pace…, hlm. 442-443. Bdk. H.P. Gasser, “Protection of civilian population...“, hlm. 212-213. Bdk. H.P. Gasser, “Protection of civilian population“..., hlm. 220-224; L.C. Green, The Contemporary law…, hlm. 151-153. Bdk. H. FISCHER, “Protection of prisoners of war”, dalam D. FLECK, The Handbook of Humanitarian Law…, hlm. 321. Bdk. N. RONZITTI, Diritto Internazionale dei conflitti armati…, hlm. 172. Bdk. H. FISCHER, “Protection of prisoners of war…”, hlm. 354.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
kannya untuk melayani kekuatan musuh seraya menentang kehendak pribadinya sendiri. Yang bersangkutan hanya melakukan pekerjaan secara terpaksa64 - dan ini bertentangan dengan prinsip dasar penangkapan yang hendak menyelamatkan seseorang dari ancaman senjata musuh65 - serta menghapus kemungkinan bagi yang bersangkutan untuk mendedikasikan dirinya kepada pihaknya sendiri. Hal ini merupakan pelanggaran berat karena memaksa seorang tawanan perang untuk mengkhianati dirinya dan menjadi pelayan bagi kekuatan lawannya66 . 4.5. Tindakan yang Merenggut Seseorang dari Haknya untuk Diadili secara Benar dan Adil Seorang tawanan perang berhak mendapatkan perlakuan hukum secara benar dan adil . Persoalan ini ditampilkan dalam Konvensi Jenewa III dan Konvensi Jenewa IV. Hal tersebut berarti bahwa lingkup dari kejahatan itu berkaitan dengan tawanantawanan perang dan warga-warga sipil dalam hubungannya dengan pihak penahan dan pihak yang melindungi. Setiap orang memiliki hak-hak dan kewajibannya, dan kedua-duanya dijamin oleh Hukum Internasional. Konvensi-konvensi tersebut menunjuk hak-hak yang dimiliki oleh seorang terdakwa, antara lain: dia dianggap tak bersalah hingga pada pembuktian kesalahannya, dihukum hanya berdasarkan atas kesalahan yang dilakukannya, mempersiapkan dan menyampaikan pembelaannya. Merenggut seseorang dari hak-haknya untuk diproses secara benar dan adil tak jarang menjadi sebuah pilihan dalam peperangan. Hal tersebut menjadi bagian dari strategi untuk menciptakan sebuah opini massa tentang perang yang sedang berlangsung. Hal ini menjadi sebuah persoalan besar ketika validitas dan keabsahan dari sebuah tribunal diragukan. 67
4.6. Deportasi dan Pemindahan Penduduk secara Ilegal Tema deportasi atau pemindahan penduduk secara ilegal secara eksplisit dibahas dalam Konvensi Jenewa IV, yang berarti bahwa hal tersebut berhubungan dengan perlindungan warga sipil selama perang. Pada tempat tersebut ditunjukkan bahwa deportasi dipandang sebagai pelanggaran berat atau kejahatan perang atas dasar hukum-hukum atau kebiasaan berperang sebagaimana dimaksudkan oleh Tri-
64 65 66
67
Bdk. J. RYLE, “Lavoro forzato”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 214-216. Bdk. H. FISCHER, “Protection of prisoners of war…”, hlm. 326. Berdasarkan Konvensi Den Haag IV, Rudiger Wolfrum menegaskan bahwa larangan yang diberlakukan bagi warga sipil dalam Konvensi tersebut dapat diterapkan pula bagi tawanan perang. Bdk. R. WOLFRUM, “Enforcement of International Humanitarian Law”, dalam D. FLECK, The Handbook of Humanitarian Law…, hlm. 534. Bdk. G. LEVY, “Processo equo e imparziale”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 289.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
171
bunal Neuremberg68. Artikel 49 dari Konvensi Jenewa IV bahkan melarang pemindahan penduduk secara paksa dengan motif apapun. Deportasi atau pemindahan penduduk secara ilegal dipandang sebagai kejahatan perang karena hal tersebut merupakan suatu tindakan pelemahan kekuatan secara sistematis dan korban tak memiliki sesuatu kemungkinan untuk meluputkan dirinya, karena dia berada dalam ancaman nyata yakni keselamatan hidupnya69 . Orang yang dideportasi akan kehilangan segalanya, karena tak jarang terjadi bahwa tempat dimana mereka pernah tinggal telah diperuntukkan bagi yang lain, menurut kebutuhan orang yang mendeportasi70. Dalam kasus-kasus tertentu, deportasi atau pemindahan penduduk diperlukan untuk menyelamatkan mereka. Pihak-pihak yang bertikai diwajibkan untuk mengevakuasi penduduk sipil dan menjauhkan mereka dari zona berbahaya. Dalam konteks demikian, dapatlah dipandang sebagai kejahatan perang apabila mereka tidak melakukan deportasi. Namun deportasi atau pemindahan penduduk demi keperluan penduduk itu sendiri menjadi suatu tindak kejahatan apabila status deportasi itu dipertahankan hingga tak lagi ada alasan-alasan untuk melakukannya71. Dengan kata lain, pihak penahan melakukan kejahatan perang karena dia memperpanjang perlakuan prinsip-prinsip perang meskipun hal itu tak lagi diperlukan secara militer demi keuntungan pihak yang dideportasi. 4.7. Penahanan Ilegal Konvensi Jenewa IV memasukkan juga dalam daftar pelanggaran-pelanggaran beratnya soal penahanan ilegal. Hal tersebut bisa dipahami apabila orang memperhatikan dua pertimbangan utama72 . Pertama, ada penahanan yang diperlukan secara militer untuk menghindari jatuhnya korban yang berlebihan. Disini penahanan dilakukan demi keuntungan pihak yang menahan dan yang ditahan. Kedua, ada penahanan yang semena-mena, dengan konsekuensi dipandang sebagai penahanan ilegal yang dilakukan bukan untuk keperluan militer kedua pihak, apalagi pihak yang ditahan73. Titik acuan untuk menilai kejahatan perang dalam sebuah penahanan ialah karakter kemanusiaan74. Perlakuan yang manusiawi itu memiliki beberapa ciri utama, misalnya tertahan harus dilindungi dari berbagai tindakan kekerasan yang merugikan integritas fisik dan kesehatannya. 68
69 70 71 72 73 74
172
Menurut Wolfrum, sebelum Tribunal Neuremberg tidaklah ada kategori hukum yang memandang kenyataan tersebut sebagai kejahatan perang. Meskipun demikian ia berpendapat bahwa deportasi orang-orang Belgia ke Jerman selama Perang Dunia Pertama merupakan sesuatu tindakan yang tercela. Bdk. R. WOLFRUM, “Enforcement of International Humanitarian Law…”, hlm. 534. Bdk. M.C. BASSIOUNI, Indagine sui crimini di guerra…, hlm. 66. Bdk. R. GUTMAN, “Deportazione”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 126. Bdk. Artikel 49 dari Konvensi Jenewa IV. Lihat artikel 79-116 dari Konvensi Jenewa IV 1949. Bdk. E. VULLIAMY, “Detenzione illegale”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra…, hlm. 127-130. Lihat artikel 37 dari Konvensi Jenewa IV 1949.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
4.8. Penangkapan untuk Penyanderaan Menurut Hans-Peter Gasser, peristiwa yang menentukan untuk menilai persoalan ini ialah Konvensi Jenewa tahun 194975. Artikel 37 dari Konvensi itu menulis bahwa penangkapan untuk penyanderaan itu dilarang. Praktek penyanderaan atau penangkapan untuk penyanderaan sangat banyak digunakan dalam peperangan. Orang menggunakan itu sebagai tameng hidup76, demi keperluan militer penyandera, untuk menjamin keamanannya dari ancaman musuh, terutama apabila hal itu terlalu kuat untuk dihadapi. Penggunaan untuk tujuan ini bertentangan dengan Hukum Internasional yang melindungi manusia dalam berbagai situasi perang. Adalah sesuatu yang dilarang oleh Hukum Internasional untuk mempergunakan manusia untuk keperluan yang semata-mata militer77.
5. PANDANGAN GEREJA TENTANG KEJAHATAN PERANG DALAM HUKUM INTERNASIONAL Kejahatan-kejahatan perang dalam Hukum Internasional bukanlah sematamata persoalan hukum, atau persoalan politis saja, melainkan menyangkut persoalan moral. Hal ini bertitik tolak dari kenyataan bahwa pada dasarnya perang merangkum dua aspek yang tak terpisahkan, kekejaman yang melawan manusia dan Allah78 . Oleh karena itu, Gereja Katolik tiada hentinya menggarisbawahi ajarannya tentang perang dan kejahatan-kejahatannya, baik melalui seruan-seruan pada kesempatankesempatan tertentu, maupun melalui ajaran-ajaran yang bersifat universal. Isi dari seruan atau ajaran-ajaran itu ialah nilai-nilai moral yang tak tergantikan, sebagaimana dinyatakan dalam hukum kodrat dan Hukum Internasional79 . Salah satu dokumen terpenting ialah Gaudium et Spes dari Konsili Vatikan II, yang merupakan sebuah pernyataan terkeras menentang kebiadaban perang modern80 . Berhadapan dengan pengalaman pahit peperangan hingga Perang Dunia II, kenyataan perang-perang yang sedang berlangsung dan ancaman akan pengalaman lain yang lebih menyeramkan di masa yang akan datang, Gaudium et Spes menekankan pentingnya konvensi-konvensi internasional tentang persoalan yang berkaitan dengan peperangan. Artikel 79.3. dari dokumen tersebut menulis:
75 76 77 78 79 80
Bdk. H.P. GASSER, “Protection of the civilian…”, hlm. 220. Bdk. R. BLOCK, “Scudi umani”, dalam R. GUTMAN dan D. RIEFF, Crimini di guerra..., hlm. 338-341. Bdk. H.P. GASSER, Protection of the civilian…, hlm. 221. Bdk. G. CONCETTI, La guerra e le sue tragedie, Edizioni Studium, Roma, 1992, hlm. 35-42. Bdk. K.H. PESCHKE, Etica cristiana. Teologia morale alla luce del Vaticano II, vol II, Pontificia Università Urbaniana, Roma 1985, hlm. 376. B. HARING, Liberi e fedeli in Cristo, Teologia morale per preti e per laici, vol. III, Paoline, Roma 1982, hlm. 500.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
173
“Mengenai masalah perang terdapat berbagai perjanjian internasional yang didukung oleh cukup banyak bangsa, untuk mengusahakan supaya kegiatan-kegiatan militer beserta akibat-akibatnya berkurang kekejamannya. Misalnya perjanjian-perjanjian mengenai nasib serdadu yang terluka dan ditahan, dan pelbagai ketentuan yang serupa. Perjanjian itu hendaknya dipatuhi”81 . Para ahli berpendapat bahwa perjanjianperjanjian yang dimaksudkan oleh Gaudium et Spes adalah Konvensi-konvensi Den-Haag, Konvensi-konvensi Jenewa dan berbagai konvensi lain yang dimaksudkan untuk menghindari kebrutalan perang82 . Dalam konteks ini, Seruan Gaudium et Spes untuk mematuhi berbagai perjanjian internasional menunjukkan persetujuan dan dukungan Gereja terhadap otoritas internasional Gereja tidak bisa bersikap netral dalam menghadapi kejahatan-kejahatan perang. Dia senantiasa menampilkan dimensi teologis dan antropologis dari peperangan dan kejahatan-kejahatannya: “Semua kegiatan perang, yang menimbulkan penghancuran kota-kota seluruhnya atau daerah-daerah luas beserta semua penduduknya, merupakan tindak kejahatan melawan Allah dan manusia sendiri, yang harus dikecam dengan keras dan tanpa ragu-ragu”83 .
6. PENUTUP Hukum Internasional memberikan batasan yang jelas tentang tindakantindakan yang tidak boleh dilakukan dalam peperangan. Hal tersebut dimaksudkan untuk menjadikan sebuah perang “lebih manusiawi” dan mengurangi jatuhnya korban yang berlebihan84 . Namun batasan-batasan tersebut seakan-akan tidak dipedulikan lagi kalau perang sudah meletus, dan korban pun berjatuhan dalam jumlah yang lebih besar daripada yang dapat diperhitungkan sebelumnya oleh para aktor perang. Apalagi peralatan perang pada masa kini dapat memangsa manusia dan apa pun secara sangat leluasa. Perang sungguh-sungguh dapat membinasakan manusia dan kebudayaannya. Warga sipil dan semua orang yang tak dapat lagi berpartisipasi dalam peperangan merupakan subyek-subyek yang dilindungi dan dibebaskan dari berbagai tindakan yang merugikan, apalagi membinasakannya85. Mereka dilindungi oleh Hukum Internasional dan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan., yang sama-sama menggaris-bawahi pentingnya menghormati hidup dan menghormati
81 82 83 84 85
174
Dokumen Konsili Vatikan II, “Gaudium et Spes“ , terj. R. Hardawiryana, Obor 1993, art.79.3, hlm. 619. Bdk. H. VORGRIMLER (ed.), Commentary on the Documents of Vatican II, vol. V, Burns & Oates / Herder and Herder, London / New York 1969, hlm. 352. “Gaudium et Spes”, art. 80.4, hlm. 621. Bdk. G. VENTURINI, Necessità e proporzionalità nell’uso della forza militare ini Diritto Internazionale, Giuffrè, Milano 1988, hlm. 145. Bdk. G. PONTARA, “Guerra etica, etica della guerra e titela globale dei diritt”, dalam FONDAZIONE INTERNAZIONALE LELIO BASSO, La pace e diritti fondamentali, Edizione dell’Università Popolare, Roma, 2001, hlm. 91-111.
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
pribadi dan perlunya menghindari dalam peperangan berbagai tindakan yang secara intrinsik adalah jahat86 . Perang adalah sebuah kenyataan yang khas, yang mempertaruhkan di dalamnya hidup manusia sendiri. Karena itu Hukum Internasional mengupayakan semaksimal mungkin mengatur perang agar menghindari terjadinya kejahatankejahatan perang. Gereja mendukung inisiatif Hukum Internasional ini karena panggilan Gereja adalah demi keselamatan umat manusia. Ini merupakan suatu misi Gereja yang sangat aktual untuk menghadirkan budaya kehidupan di tengah berbagai ancaman budaya kematian yang sedang menggerogoti kita.
BIBLIOGRAFI Dokumen: Dokumen Konsili Vatikan II, Terj. R. Hardawiryana, Obor 1993. Verri P., Diritto per la pace, diritto nella guerra, Edizioni speciali della “Rassegna dell’Arma dei Carabinieri”, Roma 1980. Buku: Amnesty International, Bosnia Erzegovina: Rapporto sulle violazioni dei diritti umani, Edizioni Sonda, Milano 1993. Bassiouni M.C., Crimes against humanity in International Criminal Law, Kluwer Law International, The Hague / London / Bostor 1999. _____, Indagine sui crimini di guerra nell’ex Jugoslavia. L’operato dalla Commissione degli Esperti del Consiglio di Sicurezza e il suo rapporto finale, Giuffrè, Milano 1997. Bassiouni M.C. dan Nanda M.P., International criminal law, Charles C. Thomas, Spingfiel, Illinois 1973. Chadwick E., Self determination, terrorism, and International Law of armed conflict, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague / Boston / London, 1996. Concetti G., La guerra e le sue tragedie, Edizioni Studium, Roma 1992. Conforti B., Diritto Internazionale, Editoriale Scientifica, Napoli 1999. Dinstein Y. dan Tabory M., War Crimes in International Law, Martinus Nijhoff Publishers, The Hague / Boston / London 1996. Fleck D., The handbook of Humanitarian Law in Armed Conflicts, Oxford University Press, Oxford 1995. Fondazione Internazionale Lelio Basso, La pace e diritti fondamentali, Edizione dell’Università Popolare, Roma, 2001. 86
Bdk. H. VORGRIMLER, Commentary…, hlm. 352.
Antonius Janga, Kejahatan-Kejahatan Perang
175
Frigessi di Rattalma M., Nazione Unite e danni derivanti dalla guerra del Golfo, Giuffrè, Milano 1995. Green L.C., Essays on the Modern Law of War, Transnational Publishers, New York 1984. Gutman R. dan Rieff D., Crimini di guerra: Quello che tutti dovrebbero sapere, Contrasto Internazionale, Roma, 1999. Häring B., Liberi e fedeli in Cristo, Teologia morale per preti e per laici, vol. III, Paoline, Roma 1982. McCormack T.L.H. dan Simpson J., The Law of Crimes: National and International Approaches, Kluwer Law International, The Hague / London / Boston 1997. Mellon C., I Cristiani di fronte alla guerra e alla pace, Queriniana, Brescia1986. Muller J.M., Vincere la guerra, EGA, Torino 1999. Peschke K.H., Etica Cristiana. Teologia morale alla luce del Vaticano II, vol. II, Pontificia Università Urbaniana, Roma 1985. Ratner S.R. dan Abrams J.S., Accountability for human rights atrocities in International Law beyond the Nuremberg Legacy, Clarendon Press, Oxford 1997. Salvodi V., Mai più la guerra. Per una teologia della pace, Edizione La Meridiana, Molfetta 1998. Starke J.G., Pengantar hukum internasional, Sinar Grafika, Jakarta 2000. Venturini G., Necessità e proporzionalità nell’uso della forza militare in Diritto Internazionale, Giuffrè, Milano 1988. Vorgrimler H. (ed.), Commentary on the documents of Vatican II, Burns & Oates/ Herder and Herder, London / New York 1969. Walzer M., Guerre giuste e ingiuste. Un discorso morale con esemplificazioni storiche, Liguori Editore, Napoli 1990. Wells D.A ., War crimes and laws of war, University Press of America Lenham / New York / London 1984. Yoder J.H., When war is unjust, Orbis Books, New York 1994. Zanardi P.L. dan Venturini G., Crimini di guerra e competenza delle giurisdizioni nazionali, Guffrè, Milano 1998. Ensiklopedi: Wells D.A., An Encyclopedia of war and ethics, Greenwood Press, London 1996. Majalah: Civiltà Catolica II/1971.
176
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002
INDEX Studia Philosophica et Theologica Volume 2 (Maret & Oktober 2002)
ARTIKEL Anita Lie, Pendidikan Ketrampilan Hidup. Telaah Filosofis atas Life Skill Curriculum.... 75-84 Catur Raharso, Alf., Perpindahan Imam Diosesan dalam Rangka Kerjasama antarkeuskupan ....... 54-66 Eddy Kristiyanto, Ide dan Praksis Toleransi. Pengalaman Eropa Pasca-Reformasi Martin Luther ......................................100-117 Edison R.L. Tinambunan, Patrologi: Sebuah Pengantar .......................................................................... 118-128 Janga, A., Kejahatan-Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional ................... 159-177 McNellis, Paul W., Rights, Duties and The Problem of Humility ................................. 23-43 _______, September 11, or Qid Sit Homo? .................................................... 152-158 Pareira, B.A., Mazmur dan Pembinaan Integral Pelayanan Firman ........................... 44-45 _______, Kisah Kesengsaraan Tuhan Kita Yesus Kristus Menurut Yohanes ................ 89-99 Sermada Kelen, Donatus, Agama dan Kebudayaan Dalam Perspektif Filsafat Hermeneutis ................ 129-139 Surjani Wonorahardjo, Dilema Determinisme Manusia: Sebuah Perjalanan Reflektif Sains ............. 140-151 Sri Wismoady Wahono & Armada Riyanto, Agama: Dari Isolasi ke Pro-Eksistensi. Refleksi Teologis-dialogal Hidup Beriman.......................................................... 1 - 22 Valentinus, Revolusi Kopernikus: Nilai& Pengaruhnya dalam Epistemologi byektivistis....................................... 67-74
TELAAH BUKU Yohanes Agus Setyono, Ideologi-ideologi Pendidikan ................................................. 85-86
Index
177
BIODATA KONTRIBUTOR
Antonius Janga, CP Licensiatus dalam teologi moral dari Accademia Alfonsiana, Roma. Dosen teologi moral di STFT Widya Sasana, Malang Berthold Anton Pareira, O.Carm Doktor teologi Kitab Suci dengan spesialisasi Perjanjian Lama dari Universitas Gregoriana, Roma; mengajar beberapa mata kuliah Perjanjian Lama di STFT Widya Sasana, Malang. Donatus Sermada Kelen, M.A., Master filsafat bidang studi ilmu perbandingan agama dari Universitas Bonn, Jerman; dosen filsafat ketuhanan di STFT Widya Sasana Malang. Eddy Kristiyanto, OFM Doctor in historia ecclesiastica dari Universitas Gregoriana, Roma (1996). Dosen Sejarah Gereja, Sejarah Doktrin dan Teologi Kristen, Ajaran Sosial Gereja dan Homilitika; dan Pembantu Ketua I bidang Akademik di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Ketua Dewan Redaksi Jurnal Filsafat dan Teologi DISKURSUS. Edison Tinambunan, O.Carm Licensiatus dalam patrologi di Institut Agustinianum, Roma; Doktor dalam teologi spiritual dari Institut Theresianum, Roma. Dosen Patrologi di STFT Widya Sasana, Malang. Paul W. McNellis, SJ Studi filsafat dijalaninya di Cornell University, Fordham University, and Gregorian University (Roma), dan doktor Filsafat dari Boston College, USA, dengan disertasi The Crisis of the family and the analogy of gratitude, elaborasi Johanes Messner dan Robert Spaeman; menjadi ketua asosiasi para filosof Amerika, mantan pemimpin departemen filsafat etika politik Universitas Gregoriana, Roma, Italia; salah satu editor jurnal International Philosophical Quarterly; saat ini profesor filsafat etika politik di Boston College. Surjani Wonorahardjo Studi Analytical Chemistry program master dan doktoral ditempuhnya di The University of New South Wales, Sydney, Australia. Studi post-doktoral fellow di Universität Ulm, Germany. Sekarang mengajar di jurusan kimia (FMIPA) untuk mata kuliah dasar-dasar sains, kimia analitis, pemisahan kimia, kimia analitis instrumentasi di Universitas Negeri, Malang. 178
Vol. 2 No. 2, Oktober 2002