MEMBEBASKAN NELAYAN DARI JERATAN TENGKULAK DARI SEGI PERMODALAN MELALUI PROGRAM PEMBERDAYAAN KEMANDIRIAN NELAYAN DENGAN KUD SYARIAH STUDI KASUS: NELAYAN DESA GRAJAGAN, KECAMATAN PURWOHARJO, KABUPATEN BANYUWANGI
KARYA TULIS ILMIAH
Oleh: Ketua Kelompok
Cintya Amy P.
NIM: 040914059 Angkatan 2009
Anggota
Elfira Maya Adiba NIM: 040914065
UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 2010
Angkatan 2009
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul ”Membebaskan Nelayan dari Jeratan Tengkulak Dari Segi Permodalan Melalui Program Pemberdayaan Kemandirian Nelayan dengan KUD Syariah. Studi Kasus: Nelayan Desa Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi.” Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pimbimbing dan semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian karya tulis ini. Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan karya tulis ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu penulis selalu mengharapkan saran dan kritik dari semua pihak agar dapat membuat karya tulis ini lebih baik di kemudian hari. Harapan penulis adalah karya tulis ini dapat membawa manfaat yang baik bagi semua pihak.
Surabaya, 25 November 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL.................................................................................. i ABSTRAK.................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR................................................................................ iii DAFTAR ISI............................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN........................................................................... 1 1.1 Latar Belakang Masalah......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 3 1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................... 3 1.4 Manfaat Penulisan.................................................................................. 3 BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................ 4 2.1 Gambaran Umum tentang Jawa Timur.................................................. 4 2.2 Karakteristik Penduduk Miskin ............................................................ 4 2.2.1 Karakteristik Penduduk Miskin .................................................... 4 2.3 Gambaran Umum tentang Nelayan Indonesia....................................... 6 2.4 Program Pemerintah untuk Permasalahan Nelayan................................ 7 2.5 Lembaga Keuangan Mikro Islam............................................................ 8 2.5.1 Koperasi Syariah........................................................................... 10 2.5.1.1 Landasan Hukum Koperasi Syariah…............................... 11 2.5.1.2 Hakikat Koperasi Syariah................................................... 11 2.6 Etika Bisnis Islam................................................................................... 12 BAB III METODOLOGI PENULISAN…...............................................
15
3.1 Diagram alur penulisan…....................................................................... 15 3.2 Metodologi Pengumpulan Data............................................................. 16
BAB IV ANALISA DAN PEMBAHASAN.............................................. 17 4.1 Kemiskinan Nelayan............................................................................... 17 4.1.1 Permasalahan yang ditimbulkan oleh tengkulak......................... 17 4.2 Solusi Permodalan Nelayan.................................................................... 20 4.2.1 Perfect market dan intervensi pemerintah.................................... 22 4.2.2 Sistem Bagi Hasil Pemerintah...................................................... 23 4.2.3 Koperasi Syariah.......................................................................... 24 BAB V SIMPULAN DAN SARAN…......................................................
29
5.1 Simpulan …............................................................................................ 29 5.2 Saran ….................................................................................................. 29
DAFTAR PUSTAKA…............................................................................
30
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Jawa Timur adalah sebuah provinsi dibagian timur Pulau Jawa. Jawa Timur memiliki luas wilayah 157.922 km² dengan jumlah penduduk 37.576.011 jiwa (2010). Jawa Timur memiliki wilayah terluas di antara 6 provinsi di Pulau Jawa dan memiliki jumlah penduduk terbanyak kedua di Indonesia setelah Jawa Barat. Jawa Timur dikenal sebagai pusat Kawasan Timur Indonesia dimana signifikansi perekonomiannya tinggi, yakni berkontribusi 14,85% terhadap Produk Domestik Bruto nasional. Seiring dengan tingginya jumlah penduduk provinsi Jawa Timur, terdapat sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 5,529 juta (15,26 persen) jiwa per Maret 2010. Besaran kemiskinan di Indonesia berbeda, bergantung pada siapa yang mengeluarkan data. Diantara kategori pekerjaan terkait dengan kemiskinan, nelayan sering disebut sebagai masyarakat termiskin dari kelompok masyarakat lainnya (the poorest of the poor). Berdasarkan data World Bank mengenai kemiskinan, bahwa 108,78 juta orang atau 49% dari total penduduk Indonesia dalam kondisi miskin dan rentan menjadi miskin. Badan Pusat Statistik (BPS), dengan perhitungan berbeda dari Bank dunia, mengumumkan angka kemiskinan di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%). Angka tersebut diperoleh berdasarkan ukuran garis kemiskinan ditetapkan sebesar 1,55 dollar AS. Sebagian besar (63,47%) penduduk miskin di Indonesia berada di daerah pesisir dan pedesaan. (BPS, 2008) Secara geografis, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan wilayah lautan yang melebihi wilayah daratan. Luas perairan laut mencapai sekitar 5,8 juta km² atau 75% dari total wilayah Indonesia (Dahuri, 2004). Sedangkan secara ekonomi, potensi sektor kelautan belum termanfaatkan secara optimal, salah satunya adalah potensi perikanan tangkap yang mencapai 6,4 juta ton per tahun, baru termanfaatkan 3,9 juta ton per
tahun atau sekitar 59% dari total potensi (Kamaluddin, 2002: 85). Dengan demikian, sektor perikanan dan kelautan sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi potensinya dan dikembangkan secara maksimal nilai tambahnya, sehingga diharapkan dapat berperan sebagai penggerak utama pembangunan. Namun permasalahannya, pengelolaan sektor kelautan dan perikanan sering dijalankan atas dasar pertimbangan material atau ekonomi dengan dimensi waktu yang pendek, untuk memenuhi target pendapatan. Sedangkan aspekaspek sosial kultural masyarakat dan lingkungan cenderung terabaikan. Sementara itu, para nelayan selaku garda terdepan pemanfaatan potensi perikanan, yang didominasi oleh 94% nelayan tradisional, selalu menjadi “pihak yang kalah” karena dihadapkan pada ketidakadilan sistem yang cenderung memihak pada yang ”pihak yang kuat.” Para nelayan kecil dihadapkan pada banyak masalah agar mereka dapat survive untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Mulai dari rendahnya harga jual hasil ikan tangkapan, lemahnya posisi tawar dengan para pemilik modal, rendahnya kualitas SDM, rendahnya penguasaan teknologi, dan maraknya praktek illegal fishing adalah gambaran ketidakadilan sistem perikanan dan kelautan. Dibalik banyaknya permasalahan yang dihadapi masyarakat nelayan kecil diatas, ada persoalan yang lebih mendasar yaitu ketergantungan para nelayan pada sistem sosial yang telah menjerat mereka pada lingkaran setan kemiskinan (Kusumastanto, 2002). Mereka secara sadar sangat membutuhkan peran tengkulak maupun rentenir, sebagai suatu sistem sosial, yang pada dasarnya menjerat mereka sendiri untuk tetap terperangkap dalam kondisi kemiskinan berkelanjutan. Sistem ini sudah begitu melembaga pada masyarakat nelayan. Permasalahan nelayan tersebut juga dialami oleh nelayan tradisional di pantai Grajagan, kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan wawancara penulis, nelayan disana rata-rata terjerat dengan tengkulak. Tengkulak di daerah Grajagan bersikap semena-mena, seperti menetapkan harga secara sepihak, ketidaksesuaian berat ikan hasil melaut nelayan dengan uang yang mereka berikan kepada nelayan, pungutan nelayan yang semestinya untuk DKP
namun mereka ambil sendiri tanpa menyetorkan kepada DKP, dan masih banyak lainnya yang tidak sesuai dengan Syariah Salah satu upaya signifikan untuk menyelesaikan permasalahan nelayan ini adalah melalui pembentukan atau penguatan lembaga pembiayaan mikro yang sudah ada, yang dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri dan berkelanjutan sesuai kebutuhan para nelayan sendiri. Lembaga pembiayaan mikro ini harus meninggalkan praktik riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak menetapkan bunga dalam kegiatan simpan pinjamnya karena riba bertentangan dengan spirit kemitraan, keadilan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modal. Masalah kemiskinan nelayan merupakan masalah yang bersifat multidimensi sehingga untuk menyelesaikannya diperlukan solusi yang menyeluruh, dan bukan solusi secara parsial (Suharto, 2005). Oleh karena itu, harus diketahui akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan pada nelayan dan dicarika solusi yang tepat.
I.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana cara melepaskan nelayan dari jeratan tengkulak dari segi permodalan? I.3 Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui cara melepaskan nelayan dari jeratan tengkulak dari segi permodalan I.4. Manfaat Penelitian 1.
Dapat mengetahui cara melepaskan nelayan dari jeratan tengkulak dari segi permodalan
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gambaran Umum tentang Jawa Timur Luas wilayah Jawa Timur adalah 157.922 km² yang terdiri atas luas daerah 47.042,17 km², luas lautan 110.000,00 km². Hasil Sensus Penduduk 2010 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Jawa Timur pada bulan Mei 2010 yang lalu menunjukkan bahwa jumlah penduduk Jatim tahun 2010 mencapai 37.576.011 jiwa. Jumlah ini mencapai sekitar 15,78% dari total jumlah penduduk Indonesia 2010 yang mencapai 237,6 juta jiwa. Sementara laju pertumbuhan penduduk (LPP) Jatim 2010 mencapai 0,75%, naik dari tahun 2009 sebesar 0,52%. Seiring dengan tingginya jumlah penduduk provinsi Jawa Timur, terdapat sekelompok penduduk miskin yang berjumlah 4,8 juta orang. (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa Timur). 2.2 Karakteristik Penduduk Miskin 2.2.1 Karakteristik Penduduk Miskin Menurut Bank Dunia (World Bank) orang yang per kapita incomenya kurang dari US$ 2 (1 US$ = Rp 11.000,00) sehari, dianggap miskin. Artinya yang bersangkutan setiap harinya hanya bisa memenuhi kebutuhan hidupnya kurang dari US$ 2 sehari. Pemerintah Indonesia mempunyai ukuran lain untuk mendefinisikan arti kemiskinan. Kemiskinan itu didefiniskan dengan menghitung kebutuhan pangan seorang dalam sehari, diukur dengan satuan kalori, kemudian dikalikan dengan harga dan di US$-kan, yang tentunya akan lebih kecil dari US$ 2nya ukuran World Bank. Sedangkan World Bank menetapkan standar kemiskinan sebesar $2 (PPP)/hari. Klaimnya adalah ada 49% penduduk Indonesia (116 juta orang) berada dibawah garis kemiskinan berdasar standar Bank Dunia. Kepala
Badan
Pusat
Statistik
(BPS),
Rusman
Heriawan,
mengatakan bahwa kategori miskin adalah mereka dengan tingkat
pengeluaran per kapita per bulan sebesar Rp 211.726,00 atau sekitar Rp 7.000,00 per hari. Dalam penanggulangan masalah kemiskinan melalui program bantuan langsung tunai (BLT) BPS telah menetapkan kriteria keluarga miskin, yaitu: 1. Hidup dalam rumah dengan ukuran lebih kecil dari 8 m² per orang. 2. Hidup dalam rumah dengan lantai tanah atau lantai kayu berkualitas rendah/bambu. 3. Hidup dalam rumah dengan dinding terbuat dari kayu berkualitas rendah/bambu/rumbia/tembok tanpa diplester. 4. Hidup dalam rumah yang tidak dilengkapi dengan WC/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Hidup dalam rumah tanpa listrik. 6. Tidak mendapatkan fasilitas air bersih/sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Menggunakan kayu bakar, arang atau minyak tanah untuk memasak. 8. Mengkonsumsi daging atau susu seminggu sekali. 9. Belanja satu set pakaian baru setahun sekali. 10. Makan hanya sekali atau dua kali sehari. 11. Tidak mampu membayar biaya kesehatan pada Puskesmas terdekat. 12. Pendapatan keluarga kurang dari Rp 600.000,00 per bulan. 13. Pendidikan Kepala Keluarga hanya setingkat Sekolah Dasar. 14. Tidak memilik tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai Rp 500.000,00 (kendaraan, emas, ternak, dll) 15. Mempekerjakan anak di bawah umur. 16. Tidak mampu membiayai anak untuk sekolah. Ada satu kriteria tambahan lagi, yaitu rumah tangga yang tidak pernah menerima kredit usaha Usaha Kecil Menengah (UKM)/KUKM setahun lalu. (http://gemaniasbarat.wordpress.com/2010/01/17/kriteria-dan-batasanorang-miskin-di-indonesia/)
2.3 Gambaran Umum tentang Nelayan Indonesia Indonesia saat ini memiliki 3,2 juta rumah tangga nelayan. Jika tiap keluarga nelayan beranggotakan 5 orang, jumlah masyarakat nelayan sekitar 16 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, 1,7 juta jiwa (10,6%) berada di Jawa timur. Ironisnya, meskipun dua per tiga wilayah Indonesia berupa lautan, kehidupan 70% nelayan tergolong miskin. Kemiskinan nelayan disebabkan oleh hal-hal yang kompleks dan saling terkait, sehingga pendekatan dengan satu sudut pandang, tentu tidak bisa menyelesaikannya secara komprehensif. Skala prioritas penyelesaian masalah kemiskinan dan tahapan-tahapan berikutnya yang harus dilakukan secara terencana merupakan langkah yang harus ditempuh jika kita akan menyelesaikan kehidupan nelayan. Menurut Raymond Fith, kemiskinan nelayan paling tidak dicirikan oleh lima karakteristik, yaitu: 1. Pendapatan nelayan bersifat harian (daily increments) dan jumlahnya sulit ditentukan. Selain itu, pendapatannya juga sangat bergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti ia sebagai juragan (nelayan pemilik alat produksi) atau pandega (nelayan buruh). Dengan pendapatan yang bersifat harian, tidak dapat ditentukan, dan sangat bergantung pada musim, mereka (khusunya nelayan pandega) sangat sulit dalam merencanakan penggunaan pendapatannya. Keadaan ini mendorong nelayan untuk membelanjakan uangnya segera setelah mendapatkan penghasilan. Implikasinya, nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. 2. Tingkat pendidikan nelayan atau anak-anaknya pada umumnya rendah. Kondisi demikian mempersulit mereka dalam memilih atau memperoleh pekerjaan lain. Sementara itu, anak-anak nelayan yang berhasil mencapai pendidikan tinggi, maupun para sarjana perikanan, enggan berprofesi
sebagai nelayan, karena menganggap profesi nelayan sebagai lambang ketidakmampuan. 3. Jika dihubungakan dengan sifat produk yang dihasilkan nelayan lebih banyak berhubungan dengan ekonomi tukar-menukar karena produk tersebut bukan merupakan makanan pokok. Selain itu, sifat produk yang mudah rusak dan harus segera dipasarkan, menimbulkan ketergantungan yang besar dari nelayan kepada pedagang. Hal ini menyebabkan harga ikan dari nelayan dikuasai oleh pedagang. 4. Bidang perikanan membutuhkan investasi cukup besar dan cenderung mengandung risiko yang besar dibandingkan sektor usaha lainnya. Oleh karena itu, nelayan cenderung menggunakan armada dan peralatan tangkap yang sederhana, ataupun hanya menjadi anak buah kapal (ABK). Dalam hubungannya dengan pemilik kapal, nelayan terlibat dalam suatu pembagian hasil yang sering tidak menguntungkan. 5. Kehidupan nelayan yang miskin juga diliputi oleh kerentanan, misalnya ditunjukkan oleh terbatasnya anggota keluarga yang secara langsung dapat ikut dalam kegiatan produksi dan ketergantungan nelayan yang sangat besar pada satu mata pencaharian, yaitu menangkap ikan. Menurut Bagong Suyanto dalam Kusnadi, para tengkulak atau pedagang perantara (pedagang ikan) sebagai pihak tertuduh yang menyebabkan timbulnya kemiskinan nelayan. Dalam berbagai tulisan akademisi, sering para pedagang perantara (middleman) dianggap merugikan posisi ekonomi nelayan sebagai produsen ikan. Bahkan mereka juga disebut sebagai rentenir,tetapi bagi masyarakat nelayan, tengkulak merupakan tumpuan dan tempat mengadu hidup dalam situasi apapun (Kusnadi, 2004: 29). 2.4 Program Pemerintah untuk Permasalahan Nelayan Jika ditelusuri dalam kurun waktu 1975 sampai saat ini, pemerintah telah menggunakan tujuh pendekatan pembangunan perikanan di Indonesia. Ketujuh pendekatan itu adalah sebagai berikut:
1. Pendekatan orientasi produksi (product oriented), yang ditandai dengan adanya modernisasi dan motorisasi pada bidang penangkapan ikan 2. Pendekatan pemasaran rantai dingin (cool chain system), yang berusaha menghadirkan ikan segar ke konsumen 3. Pengembangan
kelembagaan
(institution
building),
yaitu
dengan
mengembangkan koperasi unit desa (KUD) dan tempat pelelangan ikan (TPI) untuk mendongkrak masalah permodalan dan pemasaran 4. Pendekatan INTAM (intensifikasi tambak), yang pada awalnya gemilang, namun akhirnya gulung tikar 5. Pendekatan agribisnis, yaitu berusaha memperbaiki model yang parsial menjadi lebih holistik (dari hulu sampai hilir) 6. Program peningkatan ekspor hasil perikanan (Protekan) 2003, yang bertumpu pada kegiatan budidaya perikanan 7.
Pendekatan holistik empat dimensi, yang berusaha mengintegrasikan unsur ekologi, ekonomi, sosial-politik dan hukum serta kelembagaan.
8.
Data-data selama ini menunjukkan bahwa pembangunan perikanan telah mampu meningkatkan produksi, devisa, dan tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia. Akan tetapi, pembangunan perikanan nasional masih belum berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan, terutama nelayan tradisional dan buruh nelayan. (Kusnadi, 2004: 40)
2.5 Lembaga Keuangan Mikro Islam Alasan diperlukannya lembaga keuangan mikro Syariah: 1. Pengusaha atau yang akan membuka usaha mayoritas adalah masih lemah dipermodalan khususnya modal uang 2. Usaha umat mayoritas adalah dalam skala industri kecil dan industri rumah tangga sehingga kebutuhan modalnya juga kecil 3. Industri kecil pada umum sulit berhubungan dengan bank yang besar mungkin dinilai kurang ekonomis sehingga banyak yang terjebak pada rentenir dengan bunga yang mencekik 4. Umat harus tetap berusaha tetapi harus dibebaskan dari sistem ribawi 5. Pengelolaannya sederhana dan dapat menjangkau pelosok-pelosok
6. Ekonomi umat harus berdaya agar umat menjadi mandiri
Model lembaga mikro Syariah yang sesuai kondisi umat: 1. Pengelolaan yang sederhana 2. Membutukan modal yang kecil 3. Modal berasal dari umat, dimiliki umat, oleh umat, dan untuk umat 4. Modal dari WAZIS (waqaf, zakat, infaq, dan shodaqoh) 5. Menjalankan fungsi pembimbingan, pendampingan, keuangan, bisnis, dan amil Model lembaga mikro Syariah yang tepat dengan kondisi umat yaitu koperasi simpan pinjam dengan prinsip syari’ah yaitu sistem bagi hasil. Sistem bagi hasil digunakan karena lebih efektif daripada sistem bunga. Perbandingan sistem bagi hasil dengan bunga, diantaranya: Tabel 1: Perbandingan Sistem Bagi Hasil dengan sistem Bunga No 1.
Bagi Hasil Melakukan
Bunga
investasi-investasi Investasi yang halal dan haram
yang halal saja 2.
Profit dan falah oriented dunia Profit akhirat kelak
oriented
mementingkan
dan
cenderung
dunia
dan
mengabaikan akhirat kelak 3.
Hubungan dalam
dengan bentuk
nasabah Hubungan dengan nasabah dalam hubungan bentuk hubungan debitor-kreditor
kemitraan 4.
Penghimpunan dan penyaluran Tidak terdapat dewan sejenis dana harus sesuai dengan fatwa Dewan Pengawas Syari’ah
5.
Penentuan besarnya rasio/nisbah Penentuan bunga dibuat pada waktu bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu akad dengan berpedoman pada untung kemungkinan untung ataupun rugi.
6.
Besarnya
rasio
bagi
hasil Besarnya persentase berdasarkan pada
berdasarkan
pada
jumlah jumlah
keuntungan yang diperoleh. 7.
uang
Besarnya bagi hasil tergantung Pembayaran bunga tetap seperti yang
proyek yang dijalankan.
dengan
menimbang
pembayaran
meningkatnya meningkat
jumlah pendapatan.
tanpa
apakah proyek untung atau rugi.
Besarnya bagi hasil meningkat Jumlah sesuai
9.
yang
dipinjamkan.
pada keuntungan / kerugian diperjanjikan,
8.
(modal)
bunga
sekalipun
tidak jumlah
keuntungan meningkat.
Selama keuntungan usaha positif Hanya usaha yang keuntungannya layak dibiayai
10. Tidak
ada
lebih tinggi dari tingkat bunga yang
keabsahan bagi hasil.
meragukan Keberadaan
bunga
dikecam
oleh
seluruh agama, termasuk Islam.
2.5.1 Koperasi Syariah Sebagian ulama menyebut koperasi sebagai syirkah ta’awuniyah (persekutuan tolong menolong) yang merupakan persekutuan baru yang belum dikenal atau dijelaskan oleh fuqaha terdahulu, yaitu suatu perjanjian kerjasama antara dua orang atau lebih yang satu pihak menyediakan modal usaha sedangkan pihak lain melakukan usaha atas dasar profit sharing. Ulama yang lain menganggap koperasi menggunakan konsep syirkah mufawadhah yaitu usaha yang didirikan dua orang atau lebih, yang masing-masing memberikan kontribusi dana dalam porsi yang sama dan berpartisipasi dalam bobot yang sama, masing-masing partner saling menanggung, dan tidak boleh memasukan modal lebih besar dan memperoleh keuntungan lebih besar pula. Dalam Islam, koperasi tergolong sebagai syirkah atau syarikah. Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Lembaga yang seperti itu sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah
dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” Koperasi harus meninggalkan praktik riba berupa penggunaan skim bunga dalam kegiatan usahanya. Tidak menetapkan bunga dalam kegiatan simpan pinjamnya. Karena, riba bertentangan dengan spirit kemitraan, keadilan, dan kepedulian terhadap lingkungan. Sistem bunga tidak peduli dengan nasib debiturnya dan tidak adil dalam penetapan bunga atas pokok modal. Koperasi konvensional lebih mengutamakan mencari keuntungan untuk kesejahteraan anggotanya baik secara tunai maupun dengan cara membungakan uang yang ada pada anggotanya sedangkan para anggota yang meminjam mengalami defisit keuangan sehari-hari dan pihak koperasi melakukan tindakan yang sama kepada setiap peminjam. Pada koperasi Syariah hal tersebut tidak dibenarkan, setiap transaksi pembiayaan diseseuaikan dengan jenis kebutuhan anggotanya. 2.5.1.1 Landasan Hukum Koperasi Syariah Landasan hukum koperasi Syariah yaitu QS. Al-Maidah: 2 dan hadist riwayat Imam Bukhari dan Imam Ahmad dari Anas bin Malik r.a bahwa Rasulullah bersabda, “Tolonglah saudaramu yang menganiaya dan yang aniaya dan yang dianiaya, Sahabat bertanya: Ya Rasulullah aku dapat menolong orang yang dianiaya setiap hari, tapi bagaimana menolong yang menganiaya? Rasul menjawab: Kamu tahan dan mencegahnya dari menganiaya itulah arti menolong daripadanya.” 2.5.1.2 Hakikat Koperasi Syariah Peran dan fungsi koperasi Syariah, yaitu: 1. Sebagai manajer investasi 2. Sebagai Investor 3. Fungsi sosial
Prinsip operasional koperasi Syariah tidak jauh berbeda dengan Bank Syariah, BPRS, dan BMT. Sumber dana koperasi Syariah: 1. Simpanan Sukarela 2. Investasi pihak lain 3. Dana ZIS 4. Modal Koperasi: simpanan pokok dan wajib, dana hibah, dan L/R sisa usaha berjalan Penyaluran Dana Koperasi Syariah: 1. Jasa 2. Jual beli 3. Investasi Pembiayaan 4. Penempatan Lainnya Reveneu Distribution: 1. 55% untuk L/R SHU 2. 45% untuk bagi hasil dan bonus 2.6 Etika Bisnis Islam Islam merupakan sumber nilai dan etika dalam segala aspek kehidupan manusia secara menyeluruh, termasuk wacana bisnis. Islam memiliki wawasan yang komprehensif tentang etika bisnis, mulai dari prinsip dasar, pokok-pokok kerusakan dalam perdagangan, faktor-faktor produksi, tenaga kerja, modal organisasi, distribusi kekayaan, upah, barang dan jasa, kualifikasi dalam bisnis, sampai kepada etika sosialekonomi menyangkut hak milik dan hubungan sosial. Etika bisnis memegang peranan penting dalam membentuk pola dan sistem transaksi bisnis yang pada akhirnya menentukan nasib bisnis yang dijalankan seseorang. Dr. Husain Syahatah dan Dr. Siddiq Muh. Al-Amin adh-
Dhahir dalam Transaksi dan Etika Bisnis Islam menjelaskan pentingnya etika dalam berbisnis, yaitu: 1. Terjadinya kerusakan moral yang semakin meluas pada perusahaan akhirakhir ini 2. Studi lapangan menunjukkan bahwa kuatnya pemberdayaan etika yang unggul dapat membawa nama baik perusahaan Rasulullah SAW banyak memberikan petunjuk mengenai etika bisnis, diantanya adalah: 1. Prinsip esensial dalam bisnis adalah kejujuran, dalam Islam kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah bersabda: ”Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya”. ( HR.al-Quzwani) 2. Kesadaran tentang signifikasi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. 3. Tidak melakukan sumpah palsu. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari, Nabi Bersabda: “Dengan Melakukan sumpah palsu, barang-barang memang terjual tetapi hasilnya tidak berkah. 4. Ramah tamah Nabi Muhammad SAW mengatakan, ”Allah merahmati seorang yang ramah dan toleran dalam berbisnis (H.R al-Bukhari dan atTirmidzi) 5. Tidak boleh berpura-pura menawar dengan harga tinggi agar orang lain tertarik untuk membeli dengan harga tersebut hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW janganlah kalian semua melakukan bisnis najasi (seorang pembeli tertentu berkolusi dengan penjual, untuk menaikkan harga, bukan berniat membeli, tetapi agar menarik orang lain untuk membeli) 6. Tidak boleh menjelek-jelekkan bisnis orang lain. Nabi Muhammad SAW bersabda “Janganlah seseorang diantara kalian menjual dengan maksud untuk menjelekkan apa yang dijual oleh orang lain”. (Muttafaqun’alaih)
7. Tidak melakukan Ihtikar, yaitu menumpuk dan menyimpan barang dengan masa tertentu dengan tujuan agar harganya suatu saat menjadi naik dan mendapat keuntungan yang besar. 8. Takaran,ukuran dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbangan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan, Allah SWT berfirman, ”Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi” (QS. AlMuthaffifin: 1-3). 9. Bisnis tidak boleh mengganggu ibadah kepada Allah. Allah berfirman, “Orang yang tidak dilalaikan oleh bisnis lantaran mengingat Allah, dan dari mendirikan sholat dan membayar zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang hari itu, hati dan penglihatan menjadi goncang.” (QS. An-Nur: 37) 10. Membayar upah sebelum keringat karyawan kering. Rasulullah SAW bersabda,”Berikanlah upah kepada karyawan sebelum keringatnya kering. 11. Tidak memonopoli. Individu mengeruk keuntungan secara pribadi tanpa member kesempatan kepada orang lain.hal ini dilarang dalam Islam. 12. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi mudharat yang dapat mergikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. 13. Komoditi yang dijual adalah barang yang suci dan halal. 14. Bisnis dilakukan dengan suka rela tanpa paksaan. Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang bathil, kecuali dengan jenis bisnis yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu”. (QS. An-Nisa’:29) 15. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya 16. Memberikan tenggang waktu apabila yang mempunyai hutang belum mampu
membayar.
menangguhkan
Nabi
orang
SAW
yang
bersabda,
kesulitan
”Barang
membayar
siapa
yang
hutang
atau
membebaskannya, Allah memberikan naungan di bawah naungan-Nya. (HR. Muslim) 17. Bisnis yang dilaksanakan bersih dari unsur riba. (Qs. Al-Baqarah: 278)
BAB III METODOLOGI PENULISAN
3.1 Diagram alur penulisan Memilih Masalah Studi Pendahuluan Merumuskan Masalah Menentukan Anggapan Dasar Memilih Pendekatan
Menentukan Variabel
Menentukan Sumber Data
Menentukan dan Menyusun Instrumen Mengumpulkan Data Analisis Data Menarik Simpulan Menyusun Laporan
Gambar 2 : Diagram Alur Penelitian (Arikunto, 2002 : 26)
3.2 Metodologi Pengumpulan Data Jenis penelitian ini yaitu deskriptif kuantitatif. Sedangkan metodologi pengumpulan data yang kami tempuh dengan 3 cara, yaitu : 1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan dilaksanakan dengan membaca buku-buku pendukung. Studi kepustakaan dilaksanakan di ruang baca FEB Unair pada tanggal 15 November 2010 dan 18-19 November 2010 2. Browsing dan download dari Internet 3. Wawancara Wawancara kami lakukan kepada 6 nelayan Grajagan Tempat
: Desa Grajagan, kecamatan Purwoharjo, kabupaten Banyuwangi
Waktu
: 13-15 November 2010
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 Kemiskinan Nelayan Sekitar 16,2 juta nelayan di Indonesia atau sekitar 44% dari jumlah nelayan yang mencapai 37 juta jiwa hidup dibawah ambang kemiskinan. Menurut data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), rata-rata penghasilan nelayan sepanjang 2009 sudah naik sekitar Rp 500.000,00 dibandingkan dengan pendapatan pada 2008. Upah minimum di provinsi Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya Rp 805.500,00, Kabupaten Sampang Rp 690.000,00, Kabupaten Tuban Rp 870.000,0, sedangkan di Kabupaten Banyuwangi pada tahun 2009 adalah Rp 744.000,00, dan pada saat ini tahun 2010 Rp 824.000,00 (hrcentro.com). Berdasarkan data tersebut, walaupun pendapatan nelayan mengalami kenaikan tetapi masih berada di bawah upah minimum. Sementara itu, fakta lain menunjukkan penurunan nilai tukar nelayan (NTN) sebesar 0,29% terjadi di penghujung 2009. Angka yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) ini menjelaskan adanya ketimpangan antara nilai pendapatan nelayan sebagai produsen dan kemampuan nelayan sebagai konsumen untuk memenuhi kebutuhan pokok keseharian. Banyak sekali permasalahan nelayan yang masih menjadi pekerjaan rumah bangsa ini, seperti kemiskinan, BBM, sampah, tingkat pendidikan, sumber daya ikan, konflik antarnelayan, formalin, tengkulak, dan sebagainya. Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintah pun telah menggulirkan banyak sekali program dan kegiatan dengan jumlah uang yang tidak sedikit, seperti Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP), Solar Packed Dealer Nelayan (SPDN), PNPM Mandiri, Kredit Usaha Rakyat (KUR), bantuan langsung alat-alat perikanan, dan masih banyak lagi. 4.1.1 Permasalahan yang ditimbulkan oleh tengkulak Pada beberapa kasus, tengkulak adalah pemilik modal (capital holder). Dari kacamata bisnis, tengkulak adalah sebuah sistem ekonomi
yang sah, dimana setiap pebisnis, apa pun bentuknya, baik firma maupun perseorangan, tentu akan berupaya untuk mempertahankan bisnisnya. Upaya tersebut bisa dalam bentuk diskon, iklan, entertain, pembentukan opini, dan sebagainya. Sebagai sistem ekonomi, tengkulak pun mengeluarkan biaya iklan dan entertain untuk mempertahankan bisnisnya. Bentuknya adalah dengan melakukan pendekatan sosial (sosial approach). Mereka dapat memberikan pinjaman tanpa kolateral (agunan) kepada para nelayan kapan pun mereka butuhkan. Tentu, dengan harapan agar mereka tetap terikat dan tidak lari kepada tengkulak lain. Mirip dengan iklan berhadiah produk-produk di televisi yang selalu ingin mengikat pelanggannya. Hasilnya, kemiskinan nelayan tetap terpelihara karena monopoli harga ikan dan sistem pemasaran ditentukan oleh sang tengkulak. Hal ini seperti yang di alami oleh Pak Jumari seorang nelayan tradisional di Grajagan, Kabupaten Banyuwangi. Berdasarkan hasil wawancara kami dengan Pak Jumari, kasus tengkulak pada nelayan yang umum terjadi di Indonesia juga dialami oleh nelayan di Grajagan. Pada awalnya tengkulak memberi modal Rp 15.000.000,00 yang berupa perahu beserta alat-alat dan perlengkapan untuk menangkap ikan. Tengkulak menganggap Rp 15.000.000,00 tersebut sebagai hutang. Nelayan dalam pelunasan hutang yang Rp 15.000.000,00 tidak diizinkan untuk membayar dengan sistem cicilan. Jadi nelayan harus membayar kontan Rp 15.000.000,00 jika ingin terbebas dari hutang tersebut. Permasalahan pun muncul ketika nelayan harus menjual ikan hasil tangkapannya kepada tengkulak tersebut dengan harga jauh lebih murah dari harga pasar. Kasus yang pernah terjadi yaitu harga ikan layur dipasar Rp 23.000,00 per kg, tengkulak membeli dari nelayan Grajagan seharga Rp 15.000,00 per kg. Bahkan pernah terjadi ketika harga ikan lemuru dipasaran 10.000 per kg, tengkulak membeli dengan harga Rp 1500,00 saja. Ikan kakap Rp 17.000,00 per kg dibeli oleh para tengkulak Rp 11.000,00.
Selain itu nelayan masih harus membayar entres (iuran wajib yang dikenakan DKP) sebesar 2%. Entres nelayan dibayarkan melalui tengkulak. Sejak awal DKP menetapkan besar entres sebesar 4%, dengan rincian tengkulak 2% dan nelayan 2%. Namun, kenyataannya dana untuk entres yang telah dibayar rutin oleh para nelayan tersebut sering tidak benar-benar masuk ke dana DKP. Hal ini terbukti dari pernyataan pak Jumari, pak Jumari yang menjadi nelayan sejak 1985 sampai saat ini selalu rutin membayar entres. Pada bulan Oktober 2010 pak Jumari didatangi oleh pihak DKP yang mengatakan bahwa pak Jumari tidak pernah membayar entres. Pak Jumari memiliki bukti pembayaran entres berupa nota pembayaran karena setiap pembayaran entres tengkulak selalu memberikan nota. Setelah ditunjukkan nota bukti pembayaran entres, petugas DKP membawa bukti tersebut. Tengkulak Grajagan memberikan nota ketika mereka membeli ikan hasil tangkapan nelayan. Rincian nota dari tengkulak selain untuk entres, tertulis juga rincian untuk menabung besarnya 10% dari hasil yang diperoleh. Jadi tengkulak memotong sebesar 10% dari total hasil tangkapan ikan nelayan. Pada kenyataannya uang yang tertulis sebagai tabungan itu tidak pernah bisa diambil oleh para nelayan. Bisa dikatakan istilah menabung dalam nota tersebut merupakan pajak yang dikenakan oleh para tengkulak kepada setiap nelayan per hasil tiap hari yang didapatkan. Selain pengeluaran-pengeluaran tersebut diatas, nelayan masih harus menanggung biaya pengiriman ikan ke tengkulak. Tengkulak memperkerjakan orang untuk mengambil ikan hasil tangkapan nelayan. Nelayan membayar pekerja tersebut dengan 2-3 kg ikan per nelayan. Jumlah tersebut bergantung pada kualitas hasil tangkapan. Tempat pelelangan ikan (TPI) yang seharusnya berfungsi untuk melindungi nelayan dari permainan harga para tengkulak kini sudah tidak berfungsi lagi karena TPI dikuasai para tengkulak. Selain itu dalam timbangan pun terdapat kecurangan, yaitu beratnya tidak sesuai dengan
berat sebenarnya, misal berat sebenarnya yaitu 50 kg rata-rata hanya akan menjadi 35 kg. Biaya operasional nelayan dalam mencari ikan seperti bahan bakar, kerusakan jaring, perawatan mesin, dan sebagainya juga harus ditanggung sendiri oleh para nelayan. Tengkulak sering memberikan bantuan berupa jaring, peralatan kapal, makanan, minuman, untuk melaut. Namun bantuan tersebut terhitung sebagai hutang oleh tengkulak. Menurut penuturan pak Jumari, tengkulak pernah menagih sebesar 45 juta kepadanya. Apabila para nelayan tidak mau membayar hutang tersebut, maka perahu dan peralatan lainnya akan disita sehingga mereka tidak dapat bekerja. Oleh karena itu nelayan Grajagan tidak pernah memiliki pilihan lain karena apabila tidak bekerja maka tidak akan mendapat penghasilan. Nelayan Grajagan tidak dapat mendapat pinjaman dari bank karena mereka tidak memiliki jaminan yang bisa digunakan untuk meminjam dan prosesnya pun lebih sulit dalam peminjaman modal kepada bank. Koperasi Unit Desa (KUD) yang berada di daerah pesisir tidak dapat membantu apa-apa karena KUD telah lama tutup. KUD tersebut tutup karena kekurangan dana. Apabila sebetulnya ada dana yang turun maka tidak sampai jatuh ke tangan nelayan melainkan ke para tengkulak.
4.2 Solusi Permodalan Nelayan Dari permasalahan yang dialami oleh para nelayan Grajagan, Kecamatan Purwoharjo, Kabupaten Banyuwangi diperlukan solusi yang tepat untuk melepaskan nelayan dari jeratan para tengkulak dari segi permodalan karena dengan adanya tengkulak nelayan akan sulit untuk meingkatkan kesejahteraan mereka. Dari keterangan yang di berikan oleh bapak Jumari terlihat bahwa yang dilakukan oleh para tengkulak sangat tidak sesuai dengan etika bisnis Islam diantaranya yaitu: 1. Kesemena-menaan tengkulak dalam memberikan harga dan mengenai timbangan yang tidak sesuai sangat tidak relevan dengan etika bisnis
Islam. Prinsip esensial dalam bisnis Islam adalah kejujuran karena kejujuran merupakan syarat fundamental dalam kegiatan bisnis. Rasulullah bersabda: ”Tidak dibenarkan seorang muslim menjual satu jualan yang mempunyai aib, kecuali ia menjelaskan aibnya (HR.al-Quzwani) 2. Kesadaran tentang signifikasi sosial kegiatan bisnis. Pelaku bisnis menurut Islam tidak hanya sekedar mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya, tetapi juga berorientasi kepada sikap ta’awun (menolong orang lain) sebagai implikasi sosial kegiatan bisnis. Dari kasus nelayan Grajagan, dapat ditemukan perilaku tengkulak yang hanya mengejar keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan nasib dari para nelayan dalam hal kecurangan pemungutan entres, pajak yang disebut dengan istilah ‘nabung’, dan pengeluaran lain-lain yang harus ditanggung oleh nelayan. 3. Takaran, ukuran, dan timbangan yang benar. Dalam perdagangan, timbanagan yang benar dan tepat harus benar-benar diutamakan. Allah SWT berfirman, ”Celakalah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain mereka mengurangi” (QS. Al-Muthaffifin: 1-3). Hal ini terbukti dalam timbangan yang dilakukan tengkulak. Beratnya tidak sesuai dengan berat sebenarnya, misalkan berat ikan-ikan tersebut sebenarnya 50kg maka hanya akan menjadi 35kg. 4. Dalam hal permainan harga, tengkulak sangat tidak sesuai dengan etika bisnis Islam yaitu tidak memonopoli. Namun kenyataannya, tengkulak mengeruk keuntungan secara pribadi tanpa memberi kesempatan kepada nelayan. Hal ini dilarang dalam Islam. 5. Tidak boleh melakukan bisnis dalam kondisi mudharat yang dapat merugikan dan merusak kehidupan individu dan sosial. 6. Bisnis dilakukan dengan suka rela tanpa paksaan. Allah SWT berfirman: ¸ot•»pgÏB šcqä3s? br& HwÎ) È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ Mà6oY÷•t/ Nä3s9ºuqøBr& (#þqè=à2ù's? Ÿw (#qãYtB#uä šúïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ ÇËÒÈ $VJŠÏmu‘ öNä3Î/ tb%x. ©!$# ¨bÎ) 4 öNä3|¡àÿRr& (#þqè=çFø)s? Ÿwur 4 öNä3ZÏiB <Ú#t•s? `tã
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[287]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa’: 29) 7. Segera melunasi kredit yang menjadi kewajibannya. Sesuai dengan etika bisnis Islam, para nelayan seharusnya segera melunasi hutang, tetapi karena keadaan ekonomi mereka tidak bisa memenuhi. 8. Memberikan tenggang waktu apabila yang mempunyai hutang belum mampu
membayar.
menangguhkan
Nabi
orang
SAW
yang
bersabda,
kesulitan
”Barang
membayar
siapa
yang
hutang
atau
membebaskannya, Allah memberikan naungan di bawah naungan-Nya (HR.Muslim). Namun, dalam prakteknya apabila nelayan tidak segera membayar hutang tambahan yang dikenakan tengkulak, maka perahu dan peralatan melaut lainnya akan disita. 9. Bisnis yang dilaksanakan harus bersih dari unsur riba. ÇËÐÑÈ tûüÏZÏB÷s•B OçFZä. bÎ) (##qt/Ìh•9$# z`ÏB u’Å+t/ $tB (#râ‘sŒur ©!$# (#qà)®?$# (#qãZtB#uä šúïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa Riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman.” (Qs.Albaqarah 278). Hutang
Tambahan
yang
dikenakan
oleh
para
tengkulak
tanpa
sepengetahuan nelayan merupakan salah satu bentuk dari praktek ribawi. 4.2.1 Perfect market dan intervensi pemerintah Untuk memahami sistem ekonomi tengkulak, kita harus berangkat dari teori ekonomi yang dikenal dengan istilah kesempurnaan pasar (perfect market). Secara sederhana, kondisi pasar sempurna inilah yang diharapkan oleh semua orang karena pada kondisi ini semua pihak akan merasa senang, sama-sama untung, dan tidak ada yang membatasi dan menghambat dalam setiap tahapan interaksi. Namun, dalam tataran praktis, tentu sistem ini belum pernah terwujud karena akan cukup sulit
untuk memuaskan semua orang. Pasti akan selalu ada elemen yang ingin meraup keuntungam lebih sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu untuk meraih sebesar-besarnya keuntungan dengan mengefisienkan upaya. Bahkan, ada pula yang dirugikan atau bahkan terlempar dari mekanisme pasar. Itulah alasannya mengapa pemerintah, sebagai pihak yang melindungi semua komponen pasar, harus menyediakan instrumen untuk menjaga agar tidak terjadi kegagalan pasar (market failure). Pemerintah perlu melakukan intervensi terhadap pasar, melalui berbagai instrumennya, agar roda perekonomian dapat tetap berjalan. Dari sinilah kita mengenal istilah kebijakan subsidi (subsidy policy) untuk petani dan nelayan kecil karena mereka tidak mampu menyediakan unsur-unsur faktor produksi, seperti pupuk dan BBM. Tanpa subsidi, mustahil akan ada beras dan ikan karena biaya produksi lebih besar daripada keuntungan (nonprofitable). Selain itu, kita juga mengenal istilah-istilah lain, seperti kebijakan fiskal dan moneter, pengurangan pajak, deregulasi, antimonopoli, dan sebagainya. Intervensi semacam inilah yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah untuk mengatur hegemoni sistem ekonomi tengkulak, di mana pada kondisi tertentu, mereka telah menciptakan sistem ekonomi monopoli. Para tengkulak beroperasi mulai dari penyediaan finansial, pemilikan faktor-faktor produksi, dan menentukan jalur pemasaran. Artinya, semua mata rantai dikuasai oleh mereka. Bisa jadi sistem ini tidak sesuai dengan Pasal 17 UU No. 05/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. 4.2.2 Sistem Bagi Hasil Pemerintah Ada sistem lain yang dapat dimasukkan dalam kebijakan 'intervensi' pemerintah terhadap sistem ekonomi tengkulak tersebut, yaitu sistem bagi hasil. Bahkan, sistem bagi hasil ini sudah dipikirkan dari sejak zaman orde lama sebagai bukti bahwa pemerintah sudah lama peduli terhadap mereka. Pemerintahan orde lama yang berbau sosialis itu justru telah mengeluarkan sebuah undang-undang yang betul-betul melindungi rakyat kecil, baik petani maupun nelayan, yaitu UU No.
02/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (Pertanian) dan UU No. 16/1964 tentang Bagi Hasil Perikanan. Bahkan, pelaksanaan bagi hasil ini harus diawasi oleh pemerintah daerah untuk menghindari pemerasan dan ketidakadilan. Pasal-pasal dalam undang-undang tersebut betul-betul mengatur secara perinci praktik bagi hasil usaha perikanan. Seperti, Pasal 3 ayat 1 UU 16/1964 yang menyebutkan bahwa "Jika suatu usaha perikanan diselenggarakan atas dasar perjanjian bagi-hasil, dari hasil usaha itu kepada pihak nelayan penggarap dan penggarap tambak paling sedikit harus diberikan bagian sebagai berikut. Untuk perikanan laut: a. jika dipergunakan perahu layar: minimum 75% dari hasil bersih; b. jika dipergunakan kapal motor: minimum 40% dari hasil bersih." Sementara itu, Pasal 3 ayat 2 menyebutkan, "Pembagian hasil di antara para nelayan penggarap dari bagian yang mereka terima menurut ketentuan dalam ayat 1 pasal ini diatur oleh mereka sendiri dengan diawasi oleh Pemerintah Daerah Tingkat II yang bersangkutan untuk menghindarkan terjadinya pemerasan, dengan ketentuan, bahwa perbandingan antara bagian yang terbanyak dan yang paling sedikit tidak boleh lebih dari 3 (tiga) lawan 1 (satu)." Itulah bukti bahwa pemerintah sebenarnya sejak dahulu telah memerhatikan kesejahteraan nelayan sampai masalah bagi hasil saja harus diatur oleh sebuah undang-undang. Namun, pada praktiknya, peraturan semacam ini tidak diaplikasikan. Di sisi lain, harapan akan adanya peningkatan kesejahteraan dan kemampuan nelayan pun akan semakin nyata. Jika saja peningkatan kemampuan sumber daya manusia nelayan ini bisa dilaksanakan melalui program yang baik, konsisten dan berkesinambungan, diharapkan dalam waktu tidak terlalu lama para nelayan tradisional yang serba kekurangan bisa naik kelas menjadi nelayan modern seperti yang diharapkan. 4.2.3 Koperasi Syariah Dalam
Islam, koperasi tergolong sebagai
syirkah/syarikah.
Lembaga ini adalah wadah kemitraan, kerjasama, kekeluargaan, dan kebersamaan usaha yang sehat, baik, dan halal. Lembaga seperti itu
sangat dipuji Islam seperti dalam firman Allah, “Dan bekerjasamalah dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah saling bekerjasama dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2). Lihat juga suratAn-Nisa’:12 dan Shaad:24. Bahkan, Nabi saw tidak sekadar membolehkan, juga memberi motivasi dengan sabdanya dalam hadits, “Aku (Allah) merupakan pihak ketiga yang menyertai (untuk menolong dan memberkati) kemitraan antara dua pihak, selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak lainnya. Jika salah satu pihak telah melakukan pengkhianatan terhadap mitranya, maka Aku keluar dari kemitraan tersebut.” (Abu Daud dan Hakim). Beliau juga bersabda, “Allah akan mengabulkan doa bagi dua orang yang bermitra selama di antara mereka tidak saling mengkhianati.” (Al-Bukhari) Prinsip operasional koperasi Syariah tidak jauh berbeda dengan Bank Syariah, BPRS, dan BMT. Koperasi Syariah berdiri untuk meningkatkan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta turut membangun tatanan perekonomian yang berkeadilan sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Modal awal koperasi bersumber dari dana usaha. Dana-dana ini dapat bersumber dari dan diusahakan oleh koperasi Syariah, misalkan dari modal sendiri, modal penyertaan, dan dana amanah. Modal sendiri didapat dari simpanan pokok, simpanan wajib, cadangan, hibah, dan donasi, sedangkan modal penyerta didapat dari anggota, koperasi lain, bank, penerbitan obligasi, dan surat utang serta sumber lainnya yang sah. Adapun dana amanah dapat berupa simpanan sukarela anggota, dana amanah perorangan atau lembaga. Peran dan fungsi koperasi Syariah yaitu sebagai manajer investasi, sebagai investor, dan fungsi sosial. Koperasi syari’ah diperlukan keberadaannya karena: 1. Pengusaha atau yang akan membuka usaha mayoritas adalah masih lemah di permodalan khususnya modal uang
2. Usaha umat mayoritas adalah dalam skala industri kecil dan industri rumah tangga sehingga kebutuhan modalnya juga kecil 3. Industri kecil pada umum sulit berhubungan dengan bank yang besar mungkin dinilai kurang ekonomis sehingga banyak yang terjebak pada rentenir dengan bunga yang mencekik 4. Umat harus tetap berusaha tetapi harus dibebaskan dari sistem ribawi 5. Pengelolaannya sederhana dan dapat menjangkau pelosok-pelosok 6. Ekonomi umat harus berdaya agar umat menjadi mandiri Penyaluran dana koperasi Syariah diperuntukkan untuk jasa, jual beli,
investasi
pembiayaan,
dan
penempatan
lainnya.
Revenue
Distributionnya 55% untuk L/R SHU, sedangkan 45% untuk bagi hasil dan bonus. Kriteria koperasi Syariah yang sesuai kondisi umat, antara lain: 1. Pengelolaan sederhana 2. Membutukan modal yang kecil 3. Modal berasal dari umat, dimiliki umat, oleh umat dan untuk umat 4. Modal dari WAZIS (waqaf, zakat, infaq dan shodaqoh) 5. Menjalankan fungsi pembimbingan, pendampingan, keuangan, bisnis dan amil 6. Menggunakan prinsip syari’ah yaitu sistem bagi hasil Sumber modal koperasi Syariah harus dimiliki umat atau WAZIS karena: 1. Menghindari terlalu mengedepankan profitabilitas dan pengembalian modal 2. Kinerjanya diukur dengan kemaslahatannya dan kesejahteraan umat yang tercapai serta kemurnian syari’ahnya 3. Lebih terjaga kemurnian syari’ahnya karena dikontrol oleh umat 4. Kalau memperoleh laba juga kembali lagi pada umat Apabila dimiliki oleh pemodal, maka:
1. Mengedepankan profitabilitas dan pengembalian modal sehingga market oriented dan product oriented 2. Kinerjanya diukur dengan bukan kemaslahatannya dan kesejahteraan umat yang tercapai tetapi lebih menekankan maksimum profit 3. Sulit terjaga kemurnian syari’ahnya karena sulit dikontrol oleh umat 4. Laba hanya dinikmati oleh privat sehingga tidak berbeda dengan sistem kapitalisme Kelebihan-kelebihan yang dimiliki koperasi Syariah inilah yang sesuai dengan permasalahan nelayan Grajagan. Dalam koperasi Syariah, nelayan yang lemah pada permodalan akan mendapatkan bantuan modal dari kopersi Syariah. Bantuan modal ini tidak memberatkan nelayan karena sistem yang digunakan koperasi Syariah yaitu sistem bagi hasil. Kelebihan sistem bagi hasil yaitu besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh. Pada sistem bagi hasil besarnya bagi hasil tergantung pada keuntungan atau kerugian proyek yang dijalankan. Hal ini berbeda dengan sistem bunga dimana pembayaran bunga tetap seperti yang diperjanjikan, tanpa menimbang apakah proyek untung atau rugi. Dalam kasus yang terjajadi pada nelayan Grajagan, pemerintah harus mengambil tindakan untuk bisa melepaskan para nelayan dari jeratan tengkulak, salah satunya dengan
meluncurkan Program
Pemberdayaan Kemandirian Nelayan (PPKN). Pertama yaitu Mendirikan atau memperbaiki KUD di daerah Grajagan yang telah ada sebelumnya menjadi KUD Syariah. KUD harus dijalankan fungsinya dengan baik dari, oleh, dan untuk nelayan dengan pengarahan dan pangawasan dari pemerintah. Pengawasan tersebut bisa diambil alih oleh pihak DKP.Apabila perangkat dari KUD Syariah telah ada, lalu berjalan dan berfungsi secara stabil, tugas pemerintah berikutnya yaitu menjalankan program tambahan dengan cara menyediakan dana tambahan untuk pembebasan hutang modal nelayan kepada tengkulak. Pembebasan hutang nelayan ini penting karena jika tidak dibebaskan maka nelayan
akan tetap terjebak dengan tengkulak sehingga kesejahteraanya tidak dapat berkembang. Dalam progam tersebut KUD Syariah mengambil beberapa nelayan Grajagan untuk pembebasan hutang modalnya dari tengkulak. Jika dimisalkan pemerintah menurunkan dana untuk melepaskan hutang permodalan
nelayan dari tengkulak sebesar Rp 200.000.000,00. Dari
dana tersebut, seperti yang telah diketahui jumlah hutang modal masingmasing nelayan kepada tengkulak sebesar Rp 15.000.000,00 maka dari Rp 200.000.000,00 dapat melepaskan setidaknya tiga belas kelompok nelayan dari hutang modal tersebut. Dana dari pemerintah tersebut terhitung sebagai hutang yang harus dikembalikan ke KUD Syariah dimana perhitungannya sesuai dengan Syariah, yaitu prinsip bagi hasil. Dengan terlepasnya nelayan-nelayan tersebut
dari
tengkulak
maka
para
nelayan
tersebut
dapat
memaksimalkan hasi dari tangkapan ikan yang mereka dapatkan. Pada akhirnya kesejahteraan mereka akan meningkat. Ketika nelayan-nelayan tersebut kesejahteraannya meningkat, mereka akan mencicil hutang modal mereka bahkan mereka bisa menabung (sebagai simpanan wajib) di KUD Syariah.
KUD bisa
menjadikan dana tersebut untuk pinjaman bagi nelayan lain yang masih terjerat masalah hutang modal pada tengkulak. Begitu seterusnya hingga seluruh nelayan Grajagan bisa terlepas dari hutang modal kepada tengkulak. Tugas pemerintah tidak berhenti sampai situ saja. Pemerintah harus memiliki dewan pengawas pasar untuk mengawasi aktivitas perdagangan nelayan di TPI sehingga terhindar dari kecurangan timbangan hasil melaut nelayan. Pemerintah bisa menunjuk perwakilan dari DKP sebagai dewan pengawas pasar. Ketika dalam TPI terdapat dewan pengawas Syariah, diaharapkan TPI bersih dari praktek yang tidak Syariah dari pihak manapu, baik tengkulak maupun pihak lain yang ingin curang.
BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan Cara melepaskan nelayan dari jeratan tengkulak dari segi permodalan yaitu: 1. Melalui Program Pemberdayaan Kemandirian Nelayan dengan KUD syariah yang benar – benar dijalankan sesuai dengan prinsip – prinsip syariah yang menerapkan prinsip bagi hasil,dan adanya sinergi yang baik antara pemerintah dengan masyarakat nelayan, maka akan dapat melepaskan nelayan dari jeratan tengkulak dari segi permodalan. 5.2 Saran 1. Mendirikan atau memperbaiki KUD di daerah Grajagan yang telah ada sebelumnya menjadi KUD Syariah. KUD harus dijalankan fungsinya dengan baik dari, oleh,
dan untuk nelayan dengan pengarahan dan
pangawasan dari pemerintah. Pengawasan tersebut bisa diambil alih oleh pihak DKP. 2. Pemerintah harus memfungsikan TPI di daerah Grajagan (Tempat Pelelangan Ikan) sesuai dengan fungsi asalnya yang benar-benar jujur dan adil, sehingga nelayan bisa mendapatkan hasil yang sesuai dengan hasil tangkapannya. Dari segi harga, harga pasaran di TPI harus tidak merugikan nelayan. Keuntungan yang diambil tidak terlalu jauh dari harga di pasar. Selain itu, masalah timbangan juga harus diselesaikan. Hal ini pemerintah bisa menunjuk petugas sebagai dewan pengawas pasar. Dalam hal ini bisa delegasi dari DKP, pegawai kecamatan maupun petugas yang ditunjuk oleh KUD Syariah. 3. Pemberian edukasi kepada nelayan tentang cara pengelolaan hasil tangkapan dan pengetahuan tentang sistem KUD Syariah. Karena jika masyarakat dalam hal ini nelayan dan pihak KUD Syariah sama-sama memahami hakikat sistem KUD Syariah, maka mereka akan menjalankan KUD tersebut sesuai hukum Syariah, sehingga diharapkan tidak akan ada kecurangan dan ketidakadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Hidayat, M. 2010. An Introduction to the Sharia Economic. Jakarta: Zikrul Hakim (Anggota IKAPI) Kusnadi, (Ed). 2004. Polemik Kemiskinan Nelayan. Bantul: Pondok Edukasi & Pokj Pembaruan Nafik H.R Muhammad. Perbankan syari’ah mikro: Baitul Maal Wa Tamwil.Surabaya: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga. Slide Sudiono, Mugi. 2005. Pengaruh Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Cilacap Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi dan Sosial Budaya Masyarakat Nelayan Cilacap Tahun 1996-2002. Skripsi. Semarang: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang Mussawir. 2009. Analisis Masalah Kemiskinan Nelayan Tradisional di Desa Padang Panjang Kecamatan Susoh Kabupaten Aceh Barat Daya Provinsi Nangroe Aceh Darrussalam. Tesis. Medan: Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara ________.2010. Nelayan Sulit Raih Kredit Bank. (http://www.serambinews.com/news/view/27083, diakses 13 November 2010) ______.2008. Aspek Sosial Budaya pada Kehidupan Ekonomi Masyarakat Nelayan Tradisional. (http://ikanmania.wordpress.com, diakses 13 November 2010) ______.2009,nelayan,(online),(http://rudyct.com/PPS702ipb/05123/dinarwan.htm ,diakses 13 November 2010) ______. Nelayan Sulit Raih Kredit Bank. (http://www.serambinews.com/news/view/27083, diakses 13 November 2010) _____2009. Koperasi Syariah Apa Bagaimana. (http://muhshodiq.wordpress.com, diakses 13 November 2010) ____.2010. Modal Awal Koperasi Syariah. (http://www.koperasisyariah.com,, diakses 13 November 2010) (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa Timur)
_____.2010. Kriteria dan Batasan Orang Miskin di Indonesia. (http://gemaniasbarat.wordpress.com,diakses 13 November 2010)
LAMPIRAN I DOKUMENTASI
Gambar 1 dan 2: Rumah pak Jumari Nelayan dasa Grajagan Kecamatan Purwoharjo Kabupaten Banyuwangi
Gambar 3 dan 4 : Tempat Pelelangan Ikan Desa Grajagan
Gambar 5 dan 6: Nota Pembayaran Entres Nelayan Desa Grajagan
Gambar 7 : Pasar Ikan di kecamatan Purwoharjo
Rapat Anggota Tahunan
Pengurus Ketua Sekretaris Bendahara
Manager
Kabag Operasional
Kabag Marketing
Kabag Adm. Legal & Personalia
N W Pembukuan
E
CS
Teller
Account Officer
Funding Officer
Adm.Legal
Remedial
S
Gambar 7: Bagan Struktur Koperasi
Personalia
LAMPIRAN II DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
Daftar Pertanyaan untuk Tengkulak 1. Berapa lama anda menjadi nelayan? 2. Apakah perahu yang anda miliki merupakan milik sendiri atau milik orang (bekerja untuk orang lain(setoran atau di upah) / kapal menyewa tapi usaha sendiri) ? 3. Apakah ada perbedaan penghasilan jika kapal sendiri / kapal sewa tapi mengelolah? 4. Jika anda bekerja dengan orang lain, bagaimana sistem setoran/upah? Sesuai dengan hasil tangkapan atau waktu lamanya bekerja? 5. Berapa penghasilan dalam sehari dan satu minggu? 6. Berapa besar penghasilan bersih anda dan berapa yang disetorkankan untuk tengkulak? 7. Berapa jam anda bekerja dalam sehari dan berapa hari anda bekerja dalam seminggu? 8. Berapa jumlah anggota keluarga anda? 9. Apa saja kebutuhan sehari-hari anda dan keluarga? (cukup atau tidak) 10. Apakah anada memiliki pekerjaan sambilan selain menjadi nelayan? Jika ya apa pekerjaan itu dan hasilnya berapa? Jika tidak bagaimana cara anda untuk menutupi biaya kebutuhan sehari-hari? 11. Apakah istri anda bekerja? Jika ya berapa penghasilannya? 12. Dimana anda biasanya meminjam uang? 13. Mengapa anda memutuskan untuk meminjam disitu? 14. Apakah ada bunga dalam peminjaman tersebut? 15. Apa saja permasalahan yang anda hadapi selama menjadi nelayan? 16. Apa saran, keinginan, dan harapan anda terhadap lembaga keuangan dan pemerintah yang ada saat ini terkait dengan pekerjaan anda sebagai nelayan?
17. Apa saja kebutuhan yang diperlukan untuk melaut? (misalnya bahan bakar, makanan) 18. Berapa penghasilan anda dalam sekali melaut? Berapa kg ikan dan berap;a jika dirupiahkan? 19. Ikan jenis apa saja yang anda tangkapan? 20. Apakah ikan-ikan tersebut anda jual sendiri atau ada tengkulak yang membelinya? Apa alasan anda menjual kepada tengkulak? 21. Berapa harga ikan jika dibeli tengkulak dan berapa harganya jika di pasar? 22. Apakah disini ada semacam bank, kopeasi, perkumpulan dana atau lainnya? 23. Siapakah pengelolah lembaga keuangan tersebut? 24. Bagaimana Sistem yang digunakan lembaga keuangan tersebut dalam meminjamkan dana mereka? 25. Menurut anda fungsi kehadiran lembaga keuangan tersebut apa dan apakah anda merasakan manfaat kehadiran lembaga keuangan tersebut? 26. Apa saran, keinginan, dan harapan anda terhadap lembaga keuangan (pemberi modal) terkait dengan perkembangan dan kemajuan pekerjaan anda sebagai nelayan?
SURAT PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Karya tulis ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk mengikuti call for papers Forum Riset Perbankan Syariah 2010. 2. Memahami dan bersedia mematuhi segala ketentuan yang telah ditetapkan oleh Panitia Forum Riset Perbankan Syariah 2010. 3. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan panitia Forum Riset Perbankan Syariah 2010. 4. Jika di kemudian hari terbukti bahwa saya tidak memenuhi segala ketentuan panitia dan hal-hal yang tercantum dalam surat pernyataan ini, maka saya bersedia menerima sanksi yang ditetapkan panitia Forum Riset Perbankan Syariah 2010.
Surabaya, 25 November 2010
Cintya Amy P.
CURRICULUM VITAE
Nama
: Cintya Amy Pratitiningtyas
Tempat / Tanggal lahir
: Banyuwangi 01 November 1990
Agama
: Islam
Jenis Kelamin
: Perempuan
Status Perkawinan
: Belum Menikah
Golongan Darah
: O
Alamat Rumah
: Jalan Bulurejo Rt 03 Rw 02 Dusun Krajan Kecamatan Purwoharjo-Banyuwangi
Alamat Kos
: Jl. Darmawangsa VIII No.01
Fakultas / Universitas
: Ekonomi dan Bisnis / Airlangga
No. Handpone
: 087853415443
E-mail
:
[email protected]
a. Riwayat Pendidikan · Pendidikan Formal 1. Tahun 1995 – 1997
: TK Pertiwi Purwohajo
2. Tahun 1997 – 2003
: SDN 1 Purwoharjo
3. Tahun 2003 – 2006
: SMPN 1 Cluring
4. Tahun 2006 - 2009
: SMAN 1 Purwoharjo
5. Tahun 2009 – Sekarang : Airlangga
Fakultas
Ekonomi
dan
Bisnis
Universitas
b. Riwayat Karya Tulis 1. Insektisida Alami dengan Menggunakan Getah Pohon Saman. 2. Diversifikasi Pangan Dengan Tanaman Garut Untuk Meningkatkan Perekonomian Masyarakat Pedesaan. 3. PKM Kewirausahaan “J-GO (Jelly Goyang)”, Jelly Buah Sayur sebagai Makanan Sehat Alternatif.
CURICULUM VITAE
1.
Data Pribadi: Nama
: Elfira Maya Adiba
Tempat, Tgl Lahir
: Sidoarjo, 11 November 1990
NIM
: 040914065
Semester
:3
Jurusan
: Ekonomi Syariah
Fakultas
: Ekonomi Jl. Airlangga 4 Surabaya RT.02 RW.02 60286
Universitas
: Airlangga
Alamat
: Ds. Kepatihan No.31 Rt.04 Rw.02 Tulangan Sidoarjo
Agama
: Islam
Status
: Belum Menikah
2. Pendidikan Formal: 1. Mahasiswi program studi S1 Ekonomi Syariah, Departemen Ekonomi Syariah, Fakultas Ekonomi, Universitas Airlangga (2009-sekarang) 2. SMA Negeri 2 Sidoarjo (2006-2009) 3. SMP Negeri 1 Tulangan (2003-2006) 4. SD Muhammadiyah 8 Kenongo Tulangan (1997-2003) 5. TK Aisyiyah Bustanul Athfal Kepatihan, Tulangan (1996-1997)
3. Karya Tulis Ilmiah yang Pernah Dibuat: 1. Perubahan Mata Pencaharian Masyarakat Porong Korban Lumpur Panas Lapindo (2006) 2. Pemanfaatan Selada Air (Lactuca sativa) sebagai Antikanker Paru-paru (2007) 3. Kekerasan dalam Pacaran yang Dialami Siswi Kelas X dan XI SMAN 2 Sidoarjo Tahun Ajaran 2007-2008 (2007)
4. Menelusuri History Kabupaten Sidoarjo Melalui Kerajaan Jenggolo (2007) 5. Pemanfaatan Blotong Sebagai Pupuk Organik oleh Masyarakat dan Pabrik Gula Tulangan, Sidoarjo (2008) 6. Blotong Sebagai Bahan Bakar Alternatif yang Ekonomis (2009)
4. Prestasi : 1. Finalis 10 besar LKTI FISIP Unair (2006) 2. Finalis 20 besar LKTI FMIPA Jurusan Biologi Unibraw (2007) 3. Finalis 12 besar LKTI Teknik Lingkungan ITS (2007) 4. Juara 2 se Kabupaten Sidoarjo LKTI P3A (Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak) (2007) 5. Juara 2 se Jawa Timur LKTI FIS Jurusan Geografi Unesa (2008) 6. Juara Harapan 2 Olimpiade Astronomi Tingkat Kabubaten Sidoarjo (2008) 7. 10 terbaik non ranking Lomba Visualisasi Puisi Patriotik Dinas P dan K Jawa Timur (2008) 8. Finalis PKM-K DIKTI 2009 (Sampai Tahap Pendanaan)