TEMU ILMIAH IPLBI 2013
Kaitan Pekerjaan dengan Permukiman Nelayan Idawarni Lab. Permukiman dan Perumahan, Program Studi Arsitektur, Departemen Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Hasanuddin
Abstrak Pekerjaan merupakan hal yang penting bagi seseorang untuk dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Pekerjaan dapat menentukan letak permukiman, permukiman yang baik adalah yang dapat mengakomodir pekerjaan masyarakat yang berdiam di dalamnya. Permasahan yang banyak terjadi saat ini adalah ketidaksesuaian antara pekerjaan dengan lokasi dan bentuk permukiman sehingga menyebabkan permukiman tersebut ditolak dan ditinggal. Tujuan yang ingin diperoleh dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui sejauhmana peran pekerjaan dalam menentukan lokasi dan bentuk permukiman bagi masyarakat nelayan Aeng Batu. Dalam penulisan ini menggunakan pendekatan positivistik. Dalam pendekatan positivistic dapat digunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Utama dan kualitatif sebagai penunjang. Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara wawancara, bservasi lapangan, dan penyebaran kuesioner. Metode analisi data dilakukan dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Kuantitatif menggunakan statistik deskriptif, kualitatif dengan interpretatif. Luaran memperlihatkan adanya hubungan yang signifikan antara pekerjaan t dengan lokasi permukiman dan bentuk serta orientasi permukiman. Kata kunci : pekerjaan, permukiman, nelayan Pendahuluan Pekerjaan adalah hal yang penting bagi seseorang untuk dapat mempertahankan hidupnya dan keluarganya. Pekerjaan dapat menentukan letak permukiman, permukiman yang baik adalah yang dapat mengakomodir pekerjaan masyarakat yang berdiam di dalamnya. Turner (1972) berpendapat bahwa dengan memilih lingkungan yang sesuai, manusia berharap dapat melakukan proses bermukim dengan baik dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Di lingkungan pantai Galesong terdapat banyak komunitas nelayan yang bermukim, diantaranya di kampung nelayan Aeng Batu. Sebagai kampung nelayan, masyarakat di kampung tersebut menjadikan laut sebagai tempat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan harian keluarga. Letak dan bentuk permukiman desa Aeng Batu dipengaruhi oleh jenis pekerjaan penghuninya, sesuai dengan pernyataan Mardanas (1985) bahwa perkampungan di desa ada yang dua, yaitu kampung pakkaja (nelayan) dan kampung pallaon (petani). Permasalahan yang banyak terjadi saat ini adalah pembangunan permukiman baru yang letaknya jauh dari pekerjaan dengan bentuk per-
mukiman yang tidak mewakili profesi penghuni, akibatnya banyak terjadi penolakan dan ditinggal penghuninya. Kajian Pustaka dan Teori Permukiman Konsep tentang permukiman juga diutarakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman, bahwa permukiman merupakan sekumpulan perumahan, dan rumah-rumah tersebut merupakan bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal layak huni, sarana membina keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuni, serta asset bagi pemiliknya Pola Spatial Ruang Pesisir Dahuri dkk. (1996) menjelaskan bahwa pola spatial ruang pesisir harus merupakan bagian integral dan tidak bertentangan dengan proses dan fenomena ekologis pesisir secara menyeluruh. Hal yang prinsip adalah bahwa kebutuhan akan permukiman menuntut pengaturan tata Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | F - 13
Kaitan Pekerjaan dengan Permukiman Nelayan
ruang permukiman di wilayah pesisir secara terpadu yang berwawasan lingkungan. Tata ruang lingkungan pesisir yang kacau dan tidak berwawasan lingkungan akan menyebabkan terjadinya degradasi mutu lingkungan yaitu erosi, sedimentasi, pencemaran lingkungan dan banjir. Salah satu bentuk identifikasi potensi lokal yang disebut diatas yaitu pada permukiman di wilayah pesisir yang dideskripsikan oleh Kusnadi (2003) berdasarkan hasil penelitiannya, bahwa karakteristik permukiman nelayan yang ada di wilayah pesisir adalah, rumah-rumah cenderung menghadap kejalan-jalan utama desa dan gang-gang sempit, jalan-jalan dan gang-gang sempit berubah menjadi halaman rumah, jarak antar rumah saling berhimpitan satu sama lain, rumah-rumah yang didirikan di pinggir jalan utama rata-rata memiliki kondisi cukup baik. Nelayan Kawasan pesisir biasanya dihuni oleh masyarakat yang pekerjaannya sebagai nelayan, suatu kelompok yang hidupnya tergantung langsung pada hasil laut (Mulyadi, 2007). Mereka umumnya tinggal di pingiran pantai, sebuah lingkungan yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Sujarto (1977) melihat pentingnya keberadaan lingkungan permukiman bagi masyarakat nelayan dan menyatakan bahwa dalam menempati wilayahnya, masyarakat pesisir tidak berbeda dengan masyarakat yang hidup dalam konsentrasi-konsentrasi lingkungan yang lain, yang akan menuntut tiga kebutuhan utama, yaitu: (a). suatu tempat untuk hidup, yang dapat terlindungi dari gangguan alam sekitar; (b). Tempat untuk melaksanakan kegiatan kerjanya untuk mencari nafkah guna menjamin eksistensi kehidupannya; dan (c). tempat-tempat yang dapat memenuhi kebutuhan kehidupannya seharihari. Ditjen Perumahan dan Permukiman Depkimpraswil (2002) menyebutkan bahwa kelompok nelayan menghuni perumahan-perumahan pada suatu kawasan dengan luas tertentu, yang sebahagian besar mempunyai mata pencaharian menangkap ikan minimal 60% dari jumlah penduduk yang ada di desa tersebut. Nelayan tersebut selain menangkap ikan, juga mengolah
F - 14 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
dan selanjutnya menjual ikan hasil tangkapan. Kawasan perumahan nelayan ini dilengkapi dengan prasarana, sarana yang memadai untuk kelangsungan kehidupan dan penghidupan para nelayan dan keluarga. Kehidupan sosial ekonomi masyarakar nelayan digambarkan oleh Arifin (2006) dan Kusnadi (2003) bahwa masyarakat nelayan tradisional merupakan masyarakat yang secara ekonomi tergolong miskin secara struktural. Masyarakat miskin, secara eksplisit mereka digolongkan sebagai kelompok berpenghasilan rendah. Kaitan antara nilai sosial masyarakat ber-penghasilan rendah dengan permukiman diutarakan oleh Soebroto dalam Budiharjo (2006) bahwa nilai sosial yang berlaku pada masyarakat berpenghasilan rendah adalah keakraban yang besar diantara mereka, sehingga kedekatan fisik bangunan meninggalkan kesan perasaan bersatu dan jarak bangunan yang terlalu dekat menimbulkan kesan yang ramai. Selain itu masih adanya atau tingginya semangat gotong royong di antara masyarakat, sistem kekeluarga besar (big family) dan extended family tidak dapat dihindari, akibatnya penghuni berjejal-jejal dalam satu rumah serta ikatan kekeluargaan yang erat membentuk pola tersendiri dalam cara bermukim. Tujuan Tujuan yang ingin diperoleh dari penulisan artikel ini adalah untuk mengetahui sejauhmana peran pekerjaan dalam menentukan lokasi dan bentuk permukiman bagi masyarakat nelayan Aeng Batu. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan positivistik. Pendekatan dapat diartikan sebagai metode ilmiah yang memberikan tekanan utama pada pendekatan konsep dasar yang kemudian digunakan sebagai sarana analisis (Prasetyo dan Jannah, 2008). Positivistik sering juga disebut dengan kuantitatif. Dalam pendekatan positivistik, metode kuantitatif dan kualitatif dapat digunakan secara bersama-sama, namun metode kualitatif hanya
Idawarni
sebagai penunjang, dalam hal ini sebagai fasilitator bagi metode kuantitatif (Prasetyo dan Jannah, 2008). Metode penelitian kuantitatif merupakan metode yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena dengan menggunakan datadata numerik. Penelitian ini umumnya dilakukan pada populasi atau sampel tertentu yang representative, proses penelitian bersifat deduktif, analisis menggunakan statistic deskriptif, sampel diambil secara random. Kesimpulan hasil penelitian kuantitatif dapat digeneralisasikan pada populasi dimana sampel tersebut diambil. Sementara untuk metode kualitatif penjaringan datanya menggunakan teknik purposive (Sugiyono, 2011). Penjaringan data melalui wawancara, pencatatan lapangan, gambar, atau foto, dan analisis yang digunakan adalah interpretative (Moleong, 2009). Dalam penelitian ini, karena menggunakan pendekatan positivistik, maka digunakan metode kuantitatif sebagai metoda utama dan kualitatif sebagai penunjang. Pengambilan data dan penyajian data dilakukan sesuai dengan teknik masing-masing metode.
Metode analisis data Analisis data dilakukan dengan cara kuantitatif dan kualitatif. Teknik analisis data kuantitatif menggunakan statistik deskriptif. Penyajian data dalam teknik statistik deskriptif menggunakan tabel dan grafik. Selain itu teknik statistik deskriptif juga dapat digunakan untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel melalui analisis korelasi. Kondisi Saat Ini Desa nelayan Aeng batu terletak di wilayah pesisir barat kabupaten Takalar yang berbatasan langsung dengan Teluk Makassar. Desa tersebut juga berbatasan dengan Kota Madya Makassar. Berikut Gambar 1 memperlihatkan peta kabupaten Takalar, Kecamatan Galesong Utara, dan desa nelayan Aeng Batu.
Metode pengumpulan data Pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara: Wawancara
Elite interviewing. Interview. Elite interviewing dilakukan secara mendalam dengan cara wawancara tidak terstruktur. Oservasi lapangan Bentuk observasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu observasi non partisipan. Dalam hal ini peneliti tidak terlibat langsung dan hanya sebagai pengamat independen.
Gambar 1. Peta Kabupaten Takalar, Kecamatan Galesong Utara dan Desa Aeng Batu
Sedang Gambar 2 memperlihatkan bentuk permukiman desa Aeng Batu dengan jarak antar rumah sangat dekat dan tidak dilakukan pemagaran pada halaman rumah, kecuali pada rumah yang letaknya berbatasan langsung dengan jalan desa. Halaman rumah dijadikan sebagai jalan pintas, baik bagi manusia maupun perahu. Rumah-rumah yang terletak berbatasan dengan jalan desa memiliki kondisi yang lebih baik dari yang lainnya.
Kuesioner Pengambilan data menggunakan daftar pertanyaan yang bersifat tertutup (tidak berkembang), dimana peneliti mengharapkan jawa-ban singkat dari responden dengan cara memilih salah satu dari beberapa jawaban dari setiap pertanyaan yang telah disiapkan.
Gambar 2. Kondisi Perumahan Desa Nelayan Aeng Batu
Berikut Tabel 1, yang memperlihatkan pekerjaan utama kepala rumah tangga di desa nelayan Aeng Batu. Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | F - 15
Kaitan Pekerjaan dengan Permukiman Nelayan Tabel 1. Pekerjaan Utama Suami Pekerjaan Utama Kepala Rumah Tangga Palele Nahkoda kapal Buruh pabrik Karyawan PNS Petani Nelayan dengan perahu dan sawi Jualan ikan Tukang Ustas Jualan bahan campuran Sopir
Jumlah
%
8 6 1 4 1 2
7.34 5.50 0.92 3.67 0.92 1.83
64 9 1 2 2 1
58.72 8.26 0.92 1.83 1.83 0.92
Data menunjukkan 81% masyarakat bekerja di bidang perikanan seperti nelayan, penjual ikan, nahkoda, dan juragan/palele/ponggawa. Table 2., menyajikan data tentang alasan bermukim di area sekitar pantai.
tertentu, yang sebahagian besar mempunyai mata pencaharian menangkap ikan minimal 60% dari jumlah penduduk yang ada di desa tersebut. Selain itu, kelompok ini juga dapat disebut sebagai kelompok masyarakat bahari, karena sesuai dengan pernyataan Mulyadi (2007), bahwa masyarakat bahari adalah suatu kelompok yang hidupnya tergantung langsung pada hasil laut, bekerja sebagai nelayan penangkap ikan, penjual ikan, pembudidaya rumput laut, dan pengering ikan, umumnya tinggal di pinggiran pantai sebuah lingkungan yang dekat dengan lokasi kegiatan. Masyarakat yang demikian ini disebut masyarakat bahari. Berikut table korelasi yang memperlihatkan hubungan antara pekerjaan dengan lokasi hunian. Tabel 3. Korelasi Antara Pekerjaan Permukiman
Lokasi Permukiman
Tabel 2. Alasan Penempatan Lokasi Permukiman di Area Pantai
Alasan Penempatan Lokasi Permukiman di Area Pantai
Jumlah
%
Kemudahan mencapai tempat kerja
64
58.72
Kemudahan mengontrol properti di pantai
15
13.76
Kemudahan mengawasi anggota keluarga yang berangkat/pulang kerja
12
10.92
Kemudahan mengontrol kondisi pasang surut air laut
11
10.09
7
6.42
Kemudahan dalam sanitasi Analisis dan Interpretasi
Kaitan antara pekerjaan dengan lokasi hunian Data lapangan memperlihatkan bahwa 81% masyarakat desa Aeng Batu bekerja di bidang perikanan seperti nelayan, penjual ikan, nahkoda, dan juragan/palele/ponggawa. Kelompok masyarakat yang berdiam di desa tersebut dapat dikategorikan sebagai kelompok nelayan sesuai dengan yang tercantum dalam Ditjen Perumahan dan Permukiman Depkimpraswil (2002) bahwa kelompok nelayan menghuni perumahanperumahan pada suatu kawasan dengan luas
F - 16 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013
dengan Lokasi
Pekerjaan Utama
Pearson Correlation
.253(**)
Sig. (2-tailed)
.008
N
109
** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tiled).
Berdasarkan perhitungan diperoleh angka korelasi antara variable pekerjaan utama sebagai nelayan dengan variable lokasi hunian sebesar 0.253. Korelasi sebesar 0.253 mempunyai maksud hubungan antara kedua variable kuat dan searah. Korelasi kedua variable bersifat signifikan karena angka signifikansi sebesar 0.008 < 0.01. Analisis korelasi memperlihatkan hubungan yang kuat, searah dan bernilai positif antara pekerjaan utama dengan lokasi permukiman. Ini menunjukkan bahwa masyarakat yang bekerja sebagai nelayan menempatkan lokasi permukimannya di dekat laut atau pantai. Berdasarkan data lapangan dan analisis korelasi menunjukkan bahwa terdapar hubungan yang sangat signifikan antara pekerjaan dengan lokasi permukiman. Hal ini ditunjang oleh pendapat Mardanas (1985) bahwa, perwujudan kampung masa lalu banyak terikat oleh pekerjaan sehingga dikenal pada masa tersebut kampung
Idawarni
Pakkaja (kampung nelayan) dan kampung Pallaon (kampung petani), dan sebaik-baik kampung ialah yang berdekatan dengan tempat kerja. Mulyadi (2007), bahwa nelayan umumnya tinggal di pingiran pantai, sebuah lingkungan yang dekat dengan lokasi kegiatannya. Konsep tribina dari Depkimpraswil (2001) menyatakan bahwa penempatan lahan harus menjamin masyarakat dekat ke tempat kerja. United Na-
the streets. Ada dua macam organisasi dalam orientasi permukiman tersebut, yaitu rumah berada di sepanjang jalan dan berseberangan dengan rumah lain atau rumah berada di sepanjang jalan dan berseberangan dengan unsur air (waterfront), (3) orientasi ke arah dalam (insideout). Orientasi ini memiliki domain privat-publik.
tions in Centre for Human right (1996) fact sheet no, 21 (hal. 20) juga menjelaskan adanya kaitan antara jarak permukiman dengan pekerjaan, pusat pelayanan sosial, pusat pelayanan terhadap anak-anak, dan fasilitas sosial lainnya. Dengan demikian, pekerjaan merupakan faktor yang sangat penting bagi seseorang untuk memilih lokasi permukiman. Bagi nelayan di permukiman tradisional, seperti Aeng batu, terdapat beberapa poin penting yang digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memilih lokasi bermukim : 1. Kesesuaian lokasi permukiman dengan pekerjaan utama. Lokasi permukiman memiliki karakter khusus, seperti berbatasan langsung dengan pantai. 2. Jarak dari permukiman ke tempat kerja. Permukiman memiliki jarak yang dekat dari lokasi penangkapan ikan, demikian pula jarak lokasi penangkapan ikan ke fasilitas ekonomi seperti TPI dan pasar (yang berada diluar lingkungan permukiman). 3. Tersedia fasilitas ekonomi dalam permukiman (TPI, dermaga) yang dapat memperlancar pekerjaan nelayan. Kaitan Pekerjaan dengan Orientasi Permukiman Selain lokasi permukiman, jarak, dan fasilitas penunjang pekerjaan nelayan, hal yang juga patut dipertimbangkan adalah orientasi permukiman. Orientasi permukiman tradisional nelayan Aeng Batu adalah terhubung langsung dengan jalan dan unsur air. Orientasi yang demikian sesuai dengan teori Rapoport (1977), bahwa terdapat tiga macam orientasi permukiman yaitu : (1) permukiman mengelilingi central space, (2) orientasi permukiman menyusuri jalan/along
Dwelling surrounding the centralspace
Street related housing (kiri) dan waterfront housing (kanan)
Orientasi kearah dalam (inside-out). Gambar 3. Karakter Permukiman Dilihat Organisasi Ruang Permukiman (Rapoport,1977).
Dari
Bentuk orientasi permukiman yang dijelaskan di atas bila dikaitkan dengan pekerjaan nelayan Aeng Batu dan bentuk permukimannya, maka orientasi waterfront, yaitu orientasi permukiman yang terhubung langsung dengan jalan dan unsur air sangat mendukung pekerjaan nelayan. Beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dengan orientasi tersebut sesuai dengan tabel 2, yaitu adanya kemudahan mencapai tempat kerja, kemudahan mengontrol kapal dan perahu serta properti di pantai, kemudahan mengawasi anggota keluarga yang berangkat/pulang kerja, kemudahan mengontrol kondisi pasang surut air laut sebelum berangkat ke laut, dan kemudahan dalam sanitasi.
Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013 | F - 17
Kaitan Pekerjaan dengan Permukiman Nelayan
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa pekerjaan memiliki kaitan yang erat dengan lokasi permukiman dan bentuk serta orientasi permukiman. Daftar Pustaka Rokhmin dkk (1996), Pengelolaan Sumber DayaWilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, P.T., Pradnya Paramitha,
Dahuri,
Jakarta. Departemen Permukiman dan Prasarana wilayah Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman (2001), Petunjuk Pelaksanaan
Peremajaan Lingkungan Permukiman Kumuh di Perkotaan dan Perdesaan dengan Konsep TRIDAYA, Jakarta. Idawarni 2011. Permukiman Tradisional Suku Makassar Yang Berbasis Budaya Dan Gaya Hidup Sebagai Dasar Konsep Permukiman Resettlement Di Wilayah Pesisir. Disertasi ITS. Unpublish. Surabaya. Mardanas, Izarwisma dkk. (1985), Arsitektur Tradisional daerah Sul-Sel, Dep. P dan K, Jakarta. Moleong,J., Lexy (2009), Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosdakarya, Bandung. Mulyadi (2007), Ekonomi Kelautan, PT Raja Graffindo Persada. Jakarta Prasetyo, Bambang dan Jannah LM (2005), Metode Penelitian Kuantitatif, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Rapoport, Amos (1977), Human aspect of Urban Form, Pergamon Press, Oxford, New York, Toronto, Sydney, Paris, Frankfurt. Sugiyono (2011), Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D Alphabeta, Bandung. United Nations (1996), The Human Right To Adequate Housing, Fact Sheet no 21. Printed at United National, GE 96-16191-May-199614.895. ISSN 1014-5567. Geneva, Zwitzerland.
F - 18 | Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2013