PENGANTAR Soal keadilan kerap dipahami dalam hubungannya dengan korupsi, kolusi dan nepotisme. Dalam konteks Indonesia, perkara keadilan memiliki nuansa lebih lebar dari sekedar itu. Apalagi, Indonesia pasca rejim Suharto adalah Indonesia reformis yang berambisi mendadani segala konsep hidup bernegara dan berbangsa. Berbagai macam ketimpangan soal ekonomi tidak lagi disorot secara mikro sebagai urusan pasar, melainkan disimak secara luas sebagai lemahnya keseimbangan pembagian kekayaan alam Indonesia. Dari situ, menyeruak ide-ide tentang otonomi wilayah dan negara serikat, yang mulai dipandang sebagai alternatif administrasi Indonesia baru. Berikut masalah keamanan dan berbagai ancaman disintegrasi yang menyembul secara ramai. Pendek kata, masalah keadilan juga memiliki akar kokoh pada krisis paham kenegaraan. Itu berarti, ujung-ujungnya ialah konstitusi negara Indonesia perlu disimak ulang. Studia dalam edisi kali ini pertama-tama mengetengahkan persoalan aktual filsafat kenegaraan: krisis konstitusional di Indonesia. Disimak pula buku Marsillam Simanjuntak yang mengulas dasar-dasar filosofis pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada tempat yang lain disajikan pula tema-tema filosofis yang lain: tentang relativisme konseptual Wittgenstein, penjalajah dunia alam semesta dalam sebuah panorama, kendali politis dalam pengetahuan, dan Aquinas’ Virtue. Di samping itu, juga diajukan tema-tema teologis seputar pendidikan nilai dalam pluralisme (tinjauan teologis moral) dan misi Gereja di Asia dalam rangka kontekstualisasi. Tema-tema kali ini menampilkan minat utama jurnal Studia, yakni mengajukan pencerahan dalam bidang disiplin filsafat dan teologis secara luas dan mendalam. Selamat membaca.
Ketua penyunting
i
Studia Philosophica et Theologica ISSN 1412-0674 Vol. 3 No. 2 Oktober 2003 Hal. 79 - 172 DAFTAR ISI Pengantar ...................................................................................................................
i
ARTIKEL Krisis Paham Kenegaraan: Tantangan Etika Hak dan Kewajiban Dalam Konstitusi Indonesia Armada Riyanto.............................................................................................
79-99
Relativisme Konseptual L. Wittgenstein dan Implikasi Epistemologisnya J. Sudarminta ................................................................................................ 100-107 Menjelajah Alam Sebuah Renungan Filosofis Tentang Sains Surjani Wonoraharjo ..................................................................................... 108-122 Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis Terhadap Ilmu Pengetahuan Donatus Sermada Kelen ................................................................................ 123-138 Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View Agustinus Riyadi ............................................................................................ 139-146 Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme Nilai Tinjauan Teologi Moral Paul Klein ...................................................................................................... 147-161 Misi Gereja Dalam Konteks Asia Merry Teresa Sri Rejeki ................................................................................. 162-166 TELAAH BUKU Drama Mangir Frans Nay R. .................................................................................................. 167-170 Index .......................................................................................................................
171
Biodata Kontributor ....................................................................................................
172
ii
KRISIS PAHAM KENEGARAAN : TANTANGAN ETIKA HAK DAN KEWAJIBAN DALAM KONSTITUSI INDONESIA
E. Armada Riyanto STFT Widya Sasana, Malang Abstract: One of the crucial problems of politics presently coped by Indonesia is crisis of the concept of the state. Scrutinizing the 1945 Constitution, the state of free Indonesia refers to the integralistic staatidee. It was Supomo’s opinion. The integralistic state is a kind of crystallisation of the implementation of asas kekeluargaan (family principle), the principle which is commonly regarded as being appropriate to the genuine Indonesian culture. Marsillam Simanjuntak wrote a book (Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945) criticizing Supomo’s integralistic staatidee. Marsillam’s opinion would provoke amendment of the 1945 Constitution in such a way that the idea of the free Indonesia built by the Founding Fathers is not clear anymore. In this article, first of all, I would like to discuss carefully Marsillam’s theses concerning such staatidee, conceiving that Supomo’s idea was based more on his belief of the asas kekeluargaan, an idea most appropriate to the nation of Indonesia rather than Hegel’s philosophy or German NAZI ideology. After this, I analyse the issue of federalistic state based on the first discussions of the Founding Fathers of Indonesia. Lastly, the article deals with the current debate on right and obligation of religion in the 1945 Constitution. Keywords: Negara integralistik, ideologi, negara federalistik, hak, kebebasan, kewajiban, agama.
Salah satu soal paling runyam periode reformasi ini terasa bukanlah korupsi, kerusuhan dan yang semacamnya, melainkan terutama soal meredupnya paham-paham kenegaraan yang otentik sebagaimana digagas oleh para Pendiri Negara ini. Korupsi merupakan akibat dari kacaunya konsep tentang sistem hidup bersama (dalam bahasa politik Yunani kuno, polis; dalam bahasa filsafat modern, negara). Aneka macam penindasan hak-hak asasi, bom, konflik antarsuku, antaragama (manusia-manusianya yang beragama maksudnya), disintegrasi dan seterusnya merupakan cetusan khaotik dari memudarnya paham kenegaraan yang otentik dan orisinal dari bangsa Indonesia. Tulisan ini terdiri dari tiga bagian: berdiskusi dengan Simanjuntak tentang paham integralistik yang mendasari Konstitusi Indonesia 1945 (satu), soal isu negara federalistik dalam kaitannya dengan otonomi daerah (dua), dan soal hak/ wajib beragama dalam Konstitusi (tiga & empat).
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
79
1. Menyimak paham integralistik Supomo yang terkenal itu tetapi tidak sepenuhnya jelas – diskusi dengan Marsillam Simanjuntak.1 A. “Bagaimanakah memahami ide ‘negara integralistik’-nya Supomo?”2 1. Marsillam menganalisis pidato Supomo di muka sidang BPUPKI (31 Mei 1945). Mengapa menganalisis pidato? Karena istilah “negara integralistik” dijumpai secara eksplisit dalam pidato itu (dan istilah itu milik Supomo). Terminologi itu tidak dijumpai dalam sumber-sumber baik aneka tulisan Supomo yang lain maupun – apalagi – kepustakaan filsafat politik pada umumnya. Marsillam berkata, tidak pernah dijumpai istilah itu dalam buku, kamus, ensiklopedi filsafat politik atau ilmu politik atau ilmu hukum (dalam bahasa apa pun) sekurang-kurangnya sampai tahun 1980.3 Bagaimana Marsillam menganalisisnya? Ia melacak referensi atau penjelasan contoh-contoh dari “negara integralistik” yang dikatakan oleh Supomo sendiri dalam pidatonya itu, yaitu Negara sosialis
1
2
3
80
Marsillam menulis sebuah buku, Pandangan Negara Integralistik. Sumber, Unsur, dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945 (Jakarta: Grafiti, 1994, 1997). Buku ini semula merupakan skripsi yang diajukan ke fakultas hukum Universitas Indonesia tahun 1989 yang berjudul “Unsur Hegelian dalam Pandangan Negara Integralistik”. The principal idea that Supomo proposes as a frame for the free Indonesia is often called the integralistic staatsidee (the idea of the integralistic state). This integralistic state describes the idea of a strong state in the sense of its total integrity or unity between the subjects and their leaders and among the different groups of people. The integralistic staatsidee refers also to the implementation of asas kekeluargaan (family principle), the principle which is commonly regarded as being appropriate to the genuine Indonesian cultures. The family principle promotes especially the spirit of mutual help among the people as a family. Such a state will encompass all groups of people. For Supomo, the political state is the people themselves in their own totality, unity, and integrity. The political state arises from the wholeness of the people, and is set up for the whole people. The state is the embodiment of the different groups as a big family. As a family, the members of the state naturally have their own duties. They live in harmony with one another. “This is the totalitarian idea, the integralistic idea of the free Indonesian nation that has been expressed also in the genuine system of governmental structure [in Indonesia]”, says Supomo. By the expression “genuine system of governmental structure” he refers to the governmental structure of the Adat Societies of Indonesia. The Adat societies are groups of people living as big families in the certain places with their own culture, way of life, traditional customs and laws, and governmental structure. These are very much different from “governmental structure” of the modern states or of the classical cities of the Greek people. Kutipan ini diambil dari “Hobbes and the 1945 Constitution of Indonesia” (Bab VII dari disertasi saya, Right and Obligation in Thomas Hobbes, Rome: Gregorian University 1999). The expression “integralistic” or “integralism” was originally used by a political party founded in 1890 in Spain which applied the Syllabus of Pope Pius IX (1864). The Syllabus suggested what is called the idea of the integralism or integralismus (German) or integrismo (Spanish) or integralismo (Italian) of society. This integralism was employed to oppose both liberalism and socialism which promoted an absolute separation between religious affairs and the state in Europe at that time (Cf. DENZINGER-SCHÖNMETZER, Enchiridion Symbolorum. Definitionum et Declarationum de Rebus Fidei et Morum, Barcinone 1967, 576-584). The expression integralismo was then associated with unificazione or unity or unification of an organisation or nation; this implies a whole or totality as combining all its parts into one (NORBERTO BOBBIO et al., Dizionario di Politica, Milano 1983, 521). Here, I do not argue that Supomo was influenced by such a concept. But, it is not unlikely that Supomo at least knew this political history of the expression integralistic, because he underwent a very long study in Europe. Kutipan diambil dari Ibid.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
nasionalis Nazi Jerman dan bentuk kekaisaran Jerman (bab III). Masing-masing sebagai contoh-contoh konkrit konsep negara “totaliter” dan perwujudan prinsipprinsip kekeluargaan, yang menjadi elemen-elemen pengertian negara integralistik. Bagian ini merupakan pembahasan Marsillam yang cukup menarik untuk disimak dengan teliti sekaligus memunculkan kesimpulan-kesimpulan yang perlu dikritisi. 2. Masih dalam kaitannya dengan nomor 1, Marsillam kemudian menelusuri aneka pemikiran filosofis Spinoza, Hegel, dan Adam Müller yang – oleh Supomo sendiri – dikatakan sebagai para filosof yang mengajukan pandangan teori “negara integralistik” (bab IV). Jika disimak dengan teliti dan sekedar memberi apresiasi sepintas, bab ini termasuk bagian yang paling lemah dalam buku Marsillam. Bukan terutama karena penjelasan pemikiran-pemikiran filosofis sangat terbatas dan dalam beberapa hal kurang akurat, melainkan terutama status questionis dari bagian ini tidak jelas. Ketidakjelasannya terletak pada pelukisan Marsillam sendiri mengenai kepentingan pembahasannya. Ketidakjelasannya mengatakan keragu-raguan (dari Marsillam sendiri), mengingat setelah menelusuri bab III mengenai pandangan negara integralistik Supomo, pembaca dirasa sudah cukup jelas. Dan memang demikian. 3. Dari analisis sebagaimana dilakukan dalam nomor 1, Marsillam menarik kesimpulan-kesimpulan yang sangat menyentuh tetapi problematis – sekurangkurangnya menurut penulis. Misalnya, menurut Marsillam, ide-ide Supomo disimpulkan sebagai yang amat dipengaruhi model pemerintahan totaliter Nazi Jerman. Kesan ini menjadi sangat mungkin, karena – apalagi – Marsillam mengutip salah satu penjelasan konstituti Nazi Jerman yang mirip-mirip dengan pidato Supomo. Hal yang sama juga mengenai perwujudan kekeluargaan kekaisaran Jepang. Konsep Supomo tentang negara menyerupai kedua contoh negara tersebut. 4. Menurut Marsillam, pandangan negara integralistik Supomo bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat. Marsillam menyesal karena sudah lama terminologi ini terpendam dan “Dengan begitu saja konsep ini [konsep “negara integralistik”] dianggap paling cocok sebagai dasar penafsiran konstitusi.” Buku Marsillam adalah semacam tangkisan atau gugatan balik, membela perkara kedaulatan rakyat dan hak-hak dasar manusia dalam konstitusi. Dan – dari sendirinya – ide integralistik (yang dikatakan sebagai ide “totaliter” oleh Supomo sendiri) mesti ditolak. Implikasi dari kesimpulan ini tidak sulit untuk dipikirkan. Yaitu, Supomo – dalam pembahasan buku Marsillam – berada pada posisi yang tidak hanya terpojok, melainkan juga seakan-akan telah keliru sama sekali. B. Soal-soal yang muncul dari pembahasan Marsillam: 1. Terasa “inadequate” untuk mengatakan bahwa Supomo memuja sistem Nazi Jerman, bahkan juga apabila hanya yang berkaitan dengan sistem kepemimpinannya. Seakan-akan Supomo kok “ignorant” terhadap apa yang terjadi pada Jerman Nazi kala itu. Hal yang sama juga penyebutan kekagumannya terhadap Jepang. Supomo seakan-akan setuju dengan apa yang dilakukan Jepang
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
81
terhadap bangsa Asia. Terasa kita sedang memiliki seorang Supomo yang naif. Naif, karena mengambil contoh-contoh paham kenegaraan – yang semestinya harus meyakinkan – malah diambil dari negara-negara yang jelas-jelas tidak ideal atau malahan tidak bermoral. Supomo yang begitu cerdas terasa janggal jika untuk itu dia melakukan suatu kenaifan yang demikian. 2. Marsillam kesulitan memahami mengapa “negara integralistik” berhenti pada pidato Supomo pada saat itu. Tidak dikembangkan selanjutnya. Marsillam menegaskan barangkali itu karena Supomo pada akhirnya sadar dan melihat bahwa usia UUD 1945 tidak akan lama. Mengapa tidak lama? Menurut Marsillam, karena UUD 1945 memang dibuat untuk sementara, dalam kondisi yang tergesa-gesa. Tetapi, menurut hemat saya, pandangan negara integralistik – dengan dasar-dasar filosofis (Hegel, Spinoza, Adam Müller berikut contohcontoh Jerman dan Jepang) – bukan hanya tidak dikembangkan selanjutnya melainkan juga tidak ada presedensi studi atau pandangan yang seragam dengan itu dari Supomo sendiri. Paham integralistik (dengan dasar-dasar pandangan sebagaimana dibahas oleh Marsillam) memang berhenti pada pidato itu. Ya benar. Tetapi, menurut hemat penulis, dasar-dasar filosofis Hegel, Spinoza, Müller dan contoh-contoh Jerman dan Jepang – dalam pemikiran Supomo tentang paham negara integralistik – hanyalah retorika belaka, bukan esensi argumentasi.4 3. Marsillam hendak menelaah UUD 1945 dari sumbernya, atau dari dasar pemikirannya. Dengan menelaah sumbernya, ia langsung menyentuh akarnya. Asumsi Marsillam kurang lebih demikian: karena paham negara integralistik – seperti yang dicetuskan Supomo – tidak pas lagi dengan tuntutan modern bangsa Indonesia, dari sendirinya UUD 1945 kehilangan dasar kepentingannya untuk dipertahankan. Paham negara integralistik – menurut Marsillam – tidak memberi ruang bagi promosi hak-hak asasi manusia. Hal yang
4
82
The main idea of Supomo’s integralistic staatsidee, in my view, derives from and is more related to the Adat societies (traditional societies) of Indonesia than to Nazi Germany, the Dai Nippon of Japan and the ideas of those philosophers whom he himself called the inspirers of the integralistic staatsidee. To understand adequately the political theory of Supomo, one should consider his background of study. One cannot just take for granted what Supomo said in an address on a certain occasion. Regarding his speech given at the sittings of the BPUPKI, one should distinguish between what is rhetoric and genuine argument. This distinction is inevitable because the Founding Fathers at that time were facing the very crucial moment, i.e. to prepare the independence of Indonesia. The usage of rhetoric of the Founding Fathers may be explained briefly as follows. As we know well, the Second World War was a war of ideologies. There were the rivalry between liberalism-capitalism and totalitarianism on the one hand, and the battle between the western (the allies) and the eastern (Japan which was together with Italy and Germany) forces on the other. One must remember, Indonesia was colonised by the Dutch for more than 300 years. The Dutch, to some extent, represented the western that is individualist, imperialist and colonialist. Almost at the same time, the Japanese came to free Indonesia from the western colonialism. Supomo, like other Indonesian leaders, held the very difficult task. He had to put forward the basic political philosophy of the Indonesian state to be set up soon in collaboration with the Japanese. In such a situation, it is not difficult to understand why he praised the Japanese world and condemned the western world. Why did Supomo also applaud Nazi Germany besides Japan? Supomo’s position is somewhat similar with what the chairman of the BPUPKI, Radjiman Wedioningrat, said in the opening speech which also praised Germany. Indonesia was said to stand with
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
sama terbukti dari contoh negara totaliter jaman Nazi Jerman dan Jaman Teno Heika Jepang. Tetapi soalnya, dasar-dasar pemikiran negara integralistik yang sesungguhnya (otentik) dimaksudkan Supomo sangat mungkin tidak sebagaimana yang dia katakan dalam pidatonya tanggal 31 Mei 1945 tersebut. Penyebutan Jepang dan Jerman sebagai contoh terasa hanyalah sebuah retorika pidato Supomo belaka di depan sidang BPUPKI – yang adalah bentukan pemerintahan Jepang (dan kala itu sebagian anggotanya adalah orang-orang Jepang) dan Jepang sendiri adalah sekutu Jerman (dalam kaitannya dengan perasaan senasib melawan Sekutu Amerika, Inggris, dll.). Jika retorika dalam argumentasi Supomo tidak diandaikan – seandainya kita hadir dalam sidang BPUPKI – kita pastilah sedang berhadapan dengan seorang Supomo yang penuh dengan kenaifan.5 C. Satu dua kesimpulan saya kala “berdiskusi” dengan Marsillam dalam bukunya tentang “Pandangan Negara Integralistik”-nya Supomo: 1. Negara integralistik merupakan penemuan diri bangsa Indonesia di tengah-tengah bergolaknya perang ideologi pada masa itu. Penemuan diri ini didasarkan pada budaya sendiri, yaitu semangat/paham kekeluargaan (gotongroyong atau – oleh Sukarno dibahasakan – olobis kuntul baris). Supomo sendiri sangat diinspirasikan oleh sistem kehidupan masyarakat yang diproduksi oleh adat laws.
Japan to fight against the Allies along with Germany which lost war. Thus, in my view, Supomo’s official praise of the exemplar unity between the leader and his people in Nazi Germany and the implementation of the family principle in Japan are rhetoric rather than genuine argument; and so is his famous citation of Spinoza, Hegel, and Adam Müller. Supomo’s citation is rhetoric, because those philosophers are not the philosophers of the integralistic state as he conceived it. By mentioning those philosophers, he probably only meant some points of their philosophical thoughts that fit his idea of the integralistic state. In other words, he could still cite some more philosophers, if he wished. The political philosophy of Plato in the Republik, for instance, is more approximate to what Supomo called the family principle as the basis of the integralistic state. Kutipan diambil dari Ibid. 5
Understanding Supomo’s political theory by dealing with his official praises and philosophical citations, one will arrive at inadequate and unjust conclusions in respect to the theory of the integralistic state and his personality. Supomo cannot be deprived of his context of a life-long study of the laws of the Adat societies. As he himself shows in his books on Adat laws, the genuine characters expressed in the concrete life of the Adat society of Indonesia indicate a very clear similarity with the integralistic staatsidee as Supomo conceived it. My thesis is that on the ground of his very profound study of the Adat societies with their traditional laws Supomo wanted to employ what he called the genuine Indonesian character to the form of state of free Indonesia. When we read carefully his book, Bab-Bab tentang Hukum Adat (Chapters on Adat Law), we will find some very surprising similarities between his description of Adat laws and his famous speech on the philosophical basis of the 1945 Constitution, the integralistic state. In my opinion, Supomo’s genuine interest was not the integralistic state inspired by Nazi Germany, Japan, or Spinoza, Hegel, and Adam Müller as he rhetorically mentioned in his speech. Rather, he was interested in and very much concerned with the Adat laws that he regarded as the appropriate system of law for the state of free Indonesia. For this reason, instead of the integralistic state Supomo developed his study on the Adat societies (Cf. SUPOMO, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta 1977, 1-24). Kutipan dari Ibid.
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
83
2. Dalam pemikiran Supomo, Indonesia merdeka jangan merupakan negara agama (atau negara yang didasarkan pada satu syariat agama). Mengapa? Karena akan jatuh dalam konflik ideologi lagi. “Ideologi” negara Indonesia mesti berdasar pada budaya sendiri, yang bersifat integral, memiliki karakter totalitas, bukan totaliter! (Supomo kemungkinan memaksudkan istilah totaliter dalam artian karakter totalitas, integritas, keutuhan, ketunggalan), yang merangkul, melindungi, menghargai, dan memberi tempat kepada semua golongan. Kecerdasan Supomo dengan mencetuskan “negara integralistik” ialah bahwa dia tidak tergelincir pada pemihakan ideologi-ideologi yang sedang bersaing baik dalam konflik atau perang dingin maupun perang beneran. Supomo malahan mengatasi skema ideologi. Artinya, gagasannya bergerak dari skema ideologi (pengedepanan ideologi baik kapitalis, komunis, maupun agamis) kepada skema kultur/budaya sendiri (mengedepankan sistem budaya sendiri). Negara integralistik kiranya dipikirkan Supomo sebagai yang paling komprehensif, maksudnya, paling memiliki aproksimasi sedekat mungkin dengan ciri khas budaya sendiri. Supomo sedang berusaha mengimplementasikan kepemimpinan adat (lokal) ke kepemimpinan negara Indonesia merdeka (nasional). Tetapi, dia tentu berusaha untuk mengajak mengerti secara konkrit para Pendiri Negara Indonesia yang lain mengenai bentuk/ model kepemimpinan itu dalam suatu negara. Seandainya Supomo berkata bahwa negara Indonesia yang akan terbentuk itu hendaknya seperti masyarakat adat, sudah barang tentu argumentasinya tidak plausibel. Dengan berkata bahwa paham-paham integralistik juga dimiliki oleh kekaisaran Jepang dan negara Jerman sekutunya, dari sendirinya, argumentasi Supomo tidak hanya plausibel melainkan juga santun, klop, dan kontekstual dengan situasi kala itu (yang sedang dilanda antipati terhadap Belanda yang adalah representasi ideologi Barat di satu pihak, dan simpati terhadap Jepang, representasi ideologi Timur di lain pihak). Jadi, dengan negara integralistik – dalam hemat penulis – Supomo sedang berusaha mengimplementasikan model sistem kehidupan yang dialirkan dari budaya sendiri ke dalam negara Indonesia baru. Sangat masuk akal.
2. Soal negara integralistik dan federalistik: kaitannya dengan hak otonomi daerah Dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tanggal 1 Juni 1945, Soekarno menganalogkan Indonesia merdeka sebagai suatu “gedung” atau “bangunan” yang harus segera didirikan.6 Mengenai pendirian “gedung” Indonesia merdeka, ada tiga elemen konstitutif yang secara skematis ditegaskan: dasar pendiriannya, bentuk bangunannya, dan sistem hukum yang mengatur arah kehidupannya. Dasar pendirian ialah paham filsafat asli atau ideologi bangsa di atas mana negara Indonesia merdeka dipondasikan. Sedangkan bentuk bangunannya menunjuk pada susunan atau
6
84
M. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Jakarta 1959, 61.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
administrasi pengelolaan negara. Dan, sistem hukum langsung berkaitan dengan sistem moral kehidupan bersama yang hendak dihidupi. Perihal apakah Indonesia merdeka akan menjadi negara integralistik atau federalistik, di sini secara langsung dibicarakan soal yang berkaitan dengan administrasi atau bentuk susunan negara, bukan ideologi atau dasar negaranya. Jadi, tema negara integralistik atau federalistik menunjuk pada elemen kedua, yaitu bagaimana negara dikelola atau bagaimana administrasi perwilayahannya diatur. The founding Fathers pada umumnya memilih secara tegas bentuk negara integralistik di satu pihak, dan menolak model federalistik di lain pihak. Dalam sidang tanggal 31 Mei 1945, Soepomo berkata: “Dengan sendirinya negara secara federasi kita tolak, karena dengan mengadakan federasi itu, bukanlah mendirikan satu negara, tetapi beberapa negara. Sedang kita hendak mendirikan satu negara.”7 Pandangan ini digarisbawahi oleh Soekarno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945: “Kita ini hendak mendirikan satu Negara Kebangsaan Indonesia ...” 8 Mengapa the founding Fathers menolak model negara federalistik sebagai kemungkinan alternatif bagi Indonesia merdeka? Alasannya pertamatama menyentuh integritas dan identitas eksistensi bangsa. Integritas bangsa Indonesia bukan hanya lebih mudah dibangun dalam bentuk negara integralistik, melainkan juga tidak mungkin dipromosikan oleh model negara federalistik pada waktu itu. Integritas bangsa kala itu menjadi pertimbangan nomor satu, karena integritas merupakan raison d’être Indonesia merdeka. Proklamasi kemerdekaan Indonesia tak bisa dibayangkan tanpa integritas bangsa. Sementara disintegrasi pada waktu itu berarti runtuhnya kekuatan sendiri yang memicu kekuasaan lain kembali bercokol dan hadirnya kekerasan-kekerasan baru yang brutal di antara sesama warga. Bangsa Indonesia jemu dan lelah dengan kekerasan yang diakibatkan oleh penindasan kekuasaan lain. Penomorsatuan integritas bangsa di atas segala-galanya, dari sebab itu, merupakan pilihan satu-satunya yang tepat untuk mencegah aneka kekerasan baru. Mengapa dalam model federalistik, integritas bangsa hampir tidak mungkin dibayangkan, ada beberapa alasan mendasar: Titik tolak pemikiran para Pendiri Negara pertama-tama ialah ideologi. Karena itu, nada dasar pilihan model administrasi atau pengelolaan perwilayahan Indonesia pun bersifat ideologis. Bentuk negara integralistik, misalnya, diuraikan dan dijabarkan sebagai integralisme, yang amat jelas dalam pidato Soepomo.9 Sementara itu model negara federalistik dipikirkan dan dikaitkan dengan
7 8 9
Ibid., 118. Ibid., 69, 72. Ibid., 121.
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
85
federalisme. Yamin, misalnya, menegaskan: “Negara Rakyat Indonesia menolak segala faham: a. Federalisme, b. Feodalisme, c. Monarchi, d. Liberalisme, e. Autokrasi dan birokrasi, f. Demokrasi Barat.”10 “Isme” yang berkaitan dengan federasi dicegah, karena “isme” ini berkaitan dengan ideologi asing (Barat) yang memecah-belah. Bahwa para Pendiri Negara bertitik tolak dari cara berpikir yang ideologis, itu tidak bisa dipandang keliru. Malahan sangat tepat. Pilihan cara berpikir semacam ini merupakan tuntutan mendesak zaman. Ingat zaman itu, di balik kenyataan perang dunia II yang sangat brutal, sesungguhnya yang sedang berlangsung ialah perang ideologi, yaitu liberalisme-kapitalisme di satu pihak dan totalitarianisme-chauvinisme di lain pihak. Menegaskan ideologi merupakan syarat mutlak untuk memproklamasikan identitas bangsa. Identitas yang mana? Bangsa Indonesia ialah bangsa yang bersatu, integral, berdaulat, merdeka berdasarkan pada filsafat bangsa, Pancasila. Maka, negara integralistik (persatuan) merupakan pilihan yang bukan hanya paling tepat, melainkan juga paling mungkin. M. Yamin, misalnya, menegaskan secara lantang soal ini. “Negara Rakyat Indonesia menolak segala tindakan yang akan mengecewakan kedaulatan negara dengan menjalankan kebonekaan ... Dengan menolak faham ini (federalisme), maka ... Negara Rakyat Indonesia ialah suatu negara persatuan yang tidak terpecah-pecah, dibentuk di atas dan di dalam badan bangsa Indonesia yang tidak berbagi-bagi. Negara Rakyat Indonesia ialah Negara Kesatuan atas faham unitarisme ... Negara serikat tidaklah kuat, tidak berwarna dan juga tidak dapat dijamin kekuatan atau keteguhannya di dalam kegoncangan zaman sekarang dan untuk zaman damai.”11 Prinsip persatuan-nya warga Indonesia sekaligus mengungkapkan kecemerlangan prestasi bangsa secara keseluruhan. Rasanya tidak masuk akal dan sukar diterima oleh akal sehat bahwa konstelasi negara Indonesia yang terdiri atas ribuan pulau dengan beraneka ragam latar belakang budaya, agama, adat istiadat, cara berpikir, warna kulit dari para penduduknya toh bisa bersatu. Jadi, persatuan Indonesia merupakan prestasi cemerlang seluruh bangsa. Maka, apa yang ditolak oleh the founding Fathers mengenai negara federalistik? Yang ditolak ialah paham atau ideologi federalisme, yang jelas pada waktu itu identik dengan paham pemecah belah (sebab keterpecahbelahan berarti kembalinya sistem penindasan oleh kekuasaan asing di Indonesia). Tidak hanya itu, mereka juga mencegah disintegrasi bangsa yang pasti berkaitan langsung dengan kemungkinan aneka kekerasan yang brutal di antara sesama warga seperjuangan dan sebangsa. Di sini ide perdamaian lantas menjadi pertimbangan utama. Hal yang juga harus dibela sekarang ini.
10 11
86
Ibid., 99. Ibid., 99, 100, 236.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Sedangkan apa yang (kemungkinan) tidak ditolak ini ialah hal-hal yang langsung berkaitan dengan sistem pengelolaan negara secara praktis. Misalnya, sistem administrasi desentralistik yang menjadi ciri khas sistem negara federasi jelas tidak disangkal kemungkinannya untuk dipraktekkan. Para Pendiri Negara juga jelas mendukung diaplikasikannya sistem yang mengedepankan pembelaan dan penjagaan kekhasan daerah, adat-istiadat, tradisi agama dan budaya setempat, serta karakteristik masing-masing golongan. Dengan menyitir M. Hatta, Soepomo dengan jelas menegaskan mengenai perubahan administrasi negara: “... Soal sentralisasi atau disentralisasi pemerintahan tergantung dari pada masa, tempat dan soal yang bersangkutan. Maka dalam negara Indonesia yang berdasar pengartian negara integralistik itu, segala golongan rakyat, segala daerah yang mempunyai keistimewaan sendiri, akan mempunyai tempat dan kedudukan tersendiri ... Soal pemerintahan apakah yang akan diurus oleh pemerintahan pusat dan soal apakah yang akan diserahkan kepada pemerintah daerah, baik daerah besar maupun daerah kecil, itu semuanya akan tergantung dari pada ‘doelmatigheid’ berhubungan dengan waktunya, tempatnya dan juga soalnya ... Dengan sendirinya dalam negara yang terdiri atas pulau-pulau yang begitu besar, banyak soal-soal pemerintahan yang harus diserahkan kepada pemerintah daerah!”12 Para Pendiri Negara Indonesia ini juga tidak akan menolak sistem / bentuk negara federalistik, seandainya negara federalistik pada waktu itu tidak berkaitan dengan upaya “pembonekaan” oleh kekuasaan asing terhadap bangsa Indonesia (kondisional masa lampau). Dengan kata lain, seandainya sistem negara federalistik tidak memporak-porandakan persatuan dan perdamaian yang sudah mereka perjuangkan dengan keringat dan darah, sistem itu tidak akan mereka tolak pada waktu itu. Maka, jika disimak dengan teliti, penyoalan ulang dalam amandemen Konstitusi mengenai pilihan apakah Indonesia negara persatuan (integralistik) atau negara federalistik sesungguhnya tidak tepat. Sebab, keduanya – dalam pandangan awali – tidak berada dalam pengartian yang sepadan. Mengenai negara integralistik, secara langsung hendak dimaksudkan pengertian dasar pendirian negaranya, yaitu ideologi persatuan bangsanya. Sedangkan negara federalistik langsung menyentuh pada susunan bentuk atau administrasi jalannya negara secara praktis. Shift administrasi negara, dengan demikian, tidak (atau tidak boleh) menggusur pondasi bangunan Indonesia merdeka, yaitu persatuan bangsa. Dan, hendaknya harus mengedepankan promosi perdamaian dan keadilan bagi semua. Segala bentuk kekerasan, kebrutalan, ancaman, pemaksaan, dan penindasan dari kelompok yang satu kepada sesamanya yang lain – yang biasanya menyertai setiap upaya perubahan kehidupan bersama – haruslah dicegah dan dihindarkan!
12
Ibid., 118-119.
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
87
3. Soal hak atau wajib beragama dalam konstitusi negara Indonesia “Agama dan negara” merupakan tema krusial dalam sejarah pendirian Indonesia. Dewasa ini, tema ini menjadi lebih krusial lagi karena UUD 1945 telah atau sedang diamandemenkan. Di antara aneka ketentuan yang digagas ulang, pasal 29 toh juga tidak ketinggalan dibicarakan. Yang dibicarakan ialah perumusannya yang konon membutuhkan “penyesuaian.” Jika disimak secara mendalam seluruh diskusi dan perdebatan the Founding Fathers yang terekam dalam buku tiga jilid Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945 (diedit dan diterbitkan oleh Mohammad Yamin, SH tahun 1959-1960), tema agama dan negara bukanlah secara khusus membahas apakah Indonesia akan menjadi negara agama atau tidak. Perumusan kompromis Sila Pertama dari Piagam Jakarta 1945 pun sebenarnya bukan hendak merumuskan bahwa Indonesia adalah negara Islam. Atau, paling sedikit bukan secara konstitusional menyebut Islam sebagai agama negara. Tetapi, pada waktu itu – juga saat ini – didiskusikan secara ketat mengenai persoalan yang jauh lebih krusial. Soalnya demikian: Apakah negara perlu/bisa/boleh menggariskan dalam Konstitusinya kewajiban kepada warganya atau mewajibkan masyarakatnya untuk menjalankan agama/iman masing-masing atau tidak? Di sini, dalam kata wajib dicakup makna harus, punya daya ikat atau daya hukum. Menyimak dan menganalisis soal ini, sudah dari sendirinya semangat awali dari para pendiri negara merupakan referensi valid, normatif, sah. Orang tidak boleh semata-mata mendasarkan aneka argumentasi melulu pada kepentingan sepihak atau kebutuhan selintas buah generalisasi yang jauh dari realitas kerinduan bangsa ini. Juga, aneka pemeo retoris bahwa agama adalah senjata untuk mencegah dan memerangi segala kemerosotan moral dan kemaksiatan harus disimak dalam posisi persoalannya yang tepat. Tidak serta merta benar bahwa agama karenanya perlu diwajibkan; atau menjalankan agama harus diwajibkan oleh negara kepada para warganya. Tidak secara serentak tanpa persoalan bahwa agama langsung diterapkan sebagai jawaban dari aneka persoalan hidup bersama. Suatu societas yang beragama tidak dari sendirinya lantas menjadi masyarakat yang damai, tentram, adil. Konstatasi bahwa agama adalah perdamaian dan bukan pemicu konflik merupakan konstatasi seremonial yang diulang-ulang menjemukan oleh para tokoh kelompok umat beragama dan para eksponen penjamin keamanan. Juga kaum cerdik pandai, para elit politik/publik, anggota lembaga-lembaga perwakilan rakyat hampir selalu jatuh dalam repetisi seremonial yang sama. Hampir semua pihak lupa bahwa agama merupakan realitas yang dihidupi oleh manusia. Agama adalah realitas yang tunduk dan tergantung sama sekali pada subyek-subyek yang menghayati dan menghidupinya. Artinya, agama adalah perdamaian sejauh manusia-manusia yang menghidupinya konsisten, cinta damai, cinta sesamanya, merindukan Sang Khaliknya, saling membantu dan seterusnya. Sejauh tidak demikian, agama bukan hanya tidak simpatik, melainkan juga tampil sebagai suatu realitas kontradiktif. 88
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Kembali pada soalnya, bisakah/bolehkah suatu negara mewajibkan warganya menjalankan agamanya? Salah satu jawaban yang secara historis paling terkenal sepanjang sejarah kehidupan bangsa Indonesia ialah perumusan yang diproduksi oleh Piagam Jakarta 22 Juni 1945: “Ketuhanan yang Mahaesa dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya” (Naskah I, 709). Perumusan ini diajukan untuk dikenakan pada Pembukaan UUD 1945 dan batang tubuhnya pasal 29. Perumusan ini disebut kompromis karena antara lain merupakan hasil persidangan para tokoh Muslim yang menghendaki Indonesia berdasarkan Islam di satu pihak dan para pendukung paham kebangsaan di lain pihak. Di antara sembilan tokoh yang menyusun perumusan ini malahan ada Mr. A.A. Maramis yang bukan beragama Islam (melainkan Kristen/Katolik). Perumusan lain yang secara gamblang dan radikal melukiskan tesis tentang agama dan negara ialah proposal yang diajukan Wachid Hasjim. Pada rapat Panitia Perancang UUD 1945 tanggal 13 Juli 1945, Hasjim mengusulkan: “Buat masyarakat Islam penting sekali perhubungan antara pemerintah dan masyarakat. Oleh karena itu diusulkan pasal 4 ayat (2) ditambah dengan katakata: ‘yang beragama Islam.’ Jika Presiden orang Islam, maka perintahperintah berbau Islam dan akan besar pengaruhnya. Diusulkan [pula] supaya pasal 29 diubah, sehingga bunyinya kira-kira: ‘Agama negara ialah Islam’ dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk ... dsb. Hal ini erat berhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama” (Naskah I, 261-262). Perumusan Piagam Jakarta yang mencantumkan kewajiban bagi umat Islam untuk menjalankan syari’at mendapat beberapa tanggapan. Adalah Latuharhary yang pertama-tama mempersoalkan perumusan kompromistis itu: “[Saya] berkeberatan tentang kata-kata ‘berdasar atas ke-Tuhan-an, dengan kewajiban melakukan syari’at buat pemeluk-pemeluknya.’ Akibatnya mungkin besar, terutama terhadap agama lain. Karena itu [saya] minta supaya di dalam Undang-Undang Dasar diadakan pasal yang terang; kalimat ini bisa menimbulkan kekacauan misalnya terhadap adat-istiadat.” (Naskah I, 259). Latuharhary tidak merinci argumentasinya. Apa yang dimaksudkannya dengan “akibatnya besar terhadap agama-agama lain”?; juga apa artinya “menimbulkan kekacauan terhadap adat-istiadat”? Yang jelas, dia merasa keberatan terhadap perumusan Piagam Jakarta. Latuharhary adalah salah satu tokoh pendiri bangsa ini yang berasal dari Indonesia Timur. Keberatan Latuharhary dijawab oleh K.H. Agus Salim, salah satu dari 9 tokoh penandatangan Piagam Jakarta: “Pertikaian hukum agama dengan hukum adat bukan masalah baru, dan pada umumnya sudah selesai. Lain dari itu orang-orang yang beragama lain tidak perlu kawatir; keamanan orang-orang itu tidak tergantung kepada kekuasaan negara, tetapi pada adatnya umat Islam yang 90 % itu.” (Naskah I, 259). Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
89
Argumentasi ini menimbulkan beberapa persoalan. Pertama-tama tampak sekali bahwa Agus Salim melakukan generalisasi perihal hubungan antara hukum agama dan hukum adat. Aneka data dan informasi mengenai persoalan ini dari sendirinya sangat tergantung pada penyelidikan para sarjana Belanda. Ilmu-ilmu empiris dan aktivitas riset mengenai soal ini di Indonesia pada waktu itu jelas sangat terbatas, apalagi yang dilakukan oleh para sarjana Indonesia. Kedua, tampaknya Agus Salim mengajukan proposisi yang jika disimak dengan teliti amat problematis. Yaitu, de facto umat Islam memang memiliki peranan sangat besar yang di dalamnya termasuk soal keamanan bangsa, tetapi sidang BPUPKI di mana Agus Salim juga berperan besar dimaksudkan untuk membentuk pemerintahan Indonesia yang sah (yang dari sendirinya juga mengambil alih setiap penataan dan pengaturan kehidupan bersama yang dijalankan oleh kelompok siapa pun terhadap kelompok lain); bagaimana mungkin Agus Salim mengajukan konstatasi bahwa keamanan masyarakat (bukan Islam) tidak tergantung pada kekuasaan pemerintahan negara Indonesia yang sah, melainkan pada umat Islam? Apa artinya pemerintahan yang sah yang sedang digagas oleh BPUPKI? Konstatasi ini menjadi runyam manakala harus menyadari bahwa umat Islam tidak di setiap penjuru negeri ini merupakan mayoritas. Jika pernyataan Agus Salim ini dipandang benar, dari sendirinya harus dikatakan bahwa keamanan umat Islam (minoritas) juga tergantung pada umat beragama lain (yang mayoritas). Soal melindungi dan dilindungi, dengan demikian, sangat korespondensi dengan prinsip mayoritas (sebagai pihak yang melindungi) dan minoritas (sebagai pihak yang dilindungi). Tetapi, soalnya yang segera menyusul ialah lantas apa artinya kekuasaan pemerintahan negara Indonesia yang sah dengan segala lembaga pertahanan dan keamanan yang pasti segera dibentuk jika soal sistem perlindungan terhadap warganegaranya diserahkan kepada salah satu kelompok (meskipun mayoritas)? Apa artinya pemerintahan Indonesia menjamin ketentraman, keadilan, kesejahteraan dan seterusnya bagi seluruh warganegaranya – sebagaimana terukir di dalam Pembukaan Undang-Undang 1945 dan yang juga disetujui oleh Agus Salim? Prinsip tata hidup bersama yang dicetuskan Agus Salim dari sendirinya tidak sejalan dengan prinsip kebangsaan “negara semua buat semua” yang digagas oleh Sukarno: “Kita hendak mendirikan Negara Indonesia merdeka di atas Weltanschauung apa? . . . Apakah kita hendak mendirikan Indonesia merdeka untuk [satu] orang, untuk satu golongan? Apakah maksud kita begitu? Sudah tentu tidak! Baik saudara-saudara yang bernama kaum kebangsaan yang di sini, maupun saudara-saudara yang dinamakan kaum Islam, semuanya telah mufakat bahwa bukan negara yang demikian itulah kita punya tujuan. Kita hendak mendirikan suatu negara ‘semua buat semua’. Bukan buat satu orang, bukan buat satu golongan, baik golongan bangsawan maupun golongan yang kaya, tetapi ‘semua buat semua’.” (Naskah I, 68-69). Argumentasi Agus Salim sebenarnya tidak seluruhnya kurang relevan. Titik lemah gagasan yang diajukan Agus Salim (dalam sidang itu) sebenarnya 90
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
tidak terletak pada logika proposisinya. Logika argumentasinya adalah logika toleransi. Argumentasi ini lemah dalam konteks pembicaraan konstitusi, tetapi sangat kokoh dalam konteks hidup sehari-hari. Artinya, dalam realitas keseharian hidup bersama, adalah sangat ideal bahwa satu sama lain saling melindungi. Dalam penegasan “melindungi,” diajukan prinsip-prinsip toleransi seperti yang satu harus menghargai yang lain, saling menghormati, saling membantu dalam kesulitan, dan seterusnya – yang memang sangat diperlukan oleh bangsa ini bukan hanya pada waktu itu melainkan juga sampai saat ini. Menjadi lemah dan kurang relevan, manakala prinsip-prinsip ini hendak dikonstitusionalisasikan, karena Konstitusi bukan ruang untuk memformalisasikan atau memformulasikan aneka prinsip normatif hidup sehari-hari. Kelemahan argumentasi Agus Salim ialah bahwa dia tidak melakukan distingsi konteks sehingga gagasannya yang tampaknya relevan justru tercebur dalam kontradiksi dengan apa yang sedang dijalankannya sendiri, yaitu menyusun pemerintahan Indonesia yang sah, kokoh, kuat dan bertanggung jawab atas seluruh warganegara. Argumentasi toleransi Agus Salim menjadi relevan untuk menanggapi usulan Wachid Hasjim mengenai Islam sebagai syarat atribut bagi pemimpin negara. Usulan Hasjim memiliki konsekuensi luas dan problematis yang ditangkap oleh Agus Salim: “Jika presiden harus orang Islam, bagaimana halnya terhadap wakil presiden, duta-duta [besar], dsb. Apakah artinya janji kita [Islam] untuk melindungi agama lain?” (Naskah I, 262). Jika presiden (atau pemimpin) harus Islam, bagaimana konsekuensi selanjutnya untuk pemimpinpemimpin dari aneka lapangan bidang lain dalam tata hidup bersama sebagai bangsa, departemen-departemen dan seterusnya? Argumentasi Agus Salim yang mengajukan toleransi mendapat sambutan dan pengaruh yang luar biasa. Djajadiningrat, Oto Iskandardinata, Wongsonegoro juga Ibu Santosa mendukung dihapuskannya atribut Islam sebagai syarat pemimpin bangsa Indonesia (Cf. Naskah I, 262-263). Diskusi mengenai perumusan Piagam Jakarta dalam rancangan UUD 1945 menemukan kesudahannya pada Rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945. Pada hari itu disahkan pula UUD 1945 dengan beberapa perubahan yang dibacakan oleh Mohammad Hatta sebagai wakil ketua PPKI. “Oleh karena hasrat kita semua ialah menyatakan bangsa Indonesia seluruhnya, supaya dalam masa yang genting ini kita mewujudkan persatuan yang bulat, maka pasal-pasal yang bertentangan dikeluarkan dari Undang-Undang Dasar... Misalnya pasal 6 alinea 1 menjadi ‘Presiden ialah orang Indonesia asli.’ ‘Yang beragama Islam’ dicoret, karena menyinggung perasaan dan pun tidak berguna... [Dengan] membuang ini maka seluruh Hukum Undang-Undang Dasar dapat diterima oleh daerah-daerah Indonesia yang tidak beragama Islam yang pada waktu sekarang diperintah oleh Kaigun... Berhubungan dengan itu, pasal 29 dan Preambule juga berubah menjadi begini: ‘Negara berdasar atas ke-Tuhanan yang Maha Esa. Kalimat yang dibelakang itu yang berbunyi ‘dengan kewajiban’ dan Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
91
lain-lain dicoret saja. Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa.” (Naskah I, 402). Panitia kecil yang tergabung dalam Piagam Jakarta sangat berjasa dalam merumuskan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Tetapi, formulasi frase yang menyambung sila pertama Pancasila, “dengan kewajiban menjalankan syari’at bagi pemeluk-pemeluknya,” memunculkan reaksi serius berkaitan dengan kebulatan tekad the Founding Fathers untuk mewujudkan persatuan yang bulat. Piagam Jakarta sebenarnya tidak boleh direduksi hanya pada 7 kata frase tambahan tersebut. Kegemilangan perumusan sebuah Preambule dari Konstitusi Indonesia merdeka adalah buah kecerdasan dari kelompok penanda tangan Piagam Jakarta. Lepas dari soal bahwa ke-7 kata tersebut mengacaukan kebulatan tekad the Founding Fathers untuk membela persatuan bangsa, jika disimak ulang secara cermat dalam logika proposisi suatu ketetapan, perumusan “dengan kewajiban...” memang menimbulkan inkoherensi jalan pikiran Konstitusi. Bahkan aneka konsekuensi teoritis dan praktis dari penjabaran perumusannya dapat terjebak dalam kontradiksi dalam dirinya sendiri (contradictio in terminis ipsis). Inkoherensi pertama berkaitan dengan konsekuensi perumusan dasar negara Pancasila. Jika perumusan itu dikenakan dan disatukan dengan sila pertama, Pancasila menjadi ambigu. Letak ambiguitasnya di sini: Jika penegasan “Ketuhanan yang Maha Esa” langsung memaksudkan religiusitas bangsa Indonesia dengan segala prinsip kebebasan pencetusannya tetapi juga menggariskan kewajiban bagi salah satu kelompok umat beragama, Sila pertama pastilah sulit dimengerti. Mempromosikan kebebasan plus pada saat yang sama menegaskan kewajiban – dalam suatu penegasan yang serentak – jelas menimbulkan kerancuan. Inkoherensi kedua berada pada konteks nada dasar Preambule UUD 1945 itu sendiri. Seandainya proposisi “dengan kewajiban menjalankan syari’at bagi pemeluk-pemeluknya” dipasang, Pembukaan akan memiliki makna ganda. Sudah sejak kalimat pertama, nada dasar Preambule ialah membela kebebasan, kemerdekaan, hak-hak manusiawi, dan yang semacamnya; tak ada satu pun frase yang merupakan imposisi kewajiban bagi rakyat Indonesia. Pemasangan tujuh kalimat yang digagas oleh Piagam Jakarta – dan yang pada intinya menegaskan kewajiban bagi salah satu kelompok umat beragama – dari sendirinya akan menggiring Pembukaan Undang-Undang Dasar pada makna kontradiktif. Yaitu, apakah Preambule hendak mendeklarasikan kebebasan dan kemerdekaan (termasuk di dalamnya untuk beragama) atau ingin mencanangkan kewajiban (beragama)? Menuliskan kedua-duanya jelas sulit dimengerti. Maka, lebih dari sekedar pertimbangan toleransi kelompok Islam kepada kelompok kebangsaan, penghapusan tujuh kata yang mewajibkan umat Islam menjalankan syari’at-nya sungguh merupakan buah kecerdasan dari the Founding Fathers dalam menggagas sebuah konstitusi dalam suatu jalan pikiran yang koheren. Sebuah konstitusi bukan hanya memiliki karakter legal (menjadi dasar penjabaran aneka perundang-undangan hidup bersama), melainkan juga kultural
92
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
(menjadi pondasi penataan budaya bangsa). Kita berharap amandemen UUD 1945 – kalaupun toh tidak mengutak-utik Pembukaannya – tidak terjebak dalam pertimbangan-pertimbangan sesaat yang menggiring sebuah konstitusi negara demokrasi Indonesia kepada intoleransi dan terutama inkoherensi. Sebab inkoherensi konstitusional berarti inkoherensi atau kesimpangsiuran penataan sistem hidup bersama.
4. Dalam konstitusi, bebas atau wajib beragama? Jika frase terkenal produk the Jakarta Charter (22 Juni 1945) ditolak karena secara eksplisit menegaskan kewajiban menjalankan agama hanya untuk salah satu kelompok warganegara saja (Islam), masihkah bisa diterima seandainya kewajiban ditujukan kepada semua umat beragama? Atau, dapatkah Konstitusi Indonesia (misalnya pasal 29) mencantumkan kewajiban bagi umat beragama untuk menjalankan agamanya masing-masing? Soal bisa atau tidak Konstitusi 1945 menuliskan kewajiban beragama meminta analisis aneka kemungkinan konsekuensi yang menyertai penegasan wajib tersebut. Argumentasi dari pihak-pihak yang menyatakan bahwa Konstitusi 1945 bisa mencantumkan kewajiban beragama, pada umumnya didasarkan pada beberapa alasan yang kurang lebih seragam. Alasan pertama berhubungan dengan peranan agama dalam kehidupan moral bangsa. Agama penting, maka diperlukan penegasan kewajiban untuk memeluknya. Alasan kedua dikaitkan dengan konstatasi bahwa penulisan kewajiban umat beragama untuk menjalankan agamanya masing-masing bukanlah suatu pemaksaan, melainkan dorongan positif yang bisa diberikan oleh negara kepada para warganya. Jadi, dorongan itu tidak mengurangi prinsip kebebasan agama yang dijunjung tinggi oleh bangsa kita. Alasan selanjutnya didasarkan pada realitas bangsa Indonesia yang beragama. Negara merasa berkepentingan agar seluruh masyarakat Indonesia tampil sebagai orang-orang beriman dan bertakwa dalam agamanya masing-masing. Tambahan lagi, aneka peristiwa di tanah air yang menunjukkan kemerosotan moral dan kemaksiatan mengindikasikan melorot pula prinsip-prinsip keimanan dan ketakwaan. Selintas sulit disanggah bahwa aneka alasan argumentatif di atas tidak relevan. Tampaknya penegasan kewajiban beragama memang diperlukan. Tetapi, setiap pencantuman mengenai suatu kewajiban (apalagi dalam soal beragama) meminta penelaahan yang cermat dari sudut pandang aneka konteks prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara. Konteks penegasan konstitusional. Pertama-tama harus diakui bahwa dalam filsafat politik dan praksis tata hidup bernegara suatu penegasan konstitusional tidak pernah sekedar merupakan suatu dorongan, nasihat, motivasi. Penegasan konstitusional selalu memiliki konsekuensi legal, punya
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
93
daya ikat hukum. Konstitusi menggariskan pokok-pokok tata hidup bersama yang untuk selanjutnya akan dijabarkan dalam perundang-undangan yang memiliki daya wajib. Daya wajib artinya apabila dilanggar mendapatkan hukuman (jika dijalankan memperoleh ganjaran). Ini logika hukum. Hukum selalu bersifat imperatif (mewajibkan/melarang), tak pernah merupakan ekshortatif (seruan/usulan/nasihat). Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang menggariskan konstitusinya semata-mata sebagai suatu seruan/ usulan/dorongan. Memang, bisa dibayangkan betapa kacaunya seandainya delik-delik yang ditetapkan dalam sebuah konstitusi hanya merupakan sebuah dorongan. Argumentasi dari pihak-pihak yang menegaskan bahwa pencantuman mewajibkan beragama bagi para pemeluknya hanya merupakan dorongan positif dari negara jelas tidak plausible. Tidak bisa diterima validitasnya, karena seandainya pasal 29 UUD 1945 merupakan ekshortatif (cuma seruan/dorongan/ usulan), apa lantas yang membuat pasal-pasal lain bersifat imperatif (melarang/ memerintahkan)? Apa bedanya pasal 29 dengan pasal-pasal mengenai lembaga kepresidenan misalnya, atau dengan pengaturan soal tata perekonomian negara? Bisa dibayangkan betapa rancunya suatu konstitusi seandainya beberapa pasalnya memiliki intensitas wajib yang berbeda-beda. Seandainya sebuah konstitusi mewajibkan warganegaranya atau menjalankan agamanya taken for granted (dipandang benar begitu saja), maka harus diandaikan pula ada penataan perundang-undangan yang mengatur sangsi dan hukuman (dengan segala perangkat jalur peradilannya) terhadap mereka yang tidak menjalankan agamanya. Untuk ini, negara pasti dibuat repot. Bukan perkara prosedur, tetapi perkara koherensi sumber hukum. Hukum yang mengatur soal-soal agama tidak bisa diasalkan para rasionalitas apa pun kecuali agama yang bersangkutan. Kesekuensi yang menyusul ialah apa artinya Pancasila dan UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum?! Soal lain yang lebih runyam dari jalan pikiran semacam ini: Apakah negara sehingga memiliki hak untuk mengatur/mewajibkan/menghukum warganya dalam kaitannya dengan agama? Dapatkah manusia diwajibkan atau diharuskan oleh instansi lain di luar dirinya berkenaan dengan hubungan personalnya dengan sang Penciptanya? Menyadari eksistensi manusia yang dianugerahi kebebasan oleh sang Penciptanya dan karenanya dapat menegaskan tanggung jawab atas hidupnya sendiri, jelas setiap upaya mewajibkan beragama kurang sesuai dengan kodrat manusia. Konteks hidup beragama. Kedua, apakah kira-kira konsekuensi mewajibkan agama secara konstitusional dalam konteks hidup beragama secara keseluruhan? Pasti akan terjadi formalisme sikap/tindakan religiusitas. Setiap formalisasi agama justru akan menggiring agama menjadi alat baru bagi suatu rejim pemerintahan. Formalisasi (pengaturan secara formal) agama membuka kemungkinan tiranisasi/diktatorisasi rejim suatu pemerintahan. Formalisasi agama justru memposisikan agama di bawah institusi pemerintahan. Jika agama berada di bawah suatu institusi politik, terbuka kemungkinan bahwa rejim suatu 94
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
pemerintahan “bermain-main” dengan penataan/pengaturan agama. Babak problem baru mulai atau kesalahan kita terulang kembali. Kodrat suatu konstitusi negara ialah untuk menata sistem/tata hidup bersama seluruh warganegara agar tercapai the good life atau “kesejahteraan umum.” Dengan kata lain, konstitusi dari negara mana pun dimaksudkan untuk kepentingan warganegara (bukan rejim suatu pemerintahan). Konstitusi adalah himpunan formulasi yang mencetuskan perlindungan hak-hak warganegara. Pembukaan UUD 1945 dengan sangat gamblang mencetuskan ini. Jika disimak secara teliti, Pembukaan itu didominasi oleh kosa kata: kebebasan, kemerdekaan, hak-hak, keadilan, kesejahteraan, demokrasi. Tidak dijumpai satu pun, dalam Pembukaan itu, secara eksplisit dan implisit sekalipun terminologi “kewajiban” (bagi warganegara). Inilah perumusan yang sangat tepat dari suatu konstitusi negara modern. Dari sebab itu setiap penjabaran isinya yang mengajukan point “kewajiban” bagi warganegara – apalagi apabila kewajiban itu menyentuh bidang yang sangat asasi/fundamental/mendasar perbuatan suci manusiawi – jelas akan bertentangan dengan nada dasar Pembukaannya. Setiap delik-delik ketentuan yang bertentangan satu sama lain, dalam suatu undang-undang dasar, akan memicu kerancuan. Setiap kerancuan adalah kesimpangsiuran bagi hidup bersama! Selain itu, karena konstitusionalisasi kewajiban agama, dengan mudah dapat ditengarai aneka cetusan formalistis dari suatu aktivitas keimanan/ketakwaan. Dan, orang akan banyak berkelit dengan agama. Kekerasan sangat mudah terlegalisir oleh agama. Hukuman mati atau sangsi yang setimpal yang diberlakukan oleh masyarakat kebanyakan dalam kehidupan sehari-harinya, umpamanya, dijalankan dan dilansir dari aneka penuturan karena tidak menjalankan agamanya atau dipandang melawan hukum-hukum tertentu dari agama. Terjadi diktatorisasi agama dalam kehidupan masyarakat. Agama tidak lagi menjadi sumber kegembiraan, harapan, dan keselamatan hidup. Malah, kebalikannya, agama sangat mungkin menjadi alasan untuk saling menteror. Agama akan menjadi sumber kecemasan! Konteks HAM. Indonesia menganut paham kebebasan beragama. Ini prinsip per se notum. Maksudnya, kebebasan beragama adalah penegasan prinsipial yang kebenarannya tak perlu bukti, sudah jelas dari sendirinya. Demikian proposisi logika menggariskan (dalam realitas kebenaran prinsip masih perlu disimak secara mendalam). Soalnya: apa artinya bebas beragama? Arti yang sering kali diajukan, bebas beragama berarti bebas memilih agama sesuai dengan kehendaknya sendiri. Jadi dalam terminologi bebas beragama sesungguhnya dicakup pengertian tidak bebas (karena harus beragama). Kiranya kebebasan beragama yang diagung-agungkan oleh masyarakat Indonesia tidaklah lepas dari pemahaman mengenai hak asasi manusia. “Bebas” dalam artian filosofis bukan hanya tidak terikat atau tidak dipaksa, melainkan terutama mengatakan kemandirian. Kebebasan menegaskan realitas bahwa manusia menjadi subyek yang mandiri atas hidupnya sendiri. Kemandirian adalah syarat untuk bertanggung jawab. Hanya orang yang bebas,
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
95
dapat bertanggung jawab. Tanggung jawab melukiskan kebenaran realitas bahwa manusia adalah tuan/pemilik keputusan, kehendak dan tindakannya sendiri. Tiada instansi apa pun yang dapat campur tangan di dalamnya. Apabila ada campur tangan (apalagi yang bersifat koersif atau yang memaksakan), harus dikatakan tidak ada kebebasan lagi. Dari rangkaian makna kebebasan yang berkaitan dengan kemandirian dan tanggung jawab manusia, maka harus disimpulkan kebenaran bahwa dalam penegasan “bebas beragama” berarti pula orang “bebas tidak beragama.” Artinya, bukan seolah-olah manusia bisa berbuat semau gue, melainkan hendak dijunjung tinggi prinsip kemandirian bahwa setiap manusia bebas menentukan hidupnya sendiri (termasuk di dalamnya untuk tidak beragama atau untuk tidak menjalankan agamanya). Walaupun tidak beragama atau tidak menjalankan agamanya merupakan suatu penyimpangan dari kewajaran dalam kaca mata moralitas bangsa Indonesia, kemandirian (untuk tidak beragama) tersebut tidak boleh serta merta dimasukkan dalam kategori melawan Konstitusi sedemikian rupa sampai perlu untuk dihukum dan dikenai sangsi. Jika The Universal Declaration of Human Rights – yang pada waktu itu juga Indonesia termasuk yang ikut menandatangani sebagai suatu konvensi internasional – memproklamasikan kebebasan agama, pastilah makna yang hendak diajukan bukan semata-mata bebas memilih agama melainkan bebas pula untuk tidak beragama. Suatu negara demokrasi yang menganut dan menjunjung tinggi kebebasan dan tanggung jawab pastilah tidak menggagas kewajiban beragama, melainkan menjamin kebebasan dalam hal agama. Mewajibkan agama/menjalankan agama malah dalam arti tertentu bertentangan dengan prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia. Apalagi jika wajib beragama itu distipulasikan dalam konstitusi. Konteks moralitas bangsa. Selanjutnya argumentasi yang sering dilempar oleh mereka yang menggagas perlunya menegaskan kewajiban beragama dalam konstitusi ialah demi menjaga moralitas bangsa Indonesia. Benarkah demikian? Salah satu keyakinan yang dewasa ini cenderung diretorika ialah bahwa agama mengantar manusia kepada moral yang benar; agama bukan pemicu konflik; agama adalah perdamaian dan yang semacamnya. Ada keyakinan kental dalam benak kebanyakan bahwa konflik yang memproduksi kekejaman demikian brutal di Maluku, Poso, dan seterusnya tidak disebabkan oleh agama (meskipun dijalankan oleh orang-orang yang bukan ateis). Memang, agama sebagai kebenaran normatif yang diwahyukan Allah tidak bersinggungan dengan kebrutalan. Tetapi, kebenaran normatif tidak dari sendirinya mengatakan realitas kehidupan manusia. Realitas kebenaran agama justru kelihatan dari manusia-manusia yang menghidupi kebenaran normatifnya. Maksudnya, realitas agama sebagai penjamin paradigma moralitas bangsa masih sangat berurusan dengan mentalitas, etika, tatakrama, religiusitas, dan budaya manusia-manusianya dalam kehidupan sehari-hari.
96
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Konsekuensinya, untuk membawa kepada moralitas yang benar, prinsipprinsip agama diperlukan. Tetapi, pada saat yang sama tidak boleh dilalaikan humanisme yang mengedepankan pembelaan kemanusiaan secara nyata. Dengan kata lain, agama (sejauh merupakan kebenaran normatif) bukanlah segala-galanya untuk membangun moralitas bangsa. Masih diperlukan suatu tekad-tekad baru dan konkrit untuk menggarap realitas kemanusiaan bangsa yang dewasa ini jelas terinjakinjak oleh kekejian satu kelompok terhadap yang lain di kantong-kantong daerah konflik-konflik SARA. Konteks integritas bangsa Indonesia. Konstitusi mewajibkan agama? Dalam konteks Indonesia yang sedang memeras keringat untuk tetap menjaga integritasnya, kewajiban itu kontradiktif. Justru, dalam konstitusi, perlu ditegaskan secara eksplisit kebebasan agama. Sukarno menggagas integritas bangsa dalam prinsip “semua buat semua”: “Tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia! … Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong. Alangkah hebatnya negara gotong-royong!” (Naskah I, 79). Prinsip gotong-royong bukanlah prinsip ideologis juga bukan prinsip agamis, melainkan cara penghayatan humanis hidup bersama dalam keaneka-ragaman. “Gotong royong menggambarkan satu usaha, satu amal, satu pekerjaan … Marilah kita menyelesaikan karyo, gawé, pekerjaan, amal ini, bersama-sama! Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah gotong royong! Prinsip gotong-royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia. Inilah saudara-saudara yang saya usulkan kepada saudara-saudara.” (Naskah I, 79). Rangkaian pandangan ini, dalam laporan sidang, disusul dengan tepuk tangan riuh rendah, cetusan kesepakatan & ketulusan dari the Founding Fathers. Mengamandemen UUD 1945 dengan mencoba memasukkan kewajiban beragama/menjalan agama dapat mengacaukan semangat gotong-royong bangsa yang sedang menghadapi soal-soal berat berhubungan dengan integritas eksistensialnya.
BIBLIOGRAFI ANSHARI, H. E. S, Piagam Jakarta 22 June 1945, Jakarta 1981. BAHAR, S. - KUSUMA, A. B. - HUDAWATI, N. ed., Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) - Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta 1995.
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
97
BORGHESE, A Constitution for the World, Santa Barbara CA 1965. BROWNLIE, I. ed., Basic Documents on Human Rights, Oxford 1971. CORWIN, E.S., The Constitution and What It Means Today, New Jersey 1947. DEPARTMENT OF INFORMATION OF THE REPUBLIC OF INDONESIA, The 1945 Constitution of the Republic of Indonesia, Jakarta 1994. DICEY, A. V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Indianapolis 1952. DIPOYUDO, K., Pancasila Arti dan Pelaksanaannya, Jakarta 1979. DRIYARKARA, N., Pancasila dan Religi Mencari Kepribadian Nasional, Jakarta 1974. EKO ARMADA RIYANTO, F. X., “Demonstrasi dan Hati Nurani”, Kompas (21 Mei 1998). —————, “Diskusi Awali HAM dalam UUD 1945”, Kompas (2 Desember 1997). —————, “Menolak Politik Kekerasan”, Kompas (12 Desember 1998). FEITH, H. - CASTLES, L. ed., Pemikiran Politik Indonesia 1945-1965, Jakarta 1985. FRIEDRICH, C. J., “The Political Theory of the New Democratic Constitutions”, in Constitutions and Constitutional Trends Since World War II, ed. A. J. Zurcher, New York 1981. HATTA, M., Demokrasi Kita, Jakarta 1960. —————, Kumpulan Karangan, Jakarta 1954. —————, Kumpulan Pidato, Jakarta 1981. —————, Pengertian Pancasila, Jakarta 1977. —————, Portrait of a Patriot, selected writings, the Hague 1972. HEGEL, F., Philosophy of Right, translated with notes by T. M. Knox, London 1952. KAHIN, G. M., “Indonesia”, in Major Governments of Asia, ed. H. C. Hinton et. al., New York 1963. —————, Nationalism and Revolution in Indonesia, Ithaca & London 1970. KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA, Hak Asasi Manusia dalam Perspektif Budaya Indonesia, Jakarta 1997. LEMBAGA SOEKARNO-HATTA, Sejarah Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila, Jakarta 1984. LOGEMAN, J. H. A., Keterangan-Keterangan Baru tentang Terjadinya UndangUndang Dasar Indonesia 1945, terjemahan oleh D. Darmodiharjo, Jakarta 1983. LUBIS, T. M., In Search of Human Rights. Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990, Jakarta 1993. NASUTION, A. B., The Aspiration for Constitutional Government in Indonesia.
98
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
A Socio-legal Study of the Indonesian Konstituante 1956-1959, Jakarta 1992. NOTOSUSANTO, N., Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara, Jakarta 1981. PEASLEE, A. J. ed., Constitutions of Nations, Netherlands 1956. POTTER, A. M. - FOTHERINGHAM, P. - KELLAS, J.G., American Government & Politics, Boston 1978. PRANARKA, A. M. W., Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, Jakarta 1985. PRIYADI, A., Wawancara dengan Sayuti Melik, Jakarta 1986. SIMANJUNTAK, M., Pandangan Negara Integralistik, Jakarta 1994. SIMORANGKIR, J. C. T. - MANG RENG SAY, B., Around and About the Indonesian Constitution of 1945, Jakarta 1980. SPINOZA, B., A Theologico-Political Treatise, translated with Introduction by R. H. Elwes, New York 1951. SUKOWATI, S., Pancasila dan Hak-Hak Asasi Manusia, Jakarta 1988. SUMANTRI, S. - SARAGIH, B. R. ed., Ketatanegaraan Indonesia dalam Kehidupan Politik Indonesia. 30 Tahun kembali ke Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta 1993. SUPOMO, Bab-Bab tentang Hukum Adat, Jakarta 1966, 1977. —————, Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat, Jakarta 1952. —————, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia II, Jakarta 1988. —————, Undang-Undang Dasar Sementara RI, Jakarta 1965. YAMIN, M., Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, I-III, Jakarta 1959, 1960. —————, Pembahasan UUD Republik Indonesia, Jakarta, without date of publication. ZURCHER, A. J. ed., Constitutions and Constitutional Trends Since World War II, New York 1981.
Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan
99
RELATIVISME KONSEPTUAL L . WITTGENSTEIN DAN IMPLIKASI EPISTEMOLOGISNYA
J. Sudarminta STF Driyarkara, Jakarta Abstract : Lately, conceptual relativism has been quite influential in epistemology, philosophy of science, and especially in social sciences and cultural studies. This is partly because since 1980’s there has been a growing influence of works in linguistic theories, structuralism and post-structuralism to the methodology of social sciences and cultural studies. This article is attempt to study: (1) What is conceptual relativism and what are its basic tenets?; (2) Is there any connection between conceptual relativism and later Wittgenstein’s language games theory?; and (3) How will we critically assess this view? It will be shown that, despite its important contribution to our better understanding of the relationship between language, thought and reality, conceptual relativism as an epistemological position is basically inadequate. Keywords: relativisme, relativisme konseptual, conceptual framework, bahasa, teori gambar, language-games, budaya, epistemologi, realitas.
Relativisme secara umum adalah suatu paham pemikiran yang mengingkari adanya kebenaran objektif-universal. Yang ada hanyalah kebenaran relatif. Relatif terhadap cara pandang subjek yang membuat pernyataan (relativisme subjektif), atau pun relatif terhadap cara pandang dan sistem nilai dalam kebudayaan tempat subjek atau kelompok subjek yang membuat pernyataan (relativisme budaya) lahir dan dibersarkan. Bagi kaum relativis, suatu pernyataan tidak pernah dapat ditentukan benar-salahnya pada dirinya sendiri lepas dari konteks yang mensituasikan pernyataan tersebut. Relativisme konseptual (termasuk di dalamnya apa yang disebut relativisme budaya) adalah suatu paham pemikiran yang menegaskan bahwa kebenaran suatu pernyataan hanya dapat ditentukan dalam hubungan dengan, atau relatif terhadap latar belakang konseptual dari subjek yang membuat pernyataan. Yang dimaksud dengan latar belakang konseptual adalah kerangka berpikir, berikut konsep-konsep yang secara a priori terkandung di dalamnya, yang dipakai untuk mengatur, menafsirkan dan memahami pengalaman. Latar belakang konseptual itu menjadi titik tolak dan sudut pandang individu, masyarakat, kebudayaan, atau pun bangsa tertentu dalam menangkap dan memahami realitas. Realitas sendiri dianggap relatif terhadap kerangka konseptual tersebut. Apa yang dipandang real atau sungguh nyata dalam suatu kerangka pikir atau sistem konseptual tertentu belum tentu dianggap demikian dalam sistem konseptual yang lain. Karena sistem konseptual itu erat terkait
100
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
dengan bahasa dan sudut pandang budaya, padahal di dunia ini ada banyak bahasa dan sudut pandang budaya, maka di dunia ini juga ada banyak sistem konseptual. Karena realitas sendiri dianggap relatif terhadap sistem konseptual, dan sistem konseptual ada banyak, maka realitas sendiri juga dianggap bukan suatu yang bersifat tunggal, tetapi plural atau majemuk. Orang yang hidup dalam sistem konseptual yang berbeda berarti hidup dalam dunia yang berbeda. Belakangan ini pahan relativisme konseptual muncul sebagai paham pemikiran yang menarik perhatian banyak orang. Literatur dalam bidang epistemologi, filsafat sains dan khususnya kajian epistemologis di bidang ilmuilmu sosial dan kajian budaya banyak merujuk pada cara berpikir relativis konseptual. antara lain berkat pengaruh karya tahap akhir L. Wittgenstein, khususnya dalam teorinya tentang “permainan-permainan bahasa” (languagegames) yang dia kemukakan dalam bukunya Philosophical Investigations. Paham relativisme konseptual yang kurang lebih sama juga dianut oleh orangorang seperti Benjamin Lee Whorf, Peter Winch, Thomas S. Kuhn, Feyerabend, Richard Rorty dan Clifford Geertz. Dalam kajian kali ini pembicaraan akan lebih memfokus pada relativisme konseptual Wittgenstein dan beberapa implikasi dari pemikirannya. Wittgenstein pada tahap akhir pemikirannya dapat dikatakan merupakan seorang penabur benih paham relativisme konseptual.
1. Dari bahasa sebagai cermin realitas ke bahasa sebagai permainan Paham relativisme konseptual dilatarbelakangi oleh peran dominan bahasa dalam kehidupan manusia. Dalam paham ini bahasa menentukan pikiran dan bahkan realitas sendiri. Dalam perjalanan karir filsafat Wittgenstein, yang ditandai oleh minat pokok untuk mengkaji fungsi bahasa dan peran yang dimainkannya dalam kehidupan manusia, terjadi suatu pergeseran pandangan yang cukup drastis. Pandangan awalnya tentang hakikat bahasa dan makna sangat kontras dan bahkan dapat dikatakan berbalikan dengan pandangan akhirnya. Pada awal karir filsafatnya, sebagaimana terungkap dalam bukunya Tractatus Logico Philosophicus, Wittgenstein memahami bahasa sebagai cermin realitas (language pictures reality). Sebagai seorang penganut dan bahkan salah seorang tokoh Positivisme Logis, Wittgenstein waktu itu yakin bahwa struktur logis bahasa secara sepadan berkorelasi dengan struktur logis dunia. Fungsi pokok bahasa adalah untuk mencerminkan atau menggambarkan realitas. Struktur logis bahasa merupakan konstruksi proposisi-proposisi yang pada akhirnya kalau dianalisa merupakan rangkaian nama yang menunjuk pada objek dalam dunia sebagai rujukannya. Setiap kata hanya bermakna kalau terdapat rujukannya dalam realitas yang ada di dunia. Batas bahasa merupakan batas pengetahuan dan bahkan batas realitas yang nyata di dunia ini. Hal ini amat jelas terungkap dari pernyataan Wittgenstein sendiri: “Apa pun yang dapat dikatakan selalu dapat dikatakan dengan jelas. Mengenai apa yang tidak dapat dikatakan, sebaiknya kita lewatkan
J. Sudarminta, Relativisme Konseptual L. Wittgenstein
101
saja dengan diam.”1 Dalam pemahaman awal ini realitas dipahami sebagai penentu bahasa dan pikiran manusia. Struktur logis proposisi atau bahasa menunjukkan struktur logis realitas. Pada tahap awal filsafatnya, Wittgenstein juga seorang penganut prinsip verifikasi dalam menguji kejelasan dan benar-salahnya suatu pernyataan. Menurut prinsip itu suatu pernyataan mempunyai makna dan dapat ditegaskan benar-salahnya hanya kalau secara prinsipal dapat diuji kebenarannya secara empiris. Hanya pernyataan yang bersifat faktual merupakan pernyataan yang secara kongnitif bermakna. Pada tahap akhir filsafatnya, Wittgenstein mengoreksi pemikiran awalnya. Ia menjadi sadar bahwa pemahaman tentang bahasa sebagai cermin atau potret realitas sebagaimana ia paparkan dalam karya awalnya merupakan pemahaman yang tidak sesuai dengan kenyataan bahasa sebagaimana biasa digunakan dalam hidup sehari-hari. Pemahaman macam itu didorong oleh ideologi positivistik yang ingin secara tegas menarik garis demarkasi antara pernyataan yang ilmiah dan yang bukan, pernyataan yang dapat diverifikasikan dan yang tidak dapat diverifikasikan. Terdorong oleh keinginan mengejar kepastian tentang apa yang objektif benar atau sesuai dengan realitas dunia di luar manusia, bahasa yang bermakna mau dibatasi pada lingkup bahasa ilmiah. Untuk itu hakikat bahasa sendiri mesti dijangkarkan pada realitas dunia di luar manusia, seakan-akan apa yang disebut realitas dunia di luar manusia dapat dipahami pada dirinya sendiri lepas dari manusia dan bahasanya. Pada tahap akhir filsafatnya, Wittgenstein memahami bahasa dalam pengertian sehari-hari, sebagai suatu “alat” yang digunakan untuk maksud tertentu dan tidak hanya untuk menggambarkan realitas. Dalam hidup sehari-hari bahasa itu banyak, dan arti atau makna kalimat-kalimatnya ditentukan oleh macam-macam aturan ketatabahasaan bahasa yang bersangkutan dan konteks penggunaannya. Aturan sendiri dibuat berdasarkan suatu kesepakatan (convention). Makna sebuah kata ditentukan oleh penggunaannya dalam suatu “permainan bahasa” (meaning is use). Dengan menggambarkan bahasa sebagai suatu “permainan,” Wittgenstein bermaksud menyatakan bahwa kalau orang mau memakai bahasa tertentu, seperti halnya orang yang mau memainkan permainan tertentu, ia mesti tunduk pada aturan main (ketatabahasaan) untuk bahasa tersebut. Seperti halnya semua gerak dan kegiatan dalam sebuah permainan, baru dapat dimengerti berdasarkan aturan main yang telah disepakati, demikian juga aturan main atau tata bahasa yang mengatur penggunaan suatu bahasa menentukan makna kata-kata dan kalimatkalimatnya. Orang baru dapat dikatakan sungguh memahami atau menangkap arti suatu kata atau kalimat dalam bahasa tertentu kalau ia dapat secara effektif menggunakan kata atau kalimat itu dalam suatu komunikasi dengan orang lain yang menggunakan bahasa tersebut. Bahasa erat terkait dengan suatu bentuk kehidupan (form of life) tertentu dan tidak dapat dipahami lepas dari bentuk kehidupan yang menjadi konteksnya.
1
102
Ludwig Wittgenstein, Tractatus Logico-Philosophicus, Translated fro the German by C. K. Ogden with an Introduction by Betrand Russell, London: Routledge & Kegan Paul Ltd., 1981, bagian Preface, h. 27.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Pada tahap akhir filsafatnya Wittgenstein menyatakan bahwa bahasa dalam pengertian biasa adalah bahasa-bahasa. Dalam kenyataan hidup sehari-hari ada banyak bahasa. Bahasa mesti dijelajahi dalam semua variasi dan kompleksitasnya. Ia perlu diperikan (= dideskripsikan) dan dimengerti sebagaimana adanya dan tidak direduksikan ke suatu struktur yang lebih dasariah seperti proposisi-proposisi elementer yang menamai objek di dunia sebagai rujukannya. Proposisi elementer macam itu pada tahap awal filsafatnya oleh Wittgenstein sendiri dianggap sebagai esensi bahasa. Bahasa dalam pengertian biasa juga bersifat multifungsi atau digunakan untuk bermacam-macam maksud, dan tidak hanya untuk memerikan realitas serta menyajikan fakta. Esensi bahasa sebagai suatu yang bersifat umum dan baku serta persis berlaku untuk semua bahasa dalam pandangan Wittgenstein akhir tidak ada. Yang ada hanyalah kemiripan serumpun (family resemblance). Salah satu alasan mengapa ia memahami bahasa sebagai suatu permainan, selain yang sudah disebut di atas, adalah juga karena antara macam-macam permainan itu hanya ada kemiripan serumpun. Setiap permainan mempunyai unsur-unsur yang khas yang membedakan dan tidak terdapat dalam permainan yang lain. Demikian juga bahasa. Orang yang hidup dalam sistem kebahasaan yang berbeda memakai sistem konseptual yang berbeda. Pemakaian sistem konseptual yang berbeda membuat orang melihat, mengalami dan menafsirkan realitas atau dunia secara berbeda pula.
2. Relativisme konseptual sebagai implikasi paham permainan bahasa Paham permainan bahasa yang dikemukakan oleh Wittgenstein membawa implikasi relativisme konseptual, karena dalam paham tersebut, seperti sudah terungkap dari pernyataan dalam kalimat terakhir di atas, realitas sendiri menjadi relatif terhadap manusia dan bahasa yang digunakannya. Tidak ada realitas pada dirinya lepas dari konsep tentangnya, dan konsep itu tergantung dari sistem bahasa berikut aturan permainan ketatabahasaannya yang dipakai. Realitas bukan apa yang memberi arti pada bahasa. Apa yang real dan yang tidak real menunjukkan diri dalam arti yang dimiliki oleh bahasa. Pembedaaan antara yang real dan tidak real, serta konsep kesesuaian dengan realitas sendiri tidak dapat dimengerti lepas dari bahasa. Dengan demikian bahasa menentukan realitas. Bahasa-bahasa yang berbeda tidak dapat dimengerti sebagai cara dan upaya yang berbeda-beda dalam mendeskripsikan realitas yang sama. Tidak ada realitas yang independen dan netral terhadap bahasa. Realitas menjadi relatif terhadap bahasa. Pemakai bahasa yang berbeda tidak hanya melihat, mengalami, menafsirkan dan memahami realitas yang sama secara berbeda, tetapi melihat, menafsirkan dan mengalami realitas yang memang berbeda. Pemakai bahasa yang berbeda dapat dikatakan hidup dalam dunia yang berbeda. Bahwasanya bahasa yang kita pakai menstrukturkan penangkapan dan penafsiran kita atas realitas yang melingkupi kita juga dinyatakan oleh antropolog
J. Sudarminta, Relativisme Konseptual L. Wittgenstein
103
Clyde Kluckhohn dan Dorothea Leighton. Berikut adalah kutipan dari pernyataan mereka: “Setiap bahasa lebih dari sekedar alat untuk menyampaikan gagasan; bahkan lebih dari sekedar alat untuk menanggapi apa yang dirasakan oleh orang lain atau pun untuk mengungkapkan diri. Setiap bahasa juga merupakan sarana mengatur dan memaknakan pengalaman. Apa yang dipikirkan dan dirasakan orang, serta bagaimana orang melaporkan apa yang ia pikirkan dan rasakan memang ditentukan oleh keadaan psikologis masing-masing, oleh sejarah pribadinya, dan apa yang senyatanya terjadi di dunia luar. Akan tetapi hal-hal itu juga ditentukan oleh suatu faktor lain yang kerapkali diabaikan, yakni pola-pola kebiasaan linguistik yang telah diperoleh orang sebagai anggota suatu masyarakat tertentu. Peristiwa-peristiwa dunia yang ‘nyata’ tak pernah dirasakan dan dilaporkan oleh manusia seperti sebuah mesin. Ada proses seleksi dan penafsiran dalam menanggapi peristiwa-peristiwa tersebut. Beberapa ciri keadaan dunia luar diberi tekanan, yang lain diabaikan atau tidak secara penuh diperhatikan dan dirinci.”2 Konsep permainan bahasa yang dikemukakan Wittgenstein semakin jelas mengimplikasikan relativisme konseptual ketika konsep “bahasa” diperluas menjadi suatu “kerangka pikir konseptual” (conceptual framework) sebagaimana dikemukakan oleh Wilfrid Sellars, “paradigma” (paradigm) dalam peristilahan Thomas Kuhn, dan “budaya” dalam wacana Clifford Geertz. Dekat dengan pemahaman Wittgenstein, bagi Sellars kata tidak punya makna kecuali dalam suatu kerangka pikir konseptual linguistik tertentu. Kerangka pikir konseptual linguistik tidak dibangun dari unsur-unsur yang menjadi bagiannya, tetapi unsurunsur yang menjadi bagian itu baru memperoleh makna dari keseluruhan kerangka pikir konseptual linguistik. Mengetahui makna sebuah kata atau kalimat berarti mengetahui aturan ketatabahasaan dari suatu permainan bahasa tertentu. Tidak ada ungkapan kebenaran yang mengatasi semua kerangka pikir konseptual linguistik. Ungkapan-ungkapan dalam kerangka pikir konseptual yang satu tidak dapat dibandingkan secara sepadan dengan ungkapan-ungkapan dalam kerangka pikir konseptual yang lain. Setiap pembandingan mengandaikan penerjemahan, dan penerjemahan tidak pernah sepenuhnya memadai. Apa yang dianggap benar menurut kerangka pikir konseptual yang satu bisa saja dianggap salah oleh kerangka pikir konseptual yang lain. Dalam nada yang kurang lebih sama Thomas Kuhn dan Feyerabend juga berbicara tentang adanya incommensurability between paradigms. Paradigma yang satu tidak dapat dibandingkan secara sepadan dengan paradigma yang lain. Objek perseptual yang sama dikonsepsikan secara berbeda dalam konteks paradigma yang berbeda, dan konsep yang nampaknya sama dimengerti secara berbeda dalam konteks paradigma yang berbeda. Misalnya baik paradigma fisika klasik Newton maupun fisika modern (relativitas) Einstein sama-sama memakai konsep “massa”, tetapi pada yang pertama dimengerti sebagai “materi” sedang pada yang kedua sebagai “enersi”.
2
104
Clyde Kluckhohn and Dorothea Leighton, The Navaho (Cambridge, Mass: Harvard University Press, 1946), hlm. 197. Dikutip dalam Max Black, The Labyrinth of Language (London: Pall Mall Press, 1968), hlm. 71-72.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
3. Tanggapan Relativisme konseptual yang berakar pada konsep permainan bahasa Wittgenstein memang memuat beberapa sumbangan pikiran yang berharga dalam proses pencerahan budi kita memahami masalah kebenaran dalam konteks hubungan antara bahasa, pikiran dan realitas. Akan tetapi itu tidak berarti bahwa pandangan realisme kritis dalam memahami hubungan manusia dan dunianya serta teori kebenaran korespondensi (yang tidak naif) dalam memahami masalah kebenaran merupakan suatu pandangan yang begitu saja keliru dan perlu ditinggalkan. Sumbangan pikiran berharga dari paham relativisme konseptual Wittgenstein yang pantas kita perhatikan, pertama adalah betapa eratnya kaitan antara bahasa, pikiran dan realitas. Orang tidak dapat berpikir tanpa konsep, dan konsep mengandaikan bahasa. Pikiran manusia tidak dapat dimengerti lepas dari ekspresinya dalam bentuk bahasa. Pengertian tentang pikiran murni yang sama sekali lepas dari ekspresinya dalam bahasa merupakan suatu ilusi. Pikiran manusia dapat dikatakan juga distrukturkan oleh struktur bahasa yang diwarisi dan yang dipakai untuk mengungkapkannya. Perintis studi linguistik bernama Wilhem von Humbolt pernah menyatakan: “Karena saling ketergantungan antara pikiran dan kata, jelaslah bahwa bahasa bukan hanya suatu sarana mengungkapkan kebenaran yang sudah dipastikan, tetapi lebih jauh lagi merupakan sarana menemukan suatu kebenaran baru yang sebelumnya belum diketahui.”3 Realitas juga tidak dapat disadari adanya dan dipahami maknanya tanpa pikiran dan bahasa. Konsep realitas melekat pada bahasa dan pikiran manusia. Erat dengan kenyataan ini, sumbangan pikiran berharga yang kedua yang perlu kita perhatikan adalah bahwa teori kebenaran korespondensi sebagaimana dipahami oleh realisme naif memang tidak memadai. Dengan “realisme naif” dimaksudkan pandangan yang menyatakan bahwa ada realitas objektif di dunia luar sana yang sama sekali tak tergantung pada manusia baik dalam keberadaannya maupun dalam ketermengertiannya (its intelligibility). Teori kebenaran korespondensi dalam pemahaman realisme naif menyatakan bahwa kebenaran adalah korespondensi atau kesesuaian antara gagasan dalam pikiran manusia dan ungkapannya dalam bahasa dengan kenyataan objektif di luar sana. Dalam teori itu pikiran dan bahasa, seperti dipahami oleh Wittgenstein awal, adalah cermin yang secara pasif memantulkan atau melaporkan apa yang ada di luar sana (language pictures/mirrors reality). Walaupun demikian tidak berarti bahwa realisme dalam memahami hubungan manusia dan dunianya atau realitas di sekitarnya adalah pandangan yang sama sekali keliru dan perlu ditinggalkan. Demikian juga teori kebenaran korespondensi. Yang rupanya keliru atau sekurang-kurangnya tidak memadai
3
Dikutip dalam Howard Isham, “Wilhem von Humbolt,” Paul Edwards (Ed. in Chief), The Encyclopedia of Philosophy, Vol. 3 & 4 (New York: Macmillan Publishing & The Free Press, 1967): hlm. 73-74.
J. Sudarminta, Relativisme Konseptual L. Wittgenstein
105
adalah teori korespondensi sebagaimana dimengerti oleh realisme naif. Sudah sejak Kant manusia disadarkan bahwa dalam mengalami dan memahami dunia atau realitas di sekitarnya budi manusia itu tidak pasif tetapi aktif. Dalam mengalami dan memahami dunianya ada unsur-unsur a priori yang berasal dari budi manusia. Budi manusia memang tidak menciptakan dunia, tetapi juga tidak hanya mencerminkannya. Dunia mempunyai keberadaan sendiri yang tidak tergantung manusia. Inilah paham realisme. Bukan realisme naif, tetapi realisme kritis. Dalam paham ini dunia hanya menjadi nyata dan terpahami dalam dan karena aktitivitas budi manusia dalam konteks kegiatannya berinteraksi dengan dunia tersebut. Konsep kebenaran juga lalu tidak dapat dilepaskan dari aktivitas budi manusia. Temuan dan rumusan kebenaran memang tergantung manusia, karena kebenaran baru menyatakan diri dalam aktivitas budi manusia berinteraksi dengan dunianya. Kebenaran manusiawi juga selalu diungkapkan dalam bahasa dan konteks budaya tertentu. Akan tetapi kebenaran sendiri mestinya mengatasi ungkapannya, sebab kalau tidak, lalu atas dasar apa betul kelirunya ungkapan itu mau diuji. Ungkapan kebenaran memang selalu relatif terhadap kerangka pikir konseptual linguistik tertentu, dan tidak dapat dilepaskan dari konteks sosial, budaya dan sejarah manusia yang mengungkapkannya. Tetapi kebenaran sendiri mestinya bersifat objektif-universal. Kalau ini diterima, maka teori kebenaran korespondensi pun masih tetap dapat diterima. Bukan korespondensi atau kesesuaian antara gagasan di dalam pikiran manusia berikut ungkapannya dalam bahasa dan objek di dunia luar sana yang sama sekali independen terhadap manusia, melainkan antara apa yang dinyatakan dalam pernyataan tertentu yang mau diuji kebenarannya dengan kenyataan sebagaimana adanya sejauh itu dimengerti oleh manusia bahwa sampai sekarang belum terbukti lain. Kalau kebenaran objektif-universal sebagaimana dimengerti di atas dapat diterima, maka relativisme konseptual sendiri sebagai sebuah posisi epistemologis sebenarnya keliru. Relativisme konseptual sebagaimana relativisme pada umumnya merancukan antara relativitas dan relativisme pengetahuan. Dari kenyataan bahwa semua ungkapan atau rumusan kebenaran selalu relatif terhadap sistem atau kerangka konseptual tertentu (seperi bahasa, budaya, situasi sosial dan historis tertentu) ditarik kesimpulan bahwa kebenaran pengetahuan sendiri selalu relatif terhadap sistem atau kerangka konseptual tersebut. Seandainya relativisme konseptual betul dan sungguh ada incommensurability antara sistem konseptual yang satu dengan sistem konseptual yang lain, maka komunikasi dan dialog antara budaya, terjemahan dari satu bahasa ke bahasa lain, menjadi bukan hanya amat sulit dilakukan, tetapi bahkan menjadi tidak mungkin. Komunikasi dan dialog antar budaya memang bukan perkara gampang. Sikap apriori, kesalahpahaman dan keinginan untuk mendominasi atau pun menggurui dalam hubungan antarbudaya yang berbeda dalam praktek sering terjadi. Demikian juga kegiatan menerjemahkan gagasan berikut alam pikiran dan praksis kehidupan yang melingkupinya dari bahasa dan budaya yang satu ke bahasa dan budaya yang lain merupakan hal yang sulit untuk dilakukan. Sampai ada ucapan dalam bahasa Italia tradutore – traditore yang berarti menterjemahkan berarti mengkhianati.
106
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Akan tetapi itu tidak berarti bahwa penerjemahan dari satu bahasa ke bahasa yang lain menjadi suatu hal yang mustahil. Betul juga bahwa terjemahan yang baik itu bukan sekedar mengalihkan kata atau kalimat, tetapi mengalihkan pengertian dan pengalihan pengertian dari sistem bahasa dan budaya yang satu ke sistem bahasa dan budaya yang lain tidak mudah dilakukan. Perumusan pengertian dalam bahasa lain sudah merupakan kegiatan kreatif tersendiri. Tetapi sekali lagi sulit dilakukan tidak berarti musatahil. Kenyataan ini menunjukkan bahwa meskipun manusia tidak dapat berpikir dan mengungkapkan dirinya tanpa dengan sendirinya menggunakan sistem atau kerangka konseptual linguistik yang berlaku dalam wilayah tempat ia lahir dan dibesarkan atau pun dalam komunitas linguistik tempat ia hidup dan berkomunikasi, dalam kenyataan, manusia tidak sepenuhnya terkungkung oleh kerangka konseptual atau budaya tempat ia lahir dan dibesarkan dan mampu berpindah dari komunitas linguistik yang satu ke komunitas yang lain. Pada awalnya kesalahpahaman atau pun kekeliruan dalam pemakaian bahasa dapat terjadi, tetapi bukan suatu hal yang tidak dapat diatasi.
BIBLIOGRAFI Black, Max The Labyrinth of Language (London: Pall Mall Press, 1968). Dilman, Ilham Studies in Language and Reason (Totowa, N.J.: Barnes & Noble Books, 1981). Fogelin, Robert J. Wittgenstein (London: Routledge & Kegan Paul, 1976). Krausz, Michael and Meiland, Jack W. (Ed.) Relativisme: Cognitive and Moral (Notre Dame:University of Notre Dame Press, 1982). Munitz, Milton K. Contemporary Analytic Philosophy (New York: Macmillan Publishing Co.,1981). Phillips, Derek L. Wittgenstein and Scientific Knowledge: A Sociological Perspective (London: The Macmillan Press, Ltd., 1977). Trigg, Roger Reason and Commitment (Cambridge: Cambridge University Press, 1982). Winch, Peter The Idea of a Social Science and its Relation to Philosophy (London: Routledge & Kegan Paul, 1990). Wittgenstein, Ludwig Tractatus-Logico Philosophicus (London: Routledge & Kegan Paul,1972). ———————— Philosophical Investigations (Oxford: Basil Blackwell & Mott, 1953).
J. Sudarminta, Relativisme Konseptual L. Wittgenstein
107
MENJELAJAH ALAM SEBUAH RENUNGAN FILOSOFIS TENTANG SAINS
Surjani Wonorahardjo Universitas Negeri, Malang Abstract: The achievement of modern science discovered many aspects of the nature that give the ability to reflect deeply to the root of our existence. Dynamics plays a crucial role in micro scale of object, and according to the Heisenberg principle, the exactness of the small object can be expressed only by probabilities. The nature of small objects can also be the main constituent of the bigger object in nature. This makes the stability of bigger objects to a certain extent depends on the microscale´s nature. Along with the progress in science, philosophy shitfts the direction of its topics. Subjectivity comes forwards but the objectivity is not put aside. These two alternate during the time as the consciousness plays ist role. The beauty of nature is then seen more and more clearly, in „order“ as well as in „chaos“. The micro nature is the new subject in science, and fenomenology in post modernism is also the field of today´s philosophy. Keywords: alam, manusia, sains, obyek-subyek, makro-mikro, skala
Pengetahuan manusia akan alam berubah dari waktu ke waktu. Bersama dengan pemahaman manusia akan realitas alam yang semakin mendetail, berubah pula padangan manusia akan hidupnya sendiri di tengah alam. Perjalanan ini sangat menarik untuk diikuti. Korelasi antara perkembangan filsafat dan sains tampak dalam revolusi-revolusi sains dan timbulnya aliran-aliran baru dalam filsafat. Semua tak lepas dari wacana hidup masyarakat ilmiah dalam wilayah kajian topik-topik alam dan topik-topik filsafat. Perjalanan pemahaman manusia akan alam terkadang sangat inspiratif karena rekaman dinamika yang sangat beragam ini ternyata membawa makna keabadian. Jadinya adalah sebuah pola, teratur dan alami dalam dimensi waktu. Tugas ilmuwan alam adalah menyibak sedikit demi sedikit rahasia alam, menjelaskan dalam bahasa yang dimengerti banyak orang, dan memberikan klaim kebenaran di skala sekecil mungkin, justru untuk memahami alam global. Masyarakat ilmiah modern sedang berada dalam fase ini dengan pandangan wholistic-nya akan alam lewat pendekatan interdisipliner. Ada dua kecenderungan dasar bagi manusia untuk bergaul dengan alam dan melukiskan alam. Sejak jaman manusia berpikir, yang dapat kita amati adalah alam yang dikaji lewat kacamata obyek. Alam adalah obyek universal dan dilukiskan dengan bahasa perjanjian universal, obyektif, netral. Cara yang satu lagi adalah memandang sains dari kacamata subyek, dimana alam kerap 108
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
bermakna sebagai alam diri subyek manusia. Tugas ilmuwan adalah menjelaskan alam dalam bahasa dan logika sejelas mungkin dan tugas filsuf adalah mencari makna akan kenyataan yang telah terungkap dengan ketelitian logika dan juga eksperimen empiris. Menelusuri lorong-lorong akal budi untuk memberikan berbagai penjelasan akan gejala alam adalah pekerjaan ilmuwan, dan cara subyek ilmuwan menjalani aktivitas ini sangat menentukan lorong mana yang dimasuki terlebih dahulu. Pengetahuan akan alam berkembang juga karena keputusan manusia. Penjelajahan manusia akan alam dilain pihak juga membuka banyak tempat-tempat gelap tersembunyi dalam pemikiran manusia dari waktu ke waktu sekaligus mengedepankan eksistensi subyek sedikit demi sedikit secara fenomenologis, lewat refleksi dari fenomen-fenomen di alam.
1. Periode Waktu Obyek Alam Makro Mikro, Alam Statis Dinamis Alam makro dan alam mikro adalah istilah yang merujuk kepada obyek yang teramati manusia. Alam makro adalah alam yang tampak dengan mata telanjang, relatif besar. Gunung, bumi, laut, bahkan bulan, bintang, matahari dapat digolongkan alam makro. Alam makro inilah yang sejak jaman purba digauli oleh manusia. Di jaman Yunani timbul teori-teori yang menyatakan bahwa inti alam semesta adalah air (Thales, ~624-546), atau udara (Anaximenes, ~585525), api (Herakleitos, ~550-480), karena obyek-obyek inilah yang tampak dengan mata telanjang dan dianalis. Matahari yang membantu kehidupan dengan sinar dan panasnya, air yang terkandung di semua obyek alam lain, dan menjalankan kehidupan di alam semesta, manusia bernafaskan udara, pergerakan benda-benda langit yang mempunyai keteraturan, rasi bintang yang punya nama dan bentuk tetap sudah mengilhami pemikiran manusia jauh sebelum peradaban Yunani. Alam adalah inspirasi utama manusia sejak jaman dahulu. Kesadaran manusia yang pertama adalah kesadaran akan alam. Alam pula yang membawa manusia kepada kebesaran yang lebih besar dari obyek alam tampak, yakni keyakinan magis yang bervariasi pula dari waktu ke waktu. Alam makro dalam kenyataannya menjadi sangat besar dan diketahui tidak terbatas dan tetap menyisakan tanda tanya besar seputar kehidupan dan makhluk hidup. Dari suasana pemikiran akan alam makro, para ahli Yunani juga mempunyai wawasan tersendiri akan alam mikro. Empedokles (~492-432) yang juga seorang ilmuwan alam dan dokter memperkenalkan konsep pluralitas dalam “rhizomata” (akar) yang tampak dalam realitas alam air-api-tanah-udara. Keempatnya mendasari semua materi yang ada dan masing-masing membawa sifatnya sendiri dalam kombinasinya menjadi material baru secara proporsional. Anaxagoras (~500-425) mengetengahkan “spermata” (benih) sebagai prinsip yang mendasari materi, dan di alam ada banyak sekali spermata. Demokritos (~460370) dan Leukippos (~abad ke-5 SM) berteori bahwa atomos adalah bagian terkecil dari alam semesta yang tidak dapat terbagi, dengan kata lain konsituen
Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
109
terkecil pembentuk segala sesuatu di alam, dan atom yang satu tidak berbeda dengan atom lain. Wawasan ini bukan berasal dari pengelihatan namun berupa sajian teoritis yang berasal dari pengamatan akan alam secara tidak langsung dan dihipotesakan dengan menggunakan logika ke dalam teori. Pemikiran-pemikiran ini menunjukkan panorama pokok kajian para ahli mengenai alamnya, alam material, secara makro maupun secara mikro. Alam material adalah alam statis, realitas “being”. Di antara pemikiran makro dan mikro ini ada Anaximandros (611-546) yang berpendapat bahwa prinsip segala sesuatu adalah to apeiron (yang tidak berakhir, tidak terbatas, tidak terkatakan) yang bukan lagi alam material statis, namun sudah menjadi realitas dinamis, karena dari “yang tak terbatas” ini dilepaskan unsur-unsur yang sifatnya saling berlawanan seperti panas-dingin, cepat-lambat, basah-kering, dan sebagainya. Jika ada dua hal yang berlawanan sifatnya pasti ada gerakan untuk menyesuaikan diri. Pemikiran ini menunjukkan bagaimana Anaximandros mencoba menyentuh “perubahan” dari alam material, baik makro maupun mikro. Suatu realitas “becoming” karena “gerakan” dan pergantian alam menjadi topik yang mengutama. Empedokles menyatakan bahwa kekuatan cinta dan bencilah yang menggerakkan perubahan air-tanah-api-angin. Yang juga menarik adalah Anaxagoras dengan spermatanya yang menyusun komposisi materi dan bergerak menuju keteraturan dari kekacauan (chaos) oleh adanya jiwa, roh, rasio (nous) yang sempurna, transenden, aktif, tidak terbatas serta bebas. Sedangkan menurut Demokritos semua atom senantiasa bergerak karena di antara atom-atom ini ada banyak ruang-ruang kosong. Epikurus juga berpendapat bahwa atom-atom bergerak sejajar dalam lintasan lurus dalam ruang kosong dan suatu saat mengalami sedikit penyimpangan sehingga dapat bergabung dengan atom lain untuk menyusun materi. Ruang kosong ini harus ada karena “yang ada” bukan cuma mencakup “yang ada” namun juga termasuk “yang tidak ada”. Dengan demikian ada gerakan, analog dengan pendapat Anaximandros. Pertentangan terbesar dalam sejarah pemikiran, antara pendapat mengenai alam statis dan alam dinamis adalah pendapat dari Parminides dari Elea (~540470) dan Herakleitos (~550-480) yang berakar dari pandangan kesatuan (statistika) lawan perubahan (dinamika). Sementara Parminides menekankan kepada hakikat kesatuan (being), Herakleitos benar-benar memikirkan filsafat “menjadi” (becoming) karena dia melihat kenyataan perubahan yang terus menerus, yang terkenal dalam rumusan ispiratif: semuanya mengalir dan tidak ada yang diam. Dan ternyata, pertentangan lama ini muncul berkali-kali sepanjang sejarah pemikiran manusia termasuk dalam sejarah pencarian pengetahuan manusia akan penjelasan fenomena alam, juga berkali-kali dalam perkembangan sains di jaman modern dan post-modern. Banyak yang mengibaratkan perubahanperubahan ini sebagai gerakan pendulum, atau grafik sinus, ada titik belok dan titik balik dalam konteks masing-masing. Dalam perkembangannya, sains makro merambah wilayah yang tidak tampak mata saja namun sudah kepada gejala alam yang memerlukan abstraksi setingkat lebih mendalam. Misalnya gejala “apel jatuh” yang dialami Newton 110
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
(1643-1727) sebelum dia merumuskan hukum-hukumnya, memerlukan penjelasan dalam abstraksi manusia, bahwa ada gaya yang membuat benda bermasa cenderung jatuh ke bawah dan tidak sebaliknya. Konsep energi mulai dikembangkan, panas diperlukan untuk menjalankan proses, ada mesin uap dan revolusi industri. Demikian pula kecepatan gerak, percepatan, perubahan fisika dan kimia dapat dipahami dalam konteks material yang dapat dihitung dan diramal dengan eksak. Perkembangan sains makro setelah rumusan hukum-hukum Newton juga menggerakkan kemajuan teknologi dan hal ini mengakselerasi perkembangan sains dan teknologi dengan lebih pesat lagi. Sains gaya Newton adalah sains materi, alam adalah tumpukan materi yang mengikuti hukum alam dan hukum-hukum alam ini yang hendak dikaji dan dirumuskan para ilmuwan sains sepanjang jaman. Dengan bantuan teknologi dan logika matematika modern, sains mikro berkembang dengan lebih mendalam pula lewat ilmu-ilmu baru yang sangat spesifik bidang kajiannya. Sains mikro berobyekkan benda-benda material terkecil seperti atom yang modelnya telah mengalami verifikasi berulang-ulang sejak teori Demokritos dan melampaui pemikiran Thomson (1856-1940), Bohr (18851962), Rutherford (1871-1937), dan grup mekanika kuantum. Atom di jaman modern adalah atom yang mempunyai elektron, inti atom, partikel dalam inti atom, partikel-partikel yang non-material dan hanya berupa energi. Dan yang paling menarik adalah ditemukannya realitas bahwa semua materi di alam sifatnya dinamis, tidak ada satupun yang diam dan statis. Terlihat statis secara makro namun sangat dinamis dan rumit di skala mikro. Dalam suasana ini gerakan adalah esensi. Gerakan-gerakan yang membuat suasana sangat “ramai” di skala mikro inilah yang memberi inspirasi mendalam bagi ilmuwan dan masyarakat modern karena lagi-lagi sesuatu yang being ternyata sangat becoming. Yang lebih menawan lagi adalah didapatnya pengetahuan bahwa yang dinamis di skala mikro adalah penyusun utama secara tidak langsung bagi yang statis di skala makro. Jika kita mengamati sebongkah batu diam di suatu tempat selama betahun-tahun, kita tidak menyadari bahwa batu ini tersusun atas sejumlah rangkaian kombinasi indah antar atom yang menempatkan diri dalam dinamikanya mencari posisi yang stabil untuk terus bergerak dalam wilayah mikronya. Tanpa dinamika di dalam tidak mungkin ada materi yang mempunyai karakter tampak dan dapat diteliti. Mungkin inilah yang dipikirkan sebagai nous oleh Anaxagoras di jamannya. Gerakan tiada henti yang menghidupkan alam semesta. Menurut Anaxagoras gerakan alam semesta ini mengatur apa yang tadinya chaos. Jadi order-lah yang menggerakkan gerakan (cita-cita keberaturan). Keteraturan dalam kesetimbangan dinamis, bukan keteraturan yang melulu membawa makna statistika. Konsep skala (scaling concept) yang merupakan titik tolak pemikiran ahli polimer modern Perancis P. de Gennes (lahir 1932), pemenang Nobel Fisika 1991, kiranya baik untuk dipikirkan pula di sini. Bahwa valid tidaknya suatu pemikiran sedikit banyak bergantung kepada konteks skalanya, dan dalam sains hal ini bisa berupa skala obyeknya. Analog dengan membandingkan gerak Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
111
elektron mengelilingi inti dalam orbital masing-masing dengan gerakan bumi serta planet-planet mengelilingi matahari. Bahwa manusia sebagai ciptaan tertinggi merasa mampu menguasai alam, padahal secara tidak disadari manusia berpikir dalam skalanya dan kapasitasnya sebagai manusia, di planet bumi. Di luar angkasa bumi mungkin ada juga agen intelegensia yang berpikir dengan skala masingmasing. Dengan kapasitas pencarian manusia sekarang kita belum dapat mengetahui apa-apa mengenai kapasitas lain yang lebih tinggi dari kapasitas kita sendiri. Di sinilah peran subyektivitas menyentuh penelitian sains modern. Bahwa apa yang kita lakukan saat ini tanpa kita sadari adalah sains yang sebenarnya sangat subyektif.
2. Subyektivitas Dalam Perkembangan Sains Sains adalah ilmu obyektif dan obyek kajiannya adalah alam, alam yang sama untuk semua orang, dan sains bersifat universal. Seharusnya ilmu pengetahuan alam rentan terhadap subyektivitas manusia. Namun dari manakah munculnya subyektivitas dalam sains? Dengan tidak melupakan konsep skala, pertanyaan ini memerlukan beberapa perspektif. Salah satunya adalah perspektif sejarah, dimana obyek makro dan obyek mikro adalah dua kenyataan pengetahuan yang tidak terbantahkan, dan juga obyek statis dan obyek dinamis yang lebih memerlukan kedalaman pemikiran. Dalam obyek makro manusia meneliti dengan obyektivitas penuh, walaupun manusia adalah bagian dari alam makro. Namun dalam skala mikro manusia dihadapkan pada komponen halus (atomos), pada akar (rhizoma), benih (spermata), singkatnya pada penyusun, dan juga bahkan pada ketidakpastian, karena harus ada kombinasi dan kombinasi mengandaikan pilihan, dan ini tentu bukan kepastian. Manusia harus bertindak sebagai partisipator untuk mendapatkan sedikit kepastian dalam perhitungannya. Ini adalah konsekuensi dari prinsip-prinsip Demokritos, Empedokles, Anaximandros, Anaxagoras sampai prinsip-prinsip Bohr, Rutherford, dan terutama prinsip kebolehjadian Heisenberg yang menekankan probabilitas kalau hendak memetakan tempat elektron pada suatu saat dalam gerak edarnya mengelilingi inti atom. Bahwa “kepastian” ternyata bukan milik manusia. Bagaimana subyektivitas muncul? Karena partikel mikro adalah penyusun, akar, benih, dan yang mikro ini menjadi penting. Maka bukan alam makro yang tampak itu lagi yang menduduki tempat utama namun justru yang tidak tampak akan menjadi subyek baru. Mengamati hal ini manusia akan berrefleksi dengan gaya analog. Jika kita perhatikan: kapan subyek menjadi penting? Jika yang kecil-kecil dapat diketahui dan dinyatakan. Di jaman pra Sokrates manusia sibuk dengan alam, alam makro yang kemudian bergerak ke wilayah mikro. Bersamaan dengan itu refleksi manusia bergerak kepada subyektivitas yang mengutama. Sokrates (~470-399) sudah 112
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
menyorot manusia sebagai sekumpulan subyek, subyek yang makro, karena menurut Sokrates etika dan politik adalah yang penting dalam hidup ini. Bagaimana manusia bersikap dalam kelompoknya supaya mendapatkan keadaan bahagia adalah perhatian Sokrates yang utama. Plato (~428-348) lebih spesifik lagi memperhatikan subyek manusia dengan segala keutamaannya. Setelah itu ada Aristoteles (384-322) yang benar-benar mengurus subyek manusia sampai kepada akarnya. Aristoteles merangkum pengetahuan tentang struktur dan bagian-bagian dalam logika. Metode rasionalis deduksi dan induksi mengandaikan struktur penyusun pengetahuan. Dalam merefleksi “substansi” Aristoteles menyentuh metafisika termasuk sumbangan alam mikro. Aristoteles juga membahas becoming secara mendalam dalam distingsi actus dan potensia. Dalam perjalanan becoming Aristoteles membedakan empat macam penyebab suatu perubahan harus terjadi: causa formalis, finalis, efisien, materialis). Keempat penyebab ini bukan wilayah kajian akan alam, namun jauh lebih mendalam dari alam yang kelihatan, bahwa alam memang senantiasa berubah dan manusia tidak menyadari maknanya. Aristoteles mengetengahkan subyek dengan sangat detil dalam etika, ada macam-macam distingsi yang menyebabkan kita melihat kontradiksi dan dengan sendirinya yang kita alami adalah perubahan. Ada kehendak dan ada keutamaan sebagai acuan subyektif dalam filsafatnya. Ada keseimbangan yang dibahasakan dalam keadilan yang juga merupakan upaya pengelolaan subyek. Subyektivitas komunal diolah dalam politik, semacam membangun struktur baru yang lebih makro dan keluar dari wilayah mikro subyektif. Dinamika dalam permainan skala ini dirumuskan sebagai harmoni yang sangat estetis dalam rasio Aristoteles. Dan dasar filsafat modern yang berasal dari pemikiran Yunani banyak sekali digunakan dalam pengolahan subyek manusia di abad pertengahan setelah karya-karya Yunani kuno ditemukan lagi di jaman skolastik. Menyimak sejarah jaman Yunani, manusia mendapatkan subyektivitasnya tidak secara langsung namun melewati serangkaian pemikiran dan juga mempersyaratkan pengetahuan lain termasuk pengetahuan tentang alam. Dalam hal ini Sokrates, Plato dan Aristoteles yang hidup sekitar seabad setelah pemikirpemikir alam Empedokles, Anaxagoras, Demokritos ikut mendapat sumbangan pikiran mengenai alam secara mikro. Refleksi kritis dalam skema manusia menghasilkan struktur subyek manusia menurut Aristoteles terdiri dari kompleksitas yang amat detil, namun semuanya bergerak menurut penyebabpenyebabnya. Di jaman modern ada matematikawan Rene Descartes (1596-1650) yang menggunakan termonologi “kesadaran” untuk menyatakan secara ilmiah subyektivitas manusia. Dan juga manusia adalah subyek di tengah alam kalau manusia cukup menyadari dirinya. Berangkat dari struktur mikro alam teoritis yang sangat distingtif, yang terbedakan dari kumpulan dengan jelas, “clear and distinctive” merupakan metode ilmiah yang sangat ditekankan Descartes. Dengan demikian Descartes membangun alam makro yang tersusun atas distingsi mikro walau cuma sebatas wacana akal budi teoritis.
Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
113
Di kurun waktu setelah Descartes, ada Barukh Spinoza (1632-1677) yang juga seorang ilmuwan alam sangat memperhatikan hukum-hukum alam (berarti juga perubahan-perubahan di alam). Spinoza menganggap Tuhan dalam alam (Deus sive natura). Dalam hal ini Spinoza mencakup alam makro dan mikro namun situasi teknologi saat itu belum dapat menjelaskan gejala di alam mikro. Manusia adalah bagian dari alam dan sekaligus merupakan subyek. Majunya subyektivitas ternyata juga membawa ketegangan baru. Institusi agama yang berkembang sangat kuat dan subyektif di satu pihak melalaikan obyektivitas manusia sendiri. Subyektivitas (institusi agama) pula yang membuat Galileo terjebak karena obyektivitasnya. Manusia (“agama”) merasa sebagai pusat alam semesta dan tidak rela menerima kenyataan bahwa manusia cuma merupakan bagian kecil dari alam, di atas bumi yang ternyata mengelilingi matahari. Langit milik bumi ternyata bukan langit yang kekal, yang terbesar dan satusatunya. Anjuran Galileo untuk menerima kebenaran obyektif malah mengakibatkan ketegangan yang sebenarnya tidak logis, justru karena ego dan subyektivitas manusia terlalu kuat. Di saat yang bersamaan Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704) mempunyai pendapat tersendiri mengenai alam makro yang diamati dengan seksama. Mereka memberikan ide-ide yang menjadi cikal bakal metode empiris. Manusia langsung menjadi subyek dan juga pengamat yang dapat menguasai alam dalam hal memberi perlakuan tertentu dan mengamati akibatnya. Alam adalah obyek yang murni. Metode pengamatan akan alam selanjutnya berkembang sangat pesat dengan cara empiris. Metode ini sangat menguntungkan karena manusia melepaskan diri dari obyek alam dan dapat dengan leluasa mengamati alam. Edmund Husserl (1859-1938) menggunakan terminologi kunci “fenomena” dalam gagasannya mengenai alam, yang juga didasari kesadaran subyektif Descartes. Terminologi ini sampai saat ini sering digunakan untuk melukiskan alam. Berbeda dengan Descartes, pengetahuan harus datang dari data yang diterima dari kesadaran. Fenomena adalah apa yang hadir dalam kesadaran secara subyektif. Selanjutnya Husserl sibuk dengan perenungan mengenai aktivitas subyek dalam berfilsafat sementara ide-ide subyektivitasnya meramaikan wacana para ilmuwan alam yang mengalami dan menyadari gejala alam. Sangat menarik untuk mempelajari perjalanan filsafat para subyektifis ini dan akibatnya pada proses perkembangan sains. Husserl juga dalam banyak hal didukung oleh empirisme Locke yang sangat mempengaruhi metodologi pencarian pengetahuan alam. Sejarah obyek makro-mikro kajian sains juga mempengaruhi perjalanan obyektivitas-subyektivitas manusia. Manusia mampu bertindak secara obyektif, menjadi pengamat dan menjalankan tindakan empiris pada observasi alam makro dan manusia mendapatkan kepastian. Newton memberikan jalan pengamatan akan alam melalui hukum-hukumnya. Namun semakin banyak usaha empiris manusia dilakukan, sampai pada pengamatan di skala mikro, semikro inti atom dan elektronnya, kepastian yang tadinya milik manusia ternyata tidak diberikan 114
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
oleh alam. Kepastian didapat dari kerja sama alam yang obyektif dan manusia yang subyektif menentukan posisi kebolehjadian. Sejalan dengan perubahan ini, ada Nietzsche (1844-1900) dalam sejarah pemikiran filsafat menggebrak tatanan berpikir masyarakat mengenai kebenaran dan kepastian yang fondasinya adalah agama. Nietzsche mengetengahkan peranan individu yang subyektif dalam menentukan kebenarannya, mengetengahkan kehendaknya dan menjadi tuan atas hidupnya sendiri. Dalam figur Übermensch (Also sprach Zarathustra) Nietzsche berkhotbah dan mengawali lahirnya aliran baru post-modernisme yang membawa makna terbesar dari cuilan-cuilan kecil dari yang besar. Analog dengan makna elektron, inti, atom, penyusun materi yang makro dan tampak mata. Nietzsche mempunyai intuisi kuat bahwa yang subyektif, yang kecil sebagai individu adalah penyusun utama yang besar, yang mapan, seperti agama. Bahwa yang terpenting adalah manusia yang mampu menjalankan peran subyektifnya menyusun kelompok yang stabil dan bukan sebaliknya manusia diatur oleh tatanan kelompoknya. Maka dalam hal ini Nietzsche berangkat dari alam mikro. Nietzsche juga dipengaruhi oleh perkembangan sains pada jaman itu, dimana para kimiawan dan fisikawan sudah melirik kepada keberadaan dan gerak-gerik atom dan molekul, menjelang lahirnya teori kuantum dan ketidakpastian skala mikro yang menghebohkan itu. Nietzsche juga sangat tertarik dengan ilmu alam karena alam mengandung rahasia yang paling obyektif tanpa pengaruh manusia. Sayangnya Nietzsche tidak punya cukup waktu dan latar belakang pengetahuan sains. Namun demikian Noetzsche mempunyai intuisi tajam dalam sains yang ditulis dalam buku Die fröhliche Wissenschaft (The Gay Science). Maka dinamika secara hakiki berada di wilayah mikro. Dinamika manusia dalam gerakannya menjadi manusia super bukanlah dinamika kelompok yang sudah mempunyai tatanan mapan. Nietzsche sendiri membawa memori ketegangan manusia gaya dionisian dan apolonian yang nantinya harus melahirkan manusia sempurna dengan mengandung kedua komponen. Gerakan dinamis yang digambarkan dalam lingkaran tujuh materai yang menjadi bagian ketiga buku Also sprach Zarathustra itu merupakan perjalanan intuitif dia melahirkan kekacauan untuk mencapai keteraturan baru. Dan dinamika ini sepenuhnya milik subyek, justru untuk melahirkan kekekalan, kehidupan, seperti pendapat Anaximander dan Anaxagoras dahulu. Nietzsche juga selalu menandaskan perputaran kembali, kembalinya segala sesuatu yang sama (Die Ewige Wiederkehr des Gleichens), lingkaran kehidupan yang tidak putus-putus. Dengan ungkapan-ungkapan pemberontakan Nietzsche, subyektivitas manusia mulai mengedepan dalam bahasa yang dimengerti kaum awam, bukan bahasa simbolsimbol dalam sains. Lahirnya aliran eksistensialis dan fenomenologis tidak dapat dilepaskan dari jasa Nietzsche dan tidak dapat dilepaskan dari situasi jamannya. Keluaran teori kuantum yang dibahas Lingkaran Wina juga sangat mempengaruhi perkembangan aliran subyektivitas yang terus berkembang sampai postmodernisme. Postmodernisme terkesan menjadi pecahan-pecahan kecil dari pemikiran manusia global, namun memang begitulah saat ini manusia lain juga membahas obyek-obyek Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
115
di alam dalam lingkup kajian ilmu spesifik kecil-kecil dan mendalam. Kekacauan baru akan datang karena masing-masing subyek mikro mengedepan bersamasama. Bahkan salah satu kajian dalam aliran postmodernisme adalah kajian bahasa, yang menjadi perekat penghubung subyek-subyek. Subyek makro dalam sistem masyarakat dan subyek mikro yang sangat eksistensialis harus saling terikat. Daya ikatnya adalah bahasa. Analog dengan energi ikat yang menggerakkan kesatuan material mikro dalam atom dan molekul. Maka tampaknya ditengah kekacauan baru yang timbul karena subyektivitas subyek mikro ini ada usaha pendekatan interdisipliner. Manusia mulai menyadari kembali peran subyektifnya secara obyektif. Manusia mulai menghargai kembali lawannya seperi halnya alam kecil-kecil perlu wilayah kajian dari macammacam perspektif untuk benar-benar melihat bangunannya. Gerakan ini juga sudah digambarkan Anaxagoras dan Anaximandros dahulu dan keluar lagi di jaman modern, segala sesuatu akan kembali.
3. Kesadaran subyek Dalam banyak hal kesadaran subyek memang menurun sejak jaman Aristoteles. Descartes hidup di jaman kembalinya kejayaan pemikiran Yunani ke dalam pemikiran barat. Pada saat ini sains matematika yang sangat berkembang, logika dan akal budi memberi pencerahan, bukan alam nyata. Persis di jaman Yunani Phytagoras juga mendalami angka-angka, dan pencerahan didapat dari makna angkaangka. Namun di jaman mekanika kuantum pencerahan didapat dari pengelihatan akan alam secara tidak langsung, lewat gambar, lewat spektrum, lewat angka hasil perhitungan pula. Kesadaran subyek yang diajarkan Descartes keluar dengan fenomena yang berbeda di jaman kuantum dan pasca kuantum. Dalam sains saat ini manusia mengetahui peran material mikro dalam menyusun material makro. Dalam filsafat selayaknya manusia subyektif menyadari subyektivitasnya sendiri dengan fasilitas seperti bahasa. Sebenarnya pada saat maraknya diskusi modernitas sosiolog Wilhelm Dilthey (1833-1911) memberikan pencerahan dengan teorinya mengenai metode ilmu sosial adalah pemahaman (Verstehen) dalam bukunya Einleitung in die Geisteswissenschaften, dan metode ilmu alam adalah menjelaskan (Erklären). Konsep ini kemudian berkembang dalam hermeneutik, antara lain dalam rangka mengembalikan peranan subyek yang disingkirkan dalam obyektivisme dan positivisme dan sebaliknya, obyektivisme yang disingkirkan oleh subyektivisme yang mengedepan. Dengan demikian dibahas dalam porsi besar peranan subyek sekaligus kesadaran subyek dalam membentuk kenyataan, baik kenyataan sosial dalam masyarakat maupun kenyataan alam dalam laboratorium. Keduanya tetap termasuk dalam dunia kehidupan (Lebenswelt). Epistemologi mencakup refleksi kritis manusia akan pengetahuannya, seperti yang dibahas Gaston Bachelard dalam sejarah dan filsafat pengetahuan serta puisi alam. Dalam diri Bachelard sudah ada persatuan obyek dan subyek yang hendak 116
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
dijelaskan bersama-sama, dan ini merupakan kiprahnya selama hidupnya. Bagi Bachelard, alam pun puitis, dan proses-prosesnya indah. Model ini belum banyak dibahas pada saat itu karena manusia tidak dapat memikirkan puisi dengan rasio. Adalah Dante Alighieri (1265-1321) yang telah menyinggung hal yang sama jauh sebelumnya dalam lukisan tentang alam yang tidak boleh menjadi milik ilmuwan alam saja, agama tidak boleh menjadi milik agamawan saja (Divina commedia). Tiap kenyataan yang ada adalah kenyataan obyektif yang harus dihayati secara subyektif. Dalam sejarah pengetahuan Bachelard meneliti proses perkembangan ilmu alam yang harus bersifat historis dan regional. Dalam sejarah pengetahuan juga kita jumpai beberapa diskontinuitas dari waktu ke waktu namun cukup untuk menggerakkan manusia untuk meneruskan pencarian akan pengetahuan. Bachelard juga memberi makna khusus pada masyarakat ilmiah seperti pendapat Kuhn yang berperan besar dalam memajukan sains. Masyarakat ilmiah inilah yang “mengkonstruksi” obyek-obyek sehingga “tercipta” gejala baru, yang langsung menjadi bagian dari pengetahuan manusia, baik dari pengalaman indrawi maupun yang tidak langsung. Dalam hal ini manusialah yang menciptakan realitas, jadi, sains juga subyektif. Namun Bachelard sangat menyukai dualisme dan dialektika, sehingga obyek dan subyek bagi dia hanyak merupakan “interplay” peranan dari waktu ke waktu dalam pencarian manusiawi. Tambahan lagi, proses obyektifikasi dalam pemikiran ilmiah menurut Bachelard adalah relasional, dengan adanya proses dialektika ini. Dialektika inipun tampak dalam jalan kedua pemikiran dominan Bachelard, yaitu puisi dan penelitiannya mengenai proses kreatif sampai tercipta sebait puisi. Dalam hal ini dia dibantu oleh konsep-konsep psikoanalisa Freud yang pada saat itu sedang naik daun. Puisi adalah upaya mengekspresikan kritik dalam masyarakat, ekspresi yang terlepas pada saat ketegangan. Adapun bangkitnya Bachelard untuk meneliti perpuisian ini dimulai pada saat dia disindir oleh mahasiswanya dengan pernyataan: dunia Bachelard yang “terpasteurisasi.” Renungan selanjutnya dari Bachelard adalah bahwa tidak mungkin seseorang akan merasa bahagia dalam dunia yang serba steril. Maka bergurulah dia pada para penyair dan seniman. Maka sejak saat itu ilmu alam adalah pengetahuan yang membawa manusia kepada persatuan dengan alamnya, tanpa kecenderungan obyektivikasi. Beberapa penemuan di ilmu alam dasar memberikan pemahaman yang berbeda dari sekedar ilmu pengetahuan terapan yang melulu berorientasi kepada teknologi dan ekonomi. Apapun bentuk pencarian manusia adalah dalam rangka persatuan dengan alam. Dunia ilmu alam-sains yang diklaim bersifat sangat obyektif, namun kesadaran manusia yang menelurkan klaim ini adalah kesadaran subyektif.
4. Sains yang plural Jika Empedokles sejak semula mengemukakan teori “rhizomata” untuk memperkenalkan pluralitas dalam cara berpikir manusia, dalam sains modern
Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
117
penyusun materi sudah dapat dimengerti dan dapat dilihat dengan jelas dengan bantuan instrumentasi. Sains dengan demikian adalah pluralitas. Dalam satu atom saja, sebagai satuan terkecil penyusun materi yang membawa sifat khas, ada macam-macam komponen dengan fungsi dan tugas yang berbeda. Dalam skala masing-masing materi terdiri dari penyusun yang sangat beragam, dan hal ini tidak dapat dipungkiri. Gerak adalah sesuatu yang mempertahankan kestabilan alam dalam tiap atom. Demikian juga jika atom bersenyawa dan membentuk molekul. Tujuan akhir adalah kesetimbangan dinamis, karena hanya dalam kesetimbangan suatu proses akan berlangsung teratur dan abadi. Gerak pula yang menjalankan proses yang lebih besar skalanya. Gerak tidak dapat dibendung dan usaha untuk membendung gerak akan membutuhkan lebih banyak gerak lagi. Dengan demikian kiranya dapat dimengerti bahwa stabilitas hanya ada dalam pluralitas dalam tatanan dinamisnya. Jika pluralitas tidak diterima dan hukum alam dilawan, yang ada adalah ketidakstabilan. Dan ketidakstabilan akan menjadikan proses baru akan bergerak menuju ke keadaan stabil namun dinamis. Dengan demikian proses akan berjalan terus mencari keadaan terstabil.
5. Sains yang reflektif Maka, dalam kesadaran subyeknya, sains menyediakan jalan pencarian manusia yang reflektif dimana-mana. Manusia kagum, dan juga takut. Ketakutan para ilmuwan juga berkisar pada determinisme hidup kita. Seperti Epikurus, anak buah Demokritos yang mencetuskan “atomos” untuk material terkecil yang tidak dapat dibagi lagi. Dilema Epikurus berawal dari teorinya yang menyatakan bahwa semua materi di dunia terdiri dari atom dan ruang kosong. Atom jatuh ke dalam ruang kosong dengan kecepatan yang sama dengan dalam lajur-lajur paralel. Bagaimana mungkin atom-atom ini nanti bisa bersentuhan, bertabrakan, atau bergabung dengan atom-atom lain karena kenyataannya semua materi di atas bumi ini terdiri dari gabungan beberapa macam atom dengan kombinasikombinasi tertentu yang sulit ditebak. Padahal, menurut dia, nasib manusia dan intelektual dari alam tak dapat dipisahkan. Jadi, apakah makna dari kebebasan manusia dalam dunia deterministik atom? Ini adalah kecemasan di skala mikro. Fisika klasik Newton lebih meresahkan para pencari kebebasan hakiki. Betapa tidak, jika alam bergerak pasti dapat dihitung kapan dan juga dimana gerak itu akan berakhir tergantung energinya serta arah geraknya. Tidak ada ruang gerak bagi manusia selain mengikuti irama hukum-hukum alam. Einstein pernah mempertanyakan hal ini dalam renungan-renungannya. Bahkan alternatif Epikurus, yaitu “clinamen” (inklinasi) dari lajur-lajur jatuhnya atom dan ini menyebabkan pergeseran arah dan nanti atom-atom bertumbukan dan bersatu dengan atom-atom lain membentuk material di bumi, hanya dianggap Einstein sebagai suatu kebetulan belaka. 118
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Fisika kuantum lumayan melegakan karena paling tidak masih ada tempat bagi manusia untuk menentukan hidupnya, dalam sekian banyak kemungkinan. Dengan refleksi dari teori kebolehjadian Heisenberg (1901-1976), masa depan manusia dalam sekian banyak kemungkinan ini sedikit banyak masih tergantung kepada pilihan manusia sendiri. Lagipula dalam keadaan chaotic-pun manusia masih punya kecenderungan alami akan keteraturan. Gejala non-linearitas yang mulai dibahas dalam sains kontemporer memaparkan “puisi” alam yang lebih indah dan hidup dari yang selama ini dapat dibayangkan dari alam yang kaku dan logis. Gejala chaos pasca kuantum adalah perhatian kalangan sains di masa depan. Sains menyediakan wacana pengembaraan manusia yang tidak pernah puas ini.
6. Sains yang estetis Jika Gaston Bachelard berguru kepada para seniman dan penyair untuk membebaskan diri dari “sterilitas”nya selama bergelut dengan fisika dan matematika, maka Michel Serres (lahir 1930), salah satu murid Bachelard, sering disebut sebagai seorang “pengelana” antara seni dan ilmu. “Penemuan” bagi dia berarti “komunikasi”, “penerjemahan” atau “metafora.” Dunia sains adalah dunia sistem-sistem alam yang di setiap saat menyeimbangkan diri secara termodinamis. Dan sebagian wilayah dunia seni “overlap” dan berada bersama dengan sains. Pembicaraan mengenai alam ada dalam seni dan sains walau dengan bahasa yang berbeda tetap dapat dikomunikasikan. Serres memberi perhatian kepada “derau” yang mestinya diterjemahkan sebagai bagian heterogen yang berisi informasi-informasi yang tumpang tindih dalam upaya organisasi kembali menjadi informasi yang berguna dalam tata lebih tinggi. Derau hadir dalam puisi, dan dalam fisika. Suatu saat Serres juga sempat berujar: tanpa puisi tidak akan ada ilmu. Bisa jadi hanya ada beberapa ilmuwan yang sanggup menjangkau sampai pada relung-relung alam mikro yang tidak terjangkau pengelihatan kita, yang sanggup mengamati betapa puisi alam raya juga melantun spontan sedemikian indahnya tanpa henti. Beberapa manusia ikut mengamati. Sementara seniman membuat puisi, tentang interaksi antar insan yang juga indah. Bukankah ini pola yang sama dalam skala masing-masing yang dapat melukis kenyataan, samasama dengan sangat indah? Antara manusia ciptaan dan manusia yang mencipta terdapat interaksi tanpa henti dalam proses-proses indah pula. Dimanakah akhirnya? Kita lepaskan pertanyaan ini kepada imajinasi kita, kepada kemampuan dan daya bayang akan keindahan-keindahan yang akan datang. Bahwa di akhir semua ini pun ada keindahan alami, mungkin mirip dengan keindahan penciptaan. Sains ternyata masih punya dimensi estetik untuk diekspresikan dengan bebas dan spontan. Manusia cuma harus berdialog dengan alamnya, karena setiap kali sains mengajarkan pengetahuan baru, yang bisa jadi merupakan “gema puitis” (Ilya Progogine & Isabella Strengers) dari alam dan proses-proses alami yang sifatnya terbuka kepada eksporasi selanjutnya.
Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
119
Ada Gaston Bachelard, ada Michael Serres yang bergerak karena melihat alam lalu menulis puisi, dan ini adalah salah satu rekonsiliasi dari dikotomi yang dibuat manusia. Pada dasarnya daerah putih dan hitam tidak ada, yang ada hanyalah gradasi menuju putih dan hitam, diantaranya ada macam-macam kelabu. Ada derau pula. Hanya ego manusia yang sanggup menolak kenyataan ini.
7. Kesadaran yang membebaskan Keindahan alam yang dimengerti dan dipahami dalam sains yang reflektif dan ekspresif sebenarnya cukup melegakan manusia. Kemajuan dalam sains yang ditunjang kemajuan empirisme ini menambah khasanah baru dalam sejarah sains, yakni modernitas. Modernisasi yang menghantarkan manusia kepada pengelihatan mendetail mengenai alamnya ternyata memang jalan menuju pembebasan manusia. Pengelihatan kepada alam makro dan alam mikro membuat manusia lebih menyadari posisinya dalam alam. Kesadaran yang dipupuk sedikit demi sedikit dan dikonfirmasi dalam sains empiris membuat cakrawala pandang manusia melebar tanpa batas. Juga dalam hal keindahan, dalamnya rasio dan hati manusia dirasuki aspek estetis bahkan religius. Belum terhitung perubahan yang dibawa modernitas terhadap kehidupan riil manusia sehari-hari. Demikian pula dengan sains komputasi yang berurusan dengan bit demi bit informasi memberikan pemahaman baru akan alam di masa depan. Sains saat ini yang menggarap materi dan energi dari alam akan bergerak menuju sains yang membahas informasi yang menyusun suatu pengada. Mungkin mirip dengan metafisika kembali. Namun lebih dari sekedar “automaton” dalam alam manusia tetap mempunyai daerah otonom dalam hidupnya untuk menentukan dirinya dan alamnya. Sesempit apapun daerah ini tetap sangat menentukan proses-proses selanjutnya, dengan cara linier maupun non-linier, dengan kaku mengikuti matematika atau dengan lugas gaya pelukis dan penyair. Modernitas juga membawa manusia kepada pengakuan akan alam ini. Bukan sekedar pengakuan metafisika, namun secara riil manusia sanggup menyatakan “ya” dalam hal eksistensi diri dan alam. Ya sebagai sebagian dari alam dan ya sebagai sebagian pencipta alam, karena sains adalah obyek yang digauli subyek secara serentak. Membebaskan, karena manusia akhirnya sanggup menerima eksistensinya sebagai makluk sosial dan sebagai bagian dari alam yang berinteraksi dan melihat kenyataan-kenyataan baru yang sesuai maupun tidak sesuai dengan nalar maupun cita rasa estetiknya. Manusia akhirnya menangkap kesadaran yang tidak bersarang (F. Budi Hardiman) dimana kesadaran subyek terbentuk dari interaksi pendekatan obyektif atas alam dan realitas sosial dimana terjadi saling mempengaruhi. Struktur obyektif adalah produk kesadaran manusiawi dan kesadaran tersebut adalah produk strukturnya sendiri yang berupa jaringan subyek dengan kenyataan obyeknya. Kesadaran ini berbeda degan kesadaran cogito menurut Descartes di awal jaman
120
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
rasionalisme, namun kesadaran yang lebih digerakkan rangkaian proses subyektivasi (individuasi) dan obyektivasi dalam lingkungan modern yang diwarnai dengan gambaran alam yang lebih komprehensif dan juga teknologi yang sangat efisien. Akan terjadi tranformasi kesadaran yang senantiasa dinamis dari tiap momen kritis di jaman ini. Sains dan ilmu sosial tidak mudah lagi didikotomikan seperti setelah jaman positivisme berakhir. Transformasi dalam kritis akan melahirkan puisi pula sebagai ungkapan ekspresif subyek yang mengalami ketegangan. Momen lahirnya puisi bukanlah momen stabil sestabil ilmu alam dan matematika, bukan pula momen chaos setidakteratur realitas sosial dalam krisis, namun lebih merupakan jalinan seimbang dari upaya menuju keteraturan yang tidak harus dibuat steril dari kemungkinan lain. Di sini puisi akan tampak indah dan membebaskan, hampir melepaskan diri dari otoritas dan tradisi apapun. Dan realitas alam obyektif tidak lagi menjadi musuh manusia yang berkelana mencari makna.
8. Penutup Alam adalah bagian hidup manusia yang tidak terpisahkan dimana manusia juga bagian dari hidup alam. Pengetahuan akan alam bukan merupakan sesuatu yang rigid seperti dikesankan banyak orang. Sepanjang sejarah pencarian manusia akan alam seputar alam semesta makro, lalu alam mikro di awal abad ke-20 yang meliputi atom, bahkan inti atom memberikan warna tersendiri bagi “seni alam”. Dalam alam makro manusia menyadari kekecilannya, dan pada saat rasionalisme merajai dunia berpikir barat, kesadaran subyektif menjadi pusat sampai pada merajanya obyektivitas dan membuat manusia kehilangan kebebasannya. Pada waktu mekanika kuantum lahir, manusia lalu kehilangan jejak kepastian karena mekanisme alam mikro ternyata hanya dapat dijelaskan dengan kebolehjadian atau kemungkinan-kemungkinan. Selanjutnya manusia menemukan kembali makna kebebasan dan pilihan serta hidupnya dalam sains modern yang menyertakan pandangan mengenai chaos dan fraktal yang menjanjikan penjelasan akan keindahan alam pula. Maka seiring dengan perkembangan sains, manusia berdialog dengan alam dengan cara pandang yang bergeser. Proses-proses ini melahirkan refleksi mendalam dari ilmuwan, dan tumbuhnya kembali religiositas yang sempat memudar pada jaman rasionalisme. Astronom Johannes Kepler bahkan pernah menulis: “Aku ingin melihat Tuhan dalam jiwa manusia dengan keheningan aku melihat alam.” Para ilmuwan pada saatnya akan mengalami ketegangan, yang akan melahirkan puisi indah mengenai alam yang reflektif namun membebaskan, baik disadari secara langsung maupun yang tidak. Manusia bersatu kembali dengan alam, bukan sebagai sekedar pengamat namun sebagai bagian dari alam yang menentukan dan ditentukan alam. Peran manusia adalah “interplay” antara obyektivitas dan subyektivitas dalam kerangka hukum alam.
Surjani Wonorahardjo, Renungan Filosofis Tentang Sains
121
BIBLIOGRAFI Chalmers, A.F., What is This Thing Called Science?, University of Queensland Press, St. Lucia: 1982. F. Budi Hardiman, Melampaui Positivisme dan Modernitas, Diskursus Folosofis tentang Metode Ilmiah dan Problem Modernitas, Kanisius, Yogyakarta: 2003. Hardono Hadi, Epistemologi, Filsafat Pengetahuan Kenneth T. Gallagher, Kanisius, Yogyakarta: 1994 Illingworth, Valerie (ed.), The Penguin Dictionary of Physics, Penguin Group: London, 1991. J. Sudarminta, Epistemologi Dasar, Pengantar Filsafat Pengetahuan, Kanisius, Yogyakarta: 2002. Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta: 2001 Keraf, A. Sony dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis, Kanisius, Yogyakarta: 2001. Kockelmans, J.J., Kisil, T.J., Phenomenology and The Natural Sciences, Northwestern University Press, Evanston, 1970. Kunzmann, P., Burkard, F-P., Wiedmann, F., dtv-Atlas Philosophie, Deutscher Taschenbucher Verlag: München, 2001. Leahy, Louis, Horizon Manusia, Dari Pengetahuan ke Kebijaksanaan, Kanisius, Yogyakarta:2002. Lechte, J., 50 Filsuf Kontemporer, Penerbit Kanisius, Yogyakarta: 2001. Nietzsche, F., Also Sparach Zarathustra, Ein Buch fuer Alle und Keinen, Der Goldmann Verlag, Augsburg: 1999. Nicolis, G., Prigogine, I., Exploring Complexity, WH Freeman and Co.: New York 1998. Prigogine, Ilya, From Being to Becoming, Time and Complexity in The Physical Sciences, W.H. Freeman and Company: San Fransisco, 1980. Prigogine, Ilya, The End of Certainty, Time, Chaos, and The Laws of Nature, The Free Press: New York, 1997. Russel, R.J., Murphy, N., Peacocke A.R., Chaos and Complexity, Scientific Perspestives on Divine Action, Vatican Observatory Publications dan The Center for Theology and The Natural Sciences: Vatican City-Berkeley, 1995. Soetomo, Greg, Sains dan Problem Ketuhanan, Penerbit Kanisius: Yogyakarta, 1995. Supelli, Karlina Leksono, Kisah Galileo Yang Disalahpahami, Diskursus, Vol I No. 2, Agustus, 2002. Tobias, Sheila dan Tomizuka, C.T., Breaking the Science Barrier, New York: 1992 Yong Ohoitimur, Pengantar Berfilsafat, Yayasan Gapura, Jakarta: 1997. 122
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
KEMUNGKINAN DAN BATAS-BATAS KENDALI POLITIS TERHADAP ILMU PENGETAHUAN
Donatus Sermada Kelen STFT Widya Sasana, Malang Abstract: The article focuses on the possibilities and the limitations of how far the political control is operating in the field of the science. The dynamics of the scientific development goes into two directions, namely to build up the autonomous position of the science and to make the science being bridled by the social problems from outside. The author tries to show up the possibilities the political control of the science can be done properly in the phase of its historical development, but at the same time the author points out the limitations the political control of the science should face. The article ends up with a description of an ethical problem found in the present times due to the one-sided development of the science, namely being determined and directed by the other interests outside from the science itself. Keywords: Ilmu pengetahuan, dinamika perkembangan, kendali politis, problem etis.
Tema ini digarap penulis dengan maksud untuk memperlihatkan satu era perkembangan ilmu pengetahuan yang dewasa ini tidak lagi netral. Dengan demikian legitimitas posisi ilmu pengetahuan yang bersifat otonom dan proses perkembangannya yang mandiri dipertanyakan kembali. Justru di sinilah letak pokok diskusi yang menggeluti kontroversi antara penelitian ilmiah melulu tanpa kendali dari luar dan penelitian ilmiah yang dapat dikendalikan dari luar ( penelitian ilmiah yang berorientasi pada problem tertentu ).1
1. DINAMIKA ILMU PENGETAHUAN DAN PROGRAM POLITISNYA Perkembangan ilmu pengetahuan teoretis menunjukkan adanya satu dinamika yang berjalan ke dua arah garis.2 Arah garis yang satu berangkat dari
1
2
Penelitian ilmiah melulu tanpa kendali dari luar atau penelitian disipliner memusatkan perhatian pada dinamika intern satu disiplin ilmu tertentu yang memperoleh karakternya justru dalam fase paradigmatis. Penelitian ini menyibukkan diri dengan pengolahan satu teori dasar yang bersifat menjelaskan. Lawannya adalah penelitian ilmiah yang dapat dikendalikan dari luar atau penelitian ilmiah yang berorientasi pada problem tertentu. Penelitian ilmiah yang disebut terakhir ini membiarkan diri dikendalikan demi problem-problem sosial ekstern. Van den Daele, Wolfgang & Krohn, Wolfgang & Weingart, Peter: Die politische Steuerung der wissenschaftlichen Entwicklung. In: Geplante Forschung. Van den Daele, Wolfgang & Krohn, Wolfgang und Weingart, Peter (Hrsg.). Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1979, hlm. 45-47. 55-59. Böhme, Gernot & Van den Daele, Wolfgang & Hohlfeld, Rainer: Finalisierung revisited. In: Die gesellschaftliche
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
123
satu teori yang sudah dicapai, dan dari teori ini berkembanglah satu teori yang lebih umum dan lebih luas. Di dalam teori yang lebih umum dan lebih luas itu masih termuat juga teori yang sudah dicapai itu. Arah garis yang lain mengarah kepada spesialisasi, yaitu menyangkut pengolahan dan penerapan teori yang sudah dicapai itu untuk bidang tertentu. Apa yang dimaksudkan dengan “Teori yang sudah dicapai“ ( die erreichte Theorie)? Teori yang sudah dicapai adalah satu teori yang “sudah lengkap“ dalam sejarah perkembangannya; itu berarti bahwa dia sudah mengalami kematangan dan kestabilan.3 Kematangan teori menunjukkan satu keadaan yang di dalamnya problem-problem mendasar dari ilmu pengetahuan khusus telah terpecahkan oleh adanya perumusan satu teori umum. Teori umum ini mengena juga pada obyek atau sasaran penelitian ilmu pengetahuan khusus itu. Dan kestabilan teori menunjuk pada fenomena pemberlakuan satu teori, yaitu pada pemenuhan semua unsur pokok dalam bidang tertentu dari penelitian, pada penegasan akan berlakunya teori itu lewat teori susulannya, dan pada kelengkapan potensi perkembangan intern sebagai basis untuk perkembangan teknisnya. Pengertian “Teori yang sudah lengkap“ ( die abgeschlossene Theorie ) pertama kali muncul dalam karya Werner Heisenberg, yaitu “Der Begriff ’abgeschlossene Theorie’ in der modernen Naturwissenschaft“ ( Pengertian ’Teori yang sudah lengkap’ dalam Ilmu Alam Modern ), dan pengertiannya itu diperluas lebih lanjut oleh Carl Friedrick von Weizsäcker.4 Heisenberg mengerti “Teori yang sudah lengkap“ sebagai satu teori yang berlaku untuk sepanjang masa, dan hukumnya dipandang tepat. Ia memberi contoh tentang teori klasik dari Fisika. Teori klasik Fisika menurutnya adalah satu teori yang sudah lengkap, karena dari teori ini muncul teori relativitas dan teori kwantum; kedua teori yang disebut terakhir ini tidak menghapuskan teori klasik Fisika, tetapi dapat membenarkan pemberlakuan teori klasik untuk pengalaman bidang tertentu. Carl Friedrick von Weizsäcker menambahkan lagi bahwa teori yang sudah lengkap justru membantu orang untuk merumuskan secara eksplisit prinsip umum dan keharusan pemberlakuannya. Meskipun keberatan sistematis tentang pengertian teori yang sudah lengkap itu datang antara lain dari Karl Popper melalui teorinya tentang “Fallibilisme Ilmu Pengetahuan“ dan dari Thomas S. Kuhn dengan teorinya tentang “Peralihan Paradigma“,5 namun pengertian tentang teori yang sudah lengkap itu menurut Gernot
3
4 5
124
Orientierung des wissenschaftlichen Fortschritts. ( Starnberger Studien I ). Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1978, hlm. 208-209. Kematangan teori menunjuk kepada “teori yang sudah lengkap“ dari Werner Heisenberg. Kestabilan satu teori menunjuk kepada satu teori yang lebih luas dari teori yang sudah lengkap Werner Heisenberg. Keabsahan teori yang stabil ini untuk sepanjang waktu masih dipersoalkan. Ibid, hlm. 197-200. Ibid, hlm. 200-2003. Teori Fallibilisme Karl Popper bertolak dari pendirian bahwa ilmu pengetahuan terdiri dari satu sistem hipotesehipotese. Hipotese-hipotese itu memiliki karakter yang bersifat mungkin, bahkan malah yang bersifat salah, karena sistem hipotese yang demikian pada dasarnya berdiri di atas satu antisipasi yang tak beralasan. Konsep itu justru melepaskan tendensi dogmatisasi teori ilmu pengetahuan, dogmatisasi yang tampak dalam
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Böhme dalam karyanya “Finalisierung revisited“ masih punya arti. Gernot Böhme berpendapat bahwa teori yang sudah lengkap justru memperlihatkan satu pengetahuan yang sudah final. Teori dasar umum dari pengetahuan yang sudah final itu dalam perumusannya telah mengungkapkan kesempurnaan konsep, pemberlakuan dan penerapannya pada bidang tertentu dan pendasaran yang meyakinkan untuk perkembangan lebih lanjut. Satu teori yang sudah lengkap menurut Böhme tidak berarti bahwa perkembangannya sudah berakhir. Teori yang sudah lengkap masih berkembang lebih lanjut melalui karakter-karakter dasar garis perkembangannya sebagai berikut. Di satu pihak teori yang sudah lengkap diterapkan pada sistemsistem yang harus terkait dengan tuntutan pemberlakuan teori yang sudah lengkap tersebut. Teori ini dikembangkan menjadi satu paradigma dengan cara bagaimana teori tersebut dapat diterapkan pada fenomen-fenomen khusus atau pada sistemsistem di dalam bidang yang menjadi sasaran penelitian ilmiahnya. Pada pihak lain teori yang sudah lengkap itu diterapkan pada sistem-sistem yang tidak boleh terjerumus ke dalam bidang penelitian yang berlaku untuk teori tersebut sebagai paradigma. Hal ini terkait dengan usaha untuk menegakkan atau menghasilkan satu paradigma baru. Dan paradigma baru ini hanya tercipta dengan jalan bagaimana orang menempatkan bidang penelitian yang satu ke bawah teori dari satu bidang penelitian yang lain.6 Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan teoretis dewasa ini mencapai satu fase yang tertempa sangat kuat oleh apa yang disebut “finalisasi ilmu pengetahuan“ ( Finalisierung der Wissenschaft ). Finalisasi ilmu pengetahuan adalah satu proses yang menyediakan satu ruang gerak alternatif yang khas. Di dalam ruang gerak alternatif yang khas ini justru arah perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditentukan oleh satu bidang yang lain seperti bidang ekonomi, bidang sosial atau bidang politik.7 Dengan demikian, dinamika ilmu pengetahuan berada dalam satu fase keterbukaan untuk menerima penentuan arah perkembangannya oleh bidang yang lain. Justru di dalam ruang gerak alternatif yang khas inilah terdapat kemungkinan untuk mengendalikan ilmu pengetahuan yang akan kita bahas pada bagian berikut. Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan menuntut adanya satu keputusan politis yang tidak dapat dihindari, apabila itu menyangkut penelitian
6 7
satu teori yang sudah lengkap. Ibid, hlm. 203. Teori Peralihan Paradigma dari Thomas S. Kuhn ditemukan dalam tiga fase-model sejarah ilmu pengetahuan. Peralihan dari fase sebelum paradigma menuju fase paradigmatis dan dari situ ke fase sesudah paradigma dikenal sebagai revolusi ilmu pengetahuan yang memutuskan hubungannya dengan fase sebelumnya. Pengertian “teori yang sudah lengkap“ dari Weisenberg tidak kena pada konsep itu, karena dalam teori Kuhn tidak lagi ada kelanjutan dari teori sebelumnya. Ibid, hlm. 205-206. Bdk. Anderson, Gunnar: Freiheit oder Finalisierung der Forschung. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft. Hübner, Kurt & Lobkowicz, Nikolaus & Lübbe, Hermann & Radnitzky, Gerard ( Hrsg. ). Hamburg: Hoffmann und Campe Verlag, 1976, hlm. 68-69. Ibid, hlm. 208-209. 222-223. Böhme, Gernot & Van den Daele, Wolfgang & Korhn, Wolfgang: Die Finalisierung der Wissenschaft. In: Zeitschrift für Soziologie, Jg. 2, Heft 2, April 1973, hlm. 133.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
125
ilmiah.8 Keputusan politis berisikan satu strategi terencana yang mendorong kehendak manusia untuk menjalankan penelitian ilmiah oleh karena problemproblem sosial yang aktual. Keputusan tersebut dirumuskan dalam satu program yang dikenakan pada ilmu pengetahuan dalam strategi bersamanya untuk memecahkan problem-problem sosial di luar bidang ilmu pengetahuan sendiri (problem-problem ekstern). Program bersama inilah yang disebut program politis ilmu pengetahuan yang bidang pelaksanaannya dinyatakan dalam dua sisi penelitian yang terpisah secara analitis. Sisi yang satu adalah strategi politis yang bergelut dengan perkembangan ilmu pengetahuan teoretis intern (penelitian ilmiah demi ilmu itu sendiri) untuk menjamin otonomitas ilmu pengetahuan dan memenuhi kebutuhan kognitif dalam disiplin ilmu tertentu. Untuk kepentingan ini orang membangun lembaga-lembaga penelitian yang otonom, universitas-universitas, organisasi akademis, sekolah-sekolah dsb. Sisi yang lain adalah strategi politis yang muncul dalam rupa badan-badan pelaksana dan organsisasi-organisasi yang terlembaga; mereka bertugas untuk membuat sileksi dan mensistematisir tematema tentang problem-problem ekstern yang menjadi tujuan dan sasaran penelitian ilmiah (penelitian ilmu terapan untuk tujuan di luarnya atau penelitian ilmiah yang berorientasi pada problem). Penelitian ilmiah demi ilmu itu sendiri berserta kelompok pendukungnya di satu pihak dan penelitian yang berorientasi pada problem beserta kelompok pendukungnya di pihak lain bersama-sama membangun satu “persekutuan hybrid (campuran)9 yang menjalankan roda penelitian secara berbeda dan berpegang pada arah penelitian mereka yang berbeda, tetapi persekutuan-hybrid ini tetap berhadapan dengan problem sosial ekstern yang aktual dan mencoba mencari jalan untuk memecahkan persoalan-persoalan itu menurut tata tertib, hukum-hukum dan kepentingan para pendukungnya. Kedua kelompok itu mempengaruhi satu sama lain dengan jalan instrumentalisasi ilmu pengetahuan (proses memperalat ilmu pengetahuan). Justru di sinilah letaknya problem sejauh mana dan dalam kemungkinan apa kendali perkembangan ilmu pengetahuan dilaksanakan oleh berbagai macam kelompok yang terorganisir dan yang terlembaga, tanpa menghilangkan sifat otonomitasnya ilmu pengetahuan.
2. KEMUNGKINAN KENDALI POLITIS TERHADAP ILMU PENGETAHUAN Kendali politis dimengerti sebagai satu strategi yang digagaskan secara sadar untuk mempengaruhi arah perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya strategi yang dapat mengembangkan secara lebih lanjut teori dasarnya. Strategi ini terdapat dalam program politis ilmu pengetahuan dan disalurkan dalam lem-
8 9
126
Van den Daele, Wolfgang......Die politische Steuerung..... In: Geplante Forschung.....Op.cit., hlm. 14-16.19-24. Ibid, hlm. 25-31.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
baga-lembaga pelaksanaannya. Dalam sejarah ilmu pengetahuan Thomas S. Kuhn membagi dinamika perkembangan ilmu pengetahuan ke dalam tiga fase yang memuat model dan arah tertentu perkembangan ilmu pengetahuan. Ketiga fase itu adalah fase eksploratif (fase sebelum paradigmatis), fase paradigmatis, dan fase post-paradigmatis (fase sesudah paradigma). Dalam setiap fase itu kita berusaha menunjukkan apakah mungkin kita dapat mengenal kendali politis itu terhadap ilmu pengetahuan. 2. 1. Fase eksploratif Fase eksploratif10 menandakan perkembangan awal ilmu pengetahuan. Fase ini berlangsung sebelum lahirnya satu teori karena menyangkut penemuan bidang yang menjadi sasaran penelitian ilmiah dan kurang menyentuh teori penjelasannya. Metode induktif melulu memegang kendali utama dalam penelitian ilmiah. Strategi yang dominan diterapkan lewat metode empiris melulu dengan eksperimen-eksperimen, test, klasifikasi, deskripsi bidang penelitiannya dan konsekwensinya yang pasti. Di dalam fase eksploratif penelitian ilmu pengetahuan dapat saja berorientasi pada tujuan-tujuan di luarnya. “Adalah satu hal yang mungkin untuk menempatkan kegiatan eksplorasi dan penelitian bidang tertentu ke bawah tujuantujuan di luarnya“, kata Gernot Böhme dkk.11 Itu berarti bahwa si peneliti mencari tahu dan menguji sebab-sebab utama yang dapat berdampak pada problemproblem di luarnya (ekstern) sesuai dengan apa yang telah digagaskan dan yang dikehendaki. Tujuan-tujuan ekstern memainkan peranan sebagai pengatur yang berkuasa dalam strategi penelitian empiris itu dan membiarkan penelitian ilmiah berfungsi. Sebagai contoh, kita mengambil penelitian terhadap peristiwa terjadinya dan perkembangan satu penyakit (pathogenese) dari sistem biologis manusia. Di dalam fase eksploratif, penelitian terhadapnya termasuk dalam disiplin ilmu “Biologi“ yang meneliti secara empiris sistem-sistem tubuh manusia. Problem sosial eksternal adalah penyakit-penyakit kronis yang menghancurkan sistem tubuh yang sehat. Fase eksploratif di dalam disiplin ilmu Biologi bisa saja membawa dampak yang diinginkan terhadap pemecahan problem tersebut, seketika ilmu itu melibatkan variasi sistematis parameter dalam hal “dosis, lamanya dan kombinasi“ berfungsinya obat-obat dalam pengobatannya. Dampak yang diinginkan itu bisa saja mengoptimalkan terapi terhadap tubuh yang sakit atau mengurangkan dampak yang merugikan oleh karena berfungsinya obat-obatan. Ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh problem sosial ekstern (kendali terhadap ilmu pengetahuan) dalam fase ini adalah mungkin. Tetapi karena belum
10 11
Ibid, hlm. 42-43. Bdk. Böhme, Gernot.....Finalisierung revisited......Op.cit., hlm. 226-227. Böhme, Gernot......Finalisierung revisited........Op.cit., hlm. 226.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
127
ada satu program penelitian yang bersifat seragam dan karena problem teoretisnya masih diolah secara beragam, maka kendali politis belum tampak jelas, yaitu kendali politis yang hendak menanggapi problem sosial ekstern secara sistematis. Keuntungannya ialah bahwa tujuan-tujuan ekstern yang hendak disalurkan dalam satu program politis yang bersifat operasional menawarkan kebutuhan yang mendesak untuk ditanggapi sedemikian kuat sehingga tujuan-tujuan itu perlu dirumuskan secara segera untuk pemenuhannya. Tetapi tendensi itu mempunyai kekurangannya, bahwa untuk penelitian eksploratif obyek penelitiannya sangat kuat dipolitisir supaya semakin memenangkan relevansinya untuk tujuan eksternnya. Pada fase eksploratif orang seharusnya mengabaikan tendensi politisasi ilmu pengetahuan seperti itu supaya dapat menjamin perpaduan antara penelitian demi ilmu pengetahuan (penelitian disipliner) dan penelitian yang berorientasi pada problem sosial ekstern. 2. 2. Fase paradigmatis Sesudah fase eksploratif mulailah fase paradigmatis dengan proses “paradigmatisasi“ terhadap ilmu pengetahuan. Proses paradigmatisasi tersebut ditandai oleh adanya pendekatan teoretis.12 Itu berarti bahwa satu obyek penelitian diolah, digodok dan dikokohkan oleh satu pendekatan teoretis. Justru pengolahan, penggodokan dan pengukuhan pendekatan teoretis terhadap obyek penelitian itulah yang disebut orang sebagai “penegakan satu paradigma“. Orientasi ilmu pengetahuan pada fase ini tidak lagi terarah kepada tujuantujuan ekstern. Ilmu pengetahuan hanya berorientasi pada perkembangan intern yang memiliki kriterianya sendiri, yaitu regulasi intern untuk pengolahan dan pembenaran teori yang mendasari dan yang menjelaskan obyek penelitian tersebut. Oleh karena itu tidak ada ruang gerak untuk satu kendali politis terhadap ilmu pengetahuan, kendali politis yang berasal dari problem-problem sosial ekstern. Program penelitiannya hanya berpusat pada penetapan landasan untuk pengolahan teoretis yang bisa saja relevan untuk perkembangan teknis demi pemecahan masalah sosial ekstern. Karena fase paradigmatis tidak memungkinkan adanya ruang untuk kendali dari luar, maka tidak mungkin pula ada kendali politis terhadap ilmu pengetahuan dalam arti tanggapan sistematis terhadap problem-problem sosial dari luar. Di dalam fase ini tidak ada seleksi sikap politis yang hendak mentematisir problem-problem sosial dari luar dan memasukkannya ke dalam program politis ilmu pengetahuan. Dengan demikian perkembangan ilmu pengetahuan intern tetap bersifat bebas, netral, otonom dan tak tergantung. Fase ini hanya memberi tempat untuk bergelut dengan obyek penelitian dan dengan teori yang secara mendasar menjelaskannya. Sikap politis seperti itu kurang lebih terfokus pada usaha “memajukan“ garis depan penelitian intern, tetapi bukan pada usaha “mengendalikan“ kegiatan penelitiannya.
12
128
Ibid, hlm. 228-229, bdk...... Geplante Forschung........Op.cit., hlm. 45-46.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Posisi semacam itu tidak berarti bahwa perkembangan intern ilmu pengetahuan sama sekali tidak punya hubungan dengan problem sosial ekstern. Hubungannya dengan problem sosial ekstern hanya mungkin melalui satu model penelitian yang disebut “Transfer-penelitian“. Transefer-penelitian adalah “satu bentuk orientasi yang tidak menyangkut garis depan penelitian dari perkembangan disiplin paradigmatis, tetapi diatur menurutnya“, kata Böhme antara lain.13 Model penelitian ini menggunakan hasil penelitian yang sudah terumus dan menyesuaikan hasil penelitian itu dengan hubungannya yang kompleks dengan problem sosial ekstern. Model penelitian seperti ini disebut juga “Ilmu-terapan atau perkembangan teknis“. Sebagai contoh, kita menyebut disiplin ilmu “Selbiologi“ dalam program kanker nasional. Biologi modern, khsusnya Selbiologi, menyibukkan diri dengan usaha untuk merumuskan dan menetapkan satu teori yang hendak menjelaskan differensiasi dan stabilitas sel-sel dalam tubuh manusia. Penjelasan-penjelasan itu bisa saja menghantar orang untuk memahami sebab musabab terjadinya penyakit kanker. Tetapi Selbiologi bukanlah disiplin ilmu khusus untuk meneliti sebab musabab penyakit kanker. Selbiologi tidak bergantung pada problem sosial ekstern, tidak bergantung pada cara bagaimana penyakit kanker dapat disembuhkan. Karena itu, lembaga kesehatan untuk program kanker nasional secara politis tidak punya wewenang untuk mengendalikan penelitian sel dalam disiplin ilmu Biologi modern. Lembaga itu hanya bergerak dalam ruang lingkup ilmu terapan untuk mencari tahu dan meneliti apakah hasil penelitian yang telah dirumuskan dalam teori dalam disiplin ilmu Selbiologi modern dapat diterapkan pada perkembangan sarana tekhnis untuk memecahkan masalah penyakit kanker. 2. 3. Fase Postparadigmatis. Fase paradigmatis merupakan syarat untuk fase sesudahnya, yaitu fase postparadigmatis,14 yang dicirii oleh finalisasi penelitian ilmu pengetahuan. Orang menegaskan: “Ilmu pengetahuan dalam kaidah dasarnya sudah ditentukan oleh kepentingan sosial-politis, dan hasil penelitiannya juga ditempatkan dalam rangka untuk melayani kepentingan sosial-politis. Di sinilah letak relevansi sosialnya.“15 Kepentingan sosial-politis merupakan faktor-faktor regulatif yang menentukan arah perkembangan ilmu pengetahuan, karena kepentingan semacam itu justru secara mendesak mengharuskan orang untuk mencari jalan pemecahan terhadap problem sosial ekstern. Kepentingan sosial politis itulah yang menjadi tujuan penelitian ilmu pengetahuan. Posisi ilmu pengetahuan berada dalam satu fase “terbuka“ untuk
13 14 15
Ibid, hlm. 229. Ibid, hlm. 229-234, bdk. .......Geplante Forschung.......Op.cit., hlm. 46-48. Hübner, Kurt: Die Finalisierung der Wissenschaft als allgemeine Parole und was sich dahinter verbirgt. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft. Hübner, Kurt & Lobkowicz, Nikolaus & Lübbe, Hermann & Radnitzky, Gerard ( Hrsg. ). Hamburg: Hoffmann und Campe Verlag, 1976, hlm. 89.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
129
memungkinkan adanya satu ruang gerak untuk dikendalikan oleh problem-problem sosial ekstern. Dalam penelitian terhadap kanker, kita mengambil contoh untuk memperlihatkan karakter yang khas dari fase postparadigmatis. Problem sosial ekstern adalah problem bagaimana orang pertama-tama dapat mengidentifisir karzinogen lalu mempengaruhi dampaknya dalam tubuh manusia. Strategi ini memerlukan penjelasan yang tepat tentang metabolisme karzinogen dalam sel-sel dsb.16 Program untuk mencapai tujuan ekstern yang telah disebut dilaksanakan atas dasar teori yang lengkap dan matang (die erreichte Theorie) dalam disiplin ilmu Molekularbiologi dan dalam Biokimia. Arah perkembangan Molekularbiologi dan Biokmia tidak lagi berjalan menuju ke dalam, tetapi ditentukan oleh kebutuhan akan pemecahan problem ekstern kehidupan, dan dalam hal ini problem penyakit kanker. Dalam konteks itu, kita dapat berbicara tentang kendali politis terhadap ilmu pengetahuan. Program politis ilmu pengetahuan menunjuk kepada tanggapan dan tematisasi problem-problem sosial ekstern. Ia mengandaikan adanya satu strategi yang diterapkan melalui proses institusionalisasi terhadap penelitian ilmiah dan bertujuan untuk memajukan teori dasar yang telah dicapai dalam fase paradigmatis dari disiplin ilmu tertentu.17 Kendali dari luar tampak jelas, bahwa teori dasar yang telah dicapai - teori yang sudah lengkap - diatur oleh faktor-faktor ekstern, dan ke arah faktor-faktor ekstern itulah teori itu berkembang. Cara kendali seperti ini justru membawa dampak positif, yaitu dapat memenangkan satu spesialisasi yang tinggi demi perkembangan sarana tekhnis untuk memecahkan problem sosial ekstern. Dengan demikian, penelitian terhadap teori dasar yang telah dicapai mengalami relevansinya untuk pemecahan problem sosial ekstern, karena atas dasar satu teori-dasar yang sudah dicapai terbentuklah satu teori yang efektif untuk perkembangan sarana tekhnis. Pembentukan teori tersebut mengungguli metode empiris dan pada prinsipnya memberi kesempatan untuk mengenal dan mengontrol efek-sampingan dari teknik secara lebih umum, lebih pasti dan lebih efisien dari pada metode empiris. Metode empiris hanya berlaku untuk pemecahan singular terhadap problem sosial ekstern tertentu, sementara pembentukan teori menawarkan banyak kemungkinan untuk perkembangan teknis yang lebih tinggi dan yang dapat menjawabi persoalan-persoalan sosial ekstern secara cepat dan tepat. Tahap yang disebut terakhir ini menurut Thomas L., ditandai sebagai “high-technology“.18 Tetapi kelemahan dari kendali politis
16 17 18
130
Van den Daele, Wolfgang.......Geplante Forschung.........Op.cit., hlm. 47. Ibid, hlm. 19-21, bdk. Böhme, Gernot....Finalisierung revisited........Op.cit., hlm. 234-237. Thomas L. mengkarakterisir tiga jenjang teknik pengobatan menurut tingkatan proses sistematisasi terhadap persoalan yang dihadapi. Jenjang pertama disebut “non-technology“, di mana kegiatan perawatan dokter tidak terikat dengan campur tangan yang terkontrolir secara sistematis terhadap kerjanya penyakit. Jenjang kedua menunjuk kepada “half-way-technology“, yang didasarkan pada strategi fungsional yang eksploratif tanpa pemahaman tentang mekanisme terjadinya penyakit. Jenjang ketiga adalah “high-technology“ yang menyentuh prosedur atau metode. Prosedur atau metode ini didasarkan pada penjelasan teoretis tentang
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
terhadap ilmu pengetahuan terletak dalam ketidaktahuan akan batas-batas kendali politis yang terikat sangat kuat dengan gambaran nilai dan kepentingan dari bidang kehidupan yang lain atau nilai dan kepentingan dari lembaga-lembaga ilmu pengetahuan yang lain. Kita akan membahasnya pada bagian berikutnya.
3. BATAS-BATAS KENDALI POLITIS TERHADAP ILMU PENGETAHUAN Kita kembali kepada teori yang sudah lengkap. Finalisasi terhadap ilmu pengetahuan dalam fase postparadigmatis mengandaikan, bahwa arah perkembangan ilmu pengetahuan yang dikendalikan oleh tujuan-tujuan ekstern didasarkan pada teori yang sudah lengkap dan kesiapan serta kelayakan teori itu untuk digunakan dalam perumusan konsep-konsep dasar. Persoalannya ialah bahwa tidaklah mudah untuk menentukan lebih dahulu satu teori yang sudah lengkap. Dasar-dasar yang bersifat historis-sistematis membenarkan bahwa satu teori yang sudah lengkap tampak tidak pasti dalam konsep fundamentalnya.19 Satu kendali politis yang tidak memperhatikan satu teori dasar yang tidak pasti justru melangkahi batas-batas legitimitas dan otoritasnya. Legitimitas kendali politis terhadap ilmu pengetahuan hanya terletak dalam ruang lingkup penerapan yang effektif dari satu teori dasar yang tidak dapat dipersoalkan lagi untuk memecahkan persoalan sosial ekstern secara tepat. Kendali politis yang melangkahi legitimitas dan autoritasnya dapat muncul dalam dua bentuk, yaitu ketidaktahuan akan defisit kognitif dan terjadinya resistensi institusional. 3. 1. Ketidaktahuan akan defisit kognitif dan kritik terhadap finalisasi penelitian dasar Rencana penelitian yang dirumuskan dalam program politis ilmu pengetahuan harus berhubungan secara mutlak dengan pengetahuan kognitif akan ilmu pengetahuan yang besangkutan. Itu berarti bahwa teori yang sudah dicapai secara lengkap dan penerapannya pada tujuan-tujuan ekstern sudah terbukti dan meyakinkan.20 Teori yang sudah lengkap dan penerapannya itu sudah dibenarkan oleh eksperimen-eksperimen yang berulang-ulang dan oleh validitas penerapannya secara umum. Tetapi rencana penelitian itu sering gagal, karena dalam rencana penelitian itu si peneliti tidak mengenal defisit atau cacat yang dapat ditemukan dalam teori yang sudah lengkap itu bersama penerapannya. Si peneliti masih sangat yakin dengan rencana penelitiannya bahwa pengetahuan yang ada baik menyangkut teori dasar
19 20
mekanisme kerjanya penyakit dan terarah kepada pemecahan persoalan penyakit. Böhme, Gernot...... Finalisierung revisited..... Op.cit., hlm. 236. Ibid, hlm. 221. Van den Daele......Geplante Forschung........Op.cit., hlm. 41-42.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
131
maupun pengeterapannya mencukupi, effektif dan pasti. Akibatnya ialah bahwa ada tendensi untuk memutlakkan teori dasar dan penerapannya itu dengan akibat berhentinya dinamika perkembangan intern ilmu pengetahuan itu sendiri. Sebagai contoh, soal penerapan zat-zat kimia DDT sebagaimana diberitakan oleh Böhme dalam majalah sosiologis.21 Perumusan program penelitian mengarah kepada usaha untuk membasmi serangga yang menjadi pengantara pembawa penyakit. Eskperimeneksperimen yang berulang-ulang membenarkan bahwa zat-zat kimia DDT mempunyai dampaknya. Zat-zat itu pada akhirnya dipandang sebagai obat pembunuh serangga (insektisida). Tetapi justru pembenaran ini menghantar orang kepada kesimpulan yang salah. Obat pembunuh serangga itu (insektisida) ternyata tidak berpautan dengan defisit kognitif pada penerapan tekhnis zat-zat kimia DDT, tetapi dengan defisit kognitif pada penelitian dasar di labor. Dan defisit kognitif pada penelitian dasar di labor justru terletak dalam penerapan yang terus menerus dari DDT dengan berdampak pada terciptanya resistensi pada beberapa jenis serangga, dan hal ini tidak diperhitungkan sebelumnya. Orang sering temukan bahwa rencana penelitian justru berdiri di atas satu teori dasar yang tidak mencukupi. Dinamika perkembangan ilmu pengetahuan yang hendaknya berorientasi ke dalam (otonomitas ilmu pengetahuan) dan ke luar (finalisasi ilmu pengetahuan) secara seimbang, berjalan timpang dan tidak kompatibel. Bukan hanya soal ini saja. Di dalam sejarah ilmu pengetahuan terbukti bahwa si peneliti selalu menggeluti satu teori dasar yang ada untuk menghasilkan satu teori yang lain tanpa memperhatikan soal apakah teori dasar yang sudah ada itu lengkap dan mencukupi. Kendali politis terhadap ilmu pengetahuan, yang terlalu kuat menitikberatkan kepentingan politis masyarakat di balik rencana penelitian itu, berdampak pada proses pelaksanaannya, dalam arti proses penyempitan problem pada kegiatan akademis semata-mata.22 Problemnya ternyata lebih luas dari itu. Dalam sejarah ilmu pengetahuan, bukti-bukti menunjukkan “ bahwa kepentingan sosial- politis masyarakat pada akhirnya sama sekali tidak berkuasa.“23 Kepentingan sosial-politis hanyalah salah satu dari banyak faktor lainnya yang turut memberi andil pada penciptaan sebuah teori dasar. Kurt Hübner menyebut antara lain faktor religius-teologis, persoalan tentang hukum kodrat, akal budi dalam makhluk ciptaan, harmoni dan keindahan, bahkan persoalan tentang hakekat Allah. Semua pertanyaan dan faktor-faktor itu secara tidak sadar melatar-belakangi zaman hidupnya para peneliti dalam usaha mereka untuk menciptakan satu teori ilmiah. Atas latar belakang itu, kendali politis terhadap ilmu pengetahuan justru membutuhkan satu ruang-berlaku yang disebut “konsensus rasional“, jika kendali politis itu menjadi alat untuk mempolitisasi ilmu pengetahuan secara berhasil demi
21 22 23
132
Böhme, Gernot......In: Zeitschrift für Soziologie......Op.cit., hlm. 141-142. Hübner, Kurt: Die Finalisierung......Op.cit., hlm. 89-93. Ibid, hlm. 91.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
kemajuan ilmu pengetahuan sendiri. Konsensus rasional diartikan sebagai keputusan yang berdasarkan pada rasionalitas, keputusan yang bertolak dari “keseluruhan sejarah“, dan keseluruhan sejarah itu mencakup juga gagasan-gagasan ilmiah, religius, teologis, filosofis dan sosial-politis serta banyak gagasan lain, ide-ide dan pengalaman-pengalaman.24 Justru dalam masyarakat tampaklah rasionalitas ilmiah, yaitu dengan cara bagaimana si peneliti coba menyingkirkan ketidakjelasan dan pertentangan-pertentangan teoretis dan sedapat mungkin membawanya ke dalam satu rangkaian pendasaran yang logis dan menyeluruh. Rangkaian pendasaran itu tidak terwujud melalui pengabaian, pemaksaan atau malah pemalsuan bagian-bagian yang tidak menyenangkan.25 Cara ini dipandang sebagai norma atau pedoman rasional untuk mengontrol kendali politis terhadap ilmu pengetahuan dan untuk menyingkirkan bahaya adanya satu diktatur politis murni. 3.2 Munculnya resistensi institusional dan kritik terhadap finalisasi ilmu pengetahuan tekhnologis Finalisasi terhadap ilmu pengetahuan memperlihatkan adanya satu tendensi yang ditandai oleh instrumentalisasi terhadap dunia ilmu pengetahuan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Tendensi itu mempunyai dampak, bahwa dengan adanya pengetahuan yang bertambah banyak dan penerapannya, kepentingan-kepentingan memainkan peranan yang menentukan sehingga menjurus ke bahaya untuk menekankan secara berlebihan tujuan dari program penelitian. Untuk mengatasi ini diperlukan satu strategi politis yang hendaknya menjalankan kritik terhadap program penelitian yang berorientasi pada tujuannya. Kritik terhadap itu bermula dari keragu-raguan, bahwa kepentingan-kepentingan yang mendasari program penelitian bersifat sah, dan bahwa pengetahuan empiris yang mendasari kepentingan-kepentingan justru masih lengkap.26 Karena kendali yang menyalurkan proses kognitif pengetahuan, dijalankan oleh proses institusionalisasi terhadap program penelitian, maka struktur institusional dan mekanismenya haruslah diperhitungkan. Sosiologi ilmu pengetahuan mencoba melukiskan faktor-faktor penentu di bawah terang teori sosiologis. Faktor-faktor itu berkembang menjadi satu struktur institusional beserta mekanismenya, yang di dalamnya terdapat proses kendali terhadap ilmu pengetahuan dan serempak pula berhadapan dengan resistensi institusional sebagai lawannya. Sosiologi ilmu pengetahuan menawarkan penjelasan teoretis tentang sikap si peneliti sampai kepada faktor-faktor institusional, teristimewa norma-norma khusus kegiatan ilmu pengetahuan dan struktur organisasinya (R.K. Merton) atau
24 25 26
Ibid, hlm. 92. Ibid, hlm. 92. Böhme, Gernot....Finalisierung revisited.......Op.cit., hlm. 237-240.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
133
mengemukakan penjelasan teoretis tentang proses orientasi sosial yang berasal dari proses sosialisasi si peneliti (Th. S. Kuhn).27 Dalam proses finalisasi terhadap ilmu pengetahuan, sosiologi ilmu pengetahuan melukiskan proses institusionalisasi ilmu pengetahuan. Proses itu berawal dengan munculnya struktur organisasi dan mekanismenya, yang melaluinya tujuan untuk perkembangan ilmu pengetahuan tekhnologis bersifat sangat menentukan. Orientasi yang jelas ini sedari mula sangat berguna, karena orientasi seperti ini justru menyiapkan satu ruang bebas untuk penemuan tekhnik tanpa dikendalikan oleh kepentingan sosial-politis dari luar. Penemuan tekhnik modern berasal dari semangat ini yang sungguh menekankan “tujuan“ dari ilmu pengetahuan tekhnologis. Tetapi proses itu perlahan-lahan bertentangan dengan ruang gerak yang bebas untuk penemuan, karena proses institusionalisasi ilmu pengetahuan yang berorientasi pada tujuan melibatkan kepentingan sosial-politis yang harus diterapkan dalam praktek lewat organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga. Akibatnya ialah bahwa kepentingan-kepentingan sosial politis justru dapat melumpuhkan arti finalisasi tekhnologi dalam arti bahwa kemungkinan untuk penemuan tekhnik baru menjadi luntur.28 Perkembangan tekhnologis dikendalikan oleh kepentingan politis di bawah kedok “relevansi sosial“. Dari proses itu terjadilah resistensi institusional yang mengambil bentuk perlawanan terhadap kendali dari luar. Perlawanan itu datang sangat kuat dari arah dalam, yaitu dari dinamika ilmu pengetahuan yang mempertahankan otonomitasnya tanpa kendali apapun dari luar, dan juga datang dari semua persyaratan yang mendasari lembaga-lembaga penelitian yang otonom.29 Pedoman rasional yang berlaku untuk meremkan kendali terhadap penelitian dasar, juga cocok untuk menjaga dan menjamin lembaga-lembaga yang otonom dalam usaha mereka untuk melawan kendali dari luar. Para pakar tekhnologi memainkan peranan yang menentukan sehubungan dengan perwujudan pedoman rasional itu di dalam lembaga-lembaga untuk menangkis bahaya kendali yang datang dari organisasi-organisasi lain. Mereka berusaha untuk mencegah ketidakjelasan dan pertentangan teoretis dan praktis dengan cara bagaimana mereka menciptakan hubungan-hubungan teoretis dan praktis yang mencerminkan seluruh dinamika ilmu pengetahuan dan masyarakat di atas dasar konsensus rasional.30 Untuk berpegang pada pedoman rasional dan konsensus rasional, para pakar tekhnologi menciptakan juga satu mekanisme resistensi institusional yang secara praktis ditemukan dalam penerapan standard penelitian dan juga dalam sistem imbalan yang terikat dengan penilaian dan kritik yang mungkin. Sistem imbalan itu ditandai teristimewa oleh pencapaian reputasi dan status.31 Hal ini
27 28 29 30 31
134
Van den Daele......Geplante Forschung........Op.cit., hlm. 49. Hübner, Kurt: Die Finalisierung........Op.cit., hlm. 93-94. Van den Daele........Geplante Forschung......Op.cit., hlm. 50. Hübner, Kurt: die Finalisierung.........Op.cit., hlm. 94. Van den Daele.........Geplante Forschung.........Op.cit., hlm. 50.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
berkaitan dengan lembaga-lembaga penelitian yang semata-mata mengatur sikap kognitif. Pembatasan yang relatif ketat dari sikap kognitif itu harus diamankan, yaitu pembatasan yang dikenakan pada lembaga-lembaga penelitian yang berorientasi pada problem sosial-politis.
4. PENDEKATAN BARU TERHADAP PERTANYAAN ETIS DALAM ILMU PENGETAHUAN Meskipun kata “Etika Ilmu Pengetahuan“ ditafsirkan dalam banyak arti, tetapi kata itu secara faktis-praktis dikenakan pada “pertanyaan etis dalam ilmu pengetahuan“.32 Dalam proses finalisasi terhadap ilmu pengetahuan, muncullah pertanyaan etis sehubungan dengan soal itu, yaitu seberapa jauh kendali terhadap ilmu pengetahuan baik secara politis maupun secara institusional tidak menyalahgunakan ruang kebebasan si ilmuwan sendiri. Selain itu, dipersoalkan lagi, seberapa jauh manusia mampu bertindak untuk membendung konsekwensi yang penuh resiko dari kemungkinan penerapan hasil satu penelitian ilmiah. Gernot Böhme dan rekan-rekannya berbicara tentang satu keharusan adanya integrasi masyarakan ilmiah. Integrasi itu berhubungan dengan keseimbangan antara finalisasi dan otonomi, juga berhubungan dengan kerjasama antara bidang-bidang ilmu yang otonom dan bidang-bidang ilmu terapan yang berorientasi pada problem di luar.33 Proses finalisasi mengkaitkan perkembangan teori dengan penetapan tujuan masyarakat. Proses ini justru melunakkan penekanan yang berlebihan terhadap posisi otonom dari ilmu pengetahuan, karena dengan penekanan yang berlebihan terhadap otonomi ilmu pengetahuan tidaklah diperhatikan lagi relevansi praktisnya untuk problem-problem sosial di luarnya. Pada hal, melalui program politis ilmu pengetahuan terapan dalam proses finalisasi terangsang jugalah kreativitas ilmuwan untuk memusatkan perhatian pada bidang khusus sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Proses finalisasi sebetulnya mengembalikan keseimbangan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri yang terjadi secara “dialektis“ dalam dua posisi dasar, yaitu otonomi dan finalisasi ilmu pengetahuan. Otonomi ilmu pengetahuan lebih menekankan soal “tahu“ demi pengetahuan itu sendiri,
32
33
Kata “Etika Ilmu Pengetahuan“ dapat berarti satu etika tentang ilmu pengetahuan. Kata itu dapat juga berarti satu etika untuk para ilmuwan, etika yang berperan sebagai satu etika umum atau sebagai norma-norma dan bentuk-bentuk komunikasi pergaulan di kalangan para ilmuwan. Etika untuk para ilmuwan ini berisikan harapan-harapan dan pesan bahwa para ilmuwan hendaknya terlibat dalam persoalan-persoalan etis. Tetapi etika ilmu pengetahuan dapat saja merupakan satu disiplin teoretis tersendiri atau satu teori tentang peraturanperaturan moral untuk karya ilmiah. Lenk, Hans: Moralische Herausforderung der Wissenschaft? In: Wissenschaft und Ethik. Lenk, Hans ( Hrsg. ). Stuttgart: Philipp Reclam jun., 1991, hlm. 15 Böhme, Gernot.....Finalisierung revisited......Op.cit., hlm. 240-248.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
135
sementara finalisasi lebih menekankan pengetahuan “untuk“ tujuan di luarnya. Di dalam fase paradigmatis otonomi ilmu pengetahuan mencapai puncaknya, tetapi pada waktu yang sama posisi otonom itu diperlemah oleh hasil penelitian ilmiah, karena hasil-hasil penelitian itu pada taraf tertentu menemukan relevansinya dengan faktor-faktor yang mengaturnya dari luar, dan faktor-faktor itu dalam fase post-paradigmatis justru dapat mengendalikan arah dari pengetahuan yang sudah ada. Untuk hal itu berlakulah dialektika ini. Semakin banyak teori-teori yang stabil dalam fase paradigmatis dimenangkan, semakin besar pula kemungkinan untuk menemukan hasil-hasil penelitian ilmiah yang berorientasi pada problemproblem di luar dan semakin kuat juga tuntutan untuk menemukan lagi posisi yang otonom dan netral dari ilmu pengetahuan. Dalam kerja sama antara lembaga-lembaga penelitian yang otonom dan lembaga-lembaga penelitian terapan yang berorientasi pada problem sosial di luar, Böhme dan rekan-rekannya menganjurkan bahwa perlu adanya komunikasi yang terorganisir. Komunikasi itu menuntut keterbukaan para ilmuwan untuk mereka yang bekerja di bidang penelitian yang otonom di satu pihak dan di lain pihak menawarkan satu struktur sosial yang cocok untuk para ilmuwan yang berkecimpung di bidang penelitian terapan yang berorientasi pada problem sosial di luarnya. Keterbukaan para ilmuwan memperlihatkan kesiagaan mereka untuk menerima ilmuwan terapan ke dalam lingkungan mereka, dan ilmuwan terapan menolong para ilmuwan yang membuat penelitian demi ilmu itu sendiri ( otonom ) untuk secara tetap menyibukkan diri dengan problem-problem masyarakat. Tetapi kenyataan sekarang ialah bahwa finalisasi ilmu pengetahuan dewasa ini ( ilmu-ilmu terapan ) telah menghancurkan legitimasi tuntutan dari penelitian ilmiah yang otonom. Finalisasi menandakan ketidakmampuan manusia untuk merem bahaya yang penuh resiko dari kemungkinan penerapan hasil penelitian ilmiah. Justru di sinilah letak problem etis ilmu pengetahuan.34 Persoalan lain lagi di samping itu ialah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan selalu dikendalikan dari luar demi kepentingan-kepentingan luar. Perkembangan itu misalnya harus berada di bawah kendali negara, pengusaha atau organisasi-organisasi lain atau juga di bawah kendali ekonomi. Bila diteliti lebih dalam, ternyata problem etis itu masih jauh lebih luas dari pada problem ketidakseimbangan antara otonomi dan finalisasi ilmu pengetahuan atau problem kerja sama antara para pakar ilmu yang otonom dan para ahli ilmu terapan yang berorientasi pada problem sosial. Pada hemat penulis, pertanyaan etis berdiri melampaui otonomi dan finalisasi ilmu pengetahuan, karena pertanyaan etis yang berhubungan dengan otonomi dan finalisasi ilmu pengetahuan cuma terbatas
34
136
Edward Teller, seorang pembuat bom air yang berkebangsaan Amerika, terjebak dalam konflik suara hatinya dan tidak menemukan jalan keluar dari konflik itu, ketika dia semula menegaskan: “Ilmuwan hanya bertanggung jawab atas pengetahuan, perkembangan pengetahuan dan penjelasannya, tetapi tidak bertanggung jawab bagaimana orang menerapkannya“. Tetapi kemudian dia menyaksikan bahwa penelitian dasar atom pada kenyataannya telah dikembangkan menjadi senjata pemusnah. Lenk, Hans: Moralische Herausforderung....... Op.cit., hlm. 9-10.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
pada titik tolak filsafat empiris-positif yang mendasarkan pertanyaan etisnya pada satu asumpsi filosofis-anthropologis tertentu. Pertanyaan etis pada hemat penulis hendaknya merupakan satu pertanyaan tentang inti sari perbuatan manusia yang bersifat “mengikat“, baik untuk menuntut adanya satu ruang gerak yang bebas untuk penelitian ilmiah maupun untuk membataskan tindakan manusia dalam penelitian ilmiah demi mencegah bahaya yang penuh risiko dari proses intrumentalisasi ilmu pengetahuan. Dalam fase postparadigmatis dewasa ini, orang memerlukan satu “filsafat ilmu pengetahuan yang bersifat kritis“, yang menantang secara radikal pragmatisme ilmu pengetahuan.35 Pragmatisme telah meredusir arti hakiki ilmu pengetahuan ke dalam kegunaan praktis dan telah menuntun ilmu pengetahuan kepada satu posisi ilmu yang tunduk pada politisasi ilmu pengetahuan itu sendiri. Filsafat ilmu pengetahuan yang kritis justru merefleksikan - tentu dengan bantuan dari apa yang disebut “akal budi intrumental“36 - kegiatan ilmiah sebagai bagian kecil dari seluruh tindakan etis manusia. Etika ilmu pengetahuan hanya mencerminkan satu bagian dari keseluruhan etika yang menempatkan struktur fundamental perbuatan manusia baik secara individual maupun secara kollektif sebagai sasarannya. Keseluruhan etika itu justru mencakup juga sarana serta tujuan perbuatan manusia. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak lagi netral dan yang membawa konsekwensi etis negatif, filsafat ilmu pengetahuan kritis hendaknya memperkuat lagi peranan “akal budi“ yang tidak hanya menaruh perhatian pada tujuan kegiatan ilmiah, tetapi akal budi itu sendiri juga berfungsi sebagai “alat atau sarana“ untuk mengeritik dirinya sendiri. Itu berarti bahwa para ilmuwan dan organisasi-organisasi sosial-politis yang terikat dengan para ilmuwan senantiasa disadarkan akan apa yang merupakan posisi utama dan autoritas mereka dalam seluruh kegiatan ilmiah. Sebagai akhir, tak seorang pun ragu-ragu akan kemampuan dan kehendak bebas manusia untuk menghasilkan pengetahuan dan menerapkannya. Tetapi apakah ada satu keharusan yang mewajibkan manusia untuk membataskan diri dan untuk melarang diri untuk “tidak boleh berbuat“?
35 36
Lübbe, Hermann: Planung oder Politisierung der Wissenschaft. Zur Kritik einer kritischen Wissenschaftsphilosophie. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft....... Op.cit., hlm. 13-23. Pengertian “akal budi instrumental“ digodok oleh Max Horkheimer yang mengerti akal budi sebagai sarana berpikir yang berfungsi secara mekanis dan abstrak. Akal budi pada dasarnya terdiri dari akal budi subyektif dan akal budi obyektif. Akal budi subyektif berisikan hubungan sarana-tujuan ( hubungan alat-tujuan ) yang menandai satu hal atau satu pemikiran sebagai yang berguna untuk sesuatu yang lain. Akal budi obyektif memperlihatkan hakekat dari struktur akal budi yang melekat dalam realitas, struktur yang dari padanya menuntut sikap praktis atau teoretis dalam menghadapi satu hal tertentu. Akal budi obyektif mampu merefleksikan tata tertib obyektif. Akal budi instrumental menekankan hal yang lebih dari sekedar hubungan sarana-tujuan, yaitu menekankan akal budi sebagai “sarana“ atau instrumen untuk mengerti tujuan dan menetapkan tujuan. Ibid, hlm. 15, bdk. Horkheimer, Max: Zur Kritik der instrumentellen Vernunft. Frankfurt am Main: S. Fischer Verlag, 1967, hlm. 15-22.
Donatus Sermada Kelen, Kemungkinan dan Batas-batas Kendali Politis
137
5. PENUTUP Dalam era sekarang, atau dalam terminologi ilmu pengetahuan “dalam fase post-paradigmatis“ yang kini kita alami, ilmu pengetahuan perlu kembali ke kiblat sebelumnya, yaitu merebut kembali otonomitasnya. Itu berarti bahwa ilmu pengetahuan harus bersifat netral dan lepas dari kendali yang berasal dari luar. Dinamika perkembangan internnya ditekankan. Tetapi de fakto, demi relevansi ilmu pengetahuan untuk kebutuhan masyarakat kiblatnya mengarah ke luar untuk tujuan pemecahan masalah-masalah sosial-politis kemasyarakatan. Dengan kiblat ini mulailah proses finalisasi terhadap ilmu pengetahuan. Itu berarti bahwa posisi ilmu pengetahuan mendapat kendali dari luar dengan akibat yang penuh resiko untuk manusia. Maka, persoalan etis pun disoroti dalam wacana etika ilmu pengetahuan.
BIBLIOGRAFI Anderson, Gunnar: Freiheit oder Finalisierung der Forschung. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft. Hübner, Kurt & Lobkowics, Nikolaus & Lübbe, Hermann & Radnitzky, Gerard (Hrsg.). Hamburg: Hoffmann und Campe Verlag, 1976. Böhme, Gernot & Van den Daele, Wolfgang & Korhn, Wolfgang: Die Finalisierung der Wissenschaft. In: Zeitschrift für Soziologie. Jg. 2, Heft 2, April 1973. Böhme, Gernot & Van den Daele, Wolfgang & Hohlfeld, Rainer: Finalisierung revisited. In: Die gesellschaftliche Orientierung des wissenschaftlichen Fortschritts (Starnberger Studien I). Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1978. Daele, Wolfgang van den & Krohn, Wolfgang & Weingart, Peter: Die politische Steuerung der wissenschaftlichen Entwicklung. In: Geplante Forschung. Van den Daele, Wolfgang & Krohn, Wolfgang und Weingart, Peter (Hrsg.). Frankfurt am Main: Suhrkamp Verlag, 1979. Horkheimer, Max: Zur Kritik der instrumentellen Vernunft. Frankfurt am Main: S. Fischer Verlag, 1967. Hübner, Kurt: Die Finalisierung der Wissenschaft als allgemeine Parole und was sich dahinter verbirgt. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft. Hübner, Kurt & Lobkowicz, Nikolaus & Lübber, Hermann & Radnitzky, Gerard (Hrsg.). Hamburg: Hoffmann und Campe Verlag, 1976. Lenk, Hans: Moralische Herausforderung der Wissenschaft? In: Wissenschaft und Ethik. Lenk, Hans (Hrsg.). Stuttgart: Philipp Reclam jun., 1991. Lübbe, Hermann: Planung oder Politisierung der Wissenschaft. Zur Kritik einer kritischen Wissenschaftsphilosophie. In: Die politische Herausforderung der Wissenschaft. Hübner, Kurt & Lobkowicz, Nikolaus & Lübbe, Hermann & Radnitzky, Gerard (Hrsg.). Hamburg: Hoffmann und Campe Verlag, 1976.
138
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
EXPLORING THE CONCEPT OF VIRTUE IN AQUINAS’ VIEW
Agustinus Ryadi STFT Widya Sasana, Malang Abstract: Hidup moralitas tidaklah cukup jika hanya mengandalkan kemampuan penalaran. Alasannya: di dalam kemampuan penalaran itu kesesatan cara berpikir dapat terjadi. Kesesatan cara berpikir ini tentu saja tidak disadari oleh si subyek. Ketidaksadaran akan kesesatan cara berpikirnya menghantar si subyek itu sendiri kepada kebutaan terhadap tindakannya. St. Thomas Aquinaslah yang menekankan pentingnya keutamaan dalam hidup moralitas. Salah satu persoalan yang muncul adalah pendapat umum yang mengatakan bahwa keutamaan dapat ditemukan dalam perbuatan-perbuatan buruk, misalnya keberanian seorang penjahat untuk membunuh. Dengan demikian konsep keutamaan terbuka untuk didalami baik definisi maupun pengertiannya. P. Foot menyatakan bahwa keberaniaan yang ada di dalam tindakan-tindakan buruk bukanlah keutamaan. Sedangkan St. Thomas Aquinas menegaskan bahwa keutamaan adalah perintah yang pasti dari jiwa yang dapat diperoleh manusia melalui kebiasaan. Keywords: courage, good/bad action, habit, ordering of soul, reason, virtue.
There are many studies about virtue1 , and especially about virtue according to the Thomistic perspectives2 . The aim of this paper is to follow Saint Thomas Aquinas’ concept of virtue, as treated in his work: Summa Theologiae I-II,q.56,a.5: then we shall try to present Filippa Foot’s Interpretation about S.Th.I-II,q.56,a.5 and to restate Aquinas’ precepts about virtue, finishing with some critical reflections.
1
2
George Henrik von Wright, The Varieties of Goodness (London: Routledge & Kegan Paul, 1963); Josef Pieper, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966); Peter Geach, The Virtues (Cambridge: Cambridge University Press, 1977); Philippa Foot, Virtues and Vices (Berkeley, 1978); James Wallace, Virtues and Vices, (Ithaca & London: Cornell University Press, 1978);Stanley Hauerwas, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic (Notre Dame, London: University of Notre Dame Press, 1981) and Vision and Virtue (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1981); Alasdair MacIntyre, After Virtue: A Study in Moral Theory (London: Duckworth, 1996); John L. Treloar, “Moral Virtue and the Demise of Prudence in the Thought of Francis Suárez”, in The American Catholic Philosophical Quarterly (formerly The New Scholasticism) (3) 1991; Roger Crisp and Michael Slote (Ed.), Virtue Ethics, Oxford Readings in Philosophy, (New York: Oxford University Press, 1997); Roger Crisp (Ed.), How Should One Live?: Essays on the Virtues, (Oxford: Clarendon Press, 1998). Frank Yartz, “Virtue as an Ordo in Aquinas”, in Medieval Studies (47) 1969-70, pp.305-319; Mario Valentino Ferrari, “La disputa su virtú e felicita e l’eudemonismo estetico di Tommaso d’Aquino”, in Rivista Teologia
Agustinus Ryadi, Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View
139
1. Status Quaestionis The definition of a virtue given by Aristotle is justly famous: it is, he writes: a state of character concerned with choice, lying in a mean, i.e., the mean relative to us, this being determined by a rational principle, and by that principle by which the man of practical wisdom would determine it3 . But Aquinas does not believe that the use of reason alone is sufficient to ensure that people are truly good or that they live a truly moral life. For that, he says, we need virtues. Quoting St. Augustine, Aquinas defines a moral virtue as: “... bona qualitas mentis ... Et ideo, ut discernatur virtus ab his quae semper se habent ad malum, dicitur qua recte vivitur: ut autem discernatur ab his quae se habent quandoque ad bonum, quandoque ad malum, dicitur, qua nullus male utitur”4 . Aquinas, in his definition of virtue5 , said that virtues can produce only good actions, and that they are dispositions “of which no one can make bad use”6 , except when they are treated as objects, as in being the subject of hatred or pride. The common opinion nowadays is, however, quite different. With the notable exception of Peter
3
4 5
6
140
Morale (8) 1976, pp.627-653; Giuseppe Abba, “La funzione dell’habitus virtuoso nell’ atto morale secondo lo Scriptum super Sententiis di San Tommaso d’Aquino, in Salesianum (42) 1980, pp.3-34; Giuseppe Abba, “La nuova concezione dell’habitus virtuoso nella Summa Theologiae di San Tommaso d’Aquino”, in Salesianum (43) 1981, pp.71-118; Giuseppe Abbá, Lex et Virtus: Studi sull’evoluzione della dottrina morale di San Tommaso d’Aquino, Biblioteca di Scienze Religiose 56, (Roma:LAS, 1983); Dolores Miller, “Moral Virtue, Eudaimonia, and the Prime Mover”, in The New Scholasticism (60) 1986, pp.1-34; Kevin M. Staley, “Thomas Aquinas and Contemporary Ethics of Virtue”, in The Modern Schoolman, (4) 1989, pp.285-287. EN 1106,a.36-1107,a.3, W.D.ROSS (Trans), “Nicomachean Ethics”, in Robert Maynard HUTCHINS (Ed), The Works of Aristotle Vol.II, Great Books of the Western World 9, (Chicago: Encyclopaedia Britannica, INC, 1952), p.352; Cf. Battista MONDIN, “Virtú”, in Op.Cit., p.653: “Aristotele divide le v. (virtú) in due gruppi principali: dianoetiche (dell’intelletto) ed etiche (della volontá o libera scelta). Le prime concorrono allo sviluppo delle facoltá intellettive; mentre le seconde presiedono al controllo delle passioni e alla scelta dei mezzi al raggiungimento del fine ultimo”;Also Cf. A. Chadwick RAY, “A fact about Virtues”, in The Thomist, (3) 1990, p.430: He argues that “the opening sentence of Aristotle’s Nicomachean Ethics affords a factual basis for sustaining the no-bad-use thesis as descriptive of virtues as we find them;...”; There are five points which need to be noted in this definition, see Joseph de Finance, An Ethical Inquiry (Roma: Editrice Pontificia Universitá Gregoriana, 1991), pp. 475-476. S.Th.I-II,q.55,a.4. Emphasis is mine. My professor explains the concept of Aquinas’ virtue very well, Mario Pangallo, “Habitus” e vita morale: Fenomenologia e fondazione ontologica (Napoli-Roma: LER, 1988), pp.52-57; cf. Brian Davies, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1993), pp.239-244. Ibid.: Cf.S.Th.I-II,q.56,a.5: “Sed tamen si qui sunt habitus in talibus viribus, virtutes dici non possunt. Virtus enim est habitus perfectus, quo non contingit nisi bonum operari: unde oportet quod virtus sit in illa potentia quae est consummativa boni operis. Cognitio autem veri non consummatur in viribus sensitivis apprehensivis; sed huiusmodi vires sunt quasi praeparatoriae ad cognitionem intellectivam. Et ideo in huiusmodi viribus non sunt virtutes, quibus cognoscitur verum; sed magis in intellectu vel ratione”. Emphasis is mine.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Geach7 , hardly anyone sees any difficulty in the thought that virtues may sometimes be displayed in bad actions. Von Wright8 , for instance, speaks of the courage of the villain as if this were a quite acceptable idea, and most people take it for granted that the virtues of courage and temperance may aid a bad man in his evil work. It is also supposed that charity may lead a man to act badly, as when someone does what he has no right to do, but does it for the sake of a friend. There are, however, reasons for thinking that the matter is not so simple as this. If a man who is willing to do an act of injustice to help a friend, or for the common good, is supposed to act out of charity, and he so acts where a just man will not, it should be said that the unjust man has more charity than the just man. But do we not think that someone not ready to act unjustly may yet be perfect in charity, the virtue having done its whole work in prompting him to do the acts that are permissible? And is there not more difficulty than might appear in the idea of an act of injustice which is nevertheless an act of courage? Suppose for instance that a sordid murder were in question, a murder done for instance for gain or to get an inconvenient person out of the way, but that this murder had to be done in alarming circumstances or in the face of real danger; should we be happy to say that such an action was an act of courage? Or a courageous act? Did the murderer, who certainly acted boldly, or with intrepidity, if he committed the murder, also act courageously?9
2. Philippa Foot’s Interpretation10 What are we to say about this difficult matter? There is no doubt that the murderer who murdered for gain was not a coward: he did not have a second moral defect which another villain might have had. There is no difficulty about this because it is clear that one defect may neutralize another. As Aquinas remarked, it is better for a blind horse if it is slow11 . It does not follow, however, that an act of villainy can be courageous; we are inclined to say that it took courage, and yet it seems wrong to think of courage as equally connected with good actions and bad. One way out of this difficulty might be to say that the man who is ready to pursue bad ends does indeed have courage, and shows courage in his action, but that in him courage is not a virtue. Later I shall consider some cases in which this might be the right thing to say, but in this instance it does not seem to be. For unless the murderer consistently pursues bad ends, his courage will often result in good; it may enable him to do many innocent or positively good things for himself or for his
7 8 9 10 11
Peter Geach, Op.Cit., pp.8-9. George Henrik von Wright, Op.Cit., pp.136-154. We resume it from Philippa Foot, “Virtues and Vices”, in Roger Crisp and Michael Slote (Ed.), Op.Cit., p.175. Ibid., pp.163-177. S.Th.I-II,q.58,a.4
Agustinus Ryadi, Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View
141
family and friends. On the strength of an individual bad action we can hardly say that the courage in him is not a virtue. Nevertheless there is something to be said even about the individual action to distinguish it from one that would readily be called an act of courage. Perhaps the following analogy may help us to see what it is. We might think of words such as courage as naming characteristics of human beings in respect of a certain power, as words such as poison and solvent and corrosive so name the properties of physical things. The power to which virtue-words are so related is the power of producing good action, and good desires. But just as poisons, solvents, and corrosives do not always operate characteristically, so it could be with virtues. If A (say arsenic) is a poison it does not follow that A acts as a poison wherever it is found. It is quite natural to say on occasion that A does not act as a poison though A is a poison and it is A that is acting. Similarly courage is not operating as a virtue when the murderer turns his courage, which is a virtue, to bad ends. Not surprisingly the resistance that some of us registered was not to the expression “the courage of the murderer” or to the assertion that what he did took courage but rather to the description of that action as an act of courage or a courageous act. It is not that the action could not be so described, but the fact that courage does not here have its characteristic operation is a reason for finding the description strange. In this example we were considering an action in which courage was not operating as a virtue, without suggesting that in that agent it generally failed to do so. But the latter is also a possibility. If someone is both wicked and foolhardy they may be so with courage, and it is even easier to find examples of a general connection with evil rather than good in the case of some other virtues. Suppose, for instance, that we think of someone who is over-industrious, or too ready to refuse pleasure, and this is characteristic of him rather than something we find only one occasion. In this case the virtue of industry, or the virtue of temperance, has a systematic connection with defective action rather than good action; and it might be said in either case that the virtue did not operate as a virtue in this man. Just as we might say in a certain setting A is not a poison here though A is a poison and A is here, so we might say that industriousness, or temperance, is not a virtue in some. Similarly in a man habitually given to wishful thinking, who clings to false hopes, hope does not operate as a virtue and we may say that it is not a virtue in him.
3. Aquinas’ Understanding Aquinas says that in one sense a virtue is a power (in the material sense) and in another sense it is not (essentially)12 . That is, he says we call whatever we can do 12
142
De Virtutibus in Communi,q.1,a.1,reply 1: “... quod sicut potestas, ita et virtus accipitur dupliciter. Uno modo materialiter, prout dicimus, id quod possumus, esse nostram potentiam, et sic Augustinus bonum usum liberi arbitrii dicit esse virtutem. Alio modo essentialiter; et sic neque potentia neque virtus est actus”. Emphasis is mine.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
one of our powers, and gives as an example Augustine’s statement that the good use of free will is a virtue. But essentially speaking, Aquinas says that virtue is neither power nor act. Aquinas speaks of virtue as the complement of potency. The Thomistic terminology is somewhat foreign to our usual way of speaking and undoubtedly there is much dissimilarity in the use of the word power here13 (the modern use seems to resemble the material sense and the Thomistic view seems most concerned with the essential sense; but there is a distinction worth noting. Virtue is not something which one has, or a power which one has, but it is a certain set disposition or ordering of the powers which one has (in classical terms, an ordering of one’s soul), which gives one the ability to have one’s right perceptions govern one’s desires or fears. Perhaps the description of virtue as a habit which enables a man to fulfill his natural capacities seems both consistent with the Thomistic view and also accessible to moderns. Thus, in the same way in which gymnastic training might give an athlete the habit of coordination which enables him to run with strength and grace, the coordination is not the power - it describes a certain ordering of muscles and impulses which perfect one’s natural powers14 . Virtue has an analogous status on the moral level: through training, one develops habits - such as the ability to overcome one’s desires - and this then means that reason and will and desire can cooperate to do what a man chooses; virtue perfects certain powers in the reason and will; it is not the power itself. The classical view of virtue, then, distinguishes the virtues from the powers which they perfect.
4. Critical reflections Foot seems to wish to posit that courage is, in the instance under consideration, a virtue but does not always act as a virtue. What is it acting as? What could we call it? We find it proper to call arsenic a medicine when it functions as such; what could we call this courage which the murderer seems to display? A strength? A power? But these are all approbative terms and in this context seemingly rather synonymous with virtue and that is the very designation which we wish to avoid. And further, it seems that courage in this context ought not to be considered a valuable characteristic, for it is something which enables one to do bad acts. Therefore much as we were willing to designate arsenic as a medicine when it had beneficial effects, are we willing to call courage, a fault when it leads to bad acts? Foot’s analogy suffers from another fundamental difficulty and that is that the analogy seeks to compare a substance (poison) with a relation (courage) and is thus
13 14
Cf. Giuseppe Abbá, Felicitá, vita buona e virtú: Saggio di filosofia morale (Roma: LAS, 1995), pp.181-186. Cf. Edward J. Gratsch, Aquinas’ Summa: An Introduction and Interpretation (New York: Alba House, 1985), pp.110-111.
Agustinus Ryadi, Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View
143
perhaps doomed from the outset. Foot indicates that she thinks it proper to compare something like poison to something like virtue because both have “powers”15 : virtue the power of producing good actions and good desires, and poison, we suppose, the power of producing harmful effects. But I believe that it is significant that whereas we might wish to call whatever has harmful effects in certain contexts a poison, we would not conversely wish to call whatever has the power of producing good effects, a virtue. Indeed, as I have suggested something like arsenic is poisonous (on occasion) because in certain contexts or interactions it has the power to have harmful effects. And many things, like penicillin, which are usually beneficial, may in some circumstances be harmful and thus properly labeled poisonous. A substance gains the label poisonous because of its effects - and is labeled a poison when it usually has harmful effects. Using this analogy, Foot concludes that courage is a virtue, in the same sense that arsenic is a poison: that is, it is something which usually produces good actions in certain circumstances - although in some circumstances it is capable of aiding bad actions (in which case in Foot’s terms it is a virtue, but not acting as a virtue). But virtue, in Aquinas’ view, is not the same sort of thing. That is, whatever usually has good effects is not always called a virtue nor would what sometimes has good effects be called virtuous (if we had a term with this connotation). More specifically, courage is not called a virtue because it usually has good effects. It is called a virtue because it designates a certain ordering of the soul, a certain relation between the parts of the soul which either exists or does not exist. And this ordering of the soul, called courage, is what enables man to have certain powers - it is not itself the power, nor is it so labeled because it has this power.
BIBLIOGRAPHY A. The Works of Saint Thomas Aquinas AQUINATIS, Thomae, S., Summa Theologiae, cura et studio Sac. Petri Caramello, cum textu ex recensione Leonina, Prima Pars (Romae-Taurini: Marietti, 1952). ______________________, Quaestiones Disputatae, Volumen II, De Virtutibus in Communi, cura et studio P. Bazzi - M. Calcaterra - T.S. Centi - E. Odetto - P.M. Pession, Editio VIII revisa (Romae-Taurini: Marietti, 1949). ______________________, In decem libros ethicorum Aristotelis ad Nicomachum: expositio, cura et studio P.Fr. Raymundi Spiazzi (RomaeTaurini: Marietti, 1949).
15
144
Philippa Foot, “Virtues and Vices”, in Roger Crisp and Michael Slote (Ed.), Op.Cit., p. 176.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
B. Monography on Argument 1. Books CRISP, Roger and SLOTE, Michael (Ed.), Virtue Ethics, Oxford Readings in Philosophy (New York: Oxford University Press, 1997). CRISP, Roger (Ed.), How Should One Live?: Essays on the Virtues (Oxford: Clarendon Press, 1998). DAVIES, Brian, The Thought of Thomas Aquinas (Oxford: Clarendon Press, 1993). FINANCE, de, Joseph, An Ethical Inquiry (Roma: Editrice Pontificia Universitá Gregoriana, 1991). FOOT, Philippa, Virtues and Vices (Berkeley: Berkeley University Press, 1978). FRANKENA, K., William, Ethics, second edition, Foundations of Philosophy Series (New Jersey: Prentice-Hall, INC, 1973). GEACH, Peter, The Virtues (Cambridge: Cambridge University Press, 1977). GRABMANN, Martin, S. Tommaso d’Aquino, una introduzione alla sua personalitá e al suo pensiero, Versione del Dottor Giacomo di Fabio (Milano: Societá Editrice “Vita e Pensiero”, 1929). GRATSCH, J., Edwart, Aquinas’ Summa: An Introduction and Interpretation (New York: Alba House, 1985). HAUERWAS, Stanley, A Community of Character: Toward a Constructive Christian Social Ethic (Notre Dame, London: University of Notre Dame Press, 1981). __________________, Vision and Virtue (Notre Dame, London: University od Notre Dame Press, 1981). HUDSON, W., Deal, & MORAN, WM., Dennis (Eds.), The Future of Thomism (Notre Dame: American Maritain Association, 1991). MACINTYRE, Alasdair, After Virtue:A Study in Moral Theory (London: Duckworth, 1996). MONDIN, Battista, L’Uomo: Chi é?: Elementi di antropologoa filosofica (Milano: Editrice Massimo, 1993). PANGALLO, Mario, “Habitus” e vita morale: Fenomenologia e fondazione ontologica (Napoli-Roma: LER, 1988). PIEPER, Josef, The Four Cardinal Virtues (Notre Dame: University of Notre Dame Press, 1966). ROSS, D.,W. (Trans), “Nicomachean Ethics”, in Robert Maynard HUTCHINS (Ed), The Works of Aristotle Vol.II, Great Books of the Western World 9 (Chicago: Encyclopaedia Britannica, INC, 1952).WALLACE, James, Virtues and Vices (Ithaca & London: Cornell University Press, 1978). WEISHEIPL, A., James, Friar Thomas d’Aquino: His Life, Thought & Works (Washington DC: The Catholic University of America Press, 1983).
Agustinus Ryadi, Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View
145
WRIGHT, von, Henrik, George, The Varieties of Goodness (London: Routledge & Kegan Paul, 1963). 2. Articles ABBA, Giuseppe, “La funzione dell’habitus virtuoso nell’ atto morale secondo lo Scriptum super Sententiis di San Tommaso d’Aquino, in Salesianum (42) 1980, pp.3-34. ________________, “La nuova concezione dell’habitus virtuoso nella Summa Theologiae di San Tommaso d’Aquino”, in Salesianum (43) 1981, pp.71118. FERRARI, Valentino, Mario, “La disputa su virtú e felicita e l’eudemonismo estetico di Tommaso d’Aquino”, in Rivista Teologia Morale (8) 1976, pp.627653. MILLER, Dolores, “Moral Virtue, Eudaimonia, and the Prime Mover”, in The New Scholasticism (60) 1986, pp.1-34. RAY, Chadwick, A., “A Fact about Virtues”, in The Thomist, (3) 1990, pp.429653. STALEY, M., Kevin, “Thomas Aquinas and Contemporary Ethics of Virtue”, in The Modern Schoolman, (4) 1989, pp.285-287. YARTZ, Frank, “Virtue as an Ordo in Aquinas”, in Medieval Studies (47) 196970, pp.305-319. C. Works in Dictionaries and Enciclopedies BERGOMO, de Petri, In opera Sancti Thomae Aquinatis index seu Tabula Aurea, editio fototypica (Alba-Roma: Editiones Paulinae, 1960). BOURKE, J., Vernon, “St. Thomas Aquinas”, in Paul EDWARDS (Ed.), The Encyclopedia of Philosophy, Vol.8 (New York: Macmillan,1967), pp.105116. DEFERRARI, J., Roy, A Latin-English Dictionary of St.Thomas Aquinas: Based on The Summa Theologica and selected passages of his other writings (Washington DC: St.Paul Editions, 1986). MONDIN, Battista, “Virtú”, in Dizionario Enciclopedico del Pensiero di San Tommaso d’Aquino (Bologna: Edizioni Studio Domenicano, 1991), pp.653656. PENCE, Greg, “Virtue Theory”, in SINGER, Peter (Ed.), A Companion to Ethics, Blackwell Companions to Philosophy (Oxford: Blackwell Publishers, 1997), pp.249-258.
146
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
PENDIDIKAN NILAI KONTEKS PLURALISME NILAI TINJAUAN TEOLOGI MORAL Paul Klein STFT Widya Sasana, Malang Abstract: Value education is indispensable to the today world which currently promotes pluralism. The Weltanschauung is plural and randomly diffused. Consequently, shift of value (Wertwandel) occurs inevitably. The Catholic Church is concerned with what we call “indifference” that poisons people in such a way that moral value then turns to an only subjective one. Value is often meant as that which is positively useful, worth, good for quality of life. The postmodern period however sets a condition that such quality of life is always diffused. Everybody has his own standard of quality of life. This is the reason why moral theology should elaborate value education in spite of Wertwandel. The article discusses the said topics in three parts: 1) shift of value (Wertwandel) in postmodern time; 2) theories of Werwandel; and 3) some concluding theses of how the Church should cope the problem of Wertwandel. Keywords: nilai, pendidikan nilai, pergeseran nilai, postmodern, pluralisme, teologi moral, agama
Kelihatannya “pendidikan nilai” sangat penting dalam satu dunia yang pada satu pihak diwarnai oleh pluralisme pendapat tentang “weltanschauung” yang berbeda-beda (cara menginterpretasikan arti hidup manusia di dunia ini) dan pada pihak lain memiliki trend yang intrinsik untuk menjadi satu “kebudayaan global” yang mungkin akan disharingkan oleh seluruh umat manusia dalam waktu yang tidak lama. Teologi Moral – walaupun sejak di sekitar Konsili Vatikan II masih sibuk membenahi dan membaharui dirinya – tidak boleh acuh tak acuh terhadap akseptansi nilai-nilai yang akan menjadi milik bersama dalam “desa global” nanti. Apalagi “pendidikan nilai” perlu diberikan, termasuk kepada para anggota Gereja Universal yang berpegang pada norma-norma moral kristiani, supaya langsung sejak awal perkembangan (post)modern menuju satu globalisasi, satu prioritas mutlak (hierarki) diberikan kepada nilai-nilai tertentu, khususnya kepada nilai-nilai dasar (ontologis) dan religius yang sesuai dengan ajaran agama kristiani. Sudah pada introduksi ini harus diakui bahwa tugas tersebut tidak mudah karena semua pihak yang terlibat dalam proses diskusi tentang nilai-nilai itu adalah “pares inter pares” (mempunyai hak yang sama) dan bertemu di tengah keadaan pluralisme yang tentu hanya dapat menghasilkan satu “consensus” melalui dialog yang bersifat toleran. 1. Pergeseran nilai pada masa (post)modern Ada perbedaan pendapat di antara para ahli sosio-budaya mengenai cara munculnya nilai-nilai baru:Apakah nilai-nilai tertentu (selain nilai-nilai dasar yang abadi) Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
147
harus dulu merosot dan hilang sama sekali sampai nilai-nilai baru bisa muncul dan mengganti yang lama? Kebanyakan ahli lebih suka berbicara tentang “pergeseran nilai”.1 Jadi, lebih tepat adalah rumusan tentang nilai-nilai yang tetap ada, karena satu atau beberapa faktor (mis. fisiologis, psikis, ekonomis, sosio-budaya, agama, politik) akan berubah dan beralih kepada satu status lain (bisa baik, bisa buruk). Tetapi, lebih dulu perlu ditinjau tentang apa itu “nilai”? 1.1.
Deskripsi/definisi mengenai “nilai” “Nilai” biasanya dianggap sesuatu yang positif dan yang berguna untuk memenuhi kebutuhan dan kerinduan umat manusia; atau – seperti pada saat seringkali ditegaskan: sesuatu yang meningkatkan mutu hidup (“quality of life”). “Pada umumnya segala sesuatu yang – baik dari segi individual maupun sosial – dianggap baik, memperkaya, memajukan dan berguna adalah nilai” (Christian Schuetz).2 Nilainilai pertama-tama adalah abstraksi-abstraksi atau realitas-realitas idiil saja tanpa berfungsi secara normatif atau memaksakan; di sini juga dilihat perbedaan nilai-nilai dengan norma-norma (imperatives) dan keutamaan-keutamaan (virtues).3 Tetapi tanpa diperintah mereka menjadi bagi manusia abstraksi dan motivasi untuk bergerak ke arah tujuan yang diinginkan. “Nilai-nilai adalah tujuan-tujuan baik umum maupun sentral, orientasi-orientasi berstandart dan tanda-tanda penuntun bagi para individu, kelompok, organisasi dan masyarakat seluruhnya serta berfungsi sebagai legitimasi untuk norma-norma sosial yang perlu untuk mengatur hidup bersama manusia dengan baik” (Karl-Heinz Hillmann)4 Secara konkrit manusia terus menerus harus berusaha mengetahui apa yang sungguh-sungguh baik dan bermanfaat baginya secara meterial-fisiologis dan spirituilpsikologis dan religius, apalagi yang memberikan lebih banyak arti serta membahagiakannya dalam suka dan duka kepada hidupnya. Sebab itu manusia tidak boleh membatasi dirinya pada nilai-nilai moral saja, melainkan juga harus memberi penghargaan yang tinggi kepada nilai-nilai lain, mis. nilai-nilai religius, budaya, kesenian, ekonomi, sosial, politik dan olah raga. Demikianlah nilai-nilai patut selalu diakui manusia sebagai inspirasi yang secara sadar atau tak-sadar menuntun dia menuju satu tujuan yang menambah mutu hidupnya.5
1
2 3
4
5
148
Mis. Ronald Inglehart, The Silent Revolution: Changing Values ang Political Among Western Publics. Princeton 1977; Helmut Klages dan Peter Kmieciak (ed.), Wertwandel und Gesellschaftlicher Wandel. Frankfurt a.M. dan New York 1984. Praktisches Lexikon der Spiritualitaet. Freiburg 1992, hlm. 1430. Bdk. juga Hans Rotter dan Guenter Virt (ed.), Neues Lexikon der Christlichen Moral. Inssbruck 1990. hlm. 857-858. Bdk. Augustinus: “Virtus est bona qualitas mentis qua recte vivitur, qua nullus male utitur.” Dalam: De libero arbitrio II 19: PL 32, 1268. Keutamaan sebagai mentalitas moral (“lakukanlah yang baik, elakkanlah yang jahat”) bukanlah sebagai nilai yang disponibilis yang siap untuk dimanfaatkan. Zur wertewandelforschung: Einfuehrung, Uebersicht und Ausblick, dalam: George W. Oesterdiekhoff dan Norbert Jegelka (ed.), Werte und Wertewandel in westlichen Geselleschaften, Resultate und Perspektiven der Sozialwissenschaften. Opladen 2001, hlm. 15. Bdk. Walter Holzmann, Woran soll ich mich halten? Auf der Suche nach verbindlichen Werten. Mainz 1997, S. 45.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
1.2.
“Gesinnungsethik” dalam “Etika Nilai” Sejak awal abad ke-20 ada beberapa filsuf, ahli-ahli “Fenomenologi” Edmund Husserl, yang mengembangkan “Etika Nilai” (mis. Max Scheler, Dietrich von Hildebrand, Alexander Pfaender, Edith Stein). Mereka mengetrapkan metodologi fenomenologis atas kenyataan nilai-nilai yang sejak itu disebut “Wertethik” (“Etika Nilai”) atau juga “Gesinnungsethik”. Arti kata Jerman “Gesinnung” merupakan kemampuan manusia untuk menilai fenomen nilai-nilai (yang tidak bisa ditanggap secara adekwat dengan rasio saja) dengan pertimbangan batin (termasuk perasaan). Sebenarnya arti “Gesinnung” dalam bahasa Jerman tidak jauh berbeda dengan arti “hati” dalam Kitab Suci yang merupakan pusat batin manusia atau manusia yang otentik dalam relasi (cinta) dengan sesama manusia dan komunitas. Sebab itu “Gesinnung” bisa juga diberi makna hati manusia yang memberi jawaban penghargaan terhadap nilai-nilai. Dengan cara itu jiwa manusia akan membuka dirinya terhadap niai-nilai serta mendapat kekuatan untuk memperjuangkan tujuan-tujuan yang berarti dalam hidup manusia. Dalam karyanya “Etika Nilai Material”,6 Max Scheler memberi satu handbook tentang nilai-nilai dan juga menunjukkan jalan keluar dari situasi konflik nilai-nilai yang saling bertentangan. 1.3.
Proses biasa dalam sejarah : Pergeseran Nilai (“Wertwandel”) Ada kebiasaan sepanjang sejarah bahwa semua nilai – selain nilai-nilai yang paling terikat dengan kodrat manusia sendiri – ikut juga berubah baik dengan perkembangan manusia (mis. usia, pendidikan, ketrampilan) maupun perubahan lingkungan ekonomis, sosial, budaya, agama, dan politik. Perubahan itu sangat nyata pada anak dan manusia muda sampai usia dewasa. Para pedagog – dari Sokrates sampai Rousseau, dari orang tua sampai guru-guru di sekolah dan universitas-universitas – melihat perubahan nilai-nilai yang paling mendasar pada para muridnya selama mereka duduk di bangku sekolah. Tetapi dalam dunia kerja, profesi, ekonomi, politik bahkan dalam keluarganya sendiri terus terjadi perubahan nilai-nilai itu. Begitu seterusnya sampai manusia pulang ke tanah lagi dari mana dia diambil. Seperti dikatakan oleh Heraklitos, seorang filsuf Yunani dalam abad ke5 SM: “Panta rhei”, i.e. segala-galanya mengalir, sedang menunjuk kepada pengalamannya di pinggir kali. Sebab itu tidak perlu seorang pun heran, kalau hukum peralihan itu juga ditemui dalam moral dan pada nilai-nilai. Moral tidaklah statis, melainkan juga proses, di mana selalu nilai-nilai yang lama diuji lagi, dan kalau tidak lulus ujian itu, mereka akan diganti dengan nilai-nilai lain.7 Bahwa
6
7
Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik. Neuer Versuch der Grundlegung eines ethischen Personalismus: Gesammelte Werke II, Edisi 5, Bern 1966. Bdk. juga Bernhard Haering, Frei in Christus, Moraltheologiee fuer die Praxis des christlichen Lebens I: Freiburg 1989, hlm. 105-106; 157-158. Millenari, Wir klagen an. Zwanzig roemische Praelaten ueber die dunklen Seiten des Vatikans. Berlin, 2000, hlm. 58-59.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
149
nilai-nilai yang lama dengan sendirinya hancur atau hilang sama sekali, hanya jarang terjadi. Bahkan “adalah Pengalihan Orientasi Nilai, yang tidak mengganti begitu saja salah satu yang lain yang sebelumnya ada, melainkan yang merendahkannya di atas tangga hierarki nilai beberapa tahap.”8 Proses peralihan nilai sering juga dipercepat, karena seorang pribadi atau seluruh masyarakat mengalami frustrasi permanen akibat dari kebutuhan-kebutuhan tertentu yang tidak dipenuhi oleh pihak yang berwewenang.9 Dalam hal ini, tidak jarang pengalihan nilai akan dilakukan dengan paksaan atau kekerasan yang tidak adil. Pengalaman akan perubahan dan pengalihan nilai tidak jauh berbeda dengan yang ada dalam Kitab Suci maupun dalam Gereja. Iman kristiani sendiri berpraktik menimbulkan satu peralihan nilai sejak abad pertama sejarah Gereja, baik dalam Kerajaan Romawi maupun dalam sejarah Gereja sampai sekarang ini.10 Seorang kristiani harus bertobat terus menerus, kata Tuhan Yesus (Mrk 1:14), demikian juga Konsili Vatikan II (Dekrit tentang Ekumenisme, 7 dan 8). Otto Hermann Pesch: “Fenomen
secara intrinsik telah tertanam ke dalam iman kristiani sejak asalnya”.11 Dan akhirnya, walaupun kita tidak hidup lagi dalam zaman Rasionalisme (abad 18-19) yang sangat kritis terhadap agama Katolik (mis. Tradisi Gereja dan dogma-dogmanya, khususnya dogma tentang Infallibilitas Paus) dan Institusi Gereja (khususnya jabatan Bapa Paus), juga dalam zaman (post)modern ini “ratio humana” tetap dihargai tinggi serta sangat kritis terhadap nilai-nilai tradisional (mis. aristokrasi, privilesi kebangsaan, majikan otoriter, patriarkat, diskriminasi ras, budaya dan agama dan penindasan hak-hak asasi manusia) yang tidak tahan pemeriksaan forum rasio kritis itu.12 Nilai-nilai religius tidak diterima begitu saja karena tokoh-tokoh tinggi - baik Klerus maupun Kaum Awam – mendukung dan membelanya. Kriteria penting sekarang ini untuk akseptansi nilai apa pun – religius atau tidak religius – adalah kemampuannya untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan tertentu serta mempromosikan perjuangan manusia demi penghayatan diri.13
8
Dietmar Mieth, Kontnjitaet und wandel der Wertorientierungen. Dalam: CONCILIUM 1987, 23, Jhg., 1987, hlm. 21.
9
Jean-Pierre Wils, Bedingungen des Wertewandels zwischen Kultur und Jugendlicher Subkultur. Dalam: CONCILIUM, Jhg. 23, 1987, hlm. 253.
10
Tentu saja tidak ada seorang moralis pun yang hari ini masih berani untuk menegaskan kewajiban Konsili Pertama di Yerusalem (Kis 15: 28-29) atau menolak ajaran astronomis Galileo Galilei. Juga contoh dari sejarah Gereja abad ke-20: Karena ada pengalihan nilai juga di bidang seksualitas, maka tidak mungkin ada seorang paus pun yang akan menegaskan ajaran tentang larangan kontrasepsi dengan argumentasi yang sama seperti Paus Paulus VI dalam ensiklik “Humane Vitae”, 1968.
11
Der Theologie der Tugen und die theologischen Tugenden. Dalam CONCILIUM, 23. Jhg., 1987, hlm. 233.
12
Bdk. khususnya kuasa massmedia yang kritik pedasnya bisa memaksa juga tokoh-tokoh hidup publik, mis. Pegawai tinggi pemerintah, ekonomi dan showbusiness, untuk turun dari takhtanya.
13
Itulah juga tuntunan pokok dari Leopold Neuhold, Wertwandel und Christentum. Linz 1988, hlm. 117-118.
150
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
2. Teori-teori tentang latar belakang Pengalihan Nilai Kebanyakan sosiolog berpegang pada pendapat bahwa pada umumnya nilainilai dalam hidup manusia dan bangsa-bangsa tidak menghilang saja bahkan hancur, melainkan berubah, berpindah, beralih dari satu nilai ke nilai lain sesuai dengan perkembangan manusia dalam sejarah. Sebab itu, proses ini juga disebut “Wertewandel” (bukan “Werteverfall”) yaitu “perpindahan, transformasi, pengalihan nilai”.14 Sepanjang sejarah manusia bukti perpindahan nilai itu ada, mis. di bidang Agama, Filsafat, Antropologi, Kesenian, Adat-Istiadat, Pertanian dan Peternakan, Kerja Buruh, Transport, Politik, Ekonomi, Keluarga, Seksualitas, Perang, Konsum dan waktu Senggang. Selama dekade-dekade terakhir ini – khususnya sejak tahun 60-an abad ke-20 – Pengalihan Nilai diwarnai oleh semboyan: “Dari Budaya Akseptansi (Kewajiban) ke Budaya Perwujudan Diri (Pengrealisasian Pribadi Manusia)!” Trend itu bisa dilihat baik di negara-negara Barat maupun di negaranegara Timur. Sekularisme, Materialisme, Konsumerisme, Hedonisme, “New Age”, dst. terus memperkuat trend itu.15 Dikonfrontasikan dengan trend global ini, sejak tahun 70-an muncul teori-teori yang ingin menjelaskan trend pengalihan nilai dalam masa sekarang ini. 2.1.
Teori Pergeseran Nilai dalam Ronald Inglehart Ronald Inglehart dianggap sebagai sisiolog utama yang berjasa menjalankan studi-studi dan angket-angket tentang Pengalihan Nilai dalam masa (post)modern ini.16 Walaupun teorinya baru-baru ini agak dipersoalkan dan dikritik oleh rekanrekan lain, mis. Leopold Neohold,17 Inglehart tetap diakui secara internasional sebagai nomor satu di antara para peneliti Pengalihan Nilai. Di pihak lain dia cukup fleksibel dan rendah hati untuk mengoreksi dirinya. Dalam teorinya Inglehart membedakan antara dua macam prioritas nilai, yaitu: (1) “prioritas-prioritas materialistis”, dan (2) “prioritas-prioritas postmaterialistis”. Untuk mengukur prioritas-prioritas itu, dia menyusun satu daftar tujuan-tujuan sbb: (1) Prioritas-prioritas materialistis - Penegakan ketertiban dalam negara
14 15
16
17
Bdk. banyak autor yang didaftarkan dalam kepustakaan di bawah yang mendukung pendapat ini. Agama-Agama dunia besar dan gerakan-gerakan rohani ini harus memberi perhatian sungguh kepada trend itu serta menawarkan alternatif mereka berhubungan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh manusia (post)modern. Bukunya The Silent Revolution: Changing Values ang Political Styles Among Western Publics. Princeton 1977, memperoleh perhatian banyak dalam dunia ilmiah. Bdk. juga – selain kepustakaan – Kultureller Umbruch. Wertwandel in der wesrlichen Welt. Frankfurt a.M./New York 1989 (Terj. Dari Inggris: Cultural Change. Princeton?New Jersey 1989) dan Modernisierung und Postmodernisierung, Kultureller, wirtschaftlicher und politischer wandel in 43 Gesellschaften. Frankfurt a.M.?New York 1998. Wertwandel und Christentum. Linz 1998, hlm. 37-42.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
151
- Pengambilan tindakan keras melawan kejahatan - Pembelaaan negara melalui tentara supaya aman - Ekonomi yang stabil - Tindakan efisien melawan harga barang yang naik - Pengambilan tindakan untuk menjamin pertumbuhan ekonomi (2) Prioritas-prioritas postmaterialistis - Hak untuk ikut menentukan keputusan-keputusan pemerintah - Hak untuk ikut menentukan keputusan-keputusan di tempat kerja dan distrik dan tingkat kelurahan/kota - Perlindungan kebebasan berpendapat - Masyarakat yang makin lama makin human - Masyarakat yang lebih menghargai ide-ide kreatif dari uang - Usaha untuk membuat kota-kota dan wilayah daerah lebih indah Secara antropologis-psikologis Inglehart mengandaikan pada teorinya sendiri “Teori Hierarki Kebutuhan” dari Abraham H. Maslow yang mengenal lima kebutuhan pokok manusia:18 (1) kebutuhan-kebutuhan fisiologis (naluri), mis. kelaparan, kehausan, dan seksualitas (2) kebutuhan akan hidup yang aman, mis. keamanan, stabilitas, ketertiban, kebebasan dari ketakutan dan chaos (3) kebutuhan akan cinta dan menjadi bagian, mis. relasi akrab (penuh rasa) dengan orang-orang lain (khususnya dalam keluarga atau kelompok lain) memberi serta menerima cinta (4) kebutuhan untuk diakui sebagai manusia yang dihormati, mis. pengakuan, prestise, penghargaan diri dari orang lain, keperkasaan, prestasi dan wewenang (competence) (5) kebutuhan akan perwujudan diri. Hasil pemenuhan kebutuhan ini sangat berbeda dari individu ke individu. Apakah manusia bisa memuaskan kebutuhan-kebutuhannya? Itu sangat tergantung dalam model masyarakat di mana ia hidup, lebih tepat apakah dia tinggal dalam masyarakat yang diwarnai oleh kekurangan-kekurangan material atau tidak (“Hipotese Kekurangan”). Bila dia hidup dalam model masyarakat pertama (mis. “masyarakat pra-industriil”), maka dia lebih berpegang pada “nilainilai materialistis”; bila dia hidup dalam masyarakat kedua (mis. “masyarakat industriil-kapitalistis” yang berkembang ke ”masyarakat ekonomi pasar’ yang mampu untuk memenuhi kebutuhan materiil secara berlimpah), maka dia lebih berpegang pada “nilai-nilai postmaterialistis”). Tentu saja dalam proses sosialisasi
18
152
Abraham H. Maslow, Motivation and Society, edisi ke-2, New York, Evanston dan London, 1970, hlm. 35-46.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
(“Hipotese Sosialisasi”) ada juga satu kelompok masyarakat yang relatif besar yang berpartisipasi sekaligus pada kedua macam nilai tersebut itu atau mempertahankan nilai-nilai yang mereka pegang waktu usia muda, sepanjang hidupnya sampai usia tua (“kelompok kohort’). Pengetahuan lebih ilmiah akhirnya diperoleh Inglehart melalui banyak angket di puluhan negara, khususnya di Barat tetapi juga di Asia dan Afrika. Pada umumnya semua angket membenarkan teorinya serta merupakan sumber subur bagi banyak studi selanjutnya dari para peneliti lain.19 Secara singkat sesuai dengan penelitian R. Inglehart jenis dan skala nilai setiap manusia – bukan secara mutlak – sangat tergantung dari syarat-syarat ekonomis lingkungannya. Dan trend di seluruh dunia (pasti juga di Indonesia) – tentu saja paling nyata di negara-negara Barat – menunjukkan pengalihan “nilai-nilai materialistis” (diwarnai oleh keprihatinan akan kesejahteraan materiil dan keamanan fisik dan politik) ke “nilai-nilai postmaterialistis” (kenikmatan akan hidup pribadi dan relasi sosial yang harmonis khususnya dalam keluarga, dan usaha untuk mewujudkan diri melalui 1001 cara yang ditawarkan oleh masyarakat “postmodern”, tentu termasuk juga oleh umat agama [“shalom”] bila memahami tanda-tanda zaman). Bagi para postmaterial nilai ekonomi dan uang tetap penting, tetapi kalah penting dibandingkan dengan perjuangan demi nilai “quality of life”. 2.2.
Teori Pergeseran Nilai dari Milton Rokeach Milton Rokeach mengembangkan teorinya sebagai “instrumen tes” yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pengetahuan tepat tentang prioritas-prioritas nilai seorang individu. Oleh sebab itu para probandi diminta mengatur nilai-nilai tertentu yang dihargai oleh masyarakat (post)modern, sesuai dengan pendapat pribadinya sebagai hierarki nilai-nilai. Untuk itu dibagi antara “nilai-nilai terminal” (terminal values) dan “nilai-nilai instrumental” (instrumental values).20 (1) Nilai-nilai Terminal Nilai-nilai terminal yang diperoleh Rokeach dengan metode empiris, terarah kepada tujuan-tujuan terakhir dan status-status terakhir eksistensi (end-states of existence).21 Mereka sama dengan nilai-nilai dasar yang dianggap penting oleh mayoritas besar masyarakat. Oleh sebab itu, nilai-nilai terminal juga bisa dianggap sebagai determinan-determinan tindakan manusia yang paling umum dan sentral.
19
20 21
Buku-buku R. Inglehart selalu memberi ilustrasi teori melalui banyak tabel sebagai hasil angket, yang sering juga dilakukan oleh beberapa institut, universitas dan organisasi internasional lain seperti European dan World Values Surveys. Bdk. juga Georg W. Oesterdiekhoff dan Norbert Jegelka (edt.), Werte und Wertewandel in westlichen Gesellschaften. Resultate und Perspektiven der Sozialwissenschaften. Opladen 2001 (khususnya artikel Georg W. Oesterdiekhoff, Soziale Strukturen, sozialer Wandel und Wertewandel. Das Theoriemodell von Ronald Inglehart in der Diskussion seiner Grundlagen, hlm. 41-54.) Milton Rokeach, The Nature of Human Values. New York 1973, hlm. 28. bdk. Oesterdiekhoff, 2001, hlm. 18-19. Idem, hlm. 7ss.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
153
(2)
154
Perasaan untuk pernah menghasilkan sesuatu (sukses) Hidup enak (hidup sejahtera) Hidup yang menggairahkan (hidup aktif dan interesan) Dunia penuh damai (tanpa perang dan konflik) Dunia yang indah (keindahan alam dan kesenian) Keselamatan (hidup kekal) Kebebasan (independen, bebas untuk mengambil keputusan) Kenikmatan (hidup nyaman dan menyenangkan) Pengakuan sosial (direspek dan dikagumi) Kesamaan (persaudaraan, kans yang sama untuk semua orang) Kebahagiaan (kepuasan) Harmoni batin (kesatuan dengan dirinya sendiri) Cinta yang matang (keakraban spiritual-seksual) Penghormatan terhadap dirinya sendiri (respek terhadap dirinya sendiri) Keamanan bagi keluarga (memelihara orang-orang tercintanya) Keamanan publik (keamanan terhadap agresi yang tidak adil) Persahabatan benar (relasi akrab dengan rekan) Kebijaksanaan (pengertian dalam terang hidup)
Nilai-nilai instrumental Nilai-nilai instrumental merupakan pikiran-pikiran “normatif” yang bisa mendorong manusia untuk mencari sarana dan cara tindakan demi perolehan nilai-nilai terminal. Mereka sama dengan nilai-nilai moral dan keutamaankeutamaan yang bersifat interpersonal, bahkan kadang-kadang mereka identik dengan norma-norma, dalam arti tradisional. Selain itu, mereka juga merupakan apa yang biasanya disebut atribut-atribut pribadi manusia. - Terkendali (menahan emosi, berdisiplin) - Ambisius (rajin, tekun) - Jujur (pencinta kebenaran) - Mampu (kompeten, efisien) - Ketaatan (sadar akan kewajiban, penuh respek) - Suka menolong (memperhatikan kesejahteraan orang lain) - Sopan ( beradab, terdidik) - Intelektual (pintar, berpikir) - Penuh sayang (lemah lembut, merasa dekat) - Logis (rasional) - Penuh semangat (riang, gembira) - Berani (berpegang pada keyakinan) - Penuh pengertian (rela untuk mengampuni) - Penuh daya khayal (kreatif) - Bersih (teratur, rapi) - Toleran (terbuka) - Independen (percaya diri, sanggup mencukupi kebutuhan sendiri)
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
2.3.
Teori Pergeseran Nilai dari Helmut Klages Helmut Klages berpendapat bahwa proses pengalihan nilai-nilai selama tahun 1965 dan 1975 mengalami satu dorongan kuat dan percepatan yang istimewa karena beberapa faktor sejarah pada waktu itu: 1. peningkatan kesejahteraan dalam seluruh masyarakat, 2. penyempurnaan negara sebagai “Negara Sosial”, 3. Revolusi Massmedia, 4. Revolusi Pendidikan Sosial-Psikologis dan – untuk melengkapi daftar itu 5. Gerakan Protes Anti-Otoriter yang Neo-Marxis dan 6. Revolusi Seks. Menurut Klages dalam waktu begitu singkat terjadi satu pengalihan dari “Nilai-nilai Kewajiban dan Akseptansi” ke “Nilai-nilai Perkembangan Pribadi”. Klages membedakan antara dua kelompok itu secara rinci.22 (1) Nilai-nilai Kewajiban dan Akseptansi - Disiplin - Ketaatan - Prestasi - Tata tertib - Pemenuhan kewajiban - Kesetiaan - Subordinasi - Kerajinan - Kesederhanaan - Pengendalian diri - Ketetapan waktu - Kesediaan untuk menyesuaikan diri - Kepatuhan - Pantang (2)
22
Nilai-nilai Perkembangan Pribadi - Emansipasi (dari otoritas-otoritas) - Diperlakukannya sama - Kesamaan - Demokrasi - Partisipasi - Otonomi (individu) - Gender - Petualangan - Kegairahan - Variasi
Helmut Klages, Wertorientierungen im Wandel. Rueckblick, Gegenwartsanalyse, Prognosen. Frankfurt a.M./ New York 1984, hlm. 17ss, dan Werte und Wertewandel. Dalam Berhnard Schaefers dan Wolfgang Zapf (edt.), Handwoerterburch zur Gesellschaft Deutschlands. Opladen 1998, hlm. 701. bdk. juga Karl-Heinz Hillmann, Zur Wertewandelforschung: Einfuenhrung, Uebersicht und Ausblick dalam: Georg W. Oesterdiekhoff dan Norbert Jegelka (edt.) 2001, hlm. 15-39.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
155
-
Pelepasan kebutuhan emosional Kreativitas Spontanitas Perwujudan diri Ketakterikatan Independensi
Kesan pertama waktu membaca atau mendengar tentang pengalihan “nilainilai kewajiban dan akseptansi” di atas adalah pengakuan tentang pergeseran dan kemerosotan nilai-nilai itu. Adalah benar bahwa nilai-nilai tradisional itu kurang dihargai oleh manusia postmodern. Namun Klages segera menegaskan bahwa nilai-nilai itu tidak ditolak, tetapi pada masa sekarang ini mereka perlu dilengkapi dengan “nilai-nilai” yang memajukan perwujudan diri manusia. Apalagi Klages mengupayakan satu “Sintese Nilai-nilai” yang lebih bermutu, karena nilainilai kedua kelompok itu harus dilihat sebagai “daya-daya komplementer”.23 Apalagi berdasarkan angketnya (“Penelitian Nilai dari Speyer”) pada tahun 1993 yang dijalankan dalam masyarakat Jerman Barat, dia menemukan satu relasi yang nyata antara tiga dimensi nilai-nilai (1. “Kewajiban dan Akseptansi”; 2. “Perkembangan Pribadi dari segi Idealistis”; dan 3. “Perkembangan Pribadi dari segi hedonistis-materialistis”) yang membuka jalan bagi Klages untuk menyusun secara ilmiah lima “Tipe Nilai-nilai” baru yang masing-masing mempunyai cara sendiri untuk menyesuaikan diri dengan pengalihan nilai sekarang ini, yaitu kelompok (1) Konvensionalis (17%), (2) orang-orang yang menyerah tanpa perpektif apa pun (17%), (3) orang-orang aktif yang realistis (34%), (4) orang-orang materialistis dan hedonistis (17) dan (5) orang-orang idealis dan non-konform.24 2.4.
“Skema Tata Nilai” dari Karl Heinz Hillmann Bukan teori, tetapi pengelompokan sebanyak mungkin nilai yang relevan untuk manusia (post)modern merupakan hasil penelitian sosiolog Karl Heinz Hillmann. Dia membagi semua nilai hasil studi empirisnya ke dalam 17 kelompok. Tidak ada tempat di sini untuk memperkenalkan semua kelompok kategorial bersama nilai-nilai secara rinci. Oleh sebab itu kami membatasi diri dengan mencatat judul-judul saja. Selain itu, kepada si pembaca bisa sangat direkomendasikan untuk mempelajari sendiri artikel pengarang itu yang berjudul: Zur Wertewandelforschung: Einfuehrung, Uebersicht und Ausblick. Dalam: Georg E. Oeterdiekhoff dan Norbert Jegelka (edt.), Werter und Wertewandel in westlichen Gesellschaften. Resultate und Perspektiven der Sozialwissenschaften, Opladen 2001, hlm. 29-34. Tentu saja juga daftar nilai itu belum lengkap.
23 24
156
Klages, 1984, hlm. 165. Klages, 1998, hlm. 706-707. bdk. Karl Heinz Hillmann, 2001, hlm. 25-27.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
Nilai-nilai Dasar Nilai-nilai Pro-sosial Nilai-nilai Kesopanan Nilai-nilai Borjuis (Prussia) Nilai-nilai Kerja dan Profesi Orientasi-orientasi Nilai Materialistis Orientasi-orientasi Nilai Hedonistis Orientasi-orientasi Nilai Individualistis Orientasi-orientasi Nilai Keluarga Orientasi-orientasi Nilai Konservatif Orientasi-orientasi Nilai Etnis-Nasional Orientasi-orientasi Nilai Religius Orientasi-orientasi Nilai Asketis Orientasi-orientasi Nilai Idealistis-Nonmaterialistis Orientasi-orientasi Nilai Ekologis Orientasi-orientasi Politis Nilai-nilai Negatif25
3. Pergeseran dalam agama dan Pendidikan Nilai Orang-orang yang berasal dari lingkungan-lingkungan dan bangsa-bangsa yang berbeda-beda biasanya juga mempunyai sikap-sikap dasar, nilai-nilai dan kemampuan-kemampuan berbeda-beda, singkatnya mereka mempunyai budayabudaya berbeda-beda. Tetapi dalam beberapa waktu dasawarsa terakhir ini perkembangan dan perubahan ekonomis, sosiologis, teknologis dan politis telah membawa perubahan yang sangat menentukan di banyak bidang baik di dunia Barat maupun di negara-negara lain. Sikap terhadap kerja, isi-isi pertengkaran politis, keyakinan-keyakinan religius dan moral umat manusia, mis. penilaian hidup sesudah mati, keluarga beserta jumlah anak, perselingkuhan, perceraian, aborsi, homoseksual, dst. mengalami perubahan besar karena pengalihan nilai. Kelihatannya keinginan akan jaminan ekonomis dan keamanan fisiologis menjadi kurang karena kebutuhan-kebutuhan itu makin lama makin dipenuhi. Di pihak lain, upaya manusia (post)modern semakin bertambah untuk diakui dan dihargai oleh orang-orang lain, untuk mewujudkan diri sebagai pribadi yang bebas dan memajukan mutu hidupnya. Bahkan menikmati hidupnya sebanyak-banyaknya di luar
25
Tentu saja semua kelompok itu relevan juga untuk Teologi Moral, dan khususnya untuk mengisi topik “Pendidikan Nilai dari Segi Moral”. Yang memang khususnya menarik untuk satu analisis moral adalah ketidakcatatan sekian banyak nilai yang mungkin kurang interesan bagi ilmu sosiologi, tetapi tidak boleh diabaikan dalam Teologi Moral. Mis. kekurangan pada kelompok Nilai Dasar, Religius dan Nilai Negatif sangat perlu dilengkapi. Selain itu, pada penyusunan daftar kelompok itu kelihatannya negara-negara yang sedang berkembang, kurang mendapat perhatian.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
157
lingkungan Gereja dan agama sering di luar nilai-nilai religius tradisionalnya, menjadi kenyataan dalam pengalaman pribadi dan sosial setiap hari. Ternyata keadaan ini merupakan tantangan bagi pimpinan Agama, khususnya untuk Teologi Moral, Teologi Pastoral dan Kateketik, yang ingin melayani umat beriman supaya hidupnya sesuai dengan panggilan mulia yang diberikan Allah kepadanya. Oleh sebab itu, di tengah proses pengalihan nilai pada masa (post)modern ini justru “pendidikan nilai” harus menjadi prioritas. Untuk menjalankan tugasnya secara efisien, tentu Teologi Moral harus mendasarkan ajarannya tentang nilai-nilai pada cita-cita satu “Weltbild” kristiani, yang sumber-sumbernya terletak pada inspirasi Kitab Suci dan pada satu evaluasi antropologi yang sehat yang menjawab kebutuhan-kebutuhan manusia (post)modern ini.26 Interpretasi nilai pasti berawal pada sabda Tuhan tentang cerita penciptaan di buku Kejadian 1-2:2a di mana Allah menyebut semua yang diciptakanNya itu sebagai sesuatu yang pokoknya “baik”. Berdasarkan hasil studi tentang dasar-dasar biblis dan antropologis, itulah nilai-nilai dasar yang terus harus dipegang dan yang sekaligus merupakan kriteria utama untuk menyusun satu “hierarki nilai”. Misalnya, berdasarkan argumentasi antropologis dan teologis ini, harus dibenarkan nilai-nilai tradisional yang tetap berlaku dalam tata alam dan agama sampai sekarang ini, seperti martabat manusia yang mulia, hidup manusia, kebebasan, kebenaran, keadilan, hak asasi, kebaikan, keindahan, kekudusan, kebijaksanaan, kehormatan, kesetiaan, kemurnian, keadilan sosial, perlindungan ciptaan, perdamaian (shalom), kesucian perkawinan, selibat, kegembiraan, kenikmatan, kebahagiaan, iman, harapan, dst. terutama cinta kepada Allah sesama manusia. Selain itu, tidak boleh dilupakan bahwa pengalihan nilai tidak terjadi hanya dalam dunia sekulir dan profan, melainkan juga dalam Gereja dan agama sendiri. Mis. pengalihan nilai dalam Gereja katolik dari Pra-Vatikanum ke Pasca-Vatikanum, a.l. peningkatan status kaum awam, khususnya perempuan, pengikutsertaan kaum awam dalam keputusan-keputusan klerus (hierarki), pembaharuan hidup Gereja dan perkawinan, reformasi liturgi (a.l. Perlepasan bahasa Latin), toleransi terhadap agamaagama lain (“kebebasan beragama”), gerakan Ekumene (kerjasama antara GerejaGereja Kristiani), ajaran tentang tanggung jawab orang tua untuk mengatur kelahiran anak (Pius XII pada tahun 1951), kawanan orang beriman yang semakin kecil (Barat), tekanan atas keperluan pembinaan Hati Nurani. Tentu saja Teologi Moral juga tidak boleh terlalu cepat menganggap normanorma moral dan nilai-nilai tertentu sebagai ketentuan-ketentuan Ilahi yang dalam setiap situasi mewajibkan manusia secara mutlak (“argumentasi deontologis”). Justru sebaliknya, di tengah satu dunia yang dengan penuh masalah-masalah yang majemuk (mis. hidup perkawinan, seksualitas, keluarga berencana, aborsi, bayi tabung, kloning, konflik antaretnis, perlindungan hak-hak asasi, konflik ekonomis dan politis, integrasi
26
158
Bdk. Volker Eid, Wert(e). Dalam Christian Schuetz, Praktisches Lexikon der Spiritualitaet. Freiburg 1992, hlm. 1430-1433.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
ciptaan), Teologi Moral harus berani menggunakan argumentasi teleologis dengan “alasan seimbang” (proportionate reason) dan prinsip “perbandingan nilai-nilai”.
4. Penutup Dikonfrontasikan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi umat manusia (post)modern yang pluralistis sekarang ini, maka dengan cara dialog yang jujur Teologi Moral bisa memberi arah, yaitu orientasi nilai secara tepat27 dan sumbangan substansial untuk lebih tepat merealisasikan impian (vision) umat manusia untuk memperoleh perwujudan diri masing-masing pribadi serta nanti (eskatologi!) bersatu dalam satu “desa global” sebagai saudara-saudara yang saling menerima dan mengakui martabatnya satu sama lain dalam suasana saling pengertian dan tanpa diskriminasi apa pun.
BIBLIOGRAFI ABRAMS, Marc et al., Values and Social Change in Britain. London 1985 ABRAMSON, Paul R. / INGLEHART, Ronald, Generational Replacement and value change in the six West European Societies. Dalam: American Journal of Political Science 30 (1986) hlm.1-5 BAIER, Kurt, Moral Values and Moral Worth. Dalam: The monish 54 (1970) hlm.18-30 BAUMANN, Ethische Erzierlung un Wertewandel. Weinhein 1987 BECKERS, Herman Josef und Andreas WITTRAHM (Hrsg., Wertwandel: Wondel de Lebensformen und Pastorel, Koln 1993 BERGER, Peter, Auf den Spuren der Engel. Frankfurt a.M. 1972 BOLLNOW, Otto Friedrich, Wesen un Wandel de Tugenden. Franfurt a.M. 1958 CAUSTA, Donald J., Postmaterialism and Value Convergence: Value Priorities of Japanese. Compared with their conceptions of American Values. Dalam: Comparative Political Studies 16 (1984) hlm. 525-555 CLASSENS, Dieter, Familie und Wertsystem. Eine Studie zur “zwiten soziokulturellen Geburt” des Menschen. Berlin 1962
27
Sebenarnya postuilat utama manusia (pst)modern (“postmaterialistis”) akan haknya untuk menikmati keindahan hidup dan mencari kebahagiaannya melalui segala usaha untuk mewujudkan diri yaitu mengembangkan pribadinya sesempurna mungkin, tidak bertentangan dengan nilai-nilai religius yang dipromosikan Gereja dan Agama; sebaliknya, baru Gereja dan Agama dapat menjamin suksesnya. Sebab itu, semua pihak yang ingin menyingkirkan pengaruh Gereja dan Agama bahkan ingin menghancurkannya,merugikan umat manusia bahkan merugikan dirinya sendiri.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
159
COLEMAN, John, Werte und Tugenden in forgeschrittenen modernen Gesellschaften. Dalam: Concillium 23 (1987) hlm. 179-187 EID, Volker, Tugend als Werthaltung. Dalam: J. Gruendel/V. Eid, Humanum. Duesseldorf 1972 FLANAGAN, Scott C., Changing Values in industrial Societies Revisited: Towards a resolution of the values debate. Dalam: American political Science Review 81 (1987) hlm.1303-1319 GRABNER-HAIDER, Anton, Ethos und Religion. Enstehung neuer Lebenswerte in der modernen Gesellschaft. Mainz 1983 ——————, Kurt WEINKE (Ed.), Lebenswerte Im Wandel. Graz 1990 HEPP, Gerhard, Wertewandel. Politikwissennschaftliche Grundfragen. Muenchen 1968 HILDEBRAND, Dierich von, Sittlichkeit und Ethische werterkenntnis. Eine Untersuchung ueber ethische Strukturprobleme. Edisi ke-3. VallendarSchoenstatt 1982 HILLMANN, Karl-Heinz, Umweltkrise und Wertwandel. Die Umwertung der Werte als Strategie des Ueberlebens, Edisi ke-2 Wuerzburg 1986 ——————, Wertewandel. Zur Frage Soziokultureller Voraussetzungen alternativer Lebensformen, Edisi ke-2 darmstadt 1989 ——————, Ueberlebensgesellschaft. Von der Endzeitgefahr zur Zukunftssicherung. Wurzburg 1998 HO, Edric Seng-liang,Values and Economic Development: Hong Kong and China, Michigan 1985. HOLZHAUSEN, Walter, Woran soll ich mich halten? Auf der Suche nach verbindlichen Werten Mainz 1997. IIJIMA, K., The Feeling of Satisfication and Happiness of the Japanese and other Peoples. Dalam: Bulletin of the Nippon Research Center, 1982. ILGLEHART, The Silent Revolution: Changing Values and Political Styles Among Western Publics, Princeton, 1977. ——————, Ronald, Cultural Change. New Jersey, 1989. (Kultureller Umbruch. Wertwandel in der westlichen Welt. Frankfurt a.M. 1989. ——————, Wertwandel in den westlichen Gesellschaften: Politische Konsequenzen von materialistischen und postmaterialistischen Prioritaeten. Dalam: Helmut Klages und Peter Kmieciak (Ed.): Wertwandel und geselleschaftlicher Wandel. Frankfurt a.M. 1989. ——————, Modernisierung ond Postmodernsierung. Kultureller, wirstschaftlicher und politischer Wandel in 43 Gesellschaften. Frankfurt, 1998. KLAGES, Helmut dan Peter KMIECIAK (Ed.), Wertwandel und gesellschaftlicher Wandel. Frankfurt a.M. 1979. ——————, Wertorientierungen im Wandel. Rueckblick, Gegenwartsanalyse, Prognosen. Frankfurt a.M. 1984. 160
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
——————, Wertedynamik. Ueber die Wandelbarkeit des Selbstvertaendlichen. Zuerick 1988. ——————, Hans-Juergen HIPPLER und Willi HERBERT: Werte und Wandel, Ergebnisse und Methoden einer Forschungstradition. Frankfurt a.M. 1992. ——————, Werte und Wertewandel. Dalam: Bernhard Schaefers und Wolfgang Zapf (Ed.): Handwoerterbuch zur Gesellschaft Deutschlands. Opladen 1998. KMIECIAK, Peter, Wertstrukturen und Westwandel in der Bundesrepublik Deutschland. Goettlingen 1976. KOECHER, Renate und Joachim SCHILD (Ed.), Werwandel in Deutschland und Frankreich. Nationale Unterschiede und euro[aesche Gemeinsamkeiten. Opladen 1998. MASLOW, Abraham H., Motivation and Society, Edisi ke-2. New York 1970. MIETH D., Die Neuen Tugenden. Ein ethischer Entwurf. Duesseldorf 1984. ——————, Kontinuitaet und Wandel der Wertorientierungen, dalam: Concilium, 23 (1987) hlm. 210-216. NEUHOLD, Arnold, Wertewandel und Chritentum. Linz 1988. NISHIYAMA, S., Changing Values in Modern Japan. Tokyo 1976. PARSONS, Talcott, The Social System. New York 1964. PENOUKOU, Efoe-Julien: Wertekonflikt in Schwarzafrika. Phaenomenologische Analyse. Dalam Concilium 23 (1987) hlm. 188-194. RATZINGER, Joseph Kardinal, Wahrheit, Werte, Macht: Pruefsteine der Pluralistischen Gesellschaft. Freiburg 1993. ROKEACH, Milton, Beliefs, Attitudes and Values. A Theory of Organization and Change. San Fransisco 1972. ——————, The nature and Human Values. New York 1972. ——————, Understanding Human Values. Individual and Society. New York 1979. SCHELER, Max, Der Formalismus in der Ethik und die materiale Wertethik. Neuer Versuch der Grundlwegunng eines ethischen Personalismus, Edisi ke-6. Muenchen 1980. WEBER, Max, Die Protestantische Ethik und Wertsystem. Ein Pladoyer Fur die Verwendung des Wertkonzepts in der Sozialpsychologie. Bonn 1975. ——————, Die Protestantische Ethik und der Geist des Kapitalismus. Dalam: idem, Gesammelte Aufsaetze zur Religionssoziologie I, Edisi 5 Tuebingen 1963 hlm. 17-206 (The Protestant Ethic and the Spirit of Capitalism. New York 1958.
Paul Klein, Pendidikan Nilai Konteks Pluralisme
161
MISI GEREJA DALAM KONTEKS ASIA
Merry Teresa Sri Rejeki STFT Widya Sasana, Malang Abstract: Mission is the very nature of Church’s existence. One of the current theological movements is what we call “contextualisation”. In line with such theological movement, the church in Asia is called to redefine his mission. A year ago the professors of the School of Philosophy and Theology, Widya Sasana, discussed systematically the issue of contextualisation: its meanings, bases, implications in connection with the Church’s mission in Asia. This brief article would draw some essential elements of doing contextualisation. The starting point of so doing is “Sentire cum Ecclesia”, a feeling that makes us conform our hope and concern to the Church. The second element dealt with is awareness of the context, which is an Asian reality with challenges to be coped. What should we do with mission is the concluding suggestion of this short elaboration. Keywords: konteks, kontekstualisasi, Asia, misi, Gereja, realitas dan tantangan Asia.
Baru-baru ini, tepatnya pada tanggal 27-29 januari 2003, para Dosen Teologi dan Filsafat STFT Widya Sasana Malang mengadakan hari-hari Nyepi Dosen di Rumah Retret Dharmaningsih, Celaket-Mojokerto. Tema pokok hari nyepi kali ini adalah: “Kontekstualisasi perkuliahan Filsafat dan Teologi”. Kontekstualisasi memang menjadi wacana dan semangat bagi setiap dosen dan mahasiswa dalam menggarap perkuliahannya, terlebih bagi setiap petugas pastoral Gerejani dalam pelayanannya di tengah masyarakat. 1. Sentire cum Ecclesia Mengapa kontekstualisasi? Gereja sebagai persekutuan Umat Allah dalam Roh Kudus menyejarah dan tersebar ke seluruh dunia. Bermula dari Palestina menyebar ke Asia, Eropa, Amerika, Afrika, Australia dan ke segenap penjuru. Injil yang satu dan sama dimengerti, dihayati, ditafsir dan diberi penekanan khas sesuai situasi dan kondisi setempat, sesuai politik, sosial, budaya dan ekonomi daerah tersebut. Jesus yang satu menyatukan segala bangsa, negara dan bahasa. Sebagai anggota Gereja yang satu, kudus, katolik dan apostolik, Gereja di sini maupun Gereja di sana……..di mana pun berada, Umat Allah adalah satu keluarga, satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala. Amat jelas bahwa Jesus dari Nazaret adalah Kristus orang Asia. Selama kehidupanNya di dunia, Ia menjadi orang Asia; ajaran-ajaran dan mentalitasNya 162
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
sungguh-sungguh sebagai orang Asia1 . Murid-murid Jesus tersebar ke seluruh dunia untuk mewartakan Injil, sedikit demi sedikit kekristenan tiba di Eropa dan di sana berkembang dan menjadi kuat. Penemuan benua-benua baru pada abad XV dengan ekspansi politik dan dagang dari negara-negara Eropa, menjadi kesempatan bagi kekristenan untuk mengakar kembali di Asia. Tugas Umat Allah yang ada di Asia adalah “melepaskan Kristus dari wajah Eropa” nya. Supaya iman yang kita sampaikan berakar mendalam, Gereja Asia perlu memperhitungkan unsur-unsur budaya, tradisi, ibadah leluhur dan dialog dengan religiositas dan spiritualitas besar dari timur dan asia2 . Gereja yang berada di kawasan Asia perlu lebih mengenal dan memahami realitas dan konteksnya, agar pelayanan seluruh gembala umat dan petugas pastoral Gerejani dapat sungguh menjawabi kebutuhan konkret jemaat setempat dan agar iman kristiani yang telah terbungkus dengan aneka budaya dunia ini dapat membudaya di hati orang Asia. Dengan kerinduan agar “sentire cum ecclesia”: secita rasa dengan Gereja menjadi gerak bersama, dalam artikel ini, saya mencoba memberi gambaran singkat realita Asia dan misi kita dalam konteks Gereja Asia dan Indonesia pada khususnya.
2. Realitas Asia pada umumnya: Sesungguhnya manakah realitas Asia dan apakah kita sungguh mengenalnya? Meski tanpa pernik, saya akan mendeskripsikannya secara singkat. Bila dilihat secara umum, mungkin Asia merupakan wilayah yang memiliki banyak persoalan. Asia akan tetap menjadi benua non-kristiani. Ada banyak Asia, dan disetiap lingkungan budaya Asia, terdapat banyak realitas yang berbeda dan pelik. Beberapa kekhasan yang paling menonjol adalah: 2.1.
Konteks realitas religius-budaya: Asia memiliki banyak kekayaan manusiawi dan budaya yang dikagumi oleh banyak turis mancanegara, karena Asia merupakan pusat dari beberapa budaya dunia paling tua dan asal mula lahirnya agama-agama besar. Budaya dan agama saling berkait dan bercampur. Budha, Islam dan Kristianitas terdapat di berbagai lingkup budaya. Budhis merupakan agama utama di Srilangka, Birmania, Thailandia, Laos, Kamboja, Vietnam, Cina, Korea dan Jepang. Islam tersebar dari Asia barat hingga Pakistan, Bangladesh, Malaysia dan Indonesia. Pemeluk agama Kristen terdapat di negara-negara Asia dalam jumlah kecil. Hindu terdapat di India dan di tempat-tempat dengan penduduk yang berasal dari bangsa India. Confusionis, Taois dan Shintois terdapat di antara orang-orang China, Jepang dan Korea.
1 2
Cf. JOHN PAUL II, Ecclesia in Asia, Libreria Editrice Vaticana, Vatican City, 1999; lihat juga J. GISPERT-SAU CH, El Cristo Asiático, en: Revista de Teología Pastoral, Sal Terrae, Bilbao, Marzo, 1995. Cf. A. PIERIS, El Rostro de Cristo, Notas para una Teología Asiática de la Liberación, Ed. Sígueme, 1991.
Merry Teresa Sri Rejeki, Misi Gereja Dalam Konteks Asia
163
Kekhasan benua Asia adalah banyaknya ragam bangsa, kelompok etnis, suku dan kasta. Akar dari banyak konflik yang muncul, berasal dari tingginya rasa sukuisme, rasialisme dan kastaisme. Budaya asiatik lebih terarah pada pribadi. Orang Asia lebih menghargai kebersamaan dari pada sukses pribadi, lebih menghormati relasi dengan alam ciptaan dan memandang realitas secara kosmis dan gembira. Kepribadian orang asia pun terorientasi pada hati dan emosi. Pengambilan keputusan dilaksanakan bersama dan untuk kebaikan umum. Segala sesuatu dilaksanakan dalam komunitas dengan semangat solidaritas dan musyawarah. Kehidupan keluarga pada umumnya bertahan kokoh sebagai institusi. Melihat realita Asia yang seperti ini, siapakah Jesus Kristus bagi kita orang Asia? Apa makna Kerajaan Allah hic et nunc dan bagaimana kita dapat mewartakannya? 2.2
Realitas sosioekonomi dan politik: Secara geografis, benua Asia memang amat luas, ini terbukti dari banyaknya negara yang mempunyai teritori yang luas, dan sebagian besar merupakan gugusan pulau yang dipisahkan oleh lautan. Negara-negara dengan penduduk terpadat di dunia pun terdapat di Asia. Besarnya populasi ini menjadikan Asia mempunyai kekuatan tenaga kerja dan potensi produksi yang besar. Perbedaan ekonomi yang amat besar menjadikan jurang kemiskinan dan kesengsaraan rakyat amat mencolok di Asia. Taraf kemiskinan dan tingkat perbedaan antara orang kaya dan miskin amat bervarisi di negara yang satu dengan yang lainnya. Negara-negara di Asia mempunyai pengalaman penjajahan yang beragam dan mengalami kontrol ekonomi dari negara-negara imperialis itu. Mungkin, Asia merupakan benua di dunia yang paling banyak mengalami penjajahan: dari zaman Junani dan Romawi kuno, hingga Portugis, Spanyol, Belanda, Perancis, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat. Asia pun merupakan wilayah yang mempunyai aneka regim politik. Ada negara-negara yang diatur menurut dasar-dasar demokrasi parlemen liberal, ada yang menganut gaya otoriter untuk menjamin keamanan nasionalnya, dan ada negara yang beregim sosialis. Militerisme menjadi cara kekuasaan politik yang berkembang di banyak negara, seiring dengan itu, muncul aneka gerakan rakyat yang memperjuangkan perubahan sosial dan politik di berbagai tempat. Dalam lingkup yang lebih sempit, Gereja Indonesia berada dalam konteks Indonesia yang berciri khas budaya kebersamaan, kesatuan kosmis hidup manusia, pertanian dan religiusitas yang tinggi. Selain itu Indonesia ditandai dengan pemiskinan akibat perkembangan struktur, kekerasan dan feodalisme. Aneka krisis diberbagai bidang kehidupan ditambah dengan kekuasaan yang disalahgunakan oleh golongan “mayoritas yang berkuasa” untuk kepentingan sendiri, menjadi realita pahit bangsa ini. Melihat panorama ini, siapakah Jesus Kristus bagi setiap orang Asia dan Berita Baik apa yang dapat diterima oleh kaum miskin dan tertindas? 164
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
3. Aneka tantangan: Realitas Asia pada umumnya dan Indonesia khususnya amatlah kompleks. Setiap tempat mempunyai konteks dengan kekhasannya sendiri yang unik. Satu dari aneka tantangan adalah menggali kedalaman jiwa orang asia dan terlebih Indonesia, untuk menemukan nilai-nilai manusiawinya yang paling dalam, yang menjadi titik temu antara yang ilahi dan manusiawi. Tantangan lainnya adalah komitmen untuk berdialog dengan bangsa-bangsa asia lainnya, kesiapsediaan untuk “dibaptis” dalam agama-agama dan kemiskinan asia. Ada pula tantangan untuk makin menyadari dan peduli pada kondisi perempuan yang tak mempunyai suara3 . Kaum perempuan di seluruh dunia dan di Asia khususnya, mengalami berbagai bentuk kekerasan dan penindasan dan diperlakukan sebagai makhluk “kelas dua” dan telah dihisap di lingkungan rumah tangganya, di tempat kerja dan dalam kehidupan sosial. Tantangan lain yang dapat kita temukan adalah menjaga dan memelihara keutuhan ciptaan. Dewasa ini terasa kebutuhan mendesak untuk makin peka dan berkomitmen dengan organisasi lain untuk menyembuhkan luka-luka alam ciptaan dan melindunginya demi kepentingan masa depan generasi umat manusia. Satu hal penting bagi kristianitas Asia adalah INKULTURASI, karena berabad-abad lamanya semua komunitas kristiani Asia telah didirikan dalam masa kolonialisasi politik. Oleh karena itu, satu tantangan paling mendasar bagi Gereja Asia dewasa ini adalah “berinkarnasi” dalam budaya lokal4 . Kita perlu sungguh mengenal situasi tempat kita hidup dan lebih menghargai apa yang telah kita terima. Inilah tantangan sekaligus tugas bersama, yaitu menjadikan figur Jesus makin dihargai dan cintai, dan agar ajaran cinta persaudaraan dan kepasrahanNya yang penuh kepada Allah sebagai Bapa dan KotbahNya di bukit makin dikenal dan dihormati. Sesuai dengan tradisi timur, hidup religius yang mengikatkan diri kepada Allah melalui kaul dan pelayanan tanpa pamrih, amat dihargai di Asia. Bersama seluruh umat, keluarga dan komunitas kristiani, Gereja Asia dipanggil menjadi saksi kehadiran Allah dan kelembutanNya.
4. Misi bersama: Melihat realita sosio, budaya, religius dan politik Asia pada umumnya dan khususnya Indonesia, apakah yang menjadi misi kita bersama? Menurut hemat saya, misi Gereja dalam konteks asia adalah menjadi instrumen Allah, yang mempunyai
3
4
FABC (Federation of Asian bishops’ Conferences) Office of Laity pada tanggal 26 januari-1februari 2003 mengadakan Pertemuan Perempuan se-Asia Tenggara yang pertama. Tema yang dibahas adalah “Menjawab Tantangan yang dihadapi Perempuan Kristiani di Asia”. Cf. P.DIVARKAR, Asia Reto al Cristianismo, en: Revista Vida Nueva, Madrid, 1994.
Merry Teresa Sri Rejeki, Misi Gereja Dalam Konteks Asia
165
empat dimensi utama, yaitu: a). menggalang persaudaraan dan persekutuan b) berdialog dengan peziarah lain, baik yang seiman mau pun yang berbeda keyakinan dengan kita. c). mempromosikan kesetaraan martabat manusia, terlebih penyadaran gender. d) mewartakan Jesus Kristus, melalui kesaksian hidup, baik dengan kata maupun tanpa kata untuk mewartakan nilai-nilai KerajaanNya Agar Kristus, kemarin, hari ini dan esok tetap hidup di hati seluruh Umat Kristiani, Gereja Asia bersama seluruh Gereja universal perlu menyatukan misinya untuk menjadi tanda persaudaraan tanpa batas dan menjadi garam dan terang dunia, sehingga “ terangmu bercahaya di depan semua orang, agar orang yang melihat perbuatan baikmu, akhirnya memuliakan Bapamu yang ada di surga” (Mat 5:16)
BIBLIOGRAFI JOHN PAUL II, Ecclesia in Asia, Libreria Editrice Vaticana, Vatican City, 1999 DIVARKAR, P., Asia Reto al Cristianismo, en: Revista Vida Nueva, Madrid, 1994. GISPERT-SAUCH, J., El Cristo Asiático, en: Revista de Teología Pastoral, Sal Terrae, Bilbao, Marzo, 1995. PIERIS, A., El Rostro de Cristo, Notas para una Teología Asiática de la Liberación, Ed. Sígueme, 1991. LABOA, JM., La Larga Macha de la Iglesia, Atenas, Madrid, 1985.
166
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
Telaah Buku Judul Buku Penulis Penerbit Tebal
: : : :
Drama Mangir Pramoedya Ananta Toer Kepustakaan Populer Gramedia XLIX + 114
Gelombang pemikiran tentang perlu atau tidak Indonesia menerapkan sistem demokrasi,1 telah menghadapkan masyarakat politik Indonesia pada dua kutub argumentasi yang saling bertentangan, afirmasi atau argumentasi pro dan negasi atau argumentasi kontra. Dalam mengembangkan gagasannya, baik argumentasi pro maupun argumentasi kontra telah sama-sama “memandang Indonesia dari jauh”: Mengambil konteks negara-negara demokrasi di Eropa dan Amerika sebagai acuan untuk argumentasi pro, dan menurut latar negara-negara Afrika dan negara-negara “satelit”2 di seputar Uni Soviet sebelum kehancurannya untuk argumentasi kontra. Demokrasi kontekstual atau kontekstualisasi demokrasi karena itu menjadi isu penting berikutnya. “Memandang Indonesia dari lebih dekat” karena itu merupakan upaya kontekstualisasi demokrasi dengan kata lain berbicara tentang demokrasi kontekstual. Pembicaaraan seperti ini menjadi penting untuk mengetahui apakah demokrasi merupakan paham yang asing dan aneh atau sebaliknya sudah berakar dalam kekuasaan politik lokal. Dengan kata lain, seandainya pun diadopsi dan diterapkan,
1
2
Gelombang pemikiran tentang perlu atau tidak demokrasi diterapkan di Indonesia dipicu oleh diskusi antara Syamsuddin Haris, Sonny Keraf, dan M. Fadjroel Rachman. Lih., Syamsuddin Haris, “Potret Partai dan Masa Depan Demokrasi”, dlm. Kompas, 8 September 2003; A. Sonny Keraf, “Partai Politik dan Pendidikan Politik”, dlm., Kompas, 11 September 2003; M. Fadjroel Rachman, “Demokrasi Tanpa Kaum Demokrat”, dlm., Kompas, 16 September 2003. Sejak itu, perdebatan tentang tema itu antara ketiganya menghiasi opini di Harian Kompas. I Wibowo kemudian mempertanyakan validatas pemikiran bahwa demokrasi merupakan kyrios bagi kebobrokan Indonesia saat ini, dan inilah klimaks perdebatan tantang demokrasi. Lih., I Wibowo, “Demokrasi Untuk Indonesia?”, dlm., Kompas, 8 Oktober 2003. Tetapi, sebuah tangapan balik atas artikelnya, I Wibowo menegaskan bahwa yang dibantahnya bukan mengenai demokrasi in se, melainkan, pembicaraan tentang demokrasi yang mengadopsi mentah-mentah konsep demokrasi negara lain karena hal ini belum tentu sesuai dengan konteks kekuasaan politik lokal. Lih., I Wibowo, “Memaafkan Demokrasi”, dlm., Kompas, 13 November 2003. Tentang tanggapan atas I Wibowo, lih., Franz Magnis-Suseno, “Demokrasi Untuk Indonesia”, dlm. Kompas, 20 Oktober 2003; Riza Sihbudi, “Demokrasi atau Penegakan Hukum”, dlm., Kompas, 20 Oktober 2003; Amir Nadapdap, “Demokrasi Untuk Indonesia, Mungkinkah”, dlm. Kompas, 27 Oktober 2003; Budiman Sudjatmiko, “Beri Kesempatan Demokrasi Bernapas”, dlm., Kompas, 30 Oktober 2003; Abd Rohim Ghazali, “Mengapa Harus Demokrasi”, dlm., Kompas, 30 Oktober 2003. Pokok lain seputar perdebatan tentang demokrasi dapat didaftarkan sendiri. Negara “satelit” adalah negara yang secara formal merdeka tetapi praktis tunduk pada kekuatan imperialis tertentu. Pada jaman Unisoviet, Unisoviet adalah negara imperialis itu dan negara negara di seputarnya adalah negara “satelit” itu.
Telaah Buku
167
pengadopsian dan penerapan itu menuntut beberapa persamaan sehingga demokrasi tidak dianggap sebagai asing dan aneh sama-sekali, benar-benar sebuah demokrasi kontekstual. Sebenarnya, secara tekstual dan kontekstual, demokrasi bukan merupakan paham yang asing dan aneh dalam kekuasaan politik Indonesia, karena demokrasi telah berakar dalam kekuasaan politik lokal. Secara historis, sastrawan realis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dalam karyanya, Drama Mangir (KPG, 2000), telah memperlihatkan model kekuasaan demokratis dalam sebuah republik desa, Perdikan Mangir. Bahkan, permusuhan antara Perdikan Mangir versus Mataram dapat dipandang sebagai permusuhan ideologis untuk saling memperebutkan pengaruh antara demokrasi dan totalitarianisme; mirip dengan persaingan merebut pengaruh antara Blok Barat dan Blok Timur pada era perang dingin, yakni antara demokrasi dan komunisme. Kematian demokrasi di Indonesia, yang memuncak pada penelitian HansAntlov, Negara Dalam Desa3 justru berakar dalam kekalahan Mangir terhadap Mataram itu. Bahwa kekuasaan Mangir itu demokratis, pernyataan itu dapat dibuktikan menurut sistem kekuasaan yang dijalankan di Mangir, termasuk pula cita-cita dan idealisme para pujangganya. Baru Klinting, sang pujangga itu, dalam dialog dengan Suriwang pada babak pertama dengan tegas memperingatkan, “Mangir akan tetap jadi Perdikan, tak bakal jadi kerajaan. Semua orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua.” Menurut Baru Klinting, “di mana pun jua, … raja jadi beban semua”, dan bahwa “budak raja bukan orang mardika,” demikian sambung Suriwang. Justru karena itu Baru Klinting menyimpan idealisme untuk membatalkan Mataram menjadi kerajaan, sekaligus melarang Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda, menjadi raja. Kalau begitu, “tak bakal jadi raja!, buat apa pula tombak tamabahan?”, tanya Suriwang. “Bukan buat naikan Wanabaya ke takhta, buat tumpas semua raja dengan nafsu besar dalam hatinya, ingin berkangkang jadi yang dipertuan.” Dalam pandangan Baru Klinting, kewibawaan (baca: kedaulatan) justru merupakan pinjaman dari warga Perdikan Mangir; tiada orang yang memiliki kedaulatan in se, menerima pulung atau wangsit; kedaulatan adalah kedaulatan rakyat serta rasional, dan bukan kedaulatan para dewa (religius) yang tradisional atau bahkan irasional. Dialog di atas secara gamblang memperlihatkan bahwa demokrasi sudah berakar dalam kekuasaan lokal, Perdikan Mangir. Di Mangir, semua orang, tanpa kecuali, mempunyai hak yang sama, paham equalitas karena itu merupakan dasar filosofis penyelenggaraan kekuasaan. Pengandaian bahwa manusia secara natural sama, karena sama-sama bebas dari subordinasi terhadap kekuasaan pihak lain4 masyarakat Mangir hidup dengan keadilan dan kemakmuran yang hampir penuh, jauh dari penindasan oleh tetua Perdikan, tidak ada kesewenangan dan manipulasi, kekerasan terhadap warga Perdikan hampir mustahil, korupsi merupakan fenomena
3 4
168
LAPPERA, 2002. Bdk., Hobbes, Leviathan, ch. xiii, I; Locke, Two, II, 22, 95.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
yang sangat langka di sana. Negeri Utopia yang dicita-citakan Thomas More menjadi nyata di Perdikan Mangir. Bahwa kedaulatan adalah pinjaman, ini berarti rakyat adalah pemegang otoritas tertinggi. Ketika Wanabaya, Ki Ageng Mangir Muda jatuh cinta tergila-gila dengan Adisaroh, “pengamen jalanan” yang menjadi telik (mata-mata), yang kemudian diketahui sebagai Putri Pambayun, Putri Panembahan Senopati; Wanabaya “diadili”, karena sebagai orang yang mengemban tugas dari seluruh warga Mangir, tugasnya untuk membatalkan Mataram menjadi kerajaan belum selesai, dan Mataram belum ditaklukan. Ada semacam kekawatiran, seandainya Wanabaya terlalu cepat menikah dengan perempuan yang sejak awal dicurigai sebagai mata-mata Mataram, “kewibawaan” yang dipinjamkan kepadanya akan disalahgunakan dengan demikian seluruh idealisme warga Perdikan Mangir yakni menentang perluasan Mataram dan sekaligus membatalkannya menjadi kerajaan tidak akan tercapai. Itu sebabnya Wanabaya dituntut bersumpah untuk tidak memihak Mataram atau isterinya sekali pun. Gagasan Suriwang bahwa “budak raja bukan orang mardika” bukan tanpa alasan. Alasan yang dapat dikemukanan bahwa, setiap hamba tidak tahu apa yang diperbuat tuannya (lebih-lebih dalam tindakan korupsi),5 termasuk anak kandungnya sekali pun. “Dusta! Semua dusta … Patutkah putri raja, sulung permaisuri, didustai seperti ini?” Begitu protes Putri Pambayun terhadap Tumenggung Mandaraka, pujangga dan penasihat perang Panembahan Senapati. Meminjam bahasa kesaksian sebelas jurnalis dari judul buku mereka, inilah Konspirasi Mengoyak Demokrasi6 sebuah konspirasi tradisional yang membawa demokrasi dan kaum demokrat ke “kuburan massal”. Nyata sekali, bahwa demokrasi yang berkembang dewasa ini merupakan kelanjutan dan penyempurnaan dari demokrasi klasik Yunani. Dikatakan sebagai kelanjutan karena tidak dapat diingkari bahwa demokrasi berakar dalam kekuasaan polis; dan merupakan penyempurnaan karena pada demokrasi klasik Athena para wanita diabaikan hak-hak politik dan sipil mereka hal yang bertentangan dengan kenyataan dewasa ini, di mana perempuan berpartisipasi secara aktif serta merupakan tema sentral demokrasi yang sangat diperjuangkan di jaman ini. Dalam arti terdapat pembatasan yang ketat terhadap kaum wanita, eksklusivitas demokrasi klasik Yunani ini justru kurang demokratis, dan untuk itulah oleh David Held kemudian disebut sebagai demokrasi patriarkal.7 Meminjam Anthony Giddens, demokrasi klasik Yunani harus mengalami democratization of democracy, mengalami demokratisasi lagi biar lebih demokratis.8 Kalau di Athena berkembang demokrasi patriarkal, tidak demikian halnya dengan demokrasi klasik pada Mangir. Mengulang Baru Klinting, di Mangir, “semua
5 6 7 8
Bdk., Yoh. 15:15 Andi Muawiyah Ramly, ed. et.al, Pustaka Ciganjur, 2001. 1987, 1995, p. 23. The Third Way (trans. Ketut Arya Mahardika), Gramedia, Jakarta, 2000 : 80.
Telaah Buku
169
orang boleh bersumbang suara, semua berhak atas segala, yang satu tak perlu menyembah yang lain, yang lain sama dengan semua”. Dengan kata lain di Mangir terdapat kesamaan hak dan peran, tidak ada subordinasi yang satu terhadap yang lain, semua orang memiliki kesempatan yang sama untuk mencapai well being dan happiness. Situasi kehidupan di Mangir benar-benar lain; kaum wanita dianggap secara kodrati equal dengan laki-laki seperti diakui sendiri oleh Putri Pambayun dalam babak kedua. “… di sini wanita dapatkan segala-gala: damai dan suka, setia dan cinta”. Mendengar pujian isterinya, Wanabaya dengan sinis berkata: “… Empat bulan telah kau saksikan, tak ada lelaki perbudak wanita seperti di istana. Orangorang berbangsa9 itu lupa, wanita tak lain dari ibu bangsa.” Bahkan, justru karena bahagia hidup di Mangir, Putri Pambayun merencanakan kematiannya di Mangir. Demokrasi klasik karena itu tidak lain merupakan prototipe bagi demokrasi modern. Maka, bila pengadopsian sistem demokrasi dari negara-negara demokrasi modern dianggap bertentangan dengan philosophische groundslag gotong-royong, rasanya menjadi semakin sulit untuk mengatakan bahwa demokrasi tidak sesuai dengan konteks kekuasaan politik Indonesia, apalagi dianggap asing dan aneh samasekali, sebab ternyata demokrasi sudah berakar dalam kekuasaan lokal, yakni pada sebuah republik desa, Perdikan Mangir. Kalau demikian kenyataannya, tidak ada lagi alasan bahwa demokrasi bertentangan dengan dasar filosofis gotong-royong, sebab praktek demokrasi seperti di Mangir dalam arti tegas justru sangat mencerminkan asas kekelurgaan itu. Menerapkan sistem demokrasi karena itu sepantasnya menjadi suatu political modus vivendi bagi kita di Republik ini.
Frans Nay R.
9
170
Italic, dari penulis, penekanan.
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003
INDEX Studia Philosophica et Theologica Volume 3 (Oktober 2003 & Maret 2004) ARTIKEL Achmad Charis Zubair, Kebebasan Perempuan dalam Wacana Etika Sosial ............................................ 1-16 Armada Riyanto, Krisis Paham Kenegaraan: Tantangan Etika Hak Dan Kewajiban Dalam Konstitusi Indonesia ................. 79-99 Isharianto, Rafael, Merancang Sejarah Gereja yang Solider ........................................................... 45-54 Klein, Paul, Pendidikan Nilai Dalam Konteks Pluralisme Nilai ........................................ 147-161 Ryadi, Agustinus, Exploring The Concept Of Virtue In Aquinas’ View ...................................... 139-146 Said, Imam Ghazali, Gagasan Teologi Islam Terhadap Pluralitas Masyarakat Bangsa ..................... 66-71 Sermada Kelen, Donatus, Kemungkinan Dan Batas-Batas Kendali Politis Terhadap Ilmu Pengetahuan ... 123-138 Sigmaringen, M. Fidelis, Yesus Pusat Hidupku .......................................................................................... 17-30 Sudarminto, J., Relativisme Konseptual L . Wittgenstein Dan Implikasi Epistemologisnya .. 100-107 Teresa Sri Rejeki, Merry, Misi Gereja Dalam Konteks Asia ................................................................... 162-166 Tinambunan, Edison R.L., Jiwa Menurut Tertulianus: Suatu Polemik Filosofis .......................................... 31-44 Wijanarko, Robertus, Rethingking Nationalism .................................................................................... 45-54 Wonorahardjo, Surjani, Menjelajah Alam Sebuah Renungan Filosofis Tentang Sains ........................ 108-122 TELAAH BUKU Nay R., Frans, Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara ............................ 72-74 Nay R., Frans, Drama Mangir ................................................................................................ 167-170 Kurniawan Dwi, F.X., Etika Hukum: Relevansi Teori Hukum Kodrat Thomas Aquinas....................... 75-77 Biodata Contributor
171
BIODATA KONTRIBUTOR
Agustinus Riyadi Doktor filsafat dari Universitas Urbaniana, Roma; mengajar filsafat modern, logika, dan memberi seminar filsafat di STFT Widya Sasana Malang. Armada Riyanto Doktor filsafat dengan spesialisasi etika politik dari Universitas Gregoriana Roma; mengajar pengantar filsafat, filsafat politik, etika dan metafisika di STFT Widya Sasana Malang. Donatus Sermada Kelen, M.A. Master filsafat bidang studi ilmu perbandingan agama dari Universitas Bonn, Jerman; dosen filsafat ketuhanan di STFT Widya Sasana Malang. Fransiscus Nay Sarjana filsafat dari STFT Widya Sasana Malang; sedang tugas belajar di Manila, Filipina. J. Sudarminto Doktor filsafat dari Fordham University, New York, USA; sekarang menjabat ketua Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Merry Teresa Sri Rejeki Licensiata ( Master) teologi spiritual dari Universitas Comillas di Madrid, Spanyol; pemimpin novisiat suster-suster Karmelitas dan dosen teologi spiritual di STFT Widya Sasana Malang. Paul Klein Doktor Teologi Moral dari Alphonsianum, Roma; mengajar teologi moral di STFT Widya Sasana Malang. Surjani Wonorahardjo Studi Analytical Chemistry program master dan doktoral ditempuhnya di The University of New South Wales, Sydney, Australia. Studi post-doktoral fellow di Universität Ulm, Germany. Sekarang mengajar di jurusan kimia (FMIPA) untuk mata kuliah dasar-dasar sains, kimia analitis, pemisahan kimia, kimia analitis instrumentasi di Universitas Negeri, Malang.
172
Vol. 3 No. 2, Oktober 2003