1
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING (Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)
RIO I34051998
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
2
Abstract Sea Farming as a program of empowerment that based on community development has its advantages for the community. The program focussed to fish culture of Epinephelus fuscoguttatus and it has successful descripted the empowerment grow process in fisheries community at Panggang Island. As the indicator of community empowerment, the community autonomus may based from Arnstein Participation Level (1969). The empowerment that based on community development requires that people have the capacity to define their own needs and to act to have them met. In this case, the community has successful to define their own needs in this fish culture, and they know how to solve that. Key words: fish culture, empowerment, participation, need.
3
RINGKASAN RIO. PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING : Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta. (Di bawah bimbingan YATRI INDAH KUSUMASTUTI). Sea farming sebagai suatu program pemberdayaan komunitas nelayan merupakan suatu sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Program ini selaras dengan keinginan dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta yang menginginkan kepulauan seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan. Maka dari itu, program Sea Farming ini diterapkan di komunitas nelayan Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta. Sangat menarik ketika bisa mengamati proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming. Penelitian ini fokus terhadap proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming menuju kemandirian komunitas. Tujuan penelitian ini adalah, pertama untuk menggambarkan proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming di Pulau Panggang. Kedua, menganalsis sejauh mana Sea Farming dapat memandirikan komunitas nelayan. Yang terakhir, menganalisis kebutuhan kelompok nelayan Sea Farming. Penelitian
ini
menggunakan
metode
pendekatan
kualitatif
dan
menggunakan teknik triangulasi data. Subjek dalam penelitian ini adalah komunitas nelayan Sea Farming dan unit analisisnya adalah individu yang tergabung dalam kelompok Sea Farming. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Data primer diperoleh secara langsung di lapangan dari hasil observasi dan wawancara mendalam dengan informan. Sedangkan data sekunder didapatkan dari dokumen-dokumen instansi terkait. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tiga tahapan analisis data, yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.
4
Hasil penelitian menunjukkan bahwa proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan Sea Farming jika dilihat berdasarkan Delapan Tingkatan Partisipasi Arnstein, telah sampai pada tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Kemandirian secara material telah sangat terlihat jelas dari pengamatan dan pengakuan para informan. Namun secara kelompok masih perlu bianaan lebih jauh lagi. Untuk kemandirian intelektual, masing-masing anggota Sea Farming telah cukup berkembang bahkan sudah dapat mengembangkan teknik budidaya sendiri melalui penggabungan ilmu pelatihan, pengalaman, dan pengetahuan lokal. Kemudian untuk kemandirian manajerial, secara individu sudah cukup tercapai karena tiap anggota sudah mampu merencanakan usaha budidaya dengan baik. Namun secara kelompok masih perlu pendampingan lagi, mengingat bahwa kelompok ini ingin berkembang menjadi satu kelembagaan yang kuat secara aturan dan pengelolaan, yaitu koperasi. Berdasarkan hasil analisis, kebutuhan kelompok Sea Farming saat ini ada enam poin. Pertama, mereka membutuhkan teknik yang lebih efisien, efektif, ramah lingkungan dan murah. Kedua, pasokan benih yang jelas dan pasti baik dari segi jumlah dan kualitas. Ketiga, pelatihan pengembangan usaha budidaya, khususnya pengelolaan bersama penjualan hasil panen untuk dijual ke pasar. Keempat, pengelolaan kelompok yang kuat. Kelima, pengembangan kelompok menjadi kelompok usaha. Keenam, pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing pihak yang terkait dalam kelembagaan SF sehingga kelompok SF dapat memahami peran dan posisinya dalam kelembagaan SF.
5
PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING (Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)
SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Pada Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
Oleh : RIO I34051998
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
6
LEMBAR PERNYATAAN DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “PEMBERDAYAAN KOMUNITAS NELAYAN MELALUI PENERAPAN PROGRAM SEA FARMING (STUDI KASUS KOMUNITAS NELAYAN SEA FARMING PULAU PANGGANG, KELURAHAN PULAU PANGGANG, KABUPATEN ADMINISTRASI KEPULAUAN SERIBU JAKARTA)” BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN KECUALI KUTIPAN YANG ADA DALAM TULISAN INI. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA.
Bogor, Agustus 2009
RIO I34051998
7
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 April 1987 dari Ayah bernama Newdel Marleman dan Ibu Na Swie Lan. Penulis merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Pendidikan formal yang dilalui penulis yaitu tahun 1993 di SD Negeri Harapan Baru dan lulus pada tahun 1999, melanjutkan ke SLTP Negeri 13 Bekasi pada tahun 1999 dan lulus tahun 2002, kemudian melanjutkan ke SMA Negeri 4 Bekasi di tahun yang sama dan lulus tahun. Pada tahun 2005 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Penulis masuk di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia. Selama mengikuti kegiatan perkuliahan, penulis pernah mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Music Agriculture Expressions!! (MAX!!) IPB pada tahun 2005 sampai 2008. Menjadi ketua Himpunan Mahasiswa Peminat Ilmuilmu Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (HIMASIERA) pada tahun 2007 sampai 2009, dan juga aktif di Onigiri Japan Club sejak 2 tahun 2006 sampai sekarang. Selain itu penulis juga pernah bekerja sebagai Asisten Mata Kuliah Dasar-Dasar Komunikasi dan Mata Kuliah Perilaku Konsumen tahun 2007, Asisten Mata Kuliah Komunikasi Bisnis 2008-2009. Kegiatan-kegiatan lain di luar kampus yang pernah diikuti oleh penulis juga cukup banyak. Pada tahun 2008, penulis pernah magang pada sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bernama Institut for Global Justice (IGJ) di Jakarta. Kegiatan magang tersebut dilakukan dalam rangka Kuliah Kerja Profesi (KKP). Kemudian pada tahun 2009, menjadi relawan untuk Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI). Penulis pernah juga menjadi pendamping pada kegiatan “Pembekalan Pendampingan UKM Program Pengembangan Sumberdaya Manusia dan Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pola Kemitraan”
8
KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, petunjuk, dan nikmat-Nya dalam mengerjakan skripsi ini, sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Skripsi ini berjudul “Pemberdayaan Komunitas Nelayan Melalui Penerapan Program Sea Farming (Studi Kasus Komunitas Nelayan Sea Farming Pulau Panggang, Kelurahan Pulau Panggang, Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta)” merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Mayor Komunikasi
dan
Pengembangan
Masyarakat,
Departemen
Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Dalam penyelesaiannya, baik skripsi ini dan pendidikan penulis di Departemen Sains KPM-FEMA, IPB tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung dan berkontribusi: 1. Ir. Yatri Indah Kusumastuti, MSi sebagai dosen pembimbing akademik dan skripsi yang dengan sabar telah memberikan bimbingan, koreksi, pemikiran, serta sarannya sehingga penelitian dan skripsi ini dapat diselesaikan. 2. Keluarga tercinta (ibu dan kedua adik) yang selalu memberikan dukungan, doa, dan motivasi. Yang selalu menguatkan tekad ketika hati merasa goyah. Almarhum Ayahanda tercinta yang pesan-pesan beliau selalu penulis ingat sebagai pembangkit semangat. 3. Dr. Ir. Rilus A. Kinseng, MA selaku penguji utama dalam sidang skripsi. 4. Ir. Ana Fatchiya selaku dosen penguji perwakilan departemen. 5. Staf pengajar Departemen Sains KPM-FEMA, IPB. 6. Staf penunjang Departemen Sains KPM-FEMA, IPB 7. Teman-teman dari departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat angkatan 42 khususnya dan KPM angkatan 38-44. 8. Pihak-pihak dari PKSPL-IPB, anggota kelompok Sea Farming, Pihak-pihak Taman Nasional Kepulauan Seribu Jakarta, Pihak-pihak Kelurahan Pulau Panggang, Teman-teman satu mess selama penelitian di pulau.
9
9. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih atas dukungan dan doanya.
Penulis mengharapkan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait dan masyarakat yang akan menjadikan skripsi ini sebagai rujukan pustaka.
Bogor, Agustus 2009
Penulis
10
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
ix xi xii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2. Perumusan Masalah ..................................................................................... 4 1.3. Tujuan .......................................................................................................... 4 1.4. Kegunaan...................................................................................................... 4 BAB II PENDEKATAN TEORITIS ................................................................... 6 2.1. Tinjauan Pustaka .......................................................................................... 6 2.1.1. Konsep Pemberdayaan.. ..................................................................... 6 2.1.2. Kategori Kemandirian ........................................................................ 8 2.1.3. Pengertian Komunitas ........................................................................ 9 2.1.4. Pengertian Partisipasi....................................................................... 10 2.1.5. Konsep Wilayah dan Masyarakat Pesisir... ..................................... 12 2.1.6. Masyarakat Nelayan... ..................................................................... 13 2.1.7. Konsep Sea Farming... ..................................................................... 13 2.1.8. Sistem Pengetahuan Lokal... ............................................................ 17 2.2. Kerangka Pemikiran ................................................................................... 17 2.2.1. Kerangka Pemahaman Sea Farming... ............................................. 17 2.2.2. Kerangka Penelitian... ...................................................................... 22 2.2.3. Hipotesa Pengarah... ........................................................................ 22 2.2.4. Definisi Konseptual... ...................................................................... 23 BAB III METODOLOGI PENELITIAN .......................................................... 24 3.1. Strategi Penelitian ...................................................................................... 24 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ..................................................................... 25 3.3. Jenis dan Sumber Data ............................................................................... 25 3.4. Teknik Pengumpulan Data ......................................................................... 26 3.5. Teknik Analisis Data .................................................................................. 27 BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ................................. 28 4.1. Letak Geografis dan Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang.................................................................................................... 28 4.2. Kondisi Demografis ................................................................................... 29 4.3. Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang............................. 31 4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang .......................... 33 4.5. Karakteristik Nelayan di Pulau Panggang.................................................. 36 4.6. Konteks Lokasi Sea Farming ..................................................................... 37 4.7. Ikan Kerapu Sebagai Komoditas Utama Sea Farming ............................... 39 4.8. Pembudidaya Ikan Kerapu di Pulau Panggang .......................................... 40
11
BAB V PROSES PERKEMBANGAN KEBERDAYAAN ............................... 42 5.1. Manipulasi, Terapi, dan Pemberitahuan..................................................... 44 5.2. Konsultasi dan Placation ........................................................................... 47 5.2.1. Mandiri Secara Intelektual ............................................................... 49 5.2.2. Berbagi Ilmu Sesama Nelayan......................................................... 52 5.2.3. Pengetahuan Lokal Dicampur dengan Ilmu Pelatihan..................... 53 5.2.4. Kemampuan Manajemen Pengelolaan Budidaya Kerapu ............... 55 5.3. Kemitraan dan Pendelegasian Kekuasaan .................................................. 57 5.3.1. Pengelolaan Kelompok SF ............................................................... 57 5.3.2. Mandiri Secara Ekonomi ................................................................. 61 5.4. Simpulan Bab ............................................................................................. 63 BAB VI KEBUTUHAN KOMUNITAS ........................................................... 65 6.1. Aspek Teknik Budidaya ............................................................................... 68 6.2. Ketersediaan Benih ...................................................................................... 69 6.3. Aspek Manajemen Usaha............................................................................. 71 6.4. Manajemen Kelompok ................................................................................. 74 6.5. Kelembagaan Sea Farming .......................................................................... 76 6.6. Simpulan Bab ............................................................................................... 77 BAB VII SEA FARMING SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN ......... 79 BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN......................................................... 83 7.1. Kesimpulan .................................................................................................. 83 7.2. Saran ............................................................................................................. 85 DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 87 LAMPIRAN ........................................................................................................ 89
12
DAFTAR TABEL Halaman 1. Tingkatan Pastisipasi Arnstein (1969) ............................................................ 11 2. Nama dan Luas Pulau di Kelurahan Pulau Panggang, 2008 ........................... 28 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin, ........ 30 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenjang Pendidikan, 2008 ................................................................................................................ 31 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008 ........... 34 6. Jenis dan Jumlah Kegiatan Usaha Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008 ................................................................................................................ 35 7. Road Map SF Berdasarkan Rencana PKSPL-IPB dengan Hasil Pengamatan di Lapang ........................................................................................................ 43 8. Modifikasi Tingkatan Partisipasi Arnstein (1969) oleh Peneliti, Berdasarkan Hasil Temuan di Lapang ................................................................................ 44 9. Matriks Kebutuhan Komunitas ....................................................................... 67
13
DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Tahapan Pemberdayaan ................................................................................. .7 2. Sistem Kelembagaan SF ............................................................................... .14 3. Skema Dasar SF ............................................................................................. 15 4. Simulasi SF .................................................................................................... 16 5. Kerangka Pemahaman Peneliti Tentang SF ................................................... 19 6. Kerangka Penelitian ....................................................................................... 21 7. Balai Hatcheri Karang Congkak .................................................................... 38 8. Balai SF di Semak Daun ................................................................................ 38 9. Keramba Apung di Perairan Sekitar Balai SF Semak Daun .......................... 39 10. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus) ........................................ 40 11. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) .................................................. 40 12. Sekretariat Kelompok SF ............................................................................. 58 13. Struktur Organisasi Kelompok SF ............................................................... 59
1
I. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Kepulauan Seribu sebagai bagian dari pemerintahan kota Jakarta telah
menjadi daerah Pemerintahan Administratif Kepulauan Seribu. Wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terletak di sebelah Utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta. Pulau Paling utara, Pulau Sebira terletak di jarak sekitar 100 mil dari daratan Teluk Jakarta. Posisi ini bila dikaitkan dengan Jakarta yang tidak lain adalah sebuah kota pelabuhan, maka Kepulauan Seribu adalah bagian muka dari Jakarta. Lokasinya berada antara 06°00’40” dan 05°54’40” Lintang Selatan dan 106°40’45” dan 109°01’19” Bujur Timur. Pada separuh teluk bagian barat, terdapat beberapa pulau kecil yang sebagian besar telah dipergunakan sebagai areal permukiman penduduk dan sebagian lainnya dipergunakan sebagai tempat peristirahatan. Total luas keseluruhan wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu kurang lebih hampir 11 kali luas daratan Jakarta, yaitu luas daratan mencapai 897.71 hektar dan luas perairan Kepulauan Seribu mencapai 6.997,50 kilometer persegi (Pemda Kep. Seribu, 2004). Berawal dari Visi Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu yang menginginkan ”kepulauan seribu sebagai ladang dan taman kehidupan bahari yang berkelanjutan”. Juga ada Perda No. 55/2001 yang menginginkan pembangunan pesisir, laut, dan PPK berbasis masyarakat1 maka pemerintah daerah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu ingin menjadikan Kepulauan
1
http://kepulauan seribu.net/VISI MISI.htm
2
Seribu sebagai salah satu tujuan wisata, baik lokal maupun asing. Selain itu agar Kepulauan Seribu sendiri dapat dijadikan sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakatnya. Sehingga rehabilitasi ekosisistem pesisir dan laut dan juga pemberdayaan ekonomi masyarakat pulau menjadi tujuan utama diterapkannya konsep Sea Farming ini. Masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang2 sendiri yang berprofesi sebagai nelayan mencapai 1.722 orang. Ini artinya hampir sebagian besar masyarakat di Kelurahan Pulau Panggang berprofesi sebagai nelayan. Kebanyakan dari mereka adalah nelayan kecil yang bekerja secara individu atau kelompok kecil. Hal ini menjadi permasalahan bagi mereka sendiri, mengingat jika bergerak sendiri atau dalam kelompok kecil maka hasil yang didapat juga kecil. Selain itu nelayan jika berlaut mempunyai resiko tinggi, hasil yang didapat sedikit dan tidak menentu. Nelayan adalah orang-orang yang berusaha “menaklukan”alam, yaitu laut, sedangkan laut tidak dapat diprediksi dan sumberdaya perikanan bersifat tidak pasti. Berbagai ancaman bahaya apapun bisa terjadi di laut. Mulai dari cuaca yang tidak menentu dampai serangan ikan besar yang jumlahnya tidak sedikit di lautan. Berbeda dengan masyarakat petani/agraris yang ciri sumberdayanya pasti dan lebih mudah diprediksi. Rusaknya ekosistem laut sekitar Kepulauan Seribu membuat masyarakat setempat tidak lagi dapat tergantung sepenuhnya pada laut. Pendapatan mereka sebagai nelayan berkurang dan mereka tidak mempunyai cukup akses untuk beralih ke pekerjaan lain, mengingat jarak Kepulauan Seribu yang cukup jauh dari
2
Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau tetapi hanya dua pulau yang berpenghuni dan banyak masyarakatnya, yaitu Pulau Panggang dan Pulau Pramuka
3
Jakarta (± 1 jam ke pulau terdekat) dan memerlukan biaya cukup besar untuk kapal. Berdasarkan permasalahan tersebut dikembangkanlah konsep Sea Farming (SF) yang diterapkan di Kepulauan Seribu khususnya di Kelurahan Pulau Panggang. Konsep ini diinisiasikan oleh Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut-Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB) bekerja sama dengan Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta. Konsep dari SF sendiri dapat didefinisikan sebagai sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata (PKSPLIPB, 2006). Program ini telah berjalan sejak tahun 2004 dan akan berakhir pada tahun 2010. Konsep SF mencoba menggabungkan hal yang pasti dari pengelolaan sumberdaya agraris dengan kekayaan sumberdaya perairan. Realisasi in terwujud dalam pembentukan keramba apung dan Balai SF di perairan laut Pulau Semak Daun yang digunakan untuk pembibitan dan pembesaran ikan kerapu. Pemilihan kerapu didasarkan karena ikan kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) atau yang biasa disebut oleh orang pulau sebagai ikan balong (rakus). Pemilihan kerapu macan didasarkan karena ikan kerapu merupakan komoditas perairan yang mempunyai nilai jual tinggi di pasaran. Bidang pembudidayaan ikan kerapu macan dilaksanakan di Pulau Panggang. Sasarannya adalah komunitas nelayan Pulau Panggang. Output dari program ini adalah masyarakat diharapkan dapat menjadi mandiri dalam mengelola sumberdaya perairan mereka melalui sistem SF. Maka dari itu ada
4
pertanyaan besar yang melandasi penelitian ini yaitu sejauh prose perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF di Pulau Panggang sehingga membentuk kemandirian nelayan baik secara individu maupun kelompok.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas maka peneliti
merumuskan permasalahan yang akan diteliti. Secara umum rumusan masalah yang akan diteliti ada dua aspek yaitu partisipasi dan kemandirian. 1.
Bagaimana proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF sehingga membentuk kemandirian komunitas?
2.
Apa yang menjadi kebutuhan bagi pengembangan kelompok SF saat ini?
1.3.
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas maka terdapat beberapa tujuan dari
penelitian ini, yaitu: 1.
Menggambarkan proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF di Pulau Panggang.
1.4.
2.
Menganalisis sejauh mana SF dapat memandirikan komunitas.
3.
Menganalisis kebutuhan bagi pengembangan kelompok nelayan SF.
Kegunaan Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat menjadi suatu pembelajaran mengenai
pemahaman tentang proses penerapan dan pengembangan program SF. Kemudian
5
dapat menggambarkan proses-proses
yang terjadi pada penerapan dan
pengembangan program SF. Penelitian ini juga diharapkan menjadi masukan sebagai bahan evaluasi dan literatur terhadap program SF bagi pemerintah, akademisi, dan
PKSPL-IPB khususnya sebagai lembaga
menginisiasikan program ini.
yang telah
6
II. PENDEKATAN TEORITIS
2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Konsep Pemberdayaan Pemberdayaan
adalah
“membantu” komunitas
dengan
sumberdaya,
kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas (Nasdian, 2006). Berarti pemberdayaan adalah bagaimana membuat komunitas bisa bekerja sendiri berdasarkan kemampuan yang telah mereka miliki. Tetapi sebelumnya kemampuan komunitas harus ditingkatkan agar mereka dapat berpatisipasi dan menyesuaikan diri dalam memenuhi kebutuhan sekarang dan nanti. Sehingga mereka dapat menentukan dan merancang masa depan mereka sendiri. Konsep pemberdayaan masyarakat mencakup pengertian community development (pembangunan masyarakat dan community-based delopment (pembangunan yang bertumpu pada masyarakat), dan tahap selanjutnya muncul istilah community driven development yang diterjemahkan sebagai pembangunan yang diarahkan masyarakat atau diistilahkan pembangunan yang digerakan masyarkat (Randy & Riant, 2007). Pemberdayaan adalah sebuah proses menjadi bukan sebuah proses instan. Artinya, perlu ada suatu tahapan dimana setiap tahap terjadi proses perkembangan menuju perbaikan. Proses tersebut memerlukan waktu yang relatif lama dan partisipasi menyeluruh dari komunitas itu sendiri. Tidak bisa dijadikan dalam waktu sehari atau hanya sekadar mengenalkan program ke komunitas, kemudian
7
hilang sampai program berikutnya datang. Sebagai proses, pemberdayaan mempunyai tiga tahapan: penyadaran, pengkapasitasan, dan pendayaan.
penyadaran
pengkapasitasan
pendayaan
Gambar 1. Tahapan Pemberdayaan (Randy & Riant, 2007)
Pemberdayaan merupakan proses “pemetaan” dari hubungan atau relasi subjek dengan objek. Proses ini mementingkan adanya pengakuan subjek akan kemampuan atau daya yang dimiliki objek. Secara gari besar proses ini melihat pentingnya mengalirkan daya (kuasa) (flow of power) dari subjek ke objek. Dalam pengertian yang lebih luas, mengalirnya daya ini merupakan upaya atau cita-cita untuk mensinerjikan masyarakat miskin ke dalam aspek kehidupan yang lebih luas. Hasil akhir dari pemberdayaan adalah “beralihnya fungsi individu atau kelompok yang semula sebagai objek menjadi subjek (yang baru)”, sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan dicirikan dengan relasi antar “subjek” dengan subjek yang lain. Dengan demikian, proses pemberdayaan mengubah pola relasi lama subjek-objek menjadi subjek-subjek (Nasution, 2006). Secara operasional, pemberdayaan “bergerak” dari pemahaman sisi dimensi generatif, yang merupakan suatu proses perubahan dengan menempatkan kreatifitas dan prakarsa warga komunitas yang sadar diri dan terbina sebagai titik tolak. Dengan pengertian tersebut pemberdayaan mengandung dua elemen pokok, yakni: kemandirian dan partisipasi. Dalam konteks ini, yang berorientasi
8
memperkuat kelembagaan komunitas, maka pemberdayaan warga komunitas merupakan tahap awal menuju kepada partisipasi warga komunitas (empowerment is road to participation) khususnya dalam proses pengambilan keputusan untuk menumbuhkan kemandirian komunitas. Dengan kata lain, pemberdayaan dilakukan agar warga komunitas mampu berpartisipasi untuk mencapai kemandirian. Dalam pengertian lain pemberdayaan adalah sebuah proses membantu individual atau kelompok-kelompok yang tidak beruntung dengan cara mengajarkan mereka bernegosiasi, menggunakan media, terlibat dalam kegiatan politik, mengerti bagaimana “bekerja system”, dan lainnya (Ife, 1946). Keberdayaan dalam konteks masyarakat adalah kemampuan individu yang bersenyawa dalam masyarakat dan membangun keberdayaan masyarakat bersangkutan. Keberdayaan masyarakat adalah unsur-unsur yang memungkinkan masyarakat untuk bertahan dan dalam pengertian dinamis mengembangkan diri dan mencapai kemajuan (Randy & Riant, 2007).
2.1.2. Kategori kemandirian Dengan kemampuan warga komunitas berpartisipasi diharapkan komunitas dapat mencapai kemandirian, yang dapat dikategorikan sebagai “kemandirian material, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen (Nasution, 2006). 1.
Kemandirian material Tidak sama dengan konsep sanggup mencukupi kebutuhan sendiri.
Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis.
9
2.
Kemandirian intelektual Merupakan pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas
yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. 3.
Kemandirian manajemen Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina
diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.
2.1.3. Pengertian Komunitas Komunitas ialah suatu unit atau kesatuan sosial yang terorganisasikan dalam kelompok-kelompok dengan kepentingan bersama (communities of common interest), baik yang bersifat fungsional maupun yang mempunyai teritorial. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai “masyarakat setempat”. Apabila anggotaanggota suatu kelompok, baik kelompok besar maupun kelompok kecil, hidup bersama sedemikian rupa sehingga merasakan bahwa kelompok tersebut dapat memenuhi kepentingan-kepentingan hidup yang utama, maka kelompok tadi disebut komunitas (Nasdian, 2006). Dalam suatu komunitas aktifitas anggotanya dicirikan dengan partisipasi dan keterlibatan langsung anggota komunitas dalam kegiatan tersebut, dimana semua usaha swadaya masyarakat diintegrasikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat
untuk
meningkatkan
taraf
hidup,
dengan
sebesar
mungkin
ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pembentukan pelayanan teknis dan bentuk-bentuk pelayanan yang dapat mendorong timbulnya inisiatif,
10
sifat berswadaya, dan kegotongroyongan sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian, 2006). Dengan demikian kuat atau lemahnya suatu komunitas dilihat dari tingkat partisipasi anggotanya terhadap suatu kegiatan/program dari pemerintah. Kesadaran mereka untuk mau ikut serta dalam pemberdayaan sangat mempengaruhi keefektifan suatu proses pembangunan. Syahyuti (2005) dalam Furqon (2009), menegaskan bahwa secara umum, komunitas (community) diartikan sekelompok orang yang hidup bersama pada lokasi yang sama sehingga mereka telah berkembang menjadi sebuah “kelompok hidup” (group lives) yang diikat oleh kesamaan kepentingan (common interest). Artinya, ada sosial relationship yang kuat di antara mereka, pada satu batasan geografis tertentu. Elemen dasar yang membentuk adalah adanya interaksi yang intensif di antara anggotanya, dibandingkan dengan orang-orang di luar batas wilayah. Ukuran derajat hubungan sosial, terkait dengan kesamaan tujuan adalah pemenuhan kebutuhan utama individu dan anggota pembentuk kelompok masyarakat.
2.1.4. Pengertian Partisipasi Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Partisipasi dapat dikategorikan: Pertama, warga komunitas dilibatkan dalam tindakan yang yang telah dipilihkan atau dirancang oleh orang lain dan dikontrol oleh orang lain. Kedua, partisipasi merupakan proses pembentukan kekuatan untuk keluar dari masalah mereka sendiri. Titik tolak
11
partisipasi adalah memutuskan, bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebgai subjek yang sadar (Nasution, 2006) Banyak alasan dapat diberikan untuk menyertakan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan dan sumberdaya. Melalui konsultasi dengan masyarakat yang tinggal di wilayah yang akan terkena kebijakan program atau proyek, dimungkinkan (1) merumuskan persoalan dengan lebih efektif, (2) mendapatkan informasi dan pemahaman di luar jangkauan dunia ilmiah, (3) merumuskan alternatif penyelesaian masalah yang secara sosial akan dapat diterima, dan (4) membentuk perasaan memiliki terhadap rencana dan penyelesaian, sehingga memudahkan penerapan (Mitchell, 1997).
2.1.4.1.Tingkatan partisipasi Dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk menjawab sampai tingkatan mana komunitas diikutsertakan dalam program SF ini. Untuk itu peneliti akan mengukurnya melalui Delapan Tingkatan Patisipasi menurut Arnstein (1969). Tabel 1. Tingkatan Pastisipasi Tingkatan partisipasi
1. 2.
Manipulasi Terapi
3.
Pemberitahuan
4.
Konsultasi
5.
Placation
6. 7.
Kemitraan Pendelegasian kekuasaan
8.
Hakekat Kesertaan
Komite berstempel Pemegang kekuasaan mendidik rakyat Hak-hak masyarakat dan pelihan-pilihannya diidentifikasikan Masyarakat didengar, tetapi tidak dipakai sarannya Saran masyarakat diterima, tetapi tidak selalu dilaksanakan Timbal balik dinegosiasikan Masyarakat diberikan kekuasaan untuk sebagian atau seluruh program
Kontrol oleh masyarakat Sumber: Arnstein (1969) dalam Mitchel (2000)
Tingkatan Pembagian Kekuasaan Tidak ada partisipasi
Tokenism
Tingkatan kekuasaan masyarakat
12
2.1.5. Konsep Wilayah dan Masyarakat Pesisir Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, dengan batas ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air yang masih mendapat pengaruh sifat-sifat laut seperti angin laut, pasang surut, perembesan air laut (intrusi) yang dicirikan oleh vegetasinya yang khas, sedangkan batas wilayah pesisir ke arah laut mencakup bagian atau batas terluar daripada daerah paparan benua (continental shelf), dimana ciri-ciri perairan ini masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun proses yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Bengen, 2002)3 Secara teoritis, masyarakat pesisir didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal dan melakukan aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan sumberdaya wilayah pesisir dan lautan. Dengan demikian, secara sempit masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian, secara luas masyarakat pesisir dapat pula didefinisikan sebagai masyarakat yang tinggal secara spasial di wilayah pesisir tanpa mempertimbangkan apakah mereka memiliki aktifitas sosial ekonomi yang terkait dengan potensi dan kondisi sumberdaya pesisir dan lautan. Sedangkan jika mengacu pada UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang dimaksud dengan wilayah pesisir adalah, daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut. Kemudian pengertian masyarakat pesisir
3
http://jchkumaat.files.wordpress.com/2007/01/pengertian-pengelolaan-bahan-kuliah-pengelolaanpesisir-geog.doc
13
adalah, masyarakat yang terdiri dari masyarakat adat dan masyarakat lokal yang bermukim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
2.1.6. Masyarakat Nelayan Nelayan didefinisikan sebagai orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau budidaya binatang air. Pada budidaya binatang atau tanaman air, orang yang dikategorikan sebagai nelayan adalah orang yang melakukan pekerjaan pemeliharaan binatang atau tanaman air. Termasuk dalam kategori pekerjaan pemeliharaan adalah pekerjaan pembenihan, pemberian makanan ikan, pemupukan dan pemberantasan hama, pengairan tambak atau kolam ikan (Dinas Perikanan Propinsi DATI I Jawa Tengah, 1994 dalam Amir Fadhilah, 2003) Hal ini berarti bahwa orang yang membuat jaring, istri, anak serta orang tua nelayan yang tidak aktif dalam operasi penangkapan ikan tidak dimasukan dalam kategori nelayan. Orang yang bekerja pada waktu pemanenan ikan atau membajak tambak atau kolam ikan tidak dimasukan ke dalam kategori nelayan (Amir Fadhilah, 2003)
2.1.7. Konsep Sea Farming Sea Farming (SF) yang dapat didefinisikan sebagai sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan demikian, SF pada dasarnya
14
merupakan sebuah sistem yang terdiri dari tiga sub-sistem yaitu sub-sistem input, sub-sistem marikultur (proses) dan sub-sistem output4.
Populasi P. Panggang
Definisi Pelaku SF
Lokasi Sea Farming
Demarcated Fishing Right
Implementasi Sea Farming
Kesepakatan Lokal
Hatchery
Community Based Agribusiness System
Pendeder-1
Grower
Stock Enhancement
Pendeder-2
Pendeder-3
Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Pasar Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Distribusi
Nelayan
Pendampingan, Monitoring dan Evaluasi Berbasis Masyarakat
Perdagangan
Gambar 2. Sistem Kelembagaan SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem
pendukung
merupakan
prasyarat
awal
pembentukan
kelembagaan SF yang memiliki fungsi utama sebagai penyedia faktor pendukung (supporting factors) bagi beroperasinya SF di lokasi yang dituju. Dalam subsistem ini, faktor paling penting adalah berfungsinya demarcated fishing rights sebagai persyaratan batas sistem operasi SF secara geografis (sistem boundary). Pembentukan sistem fishing rights (FR) ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan riset partisipatif hingga mencapai kesepakatan lokal. Penentuan FR
4
Diambil dari Working Paper PKSPL IPB tentang Sea Farming, 2006
15
ini tidak dapat dilepaskan dari analisis kesesuaian ekosistem sebagai penyokong keberhasilan operasi SF secara teknis-ekologis. Hetchery
3 Cm
3 Cm
6 Cm
6 Cm 13 Cm 13 Cm Beackyard Hetchery di Masyarakat (Daratan/Pulau) Beackyard Hetchery di Laut (Tancap)
Pen Culture
Pendederan Balai Sea Farming
Pembesaran Keramba Apung
Restocking 16 Cm Restocking 16 Cm
Gambar 3. Skema Dasar SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem kedua adalah marikultur (budidaya kelautan) di mana kegiatan pembenihan, pendederan hingga pembesaran komoditas SF dilakukan.
Sub-
sistem ini merupakan jantung dari implementasi SF karena input dan output ekonomi SF pada dasarnya berasal dari sub-sistem marikultur ini. Agar akselerasi sub-sistem marikultur ini dapat dilakukan sesuai dengan tujuan, maka dalam subsistem ini digunakan pendekatan community-based agribusiness sistem (sistem agribisnis berbasis pada masyarakat, SABM). Dalam SABM ini, sebagian besar pelaku adalah masyarakat lokal sehingga diharapkan manfaat ekonomi langsung maupun tidak langsung dari sistem SF ini akan bermuara pada kesejahteraan
16
masyarakat lokal. Sebagai contoh, dengan implementasi intermediary mariculture process yang melibatkan pendeder 1, pendeder 2, dan seterusnya (lihat Gambar 2) maka alur finansial dalam bentuk perdagangan benih dapat dilakukan menggantikan
sistem
konvensional
yang
hanya
terbatas
pada
grower
(pembesaran).
Pen culture
Pen culture
Sea Ranching
Wisata Bahari
BALAI SEA FARMING Pen culture
Marikultur
Cage culture
Cage culture
Penangkapan Ikan berkelanjutan Stock Enhancement
PASAR Gambar 4. Simulasi SF (PKSPL-IPB, 2006)
Sub-sistem ketiga adalah sub-sistem output di mana komoditas SF akan diperdagangkan melalui sistem distribusi dan perdagangan yang adil antar pelaku SF dan pada saat yang sama berfungsi juga sebagai penyedia stok bagi kepentingan konservasi dan pengkayaan stok ikan (stock enhancement). Fungsi konservasi ini dapat melibatkan pemerintah daerah sebagai penjamin pasar bagi pelaku SF. Dengan kata lain, pemerintah daerah membeli stok dari pelaku SF bukan untuk kepentingan komersial melainkan untuk konservasi dan pengkayaan stok alam di perairan yang sesuai.
17
2.1.8. Sistem Pengetahuan Lokal Mitchell (1997) menjelaskan bahwa konsep sistem pengetahuan lokal berakar dari sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Masyarakat lokal atau asli dapat ditemukan di setiap daerah. Dengan definisi masyarakat lokal atau asli yang cukup beragam tetapi beberapa elemen dasar yang biasanya termasuk antara lain: a. Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat b. Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda kelompok yang lebih dominan. c. Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat. d. Keturunan masyarakat berburu, nomadik, ladang berpindah. e. Masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan
keputusan
melalui
kesepakatan
serta
pengelolaan
sumberdaya secara kelompok
2.2. Kerangka Pemikiran 2.2.1. Kerangka Pemahaman SF Sebelum memasuki kerangka penelitian, peneliti ingin terlebih dulu menjelaskan kerangka pemahaman peneliti terhadap proses pemberdayaan masyarakat Pulau Panggang melalui konsep SF. Secara konseptual, pemberdayaan terbagi menjadi tiga tahap yaitu, tahap penyadaran, tahap pengkapasitasan, dan tahap pemberdayaan. Pada saat penyadaran masyarakat mulai “diberitahu” dan “disadarkan” bahwa mereka perlu
18
diberdayakan dan mereka mempunyai hak untuk mendapatkan sesuatu. Tahap ini bisa melalui sosialisasi dan prinsip dsarnya adalah membuat mereka mengerti bahwa mereka perlu diberdayakan dan proses itu harus dimulai dari dalam diri mereka. Setelah program disosialikan, tidak semua masyarakat menerima program tersebut ada yang akomodatif dan ada juga yang resisten. Masyarakat yang akomodatif tentunya akan mengadopsi program tersebut dan akan berlanjut ke tahap kedua. Masyarakat yang resisten bukan berarti menolak mentah-mentah program tersebut, walaupun ada kemungkinan untuk hal tersebut. Mereka mungkin hanya tidak cocok dengan beberapa metode atau tujuan yang diberikan. Ini akan menjadi masukan berupa saran dan kritikan terhadap program yang tentunya akan diperbaiki dan disosialisasikan lagi. Tahap kedua adalah pengkapasitasan atau biasa disebut capacity building . mereka diberikan bekal berupa ilmu agar mereka mempunyai kecakapan (skill) dan dapat berdaya. Cara ini bisa menggunakan pelatihan, workshop, dan seminar. Proses pengkapasitasan ini mencakup tiga hal yaitu manusia, organisasi dan sistem nilai. Pada tahap ini juga masyarakat yang telah menerima bekal akan memberikan masukan dan saran terhadap program berdasarkan pengetahuan yang mereka punya sebelumnya Terakhir adalah pendayaan atau pemberian daya. Pada tahap ini mereka diberikan daya, kekuasaan, otoritas, dan peluang sesuai dengan apa yang mereka dapat pada tahap pengkapasitasan. Pada tahap ini mereka juga akan memberikan masukan dan saran berdasarkan pengalaman yang telah mereka lakukan selama penerapan program SF.
19
Pengkapasitasan/Capacity Building
Pengenalan/Awareness
Akomodatif Program PKSPL (sea farming)
Adopsi
Komunitas (masy. Sosialisasi Perbaikan
-pelatihan -seminar -workshop
P. panggang) Resisten Komunitas belajar & berkembang -manusia -organisasi -sistem nilai
Respon Respon
Pemberdayaan
Respon Masyarakat berdaya
Kemandirian
Gambar 5. Kerangka Pemahaman Peneliti Terhadap SF
20
Secara keseluruhan proses ini adalah proses yang berulang dimana ketika PKSPL-IPB mensosialisasikan program pada awal pengenalan program akan mendapat respon berupa penolakan program dari masyarakat yang mungkin belum mengerti atau tidak memerlukan program ini. Kemudian akan ada perbaikan dan disosialisasikan lagi. Pada saat pelaksanaan pun ada masukan dari masyarakat berupa saran mengenai program.
2.2.2. Kerangka Penelitian Penerapan program SF untuk masyarakat Pulau Panggang khusus untuk pembesaran ikan kerapu merupakan proses pemberdayaan masyarakat setempat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam arti yang lebih luas. Jika dilihat dari gambar kerangka penelitian maka ada dua aspek yang akan menjadi fokus utama yaitu aspek kemandirian warga dan partisipasi warga untuk menjadi anggota dari program SF. Alasan kenapa dua aspek tersebut yang diteliti adalah karena pemberdayaan merupakan tahap awal agar komunitas dapat berpartisipasi dalam program lebih khusus dalam proses pengmabilan keputusan yang dimaksudkan untuk menumbuhkan keandirian komunitas. Untuk aspek kemandirian, variabel yang akan diukur adalah kemandirian materi, kemandirian intelektual, dan kemandirian manajemen. Peneliti akan melihat variable mana yang berkembang setelah masyarakat mengikuti program SF ini. Dalam pemberdayaan Sedangkan untuk aspek partisipasi akan dilihat menlalui delapan tingkat partisipasi masyarakat menurut Arnstein (1969) dalam Mitchell (1997). Delapan tingkatan tersebut adalah manipulasi, terapi, pemberitahuan, konsultasi, placation, kemitraan, pendelegasian kekuasaan,
21
kontrol oleh masyarakat. Peneliti akan melihat pada level mana masyarakat ikut serta dalam program SF. Program Sea Farming
Partisipasi -manipulasi -terapi -pemberitahuan -konsultasi -placation -kemitraan -pendelegasian kekuasaan -kontrol oleh
Tingkat keberdayaan peserta
Kemandirian -kemandirian material -kemandirian intlektual Kemandirian manajemen
masyarakat
Kesejahteraan Masyarakat
= mempengaruhi = Batasan penelitian
Gambar 6. Kerangka Penelitian
2.2.3. Hipotesa Pengarah 1.
Penerapan konsep SF mempengaruhi Partisipasi komunitas nelayan di Pulau Panggang.
2.
Partisipasi komunitas terhadap penerapan dan pengembangan SF telah sampai pada tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Diharapkan bergerak menuju kontrol oleh masyarakat.
22
3.
Partisipasi masyarakat dalam tahap kemitraan dan pendelegasian kekuasaan telah mempengaruhi tingkat kemandirian komunitas dalam hal kemandirian material, intelektual, dan manajemen.
2.2.4. Definisi Konseptual 1.
SF adalah sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata
2.
Nelayan adalah orang yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam operasi penangkapan ikan atau pembudidaya ikan.
3.
Pemberdayaan adalah Pemberdayaan adalah “membantu” komunitas dengan sumberdaya, kesempatan, keahlian, dan pengetahuan agar kapasitas komunitas meningkat sehingga dapat berpartisipasi untuk menentukan masa depan warga komunitas
4.
Partisipasi adalah proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara pikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif.
5.
Kemandirian material adalah Kemandirian material adalah kemampuan produktif guna memenuhi materi dasar serta cadangan dan mekanisme untuk dapat bertahan pada waktu krisis.
6.
Kemandirian intelektual adalah pembentukan dasar pengetahuan otonom oleh komunitas yang memungkinkan mereka menanggulangi bentuk-bentuk
23
dominasi yang lebih halus yang muncul di luar kontrol terhadap pengetahuan itu. 7.
Kemandirian manajemen adalah kemampuan otonom untuk membina diri dan menjalani serta mengelola kegiatan kolektif agar ada perubahan dalam situasi kehidupan mereka.
24
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Strategi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif hendak membangun (melaporkan bangunan) suatu struktur sosial masyarakat di tempat penelitian (Agusta, 1998). Oleh karena itu pendekatan kualitatif mampu menggambarkan dan memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial yang sedang terjadi. Melalui metode ini juga peneliti mampu menggali berbagai informasi dan realitas sosial yang terjadi di Pulau Panggang berdasarkan pemahaman masyarakat tentang SF. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan studi kasus. Hal ini karena studi kasus merupakan strategi penelitian yang menggabungkan berbagai macam teknik seperti wawancara, pengamatan, dan analisis dokumen. Studi kasus disebut juga strategi penelitian multi dimensi. Studi kasus juga merupakan studi aras mikro yang menyoroti satu atau beberapa kasus. Dalam penelitian ini yang akan disorot adalah komunitas lokal di Pulau Panggang yang telah ikut SF. Tipe studi kasus yang digunakan adalah studi kasus intrinsik. Studi kasus intrinsik adalah studi yang dilakukan karena peneliti ingin mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu kasus khusus (Stake, 1994:237 dalam Sitorus, 1998). Dalam penelitian ini, peneliti ingin mendeskripsikan dan mengkaji proses perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF di Pulau Panggang.
25
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu Jakarta. Penelitian ini difokuskan pada program pemberdayaan masyarakat melalui penerapan SF. Program SF adalah program yang diinisiasikan oleh PKSPL untuk masyarakat Pulau Panggang. Lokasi tersebut dipilih karena masyarakat Pulau Panggang merupakan masyarakat pesisir yang lokasi pulaunya berada di Kepulauan Seribu, Jakarta. Lokasi tersebut masih bisa dijangkau oleh peneliti baik dari segi biaya maupun jarak lokasi. Waktu penelitian direncanakan akan dimulai pada awal Mei sampai akhir Juni. Dilaksanakan selama enam minggu kalender dan dilakukan mulai tanggal 1 Mei-30 Juni 2009.
3.3. Jenis dan Sumber Data Jenis dan sumber data dalam penelitian ini ada dua jenis data yaitu, data primer dan data sekunder. Data primer didapat oleh peneliti dari pengalaman langsung di lapang dan informasi dari pihak yang berkompeten. Kemudian untuk data sekunder didapat dari literatur-literatur yang berkaitan dan mendukung penelitian ini seperti laporan akhir program dari PKSPL-IPB, laporan kelompok, buku keanggotaan kelompok, laporan akhir dari Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta. Data yang digunakan adalah data yang berasal dari kelompok Sea Farming, PKSPL-IPB, dan Sudin Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta.
26
3.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini pengumpulan data menggunakan teknik triangulasi data yaitu kombinasi dari beberapa teknik pengumpulan data seperti wawancara mendalam, observasi lapang, dan penelusuran dokumen dan literatur. Kemudian menggunakan catatan harian sebagai hasil dari pengamatan di lapangan. Wawancara mendalam digunakan untuk menggali informasi langsung dari informan
yang sudah
ditentukan
sebelumnya
yang diperkirakan
dapat
memberikan data yang akurat. Dilakukan dalam suasana yang informal dan santai dengan tujuan untuk memahami pandangan tineliti tentang program SF. Observasi yang dilakukan bersifat observasi berperanserta terbatas. Artinya peneliti berusaha memahami perilaku atau tindakan informan terhadap orang lain dengan terlibat secara langsung dalam kegiatan program SF. Peneliti juga mengamati kejadian dan proses yang terjadi di sekitar lingkungan informan dan juga masyarakat Pulau Panggang dalam hal program SF. Selama penelitian di lapang, peneliti mengikuti berbagai macam kegiatan informan kunci yang menjadi sumber data peneliti. Peneliti ikut memberi makan ikan, mencari ikan kecil untuk pakan ikan kerapu, kumpul bersama para nelayan lain dan informan lain. Serta masih banyak lagi kegiatan yang dilakukan peneliti bersama tineliti dan pihak lain di lapang guna memenuhi ketersediaan data bagi penelitian ini.
27
3.5. Teknik Analisis Data Sejak penelitian dimulai dan data awal pengumpulan data, maka peneliti juga melakukan analisis data. Dengan menggunakan tiga tahapan analisis data, yaitu reduksi, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Pertama adalah reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan (Sitorus, 1998). Tujuan dari reduksi data adalah untuk menajamkan, menggolongkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisir data sehingga peneliti dapat mencapai kesimpulan akhir. Proses mereduksi data dilakukan sejak peneliti memulai kegiatan dan berlangsung terus sampai akhir (penyusunan laporan). Kedua, data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk deskriptif yang mencoba menggambarkan dan memberikan pemahaman tentang proses penerapan dan pengembangan SF. Sehingga diharapkan dapat menjawab perumusan masalah yang merupakan tujuan dari penelitian ini. Ketiga, menarik simpulan melalui verifikasi atau kroscek ulang. Hal ini dilakukan oleh peneliti dengan cara berdiskusi dengan informan yang menjadi subjek dalam penelitian ini sebelum peneliti menarik kesimpulan akhir. Juga terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penelitian ini yang telah memberikan informasi dan data.
28
IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1. Letak Geografis dan Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang Pulau Panggang adalah salah satu pulau yang terletak dalam kawasan Kepulauan Seribu, Jakarta. Berada dalam wilayah Administrasi Kelurahan Pulau Panggang, Kecamatan Kepulauan Seribu Utara. Kelurahan Pulau Panggang terdiri atas 13 pulau kecil, yaitu. Tabel 2. Nama dan Luas Pulau di Kelurahan Pulau Panggang, 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
Nama Pulau Pulau Panggang Pulau Pramuka Pulau Karya Pulau Peniki Pulau Karang Bongkok Pulau Karang Congkak Pulau Kotok Besar Pulau Air Besar Pulau Gosong Sekati Pulau Semak Daun Pulau Gosong Pandan Pulau Opak Kecil Pulau Kotok Kecil Jumlah
Luas (hektar) 9 16 6 3 0,50 0,60 20,75 2,90 0,20 0,75 1,10 1,30 62,10
Keterangan pemukiman pemukiman perkantoran/TPU navigasi peristirahatan peristirahatan pariwisata peristirahatan peristirahatan PHU peristirahatan peristirahatan PHU
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Batas-batas wilayah Kelurahan Pulau Panggang adalah adalah sebelah utara berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Kelapa di 05°41’41” LS 05°41’45” LS, sebelah barat berbatasan dengan perairan laut jawa di 106°44’50” BT, sebelah timur juga berbatasan dengan perairan Laut Jawa di 106°19’30” BT, sedangkan di sebelah selatan berbatasan dengan perairan Kelurahan Pulau Tidung di 05°47’00” LS - 05°41’15” LS (Kel. P. Panggang dalam Angka, 2008). Posisi
29
Pulau panggang melintang dari barat ke timur dan menurut kepercayaan penduduk sana posisi seperti ini memberikan kebaikan bagi penduduknya. Sebenarnya jumlah pulau yang ada di Kelurahan Pulau Panggang ada 16 pulau namun akibat abrasi air laut yang tersisa saat ini jadi 13 pulau. Pulau yang berpenghuni dan banyak penduduk di Kelurahan Pulau Panggang hanya ada empat pulau yaitu Pulau Panggang, Pulau Pramuka, Pulau Karya dan Pulau Kotok Besar. Pusat pemerintahan kelurahan berada di Pulau Panggang, sedangkan Pulau Pramuka dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Administratif Kepulauan Seribu, Jakarta. Pulau Kotok Besar selain menjadi resort pribadi juga menjadi tempat penangkaran dan pelestarian elang laut. Kelurahan Pulau Panggang mempunyai Visi, “Pengentasan Kemiskinan Sebesar 30% dalam Waktu 3 Tahun”. Biasa disebut dengan 3/30. Misi, “Pengentasan Kemiskinan Melalui Program Pariwisata dan Budidaya Kelautan Berbasis Komunitas”.
4.2. Kondisi Demografis Dengan luas hanya 9 hektar, Pulau Panggang memiliki kepadatan penduduk yang cukup banyak yaitu 3905 jiwa dengan 433 jiwa per hektarnya (Kel. P.Panggang dalam Angka 2008). Total penduduk Pulau Panggang dan Pulau Pramuka saat ini mencapai 5.519 jiwa. Suatu jumlah yang cukup banyak jika dibandingkan dengan luas Pulaunya. Hal ini mengakibatkan kondisi Pulau yang sangat padat dengan bangunan rumah bahkan bisa dibilang sudah tidak ada lagi tanah kosong untuk membangun rumah, yang ada menambah lahan dengan cara
30
menimbun sampah, karang-karang mati, pasir dan material lain yang bisa digunakan untuk membuat pondasi rumah. Tabel 3. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenis Kelamin, 2008 Kelompok Umur (thn)
Laki-laki (orang)
Perempuan (orang)
Jumlah (orang)
<15
764
726
1.520
16-30
760
682
1.442
31-45
709
700
1.409
46-60
398
427
825
61-74
107
91
198
>75
4
7
11
2.687
5.519
Total 2.832 Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Gambaran tentang Pulau Panggang adalah sebuah pulau kecil yang padat dengan rumah-rumah penduduk. Dari ujung timur sampai ujung barat yang ada hanya rumah, kecuali pada saat air surut maka di ujung timur terlihat pasir putih pantai. Hanya ada “hutan”5 kecil yang terletak di sebelah selatan Pulau. Penduduknya sangat padat, banyak orang berseliweran di gang-gang depan rumah mereka. Lebar jalanan yang memisahkan deretan rumah penduduk hanya sekitar dua meter. Sebagian besar penduduk Pulau Panggang bekerja sebagai nelayan dengan mencapai 1.700 orang, hampir setengah dari jumlah penduduk. Sisanya bekerja sebagai pegawai negeri, karyawan swasta, ojek laut, dan lain-lain. Bahkan cukup banyak yang jadi guru (84 orang) karena disana terdapat SD, SMPN 133, dan SMAN 69 Jakarta.
5
Di Pulau Panggang ada sepetak tanah yang ditumbuhi oleh pohon-pohon dan orang sana menyebutnya sebagai hutan
31
Tabel 4. Jumlah Penduduk Kelurahan Pulau Panggang Menurut Jenjang Pendidikan, 2008 Pria (orang)
Wanita (orang)
Jumlah (orang)
204
168
372
9
6
15
496
432
928
1.206
1.162
2.368
Tamat SMP sederajat
253
262
515
Tamat SMA sederajat
562
544
1.106
Tamat D1
-
-
-
Tamat D2
-
-
-
Tamat D3
19
42
61
Tamat S1
78
70
148
Tamat S2
5
1
6
Tamat S3
-
-
-
2.687
5.519
Pendidikan Belum sekolah Tidak pernah sekolah Pernah sekolah SD tapi tidak tamat Tamat SD sederajat
Jumlah 2.832 Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Jenjang pendidikan di sana pun cukup beragam. Beberapa sekolah negeri terdapat di Kelurahan Pulau Panggang. Sekolah Dasar (SD) terdapat di Pulau Panggang, Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) terdapat di Pulau Pramuka. Lulusan perguruan tinggi pun cukup banyak, bahkan sebagian lulusan perguruan tinggi ternama seperti Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Institut Pertanian Bogor (IPB), dan Sekolah Tinggi Perikanan (STP)
4.3. Sosial Budaya Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang Berdasarkan etnisnya maka penduduk Pulau Panggang tidak ada yang merupakan penduduk asli pulau tersebut. Pulau Panggang merupakan tempat para pelaut Makasar singgah pada jaman dulu. Oleh karena itu sebagian besar beretnis Mandar (Bugis). Etnis Betawi juga cukup banyak berada disini, sebanding dengan
32
Mandar. Sisanya berasal dari daerah lain yang mencoba merantau dan mencari peruntungan baru di sana. Kehidupan sosial Pulau Panggang tidak jauh berbeda dengan penduduk lain di Jakarta. Hal ini dikarenakan teknologi yang ada di sana sudah cukup memadai. Jaringan internet pun sudah masuk dan transportasi menuju Jakarta setiap harinya ada dua pelayaran dengan waktu tempuh hanya sekitar 2,5 jam menuju Muara Angke Jakarta. Selain itu Pulau Pramuka yang letaknya bersebelahan dengan Pulau Panggang merupakan Pulau tujuan pariwisata turis lokal maupun asing. Setiap harinya, bahkan di hari Sabtu dan Minggu banyak turis yang datang kesana baik lokal maupun turis asing. Hal ini membuat penduduk Pulau harus bisa beradaptasi dengan banyak pendatang. Masyarakat pesisir biasanya juga lebih terbuka terhadap perubahan dan budaya yang berbeda. Hal ini dikarenakan mereka, terutama nelayan, sering berinteraksi dengan orang luar. Misalnya saja pada saat menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Muara Angke. Berdasarkan hasil pengamatan, penduduk Pulau Panggang mempunyai rasa kekeluargaan yang sangat kuat. Mungkin ini akibat dari luas Pulau yang kecil dan rata-rata laki-laki disana menikah dengan wanita asli sana juga. Sehingga terjalin hubungan keluarga satu sama lain. Terhadap orang luar pun, contohnya peneliti, mereka sangat ramah bahkan beberapa kali peneliti makan di tempat mereka dan mengobrol seharian tanpa mengenal usia. Suasana keakraban sangat dibangun disana. Hampir seperti rumah sendiri ketika tiap kali datang kesana. Penduduk di sana mayoritas memeluk agama Islam, hampir 100 persen dari jumlah penduduk. Jumlah penduduk yang bersekolah sampai tingkat atas
33
sudah banyak bahkan bila dibandingkan dengan luas Pulau yang kecil dengan jumlah penduduk yang bisa mencapai pendidikan tinggi cukup banyak, yaitu sebesar 215 orang.
4.4. Sosial Ekonomi Masyarakat Kelurahan Pulau Panggang Kehidupan perekonomian di Kel. Panggang khususnya di Pulau panggang dan Pulau Pramuka cukup memberikan gambaran bahwa roda perekonomian disana berputar. Cukup beragamnya jenis usaha dan pekerjaan masing-masing penduduk membuat tingkat pertumbuhan ekonomi bisa berkembang walaupun tidak terlalu signifikan. Jika dilihat dari jenis rumah yang ada disana hampir semuanya sudah merupakan bangunan permanen bahkan cukup banyak yang sedang membangun rumahnya (renovasi dan pugar baru). Setiap pagi sampai sore pun cukup banyak ibu-ibu yang berjualan keliling, baik itu jualan sayur, makanan ringan, makanan siap santap, kebutuhan rumah tangga, dan makanan khas daerah sana. Ragam dan jenis usaha ekonomi bisa dilihat dalam Tabel 5. Berdasarkan jenis pekerjaan memang sebagian besar, mencapai 68 persen, berprofesi sebagai nelayan. Tetapi tidak sedikit yang menjadi pegawai negeri karena disana terdapat kantor kelurahan dan kantor kabupaten. Di Pulau Karya, tinggal pegawai Suku Dinas Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta. Kemudian terdapat kantor polisi dan pemadam kebakaran.
34
Tabel 5. Jenis Mata Pencaharian Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Jenis Mata Pencaharian Buruh/karyawan swasta PNS TNI/Polri Pedagang Pengrajin Tukang ojek laut Montir Dokter Kepala sekolah Guru Dosen Manager Cleaning service Office boy Sales Pelaut Nelayan Pensiun/veteran Advokat/pengacara Jumlah
Pria (orang) 76 112 10 70 1 54 4 3 6 83 1 2 12 4 1 4 1.722 17 2.182
Wanita (orang) 46 80 1 84 7 1 1 8 76 1 18 2 6 1 331
Jumlah (orang) 122 192 11 154 8 55 4 4 14 159 2 2 30 6 1 4 1.722 23 1 2.513
Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Jumlah tenaga medis di Kelurahan Pulau Panggang bisa dibilang sedikit bahkan tidak memadai untuk jumlah penduduk yang sebanyak itu. Padahal di Pulau Pramuka terdapat rumah sakit yang cukup lengkap. Tetapi selama pengamatan peneliti, rumah sakit tersebut setiap harinya kosong oleh pegawai dan pasien. Hal ini dikarenakan masyarakat Kelurahan Pulau Panggang jika sakit lebih percaya untuk pergi ke rumah sakit di darat (Jakarta) daripada rumah sakit di sana.
35
Tabel 6. Jenis dan Jumlah Kegiatan Usaha Penduduk Kelurahan Pulau Panggang, 2008 No
Jenis Kegiatan Usaha
Pria (orang)
Wanita (orang)
1
Menjahit
1
7
2
Kripik sukun
1
4
3
Dodol rumput laut
2
2
4
Gemlang
1
2
5
Kerapu
70
-
6
Bandeng
25
35
7
Rumput laut
16
-
8
Ikan hias
48
-
9
Karang hias (transplantasi)
15
-
10
Mesin kapal laut
4
-
11
Ojek kapal besar
38
-
12
Ojek kapal kecil
11
-
13
Warung klontong
70
84
14
Restoran dan Warung Nasi
14
47
321
181
Jumlah Sumber: Kelurahan Pulau Panggang dalam Angka 2008
Berdasarkan tabel maka terlihat jelas jumlah penduduk yang bekerja di macam-macam bidang. Warung klontong menempati urutan pertama untuk penduduk wanita yang berwirausaha. Kebanyakan ibu-ibu disana memang membuka warung untuk menambah pendapatan keluarga. Mereka tidak bisa selalu bergantung pada penghasilan suaminya yang nelayan. Selain itu kegiatan ini juga untuk mengisi waktu senggang mereka menunggu suami pulang membawa hasil. Terbanyak kedua adalah nelayan budidaya kerapu, yang memang menjadi tujuan utama program ini. Semua pelakunya adalah laki-laki, tidak ada wanita dalam kelompok ini. Kemudian terbanyak selanjutnya adalah yang bekerja sebagai nelayan ikan hias dan pengusaha kapal motor. Pengusaha kapal motor di Pulau Panggang cukup banyak, karena kapal motor disana dijadikan alat transportasi penyeberangan pengganti ojek. Kapal motor penyeberangan antar
36
Pulau ini pun disebut sebagai “ojeg kapal”. Sekali penyeberangan, penumpang cukup membayar Rp 2.500,00 saja. Terdapatnya lembaga keuangan dan Bank juga memberi pengaruh terhadap perputaran ekonomi di Pulau. Masyarakat bisa meminjam modal bantuan usaha dari lembaga tersebut dan menggunakannya untuk kepentingan usaha. Disana beroperasi Bank DKI Jakarta yang berkantor di dalam gedung pemerintahan kabupaten.
4.5. Karakteristik Nelayan di Pulau Panggang6 Nelayan di Pulau Panggang dapat dibedakan menurut jenis ikan yang ditangkapnya, peralatan yang digunakan, dan menurut status nelayan. • Berdasarkan jenis ikan yang ditangkapnya: Nelayan ikan hias, Nelayan udang, Nelayan cumi, Nelayan ikan tongkol, Nelayan kerapu, Nelayan musiman yang menagkap apa adanya tergantung musim • Berdasarkan jenis alat tangkap yang digunakan: Nelayan pancing, Nelayan bubu, Nelayan jaring, Nelayan muroami, Nelayan jaring tegur • Berdasarkan status nelayan: Nelayan mandiri, Nelayan yang bekerja untuk pemilik kapal yang biasanya masih milik keluarga, Nelayan pekerja yang digaji, Nelayan bagi hasil, Nelayan yang melaut sebagai upaya mendapatkan tambahan penghasilan Pada umumnya yang menjadi nelayan adalah yang tidak tamat SD (14,29%) dan tamat SD (76,19%). Sedangkan semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin kecil presentasinya. Bisa dilihat pada Tabel 7 berikut: 6
Diambil dan disarikan dari : EKSTENSIFIKASI KAPASITAS KELOMPOK SEA FARMING (Laporan Pendahuluan), kerjasama Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan PT. EDECON PRIMAMANDIRI, 2008.
37
Umumnya nelayan di Pulau panggang melakukan perjalanan/penangkapan dalam satu hari perjalanan (satu hari), terutama nelayan ikan hias. Hanya sedikit yang melaut lebih dari satu minggu dalam sekali trip. Berdasarkan hal tersebut maka dapat diklasifikasikan; • Melaut satu hari (pagi sampai sore) dan pada hari keduanya libur. • Tiap hari melaut tetapi hanya setengah hari • Bila berencana melaut lebih dari satu hari maka yang mereka lakukan umumnya adalah melaut selama enam hari. Mereka tidak melaut pada hari Jumat (namun ketentuan tidak melaut pada hari Jumat sudah mulai tidak diberlakukan lagi sejak akhir tahun 80’an)
4.6. Konteks Lokasi SF7 Berdasarkan kondisi geofisik dan oseanografi, di perairan Pulau Semak Daun dapat diterapkan sistem budidaya pen culture (sistem kandang), cage culture (sistem karamba jarring apung, KJA), Longline dan sea ranching. Cage culture diterapkan di kawasan perairan laut dangkal yang memiliki kedalaman 517 meter pada saat surut dan memiliki arus laut 0,15-0,35 meter/detik dengan substrat dasar berupa pasir atau batu. Berdasarkan kriteria tersebut, lokasi yang cocok adalah perairan yang dekat dengan pintu masuk air ke dalam kawasan karang dalam Pulau Semak Daun. Dari sedikitnya empat pintu masuk dan/atau keluar air pada saat pasang dan surut, yakni Goba Tipis di utara kawasan, Nawi dan Blencong di selatan, dan Goba Sempit di Barat Daya. Pintu Goba Tipis merupakan tempat yang paling cocok. 7
Diambil dan disarikan dari : EKSTENSIFIKASI KAPASITAS KELOMPOK SEA FARMING (Laporan Pendahuluan), kerjasama Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan PT. EDECON PRIMAMANDIRI, 2008.
38
Gambar 7. Balai Hatcheri Karang Congkak
Gambar 8. Balai SF di Semak Daun
Selain itu lokasi yang cocok untuk budidaya laut dengan menggunakan sistem cage culture ini adalah perairan yang terletak di sebelah tenggara Pulau Semak Daun atau di sebelah luar pintu Goba Sempit. Lokasi terakhir ini meskipun berada di luar perairan karang dalam, relatif terlindungi oleh terumbu karang baik pada musim barat maupun pada musim timur. Luas kawasan yang potensial untuk pengembangan cage culture di perairan Pulau Semak daun ini diperkirakan mencapai 1,81 hektar, yaitu seluas 0,70 hektar di pintu Goba Tipis dan 1,11 hektar di sebelah barat laut perairan kaarang dalam Pulau semak Daun. Luas kawasan
39
potensial cage culture yang terletak di luar perairan karang dalam diperkirakan mencapai 7,52 hektar.
Gambar 9. Keramba Apung di Perairan Sekitar Balai SF Semak Daun
4.7. Ikan Kerapu Sebagai Komoditas Utama SF Kerapu macan (Epinephelus fuscoguttatus) dan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) menjadi komoditas utama dalam SF ini. Bila dibandingkan dengan jenis kerapu lain, dua jenis tersebut mempunyai nilai ekonomis tinggi. Pada saat penelitian, berdasarkan info dari supplier dan nelayan, harga ikan kerapu macan saat itu berkisar antara Rp 105.000,00 sampai Rp 125.000,00. Sedangkan untuk kerapu bebek berkisar Rp 400.000,00. Ikan ini memiliki daging yang lezat, bergizi tinggi, dan mengandung asam lemak tak jenuh. Permintaan dari pasar domestik dan export pun cukup tinggi bahkan cenderung meningkat. Untuk itu usaha terhadap ikan kerapu ini harus dilakukan.
40
Gambar 10. Ikan Kerapu Macan (Epinephelus fuscoguttatus)
Gambar 11. Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis)
4.8. Pembudidaya Ikan Kerapu di Pulau Panggang Aktifitas nelayan di Pulau Panggang terdiri dari nelayan pancing, nelayan bubu, nelayan jarring muroami, dan nelayan jarring tegur. Sementara itu, pembudidaya ikan di Pulau Panggang hampir semuanya sudah termasuk full employment khusus untuk budidaya rumput laut dan kerapu. Nelayan budidaya mencari ikan di laut setiap harinya untuk mengisi waktu luang dan mencari rucah (ikan kecil) untuk memberi makan ikan kerapu. Mereka biasanya pulang sebelum siang karena tidak banyak yang mereka cari, sekedar untuk makan ikan hari ini dan besok. Biasanya mereka mencari rucah sampai kirakira 10 kilogram dan itu bisa didapat dalam waktu yang singkat. Berdasarkan
41
pengamatan peneliti, di perairan sana memang banyak ikan-ikan kecil untuk makanan kerapu. Jadi tidak terlalu repot mencari dan menangkapnya. Berdasarkan cerita dari para informan, sebenarnya di perairan Pulau Panggang dulu banyak terdapat ikan kerapu. Semakin tinggi kebutuhan nelayan dan semakin banyaknya aktifitas penangkapan maka sekarang ini jumlah populasi ikan kerapu menurun drastis. Mereka semakin sulit mencari ikan kerapu di perairan sekitar Pulau. Keadaan ini diperparah dengan kegiatan neayan bubu karang yang cara menangkap ikannya menggunakan karang hidup yang difungsikan sebagai penahan bubu mereka agar tidak hanyut terbawa ombak. Kegiatan mereka merusak karang mengakibatkan ikan kerapu tidak lagi mempunyai tempat untuk bersembunyi. Karena ikan kerapu merupakan ikan karang yang membutuhkan karang sebagai rumah mereka.
42
V. PROSES PERKEMBANGAN KEBERDAYAAN
“…empowerment is road to participation…” Istilah tersebut menjadi sangat berarti ketika suatu program diterapkan ke dalam kelompok masyarakat yang sama sekali tidak tahu atau baru sedikit mengenal tentang program tersebut. Pemberdayaan dalam bahasan ini diartikan sebagai proses memberdayakan komunitas nelayan agar komunitas tersebut mempunyai daya dan kuasa untuk melakukan aktifitas guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan orang-orang yang menjadi tanggungan dirinya. Dalam kaitannya dengan SF, komunitas nelayan yang ada di Pulau Panggang telah diberi “daya” dan “kuasa” agar bisa mengikuti program SF dengan tujuan akhir kemandirian komunitas itu sendiri. Dalam
bab
ini
peneliti
akan
mencoba
mendeskripsikan
proses
perkembangan keberdayaan komunitas Pulau Panggang yang termasuk dalam anggota SF, berdasarkan Tingkat Partisipasi Arnstein (1969). Partisipasi yang dimaksud bukan keikutsertaan seseorang atau kelompok dalam suatu program secara serta-merta melainkan kapasitas dari individu atau kelompok itulah yang menetnukan mereka bisa berpartisipasi atau tidak. Tingkatan partisipasi yang mana yang bisa mereka ikuti itu bergantung pada kapasitas mereka dan pada kemauan mereka untuk menambah kapasitas diri mereka masing-masing. Dalam proses mencapai ke tingkatan selanjutnya akan bisa dilihat kapasitas komunitas baik secara individu maupun kelompok pada aspek kemandirian ekonomi, intelektual, dan manajerial. Selain itu akan bisa juga diidentifikasi kebutuhan yang dirasakan dan permasalahan yang mereka alami selama program.
43
Tabel 7. Road Map SF Berdasarkan Rencana PKSPL-IPB dengan Hasil Pengamatan di Lapang Tahun
Rencana PKSPL-IPB
Aktivitas di lapang*
Level partisipasi
2002
Pengenalan SF
Pegenalan SF
Terapi, manipulasi, dan pemberitahuan
2004
Kajian identifikasi lokasi SF
Penetuan lokasi SF, penentuan sumber benih
Konsultasi placation
dan
2005
Pengembangan Balai SF dan peningkatan kapasitas
Pembuatan Balai SF
Konsultasi placation
dan
2006
Pendampingan teknis peningkatan kapasitas
dan
Penerimaan anggota angkatan 1 dan pembentukan kelompok
Terapi, manipulasi, dan pemberitahuan
2007
Pendampingan teknis, naskah akademik pengaturan SF
FGD, penerimaan angkatan 2, pelatihan anggota baru
Konsultasi placation
dan
Penerimaan angkatan 3, pelatihan anggota baru, penguatan kelompok
Kemitraan pendelegasian kelompok
dan
2008
Peningkatan kapasitas anggota SF, perluasan anggota SF dalam konteks restocking, pendampingan teknis, monitoring sumberdaya dan lingkungan, legalisasi kelompok.
Penerimaan angkatan 4, pelatihan anggota baru, restocking, FGD peraturan daerah terkait pengelolaan kawasan SF
Kemitraan pendelegasian kelompok
dan
2009
Inisiasi peaturan daerah terkait dengan pengelolaan kawasan SF, restocking, monitoring, forum bisnis SF
2010
Monitoring, evaluasi, rencana exit strategy, replikasi
-
*Aktivitas di lapang sebelum tahun penelitian berdasarkan hasil wawancara di lapang
Dalam Tabel 7 di atas dijabarkan perbandingan kegiatan antara yang telah dilakukan oleh PKSPL-IPB dengan hasil pengamatan di lapang. Pengkategorian partisipasi dapat terlihat jelas pada tiap tahapan. Untuk kegiatan-kegiatan yang tergolong dalam level partisipasi dapat dilihat dalam Tabel 8 berikut.
44
Tabel 8. Modifikasi Tingkatan Partisipasi Arnstein (1969) oleh Peneliti, Berdasarkan Hasil Temuan di Lapang Tingkatan Partisipasi 1. Terapi, Manipulasi, dan Pemberitahuan
Aktifitas di Lapang* 1. Pengenalan 2. Pelatihan 3. FGD 4. Pembentukan Kelompok SF
2. Konsultasi dan Placation
1. Penentuan Lokasi 2. Suplai Benih 3. Pembuatan Balai SF 4. Teknik Budidaya dari Komunitas
3. Kemitraan dan Pendelegasian Kekuasaan
1. Sistem Pinjam Benih 2. Alternatif Suplai Benih 3. Pengelolaan Kelompok 4. Penjualan Hasil Panen 5. Pembelian Bibit
4. Kontrol Oleh Masyarakat
Belum ditemukan
*Aktivitas di lapang sebelum tahun penelitian berdasarkan hasil wawancara di lapang
5.1. Manipulasi, Terapi, dan Pemberitahuan Pengertian manipulasi disini bukan berarti komunitas dibohongi oleh program dan pembawa program. Manipulasi dsisini diartikan bahwa komunitas belum diberi tanggung jawab program, mereka dianggap belum mengetahui sama sekali program ini dan mereka tidak dilibatkan dalam hal kerjasama fisik ataupun ide (sharing). Tingkat partisipasi komunitas pada level ini hanya berupa kehadiran fisik mereka dalam pengenalan SF. Mereka diundang datang untuk menghadiri pengenalan SF dan mereka tidak diwajibkan untuk datang. Hanya rasa ingin tahu, kepercayaan terhadap pembawa program, dan kesempatan mendapatkan “intensif” yang membuat mereka datang.
45
Level manipulasi disini, sesuai dengan temuan di lapang, adalah tahap pengenalan program SF. Tahap awal pengenalan SF di Pulau Panggang melalui seminar-seminar dan workshop bagi komunitas & stakeholder-stakeholder terkait. Pada tahap ini mereka dikenalkan tentang SF, mulai dari latar belakang, tujuan, proses, kelebihan-kelebihan program, dan kelembagaan tentang SF. Kemudian diadakan perekrutan anggota dan seleksi melalu beberapa syarat tertentu yang dibuat oleh pembawa program. Selanjutnya adalah mengadakan seminar dan pelatihan bagi para anggota yang lulus seleksi. Pelatihan disini membahas tentang seluk beluk budidaya kerapu, cara pengobatan, dan manajemen usaha kerapu. Pelatihan dilaksanakan selama lima hari berturut-turut. Tidak boleh ada anggota yang tidak masuk sekali pun. Jika seorang anggota tidak menghadiri pelatihan satu kali saja, maka akan langsung dinonaktifkan dan tidak boleh mengikuti program lebih lanjut. Setelah tahap pengenalan program dan terbentuk kelompok pertama yang anggotanya telah diseleksi kemudian dibeberi pelatihan. Tahap selanjutnya adalah Focus Group Discussion (FGD). Diskusi dilakukan untuk mencari kebutuhan apa yang diperlukan oleh komunitas nelayan Pulau Panggang. Mulai dari pencarian masalah, pemecahannya, aturan main, sanksi-sanksi, pembentukan kelembagaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan jalannya program. Agar program SF ini dapat berjalan dengan lancar maka pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan program ini nantinya perlu melakukan FGD terlebih dahulu. Terutama nelayan-nelayan Pulau Panggang karena merekalah yang akan menjalani kelembagaan SF ini. Pelaksanaan FGD dimulai sejak tahun 2002 sampai dengan tahun 2005. Selama FGD mereka membahas tentang aturan main,
46
sanksi, dan pembentukan kelompok SF. Selama tiga tahun itu pula para nelayan diberikan pelatihan tentang budidaya ikan kerapuh seperti jenis penyakit, cara pengobatan ikan, pemberian pakan, dan perawatan. Ketika berbicara dengan salah satu informan, Pak NI, yang merupakan angota SF, beliau bercerita tentang awal mula program ini datang dan diterapkan. Kami melakukan perbincangan di sebuah keramba apung milik beliau yang sudah agak reot kayunya. Maklumlah sudah tiga tahun lebih kayu keramba berada di atas laut terkena hujan terpaan sinar matahari yang panas. Keramba miliknya berada di perairan tidak jauh dari pantai dan rumahnya. Kebetulan posisi rumahnya, kalau orang pulau bilang adalah di bagian Barat. Sama saja dengan bagian belakang pulau bertolak dari dermaga depan. Sambil memberi makan ikan kerapu bebek dan kerapu macan miliknya yang sudah berumur Sembilan bulan dan mungkin bulan depan sudah siap panen. Jumlahnya ada 300 ekor lebih dan dibagi ke dalam empat lubang keramba. Berawal pada tahun 2002 ketika PKSPL-IPB bersama dengan Dinas Kelautan datang untuk mengenalkan program ini. Banyak orang yang tertarik dan banyak juga yang tidak tertarik, ada yang menganggap ini sebagai proyek dan ada juga yang menyadari bahwa SF adalah sebuah program pemerintah yang berkelanjutan. Tidak hanya pengenalan, pelatihan, absen, kemudian hilang sampai ada program lagi. Mereka sadar bahwa SF bisa membawa perubahan terhadap jalan hidup mereka. Beliau merupakan salah satu yang menyadari bahwa dirinya tidak mungkin terus menjadi nelayan tangkap yang penghasilannya tidak menentu setiap hari. Kebutuhan hidup terus meningkat sedangkan hasil tangkap sehari-hari
47
tidak lagi bisa diandalkan. Biaya sekolah anak dan makan perlu dicukupi setiap harinya. Kemudian beliau memutuskan untuk mengikuti program dan menjadi anggota. Awal mula penerimaan anggota, setiap orang harus mempunyai keramba sendiri di laut. Boleh dekat pantai atau pun jauh dari pantai, hal ini menjadi syarat wajib bagi siapa saja yang ingin menjadi anggota SF dan masih berlaku sampai sekarang. Setelah itu anggota yang lolos seleksai tahap pertama (punya keramba) mengikuti training selama lima hari berturut-turut. Tahap ini pun peserta wajib mengikuti keseluruhan acara pelatihan, tidak boleh tidak hadir satu kali pun. Jika tidak mengikuti training satu hari saja maka akan dianggap gugur dan tidak boleh menjadi anggota. Pada saat training ini mereka diajarkan tentang penyakit ikan, cara mengobati ikan, pemberian pakan, manajemen usaha, dan pengelolaan ikan budidaya. Dalam suatu program pemberdayaan memang tidak mudah untuk membuat masyarakat mengerti kalau sebenarnya mereka harus mau untuk berdaya dan tidak bergantung pada siapa-siapa. Rasa ingin berdaya dan mendapatkan kesejahteraan harus datang dalam diri mereka sendiri. Sebelumnya memang harus diyakinkan bahwa mereka harus mau diberdayakan. Untuk itu mereka harus diberi daya dulu, diberi kemampuan dan kapasitas untuk dapat mengikuti program ini.sehingga mereka dapat berpartisipasi dalam suatu program pemberdayaan
5.2. Konsultasi dan Placation Jika dalam teori delapan tingkatan partisipasi menurut Arnstein (1969), konsultasi diartikan dengan “masyarakat didengar, tapi tidak selalu dipakai
48
sarannya”. Didengar tapi tidak selalu dipakai bukan berarti tidak pernah didengarkan atau dibiarkan. Sedangkan placation mempunyai arti yang tidak jauh berbeda yaitu “saran masyarakat diterima tapitidak selalu didengar”. Dua level ini dijadikan satu oleh peneliti karena mempunyai substansi yang sama dalam hasil penelititan di lapang. Banyak hal-hal yang memang bukan kapasitas masyarakat untuk ikut serta dalam program ini. Seperti penentuan lokasi balai SF yang menggunakan metode ilmiah dan memerlukan keahlian & pendidikan khusus. Penentuan lokasi balai dilakukan setelah sebelumnya diadakan penelitian mengenai kualitas air dan lingkungan. Untuk hal ini yang berperan adalah akademisi dan peneliti terkait yang berkompeten. Pengamatan di lapang menghasilkan dua hal yang termasuk dalam level konsultasi, yaitu penetuan lokasi Balai SF dan penentuan suplai benih kerapu. Untuk penentuan suplai benih, komunitas bukannya tidak boleh membeli benih dari luar. Tetapi suplai benih yang disediakan oleh balai dan yang biasanya diambil oleh anggota, ditentukan oleh PKSPL-IPB selaku pelaksana program. Memang tidak ada keharusan bagi anggota untuk membeli benih dari balai. Anggota dibebaskan untuk membeli benih dari mana saja sejauh mereka mampu membeli sendiri, karena jika beli di luar biasanya harus tunai. Sedangkan benih yang disediakan oleh balai bisa diambil dengan menghutang dan dibayar setelah panen nanti atau sistem pinjam benih. Dalam level ini (konsultasi dan placation), sebenarnya kemampuan dari masing-masing individu anggota kelompok sudah berkembang. Mereka sudah mampu menerapkan ilmu yang didapat dari pelatihan dan mengembangkannya
49
sesuai dengan metode dan kebutuhan mereka sendiri. Bahkan ada yang menerapkan pengetahuan lokal mereka dalam budidaya kerapu ini. Sehingga cara yang mereka gunakan lebih ramah lingkungan. Dalam pengelolaan budidaya masing-masing dari mereka pun sering bertukar pikiran dengan anggota lain dan orang-orang dari PKSPL-IPB. Tidak jarang jika cara yang mereka sharing sesuai dan dapat diterapkan maka cara mereka akan menjadi acuan baru bagi anggota yang lain.
5.2.1. Mandiri Secara Intelektual Dalam suatu perbincangan dengan salah satu informan sumber yaitu Bapak NI. Beliau membicarakan tentang “ilmu akal, ilmu alam, dan ilmu bumi” yang didapatnya dari sekolah Taman Siswa duku sewaktu beliau bersekolah. Sampai saat ini dalam menjalani hidup dan menyelesaikan permasalahan yang muncul beliau menggunakan “patokan” tersebut. Begitu juga dalam hal budidaya ikan kerapu ini. Setelah mendapatkan pengetahuan baru dari pelatihan mengenai budidaya kerapu, beliau mengembangkan sendiri teknik-teknik baru dalam budidaya kerapu ini. Misalnya saja dalam memasang jarring keramba yang tidak boleh lebih dari dua setengah meter ke bawah dari permukaan laut. Seperti yang diungkapkan Bapak NI: “saya kasih tau nih mas riau8, ini cuma saya saja yang tahu..kenapa saya dari satu setengah meter turnnya ke dua meter sampai ke dua setengah meter…saya pernah nyilem nih mas yah…nyilem ke bawah itu aer kedaleman tiga meter itu hawanya sudah seperti lebih dari es dinginnya, maka itu ikan mudah kena penyakit…begitu saya timbul (tarik jarring) 8
Jika dengan logat sana nama saya jadi terbaca “riau”
50
ukurannya dua meter sampai dua meter setengah nah itu suhunya sedeng yah kan, ada udara panas ada udara dingin sedikit tapi ga kebanyakan juga dinginnya, jadi ikan tuh lahap makannya…kalau kedalaman kan ikan nih ga hitam warnanya, pucat dia…nih elmu ga saya dapet nih mas dari pelatihan…”
Pengungkapan tersebut menunjukkan bahwa individu nelayan memiliki kemampuan untuk mengkombinasikan antara ilmu pelatihan dan pengalaman individu tersebut. Banyak hal dalam pengelolaan budidaya kerapu ini yang tidak berpatokan terhadap metode yang diajarkan. Mereka (nelayan) mencari alternatif teknik budidaya berdasarkan apa yang mereka tahu sebelumnya dan apa yang mereka rasakan. Tuntutan untuk mendapatkan hasil yang besar dengan modal yang sekecil mungkin pada saat proses pembesaran membuat mereka mencari alternatif lain yang bisa terapkan sendiri. Harga pakan dan obat yang cukup mahal membuat mereka menjadi kreatif dalam menemukan teknik-teknik baru. Contoh lain, dalam pemberian pakan yang mereka lakukan juga tidak sepenuhnya menggunakan pakan yang dianjurkan seperti pada saat pelatihan. Misalnya saja mereka hanya membeli pakan dari pabrik sejumlah dua ratus lima puluh ribu rupiah satu karung untuk satu tahun. Sisa pakan tambahan lainnya mereka mencari ikan kecil (rucah) dan pada saat tertentu mereka mencampurkan nasi dengan pakan yang mereka beli. Cara ini dilakukan setelah mereka mengamati bahwa ikan mereka tetap lahap bahkan lebih lahap makannya jika makanannya dicampur seperti itu. Hasilnya ikan lebih cepat besar dari perlakuan normal, artinya bisa lebih cepat panen9. Pada saat pencucian ikan pun masing-masing anggota mempunyai caranya sendiri. Seperti yang dilakukan Bapak NI jika mencuci ikannya, beliau hanya 9
Berdasarkan pengalaman para informan yang peneliti wawancarai, semuanya berkata demikian.
51
menggunakan Betadine sebagai obat untuk membersihkan jamur dan kotoran dari ikan-ikannya. Menurut beliau, Betadine bagus untuk manusia jadi bisa juga digunakan oleh ikan. Memang pada kenyataannya selama ini ikan yang dicuci dengan Betadine tidak ada masalah dengan jamur dan penyakit seperti kutu air. Kemudian untuk waktu pencucian, beliau mencuci ikannya dalam seminggu sebanyak tiga kali untuk yang masih berukuran kecil. Semakin besar ikan, pencucian hanya dua kali dalam seminggu. Hal ini dilakukan selain uuntuk menjaga ikan dari jamur dan penyakit juga untuk menjaga kualitas ikan pada saat panen. Seperti yang diungkapkan berikut: Informan Peneliti Informan
Peneliti Informan
: “saya aja obat untuk cuci ikan cuma pake Betadine…” : “loh, emang bisa Pak?Betadine kan buat luka manusia?” : “klo buat manusia aja bisa pasti buat ikan juga bisa, kita kan perumpaman dia nih kan (ikan) juga mahkluk hidup…” : “oh gitu pak..” : “iya gitu, makanya saya buat obat sama cuci pake Betadine, ampuh trus murah..”
Walaupun sebenarnya peneliti tidak memahami kenapa Betadine juga bisa dibuat sebagai obat untuk mencuci ikan dan mengobati ikan yang luka jika dilihat dari kandungan kimia yang terdapat dalam Betadine. Yang dipahami oleh informan adalah Betadine sebagai obat antiseptik dan bisa menyembuhkan luka. Maka hal tersebut juga berlaku jika diterapkan pada ikan dan makhluk hidup lainnya secara umum. Memang selama ini belum ada permasalahan dengan penerapan Betadine sebagai obat cuci dan luka untuk ikan. Dalam penentuan letak keramba, ada seorang anggota, Bapak FN, yang membangun kerambanya dekat pantai dan ikan-ikannya masih bisa tumbuh
52
dengan sehat. Ketika saya tanya mengapa beliau membangun keramba disitu, alasannya adalah karena daerah itu merupakan aliran arus laut. Jadi tidak masalah dekat pantai, yang penting arus laut mengalir sehingga kemungkinan untuk terkena jamur dan kutu air mengecil. Seperti yang diungkapkan berikut: “coba liat keramba saya paling darat itu tuh, paling deket kesini kan (pantai/daratan)…tapi kenapa ikan-ikan saya sehatsehat?lah orang disitu aliran arus, kita kan yang penting arus ngalir jadi ikan bisa cepet gede trus karena aer ngalir jadi kutu aer sama jamur kaga gampang nempel. Itu ga ada yang tau tuh yo, saya aja yang nyadar klo disitu aliran aer. Ngapain jauhjauh ke tengah laut, sayang solar, orang disitu ada aliran kok”
Ungkapan diatas sekali lagi membuktikan bahwa masing-masing anggota mempunyai teknik sendiri yang mereka kembangkan. Walaupun pada awalnya mereka mendapatkan semua ilmu dari pelatihan-pelatihan tetapi teknik-teknik yang sesuai dengan keadaan dan lingkungan mereka kembangkan sendiri. Hasilnya menjadi lebih efektif dan efisien.
5.2.2. Berbagi Ilmu Sesama Nelayan Kemampuan setiap anggota untuk mengembangkan teknik budidayanya sendiri dan mencari teknik baru yang lebih efisien dan efektif untuk membesarkan ikan mereka membuat kapasitas mereka sebagai nelayan budidaya meningkat. Ilmu yang mereka pelajari dan dapatkan tidak secara egois mereka simpan sendiri. Dengan sukarela, jika ada yang meminta dan bertanya kepada mereka dengan senang hati mereka akan membantu. Tidak sedikit masyarakat Pulau Panggang yang tidak menjadi anggota SF tetapi mereka juga berbudidaya kerapu. Bahkan ada yang ikut menjadi anggota karena ingin mempelajari lebih dalam lagi tentang
53
teknik budidaya kerapu. Seperti pengakuan Pak AI yang merupakan anggota angkatan kedua: “awalnya saya ikut SF memang tertarik dengan hasil yang didapet waktu panen, saya liat temen yang ikut. Wah banyak juga dapetnya yah. Terus saya coba untuk ikut, waktu itu pendaftaran anggota pertama udah tutup jadi saya nunggu yang kedua. Begitu buka pendaftaran saya langsung masuk. Sebelumnya saya belajar dari yang udah ikut. Emang saya ga banyak nanya, saya cuma ngelliatin aja tuh cara-cara mereka nyuci ikan, nyuci jaring, apa aja saya pelajarin sendiri dari mereka. Saya liat cara Pak NI, dia juga ga keberatan waktu saya maen ke kerambanya. Waktu saya udah jadi anggota saya langsung terrapin tuh cara-cara yang udah saya dapet ditambah yang dari pelatihan.”
5.2.3. Perpaduan Pengetahuan Lokal dengan Ilmu Pelatihan Dalam suatu pembicaraan dengan salah satu informan, Bapak NI, beliau menceritakan tentang kapan waktu yang baik untuk berbudidaya ikan kerapu. Beliau melihat cuaca dan arus laut untuk menentukan waktu budidaya. Kemampuan beliau dalam hal ini didapat berdasarkan pengalaman yang selama ini dirasakan dan diajarkan oleh orang-orang tua jaman dulu. Dengan menggabungkan ilmu akal, ilmu alam, dan ilmu bumi yang menjadi patokan saat melakukan budidaya. Misalnya saja dalam pemberian pakan, tambahan beliau mencampur pelet dengan nasi. Alasan beliau mencampur pelet dengan nasi adalah karena menyamakan dengan kebiasaaan manusia yang jika tidak makan nasi berarti belum makan. Suatu pernyataan yang kurang logis memang bagi orang awam yang tidak mengetahui tentang budidaya. Tetapi setelah tambahan pakan ini ditanyakan kepada akademisi dan dihitung kadar proteinnya. Beliau mendapat
54
acungan jempol dan sudah dapat member pakan tambahan untuk ikan. Berikut ungkapan Pak NI ketika bercerita tentang pakan tambahan: “pak, saya punya pakan tambahan nih..trus dia nanya apa pakan tambahannya…anu pak, nasi campur pelet…dia itungitung tuh, dia kan orang pinter yah,trus dia jawab…pak NI sudah bisa memberikan makanan tambahan katanya trus diacungin jempol saya..saya tanya lagi kadar proteinnya, katanya nasi campur pelet itu bagus..yah kan kita piker kita manusia kan klo kaga makan nasi rasa-rasanya gimana gitu, iya kan”
Beliau juga menceritakan bahwa sebenarnya teknik –teknik yang beliau gunakan untuk budidaya kebanyakan berasal dari pengalaman beliau terhadap lingkungan sekitar. Seperti diceritakan juga pada saat pencucian ikan misalnya. “nyuci ikan lebih baik aer ujan dia, aer ujan punya zat kapur yang bagus buat badan ikan, soalnya dari angsang-angsang keluar lender..apalagi bebek, dia klo cuci juga ga tujuh menit kaya macan, klo bebek tuh waktu dimasukin ke aer tawar kita liat gerakan mulutnya, asal udah bisa minum aer tawar aja udah kita lepas lagi”
Ungkapan-ungkapan diatas menunjukan bahwa nilai-nilai dan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat bisa juga digunakan dan digabungkan dengan teknik-teknik budidaya yang diajarkan secara “ilmiah”. Pengetahuan lokal tersebut awalnya digunakan dalam teknik pembudidayaan ikan kerapu ini niatnya adalah “untung-untungan”. Mereka berharap mendapatkan cara yang sesuai dengan mereka dan secara ekonomi dapat terjangkau. Melihat hasilnya, cara mereka bisa diterapkan dan bahkan lebih baik dari yang diajarkan di pelatihan selama ini.
55
5.2.4. Kemampuan Manajemen Pengelolaan Budidaya Kerapu Sebelum mengikuti program SF mereka hanya melaut mencari ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mereka pergi (melaut) hari ini, mendapatkan hasil, kemudian dijual untuk mendapatkan uang. Uang tersebut digunakan untuk mencukupi kebutuhan satu hari tersebut, sebisa mungkin disisakan untuk kebutuhan besok bahkan kalau bisa ada tabungan sedikit. Tetapi ketidakpastian dalam mendapatkan hasil di laut membuat mereka harus memutar otak lebih keras lagi. Jika mereka tidak dapat hasil hari ini maka tidak akan ada biaya untuk melaut esok hari. Jika hal ini terjadi berarti mereka tidak akan melaut untuk hari-hari berikutnya atau mereka terpaksa mencari pinjaman uang untuk biaya melaut. Biaya yang dikeluarkan dalam satu kali perjalanan melaut cukup besar. Satu liter solar disana harganya mencapai enam ribu rupiah dan mereka minimal harus mengeluarkan uang enam puluh ribu rupiah untuk membeli 10 liter solar. Belum lagi biaya makan mereka dan rokok mereka bisa menghabiskan dua bungkus rokok dalam satu hari. Jumlah yang cukup besar bagi mereka jika dalam satu hari mereka tidak mendapatkan hasil. Pelatihan yang diberikan dalam kelompok SF mengenai manajemen usaha sangat banyak membantu mereka dalam hal pengelolaan usaha budidaya ini. Mereka bisa memperhitungkan berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk usaha ini minimal dalam satu kali siklus panen kerapu. Perhitungan pembelian bibit, biaya pakan, obat, vitamin, perawatan keramba, dan biaya-biaya tambahan lainnya yang berkaitan dengan usaha ini. Bahkan mereka sudah bisa memperhitungkan biaya penyusutan.
56
Sengaja atau tidak sengaja kemampuan ini juga mereka terapkan dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena hasil yang dirasakan adalah tiap kali panen, maka perhitungan biaya kehidupan mereka pun juga bisa diperkirakan selama menunggu masa panen. Seperti memperkirakan biaya sekolah anak, renovasi rumah, menambah jumlah keramba, menambah jumlah bibit, dan kebutuhan hidup lainnya. Sampai bisa memperkirakan kapan harus membeli tanah lagi atau rumah baru. Awalnya mereka merasakan satu kali panen dalam setahun, biasanya dirasakan bagi anggota yang baru pertama kali masuk karena mereka belum punya pengalaman mengelola budidaya. Setelah dua kali panen baru mereka bisa memperkirakan dan menghitung pola yang mungkin dicapai untuk dua kali panen dalam satu tahun. Artinya mereka mendapatkan dua kali penghasilan dalam satu tahun, hasil dari budidaya kerapu. Pembelian bibit kedua pada saat bibit pertama sudah mencapai ukuran tertentu sudah bisa mereka perkirakan. Berapa lobang keramba yang harus digunakan untuk tempat ikan dan berapa keramba yang harus dikosopngkan untuk pencucian ikan (bergilir). Contohnya saja pembelian bibit ikan kerapu macan yang saat ini menjadi fokus utama dari para nelayan budidaya kerapu. Kombinasi antara gelombang pertama dan kedua pembelian bibit sudah bisa diperkirakan bahkan pembelian bibit jenis kerapu bebek yang harganya jauh lebih mahal dari kerapu macan sudah bisa mereka rencanakan. Mereka mempelajari pola ini berdasarkan jurnal harian yang mereka dapatkan dari program ini. Jurnal diisi tiap hari berdasarkan pemantauan perlakuan dan perkembangan ikan mereka dari bibit sampai panen. Sehingga
57
mereka bisa tahu dan paham perkembangan budidaya mereka dari waktu ke waktu. Jurnal harian menjadi patokan mereka dalam mengelola budidaya kerapu.
5.3. Kemitraan dan Pendelegasian Kekuasaan 5.3.1. Pengelolaan Kelompok SF Dalam subbab diatas peneliti mencoba menjelaskan manajemen pengelolaan secara individu, dalam subbab ini peneliti mencoba mendeskripsikan pengelolaan kelompok SF. Karena SF sifatnya kelompok walaupun dalam pengelolaan budidaya masing-masing anggota bertindak sendiri. Kelompok SF dibentuk sejak awal penerapan program ini. Jumlah awal anggota yang tergabung dalam kelompok ini adalah 13 orang. Yang masih aktif sampai sekarang berjumlah enam orang. Angkatan kedua berjumlah 22 orang, yang masih aktif 12 orang. Angkatan ketiga erjumlah 20 orang dan masih aktif 23 orang. Total untuk seluruh anggota jadi 48 orang masih aktif. Aktif atau tidaknya anggota dinilai dari hutang bibit yang mereka bayar berjalan lanlancar atau tidak. Pada saat mereka mengambil bibit mereka berarti berhutang pada kelompok sebesar dua juta rupiah. Dihitung berdsarkan harga bibit ukuran 10 sentimeter adalah 10 ribu rupiah.jika pada saat panen mereka tidak melunasi pinjaman ini maka akan dikenakan surat peringatan pertama. Jika sampai tiga kali peringatan mereka belum juga melunasi pinjaman maka dinyatakan tidak aktif dan mereka tidak boleh lagi menjadi anggota. Anggota yang tidak aktif tidak akan mendapatkan pinjaman bibit lagi. Peraturan ini sudah disepakati pad saat pembentukan kelompok dan tidak bisa diganggu gugat keputusannya.
58
Gambar 12. Sekretariat Kelompok SF Pemutusan keanggotaan tidak keluar begitu saja, semua dibicarakan pada saat rapat anggota dan merupakan keputusan bersama. Seorang anggota yang tidak membayar pinjaman belum tentu berniat sengaja untuk tidak membayar. Pengurus melihat kenapa anggota tersebut tidak membayar, alasannya bisa macam-macam. Ada yang memang semua ikannya mati dan gagal panen, hal ini masih bisa ditolerir oleh pengurus dan diberi waktu biasanya tiga bulan untuk melunasi jika tidak maka akan langsung dinyatakan tidak aktif. Untuk yang tidak mempunyai alasan jelas, biasanya kabur setelah panen, pengurus akan langsung meninaktifkan keanggotaan dan yang seperti ini tidak akan diperbolehkan lagi menjadi anggota.
59
KETUA
SEKRETARIS
BENDAHARA
KEAMANAN
HUMAS 1
HUMAS 2
ANGGOTA
Gambar 13. Struktur Organisasi Kelompok SF
Aturan yang jelas dan tegas ini membuat kelompok SF mempunyai sistem kelembagaan yang cukup kuat. Mereka (pengurus) mempunyai keinginan untuk memajukan kelompok ini jadi hal-hal yang dianggap dapat menghambat perkembangan kelompok akan segera diatasi dengan aturan yang telah disepakati. Mereka tidak ingiin dianggap sebagai kelompok yang hanya main-main dan aktif pada saat sebuah program datang. Mereka bahkan mempunyai keinginan bahwa kelompok SF ini harus menjadi sebuah lembaga keuangan mikro. Untuk langkah pertama mereka ingin membentuk kelompok ini menjadi sebuah koperasi. Dalam kapasitas mereka sebagai sebuah kelompok saat ini, sebenarnya mereka sudah belum bisa berdiri sendiri untuk mengelola kelompok ini. Misalnya saja untuk masalah pembiayaan benih, mereka masih bergantung terhadap benih yang disuplai oleh PKSPL dan Sudin Perikanan & Kelautan. Kelompok belum mempunyai dana yang cukup untuk membeli benih dari luar dengan stok yang banyak. Koneksi untuk mendapatkan benih pun belum mereka miliki. Akhirnya
60
mereka hanya bergantung pada benih yang disediakan oleh balai SF dan terkadang membeli sendiri di muara angke. Penyaluran ikan mereka pada saat panen juga masih bergantung pada suplier lokal untuk dibawa ke Jakarta. Hal ini membuat harga ikan kerapu bisa dengan mudah dimainkan oleh para suplier dan membuat nelayan merugi. Dalam sebuah perbincangan dengan dua orang anggota dan seorang suplier membahas tentang harga ikan kerapu macan yang saat ini menurun. Menurutnya (penyuplai) sekarang stok ikan di Muara Angke Jakarta sedang banyak jadi harga ikan kerapu macan untuk satu kilogram turun jadi Rp 105.000,00. Cukup besar bila dibandingkan beberapa bulan yang lalu harganya masih berkisar antara Rp 125.000,00-Rp 140.000,00. Sehingga nelayan hanya bisa menunggu sampai harga kembali normal. Mereka akan melepas ikannya jika harga minimal Rp 120.000,00. Seandainya mereka melepas ikan mereka sekarang sebenarnya mereka tidak rugi total. Berdasarkan perhitungan mereka akan merugi di pakan dan tenaga mereka sehari-hari. Seperti yang diungkapkan: Informan 1 Informan 2 Informan 1 Supplier Informan 2
: “sebenarnya minggu kemaren saya mau panen ini, Cuma yah harga lagi turun sekarang…” : “iya nih masalah harga di Jakarta lagi turun..” :”,mantu dari Jakarta kemaren, katanya gitu, nih ada supplier nya” : “lagi seratus lima (105.000) sekarang harga” : “tuh turun lagi kemaren seratus lima belas (115.000), jadi kita tahan dulu ini”
61
5.3.2. Mandiri Secara Ekonomi SF adalah suatu konsep program yang berbicara tentang bagaimana meningkatkan sumberdaya perikanan sehingga dapat mendukung kegiatan pemanfaatan perairan lainnya dengan berbasiskan aktifitas kelautan yang dilakukan oleh masyarakat pesisir, komunitas nelayan pada khususnya. Pemanfaatan perairan bisa berupa penangkapan ikan dan pariwisata. Dengan tujuan akhir komunitas atau masyarakat yang diimplementasikan konsep ini dan/atau yang secara tidak langsung berhubungan dengan konsep ini bisa merasakan hasilnya dan mencapai kemandirian secara material, intelektual, dan manajerial. Berarti dengan sendirinya konsep ini berbicara tentang pengelolaan adaptif, pengelolaan kolaborasi, dan kemandirian komunitas yang secara implisit sebagai tujuan akhir program ini. Dalam kajian ini peneliti akan lebih menekankan pada pembahasan kemandirian komunitas yang sebenarnya menjadi daya tarik dari program ini. Kemandirian komunitas, dalam hal ini pengelolaan budidaya kerapu adalah, bagaimana
komunitas
bisa
mengelola
keramba
budidayanya
dengan
memanfaatkan ilmu dan teknologi yang didapat dan dikembangkan sendiri. Sehingga menghasilkan keuntungan material yang dirsakan dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka bahkan bila perlu bisa menyisakan lebih untuk kepentingan di masa depan. Sebagai kelompok mereka bisa membangun kelompoknya untuk memenuhi kebutuhan anggota kelompok dan mandiri tanpa tergantung pihak luar. Mereka pun tidak perlu memikirkan bagaimana mencari pekerjaan yang semakin sulit di masa sekarang. Kenyataan yang ada mereka akan menciptakan lapangan kerja baru, setidaknya bagi anak-anak mereka nantinya.
62
Komunitas nelayan Pulau Panggang mengikuti program SF ini pada awalnya memang tertarik dengan hasil yang akan mereka dapatkan pada saat mereka panen kerapu. Ketidakpastian dalam mencari ikan di laut, cuaca yang terkadang tidak bersahabat bagi mereka melaut., dan lain-lain. Semua itu menjadi alasan mengapa mereka memilih untuk menjadi nelayan budidaya. Mereka menilai jika budidaya kerapu ini adalah tabungan mereka selama satu kali panen. Mereka bisa menggunakan hasilnya untuk membiayai kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Anggota-anggota angkatan10 setelahnya juga mengikuti program ini karena tertarik dengan keuntungan yang didapat pada saat panen. Mereka melihat contoh berhasil dari anggota sebelumnya. Dari yang dirasakan oleh mereka pada saat panen, hasilnya memang besar bahkan bisa sampai membangun rumah dan membeli kapal baru. Hasil yang cukup besar jika melihat jangka waktu panen yang kurang lebih hanya sembilan bulan11 sejak mulai budidaya. Pada awalnya memang modal yang diperlukan cukup besar untuk membuat kerammba sendiri dan perlengkapan lainnya. Untuk benih, karena bisa dibayar pada saat panen jadi tidak terlalu menjadi beban pada saat memulai. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat sebuah keramba apung dua kotak yang masingmasing kotak bisa untuk dua lubang jaring adalah kurang lebih sebesar lima juta rupiah. Untuk memperkecil biaya yang dikeluarkan biasanya calon anggota baru membuat keramba tancap yang biayanya jauh lebih murah atau tetap membuat
10
Saat ini kelompok sea Farming sudah empat angkatan, total anggota aktif berdasarkan buku keanggotaan adalah 82 orang 11 Bibit yang dibudidaya sejak bulan pertama adalah bibit yang berukuran 10-15cm kemudian dibesarkan hingga mencapai ukuran enam sampai delapan ons per ekornya.
63
keramba apung tapi kayunya diganti dengan bambu. Setelah mereka mendapatkan hasil yang cukup dari panen pertama baru mereka membuat keramba apung. Pada saat panen mereka sudah memperhitungkan berapa persen yang akan digunakan untukk membuat keramba baru, membeli bibit dan menambah jumlahnya, membeli pakan untuk siklus budidaya selanjutnya, dan membayar pinjaman bibit. Manajemen keuangan ini mereka dapatkan pada saat pelatihan dan kemampuan mereka sendiri yang didapatkan dari berbagai jenis pelatihan lainnya sebelum ada SF ini.
5.4. Simpulan Bab Dari level partisipasi yang dicapai oleh komunitas dapat terlihat perkembangan kapasitas masing-masing individu dan kelompok SF. Proses perkembangan keberdayaan program SF di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu Jakarta telah menggambarkan kemandirian yang telah dicapai komunitas, baik secara individu maupun kelompok. Berdasarkan Delapan Tingkatan Partisipasi Arnstein (1969), saat ini komunitas nelayan SF telah mencapai level kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. Kemandirian yang diamati adalah kemandirian material, intelektual, dan manajerial. Dalam kemandirian material, masing-masing individu kelompok SF bisa dikatakan telah berhasil. Mereka telah merasakan keuntunganyang cukup besar dari setiap kali panen hasil budidaya ikan kerapu. Hal ini dapat terlihat dari wujud fisik yang kelihatan. Mereka bisa membeli kapal motor baru, merenovasi rumah, membeli tanah di pulau sebagai asset. Bahkan ada yang memperbanyak jumlah keramba sebagai pengembangan usaha budidaya kerapu. Tetapi jika dilihat secara kelompok,
kemandirian
ini
belum
bisa tercapai.
Terlihat
dari
64
kebergantungan mereka pada modal yang disediakan pemerintah untuk membeli benih. Sumber keuangan yang dikelola kelompok bukan berasal dari kelompok sendiri melainkan masih berasal dari dana bantuan yang diturunkan pemerintah. Hal ini menunjukan perlu adanya pengelolaan keuangan kelompok secara mandiri agar mereka tidak bergantung lagi pada dana yang turun dari pemerintah. Untuk kemandirian intelektual, baik secara individu maupun kelompok telah tercapai. Hal ini dapat terlihat dari pengembangan teknik-teknik budidaya yang mereka kembangkan sendiri. Dengan menggabungkan pengalaman, pengetahuan lokal, dan ilmu-ilmu yang didapat pada saat pelatihan, mereka telah berhasil menerapkan cara-cara yang lebih efisien dan murah untuk budidaya kerapu. Teknik-teknik yang mereka kembangkan pun dipakai sebagai acuan bagi anggota lain yang belum ahli dalam budidaya maupun anggota baru yang belum ada pengalaman sebagai nelayan budidaya. Kemandirian manajerial jika dilihat dari kemampuan individu dalam mengembangkan usaha budidayanya sendiri, bisa dikatakan telah tercapai. Mereka sudah paham mengenai manajemen usaha budidaya kerapu. Mereka dapat memperkirakan perhitungan modal usaha untuk budidaya kerapu. Mulai dari modal awal sampai penentuan harga ikan yang dilepas pada saat panen. Secara kelompok, pengelolaan kelompok SF ini belum terlalu kuat. Mereka masih perlu pengembangan kapasitas untuk menjadi kelompok yang lebih kuat lagi. Keinginan kelompok untuk menjadikan kelompok SF sebagai koperasi simpan pinjam dalam hal budidaya, perlu dikembangkan dan dibantu prosesnya.
65
VI. KEBUTUHAN KOMUNITAS
Dalam
bab
sebelumnya
telah
dideskripsikan
mengenai
proses
perkembangan keberdayaan komunitas nelayan SF melalui tingkatan partisipasi Arnstein (1969). Dalam suatu proses pemberdayaan tentunya terdapat banyak permasalahan yang terjadi di lapang. Kebutuhan komunitas pun tidak semuanya dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan komunitas tersebut. Pemberdayaan yang berdasarkan
pengembangan
masyarakat
mensyaratkan
orang-orang
yang
mempunyai kapasitas untuk merumuskan kebutuhan mereka sendiri dan dapat memenuhi kebutuhan tersebut (Ife, 1946). Mencoba memahami proses yang terjadi dari awal pengenalaan program SF sampai sekarang, peneliti menemukan beberapa permasalahan dan kebutuhan komunitas. Permasalahan dan kebutuhan komunitas tersebut merupakan hal mendasar yang dirasakan oleh mereka. Dari beberapa temuan di lapang, peneliti mencoba mendeskripsikan melalui bentuk tabel. Tabel berisi aspek yang dianggap peneliti sebagai hal yang dibutuhkan oleh komunitas. Aspek-aspek tersebut adalah teknik budidaya, ketersediaan benih, manajemen usaha, manajemen kelompok, dan kelembagaan SF. Aspek-aspek tersebut akan dijabarkan melalui tiga hal. Pertama, fakta/praktek di lapang, aspek ini akan melihat kegiatan apa saja yang telah dilakukan oleh instansi yang berperan dalam pelaksanaan program SF. Selama program berjalan tentunya sudah banyak pelatihan, seminar, workshop, dan FGD dalam peningkatan kapasitas komunitas. Kegiatan ini bertujuan agar kemampuan komunitas dalam hal pengelolaan budidaya kerapu dan SF dapat berkembang.
66
Kemudian diharapkan tujuan dari program SF dapat tercapai. Sehingga terjadi keberdayaan komunitas yang merupakan pencapaian tertinggi dalam proses pemberdayaan ini. Kedua, berbicara mengenai penerimaan komunitas terhadap aktivitas yang telah dilakukan instansi pembawa program. Bagaimana sikap komunitas ketika diberi suatu masukan dan ilmu baru. Tanggapan mereka terhadap hal tersebut dan cara mereka melaksanakan sesuatu atau masukan yang telah mereka terima. Dari sisi ini akan terlihat permasalahan yang muncul terhadap program SF ini. Permasalahan tersebut ada yang bisa diatasi sendiri oleh komunitas dan ada yang masih menjadi harapan komunitas untuk diselesaikan bersama dengan instansi pembawa program SF. Ketiga, dari permasalahan-permasalahan tersebut dapat terlihat kebutuhan komunitas yang sebenarnya. Kebutuhan ini sangat berkaitan dengan pencarian solusi atas permasalahan yang muncul. Beberapa permasalahan dan kebutuhan sudah dapat diselesaikan sendiri oleh komunitas. Tetapi masalah-masalah dasar dan komunitas belum mempunyai daya untuk menyelesaikannya, masih menjadi harapan mereka untuk dibantu menyelesaikannya secara bersama-sama.
67
Tabel 9. Matriks Kebutuhan Komunitas Aspek 1. Teknik Budidaya
Fakta/Praktek di Lapang a. pelatihan budidaya kerapu b. pelatihan penanganan penyakit ikan c. pelatihan teknik pakan
2. Ketersediaan Benih
3. Manajemen Usaha
a. suplai benih masih dari luar, terutama dari Bali dan Lampung
Penerimaan Komunitas Teknik-teknk baru yang mereka terima digunakan untuk budidaya kerapu.
Kebutuhan Komunitas Teknik yang lebih efisien, efektif, ramah lingkungan dan murah
Menggabungkan teknik yang mereka punya sebelumnya dan pengalaman selama budidaya. Komunitas menjadi bergantung pada pasokan benih yang ada di balai SF. Pembagian benih secara merata ke semua anggota tanpa melihat angkatan masuk. Karena lebih mementingkan pemerataan benih daripada keuntungan pribadi anggota .
Pasokan benih yang jelas dan pasti, baik dari segi jumlah maupun kualitas.
b. semakin berkurangnya suplai benih akhir-akhir ini sehingga pembagian benih untuk anggota berkurang
Membeli benih di luar balai untuk mencukupi kebutuhan benih walau terkadang kualitas benih tidak sesuai dengan keinginan.
a. pernah dilakukan pelatihan manajemen usaha
Menggunakan cara yang diajarkan selama pelatihan dalam mengelola usaha budidaya kerapu mereka. Menggunakan dengan baik perhitungan yang telah dipelajari berdasrkan jurnal harian yang mereka catat. Mengharapkan adanya koordinasi yang jelas antar anggota mengenai penjualan panen. Karena mereka masih bergantung terhadap harga yang “dimainkan” oleh para supplier.
Pelatihan pengembangan usaha budidaya. Pengelolaan bersama penjualan hasil panen.
Kelompok SF terbentuk dan sudah empat angkatan sampai sekarang. Aturan dan sanksi yang dibuat pada saat FGD awal kelompok dijalankan sesuai dengan kesepakatan ditambah sedikit kebijaksanaan dari pengurus.
Pengelolaan kelompok yang kuat. Pengembangan kelompok menjadi kelompok usaha.
Melaksanakan aturan dan sanksi yang dibuat saat FGD. Adanya kecemburuan sosial terhadap pihak yang berhubungan langsung dan mempunyai peran aktif dalam budidaya kerapu
Pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing pihak dalam kelembagaan SF
b. pencatatan perkembangan benih melalui jurnal harian 4. Manajemen Kelompok
5. Kelembagaan SF
a. pembentukan kelompok SF b. FGD kelompok SF a. FGD kelembagaan SF dengan pihak-pihak yang terkait dalam program ini
68
6.1. Aspek Teknik Budidaya Aspek pertama yang akan dibahas adalah teknik budidaya, khususnya budidaya kerapu macan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya di bab lima bahwa pada saat penerimaan anggota baru maka akan diadakan pelatihan tentang teknik budidaya kerapu. Berdasarkan data yang didapat dari informan, mereka dikenalkan tentang budidaya kerapu, cara penanganan penyakit ikan, dan pemberian pakan ikan. Mereka menggunakan teknik yang didapat dan baru menurut mereka dalam pengelolaan budidaya ikan kerapu. Seiring berjalannya waktu, pengalaman mereka berbudidaya semakin bertambah. Teknik-teknik yang lebih efisien dan efektif pun mereka temukan dan gunakan untuk membesarkan ikan budidaya mereka. Pengetahuan-pengetahuan lokal yang memang telah mereka miliki sebelumnya pun juga sangat membantu dalam pembesaran ikan. Bahkan teknik ini lebih efisien, ramah lingkungan dan yang paling utama adalah murah dari segi modal dan produksi. Misalnya saja pada saat pencucian ikan, pemberian pakan dan penentuan musim yang bagus untuk berbudidaya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kebutuhan mereka untuk aspek ini adalah teknik-teknik yang efisien, efektif, ramah lingkungan, dan murah dari segi modal dan produksi. Karena profesi yang mereka jalani sebagai nelayan, tidak bisa diprediksi penghasilannya, faktor alam sangat menentukan. Maka mereka butuh cara yang bisa dilakukan semurah mungkin agar pada saat terjadi kerugian, mereka tidak terlalu jatuh merugi.
69
6.2. Ketersediaan Benih Aspek ini membahas tentang ketersediaan benih kerapu macan bagi kelompok SF. Benih menjadi hal yang sangat penting dalam program budidaya ini. Tidak ada benih berarti tidak ada yang bisa dibudidayakan dan tidak ada yang bisa dijual. Karena program SF ini fokus di budidaya kerapu sehingga benih menjadi faktor utama berjalannya program ini. Pasokan benih bagi kelompok SF saat ini masih bergantung pada Balai SF di Semak daun dan Karang Congkak. Ketersediaan benih di kedua balai tersebut pun masih bergantung dari Bali dan Lampung. Benih-benih yang ada di Semak Daun dan Karang Congkak ini dutujukan untuk kebutuhan anggota saja. Warga di luar anggota kelompok jika ingin mendapatkan benih di kedua balai ini harus membeli secara tunai. Sedangkan bagi anggota kelompok berlaku sistem pinjam benih. Berdasarkan infomasi dari beberapa informan, ketersediaan benih sekarang sedikit dan tidak bisa memenuhi kebutuhan benih untuk seluruh anggota. Untuk menyiasati masalah ini, maka kelompok SF membuat kebijakan baru. Tidak lagi memandang angkatan teratas yang diutamakan mendapat benih tetapi bagi anggota yang bisa melunasi pinjaman benih sebelumnya dapat mengambil benih lagi. Walaupun jumlah yang bisa diambil dibatasi hanya 200 bibit benih ikan kerapu saja. Hal ini dilakukan agar anggota yang lain juga bisa kebagian benih ikan kerapu. Cerita dari seorang informan mengapa hal ini bisa terjadi, dikarenakan beberapa saat lalu terjadi kematian benih besar-besaran dibalai. Benih yang dipasok pernah mencapai 18.000 ekor tetapi karena terjadi suatu kesalahan teknis
70
akhirnya benih yang hidup hanya mencapai 2.000-an bibit benih. Kejadian ini sangat
disesalkan
oleh
anggota
kelompok.
Panen
sebelumnya
mereka
menghasilkan cukup modal untuk membeli benih lebih banyak. Tetapi harus tertunda karena bibit yang bisa diambil dibalai terbatas hanya 200 bibit benih. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan benih, beberapa anggota membeli benih langsung dari luar balai. Mereka pun harus mengambil resiko kualitas benih yang dibeli kurang bagus. Selain itu karena harus membeli tunai jika terjadi banyak kematian benih, mereka harus siap merugi cukup banyak. Tetapi berdasarkan informasi dari informan yang membeli benih di luar balai, saat ini mereka belum mengalami kematian benih yang banyak. Jika dihitung-hitung sampai panen nanti mereka masih bisa mendapatkan untung. Ada hikmah di setiap kejadian, itulah yang dipercaya oleh beberapa anggota kelompok yang mengambil benih dari luar. Keadaan seperti ini memaksa mereka untuk mengembangkan lagi kemampuan mereka. Keinginan untuk tidak mau merugi banyak nantinya membuat mereka lebih menjaga kualitas perawatan ikanikan mereka. Bahkan salah satu informan, Bapak NI, sudah bisa disebut sebagai pendeder. Karena beliau membeli benih ikan kerapu dari luar dengan ukuran yang lebih kecil (ukuran deder) dan sekarang semua ikannya sudah besar-besar. Walaupun tidak sedikit yang mati, tetapi masih bisa mendapatkan untung menurut perhitungan beliau. Dapat disimpulkan bahwa yang menjadi kebutuhan kelompok SF saat ini untuk aspek ketersedian benih adalah kejelasan pasokan benih, baik dari segi jumlah maupun kualitas. Pada tanggal 19 Juni 2009 di Balai Semak Daun, telah
71
diadakan restocking kerapu macan di perairan Pulau Semak Daun. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengembalikan lagi ekosistem kerapu yang sempat terganggu dan rusak di sana. Sebagian ikan kerapu pilihan dijadikan indukan untuk menghasilkan benih berkualitas. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan anggota akan benih ikan kerapu. Karena benih-benih ikan kerapu akan mulai dihasilkan dan dikembangkan di Balai Semak Daun. Sehingga ketersediaan benih tidak lagi bergantung dari luar daerah nantinya.
6.3. Aspek Manajemen Usaha Aspek ini membahas tentang pengembangan usaha budidaya kerapu macan kelompok SF. Pelatihan tentang manajemen usaha telah diberikan pada saat menjadi anggota kelompok SF. Mulai dari perhitungan modal usaha, proses pengembangan usaha sampai penjualan hasil panen. Anggota diberikan jurnal harian sebagai catatan perkembangan usaha mereka. Di dalam jurnal tercatat banyak hal yang berhubungan dengan manajemen usaha budidaya seperti jumlah benih yang diambil, jumlah pakan yang diberikan, jumlah ikan yang mati, biaya penyusutan, penjualan hasil panen, dan lain-lain. Jurnal ini digunakan sebagai acuan bagi tiap anggota untuk mengetahui pola usaha budidaya mereka. Berdasarkan
catatan
jurnal
budidaya
sebelumnya,
mereka
bisa
memperkirakan strategi untuk budidaya selanjutnya. Menghitung kerugian dan keuntungan yang didapat pada budidaya sebelumnya. Mencatat modal usaha yang dikeluarkan selama budidaya dan biaya penyusutan dari peralatan budidaya yang ada. Sehingga perhitungan biaya untuk budidaya selanjutnya bisa diperkirakan. Apakah mereka akan memperbesar usaha mereka atau mempertahankan pola yang
72
ada. Mungkin juga, mereka akan memperkecil skala usaha mereka jika ternnyata pada budidaya sebelumnya mereka merugi. Berdasarkan hasil wawancara dari beberapa informan, ada permasalahan pada saat penjualan ikan yang siap panen. Harga ikan kerapu macan yang saat ini sedang mengalami penurunan di TPI Muara Angke tempat mereka menjual ikan, sekitar 105.000 rupiah. Menjadi hambatan bagi mereka untuk menjual ikan yang sudah siap panen. Harga ikan menurun karena stok ikan di Muara Angke sedang banyak. Sehingga para penampung ikan kerapu macan mempunyai banyak pilihan untuk mengambil ikan dari supplier yang berbeda,dan lebih memberikan harga murah kepada mereka. Selain itu permainan harga dari para supplier juga mempengaruhi harga jual mereka. Banyaknya stok ikan di Muara Angke membuat para supplier menekan harga yang lebih murah lagi dari para nelayan. Mereka meminta harga yang lebih murah dari harga di Muara Angke, sekitar 100.000 rupiah. Keadaan ini membuat anggota kelompok SF yang ikannya sudah siap panen, dilihat dari besar ikan menurut pasar, menahan ikannya lebih lama lagi. Mereka menunggu sampai harga normal kembali, setidaknya naik sedikit dari harga sekarang, sekitar 115.000 rupiah. Jika mereka menahan ikan mereka, maka diperlukan biaya tambahan lagi untuk merawatnya. Kemudian ikan mereka akan bertambah besar melewati batas permintaan pasar. Berdasarkan perbincangan dengan beberapa anggota dan seorang supplier. Jika sudah begini, berarti ikan mereka siap “dipukul rata” untuk dijual borongan. Maksudnya adalah, semua ikan dihargai seberat satu kilogram per ekor dan dikalikan dengan banyaknya jumlah ikan. Padahal rata-rata ikan dari anggota jika
73
mereka menahan dari penjualan sebelumnya, beratnya lebih dari satu kilogram. Karena jika ikan ditahan otomatis ikan akan bertambah besar. Tentu saja hal ini sangat merugikan anggota kelompok SF dan nelayan budidaya lainnya secara umum. Salah satu kebutuhan kelompok saat ini adalah, adanya pengelolaan penjualan ikan siap panen anggota kelompok SF. Setiap anggota yang ikannya sudah siap panen dikumpulkan, setelah dicatat masing-masing jumlah ikan anggota tentunya. Kemudian dijual secara kolektif dan pembagian hasilnya sesuai dengan jumlah yang dicatat pada saat pengumpulan. Penjualannya pun langsung ke penampung/distributor ikan kerapu yang akan mengekspor ikan mereka atau mendistribusikannya lagi ke berbagai restoran. Jadi harga tetap terjaga langsung dari dari penampung/distributor. Cara ini dibutuhkan agar mereka tidak lagi bergantung pada supplier yang ada dan cenderung memainkan harga penjualan. Tentu saja untuk merealisasikan cara ini diperlukan keseriusan dari kelompok SF untuk mengelolanya. Adanya hubungan yang baik dengan distributor pun perlu diciptakan dan tidak hanya satu distributor tapi lebih. Sehingga kelompok bisa memilih distributor yang bisa memberikan keuntungan lebih bagi kelompok. Selain itu kejujuran dalam pengelolaan penjualan hasil panen ini harus dijunjung tinggi. Karena sebenarnya cara ini akan berjalan dengan kepercayaan yang kuat diantara anggota kelompok terhadap pengelolaan penjualan ikan.
74
6.4. Manajemen Kelompok Pada awal pembentukan kelompok sebelumnya diadakan FGD tentang permasalahan, aturan main, dan sanksi. Semuanya ditentukan oleh komunitas yang akan menjadi kelompok SF. Mulai dari pemilihan ketua sampai pelaksanaan aturan dan pemberian sanksi dijalankan berdasarkan kesepakatan yang telah mereka buat. Berdasarkan cerita para informan, kemudian peneliti mencoba menganalisis. Kelompok SF saat ini, dalam hal manajemen kelompok belum begitu kuat. Hal ini terlihat dari kegiatan budidaya masing-masing anggota yang bergerak secara individu. Peran pengurus kelompok baru sebatas membagikan jatah benih dan menerima pembayaran benih. Belum ada usaha untuk membuat kelompok ini berkembang jauh. Walaupun niatan tersebut sudah ada dari beberapa pengurus kelompok, yaitu untuk menjadi sebuah koperasi simpan pinjam tetapi di bidang budidaya kerapu. Tetapi hanya sebatas keinginan dan belum ada langkah pasti. Hal ini mungkin juga disebabkan karena kapasitas masing-masing anggota yang belum mencukupi untuk dibuat sebuah koperasi simpan pinjam. Hal lain juga terlihat dari pengelolaan penjualan ikan siap panen, yang sudah dibahas sebelumnya. Peran pengurus kelompok cukup kuat dalam hal penerapan aturan dan sanksi. Misalnya, jika ada anggota yang tidak membayar pinjaman benih tanpa alasan jelas maka akan langsung dikeluarkan dan tidak boleh menjadi anggota lagi. Dalam hal menjaga nama baik kelompok pun beberapa anggota sangat loyal. Mereka tidak akan segan-segan bila ada orang yang menjelekkan kelompok SF
75
atau program SF itu sendiri. Mereka akan memberi penjelasan mengenai hal tersebut dan menyelesaikan masalahnya. Pengamatan di lapang menunjukkan hubungan antar anggota kelompok ini sangat kuat. Mereka saling berbagi teknik dan ilmu budidaya sesama mereka. Kedekatan ini juga terlihat di luar konteks SF, misalnya kehidupan bertetangga. Karena memang anggota-anggota yang bertahan sampai saat ini adalah mereka yang berhasil di budidaya kerapu ini. Mereka merasa bahwa program SF ini sangat menguntungkan bagi mereka dan membawa perubahan dalam hidup mereka. Jadi wajar saja jika ada yang menjelekan kelompok atau program SF, mereka tidak akan segan-segan untuk membela SF. Kurangya dukungan pemerintah setempat juga menjadi penghambat berkembangnya kelompok ini. Berdasrkan pengakuan Pak FN, dari pihak kelurahan kurang mendukung adanya kelompok SF ini. Beliau sebagai salah satu ketua kelompok yang ada di masyarakat tidak pernah diundang jka ada acara kelurahan yang berhubungan dengan pengembangan masyarakat setempat. Walaupun demikian beliau selalu datang meski tidak diundang ke acara tersebut. Beliau datang sebagai warga yang ingin tahu perkembangan, tidak peduli diundang atau tidak. Kebutuhan kelompok SF saat ini adalah pengembangan kapasitas masingmasing anggota, terutama pengurus untuk pembentukan kelompok usaha seperti koperasi. Namun dukungan dari pemerintah setempat dan pihak-pihak yang terkait dengan kelembagaan SF sangat diperlukan. Karena kelompok ini mempunyai potensi untuk berkembang lebih jauh dan lebih besar lagi.
76
6.5. Kelembagaan SF Berdasarkan dari pengertian SF sendiri, yaitu sistem aktifitas berbasis marikultur dengan tujuan akhir pada peningkatan stok sumberdaya perikanan dan menjadi pendukung bagi kegiatan pemanfaatan sumberdaya perairan lainnya seperti penangkapan ikan dan pariwisata. Berarti yang berperan dalam kelembagaan ini tidak hanya kelompok SF sendiri. Kelompok-kelompok atau instansi lain yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam di Kelurahan Pulau Panggang juga turut berperan. Di Kelurahan Pulau Panggang terdapat beberapa kelompok dan instansi yang terkait dengan kelembagaan SF. Kelompokkelompok tersebut adalah Coral Reef, Kelonpis, Area Perlindungan Laut (APL), Elang Ekowisata, Dolphin, Pernitas, Sentra Penyuluhan Konservasi Pedesaan (SPKP), Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKS), Kelurahan Pulau Panggang, dan Sudin Kelautan dan Perikanan Pemda DKI Jakarta. Kelompok-kelompok
dan
instansi
tersebut
sangat
berperan
dalam
keberlangsungan kelembagaan SF. Sinergi antar lembaga tersebut sangat mempengaruhi tercapainya tujuan dari SF ini dan visi misi dari Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu itu sendiri. Masing-masing mempunyai peran yang berbeda tetapi saling berkaitan satu sama lain. Misalnya saja lembaga Coral Reef, lembaga yang berperan dalam menjaga ekosistem terumbu karang di sana. Ikan kerapu merupakan ikan karang yang hidup di perairan dangkal dan terumbu karang adalah habitat ikan tersebut. Jika ekosistem terumbu karang yang ada rusak maka bisa dipastikan tidak ada lagi ikan kerapu di perairan tersebut. Padahal perairan di sekitar pulau-pulau di sana dahulunya merupakan habitat ikan kerapu. Sekarang ini telah berkurang akibat kerusakan terumbu karang yang disebabkan
77
aktifitas masyarakat sendiri. Maka dari itu kegiatan restocking yang dilakukan pada tanggal 19 Juni 2009 yang lalu, merupakan salah satu usaha mengembalikan lagi ekosistem ikan kerapu di sana. Peneliti pernah mengikuti salah satu kegiatan FGD yang membahas mengenai aturan tentang penangkapan ikan kerapu yang dilepas saat restocking. Dalam FGD tersebut dikumpulkan kelompok dan instansi terkait kelembagaan SF. Dalam FGD tersebut peneliti memperhatikan dinamika FGD yang terjadi. Masing-masing perwakilan anggota lembaga yang terkait memberikan masukan dan saran, tidak jarang juga terjadi perdebatan. Terlihat masing-masing dari mereka ada yang membawa kepentingan pribadi, setuju dengan apapun hasil yang dicapai, dan ada juga yang memikirkan jauh ke depan permasalahan dalam FGD. Dari pengamatan tersebut peneliti dapat menganalisis, bahwa belum ada pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing dalam kelembagaan SF ini. Mereka masih membawa kepentingan sendiri dan terlihat mencari kesempatan untuk mengambil keuntungan dari adanya program SF ini. Peneliti merasakan perlunya pemahaman kembali tentang program SF ini. Sehingga mereka dapat lebih mengetahui peran masing-masing dalam kelembagaan dan program SF. Tujuan dari pemahaman kembali peran masing-masing adalah agar kelompok SF bisa memahami peran dan posisinya dalam kelembagaan SF. Kemudian mereka dapat merencanakan sesuatu agar kelompok bisa terus berkembang.
6.6. Simpulan Bab Kesimpulan dalam bab ini adalah terdapat beberapa aspek yang menjadi indikator permasalahan dan kebutuhan dari kelompok SF. Aspek-aspek tersebut
78
adalah teknik budidaya, ketersediaan benih, manajemen usaha, manajemen kelompok,
dan
kelembagaan
SF.
Dari
aspek-aspek
tersebut
dianalisis
permasalahannya dan kemudian dicari apa yang menjadi kebutuhan kelompok SF. Kebutuhan-kebutuhan kelompok SF setelah dianalisis permasalahannya adalah sebagai berikut: 1. Teknik yang lebih efisien, efektif, ramah lingkungan dan murah 2. Pasokan benih yang jelas dan pasti, baik dari segi jumlah maupun kualitas 3. Pelatihan pengembangan usaha budidaya, khususnya pengelolaan bersama penjualan hasil panen untuk dijual ke pasar. 4. Pengelolaan kelompok yang kuat 5. Pengembangan kelompok menjadi kelompok usaha 6. Pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing pihak yang terkait dalam kelembagaan SF sehingga kelompok SF dapat memahami peran dan posisinya dalam kelembagaan SF.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas, merupakan hasil analisis peneliti dalam melihat kebutuhan mendasar yang dirasakan oleh kelompok. Peneliti mencoba merumuskannya dalam sebuah matriks yang sebisa mungkin dimengerti oleh pembaca. Matriks tersebut menggambarkan aspek-aspek, permasalahan, dan kebutuhan yang dirasakan oleh kelompok SF.
79
VII. SEA FARMING SEBAGAI PROGRAM PEMBERDAYAAN
Berdasarkan pembehasan dari bab lima dan enam maka dalam bab ini akan dicoba membahas tentang sea SF sebagai program pemberdayaan sebagai analisis dari hasil penelitian ini. Proses perkembangan keberdayaan yang telah dilalui oleh para anggota SF sampai saat ini telah menunjukan bahwa trerjadi proses pemberdayaan komunitas nelayan di Pulau Panggang. Proses ini menunjukan tingkat kemandirian anggota kelompok SF secara nyata. Kemandirian material misalnya, yang sangat dirasakan sekali oleh anggota yang dengan serius menjalani program ini. Peningkatan pendapatan mereka sebelum dan sesudah mengikuti program ini bisa dikatakan sangat signifikan. Terlihat dari wujud fisik yang telah mereka penuhi seperti rumah baru, kapal motor baru, dan peningkatan jumlah keramba apung. Sebelum mengikuti program ini banyak dari mereka yang tidak mempunyai penghasilan tetap dan terencana. Seperti yang diceritakan oleh salah satu informan, Bapak AI. “dulu saya waktu jadi nelayan biasa, klo nangkep ikan paling cuma dapet berapa ekor sehari. Tiap hari dikumpulin sampe banyak, klo udah banyak baru dijual. Itu juga klo dapet terus tiap hari. Seringnya yang dijual ga cukup buat Menuhin hidup sehari-hari. Tapi setelah saya ikut ini (SF), saya bisa bangun rumah, beli kapal baru, sama bisa punya tabungan.” Pencapaian tersebut tentu saja tidak mereka dapatkan dengan mudah tetapi dengan peseriusan menjalankan program dan keinginan untuk mau berdaya tanpa harus terus “dikasih” oleh pemerintah. Hal inilah yang menjadi dasar bagi suatu program pemberdayaan. Keinginan untuk mau mandiri dan tidak bergantung pada orang lain menjadi penggerak program SF ini. Kebanyakan anggota yang masih
80
aktif sampai sekarang mempunyai pemikiran tersebut. Mereka berbeda dengan kebanyakan masyarakat yang ada di sana. Para anggota yang sudah keluar pun kebanyakan berpikiran hanya menerima “mentahan” program yang ada tanpa ada tindak lanjut terhadap program tersebut. Sebagai suatu program pemberdayaan yang berbasis pada pengembangan masyarakat, SF secara nyata mensyaratkan anggotanya untuk bisa mendefinisikan kebutuhan mereka sendiri. Setelah sekian lama ikut dalam program ini dan merasakan hasilnya tentu saja kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa mereka definisikan. Kebutuhan yang mereka rasakan saat ini mengenai pengembangan kelompok mereka adalah tentang benih dan peningkatan kapasitas kelompok. Permasalahan benih yang mereka rasakan ssaat ini merupakan hal yang sangat mendasar dalam program ini. Kebutuhan benih setiap anggota belum tercapai sesuai keinginan mereka. Beberapa anggota yang seharusnya sudah bisa mengembangkan budidaya dengan jumlah benih yang banyak harus tertunda karena stok benih yang terbatas. Misalnya saja Pak FN, salah satu informan mengatakan. “sekarang tiap anggota yang udah bayar cuma dapet benih 200 ekor, itu juga cepet-cepetan lunasnya. Saya aja cuma dapet 200, padahal saya punya duit buat beli benih lebih. Tapi mau gimana lagi, kita kan mikirnya yang penting semua anggota dapet, klo mau lebih sisanya nyari diluar balai. Klo nyari di luar balai kan kita ga tau kualitasnya. Kadang kita ga berani buat ngambil benih dari luar, belum percaya.”
Dari pernyataan tersebut bahwa sebenarnya yang menjadi kebutuhan utama saat ini adalah kesediaan benih untuk anggota kelompok SF. Kemampuan mereka dalam menentukan kebutuhan mendasar bagi mereka merupakan suatu perkembangan yang nyata dari sebuah proses pemberdayaan masyarakat. Mereka
81
sudah dapat mendefinisikan kebutuhan mereka dan sudah tau bagaimana mencari solusi untuk memenuhi kebutuhan mereka. Penentuan kebutuhan ini berdasarkan pengalaman yang mereka rasakan selama mengikuti program SF. Proses keberdayaan yang kelompok SF alami membuat kelompok memahami apa yang menjadi kebutuhan mereka sebenarnya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam perkembangannya suatu program keberdayaan tidak selalu sempurna dalam memenuhi kebutuhan kelompok. Selalu ada yang kurang yang dirasakan oleh kelompok menurut kebutuhan mereka. Contoh lain kebutuhan kelompok yang saat ini paling dibutuhkan oleh kelompok adalah pengelolaan bersama hasil panen. Saat ini pada waktu panen, setiap anggota menjual ikannya ke supplier secara sendiri-sendiri. Mereka belum menjualnya secara kolektif yang sebenarnya lebih menguntungkan mereka. Masalah ini jika dikaitkan dengan kurangnya kapasitas kelompok dalam manajemen kelompok maka merupakan salah satu hal yang mendasar. Dinamika kelompok bisa dilihat dari sisi ini. Mereka belum mau untuk secara bersama menjual hasil panennya karena belum ada rasa keterikatan antar anggota. Hal ini bisa disebabkan belum adanya kegiatan-kegiatan yang menunjukan kebersamaan kelompok. Kelompok hanya dijadikan sebagai wadah untuk meminjam benih dan mengembalikan pinjaman tersebut. Seandainya penjualan panen mereka dilakukan secara kolektif maka mereka bisa mengontrol harga ikan di lingkup mereka. Masing-masing anggota tidak akan “dimainkan” harga penjualan ikannya oleh supplier. Mereka bisa mentukan harga dan kepada siapa mereka menjual ikannya. Bisa disimpulkan bahwa sangat jelas sekali keterkaitan antara proses perkembangan keberdayaan dengan pendefinisian kebutuhan subjek program
82
pemberdayaan. Seperti dikatakan sebelumnya bahwa suatu program pemerdayaan yang berbasis pengembangan masyarakat mensyaratkan orang-orang yang bisa mendefinisikan kebutuhan masyarakat dan bisa mencari solusi atas kebutuhan tersebut. Orang-orang ini bisa berasal dari luar komunitas atau berada dalam komunitas tersebut sehingga dengan pengidentifikasian kebutuhan ini suatu program pemberdayaan dapat berjalan dengan baik dan mencapai tujuannya yaitu keberdayaan dan kemandirian komunitas.
83
VIII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan 1.
Dari level partisipasi yang dicapai oleh komunitas dapat terlihat perkembangan kapasitas masing-masing individu dan kelompok SF. Proses
perkembangan
Administrasi
keberdayaan
Kepulauan
Seribu
program Jakarta
SF
telah
di
Kabupaten
menggambarkan
kemandirian yang telah dicapai komunitas, baik secara individu maupun kelompok. Berdasarkan Delapan Tingkatan Partisipasi Arnstein (1969), saat ini komunitas nelayan SF telah mencapai level kemitraan dan pendelegasian kekuasaan. 2.
Kemandirian yang diamati adalah kemandirian material, intelektual, dan manajerial. a. Dalam kemandirian material, masing-masing individu kelompok SF bisa dikatakan telah berhasil. Mereka telah merasakan keuntunganyang cukup besar dari setiap kali panen hasil budidaya ikan kerapu. Hal ini dapat terlihat dari wujud fisik yang kelihatan. Mereka bisa membeli kapal motor baru, merenovasi rumah, membeli tanah di pulau sebagai asset. Bahkan
ada
yang
memperbanyak
jumlah
keramba
sebagai
pengembangan usaha budidaya kerapu. Tetapi jika dilihat secara kelompok,
kemandirian
ini
belum
bisa tercapai.
Terlihat
dari
kebergantungan mereka pada modal yang disediakan pemerintah untuk membeli benih. Sumber keuangan yang dikelola kelompok bukan berasal
84
dari kelompok sendiri melainkan masih berasal dari dana bantuan yang diturunkan pemerintah. Hal ini menunjukan perlu adanya pengelolaan keuangan kelompok secara mandiri agar mereka tidak bergantung lagi pada dana yang turun dari pemerintah. b. Untuk kemandirian intelektual, baik secara individu maupun kelompok telah tercapai. Hal ini dapat terlihat dari pengembangan teknik-teknik budidaya yang mereka kembangkan sendiri. Dengan menggabungkan pengalaman, pengetahuan lokal, dan ilmu-ilmu yang didapat pada saat pelatihan, mereka telah berhasil menerapkan cara-cara yang lebih efisien dan murah untuk budidaya kerapu. Teknik-teknik yang mereka kembangkan pun dipakai sebagai acuan bagi anggota lain yang belum ahli dalam budidaya maupun anggota baru yang belum ada pengalaman sebagai nelayan budidaya. c. Kemandirian manajerial jika dilihat dari kemampuan individu dalam mengembangkan usaha budidayanya sendiri, bisa dikatakan telah tercapai. Mereka sudah paham mengenai manajemen usaha budidaya kerapu. Mereka dapat memperkirakan perhitungan modal usaha untuk budidaya kerapu. Mulai dari modal awal sampai penentuan harga ikan yang dilepas pada saat panen. Secara kelompok, pengelolaan kelompok SF ini belum terlalu kuat. Mereka masih perlu pengembangan kapasitas untuk menjadi kelompok yang lebih kuat lagi. Keinginan kelompok untuk menjadikan kelompok SF sebagai koperasi simpan pinjam dalam hal budidaya, perlu dikembangkan dan dibantu prosesnya.
85
3.
Dalam penentuan permasalahan dan kebutuhan kelompok SF, peneliti mencoba menggambarkannya dalam sebuah matriks. Terdapat beberapa aspek yang menjadi penilaian dalam melihat permasalahan dan kebutuhan kelompok. Aspek-aspek tersebut adalah teknik budidaya, ketersediaan benih, manajemen usaha, manajemen kelompok, dan kelembagaan
SF.
Kemudian
seluruh
aspek
tersebut
dianalisis
permasalahannya dan ditarik kesimpulan mengenai kebutuhan-kebutuhan kelompok SF. Hal-hal yang menjadi kebutuhan kelompok SF adalah: 1. Teknik yang lebih efisien, efektif, ramah lingkungan dan murah 2. Pasokan benih yang jelas dan pasti, baik dari segi jumlah maupun kualitas 3. Pelatihan pengembangan usaha budidaya, khusunya pengelolaan bersama penjualan hasil panen 4.
Pengelolaan kelompok yang kuat
5.
Pengembangan kelompok menjadi kelompok usaha
6. Pemahaman lebih dalam tentang peran masing-masing pihak yang terkait dalam kelembagaan SF sehingga kelompok SF dapat memahami peran dan posisinya dalam kelembagaan SF.
7.2. Saran Melalui kegiatan penelitian ini, peneliti mencoba untuk memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait dalam penerapan program SF ini. Karena penelti melihat program SF, sebagai program pemberdayaan komunitas nelayan masih memerlukan sedikit perbaikan dan modifikasi yang sesuai. Tujuannya agar
86
program ini dapat selesai dengan baik dan menjadi acuan untuk penerapan program yang sama di lokasi yang berbeda. Beberapa saran untuk program ini disajikan peneliti dalam bentuk poin-poin utama sebagai berikut: 1. Pengembangan kelompok SF saat ini harus menjadi fokus utama, karena jika kelompok ini dapat berkembang lebih baik dan terkelola dengan profesional maka akan menjadi contoh bagi komunitas lain. Dengan demikian, program ini dapat diterapkan di tempat lain dengan sedikit modifikasi pada pengelolaan kelompok. 2. Untuk mempertahankan keberlanjutan kelompok SF diperlukan sebuah aktivitas tambahan misalnya dalam mengelola pemasaran hasil budidaya, kelompokdapat mewakili anggota dalam berhubungan dengan pembeli. 3. Pemahaman kembali kepada semua pihak yang terkait sangat diperlukan. Agar pihak-pihak tersebut dapat memahami peran masing-masing dalam kelembagaan SF. 4. Matriks kebutuhan yang dibuat oleh peneliti dapat dijadikan masukan untuk pengembangan program selanjutnya.
87
DAFTAR PUSTAKA Anonim. http://jchkumaat.files.wordpress.com/2007/01/pengertian-pengelolaanbahan-kuliah-pengelolaan-pesisir-geog.doc. diakses pada 4 Mei 2009 pukul 11.59. Anonim. http://kepulauan seribu.net/GAMBARAN UMUM.htm . diakses pada 3 Mei 2009 pukul 20.55. Anonim. http://kepulauan seribu.net/JUMLAH NELAYAN.htm . diakses pada 3 Mei 2009 pukul 20.55. Anonim. http://kepulauan seribu.net/VISI MISI.htm . diakses pada 5 Mei 2009 pukul 19.55. Anonim, 2008. Ekstensifikasi Kapasitas Kelompok Sea Farming (Laporan Pendahuluan). Bogor: Kerjasama Suku Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu dengan PT. Edecon Primamandiri. Anonim. 2006. Konsep Pengembangan Sea Farming di Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Bogor: Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut. Arnstein, 1969 dalam Mitchel, Bruce. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Furqon, N. A. A. 2009. Konstruksi Adaptive Collaborative Management dalam Penerapan Teknologi Tepat Guna [skripsi]. Bogor: Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Honwu, Momy. 2003. Pembangunan untuk Rakyat? Menggali Realitas Pembangunan di Pedesaan: Terbitan terbatas mahasiswa SPD angkatan 2002/2003. Program Studi Sosiologi Pedesaan, Pascasarjana IPB. Ife, Jim. 1946. Community Development: Community Based Alternative in An Age of Globalisation. Australia: Pearson Education Australia Pty Limited. Mitchel, Bruce. 2000. Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Nasdian, F. Tony. 2006. Modul Pengembangan Masyarakat: Bagian Sosiologi Pedesaan dan Pengembangan Masyarakat. Bogor: KPM FEMA Institut Pertanian Bogor. Sitorus. MT. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif: Suatu Perkenalan. Bogor: Kelompok Dokumentasi ilmu-ilmu sosial.
88
Wrihantnolo, Randy R dan Riant Nugroho Dwijayanto. 2007. Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Elex Media.
Maaf………………………………. Halaman ini Pada Lembar Aslinya Memang Tidak Ada.