V.
5.1
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Kaitan Variabel Bebas dengan Tingkat Kemiskinan
5.1.1 Kaitan Angka Melek Huruf dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan Scatter-Plot data antara angka melek huruf dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi angka melek huruf maka tingkat kemiskinan akan semakin kecil.
Gambar 5.1
Scatter-plot antara angka melek huruf dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Kegiatan membaca merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang luas. Membaca merupakan proses awal dalam sebuah perubahan menuju masyarakat bangsa yang maju. Membaca akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Sedangkan buta aksara merupakan masalah yang sangat
terkait
dengan
kemiskinan,
keterbelakangan,
kebodohan
serta
ketidakberdayaan masyarakat. Sehingga dengan angka melek huruf yang semakin meningkat, diharapkan efek positifnya secara tidak langsung dapat berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan. Pemanfaatan pengetahuan dari kegiatan membaca, sekiranya dapat mengembangkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.
101
102
5.1.2 Kaitan Angka Partisipasi Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan plot data antara angka partisipasi sekolah (APS) penduduk umur 7–24 tahun dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 20072010, terjadi hubungan positif. Artinya, makin tinggi APS maka tingkat kemiskinan semakin tinggi.
Gambar 5.2
Scatter-plot antara angka partisipasi sekolah umur 7-24 tahun dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Hubungan positif ini dimungkinkan karena adanya beban biaya pendidikan. Seperti diketahui bahwa pendidikan merupakan kegiatan konsumsi dan sekaligus kegiatan investasi. Dalam mengenyam pendidikan memerlukan biaya langsung maupun biaya tak langsung. Biaya langsung terkait biaya operasional penyelenggaraan pendidikan. Sementara biaya tak langsung pendidikan, terkait dengan pendapatan yang hilang ketika anak berpartisipasi dalam pendidikan. Bagi seseorang yang memutuskan untuk melanjutkan pendidikan, mereka akan mengorbankan waktu untuk mendapatkan penghasilan yang tidak akan diperolehnya karena bersekolah, yang dianggap sebagai biaya tidak langsung pendidikan (opportunity cost). Masyarakat miskin mengandalkan anak-anaknya untuk dapat membantu memperoleh tambahan penghasilan. Jika anak keluarga miskin bersekolah, maka mereka akan kehilangan peluang mendapatkan tambahan penghasilan dan juga akan terbebani dengan biaya-biaya langsung lainnya selama bersekolah, selain beban biaya hidup lain yang harus ditanggung oleh masyarakat miskin tersebut.
103
5.1.3 Kaitan Rata-rata Lama Sekolah dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan plot data antara rata-rata lama sekolah dan tingkat kemiskinan selama periode tahun 2007-2010 di Indonesia, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi rata-rata lama sekolah maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.3
Scatter-plot antara rata-rata lama sekolah dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Rata-rata lama sekolah adalah jumlah tahun belajar penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah diselesaikan dalam pendidikan formal (tidak termasuk tahun yang mengulang). Variabel rata-rata lama sekolah mengukur stok atau persediaan modal manusia yang terbentuk saat ini. Tingginya angka rata-rata lama sekolah menunjukkan jenjang pendidikan yang pernah/sedang diduduki oleh seseorang. Semakin tinggi angka RLS maka semakin lama/tinggi jenjang pendidikan yang ditamatkannya. Data ini dapat digunakan untuk melihat kualitas penduduk dalam hal mengenyam pendidikan formal. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diasumsikan kualitas dan produktivitasnya semakin meningkat. Dengan semakin meningkatnya kualitas dan produktivitas seseorang, diharapkan peluang untuk mendapatkan pekerjaan atau menciptakan lapangan pekerjaan menjadi semakin tinggi, sehingga bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan, serta berdampak dalam mengurangi kemiskinan.
104
5.1.4 Kaitan Rasio Kemiskinan
Anggaran
Fungsi
Pendidikan
dengan
Tingkat
Berdasarkan plot data antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi rasio anggaran fungsi pendidikan maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.4
Scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Peranan pemerintah adalah sebagai penyedia barang publik dalam kaitannya dalam peran alokasi, peran distribusi, dan peran stabilisasi. Salah satu upaya yang bisa dilakukan pemerintah dalam mengatasi permasalahan kemiskinan adalah meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui peningkatan kualitas pembangunan manusia, antara lain melalui pendidikan. Akhir-akhir ini, ditengarai semakin besar kepedulian pemerintah dalam memajukan bidang pendidikan. Salah satu
upaya
adalah
memenuhi
amanat
amandemen
UUD
1945
untuk
mengalokasikan anggaran minimal 20 % dari APBN dan APBD untuk bidang pendidikan –selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan. Dengan meningkatnya alokasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, maka akan meningkatkan produktivitas penduduk. Peningkatan produktivitas ini, pada gilirannya
mampu
meningkatkan pertumbuhan
berdampak pada penurunan angka kemiskinan.
ekonomi
sehingga
akan
105
5.1.5 Kaitan Tingkat Kesempatan Kerja menurut Jenjang dengan Tingkat Kemiskinan
Pendidikan
Berdasarkan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan dasar dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan SD dan SMP, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin besar.
Gambar 5.5
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan dasar dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Selanjutnya, berdasarkan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan menengah dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan SMU dan SMK, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin turun.
Gambar 5.6
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja menurut jenjang pendidikan menengah dengan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
106
Demikian pula halnya dengan plot data antara tingkat kesempatan kerja jenjang pendidikan tinggi dengan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi tingkat kesempatan kerja lulusan diploma dan strata, maka tingkat kemiskinan di Indonesia akan semakin turun.
Gambar 5.7
Scatter-plot antara tingkat kesempatan kerja pendidikan tinggi dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Menurut teori pertumbuhan endogen, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh besarnya modal dan tenaga kerja, serta oleh akumulasi modal manusia melalui pertumbuhan teknologi. Akumulasi modal manusia merupakan akumulasi dari pendidikan dan pelatihan. Semakin tinggi tingkat pendidikan dan ketrampilan penduduk menunjukkan semakin tinggi modal manusia. Secara umum, semakin berpendidikan seseorang maka akan lebih produktif bila dibandingkan dengan yang tidak berpendidikan. Jika tingkat pendidikan lebih tinggi maka akses ke dunia kerja menjadi lebih mudah dan dapat memperoleh posisi yang lebih baik, sehingga tingkat pendapatannya semakin baik. Pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi di Indonesia selama ini telah menyebabkan perubahan struktur perekonomian. Namun, perubahan struktur perekonomian tersebut belum sepenuhnya mampu diimbangi dengan pergeseran struktur tenaga kerja. Menurut data BPS, penyerapan tenaga kerja hingga Februari 2010 masih didominasi oleh pekerja berpendidikan dasar ke bawah (77,20.%). Pekerja berpendidikan tinggi hanya sekitar 2,77.% untuk diploma dan 6,43.% berpendidikan strata (BPS 2010g).
107
Disamping itu, karakteristik kemiskinan menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga miskin (KRTM) yang bekerja, antara lain: 90,65.% KRT miskin yang bekerja adalah berpendidikan dasar ke bawah dan KRT miskin yang bekerja berpendidikan menengah atau pendidikan tinggi masing-masing sebesar 8,86.% dan 0,49.% (BPS 2010h). Berdasarkan informasi data tersebut, secara umum mengindikasikan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan terakhir kepala rumahtangga, semakin kecil kemungkinan rumahtangga tersebut jatuh ke dalam kemiskinan.
5.1.6 Kaitan PDRB per kapita dengan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan plot data antara PDRB per kapita dan tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010, terjadi hubungan negatif. Artinya, semakin tinggi PDRB per kapita maka tingkat kemiskinan akan makin kecil.
Gambar 5.8
Scatter-plot antara PDRB per kapita dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita merupakan indikator perekonomian
yang
sering dipakai untuk mengukur
kemakmuran dan
kesejahteraan suatu bangsa. Secara umum, kinerja perekonomian Indonesia selama periode tahun 2007-2010 menunjukkan peningkatan. Selama periode tersebut, rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sekitar 6.% dan rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita sekitar 4.%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dapat berdampak terhadap peningkatan pendapatan. Meningkatnya pendapatan per kapita diharapkan dapat membantu untuk keluar dari kemiskinan.
108
5.1.7 Kaitan Indeks Gini dengan Tingkat Kemiskinan Jika dilihat berdasarkan plot data antara indeks gini dan tingkat kemiskinan selama periode tahun 2007-2010 di Indonesia, terjadi hubungan positif. Artinya, semakin tinggi indeks gini maka tingkat kemiskinan akan semakin besar.
Gambar 5.9
Tingkat
Scatter-plot antara indeks gini dan persentase penduduk miskin di Indonesia, tahun 2007–2010.
kemiskinan erat
kaitannya dengan ketimpangan distribusi
pendapatan. Distribusi pendapatan suatu daerah dapat menentukan bagaimana pendapatan daerah mampu menciptakan perubahan-perubahan dan perbaikanperbaikan dalam masyarakat, khususnya dalam mengurangi kemiskinan. Distribusi pendapatan yang tidak merata, tidak akan menciptakan kemakmuran secara umum, tetapi hanya menciptakan kemakmuran bagi golongan tertentu saja. Menurut Todaro dan Smith (2006) ketimpangan pendapatan yang ekstrem menyebabkan inefisiensi ekonomi. Penyebabnya adalah ketimpangan yang semakin tinggi akan menyebabkan semakin kecil bagian populasi yang memenuhi syarat untuk mendapat kredit pinjaman. Masyarakat yang tidak dapat meminjam uang, pada umumnya tidak dapat menyediakan pendidikan atau memulai bisnis. Tingkat ketimpangan yang tinggi akan memberikan kontribusi kepada tingkat kemiskinan yang tinggi pula. Oleh karena itu, kebijakan pembangunan yang memperbaiki distribusi pendapatan –dan juga meningkatkan pertumbuhan ekonomi– merupakan prioritas penting dalam menanggulangi kemiskinan.
109
5.2
Hasil Evaluasi Model Peran Pendidikan terhadap Kemiskinan Untuk mengidentifikasi peran pendidikan di Indonesia secara keseluruhan
terhadap kemiskinan, digunakan analisis data panel. Model ini didekati melalui tiga indikator utama, seperti angka melek huruf, angka partisipasi sekolah dan rata-rata lama sekolah. Model ini menyertakan variabel rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total APBD sebagai pendekatan pengeluaran publik bidang pendidikan. Persamaan menggunakan data dari 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Dalam penelitian ini, sebagian besar variabel yang digunakan dalam satuan persentase. Adapun untuk variabel dengan satuan bukan persentase, digunakan nilai logaritma untuk menghilangkan pengaruh perbedaan satuan pengukuran atau bebas satuan. Nilai koefisien regresi bisa bernilai positif atau negatif. Jika nilai koefisien β bertanda positif artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1.% akan meningkatkan variabel tak bebas sebesar β.%. Jika nilai koefisien β bertanda negatif, artinya peningkatan variabel bebas sebesar 1.% akan menurunkan variabel tak bebas sebesar β.%. Pengujian pertama adalah mengestimasi pengaruh pendidikan secara keseluruhan di Indonesia. Variabel yang digunakan adalah: angka melek huruf penduduk umur 15 tahun ke atas, angka partisipasi sekolah penduduk umur 7-24 tahun, rata-rata lama sekolah penduduk umur 15 tahun ke atas, dan rasio anggaran fungsi pendidikan terhadap total APBD. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik. Proses ini dilakukan dengan membandingkan model efek tetap (fixed effect model - FEM) dengan model efek acak (random effect model - REM) menggunakan uji Hausman. Statistik uji Hausman mengikuti distribusi statistik Chi-Square dengan derajat bebas sejumlah variabel bebas, dengan hipotesis: H0: E i | xit 0 Tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. H1: E i | xit 0 Ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas.
110
Jika H0: diterima, maka dipilih model efek acak atau REM. Jika model yang terpilih adalah model efek acak maka model diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama
model
BLUE
(non-multicolinierity,
homoskedasticity,
dan
non-
autocorelation). Hal ini dikarenakan dua alasan, yaitu: (i) sifat data panel adalah bebas dari gejala multikolinieritas; dan (ii) REM adalah model generalized least square (GLS), dan estimasi dengan menggunakan GLS secara otomatis sudah terbebas dari gejala autokorelasi, bahkan terbebas dari gejala heteroskedastisitas yang disebabkan variasi sisaannya konstan (Gujarati 2004). Jika H0: ditolak, maka dipilih model efek tetap atau FEM. Jika model yang terpilih adalah model efek tetap maka perlu dilakukan beberapa uji asumsi, khususnya uji homoskedasitas dan uji autokorelasi. Pengujian berbagai asumsi dasar terhadap metode FEM sebagai model terpilih, dilakukan untuk memperoleh hasil estimasi yang BLUE (best linear unbiased estimator). Asumsi yang harus dipenuhi dalam persamaan regresi adalah semua error mempunyai varian yang sama (σ2 konstan) yang disebut dengan homoskedastisitas dan mengasumsikan tidak terjadi autokorelasi antarobservasi dalam satu peubah atau antara error masa yang lalu dengan error masa sekarang. Berdasarkan informasi hasil penelitian, menunjukkan bahwa persamaan peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang Chisquare untuk persamaan tersebut yaitu sebesar 0,0058 yang lebih kecil dari taraf nyata 1.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan tersebut terletak di antara nilai dL dan dU (Lampiran 2). Hasil ini menandakan tidak dapat menentukan autokorelasi pada model tersebut. Sehingga
111
estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan crosssection weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9961 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 99,61.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas pada model. Sedangkan sisanya sebesar 0,39.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan melihat besaran nilai probabilitas statistik uji F p-value = 0,0000.
Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Tabel 5.1 menyajikan hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Tabel 5.1 Hasil estimasi model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010 Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100)
Variabel Bebas
Koefisien
Probabilita (p-value)
C
0,3190
0,0690
***
AMH
-0,2725
0,0430
**
APS
-0,3104
0,0002
*
LOG(RLS)
-0,1318
0,0000
*
R-EDUA
-0,1845
0,0000
*
R-squared
0,9961
Adjusted R-squared
0,9946
Prob (F-statistic)
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
112
5.2.1 Angka Melek Huruf (AMH) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel angka melek huruf yang diestimasi di Indonesia terindikasi signifikan pada taraf nyata α = 5.%. Dapat dikatakan bahwa angka melek huruf memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,27 dapat diartikan bahwa jika angka melek huruf meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus. Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesis yang diharapkan dan memperkuat hasil penelitian sebelumnya oleh Tilak (1989). Tilak menemukan bahwa angka melek huruf dan tingkat kemiskinan dinyatakan berhubungan negatif. Menurut Tilak, ketika tingkat melek huruf penduduk meningkat, proporsi penduduk miskin di pedesaan mengalami penurunan, tetapi pengaruhnya tidak signifikan di perkotaan. Banyak analis kebijakan menganggap angka melek huruf adalah tolak ukur penting dalam mempertimbangkan kemampuan sumber daya manusia di suatu daerah. Hal ini didasarkan pada pemikiran yang beranggapan bahwa melatih orang yang mampu baca-tulis jauh lebih mudah dan murah daripada melatih orang yang buta huruf. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa membaca merupakan proses awal dalam memasuki dunia pengetahuan, sehingga akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Kemampuan baca-tulis dianggap penting karena melibatkan pembelajaran berkelanjutan oleh seseorang sehingga orang tersebut dapat mencapai tujuannya, dimana hal ini terkait langsung bagaimana seseorang mendapatkan pengetahuan, menggali potensinya, dan berpartisipasi dalam masyarakat secara lebih luas. Pada umumnya orang-orang yang mampu baca-tulis memiliki status sosial ekonomi, kesehatan, dan prospek meraih peluang kerja yang lebih baik. Argumentasi para analis kebijakan juga menganggap kemampuan baca-tulis juga berarti peningkatan peluang kerja dan akses yang lebih luas pada pendidikan yang lebih tinggi.
113
5.2.2 Angka Partisipasi Sekolah (APS) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, variabel angka partisipasi sekolah kelompok umur 7-24 tahun berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Secara statistik koefisien regresi variabel angka partisipasi sekolah yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa angka partisipasi sekolah kelompok umur 7-24 tahun memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,31 dapat diartikan bahwa jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, ceteris paribus.
Angka partisipasi sekolah yaitu proporsi dari semua anak yang masih sekolah pada suatu kelompok umur tertentu terhadap penduduk dengan kelompok umur yang sesuai. APS dapat digunakan untuk mengetahui seberapa banyak penduduk usia sekolah yang sudah dapat memanfaatkan fasilitas pendidikan. APS yang tinggi menunjukkan terbukanya peluang yang lebih besar dalam mengakses pendidikan secara umum. Pada kelompok umur mana peluang tersebut terjadi dapat dilihat dari besarnya APS pada setiap kelompok umur. Berdasarkan data BPS, pencapaian angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur selama periode tahun 2003-2010, cenderung mengalami kenaikan. Peningkatan APS kelompok umur 7-12 tahun dan 13-15 tahun relatif tinggi (Gambar 5.10). Tingginya pencapaian APS pada kelompok umur tersebut, didukung dengan adanya program Wajib Belajar 9 tahun dan program Bantuan Operasional Sekolah serta program-program bantuan lain kepada masyarakat miskin, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Siswa Miskin (BSM) maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT). Tingginya APS kelompok umur 7-12 dan 13-15 tahun, akan berpengaruh terhadap pencapaian APS kelompok umur selanjutnya, yaitu kelompok umur 16-18 dan 19-24 tahun. Menurut data BPS tahun 2009, dari sejumlah anak usia 7–18 tahun yang tidak sekolah atau putus sekolah, 56,4.% dari mereka beralasan karena kendala finansial. Alasan kedua adalah karena harus bekerja (9,8.%), diikuti dengan perasaan puas dengan tingkat pendidikan yang sudah diraih (5,1.%). Harus menikah dan mengurus anak juga berperan cukup besar sebagai alasan tidak melanjutkan pendidikan (3,0.%). Alasan sekolah jauh (2,7.%), berkaitan dengan
114
ketersediaan jumlah sekolah yang minim atau kondisi geografis daerah yang menyebabkan akses sulit. Alasan-alasan tersebut menyebabkan menurunnya
100 A P S
81,01 83,49 84,02 84,08 84,65 84,89 85,47 86,24
120
96,42 96,77 97,14 97,39 97,64 97,88 97,95 98,02
angka partisipasi pada jenjang pendidikan yang semakin tinggi.
50,97 53,48 53,86 53,92 55,49 55,5 55,16 56,01
80 60
11,71 12,07 12,23 11,38 13,08 13,29 12,72 13,77
40
%
20 0 7-12 2003
2004
13-15 2005
2006
16-18 2007
2008
19-24 2009
2010
Sumber: BPS 2003a, 2004a, 2005a, 2006a, 2007a, 2008a, 2009a, 2010a.
Gambar 5.10 Angka partisipasi sekolah menurut kelompok umur di Indonesia, tahun 2003–2010.
Alasan utama kesulitan ekonomi, disebabkan oleh tingginya kenaikan biaya pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Rata-rata biaya pendidikan naik sekitar 2 kali lipat ke setiap jenjang pendidikan lebih tinggi. Berdasarkan data Susenas 2009, rata-rata biaya pendidikan persiswa selama bulan Januari-Juni 2009 adalah sebesar Rp..654.417 untuk SD/MI; Rp..1.171.602 untuk SMP/MTs; Rp..2.141.294 untuk SM/MA; dan Rp..4.126.079 untuk jenjang pendidikan tinggi (BPS 2010d). Dari data tersebut, dapat disimpulkan bahwa rendahnya angka partisipasi pendidikan jenjang SMA dan perguruan tinggi antara lain disebabkan oleh mahalnya biaya pendidikan bagi sebagian besar masyarakat yang tidak mampu untuk meneruskan pendidikan, sehingga mereka cenderung memilih bekerja walaupun dengan keterbatasan kemampuan dan ketrampilan. Menurut hasil penelitian SMERU (2006) menyimpulkan bahwa secara umum,
program
BOS
meningkatkan
penerimaan
sekolah,
sehingga
memungkinkan perbaikan kegiatan belajar mengajar di sekolah dan berpotensi meningkatkan akses masyarakat, termasuk masyarakat
miskin, terhadap
pendidikan. Lebih lanjut dijelaskan, secara umum program BOS memiliki ketercakupan yang lebih luas dan merata daripada program-program bantuan
115
pendidikan sebelumnya. Oleh karena besarnya cakupan sasaran program BOS tersebut, dinilai bahwa program BOS bermanfaat bagi masyarakat miskin. Hasil analisis kualitatif melalui wawancara dan focus group discussions (FGD) memberikan indikasi adanya dampak positif dari program BOS terhadap partisipasi pendidikan. Ada indikasi bahwa program BOS meningkatkan motivasi belajar siswa dari keluarga miskin karena tidak ada kekhawatiran akan ditagih tunggakan iuran siswa dan lebih terpenuhinya perlengkapan sekolah. Hasil penelitian SMERU (2009) menunjukkan bahwa PKH secara signifikan berhasil menaikkan belanja rumahtangga untuk komponen kesehatan dan pendidikan. Tujuan program PKH adalah untuk mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya bagi masyarakat miskin. Diharapkan PKH akan merubah kebiasaan rumah tangga miskin ke arah perbaikan kualitas SDM. Dalam jangka panjang, program ini diharapkan akan memutus mata rantai kemiskinan antargenerasi. SMERU menambahkan bahwa dampak program PKH relevan dan dapat membantu masyarakat miskin untuk peningkatan kapasitas SDM di bidang pendidikan dan kesehatan. Selain itu, berdasarkan hasil penelitian SMERU (2011) terhadap program BLT 2008 tahap pertama menyimpulkan bahwa program BLT masih relevan dan dapat membantu masyarakat miskin dalam mengatasi guncangan akibat kenaikan harga BBM. BLT tidak mengakibatkan kemalasan dan perubahan jam kerja rumah tangga sasaran, karena masyarakat miskin masih bertindak rasional dengan tetap bekerja untuk memenuhi tuntutan kebutuhan hidup yang semakin meningkat. Dengan adanya program peningkatan partisipasi pendidikan yang disertai program bantuan atau subsidi bagi masyarakat miskin, dapat membantu meningkatkan akses ke jenjang pendidikan lebih tinggi bagi golongan masyarakat miskin. Secara teori, sertifikasi pendidikan yang lebih tinggi diasumsikan produktivitasnya akan meningkat, dan peluang kesempatan pekerjaan akan semakin besar. Semakin tinggi kualifikasi pendidikan yang dibutuhkan, maka semakin tinggi pula upah atau pendapatan yang diperoleh. Diharapkan dengan pendapatan yang tinggi tersebut akan dapat mengurangi insiden kemiskinan.
116
5.2.3 Rata-rata Lama Sekolah (RLS) Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, secara statistik koefisien regresi variabel rata-rata lama sekolah yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa rata-rata lama sekolah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,13 dapat diartikan bahwa jika rata-rata lama sekolah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Suparno (2010) dan Suhartini (2011), yang menemukan bahwa rata-rata lama sekolah yang menunjukkan akumulasi tingkat pendidikan masyarakat mampu menurunkan tingkat kemiskinan di Indonesia. Masyarakat yang berpendidikan tinggi akan mempunyai
keterampilan
dan
keahlian,
sehingga
dapat
meningkatkan
produktivitasnya. Dengan produktivitas yang tinggi, peluang kesempatan pekerjaan dan perolehan pendapatan akan semakin meningkat, yang akan berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan.
5.2.4 Rasio Anggaran Fungsi Pendidikan Berdasarkan nilai probabilita statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel rasio anggaran fungsi pendidikan yang diestimasi di Indonesia terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Variabel rasio anggaran fungsi pendidikan memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia, dimana jika rasio anggaran fungsi pendidikan meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus. Untuk mendukung kelancaran peningkatan mutu pendidikan penduduk diperlukan anggaran pendidikan yang memadai. Pemerintah terus meningkatkan alokasi anggaran pendidikan sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengeluaran di sektor pendidikan sangat bermanfaat untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi penduduk miskin. Hasil penelitian Sitepu (2009) dan Birowo (2011) menyatakan bahwa investasi sumberdaya manusia
117
untuk pendidikan dapat menurunkan insiden kemiskinan. Seperti dijelaskan sebelumnya, bahwa alokasi pengeluaran pemerintah di sektor pendidikan, maka akan meningkatkan produktivitas penduduk. Peningkatan produktivitas ini, pada gilirannya
mampu
meningkatkan pertumbuhan
ekonomi
sehingga
akan
berdampak pada penurunan angka kemiskinan. Menurut Fan et al. (1999), pengeluaran pemerintah dapat memberikan pengaruh langsung dan tidak langsung terhadap kemiskinan. Dampak langsung pengeluaran pemerintah adalah manfaat yang diterima penduduk miskin dari berbagai program peningkatan pendapatan dan kesejahteraan pekerja, serta skema bantuan dengan target penduduk miskin. Dampak tidak langsung berasal dari investasi pemerintah dalam infrastruktur, riset, pelayanan kesehatan dan pendidikan bagi penduduk, yang secara simultan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi di seluruh sektor dan berdampak pada penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan peningkatan pendapatan terutama penduduk miskin serta lebih terjangkaunya harga kebutuhan pokok. Pengeluaran pemerintah juga diperlukan sebagai stimulus pertumbuhan ekonomi untuk membantu mendayagunakan sumber daya secara berkelanjutan bagi pengeluaran pemerintah di masa depan. Pertumbuhan ekonomi sebagai sarana utama dalam mengatasi masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan penduduk secara keseluruhan. Hasil penelitian Jung dan Thorbecke (2001) menunjukkan bahwa pengeluaran pendidikan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun, untuk memaksimalkan manfaat dari pengeluaran untuk pendidikan, tingkat investasi fisik yang cukup tinggi juga dibutuhkan, seperti kebijakan yang dapat meningkatkan kecocokan antara pola output pendidikan dan struktur permintaan tenaga kerja yang efektif. Hasil simulasi adalah bahwa pola belanja pendidikan yang ditargetkan dengan baik, bisa efektif untuk pengentasan kemiskinan .Gambaran dari keempat variabel yang digunakan pada persamaan atau model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.11 di bawah ini. Dengan pencapaian tingkat melek huruf yang relatif tinggi, pencapaian partisipasi pendidikan dan rata-rata lama sekolah, serta dukungan anggaran fungsi pendidikan dari pemerintah daerah, mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010.
118
N
LEGENDA: AMH APS RLS R-EDU Penduduk Miskin (%) 3.48 - 6.77 6.77 - 9.5 9.5 - 15.47 15.47 - 23.19 23.19 - 36.8
1000
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.11 Peta tingkat kemiskinan, angka melek huruf, angka partisipasi sekolah, rata-rata lama sekolah dan rasio anggaran pendidikan di Indonesia, tahun 2007–2010.
5.2.5 Efek Lintas-Daerah Berdasarkan nilai cross-section effect yang disajikan pada Gambar 5.12 dapat dilihat bahwa jika semua variabel tidak ada perubahan (konstan), maka ratarata tingkat kemiskinan dimasing-masing provinsi akan sebesar nilai koefisien dan cross-section effect-nya. Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua, akan mengalami kenaikan tingkat kemiskinan lebih tinggi jika tanpa ada usaha perbaikan kualitas SDM dan pengeluaran pemerintah bidang pendidikan. 000 000 000 % 000 000 000 000
PapBar Maluku NAD Papua Gorontalo DIY NTT Bengkulu Lampung SulTeng SulTra NTB JaTeng SumSel SuMut JaTim SumBar SulUt JaBar Riau SulBar MalUt SulSel KalTim Jambi Banten KalTeng KepRi KalBar DKI Bali KalSel BaBel
000
000 Cross-Section Effect
Gambar 5.12 Efek lintas-daerah model efek tetap peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
119
Provinsi Papua Barat contohnya, efek lintas-daerahnya lebih tinggi sebesar 0,19.% dari rata-rata provinsi atau sebesar 0,32.+.0,19.=.0,51.%. Dapat dikatakan bahwa jika semua variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan meningkat sebesar 0,51.%. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhatian pemerintah untuk meningkatkan pendidikan perlu memprioritaskan pada wilayah-wilayah yang berdampak tinggi, seperti Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua. Berdasarkan efek lintas daerah tersebut, maka dapat divisualisasikan prioritas daerah melalui program pengentasan kemiskinan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan. Prioritas utama perlu diperhatikan pada daerah-daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan pencapaian pendidikannya masih rendah, seperti Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua (daerah berwarna merah). Prioritas kedua yaitu bagi daerah berwarna kuning, seperti Provinsi Gorontalo, DIY, NTT, Bengkulu, dan lainnya. Selanjutnya untuk prioritas ketiga yaitu bagi daerah dengan warna hijau, seperti Provinsi DKI, Kepulauan Riau dan Riau dimana tingkat kemiskinannya relatif rendah dan pencapaian pendidikannya relatif tinggi.
N
LEGENDA: -0.11 sd -0.03 (rendah) -0.03 sd 0.08 (sedang) 0.08 sd 0.19 (tinggi)
1000
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.13 Peta prioritas menurut efek lintas-daerah model peran pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
120
5.3
Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan di Indonesia Untuk mengidentifikasi peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan,
digunakan pendekatan tingkat kesempatan kerja. Tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan didefinisikan sebagai rasio penduduk berumur 15 tahun ke atas yang bekerja menurut tingkat pendidikan terhadap jumlah total angkatan kerja. Model persamaan ini menyertakan variabel pendapatan per kapita sebagai pendekatan efek pertumbuhan ekonomi dan indeks gini sebagai pendekatan efek distribusi. Persamaan menggunakan data dari 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Untuk mendapatkan hasil estimasi yang baik, dilakukan pemilihan model regresi dengan membandingkan model efek tetap dengan model efek acak menggunakan uji Hausman. Berdasarkan informasi hasil penelitian menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih kecil dari 5.% yaitu sebesar 1,72.%, yang memiliki arti bahwa data pengamatan belum cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan Indonesia terletak di antara nilai 4 – dU dan 4 – dL (Lampiran 7). Hasil ini menandakan tidak dapat ditentukan korelasi pada model tersebut. Sehingga estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan cross-section weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9969 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di Indonesia sebesar 99,69.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut. Sedangkan sisanya sebesar 0,31.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk Indonesia ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000.
121
Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. 0 menyajikan hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia.
Tabel 5.2 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, periode tahun 2007-2010
Variabel Bebas
Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100) Koefisien
Probabilita (p-value)
C
1,0004
0,0000 *
Dasar
0,1526
0,0000 *
Menengah
-0,1767
0,0508 **
Tinggi
-0,2693
0,0039 *
Log(YCap)
-0,0538
0,0003 *
Gini
-0,0197
0,5609
R-squared
0,9969
Adjusted R-squared
0,9957
Prob (F-statistic)
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
5.3.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar Tabel 5.2 menyajikan hasil estimasi pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. Dapat dikatakan bahwa tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar 0,15 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan dasar meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan bertambah sebesar 0,15.%, ceteris paribus (cp).
122
Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa lulusan jenjang pendidikan dasar mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan SD dan SMP. Fenomena
ini
menunjukkan
struktur
perekonomian
Indonesia
masih
mengandalkan tenaga kerja murah. Rendahnya tingkat pendapatan pekerja SD dan SMP akan berpeluang meningkatkan kemiskinan. Hal ini berarti bahwa kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar belum mampu untuk mengurangi kemiskinan, tetapi cenderung dapat menambah tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini searah dengan penelitian Wedgwood (2005) yang menyimpulkan bahwa pengalaman Tanzania dalam kebijakan pemerataan pendidikan dengan perluasan pendidikan dasar menunjukkan bahwa pendidikan dasar tidak selalu mengarah pada pengurangan kemiskinan. Ketika lulusan pendidikan memasuki lapangan kerja, mereka sering tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan dan cenderung kalah dengan orang yang lebih berpendidikan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, bahwa karakterisk rumah tangga miskin menurut tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga (KRT), menunjukkan bahwa persentase KRT miskin yang tidak tamat SD/tamat SD dan SMP, persentasenya lebih tinggi dibanding persentase kepala rumahtangga miskin dengan tingkat pendidikan terakhir SMA atau Perguruan Tinggi (BPS 2009d). Lebih lanjut menurut data BPS, 90,65.% KRT miskin yang bekerja adalah berpendidikan dasar kebawah (BPS 2009e). Indikasi ini menunjukkan bahwa mereka yang tergolong miskin cenderung berpendidikan rendah.
5.3.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah signifikan pada taraf nyata α = 5.%. Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan
menengah memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,18 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan
pendidikan menengah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus.
123
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Tilak (2006). Tilak menyatakan bahwa pendidikan pasca pendidikan dasar, yaitu pendidikan menengah dan tinggi, lebih lebih berperan terhadap pembangunan. Pendidikan pasca pendidikan dasar
mendorong pertumbuhan ekonomi,
yang akan
berkontribusi signifikan terhadap pengurangan kemiskinan di India. Tabel 5.3 menyajikan jumlah dan persentase tenaga kerja menurut tingkat pendidikan di Indonesia selama periode tahun 2003-2010. Terlihat bahwa jumlah maupun persentase tenaga kerja berpendidikan dasar (SD dan SMP) secara umum mengalami penurunan selama periode tersebut. Sedangkan tenaga kerja berpendidikan menengah cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan informasi hasil penelitian, mulai jenjang pendidikan menengah lebih berpengaruh terhadap pengurangan kemiskinan di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari permintaan tenaga kerja berpendidikan menengah ke atas yang cenderung meningkat selama beberapa tahun terakhir. Tabel 5.3 Jumlah dan persentase tenaga kerja menurut pendidikan di Indonesia, tahun 2003-2010 SD
SMP
SMU
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Jumlah
Persentase
Naker
Naker
Naker
Naker
Naker
Naker
(juta jiwa)
(%)
(juta jiwa)
(%)
(juta jiwa)
(%)
2003
35,71
38,48
18,57
20,01
11,84
12,75
2004
35,13
37,48
18,57
19,82
11,39
12,15
2005
36,02
38,34
19,13
20,36
11,98
12,75
2006
34,91
36,58
18,37
19,25
12,92
13,53
2007
37,96
37,99
18,83
18,84
12,75
12,76
2008
36,76
35,84
19,04
18,57
14,40
14,04
2009
29,65
28,27
19,39
18,49
14,58
13,90
2010
31,32
28,94
20,63
19,07
15,91
14,71
Tahun
Sumber: BPS 2010a.
124
5.3.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi signifikan pada taraf nyata α = 1.%, . Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan
tinggi memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan koefisien sebesar -0,27 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan
tinggi meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus.
Berdasarkan informasi hasil penelitian, fenomena ini menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi akan berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan.
Pekerja
yang
memiliki
keterampilan tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita melalui peningkatan produktivitas, sehingga dapat berperan dalam mengurangi kemiskinan. Hasil penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Khan dan Williams (2006). Khan dan Williams menyatakan bahwa pendidikan tinggi sangat penting untuk pengentasan kemiskinan, karena berperan sebagai pelengkap pendidikan dasar dan menengah, dimana pendidikan tinggi akan menyediakan guru-guru terlatih, pengembangan kurikulum yang relevan secara lokal, dan melengkapi SDM pendidikan dengan manajemen yang solid dan keterampilan pemerintahan. Pendidikan tinggi menyediakan keahlian mendasar untuk semua sektor masyarakat dan ekonomi. Berdasarkan teori tahapan pembangunan ekonomi, pada tahap awal pembangunan, perekonomian akan didorong oleh faktor produksi yang bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah. Pada tahap selanjutnya perekonomian akan didorong oleh faktor efisiensi, yang dipicu oleh investasi yang besar, modern dan efisien. Kemudian tahap berikutnya, perekonomian akan didorong oleh faktor inovasi, yang berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi.
Perkembangan perekonomian di Indonesia, lambat laun akan menyebabkan pergeseran struktur tenaga kerja. Semakin lama, semakin tinggi tingkat perekonomian, maka dibutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih tinggi.
125
Dengan perkembangan perekonomian yang telah terjadi di Indonesia, semakin dibutuhkan tenaga kerja trampil. Hal ini akan memperluas tingkat kesempatan kerja bagi tenaga kerja dengan tingkat pendidikan lebih tinggi. Kualitas angkatan kerja Indonesia dapat dilihat antara lain dari tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, relatif akan semakin baik keahlian yang dimiliki dan diharapkan akan dapat mengisi lapangan kerja yang menuntut kualifikasi khusus tenaga kerja yang dibutuhkan. Mengingat tuntutan perubahan jaman dan kemajuan teknologi, maupun kebutuhan dalam pasar kerja, lapangan pekerjaan yang tersedia akan turut berubah yang membutuhkan tenaga kerja trampil dan kemampuan yang bervariasi. Jika dilihat dari sisi tingkat upah, terdapat perbedaan yang cukup mencolok antara pekerja berpendidikan dasar (SLTP ke bawah), SLTA maupun pendidikan tinggi. Pada tahun 2011, rata-rata upah/gaji bersih pekerja berpendidikan SD hanya sebesar Rp. 758 ribu/bulan, SLTP sebesar Rp. 1.120 ribu/bulan, sedangkan SLTA sebesar Rp. 1.445 ribu/bulan dan pendidikan tinggi lebih dari 2 juta rupiah/bulan (Pusdatinaker 2012). 5.3.4 PDRB per kapita Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel PDRB per kapita yang diestimasi terindikasi sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%. PDRB per kapita memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dimana jika PDRB per kapita meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,05.%, (cp) Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Wahyuni (2011) yang menyatakan bahwa peningkatan PDRB per kapita akan berdampak pada penurunan kemiskinan. Secara teori, peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan. Lapangan pekerjaan yang tercipta akan memperbesar peluang pekerjaan. Partisipasi dalam lapangan kerja akan menghasilkan pendapatan. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Ketika pendapatan secara rata-rata meningkat,
126
maka pendapatan penduduk golongan berpendapatan rendah juga akan meningkat, meskipun proporsi peningkatannya di bawah rata-rata. Peningkatan pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah akan memungkinkan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar, sehingga mampu keluar dari kemiskinan. Temuan ini sejalan dengan teori pertumbuhan endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, sehingga akan memperbesar peluang pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat dan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya. Berdasarkan data BPS, pendapatan per kapita secara nasional meningkat dari Rp. 8,63 juta/tahun di tahun 2007 menjadi Rp. 9,72 juta/tahun pada tahun 2010 atau terjadi pertumbuhan 4,05.% per tahun. Secara kasar, fenomena ini menunjukkan adanya perbaikan dalam kesejahteraan penduduk. Meskipun demikian, masih terdapat kesenjangan pendapatan per kapita yang cukup lebar antara di KBI dan KTI. Selama periode 2007-2010, rata-rata selisih pendapatan per kapita antara kedua kawasan adalah sebesar Rp. 3,25 juta/tahun. Secara kasar, hal ini menunjukkan kesejahteraan di KBI lebih baik dibanding kawasan timur Indonesia. Gambaran dari keempat variabel yang signifikan pada persamaan atau model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.14. Dengan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar, menengah dan tinggi, serta PDRB per kapita berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia selama periode tahun 2007-2010. Dari gambar tersebut dapat terlihat bahwa daerah dengan kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar yang relatif tinggi dan tingkat PDRB per kapita yang masih rendah, terkait pula dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Contohnya di Provinsi Papua,
127
Maluku, NTT, NTB, Jawa Tengah, Lampung dan Bengkulu. Namun demikian, tingkat PDRB per kapita yang tinggi, belum tentu daerah tersebut memiliki tingkat kemiskinan yang rendah, seperti Provinsi Papua Barat dan NAD.
Variabel bebas Tingkat kemiskinan Dasar Rendah Menengah Sedang Tinggi Tinggi Ycap
Gambar 5.14 Peta tingkat kemiskinan, tingkat kesempatan kerja menurut pendidikan dan PDRB per kapita di Indonesia, tahun 2007–2010.
5.3.5 Efek Lintas-Daerah Berdasarkan nilai cross-section effect yang disajikan pada Gambar 5.15 dapat dilihat bahwa jika tidak ada perubahan semua variabel, maka rata-rata tingkat kemiskinan dimasing-masing provinsi akan sebesar nilai koefisien dan cross-section effect-nya. Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua, akan mengalami kenaikan tingkat kemiskinan tinggi jika tanpa ada usaha peningkatan pendidikan beserta perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan. Contohnya Provinsi Papua Barat, efek lintas-daerahnya lebih tinggi sebesar 0,23.% dari rata-rata provinsi atau sebesar 1,00.+.0,23.=.1,23.%. Dengan kata lain, jika semua variabel bebas tidak mengalami perubahan, maka tingkat kemiskinan di Provinsi Papua Barat akan meningkat sebesar 1,23.%. Sehubungan dengan hal tersebut, maka perhatian pemerintah untuk peningkatan pendidikan dan perluasan kesempatan kerja perlu memprioritaskan pada wilayah-wilayah yang berdampak tinggi, seperti Provinsi Papua Barat, Maluku, Nangroe Aceh Darussalam, dan Papua.
128
000 000
000 000 000
PapBar Papua NAD Maluku KepRi NTB KalTim DIY Gorontalo SulTeng DKI SulTra Bengkulu JaTim NTT SumSel Lampung Riau JaTeng SuMut SulSel SulUt SumBar JaBar SulBar Banten BaBel KalBar Bali Jambi KalTeng MalUt KalSel
000 %
Cross-section effect
Gambar 5.15 Efek lintas-daerah model efek tetap peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
Berdasarkan efek lintas daerah dapat divisualisasikan prioritas daerah melalui program pengentasan kemiskinan terkait peningkatan kualitas sumber daya manusia beserta perluasan kesempatan kerja, pertumbuhan ekonomi dan perbaikan distribusi pendapatan.. Prioritas utama perlu diperhatikan pada daerahdaerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi dan pencapaian pendidikannya masih rendah, serta kesempatan kerja bagi tenaga kerja terdidik yang masih rendah, seperti Provinsi Papua Barat, Papua, NAD dan Maluku (daerah berwarna merah). Prioritas kedua yaitu bagi daerah berwarna kuning, seperti Provinsi NTB, NTT, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah dan lainnya. Selanjutnya untuk prioritas ketiga yaitu bagi daerah dengan warna hijau, seperti Provinsi DKI, Banten, Sumatera Barat dan Riau dimana tingkat kemiskinannya relatif rendah dan pencapaian pendidikannya relatif tinggi.
N
LEGENDA: 1000 -0.105 sd -0.031 (rendah) -0.031 sd 0.049 (sedang) 0.049 sd 0.23 (tinggi)
0
1000
2000 Kilometers
Gambar 5.16 Peta prioritas Efek lintas-daerah model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia, tahun 2007-2010.
129
5.4
Hasil Evaluasi Model Peran Jenjang Pendidikan terhadap Kemiskinan antarkawasan di Indonesia Model ketiga adalah mengidentifikasi peran jenjang pendidikan terhadap
kemiskinan antarkawasan di Indonesia. Persamaan dipisahkan antara KBI dan KTI, dengan menggunakan data 33 provinsi di seluruh Indonesia pada periode tahun 2007 sampai 2010. Pemilihan model regresi terbaik dilakukan untuk mendapatkan
hasil
estimasi
yang
baik.
Proses
ini
dilakukan
dengan
membandingkan model efek tetap dengan model efek acak menggunakan uji Hausman. Berdasarkan informasi hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk persamaan KBI menunjukkan bahwa REM lebih baik dibandingkan dengan FEM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman yang lebih besar dari taraf nyata 10.% yaitu sebesar 71,60.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan belum cukup bukti untuk menolak hipotesis tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Terpilihnya model REM diasumsikan best linier unbiased estimator (BLUE) dan tidak perlu dilakukan pengujian terhadap tiga asumsi utama BLUE. Melalui angka R-squared sebesar 0,7296 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di KBI sebesar 72,96.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut pada model. Sedangkan sisanya sebesar 27,04.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk KBI ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000.
Sedangkan untuk persamaan KTI menunjukkan bahwa FEM lebih baik dibandingkan dengan REM. Hal ini terlihat dari nilai peluang statistik Hausman untuk persamaan tersebut yaitu sebesar 0,0884 yang lebih kecil dari taraf nyata 10.%. Nilai peluang ini memiliki arti bahwa data pengamatan cukup bukti untuk menolak hipotesis nol bahwa tidak ada korelasi antara komponen error dengan peubah bebas. Berdasarkan hasil estimasi, ditemukan adanya heteroskedastisitas pada model, terlihat dari jumlah kuadrat sisaan (sum square residual) pada weighted statistics lebih kecil daripada unweighted statistics. Pengujian berikutnya berupa pendeteksian gejala autokorelasi pada model. Berdasarkan hasil uji statistik Durbin-
130
Watson (DW) diperoleh nilai DW-hitung pada unweighted statistics persamaan KTI terletak di antara nilai 4 – dL dan 4 (Lampiran 7). Hasil ini menandakan terdapat korelasi serial negatif pada model tersebut. Sehingga estimasi perlu dilakukan menggunakan metode fixed effect GLS dengan cross-section weights dan seemingly unrelated regressions (SUR) untuk mengatasi kedua pelanggaran asumsi tersebut. Melalui angka R-squared sebesar 0,9982 dapat dinyatakan bahwa variasi naik turunnya tingkat kemiskinan di KTI sebesar 99,82.% disebabkan oleh variasi naik turunnya variabel-variabel bebas tersebut pada model. Sedangkan sisanya sebesar 0,18.% diakibatkan faktor-faktor lain yang tidak disertakan dalam model, namun ditampung dalam variabel gangguan acak. Secara serentak, terlihat pula bahwa model yang diestimasi untuk KTI ini sangat signifikan pada taraf nyata α = 1.%, atau dengan besaran nilai peluang statistik uji F p-value = 0,0000. Setelah dilakukan pengujian dan diperoleh metode dan model yang paling sesuai, maka dilakukan estimasi dari persamaan tersebut. Estimasi dilakukan untuk mengetahui besarnya pengaruh setiap variabel bebas terhadap variabel tidak bebas. Tabel 5.4 menyajikan hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di Indonesia.
Tabel 5.4 Hasil estimasi persamaan peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan menurut kawasan di Indonesia, periode tahun 20072010 Variabel tidak bebas: Persentase penduduk miskin (POV100)
Variabel Bebas
Kawasan Barat Indonesia Koefisien
Probabilita
Kawasan Timur Indonesia Koefisien
Probabilita
C
0,3550
0.0550 ***
0,8102
0,0002 *
DASAR
0,1878
0.0001 *
0,1328
0,0012 *
MENENGAH
-0,1457
0.0316 **
-0,4783
0,0377 **
TINGGI
-0,4034
0.0007 *
-0,2327
0,0474 **
Log(YCap)
-0,0146
0.1667
-0,0370
0,0118 **
Gini
-0,0240
0.4008
-0,0384
0,5314
R-squared
0,7296
0,9982
Adjusted R-squared
0,7078
0,9973
Prob (F-statistic)
0,0000
0,0000
Keterangan : * : signifikan pada taraf nyata 1 persen ** : signifikan pada taraf nyata 5 persen
***
: signifikan pada taraf nyata 10 persen
131
5.4.1 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Dasar
Tabel 5.4 menyajikan hasil estimasi pengaruh jenjang pendidikan terhadap kemiskinan di kawasan barat dan timur Indonesia. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi di KBI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99.%. Dapat dikatakan bahwa tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar di KBI memiliki pengaruh positif terhadap tingkat kemiskinan di KBI. Dengan koefisien sebesar 0,18 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan dasar di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan bertambah sebesar 0,18.%, ceteris paribus. Untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan dasar yang diestimasi di KTI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 99.%. Untuk model KTI, Dengan koefisien sebesar 0,13 dapat diartikan bahwa jika tenaga lulusan pendidikan dasar di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan bertambah sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Berdasarkan hasil penelitian, terlihat bahwa lulusan jenjang pendidikan dasar mempunyai hubungan yang positif dan signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hal ini berarti bahwa kesempatan kerja bagi lulusan pendidikan dasar (SD dan SMP) belum mampu untuk mengurangi kemiskinan, tetapi cenderung dapat menambah tingkat kemiskinan. Berdasarkan data BPS tahun 2011, bahwa penyerapan tenaga kerja di Indonesia masih didominasi oleh tenaga kerja lulusan SD dan SMP dan rata-rata upah/gaji bersih pekerja/karyawan selama sebulan menurut pendidikan SD dan SMP berkisar antara Rp. 750.000,- hingga Rp. 1.120.000,-. Fenomena ini menunjukkan struktur perekonomian Indonesia masih mengandalkan tenaga kerja murah. Rendahnya tingkat pendapatan pekerja SD dan SMP tidak mencukupi untuk membantu keluar dari kemiskinan.
132
5.4.2 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Menengah
Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah di KBI signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. Tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah di KBI memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KBI. Dengan koefisien sebesar -0,14 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan menengah di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan berkurang sebesar 0,14.%, cp. Untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan menengah yang diestimasi di KTI terindikasi sangat signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. Untuk model KTI, Dengan koefisien sebesar 0,47 dapat diartikan bahwa jika tenaga lulusan pendidikan menengah di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan bertambah sebesar 0,47.%, cp. 5.4.3 Tingkat Kesempatan Kerja Pendidikan Tinggi
Secara umum, variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi di KBI berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KBI dengan signifikansi pada tingkat kepercayaan 99.%. Dengan koefisien sebesar 0,40 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di KBI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KBI akan berkurang sebesar 0,14.%, cp. Sedangkan untuk model KTI, berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel tingkat kesempatan kerja lulusan pendidikan tinggi yang diestimasi di KTI berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di KTI dengan signifikansi pada tingkat kepercayaan 95.%. Dengan koefisien sebesar 0,23 dapat diartikan bahwa jika tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan berkurang sebesar 0,23.%, cp.
133
Kualitas angkatan kerja Indonesia dapat dilihat dari tingkat pendidikan angkatan kerja tersebut. Semakin tinggi pendidikan yang ditamatkan, relatif akan semakin baik keahlian yang dimiliki dan diharapkan akan dapat mengisi lapangan kerja yang menuntut kualifikasi khusus tenaga kerja yang dibutuhkan. Mengingat tuntutan perubahan jaman dan kemajuan teknologi, maupun kebutuhan dalam pasar kerja, lapangan pekerjaan yang tersedia akan turut berubah yang membutuhkan tenaga kerja trampil dan kemampuan yang bervariasi. Berdasarkan informasi hasil penelitian, fenomena ini menunjukkan bahwa kuantitas dan kualitas pekerja terampil dan berpengetahuan tinggi akan berpengaruh terhadap
pengurangan kemiskinan.
Pekerja
yang
memiliki
keterampilan tinggi akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan peningkatan pendapatan per kapita melalui peningkatan produktivitas. Perbedaan jenjang pendidikan yang berpengaruh besar terhadap pengurangan kemiskinan di KBI dan KTI, mengindikasikan bahwa kebutuhan untuk keluar dari kemiskinan berbeda antardaerah. Pencapaian pendidikan akan meningkatkan potensi penghasilan dari individu dan akibatnya meningkatnya pendapatan akan membantu mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kebutuhan tingkat pendidikan dan kesempatan kerja di KBI memerlukan kualifikasi pendidikan tinggi agar dapat mengurangi insiden kemiskinan. Sementara di KTI, dengan jenjang pendidikan dan kesempatan kerja pendidikan menengah sudah bisa mengurangi insiden kemiskinan di KBI. Perbedaan kemiskinan antara KBI dan KTI dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, adanya perbedaan struktur dan pertumbuhan ekonomi, dimana perekonomian di KBI lebih maju dan tumbuh lebih cepat daripada KTI. Kedua, adanya perbedaan garis kemiskinan, dimana kawasan yang mempunyai garis kemiskinan lebih tinggi akan berpeluang untuk mempunyai angka kemiskinan yang lebih tinggi. Ketiga, perbedaan kondisi geografis sangat mempengaruhi perilaku penduduk. Penduduk yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi akan sulit mengakses layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan. Akibatnya, kualitas SDM di daerah-daerah terpencil akan rendah dan produktivitas mereka juga rendah. Rendahnya produktivitas akan berdampak pada rendahnya pendapatan yang mereka terima sehingga mereka akan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup secara layak dan kemiskinan akan sulit untuk diturunkan.
134
5.4.4 PDRB per kapita
Berdasarkan nilai peluang statistik uji, dapat dikatakan bahwa secara statistik koefisien regresi variabel PDRB per kapita yang diestimasi di KTI terindikasi signifikan pada tingkat kepercayaan 95.%. PDRB per kapita di KTI memiliki pengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan. Dimana jika PDRB per kapita di KTI meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di KTI akan berkurang sebesar 0,04.%, ceteris paribus. Temuan ini sejalan dengan teori pertumbuhan endogen yang menyatakan modal manusia sebagai sumber pertumbuhan yang penting. Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki pekerja dan akan memengaruhi produktivitas melalui cara produksi lebih efisien. Peningkatan pertumbuhan ekonomi akan diikuti dengan peningkatan jumlah lapangan pekerjaan, sehingga akan memperbesar peluang pekerjaan. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan tingkat dan pertumbuhan pendapatan per kapita penduduk secara rata-rata, termasuk peningkatan pendapatan pada kelompok penduduk berpendapatan rendah. Dengan demikian kenaikan pertumbuhan ekonomi (PDRB per kapita) akan memberikan manfaat bagi penduduk untuk meningkatkan kesejahteraannya.
5.4.5 Hasil Uji Beda Koefisien
Hasil estimasi model peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan antarkawasan di Indonesia menunjukkan bahwa terdapat tiga variabel bebas yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 1.% dan 5.% untuk model KBI, sedangkan hasil estimasi untuk model KTI menunjukkan terdapat empat variabel bebas yang signifikan secara statistik pada taraf nyata 1.% hingga 5.%. 0 menyajikan hasil uji beda koefisien bagi variabel bebas yang secara statistik signifikan berpengaruh terhadap variabel tak bebas untuk kedua model. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa koefisien variabel-variabel tersebut berbeda secara statistik antara KBI dan KTI.
135
Tabel 5.5 Hasil uji beda koefisien peran jenjang pendidikan terhadap kemiskinan antarkawasan di Indonesia, periode tahun 2007-2010 Variabel bebas
thitung
ttabel
Signifikansi
Keputusan
Kesimpulan
Dasar
7,53
2,35
Sig 1 %
Tolak H0
KTI < KBI
Menengah
11,46
2,35
Sig 1 %
Tolak H0
KTI < KBI
|−8,65| 2,35
Sig 5 %
Tolak H0
KTI < KBI
Tinggi
5.5
Sintesis Penelitian Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan pembangunan di Indonesia
yang dapat juga menyebabkan permasalahan lainnya. Kemiskinan memiliki berbagai penyebab dan efek. Kurangnya pendapatan merupakan penyebab utama kemiskinan, namun hanya sebagai salah satu penyebab tunggal. Seringkali bahwa kurangnya akses terhadap kebutuhan dasar merupakan faktor yang berkontribusi menyebabkan kemiskinan. Kurangnya akses terhadap pendidikan, akses terhadap pasar dan akses ke lapangan kerja akan mengurangi peluang terhadap pendapatan sehingga dapat menyebabkan kemiskinan. Oleh karena itu, peningkatan kualitas SDM dan pengembangan kesempatan kerja produktif, diharapkan dapat menurunkan kemiskinan, khususnya jika upah riil juga meningkat (ILO 2011). Dalam kerangka teori pertumbuhan endogen, akumulasi modal manusia melalui pencapaian pendidikan merupakan kontributor penting bagi pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pertumbuhan ekonomi dipercaya dapat mengurangi kemiskinan. Lang (1994) berpendapat bahwa jika modal manusia dapat ditingkatkan
melalui
pendidikan,
maka
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
mensubsidi
pendidikan
selanjutnya dapat
akan
memerangi
kemiskinan. Kebijakan investasi dalam pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur cenderung meningkatkan kapasitas produktif dari seluruh ekonomi, dan meningkatkan
pendapatan
dari
semua
kelompok,
termasuk
pendapatan
masyarakat miskin (Rodrik 2000), sehingga diharapkan dapat mengurangi kemiskinan.
136
Beberapa penelitian empiris mengenai pertumbuhan ekonomi menggunakan beberapa ukuran stok modal manusia, antara lain: tingkat melek huruf, angka partisipasi sekolah, dan rata-rata lama sekolah penduduk usia kerja untuk menjelaskan peran pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kebijakan nasional wajib belajar pendidikan dasar terhadap kemiskinan di Indonesia dan mengkaji jenjang pendidikan yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia maupun antarkawasan di Indonesia. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dalam penelitian ini, dapat simpulkan bahwa secara umum pendidikan di Indonesia berperan dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Seperti ditunjukkan pada persamaan pertama (Tabel 5.1), dimana dari keempat variabel bebas tersebut berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Melek huruf seringkali menjadi indikator yang pertama kali muncul dalam analisis kemiskinan atau profil kemiskinan sebagai faktor penentu kemiskinan. Melek huruf sangat penting dalam strategi penanggulangan kemiskinan, dimana melek huruf merupakan kunci memasuki dunia pengetahuan yang luas dan akan mempermudah seseorang untuk memahami informasi terkait bidang kerja dan berbagai aspek lain menyangkut peningkatan kualitas hidup. Melek huruf juga digunakan sebagai elemen penyusun indeks pembangunan manusia (IPM). Suso (2006) menggunakan tiga pendekatan terhadap tingkat melek huruf sebagai indikator dalam strategi penanggulangan kemiskinan: 1. Pendekatan hak; memandang bahwa ada hak untuk melek huruf sebagaimana ada hak atas pendidikan. Pendekatan ini mengkaitkan melek huruf terhadap partisipasi dalam pendidikan formal. Indikasi lain dari pendekatan ini adalah fakta bahwa buta huruf berhubungan erat dengan kemiskinan, dimana mengurangi buta huruf akan mengurangi kemiskinan karena buta huruf merupakan bagian dari indikator pengukuran kemiskinan. 2. Pendekatan sosial; memandang melek huruf sebagai instrumen untuk melawan kesenjangan sosial dan budaya, atau melawan dominasi. Hal ini sebagian besar terkait dengan pembangunan manusia, pemberdayaan perempuan dan kaum minoritas, serta kesejahteraan individu.
137
3. Pendekatan fungsional; memberikan perhatian pada keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan untuk berfungsi secara memadai dalam masyarakat. Pendekatan ini terutama menangani persiapan untuk bekerja, wirausaha, akses kredit mikro, pengelolaan lingkungan untuk produktivitas yang lebih baik dan keberlanjutan. Tujuan dari pendekatan melek huruf adalah untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja melalui peningkatan pengetahuan. Sampai dengan tahun 2010, angka melek huruf di Indonesia telah mengalami peningkatan hingga mencapai 93.%, dengan sebaran antarprovinsi antara 71,52 % di Provinsi Papua sampai dengan 99,15% di Provinsi Sulawesi Utara. Pencapaian angka melek huruf antarprovinsi ini terkait pula dengan tingkat kemiskinan yang ada, dimana daerah dengan angka melek huruf yang rendah biasanya tingkat kemiskinannya tinggi, seperti terjadi di Provinsi Papua dengan tingkat kemiskinan tertinggi sebesar 36,80 %, sedangkan Provinsi Sulawesi Utara sebesar 9,10.%. Berdasarkan hasil penelitian, melek huruf berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,27.%, dimana jika angka melek huruf meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,27.%, ceteris paribus. Angka partisipasi sekolah sebagai salah satu indikator untuk mengukur daya serap keseluruhan sistem pendidikan, menyajikan gambaran interaksi antara permintaan dan penawaran pendidikan. Permintaan dan penawaran dalam pendidikan berarti seberapa besar persentase anak kelompok usia tertentu dalam populasinya yang memanfaatkan fasilitas pendidikan. Hal penting yang perlu diketahui adalah pada tingkat pendidikan mana partisipasi yang besar dan pada populasi kelompok umur berapa partisipasi sekolah yang besar. Rata-rata APS penduduk usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 telah mengalami peningkatan hingga mencapai 65,52.%. Artinya bahwa lebih dari 65.% dari total populasi anak usia usia 7-24 tahun di Indonesia pada tahun 2010 yang sedang bersekolah di jenjang pendidikan dasar, menengah maupun tinggi. Partisipasi terbesar adalah pada kelompok umur 7-12 tahun, mencapai 96,86.%, dan partisipasi semakin menurun pada kelompok umur yang semakin meningkat. Tingginya pencapaian partisipasi pada kelompok umur tersebut karena didukung
138
ketersediaan anggaran untuk program wajar dikdas, sedangkan semakin menurunnya partisipasi ke setiap jenjang pendidikan lebih tinggi disebabkan oleh biaya pendidikan yang semakin mahal. Kesenjangan partisipasi sekolah masih terjadi antarprovinsi dengan keragaman antara 56,44.% di Provinsi Papua hingga 74,52.% di Provinsi DIY. Kesenjangan ini disebabkan antara lain oleh ketersediaan tenaga pengajar, infrastruktur pendidikan maupun sarana pendukung akses terhadap pendidikan, terutama di daerah terpencil, kepulauan dan pedalaman. Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi sekolah berpengaruh negatif terhadap tingkat kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,31 %, dimana jika APS meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,31.%, ceteris paribus. Disisi lain, partisipasi sekolah juga berperan
meningkatkan melek huruf dan memberantas buta huruf bagi orang dewasa. Partisipasi sekolah juga dapat dianggap sebagai variabel aliran pencapaian modal manusia, yang memberikan indikasi tingkat pencapaian pendidikan masa depan bagi suatu masyarakat. Variabel rata-rata lama sekolah digunakan untuk mengukur akumulasi stok atau persediaan modal manusia yang telah terbentuk pada suatu daerah. Lamanya bersekolah menjadi ukuran akumulasi investasi pendidikan individu, dimana setiap tambahan tahun bersekolah diharapkan akan membantu meningkatkan pendapatan individu. Hingga tahun 2010, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas baru mencapai 8,09 tahun. Artinya, secara ratarata pendidikan penduduk Indonesia baru mencapai kelas 2 SMP, dengan kata lain belum mencapai pendidikan dasar sembilan tahun. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata lama sekolah berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,13.%, dimana jika rata-rata lama sekolah meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin di Indonesia akan berkurang sebesar 0,13.%, ceteris paribus. Pembangunan
pendidikan dalam
rangka
meningkatkan
akses
dan
pemerataan pendidikan, sangat dipengaruhi oleh ketersediaan anggaran oleh pemerintah. Gambar 5.17 menunjukkan hubungan positif antara anggaran fungsi pendidikan dengan tingkat partisipasi sekolah di Indonesia selama periode tahun 2007-2010. Implikasi dari teori pertumbuhan endogen yang memandang penting
139
akumulasi modal manusia dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, terkait erat dengan kebijakan pemerintah yang mendukung penyediaan layanan dan pembiayaan pendidikan, antara lain melalui anggaran fungsi pendidikan yang semakin meningkat. Dalam strategis penanggulangan kemiskinan, alokasi sumber daya yang diprioritaskan untuk sektor sosial, termasuk pendidikan, terutama bagi masyarakat miskin akan dapat mengurangi kemiskinan (Yamada 2005). Sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 5.4 mengenai scatter-plot antara rasio anggaran fungsi pendidikan dan persentase penduduk miskin di Indonesia pada tahun 2007–2010 pada pembahasan sebelumnya, terbukti bahwa prioritas pengalokasian anggaran oleh pemerintah yang menguntungkan orang miskin akan dapat mengurangi kemiskinan. 80 70
APS (%)
60 50 40 30 20 10 0 0
5
10
15
20
25
30
35
40
Rasio anggaran fungsi pendidikan (%) APS
Linear (APS)
Gambar 5.17 Scatter-plot antara anggaran fungsi pendidikan dan partisipasi sekolah di Indonesia, periode tahun 2007-2010.
Rata-rata nasional rasio anggaran fungsi pendidikan di Indonesia tahun 2010 sudah mencapai 25,40.%, namun jika dilihat masing-masing provinsi masih terdapat perbedaan kemampuan daerah berkisar antara 8 – 38.%. Berdasarkan hasil penelitian, anggaran fungsi pendidikan berpengaruh negatif terhadap kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,18 %, dimana jika rasio anggaran fungsi pendidikan meningkat 1.%, maka persentase penduduk miskin akan berkurang sebesar 0,18.%, ceteris paribus.
140
Dari hasil pengujian pada model pertama, telah diketahui bahwa pendidikan di Indonesia secara umum berperan dalam mengurangi kemiskinan. Namun demikian, langkah selanjutnya adalah untuk mengetahui pada jenjang pendidikan mana yang berperan besar dalam mengurangi kemiskinan di Indonesia. Pada model kedua ini menggunakan tingkat kesempatan kerja (TKK) menurut tingkat pendidikan untuk mengetahui pengaruh pendidikan terhadap kemiskinan melalui lapangan kerja. Pada model kedua juga menyertakan efek tidak langsung pendidikan terhadap kemiskinan melalui variabel PDRB per kapita sebagai efek pertumbuhan dan variabel indeks gini sebagai efek distribusi pendapatan. Berdasarkan hasil pengujian persamaan atau model jenjang pendidikan yang dilakukan dalam penelitian ini (Tabel 5.2), dapat diketahui bahwa tingkat kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan menengah dan tinggi lebih berperan dalam mengurangi kemiskinan, sebaliknya kesempatan kerja bagi lulusan jenjang pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan. TKK pendidikan tinggi berperan besar dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,26 %, sedangkan TKK pendidikan menengah berperan mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,17.%. Sebaliknya, TKK pendidikan dasar berperan dalam menambah kemiskinan dengan koefisien sebesar 0,15 %. Struktur ketenagakerjaan dari segi pendidikan mencerminkan struktur kualitas tenaga kerja. Keterkaitan antara ketenagakerjaan dan kemiskinan dapat dilihat dari perolehan pendapatan. Pendapatan yang diperoleh dari bekerja, tentunya dapat diukur apakah pendapatan yang diperoleh tersebut dapat mencukupi kebutuhan minimum. Gambar 5.18 memperlihatkan struktur ketenagakerjaan di Indonesia, dimana masih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan dasar yang sebagian besar bekerja di sektor pertanian dengan upah rata-rata lebih rendah dari sektor lainnya. Pendapatan yang rendah bagi lulusan pendidikan dasar di sektor pertanian, menyebabkan tingginya kemiskinan di sektor ini. ILO (2000) menyatakan bahwa perluasan kesempatan kerja sering dibarengi dengan penurunan kemiskinan khususnya jika upah riil juga meningkat. Pengetahuan tentang karakteristik dan kualitas tenaga kerja akan berguna sebagai dasar pengembangan kebijakan ketenagakerjaan, terutama pengembangan kesempatan kerja produktif dan peningkatan kualitas SDM (ILO 2011).
20
20
10
10
0
0
10
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
20
20
30
30
40
40
50
50
60
60 Naker Dasar
Naker Menengah
Naker Tinggi
Upah Dasar
Upah Menengah
Upah Tinggi
Upah Naker (x Rp. 00. 000,-)
Persentase Naker (%)
141
Sumber: BPS 2008a. Keterangan Lapangan Usaha: 1. Pertanian, perkebunan, kehutanan, perburauan dan perikanan; 2. Pertambangan dan penggalian; 3. Industri pengolahan; 4. Listrik, gas dan air minum; 5. Kontruksi; 6. Perdagangan, rumah makan dan jasa akomodasi; 7. Angkutan, pergudangan dan komunikasi; 8. Lembaga keuangan, real estate, usaha persewaan, jasa perusahaan; 9. Jasa kemasyarakatan, sosial dan perorangan.
Gambar 5.18 Persentase tenaga kerja (%) dan rata-rata upah (Rp. 00.000,-) menurut lapangan usaha dan tingkat pendidikan di Indonesia, tahun 2008.
Sesuai dengan tahapan teori pembangunan ekonomi bahwa perekonomian akan didorong oleh faktor produksi yang bersumber pada sumber daya alam berlimpah dan tenaga kerja murah; selanjutnya akan didorong oleh faktor efisiensi; serta oleh faktor inovasi yang berasal dari produktivitas tenaga kerja terampil dan pemanfaatan teknologi tinggi. Investasi dalam pendidikan yang mengarah pada pembentukan modal manusia diakui sebagai mesin pertumbuhan ekonomi. Modal manusia berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi dalam dua cara. Pertama, modal manusia meningkatkan produktivitas individu, yang mengarah pada peningkatan total produksi dan pertumbuhan ekonomi. Kedua, modal manusia juga berkontribusi terhadap produktivitas semua faktor produksi lainnya. Hal ini masing-masing disebut sebagai ‘efek internal’ dan ‘efek eksternal’ dari modal manusia (Lucas 1988 dalam Tilak 2002). Kontribusi pendidikan untuk
142
pembangunan dapat perekonomian
dengan
bervariasi,
seperti:
menyediakan
membantu industrialisasi dalam
tenaga
kerja
dengan
keterampilan
profesional, keterampilan teknis dan keterampilan manajerial. Pembangunan pendidikan juga telah memberikan kontribusi signifikan terhadap pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan. Pendidikan secara tidak langsung mengurangi kemiskinan melalui PDRB per kapita. Diketahui bahwa hasil pendidikan dapat meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya berpengaruh
terhadap
tingkat
pendapatan.
Investasi
dalam
pendidikan
meningkatkan PDRB per kapita, sehingga kemiskinan berkurang dan mendukung penyebarluasan pengetahuan. Dalam hal ini, PDRB per kapita berperan dalam mengurangi kemiskinan dengan koefisien sebesar -0,05 %.