41
UPAYA KHUSUS PENURUNAN TINGKAT KEMISKINAN PANDUAN PENARGETAN PROGRAM PENANGGULANGAN KEMISKINAN BERBASIS WILAYAH
Disusun oleh:
Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
Tulisan dan data dalam publikasi ini dapat direproduksi selama mencantumkan sumber yang dikutip. Dilarang mereproduksi untuk tujuan komersial.
i Saran untuk mengutip: TNP2K, (2014), “Upaya Khusus Penurunan Tingkat Kemiskinan: Panduan Penargetan Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Wilayah”, Jakarta: TNP2K.
Cetakan Kedua, April 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang ©2014 Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
ii Foto Cover: TNP2K
KATA PENGANTAR Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan meningkatkan kesejahteraan rumah tangga yang tercermin dari naiknya tingkat pendapatan masyarakat. Pada saat yang sama, fenomena tingginya inflasi yang tercermin dari tingginya tingkat harga komoditas sebagai representasi pengeluaran rumah tangga akan semakin menambah beban hidup rumah tangga. Kombinasi diantara keduanya sangat mempengaruhi kemampuan daya beli masyarakat. Pemerintah perlu memastikan seluruh program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif sehingga mampu mempertahankan kemampuan daya beli masyarakat agar tidak jatuh dalam kemiskinan. Oleh karena itu, program penanggulangan kemiskinan perlu dilakukan dengan tepat sasaran. Ketepatan sasaran program penanggulangan kemiskinan dapat ditempuh dengan melaksanakan dua prinsip dasar yaitu tepat individu dan tepat wilayah. Tepat individu berarti pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan diberikan kepada penduduk miskin yang benar-benar membutuhkan dan sesuai dengan cakupan program. Sementara tepat wilayah artinya pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan seyogyanya juga memperhatikan aspek kesejahteraan wilayah yang tercermin dalam dimensi kemiskinan konsumsi dan non-konsumsi rumah tangga. Buku ini merupakan panduan identifikasi wilayah prioritas (geographic targeting) atau kantong kemiskinan, yang dapat digunakan untuk menentukan basis wilayah prioritas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Di wilayah prioritas ini, seluruh program penanggulangan kemiskinan dari Pemerintah Pusat maupun Daerah seharusnya dipastikan berjalan efektif. Pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) ini seyogyanya juga tidak hanya untuk program penanggulangan kemiskinan, namun juga dapat digunakan oleh semua program dan kegiatan Pemerintah Pusat maupun Daerah. Target RPJMN angka kemiskinan 810 persen bukan mustahil untuk dicapai apabila tercipta sinergi dalam penargetan individu maupun penargetan wilayah, di kantong-kantong kemiskinan ini. Jakarta, Desember 2013 Deputi Seswapres Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Penanggulangan Kemiskinan/Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan
iii
DAFTAR ISI
iv
Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Tabel Daftar Gambar
iii iv v vi
Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian 1.1. Pertumbuhan Ekonomi 1.2. Inflasi 1.3. Kemiskinan
1 2 4 8
Bagian 2. Upaya Pemerintah 2.1. Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan 2.2. Penargetan Individu 2.2.1. Basis Data Terpadu 2.2.2 Kartu Perlindungan Sosial 2.2.3 Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial
11 12 13 13 14 15
Bagian 3. Upaya Penajaman Penanggulangan Kemiskinan 3.1. Penargetan Wilayah Prioritas 3.2. Basis Wilayah Prioritas 3.2.1. Kerangka Pemikiran 3.2.2 Variabel, Indikator dan Faktor Komposit IKW 3.3. Pemilihan Wilayah Prioritas 3.3.1. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas 3.3.2. Perbandingan Pilihan Skenario Wilayah Prioritas 3.3.3. Program Penanggulangan Kemiskinan Pada Wilayah Prioritas 3.4. Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW
19 20 21 21 22 26 26 27 36 37
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014 Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013 Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013 Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Wilayah
11 15 16 17 20 23 31 34 36
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Gambar 2. Gambar 3. Gambar 4. Gambar 5. Gambar 6. Gambar 7. Gambar 8. Gambar 9. Gambar 10. Gambar 11. Gambar 12. Gambar 13. Gambar 14. Gambar 15. Gambar 16. Gambar 17. Gambar 18. Gambar 19.
vi
Pertumbuhan Ekonomi, 2004-2013 Pertumbuhan pengeluaran tahunan 2008-2012 menurut 100 kelompok penduduk Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 – September 2013 Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y) Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009 dan Desember 2013 Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari – Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg) Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2003-2013 (y-o-y) Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2005-2013 Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, 2004-2013 Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), 2004-2013 Contoh Kartu Perlindungan Sosial Kerangka Pemikiran Penyusunan IKW Faktor Komposit IKW Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas Sebaran Wilayah Prioritas Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas
3 3 4 5 5 6 7 7 8 8 13 22 24 26 27 28 29 33 35
Bagian 1. Perkembangan Indikator Perekonomian
BAGIAN 1
PERKEMBANGAN INDIKATOR PEREKONOMIAN
‘Perlambatan pertumbuhan ekonomi serta meningkatnya harga bahan kebutuhan pokok berpotensi mengurangi efektivitas penanggulangan kemiskinan’
1
Dalam upaya terus menerus untuk menanggulangi kemiskinan di Indonesia, sangat penting untuk secara teratur memperhatikan perkembangan indikator kemiskinan. Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu situasi di mana pengeluaran rumah tangga berada di bawah garis minimal yang disebut garis kemiskinan. Karena itu tingkat kemiskinan sangat dipengaruhi oleh dua hal. Pertama adalah tingkat kesejahteraan yang menentukan besarnya pengeluaran rumah tangga. Kedua adalah beban hidup rumah tangga yang dicerminkan oleh tingkat harga komoditas yang menjadi pengeluaran rumah tangga. Dalam perkembangan antarwaktu, tingkat kesejahteraan sangat dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi, sementara beban hidup rumah tangga dapat terlihat dalam perkembangan inflasi. Pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan daya beli, sementara inflasi akan menurunkan daya beli. Perkembangan dua indikator ini diuraikan di bagian berikut.
1.1 Pertumbuhan Ekonomi Sejak 2004 hingga 2013, perekonomian Indonesia tumbuh di atas 5 persen, kecuali pada tahun 2009 akibat krisis keuangan global. Sejalan dengan membaiknya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga membaik dan mencapai angka 6,49 persen di tahun 2011. Setelah itu terjadi perlambatan pertumbuhan ekonomi, meskipun masih cukup tinggi di tingkat sekitar 6 persen (lihat Gambar 1). Tingkat pertumbuhan sebesar ini telah pula memberikan dampak kepada seluruh kelompok ekonomi. Kelompok miskin maupun kaya secara nyata menikmati peningkatan pengeluaran. Namun demikian harus diakui bahwa peningkatan pengeluaran selama 2008-2012 tidak merata untuk seluruh kelompok masyarakat. Sekitar 40 persen kelompok penduduk dengan kondisi sosial-ekonomi terendah hanya mengalami pertumbuhan pengeluaran riil sebesar 2 persen per tahun, sementara rata-rata Indonesia selama periode tersebut adalah 4,87 persen per tahun (lihat Gambar 2). Hanya sekitar 20% kelompok masyarakat terkaya mengalami pertumbuhan pengeluaran yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional. Hal ini telah menyebabkan ketimpangan meningkat di perekonomian.
2
Gambar 1. Pertumbuhan Ekonomi, 2004-2013
Gambar 2. Pertumbuhan Pengeluaran Tahunan 2008-2012 menurut 100 Kelompok Penduduk
6,35
6,22 6,49 6,23
6,01
5,78
Sumber: Badan Pusat Statistik
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
4,63
2005
2004
5,03
5,69 5,5
Annual growth rate %
10.0 8.0
6.0
4.87
4.0 2.0 0.0 1
15
29
43
57
71
85
99
Percentiles
Sumber: Susenas, diolah 2008-2012 growth oleh TNP2K Growth in mean
Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat sebesar 5,78 persen, lebih rendah dibandingkan dengan target APBN-P 2013 sebesar 6,13 persen. Perlambatan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2013 disebabkan karena perlambatan pertumbuhan sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan, hotel dan rumah makan. Pertumbuhan sektor konstruksi melambat sesuai dengan perlambatan pertumbuhan investasi di sektor bangunan. Sementara itu, pertumbuhan sektor jasa tetap kuat, tetapi sub-sektor terbesar yaitu perdagangan, hotel dan rumah makan mengalami perlambatan (lihat Gambar 3). Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini juga dipengaruhi oleh faktor eksternal yaitu kondisi keuangan internasional yang lebih ketat, akibat rencana tapering di Amerika Serikat, dan melambatkan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang seperti Cina dan India. Harga komoditas dunia mengalami tekanan, dan pada gilirannya mempengaruhi ekspor Indonesia. Indonesia mengalami peningkatan suku bunga domestik serta depresiasi Rupiah, dan keseluruhannya menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi di 2013.
3
Gambar 3. Kontribusi Sektoral Terhadap Pertumbuhan PDB (y-o-y) September 2010 – September 2013
Pertanian
Pertambangan
Industri Pengolahan
Pengangkutan dan Komunikasi
Perdagangan, Hotel dan Restoran
Konstruksi
Jasa lainnya
PDB
7
6
5
Persentase
4
3
2
1
0
Sep-10
Dec-10
Mar-11
Jun-11
Sep-11
Dec-11
Mar-12
Jun-12
Sep-12
Dec-12
Mar-13
Jun-13
Sep-13
-1
Secara umum, pertumbuhan ekonomi sebagaimana yang diuraikan di atas telah meningkatkan pengeluaran seluruh kelompok penduduk, termasuk di dalamnya kelompok miskin. Namun demikian, peningkatan daya beli tersebut harus berhadapan dengan peningkatan harga komoditas, dan secara khusus harga komoditas yang dikonsumsi oleh kelompok masyarakat miskin. Bagian berikut akan menguraikan hal tersebut.
1.2 Inflasi Peningkatan harga dapat ditunjukkan oleh indikator inflasi. Gambar 4 menunjukkan perkembangan inflasi yang fluktuatif dan cenderung tidak stabil selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa pada Desember 2013 inflasi tahunan (y-o-y) mencapai 8,38 persen. Angka inflasi tahunan tertinggi setelah periode September 2008 adalah pada Agustus 2013 yang mencapai angka sebesar 8,79 persen. Hal ini terjadi setelah
4
peningkatan harga BBM yang berdekatan dengan Hari Raya Idul Fitri 2013 di sekitar Juni-Juli 2013.
Gambar 4. Perkembangan Inflasi, Januari 2003-Desember 2013 (persen, y-o-y)
Gambar 5. Perbandingan Inflasi menurut Kelompok Barang, Desember 2009 dan Desember 2013
18,38
2009
2013
15,36
11,35 7,81 7,45 6,22
6,00 3,893,7
3,88
8,79
8,74
1,83
3,91 3,89
0,52
-3,67
Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga
Kesehatan
Sandang
Perumahan, Air, Listrik, Gas, dan Bahan bakar
Makanan Jadi, Minuman, Rokok, dan Tembakau
Jan-13
Sep-13
Mei-12
Jan-11
Sep-11
Mei-10
Jan-09
Sep-09
Mei-08
Jan-07
Sep-07
Mei-06
Jan-05
Sep-05
Mei-04
Jan-03
Sep-03
8,38
Bahan Makanan
6,84
Transpor, Komunikasi, dan Jasa Keuangan
12,14
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2013
Pada tahun 2013, inflasi tahunan (y-o-y) teratas untuk kelompok transportasi, komunikasi dan jasa keuangan yaitu sebesar 15,36 persen. Sedangkan kelompok inflasi tertinggi kedua adalah bahan makanan sebesar 11,35 persen. Di sisi lain, inflasi terendah terdapat pada kelompok sandang, dengan inflasi yang hanya sekitar 0,52 persen (y-o-y). Berdasarkan Berita Resmi Statistik BPS, pada Desember 2013 terjadi inflasi bulanan sebesar 0,55 persen. Dari 66 kota IHK, tercatat 61 kota mengalami inflasi dan 5 kota lainnya mengalami deflasi. Inflasi tertinggi terjadi di Manado 2,69 persen dan inflasi terendah terjadi di Palembang dan Tangerang masing-masaing 0,04 persen. Di sisi lain, deflasi tertinggi terjadi di Padang Sidempuan 0,44 persen dan terendah terjadi di Kendari 0,05 persen. Kelompok masyarakat miskin memiliki komposisi konsumsi yang berbeda dengan kelompok masyarakat yang lebih tinggi status ekonominya. Konsumsi kelompok masyarakat miskin terkonsentrasi pada jenis komoditas pangan. Sementara itu, komoditas pangan pada umumnya memiliki harga yang lebih fluktuatif (karena produksi yang sifatnya musiman) dan inflasi yang lebih tinggi. Beberapa komoditi pangan utama seperti beras, kedelai, bawang 5
merah, maupun daging sapi, mengalami pergerakan inflasi yang cukup signifikan di tahun 2013 (lihat Gambar 6).
Gambar 6. Perkembangan Harga Harian Beberapa Komoditas Bahan Pangan Utama, Januari – Desember 2013 (dalam Rupiah per Kg) Daging Sapi
Beras Medium
100.000
8.700 8.600 8.500 8.400
90.000
8.300 8.200 8.100
Bawang Merah
November Desember
Oktober
Agustus September
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
8.000
Januari
Oktober
November Desember
Agustus September
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
80.000
Kedelai
80.000
Kedelai Impor
11.000
70.000
Kedelai lokal
60.000 50.000 40.000
10.000
30.000 20.000 10.000
November Desember
Oktober
Agustus September
Juni Juli
Mei
April
Maret
Februari
9.000
Januari
Oktober
November Desember
Agustus September
Juli
Juni
Mei
April
Maret
Februari
Januari
0
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014
Komposisi pengeluaran kelompok miskin yang lebih terkonsentrasi kepada komoditas pangan menjadikan kelompok miskin menghadapi inflasi yang berbeda dibandingkan inflasi umum (lihat Gambar 7 dan 8). Gambar 7 menunjukkan bahwa inflasi umum yang diwakili oleh Indeks Harga Konsumen (IHK) dan inflasi garis kemiskinan memiliki tren pergerakan yang mirip, namun inflasi garis kemiskinan selalu lebih tinggi dibandingkan inflasi umum. Artinya, 6
kelompok masyarakat miskin menghadapi peningkatan harga yang lebih tinggi dibandingkan inflasi yang dihadapi masyarakat umum. Pada 2012, inflasi garis kemiskinan berada 3,29 titik persen (percentage points) lebih tinggi dibandingkan inflasi secara umum. Demikian pula pada 2013, inflasi garis kemiskinan berada 1,06 titik persen (percentage points) lebih tinggi di atas inflasi IHK. Gambar 8 lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan antara inflasi umum dan inflasi garis kemiskinan ternyata makin melebar dari waktu ke waktu.
Gambar 8. Pergerakan inflasi Umum dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2005-2013 250
15
200
Index (2005=100)
20
10 5
150 100 50
Poverty Basket
CPI
Poverty Basket
2013
2012
2011
2010
2009
2008
2007
2006
2005
0
0
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Annual Inflation (March YoY) %
Gambar 7. Inflasi Umum (IHK) dan Inflasi Garis Kemiskinan, 2003-2013 (y-o-y)
CPI
Sumber: Hasil Estimasi Menggunakan Susenas
Berdasarkan inflasi tahun 2013 yang cukup tinggi, garis kemiskinan pada 2014 diperkirakan akan semakin meningkat. Hal ini berarti beban biaya hidup yang lebih tinggi bagi kelompok masyarakat miskin. Jika tidak diimbangi dengan intervensi untuk meningkatkan daya beli, maka upaya penanggulangan kemiskinan melalui program penanggulangan kemiskinan tidak akan optimal.
7
1.3 Kemiskinan Pertumbuhan ekonomi dan pergerakan tingkat harga akan mempengaruhi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Selama periode 2004-2013, terlihat adanya tren penurunan jumlah orang miskin maupun angka kemiskinan. Pada September 2013, terdapat 28,55 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan yang berarti angka kemiskinan sebesar 11,47 persen.
Gambar 9. Jumlah Penduduk Miskin dan Angka Kemiskinan, 2004-2013 Populasi Penduduk Miskin (Juta Jiwa)
Kedalaman Kemiskinan
Persentase Penduduk Miskin (%)
keparahan Kemiskinan 3,43
37,17 34,97 32,53
2,89
31,02
2,99 2,78
2,77
30,02 29,13 28,60 28,07 28,55
2,50 2,21
2,08 2,05 1,88 1,90
1,89 1,75
1,00
Sep-12
Mar-12
Sep-11
2010
0,58 0,55 0,53 0,47 0,49 0,43 0,48
Mar-11
0,68
2009
0,76
2008
2006
2005
2007
0,84
0,78 0,76
2004
Sep-13
Mar-13
Sep-12
Mar-12
2011
2010
14,15 13,33 12,49 11,96 11,66 11,37 11,47
2009
15,42
2008
16,58
2007
2006
2005
2004
16,66 15,97
17,75
Sep-13
35,10
Mar-13
39,05 36,15
Gambar 10. Tingkat Kedalaman Kemiskinan (P1) dan Tingkat Keparahan Kemiskinan (P2), 2004-2013
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2014
Selama periode 2006-2009, tingkat kemiskinan turun lebih dari 1 titik persen (percentage points) setiap tahunnya. Namun dalam periode 2010-2013 terjadi perlambatan penurunan tingkat kemiskinan. Pengumuman jumlah penduduk miskin dan angka kemiskinan di September 2013 menunjukkan perlambatan yang sangat mengkhawatirkan. Antara Maret 2012-Maret 2013, masih terjadi penurunan jumlah penduduk miskin sebesar 1,06 juta jiwa. Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan jumlah penduduk miskin tersebut hanyalah sejumlah 50 ribu jiwa. Perlambatan yang sama juga terjadi dalam hal 8
perubahan angka kemiskinan. Antara Maret 2012-Maret 2013, terjadi penurunan angka kemiskinan sebesar 0,58 titik persen (percentage point). Namun dalam periode September 2012-September 2013 penurunan angka kemiskinan tersebut hanyalah 0,19 titik persen (percentage point). Indikator kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2) juga mengalami tren penurunan dalam periode 2006-2013. Tren penurunan indikator kedalaman kemiskinan (P1) menunjukkan bahwa rata-rata pengeluaran rumah tangga miskin semakin mendekati garis kemiskinan. Sementara itu, tren penurunan indikator keparahan kemiskinan (P2) berarti kesenjangan pengeluaran antarpenduduk miskin makin mengecil. Namun demikian, tren perlambatan penurunan juga terlihat sangat jelas untuk kedua indikator ini. Perlambatan tren penurunan indikator kemiskinan ini akan mempengaruhi pencapaian target angka kemiskinan sebesar 8-10 persen pada tahun 2014. Diperlukan penguatan berbagai upaya yang telah berjalan selama ini, dan lebih dari itu diperlukan upaya khusus untuk menurunkan angka kemiskinan ini. Oleh karena itu, secara progresif pemerintah pusat melalui kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah sangat perlu mengoptimalkan dan mensinergikan berbagai progam penanggulangan kemiskinan yang telah berjalan. Salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah dengan melaksanakan sistem pemantauan terpadu terhadap berbagai program tersebut dengan target pencapaian output yang terukur dan tepat waktu, tepat jumlah serta tepat sasaran dalam implementasi program.
9
10
BAGIAN 2
UPAYA PEMERINTAH
‘Upaya penurunan tingkat kemiskinan dilakukan dengan meningkatkan penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan’ 11
2.1 Target Pengurangan Tingkat Kemiskinan Berdasarkan RPJMN 2009-2014 pemerintah menetapkan target penurunan tingkat kemiskinan secara bertahap dari 14,15 persen pada 2009 menjadi 8 persen (target bawah) atau 10 persen (target atas) pada 2014. Pada bulan September 2013, angka kemiskinan adalah 11.47 persen dengan sekitar 28,55 juta penduduk miskin. Proyeksi Penduduk Indonesia 20102035 yang telah dikeluarkan oleh Bappenas memperkirakan bahwa penduduk Indonesia pada pertengahan tahun 2014 adalah sebesar 252,165 juta jiwa. Dengan demikian dapat diperkirakan jumlah penduduk pada bulan Maret dan September 2014. Untuk mendapatkan target atas angka kemiskinan 10% pada bulan September 2014, maka diperlukan pengurangan jumlah penduduk miskin sebesar 3,27 juta jiwa antara September 2013 sampai dengan September 2014.
Tabel 1. Target Jumlah dan Pengurangan Penduduk Miskin, Maret 2014 dan September 2014
Maret 2014 September 2014
Target Jumlah Penduduk Miskin (juta jiwa) Target Target Bawah Atas 8% 10% 20,08 25,10 20.22 25.28
Target Pengurangan Jumlah Penduduk Miskin Sejak Sept 2013 (Juta jiwa) Target Target Bawah Atas 8% 10% 8.47 3.45 8.33 3.27
Catatan: Asumsi jumlah penduduk: 251,05 juta (Maret 2014) dan 252,78 juta (Sept 2014)
Target di atas tidak mudah untuk selesaikan, terutama jika melihat perlambatan penurunan jumlah penduduk miskin maupun perlambatan penurunan angka kemiskinan seperti yang diuraikan di Bagian 1. Karena itu dalam waktu 6 bulan ke depan Pemerintah perlu lebih meningkatkan sinergi melalui penargetan program-program penanggulangan kemiskinan secara tepat. Dua dimensi penargetan harus mendapat perhatian penuh, yaitu ketepatan penargetan individu dan juga ketepatan penargetan secara wilayah.
12
Ketepatan penargetan individu dilakukan dengan pemanfaatan Basis Data Terpadu, pelaksanaan Program Percepatan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) dengan Kartu Pelindungan Sosial (KPS). Diperlukan instrumen pemantauan yang ketat terhadap implementasi program penanggulangan kemiskinan di lapangan untuk memastikan ketepatan sasaran, ketepatan jumlah dan ketepatan waktu pelaksanaan progam. Hal ini akan diuraikan pada Bagian 2 ini. Sementara itu, ketepatan penargetan secara wilayah akan diuraikan lebih lanjut di Bagian 3 setelah ini.
2.2 Penargetan Individu Sejak awal pemerintahan SBY-Boediono, Pemerintah telah meletakkan dasar bagi peningkatan efektivitas penargetan individu bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan. Satu hal yang telah dilakukan adalah pembentukan Basis Data Terpadu (BDT) hasil Program Pendataan Perlindungan Sosia (PPLS) 2011 yang kemudian dikelola sebagai sumber data penerima bagi seluruh program penanggulangan kemiskinan Pemerintah yang memiliki target individu dan rumah tangga. Pada tahun 2013, Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) disertai penggunaan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai upaya untuk meningkatkan ketepatan individu dan rumah tangga penerima program. 2.2.1. Basis Data Terpadu Basis Data Terpadu (BDT) yang saat ini dikelola oleh Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) berisikan nama dan alamat individu yang termasuk dalam 40 persen rumah tangga dengan status sosial-ekonomi terendah. BDT merupakan hasil PPLS 2011 yang telah mengalami perbaikan metodologi pendataan (dibandingkan dengan pendataan PSE 2005 maupun PPLS 2008). Berbagai kegiatan verifikasi data yang telah dilakukan (melalui spot-checks maupun penggunaan data bagi program) yang telah dilakukan menunjukkan bahwa BDT memiliki tingkat akurasi yang tinggi. BDT dikelola sebagai basis data yang dapat dipergunakan oleh program Pemerintah Pusat maupun Daerah baik untuk kegiatan penargetan maupun untuk kegiatan perencanaan program. Sekretariat TNP2K menyediakan bantuan teknis untuk penggunaan BDT tersebut. Akses data untuk kegiatan perencanaan dapat dilakukan secara on-line melalui www.tnp2k.go.id. Di samping itu, data nama dan alamat dapat dipergunakan oleh Program Pemerintah Pusat dan Daerah yang memiliki target sasaran individu maupun rumah tangga. 13
2.2.2. Kartu Perlindungan Sosial Kartu Perlindungan Sosial (KPS) adalah kartu yang diterbitkan pemerintah dalam rangka pelaksanaan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S). KPS memuat informasi Nama Kepala Rumah Tangga, Nama Pasangan Kepala Rumah Tangga, Nama Anggota Rumah Tangga Lain, Alamat Rumah Tangga, Nomor Kartu Keluarga, dilengkapi dengan kode batang (barcode) beserta nomor identitas KPS yang unik. Bagian depan bertuliskan Kartu Perlindungan Sosial dengan logo Garuda, dan masa berlaku kartu sampai dengan tahun 2014.
Gambar 11. Contoh Kartu Perlindungan Sosial
Sumber: TNP2K
Berdasarkan Basis Data Terpadu (BDT), diputuskan bahwa KPS diberikan kepada 25 persen Rumah Tangga dengan status sosial ekonomi terendah. Mengingat jumlah penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada bulan September 2012 adalah 11,66 persen, berarti pemberian KPS tidak hanya mencakup mereka yang miskin namun juga mereka yang berada diatas garis kemiskinan/rentan. Melalui KPS, rumah tangga bersangkutan dapat mengakses seluruh manfaat Program P4S. Syarat dan ketentuan dari penggunaan KPS adalah sebagai berikut: 1. Kepala Rumah Tangga pemegang KPS beserta seluruh Anggota Rumah Tangganya berhak menerima Program Perlindungan Sosial. 2. Kartu ini ditunjukkan pada saat pengambilan manfaat Program Perlindungan Sosial. Ketidaksesuaian nomor Kartu Keluarga asli dengan nomor Kartu Keluarga yang ada di KPS, tidak menghapus hak Rumah Tangga atas manfaat program. 14
3. Kartu ini tidak dapat dipindahtangankan. 4. KPS harus disimpan dengan baik, kehilangan atau kerusakan kartu menjadi tanggung jawab pemegang kartu. Mekanisme penyaluran kartu dirumuskan oleh TNP2K berkoordinasi dengan Kementerian dan Lembaga terkait dan dilaksanakan sepenuhnya oleh PT. Pos Indonesia. Tugas utama PT. Pos Indonesia adalah mendistribusikan KPS ke RTS tanpa dikenai biaya apapun, didampingi oleh aparat desa/kelurahan, dan TKSK (Tenaga Kesejahteraan Sosial Kecamatan). Selain itu, PT. Pos Indonesia juga berkewajiban mendata KPS yang kembali (retur) dikarenakan berbagai alasan, seperti Rumah Tangga tercatat ganda; Rumah Tangga pindah; Rumah Tangga tidak ditemukan; dan Rumah Tangga yang seluruh anggotanya telah meninggal. Selama proses distribusi kartu, TKSK memfasilitasi pencatatan jumlah KPS yang kembali per Desa/Kelurahan, selanjutnya direkapitulasi di tingkat kecamatan yang menjadi wilayah kerjanya. TKSK menginformasikan jumlah kartu yang kembali pada masing-masing desa/kelurahan sebagai bahan pelaksanaan Musyawarah Desa atau Kelurahan untuk menentukan rumahtangga pengganti. 2.2.3. Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial Pemerintah meluncurkan Program Percepatan dan Perluasan Perlindungan Sosial (P4S) pada pertengahan tahun 2013 dalam rangka pengalihan subsidi BBM yang sebagian besar dinikmati oleh 20 persen kelompok terkaya di Indonesia menjadi program bantuan sosial berbasis rumah tangga. Program ini juga bertujuan untuk mempertahankan daya beli kelompok rumah tangga miskin dan rentan. P4S menjangkau 15,5 juta rumah tangga atau kurang lebih 62 juta jiwa. Cakupan P4S ini adalah 25 persen rumah tangga dengan kondisi sosial-ekonomi terendah, yang ditandai dengan penyaluran KPS. Dalam pendistribusian program bantuan sosial, pemerintah tidak mengalokasikannya secara spesifik di daerah tertentu. Program didistribusikan berdasarkan anggaran yang tersedia dan tingkat kemiskinan suatu wilayah. Semakin tinggi tingkat kemiskinan suatu wilayah, semakin banyak program bantuan sosial yang dilaksanakan di wilayah tersebut. P4S sendiri merupakan pengintegrasian berbagai program bantuan sosial yang sudah lama dilaksanakan, seperti Raskin, Bantuan Siswa Miskin (BSM), Program Keluarga Harapan (PKH), Jamkesmas dan Program Percepatan Pembangunan Infrastruktur dan Air Bersih, serta Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). BLSM hanya dilakukan dalam empat bulan, yaitu pada bulan Juli-Oktober 2013 dengan dua kali pembayaran di bulan Juli dan September.
15
P4S merupakan salah satu program pemerintah yang didesain secara terintegrasi bagi rumah tangga sasaran penerima program perlindungan sosial. Desain terintegrasi yang dimaksud adalah menggunakan satu KPS yang dapat digunakan untuk pengambilan manfaat dari beberapa program bantuan sosial. Dengan desain terintegrasi diharapkan dapat lebih mempercepat penurunan kemiskinan selain upaya mengefektifkan program penanggulangan kemiskinan lainnya yang telah berjalan. Tabel 2 menyajikan cakupan program-program tersebut secara nasional menurut jenjang administrasi wilayah. Program Raskin dan BSM merupakan program yang telah menjangkau seluruh desa. Cakupan Raskin mencapai 15,15 juta rumah tangga, atau 24,7 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, cakupan BSM sekitar 10 persen penduduk, khususnya untuk anggota rumah tangga pemegang KPS pada usia sekolah. Kuota program ini sekitar 16,6 juta siswa yang terdiri dari jenjang pendidikan SD/MI sekitar 10,2 juta siswa, SMP/MTs sekitar 4,1 juta siswa dan jenjang SMA/SMK/MA sekitar 2,3 juta siswa. Cakupan Program Jamkesmas juga sangat besar, mencapai lebih dari 90% dari total desa, dengan total penerima manfaat sebesar 21 juta rumah tangga atau 86,4 juta penduduk.
Tabel 2. Distribusi Program Menurut Jenjang Administrasi Wilayah
NAMA PROGRAM Program Jamkesmas*
PROVINSI KABUPATEN KECAMATAN DESA Jumlah 33 497 6727 78,024 Jumlah 31 457 6,186 71,238 %
Program RASKIN
93.94
91.95
91.96
91.30
Jumlah
33
497
6,727
78,024
%
100.00
100.00
100.00
100.00
Program Bantuan Siswa Miskin (BSM)
Jumlah
33
497
6,727
78,024
%
100.00
100.00
100.00
100.00
Program Keluarga Harapan (PKH)
Jumlah
25
120
1,459
16,897
%
75.76
24.14
21.38
21.61
Sumber: Basis Data Terpadu, TNP2K, 2013 Keterangan: Persen terhadap total unit wilayah administrasi. * Tidak termasuk Provinsi Papua dan Papua Barat.
Program yang cakupan wilayahnya masih relatif kecil adalah PKH, yakni baru menjangkau 22 persen desa dan kecamatan yang tersebar di 120 kabupaten/kota dan 25 provinsi, dan menyasar sekitar 7 persen jumlah rumah tangga. Sampai dengan pembayaran tahap ke empat 16
tahun 2013, jumlah penerima manfaat program PKH adalah 2,32 juta rumah tangga atau setara dengan 10,06 juta jiwa. Dalam konteks penargetan, diharapkan bahwa rumah tangga yang paling miskin mendapatkan seluruh program penanggulangan kemiskinan dan P4S yang diluncurkan oleh Pemerintah. Karena PKH adalah program dengan cakupan kepesertaan yang paling sedikit, maka seluruh peserta PKH seyogyanya mendapatkan BSM (untuk anak yang bersekolah), Raskin (untuk rumah tangga), dan menjadi penerima bantuan iuran program Jaminan Kesehatan (untuk seluruh anggota rumah tangga). Dengan bantuan program yang komprehensif tersebut maka diharapkan RT yang paling miskin dapat memperbaiki kondisi hidupnya.
Tabel 3. Jumlah Rumah Tangga dan Anggota Rumah Tangga Sasaran Program Penanggulangan Kemiskinan Berbasis Rumah Tangga dan Individu, 2013
Cakupan Penerima Rumah tangga (juta) Individu anggota RT (juta)
Program RASKIN
Program Keluarga Harapan
Program BSM
Program Jamkesmas*
15,5
1,9
15,5
21,8
10,9
16,6
86,4
Sumber: TNP2K
Keseluruhan program tersebut secara kumulatif seharusnya mempunyai dampak yang nyata terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Namun, seperti dikemukakan sebelumnya, laju penurunan tingkat penduduk miskin secara aktual masih belum mampu mencapai target tingkat kemiskinan yang ditetapkan RPJMN 2010-2014. Distribusi cakupan wilayah yang luas dan jumlah rumah tangga penerima manfaat program yang besar merupakan modal dasar bagi pemerintah untuk mencapai target tingkat kemiskinan sesuai dengan rencana. Namun demikian, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan yang terjadi belum sesuai dengan target yang ditentukan. Oleh karena itu, efektivitas pelaksanaan berbagai program terurai di atas perlu dipertajam.
17
Tabel 4. Jumlah Desa dan Kecamatan Menurut Jumlah Program Penanggulangan Kemiskinan yang Diterima, 2013 Jumlah Jumlah program
(% terhadap total Nasional)
1 Program
DESA 7,624 9.49
8.32
2 Program
20,136
147
25.06
2.14
40,073
4,754
3 Program
KECAMATAN 570
49.88
69.36
4 Program
12,503
1,383
15.56
20.18
Total
80,336
6,854
Sumber: TNP2K
Keterangan: [1] Wilayah yang hanya menerima salah satu dari program Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [2] Wilayah yang menerima 2 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [3] Wilayah yang menerima 3 program yang terdiri dari kombinasi antara Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH [4] Wilayah yang menerima 4 program dan terdiri dari Raskin, BSM, Jamkesmas dan PKH
Dimensi lain dari distribusi program penanggulangan kemiskinan tersebut adalah dengan melihatnya menurut desa dan kecamata. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kecamatan dan desa menerima lebih dari satu program. Jumlah kecamatan dan desa yang hanya menerima satu jenis program masing-masing persentasenya hanya 8 persen dan 9 persen. Jumlah kecamatan dan desa yang menerima sekaligus 3 program, masing-masing mencapai 49 persen dan 69 persen. Penajaman penargetan wilayah ini akan diuraikan di Bagian 3 berikut.
18
BAGIAN 3
UPAYA PENAJAMAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN
‘Diperlukan penajaman fokus dengan penargetan berbasis wilayah untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan’
19
3.1 Penargetan Wilayah Prioritas Pemerintah perlu memastikan bahwa seluruh program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan berjalan sesuai dengan rencana. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pemantauan terhadap efektivitas pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan, terutama bagi program-program berbasis individu dan rumah tangga, di wilayah-wilayah prioritas kantong kemiskinan. Upaya ini dirasa cukup realistis untuk dilakukan, karena dapat dilakukan berbasiskan program-program yang sudah ada, dan Pemerintah tidak perlu menciptakan program penanggulangan kemiskinan baru. Penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan sebenarnya bukanlah merupakan hal baru dalam program penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Di masa lalu, program Inpres Desa Tertinggal (IDT) misalnya, merupakan program pemerintah yang telah menggunakan pendekatan target kewilayahan atau geographical targeting. Pada batasan tertentu, pelaksanaan program PNPM Mandiri, juga telah mengadopsi pendekatan ini. Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan melalui penargetan wilayah prioritas kantong kemiskinan disusun berdasarkan berbagai pertimbangan: pertama, masa tugas Kabinet Indonesia Bersatu II (KIB II) tersisa kurang dari satu tahun. Kedua, efisiensi pemanfaatan sumberdaya dengan memfokuskannya pada wilayah prioritas. Ketiga, fokus pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan dapat lebih efektif. Keempat, pengukuran target pencapaian dapat lebih terkontrol. Dan kelima, dapat dijadikan sebagai dasar perluasan pada program-program terkait lainnya (scaling-up prototype). Pelaksanaan program percepatan penurunan tingkat kemiskinan berdasarkan penargetan wilayah ini menuntut adanya koordinasi dan sinergi yang kuat antar-Kementerian/Lembaga maupun antar-tingkatan pemerintahan, serta dukungan berbagai kekuatan sosial. Pada saat yang sama, penajaman penargetan wilayah yang dilaksanakan berbarengan dengan mekanisme sistem pemantauan yang terkontrol hingga tingkat desa/kelurahan, akan mampu menjamin efektivitas pelaksanaan berbagai program penanggulangan kemiskinan yang pada akhirnya diharapkan akan berdampak besar terhadap percepatan penurunan jumlah penduduk miskin dan tingkat kemiskinan.
20
3.2 Basis Wilayah Prioritas 3.2.1. Kerangka Pemikiran Upaya dan program penanggulangan kemiskinan yang telah dijalankan masih memerlukan penguatan, yang dilakukan dengan cara memberikan perhatian lebih berupa pemantauan terhadap pelaksanan program penanggulangan kemiskinan di wilayah prioritas kantong kemiskinan. Paling tidak terdapat empat skenario yang dapat dimanfaatkan sebagai pendekatan dalam menentukan basis wilayah prioritas. Keempat skenario tersebut adalah berdasarkan: (i) jumlah penduduk miskin, (ii) jumlah penduduk yang termasuk 10 persen terendah (desil 1 di Basis Data Terpadu), (iii) jumlah rumah tangga penerima KPS, dan (iv) pemanfaatan Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) berbasis kemiskinan multidimensi.
Tabel 5. Skenario Penargetan Wilayah Prioritas Skenario 1
2
3
4
Dasar Penentuan
Identifikasi pemilihan 100 wilayah prioritas
Sumber Data
Jumlah Penduduk Miskin Jumlah Penduduk di Desil 1 BDT Jumlah Penerima KPS
Wilayah dengan jumlah penduduk miskin tertinggi adalah wilayah prioritas
Badan Pusat Statistik, Publikasi Kemiskinan
Wilayah dengan penduduk desil 1 tertinggi adalah wilayah prioritas.
Basis Data Terpadu, TNP2K
Wilayah dengan jumlah rumah tangga penerima KPS tertinggi merupakan wilayah prioritas. Berdasarkan komposit indeks multi-dimensi yang terkait langsung atau tidak langsung dalam menentukan tingkat kesejahteraan. Wilayah dengan indeks kesejahteraan wilayah terendah merupakan wilayah prioritas.
Basis Data Terpadu dan Kartu Perlindungan Sosial, TNP2K Berbagai sumber dengan melakukan estimasi dan dekomposisi
IKW berbasis kemiskinan multidimensi
Tiga dasar penentuan yang pertama adalah indikator-indikator terkait erat dengan tingkat kemiskinan dan pelaksanaan program. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya merupakan varian dari indikator kemiskinan berbasiskan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Jumlah penduduk miskin ditentukan oleh tingginya garis kemiskinan yang direpresentasikan oleh sejumlah pengeluaran minimum yang diperlukan rumah tangga untuk memenuhi 21
pengeluaran makanan dan non-makanan minimum. Jumlah penduduk di Desil 1 BDT didapatkan dari pemeringkatan kondisi sosial-ekonomi rumah tangga, berbasiskan model proxy-means testing yang juga dibangun berdasarkan pengeluaran atau konsumsi rumah tangga. Jumlah penerima KPS pada prinsipnya juga ditentukan oleh hasil pemeringkatan rumah tangga, namun pada jumlah cakupan yang lebih tinggi dibandingkan indikator kedua. Jika Desil 1 menggunakan batasan (cut-off) 10 persen peringkat terendah, maka cakupan KPS menggunakan batasan (cut-off) sebesar 25 persen peringkat terendah. Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) dibangun dengan memasukkan berbagai dimensi nonkonsumsi, terutama variabel-variabel yang dapat lebih mencerminkan kondisi kemiskinan di wilayah yang bersangkutan. Perumusan IKW didasari oleh kenyataan bahwa permasalahan kemiskinan tidak hanya tercermin dari rendahnya tingkat konsumsi masyarakat, melainkan juga terkait dengan permasalahan infrastruktur wilayah, pendidikan, kesehatan, perumahan, ketenagakerjaan dan dimensi lainnya. Penggunaan IKW untuk memilih dan menentukan wilayah prioritas yang menjadi kantong kemiskinan, dapat digunakan baik dari tingkat kabupaten/kota hingga tingkat desa/kelurahan. Beberapa faktor yang diduga berperan kuat sebagai pendorong maupun penghambat terhadap kemajuan atau ketertinggalan suatu wilayah, antara lain 1) Tingkat kesejahteraan ekonomi masyarakat, 2) Kondisi kesehatan masyarakat, 3) Kondisi pendidikan masyarakat, 4) Kondisi infrastruktur masyarakat, 5) Kondisi perumahan masyarakat, dan 6) Kondisi ketenagakerjaan masyarakat. Keseluruhan variabel, indikator dan metode pembentukan indeks akan diuraikan di bawah ini. 3.2.2. Variabel, Indikator dan Faktor Komposit IKW Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW) yang mencerminkan tingkat kemiskinan (dan juga tingkat kesejahteraan) suatu wilayah dibentuk dari dua faktor komposit (lihat Gambar 12). Faktor komposit pertama adalah komponen non-konsumsi rumah tangga yang merupakan gabungan dari berbagai variabel sumberdaya dan infrastruktur masing-masing wilayah di dalamnya. Faktor komposit non-konsumsi menggambarkan kondisi kesejahteraan suatu wilayah, dengan tanpa memperhatikan tingkat kemiskinan penduduknya. Wilayah dengan sumberdaya dan infrastruktur yang terbatas dapat dikategorikan sebagai wilayah kurang sejahtera. Enam variabel utama pembentuk faktor komposit komponen non-kemiskinan terdiri dari variabel ekonomi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, perumahan dan ketenagakerjaan, di mana masing-masing variabel dibentuk dari beberapa indikator penjelas lainnya. Tabel 6 menguraikan seluruh indikator penjelas yang digunakan dalam faktor komposit non-konsumsi. Faktor komposit kedua adalah komponen kemiskinan konsumsi rumah tangga yang merupakan komposit dari indikator kemiskinan di setiap wilayah. Komponen kemiskinan 22
rumah tangga identik dengan kemiskinan pada level individu dan rumah tangga. Beberapa komponen variabel atau indikator yang termasuk dalam komponen kemiskinan adalah jumlah penduduk miskin, tingkat kemiskinan (P0), kedalaman kemiskinan (P1) dan keparahan kemiskinan (P2).
Gambar 12. Kerangka Pemikiran Penyusunan IKW
23
Tabel 6. Faktor, Variabel dan Indikator Kesejahteraan Wilayah
FAKTOR 1 Tingkat Kesejahteraan Ekonomi Masyarakat
FAKTOR 3 Kondisi Kesehatan Masyarakat
KOMPONEN NON-KONSUMSI 1. Jumlah Sarana Sekolah Dasar FAKTOR 2
1. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Perkapita Harga Konstan; 2. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
(SD/MI); Kondisi Pendidikan Masyarakat
3. Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK);
3.
4. Indeks Kapasitas Fiskal (IKF);
4.
5. Jumlah Koperasi; 6. Bank Umum dan Kredit 1. Jumlah Dokter/1000 Penduduk; 2. Tingkat Kesakitan (Morbidity Rate); 3. Jumlah Rumah Sakit; 4. Jumlah Posyandu; 5. Jumlah Praktek Kesehatan
5. 6. 1.
Jumlah Sarana Sekolah Menengah Pertama (SMP/MTs); Jumlah Sarana Sekolah Menengah Atas (SMA/MA/MTs); Rasio Guru/Murid (Per-100 siswa); Angka Partisipasi Sekolah; Angka Melek Huruf Penerangan Utama di Jalan;
2.
Telepon Desa
3. 4. 5.
Wartel/Warnet; Kantor Pos/Poskel; Permukaan Jalan Utama Aspal/Beton/Kerikil; Permukaan Jalan Terluas Aspal/Beton/Kerikil Tingkat Pengangguran Terbuka; Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 14 Jam Seminggu; Persentase Pekerja yang Bekerja Selama Kurang dari 35 Jam Seminggu; Persentase Keluarga Sektor Pertanian; Persentase Keluarga Buruh Pertanian
FAKTOR 4 Kondisi Infrastruktur Wilayah
2.
6.
FAKTOR 5
1. Rasio Elektrifikasi;
FAKTOR 6
1.
Kondisi Perumahan Masyarakat
2. Persentase Rumah Tangga dengan Air Minum Layak;
Kondisi Ketenagakerjaan Masyarakat
2.
3. Persentase Rumah Tangga dengan Lantai Keramik, Semen, Ubin; 4. Persentase Rumah Tangga dengan Sanitasi Layak; 5. Persentase Rumah Tangga dengan Bahan Bakar Listrik, Minyak Tanah dan Gas; 6. Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Aset Berharga; 7. Persentase desa dengan Permukiman Kumuh;
KOMPONEN KONSUMSI Kondisi Kemiskinan Masyarakat
24
1. Jumlah Penduduk Miskin; 2. Tingkat kemiskinan (P0); 3. Indeks Kedalaman Kemiskinan (P1); 4. Indeks Keparahan Kemiskinan (P2)
3.
4. 5.
Model yang digunakan dalam pembentukan faktor komposit IKW adalah discriminant analysis dengan memanfaatkan tools statistik faktor atau PCA – Principal Component Analysis. Pendekatan yang digunakan adalah dengan membuat komposisi pembobotan (weighting) yang setara antara dimensi kemiskinan non-konsumsi dan dimensi kemiskinan konsumsi yang dilakukan dengan cara membuat scoring pada masing-masing faktor dimensi.
Gambar 13. Faktor Komposit IKW
Faktor Komposit Dimensi Non-Konsumsi Faktor Ekonomi
Faktor Pendidikan
Faktor Kesehatan
Faktor Infrastruktur
Faktor Perumahan
Faktor Tenaga Kerja
Indeks Kesejahteraan Wilayah (IKW)
Jumlah Penduduk Miskin
Tingkat Kemiskinan
Indeks Kedalaman Kemiskinan
Indeks Keparahan Kemiskinan
Faktor Dimensi Konsumsi
Pada saat yang sama, setiap komponen faktor pembentuk IKW diberi bobot yang sama, dengan asumsi tidak ada satupun komponen faktor yang dianggap lebih memiliki kemampuan (prioritas) dalam mempengaruhi tingkat kesejahteraan suatu wilayah. Gambar 13 menjelaskan bahwa faktor-faktor di bawah dimensi kemiskinan non-konsumsi mempunyai kesetaraan bobot yang saling terkait satu-sama lain. Pada sisi lain, dimensi kemiskinan konsumsi hanya mempunyai komponen pembentuk faktor.
25
3.3 Pemilihan Wilayah Prioritas 3.3.1. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Peringkat kesejahteraan wilayah disajikan dengan pola urutan nilai IKW dari nilai indeks terendah sampai tertinggi (0-100). Suatu wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 0 (nol) merupakan wilayah yang perlu mendapatkan prioritas dalam pemantauan pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan. Sebaliknya, wilayah dengan nilai komposit indeks mendekati 100 merupakan wilayah yang lebih sejahtera. Langkah awal penentuan wilayah prioritas dilakukan dengan cara mengurutkan nilai IKW seluruh kabupaten/kota yang diperoleh dari normalisasi scoring faktor, yang terbentuk dari faktor komposit dimensi non-konsumsi dan konsumsi, dari nilai terkecil sampai terbesar. Berdasarkan nilai IKW yang sudah diurutkan tersebut, kemudian dipilih 100 kabupaten/kota yang terendah sebagai basis wilayah prioritas. Pemilihan wilayah prioritas dilakukan atas dasar ketersediaan biaya dan target yang akan dicapai. Saat ini, jumlah wilayah prioritas untuk tingkat nasional hanya dipilih sebanyak 100 kabupaten/kota tertinggal. Jumlah kabupaten/kota terpilih yang terbatas tersebut didasari oleh beberapa alasan, yaitu: 1. Jangka waktu pemantauan yang pendek (±6 bulan). 2. Efisiensi biaya dan sumberdaya. 3. Lebih fokus dalam implementasi dan efektifitas pemantauan program penanggulangan kemiskinan. 4. Pengukuran target pencapaian yang lebih terkontrol. 5. Dapat dijadikan sebagai dasar perluasan (Scaling-Up Protoype). Pendekatan yang sama juga dapat dilakukan ketika akan memilih wilayah prioritas untuk tingkat kecamatan dan desa. Kecamatan prioritas diidentifikasi di dalam wilayah prioritas kabupaten/kota. Dengan menggunakan pendekatan yang sama, desa/kelurahan yang terpilih haruslah merupakan desa/kelurahan yang berada di wilayah prioritas kecamatan. Secara teknis, penentuan wilayah kabupaten/kota prioritas didasarkan pada IKW di tingkat nasional. Data yang digunakan untuk menyusun indeks komposit IKW adalah data outcome yang mewakili supply dan demand side pada masing-masing kelompok indikator.
26
Gambar 14. Dasar Pemilihan Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW Thresholds 39 Variabel
KOMPOSIT INDEKS KABUPATEN KOTA
100 Wilayah
100 KABUPATEN/KOTA PRIORITAS
KOMPOSIT INDEKS KECAMATAN
40% Wilayah
2.382 KECAMATAN PRIORITAS
KOMPOSIT INDEKS DESA
Mean + StdDev
28.232 DESA PRIORITAS
Proxy Variabel
49 Variabel
Agregasi 47 Variabel
Penentuan target IKW tingkat kecamatan dan desa dilakukan di tingkat kabupaten/kota terpilih. Untuk tingkat kecamatan dan desa, indikator yang digunakan adalah proxy dari indikator yang dipakai pada tingkat kabupaten/kota, dengan beberapa tambahan indikator yang mencerminkan ketertinggalan wilayah. Oleh karena itu, sebagian besar data yang digunakan pada tingkat kecamatan dan desa adalah data Potensi Desa (Podes) tahun 2011 yang telah memasukkan dimensi kualitas dan beberapa indikator lain yang bersumber dari Sensus Penduduk Tahun 2010. 3.3.2. Perbandingan Pilihan Skenario Wilayah Prioritas Upaya penajaman penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah melalui pemantauan terhadap pelaksanaan seluruh program penanggulangan kemiskinan di 100 kabupaten/kota yang termasuk dalam wilayah prioritas, yang idealnya juga harus mengikutsertakan kegiatan pemantauan dan evaluasi yang telah dilakukan oleh masingmasing program penanggulangan kemiskinan (bantuan sosial) yang sudah ada demi tercapainya tujuan dari setiap program. Untuk menjaga agar program penanggulangan kemiskinan berjalan sesuai dengan rencana, serta mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap percepatan penurunan tingkat kemiskinan di tingkat nasional, perlu dilakukan evaluasi (perbandingan) terhadap basis wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario pemilihan wilayah prioritas yang sudah ditentukan. Hasil evaluasi akan memberi konfirmasi awal berupa seberapa robust (mampu 27
memberi dampak yang signifikan) basis wilayah prioritas yang dihasilkan berdasarkan pendekatan IKW dibandingkan dengan pendekatan yang lain. Evaluasi akan dilakukan terhadap indikator-indikator kemiskinan, antara lain tingkat kemiskinan, kedalaman dan keparahan kemiskinan, serta jumlah orang miskin. Tingkat Kemiskinan
Dengan menggunakan referensi tingkat kemiskinan nasional sekitar 11,66 persen (September 2012), Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas adalah sebesar 16,41 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas sebesar 7,56 persen. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 12,20 persen, dan 9,08 persen pada wilayah non-prioritas.
Gambar 15. Perbandingan Tingkat Kemiskinan (P0) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 20,40 16,41 12,20
11,66
11,29
11,73 9,83
9,08
7,56
Skenario 1
Skenario 2 Non-Prioritas
Skenario 3 Prioritas
Skenario 4
Angka Nasional
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
Hasil evaluasi Skenario 3 terhadap wilayah prioritas kantong kemiskinan menunjukkan jika tingkat kemiskinan di wilayah prioritas adalah sebesar 11,29 persen, sedangkan wilayah nonprioritas sebesar 11,73 persen. Sementara penerapan Skenario 4 menghasilkan gambaran tentang tingkat kemiskinan pada wilayah prioritas jauh lebih tinggi, yaitu 20,4 persen, sedangkan pada wilayah non-prioritas adalah sebesar 9,83 persen. 28
Dari keseluruhan hasil evaluasi pemilihan skenario wilayah prioritas berdasarkan tingkat kemiskinan, dapat ditunjukkan jika wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibandingkan dengan skenario lain. Dengan kata lain, pemantauan terhadap pelaksanaan program penanggulangan kemiskinan yang efektif di wilayah prioritas berdasar Skenario 4 diharapkan akan mampu memberi dampak yang besar terhadap penurunan tingkat kemiskinan. Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan (P1 dan P2)
Dengan menggunakan referensi tingkat kedalaman kemiskinan nasional pada bulan September 2012 sebesar 1,90 persen, Skenario 1 menunjukkan bahwa tingkat kedalaman kemiskinan di di wilayah prioritas jauh lebih tinggi 2 kali lipat dibandingkan dengan rata-rata nasional maupun wilayah non-prioritas. Sementara dengan menggunakan Skenario 2, tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih besar dibandingkan dengan wilayah nonprioritas, dan lebih besar dibandingkan dengan rata-rata nasional.
Gambar 16. Perbandingan Kedalaman Kemiskinan (P1) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 3,61
2,74 1,99
1,90
1,94
1,90 1,55
1,46
1,18
Skenario 1
Skenario 2 Non-Prioritas
Skenario 3 Prioritas
Skenario 4
Angka Nasional
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
Hasil evaluasi Skenario 3 menunjukkan tingkat kedalaman kemiskinan di wilayah prioritas dan non-prioritas relatif sama, bahkan lebih tinggi tingkat kedalaman kemiskinan pada wilayah 29
non-prioritas. Sementara itu, Skenario 4 memberi gambaran jika kedalaman kemiskinan pada wilayah prioritas lebih dari 2 kali wilayah non-prioritas. Angka-angka ini menunjukkan bahwa wilayah prioritas berdasarkan pendekatan IKW merupakan wilayah dengan rata-rata pengeluaran per kapita rumah tangga cukup jauh dari garis kemiskinan. Artinya Pemerintah perlu untuk memberikan perhatian lebih kepada wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 mengingat wilayah-wilayah tersebut terbukti lebih miskin dibanding wilayah lainnya. Dalam konteks keparahan kemiskinan, angka nasional yang digunakan sebagai referensi adalah sebesar 0,49 persen (September 2012). Hasil pendekatan Skenario 1 menunjukkan jika tingkat keparahan kemiskinan wilayah prioritas ternyata lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, dan masih lebih tinggi dibanding angka nasional. Dengan menggunakan Skenario 2, wilayah prioritas memiliki tingkat keparahan kemiskinan lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah non-prioritas, yaitu 0,51 berbanding 0,39.
Gambar 17. Perbandingan Keparahan Kemiskinan (P2) dengan Berbagai Skenario Wilayah Prioritas 1,20 0,98 0,90 0,70 0,60
0,51
0,49
0,53
0,48
0,39
0,38
0,30 0,30
0,00 Skenario 1
Skenario 2
Non-Prioritas
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
30
Skenario 3 Prioritas
Skenario 4
Angka Nasional
Penggunaan Skenario 3 menunjukkan tingkat keparahan wilayah non-prioritas yang lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah prioritas, yaitu 0,53 dibanding 0,48. Hal ini menunjukkan bahwa wilayah yang menjadi prioritas merupakan wilayah dengan ketimpangan per kapita rumah tangga lebih rendah terhadap garis kemiskinan dibandingkan dengan wilayah nonprioritas. Sementara, hasil penerapan Skenario 4 menunjukkan hal yang lebih kontras, dimana tingkat keparahan kemiskinan di wilayah prioritas hampir 3 kali lipat lebih besar dibanding wilayah non-prioritas, dan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tiga skenario sebelumnya. Dengan kata lain, wilayah prioritas yang dihasilkan oleh pendekatan IKW merupakan wilayah dengan ketimpangan pendapatan per kapita rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang paling tinggi. Sehingga upaya khusus Pemerintah yang dilakukan di wilayah-wilayah terpilih berdasarkan penerapan Skenario 4 diharapkan akan mampu memperkecil ketimpangan pendapatan per kapita antar rumah tangga. Jumlah Penduduk Miskin
Dengan menggunakan referensi jumlah penduduk miskin pada September 2012 sekitar 28,6 juta, ternyata wilayah-wilayah prioritas pada Skenario 4 memiliki jumlah penduduk miskin sebanyak 8,67 juta yang jauh lebih kecil dibanding dengan tiga skenario lainnya. Hal ini dapat dipahami mengingat pendekatan IKW tidak mendasarkan pilihan wilayah prioritas hanya dengan menggunakan dimensi kemiskinan konsumsi (ekonomi) saja, tetapi juga mengikutsertakan dimensi kemiskinan non-konsumsi (sosial, infrastruktur, dan lain sebagainya). Artinya, wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4 merupakan wilayah yang memiliki tingkat kompleksitas permasalahan kemiskinan (ekonomi dan nonekonomi) yang lebih besar dibanding wilayah lain. Kecilnya jumlah penduduk miskin di wilayah-wilayah yang terpilih berdasarkan Skenario 4, sedikit banyak juga mengkonfirmasi ketaatan penerapan prinsip penargetan individu (tepat sasaran) seperti yang telah diuraikan sebelumnya. Selain karena jumlah penduduk miskin tidak merepresentasikan relatif kemiskinan di suatu wilayah karena sangat tergantung pada banyaknya jumlah penduduk yang ada di wilayah tersebut. Dengan kata lain, program penanggulangan kemiskinan selain tepat menyasar wilayah-wilayah dengan tingkat kesejahteraan terendah, juga hanya akan diberikan kepada penduduk miskin tertentu yang benar-benar membutuhkan, sehingga program penanggulangan kemiskinan dapat berjalan dengan efektif. Dari keseluruhan hasil evaluasi (perbandingan) pilihan skenario penargetan wilayah, pemanfaatan IKW (Skenario 4) terbukti lebih unggul dalam mengidentifikasi wilayah prioritas 31
kantong kemiskinan. Pendekatan IKW dikatakan lebih unggul mengingat wilayah-wilayah prioritas yang terpilih berdasarkan pendekatan IKW terbukti memiliki karakteristik (i) tingkat kemiskinan yang lebih tinggi dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (ii) perbedaan jarak pendapatan rumah tangga terhadap garis kemiskinan yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, (iii) ketimpangan pendapatan rumah tangga yang lebih besar dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain, serta (iv) jumlah penduduk miskin yang lebih sedikit dibanding wilayah prioritas yang dihasilkan dengan menggunakan pendekatan lain.
Tabel 7. Perbandingan Indikator Kemiskinan di 100 Kabupaten Wilayah Prioritas1
Deskripsi
Jumlah Provinsi Jumlah Penduduk Miskin (Juta) Perkotaan (Juta) Perdesaan (Juta) Tingkat Kemiskinan Perkotaan (%) Perdesaan (%) Kedalaman Kemiskinan Perkotaan Perdesaan Keparahan Kemiskinan Perkotaan Perdesaan Distribusi Penduduk Miskin (%) Perkotaan (%) Perdesaan (%)
Nasional
33
Skenario 1 Jumlah Penduduk Miskin NonPrioritas Prioritas 33 12
Skenario 2
Skenario 3
Desil 1 PPLS 2011
KPS 2013
NonPrioritas 33
13
NonPrioritas 33
Prioritas
Skenario 4 IKW
13
NonPrioritas 33
Prioritas
Prioritas 26
28.60
9.94
18.66
3.82
24.77
3.95
24.64
19.93
8.67
10.51 18.09 11.66 8.60 14.70 1.90 1.38 2.42 0.49 0.36 0.61
5.74 4.20 7.56 6.41 10.00 1.18 1.01 1.55 0.30 0.26 0.38
4.77 13.89 16.41 14.60 17.15 2.74 2.41 2.87 0.70 0.62 0.74
0.69 3.14 9.08 4.34 9.24 1.46 0.72 1.48 0.39 0.21 0.38
9.82 14.95 12.20 11.94 15.46 1.99 1.91 2.56 0.51 0.50 0.65
0.64 3.31 11.29 5.38 14.33 1.94 0.95 2.45 0.53 0.28 0.65
9.87 14.77 11.73 8.95 14.79 1.90 1.43 2.41 0.48 0.36 0.60
9.75 10.18 9.83 8.24 12.06 1.55 1.31 1.87 0.38 0.34 0.45
0.76 7.90 20.40 19.66 20.48 3.61 3.51 3.62 0.98 0.98 0.98
36.75 63.25
57.74 42.26
25.57 74.43
17.99 82.01
39.64 60.36
16.15 83.85
40.05 59.95
48.90 51.10
8.80 91.20
Sumber: Hasil Estimasi Susenas September 2012
1
IKW berangkat dari kabupaten/kota; contoh: jika 1 provinsi terdiri atas 5 kabupaten/kota dimana 2 termasuk daerah IKW, maka provinsi tersebut disebut provinsi prioritas (2 kabupaten/kota) dan juga non prioritas (3 kabupaten/kota). Jika suatu provinsi tidak memiliki daerah yang masuk dalam kategori IKW, maka bisa dikatakan daerah tersebut sebagai provinsi non-prioritas.
32
Cakupan dan Distribusi Wilayah Prioritas
Hasil perbandingan wilayah prioritas berdasarkan keempat skenario menunjukkan adanya perbedaan sebaran persentase dan jumlah daerah (provinsi) untuk setiap skenario, seperti tersaji dalam mapping sebaran wilayah prioritas pada Gambar 18. Dengan menggunakan Skenario 1, diperoleh gambaran bahwa distribusi wilayah prioritas secara nasional hanya terdapat di 12 provinsi dan terkonsentrasi di Pulau Jawa dengan Provinsi Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai prioritas utama. Dari 100 wilayah (kabupaten/kota) yang diprioritaskan, 82 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota prioritas berada di Pulau Sumatera, sedangkan 5 kabupaten/kota prioritas sisanya berada di luar kedua pulau tersebut. Besarnya jumlah penduduk di kedua pulau tersebut telah menyebabkan terjadinya konsentrasi wilayah prioritas pada kedua pulau ini. Dengan menggunakan Skenario 2 atau pendekatan jumlah penduduk yang berada pada desil 1, diperoleh gambaran sebaran wilayah prioritas yang relatif sama dengan Skenario 1, dimana wilayah prioritas hanya mencakup 13 provinsi. Dari 100 wilayah yang dijadikan prioritas, 80 kabupaten/kota diantaranya berada di Pulau Jawa dan 13 kabupaten/kota lainnya berada di Pulau Sumatera. Hal ini mengindikasikan jumlah penduduk miskin pada kedua pulau tersebut ternyata proporsional terhadap jumlah penduduk yang termasuk dalam kelompok desil 1 atau 10 persen kelompok terbawah. Skenario 3 atau pemilihan wilayah berdasarkan sebaran rumah tangga penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS) menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda dibandingkan dengan dua skenario sebelumnya. Sekali lagi, distribusi wilayah prioritas masih cenderung terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera dan hanya tersebar di 13 provinsi. Gambaran tentang sebaran wilayah prioritas yang hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa dan sebagaia Pulau Sumatera berdasarkan Skenario 1 sampai dengan 3, tidak ditemui lagi jika penentuan wilayah prioritas menggunakan pendekatan IKW. Dengan menggunakan Skenario 4, wilayah prioritas tersebar hampir di seluruh provinsi. Provinsi Papua, Papua Barat, Aceh, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi-provinsi dengan jumlah kabupaten/kota prioritas pemantauan terbanyak. Dengan demikian, upaya khusus penanggulangan kemiskinan berbasis wilayah dengan menggunakan pendekatan IKW akan meningkatkan pengurangan tingkat kemiskinan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia. Distribusi detail wilayah prioritas pada tingkat kabupaten/kota berdasarkan keempat skenario tersaji secara lengkap pada Tabel 8 berikut.
33
Gambar 18. Sebaran Wilayah Prioritas Skenario 1: Jumlah Penduduk Miskin
Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas
Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas
Wilayah Prioritas
Wilayah Non-Prioritas
Skenario 2: Jumlah Penduduk Desil 1
Skenario 3: Jumlah Penerima Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
Skenario 4: Indeks Kesejahteraan Wilayah
34
Tabel 8. Perbandingan Distribusi Wilayah dengan Berbagai Skenario Prioritas Skenario Provinsi
Jumlah Kabupaten /Kota
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Desil 1
Jumlah Rumah Tangga KPS
Daerah
%
Daerah
%
Daerah
Indeks Kesejahteraan Wilayah
%
Daerah
%
Aceh
23
1
4.35
1
4.35
1
4.35
9
39.13
Sumatera Utara
33
2
6.06
3
9.09
4
12.12
3
9.09
Sumatera Barat
19
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
5.26
Riau
12
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
8.33
Jambi
11
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
Sumatera Selatan
15
5
33.33
2
13.33
2
13.33
0
0.00
Bengkulu
10
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
10.00
Lampung
14
5
35.71
6
42.86
5
35.71
5
35.71
Bangka Belitung
7
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
Kepulauan Riau
7
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
DKI Jakarta
6
0
0.00
3
50.00
2
33.33
0
0.00
Jawa Barat
26
19
73.08
18
69.23
19
73.08
4
15.38
Jawa Tengah
35
27
77.14
28
80.00
27
77.14
12
34.29
DI Yogyakarta
5
3
60.00
4
80.00
3
60.00
3
60.00
Jawa Timur
38
29
76.32
26
68.42
28
73.68
6
15.79
Banten
8
4
50.00
4
50.00
4
50.00
1
12.50
Bali Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Kalimantan Barat Kalimantan Tengah Kalimantan Selatan Kalimantan Timur
9
0
0.00
0
0.00
0
0.00
0
0.00
10
3
30.00
3
30.00
3
30.00
5
50.00
21
1
4.76
1
4.76
1
4.76
12
57.14
14
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
7.14
14
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
7.14
13
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
7.69
14
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
7.14
Sulawesi Utara
15
0
0.00
0
0.00
0
0.00
3
20.00
Sulawesi Tengah
11
0
0.00
0
0.00
0
0.00
3
27.27
Sulawesi Selatan
24
0
0.00
1
4.17
1
4.17
0
0.00
Sulawesi Tenggara
12
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
8.33
Gorontalo
6
0
0.00
0
0.00
0
0.00
2
33.33
Sulawesi Barat
5
0
0.00
0
0.00
0
0.00
1
20.00
Maluku
11
1
9.09
0
0.00
0
0.00
8
72.73
Maluku Utara
9
0
0.00
0
0.00
0
0.00
3
33.33
Papua Barat
11
0
0.00
0
0.00
0
0.00
5
45.45
Papua
29
0
0.00
0
0.00
0
0.00
7
24.14
Total Nasional
497
100
20.12
100
20.12
100
20.12
100
20.12
35
3.3.3. Program Penanggulangan Kemiskinan pada Wilayah Prioritas Wilayah terpilih merupakan wilayah (kabupaten/kota) prioritas yang akan dijadikan target pemantauan secara intensif dan lebih terukur dalam mencapai tujuan pemantauan. Kegiatan utama yang dilakukan di wilayah prioritas pemantauan hanya memanfaatkan program yang sudah ada dan sedang berjalan. Demikian pula halnya dengan instrumen dan petugas yang akan bekerja di lapangan adalah dengan mengunakan (mamaksimalkan) perangkat yang sudah ada. Dengan kata lain, tidak ada program baru yang akan dilaksanakan di wilayah prioritas. Hal baru yang mungkin dilakukan di wilayah prioritas pemantauan adalah adanya koordinasi yang solid antar penyelenggara program penanggulangan kemiskinan. Koordinasi harus dilakukan dengan lebih baik serta di bawah kendali suatu unit lembaga yang mempunyai pengalaman, tugas dan tanggung jawab dalam pengawasan dan penilaian kinerja kementerian/lembaga. Hal ini menjadi sangat penting mengingat besar kemungkinan satu wilayah prioritas memiliki (dilaksanakan) lebih dari satu program penanggulangan kemiskinan. Gambar 19. Perbandingan Cakupan Program Nasional dan Wilayah Prioritas
Sumber: Hasil Analisis Podes 2011
Dalam konteks bantuan sosial, kombinasi program Raskin, BSM, PKH, dan Jamkesmas, sebagian besar desa di 100 kabupaten/kota prioritas telah menerima sedikitnya 3 (tiga) program atau sebanyak 14.556 desa dari total 21.917 desa (66,4 persen). Hanya sekitar 32 persen (2.456 dari 7.624) wilayah prioritas yang menerima 1 (satu) program, dan sekitar 24 persen (4.905 dari 20.136) wilayah prioritas yang menerima sedikitnya 2 (dua) program. Ratarata tertimbang dari keempat kombinasi program sekitar 27 persen dari keseluruhan program bantuan sosial yang menjadi target pemantauan terutama untuk program Raskin, BSM, PKH dan Jamkesmas.
36
3.4. Wilayah Prioritas Berdasarkan IKW Program penanggulangan kemiskinan harus dilaksanakan secara tepat sasaran, tepat jumlah, tepat harga, dan tepat waktu. Dalam koneksitas ini, Pemerintah memiliki peran besar dalam memastikan bahwa program penanggulangan kemiskinan yang dilaksanakan dapat berjalan sesuai dengan rencana. Wilayah prioritas yang ditentukan berdasarkan IKW akan digunakan sebagai basis pelaksanaan pemantauan program penanggulangan kemiskinan yang efektif. 100 wilayah prioritas (kabupaten/kota) yang perlu dipantau secara intensif adalah sebagaimana dalam tabel berikut. Tabel 9. Kabupaten dan Kota Prioritas Berdasarkan Indeks Kesejahteraan Wilayah
No
Kabupaten/Kota
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Desil 1
Jumlah Rumah Tangga Penerima KPS
Indeks Kesejahteraan Wilayah
(Ribu)
(Ribu)
(Ribu)
(0-100)
1
Aceh Barat
Aceh
42,5
35,7
15,4
55,1
2
Aceh Besar
Aceh
66,3
63,4
25,7
54,2
3
Aceh Jaya
Aceh
15,6
11,2
5,9
59,6
4
Aceh Utara
Aceh
124,7
113,6
50,7
53,3
5
Bener Meriah
Aceh
32,2
28
12,9
58,6
6
Bireuen
Aceh
76,3
76
33,8
57,4
7
Pidie
Aceh
90,4
86,5
40,3
56,6
8
Pidie Jaya
Aceh
34,8
32,7
12,6
35,6
9
Simeulue
Aceh
19
16,4
6,9
47,9
10
Pandeglang
Banten
117,6
149,1
109
60,1
11
Bengkulu Selatan
Bengkulu
32,8
31,4
12,4
46,2
12
Bantul
D.I. Yogyakarta
159,4
148,1
88,6
59,7
13
Gunung Kidul
D.I. Yogyakarta
157,1
174,2
80,2
50,6
14
Kulon Progo
D.I. Yogyakarta
92,8
95
43
57,2
15
Gorontalo
Gorontalo
77,9
58,1
39,5
47,7
16
Pohuwato
Gorontalo
28,5
21,5
9,6
61,8
17
Bogor
Jawa Barat
470,5
424,3
155,9
54,8
18
Cianjur
Jawa Barat
306,6
322,4
211,1
58,3
19
Cirebon
Jawa Barat
328,6
411,8
176,7
59,6
20
Indramayu
Jawa Barat
272,1
298,3
174
60,1
21
Banjarnegara
Jawa Tengah
177,3
146,6
69,6
59,2
22
Banyumas
Jawa Tengah
328,5
260,3
124,4
41,8
23
Brebes
Jawa Tengah
394,4
508,6
166,6
31,1
24
Cilacap
Jawa Tengah
282
283,8
140,9
58,5
37
No
Kabupaten/Kota
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Desil 1
Jumlah Rumah Tangga Penerima KPS
Indeks Kesejahteraan Wilayah
(Ribu)
(Ribu)
(Ribu)
(0-100)
25
Demak
Jawa Tengah
192,5
224,1
98,9
58,2
26
Grobogan
Jawa Tengah
227,8
240,1
119,3
61,6
27
Kebumen
Jawa Tengah
279,4
270,3
107,5
43,8
28
Klaten
Jawa Tengah
203,1
214,8
108,5
49,5
29
Pemalang
Jawa Tengah
261,2
277,1
110,1
55,9
30
Purbalingga
Jawa Tengah
196
219,6
80,4
59,9
31
Wonogiri
Jawa Tengah
146,4
149,3
70,6
57,1
32
Wonosobo
Jawa Tengah
183
156,9
69,9
40,8
33
Bangkalan
Jawa Timur
239,5
204,8
85,1
46,9
34
Bojonegoro
Jawa Timur
212,9
200,7
118,4
57,2
35
Pamekasan
Jawa Timur
167,9
183,2
86,4
51,3
36
Probolinggo
Jawa Timur
259,2
243,6
139,1
44,4
37
Sampang
Jawa Timur
267,5
254,1
108,6
30
38
Sumenep
Jawa Timur
242,5
225,7
116,4
60,1
39
Kapuas Hulu
Kalimantan Barat
23,8
17,7
14,3
82,2
40
Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan
16,9
16
9,5
88,8
41
Barito Timur
Kalimantan Tengah
9,2
7,4
3
87,8
42
Malinau
Kalimantan Utara
8,3
9,9
3,5
75,2
43
Lampung Selatan
Lampung
177,7
178,3
72,6
60,8
44
Lampung Tengah
Lampung
187
172,5
89,3
60,5
45
Lampung Timur
Lampung
189,5
191,9
85,5
55
46
Lampung Utara
Lampung
155,8
143
56,1
22,9
47
Pesawaran
Lampung
77,1
83,8
38,1
59,8
48
Buru
Maluku
24,7
19,8
11,2
45,6
49
Kepulauan Aru
Maluku
27
27
7,5
34,5
50
Maluku Barat Daya
Maluku
25,2
25,8
9,1
17,9
51
Maluku Tengah
Maluku
94,1
80,4
32
34,2
52
Maluku Tenggara
Maluku
27,2
28,1
7,9
34,5
53
Maluku Tenggara Barat
Maluku
32,8
31,3
8,5
57,1
54
Seram Bagian Barat
Maluku
45,5
48,3
14,2
35,3
55
Seram Bagian Timur
Maluku
28,6
28,5
9
28,5
56
Halmahera Barat
Maluku Utara
13,4
14
9,4
85,9
57
Halmahera Tengah
Maluku Utara
10
10,8
4
59,7
58
Pulau Morotai
Maluku Utara
6,3
5,8
3,2
92,8
59
Lombok Barat
Nusa Tenggara Barat
119,6
133,3
70,8
63,8
60
Lombok Timur
Nusa Tenggara Barat
243,1
228,8
138
54
61
Lombok Utara
Nusa Tenggara Barat
79,5
64,7
30,7
3,9
62
Sumbawa
Nusa Tenggara Barat
83,4
78,9
30,9
44,4
63
Sumbawa Barat
Nusa Tenggara Barat
23,1
19,5
9,2
22,6
64
Alor
Nusa Tenggara Timur
38,9
43,3
17,7
72,5
38
No
Kabupaten/Kota
Provinsi
Jumlah Penduduk Miskin
Jumlah Penduduk Desil 1
Jumlah Rumah Tangga Penerima KPS
Indeks Kesejahteraan Wilayah
(Ribu)
(Ribu)
(Ribu)
(0-100)
65
Ende
Nusa Tenggara Timur
54,5
53,8
22,2
58,4
66
Kupang
Nusa Tenggara Timur
61
49,9
29,1
47,8
67
Lembata
Nusa Tenggara Timur
30,5
28,6
11,8
55,3
68
Manggarai Timur
Nusa Tenggara Timur
63,5
56,9
23,5
62
69
Rote Ndao
Nusa Tenggara Timur
38,2
38,4
13
5,9
70
Sabu Raijua
Nusa Tenggara Timur
29,5
32,4
10,6
14,8
71
Sumba Barat
Nusa Tenggara Timur
34,1
30,4
11,7
44,9
72
Sumba Barat Daya
Nusa Tenggara Timur
82,2
80,7
32,5
49,8
73
Sumba Tengah
Nusa Tenggara Timur
20,6
19,7
7,8
48,1
74
Sumba Timur
Nusa Tenggara Timur
71,5
68,1
26,2
0
75
Timor Tengah Selatan
Nusa Tenggara Timur
122,3
130,2
53,5
35,5
76
Deiyai
Papua
31
36,8
14,2
27,1
77
Intan Jaya
Papua
17,9
23,7
7,4
56,7
78
Mamberamo Raya
Papua
7,1
10,8
2,6
53,7
79
Paniai
Papua
63,4
85,5
28
47,4
80
Puncak Jaya
Papua
43,6
54,3
22,7
43,3
81
Waropen
Papua
9,6
10
3,6
69,9
82
Yahukimo
Papua
74,7
88,6
34,9
55
83
Manokwari
Papua Barat
66,7
60,3
21,6
33,7
84
Maybrat
Papua Barat
13,9
19,5
5,4
57
85
Tambrauw
Papua Barat
2,8
3,6
1,2
47
86
Teluk Bintuni
Papua Barat
26
23
7,1
0
87
Teluk Wondama
Papua Barat
12,1
11,8
3,5
55,7
88
Kepulauan Meranti
Riau
63,6
63,2
23,2
1,2
89
Kolaka
Sulawei Tenggara
56,9
49,7
26,2
53,4
90
Mamasa
Sulawesi Barat
21,7
22,9
11
83,6
91
Banggai Kepulauan
Sulawesi Tengah
31,8
27
12,3
59,7
92
Morowali
Sulawesi Tengah
39,8
34
14,9
47
93
Tojo Una Una
Sulawesi Tengah
31,5
27,1
12,4
48
94
Kepulauan Sangihe
Sulawesi Utara
14,9
15,5
10,7
88,4
95
Kepulauan Talaud
Sulawesi Utara
8,5
8,9
9,1
92,8
96
Siau Tagulandang Biaro
Sulawesi Utara
6,7
5,3
2,5
89,9
97
Kepulauan Mentawai
Sumatera Barat
14,6
8,3
10,3
52,5
98
Nias
Sumatera Utara
25,4
34,1
9,7
74,3
99
Nias Barat
Sumatera Utara
24,2
30,8
9,1
47,6
100
Nias Utara
Sumatera Utara
39,1
46,8
16,5
45,5
Sumber: Hasil Estimasi Indeks Kesejahteraan Wilayah
39
SEKRETARIAT TIM NASIONAL PERCEPATAN PENANGGULANGAN KEMISKINAN Grand 42Kebon Sirih Lt. 4 Jl. Kebon Sirih Raya No. 35 Jakarta Pusat 10110, Indonesia Telp : 021 – 3912 812 Faks : 021 – 3912 511 Website : www.tnp2k.go.id